Pencarian

Pedang Sinar Emas 18

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 18


Pada saat Tek Hong berlari lari menuju ke Bukit Sian hoa san yang sudah nampak menjulang tinggi dan jauh, di puncak Sian hoa san sendiri terjadi hal yang hebat. Lima orang hwesio berkepala gundul, berjubah serba hitam dan bertubuh tinggi besar, dengan sikap yang menyeramkan berlari lari cepat sekali di puncak itu, menuju ke sebuah pondok bambu yang berada di puncak bukit. Pondok ini dahulu menjadi tempat bertapa wanita sakti Mo bin Sin kun, akan tetapi akhir akhir ini dijadikan tempat tinggal muridnya, yakni Sin pian Yap Thian Giok.
Ketika itu, Thian Giok sedang berada di dalam pondoknya. Orang tua gagah ini merasa agak kecewa karena ketika ia mencari muridnya, yakni Liem Pun Hui di tengah hutan di mana ia tinggalkan, pemuda itu tidak kelihatan lagi dan tidak ada tanda tanda ke mana perginya.
"Dasar kutu buku yang tidak suka akan kekerasan," Sin pian Yap Thian Giok menghela napas, lalu ia pulang ke Sian hoa san. Ia merasa berduka sekali karena setelah Pun Hui tidak menjadi muridnya, ia merasa betapa sunyi hidupnya, ia tidak beristeri, berketurunan, tidak mempunyai murid dan Mo bin Sin kun yang dianggap sebagai ibu sendiri telah pergi meninggalkannya, ia mengambil keputusan untuk pergi merantau sekali lagi barangkali saja ada seorang murid yang berjodoh dengannya. Kalau akhirnya tidak juga ia memjumpai murid, ia akan bertapa di Sian hoa san dan tidak akan memcampuri urusan dunia lagi. Di samping merantau mencari murid, juga ia hendak membantu Song Bun Sam dan isterinya mencari anak anak mereka, Tek Hong dan Siauw Yang.
Tiba tiba telinganya yang berpendengaran amat tajam itu mendengar suara tindakan kaki di luar pondok. Ia tahu bahwa ada lima orang berkepandaian tinggi datang dan berada di luar pondok, ia menduga duga siapa gerangan hina orang tamu yang datang, karena puncak Sian hoa san jarang sekali kedatangan tamu. Akan tetapi oleh karena ia mempunyai amat banyak kawan di dunia kang ouw ia tidak dapat menduga siapa lima orang tamu ini.
"Selamat datang di puncak Sian hoa san!" kata Sin pian Yap Thian Giok dan ia melompat keluar dari pintu pondoknya.
Akan tetapi, ia terheran heran karena melihat lima orang hwesio tinggi besar berdiri di depan pondok dan ia sama sekali tidak pernah melihat mereka ini dan tidak tahu dengan siapa ia berhadapan. Akan tetapi Sin pian Yap Thian Giok adalah seorang terpelajar yang menghargai kesopanan. Sebagai seorang tuan rumah yang peramah, ia cepat menjura dengan penuh hormat sambil berkata.
"Selamat datang, ngo wi su bu (lima bapak pendeta) yang terhormat, selamat datang di Sian hoa san. Silahkan masuk di pondokku yang buruk."
Akan tetapi, lima orang Hwesio yang berkulit agak kehitaman dan bertubuh tinggi besar itu tidak menjawab, hanya memandang kepada Thian Giok dengan mata mereka yang lebar. Dua orang di antara mereka sudah berusia tua sekali akan tetapi masih kelihatan kuat. Adapun tiga orang yang lain adalah hwesio hwesio berusia empatpuluh tahunan. Pakaian mereka semua sama, yakni berwarna hitam. Hanya badanya, dua orang hwesio tua itu tidak membawa bungkusan bungkusan besar di punggungnya dan pedang tergantung di belakang punggung.
"Di mana Mo bin Sin kun?" terdengar seorang di antara hwesio tua yang pipinya codet bertanya, tanpa memperdulikan keramahan Thian Giok. Adapun hwesio ke dua yang usianya paling tua, memandang ke dada Thian Giok dengan penuh perhatian. Hwesio tua ini bertubuh gemuk sekali dan kepada hwesio yang tidak bicara inilah sekarang Thian Giok memandang, ia merasa kenal hwesio tua ini, akan tetapi sudah lupa lagi entah di mana.
"Guruku tidak berada di sini, sedang turun gunung dan entah kapan aku dapat bertemu dengan dia lagi. Ada keperluan apakah ngo wi mencarinva" Kalau perlu, boleh diberitahukan kepadaku agar sedatangnya, dapat kusampaikan."
Tiba tiba kakek ke dua yang sejak tadi memandang kepada Thian Giok, kakek yang bertubuh gemuk sekali itu melangkah maju dan bertanya dengan suara keras,
"Bukankah kau yang bernama Thian Giok, murid Mo bin Sin kun?"
Mendengar suara ini, teringatlah Sin pian Yap Thian Gok siapa adanya kakek gemuk ini. Hal ini menimbulkan rasa tidak enak di dalam hatinya karena hwesio tua ini bukan lain adalah Sam thouw hud (Buddha Berkepala Tiga). Seorang tokoh Tibet yang lihai sekali dan yang dulu pernah membantu Lam hai Lo mo dan Pat jiu giam ong memusuhi Mo bin Sin kun, Kim Kong taisu dan dikalahkan oleh Song Bun Sam. Melihat akan hal ini, dengan hati tidak enak ia dapat menduga bahwa musuh besar gurunya ini tentu datang membawa maksud yang tidak baik.
"Benar dugaanmu, losuhu. Dan sekerang aku pun teringat bahwa losuhu tentulah Sam Thouw hud dari Tibet, bukan?"
Akan tetapi agaknya Sam thouw hud tidak memperhatikan ucapan Thian Giok ini. Hal ini tidak aneh kalau orang mengetahui bahwa Sam thouw hud telah menjadi tuli saking tuanya, ia tidak dapat mendengar sama sekali, maka biarpun ia yang tertua, ia tidak menimpin pembicaraan dan tugas ini ia serahkan kepada kakek ke dua yang sebetulnya masih sutenya (adik seperguruannya) sendiri yang berjuluk Ang tung hud (Buddha Bertongkat Merah). Tiga orang hwesio lainnya adalah murid muridnya yang sudah memiliki kepandaian tinggi pula.
Tiba tiba Sam thouw hud berkata kepada kawan kawannya, atau juga kepada Thian Giok karena biarpun ia memandang kepada kawan kawannya, akan tetapi ia berkata dalam Bahasa Tionghoa,
"Murid jahat guru bertanggung jawab, guru jahat murid ikut menanggung dosanya. Gurunya tidak ada, muridnya lebih dulu menerima hukuman."
Mendengar ucapan ini, tiga orang hwesio yang lebih muda segera mencabut pedang yang berada di punggung, lalu serentak maju mengeroyok Thian Gok dengan gerakan pedang mereka yang cepat dan kuat.
"Sudah kuduga bahwa kalian dalang membawa maksud buruk!" seru Thian Giok yang cepat meloloskan senjatanya Pek giok joan pian (cambuk dari batu kemala putih) yang selalu dilibatkan di pinggangnya. Senjatanya inilah yang membuat Thian Giok dijuluki Sin pian (Pian Sakti) karena dengan senjata ini ia telah merobohkan banyak sekali penjahat di dunia kang ouw. Kini, menghadapi keroyokan tiga orang murid Sam thouw hud, ia memutar pian nya dengan hebat karena maklum bahwa lawan lawannya bukanlah orang lemah.
Thian Giok sekarang bukanlah Thian Giok ketka masih muda. Ia telah mendapat tambahan ilmu silat dari Mo bin Sin kun dan ditambah oleh pengalamannya yang luas, ilmu silatnya amat lihai, jasa tenaganya amat besar. Setelah pertempuran berjalan duapuluh jurus lebih, ternyatalah bahwa kepandaian tiga orang murid Sam thouw hud itu, biarpun cukup lihai, namun tidak berdaya menghadapi pek giok joan pian di tangan Thian Giok yang menyambar nyambar laksana seekor naga putih yang sakti.
Melihat ini, Ang tung hud menjadi tidak sabar. Tadinya memang suhengnya dan dia ingin mengukur sampai di mana tingginya murid Mo bin Sin Kun, karena ia dan suhengnya merasa terlalu rendah untuk menghadapi "orang biasa" saja. Akan tetapi, melihat gerakan Pek giok joan pian itu, ia maklum bahwa kalau dilanjutkan, tiga orang murid keponakannya takkan menang dan kalau sampat mereka roboh, hal itu berarti akan membuat mereka kehilangan muka.
Tadi Thian Giok hanya mempergunakan pian nya untuk mempertahankan diri dan betapapun juga, ia tidak ingin menjatuhkan tangan maut kepada lawannya. Kini, melihat gerakan hwesio tua yang memegang tongkat merah ini, tahulah ia bahwa kalau tidak ingin roboh, ia harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, yang berarti bahwa iapun harus mengeluarkan serangan serangan maut yang mungkin merenggut nyawa lawannya yang sudah tua ini. Ia merasa tidak tega untuk melakukan hal ini, karena sesungguhnya yang menjadi musuh besar gurunya hanyalah Sam thouw hud saja. Oleh karena itu ia membentak,
"Tahan dulu! Siapakah losuhu ini dan ada hubungan apakah dengan Sam thouw hud?"
"Pinceng adalah Ang tung hud, sute dari Sam thouw hud. Kami sengaja datang untuk membalaskan malu yang diderita oleh suheng paluhan tahun yang lalu. Karena gurumu merupakan salah seorang di antara musuh musuhnya, maka kau sekarang harus membayar untuk gurumu itu. Nah, bersiaplah untuk binasa!"
"Kalian ini benar benar tidak tahu diri! Sam thouw hud dahulu berurusan dengan guruku dan kawan kawannya hanya karena ia terbawa bawa oleh kejahatan Lam hai Lo mo dan Pat jiu Giam ong, dan dia kena dikalahkan. Mengapa sekarang kalian datang dari tempat jauh hanya untuk mencari permusuhan dan melakuan pengacauan" Apakah kau benar benar mengambil keputusan untuk membunuh aku?"
"Tak usah banyak cerewet. Kau murid Mo bin Sin kun harus mati lebih dulu!"
"Bagus! Kaukira aku takut kepadamu" Majulah!" Thian Giok marah sekali dan sebagal murid terkasih dari Mo bin Sin kun, tentu saja ia tidak takut menghadapi musuh musuh ini.
Ang tung hud menggerakkan tongkatnya dan benar saja. Gerakannya hebat sekali dan mendatangkan angin dingin yang menyambar sebelum tongkat itu datang. Thian Giok tidak gentar dan cepat mengelak sambil membalas serangan itu dengan sambaran piannya.
Ang tung hud menangkis dan cepat menyusul dengan pukulan tongkatnya ke arah kepala Thian Giok. Namun jago dari Sian hoa san ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kirinya menyampok ke arah tongkat itu. Sebelum tangannya mengenai tongkat, angin pukulannya telah membuat tongkat itu terpental ke belakang!
"Hebat!" seru Ang tung hud kaget sekali dan ia cepat melompat ke belakang dan melakukan serangan lagi, kini amat hati hati karena maklum bahwa lawannya yang jauh lebih muda ini memiliki ilmu pukulan yang dahsyat sekali.
"Hati hati, sute. Pukulannya itu adalah Soan hong pek lek jiu, harus kaulawan dengan Hek mo kang!" kata Sam thouw hud yang mengenal pukulan tangan kiri itu sebagai salah satu ilmu pukulan yang lihai dari Mo bin Sin kun.
Ang tung hud memiliki kepandaian yang hanya sedikit di bawah tingkat kepandaian Sam thouw hud, maka iapun lihai sekali. Kini, setiap kali Thian Giok melancarkan pukulan tangan kirinya, yakni pukulan Soan hong pek lek jiu, lawannya bergerak merendahkan tubuh dan mencerahkan pukulan tangan kiri atau kanan dari bawah yang mendatangkan angin pukulan panas dan hebat pula. Tubuh Thian Giok sering kali terpental ke belakang apabila dua macam ilmu pukulan ini bertemu, tanda bahwa pukulannya masih kalah ampuh dan lweekangnya kalah kuat!
Setelah bertempur selama tigapuluh jurus, tahulah Thian Giok bahwa keadaannya berbahaya sekali. Hwesio tinggi besar dan kurus ini memiliki ilmu tongkat yang hebat, ilmu pukulan yang dahsyat dan pengalaman bertempur yang luas. Untuk menghadapi lawan ini saja sukar sekali baginya untuk mencapai kemenangan, apalagi kalau Sam thauw hud sendiri yang turun tangan, belum diperhitungkan bantuan tiga orang hwesio tadi yang kepandaiannya juga sudah amat tinggi. Benar benar ia menghadapi lawan lawan tangguh dan bahaya besar karena mereka ini bertekad untuk membunuhnya! Akan tetapi, Thian Giok bukanlah seorang pengecut yang merasa gentar menghadapi bahaya maut. Ia bahkan lebih bersemangat lagi dan Pek giok joan pian di tangannya bergerak cepat, lenyap berobah menjadi segulung sinar putih yang berkelebatan membungkus tubuhnya sehingga setiap desakan tongkat merah itu dapat ditolak ke belakang. Namun amukannya ini bukan berarti bahwa ia telah dapat mengatasi kepandaian Ang tung hud, karena ia selalu masih berada di fihak yang terdesak oleh tongkat merah yang benar benar lihai itu.
Tiba tiba terdengar bentakan nyaring dan bayangan tubuh yang gesit berkelebat memasuki gelanggang pertempuran.
"Siluman busuk dari mana berani mengganggu Sian hoa san?"
Ang tung hud melihat sinar putih berkelebat dan tangannya yang memegang tongkat menjadi tergetar ketika sebatang pedang menangkis tongkat itu dengan gerakan digetarkan dan dengan luncuran yang amat aneh. Ia melompat mundur dan melihat bahwa yang membantu Sin pian Yap Thian Gok adalah seorang pemuda tampan yang gagah sekali kelihatannya, walaupun pakaiannya menunjukan bahwa pemuda ini adalah seorang ahli surat.
"Tek Hong, kebetulan sekali kedatanganmu?" Seru Yap Thian Giok girang. "Mari bantu aku mengusir lima siluman jahat ini. Yang tua dan gemuk itu adalah Sam thouw hud, tentu kau pernah mendengar namanya."
Tek Hong terkejut dan memandang ke arah kakek hwesio yang seorang lagi, yang memegang tongkat kepala naga di tangan kanan dan sebuah kebutan hitam di tangan kiri. Ia teringat akan cerita ayahnya bahwa di antara anggauta anggauta Hiat jiu pai (Perkumpulan Tangan Berdarah) yang dibentuk di kota raja dibawah pimpinan Pat jiu Giam ong dan Lam hai Lo mo belasan tahun yang lalu, terdapat seorang tokoh Tibet yang berjuluk Sam thouw hud dan yang memiliki kepandaian lihai sekali. Jadi orang inikah yang sekarang datang mengganggu Sian hoa san"
"Mereka ini mau apa, supek?" tanyanya.
