Pencarian

Sang Fajar Bersinar 7

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 7


di panggung banjar Desa. Ketika terang pagi, jalan utama di Kademangan itu
sudah mulai ramai. Terlihat beberapa orang lelaki
membawa cangkul, mungkin hendak bekerja di sawah.
Terlihat juga sebuah gerobak ditarik dengan seekor
sapi membawa gerabah, mungkin milik seorang
pedagang yang akan dibawanya ke pasar yang ada di
Padukuhan sebelah dimana hari itu adalah tepat hari
pasaran. Terlihat juga beberapa perempuan tua memanggul
beberapa helai tikar anyamannya di atas kepala,
sepertinya akan dibawa kepasar untuk ditukarkan
dengan berbagai macam barang kebutuhan rumah
tangganya. "Ibuku setiap hari disaat senggangnya selalu rajin
menganyam tikar di bale", berkata seorang prajurit
434 kepada kawannya sambil melihat seorang perempuan
tua yang tengah memanggul beberapa helai tikar pandan
diatas kepalanya. "Pulang dari pasar, pasti ibuku membawakan klepon
isi gula aren kegemaranku", berkata kembali prajurit
muda itu yang teringat kampung halamannya yang sudah
begitu lama ditinggalkannya. Terbersit wajah ibunya
dengan senyum cerah pulang dari pasar setelah menjual
anyaman tikar pandan yang dibuatnya dari hari kehari.
Lamunan prajurit muda itu langsung buyar manakala
seorang prajurit lain datang dari ujung jalan rumah Ki
Demang. "Bersiap-siaplah, kita akan segera berangkat",
berkata seorang prajurit yang baru datang itu.
Demikianlah para prajurit telah mempersiapkan
dirinya untuk segera berangkat melanjutkan perjalannya
yang sudah tidak begitu panjang lagi.
"Setelah sampai di Kediri. Aku akan mengutus para
prajurit untuk membawa para tawanan", berkata
Kertanegara kepada Ki Demang yang telah menitipkan
beberapa tawanan agar perjalanan mereka akan menjadi
lebih cepat lagi. "Hamba akan menjaga tawanan ini sampai
datangnya para prajurit yang akan membawanya",
berkata Ki Demang yang bersedia dititipkan para
tawanan. "Terima kasih untuk semua dan segalanya", berkata
Kertanegara kepada Ki Demang ketika kereta Kencana
mulai bergerak. "Sebuah kehormatan telah melayani tuanku", berkata
Ki Demang penuh hormat. 435 Iring-iringan kecil itu terlihat telah melewati regol
rumah Ki Demang. Ketika iring-iringan rombongan Kertanegara melewati
beberapa pedukuhan, hampir semua orang telah keluar
dari rumahnya, tua muda lelaki dan perempuan
melambaikan tangannya menyambut kehadiran kereta
kencana yang indah serta iring-iringan para prajurit yang
lengkap dengan umbul-umbul kebesaran kerajaan
Singasari. Baru pertama kali ini mereka menyaksikan
sendiri iring-iringan bangsawan lewat di jalan Padukuhan
mereka. Hingga akhirnya rombongan itu memasuki pintu
gerbang kota Kediri. Sambutan disana lebih meriah lagi.
Sudah lama mereka menantikan datangnya seorang
Raja. Sudah lama singgasana Kediri kosong tanpa
seorang pun Raja yang duduk mengisinya, memberikan
titah dan anugerah. Dan Sri Maharaja telah memberikan
warga Kediri sebuah kehormatan dan kebanggaan yang
besar, menunjuk putra Mahkotanya untuk duduk di
Singgasana Kediri sebagai Raja Muda mereka.
Iring-iringan kecil itu pun akhirnya berubah menjadi
sebuah iring-iringan yang besar, semua orang turun ke
jalan mengikuti dari belakang kereta kencana yang
berjalan perlahan menuju Istana raja.
"Orang-orang Kediri ternyata menerima kedatangan
kita", berkata Kertanegara kepada permaisurinya merasa
suka cita atas sambutan orang-orang Kediri di sepanjang
jalan. "Semoga Kakanda dapat mengisi harapan mereka",
berkata sang Permaisuri lirih penuh harapan.
Demikianlah hari pertama Raja Muda Kertanegara
mengisi istananya. 436 Berbesar hatilah para pejabat istana, juga para
bangsawan Kediri ketika Raja Muda mereka tidak
melakukan perubahan jabatan dan kedudukan apapun di
bawah kepemimpinannya. Dan Raja muda Kertanegara telah menunjukkan
dirinya mampu mengisi harapan itu. Ibarat raksasa yang
terbangun, Kediri telah bangun kembali dari tidurnya.
"Budha-Siwa hidup di hati, budha Siwa juga telah
lahir dibumi Kediri", berkata seorang Pendeta suci
penasehat kerajaan kepada Raja Muda Kertanegara.
"Menerjemahkan suara hati sebagai cermin diri",
berkata Kertanegara mengerti apa yang dimaksud dari
ucapan sang pendeta istana.
"Tuanku adalah Brahmana yang bertahta", berkata
pendeta itu mengagumi Raja Mudanya yang telah
memahami dan mengenal bahasa Tatwa.
Mulailah Raja Muda Kertanegara membangun
kerajaannya, sebagaimana seekor elang yang telah
tumbuh bulu mengarungi daerah perburuannya.
"Anak itu telah tumbuh bulu", berkata Raja
Jayakatwang yang telah menerima laporan beberapa
orang kepercayaannya yang bercerita bahwa Kertanegara telah diterima dan dipuja di Tanah Kediri.
"Aku lahir dan besar disana, akulah yang berhak
berkuasa disana", berkata raja Jayakatwang kepada
orang kepercayaannya. "Sri Maharaja Singasari telah menjatuhkan titahnya,
mempercayakan Kediri dipegang oleh putranya sendiri",
berkata orang kepercayaannya dengan suara lirih
sepertinya meminta pertimbangan apa yang harus
dilakukannya. 437 "Kita harus merusak kepercayaan itu", berkata Raja
Jayakatwang yang masih belum dapat menerima dan
merelakan Kediri dipegang dan dikuasai oleh orang lain,
meski Kertanegara adalah adik iparnya sendiri.
Demikianlah Raja Jayakatwang yang diam-diam telah
mulai menggoyahkan kedudukan Kertanegara di Kediri
lewat beberapa perampokan, perampasan dan
kerusuhan. Kertanegara tidak mampu menjaga rakyatnya, itulah
yang diharapkan Raja Jayakatwang yang penuh rasa iri.
Tapi Kertanegara adalah seekor Elang yang telah
berani terbang tinggi, mampu melihat dengan tajam
setiap ancaman. "Katakan kepada Senapati Mahesa Pukat apa yang
telah kukatakan", berkata Kertanegara kepada Bhaya
seorang prajurit pengawal pribadinya yang telah diakui
kesetiaannya. Demikianlah, di malam gelap seorang berkuda telah
keluar dari gerbang kota Kediri.
JILID 05 Bhaya menghentak kudanya agar berlari lebih cepat
lagi. Terlihat kuda Bhaya seperti terbang di kegelapan
malam menapaki jalan panjang. Ketika harus memasuki
sebuah Padukuhan, maka dicarinya jalan melingkar
menghindari para peronda.
Demikianlah perjalanan malam dilakukan Bhaya
tanpa ada halangan yang berarti hingga datangnya pagi.
Dibeberapa tempat terpaksa berhenti sejenak untuk
memberi kesempatan kudanya untuk beristirahat.
438 Diujung senja akhirnya Bhaya sampai juga di
Benteng Cangu. "Penyelesaian seperti itukah yang diinginkan oleh
Raja Muda Kertanegara?", berkata Mahesa Pukat
setelah Bhaya menceritakan apa yang di pesan oleh
Kertanegara. "Berperan sebagai Panglima Angsa Putih yang
melindungi Rajanya", berkata Kebo Arema sambil
tersenyum. "Hitung-hitung untuk mengendorkan kembali tulangtulang tua kita yang sudah semakin kaku", berkata
Mahesa Pukat sambil menyesalkan bahwa sampai saat
ini belum ada kabar tentang keadaan dari Raden Wijaya,
Mahesa Amping dan Lawe yang tengah melaksanakan
tugas sandinya di Tanah Melayu.
Daerah Kediri cukup luas, perlu tiga orang agar peran
Panglima Angsa putih dapat dilaksanakan sesuai
keinginan Raja Muda Kertanegara", berkata Kebo Arema
memberikan pendapatnya. "Kakang Mahesa Murti mungkin dapat kita ajak
bermain", berkata Mahesa Pukat
"Aku setuju, beberapa cantrik di Padepokan Bajra
Seta mungkin dapat dimanfaatkan", berkata Kebo Arema.
Demikianlah, dikegelapan malam Bhaya telah
kembali ke Kediri dengan menukar kuda yang masih
segar di Benteng Cangu untuk melaporkan bahwa pesan
Kertanegara telah disampaikan.
"Mari kita bersiap berangkat ke Padepokan Bajra
Seta", berkata Mahesa Pukat ketika melihat Bhaya telah
menghilang keluar dari Benteng Cangu.
Malam itu juga Mahesa Pukat dan Kebo Arema telah
439 berangkat ke Padepokan Bajra Seta untuk menemui
Mahesa Murti. Dua ekor kuda telah memacu kudanya dikegelapan
malam menyusuri jalan panjang. Tidak seperti Bhaya
yang menghindari jalan Padukuhan, Mahesa Pukat dan
Kebo Arema terus memacu kudanya di jalan Padukuhan
yang masih lengang. "Kami prajurit Singasari", berkata Mahesa Pukat
kepada seorang peronda yang mencoba menghentikan
perjalanan mereka. "Maafkan kami, silahkan tuanku melanjutkan
perjalanan", berkata peronda itu penuh hormat ketika
Mahesa Pukat menunjukkan pertanda jati dirinya.
"Untungnya aku berjalan bersama seorang Senapati",
berkata Kebo Arema ketika mereka sudah agak jauh dari
peronda yang menghentikan mereka.
Semburat warna merah telah menutupi hampir
seluruh cakrawala langit dipenghujung malam yang
segera akan berganti pagi. Mahesa Pukat dan Kebo
Arema masih tetap tidak menghentikan perjalanannya.
Untungnya kuda-kuda mereka adalah kuda terbaik yang
kuat yang telah biasa menempuh perjalanan jauh.
Ketika pagi menjelang, matahari sudah terlihat penuh
tersembul dari ujung bumi menerangi seluruh dataran
tanah. Barulah Mahesa Pukat dan Kebo Arema
mengurangi kecepatan lari kuda mereka. Padepokan
Bajra Seta sudah semakin mendekat.
Akhirnya mereka telah sampai di pintu gerbang
Padepokan Bajra Seta. Seorang cantrik mendekati
mereka. "Selamat datang tuan Senapati", berkata cantrik itu
440 yang ternyata masih mengenal Mahesa Pukat sebagai
salah seorang yang pernah membangun Padepokan
Bajra Seta. Mahesa Pukat dan Kebo Arema langsung menuju ke
Pendapa. Mahesa Murti dengan wajah gembira
menyambut kedatangan mereka.
Setelah menanyakan beberapa hal tentang
keselamatan masing-masing, akhirnya Mahesa Pukat
langsung bercerita tentang maksud kedatangan mereka
di Padepokan Bajra Seta. "Sebuah permainan yang menyenangkan", berkata
Mahesa Murti setelah mendengar penjelasan dari
Mahesa Pukat. Dengan penuh semangat mereka bersama telah
membuat beberapa siasat yang diperlukan. Sebagai tiga
orang yang sudah mempunyai banyak pengalaman
dalam berbagai pertempuran, akhirnya dengan cepat
mereka telah membuat beberapa kesepakatan.
"Kita perlu tiga puluh orang cantrik yang bertugas
sebagai pasukan caraka di tiga wilayah yang sudah kita
tentukan", berkata Kebo Arema.
Pada saat itu juga Mahesa Murti
mengumpulkan tiga puluh orang cantriknya.
telah "Tugas kalian adalah menjaring berita dengan
kepastian, dimana kerusuhan akan terjadi", berkata
Mahesa Murti memberikan beberapa penjelasan kepada
ketiga puluh cantriknya yang akan diikutkan membantu
tugas rahasia di Kediri sesuai amanat dari Raja Muda
Kertanegara. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk perbekalan yang diperlukan, beberapa cantrik
441 terlihat telah keluar dari regol pintu gerbang Padepokan
Bajra Seta. Agar tidak menarik banyak perhatian, mereka


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluar secara bertahap. Sepuluh orang pertama terlihat
telah keluar dari Padepokan Bajra Seta bersama Mahesa
Pukat. Berselang tidak begitu lama, sepuluh orang kedua
telah keluar bersama Kebo Arema. Diperjalanan mereka
berjalan secara terpencar, berdua atau bertiga dan
sepertinya tidak saling mengenal. Berbagai cara mereka
lakukan untuk menyamarkan jati diri mereka. Ada yang
menyamar sebagai pedagang, ada juga yang menyamar
sebagai seorang pengembara, bahkan ada yang
menyamar sebagai pengemis dengan pakaiannya yang
compang-camping lusuh dan kotor.
"Pasrahkan diri kita selalu kepada Gusti Sang Maha
Karsa", berkata Mahesa Murti kepada Padmita yang
mengantarnya sampai di pintu regol halaman Padepokan
bersama sepuluh orang cantrik sebagai kelompok
terakhir yang akan melaksanakan perjalanan tugas
rahasianya di Tanah Kediri.
Tiga puluh orang cantrik Padepokan Bajra Seta
adalah orang-orang pilihan yang sudah terlatih. Dibawah
bimbingan Mahesa Murti mereka telah terbina baik dalam
ilmu kanuragan maupun dalam ilmu kajiwan. Namun
dalam kesehariaan mereka adalah orang-orang yang
sangat bersahaja. Akhirnya, tiga puluh orang cantrik Padepokan Bajra
Seta telah memasuki wilayah Kediri. Mereka tersebar di
tiga wilayah yang telah ditentukan tanpa diketahui dan
disadari berbaur diantara kehidupan dan keseharian
penduduk Kediri. Hingga malam yang mereka tunggu akhirnya datang
442 juga. Saudagar Mokar dan keluarganya masih tertidur
nyenyak dibiliknya masing-masing. Saudagar Mokar
adalah seorang saudagar kuda yang sangat kaya. Di
Padukuhan Mekar tempatnya tinggal, rumahnya terlihat
paling mencolok diantara rumah-rumah penduduk
tetangganya, lebih besar dan terlihat lebih megah
dengan dua buah pilar ukiran jati berdiri menopang
anjungan pendapanya. Sepuluh orang perampok dikegelapan malam telah
berhasil masuk lewat dinding pagar halaman yang tidak
begitu tinggi. "Sayangi jiwamu", berkata seorang perampok yang
telah berhasil mendekati seorang penjaga yang tengah
bersandar di pendapa. Hilang rasa kantuk penjaga itu berganti dengan
keterkejutan yang sangat menyadari dirinya dalam
ancaman senjata yang berkilat tajam mengancam batang
lehernya. Dengan mudah penjaga itu membiarkan dirinya diikat
di kayu pilar pendapa. Sementara itu beberapa perampok
telah berhasil masuk. "Jangan menangis !!", berkata seorang perampok
yang telah berhasil masuk kedalam bilik anak gadis
Saudagar Mokar. Sementara dibilik lain, seorang perempuan pelayan
juga telah berhasil diamankan.
