Pencarian

Kaki Tiga Menjangan 1

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 1


Kaki-Tiga-Menjangan " PANGERAN MENJANGAN"
" LU DING JI " Judul Inggeris : Duke Of Moon Deer
Karya : Chin Yung Bagian 01 Bagian pertama Sejak masa purbakala, kota Yang-ciu sudah terkenal sebagai daerah istimewa.
Apalagi sekarang, sepanjang hari kota Yang-ciu selalu ramai, Berbagai toko memenuhi
sepanjang jalan. Tahun pertama kedudukan kaisar Kong Hi dari dinasti Ceng, Di samping telaga Siu
Sai, Yang-ciu, ada sebuah bangunan besar tempat hiburan. Saat ini baru masuk musim
semi, lentera-lentera tergantung menerangi seluruh tempat itu.
Bangunan yang bernama Li Cun Goan mengumandangkan berbagai jenis suara. Ada
ketukan bambu, ada suara teriakan para laki-Iaki yang sedang bertaruh kepalan tangan.
Ada pula suara tertawa cekikikan.
Maklumlah, Li Cun Goan memang menyediakan banyak wanita penghibur. Ada juga
yang sudah setengah mabuk sehingga bernyanyi-nyanyi dengan suara sumbang,
Pokoknya suasana bising sekali sampai di taman pun terdengar jelas.
Tiba-tiba, dari arah utara dan selatan terdengar suara bentakan serentak.
"Para sahabat yang ada di dalam gedung, para nona-nona cantik dan teman-teman
yang sedang menghamburkan uang, harap dengarkan: Kami ingin mencari seseorang!
Tidak ada urusannya dengan kalian semua. Siapa pun tak boleh berkoar-koar atau
ribut-ribut, siapa yang tidak mendengar perintah kami, jangan salahkan apabila kami
mengambil tindakan keras!"
Suasana hening seketika. Tetapi sesaat kemudian terdengarlah suara jeritan
beberapa orang wanita dan suara teriakan laki-Iaki yang keras. Keadaan di tempat itu
jadi kacau tidak karuan. Di tengah-tengah ruangan Li Cun Goan itu ada belasan laki-laki yang duduk
mengitari tiga buah meja, Di samping masing-masing ditemani seorang wanita
penghibur. Mendengar suara bentakan tadi, wajah mereka semuanya berubah.
"Ada apa?" "Siapa?" "Apakah ada pemeriksaan dari pihak kerajaan?" Berbagai pertanyaan tercetus
serentak. Dalam waktu yang bersamaan terdengar suara ketukan keras di pintu, para pelayan
dan wanita penghibur jadi bingung. Untuk sesaat mereka tidak tahu apa yang sebaiknya
dilakukan. Apakah harus membuka pintu atau membiarkannya saja"
Terdengar suara benturan yang keras, rupanya pintu ruangan itu sudah didobrak
sehingga terbuka. Disusul dengan masuknya belasan laki-laki bertubuh kekar.
Para laki-laki itu mengenakan pakaian yang ringkas, kepala diikat dengan selendang
putih. Tangan masing-masing membawa golok yang berkilauan menandakan tajamnya.
Ada pula beberapa orang yang membawa pentungan besi.
Sekali lihat saja para tamu maupun wanita penghibur di dalam gedung itu sudah
mengenali mereka sebagai para begajul yang biasa malang melintang di sekitar wilayah
itu. Agaknya mereka tidak dapat disamakan seperti begajuI-begajuI biasanya, karena
rombongan itu berkumpul di bawah naungan seorang pemimpin dan mereka hanya
mengadakan jual beli garam selundupan.
Pada zaman itu, baru terjadi peralihan dinasti, harga garam tinggi sekali. Siapa yang
bisa menyelundupkan garam dan kemudian menjualnya dengan harga di bawah
pasaran, akan menjadi kaya raya. Rombongan inilah penyelundup garam tersebut
kecuali itu mereka tidak pernah merampok ataupun melakukan kejahatan lainnya.
Meskipun demikian, kegarangan mereka kali ini berbeda dengan biasanya. Hal ini
membuat para tamu maupun wanita-wanita penghibur di Li Cun Goan itu bertanyatanya
apa kemauan mereka sebenarnya.
Seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluhan tahun segera keluar dari
rombongan itu. "Para sahabat sekalian, maafkan gangguan kami ini!" Selesai berkata, dia segera
menjura ke kiri dan kanan, kemudian berteriak lagi dengan suara Iantang. "Sahabat she
Ci dari Tian-te hwe, Cia lao-liok apakah ada di sini?" Matanya mengedar di antara para
tamu. Para tamu yang bertemu pandang dengan sinar matanya, langsung ciut hatinya.
Tetapi mereka berpikir dalam hati, Mereka toh hanya mencari orang yang
berkecimpungan dunia kangouw, pasti tidak mencampur adukkan urusannya dengan
orang lain yang tidak bersangkutan.
Laki-laki setengah baya tadi berteriak sekali dengan suara keras.
"Cia lao-liok, sore ini di tepi telaga Siu Sai, kau mengoceh sembarangan mengatakan
bahwa kami para penyelundup garam Yang-ciu terdiri dari orang-orang yang tidak
berguna. Tidak berani membunuh petugas kerajaan, hanya berani main belakang.
Mengadakan usaha yang pengecut. Di sana kau berteriak-teriak seenak perutmu
dengan mengatakan bahwa apabila kami tidak puas, boleh datang ke Li Cun Goan
untuk mencarimu Nah, sekarang kami sudah datang, Cia lao-liok, kau toh seorang
pentolan dari Tian-te hwe, mengapa sekarang menjadi anak kura-kura yang
menyurutkan kepalanya?"
Para laki-laki yang datang bersamanya seperti beo yang latah berteriak serentak:
"Pentolan dari Tian-te hwe, mengapa jadi kura-kura yang menyurutkan kepalanya?"
"Eh, kalian semua! sebetulnya kalian dari Tian-te hwe atau Sut-thau hwe
(perkumpuIan menyurutkan kepala)?" teriak yang lainnya.
"Kata-kata itu hanya diucapkan oleh Cia lao-liok seorang, tidak ada urusannya
dengan orang lain. Meskipun kami hanya mencari sesuap nasi dari beberapa patah kata
dan tidak sanggup bersaing dengan segala Tian-te hwe, tapi setidaknya kami bukan
orang-orang seperti kura-kura yang hanya bisa menyusutkan kepalanya dalam batok!"
kata laki-laki setengah baya yang pertama tadi.
Setelah menunggu beberapa lama, masih tidak terdengar sahutan dari orang yang
dipanggil Cia lao-liok, laki-laki setengah baya tadi membentak lagi.
"Cari ke setiap bagian bangunan ini, Kalau bertemu dengan Cia lao-liok, undang dia
keluar! Diwajah orang ini ada bekas bacokan golok yang cukup panjang, mudah
dikenali!" Tiba-tiba dari kamar sebelah timur berkumandang suara yang serak tapi gagah.
"Siapa yang pentang mulut keras-keras di sini, mengganggu ketenangan lohu saja?"
"Cia lao-liok ada di sini!"
"Cia lao-liok, cepat menggelinding keluar!" teriak rekan-rekan laki-laki setengah baya
tadi. "Maknya! Anjing tua itu nyalinya sungguh besar!" teriak yang lainnya.
Orang di dalam kamar sebelah timur itu tertawa terbahak-bahak,
"Lohu bukan she Cia, tetapi mendengar kalian memaki-maki Tian-te hwe, telinga tua
ini jadi gatal. Meskipun lohu bukan orang Tian-te hwe, tapi maklum bahwa setiap
anggota Tian-te hwe terdiri dari laki-laki sejati. Kalian yang bermulut ember bocor
masih tidak pantas menenteng sepatu mereka atau menceboki pantat mereka sekalipun!"
Rombongan yang datang itu marah sekali, mereka memaki-maki serabutan. Tiga di
antaranya langsung mengayunkan golok dan menerjang ke kamar sebelah timur.
Sesaat kemudian terdengarlah suara mengaduh dan mengerang dari mulut mereka.
Satu per satu melayang keluar lalu terbanting di atas tanah, Golok seorang di
antaranya membentur kepala sendiri sehingga darah segar bercucuran, kemudian ia
pun semaput seketika. Enam orang lainnya ikut-ikutan menerjang ke dalam kamar sebelah timur, tapi
mereka menemukan nasib yang sama dengan rekan-rekannya. Semua terpental
kembali dengan mulut mengerang-erang.
Yang lainnya semakin berang, mereka memaki dengan kata-kata yang kotor, tetapi
tidak ada seorang pun yang berani menerjang ke dalam kamar itu lagi.
Laki-laki setengah baya yang menjadi pimpinan rombongan itu segera melangkah ke
depan dan melongokkan kepalanya ke dalam kamar. Dia melihat seorang laki-laki
brewokan sedang duduk di atas tempat tidur kepalanya terikat dengan selendang putih.
Di wajahnya tidak ada bekas bacokan golok, ternyata ia memang bukan Cia lao-liok.
Laki-laki setengah baya itu bertanya dengan lantang.
"Kepandaian saudara sungguh hebat, bolehkah kami tahu siapa she dan nama anda
yang mulia?" Orang di dalam kamar itu menyahut dengan setengah mengomel.
"Siapa she dan nama bapakmu, itu pula she dan namaku, Anak kurang ajar! Masa
nama bapak tua sendiri tidak tahu?"
Tiba-tiba salah satu dari para wanita penghibur yang berdiri di samping tidak dapat
menahan kegelian hatinya mendengar ucapan orang dalam kamar, dia tertawa
cekikikan. Salah seorang laki-laki tinggi besar dari rombongan para penjual garam itu segera
maju ke depan dan menempeleng pipi wanita yang tertawa tadi sebanyak dua kali,
"Perempuan lacur! Apa yang kau tertawakan?" makinya garang.
Wanita itu ketakutan setengah mati dan otomatis tidak berani bersuara sedikit pun,
Tiba-tiba dari samping ruangan menghambur keluar seorang bocah laki-laki berusia dua
belasan tahun, Begitu sampai dia langsung memaki.
"Kau berani memukul ibuku! Kura-kura busuk, kakeknya kura-kura! Kusumpahi biar
tanganmu budukan, korengan, bernanah, lama-lama jadi kutung. Kumannya menyebar
ke mulutmu, tenggorokanmu, biar tertelan nanah busuknya dan ususmu ikut busuk!"
Laki-laki bertubuh kekar itu berang sekali. Tangannya terulur ke depan untuk
mencengkeram anak kecil itu. Ternyata gerakan tubuh si bocah gesit sekali, sekali
kelebat dia sudah menyelinap di balik rekan laki-laki itu.
Laki-laki tadi segera menggeser rekannya ke samping sehingga terhuyung-huyung,
kemudian tangan kanannya mengirimkan sebuah pukulan ke arah bocah kecil itu.
Wanita penghibur yang kena tempeleng tadi langsung menjerit histeris.
"Ampun, toaya!"
Dalam waktu yang bersamaan, si bocah cilik sudah merundukkan tubuhnya, tangan
kanannya menjulur ke depan dan mencengkeram bagian selangkangan laki-laki itu,
otomatis si tubuh kekar itu menjerit kesakitan.
Kemarahannya semakin meluap-Iuap, tapi si bocah sudah mengelit ke samping,
Kemarahan laki-laki itu belum terlampiaskan, Tinjunya melayang ke depan,
menghantam wajah wanita penghibur tadi, wanita itu pun pingsan seketika.
Bocah cilik itu langsung menghambur ke depan dan memeluk wanita tadi.
"Mak! Mak!" Laki-laki bertubuh kekar tersebut segera mengulurkan tangannya
mencengkeram kerah belakang bocah itu. Baru saja dia ingin mengangkatnya ke atas
dan ingin membantingnya keras-keras, tindakannya sudah dicegah oleh pemimpinnya.
"Jangan bikin onar, lepaskan anak itu!"
Meskipun kurang senang, laki-laki itu tidak berani membantah. Dia meletakkan bocah
tadi di atas tanah lalu menendang pantatnya keras-keras sehingga menggelinding
beberapa kali lalu membentur tembok.
Pemimpinnya melirik laki-laki kekar itu sekilas lalu berkata dengan lantang.
"Kami adalah para saudara dari Ceng Fang, Karena salah seorang anggota Tian-te
hwe, yakni Cia lao-liok menghina perkumpulan kami, bahkan menantang kami dengan
mengatakan akan menunggu di sini, maka kami datang ke tempat ini. seandainya
saudara memang bukan orang dari Tian-te hwe dan tidak pernah mempunyai
perselisihan dengan Ceng pang kami, mengapa saudara mengeluarkan kata-kata yang
menyakitkan hati" Harap saudara meninggalkan she dan nama, agar kami bisa
memberikan tanggung jawab apabila ditanyakan oleh Pangcu kami!"
Orang di dalam kamar itu tertawa terbahak-bahak.
"Kalian ingin membuat perhitungan dengan orang Tian-te hwe, apa urusannya
denganku" Aku hanya ingin menyenangkan hati di tempat ini, kalau kalian mengatakan
tidak ada perselisihan di antara kita, terlebih-lebih kalian tidak boleh mengganggu
kesenangan lho. Tapi ada sepatah kata yang ingin aku nasehatkan kepada loheng.
Kalian pasti tidak sanggup menghadapinya. Karena terlanjur di maki orang, terima saja
dalam hati, Toh, kenyataannya memang begitu."
Laki-laki yang menjadi pimpinan rombongan marah sekali mendengar ocehannya.
"Aneh, di dunia masa ada orang yang begitu tidak tahu aturan seperti Anda ini?"
"Tahu aturan atau tidak, toh bukan urusanmu, Memangnya kau sedang mencari
suami untuk kakak atau adikmu?"
Tepat pada waktu itu juga, dari luar melesat masuk tiga orang lainnya. Dandanannya
sama seperti rombongan penyelundup garam tersebut. Salah satunya yang membawa
pecut segera berbisik di telinga si laki-laki setengah baya.
"Siapa orang itu?"
"Dia tidak mau mengatakannya, tetapi sedikit-sedikit dia sesumbar tentang
kehebatan Tian-te hwe, kemungkinan besar Cia lao-liok memang bersembunyi di dalam
kamar itu," sahut si orang tua.
Orang yang bertubuh kurus itu memberikan isyarat tangan kepada kedua rekannya.
Bersama-sama si orang tua yang sudah mengeluarkan sebatang pedang pendek dari
selipan pinggangnya, mereka menerjang ke arah kamar sebelah timur itu.
Terdengar suara benturan senjata dari dalam kamar Ruangan di gedung Li Cun
Goan seluruhnya terdiri dari kamar-kamar yang mempunyai perabotan lengkap,
sekarang terdengar suara gedebak-gedebuk yang tidak beraturan.
Dapat dibayangkan bahwa kursi dan meja di dalamnya pasti menjadi sasaran
amukan beberapa orang itu. Wajah pemilik gedung yang gemuk itu terus berkerut-kerut,
hatinya terasa sakit membayangkan barang-barangnya hancur berantakan. Mulutnya
berkomat-kamit mengucapkan nama Buddha.
Ke empat laki-laki yang terdiri dari para penyelundup garam itu membentak dengan
suara keras, seperti sedang berlangsung suatu pertarungan yang berlangsung sengit
sekali, tetapi tidak terdengar sedikit suara pun dari mulut si tamu itu sendiri.
Para tamu menepi jauh-jauh, mereka tidak ingin terkena getahnya. Tiba-tiba
terdengar suara jeritan histeris dari mulut seseorang, agaknya salah satu dari keempat
orang yang menyerbu masuk.