Sebelumnya Thian Giok menjawab, tiga orang hwesio murid Sam thouw hud sudah bergerak maju. Mereka ini memang merasa gentar menghadapi Yap Thian Giok yang berkepandaian tinggi maka mereka tadi diam saja, menyerahkan tugas menghadapi pendekar Sian hoa san itu kepada susioknya yang jauh lebih lihai daripada mereka. Akan tetapi ketika mereka melihat kedatangan Tek Hong dan mendengar dari percakapan antara Tek Hong dan Thian Giok bahwa pemuda ini hanya murid keponakan dari Yap Thian Giok, mereka memandang rendah dan serentak maju mengeroyok Tek Hong!
Tingkat kepandaian Tek Hong, biarpun ia jauh lebih muda, kalau dibandingkan sudah banyak melebihi tingkat kepandaian Thian Giok! Hal ini adalah karena kalau Yap Thian Giok hanya menghisap sari pelajaian ilmu silat tinggi dari seorang guru saja yakni Mo bin Sin kun, adalah Tek Hong mempelajari ilmu silat tinggi dari ayahnya dan karenanya ia menghisap sari pelajaran ilmu silat yang diturunkan kepada ayahnya oleh Mo bin Sin kun, Kim Kong Taisu, dan Bu tek Kiam ong! Oleh karena ini pula maka Tek Hong sudah mempelajari bersama Siauw Yang, dengan amat baik ilmu ilmu silat seperti Thai lek Kim kong jiu dari Kim Kong Taisu, Soan hong pek lek jiu dan Mo bin Sin kun, Kim kong Kiam hwat dari Kim Kong Taisu pula, dan akhirnya ilmu pedang yang merajai pada waktu itu, yakni Tee coan liok kiam sut dari Bu Tek Kiam ong Si Raja Pedang. Semua kepandaian ini ia terima dari ayahnya, bersama sama Siauw Yang adiknya yang lincah. Dalam hal ilmu pedang, adiknya yang lebih lincah dan gesit lebih unggul daripadanya, akan tetapi dalam hal ilmu pukulan, Tek Hong menang jauh apalagi tenaga lweekang pemuda ini memang sudah tinggi sekali, berkat dari bakatnya sendiri dan dari gemblengan ayahnya yang tak kenal lelah.
Kini menghadapi serangan tiga orang hwesio gundul yang memegang pedang itu, Tek Hong berlaku amat tenang. Serangan hwesio pertama ditangkis dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaganya. Terdengar suara keras dan pedang di tangan hwesio itu patah, sedangkan si hwesio sendiri menjerit kesaktian, karena ketika menangkis, pedang di tangan Tek Hong meluncur terus melalui gagang pedang tawan melukai jari tangan yang memegang pedang. Hwesio itu melepas gagang pedangnya dan mengaduh aduh sambil memegangi tangannya yang berdarah.
Serangan hwesio ke dua merupakan tusukan pedang dengan gerak tipu yang hampir sama dengan gerakan pedang Sian jin tit louw (Dewa Menunjukkan Jalan). Tek Hong yang sudah dapat mengukur sampai di mana tingkat kepandaian lawan, tidak menangkis lagi ataupun mengelak, melainkan ia menggerakkan tangan kirinya memukul ke depan dan aneh sekali. Sebelum ujung pedang mengenai dada Tek Hong, lebih dulu hwesio itu memekik dan tubuhnya terpental ke belakang seperti terdorong oleh tenaga raksasa, ia mencoba untuk mempertahankan dirinya, akan tetapi tetap saja terguling roboh sambil memegangi dadanya yang terasa sakit dan sukar bernapas. Itulah Ilmu Pukulan Soan hong pek lek jiu yang dilakukan dengan baik sekali.
"Bagus !" Thian Giok memuji kagum.
Melihat betapa ilmu pukulan dari suhunya dilakukan demikian baik oleh Tek Hong, ia makin kagum kepada Song Bun Sam Si Raja Pedang. Bun Sam hanya menerima latihan sebentar saja oleh Mo bin Sin kun akan tetapi sekarang dapat menurunkan ilmu pukulan itu kepada puteranya yang dapat melakukan dengan baiknya, seolah olah pemuda ini mendapat bimbingan langsung dari Mo bin Sin kun sendiri! Thian Giok tentu saja sebagai murid Mo bin Sin kun dapat melakukan ilmu pukulan itu lebih baik dari Tek Hong, akan tetapi ia tidak sembarang mengeluarkan ilmu pukulan ini kalau tidak menghadapi lawan tangguh. Dan tadi, ketika ia mempergunakan Soan hong pek lek jiu terhadap Ang tung hud ia mendapat lawan Ilmu Pukulan Hek mo kang yang luar biasa dari hwesio tua itu.
Hwesio ke tiga murid Sam thouw hud juga sudah tiba dengan serangan pedangnya. Kini Tek Hong berlaku amat tenang, bahkan pemuda ini menyarungkan pedangnya dengan sikap seakan akan tidak melihat datangnya serangan pedang hwesio itu yang membabat lehernya dengan gerak tipu yang hampir sama dengan Han ya pok cui (Burung Goak Menyambar Air). Akan tetapi, setelah pedang itu sudah hampir menempel kulit lehernya, Tek Hong menundukkan kepalanya dan cepat sekali tangan kirinya meluncur ke atas memegang pergelangan tangan hwesio itu. Gerakan ini disusul oleh tangan kanannya yang menyerbu ke arah perut dan dalam lain saat tubuh hwesio itu terangkat tinggi tinggi oleh Tek Hong dan sekali di lemparkan, tubuh hwesio itu melayang dan jatuh berdebuk di dekat kawan kawannya bagaikan sebatang pohon tumbang. Kali ini Tek Hong mempergunakan ilmu silat tangan kosong warisan Kim Kong Taisu.
Melihat ini Sam thouw hud dan Ang tung hud marah sekali. Lebih lebih Sam thouw hud yang melihat betapa tiga orang muridnya telah dikalahkan dalam sejurus saja dengan cara yang demikian memalukan, ia mengeluarkan seruan seperti seekor binatang buas, dan tubuhnya bergerak dengan cepat sekali. Amat mengherankan kalau dilihat betapa tubuh yang gemuk sekali itu ditambah pula usia yang sudah amat tua sehingga kalau berdiri kelihatan sebagai orang tua yang sudah amat lemah dan hanya dapat bergerak lambat sekali, akan tetapi begitu ia bergerak menyerang Tek Hong, serbuannya tidak kalah cepat dan kuatnya daripada serbuan seekor harimau jantan yang sedang marah. Tongkat Kim liong pang di tangan kanannya bergerak terputar putar di atas kepala, lalu meluncur ke arah kepala Tek Hong bagaikan seekor naga menyambar. Adapun kebutan di tangan kirinya meluncur pula, menotok ke arah ulu hati pemuda itu. Dua serangan yang dilakukan berbareng ini merupakan sepasang tangan maut yang menjangkau nyawa!
Menghadapi serangan ini, Tek Hong Cepat mencabut pedangnya dan memutar pedang itu sedemikian rupa di atas kepalanya untuk menangkis sambaran tongkat. Adapun totokan ujung kebutan yang mengarah dadanya itu, ia elakkan dengan miringkan tubuh ke kiri sambil menyampok dengan tangan kirinya, mempergunakan tenaga dari pukulan That lek kim kong jiu. Pedang dan tongkat beradu, membuat Tek Hong merasa telapak tangannya tergetar, sedangkan tangan kirinya yang menyampok ujung kebutan juga terasa pedas dan panas! Tahulah pemuda ini bahwa ia menghadapi lawan yang amat tangguh dan ia dapat menduga pula bahwa Sam thouw hud tentu telah memperdalam ilmu silatnya semenjak dahulu dikalahkan oleh ayahnya sebagaimana ia mendengar dari penuturan ayahnya, ia berlaku hati hati sekali dan cepat ia mainkan Ilmu Pedang Tee coan liok kiam sut, sedangkan tangan kirinya digerakkan menurut Ilmu Pukulan Thai tek kim kong jiu.
Memang betul bahwa Sam thouw hud telah memperdalam ilmu silatnya dan jika dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu, ia kini jauh lebih tangguh ia bersilat sambil mengerahkan tenaga Hek mo kang yang hebat, dengan amat bernafsu ia mendesak Tek Hong dan mengirim serangan serangan maut.
Di lain fihak, Ang tung hud juga cepat menyerbu dan menyerang lagi Yap Thian Giok yang terpaksa menghadapinya dengan mati matian. Pertempuran terbagi menjadi dua dan berjalan dengan serunya sehingga empat orang yang bertempur itu lenyap dari pandangan mata tertutup oleh gulungan sinar senjata yang di gerakkan cepat sekali.
Biarpun Tek Hong mengaku bahwa ia masih kalah tingkatnya oleh lawannya, namun kehebatan Ilmu Pedang Tee coan liok kiam sut masih dapat memungkinkan ia melakukan perlawanan hebat dan tidak begitu terdesak seperti halnya Yap Thian Giok. Sin pian Yap Thian Giok jago dari Sian hoa san ini benar benar terdesak hebat oleh Ang tung hud dan dalam pertempuran mati matian, ia hanya dapat mempertahankan diri saja. Beberapa kali ia bebas dari bahaya maut ketika tongkat merah menyambar, dan hanya mendapat pukulan dua kali di bagian tubuh yang tidak berbahaya sehingga ia masih dapat melakukan perlawanan. Namun harus diakui bahwa keadaannya amat berbahaya dan agaknya tak lama lagi ia terpaksa harus menyerah kalah.
Tek Hong yang bertempur melawan Sam thouw hud, tahu akan keadaan supeknya ini, maka ia menjadi amat gelisah. Pemuda yang cerdik ini diam diam mengatur langkahnya sehingga ia berada dekat dengan supeknya dan dapat bersikap membela supeknya kalau nyawa supeknya terancam oleh lawannya.
Baiknya ia melakukan hal ini karena benar saja, pada suatu saat ia mendengar supeknya berteriak dan satu benturan hebat antara tongkat merah dan Pek giok juan pian membuat pian dari supeknya itu putus! Selagi Thian Giok terhuyung huyung ke belakang, Ang tung hud tertawa sambil menubruk dan melakukan serangan hebat dengan serudukan kepalanya ke arah perut Yap Thian Giok!
Sin pian Yap Thian Giok tak kuasa mengelak dari serangan dahsyat ini dan tiba tiba Tek Hong yang melihat datangnya bahaya ini, melompat dan menghadapi Ang tung hud!
Serangan kepala Ang tung hud sudah dekat dan Thian Giok yang melihat murid keponakannya mewakili dirinya menerima serangan itu berseru,
"Awas, Tek Hong!"
Akan tetapi pemuda itu telah memalang kedua tangan di depan dada dan pedangnya menusuk ke depan. Akan tetapi, kedua tangan Ang tung hud menggerakkan tongkat menangkis pedang sedangkan kepalanya terus menyeruduk ke arah perut Tek Hong. Pemuda ini hanya menggunakan tangan kiri saja yang menjaga perutnya dan ketika kepala itu tiba, ia merasa betapa tangannya sakit sekali dan tubuhnya terlempar ke belakang seakan akan terdorong oleh tenaga yang luar biasa besarnya.
Tek Hong terlempar lebih dua tombak dan jatuh di atas tanah dalam keadaan duduk. Pergelangan tangan kirinya patah dan dadanya terasa panas. Ia maklum bahwa ia telah menderita luka di dalam tubuh maka ia cepat mengatur pernapasannya. Adapun Ang tung hud juga merasa betapa kepalanya kesemutan, maka ia terkejut sekali, ia mencoba untuk mengatur jalan darah di kepalanya, namun ternyata bahwa tangan kiri Tek Hong yang mengandung tenaga Thai lek kim kong jiu tadi telah mendatangkan luka di kepalanya. Setelah terhuyung huyung, Ang tung hud menjerit dan roboh pingsan.
Bukan main marahnya Sam thouw hud melihat ini. Sambil memekik keras tongkatnya menyambar hendak memukul Tek Hong yang masih bersila di atas tanah sambil meramkan matanya
"Jangan bunuh dia secara curang!" Yap Thian Giok melompat dan menggunakan dua tangan yang diisi dengan tenaga Soan hong pek lek jiu itu ia menangkis sambaran tongkat Kim hong pang. Akan tetapi, ia kalah tenaga dan tangkisannya membuat ia terpental ke belakang dan di lengan kanannya nampak tanda membiru karena benturan dengan tongkat. Baiknya tulangnya tidak patah, dan tangkisan itu pun membuat Sam thouw hud terhuyung ke belakang. Kini Sam thouw hud menyerang lagi, melompat dan tongkatnya menyambar kepala Tek Hong. Thian Giok yang terlempar dan tidak berdaya menolong, hanya meramkan matanya agar jangan melihat kengerian itu. Agaknya kepala pemuda itu akan pecah terpukul tongkat yang demikian beratnya.
"Siancai, siluman tua bangka sungguh kejam," terdengar suara halus dan sehelai sinar merah menyambar ke arah tongkat yang memukul kepala Tek Hong. Sam thouw hud terkejut sekali ketika merasa tongkatnya direnggut oleh tenaga yang kuat sekali, ia mengerahkan tenaga membetot, namun tongkatnya tidak terlepas dan libatan benda merah itu. Tiba tiba benda merah itu melepaskan libatannya dan meluncur menyerang pundak Sam thouw hud. Dilepaskan tiba tiba saja, Sam thouw hud sudah terhuyung ke belakang, ditambah lagi oleh serangan hebat ini, membuat dia tidak tertahan lagi terjengkang ke belakang. Baiknya ia gesit dan cepat berpoksai (membuat salto) sehingga terhindar dan jatuh ia mengenal selendang merah itu dan wajahnya berobah pucat.
Benar dugaannya, ketika ia memandang, ia melihat Mo bin Sin kun berdiri di situ dengan selendang merah di tangan kanan. Wanita ini tidak berobah, masih nampak gagah dan cantik biarpun usianya tua sekali, tidak kurang dari tujuhpuluh tahun.
"Sam thouw hud, kau datang mau apakah?" bentak Mo bin Sin kun dengan suara keren.
Sam thouw hud kehilangan semangat dan keberaniannya. Dahulu ia telah merasai kelihaian wanita sakti ini, dan tadi serangan selendang merah itu membuktikan bahwa kepandaian dan tenaga Mo bin Sin kun ternyata tidak berkurang, bahkan makin hebat.
Sekarang, empat orang kawannya telah terluka semua dan kalau dia sendiri harus menghadapi Mo bin Sin kun tanpa kawan, ia merasa amat jerih. Lagi pula di sana masih ada Thian Giok yang kepandaiannya tidak rendah, dan pemuda itu pula yang agaknya kini sudah dapat mengatasi lukanya.
