Pencarian

Sang Fajar Bersinar 16

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 16


tapi sebagai sahabat", berkata Empu Dangka dalam hati
mengagumi sikap kasih orang- orang disekilingnya itu.
Sinar bulan sepotong redup memandang wajah
1088 alang-alang yang melenggut ditepian sungai Brantas.
Dan malam pun telah jauh merambah kegelapan.
Pagi itu udara masih basah berembun, tiga ekor kuda
terlihat keluar meninggalkan Bandar Cangu. Merekah
adala Raden Wijaya, Mahesa Amping dan Empu Dangka
yang tengah melakukan perjalanannya menuju Kotaraja.
Di perjalanan banyak mereka temui para saudagar
dengan gerobak sarat penuh muatan menuju Bandar
Cangu atau tengah menuju Kotaraja Singasari.
"Jalan menuju Kotaraja ke Bandar Cangu sudah
menjadi ramai", berkata Mahesa Amping.
"Perdagangan Singasari telah berkembang meluas
ke segenap penjuru dunia", berkata Raden Wijaya penuh
kebanggaan. "Petani makmur, para saudagar aman berdagang dan
para ksatria tidur bersama keluarganya tanpa
peperangan, itulah sebuah gambaran nagari yang
sejahtera penuh kedamaian", berkata Empu Dangka
dengan wajah penuh berseri.
Terlihat Mahesa Amping merenungi apa yang
dikatakan Empu Dangka, berharap keadaan ini terus
berlangsung. Telah banyak dilihatnya peperangan yang
membawa banyak kedukaan. "Mungkinkah kita terbebas dari sebuah peperangan?", berkata Mahesa Amping kepada Empu
Dangka yang berkuda beriring disebelahnya.
"Selama kita hidup di alam dunia ini, kita tidak akan
terbebas dari peperangan", berkata Empu Dangka
kepada Mahesa Amping. "Jadi kita tidak pernah terbebas dari peperangan?",
bertanya Raden Wijaya ikut bicara.
1089 "Tengoklah diri kita sendiri anakmas", berkata Empu
Dangka dengan wajah penuh senyum. "Diri kita adalah
gambaran dunia alit, setiap saat setiap detik selalu ada
peperangan yang terus berkecamuk", berkata kembali
Empu Dangka melanjutkan kata- katanya.
"Perang melawan hawa nafsu", berkata Mahesa
Amping menangkap perkataan Empu Dangka.
"Dunia alit dan dunia besar ternyata sangat saling
terkait", berkata Raden Wijaya yang juga dapat
memaknai perkataan Empu Dangka.
"Aku bangga kepada kalian yang dapat menerjemahkan alam alit, semoga kalian dapat menjadi
bijak untuk berpijak di dunia kasat mata ini", berkata
Empu Dangka sambil memandang kedua anak muda
yang berkuda bersamanya itu dengan wajah penuh
senyum berseri-seri. "Sebuah nagari yang tentram, adem mayem loh
jinawi, tidak ada panas yang terlalu, tidak ada dingin
yang terlalu, apakah kamu menginginkan nagarimu
seperti itu?", bertanya Empu Dangka kepada Mahesa
Amping dan Raden Wijaya. "Semua jiwa menginginkannya", berkata Raden
Wijaya langsung menjawab pertanyaan Empu Dangka.
"Selamanya nagari itu tidak akan maju berkembang,
selamanya nagarimu selalu terbelakang", berkata Empu
Dangka. Hanya nagari yang pernah mengalami
kehancuran, runtuh poran poranda yang akan menjadi
sebuah nagari yang besar", berkata kembali Empu
Dangka. "Musibah, malapetaka dan bencana ternyata adalah
karunia jua yang diturunkan oleh Gusti Yang Maha
1090 Agung kepada umat manusia", berkata Mahesa Amping
menangkap perkataan Empu Dangka.
"Itulah wajah kasih yang terpancar lewat sejati Dewa
Syiwa", berkata Empu Dangka menatap Mahesa Amping
yang dapat memaknai perkataannya.
"Digembleng sampai hancur lebur, bangkit kembali.
Itukah yang seharusnya hidup didalam diri kita?",
bertanya Raden Wijaya. "Anakmas benar, itulah yang dimaksud dengan
semangat", berkata Empu Dangka kepada Raden
Wijaya. "Semangat-semangat-semangat!!", berkata Raden
Wijaya sambil mengangkat sebelah tangannya tinggitinggi sepertinya merasakan pencerahan didalam
hatinya. Sementara itu bayang-bayang matahari sudah
semakin merucut, matahari sudah berada dipuncak
lengkung langit yang berawan penuh. Cahaya terik
begitu menyengat kulit. "Kita beristirahat", berkata Mahesa Amping kepada
Empu Dangka dan Raden Wijaya sambil mengajaknya
singgah disebuah kedai dipinggir jalan.
Mereka juga melihat satu dua gerobag kuda dai
berada di muka halaman kedai itu, ternyata kedai itu
sebagai tempat persinggahan para saudagar dalam
setiap perjalanan dagangnya.
Setelah mengikat kuda-kudanya ditempat yang
disediakan, Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Empu
Dangka terlihat memasuki kedai yang cukup ramai itu.
Seorang lelaki tua pemilik kedai menyambut mereka
penuh keramahan. 1091 "Minuman hangat dan nasi begana", berkata Mahesa
Amping kepada pemilik kedai itu.
"kami punya tuak bagus?", berkata pemilik kedai itu
menawarkan tuaknya. Mahesa Amping menjawabnya dengan
tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
sedikit Lelaki pemilik kedai itu sepertinya tidak merasa
heran, baginya memang tidak semua orang menyukai
minuman tuak. "Aku akan menyiapkan pesanan tuan-tuan", berkata
lelaki pemilik kedai itu sambil berbalik badan melangkah
masuk kedalam. "Ternyata ada juga orang yang tidak menyukai tuak",
berkata seorang lelaki tidak jauh dari tempat duduk
Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Empu Dangka.
Lelaki itu bicara cukup keras kepada temannya namun
sepertinya perkataannya itu ditujukan langsung Mahesa
Amping. "Hanya lelaki banci yang tidak berani minum tuak",
berkata kawan lelaki itu yang berwajah bopeng dengan
suara yang juga keras sepertinya menyindir Mahesa
Amping dan kawan-kawan. Suara itu bukan hanya didengar oleh Mahesa
Amping, Raden Wijaya dan Empu Dangka, tapi juga
terdengar oleh hampir semua yang ada dikedai itu.
Semua orang yang ada di kedai itu menarik nafas
tertahan penuh kekhawatiran bahwa akan terjadi sesuatu
di kedai itu. Mereka sepertinya tidak sabar menunggu
tanggapan dari ketiga orang yang baru datang yang
menjadi sasaran sindiran.
Tapi penantian mereka sepertinya sia-sia, Mahesa
1092 Amping, Raden Wijaya dan Empu Dangka tidak
menanggapi apapun, mereka seperti tidak mendengar
apapun selain sibuk menikmati hidangan pesanan
mereka yang baru datang tiba.
Mendapati sindirannya tidak termakan sedikit pun,
kedua orang itulah yang sepertinya kebakaran jenggot.
"Kedai ini kedatangan tiga orang banci tuli", berkata
kembali orang pertama dengan suara yang cukup keras.
Namun kembali sindiran mereka seperti air masuk
pasir, hilang tanpa jejak. Tidak terlihat perubahan apapun
pada wajah Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Empu
Dangka. Mereka sepertinya tidak mendengar suara
apapun. Kali ini kembali kedua orang itu yang menjadi tidak
sabaran mendapatkan sindirannya tidak bergeming
sedikit pun. Sementara itu semua orang yang ada di kedai mulai
gelisah, perkiraan mereka akan terjadi sesuatu disambut
atau tidak disambut sindiran kedua orang itu.
Perkiraan mereka ternyata akan terjadi, terlihat kedua
orang itu sudah berdiri, melangkah mendekati Mahesa
Amping, Empu Dangka dan Raden Wijaya.
"Baru kali ini kumendapatkan ada tiga orang lelaki
yang begitu pengecut", berkata orang yang berwajah
bopeng setelah dekat kepada Mahesa Amping, Raden
Wijaya dan Empu Dangka. Terlihat Mahesa Amping mengangkat wajahnya.
"Maaf, aku tidak mengerti apa yang kisanak maksudkan",
berkata Mahesa Amping kepada orang itu tanpa ada
perasaan apapun. "Kukatakan bahwa kalian adalah tiga orang pengecut,
1093 apakah kamu tuli!!", berkata orang berwajah bopeng
dengan suara cukup keras seperti menahan kemarahan
yang memuncak. "Ternyata kisanak mengatakan bahwa kami ini tiga
orang pengecut, tidak ada masalah buat kami, setiap
orang bebas menyampaikan pandangan apapun
perkataannya", berkata Mahesa Amping kepada orang
yang berwajah bopeng yang memandangnya dengan
mata yang merah dan melotot.
"Kalian tidak menjadi marah?", berkata orang
berwajah bopeng itu kepada Mahesa Amping, karena
hanya Mahesa Amping yang menghentikan makannya,
sementara itu Empu Dangka dan Raden Wijaya seperti
tidak memperhatikan apapun selain sibuk dengan
makanannya. "Untuk apa kami marah, melihat wajah kalian saja
kami sudah penuh ketakutan", berkata Mahesa Amping
dengan suara seperti orang yang sedang penuh
ketakutan. "Ternyata ketiga orang ini benar-benar anak kelinci
berhati cecurut", berkata teman orang berwajah bopeng
sambil tertawa tergelak-gelak.
"Meski satu diantara mereka membawa sebuah
keris", berkata orang berwajah bopeng sambil melirik
Raden Wijaya yang terlihat sudah hampir menyelesaikan
makannya. Terlihat Raden Wijaya mengangkat wajahnya.
"Jangan kalian salah sangka, keris ini cuma kenangkenangan mendiang ibuku, sementara aku tidak pernah
mencabutnya untuk berkelahi, hanya terkadang dipakai
untuk mengiris bawang di dapur", berkata Raden Wijaya
dengan wajah yang biasa-biasa saja.
1094 "cuma untuk mengiris bawang?", berkata orang
berwajah bopeng kepada kawannya diringi gelak tawa
keduanya. "Mari kita tinggalkan tempat ini, aku khawatir mereka
akan mati lemas melihat kita", berkata kawan orang
berwajah bopeng sambil berbalik badan diikuti kawannya
melangkah dengan wajah dan sikap seorang gagah
meninggalkan medan laga dalam kemenangan.
"Kalian telah memenangkan sebuah pertempuran
tanpa bertempur", berkata Empu Dangka kepada
Mahesa Amping dan Raden Wijaya ketika melihat kedua
orang itu sudah keluar dari kedai.
Sementara itu matahari di luar kedai sudah terlihat
bergeser, cahayanya tidak lagi seterik sebelumnya.
Terlihat Mahesa Amping, Empu Dangka dan Raden
Wijaya telah keluar dari kedai berjalan melangkah kearah
tempat kuda-kuda mereka terikat.
"Ternyata jadi orang pengecut itu damai", berkata
Empu Dangka yang telah duduk diatas punggung
kudanya. Mahesa Amping dan Raden Wijaya bersamaan ikut
melompat dan duduk diatas kudanya. Awan putih seputih
kapas bergerumbul memenuhi lengkung langit biru,
semilir angin berhembus sejuk diantara tangkai ranting
dan daun hutan sepanjang jalan tanah itu yang semakin
memanjak naik. "Sebentar lagi kita akan sampai", berkata raden
Wijaya sambil menunjuk kearah sebuah perbukitan yang
hijau. Tidak terasa kakinya menepak perut kudanya
untuk berlari. Mahesa Amping pun ikut mempercepat lari kudanya.
1095 "Ternyata kalian sudah menjadi orang tidak sabar",
berkata Empu Dangka yang terpaksa ikut mempercepat
lari kudanya agar tidak tertinggal oleh Mahesa Amping
dan Raden Wijaya. Cahaya matahari sore bersinar lembut menyambut
kedatangan mereka ketika memasuki pintu gerbang
kotaraja. Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Empu
Dangka terlihat beriring diatas punggung kudanya yang
dibiarkan berjalan melangkah perlahan diatas jalan
Kotaraja yang masih ramai dipenuhi orang-orang yang
berjalan hilir mudik, kadang satu dua gerobak kuda para
saudagar melewati mereka berjalan kearah pasar


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kotaraja. Mahesa Amping, Empu Dangka dan Raden Wijaya
terlihat telah turun dari atas punggung kudanya ketika
mereka sudah sampai didepan pintu gerbang istana.
"Selamat datang di istana Singasari", berkata
seorang prajutit pengawal istana sambil mengambil tali
temali kuda untuk dibawanya kepada pekatik istana
"Terima kasih", berkata Raden Wijaya kepada prajurit
pengawal itu. Terlihat Mahesa Amping dan Empu Dangka berjalan
dibelakang Raden Wijaya yang melangkah menuju
pesanggrahan keluarganya, pesanggrahan Ratu Anggabhaya. "Selamat datang wahai para putraku", berkata Ki
Lembu Tal menyambut kedatangan Mahesa Amping dan
Raden Wijaya. "Perkenalkan ini saudara kembar Empu Nada",
berkata Raden Wijaya kepada ayahnya memperkenalkan
Empu Dangka. 1096 "Bila saja tidak diberitahu, mungkin aku menganggap
Empu Nada dihadapanku", berkata Ki Lembu Tal yang
terkesima melihat kemiripan wajah kembaran Empu nada
yang sudah dikenalnya. "Ternyata ada seorang senapati Singasari", berkata
tiba-tiba seorang yang sudah cukup berumur keluar
menyambut mereka yang ternyata adalah Ratu
Anggabhaya. Maka tidak lama berselang, keadaan di pasanggrahan Ratu Anggabhaya menjadi begitu ramai,
terutama di dapur belakang dimana para pelayan
nampak begitu sibuk menyiapkan hidangan istimewa
untuk tamu istimewa mereka.
"Pangeranku terlihat semakin gagah", berkata
seorang wanita tua pelayan istana kepada kawannya di
dapur belakang. "Gagahan mana dengan suamiku", berkata kawannya
yang terlihat masih muda dengan senyum menggoda.
"Jauhh",seperti langit dan bumi", berkata wanita tua
itu sambil mencabut bulu-bulu ayam yang tinggal tersisa
pada sayapnya. "Tapi aku menganggap suamiku manusia tergagah
didunia, terutama ketika"..", berkata wanita pelayan itu
tidak meneruskan kata-katanya.
Sementara itu, seorang prajurit pengawal yang biasa
bertugas di pasangrahan Ratu Anggabhaya telah
ditugaskan untuk menjemput guru pendeta Empu Nada
yang saat ini telah menetap di lingkungan istana, tinggal
di belakang istana di sebuah rumah yang dulu pernah
didiami Mahendra, seorang pahlawan Singasari.
"Berangkatlah lebih dulu, aku akan menyusul",
1097 berkata Empu Dangka kepada prajurit pengawal itu yang
telah menyampaikan pesannya.
