Sang Fajar Bersinar 17
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 17
dua buah ubi rebus. "Habisi saja, nanti malam ceritanya lain lagi", berkata
salah seorang yang tengah memakan ubi rebus yang
kedua. Semua orang sepertinya membenarkan ucapan
terakhir itu, nanti malam memang lain cerita karena akan
datang kiriman lagi. Sementara itu, matahari di atas Padukuhan Padang
Bulia ternyata sudah begitu lelah, cahayanya sudah
semakin memudar dan akhirnya redup diujung batas
cakrawala. Dan langit malampun perlahan datang
menyelimuti bumi, merabunkan setiap pandangan
menjadi tersamar yang berujung kepada kegelapan yang
semakin merata. Perlahan malam telah datang
membekap bumi dalam gelap dan kesenyapan yang
semakin sunyi. 1161 Dalam warna malam yang samar, terlihat
segerombolan orang berkuda tengah keluar dari sebuah
hutan. Terlihat semakin jelas ketika mereka berada
diatas tanah rawa galam yang berair dangkal. Ternyata
mereka mengarah kepadukuhan Padang Bulia.
Ketika langkah kaki kuda mereka telah mendekati
Padukuhan Bulia, mereka berpencar menjadi tiga
kelompok. Masing-masing berjalan mengarah tempat
yang berbeda. Tiga kelompok yang berpisah itu tidak
satu pun yang datang lewat regol depan Padukuhan
Padang Bulia, mereka terlihat masuk lewat arah lambung
Padukuhan Padang Bulia disisi yang berbeda.
Terlihat satu kelompok telah masuk disisi ujung
Padukuhan Padang Bulia, sementara dua kelompok
lainnya bersembunyi di kegelapan malam, di semaksemak yang tinggi, di beberapa rumpun bambu yang
kerap. "Singkirkan semua penghuninya keluar rumah",
berkata Badrun yang ternyata menjadi pimpinan
kelompok yang telah masuk terlebih dahulu lewat sisi
ujung Padukuhan itu. Terlihat sepuluh orang telah turun dari kudanya dan
berendap mendekati dua buah rumah yang terletak
diujung Padukuhan. "Jangan sakiti kami", teriak seorang wanita yang
penuh ketakutan melihat lima orang berwajah beringas
sudah masuk lewat pintu butulan yang berhasil mereka
dobrak. "Bawalah semua yang ada dirumah ini, kami akan
membakarnya", berkata Badrun dengan mengacungkan
golok panjangnya dihadapan wanita yang menangis
penuh ketakutan. 1162 Mendengar bahwa rumahnya akan dibakar, tanpa
berpikir panjang lagi wanita itu membangunkan dua
orang anaknya yang masih kecil. "Mari kita keluar, rumah
kita akan dibakar", berkata wanta itu mengapit kedua
anaknya setengah berlari keluar rumah.
"Tetaplah disini", berkata Badrun sambil mengancam
wanita itu untuk tidak kemana-mana diam dihalaman
muka rumahnya. Di rumah yang lain, lima orang anak buah Badrun
telah berbuat yang sama mengeluarkan penghuni
rumahnya. Tidak lama kemudia sudah terlihat lidah api
mulai menjilati kayu-kayu bagian rumah dan akhirnya
menyelinuti seluruh bangunan rumah dengan lidahnya
yang merah membumbung tinggi.
Bersamaan dengan itu sepuluh orang berkuda sudah
tidak terlihat lagi menghilang di kegelapan malam.
"Kebakaran!!!!", teriak seorng peronda yang melihat
cahaya merah diujung Padukuhan.
Maka semua mata tertuju ke ujung Padukuhan yang
berwarna terang menyala merah. Tanpa berpikir apapun
segera mereka berlari kearah sinar merah di ujung
Padukuhan. "Cari air, kita harus memadamkannya", berkata
seorng lelaki yang ternyata adalah pemilik rumah itu
sendiri yang meninggalkan istri dan anaknya ikut
meronda. Maka terlihatlah kesibukan yang luar biasa dari
semua orang lelaki untuk memadamkan dua buah rumah
di ujung Padukuhan itu. Sementara itu disalah satu rumah seorang saudagar
kaya di Padukuhan Padang Bulia, dua orang penjaga
1163 rumah telah mendengar keributan orang-orang yang
berlari sambil berteriak ada kebakaran.
"Ada kebakaran di ujung Padukuhan", berkata salah
seorang penjaga kepada saudagar yang telah ikut keluar.
"Biarkan saja, tetaplah disini", berkata saudagar itu
melarang dua orang penjaganya untuk ikut membantu
memadamkan kebakaran. Kedua orang penjaga itu terlihat serba salah, di hati
mereka ada keinginan untuk turun membantu. Namun
perasaan itu hanya sebentar mengendap di hati dua
penjaga itu, karena tiba- tiba saja entah dari mana
datangnya muncul dari kegelapan malam sesosok tubuh
memakai cadar hitam menutupi sebagian wajahnya.
"Kenapa kalian tidak keluar rumah membantu
tetanggamu yang kebakaran?", berkata orang itu dengan
suara yang keren penuh kewibawaan dan sangat tenang
sekali. Kedua orang penjaga itu ternyata orang-orang yang
sudah mapan menghadapi sebuah kekerasan, mereka
adalah para jagoan pasar yang sudah diketahui
keberaniannya oleh saudagar kaya itu. Itulah sebabnya
saudagar kaya itu mempercayai rumahnya dijaga oleh
mereka. Melihat seorang yang mencurigakan datang diiringi
empat orang dibelakangnya, maka dengan sigap kedua
orang penjaga itu telah melepaskan senjatanya dari
sarungnya. Namun belum lagi senjata itu mapan dalam
genggamannya, tiba-tiba saja dirasakan tangannya
berbentur oleh sebuah benda keras, seketika senjatanya
terpental dan merasakan tulang tangannya seperti remuk
lemah tidak berdaya. 1164 Bukan main kagetnya kedua penjaga itu, tapi rasa
kagetnya hanya sebentar karena belum sempat
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, sebuah
pukulan keras menghantam rahang pipinya. Terbelalak
mata saudagar itu melihat sendiri dua orang penjaganya
telah roboh tergeletak di lantai kayu pendapa rumahnya.
"Aku tidak akan mencelakaimu, tunjukkan dimana
kau simpan semua hartamu", berkata orang bercadar itu
kepada saudagar itu sambil menempelkan senjatanya
yang terasa dingin dikulit lehernya.
Sementara itu empat orang yang mengiringi orang
bercadar itu sudah menyelinap memasuki semua bilik
yang ada dirumah saudagar itu. Tidak lama kemudian,
semua penghuni rumah saudagar itu sudah dapat
dilumpuhkan, mereka diikat di biliknya masing-masing.
"Ternyata istrimu masih begitu muda", berkata orang
bercadar itu ketika bersama saudagar itu masuk ke bilik
utama yang cukup luas. Disana mereka mendapatkan
istrinya sudah dalam keadaan terikat.
Mendengar ucapan perampok itu tentang istrinya,
pikiran saudagar itu menjadi semakin bercabang
dipenuhi kecemasan yang lain yang lebih menakutkan
dari kematian, sebuah kecemasan yang begitu
memuncak atas kekhawatiran perampok itu ada
keinginan atas istrinya. Kecemasan yang sudah merasuk jauh itulah yang
membuat saudagar itu dengan sukarela memberikan
semua harta yang dimiliki, semua harta yang sudah lama
dikumpulkannya yang selama ini telah mengangkat
harkat dan martabat dirinya dan keluarganya menjadi
orang yang dihormati di Padukuhan Padang Bulia.
"Terima kasih atas kerelaanmu menyerahkan semua
1165 hartamu. Raja Adidewalencana pasti akan merasa
sangat berterima kasih", berkata orang bercadar itu
sambil meninggalkannya duduk lemas di tepi
peraduannya. Saudagar itu masih duduk di pinggir peraduannya,
ada kelegaan bahwa para perampok itu telah
meninggalkannya tanpa menganiaya dirinya, juga
istrinya. Yang dirasakan saudagar itu adalah rasa syukur
bahwa nyawanya masih utuh, masih dapat melewati harihari berikutnya. Diam-diam saudagar kaya itu mulai
menyadari begitu tingginya nilai keselamatan diri dan
keluarganya dibandingkan dengan sebuah harta yang
melimpah. "Terima kasih gusti, engkau masih
sampai hari ini", berkata Saudagar
menarik nafas panjang, merasakan
masuk kerongga dadanya, merasakan
sangat. memberiku hidup kaya itu sambil nafasnya sendiri rasa syukur yang Sementara itu dalam waktu yang bersamaaan di
rumah saudagar yang lainnya, kejadian yang samapun
dialami oleh saudagar itu dan semua penghuninya.
Lain lagi yang terjadi dirumah Ki Buyut, rumah itu
hanya ada para wanita dan anak-anak. Ternyata Ki Buyut
dan pembantu laki-lakinya sudah keluar rumah
membantu memadamkan kebakaran yang terjadi atas
dua buah rumah warganya yang berada di ujung
Padukuhan Padang Bulia. Maka dengan mudah Badrun
dan kawan-kawannya menggasak semua harta yang ada
dirumah Ki Buyut tanpa perlawanan apapun.
Akhirnya dengan segala upaya dan semangat yang
kuat, dua rumah yang terbakar itu telah dapat
dipadamkan. Semua orang terlihat menarik nafas lega,
1166 masih ada beberapa bagian yang dapat diselamatkan.
Namun baru saja mereka merasakan kelegaannya,
tiba-tiba saja seorang anak lelaki tanggung berlari
menemui Ki Buyut. "Ayah "..," Terlihat anak lelaki itu
dengan air wajah penuh kegundahan itu memeluk Ki
Buyut yang ternyata ayahnya sendiri.
"Katakan apa yang terjadi", berkata Ki Buyut sambil
mengguncang tubuh anak lelakinya.
"Rumah kita didatangi perampok", berkata anak lelaki
itu kepada Ki Buyut. Maka sadarlah Ki Buyut dan semua warga yang ada,
bahwa mereka telah diperdayai oleh para perampok.
Terlihat Ki Buyut dan hampir semua orang berlari menuju
rumah Ki Buyut. Sambil berlari, pikiran Ki Buyut hampir
kosong, yang ada adalah secepatnya sampai dirumah
dan melihat apa yang telah terjadi. Apapun yang terjadi
!!!. Hanya itu yang ada di benak Ki Buyut.
Ketika masuk kehalaman muka rumahnya, dilihat
suasana begitu lengang. Dengan tidak sabaran lagi Ki
Buyut sudah langsung menerobos masuk kerumahnya
sendiri. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya ketika
dilihatnya istri dan kedua orang pembantunya masih
dalam keadaan terikat tidak cidera sedikitpun. Sementara
itu dibelakang Ki Buyut berturut-turut datang beberapa
orang lelaki warganya. "Kamu tidak apa-apa Nyi?", bertanya Ki Buyut
kepada istrinya sambil membuka tali yang mengikat
tubuh istrinya. "Mereka telah mengambil semua harta milik kita",
berkata Istrinya yang masih belum hilang rasa
gemetarnya. 1167 "Kita telah diperdayai", berkata Ki Buyut dengan
wajah penuh kegeraman. "Mari kita kejar, mereka pasti belum jauh", berkata
salah seorang warganya mengajak semua orang
mengejar para perampok. "Tapi kita tidak tahu kemana arah mereka", berkata
seorang lagi yang sebenarnya pernyataannya itu berawal
dari rasa kepengecutan hati menghadapi para perampok.
Namun pernyataan itu telah menyiram semangat
semua orang yang telah bersiap-siap untuk melakukan
pengejaran. Terlihat beberapa orang sudah menjadi
ragu, akhirnya semua mata tertuju kepada Ki Buyut.
"Bila kita berhasil mengejarnya, apakah kita mampu
melawannya?", berkata Ki Buyut melempar lagi
keputusannya kepada warganya.
Terlihat semua orang berpikir, beberapa orang malah
bertanya pada diri sendiri apa keuntungannya mengejar
para perampok, bukankah dirinya tidak ada kerugian
apapun" Ki Buyut dapat membaca keraguan warganya, juga
merasa sayang apabila ada korban nyawa dari peristiwa
itu. "Kita tidak tahu kekuatan mereka, besok kita
bicarakan bersama Ki Demang agar peristiwa ini tidak
terulang kembali", berkata Ki Buyut mengambil
keputusan untuk tidak mengejar para perampok.
Sementara itu para perampok sudah semakin jauh,
mereka tidak kembali ke persembunyiannya yang lama,
seperti gerombolan serigala yang mengembara, mereka
terus melangkah di kegelapan malam dan akhirnya
menemukan tempat persembunyian yang baru.
Demikianlah, seperti segerombolan serigala di
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
1168 padang perburuannya, mereka begitu sangat ditakuti.
Mereka datang dan pergi seperti angin, menghilang
tanpa jejak. Beberapa Padukuhan telah mendapatkan
giliran keonaran mereka yang cukup meresahkan.
Hingga begitu resahnya di Balidwipa saat itu kelompok
mereka disebut sebagai Barong Asu Ngelawang, sebuah
nama yang sangat mudah diingat dan begitu
menakutkan, terutama di saat menjelang malam.
"Saatnya kita mencuci tangan", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Amping di sebuah persembunyiannya.
"Aku belum dapat menangkap apa yang Paman Kebo
Arema maksudkan", berkata Mahesa Amping.
"Lakon Barong Asu Ngelawang harus diakhiri",
berkata Kebo Arema dengan memandang Mahesa
Amping menelisik apakah Mahesa Amping sudah dapat
menangkap arah pembicaraannya.
"Siapakah yang dapat mengakhirinya?", bertanya
Mahesa Amping. "Pasukan prajurit Singasari", berkata Kebo Arema
dengan suara mantap. "Pasukan yang dipimpin Kakang Mahesa Bungalan
datang dua hari lagi", berkata Mahesa Amping.
"Kita memanfaatkan Pasukan tidurmu yang berada di
Tanah Melaya", berkata Kebo Arema dengan wajah
penuh kecerahan. "Aku melihat di kepala Paman sudah terkumpul
sebuah babad yang mengasyikkan", berkata Mahesa
Amping kepada Kebo Arema yang dipercaya sudah
punya rencana cemerlang. Maka seperti yang diduga oleh Mahesa Amping,
ternyata Kebo Arema sudah punya sebuah rencana.
1169 Dengan rinci Kebo Arema menjabarkannya apa yang
harus dilakukan dalam rangka perang pencitraan itu.
"Kita harus bergerak cepat sebelum Penguasa Pura
Besakih dapat berpikir jernih", berkata Kebo Arema
mengakhiri penjelasannya.
"Hari ini aku akan berangkat ke Tanah Melaya
membawa pasukanku", berkata Mahesa Amping kepada
Kebo Arema. Demikianlah, pada hari itu juga Mahesa Amping telah
bersiap- siap untuk berangkat ke Tanah Melaya.
Terlihat seorang penunggang kuda telah keluar dari
sebuah hutan menyusuri bulakan panjang dan seperti
terbang menghentakkan kudanya berlari kencang
membelah padang ilalang, menyusuri lembah gunung
dan ngarai. Penunggang kuda itu ternyata adalah Mahesa
Amping yang telah banyak mengenal setiap tempat di
Balidwipa ketika bersama Empu Dangka sering
melakukan pengembaraan, nganglang ke berbagai
tempat. Mahesa Amping dalam perjalanannya terlihat
menghindari beberapa Padukuhan, dengan sangat
terpaksa harus jalan melingkar agar tidak memasuki
sebuah Padukuhan. Mahesa Amping sepertinya
mengejar waktu, namun di beberapa tempat sempat
beristirahat untuk menyegarkan kembali kudanya.
Mahesa Amping terus melakukan perjalanan meski
langit diatasnya telah berganti malam.
"Sebentar lagi kita akan sampai", berkata Mahesa
Amping sambil mengusap perut kudanya berhenti di
sebuah bukit kecil dikeremangan saat pagi menjelang.
1170 Terlihat Mahesa Amping mengikat tali kudanya di sebuah
batang kayu apok. Diatas sebuah rerumputan yang
masih basah berembun Mahesa Amping perlahan
merebahkan tubuhnya bersandar di sebuah batu besar.
Perlahan cahaya matahari diatas bukit kecil itu
menghangatkan rerumputan dan batu yang basah.
Pemandangan pagi hari di Bukit kecil yang hijau itu
begitu cerah. "Kuda yang kuat", berkata Mahesa Amping kepada
dirinya sendiri sambil membiarkan kudanya yang terlihat
tengah mengunyah rumput hijau dibawah pohon apok.
"Mari kita melanjutkan perjalanan", berkata Mahesa
Amping sambil menghentakkan perut kudanya dengan
kakinya. Terlihat Mahesa Amping tengah menuruni bukit kecil
yang hijau itu yang banyak ditumbuhi rerumputan dan
batu yang berlumut kehijauan diteduhi banyak pohon
besar yang rindang. "Kukira kamu masih lama baru datang kembali",
berkata Mahesa Semu yang menyambut kedatangan
Mahesa Amping di hutan kecil di Tanah Melaya.
"Kemarin kami menerima lima puluh ekor kuda",
berkata Wantilan bercerita tentang beberapa orang telah
membawa lima puluh ekor kuda untuk mereka.
"Ternyata Ki Jaran Waha dapat diandalkan", berkata
Mahesa Amping bercerita tentang salah satu sahabatnya
di Balidwipa. Akhirnya setelah beristirahat yang cukup, Mahesa
Amping bercerita dan menjelaskan beberapa hal tentang
rencananya bersama Kebo Arema melakukan perang
pembukaan yang disebutnya sebagai perang pencitraan.
1171 "Akan menjadi lakon yang sangat seru, sepasukan
prajurit Singasari menghentikan gerombolan Barong Asu
Ngelawang", berkata Wantilan menyukai rencana itu.
"Paman Kebo Arema berbakat menjadi seorang
dalang", berkata Sembaga ikut mengomentari.
Demikianlah, pada hari itu sekelompok pasukan kecil
prajurit Singasari berkuda telah keluar dari sebuah hutan.
Panas matahari yang terik mengiringi perjalanan
mereka menyusuri lembah dan ngarai, mendaki
perbukitan dan berlari kencang membelah padang
ilalang. Di beberapa tempat mereka berhenti sebentar
untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka
beristirahat, setelah itu mereka kembali melanjutkan
perjalanan mereka. Sengaja mereka melewati jalan-jalan yang sepi yang
tidak pernah dilewati oleh orang pada umumnya. Kadang
mereka harus jalan melingkar menghindari sebuah
padukuhan. "Apakah perjalanan kita masih panjang?", bertanya
Wantilan kepada Mahesa Amping ketika mereka tengah
menyusuri sebuah lembah dikaki sebuah bukit di malam
hari. "Menjelang dini hari kita akan sampai", berkata
mahesa Amping. Demikianlah, mereka terus berjalan melewati malam
diatas punggung kuda menyususri jalan-jalan yang sepi.
Akhirnya sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa
Amping, menjelang dinihari mereka telah sampai dimuka
hutan tempat gerombolan Kebo Arema menyembunyikan
dirinya. "Kamu tiba tepat waktu", berkata Kebo Arema
1172 menyambut Mahesa Amping dan kawan-kawannya yang
baru tiba. "Sepanjang malam kuda-kuda ini berjalan tanpa
istirahat", berkata Mahesa Amping sambil melompat
turun dari kudanya. "Beristirahatlah, masih ada waktu menjelang tengah
malam", berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping.
Terlihat rombongan yang baru datang itu telah
berpencar mencari beberapa tempat di hutan itu untuk
sekedar beristirahat. Sementara beberapa anak buah
Badrun tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi yang
lebih banyak agar dapat juga dinikmati oleh rombongan
yang baru tiba itu. "Malam ini di Kademangan Padang Bulia akan ada
panggung seni gambang, mereka sudah membangun
tajuk besar di rumah Ki Demang", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Amping yang sudah nampak segar
setelah cukup beristirahat.
"Jadi pagelaran kita ikut meramaikan hiburan di
rumah Ki Demang?", berkata Mahesa Amping kepada
Kebo Arema. Sementara itu sebagaimana yang dikatakan oleh
Kebo Arema, di halaman muka rumah Ki Demang telah
berdiri sebuah tajuk besar, malam itu akan ada hiburan
kesenian gambang yang selalu digelar menjelang
pertengahan tahun bersamaan usainya pelaksanaan
upacara Odalan. Senja yang bening pun akhirnya pudar perlahan
meninggalkan wajah bumi berganti menjadi kekelaman
malam. Terlihat oncor berbaris sepanjang jalan Padukuhan
1173 induk menuju kediaman Ki Demang tempat keramaian
akan berlangsung. Beberapa orang sudah banyak
berkumpul di banjar desa meski pertunjukan masih lama
lagi. Kegembiraan terlihat pada wajah-wajah mereka.
Semakin malam, keramaian semakin bergeser
kerumah kediaman Ki Demang dimana seperangkat
gamelan gambang sudah siap diatas panggung. Terlihat
berduyun duyun orang mulai berdatangan baik dari
Padukuhan terdekat maupun juga dari Padukuhan
terjauh. Sepertinya semua orang di Kademangan
Padang Bulia tidak akan melepaskan hiburan ini,
mendengarkan suara pusaka gamelan gambang Ki
Seruduk yang hanya dibunyikan hanya pada saat usai
upacara odalan. Pada malam itu juga Ki Demang telah mengundang
Ki Jero Pitutur, seorang dalang dari Balidwipa yang
sudah kondang namanya. Demikianlah, menjelang malam hiburan itu diawali
sambutan sepatah dua patah kata Ki Demang yang
dilanjutkan dengan pembacaan mantra-mantra suci
membuka kain tabir pusaka gamelan Ki Seruduk.
Bersoraklah semua warga ketika terdengar iringan
suara gamelan gambang saling bersambut satu dengan
yang lainnya sebagai irama pembuka.
Sorak sorai pun bertambah meriah manakala sang
dalang kondang, Ki Jero Pitutur menyampaiakan sekapur
sirihnya bahwa lakon malam ini berjudul alap-alapan
Sukesi. Namun Ki Jero Pitutur diatas panggung seperti
termangu- mangu manakala suara sorak dan sorai yang
bergemuruh itu berubah menjadi sua jeritan dari para
penonton dibawahnya yang terlihat seperti sekumpulan
1174 semut diperciki air, bubar kucar- kacir dalam segala arah.
Ki Demang bersama para tamu kehormatannya
terlihat berdiri ingin tahu apa yang terjadi diluar sana
yang membuat para penonton berhamburan menyelamatkan dirinya bahkan ada yang terdesak
terhimpit hingga kedepan panggung.
Ternyata keingin tahuan Ki Dalang atas apa yang
telah terjadi akhirnya terjawab juga, ketika para
kerumunan penonton sudah terkuak habis, jarak
pandangnya jadi lebih jauh dan tidak terhalang lagi.
Terperanjatlah Ki Demang ditajuknya dan Ki Jero
Pitutur dari atas panggung melihat diluar pagar halaman
rumah Ki Demang telah terjadi pertempuran yang sengit.
Ki Demang dan Ki Jero Pitutur melihat lima orang sudah
terkepung oleh sekelompok pasukan berkuda.
Tiba-tiba saja dua orang dari lima orang yang sedang
terkepung itu melenting jauh keluar dari kepungan masuk
ke halaman rumah Ki Demang tepat di bawah panggung.
Kedua orang itu terlihat memakai cadar hitam
diwajahnya. "Gerombolan Barong Asu Ngelawang!!", berkata
berbarengan dua orang saudagar dari Tajuk merasa
mengenal kedua orang bercadar hitam itu
Sementara itu melihat dua orang lolos dari kepungan,
dua orang berkuda berusaha mengejarnya ikut masuk ke
halaman rumah Ki Demang, sementara yang lainnya
masih terus semakin rapat mengepung tiga orang lainnya
yang terlihat semakin terdesak.
"Menyerahlah, kami prajurit Singasari akan
menangkapmu", berkata salah seorang prajurit sambil
turun dari kudanya yang ternyata adalah Mahesa
1175 Amping. "Menyerahlah, semua anak buahmu sudah kami
lumpuhkan", berkata seorang prajurit lagi yang terlihat
sudah cukup umur yang ternyata adalah Kebo Arema
telah turun dari kudanya.
Terlihat dua orang prajurit itu perlahan mendekati dua
orang bercadar hitam yang sudah terpojok di tepi
panggung. "Mari kita bertanding secara adil, satu lawan satu
tidak main kroyokan", berkata salah seorang dari orang
bercadar hitam itu. Tanpa perkataan lain lagi, terjadilah pertempuran
yang seru satu lawan satu antara prajurit Singasari dan
orang bercadar itu. Sementara itu diluar pagar halaman Ki Demang,
sepasukan prajurit Singasari terlihat sudah dapat
menguasai tiga orang yang tersisa yang telah terkepung
yang terlihat sudah putus asa langsung menyerahkan
dirinya. Maka dengan segera para prajurit mengikat
tubuh mereka.
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masih diluar pagar halaman, telah berdatangan lagi
beberapa prajurit Singasari sambil membawa kawanan
Barong Asu Ngelawang yang sudah dalam keadaan
tubuh terikat. Terlihat beberapa orang warga yang telah pergi
berhamburan menjauh telah memberanikan dirinya
datang mendekat kembali. Mereka menyaksikan para tawanan prajurit Singasari
yang terikat tidak berdaya. Akhirnya keberanian mereka
bertambah untuk menyaksikan pertempuran didalam
halaman rumah Ki Demang yang masih berlangsung
1176 dengan serunya. Malam itu diterangi banyak oncor yang ada
sudut panggung dan tajuk besar serta cahaya
purnama telah cukup menerangi pertempuran satu
satu antara prajurit Singasari melawan dua
bercadar hitam. ditiap bulan lawan orang Ki Demang yang tidak buta sama sekali dengan olah
kanuragan melihat bahwa kedua orang bercadar hitam
itu sudah semakin terdesak.
"Kedua orang bercadar itu sudah semakin terdesak,
tataran ilmu kedua prajurit itu masih berada diatas
tataran lawannya", berkata Ki Demang memperhatikan
kedua pertempuran itu. Ternyata dugaan Ki Demang tidak meleset jauh,
terlihat lawan Mahesa Amping sudah semakin terdesak
dan dalam sebuah benturan senjata tidak mampu lagi
menguasai senjata ditangannya.
Trang !!!! Terdengar suara dua senjata beradu. Dan terlihat
sebuah golok panjang terlempar jauh.
"Menyerahlah", berkata Mahesa Amping kepada
lawannya yang terlihat memegang tangannya yang
kesakitan terasa kesemutan.
"Aku menyerah", berkata orang bercadar itu kepada
Mahesa Amping. Terlihat Mahesa Amping dengan sebuah isyarat
memanggil salah seorang prajurit yang terdekat untuk
mengikat kedua tangan orang bercadar itu yang sudah
menyerah. Sementara itu Kebo Arema masih terlihat melayani
1177 lawannya. Ternyata Kebo Arema dan lawannya itu
merasa sayang menyudahi pertempurannya ketika
dilihatnya lingkaran orang yang menontonnya sudah
semakin bertambah banyak.
"Paman Kebo Arema bukan cuma seorang dalang
yang mumpuni, sekaligus pemain sandiwara yang hebat",
berkata Mahesa Amping dalam hati yang melihat Kebo
Arema seperti sungguhan melayani lawannya.
Namun ternyata Kebo Arema dan lawannya telah
bosan bermain-main, maka dalam sebuah benturan
senjata terlihat lawannya telah melepaskan senjata golok
panjangnya melayang tinggi.
Ternyata kesempatan itu dipergunakan oleh Kebo
Arema sebagai hiburan tambahan, terlihat dengan
gesitnya Kebo Arema melompat keudara menangkap
golok panjang yang masih melayang tinggi itu dan
melakukan dua kali putaran tubuh diudara.
Deb".!!! Kedua kaki Kebo Arema telah turun dan jatuh kebumi
dengan mantapnya. Seluruh penonton yang menyaksikan adegan itu
bertepuk tangan tidak sadar saking kagum dan
terkesimanya melihat cara Kebo Arema merebut golok
panjang lawannya diudara dan juga cara kebo Arema
berputar diudara dan jatuh dengan keadaan yang
mantap di tanah. "Kamu memang bukan lawanku, aku menyerah",
berkata lawannya sambil mengangkat kedua tangannya
untuk siap diikat. Terlihat Kebo Arema memberi isyarat kepada salah
seorang prajurit Singasari untuk mengikatnya.
1178 Buka !!! Buka !!! Buka "..!!!
Terdengar teriakan semua orang yang melihat dua
orang bercadar sudah dalam keadaan terikat.
Maka Kebo Arema yang bergaya pahlawan
panggung segera mendekati dua orang bercadar kain
hitam itu. Perlahan dan satu persatu Kebo Arema membuka
kain cadar penutup wajah kedua orang gerombolan
Barong Asu Ngelawang itu. Ketika kain cadar hitam
sudah terlepas, terlihat kedua orang itu menundukkan
wajahnya. Ternyata kedua orang itu adalah Badrun dan salah
seorang anak buahnya. "Katakan siapakah yang menyuruh kalian membuat
keresahan di Balidwipa", berkata Kebo Arema lantang
sepertinya menginginkan semua orang mendengarnya.
"Raja Adidewalancana yang memerintah kami",
berkata Badrun menjawab pertanyaan Kebo Arema.
"Katakan sekali lagi agar semua orang mendengar
dan menjadi saksi", berkata Kebo Arema dengan suara
membentak "Raja Adidewalancana!!", berkata Badrun dengan
suara lantang. "Bagus, semua orang sudah dapat mendengarnya",
berkata Kebo Arema sambil bertolak pinggang.
Sementara itu terlihat para prajurit telah membawa
semua gerombolan yang tertawan ke halaman rumah Ki
Demang. "Terima kasih telah melumpuhkan gerombolan yang
sangat meresahkan kami", berkata Ki Demang yang
1179 datang mendekati Kebo Arema dan memperkenalkan
dirinya sebagai Demang di Padang Bulia itu.