"Jangan sakiti kami", berkata saudagar Mokar kepada
tiga orang perampok yang telah masuk ke biliknya
tengah mengancamnya dengan golok besar yang berkilat
tajam. 443 "Suruh istrimu diam!!", berkata seorang perampok
sambil menjulurkan golok besarnya kearah istrinya yang
menangis penuh ketakutan.
Akhirnya seperti kerbau yang dicucuk hidungnya,
Saudagar Mokar menuruti apapun yang diperintahkan
para perampok, termasuk memberitahukan dimana harta
perhiasan berharganya disimpan.
"Anak gadismu cukup jelita, tapi karena kamu sangat
berbaik hati memberikan semua hartamu, biarlah anak
gadismu tidak akan kubawa serta", berkata seorang
perampok dengan deretan gigi emasnya berjejer di atas
bibirnya yang tebal setelah mengumpulkan seluruh
penghuni rumah didalam satu bilik.
Terlihat sepuluh orang perampok telah menuruni
pendapa satu persatu sambil tertawa bangga, merasakan
tugas mereka dapat dilakukan dengan begitu mudah.
Tiba-tiba saja mata kesepuluh perampok itu seperti
keluar dari batok kepalanya. Mereka sepertinya tengah
melihat hantu yang menakutkan.
Kesepuluh perampok itu ternyata melihat seorang
berkuda putih dihadapan mereka. Pakaian orang itu
serba putih, wajahnya juga terlihat dibalut sebuah kain
putih. Hanya wajahnya yang terlihat tajam mengawasi.
"Mengapa wajah kalian begitu penuh ketakutan",
berkata orang itu masih diatas kuda putihnya.
"Kukira dedemit, ternyata kamu manusia", berkata
seorang perampok yang sudah dapat menguasai dirinya
tidak merasa takut lagi. "Aku memang dedemit yang akan mengambil nyawa
kalian", bekata orang itu sambil melompat dari kudanya.
Kesepuluh perampok itu telah tahu apa yang harus
444 dilakukan, mereka segera mengepung orang itu.
Entah dengan cara apa, kesepuluh perampok itu
belum sempat mengangkat senjatanya masing-masing,
merasakan tangan mereka seperti tergetar, dan dengan
pandangan mata yang seperti tidak tahu apa yang
terjadi, senjata mereka telah berpindah tangan.
"Ilmu iblis!!", berkata salah seorang perampok yang
sepertinya pimpinan para perampok itu.
Namun belum lagi berakhir ucapannya, tiba-tiba saja
dirasakan batok kepalanya seperti ditampar dua kali
dengan tamparan yang kuat. Seketika itu juga pemimpin
perampok itu jatuh terhuyung pingsan.
Melihat pemimpin mereka begitu mudah dijatuhkan,
kesembilan orang perampok itu nyalinya sudah langsung
menciut. Terbesit di dalam pikiran mereka bahwa orang
dihadapan mereka memang bukan manusia.
Belum lagi mereka untuk menguasai keadaan,
sebuah sentuhan halus telah menyentuh anggota badan
mereka. Seketika itu juga mereka merasakan tubuhnya
menjadi lemas tak bertenaga. Satu persatu telah jatuh
lunglai di halaman rumah itu.
"Menyerahlah, atau nyawa kalian kucabut malam ini",
berkata orang berpakaian putih-putih itu.
"Ampuni jiwa kami", berkata seorang perampok yang
tidak dapat menguasai rasa takutnya.
Orang berpakaian serba putih itu tidak berkata
apapun, terlihat berjalan menghampiri seorang penjaga
yang masih terikat di kayu pilar penjaga.
"Masuklah kedalam, mungkin junjunganmu telah
terkurung di dalam biliknya", berkata orang itu setelah
membuka ikatan tali seorang penjaga.
445 Setelah tali yang mengikat tubuhnya telah
dilepaskan, penjaga itu langsung masuk kedalam rumah.
Tidak lama kemudian telah muncul kembali bersama
Saudagar Mokar yang terkejut melihat apa yang terjadi di
muka halamannya. Kesepuluh perampok yang garang
yang sebelumnya telah membuat dirinya dan
keluarganya tidak berdaya dibawah ancaman, telah
bergelimpangan berbaring di halaman rumahnya
sepertinya tidak berdaya lagi.
Mata saudagar mokar terpaku kepada seorang yang
sudah duduk diatas kuda putihnya.
"Aku adalah Panglima Angsa Putih, pelindung Raja
Muda Kertanegara kekasih para dewa", berkata orang
berpakaian putih diatas kuda putihnya dengan suara
yang bergema. Orang yang memperkenalkan dirinya sebagai
Panglima Angsa Putih itupun telah membalikkan arah
kudanya berlalu sambil melambaikan tangannya keluar
lewat pintu pagar halaman dan menghilang dikegelapan
malam. Gegerlah Padukuhan Mekar itu di pagi harinya.
Warga Padukuhan Mekar seperti mendengar kembali
dongeng yang selama ini mereka anggap sebuah cerita
khayalan belaka para Brahmana tentang Panglima
Angsa Putih yang selalu melindungi seorang Raja yang
dikasihi para dewa dilangit.
"Ternyata Raja Muda kita adalah kekasih para dewa,
Panglima Angsa Putih akan selalu melindungi rakyat
Kediri", berkata seorang petani kepada istrinya yang
telah mendengar cerita perampokan semalam dirumah
Saudagar Mokar tetangganya yang kaya raya itu.
Ternyata cerita tentang Panglima Angsa Putih itu
446 seperti angin bertiup menjelajah dari satu padukuhan ke
Padukuhan lainnya, dan menjadi pembicaraan yang
hangat, di Banjar desa, dipasar dan dikedai.
"Semoga para perusuh dan perampok berpikir ulang
melakukan perbuatannya di bumi Kediri ini", berkata
seorang lelaki di sebuah kedai setelah mendengar cerita
dari pemilik kedai tentang Panglima Angsa Putih.
Ternyata lelaki itu adalah Senapati Mahesa Pukat,
sambil tersenyum menghirup minuman wedang jahenya
yang masih hangat. "Sebuah tugas yang menyenangkan", berkata
Mahesa Pukat kepada dirinya sendiri sambil mengangkat
kembali minuman hangatnya.
Dan cerita tentang Panglima Angsa Putih ternyata
masih terus berlanjut, tentunya di tempat yang berbeda
masih di wilayah Kediri. Diawali dengan sebuah perampokan disiang bolong
atas sekelompok pedagang di perjalanan mereka. Di
kedemangan terdekat mereka melaporkan apa yang
telah terjadi kepada Ki Jayaraga. Akhirnya didengar juga
oleh para cantrik Padepokan Bajra Seta yang tengah
melakukan tugas carakanya.
"Aku akan segera mengejar para perampok itu",
berkata Kebo Arema yang telah menerima laporan dari
salah seorang cantrik. Kebo Arema segera mendatangi tempat kejadian dan
telah mendapatkan beberapa jejak kemana para
perampok itu besembunyi. Ternyata para perampok itu bersembunyi di sebuah
hutan kecil yang jarang sekali didatangi oleh penduduk
disekitarnya karena hutan kecil itu dikenal sebagai hutan
447 yang angker, bila tidak ada kepentingan yang sangat
mendesak, misalnya untuk mencari bahan obat yang
hanya ada di hutan ini, barulah penduduk setempat
dengan sangat terpaksa masuk ke hutan ini. Selain itu
mereka bepikir dua kali untuk mendatanginya. Konon di
hutan ini ada sebuah kejadian sepasang suami istri mati
dengan jalan menggantungkan dirinya. Atas kejadian
inilah penduduk setempat enggan datang kehutan
ini.Mereka percaya bahwa orang yang mati bunuh diri
arwahnya terus bergentayangan.
"Baru kali ini aku dapat upah ganda, diupah sebagai
perampok dan mendapatkan hasil rampokan", berkata
salah seorang perampok kepada kawannya didepan
sebuah perapian yang mereka buat.
"Merampok, berpoya-poya dan merampok lagi",
bekata kawannya menimpali
"Dan berpoya-poya lagi", berkata kawan yang lainnya
yang disambut tawa tergelak-gelak dari yang lainnya
yang mendengarkan pembicaraan mereka.
Tiba-tiba saja tawa mereka berhenti, mereka
mendengar suara tawa yang lebih keras lagi menggema
berasal dari berbagai penjuru.
Para perampok itu seperti membeku ditempatnya
masing-masing. Pikiran mereka sudah terbawa kedalam
suasana yang menakutkan didalam hutan yang pekat itu.
Dari cahaya perapian terlihat wajah mereka yang telah
berubah pucat penuh kecemasan.
"Penunggu hutan ini tidak menyukai kehadiran kita",
berbisik seorang perampok kepada kawannya diantara
suara tawa yang masih saja terus terdengar bergema.
Kembali mereka dikejutkan oleh sebuah penampakan
448 yang datang dari kegelapan malam di hutan itu seorang
yang berpakaian serba putih, wajahnya juga telah
ditutupi sebuah kain putih hingga yang tersisa hanya
pada bagian sisi kedua matanya yang terlihat tajam
mengawasi mereka. "Aku adalah Panglima Angsa Putih yang melindungi
raja muda Kertanegara yang dikasihi para dewa", berkata
orang itu dari balik kain putih penutup wajahnya.
"Aku tidak percaya dengan dongeng itu, rasakan
tajamnya pedangku", berkata seorang perampok yang
ternyata mempunyai ilmu yang paling tinggi diantara
kawan-kawannya dengan garang menyerang orang yang
memperkenalkan dirinya sebagai Panglima Angsa Putih.
Tapi apa yang terjadi ?"
Perampok itu seperti terpental jatuh di tempat dimana
pertama ia berdiri sambil sebuah tangannya memegang
sebelah dadanya yang terasa sesak.
Ternyata orang yang memperkenalkan dirinya
bernama Panglima Angsa Putih itu telah menghajar
perampok itu dengan sebuah lecutan cambuk yang keras
kearah dada. Terlihat orang itu masih berdiri tersenyum
sambil menjurai sebuah cambuk pendek ditangannya.
Beberapa perampok sudah meraba senjatanya
masing-masing siap menyerang orang yang mengaku
bernama Panglima Angsa Putih.
"Majulah kalian bersama", berkata Panglima Angsa


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putih dengan sikap menantang.
Tujuh orang perampok maju bersama-sama langsung
menyerang Panglima Angsa Putih. Dan terjadilah
sebagaimana yang terjadi pada perampok pertama.
Tujuh orang perampok terpental kembali ketempat
449 awal mereka berdiri sambil sebuah tangannya menahan
sebelah dadanya yang sesak.
Belum lagi rasa gentar mereka menghilang, sebuah
kabut putih tiba-tiba saja datang menutupi seluruh
penglihatan mereka. Dalam kebingungan itu, sebuah tamparan keras
dirasakan telah menghantam batok kepalanya. Delapan
orang perampok itu terjungkal jatuh ditanah. Segaris
Warna biru telah menandai masing-masing wajah
mereka. Ternyata garis sabetan sebuah cambuk telah
menandai wajah mereka. "Siapa yang masih mengatakan Panglima Angsa
Putih sebuah dongeng, kucabut nyawanya hari ini",
bekata Panglima Angsa putih dengan suaranya penuh
wibawa terasa menghentak dada.
"Ampuni jiwa kami", berkata beberapa perampok
yang telah ciut keberaniannya merasa takut nyawanya
akan segera dicabut. "Cepat kalian menyerahkan diri ke Kademangan
terdekat dan serahkan semua hasil rampokan kalian
kepada pemiliknya", berkata Panglima Angsa Putih
dengan suara penuh tekanan yang kembali terasa
menghentak dada mereka. Kabut putih semakin menipis. Panglima Angsa Putih
sudah tidak terlihat lagi.
Terlihat dengan wajah penuh ketakutan delapan
perampok itu telah keluar hutan kecil berjalan menuju
Kademangan terdekat. Gegerlah beberapa orang dibanjar desa yang melihat
kedatangan mereka. "Mereka adalah orang-orang yang telah merampok
450 kami", berkata salah seorang pedagang yang ada di
Banjar desa Kepada Ki Jayaraga.
"Kami menyerahkan diri", berkata para perampok itu.
Ki Jayaraga dan orang-orang yang ada di Banjar
desa masih belum yakin apa yang mereka dengar.
"Mereka tawanan kalian, perlakukanlah dengan baik",
berkata sesorang yang muncul dari kegelapan malam
berkuda putih dan berpakaian putih.
"Panglima Angsa putih", berbarengan Ki Jayaraga
dan orang-orang di banjar desa itu menyebut sebuah
nama. Terlihat Panglima Angsa Putih tengah melambaikan
tangannya kepada mereka dan membalikkan arah
kudanya dan terus menghilang dikegelapan malam.
Dan keesokan harinya cerita tentang Panglima Angsa
Putih kembali menggema menjadi pembicaraan yang
hangat hampir di sepenjuru wilayah Kediri.
"Panglima Angsa Putih adalah prajurit para Dewa",
berkata seorang Brahmana menjelaskan tentang
Panglima Angsa Putih. "Apakah ini sebagai pertanda Raja Muda
Kertanegara yang Agung di Kediri sebagai kekasih
Dewa?", bertanya seseorang kepada Sang Brahmana.
"Benar demikian, kasih Dewa hanya untuk para Raja
yang telah mengenal Budha-Siwa didalam hatinya",
berkata Sang Brahmana. Sementara itu di tempat yang berbeda, jauh dari
wilayah Kediri, jiwa seorang raja penuh diliput panas
amuk angkara. Dadanya seperti bergemuruh penuh
kemarahan yang sangat. Dialah Raja Jayakatwang yang
451 tengah menerima laporan dari seorang kepercayaannya
tentang hadirnya Panglima Angsa Putih di Tanah Kediri.
"Kalian bodoh, Panglima Angsa putih adalah
dongeng belaka!!!", berkata Raja Jayakatwang yang tidak
percaya tentang Panglima Angsa Putih.
Orang kepercayaannya tidak lagi berani banyak
cakap, dia sangat mengenal sifat tuannya.
"Semua adalah muslihat dari Kertanegara yang
cerdik, aku mengenal anak itu sejak dulu", berkata Raja
Jayakatwang sambil berpikir mencoba mencari sebuah
cara untuk mengimbangi permainan Kertanegara.
"Aku punya cara membuka kedok Kertanegara yang
bermain dengan utusan para Dewa itu", berkata Raja
Jayakatwang kepada orang kepercayaannya.
"Tuanku telah menemukan sebuah cara ?", bertanya
orang kepercayaannya itu.
"Kita lakukan gerakan serempak di tiga tempat
berbeda", berkata Raja Jayakatwang menyampaikan
siasatnya seperti seorang anak kecil mendapatkan
sebuah mainan baru. "Tetapi Panglima Angsa Putih adalah orang sakti",
berkata orang kepercayaannya penuh keraguan.
