Pencarian

Sang Fajar Bersinar 8

Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana Bagian 8


"Ragasuci tidak salah pilih", berkata Darmamula
dalam hatinya sambil terus berusaha melakukan
penekanan. "Aji Braja Geni!!", berucap Mahesa Amping sambil
melenting menghindari sebuah kilatan api berasal dari
telapak tangan kiri Raden Darmamula.
"Pengetahuanmu ternyata sangat luas anak muda",
berkata Raden Darmamula sambil tertawa kembali
mengeluarkan ilmu simpanannya Aji Braja Geni
menyambar tubuh Mahesa Amping yang tengah
melenting. Kembali Mahesa Amping harus berhindar dari
serangan kilatan api. Sasaran pun kembali luput nyaris
menghantam sebuah pohon besar yang langsung
terbakar. Beberapa penonton yang hadir menyaksikan
pertempuran itupun berlarian menjauh, takut terkena
salah sasaran Ilmu Braja Geni Raden Darmamula yang
begitu nggegirisi itu. Mahesa Amping dalam posisi tertekan dan terancam,
sambaran kilat sepertinya terus mengejarnya. Namun
tidak terlihat sedikit kecemasan dalam raut wajahnya.
Mahesa Amping penuh ketenangan menghadapi setiap
serangan. Hingga akhirnya Mahesa Amping terpaksa
mengeluarkan ilmu andalannya. Mengungkap kekuatan
yang bersembunyi dari sorot matanya.
Sambil melenting menghindari kilatan cahaya yang
menyambar kearah dirinya, tiba-tiba saja keluar kilatan
508 cahaya dari sorot mata Mahesa Amping dalam kendali
dan pengekangan naluri yang tajam sebagai ungkapan
jiwa yang telah diliputi kesifatan Maha Kasih dan Maha
halus penuh kelembutan. Cahaya kilat dari sorot mata
Mahesa Amping telah menyambar dengan cepat
mengarah kesatu tempurung kaki Raden Darmamula.
Sinar yang melesat dari sorot mata Mahesa Amping
memang begitu cepat seperti sekedipan mata, langsung
menyambar tempurung kaki kiri Raden Darmamula yang
tidak dapat segera mengelak. Terlihat Raden Darmamula
jatuh tidak kuat menahan rasa sakit pada tempurung
kakinya yang terlihat hangus terbakar. Kaki sebelah
kirinya terasa lumpuh. Pertempuran pun sepertinya terhenti, semua mata
tertuju kepada Raden Darmamula yang tengah duduk
tidak mampu berdiri. Terlihat Mahesa Amping perlahan mendekati Raden
Darmamula. "Maaf, aku terpaksa melakukannya", berkata Mahesa
Amping yang melihat Raden Darmamula tengah merintih
menahan rasa sakit yang terbakar di tempurung kakinya.
"Kenapa kamu tidak langsung menyerang jantungku",
berkata Darmamula yang telah mengakui kedahsyatan
kekuatan sorot mata Mahesa Amping.
"Aku bukan seorang pembunuh", berkata Mahesa
Amping memandang Raden Darmamula dengan sorot
mata penuh kasih, seakan didepannya bukan lagi
seorang lawan. Dan sorot mata itu seperti air dingin
menyentuh masuk lewat tatapan mata Raden
Darmamula. "Jiwamu begitu bersih, jiwamu penuh kasih", berkata
509 Raden Darmamula yang merasakan seperti ditelanjangi
oleh tatapan mata Mahesa Amping yang tenang penuh
kasih. Raden Darmamula tidak tahan menatap mata itu,
terlihat menunduk seperti tengah melihat kekotoran
dirinya yang penuh kecongkakan dan keangkuhan
merasa dapat melakukan dan berbuat apapun atas
ketinggian ilmu yang telah diraih dalam kebanggaan
yang tersesat. "Masih ada hari lain untuk berbuat yang lain", berbisik
Mahesa Amping sambil berjongkok memberikan sebuah
obat penawar. "Telanlah obat ini, mudah-mudahan akan
mengurangi rasa sakit Paman", berkata Mahesa Amping.
Raden Darmamula kembali menatap wajah Mahesa
Amping, kembali rasa malu bergejolak didalam hatinya.
Entah mengapa sorot mata itu dilihatnya penuh
kejujuran, dan ia tidak menolak pemberian obat dari
Mahesa Amping. Raden Darmamula telah menelan butiran obat yang
diberikan oleh Mahesa Amping. Benar apa yang
dikatakan Mahesa Amping, rasa sakit dikakinya terasa
memudar. Namun Raden Darmamula tidak dapat lagi
mengerakkan kaki kirinya yang ternyata sudah lumpuh
itu. "Terima kasih anak muda, kamu telah menyisakan
sebuah kaki untukku, dan juga sisa umurku yang
mungkin akan dapat kuisi dengan sikap dan suasana
baru", berkata Raden Darmamula dengan senyum penuh
tulus. "Sekarang terserah Baginda Raja, aku pasrah atas
apapun hukuman yang diberikan kepadaku", kembali
Raden Darmamula berkata sepertinya telah pasrah atas
apa yang akan diterima. 510 "Aku tidak akan memberikan hukuman apapun atas
diri Pamanda, Aku memaafkan Pamanda. Bukankah
Pamanda satu-satunya adik ibuku yang masih ada?",
berkata Ragasuci sepertinya tidak merasa sebagai
seorang raja, tapi sebagai seorang anak kemenakan.
Raden Darmamula menatap haru Ragasuci,
terbayang Ragasuci kecil yang dulu sering berada diatas
punggungnya bermain kuda-kudaan. Raden Darmamula
seperti menemukan dirinya kembali. Tangis haru
kebahagiaan terlihat manakala paman dan kemenakan
itu saling berpelukan. Sepertinya mereka sudah lama
tidak berjumpa dan baru hari itu mereka menemukan diri
masing-masing. Rasa permusuhan telah lama memisahkan mereka, menjauhkan mereka. Dan
sekarang, rasa kasih kembali mempertemukan mereka,
menghilangkan jarak diantara mereka, sebagai saudara
sedarah, sebagai paman dan kemenakannya.
"Dimana Patih Manohara", berkata Ragasuci sambil
menyapu pandangannya berkeliling, namun Patih
Manohara yang dicari tidak juga ditemukan.
Ternyata Patih Manohara diam-diam telah melarikan
diri. Mungkin ia tahu akan mendapatkan hukuman berat
karena telah berhianat atas rencananya untuk
melenyapkan Ragasuci. Angin semilir bertiup disekitar halaman rumah
singgah itu. Sementara senja masih jauh untuk ditunggui.
Terlihat rombongan Ragasuci tengah bersiap untuk
meninggalkan tepi hutan Kranggan itu dikawal para
pasukan berkuda. Selang tidak terlalu lama, Bango Samparan dan para
anak buahnya ikut meninggalkan tepi hutan Kranggan
itu. Dan Rumah singgah itu terlihat menjadi sunyi
511 sebagaimana hari-hari sebelumnya.
Dan senja pun akhirnya telah berlalu. Hari telah
memasuki pertengahan malam manakala Ragasuci dan
rombongannya telah sampai di pintu gerbang istana.
"Terima kasih,Kamu sudah melaksanakan tugasmu
dengan baik", berkata Ragasuci memberikan ucapan
selamat dan terima kasih kepada Ki Lurah Gembleh yang
menyambutnya di muka pintu gerbang istana.
"Tugas yang kami lakukan sangat ringan
dibandingkan kecemasan yang kami rasakan", berkata Ki
Lurah Gembleh menyampaikan kekecewaannya tidak
disertakan ikut berperan di hutan Kranggan.
"Istana tanpa raja bukan suatu kekhawatiran
dibandingkan istana tanpa penjaga", berkata Ragasuci
memberi penjelasan mengapa para pengawal istana
dilarang meninggalkan istana. Dan sepertinya Ki Lurah
Gembleh dapat menerimanya sambil menganggukanggukkan kepalanya.
Dan malam pun semakin dalam menyelimuti istana
Saunggaluh. Suara angin bercanda dengan daun dan
dahan kadang mengisi kesunyian malam. Beberapa
pengawal istana kadang terlihat berkeliling melakukan
ronda malam dri lorong kelorong memastikan tidak ada
hal gangguan apapun, dan istana dalam keadaan aman
terkendali. Mahesa Amping, Lawe dan Raden Wijaya yang
ditempatkan di pesanggrahan khusus untuk para tamu
agung nampaknya sudah terlelap dalam mimpi.
Pagi itu, suasana pasar di Kotaraja Kawali sudah
begitu ramai. Dara Jingga dan Dara Petak sebagaimana
umumnya para wanita sangat senang sekali berkeliling
512 sekitar pasar Kotaraja, terutama melihat berbagai corak
kain dan perhiasan. "Kalian belum membeli apapun?", berkata Dara
Jingga kepada Lawe, Mahesa Amping dan Raden
Wijaya. "Aku belum mendapatkan apa yang kubutuhkan",
berkata Lawe "Apa yang kamu butuhkan?", bertanya Dara Jingga
"Itulah yang belum aku pikirkan", berkata Lawe
sekenanya membuat Mahesa Amping dan Raden Wijaya
tersenyum, diam-diam mereka mengakui sebagaimana
Lawe, tidak ada yang dibutuhkan.
Matahari terus merayap naik, suasana pasarpun
menjadi semakin ramai. "Minuman dawet itu sepertinya enak sekali", berkata
Dara Petak ketika mereka melewati pedagang minuman
Dawet. "Kami pesan minumannya, Paman", berkata Lawe
kepada pedagang Dawet itu yang terlihat sudah sangat
tua. Dengan cepat orang tua itu telah menyiapkan lima
buah minuman untuk mereka.
Namun ketika mereka menikmati minuman dawet itu,
datanglah seorang yang berwajah bringasan menghampiri pedagang dawet itu.
"Hari ini aku tidak mau lagi makan janji", berkata
orang itu kepada pedagang dawet.
"Sepekan ini hujan tidak pernah surut, daganganku
tidak banyak laku", berkata pedagang itu.
513 "Pekan lalu encokmu sering kumat, sekarang kamu
salahkan hujan", berkata orang itu dengan suara keras.
"Seperti itulah kenyataannya, aku tidak berbohong",
berkata pedagang itu dengan wajah begitu memelas.
"Bohong, jangan sembunyi di belakang wajah
memelasmu", berkata orang itu sambil mencengkeram
leher pedagang tua itu. "Maaf kisanak, berapa hutang Paman ini?", berkata
Raden Wijaya tidak tega melihat perlakuan kasar dari
orang yang baru datang itu.
Orang itupun melepaskan cengkeramannya, memandang raden Wijaya dari atas sampai kebawah.
"Ternyata ada tuan muda yang berbaik hati untuk
menjadi pahlawan penolong", berkata orang itu kepada
Raden Wijaya. "Aku hanya bertanya, berapa hutang paman ini",
berkata kembali raden Wijaya.
"Sebulan yang lalu hutangnya tiga karung jagung,
apakah kamu ingin membantu melunasinya?", bertanya
orang itu kepada Raden Wijaya.
"Sekeping emas ini berharga lebih dari tiga karung
jagung, berikan sisa karung jagung untuk paman ini",
berkata Raden Wijaya sambil memberikan sekeping
emas kepada orang itu. Orang itu langsung menerimanya dengan tertawa
menyeringai. "Hutangmu sudah lunas, kelebihannya akan aku
antar beberapa karung jagung kepadamu", berkata orang
itu yang kemudian hendak pergi meninggalkan pedagang
tua itu. 514 "Aku tidak perlu kelebihan apapun, aku akan
membawa putriku kembali ke rumahku", berkata
pedagang tua itu. "Akan kusampaikan pada Tuanku", berkata orang itu
sambil berbalik badan berjalan pergi menninggalkan
pedagang tua itu. "Terima kasih anak muda, sekarang aku yang
berhutang kepadamu", berkata pedagang tua itu.
"Paman tidak usah merasa berhutang kepadaku,
anggap saja ini hadiah dariku", berkata Raden Wijaya.
"Bolehkah aku mengetahui siapa nama tuan muda ?",
bertanya pedagang tua itu.
"Namaku Sanggrama", berkata Raden Wijaya sambil
sedikit tersenyum. "Sanggrama putra Dyah lembu Tal, cucu Paduka
Gurusuci Darmasiksa", kembali pedagang tua itu
bertanya. "Paman benar, ayahku Lembu Tal, kakekku Gurusuci
Darmasiksa", berkata Raden Wijaya penasaran dari
mana pedagang tua itu mengetahui dirinya.


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gusti Yang Maha Agung, ternyata tuan muda putra
tuanku Dyah Lembu Tal", berkata Pedagang tua itu
sepertinya penuh kegembiraan.
"Paman sepertinya telah mengenal ayahku", berkata
Raden Wijaya penuh ingin tahu.
"Dulu aku pernah bertugas di istana, sebagai pekatik
ayahmu", berkata pedagang tua itu sepertinya setengah
melamun mengenang masa mudanya.
"Siapa nama Paman, biar kelak bertemu ayahku akan
kuceritakan pertemuan kita ini", berkata Raden Wijaya.
515 "Namaku Sungut, ayahmu pasti mengenalnya",
berkata pedagang tua itu yang menyebut namanya
sebagai Sungut. "Kenapa paman tidak bekerja lagi sebagai pekatik?"
bertanya Lawe tertarik mendengar pembicaraan Raden
Wijaya dan Sungut pedagang tua itu.
Sungut memandang Lawe, dan tersenyum. "Ketika
tuanku Dyah Lembu tal meninggalkan istana, beliau
banyak memberikan bekal kepadaku, pesannya agar aku
bisa merubah nasib menjadi seorang saudagar", berkata
Sungut sedikit bercerita."Tapi dasar aku pemalas, bekal
dari ayahmu kuhabiskan dengan hidup berfoya-foya
sampai habis tak tersisa", berkata Sungut sambil sedikit
tersenyum getir. "Dan siapa orang tadi yang menagih hutang kepada
Paman", bertanya Raden Wijaya merasa bertambah
kasihan kepada Sungut. "Itulah buruknya nasibku, sebulan yang lalu aku jatuh
sakit. Dengan terpaksa aku berhutang sekarung jagung
untuk membeli obat sekaligus sebagai bahan makanan,
berharap dapat melunasi setelah aku sehat", bercerita
kembali sungut. Pekan lalu hutangku dilipatkan menjadi
tiga karung dan Juragan Susatpam mengambil paksa
putriku sebagai jaminan atas hutang yang belum dapat
kulunasi" "Hutangmu sudah kulunasi lebih dari cukup, apakah
Juragan itu akan melepaskan putrimu ?", bertanya Raden
Wijaya. "Itulah yang aku khawatirkan, Juragan itu yang
kutahu sudah lama menginginkan putriku", berkata
Sungut penuh kekhatiran. 516 "Aku dapat mengantar Paman kerumah Juragan itu",
berkata Raden wijaya. "Sifatmu sama persis dengan ayahmu, begitu peduli",
berkata Sungut kepada Raden Wijaya.