"Kami mohon maaf telah merusak acara hiburan Ki
Demang", berkata Kebo Arema dengan gaya seorang
Senapati sungguhan. "Bermalamlah di rumah kami, pasukanmu nampaknya perlu beristirahat", berkata Ki Demang
menawarkan kemurahannya. "Pasukan kami sangat banyak", berkata Kebo Arema
bergaya ragu-ragu. "Lumbung kami tidak akan kekurangan, hitung-hitung
sebagai rasa terima kasih kami", berkata Ki Demang
setengah memaksa. "Semoga tidak merepotkan Ki Demang", berkata
Kebo Arema dengan gaya seperti sedikit terpaksa.
Sementara itu malam telah terasa sudah mulai larut,
beberapa orang warga terlihat sudah banyak yang telah
kembali pulang ke Padukuhannya masing-masing. Hanya
tersisa mereka yang tinggal di Padukuhan terdekat yang
merasa punya kewajiban ikut mengawasi para tawanan.
----------oOo---------JILID 13
Dipagi harinya, pasukan Singasari masih dijamu oleh
Ki Demang. Dalam kesempatan perbincangan Kebo
Arema berhasil meyakinkan Ki Demang bahwa Pasukan
Singasari bermaksud untuk membersihkan kekuasaan
perdagangan yang selama ini dikendalikan lewat
penguasa Pura Besakih dan pelindungnya para
saudagar dari Tanah Hindu.
1180 "Yakinlah, pasukan Singasari tidak akan mengganggu ketenteraman warga Balidwipa", berkata
Kebo Arema kepada Ki Demang.
Barulah menjelang matahari sudah semakin
menanjak, tanah bumi sudah terang benderang, Kebo
Arema dan pasukannya mohon pamit diri.
"Para tawanan akan kami amankan untuk sementara
waktu", berkata Kebo Arema kepada Ki Demang ketika
akan berpisah meninggalkan kademangan Padang Bulia.
Demikianlah, pasukan Singasari terlihat telah
semakin jauh dari Kademangan Padang Bulia bermaksud
kembali ke Tanah Melaya. "Ada baiknya kamu membawa beberapa orang ke
Pura Indrakila, mungkin mereka dapat banyak
membantu", berkata Kebo Arema memberi saran kepada
Mahesa Amping. "Aku akan mengajak Kakang Mahesa Semu, Paman
Wantilan dan Paman Sembaga", berkata Mahesa
Amping menyetujui usul dari Kebo Arema.
Akhirnya, disebuah persimpangan jalan mereka
terpaksa berpisah. "Kebersamaan kami hanya sampai disini", berkata
Mahesa Amping ketika berada di persimpangan jalan.
"Jalur sandi kita tidak boleh terputus", berkata Kebo
Arema mengingatkan Mahesa Amping.
"Aku akan memberi kabar dalam dua tiga hari ini",
berkata Mahesa Amping yang berhenti di persimpangan
jalan bersama Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga.
1181 Sementara itu matahari diatas langit sudah mulai
bergeser turun, cakrawala langit biru begitu cerah
dipenuhi gerumbul awan putih.
Terlihat bunga-bunga liar dan tangkai ilalang menari
tertiup angin yang bertiup sepoi basah.
"Mari kita melanjutkan perjalanan", berkata Mahesa
Amping kepada Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga
ketika melihat Kebo Arema dan Pasukannya telah mulai
menjauh menghilang di sebuah tikungan jalan.
Perjalanan menuju Pura Indrakila memang tidak
begitu panjang, apalagi bila berkuda dan berjalan diatas
tanah rata yang biasa digunakan oleh para saudagar
menarik gerobag kudanya. Maka menjelang sore hari mereka sudah tiba
dibawah kaki gunung Pura Indrakila.
Sementara itu Kebo Arema dan pasukannya juga
mengalami kelancaran dalam perjalanannya. Mereka pun
memilih jalan tanah rata yang biasa digunakan para
saudagar menarik gerobak kudanya.
Baru ketika malam telah mulai turun, Kebo Arema
dan pasukannya telah kembali di Hutan Tanah Melaya.
"Hari ini kamu dan semua anak buahmu telah selesai,
aku tidak akan menghalangi kemanapun kalian akan
pergi", berkata Kebo Arema kepada Badrun.
Terlihat Badrun menarik nafas panjang, tidak tahu
apa yang tengah dipikirkannya.
"Dimata orang-orang Pura Besakih kami adalah
penghianat, mereka akan mencari kami sebagai buronan.
Tempat yang paling baik sampai saat ini adalah berdiri
bersama tuan", berkata Badrun dengan wajah penuh
harap. 1182 Bergantian, saat itu Kebo Arema yang terlihat
menarik nafas panjang. Apabila ada Mahesa Amping
mungkin dapat berbagi pendapat.
Terlihat Kebo Arema tengah berpikir keras apa yang
harus dikatakan kepada Badrun yang masih menunggu
jawaban dari Kebo Arema. "Baiklah, kalian ku terima",
berkata Kebo Arema singkat
Bukan main gembiranya Badrun mendengar
pernyataan Kebo Arema yang singkat. "Terima kasih
tuan", berkata Badrun penuh kegembiraan."Aku akan
menyampaikan berita gembira ini kepada semua anak
buahku", berkata kembali sambil mohon pamit untuk
menemui semua anak buahnya.
Sementara itu, di Pura Besakih berita tentang
tertangkapnya gerombolan Barong Asu Ngelawang
sudah sampai di telinga mereka.
"Mereka telah membajak orang-orang upahan kita",
berkata Raja Adidewalancana dengan nada penuh
kekecewaan. "Bahkan mereka telah membawa ular-ular itu
kerumah kita sendiri", berkata Dewa Bakula menambahkan. "Peperangan awal ini telah mereka menangkan,
keberpihakan penduduk sudah mereka rebut. Saat ini
yang kita harapkan adalah bantuan dari luar". Berkata
Adidewalancana kepada Dewa Bakula.
"Masih ada harapan, pukulan pertama tidak
menjamin sebuah kemenangan", berkata Dewa Bakula
memberi harapan kepada Raja Adidewalancana.
1183 "Yang pasti kita harus lebih hati-hati lagi, kekuatan
orang-orang Singasari tidak boleh diremehkan", berkata
Adidewalancana. "Para saudagar dari Tanah Hindu tidak akan
meninggalkan kita", berkata Dewa Bakula memberikan
keyakinan kepada Raja Adidewalancana agar tidak
begitu khawatir. Ternyata ucapan Dewa Bakula bukan cuma usapan
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jempol, lima ratus orang prajurit bayaran pada hari itu
telah memasuki perairan Balidwipa lewat pantai
baratnya. Malam telah menyisakan sedikit kegelapannya
manakala semburat merah fajar di ufuk timur telah
terbangun di cakrawala langit Pura Indrakila. Mahesa
Amping terlihat sudah terbangun dan duduk di sisi
peraduannya. Telinganya yang tajam mendengar suara
burung hantu tidak begitu jauh dari tempatnya.
Terlihat Mahesa Amping telah keluar dari biliknya
langsung menuju pendapa Bale Guru. Dikeremangan
pagi itu Mahesa Amping melihat di halaman muka
seseorang lelaki mendekati pendapa Bale Guru.
"Kukira telingaku yang salah mendengar suara
burung hantu menjelang pagi", berkata Mahesa Amping
kepada orang itu yang ternyata adalah Ki Jaran Waha.
"Maaf telah membangunkanmu", berkata Ki Jaran
Waha sambil melangkah menaiki anak tangga pendapa.
Cahaya dua buah pelita dipendapa Bale Guru itu
sudah terlihat redup, warna merah cakrawala langit
diatas halaman muka Bale Guru sudah mulai merata.
1184 "Aku sudah biasa bangun di awal pagi", berkata
Mahesa Amping sambil mempersilahkan Ki Jaran Waha
duduk bersamanya. "Aku datang membawa dua buah berita", berkata Ki
Jaran Waha kepada Mahesa Amping setelah duduk
bersama di pendapa. "Aku tidak sabar untuk mendengarnya", berkata
Mahesa Amping. Namun belum sempat Ki Jaran Waha menyampaikan
beritanya, dari pintu butulan muncul Ki Arya Sidi.
"Ternyata sudah ada tamu di pagi hari", berkata Ki Arya
Sidi yang datang menghampiri.
"Konon katanya sarapan pagi di Pura Indrakila sangat
istimewa, itulah sebabnya aku mampir kemari diawal
pagi", berkata Ki Jaran Waha penuh senyum
memperlihatkan sebaris giginya yang rata dan putih.
Suasana di Pendapa bale Guru itu menjadi lebih
ramai lagi manakala Mahesa Semu, Wantilan dan
Sembaga ikut bergabung. Mahesa Amping segera
memperkenalkan Ki Jaran Waha kepada Sembaga,
Wantilan dan Mahesa Semu.
"Mereka bertiga dari Padepokan Bajra Seta", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha.
"Mahesa Amping telah bercerita tentang Ki Jaran
Waha sebagai seorang tengkulak kuda yang jempolan",
berkata Wantilan bercerita tentang lima puluh ekor kuda
kiriman Ki Jaran Waha. "Aku memilih kuda terbaik untuk kalian", berkata Ki
Jaran Waha penuh gembira mendapat julukan baru
sebagai tengkulak kuda. 1185 Suasana diatas pendapa Bale Guru Pura Indrakila itu
menjadi lebih meriah lagi manakala seorang pelayan
membawa minuman dan makanan hangat.
"Akhirnya yang kutungu datang juga", berkata Ki
Jaran Waha sambil memperhatikan pelayan lelaki yang
tengah meletakkan makanan dn minuman di pendapa
Bale Guru. "Mudah-mudahan Ki Jaran Waha tidak melupakan
berita yang akan disampaikan setelah perutnya terisi",
berkata Mahesa Amping bercanda yang disambut tawa
dari semuanya. Terlihat semua menikmati hidangan pagi itu di
pendapa Bale Guru Pura Indrakila.
"Sepagi ini biasanya aku sudah turun ke sawah,
sementara disini duduk menikmati hidangan pagi",
berkata Sembaga sambil meneguk wedang sere
hangatnya. Sambil menikmati hidangan pagi itu, akhirnya Ki
Jaran menyampaikan dua buah berita penting kepada
Mahesa Amping. "Berita pertama yang kubawa adalah pemberitahuan
bahwa aku sudah menyiapkan dua buah lumbung untuk
para prajurit Singasari", berkata Ki Jaran Waha kepada
Mahesa Amping "Terima kasih", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Jaran Waha. "Berita kedua, beberapa orangku telah melihat
sebuah jung besar memasuki perairan pantai barat
Balidwipa", berkata Ki Jaran Waha dengan wajah penuh
ketegangan kepada Mahesa Amping.
1186 Terlihat semua mata di pendapa Bale Guru itu tertuju
kepada Mahesa Amping, berharap Mahesa Amping
dapat memberikan keputusan dan pandangannya.
"Kita berbagi tugas", berkata Mahesa Amping setelah
berpikir sejenak. Semua yang ada di atas pendapa Bale
Guru Pura Indrakila itu sepertinya tidak sabaran menanti
perkataan Mahesa Amping selanjutnya.
"Ki Jaran Waha didampingi Kakang Mahesa Semu
berangkat ke Bandar Buleleng untuk memandu dimana
letak titik lumbung disamping juga untuk menyampaikan
bahwa pihak lawan telah mendatangkan kekuatan dari
luar", berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha
dan Mahesa Semu. Terlihat Mahesa Amping mengalihkan pandangannya
ke arah Wantilan dan Sembaga. Diam-diam Sembaga
merasa bangga bahwa anak kecil momongannya itu
telah tumbuh dewasa, penuh kepercayaan diri yang
tinggi. "Paman Wantilan dan Paman Sembaga ikut
bersamaku kembali ke Tanah Melaya. Mudah-mudahan
kita dapat menahan untuk sementara kekuatan lawan
yang datang dari luar itu", berkata Mahesa Amping
kepada Wantilan dan Sembaga.
"Kita belum mengetahui berapa besar kekuatan
lawan, menurut orang-orangmu berapa perkiraan
kekuatan yang akan masuk itu", berkata Ki Arya Sidi
kepada Ki jaran Waha. "Sekitar lima ratus orang", berkata Ki Jaran Waha
memperkirakan. "Kekuatan kita di Tanah Melaya saat ini hanya
berkisar seratus orang", berkata Mahesa Amping.
1187 "Jumlah tidak selalu mendukung kemenangan",
berkata Ki Arya Sidi. "Tugas kita hanya menghambat mereka, sambil
menanti bantuan dari Bandar Buleleng", berkata Mahesa
Amping penuh percaya diri dan tidak merasa ada beban
yang berat. "Apakah aku dan para Sisya dapat diijinkan ikut
bersamamu ke Tanah Melaya?", bertanya Ki Arya Sidi
kepada Mahesa Amping. "Hanya sebatas untuk menambah pengalaman,
kurasa dapat kuijinkan", berkata Mahesa Amping dengan
perasaan berat hati membawa para Sisya ke medan
perang. "Ki Arya Sidi kuminta dapat mengawasi mereka",
berkata Mahesa Amping melanjutkan.
Maka pada hari itu juga Mahesa Amping dan
rombongannya telah keluar dari Pura Indrakila menuju
Tanah Melaya. Sementara itu Ki Jaran Waha dan
Mahesa Semu sudah berangkat lebih dulu melihat titik
persedian lumbung dan menyampaikan kabar ke Bandar
Buleleng. Sementara itu di Hutan Tanah Melaya, Kebo Arema
sudah mendapat berita tentang akan datangnya dua
buah jung lewat orang-orang Ki Subali yang juga telah
disebar mengamati keadaan.
"Apakah kamu dapat memperkirakan berapa jumlah
mereka?", bertanya Kebo Arema kepada utusan Ki
Subali. "Perkiraanku berkisar antara lima ratus orang",
berkata orang utusan Ki Subali itu.
"Terima kasih untuk beritanya", berkata Kebo Arema
ketika utusan itu pamit untuk kembali.
1188 Terlihat Kebo Arema memanggil Badrun dan
bercerita tentang berita akan masuknya orang-orang
upahan sebagaimana dirinya.
"Kamu lebih mengenal mereka dibandingkan aku",
berkata Kebo Arema kepada Badrun.
"Yang pasti mereka akan merapat diujung malam
menjelang pagi", berkata Badrun memperkirakan kapan
mereka akan merapat. "Garis pantai barat Balidwipa ini cukup luas, apakah
kamu dapat memperkirakan dimana mereka akan
merapat", bertanya kembali Kebo Arema kepada Badrun.
"Sepanjang pantai barat ini adalah pantai yang
landai, mereka akan merapat dengan jukung", berkata
Badrun yang telah punya banyak pengalaman dengan
daerah perairan di sekitar pantai barat Balidwipa.
"Kurasa pantai terbaik untuk merapat adalah pantai
Tanah Melaya ini", berkata kembali Badrun melanjutkan
penjelasan dan perkiraannya.
"Terima kasih, bersiaplah untuk menyambut
kedatangan mereka", berkata Kebo Arema kepada
Badrun. Maka pada hari itu juga Kebo Arema telah
mengumpulkan orang-orangnya yang terdiri para prajurit
Singasari, para pengikut Ki Jaran Waha dan anak buah
Badrun. "Hari ini kita akan menghadapi sebuah pasukan yang
lebih besar dari kita", berkata Kebo Arema dengan suara
yang lantang penuh kewibawaan. "Kita sambut mereka
dengan hujan panah selamat datang", berkata kembali
Kebo Arema memberikan penjelasan secara rinci
bagaimana menghadapi mereka. "Beristirahatlah, masih
1189 ada waktu menjelang akhir malam", berkata Kebo Arema
memberi kesempatan pasukannya untuk beristirahat
mempersiapkan diri. Dan waktu pun terus berlalu, di ujung senja suasana
hutan diujung pantai Tanah Melaya itu sudah menjadi
jauh lebih gelap dibandingkan suasana diluar hutan yang
telah redup dan bening. Namun ketika malam telah turun
menyelimuti Tanah Melaya, suasana kegelapan sudah
menjadi merata. Didalam suasana malam itulah rombongan Mahesa
Amping telah tiba di Hutan Tanah Melaya.
"Pihak lawan akan segera merapat, itulah sebabnya
kami datang kemari", berkata Mahesa Amping kepada
Kebo Arema yang menyambut kedatangannya.
"Kami tengah mempersiapkan diri", berkata Kebo
Arema yang menjelaskan rencananya menghadapi
pasukan lawan. "Ternyata Sri Baginda Maharaja Singasari tidak salah
mata, meminta Paman Kebo Arema mendampingiku",
berkata Mahesa Amping yang melihat kesiapan pasukan
didalam hutan itu. "Masih ada waktu untuk kalian beristirahat setelah
menempuh perjalanan panjang", berkata Kebo Arema
mempersilahkan rombongan Mahesa Amping untuk
beristirahat. Setelah mendapatkan beberapa penjelasan dari
Mahesa Amping apa yang harus mereka persiapkan,
rombongan yang baru tiba itu terlihat mencari tempat
untuk beristirahat. Dan waktupun terus merambat perlahan menjelajahi
perjalanan malam yang terus berlalu dalam kesenyapan
1190 dan kesunyiannya. Suara binatang malam kadang
terdengar ditingkahi semilir angin dingin menembus lewat
celah dahan ranting di hutan Tanah Melaya itu.
"Kami melihat ada dua buah jung besar telah
menjatuhkan jangkarnya di perairan pantai Tanah
Melaya", berkata salah seorang yang telah ditugaskan
mengawasi daerah perairan sekitar pantai.
"Kembalilah ketempatmu, kami menanti kabar
selanjutnya", berkata Kebo Arema kepada orang itu yang
langsung kembali bertugas mengamati perairan.
Terlihat Kebo Arema memeriksa kembali kesiapan
pasukannya. Sementara itu malam terus merambat,
hampir semua orang didalam hutan itu merasakan
perasaan yang mencekam. Berbagai pikiran dan anganangan selalu menyinggahi benak mereka terutama
kesepuluh orang muda para sisya dari Pura Indrakila.
"Mereka akan menemui pertempuran sebenarnya", berkata Ki Arya Sidi dalam hati.
yang Ternyata perkiraan Badrun tidak meleset jauh, disaat
dini hari kala hari masih begitu gelap, di keremangan
suasana di ujung malam itu orang-orang yang diutus
untuk mengamati keadaan perairan telah melihat begitu
banyak jukung mendekati kearah pantai.
"Mereka masih jauh dari pantai", berkata salah
seorang petugas kepada kawannya yang terlihat tengah
menyiapkan panah sanderannya.
Maka ketika terlihat jukung-jukung kecil itu telah
mendekati garis pantai, maka terlihatlah sebuah panah
sanderan berapi melesat keudara.
1191 Bukan main kagetnya orang-orang yang masih diatas
jukungnya itu melihat begitu banyak cahaya obor
dikegelapan malam memenuhi garis pantai.
Ternyata Kebo Arema telah memberikan perintah
untuk setiap orang membawa dua buah obor. Maka
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasukannya menjadi dua kali lipat jumlahnya terlihat dari
arah lepas pantai. Hampir setiap orang diatas jukung itu menjadi gentar,
dua tiga jukung yang sudah mendekati garis pantai
terlihat berbalik arah diikuti oleh yang lainnya. Maka
suasana di garis pantai itu begitu semraut antara jukung
yang datang dan yang bermaksud kembali.
Ditengah kekacauan dan kesemrautan itulah
meluncur hujan panah. Dan korban pun terus berjatuhan
menimpa para pendatang itu.
Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh tegap melompat ke
sebuah jukung yang akan berbalik badan, sebuah
sabetan pedang merobek leher orang yang terdepan dan
langsung roboh berlumuran darah.
"Siapapun yang berbalik arah akan mengalami nasib
serupa", berkata lelaki tegap itu dengan suara yang
mengguntur. Suara lelaki itu ternyata berhasil membuat orangorang yang bermaksud berbalik arah menjadi jerih,
apalagi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri
bagaimana pedang itu menebas salah seorang
daripadanya. Puluhan jukung terlihat semakin mendekati garis
pantai, bersamaan dengan itu pasukan Mahesa Amping
dan Kebo Arema telah berlari mendekati tepian pantai.
1192 Terlihat orang-orang diatas jukung itu sudah
melompat keatas air dangkal, bersamaan dengan itu
pasukan Mahesa Amping dan Kebo Arema telah sampai
di bibir pantai. Akhirnya perang brubuh tak dapat lagi dihindarkan,
tidak dapat dielakkan lagi. Suara beradunya senjata
sudah mulai terdengar bercampur dengan suara riuh
teriakan dan sumpah serapah sebagai bagian yang tak
terpisahkan dalam sebuah pertempuran di peperangan
manapun. "Tetapkan hatimu", berkata Ki Arya Sidi sambil
membantu salah seorang Sisya yang nampak terdesak
mencoba membangunkan kembali semangat dan
keberaniannya. Disisi yang lain, para prajurit Singasari
menunjukkan kemapanannya dalam bertempur
telah Sementara itu disisi yang lain lagi, para pengikut Ki
Jaran Waha ternyata adalah orang-orang pilih tanding,
tidak salah penilaian orang selama ini bahwa satu orang
pengikut Ki jaran Waha sepadan dengan sepuluh orang
prajurit. Mereka dengan mudahnya melumpuhkan satu
persatu lawan mereka yang datang mendekat.
Sampai saat itu pasukan Mahesa Amping dan Kebo
Arema masih dapat mempertahankan kedudukan mereka
diatas pasir pantai. Meski terlihat sebagai perang brubuh, pasukan
Mahesa Amping dan Kebo Arema masih terus
mempertahankan disiplin untuk tidak keluar dari
paugeran. Keadaan itu telah membuat pertahanan
mereka tetap utuh tidak mudah diterobos oleh lawan
mereka yang masih berada diatas air dangkal yang
1193 merupakan sebuah kelemahan yang
sebesar-besarnya untuk menekan lawan.
dimanfaatkan Yang paling naas adalah para pendatang yang
langsung bertemu badan dengan Mahesa Amping dan
Kebo Arema yang berada disisi yang berbeda. Terlihat
dua tiga orang langsung terjengkang rebah tidak
bergerak lagi terkena sabetan cambuk mereka. Mahesa
Amping dan Kebo Arema memaklumi jumlah pasukan
mereka yang sedikit, maka mereka telah berusaha
mengurangi jumlah lawan mereka.
Meski tanpa pengerahan ilmu puncak mereka,
siapapun yang datang menghampiri akan tersapu bersih
berhamburan terlempar. Namun semua itu tidak lepas dari pandangan mata
yang tajam seperti mata elang, seorang lelaki yang tegap
telah melihat bagaimana Mahesa Amping dan Kebo
Arema menghalau pasukannya.
"Aku harus menghentikannya", berkata orang itu yang
langsung berlari kearah Kebo Arema.
"Karaeng Taka", berkata orang itu ketika berhadapan
dengan Kebo Arema yang ternyata mengenalnya.
"Aku sudah menduga orang macam apa yang akan
datang di Tanah Melaya ini", berkata Kebo Arema yang
juga telah mengenal sosok lelaki dihadapannya.
"Kita memang selalu ada di tempat yang berbeda",
berkata orang itu sambil melayangkan pedangnya kearah
Kebo Arema. "Karaeng Jabo, terakhir kamu kulepaskan. Tapi tidak
untuk hari ini", berkata Kebo Arema sambil mengelak
menghindari sabetan pedang orang yang dipanggilnya
dengan sebutan Karaeng Jabo.
1194 "Gila!!", berkata Karaeng Jabo sambil berlompat
kebelakang menghindari sambaran cambuk Kebo Arema
yang sepertinya terus mengikutinya kemanapun ia
menghindar. "Aku tidak akan melepasmu lagi", berkata Kebo
Arema sambil terus mengejar Karaeng Jabo dengan
cambuknya. Sementara itu Mahesa Amping masih belum
mendapatkan lawan yang setanding, kemanapun arah
cambuknya tertuju pasti ada korban yang langsung roboh
terkena sabetan cambuknya.
"Secepatnya aku harus mengurangi jumlah mereka",
berkata Mahesa Amping dalam hati.
Maka Mahesa Amping telah menghentakkan
cambuknya dengan kekuatan yang jauh melebihi tataran
sebelumnya. Apa yang terjadi selanjutnya ?""
Setiap kali Mahesa Amping melepas cambuknya,
puluhan orang seperti tersibak roboh meski belum
terkena langsung ujung cambuknya.Ternyata angin
sambaran cambuk Mahesa Amping seperti prahara yang
kuat, menghantam siapapun yang mendekat. Dalam
waktu dekat sudah puluhan orang roboh jatuh diatas
pasir pantai. Dalam waktu yang singkat pasukan bayaran itu
sudah semakin menyusut berkurang.
Sembaga yang tidak jauh dari Mahesa Amping
seperti terlolong melihat sepak terjang Mahesa Amping.
"Anak itu belum menumpahkan puncak ilmunya",berkata Sembaga dalam hati merasa yakin
1195 bahwa Mahesa Amping hanya sepersepuluh dari kekuatan ilmunya.
mengeluarkan Mahesa Amping telah mampu memecah pertahanan
lawan dan mencerai beraikannya. Beberapa orang
menjadi jerih berusaha menghindari Mahesa Amping.
Sementara itu kembali kepada keadaan sepuluh anak
muda para sisya dari Pura Indrakila, berkat
pendampingan Ki Arya Sidi mereka semakin tatag
menghadapi pertempuran. Diawali oleh Wayan Dewa
Ayu yang sudah dapat berpikir jernih, satu persatu
kawan-kawannya pun telah terbawa dan dapat
mencurahkan segala kemampuan yang pernah dipelajari
selama ini. Dalam keadaan seperti itu mereka telah
berubah menjadi seekor anak macan yang telah
mengenal kemampuannya sendiri.
"Lihatlah pedang", berkata Wayan Dewa Ayu sambil
mengayunkan pedangnya kepada seorang lawannya.
Bukan main terperanjatnya lawannya itu, karena
belum sempat berbuat apapun pedang Wayan Dewa Ayu
telah sampai menggores panjang bagian dadanya.
Terdengar lawan Wayan Dewa Ayu berkata sumpah
serapah sebelum akhirnya roboh terjerambat mencium
pasir pantai yang basah. Kawan-kawan Wayan Dewa Ayu yang melihatnya
semakin menjadi percaya diri, satu persatu ikut
mengambil andil untuk berlomba mengurangi jumlah
pihak lawan. "Kalian jangan terlalu masuk kedalam, tetaplah dalam
kesatuanmu dan saling berjaga", berkata Ki Arya Sidi
yang sudah melihat perkembangan para sisyanya namun
masih terus mendampinginya.
1196 Demikianlah, pertempuran masih terus berlangsung.
Ternyata jumlah pendatang yang berlipat itu terlihat
sudah semakin menyusut. Sementara itu Kebo Arema yang tengah bertempur
melawan Karaeng Jabo diam-diam ikut mengawasi
seluruh pertempuran. "Aku harus segera menyelesaikannya", berkata Kebo
Arema dalam hati yang sudah lama menguasai jalannya
pertempuran hanya untuk berusaha melumpuhkan
lawannya hidup-hidup. Tar !!!! Terdengar suara cambuk yang dihentakkan oleh
Kebo Arema yang dilambari kekuatan tak terhingga dari
dalam dirinya. Tergetar Karaeng Jabo merasakan dadanya seperti
terguncang bersamaan dengan hentakan sandal pancing
cambuk Kebo Arema keudara.
"Kuberikan kesempatan untukmu lari atau terkubur di
pantai ini", berkata Kebo Arema sambil memegang ujung
cambuknya. "Aku memilih untuk membunuhmu", berkata Karaeng
Jabo sambil menghentakkan segala kejerihannya lewat
sebuah lompatan panjang dan pedang ditangan siap
membelah badan lawan. Tapi Kebo Arema lebih memikirkan keadaan
pasukannya yang sedikit, maka cambuknya telah
bergerak cepat seperti ular air melesat mengejar
mangsanya. Srettttttt !!!! 1197 Terlihat dada Karaeng Jabo tergores jejak darah
yang panjang masih dalam keadaan melompat diudara
dan jatuh sebelum sempat menggerakkan pedangnya.
Melihat pemimpinnya roboh tergeletak tak bergerak
bersimbah darah dan pasir pantai, telah membuat
semangat para pendatang sedikit goyah, bahkan ada
yang berpikir sangat pendek dan cetek dengan langsung
mundur lari mendekati jukungnya.
"Tidak ada yang menuntutku, aku sudah menerima
setengah dari upahku", berkata orang itu sambil
mendorong jukungnya menjauhi air yang landai.
Ternyata pikiran itu begitu cepat menular kepada
yang lainnya. Maka terlihat beberapa orang melakukan
hal yang sama, mundur dan melompat keatas jukungnya.
Akhirnya hanya menyisakan beberapa orang yang
karena terpaksa tidak mampu melarikan dirinya.
"Jangan dikejar", berkata Mahesa Amping kepada
seorang prajurit yang bermaksud mengejar lawannya
yang telah meninggalkannya berlari mengejar sebuah
jukung yang sudah bergerak menjauhi pantai.
Akhirnya beberapa orang yang tersisa dan bertahan
itu dengan mudah dapat dilumpuhkan oleh pasukan
Mahesa Amping dan Kebo Arema.
"Aku menyerah", berkata salah seorang yang telah
menjadi begitu putus asa melihat dirinya sudah
terkepung. "Kami menyerah", berkata beberapa orang sambil
melemparkan senjatanya. Demikianlah, hari itu pasukan Mahesa Amping dan
Kebo Arema telah berhasil mencegah para prajurit
bayaran yang berusaha memasuki Balidwipa.
1198 Sementara itu matahari sudah mulai memanjat diatas
pantai Tanah Melaya. Pasukan Mahesa Amping dan
Kebo Arema terlihat tengah memisahkan beberapa
mayat yang tergeletak dan beberapa orang yang terluka
dari pihak lawan maupun pihak kawan sendiri.