"Apa kata mereka bila aku datang tidak bersama tuan
guru pendeta", berkata prajurit pengawal itu kepada
Empu Nada. "Bila demikian, tunggulah sebentar", berkata Empu
Nada sambil tersenyum kepada prajurit pengawal itu.
Prajurit pengawal itu memang tidak menunggu terlalu
lama. Empu Nada telah siap untuk berangkat ke
Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Ternyata Empu Nada mempunyai panggraita yang
kuat, dalam perjalanannya telah merasakan sesuatu
yang akan ditemuinya di Pasanggrahan Ratu
Anggabhaya. "Kakang Dewadangkabrata!!", berkata Empu Nada
tidak percaya dengan apa yang dilihatnya ketika akan
naik anak tangga pendapa di Pasanggrahan Ratu
Anggabhaya. "Dewanadabrata", berkata Empu Dangka penuh
senyum gembira, sebuah pertemuan yang sangat
ditunggu-tunggu sejak keberangkatannya dari Balidwipa.
Terlihat dua saudara kembar itu saling berpelukan,
menangis penuh keharuan setelah sekian lama mereka
berpisah. Dan malam itu adalah malam yang sangat istimewa,
terutama bagi Empu Nada dan Empu Dangka yang
seperti tidak ingin dipisahkan lagi, mereka duduk
bersama dan bercerita begitu banyak tentang beberapa
hal sepanjang perpisahan mereka yang begitu lama.
Keistimewaan perjamuan malam itu di pendapa yang
luas menjadi begitu istimewa lagi manakala seorang
1098 prajurit pengawal khusus Maharaja Singasari datang
membawa kabar bahwa Sri Baginda Maharaja Singasari
akan datang ke Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
Tidak lama berselang, Sri Baginda Maharaja
Singasari memang telah datang hanya dengan dikawal
oleh dua orang prajurit pengawal.
"Haturkan diri ini bersembah sujud dihadapanmu
wahai guruku tercinta", berkata Maharaja Kertanegara
dihadapan Empu Dangka sambil bersujud penuh
kehormatan. "Bangunlah anakku, engkau adalah Maharaja
Singasari yang perkasa", berkata Empu Dangka penuh
haru bahwa dihadapannya adalah seorang Maharaja
besar yang dengan kerendahan hati masih menghormati
dirinya sebagai seorang guru.
Maka lengkaplah keharuan dan suka cita atas
pertemuan antara saudara kembar, antara guru dan
murid dan pertemuan persaudaraan para ksatria
Singasari yang telah bersatu dalam sebuah perjamuan
malam yang sangat meriah.
"Berkat kalian semua, Singasari telah semakin
berjaya", berkata Maharaja Kertanegara kepada semua
yang hadir ditengah suasana perjamuan.
"Kami para orang tua hanya duduk dipinggiran
sebagai juru sorak mendukung jiwa-jiwa muda yang terus
berkarya bagi kejayaan Singasari", berkata Ratu
Anggabhaya "Tanpa diri kalian para orang tua, kami tidak akan
terlahir seperti saat ini", berkata Maharaja Kertanegara
sambil menjura penuh kehormatan.
Sementara itu sang malam di pendopo besar itu terus
1099 berlalu, beberapa pelayan telah membersihkan sisa
perjamuan dan menggantikannya dengan beberapa
hidangan penutup. "Kita disini semuanya adalah keluarga, maka tidak
perlu sungkan bila Rangga Mahesa Amping dapat
bercerita tentang perjalanan tugasnya selama di
Balidwipa", berkata Maharaja Kertanegara meminta
Mahesa Amping bercerita tentang apa yang didapatnya
selama di Balidwipa. Maka dengan perlahan Mahesa Amping menyampaikan apa yang telah dilihat dan diketahui
tentang Balidwipa. "Kamu telah membuka sepertiga jalan atas apa yang
telah engkau lakukan", berkata Maharaja Kertanegara
ketika mendengar cerita Mahesa Amping bahwa dirinya
telah diangkat sebagai seorang guru di Pura Indrakila.
"Tanpa kebersamaan Empu Dangka, mungkin
kehadiran hamba di Balidwipa tidak banyak berarti",
berkata Mahesa Amping kepada Sri Baginda Maharaja
Singasari itu. Maka setelah mendengar gambaran yang cukup
lengkap dari Mahesa Amping tentang Balidwipa,
Maharaja Kertanegara meminta Ratu Anggabhaya dan
Empu Dangka untuk memberikan saran dan nasehat
yang berharga. "Sebagaimana yang dikatakan Baginda Maharaja,
Mahesa Amping telah membuka sepertiga jalan menuju
penguasaan Balidwipa, sisanya adalah menguasai Pura
Besakih. Ibarat sebuah tubuh yang utuh, Pura Besakih
adalah bagian kepala, menguasai Pura Besakih berarti
telah menguasai seluruh Balidwipa", berkata Empu
Dangka memberikan pandangannya.
1100 "Aku sependapat dengan Empu Dangka, harapanku
yang paling besar adalah tidak banyak pertumpahan
darah sebagai tumbal membawa Balidwipa dipangkuan
Singasari Raya", berkata Ratu Anggabhaya menyampaikan nasehatnya. Demikianlah, Sri Maharaja Singasari ternyata
seorang yang sangat terbuka, memberikan kesempatan
pada semua yang hadir untuk menyampaikan
pendapatnya. "Kehadiran para saudagar dari tanah hindu harus
juga diperhitungkan", berkata Raden Wijaya menyampaikan pandangannya."Berarti ada dua kekuatan
yang harus kita kunci, kekuatan Pura Besakih dan gerak
kekuatan para saudagar tanah Hindu", berkata kembali
Raden Wijaya yang langsung disetujui oleh semua yang
hadir termasuk Maharaja Kertanegara.
"Aku memutuskan bahwa Rangga Mahesa Amping
untuk kembali bertugas di Balidwipa membawahi
pasukan tidur", berkata Maharaja Kertanegara memberikan keputusannya meminta Mahesa Amping
untuk kembali bertugas di Balidwipa memimpin dan
menggerakkan pasukan tidur, sebuah pasukan khusus
yang terjun mendahului pasukan inti, bergerak
mengamankan medan yang akan dilalui pasukan inti,
kehadiran pasukan ini seperti bayangan yang tidak boleh
terlihat oleh musuh. Pasukan seperti inilah yang
dimaksudkan sebagai pasukan tidur oleh Sri Baginda
Maharaja Singasari. "Hamba siap menerima titah tuanku paduka", berkata
Mahesa Amping sambil menjura penuh hormat
dihadapan Sri baginda Maharaja.
"Paman Kebo Arema dapat kau bawa serta", berkata
1101 Maharaja Kertanegara kepada Mahesa Amping.
"Tuanku Baginda belum menunjuk siapakah senapati
yang akan menjadi pemimpin para prajurit yang akan
diturunkan di medan Balidwipa", berkata Raden Wijaya
tidak sabar menunggu sebuah keputusan.
"Aku perlu seorang Senapati yang sudah teruji
kesetiaannya, namun aku tidak akan menunjuk dirimu
wahai saudaraku", Berkata maharaja Kertanegara
kepada Raden Wijaya. "Singasari tidak boleh lengah dan
harus tetap terjaga, itulah sebabnya aku masih perlu
dirimu tetap menjaga Singasari ini", berkata kembali
Maharaja Kertanegara memberikan alasan mengapa
bukan Raden Wijaya yang akan ditugaskan sebagai
senapati perangnya di Balidwipa.
Diam-diam semua yang hadir memuji pandangan
Maharaja Kertanegara yang sangat hati-hati dan penuh
perhitungan. Namun semua masih menunggu siapakah
yang dititahkan menjadi sang senapati di Balidwipa.
"Dijaman ayahku memerintah, ada seorang senapati
yang sangat setia dan berilmu sangat tinggi. Banyak
pemberontakan yang dapat ditumpasnya. Saat ini orang
itu telah menjadi seorang akuwu di Sangling", berkata
Maharaja Kertanegara. "Kakang Mahesa Bungalan!!", berkata Mahesa
Amping dalam hati langsung mengenal siapa orang yang
dimaksud oleh Maharaja Kertanegara.
"Akuwu Mahesa Bungalan adalah orang yang
kuanggap paling tepat saat ini untuk menjadi senapati
laskarku di Medan Balidwipa", berkata Maharaja
Kertanegara kepada semua yang hadir malam itu di
pendopo pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
1102 Hampir semua yang hadir saat itu sudah mengenal
Mahesa Bungalan, salah satu putra Mahendra pahlawan
Singasari yang tidak disangsikan lagi kesetiaannya, juga
pengalamannya memimpin pasukan besar yang pernah
ditunjukkan selama ini antara lain dalam penumpasan
beberapa gerombolan pemberontak yang telah mencoba
mengganggu dan menguji kewibawaan Kerajaan
Singasari. "Meski dirimu tidak terjun di medan Balidwipa,
kutitahkan segenap kekuasaanku kepadamu wahai
sepupuku untuk menjadi pimpinan tertinggi mengatur
segalanya, menyiapkan prajurit segelar sepapan,


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berwenang menggunakan perbendaharaan kerajaan",
berkata Maharaja Kertanegara kepada Raden Wijaya.
"Titah Baginda Maharaja akan kujunjung tinggi",
berkata Raden Wijaya menjura penuh kehormatan.
Demikianlah, sebuah perundingan awal pergelaran
sebuah sejarah Balidwipa telah dimulai. Sementara itu
langit malam diatas Pasanggrahan Ratu Anggabhaya
telah semakin larut, suara jengkerik mendengung
mengisi kesunyian malam. Sribaginda Maharaja Singasari terlihat akan beranjak
untuk kembali ke Pasanggrahannya. Namun sebelum
beranjak Maharaja Kertanegara telah meminta Empu
Dangka untuk tinggal diistana mendampinginya.
"Guru sudah sangat tua, tinggallah di Istana ini
mendampingiku", berkata Maharaja Singasari kepada
Empu Dangka. "Aku sangat setuju, biarlah kita yang sudah beruban
ini duduk dipinggiran menjadi pemandu", berkata Ratu
Anggabhaya kepada Empu Dangka menyetujui
permintaan Sri baginda Maharaja Singasari.
1103 "Terima kasih telah menerima aku yang sudah rapuh
ini, semoga buah pikiranku masih dapat diabdikan
diistana ini", berkata Empu Dangka yang disambut
gembira oleh Maharaja Singasari, Empu Nada dan Ratu
Anggabhaya. Terlihat maharaja Singasari yang masih muda itu
telah meninggalkan Pasanggrahan Ratu Anggabhaya.
"Maaf, aku akan membawa saudaraku ke
pondokanku", berkata Empu Nada kepada semuanya
bermaksud pamit diri sambil mengajak Empu Dangka.
"Terima kasih telah meramaikan perjamuan malam
ini", berkata Ratu Anggabhaya mengantar kedua saudara
kembar itu menuruni anak tangga pendopo Pesanggrahannya. Tidak lama berselang Mahesa Amping dan Raden
Wijaya dipersilahkan untuk beristirahat.
"Beristirahatlah, mulai besok kalian sudah memasuki
sebuah tugas yang panjang", berkata Ki Lembu Tal
kepada Mahesa Amping dan Raden Wijaya.
Akhirnya pendapa itu telah menjadi begitu sepi,
menyisakan dua pelita yang tergantung menerangi
sekelingnya. Sementara itu rembulan diatas langit malam
sudah semakin pudar bergeser ke barat terhalang awan
tipis. Sekumpulan kalelawar malam masih terlihat satu
dua melintas diatas udara dingin malam.
Hawa Angin Malam diatas bumi Singasari yang
berbukit memang sangat begitu dingin. Namun beberapa
prajurit pengawal yang sedang bertugas malam itu
sepertinya tidak mempedulikan hawa dingin yang
menusuk kulit, mereka tetap berjaga meronda berkeliling
istana. 1104 Pagi itu hawa dingin yang sejuk menyelimuti bumi
Singasari, dua ekor kuda terlihat berjalan perlahan
melewati pintu gerbang Kotaraja. Mereka yang berkuda
itu ternyata adalahRaden Wijaya dan Mahesa Amping.
"Ingin rasanya aku terbang langsung tiba di
Padepokan Bajra Seta", berkata Mahesa Amping
mengungkapkan perasaan hatinya kepada Raden
Wijaya. Raden Wijaya hanya tersenyum mendengar
perkataan Mahesa Amping. Sebuah kakinya menghentak
perut kuda yang langsung terkaget berlari kencang.
Mahesa Amping segera memburu lari kuda Raden
Wijaya yang telah jauh meninggalkannya. Maka terlihat
dua ekor kuda tengah berlari saling berkejaran
membelah padang ilalang yang luas. Masih terus berlari
manaiki dan menuruni bukit-bukit kecil yang landai.
"Kukira kamu tidak kasihan kepada kudamu", berkata
Mahesa Amping kepada Raden Wijaya yang telah
berhenti di sebuah sungai kecil yang berair jernih.
"Bukankah kamu ingin terbang sampai di Padepokan
Bajra Seta?", berkata Raden Wijaya kepada Mahesa
Amping sambil tersenyum. "Tapi tidak dengan menyiksa kuda kita mati lemas",
berkata Mahesa Amping sambil turun dari kudanya,
membiarkan kudanya turun ke sungai kecil meneguk
airnya yang jernih. Matahari sudah semakin beranjak naik keatas puncak
cakrawala langit yang berawan putih cerah. Mahesa
Amping dan Raden Wijaya terlihat sudah berada di
punggung kudanya tengah mendaki sebuah bukit,
mereka sepakat untuk menembus jalan pintas menuju
1105 Padepokan Bajra Seta meski jalan yang mereka tempuh
harus melewati beberapa perbukitan terjal, sesekali
mereka harus turun menuntun kudanya.
Senja bening telah turun menyelimuti hamparan bumi
ketika Mahesa Amping dan Raden Wijaya telah keluar
dari sebuah hutan yang lebat. Dihadapannya
menghadang hamparan padang ilalang dan sebuah
bukit. "Padepokan Bajra Seta tinggal setengah hari
perjalanan", berkata Mahesa Amping kepada Raden
Wijaya ketika mereka telah berada ditengah hamparan
padang ilalang yang cukup luas.
"Kuda-kuda kita perlu beristirahat", berkata Raden
Wijaya kepada Mahesa Amping.
"Kita juga perlu beristirahat", berkata Mahesa Amping
kepada Raden Wijaya sambil melompat dari
punggungnya. Terlihat Mahesa Amping dan Raden Wijaya tengah
bersandar dibawah sebuah pohon besar di padang
ilalang itu yang dipenuhi akar-akar besar menyembul dari
permukaan tanah. Dan kegelapan malam pun akhirnya telah turun
menyelimuti padang ilalang.
"Beristirahatlah lebih dulu, biarlah aku yang berjaga",
berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya.
Semburat warna merah terang terlihat telah
memancar diujung timur bumi, hari masih gelap dan
dingin. Di keremangan pagi yang masih gelap itu terlihat
dua ekor kuda sudah menapaki padang ilalang yang
masih basah berembun. Mereka adalah Mahesa Amping
dan Raden Wijaya yang telah kembali melanjutkan
1106 perjalanan mereka menuju Padepokan Bajra Seta.