"Kali ini aku mewakili ayahku untuk menolong
sahabatnya", berkata Raden Wijaya sambil memegang
bahu Sungut. "Tuanku Dyah Lembu Tal adalah junjunganku",
berkata Sungut meluruskan ucapan "sahabat" dari Raden
Wijaya. "Aku merasakan persahabatan diantara kalian",
berkata Raden Wijaya "Yang kamu katakan adalah kebenaran, tuanku Dyah
Lembu Tal menyikapi diriku sebagai seorang sahabat
ketimbang sebagai seorang pekatiknya, itulah yang aku
rasakan", berkata Sungut sambil menatap jauh kedepan,
entah apa yang tengah direnungkan. Mungki masa-masa
kenangan ketika ia masih sebagai seorang pekatik
istana. Akhirnya Sungut tidak dapat menolak permintaan
Raden Wijaya yang akan menemaninya mengantarnya
ke rumah Juragan Susatpam untuk mengambil putrinya
yang sudah sepekan menjadi barang jaminan.
Diputuskan Lawe ikut bersama Raden Wijaya,
sementara Mahesa Amping masih bersama Dara Petak
dan Dara Jingga kembali ke istana Saunggaluh.
Sungut pun segera membenahi dagangannya.
Bersama Raden Wijaya dan Lawe mereka berangkat ke
Padukuhan tempat tinggal Sungut.
Padukuhan kroyak memang tidak begitu jauh,
disitulah Sungut bermukim sejak masih menjadi seorang
517 pekatik istana. Keberadaan rumahnya dapat bercerita
bahwa dulu rumah itu mungkin sebuah rumah milik orang
yang cukup berada. Rumah seorang pekatik istana.
"Inilah rumahku", berkata Sungut ketika mereka
sampai di rumahnya. Tidak lama mereka berada di rumah itu, setelah
meletakkan dan menyimpan barang dagangan, mereka
langsung menuju rumah Juragan Susatpam yang hanya
berjarak beberapa rumah. Empat orang pesuruh Juragan Susatpam terlihat
turun dari pendapa ketika melihat Sungut, Raden Wijaya
dan Lawe memasuki halaman muka Juragan Susatpam.
"Mau apa kalian datang kemari", berkata seorang
yang sudah dikenal Raden Wijaya yang tadi dipasar
menemui Sungut menagih hutang.
"Aku datang untuk menjemput anakku", berkata
Sungut. "Anakmu tidak perlu dijemput, ia sudah merasa betah
tinggal di rumah ini", berkata orang itu.
"Bohong, anakku pasti menderita tersiksa dirimu ini",
berkata Sungut dengan suara keras.
"Sudah berani kamu berkata keras kepadaku ?",
berkata orang itu dengan mata mendelik.
"Kisanak, bukankah hutang
dilunasi?", berkata Raden mengingatkan orang itu. paman Wijaya ini sudah mencoba "Sekarang aku tidak bicara lagi tentang hutang, yang
kukatakan bahwa anaknya sekarang sudah tidak mau
pulang lagi ke rumahnya", berkata orang itu sepertinya
hanya ingin memutar-mutar persoalan.
518 "Jangan-jangan sekeping uang emasku tidak sampai
ke tuanmu?", berkata Raden Wijaya kepada orang itu.
"kalau itu memang benar, maumu apa?", berkata
orang itu. "Aku akan memintanya kembali, dan langsung akan
menyerahkannya kepada tuanmu", berkata Raden
Wijaya. "Dengan cara apa kamu meminta kepadaku?",
berkata orang itu menantang
"Cukup dengan kedua tanganku ini", berkata Raden
Wijaya. "Kamu mau menantangku?", berkata orang itu.
"Dengan sangat terpaksa bila itu yang kamu
inginkan", berkata raden Wijaya penuh ketenangan.
"Kamu belum mengenalku anak muda", berkata
orang itu telah mempersiapkan dirinya. Sementara tiga
orang kawannya memberi tempat agak bergeser
kesamping. "Aku mau mencoba mengenalmu", berkata raden
Wijaya yang ikut-ikutan pura-pura sepertinya tengah
mempersiapkan dirinya. "Kamu akan menyesal setelah tahu siapa diriku",
berkata orang itu sambil langsung menerjang Raden
Wijaya dengan sebuah tendangan meluncur.
Raden Wijaya telah menggeser dirinya kesamping.
Dan tendangan itu pun menjadi luput.
Dengan beringas orang itu
dan langsung meninju dagu
pukulan dari bawah keatas.
bergeser sedikit mundur. Tinju
mengejar Raden Wijaya Raden Wijaya dengan Kembali Raden Wijaya itu pun hanya mengenai 519 angin kosong. Mendpatkan dua serangannya kembali menemui
tempat kosong, orang itupun langsung melepas
senjatanya. Sebuah golok berukuran sedang melayang
membabat arah pinggang Raden Wijaya.
Sungut yang melihat hal itu terperanjat menahan
napas, sekejab dirinya merasakan telah berbuat dosa
telah membawa putra junjungannya masuk kedalam
masalah pribadinya. Tapi Sungut dapat bernapas lega, Raden Wijaya
dengan gesit menggeliat meliukkan badannya. Kembali
serangan golok itu melewati ruang kosong.
"Keluarkan senjatamu", berkata orang itu penuh
kemarahan karena serangannya selalu luput menemui
tempat kosong. "Bukankah sudah kukatakan bahwa aku akan
menghadapimu dengan kedua tanganku ini?", berkata
raden Wijaya sambil tersenyum memandang orang itu
yang terlihat sudah sangat marah.
Melihat ketenangan Raden Wijaya,
nampaknya sudah menjadi semakin marah.
orang itu "Jangan salahkan aku bila kamu akan binasa
tercincang disini", berkata orang itu sambil menerjang
raden Wijaya dengan goloknya. Golok itupun seperti
terbang mengejar leher Raden Wijaya.
Kembali Sungut menahan nafasnya, ia masih
meragukan apakah raden Wijaya dapat keluar dari
serangan orang itu yang dikenal sebagai salah satu
seorang pengawal Juragan Susatpam yang paling
beringas, paling kejam. Semua orang di Padukuhan
sudah mengenalnya dan tidak pernah berani berurusan
520 apapun dengan orang itu. Lagi-lagi Sungut dapat bernafas lega, dilihatnya
Raden Wijaya kembali dapat menghindari serangan
orang itu dengan merendahkan dirinya. Dan kali ini
Raden Wijaya bukan hanya menghindar, sambil
merendahkan dirinya menghindari ayunan golok, kaki
kanan raden Wijaya langsung menyodok perut orang itu
yang langsung terlempar kebelakang.
Ternyata Raden Wijaya hanya menggunakan sedikit
kekuatannya, hanya sebatas kekuatan wadag. Namun
akibatnya orang itu terlihat menahan sakit. Perutnya
terasa mual dan sesak. "Hajar pemuda sombong ini", berkata orang itu
meminta ketiga kawannya membantu.
"Biarkan kawanmu bermain sendiri", berkata Lawe
menghadang ketiga orang pengawal Juragan Susatpam
yang terlihat akan bergerak untuk membantu kawannya.
"Kalau begitu kamu dulu yang akan menjadi barang
mainan kami", berkata salah seorang dari ketiga
pengawal itu langsung melayangkan tamparannya.
Lawe bukan orang yang suka bermain-main. Maka
sambil mengegoskan wajahnya miring sedikit menghindari tamparan itu, langsung tangannya
membalas tamparan itu juga dengan sebuah tamparan
yang sangat keras dan cepat. Akibatnya sangat fatal
sekali, orang itu langsung tersungkur ke samping dengan
pipi berwarna biru sembab. Bumi sepertinya terasa
berputar, orang itu tidak bisa bangkit dan sepertinya
langsung pingsan. "Ayo kalian berdua maju bersama", berkata Lawe
kepada dua orang pengawal yang memang tengah
521 bersiap menyerangnya. Kedua orang itu pun langsung menyerang Lawe
bersama-sama. Sebuah golok terlihat mengayun kearah
leher Lawe, golok lain tengah menyambar pinggangnya.
Terlihat wajah Lawe tidak mengesankan kecemasan,
dengan tenang merendahkan badannya sekaligus
bergeser kesamping sambil kakinya menghentak ke dada
orang yang semula menyerang lehernya.
Bukkk!!! Orang yang terkena tendangan itu terpental
merasakan dadanya sesak dan jatuh dibumi sepertinya
susah untuk berdiri kembali.
Melihat kawannya jatuh dalam satu gebrakan, lawan
Lawe menjadi sedikit gusar. Tapi golok ditangannya
sudah terlanjur terlepas dari sarungnya, dan perasaan
malunya yang membuat dirinya terpaksa harus terus
kembali menyerang. Kali ini dengan setengah semangat
menyerang kembali Lawe yang masih bertangan kosong.
Lawe melihat kegusaran hati lawannya, maka
serangan lawannya yang mengarah kepundaknya tidak
dengan segera dihindarkan.
Hampir saja orang itu merasa gembira bahwa
serangannya akan berhasil melukai pundak Lawe.
Namun hal tak terduga telah terjadi. Belum lagi golok itu
menyentuh kulit pundak, Lawe dengan cepat bergeser
setapak. Bersamaan dengan itu tangannya tepat menghantam
pergelangan tangan lawannya. Maka yang terjadi golok
ditangan orang itu terlempar tidak mampu dipertahankan
lagi. Belum lagi lepas rasa terkejutnya, sebuah tamparan
522 keras langsung menghantam rahangnya. Akibatnya


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah dapat diterka, orang itu langsung limbung
tersungkur ke tanah merasakan tamparan tangan Lawe
yang sudah terlatih. Sementara itu lawan Raden Wijaya telah kembali
melakukan serangannya terlihat menjadi sangat
penasaran, semua serangannya selalu dapat dihindarkan
oleh Raden Wijaya dengan begitu mudahnya.
Dan begitu belihat bahwa Lawe telah menyelesaikan
permainannya, Raden Wijaya pun langsung ikutan ingin
menyudahi permainannya. Maka ketika sebuah serangan yang mengayun nyaris
mengincar dadanya, dengan kecepatan yang tidak
terduga dan tidak bisa diikuti oleh pandangan wadag
biasa. Tiba-tiba saja golok itu telah berpindah tangan.
Bukan main kagetnya orang itu, golok ditangannya
telah berpindah tangan. Belum lagi lepas rasa terkejutnya, sebuah tendangan
telah menghajar perutnya.
Bukk!!!! Orang itu meringsek menahan rasa sesak dan nyeri,
isi perutnya terasa terbalik ingin muntah. Dan tiba-tiba
saja senjata itu telah mengancam tuannya sendiri.
"Berikan kembali sekeping emas milikku", berkata
Raden Wijaya sambil menempelkan golok tajam diatas
kulit leher orang itu. Gemetar orang itu membayangkan senjatanya yang
disadari sangat tajam dan telah diwarangi dengan sedikit
racun itu akan melukai dirinya sendiri.
Maka tanpa menunggu apapun, orang itu segera
523 mengeluarkan sekeping emas dan memberikannya
kepada Raden Wijaya. Ternyata apa yang terjadi di halaman telah
disaksikan semuanya oleh Juragan Susatpam dari atas
Pendapa rumah. Terkejut bahwa empat orang
pengawalnya yang selama ini diupah untuk menjaga dan
berlindung dibelakangnya telah dapat dikalahkan dengan
begitu mudahnya. Dengan tubuh gemetar penuh rasa takut, dirinya
seperti terpaku ditempat manakala Raden Wijaya,
Sungut dan Lawe datang menghampirinya. Apalagi
dilihatnya Raden Wijaya masih menggenggan sebuah
golok telanjang. "Kami datang untuk membayar hutang, kembalikan
putri Paman ini", berkata Raden Wijaya ketika sudah
mendekati Juragan Susatpam yang terlihat masih
gemetar. "Tidak ada hutang lagi, ambilah apa yang kalian
inginkan. Asal jangan menyakiti diriku", berkata Juragan
Susatpam yang ternyata punya nyali begitu kecil.
"Hutang harus dibayar", berkata raden Wijaya sambil
melempar sekeping emas dihadapan Juragan Susatpam.
Sementara itu Sungut sudah tidak sabar lagi, tahu
apa yang harus dilakukannya langsung masuk kerumah
itu untuk mengambil putrinya.
Tidak lama berselang Sungut telah keluar dari pintu
rumah sambil menggandeng seorang gadis yang
ternyata anaknya yang selama ini disekap dirumah
Juragan Susatpam. Tidak bisa dipungkiri, anak gadis Sungut ternyata
seorang gadis yang berwajah cukup jelita.
524 "Pantas Juragan Susatpam terpikat", berkata Raden
Wijaya ketika sempat melirik anak gadis Sungut yang
cantik jelita. Tapi lirikan mata Raden Wijaya yang sekejap adalah
sebuah malapetaka untuknya.
Apa yang telah terjadi ?"?"
Ternyata sekejap itu telah dimanfaatkan sebesarbesarnya oleh Juragan Susatpam yang dengan cepat
dan tidak diduga dan diperhitungkan telah melemparkan
tiga buah taji beracun dari jarak yang begitu dekat ke
tubuh Raden Wijaya. Setinggi apapun ilmu Raden Wijaya yang telah
menguasai ilmu meringankan tubuh dan dapat bergerak
dengan cepat tidak juga dapat mengelak dari sasaran.
Raden Wijaya bukan main terkejutnya, tidak
menyangka ada serangan yang begitu cepat ke arahnya.
Dua buah taji yang mengarah pada jantung dan dihindari
lagi, langsung menancap di bahunya.
Setelah melempar senjata rahasianya, terlihat
Juragan Susatpam telah melenting jauh melompati pagar
pendapa dan berdiri sambil tertawa keras merasa
serangannya dapat mengenai sasarannya.
"Kalian memang orang-orang bodoh yang mudah
tertipu, aku bukan orang lemah seperti yang kalian
sangka. Dan racun kelabang lorengku segera akan
mengambil nyawamu", berkata Juragan Susatpam sambil
tertawa di tengah halaman rumahnya.
"Iblis keji", berkata Lawe yang melihat semua itu
langsung melompat ke halaman menerjang Juragan
Susatpam dengan penuh kebencian.
Ternyata Juragan Susatpam bukan orang lemah
525 seperti yang diduga. Dengan sigap dapat mengelak dan
berhindar dari serangan Lawe yang telah mengeluarkan
dua buah belati senjata andalannya. Juragan Susatpam
bahkan dapat melakukan serangan balik yang tidak kalah
keras dan berbahayanya. Terlihat Juragan Susatpam
telah menyerang Lawe dengan sebuah keris berlekuk
Sembilan yang cukup panjang.
Pertempuran terlihat menegangkan. Juragan mengimbangi ilmu Lawe. begitu seru dan sangat Susatpam ternyata dapat Sementara itu Raden Wijaya yang menyadari bahwa
taji yang menancap dibahunya mengandung racun yang
kuat langsung mencabut taji itu. Darah segar keluar dari
bahunya. Raden Wijaya terlihat langsung duduk bersila
sempurna. Mengerahkan tenaga murninya untuk
menahan menjalarnya racun yang telah menyusup
didalam aliran darahnya. "Jangan khawatirkan diriku, lekaslah ke istana untuk
menemui kawanku yang bernama Mahesa Amping",
berkata Raden Wijaya yang tidak mengkhatirkan dirinya,
tapi mengkhawatirkan Lawe yang tengah bertempur
dengan Juragan Susatpam. Raden Wijaya meski dalam keadaan terluka masih
dapat melihat kesetaraan ilmu Juragan Susatpam yang
ternyata berada beberapa lapis dari ilmu Lawe.