Beberapa penduduk sudah mulai menampakkan dirinya datang ikut membantu.
berani Dengan penuh kehormatan semua jenasah korban
pertempuran itu disempurnakan tanpa membedakan
lawan maupun kawan, semua diperlakukan dengan sama
sebagaimana mestinya. "Semua ksatria pernah merasakan perasaan yang
kamu alami pada hari pertama pertempuran mereka",
berkata Mahesa Amping kepada Wayan Dewa Bayu
yang terlihat termenung menatap sebuah makam.
"Hatiku belum mampu mengendalikan perasaanku
sendiri", berkata Wayan Dewa Bayu penuh penyesalan.
"Perlu sebuah usaha yang panjang, menjadikan hati
sebagai mata pedangmu", berkata Mahesa Amping
sambil menggandeng Wayan Dewa Bayu meninggalkan
pemakaman itu. Sementara sisa senja di dalam hutan Tanah Melaya
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terasa merayap, keletihan dan kelelahan terlihat di
hampir setiap wajah. Siapa yang tidak kecut dan terkejut
disaat badan begitu lelah mendengar suara derap
ratusan kaki kuda terdengar mendekati mereka.
Akhirnya semua terlihat menarik nafas panjang
manakala mengetahui bahwa derap langkah kuda itu
berasal dari pasukan berkuda prajurit Singasari terlihat
dari umbul-umbul dan rontek yang mereka bawa.
1199 "Ternyata kami datang terlambat", berkata seorang
perwira yang menjadi pimpinan rombongan itu.
"Kamilah yang harus dipersalahkan, kedatangan kami
di Bandar Buleleng sudah terlalu malam", berkata ki
Jaran Waha yang ikut bersama rombongan pasukan
berkuda itu dengan wajah buram merasa bersalah.
Dibelakang Ki Jaran Waha terlihat Mahesa Semu
mengiringinya juga dengan wajah penuh penyesalan
baru datang disaat pertempuran telah usai.
"Tidak ada yang perlu merasa bersalah dan
menyesal, justru sebagai pelajaran yang mahal untuk kita
dapat memperbaikinya", berkata Kebo Arema dengan
wajah penuh keceriaan memanggil beberapa orang
untuk duduk bersama. Terlihat Kebo Arema bercerita dengan singkat apa
yang telah terjadi di pantai Tanah Melaya.
"Kita perlu pasukan yang kuat yang dapat bergerak
dengan cepat", berkata Kebo Arema layaknya seorang
Senapati besar. "Kurasa hutan Tanah Melaya ini adalah tempat yang
baik", berkata Mahesa Amping memberi masukan.
"Pengenalanmu atas Balidwipa ini tidak diragukan
lagi", berkata Kebo Arema yang langsung menyetujui
usulan Mahesa Amping untuk menempatkan lima ratus
prajurit Singasari di hutan Tanah Melaya sebagai
pasukan khusus yang dapat bergerak cepat menutup
setiap gerakan dari luar Balidwipa
Sementara itu waktu pun terus berlalu, malam
didalam hutan Tanah Melaya telah begitu gelap dan
senyap. Dari jauh sayup terdengar suara srigala
1200 mengalun panjang memanggil
memasuki area perburuan. kawannya untuk Namun keletihan dan kelelahan pada beberapa
prajurit Singasari itu sudah membuat tidak mendengar
suara apapun, tidak merasakan apapun, karena mereka
sudah lama tertidur bersama datangnya malam dan
kegelapan. Mungkin beberapa diantaranya tengah
bermimpi bertemu dengan kekasih pujaan hati, bermimpi
bersama istri dan anak tercinta, atau sebuah mimpi buruk
bertemu didatangi seorang musuh yang terbunuh
dimedan perang. Lepas dari mimpi sebagai bunga tidur,
lepas dari indah dan buruknya sebuah mimpi, ternyata
kita memang tidak kuasa untuk membuat sebuah mimpi.
Dan akhirnya pagipun datang menutup semua mimpi,
membangunkan semua yang tertidur di dalam hutan
Tanah Melaya. "Saatnya kita mengunci Pura Besakih", berkata Kebo
Arema kepada Mahesa Amping diawal pagi itu.
Mahesa Amping paham apa yang dimaksudkan oleh
Kebo Arema. Maka pada pagi itu semua pasukannya
telah dikumpulkannya. "Mulai hari ini kalian harus melepaskan segala
peneng dan ciri apapun sebagai tanda keprajuritan
Singasari", berkata Mahesa Amping kepada Pasukannya."hari ini kita akan keluar dari hutan ini untuk
menyebar dan mengunci setiap gerak apapun dari Pura
Besakih", berkata kembali Mahesa Amping memberikan
penjelasan tugas-tugas yang harus mereka lakukan serta
membagi mereka dalam beberapa kelompok yang akan
membaur hidup bersama sebagai orang kebanyakan di
berbagai Padukuhan sebagai petugas delik sandi.
1201 Kelompok pertama yang meninggalkan hutan Tanah
Melaya itu adalah sepuluh orang Sisya dari Pura
Indrakila bersama Ki Arya Sidi.
"Setelah semua berakhir, aku akan bersama kalian
kembali", berkata Mahesa Amping melepas kepergian
mereka kembali Ke Pura Indrakila.
Kelompok kedua yang meninggalkan hutan Tanah
Melaya selanjutnya adalah Ki Jaran Waha dan para
pengikutnya. "Terima kasih untuk semua dan untuk segalanya",
berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha yang
bersama pengikutnya telah bersiap-siap akan meninggalkan hutan Tanah Melaya.
"Ucapan terima kasih tidak berlaku untuk seorang
saudara", berkata ki Jaran Waha dengan wajah penuh
senyum. "Aku telah menitipkan diri kalian bersama pasukan
Singasari di hutan Tanah Melaya ini", berkata Kebo
Arema kepada Badrun ketika akan meninggalkan hutan
Tanah Melaya bersama Mahesa Amping, Mahesa Semu,
Wantilan dan Sembaga. "Mudah-mudahan kami tidak akan mengecewakan
tuan yang telah mempercayai kami", berkata Badrun
mewakili semua anak buahnya yang diminta oleh Kebo
Arema untuk tetap bersama Prajurit Singasari.
Demikianlah, menjelang matahari bergeser sedikit
dari puncaknya, lima orang penunggung kuda terlihat
telah keluar dari hutan Tanah Melaya.
Matahari terus membayangi punggung-punggung
mereka yang berjalan terus kearah timur. Hingga
akhirnya manakala matahari terlihat redup bersandar di
1202 ujung tepian bumi di ufuk barat, mereka memasuki
sebuah padukuhan kecil untuk sekedar bermalam.
"Inilah banjar kami yang sederhana", berkata seorang
warga yang mengantar Kebo Arema bersama empat
orang kawannya ke banjar desa untuk bermalam.
"Terima kasih, bagi kami ini sudah lebih dari cukup,
tidak kehujanan dan keanginan", berkata Kebo Arema
sambil mengucapkan terima kasih kepada orang yang
mengantarkannya itu. "Sebentar lagi mereka akan panen padi", berkata
Mahesa Amping yang melihat didepan banjar desa
hamparan sawah yang sudah cukup tua menguning.
"Menanam padi seperti merawat seorang bayi, ketika
melihat untaian padi tua menguning, ada kebahagiaan
yang tidak bisa diukur oleh apapun", berkata Wantilan
menyampaikan perasaan hatinya kepada Mahesa
Amping. "Melihat padi menguning, aku jadi rindu pada
Padepokan Bajra Seta", berkata Sembaga.
"Jujur, perasaan itulah yang sering kurasakan selama
ini. Kadang aku merasa telah salah untuk memilih jalanku
sebagai seorang prajurit", berkata Mahesa Amping
menyampaikan perasaan hatinya.
"Kita tidak kuasa memilih jalan kita sendiri, apakah
dirimu pernah meminta untuk kelahiranmu di muka bumi
ini?", berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping.
Perkataan Kebo Arema telah membuat suasana di
banjar desa itu sejenak menjadi hening, semuanya
sepertinya tengah menjenguk keberadaan dirinya
masing-masing, dan semuanya sepertinya telah terbentur
pada tembok tebal ketidak tahuan.
1203 "Tidak perlu terlalu jauh, ketika disusui ibu saja kita
tidak pernah dapat merasa pernah mengingatnya",
berkata kembali Kebo Arema yang sepertinya dapat
membaca apa yang tengah direnungkan oleh keempat
kawannya itu. Sementara itu malam mulai turun membatasi jarak
pandang, hamparan sawah yang hijau didepan banjar
desa perlahan tersamar dan akhirnya tertutup rapat oleh
kegelapan malam yang semakin pekat.
"Jarak pandang dibatasi oleh gelapnya malam, jarak
pandang mata hati dan pikiran juga dibatasi oleh waktu
ketika ada dan tiada", berkata Mahesa Amping dalam
hati sambil menatap kegelapan malam.
Pagi itu matahari bersinar begitu cerahnya, cahaya
kuningnya telah menyebar menghangatkan bumi. Terlihat
disepanjang jalan padukuhan petani ramai memotong
padi dengan penuh gembira yang ditingkahi canda
beberapa gadis penuh tawa menggilas batang-batang
padi runtuh di ujung jemari kakinya.
"Mata para gadis itu melihat kita atau kuda kita?",
berbisik Sembaga kepada Mahesa Amping yang tengah
berkuda membelakangi Kebo Arema, Wantilan dan
Mahesa Semu di jalan Padukuhan yang sudah ramai.
"Yang ada dalam pikiran mereka adalah lima orang
saudagar kaya tengah berkunjung", berkata Mahesa
Amping kepada Sembaga. "Yang mereka pikirkan adalah seorang saudagar
kaya diiringi empat pelayannya", berkata Wantilan yang
mendengar perkataan Mahesa Amping.
1204 "Menurutmu siapa kira-kira yang pantas disebut
saudagar kaya diantara kita berlima?", berkata Sembaga
kepada Wantilan. "Yang pasti bukan dirimu", berkata Wantilan singkat.
"Yang pasti juga bukan dirimu", berkata Sembaga
langsung membalas. Demikianlah, mereka berkuda sepertinya tidak
dibatasi waktu. Dalam setiap kesempatan menikmati
pemandangan alam yang indah, sawah yang
membentang hijau, warna biru pegunungan yang jauh
serta lembah yang dihiasi rimbunnya pepohonan tertiup
angin memberi aroma sejuk dan sangat menyegarkan.
"Gunung didepan kita itu adalah Gunung Agung",
berkata Mahesa Amping kepada kawan-kawannya
sambil menunjuk kearah gunung yang tinggi didepan
mereka. Kearah Gunung Agung itulah nampaknya arah
perjalanan mereka. "Jalur sandi yang akan kita bangun berada di
Kademangan Rendang, sebuah tempat yang paling
dekat dengan sasaran kita Pura Besakih", berkata
Mahesa Amping memberikan penjelasan tentang sebuah
wilayah yang masuk dalam pengamatan mereka.
Akhirnya diawal senja langkah kaki kuda mereka
berhenti disebuah Kademangan yang cukup ramai
karena merupakan sebuah persinggahan para pedagang
yang membawa hasil bumi dan hutan di Balidwipa.
"Inilah Kademangan Rendang", berkata Mahesa
Amping ketika mereka memasuki jalan Padukuhan
utama. 1205 Terlihat kuda Mahesa Amping berhenti dimuka
sebuah rumah yang paling luas dibandingkan dengan
beberapa rumah dikiri kanannya.
Mahesa Amping mengajak semua kawannya untuk
masuk ke halaman rumah itu.
"Apakah Ki Demang masih mengenalku?", berkata
Mahesa Amping kepada seorang yang berada diatas
Pendapa menyambut kedatangan mereka.
"Mana mungkin kami melupakanmu yang telah
mempersatukan kami dua saudara", berkata orang yang
dipanggil Ki Demang sambil mempersilahkan mereka
untuk naik keatas pendapa rumahnya.
Setelah menyampaikan beberapa kabar keselamatan
masing-masing, Mahesa Amping memperkenalkan Kebo
Arema sebagai pedagang kuda dari Bandar Buleleng.
"Selama disini, biarlah kalian tinggal di rumahku",
berkata Ki Demang menawarkan kebaikannya.
"Terima kasih, semoga tidak merepotkan Ki
Demang", berkata Mahesa Amping kepada Ki Demang.
Sementara itu diregol halaman terlihat seorang yang
seusia Ki Demang berjalan kearah pendapa rumah.
"Ternyata ada sahabat mudaku", berkata lelaki itu
setelah naik ke pendapa rumah menyapa Mahesa
Amping. "Selamat bertemu kembali Ki Amararaja", berkata
Mahesa Amping menyambut lelaki itu yang ternyata
adalah Ki Amararaja saudara seayah lain ibu dari Ki
Demang. Maka Mahesa Amping segera memperkenalkan
semua kawannya kepada Ki Amararaja, tentunya sesuai
1206 dengan jati diri penyamaran sebagai pedagang kuda dan
pembantunya. "Mudah-mudahan usaha kalian dapat berjalan degan
baik", berkata Ki Amararaja kepada Mahesa Amping dan
kawan-kawannya. Sementara itu waktu terus berlalu, sang sandikala
terlihat perlahan menyelinap diujung waktu digantikan
sang malam. "Malam ini aku ingin mengajakmu ke Banjar Desa,
saat ini kami tengah membentuk para pecalang baru
untuk menggantikan beberapa orang pecalang yang
sudah mulai tua", berkata Ki Amararaja kepada Mahesa
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Amping. "Dengan senang hati", berkata Mahesa Amping
kepada Ki Amararaja. Terlihat Mahesa Amping dan Ki Amararaja tengah
menuruni anak tangga pendapa rumah Ki Demang.
Sementara itu Kebo Arema, Mahesa Semu dan
Sembaga masih ditemani oleh Ki Demang. Banyak sekali
yang mereka bicarakan, mulai dari masalah kuda sampai
dengan keresahan warga Kademangan atas sebuah
kabar angin tentang gerombolan Barong Asu Ngelawang.
Ternyata Kebo Arema terlalu piawai untuk urusan
bersandiwara melakoni dirinya dihadapan Ki Demang
sebagai pedagang kuda yang berpengalaman.
Sementara itu Mahesa Amping di Banjar Desa
tengah melihat para pecalang baru tengah berlatih olah
kanuragan dibawah bimbingan Ki Amararaja.
"Ada rencana untuk menambah jumlah pecalang di
kademangan ini, jumlah yang ada pada saat ini masih
belum dikatakan cukup untuk menjaga ketentraman dan
1207 ketenangan di Kademangan ini", berkata Ki Amararaja
kepada Mahesa Amping sambil melihat beberapa
Pecalang muda tengah berlatih.
"Aku tertarik dengan cara orang Balidwipa
mengamankan kampungnya dengan cara kemandiriannya ini", berkata Mahesa Amping memberikan pandangannya tentang pecalang di
Balidwipa. "Meski upah sebagai pecalang tidak bisa dijadikan
sebagai sandaran hidup, mereka tetap menjalaninya
dengan penuh kebanggaan", berkata Ki Amararaja
kepada Mahesa Amping. "Bila seorang gadis harus memilih dua orang
pemuda, siapa yang dipilihnya bila salah satunya adalah
seorang pecalang", berkata Mahesa Amping sedikit
bercanda "Yang pasti gadis itu akan memilih pecalang, karena
biasanya seorang pecalang itu bertubuh kekar, kuat dan
ganteng", berkata Ki Amararaja menimpali canda
Mahesa Amping. Namun diam-diam Mahesa Amping memperhatikan
beberapa anak muda yang akan menjadi pecalang itu
memang umumnya mempunyai badan yang kekar berisi
dan dapat dikatakan cukup "tampan".
"Tentu saja sang gadis memilih pecalang, karena
pemuda yang satunya disamping buruk rupa juga
sebagai pemuda luntang-lantung yang tidak punya
sandaran hidup", berkata Mahesa Amping kepada ki
Amararaja. "Ternyata kamu tidak pernah mau menyerah",
berkata Ki Amararaja sambil tertawa panjang.
1208 Udara malam di Kademangan Rendang yang berada
disebelah barat lereng Gunung Agung memang cukup
dingin. Sementara beberapa pemuda masih tetap
semangat terus berlatih, sepertinya sudah terbiasa
dengan dinginnya udara malam.
Akhirnya ketika malam mulai masuk dipertengahan
mereka baru kembali ke rumah Ki Demang. Ternyata di
pendapa tidak ada seorang pun.
"Sepertinya mereka sudah lama tertidur", berkata Ki
Amaraja sambil mengajak Mahesa Amping langsung
beristirahat ke bilik yang telah disediakan.
Setelah tiba dibilik Mahesa Amping tidak dapat
langsung tidur, terbayang pertempuran kemarin pagi di
pantai Tanah Melaya. Terlihat Mahesa Amping menarik nafas panjang
menyerahkan semuanya kepada Gusti Yang Maha
Berkehendak. "Tidak ada satu pun makhluk yang luput dari
kehendakmu", berkata Mahesa Amping dalam hati sambil
berbaring di peraduan dan memejamkan matanya.
Sementara itu langit malam diatas Kademangan
Rendang dipenuhi taburan bintang. Semilir angin basah
menggugurkan bunga-bunga kemboja merah yang
berjejer di sebelah kanan pagar batu halaman rumah Ki
Demang. Udara pagi di Kademangan Rendang begitu
dinginnya terasa menusuk tulang, Namun Mahesa
Amping dan kawan-kawannya sudah keluar dari biliknya
dan duduk di pendapa rumah Ki Demang, tentunya Ki
Amararaja dan Ki Demang ikut menemani mereka.
1209 "Ketika kalian di Pakiwan, bagaimana rasanya air
disini?", bertanya Ki Amararaja.
"Luar biasa dinginnya", berkata Sembaga langsung
menyambut terlihat bibirnya masih biru kedinginan.
Akhirnya ketika matahari pagi sudah mulai naik,
udara di Kademangan Rendang sudah mulai hangat,
Mahesa Amping dan kawan-kawannya terlihat pamit
untuk menemui beberapa peternak kuda yang ada
disekitar Kademangan Rendang.
"Mudah-mudahan kami dapat kuda yang baik dan
cocok harganya", berkata Kebo Arema sambil turun dari
Pendapa diiringi pandangan mata Ki Demang dan Ki
Amararaja. Terlihat Mahesa Amping dan kawan-kawannya
tengah menyusuri jalan Padukuhan tengah menuju
peternakan kuda yang ada di Kademangan Rendang.
Pada saat itu di Kademangan Rendang sangat terkenal
dengan peternakan kudanya.
Namun ditengah jalan, Mahesa Amping menemui
sebuah pelepah kelapa terpotong tiga.
"Ada petugas sandi yang akan menemui kita",
berkata Mahesa Amping membaca isyarat sandi yang
telah mereka sepakati bersama.
Terlihat Mahesa Amping memberi simpul pada salah
satu janur sebagai tanda mereka akan menemuinya di
pasar terdekat. "Biarlah petugas itu menunggu kita dipasar terdekat",
berkata Mahesa Amping sambil melompat keatas kuda
melanjutkan perjalanannya.
1210 Akhirnya mereka telah sampai di sebuah peternakan
kuda, seorang lelaki telah menyambut kedatangan
mereka. "Apakah kami dapat bertemu dengan pemilik
peternakan ini?", bertanya Kebo Arema kepada orang itu.
Lelaki yang sudah cukup berumur itu tersenyum
mendengar pertanyaan Kebo Arema.
"Kalian telah berhadapan dengan pemilik peternakan
ini?", berkata lelaki itu sambil mempersilahkan Kebo
Arema dan kawan-kawannya untuk naik ke Pendapa
rumahnya. Terlihat lelaki itu mengiringi tamunya naik kependapa
rumahnya dan mempersilahkan duduk.
"Nampaknya kalian baru pertama kali kepeternakan
ini", berkata pemilik peternakan itu memulai pembicaraan. Kebo Arema langsung menyampaikan maksud dan
tujuannya yakni untuk membeli beberapa ekor kuda.
"Tentunya bila harganya cocok", berkata Kebo Arema
kepada lelaki itu. Terlihat lelaki itu tersenyum setelah mendengar
perkataan Kebo Arema. "Kalian datang terlambat, kemarin sore semua
kudaku telah diborong habis", berkata lelaki itu sambil
tersenyum. "Telah diborong habis?", berkata Mahesa Amping
"Siapa yang telah membeli semua kudamu", berkata
Kebo Arema kepada lelaki itu.
1211 "Penguasa Pura Besakih, mereka telah memberi
panjer", berkata lelaki itu.
"Bagaimana bila kami membayar dengan harga yang
lebih tinggi dari harga yang telah kalian sepakati?",
berkata Kebo Arema kepada lelaki itu.
Terlihat lelaki itu menarik nafas panjang, sepertinya
tengah menimbang-ninmbang. "Maaf, aku tidak bisa
mengecewakan pelangganku yang telah membayar
panjer", berkata lelaki itu menolak tawaran Kebo Arema.
"Ternyata kami datang terlambat, dan kita belum
berjodoh", berkata Kebo Arema sambil mohon untuk
pamit diri mencari peternak lain disekitar Kademangan
Rendang. "Lain waktu datanglah, aku punya beberapa bibit
yang baik", berkata lelaki itu mengantar tamunya keluar
dari pekarangan rumahnya yang terlihat dipenuhi
beberapa kuda yang ternyata sudah diborong semuanya
oleh penguasa Pura Besakih.
"Ternyata Penguasa Pura Besakih tengah menggalang sebuah kekuatan", berkata Mahesa Amping
ketika mereka sudah berada di sebuah jalan Padukuhan.
"Orang-orang upahan telah merembes masuk ke
Balidwipa", berkata Mahesa Semu ikut memberi
kesimpulan. "Kita tidak dapat menahan mereka yang menyelundup masuk dari berbagai tempat di Balidwipa
ini yang cukup luas", berkata Mahesa Amping merasa
prihatin atas penempatan lima ratus prajurit di Hutan
Tanah Melaya. 1212 "Pasukan itu harus secepatnya ditarik, ikan-ikan yang
kita tunggu ternyata lebih cerdik dari yang kita
perkirakan", berkata Kebo Arema.
"Berita ini harus secepatnya sampai di pasukan induk
agar mereka dapat mengambil langkah yang tepat",
berkata Mahesa Amping. "Mudah-mudahan petugas sandi kita tidak jemu
menanti kedatangan mereka", berkata kebo Arema
mengajak semuanya untuk menuju kepasar Kademangan Rendang. Akhirnya tidak begitu lama mereka telah sampai di
Pasar Kademangan Rendang, saat itu hari sudah
menjelang siang dan para pengunjung dipasar itu sudah
jauh berkurang. Ketika di Pasar Kademangan Rendang,
sengaja Mahesa Amping dan kawan-kawannya berada
ditempat yang mudah terlihat. Ternyata usaha mereka
berhasil, seorang petugas sandi telah melihat mereka
dan datang mendekati. "Kalian lama sekali", berkata petugas sandi itu.
"Apakah ada pikiranmu untuk pergi sebelum bertemu
dengan kami?", bertanya Mahesa Amping sambil
tersenyum. "Itu sama artinya lari dari tugas", berkata petugas
sandi itu sambil mengajak semuanya ke sebuah kedai di
ujung pasar. Terlihat Mahesa Amping dan kawan-kawannya telah
menambatkan kudanya di sebuah galar panjang dimuka
kedai itu dan langsung masuk kedalam kedai. Seorang
pelayan datang menghampiri mereka dan menawarkan
beberapa masakan. 1213 "Nasi jagung kuah kari", berkata Sembaga memesan
sebuah masakan yang baru didengarnya di Balidwipa.
"Yang lainnya?", berkata pelayan itu
melayangkan pandangannya selain Sembaga.
sambil "Semua pesan nasi jagung kuah kari", berkata
mahesa Amping kepada pelayan itu.
"Dan ayam menambahkan. bumbu merah", berkata Sembaga "Yang lainnya?", berkata pelayan itu
melayangkan pandangannya selain Sembaga.
sambil "Semua sama seperti pesanan kawanku ini", berkata
Mahesa Amping kepada pelayan itu.
Maka pelayan itu itu terlihat masuk kedalam untuk
menyiapkan pesanan tamunya.
***** "Pasukan induk hari ini telah mencapai lumbung
pertama", berkata petugas sandi itu menyampaikan
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beritanya. "Kekuatan dari luar tidak dapat dibendung,
secepatnya menarik pasukan yang ada di hutan tanah
Melaya", berkata Mahesa Amping menukar berita kepada
petugas sandi. "Besok siang kita bertemu kembali, kami akan
mengamati kekuatan lawan lebih dekat lagi", berkata
Kebo arema kepada petugas sandi itu.
Sementara itu pembicaraan mereka terhenti karena
pelayan kedai itu sudah terlihat mendekati mereka
bersama pesanan mereka. 1214 "Ternyata aku tidak salah pesan", berkata Sembaga
sambil menikmati nasi jagung kuah kari pesanannya.
Terlihat mereka menikmati hidangan dikedai itu.
Matahari di atas Pasar Kademangan Rendang telah
lama turun di puncak cakrawala langit, terlihat lima ekor
kuda bersama penunggangnya tengah keluar melintasi
gapura pasar Kademangan Rendang. Mereka adalah
Mahesa Amping dan kawan-kawannya.
Ketika mereka hendak memasuki rumah Ki Demang,
terlihat ada dua orang tamu Ki Demang tengah menuruni
anak tangga pendapa. Kedua tamu itu terlihat begitu
angkuh, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir
mereka manakala bersisipan jalan dengan Mahesa
Amping dan kawan-kawannya dihalaman rumah Ki
Demang. "Ternyata Ki Demang baru saja menerima tamu",
berkata Mahesa Amping kepada Ki Demang dipendapa
bersama Ki Amararaja. Ki Demang tidak langsung menjawab, terlihat
menarik nafas panjang dan menundukkan kepalanya.
"Dua orang yang bertamu itu adalah utusan
Penguasa Pura Besakih", berkata Ki Amaraja mewakili Ki
Demang menjawab pertanyaan Mahesa Amping.
"Ada keperluan apakah mereka datang ke rumah
ini?", berkata mahesa Amping menyelidik.
"Mereka meminta Kademangan ini menyiapkan lima
puluh orang anak muda atau lelaki yang masih kuat
untuk menghadapi prajurit Singasari yang akan
menyerang Pura Besakih", berkata Ki Demang kepada
Mahesa Amping. 1215 "Parajurit Singasari akan menyerang Pura Besakih?",
bertanya Mahesa Amping pura-pura baru mendengarnya.
"Kedua tamu itu yang mengatakannya", berkata Ki
Amararaja kepada Mahesa Amping
"Bukankah dalam kegiatan pemugaran Pura, dari
Kademangan ini selalu mengirim tenaga bantuan?",
bertanya kembali Mahesa Amping.
"Kerja bakti di pura tidak sama dengan peperangan,
apalagi menghadapi prajurit Singasari yang kutahu
sangat kuat dan berpengalaman. Apalah artinya pemuda
dari Kademangan ini yang baru sedikit mengenal
kanuragan dan tidak punya pengalaman bertempur",
berkata Ki Amararaja menyampaikan kegusaran hatinya.
"Apa yang Ki Demang dan Ki Amararaja ketahui
tentang pasukan Singasari yang akan menyerang Pura
Besakih itu?", bertanya Kebo Arema berusaha menyelidik
ada dimana keberpihakan mereka berdua.
"Berdasarkan kabar angin yang kudapat, pasukan
Singasari akan datang menyerang Pura Besakih dan
tidak akan mengganggu warga Balidwipa kecuali yang
berpihak kepada Penguasa Balidwipa", berkata Ki
Demang kepada kebo Arema.
"Hanya itu?", bertanya kembali Kebo Arema
"Bukan hanya itu", berkata Ki Demang kepada Kebo
Arema Terlihat Ki Demang menarik nafas panjang sepertinya
ingin mengurai sebuah jawaban kata yang panjang."Selebihnya adalah bahwa Singasari bermaksud
membersihkan jalur perdagangannya dari kekuasaan
para saudagar dari tanah Hindu dimana Penguasa Pura
Besakih telah bersekutu dan menjadi boneka hidup dari
1216 para saudagar Tanah Hindu", berkata Ki Demang
menyampaikan wawasannya yang diketahuinya tentang
sebuah perselisihan antara Singasari dan penguasa Pura
Besakih. "Jadi siapapun yang memenangkan peperangan ini,
warga tidak mendapatkan keuntungan apapun?", kembali
Kebo Arema bertanya. "Perang ini perang mereka berdua, perang untuk
kepentingan mereka", berkata Ki Demang kepada Kebo
Arema. "Aku punya penilaian berbeda dengan Ki Demang",
berkata Kebo Arema kepada Ki Demang.
"Perbedaan dalam hal apa?", bertanya Ki Demang
kepada Kebo Arema. "Aku sebagai pedagang kuda melihat sebuah
harapan besar dengan peperangan ini, karena selama ini
kami sebagai pedagang tidak boleh menjual barang kami
keluar Balidwipa selain kepada para saudagar dari Tanah
hindu dengan harga yang mereka sendiri tentukan.
Padahal setahuku harga kuda di Tanah Jawa lebih tinggi,
juga nilai hasil hutan lainnya. Tapi tidak satu pun kapal
dagang yang berani memasuki perairan Balidwipa ini
karena akan berhadapan dengan perompak yang ada
dibelakang mereka", berkata Kebo Arema memberikan
wawasannya. "Kamu pedagang, wawasanmu pasti lebih luas",
berkata ki Demang mengakui wawasan Kebo Arema.
"Aku belum sempat mengatakan apa harapanku
dengan adanya peperangan ini", berkata Kebo Arema
sengaja tidak melanjutkannya.