Ketika pagi sudah mulai berwarna bening, semburat
warna merah telah menyebar mengisi lengkung langit,
Mahesa Amping dan Raden Wijaya telah sampai di kaki
bukit yang hijau. Perlahan mereka memacu kudanya
menyusuri jalan setapak menuju puncak bukit yang
dipenuhi pohon-pohon yang rimbun tinggi menghijau.
Semakin naik keatas, tetumbuhan semakin jarang
mereka temui, akhirnya mereka telah sampai diatas
puncak bukit datar yang hanya dipenuhi hamparan
rerumputan yang hijau sepanjang mata memandang.
Titik-titik embun di pucuk-pucuk rerumputan terlihat
memercik ketika terhentak langkah kaki kuda Mahesa
Amping dan Raden Wijaya. Perlahan mereka menghentikan langkah kaki kuda
terpesona menatap hamparan sawah ladang yang
terhampar menghijau dibawah bukit jauh dalam warna
pagi yang cerah dibawah tatapan matahari yang
bercahaya lembut menyinari alam bukit yang hijau.
Terlihat mereka menuruni bukit itu dibawah siraman
matahari pagi. Akhirnya mereka telah sampai dibawah
kaki bukit tengah menyusuri sebuah bulakan panjang.
Dikanan kiri mereka terhampar persawahan yang hijau
dipenuhi untaian buah padi yang sudah mulai matang
menguning. "Kita datang menjelang padi akan dituai", berkata
Mahesa Amping diatas kudanya kepada Raden Wijaya
sambil menyapu pandangannya diatas hamparan sawah
yang sudah tinggi menghijau.
Beberapa petani yang tengah berjalan bersisipan
dengan mereka terlihat memandang kepada mereka.
1107 "Jangan biarkan burung pipit mencuri padi kalian",
berkata Mahesa Amping kepada dua orang petani muda
yang bersisipan dengan mereka.
Terlihat dua orang petani muda itu melambaikan
tangannya setelah mengetahui dan mengenal Mahesa
Amping yang menyapa mereka dari atas punggung kuda.
Akhirnya kuda-kuda Mahesa Amping dan Raden
Wijaya telah sampai dimuka regol pintu gerbang
Padepokan Bajra Seta. Terlihat Mahesa Amping dan
Raden Wijaya telah turun dari kudanya. Beberapa cantrik
yang tengah menyapu halaman muka Padepokan Bajra
Seta datang berlari menghampiri mereka.
"Selamat datang kembali di Padepokan Bajra Seta",
berkata salah seorang cantrik menyambut kedatangan
mereka. "Ternyata kita kedatangan tamu perwira tinggi
Singasari", berkata seorang lelaki yang sudah cukup
berumur bertelanjang dada menghampiri mereka yang
ternyata adalah Sembaga. "Paman Sembaga kulihat tidak bertambah tua",
berkata Mahesa Amping menyambut uluran tangan
Sembaga. "Kami sangat merindukan kalian", berkata Mahesa
Murti kepada Mahesa Amping dan Raden Wijaya ketika
mereka telah berada diatas pendapa Padepokan Bajra
Seta. Terlihat seorang wanita muda bersama seorang anak
lelaki kecil keluar dari pintu butulan.
"Katakan selamat datang untuk kedua pamanmu",
berkata wanita muda itu yang ternyata adalah Padmita
istri Mahesa Murti. 1108 "Selamat datang Paman berdua", berkata anak kecil
itu dengan suaranya yang masih terdengar cadel.
"Mahesa Darma sudah pandai bicara", berkata
Mahesa Amping sambil mengangkat Mahesa Darma
tinggi-tinggi. Ternyata anak itu tidak menjadi takut, malahan
menjadi begitu gembiranya.
"Mari ikut Bunda kedapur menyiapkan minuman
untuk kedua pamanmu", berkata Padmita kepada
Mahesa Darma yang langsung menghampiri ibunya.
Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Mahesa Murti
terlihat diatas pendapa Padepokan Bajra Seta saling
bercerita sepanjang perpisahan mereka.
"Kehadiran pasukan tidur sangat besar peranannya,
harus dapat membaca pergerakan lawan serta
menentukan jalur perjalanan yang aman menuju titik
kemenangan", berkata Mahesa Murti memberikan
pandangannya ketika Mahesa Amping bercerita tentang
tugas yang akan mereka emban dalam waktu dekat itu,
menguasai Balidwipa. "Aku perlu bantuan memperkuat pasukanku",
kepada Mahesa Murti. beberapa cantrik untuk berkata Mahesa Amping "Para cantrik di Padepokan Bajra Seta ini selalu siap
sedia menjaga pilar kejayaan Singasari", berkata Mahesa
Murti kepada Mahesa Amping dan Raden Wijaya.
"Terima kasih Kakang, aku hanya memerlukan tiga
orang terbaik di padepokan Bajra Seta ini", berkata
Mahesa Amping kepada Mahesa Murti.
Pembicaraan mereka terhenti ketika Padmita keluar
dari pintu utama sambil membawa minuman hangat dan
1109 beberapa potong ubi manis.
"Aku tengah memasak pecak gabus, mudahmudahan kalian menyukainya", berkata Padmita sambil
meletakkan minuman hangatnya kepada Raden Wijaya
dan Mahesa Amping. "Mendengar pecak gabus, perutku sudah langsung
berbunyi", berkata Mahesa Amping yang disambut tawa
oleh semuanya. Sementara itu bayang-bayang tangkai pohon randu di
pojok halaman muka Padepokan Bajra Seta sudah
semakin mengerucut, matahari sudah berada di puncak
lengkung langit putih berawan penuh.
"Ada tugas yang akan kalian emban", berkata
Mahesa Murti kepada Wantilan, Sembaga dan Mahesa
Semu yang telah dipanggil berkumpul bersama di
Pendapa Bajra Seta. "Tugas apa gerangan yang dapat kiranya akan kami
emban?", bertanya Wantilan mewakili Sembaga dan
Mahesa Semu. "Raden Wijaya akan menjelaskan kepada kalian",
berkata Mahesa Murti meminta Raden Wijaya untuk
menjelaskannya. "Saat ini wilayah perdagangan Singasari telah
mencakup dari ujung Tanah Gurun sampai keujung
Malaka. Namun sampai saat ini kami belum dapat
menjangkau Balidwipa karena kekuasaan para saudagar
dari Tanah Hindu sudah mendahului kami", berkata
Raden Wijaya menjelaskan duduk persoalan awal agar
dapat dimengerti oleh Wantilan, Sembaga dan Mahesa
Semu. "Lanjutkanlah, aku belum dapat menangkap apa


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

1110 hubungannya dengan kehadiran kami bertiga disini?",
berkata Sembaga sepertinya sudah tidak sabaran apa
tugas yang akan diembannya.
Raden Wijaya tersenyum mendengar pertanyaan
Sembaga. "Baiklah, aku lanjutkan", berkata Raden
Wijaya sambil menarik nafas panjang untuk melanjutkan
penjelasannya. "Sri Baginda Maharaja Singasari merasa
khawatir bahwa kekuasaan para saudagar Tanah Hindu
di Balidwipa dapat mengganggu wilayah perdagangan
Singasari yang sudah terjalin sepanjang Tanah Gurun
sampai keujung Malaka", berkata Raden Wijaya berhenti
sejenak sambil memandang Wantilan, Sembaga dan
Mahesa Semu satu persatu.
"Lanjutkanlah",
sabaran. berkata kembali Sembaga tidak Kembali Raden Wijaya dan semua yang ada
dipendapa Padepokan Bajra Seta itu tersenyum melihat
tingkah Sembaga yang tidak sabaran.
"Sri Baginda Maharaja Singasari telah meminta diri
kami untuk menyiapkan sebuah pasukan besar untuk
menguasai Balidwipa", berkata Raden Wijaya sambil
memperhatikan sikap dari Sembaga, Wantilan dan
Mahesa Semu, sejauh mana penangkapan mereka atas
penjelasan yang disampaikannya itu.
"Aku sudah dapat menangkap penjelasannmu, kami
bertiga diminta untuk bergabung dalam pasukan besar
itu", berkata Sembaga kepada Raden Wijaya.
"Paman Sembaga benar, tepatnya Paman Sembaga,
Paman Wantilan dan Kakang Mahesa Semu diminta
untuk bergabung dengan pasukanku" berkata Mahesa
Amping ikut menjelaskan dan dengan rinci menyampaikan tugas dan tanggung jawab pasukannya
1111 yang disebutkan sebagai "pasukan tidur" oleh Sri
baginda Maharaja Singasari.
"Pasukan tidur, aku menyukai sebutan itu", berkata
Wantilan dengan wajah penuh kebanggaan membayangkan dirinya bergabung dalam gerakan
pasukan tidur dibawah pimpinan Mahesa Amping.
"Jadi kami bertiga bergabung dalam pasukanmu?",
berkata Mahesa Semu kepada Mahesa Amping yang
tidak menjawabnya, hanya menganggukkan kepalanya
membenarkan perkataan Mahesa Semu.
"Tadinya aku berpikir bahwa pasukan tidur itu
tugasnya hanya makan dan tidur", berkata Sembaga
yang ditangkap oleh semua yang ada di pendapa
Padepokan Bajra Seta itu dengan tawa yang panjang.
Tawa mereka berhenti manakala datang Padmita
membawa hidangan hangat yang harumnya sangat
menggoda. "Pecak gabus, makanan khusus pasukan tidur",
berkata Sembaga yang kembali membuat tawa semua
yang ada di panggung pendapa.
Sementara itu, disaat yang sama jauh dari
Padepokan Bajra Seta. Disebuah wilayah yang damai
dan tenteram, tepatnya di Pakuwonan Sangling, terlihat
sepasukan prajurit yang membawa umbul-umbul
pertanda kekuasaan kerajaan Singasari baru saja keluar
dari pintu batas wilayah Pakuwonan Sangling.
"Sri Baginda Maharaja Singasari telah menjatuhkan
mandat kepercayaannnya kepada Kakanda", berkata
seorang wanita muda yang berparas begitu cantik jelita
yang tidak lain adalah Ken Padmi, istri Akuwu Mahesa
Bungalan. 1112 "Itu artinya aku akan lama meninggalkan Pakuwonan
ini", berkata Akuwu Mahesa Bungalan menatap istrinya
dalam-dalam. "Sejak dinda memutuskan untuk menjadi istri
kakanda, dinda sudah siap menjalani kehidupan di sisi
kakanda sebagai istri seorang prajurit", berkata Ken
Padmi dengan suaranya yang penuh ketegaran.
"Ketegaran dinda telah menghilangkan keraguan
didalam hati Kakanda, sebelumnya yang Kakanda
khawatirkan adalah kesunyian hari-hari tanpa kehadiran
Kakanda di Pakuwonan ini", berkata Akuwu Mahesa
Bungalan yang merasa bangga atas ketegaran istrinya
itu. "Hari-hari penuh kesunyian akan dinda sibukkan
dengan berdoa, berharap Kakanda selalu di bawah
lindungan Gusti Yang Maha Kasih", berkata Ken Padmi
dengan suaranya yang lembut kepada Akuwu Mahesa
Bungalan. Akuwu Mahesa Bungalan terlihat memalingkan
wajahnya kearah taman pasanggrahan Istana Pakuwonan yang tertata begitu indah, tatapannya
menyapu hamparan rumput hijau dan jatuh diujung
bunga kuntha yang tengah berkembang.
"Dinda sedang mengandung anakku", berkata Akuwu
Mahesa Bungalan memalingkan wajahnya menatap mata
Ken Padmi istrinya. "Tetapkanlah hati Kakanda, bukankah Kakanda
selalu mengajarkan kepada dinda untuk memasrahkan
segalanya kepada Gusti Yang Maha Kasih?", berkata
Ken Padmi kembali dengan suara penuh kelembutan
berusaha membangun kemantapan dan ketegaran hati
suaminya tercinta. 1113 Semilir angin genit membelai tangkai bunga kuntha,
serbuk sari diujung bunga itu pun jatuh, berguguran.
"Senja sudah hampir berakhir", berkata Akuwu
Mahesa Bungalan sambil memandang Ken Padmi istri
tercintanya. "Masih ada beberapa senja yang akan hadir dalam
kebersamaan kita", berkata Ken Padmi sambil
mengedipkan matanya menggoda.
Sementara itu diwaktu yang sama di Padepokan
Bajra Seta, di pendapa hanya tinggal Mahesa Amping,
Raden Wijaya dan Mahesa Murti. Perlahan malam mulai
merayap menutupi warna senja, langit diatas Padepokan
Bajra Seta itupun akhirnya dipenuhi kegelapan yang
senyap. "Aku merasakan bahwa ilmu yang kalian bawa dari
Padepokan Bajra Seta ini telah menjadi semakin matang
bersama panjangnya masa pengembaraan kalian",
berkata Mahesa Murti penuh senyum kebanggaan
menatap dua orang cantrik terbaik yang pernah
diasuhnya itu. "Pengembaraan telah mematangkan ilmu yang
Paman Mahesa Murti wariskan kepada kami, namun
tetap saja aku masih berada jauh dibawah tataran ilmu
saudaraku ini", berkata Raden Wijaya sambil melirik
penuh senyum ke arah Mahesa Amping.
Mahesa Murti menatap wajah Mahesa Amping, diamdiam mengagumi pemuda dihadapannya itu, seorang
pemuda yang memang mempunyai bakat yang luar biasa
yang diharapkan akan dapat melanjutkan dan
mengembangkan Padepokan Bajra Seta setelah dirinya
tiada. Namun garis hidup ternyata berkata lain, pemuda
itu telah menjadi seorang prajurit Singasari, bahkan telah
1114 diangkat menjadi seorang guru agung di Pura Indrakila.
"Hati kecil selalu berbisik untuk kembali ke
Padepokan yang gayem ini, tempat dimana aku
merasakan kedamaian hidup sejati, bersama bau lumpur
di sawah dalam canda dan tawa persaudaraan yang
penuh ketulusan dari para cantrik Padepokan ini. Namun
diri ini sendiri sepertinya tidak mampu menahan arus
deras garis hidupku sendiri, aku merasakan diri ini seperti
kerikil kecil yang tengah hanyut dibawa arus jauh dari
mata air tempatnya tumbuh", berkata Mahesa Amping
kepada Mahesa Murti yang sepertinya dapat menangkap
dan membaca perasaan Mahesa Murti terhadapnya.
"Garis hidup dari Gusti Yang Maha Agung adalah
ketetapan yang mutlak yang tidak ada seorang
hambapun yang dapat menghindarinya. Apapun dan
siapapun dirimu, terimalah sebagai karunia ketetapan
dari Yang Maha Agung. Bersyukurlah, itulah sebaik-baik
sikap pengabdian seorang hamba kepada Sang Maha
Karsa. "Aku mohon doa dan restu dari Kakang, semoga rasa
syukur terus hidup dimanapun aku berada", berkata
Mahesa Amping penuh rasa hormat dihadapan guru dan
sekaligus kakak angkatnya itu yang sangat dicintainya
seperti saudara kandungnya sendiri.