Si bocah kecil yang ditendang oleh laki-laki bertubuh kekar tadi tentu saja kesakitan
setengah mati, Bagian selangkangannya benar-benar terasa ngilu dan perih. Dalam
keadaan marah, dia melihat si bocah berusaha merangkak bangun, tinjunya segera
menghantam kedepan. Bocah itu mengelak ke samping untuk menghindarkan diri.
Laki-laki kekar itu mana sudi menyudahi urusannya begitu saja, dia segera
melayangkan dua kali tamparan ke pipi kiri kanan bocah itu. Tubuh sang bocah sampai
melintir saking tidak dapat menahan diri.
Para tamu yang lain serta wanita-wanita penghibur di gedung itu dapat melihat
sepasang mata si laki-iaki kekar yang beringas. Kalau dia memukul terus beberapa kali
lagi, sang bocah pasti akan terkapar mati. Tapi tidak ada satu pun yang berani
mencegah atau menasehatinya.
Tampak laki-laki kekar itu kembali mengangkat tangannya ke atas dan siap
dihantamkan ke bawah. Bocah laki-laki itu nekad menerjang ke depan, tapi tidak ada
jalan lagi baginya untuk meloloskan diri. Akhirnya dia terpaksa mendorong pintu kamar
sebelah timur itu dan menerobos ke dalam.
Para tamu dan yang lainnya mengeluarkan seruan tertahan Laki-Iaki itu berniat
mengejarnya, tapi akhirnya niatnya ia batalkan, mungkin karena takut menjadi sasaran
perkelahian di dalam. Begitu menyelinap ke dalam kamar, si bocah tidak dapat melihat jelas pemandangan
di dalamnya. Hanya terdengar suara benturan senjata yang nyaring. Trang! Timbul
beberapa percik bunga api, tampak seorang laki-laki brewokan sedang duduk di atas
tempat tidur. Kepalanya diikat dengan sehelai selendang putih, tampangnya menyeramkan. Si
bocah sampai mengeluarkan seruan tertahan Begitu percikan bunga api padam,
keadaan di dalam kamar menggelap kembali.
Hanya sinar lentera dari luar kamar yang menyorot suram Perlahan-lahan
pandangan mata baru terbiasa dan mulai dapat melihat keadaan di dalam kamar
tersebut. Di antara keempat orang yang menyerbu masuk, sekarang hanya tinggal dua orang
yang masih bertahan, yakni laki-laki yang membawa pecut dan si orang tua yang
menggunakan sebatang pedang pendek.
Mereka sedang berkelahi dengan seru. Si bocah berpikir dalam hati: "Bagian kepala
orang itu sudah terluka, berdiri saja tidak genah, pasti ia tidak akan sanggup melawan
para penyelundup garam ini lebih Iama. sebaiknya cepat-cepat melarikan diri, tapi entah
bagaimana keadaan mak?"
Mengingat ibunya yang dihina sedemikian rupa, kemarahan dalam hatinya meluap
lagi. Tanpa sadar dia memaki-maki seenaknya
"Penjahat busuk! Turunan banci! Aku sumpahi agar delapan belas keturunanmu
berbau busuk! Garam selundupanmu pasti banyak sekali. Kalau istri, nenek, emakmu
mati, kuburkan saja dengan garam. Kalau dagingnya sudah asin, bawa ke pasar untuk
dijual, satu kilo tiga picis pun tidak ada yang sudi membeli daging busuk keluargamu
itu...!" Laki-laki bertubuh kekar yang terdiri di luar kamar jadi gusar mendengar makian si
bocah yang kasar, tapi dia tetap tidak berani menerjang masuk ke dalam kamar.
Orang yang duduk di atas tempat tidur itu tiba-tiba menggerakkan goloknya ke
depan. Bacokannya tepat menikam ke bahu kiri si taki-laki kekar yang membawa pecut,
akibatnya tulang pundak si kekar itu tertebas putus seketika.
Dalam waktu bersamaan, si orang tua juga maju ke depan satu tindak, pedang
pendeknya dihunjamkan ke dada orang yang duduk di atas tempat tidur.
Dengan sigap orang itu mencabut goloknya dari bahu si laki-laki kekar kemudian
mengayunkannya ke samping untuk menangkis serangan pedang pendek si orang tua,
sekaligus tangan kirinya mengirimkan pukulan sebanyak tiga kali berturut-turut.


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si orang tua rupanya tidak menyangka dalam keadaan terdesak seperti itu, si brewok
itu masih sempat menyerangnya. Dadanya langsung terhantam, mulutnya
memuncratkan darah segar dan tubuhnya terpental keluar kamar.
Laki-laki bertubuh kekar yang tulang pundaknya hancur memang sudah terluka
parah, tapi masih nekad juga. Dia ayunkan pecut bajanya ke depan.
Kali ini si brewok yang duduk di atas tempat tidur tidak melakukan gerakan apa-apa,
kemungkinan tenaganya sudah habis terkuras. Bila pecut itu sampai mengenai
tubuhnya, tidak ayal lagi pasti selembar nyawanya sulit dipertahankan.
Melihat situasi yang demikian kritis, timbul perasaan senasib sependeritaan dalam
hati si bocah cilik. Tanpa berpikir panjang dia langsung menerkam sepasang kaki si
lakilaki kekar itu dan menariknya erat-erat.
Bayangkan saja, tubuh laki-laki itu paling tidak ada dua ratusan kati, sedangkan si
bocah cilik itu kurus kering, Dalam keadaan biasa, mana mungkin dia sanggup
menahan tubuh orang itu, tetapi laki-laki kekar itu memang sudah terluka parah.
Serangannya ini juga menggunakan sisa tenaga yang terakhir. Begitu ditarik oleh si
bocah cilik, tubuhnya langsung terjengkang ke belakang dan tidak bergerak lagi.
Laki-laki brewokan di atas tempat tidur itu segera berseru dengan lantang.
"Kalau memang bernyali, masuklah kalian semua ke dalam!"
Bocah cilik itu menggoyangkan tangannya berkali-kali, maksudnya agar laki-laki itu
tidak menentang penyelundup garam lainnya yang ada di Iuar.
Pada saat si orang tua terpental keluar, pintu kamar itu sempat terbuka sekejap lalu
mengatup kembali. Sampai sekarang pintunya masih bergerak kesana kemari. Dengan
bantuan sorotan lemah dari lentera yang tergantung di luar, orang-orang dapat melihat
seluruh wajah si brewok penuh dengan noda darah, tampangnya sungguh
menyeramkan. Tetapi mereka hanya dapat melihat sekelebatan, apa sebenarnya yang terjadi di
dalam kamar mereka tidak tahu, Beberapa orang penyelundup garam lainnya hanya
saling pandang dengan bimbang. Terdengar si brewok berkata lagi dengan keras.
"Anak kura-kura, kalau kalian tidak berani masuk ke dalam, sebentar lagi lohu akan
keluar dan membantai kalian satu per satu!"
Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang masih berdiri di luar segera mengangkat
tubuh rekannya yang terluka dan lari meninggalkan gedung itu dengan terbirit-birit.
Si brewok tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata dengan suara perlahan:
"Anak, cepat kau rapatkan pintu kamar!"
Si bocah memang sudah mempunyai pikiran yang sama. Karena itu dia segera
mengiakan dan merapatkan pintu. Setelah itu perlahan-lahan dia menghampiri tempat
tidur, samar-samar tercium bau amis darah.
"Kau... kau..." Si brewok seperti ingin mengatakan sesaatu, tetapi kekuatannya sudah
hampir habis, tubuhnya limbung beberapa kali dan hampir saja terjerembab jatuh di
tanah. Si bocah terkejut setengah mati, cepat-cepat dia menghambur ke depan dan
menahan tubuh si brewok. Tubuh orang itu sangat berat Dengan segenap tenaga si
bocah meletakkan kepala orang itu di atas bantal.
Si brewok mengatur pernafasannya beberapa kali. Tampaknya dia merasa agak
baikan. Sesaat kemudian baru dia berkata.
"Aku sudah membunuh beberapa orang penyelundup garam itu, sekarang tenagaku
masih belum puIih. Kalau rombongan itu datang lagi membawa tenaga bantuan, bahaya
sekali, sebaiknya aku menyingkir dulu, ya... menyingkir dulu."
Agaknya dia merasa menyesal dengan keadaannya sendiri. Dia mencoba
menggerakkan tubuhnya untuk bangun, tapi rasa sakit segera menyerangnya, sehingga
mulutnya mengeluarkan suara erangan.
Si bocah cerdik sekali, dia mengerti apa keinginan orang itu. Dia segera
membantunya agar dapat duduk tegak.
"Ambil golok!" kata orang itu, "Berikan padaku!"
Anak itu menuruti permintaannya, ia mengambil golok dan menyodorkannya ke
hadapan orang itu. Orang itu menggunakan goloknya sebagai tongkat dan turun dari
pembaringan perlahan-lahan, Bocah itu masih membimbing tangannya. Untuk sesaat,
tubuhnya masih terhuyung-huyung.
"Aku akan keluar sekarang," kata orang itu, "Tak perlu kau bimbing aku terus. Kalau
rombongan penjahat itu datang kembali dan melihat kita bersama. Kau bisa celaka, kau
akan mereka bunuh!" "Maknya! Aku tidak takut! Kalau mereka mau membunuh aku, silahkan! Kita adalah
sepasang sahabat yang harus menjunjung kegagahan, pokoknya bagaimana pun aku
harus membantu kau!"
Orang itu tertawa terbahak-bahak. Karena tubuhnya masih lemah, dia sampai
terbatuk-batuk. "Kau membicarakan soal kegagahan?"
"Kenapa tidak boleh. Sahabat sejati harus senang dirasakan bersama, menderita
dicicipi bersama puIa!"
Di kota Yang-ciu banyak tukang cerita yang menceritakan berbagai kisah tentang
Sam Kok, Sui Hu Coan, dsbnya, Bocah itu memang keranjingan cerita-cerita itu,
karenanya dia dapat mengucapkan kata-kata senang dan menderita dicicipi bersama.
"Kata-kata yang bagus! Aku berkelana di dunia bulim ini sudah dua puluh tahun
Iebih, kata-katamu tadi aku juga sudah mendengarnya ribuan kali. Teman yang mau
diajak bersenang-senang di mana-mana pun ada, tapi yang mau diajak menderita
bersama, sampai sekarang baru beberapa gelintir yang kutemukan Mari kita
berangkat!" Bocah itu terus membimbing tangan orang itu dan mengajaknya keluar dari kamar.
Tiba di ruangan tengah, orang-orang yang melihat mereka jadi terkejut dan menyingkir
karena takut. Terdengar ibu si bocah memanggil-manggil.
"Siau Po, Siau Po, mau kemana kau?"
"lbu, aku akan mengantarkan sahabatku ini dulu, sebentar aku kembali lagi!"
Mendengar kata-kata si bocah, orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Bagus-bagus... sahabat, iya sahabat Aku memang sudah menjadi sahabatmu!"
"Jangan kau pergi, nak. sebaiknya kau bersembunyi saja," kata sang ibu khawatir. Si
bocah hanya tersenyum, bersama sahabat barunya dia meninggalkan Li Cun Goan,
rumah pelesiran itu. Keadaan di luar gang, sunyi senyap. Tampaknya kawanan penyelundup itu memang
sudah pergi, atau mungkinkah mereka sedang mencari bala bantuan" Tiba di sebuah
gang kecil, orang itu mendongakkan wajahnya menatap langit, dia memandangi
bintang-bintang yang bertaburan.
"Mari kita menuju ke barat!" katanya.
Si bocah menurut. Mereka berjalan bersama-sama. Lewat beberapa tombak, di
depan tampak sebuah kereta keledai sedang bergerak ke arah mereka.
"Lebih baik kita naik kereta saja," kata orang itu kembali, Kemudian dia berteriak
dengan suara lantang, "Pak Kusir! Pak Kusir! Ke sini!"
Kusir kereta itu segera menghentikan keIedainya. Dia terperanjat melihat wajah
orang itu yang penuh luka. Diam-diam timbul kecurigaan dalam hatinya. Orang itu
rupanya segera maklum arti pandangan kusir kereta itu. Dia segera mengeluarkan uang
perak seberat lima tail dan menyodorkannya kepada si kusir kereta.
"Ambillah uang ini!"
Pikiran sang kusir bekerja cepat "Masa bodoh urusan lainnya, uang paling penting!"
Karena itu, dia segera menganggukkan kepalanya sambil menyambut uang yang
disodorkan itu. Dengan bantuan si bocah, orang itu perlahan-lahan naik ke atas kereta, Kembali dia
mengeluarkan uang goanpo yang besar jumlahnya kemudian menyerahkan kepada si
bocah. "Sahabat cilik, aku akan berangkat sekarang. Uang sekedar ini harap kau simpan
baik-baik." Melihat jumlah uang besar itu, si bocah meneguk air liurnya. Tapi dia teringat kembali
kisah cerita yang sering di dengarnya bahwa orang-orang gagah hanya mementingkan
persahabatan uang atau harta tidak ada artinya.
Dengan susah payah hari ini dia sudah berhasil menampilkan dirinya sebagai
seorang gagah, biar bagaimana usaha itu tidak boleh tandas di tengah jalan hanya
karena harta yang tidak seberapa dan sebentar saja sudah habis itu. Karena itu dia
segera menggelengkan kepalanya dan berkata dengan nada tegas.
"Kita membicarakan soal persahabatan sejati. Kau memberikan uang kepadaku, itu
tandanya kau tidak menghargai aku. Lukamu masih belum sembuh, aku akan
mengantar kau lebih jauh sedikit!"
Orang itu melengak, kemudian dia menengadahkan kepalanya dan tertawa terbahakbahak.
"Bagus! Bagus!" serunya, "Kau memang sahabat sejati!" ia pun menyimpan uangnya
kembali. Si bocah pun langsung melesat naik ke atas kereta dan duduk di samping orang itu.
"Ke mana tujuan kita, tuan?" tanya si kusir kereta yang sejak tadi diam saja.
"Ke bukit Tek Seng san, di sebelah barat kota!" sahut orang itu.
"Ke Tek Seng san" Tengah malam begini?" tanya si kusir kereta yang menganggap
telinganya salah dengar. "Benar!" sahut orang itu tegas sembari mengetuk-ngetukkan ujung goloknya ke alas
kereta. "Baik-baik,.," kata si kusir yang ketakutan. Cepat-cepat dia menurunkan tirai,
kemudian memecut keledainya sehingga kereta itu langsung melaju ke depan.
Bukit Tek Seng san letaknya di sebelah barat kota Yang-ciu, tepatnya di dusun Pek
Gi Hiang, kurang lebih tiga puluh li dari kota.
Di zaman dinasti Lam Song, Song selatan, Jenderal Han Se-Tiong pernah
menggempur prajurit Kim habis-habisan, karenanya bukit Tek Seng san jadi terkenal.
Kereta terus bergerak, kurang lebih satu jam kemudian, mereka sudah sampai di kaki
bukit. "Tuan, kita sudah sampai di bukit Tek Seng san!" kata si kusir.
Si brewok melongokkan kepalanya, ia melihat gundukan tanah setinggi tujuh delapan
tombak, sebenarnya tidak cocok disebut bukit, tapi gunung-gunungan.
"lnikah Tek Seng san?" tanyanya bimbang.
"Benar tuan," sahut si kusir.
"Ya, ini memang bukit Tek Seng san, ibu dan para cici lainnya sering datang ke bukit
ini untuk bersembahyang di kuil Eng Liat hujin, Aku pernah ikut dan bermain-main di
situ." "Kalau kau yang mengatakannya, pasti tidak salah lagi!"
