Pencarian

Pedang Sinar Emas 17

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 17


Setelah jauh dari rombongan ikan itu, baru Pun Hui sempat bernapas lega.
"Sumoi, kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri, aku takkan percaya. Kau hebat sekali, seakan akan main sulap saja yang kaulakukan tadi."
Siauw Yang tersenyum. "Ayah sering kali berkata, bahwa segala sesuatu memang kelihatan aneh dan mentakjubkan bagi orang yang belum mengerti dan belum dapat. Kalau kau sudah mempelajari ilmu. tentu hal tadi kauanggap biasa saja, suheng. Yang diperlukan hanya ketabahan, kesigapan dan perhitungan yang tepat."
"Akan tetapi, tenagamu tadi benar benar luar biasa. Siapa orangnya yang dapat melompat sambil menjepit perahu seperti itu" Hampir aku tidak percaya !"
"Bukan tenagaku yang besar sekali, melainkan berat badan ikan ikan tadilah. Tenaga mereka yang besar, suheng, karena tadi aku hanya meminjam tenaga mereka melalui tekanan dayungku."
Sambil mendayung perahu, Siauw Yang memberi keterangan tentang penggunaan tenaga lweekang dan tentang cara meminjam tenaga.
"Demikianlah siasat siasat dalam penggunaan tenaga bagi seorang ahli silat tinggi, suheng. Tak perlu kita menghabiskan tenaga sendiri, karena lawan merupakan sumber tenaga yang kita pinjam dan kita pergunakan untuk mengalahkannya."
Pun Hui memang belum pernah melihat Pulau Sam liong to, hanya dapat menduga bahwa pulau tempat tinggal nona Siang Cu tentu berada di dekat pulau yang dijadikan sarang para bajak laut. Melihat deretan pulau pulau itu, Siauw Yang tertarik kepada sebuah pulau kecil yang nampak dari jauh seperti bukit kecil kehijauan. Ia lalu mendayung perahu mendekati pulau itu. Bukan main girangnya ketika ia melihat pulau itu ditumbuhi pohon pohon yang mengandung buah buah yang enak dimakan di antara daun daun pohon yang segar kehijauan.
"Kita mendarat di sini saja!" kata Siauw Yang sambil mendayung perahu ke pinggir. Akan tetapi tiba tiba pun Hui berseru, "Celaka, sumoi. Itu mereka datang!"
"Siapa?" "Bajak bajak laut itu!"
Siauw Yang menengok dan benar saja, dari jauh nampak layar layar hitam mengambang. Beberapa buah perahu dengan cepat sekali meluncur ke arah mereka.
"Bagus sekali baiknya kita bertemu dengan mereka di sini. Lebih leluasa bagiku untuk menghadapi mereka di darat," kata Siauw Yang. Gadis ini cepat menarik perahu mereka ke darat, kemudian berkata kepada pemuda itu untuk duduk saja di dekat perahu.
Rombongaa perahu bajak mendekat dan segera kelihatan para bajak yang bertubuh pendek pendek itu melompat turun sambil berteriak teriak dan mengacungkan golok dan pedang. Semua ada duapuluh orang dan mereka ini berlompatan mendekat dengan sikap mengancam.
Namun orang orang kate ini tidak menarik perhatian Siauw Yang. Sebaliknya, ia memandang tajam kepada dua orang yang turun paling akhir dari perahu, akan terapi yang cepat mendahului semua bajak dengan jalan mereka yang amat cepat. Melihat cara mereka berjalan, tahulah Siauw Yang bahwa dua orang ini memiliki kepandaian tinggi sekali. Dan orang laki laki ini adalah seorang tua bertubuh tinggi yang membawa tongkat kepala raga dan seorang pemuda berusia duapuluhan yang amat tampan dan gagah, juga bertubuh tinggi. Mereka berdua memakai pakaian yang mewah dan sikap mereka angker sekali.
"Nona Siang Cu, kau pulang dari manakah?" dari jauh orang muda itu berseru dan mendengar suara yang dikirim dari jauh ini, Siauw Yang makin heran. Tak salah lagi, benar benar seorang lawan yang berat.
"Itulah Tung hai Sian jin dan puterenya sumoi," kata Pun Hui perlahan dengan suara penuh kekhawatiran. "Mereka itu lihai sekali. Kau berhati hatilah!"
Siauw Yang berdebar, ia pernah mendengar nama Tung hai Sian jin dari ayahnya dan tahu bahwa kakek itu lihai sekali. Akan tetapi ia tidak takut dan dengan cepat mencabut pedang dan berdiri dengan tenang, menanti kedatangan mereka.
Sebentar saja Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat sudah tiba di hadapannya, sedangkan para anak buah bajak laut masih berlari lari mendatangi.
Ketika melihat bahwa nona cantik yang berdiri dengan pedang di tangan ini sama sekali bukan Ong Siang Cu seperti yang tadi disangkanya, Eng Kiat memandang dengan terheran heran. Apalagi ketika ia mengenal Siauw Yang sebagai puteri Thian te Kiam ong yang pernah dilamar dan dirindukannya, ia berdiri seperti paiurg.
"Kau?" Kau?"" katanya gagap.
Sebaliknya Siauw Yang lalu tersenyum dan berkata kepada kakek itu "Tung hai Sian in, sungguh tak tersangka sama sekali kita saling bertemu di tempat ini."
Seperti juga puteranya, Tung hai Sian jin bengong dan terheran heran. Teringat olehnya betapa dahulu, dua tahun yang lalu, puteranya tergila gila kepada gadis ini di Tit le, akan tetapi lamarannya ditolak oleh Thian te Kiam ong sehingga ia dan puteranya bertempur melawan Raja Pedang itu dan puterinya ini. Dan ia menderita kekalahan. Sekarang gadis ini berada di sini, tentu saja timbul marahnya dan sakit hatinya.
"Bagus! Puteri Thian te Kiam ong sengaja datang di sini, memudahkan aku untuk membalas dendam," kata Tung hai Sian jin sambil menggerakkan tongkatnya.
"Ayah, jangan lukai dia, aku masih cinta kepadanya," kata Eng Kiat.
Mendengar seruan puteranya ini Tung hai Sian jin tertawa.
"Anak manja! Sudah berobah lagi hatimu" Bukankah kau suka kepada murid Lam hai Lo mo dan ingin mengambil dia menjadi isitrimu?"
"Tidak, ayah. Aku lebih suka kepada nona ini. Kalau tidak bisa mendapatkan nona ini sebagai isteri, baru aku mau mengambil Siang Cu."
"Jadi, kau suka kepada keduanya?"
"Kalau keduanya mau, lebih baik ayah."
Tung hai Sian jin tertawa bergelak. Akan tetapi Siauw Yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Bangsat rendah bermulut kotor," makinya dan sinar kuning emas melayang menuju ke tenggorokan Eng Kiat.
Pemuda ini sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang gadis ini dan dahulu di Tit le iapun hampir saja tewas di ujung pedang kalau saja gadis ini tidak dicegah oleh Tian te Kiam ong. Maka cepat ia mempergunakan siang kiamnya (sepasang pedangnya) untuk menangkis sambil melompat mundur. Dalam kemarahannya, Siauw Yang mendesak terus, akan tetapi tiba tiba tongkat kepala naga di tangan Tung hai Sian jin bergerak menghadangnya sehingga gadis ini terpaksa melayani kakek yang sakti itu.
Tung hai Sian jin pernah menghadapi Thian te Kiam ong Song Bun Sam ayah gadis ini dan ia menderita kekalahan oleh ilmu pedang yang luar biasa dan raja pedang itu. Kini ia menghadapi puteri nya dan biarpun ilmu pedang yang dimainkan oleh Siauw Yang sama dengan ilmu pedang ayah nya dan hanya tingkatnya kalah sedikit namun tenaga dan pengalaman gadis ini jauh di bawah tingkat ayahnya. Oleh karena itu, pertempuran berjalan ramai sekali. Tung hai Sian jin dengan tongkatnya yang berat dan ilmu tongkatnya yang lihai sekali, mengamuk dan bernafsu sekali mengalahkan puteri musuhnya ini. Akan tetapi ilmu pedang dari Siauw Yang benar benar amat mengagumkan. Pedangnya merupakan gulungan sinar kuning emas yang menyilaukan mata dan ke manapun juga tongkatnya menyambar, selalu dapat ditangkis oleh sinar pedang. Sebaliknya, biarpun dengan kelincahannya dan dengan ilmu pedangnya, Siauw Yang seakan akan berada di fihak yang mendekat, namun tiap kali pedangnya beradu dengan tongkat kakek itu, Siauw Yang merasa telapak tangannya tergetar, tanda bahwa tenaga kakek ini masih lebih besar daripada tenaganya sendiri.
Pertempuran ini berjalan seimbang dan sukarlah untuk diduga lebih dulu siapa yang akan menang. Berpuluh jurus telah berlalu dan bayangan Tung hai Sian jin dan Siauw Yang telah lenyap diselimuti gundukan sinar pedang dan sinar tongkat. Gulungan sinar pedang demikian ringannya seakan akan sepucuk api beterbangan, sebaliknya gerakan tongkat mendatangkan angin dan tenaga sehingga debu mengebul tinggi dan daun daun pohon terkena sambaran angin bergoyang goyang.
Agaknya pertempuran ini akan berjalan lama sekali. Melihat ini, Eng Kiai menjadi khawatir, ia tahu bahwa kini tidak mungkin bagi ayahnya untuk mengalahkan gadis itu tanpa melukainya, maka ia segera menggerakkan sepasang pedangnya sambil berkata,
"Ayah, mari kita bersama menangkap gadis liar yang cantik ini. Jangan lukai dia, ayah!" Ia melompat dan mulai bergeraklah sepasang pedangnya membantu ayahnya. Ilmu pedang dan Eng Kiat juga sudah tinggi dan kepandaiannya tidak kalah jauh kalau dibandingkan dengan Siauw Yang, hanya kekalahannya terletak pada ilmu pedang.
Melihat pemuda itu maju, Pun Hui menjadi marah, ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata keras,
"Sungguh tak tahu malu. Dua orang laki laki mengeroyok seorang gadis muda. Mana ada aturan seperti ini?"
Mendengar ini, Eng Kiat membentak keras dan berkata kepada anak buahnya, "Beri dia limapuluh kali cambukan biar dia menutup mulutnya!"
Seorang algojo bajak menyeringai dan maju Mengayun cambuknya ke arah Pun Hui yang segera jatuh.
"Jangan ganggu dia!" Siauw Yang menjerit sambil melompat hendak menyerang algojo itu, akan tetapi Tung hai Sian jin dan Eng Kiat mencegahnya turun tangan. Terpaksa gadis ini dengan marah sekali memutar pedangnya menghadap keroyokan ayah dan anak ini. Hatinya serasa disayat sayat ketika ia mendengar bunyi cambuk berkali kali menimpa tubuh Pun Hui. Biarpun tidak terdengar satu kalipun keluhan atau ratapan dari mulut Pun Hui, namun pemuda yang lemah itu mana kuat menghadapi hukuman cambuk sampai limapuluh kali" Ia telah menjadi pingsan dan selanjutnya tidak merasai lagi perihnya ujung cambuk memecah kulit.
Menghadapi Tung hai Sian jin seorang saja keadaannya sudah seimbang, apalagi sekarang Eng Kiat maju mengeroyok. Agaknya Siauw Yang masih akan dapat melakukan perlawanan mati matian dan nekad kalau saja ia tidak melihat keadaan Pun Hui yang membuat kedua kakinya gemetar saking kasihan dan terharunya. Ia mendengar betapa Pun Hui tadi memaki Eng Kiat dan hendak membelanya, dan sekarang pemuda yang lemah namun gagah perkasa itu dicambuki sampai pingsan tanpa mengaduh sedikitpun juga. Melihat betapa Pun Hui sudah telentang tak bergerak dengan muka pucat dan pakaian penuh darah, lemaslah Siauw Yang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tung hai Siang jin untuk mengirimkan tusukan dengan gagang tongkatnya yang tepat mengenai jalan darah di pangkal lengan gadis itu. Siauw Yang mengeluh, pedangnya terlepas dan pegangan lalu ia roboh lemas tak berdaya lagi.
Tung hai Sian jin menyuruh anak buahnya cepat cepat meninggalkan pulau itu dan ia tertawa berkelak ketika melihat puteranya dengan wajah girang memondong tubuh Siauw Yang dibawa ke perahu bajak. Sambil tertawa tawa kakek ini memungut pedang Kim kong kiam yang tadi terlepas dan tangan Siauw Yang, lalu mengikuti puteranya menuju ke perahu. Sebentar saja, perahu perahu bajak itu sudah berlayar pergi, meninggalkan Pulau Sam liong to yang kosong dan meninggalkan tubuh Pun Hui yang menggeletak di atas tanah dalam keadaan setengah mati.
Seorang pemuda yang gagah mendayung perahunya dengan cepat sekali. Ia memandang ke kanan kiri dengan heran. Banyak sekali ikan hiu di laut itu, yang mengherankan adalah beberapa ikan hiu yang mati dan mengambang di atas laut, menjadi keroyokan ikan ikan lain.
"Aneh," pikirnya. "Ikan ikan ini tidak bisa mati begitu saja, agaknya ada orang telah turun tangan ketika dikeroyok oleh ikan ikan ini."
Pemuda gagah ini bukaa lain adalah Song Tek Hong, putera dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, pemuda ini meninggalkan Tit le atas perintah ayah bundanya untuk menyusul adiknya, Siauw Yang. Ia merasa gemas dan mendongkol sekali kepada Siauw Yang, adiknya yang terkenal keras kepala itu. Gadis itu pergi tanpa meninggalkan jejak, hanya memberi tahu hendak pergi ke Sam liong to, ke mana ia harus mencari" Ayahnya menduga bahwa Siauw Yang tentu akan merantau dan sangat boleh jadi Siauw Yang pergi ke kota raja yang sudah lama ingin dilihatnya.
Tek Hong menyusul ke kota raja, akan tetapi tetap saja ia tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hatinya menjadi mendongkol akan tetapi tercampur rasa gelisah. Bagaimana kalau terjadi sesuatu kepada adiknya yang amat dikasihinya itu" Semenjak kecil Tek Hong amat sayang kepada Siauw Yang, dan sungguhpun berkali kali Siauw Yang amat nakal dan mengganggunya, namun ia tetap sabar dan mencinta.
