Pencarian

Kaki Tiga Menjangan 2

Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung Bagian 2


silat, tapi dia tidak menyesal. Dia meraba-raba mukanya yang bengap parah di sudut
bibirnya sudah kering. Tiba-tiba sebuah ingatan melintas di benaknya, pikirnya dalam hati.
"Tidak apa-apa aku tidak jadi belajar ilmu silat darimu, yang penting aku bisa ikut
terus mengembara. Pasti aku bisa memperhatikan gerak-gerikmu ketika kau berkelahi,
apa aku tidak bisa menirunya sedikit demi sedikit" Bahkan aku bisa melihat gerakan
musuh. Dengan demikian aku bukan hanya belajar ilmu silatmu saja, ilmu silat orang
lain juga bisa kucuri belajar. Dengan memiliki kepandaian beberapa orang sekaligus,
bukankah lama kelamaan aku bisa mempunyai kepandaian yang lebih tinggi dari
padamu" Hm! Sementara itu, Mau Sip-pat merasa perutnya lapar sekali.
"Mari kita pergi!" katanya sambil langsung mengangkat tubuh Siau Po.
Siau Po tidak membantah. Mereka mencari tempat untuk beristirahat. Keduanya
mengisi perut, membersihkan tubuh, mengganti pakaian juga mengoles obat.
Kemudian, untuk melanjutkan perjalanan, Sip-pat menyewa kereta. Kakinya terluka,
gerakannya tidak leluasa, Kedua ekor kuda rampasannya ditinggalkan begitu saja.
Dengan menumpang kereta, dirinya juga tidak mudah terlihat orang. Bukankah dia
seorang pelarian dari kota Yang-ciu"
Tujuan mereka tetap utara, Pada suatu siang, mereka sampai di propinsi Soa Tang,
Ketika mereka menempuh perjalanan, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda, Siau
Po melongokkan kepalanya, Dia melihat tiga kereta mendatangi dengan perlahan. Pada
bagian depan kereta terdapat sehelai bendera kecil atau panji yang warna dasarnya
putih dan tepiannya bersulamkan benang biru.
Di tengah-tengahnya tertera huruf "Sou" Persis sama dengan bendera kecil yang
mereka lihat tempo hari. Tanpa berpikir panjang lagi, Siau Po segera membangunkan
Mau Sip-pat yang sedang tidur.
"Coba lihat!" Mau Sip-pat membuka matanya. Ketika melihat kereta dengan benderanya itu,
wajahnya menyiratkan ketegangan. Sekejap kemudian, kereta itu telah melewati
mereka dan terus melaju menuju selatan. Tampak Mau Sip-pat menghela nafas lega.
"Apakah yang lewat barusan juga kereta keluarga Bhok dari In Lam?" tanya Siau Po.
"Mengapa kau bisa mempunyai dugaan itu?"
"Karena aku melihat semangatmu seperti terbang melihat kereta itu, itulah sebabnya
aku bisa menduga demikian."
"Kapan semangatku terbang" jangan sembarangan mengoceh!" bentak Mau Sip-pat.
Meskipun mulutnya berkata demikian, tapi Sip-pat menyadari bahwa suaranya rada
bergetar. "Kau tidak takut aku justru sebaliknya," sahut Siau Po.
"Apa yang kau takutkan?"
"Aku takut kau tidak sanggup menahan perasaan terkejut sehingga sakit parah,"
sahut Siau Po seenaknya, "Bisa juga kau mati kaget. Kalau hal itu sampai terjadi,
bagaimana dengan aku?"
"Celaka! Gawat!" Terdengar Mau Sip-pat menggerutu. Dia tidak menggubris ucapan
Siau Po. Mungkin telinganya sudah kebal, Dia hanya menggumam seorang diri, "Keluarga
Sou pun berangkat ke selatan. Pasti di sana telah terjadi sesuatu yang hebat!"
"Apa sebenarnya arti huruf "Sou" itu?" tanya Siau Po penasaran
"Di samping huruf "Sou" masih ada tiga huruf lainnya, yakni huruf "Lau", "Pui" dan
"Pek" Mereka adalah nama keluarga yang menjadi Ke Ciang bagi keluarga Bhok,
sedangkan keluarga Bhok itu keluarga bangsawan, tingkat Kim Kok-kong."
"Kim Kok-kong itu sejenis makhluk aneh atau hantu?"
"Tampaknya mulutmu memang harus dicuci biar bersih, Di dalam dunia kangouw,
nama Kim Kok-kong bahkan lebih menciutkan nyali dari pada makhluk aneh atau hantu
apa pun." "Oh, begitu rupanya."
"Hm..." kata Mau Sip-pat. "Pada waktu Baginda Beng Tay-cou mengerahkan
angkatan perangnya menentang kerajaan Goan, Bhok ongya, Bhok Eng telah membuat
jasa besar, sebab dia berhasil merampas propinsi In Lam, Karena itu Sri Baginda
mengangkatnya sebagai penguasa di wilayah In Lam turun temurun.
Setelah dia meninggal dia dianugrahkan gelar kehormatan Raja Muda Kim Len ong,
sedangkan keturunannya mendapat gelar kehormatan Kim Kok-kong.
"Di zaman akhir pemerintahan Kerajaan Beng ketika Kaisar Kui-ong menyingkir ke In
Lam, Kim Kok-kong Bhok Tian Po dengan setia melindunginya, Kim Kok-kong bahkan
mengajak Kui-ong menyingkir ke Birma."
"Celakanya di sana Kui-ong dibunuh oleh orang jahat, sehingga Kim Kok-kong turut
menjadi korban, jarang ada panglima merangkap menteri yang demikian setia kepada
junjungannya." "0h.... Kalau begitu yang dipanggil loya Bho Tian Po itu merupakan cucu Bhok Eng
seperti yang dikisahkan dalam cerita Eng Liat Toan. Memang Bhok ongya itu gagah
sekali dan menjadi panglima kesayangan Baginda Raja."
Siau Po dapat mengatakan hal itu karena dia sudah terlalu sering mendengar
legenda-legenda tukang cerita seperti Eng Liat Toan yang di dalamnya dikisahkan para
pemeran utamanya, yakni Bhok Eng, Ci Tat, Siang Oi Cun, dan Oh Toa Hay. Mereka
semua terdiri dari para panglima yang perkasa.
"Aih! Kenapa kau tidak menjelaskannya dari semula?" gerutu Siau Po seakan
menyalahkan Sip-pat. "Kalau aku tahu keluarga Bhok dari In Lam itu masih keturunan
Bhok ongya, Bhok Eng. Tentu aku akan bersikap lebih sopan sedikit. Coba kau
ceritakan orang-orang seperti apakah keempat keluarga Lau, Pek, Pui dan Sou itu?"
Mereka adalah para Ke Ciang dari keluarga Bhok. Leluhur mereka turut mengambil
bagian ketika Kim Leng-ong menaklukkan In Lam dan ketika Kim Kok-kong Bhok Tian
Po melindungi raja menyingkir ke Birma, hampir seluruh keturunan para Ke Ciang itu
ikut tewas. Hanya beberapa yang sempat meloloskan diri.
Di kemudian hari keturunan dari keempat keluarga itu dihadiahkan masing-masing
sebuah panji kecil berwarna putih dengan alas biru oleh Tan Ho cu dari Tian-te hwe
sebagai lambang. Siapa pun tokoh persilatan yang melihat panji kecil itu, wajib
memberikan bantuan atau pun melindungi mereka. itulah sebabnya aku juga menaruh
hormat melihat panji kecil itu.
Bukan takut, hanya sungkan, kalau aku sampai membuat kesalahan, tentu aku akan
menjadi orang terhina di dunia ini!" sahut Mau Sip-pat yang tampaknya senang
menerangkan secara panjang Iebar,
"Oh, begitu, Memang benar, bila bertemu dengan keturunan panglima atau menteri
yang setia sudah selayaknya kita berlaku hormat."
"Sejak berkenalan dengan kau, baru kali ini ak mendengar-ucapan yang tepat!" kata
Sip-pat sambil menganggukkan kepalanya berkali-kali.
"Aku sendiri, entah kapan pernah mendengar kau mengucapkan kata-kata yang
pantas seperti sekarang ini!" sahut Siau Po tidak mau kala "Siapakah yang tidak
menghormati Bhok ongya yang hanya dengan terompet tembaga dapat menyeberangi
sungai dan dengan sebatang panah dapat membunuh gajah?"
Mau Sip-pat kebingungan mendengar ucapannya, Diperhatikannya bocah itu lekatlekat.
"Apa yang dimaksud dengan terompet tembaga dapat menyeberangi sungai dan
dengan sebatang panah api dapat membunuh gajah?"
Siau Po tertawa lebar. "Kau cuma tahu bagaimana harus menghormati keluarga Bhok, tetapi kau tidak tahu
sampai mana kegagahannya, Tahukah kau ada hubungan apa antara Bhok ongya
dengan Sri Baginda Raja."
"Siapa yang tidak tahu bahwa dialah panglimanya Raja."
"Panglima" Ya, ya betul. Memang panglima," kata Siau Po dengan nada mengejek,
"Panglima juga bukan sembarang panglima! Kau tahu, di bawah raja ada enam orang
Ong atau Raja Muda: Tentunya kau pernah mendengar Tiong San-ong Ci Tat serta Kay
Peng-ong Siang Gi Cun bukan" Tetapi tahukah kau siapa Raja Muda lainnya?"
Sip-pat paling buta soal riwayat kerajaan. Dia memang pernah mendengar orang
menyebut nama Ci Tat maupun Siang Gi Cun, tetapi dia tidak tahu bahwa mereka juga
termasuk Raja Muda. Apalagi bahwa mereka mendapat gelar Tiong San-ong dan Kay
Peng-ong. Lain halnya dengan Siau Po yang sering mendengar legenda atau sejarah si tukang
cerita, Dia menatap Mau Sip-pat dengan perasaan puas karena menganggap dirinya
lebih banyak tahu. "Empat Raja Muda lainnya ialah Ki Yang-ong Lie Bun Tiong, Leng Ho-ong Teng Ji,
Tong Au-ong Tung Ho yang merupakan sahabat karibnya Tay cou, tapi usianya lebih
tua. Teng Ji sudah lama mengenal Sri Baginda, Dia selalu mengambil bagian dalam
setiap peperangan Lie Bun Tiong adalah keponakan luar Sri Baginda, sedangkan Bhok
Eng adalah anak angkatnya, karena itu dia diijinkan memakai she rangkap."
"0h... begitu rupanya! Lalu apa artinya terompet tembaga dan panah api yang kau
katakan tadi?" tanya Sip-pat.
"Belakangan hanya tinggal Raja Muda Lian-ong dari In Lam dan Kui Ciu yang belum
tertaklukkan, Liang-ong itu bernama Colikuluhua. Dia keponakan Goan Sun-te, yakni
Kaisai terakhir dari kerajan Goan."
Sebetulnya Siau Po hanya mendengar kisah yang dituturkan oleh tukang cerita.
Nama Raja Muda itu terlalu aneh sehingga dia tidak dapa mengingatnya. Karena itu dia
sembarangan menciptakan sebuah nama, padahal nama Raja Muda itu PacaIawaerimi.
Untung saja Mau Sip-pat memang tidak tahu apa-apa.
"Tay cou gusar sekali karena Raja Muda itu masih belum mau takluk juga, Akhirnya
dia mengirim pasukan perang besar berjumlah tiga puluh laksa jiwa untuk
menumpasnya, Panglimanya ialah Bhok ongya yang bersama Kwe Eng dan Yu Ti serta
Lie Giok Eng dari In Lam. Angkatan perang itu bertemu dengan pasukan Goan yang
dipimpin Jenderal Talima, panglima itu memiliki tubuh yang tingginya mencapai sepuluh
tombak dan kepala sebesar kuali...."
"Mana ada orang yang tingginya sepuluh tombak?" tukas Mau Sip-pat.
Siau Po mencibirkan bibirnya.
"Orang Tatcu memang jauh lebih jangkung daripada bangsa kita, bangsa Han,"
katanya tak kalah, "Jenderal Talima mengenakan seragam besi dan bertombak
panjang. Di tepi sungai Pek Sek di wilayah Tiok Ceng itu, dia berteriak bagai guntur,
Kemudian terdengar suara jeburan air dan percikannya muncrat ke mana-mana. Kau
tahu apa sebabnya?" "Bagaimana aku bisa tahu?"
"Suara tawa itu terdengar sampai ke tepi sungai lainnya. Belasan prajurit Beng tak
sanggup mendengar suara itu, Mereka terkejut setengah mati dan roboh terjungkal dari
kudanya kemudian terjebur sungai. Bhok ongya sempat kebingungan. Gawat kalau
suara itu diperdengarkan terus, bisa-bisa seluruh tentaranya roboh dan kalah dengan
mengenaskan. Dia segera mencari akal untuk mengatasinya. BegituIah, ketika Talima
mau membuka mulut lagi, Bhok ongya segera memanahnya.
Dia lihay sekali, dengan sebat dia menghindar Memang dia berhasil menyelamatkan
diri, tapi di belakangnya terdengar suara jeritan saling susul menyusul. Jenderal
Talima terkejut setengah mati. Kiranya anak panah Bhok ongya telah menembus badannya
puluhan perwira sehingga tewas seketika."
"Ah, mana mungkin ada tenaga yang demikian tangguh," kata Sip-pat.
"Tapi kau harus ketahui, Bhok ongya merupakan bintang di langit yang menjelma ke
dunia untuk mendampingi Tay cou. jadi dia bukan manusia sembarangan panahnya
saja bernama Coan In-ciang (Panah penembus langit)."
"Kemudian bagaimana?" tanya Sip-pat yang sebetulnya ragu-ragu dengan cerita itu.
"Talima merasa penasaran. Dia balas memanah, tapi Bhok ongya berhasil
menangkap panah itu dengan kedua jari tangannya, Tepat pada saat itu, di angkasa
terbang serombongan burung belibis yang mendatangi Rombongan burung itu terbang
di atas kepala mereka, Bhok ongya mengatakan akan memanah mata sebelah kiri
burung yang ke-tiga, Jenderal Talima tidak percaya. Untuk memanah burung yang
ketiga saja sukar, apalagi matanya yang sebelah kiri. Bhok ongya segera memanah,
bukan ke arah burung tetapi ke arah Jenderal Talima."
"Bagus!" seru Sip-pat sambil menepuk pahanya, "Itu yang dinamakan siasat
bersuara di timur, menyerang di barat!"
"Masih terhitung bagus nasib Jenderal Talima. Mata kirinya tertembus panah,
tubuhnya langsung terjungkal di atas tanah, Dengan demikian panah kedua dan ketiga
hanya mengenai bawahan. Delapan belas perwira orang Tatcu berbulu tubuhnya.
Pasukan tentara Beng menamakan mereka Mau-ciang dan Mau-peng, yakni prajurit
dan tentara berbulu. Akhirnya pihak Tatcu kehilangan delapan belas orangnya, Lantas
ada sebutan yang mengatakan dengan tiga batang anak panah, Bhok ongya
membunuh Mau Sip-pat!"
Mau Sip-pat langsung tertegun.
"Apa katarnu?" Harnpir dia tidak percaya dengan pendengarannya sendiri Mau Sippat
yang diucapkan Siau Po artinya "delapan belas si berbulu" tapi nadanya sama
dengan namanya sendiri. Siau Po memberikan penjelasan sampai beberapa kali, Akhirnya Mau Sip-pat tertawa
terbahak-bahak. Biar bagaimana, itu merupakan sindiran baginya. Mau Sip-pat
mendelikkan matanya sambil menggerutu.
"Ngaco! Ada juga Bhok ongya memanah ke seberang, yang kena Wi Siau Po."
Siau Po tertawa terbahak-bahak.
"Waktu peristiwa itu terjadi, aku masih belum lahir, bagaimana Bhok ongya bisa
memanah aku?" Sip-pat juga tertawa. "Lalu bagaimana kelanjutannya setelah panglima musuh terpanah mata kirinya?"
