Pencarian

Pedang Sinar Emas 20

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 20


"Kitapun orang orang berbahagia, suamiku."
"Tentu saja. Aku punya engkau dan engkau punya aku, kita suami isteri saling mencinta, dan kita mempunyai seorang putera dan seorang puteri sedangkan anak anak kita...." sampai di sini berubah wajah Bun Sam dan alisnya dikerutkan.
"Hm, tak perlu berkeluh kesah, suamiku. Mereka sudah pergi dan hal ini tak dapat kita robah lagi, kewajiban kita hanya berikhtiar sedapatnya mencari mereka. Apa guna keluh kesah yang hanya akan mengganggu tugas kita, membuat kita malas dan mungkin membuat kita sakit?" Sian Hwa mengulangi kata kata petani tadi.
Bun Sam memandang isterinya, mereka tersenyum dan segera membalapkan kuda menuju ke utara, memasuki Propinsi Hopei. Percakapan dengan petani sederhana tadi bukan tiada gunanya bagi mereka!
Jilid XXVII MENJELANG senja, Bun Sam dia Sian Hwa memasuki pintu gerbang kota Kim ke bun. Pada pintu gerbang itu terdapat sebuah ayam batu yang dipasang di atas pintu gerbang, dicat dengan warna kuning emas. Inilah lambang kota Kim ke bun yang kelihatannya cukup ramai, penuh dengan bangunan bangunan tembok yang besar.
Dengan lambat suami isteri ini menjalankan kuda memasuki kota, hendak mencari rumah penginapan. Tiba tiba terdengar orang berseru memanggil dan ketika mereka menoleh, mereka melihat seorang laki laki tinggi besar bermuka hitam. Orang ini kelihatan kasar dan di punggung nya tergantung sebuah pedang, pakaiannya mewah sekali seperti pakaian seorang kaya raya,
"Song taihiap.... alangkah bahagiaku bertemu dengan Song taihiap dan lihiap yang mulia"."
Bun Sam dan Sian Hwa saling lirik sambil menahan senyum. Alangkah mudahnya orang berbahagia sungguhpun kebahagiaan yang diutarakan oleh orang muka hitam ini belum tentu aseli. Lagi pula, mereka saling pandang karena merasa heran. Orang ini belum pernah mereka kenal, bagaimana mereka dapat bersikap demikian gembira berjumpa dengan mereka di tempat itu"
Melihat laki laki tinggi besar itu menghampiri mereka dan menjura dengan penuh sikap hormat, Bun Sam membalas penghormatannya dengan merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Song taihiap dan lihiap kedatangan ji wi di kota ini bagi siauwte seakan akan bintang bintang jatuh dari langit! Siauwte mengundang dengan penuh hormat, sudilah kiranya ji wi menghadiri pesta pernikahan siauwte malam ini di rumah siauwte yang buruk."
"Nanti dulu, sobat," Bun Sam tersenyum mendengar ucapan itu. "Sebelum kita melanjutkan percakapan, tolonglah kau memperkenalkan diri lebih dulu. Maafkan kami yang sama sekali tidak ingat lagi siapa adanya kau ini."
Orang tinggi besar itu mengangkat ke dua alisnya yang lebat, kemudian tertawa sambil menampar kepalanya sendiri.
"Aha, memang aku yang bodoh dan tolol! Tentu saja ji wi tidak kenal lagi kepadaku. Thian te Kiam ong, siauwte adalah Ouw bin cu Tong Kwat!"
Kembali Bun Sam dan Sian Hwa saling pandang dengan mulut ternganga. Mereka memang kenal Ouw bin cu Tong Kwat, akan tetapi orang ini dahulu adalah seorang tosu. Bagaimana sekarang telah berobah pakaian seperti seorang hartawan biasa" Kini teringatlah mereka muka orang ini. Inilah orang yang dulu pernah mampir di Tit le dan yang kemudian menurut cerita Tek Hong dan Siauw Yang, telah merebut peta palsu yang dibawa oleh Coa Kim. Orang ini akan menikah" Hampir Bun Sam tertawa. Usia Ouw bin cu Tong Kwat ini sedikitnya sudah empatpuluh dua tahun.
"Ah, maafkan kami, Ouw bin cu. Bukankah kau dahulu seorang tosu?" secara terang Bun Sam bertanya karena ia memang benar benar heran sekali. Dahulu tosu, sekarang hartawan dan hendak menikah!
Muka yang hitam itu menjadi lebih hitam lagi, tanda bahwa warna merah menjalar di mukanya. Ketawanya masam tanda bahwa dia malu sekali.
"Sudah lama aku membuang jubah pendeta dan menjadi seorang biasa, taihiap. Sekali lagi kuulangi, mohon ji wi sudi menjadi tamu kehormatan dalam pesta pernikahanku malam ini."
Bun Sam menghela napas ia tidak tertarik sama sekali untuk menghadiri pesta pernikahan, walaupun pesta pernikahan seorang bekas tosu yang sesungguhnya amat menarik hati dan luar biasa.
"Maaf, Ouw biu cu. Kami lelah dan hendak beristirahat. Kami sedang mencari rumah penginapan."
"Tak usah, taihiap. Tak usah! marilah bermalam di rumahku saja. Rumahku cukup besar, yang paling besar di kota ini!"
"Hem, agaknya kau telah menjadi seorang hartawan besar sekarang, Ouw bin cu. Pantas saja kau tidak mau menjadi tosu! Sudahlah, biarkan kami mencari hotel saja, kami tidak mengganggumu, apalagi kau menikah malam ini," kata Bun Sam sambil tersenyum.
"Apa boleh buat kalau taihiap berkukuh hendak bermalam di rumah penginapan. Mari siauwte antarkan." Sambil berkata demikian, Ouw bin cu lalu menuntun kuda Sian Hwa, membawa mereka ke sebuah rumah penginapan yang cukup baik. Sepasang suami isteri itu melihat betapa orang orang yang bertemu di jalan, memberi hormat kepada Ouw bin cu dan mereka itu juga memandang heran melihat Ouw bin cu menuntun kuda yang ditunggangi oleh Sian Hwa.
Pemilik rumah penginapan menyambut ke datangan mereka sambil membungkuk bungkuk penuh hormat, terutama sekali kepada Ouw bin cu.
"Tong wangwe (hartawan Tong), selamat datang. Apakah yang dapat kami lakukan untukmu?"
"Beri kamar terbaik untuk dua orang tamuku yang terhormat ini. Layani mereka dengan baik baik dan penuh penghormatan."
"Baik, wangwe, baik!" Para pelayan sibuk menyambut mereka dan kuda serta barang barang sepasang suami isteri ini diatur baik baik oleh mereka.
"Taihiap, rumah penginapan telah didapatkan. Kuharap taihiap berdua sudi datang menghampiri malam pernikahanku sebentar lagi," kembali Ouw bin cu mendesak.
Bun Sam mengerutkan kening. Orang ini benar benar terlalu sekali, mana ada orang mengundang dengan cara memaksa seperti itu"
"Maaf Ouw bin cu, malam ini kami hendak beristirahat karena sehari melakukan perjalanan,"
"Taihiap, ini urusan....urusan jiwa....! Siauwte terancam...."
"Apa katamu?" Bun Sam memandang tajam.
"Perkenankan aku menceritakan hal ini di dalam kamar agar jangan terdengar oleh lain orang."
Bun Sam dan Sian Hwa mengangguk dan ketiga orang ini memasuki kamar. Begitu tiba di dalam kamar, Ouw bin cu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bun Sam dan Sian Hwa!
"Eh, eh, Ouw bin cu, permainan apa yang kaulakukan ini?" Bun Sam menegur.
"Taihiap, kasihanilah saya dan tolonglah saya daripada bencana ini. Sudah berpuluh tahun siauwte menderita, dan sekarang baru saja menikmati hidup sebagai orang biasa dan mau menikah, tiba tiba datang malapetaka."
"Bangkit dan duduklah. Coba kauceritakan yang jelas," kata Bun Sam.
Ouw bin cu duduk di atas bangku dengan muka sedih, lalu ia bercerita, ia menimang seorang gadis dusun di luar kota Kim ke bun, pinangannya diterima dan hari pernikahan sudah ditetapkan. Akan tetapi, tiga hari yang lalu, ketika ia dan beberapa orang kawannya sedang bermain catur sambil minum arak, berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu tahu dia dan tiga orang kawannya tertotok kaku. Ketika mereka sadar kembali, di tembok ruangan itu telah ada tulisan orang yang mengancam supaya pernikahannya dibatalkan dan supaya ia memberi uang seribu tail perak kepada calon isterinya.
"Melihat gerakan penjahat itu, terang bahwa dia lihai sekali, taihiap. Tiga orang kawanku itu pun bukan orang sembarangan, akan tetapi berempat dengan siauwte, kami tak sempat bergerak dan tahu tahu telah tertotok. Oleh karena itu melihat kedatangan ji wi berdua, timbul harapan di dalam hati siauwte. Tolonglah siauwte dari ancaman penjahat itu, taihiap."
Bun Sam dan isterinya terheran. Kepandaian Ouw bin cu ini biarpun bagi mereka tidak ada artinya, namun kalau dibandingkan dengan penjahat penjahat basa saja, sudah termasuk tinggi. Bagaimana ada penjahat dapat menotoknya bersama tiga kawannya dalam waktu secepat itu" Dan Bun Sam juga merasa ragu ragu, ia maklum bahwa Ouw bin cu bukanlah orang yang mempunyai nama harum, dan tentu penjahat itu mempunyai alasan kuat untuk memaksa dia membatalkan penikahannya.
"Hm, kalau ada persoalan ini, biarlah kami sekarang juga melihat tulisan d ruang dalam rumahmu itu," kata Bun Sam. Ouw bin cu girang sekali dan menjatuhkan diri berlutut.
"Tentu, tentu, taihiap. Sebentar siauwte hendak menyuruh orang menjemput ji wi." Dengan girang ia lalu pergi meninggalkan suami isteri itu.
"Heran sekali," kata Bun Sam kepada isterinya setelah si muka hitam itu pergi. "Siapakah penjahat yang begitu berani?"
"Memang aneh dan amat menarik untuk diselidiki. Baik bagi kita, karena perjalanan tanpa terjadi sesuatu bisa membosankan," jawab isterinya.
Setelah mandi dan tukar pakaian, mereka keluar. Benar saja, tiga orang pesuruh Ouw bin cu datang menjemput dan sepasang suami isteri pendekar itu lalu diantar ke rumah Ouw bin cu.
Rumah itu sebuah gedung besar yang mentereng dan sudah dihias indah. Di ruang depan ada belasan orang tamu duduk menghadapi arak. Mereka ini adalah tamu tamu atau sahabat sahabat dari jauh yang datang lebih dulu.
Ouw bin cu sendiri menyambut Bun Sam dan Sian Hwa, dan semua tamu berdiri sebagai penghormatan karena mereka sudah mendengar siapa adanya dua orang suami isteri itu. Mereka menandang kagum dan Bun Sam juga melihat bahwa semua tamu itu berpakaian sebagai orang orang kang ouw, maka iapun membalas penghormatan mereka. Ouw bin cu langsung membawa Bun Sam dan Sian Hwa ke dalam ruangan di mana penjahat itu datang. Lain orang tidak diperkenankan ikut Ouw bin cu memperlihatkan tulisan di tembok dan kagumlah Bun Sam dan Sian Hwa melihat tulisan yang amat indahnya di tembok yang penuh itu. Tidak sembarang orang dapat menulis huruf huruf demikian indahnya, dengan gaya yang gagah dan halus.
"Bagus sekali tulisan itu!" Sian Hwa memuji.
Mereka lalu membaca tulisan itu, sedangkan Ouw bin cu berdiri memandang dengan muka cemas.
Ouw Bin Cu. Batalkan niatmu mengawini Siu Hiang, bebaskan dia dan beri seribu tail perak. Kalau kau membangkang malam hari perkawinan tiba, aku datang mengambil uang dan kepalamu.
Tidak ada tanda tangan di bawah tulisan itu dan biarpun isinya mengancam, namun tulisan itu bagus seperti hiasan tembok dan cara mengatur kata katanya bukan seperti yang biasa dipergunakan oleh penjahat kasar. Lebih tepat tulisan seorang terpelajar tinggi.
Bun Sam mengerutkan keningnya, "Ouw bin cu, apakah kau mengawini Siu Hiang ini dengan cara memaksa?"
"Ah, tidak sama sekali, taihiap. Aku melamarnya dengan baik baik dan juga orang tuanya sudah menerima sebagaimana mestinya."
"Hm, kalau begitu, penjahat ini berlaku sewenang wenang. Di mana rumah tunanganmu itu?"
"Di dusun Kan si sebelah barat kota ini, hanya tujuh li jauhnya," jawab Ouw bin cu.
"Baiklah, aku tidak tinggal terlalu lama di sini, akan tetapi percayalah bahwa kami akan menyelidiki perkara ini dan berjanji akan menangkap penulis ini kalau ia datang. Akupun ingin sekali bertemu dan bicara dengan orangnya."
Ouw bin cu sudah tahu akan watak pendekar besar ini yang sekali bicara takkan dapat dibantah lagi, dan iapun amat percaya bahwa malapetaka ini tentu akan dapat ditolak oleh Thian te Kiam ong, maka ia menjadi girang sekali dan mengantar kedua orang suami isteri itu sampai di luar gedungnya.
Sebetulnya, belasan orang yang berada di ruang depan itu adalah jago jago silat kawan kawan Ouw bin cu yang ia datangkan dari pelbagai tempat untuk melindunginya. Namun, melihat kelihaian penjahat yang mengancam, ia masih merasa gelisah. Sekarang dengan adanya Thian te Kiam ong dan isterinya, ia menjadi lega dan beranilah ia minum arak dan bersenda gurau dengan kawan kawannya.
Adapun Bun Sam dan Sian Hwa setelah keluar dari gedung itu lalu berunding.
"Untuk mencari tahu akan rahasia ini, aku harus menyelidiki rumah Siu Hiang itu. Kalau memang Ouw bin cu berlaku sewenang wenang dalam pernikahannya, aku membenarkan ancaman penjahat itu, sungguhpun aku tidak setuju kalau ia membunuh Ouw bin cu tanpa ada kesalahan yang amat besar. Isteriku, kau naiklah ke atas genteng rumah Ouw bin cu dan berjaga sebentar di sana. Aku takkan pergi lama, hanya akan menyelidiki ke dusun Kan si."
"Baik!" Sian Hwa mengangguk dari dengan gerakan lincah nyonya ini lalu melompat ke atas genteng rumah terdekat dan meloncat loncat menuju ke rumah Ouw bin cu. Bun Sam memandang sebentar ke arah bayangan isterinya, lalu ia berlari cepat sekali ke arah barat.