"Aku selalu berdoa untuk kalian", berkata Mahesa
Murti dengan senyumnya yang sejuk kepada Mahesa
Amping dan Raden Wijaya. Dua hari Mahesa Amping dan Raden Wijaya tertahan
di Padepokan Bajra Seta melepas segenap kenangan
dan kerinduan mereka bersama kehidupan para cantrik
Padepokan Bajra Seta yang gayem.
Pada hari ketiga, di pagi yang masih basah dan
1115 bening terlihat Mahesa Amping dan Raden Wijaya telah
keluar dari regol pintu gerbang Padepokan Bajra Seta
bersama dibelakang mereka tiga orang cantrik terbaik di
Padepokan Bajra Seta yang tidak lain adalah Sembaga,
Wantilan dan Mahesa Semu. Lima orang kesatria
berkuda terlihat tengah berjalan menapaki jalan bulakan
yang panjang, membelah padang ilalang, mendaki dan
menuruni bukit dan lembah yang hijau dipayungi
gerumbul awan dilangit biru.
"Aku pernah mendengar bahwa Balidwipa tercipta
dari sebuah bunga surga yang jatuh ke bumi", berkata
Mahesa Semu ketika mereka bersama menghangatkan
diri didekat perapian di sebuah hutan tempat mereka
bermalam. "Seperti melihat wajah gadis manis yang tersenyum
kepadamu, tidak mudah melupakannya sehari dua hari",
berkata Mahesa Amping membenarkan perkataan
Mahesa Semu. "Sayangnya tidak ada seorang gadis pun yang
pernah tersenyum kepadaku", berkata Sembaga sambil
menambahkan ranting kayu kering diatas perapian yang
ditanggapi deri tawa semua yang mendengarkan.
"Jangankan seorang gadis dapat tersenyum, anak
kecil saja akan berlari memeluk bundanya setiap kali
bertemu dengan Paman Sembaga yang seram", berkata
Raden Wijaya. "Wajah pamanmu memang seram, tapi hatinya
selembut salju", berkata Wantilan ikut berseloroh
menghangatkan suasana yang dingin di hutan itu.
"Bila Wantilan menyanjung seseorang, pasti ada
yang diinginkan", berkata Sembaga sambil menambahkan kembali ranting kering di perapian yang sudah
1116 hampir surut. "kali ini mungkin berharap aku
memanjangkan waktu gilir berjaga malam", berkata
kembali Sembaga melanjutkan kata-katanya yang
terhenti. "Terima kasih, ternyata kamu memang pandai
membaca perasan hatiku", berkata Wantilan dengan
wajah penuh senyum. Demikianlah, lima orang kesatria dari Padepokan
Bajra Seta sepertinya telah menemukan kembali
suasana pengembaraan yang telah lama mereka
tinggalkan. Seperti biasa dalam setiap pengembaraan, malam itu
mereka mengatur waktu secara bergiliran untuk berjaga,
untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan yang
mungkin saja dapat terjadi. Jiwa para pengembara
memang selalu dipenuhi naluri kewaspadaan yang tinggi,
meski dalam keadaan tertidur mereka selalu dalam
keadaan siaga terjaga. Dan malam di hutan itu perlahan
merayapi waktu dalam kesenyapan yang dingin
ditingkahi berbagai suara binatang hutan yang kadang
mengusik kesunyian malam.
*** Ternyata sepanjang malam itu tidak ada hal yang
dapat banyak mengganggu, ketika pagi menjelang
mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka ke
Bandar Cangu. Ditemani cahaya matahari yang terus bersinar
sepanjang hari, lima orang Ksatria dari Padepokan Bajra
Seta memacu kudanya menghadang angin di sepanjang
jalan tanah yang berdebu.
Jalan menuju Bandar Cangu sudah semakin 1117

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mendekat, akhirnya ketika matahari telah bergeser
sedikit kebarat mereka telah mendekati Bandar Cangu.
"Selamat datang wahai saudaraku", berkata Rangga
Lawe menyambut semua yang baru saja tiba bersama
Kebo Arema di Balai Tamu.
Setelah menyampaikan beberapa kata keselamatan
masing- masing, mereka yang baru tiba itu bersama
dijamu dan beristirahat. "Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan
bersama Senapati Mahesa Pukat", berkata Raden Wijaya
di tengah-tengah percakapannya.
"Aku juga sudah begitu rindu dengan Kakang Mahesa
Pukat", berkata Mahesa Semu ikut menambahi.
"Diakhir senja kita bersama ke Benteng Cangu",
berkata Kebo Arema. Demikianlah menjelang saat senja telah berakhir,
mereka semua turun dari Balai Tamu menuju Benteng
Cangu. "Kakang Mahesa Murti dan semua warga padepokan
Bajra Seta menyampaikan salam untuk Kakang Mahesa
Pukat", berkata Mahesa Amping kepada Mahesa Pukat
sambil bercerita tentang Padepokan Bajra Seta yang
baru saja dikunjungi. "Dalam kesendirian, kadang aku sangat rindu dengan
kehidupan di Padepokan Bajra Seta", berkata Mahesa
Pukat seteleh mendengar cerita Mahesa Amping tentang
Padepokan Bajra Seta. Akhirnya mereka masuk dalam pembicaraan yang
lebih dalam, membahas beberapa hal sehubungan
dengan rencana Singasari mengamankan Balidwipa.
1118 "Seribu orang prajurit di Benteng Cangu ini dapat
membantu pasukannmu", berkata Mahesa Pukat kepada
Raden Wijaya. "Terima kasih, dua ribu pasukan muda Bahtera laut
dan seribu prajurit dari Benteng Cangu adalah sebuah
kekuatan yang dapat diandalkan", berkata Raden Wijaya
yang merasa gembira mendapatkan bantuan seribu
prajurit dari Mahesa Pukat.
"Berapa yang kamu butuhkan untuk memperkuat
pasukanmu?", bertanya Mahesa Pukat kepada Mahesa
Amping adik angkatnya itu yang ternyata telah mengikuti
jejak langkahnya menjadi prajurit Singasari. Sepertinya
baru kemarin pemuda dihadapannya itu sebagai bocah
kecil yang selalu sangat dikhawatirkannya terutama
ketika pecah pertempuran, dengan keras dialah yang
dengan mengancam agar Mahesa Amping kecil tidak
keluar dan bersembunyi di bawah tumpukan lumbung
padi dan jagung. "Ada beberapa kekuatan dari Balidwipa yang dapat
kuandalkan dapat membantu", berkata Mahesa Amping
menyampaikan siapa saja kekuatan di Balidwipa yang
akan diajak bergabung dengan pasukannya.
"Aku pernah mendengar bahwa seorang pengikut
Raja Leak setara dengan sepuluh orang prajurit?",
berkata Kebo Arema ikut bangga bahwa Mahesa Amping
dapat memanfaatkan para pengikut Raja Leak.
"Raja Indrakila juga telah berjanji untuk mendukung
perjuangan kita", berkata Mahesa Amping menambahkan
daftar orang pribumi yang akan mendukung perjuangan
mereka. "Pasukan khususmu akan menjadi kunci pembuka
kemenangan gelar yang akan kita turunkan di Balidwipa",
1119 berkata Mahesa Pukat kepada Mahesa Amping.
"Yang harus diperhitungkan adalah mengalirnya
pasukan musuh dari luar Balidwipa yang dibawa oleh
para saudagar dari Tanah hindu sebagai prajurit bayaran
akan mencari tempat selain Bandar Buleleng yang telah
dipenuhi para prajurit Singasari", berkata Kebo Arema
memberikan masukannya. "Sebelum datangnya bantuan, para prajurit bayaran
itu akan berhadapan dengan pasukanmu, hal itu perlu
disiapkan dengan baik", berkata Mahesa Pukat
mengingatkan Mahesa Amping untuk membuat
perencanaan dan persiapan yang lebih masak lagi.
"Artinya aku perlu pasukan yang kuat untuk dapat
menutup bocoran-bocoran mengalirnya prajurit bayaran
masuk ke Balidwipa", berkata Mahesa Amping diam-diam
mengagumi ketelitian sudut pandang dari Kebo Arema
dan Mahesa Pukat. "Bukan cuma pasukan yang kuat, yang kamu
butuhkan juga banyak mata yang terus berjaga, tidak
mustahil para prajurit bayaran itu masuk lewat
penyamaran berbagai topeng", berkata Kebo Arema
kembali memberikan pandangan dan masukannya.
"Ternyata mata Sri baginda Maharaja sangat begitu
jeli, jauh- jauh telah berpesan kepadaku untuk membawa
seorang ahli siasat seperti Pamanda Kebo Arema",
berkata Mahesa Amping bercerita tentang pesan dan
amanat Sri Baginda Raja Singasari untuk membawa
Kebo Arema mendampinginya.
"Sebenarnya Sri Maharaja Singasari menjadi iri
melihat kehidupanku sebagai pengangguran di Bandar
Cangu ini, sementara kalian tengah berjuang berkeringat
darah di Balidwipa", berkata Kebo Arema sambil
1120 mengelus-elus janggutnya yang panjang.
"Pamanda kebo Arema pandai merendahkan dirinya,
para prajurit bayaran yang sehari-harinya sebagai
perompak akan berpikir ulang manakala mengetahui
nama besar Karaeng Taka menjadi lawan mereka",
berkata Raden Wijaya yang mengetahui nama besar
Kebo Arema di sepanjang selat Malaka yang dikenal
sebagai Pendekar muda Karaeng Taka yang sangat
ditakuti oleh para perompak.
Terlihat Kebo Arema tidak berkata apapun selain
hanya tersenyum sambil memainkan tangannya
mengelus janggut panjangnya yang sudah berubah dua
warna. Sementara itu langit malam diatas Benteng cangu
sudah begitu kelam menyisakan kesenyapannya.
Pada hari berikutnya, Raden Wijaya langsung
melakukan berbagai persiapan. Diantaranya menyiapkan
tiga ribu prajurit menjadi sebuah kesatuan yang sangat
diandalkan. Dan yang sangat menggembirakan lagi
bahwa seorang Senapati tangguh yang dinantikan telah
datang sesuai waktu yang direncanakan, dia adalah
Akuwu Mahesa Bungalan, salah seorang putra Mahendra
pahlawan Singasari yang sudah sangat dipercaya
kesetiaannya maupun pengalamannya memimpin
pasukan besar. Dialah yang dipercayakan Sri Baginda
Maharaja Singasari untuk menjadi Senapati prajurit
Singasari yang akan berjuang membawa kewibawaan
serta keagungan Singasari di Balidwipa.
Hal pertama yang dilakukan oleh Akuwu Mahesa
Bungalan adalah mempersatukan semangat prajuritnya
dalam satu pandangan. "Dalam waktu dekat ini kita akan bersama menuju
1121 kesebuah medan perang besar, semboyan kita adalah
tidak akan pulang sebelum membawa kemenangan
besar, dan lebih memilih mati bebantenan ketimbang
pulang menjadi pecundang", berkata Mahesa Bungalan
dengan suara yang keras penuh wibawa. Seketika itu
suasana menjadi begitu senyap, tiga ribu prajurit
sepertinya bersama menahan nafas menanti apa yang
selanjutnya akan dikatakan oleh Panglima besar mereka
itu. Hari ini aku masih membuka peluang untuk kalian
pikirkan, keluar dari pasukanku hari ini adalah sebuah
kehormatan daripada lari dari pasukanmu di medan
perang", berkata kembali Akuwu Mahesa Bungalan
dengan suara yang terdengar menggema terasa
menghentak hati dan dada para prajuritnya.
Sengaja Akuwu Mahesa Bungalan berhenti bicara
untuk memberikan kesempatan prajuritnya untuk berpikir
atas apa yang telah ditawarkannya.
Ternyata tidak satu pun dari tiga ribu prajurit itu yang
memilih untuk keluar dari pasukannya.
"Terima kasih telah memutuskan menjadi bagian dari
pasukan besar ini", berkata Mahesa Bungalan yang
merasa bangga bahwa tidak ada satu pun prajuritnya
yang berpikir untuk keluar dari pasukannya meskipun
telah diberikan peluang dan kesempatan untuk itu tanpa
mengurangi kehormatan apapun yang melekat pada diri
mereka. "Aku bangga ada diantara kalian, para prajurit
Singasari yang akan membawa kebesaran dan
keagungan Singasari, para prajurit sejati kebanggaan
Singasari Raya", berkata Mahesa Bungalan yang diiringi
gemuruh suara tiga ribu prajuritnya yang merasa
terbangun semangat jiwa prajuritnya.
Maka pada hari yang telah ditentukan itu akhirnya
datang juga, dua buah bahtera besar Singasari telah
1122 disiapkan untuk membawa tiga ribu prajuritnya menuju
Balidwipa. Namun sepekan sebelumnya, tidak seorang pun
selain beberapa orang yang mempunyai tujuan yang
sama yang dapat melihat lima puluh orang prajurit telah
mendahului menuju Balidwipa.
Mereka adalah sepasukan khusus yang dipimpin
langsung oleh seorang prajurit perwira muda yang tidak
lain adalah Mahesa Amping yang akan bertugas sebagai
pasukan tidur, sebuah pasukan kecil yang tidak mudah
terlihat, namun mempunyai berbagai fungsi ganda.
Lima puluh orang prajurit itu telah berangkat sepekan
sebelum keberangkatan tiga ribu prajurit pasukan inti
dibawah pimpinan Mahesa Bungalan.
--------Kelima puluh prajurit pasukan khusus ini berangkat
secara bertahap dalam berbagai bentuk penyamaran.
Tidak sebagaimana tiga ribu prajurit inti yang akan
menuju Balidwipa lewat Bandar Curabhaya, kelima puluh
prasjurit pasukan khusus itu menuju Balidwipa lewat
Sungai Porong. Dan menyebrang Balidwipa lewat Muara
Sungai Porong. Mahesa Amping, Kebo Arema dan tiga orang cantrik
terbaik dari Padepokan Bajra Seta berangkat dalam satu
rombongan pertama. Rombongan ini telah tiba di muara
Porong bersamaan dengan waktu senja. Kebo Arema
mengajak mereka bermalam di perkampungan nelayan,
di gubuk tempat tinggal Kebo Arema yang sudah begitu
lama ditinggalkannya itu.
Seorang perempuan tua terbungkuk-bungkuk berjalan mendekati gubuk tempat tinggal Kebo Arema,
1123 mungkin perempuan tua itu merasa heran ada beberapa
orang berada di gubuk yang sudah lama kosong tanpa
penghuninya itu. "Ternyata pemilik rumah ini sendiri", berkata
perempuan itu ketika melihat Kebo Arema yang berada di
gubuknya sendiri. Yang masih dikenalnya dengan baik.
"Terima kasih telah menjaga gubuk ini selalu bersih",
berkata Kebo Arema kepada perempuan tua itu.
Setelah menanyakan keselamatan masing-masing,
terlihat perempuan itu pamit untuk kembali ke rumahnya
yang tidak begitu jauh selisih beberapa meter dari gubuk
tempat tinggal Kebo Arema. Namun tidak lama kemudian
perempuan itu telah datang kembali.
"Aku punya banyak dendeng ikan", berkata
perempuan itu menyerahkan beberapa potong dendeng
ikan. "Terima kasih Nyi", berkata Kebo Arema kepada
perempuan itu yang terlihat tengah melangkah untuk
kembali ke rumahnya. Malam di perkampungan muara
Porong itu terasa begitu dingin, semilir angin tiada henti
berhembus dari lembah bukit hijau yang tinggi
menjulang. Ketika pagi menjelang mereka berlima melanjutkan
perjalanannya menyusuri pesisir ujung Jawadwipa.