"Tentara musuh jadi kalang kabut setelah panglima dan perwira-perwiranya terluka,
Bhok ongya ingin mengejar ke seberang sungai Tiba-tiba dari seberang terdengar suara
riuh terompet. Rupanya bala bantuan musuh telah tiba. Mereka langsung menyerang
dengan anak panah. Waktu itu malam telah tiba. Bhok ongya kembali mencari akal,
Empat panglima bawahannya diperintahkan membawa pasukan tentara ke hilir, Dengan
diam-diam mereka menyeberang secara memutar sesampainya di sana, mereka
diperintahkan untuk membunyikan terompet tembaga dengan riuh."
"Ke empat panglima itu pasti Lau, Pek, Pui dan Sou, bukan?"
Sebetulnya Siau Po tidak tahu siapa keempat panglima itu, tetapi dia tidak ingin Mau
Sip-pat menebaknya dengan tepat, karena itu dia berkata:
"Bukan, Mereka adalah Ciu, Go, Tan dan Ong, sedangkan Lau, Pek, Pui dan Sou
selalu mengiringi Bhok ongya!"
"Oh, begitu," sahut Sip-pat yang kena dibodohinya.
"Sampai di situ, Bhok ongya menitahkan si Lau berempat memberi titah kepada para
tentaranya agar berteriak-teriak dengan bising. Di lain pihak, seribu prajurit telah
disiapkan dan diperintahkan menyeberangi sungai dengan rakit serta sampan."
"Musuh melihat mereka, yang mana lantas memanah secara serabutan, Wah, entah
berapa banyak ikan dan udang yang mati terpanah!"
"Ngaco! ikan masih bisa dipanah, udang mana mungkin" Ukurannya terlalu kecil!"
"Kalau kau tidak percaya, coba kau ke pasar beli ikan, udang dan kepiting, kau
gantungkan dengan disusun lalu kau panah, coba mati apa tidak?"
"Sip-pat tahu Siau Po hanya sembarangan mengoceh, tetapi dia tetap ingin tahu
kelanjutannya. "Lalu bagaimana akhirnya?"
"Akhirnya tentara Bhok ongya mengambil delapan belas ekor ikan yang terpanah,
Ikan-ikan dipanggang lalu dimakan beramai-ramai, habis!" sahut si bocah yang cerdik.
"Dasar setan cilik, kutu kupret! Kau memang pandai menyindir orang dengan cerita
yang diputar balikkan!" gerutu Mau Sip-pat sambil tertawa, "Hayo cepat katakan
bagaimana keterusannya mengenai Bhok ongya dapat menyeberangi sungai?"
"Bhok ongya menunggu sampai si Ciu dan kawan-kawan sudah sampai di belakang
musuh dan membunyikan terompet tembaga, baru dia menyeberangi sungai. Bersama
sisa pasukannya, dia naik rakit dan sampan, tangan masing-masing menggenggam
sebuah perisai, dengan demikian panah musuh tidak bisa mengenai mereka, sementara
itu bangsa Tatcu sudah kekurangan anak panah karena tadinya terlalu dihamburhamburkan,
Mereka kena dilabrak sehingga lari kocar-kacir. Di antara musuh ada
seseorang yang rebah di atas punggung kuda serta dilindungi para perwira. Diduga,
dialah Jenderal Talima. Bhok ongya mengejar sambil menyerukan agar Talima
menyerah, tetapi pihak musuh menyangkal bahwa orang itu adalah Jenderal Talima,
Namun ia tetap dapat dikenali karena di mata kirinya masih menancap anak panah.
Kemudian orang itu diringkus oleh si Lau berempat. Dengan demikian bangsa Tatcu
pun menderita kekalahan. Banyak prajuritnya yang mati, sebagian di darat, sebagian
lagi di air. Yang di air menjadi santapan ikan-ikan...."
"Lalu?" "Kemudian Bhok ongya dari Kiok Ceng maju terus sampai di luar tembok kota raja.
Musuh menggantungkan pengumuman agar peperangan ditunda, permintaan itu
diterima baik karena tidak ingin timbulnya banyak korban.
Malam harinya, ketika Bhok ongya sedang membaca kitab Cun Ciu, tiba-tiba
terdengar suara yang bising dan aneh dari dalam kota, Bukan suara harimau ataupun
serigala, Bhok ongya terkejut setengah mati sehingga ber-teriak...."
"Suara apa itu?" tanya Sip-pat
"Coba kau tebak!"
"Tentunya suara jeritan Jenderal Talima dan anak buahnya!"
"Bukan, Bhok ongya segera mengadakan rapat darurat, Lau Ciang Kun diperintahkan
membawa serdadunya yang berjumlah tiga ribu orang malam itu juga untuk mencari
tikus sawah, Siapa yang tidak berhasil mendapatkan akan diberi hukuman, sebaliknya
yang bisa mendapatkan akan diberi hadiah...."
"Untuk apa tikus sawah?" tanya Sip-pat bingung.
"Bhok ongya seorang ahli siasat perang. Rahasianya tidak boleh sembarangan
dibeberkan. Orang pun tidak boleh bertanya apa-apa. Kalau dia sampai marah,


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seandainya kau adalah bawahannya, maka delapan belas batok kepalamu akan
diremukkan seketika."
"Masa bertanya saja tidak boleh?"
"Tidak dalam keadaan seperti itu, Setelah itu, Bhok ongya menitahkan Pek ciangkun
membawa dua laksa serdadunya pergi ke tembok kota sejauh lima li untuk menggali
tanah sepanjang satu Ii. Dalamnya tiga tombak, penggalian itu harus sudah selesai
dalam waktu satu malam. Kemudian kubu-kubu pertahanan dimundurkan sejauh satu li,
jadi jaraknya dengan tembok kota kurang lebih enam li."
"Aneh sekali! Untuk apa lubang sepanjang dan sedalam itu?"
"Hm! Kalau siasat perang Bhok ongya dapat diterka olehmu, maka Bhok ongya bisa
berubah menjadi Mau Sip-pat dan Mau Sip-pat berubah saja menjadi Bhok ongya."
Sip-pat membungkam. Lagi-lagi Siau Po menyindirnya.
"Keesokan subuhnya, kedua panglima pulang dengan membawa laporan masingmasing,
bahwa sudah didapatkan tikus sawah sebanyak satu laksa lebih, dan
penggalian tanah pun sudah selesai Bhok ongya mengatakan "bagus!" lalu beberapa
mata-matanya dikirim untuk mengintai gerak-gerik musuh.
Siang harinya, di dalam kota terdengar suara riuh rendah, terutama suara tambur
perang, Si mata-mata segera lari pulang menyampaikan berita, Tingkahnya panik sekali
dan berkali-kali menyerukan celaka, Bhok ongya menjadi gusar dan membentaknya
sambil menggebrak meja, Dia menanyakan apa yang telah terjadi, Mata-mata itu segera
melaporkan bahwa musuh telah membuka gerbang sebelah utara dan dari sana muncul
beberapa ratus kerbau siluman, Dikatakan siluman sebab hidungnya panjang, kawanan
binatang itu sedang menyerbu datang."
"Binatang apa itu?" tanya Bhok ongya tersenyum, "Mustahil ada kerbau berhidung
panjang, Coba kau selidiki sekali lagi, Cepat!"
Mata-mata itu mengiakan lalu berlalu menjalankan perintah Bhok ongya, walaupun
memberikan perintah demikian, tetapi Bhok ongya tetap memimpin pasukannya maju
ke depan, Dia mengawasi dari kejauhan sehingga dia dapat melihat debu-debu
beterbangan dari pihak musuh, Setelah itu beberapa ratus ekor "kerbau berhidung
panjang" seperti yang dilaporkan oleh mata-matanya datang menerjang.
Kiranya yang dimaksud adalah ratusan ekor gajah yang di bagian kepalanya
dikaitkan golok yang tajam, Gajah-gajah itu menerjang datang seperti kalap, sebab di
bagian ekornya diikat obor api yang menyala! Liang-ong membeli beberapa ratu ekor
gajah itu dari Birma dan menjadikannya pasukan gajah api untuk menyerbu lawan.
Obor itu terbuat dari kayu cemara, saking kagetnya gajah gajah itu kabur ketakutan.
Gajah binatang yang besar dan kuat, kulitnya tebal, anak panah hanya dapat
melukainya karena sulit membunuhnya.
Kalau tentara Beng sampai kena diserbu pasukan gajah itu, mereka pasti akan
menderita kekalahan. Malah para tentara Beng yang asalnya dari Utara itu, boleh
dibilang mereka tidak pernah melihat gajah, itulah sebabnya hati mereka pun tercekat."
"Pasukan gajah memang hebat sekali!"
"Tetapi Bhok ongya tidak gentar. Bahkan sikapnya tenang sekali, Begitu pasukan
gajah itu mendekat, Bhok ongya segera memerintahkan bawahannya untuk
melepaskan semua tikus hasil tangkapan tadi malam. Dalam sekejap mata ribuan
bahkan laksaan ekor tikus sawah lari serabutan ke segala penjuru.
Gajah tidak takut harimau, singa ataupun beruang, tetapi takut tikus. Melihat binatang
kecil yang suka seradak-seruduk itu, kawanan gajah tersebut jadi terkejut. Semua
lantas membalikkan tubuhnya menerjang ke arah pasukan bangsa Tatcu sendiri.
Kacaulah tentara musuh. Sebaliknya, setiap gajah yang sampai di lubang penggalian,
semua tercebur roboh tanpa berdaya, Setelah itu Bhok ongya mengeluarkan perintah
lagi, yakni melepaskan panah api. Dengan demikian di udara segera terlihat ribuan
percikan api yang meleset ke arah musuh."
"Bagaimana panah bisa berapi?" tanya Mau Sip-pat penasaran.
Siau Po tersenyum. "Namanya saja panah api, sebetulnya bukan panah, Sejenis mesiu yang
ditembakkan dengan meriam dan terselubung sehingga suaranya bising dan
melesatnya jauh sekali, Gajah-gajah jadi ketakutan dan lari serabutan, sementara itu
Bhok ongya memerintahkan pasukannya menyerbu masuk ke kotaraja pihak musuh.
Saat itu Lian-Ong dan permaisurinya sedang berpesta, mereka sedang menantikan
berita kemenangan dalam peperangan tersebut Tidak disangkanya bahwa yang datang
menyerbu justru tentara musuh. Bukan main terkejutnya hati Lian-Ong dan
permaisurinya, Dia berteriak sekeras-kerasnya "Kuluaputuliwa! KuIuapu-tuliwa!"
"Apa artinya?" tanya Sip-pat kebingungan.
"Tentu saja yang digunakan adalah bahasa bangsa Tatcu yang artinya "Celaka,
pasukan gajah berontak!" Dengan panik dia menyeret tangan permaisurinya melompati
tembok kota dan lari, Dia melihat sebuah sumur dan tanpa berpikir panjang lagi dia
langsung terjun ke dalamnya, Ternyata lubang sumur itu terlalu kecil sehingga hanya
sepasang kakinya yang masuk, sedangkan tubuhnya tertahan di luar Dengan demikian,
Bhok ongya jadi mudah meringkusnya."
"Bocah, ceritamu bagus sekali!" kata Mau Sip-pat sambil tersenyum. Dia tidak perduli
cerita Siau Po benar atau tidak, yang penting hatinya merasa senang dan perjalanan
pun tidak begitu membosankan.
Mau Sip-pat menggunakan kesempatan ini untuk menceritakan segala sesuatu yang
berkaitan tentang dunia kangouw kepada Siau Po, terutama mengenai apa saja yang
tidak pantas dilakukan. "Kau tidak mengerti ilmu silat, tidak mungkin orang melakukan kekejaman atas
dirimu, tetapi jangan sekali-sekali kau berpura-pura, akibatnya malah gawat!"
Siau Po hanya tersenyum. "Aku kan Siau Pek-Iiong Wi Siau Po, aku bisa menyelam dalam air selama tiga hari
tiga malam dan makan ikan serta udang mentah-mentah."
Sip-pat tertawa, Sahabat ciliknya itu memang lucu sekali, sepanjang jalan, tidak
pernah mereka bertemu lagi dengan keluarga Bhok. Selama itu pula luka di kaki Mau
Sip-pat berangsur-angsur sembuh, setibanya di Pe King, yakni kota raja, Mau Sip-pat
kembali memperingatkan Siau Po agar berhati-hati.
"Aku tidak takut, kaulah yang harus waspada!"
Mereka menuju ke Se Sia, sebelah barat kota, Kemudian mereka masuk ke sebuah
rumah makan. Ketika mereka sedang menikmati hidangan, mereka melihat masuknya
dua tamu lain, Yang satu sudah tua, usianya sekitar enam puluh tahun lebih, sedangkan
yang satunya, bocah berusia sebelas atau dua belas tahun.
Siau Po merasa heran, karena dia melihat pakaian mereka aneh sekali.
Sip-pat yang sudah banyak pengalaman segera mengetahui bahwa kedua orang itu
merupakan para thay-kam (pelayan istana yang dikebiri). Si thay-kam tua berwajah
kekuning-kuningan, pucat dan tubuhnya bungkuk. Tak henti-hentinya dia mengeluarkan
suara batuk. Tampaknya orang itu sedang menderita sakit Si thay-kam cilik
memapahnya, Mereka duduk di meja sebelah timur.
"Bawakan arak!" kata si thay-kam tua yang ternyata suaranya tajam sekali.
Pelayan bergegas datang dan melayani dengan hormat Tampaknya dia gentar
menghadapi kedua thay-kam tersebut. Si thay-kam tua lalu mengeluarkan sebuah
bungkusan dan membukanya, Isinya semacam bubuk.
Dia mengendus bubuk itu lalu dengan jari tangan diambilnya sedikit kemudian
dimasukkan ke dalam arak. Perlahan-lahan dia meneguk araknya itu.
Tak lama kemudian, mendadak thay-kam itu menggigil seperti orang kedinginan.
Pelayan rumah makan itu terkejut setengah mati dan menanyakan dengan panik.
"Ada apa" Ada apa?"
"Minggir!" hardik si thay-kam cilik. "Buat apa kau mengoceh di sini?"
Kedua belah tangan thay-kam tua itu memegangi meja. Giginya gemerutukan
tubuhnya semakin bergetar. Bahkan sejenak kemudian, meja pun ikut bergetar,
sampaisampai cawan arak dan supit berjatuhan ke lantai.
Si cilik jadi kebingungan.
"Makan obat lagi..." katanya, "Kongkong, makan obat lagi saja!"
"Tidak usah, tidak usah!" sahut si thay-kam tua. suaranya masih setajam tadi, tapi
wajahnya menyiratkan ketegangan.
Si thay-kam cilik berdiri mematung dengan tangan masih menggenggam bungkusan
obat. Tepat pada saat itu terdengar suara langkah kaki yang ramai, muncullah tujuh
orang Iaki-laki bertubuh kekar. Mereka semua bertelanjang dada. Tubuh mereka
berminyak, dari muka sampai ke kaki.
Tubuh mereka juga berotot, sedang di bagian dada dipenuhi bulu hitam. Tangan
mereka kasar dan besar-besar. Mereka segera duduk memenuhi dua buah meja dan
berteriak meminta arak serta daging.
"Cepat!" teriak beberapa orang.
"Ya! Ya! Tuan ingin memesan sayur apa saja?"
"Dasar budek!" bentak salah satunya. Bahkan seorang rekannya yang lain langsung
menyambar pinggang pelayan itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, Pelayan itu
meronta-ronta sambil berkaok-kaok.
Ke tujuh orang itu tertawa terbahak-bahak, kemudian tubuh pelayan itu dilempar
keluar sehingga jatuh terbanting dan menjerit kesakitan orang-orang itu kembali
menertawakannya. "ltulah ilmu gulat!" bisik Sip-pat kepada Siau Po. "Setelah lawan tercekal kemudian
diangkat ke atas, lalu dibanting dengan keras agar lawan tidak bisa segera membalas
menyerang." "Apakah kau mengerti ilmu itu?" tanya Siau Po penasaran
"Tidak! ilmu semacam itu tidak ada gunanya bagi seorang ahli silat."