"Sam thouw hud, mengapa kau diam saja?" kembali Mo bin Sin kun bertanya, akan tetapi oleh karena Sam thouw hud memang sudah tuli, mana ia bisa mendengar pertanyaan ini.
"Suthai, agaknya siluman tua ini memang tidak dapat mendengar lagi. Dia datang untuk mencari suthai dan hendak membalas dendam. Ia telah membawa empat orang kawannya yang kesemuanya telah dikalahkan oleh Tek Hong, akan tetapi sebaliknya Tek Hong juga menderita luka," kata Thian Giok kepada gurunya.
Sementara itu, Sdm thouw hud lalu menghampiri sutenya mengangkat tubuh yang pingsan itu dan dipanggulnya, kemudian ia berkata kepada Mo bin Sin kun, "Kawan kawanku telah terluka. Biarlah kali ini aku mengalah, akan tetapi lain kali aku pasti akan datang lagi!" Setelah berkata demikian, ia lalu mengajak tiga orang muridnya untuk pergi dari situ. Sambil terpincang pincang dan meringis kesakitan, tiga orang hwesio murid Sam thouw hud itu mengikuti suhu mereka.
Mo bin Sin kun sekarang jauh berbeda dengan Mo bin Sin kun belasan tahun yang lalu. Dahulu ia terkenal memiliki watak keras sekali akan tetapi kini ia menjadi jauh lebih sabar setelah bertapa dan mengasingkan diri dan dunia ramai beberapa tahun lamanya. Ia tidak mau mengejar Sam thouw hud melainkan menghampiri Tek Hong. Sudah lama ia tidak bertemu dengan pemuda ini, semenjak pemuda ini masih kecil, ia kagum melihat pemuda ini yang parasnya, mirip dengan ibunya, akan tetapi pada saat itu, Tek Hong nampak pucat sekali.
Sebaliknya, Tek Hong sudah dapat mengatasi lukanya dan kini dadanya tidak begitu sakit lagi rasanya. Melihat Mo bin Sin kun, ia cepat berlutut memberi hormat kepada nenek gurunya itu.
Mo bin Sin kun mengangkat bangun Tek Hong dan ketika ia menyentuh kedua pundak pemuda itu, ia berkata,
"Kau menderita luka di dalam dada. Baiknya tubuhmu telah kuat berkat latihan yang baik sehingga tidak membahayakan nyawa." Nenek tua yang sakti ini lalu menotok dua kali ke arah punggung Tek Hong, kemudian mengeluarkan bungkusan obat dan memberi tiga butir pel merah kepadanya.
"Telanlah tiga butir ini dan kau akan sembuh kembali dalam beberapa hari saja," katanya. Sambil menghaturkan terima kasih, Tek Hong menelan pel itu lalu ia mengikuti Mo bin Sin kun dan Yap Thian Giok yang mengajaknya masuk ke dalam pondok untuk bercakap cakap.
Setelah Yap Thian Giok menuturkan tentang kedatangan Sam thouw hud, Ang tung hud dan tiga orang muridnya kepada Mo bin Sin kun, Tek Hong dengan muka sedih lalu menuturkan pula segala pengalamannya, ia menceritakan betapa adiknya tertawan oleh Tung hai Sian jin, menuturkan pula tentang Liem Pun Hui yang masih berada di pulau itu menanti dengan setia sampai Siauw Yang tertolong. Juga ia menuturkan perihal Lam hai Lo mo yang hidup kembali dan bagaimana kakek sakti yang jahat dan kini buntung kakinya itu membakar rumah orang tuanya di Tit le.
"Hm, tidak tahunya Pun Hui telah pergi bersama Siauw Yang. Bagus, anak itu memang baik dan boleh dipercaya," kata Yap Thian Giok mendengar tentang muridnya.
Adapun Mo bin Sin kun mengerutkan keningnya dan berkali kali menghela napas panjang.
"Gagallah maksudku mencuci tangan dari urusan dunia satelah sekarang mengetahui bahwa si jahat Lam hai Lo mo masih hidup. Setelah dia turun gunung, dan Tung hai Sian jin serta orang orang jahat seperti Sam thouw hud juga datang mengacau, mana bisa aku enak enak di atas gunung" Terpaksa akupun harus turun tangan. Thian Giok, besok kau ikut aku pergi ke Sam liong to!" Tentu saja Thian Giok setuju dan menyatakan kesediaannya.
Tek Hong girang sekali. Setelah supeknya dan nenek gurunya mau turun tangan, harapannya timbul kembali untuk dapat menolong adiknya, "Terima kasih atas pertolongan supek dan sucouw, akan tetapi teecu akan pulang dulu ke Tit le. Di sana tidak ada apa apa dan kalau sewaktu waktu ayah bunda teecu pulang, mereka tentu akan bingung sekali. Teecu hendak meninggalkan surat di sana baru teecu akan menyusul ke Sam liong to." Setelah berkata demikian, Tek Hong lalu memberi penjelasan kepada Thian Giok dan Mo bin Sin kun tentang letak Pulau Sam liong to itu.
Kemudian ia berpamit untuk kembali ke Tit le, setelah mendapat nasehat nasehat dari dua orang tua itu dan menerima lagi tiga butir pel merah dari Mo bin Sin kun.
"Sebaiknya, dalam dua pekan ini, hindarkan segala pertempuran karena luka di dalam dadamu belum pulih kembali," kata Mo bin Sin kun dan Tek Hong menyanggupi untuk mentaati pesan ini. Maka berangkatlah pemuda ini turun dari Sian hoa san dengan dada lapang, karena kini ia mendapat bantuan orang orang sakti yang membikin fihaknya kuat.
"Siauw Yang"! Siauw Yang".!"
Panggilan ini di teriakkan berkali kali dan suara panggilan itu bergema di permukaan air laut. Suara ini keluar dari sebuah perahu kecil yang terapung apung di atas air laut, dan di dalam perahu kelihatan seorang pemuda berpakaian sasterawan memegang dayung dan mendayung perahu itu hilir mudik mengelilingi sekumpulan pulau yang berada di situ.
Pemuda ini nampak kurus sekali dan wajahnya pucat ia kelihatan sedih dan suaranya yang tak pernah mendapat jawaban itu membuat suasana di sekelilingnya menjadi makin sunyi.
Telah sepekan lebih pemuda itu yakni bukan lain Liem Pun Hui, setiap hari dari pagi sampai petang, menaiki perahu itu dan mendayungkannya perahunya ke semua pulau yang berada di situ untuk mencari Sauw Yang, gadis perkasa yang sudah menawan hatinya.
Kasihan sekali keadaan pemuda ini. Ia lupa makan, lupa tidur dan sama sekali tidak memelihara kesehatannya lagi sehingga ia menjadi kurus kering dan pucat, ia amat gelisah, bahkan gelisah kalau kalau tidak akan bertemu dengan dara yang dicintainya itu, melainkan gelisah memikirkan keadaan Siauw Yang ia tahu akan kejahatan manusia seperti Bong Eng Kiat dan ayahnya, dan tahu betul bahaya besar apa yang mengancam diri gadis itu.
Sepekan lebih ia tidak pernah makan hanya minum saja dan jarang sekali ia tidur, maka tubuhnya terpaksa lemas dan lemah. Pada saat itu ia memanggil manggil sampai suaranya menjadi parau dan perahunya mendekati sebuah pulau yang sudah ada tiga kali ia darati, tiba tiba ia melihat seorang wanita di pantai pulau itu melambaikan saputangan kepadanya. Pun Hui menggosok gosok matanya, khawatir kalau kalau pikirannya sudah terganggu atau matanya sudah tidak sempurna lagi. Sudah tiga kali ia mendarat di pulau ini. Seperti juga di pulau pulau yang lain, akan tetapi selalu tidak bertemu dengan seorangpun manusia. Sekarang ada wanita itu, dan manakah datangnya" Apakah dia Siauw Yang.... " Berpikir demikian, hatinya berdebar keras dan ia mendayung perahunya ke pantai itu.
"Siauw Yang".!" Suara yang diteriakkan ini tidak keluar, tersumbat di kerongkongannya karena ia merasa amat terharu, juga khawatir kalau kalau yang ia hadapi itu hanya lamunan atau impian belaka. Kini perahunya telah menempel di darat dan wanita itu telah berdiri tak jauh dari perahunya. Tak salah lagi, itulah Siauw Yang, gadis yang selama ini dicari carinya, ditunggu tunggunya, yang kini berdiri dengan mata bersinar sinar dan bibir tersenyum.
"Siauw Yang".!" Pun Hui melompat keluar dari perahunya ke atas pantai berpasir, terhuyung huyung menghampiri gadis itu dan setelah mendapat kenyataan bahwa ia benar benar tidak mimpi dan gadis itu benar benar Siauw Yang, ia hanya dapat mengeluh penuh kebahagiaan. "Siauw Yaaang ".." lalu roboh di depan kaki gadis itu, tak sadarkan diri!
Ketika ia siuman kembali, ia melihat Siauw Yang sedang memijit mijit leher, pundak, dan punggungnya sambil memanggil manggil namanya.
"Liem suheng, kau kenapakah ?"
Liem Pun Hui bergerak dan bangku, lalu duduk di atas pasir, di dekat Siauw Yang yang sedang berlutut
"Aku tidak apa apa, aku amat girang melihat kau masih selamat dan hidup, sumoi," jawabnya sambil mencoba untuk bersembunyi dan melupakan keletihan dan kelaparan yang membuatnya lemas sekali.
"Akan tetapi kau pucat sekali, dan kurus! Padahal baru sepekan kita berpisah. Kau kenapakah, suheng" Sakitkah kau?" Siauw Yang mendesak sambil memandang tajam ke arah wajah pemuda itu.
"Tidak, tidak sakit. O, ya, tahukah kau aumoi bahwa belum lama ini aku telah bertemu dengan kakakmu Song Tek Hong di pulau kecil itu! Tapi sekarang ia telah pergi lagi untuk mencari bantuan."
Pun Hui sengaja mengubah arah percakapan agar tak usah menjawab pertanyaan gadis itu tentang keadaannya.
"Betulkah?" Siauw Yang benar saja amat tertarik hatinya mendengar itu. Pun Hui lalu menceritakan pengalamannya dengan Song Tek Hong yang di dengarkan oleh Siauw Yang penuh perhatian.
"Jadi setelah putus asa mencariku, ia lalu kembali untuk memberi laporan tentang keadaanku yang tertawan kepada ayah bundaku" Akan tetapi mengapa kau mendiri masih ada di sini, Liem suheng" Mengapa kau tidak ikut dengan twako untuk kembali ke daratan?"
"Aku" aku tinggal di pulau itu untuk.... menanti kalau kalau kau akan datang ."
Mendengar jawaban yang gagap ini, Siauw Yang memandang tajam. Gadis ini otaknya cerdik luar biasa maka melihat keadaan pemuda itu, mendengar suara panggilan tadi, dan kini mendengar penuturannya, ia dapat menduga. Tak terasa pula wajahnya menjadi merah dan matanya berlinang air mata.
"Liem suheng, kau tinggal di pulau dan kau setiap hari berperahu mencari cariku selami ini?"
"Habis". tidak ada sesuatu yang dapat ku kerjakan".."
"Dan kau selalu memanggil manggilku, menjelajah sekumpulan pulau pulau ini tanpa kenal lelah."
"Itu kewajibanku, sumoi...."
"Dan dalam melakukan hal ini, kau sampai tidak pernah makan, mungkin tak pernah tidur! Kau menyiksa dirimu sendiri hanya untuk mencari aku, suheng...."
"Habis bagaimana aku bisa makan dan tidur, bagaimana aku bisa hidup kalau kalau"." Sampai di sini Pun Hui tertegun dan tak dapat melanjutkan kata katanya. Tadinya ia hanya akan menyangkal seberapa dapat agar kelihatannya ia jangan terlalu memikirkan gadis ini, akan tetapi dalam kata katanya, ia telah terpeleset sehingga bukan menyembunyikan, bahkan ia membuka perasaan hatinya secara terang terangan!
"Liem suheng". kau baik sekali...." kata Siauw Yang dengan terharu dan juga jengah, ia memang sudah menduga bahwa pemuda sasterawan ini "ada hati" terhadapnya, akan tetapi tak disangkanya sampai demikian mendalam!
Adapun Pun Hui setelah tanpa di sengaja telah membuka sendiri rahasia hatinya, buru buru menyimpangkan pembicaraan itu dengan pertanyaan,
"Dan kau bagaimana bisa tiba tiba muncul di pulau ini, sumoi" Terus terang saja, sudah tiga kali aku mendarat di sini, akan tetapi tidak pernah aku melihatmu atau orang lain di pulau ini."
Siauw Yang tersenyum, "Baru saja aku tiba di sini dan sebelum aku bercerita, kaumakanlah dulu, suheng. Aku tadi telah makan buah buah yang enak sekali yang terdapat di pulau ini. Kau makanlah." Siauw Yang mengeluarkan beberapa buah yang berwarna kekuningan dan memberikan itu kepada Pun Hui. Melihat buah ini dan mencium baunya yang harum, perut Pun Hui yang kosong itu mulai berkeruyuk dan mulutnya membasah. Ia cepat menerima dan makan buah itu, enak harum rasanya.
"Terima kasih buah ini enak sekali, sumoi." Sambil memandang pemuda itu makan buah Siauw Yang tersenyum lagi. Lucu rasanya dan senang hatinya melihat pemuda itu makan dengan lahapnya.
"Bukan rasa buah itu yang luar biasa, melainkan seleramu dan rasa lapar yang membikin segala apa menjadi enak dimakan," katanya.
Satelah Pun Hui selesai makan dan rasa lapar mereda, Siauw Yang lalu menceritakan pengalamannya.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dalam pertempuran melawan Tung hai Sian jin dan puteranya, yakni Bong Eng Kiat, Siauw Yang tertawan dan dipondong pergi oleh Bong Eng Kiat, sedangkan pedangnya Kim kong kiam dirampas oleh Tung hai Sian jin yang memimpin para bajak laut meninggalkan pulau kosong di mana Pun Hui menggeletak dalam keadaan pingsan.
Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiai membawa gadis itu ke sebuah perahu dan mereka mendayung perahu itu cepat cepat ke tengah laut, lalu mengembangkan layar sehingga perahu itu cepat berlayar ke tengah samudera, diikuti oleh perahu perahu layar dari para bajak laut.
"Ayah, aku minta agar dikawinkan dengan gadis jelita ini!" beberapa kali Bong Eng Kiat merengek rengek sambil memandang ke arah tubuh Siauw Yang yang menggeletak di dalam perahu dalam keadaan tak sadar. Tubuh itu amat menggairahkan dalam pandangan matanya dan menurut keinginan hatinya, ia ingin segera mendapatkan gadis ini sebagai isterinya.