Kepandaian ilmu lari cepat dari Thian te Kiam ong sudah mencapai tingkat tinggi sekali maka sebentar saja ia sudah tiba di dusun Kan si. Mudah saja baginya untuk mencari rumah dari Siu Hiang, karena di antara rumah rumah sederhana dan miskin di dusun itu, terdapat sebuah rumah yang dihias seperti kalau sedang merayakan pesta pernikahan, ia melihat beberapa orang tetangga rumah itu berkumpul di ruang depan. Segera Bun Sam melompat ke atas genteng dan mengadakan penyelidikan ke bagian belakang.
Usahanya berhasil baik sekali karena tiba tiba ia mendengar suara isak tangis tertahan dari dalam sebuah kamar ia cepat menghampiri dan mengintai dari atas genteng. Dilihatnya seorang gadis muda yang memakai pakaian baru tengah duduk menangis di atas pembaringan, sedangkan di depan pembaringan duduk sepasang suami isteri petani di atas bangku. Suami isteri ini sedang memberi nasehat nasehat kepada puterinya itu.
"Siu Hiang, untuk apa kau menangis" Kami orang tuamu mengawinkan engkau dengan Tong wangwe demi kebahagiaanmu dan kebahagiaan kita serumah tangga. Keadaan begini sukar dan suami mana yang lebih baik daripada Tong wangwe" Biarpun dia sudah agak lanjut usianya, namun boleh dibilang masih belum tua. Dia orang terkaya di kota Kim ke bun, dan kau akan berbahagia menjadi isterinya. Makan cukup pakaian indah, tinggal di gedung besar, dilayani oleh banyak pelayan. Mau apa lagi?" terdengar laki laki tua itu berkata dengan suara setengah membujuk setengah memaksa.
Gadis itu hanya terisak saja, tak berani menjawab.
"Siu Hiang, anakku yang manis," wanita tua itu ikut membujuk, "kalau kau menjadi isteri Tong wangwe, berarti kau telah menolong orang tuamu yang setiap waktu terancam bahaya kelaparan. Keadaan begini sukar, mendapatkan suami seperti dia sama dengan kejatuhan bulan purnama. Kalau kau menurut dengan baik baik, berarti kau menjadi seorang anak yang berbakti dan hidupmu akan berbahagia. Ataukah kau lebih suka menjadi anak yang tidak berbakti dan akhirnya menikah dengan seorang pemuda sini yang untuk mencarikan isi perutnya sendiri saja sudah sukar sekali" Apakah kau lebih suka melihat orang tuamu mati kelaparan?"
Setelah berkata demikian ibu anak itu menangis. Siu Hiang makin sedih tangisnya dan memeluk ibunya. Dengan suara terputus putus ia hanya dapat berkata,
"Ibu...... aku tidak ingin menikah......"
"Anak durhaka!" Si ayah marah marah. "Biar kau berkeras kepala dan aku akan bunuh diri kalau besok kau banyak rewel!" Selelah berkata demikian, orang tua itu. Lalu keluar dari kamar, menutup pintu keras keras dan menuju ke ruang depan untuk melayani para tamunya.
Tinggal si ibu yang membujuk terus dan gadis itu hanya terisak perlahan, agaknya ia menyerah kepada nasib.
Bun Sam menghela napas panjang. Peristiwa yang ia lihat di dalam rumah kecil ini bukanlah hal baru dan aneh. Sudah banyak sekali terjadi hal demikian, yakni gadis petani petani miskin harus menikah dengan laki laki pilihan orang tua yang mendasarkan pernikahan itu karena melihat kekayaan calon mantu. Akan tetapi, di dalam pernikahan, orang tualah yang berhak menentukan, dia bisa berbuat apakah" Ia tidak berhak mencampuri urusan mereka. Dan dalam penyelidikan ini, ia terheran. Terang sekali bahwa baik orang tua maupun anaknya tidak tahu menahu tentang sepak terjang penjahat yang mengancam Ouw bin cu Tong Kwat. Kalau calon pengantin wanita tahu tidak nanti ia begitu putus asa dan berduka. Dengan demikian ia tidak dapat menyelidiki penjahat itu di tempat ini. Dan ia mendapat kenyataan pula bahwa dalam pernikahan ini, memang benar Ouw bin cu tidak mempergunakan kekerasan. Pernikahan ini sah dan baik karena orang tua si gadis telah menyetujui, sungguhpun persetujuan ini berdasarkan keadaan calon mantu yang hartawan.
"Lebih baik aku kembali ke Kim ke bun, siapa tahu kalau kalau penjahat itu sudah turun tangan." pikir Bun Sam yang mengkhawatirkan keadaan isterinya. Ia percaya bahwa kepandaian isterinya sudah cukup untuk menghadapi setiap orang penjahat, akan tetapi kasih sayang yang amat besar terhadap isterinya membuat ia merasa tidak enak kalau meninggalkan isterinya seorang diri untuk menghadapi lawan tangguh. Bun Sam cepat sekali berlari kembali ke kota Kim ke bun.
"Demikian cepat" Bagaimana kabarnya?" tanya Sian Hwa ketika melihat suaminya sudah kembali lagi demikian cepatnya.
"Di sana tidak ada apa apa," jawab Bun Sam. "Pernikahan biasa saja, hanya si gadis dipaksa oleh orang tua yang melihat tumpukan harta Ouw bin cu. Apakah penulis ancaman itu tidak muncul?"
"Belum," kata Sian Hwa kesal. "Aku menunggu angin dingin saja di atas sini."
"Kalau begitu marilah kita turun saja, kita lihat siapa saja di antara tamu tamu Ouw bin cu itu," kata Bun Sam yang merasa kasihan kepada isterinya.
Turunlah mereka dengan gerakan ringan mengejutkan Ouw bin cu dan kawan kawannya yang tahu tahu melihat mereka telah berada di ruang tamu. Ouw bin cu segera menyambut mereka dengan penuh penghormatan dan mempersilahkan mereka duduk.
"Bagaimana, taihiap" Apakah sudah berhasil?" tanyanya penuh harapan.
Bun Sam menggeleng kepala. "Biar kami menanti datangnya pengancammu itu di sini."
Ouw bin cu girang sekali dan segera berteriak menyuruh pelayan menghidangkan makanan dan arak. Kemudian ia memperkenalkan para tamunya kepada Bun Sam dan Sian Hwa. Sebagian besar daripada tamu tamu itu adalah orang orang kang ouw yang kasar, namun mereka sudah mengenal baik siapa adanya Thian te Kiam ong, maka mereka memandang dengan segan tidak berani bersikap kasar. Di antara mereka, yang menarik perhatian Bun Sam dan isterinya hanya dua orang yang cukup terkenal yakni Siauw giam ong Lie Chit yang dulunya seorang tosu, sekarang berobah menjadi seorang berpakaian mewah seperu hartawan pula, dan orang ke dua adalah Jeng jiu mo Thio Kim Si Iblis Tangan Seribu.
Para pembaca tentu masih ingat bahwa Siauw giam ong Lie Chit adalah kawan dari Ouw bin cu dan mereka berdualah yang dahulu menuju ke Pulau Sam liong to dan kemudian tertawan oleh Lam hai Lo mo. Setelah keduanya, sebagaimana telah dituturkan di depan, berhasil minggat dari Sam liong to membawa harta dari dalam gua milik Lam hai Lo mo, keduanya menjadi hartawan hartawan besar dan melempar jauh jauh jubah tosu untuk kembali menjadi orang biasa yang kaya raya. Lie Chit juga menjadi hartawan dan tinggal di sebuah kota tak jauh dari Kim ke bun dan selalu dua orang ini masih mengadakan hubungan baik.
Adapun Jeng jiu mo Thio Kim juga pernah pembaca kenal. Orang ini adalah tangan kanan dari Ciong Pak Sui atau Ciong Siauw ong ya, murid Pat jiu Giam ong yang tinggal di kota Ceng te dan yang gemar sekali memelihara kuda. Kalau kedatangan Siauw giam ong Lie Chit adalah sewajarnya untuk menghadiri pesta pernikahan sahabat baiknya, adalah kedatangan Thio Kim ini penuh rahasia. Dia telah mendengar dari Ciong Pak Sui bahwa dua orang bekas tosu ini dicari cari oleh Lam hai Lo mo. Thio Kim amat luas pergaulannya di dunia kang ouw, maka sebentar saja ia sudah dapat menemukan di mana bersembunyinya dua orang itu. Ia datang dan kebetulan di rumah Ouw bin cu sedang diadakan pesta pernikahan, maka ia berpura pura menghaturkan selamat. Padahal diam diam ia menjadi girang sekali karena selain Ouw bin cu, ia juga melihat Lie Chit. Inilah hasil yang amat besar baginya karena Ciong Pak Sui tentu akan girang sekali mendengar akan hal ini dan akan menyampaikan kepada Lam hai Lo mo yang telah menjadi sekutu Ciong Pak Sui.
Sekarang, secara tidak terduga duga Thio Kim melihat pula Bun Sam dan Sian Hwa. Bukan main tegangnya hatinya. Ia berdebar dan menghaturkan selamat kepada diri sendiri yang begitu baik nasibnya sehingga tidak saja ia bisa mendapatkan dua orang yang telah menghianati Lam hai Lo mo dan mencuri harta benda dari Sam liang to, bahkan ia kini bertemu pula dengan Thian te Kiam ong dan isterinya, dua orang yang di benci sekali oleh Lam hai Lo mo. Thio Kim tahu bahwa kalau dia bisa memancing suami isteri ini ke Pulau Sam liong to sehingga perkumpulan Sam hiat ci pai dapat menyerang mereka, jasanya akan besar sekali. Dia memutar otak dan sambil tersenyum ramah ia memberi hormat kepada Bun Sam dan Sian Hwa sambil berkata.
"Siauwte Thio Kim sudah lama sekali mendengar nama besar Thian te Kiam ong suami isteri dan merasa berbahagia sekali dapat bertemu di sini. Kebetulan sekali belum lama ini siauwte juga mendapat penghormatan untuk bertemu dengan puteri taihiap yang gagah perkasa."
Wajah Bun Sam dan Sian Hwa berobah, berseri dan penuh perhatian.
"Saudara Thio yang baik, di manakah kau bertemu dengan puteri kami?" tanya Sian Hwa tidak sabar.
"Dahulu siauwte bertemu dengan dia di kota Ceng te, akan tetapi puteri mu itu telah melanjutkan perjalanannya. Karena Siauwte tidak mendapat kesempatan bercakap cakap dengan puteri mu, maka tidak tahu ke mana dia pergi. Hanya Ciong Siauw ong ya yang tahu di mana dia berada karena Siauw ong ya yang bercakap cakap dengan nona Bun Sam itu."
"Siapa itu Ciong Siauw ong ya?" tanya Bun Sam mengerutkan kening. Bagaimana puterinya dapat bercakap cakap dengan orang orang seperti Thio Kim ini"
"Ciong Siauw ong ya bernama Ciong Pak Sui, seorang Pangeran penggemar kuda. Kebetulan sekali sekarang Ciong Siauw ong ya sedang berada di Ningpo. Kalau ji wi mau bertemu dengan dia, boleh Siauwte antarkan."
Bun Sam mengangguk angguk dan bertukar pandang dengan Sian Hwa. Mereka tahu bahwa kota Ningpo adalah kota di sebelah timur Propinsi Cekiang, dekat dengan laut dekat pula dengan kepulauan di mana terdapat Pulau Sam liong to.
Pada saat itu, Bun Sam mendengar sesuatu, ia memberi tanda dengan tangannya kepada semua orang agar menghentikan percakapan mereka. Pada saat itu, malam telah larut sekali dan tiba tiba Bun Sam berkata kepada Sian Hwa.
"Isteriku, mari kita melihat ke atas. Saudara saudara harap jangan bergerak dan tinggal saja di sini. Biar kami berdua yang menyambut datang nya penjahat!"
Semua orang terkejut, terutama sekali Ouw bin cu menjadi pucat. Mereka tidak mendengar sesuatu, bahkan sesungguhnya Sian Hwa sendiri belum mendengar sesuatu. Akan tetapi pendengaran Bun Sam luar biasa tajamnya dan pendekar ini sudah dapat mendengar tindakan kaki orang di atas genteng, masih agak jauh.
Dengan tenang Bun Sam mengajak isterinya keluar dari ruang itu dan sekali melompat mereka telah berada di atas genteng. Keadaan gelap sekali karena di langit hitam tidak kelihatan bintang maupun bulan. Hanya sedikit sinar penerangan lampu yang menerobos dari celah celah genteng saja yang membuat mereka masih dapat melihat ke depan.
Tiba tiba mereka melihat bayangan berkelebat, pesat sekali. Di dalam gelap mereka tidak dapat melihat wajah bayangan itu, yang mereka ketahui hanya bahwa bayangan itu bertubuh kecil langsing. Bun Sam sebagai seorang pendekar besar tidak suka bersembunyi, maka ia segera melompat keluar menghadang kedatangan bayangan itu.
Bayangan tadipun sudah melihatnya, dan tanpa banyak cakap lagi bayangan itu lalu menubruk maju sambil melakukan serangan dengan pukulan keras ke arah dada Bun Sam! Keadaan gelap sekali sehingga Bun Sam tidak sempat melihat pukulan apakah yang dilakukan oleh lawan ini, namun dengan sigapnya ia mengelak sambil membentak,
"Penjahat ganas, siapakah kau begitu tidak tahu aturan" Sebelum mengadu kepandaian, kau mengaku dulu siapa kau dan apa maksudmu melakukan pemerasan terhadap Ouw bin cu!"
Sebelum Bun Sam menghabiskan kata kata nya bayangan itu sudah tersentak kaget dan melompat jauh sambil berseru,
"Hayaaa".!" Kemudian tanpa berkata apa apa lagi bayangan ini lalu melarikan diri. Bun Sam menjadi terheran dan juga penasaran.
"Hayo kita kejar dia!" serunya kepada Sian Hwa yang juga merasa aneh. Kedua suami isteri ini lalu mengerahkan tenaga mengejar bayangan itu yang berlompat lompatan dari genteng rumah ke genteng rumah yang lain. Larinya begitu gesit dan cepat sehingga di dalam gelap, sukar bagi Bun Sam dan Sian Hwa untuk menyusulnya.
Agak jauh dari rumah Ouw bin cu, bayangan itu melompat turun ke atas seekor kuda yang sudah ditunggangi orang, kemudian kuda yang kini dinaiki oleh dua orang ini membalap luar biasa cepatnya! Hanya terdengar derap kaki kuda dan sebentar saja kuda itu telah menghilang ke arah utara dengan kecepatan seperti setan. Kebetulan sekali larinya kuda melewati rumah penginapan, maka Bun Sam cepat mengeluarkan kudanya pek hong ma dan berkata kepada Sian Hwa,
"Isteriku, kau tunggu saja di penginapan, biar aku menyusul mereka!" Ia lalu membalapkan Pek hong ma dan sebentar saja ia telah keluar dari kota, melalui pintu gerbang utara. Jalan ini menuju ke sebuah bukit berhutan lebat, dan Bun Sam tidak melihat seekor pun kuda atau seorang manusia di tengah malam buta itu. Akan tetapi ia tetap penasaran dan melanjutkan pengejarannya.