Dengan bimbang terpaksa Sungut menuruti
permintaan Raden Wijaya. Terlihat Sungut telah keluar
dari gerbang halaman rumah Juragan Susatpam sambil
menuntun anak gadisnya. "Kembalilah kerumah, aku akan segera ke istana",
berkata Sungut melepas anaknya pulang ke rumah,
sementara ia sendiri telah melangkah setengah berlari
526 menuju istana. Ketika tiba di Istana, sebagai seorang yang pernah
lama bekerja di Istana, Sungut tidak banyak menemui
kesulitan dan tahu kemana harus bertanya.
Kepada seorang pengawal, Sungut bercerita apa
yang telah terjadi. "Tamu Baginda Raja terkena racun, dan sekarang
Paman ingin bertemu dengan kawannya yang bernama
Mahesa Amping?", bertanya pengawal itu menyimpulkan
perkataan Sungut. "Benar, itulah maksud
Sungut membenarkan. kedatanganku", berkata "Mataku seperti tidak percaya melihat kau Sungut
ada di istana ini", berkata seorang pengalasan yang
ternyata mengenal Sungut, seorang yang nampaknya
sudah tua seumur Sungut sendiri.
"Kalian ternyata sudah saling mengenal, kebetulan
sekali tolong kamu antar paman ini", berkata pengawal
itu kepada orang yang telah mengenal Sungut
memintanya membantu mengantar ke Pasanggrahan
tempat yang biasa seorang tamu agung beristirahat dan
menginap selama di Istana.
Heran sekali Mahesa Amping ketika melihat Sungut
yang ia tahu tadi siang telah pergi bersama Lawe dan
Raden Wijaya. Panggraitanya yang tajam sudah melihat
sesuatu telah terjadi. Sungut pun dapat mengenali Mahesa Amping
sebagai salah satu kawan Raden Wijaya.
"Apakah kamu yang bernama Mahesa Amping?",
bertanya Sungut mencoba meyakinkan dugaannya.
527 "Benar, aku Mahesa Amping", berkata Mahesa
Amping dengan cepat. Mengetahui bahwa orang yang akan ditemui adalah
Mahesa Amping, maka Sungut pun langsung bercerita
apa yang telah terjadi. "Antar aku kesana", berkata Mahesa Amping kepada
Sungut. Ketika mereka tengah mendekati pintu gerbang
istana, seorang pengawal yang sebelumnya telah
bertemu dengan Sungut menghampiri mereka.
"Kami akan mengirim beberapa prajurit", berkata
pengawal itu. "Terima kasih", berkata Mahesa Amping tanpa
berhenti dan terus berjalan setengah berlari keluar dari
pintu gerbang istana. Cerita tentang Raden Wijaya yang terluka terkena
racun ternyata begitu cepat menjalar beritanya di Istana.
Hingga akhirnya sampai ketelinga Baginda Raja
Ragasuci. JILID 06 "RACUN kelabang loreng?", berkata Ragasuci
terkejut ketika mendapatkan laporan salah seorang
perwiranya. "Kami telah mengirim beberapa prajurit ketempat
kejadian", berkata Perwira itu.
"Kirim utusan dan pengawal ke Gunung Kahuripan
menjemput Ayahandaku Gurusuci Darmasiksa. Hanya
beliau yang dapat membuat penawar racun kelabang
loreng", berkata Ragasuci memberi perintah.
528 "Hamba segera melaksanakan perintah", berkata
perwira itu berpamit diri.
"Katakan, yang terluka adalah cucunda tercinta
Sanggrama Wijaya", berkata Ragasuci kepada perwira
itu menambahkan. Gunung Kahuripan adalah nama lain dari Gunung
Galunggung, tempat Gurusuci Darmasiksa mengasingkan dirinya dari keramaian menjadi orang suci
jauh dari kehidupan dunia. Jarak perjalanan dari istana
Saunggaluh ke Gunung Galunggung hanya berkisar
setengah hari berkuda. Ketika mendengar Racun Kelabang Loreng,
Ragasuci langsung teringat pada Ayahnya yang juga
Gurunya yang bukan saja menguasai ilmu kanuragan
yang tinggi, namun juga menguasai ilmu pengobatan.
Darmasiksa pernah bercerita kepadanya bahwa beliau
ketika masih muda pernah berguru kepada seorang sakti
yang ahli dalam bidang pengobatan. Guru Darmasiksa itu
bergelar Tabib pemberi nyawa. Konon begitu ahlinya
pernah menghidupkan orang yang sudah mati.
Kita kembali kepada Raden Wijaya yang tengah
berusaha menahan racun kelabang loreng didalam
tubuhnya lewat taji Juragan Susatpam yang dengan
penuh kelicikan berhasil mengelabui Raden Wijaya
hingga salah satu tajinya berhasil melukai bahu kanan
Raden Wijaya. Dengan kekuatan jiwa dan penguasaannya
menyalurkan tenaga murni yang bersembunyi di dalam
diri, Raden Wijaya telah dapat menahan racun yang ada
di dalam dirinya agar tidak masuk lebih jauh lagi kearah
jantung. Raden Wijaya telah menutup beberapa jalan
darah. Terlihat bahu kanannya sudah berwarna biru
529 tanda bahwa darah disekitar bahu itu tertahan.
Sementara itu Lawe tengah bertempur habis-habisan,
ternyata serangan Juragan Susatpam sangat berbahaya
dan cukup membingungkan Lawe.
"Punya ilmu tanggung sudah berani mencampuri
urusan orang lain", berkata Juragan Susatpam sambil
memutar kerisnya ke arah Lawe.
Kembali Lawe bersiap dan menduga-duga kemana
arah keris itu menyerang. Karena sebelumnya keris itu
hampir merobek kakinya. Keris di tangan Juragan
Susatpam memang nampak begitu aneh, dapat seketika
berubah arah tanpa diduga dan ke arah yang tidak dapat
disangka-sangka. Kali ini terlihat keris di tangan Juragan Susatpam
menjulur lurus kearah leher Lawe. Maka ketika Lawe
bergeser ke samping, keris itu sudah berubah arah
mengincar bahunya. Terkejut bukan main Lawe yang
sepertinya begitu mudah dibaca gerakannya oleh
Juragan Susatpam. Dapat dikatakan pada saat itu Lawe
mati langkah. Maka jalan satu-satunya bagi Lawe adalah
menjatuhkan dirinya. Ibarat seekor kucing mempermainkan seekor anak
tikus, Juragan Susatpam tidak mengejar Lawe. Sambil


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tertawa panjang dan bertolak pinggang menunggu Lawe
bangkit dan siap untuk melanjutkan pertempurannya.
Lawe sadar bahwa Juragan Susatpam bukan
tandingannya, setiap gerakannya dapat segera dibaca
dan dapat bergerak dengan cepat dan tidak terdugaduga.
Terlihat Lawe sudah bangkit kembali. Menyadari
keterbatasannya, Lawe menjadi lebih berhati-hati lagi.
530 "Mari kita selasaikan permainan ini anak muda",
berkata Juragan Susatpam meminta Lawe menyerang
lebih dulu. Bergerutuk suara gigi-gigi Lawe terdengar sebagai
tanda kegeraman dan kesiapannya. Dan dengan dua
buah pisau belati ditangan kembali Lawe melakukan
serangan-serangan. Namun dengan mudahnya Juragan
Susatpam melejit menghindar dan balas menyerang.
Kali ini menyerang dengan cara menyilang mengincar
dari bawah perut. Lawe melompat mundur kebelakang,
namun tiba-tiba saja keris ditangan Juragan Susatpam
berubah arah menusuk lurus. Sekali lagi Lawe harus
melemparkan dirinya ketanah langsung menggelinding
menghindari apapun yang membahayakannya. Namun
Kali ini Juragan Susatpam tidak diam menunggu. Sambil
meloncat membidikkan kerisnya ketubuh Lawe yang
masih menggelinding ditanah.
Benar-benar serangan yang kejam tanpa ampun.
Dan nasib Lawe memang sudah diujung tanduk !!
Sementara itu Raden Wijaya tengah berperang
menahan racun didalam tubuhnya. Terlihat peluh
sebesar jagung telah keluar dan jatuh mengalir deras.
Wajah dan tubuhnya sudah basah dengan peluhnya.
Namun kegusaran Raden Wijaya kian bertambah
manakala pintu pendapa rumah itu terbuka sedikit demi
sedikit. Bukan main kagetnya Raden Wijaya ketika muncul
dari balik pintu itu seorang yang sangat dikenal.
"Nasibmu memang jelek anak muda", berkata orang
itu bertolak pinggang didepan Raden Wijaya.
Ternyata orang yang keluar dari dalam rumah itu
531 adalah orang yang selama ini menjadi buronan kerajaan.
Orang yang sudah ditalag sebagai musuh besar
kerajaan. Orang itu tidak lain adalah Patih Manohara. Tidak
banyak yang tahu bahwa Patih Manohara dan Juragan
Susatpam adalah saudara perguruan. Sebagai seorang
adik perguruan yang banyak dibantu oleh Patih
Manohara ketika dirinya masih sebagai orang penting
kerajaan, maka sebagai balas budinya Juragan
Susatpam telah bersedia menyembunyikan Patih
Manohara dirumahnya. Hanya beberapa orang
kepercayaannya yang mengetahui rahasia itu.
Sebagai seorang kakak seperguruan, ilmu Patih
Manohara dapat dikatakan selapis tipis diatas Juragan
Susatpam. Maka dapat dibayangkan seberapa
bahayanya Patih Manohara, adik seperguruannya saja
sudah begitu tinggi ilmunya tidak dapat dihadapi Lawe
seorang diri. "Ketahananmu luar biasa anak muda, biasanya yang
terkena racun kelabang loreng hanya hitungan kedipan
mata nyawanya sudah melayang", berkata Patih
Manohara sambil memandang Raden Wijaya.
"Gusti yang Maha Agung yang menentukan umur
seseorang", berkata Raden Wijaya terlihat begitu tabah.
"Tapi untuk saat ini umurmu ada ditanganku", berkata
Patih Manohara sambil mengeluarkan kerisnya.
"Kamu ingin membunuhku?", berkata Raden Wijaya
"Aku hanya ingin mempercepat kematianmu", berkata
Patih Manohara. Perlahan mengangkat kerisnya.
Tapi apa yang dikatakan Raden Wijaya, bahwa Gusti
Yang Maha Agung lah yang menentukan umur
532 seseorang ternyata benar adanya. Apapun yang akan
terjadi, maka terjadilah. Dialah Sang Dalang Agung, yang
mengatur segala urusan di panggung alam semesta raya
ini. Tiba-tiba saja Mahesa Amping sudah ada di halaman
rumah Juragan Susatpam dan melihat Lawe dalam
keadaan bahaya. Maka tanpa bisa diikuti dengan
pandangan wadag biasa, Mahesa Amping sudah melesat
menyambar keris ditangan Juragan Susatpam yang
langsung berpindah tangan. Dan entah dengan cara apa
pula kedua pipi Juragan Susatpam langsung biru lebam
terkena tamparan tangan dari Mahesa Amping yang
begitu cepat dan keras. Terguling-guling Juragan
Susatpam merasa terkejut ketika mengetahui bahwa
penyerangnya adalah seorang pemuda biasa.
Belum habis rasa terkejutnya, Juragan Susatpam
melihat Mahesa Amping dengan mudahnya mematahkan
kerisnya menjadi tiga bagian. Juragan Susatpam seperti
tidak percaya dengan penglihatannya sendiri, yang ia
tahu bahwa kerisnya terbuat dari bahan campuran besi
pilihan. Dan Mahesa Amping telah memperlihatkan
sebuah kekuatan yang sangat tidak masuk akal.
Kembali Juragan Susatpam melihat sebuah pameran
ilmu tingkat tinggi, patahan ujung keris itu melesat
dengan kecepatan yang tidak bisa diukur lagi meluncur
dari tangan Mahesa Amping.
Blesss !!! Patahan keris itu tepat menancap di pergelangan
tangan Patih Manohara. Bukan main terkejutnya Patih Manohara merasakan
pergelangan tangannya tertembus sebuah besi tajam.
Keris ditangannya pun langsung terlepas tidak mampu
533 dipertahankan lagi. Belum sempat untuk menyadari apa
yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba saja dirasakan sebuah
tangan yang kuat telah melemparkannya keluar
pendapa. Tubuhnya terlempar dan jatuh dihalaman
merasakan beberapa tulangnya terasa remuk.
Raden Wijaya menarik nafas panjang setelah
mengetahui Mahesa Amping datang tepat pada
waktunya. Sementara itu Lawe sudah bangkit berdiri. Dilihatnya
Juragan Susatpam masih terduduk lesu dengan wajah
biru lebam. Beberapa prajurit telah berdatangan,
langsung mengepung Juragan Susatpam.
mereka "Menyerahlah", berkata salah seorang prajurit yang
telah mengepungnya. Namun sebelum prajurit itu memintanya menyerah,
telah terlintas di benak Juragan Susatpan bahwa ia
pantas mendapat hukuman atas apa yang telah
diperbuat, pertama telah berbuat licik melukai pemuda
diatas pendapa dengan racun yang keras, racun
kelabang loreng. Kedua adalah dosa yang terbesar, yaitu
telah menyembunyikan buronan kerajaan.
Lintasan pikiran itulah yang telah mendorong dirinya
berpikir untuk kabur melarikan diri.
Semua memang berlangsung begitu cepat, belum
lagi selesai prajurit itu berkata, Juragan Susatpam telah
menerjangnya. Sebuah tangan yang keras berhasil
mencengkeram pergelangan tangannya, Begitu keras
cengkeraman itu hingga pedang di tangan tidak terasa
telah terlepas. Menyusul sebuah pukulan tangan terbuka
membacok leher sampingnya. Prajurit itu langsung
534 terjengkang pingsan. Lawe terkejut menyaksikan sergapan Juragan
Susatpam yang tidak diduga sebelumnya. Maka
bergegas Lawe berlari mengejar Juragan Susatpam.
Ketika berhasil merobohkan seorang prajurit, Juragan
Susatpam melihat gerbang halaman rumahnya yang
sejajar lurus dengannya adalah sebuah peluang yang
besar untuk meloloskan diri dari hukuman yang akan
didapatkan bila dirinya berhasil tertangkap. Juragan
Susatpam mencoba membuka kesempatan itu berlari
menuju gerbang halaman yang terbuka.
Ketika Lawe berusaha mengejar, Juragan Susatpam
telah berhasil keluar dari pintu gerbang langsung
menerobos beberapa rumah dan kebun yang nampaknya
sudah sangat dikuasai setiap jengkalnya.
Lawe dan beberapa prajurit yang mengejarnya telah
kehilangan jejak Juragan Susatpam yang sepertinya
telah hilang ditelan bumi.
Sementara itu Mahesa Amping diatas pendapa
sepertinya tenggelam dalam kekhawatiran keadaan
Raden Wijaya yang nampak semakin pucat. Meski
berhasil menahan menjalarnya kekuatan racun kelabang
loreng yang sangat berbahaya. Kekuatan Raden Wijaya
sepertinya terus terkuras.
"Kekuatanku mungkin hanya bertahan satu hari lagi",
berkata Raden Wijaya lemah.
"Bertahanlah", berkata Mahesa Amping mencoba
menguatkan hati sahabatnya.