Ayahnya tertawa tawa saja sambil menghiburnya, "Sabar, Eng Kiat. Aku maklum bahwa kau tentu tergila gila kepada gadis ini yang memang patut menjadi jodohmu. Akan tetapi ketahuilah, bahwa kau adalah anak tunggalku putera dari Tung hai Sian jin. Tidak mungkin puteraku akan melakukan pernikahan begitu saja seperti orang liar! Harus diadakan upacara yang sah, dihadiri oleh semua orang di dunia kang ouw. Kalau kau menikah, kau harus menikah secara terhormat. Berbeda lagi kalau kau hanya ingin main main saja dengan wanita ini."
"Tidak, ayah. Aku cinta kepadanya, aku tidak mungkin memperlakukan dia sebagai wanita biasa yang hanya ingin kupermainkan lalu kubuang lagi. Aku ingin ia menjadi isteriku yang sah, menjadi ibu dari anak anakku! Aku cinta dan kasihan melihat wajahnya yang ayu." Sambil berkata demikian, Eng Kiat mendekati Siauw Yang dan mengelus elus kepala dan rambut gadis itu yang halus dan panjang menghitam. Nyata sekali bahwa ia menaruh hati sayang kepada Siauw Yang, bukan semata terdorong oleh nafsu. Betapapun jahat seseorang, pada suatu waktu ia tentu akan bertemu dengan seorang wanita yang menjatuhkan hatinya dan membuat ia ingin menjadi seorang suami dan ayah yang baik, seorang wanita yang dapat merobah watak yang jahat menjadi baik, merobah watak yang kejam itu menjadi penuh belas kasihan!
"Bagus!" jawab Tung Hai Sian jin dengan wajah berseri. "Memang akupun seorang manusia biasa yang ingin sekali melihat kau berbahagia, hidup tenteram bersama seorang isteri yang cocok, ingin menimang seorang cucu. Ha, ha, ha! Kalau begitu, kau harus bersabar, anakku. Kita harus mencari kesempatan untuk melangsungkan pernikahanmu dengan gadis ini secara baik baik!"
Bong Eng Kiat berseri wajahnya, akan tetapi hanya sebentar saja. Tiba tiba ia mengerutkan keningnya dan wajahnya nampak berduka.
"Akan tetapi, ayah. Dahulu ia pernah menolak lamaranku, dan orang tuanya tentu tidak setuju. Bagaimana dia mau menjadi isteriku?"
"Itulah sebabnya maka kita harus mencari jalan yang baik. Dia sudah berada di kekuasaan kita, hal ini merupakan senjata yang amat ampuh bagi kita. Biarlah untuk sementara kita mendarat di pulau kosong dan membujuk sambil mencari kesempatan dan akal."
Akan tetapi, agaknya para dewa yang berkuasa di lautan merasa muak menyaksikan kejahatan Tung hai Sian jin, puteranya dan anak buah mereka yakni bajak bajak laut yang sudah terlalu sering melakukan kejahatan dan kekejaman itu. Tiba tiba saja, benar benar di luar dugaan dan perhitungan para bajak laut yang sudah tahu akan keadaan lautan entah mengapa sebabnya, timbul taufan yang hebat. Perahu bajak yang kecil itu tertiup taufan dan tentu akan tenggelam kalau mereka tidak lekas lekas menurunkan layar. Tung hai Sian jin terkejut sekali dan agar lebih memudahkan menurunkan layar, ia menggunakan tangannya menghajar pangkal tiang layar.
"Kraakk!" Tiang layar sebesar paha manusia itu tumbang dan patah setelah sekali saja terkena babatan tangan Tung hai Sian jin yang dimiringkan.
Namun taufan masih mengamuk hebat dan gelombang sebesar gunung pergi datang mengombang ambingkan perahu perahu itu. Para bajak berteriak teriak ketakutan, disusul oleh pekik dan jerit kematian ketika beberapa buah perahu mulai terbalik membawa para penumpangnya keluar dan terjungkal ke dalam air. Lengan lengan tangan dengan jari jari terbuka, jerit jerit mengerikan, bercampur aduk dengan suara angin berderu. Jari jari tangan itu diulur hendak mencari pegangan, namun apa daya mereka terhadap kekuatan ombak yang besar" Mereka diangkat ke atas, dihempaskan lagi ke dalam air sampai habis tenaga dan napas mereka dan tenggelamlah tubuh para bajak laut itu menjadi santapan ikan ikan besar.
Di antara perahu perahu kecil itu, hanya perahu yang ditunggangi oleh Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat saja yang dapat menahan serangan ombak dan taufan. Tung hai Sian jin cepat berseru kepada puteranya untuk memegangi pinggiran perahu dan menggunakan tenaga menekan dorongan ombak sehingga prrahu itu tidak terbalik. Mereka berdua harus bekerja mati matian dan sepenuh tenaga. Melihat tubuh Siauw Yang terguling ke kanan kiri di dalam perahu dan kepala gadis itu terbentur pinggiran perahu, Eng Kiat lalu menarik tubuh Siauw Yang dan dipangkunya, dipeluknya erat erat agar tubuh gadis itu tidak terlempar ke luar. Tangan kirinya memeluk Siauw Yang sedangkan tangan kanannya memegangi pinggiran perahu dengan pengerahan tenaga lweekang.
Sementara itu, dengan sebelah tangan memegang pinggiran perahu, Tung hai Sian jin mempergunakan dayung dengan tangan kirinya, mendayung sedapatnya agar perahunya dapat keluar dan gelanggang maut itu. Akhirnya ia berhasil, perahu kecil itu meluncur keluar dari permainan ombak, akan tetapi ternyata bahwa perahu mereka telah tiba di bagian samudera yang amat jauh dan kelompok pulau pulau kecil tempat mereka. Ternyata bahwa taufan telah membawa perahu mereka jauh ke timur!
Ketika mereka melihat ke sekeliling mereka, tak sebuah pun perahu anak buah mereka nampak. Agaknya mereka semua telah menjadi korban taufan dan tenggelam di laut.
"Benar benar Thian masih melindungi kita," kata Tung hai Sian jin sambil menarik napas panjang dengan hati merasa ngeri, "di antara sekian banyak orang, hanya kita berdua yang selamat."
"Bertiga, ayah, bukan berdua. Bahkan orang ke tiga, adik Siauw Yang ini yang agaknya membawa nasib baik. Orang secantik dia, mana ada iblis bertega hati untuk membunuhnya" Oleh karena itu, hatiku lebih tetap lagi untuk mengambilnya sebagai isteriku yang tercinta!"
Tung hai Sian jin mengangguk angguk. "Mungkin kau benar. Mari kita mencari tempat mendarat."
Tak lama kemudian, mereka melihat sebuah pulau yang berada di tengah laut, jauh terpencil dan bukan merupakan sebuah di antara pulau pulau yang pernah mereka tinggali. Mereka mendarat, dan Eng Kiat memondong tubuh Siauw Yang ke darat. Dengan girang mereka mendapat kenyataan bahwa pulau itu amat subur, mempunyai pohon pohon yang berbuah dan terdapat pula binatang bnaiang hutan yang dapat dijadikan penolak kelaparan.
Pada saat itu, Siauw Yang siuman dari pingsannya oleh pengaruh totokan yang lihai. Selelah pikirannya jernih kembali dan melihat betapa ia di pondong oleh Bong Eng Kiat, ia menjadi gemas sekali, ia mengangkat tangan dan mengirim pukulan ke arah lambung pemuda itu, Bong Eng Kiat telah mempelajari ilmu silat dari ayahnya dan kepandaiannya telah mencapai tingkat yang tinggi, maka ia dapat merasa gerakan gadis ini. Ia terkejut sekali dan cepat menggunakan tangan menangkis pukulan itu, akan tetapi ia terpaksa melepaskan Siauw Yang.
"Eh, eh, adik Yang, mengapa kau memukulku" Aku tidak melakukan sesuatu yang buruk terhadapmu." Eng Kiat menegur sambil tersenyum dan memandang kepada gadis itu dengan penuh cinta kasih dan berahi
Siauw Yang cemberut. Sekejap mata saja ia dapat melihat betapa keadaannya tidak berdaya sama sekali. Pedangnya telah terampas oleh Tung hai Sian jin. Dengan pedang di tangan saja, ia masih sukar untuk mengalahkan Bong Eng Kiat, apa lagi Tung hai Sian jin. Sekarang ia tidak berpedang, tentu saja sia sia kalau ia melakukan perlawanan, ia bukan seorang gadis bodoh dan mata gelap yang tidak tahu bahaya dan yang melakukan sesuatu atas dorongan nafsu marah belaka. Otaknya bekerja dan ia mengambil keputusan untuk berlaku sabar dan menahan kemendongkolannya, menanti datangnya kesempatan baik.
"Kau menggendongku, masih bilang tidak melakukan sesuatu yang buruk" Siapa sudi kau gendong seperti anak kecil?"
Bong Eng Kiat tertawa bergelak. Hatinya girang sekali melihat gadis itu tidak terus menyerang dan mengamuk, hal yang tadinya diduga duganya dan yang akan menyakitkan hatinya.
"Adik Yang, apa salahnya kau kugendong" Kalau tidak kugendong, bagaimana kau bisa terhindar dari bahaya maut ketika taufan menyerang hebat perahu kita" Kau masih belum sadar kembali, tentu saja harus kupondong."
"Aku tidak sudi. Tidak sudi aku bersentuhan kulit denganmu, tahu?"
Tung hai Sian jin tertawa masam dan berkata, "Eng Kiat, gadis yang kaucinta ini galak bukan main, apakah kau tetap tergila gila kepadanya?"
"Biar galak, akan tetapi ia baik, ayah. Galak nya itu bukan menjadi watak dasarnya. Coba ayah lihat, biarpun ia bicara marah marah, bukankah wajahnya masih terang dan manis seperti bulan purnama" Adik Yang, kau jangan marah marah. Bagiku, kalau kau marah wajahmu menjadi makin menarik, akan tetapi hal itu amat tidak baik untukmu sendiri. Orang yang suka marah marah apalagi seorang dara muda, dapat menjadi lekas tua!"
Eng Kiat dan Tung Hai Sian jin tertawa, akan tetapi Siauw Yang tetap cemberut.
"Aku tidak akan marah asal saja kau tidak menggangguku. Aku tahu bahwa kini aku tidak berdaya dan percuma saja andaikata aku melawan."
"Lihat dan dengar ayah, bukankah dia seorang dara yang selain gagah perkasa dan cantik jelita juga amat cerdik dan pandai mempergunakan otaknya" Di dunia ini mana ada seorang gadis seperti dia?" berkata Eng Kiat sambil tersenyum senyum gembira.
"Akan tetapi," kata Siauw Yang tanpa memperdulikan pujian orang, "sekali saja kau berlaku kurang ajar Kepadaku, biarpun aku harus mati, aku akan menyerangmu dengan nekat,"
"Adik Yang. Bagaimana aku dapat mengganggumu" Aku cinta sepenuh jiwaku kepadamu, aku kasihan kepadamu. Aku bersumpah takkan mengganggumu."
Mendengar kata kata puteranya ini, Tung hai Sian jin menjadi geli hatinya dan tersenyum pahit.
"Sudahlah, kalian orang orang muda boleh ribut mulut dan bertengkar membangun cinta kasih akan tetapi aku orang tua tidak sabar lagi mendengarnya. Aku hendak menyelidiki keadaan pulau ini. Eng Kiat, hati hatilah. Dia ini bukan gadis sembarangan, jangan sampai kau kena diakali olehnya di waktu berada berdua dengan dia. Kalau dia menyerang, pergunakan senjatamu, dengan tangan kosong saja tak mungkin dia akan mengalahkanmu. Pula, jangan lupa segera memanggilku kalau dia berlaku jahat."
Setelah berkata demikian, Tung hai Sian jin meninggalkan dua orang muda itu di pantai dan sekali melompai kakek sakti ini telah lenyap di balik pohon pohon yang memenuhi pulau itu.
Siauw Yang mendongkol sekali, juga amat khawatir, tidak disangkanya bahwa Tung hai Sianjin begitu cerdik dan dapat menduga akan isi hatinya, ia maklum bahwa pemuda ini benar benar cinta kepadanya dan sudah tergila gila, dan agaknya bolah dipercaya bahwa untuk sementara waktu ini, pemuda itu takkan mengganggunya dan takkan menggunakan kekerasan. Akan tetapi, berapa lamakah akan dapat dipertahankan hal ini" Pemuda macam Eng Kiat kalau sudah dikuasai deh nafsu, tentu takkan mundur untuk melakukan sesuatu yang melanggar norma kesusilaan dan perikemanusiaan. Berpikir sampai di sini, diam diam Siauw Yang bergidik. Namun ia bersyukur bahwa selama ia pingsan, pemuda itu tidak melakukan sesuatu. Kalau terjadi demikian, aku akan mengadu nyawa dengan mereka, pikirnya gemas.
Benar saja seperti dugaannya, Eng Kiat biarpun selalu bicara manis kepadanya dan barsikap halus, tidak pernah memperlihatkan tanda tanda hendak mengganggunya atau berlaku kurang ajar. Bahkan di waktu malam hari, ketika Siauw Yang tidak dapat pulas dan berpura pura tidur, Eng Kiat menghampirinya, bukan untuk mengganggu, melainkan untuk duduk dekat nona itu dan menggunakan baju luarnya mengusir nyamuk yang berani datang menggigit kulit tubuh yang putih halus dari nona pujaan hatinya! Diam diam Siauw Yang yang tidak tidur itu merasa terharu akan tetapi juga gemas sekali. Cinta kasih yang diperlihatkan oleh Eng Kiat kepadanya hanya mendatangkan rasa jemu di dalam hatinya, ia teringat akan Pun Hui. Pemuda itu lain lagi. Memang halus dan sopan lahir batin, bukan berpura pura. Dan di dalam hatinya, ia selalu merasa kasihan kepada Pun Hui, sungguhpun ia sendiri tidak tahu apakah itu tanda hati cinta atau bukan. Akan tetapi kalau ia teringat akan Pun Hui yang menggeletak pingsan seorang diri di atas pulau itu, hatinya gelisah sekali.
Tung hai Sian jin juga tidak perduli kepadanya dan tidak pernah bicara dengan dia, bahkan memandangnya jarang. Kakek ini dengan cepatnya telah dapat menemukan sebuah gua besar dan gua ini mereka jadikan tempat tinggal untuk sementara waktu.
Pernah terjadi pada suatu senja, Bong Eng Kiat pergi dari pulau itu. Siauw Yang tidak tahu ke mana perginya pemuda ini, sama sekali tidak menduga bahwa Eng Kiat telah berperahu, pergi ke pulau di mana ia dan ayahnya menawan Siauw Yang. Pemuda ini teringat akan Pun Hui yang belum tewas dan ia pergi ke sana dengan maksud membunuh pemuda itu. Hal ini terjadi karena di dalam hatinya timbul perasaan cemburu yang besar terhadap Pun Hui dan ia takkan merasa puas sebelum membunuh pemuda sasterawan itu.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, ia bertemu dengan Tek Hong dan cepat cepat melarikan diri di dalam perahunya. Akan tetapi tentu saja ia tidak berani menuturkan peristiwa itu kepada Siauw Yang bahkan diam diam ia memberi tahu kepada ayahnya tentang pertempuran ini.