"Dapatkah kau melawan mereka?"
"Tidak ada gunanya!"
"Seorang diri melawan mereka bertujuh, pasti kau kalah."
"Mereka bukan tandinganku!"
Sifat ugal-ugalan Siau Po timbul lagi, tiba-tiba dia berteriak kepada ketujuh orang
itu. "Eh, sahabat! Kawanku ini mengatakan bahwa kalian bertujuh bukan tandingannya!"
Mau Sip-pat terkejut setengah mati.
"Jangan mengacau!" cegahnya.
Sip-pat tidak tahu bahwa hati Siau Po penasaran sekali melihat pelayan itu dibanting
tanpa melakukan kesalahan apa-apa. Dia merasa ketujuh orang itu perlu diajar adat.
Mendengar teriakannya, ketujuh orang itu menolehkan kepalanya serentak.
"Eh, bocah cilik, Apa yang kau katakan barusan?" tegur salah satunya.
"Kata kawanku ini, seenaknya kalian menghina pelayan itu, kelakuan kalian itu bukan
perbuatan orang-orang gagah!" sahut Siau Po. "Kalau kalian memang berani, lawanlah
dia!" "Benarkah katamu itu, manusia hina?" salah seorang lantas maju memukul.
Sebetulnya Mau Sip-pat tidak berniat mencari keributan, tetapi hatinya panas melihat
kegarangan orang-orang itu, Apalagi dia memang benci sekali kepada bangsa Boan ciu,
teguran itu pun membuatnya gusar. Dia langsung mengangkat tangannya menangkis
sehingga orang itu menjerit kesakitan karena tulang lengannya patah.
Seorang lainnya menjadi gusar. Dia langsung menerjang ke arah Sip-pat untuk
melakukan serangan, tetapi dia langsung disambut dengan sebuah tendangan yang
mengenai perutnya, tubuhnya langsung terpental dan rubuh bergulingan.
Kelima orang lainnya langsung kalap, mereka mencaci maki dengan kalang kabut,
serentak mereka maju menerjang. Sip-pat menyambut dengan gerakan Kim Na hoat,
dengan mudah dia dapat merobohkan mereka.
Salah satu di antaranya langsung diangkat ke atas, diputar-putar dan baru kemudian
dilemparkan ke depan, Kepalanya jatuh karena posisi jatuhnya memang di bagian
kepala dulu. Seorang lainnya maju menerjang tapi dia juga disambut dengan sebuah tendangan
di dadanya, nafasnya jadi sesak kemudian memuntahkan darah segar. Ketika ada lagi
yang maju, Sip-pat menghajar lengan orang itu sampai patah!
Tanpa menunda waktu lagi, Sip-pat segera menarik tangan Siau Po.
"Lagi-lagi kau menimbulkan keonaran, mari kita pergi!"
Tentu saja Siau Po mengerti. Dia pun mandah saja ditarik oleh Mau Sip-pat. Di luar
dugaan, tepat di depan pintu rumah makan itu mereka sudah dihadang oleh si thay-kam
tua. Sip-pat mengulurkan tangannya dengan maksud mendorong agar orang memberi
jalan untuknya, tetapi saat tangannya menyentuh tubuh orang itu, hatinya langsung
tercekat. Tubuhnya tergetar kemudian terhuyung-huyung. Kakinya sampai menyurut
mundur dua tindak, pinggangnya membentur meja sehingga terbalik. Bahkan Siau Po
sampai ikut terpental dan jatuh ke dalam gentong air!
Si thay-kam tua sendiri masih berdiri tegak di tempat semula, Hanya suara batuknya
yang tidak berhenti-henti.
Saat itu juga, Mau Sip-pat menyadari bahwa dia berhadapan dengan seorang
berkepandaian tinggi. Bahkan mungkin mengerti ilmu gaib. Kalau tidak, tak mungkin dia
kena terhantam balik oleh tenaga pantulannya sedemikian rupa.
Mau Sip-pat dapat merasakan gelagat yang kurang baik, cepat-cepat dia
mengangkat tubuh Siau Po dari dalam gentong air terus membawanya lari lewat bagian
belakang rumah makan itu. Baru saja melangkah tiga tindak dia sudah terkejut
setengah mati. Tahu-tahu thay kam tua itu sudah menghadang di hadapannya
Suara batuknya masih belum berhenti, Mau Sip-pat penasaran sekali. Dia menabrak
thay-kam tua itu, namun kembali tubuhnya terpental ke belakang sehingga dia harus
berjungkir balik di udara untuk menjaga keseimbangan agar tidak terguling jatuh,
sementara itu, tangannya masih tetap membopong Siau Po.
Baru saja kaki Mau Sip-pat mendarat di atas tanah, dia merasa punggungnya seperti
tersentuh sedikit, Di saat dia bermaksud menepis tangan itu, keadaan sudah kasip.
Tubuhnya langsung roboh, untung saja dia jatuh di atas tubuh kedua lawannya tadi
sehingga tidak sampai menderita sakit.
Kedua orang Boan ciu itu patah kakinya, tepi tangannya masih kuat sebagaimana
halnya para pegulat. Mereka langsung mencekal Mau Sip-pat erat-erat Sip-pat
mencoba mengadakan perlawanan tetapi tenaganya punah karena totokan si thay-kam
tua. Tubuhnya ditekan ke bawah dalam posisi tengkurap sehingga dia tidak bisa melihat
apa-apa, tetapi telinganya masih mendengar suara batuk si thay-kam tua yang tidak
berhenti-henti. "Kau terus menyuruhku minum obat, berarti kau memang menginginkan aku cepat
mampus, bukan?" bentaknya pada si thay-kam cilik. "Kalau kau menambah setengah
bungkus lagi saja, aku bisa mati konyol. Aih! Anak, kau benar-benar ceroboh!"
"Anak... anak benar-benar tidak tahu," sahut si thay-kam kecil gugup, "Lain kali tidak
akan terulang lagi!"
"Lain kali?" kata si thay-kam tua sambil tertawa getir, "Anak, kau toh tahu hidupku
tidak akan lama lagi!"
"Kongkong, siapa orang ini" Mungkinkah salah seorang pemberontak atau
pembangkang Kerajaan?"
Si thay-kam tidak menyahut, dia malah bertanya kepada rombongan pegulat.
"Kalian ini fuku dari mana?"
"Kami dari istana The ongya, Terima kasih Kongkong, Apabila tidak ada bantuan dari
Kong kong, kami pasti sudah kehilangan muka."
"Hm! Hanya kebetulan saja!"
Orang Boan ciu gemar bergulat, setiap Pwe le atau pangeran biasa memelihara
pegulat yang di namakan fuku, Begitu pula The ongya.
"Jangan menimbulkan keributan lagi, Sekaran kalian bawa laki-laki serta bocah ini ke
Tay lwe Siang Sian Kam. Katakan bahwa mereka adalah orang-orangnya Hay
kongkong!" "Baik, Kongkong," sahut beberapa fuku itu. Mereka segera membereskan mayatmayat
teman mereka dan dibawanya sekalian bersama Mau Si pat dan Siau Po.
"Mengapa kau masih diam saja?" tanya thay-kam kepada bocah cilik itu. "Bukannya
cepat panggil joli, kau kan tahu aku tidak bisa berjalan!"
"Ya, ya, Kongkong!" sahut si thay-kam cilik sambil berlari keluar.
Thay-kam tua itu kembali mendekam di atas meja sambil terbatuk-batuk, sementara
itu, Siau Po dan Mau Stp-pat benar-benar tidak berdaya.
Malah Siau Po kena batunya, ketika dia berusaha meloloskan diri, tahu-tahu betisnya
terserang sebatang sumpit sehingga dia terguling jatuh, Dalam hati dia mencaci maki.
"Bapaknya Jin! Setan tua itu pasti menggunakan ilmu siluman! Mungkin dia memang
jelmaan siluman kura-kura yang hampir mampus!" sebetulnya Siau Po memang ingin
kabur secara diam-diam, dia ingat tukang cerita di tempat tinggalnya sering mengatakan
"Selagi gunung masih menghijau, jangan takut kehabisan kayu bakar",
Tidak lama kemudian, si thay-kam cilik sudah kembali dengan sebuah joli, Kemudian
si thay-kam tua digotong pergi, batuknya masih belum reda juga.
Di lain pihak, Siau Po dan Mau Sip-pat juga diangkut ke atas joli Iainnya. Tubuh
mereka diikat erat-erat dan mulut mereka juga disumpal dengan kain. Bahkan Siau Po
sudah dihajar beberapa kali karena tadinya mulut bocah itu tidak hentinya memakimaki.
Joli itu ditutup dengan tirai hitam sehingga orang di dalamnya tidak dapat melihat
apa-apa. Beberapa kali joli dihentikan kemudian terdengar suara orang bertanya,
namun akhirnya joli itu diberi jalan setelah salah seorang fuku menjawab.
"Kami mendapat perintah Hay kongkong dari Siang Sian Kam!"
Siau Po bingung, Dia tidak tahu apa itu Siang Sian Kam. Tapi dia dapat menduga
bahwa thay-kam tua itu mempunyai pengaruh yang kuat di dalam istana kerajaan Boan.
Seumur hidupnya, baru dua kali Siau Po naik joIi, Yang pertama ketika dia ikut
dengan ibunya bersembahyang di kelenteng, Saat itu dia hampi tertidur pulas, ia
merasa joli dihentikan dan salah seorang fuku berkata.
"Orang yang dibutuhkan Hay kongkong suda tiba!"
"Ya," sahut seorang bocah cilik, "Hay kongkong sedang beristirahat. Biarkan saja
orang itu menunggu di sini!"
Dari suaranya, Siau Po segera mengetahui bahwa yang berbicara barusan adalah si


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

thay-kam ciiik. Lalu dia merasa jolinya diangkat dan digotong menuju suatu tempat
kemudian berhenti lagi. Terdengar seseorang berkata:
"Kami akan pulang sekarang. Akan kami laporkan urusan ini kepada The ongya,
pasti ongya akan mengirimkan wakilnya untuk mengucapkan terima kasih kepada Hay
kongkong!" Terdengar lagi sahutan si thay-kam cilik.
"Kalian melakukan hal yang tepat. Memang kalian harus melaporkan urusan ini
kepada The ongya dan tolong sampaikan salam kongkong kepadanya."
Sementara itu, hidung Siau Po juga mengendus bau obat. Diam-diam dia berpikir
dalam hati. "Setan tua itu tampaknya sudah parah sekali penyakitnya, tapi mengapa dia tidak
cepat-cepat mampus saja" Celakanya kami justru sudah terjatuh ke dalam
genggamannya." Ruangan itu begitu hening. Hanya sekali-sekali terdengar suara batuk Hay kongkong.
Siau Po kesal sekali, dia merasa urat tangan dan kakinya mulai kaku. Dia juga tidak
dapat bersuara karena mulutnya tersumpaj sedangkan Hay kongkong seperti sudah
lupa kepada mereka berdua.
Entah berapa lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara panggilan si thay-kam tua.
"Siau Kuicu!" Segera terdengar sahutan si thay-kam cilik, Siau Po berpikir dalam hati.
"Ah... dia juga memakai huruf Siau di depan namanya, sama dengan namaku!"
"Lepaskan ikatan mereka, Ada beberapa pertanyaan yang ingin aku ajukan!" perintah
Hay kongkong. Siau Kui cu segera melaksanakan perintah itu, tidak lama kemudian penutup mata
Mau Sip-pat dan Siau Po telah dibuka, mereka melihat bahwa mereka berada dalam
sebuah ruangan yang besar, tapi perabotannya sedikit sekali.
Yang ada hanya sebuah meja dan kursi, Di atas meja tersusun beberapa jilid buku,
Hay kongkong duduk di atas kursi dengan posisi setengah menyandar, kedua pipinya
cekung, matanya setengah dipejamkan.
Sumpalan kain di mulut Sip-pat dilepaskan ketika Siau Kui cu akan melepaskan
sumpalan pada mulut Siau Po, Hay kongkong segera mencegahnya.
"Tunggu dulu, mulut bocah itu kotor sekali, Biar tersumbat agak lama!"
Siau Po hanya dapat memaki kalang kabut dalam hati. ikatan kedua tangannya telah
dibebaskan tetapi dia tidak berani melepaskan sumpal mulutnya sendiri karena dia tahu
thay-kam tua itu lihay sekali, usahanya pasti sia-sia. Dia hanya dapat memperhatikan
sembari memasang telinga mendengarkan.
"Ambil kursi dan suruh dia duduk!" perintah Hay kongkong.
Siau Kui cu segera menuruti perintah, Diambilnya sebuah kursi dari ruangan sebelah
kemudian dipersilahkannya Sip-pat untuk duduk, Siau Po tidak disediakan kursi. Tanpa
sungkan lagi dia duduk di atas tanah.
"Kalau tidak salah tuan ini she Mau dan ahli ilmu Ngo-houw toan bun to, bukan?"
tanya Hay kongkong. Di dalam hatinya, Mau Sip-pat terkejut setengah mati, "Rupanya thay-kam tua ini
sudah mengetahui siapa diriku!" Karena itu dia juga merasa tidak perlu berdusta lagi.
"Benar!" sahutnya tanpa ragu.
"Menurut selentingan yang kudengar, katanya tuan melakukan perampokan di kota
Yang-ciu dan akhirnya setelah tertangkap, kau buron dari penjara setelah membunuh
beberapa hamba kerajaan, Banyak juga perbuatan onar yang telah kau terbitkan, ya?"
"Memang benar!" sahut Sip-pat. Dia mengagumi kepandaian si thay-kam tua yang
tinggi, karena itu dia tidak mau berlaku kurang sopan.
"Sekarang tuan telah sampai di kota raja, dapatkah tuan memberitahukan apa
keperluanmu?" tanya Hay kongkong kembali.
"Aku toh sudah terjatuh dalam genggamanmu, mau bunuh, mau siksa silahkan, Aku
orang she Mau adalah seorang laki-laki sejati, tak bakal aku mengerutkan keningku.
Tapi kalau kau bermaksud mencari keterangan dari mulutku, sasaranmu salah!"
Hay kongkong tersenyum. "Siapa yang tidak tahu Mau Sip-pat adalah seorang laki-laki sejati" Untuk memaksa
kau, tentu aku orang tua tidak berani, tapi menurut kabar yang kuterima, katanya kau
ini orangnya Peng Si-ong...."
Belum selesai ucapan Hay kongkong, Mau Sip-pat sudah menukas dengan marah.
"Siapa yang mengatakan bahwa aku orangnya Go-sam Kui si pengkhianat bangsa"
Kata-katamu itu sungguh menghina!"
Peng Si-ong adalah pangkatnya Go-sam Kui, yakni seorang Raja Muda yang
menaklukkan wilayah barat.
Thay-kam tua itu terbatuk-batuk beberapa kali, kemudian tersenyum lagi.
"Peng Si-ong telah berjasa besar terhadap kerajaan Ceng yang maha agung, Sri
Baginda sangat mengandalkannya, Kalau tuan memang orangnya Peng Si-ong,
sebaiknya katakan terus terang saja, Dengan memandang muka raja muda itu, aku
orang tua juga tidak akan memperpanjang persoalan."
"Bukan! Mau Sip-pat dengan jahanam Go-sam Kui tidak ada hubungannya sedikit
pun!" teriak Mau Sip-pat. "Aku tidak sudi memperoleh keuntungan dari keparat itu.
Kalau kau memang mau membunuh aku, silahkan jangan membuat keluarga Mau sial
karena tuduhanmu itu!"
Wi Siau Po juga pernah mendengar nama Peng Si-ong Go-sam Kui, orang itu yang
membawa pasukan bangsa Boan ciu memasuki gerbang perbatasan sehingga dinasti
Beng jatuh, Sejak itu pula kerajaan Ceng berkuasa di daratan cina. Dia maklum
mengapa Mau Sip-pat marah sekali dikatakan orangnya Peng Si-ong, sebab Go-sam
Kui dikenal sebagai pengkhianat bangsa Han atau Han Kan.