Setelah tiba di luar hutan, Bun Sam menjadi bingung. Hutan itu gelap sekali, tak mungkin ia masuk hutan yang asing baginya ini dengan berkuda. Tiba tiba ia mendengar suara kuda meringkik tak jauh dan situ, maka ia lalu melompat turun dari kudanya, menepuk nepuk pundak Pek hong ma sambil berkata, "Kautunggu di sini, Pek hong ma dan jangan bersuara!"
Dengan cepat Bun Sam lalu berlari memasuki hutan menuju ke arah suara kuda meringkik tadi. Tak lama kemudian ia melihat sebuah kuil tua di dekat pinggir hutan, dan dari dalam kuil terlihat penerangan. Juga seekor kuda ditambatkan pada pohon oi luar kuil. Kuda itu ternyata cerdik sekali karena begitu mencium bau orang asing, ia lalu berbunyi keras sekali.
"Ang ho ma, kau kenapakah?" terdengar suara halus seorang laki laki yang keluar dan pintu kuil, lalu menepuk nepuk leher kuda itu. Bun Sam menyelinap dan bersembunyi di balik pohon. Setelah laki laki itu masuk kembali ke dalam kuil, ia lalu melompat dan mendekati kuil, mengintai dan sebuah jendela yang sudah rusak.
Ketika ia mengintai ke dalam, tiba tiba wajah pendekar besar ini berobah, sebentar pucat sebentar merah, ia melihat seorang gadis cantik duduk di atas bangku bobrok, dan laki laki itu adalah seorang pemuda tampan dan halus, berpakaian seperti seorang sasterawan.
"Yang moi (adik Yang), kau kenapakah berlari lari seperti dikejar setan tanpa memberi penjelasan" Aku sampai kaget setengah mampus! Apakah yang terjadi?" terdengar laki laki itu bertanya.
Gadis yang dikenal oleh Bun Sam sebagai puterinya sendiri, yakni bukan lain adalah Siauw Yang menjawab,
"Kau tidak tahu aku bertemu dengan....dengan?"
"Dengan siluman?" tanya pemuda itu yang tentu saja bukan lain adalah Liem Pun Hui!
"Hush, jangan bicara sembarangan, suheng! Aku bertemu dengan ayah dan ibu!"
"Lho, kalau bertemu dengan mereka, mengapa terkejut?"
Pada saat itu, Bun Sam tak dapat menahan kesabarannya lagi, sekali tendang saja daun jendela hancur dan ia melayang masuk.
"Ayah !" seru Siauw Yang sambil bangkit berdiri, sedangkan Pun Hui kaget setengah mati ketika tiba tiba ia melihat seorang laki laki setengah tua yang berdiri dengan gagah dan menakutkan di depannya!
"Siauw Yang, apakah kau sudah gila" Apa yang kaulakukan di sini, mengapa kau hendak merampok orang dan siapa pula orang muda ini" Jangan kau main gila, Siauw Yang!"
Untuk beberapa lama Siauw Yang menentang pandangan mata ayahnya yang marah itu tanpa takut sedikitpun, kemudian ia tertawa berkikikan dengan geli sehingga Bun Sam menjadi heran sekali dan Pun Hui tunduk kemalu maluan, tidak tahu harus berbuat apa.
"Ayah, selama hidup baru sekarang aku melihat ayah bingung, marah dan cemburu! Tidak terjadi apa apa yang luar biasa dengan anakmu, ayah. Bahkan ayah yang amat luar biasa, tidak biasa ayah membantu orang jahat!"
"Apa maksudmu" Katakan lekas, dan siapa orang ini?"
"Jangan salah sangka yang bukan bukan, ayah. Dia ini adalah Liem suheng, bernama Liem Pun Hui. Dialah murid dan supek Yap Thian Giok." Sementara itu. Pun Hui yang sudah dapat menenangkan pikiran dan tahu dengan siapa ia berhadapan, segera menjatuhkan diri berlutut dan berkata lemah lembut,
"Teecu Liem Pun Hui menghaturkan hormat kepada susiok (paman guru)."
Bun Sam memandang tajam kepada pemuda itu dan sekilas pandang saja tahulah dia bahwa pemuda itu adalah seorang terpelajar dan memiliki watak yang baik.
"Bangunlah, biarkan aku mendengarkan penuturan anakku yang nakal itu."
"Ayah, Ouw bin cu adalah seorang jahat, bagaimana ayah bisa membantunya?"
"Bagaimana pula kau bisa bilang dia seorang jahat" Di dalam urusan pernikahannya dengan Siu Hiang, dia tidak melakukan sesuatu yang jahat," kata Bun Sam, akan tetapi ia segera menyambung nya, "Ibumu menanti nanti di rumah penginapan dengan hati cemas. Lebih baik kita pergi ke sana dan kau boleh menceriterakan semua pengalamanmu kepada kami."
Siauw Yang tertawa tawa lagi dengan gembira. Pertemuan dengan ayahnya ini benar benar menggembirakan hatinya.
"Mari, Liem suheng, kau ikut dengan kami."
Akan terapi biarpun masih muda, Pun Hui memiliki pikiran luas.
"Tak usah, sumoi. Biarlah aku menanti di sini saja. Pertemuanmu dengan kedua orang tuamu amat penting dan kau tentu akan bercakap cakap banyak persoalan dengan susiok dan susiok bo, tak boleh aku mengganggu."
Kembali Bun Sam suka mendengar ucapan ini. Namun Sian Hwa tidak tega meninggalkan Pun Hui seorang diri, maka desaknya, "Tidak apa, suheng. Marilah kau ikut, tidak baik seorang diri di tempat sunyi ini."
"Biarlah, Siauw Yang Kalau perlu, besok pasi kita boleh mengajaknya pergi dari sini," kata Bun Sam.
"Nah, sumoi, aku menurut dan setuju sekali dengan usul susiok."
Terpaksa Siauw Yang lalu pergi dengan Bun Sam. Ayah dan anak ini lalu naik kuda berendeng menuju ke kota Kim ke bun. Seperti juga suaminya, Sian Hwa menyambut Siauw Yang dengan terheran heran.
"Kau". Siauw Yang?" Kegirangan Sian Hwa bercampur kekhawatiran ketika ia memandang kepada suami dan puterinya.
"Mari kita ke dalam dan mendengarkan penuturan Siauw Yang," kata Bun Sam.
Siauw Yang memeluk ibunya dan mengajak ibunya masuk ke kamar penginapan.
"Ada kesalahan faham antara aku dan ayah, ibu. Kesalah fahaman dalam urusan Ouw bin cu si Bandot tua." Kemudian, setelah mereka berada di dalam kamar, Siauw Yang menceriterakan semua pengalamannya. Banyak sekali pengalamannya itu, dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, dia menceritakan tentang pertemuannya dengan Liem Pun Hui, tentang tertawannya oleh Tung hai Sian jin dan puteranya, dan bagaimana akhirnya ia bisa meloloskan diri dari ayah dan anak yang jahat itu.
"Bangsat besar Tung hai Sian jin, kalau bertemu tentu akan kuketok kepalanya. Berani sekali dia menghina puteriku!" kata Bun Sam marah marah mendengar penuturan Siauw Yang itu.
Siauw Yang juga menceritakan tentang pertemuannya dengan Ciong Pak Sui murid Pat jiu Giam ong, tentang kuda Ang ho ma dan semua hal yang pernah dialaminya. Kedua orang tuanya mendengarkan dengan hati tertarik.
"Yang hebat sekali, ayah. Ternyata bahwa Lam bai Lo mo masih hidup, kini makin jahat dan liar. Ia merajalela bersama seorang murid perempuannya. Kata orang, biarpun kini Lam hai Lo mo hanya berkaki satu, namun ia jauh lebih lihai daripada dahulu."
"Berkaki satu?" Bun Sam saling pandang dengan isterinya. Teringat mereka akan isi surat dari Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luile yang menceritakan bahwa puteri mereka diculik oleh seorang kakek berkaki satu yang juga membunuh mereka.
Siauw Yang lalu menceritakan penuturan Pun Hui tentang murid Lam hai Lo mo yang lihai, kemudian ia juga menceritakan penuturan Pun Hui bahwa Tek Hong kakaknya telah pula menyusul ke Sam liong to dan kemudian pergi untuk pulang ke Tit le minta bala bantuan.
Mendengar semua ini, Bun Sam dan Sian Hwa menjadi lega karena sedikitnya mereka sudah mendengar bahwa putera merekapun selamat.
"Dan bagimana tentang urusan Ouw bin cu ini" Mengapa kau hendak merampoknya dan hendak menghalangi pernikahannya?" tanya Bun Sam.
Siauw Yang tertawa. "Ayah tentu sudah melihat tulisan di tembok dalam rumah Ouw bin cu itu. Itulah tulisan Liem suheng, ayah."
"Hm, coba ceriterakan yang jelas."
"Aku dan Liem suheng dalam perjalanan hendak ke Tit le, dan di luar kota Kim ke bun ini, kami melihat seorang pemuda petani hendak membunuh diri dengan jalan menggantung diri di pohon pinggir hutan itu. Kami menolongnya dan setelah bertanya, dia menceriterakan bahwa kekasihnya, yaitu Siu Hiang, dirampas oleh Ouw bin cu si bandot tua."
"Bukan dirampas, melainkan dilamar dengan baik baik," membela Bun Sam.
"Tentu saja begitu menurut ceritanya sendiri, ayah. Mana seorang maling mau mengakui perbuatannya yang busuk?"
"Tidak demikian, Siauw Yang. Aku sudah menyelidiki ke dusun Kan si dan mendengar percakapan antara Siu Hiang dan orang tuanya. Pernikahan itu adalah atas persetujuan orang tuanya dan kuanggap sudah sepatutnya kita tidak mencampuri urusan orang lain dalam hal pernikahannya."
"Ayah baru mendengar sedikit tidak tahu banyak," membantah Siauw Yang "Memang cara Ouw bin cu bekerja amat licin dan busuk. Ayah tidak tahu rupanya. Orang tua Siu Hiang bukanlah orang tua sebenarnya, melainkan orang tua pungut yang memelihara Siu Hian semenjak kecil karena orang tua Siu Hiang tewas dalam bencana kelaparan. Mereka itu menjual Siu Hiang untuk sebidang tanah dan sedikit uang, dan sebetulnya semenjak kecil Siu Hiang telah ditunangkan dengan petani itu. Apa yang dilakukan oleh Ouw bin cu" Untuk memutuskan pertunangan itu, ia telah merampas sawah pemuda itu yang tak berdaya, kemudian mengusir pemuda itu dari kampungnya. Siapa berani melawannya" Selain kaya raya, juga ia berkepandaian tinggi. Dalam pandangan umum, memang agaknya Ouw bin cu melamar secara baik baik, namun yang menjadi persoalannya, pernikahan paksa itu sama dengan pernikahan seekor domba untuk disembelih. Karena itulah maka aku turun tangan, ayah. Aku bersama Liem suheng pergi ke rumah Ouw bin cu, aku yang menotok mereka dan Liem suheng yang menuliskan ancaman di tembok. Malam ini aku hendak menakut nakutinya dan hendak merampas uang agar dapat kuberikan kepada Siu Hiang dan tunanganaya, hendak kusuruh pergi jauh jauh membawa uang itu. Sayang datang ayah yang membantu Ouw bin cu..."
Mendengar ini, Bun Sam dan Sian Hwa mengerutkan keningnya.
"Hm, kalau begitu, marilah sekarang juga kita pergi kepada Ouw bin cu, minta supaya ia berlaku bijaksana dan membatalkan pernikahannya itu," kata Bun Sam.
Siauw Yang menjadi girang dan mereka bertiga lalu malam malam pergi ke rumah Oaw bin cu. Waktu itu, fajar mulai menyingsing akan tetapi keadaan masih amat gelap, ketika mereka bertiga berlari cepat menuju ke rumah hartawan itu, tiba tiba dari depan berkelebat bayangan yang gesit sekali, yang berlari cepat bagaikan terbang.
Bun Sam curiga dan membentak, "Siapa itu?"
Akan tetapi bayangan itu tidak menjawab, melainkan mengelak ke kiri dan melanjutkan larinya, Bun Sam dan Sian Hwa tidak mau mengejarnya, hanya Siauw Yang yang berdarah panas, dan samping mengulurkan tangan hendak menangkap lengan pelari itu. Namun alangkah kagetnya ketika orang itu sekali menyampok telah dapat menangkisnya dan Siauw Yang merasa betapa sampokan itu kuat bukan main!
"Kurarg ajar, berhenti!" bentak Siauw Yang namun orang itu tidak melayaninya dan terus lari. Siauw Yang hendak mengejar akan tetapi ayahnya melarangnya.
"Tak perlu mencari perkara, Siauw Yang. Kita tidak kenal dia dan tidak tahu apa yang dilakukannya. Jangan jangan kita mengganggu orang baik baik."
Dengan gemas dan kecewa Siauw Yang membatalkan niatnya mengejar dan mengikuti kedua orang tuanya ke rumah Ouw bin cu. Akan tetapi, dari jauh saja sudah terlihat bahwa tentu terjadi sesuatu yang hebat di rumah itu. Terdengar orang sibuk ke sana ke mari, teriakan teriakan orang seperti mencari seorang maling, dan terdengar pula suara orang menangis.
"Ah, apakah yang terjadi?" kata Bun Sam yang mempercepat larinya, diikuti oleh Sian Hwa dan Siauw Yang.
Benar saja, kejadian hebat sekali menimpa rumah Ouw bin cu, dan terjadi baru saja. Ketika Bun Sam dan anak isterinya masuk, di ruang tamu menggeletak para tamu dalam keadaan mengerikan. Ada yang lengannya putus, ada yang kepalanya pecah dan darah mengalir di mana mana. Di antara para tamu, kelihatan Siauw giam ong Lie Chit menggeletak dengan leher putus!
Bun Sam lari masuk dan di tengah ruangan menggeletak tubuh Ouw bin cu, juga dengan leher putus! Kemudian atas penuturan orang orang yang masih hidup, Bun Sam memandang ke arah dinding di mana terdapat tulisan darah :
OUW BIN CU DAN SIAUW GIAM ONG PENGKHIANAT DAN PERAMPOK, KARENANYA HARUS MAMPUS!
Tulisan itu halus seperti tulisan wanita, dan Bun Sam sedang bingung memikirkan hal ini, ketika muncul Jeng jiu mo Thio Kim dengan tubuh gemetar.
"Aduh, taihiap, celaka besar. Kalau taihiap berada di sini tak mungkin terjadi hal sehebat ini...." Kemudian ia melihat Siauw Yang, wajahnya berobah dan ia berseru, "Ah, kiranya nona sudah berada di sini pula?"
Siauw Yang mengenal Thio Kim, maka tanyanya, "Siapakah yang melakukan amukan ini" Hayo ceritakan!"
Dengan wajah masih pucat, Thio Kim lalu berceritera.