"Ayah, kalau tidak lekas lekas adik Yang menjadi isteriku, aku khawatir kalau kalau Thian te Kiam ong Song Bun Sam dan puteranya akan menyusul ke mari."
Ayahnya tersenyum. "Kau boleh memperisteri dia di sini juga siapa yang akan melarangmu?"
"Mana dia mau, ayah?"
"Anak bodoh. Biarpun di dalam hati ia mau atau tidak, seorang gadis tidak nanti mengangguk angguk menyatakan mau apabila hendak diperisteri orang. Penolakannya hanya untuk kepantasan saja. Sekali ia telah menjadi isterimu, tentu ia takkan banyak rewel lagi."
"Mempergunakan kekerasan, ayah?"
Tung hai Sian jin mengangguk angguk dan dari sikap ini saja sudah dapat diukur betapa buruknya watak Tung hai Sian jin yang di waktu mudanya juga merupakan seorang pemuda yang kurang baik.
"Menggunakan kekerasan tentu. Kemudian, setelah ia dapat ditundukkan dan tidak banyak rewel lagi, barulah aku akan menemui Thian te Kiam ong dan minta dengan resmi lalu diada kau upacara resmi yang disaksikan oleh semua orang kang ouw."
"Tidak! Tidak bisa, ayah! Aku tidak tega melakukan hal itu kepada adik Yang. Kalau lain gadis mungkin aku mau melakukan hal itu kepadanya, akan tetapi adik Yang aku ingin dia menjadi isteriku dengan rela. Aku ingin iapun mencinta aku sebagai suaminya, ayah!"
"Bocah totol! Habis apa yang dapat kaulakukan?"
"Ayah, pergilah menemui Thian te Kiam ong, nyatakan bahwa puterinya telah berada di dalam tawanan kita. Dengan sedikit ancaman ayah dapat memaksanya untuk menyerahkan puterinya kepada kita. Tentu ia tidak tega melihat puterinya berada dalam bahaya dan lebih suka melihat puterinya hidup sebagai isteriku yang tercinta daripada binasa. Ayah, kau bukanlah seorang sembarangan dan agaknya Thian te Kiam ong akan berpikir panjang, akan merasa bahwa menjadi besanmu bukanlah hal yang memalukan atau rendah. Ayah, tolonglah anakmu kali ini, dan bujuk atau ancamlah orang tua itu supaya dia tunduk dan suka menerima pinangan kita."
Menghadapi anaknya yang merengek rengek ini, akhirnya Tung hai Sianjin kalah. Barkali kali ia menarik napas panjang.
"Perempuan". perempuan". kau selalu mengacaukan keadaan! Baiklah, Eng Kiat, aku akan pergi menemui Thian te Kiam ong. Seandainya dia marah, ia kau kuhadapi ia dengan nekat, belum tentu akan kalah. Memang kata katamu betul juga, dengan adanya Siauw Yang bersama kita, Thian te Kiam ong tentu tak berani menggangguku. Akan tetapi, kau haru berhati hati benar. Kalau kutinggalkan berdua dengan gadis itu, keadaanmu amat berbahaya. Sekali saja ia dapat memegang senjata pedang, kau akan celaka, Eng Kiat! Kita harus akui bahwa kepandaiannya lihai sekali dan agaknya kau takkan dapat menang kalau bertanding pedang dengan dia."
Eng Kiat mengangguk angguk. "Aku mengerti, ayah. Kalau tidak selihai itu dia, agaknya cintaku juga akan berkurang. Justru karena dia dapat menangkan kepandaianku maka aku makin kagum kepadanya. Aku sudah cukup berhati hati, ayah, dan pedang Kim kong kiam itu kau bawa sajalah, sekalian untuk diperlihatkan kepada Thian te Kiam ong sebagai bukti bahwa memang betul puterinya telah kita tawan. Dengan pedangku di tangan dan dia bertangan kosong, tak mungkin dia bisa memberontak."
Maka berangkatlah Tung hai Sian jin untuk mencari Thian te Kiam ong Song Bun Sam, meninggalkan Siauw Yang dan Bong Eng Kiat berdua saja di atas pulau itu.
Biarpun tidak diberi tahu perihal perginya Tung hai Sian jin, namun hati Siauw Yang menduga bahwa tentu kakek itu akan melakukan sesuatu yang menimbulkan tidak rasa enak di dalam hatinya. Apalagi ketika melihat betapa perahu itu dibawa pergi oleh Tung hai Sian jin, ia menjadi makin gelisah. Memang betul bahwa dengan perginya kakek itu, lebih besar harapannya untuk melepaskan diri dari Eng Kiat, akan tetapi andaikata ia dapat merobohkan pemuda ini, bagaimana ia dapat keluar dari pulau itu" Akhirnya Tung hai Sian jin akan datang kembali dan kalau melihat ia merobohkan puteranya, tentu kakek itu akan membalas dendam dan ia akan kalah! Gadis ini bingung sekali. Ke mana saja ia pergi, pemuda itu tidak mau berpisah dari sampingnya, dan untuk mencari siaaat dan kesempatan, terpaksa Siauw Yang berlaku kurang galak bahkan agak manis sehingga pemuda itu merasa terapung apung di sorga ke tujuh.
Pada keesokan harinya, Eng Kiat mengajak Siauw Yang memancing ikan di tepi pantai. Udara jernih sekali dan andaikata yang di dekatnya itu bukan Eng Kiat, tentu Siauw Yang akan merasa gembira, karena ia memang seorang dara yang berwatak periang.
"Eng Kiat, ke manakah perginya ayahmu?" tanyanya.
Sebutan ini beberapa kali membuat Eng Kiat tidak puas. Berkali kali ia membujuk Siauw Yang supaya suka menyebut koko (Kanda) kepadanya akan tetapi gadis itu tidak sudi menurut, bahkan menjebikan bibir mengejek. Oleh karena itu, akhirnya ia menerima juga sebutan yang sederhana itu, yakni memanggil namanya langsung begitu saja.
"Adik Yang, ayah pergi untuk menemui ayahmu."
Siauw Yang terkejut, kemudian tersenyum. "Sama halnya dengan seekor kelinci menemui harimau. Ayahmu takkan kembali dengan kepala masih menempel di lehernya."
Eng Kiat tersenyum sabar. "Mungkin demikian kalau ayah pergi menemuinya dengan maksud buruk. Akan tetapi kali ini ayah pergi menemui ayahmu untuk merundingkan urusan antara kita."
"Ada urusan apa antara kita selain bahwa kau dan ayahmu telah menggunakan kekerasan menawanku" Ayahku akan marah sekali dan"."
"Bukan demikian, adikku yang manis. Ayahku akan mengajukan usul agar supaya kita menjadi jodoh yang cocok dan saling mencinta. Aku amat mencintaimu, adik Yang, dan dunia agaknya akan menjadi neraka kalau aku harus berpisah dari sampingmu!"
"Cih! Tak tahu malu! Aku tidak sudi!"
"Tak mungkin menolak kalau ayahmu sudah setuju, adikku sayang. Kita akan menjadi suami isteri yang hidup rukun sampai di hari tua, mempunyai anak anak dan menimang nimang cucu kita."
"Cukup!" Tangan Siauw Yang menampar dan biarpun Eng Kiat mengelak, masih saja jari jari tangan Siauw Yang mengenai pipinya, menimbulkan suara "plak" dan pipi pemuda itu menjadi merah.
"Aduh, panas panas enak bekas tanganmu!" kata Eng Kiat sambil mengelus elus pipinya dengan senyum di mulut. Melihat sikap Eng Kiat, tidak karuan rasa hati Siauw Yang. Ingin ia menangis keras untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Ia tidak bodoh untuk menyerang terus, karena kalau pemuda itu mencabut pedang, tentu ia takkan dapat melawannya, ia merasa terharu, geli, gemas, dan juga gelisah menghadapi pemuda yang nyata telah tergila gila kepadanya itu.
"Eng Kiat, apakah betul betul kau mencintaiku?" tanyanya.
"Aku bersumpah, disaksikan langit, bumi, dan laut bahwa aku mencintaimu setulus ikhlas hatiku, adik Yang."
"Aku tidak butuh sumpahmu!" jawab Siauw Yang ketus, kemudian disambungnnya lagi dengan suara halus,
"Dan apakah kau kasihan kepadaku?"
Dengan suara sungguh, Eng Kiat m menjawab, "Kalau aku tidak berbelaskasihan kepadamu, apakah kaukira kau masih akan hidup sampai saat ini dan apakah kaukira aku akan dapat menahan nahan berahiku melihatmu yang cantik molek ini" Tidak, adikku sayang, aku tidak mau menyakitimu, tidak mau menyakiti hati ataupun tubuhmu."
"Kalau kau berbelaskasihan, mengapa kau tidak membiarkan aku pergi" Eng Kiat, di sini aku merasa seperti seekor burung dalam sangkar. Bebaskanlah aku dan selamanya aku akan berterima kasih kepadamu."
Mendengar kata kata ini, tiba tiba pemuda itu menangis. Siauw Yang menjadi terheran heran dan mengira bahwa pemuda ini memang tidak normal otaknya.
"Siauw Yang"." ucapanmu ini lebih menyakitkan dari pada tusukan ujung pedang beracun. "Kau tahu aku cinta kepadamu, tergila gila kepada mu, ingin selama hidupku tak pernah berpisah lagi denganmu, bagaimana kau minta aku membebaskanmu" Adikku sayang, kaulah yang harus kasihan kepadaku"."
"Cih, sebal aku mendengarmu!" setelah berkata demikian, Siauw Yang lalu berlari pergi meninggalkan Eng Kiat. Pemuda itu mengejarnya dan tidak mau terpisah jauh darinya.
Siauw Yang memutar otaknya, memeras seluruh kecerdikannya. Bagaimana ia harus bersikap" Bagaimana ia dapat melepaskan diri dari pemuda itu" Ia tahu bahwa Tung hai Sian jin hendak memaksa ayahnya menyetujui perjodohan itu, tentu dengan mengancam akan membunuhnya kalau ayahnya tidak menyetujui atau kalau ayahnya membunuh Tung hai Sian jin, tentu Eng Kiat yang tak dapat menahan nafsu berahinya akan melakukan paksaan kepadanya. Bagaimana baiknya" Menitik air mata di pipi gadis ini, makin dipikir sedihlah dia sehingga akhirnya ia menjatuhkan diri, duduk di atas rumput sambil menangis.
"Adikku sayang, mengapa kau berduka" Jangan menangis, adik Yang, kau membikin hatiku perih," terdengar suara Eng Kiat di belakangnya. Menurutkan suara hatinya, ingin sekali Siauw Yang berdiri dan memukul pecah kepala pemuda ini. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini. Ia adalah seorang gadis yang tabah dan tenang, yang memiliki kecerdikan dan yang selain mempertimbangkan apa yang hendak dilakukannya, tidak semata mata terdorong oleh nafsu marah.
Cepat ia menghapus air matanya dan berkata dengan suara pilu, "Eng Kiat, cintamu kepadaku palsu! Rasa belas kasihanmu juga pura pura saja. Kau amat kejam, membiarkan aku di pulau ini, jauh keramaian, jauh dari manusia manusia lain. Aku bisa menjadi gila kalau harus tinggal terus di sini tanpa hiburan."
"Kau ingin hiburan" Maukah kau kalau aku bernyanyi untukmu" Adik Yang, aku banyak mempelajari nyanyian indah. Dengarlah aku bernyanyi untukmu!" Setelah berkata demikian, Eng Kiat mencabut pedangnya dan mempergunakan pedang itu diketok ketokkan pada sebuah batu karang untuk menimbulkan irama lagu, kemudian ia bernyanyi.
Jilid XXV PEMUDA ini memang sudah mempelajari kesusasteraan dan ia suka bernyanyi. Suaranya memang empuk dan merdu dan ia pandai sekali menyanyikan lagu lagu percintaan kuno,
"Bulan purnama tersenyum cantik nian!
Kepada siapakah kau tersenyum, Bulan"
Tentu kepada Sang Matahari Pujaan dan kekasih hati
Yang tak kunjung menampakkan diri.
Ah mengapa kau bermuram durja Bulan"
Gelap menyelubungi wajah indah rupawan
Mengapa gerangan" Karena matahari tak kunjung datang Tiada nampak di malam petang.
Dengar Dewi Bidan tersedu sedan
Wahai kekasih di mana engkau gerangan"
Suara Eng Kiat begitu merdu, penuh perasaan sehingga terdengar memilukan. Tak terasa pula Siauw Yang menengadah ke atas, memandangi mega mega yang bergerak perlahan terbayanglah wajah Pun Hui di antara mega mega. Suara itu menyayat hatinya dan tak terasa pula kembali air matanya bertitik.
"Kau menangis, adikku sayang" Kau lebih indah rupawan daripada bulan...." terdengar suara Eng Kiat yang menyadarkan gadis itu. Cepat cepat ia menghapuskan air matanya dan berkata,
"Eng Kiat, kalau kau memang kasihan kepadaku, besok pagi bikinkanlah sebuah perahu agar kita dapat berperahu dan melupakan kesunyian di pulau ini. Aku ingin sekali berperahu, menangkap ikan di laut."
"Tentu, adikku manis. Malam ini juga aku akan membuat perahu untukmu," kata Eng Kiat. Siauw Yang memandang tajam, khawatir kalau kalau pemuda itu akan dapat membaca pikirannya, akan tetapi pemuda itu tersenyum senyum saja dan agaknya tidak menyangka sesuatu. Legalah hati Siauw Yang.
"Kau memang baik hati," katanya singkat. "Aku hendak tidur, kaubikinlah perahu itu."
Padahal semalam itu Siauw Yang tak dapat tidur sama sekali. Pikirannya bekerja keras. Kalau sudah ada perahu, berarti ia menambahkan sebuah kemungkinan untuk melarikan diri, pikirnya. Andaikata aku tidak dapat merobohkannya dengan kekerasan, dan dia selalu menjagaku, kalau sewaktu waktu dia tertidur atau alpa, aku dapat melarikan diri dengan perahu itu, pikirnya.
Eng Kiat ternyata memenuhi janjinya. Semalam suntuk ia bekerja dan pada keesokan harinya, setelah matahari naik tinggi, ia telah menyelesaikan perkerjaannva. Berkat tenaga lweekangnya yang tinggi dan pedangnya yang tajam, ia dapat membuat sebuah perahu kecil dari sebatang pohon!
"Mana layarnya?" tanya Siauw Yang yang menjenguk dan melihat hasil pekerjaan itu dengan wajah riang.