Sementara itu Lawe dan beberapa prajurit yang telah
mengejar Juragan Susatpam telah kembali. Merekapun
sepertinya tahu apa yang harus dilakukan. Seorang
535 terlihat tengah mengikat kaki dan tangan Patih
Manohara. Sedangkan yang lainnya terlihat tengah
membuat sebuah tandu untuk dapat memudahkan
membawa Raden Wijaya yang terluka terkena racun
yang keras. "Aku berdoa untuk kesembuhan Raden", berkata
Sungut yang melepas Raden Wijaya yang berbaring
diatas tandu ketika akan keluar dari gerbang rumah
Susatpam. Beberapa penduduk menatap penuh heran atas iringiringan para prajurit yang membawa seorang tawanan
dan seorang lagi yang berbaring diatas tandu.
Dan iring-iringan itupun semakin jauh dari tatapan
mata Sungut yang berdiri terpaku. Wajahnya nampak
penuh kegusaran. Hatinya merasa ikut bersalah karena
telah melibatkan Raden Wijaya kedalam masalah
pribadinya yang berujung pemuda itu telah terluka oleh
sebuah racun yang amat keras, racun kelabang loreng.
Ketika iring-iringan itu menghilang di tikungan jalan,
Sungut baru beranjak dari tempatnya berdiri.
Sementara itu di Istana, Dara Petak telah mendengar
berita tentang keadaan yang menimpa diri Raden Wijaya.
Bersama dua saudaranya Dara Puspa dan Dara Jingga
sepertinya menunggu penuh dalam kegusaran dan
kecemasan. Dan yang ditunggu pun akhirnya telah datang. Iringiringan itu telah memasuki gerbang istana. Patih
manohara segera digiring sebagai tawanan dan dibawa
keruangan khusus untuk seorang tawanan dengan
penjagaan yang ketat. "Jangan terlalu mengkhawatirkan diriku", berkata
536 Raden Wijaya kepada Dara Petak yang menyongsongnya penuh kecemasan.
"Aku berdoa untuk kakang", berkata Dara Petak
penuh duka dan keharuan melihat Raden Wijaya
berbaring diatas tandu. Dan senja di atas Istana Saunggalah sepertinya ikut
merundung kedukaan dalam samar cahaya bening tanpa
desir angin bergegas pergi ketika sang malam datang
menjemput di pintu waktu.
Dan kegelisahan pun sepertinya sedikit mereda
manakala datang seorang tua dengan pakaian layaknya
seorang Resisuci tua yang begitu sederhana. Orang itu
ternyata Gurusuci Darmasiksa yang sangat dinantikan.
Meski pakaiannya sangat sederhana, wibawa dan
kharismanya masih terlihat jelas dalam gerak dan sinar
matanya. "Sanggrama Wijaya anakku", berkata Gurusuci
Darmasiksa penuh kasih menatap cucunda tercinta yang
telah lama tidak dilihatnya sejak kepergian Lembu Tal
dari Pasundan. "Eyang Darmasiksa?",
berusaha ingin bangkit. berkata Raden Wijaya "Tetaplah berbaring anakku, aku akan memeriksa
lukamu", berkata Gurusuci Darmasiksa mencegah Raden
Wijaya bangkit dan langsung memeriksa luka kecil
dibahu Raden Wijaya. Terlihat Gurusuci mensarik nafas panjang.
"Ketika mendengar dirimu terkena Racun kelabang
loreng, hatiku menjadi menciut karena kerja racun itu
terbilang hitungan kedipan mata. Ternyata Gusti Maha
Kasih, ketahanan tubuhmu sungguh luar biasa dapat
537 menahan lama daya maut racun ini"
"Berterima kasihlah kepada sahabatku yang telah
menitipkan hawa murninya didalam tubuhku", berkata
Raden Wijaya menatap Mahesa Amping yang berdiri
didekatnya. "Anak-anak muda yang luar biasa", berkata Gurusuci
Darmasiksa dengan tersenyum ramah kepada Mahesa
Amping. Terlihat Gurusuci Darmasiksa mengeluarkan sebuah
guci kecil dari balik pakaiannya. Tangan Gurusuci
nampak begitu trampil layaknya seorang tabib yang
cekatan. Dengan sebuah pisau kecil yang terlihat begitu
tajam dan bersih Gurusuci Darmasiksa mengerat luka
kecil dibahu raden Wijaya menjadi lebih dalam.
Selanjutnya menaburi serbuk hitam kedalam luka itu


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang diambilnya dari sebuah guci kecil.
"Untung aku masih menyimpan bisa ular Gundala
putih", berkata Gurusuci Darmasiksa sambil mengeluarkan sebuah bumbung bambu dari balik
sabuknya. Ternyata bisa ular Gundala yang dimaksudkan
Gurusuci Darmasiksa sudah berupa benda yang begitu
kecil putih sebesar biji beras yang dikeluarkannya dari
bumbung bambu kecil. Rupanya benda itu begitu sangat
berharga dan berarti bagi Gurusuci Darmasiksa, karena
diletakkan dibalik sabuknya sebagai tanda tidak pernah
jauh dari badannya dan dibawa dimanapun dirinya
berada. Semua mata tertuju kepada benda ditelapak tangan
Gurusuci Darmasiksa. Sebuah benda yang teramat
langka pada saat itu, karena bisa ular Gundala adalah
sebuah ular dewa dalam cerita kuno para orang tua
538 sebagai obat penawar bisa yang paling kuat. Dan mereka
saat itu dapat menyaksikan bisa ular gundala yang telah
disarikan dan ada ditangan orang tua itu.
Gurusuci Darmasiksa terlihat meletakkan benda
sebesar biji beras itu kedalam mangkuk yang telah berisi
air. Tiba-tiba saja air itu berubah warna menjadi warna
putih susu. Dan yang sangat mengherankan lagi bahwa
seketika itu pula air berwarna putih susu itu seperti
bergolak mendidih layaknya air yang dimasak oleh panas
api. "Minumlah anakku", berkata Darmasiksa sambil
memberi tanda kepada Mahesa Amping untuk membatu
mengangkat sedikit kepala Raden Wijaya. Dengan
tangannya sendiri Gurusuci Darmasiksa mendekatkan
cangkir itu di bibir Raden Wijaya yang segera
meminumnya. "Obat penawar ini dibawa oleh sahabatku untuk
ibundamu Darmajaya, namun ibundamu tidak mampu
bertahan menunggu datangnya obat penawar ini.
Mungkin belum berjodoh"..", Gurusuci darmasiksa
sepertinya tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
Sepertinya tengah menahan kesedihan dan kedukaan
yang berat mengingat kembali hari yang begitu
memilukan. Hari saat dimana putri terkasihnya
Darmajaya ibunda Raden Wijaya menghembuskan nafas
terakhirnya didalam pangkuannya.
Sementara itu Raden Wijaya nampak sudah tertidur.
Semua mata tampak begitu cemas melihat badan Raden
Wijaya seperti tengah menggigil kedinginan. Namun dari
wajah dan tubuhnya keluar peluh seperti orang yang
gerah kepanasan. "Obat penawar bisa itu telah bekerja", berkata
539 Gurusuci Darmasiksa sambil memandang Raden Wijaya
yang masih tertidur. Semua yang ada disitu sepertinya
bernafas lega mendengar kata-kata Gurusuci Darmasiksa. "Sebaiknya kita tidak menyesakkan ruangan
ini", berkata Gurusuci Darmasiksa yang ditangkap
maksudnya agar keluar dari kamar agar Raden Wijaya
dapat beristirahat dengan baik bagi kesembuhannya.
"Biarlah aku menemani Sanggrama disini", berkata
Gurusuci Darmasiksa kepada Ragasuci ketika mereka
berada di pendapa utama pesanggrahan tempat biasa
seorang raja menempatkan para tamu agungnya."Bukankah saat ini aku adalah tamu agung?",
berkata kembali Gurusuci Darmasiksa sambil memandang sekeliling taman yang nampaknya sudah
banyak berubah sejak dirinya mengundurkan diri.
"Aku belum sempat memperkenalkan menantu
ayahanda", berkata Ragasuci sambil memperkenalkan
Dara Puspa kepada ayahandanya.
Berturut-turut Ragasuci juga memperkenalkan Dara
Petak dan Dara Jingga sebagai adik iparnya.
"Ini Mahesa Amping dan Lawe, saudara seperguruan
dari Raden Sanggrama Wijaya", berkata Ragasuci
memperkenalkan Mahesa Amping dan Lawe.
"Kadang nama melambangkan diri pribadi", berkata
Gurusuci Darmasiksa yang teringat kembali atas
keterangan Raden Wijaya bahwa Mahesa Amping lah
yang telah membantunya menahan menjalarnya Racun
didalam tubuhnya lewat pengerahan hawa murninya.
Diam-diam Gurusuci Darmasiksa mengukur tingkat ilmu
Mahesa Amping yang pasti sudah begitu tinggi hingga
mampu menahan hawa racun kelabang loreng yang
sangat keras dalam waktu yang begitu lama hingga jiwa
540 Raden Wijaya masih dapat diselamatkan.
Sementara itu diluar istana terdengar sayup-sayup
suara kentongan dari padukuhan terdekat berbunyi titir
nada dara muluk, malam memang sudah wayah sepi
wong. Ragasuci bersama Dara Puspa dan dua orang
adiknya telah berpamit mengundurkan diri untuk
beristirahat. "Kalian harus beristirahat agar tidak ikut sakit",
berkata Gurusuci darmasiksa mengantar kepergian
mereka. Kini tinggalah Gurusuci darmasiksa yang ditemani
Mahesa Amping dan Lawe. Sekali-kali mereka
bergantian menengok keadaan Raden Wijaya.
Ternyata Gurusuci Darmasiksa adalah orang yang
ramah. Tidak sedikitpun terbekas bahwa dirinya pernah
menjadi seorang Raja besar di kerajaan Saunggalah
yang besar. Dimata Mahesa Amping dan Lawe orang tua
itu adalah seorang yang begitu sangat sederhana. Dan
Gurusuci Darmasiksa ternyata seorang pencerita yang
hebat. Semalaman tidak ada putusnya bercerita tentang
petualangannya diberbagai tempat di masa mudanya.
"Sebuah petualangan yang hebat", berkata Lawe
menanggapi cerita yang seru dari Gurusuci Darmasiksa.
"Sekarang giliran kalian yang bercerita kepadaku",
berkata Gurusuci darmasiksa kepada mahesa Amping
dan Lawe. Begitulah mereka akhirnya saling bertukar cerita dan
pengalaman mereka hingga pembicaraan mereka
mengalir kepada pengalaman pertempuran Lawe dengan
Juragan Susatpam. 541 "Yang kuherankan orang itu sepertinya dapat
membaca apa yang akan kulakukan", berkata Lawe
mencoba mengingat kembali pertempurannya dengan
Juragan Susatpam yang nyaris celaka bila saja Mahesa
Amping tidak segera muncul membantunya.
"Dalam ilmu kanuragan ada berbagai tingkat lapisan,
pertama ada dalam lapisan tingkat air yang mengalir.
Lapisan selanjutnya adalah tingkat bertiupnya arah
angin", berkata Gurusuci Darmasiksa menyampaikan
pandangannya. "Aku belum dapat menangkap apa yang Gurusuci
maksudkan", berkata Lawe yang belum menangkap arah
pembicaraan dari Gurusuci Darmasiksa.
Gurusuci darmasiksa tersenyum melihat kepolosan
dan kejujuran dari Lawe. "Lapisan mengalirnya air adalah dimana kita telah
mulai dapat mengenal naluri gerak dan arah
kecenderungan wadag ini mengikuti gerakan lawan.
Kecendrungan bergeser kekanan manakala lawan
menyerang arah kiri kita. Kecenderungan merendah
manakala lawan menyerang arah atas kita", berkata
Gurusuci Darmasiksa menjelaskan makna lapisan tingkat
air yang mengalir. "Aku baru mengerti, itulah sebabnya gerakanku
begitu mudah dibaca oleh lawan, bukankah begitu
Mahesa Amping?", berkata Lawe sambil meminta
pertimbangan Mahesa Amping yang tersenyum melihat
tingkah Lawe yang seperti seorang anak kecil
mendapatkan mainan baru. Begitu bergembira dan
bersemangatnya. "Sudah saatnya dirimu mengenal lapisan tingkat
bertiupnya arah angin yang selalu tidak dapat dibaca
542 karena selalu berubah arah", berkata Mahesa Amping
ikut memberikan pandangannya.
"Keberadaan angin dapat dirasakan, namun tidak
dapat dilihat oleh indera", berkata Gurusuci menambahkan. "Setiap saat aku menunggu latihan peningkatan itu",
berkata Lawe menantang. "Ditempatku ada banyak alam terbuka untuk berlatih",
berkata Gurusuci Darmasiksa membuat Lawe menjadi
begitu bersemangat. Kembali Lawe meminta pertimbangan Mahesa
Amping atas ajakan Gurusuci Darmasiksa untuk
berkunjung ketempatnya. "Tentunya setelah Raden Wijaya dapat melompat
kepunggung kudanya", berkata Mahesa Amping ikut
tersenyum melihat semangat Lawe dan kegembiraannya
yang polos. Perkataan Mahesa Amping sekaligus
sebagai canda yang menyegarkan mengusir rasa kantuk
mereka. Sementara itu tidak terasa malam telah semakin
tergelincir jatuh terjerambat oleh semburat merah sang
fajar yang telah menyembul diujung ufuk timur lengkung
langit.Semburat merah itupun akhirnya telah menjarah
hampir merata mewarnai lengkung langit sebagai tanda
bahwa tahta penguasa waktu harus segera berganti
kepada sang penguasa pagi.
Dan pagipun akhirnya telah menjelang.
Raden Wijaya telah terbangun, merasakan tubuhnya
menjadi begitu segar. Ternyata racun kelabang loreng
telah punah di tubuh Raden Wijaya.
"Udara di pendapa utama pagi ini sangat 543 menyegarkan", berkata Gurusuci Darmasiksa mengajak
Raden Wijaya keluar dari kamarnya.
"Silahkan menikmati racikan teh mulwo", berkata
Gurusuci Darmasiksa kepada Lawe, Mahesa Amping dan
Raden Wijaya ketika seorang pelayan dalem
menyediakan semangkuk minuman hangat hasil racikan
Gurusuci Darmasiksa. "Ternyata daun mulwo dapat menjadi minuman
hangat yang menyegarkan", berkata Lawe setelah
meneguk minuman itu. "Untuk siang dan sore hari, akan kuracikkan
minuman yang lain lagi", berkata Gurusuci darmasiksa
sambil tersenyum. "Nikmatnya berdekatan bersama seorang tabib sakti",
berkata Lawe sambil membayangkan minuman segar
lainnya yang akan ia nikmati.
"Apakah kamu sudah tidak berminat lagi menanyakan
apakah hari ini Raden Wijaya sudah dapat melompat
kepunggung kuda?", bertanya Mahesa Amping.
"Ada apa dengan pertanyaan itu?", bertanya Raden
Wijaya mendengar namanya dikaitkan.
Mahesa Amping akhirnya menjelaskan
pertanyaannya kepada Raden Wijaya.
maksud "Hari ini bila dicoba, aku sudah dapat melakukannya,
bahkan sudah dapat berpacu", berkata Raden Wijaya.
"Melihat perkembangannya, mungkin besok kita
sudah dapat kita buktikan", berkata Gurusuci Darmasiksa
memberi perkiraan akan kesembuhan Raden Wijaya.