1217 "Aku ingin dengar", berkata Ki Demang kepada Kebo
Arema. Terlihat Kebo Arema tidak langsung menjawab, tapi
mengangkat cangkir minumannya yang sudah tinggal
sedikit dan meneguknya sampai habis.
"Harapanku bahwa peperangan ini dimenangkan oleh
pasukan Singasari, para saudagar Tanah Hindu akan
menghilang di perairan Balidwipa. Dan kami para
pedagang dapat menjual barang kami kepada siapapun
dengan harga sesuai persaingan yang sehat. Kukira
kemakmuran tidak hanya berpihak kepadaku, juga
berpihak pada para pedagang di pedalaman Balidwipa
ini", berkata Kebo Arema seperti layaknya seorang
pedagang sungguhan. "Wawasanmu kuakui sangat dalam dan luas", berkata
Ki Amararaja yang ikut menyimak kata-kata Kebo Arema
yang begitu piawai dalam nada dan tekanan suaranya.
"Terima kasih telah memberikan masukan yang
berarti kepadaku, wawasanku tentang peperangan ini
menjadi lebih luas, sehingga aku dapat tidak sekedar
melangkah apalagi salah langkah", berkata Ki Demang.
"Apakah Ki Demang sudah punya keputusan?",
bertanya Mahesa Amping "Keputusanku adalah harapanku bagi kemakmuran
warga Balidwipa", berkata Ki Demang.
"Apakah Ki Demang sudah memutuskan untuk
membuat sebuah langkah?", giliran Kebo Arema yang
bertanya kepada Ki Demang.
"Untuk tidak mengirim seorang pun ke Pura Besakih",
berkata Ki Demang dengan suara yang mantap
1218 "Artinya Ki Demang saat ini sudah berada dipihak
Singasari?", bertanya Mahesa Amping.
"Untuk saat ini dapat dikatakan demikian, namun
secara pasti aku berpihak bagi kemakmuran warga
Balidwipa", berkata Ki Demang menyampaikan garis
pandangnya secara luas lagi.
"Aku sependapat dengan Ki Demang, tidak mengirim
seorang pun ke Pura Besakih justru sebagai kecintaan
kita kepada Tanah leluhur", berkata Ki Amararaja ikut
memberikan pandangannya. "Jadi Ki Demang dan Ki Amararaja tidak takut bahwa
Kademangan Rendang ini adalah para pembangkang?",
bertanya Kebo Arema kepada Ki Demang dan Ki
Amararaja. "Untukku selama itu sebuah kebenaran, aku tidak
takut untuk memperjuangkannya", berkata Ki Demang
mewakili Ki Amararaja yang sepertinya punya pandangan
yang sama. "Artinya Ki Demang dan Ki Amararaja telah berdiri
bersama kami di tempat yang sama", berkata Kebo
Arema sambil menarik nafas panjang akhirnya dapat
mengungkapkan keberpihakan Ki Demang dan Ki
Amararaja. "Aku belum dapat menangkap arah perkataanmu
tentang berada ditempat yang sama", bertanya Ki
Demang kepada Kebo Arema.
"Artinya Ki Demang dan Ki Amararaja berada di pihak
Singasari, kebetulan sekali bahwa kami adalah bagian
dari Pasukan Singasari yang tengah bertugas mengamati
pihak lawan", berkata Kebo Arema membuka jati diri
mereka yang sebenarnya. 1219 "Jadi kalian bukan pedagang kuda dari Buleleng?",
berkata Ki Demang kepada Kebo Arema.
Kebo Arema menjawabnya dengan menganggukkan
kepalanya perlahan. "Ki Demang dan Ki Amararaja di pendapa ini telah
duduk bersama dengan seorang prajurit perwira yang
sangat disegani dan dihormati di seluruh tanah Singasari,
orang yang sudah lama kalian kenal yang tidak lain
adalah tuan Rangga Mahesa Amping", berkata Kebo
Arema memperkenalkan Mahesa Amping sebagai prajurit
Singasari. "Ternyata selama ini aku berteman dengan seorang
perwira dari Singasari", berkata Ki Amararaja sambil
memandang kearah Mahesa Amping yang membalasnya
dengan menganggukkan kepalanya membenarkan
semua perkataan Kebo Arema atas dirinya.
"Keberpihakan Ki Demang dan Ki Amararaja adalah
salah satu jembatan untuk mencapai sebuah
kemenangan", berkata Mahesa Amping yang nampaknya
telah mendapatkan sebuah siasat baru.
"Kami siap menjadi jembatan itu", berkata Ki Demang
kepada Mahesa Amping. "Ki Demang dapat mempersiapkan lima puluh orang
untuk Pura Besakih", berkata Mahesa Amping.
"Orang-orang muda yang baru mengenal satu dua
jurus kanuragan", aku keberatan", berkata Ki Amararaja
kepada Mahesa Amping. Mahesa Amping tersenyum mendengar perkataan Ki
Amararaja, terlihat Mahesa Amping mengatur pernafasannya untuk mengatakan sesuatu.
1220 "Kita tidak mengirim satu pun orang Kademangan
Rendang, karena yang akan kirim adalah para prajurit
Singasari", berkata Mahesa Amping sambil memandang
kearah Ki Demang dan Ki Amararaja.
"Aku dapat menangkap maksudmu, Kademangan
Rendang ini hanya sebagai jembatan untuk menyusupkan para prajurit Singasari ke sarang lawan",
berkata Ki Amararaja yang dapat menangkap maksud
dan siasat dari Mahesa Amping.
"Sebuah usulan yang cemerlang", berkata Kebo
Arema setuju dengan siasat itu.
"Utusan penguasa Pura Besakih telah memberi batas
waktu dua hari dari sekarang", berkata Ki Demang
menyampaikan batas waktu pengiriman lima puluh orang
Kademangan Rendang. "Hari ini juga kita harus melepas berita untuk menarik
sebagian pasukanku yang tersebar di jalur sandi, mereka
adalah para prajurit muda pilihan", berkata Mahesa
Amping. "Sisanya?", bertanya Kebo Arema
"Para pengikut Ki Jaran Waha", berkata Mahesa
Amping kepada Kebo Arema.
"Apakah aku yang tua ini dapat bergabung bersama
kalian?", berkata Ki Amararaja menawarkan dirinya
sendiri. "Bukankah mereka membutuhkan lelaki yang masih
kuat?", berkata Mahesa Amping balik bertanya kepada Ki
Amararaja. "Artinya aku dapat diterima?", bertanya kembali Ki
Amararaja 1221 "Ki Amararaja menjadi perwakilan Kademangan
Rendang", berkata Mahesa Amping kepada Amararaja
yang terlihat gembira dapat diikutkan sebagai penyusup
di sarang lawan. "Kakang Mahesa Semu bersama Paman Wantilan
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Paman Sembaga dapat tugas untuk menuntun
pasukanku menuju Kademangan Rendang", berkata
Mahesa Amping membagi tugas.
"Ternyata mereka bertiga bukan pembantumu,
melainkan saudaramu", berkata Ki Amararaja yang
mendengar bagaimana Mahesa Amping menyebut satu
persatu saudara perguruannya dari Padepokan Bajra
Seta. "Mereka bertiga adalah saudara seperguruanku dari
Padepokan Bajra Seta", berkata Mahesa Amping kepada
Ki Amararaja. "Kalian ternyata para pemain sandiwara yang
jempol", berkata Ki Amararaja kepada Mahesa Semu,
Wantilan dan Sembaga yang hanya tersenyum. "Meski
dalam lakon kalian harus diam manut layaknya seorang
pembantu pedagang kuda kaya", berkata kembali Ki
Amararaja yang ditanggapi semua yang mendengarnya
dengan tertawa. "Bagaimana menurut Ki Amararaja lakonku sebagai
pedagang kuda?", bertanya Kebo Arema masih dalam
suasana canda tawa. "Permainanmu dapat dikatakan nyaris sempurna",
berkata Ki Amararaja kepada Kebo Arema.
Akhirnya pada hari itu juga Mahesa Semu, Wantilan
dan Sembaga terlihat sudah mendahului keluar dari
rumah Ki Demang untuk menjalankan tugasnya
1222 menuntun para prajurit untuk berkumpul di Kademangan
Rendang. Berselang tidak begitu lama Mahesa Amping dan
Kebo Arema ikut keluar dari rumah kediaman Ki
Demang. "Semoga keselamatan bersamamu wahai tuan
Rangga Mahesa Amping", berkata Ki Amararaja
mengantar Mahesa Amping dan Kebo Arema yang
terlihat menuruni anak tangga pendapa.
"Panggil aku sebagaimana biasa Ki Amararaja
memanggilnya", berkata Mahesa Amping sambil
melayangkan senyumnya. Diiringi pandangan mata Ki Amararaja dan Ki
Demang, dua ekor kuda dan penunggangnya terlihat
keluar melewati regol pintu halaman kediaman Ki
Demang dan akhirnya menghilang terhalang pohon
ambon besar yang rindang di pinggir jalan Padukuhan
utama. "Ketiga orang yang dipanggil kakang dan paman oleh
Mahesa Amping pastilah orang-orang yang berilmu
tinggi", berkata Ki Amararaja kepada saudaranya Ki
Demang. "Sementara kita memperlakukannya sebatas tiga
orang pelayan tuan pedagang kuda", berkata Ki Demang
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan tertawa
merasa lucu telah dikelabui matanya.
"Bukankah dulu kita juga pernah dikelabui oleh
Mahesa Amping dan Empu Dangka?", berkata Ki
Amararaja mengingatkan Ki Demang pada awal
pertemuan mereka. 1223 Sementara itu matahari di atas cakrawala langit
Kademangan Rendang terlihat sudah semakin surut
tenggelam mengintip diujung bibir bumi. Pandangan
mata tertahan oleh kabut yang terlihat telah turun
menyelimuti Kademangan Rendang yang berada disalah
satu lereng Gunung Agung.
Terlihat dua orang penunggang kuda telah keluar dari
regol gerbang Kademangan Rendang. Mereka adalah
Mahesa Amping dan Kebo Arema yang akan melakukan
perjalanan menuju Pura Besakih. Jarak dari Kademangan Rendang menuju Pura Besakih memang
tidk terlalu jauh, dan sudah ada jalan setapak sehingga
memudahkan perjalanan. Sementara itu sang senja perlahan surut menyeluruk
masuk keperaduannya manakala sang malam datang
berkuasa diatas tahta singgasana waktu. Dinaungi hutan
malam serta cahaya rembulan, Mahesa Amping dan
Kebo Arema telah sampai mendekati Pura Besakih dari
tempat yang tersembunyi. "Pura yang indah", berkata Mahesa Amping
memandang Pura Besakih dari jauh dibawah cahaya
rembulan yang tengah bergelantung diatas langit malam.
"Pura yang megah diantara pura yang pernah
kulihat", berkata Kebo Arema.
"Mari kita melihat lebih dekat lagi", berkata Mahesa
Amping sambil menambatkan dan menyembunyikan
kudanya diikuti oleh Kebo Arema. Terlihat Mahesa
Amping dan kebo Arema berjalan mengelilingi Pura
Besakih dikegelapan malam.
"Sepertinya pura ini dibangun sebagai sebuah
benteng pertahanan yang kuat", berkata Kebo Arema
1224 kepada Mahesa Amping setelah berkeliling mengamati
setiap sisinya. "Darimana pun kita mendekati, akan menjadi umpan
hujan panah", berkata Mahesa Amping kepada Kebo
Arema yang mengamati bangunan pura yang berdiri
diatas sebuah tanah berundak yang tinggi berujung
sebuah jurang yang diketahuinya sebuah jalan untuk
sampai ke puncak kawah Gunung Agung.
"Tapi tidak di kegelapan malam", berkata Kebo
Arema yang telah menemukan jalan untuk melakukan
sebuah penyerangan. "Diiringi sebuah kekacauan kecil dari para penyusup",
berkata Mahesa Amping melengkapi siasat Kebo Arema.
"Kurasa kita sudah menemukan jalannya", berkata
Kebo Arema sambil memberi tanda untuk meninggalkan
Pura Besakih. Terlihat mereka kembali ke tempat dimana kuda-kuda
mereka disembunyikan. Dibawah kegelapan hutan
malam mereka berjalan menjauhi Pura Besakih seperti
dua srigala hitam menyusup menghilang di kegelapan
malam. Dibawah malam yang sepi, mereka memacu
kudanya berlari memecah udara dingin malam.
Akhirnya menjelang dini hari, mereka telah sampai di
hutan tempat kediaman Ki Jaran Waha. Terlihat seorang
pemuda diluar goa tengah mengumpulkan beberapa
ranting kering. "Aku akan membangunkan Ki Jaran Waha", berkata
seorang pemuda itu yang langsung masuk kedalam goa.
Tidak lama kemudian Ki Jaran Waha terlihat keluar
dari dalam goanya. 1225 "Selamat datang wahai saudaraku", berkata Ki Jaran
menyambut kedatangan mereka penuh kegembiraan.
Setelah menanyakan keselamatan masing-masing,
Mahesa Amping langsung menyampaikan tujuannya
datang menemui Ki Jaran Waha.
"Besok pagi aku dan para pengikutku sudah ada di
Kademangan Rendang", berkata Ki Jaran Waha
memastikan. "Terima kasih, aku selalu menjadi seorang saudara
yang sering merepotkan Ki Jaran Waha", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha.
"Kebetulan aku senang direpotkan oleh saudaraku
sendiri", berkata Ki Jaran Waha.
Sementara itu dari dalam goa muncul pemuda
pelayan Ki Jaran Waha membawa makanan dan
minuman hangat. "Aku yakin sepanjang malam kuda dan perut kalian
belum terisi apapun", berkata Ki Jaran Waha
menawarkan tamunya menikmati sarapan pagi yang
dibawa oleh pelayannya. "Sepanjang malam kami berjalan tanpa berhenti",
berkata Mahesa Amping sambil mengambil sepotong
gendruk bakar. "Gendruk yang paling enak yang pernah kurasakan",
berkata Kebo Arema sambil mengambil potongan
gendruk yang kedua. "Apapun tersedia disini dan aku merasa jadi orang
terkaya di hutan ini", berkata Ki Jaran sambil tertawa
menampakkan sebaris giginya yang putih dan rata.
1226 "Orang kaya adalah yang tidak punya keinginan
apapun, tapi memiliki semua yang dinginkan", berkata
Kebo Arema ikut tertawa. Akhirnya setelah merasa cukup beristirahat, Mahesa
Amping dan Kebo Arema bermaksut untuk pamit diri.
"Besok pagi kita bertemu kembali di Kademangan
Rendang", berkata Ki Jaran Waha ketika melepas
tamunya kembali ke Kademangan Rendang.
Sementara itu matahari pagi bersinar terlihat begitu
cerah menyambut Mahesa Amping dan Kebo Arema
keluar dari hutan tempat kediaman Ki jaran Waha.
Dan jarak mereka dengan hutan itu pun akhirnya
semakin menjauh. Mahesa Amping dan Kebo Arema terlihat memacu
kudanya berlari diatas jalan tanah rata. Baru menjelang
senja sudah hampir tergelincir mereka terlihat memasuki
sebuah gapura pasar Kademangan Rendang yang sudah
menjadi begitu sepi. "Kupikir kalian tidak akan datang", berkata seorang
petugas sandi yang ternyata masih setia menunggu.
Terlihat mereka memasuki sebuah kedai yang masih
buka. "Sebenarnya kami ingin tutup, tapi kalau cuma
minuman hangat kami masih dapat menyediakan",
berkata pemilik kedai itu yang langsung masuk kedalam.
Tidak lama kemudian pemilik kedai itu sudah datang
kembali sambil membawa minuman hangat.
"Pasukan induk hari ini sudah bergeser ke lumbung
kedua", berkata petugas sandi itu menyampaikan
beritanya. 1227 "Sasaran hanya dapat didekati dimalam hari", berkata
Mahesa Amping yang menjelaskan keadaan Pura
Besakih yang berada di lereng gunung.
"Besok kami mencoba menyusup ke sarang lawan",
berkata Kebo Arema kepada petugas sandi itu.
"Sebuah usaha yang sangat berbahaya", berkata
petugas sandi itu setelah mendapatkan penjelasan
secara lengkap apa yang akan dilakukan oleh para
penyusup di dalam sarang lawan.
"Pasukan induk harus menunggu waktu yang tepat
untuk melakukan penyerbuan", berkata Kebo Arema ikut
memberikan penjelasannya.
Sementara itu pemilik kedai terlihat membawa pelita
yang diletakkannya didepan kedai, diluar kedai suasana
memang sudah menjadi gelap.
"Tetaplah kalian berbincang, kedai ini tidak pernah
kututup karena aku tidur di kedai ini", berkata pemilik
kedai itu tidak keberatan mereka masih berbincang di
dalam kedai. "Terima kasih Pak Tua, kebetulan kami sudah selesai
dan akan kembali ke rumah", berkata petugas sandi itu
mewakili Mahesa Amping dan Kebo Arema pamit kepada
pemilik kedai itu. Terlihat Mahesa Amping dan Kebo Arema sudah
berada di jalan padukuhan utama mendekati rumah
kediaman Ki Demang. "Pasti kalian sangat lelah setelah melakukan
perjalanan panjang", berkata Ki Demang menyambut
kedatangan mereka diatas pendapa rumahnya bersama
Ki Amaraja. 1228 "Kami akan bersih-bersih dulu", berkata Mahesa
Amping kepada Ki Demang yang langsung segera ke
Pakiwan diikuti oleh Kebo Arema.
Udara malam di Kademangan Rendang cukup dingin,
dibawah cahaya pelita yang tergantung di sudut tiang
pendapa terlihat empat orang tengah berbincangbincang.
"Sekitar lima puluh orang berkumpul di Kademangan
Rendang, apakah tidak menimbulkan banyak pertanyaan?", berkata Mahesa Amping memikirkan hari
esok dimana lima puluh orang akan bertemu dan
berkumpul di Kademangan Rendang.
"Kekhawatiranmu cukup
Demang ikut memikirkannya.
beralasan", berkata Ki "Kita belokkan mereka ke hutan adat di ujung
Padukuhan Bacang", berkata Ki Amararaja mengusulkan.
"Aku setuju, mereka tidak perlu berkumpul di
Kademangan ini, dari hutan adat dapat langsung ke Pura
Besakih",berkata Ki Demang menyetujui usulan Ki
Amararaja. "Apapun masalahnya, bila dipikirkan bersama akan
menemukan jalan keluarnya", berkata Kebo Arema ikut
menyetujui rencana itu. Sementara itu sang malam masih berdiri diatas roda
waktu yang terus berputar. Udara dingin kadang
menyergap kulit tubuh bersama semilir angin malam
datang dan pergi diatas pendapa rumah Ki Demang.
"Mari kita beristirahat, angin diluar sudah begitu
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dingin", berkata Ki Demang mengajak semua masuk
kedalam untuk beristirahat.
1229 Sesaat kemudian, suasana pendapa rumah Ki
Demang sudah terlihat lengang diterangi cahaya
temaram dari pelita yang menggantung di sudut tiang
pendapa. Turun lewat anak tangga pendapa, suasana halaman
rumah Ki Demang lebih lengang lagi, sinar cahaya oncor
yang ada dipinggir regol pintu pagar hanya mampu
menerangi kayu regol dan sedikit pagar batu.
Sementara itu jalan tanah yang melintasi rumah
kediaman Ki Demang sudah tidak dapat terlihat tertutup
seluruhnya oleh kegelapan malam. Jalan tanah itu begitu
lengang, sepi dan gelap. Malam yang lengang, sepi dan gelap serta udara
dingin berkabut telah menyelimuti Kademangan Rendang
sepanjang malam. Semua orang sudah lama tertidur
terlelap menarik kaki dan kepalanya lebih rapat lagi
masuk kedalam kain sarungnya.
Perlahan sang malam akhirnya bergeser semakin
menjauh pergi ke balik bumi lain digantikan kehadiran
sang pagi yang ditandai dengan suara ayam jantan yang
sayup terdengar jauh dan semakin lama semakin jelas
keras saling bersahut. Dipagi yang bening itu, jalan padukuhan utama sudah
mulai dilewati satu dua orang, mungkin satu dua orang
pedagang yang berjalan menuju ke pasar.
Sekumpulan burung camar terbang melintas diatas
halaman rumah Ki Demang yang sudah nampak terang.
"Udara pagi di Kademangan ini begitu sejuk", berkata
Kebo Arema diatas pendapa sambil memandang seekor
ayam jago yang tengah mengejar seekor anak ayam
jantan muda yang baru disapih oleh induknya.
1230 "Biarlah aku bersama Ki Amararaja menanti disini ,
mungkin tidak semua orang lewat jalan simpang ujung
Padukuhan Bacang", berkata Kebo Arema kepada
Mahesa Amping. "Baiklah, aku dan Ki Demang yang berangkat",
berkata Mahesa Amping sambil berdiri dan melangkah
menuruni anak tangga pendapa diiringi Ki Demang
dibelakangnya. Terlihat Mahesa Amping bersama Ki Demang tengah
berjalan di jalan Padukuhan utama menuju Padukuhan
Bacang. Beberapa orang menyapa Ki Demang.
"Ada sedikit keperluan ke Padukuhan Bacang",
berkata Ki Demang sekedar menjawab dan memenuhi
beberapa orang yang menyapa dan ingin tahu ada
keperluan apa Ki Demang sepagi itu sudah berkeliling.
"Melihat ladang Di Padukuhan Bacang", berkata lagi
Ki Demang asal menjawab kepada beberapa orang yang
tengah menebang serumpun bambu dipinggir jalan yang
menghambat saluran air. Akhirnya Mahesa Amping dan Ki Demang sudah
berada di persimpangan jalan di ujung Padukuhan
Bacang, sebuah Padukuhan yang berada di ujung utara
dan berbatasan dengan sebuah hutan adat. Jalan
simpang di ujung Padukuhan itu memang masih sepi,
belum banyak orang yang melewatinya. Maka yang
ditunggu Mahesa Amping dan Ki Demang ternyata mulai
berdatangan. Mereka berjalan terpisah.
"Teruslah kalian berjalan kearah hutan seberang itu,
tunggulah kami disana", berkata mahesa Amping kepada
tiga orang prajurit yang datang pertama kali.
1231 Begitulah Mahesa Amping mengarahkan pasukannya
ke hutan adat. "Hampir semua pasukanku sudah masuk
di Hutan Adat", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Demang. "Artinya masih ada beberapa orang yang masuk
lewat jalan lain langsung ke rumahku", berkata Ki
Demang memperkirakan. "Ada Ki Amararaja dan Paman Kebo Arema disana",
berkata Mahesa Amping. Apa yang dikhawatirkan oleh Ki Demang ternyata
menjadi kenyataan. Beberapa orang ternyata memang
lewat jalan lain, diantaranya Ki Jaran Waha sendiri
bersama para pengikutnya.
"Selamat datang Ki Jaran Waha", berkata Kebo
Arema turun dari pendapa menyambut kedatangan Ki
Jaran Waha bersama tiga orang pengikutnya yang sudah
masuk ke halaman rumah Ki Demang.
Dengan singkat Kebo Arema menjelaskan bahwa
tempat berkumpulnya berada di hutan adat.
"Aku tahu jalan menuju ke hutan itu, biarlah salah
seorang diantara kami mundur kebelakang untuk
memberitahukan kawan-kawannya yang masih ada di
perjalanan", berkata Ki Jaran Waha yang langsung
memerintahkan salah seorang pengikutnya mundur
kembali kebelakang. "Kami akan segera menyusul", berkata Kebo Arema
kepada Ki Jaran Waha. Akhirnya tidak terasa semua orang yang ditunggu
sudah berada di hutan adat. Termasuk Ki Amararaja dan
Kebo Arema yang datang menyusul.
1232 "Ingat bahwa kita adalah orang-orang dari
Kademangan Rendang", berkata Mahesa Amping
mengingatkan. "Petani yang baru belajar memegang pedang",
berkata Ki Jaran Waha menambahkan membuat semua
merasa geli mendengarnya.
Sementara itu matahari sudah terlihat merayap naik
di hutan itu. "Mari kita berangkat", berkata Mahesa Amping
dengan suara lantang. Maka berjalanlah rombongan itu keluar dari hutan
adat itu menuju Pura Besakih. Terlihat rombongan itu
seperti semut berjejer menyusuri jalan setapak yang
cukup keras sering dilalui orang manakala berjalan
menuju Pura Besakih. "Pura Besakih sudah terlihat", berkata salah seorang
prajurit yang melihat ujung meru berundak sebelas yang
sudah terlihat dari jauh.
Akhirnya mereka telah sampai di puncak sebuah
bukit tempat dimana bangunan pura itu berdiri. Dan
rombongan itu terlihat berhenti di muka sebuah tangga
yang tinggi menuju pintu gerbang Pura Besakih.
Dari atas rombongan itu memang sudah terlihat, dua
orang petugas pengintai telah melihat mereka.
"Periksa siapakah mereka yang baru datang itu",
berkata seorang yang terlihat penuh wibawa ketika
menerima laporan dari petugas pengintai.
Maka terlihat seorang penjaga Pura tengah menuruni
anak tangga yang tinggi itu tempat satu-satu jalan
menuju Pura Besakih. 1233 "Siapakah pimpinan kalian?", bertanya penjaga itu
ketika sudah berada di hadapan rombongan Mahesa
Amping. "Aku Demang Amararatu membawa lima puluh orang
Kademangan Rendang untuk berbakti", berkata Ki
Demang kepada penjaga itu.
"Bakti kalian diterima oleh Penguasa Pura Besakih",
berkata penjaga itu sambil memberi tanda kepada Ki
Demang untuk membawa rombongannya naik ke tangga
seribu. Satu persatu rombongan itu menaiki anak tangga
seribu dan akhirnya sampai satu persatu melewati
lawang gapura. "Tunggulah kalian disini", berkata penjaga itu
meminta rombongan menunggu di Bale Pelataran tamu
yang berhadapan dengan sebuah anak tangga batu yang
tidak lebih tinggi dari tangga seribu.
Terlihat semua rombongan duduk bersimpuh penuh
hikmat mencontoh sikap Ki Demang. Mahesa Amping
memperhatikan beberapa orang memantau keadaah
diluar Pura, sementara itu pasukan panah terlihat
bersembunyi disepanjang pagar batu dengan busur dan
anak panah yang siap sedia.
"Hujan panah akan melumatkan siapapun yang
datang mendekat",berkata Mahesa Amping dalam hati.
Akhirnya seorang penjaga datang bersama dengan
seorang yang terlihat sepertinya atasannya.
"Aku Demang Amararatu membawa lima puluh orang
Kademangan Rendang untuk berbakti", berkata Ki
Demang sambil menjura penuh hormat sepertinya sudah
terbiasa datang ke Pura Besakih.
1234 "Bakti kalian diterima oleh Penguasa Pura Besakih",
berkata orang yang bersama penjaga itu sambil memberi
tanda kepada Ki Demang untuk membawa rombongannya masuk ke lawang Pura lebih dalam lagi.
Akhirnya rombongan dari Kademangan Rendang itu
telah sampai di puncak tanah yang lapang.
"Aku Jero Mangku Sanga, mulai saat ini akulah
pimpinan kalian selama di Pura Besakih ini", berkata
orang itu yang mengaku sebagai Jero Mangku Sanga
dengan suara yang keras dan parau.
Terlihat seorang yang lain datang mendekati Jero
Mangku Sanga itu. "Aku perlu sepuluh orang petugas untuk membantu di
dapur umum", berkata orang itu.
"Aku akan memilih diantara mereka", berkata Jero
Mangku Sanga sambil memeriksa satu persatu
rombongan dari Kademangan Rendang.
"Pak tua, sebaiknya kamu keluar dari rombongan ini",
berkata Jero Mangku Sanga kepada Ki Amararaja.
Maka terlihat Ki Amararaja keluar misahkan diri dari
rombongannya. "Orang setua kamu pantasnya di dapur umum",
berkata Jero Mangku Sanga kepada Ki Jaran Waha.
Terlihat Ki Jaran Waha dengan tanpa menyanggah
apapun ikut memisahkan diri mendekati Ki Amararaja.
Selanjutnya Jero mangku Sanga memeriksa satu
persatu orang-orang dari Kademangan Rendang yang
sebenar adalah para penyusup.
Akhirnya Jero Mangku Sanga dapat memilih delapan
orang lagi yang kesemuanya adalah para pengikut Ki
1235 Jaran Waha yang umumnya adalah orang-orang yang
berilmu cukup tinggi, pengikut papan lapis atas yang
setia yang dari segi usia memang sudah tidak dapat
dikatakan sebagai pemuda lagi.
"Bawalah kesepuluh orang ini bersamamu", berkata
Jero mangku Sangan kepada kawannya.
Maka terlihat kawan Jero Mangku Sanga membawa
kesepuluh orang dari rombongan yang akan ditugaskan
sebagai pembantu juru masak di dapur umum.
"Menjelang senja kalian berkumpul kembali disini,
Raja Adidewalancana berkenan memberikan wejangan",
berkata Jero Mangku Sanga sambil menunjukkan sebuah
barak yang kosong untuk mereka beristirahat.
"Maaf, apakah aku sudah diperbolehkan kembali ke
Kademanganku", bertanya Ki Demang kepada Jero
Mangku Sanga. "Penguasa Pura Besakih tidak akan melupakan
baktimu, silahkan kamu kembali", berkata Jero Mangku
Sanga kepada Ki Demang sambil melangkah
meninggalkan mereka. Sebelum berangkat Ki Demang menghampiri Mahesa
Amping untuk pamit diri. "Buatlah hubungan kepetugas sandi di Pasar
Kademangan", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Demang sambil memberikan beberapa tanda rahasia.
"Dari sini aku akan langsung ke pasar Kademangan",
berkata Ki Demang kepada Mahesa Amping.