Sebetulnya ia kurang setuju dengan sikap Mau Sip-pat, pikirnya dalam hati.
"Si kura-kura tua ini pasti sedang membujuk sahabatku ini untuk mengaku, Mengapa
dia tidak mengakuinya saja, dengan demikian bukankah kita akan dibebaskan"
Sesudah bebas kita dapat memikirkan akal untuk melarikan diri dari kota raja, sekarang
saudara Mau malah berkeras. Bagaimana kalau dia sampai disiksa" Bukankah dia
hanya mencari penyakit" Sesudah bebas, kita bisa mencaci maki pengkhianat itu!"
Sejak dibebaskan, Siau Po dapat menggerakkan kaki dan tangannya dengan
leluasa. Hanya mulutnya yang tetap tersumpal, Diam-diam dia mengangkat tangannya
ke atas untuk melepaskan sampai mulutnya itu.
Hay kongkong sedang berbicara dengan Sip-pat, dia tidak memperhatikan tingkah si
bocah, bibirnya malah menyunggingkan senyuman mendengar suara Sip-pat yang
semakin keras. "Tadinya aku mengira tuan datang ke kota raja atas perintah Peng Si-ong, rupanya
aku keliru," katanya.
"Biarlah aku katakan terus terang padamu, Kedatanganku ke kota raja ini sebetulnya
untuk mencari Go Pay. Aku dengar dia adalah tokoh nomor satu dari bangsa Boan Ciu,
katanya dia dapat membunuh seekor kerbau gila dengan kepalannya, Mendengar cerita
itu, aku tidak puas, Aku sengaja mencarinya untuk mengadu kepandaian!"
Hay kongkong menarik nafas panjang mendengar kata-kata Mau Sip-pat.
"Kau hendak mengadu kepandaian dengan Go siau-po" sekarang kedudukannya
tinggi sekali, di bawah satu orang tetapi di atas laksaan orang, Bagaimana mungkin dia
dapat bertanding denganmu?"
Sementara itu, otak Sip-pat bekerja keras. Di sudah dikalahkan oleh thay-kam tua ini,
Kalau Hay kongkong saja dia tidak dapat menandingi apalagi Go Pay" Bukankah Go
Pay dikenal sebagai orang kuat nomor satu bagi bangsa Boan ciu" Sementara itu,
secara diam-diam dia juga telah membebaska dirinya dari totokan Hay kongkong.
Dia berpikir dalam hati, apakah dirinya sanggup melawan thay-kam tua ini" padahal
ketika di Te Seng San, dia tidak mempunyai rasa gentar sedikit pun. Setelah berdiam
diri sekian lama, terdengar Hay kongkong menarik nafas panjang kembali.
"Tuan, apakah kau masih berniat mengadu kepandaian dengan Go Pay?"
"Ada satu hal yang ingin kutanyakan terlebih dahulu, Bagaimana sebenarnya
kepandaian itu" Kalau dibandingkan dengan kau orang tua, berapa tingkat
kemenangannya?" Hay kongkong tersenyum. "Go Pay adalah seorang menteri yang sangat dihormati. Di dalam rumah, tugasnya
menjadi menteri, di luar dia dapat merangkap menjadi panglima besar. Kekayaannya
jangan ditanyakan lagi, Pangkatnya juga hampir tiada tandingannya, Berbeda dengan
aku, kedudukanku di istana sangat rendah, Apabila dibandingkan dengan Go siau-po,
ibarat bintang di langit dengan pasir di tanah!"
Thay-kam tua itu sepertinya mengelakkan pertanyaan Sip-pat dengan membicarakan
soal lainnya, tapi Sip-pat tetap penasaran.
"Kalau kepandaian Go Pay ada setengahnya darimu saja, dapat dipastikan bahwa
aku bukanlah lawannya!"
"Tuan terlalu merendah," kata Hay kongkong sambil tersenyum. Tampaknya sikap
orang tua ini sangat ramah, "Sekarang aku tanyakan dulu kepadamu menurut
penglihatanmu bagaimana ilmu silatku kalau dibandingkan dengan Tan Eng Hoa?"
Mau Sip-pat terperanjat setengah mati.
"Apa katamu?" "Aku menanyakan tentang hiocu tertinggi dari partai kalian. Aku mendengar Tan
hiocu telah mempelajari ilmu tenaga dalam Liong-kian Kong Khi (Naga menggulung
hawa) yang hebat sekali. Sayangnya, aku yang rendah tidak mempunyai kesempatan
untuk bertemu dengannya."
Sip-pat merasa heran. Semakin lama, thay-kam tua ini semakin membingungkan Dia
bukan hanya mengetahui siapa dirinya, tapi juga banyak tahu tentang Tan Eng Hoa,
ketua Tian-te Hwe. Mulutnya melongo, sampai sekian lama dia tidak sanggup
mengatakan apa-apa. Kembali Hay kongkong menarik nafas panjang, Tampaknya dia memang paling ahli
dalam menarik nafas dan batuk-batuk.
"Saudara Mau, sejak semula aku sudah tahu bahwa kau adalah seorang laki-laki
sejati, ilmumu cukup tinggi, mengapa kau tidak mengabdi saja pada Sri Baginda kami"
Tidak sulit bagimu mendapatkan kedudukan Te-tok atau ciangkun. Tapi kau justru
mengikuti Tan hiocu mengadakan perlawanan... aih!"
Tampak Hay kongkong menggelengkan kepalanya berulang kali kemudian
menambahkan kembali, "Kau akan mendapatkan akibat yang tidak menyenangkan.
Karena itu, dengan hati tulus aku menasehatimu, Lebih baik kau pertimbangkan kembali
dan rubah pendirianmu sebelum semuanya terlambat, undurkan diri dari Tian-te Hwe..."
"Tian-te Hwe.,." Aku tidak tahu apa-apa tentang partai itu..." sahut Sip-pat, tetapi
pada dasarnya dia seorang jujur yang tidak pernah berdusta sekalipun Tingkahnya jadi
gugup, Akhirnya dia menjadi nekad, Dia tahu orang pasti tidak akan mempercayai
katakatanya. "Tidak salah! Aku memang anggota Tian-te Hwe! Kami telah bersatu hati serta jiwa
untuk membangun kembali kerajaan Beng. Mana mungkin aku mengabdi kepada
bangsa Boan" Bukankah aku akan menjadi seorang Han-kan" Nah, sekarang
semuanya sudah jelas bagimu, Terserah apa yang akan kau lakukan kepadaku!"
Hay kongkong tidak ada maksud membunuhnya. Dia malah berkata dengan nada
sabar. "Kalian orang-orang Han memang merasa tidak senang karena bangsa Boan telah
merampas negaramu, pendapat kalian itu keliru sekali, Karena itulah aku menghargai
kegagahanmu yang cinta pada negara, sekarang begini saja, aku tidak akan
membunuhmu, tetapi tolong sampaikan kata-kataku kepada Tan hiocu bahwa Hay
kongkong ingin sekali bertemu dengannya.
Dengan demikian aku bisa menguji sampai di mana ketinggian ilmunya, Lian-kian
Kong Khi. Aku harap dia datang secepatnya ke kota raja. Aih! Umurku tidak seberapa
lama lagi, itulah sebabnya, bila Tan hiocu tidak lekas datang, aku tentu tidak
mempunyai kesempatan untuk bertemu dengannya lagi. Sungguh harus disesalkan bila
aku mati tanpa sempat bertemu dengan orang yang demikian gagah!"
Sip-pat benar-benar bingung dengan sikap thay-kam tua itu. Bukan saja dia akan
membebaskan mereka, dia juga berani menentang Tan hiocu. Hampir saja dia tidak
percaya dengan pendengarannya sendiri. Dia berdiri dari tempat duduknya, tetapi tetap
berdiri di tempat. Dia merasa ragu untuk melangkah.
"Apa lagi yang kau tunggu" Mengapa masih belum pergi?" tanya Hay kongkong.
"Baik!" sahut Mau Sip-pat sembari membalikkan tubuhnya dan menarik tangan Siau
Po. Bibirnya bergerak-gerak, seakan ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi tidak
ada sedikit pun suara yang tercetus dari mulutnya.
Hay kongkong menarik nafas panjang.
"Percuma kau menjadi orang kangouw sampai berpuluh tahun lamanya. Masa kau
tidak tahu peraturan sedikit pun" Apakah kau akan meninggalkan tempat ini begitu saja
tanpa meninggalkan apa-apa sebagai tanda mata?"
Sip-pat menggigit bibirnya keras-keras.
"Benar, Aku orang she Mau sampai melupakan hal itu. Saudara cilik, pinjam pisaumu
sebentar. Aku akan mengutungkan tangan kiriku sebagai tanda mata!" katanya.
Ucapan Mau Sip-pat ditujukan kepada si thay-kam cilik yang menggenggam sebilah
pisau belati sepanjang delapan dim yang tadi digunakan untuk memutuskan tali
pengikat mereka berdua. "Tangan kiri saja masih belum cukup!" kata Hay kongkong.
Wajah Mau Sip-pat langsung merah padam saking gusarnya.
"Kau menginginkan tangan kananku juga?"
Hay kongkong menggelengkan kepalanya, "Dua belah tangan dan dua biji mata!"
Sip-pat tercekat hatinya, Tanpa dapat ditahan lagi, kakinya menindak mundur dua
langkah, cekalannya pada Siau Po dilepaskan.
Dengan gerakan cepat tangan kanan dan tangan kirinya bergerak serentak, Tangan
kiri diangkat ke atas, tangan kanan bergerak ke samping, itulah jurus Ti-gu Bong Goat"
(Badak menengadah menghadap rembulan).
Dalam hatinya dia berpikir "Bagaimana mungkin kau menginginkan kedua belah
tangan dan kedua biji mataku" Tanpa lengan dan mata, apa gunanya aku menjadi
manusia" Lebih baik aku mengadu jiwar biarlah aku mati di tanganmu!"
Hay kongkong tidak menolehkan kepalanya atau memperhatikan gerak-gerik Mau
Sip-pat, dia sibuk mengurus batuknya yang semakin lama semakin menjadi-jadi,
nafasnya seperti sesak, Hay kongkong berdiri sambil memegangi tenggorokannya
seperti ingin mengurut-urut agar pernafasannya menjadi lega.
Melihat penderitaan taykam tua itu, Mau Sip-pat berpikir dalam hati.
"Kalau tidak lari sekarang, mau kapan lagi?" Tubuhnya langsung bergerak, bukan
untuk menyerang thay-kam tua itu, tetapi untuk menarik tangan Siau Po agar dapat
diajaknya berlari bersama.
Tepat pada saat tubuh Sip-pat bergerak, Hay kongkong menurunkan tangan dan
kedua jarinya seperti memotes ujung meja, potongan meja itu disambitkannya ke
depan. Sip-pat baru sampai di ambang pintu ketik potongan kayu itu menghajar betis
kanannya, tepat di jalan daerah Hok-tut hiat. Tenaganya punah seketika, kemudian ia
terjatuh dalam posisi bertekuk Iutut. Satu serangan lain mengenai betis kirinya
sehingga Siau Po pun ikut terguling jatuh.
Sementara itu, suara batuk Hay kongkong masih terdengar terus, Terdengar pula
Siau Kui cu berkata: "Makan lagi obatnya setengah bungkus, mungkin batuknya bisa reda...."
Terdengar sahutan si thay-kam tua.
"Baik, baik. Tambah sedikit tidak apa. Tetapi kalau lebih bisa membahayakan."
"Baiklah." Terdengar Siau Kui cu berkata. Thay-kam cilik itu merogoh sakunya untuk
mengambil obat, kemudian dia menuju ke dalam untuk mengambil secawan arak.
Sesaat kemudian dia sudah kembali lagi, dibukanya bungkusan obat itu ia dikoreknya
sedikit dengan ujung kelingking.
"Ter... lalu ba... nyak...."
"Baik," sahut Siau Kui cu. Dia menuangk kembali setengah bubuk itu ke dalam
bungkusannya. Matanya menatap Hay kongkong seakan ingin menanyakan apakah
takarannya sudah cukup. Hay kongkong menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba punggungnya membungkuk,
batuknya semakin menjadi-jadi. Kemudian mendadak saja tubuhnya roboh tengkurap di
lantai, tubuhnya kelojotan.
Siau Kui cu terkejut setengah mati, Dia menubruk Hay kongkong kemudian
memapahnya bangun. "Kongkong! Kongkong!" panggilnya berkali-kali, "Kenapa kau, kongkong?"
"Panas... panas..." kata Hay kongkong kalang kabut, "Papah aku ke dalam gentong
air itu, aku ingin berendam..."
"Ya!" sahut Siau Kui cu yang langsung mengerahkan tenaganya untuk membimbing
Hay kongkong, Sesaat kemudian terdengar Burrr! Tubuh thay-kam tua itu pun
dicemplungkan ke dalam gentong air.
Bagian 04 Semua itu diperhatikan oleh Siau Po. Diam-diam dia berdiri lalu berjalan menuju
meja, dengan ujung kelingking dia mengorek obat dari bungkusan tadi dan lalu
menuangkannya ke dalam cawan arak. Setelah mengorek tiga kali, Siau Po khawatir
dosisnya masih kurang keras, dia menambah dua korekan lagi.
Dari dalam kamar terdengar suara Sau Ku cu.
"Kong kong, apakah kau sudah merasa baikan" jangan berendam terlalu lama!"
"Baik... baik!" sahut si thay-kam tua. "Panas... panas seperti terbakar api."
Sementara itu Siau Po melihat pisau belati di atas meja, diambilnya pisau itu,
kemudian ia rebah kembali di samping Mau Sip-pat dalam posisi semula. Terdengarlah
suara air dari dalam kamar, kemungkinan Hay kongkong sudah selesai berendam.
Dia keluar dengan dipapah oleh Siau Kui cu. Suara batuknya masih belum berhenti.
Siau Kui cu mengambil cawan arak kemudian membawanya ke dekat mulut Hay
kongkong, orang tua itu masih terbatuk-batuk sehingga dia tidak dapat meminum arak
itu. Siau Po memperhatikan dengan seksama, hatinya tegang bukan main, jantungnya


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdebar-debar. Dia berharap Hay kongkong meneguk arak itu.
"Lebih baik tidak usah minum obat, tidak usah minum obat.,." kata Hay kongkong.
"Ya..." sahut Siau Kui cu. Diletakkannya cawan arak di atas meja, kemudian dia
membungkus rapi obat tadi dan memasukkannya ke dalam saku bajunya.
Masih saja thay-kam tua itu terbatuk-batuk, akhirnya dia menunjuk ke arah cawan
arak di atas meja, Siau Kui cu segera mengambilnya dan kembali membawanya ke
depan mulut Hay kongkong. Kali ini si thay-kam meneguk seluruh isinya hingga kering.
Sementara itu Mau Sip-pat sudah habis kesabarannya, nulutnya mengeluarkan
erangan sedikit. "Kau berharap... dapat... hidup terus, bukan?" tanya Hay kongkong.
Baru dia selesai bertanya, tiba-tiba terdengar suara: Buk! Kursi yang didudukinya
rubuh terguling, tangannya sempat memegangi ujung meja, tetapi tekanannya terlalu
keras, sehingga meja itu tidak kuat bertahan, tubuh Hay kongkong pun bergulingan di
atas tanah. "Kongkong! Kongkong!" panggil Siau Kui cu yang terkejut sekali, serta merta dia
menghambur ke depan untuk memapah tubuh orang tua itu, posisinya sekarang
memunggungi Mau Sip-pat dan Siau Po.
Wi Siau Po maklum apa yang harus dia lakukan, wataknya memang berani sekali,
dia bangkit dan tiba-tiba dia menerjang ke arah Siau Kui cu, sebelum thay-kam cilik itu
menyadari apa yang sedang terjadi, punggungnya sudah tertikam pisau belati di tangan
Siau Po. Hanya satu kali dia sempat menjerit kemudian tubuhnya roboh terguling,
otomatis tubuh Hay kongkong pun jatuh kembali.