"Artinya besok kita sudah dapat berangkat ke
Gunung Kahuripan?", bertanya Lawe penuh 544 kegembiraan. Dan kegembiraan mereka menjadi begitu hangat dan
segar manakala terlihat di taman halaman muka pendapa
muncul tiga dara berjalan bersama Ragasuci. Warnawarni bunga Cempaka yang tengah berkembang nampak
menjadi bertambah indah. Mereka berempat yang baru datang menyambut


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesembuhan Raden Wijaya dengan penuh suka cita.
Kesegaran dan keindahan taman halaman muka
pendapa itu sepertinya telah mewakili suasana hati
mereka. Warna-warni bunga cempaka yang semakin
cemerlang disinari matahari pagi yang hangat, deretan
hijau pucuk-pucuk soka merah berbaris lucu mengiringi
jalan taman. Dan pohon kemboja putih seperti penjaga
setia tumbuh berjejer tiga dalam jarak yang serasi di
pinggir dinding menjadikan warna jiwa taman itu semakin
manja membuai mata dan hati.
Ternyata Gurusuci Darmasiksa adalah Tabib Sakti. Di
tangannya kesembuhan Raden Wijaya menjadi lebih
cepat pulih, disamping juga ketahanan tubuh Raden
Wijaya ikut mendukung. Akhirnya dalam waktu dua hari, Raden Wijaya telah
terlihat bugar kembali seperti semula. Sesuai dengan
rencana, hari ketiganya mereka telah sepakat untuk ikut
bersama Gurusuci Darmasiksa berkunjung ke Padepokannya di Gunung Kahuripan.
"Aku masih banyak memerlukan bimbingan dari
ayahanda", berkata Ragasuci ketika melepas keberangkatan Ayahandanya Darmasiksa.
"Pintu padepokan Kahuripan selalu terbuka untukmu,
anakku", berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Ragasuci
545 dengan penuh senyum. Diam-diam hatinya merasa
bangga atas putranya yang tumbuh sebagaimana yang
diharapkan, menjadi seorang Raja yang cukup bijaksana.
"Kuharap kalian cepat kembali", berkata Dara Petak
kepada Lawe dan dua orang sahabatnya. Meski
sebenarnya lebih tertuju kepada Raden Wijaya.
"Kami akan cepat kembali, karena tidak ada tabib
sakti yang dapat mengobati penyakit rindu", berkata
Lawe sambil mengedipkan matanya memberi sebuah
tanda yang dapat dimengerti oleh Dara Jingga dan dara
petak. Diam-diam mereka tersenyum atas kata-kata
Lawe sepertinya mewakili perasaan mereka sendiri dan
tentunya dua sahabatnya yang pura-pura tidak
mendengarnya. Akhirnya Empat ekor kuda terlihat keluar dari
gerbang istana Saunggaluh. Beberapa pasang mata
mengikuti langkah kaki kuda mereka hingga akhirnya
telah tidak terlihat lagi menghilang dipersimpangan jalan.
Hari memang masih basah embun, pagi masih terasa
dingin. Mereka sepertinya tidak memburu perjalanan,
langkah kaki kuda berjalan tidak terlalu cepat, begitulah
para pengembara sejati menikmati perjalanan mereka
dalam bingkai bukit-bukit biru, melewati kehijauan alam
yang subur dan suara angin lembut membelai wajah
mereka. Disitulah pengembara sejati menemukan dirinya
dalam tatap mata Sang Hiyang Jagad raya yang
mengantar mereka masuk dalam kesunyatan diri, alam
ketiadaan, alam kehampaan. Dan kesejahteraan telah
meliputi mereka. "Kita akan singgah dulu di Curuk Kembar", berkata
Gurusuci Darmasiksa sambil mempercepat langkah
kudanya ketika mereka telah tiba dikaki gunung
546 Kahuripan.Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya
terpaksa ikut mempercepat langkah kaki kuda mereka
agar tidak tertinggal mengiringi langkah kaki kuda
Gurusuci Darmasiksa. Ternyata mereka terlihat melingkari lereng gunung
kahuripan. Ketika mereka memasuki sebuah lereng
gunung yang cukup terjal, dengan terpaksa mereka
harus turun dan menuntun kuda-kuda mereka agar tidak
tergelincir. "Kita menyusuri anak sungai berbatu itu", berkata
Gurusuci menunjuk sebuah anak sungai berbatu yang
sudah terlihat dan terdengar suara gemericiknya.
Anak sungai berbatu itu seperti jalan yang menanjak.
Terlihat mereka seperti masuk dalam mulut raksasa
hitam hutan yang lebat. Sinar matahari masuk lewat
dahan dan daun. Suasana diatas anak sungai berbatu itu
begitu teduh. "Suara air terjun telah terdengar", berkata Lawe
ketika mendengar deru air terjun sudah terdengar tanda
perjalanan mereka sudah hampir sampai.
Akhirnya mereka tiba juga di Curuk kembar. Sebuah
air terjun yang bercabang dua turun dari puncak tebing
yang tinggi. Air terjun itu jatuh disebuah kolam yang
cukup luas. Embun tipis menyebar kesegala arah berasal
dari semburan air yang jatuh membuat wajah dan tubuh
basah bila terlalu dekat dengan air terjun itu. Dan meski
matahari sudah berada dipuncak cakrawala, suasana di
curuk kembar itu begitu teduh karena terlindung pohonpohon yang tinggi dan rindang.
"Tempat yang baik untuk meningkatkan kemampuan
diri", berkata Lawe sambil memandang tanah lapang
yang cukup luas berada di sebelah kanan curuk kembar.
547 "Itulah sebabnya aku membawa kalian disini", berkata
Gurusuci Darmasiksa. Akhirnya sesuai rencana, mereka memang telah
berlatih untuk meningkatkan kemampuan diri, terutama
Lawe. Mahesa Amping memberi contoh beberapa gerakan
kepada Lawe. Gurusuci Darmasiksa ikut memberikan
beberapa pandangan. Dan Lawe memang termasuk
punya otak yang encer, dengan cepat ia dapat
memahami setahap-demi setahap pengenalannya atas
apa yang disebut bergerak seperti angin yang bertiup.
"Gerakan ini harus dilatih dengan sungguh-sungguh
dan perlu waktu", berkata Mahesa Amping memberikan
pengarahan. Ketika Mahesa Amping dan Lawe tengah berlatih,
Gurusuci Darmasiksa menantang Raden Wijaya untuk
berlatih. "Aku ingin tahu setinggi apa kemampuan cucunda",
berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Raden Wijaya.
Dengan gembira dan semangat Raden Wijaya telah
turun berhadapan dengan eyangnya sendiri.
"Cucunda berharap dapat bimbingan dari Eyang",
berkata Raden Wijaya mempersiapkan diri.
Maka tanpa sungkan lagi mereka langsung saling
menyerang. "Luar biasa", berkata Gurusuci Darmasiksa sambil
mengimbangi serangan raden Wijaya.
Setahap demi setahap mereka terus meningkatkan
kemampuan dan tataran ilmu mereka. Benar-benar
sebuah pertempuran yang begitu seru layaknya dua ekor
548 garuda bertempur diudara. Saling berkelebat menyerang
dan menyambar semakin lama hingga seperti bayangan
hitam saling berkelebat. "Cukup !!", berkata Gurusuci Darmasiksa sambil
mundur kebelakang. "tataran ilmumu lebih dari yang
kuduga", berkata kembali Gurusuci Darmasiksa penuh
kekaguman. "Eyang terlalu memuji", berkata raden Wijaya
"Aku tidak memuji, tapi berkata apa adanya", berkata
Gurusuci Darmasiksa sambil berjalan mendekati sebuah
batu besar dan duduk bersemedi mencoba memulihkan
tenaganya yang terkuras. Sementara itu Lawe masih terus penuh semangat
melatih gerakan-gerakan barunya bersama Mahesa
Amping. "Lihatlah bahu lawan, kamu dapat membaca kemana
lawanmu akan menyerang", berkata Mahesa Amping
memberikan penjelasan tentang membaca gerakan bahu
lawan dengan berbagai kemungkinannya.
"Pada kesempatan lain, kita berlatih membaca
gerakan mata lawan", berkata Mahesa Amping yang
disambut dengan tatapan mata seperti tidak percaya.
"Mengapa kamu memandangku seperti
bertanya Mahesa Amping sambil tersenyum.
itu ?", "Kukira setelah dapat membaca gerakan bahu lawan,
pelajaran sudah tamat, ternyata masih ada lagi pelajaran
membaca mata lawan", berkata Lawe sambil garuk-garuk
kepalanya yang tidak gatal.
"Begitulah sifat ilmu yang tidak ada batas ujungnya",
berkata Mahesa Amping kepada sahabatnya Lawe yang
mulai mengerti bahwa menekuni ilmu kanuragan
549 memang tidak ada batas akhirnya, seperti batas
cakrawala yang tidak dapat didekati tepinya.
Sementara itu Matahari sudah bergeser ke barat
bersembunyi di balik bukit.
"Bergabunglah", terdengar Gurusuci
memanggil Lawe dan Mahesa Amping.
Darmasiksa "Ada yang ingin kuceritakan kepada kalian", berkata
Gurusuci Darmasiksa setelah tiga orang pemuda duduk
berkumpul didekatnya. "Adakah dari kalian yang pernah mendengar tentang
Kembang Wijaya", bertanya Gurusuci.
"Ayahku pernah bercerita tentang kembang itu yang
katanya hanya ada di sebuah selatan Nusajawa", berkata
Lawe yang memang pernah mendengar cerita tentang
kembang Wijaya. "Apalagi yang kamu ketahui tentang kembang itu",
bertanya Gurusuci Darmasiksa kepada Lawe.
"Konon katanya siapapun yang mendapatkan
kembang itu akan menjadi seorang raja besar", berkata
Lawe. "Apa yang kamu ketahui tentang keberadaan dan
keramat kembang itu adalah benar adanya", berkata
Gurusuci Darmasiksa berhenti sebentar menarik nafas
panjang. "Aku akan bercerita tentang rahasia lain dari
kembang keramat itu, bahwa kembang itu hanya mekar
sekali dimalam hari setiap tiga ratus tahun sekali",
kembali Darmasiksa menghentikan bicaranya menarik
nafas lebih panjang membuat Lawe, Mahesa Amping dan
Raden Wijaya tidak sabaran untuk mendengar
kelanjutannya. "Ketika aku turun gunung, kulihat ada bintang api
550 dilangit", berkata Gurusuci Darmasiksa.
"Pertanda apakah dengan kehadiran Bintang Api
itu?", bertanya Raden Wijaya sepertinya tidak sabaran.
Gurusuci tersenyum mendengar pertanyaan itu."Bintang Api itu hanya muncul tujuh puluh lima tahun
sekali", berkata Gurusuci Darmasiksa.
"Apa hubungannya dengan
bertanya Mahesa Amping kembang wijaya?", "Kembang Wijaya mekar berkembang sepekan
bersama kemunculan bintang Api itu", berkata Gurusuci
Darmasiksa. "Sayangnya kembang wijaya itu jauh tumbuh di Pulau
Kembang", berkata Lawe
"Inilah rahasia besar yang akan aku sampaikan
kepada kalian, sebuah rahasia keluarga", berkata
Gurusuci Darmasiksa. "Apakah aku dan Lawe boleh mengetahuinya?",
bertanya Mahesa Amping karena menyangkut masalah
rahasia keluarga. "Justru kalian perlu mendengarkannya", berkata
Gurusuci membuat Mahesa Amping menjadi agak lega
dan merasa tidak risih lagi namun menjadi penasaran
bahwa dirinya diperlukan mendengar rahasia keluarga.
"Dengarlah, bahwa salah seorang buyut kami telah
membawa tanaman kembang wijaya itu dari Pulau
Kembang kedaratan", berkata Gurusuci Darmasiksa,
terlihat menarik nafas panjang menghentikan perkataannya. "Tahukah kalian, dimana buyut kami itu
menanam tanaman keramat itu?", bertanya Gurusuci
Darmasiksa sambil tersenyum menatap wajah ketiga
pemuda yang menunggu apa kelanjutan ucapan
551 Gurusuci darmasiksa. "Buyut kami menanam tanaman itu di curuk kembar
ini, tepatnya didalam goa dibalik salah satu air terjun itu",
berkata Gurusuci Darmasiksa sambil menunjuk salah
satu dari air terjun. "Eyang begitu yakin dibalik air terjun itu ada sebuah
goa?", bertanya Raden Wijaya.
"Ayahku pernah bercerita bahwa dirinya pernah
masuk kedalam goa itu, ternyata kembang itu masih
kuncup, belum mencukupi masa tiga ratus tahun",
berkata Gurusuci Darmasiksa."Inilah rahasia dan wasiat
dari ayahku untuk menjaga Kembang Wijaya itu. Hari ini
saatnya seseorang pewaris memiliki kembang keramat


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu. Aku berharap anakku berkenan mewakiliku", berkata
Gurusuci Darmasiksa kepada Raden Wijaya.
"Cucunda mewakili eyang untuk memiliki kembang
itu?", berkata Raden Wijaya mengulang ucapan Gurusuci
Darmasiksa. "Engkaulah pewaris itu", berkata Darmasiksa kepada Raden Wijaya.
Gurusuci "Bukankah masih ada Paman Ragasuci?", bertanya
Raden Wijaya. "Ragasuci telah memiliki tahtanya sendiri yang
seharusnya menjadi milikmu, saatnya engkau mencari
tahtamu yang sebenarnya, tahta yang lebih besar, jauh
melebihi tanah Pasundan", berkata Gurusuci Darmasiksa. "Apapun yang eyang kehendaki, akan cucunda
pusakai",berkata Raden Wijaya penuh hormat.
"Kembang Wijaya adalah lambang cinta, Kembang
Wijaya juga lambang kesetiaan. Kepada seorang raja
552 yang bijaksana itulah cinta dan kesetian dipersembahkan", berkata Gurusuci Darmasiksa.
"Cucunda belum dapat menangkap apa yang eyang
maksudkan", bertanya Raden Wijaya.
"Saatnya engkau memilih dari dua orang sahabatmu
ini yang akan mewakil dirimu mengambil kembang wijaya
yang telah mekar sebagai sebuah persembahan",
berkata Gurusuci Darmasiksa kepada raden Wijaya.
"Amanat ini telah diberikan kepadaku, biarlah aku
sendiri yang menanggungnya", berkata Raden Wijaya
"Sudah menjadi sebuah syarat, tidak dapat diubah",
berkata Gurusuci darmasiksa sambil menggelengkan
kepalanya. "Aku memilih Mahesa Amping, karena ini
menyangkut sebuah pekerjaan yang pasti penuh bahaya
yang kita tidak ketahui. Semoga Lawe sahabatku dapat
menerimanya", berkata Raden Wijaya yang akhirnya
menerima persyaratan itu dan memilih Mahesa Amping
untuk mewakilinya. Akhirnya Mahesa Amping telah mempersiapkan
dirinya. Gurusuci Darmasiksa memberikan beberapa
petunjuk kepada Mahesa Amping apa yang harus
dilakukannya. "Ambilah Curuk yang ada di sebelah kanan, dibalik
curuk itulah goa itu tersembunyi", berkata Gurusuci
Darmasiksa memeberi petunjuk arah.