"Tetapi tidak mempunyai kesaktian berada di tiga
tempat bersamaan", berkata Raja Jayakatwang penuh
keyakinan. Demikianlah, ketika perintah itu dijatuhkan, para
perusuh telah mencari tiga tempat di Tanah Kediri
sebagai sasaran kerusuhan mereka.
"Kita harus dapat menyergap mereka", berkata Kebo
Arema yang telah mendapatkan berita tentang rencana
452 kegiatan para perusuh di suatu tempat.
"Kita sergap mereka sebelum melakukan apapun",
berkata Mahesa Pukat kepada seorang cantrik yang
telah mencium rencana kegiatan mereka.
Demikian juga Mahesa Murti dan kelompoknya di
tempat yang berbeda telah berhasil juga mencium
rencana kegiatan para perusuh.
"Gila !!!", berkata seorang perusuh di suatu malam
melihat sebuah lumbung padi terbakar.
Di dua tempat yang sama beberapa perusuh terkejut
melihat hal yang sama, sebuah lumbung padi terbakar.
"Ada yang mendahului pekerjaan kita", berkata salah
seorang perusuh ketika memasuki sebuah padakuhan.
Ternyata beberapa cantrik telah mendahului mereka,
telah membakar sebuah lumbung padi yang isinya telah
mereka kosongkan. Dengan kerja yang rapi tanpa
membangunkan pemiliknya. Namun kebakaran itu akhirnya telah membangunkan
banyak orang. Sementara itu para pesuruh masih bingung harus
berbuat apa. Tiba-tiba saja telah muncul Panglima Angsa
Putih diatas kuda putih dihadapan mereka.
"Panglima Angsa Putih !!", berkata salah seorang
perusuh yang pernah mendengar tentang Panglima
Angsa Putih telah berdiri dihadapan mereka.
"Menyerahlah", berkata Panglima Angsa putih
kepada sepuluh orang perusuh yang masih terkejut.
"Habisi orang itu, dia hanya sendiri", berkata seorang
perusuh yang sudah dapat menguasai dirinya.
453 Mendengar ucapan kawannya, beberapa perusuh
menjadi tersadar. Kepercayaan mereka menjadi tumbuh
kembali. Sepuluh orang perusuh telah mengepung Panglima
Angsa Putih. Masih diatas kudanya, Panglima Angsa putih
bertempur dikeroyok sepuluh orang perusuh. Dan hanya
dalam satu gebrakan beberapa orang perusuh sudah
jatuh bergelimpangan tidak berdaya pingsan.
"Ikat mereka!!", berkata Panglima Angsa Putih
kepada sepuluh orang cantrik yang diam-diam
bersembunyi. Gemparlah para penduduk, setelah mereka besama
memadamkan lumbung yang terbakar, mereka
menemukan sepuluh orang asing telah terikat dan
tergeletak di Banjar Desa.
Semua orang berpendapat bahwa pasti semua itu
tidak lain adalah sebuah perlindungan para dewa yang
telah mengutus Panglima Angsa Putih untuk melindungi
mereka. "Kami perusuh. tidak berbuat apapun" berkata seorang Tapi apapun perkataan mereka, para penduduk tetap
menganggap merekalah yang bertanggung jawab atas
kebakaran lumbung padi di Padukuhan mereka.
Sejak saat itu, Tanah Kediri menjadi daerah yang
aman. Disiang hari maupun malam hari. Para perampok
sungguhan berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan
mereka di Tanah Kediri. Mereka mempercayai bahwa
Panglima Angsa Putih selalu mengawasi dan menjaga
Tanah Kediri. 454 Sementara itu Raja Jayakatwang sudah demikian
putus asa. Bermula berencana menghancurkan nama
Raja Muda Kertanegara, berbalik melambungkan
namanya sebagai Raja Muda yang dikasihi para Dewa.
Demikianlah Raja Muda Kertanegara telah memulai
tugasnya di Tanah Kediri tanpa hambatan apapun.
Diawali dengan kepercayaan warga Kediri bahwa Raja
Muda mereka adalah orang yang dikasihi para Dewa.
Raja Muda Kertanegara telah membangkitkan kembali
Kediri yang sudah lama tertidur. Dan seluruh warga
Kediri dengan penuh kepercayaan yang tulus merasakan
bahwa Raja Muda Mereka adalah anugerah para Dewa
yang diturunkan di Tanah Kediri.
Di pagi yang cerah dibangsal pribadi Raja Muda
Kertanegara. "Terima kasih untuk semua dan segalannya", berkata
Raja Muda Kertanegara kepada ketiga Panglima Angsa
Putih yang berniat mengundurkan diri kembali
ketempatnya masing-masing.
"Sebuah permainan yang menyenangkan", berkata
Kebo Arema sambil tersenyum
"Hamba siap kapanpun Baginda membutuhkan diri
ini", berkata Mahesa Murti
"Seluas tanah Singasari, seluas itulah pengabdian
hamba sebagai prajurit", berkata Mahesa Pukat.
"Berbahagialah Bumi Singasari yang telah mempunyai tiga orang Kstria sebagai penjaga dan
pelindung yang setia", berkata Raja Muda Kertanegara
penuh haru atas jasa yang telah mereka perbuat.
"Kalau bukan titah Sri Maharaja Singasari, hamba
akan senang berdekatan dengan tuanku", berkata Kebo
455 Arema kepada Raja Muda Kertanegara sahabatnya itu.
Akhirnya, Kebo Arema, Mahesa Murti dan Mahesa
Amping mohon pamit diri. Dibawah pandangan Raja
Muda Kertanegara, tiga orang sakti itu telah menghilang
di tikungan lorong istana.
Dan Tiga ekor kuda telah melewati gerbang istana
dibawah tatapan para pengawal yang tidak menyadari
bahwa ketiga orang berkuda itulah yang selama ini
berperan sebagai Panglima Angsa Putih.
*** Sementara itu jauh dari Tanah Kediri, sebuah jung
terlihat tengah berlayar di kegelapan malam dibawah
cahaya rembulan dan kerlip jutaan bintang.
Angin berhembus genit mengurai rambut seorang
gadis yang berdiri di anjungan. Lentera bahtera yang
menggelantung menyinari wajahnya yang putih halus
dan sebaris lukisan bibirnya yang selalu menggambarkan
keceriaan. "Memandang langit yang berhias bulan dan bintang
adalah dahaga mata yang tak terpuaskan", berkata
seorang pemuda yang datang menghampiri berdiri
disampingnya ikut memandang ke arah mata gadis itu
memandang. "Pemandangan malam diatas anjungan begitu indah",
berkata gadis itu yang ternyata adalah Dara Jingga
menoleh sebentar sambil tersenyum kepada pemuda
yang menghampirinya. "Suasana hati adalah bingkai dari lukisan alam yang
hidup", berkata pemuda itu yang ternyata adalah Mahesa
Amping sambil memandang jauh kedepan menikmati
suasanan malam. 456 "Benar, manakala suasana hati bergembira, alam
didepan mata kita Nampak begitu indah", berkata Dara
Jingga membenarkan perkataan Mahesa Amping.
"Hati sendiri adalah alam terdekat yang dapat kita
lihat sepanjang hari", berkata Mahesa Amping sambil
memperhatikan wajah Dara Jingga, menilik apakah gadis
ini mengerti apa yang diucapkannya.
"Menjaga hati, sebagaimana bejana yang kita bawa
dengan penuh kehati-hatian", berkata Dara Jingga sambil
tersenyum kepada Mahesa Amping.
"Itulah rahasia menjaga hati, darimana kamu
mendapatkan kata-kata itu ?", bertanya Mahesa Amping
merasa heran bahwa gadis seumur Dara Jingga mampu
mengurai sebuah rahasia hati.
"Pendeta Istana selalu mengajarkan tentang hal itu",


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkata Dara Jingga sambil melagamkan sebuah puisi
hati. Aku jauh engkau jauh Aku dekat engkau dekat Hati adalah cermin Tempat pahala dan dosa berpadu
Tidak terasa Mahesa Amping ikut bersenandung
bersama Dara Jingga. Suara mereka semakin merapat
terbungkus gemuruh angin dan debur ombak. Biaslah
segala pemisah hati bersatu dalam irama sontak
kebahagiaan semerdu dewa dewi bersenandung di
taman bunga berbaring di hamparan permadani alam
rumput hijau yang lembut dalam tatanan kesempurnaan
yang indah penuh keelokan.
Dan hari-hari indah pun tersulam diatas kain sutra
putih kehidupan dalam bingkai hati yang terpaku sebagai
457 hiasan lukisan abadi. Sang Senja telah bergayut diatas Bandar Muara Jati
ketika sebuah jung merapat.
"Selamat datang tuanku, sembah sujud hamba",
berkata seorang syahbandar Muara Jati menyambut
kedatangan Raja Ragasuci yang telah turun dari jung
nya. Seperti diketahui, Bandar Muara Jati pada saat itu
masih dibawah kekuaraan Kerajaan Saunggaluh. Tidak
heran bila kedatangan Raja Ragasuci mendapat
kehormatan yang melimpah.
Malam itu Ragasuci dan rombongannya berkenan
beristirahat di rumah Syahbandar Muara Jati yang besar
tidak begitu jauh dari pantai. Sebuah pemanjaan yang
menyenangkan setelah beberapa hari tersapu angin laut
dalam pelayaran yang melelahkan.
Dan malam pun berlalu diatas Bandar Muara Jati
dalam kerlap kerlip lampu kehidupan malam ditingkahi
suara para wanita malam yang selalu mewarnai setiap
sudut remang-remang tempat berlabuhnya para
pengembara cinta. "Empat pria dan tiga wanita", berkata seseorang
kepada kawannya sambil matanya tidak lepas tertuju ke
rumah Syah Bandar. "Terlalu percaya diri untuk seorang Raja", berkata
kawannya "Besok ia akan menyesal mengapa tidak membawa
pengawalan prajurit segelar sepapan", berkata orang itu.
"Mari kita laporkan kepada sang ketua", berkata
kawannya. 458 Hujan gerimis mengguyur bumi Bandar Muara Jati
diujung malam. Keesokan harinya terlihat tujuh ekor kuda keluar dari
rumah besar Syahbandar Muara Jati.
Sudah terbiasa Syahbandar Muara Jati melihat
rajanya tanpa pengawalan dan iring-iringan tanda
kebesaran Raja. "Dengan cara ini aku dapat melihat rakyat
Saunggaluh dari dekat", berkata Ragasuci kepada Raden
Wijaya ketika mereka sudah jauh dari Bandar Muara Jati.
Jalan yang mereka tempuh adalah jalan jalur yang
biasa dilalui para pedagang. Dalam perjalanan mereka
kadang bersisipan dengan pedati milik para pedagang.
"Jalan ini melingkari hutan Cigugur", berkata
Ragasuci kepada Raden Wijaya sambil menunjuk
didepan mereka sebuah hutan lebat.
"Mengapa kita melingkari hutan itu?", bertanya Raden
Wijaya. Ragasuci hanya tersenyum mendengar pertanyaan
Raden Wijaya. "Ada sebuah kepercayaan milik orang Pasundan,
ditabukan untuk seorang Raja melintasi hutan Cigugur.
Bila dilanggar Raja itu akan menanggung kesialan
sepanjang hidupnya", berkata Ragasuci.
"Bagaimana bila yang melintasi hanya orang biasa",
bertanya Lawe yang mendengar percakapan tentang
hutan Cigugur. "Larangan itu hanya berlaku untuk seorang raja, tidak
berlaku untuk seorang anak Raja Belang", berkata
Ragasuci sambil tersenyum kepada Lawe.
459 Lawe ikut tersenyum mengingat kembali tentang awal
perjumpaan mereka bertemu dengan Datuk Belang
dimana Lawe pada saat itu pernah mengaku sebagai
putra Raja Belang. Hari sudah menjelang siang, mereka masih berada di
tepi hutan Cigugur. Penglihatan Mahesa Amping telah
menangkap beberapa kelebat diantara pohon-pohon
besar disisi mereka. Dan kecurigaan Mahesa Amping ternyata menjadi
kenyataan, muncul dari kerimbunan hutan Cigugur
puluhan orang menghadang mereka.
"Menyingkirlah!!", berkata Ragasuci penuh wibawa
seorang Raja. "Ternyata putra Darmasiksa tidak mengenal takut",
berkata seorang yang sepertinya pimpinannya sambil
tertawa keras. "Siapakah kalian?", bertanya Ragasuci
"Kami orang-orang terbuang dari Pasir Muncang",
berkata orang itu. "Ternyata kalian orang-orang yang tersesat itu",
berkata Ragasuci kepada orang itu yang ternyata orangorang dari Pasir Muncang. Sebuah kelompok aliran sesat
yang pernah dihancurkan oleh ayahnya Gurusuci
Darmasiksa puluhan tahun yang lalu yang sering mencuri
bayi-bayi tidak berdosa untuk persembahan mereka.
"Habisi semuanya !!", berkata orang itu sambil bersuit
panjang sebagai tanda kepada pengikutnya untuk
bergerak maju. "Lindungi wanita sebagaimana pusaka", berkata
Ragasuci. 460 Mahesa Amping, Raden Wijaya dan Lawe
menangkap apa yang dikatakan Ragasuci. Dengan cepat
mereka telah membentuk lingkaran melindungi Dara
Puspa, Dara Petak dan Dara Jingga.
Maka terjadilah sebuah pertempuran di tepi Hutan
Cigugur itu. Empat orang lelaki di keroyok oleh puluhan
orang dengan berbagai senjata.
Ternyata orang-orang yang mengaku dari Pasir
Muncang ini sepertinya sebuah kelompok yang sangat
terlatih. Serangannya sangat berbahaya dan sangat
teratur seperti ombak bergulung menekan pertahanan
Ragasuci dan kawan-kawan.
"Gila!!", berkata pemimpin itu yang melihat
kelompoknya seperti menghadapi batu karang, tidak
satupun serangan yang dapat menembusnya.
Rupanya pemimpin orang-orang pasir muncang itu
bukan orang yang cepat putus asa. Ketika melihat
kenyataan lawannya tidak mudah dilumatkan, sebagai
orang yang berilmu tinggi langsung dapat mengukur satu
persatu lawannya. Pemimpin itu sudah dapat menilai
bahwa orang terlemah diantara empat orang lawannya
adalah yang menggunakan dua buah belati yaitu Lawe.
Dengan beberapa petunjuk, serangan ditekankan
tertuju ke Lawe. Lawe memang terlihat agak kewalahan mendapatkan
serangan yang keras dan sepertinya hanya tertuju
kepadanya. Untunglah Ragasuci cepat tanggap dan telah dapat
membaca gerakan dan tujuan lawan yang ingin
menghabisi Lawe terlebih dahulu.
"Cakra berputar!!", berkata Ragasuci yang langsung
461 dimengerti oleh Lawe, Mahesa Amping dan Raden
Wijaya. Merekapun mengikuti apa yang diinginkan
Ragasuci yaitu bergerak searah putaran.
Akibatnya memang luar biasa, siapapun
mendekati mereka pasti terlempar terluka.
yang Lawe dengan dua buah belati andalannya banyak
melukai orang-orang pasir muncang yang mendekat.