Mereka singgah di beberapa tempat sambil tidak lupa
memberi berbagai tanda jalur sandi untuk dapat dibaca
oleh rombongan dibelakang mereka. Dan akhirnya
menyeberang ke Balidwipa lewat tepian pantai Tanah
Melaya. Pagi yang bening menyambut kedatangan mereka di
pesisir pantai Tanah Melaya. Mahesa Amping membawa
1124 rombongannya menuju rumah Ki Subali.
"Semoga kesejahteraan dan keselamatan memenuhi
dirimu wahai putra Tanah Melaya penuntun arah
bintang", berkata Mahesa Amping kepada Ki Subali yang
menyambutnya penuh kegembiraan.
"Selamat datang kembali di Tanah Melaya", berkata
Ki Subali menyambut rombongan Mahesa Amping.
"Empu Dangka diminta untuk tinggal di Istana oleh Sri
Baginda Maharaja Singasari", berkata Mahesa Amping
kepada Ki Subali yang menanyakan tentang Empu
Dangka yang tidak ikut menyertainya.
"Mudah-mudahan orang tua itu betah tinggal di satu
tempat", berkata Ki Subali yang telah banyak mengenal
Empu Dangka sebagai seorang pengembara.
Setelah beristirahat yang cukup di kediaman rumah
Ki Subali, Mahesa Amping bercerita tentang beberapa
tugasnya. "Apa yang dapat kubantu untuk perjuangan
kalian?"berkata Ki Subali menawarkan dirinya.
"Ki Subali dapat mengerahkan beberapa orang untuk


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengamati sepanjang pesisir pantai barat Balidwipa,
melaporkan kepada kami bila menemui ada pihak asing
masuk ke perairan ini", berkata Mahesa Amping tentang
tugas yang dapat dilakukan oleh Ki Subali yang punya
pengaruh besar diantara para nelayan sepanjang pesisir
barat Balidwipa. "Pekerjaan yang tidak perlu banyak keringat, orangorangku para nelayan dapat melakukannya sambil
mencari ikan di sepanjang pesisir ini", berkata Ki Subali
menyanggupi tugas yang diberikan oleh Mahesa Amping.
"Aku juga mohon ijin untuk menempatkan pasukanku
1125 di hutan ujung Tanah Melaya ini", berkata Mahesa
Amping kepada Ki Subali. Setelah menyampaikan beberapa hal yang penting
terutama tentang tanda dan jalur rahasia yang akan
mereka pergunakan, Mahesa Amping mohon pamit diri
untuk melanjutkan perjalanannya.
Ketika matahari telah sedikit bergeser kebarat,
mereka telah memasuki sebuah hutan di sebelah timur
pesisir pantai Tanah Melaya.
"Kita akan menempatkan pasukan bergerak di hutan
ini", berkata Mahesa Amping kepada Kebo Arema,
Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga.
"Tempat yang baik untuk menyimpan sisa tenaga",
berkata Sembaga sambil pandangannya menyapu
sekeliling merasakan keteduhan yang redup.
"Sebentar lagi rombongan pasukan kita akan
mengalir ke hutan ini", berkata Mahesa Amping kepada
Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga yang diminta
untuk mengatur semua pasukan khususnya mewakili
dirinya yang akan melanjutkan perjalanan bersama Kebo
Arema. "Jangan khawatir, kami akan menyiapkan segalanya",
berkata Wantilan mewakili Mahesa Semu dan Sembaga.
"Aku percaya pada kalian", berkata Mahesa Amping
sambil melambaikan tangannya melanjutkan perjalanannya bersama Kebo Arema.
Akhirnya bersamaan dengan jatuhnya matahari
diujung timur cakrawala langit senja, Mahesa Amping
dan Kebo Arema telah memasuki sebuah Padukuhan.
Jalan padukuhan itu sudah begitu sepi, akhirnya
Mahesa Amping dan Kebo Arema mendapatkan dua
1126 orang yang tengah berada di gardu ronda tidak jauh dari
sebuah rumah. "Tidak usah di Banjar Desa, bermalamlah di
rumahku", berkata salah seorang diantara kedua lelaki itu
sambil menunjuk kearah rumahnya.
"Terima kasih, mudah-mudahan tidak merepotkan",
berkata Mahesa Amping kepada lelaki itu.
"Tidak merepotkan, aku tinggal sendirian di rumah",
berkata lelaki itu dengan senyum terbuka terlihat begitu
ramah. Ketika seorang yang bersamanya pamit diri di gardu
ronda itu, lelaki itu mengajak Mahesa Amping dan Kebo
Arema ke rumahnya. "Dulu aku sering melanglang, kalian mengingatkan
diriku waktu masih muda", berkata lelaki itu memberi
alasan mengapa begitu baik menerima orang asing
kerumahnya. "Hari ini aku menerima kalian bermalam,
mungkin dalam kehidupan lainnya, buyutku bermalam di
rumah buyut kalian, begitulah kehidupan saling bertukar",
berkata kembali lelaki itu yang sudah cukup berumur
terlihat dari banyak kerut di wajahnya.
"Namaku Mahesa Amping dan ini pamanku Kebo
Arema, kami bermaksud untuk mengunjungi anak
keponakan kami yang tinggal di kaki Bukit Pura
Indrakila", berkata Mahesa Amping kepada orang itu
menyampaikan tujuan perjalanannya.
"Namaku Made Jantak, namun orang disini lebih
senang menyebutku dengan panggilan Ki Gayem",
berkata orang itu ikut memperkenalkan dirinya.
Terlihat orang itu yang biasa di panggil Ki Gayem itu
mempersilahkan Mahesa Amping dan Kebo Arema
1127 duduk di Bale-bale bambu, sementara dia sendiri terlihat
masuk kedalam. Ternyata Ki Gayem keluar kembali sambil membawa
setumpuk pisang rebus. "Tadi pagi aku baru saja menebang setandan pisang
kepok", berkata Ki Gayem sambil mempersilahkan
Mahesa Amping dan Kebo Arema menikmati rebusan
pisang kepok yang disediakan.
Sementara itu langit malam sudah terlihat begitu
kelam, pucuk pohon tangkil di depan rumah Ki Gayem
terlihat merunduk tertiup angin yang berhembus
kencang. Ternyata Ki Gayem adalah orang yang
bercerita, bertemu dengan Kebo Arema maka
berjodohlah mereka, sama-sama punya
pengalaman di berbagai tempat. Dan banyak
yang sama-sama pernah mereka singgahi.
pandai seperti banyak tempat "Bila tidak ingat aturan, aku mungkin sudah kecantol
gadis pulau Bader", berkata Ki Gayem bercerita tentang
sebuah pulau kecil yang sama-sama pernah disinggahi
pula oleh Kebo Arema. "Lelaki di Pulau Bader dapat dibeli dengan harga lima
ekor babi", berkata Kebo Arema menimpali cerita Ki
Gayem membuat cerita mereka seperti tidak pernah
putus dan terus berkembang.
Sementara itu sang malam menggayuti dingin dan kesenyapan.
terus merayap "Maaf bila aku banyak bercerita, sementara kalian
harus beristirahat", berkata Ki Gayem mengerti bahwa
malam sudah semakin larut.
"Kami senang dengan semua kisah Ki gayem",
1128 berkata Mahesa Amping kepad Ki Gayem.
Akhirnya Mahesa Amping dan Kebo Arema masuk ke
bilik yang telah disediakan.
Dan malam pun berlalu bersama hawa dingin yang
masih terasa menembus bilik yang terbuat dari anyaman
bambu. "Biarlah aku yang berjaga lebih dulu", berkata
Mahesa Amping kepada Kebo Arema sambil bersandar
pada pilar kayu di ujung peraduan.
"Bangunkan aku bila saatnya tiba", berkata Kebo
Arema sambil meluruskan kakinya diatas peraduan.
Tidak lama kemudian Kebo Arema sepertinya sudah
jauh terlelap, sementara itu terlihat Mahesa Amping
masih bersandar pada tiang kayu pilar di ujung
peraduan. Meski matanya terpejam, panca indera Mahesa
Amping selalu terjaga. Tidak ada bunyi yang terluput dari
pendengarannya, mulai dari suara gesekan bambu
disamping rumah Ki Gayem yang beradu tertiup angin,
suara tikus yang tengah mengerat kayu, bahkan suara
halus seekor cecak yang tengah mengunyah nyamuk
yang tertangkap masih dapat didengar oleh Mahesa
Amping. Panca indera Mahesa Amping memang terus terjaga,
sementara itu segala akal budi dan pikirannya telah
hilang bersatu dalam alam kesunyatan, alam ketiadaan
bunyi dan waktu. Sejenak Mahesa Amping merasakan
suara dan getaran kebahagiaan yang membahana, itulah
suara nirwana yang memanggil-manggil jiwanya untuk
singgah, tapi Mahesa Amping lebih memilih meneruskan
pengembaraan jiwanya di alam ketiadaan yang abadi.
1129 "Terima kasih, telah berjaga sepanjang malam",
berkata Kebo Arema yang telah terbangun kepada
Mahesa Amping yang masih bersandar pada pilar kayu di
ujung peraduan. Mendengar suara Kebo Arema, Mahesa Amping
membuka kelopak matanya yang terpejam. "Hari masih
di ujung malam, masih ada waktu untuk meluruskan
badan ini", berkata Mahesa Amping kepada Kebo Arema
sambil menggeser punggungnya turun dan rebah di
peraduan. Terlihat Kebo Arema bangkit dan bersandar pada
pilar kayu diujung peraduan. "Matahari pagi masih
bersembunyi", berkata Kebo Arema sambil matanya
menyapu sekeliling bilik bambu yang masih temaram
diterangi sebuah pijar kecil di atas tanah disamping
peraduan yang sudah mulai redup, mungkin sudah lama
tidak ditambahkan minyak jaraknya.
Akhirnya sang matahari pagi yang ditunggu telah
menggeliat naik, cahayanya terlihat menembus kisi-kisi
anyaman bilik bambu. "Aku belum menyiapkan sarapan pagi", berkata Ki
Gayem kepada Kebo Arema dan Mahesa Amping yang
akan melanjutkan perjalanannya.
"Terima kasih telah memberi kami tumpangan",
berkata Kebo Arema kepada Ki Gayem.
Diiringi tatap pandang Ki Gayem, terlihat Mahesa
Amping dan Kebo Arema telah melangkahkan kakinya di
jalan Padukuhan yang sudah mulai terlihat ramai. Semilir
angin mengiringi langkah Mahesa Amping dan Kebo
Arema yang telah keluar dari regol pintu gerbang
Padukuhan memasuki jalan bulakan panjang.
1130 "Dibalik gumuk besar itu kita akan memasuki sebuah
hutan yang cukup lebat", berkata Mahesa Amping
kepada Kebo Arema menyampaikan arah yang akan
mereka tempuh. Sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa Amping,
terlihat mereka tengah mendaki sebuah gumuk besar
yang ternyata sebuah batu karang yang banyak
ditumbuhi rerumputan. "Hutan itukah yang akan kita lewati?" berkata Kebo
Arema kepada Mahesa Amping sambil menunjuk sebuah
hutan lebat didepan mereka.
"Benar, itulah hutan yang harus kita lewati", berkata
Mahesa Amping kepada Kebo Arema sambil terus
melangkah menuruni gumuk besar menuju sebuah hutan
yang sudah terlihat. Hutan didepan mereka memang sangat begitu lebat,
terlihat pohon-pohon kayu tinggi menjulang dan sangat
rapat sekali dipenuhi tanaman belukar. Panas terik
membakar tubuh Mahesa Amping dan Kebo Arema yang
tengah berjalan di padang ilalang, terlihat mereka
mempercepat langkah kakinya agar cepat sampai ke
hutan lebat dan terhindar dari teriknya matahari yang
membakar kulit. Akhirnya mereka telah sampai di tepi
hutan lebat itu dan langsung memasukinya. Hutan itu
memang sangat rapat sekali, Mahesa Amping dan Kebo
Arema terlihat masuk semakin dalam menerobos semak
belukar. "Kita telah sampai", berkata Mahesa Amping kepada
Kebo Arema sambil menunjuk sebuah goa yang
tersembunyi oleh batu- batu besar dan semak belukar.
"Hanya orang aneh yang tinggal di tempat ini",
berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping.
1131 "Tidak begitu aneh setelah kita mengenalnya",
berkata Mahesa Amping sambil tersenyum dan mengajak
Kebo Arema untuk memasuki goa itu. Terlihat Mahesa
Amping memasuki goa itu diikuti dari belakang oleh Kebo
Arema. "Selamat datang saudaraku", berkata seseorang
ketika mereka telah memasuki sebuah bagian goa yang
cukup luas. "Selamat berjumpa kembali wahai penguasa
kegelapan", berkata Mahesa Amping kepada orang yang
menyapanya yang tidak lain adalah Ki Jaran Waha yang
tengah duduk diatas sebuah pilar batu.
"Dimana anak muda yang biasa melayanimu?",
bertanya Mahesa Amping yang melihat Ki Jaran Waha
hanya seorang diri. "Belum pulang berburu, mungkin sebentar lagi",
berkata Ki Jaran Waha kepada Mahesa Amping sambil
menatap kearah Kebo Arema.
"Perkenalkan ini sahabatku, paman Kebo Arema",
berkata Mahesa Amping memperkenalkan diri Kebo
Arema kepada Ki jaran Waha.
Setelah menyampaikan beberapa kata keselamatan
masing- masing, akhirnya Mahesa Amping langsung
menyampaikan tujuannya datang menemui Ki Jaran
Waha. "Besok aku akan meminta beberapa pengikutku
untuk menyiapkan dua buah lumbung diantara
perjalanan bandar Buleleng menuju Pura Besakih",
berkata Ki Jaran Waha yang langsung bersedia
membantu Mahesa Amping. "Terima kasih atas segala kesediaannya", berkata
1132 Mahesa Amping. "Itulah artinya sebuah persaudaraan", berkata Ki
Jaran Waha."Aku juga akan menyertakan dua puluh lima
pengikutku membantu pasukanmu", berkata kembali Ki
Jaran Waha.

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku sangat berterima sekali", berkata Mahesa
Amping kepada Ki Jaran Waha.
"Itulah arti sebuah persaudaraan", berkata Ki Jaran
dengan tawa berderai. "ada lagi?", bertanya Ki Jaran
Waha setelah tawanya yang berderai berhenti.
"Masih ada lagi", berkata Kebo Arema yang sudah
mulai terbiasa menghadapi sikap Ki Jaran Waha yang
sangat terbuka itu. "Dapatkah Ki Jaran Waha
menyiapkan lima puluh ekor kuda dalam waktu yang
singkat ini?", berkata kembali Kebo Arema meneruskan
kata-katanya. Kembali terdengar derai tawa Ki Jaran Waha.