Namun belum sempat Mahesa Amping melangkah,
tiba-tiba muncul sebuah suara yang bergema yang tidak
diketahui dari mana sumber suaranya berasal.
"Biarkan aku yang memiliki Kembang Wijaya itu,
kalian akan kukubur semuanya ditempat ini sebagai
553 tumbal", terdengar suara itu melengking diiringi suara
tawanya mirip menyerupai suara ringkik kuda membuat
siapapun yang mendengarnya akan berdiri bulu
kuduknya. Apalagi hari sudah mulai agak gelap karena
senja sudah lama berlalu.
"Ternyata Ki Bancak masih belum berubah, masih
suka main sembunyi-sembunyian", berkata Gurusuci
Darmasiksa dengan suara yang dilambari tenaga dalam
yang tinggi. "Kakek keriput, ternyata pendengaranmu masih
cukup tajam", berkata suara itu penuh gusar karena
sudah dapat diketahui oleh jati dirinya oleh Gurusuci
Darmasiksa. "Segeralah kamu ke goa di balik curuk itu, kami
mampu menangani orang ini", berbisik Gurusuci
Darmasiksa kepada Mahesa Amping yang terlihat ragu
dan berat hati. Namun, akhirnya Mahesa Amping percaya penuh
kepada Gurusuci Darmasiksa, meski baru mendengar
dari beberapa orang di sekitar istana akan tingkat ilmu
Gurusuci Darmasiksa yang diakui sebagai Raja yang
mempunyai kemampuan ilmu yang tinggi, dan terus
meningkat ilmunya di Padepokan tempatnya mengasingkan diri. "Hati-halilah sahabat", berkata Raden Wijaya
mengantar langkah Mahesa Amping yang telah berjalan
mendekati sebuah curuk. Terlihat Mahesa Amping telah menghilang dibalik
curuk, disaksikan oleh Lawe, Raden Wijaya dan Gurusuci
Darmasiksa dengan penuh harapan bahwa Mahesa
Amping akan muncul kembali dalam keadaan utuh dan
selamat. 554 Namun perasaan hati mereka atas Mahesa Amping
hilang seketika manakala dari kegelapan malam dan
kerimbunan pepehonan muncul sesosok bayangan hitam
yang tidak lain adalah orang yang selama ini
bersembunyi yang sudah dikenal jati dirinya oleh
Gurusuci Darmasiksa bernama Ki Bancak.
Puluhan tahun yang lalu, antara Gurusuci
Darmasiksa dan Ki bancak memang telah ada
perseteruan yang tajam. Mereka terlibat dalam masalah
cinta segitiga memperebutkan hati seorang putri melayu.
Perselisihan mereka diselesaikan dalam pertandingan
terbuka yang adil. Gurusuci Darmasiksa berhasil
mengalahkan Ki Bancak. Sejak itulah mereka tidak
berjumpa kembali, Ki Bancak telah mengasingkan dirinya
terus berlatih meningkatkan ilmunya dan sekaligus
mendirikan sebuah Padepokan. Diantara muridnya
adalah Patih Manohara dan Juragan Susatpam yang
sampai saat ini seperti telah menghilang tenggelam
ditelan bumi, tidak diketahui rimbanya.
Dari beberapa petugas telik sandi ada dikabarkan
bersembunyi di Padepokan Ki Bancak.
"Hari ini kita berjumpa kembali Darmasiksa", berkata
Ki Bancak ketika sosok wajahnya terlihat jelas.
"Semoga kesejahteraan meliputimu Bancak", berkata
Gurusuci Darmasiksa penuh senyum.
"Aku merasakan ilmumu sudah jauh meningkat lewat
lontaran suaramu", berkata Ki Bancak
"Aku pun melihat hal yang sama didalam suara
ringkik ketawa kudamu", berkata Gurusuci Darmasiksa.
"Langsung saja ke pokok masalah, kedatangannku
kemari hanya untuk membuat sebuah perhitungan atas
555 diri dua orang muridku", berkata Ki Bancak yang
sepertinya mempunyai watak yang sangat terbuka dan
tidak suka akan unggah-unggah.
"Ternyata sifatmu masih belum berubah, polos dan
tidak bertele-tele", berkata Gurusuci Darmasiksa. "Ada
apa dengan kedua muridmu, hingga kamu muncul
setelah lama bersembunyi".
"Aku mau membuat perhitungan dengan orang yang
telah mengalahkan kedua muridku", berkata Ki Bancak.
"Biarlah aku mewakili sahabatku, bila urusan berkisar
pada dua orang muridmu", berkata Raden Wijaya yang
langsung menebak bahwa inilah guru dari Patih
Manohara dan Juragan Susatpam.
"Maafkan cucundaku, orang muda memang selalu
ingin cepat menyelesaikan masalah", berkata Gurusuci
Darmasiksa yang masih belum dapat meraba seberapa
tinggi ilmu Ki Bancak dan tidak menginginkan Raden
Wijaya menjadi bulan-bulanan kakek tua yang dulu
menjadi lawan perseteruannya yang diketahui saat itu
mampu mengimbangi ilmunya.
"Ternyata Darmasiksa tua sudah punya banyak cucu,
tidak usah khawatir aku akan meladeni cucumu dan
membiarkan dirimu berdiri cemas menjadi seorang
penonton", berkata Ki Bancak gembira melihat
Darmasiksa sepertinya terlihat cemas.
"Hari sudah begitu gelap, apakah tidak sebaiknya
urusan kita selesaikan besok hari?", berkata Gurusuci
Darmasiksa yang mencoba mengulur waktu, berharap
urusan tidak perlu diselesaikan dengan sebuah
pertempuran. "Jangan coba-coba membodohiku, aku sudah ikut
556 mendengar rahasia besar tentang Kembang Wijaya yang
keramat itu. Mungkin inilah jodohku menjadi raja besar
dan akan menurunkan banyak raja-raja. Urusan kedua
muridku ku anggap telah lunas bila saja kalian
menyerahkan Kembang Wijaya kepadaku", berkata Ki
bancak menawarkan penyelesaian urusannya.
"Lama mengasingkan diri meningkatkan ilmu telah
membuat dirimu berada diatas puncak gunung yang
tinggi", berkata Gurusuci Darmasiksa.
"Aku menawarkan penyelesaian urusan dengan
mudah, tapi nampaknya kamu ingin mencari jalan lain,
menyelesaikan secara laki-laki sebagaimana beberapa
puluh tahun yang lalu", berkata Ki bancak penuh percaya
diri. "Tulang-tulangku sudah begitu rapuh, aku tidak yakin
dapat melakukan urusan secara laki-laki sebagaimana
yang kamu maksud", berkata Gurusuci merendahkan
dirinya. "Jangan pura-pura merendahkan diri, diam-diam aku
sering bertandang ke Gunung Kahuripan sekedar
mengintip sudah berapa jauh ilmu yang kamu
tingkatkan", berkata Ki Bancak berterus terang.
Gurusuci Darmasiksa terdiam sejenak. Ucapan Ki
bancak membuat dirinya merenung. Yang ditangkap
bahwa Ki bancak datang ke Gunung Kahuripan bukan
sekedar mengintip ilmunya, tapi sebuah ungkapan
kerinduan seorang sahabat untuk melihat keadaan
sahabatnya. Dahulu kala mereka memang dua orang
sahabat yang selalu bersama. Tapi kemunculan seorang
wanita telah memisahkan hati mereka. Tapi hakikat
persahabatan memang tidak mudah terpisah, dalam
sanubari yang paling dalam mereka mengakui ada
557 gejolak kerinduan masing-masing yang tidak mudah
dielakkan, datang setiap saat.
"Entahlah, setelah bertemu denganmu, tulang-tulang
tuaku ini sepertinya ingin menjajal sejurus dua jurus ilmu
shabatku yang kudengar terus meningkatkan ilmunya",
berkata Gurusuci Darmasiksa dengan senyum penuh
persahabatan. Memandang senyum penuh persahabatan dari
Gurusuci Darmasiksa, hati Ki bancak sepertinya telah
mencair. Dihadapannya bukan lagi laki-laki yang telah
merebut cintanya, tapi seorang sahabat lamanya.
"Ternyata kamu tidak banyak berubah, dulu kita
pernah melanglang dunia bersama, menerima setiap
tantangan, pedoman kita saat itu siapa jual kita pasti beli.
Dan siapapun yang menantang, siapapun yang menjual
tantangan, hari ini aku hanya ingin mencoba sejauh
mana ilmu sahabatku, semoga tidak berkarat dimakan
usia", berkata Ki Bancak.
"Seperti yang kamu katakan, ilmuku mungkin sudah
berkarat, karena lama tidak digunakan", berkata Gurusuci
Darmasiksa melangkah mendekati Ki Bancak.
"Ilmumu yang paling berbahaya adalah merendahkan
diri, tapi itu tidak banyak berguna ditanganku", berkata Ki
Bancak sambil melangkah mendekati tanah yang agak
lapang, dan Gurusuci Darmasiksa mengikutinya dari
belakang. Sinar rembulan diatas tebing menyinari dua sosok
bayangan yang saling berhadapan. Suara deras deru air
terjun yang jatuh seperti irama yang ajeg dari gendarang
tabuan memecah kebekuan suasana dingin malam di
curuk kembar. Dan dua sosok bayangan sudah terlihat
saling berkelebat melesat sebagaimana burung wallet
558 hitam disaat senja. Begitu cepat gerakan mereka saling
menyerang. Kadang benturan tangan dan kaki tidak
dapat lagi terhindar, pada saat itu terlihat dua sosok
saling terjengkang kebelakang. Namun kembali mereka
bangkit berdiri dan dua bayangan hitam kembali terlihat
berkelebat, melesat saling menyambar dan menghindar.
Sebuah tontonan ilmu tingkat tinggi yang begitu
cepat. Raden Wijaya dan Lawe sepertinya tidak mampu
mengenali siapa Gurususci Darmasiksa dan yang mana
Ki Bancak. Keduanya telah berubah sebagai bayangan
yang berkelebat begitu cepat.
"Garis ilmu mereka dari perguruan yang sama",
berkata Raden Wijaya yang sudah dapat melihat dasar
gerak mereka ternyata mempunyai persamaan yang
sangat jelas. Mereka sepertinya bukan tengah
bertempur, tapi layaknya dua orang saudara seperguruan
tengah berlatih. Apa yang dilihat Raden Wijaya ternyata tidak
meleset, mereka memang berasal dari perguruan yang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama, sehingga begitu mudahnya mereka mengelak
setiap serangan dan sepertinya sudah saling membaca
kemana arah serangan selanjutnya.
Demikianlah pertempuran antara Gurusuci darmasiksa dan ki bancak terus berlanjut, dan ratusan
jurus telah mereka lewati tanpa ada tanda-tanda akan
berakhir. Setahap demi setahap mereka terus
meningkatkan tataran ilmu masing-masing hingga
akhirnya telah sama-sama pada puncak ilmunya masingmasing.
Pertempuran pun menjadi begitu seru. Hawa di
sekitar curuk kembar yang semula dingin berubah
menjadi hangat. Makin ke inti pertempuran udara menjadi
559 begitu panas. Ternyata kedua orang yang bertempur itu
telah melambari dirinya dengan Aji Geni Ngampar. Tubuh
mereka telah berubah seperti bola api yang melesat
kesana kemari menyambar sasaran yang langsung balas
menyerang. Benar-benar sebuah pertempuran yang
sangat mengerikan. Layaknya dua dewa bertempur di
kegelapan malam dalam iringan deru air terjun yang
terus menderu tiada henti.
Desss"desss !!!!, sebuah bayangan hitam tiba-tiba
saja melesat memecahkan dua buah serangan yang
akan saling beradu ilmu yang sama. Ilmu aji geni
ngampar yang dahsyat. Gurusuci Darmasiksa seperti membentur sebuah
gunung batu, dirinya terlempar beberapa langkah
kebelang. Hal yang sama juga dirasakan oleh Ki Bancak.
"Guru!!!", Gurusuci Darmasiksa dan Ki Bancak
berteriak kata yang sama, mata mereka sepertinya tidak
mempercayai apa yang mereka lihat.
"Aji Geni Ngampar bukan untuk dipermainkan",
berkata orang yang dipanggil guru oleh Darmasiksa
maupun Ki bancak. "Ampuni Guru, akulah yang bersalah", berkata Ki
Bancak "Ampun Guru, akulah Gurusuci Darmasiksa. yang memulai", berkata Orang yang dipanggil Guru itu terlihat tersenyum.
"Rasa persaudaraan diantara kalian ternyata tidak
pernah putus, kalian masih terus saling membela.
Lupakanlah perselisihan yang telah berlalu, kuburlah
sebagai sebuah kenangan masa lalu. Aku ingin di usia
tuaku ini melihat kalian kembali bersatu, saling
560 memaafkan", berkata orang tua yang dipanggil guru itu.
Gurusuci Darmasiksa dan Ki Bancak sebenarnya
sudah lama melupakan perselisihan mereka seiring
perjalanan waktu. Mereka sudah menyadari tentang
hakikat takdir sebagai garis hidup yang harus di syukuri,
pahit dan manisnya.Dan mendengar permintaan dari
guru mereka untuk saling memaafkan seperti besi
sembrani mereka saling mendekat, tangis kerinduan dua
sahabat, dua saudara seperguruan yang lama terpisah
terasa begitu mengharukan.
Raden Wijaya dan Lawe langsung mendekat, mereka
tidak mengerti apa sebenarnya telah terjadi. Yang
mereka ketahui ada bayangan yang tiba-tiba saja datang
dan melerai pertempuran keduanya. Masih dalam ketidak
mengertian, mereka melihat dua orang yang tengah
bertempur itu saling berpelukan, bahkan saling
bertangisan. "Mereka tengah membakar sisa noda hitam dengan
tangisannya, dua hati saudara telah kembali bersatu",
berkata orang tua itu kepada Raden Wijaya dan Lawe
yang datang mendekat. "Mari kita bicara ditempat yang lebih hangat", berkata
orang tua itu ketika menghampiri kedua murudnya itu
yang masih diselimuti keharuan dan kerinduan yang telah
kembali bersatu. Merekapun telah berjalan mendekati sebuah batu
cadas besar yang cukup luas. Disitulah mereka duduk
berkumpul. "Darimana saja guru selama ini?", berkata Gurusuci
Darmasiksa memulai pembicaraan.
"Aku mengikuti garis takdir buyutku, sebagai penjaga
561 Kembang Wijaya", berkata orang tua itu.
"Jadi guru adalah sang penjaga itu?", berkata
Gurusuci Darmasiksa kepada gurunya.
"Sengaja aku menutup jati diriku yang sebenarnya,
buyutmu dan buyutku adalah dua orang sahabat dalam
garis hidup yang berbeda, buyutmu harus menjalani
hidup sebagai seorang raja, sementara buyutku harus
menjalani takdirnya sebagai seorang penjaga setia
Kembang Wijaya", berkata orang tua itu. "itulah sebab
dari sebuah akibat, mengapa aku mengambil kalian
berdua sebagai muridku", berkata kembali orang tua
itu."Semula aku harapkan Bancak lah yang akan datang
menembus goa untuk mengambil kembang kesetiaannya, namun aku kecewa atas apa yang terjadi
diantara kalian berdua", kembali orang tua itu berkata.
Terlihat Gurusuci Darmasiksa dan Ki bancak tertunduk,
sepertinya menyesali atas apa yang mereka
perselisihkan dimasa lalu.