"Bocah bengal, sekali aku bertemu denganmu, akan kujewer telingamu sampai merah!" Tek Hong mengomel panjang pendek sambil melanjutkan perjalanannya keluar dari kota raja. Ia melakukan perjalanan sambil berhenti di setiap kota untuk melakukan penyelidikan, kalau kalau adiknya pernah lewat di situ. Oleh karena inilah maka biarpun Siauw Yang melakukan perjalanan lebih dulu, dara ini lebih cepat tiba di Sam liong to. Akhirnya Tek Hong tiba di pantai timur dan dengan sebuah perahu ia mencari Pulau Sam liong to di antara Kepulauan Couwsan. Ia telah memeriksa dan memnaca peta palsu yang dibawa oleh Coa Kiu, maka ia segera mencari Pulau Kura kura dan mencari pulau ke tujuh dari pulau ini.
Ketika melihat bangkai bangkai ikan yang terapung dan dijadikan mangsa oleh ikan ikan lain, pemuda yang cerdik ini telah dapat menduga bahwa tentu ikan ikan itu sebetulnya dibunuh oleh adiknya sendiri. Tidak tahu pula bahwa di saat ia mendayung perahu menuju ke Sam liong to, adiknya telah bertempur mati matian melawan keroyokan Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat sehingga kemudian tertawan.
Ia sedang mengira ngira di mana letaknya Pulau Sam liong to, ketika tiba tiba ia melihat beberapa buah perahu layar hitam muncul dari pantai sebuah pulau yang penuh dengan pohon. Perahu perahu ini bergerak dengan cepat sekali. Tek Hong mendayung perahunya hendak mengejar, akan tetapi sebentar saja perahu perahu itu telah meninggalkannya sehingga pemuda itu membatalkan niatnya, sebaliknya lalu memutar perahu menuju ke pulau yang baru saja ditinggalkan oleh perahu perahu itu.
Tek Hong menaksir bahwa perahu perahu itu tentulah bukan perahu orang baik baik, dan tentu perahu perahu bajak laut karena cat dan layarnya hitam serta bentuknya tidak seperti perahu nelayan atau perahu pedagang.
Pemuda ini mendayung perahunya ke pantai pulau dan setelah menarik perahu ke darat, ia melihat tubuh seorang pemuda menggeletak di atas tanah seperti mayat. Pakaian pemuda ini robek semua, mukanya pucat dan badannya penuh darah.
"Terkutuk bajak bajak itu," seru Tek Hong marah, "orang ini tentu telah menjadi korban mereka."
Segera ia menghampiri dan berlutut di dekat tubuh pemuda yang bukan lain adalah Pun Hui yang masih pingsan. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu masih hidup, Tek Hong cepat mengeluarkan seguci arak dari buntalan pakaiannya da n memberi minum sedikit arak. Pun Hui mengeluh dan siuman kembali. Dengan lega Tek Hong mendapat kenyataan, setelah memeriksa tubuh korban ini, bahwa tidak terdapat luka yang berat melainkan luka luka di kulit yang pecah pecah akibat cambukan yang kejam.
Pun Hui membuka matanya. Melihat seorang pemuda tampan dan gagah berlutut di dekatnya sambil memegang guci arak, ia segera bangun, tahu bahwa orang ini telah menolongnya.
"Saudara, kau siapakah dan mengapa kau rebah terluka di tempat ini?" tanya Tek Hong.
Pun Hui mengeluh. Tubuhnya terasa sakit sakit dan perih sekali. Kalau tadi ketika dicambuki ia tidak mau mengeluh, hanyalah karena selain ia tidak sudi memperlihatkan kelemahan di hadapan para bajak, juga ia tidak ingin membuat Siauw Yang menjadi gelisah. Kini karena di situ hanya ada pemuda yang asing baginya ini, ia mengeluh,
"Aduh" mereka bekerja kepalang tanggung. Mengapa tidak dihabiskan saja nyawaku?"
"Selama orang masih hidup, ia tidak boleh mengharapkan kematian," kata Tek Hong, dan pemuda ini mengeluarkan seperangkat pakaian dari buntalannya. "Kaupakailah pakaian ini untuk mengganti pakaianmu yang robek robek!"
Pun Hui memandang dan ia merasa suka melihat wajah penolongnya yang gagah itu.
"Heran sekali," katanya, "di tempat seperti ini aku masih dapat bertemu dengan seorang manusia yang berbudi mulia. Saudara yang budiman, siauwte adalah Liem Pun Hui, seorang kutu buku yang lemah dan bodoh, yang membiarkan dirinya dicambuki bajak tanpa dapat membalas, lebih lebih lagi yang membiarkan sumoinya tertawan oleh bajak laut. Kasihan sumoi... Siauw Yang, bagaimana nasibmu?"" Ucapan ini dikeluarkan oleh Pun Hui dengan suara berduka sekali.
Terkejut hati Tek Hong mendengar pemuda ini menyebut nama adiknya. Akan tetapi ia pikir bahwa tentu yang dimaksudkan itu adalah seorang gadis lain, karena mana mungkin adiknya menjadi sumoi dari orang ini.
"Sumoi mu itu, mengapakah dia?" tanyanya.
"Aku mengantar sumoi ke pulau ini dan bertemu dengan bajak laut yang dipimpin oleh Tung hai Sian Jin dan puteranya. Dengan gagah perkasa sumoi melawan mereka dan aku".. aku yang lemah dan bodoh tak berdaya menolong, bahkan aku lalu dicambuki oleh bajak dan sumoi". sumoi tentu tertawan oleh mereka karena sekarang aku tidak melihat dia dan para bajak itu."
Jilid XXIII KEMBALI Tek Hong terkejut. Nama Tung hai Sian jin telah didengar sebagai nama tokoh besar yang lihai sekali. Dan sumoi dari orang ini berani melawannya.
"Sumoimu yang gagah perkasa itu, siapakah dia" Siapa nama keturunannya dan dia murid siapa sehingga berani melawan seorang lihai seperu Tung hai Sian jin?" tanyanya dengan hati berdebar.
Sumoi adalah seorang gadis yang paling gagah di dunia ini, tiada duanya. Dia she Song dan dia adalah puteri dari Thian te Kiam ong yang terkenal "
Sampai di sini, Tek Hong tak dapat menahan hatinya lagi. Ia melompat berdiri dan memandang dengan mata tajam serta sikap mengancam.
"Kau....penipu bohong!"
Pun Hui juga terkejut. Mengapa pemuda tampan dan gagah ini tiba tiba marah kepadanya"
"Saudara, aku selama hidup tak pernah berbohong. Memang Siauw Yang adalah sumoiku. Kau siapakah berani menuduh aku sebagai penipu?"
"Kepada orang lain kau boleh membohong sesuksmu, akan tetapi kepadaku tak mungkin," jawab Tek Hong. "Karena Song Siauw Yang adalah adik kandungku sendiri dan dia tidak punya suheng. Kau ini seorang lemah bagaimana berani mati mengaku padaku sebagai sumoimu?"
Tertegun Pun Hui mendengar ini.
"Jadi. ... jadi kau adalah Song Tek Hong" Sumoi seringkah bicara tentang kau. Kalau begitu kau adalah suteku sendiri."
Pun Hui lalu menceritakan kepada Tek Hong yang terheran heran itu tentang segala pengalamannya, bagaimana ia diambil murid oleh Sin pian Yap Thian Giok dan bagaimana ia telah tertolong oleh Siauw Yang dan melakukan perjalanan bersama ke Pulau Sam liong to, kemudian bertemu dengan Tung hai Sian jin.
Baru mengertilah Tek Hong setelah mendengar penuturan ini dan ia menjadi amat gelisah mendengar betapa adiknya tertawan oleh Tung hai Sian jin yang lihai, "Aku harus tolong adikku! Ke manakah mereka membawanya" Aku tadi melihat beberapa perahu hitam berlayar pergi dari sini, apakah mereka itu rombongan bajak laut yang dipimpin oleh Tung hai Sian jin"
"Memang itulah mereka. Aku tahu di mana letak pulau yang dijadikan sarang oleh bajak laut akan tetapi aku tidak tahu apakah sumoi dibawa ke sana."
"Liem suheng, apakah kau cukup kuat untuk mengantarkan aku ke sana?"
"Aku tidak apa apa, sute. Hanya kulit saja yang luka dan perih, akan tetapi luka lukaku terlalu kecil tak berarti kalau dibandingkan dengan bahaya yang mengancam sumoi. Mari kuantar kau ke sana!"
Tek Hong lalu mendesak kepada Pun Hui supaya berganti pakaian pemberiannya dan kedua orang pemuda ini lalu naik perahu yang di dayung oleh Tek Hong, menuju kepulau bajak di mana dahulu Pun Hui tertawan dan hampir dibunuh kalau tidak tertolong oleh Siang Cu murid La m hai Lo mo. Dalam pelayaran ini, Pun Hui menceritakan semua pengalamannya itu dan Tek Hong mendengar dengan penuh keheranan bahwa Lam hai Lo mo musuh besar ayahnya itu benar benar masih hidup, bahkan mempunyai seorang murid perempuan yang lihai. Akan tetapi pikirannya segera melupakan hal ini. karena ia lebih mencurahkan seluruh perhatian dan pikiran kepada Tungkai Sian jin dan Bong Eng Kiat yang kini menawan adiknya, ia tahu bahwa keadaan adiknya amat berbahaya. Bukankah dahulu Eng Kiat tergila gila kepada adiknya dan mengajukan lamaran yang ditolak oleh ayahnya" Mungkin mereka akan membatas dendam dan ia merasa ngeri kalau mengingat akan hal ini. Diam diam ia juga kagum atas kecerdikan adiknya yang menduga tepat sekali bahwa peta palsu yang dibawa oleh Coa Kiu itu adalah sebuah pancingan dari searang musuh besar ayahnya, dan dalam hal ini tak salah lagi tentulah Lam hai Lo mo yang memancing ayahnya datang ke tempat itu untuk membalas dendamnya yang dahulu.
Karena Tek Hong amat bernafsu untuk segera tiba di pulau bajak, maka didayungnya perahunya dengan sekuat tenaga sehingga tak lama kemudian sampailah mereka di pulau itu. Hari telah menjadi senja dan keadaan mulai gelap. Namun dengan nekat kedua orang muda itu men darat di pulau itu Akan tetapi, alangkah kecewa hati Tek Hong karena pulau itu ternyata kosong, hanya kelihatan bekas bekas pondok para bajak laut yang telah ditinggalkan. Bahkan di sekeliling pulau itupun tidak kelihatan ada sebuahpun perahu bajak. Agaknya para bajak telah meninggalkan pulau ini dan telah pergi ke mana.
Malam itu mereka bermalam di pulau bajak yang kosong. Tek Hong merasa gelisah sekali, bahkan pemuda sasterawan ini nampak amat berduka.
Diam diam Tek Hong menduga bahwa pemuda ini tentu jatuh hati kepada adiknya. Pemuda manakah yang takkan jatuh hati melihat Siauw Yang, adiknya yang mania itu" Tek Hong merasa bangga dan iapun suka melihat Pun Hui, hanya kecewa melihat pemuda ini amat lemah. Dalam percakapan, ia mendapat kenyataan bahwa dalam ilmu kesusasteraan, Pun Hui jauh lebih tinggi kepandaiannya daripadanya. Akan tetapi, ia anggap bahwa pemuda ini tidak patut menjadi jodoh adiknya yang gagah perkasa. Heran ia mengapa supeknya. Sin pian Yap Thian Giek, mau mengambil murid seorang pemuda sasterawan yang begini lemah.
Ketika Tek Hong mengeluarkan bungkusan dan mengisi perut dengan bekal makanan kering. Pun Hui yang ditawannya tidak mau makan. Tek Hong tidak memaksa dan malam itu mereka duduk di dekat api unggun yang mereka buat di dalam sebuah pondok bekas tempat tinggal bajak laut.
Menjelang tengah malam, terdengarlah suara sayup sayup dari luar pondok.
"Song Tek Hong, katakan kepada ayahmu bahwa adikmu akan mendapat kehormatan menjadi mantu Tung hai Sian jin. Permusuhan antara kita lelah lenyap oleh hubungan kekeluargaan ini."
Mendengar suara ini, Tek Hong melompat ke luar pondok dengan pedang di tangan.
"Tung hai Sian jin tua bangka siluman. Mari kita bertempur seribu jurus untuk menentukan siapa yang lebih unggul!" serunya sambil mengejar ke pantai dari mana suara tadi datang.
Ia melihat bayangan dalam malam yang suram diterangi bintang. Bayangan ini berlari ke arah sebuah perahu dan dan bentuk tubuh bayangan itu, tahulah ia bahwa yang dalang bukanlah Tung hai Sian jin, melainkan Bong Eng Kiat, Bayangan itu tertawa bergelak.
"Iparku yang baik, kau bersikap tidak patut sekali terhadap moi hu (adik ipar)!" kata bayangan itu sambil tertawa tawa.
"Eng Kiat, jahanam pangecut! Jangan lari kalau kau memang laki laki," kata Tek Hong yang mengejar terus. Akan tetapi yang dikejarnya telah melompat ke dalam perahu dan sebentar saja perahu itu lenyap di ualani gelap. Tek Hong yang hendak mengejar dengan perahunya, tahu bahwa usahanya akan sia sia belaka, maka ia berdiri di pantai sambil membanting banting kakinya.
"Bangsat Bong Eng Kiat, kalau kau mengganggu adikku, aku bersumpah takkan mau berhenti sebelum aku dapat menghancurkan kepalamu! Teriaknya berulang ulang Akan tetapi yang menjawabnya hanyalah suara air laut yang memukul batu karang di pantai. Dengan leuas dan kecewa Tek Hong kembali ke dalam pondok. Ia bertemu dengan Pun Hui yang sudah keluar dari pondok pula
"Siapa yang datang?" tanya Pun Hui.
"Bangsat Eng Kiat itu yang datang. Sayang aku tak dapat mencekik batang lehernya kata," Tek Hong.
Pada keesokan harinya, Tek Hong dan Pun Hui naik perahu dan mencari cari di seluruh Kepulauan Couwsan. Namun tidak ada jejak dari bajak laut yang agaknya sudah pergi jauh dari tempat itu.
Tek Hong menjadi bingung sekali. Ia tidak berdaya dan memikirkan n asi D adiknya, ia menjadi gelisah dan khawatir.
"Aku harus pulang untuk melaporkan hal ini kepada orang tuaku," Katanya kepada Pun Hui. "Kami sekeluarga takkan berhenti mencari sebelum kami dapat menolong Siauw Yang dan tangan mereka. Apakah Liem suheng mau turut?"
Pun Hui menggeleng kepalanya dengan lemas. "Tidak, sute. Kalau tidak dapat sertaimu kembali dengan Song sumoi dan melihatnya, aku bersumpah takkan mau pergi dan kepulauan ini!"