Mereka segera turun dari kereta, Si bocah mencelat turun terlebih dahulu. Dia
memperhatikan keadaan di sekitar tempat itu yang sunyi senyap dan remang-remang
karena hari sudah senja, Diam-diam dia berpikir di dalam hati.
"Tempat ini cocok sekali untuk menyembunyikan diri. Kawanan penyelundup garam
itu pasti tidak akan mencari sampai ke tempat ini."
Kusir kereta itu masih merasa khawatir. Rasanya ingin dia cepat-cepat berlalu dari
tempat itu, namun si brewok berkata lagi padanya.
"Tunggu, kau antar dulu bocah ini kembali ke kota!"
"Baik, Tuan." "Tidak, Aku akan menemanimu beberapa saat lagi," kata si bocah. "Besok pagi aku
bisa membelikan bakpau untuk mengganjal perut."
Si brewok memperhatikan sang bocah lekat-lekat. "Benarkah kau akan
menemaniku?" "Tidak baik sendirian berada di tempat seperti ini, apalagi lukamu masih belum
sembuh!" sahut si bocah tegas.
Si brewok tertawa lebar. Dia menoleh kepada kusir kereta tadi. "Kau boleh pergi
saja!" "Baik, tuan," sahut si kusir kereta yang sejak tadi memang sudah menunggu-nunggu
perintah itu. Si brewok berjalan menuju sebuah batu besar dan duduk di sana. Kereta keledai itu
sudah melaju pergi. Keadaan di sekitar sunyi senyap. Tiba-tiba si brewok membentak:
"Anak kura-kura berdua yang bersembunyi di balik pohon Liu cepat menggelinding
keluar!" Si bocah terkejut setengah mati. Diam-diam dia berpikir dalam hati, "Benarkah di sini
ada orang lain?" hal ini benar-benar di luar dugaannya.
Ternyata dari balik sebatang pohon besar muncul dua sosok bayangan hitam.
Mereka melangkah maju beberapa tindak, tetapi berhenti kembali. Si bocah tidak dapat
melihat jelas wajah kedua orang itu, namun mereka mengenakan sabuk putih di kepala,
pertanda bahwa mereka adalah rombongan para penyelundup garam.
Tangan masing-masing mencekal sebatang golok. Melihat sikap mereka yang hanya
maju beberapa langkah, kemudian berhenti lagi, tampaknya hati mereka dilanda
kebimbangan. Si brewok membentak lagi dengan suara yang garang.
"Hei, anak kura-kura! Kalian mengintil aku dari Li Cun Goan, kenapa sekarang malah
ragu-ragu mendekatiku" Bukankah kalian memang sengaja datang untuk mengantar
jiwa?" Mendengar kata-katanya, diam-diam si bocah membenarkan dalam hati, Tentunya
kedua orang itu memang sengaja menguntit sampai di tempat ini, kemudian mereka
bisa mendatangkan bala bantuan untuk mengeroyok si brewok.
Tampak kedua orang itu saling berbisik beberapa patah kata, tiba-tiba mereka
membalikkan tubuhnya kemudian lari meninggalkan tempat itu.
"Eh!" seru si brewok yang berusaha bangun, maksudnya ingin mengejar kedua orang
itu. Tetapi tiba-tiba dia mengaduh, tentu rasa sakit di lukanya kumat lagi.
Si bocah segera memapah tubuh orang itu. Diam-diam dia berpikir dalam hati
"Gawat, Kereta tadi sudah pergi jauh, sedangkan kita tidak bisa berdiam terus di sini.
Untuk menyingkir sahabatku ini tampaknya tidak kuat berjalan. Bagaimana kalau kedua
orang itu kembali lagi dengan membawa konco-konconya?"
Sekonyong-konyong bocah itu menangis meraung-raung. "Aduh, kenapa kau jadi
mati" Tidak! Kau tidak boleh mati!"
Suara tangisannya semakin keras. Kedua anggota penyelundup garam yang baru
berjalan tidak seberapa jauh menjadi terhenyak seketika. Tentu saja mereka
mendengar suara tangisan si bocah, serentak mereka membalikkan tubuhnya dan
mendengar si bocah meratap dengan sedih.
"Hu... hu... hu.... Kenapa kau mati begitu saja?"
Kedua orang itu saling pandang sejenak. Yang satu langsung berkata.
"Kau dengar suara tangisan anak laki-laki itu. Pasti si bangsat itu sudah mati."
"Benar! Pasti lukanya terlalu parah sehingga ia tidak dapat menahan diri lagi," sahut
yang lainnya. Keduanya segera menoleh dan dari kejauhan terlihat bayangan tubuh yang
menggumpal, Keduanya mengira pasti si anak kecil sedang mendekap tubuh si brewok
sambil menangis pilu. "Mari kita hampiri," kata salah seorangnya, "Taruh kata dia belum mampus, tetapi
keadaannya sudah terlalu lemah untuk mengadakan perlawanan. Kita tebas saja
batang lehernya, sekaligus batok kepala si anak celaka itu!"
"lde bagus!" sahut rekannya setuju. Kedua orang itu berjalan ke arah semula dengan
mengendap-endap. Si bocah masih menangis sedih. Dia memukuli dadanya sendiri
sambil membanting-banting kakinya di atas tanah.
"Oh, saudaraku... mengapa kau diam saja" Kalau kawanan penjahat itu sampai balik
lagi, bagaimana aku sanggup melawan mereka?" teriak bocah itu sambil meraungraung.
Mendengar kata-kata si bocah, kedua anggota penyelundup garam itu semakin
senang hatinya. Mereka segera mempercepat Iangkahnya. Kemudian keduanya
menerjang ke hadapan si bocah sambil mengayunkan goloknya...
Si bocah sepertinya terkejut setengah mati, matanya membelalak lebar. Dalam waktu
yang bersamaan tampaklah sinar lain yang berkelebat lebih cepat lagi. Tahu-tahu
batang leher si penjahat yang pertama sudah terbabat putus, kemudian disusul dengan
rekannya yang koyak perutnya sehingga ususnya amburadul keluar.
Saat itu juga si brewok bangkit dan tertawa terbahak-bahak. Si bocah sebaliknya
masih menggerung-gerung sambil berkata.
"Aduh, sahabat-sahabatku, kasihan sekali nasib kalian, Mengapa kepalamu
menggelinding" Dan kau... mengapa perutmu terbuka lebar" Mengapa kalian
menghadap raja Giam lo-ong" Siapa yang akan menyampaikan kabar baik ini kepada
keluarga dan rekan-rekanmu" Celaka?"
Berkata sampai di sini, bocah itu tidak dapat menahan kegelian hatinya sehingga
tertawa terbahak-bahak. Si brewok ikut-ikutan tertawa. "Hai setan cilik, kau memang
cerdas sekali. Kalau kau tadi tidak pura-pura menangis tadi, tentu kedua telur busuk
ini tidak akan kembali lagi menyerahkan jiwanya!"
"Apa susahnya pura-pura menangis" biasanya kalau emak akan menghajar dengan
rotan, cepat-cepat aku menangis sekeras-kerasnya sehingga emak tidak tega
menghajar aku keras-keras," kata si bocah.
"Kenapa ibumu suka memukulmu?"
"Sebabnya tidak pasti. Kadang-kadang karena aku mencuri uangnya. Kadangkadang
karena aku mempermainkan bibi Bin dan paman Yu..."
Si brewok menarik nafas panjang.
"Kalau kedua mata-mata ini tidak mati, urusannya pasti gawat. Eh, kenapa ketika
menangis tadi kau tidak memanggil aku tuan atau paman, tapi hanya saudara saja?"
"Kau kan sahabatku, sudah seharusnya aku memanggilmu saudara! Tuan, apa kau
kira dirimu" Kalau kau ingin aku memanggilmu tuan, setanlah yang akan melayanimu!"
Si brewok tertawa tergelak-gelak.
"Benar, benar! Eh, sahabat cilik, siapakah namamu?"
"Kau menanyakan she dan namaku yang mulia" Aku bernama Siau Po!"
"Bagus, Nama besarmu Siau Po, lalu apa she-mu yang mulia?"


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"She... she mu... yang mulia..." Bocah itu tergagap-gagap, "She Wi."
Si brewok tertawa semakin geli, Bocah itu mengatakan she-mu yang muIia, Hal itu
membuktikan bahwa dia tidak tahu apa artinya, seperti burung yang membeo saja.
Sebetulnya bocah ini lahir di rumah pelesiran, ibunya bernama Wi Cun Hoa. Siapa
ayahnya, jangan kata dia, bahkan ibunya sendiri mungkin tidak tahu.
Sampai sebesar ini, tidak pernah ada yang menanyakan asal-usulnya, baru hari ini si
brewok menanyakannya, Karena bingung, dia pun menggunakan she ibunya sendiri.
Bocah ini tidak pernah belajar membaca menulis. Dia mengetahui sebutan she dan
nama yang mulia dari cerita-cerita kepahlawanan yang sering didengarnya,
"Dan... kau sendiri... siapa... nama besarmu dan... she-mu yang mulia?" tanya si
bocah kemudian. Si brewok tersenyum. "Kau sudah menjadi sahabatku, tidak perlu aku
menyembunyikan she dan namaku terhadapmu. Aku bernama Mau Sip-pat. Mau dari
Mau rumput dan Sip-pat berarti delapan belas."
Bocah itu mengeluarkan seruan tertahan dan langsung melonjak bangun.
"Aku... pernah mendengar bahwa pembesar negeri sedang mencarimu. Mereka
ingin... menangkapmu karena dianggap penjahat besar!"
"Benar, Apakah kau takut kepadaku?" tanya Mau Sip-pat terus terang.
"Takut" Kenapa aku harus merasa takut" Lagi-pula aku tidak mempunyai harta
ataupun uang, Apa sih artinya seorang penjahat" Bukankah Lim Ciong dan Bu Song
dari cerita Sui Hu Coan juga orang-orang gagah yang terdiri dari para perampok?"
Mau Sip-pat senang sekali mendengar kata-kata Siau Po.
"Kau samakan aku dengan Lim Ciong dan Bu Song, orang-orang gagah yang
terkenal itu" Bagus sekali,.," katanya, "Sekarang coba kau beritahu kepadaku, siapa
yang mengatakan bahwa ada pembesar negeri yang ingin menangkapku?"
"Di dalam kota Yang-ciu penuh dengan selebaran yang mencari Mau Sip-pat.
Dijelaskan pula, barang siapa yang dapat membunuhmu, hadiahnya lima ribu tail,
sedangkan bila hanya memberikan informasi tentang di mana dirimu berada, hadiahnya
tiga ribu tail, Tapi jumlahnya juga sudah terhitung besar juga, bukan?"
Mau Sip-pat memperhatikan Siau Po dengan tajam. Bibirnya mencibir seperti
memandang rendah. Tiba-tiba saja, timbul pikiran Siau Po. "Kalau aku mempunyai uang
sebesar tiga ribu tail, tentu aku bisa menebus ibuku dari Li Cun Wan. seandainya ibu
tidak bersedia keluar dari tempat hina itu, uang sebanyak itu pun cukup untuk membeli
baju bagus dan hidup mewah selama beberapa tahun!"
Melihat Siau Po diam saja, pandangan mata Mau Sip-pat semakin tajam dan
memperhatikan mimik wajahnya lekat-lekat. Siau Po dapat merasakan pandangannya
yang mengandung kecurigaan Hatinya menjadi kurang senang.
"Kenapa kau mengawasi aku seperti itu" 0h... kau pasti mengira aku akan
melaporkan kau ke pembesar negeri agar mendapatkan hadiah besar itu, bukan?"
Mau Sip-pat menganggukkan kepalanya. "Memang benar! jumlah hadiah itu begitu
besar dan siapa orangnya di dunia ini yang tidak suka uang?"
"Sinting! Menjual sahabat. Buat apa kita membicarakan kegagahan?"
"Lho! itu kan tergantung prinsipmu sendiri!"
"Kalau kau memang tidak percaya padaku, mengapa kau memberitahukan nama
aslimu, Dandananmu sekarang jauh berbeda dengan selebaran yang tertempel di
dalam kota. Kalau kau sendiri tidak mengatakannya, siapa yang bisa mengenalimu
sebagai Mau Sip-pat?" teriak si bocah kurang senang.
"Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa senang dan menderita harus kita
cicipi bersama" Kalau nama saja perlu disembunyikan, bagaimana bisa disebut sebagai
sahabat sejati?" Mendengar kata-kata itu, perasaan jengkel dalam hati Siau Po terhapus seketika.
"Kau benar. Bagiku, jangan kata baru tiga ribu tail, tiga laksa tail pun tidak akan aku
menjual sahabatku!" Meskipun mulutnya berkata demikian, tetapi namanya juga anak-anak, ia tetap
membayangkan betapa senangnya memiliki uang sebesar tiga ribu tail.
"Baiklah," kata Mau Sip-pat. "Sekarang kita tidur dulu. Besok pagi ada dua orang
sahabatku lainnya yang akan datang mencari aku. Kami sudah mengadakan perjanjian
untuk bertemu di bukit Tek Seng san. perjanjian mati, sebelum bertemu siapa pun tidak
boleh memisahkan diri!"
Siau Po sudah lelah dan mengantuk. Dia tidak begitu ambil perhatian atas kata-kata
Mau Sip-pat. Begitu menyenderkan tubuhnya pada sebatang pohon, dia langsung
tertidur pulas. Keesokan paginya ketika dia terbangun, Siau Po melihat Mau Sip-pat sedang berdiri
menghadap matahari terbit sepasang telapak tangannya merangkap di depan dada dan
nafasnya teratur sekali. Kemungkinan dia sedang melatih diri untuk menyembuhkan
luka dalamnya. Sampai cukup lama Mau Sip-pat melakukan hal itu, Ketika membuka mata, dia
melihat Siau Po sedang memandanginya dengan terkesima. Bibirnya langsung
menyunggingkan seutas senyuman.
"Kau sudah bangun?"
Siau Po menganggukkan kepalanya.
"Sekarang kau seret dulu mayat kedua orang itu ke balik pohon besar itu, Kemudian
asahlah ketiga batang golok itu agar menjadi tajam," kata Mau Sip-pat selanjutnya.
Siau Po mengiakan ia melakukan perintah sahabatnya dengan gesit. Saat ini dia
baru memperhatikan dengan jelas bahwa usia Mau Sip-pat sekitar empat puluhan
tahun. Tubuhnya kekar, tampangnya gagah.
Setelah selesai mengasah golok, Siau Po berkata. "Aku akan pergi membeli bakpau."
"Di mana kau bisa membeli bakpau di tempat seperti ini?"
"Tidak jauh di bawah sana ada sebuah kedai makanan. Mau toako, kau kan
mempunyai uang, bolehkah aku pinjam sedikit?"
"Kita sudah menjadi saudara satu dengan lainnya. Milikku adalah milikmu juga.
Mengapa harus menyebut kata-kata pinjam?"
Diam-diam Siau Po berpikir dalam hati. "Dia sudah menganggap aku sebagai
sahabat sejatinya, meskipun ada hadiah sebesar tiga ribu tail, tidak boleh aku
melaporkan keberadaannya kepada pembesar negeri. Tapi bagaimana kalau nilainya
satu laksa tail, pusing juga mengambil keputusan.
Dia begitu baik kepadaku, Tidak! Aku tidak boleh mengkhianatinya! Karena itu, Siau
Po segera menerima uang yang disodorkan Mau Sip-pat sambil bertanya: "Mau toako,
apakah aku perlu membelikan obat luka untukmu?"
"Tidak usah. Aku punya," sahut Sip-pat.