Sementara Mahesa Amping terlihat banyak
menggunakan pisau belati pendeknya untuk menangkis
senjata lawan, selebihnya menggunakan tangan dan
kakinya merubuhkan lawan-lawannya. Namun meski
dengan tangan kosong, pukulannya sudah dapat
membuat lawannya langsung terlempar pingsan tidak
bergerak lagi. Apa yang dilakukan Mahesa Amping, juga dilakukan
Raden Wijaya dan Ragasuci. Senjatanya hanya
digunakan untuk menangkis lawan.
Terlihat Dara Petak, Dara Jingga dan Dara Puspa
saling berpelukan penuh kecemasan melihat berbagai
senjata saling beradu. Seluruh harapan mereka hanya
tertumpu pada keempat orang lelaki yang tengah
melindunginya. Pertempuran sudah berlangsung begitu lama.
Banyak sudah jatuh korban diantara para orang-orang
Pasir Muncang. Pemimpin mereka cepat menyadari
bahwa mereka sepertinya hanya menunggu waktu saja
berada di pihak yang akan kalah.
Maka terlihat orang yang menjadi pimpinan itu bersuit
tiga kali. Ternyata itu sebagai sebuah tanda bahwa
secepatnya mereka mundur.
"Jangan kejar!!", berkata Rgasuci kepada Lawe yang
462 akan mengejar orang-orang Pasir Muncang yang berlari
menghilang dibalik kerimbunan Hutan Cigugur.
"Secepatnya kita meninggalkan tempat ini", berkata
Ragasuci merasa khawatir mereka akan datang kembali.
Yang dikhawatirkan Ragasuci sebenarnya adalah tiga
orang wanita yang bersama mereka.
Untunglah kuda-kuda mereka masih ada ditempatnya. Maka mereka segera bergegas meninggalkan tempat itu. Meninggalkan beberapa orang
yang terluka dan pingsan tergeletak di jalan tanah.
Ketika mereka merasa sudah agak jauh dari hutan
Cigugur, barulah mereka memperlambat kuda-kuda
mereka. Sambil berjalan Ragasuci sekilas bercerita tentang
orang-orang Pasir Muncang. Beberapa puluh tahun yang
lalu, ketika ayahnya Darmasiksa masih menjadi raja telah
memberi perintah untuk menumpas sekelompok aliran
sesat. Sayangnya sepasukan prajurit telah bertindak
melampaui batas. Hampir seluruh wanita dan anak-anak
di Pasir Muncang tempat pusat kegiatan mereka ikut
menjadi korban. "Sejak kejadian itu ayahku lebih banyak mengasingkan dirinya, merasa bersalah hingga akhirnya
telah memutuskan meninggalkan kerajaan menjadi
Gurusuci di Puncak Galunggung", berkata Ragasuci
mengakhiri ceritanya. Mahesa Amping tidak memberikan komentar apapun.
Dirinya Nampak tengah merenung.
"Mana yang lebih tersesat, membunuh bayi-bayi yang
tidak berdosa untuk sebuah persembahan, atau
pembantaian para wanita dan anak-anak yang tidak
463 mengerti dan tidak bersangkut paut dengan apa yang
dilakukan orang tuanya", berkata Mahesa Amping
kepada dirinya sendiri. "Ternyata selama ini mereka bersembunyi dan
menyusun kekuatan di hutan Cigugur", berkata Ragasuci
"Apa yang Paman akan lakukan atas orang-orang
itu", bertanya Raden Wijaya.
"Mungkin aku akan menempatkan beberapa petugas
untuk memantau sejauh mana kegiatan mereka", berkata
Ragasuci. "Semoga mereka tidak lagi melakukan persembahan
bayi ", berkata Mahesa Amping
"Setidaknya hari ini pihak kerajaan harus
mewaspadai bahwa ada kekuatan bersembunyi di hutan
Cigugur", berkata Lawe ikut bicara.
Sementara itu hari sudah terlihat menjelang senja.
"Didepan kita ada sebuah hutan perburuan. Ada
pondokan tempat kami biasa bermalam ketika berburu",
berkata Ragasuci menunjuk kesebuah arah.
Akhirnya mereka telah sampai ditepi sebuah hutan.
Ternyata apa yang dikatakan Ragasuci tentang sebuah
pondokan memang benar adanya. Pondokan itu berupa
rumah panggung yang cukup besar.
"Selamat datang tuanku", berkata seorang pelayan
tua yang ternyata seorang yang ditugaskan merawat dan
melayani para bangsawan yang akan berburu di hutan
itu. "Selamat bertemu kembali Ki Mantul", berkata
Ragasuci penuh senyum sepertinya mereka sudah begitu
akrab. 464

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah tuanku akan berburu?", bertanya pelayan itu
yang dipanggil Ki Mantul oleh Ragasuci.
"Kami hanya singgah", berkata Ragasuci pendek
sambil naik keatas panggung pendapa.
"Sudah dua hari ini hamba melihat banyak burung
endonan berkeliaran di sekitar hutan", berkata Ki Mantul
sambil menyiapkan beberapa hidangan makanan dan
minuman. Ternyata perkataan Ki Mantul adalah sebuah isyarat.
"Terima kasih Ki Mantul", berkata Ragasuci yang
telah mengerti isyarat Ki Mantul.
"Setidaknya ada waktu untuk kita beristirahat
sepanjang malam", berkata Mahesa Amping yang juga
menangkap makna perkataan Ki Mantul.
Ki Mantul dan Ragasuci sama-sama memandang
kepada Mahesa Amping dengan sebuah senyuman.
Diam-diam mengagumi ketajaman bathin dari pemuda
itu. Malam itu mereka beristirahat di pondokan tepi hutan
itu. Namun Mahesa Amping telah meminta Lawe dan
Raden Wijaya untuk selalu waspada. Seperti biasa
mereka secara bergantian berjaga sepanjang malam.
Dan malam pun berlalu di hutan itu tanpa ada
gangguan apapun, hanya terkadang ada suara anjing
hutan membuat suasana malam menjadi begitu
mencekam. Namun Dara Puspa, Dara Petak dan Dara
Jingga sepertinya tidak mendengar semua itu karena
sudah tertidur nyenyak. Mereka merasa ada didalam
perlindungan empat orang lelaki yang berilmu tinggi.
Mereka mempercayai itu dan merasakan diri seperti
berada dalam perlindungan prajurit segelar sepapan,
465 meskipun ditepian hutan yang sepi sekalipun.
Dan pagipun akhirnya datang jua. Ki Mantul sudah
menyiapkan sarapan untuk mereka.
"Ki Mantul pandai mengolah masakan", berkata Lawe
sambil mengunyah dendeng kijang muda.
"Hutan ini telah memberikan hidup dan kehidupan
untuk dinikmati", berkata Ki Mantul menanggapi
perkataan Lawe. Matahari sudah mulai memanjat naik. Cahayanya
terlihat masuk lewat celah-celah ranting dan dahan
pepohonan. Daun-daun kering yang berserak ditanah
sudah mulai menghangat. Suasana hutan sudah terlihat
jelas. Pohon-pohon kayu besar dan tinggi menjulang
rapat mengelilingi pondokan itu memberikan keteduhan
bersama suara burung hutan dalam berbagai kicau yang
tak terputus. Sebuah wisata alam yang sangat berkesan
terutama untuk Dapa Puspa, Dara Petak dan Dara
Jingga yang untuk pertama kalinya datang di Tanah
Pasundan. Namun suasana itu sepertinya hilang berubah
menjadi sebuah kecemasan yang menghentak
mengejutkan manakala dari sisi-sisi pohon kayu besar itu
muncul beberapa orang yang terlihat sangat garang dan
berpakaian kasar dengan berbagai senjata telanjang di
tangan-tangan mereka. "Semalam kami telah memberikan kalian istirahat
yang cukup, sayang bila hari ini adalah hari terakhir
kalian menikmati cahaya matahari", berkata seseorang
dari bawah panggung pendapa sambil tertawa yang
diikuti dengan tawa semua kawan-kawannya yang sudah
terkumpul dengan senjata siap ditangan.
466 "Ki Mantul aku tugaskan menjaga para wanita",
berkata Ragasuci kepada Ki Mantul dan langsung turun
menuruni anak tangga diikuti di belakangnya Mahesa
Amping, Raden Wijaya dan Lawe.
"Siapa kalian dan apa urusan dengan kami", berkata
Ragasuci setelah berhadapan dengan para gerombolan.
"Ditempat asalku di Gunung Pangrango, orang-orang
biasa memanggilku Bango samparan", berkata
seseorang yang mengaku bernama Bango Samparan
yang ternyata pimpinan para gerombolan yang baru
datang mengepung rumah pondokan itu.
"Ternyata Bango Samparan yang terkenal itu cuma
sebagai orang upahan untuk membuat kekacauan disini",
berkata Ragasuci penuh percaya diri
"Aku kagum berhadapan dengan seorang Raja yang
tidak mengenal rasa takut, sayang tugasku kali ini hanya
untuk membawa sebuah kepala raja tanpa tubuh yang
utuh", berkata Bango Samparan sambil bertolak
pinggang. "Ternyata harga kepalaku cukup bernilai sampai jauhjauh dari Gunung Pangrango datang kemari", berkata
Ragasuci kali ini dengan senyum dikulum.
"Kutawarkan jalan yang mudah, julurkan lehermu di
dekatku agar aku dapat memilih urat yang baik tanpa
rasa sakit", berkata Bango Samparan dengan wajah
penuh jumawa. "Sayangnya leherku sangat alot untuk senjata
murahan yang kamu miliki", berkata Ragasuci sambil
menunjuk golok besar yang ada di tangan Bango
Samparan. Mendengar senjatanya dihina, darah Bango 467 Samparan langsung naik sampai ke ubun-ubun.
"Kawan-kawan, habisi semua orang yang ada disini
!!", berkata Bango Samparan dengan suara bergetar
tanda kemarahannya telah terbakar dibarengi dengan
lompatan panjang menerjang Ragasuci dengan golok
panjangnya yang terlihat bening berkilat tanda bukan
senjata sembarangan. Bersamaan dengan itu, kawan-kawannya langsung
merubung Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya
yang berjajar di bawah tangga panggung menjaga agar
tidak seorangpun dapat naik ke atas pendapa.
Maka terjadilah dua kelompok pertempuran yang
terpisah. Yaitu pertempuran antara Bango Samparan
seorang diri tanpa ikut campur kawan-kawannya dengan
Ragasuci. Sementara kelompok kedua adalah para
gerombolan yang menyerang Mahesa Amping, Lawe dan
Raden Wijaya yang sepertinya menjaga agar tidak ada
yang dapat menerobos naik keatas panggung.
"Ternyata Baginda Raja bersama orang-orang yang
dapat diandalkan, pantas aku cuma diperintahkan
sebagai penonton", berkata Ki Mantul dalam hati sambil
melihat pertempuran dari atas panggung pendapa.
Dilihatnya Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya
dengan mudah melempar siapapun yang datang
mendekat dengan begitu mudahnya.
"Tuanku Baginda masih bermain-main", berkata Ki
Mantul kepada dirinya sendiri ketika menilai pertempuran
Ragasuci dengan Bango Samparan.
Ternyata mata Ki Mantul cukup jeli. Mahesa Amping,
Raden Wijaya dan Lawe memang tidak mendapatkan
kesulitan. Sebentar saja kekuatan para gerombolan
penyerang itu semakin menyusut. Siapapun yang
468 mendekati tiga pemuda perkasa ini pasti terlempar jatuh
terluka bahkan ada yang langsung pingsan.
Sementara itu pertempuran antara Ragasuci dan
Bango Samparan dari Gunung Pangrango terlihat masih
belum menunjukkan ketinggian ilmunya masing-masing.
Nampaknya mereka masih saling menjajaki sejauh
mana tingkat ilmu lawan. Sebagaimana yang dilihat oleh
Ki Mantul, Ragasuci masih belum mengeluarkan ilmunya
pada tataran tingkat tinggi, hanya mengandalkan pada
kecepatan geraknya. Bukan main penasarannya Bango Samparan,
kemanapun golok panjangnya menyambar, selalu dapat
dielakkan oleh Ragasuci tanpa kesukaran.
Setingkat demi setingkat Bango Samparan meningkatkan tataran ilmunya, namun bersamaan
dengan itu Ragasuci terus mengimbanginya.
"Gila, masih saja ia dapat menghindar dengan
mudah", berkata Bango Samparan dengan penuh
penasaran. Sementara itu kekuatan para gerombolan yang
menghadapi Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya
sudah semakin menyusut. Jumlah mereka saat itu cuma
tinggal tujuh orang. Meski hati mereka sudah digyuti
perasaan gentar menghadapi ketiga pemuda itu, dengan
terpaksa mereka terus menyerang.
"Hayo jangan surut, aku masih siap melayani kalian",
berkata Lawe sambil menendang seorang lawannya
yang terlihat sudah agak jerih. Keraguan itu pun
berimbas langsung pada pingganggnya yang dengan
mudahnya terkena sambaran kaki Lawe. Orang itu
langsung jatuh tersungkur dengan tulang iga terasa retak
469 dihantam kaki Lawe dengan kekuatan seperti batu cadas
keras sebesar kerkau. Tapi orang itu masih bersukur dalam hati karena tidak
menjadi korban dua bilah belati Lawe sebagaimana
kawannya yang terlihat hampir mati lemas kehabisan
darah ditikam belati Lawe yang seperti bermata merobek
pangkal pahanya. Mahesa Amping dan Raden Wijaya menarik napas
panjang melihat para korban yang berjatuhan oleh Lawe.
Dapat dikatakan rata-rata mendapatkan luka parah.
Sementara Mahesa Amping dan Raden Wijaya hanya
sekedar melumpuhkan lawannya tanpa menciderakan
dengan pukulan ringan dan dengan kekuatan yang masih
dapat terukur tidak sepenuhnya.
Lucunya, para gerombolan itu lebih memilih melawan
Raden Wijaya dan Mahesa Amping ketimbang
menghadapi Lawe yang dalam pandangan mereka lebih
bengis. "Ternyata lapakku sudah tidak laku lagi", berkata
Lawe sambil bertolak pinggang tertawa melihat lawanlawannya menyingkir memilih menyerang Mahesa
Amping dan Raden Wijaya. Buk !!!! Sebuah pukulan Raden Wijaya telak menghantam
dada seorang lawannya yang langsung terjengkang ke
belakang pingsan. Plak !!! Sebuah tamparan keras Raden Wijaya menghantam
tepat dirahang kanan lawannya yang langsung
merasakan bumi menjadi gelap dan langsung roboh di
tempatnya, lemas tak bertenaga lagi.
470 Desssss !!!! Kembali sebuah tendangan Raden Wijaya tidak dapat
dielakkan lawannya langsung terlempar jatuh duduk
dengan nafas sesak terasa hampir putus berhenti.
Melihat Raden Wijaya dan Lawe sudah tidak
mempunyai lawan lagi, Mahesa Amping ikutan tidak
sabaran. Plak, plak, plokkkkkkk !!!!!
Tiga gerakan Mahesa Amping yang begitu cepat
tidak dapat diikuti dengan pandangan mata orang biasa
telah merobohkan tiga orang lawannya sekaligus.