"Tunjukkan dimana aku membawa ke lima puluh ekor
kuda itu", berkata Ki Jaran Waha yang kembali
menyanggupinya. Mahesa Amping menjelaskan kemana harus
membawa kuda- kuda itu serta beberapa kesepakatan
lainnya untuk menyiapkan dua buah lumbung bagi
pasukan besar yang akan memasuki Balidwipa.
"Sedapat mungkin kita menghindari banyak darah,
terutama para penduduk desa", berkata Mahesa Amping
setelah dengan rinci menjabarkan rencana besar
menguasai Balidwipa. "Aku sangat mempercayaimu wahai saudaraku,
Balidwipa ini adalah tanah airku, bersamamu aku tidak
merasa telah menikam dan menghianati tanah
1133 kelahiranku sendiri", berkata Ki Jaran Waha kepada
Mahesa Amping. Tiba-tiba percakapan mereka terhenti manakala
seorang pemuda masuk ke goa sambil membawa seekor
anak kijang. "Makan siang sudah datang", berkata Ki Jaran Waha
dengan senyum dan tawanya.
Terlihat tangan pemuda itu begitu lincah menguliti
kijang muda itu. Maka tidak begitu lama sebuah harum
daging bakar sudah tercium memenuhi ruangan goa itu.
"Selamat menikmati", berkata Ki Jaran Waha
mempersilahkan kedua tamunya makan bersama diatas
pilar batu. Akhirnya setelah cukup beristirahat, Mahesa Amping
mohon pamit diri untuk melanjutkan perjalanannya.
Namun belum lagi Mahesa Amping dan Kebo Arema
beranjak dari duduknya, mereka mendengar suara yang
mencurigakan berasal dari luar goa. Ki Jaran Waha
memberi tanda kepada Mahesa Amping dan Kebo Arema
untuk keluar mengintai. "Kamu tetaplah disini", berkata Ki Jaran Waha
kepada pemuda pelayannya itu sambil beranjak turun
melompat dari pilar batu. Terlihat Mahesa Amping dan
Kebo Arema mengikuti langkah kaki Ki Jaran Waha dari
belakang. "Ssst!", Ki Jaran Waha memberi tanda sambil
mengintip dari balik batu besar yang menghalangi goa
itu. Ternyata yang dilihat Ki Jaran Waha adalah
sekelompok orang berkuda yang tengah berhenti
beristirahat di tanah yang cukup luas didalam hutan itu
1134 berada didepan goa. "Jarang sekali ada orang yang masuk kedalam hutan
ini tanpa ada kepentingan yang mendesak", berkata ki
Jaran Waha dengan suara perlahan.
"Kita harus mengetahui apa kepentingan mereka",
berkata Mahesa Amping juga dengan suara perlahan.
Mahesa Amping, Ki Jaran Waha dan Kebo Arema
masih terus mengintai dari balik batu besar, dilihatnya
beberapa orang telah turun dari kudanya dan
menambatkannya di beberapa batang kayu pepohonan.
"Sesuai perintah kita menunggu disini penghubung
yang akan menunjukkan tugas kita", berkata seorang
yang telah telah turun dari kudanya diikuti oleh beberapa
orang. Sepertinya orang itu adalah pimpinan rombongan
itu. "Dua puluh orang", berkata Ki Jaran Waha yang
sudah menghitung jumlah orang berkuda itu, tentunya
dengan suara tertahan. "Kita harus tahu siapa mereka", berkata Mahesa
Amping masih dengan suara perlahan.
"Dari bahasanya aku mengenal dari mana mereka
berasal", berkata Kebo Arema sambil terus mengintai.
Terlihat kedua puluh orang itu telah menambatkan
kudanya masing-masing dan sebagian duduk terpisah
namun beberapa orang bersama pimpinannya terlihat
bergerumbul. "Tugas kita saat ini sangat menyenangkan, hanya
membuat sebuah kerusuhan dan perampokan di tempat
yang akan dipilih oleh penghubung kita", berkata
pemimpin mereka. 1135 "Apakah ketua mengetahui tujuan mereka yang
sebenarnya?", bertanya salah seorang diantara mereka.
"Awalnya aku tidak mempedulikan apa keinginan
mereka menyuruh kita berbuat keonaran, yang
kupedulikan berapa mereka membayar kita", berkata
pemimpin mereka tedengar suaranya yang berat dan
parau. "Apa yang ketua akhirnya ketahui tentang tujuan
mereka?", bertanya kembali salah seorang dari mereka
kepada pemimpinnya. "Akhirnya kuketahui setelah mereka meminta kita
berbuat keonaran dengan memakai layaknya seorang
prajurit Singasari", berkata kembali pemimpin mereka.
"Jadi kita diminta menyamar layaknya seorang
prajurit Singasari?", bertanya orang yang lain diantara
mereka. "Terserah dengan persyaratan apapun, yang kita
pikirkan berapa upah yang kita terima", berkata pemimpin
mereka yang diiringi gelak tawa dari semua orang yang
bergerumbul itu. Sementara itu Mahesa Amping, Ki Jaran Waha dan
Kebo Arema masih tetap mengintai dan mencuri dengar
percakapan mereka. "Akhirnya kita mengetahui siapa mereka", berkata
Mahesa Amping yang mendengar semua yang mereka
percakapkan kepada Kebo Arema dan Ki Jaran Waha.
"Mereka adalah orang-orang bayaran", berkata Ki
Jaran Waha menegaskan "Membuat keonaran untuk membakar amarah
penduduk memusuhi prajurit Singasari", berkata Kebo
Arema menyimpulkan semuanya dari percakapan yang
1136 didengarnya. "Apa yang harus kita lakukan pada mereka", bertanya
Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha dan Kebo Arema
meminta pertimbangan. "Pucuk dicinta ulampun tiba", berkata Ki Jaran Waha
membuat Mahesa Amping dan Kebo Arema mengerutkan kening tidak mengerti.
"Aku tidak mengerti ki Jaran bicara apa", bertanya
Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha.
"Maksudku mencari lima puluh ekor kuda, sudah
menanti dua puluh ekor kuda", berkata Ki Jaran Waha
menyeringai menutup mulutnya agar tidak terdengar
tawanya. "Mari kita selesaikan", berkata Kebo Arema sambil
memberi tanda untuk keluar dari pengintaian.
Terlihat Mahesa Amping, Ki Jaran Waha dan Kebo
Arema melompat dan berdiri tidak jauh dari gerombolan
berkuda. "Siapa kalian", berkata Pemimpinnya itu yang
bersama rombongannya sangat terkejut melihat tiga
orang berdiri. "Tidak perlu kalian tahu siapa kami, yang perlu kalian
ketahui bahwa kami tertarik dengan kuda-kuda kalian",
berkata Kebo Arema dengan wajah penuh senyum.
"Kalian tertarik dengan kuda-kuda kami", berkata
pemimpim itu diiringi tawa semua anak buahnya.
"Maaf, kutambahkan kalimatnya, kami bukan hanya
tertarik tapi bermaksud kalian menyerahkan kuda-kuda
itu dengan sukarela", kembali Kebo Arema berkata
kepada orang-orang itu. 1137 "Menyerahkan kuda-kuda kami dengan sukarela?",
bertanya kembali pemimpin itu yang diiringi derai
tawanya yang juga diikuti para anak buahnya.
"Apakah kata-kataku begitu lucu", bertanya Kebo
Arema "Sangat lucu sekali", berkata pemimpin itu yang
masih belum hilang rasa gelinya.
"Bagian mana yang menurut kalian sangat lucu?",
bertanya kembali Kebo Arema masih dengan wajah
polos. "Lucunya adalah tiga ekor cecurut meminta daging
segerombolan serigala", berkata pemimmpin itu yang
langsung diiringi gelak tawa semua anak buahnya.
Terdengar Kebo Arema tertawa sampai perutnya
terguncang- guncang membuat Mahesa Amping dan Ki
Jaran Waha tersenyum melihat kelakuan Kebo Arema
yang sepertinya tidak mengenal jerih dan takut
berhadapan dengan dua puluh orang yang sangat kasar.
"Kenapa kamu tertawa?", bertanya pemimpin itu
sepertinya sudah tidak sabaran menghadapi tingkah laku
Kebo Arema. "Yang kutertawakan adalah penilaian kalian terhadap
kami, yang harusnya kalian katakan adalah segerombolan kijang berhadapan dengan tiga ekor
harimau penguasa hutan rimba raya", berkata Kebo
Arema masih menyisakan derai tawanya yang panjang.
"Bunuh mereka semua", berkata pemimpin itu yang
langsung dipatuhi oleh orang-orangnya yang terlihat
sudah menyebar mengepung Mahesa Amping, Ki Jaran
Waha dan Kebo Arema. Melihat kepungan yang sangat rapat, Mahesa
1138 Amping, Ki jaran Waha dan Kebo Arema saling beradu
punggung. "Habisi mereka!!", berkata pemimpin itu dengan suara
yang keras. Suasana saat itu memang sangat menegangkan, dua
puluh golok panjang tajam berkilat teracung dan
bergerak seperti ombak datang menerjang.
Namun posisi Mahesa Amping, Ki Jaran Waha dan
Kebo Arema begitu sempit, hanya tujuh orang yang
dapat masuk mendahului serangan.
Tapi apa yang terjadi kemudian?"
Terbelalak mata pemimpin itu melihat apa yang
terjadi, tujuh orang anak buahnya yang terdekat
langsung terpental roboh merasakan beberapa tulangnya
remuk, sementara itu senjata mereka sudah berpisah
terpental ke sembarang tempat ketika beradu tangan
dengan tiga orang yang semula diremehkannya itu.
Sisa dari pengeroyok itu pun seketika berhenti,
semua terkesima atas apa yang telah terjadi menimpa
ketujuh kawannya itu. "Jangan menjadi gentar, mereka tidak bersenjata",
berteriak pemimpin itu mendorong semangat dan
keberanian anak buahnya yang dilihatnya menjadi gentar
menghadapi ketiga orang yang tidak bersenjata.
Ternyata teriakan pemimpinnya itu telah memberikan
keberanian kembali kepada para pengikutnya itu, maka
dengan suara dan teriakan yang bergelora telah
mengawali sebuah serbuan yang lebih menghentak lagi
datang seperti air bah menerjang ketiga orang yang tidak
bersenjata. Akibatnya ternyata lebih parah dari sebelumnya,
1139 entah dengan cara apa ketujuh orang terlihat sudah
langsung roboh tak bergerak langsung pingsan.
Kembali sisa pengeroyok itu terlihat mundur memberi
jarak sengan wajah dan mata terbelalak menyaksikan
apa yang dialami oleh ketujuh kawannya itu.
"Bukankah sudah aku katakan, kalian telah
berhadapan dengan tiga ekor harimau penguasa hutan
ini", berkata Kebo Arema sambil bertolak pinggang.
"Jangan menjadi sombong, hadapilah aku", berkata
pemimping itu langsung menerjang ke arah Kebo Arema.
Terlihat Kebo Arema tersenyum menghadapi
serangan pemimpin rombongan itu. Sepertinya Kebo
Arema ingin bermain-main dengan hanya mengelak dan
tidak balas menyerang. Melihat serangannya dapat dihindari dengan
mudahnya, pemimpin itu pun menjadi semakin bernafsu
terus melakukan serangan. Namun selalu saja serangan
itu dapat dihindari oleh Kebo Arema.
Sementara itu tiga orang yang ingin mengeroyok
Kebo Arema ditahan oleh Mahesa Amping.
"Biarkan pemimpinmu berkeringat, hadapilah aku",
berkata Mahesa Amping yang telah siap menghadapi
ketiga orang itu. Ketiga orang itu seperti menerima sebuah tantangan,
maka dengan senjata yang mengacung keatas siap
merobek tubuh Mahesa Amping.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi nasib mereka sungguh sangat sial hari itu
karena berhadapan dengan seorang pemuda yang telah
mempunyai ilmu yang sudah sangat mumpuni.
"Berhenti!!", berkata Mahesa Amping dengan suara
1140 yang terasa menghentak dada.
Aneh memang aneh !!! Ketiga penyerangnya itu sepertinya mengikuti begitu
saja perintah Mahesa Amping, mereka seperti patung
dalam posisi orang yang siap menyerang.
Maka dengan mudahnya Mahesa Amping mengambil
ketiga golok panjang itu dari siempunya yang masih
mematung. "Kenapa kalian berhenti?"", berkata Mahesa Amping
menyadarkan ketiga orang penyerangnya yang terkesima
melihat senjatanya sudah tidak ada lagi ditangan.
"Apakah kalian mencari golok-golok ini?", berkata
Mahesa Amping sambil memperlihatkan tiga buah golok
ditangannya. Terbelalak ketiga orang itu melihat goloknya telah
berpindah tangan. Sementara itu Ki jaran Waha yang
melihat dua orang sisa gerombolan itu langsung
menghampirinya. "Kalian telah mendapatkan upah yang sama,
mengapa tidak ikut menyerang?", bertanya Ki Jaran
Waha kepada kedua orang itu.
Mendengar pertanyaan Ki Jaran Waha, ternyata
mereka menanggapinya sebagai sebuah tantangan.
"Orang tua renta, jangan menyesal dagingmu akan
terkoyak", berkata salah seorang dari kedua orang itu
sambil langsung menebaskan golok panjangnya ke leher
Ki Jaran Waha diikuti sambaran dari kawannya yang
langsung ikut menyerang Ki jaran Waha dengan
mengibaskan golok panjangnya membabat ke arah
pinggang Ki jaran Waha. 1141 Menghadapi dua serangan yang bersamaan dan
mengarah pada tempat yang berbeda tidak membuat Ki
Jaran menjadi gentar dan panik.
Dengan bibir yang terlihat sedikit tersenyum, Ki Jaran
Waha membiarkan kedua golok tajam itu menghampirinya. Maka ketika kedua golok tajam itu
nyaris sejarak satu lidi dari kulitnya, tiba-tiba saja tubuh
Ki Jaran Waha sudah melenting melompat diatas kedua
kepala lawannya dan hinggap tepat dibelakang mereka.
Bukkk !!!!! Dua sikut Ki Jaran Waha telah menghantam dua
pinggang penyerangnya. Akibatnya dua orang penyerangnya tersungkur maju
kedepan mencium bumi dengan jidatnya, seketika kedua
orang itu tidak mampu bangkit berdiri merasakan tulang
rusuknya remuk dan patah.
Kembali kepada tiga orang penyerang Mahesa
Amping yang tengah terbelalak melihat senjatanya yang
sudah tidak ada lagi ditangannya.
"Ilmu sihir!", berkata salah seorang diantaranya.
"Aku masih bermurah hati tidak menyihir kalian
menjadi kerbau bule", berkata Mahesa Amping dengan
penuh senyum. Ternyata gurauan Mahesa Amping dianggap
sungguhan oleh ketiga orang itu, dalam angan mereka
terbayang seekor kebo bule yang dikeramatkan ditanah
kelahiran mereka di Tanah mandar.
"Ampun"..jangan sihir kami jadi kerbau bule",
berkata ketiga orang itu bersamaan.
"Bangkitlah, aku tidak jadi menyihir kalian", berkata
1142 Mahesa Amping kepada ketiga orang itu.
"Terima kasih", berkata ketiganya bersamaan.