"Baiklah, Aku pergi dulu," kata Siau Po. "Mau toako, kau tidak perlu khawatir
seandainya aku sampai tertangkap, meskipun batok kepalaku ini akan dipenggal aku
tidak akan mengaku di mana adanya engkau."
Mau Sip-pat menganggukkan kepalanya, Dia percaya penuh dengan ucapan Siau
Po. Terdengar Wi Siau Po seperti menggumam seorang diri.
"Mau toako masih mempunyai dua orang sahabat yang akan datang, sebaiknya aku
membeli sepoci arak dan beberapa kati daging rebus."
Mau Sip-pat senang sekali mendengarnya. "Bagus sekali, Paling cocok kalau ada
arak dan daging, sesudah perut kenyang, berkelahi pun jadi penuh semangat!"
"Berkelahi" Mengapa kau harus berkelahi?" tanya Siau Po bingung.
"Kau kira untuk apa aku datang kemari tanpa juntrungan" justru aku berjanji dengan
orang untuk bertanding di bukit Tek Seng san ini!"
"Ah! Mau toako sedang terluka, bagaimana bisa berkelahi" Tidak bisakah kau
menundanya sampai lukamu itu sembuh" Atau pihak sana yang tidak bersedia
mengundurkan waktunya?"
"Aih. Kau tidak tahu," sahut Mau Sip-pat. "Pihak sana terdiri dari orang-orang gagah,
mana mungkin mereka tidak setuju apabila tahu aku sedang terluka, justru aku yang
tidak ingin menunda waktunya."
Mau Sip-pat merenung sejenak, kemudian baru melanjutkan kata-katanya kembali:
"Hari ini bulan tiga tanggal dua puluh bukan" janji hari ini sudah kami tetapkan sejak
setengah tahun yang lalu, Sempat aku tertangkap oleh pembesar negeri dan dipenjara.
Tapi aku terus mengingat perjanjian itu. Janji yang sudah diucapkan oleh seorang
lakilaki sejati tidak boleh diingkari. Karena itulah aku kabur dari penjara untuk datang
kemari. Selagi melarikan diri, aku sempat membunuh beberapa orang petugas, itulah
sebabnya kota Yang-ciu jadi gempar dan para pembesar negeri pun mencari aku. Akhirnya
kau tentu sudah tahu, yakni terjadi keributan di rumah pelesiran itu. Celakanya aku
jadi terluka gara-gara urusan itu."
Siau Po diam saja mendengarkan. Setelah Mau Sip-pat menyelesaikan kata-katanya,
baru dia membuka suara. "Baiklah, Aku akan pergi sekarang juga dan kembali
selekasnya agar kau sempat mengisi perut sampai kenyang." Wi Siau Po langsung
membalikkan tubuh dan berlari meninggalkan tempat itu.
Pasar atau kedai makanan yang dimaksudkannya terletak pada jarak kurang lebih
tujuh delapan li, sebentar saja dia sudah sampai di sana, tetapi otaknya terus
digelayuti tentang apa yang dikatakan sahabatnya.
"Aih! Mau toako sedang terluka, mana bisa dia berkelahi dengan orang" jalan saja
sukar. Tetapi, apa akal ku untuk membantunya?"
Dengan pikiran melayang-layang, Siau Po membeli belasan butir bakpau dan
delapan cakwe, harganya hanya dua puluh bun lebih. Di sakunya masih tersisa banyak
uang. jangan kata memilikinya, memegangnya saja baru sekarang ini.
Hatinya jadi bingung bagaimana harus menggunakan uang sebanyak itu. Siau Po
pergi ke toko daging, Dia membeli sekati daging kerbau yang sudah matang dan seekor
bebek panggang, Sebotol arak Hong ciu. Sisa uangnya masih cukup banyak.
Akhirnya sebuah ingatan melintas di benak Wi Siau Po.
"Akh, sebaiknya aku membeli tambang. Nanti aku akan membuat jerat untuk
dibentangkan di atas tanah, Apabila pihak sana kurang berhati-hati ketika berkelahi,
dia bisa tersandung jatuh, sehingga Mau toako mudah mengalahkannya."
Siau Po teringat akan cerita dongeng yang sering didengarnya, yakni menjatuhkan
atau membuat kuda musuh terjungkal oleh tali panjang yang direntangkan itulah
sebabnya ia cepat-cepat menuju toko kelontong.
Di depan toko itu, Siau Po melihat empat buah guci besar, Yang pertama berisi
beras, yang kedua berisi kacang kedelai, yang ketiga berisi garam dan yang terakhir
berisi semen. Melihat bubuk semen itu, Siau Po teringat suatu peristiwa yang sempat dilihatnya
tahun lalu, Dia berpikir dalam hati: "Di tepi jembatan Sian li Ki waktu itu terjadi
pertempuran antara para penyelundup garam dari dua sindikat yang berlainan. Salah
satu pihak menggunakan timpukan semen sehingga dari keadaan kalah dia menjadi
menang. Kenapa aku tidak mengingat akal itu sejak tadi?"
Membawa pikiran itu, Siau Po tidak jadi membeli tambang, sebaliknya ia membeli
dua kantong semen yang lantas dibawanya ke bukit Tek Seng San di mana Mau Sip-pat
menunggu. Mau Sip-pat sedang tertidur nyenyak ketika Siau Po kembali Mendengar suara
langkah kaki, dia langsung tersentak bangun. Tanpa berbasa-basi lagi dia meraih botol
arak dan meneguk isinya beberapa kali.
"Arak bagus!" pujinya, "Apakah kau sendiri tidak merasa haus?"
Sebetulnya Siau Po tidak biasa minum arak, tapi untuk menjaga gengsinya sebagai
orang gagah, dia menyambut juga botol yang disodorkan oleh Mau Sip-pat dan
meneguk isinya satu kali.
Serangkum hawa panas yang seperti api membakar tenggorok-annya. Tanpa dapat
ditahan lagi Siau Po terbatuk-batuk. Mau Sip-pat tertawa terbahak-bahak.
"He, enghiong cilik, kau belum cukup mahir minum arak!" katanya menggoda.
Tepat pada saat itu terdengar sebuah suara menyapa.
"Hai, Sip-pat heng, sudah lama kita tidak berjumpa, bagaimana kabarmu sejak
perpisahan kita?" Sip Pat memalingkan kepalanya. "Oh, rupanya Go heng dan Ong heng sudah
datang," sahutnya, "Tentunya kalian berdua sehat-sehat saja bukan?"
Siau Po yang mendengar tegur sapa itu merasa terkejut sekali. Untuk sesaat dia jadi
tertegun sampai-sampai bakpau di tangannya pun lupa dicaploknya.
Cepat dia menoleh ke arah sumber suara. Dia melihat dua orang tengah mendatangi
dengan cepat. Anehnya, mereka tidak berlari, hanya melangkah tapi gerakan mereka
bagaikan kilat. Dalam sekejap mata mereka sudah sampai di depan Mau Sip-pat dan
Siau Po. Yang satu merupakan seorang tua, kumis dan janggutnya panjang sekali menjuntai
sampai di depan dada, wajahnya belum keriput, bahkan kulitnya berwarna kemerahmerahan
seperti anak gadis berusia lima enam belasan tahun, sedangkan yang satu
lagi berusia kurang lebih empat puluhan tahun. Tubuhnya pendek dan buntek,
Kepalanya botak dengan kuncir kecil yang lucu sekali.
Mau Sip-pat menjura sambil tetap mendeprok di atas tanah.
"Kakiku ini sedang kurang leluasa, tidak bisa memberi hormat sebagaimana
layaknya," katanya. Si botak sepertinya kurang puas dengan tindakan Mau Sip-pat, tapi rekannya segera
berkata. "Tidak apa-apa, jangan sungkan."
Diam-diam Siau Po menggerutu dalam hati. "Mau toako terlalu jujur, kakinya sedang
terluka pun diberitahukan kepada pihak lawan."
Terdengar Mau Sip-pat berkata kembali "Di sini kebetulan ada arak dan daging,
maukah kalian mencicipinya sedikit?"
"Maaf kalau kami telah mengganggu keasyikan Mau heng.,." kata si orang tua
langsung ikut mendeprok di sisi Mau Sip-pat dan mengulurkan tangan menyambuti
botol arak. Menyaksikan hal itu, hati Siau Po menjadi girang, Tadinya dia masih bingung dan
khawatir. "Oh kiranya mereka ini sahabat-sahabat Mau toako, Kedatangan mereka bukan
untuk berkelahi. Bagus sekali. Dengan demikian Mau toako berarti mendapat bantuan
dua tenaga apabila sebentar lagi lawannya datang, sayangnya mereka tidak membawa
senjata. Eh, apakah mereka mengerti ilmu silat atau tidak ya?"
Si orang tua mengangkat botol arak ke dekat mulutnya, Ketika dia ingin meneguknya,
terdengar si botak berkata. "Go toako, sebaiknya kau jangan minum arak itu!"
Suaranya keras sekali sehingga Siau Po terperanjat. Tanpa dapat menahan diri lagi,
kakinya menyurut mundur dua langkah.
Orang tua itu sempat tertegun sejenak, kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
"Tidak perlu berprasangka buruk. Sip-pat heng adalah seorang laki-laki sejati Tak
nanti dia menaruh racun dalam arak." ia terus meneguk arak itu sebanyak dua kali.
Kemudian dia menyodorkan botol itu ke hadapan rekannya. "Kalau kau tidak sudi
meneguk arak ini, berarti kau tidak menghargai sahabatmu."
Si botak ragu-ragu sejenak, tapi tampaknya dia tidak berani menentang ucapan si
orang tua. Tangannya segera menjulur ke depan untuk menyambut botol arak, tapi baru
saja dia hendak meneguknya, botol arak itu sudah direbut oleh Mau Sip-pat
"Araknya kurang banyak. Lagipula Ong heng tidak gemar minum, lebih baik hemat
sedikit untuk diriku sendiri!" katanya sambil menenggak habis isi botol itu.
Wajah si botak menjadi merah padam seketika, Tapi dia tidak berkata apa-apa.
Diambilnya sepotong daging lalu dikunyahnya, Terdengar Mau Sip-pat berkata kembali.
"Tuan-tuan, mari aku kenalkan dulu pada sahabat baikku ini!" tangannya menunjuk
kepada si orang tua kemudian berkata lagi kepada Siau Po, "lni tuan Go Tay Peng,
orang kangouw menjuIuki-nya Mo In-Jiu (tangan meraba mega/awan), ilmu silatnya
tinggi sekali hampir tanpa tandingan."
Si orang tua yang bernama Go Tay Peng langsung tertawa lebar.
"Mau heng, kau sungguh pandai membuat kepalaku besar!" tetapi ketika
memperhatikan keadaan sekitarnya, dia menjadi heran karena di tempat itu tidak ada
orang lain kecuali Mau Sip-pat dan rekannya yang she Ong, Lalu siapa sahabat yang
dimaksudkannya" Sip-pat kembali menunjuk kepada si botak.
"Yang ini Ong suhu yang bernama tunggal Tan. Beliau mendapat julukan Siang Pit
Kay-San (sepasang pit pembuka gunung), ilmunya lihay sekali."
"Mau heng hanya berkelakar saja. justru aku pernah dikalahkan olehmu dan hal itu
membuat aku malu sekali...."
"Saudara Ong tidak perlu merendah," tukas Mau Sip-pat. Dia terus menunjuk ke arah
Siau Po dan berkata kembali "inilah sahabat baruku...."
Go Tay Peng dan Ong Tan jadi tertegun serentak. Sesaat kemudian tampak
keduanya saling pandang, mereka benar-benar bingung, Setelah itu mereka
menolehkan kepalanya memperhatikan si bocah laki-laki yang usianya paling banter
dua belas tahun itu, Tubuhnya kurus kering pula.
"Siapakah bocah ini?" pikir mereka dalam hati.
Sementara itu, terdengar Mau Sip-pat melanjutkan kata-katanya. "Sahabat kecilku ini
she Wi, namanya Siau Po. Orang kangouw menjulukinya..." Mau Sip-pat menghentikan
kata-katanya sejenak seakan sedang berpikir. "Siau pek-liong (Si Naga putih yang
keciI). ilmu berenangnya istimewa sekali. Dia sanggup menyelusup di dalam air selama
tiga hari tiga malam. Untuk mengisi perut dia makan udang dan ikan mentah!"
Sengaja Mau Sip-pat berkata demikian, walaupun dia tahu Siau Po tidak mengerti
ilmu silat sama sekali. Kedua sahabatnya merupakan tokoh-tokoh dunia kangouw yang
ilmunya tinggi sekali, tentu saja tidak mudah dikelabui. Tapi kedua orang itu tidak
bisa berenang, karena itu dia memakai alasan itu untuk meninggikan derajat Wi Siau Po.
Dengan demikian mereka juga sukar membuktikan kebenaran kata-katanya.
"Nah, aku harap kalian bertiga dapat mengikat persahabatan yang kekal."
Go Tay Peng dan Ong Tan segera menjura kepada Wi Siau Po sambil berkata:
"Telah lama kami mendengar nama besarmu, saudara muda."
Siau Po tidak mau kalah set. sembari membalas hormat, dia pun berkata: "Aku juga


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah lama mengagumi kalian."
Dalam hati Siau Po justru mengeluh "Mau toako bisa saja, Orang seperti aku ini
mana pantas disebut tokoh kangouw" lagipula aku tidak bisa berenang, bagaimana
kalau hal ini ketahuan kelak?"
Perjamuan istimewa itu pun dilanjutkan sampai akhirnya arak habis, daging serta
bakpau tidak bersisa lagi, Ong Tan mula-mula yang paling malu, tapi belakangan dia
yang justru paling banyak gegares.
Mau Sip-pat menyeka mulutnya dengan ujung bajunya, kemudian berkata: "Go loya
cu, sahabat cilikku ini pandai berenang dan menyelam. Tetapi dia tidak mengerti ilmu
silat sama sekali, Karena itu, dalam pertempuran kali ini, hanya satu lawan dua. Hal
ini bukan semata-mata karena aku memandang rendah kalian berdua...."
Go Tay Peng memperhatikan Mau Sip-pat lekat-lekat. "Aku rasa sebaiknya
perkelahian ini kita tunda setengah tahun lagi saja."
"Kenapa?" tanya Mau Sip-pat heran.
"Kau sedang terluka, Mau heng. Tentu kau tidak bisa mengerahkan ilmumu dengan
baik," sahut Go Tay Peng. "Andaikata aku si orang tua meraih kemenangan, tidak ada
yang dapat kubanggakan. Tetapi kalau aku sampai kalah, habislah pamorku selama
ini." "Bagiku, terluka atau tidak, tak banyak bedanya," kata Mau Sip-pat sambil tertawa
terbahak-bahak "Kalau kita harus menunggu setengah tahun, apakah usus kita tidak
jadi melilit dan putus?"
Dengan tangan kiri menopang pada batang pohon dan tangan kanan menggunakan
golok sebagai tongkat, Mau Sip-pat berdiri perlahan-lahan.
"Go loya cu, kau memang selamanya tidak pernah menggunakan senjata. Saudara
Ong, keluarkanlah andalanmu itu!" katanya.
Bagian 02 "Baik!" seru Ong Tan sambil mengeluarkan sepasang boan-koan pit dari selipan
pinggangnya, Senjata inilah yang membuat nama orang ini jadi terkenal dan mendapat
julukan Siang Pit Kay-San.
"Baiklah, Mau heng, bila kau tetap memaksakan kehendakmu Ong te, kau bersiap
sedia saja, sebentar kalau aku menderita kekalahan, baru kau maju."
Sebagai seorang tokoh dunia kangow yang sudah mempunyai nama, Go Tay Peng
tidak mau menghadapi lawan dengan cara mengeroyok.