Terlihat Ki Demang melangkahkan kakinya turun
Si Dungu 4 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Pengelana Rimba Persilatan 7
dua buah ubi rebus. "Habisi saja, nanti malam ceritanya lain lagi", berkata
salah seorang yang tengah memakan ubi rebus yang
kedua. Semua orang sepertinya membenarkan ucapan
terakhir itu, nanti malam memang lain cerita karena akan
datang kiriman lagi. Sementara itu, matahari di atas Padukuhan Padang
Bulia ternyata sudah begitu lelah, cahayanya sudah
semakin memudar dan akhirnya redup diujung batas
cakrawala. Dan langit malampun perlahan datang
menyelimuti bumi, merabunkan setiap pandangan
menjadi tersamar yang berujung kepada kegelapan yang
semakin merata. Perlahan malam telah datang
membekap bumi dalam gelap dan kesenyapan yang
semakin sunyi. 1161 Dalam warna malam yang samar, terlihat
segerombolan orang berkuda tengah keluar dari sebuah
hutan. Terlihat semakin jelas ketika mereka berada
diatas tanah rawa galam yang berair dangkal. Ternyata
mereka mengarah kepadukuhan Padang Bulia.
Ketika langkah kaki kuda mereka telah mendekati
Padukuhan Bulia, mereka berpencar menjadi tiga
kelompok. Masing-masing berjalan mengarah tempat
yang berbeda. Tiga kelompok yang berpisah itu tidak
satu pun yang datang lewat regol depan Padukuhan
Padang Bulia, mereka terlihat masuk lewat arah lambung
Padukuhan Padang Bulia disisi yang berbeda.
Terlihat satu kelompok telah masuk disisi ujung
Padukuhan Padang Bulia, sementara dua kelompok
lainnya bersembunyi di kegelapan malam, di semaksemak yang tinggi, di beberapa rumpun bambu yang
kerap. "Singkirkan semua penghuninya keluar rumah",
berkata Badrun yang ternyata menjadi pimpinan
kelompok yang telah masuk terlebih dahulu lewat sisi
ujung Padukuhan itu. Terlihat sepuluh orang telah turun dari kudanya dan
berendap mendekati dua buah rumah yang terletak
diujung Padukuhan. "Jangan sakiti kami", teriak seorang wanita yang
penuh ketakutan melihat lima orang berwajah beringas
sudah masuk lewat pintu butulan yang berhasil mereka
dobrak. "Bawalah semua yang ada dirumah ini, kami akan
membakarnya", berkata Badrun dengan mengacungkan
golok panjangnya dihadapan wanita yang menangis
penuh ketakutan. 1162 Mendengar bahwa rumahnya akan dibakar, tanpa
berpikir panjang lagi wanita itu membangunkan dua
orang anaknya yang masih kecil. "Mari kita keluar, rumah
kita akan dibakar", berkata wanta itu mengapit kedua
anaknya setengah berlari keluar rumah.
"Tetaplah disini", berkata Badrun sambil mengancam
wanita itu untuk tidak kemana-mana diam dihalaman
muka rumahnya. Di rumah yang lain, lima orang anak buah Badrun
telah berbuat yang sama mengeluarkan penghuni
rumahnya. Tidak lama kemudia sudah terlihat lidah api
mulai menjilati kayu-kayu bagian rumah dan akhirnya
menyelinuti seluruh bangunan rumah dengan lidahnya
yang merah membumbung tinggi.
Bersamaan dengan itu sepuluh orang berkuda sudah
tidak terlihat lagi menghilang di kegelapan malam.
"Kebakaran!!!!", teriak seorng peronda yang melihat
cahaya merah diujung Padukuhan.
Maka semua mata tertuju ke ujung Padukuhan yang
berwarna terang menyala merah. Tanpa berpikir apapun
segera mereka berlari kearah sinar merah di ujung
Padukuhan. "Cari air, kita harus memadamkannya", berkata
seorng lelaki yang ternyata adalah pemilik rumah itu
sendiri yang meninggalkan istri dan anaknya ikut
meronda. Maka terlihatlah kesibukan yang luar biasa dari
semua orang lelaki untuk memadamkan dua buah rumah
di ujung Padukuhan itu. Sementara itu disalah satu rumah seorang saudagar
kaya di Padukuhan Padang Bulia, dua orang penjaga
1163 rumah telah mendengar keributan orang-orang yang
berlari sambil berteriak ada kebakaran.
"Ada kebakaran di ujung Padukuhan", berkata salah
seorang penjaga kepada saudagar yang telah ikut keluar.
"Biarkan saja, tetaplah disini", berkata saudagar itu
melarang dua orang penjaganya untuk ikut membantu
memadamkan kebakaran. Kedua orang penjaga itu terlihat serba salah, di hati
mereka ada keinginan untuk turun membantu. Namun
perasaan itu hanya sebentar mengendap di hati dua
penjaga itu, karena tiba- tiba saja entah dari mana
datangnya muncul dari kegelapan malam sesosok tubuh
memakai cadar hitam menutupi sebagian wajahnya.
"Kenapa kalian tidak keluar rumah membantu
tetanggamu yang kebakaran?", berkata orang itu dengan
suara yang keren penuh kewibawaan dan sangat tenang
sekali. Kedua orang penjaga itu ternyata orang-orang yang
sudah mapan menghadapi sebuah kekerasan, mereka
adalah para jagoan pasar yang sudah diketahui
keberaniannya oleh saudagar kaya itu. Itulah sebabnya
saudagar kaya itu mempercayai rumahnya dijaga oleh
mereka. Melihat seorang yang mencurigakan datang diiringi
empat orang dibelakangnya, maka dengan sigap kedua
orang penjaga itu telah melepaskan senjatanya dari
sarungnya. Namun belum lagi senjata itu mapan dalam
genggamannya, tiba-tiba saja dirasakan tangannya
berbentur oleh sebuah benda keras, seketika senjatanya
terpental dan merasakan tulang tangannya seperti remuk
lemah tidak berdaya. 1164 Bukan main kagetnya kedua penjaga itu, tapi rasa
kagetnya hanya sebentar karena belum sempat
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, sebuah
pukulan keras menghantam rahang pipinya. Terbelalak
mata saudagar itu melihat sendiri dua orang penjaganya
telah roboh tergeletak di lantai kayu pendapa rumahnya.
"Aku tidak akan mencelakaimu, tunjukkan dimana
kau simpan semua hartamu", berkata orang bercadar itu
kepada saudagar itu sambil menempelkan senjatanya
yang terasa dingin dikulit lehernya.
Sementara itu empat orang yang mengiringi orang
bercadar itu sudah menyelinap memasuki semua bilik
yang ada dirumah saudagar itu. Tidak lama kemudian,
semua penghuni rumah saudagar itu sudah dapat
dilumpuhkan, mereka diikat di biliknya masing-masing.
"Ternyata istrimu masih begitu muda", berkata orang
bercadar itu ketika bersama saudagar itu masuk ke bilik
utama yang cukup luas. Disana mereka mendapatkan
istrinya sudah dalam keadaan terikat.
Mendengar ucapan perampok itu tentang istrinya,
pikiran saudagar itu menjadi semakin bercabang
dipenuhi kecemasan yang lain yang lebih menakutkan
dari kematian, sebuah kecemasan yang begitu
memuncak atas kekhawatiran perampok itu ada
keinginan atas istrinya. Kecemasan yang sudah merasuk jauh itulah yang
membuat saudagar itu dengan sukarela memberikan
semua harta yang dimiliki, semua harta yang sudah lama
dikumpulkannya yang selama ini telah mengangkat
harkat dan martabat dirinya dan keluarganya menjadi
orang yang dihormati di Padukuhan Padang Bulia.
"Terima kasih atas kerelaanmu menyerahkan semua
1165 hartamu. Raja Adidewalencana pasti akan merasa
sangat berterima kasih", berkata orang bercadar itu
sambil meninggalkannya duduk lemas di tepi
peraduannya. Saudagar itu masih duduk di pinggir peraduannya,
ada kelegaan bahwa para perampok itu telah
meninggalkannya tanpa menganiaya dirinya, juga
istrinya. Yang dirasakan saudagar itu adalah rasa syukur
bahwa nyawanya masih utuh, masih dapat melewati harihari berikutnya. Diam-diam saudagar kaya itu mulai
menyadari begitu tingginya nilai keselamatan diri dan
keluarganya dibandingkan dengan sebuah harta yang
melimpah. "Terima kasih gusti, engkau masih
sampai hari ini", berkata Saudagar
menarik nafas panjang, merasakan
masuk kerongga dadanya, merasakan
sangat. memberiku hidup kaya itu sambil nafasnya sendiri rasa syukur yang Sementara itu dalam waktu yang bersamaaan di
rumah saudagar yang lainnya, kejadian yang samapun
dialami oleh saudagar itu dan semua penghuninya.
Lain lagi yang terjadi dirumah Ki Buyut, rumah itu
hanya ada para wanita dan anak-anak. Ternyata Ki Buyut
dan pembantu laki-lakinya sudah keluar rumah
membantu memadamkan kebakaran yang terjadi atas
dua buah rumah warganya yang berada di ujung
Padukuhan Padang Bulia. Maka dengan mudah Badrun
dan kawan-kawannya menggasak semua harta yang ada
dirumah Ki Buyut tanpa perlawanan apapun.
Akhirnya dengan segala upaya dan semangat yang
kuat, dua rumah yang terbakar itu telah dapat
dipadamkan. Semua orang terlihat menarik nafas lega,
1166 masih ada beberapa bagian yang dapat diselamatkan.
Namun baru saja mereka merasakan kelegaannya,
tiba-tiba saja seorang anak lelaki tanggung berlari
menemui Ki Buyut. "Ayah "..," Terlihat anak lelaki itu
dengan air wajah penuh kegundahan itu memeluk Ki
Buyut yang ternyata ayahnya sendiri.
"Katakan apa yang terjadi", berkata Ki Buyut sambil
mengguncang tubuh anak lelakinya.
"Rumah kita didatangi perampok", berkata anak lelaki
itu kepada Ki Buyut. Maka sadarlah Ki Buyut dan semua warga yang ada,
bahwa mereka telah diperdayai oleh para perampok.
Terlihat Ki Buyut dan hampir semua orang berlari menuju
rumah Ki Buyut. Sambil berlari, pikiran Ki Buyut hampir
kosong, yang ada adalah secepatnya sampai dirumah
dan melihat apa yang telah terjadi. Apapun yang terjadi
!!!. Hanya itu yang ada di benak Ki Buyut.
Ketika masuk kehalaman muka rumahnya, dilihat
suasana begitu lengang. Dengan tidak sabaran lagi Ki
Buyut sudah langsung menerobos masuk kerumahnya
sendiri. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya ketika
dilihatnya istri dan kedua orang pembantunya masih
dalam keadaan terikat tidak cidera sedikitpun. Sementara
itu dibelakang Ki Buyut berturut-turut datang beberapa
orang lelaki warganya. "Kamu tidak apa-apa Nyi?", bertanya Ki Buyut
kepada istrinya sambil membuka tali yang mengikat
tubuh istrinya. "Mereka telah mengambil semua harta milik kita",
berkata Istrinya yang masih belum hilang rasa
gemetarnya. 1167 "Kita telah diperdayai", berkata Ki Buyut dengan
wajah penuh kegeraman. "Mari kita kejar, mereka pasti belum jauh", berkata
salah seorang warganya mengajak semua orang
mengejar para perampok. "Tapi kita tidak tahu kemana arah mereka", berkata
seorang lagi yang sebenarnya pernyataannya itu berawal
dari rasa kepengecutan hati menghadapi para perampok.
Namun pernyataan itu telah menyiram semangat
semua orang yang telah bersiap-siap untuk melakukan
pengejaran. Terlihat beberapa orang sudah menjadi
ragu, akhirnya semua mata tertuju kepada Ki Buyut.
"Bila kita berhasil mengejarnya, apakah kita mampu
melawannya?", berkata Ki Buyut melempar lagi
keputusannya kepada warganya.
Terlihat semua orang berpikir, beberapa orang malah
bertanya pada diri sendiri apa keuntungannya mengejar
para perampok, bukankah dirinya tidak ada kerugian
apapun" Ki Buyut dapat membaca keraguan warganya, juga
merasa sayang apabila ada korban nyawa dari peristiwa
itu. "Kita tidak tahu kekuatan mereka, besok kita
bicarakan bersama Ki Demang agar peristiwa ini tidak
terulang kembali", berkata Ki Buyut mengambil
keputusan untuk tidak mengejar para perampok.
Sementara itu para perampok sudah semakin jauh,
mereka tidak kembali ke persembunyiannya yang lama,
seperti gerombolan serigala yang mengembara, mereka
terus melangkah di kegelapan malam dan akhirnya
menemukan tempat persembunyian yang baru.
Demikianlah, seperti segerombolan serigala di
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
1168 padang perburuannya, mereka begitu sangat ditakuti.
Mereka datang dan pergi seperti angin, menghilang
tanpa jejak. Beberapa Padukuhan telah mendapatkan
giliran keonaran mereka yang cukup meresahkan.
Hingga begitu resahnya di Balidwipa saat itu kelompok
mereka disebut sebagai Barong Asu Ngelawang, sebuah
nama yang sangat mudah diingat dan begitu
menakutkan, terutama di saat menjelang malam.
"Saatnya kita mencuci tangan", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Amping di sebuah persembunyiannya.
"Aku belum dapat menangkap apa yang Paman Kebo
Arema maksudkan", berkata Mahesa Amping.
"Lakon Barong Asu Ngelawang harus diakhiri",
berkata Kebo Arema dengan memandang Mahesa
Amping menelisik apakah Mahesa Amping sudah dapat
menangkap arah pembicaraannya.
"Siapakah yang dapat mengakhirinya?", bertanya
Mahesa Amping. "Pasukan prajurit Singasari", berkata Kebo Arema
dengan suara mantap. "Pasukan yang dipimpin Kakang Mahesa Bungalan
datang dua hari lagi", berkata Mahesa Amping.
"Kita memanfaatkan Pasukan tidurmu yang berada di
Tanah Melaya", berkata Kebo Arema dengan wajah
penuh kecerahan. "Aku melihat di kepala Paman sudah terkumpul
sebuah babad yang mengasyikkan", berkata Mahesa
Amping kepada Kebo Arema yang dipercaya sudah
punya rencana cemerlang. Maka seperti yang diduga oleh Mahesa Amping,
ternyata Kebo Arema sudah punya sebuah rencana.
1169 Dengan rinci Kebo Arema menjabarkannya apa yang
harus dilakukan dalam rangka perang pencitraan itu.
"Kita harus bergerak cepat sebelum Penguasa Pura
Besakih dapat berpikir jernih", berkata Kebo Arema
mengakhiri penjelasannya.
"Hari ini aku akan berangkat ke Tanah Melaya
membawa pasukanku", berkata Mahesa Amping kepada
Kebo Arema. Demikianlah, pada hari itu juga Mahesa Amping telah
bersiap- siap untuk berangkat ke Tanah Melaya.
Terlihat seorang penunggang kuda telah keluar dari
sebuah hutan menyusuri bulakan panjang dan seperti
terbang menghentakkan kudanya berlari kencang
membelah padang ilalang, menyusuri lembah gunung
dan ngarai. Penunggang kuda itu ternyata adalah Mahesa
Amping yang telah banyak mengenal setiap tempat di
Balidwipa ketika bersama Empu Dangka sering
melakukan pengembaraan, nganglang ke berbagai
tempat. Mahesa Amping dalam perjalanannya terlihat
menghindari beberapa Padukuhan, dengan sangat
terpaksa harus jalan melingkar agar tidak memasuki
sebuah Padukuhan. Mahesa Amping sepertinya
mengejar waktu, namun di beberapa tempat sempat
beristirahat untuk menyegarkan kembali kudanya.
Mahesa Amping terus melakukan perjalanan meski
langit diatasnya telah berganti malam.
"Sebentar lagi kita akan sampai", berkata Mahesa
Amping sambil mengusap perut kudanya berhenti di
sebuah bukit kecil dikeremangan saat pagi menjelang.
1170 Terlihat Mahesa Amping mengikat tali kudanya di sebuah
batang kayu apok. Diatas sebuah rerumputan yang
masih basah berembun Mahesa Amping perlahan
merebahkan tubuhnya bersandar di sebuah batu besar.
Perlahan cahaya matahari diatas bukit kecil itu
menghangatkan rerumputan dan batu yang basah.
Pemandangan pagi hari di Bukit kecil yang hijau itu
begitu cerah. "Kuda yang kuat", berkata Mahesa Amping kepada
dirinya sendiri sambil membiarkan kudanya yang terlihat
tengah mengunyah rumput hijau dibawah pohon apok.
"Mari kita melanjutkan perjalanan", berkata Mahesa
Amping sambil menghentakkan perut kudanya dengan
kakinya. Terlihat Mahesa Amping tengah menuruni bukit kecil
yang hijau itu yang banyak ditumbuhi rerumputan dan
batu yang berlumut kehijauan diteduhi banyak pohon
besar yang rindang. "Kukira kamu masih lama baru datang kembali",
berkata Mahesa Semu yang menyambut kedatangan
Mahesa Amping di hutan kecil di Tanah Melaya.
"Kemarin kami menerima lima puluh ekor kuda",
berkata Wantilan bercerita tentang beberapa orang telah
membawa lima puluh ekor kuda untuk mereka.
"Ternyata Ki Jaran Waha dapat diandalkan", berkata
Mahesa Amping bercerita tentang salah satu sahabatnya
di Balidwipa. Akhirnya setelah beristirahat yang cukup, Mahesa
Amping bercerita dan menjelaskan beberapa hal tentang
rencananya bersama Kebo Arema melakukan perang
pembukaan yang disebutnya sebagai perang pencitraan.
1171 "Akan menjadi lakon yang sangat seru, sepasukan
prajurit Singasari menghentikan gerombolan Barong Asu
Ngelawang", berkata Wantilan menyukai rencana itu.
"Paman Kebo Arema berbakat menjadi seorang
dalang", berkata Sembaga ikut mengomentari.
Demikianlah, pada hari itu sekelompok pasukan kecil
prajurit Singasari berkuda telah keluar dari sebuah hutan.
Panas matahari yang terik mengiringi perjalanan
mereka menyusuri lembah dan ngarai, mendaki
perbukitan dan berlari kencang membelah padang
ilalang. Di beberapa tempat mereka berhenti sebentar
untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka
beristirahat, setelah itu mereka kembali melanjutkan
perjalanan mereka. Sengaja mereka melewati jalan-jalan yang sepi yang
tidak pernah dilewati oleh orang pada umumnya. Kadang
mereka harus jalan melingkar menghindari sebuah
padukuhan. "Apakah perjalanan kita masih panjang?", bertanya
Wantilan kepada Mahesa Amping ketika mereka tengah
menyusuri sebuah lembah dikaki sebuah bukit di malam
hari. "Menjelang dini hari kita akan sampai", berkata
mahesa Amping. Demikianlah, mereka terus berjalan melewati malam
diatas punggung kuda menyususri jalan-jalan yang sepi.
Akhirnya sebagaimana yang dikatakan oleh Mahesa
Amping, menjelang dinihari mereka telah sampai dimuka
hutan tempat gerombolan Kebo Arema menyembunyikan
dirinya. "Kamu tiba tepat waktu", berkata Kebo Arema
1172 menyambut Mahesa Amping dan kawan-kawannya yang
baru tiba. "Sepanjang malam kuda-kuda ini berjalan tanpa
istirahat", berkata Mahesa Amping sambil melompat
turun dari kudanya. "Beristirahatlah, masih ada waktu menjelang tengah
malam", berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping.
Terlihat rombongan yang baru datang itu telah
berpencar mencari beberapa tempat di hutan itu untuk
sekedar beristirahat. Sementara beberapa anak buah
Badrun tengah sibuk menyiapkan sarapan pagi yang
lebih banyak agar dapat juga dinikmati oleh rombongan
yang baru tiba itu. "Malam ini di Kademangan Padang Bulia akan ada
panggung seni gambang, mereka sudah membangun
tajuk besar di rumah Ki Demang", berkata Kebo Arema
kepada Mahesa Amping yang sudah nampak segar
setelah cukup beristirahat.
"Jadi pagelaran kita ikut meramaikan hiburan di
rumah Ki Demang?", berkata Mahesa Amping kepada
Kebo Arema. Sementara itu sebagaimana yang dikatakan oleh
Kebo Arema, di halaman muka rumah Ki Demang telah
berdiri sebuah tajuk besar, malam itu akan ada hiburan
kesenian gambang yang selalu digelar menjelang
pertengahan tahun bersamaan usainya pelaksanaan
upacara Odalan. Senja yang bening pun akhirnya pudar perlahan
meninggalkan wajah bumi berganti menjadi kekelaman
malam. Terlihat oncor berbaris sepanjang jalan Padukuhan
1173 induk menuju kediaman Ki Demang tempat keramaian
akan berlangsung. Beberapa orang sudah banyak
berkumpul di banjar desa meski pertunjukan masih lama
lagi. Kegembiraan terlihat pada wajah-wajah mereka.
Semakin malam, keramaian semakin bergeser
kerumah kediaman Ki Demang dimana seperangkat
gamelan gambang sudah siap diatas panggung. Terlihat
berduyun duyun orang mulai berdatangan baik dari
Padukuhan terdekat maupun juga dari Padukuhan
terjauh. Sepertinya semua orang di Kademangan
Padang Bulia tidak akan melepaskan hiburan ini,
mendengarkan suara pusaka gamelan gambang Ki
Seruduk yang hanya dibunyikan hanya pada saat usai
upacara odalan. Pada malam itu juga Ki Demang telah mengundang
Ki Jero Pitutur, seorang dalang dari Balidwipa yang
sudah kondang namanya. Demikianlah, menjelang malam hiburan itu diawali
sambutan sepatah dua patah kata Ki Demang yang
dilanjutkan dengan pembacaan mantra-mantra suci
membuka kain tabir pusaka gamelan Ki Seruduk.
Bersoraklah semua warga ketika terdengar iringan
suara gamelan gambang saling bersambut satu dengan
yang lainnya sebagai irama pembuka.
Sorak sorai pun bertambah meriah manakala sang
dalang kondang, Ki Jero Pitutur menyampaiakan sekapur
sirihnya bahwa lakon malam ini berjudul alap-alapan
Sukesi. Namun Ki Jero Pitutur diatas panggung seperti
termangu- mangu manakala suara sorak dan sorai yang
bergemuruh itu berubah menjadi sua jeritan dari para
penonton dibawahnya yang terlihat seperti sekumpulan
1174 semut diperciki air, bubar kucar- kacir dalam segala arah.
Ki Demang bersama para tamu kehormatannya
terlihat berdiri ingin tahu apa yang terjadi diluar sana
yang membuat para penonton berhamburan menyelamatkan dirinya bahkan ada yang terdesak
terhimpit hingga kedepan panggung.
Ternyata keingin tahuan Ki Dalang atas apa yang
telah terjadi akhirnya terjawab juga, ketika para
kerumunan penonton sudah terkuak habis, jarak
pandangnya jadi lebih jauh dan tidak terhalang lagi.
Terperanjatlah Ki Demang ditajuknya dan Ki Jero
Pitutur dari atas panggung melihat diluar pagar halaman
rumah Ki Demang telah terjadi pertempuran yang sengit.
Ki Demang dan Ki Jero Pitutur melihat lima orang sudah
terkepung oleh sekelompok pasukan berkuda.
Tiba-tiba saja dua orang dari lima orang yang sedang
terkepung itu melenting jauh keluar dari kepungan masuk
ke halaman rumah Ki Demang tepat di bawah panggung.
Kedua orang itu terlihat memakai cadar hitam
diwajahnya. "Gerombolan Barong Asu Ngelawang!!", berkata
berbarengan dua orang saudagar dari Tajuk merasa
mengenal kedua orang bercadar hitam itu
Sementara itu melihat dua orang lolos dari kepungan,
dua orang berkuda berusaha mengejarnya ikut masuk ke
halaman rumah Ki Demang, sementara yang lainnya
masih terus semakin rapat mengepung tiga orang lainnya
yang terlihat semakin terdesak.
"Menyerahlah, kami prajurit Singasari akan
menangkapmu", berkata salah seorang prajurit sambil
turun dari kudanya yang ternyata adalah Mahesa
1175 Amping. "Menyerahlah, semua anak buahmu sudah kami
lumpuhkan", berkata seorang prajurit lagi yang terlihat
sudah cukup umur yang ternyata adalah Kebo Arema
telah turun dari kudanya.
Terlihat dua orang prajurit itu perlahan mendekati dua
orang bercadar hitam yang sudah terpojok di tepi
panggung. "Mari kita bertanding secara adil, satu lawan satu
tidak main kroyokan", berkata salah seorang dari orang
bercadar hitam itu. Tanpa perkataan lain lagi, terjadilah pertempuran
yang seru satu lawan satu antara prajurit Singasari dan
orang bercadar itu. Sementara itu diluar pagar halaman Ki Demang,
sepasukan prajurit Singasari terlihat sudah dapat
menguasai tiga orang yang tersisa yang telah terkepung
yang terlihat sudah putus asa langsung menyerahkan
dirinya. Maka dengan segera para prajurit mengikat
tubuh mereka.
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Masih diluar pagar halaman, telah berdatangan lagi
beberapa prajurit Singasari sambil membawa kawanan
Barong Asu Ngelawang yang sudah dalam keadaan
tubuh terikat. Terlihat beberapa orang warga yang telah pergi
berhamburan menjauh telah memberanikan dirinya
datang mendekat kembali. Mereka menyaksikan para tawanan prajurit Singasari
yang terikat tidak berdaya. Akhirnya keberanian mereka
bertambah untuk menyaksikan pertempuran didalam
halaman rumah Ki Demang yang masih berlangsung
1176 dengan serunya. Malam itu diterangi banyak oncor yang ada
sudut panggung dan tajuk besar serta cahaya
purnama telah cukup menerangi pertempuran satu
satu antara prajurit Singasari melawan dua
bercadar hitam. ditiap bulan lawan orang Ki Demang yang tidak buta sama sekali dengan olah
kanuragan melihat bahwa kedua orang bercadar hitam
itu sudah semakin terdesak.
"Kedua orang bercadar itu sudah semakin terdesak,
tataran ilmu kedua prajurit itu masih berada diatas
tataran lawannya", berkata Ki Demang memperhatikan
kedua pertempuran itu. Ternyata dugaan Ki Demang tidak meleset jauh,
terlihat lawan Mahesa Amping sudah semakin terdesak
dan dalam sebuah benturan senjata tidak mampu lagi
menguasai senjata ditangannya.
Trang !!!! Terdengar suara dua senjata beradu. Dan terlihat
sebuah golok panjang terlempar jauh.
"Menyerahlah", berkata Mahesa Amping kepada
lawannya yang terlihat memegang tangannya yang
kesakitan terasa kesemutan.
"Aku menyerah", berkata orang bercadar itu kepada
Mahesa Amping. Terlihat Mahesa Amping dengan sebuah isyarat
memanggil salah seorang prajurit yang terdekat untuk
mengikat kedua tangan orang bercadar itu yang sudah
menyerah. Sementara itu Kebo Arema masih terlihat melayani
1177 lawannya. Ternyata Kebo Arema dan lawannya itu
merasa sayang menyudahi pertempurannya ketika
dilihatnya lingkaran orang yang menontonnya sudah
semakin bertambah banyak.
"Paman Kebo Arema bukan cuma seorang dalang
yang mumpuni, sekaligus pemain sandiwara yang hebat",
berkata Mahesa Amping dalam hati yang melihat Kebo
Arema seperti sungguhan melayani lawannya.
Namun ternyata Kebo Arema dan lawannya telah
bosan bermain-main, maka dalam sebuah benturan
senjata terlihat lawannya telah melepaskan senjata golok
panjangnya melayang tinggi.
Ternyata kesempatan itu dipergunakan oleh Kebo
Arema sebagai hiburan tambahan, terlihat dengan
gesitnya Kebo Arema melompat keudara menangkap
golok panjang yang masih melayang tinggi itu dan
melakukan dua kali putaran tubuh diudara.
Deb".!!! Kedua kaki Kebo Arema telah turun dan jatuh kebumi
dengan mantapnya. Seluruh penonton yang menyaksikan adegan itu
bertepuk tangan tidak sadar saking kagum dan
terkesimanya melihat cara Kebo Arema merebut golok
panjang lawannya diudara dan juga cara kebo Arema
berputar diudara dan jatuh dengan keadaan yang
mantap di tanah. "Kamu memang bukan lawanku, aku menyerah",
berkata lawannya sambil mengangkat kedua tangannya
untuk siap diikat. Terlihat Kebo Arema memberi isyarat kepada salah
seorang prajurit Singasari untuk mengikatnya.
1178 Buka !!! Buka !!! Buka "..!!!
Terdengar teriakan semua orang yang melihat dua
orang bercadar sudah dalam keadaan terikat.
Maka Kebo Arema yang bergaya pahlawan
panggung segera mendekati dua orang bercadar kain
hitam itu. Perlahan dan satu persatu Kebo Arema membuka
kain cadar penutup wajah kedua orang gerombolan
Barong Asu Ngelawang itu. Ketika kain cadar hitam
sudah terlepas, terlihat kedua orang itu menundukkan
wajahnya. Ternyata kedua orang itu adalah Badrun dan salah
seorang anak buahnya. "Katakan siapakah yang menyuruh kalian membuat
keresahan di Balidwipa", berkata Kebo Arema lantang
sepertinya menginginkan semua orang mendengarnya.
"Raja Adidewalancana yang memerintah kami",
berkata Badrun menjawab pertanyaan Kebo Arema.
"Katakan sekali lagi agar semua orang mendengar
dan menjadi saksi", berkata Kebo Arema dengan suara
membentak "Raja Adidewalancana!!", berkata Badrun dengan
suara lantang. "Bagus, semua orang sudah dapat mendengarnya",
berkata Kebo Arema sambil bertolak pinggang.
Sementara itu terlihat para prajurit telah membawa
semua gerombolan yang tertawan ke halaman rumah Ki
Demang. "Terima kasih telah melumpuhkan gerombolan yang
sangat meresahkan kami", berkata Ki Demang yang
1179 datang mendekati Kebo Arema dan memperkenalkan
dirinya sebagai Demang di Padang Bulia itu.