Ketika Ouw bin cu dan para tamu sedang makan minum dan bersenda gurau, tiba tiba terdengar bentakan,
"Ouw bin cu manusia keparat, nonamu datang untuk mengambil nyawamu!" Dan entah dari mana datangnya, sesosok bayangan berkelebat dan tahu tahu seorang nona cantik berbaju merah telah berdiri di ruang itu dengan pedang di tangan.
Ouw bin cu dan Siauw giam ong yang mengenal nona itu, menjadi pucat.
"Nona Siang Cu...." teriak mereka perlahan.
"Ha, Siauw giam ong, jahanam besar. Kau pun berada di sini" Kebetulan sekali!" Setelah berkata demikian, nona yang bukan lain dari Ong Siang Cu murid Lam hai Lo mo, menyerang dengan pedangnya. Siauw giam ong Lie Chit mengelak dan serentak Ouw bin cu dan kawan kawannya lalu maju menyerbu. Mereka mengira bahwa nona inilah yang telah meninggalkan surat ancaman di tembok. Akan tetapi orang orang itu mana mampu menandingi Siang Cu. Dengan cepat sekali pedangnya mengamuk dengan ilmu pedangnya yang ganas dan liar sehingga tak lama pula terdengar pekik pekik kesakitan dan robohnya orang orang yang terluka hebat. Siauw giam ong mempertahankan diri sedapat mungkin, namun pedang yang berkilauan itu terus mengejarnya sampai pada suatu saat lehernya terbabat putus oleh pedang di tangan Siang Cu!
Melihat hal ini, Ouw bin cu menjadi ketakutan dan berlari masuk. Akan tetapi, Siang Cu meninggalkan pengeroyoknya dan mengejar ke dalam, dan di ruang tengah ia berhasil memenggal leher Ouw bin cu pula. Dengan hati puas karena telah berhasil membunuh orang orang yang telah mengkhianati suhunya, Siang Cu lalu menuliskan kata kata itu di atas tembok, mempergunakan darah musuhnya sebagai tinta.
"Demikianlah, nona Song dan taihiap berdua, yang melakukan pengamukan adalah nona Siang Cu murid Lam hai Lo mo sebagai pembalasan atas sakit hati Lam hai Lo mo terhadap dua orang itu."
"Sakit hati yang mana" Bagaimana kau bisa tahu persoalan mereka?" tanya Bun Sam yang cerdik.
Thio Kim terkejut dan merasa telah kelepasan omong. Akan tetapi dasar ia cerdik, maka ia berkata tanpa ragu ragu, "Dahulu kedua orang ini telah menjadi pelayan di Pulau Sam liong to. Pada suatu hari mereka minggat sambil membawa harta benda yang besar dari pulau itu. Hal ini siauwte ketahui karena pernah Lam hai Lo mo mampir di rumah Ciong siauw ong ya dan menuturkan hal tersebut."
"Kau tahu di mana adanya Lam hai Lo mo jahanam tua itu?" tanya pula Bun Sam.
"Siauwtte mana tahu! Akan tetapi kalau sam wi (kalian bertiga) mau mengunjungi tempat baru siauw ong ya di kota Ningpo, tentu siauw ong ya akan dapat memberi keterangan lebih jelas pula. Sam wi dapat datang sebagai tamu karena kebetulan sekali siauw ong ya sedang mempersiapkan pesta pernikahannya. Siauwte berlancang mewakili siauw ong ya untuk mengundang sam wi menghadiri pesta itu," kata Si Tangan Seribu dengan cerdik. Tidak saja ia mempergunakan nama Lam hai Lo mo untuk menarik perhatian, juga dengan ucapan ini ia memancing mereka agar datang di dekat pusat perkumpulan Sam hiat pai agar tiga orang berbahaya ini dapat ditewaskan!
Sudah tentu Bun Sam tak dapat percaya omongan Thio Kim bahwa murid Pat jiu Giam ong itu mempunyai rasa persahabatan dengan dia, karena bukankah Pat jiu Giam ong dahulu tewas di dalam tangannya" Akan tetapi pendekar besar ini tidak merasa takut, karena memang ia ingin sekali mencari Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin untuk membikin perhitungan. Orang semacam Lam hai Lo mo memang amat berbahaya kalau masih hidup di dunia ini, sedangkan terhadap Tung hai Sian jin ia hendak membalas penghinaan yang dilakukan terhadap puteri nya.
Setelah beristirahat karena semalam tidak tidur, pada siang harinya Bun Sam, Sian Hwa dan Siauw Yang diantar oleh Thio Kim berangkat menuju ke Ningpo, setelah menjemput Pun Hui yang masih menanti di dalam kuil di hutan itu.
Perjalanan dilakukan dengan cepat. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka tahu bahwa diam diam Thio Kim telah menyuruh seorang kakitangannya untuk berangkat lebih dulu tanpa penundaan dan berganti ganti kuda, untuk menuju ke Ningpo memberitahukan tentang kedatangan rombongan Thian te Kiam ong ini!
Memang betul seperti pernah dikatakan oleh Lam hai Lo mo kepada kawan kawannya dalam pembukaan perkumpulan Sam hiat ci pai di atas Pulau Sam liong to, bahwa Ciong Pak Sui atau yang biasa disebut Pangeran Ciong, telah mendapatkan peti rahasia berisi harta benda peninggalan Kaisar Jengis Khan. Peti ini adalah hasil rampasan dari dunia barat ketika Kaisar Jengis Khan menyerang ke barat dan isinya adalah benda benda terbuat daripada emas permata yang tak ternilai harganya.
Sudah lama murid dari Pat jiu Giam ong ini memang mengandung cita cita untuk menggulingkan kedudukan kaisar dan hendak mengangkat diri sendiri menjadi kaisar, ia merasa telah cukup kuat, karena selain ia sendiri memiliki ilmu silat yang amat tinggi, juga ia mendapat bantuan orang orang pandai, ditambah pula dengan penemuan harta benda itu. Untuk memperkuat cita citanya, ia selain mengadakan hubungan dengan panglima panglima perang, kepala kepala pasukan yang di sogoknya dan dijadikan kaki tangannya, juga ia bersekongkol dengan supeknya Lam hai Lo mo di Pulau Sam liong to. Untuk maksud ini ia mempergunakan Pulau Sam liong to sebagai markas besar perkumpulan Sam hiat ci pai yang dibentuk oleh supeknya. Dan agar memudahkan hubungan pangeran ini lalu membeli rumah di kota Ning po di pantai utara sehingga mudah baginya untuk mengadakan kontak dengan Pulau Sam liong to.
Agar orang tidak menaruh curiga kepadanya, maka semua pergerakannya ini diselimuti oleh kesukaannya mengumpulkan kuda kuda yang bagus sehingga kelihatannya ia pergi ke tempai itu hanya untuk mencari kuda dan sekalian berpelesir.
Akan tetapi rencana besarnya itu tertunda bahkan ia tidak dapat datang menghadiri pembukaan perkumpulan Sam hiat ci pai sebagaimana telah dituturkan di bagian depan karena dalam perjalanannya menuju ke Ningpo itu, ia bertemu dengan seorang gadis yang luar biasa, ia demikian tertarik oleh gadis itu sehingga tiada hentinya ia berusaha untuk menarik gadis ini sebagai isterinya! Baru pertama kali ini di dalam hidupnya, pangeran berusia empatpuluh tahun yang terkenal mata keranjang dan mempunyai banyak sekali selir selir ini, benar benar jatuh cinta pada seorang gadis!
Akhirnya jerih payahnya berhasil dan ia dapat menarik gadis itu menjadi isterinya dan pernikahannya akan dilangsungkan tak lama lagi. Kota Ningpo menjadi gempar karena pesta pernikahan yang akan diadakan oleh pangeran ini merupakan pesta yang luar biasa besarnya, melebihi ramainya pesta menyambut datangya tahun baru! Ciong Pak Sui tidak sayang membuang uang untuk pesta pernikahannya ini, sebagai tanda daripada kegirangan hatinya mendapatkan seorang isteri yang sudah lama diidam idamkannya.
Tidak saja di ruang depan gedungnya yang amat luas, juga halaman depan yang lebar sekali itu dipasangi tetarup dan dihias mentereng sekali. Ratusan orang tamu dari jauh diundang, bahkan siapa saja yang berada di kota Ningpo boleh menghadiri pesta ini tanpa undangan! Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila penduduk berjejal jejal mendatangi Ningpo dan dusun dusun di kitarnya, hanya untuk menonton dan mendengarkan tetabuhan dan macam macam permainan yang diadakan untuk meramaikan pesta. Tiga hari sebelum pesta pernikahan dilangsungkan, siang malam telah diadakan pesta dan berbagai pertunjukan.
Pangeran Ciong tidak mau menyia nyiakan waktu baik ini. Di samping mengundang sahabat sahabat jauh untuk menghadiri pernikahannya, juga ia ingin mengumpulkan banyak orang gagah untuk diajak bersekutu dalam melaksanakan cita citanya. Ia tahu bahwa orang orang gagah sedunia tidak suka dengan pemerintahan Goan tiauw yang dianggapnya pemerintah asing, dan kalau ia mengajak mereka untuk menumbangkan pemerintahan ini tanpa menyatakan akan kehendaknya menjadi kaisar, tentu ia akan mendapatkan banyak pembantu. Soal pengangkatan diri sendiri menjadi kaisar, adalah soal mudah setelah pemerintah dapat ditumbangkan!
Akan tetapi, kebahagiaan yang besar dalam hati Ciong Pak Sui itu tiba tiba terganggu oleh datangnya pesuruh dari Thio Kim. Orang kepercayaannya ini sengaja diutus mewakilinya menghadiri pernikahan Ouw bin cu sekalian untuk mengundang kepada beberapa orang gagah di daerah itu. Sekarang, Thio Kim belum pulang dan tahu tahu seorang suruhannya datang membawa warta yang menggirangkan namun berbareng amat mengagetkan Thian te Kiam ong dengan isteri dan puterinya akan datang. Kedatangan mereka bukan hanya untuk menghadiri pesta, akan tetapi terutama sekali untuk mencari Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin!
Dalam kegugupannya, Pangeran Ciong cepat mendatangkan tokoh tokoh besar dari Pulau Sam liong to dan mengajak mereka berunding bagaimana baiknya untuk menghadapi orang orang gagah itu.
"Isteri dan puterinya itu tak perlu dikhawatirkan," kata Tung hai Sian jin. Yang penting bagi kita adalah Thian te Kiam ong sendiri. Ilmu pedangnya bukan main lihainya."
"Betapapun juga, kalau mereka itu maju bersama dengan Ilmu Pedang Tee coan Liok kiamsut sukar juga bagi kita akan dapat mengalahkannya," kata Lam hai Lo mo sambil mengerutkan keningnya. Kemudian, kakek yang lihai dan juga amat cerdik dan curang ini lalu berseri wajahnya yang buruk dan ia berkata,
"Aku mendapat akal! Harus dilakukan siasat begini...." Ia lalu bicara kasak kusuk membentangkan siasatnya untuk memancing Song Bun Sam. Semua orang menyatakan setuju dan mengangguk angguk. Kemudian tokoh tokoh besar itu kembali ke Pulau Sam liong to dan pada pernikahan pangeran itu mereka tidak muncul.
Pada pagi hari sebelum pesta itu dilangsungkan, datanglah rombongan Thian te Kiam ong. Ciong Pak Sui sendiri menyambut kedatangan mereka dengan wajah berseri. Tentu saja ia ber pura pura tidak mengenal Song Bun Sam dan isterinya, melainkan langsung menyambut Song Siauw Yang.
"Aduh angin manakah yang meniupmu ke sini, nona Song" Pesta pernikahanku menjadi lebih meriah dan berbahagia dengan kehadiranmu di sini. Ia menengok kepada Pun Hui yang berdiri dengan tenang, lalu menjura dan berkata kepada pemuda itu, "Selamat datang, Liem taihiap. Aku akan girang sekali kalau dapat melayanimu bermain catur lagi!"
"Banyak lain hal yang lebih penting daripada bermain catur, Pangeran Ciong," jawab Pun Hui tenang. Jawaban pemuda ini sebenarnya hendak menyatakan bahwa tidak pantas bermain catur di waktu tuan rumah merayakan hari pernikahannya, akan tetapi oleh Ciong Pak Sui diterima keliru. Disangka oleh pangeran ini bahwa Pun Hui menyindirkan bahwa di sana ada hal hal lebih penting lagi, seperti misalnya mencari Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin. Sampai saat itu, Pangeran Gong masih menganggap bahwa ilmu silat dari pemuda sasterawan ini tentu jauh lebih tinggi diri kepandaian nona Siauw Yang yang sudah begitu lihai.
Sambil memandang kepada Bun Sam dan Sian Hwa, Ciong Pak Sui pura pura bertanya, "Dan ini siapakah dua orang sahabat yang gagah perkasa yang datang bersamamu, nona Song?"
Dengan suara bangga, Siauw Yang memperkenalkan kedua orang tuanya. "Mereka inilah ayah bundaku, Pangeran Ciong, harap diperkenalkan!"
Ciong Pak Sui mengangkat kedua tangan dan menepuk kepalanya. "Ah, sungguh kurang hormat. Gunung Thai san menjulang tinggi di depan mata, masih tidak mengenalnya. Thian te Kiam ong dan isterinya yang tersohor di seluruh kolong langit. Maaf, maaf, taihiap berdua." Kemudian ia pura pura marah kepada Thio Kim yang berdiri di pinggir.
"Thio Kim, bagaimanakah kau ini" Datang tamu agung tidak lekas lekas memberitahukan?" Dengan sikap amat menghormat ia kembali memandang kepada Bun Sam dan Sian Hwa, lalu berkata dengan senyum membayang di belakang kumisnya yang gagah.
"Selamat datang Thian te Kiam ong, selamat datang di rumahku yang buruk. Sudah lama siauwte mengenal nama taihiap, pendekar terbesar yang telah menjatuhkan banyak sekali jago jago silat, diantaranya suhuku sendiri sudah roboh di tanganmu." Kemudian, melihat pandang mata Bun Sam menajam, ia cepat cepat mengalihkan pandangan kepada Sian Hwa dan menjura.
"Dan inikah pendekar wanita yang sesungguhnya masih suciku sendiri" Selamat datang, selamat datang, mari silahkan duduk di kursi kehormatan." Ia mempersilahkan mereka duduk di tengah tengah ruangan, di tempat yang agak tinggi. Memang ia sengaja menyediakan tempat untuk mereka ini, namun sengaja pula ia membawa Pun Hui dan Bun Sam di tengah tengah ruang bagian tamu laki laki sedangkan Siauw Yang dan ibunya duduk di tengah tengah ruangan bagian tamu wanita. Semua orang memandang kepada rombongan ini dengan penuh perhatian karena kawan kawan Ciong Pak Sui yang hadir di situ telah mendapat bisikan terlebih dahulu dan tuan rumah bahwa musuh besar akan datang di tempat itu.