"Baik!" sahut Ong Tan kemudian menyurut mundur tiga langkah.
Go Tay Peng sudah bersiap sedia, pergelangan tangannya memutar. Tangan
kanannya melingkar, terus diluncurkan kepada lawan. Dia menyerang sambil
melindungi dirinya sendiri.
"Serrr! Sip-pat menebaskan goloknya. Dia tidak menangkis atau menebas tangan
kanan lawan, yang diincarnya justru tangan kiri!
Sungguh suatu serangan balasan yang hebat sekali!
Go Tay Peng menangkis dengan tangan kirinya. Kepala dan bahunya dimiringkan
sedikit. Gerakannya bukan hanya menghindarkan diri dari serangan lawan, tapi tangan
kirinya sekaligus menyambar ke arah tangan kanan Mau Sip-pat yang menggenggam
golok. Mau Sip-pat menghindar dengan memutar tubuhnya, pukulan lawannya mengenai
batang pohon, Terasa getaran yang kuat dan dedaunan dari pohon itu pun rontok
sebagian. "PukuIan yang hebat!" puji Mau Sip-pat. Diam-diam dia mengakui bahwa julukan
lawannya bukan nama kosong belaka.
Mau Sip-pat sendiri bukan hanya memuji, dia juga maju menyerang, menebas
pinggang lawan dengan goloknya, Go Tay Peng menutulkan sepasang kakinya di atas
tanah sehingga dengan gerakan indah tubuhnya mencelat ke atas. Bahkan jenggotnya
sampai melambai-lambai karena hembusan angin.
Sungguh di luar dugaan, meskipun usianya sudah lanjut, gerakan Mo In-Jiu Go Tay
Peng ternyata masih demikian lincah dan gesit. Wi Siau Po merasa kagum sekali.
Seumur hidup dia belum pernah melihat perkelahian yang demikian seru.
Namun dia juga mengkhawatirkan keadaan Mau Sip-pat. Diam-diam dia berpikir,
"Bisa celaka kalau Mau toako sampai terhajar pukulannya yang lihai itu."
Pertempuran berlangsung semakin sengit, golok Mau Sip-pat memutar ke sanakemari
sehingga timbul cahaya yang berkilauan Semua serangan lawan dapat
dihadapinya dengan baik. Tepat pada saat pertarungan masih berlangsung, tiba-tiba terdengar suara derap
kaki kuda. Ke empat orang itu menoleh serentak. Mereka melihat belasan penunggang
kuda sedang mendatangi dan begitu tiba di dekat mereka lantas memencarkan diri
mengambil posisi mengepung.
Dari pakaian seragamnya dapat diketahui bahwa mereka terdiri dari tentara Boan.
sedangkan orang yang menjadi pimpinannya segera berteriak dengan lantang.
"Berhenti semua! Kaml mendapat perintah menangkap penjahat besar Mau Sip-pat.
Kalian yang tidak ada sangkut pautnya, harap segera mengundurkan diri!"
Mendengar kata-kata itu, Go Tay Peng menghentikan serangannya kemudian
mencelat mundur. Sikap Mau Sip-pat berani sekali. Dia segera berkata kepada
rekannya. "Go loya cu, kawanan kuku garuda ini muncul lagi. Tujuan mereka kemari hanya
mencari aku, sebaiknya kau tidak usah perdulikan mereka. Kita lanjutkan saja
pertarungan kita." Go Tay Peng tidak menggubris ucapan Mau Sip-pat. Dia menatap para tentara itu
dengan mengedarkan pandangan matanya kemudian berkata kepada si pemimpin.
"Mau Sip-pat adalah seorang rakyat jelata, bagaimana kalian bisa menganggapnya
sebagai penjahat besar" Mungkinkah kalian mencari orang yang salah?"
Si perwira tertawa dingin.
"Dia rakyat jelata?" sikapnya seperti mengejek "Kalau orang seperti dia dapat disebut
rakyat yang baik-baik, entah berapa banyak orang baik di dunia ini?"
Matanya melirik ke arah Mau Sip-pat kemudian melanjutkan kata-katanya kembali
"Sahabat Mau, bukankah kau telah menerbitkan keonaran besar di kota Yang-ciu"
Seorang yang gagah pasti bertanggung jawab atas hasil perbuatannya, sebaiknya
secara baik-baik saja kau turut dengan kami!"
"Boleh kau tunggu dulu sebentar," sahut Mau Sip-pat seenaknya, "Kau saksikan dulu
bagaimana aku melayani Go loya cu ini sampai ada yang menang atau kalah!"
Kemudian dia menoleh kepada Go Tay Peng sambil berkata pula: "Go loya cu, biar
bagaimanapun hari ini kita harus bertempur sampai ada hasilnya, Kalau kita menunda
lagi sampai setengah tahun lamanya, siapa yang berani memastikan di saat itu Mau
Sip-pat masih bernafas?"
Si perwira yang mendengar ocehannya mulai kehabisan rasa sabar.
"Kamu bertiga, kalau kalian memang bukan sekongkolan Mau Sip-pat, sebaiknya
lekas tinggalkan tempat ini! jangan mencari penyakit bagi diri kalian sendiri!"
Mau Sip-pat gusar sekali. Tanpa takut sedikit pun dia mendamprat. "Nenek nyinyir!
Buat apa kau begitu bawel?"
Si perwira semakin gusar. Dia mengalihkan pandangannya kepada Go Tay Peng dan
Ong Tan. "Kalian berdua bertarung dengannya. Hal ini membuktikan bahwa kalian bukan
konconya, Dan kau, Loya cu, janggutmu sudah memutih dan wajahmu bersemu dadu,
apakah kau ini yang mendapat julukan Mo In-Jiu, Go Tay Peng?"
"Tak berani aku menerima pujian saudara yang demikian tinggi. Tapi memang benar,
akulah Go Tay Peng!" sahutnya merendah.
Si perwira menunjuk lagi ke arah Ong Tan. "Dan itu yang kepalanya botak, pasti
saudara Ong yang mendapat julukan Siang Pit Kay-San, bukan?"
"Hm!" Ong Tan menjawab dengan singkat.
Sementara itu, Go Tay Peng memperhatikan si perwira dengan seksama, usianya
mungkin sekitar empat puluhan tahun, suaranya cukup lantang, menandakan tenaga
dalamnya yang cukup kuat.
Diam-diam Go Tay Peng merasa aneh bahwa di dalam pimpinan ketentaraan Boan
ada orang pandai seperti dia. sedangkan rekan-rekannya yang lain juga tampaknya
bukan orang sembarangan. Kemudian dia melihat si perwira menggunakan senjata joan-pian, yakni semacam
ruyung yang lunak mirip cambuk yang dapat dilipat dan di pinggang kirinya
bergelantung sebuah senjata seperti boIa yang berduri. Dengan demikian dia langsung
dapat menduga siapa adanya perwira itu, Terdengar dia berkata.
"Kabarnya Hek Liong-pian Su Siong adalah seorang tokoh yang mencintai
kegagahan di dunia kangouw, entah sejak kapan menjadi hamba pemerintah musuh?"
Memang benar, perwira itu bukan lain dari Hek Liong-pian Su Siong atau si Cambuk
Naga Hitam. wajahnya menjadi merah padam mendengar sindiran Go Tay Peng.
"Go Siau-Po yang ada di kota Pe King sangat bijaksana, Dia juga mempunyai
pergaulan yang luas serta pandai menghormati orang-orang pintar dan gagah. Aku
yang bodoh saja telah diundangnya untuk menjadi perwira bagi Sri Baginda Raja, Dan
beberapa sahabatku ini juga merupakan undangan Go Siau-Po."
Hek Liong-Pian menghentikan kataku tanya sejenak, "Kami dari kota raja yang jauh
sengaja datang kemari karena mendapat tugas untuk mengajak pulang sahabat Mau ini
ke kota Pe King, Siapa sangka, sahabat ini telah melakukan keonaran di kota Yang-ciu,
bahkan melarikan diri dari penjara. Sungguh kebetulan kita dapat berjumpa di sini!"
"Begitu rupanya," sahut Go Tay Peng tawar.
Terdengar Mau Sip-pat berkata.
"Go Pay mengaku dirinya sebagai jago nomor satu dari suku bangsa Boan-ciu,
sebetulnya sampai di mana tingginya ilmu silat orang itu?"
"Go siau-po mempunyai tenaga alamiah, kekuatannya hebat sekali," sahut Su Siong,
"llmu silatnya memang patut disebut nomor satu di dunia ini. pernah satu kali di kota
Pe King dia membunuh seekor kerbau dengan menghantamkan kepalannya. Bukankah
kau yang seorang penjahat besar pun sudah mengetahuinya?"
Mau Sip-pat marah sekali diejek sebagai penjahat besar.
"Makmu! Aku tidak percaya Go Pay sedemikian lihay, Aku justru ingin pergi ke Pe
King untuk menghadapinya!"
Su Siong tertawa dingin. "Orang semacam kau hendak melawan Go siau-po " Hm! Asal kena tinjunya satu kali
saja, kau pasti akan terkapar mampus di atas tanah!"
Hek Liong-pian menoleh kepada Go Tay Peng dan Ong Tan.
"Go loya cu, saudara Ong, harap kalian menggeser sedikit!"
Tiba-tiba Ong Tan yang sejak tadi diam saja berkata.
"Apa yang kau katakan tadi mengenai kepalaku " Bukankah kau mengejek aku
sebagai si botak?" Sejak muda Ong Tan paling keki kalau orang mengungkit soal kepalanya yang botak,
Kepekaannya langsung tergores.
"0h... tidak," sahut Su Siong sambil tertawa, "Aku tidak ber...."
Semakin meluap kemarahan Ong Tan. Hek Liong-pian bukannya minta maaf malah
tertawa. "Lalu, apa maksudmu" Mengapa kau tertawa barusan?" bentak Ong Tan.
"Mengapa aku tidak boleh tertawa, Yang botak kan kau sendiri, apa urusannya
dengan kami?" Rasanya seperti ada bara api yang berkobar di dada Ong Tan. Langsung saja dia
mengirimkan sebuah serangan ke depan, jurus yang digunakannya adalah ilmu totokan
yang istimewa, yakni Ular naga mencelat ke atas, burung Hong terbang di udara"
Su Siong tertawa terbahak-bahak. Kakinya menyurut mundur dan dengan secepat
kilat Joanpian-nya sudah tercekal di tangan, senjatanya yang istimewa itu melayang ke
pinggang lawan. Ong Tan menghindarkan diri sambil dengan Boan-koan pit kirinya, Kedua senjata itu
langsung beradu, sementara itu, duri-duri yang tajam dari Joanpian Hek Liong-pian
mengancam bagian belakang kepala Ong Tan sehingga terpaksa dia menangkis pula
dengan Boan-koan pit kanannya.
Su Siong segera menarik senjatanya ke beIakang, tetapi sekejap kemudian dia
mengasongkan kembali ke muka lawan, Dia tidak menyerang dengan sungguhsungguh,
hanya menggerakkannya ke depan dan kemudian ditarik kembali, lalu
diselipkan di pinggangnya, Dalam segebrakan dia sudah membuat Ong Tan kerepotan.
Melihat kehebatannya, para pengikutnya langsung memberi sambutan yang meriah.
"Saudara Su, ternyata ilmumu memang hebat sekali, jurus yang kau gunakan
barusan tentunya Sin-liong Sam-pa bwe (Naga sakti menggoyangkan ekornya)."
"Tak berani aku menerima pujian setinggi itu, Harap jangan ditertawakan" sahut Hek
Liong-pian. Sementara itu, Ong Tan masih ragu apakah harus meneruskan serangannya atau
tidak, Su Siong sendiri tidak menggubris Ong Tan lagi. Sembari tertawa lebar dia
memalingkan kepalanya kepada Mau Sip-pat.
"Orang she Mau, bangunlah" ikut kami meninggalkan tempat ini!"
"Tidak demikian mudah, sahabat!" Sahut Mau Sip-pat dengan datar "Kalian
berjumlah tiga belas orang, sedangkan aku hanya sendiri. Meskipun rasanya tidak
masuk akal satu sanggup melawan tiga belas orang, tapi aku ingin mencobanya juga."
Mendengar kata-katanya Go Tay Peng langsung tersenyum.
"Mau heng, mengapa kau menganggap kami ini seperti orang luar saja" Kau bukan
melawan mereka seorang diri, tetapi empat melawan tiga belas!"
Mau Sip-pat tertegun sejenak, kemudian dia menoleh kepada Ong Tan.
"Saudara Ong, kau membantu pihak yang mana?"
"Sudah tentu aku berpihak padamu!" sahut Ong Tan tegas.
"Tuan berdua, harap kalian jangan ceroboh, Siapa yang berani melawan pemerintah
yang agung, urusannya bisa gawat sekali!"
Go Tay Peng kembali tersenyum, dia berkata.
"Dikatakan memberontak, tentu kami tidak berani, Yang benar, menentang pihak
yang sewenang-wenang!"
"Apa bedanya" Orang she Go, apakah kau sudah bertekad untuk membantu
pemberontak ini?" "Harap tuan jangan salah duga, sebaiknya kau memaklumi dulu duduk persoalannya,
Setengah tahun yang lalu, saudara Mau dan saudara Ong ini sudah mengikat perjanjian
untuk melakukan pertandingan persahabatan hari ini. Di dalam urusan ini, aku yang
rendah juga telah diikutsertakan. Tetapi nyatanya, apa yang terjadi kemudian"
pembesar negeri benar-benar memperlihatkan kesan yang kurang baik. Mereka telah
menangkap saudara Mau, kemudian memenjarakannya, sedangkan Mau adalah
seorang laki-laki sejati, tidak nanti dia mengingkari janjinya sendiri. Bisa-bisa jatuh
nama baiknya di dunia kangouw dan dianggap sebagai pengecut.
Untuk menghindarkan hal yang tidak di'inginkan, terpaksa Mau heng melarikan diri
dari penjara guna memenuhi perjanjian ini, Dalam hal ini, pembesar negerilah yang
memaksa rakyat memberontak Sekarang, jika saudara sudi memandang mukaku,
silahkan kau menarik pasukanmu dari tempat ini. Biarkan kami menyelesaikan dulu
urusan ini. Besok kau boleh kembali lagi. Pada saat itu kau hendak menawan Mau heng
atau tidak, bukan urusan kami lagi!"
"Tidak bisa!" sahut Su Siong tegas.
Salah seorang rekannya segera maju ke depan dan berkata dengan suara keras.
"Sahabat Su, buat apa banyak bicara?" Orang itu menghunus goloknya. setibanya di
depan Go Tay Peng, dia langsung mengirimkan serangan.
Tentu saja Go Tay Peng mendongkol sekali. Dia segera menggeser kakinya ke
samping kemudian mencelat ke atas. Sebelah tangannya menjulur ke depan, dalam
sekejap mata dia sudah berhasil mencengkeram orang yang masih duduk di ataskuda
itu dan membantingnya dengan keras ke tanah.
"Pemberontak! Pemberontak!" Para prajurit lainnya segera berteriak sambil mencelat
turun dari kuda masing-masing dengan kalang kabut, Mereka segera mengepung Go
Tay Peng dan yang lainnya.
Dengan demikian, terpaksa Go Tay Peng dan Ong Tan melakukan perlawanan.
Tidak terkecuali Mau Sip-pat, meskipun keadaannya masih terluka dan terpaksa
melawan dengan punggung bersandar pada sebatang pohon, tetapi serangannya lihai
sekali. Dua orang musuh yang menerjang ke arahnya langsung tertebas bagian
pinggangnya sehingga menemui ajal seketika.