"Di mana bisa mendapatkan layar di tempat ini?" tanya Eng Kiat menggaruk garuk kepala lalu menghapus peluh di dahinya.
"Kau punya baju luar yang lebar dan tebal" Beri aku barang empat buah, akan kubuatkan layar untuk perahu ini!" kata Siauw Yang.
Pemuda itu berlari ke dalam gua dan mengambil empat buat baju luarnya yang tebal dan terbuat daripada kain mahal, ia menyerahkan baju itu kepada Siauw Yang sambil tersenyum. Siauw Yang tidak berlaku bodoh untuk melarikan diri pada saat Eng Kiat mengambil baju, karena dengan dayung saja ia tak mungkin dapat mencapai tempat jauh, apalagi karena ia tidak tahu ke jurusan mara ia harus berperahu. Setelah menerima baju baju luar itu, ia lalu menyambung nyambungnya dan menjahitnya dengan pertolongan tusuk konde dan untuk benangnya ia mengambil dari pinggiran baju luar.
Eng Kiat memandang kelakuan gadis itu sambil tersenyum senyum.
"Sayang kau membuatkan layar, alangkah senangnya kalau kau dan aku berada di rumah dan melihat kau menjahit baju untukku."
"Cih, tak tahu malu. Pergilah dan jangan mengganggu pekerjaanku!" kata Siauw Yang.
Eng Kiat lalu menjauhi gadis itu, duduk bersandar pada sebatang pohon.
"Aku lelah dan ingin tidur, adik Yang. Aku percaya bahwa kau takkan sampai hati membunuhku di waktu aku tertidur," katanya sambil tersenyum.
Siauw Yang mendongkol sekali dau ketika ia menengok pemuda itu telah mendengkur. Hati Siauw Yang berdebar. Bagaimana kalau ia mengambil sebuah batu karang besar dan melemparkan batu itu ke arah kepala Eng Kiat" Ia bergidik. Tidak. Ia takkan berlaku pengecut. Bagi seorang gagah, lebih baik binasa daripada melakukan hal seperti itu. Ia akan mempercepat pembuatan layarnya agar dapat melarikan diri sewaktu pemuda itu tertidur, pikirnya.
Akan tetapi pekerjaan membuat layar itu tidak mudah. Sampai petang barulah ia selesai dan ketika ia pergi ke perahu itu, Eng Ktat bangun dan melompat berdiri. Ternyata bahwa mungkin sekali pemuda itu tadi hanya berpura pura tidur saja.
"Tidak baik malam malam berlayar, adik Yang. Kalau kau kehendaki, besok pagi pagi kita b6leh berlayar mencari ikan."
Sambil berkata demikian, ia membantu Siauw Yang memasang tiang layar pada perahu kecil itu dan ketika dipasang layar buatan Siauw Yang, Eng Kiat tertawa geli.
"Alangkah lucunya layar ini, seperti beberapa orang berdiri di dalam perahu."
Mau tidak mau Siauw Yang tersenyum geli juga. Memang, baju baju yang disambung sambung itu kini kelihatan seperti empat orang laki laki berdiri bertolak pinggang di atas perahu, Siauw Yang kembali ke gua dan malam itu ia tidur dengan nyenyak karena hatinya sudah lega melihat keadaan perahu dan layar yang memungkinkan dia untuk melarikan diri.
Pada keesokan harinya, ketika ia bangun, ternyata Eng Kiat tidak kelihatan di luar gua seperti biasanya, ia cepat menuju ke sebuah sumber air untuk membersihkan diri, dan ia merasa segar dan sehat, ia telah siap untuk melakukan usaha melarikan diri. Setelah ia menyusul ke pantai, ternyata Eng Kiat tidur mendengkur di dalam perahu itu. Siauw Yang menggigit bibirnya.
"Hem, jadi bedebah ini sudah mengetahui isi hatiku dan tentu sepanjang malam ia tidur di sini menjaga aku jangan mencari perahu," pikirnya gemas. Baru saja ia datang, Eng Kiat terbangun dan melompat sambil tersenyum.
"Selamat pagi, adik Yang. Apakah sepagi ini kau ingin berlayar?"
"Aku ingin mencoba perahu kita," kata Siauw Yang sambil mencoba untuk menyembunyikan kekecewaan dan kegemasan hatinya.
"Baik, baik! Mari kita berlayar." Kedua orang muda itu lalu membawa perahu ke air dan Eng Kiat memegang dayung di tangan kanan dan pedang di tangan kiri. Pemuda ini selalu siap sedia menghadapi segala kemungkinan, sehingga Siauw Yang menjadi makin mendongkol.
"Aku harus berlaku manis agar ia lalai," pikir Siauw Yang. Gadis ini lalu menggunakan dayung yang dipegangnya untuk memukul ke air setiap kali ada ikan timbul di permukaan laut. Pukulannya selalu tepat sehingga Eng Kiat memuji Siauw Yang berlaku riang gembira dan lambat laun pemuda itu tertarik dan tertawa gembira juga. Eng Kiat mulai memukul mukul ke dalam air pula, bahkan ia mengajak Siauw Yang berlomba mencari ikan dengan jalan memukul ikan yang mengapung.
Siauw Yang memperhatikan segala gerakan Eng Kiat dan mencari kesempatan baik. Akan berhasilkah dia" Hatinya berdebar penuh ketegangan dan harapan melihat pemuda itu makin gembira dan tertawa tawa.
Di dalam perahu kecil buatan Bong Eng Kiat, Siauw Yang sedang memcari kesempatan untuk membebaskan diri dari pemuda itu. Gadis ini melihat kalau ada ikan yang berani timbul di permukaan air dan sikapnya yang pang gembira sambil tertawa tawa itu membikin Eng Kiat gembira juga sehingga pemuda in;pun memukuli ikan dengan dayungnya.
Saking gembiranya, Eng Kiat bermain main sambil bernyanyi,
"Minumlah arakmu selagi cawanmu
penuh, kawan! Tangkaplah kebahagiaan selagi kau
muda rupawan! Petiklah mawar selagi ia segar ayu
Jangan tunggu sampai ia tua dan layu
Musim chun (semi) datang menjalang
Bulan bersinar itulah cemerlang
Apa guna keluh kesah dan rawan"
Berilah aku cawan! Penuhi cawan arakku, kawan.
Aku mau minum sepuasku Aku mau minum sepuasku!"


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat kegembiraan pemuda itu, Siauw Yang makin girang karena hanya orang bergembira dan berduka saja yang kehilangan kewaspadaan. Ia berpura pura gembira pula dan memuji nyanyian tadi.
"Eng Kiat, nyanyian mu tadi bagus sekali."
"Kau senang dan ikut gembira, adikku sayang?"
"Tentu saja, akan tetapi kegembiraanku tidak sempurna kalau kau tidak menyatakan nyanyianmu tadi dalam perbuatan. Cawan sudah penuh sekali mengapa kau tidak minum sepuasnya?"
Kata kata ini diucapkan oleh Siauw Yang tanpa mengandung maksud lain, akau tetapi Eng Kiat mengartikan salah dan kini pemuda itu memandangnya dengan mata penuh gairah.
"Benar benarkah apa yang kau katakan, adik Yang?" tanyanya sambil menggeser duduknya lebih dekat dan tangannya hendak memegang lengan Siauw Yang.
Melihat sikap ini, terkejutlah Siauw Yang dan gadis yang cerdik ini maklum bahwa tadi tanpa disadarinya, ia telah mengucapkan kata kata yang seakan akan mengandung sindiran bahwa dia lelah siap melayani cinta kasih pemuda itu. Maka ia cepat cepat menyampok tangan pemuda itu sambil berkala tertawa, "Eng Kiat jangan kau kurang ajar! Aku sudah mulai gembira dan kurang kebencianku kepadamu, akan tetapi kalau kau berani menyentuhku aku akan benci setengah mati kepadamu!"
Kata kata ini manjur sekali karena Eng Kiat, segera mundur kembali sambil menghela napas kecewa. "Tidak, adikku, aku terlalu sayang kepadamu, jangan kau benci padaku."
"Kalau kau sayang padaku, mengapa tidak memenuhi permintaanku" Padahal aku hanya minta supaya kau minum sampai puas seperti yang kau nyanyikan tadi."
Eng Kiat memandang kepadanya dengan mata penuh tanda tanya. "Kau ini aneh sekali, tidak ada cawan dan arak di sini, bagaimana kau menyuruh aku minum?"
"Mengapa kau begitu bedoh dan kekurangan akal untuk menambah kegembiraan" Yang diminum orang adalah benda cair, biarpun di sini tidak ada cawan dan arak, apakah kekurangan benda cair?" kata Siauw Yang tertawa sambil menunjuk ke air di kanan kiri perahu.
Eng Kiat memandang kepada Siauw Yang dengan mata terbelalak, kemudian ia tertawa bergelak gelak.
"Ha, ha, ha! Benar kata kata ayah bahwa wanita adalah mahluk yang paling menyenangkan, paling manis, akau tetapi juga paling aneh dan lucu! Aku pernah membaca Tat Ki (siluman rase menjelma wanita cantik) pernah menyuruh Tiu Ong (raja yang tergila gila padanya) untuk melakukan segala hal yang aneh aneh dan bahwa Yo Kwi Hui (ratu cantik dan genit) pernah menyuruh para pengagumnya untuk merangkak rangkak meniru seekor anjing. Sekarang kau menyuruh aku minum air laut sebagai pengganti arak! Akan tetapi biarlah, menuruti kehendak wanita yang aneh aneh adalah jalan untuk mendapatkan cinta kasihnya. Biar aku memelihara kegembiraanmu, adik Yang!" Setelah berkata demikian, dengan tangan kanannya Eng Kiat menyenduk air laut di pinggir perahu dan minum air itu!
Siauw Yang tak dapat menahan gelak tawanya melihat betapa muka pemuda itu meringis selelah ia merasai air laut yang asin dan amis.
"Mukamu seperti monyet kelaparan!" kata gadis itu sambil tertawa tawa.
Eng Kiat meringis. "Asin sekali, membuat perut muak!"
Siauw Yang makin geli tertawa. "Minum lagi, Eng Kiat, minumlah lagi."
Untuk kedua kalinya Eng Kiat menyenduk air dengan tangannya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw Yang dengan baiknya. Cepat tangannya menyambar pedang yang tadi dipegang oleh Eng Kiat dan yang sekarang diletakkan di dekatnya karena tangan kanannya ia pergunakan untuk menyendok air.
Biarpun pedang pemuda itu ada dua buah karena Eng Kiat memang bersenjata siang kiam (sepasang pedang), namun karena tangan kirinya selalu memegang dayung, ia hanya menurunkan sebatang pedang saja. Kini pedang itu telah berada di tangan Siauw Yang. Nanum sesungguhnya gadis ini tidak bermaksud untuk membunuhnya, karena ia tidak tega membunuh seorang yang telah berlaku begitu baik kepadanya. Ia hanya ingin mempergunakan pedang itu untuk memaksa pemuda itu membebaskannya.
"Loncatlah ke dalam air!" Siauw Yang mengancam sambil menodongkan pedang ke dada Eng Kiat.
Pemuda ini tiba tiba menjadi pucat sekali. Seri wajahnya lenyap seketika dan kini berobah menjadi wajah seorang yang bermata tajam dan meryeringai jahat.
"Kau curang...." katanya.
"Pergi cepat!" Siauw Yang membentak.
Eng Kiat tertawa bergolak, tubuhnya terguling ke dalam air, akan tetapi kedua tangannya memegang pinggiran perahu dan sekali ia mengerahkan tenaga, perahu itu terbalik membawa tubuh Siauw Yang ke dalam air pula.
Siauw Yang marah sekali dan dengan secara membabi buta ia membacokkan pedangnya ke kanan kiri, namun sebentar saja tubuhnya yang tenggelam dan air yang memasuki hidung dan mulutnya membuatnya kelabakan! Dia tidak sangat pandai bermain di air dan gerakannya yang menyerang ke sana ke mari itu membuat ia minum banyak air laut dan akhirnya ia menjadi lemas dan pedangnya tahu tahu lelah terampas kembali oleh Eng Kiat.
Sebagaimana diketahui, Eng Kiat adalah seorang pemuda ahli berenang dan ahli dalam air, karena ia adalah putera dari Tung hai Sian jin yang pandai sekali bergerak di dalam air. Sengaja pemuda ini membiarkan Siauw Yang minum air laut dan menjadi lemas, kemudian ia merampas pedang sambil memeluk tubuh gadis itu yang tidak berdaya lagi, lalu membawanya berenang kembali ke perahu. Ia melemparkan tubuhnya ke atas perahu sambil masih memeluk Siauw Yang yang sudah menjadi lemas dan merasa kembung perutnya.
"Kau anak nakal," berkali kali Eng Kiat berkata, akan tetapi ia tidak marah, bahkan tertawa tawa geli melihat Siauw Yang menjadi basah kuyup. Kemudian ia mendekatkan mukanya dan mencium pipi gadis itu.
"Jahanam.... kubunuh kau.... !" desis Siauw Yang dan gadis ini memberontak sekuatnya sehingga terlepas dari pelukan Eng Kiat. Kemudian ia menghantam dengan tangannya yang dapat dielakkan oleh Eng Kiat. Pergerakan ini membuat perahu menjadi miring.
"Hati hati adik Yang! Perahu bisa terguling lagi!" seru Eng Kiat menakut nakuti.
Tentu saja Siauw Yang bukan seorang bodoh, ia tahu bahwa kalau sampai ia terguling ke dalam air lagi, tentu ia akan dipeluk lagi oleh Eng Kiat yang menolongnya. Maka ia menarik kembali tangannya dan membatalkan serangannya.
"Jahanam keparat! Kau benar benar kurang ajar sekali Awas, kalau aku ada kesempatan, akan kupecahkan kepalamu!" seru Siauw Yang dengan jengkel sekali, ia merasa betapa pipinya yang tercium tadi serasa terbakar api, digosok gosoknya dengan telapak tangannya untuk mencuci bersih bekas ciuman yang dianggapnya sebagai noda besar. Hampir saja ia menangis kalau saja ia tidak dapat menetapkan guncangan hatinya.
"Adik Yang, maafkan aku...." terdengar Eng Kiat berkata lirih.
"Persetan! Kau telah membikin sakit hatiku. Kau telah menghinaku, telah merendahkan diriku. Akan kubunuh kau!" tak tertahan pula dua titik air mala melompat keluar dari sepasang mata yang bening itu.
"Adik Yang, kau benar benar tidak adil sekali!" Eng Kiat berkata dengan suara terdengar sedih. "Kau telah berusaha hendak membunuhku akan tetapi aku tidak marah dan tidak menyesal, bahkan menolongmu dari air. Adapun ciuman itu, boleh kau anggap sebagai sedikit hukuman atas kenakalanmu, akan letapt bagiku, itu tanda cinta kasihku yang murni. Kalau sekali lagi Kau mencoba untuk menipu dan mengakali aku, hukuman nya lain lagi...."