Masing-masing merasakan giginya rontok akibat sebuah
pukulan yang telak entah dengan cara apa telah hinggap
di rahang kiri masing-masing. Terasa bumi menjadi gelap
dan berputar. Mereka roboh ditempatnya seperti kain
basah jatuh di tanah. "Luar biasa !!!", berkata Ki Mantul yang melihat
langsung gerakan Mahesa Amping yang begitu cepat
dan hampir tidak dapat diikuti dengan kasat mata.
Sementara itu Dara Puspa, Dara Petak dan Dara
Jingga sudah dapat menarik nafas lega setelah melihat
dari atas panggung Pendapa hampir seluruh gerombolan
bergelimpangan tidak berdaya lagi. Meski begitu hati
mereka belum tuntas hilang kecemasannya ketika
melihat Ragasuci masih bertempur menghadapi seorang
lawannya. "Sebentar lagi Tuanku Baginda akan menyelesaikan
pertempurannya", berkata Ki Mantul kepada Dara Petak,
Dara Puspa dan Dara Jingga yang dilihatnya masih
menghawatirkan hasil pertempuran Ragasuci.
Ternyata dugaan Ki Mantul tidak meleset jauh.
471 Ragasuci sudah dapat melihat kekuatan Bango
Samparan sudah semakin surut tidak seganas
sebelumnya. Ternyata kecerdikan Ragasuci adalah
dalam hal memancing lawan mengerahkan tenaganya
sampai habis kelelahan. Hingga pada sebuah serangan, Ragasuci tidak
menghindar tapi langsung mengadu dan menangkis
golok panjang Bango Samparan dengan kerisnya.
Trangggggg !!!! Sebuah suara dua buah senjata beradu dengan kuat
dan cukup keras. Bango Samparan merasakan tangannya seperti
panas tergetar, hampir saja senjatanya terlepas bila saja
tidak berusaha menggenggam dengan kuat. Sekejap
Bango Samparan pun terperanjat kaget.
Disaat yang singkat itulah, Ragasuci mengambil
kesempatan dengan menyentakan kaki kirinya langsung
menghujam perut Bango Samparan dengan begitu cepat
dan tak terduga.

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bukkkkkk !!!! Tendangan Ragasuci merangsek masuk ke perut
Bango Samparan seperti tertimpa dan terhantam benda
berat ratusan ton. Bango Samparan tidak mampu menahan tubuhnya
yang terlempar sekitar lima langkah ke belakang dan
langsung terjatuh. Ragasuci tidak segera mengejarnya, membiarkan
Bango Samparan yang terlihat bangkit sambil menahan
rasa nyeri dan napas sesak akibat tendangan Ragasuci
yang keras menghantam perutnya.
472 "Apakah kamu masih kuat untuk melanjutkan
pertempuran ini?", berkata Ragasuci sambil menebarkan
senyumnya. "Jangan merasa bangga dulu", berkata Bango
Samparan sambil memutar golok panjangnya menerjang
Ragasuci. Tubuh Ragasuci melenting kesana-kemari menghindari setiap serangan dan terjangan Bango
Samparan yang sepertinya semakin keras dan garang.
Seperti itulah Ragasuci menguras tenaga lawannya.
Hingga akhirnya Ragasuci melihat Bango Samparan
serangannya sudah semakin melemah dan tidak garang
lagi. Trangggg !!! Kembali dua buah senjata beradu. Bango Samparan
terhuyung ke samping tidak dapat menahan hentakan
senjata Ragasuci yang sengaja dibenturkan menangkis
ayunan golak panjangnya. Kembali sebuah tendangan melingkar menghantam
pangkal paha Bango Samparan yang tengah terhuyung.
Akibatnya Bango Samparan terlempar beberapa langkah
dan langsung terjatuh dengan merasakan seluruh kaki
kirinya seperti lumpuh tidak dapat digerakkan.
"Menyerahlah, semua anak buahmu telah kami
lumpuhkan !!", berkata Ragasuci sambil perlahan
mendekati Bango Samparan yang tidak mampu bangkit
berdiri merasakan pangkal paha kaki kirinya seperti
remuk bagian tulang dalamnya.
"Aku mengaku kalah", berkata bango Samparan
sambil melempar golok panjangnya. Nyalinya ternyata
sudah menciut melihat seluruh anak buahnya telah
473 dilumpuhkan, sementara dirinya sendiri tidak mampu
bangkit berdiri. Bango Samparan pasrah tidak menolak ketika Ki
Mantul turun dari panggung pendapa mengikat kaki dan
tangannya. Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya ikut
membantu mengikat para tawanan. Beberapa orang
yang terluka parah mendapatkan perawatan juga dari
mereka. Sementara itu matahari sudah bergeser sedikit dari
puncaknya. Cahayanya menembus lewat ranting dan
dahan di tepian hutan yang cukup rindang itu.
"Hati-hatilah di perjalanan", berkata Ragasuci
melepas Ki Mantul berangkat ke Kotaraja untuk
mendatangkan beberapa prajurit datang mengawal para
tawanan" Berangkatlah Ki Mantul seorang diri ke Kotaraja
dengan menunggang seekor kuda. Sebuah perjalanan
yang tidak asing lagi bagi Ki Mantul. Hampir setiap
beberapa minggu sekali dirinya harus datang ke Kotaraja
dalam berbagai keperluan.
Ki Mantul memang sudah cukup berumur, tapi
ketangkasan berkudanya masih terlihat belum berubah.Terlihat Ki Mantul telah keluar dari tepi hutan
menyusuri padang ilalang yang luas dan ketika menemui
jalan tanah panjang kudanya dihentakkan agar berlari
lebih kencang lagi. Debu beterbangan di belakang kaki
kuda yang berlari seperti terbang.
Akhirnya Ki Mantul telah sampai di Kotaraja Kawali.
Malam telah menyelimuti Kotaraja Kawali. Jalan-jalan
sudah menjadi begitu sepi. Nampak Rumah-rumah besar
474 milik para pembesar dan bangsawan yang berjejer
sepanjang jalan telah menyalakan oncor di depan pintu
regolnya. "Tidak biasanya Ki Mantul berkunjung ke Istana di
malam seperti ini", berkata seorang prajurit kepada dua
orang kawannya yang sudah mengenal Ki Mantul yang
terlihat tengah menuntun kudanya menghampiri mereka.
"Apakah di Istana Saunggaluh ini sudah kekurangan
petugas, hingga Ki Lurah Gembleh harus ikut berjaga?",
berkata Ki Mantul kepada salah seorang prajurit yang
ternyata telah dikenalnya.
Sahabat Ki Mantul yang disebut sebagai Ki Lurah
Gembleh itupun terlihat tersenyum mendengar seloroh Ki
Mantul. "Harusnya akulah yang bertanya, ada hal penting apa
Ki Mantul datang ke istana di tengah malam seperti ini",
berkata Ki Lurah Gembleh.
"Apakah adat istiadat urang pasundan sudah hilang
di nagari ini menyambut tamu dengan pertanyaan, bukan
dengan wedang jahe hangat?", berkata Ki Mantul yang
disambut tawa hangat oleh Ki Lurah Gembleh dan dua
prajurit kawannya. Akhirnya Ki Lurah Gembleh mengajak Ki Mantul ke
gardu jaga. Seorang prajurit menyiapkan minuman
hangat untuk Ki Mantul serta beberapa jagung rebus.
"Jagung rebusnya sudah dingin", berkata Ki Lurah
Gembleh kepada Ki mantul.
Ki Mantul akhirnya bercerita tentang kejadian di
rumah singgah hutan perburuan.
"Aku akan menyiapkan beberapa prajurit pengawal
istana besok pagi", berkata ki Lurah Gembleh.
475 "Terima kasih", berkata Ki mantul.
"Mudah-mudahan tuan Patih Manohara mau
menerima penghadapanku", berkata Ki Lurah Gembleh
dengan keraguan apakah istana kepatihan dapat
menerima penghadapannya di tengah malam itu.
"Aku menunggu kabar hasil penghadapanmu",
berkata Ki Mantul mengantar keberangkatan Ki Lurah
Gembleh. Ki Lurah Gembleh terlihat menyusuri lorong-lorong
istana seorang diri. Ketika sampai di istana Kepatihan,
kepada seorang prajurit pengawal yang bertugas
menjaga istana kepatihan Ki Lurah Gembleh
menyampaikan maksud kedatangannya.
"Aku akan membangunkan pelayan dalam", berkata
prajurit itu yang langsung masuk kedalam untuk
membangunkan seorang pelayan dalam.
Sementara itu Ki Lurah Gembleh di pendapa
menunggu dengan perasaan cemas, takut penghadapannya di tengah malam itu tidak diterima.
"Ampun tuanku Patih, hamba telah menggangu
istirahat tuanku", berkata Ki Lurah Gembleh ketika dari
balik pintu pendapa keluar seorang tua yang cukup keren
berwibawa. "Aku telah mendengar apa yang akan kamu
sampaikan kepadaku, urusan prajurit pengawal adalah
menjaga istana, urusanmu malam ini telah selesai.
Serahkan semua urusan kepadaku", berkata Patih
Manohara kepada Ki Lurah Gembleh.
"Terima kasih atas penerimaan penghadapan
hamba", berkata Ki Lurah Gembleh berpamit
mengundurkan dirinya. 476 Ketika sampai di gardu jaga, Ki Lurah Gembleh
menceritakan semua yang dikatakan Patih Manohara
kepada Ki Mantul. "Maafkan aku, Patih manohara telah mengambil alih
urusan ini", berkata Ki Lurah Gembleh dengan wajah
penuh kecewa karena tidak dapat membawa prajurit
pengawal istana mengambil para tawanan.
"Ki Lurah telah melakukan tugas sesuai kewajiban,
dari kesatuan manapun prajurit yang ditugaskan
mengambil para tawanan bukan menjadi masalah",
berkata Ki Mantul yang dapat menyelami perasaan Ki
Lurah Gembleh. "Aku tidak menunggu pagi, saat ini juga aku akan
kembali. Kasiahan Baginda Raja di sana tidak ada yang
melayani", berkata Ki mantul.
"Ki Mantul tidak lelah?", bertanya Ki Lurah Gembleh
kepada sahabatnya itu. Hari memang sudah di ujung malam, semburat warna
merah sudah muncul mencuat diujung timur. Tidak ada
semilir angin dan bumi masih terlihat remang dalam
kegelapannya. Terlihat kuda Ki Mantul telah keluar dari gerbang
Kotaraja. Kuda itu sepertinya sudah mengenal setiap
tapak yang dilalui. Menyusuri jalan tanah yang panjang,
kadang memotong arah jalan singkat di bulakan panjang
dan padang ilalang. Barulah di saat matahari sudah naik tinggi kuda Ki
Mantul sudah hampir mendekati tepian hutan Ranggan,
nama sebuah hutan tempat Raja dan para bangsawan
Saunggaluh biasa berburu.
"Syukurlah Ki Mantul telah kembali tanpa halangan
477 apapun", berkata Ragasuci setelah mendengar laporan
dari Ki Mantul yang baru kembali dari Kotaraja.
"Semula Ki Lurah Gembleh akan mengirim para
prajurit pengawal istana, tapi Patih Manohara telah
mengambil alih urusan ini", berkata Ki Mantul bercerita
tentang rencana semula dari Ki Lurah Gembleh.
"Mungkin Patih Manohara mempunyai perhitungan
sendiri", berkata Ragasuci tanpa prasangka apapun.
Namun ketika hari sudah mendekati senja di hutan
Ranggan, prajurit yang ditunggu tidak juga datang.
"Harusnya mereka sudah sampai di hutan ini",
berkata Ki Mantul merasa tidak enak hati takut disangka
tidak melakukan tugas dengan baik.
"Ada sesuatu yang aneh", berkata Ragasuci sambil
memberi tanda kepada semua yang ada di pendapa itu.
Dan ketika hari telah melewati senja, para prajurit yang
diharapkan datang tidak juga terlihat.
Malampun telah menyelimuti hutan Kranggan. Ki
Mantul telah menerangi panggung Pendapa dengan
lampu klenting menempel di sudut tiang pendapa. Dua
buah oncor dari minyak jarak juga dipasang didua sudut
kolong panggung dimana para tawanan terikat di tiangtiang penyangganya bersesakan.
Rumah singgah itu nampak begitu sepi, penghuninya
sudah masuk semua dibiliknya masing-masing. Suara
daun kering yang tertiup angin dihalaman muka rumah
panggung itu kadang mengisi kesepian malam diselingi
derik suara binatang malam menjadikan rumah singgah
di tepi hutan itu seperti sangat mencekam. Bunyi burung
clepuk terdengar jelas dan masih terdengar sayup pergi
semakin menjauh, mungkin tengah mencari anak-anak
478 tikus yang tersasar terlepas dari induknya. Disudut hutan
lain terdengar pekik kodok buduk yang perlahan masuk
sedikit demi sedikit dimulut seekor ular dahan sebagai
salah satu bunyi perangkap alam di kehidupan malam di
hutan Kranggan. Sesosok bayangan dari kegelapan hutan terlihat
merayap mendekati kolong panggung.
"Dimana Bango Samparan !!", berkata sesorang yang
datang dari kegelapan hutan itu mengguncang
membangunkan salah satu tawanan.
"Carilah sendiri",
perasaan kesal. berkata tawanan itu dengan "Warangan keris ini sangat kuat, katakan atau kamu
mati sia-sia", berkata orang itu sambil menempelkan
sebilah kerisnya di leher tawanan itu.
Keringat dingin terlihat keluar dari dahi tawanan itu
membayangkan sedikit goresan melukai kulit lehernya.
"Kakang Bango Samparan dibawa keatas", berkata
tawanan itu. Orang itu pun meninggalkan tawanan itu berjalan
menuju tangga panggung pendapa.
Namun baru saja kakinya melangkah pada anak
tangga pertama, ada suara menegurnya dari belakang.
"Orang yang kau cari ada diatas dijaga oleh dua
orang kawanku", berkata orang di belakang yang tidak
lain adalah Mahesa Amping.
Ternyata setelah menunggu para prajurit yang akan
datang untuk membawa para tawanan hingga sampai
lewat senja tidak juga muncul, maka semua telah
sepakat ada sesuatu yang harus diwaspadai. Itulah
479 sebabnya Bango Samparan sebagai mata rantai yang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat penting itu dibawa keatas panggung dimasukkan
di salah satu bilik dan dijaga ketat oleh Raden Wijaya
dan Lawe. Sementara itu Mahesa Amping ditugaskan
mengamati para tawanan bersembunyi di kegelapan
malam. Hingga akhirnya yang ditunggu datang juga.
Mahesa Amping melihat jelas mulai orang itu menyelinap
diantara para tawanan, mengancam seorang tawanan
dan ketika akan naik ke atas rumah panggung.
Bukan main kagetnya orang itu, sedikit pun ia tidak
mendengar langkah apapun. Langsung dirinya menebak
bahwa orang dibelakangnya pasti mempunyai ilmu yang
tinggi. Namun ketika dirinya berbalik badan, keberaniannya
kembali berkembang, karena orang dibelakangnya itu
ternyata hanya seorang pemuda.
"Terpaksa aku harus membungkam dirimu anak
muda", berkata orang itu sambil menggenggam kerisnya
lebih kuat lagi. "Sebelum kamu bungkamku, dirimu akan kuringkus
terlebih dahulu", berkata Mahesa Amping sambil
menyunggingkan senyumnya.