"Aku gembira setelah mengetahui bahwa yang
datang adalah dari golonganmu", berkata orang tua itu
dengan wajah cerah menatap semua mata yang
memang tengah memandangnya.
"Maafkan aku Darmasiksa, sebagaimana yang guru
katakan, harusnya akulah yang masuk ke curuk itu
mempersembahkan Kembang Wijaya kepadamu",
berkata Ki bancak penuh penyesalan.
"Gusti yang Maha Tunggal telah berkehendak lain,
itulah yang harus selalu kita jaga dan terima sebagai rasa
syukur, bukankah begitu guru?", berkata Gurusuci
Darmasiksa sambil tersenyum.
"Pengenalanmu atas Yang Maha Berkehendak sudah
menghampiri", berkata orang tua itu penuh wajah
562 sukacita dan kebahagiaan.
"Semoga aku dapat mengikuti jejak saudaraku",
berkata Ki Bancak "Dia yang maha berkehendak, bila kamu berjalan
selangkah, dia akan berjalan menghampirimu sepuluh
langkah, bila kamu datang dengan berjalan, Dia akan
datang kepadamu dengan berlari. Sesungguhnya Gusti
yang Maha Berkehendak ada di dalam dirimu lebih dekat
dari urat lehermu", berkata orang tua itu.
"Petuah Guru akan kami pusakai", berkata Ki Bancak
seperti seorang murid yang telah menerima pencerahan
yang sangat berharga. Dan hatinya telah terbuka
menerima pencerahan itu. *** Sementara itu kita tinggalkan dulu pertemuan antara
guru dan dua orang muridnya yang sudah sekian lama
tidak saling berjumpa. Saatnya kita mengikuti perjalanan
Mahesa amping yang masuk ke goa yang tersembunyi
dibalik curuk kembar. Ternyata apa yang dikatakan oleh Gurusuci
Darmasiksa tentang goa di balik air terjun itu benar
adanya. Ketika merasakan air terjun yang deras
menerjang keras diatas kepalanya, dengan kemampuan
ilmu yang tinggi Mahesa Amping dapat melidungi dirinya
dengan melambari wadagnya dengan kekuatan kasat
mata, Mahesa Amping tidak merasakan kerasnya
terjangan air terjun menghantam diatas kepalanya. Dan
akhirnya Mahesa Amping dapat melewati air terjun itu
dengan begitu mudahnya. Mahesa Amping telah berdiri di bibir sebuah goa
yang gelap. Dirasakan goa itu cukup tinggi melebihi
563 sedikit diatas kepalanya. Rongga dikiri kanannya juga
dirasakan cukup luas, melampau dua tangan yang
direntangkan. Mahesa Amping tidak menyadari bahwa sepasang
mata tengah mengawasi, suasana didalam goa itu
memang cukup pekat, ditambah lagi keberadaan orang
itu tengah merapat di dinding goa yang agak melengkung
masuk. Ketika Mahesa Amping melewatinya, orang itu
langsung keluar goa dimana dimuka diketahui bahwa
orang itu adalah Sang Penjaga.
Hari pada saat itu memang sudah pertengahan
malam, tiba-tiba saja suasana didalam goa itu berubah
menjadi terang benderang. Berdetak jantung Mahesa
Amping manakala mengetahui sumber cahaya yang telah
menerangi goa itu ternyata sebuah bunga yang tumbuh
diujung goa yang sedang mekar. Itulah Kembang Wijaya
yang keramat itu. Mahesa Amping segera mendekati kembang itu,
sesuai petunjuk dari Gurusuci Darmasiksa untuk
melakukan beberapa syarat yang diperlukan, antara lain
harus datang dalam keadaan penuh hormat layaknya
menghadap seorang Raja. Sambil bersimpuh diatas
kedua kakinya Mahesa Amping menjura penuh hormat,
memohan ijin untuk memetik bunga itu. Konon bilamana
seorang yang datang bukan orang yang memang
berjodoh, maka bunga itu tidak akan terlepas dari
tangkainya. Syukurlah bahwa Mahesa Amping memang
orang yang sudah berjodoh, dengan mudah bunga itu
terlepas dari tangkainya manakala tangan Mahesa
Amping menyentuh dan memetik bunga keramat itu.
Sementara itu, diluar goa semua mata tertuju hanya
pada curuk kembar yang sebelah kanan. Mereka
berharap Mahesa Amping dapat keluar dengan selamat
564 dan membawa serta Kembang Wijaya.
Yang ditunggu akhirnya datang juga.
Dari balik air terjun yang tercurah begitu deras itu
menyembul sesosok tubuh yang terlihat jelas yang tidak
lain adalah Mahesa Amping. Ditangannya menggenggam
setangkai bunga yang nampaknya dilindungi dibalik
tubuhnya agar tidak hancur diterjang derasnya air terjun.
Mahesa Amping berjalan semakin mendekat, namun
manakala melihat Ki Bancak dan orang tua itu Mahesa
Amping menghentikan langkahnya.
"Jangan khawatir, mereka adalah orang kita sendiri",
berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Mahesa Amping
yang nampaknya menjadi ragu.
Mendengar ucapan Gurusuci Darmasiksa, kecurigaan Mahesa Amping menjadi berkurang, apalagi
melihat sikap Ki Bancak dan orang itu yang menjura
penuh hormat. Maka Mahesa Amping pun membalas
hormat itu dan melanjutkan langkahnya mendekati
Raden Wijaya. "Kupersembahkan Kembang Wijaya ini kepadamu",
berkata Mahesa Amping kepada Raden Wijaya.
"Terima kasih saudaraku", berkata raden Wijaya
sambil menerima Kembang Wijaya dari tangan Mahesa
Amping. "Saatnya kita melakukan sebuah upacara", berkata
Gurusuci Darmasiksa sambil mengeluarkan sebuah
mangkuk yang sudah dipersiapkan sudah berisi air
penuh "Remas bunga itu didalam mangkuk, minumlah air
yang bercampur racikan bunga itu, jangan disisakan",
berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Raden Wijaya
565 yang langsung mengikuti semua petunjuk dari Gurusuci
Darmasiksa. Mangkuk itu pun sudah seluruhnya diminum oleh
Raden Wijaya tanpa tersisa. Gurusuci Darmasiksa
mengambil kembali mangkuk itu serta mengisi kembali
dengan air. Satu persatu yang ada disitu dipersilahkan
meneguk sedikit air yang ada didalam mangkuk.
"Semoga kita mendapat berkah dari mangkuk ini
yang pernah dibakai sebagai bejana suci Kembang
Wijaya", berkata Gurusuci Darmasiksa setelah semua
meneguk sedikit air yang ada dimangkuk itu, Gurusuci
Darmasiksa sendiri adalah orang terakhir yang
menghabiskan sisa air di dalam mangkuk itu.
"Mangkuk itu adalah lambang bejana kesetiaan, kita
telah meminum dari bejana yang sama. Mulai hari ini hati
kita telah dipersatukan untuk menjaga Sang pewaris
dunia", berkata orang tua itu yang tidak lain adalah Sang
Penjaga. "Aku berjanji", berkata semua yang ada disitu
bersamaan. Sementara itu malam terus merayap mendekati pagi.
"Tugas sebagai Sang Penjaga telah berakhir,
bagaimana bila Guru berkenan untuk hidup dan tinggal di
Padepokanku", berkata Gurusuci Darmasiksa kepada
Gurunya. "Terima kasih, tugasku sebagai Sang Penjaga tidak
pernah berakhir, pada saatnya akan datang seorang
pewaris takdir, menggantikan diriku menjadi Sang
Penjaga", berkata orang tua itu.
"Guru akan hidup menyisakan usia selamanya


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditempat ini?", bertanya Gurusuci Darmasiksa kepada
566 gurunya. "Itulah takdir dan garis hidupku, bila kalian rindu,
pintu goa ini selalu terbuka untuk kalian", berkata orang
tua itu penuh senyum kebahagiaan.
Akhirnya dengan perasaan berat hati, Gurusuci
Darmasiksa dan Ki Bancak memohon diri untuk
meninggalkan orang tua itu. Mahesa Amping, Lawe dan
Raden Wijaya ikut memohon doa restunya.
"Adalah sebuah kebahagiaan bila mana umurku
masih tersisa menyaksikan penobatanmu Sang Pewaris",
berkata orang tua itu kepada Raden Wijaya yang
membalasnya dengan penuh hormat.
Tidak lama kemudia rombongan kecil itupun sudah
terlihat menyusuri anak sungai yang berbatu. Jalan
menurun membuat perjalanan menjadi semakin cepat.
Ketika mereka tiba dimuka lorong sungai, matahari pagi
menyambut mereka dengan kehangatannya.
"Akhirnya Ki Bancak datang ke Padepokanku secara
terbuka", berkata Gurusuci Darmasiksa kepada
sahabatnya Ki Bancak. "Bilamana datang kerinduan, aku memang selalu
berkunjung secara bersembunyi, hanya untuk melihat
keadaan sahabatku", berkata Ki Bancak sambil
tersenyum malu. "Bila jual beli jurus di Pasundan diartikan berlatih,
aku tidak keberatan", berkata Mahesa Amping yang
dapat menangkap maksud Ki bancak yang hanya ingin
berlatih, tidak lebih dari itu.
Akhirnya mereka bersama turun dari pendapa
mencari tempat yang cukup luas diluar pendapa yang
juga biasa dipergunakan para cantrik di Padepokan itu
567 untuk berlatih kanuragan.
"Silahkan Mahesa Amping, kamu yang menjual",
berkata Ki Bancak kepada Mahesa Amping untuk
memulai serangan terlebih dahulu.
"Silahkan Ki Bancak menawar jurusku ini", berkata
Mahesa Amping sambil melakukan serangan awal lewat
sebuah tendangan yang lurus kedepan menyerang ke
arah perut Ki bancak. "Terlalu murah untuk dihargai", berkata Ki Bancak
sambil memiringkan sedikit tubuhnya bersamaan dengan
itu sebuah pukulan mengayun kearah kepala Mahesa
Amping. Sebuah serangan yang tidak dapat dibaca dan
diperhitungkan datang begitu tiba-tiba. Tapi mahesa
Amping memang selalu siap mengikuti setiap serangan.
Terlihat Mahesa Amping menjatuhkan diri menghindar dan berbarengan dengan itu sebuah
tendangan melingkar mengincar kedua kaki Ki Bancak.
Tersentak kagum Ki Bancak melihat gaya Mahesa
Amping menghindari serangannya dan langsung
membalas menyerang dengan cepat dan tidak diduga.
Terlihat Ki Bancak melompat mengindarkan sentuhan
kaki Mahesa Amping dan membalas dengan sebuah
kakinya menjulur mengancam kepala Mahesa Amping.
Mahesa Amping membiarkan kaki Ki Bancak
mendekati sasaran, namun begitu kaki itu nyaris sekitar
satu jari mendekatinya, dimiringkannya sedikit wajahnya
dan kaki Ki Bancak lewat menembus angin.
Ternyata tangan Mahesa Amping yang leluasa
langsung menghantam kaki Ki Bancak yang masih
mengambang. 568 Desss !!! Kaki Ki bancak sepertinya ditambah kecepatannya
membuat badan Ki Bancak ikut berputar. Dan dengan
mudahnya Mahesa Amping menendang sendi kaki Ki
Bancak dari belakang. Akibatnya kaki Ki bancak tertekuk
kedepan mendorong tubuhnya nyaris mencium tanah.
Namun dengan cepat Ki Bancak melakukan lompatan
yang indah. "Jurus yang sangat mahal", berkata Ki Bancak yang
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sekarang akulah yang menjual", berkata Ki Bancak
sambil menyerang Mahesa Amping dengan sebuah
tendangan kaki meluncur kearah perut Mahesa Amping.
"Terlalu mahal untuk dinilai", berkata Mahesa Amping
sambil memiringkan tubuhnya. Bersamaan dengan itu
meniru apa yang pernah dilakukan oleh Ki Bancak,
tangan Mahesa Amping mengayun ke arah wajah Ki
Bancak. Dan ternyata Ki Bancak berbuat yang sama
sebagaimana Mahesa Amping menjatuhkan dirinya
berbarengan membalas serangan dengan membuat
tendangan melingkar mengancam kedua kaki Mahesa
Amping. Kembali Mahesa Amping meniru apa yang pernah
dilakukan oleh Ki bancak, dirinya melompat sambil
meluncurkan sebuah tendangan kearah wajah Ki
Bancak. Mahesa Amping dapat membaca bahwa Ki Bancak
akan melakukan sebagaimana pernah dilakukannya yaitu
membiarkan kakinya lewat didepan wajahnya menembus
tempat kosong dan langsung akan menghantam kakinya
569 yang berekibat kakinya akan mengayun berputar.
Maka ketika kaki Mahesa Amping yang sepertinya
dibiarkan menembus menghantam wajah Ki Bancak
hanya tinggal satu jari, tiba-tiba saja Mahesa Amping
menarik kembali kakinya berganti dengan sebuah
pukulan tangan kosong ke dada Ki Bancak.
Bukkk !!! Dada Ki Bancak terkena pukulan. Untungnya pukulan
itu hanya berlandaskan tenaga wadag. Tapi cukup
membuat Ki Bancak terdorong ke belakang.
"Lagi-lagi aku yang tua ini kena ditipu oleh orang
muda", berkata Ki Bancak sambil mencoba berdiri tegak.
Diam-diam Gurusuci Darmasiksa mengagumi gerakan tubuh Mahesa Amping yang sudah begitu
sempurna begitu lentur dapat bergerak sesuka hati.
"Semuda ini sudah dapat menguasai gerakan yang
begitu sempurna", berkata Gurusuci Darmasiksa
mengagumi diri Mahesa Amping.
Kembali terlihat Mahesa Amping dan Ki Bancak
sudah saling menyerang. Kali ini serangan terlihat lebih
cepat. Sungguh sebuah perkelahian yang indah untuk
dipertontonkan. Layaknya sebagaimana dua ekor garuda
bertempur diudara. Saling menyerang dan balas
menyerang melesat dan berkelebat begitu cepatnya.
Desssss !!! Kembali terlihat Ki Bancak terlempar terkena sebuah
tendangan dari Mahesa Amping.
"Jurusmu terlalu mahal untuk kuhargai", berkata Ki
Bancak sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tanda
mengagumi kehebatan Mahesa Amping.
570 "Aku belum menyerah kalah", berkata Ki Bancak
yang kembali melakukan serangan " serangan.
Kembali terlihat perkelahian yang sangat seru dan
begitu indah layaknya sebuah seni pertunjukan. Duel
antara dua orang yang memiliki kesempurnaan gerak
tubuh yang dibarengi oleh kecepatan gerak, sehingga
boleh dibilang sebuah perkelahian yang indah. Semua
mata yang melihatnya akan menarik napas panjang
manakala melihat sebuah serangan yang cepat dan
berbahaya meluncur ke salah satu lawan. Dan nafas pun
keluar lega manakala melihat salah satu lawan dapat
keluar dari sergapan dan serangan yang layaknya begitu
sulit untuk dihindari. "Tunjukkan kehebatan ilmumu yang lain, anak muda",
berkata Ki Bancak kepada Mahesa Amping.