"Apa yang akan kaulakukan terhadapku manusia jahanam?"
"Aku.... aku akan memaksa kau menjadi isteriku! Adik Yang, aku tak mungkin marah kepadamu, tak mungkin membencimu, karena aku cinta padamu."
Betapapun pemuda itu merayu dan bicara dengan halus, namun seujung rambutpun Siauw Yang tidak terpikat. Gadis ini tahu benar bahwa kehalusan sikap pemuda itu kepadanya hanya karena pemuda itu tergila gila kepadanya. Namun, ia maklum bahwa pemuda seperti ini takkan segan segan untuk melakukan ancamannya, untuk melakukan kekejian dan kekerasan. Aku harus berusaha melepaskan diri, pikirnya. Lebih lekas lebih baik karena siapa tahu berapa lama lagi pemuda ini dapat berlaku sopan dan lemah lembut. Aku akan melarikan diri, dan kalau tidak berhasil, biar aku berlaku nekat dan mati daripada terjatuh ke dalam tangannya.
Eng Kiat tidak dapat menduga apa yang sedang dipikirkan oleh gadis yang kelihatannya diam seperti patung itu dan hal ini membikin hatinya tidak enak.
"Mari kita mendarat, adikku. Pakaianmu basah semua, kau bisa masuk angin."
Siauw Yang tidak menjawab dan diam saja ketika Eng Kiat mendayung perahunya kembali ke pulau.
Ketika memasuki gua, Siauw Yang nampak menggigil kedinginan. Giginya beradu dan tubuhnya menggigil, kedua tandannya memeluk dada.
Melihat ini Eng Kiat terkejut sekali.
"Sakitkah kau, adik Yang?" tanyanya dengan khawatir dan otomatis tangannya diulur untuk meraba jidat gadis itu seperti laku seorang kakak yang menyayang adiknya. Siauw Yang diam saja dan tidak menjawab, juga tidak membantah ketika pemuda itu meraba jidatnya. Eng Kiat kaget sekali ketika meraba jidat Siauw Yang, karena jidat itu panas sekali, "Celaka! Kau terserang demam!" katanya. "Apa kataku tadi, kau masuk angin."
"Biarlah, mati juga tidak apa," kata Siauw Yang tak acuh, padahal dalam hatinva ia merasa geli sekali. Gadis ini sedang menjalankan siasatnya, sengaja ia menggigil dan ketika Eng Kiat tadi meraba jidatnya ia menahan napas dan mengerahkan tenaga dalam, melakukan Ilmu Pan khi jit hiat (Pindahkan Hawa Panas ke Jalan Darah). Ilmu ini ia pelajari dari ayahnya dan ilmu ini bukan sembarangan ilmu yang dapat dipelajari oleh orang kang ouw. Kegunaannya besar sekali karena di waktu musim dingin, ia dapat membikin tubuhnya panas, sebaliknya di waktu musim panas, ia dapat menyesuaikan diri dengan segala macam keadaan dan menolak serangan hawa dingin maupun panas.
Dalam kegugupannya mengira gadis yang dicintanya itu sakit, Eng Kiat kena dibohongi dan pemuda ini bingung sekali.
"Adik Yang, kau sakit, jangan bilang tentang mati. Ah, bagaimana baiknya" Lekas lekas kau menukar pakaianmu dengan yang kering. Aku akan pergi mencari daun obat untuk menolak bahaya demam." Setelah berkata demikian, ia keluar dari gua.
"Tak usah, Eng Kiat. Kalau kau memang sayang kepadaku, lebih baik kau buatkan sebuah pondok bambu Aku sudah tak kuat tinggal di gua yang dingin ini. Hawa dalam gua inilah yang mendatangkan penyakit."
"Ah, begitukah" Baik, sayang, baik. Sekarang juga aku akan membikinkan pondok untukmu."
Eng Kiat lalu pergi dan cepat menebang pohon dan bambu untuk membuatkan pondok bagi kekasih hatinya itu. Namun ia berlaku cerdik dan sering kali datang ke gua menengok Siauw Yang. Ia tetap saja menaruh hati curiga dan tidak mau lengah, karena ia sudah kapok tidak mau tertipu lagi oleh gadis yang selain cantik jelita dan pandai ilmu silat, akan tetapi juga cerdik sekali.
Sampai tiga hari Siauw Yang berpura pura sakit, tinggal saja di dalam gua dan segala keperluannya dilayani oleh Eng Kiat dengan setianya.. Sementara itu, pondok bambu yang cukup kuat dan hangat telah jadi, bahkan pemuda ini membuat sebuah dipan kayu untuk tempat gadis itu tidur.
"Nah, pondokmu sudah jadi, adik Yang. Sekarang mari kita pindah ke sana " ajaknya sambil memasuki gua.
"Sebetulnya, apa gunanya pondok itu" Aku merasa tubuhku makin tidak enak, dadaku sesak dan agaknya aku takkan lama lagi hidup di dunia ini. Semua ini karena engkau, manusia kejam. Kalau kau membebaskan aku, kiranya aku takkan menderita sakit ini."
Biarpun ia berkata demikian, namun Siauw Yang tidak membantah ketika diajak pindah ke dalam pondok, ia masih memperlihatkan tanda tanda kelemahan, berjalan dengan sempoyongan, wajahnya pucat, rambutnya kusut dan tiap kali pemuda itu meraba jidatnya, jidat itu makin panas saja.
"Adik Yang, kau terlalu banyak berduka. Itulah yang menyebabkan menyakitmu. Bersabarlah dan tunggu sampai ayah pulang, tentu kau akan mendapat kesempatan berkumpul kembali dengan ayah bundamu dan..... dan hidup kita akan berbahagia, sebagai suami isteri yang rukun...."
"Tutup mulutmu dan pergi!" Siauw Yang membentak, menangis dan menjatuhkan diri ke atas dipan, "Aku mau mati saja, aku mau mati ..... !" Kemudian, tiba tiba gadis itu menggigil dan mengaduh aduh. "Aduh dingin.... dingin sekali....!"
Tentu saja Eng Kiat menjadi sibuk. Pemuda ini berlari keluar dan tak lama kemudian ia masuk kembali, membawa sehelai selimutnya yang tebal dan semangkuk obat yang disediakan sejak tadi.
"Adik Yang, peliharalah dirimu. Minum obat ini lalu tidurlah, tutup tubuhmu dengan selimut tebal ini. Kalau kau sudah berkeringat, tentu demam itu akan lenyap," katanya.
Dengan tangan gemetar, Siauw Yang menerima pemberian selimut dan obat itu
"Keluarlah, biarkan aku seorang diri. Obat akan kuminum di akhirat setelah aku mati, sebagai tanda terima kasihku "
"Eh, apa maksudmu?"
"Pergi, biarkan aku mati !" Setelah berkata demikian. Siauw Yang melemparkan mangkok obat itu ke atas lantai sehingga obatnya tumpah, lalu ia menggunakan selimut tebal tadi untuk menyelimuti tubuhnya dari kepala sampai ke kaki.
Eng Kiat tercengang, akan tetapi melihat gadis itu mau berselimut, hatinya terhibur juga dan ia pergi meninggalkan Siauw Yang.
Sehari itu, Siauw Yang tidak mau makan, tidak mau bicara, bahkan tidak pernah keluar dan dalam selimut. Beberapa kali Eng Kiat datang menengok dan mengajaknya bicara, akan tetapi melihat gadis itu tidur di dalam selimut dan bagian dada turun naik dengan tenang, ia menjadi lega dan mengira bahwa gadis itu tentu tertidur dan sudah sembuh kembali. Setelah malam tiba dan melihat Siauw Yang masih tertidur berkerudung selimut, hatinya lega sekali. Dipasangnya lampu minyak lemak ikan, ditaruhnya lampu kecil itu di atas meja yang dibuatnya secara kasar, kemudian lu meninggalkan kamar pondok setelah menutupkan pintunya. Betapapun juga, ia tidak kehilangan kehati hatiannya dan segera menuju ke tempat ia bermalam semenjak ia dan Siauw Yang berada di situ, yakni di dalam perahu dekat pantai. Jalan satu satunya bagi Siauw Yang untuk melarikan diri hanya perahu itu, dan kalau ia tidur di dalam perahu, tak mungkin gadis itu dapat melarikan diri, pikirnya.
Sementara itu, di dalam pondok Siauw Yang memutar otaknya yang cerdik. Memang ada keharuan di dalam dadanya melihat betapa betul betul pemuda itu mencintanya, akan tetapi karena ia sudah melihat dasar watak pemuda itu, sedikiipun ia tidak menaruh belas kasihan kepadanya. Rencananya berhasil baik sejauh itu dan ia hanya menanti waktu baik saja.
Menjelang tengah malam, ketika untuk kesekian kalinya Eng Kiat datang menjenguknya, Siauw Yang dari dalam selimunya berkata kata seperti orang mengigau.
"Tidak ada kematian lebih enak daripada menjadikan mangsa api. Menjadi abu, beterbangan bebas, nyaman sekali ...."
Eng Kiat membelalakkan mata, dan melihat gadis itu di dalam selimut bergerak gerak seperti menggeliat, lalu menarik napas panjang dan napas nya tenang kembali. Ia tersenyum. Ia mengigau, pikirnya dan setelah menanti sampai beberapa lama mendapat kenyataan bahwa gadis itu benar benar telah pulas dengan enaknya, Eng Kiat menjadi lega dan kembali ke perahunya. Ia sama sekali tidak tahu bahwa bayangan Siauw Yang mengikutinya dengan diam diam. Gadis yang tinggi ilmu ginkangnya ini melompat keluar dari pondok dan mengintai ke arah pemuda itu. Selelah mendapat kenyataan bahwa benar benar Eng Kiat sudah masuk kembali ke dalam perahu yang berada di pantai dan merebahkan diri di dalam perahu untuk tidur Siauw Yang cepat cepat kembali ke pondok. Ia segera mencari sebatang balok pohon yang masih banyak terdapat di depan pondok, sisa dari bahan bangunan pondok yang ditebang oleh Eng Kiat. Ia mencari balok yang sebesar tubuh manusia demikian pula panjangnya. Dengan hati hati ia meletakkan balok itu di atas dipan, lalu menyelimutinya. Ditanggalkannya baju yang dipakainya, dan ditutupkan pada balok di bawah selimut, dan sengaja mengeluarkan sedikit ujung baju itu di luar selimut. Dilihat begitu saja, memang kelihatan seperti dia sendiri yang masih tidur di bawah selimut itu. Cepat ia memakai pakaian yang diambil dari buntalannya, keluar sebentar untuk mencari beberapa buah batu karang kecil untuk senjata rahasia kemudian ia mempergunakan api lampu kecil di atas meja untuk membakar pondok dari belakang! Setelah itu, cepat sekali ia berlari dan melompat ke dalam gelap, terus menuju ke pantai di mana Eng Kiat masih tidur di dalam perahu nya. Ia bersembunyi di belakang pohon tak jauh dan pantai sambil memandang ke arah perahu dengan hati berdebar tegang. Berhasilkah nanti rencana dan siasatnya yang sudah diatur sebaik baiknya itu"
Suara bambu terbakar meledak dan tiba tiba Eng Kiat melompat bangun dari dalam perahu. Ia memandang ke sekeliling dan terlihatlah asap mengebul di antara cahaya merah dari arah pondok.
"Siauw Yang.... ! Kebakaran..... !" Semangat pemuda ini seakan akan terbang meninggalkan raganya karena ia teringat akan suara Siauw Yang ketika mengigau tadi. Bukankah dalam igauannya gadis itu menyatakan bahwa mati menjadi mangsa api amat senang"
"Celaka, jangan jangan dia bunuh diri dengan membakar pondok!" pikirnya dan tanpa banyak pikir lagi, Eng Kiat lalu melompat dan berlari cepat sekali menuju ke pondok yang terbakar.
Hampir berbareng, Siauw Yang pun melompat keluar dari tempat sembunyinya dan cepat ia merenggut putus tali perahu yang diikatkan pada batu karang. Ia tidak mau membuang waktu lagi, cepat diambilnya dayung yang terletak di dalam perahu dan didayungnya perahu itu ke tengah laut. Setelah berada di air yang dalam dan merasai sambaran angin malam, ia lalu memasang layar dan meluncurlah perahu kecil itu melawan ombak, ia bebas!
Sementara itu, Eng Kiat telah tiba depan pondok. Pondok itu telah mulai terbakar di bagian belakangnya dan kini telah merembet ke tengah, Eng Kiat membuka pintu depan dan dilihatnya Siauw Yang masih tidur dalam selimut, seakan akan tidak tahu dan tidak merasa bahwa pondok sudah terbakar sebagian.
"Siauw Yang.... !" teriak Eng Kiat dengan lega karena ternyata bahwa gadis itu belum terbakar. Ia melompat dan cepat menyambar "tubuh" di dalam selimut itu, dipondong bersama selimutnya. Akan tetapi alangkah kadetnya ketika ia merasa bahwa yang dipondongnya itu adalah benda keras yang membujur kaku. Cepat disingkapkan selimutnya dan ternyata bahwa di bawah selimut itu bukanlah tubuh Siauw Yang, melainkan sebatang kayu balok.
"Tertipu aku kali ini," serunya mendongkol sambil melemparkan balok itu ke dalam api yang menyala. Dengan cepat ia berlompat lompatan dan mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk lari ke pantai. Benar saja seperti yang dikhawatirkan, perahunya telah lenyap.
"Siauw Yang.... ! Jangan kau lari.... !" teriaknya ketika melihat bayangan perahu di bawah sinar bulan suram telah meluncur jauh di tengah samudera. Tanpa banyak ragu lagi ia lalu melompat ke dalam air dan berenang secepatnya. Akan tetapi, Siauw Yang ketika melihat betapa pemuda itu hendak mengejarnya, segera menggerakkan kedua tangannya dan banyak sekali benda benda hitam menyambar ke arah tubuh Eng Kiat.
Pemuda itu terkejut sekali ketika tiba tiba hidungnya terasa sakit sekali. Ia meraba dan hidungnya telah pecah tertimpuk batu karang, ia memiliki pendengaran terlatih dan tajam, akan tetapi oleh karena ia sedang berenang maka suara air terpukul kaki tangannya membuat ia tidak dapat mendengar datangnya senjata rahasia itu. Ia mengutuk dan cepat menyelam akan tetapi ketika ia timbul kembali, perahu itu telah memasang layar dan terdorong oleh angin sehingga meluncur amat cepatnya. Tak mungkin lagi baginya untuk mengejar.
Sambil menyumpah nyumpah diri sendiri karena kebodohannya Eng Kiat berenang ke tepi laut dan mengobati hidungnya yang pecah kutilnya.
"Awas kau, siluman rase. Kalau kau sampai tertawan lagi olehku, akan kubalas dendam ini!" Pada saat itu, lenyaplah kasih sayangnya kepada Siauw Yang, terganti oleh dendam yang hebat. Ia membayangkan pembalasan dendam yang sengeri ngerinya yang dapat diderita oleh gadis itu.