Su Siong masih belum turun tangan. Dia menyaksikan jalannya pertempuran dari
atas kudanya, sementara itu, Wi Siau Po yang cerdik mengerahkan akalnya, Diam-diam
dia menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit sehingga keluar dari kancah pertempuran.
Rupanya karena dia hanya seorang bocah cilik, pihak lawan tidak begitu
memperhatikannya, Lagi-pula sejak perdebatan terjadi, dia sudah menyembunyikan diri
di belakang sebatang pohon yang jaraknya kurang lebih satu tombak. Di sana diamdiam
dia berpikir "Sebaiknya aku kabur saja atau menonton terus jalannya
pertempuran?" Hatinya diliputi kebimbangan.
"Mau toako cuma bertiga, sedangkan lawan jauh lebih banyak, Mana mungkin
mereka bertahan terus, bisa-bisa malah tewas di tangan para prajurit ini. Apakah
perwira itu akan melepaskan aku kalau yang lainnya sudah mati" Tapi, Mau toako
sudah menganggap aku sebagai sahabat sejatinya. Lagi-pula aku sendiri yang
mengatakan senang dan susah dicicipi bersama. Kalau sekarang aku diam-diam kabur,
tentu aku malu pada diriku sendiri. Tidak pantas lagi aku disebut sebagai sahabat
sejati!" Tepat pada saat itu, terdengar suara bentakan Go Tay Peng, seorang lawannya
roboh binasa karena terhantam pukulannya, sementara itu, Ong Tan masih dikeroyok
tiga orang lainnya. Mau Sip-pat sendiri sudah berhasil menebas kutung kaki salah seorang lawannya
yang kini terkulai di atas tanah, merintih kesakitan sembari mencaci maki dengan
katakata yang kotor. Tidak urung hati Su Siong tercekat juga melihat keadaan ini. Dua orangnya sudah


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak berdaya dan tiga lainnya sudah binasa, sekarang sisanya tinggal tujuh orang lagi.
Memang kalau ditilik dari keadaannya, posisi mereka masih di atas angin, tapi siapa
yang berani menjamin apa yang akan terjadi nanti"
"Tidak boleh aku berdiam diri terlalu lama" katanya dalam hati, Terdengar dia
mengeluarkan suara bentakan keras lalu melompat turun dari kudanya. Yang diincarnya
sudah barang tentu Mau Sip-pat. Begitu sampai di hadapan orang itu, dia langsung
menyerang dengan gencar Mau Sip-pat mengadakan perlawanan dengan goloknya, Setiap serangan
dihadapinya dengan hati-hati, dia mengerahkan jurus Ngo-Houw Toan Bun To (llmu
golok lima harimau). Tepat pada saat itu, kembali terdengar suara bentakan Go Tay Peng yang disusul
dengan robohnya seorang lawan lagi. Dengan demikian pihak prajurit kerajaan itu
berkurang satu tenaga lagi.
Ong Tan masih kelabakan menghadapi tiga lawannya, Pahanya telah terluka karena
bacokan golok musuh, tapi dia tetap mempertahankan diri.
Tiga lawan Go Tay Peng lainnya mempunyai kepandaian yang lumayan, itulah
sebabnya mereka masih sanggup bertarung terus, Beberapa kali serangan Go Tay
Peng dapat mereka hadapi dengan baik.
Sementara itu, diam-diam Su Siong merasa kagum melihat kepandaian Mau Sip-pat.
Musuhnya itu sedang terluka, kedua kakinya tidak dapat bergerak dengan leluasa pula,
tapi serangan tangannya lihai sekali. Terutama tangan kanan yang menggenggam
golok, Sampai sekian lama, belum sempat Joan-pian lawan mengenai tubuhnya.
"Untung saja kakinya terluka, kalau tidak tentu sejak tadi aku sudah berhasil
dikalahkan olehnya," pikir Su Siong dalam hatinya. Segeralah ia menguras otaknya
mencari akal untuk menghadapi lawan. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam
benaknya. Dengan jurus Pek-Coa Tou Sin (Ular putih menyemburkan racun) ia menyambar
bahu kanan lawannya. Mau Sip-pat langsung menangkis. Tidak dinyana, ternyata
serangan itu hanya tipuan belaka, Tangan lawan berubah saat itu juga. Dengan
menggunakan siasat "Bersuara di timur, menyerang dari barat, Hek Liong-pian
menyerang kembali dengan jurus "Giok-Tai Wi Yau" (Sabuk kumala melilit pinggang)"
Joan-pian bergerak dari kiri ke kanan mengincar pinggang lawan. seandainya
sepasang kaki Mau Sip-pat dapat digerakkan, pasti dia akan bergerak maju ke depan
atau mencelat mundur ke belakang.
Tetapi keadaannya justru tidak mengijinkan mau tidak mau dia terpaksa menyambut
serangan lawannya dengan kekerasan!
Gerakan tubuh Su Siong cepat sekali. Ujung senjatanya tidak dapat tersentuh oleh
golok lawan, Malah dia berhasil melilit tubuh lawannya sehingga melingkar tiga kali
sehingga terikat di batang pohon. Kemudian dia mengirimkan serangan ke arah dada
lawan. Mau Sip-pat terperanjat setengah mati, dadanya tertusuk oleh duri-duri yang terdapat
di ujung Joan-pian. Ketika mendapatkan perintah dari atasannya, Su Siong sudah dipesan wanti-wanti
untuk membawa Mau Sip-pat dalam keadaan hidup, Biar bagaimana dia harus menuruti
perintah itu. Sekarang, setelah berhasil melumpuhkan Mau Sip-pat, dia akan membantu rekannya
membereskan Go Tay Peng dan Ong Tan. Dengan demikian tugasnya sudah selesai
dan dia dapat kembali ke kota raja dengan tenang.
Itulah sebabnya dia segera membungkuk dengan maksud mengambil golok Mau Sippat
dan mengutungkan lengan kanannya sehingga menjadi cacat untuk selamanya.
Tentunya niat perwira itu sudah kesampaian, apabila tiba-tiba tidak meluncur
bayangan putih yang melesat ke arahnya sehingga dia jadi terkesiap dan panik.
Ternyata bayangan putih itu adalah sejenis bubuk yang langsung menerpa matanya
sehingga tidak dapat dibuka. Ada sebagian pula yang tersedot ke dalam hidung dan
masuk atau tertelan ke dalam mulut, sehingga tenggorokannya bagai tercekat.
Tapi yang paling hebat justru bubuk yang masuk ke dalam kelopak malanya. Bukan
saja dia tidak bisa melek, namun juga merasa perih sekali, sedangkan mulutnya tidak
dapat mengeluarkan suara sedikit pun disebabkan tenggorokannya yang tersumbat.
Terpaksa Su Siong membatalkan niatnya untuk memungut golok, Dia mengucekucek
matanya, semakin dikucek semakin perih, Saat itulah Su Siong sadar bahwa
musuh sudah menyerangnya dengan bubuk semen. Hanya dia tidak dapat menduga
musuh mana yang membokongnya.
Hatinya juga terkejut setengah mati Sebab dia ingat bahwa semen tidak dapat
dibersihkan dengan air, karena semakin melarut dan dapat mengakibatkan kebutaan,
justru di saat pikirannya sedang bingung. Dia merasa ada suatu benda dingin yang
masuk ke dalam perutnya, lalu rasa perih yang tidak terkirakan menyerangnya.
Rupanya sebatang golok telah ditikam ke dalam perut orang itu!
Mau Sip-pat yang mengetahui tubuhnya terlilit senjata lawan merasa terkesiap.
Bagian dadanya langsung terasa perih karena duri-duri joanpian yang menusuk bagian
dadanya. Di saat hatinya masih dilanda kebingungan tiba-tiba dia melihat ada semacam bubuk
putih yang menyerang mata lawannya, sehingga lawan langsung mengucek-kucek
matanya, Kemudian dia melihat Siau Po memungut golok di atas tanah dan lalu
menancapkannya ke perut Su Siong.
Selesai menikam dengan golok, Siau Po kembali ke balik pohon untuk bersembunyi,
sedangkan Su Siong sempat terhuyung-huyung sejenak sebelum akhirnya rubuh di atas
tanah. Rekan-rekan yang melihat keadaan itu jadi panik. Beberapa orang di antaranya
segera berteriak-teriak manggil.
"Su Siwi! Su Siwi!"
Tepat pada waktu itu pula Go Tay Peng meluncurkan pukulan kirinya membuat
seorang musuhnya terpental beberapa tombak, Mulut orang itu mengeluarkan seruan
tertahan, kemudian tubuhnya jatuh berguling dan mulutnya memuntahkan darah segar.
Dari pihak musuh, masih tersisa lima orang, tetapi mereka sudah ciut nyalinya.
Tanpa menunda waktu lagi mereka lari terbirit-birit Tidak perduli rekannya masih hidup
atau sudah mati, Bahkan kuda tunggangan mereka pun ditinggalkan begitu saja!
Go Tay Peng tidak berniat bermusuhan dengan petugas kerajaan, Karena itu dia
biarkan sisa lima orang itu lari pergi, Dia membalikkan tubuhnya dan berkata kepada
Mau Sip-pat. "Mau heng, hebat sekali! Kau telah berhasil merobohkan Hek Liong-pian!"
Orang tua itu melihat Su Siong sudah terkapar mati, dia mengira Mau Sip-pat yang
melakukannya, Tetapi tampak Sip-pat menggelengkan kepalanya, wajahnya merah
karena jengah. "Sungguh malu, Go loya cu, sebenarnya Su Siong dibunuh oleh Saudara Wi!"
Go Tay Peng dan Ong Tan langsung termangu-mangu mendengar keterangan itu.
"Bocah itu yang membunuhnya?" tanya mereka serentak.
Tadi Ong Tan juga tidak sempat melihat siapa yang membunuh Su Siong, sebab dia
sendiri sedang kelabakan menghadapi lawan-lawannya, Mayat-mayat musuh terkapar
di antara genangan darah. sedangkan yang terluka masih dalam keadaan sekarat. Di
atas tanah juga terdapat semen berserakan, tetapi tidak ada yang memperhatikannya.
Mau Sip-pat menggenggam joanpian milik Su Siong. Dengan menahan rasa nyeri,
dia menarik keluar duri-duri yang menancap di dadanya, otomatis sedikit ujung
dagingnya ikut tertarik, dapat dibayangkan bagaimana rasa sakitnya. Seluruh baju
langsung dipenuhi noda darah.
Begitu senjata lawannya sudah berhasil dicabut, Mau Sip-pat langsung
menghantamkan duri tajam itu ke arah Su Siong yang saat itu belum mati. Orang itu
sempat berkelojotan beberapa kali sebelum nyawanya melayang dengan kepala
hancur. "Saudara Wi. Kau lihay sekali!" seru Mau Sip-pat.
Wi Siau Po muncul dari balik pohon. MuIutnya membungkam karena tidak tahu apa
yang harus dikatakannya, Go Tay Peng dan Ong Tan memperhatikan Siau Po dengan
heran. "Saudara cilik," tanya Go Tay Peng, "Jurus apa yang kau gunakan untuk membunuh
orang she Su itu?" "Aku cuma menancapkan golok ke dalam perutnya, Aku tidak tahu jurus apa."
Mau Sip-pat tertawa lebar.
"Go loya cu, Ong heng, terima kasih atas bantuan kalian sehingga selembar
nyawaku ini dapat dipertahankan. Bagaimana selanjutnya setelah musuh-musuh sudah
mati dan sebagian kecilnya kabur, Apakah kita akan melanjutkan pertarungan kita yang
tertunda tadi?" Go Tay Peng ikut tertawa.
"Mau heng, jangan bicara soal menolong jiwa." Dia menolehkan kepalanya kepada
rekannya sambil berkata, "Saudara Ong, bukankah lebih baik kita sudahi saja
urusannya sampai di sini?"
"Ya, memang, Lebih baik tidak usah berkelahi Iagi. sebenarnya antara aku dengan
Mau heng juga tidak ada permusuhan apa-apa. Bukankah sebaiknya kita mengikat tali
persahabatan saja?" "Baiklah kalau itu kemauan saudara Ong," kata Go Tay Peng kemudian menjura
kepada Mau Sip-pat "Selama gunung masih menghijau dan sungai masih mengalir,
pasti ada saatnya kita akan berjumpa pula!"
Go Tay Peng adalah seorang hartawan di wilayah Utara. Untuk membantu
sahabatnya Ong Tan, dia ikut datang mencari Mau Sip-pat. Tidak disangka akhirnya
malah memberikan bantuan kepada Mau Sip-pat untuk mengusir prajurit kerajaan. Dia
merasa agak menyesal membiarkan sisa musuh melarikan diri, sebab buntutnya bisa
berbahaya. Begitu selesai memberi hormat kepada Mau Sip-pat, dia segera membalikkan
tubuhnya untuk meninggalkan tempat itu. Tetapi, sembari melangkahkan kakinya,
sepasang telapak tangannya juga menghantam ke sana kemari.
Tanpa memperdulikan pihak musuh yang masih hidup atau sudah mati, pukulannya
membuat tubuh mereka hancur tidak karuan, Dia menggunakan ilmu andalannya yakni
Mo In-Jiu (tangan meraba awan) yang membuat namanya menjulang tinggi di dunia
kangouw. "Hebat sekali!" puji Mau Sip-pat yang menyaksikan perbuatannya. Setelah itu dia
memerintahkan Siau Po menuntun seekor kuda ke hadapannya.
Siau Po menurut. Dia menghampiri salah satu kuda yang ditinggalkan musuh.
"Tuntunnya dari depan, Kalau dari belakang, kau bisa disepaknya!" kata Sip-pat
menasehati. Siau Po menurut. Segera dia membawa kuda itu ke hadapan Mau Sip-pat sementara
itu, Sip-pat merobek ujung bajunya untuk membalut luka di lengannya. Setelah itu dia
menjejakkan kakinya ke atas tanah dan lalu melompat ke atas kuda.
"Pulanglah kau sekarang!" katanya kepada Siau Po.
"Kau akan kemana?" tanya si bocah.
"Untuk apa kau menanyakan hal itu?"
"Kita kan sudah menjadi sahabat, sudah sepatutnya aku menanyakan tujuanmu!"
Wajah Mau Sip-pat tiba-tiba berubah menjadi garang. "Sinting! Siapa yang menjadi
sahabatmu?" Siau Po menyurut mundur satu tindak, Wajahnya langsung merah padam dan air
matanya bercucuran. Dia tidak dapat menahan keperihan hatinya. Dia juga tidak
mengerti mengapa tiba-tiba saja Sip-pat marah kepadanya.
"Mengapa tadi kau menyemburkan semen ke mata Su Siong?" bentak Mau Sip-pat
ketus. Siau Po menjadi tercekat. Kakinya menyurut mundur satu langkah lagi.
"A... ku... aku...." suaranya gemetar dan tersendat-sendat saking gugupnya, "Aku,.,
lihat dia ingin membunuhmu!"
"Dari mana kau mendapatkan semen itu?"
"Dari pasar. Aku membelinya sekalian ketika membeli bakpau dan arak. Aku dengar
kau akan berkelahi sedangkan kau sedang terluka...."
"Anak haram! Dari mana kau mempelajari akal yang begitu rendah?"
Siau Po memang anak seorang wanita penghibur, ia tidak pernah tahu siapa
ayahnya, Karena itu pula dia paling benci bila ada orang yang menyebutnya sebagai
anak haram, Kemarahannya jadi meluap seketika.