Siau Po menghampiri thay-kam tua itu. Pisau belati masih digenggamnya erat-erat.
Dia bermaksud menikam orang tua itu, tetapi tiba-tiba Hay kongkong membuka
matanya dan berkata kepada pelayannya.
"Eh, eh.... Siau Kui cu, kok, rasanya obat ini kurang beres...?"
Siau Po terkejut sekali, dia batal menikam, Hay kongkong tidak hanya bertanya, dia
memutar tubuhnya sambil mengulurkan tangannya. Tangannya malah membentur
pergelangan tangan Siau Po yang mana langsung dicekalnya.
"Siau Kui cu, a... pakah... barusan kau tidak salah menakar obat?"
"Ti... dak sa... lah!" sahut Siau Po dengan membuat suaranya kurang jelas, Dia
merasa cekalan pada tangannya nyeri sekali sehingga rasa sakitnya menghebat, tetapi
dia tidak berani menjerit karena takut suaranya dikenali.
"Cepat... cepat nyalakan lilin!" seru Hay kongkong gugup. "Gelap sekali, apa pun
tidak terlihat!" Siau Po bingung sekali, api lilin menyala dengan terang, mengapa thay-kam tua itu
mengatakan keadaannya gelap gulita. Suatu ingatan melintas dalam benaknya,
"Jangan-jangan matanya menjadi buta sehingga yang dilihatnya hanya kegelapan?"
Siau Po ingin mendapatkan kepastian.
"Lilin masih menyala, Kong kong, apakah kau tidak melihatnya?"
Suaranya Siau Po berbeda dengan suara Siau Kui cu. Hal ini karena Siau Po orang
Yang-ciu, sedangkan Siu Kui cu adalah bangsa Boan ciu, tetapi dia berusaha
menirukan suaranya, agar tidak dikenali oleh Hay kongkong.
"Aku tidak melihatnya..." sahut Hay kongkong. "Siapa bilang lilin itu dalam keadaan
menyala Lekas sulut!" teriaknya sambil melepaskan cekala pada tangan Siau Po.
"Ya... ya!" sahut Siau Po. Cepat-cepat dia menjauhkan diri, dia berjalan menuju
dinding dan sengaja membenarkan tubuhnya satu kali agar bersuara, "Lilin telah
dinyalakan!" "Apa" Ngaco! Kenapa kau masih belum menyalakan lilinnya?"
Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba tubuhnya terguling jatuh kembali Hay kongkong
rebah dalam posisi terlentang. Melihat keadaan itu, Siau Po segera memberi isyarat
dengan tangan agar Mau Sip-pat segera meninggalkan tempat itu, tetapi Sip-pat justru
menggapaikan tangannya karena dia ingin mengajak Siau Po.
Bocah cilik itu berpikir dalam hatinya, "Dua orang minggat bersama lebih berbahaya,
mudah dipergoki orang. Lebih baik mereka memencarkan diri, karena itu dia memberi
isyarat kepada kawannya agar lari terlebih dahulu.
Mau Sip-pat sempat bimbang sejenak, Terdengar Hay kongkong merintih.
"Siau... Kui cu.... Siauw.. Kui... cu!"
"Ya, aku di sini," sahut Siau Po sambil mengibaskan tangannya menyuruh Mau Sippat
meninggalkan tempat itu. Mau Sip-pat tidak bisa kabur, kedua kakinya masih tertotok, Dengan kedua
tangannya dia memijit dan mengurut bagian pinggang dan kedua betisnya, sebegitu
jauh, dia masih belum berhasil.
"Aku tak dapat berjalan, memang tidak mudah aku mengajak Siau Po. ia masih kecil
tapi juga cerdik sekali, mungkin dengan mudah dia dapat meloloskan diri, tetapi kalau
kita lari bersama, lebih gawat lagi kalau kita dihadang oleh para pengikut Hay kongkong
yang lainnya," pikirnya dalam hati.
Membawa pikiran demikian, Mau Sip-pat pun merayap meninggalkan tempat itu.
sebelumnya dia memberi isyarat kepada Siau Po. Dengan kedua tangan dia menyeret
tubuh serta kakinya. Hay kongkong masih merintih terus, Siau Po tidak berani meninggalkannya. Dia
sadar, apabila Hay kongkong mengetahui bahwa Siau Kui cu sudah mati, orang tua itu
pasti akan berteriak sekeras-kerasnya sehingga orang-orang berdatangan dan pada
saat itu, tamatlah riwayat Siau Po.
"Mau toako kena masalah karena ulahku, Kedua kakinya terluka. Entah sampai
kapan baru bisa sembuh dan bagaimana caranya meloloskan diri dari tempat ini. Lebih
baik aku menunggu di sini saja, Yang penting si tua bangka ini tidak tahu kalau aku
bukan Siau Kui cu. Keadaannya parah sekali, kalau dia pingsan, aku bunuh saja
sekalian, baru melarikan diri," pikir Siau Po.
Beberapa saat kemudian terdengar suara kentungan dipukul satu kali. Hal ini
menandakan bahwa saat itu sudah masuk kentungan pertama. Tampak sinar lilin
berkelebat, Siau Po menoIehkan kepalanya, rupanya salah satu lilin di ruangan itu
sudah tersulut habis, dan saat itu juga dia melihat mayat Siau Kui cu masih
menggeletak di sana, Tiba-tiba saja perasan bocah itu jadi takut.
"Aku yang membunuhnya, bagaimana kalau tiba-tiba dia menjadi setan dan minta
pertanggungan jawab dariku?" pikirnya dalam hati.
Siau Po berdiam diri sejenak, kemudian dia mengambil keputusan untuk melarikan
diri selagi masih tengah malam. Suara rintihan Hay kongkong masih terdengar
membuktikan bahwa thay-kam tua itu tidak pingsan.
Biarpun nyali Siau Po cukup besar, tetapi dia tidak berani terlalu dekat thay-kam tua
itu untuk menikamnya, Dia sadar ilmu orang tua itu tinggi sekali, salah sedikit saja
dia pasti mengetahui apa yang akan dilakukannya.
Bila dia menggerakkan kaki atau tangannya saja, celakalah Siau Po, apalagi kalau
bagian kepalanya yang kena, bisa-bisa remuk karena tenaga dalam thay-kam tua yang
kuat sekali itu. Tidak lama kemudian, padamlah dua batang lilin yang lainnya, pandangan mata Hay
kongkong sudah rusak, ada lilin atau tidak tentu bukan persoalan lagi baginya, berbeda
dengan Siau Po, hatinya semakin kebat-kebit mengingat mayat Siau Kui cu dan bisa
tersentuh apabila dia mengulurkan tangannya.
"Ah, sebaiknya aku cepat-cepat pergi dari tempat ini," pikirnya kembali.
Tiba-tiba terdengar suara rintihan Hay kong-kong.
"Siau Kui... cu... Siau.,., Kui... cu, di mana kau?"
"Aku di sini!" sahut Siau Po sambil perlahan-lahan melangkah ke pintu.
"Siau Kui cu, kau... hendak... ke mana?"
"Aku... ingin buang air... kecil."
"Kenapa tidak di kamar saja?" tanya Hay kong-kong kembali
"Ya... ya..." sahut Siau Po, Dia pun lalu pergi ke dalam kamar. Baru berjalan dua
tindak, ttba-tiba kepalanya membentur daun pintu.
"Eh, Siau Kui cu, ada apa?" tanya Hay kongkong bercuriga.
"Ti... tidak apa-apa." Kepala Siau Po terasa sakit, dia merogoh sakunya untuk
mengeluarkan peletekan api. Dia melihat beberapa batang lilin di atas meja. Diambilnya
sebatang kemudian dinyala kannya lilin itu sehingga suasana kamar itu menjadi terang
kembali. Di dalam terdapat dua buah tempat tidur, yang satu ukurannya besar dan yang
satunya lagi kecil. Siau Po tahu itu merupakan tempat tidurnya si thay-kam tua dan Siau
Kui cu. Ada sebuah meja da. sebuah lemari, juga beberapa peti, entah apa isinya.
Sebuah kamar yang perabotannya sederhana sekali, di sebelah kanan ada sebuah
gentong besar dan airnya bercipratan ke mana-mana.
"Apakah sebaiknya aku kabur lewat jendel saja?" pikir Siau Po dalam hatinya.
Tiba-tiba dia mendengar suara Hay kongkon bertanya kembali. "Eh, Siau Kui cu,
kenapa kau masih belum buang air juga?"
"Heran, Tidak henti-hentinya dia menanyaka aku, apakah dia sudah curiga kalau aku
bukan Sia Kui cu?" Siau Po menjadi khawatir, dia segera mengambil pispot dari kolong tempat tidur,
sementara itu, matanya mengawasi jendela yang tertutup rapat dengan kertas
tempelan, mungkin khawatir Hay kongkong yang batuk-batuk terus bisa masuk angin
kalau dibiarkan terbuka. "Kalau aku membuka jendela dengan paksa, suaranya pasti berisik dan si tua
bangka itu pasti akan mendengarnya, dia pun akan masuk ke dalam kamar untuk
meringkus aku," pikirnya lagi.
Siau Po menguras otaknya habis-habisan, tapi dia tidak menemukan jalan lain, Di
dekat kolong tempat tidur Siau Kui cu ada seperangkat pakaian baru. Melihat itu,
tibatiba Siau Po mendapat sebuah ingatan, cepat-cepat dia membuka bajunya sendiri, lalu
menggantinya dengan pakaian itu.
"Siau Kui cu, sedang apa kau?" tanya Hay kongkong kembali.
"Tidak apa-apa." Siau Po bergegas mengancingkan bajunya dan berjalan ke luar. Dia
sempat meraih kopiah Siau Kui cu dan mengenakannya sekalian.
"Lilinnya mati lagi," katanya, "Aku mau ambil lagi satu batang." ia kembali ke kamar,
diambilnya dua batang lilin sekalian merenggut bajunya sendiri.
Hay kongkong menarik nafas dalam-dalam agar dadanya lega. "Benarkah kau sudah
menyalakan lilin?" "Benar, Apakah kongkong tidak melihatnya?" tanya Siau Po.
Thay-kam tua itu tidak memberikan komentar apa-apa. Beberapa kali dia terbatukbatuk
akhirnya baru berkata. "Sejak dulu aku sadar obat itu tidak boleh diminum terlalu banyak, Rasanya pahit
sekali, Ya, memang makannya sedikit-sedikit, tetapi lama-lama akan menjadi bukit,
setelah bertahun-tahun racunnya mulai memperlihatkan reaksi sehingga timbullah efek
sampingannya di mata...."
Mendengar ucapannya, perasaan Siau Po menjadi agak lega. Hal ini membuktikan
bahwa orang tua itu benar-benar sudah buta, "Untung dia tidak tahu bahwa aku yang
menambah takaran obatnya, dalam anggapannya dia sudah minum obat itu terlalu lama
dan banyak...." "Siau Kui cu!" Tiba-tiba orang tua itu memanggil pula, "Bagaimana aku
memperlakukan dirimu selama ini?"
"Baik sekali," sahut Siau Po. Dia tidak tahu bagaimana sikap Hay kongkong terhadap
Siau Ku cu sehari-harinya, tetapi dia merasa jawaban itu paling aman.
"Aih! sekarang mata Kong koag sudah buta, dalam dunia ini hanya kau seorang yang
dapat kuandalkan untuk merawat aku. maukah kau untuk tidak meninggalkan aku"
Bagaimana kalau suatu hari nanti kau tidak memperdulikan aku lagi" suaranya
terdengar pilu dan mengenaskan.
"Tidak akan, Kong kong.-."
"Sungguh?" "Sungguh!" sahut Siau Po. otaknya memang cerdas sekali, Dia dapat memberikan
jawaban dengan cepat dan pandai berpura-pura pula, nada suaranya begitu tegas
sehingga orang tidak akan mengetahui apakah dia serius atau memang berdusta,
"Kong kong, kau toh tidak memiliki orang lain lagi untuk melayanimu, kalau bukan
aku yang menemanimu, siapa lagi" Aku yakin lewat beberapa hari mata Kong kong
pasti akan sembuh kembali Kong kong tidak usah khawatir."
"Tidak, Siau Kui cu. Mataku ini tidak mungkin bisa sembuh lagi!" Hay kongkong
termenung sesaat, Kemudian baru berkata lagi, "Apakah orang she Mau itu sudah
kabur?" "lya, Kongkong."
"Bocah yang bersamanya itu telah kau bunuh bukan?"
Siau Po heran bagaimana Hey kongkong bisa mengetahuinya, Mungkinkah suara
jeritan tertahan dari Siau Kui cu dikira orang tua itu sebagai suaranya sendiri" Tapi
dia menjawab juga. "Ya, kongkong, Bagaimana dengan mayatnya ?"
"Aih! Kalau ketahuan kita membunuh orang di dalam kamar, urusannya bisa jadi
panjang, Siau Kui cu, ambil peti obatku!"
"lya," sahut Siau Po sambil langsung masuk ke kamar, tetapi dia tidak tahu di mana
letak peti obat. Lemari dibukanya, dia menarik setiap laci yang ada.
Tidak disangka-sangka, karena perbuatannya Hay kongkong tiba-tiba saja menjadi
marah. "Siau Kui cu, apa yang kau lakukan?" bentak orang tua itu, "Mengapa kau membuka
lemari dan laci" Siapa yang menyuruhmu?"
Siau Po terkesiap, jantungnya berdebar-debar.
"Rupanya kotak-kotak ini tidak boleh sembarangan dibuka," pikirnya, Cepat-cepat dia
menjawab "Aku lagi mencari peti obat, entah di mana letaknya?"
"Ngaco! Masa peti obat saja kau lupa di mana letaknya?" bentak Hay kongkong.
"Kong kong, mungkin aku baru saja membunuh orang sehingga pikiranku menjadi
kacau. Apalagi mata kongkong sekarang sudah buta," sahut Siau Po. Selesai berkata,
terdengarlah suara tangisannya yang terisak-isak.
"Aih! Anak, apa artinya membunuh orang" Kau toh sudah biasa melihat orang
dibunuh" Peti obatku ada di dalam kotak pertama yang besar!"
"Ya... ya!" sahut Siau Po. "Aku... hanya takut...." Selesai berkata, dia segera
memperhatikan tumpukan kotak yang jumlahnya ada dua dan terkunci Entah di mana
anak kuncinya, Siau Po menghampiri kotak itu dan iseng-iseng menggerakkan
tangannya, ternyata kotak itu tidak terkunci.
"Bagus, Aku harus hati-hati agar setan tua itu tidak mencurigaiku!"
Dia segera membuka peti itu. isinya terdiri dari berbagai jenis barang, tetapi peti
kecil yang berisi obat ada di sebelah kiri. Siau Po segera mengeluarkannya.
"Ambil sedikit bubuk Hoa si-hun, lalu taburkan pada bocah itu agar tubuhnya lumer
dan musnah!" "lya!" Siau Po segera membuka peti obat di mana di dalamnya terdapat botol-botol
kecil dengan berbagai warna, tetapi tidak ada satu pun yang bertulisan Siau Po menjadi
bingung, yang mana bubuk Hoa si-hun"
"Botolnya yang mana?" tanyanya kemudian.
"Bagaimana sih kau hari ini" Apa benar pikiranmu begitu kacau?" Hay kongkong
balik bertanya. "Aku takut, kongkong," sahut Siau Po pura-pura bergetar "Apakah matamu benarbenar
tidak dapat disembuhkan lagi?" kata-kata itu penuh perhatian Si thay-kam tua itu
jadi terharu, dia meng-usap-usap kepala Siau Po.
"Botol itu bentuknya segi tiga, warnanya hijau berbintik-bintik putih, Obat itu sangat
manjur, sedikit saja sudah cukup."