"Kami mohon maaf telah merusak acara hiburan Ki
Demang", berkata Kebo Arema dengan gaya seorang
Senapati sungguhan. "Bermalamlah di rumah kami, pasukanmu nampaknya perlu beristirahat", berkata Ki Demang
menawarkan kemurahannya. "Pasukan kami sangat banyak", berkata Kebo Arema
bergaya ragu-ragu. "Lumbung kami tidak akan kekurangan, hitung-hitung
sebagai rasa terima kasih kami", berkata Ki Demang
setengah memaksa. "Semoga tidak merepotkan Ki Demang", berkata
Kebo Arema dengan gaya seperti sedikit terpaksa.
Sementara itu malam telah terasa sudah mulai larut,
beberapa orang warga terlihat sudah banyak yang telah
kembali pulang ke Padukuhannya masing-masing. Hanya
tersisa mereka yang tinggal di Padukuhan terdekat yang
merasa punya kewajiban ikut mengawasi para tawanan.
----------oOo---------JILID 13
Dipagi harinya, pasukan Singasari masih dijamu oleh
Ki Demang. Dalam kesempatan perbincangan Kebo
Arema berhasil meyakinkan Ki Demang bahwa Pasukan
Singasari bermaksud untuk membersihkan kekuasaan
perdagangan yang selama ini dikendalikan lewat
penguasa Pura Besakih dan pelindungnya para
saudagar dari Tanah Hindu.
1180 "Yakinlah, pasukan Singasari tidak akan mengganggu ketenteraman warga Balidwipa", berkata
Kebo Arema kepada Ki Demang.
Barulah menjelang matahari sudah semakin
menanjak, tanah bumi sudah terang benderang, Kebo
Arema dan pasukannya mohon pamit diri.
"Para tawanan akan kami amankan untuk sementara
waktu", berkata Kebo Arema kepada Ki Demang ketika
akan berpisah meninggalkan kademangan Padang Bulia.
Demikianlah, pasukan Singasari terlihat telah
semakin jauh dari Kademangan Padang Bulia bermaksud
kembali ke Tanah Melaya. "Ada baiknya kamu membawa beberapa orang ke
Pura Indrakila, mungkin mereka dapat banyak
membantu", berkata Kebo Arema memberi saran kepada
Mahesa Amping. "Aku akan mengajak Kakang Mahesa Semu, Paman
Wantilan dan Paman Sembaga", berkata Mahesa
Amping menyetujui usul dari Kebo Arema.
Akhirnya, disebuah persimpangan jalan mereka
terpaksa berpisah. "Kebersamaan kami hanya sampai disini", berkata
Mahesa Amping ketika berada di persimpangan jalan.
"Jalur sandi kita tidak boleh terputus", berkata Kebo
Arema mengingatkan Mahesa Amping.
"Aku akan memberi kabar dalam dua tiga hari ini",
berkata Mahesa Amping yang berhenti di persimpangan
jalan bersama Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga.
1181 Sementara itu matahari diatas langit sudah mulai
bergeser turun, cakrawala langit biru begitu cerah
dipenuhi gerumbul awan putih.
Terlihat bunga-bunga liar dan tangkai ilalang menari
tertiup angin yang bertiup sepoi basah.
"Mari kita melanjutkan perjalanan", berkata Mahesa
Amping kepada Mahesa Semu, Wantilan dan Sembaga
ketika melihat Kebo Arema dan Pasukannya telah mulai
menjauh menghilang di sebuah tikungan jalan.
Perjalanan menuju Pura Indrakila memang tidak
begitu panjang, apalagi bila berkuda dan berjalan diatas
tanah rata yang biasa digunakan oleh para saudagar
menarik gerobag kudanya. Maka menjelang sore hari mereka sudah tiba
dibawah kaki gunung Pura Indrakila.
Sementara itu Kebo Arema dan pasukannya juga
mengalami kelancaran dalam perjalanannya. Mereka pun
memilih jalan tanah rata yang biasa digunakan para
saudagar menarik gerobak kudanya.
Baru ketika malam telah mulai turun, Kebo Arema
dan pasukannya telah kembali di Hutan Tanah Melaya.
"Hari ini kamu dan semua anak buahmu telah selesai,
aku tidak akan menghalangi kemanapun kalian akan
pergi", berkata Kebo Arema kepada Badrun.
Terlihat Badrun menarik nafas panjang, tidak tahu
apa yang tengah dipikirkannya.
"Dimata orang-orang Pura Besakih kami adalah
penghianat, mereka akan mencari kami sebagai buronan.
Tempat yang paling baik sampai saat ini adalah berdiri
bersama tuan", berkata Badrun dengan wajah penuh
harap. 1182 Bergantian, saat itu Kebo Arema yang terlihat
menarik nafas panjang. Apabila ada Mahesa Amping
mungkin dapat berbagi pendapat.
Terlihat Kebo Arema tengah berpikir keras apa yang
harus dikatakan kepada Badrun yang masih menunggu
jawaban dari Kebo Arema. "Baiklah, kalian ku terima",
berkata Kebo Arema singkat
Bukan main gembiranya Badrun mendengar
pernyataan Kebo Arema yang singkat. "Terima kasih
tuan", berkata Badrun penuh kegembiraan."Aku akan
menyampaikan berita gembira ini kepada semua anak
buahku", berkata kembali sambil mohon pamit untuk
menemui semua anak buahnya.
Sementara itu, di Pura Besakih berita tentang
tertangkapnya gerombolan Barong Asu Ngelawang
sudah sampai di telinga mereka.
"Mereka telah membajak orang-orang upahan kita",
berkata Raja Adidewalancana dengan nada penuh
kekecewaan. "Bahkan mereka telah membawa ular-ular itu
kerumah kita sendiri", berkata Dewa Bakula menambahkan. "Peperangan awal ini telah mereka menangkan,
keberpihakan penduduk sudah mereka rebut. Saat ini
yang kita harapkan adalah bantuan dari luar". Berkata
Adidewalancana kepada Dewa Bakula.
"Masih ada harapan, pukulan pertama tidak
menjamin sebuah kemenangan", berkata Dewa Bakula
memberi harapan kepada Raja Adidewalancana.
1183 "Yang pasti kita harus lebih hati-hati lagi, kekuatan
orang-orang Singasari tidak boleh diremehkan", berkata
Adidewalancana. "Para saudagar dari Tanah Hindu tidak akan
meninggalkan kita", berkata Dewa Bakula memberikan
keyakinan kepada Raja Adidewalancana agar tidak
begitu khawatir. Ternyata ucapan Dewa Bakula bukan cuma usapan
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jempol, lima ratus orang prajurit bayaran pada hari itu
telah memasuki perairan Balidwipa lewat pantai
baratnya. Malam telah menyisakan sedikit kegelapannya
manakala semburat merah fajar di ufuk timur telah
terbangun di cakrawala langit Pura Indrakila. Mahesa
Amping terlihat sudah terbangun dan duduk di sisi
peraduannya. Telinganya yang tajam mendengar suara
burung hantu tidak begitu jauh dari tempatnya.
Terlihat Mahesa Amping telah keluar dari biliknya
langsung menuju pendapa Bale Guru. Dikeremangan
pagi itu Mahesa Amping melihat di halaman muka
seseorang lelaki mendekati pendapa Bale Guru.
"Kukira telingaku yang salah mendengar suara
burung hantu menjelang pagi", berkata Mahesa Amping
kepada orang itu yang ternyata adalah Ki Jaran Waha.
"Maaf telah membangunkanmu", berkata Ki Jaran
Waha sambil melangkah menaiki anak tangga pendapa.
Cahaya dua buah pelita dipendapa Bale Guru itu
sudah terlihat redup, warna merah cakrawala langit
diatas halaman muka Bale Guru sudah mulai merata.
1184 "Aku sudah biasa bangun di awal pagi", berkata
Mahesa Amping sambil mempersilahkan Ki Jaran Waha
duduk bersamanya. "Aku datang membawa dua buah berita", berkata Ki
Jaran Waha kepada Mahesa Amping setelah duduk
bersama di pendapa. "Aku tidak sabar untuk mendengarnya", berkata
Mahesa Amping. Namun belum sempat Ki Jaran Waha menyampaikan
beritanya, dari pintu butulan muncul Ki Arya Sidi.
"Ternyata sudah ada tamu di pagi hari", berkata Ki Arya
Sidi yang datang menghampiri.
"Konon katanya sarapan pagi di Pura Indrakila sangat
istimewa, itulah sebabnya aku mampir kemari diawal
pagi", berkata Ki Jaran Waha penuh senyum
memperlihatkan sebaris giginya yang rata dan putih.
Suasana di Pendapa bale Guru itu menjadi lebih
ramai lagi manakala Mahesa Semu, Wantilan dan
Sembaga ikut bergabung. Mahesa Amping segera
memperkenalkan Ki Jaran Waha kepada Sembaga,
Wantilan dan Mahesa Semu.
"Mereka bertiga dari Padepokan Bajra Seta", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha.
"Mahesa Amping telah bercerita tentang Ki Jaran
Waha sebagai seorang tengkulak kuda yang jempolan",
berkata Wantilan bercerita tentang lima puluh ekor kuda
kiriman Ki Jaran Waha. "Aku memilih kuda terbaik untuk kalian", berkata Ki
Jaran Waha penuh gembira mendapat julukan baru
sebagai tengkulak kuda. 1185 Suasana diatas pendapa Bale Guru Pura Indrakila itu
menjadi lebih meriah lagi manakala seorang pelayan
membawa minuman dan makanan hangat.
"Akhirnya yang kutungu datang juga", berkata Ki
Jaran Waha sambil memperhatikan pelayan lelaki yang
tengah meletakkan makanan dn minuman di pendapa
Bale Guru. "Mudah-mudahan Ki Jaran Waha tidak melupakan
berita yang akan disampaikan setelah perutnya terisi",
berkata Mahesa Amping bercanda yang disambut tawa
dari semuanya. Terlihat semua menikmati hidangan pagi itu di
pendapa Bale Guru Pura Indrakila.
"Sepagi ini biasanya aku sudah turun ke sawah,
sementara disini duduk menikmati hidangan pagi",
berkata Sembaga sambil meneguk wedang sere
hangatnya. Sambil menikmati hidangan pagi itu, akhirnya Ki
Jaran menyampaikan dua buah berita penting kepada
Mahesa Amping. "Berita pertama yang kubawa adalah pemberitahuan
bahwa aku sudah menyiapkan dua buah lumbung untuk
para prajurit Singasari", berkata Ki Jaran Waha kepada
Mahesa Amping "Terima kasih", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Jaran Waha. "Berita kedua, beberapa orangku telah melihat
sebuah jung besar memasuki perairan pantai barat
Balidwipa", berkata Ki Jaran Waha dengan wajah penuh
ketegangan kepada Mahesa Amping.
1186 Terlihat semua mata di pendapa Bale Guru itu tertuju
kepada Mahesa Amping, berharap Mahesa Amping
dapat memberikan keputusan dan pandangannya.
"Kita berbagi tugas", berkata Mahesa Amping setelah
berpikir sejenak. Semua yang ada di atas pendapa Bale
Guru Pura Indrakila itu sepertinya tidak sabaran menanti
perkataan Mahesa Amping selanjutnya.
"Ki Jaran Waha didampingi Kakang Mahesa Semu
berangkat ke Bandar Buleleng untuk memandu dimana
letak titik lumbung disamping juga untuk menyampaikan
bahwa pihak lawan telah mendatangkan kekuatan dari
luar", berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha
dan Mahesa Semu. Terlihat Mahesa Amping mengalihkan pandangannya
ke arah Wantilan dan Sembaga. Diam-diam Sembaga
merasa bangga bahwa anak kecil momongannya itu
telah tumbuh dewasa, penuh kepercayaan diri yang
tinggi. "Paman Wantilan dan Paman Sembaga ikut
bersamaku kembali ke Tanah Melaya. Mudah-mudahan
kita dapat menahan untuk sementara kekuatan lawan
yang datang dari luar itu", berkata Mahesa Amping
kepada Wantilan dan Sembaga.
"Kita belum mengetahui berapa besar kekuatan
lawan, menurut orang-orangmu berapa perkiraan
kekuatan yang akan masuk itu", berkata Ki Arya Sidi
kepada Ki jaran Waha. "Sekitar lima ratus orang", berkata Ki Jaran Waha
memperkirakan. "Kekuatan kita di Tanah Melaya saat ini hanya
berkisar seratus orang", berkata Mahesa Amping.
1187 "Jumlah tidak selalu mendukung kemenangan",
berkata Ki Arya Sidi. "Tugas kita hanya menghambat mereka, sambil
menanti bantuan dari Bandar Buleleng", berkata Mahesa
Amping penuh percaya diri dan tidak merasa ada beban
yang berat. "Apakah aku dan para Sisya dapat diijinkan ikut
bersamamu ke Tanah Melaya?", bertanya Ki Arya Sidi
kepada Mahesa Amping. "Hanya sebatas untuk menambah pengalaman,
kurasa dapat kuijinkan", berkata Mahesa Amping dengan
perasaan berat hati membawa para Sisya ke medan
perang. "Ki Arya Sidi kuminta dapat mengawasi mereka",
berkata Mahesa Amping melanjutkan.
Maka pada hari itu juga Mahesa Amping dan
rombongannya telah keluar dari Pura Indrakila menuju
Tanah Melaya. Sementara itu Ki Jaran Waha dan
Mahesa Semu sudah berangkat lebih dulu melihat titik
persedian lumbung dan menyampaikan kabar ke Bandar
Buleleng. Sementara itu di Hutan Tanah Melaya, Kebo Arema
sudah mendapat berita tentang akan datangnya dua
buah jung lewat orang-orang Ki Subali yang juga telah
disebar mengamati keadaan.
"Apakah kamu dapat memperkirakan berapa jumlah
mereka?", bertanya Kebo Arema kepada utusan Ki
Subali. "Perkiraanku berkisar antara lima ratus orang",
berkata orang utusan Ki Subali itu.
"Terima kasih untuk beritanya", berkata Kebo Arema
ketika utusan itu pamit untuk kembali.
1188 Terlihat Kebo Arema memanggil Badrun dan
bercerita tentang berita akan masuknya orang-orang
upahan sebagaimana dirinya.
"Kamu lebih mengenal mereka dibandingkan aku",
berkata Kebo Arema kepada Badrun.
"Yang pasti mereka akan merapat diujung malam
menjelang pagi", berkata Badrun memperkirakan kapan
mereka akan merapat. "Garis pantai barat Balidwipa ini cukup luas, apakah
kamu dapat memperkirakan dimana mereka akan
merapat", bertanya kembali Kebo Arema kepada Badrun.
"Sepanjang pantai barat ini adalah pantai yang
landai, mereka akan merapat dengan jukung", berkata
Badrun yang telah punya banyak pengalaman dengan
daerah perairan di sekitar pantai barat Balidwipa.
"Kurasa pantai terbaik untuk merapat adalah pantai
Tanah Melaya ini", berkata kembali Badrun melanjutkan
penjelasan dan perkiraannya.
"Terima kasih, bersiaplah untuk menyambut
kedatangan mereka", berkata Kebo Arema kepada
Badrun. Maka pada hari itu juga Kebo Arema telah
mengumpulkan orang-orangnya yang terdiri para prajurit
Singasari, para pengikut Ki Jaran Waha dan anak buah
Badrun. "Hari ini kita akan menghadapi sebuah pasukan yang
lebih besar dari kita", berkata Kebo Arema dengan suara
yang lantang penuh kewibawaan. "Kita sambut mereka
dengan hujan panah selamat datang", berkata kembali
Kebo Arema memberikan penjelasan secara rinci
bagaimana menghadapi mereka. "Beristirahatlah, masih
1189 ada waktu menjelang akhir malam", berkata Kebo Arema
memberi kesempatan pasukannya untuk beristirahat
mempersiapkan diri. Dan waktu pun terus berlalu, di ujung senja suasana
hutan diujung pantai Tanah Melaya itu sudah menjadi
jauh lebih gelap dibandingkan suasana diluar hutan yang
telah redup dan bening. Namun ketika malam telah turun
menyelimuti Tanah Melaya, suasana kegelapan sudah
menjadi merata. Didalam suasana malam itulah rombongan Mahesa
Amping telah tiba di Hutan Tanah Melaya.
"Pihak lawan akan segera merapat, itulah sebabnya
kami datang kemari", berkata Mahesa Amping kepada
Kebo Arema yang menyambut kedatangannya.
"Kami tengah mempersiapkan diri", berkata Kebo
Arema yang menjelaskan rencananya menghadapi
pasukan lawan. "Ternyata Sri Baginda Maharaja Singasari tidak salah
mata, meminta Paman Kebo Arema mendampingiku",
berkata Mahesa Amping yang melihat kesiapan pasukan
didalam hutan itu. "Masih ada waktu untuk kalian beristirahat setelah
menempuh perjalanan panjang", berkata Kebo Arema
mempersilahkan rombongan Mahesa Amping untuk
beristirahat. Setelah mendapatkan beberapa penjelasan dari
Mahesa Amping apa yang harus mereka persiapkan,
rombongan yang baru tiba itu terlihat mencari tempat
untuk beristirahat. Dan waktupun terus merambat perlahan menjelajahi
perjalanan malam yang terus berlalu dalam kesenyapan
1190 dan kesunyiannya. Suara binatang malam kadang
terdengar ditingkahi semilir angin dingin menembus lewat
celah dahan ranting di hutan Tanah Melaya itu.
"Kami melihat ada dua buah jung besar telah
menjatuhkan jangkarnya di perairan pantai Tanah
Melaya", berkata salah seorang yang telah ditugaskan
mengawasi daerah perairan sekitar pantai.
"Kembalilah ketempatmu, kami menanti kabar
selanjutnya", berkata Kebo Arema kepada orang itu yang
langsung kembali bertugas mengamati perairan.
Terlihat Kebo Arema memeriksa kembali kesiapan
pasukannya. Sementara itu malam terus merambat,
hampir semua orang didalam hutan itu merasakan
perasaan yang mencekam. Berbagai pikiran dan anganangan selalu menyinggahi benak mereka terutama
kesepuluh orang muda para sisya dari Pura Indrakila.
"Mereka akan menemui pertempuran sebenarnya", berkata Ki Arya Sidi dalam hati.
yang Ternyata perkiraan Badrun tidak meleset jauh, disaat
dini hari kala hari masih begitu gelap, di keremangan
suasana di ujung malam itu orang-orang yang diutus
untuk mengamati keadaan perairan telah melihat begitu
banyak jukung mendekati kearah pantai.
"Mereka masih jauh dari pantai", berkata salah
seorang petugas kepada kawannya yang terlihat tengah
menyiapkan panah sanderannya.
Maka ketika terlihat jukung-jukung kecil itu telah
mendekati garis pantai, maka terlihatlah sebuah panah
sanderan berapi melesat keudara.
1191 Bukan main kagetnya orang-orang yang masih diatas
jukungnya itu melihat begitu banyak cahaya obor
dikegelapan malam memenuhi garis pantai.
Ternyata Kebo Arema telah memberikan perintah
untuk setiap orang membawa dua buah obor. Maka
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pasukannya menjadi dua kali lipat jumlahnya terlihat dari
arah lepas pantai. Hampir setiap orang diatas jukung itu menjadi gentar,
dua tiga jukung yang sudah mendekati garis pantai
terlihat berbalik arah diikuti oleh yang lainnya. Maka
suasana di garis pantai itu begitu semraut antara jukung
yang datang dan yang bermaksud kembali.
Ditengah kekacauan dan kesemrautan itulah
meluncur hujan panah. Dan korban pun terus berjatuhan
menimpa para pendatang itu.
Tiba-tiba seorang lelaki bertubuh tegap melompat ke
sebuah jukung yang akan berbalik badan, sebuah
sabetan pedang merobek leher orang yang terdepan dan
langsung roboh berlumuran darah.
"Siapapun yang berbalik arah akan mengalami nasib
serupa", berkata lelaki tegap itu dengan suara yang
mengguntur. Suara lelaki itu ternyata berhasil membuat orangorang yang bermaksud berbalik arah menjadi jerih,
apalagi yang melihat dengan mata kepalanya sendiri
bagaimana pedang itu menebas salah seorang
daripadanya. Puluhan jukung terlihat semakin mendekati garis
pantai, bersamaan dengan itu pasukan Mahesa Amping
dan Kebo Arema telah berlari mendekati tepian pantai.
1192 Terlihat orang-orang diatas jukung itu sudah
melompat keatas air dangkal, bersamaan dengan itu
pasukan Mahesa Amping dan Kebo Arema telah sampai
di bibir pantai. Akhirnya perang brubuh tak dapat lagi dihindarkan,
tidak dapat dielakkan lagi. Suara beradunya senjata
sudah mulai terdengar bercampur dengan suara riuh
teriakan dan sumpah serapah sebagai bagian yang tak
terpisahkan dalam sebuah pertempuran di peperangan
manapun. "Tetapkan hatimu", berkata Ki Arya Sidi sambil
membantu salah seorang Sisya yang nampak terdesak
mencoba membangunkan kembali semangat dan
keberaniannya. Disisi yang lain, para prajurit Singasari
menunjukkan kemapanannya dalam bertempur
telah Sementara itu disisi yang lain lagi, para pengikut Ki
Jaran Waha ternyata adalah orang-orang pilih tanding,
tidak salah penilaian orang selama ini bahwa satu orang
pengikut Ki jaran Waha sepadan dengan sepuluh orang
prajurit. Mereka dengan mudahnya melumpuhkan satu
persatu lawan mereka yang datang mendekat.
Sampai saat itu pasukan Mahesa Amping dan Kebo
Arema masih dapat mempertahankan kedudukan mereka
diatas pasir pantai. Meski terlihat sebagai perang brubuh, pasukan
Mahesa Amping dan Kebo Arema masih terus
mempertahankan disiplin untuk tidak keluar dari
paugeran. Keadaan itu telah membuat pertahanan
mereka tetap utuh tidak mudah diterobos oleh lawan
mereka yang masih berada diatas air dangkal yang
1193 merupakan sebuah kelemahan yang
sebesar-besarnya untuk menekan lawan.
dimanfaatkan Yang paling naas adalah para pendatang yang
langsung bertemu badan dengan Mahesa Amping dan
Kebo Arema yang berada disisi yang berbeda. Terlihat
dua tiga orang langsung terjengkang rebah tidak
bergerak lagi terkena sabetan cambuk mereka. Mahesa
Amping dan Kebo Arema memaklumi jumlah pasukan
mereka yang sedikit, maka mereka telah berusaha
mengurangi jumlah lawan mereka.
Meski tanpa pengerahan ilmu puncak mereka,
siapapun yang datang menghampiri akan tersapu bersih
berhamburan terlempar. Namun semua itu tidak lepas dari pandangan mata
yang tajam seperti mata elang, seorang lelaki yang tegap
telah melihat bagaimana Mahesa Amping dan Kebo
Arema menghalau pasukannya.
"Aku harus menghentikannya", berkata orang itu yang
langsung berlari kearah Kebo Arema.
"Karaeng Taka", berkata orang itu ketika berhadapan
dengan Kebo Arema yang ternyata mengenalnya.
"Aku sudah menduga orang macam apa yang akan
datang di Tanah Melaya ini", berkata Kebo Arema yang
juga telah mengenal sosok lelaki dihadapannya.
"Kita memang selalu ada di tempat yang berbeda",
berkata orang itu sambil melayangkan pedangnya kearah
Kebo Arema. "Karaeng Jabo, terakhir kamu kulepaskan. Tapi tidak
untuk hari ini", berkata Kebo Arema sambil mengelak
menghindari sabetan pedang orang yang dipanggilnya
dengan sebutan Karaeng Jabo.
1194 "Gila!!", berkata Karaeng Jabo sambil berlompat
kebelakang menghindari sambaran cambuk Kebo Arema
yang sepertinya terus mengikutinya kemanapun ia
menghindar. "Aku tidak akan melepasmu lagi", berkata Kebo
Arema sambil terus mengejar Karaeng Jabo dengan
cambuknya. Sementara itu Mahesa Amping masih belum
mendapatkan lawan yang setanding, kemanapun arah
cambuknya tertuju pasti ada korban yang langsung roboh
terkena sabetan cambuknya.
"Secepatnya aku harus mengurangi jumlah mereka",
berkata Mahesa Amping dalam hati.
Maka Mahesa Amping telah menghentakkan
cambuknya dengan kekuatan yang jauh melebihi tataran
sebelumnya. Apa yang terjadi selanjutnya ?""
Setiap kali Mahesa Amping melepas cambuknya,
puluhan orang seperti tersibak roboh meski belum
terkena langsung ujung cambuknya.Ternyata angin
sambaran cambuk Mahesa Amping seperti prahara yang
kuat, menghantam siapapun yang mendekat. Dalam
waktu dekat sudah puluhan orang roboh jatuh diatas
pasir pantai. Dalam waktu yang singkat pasukan bayaran itu
sudah semakin menyusut berkurang.
Sembaga yang tidak jauh dari Mahesa Amping
seperti terlolong melihat sepak terjang Mahesa Amping.
"Anak itu belum menumpahkan puncak ilmunya",berkata Sembaga dalam hati merasa yakin
1195 bahwa Mahesa Amping hanya sepersepuluh dari kekuatan ilmunya.
mengeluarkan Mahesa Amping telah mampu memecah pertahanan
lawan dan mencerai beraikannya. Beberapa orang
menjadi jerih berusaha menghindari Mahesa Amping.
Sementara itu kembali kepada keadaan sepuluh anak
muda para sisya dari Pura Indrakila, berkat
pendampingan Ki Arya Sidi mereka semakin tatag
menghadapi pertempuran. Diawali oleh Wayan Dewa
Ayu yang sudah dapat berpikir jernih, satu persatu
kawan-kawannya pun telah terbawa dan dapat
mencurahkan segala kemampuan yang pernah dipelajari
selama ini. Dalam keadaan seperti itu mereka telah
berubah menjadi seekor anak macan yang telah
mengenal kemampuannya sendiri.
"Lihatlah pedang", berkata Wayan Dewa Ayu sambil
mengayunkan pedangnya kepada seorang lawannya.
Bukan main terperanjatnya lawannya itu, karena
belum sempat berbuat apapun pedang Wayan Dewa Ayu
telah sampai menggores panjang bagian dadanya.
Terdengar lawan Wayan Dewa Ayu berkata sumpah
serapah sebelum akhirnya roboh terjerambat mencium
pasir pantai yang basah. Kawan-kawan Wayan Dewa Ayu yang melihatnya
semakin menjadi percaya diri, satu persatu ikut
mengambil andil untuk berlomba mengurangi jumlah
pihak lawan. "Kalian jangan terlalu masuk kedalam, tetaplah dalam
kesatuanmu dan saling berjaga", berkata Ki Arya Sidi
yang sudah melihat perkembangan para sisyanya namun
masih terus mendampinginya.
1196 Demikianlah, pertempuran masih terus berlangsung.
Ternyata jumlah pendatang yang berlipat itu terlihat
sudah semakin menyusut. Sementara itu Kebo Arema yang tengah bertempur
melawan Karaeng Jabo diam-diam ikut mengawasi
seluruh pertempuran. "Aku harus segera menyelesaikannya", berkata Kebo
Arema dalam hati yang sudah lama menguasai jalannya
pertempuran hanya untuk berusaha melumpuhkan
lawannya hidup-hidup. Tar !!!! Terdengar suara cambuk yang dihentakkan oleh
Kebo Arema yang dilambari kekuatan tak terhingga dari
dalam dirinya. Tergetar Karaeng Jabo merasakan dadanya seperti
terguncang bersamaan dengan hentakan sandal pancing
cambuk Kebo Arema keudara.
"Kuberikan kesempatan untukmu lari atau terkubur di
pantai ini", berkata Kebo Arema sambil memegang ujung
cambuknya. "Aku memilih untuk membunuhmu", berkata Karaeng
Jabo sambil menghentakkan segala kejerihannya lewat
sebuah lompatan panjang dan pedang ditangan siap
membelah badan lawan. Tapi Kebo Arema lebih memikirkan keadaan
pasukannya yang sedikit, maka cambuknya telah
bergerak cepat seperti ular air melesat mengejar
mangsanya. Srettttttt !!!! 1197 Terlihat dada Karaeng Jabo tergores jejak darah
yang panjang masih dalam keadaan melompat diudara
dan jatuh sebelum sempat menggerakkan pedangnya.
Melihat pemimpinnya roboh tergeletak tak bergerak
bersimbah darah dan pasir pantai, telah membuat
semangat para pendatang sedikit goyah, bahkan ada
yang berpikir sangat pendek dan cetek dengan langsung
mundur lari mendekati jukungnya.
"Tidak ada yang menuntutku, aku sudah menerima
setengah dari upahku", berkata orang itu sambil
mendorong jukungnya menjauhi air yang landai.
Ternyata pikiran itu begitu cepat menular kepada
yang lainnya. Maka terlihat beberapa orang melakukan
hal yang sama, mundur dan melompat keatas jukungnya.
Akhirnya hanya menyisakan beberapa orang yang
karena terpaksa tidak mampu melarikan dirinya.
"Jangan dikejar", berkata Mahesa Amping kepada
seorang prajurit yang bermaksud mengejar lawannya
yang telah meninggalkannya berlari mengejar sebuah
jukung yang sudah bergerak menjauhi pantai.
Akhirnya beberapa orang yang tersisa dan bertahan
itu dengan mudah dapat dilumpuhkan oleh pasukan
Mahesa Amping dan Kebo Arema.
"Aku menyerah", berkata salah seorang yang telah
menjadi begitu putus asa melihat dirinya sudah
terkepung. "Kami menyerah", berkata beberapa orang sambil
melemparkan senjatanya. Demikianlah, hari itu pasukan Mahesa Amping dan
Kebo Arema telah berhasil mencegah para prajurit
bayaran yang berusaha memasuki Balidwipa.
1198 Sementara itu matahari sudah mulai memanjat diatas
pantai Tanah Melaya. Pasukan Mahesa Amping dan
Kebo Arema terlihat tengah memisahkan beberapa
mayat yang tergeletak dan beberapa orang yang terluka
dari pihak lawan maupun pihak kawan sendiri.