Dua hari Siauw Yang berlayar terus tanpa berani berhenti karena khawatir kalau kalau Eng Kiat mengejarnya. Ia masih belum memegang senjata, maka hal itu berarti bahwa ia belum dapat membela diri dengan baik apabila ia bertemu dengan pemuda itu, apalagi bertemu dengan tung hai Sian jin.
Setelah perutnya terasa lapar sekali, barulah ia terpaksa mendarat ke sebuah pulau kecil dan tak lama kemudian ia melihat Pun Hui yang berperahu sambil memanggil manggil namanya. Hal ini telah dituturkan di bagian depan.
Demikianlah, ia menuturkan semua pengalamannya itu kepada Pun Hui, juga tentang Eng Kiat yang tergila gila kepadanya, tidak ada yang disembunyikannya. Hanya satu hal tidak ia ceritakan, yakni bahwa Eng Kiat pernah menciumnya ketika ia mencoba untuk mengakalinya. Sampai saat ini kalau ia teringat akan perbuatan Eng Kiat itu, wajahnya menjadi merah dan otomatis telapak tangannya mengusap usap pipinya dengan keras, seakan akan hendak membersihkan noda yang mengotori pipinya.
"Kasihan sekali Bong Eng Kiat...." kata Pun Hui setelah mendengar penuturan itu. Siauw Yang memandang heran.
"Eh, Liem suheng. Kau masih bisa menaruh hati kasihan kepada seorang jahanam seperti dia?"
"Memang dia jahat, sumoi, dan kejahatannya itu pada suatu saat tentu akan membawanya ke jurang malapetaka. Akan tetapi aku kasihan sekali mendengar dia begitu mati matian mencintaimu. Tidak ada derita yang lebih hebat daripada cinta kasih tak terbalas."
Siauw Yang tersenyum dan wajahnya memerah ketika ia memandang tajam kepada pemuda sastrawan ini.
"Eh, eh, Liem suheng. Kau bicara seperti seorang kakek yang sudah banyak pengalaman saja."
"Memang aku sudah mempunyai banyak pengalaman dalam hidup, baik yang kualami sendiri maupun yang kubaca di dalam buku."
"Hemmm, kalau begitu, tidak aneh namanya kau bisa menyatakan hal seperti kaukatakan mengenai diri Eng Kiat tadi. Tentu kau sudah pernah mengalaminya sendiri, bukan begitu, suheng?"
"Mengalami apa, sumoi?"
"Bahwa.... bahwa kau pernah mengalami cinta kasih yang tak terbalas...."
Berobah wajah Pun Hui, ketika ia memandang kepada gadis itu, akan tetapi ketika ia bertemu pandang dengar Siauw Yang tiba tiba wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya.
"Dalam hal ini... . aku.... aku belum mengalami sendiri...." Ia berhenti sebentar lalu memandang tajam kepada Siauw Yang dan melanjutkan, "bukan tak pernah aku mencinta orang, akan tetapi.... aku tidak tahu apakah cinta kasihku terbalas atau tidak...."
Siauw Yang adalah seorang gadis yang cerdik sekali, ia telah dapat menduga bahwa pemuda inipun, seperti Eng Kiat, tergila gila kepadanya. Akan tetapi ia tahu pula bahwa dibandingkan dengan Eng Kiat, pemuda ini lain lagi. Perbedaan antara Eng Kiat dan Pun Hui laksana bumi dan langit. Kalau Eng Kiat berkepandaian silat tinggi dan merupakan seorang pemuda kasar liar seperti seekor harimau ganas, adalah Pun Hui seorang pemuda halus sopan santun seperti seekor domba jinak. Eng Kiat menyatakan cintanya dengan begitu saja, tanpa tedeng aling aling, secara kasar, bahkan tidak ragu ragu untuk menonjolkan gairah dan berahinya. Sebaliknya, biarpun sudah menjadi kenyataan bahwa dalam memikirkan dirinya, Pun Hui sampai lupa makan lupa tidur dan berani mati merantau seorang diri di tengah laut di antara pulau pulau kosong, namun untuk menyatakan cinta kasihnya. Pun Hui masih ragu ragu, terhalang oleh kesusilaan dan sopan santun.
Kini setelah percakapan mereka mendekati persoalan hati dan perasaan, Siauw Yang merasa tidak enak sendiri. Entah bagaimana, terhadap Pun Hui yang bersikap sopan santun, halus dan lemah lembut, ia tidak percaya akan kekuatan hati sendiri. Maka cepat cepat ia mengalihkan percakapan kepada persoalan lain, "Liem suheng, biarpun kau masih lemah dan belum kembali tenagamu, terpaksa kita harus segera berangkat. Aku percaya bahwa Eng Kiat takkan tinggal diam saja dan kalau dia dapat mengejar kita, sukarlah untuk melawannya tanpa pedang di tanganku"
"Baiklah, sumoi. Memang untuk apa sih lama lama tinggal di tempat ini" Mari kita kembali ke barat, ke daratan yang aman menyusul kakakmu yang sudah mendarat lebih dulu. Memang saudaramu itu tentu akan kembali ke sini lagi mungkin bersama orang tuamu. Akan tetapi, menanti mereka amatlah berbahaya dan siapa tahu kalau kalau kita akan bertemu dengan mereka di tengah perjalanan," jawab Pun Hui.
Dua orang muda itu lalu berlayar pergi, kini mempergunakan perahu yang ditumpangi oleh Pun Hui, karena perahu ini jauh lebih baik daripada perahu buatan Eng Kiat yang kasar dan sederhana. Sebentar saja mereka telah meninggalkan pulau kosong itu tanpa mampir di Sam liong to, karena untuk apakah mampir di pulau yang telah ditinggalkan oleh penghuninya itu"
Pun Hui nampak gembira sekali setelah kini ia dapat melihat Siauw Yang berada dalam keadaan selamat. Kesehatannya pulih kembali, karena sebenarnyapun ia tidak sakit apa apa, hanya kurang makan dan kurang tidur belaka.
Sekarang kita mengikuti perjalanan Song Tek Hong, pemuda gagah perkasa yang turun dari Sian hoa san untuk kembali ke Tit le, ke rumah orang tuanya yang telah dibakar habis oleh Lam hai Lo mo. Agak lega hatinya karena supeknya, yakni Sin pian Yap Thian Giok bersama nenek gurunya, Mo bin Sin kun telah berangkat menuju ke Pulau Sam liong to. Ia percaya bahwa dengan bantuan dua orang tua yang sakti ini tentu Siauw Yang akan tertolong. Ia perlu kembali lebih dulu ke Tit le, kerena ia masih belum tahu ke mana perginya ayah bundanya. Siapa tahu kalau kalau telah pula pulang ke Tit le atau setidaknya, kalau mereka belum pulang, ia dapat meninggalkan pesanan kepada tetangga atau meninggalkan surat untuk ayah bundanya, menceritakan segala peristiwa yang terjadi.
Tiga hari kemudian ia tiba di sebuah padang rumput yang sunyi. Ia melakukan perjalanan amat cepat karena hendak segera tiba di kampungnya. Setelah padang rumput terlewat, ia mulai menyeberangi daerah yang berbukit dan berbatu. Perjalanan melalui daerah ini amat sukar dan sulit, karena tidak ada jalan raya dan ia harus melakukan perjalanan melalui jalan liar yang berbatu batu dan berlubang lubang. Kalau tidak hati hati, orang yang melalui jalan ini bisa tergelincir dan tersandung batu atau terjeblos ke dalam lubang yang tertutup oleh bulu bulu kecil. Juga keadaan di sini amat sunyi dan panas, tak kelihatan seorang pun manusia lewat.
Belum lama Tek Hong melewati daerah ini, ttba tiba dari depan berkelebat bayangan orang dan tahu tahu seorang tua bertubuh tinggi kurus yang memegang sebatang tongkat panjang kepala naga (liong touw tung) telah berdiri di hadapannya.
Tek Hong terkejut sekali ketika melihat bahwa orang ini bukan lain adalah Tung hai Sian jin! Ia sudah tahu bahwa kakek ini adalah orang yang memusuhi ayahnya, maka bertemu di tempat sunyi seperti ini dengan tokoh laut timur ini, sungguh bukan hal yang menyenangkan.
Namun Tek Hong tidak menjadi gentar hanya menegur dengan suara tenang, "Tung hai Sian jin, setelah kau menawan adikku Siauw Yang, sekarang kau menghadang perjalananku, ada keperluan apakah?"
Tung hai Sian jin tertawa bergelak, menggerak gerakkan tongkatnya dan tahu tahu tongkat itu menghantam sebuah batu karang besar di sampingnya. Terdengar suara keras dan batu karang itu terbelah dua! Diam diam Tek Hong kagum menyaksikan demonstrasi tenaga yang luar biasa ini dan mengeluh bahwa ia tak mungkin dapat menangkan kakek sakti ini.
"Ha, ha, ha! Dasar keturunan Thian te Kiam ong, yang perempuan tinggi hati dan tabah, yang laki laki sombong dan berani! Anak muda, kalau aku mau menyerangmu, apa kaukira akan dapat melawanku" Ha, ha, ha!"
"Menang kalah bukannya soal, orang tua. Yang penting siapa berpegang kepada kebenaran dialah yang menang!" jawab Tek Hong.
Kembali Tung bai Siang jin tertawa besar."Ha, ha, ha! Kau benar sekali. Oleh karena itu akupun sekarang hendak berpegang kepada kebenaran dan aku bertemu dengan kau ini bukan kusengaja. Akan tetapi bukannya tidak kebetulan, karena memang aku sedang mencari cari ayah bundamu. Karena mereka tidak ada di Tit le, kau sebagai kakak dari adikmu perempuan dapat juga menjadi wakil orang tuamu."
Berdebar hati Tek Hong. Apakah kehendak kakek ini hendak menemui ayah bundanya" Kalau hendak mengadu kepandaian, terang tidak mungkin karena kakek ini sudah pernah kalah oleh ayalnya dan ia percaya bahwa kalau bertempur lagi, kakek ini tetap saja takkan dapat menangkan ayahnya.
"Apa kehendakmu hendak bertemu dengan ayah?" tanyanya.
"Dengarlah kau, orang muda yang mewakili ayah bundamu. Adik perempuanmu telah berada bersama kami, dan kebetulan sekali puteraku cinta kepadanya. Memang aku lihat mereka berdua pantas sekali menjadi suami isteri, maka aku sekarang datang dengan maksud baik, yakni hendak meminangnya dan minta persetujuan kedua orang tuamu agar adik perempuanmu itu menjadi isteri Eng Kiat puteraku."
"Tung hai Sian jin, tak ada aturan seperti ini! Bukankah dahulu kau pernah mengajukan pinangan dan ditolak oleh adikku dan orang tuaku" Bagaimana kau sekerang ada muka untuk mengajukan pinangan lagi?"
Merah wajah Tung hai Sian jin. "Sombong! Apa kaukira darah keluargamu lebih bersih dari pada darah kami" Soal pinangan dulu dan sekarang lain lagi. Adikmu sudah suka dengan anakku dan sekarang adikmu bersama kami."
"Hm, kau mau melakukan paksaan dan berani menawan adikku?" Tek Hong menuduh dengan berani dan marah.
"Aku hanya minta perkenan dan persetujuanmu sebagai wakil orang tuamu, bukan hendak berbantah dan banyak mengobrol, orang muda. Pilih saja, kau akan melihat adikmu mati penasaran tanpa ada orang yang tahu ataukah melihat adikmu hidup berbahagia sebagai mantuku?"
Biarpun dadanya merasa meledak saking marahnya, namun Tek Hong bukanlah seorang bodoh, ia mengerti betul bahwa kakek ini hendak mempergunakan paksaan terhadap adiknya dan ia tidak tahu bagaimana nasib Siauw Yang. Tentu saja ia tidak sudi untuk menerima pinangan itu tanpa menanya isi hati Siauw Yang dan tanpa minta persetujuan orang tuanya, akan tetapi menolak begitu sajapun tidak baik karena mungkin sekali akan membahayakan nyawa adiknya.
"Tung hai Sian jin, biarpun aku adalah kakak dari Siauw Yang, namun dalam hal perjodohannya aku tidak berhak memutuskan. Ayah bundaku masih hidup dan aku harus minta persetujuan mereka lebih dulu. Lebih baik kau mencari mereka, dan mendengar keputusan mereka."
"Di mana mereka?"
"Aku sendiri pun sedang mencari mereka, karena rumah kami telah dibakar oleh iblis tua Lam hai Lo mo."
Tung hai Sian jin tertawa bergelak gelak. "Ha, ha, ha! Lam hai Lo mo memang iblis tua, aku setuju kau menyebutnya demikian. Orang tuamu tentu mencarinya dan aku tidak perduli akan semua itu, bukan urusanku! Lebih baik kau sekarang ikut adikmu dengan puteraku. Setelah itu, bukankah aku menjadi besanmu" Dengan ikatan keluarga, berarti aku adalah orang tuamu sendiri, dan setelah anakku kawin dengan adikmu, jangan kau khawatir, urusan Lam hai Lo mo si iblis tua, serahkan saja kepadaku! Aku yang akan bikin buntung sebelah kakinya lagi."
Tek Hong mengerutkan keningnya. Soal membalas dendam kepada Lam hai Lo mo adalah urusan yang kecil tak berarti apabila dibandingkan dengan urusan perjodohan Siauw Yang karena hal ini adalah penentuan nasib dari adiknya.
"Tidak mungkin, lo cianpwe. Aku tidak berani menjadi wakil orang tuaku dalam hal ini. Lebih baik kau mencari ayah bundaku untuk urusan itu."
Melototlah mata Tung hai Sian jin.
"Apa" Kau berani membantah kehendakku" Apa kau ingin melihat tongkatku mengamuk" Apa kau berani melawanku?"
"Tung hai Sian jin, mungkin sekali kepandaianmu jauh lebih lihai daripada kebisaanka yang sedikit, akan tetapi demi mempertahankan kehormatan adikku, aku bersedia mengorbankan nyawa!" kata Tek Hong dengan sikap gagah.
"Kalau begitu, biarlah aku membawa kepalamu sebagai saksi perkawinan adikmu!" bentak kakek itu yang cepat menyerang dengan tongkatnya, biarpun ia belum mencabut pedangnya, namun Tek Hong sudah waspada dan siap sedia, ia telah menduga akan datangnya serangan yang luar biasa hebatnya, maka cepat ia melompat ke belakang menghindarkan diri dari serangan maut itu, sambil mencabut pedangnya, ia juga marah dan sakit hati sekali, apalagi ketika ia melihat pedang adiknya, yakni pedang Kim kong kiam yang sebetulnya adalah pedang ayahnya, kini nampak tergantung di pinggang orang tua itu.
Misteri Pulau Neraka 17 Tangan Berbisa Karya Khu Lung Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 1
^