"Ya, ya..." sahut Siau Po yang langsung mengambil botol yang disebutkan tadi,
Dibukanya tutup botol itu, kemudian dari dalam laci diambilnya sehelai kertas, Obat itu
dituangkannya sedikit ke atas kertas, kemudian dituangkannya ke tubuh Siau Kui cu.
Sampai beberapa saat kemudian tidak ada perubahan apa-apa. Siau Po merasa
heran, sedangkan Hay kongkong menunggu laporan darinya.
"Bagaimana?" Akhirnya Hay kongkong tidak sabaran.
"Tidak ada perubahan apa-apa," sahut Siau Po jujur.
"Di mana kau taburkan bubuk itu" Bukan di darahnya?" tanya orang tua itu.
"Oh, aku lupa!" kata Siau Po yang segera menuangkan lagi bubuk obat itu ke luka
Siau Kui cu yang masih berdarah.
"Hari ini tingkahmu agak janggal," kata Hay kongkong sambil menggelengkan
kepalanya, "Sampai-sampai suaramu ikut berubah!"
Tepat pada saat itu terdengar suara peletekan dari tubuh Siau Kui cu, kemudian
tampak asap mengepul, lalu keluar semacam nanah yang terus mengalir Setiap kali
asap mengepul semakin tinggi, nanahnya pun keluar semakin banyak, sedangkan
bagian yang terluka juga menguak semakin lebar.
Heran Siau Po menyaksikan perubahan itu. Dia memperhatikan dengan seksama.
Dia dapat melihat bahwa daging di tubuh Siau Kui cu yang terkena rembesan nanah itu
langsung musnah. Bahkan baju dan celananya pun perlahan-lahan termakan habis.
Cepat-cepat Siau Po melemparkan baju luarnya sendiri ke cairan itu, ia juga membuka
sepatunya sendiri untuk ditukar dengan sepatu Siau Kui cu.
Kurang lebih satu jam kemudian, habislah seluruh tubuh Siau Kui cu, yang tersisa
hanya cairan berwarna kuning.
"Kalau si tua bangka ini pingsan, bagus sekali, Sekalian saja kububuhkan obat ini
agar tubuhnya juga lumer seperti mayat Siau Kui cu tadi," pikir Siau Po dalam hati.
Hay kongkong masih terbatuk-batuk. Berulang kali dia menarik nafasnya dalamdalam,
tetapi tidak pernah jatuh pingsan.
Sementara itu, di jendela terlihat sinar matahari mulai menyorot, tandanya sang fajar
telah menyingsing. Ternyata waktu berlalu tanpa terasa.
"Sekarang aku telah mengganti pakaian, rasanya tidak perlu takut lagi untuk keluar
berjalan-jalan, siapa yang akan mengenali aku?" pikir Siau Po kembali dalam hatinya.
"Siau Kui cu!" tiba-tiba Hay kongkong memanggilnya, "Hari sudah terang, bukan?"


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya," sahut Siau Kui cu palsu ini dengan cepat.
"Kalau begitu, cepat kau ambil air dan bersihkan cairan kuning itu. Baunya tidak enak
sekali!" Siau Po mengiakan, dia bekerja dengan gesit. Sejenak kemudian cairan kuning di
atas lantai tidak bersisa Iagi.
"Sebentar lagi, habis sarapan, kau boleh berjudi dengan mereka..." kata Hay
kongkong, Siau Po merasa heran, Hatinya bertanya-tanya.
"Berjudi" Aku tidak mau! Matamu sudah buta, Mana bisa aku meninggalkanmu
hanya untuk ber-main-main?" sahutnya.
"Bermain-main" Siapa bilang bermain-main?" tegur Hay kongkong marah. "Kau lupa
apa yang aku pesankan" BerbuIan-bulan aku mengajarimu, berapa ratus tail uang yang
telah kau habiskan semuanya demi urusan besar kita, Apakah kau tidak mau
mendengar perintahku lagi?"
"Bukan,., bukan begitu.,,." Siau Po benar-benar bingung. Dia hanya dapat mengikuti
perkembangannya saja, "Kesehatanmu sedang terganggu, batukmu semakin menjadijadi.
Kalau aku pergi, siapa yang akan merawatmu?"
"Kau harus menyelesaikan tugas yang aku perintahkan itu, urusan ini lebih penting
dari segalanya!" kata Hay kongkong, "Sekarang coba kau main lagi!"
"Bagaimana caranya?" tanya Siau Po.
"Bagaimana" Ambil dadunya!" kata Hay kongkong sengit, "Kau membantah saja, hal
ini membuktikan bahwa selama ini kau tidak belajar dengan sungguh-sungguh, Sudah
begitu lama kau belajar, mengapa masih belum juga terlihat kemajuan apa-apa?"
Mendengar disebutnya tentang dadu, hati Siau Po langsung tertarik, Selama di Yangciu,
dia sudah kenal baik dengan permainan ini, bahkan merupakan salah satu
permainan favoritnya, selain mendengarkan kisah-kisah pahlawan-pahlawan besar si
tukang cerita." "Wah, kacau, Di mana lagi disimpannya dadu itu?" pikirnya bingung, Lalu dia berkata
kepada Hay kongkong, "Aduh, mengapa otakku hari ini kacau sekali" Di mana ya
kusimpan dadu itu?" "Benar-benar manusia tidak berguna!" bentak Hay kongkong, "Kenapa kau takut
bermain dadu" Taruh kata kau kalah, toh bukan uangmu yang dipertaruhkan. Dadu itu
disimpan dalam peti!"
"Aku sendiri tidak mengerti!" sahut Siau Po sambil menghampiri peti yang dimaksud
dan dia mendapatkan dadu itu tersimpan dalam sebuah guci kaca. Dia sampai
mengeluarkan seruan gembira, Siau Po menganggap dadu sebagai sahabatnya dan dia
cepat-cepat memberikan dadu itu kepada si thay-kam tua.
"Benarkah kongkong mengharapkan aku berjudi?" tanyanya meminta penegasan.
"Apakah kalau aku pergi, kongkong tidak akan kesepian ?"
"Sudahlah, jangan cerewet!" bentak Hay kongkong, "Aku jamin, kalau aku yang
mengajari, kau akan pandai sekali bermain dadu!"
"Ya... ya!" sahut Siau Po. Baginya permainan dadu di mana pun sama saja, Toh,
buahnya hanya empat, Dia mencoba melemparkan dadu itu dan dia mendapatkan
empat dadu angka enam! "Bagus!" katanya, "Aku mendapat empat dadu angka enam!"
"Coba aku periksa!" kata Hay kongkong, Matanya sudah buta, dia tidak bisa melihat
sehingga terpaksa merabanya dengan tangan.
"Coba lagi!" katanya,
Siau Po siap melemparkan dadunya kembali, tiba-tiba sebuah ingatan melintas di
benaknya, dia tidak tahu sampai di mana kehebatan Siau Kui cu bermain dadu, tetapi
kalau mendengar nada bicara Hay kongkong tadi, tampaknya si bocah cilik masih
kurang mahir. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk berpura-pura, jangan sampai kedoknya
terbuka. Dia melemparkan dadunya sembarangan kali ini dia mendapat 2 angka 3, satu
angka 4 dan satu lagi angka 5.
"Tidak apa-apa!" kata Hay kongkong, "Coba lagi!"
Sampai tujuh delapan kali Siau Po melemparkan dadunya namun gagal terus,
Sampai lemparan ke sepuluh baru dia mendapatkan kembali empat angka 6.
"Nah, sudah ada kemajuan!" Hay kongkong senang sekali setelah memeriksa.
"Sekarang pergilah kau untuk mencoba peruntunganmu, Hari ini kau bawa lima puluh
tail perak!" Berjudi memang kegemaran Siau Po. Mendengar saja dia sudah senang, apalagi
disuruh memainkannya, tadi selagi membuka peti di kamar dia melihat ada beberapa
potong uang Goan po senilai dua puluh lima tail. Dia memang sudah mengambil dua
potong uang itu. Tepat pada saat itu di luar kamar terdengar panggilan. "Siau Kui cu! Siau Kui cu!"
"Ya!" sahut Siau Po.
"Siapa yang memanggil kau" Pergilah!" kata Hay kongkong.
Senang sekali Siau Po mendengar perintah thay-kam tua itu. Baru saja dia berniat
melangkah keluar, sekonyong-konyong sebuah ingatan melintas lagi di benaknya, "Ah...
orang bisa mengenali bahwa aku bukan Siau Kui cu. Aku harus menutupi wajahku
ini...." Dia memang cerdik, Diambilnya sehelai saputangan yang kemudian ia gunakan
untuk menutupi wajahnya sehingga yang terlihat hanya matanya saja.
"Kong kong, aku pergi!" katanya berpamitan kepada si orang tua. Lalu bergegas dia
keluar dari kamar itu. Di luar kamar telah menunggu seorang thay-kam cilik. Dia
memperhatikan Siau Po dengan heran.
"Kemarin aku kalah, sehingga dihajar oleh Kongkong," kata Siau Po memberikan
alasan. Thay-kam kecil itu tertawa.
"Sekarang kau berani main lagi" Tentu kau ingin mendapat pulang modalmu, bukan!"
Siau Po menarik tangan thay-kam cilik itu lalu mengajaknya menjauh dari pintu
kamar. "Hussh! jangan berisik, nanti terdengar oleh kongkong!" kata Siau Po pura-pura takut,
"Tentu saja aku ingin modalku kembali!"
"Kalau begitu, kau memang benar-benar berani! Hayo kita ke sana!" Kedua anak itu
jala berdampingan. Kedua kakak beradik Un sudah datang, biar bagaimana hari ini kau harus menang!"
"Gawat kalau aku sampai kalah lagi."
Mereka melintasi beberapa serambi dan koridor panjang, kagum sekali Siau Po
melihat tempat itu. Dia berpikir dalam hati. "Sungguh hebat pemilik tempat ini. Dia
sanggup membangun gedung yang luas dan demikian indah."
Siau Po melihat tiang-tiang penglari yang terukir indah. Seumur hidupnya belum
pernah dia melihat gedung seindah ini. Mereka melintasi sebuah taman kecil di mana di
dalamnya ada sebuah paviliun, Setelah melewati dua buah kamar, thay-kam cilik
mengetuk sebuah pintu, pertama tiga kali, kemudian disusul dengan dua kali ketukan
terakhir tiga kali. Sesaat kemudian pintu pun terbuka, terdengar suara suatu benda yang bergerak di
dalam mangkuk, di situ terdapat enam orang yang dandanannya berseragam. Rupanya
mereka sedang bermain dadu.
"Ada apa dengan Siau Kui cu?" tanya seseorang yang usianya kurang lebih dua
puluh tahun, "Dia kena dihajar oleh Hay kongkong karena kekalahan kemarin," sahut si thay-kam
cilik yang menjemput Siau Po.
Orang itu pun tertawa, Siau Po berdiri di belakang mereka, Dia melihat ada yang
memasang satu tail ada pula yang memasang lima Ci, tidak tentu jumlah taruhannya, ia
ikut, dia memasang lima ciam.
"Lihat Siau Kui cu!" kata seorang lainnya, "Entah berapa banyak uang yang dicurinya
hari ini?" "Kau mengatakan aku mencuri" Tidak enak didengar kata-katamu itu!" Hampir saja
Siau Po mencaci maki kalau saja dia tidak ingat siapa statusnya sekarang dan di mana
dia berada. Untung pula dia ingat bahwa suaranya sekarang sudah tidak sama seperti
yang orang-orang itu ketahui sementara itu, dia memperhatikan aksen suara orang itu
baik-baik dengan harapan dapat menirunya kelak.
"Eh, Lao Go, bandar lagi apes, berapa pasanganmu sekarang?" tanya seorang pada
thay-kam cilik yang mengajak Siau Po.
"Dua tail!" sahut Lao Gao, dia menoIehkan kepalanya kepada Siau Po. "Siau Kui cu,
bagaimana denganmu?"
Siau Po lantas berpikir "Untuk sementara sebaiknya aku jangan menang banyakbanyak,
mereka bisa curiga." itulah sebabnya dia hanya memasang lima Ci. Orang lain
tidak ada yang menggubrisnya, Setelah itu Siau Po berpikir kembali bahwa sebaiknya
dia rela kalah dulu, nanti baru dia akan merebut kemenangan.
Perjudian pun berlangsung, orang lainnya bertaruh semakin besar, hanya Siau Po
yang tetap pada patokan semula, akhirnya sang bandar berkata.
"Paling sedikit satu tail, Lima Ci tidak boleh ikut!"
Siau Po memang berat gengsinya, dia langsung menerima tantangan itu. Dia
memasang dua tail. Baik kalah ataupun menang, sikapnya cuek saja, Dia tidak ingin
menimbulkan kecurigaan orang lain.
"Ah, sialan, Apes benar aku hari ini!" gerutu Lao Go. Dia sudah kalah tiga puluh tail.
Tampaknya dia kesal sekali.
"Pakailah uang ini untuk menebus kekalahanmu," kata Siau Po kepada sahabat
barunya. Dia menyodorkan uang senilai tiga puluh tail.
"Saudara, kau baik sekali!" kata Lao Go sambi menepuk bahu Siau Po.
Melihat keadaan itu, semua orang menjadi senang, Bahkan si bandar berkata:
"Hebat, Siau Kui cu! Hari ini jiwamu besar"
Permainan itu pun dilanjutkan, Ketika Siau Po sudah menang sepuluh tail, seseorang
berkata: "Sudah waktunya bersantap, besok kita sambung lagi."
Permainan pun dihentikan, Semua lantas menukar Ciam dengan uang kontan.
"Entah di mana tempat bersantap?" tanya Siau Po dalam hati.
Sedang Lao Go kalah lagi dua puluh tail. "Saudara, besok saja kuganti uangmu itu,"
katanya kepada Siau Po. "Tidak perlu dipikirkan urusan kecil," sahut rekannya.
"Kau benar-benar baik sekali, cepatlah kau pulang, sudah saatnya Hay kongkong
bersantap!" kata Lao Go pula.
"Oh, rupanya semua orang bersantap di tempat masing-masing," kata Siau Po dalam
hatinya, ia senang sekali, Dia memang berniat kembali ke kamar secepatnya, "Sampai
besok!" katanya kepada Lao Go.
Mereka pun berpisah, Siau Po berniat meninggalkan tempat itu, tapi tidak tahu arah
mana yang harus diambilnya untuk menuju kamar Hay kongkong.
"Wah, celaka!" pikirnya. Dia berputaran di tempat itu, tetapi ia malah kesasar, tidak
mudah menemukan kamar si thay-kam tua, Akhirnya dia sampai di depan sebuah pintu
modet rembulan, disebelah kiri ada sebuah kamar yang dari dalamnya terpancar bau
makanan. Pintu kamar itu tidak tertutup rapat, mengendus makanan itu, perutnya langsung
terasa lapar, Siau Po menghampiri pintu kamar dan mendorongnya sedikit. Tidak ada
seorang pun di dalamnya, Dia memberanikan diri untuk masuk ke dalam.
Di atas meja terdapat beberapa macam kue, diambilnya kue itu lalu dimasukkannya
ke dalam mulut, kue itu rasanya enak sekali dan baunya harum. Dia makan lagi
beberapa potong, tetapi jenisnya berlainan dan Siau Po sadar dia sedang mencuri.
Tidak mau dia makan satu macam saja, agar tidak diketahui si empunya.
Tiba-tiba terdengar suara tindakan sepatu di luar kamar Tampaknya ada seseorang
yang sedang mendatangi Siau Po menyambar sepotong kue kemudian menyusup ke
kolong meja. Kamar itu kosong, tidak ada tempat lain yang dapat dijadikan tempat
persembunyian. Tak lama muncullah orang yang suara langkahnya terdengar itu, Siau Po melihat
seorang bocah sebaya dengannya masuk ke dalam kamar. Dia mengambil sepotong
kue lalu memakannya. "Ah, rupanya dia juga pencuri" pikir Siau Po dalam hati, "Seandainya aku berteriak,
tentu dia akan terkejut dan lari ketakutan Pada saat itu aku bisa makan kue sepuasnya,"
tapi Siau Po tidak melakukan hal itu, Sebaliknya, dia merasa menyesal mengapa tidak
mengambil kue lebih banyak lalu membawanya ke taman dan di sana dia bisa makan
dengan puas" Tidak lama kemudian terdengar suara sesuatu yang dipukul Dia merasa heran,
cepat-cepat dia mengintai, rupanya bocah itu sedang memukuli sebuah boneka kulit.