Sian Hwa yang memang berhati lemah lembut, merasa terharu menyaksikan keramahtamahan Ciong Pak Sui dan diam diam ia memuji tuan rumah ini yang memang benar masih terhitung sutenya sendiri karena pangeran ini adalah murid Pat jiu Giam ong. Bagi nyonya ini yang sudah biasa bergaul dengan golongan bangsawan, tidak kikuk kikuk lagi dan merasa senang. Sebaliknya, Bun Sam merasa tidak enak hati. Bukankah baru saja tuan rumah memperkenalkan dia sebagai pembunuh gurunya" Dan tuan rumah agaknya sama sekali tidak menaruh sakit hati, bahkan demikian ramahnya.
Ciong Pak Sui sengaja menyuruh selir selirnya untuk melayani Sian Hwa dan Siauw Yang, adapun dia sendiri melayani Bun Sam dan Pun Hui. Pernikahan dilangsungkan beberapa jam lagi, karena waktunya belum tiba.
"Maaf, Pangeran Gong. Sesungguhnya biarpun kami amat berterima kasih atas undanganmu yang disampaikan oleh saudara Thio Kim, akan tetapi kami sebenarnya mempunyai lain urusan yang lebih penting. Kedatangan kami ini hendak minta pertolonganmu, yakni menunjukkan kepada kami di mana adanya Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin. Aku ingin sekali bertemu dengan mereka. Menurut keterangan Thio Kim, kau tahu tempat tinggal mereka."
Ciong Pak Sui pura pura kaget. "Ah, lancang benar Thio Kim! Bagaimana aku tahu tempat tinggal mereka" Memang benar, Lam hai Lo mo adalah supekku dan tak salah kalau kukatakan bahwa mungkin ia berada di Pulau Sam liong to, akan tetapi bagaimana aku bisa tahu tempat tinggal Tung hai Sian jin?"
"Tidak apa, Pangeran Ciong. Kalau kau mengetahui tempat tinggal Lam hai Lo mo, bagiku sudah cukup. Benarkah dia berada di Pulau Sam liong to?" tanyanya ragu ragu karena dari Siauw Yang ia mendapat keterangan bahwa pulau itu sudah kosong.
"Mungkin sekali, taihiap. Siapa mengetahui tempat tinggal yang tetap dan supek yang suka berkelana" Akan tetapi, dia tentu datang di kota ini, karena sudah kuundang. O ya, mengapa sampai sekarang ia belum juga datang" Eh, Thio Kim!" ia memanggil pembantunya ini. "Tanyakan kepada penjaga di luar kalau kalau ia telah melihat supek datang."
Thio Kim menjawab lalu keluar. Tak lama lagi ia datang bersama seorang pelayan yang bertugas menjaga pintu depan. Pelayan itu dengan takut takut memberi hormat dan berkata, "Siauw ong ya, mohon beribu maaf. Memang ada datang seorang pesuruh dari Lam hai Lo mo cianpwe menyerahkan sebuah surat untuk siauw ong ya."
"Bodoh, mengapa sejak tadi tidak kauberikan kepadaku?" Ciong Pak Sui membentak.
"Hamba melihat siauw ong ya asyik bercakap cakap dengan tamu agung, maka hamba tidak herani mengganggu."
"Lekas ke sinikan suratnya!"
Setelah memberikan surat itu, pelayan dan Thio Kim lalu pergi, sesuai dengan rencana mereka. Pangeran itu membuka surat dan membaca beberapa baris tulisan yang seperti cakar ayam, dan wajahnya berobah.
"Bagaimana, Pangeran Ciong" Apakah dia akan datang?" tanya Bun Sam tak sabar melihat perobahan muka itu.
Ciong Pak Sui menggeleng gelengkan kepala.
"Ah, celaka.... Mari, bacalah sendiri suratnya, taihiap" Ia memberikan surat itu kepada Bun Sam yang segera mebacanya.
"LAM HAI LO MO MELIHAT THIAN TE KIAM ONG, MENANTANG DIA DATANG KE PULAU SAM LIONG TO. KALAU DIA BUKAN SEORANG PENGECUT DIA AKAN DATANG SENDIRI TIDAK BERKAWAN."
LAM HAI LO MO Merah wajah Bun Sam dan sepasang matanya mengeluarkan sinar marah.
"Iblis tua, kaukira aku takut padamu?" katanya perlahan.
"Taihiap, untuk apa melayani kehendak supek yang sudah tua dan suka berlaku seperti anak kecil" Harap kau bersabar dan jangan menurutkan nafsu hati." Pangeran Ciong pura pura menghibur dan mencegah kemarahan Bun Sam.
"Aku harus pergi ke sana sekarang juga. Perkenankan aku bicara sebentar dengan anak isteriku."
Ciong Pak Sui lalu mengiringkan Pun Sam menuju ke dalam dan Sian Hwa dipanggil bersama Siauw Yang,. Pun Hui dari tempat duduknya memandang dengan penuh perhatian dan gelisah, tidak tahu apa yang telah terjadi.
Bun Sam memberikan surat kepada Sian Hwa dan Siauw Yang.
"Ayah, mari kita menyerbunya ke sana!" seru Siauw Yang dengan marah sekali.
"Tidak, Siauw Yang Aku harus pergi sendiri, tidak sudi aku disangka pengecut!"
"Akan tetapi, orang tua itu penuh akal busuk. Bagaimana kalau dia menjebakmu?" kata Sian Hwa dengan hati hati.
Bun Sam tersenyum. "Percayakah kau bahwa iblis tua itu akan mampu menjebak aku" Tenanglah dan kau bersama Siauw Yang dan Pun Hui duduklah saja di sini menghormati pernikahan Pangeran Ciong. Aku takkan pergi lama asal saja aku bisa mendapatkan perahu yang baik."
"Jangan khawatir, taihiap. Tentang perahu biar Thio Kim yang menyediakan. Sebetulnya kalau bisa, aku sendiri mengharap agar jangan taihiap melakukan keributan di sana, akan tetapi aku sebagai orang luar tentu saja tidak berhak mencampuri urusan ini. Percayalah, isteri dan puterimu serta muridmu akan aman di sini dan akan dilayani baik baik sebagaimana mestinya."
Ciong Pak Sui lalu memanggil Thio Kim dan kepada orang kepercayaannya ini ia berpesan agar menyediakan segala keperluan Thian te Kiam ong untuk menyeberang ke Pulau Sam liong to. Setelah berpamitan kepada anak isterinya, Bun Sam lalu keluar diantar oleh Thio Kim. Sian Hwa memandang dengan penuh kecemasan, sedangkan Siauw Yang memandang dengan penuh kekecewaan karena tidak boleh ikut.
Ketika mereka kembali ke tempat duduk mereka, telah terjadi hal yang cukup menarik. Pun Hui yang kini duduk seorang diri di antara semua tamu laki laki, tiba tiba melihat seorang gadis baju merah memasuki ruang tamu dan langsung duduk di antara para tamu wanita. Berobah wajah Pun Hui melihat gadis ini, karena dia mengenal gadis itu bukan lain adalah Ong Siang Cu, murid Lam hai Lo mo! Akan tetapi di dalam tempat itu, ia harus berbuat apakah" Ia ingin memberi ingat kepada Siauw Yang, akan tetapi tidak pantas sekali kalau ia seorang tamu laki laki pergi menjumpai seorang tamu wanita di kelompok wanita itu! Maka ia hanya duduk dengan hati berdebar dan ia memperhatikan Siang Cu yang duduk hampir tidak kelihatan di antara tamu tamu wanita.
Mari kita ikuti perjalanan Song Bun Sam, pendekar perkasa yang gagah berani itu. Benar saja, Thio Kim dapat mempersiapkan sebuah perahu yang amat baik, yang telah ada di pinggir laut. Bun Sam lalu mendayung perahunya ia telah tahu dari Siauw Yang arah dari pulau pulau Chousan itu dan tahu di mana adanya Pulau Sam liong to.
Cuaca bersih sekali dan ombak tidak ada. Laut tenang seperti air telaga. Bun Sam mendayung perahunya cepat cepat dan tidak menghiraukan cahaya matahari yang mulai naik tinggi. Hatinya penuh gairah, ingin sekali ia lekas lekas bertemu muka dengan musuh besarnya. Selain hendak membinasakan manusia berbahaya itu, juga ia hendak memaksanya mengaku tentang pembunuhan yang dilakukan oleh kakek itu kepada Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee, menculik puteri mereka. Apakah puteri itu yang kini menjadi muridnya seperti yang diceriakan oleh Pun Hui"
Dengan pukulan dayung yang luar biasa kuatnya, sebentar saja Bun Sam telah melewati "barisan batu karang" yang amat berbahaya. Namun bagi Bun Sam, halangan ini dianggapnya remeh belaka. Setiap kali perahunya hendak membentur bukit karang, dengan dayungnya ia dapat menolak karang itu dan membuat perahunya meluncur terus, berlenggak lenggok melalui batu batu karang yang berbahaya itu. Kemudian serombongan ikan hiu menyerangnya. Namun dengan tenang sekali Bun Sam mencabut pedang dan sekali tubuhnya menyambar, empat ekor ikan hiu putus kepalanya dan tubuh mereka mengambang di permukaan laut menjadi keroyokan kawan kawannya! Bun Sam mendayung terus, kini terlihat olehnya deretan pulau pulau kecil. Dengan hati mantap ia mendayung perahunya ke kanan, menurut petunjuk dan Siauw Yang karena puterinya itu sudah berpengalaman di atas laut kepulauan ini.
Pulau ke tujuh di sebelah kiri Pulau Kura kura, pikir Bun Sam. Setelah melihat adanya sebuah pulau berbentuk Kura kura, ia lalu membelok ke kiri, menuju pulau ke tujuh di sebelah kiri pulau itu.
Setelah perahunya tiba di dekat Pulau Sam liong to, tiba tiba Bun Sam melihat dua benda mengambang di permukaan laut. Tertimpa sinar matahari, dua benda itu terlihat seperti dua ekor ikan kehitaman dan ketika ia mendayung perahunya mendekat, tenyata bahwa dua benda itu adalah dua".. mayat manusia! Ia terkejut sekali dan cepat mendekatkan perahunya.
Setelah perahunya menyentuh dua mayat itu, hampir baja Bun Sam menjerit. Mayat mayat itu bukan lain adalan jenazah jenazah dan Mo bin Sin kun dan Yap Than Giok!
"Suthai ! Thian Giok.... Bagaimana kalian sampai menjadi seperti ini".?" Dengan air mata bercucuran Bun Sam mengangkat dua jenazah yang sudah hampir rusak semua pakaiannya itu ke dalam perahunya secepat mungkin ke pulau itu. Setelah menyeret perahunya ke atas pulau, Bun Sam lalu memondong dua jenazah itu ke tengah pulau, tanpa memperdulikan sekelilingnya, ia tidak takut akan serangan gelap, karena seluruh perhatiannya dicurahkan kepada dua jenazah itu. Satelah mencari tempat yang baik, ia lalu menggali tanah untuk mengubur jenazah jenazah itu.
Bun Sam bekerja keras, tidak memperdulikan banyak pasang mata yang mengintainya dan balik balik batu karang dan pohon. Bukan dia tidak tahu bahwa ada orang lain yang mengintai, namun ia hendak menyelesaikan pekerjaan ini lebih dahulu. Dadanya terasa panas membakar, karena ia dapat menduga siapakah yang telah membunuh dua orang yang ia sayang ini.
"Lam hai Lo mo, tunggulah saja kau...." berkali kali bibirnja bergerak gerak mengancam.
Bun Sam merasa heran ketika hendak mengubur kedua jenazah itu, ia melihat tanda tapak tiga jari merah di atas jidat mereka. Tanda apakah itu" Namun dengan hati ngeri ia dapat mengerti bahwa tanda itu ditimbulkan oleh pukulan tiga jari tangan yang mempergunakan tenaga lweekang mujijad dan warna merah itu akibat dari semacam racun jahat yang dipergunakan pada jari jari yang memukulnya!
"Jahanam benar, siapa lagi kalau bukan Lam hai Lo mo yang dapat mempergunakan ilmu sejahat ini?" katanya di dalam hati, kemudian dengan penuh hormat ia mengubur dua jenazah itu ke dalam dua lubang yang dibuatnya.
Baru saja ia selesai menimbuni lobang lobang itu dengan tanah, terdengar suara ketawa seperti ringkik kuda, akan tetapi Bun Sam tetap tidak gentar dan melanjutkan menimbuni tanah kuburan itu dengan tenang. Tiba tiba berlompatan beberapa orang dari balik batu karang dan pohon pohon, dan mereka ini dengan sikap mengancam lalu mengurung Bun Sam yang masih berlutut di depan kuburan Mo bin Sin kun sebagai penghormatan terakhir.
"Ha, ha, ha, Song Bun Sam. Jangan menghentikan pekerjaanmu, kau masih harus menggali dua lobang lagi. Ha, ha, hi, hi, hi,!" terdengar seorang di antara mereka ketawa besar. Ia ini adalah Lam hai Lo mo si kakek buntung yang pada saat itu wajahnya lebih menyeramkan lagi daripada biasanya sehingga kawan kawannya sendiri menjadi ngeri melihatnya.
Dengan tenang dan perlahan Song Bun Sam bangkit dan berlutut. Sepasang matanya melirik ke kanan kiri seperti seekor harimau terkurung. Sepasang mata yang tajam ini sekarang seakan akan mengeluarkan cahaya berani sehingga setiap orang yang dipandangnya menjadi bergidik.
Bun Sam memutar tubuhnya lambat lambat dari kiri ke kanan sambil menatap wajah orang orang yang mengurungnya seorang demi seorang, ia pertama tama melihat wajah Tung hai Sian jin dan Bong Eng Kiat, dan wajah pendekar besar ini bersinar girang dan juga gemas, girang karena tak disangkanya ia menemukan dua orang yang telah menghina puterinya, dan gemas karena ternyata bahwa Tung hai Sian jin dan puteranya telah bersekutu dengan Lam hai Lo mo pula. Kemudian ia melihat seorang musuh besar lain, yakni Sam thouw hud didampingi oleh seorang hwesio lain yang belum dikenalnya. Hwesio itu sesungguhnya adalah Ang tung hud, yang memegang tongkatnya yang lihai, Sam thouw hud telah pula bersiap dengan sepasang senjatanya, yakni Kim liong pang dan kebutan, sedangkan Tung hai Sian jin juga sudah memegang tongkat kepala naganya, Eng Kiat biarpun merasa gemar melihat Thian te Kiam ong, namun pemuda ini sudah mencabut pedangnya.
Pandangan mata Bun Sam terus memutar ke kanan dan ia melihat lima orang tua. Ia tidak tahu bahwa lima orang tua ini bukan lain adalah See San Ngo sian, lima orang dewa dari Tibet yang semua mengenakan jubah hijau. Paling akhir pandangan matanya bertemu dengan Lam hai Lo mo sendiri diam diam Bun Sam bergidik. Tak disangkanya bahwa Lam hai Lo mo masih hidup dan kini melihat musuh besar yang seakan akan bangkit kembali dan kubur itu, ia merasa ngeri juga. Wajah kakek ini sudah rusak dan sebelah kakinya buntung, namun kakek itu masih menyeringai menyeramkan dan wajahnya membayangkan kekejaman yang lebih hebat dari pada dahulu.