"Besar sekali nyalimu anak muda", berkata orang itu
heran melihat tidak ada rasa takut sedikit pun di wajah
Mahesa Amping bahkan dapat dikatakan sangat penuh
ketenangan dan percaya diri penuh. "Sayang umurmu
cuma sampai dimalam ini", berkata kembali orang itu
sambil menerjang dengan kerisnya ke arah dada Mahesa
Amping. Tapi Mahesa Amping sudah siap sejak semula.
Dengan cepat telah melenting ke samping. "hanya Gusti
Agung yang menentukan umurku", berkata Mahesa
480 Amping ketika dirinya terlepas dari serangan orang itu.
Cahaya lampu klenting dan oncor dibawah panggung
sedikit menerangi halaman rumah singgah itu. Sekilas
Mahesa Amping dapat melihat jelas wajah orang itu yang
ternyata sudah cukup berumur. Namun sosok tubuhnya
masih terlihat gagah sebagai tanda bahwa orang itu
cukup banyak terlatih semasa mudanya.
"Keriskulah yang akan mengambil nyawamu", berkata
orang itu sambil langsung mengayunkan kerisnya.
"Gusti Agung telah menyelamatkan diriku", berkata
Mahesa Amping sambil mundur sedikit menghindari
ayunan keris dari orang itu yang mengayun begitu cepat.
Bukan main penasarannya bahwa Mahesa Amping
dapat kembali lolos dari serangannya yang menurutnya
telah dilakukan dengan begitu cepat, dan Mahesa
Amping dapat mengimbangi kecepatannya.
Dengan penuh penasaran orang itu kembali
menyerang Mahesa Amping, kali ini dengan
menghujamkannya langsung masuk agak miring
kebawah tertuju pinggang Mahesa Amping.
Kaget sekali Mahesa Amping melihat gerakan yang
tidak terduga itu. Tapi bukan Mahesa Amping bila tidak
dapat lolos dari serangan itu.
Kali ini Mahesa Amping tidak menghindar lagi
sebagaimana sebelumnya, tapi kali ini Mahesa Amping
menangkis hunjaman keris orang itu yang meluncur
cepat dengan sebuah tangkisan belati kecilnya.
Trangggg !!! Terdengar kerasnya. Bukan dua main buah kagetnya senjata orang beradu itu dengan merasakan 481 tangannya seperti panas, keris di tangannya hampir saja
terlepas dari genggamannya yang langsung melompat
mundur sambil melihat tangannya dengan wajah tidak
percaya. "Baru kali ini aku mendapat lawan setangguh dirimu
anak muda", berkata orang itu sepertinya seorang yang
biasa berkata jujur apa adanya dan tidak menyembunyikan perasaannya.
"Kalau boleh tahu siapakah gerangan Paman yang
dengan susah payah datang kemari hanya untuk
melenyapkan seorang Bango Samparan", berkata
Mahesa Amping berharap orang dihadapannya dapat
berkata jujur. "Namaku Kujang Gundul dari lereng Gunung Salak,
mengenai Bango Samparan itu adalah urusanku",
berkata orang itu yang mengaku bernama Kujang Gundul
dari lereng Gunung Salak.
"Urusanmu pada Bango Samparan adalah urusanku
juga, karena ia adalah tawananku", berkata Mahesa
Amping. "Kutinggalkan lereng Gunung Salak hanya untuk
menjajaki ilmuku, baru kali ini aku mendapat lawan
setangguh dirimu", berkata Kujang Gundul sambil
menatap tajam Mahesa Amping. "Lupakan urusan Bango
Samparan, seleraku saat ini hanya ingin menjajaki ilmu
kita", berkata Kujang Gundul melanjutkan.
Mahesa Amping berkerut keningnya mendengar
ucapan orang itu, baru kali ini ada orang yang punya
kesukaan menjajagi ilmu sebagai sebuah kesenangan.
"Kalau itu yang paman inginkan, mari kita bermainmain", berkata Mahesa Amping dengan sikap seperti
482 seseorang yang tengah mempersiapkan diri memulai
perkelahian. Kujang Gundul pun nampaknya telah mempersiapkan
dirinya. Kali ini terlihat penuh hati-hati dan tidak lagi
meremehkan anak muda yang menjadi lawannya.
Maka terjadilah pertempuran seru antara Mahesa
Amping dan Kujang Gundul.
Seperti biasa Mahesa Amping tidak pernah
meremehkan siapapun lawannya. Penuh kehati-hatian
dalam setiap langkahnya. Setingkat demi setingkat
Mahesa Amping terus mengimbangi lawannya.
Semakin lama bertempur, Kujang Gundul semakin
mengagumi ilmu Mahesa Amping. Baru kali ini ia
mendapatkan lawan tangguh. Kujang Gundul seperti
anak kecil mendapatkan mainan baru. Setahap demi
setahap telah meningkatkan ilmunya.
Ratusan jurus telah dikeluarkan oleh Kujang Gundul
untuk melumpuhkan lawannya. Tapi Mahesa Amping
bukan lawan yang lemah tidak mudah dikalahkan.
Diam-diam Kujang Gundul mengeluarkan ilmu
andalannya yang bernama ajian Panguncen, sejenis ilmu
yang akan membuat lawan kaku tidak bergerak.
Tapi Mahesa Amping adalah seorang pemuda yang
waskita, dengan cepat menyadari ada getaran tidak
lumrah lewat angin sambaran tangan Kujang Gundul.
Tanpa disadari kepekaan dirinya telah melambari dengan
sendirinya tameng penawar.
"Semuda dirimu sudah dapat menawarkan ilmuku",
berkata Kujang Gundul dengan jujurnya ketika usahanya
untuk mengunci gerakan Mahesa Amping tidak juga
pernah berhasil. 483 "Gusti yang Maha Agung telah melindungiku paman",
berkata Mahesa Amping sambil tersenyum.
"Aku ingin melihat sampai dimana kekuatannmu",
berkata Kujang Gundul sambil mengayunkan kerisnya.
Sungguh menegangkan, sebuah cahaya merah
keluar dari keris itu menyambar ke arah Mahesa Amping.
Untungnya Mahesa Amping dengan ilmu meringankan
tubuhnya yang nyaris sempurna telah dapat melenting
kesana kemari menghindari setiap kilatan yang keluar
dari ujung keris itu. Hingga akhirnya pada saat yang sangat terjepit,
Mahesa Amping tidak mungkin lagi melenting
menghindar. Dengan sangat terpaksa Mahesa Amping
mengeluarkan ilmu kesaktiannya yang jarang sekali
dikeluarkan hanya dalam keadaan terpaksa.
Sebuah cahaya keluar dari dua mata Mahesa Amping
menghantam kilatan merah yang berasal dari ujung keris
Kujang Gundul. Akibatnya memang luar biasa !!!!!
Duarrrrrrrrr Terdengar sebuah ledakan yang dahsyat dengan
bertemunya dua kekuatan ilmu.
Terlihat tubuh Kujang Gundul terlempar beberapa
langkah kebelakang. Matanya tidak percaya dengan apa
yang terjadi, kerisnya telah hancur berkeping keping dan
dirinya seperti terhantam benda berat dan besar tanpa
wujud langsung menyesakkan dadanya. Kujang Gundul
berbaring di tanah tanpa mampu bangkit berdiri.
Perlahan Mahesa Amping mendekati Kujang Gundul.
"Katakan Paman, siapakah yang menentukan 484 umurmu, belati ini atau Gusti yang Maha Agung", berkata
Mahesa Amping meletakkan belatinya dileher Kujang
Gundul. Kujang Gundul masih berbaring tanpa dapat
menggerakkan badannya merasakan tubuhnya seperti
mati gerak. Sementara di lehernya merasakan dingin
menyentuh kulitnya sebuah belati yang sangat tajam.
Tiba-tiba teringat puluhan orang yang harus mati
ditangannya. Dan kali ini dirinyalah yang akan sebentar
lagi mengalami sebuah kematian.
"Katakan Paman, siapa yang menentukan umurmu",
kembali Mahesa Amping berkata kepada Kujang Gundul.
"Engkaulah yang menentukan umurku", berkata
Kujang Gundul pasrah berdebar menunggu saat
kematian yang menurutnya sebentar lagi akan
ditemuinya. "Aku tidak punya kuasa, Yang Maha Agung lah
kekuasaan itu", berkata Mahesa Amping.
"Bukankah dengan sedikit gerakan, belatimu dapat
memutuskan urat leherku?", berkata Kujang Gundul
perlahan masih dengan perasaan putus asa.
"Tanganku adalah bagian kekuasaan dan kekuatan
Gusti yang Maha Agung", kembali Mahesa Amping
berkata. "Gusti yang Maha Agung?"", bertanya Kujang Gundul
sambil tersenyum memandang Mahesa Amping."hari ini
aku melihat Gusti yang Maha Agung sepertinya tengah
menungguku untuk menghukumku atas apa yang telah
kuperbuat selama ini, membunuh, memperkosa dan
merampas harta orang-orang yang tidak berdaya"
berkata Kujang Gundul perlahan.
485 "Jadi hari ini kamu telah melihat kekuasaanNYA ",
bertanya Mahesa Amping. "Aku melihatnya sebagai wajah penghukum", berkata
Kujang Gundul perlahan. "Gusti yang Maha Agung adalah pengasih dan
penerima tobat", berkata Mahesa Amping masih
menepelkan belatinya di ujung kulit leher Kujang Gundul.
"Dosaku sudah menggunung, apakah Gusti yang
Maha Agung dapat menerima tobatku ?", bertanya
Kujang Gundul. "Gusti yang Maha Agung menerima setiap tobat
selama hambanya benar-benar menunjukan rasa
tobatnya", berkata Mahesa Amping.
"Aku menyadari atas semua apa yang telah
kuperbuat, aku melihat-NYA", berkata Kujang Gundul
"Apa yang kau lihat ?", bertanya Mahesa Amping.
"Gusti yang Maha Agung ternyata ada, dan aku
melihat-NYA", kembali Kujang Gundul berkata.
"Apa yang kamu rasakan", bertanya Mahesa Amping.
"Aku tidak mampu mengungkap apa yang aku
rasakan, sepertinya diriku penuh diliputi kebahagiaan",
berkata Kujang Gundul. "Katakan Paman, siapa yang menentukan umurmu?",
bertanya Mahesa Amping. "Gusti yang Maha Agung, Gusti yang Maha
Pengampun, Gusti yang penuh kasih", berkata Kujang
Gundul seperti kepada dirinya sendiri.
"Gusti yang Maha Agung telah memperpanjang sisa
hidupmu Paman", berkata Mahesa Amping sambil
486 menjauhkan belatinya dari ujung kulit leher Kujang
Gundul. "Terima kasih anak muda, kamu telah membunuh
masa laluku, hari ini aku merasa terlahir sebagai orang
baru", berkata Kujang Gundul sambil tersenyum menatap
Mahesa Amping penuh rasa terima kasih.
"Gusti yang Maha Agung telah mempertemukan kita,
disini", berkata Mahesa Amping sambil berdiri menarik
nafasnya dalam-dalam. Dilihatnya dari atas panggung
pendapa Ragasuci dan Ki Mentul tengah turun dan


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghampirinya. "Aku membawa obat pemulih tubuh, mudah-mudahan
Paman akan cepat pulih dan sehat kembali", berkata
Mahesa Amping sambil mengeluarkan beberapa butir
obat dalam bentuk butiran kecil sebesar telur cecak dan
memberikannya langsung kemulut Kujang Gundul.
"Sebentar lagi Paman ini dapat berjalan sendiri",
berkata Mahesa Amping kepada Ragasuci dan Ki Mantul
yang sudah mendekatinya yang telah juga melihat dan
mendengar apa yang telah terjadi.
Apa yang dikatakan Mahesa Amping ternyata tidak
meleset. Tidak begitu lama Kujang Gundul dapat bangkit
berdiri dan merasakan tubuhnya segar kembali.
"Mari Paman, kita bicara diatas panggung pendapa",
berkata Mahesa Amping mengajak Kujang Gundul
berjalan ke panggung pendapa.
"Panggil Lawe dan Raden Wijaya untuk membawa
Bango Samparan kemari", berkata Ragasuci kepada Ki
Mantul ketika mereka sudah berada diatas panggung
pendapa. Ki Mantul"pun segera masuk kedalam untuk 487 memanggil Lawe dan raden Wijaya untuk membawa
Bango Samparan. Bukan main kagetnya Bango Samparan ketika
muncul dari ruang dalam melihat ada Kujang Gundul di
Pendapa. "Aku yakin kalian sudah saling mengenal", berkata
Ragasuci yang diam-diam memperhatikan Bango
Samparan dan Kujang Gundul. "Bukankah begitu Bango
Samparan ?", berkata Ragasuci tertuju kepada Bango
Samparan yang telah duduk bersama mereka di
Pendapa. "Ya, kami memang sudah saling mengenal", berkata
Bango Samparan sambil menganggukkan kepalanya.
"Tahukah engkau bila saat ini ada orang yang
menginginkan kematianmu?", berkata Ragasuci kepada
Bango Samparan seperti orang yang tidak percaya apa
yang telah didengarnya tentang dirinya.
"Sekarang giliran Kujang Gundul untuk menceritakan
yang sebenarnya", berkata Ragasuci yang kali ini tertuju
kepada Kujang Gundul. Terlihat Kujang Gundul menarik nafas panjang.
"Awalnya aku hanya ditugaskan membakar perasaan
para orang Pasir Muncang", berkata Kujang Gundul.
"Sebuah pekerjaan yang kuanggap sangat ringan",
berkata kembali Kujang Gundul."Hingga akhirnya kembali
aku mendapatkan tugas dengan imbalan dua kali lipat
dari sebelumnya?"", Kujang Gundul berhenti sebentar
sambil menundukkan wajahnya. "Tugasku hanya
mengambil nyawa Bango Samparan", berkata Kujang
Gundul sepertinya tidak sanggup mengangkat wajahnya.
"Sekarang kamu sudah mendengar sendiri, ada yang
488 menginginkan nyawamu", berkata Ragasuci sambil
menelitik apa tanggapan Bango Sa Bango Samparan.
"Teganya", hanya itu yang keluar dari bibir amparan
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku menawarkan pengampunan pada kalian, namun
ada syaratnya", berkata Ragasuci kepada Bango
Samparan dan Kujang Gundul.
"Kelapangan tuanku adalah budi yang tak terhingga,
syarat apakah yang dapat kami jalani", berkata Bango
Samparan tidak menyangka Ragasuci telah menawarkan
pengampunan kepada mereka.
"Hari ini mata hati hamba telah terbuka oleh anak
muda ini, hamba pasrah atas segala hukuman atas apa
yang telah hamba perbuat. Bila syarat itu sebagai ganti
pengampunan, hamba siap menjunjung apapun syarat
yang baginda raja inginkan", berkata Kujang Gundul.
"Tidak ada syarat yang akan memberatkan kalian,
yang kuminta cuma satu, tunjukkan kepadaku siapa
orang dibalik semua ini, terutama orang yang telah
memberi upah kepada kalian", berkata Ragasuci.