"Bantu aku mengikat semua kawan-kawanmu",
berkata Mahesa Amping menyuruh ketiga orang itu
membantunya mengikat semua kawan-kawannya yang
sudah tidak berdaya. Terakhir Mahesa Amping mengikat
mereka bertiga tanpa ada usaha perlawanan sedikitpun.
Sementara itu Kebo Arema terlihat masih ingin
bermain-main. Wajah dan tubuh pemimpin itu sudah
bermandi basah keringat. Semangat pemimpin itu sepertinya telah menjadi
surut manakala melihat semua anak buahnya sudah
dalam keadaan terikat ditambah lagi dengan hampir
seluruh tenaganya telah ditumpahkan namun belum
satupun serangannya dapat mengenai tubuh lawannya
itu yang hanya terus menghindar tidak pernah balas
menyerang. "Kubunuh kau!!", berkata pemimpin itu menghentakkan semangatnya berharap serangannya ini
dapat menembus tubuh lawan.
Tapi Kebo Arema dapat membaca bahwa tenaga
yang dikerahkan lawannya itu sudah begitu lemah dan
lamban. Maka sambil mengegoskan pinggangnya
kekanan menghindari tusukan golok lawan yang panjang
dan tajam, sebuah tangan Kebo Arema yang sudah puas
bermain-main itu telah melayang menyambar tulang
rahang lawannya. Terlihat dua buah gigi meloncat dari mulut pemimpin
itu diikuti bercak darah yang ikut keluar. Pemimpin itu
terlihat limbung terhuyung tidak mampu lagi menguasai
dirinya jatuh terlentang diatas bumi.
1143 "Kita masih memerlukannya hidup-hidup", berkata
Kebo Arema kepada Mahesa Amping dan Ki Jaran Waha
yang berdiri sebagai penonton.
Tidak lama berselang, pimpinan sekelompok orang
upahan itu telah sadarkan diri.
"Aku tahu pikiranmu sudah mulai bekerja, maka
dengarlah baik-baik. Kami tidak pernah melepas seorang
korban pun untuk hidup. Hari ini kami telah bermurah hati
kepadamu, hanya dengan syarat kamu dapat diajak
bekerja sama", berkata Kebo Arema kepada orang itu
dengan nada mengancam. Mendengar suara Kebo Arema yang berat dan
bersungguh- sungguh itu, maka orang itu berpikir bahwa
Kebo Arema tidak sekedar mengancam.
"Kerja sama apa yang kalian inginkan", berkata orang
itu pasrah. "Berlakulah sepertinya kalian tidak pernah bertemu
dengan kami ketika penghubungmu datang", berkata
Kebo Arema memberikan sebuah persyaratan kerjasama
dari orang itu. "Aku akan melakukannya", berkata orang itu pasrah.
Maka satu persatu orang-orang upahan itu dalam keadan
terikat telah dibawa masuk kedalam goa. Sementara itu
hanya tinggal pemimpin itu saja yang tinggal diluar
ditemani Mahesa Amping, Ki Jaran Waha dan Kebo
Arema menunggu seorang penghubung yang akan
memilih tugas yang akan mereka lakukan.
Sementara itu senja yang bening redup memasuki
celah daun dan batang dihutan itu, kegelapan semakin
merambat memenuhi hutan itu, meski matahari masih
mengintip diujung bumi jauh diluar hutan.
1144 Terlihat Mahesa Amping telah mengumpulkan
ranting-ranting kering untuk membuat perapian ketika
melihat suasana didalam hutan semakin menjadi gelap.
"Apakah penghubungmu itu akan datang hari ini?",
bertanya Kebo Arema kepada orang itu.
"Mereka telah berjanji memberikan separuh bayaran
di hutan ini", berkata orang itu memberikan penegasan
untuk tidak dianggap berbohong.
Dan malam pun akhirnya perlahan sudah mulai
merayapi isi hutan dengan kegelapan dan kesenyapannya. Cahaya perapian saja yang dapat
menerangi wajah-wajah mereka yang masih terus
menunggu mengikis sedikit demi sedikit kesabaran
didalam hati mereka. Beruntunglah, kesabaran mereka masih tersisa
manakala terdengar suara belukar tergesek oleh gerak
dua ekor kuda yang semakin mendekat.
Terlihat dari kegelapan malam muncul dua sosok
tubuh diatas punggung kuda menghampiri mereka.
"Angin badai diatas lautan", berkata salah seorang
dari mereka ketika sudah mendekat mengucapkan kata
sandi. "Nelayan pulang bertangan
pemimpin itu membalas kata sandi.
hampa", berkata "Engkaukah pinpinan kelompok ini", bertanya orang
itu masih diatas kudanya kepada pemimpin itu.
"Benar akulah pemimpinnya", berkata pemimpin itu
sambil melirik wajah Kebo Arema penuh rasa takut.
Untungnya wajahnya yang pucat itu terhalang cahaya
perapian yang terus bergoyong tertiup angin.
1145 "Aku tidak melihat orang-orangmu", berkata orang
yang masih diatas kuda itu menyapu pandangannya
berkeliling. "Orang-orangku sedang beristirahat didalam goa,
kami sedang menjaga kuda-kuda dari binatang buas",
berkata pemimpin itu sambil melirik kembali kearah Kebo
Arema yang dengan tegangnya menatap wajah
pemimpin itu. Kedua orang yang masih duduk diatas kudanya
terlihat melihat beberapa kuda yang tengah ditambatkan
di beberapa tangkai pohon. Nampaknya mempercayai
ucapan pemimmpin itu dan tidak mencurigainya.
"Terimalah separuh bayaran dari kami, sisanya akan
kami bayar impas setelah kalian bekerja", berkata salah
seorang yang berkuda itu sambil melemparkan sekampil
kain berisi pembayaran kepada pemimpin itu.
Pemimpin itu sebentar membuka kampil itu dan
menutupnya lagi setelah meyakini bahwa isi kampil itu
benar berupa separuh upah sesuai perjanjian mereka.
"Besok kami akan melaksanakannya",
pemimpin itu kepada dua orang diatas kuda.
berkata "Jangan sekali-kali menipu kami", berkata salah
seorang dengan nada suara yang terkesan berat dan
angker sambil langsung membalikkan tubuh kudanya.
Diiringi tatapan mata Mahesa Amping, Ki Jaran
Waha, Kebo Arema dan pemimpin itu, terlihat dua orang
berkuda itu melangkah menjauh dan menghilang
dikegelapan. "Mulai saat ini kamu dan orang-orangmu ada
dibawah pimpinanku, aku akan menambah bayaran
melebihi dari yang akan kamu terima", berkata Kebo
1146 Arema kepada pemimpin itu.
"Nyawaku dan nyawa orang-orangku berada di
tangan tuan, sementara tawaran tuan melebihi dari apa
yang kuperkirakan", berkata pemimpin itu seperti
menemukan kembali nyawanya yang hampir terlepas.
Wajahnya terlihat menampakkan kegembiraan.
"Kita akan melakukan keonaran dan perampokan",
berkata Kebo Arema kepada orang itu.
"Melakukan hal yang sama?" bertanya orang itu tidak
mengerti "Kamu benar, kita melakukan hal yang sama,
bedanya untuk siapa pencitraan itu", berkata Kebo arema
kepada orang itu yang langsung tanggap apa yang
dimaksudkannya. "Nampaknya tugasku mengumpulkan lima puluh ekor
kuda tidak akan berkurang", berkata Ki jaran Waha yang
ikut menangkap arah rencana dari Kebo Arema.
"Udara diluar sangat dingin", berkata Mahesa Amping
sambil mengajak semuanya untuk masuk kembali
kedalam goa. Setalah masuk kedalam goa, Mahesa Amping telah
mendatangi satu persatu orang-orang upahan itu yang
masih dalam keadaan terikat dibantu oleh pemimpin
mereka membuka ikatan tali mereka. Mahesa Amping
memeriksa beberapa orang yang terluka ringan,
mengobatinya dengan beberapa ramuan yang dibawanya. "Besok kalian akan sehat kembali, beristirahatlah
malam ini", berkata Mahesa Amping kepada orang-orang
itu yang sudah mengerti lewat penjelasan pemimpin
mereka, siapa yang menjadi tuan mereka.
1147 Dan malam pun terus berlalu perlahan merayapi
waktu demi waktu begitu lambatnya. Beberapa orang
sudah terlihat pulas tertidur, sementara lainnya


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sepertinya belum terbiasa berada didalam sebuah goa
yang pengap. Namun akhirnya semuanya sudah tidak
terlihat geraknya lagi, semuanya sudah tertidur dengan
pulasnya melepaskan segala kepenatan dan kelelahan
tubuh setelah seharian melakukan perjalanan dan
juga?""pertempuran.
Dan akhirnya sang malam pergi perlahan membawa
kegelapan kebelahan bumi lainnya, yang ditandai
dengan suara pagi dari ayam hutan jantan yang
terdengar sayup dari tempat yang begitu jauh.
Bersamaan dengan berjalannya cahaya pagi yang
bersinar merambati tanah rumput yang basah, mulailah
hutan itu diramaikan oleh kicau burung yang terbang dari
dahan kedahan mencari makanan sambil menghangatkan badan setelah semalaman terkepung
hawa dingin yang mencekam.
"Siapa namamu agar aku mudah memanggilmu",
berkata Kebo Arema kepada pimpinan gerombolan itu
yang terlihat sudah terbangun diawal pagi itu
"Namuku Badrun", berkata orang itu kepada Kebo
Arema. "Orang-orangmu masih perlu beristirahat, menjelang
senja baru kita mulai melakukan gerakan kita", berkata
Kebo Arema kepada orang itu yang menyebutkan dirinya
bernama Badrun. Ternyata hampir semua orang-orang itu lebih memilih
beristirahat diluar goa. Maka pagi itu terlihat kesibukan
yang cukup lumayan, beberapa orang telah menyiapkan
sarapan pagi untuk kebutuhan mereka sendiri.
1148 Sementara itu didalam goa terlihat Mahesa Amping,
Kebo Arema dan Ki Jaran Waha masih sedang
bercakap-cakap membicarakan beberapa hal.
"Pasukan baruku ini akan bergerak mulai malam ini,
siang hari kami mencari tempat persembunyian dan
mencari sasaran dimalam harinya", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Amping dan Ki Jaran Waha.
"Dimana aku dapat menemuimu?", bertanya Ki Jaran
Waha kepada Mahesa Amping
"Pekan depan kupastikan kita bertemu di Pura
Indrakila", berkata Mahesa Amping memastikan.
Ketika matahari sudah mulai bergerak naik, Mahesa
Amping dan Kebo Arema mengajak Badrun keluar hutan
untuk melakukan pengintaian dan memilih padukuhan
mana yang akan menjadi sasaran mereka.
Akhirnya mereka menemui sebuah padukuhan yang
paling baik, sebuah padukuhan kecil yang sering dilalui
antara perjalanan dari Bandar beleleng menuju Pura
Besakih. "Apapun yang terjadi di Padukuhan ini akan cepat
tersebar seperti angin", berkata Kebo Arema sambil
mengamati beberapa rumah sepanjang jalan padukuhan
disiang itu yang tidak begitu ramai.
"Rumah yang besar itu mungkin milik Ki Buyut",
berkata Badrun mengamati sebuah rumah yang paling
luas diantara beberapa rumah yang ada.
"Halaman rumah itu cukup baik untuk mengumpulkan
para penduduknya", berkata Kebo Arema membuat
sebuah perencanaan. "Ternyata Paman Kebo Arema berbakat sebagai
pemimpin perampok sesungguhnya", berkata Mahesa
1149 Amping kepada Kebo Arema yang ditanggapi dengan
senyum penuh makna. "Beruntunglah bahwa jiwa kita selalu dipenuhi oleh
kepuasan bathin, banyak orang berilmu tinggi yang
gersang jiwanya dan terjerumus mencari kepuasan
bathin di dunia ini, terjadilah keangkaraan, penindasan
manusia atas manusia", berkata Kebo Arema seperti
kepada dirinya sendiri. Badrun yang mendengar percakapan itu terlihat
hanya menunduk, tidak tahu dan entah apa yang tengah
dipikirkan olehnya. "Kurasa pengamatan kita sudah lebih dari cukup",
berkata Kebo Arema mengajak Badrun dan Mahesa
Amping kembali ke dalam hutan tempat kediaman Ki
Jaran Waha. Ketika sampai di hutan didepan goa, ternyata Ki
Jaran Waha telah menyiapkan dua ekor kuda untuk
Mahesa Amping dan Kebo Arema.
"Kuda-kuda yang baik", berkata Mahesa Amping
menilai dua ekor yang disiapkan Ki Jaran.
"Aku tahu seleramu", berkata Ki Jaran Waha merasa
senang dengan penilaian Mahesa Amping.
Sementara itu senja di hutan itu telah membuat hutan
itu menjadi mulai gelap dan dingin. "Kita menunggu saat
tengah malam", berkata Kebo Arema kepada Badrun.
Terlihat Badrun tengah menyampaikan kepada orangorangnya bahwa nanti malam mereka harus sudah
mempersiapkan diri. Dan akhirnya ketika malam sudah mulai merangkak
merambah hutan, terlihat dua puluh dua ekor kuda
tengah berjalan meninggalkan hutan didepan goa itu.
1150 "Kutunggu dirimu di Pura Indrakila", berkata Mahesa
Amping kepada Ki Jaran Waha yang mengiringi
kepergian mereka dengan melambaikan tangannya yang
dibalas pula dengan lambaian tangan.
"Mereka tidak kembali ke hutan ini lagi?", bertanya
pemuda yang menemani Ki Jaran Waha ketika orangorang berkuda itu menghilang dikegelapan.
"Mereka akan terus bergerak, sebagaimana
sekelompok serigala pengembara", berkata Ki Jaran
kepada pemuda itu. Sementara itu Kebo Arema dan gerombolannya
terlihat telah keluar dari hutan dan perlahan telah
mendekati regol gerbang sebuah padukuhan kecil yang
tadi siang sudah mereka amati.
"Tunggu kami dan bersembunyilah di kegelapan",
berkata Kebo Arema yang telah melompat dari kudanya
bersama Mahesa Amping. "Jagalah kuda-kuda kami", berkata Mahesa Amping
kepada salah seorang diantaranya.
"Hanya ada dua orang peronda", berkata Mahesa
Amping yang telah menyelinap dikegelapan bersama
Kebo Arema. "Saatnya bercadar", berkata Kebo Arema sambil
memberi isyarat. Terlihat Mahesa Amping dan Kebo
Arema telah menutup sebagian wajahnya dengan
sebuah kain cadar hitam menyisakan rambut dan kedua
matanya. Terlihat Mahesa Amping berendap mendekati gardu
ronda itu. Bukkk".bukkkkkkk?",
1151 Dua buah pukulan dengan tenaga yang tidak penuh
tepat bersarang dikedua tengkuk peronda itu yang
langsung jatuh tertelungkup. Dengan sebuah tali yang
telah dipersiapkan Mahesa Amping mengikat tubuh
kedua peronda itu. Melihat Mahesa Amping telah menyelesaikan
tugasnya, Kebo Arema telah keluar dari persembunyiannya dan langsung membunyikan kentongan bambu yang tergantung di gardu ronda itu
dengan nada panjang sebagai tanda agar semua warga
berkumpul. "Mari kita menjemput Ki Buyut", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Amping. Ternyata bunyi kentongan bambu itu telah didengar
oleh Ki Buyut dan keluarganya.