Akan tetapi yang membuat wajah Bun Sam seketika menjadi pucat sekali adalah ketika ia melihat seorang pemuda terbelenggu dan dipegang lengannya oleh kakek buntung ini, karena pemuda itu bukan lain adalah puteranya sendiri, Song Tek Hong! Biarpun keadaannya tidak berdaya sama sekali namun pemuda ini masih kelihatan bersemangat dan tidak gentar sedikit pun juga.
"Tek Hong".!" Bun Sam berseru, kemudian ia memandang kepada kakek buntung itu dengan mata bernyala.


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ha, ha, heh, heh, heh! Bukankah tadi kukatakan bahwa kau harus menggali dua lubang lagi" Untuk puteramu dan untukmu sendiri, karena kau dan dia pasti akan mampus di sini kalau kalian tidak mau menurut kepada perintahku!"
Mendengar ucapan ini, Bun Sam yang berotak cerdik maklum bahwa puteranya itu hendak dijadikan "alat pemerasan" oleh Lam hai Lo mo. Ia merasa heran bagaimana puteranya tiba tiba telah terjatuh ke dalam tangan mereka ini, bukankah menurut Pun Hui, puteranya ini telah pergi meninggalkan Pulau Sam liong to"
Tentu pembaca juga merasa heran mengapa Tek Hong telah terlawan oleh Lam hai Lo mo dan untuk mengetahui akan hal ini, baiklah kita mengikuti pengalamaanya. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tek Hong merasa hancur hatinya oleh pengakuan gadis yang amat menarik hatinya, yaitu Siang Cu, bahwa gadis itu murid terkasih Lam hai Lo mo dan bahwa guru dan murid itulah yang membakar rumah orang tuanya di Tit le!
Penuh kebencian timbul dalam hati Tek Hong terhadap Lam hai Lo mo. Pembakaran rumah masih tidak amat menyakitkan hati karena seperti juga ayah bundanya pemuda ini tidak begitu terikat oleh harta dunia, dan musnahnya rumah berikut barang barangnya tidak begitu disusahkannya. Akan tetapi perbuatan kejam dan Lam hai hai Lo mo yang telah membunuh para pelayannya membuatnya marah sekali. Dan terutama sekali kalau ia mengingat akan keadaan Siang Cu, nona yang dikasihinya dan yang telah terperosok ke dalam lumpur kejahatan karena suhunya yang seperti iblis itu, benar benar membuat hati Tek Hong diliputi penuh kebencian dan dendam.
"Lam hai Lo mo iblis tua, untuk perbuatanmu terhadap Siang Cu, aku harus membalas dan mengadu nyawa dengan kau!" berkali kali Tek Hong berkata seorang diri dengan penuh kegemasan ketika ia telah siuman kembali dan pingsannya setelah ditinggal pergi oleh Siang Cu seperti yang telah dituturkan di bagian depan.
Tek Hong sudah tahu bahwa tempat tinggal Lam hai Lo mo bersama muridnya adalah di atas Pulau Sam liong to dan pada waktu ia tiba di pulau itu, kakek itu sedang keluar dari kepulauan itu, demikian pula Siang Cu. Sesudah kakek itu telah membakar rumah orang tuanya, dan telah berpisah dari Siang Cu, kemana lagi perginya kakek itu kalau tidak kembali ke pulaunya" Perbuatan kakek itu membakar rumah orang tuanya sedikitnya menunjukkan bahwa kakek itu masih gentar menghadapi ayahnya. Kakek itu membakar rumah, membunuh pelayan pelayan sewaktu orang tuanya tidak ada di rumah. Setelah melakukan perbuatan pengecut itu, tentu kakek itu lebih gentar lagi akan pembalasan ayahnya dan tempat sembunyi terbaik agaknya hanyalah di Pulau Sam liong to.
Oleh karena berpikir demikian, Tek Hong lalu cepat menuju ke Sam liong to. Pertama tama, karena adiknya belum dapat ditemukan dan mungkin sekali masih berada di sekitar Kepulauan Couwsan. Kedua kalinya, ia hendak mencari Lam hai Lo mo, untuk mengadu nyawa dengan kakek itu karena hatinya sakit bukan main kalau teringat akan keadaan Siang Cu, gadis yang amat dicintanya.
Dalam kemarahannya yang sebagian besar timbul dari kepatahan hati karena sikap Siang Cu yang biarpun telah mengaku mencintanya namun tetap hendak memusuhi keluarga Song. Tek Hong menjadi nekad dan kurang hati hati. Ia seharusnya maklum bahwa ilmu kepandaian Lam hai Lo mo terlalu kuat baginya. Namun ia tidak gentar menghadapi iblis tua itu dan tanpa berpikir panjang lagi ia lalu mendayung perahu dan menuju ke Pulau Sam liong to.
Akan tetapi apa yang menantinya di pulau itu" Bukan lain adalah perkumpulan Sam hiat ci pai, lengkap dengan semua anggauta pengurusnya. Begitu ia mendaratkan perahunya di pulau itu, ia menghadapi Lam hai Lo mo yang dikawani oleh Tung hai Sian Jin, Bong Eng Kiat, Sam thouw hud, Ang tung hud, dan See san Ngo Sian.
"Lam hai Lo mo, iblis tua penghuni neraka jahanam! Aku datang untuk mengambil kepalamu!" Tek Hong membentak tanpa memperdulikan yang lain ketika ia melihat seorang kakek berwajah buruk dengan kaki hanya sebelah.
Lam hai Lo mo belum pernah bertemu dengan Tek Hong, maka ia lebih merasa terheran heran daripada marah.
"Eh, eh, orang muda yang sombong, kau siapakah?" tanyanya sambil memandang dengan bibir tersenyum menyeringai dan mata membayangkan pandangan rendah.
Akan tetapi Tung hai Sian jin sudah tertawa bergelak lalu menjawab pertanyaan Lam hai Lo mo ini,
"Putera Thian te Kiam ong sudah datang menyerahkan nyawa, kau masih tanya lagi dia siapa" Inilah Song Tek Hong, putera dari Song Bun Sam."
Lam hai Lo mo tertegun mendengar ini. Diam diam ia merasa kagum sekali terhadap keberanian pemuda putera musuh besarnya, akan tetapi berbareng juga heran mengapa putera musuh benarnya begini bodoh dan sembrono, masih begitu muda, akan tetapi berani mati mendatangi Pula Sam liong to! Timbul keinginan tahunya, maka sambil masih tersenyum senyum kakek ini bertanya,
"Song Tek Hong, kau datang datang menyatakan hendak mengambil kepalaku yang tua ini dengan alasan apakah?"
"Tua bangka siluman! Pertama tama kau telah membakar rumah orang tuaku secara pengecut dan membunuh pelayan pelayan kami. Kedua kalinya karena kau telah menyeret Siang Cu ke dalam lumpur kejahatan. Dosamu ke dua ini tak boleh diampuni lagi!" Sambil berkata demikian Tek Hong mencabut pedangnya dan cepat melakukan tusukan maut.
Lam hai Lo mo demikian heran sehingga ia tidak menangkis, hanya cepat mengelak. Lompatannya dengan satu kaki itu diam diam membuat Tek Hong kagum, karena kegesitan kakek ini tidak kalah oleh orang yang berkaki dua.
"Nanti dulu! Kau menyebut nyebut nama muridku, ada hubungan apakah antara kau dan dia?""
Merah wajah Tek Hong, akan tetapi memang dasar ia seorang pemuda jujur dan tabah, tanpa ragu ragu ia menjawab, "Aku cinta kepadanya dan ia suka padaku, akan tetapi kau siluman tua menjadi penghalang dan perusak kebahagiaan kami. Kau telah menyeret namanya ke dalam lumpur kejahatan dan memaksa dia tanpa sebab memusuhi keluargaku!" Kembali Tek Hong menyerang dengan pedangnya.
"Anak musuh bssar datang, bunuh dia habis perkara!" tiba tiba Tung hai Sian jin berseru marah melihat pemuda yang nekad itu. Ia telah memutar senjatanya hendak menyerang Tek Hong, akan tetapi Lam hai Lo mo mencegahnya sambil berseru,
"Jangan turun tangan, biar aku mencoba kepandaiannya!" Kakek buntung ini lalu menggerakkan tongkat bambunya menangkis pedang di tangan Tek Hong. Lam hai Lo mo mempuayai maksud tertentu dalam pencegahannya kepada kawan kawannya tadi. Ia hendak mengukur sampai di mana kelihaian Ilmu Pedang Tee coan Liok kiam sut dan dari pemuda ini hendak mengukur kehebatan ilmu pedang Thian te Kiam ong. Di samping itu masih mempunyai pikiran lain karena memang otak dari kakek ini amat lihai dan licin.
Adapun Tek Hong yang sudah marah dan nekad, terus mendesak kakek buntung itu dengan penuh nafsu. Ia tidak memperdulikan keselamatan diri sendiri asal dapat membunuh kakek ini ia akan merasa puas. Tek Hong bukan tidak tahu bahwa keadaannya amat berbahaya Kehadiran Tung hai Sian jin, Sam thouw hud dan Ang tung hud di situ, tiga tokoh yang sudah ia rasai kelihaian mereka, berarti bahwa ia telah memasuki gua harimau dan sarang naga. Namun nafsunya untuk mengadu nyawa dengan Lam hai Lo mo mengalahkan segala kekhawatiran dan ia menyerang tanpa gentar sedikitpun juga.
Jilid XXVIII TEE COAN LIOK KIAM SUT atau Enam Ilmu Padang Lingkaran Bumi adalah ilmu pedang ciptaan mendiang Bu tek Kiam ong (Raja Pedang Tiada Bandingnya) guru Song Bun Sam. Ilmu pedang ini ada enam bagian dan setiap bagian terdiri dari tujuh belas jurus sehingga seluruhnya ada seratus dua jurus. Akan tetapi setiap jurus dapat dipecah pecah lagi dan banyak variasinya yang dapat dipergunakan untuk mengimbangi lawan yang bagaimana lihaipun juga. Biarpun semenjak kecil Tek Hong dan Siauw Yang telah mendapat gemblengan dari ayah mereka, namun mereka tetap saja tidak dapat menguasai seluruh ilmu pedang yang luar biasa ini. Dibandingkan dengan Siauw Yang, Tek Hong bahkan masih kalah banyak variasinya, dan kalah lincah sungguhpun dalam hal mempergunakan tenaga lweekang dalam ilmu pedang ini, Tek Hong masih menang dari Siauw Yang.
Kini pemuda itu sedang marah dan dengan penuh semangat dan nafsu ia menyerang Lam hai Lo mo. Sebaliknya kakek buntung ini memang hendak mengukur sampai di mana kehebatan ilmu pedang keluarga musuh besarnya, maka ia sengaja mundur sambil menangkis atau mengelak. Akan tetapi, sebentar saja ia menjadi terkejut sesali karena ia telah terkurung oleh sinar pedang lawannya dan terdesak hebat sekali!
"Lihai benar....!" serunya dan kini kakek buntung ini tidak berani main main lagi. Ia cepat mengerahkan tenaga dan membalas dengan serangan serangan dari tongkat bambunya yang amat ganas.
Memang tidak mengherankan apabila Lam hai Lo mo dapat mengimbangi ilmu pedang yang dimainkan oleh Tek Hong, karena selain kakek ini banyak menang dalam hal pengalaman, juga Lam hai Lo mo memang seorang ahli silat yang termasuk kawakan dan menduduki tingkat nomor satu. Kepandaiannya boleh disejajarkan dengan kepandaian mendiang Kim Kong Taisu, Mo bin Sin kun, Pat jiu Giam ong, Tung hai Sian jin dan tokoh tokoh besar lain. Bahkan kepandaiannya boleh dibilang paling ganas dan berbahaya. Apalagi semenjak ia kalah oleh Bun Sam, kakek yang sudah buntung itu melatih diri sehingga ia makin lihai saja apalagi dalam hal tenaga lweekang.
Tek Hong tidak merasa heran melihat perobahan ilmu tongkat dan lawannya, ia sudah menduga sebelumnya bahwa Lam hai Lo mo merupakan lawan yang amat tangguh, bahkan iapun sudah mengira bahwa belum tentu ia akan dapat menangkan kakek ini. Namun, pemuda ini seakan akan sudah membuta dalam sakit hatinya teringat akan keadaan Siang Cu, ia tidak menakuti apapun juga.
Semangat dan keberanian Tek Hong membuat ilmu pedangnya menjadi jauh lebih kuat daripada biasanya Sinar pedangnya bergulung gulung dan biarpun ia belum dapat memainkan pedang selihai ayahnya, namun pedangnya telah merupakan enam lingkaran yang menyambar dari segala jurusan dan membuat Lam hai Lo mo tiada habisnya memuji, ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk dapat mengimbangi permainan pedang lawannya yang amat muda ini dan pertempuran itu berjalan hebat sekali. Berpuluh jurus lewat dan kedua orang jago muda dan tua itu saling desak dan saling serang dengan hebatnya. Kalau Lam hai Lo mo mengagumi ilmu pedang lawannya yang benar benar amat luar biasa, adalah di lain fihak Tek Hong diam diam harus mengakui bahwa kakek buntung itu merupakan lawan yang paling tangguh yang pernah dihadapinya. Tongkat di tangan kakek itu biarpun hanya terbuat dari bambu, namun sotelah dimainkan seakan akan berobah menjadi benteng baja yang sukar sekali ditembusi oleh pedangnya.
"Hebat....! Lihai sekali ilmu pedang ini....!" berkali kali Lam hai Lo mo memuji.
Tung hai Sian jin dan yang lain lain melihat pertempuran itu, menjadi tidak sabar. Apalagi Tung hai Sian jn yang sudah tahu benar akan kelihaian Lam hai Lo mo menjadi heran dan penasaran, ia dapat melihat bahwa kalau kakek buntung itu mau mengeluarkan ilmu ilmunya yang paling lihai, pemuda ini biarpun tangguh, tentu akan dapat dirobohkan. Akan tetapi mengapa agaknya kakek buntung itu ragu ragu untuk membunuh lawannya" Ia cukup tahu akan tingkat kepandaian Tek Hong, karena ia pernah melawan pemuda ini. Maka iapun dapat memastikan bahwa Lam hai Lo mo pasti akan dapat mengalahkan Tek Hong kalau saja kakek buntung itu menghendaki. Akan tetapi mengapa kakek itu mengulur ulurkan pertempuran dan tidak segera menjatuhkan tangan maut" Tiba tiba Tung hai Sian jin teringat mengapa kakek buntung ini tidak mau menggunakan ilmu pukulan Sam hiat ci hoat" Berpikir sampai di sini, Tung hai Sian jin tiba tiba ingin sekali mencoba ilmu pukulan yang baru ia pelajari ini. Ia segera menggerakkan tongkat kepala naganya, menyerampang kedua kaki Tek Hong sambil bertera keras,
"Membunuh monyet muda ini, apa sih sukarnya?"