"Biarlah aku yang mewakili Bango Samparan",
berkata Kujang Gundul dan diam sebentar sambil
menarik napas panjang. "Yang memberi upah kepada
kami untuk semua ini adalah Patih Manohara", berkata
Kujang Gundul melanjutkan kata-katanya.
"Sejak semula aku sudah menduga", berkata Ki
Mantul ikut memberikan tanggapan.
"Mungkinkah masih ada pucuk
Manohara?", berkata Raden Wijaya.
diatas Patih "Memegang ular memang harus kepalanya", berkata
Ragasuci sepertinya telah mempunyai sebuah rencana
489 yang besar sambil mengarahkan pandangan matanya
kepada Kujang Gundul. "Aku memerlukan dirimu", berkata Ragasuci kepada
Kujang Gundul "Bila Baginda Raja mempercayai hamba", berkata
Kujang Gundul penuh hormat.
Sementara itu hari telah jauh di ujung malam,
Ragasuci telah menyampaikan beberapa rencana
besarnya untuk membersihkan lingkungan istananya dari
para penghianat. Demikianlah, pagi-pagi sekali terlihat dua ekor kuda
keluar dan terus menjauh dari hutan Kranggan. Ternyata
dua orang penunggangnya adalah Kujang Gundul dan Ki
Mantul. Arah yang mereka tuju sepertinya menuju arah
Kotaraja Kawali. Ketika kuda-kuda mereka telah mendekati gerbang
kota, mereka pun berpisah untuk mengatur jarak. Ki
Mantul terlihat semakin menjauh ke depan meninggalkan
Kujang Gundul. Terlihat Ki Mantul sudah memasuki gerbang Kota di
saat matahari telah bergeser sedikit dari puncaknya.Tujuan Ki Mantul ternyata bukan ke Istana
Raja, melainkan ke sebuah rumah yang tidak jauh dari
pasar yang berada di tengah kota raja. Rumah itu tidak
terlalu megah bila dibandingkan dengan beberapa rumah
di Kota Raja. Hanya sebuah rumah yang sederhana. Ada
beberapa pohon buah di halaman rumah itu yang terlihat
bersih. Nampaknya penghuninya sangat rajin membersihkannya setiap pagi. Terlihat Ki Mantul telah
masuk ke halaman lewat pintu regol yang terbuka sambil
menuntun kudanya. Seorang lelaki yang masih belia
yang melihat kedatangan Ki Mantul datang 490 menghampirinya. "Selamat datang Ki Mantul", berkata lelaki belia itu
menyapa Ki Mantul, nampaknya sudah sangat mengenal
Ki Mantul. "Apakah Ki Lurah Gembleh ada di rumah?", bertanya
Ki Mantul kepada anak itu.
"Ki Lurah baru saja datang dari Istana, semalam Ki
Lurah tidak pulang", berkata anak itu sambil mengambil
tali kuda Ki Mantul. "Terima kasih", berkata Ki Mantul kepada anak itu
yang terlihat membawa kuda Ki Mantul mendekati
sebuah pohon kecapi untuk mengikat tali kuda di batang
pohon itu. Anak itu pun terlihat berlari kedalam rumah
yang diikuti pandangan mata Ki Mantul.
"Naiklah keatas Ki Mantul", berkata Ki Lurah
Gembleh yang sudah muncul bersama anak itu dari
dalam rumah. Setelah saling menanyakan keselamatan masingmasing. Ki Mantul langsung bercerita apa yang terjadi di
rumah singgah di tepi hutan Kranggan.
"Akhirnya kecurigaanku terbukti", berkata Ki Lurah
Gembleh setelah mendengar penjelasan Ki Mantul
tentang keikut sertaan Patih Manohara dalam upaya
mencelakai Baginda Raja Ragasuci.
"Patih Manohara tidak berdiri sendiri, Baginda Raja
Ragasuci ingin membersihkan sampai ke pucuknya",
berkata Ki Mantul. "Tugas apa yang dapat aku mainkan", bertanya Ki
Lurah Gembleh. "Menangkap semua ular di hutan Kranggan", berkata
491 Ki Mantul sambil menjelaskan beberapa hal sesuai
rencana yang telah disepakati bersama Ragasuci.
"Hari ini juga aku akan mempersiapkan orang-orang
kepercayaanku untuk melakukan penyusupan", berkata
Ki Lurah Gembleh setelah memahami beberapa hal
penjelasan dan Ki Mantul.
"Akupun akan segera kembali ke hutan Kranggan",
berkata Ki mantul Sementara itu di sebuah rumah yang masih tidak
jauh dari Kotaraja, Kujang Gundul tengah berbicara
dengan seseorang yang selama ini bertugas sebagai
penghubung dan orang kepercayaan dari Patih
Manohara. "Aku telah menyelesaikan tugasku melenyapkan
Bango Samparan, sekarang aku meminta tambahan
upah dari tuanmu karena aku telah melakukan pekerjaan
tambah", berkata Kujang Gundul.
"Pekerjaan tambahan apa yang kamu maksudkan ?",
bertanya orang kepercayaan Patih Manohara tidak
mengerti. Kujang Gundul mengambil sesuatu dari balik kainnya,
ternyata Kujang Gundul memperlihatkan sebuah cincin.
"Lihat dan perhatikan", berkata Kujang Gundul sambil
memperlihatkan sebuah cincin ditangannya.
Orang kepercayaan Patih Manohara bukanlah orang
yang bodoh. Bukan main tercengangnya orang itu
melihat cincin yang ditunjukkan Kijang Gundul. Cincin itu
adalah tanda kebesaran Baginda Raja Ragasuci. Tidak
akan diberikan kepada siapapun kecuali bila nyawa
sudah terlepas dari badan.
"Aku akan menyerahkan ini setelah kamu datang
492 membawa tambahan upah untukku", berkata Kujang
Gundul tersenyum gembira melihat orang kepercayaan
Patih Manohara terbelalak matanya.
"Tunggulah disini, akan akan menyampaikannya
kepada Patih Manohara", berkata orang itu yang terus
pergi keluar rumah, entah apa yang terpikirkan olehnya.
Yang jelas baginya sebuah berita yang akan
menggembirakan junjungannya Patih Manohara.
"Akhirnya usaha kita melenyapkan Ragasuci
berhasil", berkata Patih Manohara kepada orang
kepercayaannya. Bersamaan dengan perginya orang kepercayaannya
itu, Patih Manohara keluar istana menuju rumah Raden
Darmamula, salah seorang bangsawan yang cukup
berpengaruh, masih paman dari Ragasuci.
"Usaha kita berhasil", berkata Patih Manohara
kepada Raden Darmamula. "Kita harus mendapatkan kepastian", berkata Raden
Darmamula "Orangku sedang mengambil cicin kebesaran raja",
berkata Patih Manohara. "Tidak cukup itu, kita harus melihat langsung
jenasahnya", berkata Raden Darmamula.
"Apa yang harus kita lakukan setelah Ragasuci
memang benar telah binasa", bertanya Patih Manohara.
"Kita jadikan orang-orang Pasir Muncang sebagai
gerombolan yang harus mempertanggung jawabkan
semua ini", berkata Raden Darmamula.
"Menjadikan orang-orang Pasir Muncang sebagai
kambing hitam?", bertanya Patih Manohara.
493 "Dan sebagai tumbal", berkata Raden Darmamula.
Patih Manohara tidak bertanya lagi langsung
mengerti apa yang dikatakan Raden Darmamula tentang
tumbal itu. "Siapkan pasukan, besok pagi kita berangkat ke
hutan Kranggan", berkata Raden Darmamula.
Demikianlah, Patih Manohara kembali ke istana untuk
mempersiapkan pasukannya berangkat ke hutan
Kranggan untuk melihat dan memastikan bahwa
Ragasuci memang telah mati sekaligus menghancurkan
orang-orang Pasir Muncang yang bersembunyi di hutan
Cigugur. Rahasia inilah yang ditangkap oleh orang-orang
kepercayaannya Ki Kurah Gembleh.
"Secepatnya kamu harus sampai di Hutan Kranggan",
berkata Ki Lurah Gembleh kepada salah seorang anak
buahnya untuk menyampaikan rahasia rencana Patih


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Manohara besok pagi. Sementara itu hari sudah masuk dipertengahan
malam. Terlihat Kujang Gundul sudah keluar dari gerbang
kota. Jalan diluar kota itu sudah begitu sunyi.
"Berhenti!!". Tiba-tiba saja menghadang dua orang dihadapan
Kujang Gundul sambil membentak menyuruh Kujang
Gundul berhenti dan turun dari kudanya.
"Apa yang kalian inginkan dariku ?", bertanya Kujang
Gundul sambil turun dari kudanya.
"Kami ingin meminta nyawamu", berkata salah
seorang yang menghadang Kujang Gundul.
494 "Apakah nyawaku cukup berharga", berkata Kujang
Gundul. "Cukup berharga karena ada sepundi keping emas
dibalik pakaianmu", berkata kembali orang itu sambil
tersenyum menyeringai. "Dari Mana kalian tahu", bertanya Kujang Gundul
"Itu bukan urusanmu", berkata orang itu sambil
melepas senjata golok dari sarungnya.
Kujang Gundul tidak dapat berbuat lain kecuali
mempersiapkan dirinya. "Serahkan lehermu agar pekerjaan kami menjadi
mudah", berkata orang itu yang langsung mengayunkan
goloknya membabat leher Kujang Gundul.
Dengan tenang Kujang Gundul merendahkan
tubuhnya dan berbalik menyerang dengan tendangan
kakinya. Mendapatkan serangan balik yang cepat, orang itu
cukup terperanjat dan langsung mundur kebelakang.
Bersamaan dengan itu kawannya yang selama ini hanya
berdiam diri ikut membantu menyerang Kujang Gundul
dari samping. Maka Kujang Gundul pun melompat kesamping
menghindari serangan itu. Baru saja Kujang Gundul
terhindar dari serangan itu, kembali serangan menyusul
dihadapannya. Demikianlah pertempuran antara Kujang Gundul
dengan dua orang yang tidak dikenal. Mendapatkan dua
serangan dari dua orang pengeroyoknya yang tidak
pernah terputus, sepertinya dua orang penyerangnya itu
satu perguruan, terlihat dari serangannya yang beruntun
dan sangat teratur seperti sudah terlatih dan tersusun
495 begitu rapi. Serangannya pun sangat begitu dahsyat.
Tapi Kujang Gundul bukan anak kemarin sore yang
baru mengenal sejurus dua jurus. Sudah banyak
pertempuran yang ia hadapi, dan Kujang Gundul
mempunyai kesenangan unik, senang bertempur.
Semakin tangguh lawannya, maka semakin gembira
hatinya. Kujang Gundul pun melayani dua orang
penyerangnya dengan penuh semangat.
"Keluarkan semua jurus kalian", berkata Kujang
Gundul penuh semangat sambil mengeluarkan
senjatanya yang bukan keris lagi karena sudah hancur
oleh sinar mata Mahesa Amping. Senjata penggantinya
adalah sebuah tombak pendek.. Meski bukan senjata
andalannya, dengan tombal pendek itu Kujang Gundul
masih terlihat sangat mahir menggunakannya.
Croottttt !!!! Tombak pendek Kujang Gundul berhasil merobek
urat pangkal salah seorang lawannya. Darah mengalir
deras keluar dari daging yang robek. Orang itu tampak
menahan rasa sakitnya tidak lagi melakukan
penyerangan. Menghadapi seorang lawan, Kujang Gundul menjadi
agak ringan. Sebaliknya lawannya terlihat menjadi sangat
kewalahan. Tombak pendek Kujang Gundul yang
bermata dua it uterus berputar-putar mengikuti dirinya.
Srettttt !!!! Mata tombak pendek Kujang Gundul berhasil
mengenai bahu kanan lawannya. Segaris darah segar
terlihat keluar dari bahunya.
"Apakah pertempuran ini masih harus dilanjutkan?",
berkata Kujang Gundul sambil tersenyum.
496 "Jangan besar kepala dulu", berkata lawannya sambil
memindahkan senjata goloknya ke tangan sebelah kiri
dan terus menyerang Kujang Gundul.
Kujang Gundul tersenyum menghadapi lawannya.
Serangan lawannya terlihat agak kaku karena kurang
terbiasa menggunakan tangan kirinya.
"Agar seimbang, aku akan berbuat yang sama",
berkata Kujang Gundul sambil memindahkan tombak
pendeknya ketangan sebelah kirinya.
Namun meski menggunakan tangan kirinya, terlihat
kemahiran Kujang Gundul memainkan tombak pendeknya tidak berubah. Sret "sretttt !!! Kembali tombak pendek Kujang Gundul menemui
dua sasaran sekaligus, dua pangkal paha lawannya
tergores mata tombak pendek Kujang Gundul yang
bergerak begitu cepat meski menggunakan tangan
kirinya. Terlihat kedua kaki lawannya tidak mampu
menopang tubuhnya lagi, hanya mampu berdiri diatas
lututnya. "Dulu aku tidak pernah mengampuni lawanku, hari ini
kubiarkan kalian hidup agar suatu saat kita masih dapat
bermain lagi", berkata Kujang Gundul kepada kedua
lawannya. Kujang Gundul pun terlihat menghentakkan kakinya
di perut kudanya berlalu pergi diiringi tatapan mata dua
orang lawannya. Dan malam pun terus merayap dalam gelisah
berharap datangnya sang pagi untuk menggantikan tahta
hari. 497 "Semula aku berpikir kamu tidak akan datang
kembali", berkata Ki Mantul kepada Kujang Gundul ketika
mereka bertemu di suatu tempat yang telah bersama
mereka sepakati. "Ada sedikit hiburan di perjalananku", berkata Kujang
Gundul sambil menceritakan apa saja yang menghambat
perjalanannya. "Syukurlah bila kamu sekarang dapat mengendalikan
diri untuk tidak begitu mudah membunuh lawanmu",
berkata Ki Mantul setelah mendengar cerita Kujang
Gundul sambil terus berjalan diatas kudanya.
"Hari-hari yang kujalani saat demi saat terasa begitu
indah, bagaimana mungkin aku dapat merebut
kehidupan orang lain, kematianku sendiri bukan lagi
milikku", berkata Kujang Gundul.
Akhirnya, di saat malam telah jemu menjaga bumi
dan menyerahkan sisa hari kepada sang pagi, Ki Mantul
dan Kujang Gundul telah sampai di tepi hutan Kranggan.
Tidak lama berselang, berselisih sepenginangan.
Seorang utusan Ki Lurah Gembleh juga sudah sampai.
Ternyata Ki Mantul telah mengenal utusan itu dengan
baik. Utusan itu pun langsung menyampaikan berita bahwa
pagi ini ada sepasukan prajurit yang akan datang ke tepi
hutan Kranggan serta rencana mereka untuk
menggulung orang-orang Pasir Muncang yang akan
dijadikan sebagai kambing hitam.
"Raden Darmamula dan Patih Manohara ikut dalam
pasukan itu", berkata utusan itu.
"Bagus, secepatnya kita buat blumbang agar ular-ular
itu mudah tepancing", berkata Ragasuci.
498 "Ada satu lagi dosa yang masih mengganjal dihatiku",
berkata Kujang Gundul kepada semua yang hadir. Maka
semua mata tertuju kepada Kujang Gundul.