Kata kata ini keluar dengan suara tegas dan membayangkan cinta kasih dan kesetiaan yang amal besar sehingga Tok Hong menjadi terbaru juga. Ia tahu kalau pemuda ini amat lemah, namun bersemangat gagah. Kalau sampai para bajak itu datang, tentu pemuda ini akan celaka. Akan tetapi ia tidak dapat memaksa Pun Hui untuk ikut pergi. Lagi pula, kalau Pun Hui ikut, ia takkan dapat melakukan perjalanan dengan cepat, padahal ia ingin sekali segera bertemu dengan orang tua nya untuk melaporkan tentang keadaan Siauw Yang yang terjatuh ke dalam tangan Tung hai Siap jin dan Bong Eng Kiat.
Setelah meninggalkan pesan agar berhati hati menjaga diri di tempat berbahaya itu, Tek Hong lalu berlayar pergi dan situ Pun Hui berdiri di pantai memandang sampai perahu itu lenyap dari pandangan mata, kemudian Pun Hui lalu menyeret perahu yang dulu dipakai oleh Siauw Yang, menurunkannya ke dalam air dan mendayungnya. Ia mengambil keputusan untuk mencari Siauw Yang seorang diri Ia hendak mengunjungi semua pulau pulau kosong itu sekali lagi, dan biarpun tadi sudah ternyata bahwa tidak terlibat bayangan siapapun juga di dalam pulau pulau itu, namun ia tidak putus asa. Ia ingin mencari terus sampai ia bisa mendapatkan Siauw Yang atau sampai ia tewas di tempat itu. Setelah menghadapi gadis itu dalam ancaman bahaya, baru ia insaf betul betul bahwa ia mencintai Siauw Yang, mencintai dengan sepenuh hati dan jiwanya.
"Siauw Yang !" teriaknya berkali kali sambil mendayung perahunya,
Tek Hong melakukan perjalanan secepat mungkin menuju ke Tit Ie. Ia hendak segera bertemu dengan aahnya dan kemudian bersama ayah bundanya akan pergi mencari Siauw Yang untuk melanjutkan usahanya mencari seorang diri, ia merasa kurang kuat. Untuk menghadapi Tung hai Sian jin, tidak ada lain orang yang lebih tepat selain ayahnya sendiri. Musuh terlampau kuat, dan di samping Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat yang lihai, di sana masih ada Lam hai Lo mo. Kalau Lam hai Lo mo masih hidup, maka hal ini bukan main main lagi. Ayahnya sudah menyatakan kepandaian Lam hai Lo mo amat mengerikan dan hebat Ayahnya harus turun tangan sendiri.
Akan tetapi, biarpun Tek Horg melakukan perjalanan yang amat cepat, ia ternyata telah terlambat. Ketika tiba di Tit le, ia mendapatkan rumah orang tuanya telah menjadi tumpukan puing terbakar habis sama sekali, rata dengan bumi, tiga orang pelayan orang tuanya telah tewas dalam keadaan mengerikan, yakni lehernya putus dan mayatnya terbakar hangus.
Para penduduk Tit Ie tak seorangpun yang tahu mengapa rumah itu terbakar dan siapa yang membunuh para pelayan itu.
Apakah yang terjadi tiga hari sebelum Tek Hong tiba di Tit le" Mari kita mengikuti peristiwa aneh itu yang tak terlibat oleh seorangpun.
Pada malam hari, tiga hari yang lalu, dua sosok bayangan yang gesit sekali berlompatan di atas genteng rumah rumah di Tit le. Yang seorang tinggi bongkok dengan kaki hanya sebelah, dan orang ke dua bertubuh kecl langsing dengan gerakan seperti seekor burung saja gesitnya. Mereka ini adalah Lam hai Lo mo Seng Jin Siang su dan muridnya yakni Ong Siang Cu, Seperti telah dituturkan di bagian depan, guru dan murid ini meninggalkan Sam Iiong to untuk mengejar dua orang tosu yang minggat dan membawa lari banyak emas dari Pulau Tiga Naga itu. La m hai Lo mo marah sekali dan karena toso kedua yang membawa lari hartanya, yakni Siauw giam ong Lie Chit adalah anak murid Go bi pai, maka ia langsung mengajak muridnya menyusul ke Go bi san.
Perjalanan ke Pegunungan Go bi san bukanlah perjalanan yang mudah Go bi san merupakan daerah pegunungan yang penuh dengan tanah tandus dan padang pasir. Akan tetapi, bagi Lam hai Lo mo dan Siang Cu yang memiliki kepandaian tinggi, perjalanan itu tidak terasa sukar dan dapat dilakukan dengan amat cepat.
Pada waktu itu, Go bi pai merupakan sebuah partai persilatan yang terkenal dan besar, mempunyai murid yang banyak sekait jumlahnya. Karena selain ilmu silat, di pusat partai persilatan Go bi pai ini juga diajarkan ilmu batin menurut ajaran Nabi Buddha, maka sebagian besar anak murid Go bi pai adalah orang orang gagah yang menjunjung tinggi peri kebajikan. Tentu saja bukan merupakan jaminan bahwa semua murid Go bi pai tentu baik. Ada juga beberapa orang anak murid yang menyeleweng, silau oleh godaaa duniawi dan buta karena bujukan nafsu ibls. Bahkan banyak pula yang mengganti agama seperti halnya Siauw g ia m ong Lio Chit yang tadinya berkepala gundul lalu merobah diri menjadi penganut Agama To dan memelihara rambut, ia melakukan hal ini terutama sekali agar jangan sampai guru guru besar Go bi pai tahu bahwa dia adalah anak murid Go bi pai.
Go bi pai diketuai oleh tiga orang hwesio tua yang disebut Go bi Sam thaisu (Tiga orang guru besar Go bi pai). Mereka ini adalah tiga orang hwesio seperguruan yang berusia kurang lebih enam puluh tahun dan hidup sebagai orang suci dan pertapa pertapa yang saleh, di samping bekerja sebagai ketua partai persilatan dan memberi pelajaran kepada murid murid di Pegunungan Go bi san. Hwesio pertama bernama Thian Seng Hwesio, terkenal dengan senjata toyanya yang bernama Ouw liat pian (Tongkat Besi Hitam). Hwesio ke dua bernama Thian Beng Hwesio, lihai sekali dengan senjata kipasnya yang terbuat dan pada daun daun alang alang dan yang disebut kipas Ngo heng san (Kipas Lima Zat). Hwesio ke tiga bernama Thian Lok Hwesio dan senjatanya yang hebat adalah seikat tasbeh dari perak yang selalu dipegangnya dan dipergunakannya di waktu ia berdoa.
Tiga orang ketua Go bi pai ini jarang sekali memperlihatkan ilmu kepandaian sitat mereka dan dalam memberi pelajaran ilmu silat kepada para anak murid, mereka menyerahkan pekerjaan ini kepada murid murid kepala yang jumlahnya ada tujuh orang hwesio yang sudan tinggi ilmu silatnya. Para murid dari tujuh orang murid kepala ini sebaliknya mengajar pula kepada murid murid yang lebih rendah tingkatnya. Dengan demikian maka tiga orang ketua Go bi pai ini hanya menjadi pengawas saja dan kalau merasa turun tangan sendiri, hanyalah di waktu memberi wejangan ilmu batin kepada para anak murid, terutama sekali mengenai pelajaran Agama Buddha.
Selain mengurus partai Go bi pai yang lebih bersifat perkumpulan Agama Buddha daripada partai persilatan, juga tiga orang Go bi Sam Thaisu ini sering kali turun gunung untuk memperluas dan memperkembangkan Agan a Buddha yang mereka bertiga pelajar! dari seorang pendeta Buddha dari India. Apabila mereka turun gunung maka segala sesuatu diserahkan kepada tujuh orang murid kepala itu, yang diketuai oleh Giok Seng Hosiang hwesio berusia limapuluh tahun yang mempunyai kesabaran besar dan juga mempunyai ilmu silat tinggi. Dalam keadaan demikian, enam orang sutenya yang semuanya juga hwesio, menjadi pembantu pembantunya.
Pada waktu itu, perkembangan Agama Buddha mendapat tentangan banyak dari agama agama lain, terutama sekali di bagian Go bi san mendapat tentangan dari sebuah perkumpulan agama yang disebut Pek in kauw (Perkumpulan Agama Mca Putih), Perkumpulan ini sebetulnya adalah pemecahan atau boleh disebut juga penyelewengan daripada Agama To yang timbul dori pelajaran Nabi Lo Cu. Intisari pelajaran agama Pek in kauw irn, para anak muridnya diusahakan untuk dapat hidup aman dan tenteram penuh damai seakan akan keadaan mega mega putih di angkasa. Selain ilmu batin, juga Pek in kauw merupakan agama yang kuat sekali karena dipimpin oleh orang orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Tidak jarang terjadi bentrokan antara Go bi pai dan Pek in kauw, dan semenjak itu, maka Gi bi pai selalu menjaga diri kuat kuat. Apalagi kulan Go bi Sam Thaisu sedang turun gunung, maka murid kepala di bawah pimpinan Giok Sang Hosiang lalu mengadakan penjagaan yang kuai. Puncak Go bi san di mana terdapat sebuah kelenteng besar tempat bertapa ketua Go bi pai, dijaga dan bawah dengan lapisan lapisan penjaga yang k lini sekali.
Pada suatu hari, ketika Go bi Sam 1 hai ju sedang tuiun gunung, datanglah Lam hai Lo mo Seng Jin siansu dan Ong Siang Cu di lereng gunung iiu. Mereka hendak mencari Siauw giam oug Lie Chit dan hendak menuntut para pengurus Go bi pai untuk mempertanggung jawabkan perbuatan anak murid Go bi pai itu.
Tentu saja mereka bertemu dengan penjaga lapisan pertama yang terdiri dari duapuluh orang anak murid Go bi pai.
"Ji wi siapakah dan ada keperluan apakah hendak naik ke puncak?" tanya seorang diantara penjaga itu dengan normal sebagai lajim nya sikap seorang alim.
Lambai Lo mo hanya tertawa terkekeh kekeh, daa Siang Cu yaag menjawab dengan suara dingin, "Kami berdua datang untuk mencari bangsal kecil yang bernama Siauw giam ong Lie Chit, anak murid Go bi pai yang jahat. Lekas kalian panggil dia keluar untuk menerima hukuman!"
Mendengar ucapan ini, para penjaga itu menjadi tidak ienaug karena merasa bahwa Go bi pai dihina.
"Ji wi siapakah?"
"Tidak perlu tahu kami siapa. Yang penting lekas panggil keluar Lie Chit."
Melihat sikap Siang Cu yang galak, seorang penjaga menjawab dengan suara dingin pula, "Kahan tentulah dan Pek in kauw yang sengaja hendak mencari kekacauan. Di kuil ini tidak ada seorang bernama Lie Chit."
Siang Cu memang berwatak keras, ia sudah sering kali mendengar dari suhunya bahwa pendeta pendeta adalah orang orang yang paling pabu di dunia ini. Kepeudetaannya hanya merupakan kedok untuk menyembunyikan watak yang sebenarnya jahat. Lebih baik berhadapan dengan seorang penjahat kasar daripada seorang penjahat yang bersembunyi di balik kependetaan, begitu nasihat Lam hai Lo mo. Hal ini telah terbukti pula dengan adanya kecurangan dan Siauw giam oug Lie Chit dan Ouw bin cu Tt.ng Kwat. Bukankuh Gua orang ini juga pendeta pendeta yang ternyata berwatak curang"
"Jangan bohong! Siauw giam ong Lie Chit adalah anak murid Go bi pai, tak mungkin ia tidak berada di sini. Ia telah mencuri emas kami dan karenanya kami hendak menangkapnya!"
Memang sebenarnya para penjaga itu tidak kenal akan nama Siauw giam ong Lie Chit, karena semua anak murid Go bi pai yang berada di situ mendapat nama sebagai seorang hwesio. Demikian pula Lie Chit yang dahulu mendapat nama hwesio, hanya setelah u menyeleweng, maka ia raengguua kan nama lain,
"Nona, harap kau jangan menghina kami. Pembohongan merupakan pantangan besar bagi kami. Memang benar benar di sini tidak ada orang bernama Lie Chit atau Siauw giam ong. Harap kau pergi dan mencarinya di lain tempat.
"Kami hendak mencari dan memeriksa ke atas," kata Siang Cu.
"Nona, kau tidak boleh mengotorkan kelenteng kami" kata para penjaga sambil maju menghadang.
"Kalau begitu, kalian mencari penyakit sendiri,"
Ketika beberapa orang penjaga bergerak maju Siang Cu meaggerakkan kaki dan tangannya dan empat orang penjaga terjungkal. Gadis ini hanya menjatuhkan mereka saja, akan tetapi ia tidak tega untuk melukai mereka. Beberapa om n g maju pula namun mereka ini juga terjungkal roboh oleh kaki dan tangan Siang Cu yang amat cekatan.
Tiba tiba terdengar suara terkekeh kekeh yang mencela gadis itu, "Siang Cu, kau terlalu membuang buang waktu!" kata kata ini disusul oleh pekik mengerikan dan lima orang hwesio penjaga telah roboh tewas dengan kepala pecah. Ternyata bahwa Lam hai Lo mo telah turun tangan yang mendatangkan akibat amat mengerikan. Para penjaga lain melihat bal ini mundur dengan ketakutan.
"Suhu, mengapa harus membunuh....?" kata Siang Cu, akan tetapi suhunya sudah menyeret tangannya diajak terus naik melalui para penjaga yang berdiri menjauh dengan muka pucat.
Pada lapisan penjaga ke dua. kembali Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu yang buntung kakinya itu menggerakkan tongkatnya dan membunuh beberapa orang penjaga dengan amat mudah, semudah orang mencabut rumput kering saja. Tentu saja keadaan menjadi geger. Makin tinggi Lambai Lo mo dan muridnya naik, makin gemparlah keadaan. Penjaga di bukit itu diatur sedemikian rupa sehingga makin tinggi, para penjaga terdiri dan orang orang yang lebih tinggi ilmu silatnya. Namun, sampai di tempat penjagaan ke lima, sekali saja mengerakkan tongkat, selalu beberapa orang penjaga roboh tak bernyawa pula dalam keadaan mengerikan kalau tidak kepalanya pecah tentu lehernya putus tulangnya!
Akhirnya Lam hai Lo mo dan Siang Cu berhadapan dengan tujuh orang murid kepala dari Go bl pai yang turun tangan sendiri dan menjaga di depan gerbang pintu masuk yang menuju ke kelenteng!
Melihat tujuh orang hwesio yang sikapnya seperti orang orang berkepandaian, Siang Cu yang sejak tadi merasa gelisah dan menyesal sekali melihat keganasan suhunya, segera mendahului suhu nya dan bertanya,
"Cu wi suhn harap jangan menghadang dijalan dan lekas beritahukan di mana adanya bangsat besar Siauw giam ong Lie Chit. Kami datang hanya hendak menghukumnya, kalau tidak dihalangi kami takkan mengganggu lain orang."