"Nenekmu yang haram!" Tanpa memperdulikan hal lainnya, dia langsung balas
memaki. "Perduli apa aku mempelajarinya dari mana" Manusia bau yang tidak tahu
mampus!" Setelah memaki, hatinya tergetar juga, cepat-cepat dia bersembunyi ke balik
pohon, Sip Pat menggerakkan kudanya maju ke depan, Sebelah tangannya terulur dan
dalam sekejap mata si bocah sudah kena dicekalnya lalu diangkatnya ke atas.
"Setan cilik, coba apa kau masih berani memaki?"
Siau Po meronta-ronta. sepasang kakinya menendang kalang kabut. Kedua
tangannya juga dige rakkan kesana kemari.
"Kura-kura hitam! Babi mandul! Kampret! Mulutnya masih terus memaki.
Sejak kecil Siau Po tinggal di rumah pelesiran. Sudah biasa dia mendengar cacian
yang kotor dan bukan baru pertama kali ini dia mengucapkannya.
Sip-pat gusar sekali melihat keberanian bocah itu. Dia menempeleng pipinya bolakbalik.
Tetapi Siau Po memang keras kepala, Meskipun air matanya mengalir dengan
deras, mulutnya tidak berhenti mencaci. Dia baru berhenti ketika menggigit tangan Mau
Sip-pat. Sip-pat terperanjat juga kesakitan Tanpa sadar cekalannya terlepas dan tubuh Siau
Po pun terbanting ke atas tanah. Siau Po langsung merangkak bangun kemudian berlari
sambil mencaci maki. Sip-pat mendongkol sekali Dia segera mengejar. Dengan menunggang kuda tentu
tidak sukar baginya mengejar. Siau Po lari belum berapa jauh tahu-tahu sudah tersusul
oleh Mau Sip-pat. Nafasnya tersengal-sengal. Tanpa menoleh dia tahu Mau Sip-pat
sudah ada di belakangnya. Tiba-tiba kaki terpeleset talu jatuh bergulingan, namun
mulutnya masih berkaok-kaok.
"Bangun!" bentak Mau Sip-pat. "Aku mau bicara!"
"Aku tidak mau bangun, Biar aku mati di sini!"
"Baik! Biar kau mampus terinjak kaki kuda!"
Siau Po memang bandel, Semakin diancam, dia semakin sengaja, Sembari
menangis, dia berteriak keras-keras.
"Ada orang mau membunuh! Ada orang mau membunuh! Tua bangka menghina
anak kecil! Dasar kura-kura kolot! Orang dulu memperumpamakan germo sebagai kurakura!
Dia naik kuda, dia mau menginjak orang sampai mati!"
Kuda yang ditunggangi Mau Sip-pat dihentakkan sehingga sepasang kakinya
berjingkrak ke atas, Siau Po segera menggulingkan tubuhnya menghindar.
"Hah! Setan cilik, ternyata kau takut mampus juga, bukan?"
"Kalau aku takut padamu, biarlah aku menjadi anak kura-kura, turunan anjing buduk!
Aku tidak pantas disebut orang gagah!"
Kewalahan juga Mau Sip-pat menghadapi bocah yang mulutnya lancang itu, akhirnya
dia malah tertawa geli. "Kau seorang enghiong?" tanyanya tersenyum. "Baik, Kau bangunlah. Aku tidak akan
menghajarmu lagi Aku akan pergi sekarang!"
Siau Po berdiri, wajahnya masih basah oleh air mata.
"Tidak apa-apa kalau kau ingin menghajarku, tapi jangan panggil aku anak haram!"
katanya. "Kau toh sudah memaki aku sepuluh kali lipat Sudahlah, kita tidak usah
memperpanjang persoalan ini lagi."
"Kau menghajar telingaku dan aku sudah menggigit tanganmu, Berarti kedudukan
kita seri! Baik, semuanya selesai sampai di sini saja, Tapi, ngomong-ngomong, ke mana
sih tujuanmu sebenarnya?" tanya Siau Po sambil menyusut air matanya.
"Ke Pe King, kota raja!"
"Ke kota raja?" tanya Siau Po dengan amat terbelalak "Bukankah para pembesar
negeri sedang mencarimu" Mengapa kau malah mengantar diri ke sana?"
"Aku ingin mencari Go Pay. Dia merupakan tokoh nomor satu dari bangsa Boanciu.
Malah dia mengaku dirinya sebagai jago nomor satu di kolong langit Aku tidak puas!
Aku ingin mencarinya untuk mengadu kepandaian!"
Siau Po tertarik sekali dengan keterangan ini, karena berarti akan ada suatu
pertunjukan yang menarik.
"Mau toako, aku mempunyai permintaan. Sebetulnya sederhana sekali, tetapi aku
tidak tahu apakah kau akan mengabulkannya?"
Mau Sip-pat orangnya gengsian, dia tidak mau dianggap berjiwa picik, Ucapan si
bocah membuatnya penasaran.
"Apa itu" Katakan saja, aku pasti akan mengabulkannya!"
"Bagus! Tapi kau tidak boleh menyesal!"
"Tentu tidak!" "Aku minta kau mengajak aku ke kota raja!"
"Ke kota raja" Untuk apa?" tanya Mau Sip-pat bingung.
"Aku ingin menonton pertandingan antara kau dan Go Pay!"
Mau Sip-pat menggelengkan kepalanya berulang kali:
"Tidak mungkin. Jarak dari Yang-ciu ke Pe King jauhnya ribuan Ii. Lagipula para
pembesar negeri menjanjikan hadiah besar bagi siapa pun yang dapat menawanku,
perjalanan ini berbahaya sekali."
"Memang aku sudah menyangka bahwa kau akan menyesal dan menarik kembali
janjimu sendiri. Lagipula dengan mengajak aku, kau pasti mudah dikenali. Pasti kau
tidak berani mengajak aku!" kata si bocah.
Hati Mau Sip-pat panas mendengarnya. "Kenapa aku tidak berani?"
"Kalau memang berani, ajaklah aku!" tantang si bocah.
"Sebenarnya bukan apa-apa, tapi aku repot membawa kau serta, sedangkan kau
belum memberitahukan kepada ibumu, Nanti dia akan mencemaskan dirimu," sahut
Mau Sip-pat berusaha mengemukakan alasan.
"Tidak mungkin ibu mencemaskanku, Lagipula beberapa hari lagi aku toh sudah


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulang." "Setan cilik, banyak benar sih kemauanmu?"
"Aku tahu, kau tidak berani mengajak aku karena takut kalah dan jadi malu."
Kemarahan dalam hati Mau Sip-pat membara kembali. "Siapa bilang aku kalah
kepada Go pay?" "Aku yang bilang, Sebab kau takut kalah dan malu, Bagaimana kalau aku
menyaksikan kau berlutut di depan kaki Go Pay dan meratap-ratap meminta ampun
sambil menyebutnya, tuanku... tuanku?"
Mau Sip-pat tambah mendongkol. Dia memajukan kudanya kemudian
mencengkeram kerah baju bocah itu dan kemudian menaikkannya ke atas kuda.
"Baiklah! Aku akan membawa kau ke Pe King, Lihat siapa nanti yang akan berlutut
dan memohon pengampunan!"
Diam-diam hati Siau Po girang sekali, tetapi dengan licik dia berkata.
"Kalau aku tidak melihat dengan mata kepala sendiri, tentu aku hanya bisa mendugaduga,
Dan dalam bayanganku, kaulah yang akan berlutut dan memohon ampunannya!"
Plak! Plok! Sip-pat menghajar pantat Siau Po berulang kali.
"Sekarang aku yang akan menyuruh kau berteriak-teriak minta ampun terlebih
dahulu!" Siau Po mengaduh-aduh, tetapi dia tidak menangis malah tertawa cekikikan. Mau
tidak mau, Sip-pat jadi ikut tertawa geli. Bocah itu sungguh nakal, jenaka juga keras
kepala dan akal busuknya banyak!
"Eh, setan cilik, Kau memang hebat!"
"Eh, setan tua, aku juga kewalahan menghadapinya." sahut Siau Po dengan berani.
"Sekarang aku akan mengajak kau ke kota raja. Tapi ingat, sepanjang jalan kau
harus menuruti apa pun kataku. jangan sekali-sekali menimbulkan keonaran."
"Siapa sebenarnya yang membuat keonaran" Kau sendiri! MuIa-mula kau
dimasukkan ke dalam penjara, kemudian kau buron, Lantas kau melabrak kawanan
penyelundup garam. Dan baru saja kau membunuh beberapa orang petugas kerajaan.
Bukankah itu yang disebut menimbulkan keonaran?"
"Kau memang pandai bicara," kata Mau Sip-pat. "Baiklah, aku mengaku kalah!"
Bocah itu membetulkan duduknya di atas pelana. Tali kendali kuda pun di hentakkan
sehingga melesatlah mereka menuju Utara.
Pertama-tama Siau Po takut akan terjungkir balik, maklumlah seumur hidup dia
belum pernah menunggang kuda. Dia merapatkan tubuhnya dan memeluk Mau Sip-pat
erat-erat. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih lima enam li, perasaannya pun
agak tenang dan dia dapat duduk dengan nyaman.
"Bagaimana kalau aku menunggang kuda yang satu itu?" tanya Siau Po setelah
keberaniannya terbangku. Memang sejak semula Mau Sip-pat menuntun seekor kuda lainnya milik pihak
petugas kerajaan. Tampaknya kuda-kuda itu memang sangat jinak, meskipun
penunggangnya sudah mati ataupun melarikan diri, mereka tidak menjadi panik.
"Kalau kau sanggup, silahkan Awas kalau kau tidak sanggup, nanti kau bisa
terjungkal dan kakimu patah!" sahut Mau Sip-pat.
"Aku pernah menunggang kuda sebanyak puluhan kali, masa bisa terjungkal.W sahut
Siau Po menyombongkan diri, Dia langsung melompat turun dari kuda Mau Sip-pat.
Dipegangnya tali kendali kemudian ia menginjakkan kakinya di sangurdi dan lalu
mencelat naik. Melihat cara Siau Po naik ke atas kuda, Sip-pat tertawa geli, Sebab posisinya salah,
sehingga tubuhnya bukan menghadap ke depan malah menghadap ke ekor kuda.
"Hushhh!" seru Mau Sip-pat setelah selesai tertawa, Tali kendali dihentakkannya,
kuda itu pun terkejut dan lari terpontang-panting,
Siau Po tercekat bukan main. Dia dibawa kabur oleh kuda itu. Cepat-cepat dia
mencekal pelana kuda itu erat-erat. Hampir saja dia terjungkal jatuh.
Siau Po dapat mendengar suara hembusan angin yang menerpa lewat di telinganya.
Lewat tiga li, sampailah mereka di jalanan yang menanjak, Kuda masih lari terus. Di
waktu yang bersamaan, di tengah jalan mendatangi sebuah kereta yang rodanya
sedang menggelinding perlahan. Di belakangnya mengiringi seorang penunggang kuda
yang usianya masih muda sekali, paling banter enam atau tujuh belas tahun.
Ketika melihat seekor kuda sedang berlari dengan kalap, kusir kereta itu
berteriakteriak dengan panik. "Kuda ngamuk! Kuda ngamuk!"
Tepat di saat tabrakan hampir terjadi, si anak muda yang mengiringi di belakang
langsung menerjang ke depan sembari mengulurkan tangannya mencekal tali kendali,
sehingga gerakan kuda itu pun terhenti seketika. Hal ini membuktikan tenaga dalam
anak muda itu luar biasa sekali.
Tampak perut kuda itu kembang kempis dan mulutnya berbusa karena tadi sudah
berlari melebihi takarannya. Dari dalam kereta terdengar suara halus menyapa.
"Adik Ceng, ada apa?"
"Ada kuda ngamuk," sahut si anak muda. "Penunggangnya seorang bocah cilik,
entah masih hidup atau sudah mati."
"Tentu saja masih hidup!" Siau Po pun segera menegakkan tubuhnya dengan gaya
digagah-gagahkan. "Masa mati?"
Anak muda tadi memperhatikan Siau Po sekilas, wajahnya putih bersih, sepasang
matanya jeli dengan alis yang bagus bentuknya. Dia mengenakan jubah panjang
sedangkan kopiahnya penuh dengan sulaman benang emas dan di tengah-tengahnya
terhias sepotong batu kumala putih. Dari penampilannya dapat diduga bahwa anak
muda itu berasal dari keluarga hartawan
Siau Po juga memandang pemuda itu lekat-lekat. Dia tahu pemuda di hadapannya
dari keluarga berada. Tapi dia justru paling benci kaum hartawan, itulah sebabnya dia
langsung membuang ludah dan berkata dengan sinis.
"Sungguh busuk! Lohu sedang melakukan perjalanan sejauh seribu li dan sedang
gembira-gembiranya, siapa sangka bertemu dengan mayat perintang jalan, sehingga
lohu tidak bisa meneruskan perjalanan."
Si pemuda tampaknya kurang senang. Dia sebal melihat bocah itu bersikap sok tua
dengan menyebut diri sendiri "lohu", Apalagi lagaknya sombong dan menghina sekali.
Sepasang alisnya menjungkit ke atas, Hampir dia mengumbar hawa amarahnya,
tetapi ketika memperhatikan Siau Po dengan seksama, dia melihat tampangnya yang
dekil dan tubuhnya yang kurus kering. Dia tidak jadi marah, bibirnya malah
menyunggingkan senyuman dan segera menggeser untuk memberi jalan kepada Wi
Siau Po. Siau Po menarik tali kendali kudanya sembari berkata.
"Celaka benar! Mengapa di kolong langit ini banyak pemuda bau yang usil saja
dengan urusan orang lain?"
Tepat pada saat itu, Mau Sip-pat pun sudah menyusul tiba.
"Eh, setan cilik, Apakah kau tidak jatuh pingsan?"
"Pingsan" Sudah barang tentu, tidak!" sahut si bocah seenaknya, "justru ketika lohu
sedang enak-enak melakukan perjalanan, lohu dirintangi oleh bocah bau ini, Sungguh
menyebalkan!" Mau Sip-pat tertawa geli mendengar kata-kata-nya. Tetapi sesaat kemudian dia
tertegun ketika menoleh kepada si anak muda, Dia melihat di bagian depan kereta
tertancap sebatang bendera kecil berwarna putih dengan sulaman biru di tepiannya.
Di tengah-tengahnya terdapat huruf "Pui". Tanpa ayal lagi, dia segera menarik
tangan bocah itu ke pinggir jalan. Dan pada saat itu Siau Po masih mendumel
"Dasar bocah busuk tidak tahu diri!"
"Tutup mulutmu!" bentak Mau Sip-pat sambil mengayunkan cambuk ke bagian
kepala Siau Po. Untung Siau Po sempat melihatnya dan menghindarkan diri, Tetapi kepalanya
selamat, bahunyalah yang kena terhajar. Seperti orang kalap, Mau Sip-pat terus
mencambukinya, hingga akhirnya seluruh tubuh Siau Po terhajar berdarah dan
pakaiannya koyak-koyak. Siau Po tidak menyangka akan berakibat seperti ini. Dengan menahan sakit, dia
mendekam di punggung kudanya, Tepat pada saat itu, dari dalam kereta terdengar lagi
suara halus tadi. "Apakah di sana tuan Mau dari Cong Ciu" Sudahlah, jangan kau hajar lagi bocah itu!"
Mau Sip-pat mencelat turun dari kudanya, Dengan bantuan tangan kirinya dia
mendeprok di atas tanah. "Mau Sip-pat sedang terluka kakinya sehingga tidak dapat memberi hormat secara
layak kepada nona Kou dan Pui siauhiap, Harap tidak menjadi gusar karenanya!"
"Terima kasih! Tidak berani kami menerima penghormatan demikian besar!" sahut si
nona dalam kereta, sedangkan anak muda yang menunggang kuda hanya
menganggukkan kepalanya sedikit, Setelah itu dia memecut kudanya agar keret
berjalan lagi. Dia sendiri tetap mengikuti dari belakang.