Tek Hong cepat melompat ke atas. Keadaannya sudah terdesak oleh Lam hai Lo mo kini kalau Tung hai Sian jin turun tangan, benar benar amat berbahaya. Namun ia tidak gentar bahkan memaki keras.
"Siluman tua yang curang! Majulah kalian semua, aku Song Tek Hong tidak takut!"
Akan tetapi, kata katanya ini disambut oleh pukulan hebat dari Tung hai Sian jin yang telah mempergunakan ilmu pukulan Sam hiat ci hoat yang luar biasa. Tek Hong terkejut dan Lam hai Lo mo berteriak,
"Jangan bunuh dia!"
Namun terlambat kesemuanya itu, karena biarpun Tek Hong mencoba untuk mengelak, kedudukannya sudah terjepit oleh desakan Lam hai Lo mo. Tiga buah jari tangan Tung hai Sian jin menyerempet jidatnya dan pemuda itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara lagi. Pedangnya terlempar dan ia pingsan.
Ketika Tung hai Sian jin melihat pemuda itu belum binasa, ia melangkah maju dan hendak mengirim pukulan Sam hiat ci hoat untuk menamatkan riwayat pemuda itu. Akan tetapi Lam hai Lo mo juga melompat maju dan mencegahnya.
"Tung hai Sian jin, jangan bunuh dia!"
Tung hai Sian jin membatalkan niatnya dan ia memandang kepada Lam hai Lo mo sambil menuding ke arah tubuh pemuda itu lalu bertanya,
"Lam hai Lo mo, kalau tidak dibunuh dia ini habis mau diapakankah?"
Lam hai Lo mo tersenyum. Tentu saja tidak ada sedikitpun rasa kasihan dalam hatinya terhadap Tek Hong. Akan tetapi sejak tadipun ia telah mendapatkan pikiran yang amat baik,
"Sabar, saudaraku yang baik. Kebencianku terhadap keluarga Song jauh melebihi sakit hatimu kepada mereka. Akulah orangnya yang akan merasa senang sekali menyisikan kehancuran mereka. Akan tetapi bukankah ada ujar ujar kuno yang menyatakan bahwa seorang yang cerdik dan bijaksana tidak akan hanyut oleh perasaan kebencian dan nafsu" Aku bukan seorang cerdik, akan tetapi aku bercita cita dan hendak kupergunakan dia ini untuk menarik keuntungan sebesarnya."
"Apa maksudmu?" pertanyaan ini tidak saja diajukan oleh Tung hai Sian jin, bahkan yang lain lain juga mendekati kakek buntung itu dan ingin tahu apakah rencana Lam hai Lo mo selanjutnya.
"Nanti dulu," jawab Lam hai Lo mo, "sebelum aku bercerita, lebih baik dia ini dihindarkan lebih dulu dan ancaman maut." Baiknya pukulan Tung hai Sian jin dalam penggunaan Ilmu Sam hiat ci hoat belum sehebat Lam hai Lo mo dan tadi pukulannya agak meleset sehingga nyawa Tek Hong masih dapat tertolong. Lam hai Lo mo memasukkan obat penawar ke dalam mulut Tek Hong, kemudian ia mengurut urut jidat yang ada tanda tiga jari merah itu sehingga lambat laun tanda itu lenyap. Nyawa Tek Hong tertolong. Akan tetapi Lam hai Lo mo segera menotoknya dan membelenggu kedua tangannya di belakang tubuh.
"Nah, sekarang dengarlah kalian. Kita bersama sudah menyaksikan betapa hebat ilmu pedang dari pemuda ini. Dia yang masih begini muda sudah dapat mengimbangi kepandaian kita dengan ilmu pedangnya. Apalagi kalau ilmu pedang itu dimainkan oleh Thian te Kiam ong ayahnya...."
"Aku tidak takut," seru Tung hai Sian jin marah.
Lam hai Lo mo tersenyum menyeringai "Aku pun tidak takut. Apa yang perlu kita takuti" Setelah adanya Sam hiat ci pai, kita tidak mengenal takut. Akan tetapi cita cita kita bersama adalah cita cita besar yang membutuhkan tenaga bantuan sekuat kuatnya. Kita boleh pancing datang Song Bun Sam dan dengan puteranya di tangan kita, dia bisa berbuat apakah" Apalagi, menurut pengakuan pemuda ini yang kupercaya kejujurannya, antara dia dan muridku ada pertalian kasih sayang, inipun merupakan ikatan yang baik sekali...."
Terdengar Eng Kiat menggumam marah. Tung hai Sian jin maklum akan kehendak puteranya maka ia berkata,
"Lam hai Lo mo, antara muridmu dan puteraku sudah ada pertalian jodoh....!"
Lam hai Lo mo kembali tersenyum. "Bukankah dia lebih suka kepada puteri Thian te Kiam ong" Kalau pemuda ini sudah berada di tangan kita, apa salahnya memaksa Thian te Kiam ong menyerahkan puterinya kepada pureramu itu?"
Berseri wajah Eng Kiat mendengar ucapan ini. "Ayah, kata kata Lam hai locianpwe betul juga."
Demikianlah, mereka telah bersepakat untuk mempergunakan Tek Hong sebagai umpan dan sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Song Bun Sam telah mendarat di Pulau Sam liong to dan setelah menguburkan jenazah Mo bin Sin Kun dan Yap Thian Giok, pendekar besar ini mendamaikan dirinya terkurung oleh barisan Sam hiat ci pai yang membawa Tek Hong sebagai tawanan!
"Song Bun Sam, apakah kau tuli dan tiba tiba menjadi gagu" Kau telah terkurung oleh Sam hiat ci pai dan kau tentu akan mati, akan tetapi terlebih dahulu puteramu ini yang akan kubikin mampus kalau kau tidak mau menurut perintahku. Pilihlah, mau mati bersama puteramu atau hidup dan menuruti perintahku?" demikian Lam hai Lo mo mengulangi kata katanya ketika Bun Sam seperti tidak melayaninya dan pendekar ini hanya memandang kepada puteranya yang ia tahu berada di bawah pengaruh totokan dan dibelenggu sehingga tak berdaya sama sekali. Otaknya sedang diputar mencari jalan untuk menolong puteranya itu.
"Lam hai Lo mo, ternyata bahwa iblis iblis jahat telah menyelamatkan nyawamu. Setelah dengan keji kau membunuh guruku Mo bin Sin kun dan saudaraku Yap Thian Giok, kau masih ada kehendak keji yang mana lagi yang hendak kau sampaikan padaku?" Suara Thian te Kiam ong terdengar tenang dan biasa saja, sama sekali tidak terlihat bahwa ia sedang marah besar. Hal ini menunjukkan bahwa Bun Sam telah dapat mengatur perasaan dan dapat menguasai nafsunya sendiri.
Lam hai Lo mo tertawa bergelak. "Kau mau mendengarkan kata kataku" Baik, baik, bagus! Itu tandanya bahwa kau masih belum ingin mati dan masih mau melihat puteramu hidup! Kau menuduh aku keji. padahal sebaliknya aku bermaksud baik sekali padamu, Thian te Kiam ong. Dengarlah, diantara putramu ini dan murid perempuanku terdapat jalinan cinta kasih suci murni, karena itu kau harus mengijinkan puteramu ini menjadi suami muridku, Ong Siang Cu Bagaimana keputusanmu" Kalau kau menolak, berarti kau dan puteramu harus mati di sini."
"Teruskanlah, Lam hai Lo mo. Masih ada lagikah syarat syaratmu untuk membebaskan aku dan puteraku?" tanya Bun Sam dengan senyum di wajahnya yang masih tampan dan gagah, akan tetapi senyum itu tidak menyedapkan hati Lam hai Lo mo karena baginya seperti senyum seorang dewasa mendengarkan obrolan seorang anak kecil.
"Jangan kau memandang ringan, Thian te Kiam ong. Aku bicara sungguh sungguh. Bukan hanya itu syaratnya, ada lagi. Yang ke dua, kau harus mengijinkan puterimu menikah dengan Bong Eng Kiat, putera dari Tung hai Sian jin. Bukankah itu baik sekali" Anak anakmu menjadi jodoh murid dan putera orang segolongan, bukan orang sembarangan. Baik muridku maupun putera Tung hai Sian jin cukup pantas menjadi mantu mantumu."
Bukan main mendongkolnya hati Bun Sam, ia tadinya bermaksud memberi hajaran kepada Tung hai Sian jin dan puteranya atas penghinaan mereka terhadap Siauw Yang dan kini hendak dipaksa memberikan Siauw Yang kepada putera Tung hai Sian jin!
"Hanya itukah" Atau masih ada lagi?" tanyanya menahan kemendongkolan hati.
"Kaulihat sendiri, sebagai musuh besarmu, seorang yang telah kausiksa dan kaubikin sengsara sehingga keadaanku menjadi begini macam, aku masih berlaku amat murah hati kepadamu! Dua syarat syaratku tadi cukup pantas, dan syarat ke tiga juga demi kebaikan kita bersama. Setelah kau menerima syarat perjodohan kedua anak anakmu, sudah sewajarnya kita sebagai besan besan bekerja sama dan bersatu padu dalam mewujukan cita cita yang tinggi. Kau harus menjadi anggauta dari Sam hiat ci pai dan membantu perjuangan kami."
Kembali Bun Sam merasa hawa panas naik ke dadanya, akan tetapi dengan kuatnya ia dapat menekan kembali hawa itu memasuki pusarnya.
Tiba tiba Tek Hong yang semenjak tadi mendengarkan percakapan itu, berkata keras,
"Ayah! Jangan mendengarkan dan percaya kepada mereka! Siauw Yang telah ditawan oleh Tung hai Sian jin dan perkumpulan mereka jahat sekali."
Akan tetapi dengan penuh ketenangan Bun Sam tidak memperduliksn seruan puteranya, bahkan bertanya kepada Lam hai Lo mo,
"Jadi, kau menghendaki aku membantu perjuangan Sam hiat ci pai" Akan tetapi apakah cita cita perjuangan perkumpulan aneh itu?"
Lam hai Lo mo tertawa puas. Ia mengira bahwa pendekar pedang ini tentu masih sayang akan nyawa sendiri dan nyawa puteranya, maka bertanya demikian penuh perhatian.
"Song Bun Sam, kau sendiri tahu bahwa Kaisar Gian tiauw adalah seorang asing. Oleh karena itu, aku yang bercita cita tinggi lalu membentuk perkumpulan ini untuk membantu Pangeran Ciong. Tidak berat tugasmu, hanya bersumpah sebagai anggauta Sam hiat ci pai dan berjanji setia dan taat kepadaku!"
"Sudah cukup, kau tentu mau menerimanya, bukan?" tanya Lam hai Lo mo sambil memandang tajam segala gerak gerik dan sikap Bun Sam.
"Syarat pertama tentang perjodohan puteraku dan muridmu, belum dapat kujawab sekarang karena aku belum pernah bertemu dengan muridmu itu. Kalau kelak ternyata bahwa antara mereka memang ada pertalian cinta kasih seperti yang kau katakan dan aku melihat bahwa muridmu itu cukup baik. tentu akupun tidak keberatan. Akan tetapi syarat kedua tentang perjodohan puteriku dengan putera Tung hai Sian jin, dengan jelas kutolak! Mereka telah berani mengganggu puteriku yang baiknya dapat membebaskan diri, dan untuk hal itu saja mereka harus dihukum. Bagaimana aku sudi menerima puteranya menjadi menantuku" Demikian pula syarat ke tiga, aku tidak sudi menjadi anggauta perkumpulanmu dan tidak mau pula membantu apa yang kausebut cita cita Pangeran Ciong!"
Bun Sam bicara dengan tegas akan tetapi di dalam hatinya ia merasa khawatir sekali. Kecurigaan dan ketidakpercayaannya kepada Pangeran Ciong ternyata terbukti. Tidak saja pangeran itu bersekongkol dengai Lam hai Lo mo, bahkan agaknya pangeran itu yang menjadi kepala! Ia tahu bahwa putera dan puterinya yang berada di tempat pangeran itu tentu tidak aman sebagaimana yang mereka kira.
Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin marah sekali mendengar penolakan penolakan itu, terutama sekali Tung hai Sian jin yang terang terangan dihina oleh Bun Sam.
"Song Bun Sam, kau tidak melihat bahwa puteramu telah berada di tanganku dan nyawanya sewaktu waktu dapat kucabut" Apakah kau tidak melihat bahwa kau telah terkurung oleh dewan pengurus Sam hiat ci pai" Apakah kau tidak ingat bahwa sekalipun gurumu Mo bin Sin kun sendiri, karena hendak membikin kacau di sini telah menemui maut bersama muridnya" Penolakan penolakanmu itu berarti keputusan hukum mati bagi kau dan puteramu!" Lam hai Lo mo mengancam.
"Nyawa berada di tangan Tuhan, Lam hai Lo mo! Iblis Tua dan Laut Selatan, pernah kau mendengar sajak dari pujangga Locu yang berbunyi demikian" Langit dan Bumi serta segala isinya berasal dari ADA, adapun ADA berasal dari TIADA! Kalau orang nengetahui awalnya, ia akan selamat! Mengapa aku harus takut mati?"
Mendengar ini, Lam hai lo mo dan yang lain lain menjadi agak bingung. Memang ucapan Thian te kiam ong ini agak aneh dan seperti tidak keruan susunannya. Akan tetapi Tek Hong yang mendengarnya, tiba tiba berpikir keras. Pemuda ini memang semenjak kecil sudah hafal akan segala ujar ujar kuno dan Locu dan Khong Cu. Tentu saja ujar ujar Locu yang tani diucapkan oleh ayahnya itu, ia kenal baik. Mengapa ayahnya hanya mengucapkan ujar ujar itu bagian belakangnya atau akhirnya saja" Dan mengapa ayahnya tadi berkata bahwa kalau orang mengetahui awalnya, ia akan selamat" Bagaimana bunyi awalan ujar ujar itu"
"Berbalik adalah pergerakan Tao.
Kelemahan adalah kegunaan Tao.
Langit dan Bumi serta segala isinya
Berasal dari ADA. Adapun ADA berasal dari TIADA!"
Dengan demikian, ayahnya bermaksud bahwa dia harus tahu tentang "Berbalik dan Kelemahan!" Tentu saja yang dimaksudkan oleh ayahnya itu adalah dia sendiri, karena bukankah di samping ayahnya, dia orangnya yang menghendaki selamat karena nyawanya terancam bahaya" Otak Thian te Kiam ong memang cerdik, dan kecerdikannya itu menurun kepada anak anaknya. Tek Hong memiliki pula kecerdikan luar biasa, maka ujar ujar Locu yang dipergunakan oleh Bun Sam sebagai sindiran ini, dapat ditangkap maksudnya, ia maklum bahwa ia berada di bawah pengaruh totokan dari Lam hai Lo mo dan untuk membebaskan totokan itu, ia harus dibebaskan totokannya di bagian punggung, yakni di jalan darah Tai hui hiat. Ayahnya menghendaki agar supaya ia berbalik diri dan menghadapkan punggungnya ke arah ayahnya!