Akan tetapi, tujuh orang murid kepala yang sudah mendengar betapa kakek buntung dan muridnya ini telah menewaskan banyak sekali anak urind Go bi pai, sudah menjadi marah sekali. Giok Seng Hosiang menggerakkan toyanya dan berkata keras,
"Siluman buntung dan siluman rase datang datang mengacau dan membunuh orang orang tak berdosa, karang kau menghendaki supaya kami mengalah saja" Sudah berkali kali diberitahukan bahwa di sini tidak ada orang bernama Siauw giam Lie Chit, akan tetapi kalian tidak percaya dan memaksa naik mengotori tempat kami yang suci. Demi nama Buddha yang penuh welas asih, kami selalu akan menolong orang orang baik dan memelihara nyawa binatang binatang yang tak berdosa. Namun siluman siluman seperti kalian ini yang selalu merusak dan membunuh, harus kami basmi!"
Siang Cu memang berwatak keras. Tadinya ia merasa kasihan melihat tujuh orang hwesio tua ini dan berusaha untuk mendahului suhunya, menyelamatkan mereka dari keganasan tongkat suhunya yang lihai. Akan t tapi ketika ia mendengar ucapan ini, mendengar betapa suhunya dimaki siluman buntung dan dia sendiri dimaki siluman rase yang dalam dongeng suka menjelma menjadi wanita cantik, ia menjadi marah bukan main.
"Bangsat tua bangka! Kepala gundulmu dan jubahmu hanya untuk kedok saja, ternyata kalian memang orang orang busuk yang sudah bosan hidup. Kalau ingin mampus, majulah!"
Giok Seng Hosiang dan enam orang adik seperguruannya lalu menggerakkan senjata masing masing, menyerbu dengan marah sekali ke arah Siang Cu. Melihat gerakan mereka, gadis ini terkejut juga. Angin keras menyambar dari senjata toya yang dipegang oleh Giok Seng Hosiang dan lain lain hweso yang memegang pedang, golok dan tongkat, juga memiliki kepandaian yang Cukup tinggi. Siang Cu di samping kekejamannya, juga timbul kegembiraannya karena sebagai murid seorang pandai yang telah memiliki ilmu silat tinggi tidak ada kegembiraan yang lebih besar daripada menghadapi lawan yang tangguk! Maka segera ia menggerakkan pedangnya, melayang layang di antara sambaran senjata senjata dari tujuh orang hwesio itu.
Silau mata Giok Seng Hosiang dan adik adik seperguruannya melihat cahaya pedang yang berkelebat dari gadis itu. Mereka maklum bahwa gadis itu benar benar h hai sekali, namun mereka adalah murid murid dari Gobi Sam thaisu, tokoh tokoh Go bi pai yang memiliki kesaktian, maka sambil berseru nyaring mereka menggerakkan senjata mengepung ramai ramai dan berusaha mendesak gadis itu.
Adapun Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu ketika melihat muridnya dikeroyok, ia memandang dengan penuh perhatian dengan sepasang matanya yang seperti mata burung setan itu, iapun melihat bahwa tujuh orang hwesio ini tingkat kepandaian nya jauh berbeda dengan hwesio hwesio yang tadi menjaga dijalan bukit. Diam diam ia bergembira dan membiarkan saja muridnya dikeroyok, karena ia hendak memberi kesempatan kepada muridnya untuk berlatih. Beberapa kali ia tertawa tawa terkekeh kekeh dengan suara amat menyeramkan kalau melihat betapa sinar pedang Siang Cu mendesak lawannya.
Biarpun Siang Cu memiliki watak yang keras dan kadang kadang kelihatan seperti ganas, namun sebenarnya, watak yang baik dari ayah bundanya masih mengalir di dalam darah di tubuhnya, ia tidak suka sembarangan membunuh orang, apalagi orang orang yang dianggapnya tidak berdosa, ia baru mau membunuh orang yang dianggapnya memang jahat dan patut disingkirkan karena membahayakan keselamatan umum. Kini menghadapi tujuh orang hwesio tua ini, iapun tidak tega untuk membunuh mereka. Maksudnya hanya hendak mengalahkan mereka dan kalau mungkin merobohkan dengan luka yang tidak membahayakan nyawa.
Akan tetapi hal ini amat sukar baginya. Tujuh orang lawannya bukanlah orang lemah dan karena sikapnya yang tidak keras ini membuat ia sukar mendesak lawan lawannya.
Kalau sekiranya Siang Cu berhati kejam dan mau menurunkan tangan besi. agaknya ia akan dapat menewaskan tujuh orang lawannya itu seorang demi seorang. Ilmu pedangnya memang amat ganas dan lihat, yang khusus diciptakan oleh Lam hai Lo mo untuk muridnya ini.
Adapun Lam hai Lo mo ketika melihat kelemahan hati muridnya dan maklum bahwa muridnya sengaja berlaku mengalah dan tidak menyerang sungguh sungguh, menjadi penasaran sekali. Kalau saja muridnya menjatuhkan tangan ir.aut dan membunuh tujuh orang lawannya, tentu ia akan menjadi girang dan bangga sekali. Akan tetapi kini Siang Cu tidak mau membunuh lawannya sehingga nampaknya terdesak oleh tujuh orang pengeroyoknya.
"Siang Cu, kau memalukan gurumu!" Sambil berkata demikian, tubuh kakek buntung ini bergerak cepat sekali dan tongkatnya bergerak menyambut bagaikan halilintar mencari korban. Terdengar teriakan ngeri dan seorang di antara tujuh murid kepala Go bi pai itu terlempar jauh dengan tulang iga patah patah karena pukulan tongkatnya yang lihai.
"Suhu, jangan membunuh....!" seru Siang Cu dengan muka berobah. Makin lama, keganasan suhunya makin mengerikan hatinya. Ketika ia tinggal berdua dengan suhunya di pulau kolong, ia tidak pernah melihat watak sesungguhnya dari Lam hai Lo mo. Sekarang setelah ia masuk ke dunia ramai bersama kakek itu menyaksikan keganasan gurunya yang luar biasa dan amat mengerikan, ia menjadi terkejut sekali. Tak pernah disangkanya watak yang demikian kejam, yang membunuh manusia begitu mudah seperu orang membunuh nyamuk saja.
Akan tetapi, seruannya itu tidak dapat mencegah suhunya, bahkan Lam hai Lo mo berkata sambil tertawa bekakakan, "Siang Cu, kau lihat. Begitulah caranya memberi hukuman kepada setan setan gundul ini. Ha, ha, ha!" kembali tongkatnya berkelebat. Enam orang hwesio itu menahan dengan senjata mereka namun seorang di antaranya tidak dapat menahan. Pedangnya terpukul membalik dan menancap ai dadanya sendiri sampai tembus ke punggungnya. Melihat ini. Giok Seng Hosiang berseru marah, "Siluman buntung yang jahat, siapakah kau dan mengapa kau merusak keamanan Go bi pai" Permusuhan apakah yang membuat kau mengamuk seperti ini?"
Lam hai Lo mo tertawa mengejek, "Mana Go bi Sam thaisu" Suruh mereka keluar, mereka akan mengenalku!"
"Sam wi suhu kami sedang turun gunung." kata Giok Seng Hosiang.
"Hm, kalau begitu siapa wakilnya yang memimpin Go bi pai pada saat ini?"
"Pmceng (aku) yang menjadi murid kepala tertua," jawab Giok Seng Hosiang.
Batu saja ia menutup mulutnya, Lam hai Lo mo sudah melompat ke dekatnya dan sekali mengulurkan tangan kiri, kakek ini telah menangkap belakang leber Giok Sang Hosiang dan mengancam, "Bagus! Kalau begitu, kaulah yang bertanggung jawab. Lekas kausuruh keluar bangsat Lie Chit itu. Kalau tidak, batok kepalamu yang licin akan kuhancurkan!" Lalu Lam hai Lo mo menambahkan dengan suaranya yang menyeramkan. "Kau mau tahu siapa aku" Semua dewa dan iblis dari Laut Selatan adalah hamba sahayaku, tahu?"
Mendengar ini, seperti terbang semangat Giok Seng Hosiang meninggalkan raganya.
"Locianpwe.... apakah Lam hai Lo mo Seng Jin Siansi?" tanyanya. Karena siapa lagi orangnya yang mengaku menjadi raja dari selatan selainnya Lam hai Lo mo (Iblis Tua dari Laut Selatan)?"
"Ha, ha, ha, pendengaranmu baik juga. Nah, sekarang kau lekas suruh bangsal Lie Chit keluar."
"Maaf, locianpwe, di sini sesungguhnya tidak ada murid bernama Lie Chit."
"Kau juga keras kepala dan harus mampus!1 Sambil berkata demikian, Lam hai Lo mo melemparkan tubuh Giok Seng Hosiaug demikian kerasnya sehingga tubuh hwesio itu tertumbuk pada dinding kelenteng dan roboh dengan kepala pecah dan tidak bernyawa lagi.
"Suhu....!" kembali Siang Cu berteriak ngeri.
Akan tetapi, Lam hai Lo mo sudah timbul marahnya karena merasa amat kecewa tidak dapat bertemu dengan Siauw giam ong Lie Chit yang telah mencuri emasnya. Tongkatnya digerak gerakkan dengan amat hebatnya sambil memaki maki dan menggereng seperti seekor harimau buas.
Adapun lima orang murid kepala yang lain, kini dibantu oleh hwesio hwesio yang berada di situ, juga menjadi marah sekali sungguhpun mereka merasa gentar. Sambil berteriak teriak mereka maju mengurung. Kasihan sekali para hwesio ini, karena mana mereka dapat melawan Lam hai Lo mo yang lihai" Mereka itu bagaikan nyamuk nyamuk kecil yang melawan nyala api, begitu datang dekat tentu roboh binasa menjadi korban tongkat di tangan Lam hai Lo mo yang lihai. Mayat mayat bergelimpangan di depan kelenteng. Melihat ini, Siang Cu berteriak teriak sambil menangis. Hatinya tidak karuan rasanya. Tak pernah dibayangkannya sedikit pun juga semenjak ia menjadi murid gurunya bahwa suhunya adalah seorang iblis yang demikian kejamnya!
"Suhu....! Suhu....! Cukup, suhu, jangan membunuh begitu kejam.. ! Teecu tak kuat melihatnya...."
Namun Lam hai Lo mo menjadi makin marah mendengar ini. Ia merasa seakan akan muridnya itu menentangnya dan baru kini ia insyaf bahwa watak muridnya itu sama sekali tidak cocok dengan wataknya sendiri, ia tega untuk membunuh semua orang yang dianggap menghalang halanginya. Biarpun ia harus membunuh seribu orang sekalipun,
"Tutup mulut! Lebih baik kau bantu aku members! kan tikus tikus ini!" katanya dan tongkatnya mengamuk makin hebat.
Siang Cu tidak dapat menahan kengerian harinya melihat begitu banyak orang menjadi korban keganasan gurunya, ia melompat di depan Lam hai Lo mo dan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat gurunya.
"Suhu, tahan....!"
Lam bai Lo mo tertegun. Muridnya telah berani menangkis tongkatnya!
"Anak gila! Apa maksudmu menahanku"
Siang Cu menjatuhkan diri berlutut sambil bercucuran air mata.
"Suhu.... ampunkan teecu.... sesungguhnya teceu tidak berani menahan suhu dan tentu teecu akan membantu sekuat tenaga karau sekiranya suhu menghadapi musuh musuh besar yang tangguh. Akan tetapi.... mereka ini" mereka adalah pendeta pendeta yang lak berdosa.... mungkin sekali Lie Chit memang tidak berada di sini. Suhu, untuk apa suhu membunuh sekian banyaknya orang.... !"
Makin berkobar api kemarahan dalam dada Lam hai Lo mo. Ia menghantamkan tongkatnya pada sebuah patung singa di depan kelenteng, Terdengar suara keras dan patung singa itu hancur lebur, ia marah sekali dan kalau menurutkan keparahannya, sebetulnya hantaman tadi ditujukan kepada kepala Siang Cu. Namun, di dalam hatinya ada sesuatu yang aneh, rasa kasih sayang yang luar biasa terhadap muridnya mencegahnya membunuh gadis ini dan sebaliknya ia menghancurkan patung singa, ia telah lama memelihara dan mendidik gadis ini dan telah tumbuh cinta kasih seorang ayah terhadap anak sendiri di dalam hati nya terhadap murid ini. Dan sekarang murid ini, yang disayangnya lebih dari nyawanya sendiri, telah berani menentangnya.
"Anak gila, kau tahu apa tentang keadaan manusia" Pendeta pendeta inipun setan setan berwujud manusia, harus dibasmi." Sambil berkata demikian, kemarahannya memuncak, kini ditujukan kepada semua hwesio Go bi pai karena hwesio hwesio ini dalam anggapannya dibela oleh Sang Cu. Di dalam hati yang memang kotor ini timbul anggapan bahwa Siang Cu lebih sayang kepada fawcsio hwesio ini daripada kepadanya. Memang demikianlah hati orang yang sudah tua oleh nafsu iblis dan kebencian. Orang yang membenci orang lain, siapapun juga yang mencoba untuk mendamaikannya, tentu dia akan menganggap bahwa pendamai itu lebih membela orang yang dibencinya. Inilah kelihaian siasat iblis yang sudah menguasai hati orang yang digoda nya.
Demikian pula Lam hai Lo mo. Dia sedang marah dan membenci pendeta pendeta Go bi pai bermaksud membasmi mereka Sekarang Siang Cu berani mencegahnya, mana dia bisa sadar bahwa perbuatan muridnya itu semata mata karena sayang kepadanya dan hendak mencegah suhunya melakukan dosa besar. Sebaliknya, dia malah mengira bahwa Siang Cu lebih sayang kepada para pendeta itu daripada kepadanya sendiri. Ia makin marah kepada para pendeta itu dan sekali melompat sambil mengayun tongkat kembali dua orang hwesio roboh dan tewas.
"Suhu, jangan....!" seru Siang Cu sambil melompat dan menghadang suhunya. Ayunan tongkat suhunya ditangkisnya dan sebentar saja terpaksa Lam hai Lo mo harus menyerang muridnya sendiri untuk dapat mengejar hwesio hwesio itu. Siang Cu mengerahkan kepandaian dan tenaganya untuk menghalangi suhunya sehingga timbul pertempuran hebat antara guru dan murid ini, sungguhpun bukan dengan maksud saling merobohkan, hanya untuk saling menghindarkan saja.
"Lekas kalian lari, bodoh!" seru Siang Cu berulang ulang kepada para hwesio yang maiib ingin mengeroyok Lam hai Lo mo. "Apakah kalian sudah bosan hidup" Lekas kalian lari pergi turun gunung !"