Kelakuannya aneh sekali sebentar dia memeluk, kemudian mendorong lalu
dibantingnya. Tapi pada dasarnya Siau Po memang cerdas, sejenak saja dia sudah mengerti apa
yang sedang dilakukan bocah itu, Ya, dia pasti sedang berlatih diri.
Siau Po menjadi tertarik, sembari tertawa dia keluar dari kolong meja.
"Boneka hanya barang mati, mana menarik diajak berlatih, Mari aku temani kau!"
Berani sekali bocah ini. Begitu keluar dia langsung menantang!
Anak kecil itu terkejut sehingga dia terlonjak dan memperhatikan Siau Po dengan
tertegun, dia melihat wajah orang di hadapannya tertutup sehelai sapu tangan putih. Di
saat lain, rasa terkejutnya sudah hilang, dia tersenyum sambil berkata:
"Baik, mari maju!"
Siau Po menyeruduk ke depan untuk mencekal tangan bocah itu, namun lawannya
segera menggeser tubuhnya ke samping, kedua tangannya digerakkan kakinya
mengait, tubuh Siau Po pun bergulingan jatuh, Terdengar bocah itu berkata:
"Ah, kau tidak mengerti ilmu gulat!"
"Siapa bilang aku tidak bisa?" teriak Siau Po yang langsung bangun kembali dan
menerjang ke arah kaki lawan untuk dipeluknya. Dengan demikian bocah itu gagal
menyambar punggungnya, malah sebaliknya Siau Po yang meluncur terus ke depan
dan lalu meninju dagu bocah itu.
Anak itu terkejut sekali, tetapi dalam sekejap dia sudah pulih kembali. Dia menyerang
lagi ke arah Siau Po, kali ini mereka bergumul Keduanya sama-sama jatuh di atas
lantai, sayangnya Siau Po kena ditindih oleh bocah itu.
Dia terus memberontak dan berusaha mengadakan perlawanan Akhirnya dia berhasil
pula membalikkan tubuhnya sehingga posisinya berada di atas, namun keduanya
sudah lelah sekali. "Ha... ha... ha... ha...!" Keduanya tertawa terbahak-bahak, pergumulan pun
dihentikan. Namun rupanya bocah itu jail juga, mendadak dia menarik sapu tangan
yang menutupi wajah Siau Po.
Siau Po terkejut, dia tidak sempat berkelit. "Ah.,., Rupanya kau yang mencuri
makanan!" kata si bocah sambil tertawa lebar.
Siau Po memperhatikan dengan seksama, sekarang dia dapat melihat bahwa bocah
itu sangat tampan, wajahnya bersih serta menimbulkan kesan baik.
"Siapa namamu?" tanya bocah itu.
"Siau Kui cu. Kau sendiri?"
Anak itu bimbang sejenak, kemudian dia menjawab juga, "Aku Siau Hian cu. Kau
orangnya kongkong yang mana?"
"Aku melayani Hay kongkong...."
Siau Hian cu mengangguk-angguk, Dia menyeka keringat yang membasahi
wajahnya dengan kain penutup wajah Siau Po lalu diambilnya sepotong kue untuk
dimakan, Siau Po juga ikut makan.
"Kau belum belajar ilmu gulat, tapi gerakanmu cukup gesit sehingga tidak dapat
ditindih Iama-lama! Kalau kita bergumul lagi, akhirnya kau akan kalah!"
"Ah, belum tentu!" kata Siau Po alias Siau Kui cu palsu.
"Kau tidak percaya" Baik, mari kita coba lagi!"
Siau Po menerima tantangan itu dan mereka kembali bergumul Benar seperti apa
yang dikatakan anak itu, baru beberapa gebrakan saja Siau Po telah dirobohkan
kemudian ditindihnya. "Nah, menyerah atau tidak?" tanya Siau Hian cu.
"Tidak!" sahut Siau Po yang keras kepala.
Siau Hian cu bangun, Siau Po ingin menyerang kembali, tetapi bocah itu
mencegahnya. "Cukup dulu! Kau bukan tandinganku!"
"Tidak!" kata Siau Po penasaran "Besok kita lanjutkan lagi!" ia menunjukkan
uangnya, "Besok kita bertaruh!"
Siau Hian cu tertawa. "Baik! Besok aku akan membawa uang! Nah, sampai jumpa
besok siang!" "Baik, sampai besok! Ingat, seorang laki-laki sejati, bila sudah mengeluarkan
ucapannya, kuda pun sukar mengejarnya!"
"Ya," sahut bocah itu. "Kuda pun sukar mengejarnya!" Dia mengikuti ucapan Siau Po
kemudian meninggalkan kamar itu.
Siau Kui cu alias Siau Po juga ikut keluar sebelumnya dia meraup beberapa potong
kue kemudian memasukkannya ke dalam saku, Di tengah jalan dia mengingat kembali
saat Mau Sip-pat yan memenuhi perjanjian untuk mengadu ilmu.
Meskipun keadaannya sedang terluka saat itu, dia berpikir bahwa dia pun harus
memenuhi janjinya, kali ini dia berhasil kembali ke kamar Hay kongkong sebelumnya
dia mengingat baik-baik jalannya agar besok-besok tidak lupa lagi.
Baru sampai di depan pintu, dia sudah mendengar suara batuknya Hay kongkong.
"Apakah keadaanmu sudah agak baik?" tanyanya.
"Baik, kentut busukmu! Cepat masuk!"
Siau Po masuk ke kamar, dia melihat thay-kam tua itu duduk di kursi samping meja.
"Apakah kau menang hari ini"
"Menang tiga puluh tail, tapi...."
"Tapi apa?" "Aku pinjamkan kepada Lao Go."
"Apa gunanya kau meminjamkan uang kepada Lao Go" Dia bukan orang dari Gi Si
Pong, Mengapa tidak kau pinjamkan saja kepada kedua saudara Un?"
Siau Po kebingungan. "Mereka tidak meminjam uang kepadaku."


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka tidak meminjam, tapi apakah kau tidak bisa mencari akal agar mereka
meminjamnya?" bentak Hay kongkong, "Apakah kau sudah lupa dengan pesanku?"
Siau Po tertegun. "Kemarin aku baru membunuh orang, aku masih takut, aku jadi lupa pada pesan
Kong kong." "Bunuh satu jiwa adalah hal yang lumrah, tetapi kau masih kecil sehingga dapat
dimaklumi. Apalagi kau belum pernah membunuh orang sebelumnya, sekarang ada
satu hal yang akan kutanyakan apa kau sudah lupa mengenai buku itu?"
"Aku... aku...."
"Ah! Kau pasti sudah lupa!"
"Kong kong, kepa... laku pu... sing, a... ku sampai me... lupakannya."
"Baik, nah, kau kemarilah!"
Siau Po maju ke depan beberapa langkah.
"Aku akan menjelaskan sekali lagi, Kalau kau sampai lupa lagi, aku akan
membunuhmu!" "Ya... ya," sahut Siau Po. Diam-diam dia berkata dalam hatinya, "Kau kira aku Siau
Kui cu, kalau kau katakan sekali saja, sampai seratus tahun pun aku tidak akan lupa."
"Begini, kau harus mengalahkan kedua saudara Un, kemudian kau tawarkan
pinjaman uang kepada mereka. Lebih banyak lebih bagus. Lalu lewat beberapa hari,
kau minta mereka mengantar kau ke Gi Si Pong.
Karena mereka ada hutang denganmu, tak mungkin mereka menolak, seumpamanya
mereka menolak, kau ancam akan mengadukannya kepada Ouw kongkong, congkoan
dari Gi Si Pong. Kalau mereka tidak dapat membayar, otomatis mereka akan mengajak kau ke Gi Si
Pong. Asal kebetulan Sri Baginda sedang tidak ada di dalam kamar tulis nya itu...."
"Sri Baginda Raja?" tanya Siau Po mengira telinganya salah dengar.
"Apa katamu?" "Oh, tidak," sahut Siau Po cepat.
"Mereka tentu akan menanyakan untuk apa kau ke Gi Si Pong. Kau katakan saja
bahwa Sri Baginda adalah manusia agung, kau ingin melihatnya, dan kau berharap
dapat bekerja di sana. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa kedua saudara Un
tidak akan mengijinkan kau melihat raja. Apabila mereka mengajakmu, tentu dipilihnya
waktu ketika Sri Baginda sedang tidak ada di kamarnya, kau harus menggunakan
kesempatan baik itu untuk mencuri sebuah kitab."
Mendengar disebutnya Sri Baginda, perasaan Siau Po menjadi heran, Dia tahu Sri
Baginda itu raja, tapi dia tidak tahu apa artinya Gi Si Pong.
"Oh, kalau begitu ini pasti istana kerajaan, Kalau bukan istana, tentu tidak seindah
dan semegah ini. itulah sebabnya orang-orang di sini semuanya terdiri dari para thaykam
yang biasa melayani di istana raja," pikirnya dalam hati.
Tampang dan suara para thay-kam biasanya berbeda dengan orang umum,
sayangnya Siau Po kurang pengalaman sehingga tidak mengetahuinya. Dia pernah
mendengar tentang raja, putera mahkota, pangeran ataupun puteri.
Juga tentang thay-kam dan para dayang, tetapi semua belum pernah dilihatnya
dengan mata kepala sendiri ia telah bergaul dengan Hay kongkong, Lao Go, serta
kedua saudara Un, tetapi dia baru menyadari bahwa mereka adalah para thay-kam,
Sekarang, mendengar kata-kata Hay kongkong, dia baru mengerti.
"Celaka, Kalau begini, bukankah aku juga menjadi thay-kam cilik?" pikirnya dalam
hati. "Eh, kau mengerti apa tidak?" Hay kongkong segera menegur melihat Siau Po tidak
menyahut dari tadi. "Ya, ya... aku mengerti," sahut Siau Po. "Aku harus ke kamar tulisnya raja!"
"Untuk apa kau ke kamar tulisnya raja?" uji Hay kongkong, "Apakah untuk bermainmain?"
"Untuk mencuri sebuah kitab...."
"Kitab apa?" tanya Hay kongkong mendesak. "Aku... aku... entah kitab apa" aku...
lupa...." "Akan ku ulangi sekali lagi, ingat baik-baik! Kitab itu kitab agama Budha yang
judulnya Si Cap Ji cing-keng, jumlahnya beberapa jilid, Kitab itu sudah tua sekali,
Mengerti" Nah, apa nama kitab itu?"
"Aku ingat! Namanya kitab Si Cap Ji cing-keng!" seru Siau Po girang.
Hay kongkong merasa heran mengapa nada suara Siau Po begitu gembira.
"Kenapa kau begitu senang?"
"Karena kongkong mengingatkan sekali lagi, sehingga aku tidak akan lupa lagi!"
sahut Siau Po cepat. Padahal bukan itu alasan mengapa hatinya merasa senang, Dia tidak pernah
sekolah jadi dia tidak bisa membaca, yang dikenalnya hanya huruf angka san dan kitab
itu kebetulan berjudul Si Cap Ji cing-keng (Empat puluh dua kitab Buddha) Dengan
demikian tidak ada kesulitan baginya untuk menemukan kitab itu.
"Mencuri kitab dalam istana Gi Si Pong harus cekatan, kalau kau sampai kepergok,
biarpun nyawamu ada seratus, kau pasti mati juga," kata Hay kongkong mengingatkan.
"Aku mengerti. Asal kepergok, matilah aku!"
"Kalau kau sudah berhasil, ajaklah kedua saudara Un kemari Aku akan
menghadiahkan mereka semacam barang permainan yang berharga sekali."
"Baik, kongkong, Tapi bolehkah aku tahu barang mainan apakah itu?"
"Sampai waktunya kau akan tahu sendiri," sahut thay-kam tua itu. "Apakah dadumu
sudah ada?" "Ada!" "Kalau begitu, jangan bermalas-malasan. Mulailah berlatih!"
Siau Po mengiakan dan kemudian masuk ke dalam, Di atas meja, hidangan masih
utuh. "Kong kong belum makan, nanti aku sendoki nasinya."
"Tidak usah, aku belum lapar!" sahut orang tua itu. "Kau makanlah dulu!"
Siau Po mengiakan, tanpa sungkan-sungkan lagi dia makan dengan lahap. Meskipun
makanan itu sudah agak dingin, Siau Po tetap merasakan kelezatannya yang luar
biasa, sembari menikmati santapannya, dia berpikir:
"Kalau ini istana, sudah dapat dipastikan kalau Lao Go, kedua saudara Un dan yang
lainnya adalah para thay-kam, entah bagaimana tampang Raja dan permaisurinya "
Senang sekali kalau bisa melihat mereka! Aih... entah bagaimana nasib Mau toako"
Berhasilkah dia meloloskan diri" Tetapi ketika berjudi, tidak ada seorang pun yang
membicarakan tentangnya, Mungkin dia memang sudah berhasil membebaskan diri."
Selesai makan, Siau Po mulai berlatih, dia khawatir Hay kongkong curiga kepadanya
kalau dia diam saja, Suara dadunya di dalam mangkuk berisik sekali. Padahal sejak dua
tahun yang lalu, Siau Po sudah lihay bermain dadu, jadi dia tidak perlu berlatih lagi
Dia melakukannya hanya karena tidak ingin Hay kongkong curiga.
Karena itu, tidak lama berlatih, rasa kantuk pun menyerangnya, maklumlah
sepanjang malam dia tidak tidur. Sesaat kemudian dia sudah pulas.
Di waktu magrib, Siau Po terbangun, dia melihat seorang thay-kam cilik
mengantarkan makanan Tampangnya kebodoh-bodohan. Dia tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Setelah menyajikan makanan, dia langsung pergi. Tentunya dengan
membawa piring mangkuk kotor siangnya.
Siau Po melayani Hay kongkong bersantap terus merapikan tempat tidurnya agar
orang tua itu dapat beristirahat. Dia sendiri berbaring di tempa tidur pikirannya
melayang-layang. "Besok aku akan melawan Siau Hian cu. Bi bagaimana pun aku harus menang!" Dia
memejamkan matanya sambil membayangkan cara Mau Si pat menghadapi lawannya
di bukit Tek Seng Sa "Lebih baik aku tiru saja gerakan mereka, Sayang sekali ketika itu Mau toako ingin
menerima aku sebagai murid dan mengajarkan aku ilmu silat, aku mengabaikannya.
Kalau besok aku kena tindih lagi oleh Siau Hian cu, sungguh memalukan, mengapa
aku tidak minta si kura-kura tua ini mengajarkan ilmu silat kepadaku, bukankah
kepandaiannya tinggi sekali?"
Siau Po segera mengambil keputusan.
"Kong kong," panggil Siau Po. "Besok aku harus ke Gi Si Pong untuk mencuri sebuah
kitab, tapi aku mempunyai sedikit kesulitanku."
"Apa itu?" tanya Hay kongkong.
"Begini, kongkong, tadi sepulang bermain dadu, aku dicegat oleh seorang thay-kam
cilik. Dia memaksa meminta uang meskipun aku tidak sudi memberikannya. Akhirnya
kami berkelahi. Dia bilang, asal aku bisa mengalahkannya, dia akan mengijinkan aku
lewat, itulah sebabnya aku sampai tidak sempat makan karena melayani dia
berkelahi...." "Kau kalah, bukan?"
"Tubuhnya lebih tinggi dan lebih besar, Dia menantang aku berkelahi setiap hari
Ketika aku kalah, dia membiarkan aku lewat..."
"Siapa nama bocah itu" Dia orang dari mana?"
"Namanya Siau Hian cu, entah dari kamar mana."