Akan tetapi, ia berada di bawah pengawasan Lam hai Lo mo dan lain lain tokoh Sam hiat ci pai yang amat lihai maka sedikit saja ia membuat pergerakan, tentu mereka akan menaruh curiga. Oleh karena ini, sebelum tokoh tokoh Pulau Sam liong to itu menyatakan sesuatu atas ucapan Bun Sam tadi, ia berseru kepada ayahnya,
"Ayah, mengapa masih melayani mereka" Melihat pun aku sudah merasa muak!" Sambil berkata demikian, dengan sikap jijik Tek Hong lalu membalikkan tubuhnya, membelakangi Lam hai Lo mo dan ayahnya!
Tadi ketika ia menggali tanah dan mengubur jenazah Mo bin Sin kun dan Yap Thian Giok pada telapak tangan Bun Sam masih menempel tanah lempung. Dalam pertemuan dan percakapannya dengan Lam hai Lo mo, ia diam diam membersihkan kedua telapak tangannya dari tanah liat itu akan tetapi ia tidak menbuang tanah liat itu, melainkan menggulung gulungnya menjadi tiga butir bola tanah kecil kecil. Hal ini dilakukan hanya untuk mengumpulkan senjata rahasia guna menghadapi tokoh tokoh lihai itu akan tetapi kini ia dapat mempergunakannya untuk menolong anaknya. Girang sekali hatinya melihat kecerdikan Tek Hong yang kini tanpa menimbulkan kecurigaan telah membalikkan tubuhnya.
Secepat kilat Bun Sam mengayun tangannya dan sebutir bola tanah yang menyambar tepat mengenai jalan darah Tai hui hiat di punggung Tek Hong. Seketika itu juga, bebaslah Tek Hong dari pengaruh totokan dan ia dapat menggerakkan tubuhnya lagi. Berkat latihannya yang tekun dan gemblengan ayahnya yang tak kenal lelah, sekaligus ia dapat memulihkan kembali tenaganya dengan jalan mengatur napas ia memekik keras dan putuslah tali tali yang mengikat kedua tangannya!
Sebaliknya, begitu melihat sambitan dari tangan Bun Sam mengenai punggung Tek Hong, tahulah Lam hai Lo mo dan yang lain lain akan hal yang terjadi cepat sekali tadi. Yang berdiri terdekat dengan Tek Hong adalah Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin, maka keduanya bergerak cepat hendak menyerang Tek Hong.
Bun Sam tidak tinggal diam. Begitu sambitan pertama mengenai sasaran dan puteranya teleh terbebas, ia mengayun tangannya lagi dan kini dua butir bola tanah melayang ke arah Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin.
"Kerahkan tenaga Kim kong!" seru Bun Sam.
Semua terjadi dalam saat yang cepat. Lam hai Lo mo memukul dengan Ilmu Pukulan Sam hiat ci hoat ke arah jidat Tek Hong, sedangkan pemuda itu otomatis menurut petunjuk ayahnya, mengerahkan tenaga Kim kong yang telah dilatihnya baik baik Sehingga hawa dan dalam pusarnya naik ke atas melindungi jalan jalan darah di tubuh bagian atas terutama di kepalanya. Sementara itu, sebutir bola tanah melayang ke arah pangkal lengan Lam hai lo mo tepat mengenai jalan darah sehingga kakek ini pukulannya tidak sehebat yang dikehendakinya. Adapun butiran bola tanah kedua melayang ke arah Tung hai Sian jin sehingga kakek ini terkejut sekali dan terpaksa mengelak dan karenanya serangannya terhadap Tek Hong dibatalkan!
Akan tetapi, karena Lam hai Lo mo memang lihai, pukulan bola tanah yang mengenai pangkal lengannya tidak dapat menahan pukulannya dan tiga buah jari tangannya mengenai jidat Tek Hong! Pemuda itu berteriak dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!
Akan tetapi, sebelum Lam hai Lo mo atau yang lain lain sempat turun tangan menewaskan Tek Hong, Bun Sam sekali berkelebat telah berada di dekat Tek Hong dan pedangnya menyambar, merupakan sinar kuning. Pedang ini adalah Oei giok kiam (Pedang Kemala Kuning) yaitu pedang isterinya yang dipinjamnya karena pedangnya sendiri, yakni Kim kong kian telah dibawa pergi oleh Siauw Yang.
Gerakan pedangnya ini demikian hebatnya sehingga Lam hai Lo mo dan Tung hai San jin tidak berani menyambut dan terpaksa melonpat mundur, Bun Sam menyambar tubuh puteranya dan melompat ke arah pantai, dikejar oleh Lam hai Lo mo dan kawan kawannya. Sebenarnya, Bun Sam melarikan diri bukan karena takut, akan tetapi hendak mencari tempat yang baik. Ia tidak gentar untuk menghadapi keroyokan mereka, akan tetapi ia khawatir kalau kalau Tek Hong akan dibunuh selagi ia masih sibuk menghadapi mereka. Setelah tiba di tepi pantai, karena para pengajarnya tetap saja tidak dapat menyusulnya, ia melemparkan tubuh puteranya yang masih pingsan itu ke pinggir laut dan dengan gagah ia menanti datangnya para pengejar. Kini ia boleh merasa lega karena tak mungkin musuh musuhnya itu mengganggu Tek Hong yang terlindung oleh air laut dari belakang.
"Thian te Kiam ong, kau benar benar bosan hidup!" teriak Lam hai Lo mo marah sekali. Semua kawannya telah siap siaga dan dengan sikap mengancam mereka mulai mendekati Bun Sam.
"Lam hai Lo mo, tak usah banyak cerita lagi. Mari segera kita mulai membereskan perhitungan antara kita." Sambil berkata demikian, mata Bun Sam memandang dengan kecerdikan luar biasa untuk meneliti keadaan tanah di sekitarnya dan untuk mengukur jarak, dengan girang ia melihat bahwa tanah di pantai itu cukup keras dan rata sehingga ia tidak perlu khawatir lagi. Di dalam pertempuran menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang lihai, ia tentu takkan sempat memperhatikan keadaan tanah yang diinjaknya dan hal ini amat berbahaya bagi seorang yang dikeroyok karena sekali kaki salah berpijak, dapat mendatangkan bahaya.
"Sam hiat ci tin (Barisan Tiga Jari Berdarah), serbu....!" Lam hai Lo mo memberi komando sambil memutar tongkatnya. Kakek ini memang masih merasa gentar menghadapi Bun Sam yang di waktu masih muda sekali telah mengalahkannya, maka tentu saja ia tidak berani maju sendiri dan memberi komando itu.
Serentak kawan kawannya memutar senjata dan maju menyerang Bun Sam. Bong Eng Kiat tidak mau ketinggalan dan maju dengan siang kiam (sepasang pedang). Akan tetapi, begitu Bun Sam memutar pedangnya dan tubuh pendekar ini berkelebatan seperti naga menyambar, terdengar suara keras dan sebatang pedang di tangan kanan Eng Kita terbang pergi entah ke mana! Juga Koai kiam sian, orang ke empat dari See san Ngo sian yang memegang pedang aneh, merasa telapak tangannya tergetar dan sakit. Memang, dalam menghadapi senjata senjata lawan yang langsung menanggung akibat benturan pedang yang luar biasa gerakannya itu adalah lawan lawan yang memegang pedang pula Tentu saja hal ini juga terutama bergantung kepada tingkat kepandaian lawan itu dan diantara mereka semua, yang boleh dibilang masih kurang kepandaiannya hanyalah Bong Eng Kiat, maka pedangnya ketika terbentur lalu terlempar jauh. Sebaliknya, Koai kiam sian sudah cukup tinggi kepandaiannya sehingga ia tidak sampai harus melepaskan pedangnya. Namun tetap saja telapak tangannya terasa sakit sehingga ia menjadi terkejut sekali. Belum pernah ia bertemu dengan lawan setangguh ini, yang dalam sekali bentur saja sudah dapat menggetarkan tangannya.
Memang gerakan pedang dari Bun Sam amat luar biasa. Kalau orang lain, setiap kali pedang terbentur dengari senjata lawan, tenaga gambarannya berkurang banyak. Akan tetapi, keistimewaan ilmu pedang Bun Sam adalah setiap kali pedangnya terbentur dengan senjata lawan, ia malah dapat "mencuri" tenaga lawannya dan pedangnya membalik, untuk menghadapi lain pengeroyokan dengan tenaga lipat ganda!
"Eng Kiat, kau mundur...." seru Tung hai Sian jin kepada puteranya, karena ayah ini amat sayang kepada putranya dan ia tahu bahwa menghadapi orang seperti Thian te Kiam ong bukanlah hal yang boleh dibuat main main, Lam hai Lo mo dan yang lain lain tidak merasa sakit hati mendengar Tung hai Sian jin menyuruh puteranya mundur karena memang Eng Kiat bukan anggauta pengurus Sam hiat ci pai dan pemuda itu tak dapat banyak diharapkan dalam pengeroyokan ini.
Lam hai Lo mo merasa yakin bahwa kali ini ia dan kawan kawannya pasti akan dapat merobohkan Thian te Kiam ong, karena mustahil mereka sembilan orang yang berkepandaian tinggi tidak mampu mengalahkan seorang lawan saja, biar seorang lawan selihai Thian te Kiam ong sekalipun, maka ia memutar tongkat bambunya dengan cepat mempergunakan tangan kanan sedangkan tangan kirinya melancarkan serangan serangan Sam hiat ci hoat yang merupakan tangan maut menjangkau nyawa!
Bun Sam maklum bahwa ia menghadapi keroyokan orang orang yang rata rata sudah memiliki kepandaian luar biasa. Gerakan senjata mereka mendatangkan angin keras dan setiap pukuan lawan merupakan ancaman maut. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan segera mengeluarkan ilmu pedangnya yang selama ini belum pernah menemui tandingan, yakni Tee coan Liok kiam sut. Pedangnya seakan akan berobah menjadi enam batang dan gerakannya menimbulkan enam gulungan sinar pedang yang menyambar ke sana ke mari, menangkis setiap serangan lawan dan sebaliknya juga mengirim serangan serangan pembalasan yang tak kalah hebatnya ia tahu bahwa kali ini ia harus mengadu nyawa, karena kalaupun ia sempat melarikan diri, tak mungkin ia dapat membawa tubuh puteranya yang masih pingsan. Tentu saja ia lebih baik menghadapi maut daripada meninggalkan puteranya, di samping ini, keangkuhannya sebagai seorang pendekar besar tidak mengijinkan ia meninggalkan musuh musuhnya.
Bukan main ramainya pertempuran itu. Hebat dan dahsyat sekali, dan jarang terjadi pertempuran antara ahli ahli sekian banyaknya. Di antara para pengeroyok, hanya dua orang saja yang mempergunakan tangan kosong, yakni Pat jiu sian dan Sin kun sian, orang pertama dan ke tiga dari See san Ngo sian. Mereka memiliki ilmu silat tangan kosong yang istimewa dan dalam menghadapi pedang Thian te Kiam ong, mereka memperlihatkan kegesitan, mengganti ganti ilmu silat mereka dan kadang kadang melancarkan pula pukulan Sam hiat ci hoat yang sudah mereka pelajari baik baik.
Lima puluh jurus telah lewat dan belum seorangpun di antara para pengeroyoknya yang berhasil melukai Bun Sam. Mereka menjadi penasaran sekali, karena kalau mereka tidak mampu mengalahkan Bun Sam, hal ini merupakan sesuatu yang amat memalukan. Masa sembilan orang tokoh besar dari Sam hiat ci pai yang mereka banggakan tidak mampu mengalahkan seorang lawan saja" Mereka segera mendesak makin rapat dan Bun Sam harus bekerja makin keras, bergerak makin cepat dan memutar pedang makin kuat lagi. Pendekar besar ini maklum bahwa kalau diteruskan begini, akhirnya ia akan kalah juga, karena ia yang lebih dulu akan kehabisan tenaga. Kecepatan pedangnya jauh berkurang dalam menghadapi sembilan orang lawan, karena ia harus membagi bagi gerakannya dalam menyerang untuk dipergunakan mengelak atau menangkis datangnya senjata lawan yang seperti hujan itu.
Thian te Kiam ong Song Bun Sam memutar otak mencari jalan keluar. Apalagi ia masih diganggu oleh rasa khawatir memikirkan keadaan isterinya dan Siauw Yang serta Pun Hui yang masih berada di rumah Pangeran Ciong Pak Sui yang ternyata adalah musuh yang berbahaya pula.
Pemusatan pikiran untuk mencari akal dan kekhawatirannya membuat gerakannya agak lambat. Hal ini tidak disia siakan oleh Lam hai Lo mo dan kawan kawannya yang merangsek makin kuat sehingga sebentar saja Thian te Kiam ong terdesak hebat. Hampir saja tongkat bambu di tangan Lam hai Lo mo mengenai sasaran ketika tongkat ini menusuk dada Bun Sam. Baiknya Bun Sam masih sempat menggerakkan tubuh dan memutarnya miring sehingga terdengar kain robek. Ketika ujung bambu itu menerobos pinggir iga dan merobek bajunya!
"Ha, ha, ha, Thian te Kiam ong, di mana kelihaian ilmu pedangmu yang diturunkan oleh Bu tek Kiam ong" Ha, ha, ha, sebentar lagi kau akan mampus, juga puteramu! Dan kau tahu bahwa isteri dan puterimu juga takkan terluput daripada kematian" Ha, ha, heh, heh!"
Ucapan terakhir ini benar benar menambah kebingungan Bun Sam karena persangkaannya ternyata benar, yakni bahwa isteri dan puterinya terancam bahaya, ia makin kalut dan terdesak hebat dan agaknya benar seperti diramalkan oleh Lam hai Lo mo, sebentar lagi ia akan roboh. Namun Ilmu Pedang Tee coan Liok kiam sut memang benar hebat dan patut disebut raja sekalian ilmu pedang. Ilmu pedang ini seakan akan sudah mendarah daging dalam tubuh Bun Sam sehingga biarpun pikirannya kalut, namun gerakannya seperti otomatis dan ilmu pedang ini amat kuat melindungi tubuhnya dari semua serangan para pengeroyoknya.
Baik kita tinggalkan sebentar keadaan Bun Sam yang terancam bahaya maut dalam pengeroyokan sembilan orang tokoh Sam hiat ci pai di Pulau Sam liong to itu. Mari kita menengok keadaan Siauw Yang, Sian Hwa dan Pun Hui yang masih duduk di ruang tamu yang kini penuh dengan tamu untuk menyaksikan pernikahan Pangeran Ciong Pak Sui. Betul betulkah keadaan mereka terancam bahaya seperti yang dikhawatirkan oleh Bun Sam"
Pendekar Latah 2 Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Wanita Gagah Perkasa 1
^