Sementara itu, Lam hai Lo mo berteriak teriak "Akan kubunuh kalian semua!"
Namun pedang di tangan Siang Cu bergerak cepat sekali dan selalu menghadang ke mana juga pun kakek ini bergerak. Para hwesio kini menjadi jerih sekali dan mereka berlari cerai berai meninggalkan tempat itu sehingga keadaan menjadi sunyi. Namun Siang Cu tetap saja menahan suhunya, karena maklum bahwa kalau ia melepaskan suhu nya, kakek sakti ini tentu akan dapat mengejar dan banyak orang akan tewas pula.
"Siang Cu bocah gila, kau minggirlah!" berkali kali Lam hai Lo mo berteriak, akan tetapi Siang Cu mempertahankan.
"Kau murid murtad!" Lam hai Lo mo berseru marah.
"Lebih baik suhu membunuh teecu daripada membunuh semua orang tak berdosa itu" jawab Siang Cu.
Kau mau mati?" bentak La m hai Lvmo dan kini tongkatnya diputar luar biasa hebatnya sehingga menimbulkan angin puyuh, Siang Cu terkejut sekait karena sekarang suhunya benar benar menyarangnya dengan kehebatan yang luar biasa.
Sementara itu Lam hai Lo mo berteriak teriak "Akan kubunuh kalian semua ! Kubasmi kalian semua!"
Tongkat itu seakan akan berobah menjadi puluhan batang banyaknya dan menyerang ke arah jalan darah dan bagian bagian tubuh yang bercahaya.
Terpaksa Siang Cu lalu memutar pedangnya Cheng hong kiam sehingga pedang itu berobah menjadi segulung sinar hijau yang menyambar ke sana ke mari, menangkis setiap serangan tongkat. Namun sai sia, karena dalam kemarahannya, Lam hai Lo mo mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan mana Siang Cu dapat bertahan" Beberapa puluh jurus kemudian, pedangnya terlempar dari tangannya dan sebuah sambaran toya ke arah kakinya membuat gadis itu terjungkal.
Namun ternyata kasih sayangnya yang amat besar terhadap Siang Cu telah menolong gadis itu. Lam hai Lo mo tidak tega untuk membunuh muridnya yang terkasih, maka ia hanya membikin muridnya terjungkal saja. Siang Cu kini merasa bahwa para hwesio sudah pergi jauh, maka ia lalu berlutut dan berkata menangis, "Suhu, kalau suhu hendak membunuh teecu, silahkan."
Sebaliknya, Lam hai Lo mo lalu menancapkan tongkatnya di atas tanah untuk menghilangkan kemendongkolan hatinya.
"Sudahlah, sudahlah! Kita telah melakukan sesuatu yang amat memalukaji. Ambil pedangmu dan mari kita pergi dari sini!"
"Terima kasih, suhu kata Siang Cu sambil irengambil peaangnya. Sebelum gadis ini menyarungkan pedangnya, gurunya berkata, "Lain kali jangan kau membangkitkan marahku, Siang Cu. Aku bisa lupa dan kau akan celaka oleh tongkatku."
Siang Cu memandang ke arah pedangnya yang belum dimasukkan ke dalam sarung pedang lalu menjawab, "Asal saja suhu tidak berlaku sekejam tadi, selamanya texu mana berani menghalangi kehendak suhu"
"Kalau aku berbuat seperti tadi lagi, bagaimana?"
"Kalau begitu.... entah, teecu tidak berani berjanji karena teecupun bertindak atas dorongan sikap kasihan. Harap saja suhu tidak mengulangi lagi."
"Hm, hm.... akupun tidak bisa berjanji padamu. Bagaimana nanti sajalah!" kata Lam hai Lo mo sambil mencabut tongkatnya dan segera berlari pergi dari situ dengan hati mendongkol. Siang Cu cepat menyusul suhunya dan dua orang ini meninggalkan Go bi san.
Beberapa pekan kemudian, mereka tiba di Tit le. Siang Cu makin merasa tidak puas melihat sikap suhunya. Beberapa hari yang lalu, kembali gurunya berlaku sewenang wenang, membunuh seorang pemuda hanya karena pemuda itu menyatakan kagum akan kecantikan Siang Cu dalam ucapan yang agak kurang ajar. Kemudian dalam sebuah rumah makan, ketika pelayan tidak percaya kepadanya dan minta diperlihatkan uang lebih dulu untuk membayar pesanan masakan yang mahal mahal dan kakek itu, kembali Lam hai Lo mo menjatuhkan tangan maut, membunuh pelayan itu, lalu memaksa pemilik rumah makan mengeluarkan semua makanan yang sudah dipesan, makan dengan enak dan pergi tanpa membayar.
Beberapa kali Siang Cu menyatakan ketidak puasannya, akan tetapi gurunya hanya menjawab,
"Siang Cu, kau tahu apa tentang kehidupan di dunia kang ouw " Sebagai muridku, kau harus tunduk dan taat, habis perkara. Kau mau pura pura berlaku baik" Ha, ha, kau belum tahu akan watak manusia, yang dilakukan baik baik namun membalas dengan kejahatan. Kalau kau sudah banyak dikecewakan, kelak kau akan menganggap orang orang yang berlaku baik itu sebagai erang se bodoh bodoh nya."
Malam hari itu, bagaikan dua sosok bayangan setan, Lam hai Lo mo dan Siang Cu berlompatan di atas genteng rumah rumah orang tidak langsung menuju ke rumah Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Mudah saja bagi mereka untuk mendapatkan keterangan di mana rumah pendekar besar itu. Siang Cu berdebar hatinya. Tidak hanya dia bahkan Lam hai Lo mo sendiripun merasa hati nya tidak tenteram, ia tengah menuju ke rumah seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali. Boleh dibilang lawan yang akan dihadapi ini ada lah orang yang paling tinggi kepandaiannya yang pernah dilawannya, maka setidaknya ia menjadi gelisah.
"Hati hatilah, Siang Cu. Pekerjaan ini bukan main main. Selain usahaku ini untuk membalas dendam kepada Thian te Kiam ong yang sudah membuat aku menjadi seorang bercacad seperti ini, juga kepandaiannya amat tinggi. Kau harus berhati hati sekali. Menghadapi isterinya. tak usah khawatir, Kau saja dapat membereskannya. Akan tetapi kalau nanti aku bertempur melawan Thian te Kiam ong sendiri, kau harus membantuku, persiapkan jarum jarum hitammu, karena dilawan dengan berbarang saja belum tentu kita akan menang "
Tentu saja Siang Cu menjadi tegang hatinya. Belum pernah ia melihat suhunya begitu gelisah dan takut menghadapi lawan. Kalau ia melihat keadaan suhunya yang rusak tubuhnya itu, timbul kebencian besar di dalam hatinya terhadap Thian te Kiam ong Kali ini ia anggap usaha suhunya auciv maka ia bertekad hendak membantu sekuat tenaga, kalan perlu ia bersedia jiwa untuk membalas budi suhunya.
Karena mereka mempergunakan ilmu lari cepat, sebentar saja mereKa noa di atas genteng rumah besar dari Thian te Kiam ong. Rumah itu besar dan sunyi. Biarpun waktu itu belum malam benar, akan terapi keadaan sudah agak gelap, lampu lampu yang dipasang di dalam rumah itu telati dikecilkan. Bihkan di bagian dalam tidak di pasangi lampu hanya di bagian depan dan belakang saja.
Lam hai Lo mo tidak berani buru buru turun dari genteng, hanya mendekam sambil ihendengar kan dengan penuh perhatian Lapat lapat ia mendengar suara orang bicara di bagian belakang rumah, akan tetapi di bagian dalam sunyi saja. Siang Cu mendekam di belakang suhunya, tangan kanan memegang pedang, tangan kiri menggenggam jarum jarum hitamnya.
Setelah mempelajari keadaan di bawah selama beberapa menit, L&m hai Lo mo lalu memberi tanda dengan tangannya kepada Siang Cu untuk melompat turun. Mereka melakukan ini dengan hati hati sekali, memilih kebun belakang untuk turun dengan gerakan amat ringan. Kemudian, berindap indap mereka memasuki rumah itu dari pintu samping setelah tanpa mengeluarkan bunyi sediktpun Lam hai Lo mo menggunakan tenaga lweekangnya untuk mematahkan engsel pintu yang tertutup itu.
Baru saja mereka memasuki ruang belakang, tiba tiba terdengar orang bertanya, "Siapa kau?"
Cepat bagaikan kilat menyambar, tongkat Lam hai Lo mo bergerak, terdengar suara "prak!" dan orang yang menegur mereka itu roboh tanpa dapat membuka suara pula. Ketika memandang dengan teliti, ternyata bahwa erang nu adalah seorang pelayan. Lam hai Lo mo tidak merasa puas melihat orang itu liati, tongkatnya bergerak lagi ke arah leher orang itu dan remuklah tulang leher nenkut daging dan kulitnya. Leher orang itu putus sama sekali seperti dibabat oleh golok tajam!
Ngeri juga hati Siang Cu melihat ini. Kembali gurunya telah kambuh gilanya, pikirnya. Kalau gurunya bermusuh dengan Thian te Kiam ong, mengapa berlaku sekejam itu kepada seorang pelayan yang tidak berdosa" Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tidak mau membuka mulut.
Lam hai Lo mo terus menuju ke ruang tengah dan mencari kamar besar. Ia berhasil memasuki kamar yang tinggal gelap. Sebelum masuk ke dalam kamar itu, beberapa kali tangan kirinya b rgerak dan puluhan butir jarum hitam menyambar ke seluruh penjuru kamar itu, menyebar maut. Akan tetapi tidak ada suara apa apa yang terdengar Sebagai akibat sambaran jarum jarumnya itu. Lam hai Lo mo tidak puas dan menerjang masuk sambil memutar tongkatnya seperti orang gila. Terdengar suara hiruk pikuk dan meja kursi serta pembaringan di dalam kamar itu patah patah dan hancur terkena amukan tongkat kakek buntung ini. Setelah mendanai kenyataan bahwa kamar itu benar benar kosong, Lam hai Lo mo melompat keluar.
Di dalam rumah itu terdapat tiga buah kamar, yakni kamar Soug Bun Sam bersama isterinya, kamar Tek Hong, dan kamar Siauw Yang. Tiga kamar ini semua menjadi korban dari amukan tongkat Lam hai Lo mo diobrak abrik dan dihancurkan. Kemudian, dengan penasaran sekali karena tidak melihat orang di situ. Lam hai Lo mo lalu mengajak muridnya menuju ke belakang.
Suara gaduh tadi menarik perhatian dua orang nelayan dari rumah itu yang tadi bercakap cakap di ruang belakang, di kamar pelayan. Mereka berdua lalu pergi ke dalam rumah hendak memeriksa apakah yang menimbulkan gaduh itu. Baru saja mereka, tiba di ambang pintu tembusan, tiba tiba Lam hai Lo mo dan Siang Cu bergerak Lam hai Lo mo menggerakkan tongkatnya dan seorang pelayan roboh dengan kepala terpisah dari tubuh. Ternyata dengan seksh sabet saja, leher orang itu telah putus. Siang Cu yang kini sudah tahu akan keganasan suhunya, mendahului suhunya itu, cepat melompat dan menangkap pelayan ke dua.
"Lekas katakan, di mana adanya Thian te Kiam ong Song Bun Sam?" bentaknya perlahan.
Pelayan itu gemetar seluruh tubuhnya sehingga untuk beberapa lamanya ia tidak dapat menjawab, ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata, "Song taihiap sedang pergi keluar kota, entah ke mana."
Siang Cu menjadi kecewa mendengar ini, akan tetapi Lani Lo mo menjadi marah Tanpa dapat dicegah oleh Siang Cu, tongkatnya bergerak dan pelayan inipun roboh dengan tulang leher putus seperti dua orang kawannya! Kemudian Lam hai Lo mo mengamuk, semua anjing, kucing dan ayam peliharaan Song Bun Sam dibunuh, lau untuk melampiaskan kemarahannya, ia membakar rumah itu menjadi abu!
"Suhu, kau terlalu!" Siang Cu berkata marah sekali, ia menganggap perbuatan suhunya di luar batas kesopanan. Biarpun terhadap musuh besar, tidak semestinya suhunya membunuh para pelayan yang tidak berdosa, bahkan membakar rumah sampai habis. Ini bukanlah perbuatan gagah, lebih patut disebut perbuatan pengecut, membunuh pelayan dan membakar rumah di waktu musuh besar itu tidak ada di rumah!
Lam hai Lo mo marah sekali. "Apa kau bilang" Terlalu" Eh, Siang Cu, bukankah kau muridku" Apakah sekarang kau juga hendak membela Tfaian ts Kiam ong si jahanam?"
"Bukan begitu, suhu. Teecu hanya bersedih melihat sepak terjang suhu yang terlalu kejam. Apakah dosanya para pelayan itu" Apa dosanya binatang binatang peliharaan tadi" Dan mengapa pula membakar rumah sedangkan tuan rumah tidak ada"
"Kau perduli apa" Apakah kau lebih sayang kepada pelayan pelayan tadi daripada kepadaku" Apakah kau lebih sayang kepada anjing dan ayam daripada kepada gurumu" Kau muridku, kudidik semenjak kecil Kau harus tunduk dan taat kepadaku, segala sepak terjangku bahkan harus kau contoh. Nah, lihat ini!" Lam hai lo mo menggunakan kakinya untuk menendang mayat seorang di antara pelayan pelayan tadi sehingga mayat itu terlempar ke dalam api yang bernyala nyala. "Hayo kau turut perbuatanku dan lemparkanlah dua orang pelayan yang lain ke dalam api pula!"
Siang Cu menjadi mendongkol bukan main. Ia tidak mentaati perintah suhunya, bahkan lalu membalikkan tubuh keluar dari pekarangan rumah itu, Lam hai Lo mo marah sekali. Dua kali tendangan membuat dua mayat yang lain melayang ke dalam api, kemudian ia mengejar muridnya "Siang Cu, kalau aku tidak sayang kepadaku, sekarang juga kuhancurkan kepalamu. Kau harus tunduk dan taat kepadaku, biar andaikata kau kujodohkan dengan putera Tung hai Sian jin itu atau bahkan kaupun harus tunduk andaikata kau kuambil menjadi isteriku sendiri. Kau adalah anak yatim piatu, aku yang membesarkanmu, aku yang memeliharamu dan aku yang mendidikmu. Mengerti?"
Akan tetapi, ucapan yang keluar dari otak Lam hai Lo mo yang sudah setengah gila itu membuat gadis ini merasa muak sekali, ia tidak berani menyatakan kemarahannya, sungguhpun mendengar ucapan itu ingin sekali ia mencabut pedang dan menyerang suhunya, ia hanya menghapus air matanya sambil berjalan terus kemudian dapat juga ia berkata, "Masa bodoh, terserahlah. kepada suhu saja, mau bunuh boleh bunuh. Pendek kata, mulai sekarang teeeu tidak mau mengikuti suhu, karena segala perbuatan yang suhu lakukan bertentangan dengan hati teecu."