Beberapa penduduk sudah mulai menampakkan dirinya datang ikut membantu.
berani Dengan penuh kehormatan semua jenasah korban
pertempuran itu disempurnakan tanpa membedakan
lawan maupun kawan, semua diperlakukan dengan sama
sebagaimana mestinya. "Semua ksatria pernah merasakan perasaan yang
kamu alami pada hari pertama pertempuran mereka",
berkata Mahesa Amping kepada Wayan Dewa Bayu
yang terlihat termenung menatap sebuah makam.
"Hatiku belum mampu mengendalikan perasaanku
sendiri", berkata Wayan Dewa Bayu penuh penyesalan.
"Perlu sebuah usaha yang panjang, menjadikan hati
sebagai mata pedangmu", berkata Mahesa Amping
sambil menggandeng Wayan Dewa Bayu meninggalkan
pemakaman itu. Sementara sisa senja di dalam hutan Tanah Melaya
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terasa merayap, keletihan dan kelelahan terlihat di
hampir setiap wajah. Siapa yang tidak kecut dan terkejut
disaat badan begitu lelah mendengar suara derap
ratusan kaki kuda terdengar mendekati mereka.
Akhirnya semua terlihat menarik nafas panjang
manakala mengetahui bahwa derap langkah kuda itu
berasal dari pasukan berkuda prajurit Singasari terlihat
dari umbul-umbul dan rontek yang mereka bawa.
1199 "Ternyata kami datang terlambat", berkata seorang
perwira yang menjadi pimpinan rombongan itu.
"Kamilah yang harus dipersalahkan, kedatangan kami
di Bandar Buleleng sudah terlalu malam", berkata ki
Jaran Waha yang ikut bersama rombongan pasukan
berkuda itu dengan wajah buram merasa bersalah.
Dibelakang Ki Jaran Waha terlihat Mahesa Semu
mengiringinya juga dengan wajah penuh penyesalan
baru datang disaat pertempuran telah usai.
"Tidak ada yang perlu merasa bersalah dan
menyesal, justru sebagai pelajaran yang mahal untuk kita
dapat memperbaikinya", berkata Kebo Arema dengan
wajah penuh keceriaan memanggil beberapa orang
untuk duduk bersama. Terlihat Kebo Arema bercerita dengan singkat apa
yang telah terjadi di pantai Tanah Melaya.
"Kita perlu pasukan yang kuat yang dapat bergerak
dengan cepat", berkata Kebo Arema layaknya seorang
Senapati besar. "Kurasa hutan Tanah Melaya ini adalah tempat yang
baik", berkata Mahesa Amping memberi masukan.
"Pengenalanmu atas Balidwipa ini tidak diragukan
lagi", berkata Kebo Arema yang langsung menyetujui
usulan Mahesa Amping untuk menempatkan lima ratus
prajurit Singasari di hutan Tanah Melaya sebagai
pasukan khusus yang dapat bergerak cepat menutup
setiap gerakan dari luar Balidwipa
Sementara itu waktu pun terus berlalu, malam
didalam hutan Tanah Melaya telah begitu gelap dan
senyap. Dari jauh sayup terdengar suara srigala
1200 mengalun panjang memanggil
memasuki area perburuan. kawannya untuk Namun keletihan dan kelelahan pada beberapa
prajurit Singasari itu sudah membuat tidak mendengar
suara apapun, tidak merasakan apapun, karena mereka
sudah lama tertidur bersama datangnya malam dan
kegelapan. Mungkin beberapa diantaranya tengah
bermimpi bertemu dengan kekasih pujaan hati, bermimpi
bersama istri dan anak tercinta, atau sebuah mimpi buruk
bertemu didatangi seorang musuh yang terbunuh
dimedan perang. Lepas dari mimpi sebagai bunga tidur,
lepas dari indah dan buruknya sebuah mimpi, ternyata
kita memang tidak kuasa untuk membuat sebuah mimpi.
Dan akhirnya pagipun datang menutup semua mimpi,
membangunkan semua yang tertidur di dalam hutan
Tanah Melaya. "Saatnya kita mengunci Pura Besakih", berkata Kebo
Arema kepada Mahesa Amping diawal pagi itu.
Mahesa Amping paham apa yang dimaksudkan oleh
Kebo Arema. Maka pada pagi itu semua pasukannya
telah dikumpulkannya. "Mulai hari ini kalian harus melepaskan segala
peneng dan ciri apapun sebagai tanda keprajuritan
Singasari", berkata Mahesa Amping kepada Pasukannya."hari ini kita akan keluar dari hutan ini untuk
menyebar dan mengunci setiap gerak apapun dari Pura
Besakih", berkata kembali Mahesa Amping memberikan
penjelasan tugas-tugas yang harus mereka lakukan serta
membagi mereka dalam beberapa kelompok yang akan
membaur hidup bersama sebagai orang kebanyakan di
berbagai Padukuhan sebagai petugas delik sandi.
1201 Kelompok pertama yang meninggalkan hutan Tanah
Melaya itu adalah sepuluh orang Sisya dari Pura
Indrakila bersama Ki Arya Sidi.
"Setelah semua berakhir, aku akan bersama kalian
kembali", berkata Mahesa Amping melepas kepergian
mereka kembali Ke Pura Indrakila.
Kelompok kedua yang meninggalkan hutan Tanah
Melaya selanjutnya adalah Ki Jaran Waha dan para
pengikutnya. "Terima kasih untuk semua dan untuk segalanya",
berkata Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha yang
bersama pengikutnya telah bersiap-siap akan meninggalkan hutan Tanah Melaya.
"Ucapan terima kasih tidak berlaku untuk seorang
saudara", berkata ki Jaran Waha dengan wajah penuh
senyum. "Aku telah menitipkan diri kalian bersama pasukan
Singasari di hutan Tanah Melaya ini", berkata Kebo
Arema kepada Badrun ketika akan meninggalkan hutan
Tanah Melaya bersama Mahesa Amping, Mahesa Semu,
Wantilan dan Sembaga. "Mudah-mudahan kami tidak akan mengecewakan
tuan yang telah mempercayai kami", berkata Badrun
mewakili semua anak buahnya yang diminta oleh Kebo
Arema untuk tetap bersama Prajurit Singasari.
Demikianlah, menjelang matahari bergeser sedikit
dari puncaknya, lima orang penunggung kuda terlihat
telah keluar dari hutan Tanah Melaya.
Matahari terus membayangi punggung-punggung
mereka yang berjalan terus kearah timur. Hingga
akhirnya manakala matahari terlihat redup bersandar di
1202 ujung tepian bumi di ufuk barat, mereka memasuki
sebuah padukuhan kecil untuk sekedar bermalam.
"Inilah banjar kami yang sederhana", berkata seorang
warga yang mengantar Kebo Arema bersama empat
orang kawannya ke banjar desa untuk bermalam.
"Terima kasih, bagi kami ini sudah lebih dari cukup,
tidak kehujanan dan keanginan", berkata Kebo Arema
sambil mengucapkan terima kasih kepada orang yang
mengantarkannya itu. "Sebentar lagi mereka akan panen padi", berkata
Mahesa Amping yang melihat didepan banjar desa
hamparan sawah yang sudah cukup tua menguning.
"Menanam padi seperti merawat seorang bayi, ketika
melihat untaian padi tua menguning, ada kebahagiaan
yang tidak bisa diukur oleh apapun", berkata Wantilan
menyampaikan perasaan hatinya kepada Mahesa
Amping. "Melihat padi menguning, aku jadi rindu pada
Padepokan Bajra Seta", berkata Sembaga.
"Jujur, perasaan itulah yang sering kurasakan selama
ini. Kadang aku merasa telah salah untuk memilih jalanku
sebagai seorang prajurit", berkata Mahesa Amping
menyampaikan perasaan hatinya.
"Kita tidak kuasa memilih jalan kita sendiri, apakah
dirimu pernah meminta untuk kelahiranmu di muka bumi
ini?", berkata Kebo Arema kepada Mahesa Amping.
Perkataan Kebo Arema telah membuat suasana di
banjar desa itu sejenak menjadi hening, semuanya
sepertinya tengah menjenguk keberadaan dirinya
masing-masing, dan semuanya sepertinya telah terbentur
pada tembok tebal ketidak tahuan.
1203 "Tidak perlu terlalu jauh, ketika disusui ibu saja kita
tidak pernah dapat merasa pernah mengingatnya",
berkata kembali Kebo Arema yang sepertinya dapat
membaca apa yang tengah direnungkan oleh keempat
kawannya itu. Sementara itu malam mulai turun membatasi jarak
pandang, hamparan sawah yang hijau didepan banjar
desa perlahan tersamar dan akhirnya tertutup rapat oleh
kegelapan malam yang semakin pekat.
"Jarak pandang dibatasi oleh gelapnya malam, jarak
pandang mata hati dan pikiran juga dibatasi oleh waktu
ketika ada dan tiada", berkata Mahesa Amping dalam
hati sambil menatap kegelapan malam.
Pagi itu matahari bersinar begitu cerahnya, cahaya
kuningnya telah menyebar menghangatkan bumi. Terlihat
disepanjang jalan padukuhan petani ramai memotong
padi dengan penuh gembira yang ditingkahi canda
beberapa gadis penuh tawa menggilas batang-batang
padi runtuh di ujung jemari kakinya.
"Mata para gadis itu melihat kita atau kuda kita?",
berbisik Sembaga kepada Mahesa Amping yang tengah
berkuda membelakangi Kebo Arema, Wantilan dan
Mahesa Semu di jalan Padukuhan yang sudah ramai.
"Yang ada dalam pikiran mereka adalah lima orang
saudagar kaya tengah berkunjung", berkata Mahesa
Amping kepada Sembaga. "Yang mereka pikirkan adalah seorang saudagar
kaya diiringi empat pelayannya", berkata Wantilan yang
mendengar perkataan Mahesa Amping.
1204 "Menurutmu siapa kira-kira yang pantas disebut
saudagar kaya diantara kita berlima?", berkata Sembaga
kepada Wantilan. "Yang pasti bukan dirimu", berkata Wantilan singkat.
"Yang pasti juga bukan dirimu", berkata Sembaga
langsung membalas. Demikianlah, mereka berkuda sepertinya tidak
dibatasi waktu. Dalam setiap kesempatan menikmati
pemandangan alam yang indah, sawah yang
membentang hijau, warna biru pegunungan yang jauh
serta lembah yang dihiasi rimbunnya pepohonan tertiup
angin memberi aroma sejuk dan sangat menyegarkan.
"Gunung didepan kita itu adalah Gunung Agung",
berkata Mahesa Amping kepada kawan-kawannya
sambil menunjuk kearah gunung yang tinggi didepan
mereka. Kearah Gunung Agung itulah nampaknya arah
perjalanan mereka. "Jalur sandi yang akan kita bangun berada di
Kademangan Rendang, sebuah tempat yang paling
dekat dengan sasaran kita Pura Besakih", berkata
Mahesa Amping memberikan penjelasan tentang sebuah
wilayah yang masuk dalam pengamatan mereka.
Akhirnya diawal senja langkah kaki kuda mereka
berhenti disebuah Kademangan yang cukup ramai
karena merupakan sebuah persinggahan para pedagang
yang membawa hasil bumi dan hutan di Balidwipa.
"Inilah Kademangan Rendang", berkata Mahesa
Amping ketika mereka memasuki jalan Padukuhan
utama. 1205 Terlihat kuda Mahesa Amping berhenti dimuka
sebuah rumah yang paling luas dibandingkan dengan
beberapa rumah dikiri kanannya.
Mahesa Amping mengajak semua kawannya untuk
masuk ke halaman rumah itu.
"Apakah Ki Demang masih mengenalku?", berkata
Mahesa Amping kepada seorang yang berada diatas
Pendapa menyambut kedatangan mereka.
"Mana mungkin kami melupakanmu yang telah
mempersatukan kami dua saudara", berkata orang yang
dipanggil Ki Demang sambil mempersilahkan mereka
untuk naik keatas pendapa rumahnya.
Setelah menyampaikan beberapa kabar keselamatan
masing-masing, Mahesa Amping memperkenalkan Kebo
Arema sebagai pedagang kuda dari Bandar Buleleng.
"Selama disini, biarlah kalian tinggal di rumahku",
berkata Ki Demang menawarkan kebaikannya.
"Terima kasih, semoga tidak merepotkan Ki
Demang", berkata Mahesa Amping kepada Ki Demang.
Sementara itu diregol halaman terlihat seorang yang
seusia Ki Demang berjalan kearah pendapa rumah.
"Ternyata ada sahabat mudaku", berkata lelaki itu
setelah naik ke pendapa rumah menyapa Mahesa
Amping. "Selamat bertemu kembali Ki Amararaja", berkata
Mahesa Amping menyambut lelaki itu yang ternyata
adalah Ki Amararaja saudara seayah lain ibu dari Ki
Demang. Maka Mahesa Amping segera memperkenalkan
semua kawannya kepada Ki Amararaja, tentunya sesuai
1206 dengan jati diri penyamaran sebagai pedagang kuda dan
pembantunya. "Mudah-mudahan usaha kalian dapat berjalan degan
baik", berkata Ki Amararaja kepada Mahesa Amping dan
kawan-kawannya. Sementara itu waktu terus berlalu, sang sandikala
terlihat perlahan menyelinap diujung waktu digantikan
sang malam. "Malam ini aku ingin mengajakmu ke Banjar Desa,
saat ini kami tengah membentuk para pecalang baru
untuk menggantikan beberapa orang pecalang yang
sudah mulai tua", berkata Ki Amararaja kepada Mahesa
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Amping. "Dengan senang hati", berkata Mahesa Amping
kepada Ki Amararaja. Terlihat Mahesa Amping dan Ki Amararaja tengah
menuruni anak tangga pendapa rumah Ki Demang.
Sementara itu Kebo Arema, Mahesa Semu dan
Sembaga masih ditemani oleh Ki Demang. Banyak sekali
yang mereka bicarakan, mulai dari masalah kuda sampai
dengan keresahan warga Kademangan atas sebuah
kabar angin tentang gerombolan Barong Asu Ngelawang.
Ternyata Kebo Arema terlalu piawai untuk urusan
bersandiwara melakoni dirinya dihadapan Ki Demang
sebagai pedagang kuda yang berpengalaman.
Sementara itu Mahesa Amping di Banjar Desa
tengah melihat para pecalang baru tengah berlatih olah
kanuragan dibawah bimbingan Ki Amararaja.
"Ada rencana untuk menambah jumlah pecalang di
kademangan ini, jumlah yang ada pada saat ini masih
belum dikatakan cukup untuk menjaga ketentraman dan
1207 ketenangan di Kademangan ini", berkata Ki Amararaja
kepada Mahesa Amping sambil melihat beberapa
Pecalang muda tengah berlatih.
"Aku tertarik dengan cara orang Balidwipa
mengamankan kampungnya dengan cara kemandiriannya ini", berkata Mahesa Amping memberikan pandangannya tentang pecalang di
Balidwipa. "Meski upah sebagai pecalang tidak bisa dijadikan
sebagai sandaran hidup, mereka tetap menjalaninya
dengan penuh kebanggaan", berkata Ki Amararaja
kepada Mahesa Amping. "Bila seorang gadis harus memilih dua orang
pemuda, siapa yang dipilihnya bila salah satunya adalah
seorang pecalang", berkata Mahesa Amping sedikit
bercanda "Yang pasti gadis itu akan memilih pecalang, karena
biasanya seorang pecalang itu bertubuh kekar, kuat dan
ganteng", berkata Ki Amararaja menimpali canda
Mahesa Amping. Namun diam-diam Mahesa Amping memperhatikan
beberapa anak muda yang akan menjadi pecalang itu
memang umumnya mempunyai badan yang kekar berisi
dan dapat dikatakan cukup "tampan".
"Tentu saja sang gadis memilih pecalang, karena
pemuda yang satunya disamping buruk rupa juga
sebagai pemuda luntang-lantung yang tidak punya
sandaran hidup", berkata Mahesa Amping kepada ki
Amararaja. "Ternyata kamu tidak pernah mau menyerah",
berkata Ki Amararaja sambil tertawa panjang.
1208 Udara malam di Kademangan Rendang yang berada
disebelah barat lereng Gunung Agung memang cukup
dingin. Sementara beberapa pemuda masih tetap
semangat terus berlatih, sepertinya sudah terbiasa
dengan dinginnya udara malam.
Akhirnya ketika malam mulai masuk dipertengahan
mereka baru kembali ke rumah Ki Demang. Ternyata di
pendapa tidak ada seorang pun.
"Sepertinya mereka sudah lama tertidur", berkata Ki
Amaraja sambil mengajak Mahesa Amping langsung
beristirahat ke bilik yang telah disediakan.
Setelah tiba dibilik Mahesa Amping tidak dapat
langsung tidur, terbayang pertempuran kemarin pagi di
pantai Tanah Melaya. Terlihat Mahesa Amping menarik nafas panjang
menyerahkan semuanya kepada Gusti Yang Maha
Berkehendak. "Tidak ada satu pun makhluk yang luput dari
kehendakmu", berkata Mahesa Amping dalam hati sambil
berbaring di peraduan dan memejamkan matanya.
Sementara itu langit malam diatas Kademangan
Rendang dipenuhi taburan bintang. Semilir angin basah
menggugurkan bunga-bunga kemboja merah yang
berjejer di sebelah kanan pagar batu halaman rumah Ki
Demang. Udara pagi di Kademangan Rendang begitu
dinginnya terasa menusuk tulang, Namun Mahesa
Amping dan kawan-kawannya sudah keluar dari biliknya
dan duduk di pendapa rumah Ki Demang, tentunya Ki
Amararaja dan Ki Demang ikut menemani mereka.
1209 "Ketika kalian di Pakiwan, bagaimana rasanya air
disini?", bertanya Ki Amararaja.
"Luar biasa dinginnya", berkata Sembaga langsung
menyambut terlihat bibirnya masih biru kedinginan.
Akhirnya ketika matahari pagi sudah mulai naik,
udara di Kademangan Rendang sudah mulai hangat,
Mahesa Amping dan kawan-kawannya terlihat pamit
untuk menemui beberapa peternak kuda yang ada
disekitar Kademangan Rendang.
"Mudah-mudahan kami dapat kuda yang baik dan
cocok harganya", berkata Kebo Arema sambil turun dari
Pendapa diiringi pandangan mata Ki Demang dan Ki
Amararaja. Terlihat Mahesa Amping dan kawan-kawannya
tengah menyusuri jalan Padukuhan tengah menuju
peternakan kuda yang ada di Kademangan Rendang.
Pada saat itu di Kademangan Rendang sangat terkenal
dengan peternakan kudanya.
Namun ditengah jalan, Mahesa Amping menemui
sebuah pelepah kelapa terpotong tiga.
"Ada petugas sandi yang akan menemui kita",
berkata Mahesa Amping membaca isyarat sandi yang
telah mereka sepakati bersama.
Terlihat Mahesa Amping memberi simpul pada salah
satu janur sebagai tanda mereka akan menemuinya di
pasar terdekat. "Biarlah petugas itu menunggu kita dipasar terdekat",
berkata Mahesa Amping sambil melompat keatas kuda
melanjutkan perjalanannya.
1210 Akhirnya mereka telah sampai di sebuah peternakan
kuda, seorang lelaki telah menyambut kedatangan
mereka. "Apakah kami dapat bertemu dengan pemilik
peternakan ini?", bertanya Kebo Arema kepada orang itu.
Lelaki yang sudah cukup berumur itu tersenyum
mendengar pertanyaan Kebo Arema.
"Kalian telah berhadapan dengan pemilik peternakan
ini?", berkata lelaki itu sambil mempersilahkan Kebo
Arema dan kawan-kawannya untuk naik ke Pendapa
rumahnya. Terlihat lelaki itu mengiringi tamunya naik kependapa
rumahnya dan mempersilahkan duduk.
"Nampaknya kalian baru pertama kali kepeternakan
ini", berkata pemilik peternakan itu memulai pembicaraan. Kebo Arema langsung menyampaikan maksud dan
tujuannya yakni untuk membeli beberapa ekor kuda.
"Tentunya bila harganya cocok", berkata Kebo Arema
kepada lelaki itu. Terlihat lelaki itu tersenyum setelah mendengar
perkataan Kebo Arema. "Kalian datang terlambat, kemarin sore semua
kudaku telah diborong habis", berkata lelaki itu sambil
tersenyum. "Telah diborong habis?", berkata Mahesa Amping
"Siapa yang telah membeli semua kudamu", berkata
Kebo Arema kepada lelaki itu.
1211 "Penguasa Pura Besakih, mereka telah memberi
panjer", berkata lelaki itu.
"Bagaimana bila kami membayar dengan harga yang
lebih tinggi dari harga yang telah kalian sepakati?",
berkata Kebo Arema kepada lelaki itu.
Terlihat lelaki itu menarik nafas panjang, sepertinya
tengah menimbang-ninmbang. "Maaf, aku tidak bisa
mengecewakan pelangganku yang telah membayar
panjer", berkata lelaki itu menolak tawaran Kebo Arema.
"Ternyata kami datang terlambat, dan kita belum
berjodoh", berkata Kebo Arema sambil mohon untuk
pamit diri mencari peternak lain disekitar Kademangan
Rendang. "Lain waktu datanglah, aku punya beberapa bibit
yang baik", berkata lelaki itu mengantar tamunya keluar
dari pekarangan rumahnya yang terlihat dipenuhi
beberapa kuda yang ternyata sudah diborong semuanya
oleh penguasa Pura Besakih.
"Ternyata Penguasa Pura Besakih tengah menggalang sebuah kekuatan", berkata Mahesa Amping
ketika mereka sudah berada di sebuah jalan Padukuhan.
"Orang-orang upahan telah merembes masuk ke
Balidwipa", berkata Mahesa Semu ikut memberi
kesimpulan. "Kita tidak dapat menahan mereka yang menyelundup masuk dari berbagai tempat di Balidwipa
ini yang cukup luas", berkata Mahesa Amping merasa
prihatin atas penempatan lima ratus prajurit di Hutan
Tanah Melaya. 1212 "Pasukan itu harus secepatnya ditarik, ikan-ikan yang
kita tunggu ternyata lebih cerdik dari yang kita
perkirakan", berkata Kebo Arema.
"Berita ini harus secepatnya sampai di pasukan induk
agar mereka dapat mengambil langkah yang tepat",
berkata Mahesa Amping. "Mudah-mudahan petugas sandi kita tidak jemu
menanti kedatangan mereka", berkata kebo Arema
mengajak semuanya untuk menuju kepasar Kademangan Rendang. Akhirnya tidak begitu lama mereka telah sampai di
Pasar Kademangan Rendang, saat itu hari sudah
menjelang siang dan para pengunjung dipasar itu sudah
jauh berkurang. Ketika di Pasar Kademangan Rendang,
sengaja Mahesa Amping dan kawan-kawannya berada
ditempat yang mudah terlihat. Ternyata usaha mereka
berhasil, seorang petugas sandi telah melihat mereka
dan datang mendekati. "Kalian lama sekali", berkata petugas sandi itu.
"Apakah ada pikiranmu untuk pergi sebelum bertemu
dengan kami?", bertanya Mahesa Amping sambil
tersenyum. "Itu sama artinya lari dari tugas", berkata petugas
sandi itu sambil mengajak semuanya ke sebuah kedai di
ujung pasar. Terlihat Mahesa Amping dan kawan-kawannya telah
menambatkan kudanya di sebuah galar panjang dimuka
kedai itu dan langsung masuk kedalam kedai. Seorang
pelayan datang menghampiri mereka dan menawarkan
beberapa masakan. 1213 "Nasi jagung kuah kari", berkata Sembaga memesan
sebuah masakan yang baru didengarnya di Balidwipa.
"Yang lainnya?", berkata pelayan itu
melayangkan pandangannya selain Sembaga.
sambil "Semua pesan nasi jagung kuah kari", berkata
mahesa Amping kepada pelayan itu.
"Dan ayam menambahkan. bumbu merah", berkata Sembaga "Yang lainnya?", berkata pelayan itu
melayangkan pandangannya selain Sembaga.
sambil "Semua sama seperti pesanan kawanku ini", berkata
Mahesa Amping kepada pelayan itu.
Maka pelayan itu itu terlihat masuk kedalam untuk
menyiapkan pesanan tamunya.
***** "Pasukan induk hari ini telah mencapai lumbung
pertama", berkata petugas sandi itu menyampaikan
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beritanya. "Kekuatan dari luar tidak dapat dibendung,
secepatnya menarik pasukan yang ada di hutan tanah
Melaya", berkata Mahesa Amping menukar berita kepada
petugas sandi. "Besok siang kita bertemu kembali, kami akan
mengamati kekuatan lawan lebih dekat lagi", berkata
Kebo arema kepada petugas sandi itu.
Sementara itu pembicaraan mereka terhenti karena
pelayan kedai itu sudah terlihat mendekati mereka
bersama pesanan mereka. 1214 "Ternyata aku tidak salah pesan", berkata Sembaga
sambil menikmati nasi jagung kuah kari pesanannya.
Terlihat mereka menikmati hidangan dikedai itu.
Matahari di atas Pasar Kademangan Rendang telah
lama turun di puncak cakrawala langit, terlihat lima ekor
kuda bersama penunggangnya tengah keluar melintasi
gapura pasar Kademangan Rendang. Mereka adalah
Mahesa Amping dan kawan-kawannya.
Ketika mereka hendak memasuki rumah Ki Demang,
terlihat ada dua orang tamu Ki Demang tengah menuruni
anak tangga pendapa. Kedua tamu itu terlihat begitu
angkuh, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir
mereka manakala bersisipan jalan dengan Mahesa
Amping dan kawan-kawannya dihalaman rumah Ki
Demang. "Ternyata Ki Demang baru saja menerima tamu",
berkata Mahesa Amping kepada Ki Demang dipendapa
bersama Ki Amararaja. Ki Demang tidak langsung menjawab, terlihat
menarik nafas panjang dan menundukkan kepalanya.
"Dua orang yang bertamu itu adalah utusan
Penguasa Pura Besakih", berkata Ki Amaraja mewakili Ki
Demang menjawab pertanyaan Mahesa Amping.
"Ada keperluan apakah mereka datang ke rumah
ini?", berkata mahesa Amping menyelidik.
"Mereka meminta Kademangan ini menyiapkan lima
puluh orang anak muda atau lelaki yang masih kuat
untuk menghadapi prajurit Singasari yang akan
menyerang Pura Besakih", berkata Ki Demang kepada
Mahesa Amping. 1215 "Parajurit Singasari akan menyerang Pura Besakih?",
bertanya Mahesa Amping pura-pura baru mendengarnya.
"Kedua tamu itu yang mengatakannya", berkata Ki
Amararaja kepada Mahesa Amping
"Bukankah dalam kegiatan pemugaran Pura, dari
Kademangan ini selalu mengirim tenaga bantuan?",
bertanya kembali Mahesa Amping.
"Kerja bakti di pura tidak sama dengan peperangan,
apalagi menghadapi prajurit Singasari yang kutahu
sangat kuat dan berpengalaman. Apalah artinya pemuda
dari Kademangan ini yang baru sedikit mengenal
kanuragan dan tidak punya pengalaman bertempur",
berkata Ki Amararaja menyampaikan kegusaran hatinya.
"Apa yang Ki Demang dan Ki Amararaja ketahui
tentang pasukan Singasari yang akan menyerang Pura
Besakih itu?", bertanya Kebo Arema berusaha menyelidik
ada dimana keberpihakan mereka berdua.
"Berdasarkan kabar angin yang kudapat, pasukan
Singasari akan datang menyerang Pura Besakih dan
tidak akan mengganggu warga Balidwipa kecuali yang
berpihak kepada Penguasa Balidwipa", berkata Ki
Demang kepada kebo Arema.
"Hanya itu?", bertanya kembali Kebo Arema
"Bukan hanya itu", berkata Ki Demang kepada Kebo
Arema Terlihat Ki Demang menarik nafas panjang sepertinya
ingin mengurai sebuah jawaban kata yang panjang."Selebihnya adalah bahwa Singasari bermaksud
membersihkan jalur perdagangannya dari kekuasaan
para saudagar dari tanah Hindu dimana Penguasa Pura
Besakih telah bersekutu dan menjadi boneka hidup dari
1216 para saudagar Tanah Hindu", berkata Ki Demang
menyampaikan wawasannya yang diketahuinya tentang
sebuah perselisihan antara Singasari dan penguasa Pura
Besakih. "Jadi siapapun yang memenangkan peperangan ini,
warga tidak mendapatkan keuntungan apapun?", kembali
Kebo Arema bertanya. "Perang ini perang mereka berdua, perang untuk
kepentingan mereka", berkata Ki Demang kepada Kebo
Arema. "Aku punya penilaian berbeda dengan Ki Demang",
berkata Kebo Arema kepada Ki Demang.
"Perbedaan dalam hal apa?", bertanya Ki Demang
kepada Kebo Arema. "Aku sebagai pedagang kuda melihat sebuah
harapan besar dengan peperangan ini, karena selama ini
kami sebagai pedagang tidak boleh menjual barang kami
keluar Balidwipa selain kepada para saudagar dari Tanah
hindu dengan harga yang mereka sendiri tentukan.
Padahal setahuku harga kuda di Tanah Jawa lebih tinggi,
juga nilai hasil hutan lainnya. Tapi tidak satu pun kapal
dagang yang berani memasuki perairan Balidwipa ini
karena akan berhadapan dengan perompak yang ada
dibelakang mereka", berkata Kebo Arema memberikan
wawasannya. "Kamu pedagang, wawasanmu pasti lebih luas",
berkata ki Demang mengakui wawasan Kebo Arema.
"Aku belum sempat mengatakan apa harapanku
dengan adanya peperangan ini", berkata Kebo Arema
sengaja tidak melanjutkannya.