"Mungkin karena kau menang judi sehingga lagakmu menjadi sombong dan orangorang
tidak menyukaimu..."
"Tapi aku tidak puas, pokoknya besok aku akan melawannya lagi, entah menang
atau kalah...." "Hm... rupanya kau minta aku mengajarkan ilmu silat kepadamu Kalau aku
mengatakan tidak, percuma biar kau merongrong sepanjang hari!"
"Dasar kura-kura tua, benar-benar tidak dapat diperdaya gerutu Siau Po dalam
hatinya. Tetapi di luar dia hanya berkata: "Siau Hian cu tidak mengerti ilmu silat,
untuk mengalahkannya aku pun tidak perlu belajar ilmu silat, Siapa yang ingin diajari olehmu"
Tadi aku berhasil menindihnya, justru karena tenaganya kuat dan tubuhnya besar, dia
berhasil membalikkan aku pula. Tapi besok aku akan menindihnya kembali. Aku yakin
seperti seekor kura-kura, dia tidak bisa membalik lagi!"
Sebenarnya Siau Po sudah mencoba mengendalikan kata-katanya agar jangan
berbicara kasar, tetapi dia kelepasan juga.
"Tidak sulit apabila kau ingin membuat dia tidak bisa membalik diri," kata Hay
kongkong. "Aku juga berpikir demikian. Besok aku akan menekan bahunya sekuat tenaga!"
"Percuma kalau kau menekan bahunya, untuk membalikkan tubuh, tenaga pinggang
harus kuat. Karena itu kau harus menindih pinggangnya dengan Iututmu. Mari aku
ajarkan!" Siau Po senang sekali ia melompat turun dari pembaringannya dan menghampiri
Hay kongkong, orang tua itu langsung menyambar pinggang Siau Po kemudian
menekannya sehingga bocah itu merasa lemas.
"lni dia jalan darahnya, ingat baik-baik!"
"Baik, besok akan kucoba, Entah berhasil atau tidak?"
"Berhasil atau tidak" Harus berhasil!" Hay kongkong menekan sedikit sisi leher Siau
Po, sehingga bocah itu menjerit kesakitan Dadanya terasa sesak. "Kalau kau menekan
dia dua bagian itu, dia pasti akan lemas dan tidak dapat berkelahi lagi!"
Siau Po semakin senang. "Bagus! Besok aku akan melawannya lagi dan pasti aku yang menang!" Dia kembali
ke pembaringannya dan tidur pulas.
Keesokan paginya, Lao Go datang menjemput Siau Po untuk diajak berjudi. Hari itu
bandarnya ialah kedua saudara Un, yakni Yu To dan Yu Hong.
Siau Po menghadapinya dengan cara licik, Dalam sekejapan saja dia sudah menang
empat puluh tail. Setelah bermain agak lama, habislah uang kedua saudara Un yang
menjadi bandar itu. Mereka kalah sebanyak seratus tail.
"lni, pakai saja uangku!" kata Siau Po menawarkan. Mereka meminjam lima puluh tail
darinya, namun akhirnya ludes juga.
Siau Po ingat janjinya dengan Siau Hian cu. permainan pun dihentikan, bergegas dia
menuju kamar yang kemarin. Di atas meja kembali tersedia barang makanan Tanpa
berpikir panjang lagi Siau Po langsung meraihnya dan makan sampai kenyang, Ketika
mendengar suara langkah kaki, cepat-cepat dia bersembunyi di bawah kolong meja
untuk mengintai Siau Po khawatir yang datang bukan Siau Hian cu.
"Siau Kui cu! Siau Kui cu!" Terdengar suara panggilan dari luar
Siau Po mengenali suara itu, segera ia keluar dari kolong meja dan menghampiri
orang yang memanggilnya. Bibirnya langsung tersenyum.
"Kita sudah berjanji kemarin, sebelum bertemu, aku pasti tidak akan pergi," katanya.
Ketika sudah berhadapan, Siau Po dapat melihat pakaian Siau Hian cu mentereng
sekali, Siau Po merasa kagum. Diam-diam dia berpikir dalam hati.
"Rupanya dia thay-kam kesayangan Raja, Biar sebentar nanti aku sengaja merobek
pakaiannya agar hatinya kecewa!"
Tanpa menunda waktu lagi, Siau Po langsung mulai menyerang.
"Bagus!" kata Siau Hian cu yang menyambut serangannya.
Kedua tangan mereka pun saling mencekal, Ketika kaki Siau Hian cu maju ke depan
mengait, robohlah tubuh lawannya, tapi Siau Po sempa menarik tubuh Siau Hian cu
sehingga keduanya jatuh bersama-sama.
Dengan gesit, Siau Po membalikkan tubuhnya menindih tubuh lawan, Dia berniat
menotok tubuh lawannya menurut ajaran Ha kongkong, sayangnya dia belum mengerti
ilmu totokan, terlalu lambat baginya untuk mencari jalan darah mana yang dimaksudkan
sehingga dia kena didahului oleh Siau Hian cu yang dengan tangan membalikkan
tubuhnya, Sekejap mata mereka pun terpisah.
"Eh, kau pun mengerti ilmu Hui in-jiu (Tipu awan terbang)?" tanya Siau Hian cu
heran. Sebetulnya Siau Po sendiri tidak tahu apa nama tipu gerakan itu, tetapi otaknya
cerdas sekali, dia langsung berkata.
"Hui In-jiu masih belum seberapa! Aku masih mengerti banyak tipu daya lainnya!"
Siau Hian cu tertawa. "Tidak mungkin Mari kita coba lagi!"
Siau Po tidak menolak. Kembali mereka berkelahi Kali Siau Hian cu juga
menggunakan tipu daya sehingga Siau Po roboh dan kena ditindihnya.
"Nah, menyerah tidak?" tanyanya.
"Tidak!" sahut Siau Po sambil meronta dengan penasaran. Tetapi tiba-tiba dia
terdiam, rupanya dia telah ditotok terlebih dahulu oleh Siau Hian cu sehingga tenaganya
lemas. "Baik, kau menyerah kali ini!" katanya kemudian. Dia tahu yang digunakan oleh Siau
Hian cu adalah totokan yang diajarkan Hay kongkong, tetapi dia sendiri tidak tahu cara
memainkannya. Siau Hian cu tertawa, Dia bangkit berdiri, Tiba-tiba kakinya dikait oleh Siau Po
sehingga terjungkal jatuh dan terus dihantam sekali sehingga tidak dapat melakukan
pembalasan. "Nah, menyerah tidak?" tanya Siau Po.
"Hm!" Siau Hian cu mendengus dingin. Kedua tangannya langsung bergerak, Siau
Po terkejut setengah mati, Dadanya terhajar Dia merasa kesakitan sehingga menjerit
kemudian roboh. Dengan demikian mereka sudah saling merobohkan Tapi seperti sebelumnya, Siau
Po terpaksa mengakui keunggulan lawan, Ketika Siau Hian cu bangkit kembali, dia
merasa tubuhnya sudah letih sekali Demikian pula Siau Po, dia sampai terhuyunghuyung.
"Sampai besok. Kita akan melanjutkan kembali, Biar bagaimana pun kau harus
ditaklukkan!" Siau Hian cu tertawa. "Biar sepuluh atau seratus kali, kau tetap kalah olehku, Kalau kau memang berani,
besok kau datang lagi!"
"Asal kau juga mempunyai nyali! Janji sampai mati!" sahut Siau Po.
"Janji sampai mati!" Siau Hian cu mengikuti kata-katanya,
Mereka pun berpisah, Sampai di kamarnya, Siau Po langsung berkata kepada si
thay-kam tua. "Kong kong, ilmu totokmu payah, Nyatanya tidak berhasil!"
"Dasar kau yang tidak becus! Pasti hari ini kau kalah lagi!" sahut Hay kongkong.
"Kalau aku pakai caraku sendiri, meskipun belum tentu menang, tapi mungkin tidak
akan menderita kekalahan juga, justru karena memakai cara yang kau ajarkan, aku jadi
ka1lh. ilmu itu terlalu sederhana, dia pun bisa!"
"Oh" Dia juga mengerti ilmu totokan" Coba kau tiru kasih aku lihat!"
"Matamu kan buta, bagaimana bisa melihat?" pikir Siau Po dalam hatinya. Tapi dia
menyerang orang tua itu dengan jurus yang digunakan Siau Hian cu. "Nah, begini
caranya dia menyerang aku!"
"Akh! itu tipu jurus I Te-tui (Menyikut ketiak)."
"Ada lagi.!" kata Siau Po sambil menirukan gerak lainnya.
"ltu tipu jurus Hui In-jiu!"
"Dan ini!" Sekali lagi Siau Po memberikan contoh.
"ltu tipu jurus To-ki Bwe (Merobohkan pohon Bwe)!"
"Rupanya semua jurus itu ada namanya," pikir Siau Po dalam hati.
"Kau tentu dikalahkan dengan cara seperti ini," kata Hay kongkong sambil melakukan
gerakan. "Ya," sahut Siau Po mengakui.
Hay kongkong menarik nafas panjang, "ltulah jalan darah Ci Hiat-kong. Kalau begitu,
guru bocah itu pasti lihay sekali!"
"Masa bodoh! pokoknya besok aku harus mengalahkannya!" kata Siau Po ngotot.
"Bocah itu menggunakan ilmu partai Bu Tong pai." Hay kongkong seperti
menggumam seorang diri, "Siapa sangka di dalam istana ini, ada jago yang demikian
lihay, Apa maksudnya" Sulit menebaknya... Eh, berapa kira-kira usia Siau Hian cu itu?"
"Mungkin lebih tua sekitar dua tahun dariku, kurang lebih lima enam belas tahun, tapi
tubuhnya lebih tinggi...."
"Berapa lama kau berkelahi dengannya?"
Bagian 05 "Kira-kira satu jam...."


Kaki Tiga Menjangan Pangeran Menjangan Duke Of Moon Deer Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jangan mengoceh sembarangan! Berapa lama sebenarnya ?"
"Tidak ada satu jam, mungkin setengahnya,.,."
"Kalau aku bertanya, jangan kau jawab asal-asalan saja. Kau harus mengatakan
yang sebenarnya. Dia belajar silat, kau tidak, Kalah pun tidak perlu malu, Apalagi
usianya dan tubuhnya lebih besar dari kau. Tidak apa meskipun kau kalah seratus kali,
yang penting akhirnya kau bisa menang! Dengan demikian lawan akan menyerah dan
mengakui kau sebagai seorang enghiong!"
"Benar! Dulu Han Kho cou telah melabrak Co Pa Ong sehingga Raja Cou itu
menggantung diri di sungai Ouw Kang,.,."
"Apa" Menggantung diri di sungai" Bukan membunuh diri!"
"Menggantung diri atau membunuh diri di sungai Ouw Kang sama saja! pokoknya dia
kalah da membunuh diri sendiri!"
"Baiklah, sekarang aku tanya lagi, Sebenarnya berapa kali kau kalah?"
"Paling-paling cuma dua atau tiga kali!"
"Pasti empat kali."
"Yang benar-benar kalah cuma dua kali, yang dua kali aku dikelabui olehnya, tidak
masuk hitungan!" Hay kongkong tersenyum. "Anak ini keras kepala tapi jujur," pikirnya dalam hati, "Otaknya juga cerdik sekali,"
kemudian dia berkata, "Kau tidak mengerti sekolah ilmu silat, Siau Hian cu pasti akan
mengganggumu terus sampai kau benar-benar takluk! Tapi aku percaya dia juga baru
belajar, Kau jangan takut, nanti aku ajarkan kau ilmu Tay kim na-hoat. Asal kau
mengingatnya baik-baik, besok kau pasti dapat melawannya!"
Siau Po kegirangan. "Ya, aku akan belajar sungguh-sungguh. Akan kujatuhkan dia!"
"Masih belum tentu, Nak. Tergantung dari latihanmu ilmu itu terdiri dari delapan belas
jurus, dan setiap jurusnya ada tujuh delapan gerak perubahan. Tidak mungkin bisa kau
pelajari dalam waktu satu hari, sekarang kau perhatikan baik-baik, begini caranya!"
Hay kongkong berdiri. Sebelah kakinya diangkat ke atas sedikit untuk memasang
kuda-kuda. Kemudian kedua tangannya mulai bergerak perIahan-lahan.
"Kau perhatikan ingat baik-baik kemudian kau ikuti, Setelah kau bisa
menjalankannya dengan baik, nanti aku beberkan setiap perubahannya."
Siau Po menurut, dia langsung bersilat otaknya memang cerdas sekali, ingatannya
kuat Dia dapat menirukan gerakan orang tua itu. Setelah menjalankan tujuh delapan
kali, dia langsung berteriak.
"Sekarang aku bisa!"
"Mari kita coba!" kata Hay kongkong yang langsung duduk di kursi, "Kau boleh mulai
menyerang!" Siau Po menurut, baru tangannya bergerak, tahu-tahu bahunya telah terpegang.
"Kau belum bisa!" kata Hay kongkong, "Ayo latihan lagi!"
Siau Po tertegun, tapi dia mengerti ia meneruskan latihannya, tapi ketika dia
mencobanya untuk kedua kali, kembali dia gagal
"Huh! Bocah tolol! Kau benar-benar kutu kecil yang bebal"
"Dasar kura-kura tua!" maki Siau Po dalam hati, namun dia terus berlatih, pikirannya
dilanda kebingungan. Walaupun kau berlatih tiga tahun lagi, tetap saja kau tidak dapat menghindarkan diri
dari seranganku seharusnya ketika aku menyambar, kau langsung menyambuti dengan
menghajar tanganku. Sebab seranganku ini tidak dapat ditangkis, itu namanya diserang
namun menyerang!" Senang hati Siau Po memperoleh keterangan dari si orang tua.
"Begitu rupanya, nah sekarang aku akan memulai!" Dia lantas menyerang, Dia
disambar, tetapi tahu-tahu telinganya kena ditampar!
Dia menjadi terkejut dan panas hatinya dan bermaksud membalas menampar telinga
si orang tua, tapi dia gagal. Tangannya malah kena dicengkeram kemudian disentakkan
sehingga tubuhnya terpelanting.
Hay kongkong tertawa terbahak-bahak.
"Dasar kutu kecil bebal, otak lembu, Nah, sekarang kau ingat baik-baik!"
Siau Po terlempar ke sudut tembok dan jatuh terbanting. Hampir saja dia semaput.
Hatinya semakin panas, Hampir saja dia mencaci Untung saja dia masih bisa
mengendalikan mulutnya, malah diam-diam dia berpikir "Betul Tipu gerakan ini bagus
sekali, Aku akan mencobanya besok!"
Dia langsung merayap bangun dan terus latihan lagi.
Bocah ini memang keras kepala, Dia terus berlatih, berkali-kali dia gagal, namun dia
terus mencoba, Hatinya merasa penasaran, bagaimana mungkin seorang yang sudah
buta masih begitu lihay"
"Kong kong, bagaimana sebenarnya ini" Mengapa aku tidak bisa menghindar dari
seranganmu?" Hay kongkong tersenyum. "Beberapa kali aku menyerangmu dengan perlahan Kalau aku mau, kapan saja aku
bisa mencelakaimu. Biar pun belajar sepuluh tahun lagi, tetap saja kau tidak bisa
menghindarkan diri dari seranganku sekarang kita kembalikan saja pada urusanmu
sendiri!" Siau Po menurut. Dalam hatinya dia ingin sekali mengalahkan Siau Hian cu,
karenanya dia lalu berlatih sungguh-sungguh. Dia berlatih dari siang sampai sore, Hay
kongkong juga melayaninya.
Malam itu Siau Po tidur dengan menahan rasa nyeri bekas pukulan dan jatuh, Tapi
dia tidak menghiraukannya, sebab semua itu toh tidak membahayakan nyawanya.
Pedang Kayu Harum 24 Pertarungan Dikota Chang An Seri 2 Kesatria Baju Putih Karya Wen Rui Ai Pedang Angin Berbisik 29
^