"Siang Cu, kembalilah!"
"Tidak, suhu, teecu akan merantau seorang diri."
"Kubunuh kau kalau tidak segera datang ke sini!"
"Terserah kepada suhu. Bukankah teceu anak yang suhu pelihara dan didik sampai besar" Sekarang mau bunuh terserah, teecu takkan melawan."
"Kau murid murtad! Begitukah sikap seorang murid terhadap suhunya" Apakah kau mau bersekongkol dengan Thian te Kiam ong untuk memusuhi ku" Kau tidak kasihan melihat suhumu menjadi rusak karena Thian te Kiam ong?"
Mendengar ucapan ini, Siang Cu menghentikan tindakan kakinya dan menengok. Wajahnya pucat dan air matanya mengalir di sepanjang pipinya, bibirnya gemetar. Baru kali ini ia merasa betapa buruk nasibnya. Menjadi seorang yatim piatu, tidak tahu siapa orang tuanya dan dibesarkan oleh seorang guru yang biarpun amat sakti, namun ternyata bukan orang baik baik, batikan boleh ditang manusia berwatak iblis!
"Suhu tahu bahwa teecu kasihan kepada suhu. Akan tetapi perbuatan perbuatan yang suhu lakukan itu menghapus rasa kasihan itu membuat teecu menjadi sedih dan kecewa. Teecu bukan seorang murtad, bukan mengkhianati suhu. Bahkan teecu berjanji hendak mencari sendiri musun besar suhu itu dan akan teecu balaskan sakit hati suhu. Biarpun untuk itu teecu harus berkorban nyawa untuk membalas budi suhu selama mendidik teecu!"
Lam hai Lo mo tertegun. "Kau hendak mencari Thian te Kiam ong" Bagus, bagus! Baiklah, mari kita berlomba, siapa yang akan dapat membunuhnya lebih dulu, ha, ha, ha!" Selelah berkata demikian, kakek ini lalu berkelebat pergi. Ia meninggalkan kata kata dari jauh, "Betapapun juga, kau muridku dan akan datang saatnya kau harus ikut lagi padaku."
Lam hai Lo mo memang seorang kakek yang sudah gila dan rusak jiwanya, akan tetapi otaknya cerdik. Ia masih meragukan apikah akan dapat menangkan Thian te Kiam ong. Maka sekarang ia heudak mewakilkan pembalasan dendam itu kepada Siang Cu. Sementara itu, ia bisa mencari kawan dan membantu untuk melanjutkan usahanya membalas dendam ini!
Sementara itu, Siang Cu lalu melanjutkan perjalanannya bertekad untuk mencari Thian te Kiam ong dan mengadu nyawa untuk membayar hutang yang ia dapat dari suhunya. Setelah itu kalau ia tidak mati dalam usahanya ini ia akan menjauhkan diri dari suhunya, dari dunia ramai karena hidupnya kini kosong, tidak bercita cita, tiada tujuan, adanya hanya kekecewaan dan kedukaan. Perasaan ini membuat Siang Cu yang pendiam dan keras bati menjadi makin pendiam.
Demikianlah maka ketika Tek Hong tiba di Tit le, pemuda ini melihat rumahnya telah menjadi tumpukan puing dan tiga orang pelayan orang tuanya telah tewas dalam keadaan amat mengerikan. Tak seorangpun dapat menceriterakan siapa erangnya yang melakukan bal ini. Akan tetapi diam diam Tek Hong sudah dapat menduga bahwa yang melakukan tentulah Lam hai Lo mo, musuh besar ayahnya yang amat jahat dan yang ia dengar masih hidup menjadi penghuni dari Pulau Sam liong to itu. Hatinya menjadi berduka dan gelisah sekali. Siauw Yang tertawan oleh orang jahat, kini rumahnya dibakar musuh dan orang tuanya entah berada di mana.
Karena bingung dan tidak tahu harus menyusul orang tuanya di mana, Tek Hong lalu mengambil keputusan untuk berangkat saja ko Sian hoa san untuk minta tolong kepada supeknya, Yap Thian Giok atau kalau mungkin minta pertolongan nenek gurunya, Mo bin Sm kunl Pada suatu hari ia tiba di perbatasan Propinsi Shan si sebelah barat, di mana mengalir Sungai Kuning (Hoang ho) yang lebar dan penuh airnya. Tek Hong berjalan cepat di sepanjang lembab sungai yang mengalir melalui sela sela lereng Bukit Lu liang san. Sian hoa san tidak jauh lagi, puncaknya sudah nampak menjulang tinggi di depan.
Ketika ia sedang berjalan cepat dengan hati penuh gundah dan geli bab, tiba tiba ia mendengar tiara senjata beradu menerbitkan suara nyaring sekali. Pendengaran Tek Hong amat tajam dan terlatih. Dari mara nyaring itu ia dapat menduga bahwa yang beradu adulah senjata duri pada logam yang amat baik. Suara beradunya besi itu atau baja biasa saja tidak mengeluarkan bunyi seperti itu. Dan biasanya, di mana ada senjata mustika, tentu ada orang orang gagah yang berkepandaian tinggi. Tek Hong mempercepat larinya, menuju ke arah datangnya suara gaduh itu. Suara itu datang dari lereng bukit yang kering dan ketika ia tiba di situ, ia melihat seorang gadis muda berpakaian serba merah sedang dikeroyok hebat sekali oleh ketiga orang hwesio gundul yang sudah berusia tua. Gadis baju merah itu memainkan sebatang pedang dengan gerakan bebat sekali. Tubuhnya bergerak ke sana kemari seperti seekor burung merah, demikian lincah dan ringannya. Pedang yang dimainkannya mengeluarkan cahaya gemilang berwarna hijau dan permainan pedangnya demikian lihai sehingga pedang itu beruban menjadi segulung sinar hijau yang menyambar uyambar seperti seekor naga mengamuk! Tek Hong kagum sekali dan kalau tidak melihat pakaian dan pedangnya, tentu ia akan mengira bahwa gadis itu adalah Siauw Yang adiknya.
Apa karena gerakan gadis itu demikian gesit seperti gerakan Siauw Yang. Ia lalu memperhatikan tiga orang kakek hwesio yang mengeroyok gadis itu. Biarpun gadis itu gagah perkasa dan ilmu pedang nya tinggi, namun keroyokan tiga hwesio itu membuatnya terdesak juga. Hal ini membukukan bahwa tingkat kepandaian tiga orang hwesio itupun sudah mencapai tingkat yang amat tinggi.
Melihat pakaian gadis itu, pembaca tentu dapat menduga siapa adanya dara perkasa itu. Memang dia bukan lain adalah Ong Siang Cu, murid dari Lam Hai Lo mo Seng Jin Siansu, dara perkasa yang memisahkan diri dari suhunya karena ia tidak suka melihat sepak terjang suhunya yang ganas dan kejam.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara ini melarikan diri dari Lam hai Lo mo dan merantau seorang diri dengan satu cita cita, yakni mencari Thian te Kiam ong Song Bun Sam untuk mencoba membalaskan sakit hati suhunya yang telah dirusak badannya secara keji dan mengerikan oleh Raja Pedang itu. Akan tetapi, ketika ia tiba di lereng Bukit Lu liang san, di tengah jalan ia bertemu dengan tiga orang hwesio tua yang agaknya memang mengejarnya, karena begitu bertemu, tiga orang hwesio itu serentak menyerangnya! Siang Cu adalah seorang dara yang tak kenal takut. Melihat serangan hebat tiga orang hwesio tua yang tak dikenalnya, yang menyerang dengan tangan kosong namun dengan gerakan luar biasa lihainya, ia cepat mengelak dan mencabut pedangnya. Melihat sinar hijau dari pedang di tangan gadis itu, tiga orang kakek gundul ini nampaknya menjadi makin marah.
"Tak salah lagi inilah siluman wanita itu!" teriak seorang di antara mereka yang cepat mencabut sebatang toya hitam.
"Benar, maii kita lenyapkan siluman ini dulu, baru kelak mencari siluman tua, kata hwesio kedua yang mengeluarkan sebuah kipas besar dengan lima batang yang ujungnya runcing dan layar kipasnya terdiri dari lima warna.
"Siluman rase, kau menyerahlah!" teriak hwesio ke tiga yang mengeluarkan senjata berupa segulung tasbeh perak.
Siang Cu marah bukan main mendengar betapa tiga orang kakek ini datang datang tidak hanya menyerangnya, malahan memaki makinya sebagai siluman. Namun, biarpun ia memiliki kekerasan hati, ia tidak segila gurunya, ia masih dapat menahan gelora cairnya yang marah, dan sambil pentangkan pedang Cheng hong kiam di depan dadanya, ia membentak murah.
"Tertahan dulu! Kalian ini orang orang tua yang berpakaian seperti pendeta, mengapa tidak mencari jalan terang" Apakah memang begitu sifatnya pendeta pendeta, datang datang memaki orang dan mencari permusuhan" Aku Ong Siang Cu tidak takut seujung rambutpun kepada kalian, akan tetapi aku harus tahu lebih dulu, apakah kalian ini udik salah mengenai orang" Aku selama hidupku belum pernah bertemu dengan kalian, apakah mendadak kalian telah menjadi gila?"
Tiga orang kakek gundul itu sebetulnya adalah tokoh tokoh besar dari Go bi san, ketua ketua Go bi pai yang disebut Go bi Sam thaisu. Hwe So yang berserjata toya hitam adalah Thian Seng Hwesio dan senjatanya itu disebut Ouw tiat pang (Toya Besi Hitami. Hwesio ke dua yang bersenjata kipas adalah Thian Beng Hwesio dengan senjatanya kipas Ngo heng sam (Kipas Lima Zat). Hwesio ke tiga adalah Thian Lok Hwesio dengan senjatanya tasbeh perak yang tidak kalah lihainya oleh senjata senjata ke dua orang suhengnya.
"Siluman betina, kau belum mengenal pinceng bertiga ataukah hanya pura pura tidak kenal" Pinceng adalah Thian Ssng Hwesio dari Go bi pai, ke dua orang suteku ini adalah Thian Beng Hwesio dan Thian Lok Hwesio. Kau sudah mengetahui akan dosamu yang besar, sekarang tidak lekas menyerah mau tunggu pinceng turun tangan dan menggunakan kekerasan?" kata ketua pertama dari Go bi pai itu.
Mengertilah kini dara itu mengapa tiga orang kakek gundul ini datang datang begitu marah kepadanya.
"Ah, jadi sam wi losuhu ini adalah Go bi Sam thaisu" Dengar sam wi (kalian bertiga), saya akan memberi penjelasan mengenai peristiwa yang baru terjadi di puncak Go bi san." Sesungguhnya, memang di dalam hati Siang Cu merasa malu dan tidak enak terhadap tiga orang kakek ini karena perbuatan suhunya Akan tetapi, sebagai ssorang murid, tidak akan ia menimpakan kesalahan kepada suhunya, bahkan ia harus membela nama baik suhunya.
"Mau bicara apa lagi?" seru Thian Beng Hwesio yang sudah marah sekali sambil mengebutkan kipas Ngo heng san di tangannya ke arah gadis itu. Kipas ini hebat sekali dan selain tiap ujung batangnya dapat dipergunakan sebagai sen jata runcing yang menembus kulit daging dan tulang serta dapat pula dipergunakan untuk menotok jalan darah dengan cara yang berbahaya sekali bagi fihak lawan, juga dengan tenaga lweekang, kipas ini dapat dikebutkan sedemikian rupa sehingga menimbulkan angin p u k u Ion yang dapat merobohkan seorang lawan yang tidak begitu kuat
Akan tetapi, kini ia menghadapi Ong Siang Cu, dara perkasa yang semenjak kecil digembleng hebat oleh Lam hai Lo mo, seorang tokoh besar di dunia persilatan yang sakti. Ketika merasakan sambaran angin yang hebat memukul ke arah dadanya. Siang Cu menggerakkan tangan kirinya, melakukan gerakan menyampok di depan dada dan angin pukulan yang keluar dari sambaran kipas itu dapat dibuyarkan seketika itu juga.
Thian Beng Hwesio menggereng marah melihat pukulannya dipunahkan dengan demikian mudahnya. Ia hendak melompat maju dan melakukan serangan, akan tetapi Thian Seng Hwesio mengangkat tangan mencegahnya, "Nanti dulu, ji sute ( adik seperguruan ke dua ). Biarkan dia bicara sebentar. Masih belum terlambat untuk memberi hukuman padanya."
Kemudian ia berkota kepada Siang Cu, "Kau bicaralah sesukamu, kami akan mendengarkanmu, biarpun kami tak dapat berjanji akan mempercayai semupa kata katamu."
Siang Cu marah dan mendongkol sekali, akan tetapi ia dapat menahan kesabaran hatinya, lalu berkata dengan merengut.


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau mendengar atau tidak, terserah kepada sam wi. Mau percaya atau tidak, juga aku tidak ambil pusing. Pokoknya aku harus menerangkan kepada sam wi mengapa kami sampai turun tangan memberi hajaran kepada orang orang Go bi pai, Nah, dengarlah baik baik. Aku dan suhu tadinya bertempat tinggal di atas Pulau Sam liong to, jauh dari dunia ramai, selama hidup kami lak pernah mencampuri urusan orang lain apalagi berurusan dengan orang orang Go bi pai sehingga tidak ada alasan bagi kami untuk memusuhi Go bi pai. Akan tetapi belum lama ini, kami didatangi oleh seoreng anak murid Go bi pai yang bernama Siauw giam ong Lie Chit dan jahanam itu telah minggat dari pulau kami sambil membawa harta simpanan suhu. Nah, bukankah itu sudah sepantasnya kalau suhu dan aku marah dan mencarinya untuk memberi hukuman yang setimpal" Kami tidak tahu ke mana harus mencarinya, akan tetapi oleh karena dia anak murid Go bi pai, kami lalu mencari ke Go bi san. Murid murid sam wi di Go bi san tidak membantu kami dan tidak mau menyerahkan jahanam Lie Chit, sebaliknya malahan memaki dan menyerang kami. Itulah sebabnya mengapa suhu menjadi marah dan menghajar mereka."
"Enak saja kau bicara." Thian Serg Hwesio membentak marah. "Kami tidak mempunyai murid bernama Siauw giam ong Lie Chit. Hal ini sudah berkali kali dikatakan oleh murid murid kami Akan tetapi kau dan gurumu tidak percaya dan menjatuhkan tangan maut, mengandalkan kepandaian sendiri. Kelakuanmu dan suhumu seperti kelakuan iblis saja. Oleh karena itu, menyerahlah agar kami tak usah menggunakan kekerasan. Katakan di mana sekarang adanya gurumu, siluman buntung itu."