1217 "Aku ingin dengar", berkata Ki Demang kepada Kebo
Arema. Terlihat Kebo Arema tidak langsung menjawab, tapi
mengangkat cangkir minumannya yang sudah tinggal
sedikit dan meneguknya sampai habis.
"Harapanku bahwa peperangan ini dimenangkan oleh
pasukan Singasari, para saudagar Tanah Hindu akan
menghilang di perairan Balidwipa. Dan kami para
pedagang dapat menjual barang kami kepada siapapun
dengan harga sesuai persaingan yang sehat. Kukira
kemakmuran tidak hanya berpihak kepadaku, juga
berpihak pada para pedagang di pedalaman Balidwipa
ini", berkata Kebo Arema seperti layaknya seorang
pedagang sungguhan. "Wawasanmu kuakui sangat dalam dan luas", berkata
Ki Amararaja yang ikut menyimak kata-kata Kebo Arema
yang begitu piawai dalam nada dan tekanan suaranya.
"Terima kasih telah memberikan masukan yang
berarti kepadaku, wawasanku tentang peperangan ini
menjadi lebih luas, sehingga aku dapat tidak sekedar
melangkah apalagi salah langkah", berkata Ki Demang.
"Apakah Ki Demang sudah punya keputusan?",
bertanya Mahesa Amping "Keputusanku adalah harapanku bagi kemakmuran
warga Balidwipa", berkata Ki Demang.
"Apakah Ki Demang sudah memutuskan untuk
membuat sebuah langkah?", giliran Kebo Arema yang
bertanya kepada Ki Demang.
"Untuk tidak mengirim seorang pun ke Pura Besakih",
berkata Ki Demang dengan suara yang mantap
1218 "Artinya Ki Demang saat ini sudah berada dipihak
Singasari?", bertanya Mahesa Amping.
"Untuk saat ini dapat dikatakan demikian, namun
secara pasti aku berpihak bagi kemakmuran warga
Balidwipa", berkata Ki Demang menyampaikan garis
pandangnya secara luas lagi.
"Aku sependapat dengan Ki Demang, tidak mengirim
seorang pun ke Pura Besakih justru sebagai kecintaan
kita kepada Tanah leluhur", berkata Ki Amararaja ikut
memberikan pandangannya. "Jadi Ki Demang dan Ki Amararaja tidak takut bahwa
Kademangan Rendang ini adalah para pembangkang?",
bertanya Kebo Arema kepada Ki Demang dan Ki
Amararaja. "Untukku selama itu sebuah kebenaran, aku tidak
takut untuk memperjuangkannya", berkata Ki Demang
mewakili Ki Amararaja yang sepertinya punya pandangan
yang sama. "Artinya Ki Demang dan Ki Amararaja telah berdiri
bersama kami di tempat yang sama", berkata Kebo
Arema sambil menarik nafas panjang akhirnya dapat
mengungkapkan keberpihakan Ki Demang dan Ki
Amararaja. "Aku belum dapat menangkap arah perkataanmu
tentang berada ditempat yang sama", bertanya Ki
Demang kepada Kebo Arema.
"Artinya Ki Demang dan Ki Amararaja berada di pihak
Singasari, kebetulan sekali bahwa kami adalah bagian
dari Pasukan Singasari yang tengah bertugas mengamati
pihak lawan", berkata Kebo Arema membuka jati diri
mereka yang sebenarnya. 1219 "Jadi kalian bukan pedagang kuda dari Buleleng?",
berkata Ki Demang kepada Kebo Arema.
Kebo Arema menjawabnya dengan menganggukkan
kepalanya perlahan. "Ki Demang dan Ki Amararaja di pendapa ini telah
duduk bersama dengan seorang prajurit perwira yang
sangat disegani dan dihormati di seluruh tanah Singasari,
orang yang sudah lama kalian kenal yang tidak lain
adalah tuan Rangga Mahesa Amping", berkata Kebo
Arema memperkenalkan Mahesa Amping sebagai prajurit
Singasari. "Ternyata selama ini aku berteman dengan seorang
perwira dari Singasari", berkata Ki Amararaja sambil
memandang kearah Mahesa Amping yang membalasnya
dengan menganggukkan kepalanya membenarkan
semua perkataan Kebo Arema atas dirinya.
"Keberpihakan Ki Demang dan Ki Amararaja adalah
salah satu jembatan untuk mencapai sebuah
kemenangan", berkata Mahesa Amping yang nampaknya
telah mendapatkan sebuah siasat baru.
"Kami siap menjadi jembatan itu", berkata Ki Demang
kepada Mahesa Amping. "Ki Demang dapat mempersiapkan lima puluh orang
untuk Pura Besakih", berkata Mahesa Amping.
"Orang-orang muda yang baru mengenal satu dua
jurus kanuragan", aku keberatan", berkata Ki Amararaja
kepada Mahesa Amping. Mahesa Amping tersenyum mendengar perkataan Ki
Amararaja, terlihat Mahesa Amping mengatur pernafasannya untuk mengatakan sesuatu.
1220 "Kita tidak mengirim satu pun orang Kademangan
Rendang, karena yang akan kirim adalah para prajurit
Singasari", berkata Mahesa Amping sambil memandang
kearah Ki Demang dan Ki Amararaja.
"Aku dapat menangkap maksudmu, Kademangan
Rendang ini hanya sebagai jembatan untuk menyusupkan para prajurit Singasari ke sarang lawan",
berkata Ki Amararaja yang dapat menangkap maksud
dan siasat dari Mahesa Amping.
"Sebuah usulan yang cemerlang", berkata Kebo
Arema setuju dengan siasat itu.
"Utusan penguasa Pura Besakih telah memberi batas
waktu dua hari dari sekarang", berkata Ki Demang
menyampaikan batas waktu pengiriman lima puluh orang
Kademangan Rendang. "Hari ini juga kita harus melepas berita untuk menarik
sebagian pasukanku yang tersebar di jalur sandi, mereka
adalah para prajurit muda pilihan", berkata Mahesa
Amping. "Sisanya?", bertanya Kebo Arema
"Para pengikut Ki Jaran Waha", berkata Mahesa
Amping kepada Kebo Arema.
"Apakah aku yang tua ini dapat bergabung bersama
kalian?", berkata Ki Amararaja menawarkan dirinya
sendiri. "Bukankah mereka membutuhkan lelaki yang masih
kuat?", berkata Mahesa Amping balik bertanya kepada Ki
Amararaja. "Artinya aku dapat diterima?", bertanya kembali Ki
Amararaja 1221 "Ki Amararaja menjadi perwakilan Kademangan
Rendang", berkata Mahesa Amping kepada Amararaja
yang terlihat gembira dapat diikutkan sebagai penyusup
di sarang lawan. "Kakang Mahesa Semu bersama Paman Wantilan
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan Paman Sembaga dapat tugas untuk menuntun
pasukanku menuju Kademangan Rendang", berkata
Mahesa Amping membagi tugas.
"Ternyata mereka bertiga bukan pembantumu,
melainkan saudaramu", berkata Ki Amararaja yang
mendengar bagaimana Mahesa Amping menyebut satu
persatu saudara perguruannya dari Padepokan Bajra
Seta. "Mereka bertiga adalah saudara seperguruanku dari
Padepokan Bajra Seta", berkata Mahesa Amping kepada
Ki Amararaja. "Kalian ternyata para pemain sandiwara yang
jempol", berkata Ki Amararaja kepada Mahesa Semu,
Wantilan dan Sembaga yang hanya tersenyum. "Meski
dalam lakon kalian harus diam manut layaknya seorang
pembantu pedagang kuda kaya", berkata kembali Ki
Amararaja yang ditanggapi semua yang mendengarnya
dengan tertawa. "Bagaimana menurut Ki Amararaja lakonku sebagai
pedagang kuda?", bertanya Kebo Arema masih dalam
suasana canda tawa. "Permainanmu dapat dikatakan nyaris sempurna",
berkata Ki Amararaja kepada Kebo Arema.
Akhirnya pada hari itu juga Mahesa Semu, Wantilan
dan Sembaga terlihat sudah mendahului keluar dari
rumah Ki Demang untuk menjalankan tugasnya
1222 menuntun para prajurit untuk berkumpul di Kademangan
Rendang. Berselang tidak begitu lama Mahesa Amping dan
Kebo Arema ikut keluar dari rumah kediaman Ki
Demang. "Semoga keselamatan bersamamu wahai tuan
Rangga Mahesa Amping", berkata Ki Amararaja
mengantar Mahesa Amping dan Kebo Arema yang
terlihat menuruni anak tangga pendapa.
"Panggil aku sebagaimana biasa Ki Amararaja
memanggilnya", berkata Mahesa Amping sambil
melayangkan senyumnya. Diiringi pandangan mata Ki Amararaja dan Ki
Demang, dua ekor kuda dan penunggangnya terlihat
keluar melewati regol pintu halaman kediaman Ki
Demang dan akhirnya menghilang terhalang pohon
ambon besar yang rindang di pinggir jalan Padukuhan
utama. "Ketiga orang yang dipanggil kakang dan paman oleh
Mahesa Amping pastilah orang-orang yang berilmu
tinggi", berkata Ki Amararaja kepada saudaranya Ki
Demang. "Sementara kita memperlakukannya sebatas tiga
orang pelayan tuan pedagang kuda", berkata Ki Demang
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan tertawa
merasa lucu telah dikelabui matanya.
"Bukankah dulu kita juga pernah dikelabui oleh
Mahesa Amping dan Empu Dangka?", berkata Ki
Amararaja mengingatkan Ki Demang pada awal
pertemuan mereka. 1223 Sementara itu matahari di atas cakrawala langit
Kademangan Rendang terlihat sudah semakin surut
tenggelam mengintip diujung bibir bumi. Pandangan
mata tertahan oleh kabut yang terlihat telah turun
menyelimuti Kademangan Rendang yang berada disalah
satu lereng Gunung Agung.
Terlihat dua orang penunggang kuda telah keluar dari
regol gerbang Kademangan Rendang. Mereka adalah
Mahesa Amping dan Kebo Arema yang akan melakukan
perjalanan menuju Pura Besakih. Jarak dari Kademangan Rendang menuju Pura Besakih memang
tidk terlalu jauh, dan sudah ada jalan setapak sehingga
memudahkan perjalanan. Sementara itu sang senja perlahan surut menyeluruk
masuk keperaduannya manakala sang malam datang
berkuasa diatas tahta singgasana waktu. Dinaungi hutan
malam serta cahaya rembulan, Mahesa Amping dan
Kebo Arema telah sampai mendekati Pura Besakih dari
tempat yang tersembunyi. "Pura yang indah", berkata Mahesa Amping
memandang Pura Besakih dari jauh dibawah cahaya
rembulan yang tengah bergelantung diatas langit malam.
"Pura yang megah diantara pura yang pernah
kulihat", berkata Kebo Arema.
"Mari kita melihat lebih dekat lagi", berkata Mahesa
Amping sambil menambatkan dan menyembunyikan
kudanya diikuti oleh Kebo Arema. Terlihat Mahesa
Amping dan kebo Arema berjalan mengelilingi Pura
Besakih dikegelapan malam.
"Sepertinya pura ini dibangun sebagai sebuah
benteng pertahanan yang kuat", berkata Kebo Arema
1224 kepada Mahesa Amping setelah berkeliling mengamati
setiap sisinya. "Darimana pun kita mendekati, akan menjadi umpan
hujan panah", berkata Mahesa Amping kepada Kebo
Arema yang mengamati bangunan pura yang berdiri
diatas sebuah tanah berundak yang tinggi berujung
sebuah jurang yang diketahuinya sebuah jalan untuk
sampai ke puncak kawah Gunung Agung.
"Tapi tidak di kegelapan malam", berkata Kebo
Arema yang telah menemukan jalan untuk melakukan
sebuah penyerangan. "Diiringi sebuah kekacauan kecil dari para penyusup",
berkata Mahesa Amping melengkapi siasat Kebo Arema.
"Kurasa kita sudah menemukan jalannya", berkata
Kebo Arema sambil memberi tanda untuk meninggalkan
Pura Besakih. Terlihat mereka kembali ke tempat dimana kuda-kuda
mereka disembunyikan. Dibawah kegelapan hutan
malam mereka berjalan menjauhi Pura Besakih seperti
dua srigala hitam menyusup menghilang di kegelapan
malam. Dibawah malam yang sepi, mereka memacu
kudanya berlari memecah udara dingin malam.
Akhirnya menjelang dini hari, mereka telah sampai di
hutan tempat kediaman Ki Jaran Waha. Terlihat seorang
pemuda diluar goa tengah mengumpulkan beberapa
ranting kering. "Aku akan membangunkan Ki Jaran Waha", berkata
seorang pemuda itu yang langsung masuk kedalam goa.
Tidak lama kemudian Ki Jaran Waha terlihat keluar
dari dalam goanya. 1225 "Selamat datang wahai saudaraku", berkata Ki Jaran
menyambut kedatangan mereka penuh kegembiraan.
Setelah menanyakan keselamatan masing-masing,
Mahesa Amping langsung menyampaikan tujuannya
datang menemui Ki Jaran Waha.
"Besok pagi aku dan para pengikutku sudah ada di
Kademangan Rendang", berkata Ki Jaran Waha
memastikan. "Terima kasih, aku selalu menjadi seorang saudara
yang sering merepotkan Ki Jaran Waha", berkata
Mahesa Amping kepada Ki Jaran Waha.
"Kebetulan aku senang direpotkan oleh saudaraku
sendiri", berkata Ki Jaran Waha.
Sementara itu dari dalam goa muncul pemuda
pelayan Ki Jaran Waha membawa makanan dan
minuman hangat. "Aku yakin sepanjang malam kuda dan perut kalian
belum terisi apapun", berkata Ki Jaran Waha
menawarkan tamunya menikmati sarapan pagi yang
dibawa oleh pelayannya. "Sepanjang malam kami berjalan tanpa berhenti",
berkata Mahesa Amping sambil mengambil sepotong
gendruk bakar. "Gendruk yang paling enak yang pernah kurasakan",
berkata Kebo Arema sambil mengambil potongan
gendruk yang kedua. "Apapun tersedia disini dan aku merasa jadi orang
terkaya di hutan ini", berkata Ki Jaran sambil tertawa
menampakkan sebaris giginya yang putih dan rata.
1226 "Orang kaya adalah yang tidak punya keinginan
apapun, tapi memiliki semua yang dinginkan", berkata
Kebo Arema ikut tertawa. Akhirnya setelah merasa cukup beristirahat, Mahesa
Amping dan Kebo Arema bermaksut untuk pamit diri.
"Besok pagi kita bertemu kembali di Kademangan
Rendang", berkata Ki Jaran Waha ketika melepas
tamunya kembali ke Kademangan Rendang.
Sementara itu matahari pagi bersinar terlihat begitu
cerah menyambut Mahesa Amping dan Kebo Arema
keluar dari hutan tempat kediaman Ki jaran Waha.
Dan jarak mereka dengan hutan itu pun akhirnya
semakin menjauh. Mahesa Amping dan Kebo Arema terlihat memacu
kudanya berlari diatas jalan tanah rata. Baru menjelang
senja sudah hampir tergelincir mereka terlihat memasuki
sebuah gapura pasar Kademangan Rendang yang sudah
menjadi begitu sepi. "Kupikir kalian tidak akan datang", berkata seorang
petugas sandi yang ternyata masih setia menunggu.
Terlihat mereka memasuki sebuah kedai yang masih
buka. "Sebenarnya kami ingin tutup, tapi kalau cuma
minuman hangat kami masih dapat menyediakan",
berkata pemilik kedai itu yang langsung masuk kedalam.
Tidak lama kemudian pemilik kedai itu sudah datang
kembali sambil membawa minuman hangat.
"Pasukan induk hari ini sudah bergeser ke lumbung
kedua", berkata petugas sandi itu menyampaikan
beritanya. 1227 "Sasaran hanya dapat didekati dimalam hari", berkata
Mahesa Amping yang menjelaskan keadaan Pura
Besakih yang berada di lereng gunung.
"Besok kami mencoba menyusup ke sarang lawan",
berkata Kebo Arema kepada petugas sandi itu.
"Sebuah usaha yang sangat berbahaya", berkata
petugas sandi itu setelah mendapatkan penjelasan
secara lengkap apa yang akan dilakukan oleh para
penyusup di dalam sarang lawan.
"Pasukan induk harus menunggu waktu yang tepat
untuk melakukan penyerbuan", berkata Kebo Arema ikut
memberikan penjelasannya.
Sementara itu pemilik kedai terlihat membawa pelita
yang diletakkannya didepan kedai, diluar kedai suasana
memang sudah menjadi gelap.
"Tetaplah kalian berbincang, kedai ini tidak pernah
kututup karena aku tidur di kedai ini", berkata pemilik
kedai itu tidak keberatan mereka masih berbincang di
dalam kedai. "Terima kasih Pak Tua, kebetulan kami sudah selesai
dan akan kembali ke rumah", berkata petugas sandi itu
mewakili Mahesa Amping dan Kebo Arema pamit kepada
pemilik kedai itu. Terlihat Mahesa Amping dan Kebo Arema sudah
berada di jalan padukuhan utama mendekati rumah
kediaman Ki Demang. "Pasti kalian sangat lelah setelah melakukan
perjalanan panjang", berkata Ki Demang menyambut
kedatangan mereka diatas pendapa rumahnya bersama
Ki Amaraja. 1228 "Kami akan bersih-bersih dulu", berkata Mahesa
Amping kepada Ki Demang yang langsung segera ke
Pakiwan diikuti oleh Kebo Arema.
Udara malam di Kademangan Rendang cukup dingin,
dibawah cahaya pelita yang tergantung di sudut tiang
pendapa terlihat empat orang tengah berbincangbincang.
"Sekitar lima puluh orang berkumpul di Kademangan
Rendang, apakah tidak menimbulkan banyak pertanyaan?", berkata Mahesa Amping memikirkan hari
esok dimana lima puluh orang akan bertemu dan
berkumpul di Kademangan Rendang.
"Kekhawatiranmu cukup
Demang ikut memikirkannya.
beralasan", berkata Ki "Kita belokkan mereka ke hutan adat di ujung
Padukuhan Bacang", berkata Ki Amararaja mengusulkan.
"Aku setuju, mereka tidak perlu berkumpul di
Kademangan ini, dari hutan adat dapat langsung ke Pura
Besakih",berkata Ki Demang menyetujui usulan Ki
Amararaja. "Apapun masalahnya, bila dipikirkan bersama akan
menemukan jalan keluarnya", berkata Kebo Arema ikut
menyetujui rencana itu. Sementara itu sang malam masih berdiri diatas roda
waktu yang terus berputar. Udara dingin kadang
menyergap kulit tubuh bersama semilir angin malam
datang dan pergi diatas pendapa rumah Ki Demang.
"Mari kita beristirahat, angin diluar sudah begitu
Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dingin", berkata Ki Demang mengajak semua masuk
kedalam untuk beristirahat.
1229 Sesaat kemudian, suasana pendapa rumah Ki
Demang sudah terlihat lengang diterangi cahaya
temaram dari pelita yang menggantung di sudut tiang
pendapa. Turun lewat anak tangga pendapa, suasana halaman
rumah Ki Demang lebih lengang lagi, sinar cahaya oncor
yang ada dipinggir regol pintu pagar hanya mampu
menerangi kayu regol dan sedikit pagar batu.
Sementara itu jalan tanah yang melintasi rumah
kediaman Ki Demang sudah tidak dapat terlihat tertutup
seluruhnya oleh kegelapan malam. Jalan tanah itu begitu
lengang, sepi dan gelap. Malam yang lengang, sepi dan gelap serta udara
dingin berkabut telah menyelimuti Kademangan Rendang
sepanjang malam. Semua orang sudah lama tertidur
terlelap menarik kaki dan kepalanya lebih rapat lagi
masuk kedalam kain sarungnya.
Perlahan sang malam akhirnya bergeser semakin
menjauh pergi ke balik bumi lain digantikan kehadiran
sang pagi yang ditandai dengan suara ayam jantan yang
sayup terdengar jauh dan semakin lama semakin jelas
keras saling bersahut. Dipagi yang bening itu, jalan padukuhan utama sudah
mulai dilewati satu dua orang, mungkin satu dua orang
pedagang yang berjalan menuju ke pasar.
Sekumpulan burung camar terbang melintas diatas
halaman rumah Ki Demang yang sudah nampak terang.
"Udara pagi di Kademangan ini begitu sejuk", berkata
Kebo Arema diatas pendapa sambil memandang seekor
ayam jago yang tengah mengejar seekor anak ayam
jantan muda yang baru disapih oleh induknya.
1230 "Biarlah aku bersama Ki Amararaja menanti disini ,
mungkin tidak semua orang lewat jalan simpang ujung
Padukuhan Bacang", berkata Kebo Arema kepada
Mahesa Amping. "Baiklah, aku dan Ki Demang yang berangkat",
berkata Mahesa Amping sambil berdiri dan melangkah
menuruni anak tangga pendapa diiringi Ki Demang
dibelakangnya. Terlihat Mahesa Amping bersama Ki Demang tengah
berjalan di jalan Padukuhan utama menuju Padukuhan
Bacang. Beberapa orang menyapa Ki Demang.
"Ada sedikit keperluan ke Padukuhan Bacang",
berkata Ki Demang sekedar menjawab dan memenuhi
beberapa orang yang menyapa dan ingin tahu ada
keperluan apa Ki Demang sepagi itu sudah berkeliling.
"Melihat ladang Di Padukuhan Bacang", berkata lagi
Ki Demang asal menjawab kepada beberapa orang yang
tengah menebang serumpun bambu dipinggir jalan yang
menghambat saluran air. Akhirnya Mahesa Amping dan Ki Demang sudah
berada di persimpangan jalan di ujung Padukuhan
Bacang, sebuah Padukuhan yang berada di ujung utara
dan berbatasan dengan sebuah hutan adat. Jalan
simpang di ujung Padukuhan itu memang masih sepi,
belum banyak orang yang melewatinya. Maka yang
ditunggu Mahesa Amping dan Ki Demang ternyata mulai
berdatangan. Mereka berjalan terpisah.
"Teruslah kalian berjalan kearah hutan seberang itu,
tunggulah kami disana", berkata mahesa Amping kepada
tiga orang prajurit yang datang pertama kali.
1231 Begitulah Mahesa Amping mengarahkan pasukannya
ke hutan adat. "Hampir semua pasukanku sudah masuk
di Hutan Adat", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Demang. "Artinya masih ada beberapa orang yang masuk
lewat jalan lain langsung ke rumahku", berkata Ki
Demang memperkirakan. "Ada Ki Amararaja dan Paman Kebo Arema disana",
berkata Mahesa Amping. Apa yang dikhawatirkan oleh Ki Demang ternyata
menjadi kenyataan. Beberapa orang ternyata memang
lewat jalan lain, diantaranya Ki Jaran Waha sendiri
bersama para pengikutnya.
"Selamat datang Ki Jaran Waha", berkata Kebo
Arema turun dari pendapa menyambut kedatangan Ki
Jaran Waha bersama tiga orang pengikutnya yang sudah
masuk ke halaman rumah Ki Demang.
Dengan singkat Kebo Arema menjelaskan bahwa
tempat berkumpulnya berada di hutan adat.
"Aku tahu jalan menuju ke hutan itu, biarlah salah
seorang diantara kami mundur kebelakang untuk
memberitahukan kawan-kawannya yang masih ada di
perjalanan", berkata Ki Jaran Waha yang langsung
memerintahkan salah seorang pengikutnya mundur
kembali kebelakang. "Kami akan segera menyusul", berkata Kebo Arema
kepada Ki Jaran Waha. Akhirnya tidak terasa semua orang yang ditunggu
sudah berada di hutan adat. Termasuk Ki Amararaja dan
Kebo Arema yang datang menyusul.
1232 "Ingat bahwa kita adalah orang-orang dari
Kademangan Rendang", berkata Mahesa Amping
mengingatkan. "Petani yang baru belajar memegang pedang",
berkata Ki Jaran Waha menambahkan membuat semua
merasa geli mendengarnya.
Sementara itu matahari sudah terlihat merayap naik
di hutan itu. "Mari kita berangkat", berkata Mahesa Amping
dengan suara lantang. Maka berjalanlah rombongan itu keluar dari hutan
adat itu menuju Pura Besakih. Terlihat rombongan itu
seperti semut berjejer menyusuri jalan setapak yang
cukup keras sering dilalui orang manakala berjalan
menuju Pura Besakih. "Pura Besakih sudah terlihat", berkata salah seorang
prajurit yang melihat ujung meru berundak sebelas yang
sudah terlihat dari jauh.
Akhirnya mereka telah sampai di puncak sebuah
bukit tempat dimana bangunan pura itu berdiri. Dan
rombongan itu terlihat berhenti di muka sebuah tangga
yang tinggi menuju pintu gerbang Pura Besakih.
Dari atas rombongan itu memang sudah terlihat, dua
orang petugas pengintai telah melihat mereka.
"Periksa siapakah mereka yang baru datang itu",
berkata seorang yang terlihat penuh wibawa ketika
menerima laporan dari petugas pengintai.
Maka terlihat seorang penjaga Pura tengah menuruni
anak tangga yang tinggi itu tempat satu-satu jalan
menuju Pura Besakih. 1233 "Siapakah pimpinan kalian?", bertanya penjaga itu
ketika sudah berada di hadapan rombongan Mahesa
Amping. "Aku Demang Amararatu membawa lima puluh orang
Kademangan Rendang untuk berbakti", berkata Ki
Demang kepada penjaga itu.
"Bakti kalian diterima oleh Penguasa Pura Besakih",
berkata penjaga itu sambil memberi tanda kepada Ki
Demang untuk membawa rombongannya naik ke tangga
seribu. Satu persatu rombongan itu menaiki anak tangga
seribu dan akhirnya sampai satu persatu melewati
lawang gapura. "Tunggulah kalian disini", berkata penjaga itu
meminta rombongan menunggu di Bale Pelataran tamu
yang berhadapan dengan sebuah anak tangga batu yang
tidak lebih tinggi dari tangga seribu.
Terlihat semua rombongan duduk bersimpuh penuh
hikmat mencontoh sikap Ki Demang. Mahesa Amping
memperhatikan beberapa orang memantau keadaah
diluar Pura, sementara itu pasukan panah terlihat
bersembunyi disepanjang pagar batu dengan busur dan
anak panah yang siap sedia.
"Hujan panah akan melumatkan siapapun yang
datang mendekat",berkata Mahesa Amping dalam hati.
Akhirnya seorang penjaga datang bersama dengan
seorang yang terlihat sepertinya atasannya.
"Aku Demang Amararatu membawa lima puluh orang
Kademangan Rendang untuk berbakti", berkata Ki
Demang sambil menjura penuh hormat sepertinya sudah
terbiasa datang ke Pura Besakih.
1234 "Bakti kalian diterima oleh Penguasa Pura Besakih",
berkata orang yang bersama penjaga itu sambil memberi
tanda kepada Ki Demang untuk membawa rombongannya masuk ke lawang Pura lebih dalam lagi.
Akhirnya rombongan dari Kademangan Rendang itu
telah sampai di puncak tanah yang lapang.
"Aku Jero Mangku Sanga, mulai saat ini akulah
pimpinan kalian selama di Pura Besakih ini", berkata
orang itu yang mengaku sebagai Jero Mangku Sanga
dengan suara yang keras dan parau.
Terlihat seorang yang lain datang mendekati Jero
Mangku Sanga itu. "Aku perlu sepuluh orang petugas untuk membantu di
dapur umum", berkata orang itu.
"Aku akan memilih diantara mereka", berkata Jero
Mangku Sanga sambil memeriksa satu persatu
rombongan dari Kademangan Rendang.
"Pak tua, sebaiknya kamu keluar dari rombongan ini",
berkata Jero Mangku Sanga kepada Ki Amararaja.
Maka terlihat Ki Amararaja keluar misahkan diri dari
rombongannya. "Orang setua kamu pantasnya di dapur umum",
berkata Jero Mangku Sanga kepada Ki Jaran Waha.
Terlihat Ki Jaran Waha dengan tanpa menyanggah
apapun ikut memisahkan diri mendekati Ki Amararaja.
Selanjutnya Jero mangku Sanga memeriksa satu
persatu orang-orang dari Kademangan Rendang yang
sebenar adalah para penyusup.
Akhirnya Jero Mangku Sanga dapat memilih delapan
orang lagi yang kesemuanya adalah para pengikut Ki
1235 Jaran Waha yang umumnya adalah orang-orang yang
berilmu cukup tinggi, pengikut papan lapis atas yang
setia yang dari segi usia memang sudah tidak dapat
dikatakan sebagai pemuda lagi.
"Bawalah kesepuluh orang ini bersamamu", berkata
Jero mangku Sangan kepada kawannya.
Maka terlihat kawan Jero Mangku Sanga membawa
kesepuluh orang dari rombongan yang akan ditugaskan
sebagai pembantu juru masak di dapur umum.
"Menjelang senja kalian berkumpul kembali disini,
Raja Adidewalancana berkenan memberikan wejangan",
berkata Jero Mangku Sanga sambil menunjukkan sebuah
barak yang kosong untuk mereka beristirahat.
"Maaf, apakah aku sudah diperbolehkan kembali ke
Kademanganku", bertanya Ki Demang kepada Jero
Mangku Sanga. "Penguasa Pura Besakih tidak akan melupakan
baktimu, silahkan kamu kembali", berkata Jero Mangku
Sanga kepada Ki Demang sambil melangkah
meninggalkan mereka. Sebelum berangkat Ki Demang menghampiri Mahesa
Amping untuk pamit diri. "Buatlah hubungan kepetugas sandi di Pasar
Kademangan", berkata Mahesa Amping kepada Ki
Demang sambil memberikan beberapa tanda rahasia.
"Dari sini aku akan langsung ke pasar Kademangan",
berkata Ki Demang kepada Mahesa Amping.
Terlihat Ki Demang melangkahkan kakinya turun
Si Dungu 4 Pendekar Gunung Lawu Karya Kho Ping Hoo Pengelana Rimba Persilatan 7