Selesai bicara Ki Bancak telah melepas ilmu
puncaknya, Aji Geni Ngampar. Udara disekitar itupun
tiba-tiba saja telah berubah seperti terbakar. Tubuh Ki
Bancak adalah sumber panas itu sendiri sudah seperti
bara yang menyala, bayangkan bahwa udara di sekitar
itu saja sudah begitu panas dan tidak terbayangkan lagi
bagaimana bila sumber panas itu sendiri yang
menerjang. Berpikir betapa bahayanya bila serangan pasti akan
datang membakar dirinya, Mahesa Amping telah
menghentakkan nalar budinya, mengungkap kekuatan
terpendam yang tersembunyi lewat kepekaan naluri
melindungi setiap ancaman. Tiba-tiba saja dari tubuh
Mahesa Amping menguap hawa dingin keluar bagai asap
salju yang begitu dingin.
Mahesa Amping tidak lagi merasakan hawa panas
yang mencekam, dan melayani setiap serangan Ki
571 bancak sebagaimana semula, bahkan sekali-kali berani
membenturkan tangan dan kakinya ketubuh Ki Bancak.
Bukan main kagumnya Ki Bancak yang mendapatkan
bahwa Mahesa Amping tidak merasakan apapun dari
hawa panas yang membara lewat Aji Geni Ngamparnya.
Gurusuci Darmasiksa berdecak kagum melihat
bahwa Mahesa Amping ternyata mampu menandingi ilmu
aji geni milik andalan perguruannya.
"Anak muda ini memang dapat diandalkan,
setidaknya ilmu Sanggrama Wijaya tidak jauh terpaut dari
dirinya", berkata Gurusuci Darmasiksa dalam hati.
Sementara itu perkelahian memang masih terus
berlanjut, saling serang dan berbalas menyerang.
Terlihat kelebatan mereka bagai burung cikatan saling
menyambar diudara, bahkan kadang begitu cepatnya
hingga hanya terlihat bayang-bayang hitam saling
melesat dan berkelebatan.
Mahesa Amping menghentakkan tataran ilmunya
lebih setingkat lagi. Dampaknya ternyata begitu luar
biasa. Dess !!!! Dua tangan saling beradu, Ki Bancak merasakan
tubuhnya menggigil kaku merasakan hawa dingin yang
begitu kuat menyelimuti seluruh tubuhnya. Dan
kesempatan sedetik itu dipergunakan Mahesa Amping
menendang pinggul Ki Bancak yang terbuka.
Bukk!!!! Tubuh Ki Bancak terlempar sampai jauh, untungnya
Ki bancak punya daya tahan yang kuat dan dapat
menjaga keseimbangan tubuhnya dengan jalan jatuh
bergelinding ditanah. 572 Namun ketika Ki Bancak telah berdiri tegak kembali,
sebuah sorot mata Mahesa Amping telah menghancurkan batu besar di sebelahnya luluh lumat
menjadi debu yang halus. Berdesir seluruh darah Ki bancak membayangkan
bahwa seandainya dirinyalah yang menjadi sasaran sorot
mata itu. "Cukup, aku menyerah kalah. Ganjalan dihatiku atas
kekalahan dua orang muridku sudah hilang. Bahkan aku
mengucapkan terima kasih tak terhingga atas
kemurahanmu tidak melumatkan dua orang muridku
sebagaimana batu itu", berkata Ki Bancak sambil
mengibas-ngibaskan bagian tubuhnya dari debu halus
batu yang hancur berdebu.
"Awalnya aku membawa kalian kemari untuk
menambah pegangan dan bekal ilmu. Ternyata tidak ada
lagi yang perlu ditambahkan. Aku yakin dimasa
mendatang kalian masih dapat berkembang jauh lebih
sempurna lagi melebihi kesempurnaan yang baru saja
kulihat", berkata Gurusuci Darmasiksa bangga atas apa
yang dilihatnya. "Apakah kalian telah mencium sesuatu?", berkata Ki
Bancak yang sepertinya tengah mencari sesuatu lewat
penciumannya. "Aku telah mencium sebuah aroma yang
membangunkan cacing-cacing diperutku", berkata Lawe
sambil memegang perutnya.
"Ternyata dibandingkan dua orang saudaramu, daya
penciumanmu yang paling andal", berkata Ki Bancak
kepada Lawe. "Coba tebak, aroma apa yang kamu
rasakan?", berkata kembali Ki Bancak kepada Lawe.
573 "Seekor gurame panggang yang siap matang",
berkata Lawe sambil tersenyum.
"Ternyata penciuman kita sama, aku pun telah
merasakan yang sama", berkata Ki Bancak sambil
menepuk bahu Lawe. "Ternyata penciuman kalian tuli, hari ini aku meminta
seorang cantrikku untuk menyajikan masakan pecak
gabus, untuk meyakinkan, mari kita segera kependapa",
berkata Gurusuci Darmasiksa sambil mempersilahkan
tamunya ke pendapa. Ketenangan suasana puncak bukit Padepokan yang
teduh serta suasana pemandangan yang begitu asri
membuat mereka merasakan sebuah tamasya yang


Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari Karya Arief Sujana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang. Keramahan dan keterbukaan sikap sepuluh
cantrik di Padepokan itu menambah suasana begitu
mengesankan dalam keakraban. Mereka seperti berada
didalam sebuah keluarga. Tidak terasa hati mereka
sudah terikat dalam kesetiaan layaknya seorang
saudara. "Pintu Padepokanku akan selalu terbuka untukmu,
saudaraku", berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Ki
Bancak di regol pintu gerbang.
"Aku juga menanti kunjunganmu, saudaraku", berkata
Ki bancak kepada Gurusuci Darmasiksa.
"Sampaikan salamku kepada juragan Susatpam,
semoga hukuman empat tahun menghadap dinding akan
mengubah sikap dan perilakunya", berkata Raden Wijaya
yang ikut melepas kepergian Ki Bancak.
"Aku akan terus mengawasi dan membimbingnya,
akan kusampaikan salammu anak muda", berkata Ki
Bancak kepada raden Wijaya.
574 Tidak terasa sudah tiga pekan Raden Wijaya, Lawe
dan Mahesa Amping tinggal Di Padepokan Gurusuci
Darmasiksa. Lawe telah menggunakan waktu tiga pekan
itu untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan dirinya dibawah langsung bimbingan
Mahesa Amping, Raden Wijaya juga kadang Gurusuci
Darmasiksa ikut memberikan bimbingannya. Lawe
memang termasuk punya kecerdasan yang tinggi, lewat
pengalaman pahitnya dalam perkelahian dengan
Juragan Susatpam, akhirnya Lawe dapat memperkaya
gerakannya dengan unsur angin. Sebuah gerakan yang
menitik beratkan pada perubahan " perubahan yang
tidak lagi mengalir tapi kadang berubah arah tidak
terduga. "Kelak bila saatnya tiba, kamu juga akan mengenal
apa yang dinamakan dengan unsur api dan unsur tanah",
berkata Mahesa Amping yang merasa bahwa Lawe
sudah dapat mengenal unsur angin dengan sangat
memuaskan. Sementara itu dalam tiga pekan terakhir, Mahesa
Amping dan Raden Wijaya telah mendapatkan
pengenalan yang lebih gamblang dalam ilmu kejiwaan.
Ternyata pengembaraan rohani mereka yang berawal
dari pemahaman atas rontal suci Empu Purwa di
Padepokan ini sepertinya telah dibawa ke tempat yang
lebih jauh dan dalam. Gurusuci Darmasiksa telah
membawa mereka ke samudra Rohani yang begitu luas
dan dalam. Mereka merasakan semakin masuk kedalam
semakin banyak mengenal indahnya samudera Rohani.
Sebuah perjalanan yang tidak pernah terbatas ujung dan
tidak pernah bertepi. "Buih dan ombak adalah lautan, manakala buih
berkata akulah lautan, itulah sebuah kebodohan",
575 berkata Gurusuci Darmasiksa menyampaikan bimbingan
rohaninya lewat bahasa seloka.
"Kemanunggalan rasa tidak membutakan dirinya,
pengakuan akan memenjarakan dirinya untuk sampai
kepada yang dituju", berkata Mahesa Amping membaca
seloka Gurusuci Darmasiksa.
"Itulah awal pengenalan atas nama, sifat dan
perbuatanNYA", berkata Gurusuci Darmasiksa
"Semoga kami dapat mempusakainya", bekata
Raden Wijaya dan Mahesa Amping yang merasa dibawa
kedalam perjalanan ruhani yang pernah mereka lewati,
namun perjalanan kali ini bukan hanya sekedar lewat,
tapi lebih bermakna dalam setiap jengkal langkah.
"Gusti yang maha pencipta telah membaguskan
dirimu dengan lenggangmu ketika berjalan, Gusti yang
maha hidup telah menentukan kapan saatnya kamu
berkedip", berkata Gurusuci Darmasiksa kepada Mahesa
Amping dan Raden Wijaya. "Petuah ini akan kami pusakai", berkata Mahesa
Amping dan Raden Wijaya. "Yang panjang jangan dipendekkan, yang pendek
jangan dipanjangkan. Adakan yang ada, jangan
mengadakan yang tiada", berkata Gurusuci Darmasiksa.
"Pandai-pandailah kalian bersembunyi ditempat terang,
pandai-pandailah kalian bersembunyi ditengah kelapangan", kembali Gurusuci berkata sambil tersenyum
menyampaikan kata-kata yang penuh makna.
"Semoga kami dapat mempusakainya", berkata
Raden Wijaya dan Mahesa Amping yang seperti seorang
dahaga dipadang sahara mendapatkan seteguk
minuman yang menyegarkan.
576 Tidak terasa sebulan sudah mereka di Padepokan
Kahuripan. Bila saja tidak diingatkan oleh Lawe bahwa
mereka masih mengemban tugas sebagai petugas delik
sandi, mungkin Mahesa Amping dan Raden Wijaya akan
enggan meninggalkan Padepokan Kahuripan. Akhirnya
dengan berat hati, mereka menyampaikan keinginannya
untuk berpamit diri. "Sampaikan salam dan kerinduanku kepada
ayahmu", berkata Gurusuci Darmasiksa sambil memeluk
Raden Wijaya penuh keharuan.
"Doaku selalu menyertai kalian", berkata Gurusuci
Darmasiksa melepas kepergian mereka.
Terlihat tiga ekor kuda berjalan semakin menjauh
diikuti pandangan mata Gurusuci Darmasiksa dan
kesepuluh cantriknya. Ketiga ekor kuda itu pun akhirnya
tidak terlihat lagi ketika masuk kejalan yang menurun.
Hari masih belum menjadi senja manakala Lawe,
Mahesa Amping dan Raden Wijaya telah sampai di
Istana Saunggalah. "Ternyata kalian begitu kerasan hingga lupa untuk
kembali", berkata Ragasuci yang menyambut kedatangan mereka yang tentunya bersama dengan tiga
dara dari Tanah Melayu yang datang ke Pasanggrahan
dimana Lawe, Mahesa Amping dan Raden Wijaya tengah
beristirahat setelah menempuh perjalanan yang cukup
panjang. Karena menjaga perasaan Dara Petak dan Dara
Jingga, terpaksa mereka harus tinggal beberapa hari di
Istana Saunggaluh. Akhirnya setelah berlalu hampir
sepekan, mereka dengan berat hati menyampaikan
permintaan untuk berpamit diri kembali ketanah
Singasari. 577 "Kapan kalian datang ke Tanah melayu?", bertanya
Dara Petak mewakili Dara jingga kepada Raden Wijaya
dan Mahesa Amping. "Kami berjanji akan datang, hanya tidak dapat
memastikan kapan waktunya", berkata Raden Wijaya
mewakili sahabatnya Mahesa Amping.
"Sebuah kebahagiaan mendapatkan kalian kembali",
berkata Dara Jingga berusaha menahan segala gejolak
perasaan di hatinya. "Tetapkan hatimu pada ketentuan Gusti yang Maha
Pencipta Alam Semesta", berkata Mahesa Amping
kepada Dara Jingga. "Di Tanah Singasari mungkin mereka tengah
menunggu kami dalam perasaan penuh kekhawatiran",berkata Raden Wijaya kepada Ragasuci
yang dapat mengerti dan mengijinkan kepergian mereka.
Perpisahan memang sebuah kata yang mengharukan. Gejolak perasaan hati sepertinya
dikacaukan oleh kekhawatiran untuk tidak berjumpa lagi.
Tapi perpisahan memang harus terjadi.
Terlihat tiga ekor kuda telah berjalan dalam naungan
pagi yang cerah meninggalkan regol pintu istana
Saunggalah, dibayangi dua pasang mata dan desah isak
tangis tertahan. Sepotong belahan hati sepertinya ikut
terbawa bersama langkah kaki kuda yang berjalan
rancak menapaki jalan tanah yang berbatu dan
menghilang disebuah tikungan jalan.
Jalan tanah itu memang masih begitu lengang.
Cahaya matahari yang hangat membayangi wajah-wajah
mereka. Angin semilir dan bau tanah hutan basah di
sepanjang langkah mereka telah membebaskan kembali
578 ingatan mereka akan kemerdekaan seorang pengembara
sejati. Entah siapa yang memulai, langkah kaki kuda
sepertinya terhentak berlari memacu diri menembus
kibasan angin. Tiga ekor kuda sepertinya saling berpacu menembus
batas waktu. Tiga pengembara telah kembali membelah
padang pengembaraannya seperti tiga ekor elang
mengarungi belantara jagad raya melayang membelah
cakrawala yang luas dalam kemerdekaan dan kebebasan
yang bersahaya. Akhirnya di batas senja mereka telah sampai di
Bandar Muara Jati. Seorang syahbandar yang mereka
kenal telah membawa mereka bertemu dengan seorang
juragan besar yang akan berangkat berlayar menuju
Churabaya. Senja itu sebuah jung besar perlahan meninggalkan
Bandar Muara Jati. Dan layarpun tertiup angin menyusuri
tepian senja membawa tiga pengembara, Lawe, Mahesa
Amping dan Raden Wijaya. Tidak ada peristiwa apapun ketika mereka berlayar
menuju Bandar Churabaya selain keramahan juragan
besar yang telah memberikan mereka tumpangan.
"Apakah kalian tidak ada keinginginan untuk turun
menghabiskan sisa malam?", berkata Juragan besar itu
ketika Jung besar mereka telah bersandar di sebuah
Bandar kecil yang tidak bernama.
"Terima kasih, biarlah kami berjaga di jung ini",
berkata Mahesa Amping melambaikan tangannya
kepada juragan itu dan juga kepada beberapa awak yang
juga ikut turun. Dan sisa malam berlalu bersama suara deru ombak
579 menampar tepian pasir. Angin dingin pun ikut membasahi
dinding jung. Ketika pagi menjelang, kesibukan terlihat di bandar
kecil tak bernama itu. Beberapa buruh terlihat tengah
menurunkan dan menaikkan beberapa barang. Mahesa
Amping, Lawe dan Raden Wijaya sepertinya masih
enggan turun dari jung. Hanya di saat perut mereka
terasa lapar, akhirnya mereka turun juga dari jung
mencari sebuah kedai kecil yang menjual beberapa
macam makanan. "Bandar Churabaya hanya tinggal satu malam lagi",
berkata raden Wijaya sambil memandang ke arah pantai
yang sepi sepertinya banyak berharap senja secepatnya
Kisah Para Pendekar Pulau Es 20 Dendam Dan Prahara Di Bhumi Sriwijaya Karya Yudhi Herwibowo Tangan Geledek 18
^