Setelah kereta itu pergi jauh, Mau Sip-menekan tanah pula kemudian mencelat ke
atas kuda. Lalu dia menyambar tubuh Siau Po dan memeluknya.
"Sungguh berbahaya! Sungguh berbahaya" Mau Sip-pat menyusuti peluh yang
memenuhi wajah dan tubuhnya, "Kau tahu, jiwamu baru kutarik kembali dari pintu
neraka!" Terdengar dia menarik nafas panjang.
"Kalau hajaran cambukku terlalu perlahan, maka kita berdua pasti sudah menjadi
mayat sekarang ini." Dengan kasih sayang dia membersihkan wajah Siau Po.
Suara Siau Po lirih sekali.
"Aku... mati juga tidak apa-apa... aku tidak... takut mati!" Hanya beberapa patah kata
yang sempat diucapkannya, kemudian dia jatuh tidak sadarkan diri.
Siau Po sendiri tidak tahu berapa lama dia pingsan, hanya ketika tersadar kembali,
dia merasa seluruh tubuhnya nyeri dan ngilu. Tanpa dapat menahan diri lagi, dia
mengerang kesakitan. "Eh, setan cilik, akhirnya kau siuman juga!" seru Sip-pat dengan nada lega. wajahnya
berseri-seri. Siau Po membuka matanya dan menatap Mau Sip-pat. Dia mendapatkan sahabatnya
itu sedang memandangnya dengan penuh perhatian.
"Kalau kau memang menginginkan kematianku, bunuh saja aku dengan golok mu.
Buat apa kau harus menyiksaku dengan cambuk?"
"Kenapa aku menginginkan kematianmu" Kemarin aku mencambukmu justru untuk
menolong selembar nyawamu!"
"Celaka! Terang-terang kau menyiksaku sampai sedemikian rupa, kau masih
mengatakan telah menolong nyawaku!" Siau Po mendongkol sekali karena
menganggap dirinya dipermainkan, karena itu suaranya juga ketus sekali.
"Kau benar-benar tidak tahu tingginya langit, tebalnya bumi!" bentak Mau Sip-pat tak
kalah garangnya, "Bagaimana kau berani sembarangan mencaci keluarga Bhok dari In
Lam" Kau benar-benar sudah bosan hidup rupanya!"
Siau Po tidak tahu siapa keluarga Bhok dari In Lam.
"Apa bedanya" pokoknya aku menganggapnya sebagai anak kura-kura dan telur
busuk!" "Tutup mulutmu! Apa masih belum cukup banyak keonaran yang kau timbulkan?"
Melihat kegusaran Mau Sip-pat, Siau Po tidak berani banyak bicara lagi. Tapi dasar
anak bandel dia masih mendumel juga.
"Kau sepertinya tidak takut terhadap raja, juga tidak takut kepada Go Pay, kenapa
sebaliknya kau malah takut terhadap dua bocah bilik dari keluar Bhok" Benar-benar
bisa membuat orang tertawa hingga giginya copot."
"Aku bukannya merasa takut Aku hanya malu hati terhadap orang-orang gagah
lainnya dari dunia kangouw, apabila kita berbuat salah terhadap keluarga Bhok. Hilang
nyawa masih lumayan, tetapi yang membuat kita tidak tahan justru caci maki mereka."
"Siapa sebenarnya keluarga Bhok itu?" tanya Siau Po. "Apakah mereka memang
lihay sekali?" "Kau bukan orang dunia persilatan, meskipun aku memberitahukan belum tentu kau
bisa mengerti," sahut Sip-pat.
"Begitu rupanya" Tapi aku tidak perduli!" kata si bocah masih dengan nada
penasaran. Tetapi dia tidak berani mengejek keluarga Bhok lagi, "Tadi kau
mencambukku, katamu demi menolong selembar nyawaku, apa artinya?"
"Perbuatanmu itu benar-benar kurang ajar. sembarangan kau mencaci maki pemuda
berbaju hijau itu. Dia itu dari keluarga Pui, salah satu dari empat keluarga yang
menjadi Ke Ciang bagi keluarga Bhok, Kalau aku tidak menghajar kau agar kemarahannya reda,
sekali cekal saja kau bisa di-pencet mati seperti semut."
Ke Ci maksudnya pelindung keluarga.
"Huh!" Siau Po mendengus dingin, "Aku tidak percaya dia demikian lihay!"
Di luar dia menyangkal, di dalam hati diam-diam dia mengakui.
"Kalau dia sampai memencet mati aku, apakah kau akan diam saja" Dengan
demikian, mana bisa kita disebut sebagai sahabat sejati yang senang dan susah kita
cicipi bersama?" kata Siau Po.
Mau Sip-pat seperti disudutkan oleh kata-kata-nya, dia menarik nafas panjang.
"Di dalam dunia kangouw, asal orang yang mempunyai pengetahuan sedikit saja,
pasti tahu siapa adanya keluarga Bhok, Bila mereka bertemu atau melihat orang-orang
dari keluarga itu, mereka pasti akan menepi untuk memberi jalan dengan sikap hormat
Tidak ada seorang pun yang berani demikian lancang seperti kau, seandainya dia
berniat turun tangan, meskipun ada maksudku untuk menolongmu, tetap saja aku tidak
sanggup melakukannya."
"Jadi pemuda itu benar-benar demikian lihay?" tanya Siau Po seperti masih kurang
yakin. Mau Sip-pat menggelengkan kepalanya. "Mengenai hal itu, aku tidak tahu, Mungkin
aku sanggup menghadapinya, mungkin juga tidak. Tapi yang jelas aku tidak dapat
melawannya!" "Kenapa harus takut" Bunuh saja pemuda berkuda dan perempuan dalam kereta itu,
siapa yang bakal tahu" Dengan demikian, semuanya beres, bukan?"
"Enak saja kau bicara, tahukah kau, bahkan seorang kusir kereta pun mempunyai
kepandaian yang tinggi dalam keluarga Bhok!"
"Kalau begitu, kau memang sudah paham, Kau sengaja mencambuki aku untuk
memuaskan hati pemuda itu, Dengan demikian bukan aku saja yang terhindar dari
kematian, kau sendiri juga akan selamat!" kata Siau Po.
"Siapa yang aku takutkan" Siapa?" kata-kata yang terakhir justru diucapkan dengan
suara rendah. Hal ini membuktikan keraguannya, Mungkin hatinya agak gentar juga,
cuma saja dia malu mengakuinya, Dari penasaran dia jadi marah, dan lantas
menghardik dengan suara keras: "Sejak semula aku sudah mengatakan agar kau
jangan mengikuti aku, tapi kau memaksa! Baru satu hari saja kau sudah menimbulkan
keonaran, Siapa yang suruh kau menyembur mata orang dengan semen" Dalam dunia
kangouw, itu merupakan perbuatan manusia rendah, tahu" Lebih rendah dari orang
yang menggunakan obat bius. Aku lebih suka mati di tangan Su Siong dari pada
ditolong dengan cara demikian! Dasar bocah setan, melihat lagakmu, semakin lama aku
semakin kesal saja!"
Saat itu Siau Po baru menyadari, rupanya hal itu yang membuat Mau Sip-pat kurang
senang. Dia sungguh-sungguh tidak tahu kalau apa yang dilakukannya adalah
perbuatan rendah. Tetapi pada dasarnya, adat Siau Po memang keras, Meskipun salah
tetap dia tidak sudi mengalah
"Apa bedanya membunuh orang dengan menyemburkan semen atau membacok
dengan golok?" tanyanya penasaran "Kalau aku tidak menggunakan cara itu, tentu
sekarang kau sudah terkapar menjadi bangkai! Kalau kau memang tidak suka aku ikut
denganmu, katakan saja terus terang. Mulai sekarang kita ambil jalan sendiri-sendirj.
Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal, beres!"
Mau Sip-pat memperhatikan Siau Po yang sudah terluka karena cambukannya,
Hatinya merasa iba. Lagipula sekarang mereka sudah jauh dari kota Yang-ciu, mana
tega dia meninggalkan bocah cilik itu di tempat seperti ini. Lagipula, biar
bagaimanapun sudah dua kali Siau Po menyelamatkan nyawanya, dia tidak bisa menjadi manusia
rendah yang tidak ingat budi.
Demikianlah, katanya kemudian "Aku akan mengajak kau ke kota raja tapi kau harus
menerima tiga buah syaratku!"
Hati Siau Po girang sekali.
"Apa ketiga syarat itu" Aku tidak perduli! Seorang laki-laki sejati, begitu kata-kata
sudah meluncur keluar dari mulutnya, entah kuda apa pun sukar mengejarnya!"
Siau Po suka mendengar cerita tukang-tukang dongeng. Untuk sesaat dia lupa katakata
"enam ekor kuda", sehingga dia mengatakan entah kuda apa pun, tapi Sip-pat
tidak memperdulikan kesaIahannya. Dia hanya berkata:
"Pertama, aku larang kau menimbulkan keonaran, jangan sembarangan mengoceh
atau memaki orang, Mulutmu harus dijaga!"
"Gampang!" sahut Siau Po. "Tidak memaki juga tidak apa-apa, Tapi aku mau tanya
dulu, bagaimana kalau orang lain yang memaki duluan?"
"Kalau kita benar, mana mungkin orang mengganggu kita tanpa sebab musabab,
Syarat yang kedua, kalau kau berkelahi, aku larang kau main gigit, apalagi
menggunakan semen. juga main bergulingan di atas tanah dan sembarangan
memencet alat vital orang. seandainya kau kalah, jangan pura-pura mati atau
berteriakteriak seperti orang gila, semuanya itu bukan perbuatan orang gagah, hanya membuat
dirimu sendiri menjadi malu dan tidak dihargai oleh orang lain."
"Tapi, kalau aku kalah, masa aku tidak boleh menggunakan salah satu dari ketiga
cara itu untuk membela diri?" tanya Siau Po kurang puas.
"Tentu boleh membalas, tetapi dengan kepandaian sejati, bukan dengan cara yang
rendah, jangan membuat diri kita jadi bahan tertawaan orang. Di Li Cun Wan, kau boleh
berbuat apa saja yang kau anggap baik. Tetapi bila kau ingin ikut aku mengembara, kau
harus menggunakan cara yang lain."


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diam-diam Siau Po menggerutu dalam hati.
"Kau bisa saja mengatakan berkelahi dengan menggunakan kepandaian. Tapi
bagaimana dengan aku" Aku toh masih kecil Tidak mengerti ilmu silat pula, Kalau
begini dilarang, begitu salah, sama saja artinya kau mau aku terima gebukan dengan
berdiam diri?" Di luarnya dia hanya berkata, "Aku toh tidak mengerti ilmu silat, Bagaimana melawan
orang dengan kepandaian sejati?"
"llmu silat dapat dipelajari apabila kita mempunyai kemauan Siapa yang sejak lahir
sudah mengerti ilmu silat" Mumpung kau masih kecil, justru sekarang merupakan
kesempatan yang baik bagimu untuk belajar. Kau berlutut di hadapanku dan
menyembah aku sebagai gurumu, Selama ini aku hidup tidak menentu, ada baiknya
juga bila aku mengangkat seorang murid, Kau beruntung bisa menjadi muridku, asal
kau berlatih dengan giat serta tekun kelak di kemudian hari kau bisa memiliki
kepandaian yang lumayan tinggi."
Siau Po cepat-cepat menggelengkan kepalanya.
"Tidak bisa! Kita kan bersahabat, berarti kedudukan kita sama, Kalau sekarang aku
menyembahmu sebagai guru, itu kan berarti derajatku lebih rendah satu tingkat darimu"
Dasar setan tua, niat mu tidak baik, licik, egois!"
Siau Po lupa diri, kembali mulutnya mengoceh sembarangan Tentu saja Sip-pat
menjadi tidak senang, Banyak orang yang ingin menjadi muridnya justru dia tolak
mentah-mentah. Selalu saja timbul perasaan bahwa niat mereka itu tidak tulus atau ada
beberapa orang di antaranya yang mempunyai bentuk tubuh kurang bagus dan kurang
sesuai untuk belajar ilmu golok Ngo-Houw Koan Bun (Lima harimau menutup pintu),
LagipuIa sebelumnya dia sibuk, tidak ada kesempatan atau waktu luang untuk mendidik
seorang murid, sekarang dia tertarik kepada Siau Po dan berniat mengangkatnya
sebagai murid, eh... malah bocah ini yang menolaknya.
Saking kesalnya hampir saja tangannya melayang untuk menampar pipi anak itu,
tetapi untung saja dia melihat bekas luka cambukannya sehingga dia membatalkan
niatnya. "Biar aku beritahu kepadamu!" katanya kemudian "Sekarang ini perasaanku sedang
senang, maka aku suka menerima kau sebagai murid. Tetapi kelak, meskipun kau
berlutut di hadapanku dan memohon-mohon, pasti aku akan menolaknya!"
"Tidak jadi masalah!" sahut si bocah yang tetap ugal-ugalan, "Kelak, meskipun kau
berlutut dan menyembah padaku sampai ratusan kali bahkan dengan suara meratapratap,
tetap saja aku tidak sudilmenjadi muridmu. Kalau aku menjadi muridmu, berarti
dalam hal apa pun aku harus menuruti kata-katamu, mana enak" Tidak! Aku-tidak mau
belajar ilmu silat!"
Bagian 03 Mau Sip-pat mendongkol sekali, Hatinya juga mulai marah.
"Baiklah, urusanmu sendiri mau belajar silat atau tidak, Tetapi kalau kau sampai
tertangkap lawan dan disiksa sehingga hidup tidak mati pun tidak, waktu itu kau jangan
menyesali." "Apa yang harus disesalkan" Lagipula, apa hebatnya belajar ilmu silat darimu"
Buktinya kau bisa dililit oleh Su Siong begitu saja, dan ketika melihat dua bocah dari
keluarga Bhok, kau langsung ketakutan Aku tidak mengerti ilmu silat, tapi aku tidak
ketakutan seperti kau. Hal ini membuktikan bahwa bisa ilmu silat saja belum tentu
hebat!" Kemarahan dalam hati Mau Sip-pat benar-benar meluap. Tanpa dapat
mengendalikan emosinya lagi, dia melayangkan tangannya menampar pipi Siau Po
keras-keras. Tetapi bocah itu bukannya menangis kesakitan malah tertawa terbahakbahak.
Benar-benar anak yang kuat, juga bandelnya tidak ketulungan!
"Nah, benar kan" Aku sudah membuka rahasia hatimu sehingga kau menjadi marah
dan melampiaskan kekesalan pada diriku, Coba kalau kau benar-benar tidak takut,
tentu kau tidak akan begini marah hanya karena ucapanku tadi!"
Sip-pat membungkam. Dia benar-benar kehabisan akal menghadapi bocah yang
satu ini. Ditegur salah, dihajar kasihan, ingin meninggalkannya begitu saja, dia tidak
sampai hati padahal adatnya juga keras sekali, tetapi kali ini dia terpaksa mengekang
diri. "Huh!" Dia hanya mendengus satu kali, kemudian berdiri termangu-mangu.
Siau Po yang melihat keadaannya juga turut berdiam diri, pikirannya melayanglayang,
dia ingat ibunya di rumah pelesiran, Sejak mengenal Mau Sip-pat, dia bertekad
untuk menjadi orang gagah.
Ternyata tidak mudah. Dia juga tahu hilang sudah kesempatan baginya unjuk belajar
Kesatria Baju Putih 8 Rajawali Hitam Karya Kho Ping Hoo Jago Kelana 8
^