"Orang tua, jangan sembarangan mengeluarkan makian," kata Siang Cu mendongkol. "Suhu adalah Lam hai Lo Mo Sian jin Siansu, tiga orang seperti kalian ini mana dapat mengeluarkan kesombongan di depannya, lebih baik sam wi melupakan saja kesalahfahaman itu, yang sudah biarlah lalu dan selanjutnya harap sam wi lebih keras mendidik murid agar dapat menyambut datangnya tamu dengan lebih hormat."
"Siluman wanita, kau sombong!" seru Thian Beng Hwesio yang sudah tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi. Kipas Ngo heng Sian di tangannya bergerak cepat, ujungnya menotok ke arah iga kiri Siang Cu dan kaiti kipas yang berwarna lima itu tertutup. Gerakan serangan Sian jit Kiu cu (Dewa menyambut Mutiara) ini lihai sekati, dan Siang Cu maklum akan hal ini, maka ia lalu berseru nyaring dan pedangnya berkelebat menangkis. Thian Lok Hwesio tidak mau tinggal diam karena ia tahu bahwa gadis ini memiliki kepandaian tinggi Segera ia berseru keras dan tasbeh peraknya menyambar pula melakukan serangan yang tak kalah lihainya. Tasbeh ini terbuat daripada perak, setiap butir biji tasbeh dapat mendatangkan luka maut pada lawannya. Juga thian Seng Hwesio melihat gerakan Siang Cu yang amat gesit, tidak mau membiarkan dua orang sutenya bersusah payah Sendiri, cepat menggerakkan toyanya dan toya itu menyambar teras, mendatangkan angin pukulan yang mengejutkan hati Siang Cu.
Berbahaya Sekali tiga orang lawan ini, pikirnya, terutama sekali toya di tangan Thian Sheng Hwesio. Maklum bahwa ia menghadapi tiga urang lawan yang benar benar tangguh, Siang Cu tidak mau banyak cakap lagi, melainkan ia mengerahkan seluruh perhatian, tenaga dan kepandaian untuk menjaga diri dan balas menyerang. Pedangnya berobah menjadi gulungan sinar hijau, menjadi satu dengan tubuhnya yang terbungkus pakaian merah sehingga ketika ia mainkan pedangnya dengan cepat, yang kelihatan hanya gulungan besar sinar hijau melingkungi bayangan merah, seperti setangkai bunga mawar merah di antara daun daun hijau.
Siang Cu berusaha keras untuk merobohkan lawan tanpa membunuh mereka, ia tidak tega kalau harus membunuh tiga orang kakek yang dianggap oleh hatinya sama sekali tidak berdosa ini. Bahkan ia merasa bahwa ia dan suhunya yang bersalah dalam dalam hal ini, sungguhpun untuk menerima salah dan menyerah menerima hukuman, ia tidak mau.
Namun, jangankan hendak mengalahkan Go bi Sam Thaisu tanpa membunuh mereka. Andaikata ia bermaksud membunuh merekapun, belum tentu ia bisa. Tingkat ilmu kepandaian tiga orang kakek ini jauh melebihi dia, hanya karena ilmu pedangnya yang aneh, ganas dan cepat sajalah yang membuat sampai begitu lama Siang Cu belum kalah! Senjata tiga orang kakek ini selain aneh, juga merupakan senjata senjata yang terbuat daripada logam yang keras dan kuat sekait, sehingga dapat menandingi Ctieng hong kiam di tangannya.
Setelah bertempur hampir seratus jurus, Siang Cu mulai terdesak hebat! Tiga orang tokoh Go bi pai itu bertempur dengan maksud membunuh, dan hal ini dapat dimaklumi karena tentu saja mereka merasa sakit hati sekali melihat kelenteng mereka dibakar musnah dan banyak murid murid mereka binasa.
Siang Cu benar benar dapat dipuji. Tiga orang lawannya ini bukanlah orang orang se m barangan. Jangankan menua maju bersama, sedangkan untuk melawan seorang di antara mereka saja, orang harus memiliki ilmu silat tinggi. Namun ketiga Go bi Sam Thaisu sudah amat terkenal sebagai tokoh tokoh yang berkepandaian tinggi dan dunia kang ouw memandang mereka dengan segan dan hormat. Entah sudah berapa banyak lawan jahat dan lihai tunduk dan roboh dalam tangan tiga orang kakek ini. Akan tetapi sekarang, menghadapi seorang gadis muda, biarpun mereka telah mengeroyoknya, dalam seratus jurus masih juga mereka belum dapat mengalahkannya! Ini merupakan hal yang amat memalukan dan merendahkan nama baik mereka dan diam diam mereka harus akui bahwa selama hidup belum pernah mereka temui seorang gadis semuda ini dengan kepandaian sehebat itu. Apalagi karena dalam keadaan terdesak. Siang Cu masih dapat kadang kadang melakukan serangan balasan yang amat berbahaya.
"Siluman jahat yang berbahaya!" Thian Lok Hwesio memaki sambil mengerahkan tenaga, mengerang dengan tasbehnya yang menyambar ke arah kepala Siang Cu. Pada saat hu juga, Thian Beng hwesio menyerang dengan kipasnya ke arah ulu hati gadis itu sedangkan hampir berbareng Thian Seng Hweiio nenyerampangkan toyanya ke urat! Serangan ini hebatnya bukan main dan agaknya Siang Cu yang sudah berada dalam keadaan amat teratsak iu takkan dapat menghindarkan cirinya itgi. Akan tetapi, ketabahan, keirnangan, dan kegesitan gadis ini menolongnya. Dengan amat cekatan. Siang Cu melakukan gerakan berbareng dengan sepasang tangannya. Tangan kanan yang memegang pedang itu menangkis sambaran tasbeh di kepala, dan lengan kirinya melakukan gerakan o samping menyompok kipas yang menusuk ulu hatinya. Terdengar suara keras dan bunga api berpijar ketika pedang bertemu dengan tasbeh, sedangkan tangan kirinya yang menyampok kipas lalu bergerak dan mengembangkan lima jari tangan yang kecil halus, mencengkeram ke arah kain kipas itu, namun Siang Cu merasa pinggir telapak tangannya perih dan ternyata kulit telapak tangannya berdarah, terluka oleh kipas itu. Pada saat itu, datanglah toya atau tongkat Ouw t;ar pang dari Thian Seng Hwesio yang menyerampang kakinya dari kanan! Tidak ada waktu lagi untuk melompat atau mengelak, juga kedua tangannya yang baru saja menghindarkan dua serangan tak mungkin menolong kakinya. Siang Cu amat tabah dan besar hati. Melihat datangnya toya yang akan dapat mematahkan tulang tulang kakinya dengan mudah, ia lalu cepat menggerakkan kaki kanan, diangkat sedikit dan ia menerima datangnya sambaran tongkat itu dengan ujung atau telapak kakinya!
Ketika toya itu sudah mengenai telapak kaki nya, Sian Cu mengerahkan lweekang untuk menolak hawa pukulan lawan sambil mempergunakan ginkang, mengenjot kakinya sehingga tiba tiba tubuhnya terlempar ke atas terdorong oleh desakan pukulan toya itu. Tubuh yang ringan ini melayang ke atas dan Siang Cu cepat mempergunakan gerakan Sin liong hoan sin (Naga Sakti Membalikkan Badan) lalu berpoksai (membuat salto) tiga kali sehingga tubuhnya berputar makin tinggi, kemudian ia melayang turun dengan kepala di bawah dan kaki di atas, sedangkan pedangnya diputar sedemikian rupa di bawah kepalanya sehingga tidak memberi kemungkinan kepada lawan untuk mendesaknya.
Akan tetapi, gerakan Siang Cu ini demikian indah dan lihat, sehingga tiga orang kakek gundul itu lupa untuk mendesaknya, berdiri sambil memandang gadis itu dengan kagum sekali.
"Bagus sekali!" Thian Seng Hwesio tidak terasa berseru memuji.
Akan tetapi ia segera mendesak lagi, bahkan kini Thian Beng Hwesio yang melihat kipasnya robek sedikit, menjadi marah sekali dan menyerang lebih hebat daripada tadi.
Pada saat Siang Cu sudah merasa lelah dan sudah mulai terdesak hebat itu, muncullah Sang Tek Hong. Pemuda ini merasa tidak senang melihat cara pertempuran itu. Seorang gadis muda dikeroyok oleh tiga orang hwesio tua yang memiliki kepandaian tinggi, ketika ia melihat bahwa gadis itu banyak persamaannya dengan Siauw Yang, ia lebih menaruh hati kasihan kepada gadis yang dikeroyok itu. Ia memang sedang gelisah hatinya. Kini melihat gadis iiu dikeroyok dan amat terdesak, ia membayangkan betapa akan bingungnya hati Siauw Yang kalau sekiranya adiknya itu yang mengalami keroyokan. Siapa tahu kalau kalau Siauw Yangpun mengalami nasib seperti gadis yang agaknyapun berada seorang diri ini.
"Sam wi losuhu, tahan dulu!" serunya sambil melompat maju mendekat. Mengeroyok seorang lawan yang begitu muda, sungguh tidak boleh dibilang gagah.
Go bi Sam thaisu sedang marah dan penasaran sekali karena sampai begitu lama mereka belum juga bisa mengalahkan Siang Cu, maka teguran pemuda yang baru datang ini membuat muka mereka menjadi merah saking merasa malu dan juga marah. Apalagi Thian Beng Hwesio yang kipasnya kena dibikin robek oleh Siang Cu. Hwesio ini mengira bahwa pemuda yang datang tentu kawan dari Sivng Cu, atau setidaknya kedatangannya merupakan bantuan bagi gadis itu, maka ia melompat, menyerang dengan kipasnya ke arah kepala Tek Hong sambil membentak,
"Jangan mencampuri urusan kami!"
Serangan ini dilakukan dengan hebat, akan tetapi sesungguhnya Thian Beng Hesio hanya hendak menggertak saja. Ia memandang rendah kepada pemuda yang baru tiba, dan iapun tidak mau membunuh orang maka ia hanya hendak menakut nakuti Tek Hong saja.
Akan tetapi, sikapnya ini menimbulkan kesan buruk dalam hati Tek Hong. Dengan adanya sikap kasar dari Thian Beng Hwesio yang sedang marah, Tek Hong makin merasa yakin bahwa tentu tiga orang hwesio ini adalah orang orang jahat yang mengganggu gadis itu. Kini menghadapi serangan dengan senjata kipas yang dahsyat ia cepat menggerakkan tangan kanan menyampok dan mengerahkan tenaga. Tangannya bergerak memutar dan dengan indahnya ia melakukan gerakan pukulan yang disebut Tui san ciang (Pukulan Mendorong Bukit) Tangannya beradu dengan kipas dan "krak!" sebatang daripada lima batang tulang kipas itu patah dan kain kipas robek lagi ujungnya.
Sesungguhnya, biarpun kepandaian Tek Hong sudah sangat tinggi, namun tidak mungkin dalam segebrakan saja ia berhasil mematahkan batang kipas Thian Beng Hwesio, kalau saja Thian Beng l:wesio berlaku hati hati. Hwesio itu memandang rendah pemuda ini, sama sekali tidak pernah mengira bahwa ia berhadapan dengan putera dari Thian to Kiam ong Song Bun Sam. Maka melihat kipasnya patah, ia menjadi pucat dan marah sekali.
"Manusia jahat, ternyata kau kawan dari siluman rase ini!" bentaknya sambil menyerang terus dengan kipasnya yang kini kainnya telah robek dan baungnya tinggal empat buah lagi. Akan tetapi kini ia menyerang lebih hebat dan hati hati dan biarpun kipas itu telah rusak, namun masih merupakan sebuah senjata yang amat lihai.
"Sabar, losuhu, aku tidak ingin bertempur, hanya kurasa tidak adil mengeroyok nona ini," kata Tek Hong yng cept mengelak. Akan tetapi thian Beng Hwesio mendesak terus sehingga terpaksa Tek Hong mencabut pedangnya untuk mempertahankan diri.
"Losuhu, sekali lagi kuulangi, aku tidak mencari permusuhan, hanya menuntut keadilan melihat nona ini dikeroyok tiga oleh orang orang berkepandaian tinggi seperti kalian," kata Tek Hong dengan suara sabar. Akan tetapi Thian Beng Hwesio yang galak dan sudah marah sekali tidak mau mendengar kata katanya dan menyerang terus dengan hebatnya.
Ilmu pedang Tek Hong adalah ilmu pedang yang pada masa itu merupakan ilmu pedang tiada taranya sehingga ayahnya mendapat julukan Raja Gedang, dan pemuda ini memang memiliki tenaga Iweekang yang besar serta ketenangan gerakan yang membuat ilmu pedangnya menjadi makin masak dan kuat. Sedangkan Thian Beng Hwesio yang sucah amat lelah ketika mengeroyok Siang Cu tadi, kini ditambah pula dengan rasa penasaran dan marah maka gerakannya mengawur dan nekat, hanya memusatkan gerakan pada serangan dalam nafsunya hendak segera merobohkan lawan. Maka ketika ia menyerang dengan hebat dengan kipasnya Tek Hong menggerakkan pedang secara luar biasa dan hebat sekali, pedangnya menyambar dan begitu dapat menangkis kipas, lalu digerakkan memutar. Bukan main hebatnya gerakan yang mengandung tenaga menempel ini karena tanpa dapat ditahan pula, Thian Beng Hwesio terpaksa harus mengikuti putaran pedang ini dan kipasnya ikut pula berputaran dengan pedang!
"Lepas senjata!" terdengar Tek Hong berseru sambil mengerahkan tenaga dan.... benar saja kipas itu terlepas dari tangan Thian Beng Hwesio dan mencelat ke atas, disambar oleh tangan kiri Tek Hong sehingga kipas itu kini berada di tangan pemuda ini.
"Harap losuhu berlaku sabar dan marilah kita bicara secara baik baik," kata Tek Hong sambil menyerahkan kembali kipas itu.
Akan tetapi, Thian Beng Hwesio sudah menjadi malu sekali karena kekalahannya yang tak tersangka sangka ini. Ia menerima kipasnya, menggunakan kedua tangan untuk mematahkannya be berapa kali sambil berkata,
"Sudahlah.... sudahlah pinceng memang harus belajar lagi sepuluh tahun!"