"Meluruskan kebenaran atas apa yang sebenarnya
terjadi kepada orang-orang Pasir Muncang", berkata
Kujang Gundul. "Apakah kamu tidak takut bahwa kemarahan orangorang Pasir Muncang akan berbalik arah kepadamu?",
bertanya Ki Mantul yang menghawatirkan Kujang
Gundul. "Tidak perlu khawatir, aku dengan ketuanya pernah
adu tanding dengan taruhan siapapun yang kalah akan
tunduk patuh. Dan untungnya akulah pemenangnya",
berkata Kujang Gudul sambil tersenyum dibarengi tarikan
nafas lega dari semua yang hadir.
"Tidak ada pilihan, aku akan menugaskanmu
meluruskan semuanya, menyampaikan apa yang akan
terjadi atas mereka. Sampaikan salamku atas nama
Baginda Raja Saunggaluh", berkata Ragasuci.
"Hamba menjunjung titah Baginda, hamba mohon diri
untuk segera berangkat ke Hutan Cigugur", berkata
Kujang Gundul penuh hormat dan langsung pamit diri
untuk segera berangkat ke hutan Cigugur, tempat
dimana orang-orang Pasir Muncang berlindung selama
ini. Setelah Kujang Gundul berlalu, Ragasuci meminta Ki
Mantul untuk menyiapkan rumah duka.
"Ingat, ada dua jenasah dirumah ini", berkata
Ragasuci sambil melirik kepada Bango Samparan yang
membalasnya juga dengan senyuman.
"Sebelum menjadi mayat palsu, aku akan 499 membukakan ikatan para anak buahku", berkata Bango
Samparan sambil bangkit berdiri dan turun kebawah
untuk menemui para anak buahnya yang saat ini
memang masih terikat sebagai tawanan.
Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya mengikuti
Bango samparan turun kebawah untuk membantu
membuka ikatan para tawanan.
Sementara itu di istana Saunggaluh, sebuah pasukan
lengkap telah dipersiapkan. Mereka adalah pasukan
khusus berkuda. Sebuah pasukan kerajaan saunggaluh
yang sangat dibanggakan dan telah mempunyai banyak
pengalaman berperang. "Baginda Raja memerintahkan kita untuk menjaga
istana", berkata Ki Lurah Gembleh merasa cukup cemas
ketika melihat kesiapan pasukan berkuda yang telah
keluar dari gerbang istana.
"Kenapa Baginda Raja tidak memerintahkan pasukan
kita membantunya?", bertanya salah seorang anak
buahnya sambil berbisik. "Mungkin Baginda Raja punya perhitungan sendiri,
setidaknya kitalah benteng terakhir", berkata Ki Lurah
mencoba melegakan hati sendiri yang masih ada rasa
cemas, bila saja tidak ada perintah raja, mungkin sudah
disiapkan pasukannya untuk membantu.
Abu mengepul terbang di belakang kuda-kuda yang
berlari keluar dari gerbang kota.Hanya Ki Lurah Gembleh
dan beberapa anak buah kepercayaannya yang
mengetahui kemana tujuan pasukan berkuda itu
sebenarnya. Ketika matahari telah bergeser turun dari puncaknya,
pasukan berkuda itu telah sampai di tepi hutan
500 Kranggan. Mereka langsung menuju ke rumah singgah.
"Ampun tuanku, hamba tidak dapat melindungi
Baginda Raja", bersimpuh Ki Matul di hadapan Patih
Manohara dan Raden Darmamula.
"Ceritakan apa yang telah terjadi", berkata Raden
Darmamula Ki Mantul pun bercerita sebagaimana yang telah
diatur sebelumnya. Dikatakan bahwa malam itu telah
datang seseorang yang bukan hanya membunuh Bango
Sampara, tapi juga masuk kedalam kamar Ragasuci
yang tengah tertidur. "Tuanku baginda telah terbunuh disaat
tertidur", berkata Ki Mantul menutup ceritanya.
masih "Aku ingin melihat jenasah Baginda Raja", berkata
Patih Manohara tidak sabar lagi.
Patih Manohara dan Raden Darmamula langsung
masuk kedalam. Hatinya berdegap gembira melihat dua
buah jenasah di ruang tengah. Terlihat tiga orang gadis
tengah menangisi sesosok jenasah.
"Siapakah diantara kalian yang bernama Dara Puspa
?", bertanya Raden Darmamula kepada tiga orang gadis
yang masih terus menangis tersedu-sedu.
"Akulah Dara Puspa", berkata Dara Puspa menatap
Raden Darmamula. "Aku turut berduka cita atas kematian suamimu",
berkata Raden Darmamula, sementara hatinya berdecak
kagum melihat kecantikan Dara Puspa.
Belum sempat Raden Darmamula menyingkap kain
yang menutupi tubuh jenasah untuk memastikan apakah
jenasah itu benar adanya Ragasuci, datang kepadanya
501 seorang prajurit. "Ampun Tuanku, orang-orang Muncang memaksa
ingin masuk", berkata prajurit itu.
"Anjing mencari penggebuk", berkata Patih Manohara


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil berjalan keluar diikuti oleh Raden Darmamula.
"Apa yang kalian inginkan kemari", bertanya Patih
Manohara dihadapan orang-orang Pasir Muncang.
"Kami ingin menyampaikan penghormatan yang
terakhir", berkata salah seorang diantaranya yang
sepertinya pemimpin mereka.
"Kalian adalah orang-orang terbuang dari tanah
Pasundan, tidak layak memberikan penghormatan
terakhir", berkata Raden Darmamula.
"Lebih layak mana, orang yang terbuang dari
kampungnya dengan seorang penghianat bangsa",
berkata pemimpin itu. "Siapa yang kalian maksudkan sebagai penghianat
bangsa", berkata Patih Manohara.
"Tidak perlu berpura-pura lagi, kalian berdualah
penghianat bangsa itu", berkata Kujang Gundul yang
tiba-tiba saja keluar dari tengah-tengah kerumunan
orang-orang Pasir Muncang.
"Kujang Gundul!!", berteriak kaget Patih Manohara.
"Tuanku kaget melihat hamba masih hidup?", berkata
Kujang Gundul dengan senyum khasnya.
"Sebaliknya aku gembira, kamu datang sendiri
mencari alat penggebuk", berkata Patih Manohara
menutupi rasa kagetnya. "Untuk membunuh seekor ular memang perlu alat
502 penggebuk", tiba-tiba ada suara lantang berasal dari atas
panggung pendapa yang ternyata adalah Ragasuci yang
sudah berdiri disitu, disampingnya berdiri Bango
Samparan. Bukan main kagetnya Patih Manohara dan
Darmamula melihat Ragasuci ternyata masih
Kekagetan mereka bertambah ketika dari
panggung rumah itu keluar para anak buah
Samparan yang mereka kira selama ini masih
keadaan terikat. Raden hidup. bawah Bango dalam "Maaf Paman, terima kasih atas perhatian Paman
untuk menjengok jenasah keponakannya", berkata
Ragasuci yang melihat Raden Darmamula terkejut.
"Paman telah datang dengan dua puluh pasukan
berkuda, untuk itu aku telah menghadirkan lima puluh
orang lebih yang setia berkorban untukku", kembali
Ragasuci berkata agar Raden Darmamula dapat
memperhitungkan kekuatannya.
"Kalian akan kami basmi sekalian disini", berkata
Raden Darmamula menutupi kegentarannya melihat
jumlah orang-orang yang terlihat memang sudah rela
berkorban dan setia kepada Ragasuci.
"Apakah Paman dapat memerintahkan pasukan
berkuda untuk membunuh Rajanya?" berkata Ragasuci
yang membuat para prajurit pasukan berkuda menjadi
bimbang apa yang harus mereka lakukan, perintah siapa
yang harus mereka taati. Melihat wajah keraguan dari para prajurit pasukan
berkuda, wajah Raden Darmamula seperti merah
terbakar. Dirinya merasa sudah ada ditengah sebuah
jebakan yang tidak mungkin dapat lolos lagi.
"Aku akan menantangmu adu tanding", berkata
503 Raden Darmamula penuh keputus asaan berharap
tantangannya akan diterima. Inilah jalan satu-satunya
keluar dari segala tuntutan meski secara pribadi
menyadari ketinggian ilmu Ragasuci yang menjadi murid
tunggal yang terkasih Gurusuci Darmasiksa.
"Aku terima tantangan Pamanda", berkata Ragasuci.
Bukan main gembiranya Raden Darmamula
mendengar pernyataan Ragasuci, meski mengakui
ketinggian ilmu Ragasuci, tapi menurutnya hanya selapis
tipis dibandingkan dengan pengalaman dan umurnya.
"Ijinkan hamba mewakili Baginda Raja", berkata
Mahesa Amping yang dapat membaca perasaan
Ragasuci yang menjadi ragu harus berhadapan dengan
pamannya sendiri. Mendengar permintaan Mahesa Amping, Ragasuci
sepertinya mendapatkan sebuah jawaban.
"Kupertaruhkan adu tanding ini atas kebebasan
Pamanda dari segala tuntutan, kuwakilkan diriku ini
kepada Mahesa Amping", berkata Ragasuci dengan
lantangnya seakan-akan sebagai pernyataan untuk
didengar oleh semua yang hadir di halaman rumah
singgah itu. Raden Darmamula sepertinya tidak percaya dengan
apa yang didengarnya dan merasa bahwa Ragasuci
telah melakukan kesalahan besar dengan mewakilkan
dirinya kepada seorang pemuda yang tidak dikenal. Tapi
Raden Darmamula tidak mengatakan apapun, baginya
pernyataan Ragasuci adalah keuntungan baginya.
Raden Darmamula melihat Mahesa Amping turun
dari rumah panggung penuh dengan ketenangan dan
kepercayaan yang tinggi, seperti tidak akan menghadapi
504 sesuatu yang sangat mencemaskan.
"Pemuda tolol yang merasa punya ilmu andalan",
berkata Raden Darmamula dalam hati menafsirkan
ketenangan Mahesa Amping.
Semua mata tertuju kepada dua orang lelaki yang
saling berhadapan ditengah halaman rumah singgah
yang luas. Banyak yang belum mengenal Mahesa
Amping secara pribadi menghawatirkan pemuda ini dan
menganggap pernyataan Ragasuci mewakilkan dirinya
kepada anak muda ini adalah sebuah kecerobohan.
Sementar itu Kujang Gundul yang telah merasakan
sendiri kedahsyatan ilmu Mahesa Amping tersenyum
gembira. "Raden Darmamula tidak menyadari bahwa lawannya
memiliki ilmu setingkat dewa", berkata Kujang Gundul
dalam hati sambil matanya tidak pernah lepas ke arena
pertandingan itu. "Berbanggalah dirimu anak muda yang telah mewakili
Baginda Raja, meski diriku masih sangsi, apakah dirimu
layak menjadi lawan tandingku", berkata Raden
Darmamula kepada Mahesa Amping yang sudah berdiri
dihadapannya. "Ternyata kita punya perasaan yang sama, akupun
merasa sangsi apakan paman dapat mengalahkanku",
berkata Mahesa Amping sengaja memancing kemarahan
Raden Darmamula. Ternyata pancingan Mahesa Amping mengenai
sasaran, kata-kata Mahesa Amping terasa pedas lewat
ditelinganya. "Keluarkan senjatamu!", berkata Raden Darmamula
yang langsung mengeluarkan sebuah keris besar yang
505 tidak layak sebagaimana keris biasa karena bentuknya
lebih besar dan lebih panjang dari keris kebanyakan.
Mahesa Amping melihat pamor yang tidak biasa yang
keluar dari aura keris Raden Darmamula sebagai isyarat
bahwa dirinya harus berhati-hati menghadapinya. Maka
dengan tenang penuh percaya diri Mahesa Amping
menarik pisau belati senjata andalannya dari balik
pakaiannya. Melihat Mahesa Amping hanya bersenjata belati,
Raden Darmamula tersenyum menganggap anak muda
didepannya ini terlalu dungu.
"Kamu memang pantas bunuh diri" berkata Raden
Darmamula sambil tidak sabar melihat kemenangannya
langsung menerjang dengan kekuatan dan kecepatan
yang sangat luar biasa. Bukan main kagetnya Darmamula mendapatkan
Mahesa Amping sudah tidak ada ditempatnya lagi.
Serangannya menembus tempat kosong.
"Aku disini Paman", berkata Mahesa Amping yang
telah bergeser ke samping masih berdiri seperti tidak
menerima serangan apapun.
Diam-diam Raden Darmamula mengakui kecepatan
gerak Mahesa Amping. Maka dengan kecepatan yang
berlipat ganda kembali melakukan serangan, kali ini
dengan sebuah ayunan berkelebat keris raden
Darmamula mengarah ke leher Mahesa Amping.
Dengan cantiknya Mahesa Amping merendahkan
tubuhnya, ayunan keris hanya berjarak tipis lewat
dikepalanya dan langsung melakukan serangan balik
yang tidak diduga dengan sebuah tendangan kakinya
meluncur mengancam perut Raden Darmamula.
506 Kaget bukan kepalang Darmamula mendapatkan
serangan balik yang tidak terduga dan dengan kecepatan
yang luar biasa. "Gila!!", berkata Raden Darmamula sambil mundur ke
belakang. Matanya menatap Mahesa Amping seperti
tidak percaya atas semua yang telah terjadi.
Sejak saat itulah dirinya tidak lagi meremehkan
Mahesa Amping dan bertindak menjadi sangat hati-hati.
"Anak muda ini ternyata punya andalan", berkata
Raden Darmamula dalam hatinya.
Raden Darmamula telah meningkatkan ilmunya
menggulung Mahesa Amping dengan serangan keris
besarnya. Dan Mahesa Amping terpaksa harus
mengimbanginya. Dan pertempuran pun menjadi kian
seru dan menegangkan. Raden Darmamula sudah mencapai ilmu puncaknya,
serangannya terlihat begitu cepat dan mengerikan. Keris
di tangannya seperti bara yang menyala. Hawa panas
pun terasa telah menyelimuti setiap sisi pertempuran.
Untungnya, Mahesa Amping telah dilindungi oleh daya
kepekaan kekuatan yang ada didalam kekuatan bawah
sadarnya, langsung bekerja dengan sendirinya
memberikan daya tolak atas apa yang akan datang
membahayakan dirinya. Hawa dingin menyentak keluar
dari tubuh Mahesa Amping meredam hawa panas yang
dikeluarkan lewat ilmu puncak Raden Darmamula.
Dua kekuatan dan kecepatan saling menggulung dan
saling balas menyerang. Mata wadag sudah sangat
sukar sekali mengikuti pertempuran mereka. Yang
terlihat seperti dua bayangan hitam saling melesat begitu
cepat, sukar sekali untuk menentukan siapa Mahesa
Amping dan yang mana Raden Darmamula. Sekali-kali
507 terdengar suara dua senjata beradu.
Baru kali ini Raden Darmamula harus menguras
seluruh kekuatan ilmunya, diam-diam secara pribadi
mengagumi pemuda yang menjadi lawannya ini.
Golok Yanci Pedang Pelangi 8 Pangeran Perkasa Pangeran Srigala Perkasa Karya Can I D Pahlawan Dan Kaisar 15
^