Ternyata bunyi kentongan nada panjang itu juga telah
didengar oleh hampir semua warganya yang baru saja
sebentar memejamkan matanya.
Ternyata bunyi kentongan nada panjang itu adalah
sebuah tanda untuk Badrun dan anak buahnya masuk
kepadukuhan kecil itu. "Ada apa yang terjadi?", berkata Ki Buyut kepada
seorang pembantunya yang telah turun dari anak tangga
pendapa dan telah berdiri di halaman rumahnya.
"Tidak terjadi apapun selama Ki Buyut dapat diajak
bekerja sama", berkata seseorang dengan wajah tertutup
cadar hitam sambil menempelkan sebuah golok panjang
dileher Ki Buyut. Bukan main kagetnya Ki Buyut merasakan kulit
lehernya tertekan sebuah benda tajam dari seorang
bercadar hitam yang telah datang begitu cepat dan
1152 langsung menempelkan senjatanya.
Nasib pembantunya ternyata mendapatkan hal sama,
telah ditempelkan sebuah senjata tajam dilehernya oleh
seorang yang bercadar hitam lainnya.
"Jangan berbuat macam-macam", berkata orang itu
dengan suara yang mengancam."Ikat tuanmu dengan tali
ini", berkata orang itu yang ternyata adalah Mahesa
Amping "Maaf Ki Buyut", berkata pembantu itu dengan tangan
gemetar mengikat tubuh Ki Buyut.
Setelah melihat tubuh Ki Buyut terikat, maka Mahesa
Amping segera mengikat pembantu itu yang masih
gemetar penuh ketakutan. Sementara itu beberapa lelaki telah keluar dari
rumahnya, setengah berlari mereka menuju rumah Ki
Buyut. Namun belum sempat sampai di rumah Ki Buyut
sekelompok orang berkuda telah mengepungnya.
"Jangan coba melawan!!", berkata Badrun dengan
suaranya yang keras dan parau sambil mengangkat
tinggi-tinggi golok panjangnya yang berkilau terlihat
bersinar dibawah cahaya malam.
Beberapa lelaki yang tanpa senjata itu bukan main
kaget tergetar penuh rasa takut yang sangat melihat
pasukan berkuda tengah mengepungnya, terutama
melihat senjata yang telanjang mengancam mereka.
Salah seorang berkuda itu turun dari kudanya
langsung mengikat beberapa lelaki yang pucat ketakutan
tanpa susah payah dan perlawanan dengan satu ikatan
tali. "Bawa mereka ke rumah Ki Buyut", berkata Badrun
kepada salah seorang anak buahnya sambil memberi
1153 tanda kepada anak buahnya yang lain untuk
mengikutinya mencari warga yang telah keluar dari
rumahnya. Maka dalam waktu yang begitu singkat, puluhan
lelaki warga Padukuhan itu telah dapat dilumpuhkan
dalam keadaan terikat dihalaman rumah Ki Buyut.
"Ki Buyut!!", berkata Kebo Arema dengan wajah
masih tertutup cadar hitam kepada ki Buyut sambil
menempelkan golok panjangnya di leher Ki Buyut.
Ki Buyut yang terlihat sudah mulai tua itu menjadi
gemetaran merasakan dinginnya benda logam tajam
menempel di kulit lehernya, merasakan nyawanya akan
lepas meninggalkan tubuhnya.
"Masuklah kesemua rumah wargamu, bawalah
semua barang berharga yang kau temui ke halaman ini",
berkata Kebo Arema dengan kata dan nada penuh
ancaman. Terlihat dengan wajah pucat pasi
menganggukkan kepalanya tanda bersedia.
Ki Buyut "Ingat, aku dapat membantai semua wargamu dan
membakar padukuhan ini. Jadi bekerja samalah dengan
baik", berkata Kebo Arema dengan suara yang keren
membuat Ki Buyut menambah rasa takutnya.
Maka bersama pembantunya, terlihat Ki Buyut dan
pembantunya telah memasuki rumah demi rumah untuk
mengambil semua barang berharga yang dimiliki oleh
warganya. "Ingat Nyi Made, suamimu dibawah ancaman para
gerombolan perampok", berkata Ki Buyut menjelaskan
kepada seorang wanita di sebuah rumah yang dimasuki.
"Kalung emas ini warisan nenekku, hanya ini barang
1154 berharga yang kami miliki", berkata wanita itu dengan
wajah penuh cemas memikirkan suaminya yang tengah
disandera di halaman muka rumah Ki Buyut.
"Demi suamimu dan semua warga", berkata Ki Buyut
kepada wanita itu yang melepaskan kalung emasnya
yang masih melingkar di lehernya.
"Jangan keluar, aku khawatir gerombolan itu dapat
berbuat lain bila melihatmu", berkata Ki Buyut
mengingatkan wanita itu yang memang masih sangat
muda. Demikianlah, Ki Buyut dan pembantunya telah
kembali ke halaman rumahnya menyerahkan barangbarang berharga milik warganya, yang dipikirkan adalah
keselamatan dirinya dan semua warga yang tengah
disandera. "Kamu belum masuk ke rumahmu sendiri", berkata
Kebo Arema ketika menerima barang-barang berharga
dari Ki Buyut.

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan mengambilnya", berkata Ki Buyut dengan
wajah penuh ketakutan melangkah kedalam rumahnya
sendiri. Ternyata kali ini langkah Ki Buyut tersandung oleh
istrinya sendiri. "Aku tidak akan memberikan cincin bermata mutiara
ini, barang yang sudah lama kuimpikan ketika masih
gadis untuk memilikinya", berkata Nyi Buyut merasa
keberatan menyerahkan cincinnya.
"Bila gerombolan itu masuk dan melihat masih ada
cincin ditanganmu, urusan akan jadi panjang", berkata Ki
Buyut mengingatkan istrinya.
"Seandainya aku ini lelaki, aku akan melawannya",
1155 berkata Nyi Buyut kepada Ki Buyut sambil dengan wajah
masam melepaskan cincin yang sangat disayanginya itu.
"Tidak cukup keberanian, kita harus juga memikirkan
kekuatan kita", berkata Ki Buyut yang merasa
tersinggung dengan ucapan istrinya yang menyinggung
sikap kelelakiannya. "Bukankah kita lebih banyak dari mereka?", berkata
kembali Nyi Buyut dengan wajah cemberut.
"Banyak tapi tidak ada keberanian", berkata Ki Buyut
berusaha menyanggah perkataan istrinya.
"Keberanian kalian hanya saat berjudi di Tajen",
berkata Nyi Buyut sambil mencebirkan bibirnya.
"Aku tidak mau bersanggah lagi", berkata Ki Buyut
berbalik badan tidak lagi melayani perkataan istrinya
yang mengkerdilkan dirinya.
Maka tidak lama kemudian Ki Buyut sudah keluar lagi
sambil membawa barang-barang berharga miliknya.
"Mengapa kamu lama sekali keluar dari rumahmu
sendiri?", berkata Kebo Arema kepada Ki Buyut yang
tengah menyerahkan barang berharga miliknya.
"Ada beberapa barang yang kusimpan diatas
wuwungan", berkata Ki Buyut menjelaskan sengaja tidak
menyinggung hal yang sebenarnya tentang istrinya yang
keras. "Aku akan memeriksa kedalam, mungkin masih ada
yang kamu sembunyikan", berkata Kebo Arema yang
bersikap akan masuk kerumah Ki Buyut.
"Percayalah, semua sudah kukeluarkan", berkata Ki
Buyut yang takut gerombolan itu masuk ke rumahnya
berbuat hal-hal lain terhadap keluarganya.
1156 "Untuk saat ini aku mempercayaimu", berkata Kebo
Arema kepada Ki Buyut yang diam-diam merasa kasihan
melihat wajah Ki Buyut yang demikian pucatnya.
Sementara itu salah seorang anak buah Badrun
terlihat sudah membawa dua ekor kuda milik Kebo
Arema. "Dengarlah semua", berkata Kebo Arema dengan
suara yang bergema diatas punggung kudanya.
"Apa yang kami lakukan ini adalah untuk perjuangan
Raja Adidewalancana Penguasa Pura Besakih
menghadapi para prajurit Singasari yang akan
menguasai seluruh kehidupan kita", berkata Kebo Arema
kepada semua lelaki di halaman rumah Ki Buyut.
Terlihat Kebo Arema memberi tanda kepada
gerombolannya untuk meninggalkan halaman rumah Ki
Buyut. Diringi puluhan mata warga padukuhan yang masih
terikat, debu mengepul dibelakang kuda-kuda yang
melangkah berlari keluar dari halaman rumah Ki Buyut itu
dan menghilang ditelan kegelapan malam.
Maka pada keesokan harinya, kejadian di Padukuhan
itu nyaris menjadi perbincangan semua orang, baik
diladang, dipasar dan di kedai. Berita perampokan itu
sendiri seperti angin terbawa terbang kesegala arah,
menyebar hampir kepelosok Balidwipa, jauh dari tempat
kejadiannya sendiri. "Teganya Raja Adidewalancana mengambil milik
warga yang sudah banyak dipenuhi berbagai tula",
berkata seorang kepada kawannya disebuah kedai.
"Itulah tanda-tanda akhir jaman, penguasa tidak lagi
memikirkan penderitaan para kawula, yang diutamakan
1157 adalah kelanggengan, kejayaan dirinya sendiri", berkata
kawannya menimpali. Sementara itu di sudut kedai, terlihat dua orang yang
sedang mencuri dengar dua orang yang berbicara
mengenai perampokan yang mengatasnamakan perjuangan Raja Adidewalancana menghadapi para
prajurit Singasari. "Perang pencitraan telah kita mulai", berkata Kebo
Arema perlahan kepada Mahesa Amping.
"Dan nampaknya angin telah membawa berita itu
jauh dari tempatnya", berkata Mahesa Amping
"Di beberapa padukuhan telah menyiagakan dirinya",
berkata Kebo Arema. "Akan menyulitkan kita, benturan tidak dapat
dihindarkan", berkata Mahesa Amping yang merasa
khawatir akan ada korban dari orang-orang padukuhan.
"Kita harus mencari celah agar tidak ada korban",
berkata Kebo Arema dengan wajah tenang, sepertinya di
kepalanya sudah mengendap sebuah rencana kecerdikannya yang lain. "Aku melihat Paman Kebo Arema sudah menemukan
celah itu", berkata Mahesa Amping yang melihat mata
dan bibir Kebo Arema penuh senyum.
"Aku telah menemukannya, mari kita bicarakan di
tempat persembunyian kita", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Amping sambil mengajak Mahesa
Amping keluar dari kedai kembali kepersembunyiannya.
Terlihat Mahesa Amping dan Kebo Arema telah
keluar dari kedai berjalan kearah bulakan yang sangat
sepi. Setelah meyakini diri tidak ada yang mengikuti
mereka, terlihat Kebo Arema dan Mahesa Amping
1158 melangkah kearah hutan kecil yang terhalang sebuah
rawa galam. Karena rawa galam itulah maka jarang
sekali orang datang ke hutan kecil itu. Disitulah
gerombolan Kebo Arema menyembunyikan dirinya.
Siang itu panas matahari begitu terik seperti
membakar kulit, tapi keadaan didalam hutan itu sinar
matahari tertahan daun dan ranting pohon yang tumbuh
begitu rapatnya. Suasana didalam hutan itu begitu teduh,
udara diaromai wangi tanah basah hutan yang gembur
dan subur yang terbawa oleh semilir angin bertiup
memberi kesegaran siapapun yang berada didalamnya.
"Persiapkan orang-orangmu, malam ini kita kembali
beraksi", berkata Kebo Arema kepada Badrun sambil
menyampaikan beberapa gambaran yang dapat mereka
lakukan. "Yang harus diingat adalah letak dua orang saudagar
kaya di Padukuhan itu dan rumah Ki Buyut itu sendiri
yang pasti punya simpanan harta yang cukup", berkata
Kebo Arema dengan wajah penuh senyum kepuasan
merasa yakin rencananya dapat berhasil dengan
gemilang. "Sebuah tipu daya yang cemerlang", berkata Mahesa
Amping setelah mendengar penjabaran dari Kebo Arema
dengan rinci sekali. "Saatnya raja srigala untuk beristirahat siang",
berkata Kebo Arema sambil mencari tempat yang cukup
baik untuk merebahkan dirinya disebuah batu besar yang
datar dibawah sebuah pohon kayu besar.
Dan seiring waktu berlalu, matahari diatas hutan itu
perlahan merunduk menyongsong wajah senja.
Berita tentang perampokan yang mengatasnamakan
1159 perjuangan Raja Adidewalancana memang sudah
sampai di Padukuhan Padang Bulia, sebuah padukuhan
induk di Kademangan Padang Bulia yang cukup ramai.
Sore itu meskipun masih jauh saat malam, dua buah
gardu ronda yang ada di Padukuhan itu sudah
diramaikan beberapa lelaki dan anak-anak muda. Berita
tentang sebuah Padukuhan yang telah dirampok telah
mendorong kewaspadaan mereka. Namun bukan cuma
itu yang mendorong mereka bersemangat memenuhi
gardu ronda, ternyata andil dua orang saudagar kaya di
Padukuhan itu turut mendukung dimana hampir sebagian
warganya menjadi pekerja di tempat dua saudagar kaya
itu. "Ternyata nyaman menjadi orang yang tidak punya",
berkata seorang lelaki yang duduk di panggung gardu
ronda kepada kawan-kawannya
"Kenapa kamu bisa berkata demikian?", bertanya
salah seorang kawannya. "Buktinya aku tidak merasa takut apapun bila para
perampok itu datang ke Padukuhan ini, apa yang
kutakutkan, aku tidak punya harta apapun selain
selembar pakaian ini", berkata lelaki itu menjelaskan.
Terlihat beberapa perkataan lelaki itu. kawannya membenarkan "Nyaman apanya bila saat paceklik kita tidak punya
persediaan apapun", berkata salah seorang kawannya
yang memang senang berkata lain.
Ternyata ucapan salah seorang yang terakhir ini juga
dibenarkan oleh beberapa orang yang ternyata termasuk
golongan miskin pendapat yang mudah terombang
ambing oleh berbagai pendapat orang.
1160 Akhirnya pembicaraan pun menjadi semakin ramai
hanya mengenai dua pendapat yang berbeda antara
nyaman dan tidak nyamannya menjadi orang miskin.
Namun pembicaraan mereka pun terhenti manakala
datang kiriman makanan dari salah seorang saudagar
kaya. "Nanti malam kami akan mengirim panganan lagi, jadi
jangan takut kekurangan", berkata seorang lelaki yang
membawa ubi rebus dua bakul besar bersama dua ceret
wedang. Terlihat belum lagi dua buah bakul besar itu mandeg
di atas papan kayu gardu ronda, beberapa tangan sudah
berebut mengambil ubi rebus yang masih hangat itu.
"Belum tengah malam panganan sudah habis",
berkata seorang yang mendapatkan isi bakul menyisakan
Senopati Pamungkas I 18 Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Kail Emas 9
^