Adapun dua orang hwesio lainnya yang masih mengeroyok Siang Cu, ketika melihat betapa saudara mereka kena dikalahkan oleh pemuda yang tara tiba. menjadi kaget dan marah sekali, juga mereka menjadi gelisah. Baru menghadapi dara muda murid Lam hai Lo mo itu saja mereka bertiga sudah tak berdaya, apalagi kalau sekarang datang lawan barn yang agaknya tidak kalah lihainya seperti gadis itu Tanpa banyak cakap lagi. Thian Seng Hwesio dan Thian Lok Hwesio cepat mengalihkan serangannya, kini mereka maju menyerang Tek Hong yang tidak menyangka nyangka sama sekali.
Jilid XXIV MELIHAT betapa sebatang toya hitam yang berat sekali menyambar ke arah pinggangnya sedangkan seuntai tasbeh putih menyambar ke arah kepalanya, Tek Hong cepat menggerakkan pedang diputar sedemikian rupa sehingga sekaligus ia dapat menangkis dua serangan yang menuju ke pinggang dan kepala ini. Kemudian ia cepat melompat ke kanan untuk menjauhi dua orang penyerangnya sambil berkata,
"Eh, eh, ji wi suhu ini benar benar aneh. Aku datang hanya untuk mencegah pertempuran yang berat sebelah dilanjutkan. Tidak kusangka sama sekali, bahkan sam wi memusuhiku dan menyerang hebat. Aku datang bukan bermaksud buruk," biasanya Tek Hong tidak bisa bicara panjang, sekarang ia bicara hanya karena ia merasa amat penasaran melihat sikap tiga orang hwesio yang ia lihat berkepandaian tinggi itu.
Adapun Siang Cu yang kini sudah ditinggalkan oleh dua orang pengeroyoknya, mendapat kesempatan untuk memandang dan melihat pemuda itu dengan baik baik. Ia melihat seorang pemuda yang berwajah tampan dan gagah sekali, dengan sepasang alis seperti golok dan sepasang mata tajam berpengaruh. Tak terasa lagi ia menjadi tertarik, apa lagi setelah ia mengetahui bahwa pemuda itu telah mengalahkan Thian Beng Hwesio dalam waktu begitu cepat. Kemudian ia mendengar bahwa kedatangan pemuda ini hanya untuk menolong dia yang tadi dikeroyok, maka merahlah wajah Siang Cu. Ia melompat maju dan menggerak gerakkan pedangnya sambil berkata keras dan sinar matanya ditujukan ke arah Tek Hong dengan tajam,
"Eh, orang lancang! Apa kaukira aku takut menghadapi dua lutung tua ini" Bukan kau seorang saja yang memiliki kepandaian." Setelah melontarkan kata kata keras kepada Tek Hong, Siang Cu lalu menghadapi Thian Seng Hwesio dan Thian Lok Hwesio sambil berkata,
"Kalian ini orang orang tua yang mau memperlihatkan kepandaian mengeroyokku, apakah kalian masih hendak melanjutkan pertempuran" Kalau demikian, majulah, biar kita bertempur lagi sampai seribu jurus!" Kata kata ini ditutup dengan pedang digerakkan cepat di depan dada, merupakan sinar kehijauan yang menyilaukan mata.
"Iblis wanita, kalau tidak dapat mengalahkan kau, pinceng bertiga tidak mau disebut lagi Go bi Sam thaisu!" bentak Thian Lok Hwesio sambil menggerakkan tasbehnya menyerang Siang Cu. Juga Thian Seng Hwesio menggerakkan Ouwtiat pang di tangannya, menghantam kepala gadis itu sekuat tenaga.
Kembali terjadi pertempuran hebat. Melihat dua orang saudaranya sudah maju kembali mengeroyok Siang Cu, Thian Beng Hwesio yang senjatanya sudah ia patahkan tadi ketika ia dikalahkan oleh Tek Hong, menjadi tidak enak kalau tidak membantu, ia merasa kalah dan malu terhadap Tek Hong, akan tetapi terhadap Siang Cu ia belum kalah dan cepat ia lalu mengeluarkan senjata senjata rahasianya berupa touw kut cui (bor penembus tulang). Senjata rahasia ini bentuknya seperti piauw, akan tetapi ujungnya merupakan bor dan kalau dilepas, jalannya memutar sehingga jangankan tulang manusia, bahkan besipun dapat ditembusnya.
"Rebahlah kau!" bentaknya dan sebatang touw kut cui menyambar ke arah dada Siang Cu. Gadis ini terkejut sekali. Menghadapi keroyokan tiga orang tadi, ia masih dapat mempertahankan diri. Akan tetapi setelah Thian Beng Hwesio mempergunakan senjata rahasia, bahayanya menjadi lebih besar karena ia tidak dapat menghadapi lawan ke tiga ini secara langsung,
"Tua bangka curang!" serunya sambil mengelak cepat, akan tetapi gerakan ini mendatangkan kesempatan bagi Thian Seng Hwesio dan Thian Lok Hwesio yang cepat mendesak dengan senjata senjata mereka yang lihai. Kini kedua orang hwesio ini sengaja mengeroyok dari kiri kanan agar memberi kesempatan bagi Thian Beng Hwjaio untuk mempergunakan senjata rahasianya.
Berkali kali Thian Beng Hwesio melepaskan am gi (senjata gelap) sedangkan kedua orang bwesio lain menyerang dengan desakan hebat dari kiri kanan. Kembali Siang Cu terdesak hebat dan biarpun gadis ini memutar pedangnya sambil memaki maki tiga orang kakek itu, tetap saja ia berada dalam kedudukan amat berbahaya.
Karena sudah lima kali ia melepas touw kut cui tanpa hasil, Thian Beng Hwesio menjadi penasaran sekali. Kini ia tidak mau menyambitkan senjata gelapnya begitu saja melainkan menanti kesempatan baik. Ia mencari ketika dan pada saat Siang Cu sudah terdesak hebat dan berada dalam keadaan yang lemah, ia cepat melemparkan dua batang touw kut cui, satu ke arah leher dan yang ke dua ke arah lambung gadis itu!
Siang Cu terkejut dan tanpa terasa ia berseru!
"Celaka".!" Pedangnya sedang dipergunakan untuk menangkis toya yang menyambar ke atas kepala, sedangkan tangan kirinya dipergunakan untuk menyampok datangnya serangan tasbeh.
Untuk senjata rahasia yang menyambar leher, ia dapat menggerakkan kepalanya mengelak, akan tetapi senjata rahasia ke dua agaknya akan menembusi lambungnya.
Pada saat yang amat berbahaya itu, terdengar suara nyaring den senjata rahasia yang mengancam lambung Siang Cu tiba tiba tertahan lajunya dan runtuh di atas tanah. Sepotong batu hitam melayang dari tempat Tek Hong berdiri dan dengan tepatnya menolong nyawa Siang Cu.
Tadinya Tek Hong tertegun ketika mendengar pengakuan Thian Lok Hwesio bahwa tiga orang hwesio tua itu adalah Go bi Sam thaisu. Ia belmu pernah bertemu muka dengan tiga orang hwesio ini sebelumnya, akan tetapi nama mereka telah sering kali disebut sebut oleh ayahnya sebagai tokoh tokoh besar, ketua ketua dari Go bi pai yang besar dan ternama. Oleh karena inilah maka ia merasa ragu ragu antuk menolong gadis gagah itu dan timbul keheranannya mengapa tokoh tokoh besar seperti Go bi Sam thaisu mengeroyok seorang gadis muda yang memiliki ilmu pedang begitu luar biasa.
Akan tetapi ketika ia melihat betapa Thian Beng Hwesio mempergunakan senjata rahasia sehingga keselamatan Siang Cu terancam, ia tidak dapat bertahan diri untuk berpeluk tangan saja. Semenjak tadipun ia telah mengambil tiga potong batu karang hitam yang berada di dekatnya dan dengan batu batu ini ia bersiap sedia membantu. Batu pertama dilepasnya untuk menyelamatkan nyawa Siang Cu ia tidak tinggal diam sampai di situ saja, melainkan mengayun tangan dua kali. Batu ke dua menghantam toya Ouw tiat pang di tangan Thian Seng Hwesio sedangkan batu ke tiga membentur tasbeh di tangan Thian Lok Hwesio.
Tiga orang ketua Go bi pai itu terkejut bukan main. Tadi Thian Beng Hwesio sudah merasai sendiri betapa tingginya kepandaian pemuda asing itu, kemudian ia melihat betapa touw kut cui yang dilepaskan untuk menyerang gadis itu lelah terbentur dan runtuh oleh sepotong batu yang dilemparkan oleh Tek Hong. Hal ini saja sudah membuat ia kagum dan jerih. Kemudian, ketika Thian Seng Hwesio dan Thian Lok Hwesio tiba tiba merasa senjata di tangan mereka tergetar dan telapak tangan mereka terasa perih ketika terpukul oleh batu baiu kecil itu, keduanya melompat mundur dan memandang kepada Tek Hong dengan alis berkerut.
"Barangkali memang kami sudah terlalu tua dan harus mengundurkan diri. Biarlah, kami mengaku kalah dan hanya kepada iblis tua Lam hai Lo mo kami hendak mengadu nyawa," kata Thian Seng Hwesio dan ketiga orang hwesio tua itu lalu pergi dan situ dengan wajah muram.
Tek Hong menjadi makin kaget mendengar disebutnya nama Lam hai Lo mo, musuh besarnya yang agaknya juga menjadi musuh besar tiga orang tokoh Go bi san ini Akan tetapi, apakah hubungannya Lam hai Lo mo dengan pertempuran yang sekarang ini" Ia hendak mengejar dan bertanya kepada tiga orang hwesio itu, akan tetapi mereka sudah jauh dan pula ia merasa malu mengingat betapa tadi ia telah mengalahkan dan membikin malu kepada mereka. Kini ternyata bahwa mereka juga memusuhi Lam hai Lo mo! Ah, ayahnya tentu akan menegurnya dan marah kalau mendengar akan hal ini.
"Kau manusia lancang!"
Teguran dengan suara nyaring dan halus ini membuat Tek Hong teringat kembali akan gadis yang cantik jelita dan berkepandaian tinggi itu. Ia menoleh dan menjadi penasaran.
"Sudah dua kali kau mengatakan aku lancang. Itukah terima kasihmu kepadaku?" katanya gemas.
"Siapa mau berterima kasih" Aku tak pernah mengharapkan pertolonganmu, tak pernah membuka mulut minta tolong kepadamu. Campur tanganmu tadi bahkan menjengkelkan aku dan merugikan namaku sebagai orang gagah. Dan kau mengharap aku berterima kasih?" kata Siang Cu dengan sikap menantang, dada dibusungkan dan kepala dikedikkan.
Selama hidupnya Tek Hong belum pernah bertemu dengan seorang gadis segalak ini. Biasanya gadis gadis selalu bersikap malu malu dan ramah kepadanya, kecuali adiknya sendiri, Siauw Yang tentunya. Adiknya hampir sama dengan gadis ini, galak dan aneh, akan tetapi tetap saja gadis ini lebih galak dan lebih aneh, juga lebih cantik menarik!
"Gadis sombong," katanya gemas, "aku tidak mengemis terima kasih darimu, akan tetapi setidaknya kau harus bersukur karena terlepas daripada maut yang tadi mengancammu" Tek Hong marah dan mendongkol dan dalam pandangan Siang Cu, bulu bulu alis yang berbentuk golok itu seakan akan berdiri.
Gadis itu tersenyum mengejek, menjebikan bibirnya, akan tetapi dalam pandangan pemuda itu wajah dara ini menjadi makin ayu saja!
"Siapa takut mati" Aku sudah berani hidup, sudah berani menderita, mengapa takut mati" Pula, mereka itu tidak bersalah. Akulah yang bersalah dalam pertempuran tadi, maka bantuanmu tadi tidak tepat sama sekali, kau lancang turun tangan membantu orang bersalah. Sungguh bodoh dan gegabah!" Sambil berkata demikian, Siang Cu lalu membalikkan tubuhnya dan pergi berlari dengan cepat sekali.
Tek Hong terpaku dan tidak bergerak sampai beberapa lama. Sikap gadis itu benar benar menakjubkan hatinya. Mana ada orang mengaku bahwa diri sendiri bersalah" Mana ada orang, apalagi seorang dara muda, yang jujur dan berani"
"Eh, nona, tunggu dulu!" teriaknya. Hatinya tertarik sekali dan ingin ia mengenal gadis itu lebih baik lagi. Ingin ia tahu apa sebabnya gadis itu bertempur melawan tiga orang tokoh besar Go bi pai itu. Biarpun gadis itu sendiri sudah mengakui kesalahannya, namun Tek Hong tidak mau percaya.
Seorang gadis demikian aneh dan luar biasa, yang mau mengakui bahwa ia bersalah, tak mungkin seorang berwatak jahat. Sinar matanya demikian jujur, demikian gagah berani, wajahnya demikian cantik menarik".!
"Nona, tunggu dulu, aku ingin bicara denganmu," katanya sambil melompat mengejar.
Akan tetapi Siang Cu tidak memperdulikan nya, bahkan mempercepat larinya.
"Nona, mengakulah. Kau siapakah dan apa hubunganmu dengan Lam hai Lo mo?" tanya Tek Hong sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya dapat mengejar nona yang sudah berlari jauh itu.
Sambil berlari terus. Siang Cu menjawab tanpa menoleh, hanya mengerahkan khikang mempergunakan Ilmu Coan im jib bit (Mengirim Suara Dari Jauh).
"Kita tidak ada hubungan dan tak perlu saling mengenal nama. Selamat tinggal!"
Tek Hong terpaksa menahan kakinya karena sudah terang gadis itu tidak mau mengenalnya. Selain gadis itu dapat berlari cepat sekali sehingga belum tentu a akan dapat menyusulnya, juga amat tidak baik kalau ia terlalu mendesak. Jangan jangan ia akan dianggap seorang pemuda ceriwis tak kenal malu.
Sambil menghela napas berulang ulang saking kecewanya, ia lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke Sian hoa san untuk mencari supek nya, yakni Sin pian Yap Thian Giok kalau kalau mungkin minta pertolongan nenek gurunya, wanita sakti Mo bin Sin kun.
Kalau ia teringat kembali akan keadaan adiknya, Siauw Yang, yang tertawan oleh Tung Hai Sian jin dan Bong Eng Kiat, teringat pula akan rumahnya di Tit le yang sudah menjadi abu dan pelayan pelayan terbunuh oleh Lam hai Lo mo, kemudian tidak tahu pula di mana adanya kedua orang tuanya, ia menjadi amat gelisah. Terutama sekali mengingat akan nasib Siauw Yang. Kegelisahannya membuat ia berlari cepat sekali menuju ke Sian hoa san yang tidak jauh lagi dari situ. Namun, betapapun cepatnya ia berlari dan betapapun gelisah hatinya memikirkan adiknya, bayangan gadis galak yang baru saja meninggalkannya tak pernah meninggalkan ruang hatinya.
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 16 Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Menjenguk Cakrawala 4
^