Pencarian

Pedang Sinar Emas 23

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 23


Tek Hong dan Siang Cu siuman kembali Mereka masih lemah akan tetapi dapat bangun dan duduk. Dengan heran mereka saling pandang, tersenyum dan ketika mereka melihat Bun Sam, Sian Hwa dan Siauw Yang, keduanya mengeluarkan seruan tertahan. Tadinya mereka mengira bahwa mereka telah berada di dalam alam baka dan tersenyum karena merasa berbahagia mendapatkan kekasih berada di dekatnya. Akan tetapi, kehadiran tiga orang itu menjadi bukti bahwa mereka masih hidup!
"Tek Hong.... kau baru saja bangun dari kematian!" kata Sian Hwa sambil merangkul anaknya dengan tangan kanan dan merangkul Siang Cu dengan tangan kiri. "Aku sudah tahu akan isi hati kalian. Sudah patut sekali kalian menjadi jodoh, Gwat Eng, kau puteri sahabat sahabat kami, Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee. Kalau orang tuamu masih hidup.... ah, alangkah senang nya hati mereka...."
Merdengar ini, Siang Cu merangkul Sian Hwa sambil menangis penuh keharuan hati.
"Menang mereka sudah sepatutnya menjadi suami isteri," kata Bun Sam. "Mari kita urus jenazah Lam hai Lo mo dan Eng Kiat sepantasnya, dan cepat kembali ke Tit le."
Dibantu oleh para petani dua jenazah itu di kubur, dengan hati tenang Tek Hong dan Siang Cu mendengarkan penuturan Siauw Yang tentang segala hal yang telah terjadi. Siang Cu merasa amat bersukur. Lam hai Lo mo adalah gurunya, maka biarpun kedua orang tuanya telah terbunuh oleh kakek itu, namun ia selalu masih ragu ragu untuk membalas dendam. Kini, Lam hai Lom mo tewas karena perbuatan sendiri, musuh besarnya tewas dan ia tak usah membunuh guru sendiri. Juga Eng Kiat telah tewas oleh Lam hai Lo mo sehingga ia tidak usah melanggar sumpahnya sendiri yang hendak melakukan pernikahan dengan pemuda itu. Dan yang lebih membahagiakan hatinya lagi, keluarga Song telah menerimanya dengan baik baik sebagai calon isteri Tek Hong, pemuda yang memang dicinta dengan seluruh hatinya.
Setelah upacara penguburan jenazah jenazah itu beres, Bun Sam berkata, "Sekarang marilah kita cepat cepat pulang ke Tit le. Aku sudah mendengar tentang dibakarnya rumah kita, akan tetapi apa artinya hal sekecil itu" Kita bsa membuat lagi ramah kecil kecilan dan yang paling penting, kita akan rayakan upacara perjodohan antara Tek Hong dan Gwat Eng."
Semua orang berseri wajahnya mendengar ini, apalagi Siang Cu dan Tek Hong yang menjadi merah mukanya dan tidak berani saling pandang secara langsung, melainkan saling kerling dengan pandang mata penuh arti. .
Akan tetapi, tiba tiba Siauw Yang menangis dan menutupi mukanya dengan kedua tangan. Bun Sam mengangkat alisnya, demikian pula Tek Hong.
"Ah, adikku yang manis, mengapa kau menangis?" tanya Tek Hong, Siauw Yang tidak menjawab, akan tetapi tangisnya makin menjadi.
"Siauw Yang, jangan seperti anak kecil. Kau menangis karena apakah?" tanya Bun Sam. Sampai lama barulah Siauw Yang dapat menjawab, ia menurunkan kedua tangannya, bibirnya dipaksa tersenyum akan tetapi wajahnya pucat sekali.
"Tidak apa apa, ayah. Aku hanya terlalu girang memikirkan bahwa Hong ko telah selamat dan musuh besar kita telah tewas."
Jawaban ini memuaskan hati Tek Hong dan Siang Cu, akan tetapi meragukan hati Bun Sam dan menggelisahkan hati Sian Hwa. Ibu yang berpemandangan tajam ini dapat mengerti apa yang menjadi sebab maka puterinya menangis. Maka ia lalu membawa Siauw Yang ke tempat sunyi dan bertanya,
"Siauw Yang, bagaimana hasilnya dengan perjalananmu mencari Liem siucai?"
Mendengar pertanyaan yang langsung mengenai hatinya dan yang tepat sekali itu, Siauw Yang menangis lagi dan merangkul ibunya. Sian Hwa mendekap kepala puterinya ke dada, seperti dahulu kalau ia menghibur Siauw Yang ketika masih kecil.
"Bilanglah terus terang kepada ibumu, anakku. Apakah yang terjadi antara kau dan Liem Siucai?"
"Ibu.... dia.... dia menghinaku...."
Sian Hwa mengerutkan alisnya. "Apa" Dia menghina anakku" Bagaimana seorang yang sopan santun dan halus budi pekertinya seperti dia dapat menghinamu, Siauw Yang?"
"Dia.... dia telah membikin malu padaku. Aku datang untuk menolongnya dari Sin tung Lo kai, tidak tahunya dia.... dia menjadi anak angkat dari orang tua itu...." Lalu gadis ini menceritakan sejelasnya pada ibunya tentang pengalamannya dengan Pun Hui di rumah Sin tung Lo kai.
Sian Hwa diam diam tersenyum dan dia tahu akan kesusahan hati puterinya. Ia memang suka kepada pemuda itu dan sudah merasa setuju kalau pemuda yang halus dan sopan dan terpelajar itu menjadi mantunya. Diam dam ia lalu merundingkan hal ini dengan suaminya setelah menghibur hati Siauw Yang.
Bun Sam mengerutkan alisnya. "Sin tung Lo kai adalah seorang tokoh kang ouw yang ternama dan iujur, akan tetapi ia terkenal kasar dan tidak mau kalah. Bagaimana Pun Hui menjad putera angkatnya" Habis, bagaimana kehendakmu?"
"Sudah jelas bahwa Siauw Yang mencintai pemuda itu, demikian sebaliknya. Yang ji sudah menceritakan betapa pemuda itu membelanya dan biarpun tiada kepandaian silat namun berani mati membela Siauw Yang, itu sudah cukup menunjukkan kesetiaan hatinya. Kalau mereka sudah saling setuju dan kita tahu bahwa pemuda itu memang seorang yang baik sekali, mengapa kau tidak datang ke tempat tinggal Sin tung Lo kai untuk merundingkan soal perjodohan itu?"
"Kau menyuruh aku pergi ke sana dan meminang Pun Hui" Hm, itu amat merendahkan kita. Apalagi orang sekasar Sin tung Lo kai itu, mana dia mau menerima begitu saja" Pun Hui sudah menjadi puteranya dan kalau pemuda itu memang suka kepada anak kita, mengapa tidak Sin tung Lo kai sebagai ayah angkatnya datang meminang Siauw Yang?"
"Suamiku, mengapa kau begitu kukuh" Sin tung Lo kai sudah terang seorang yang kasar dan kaku, akan tetapi bukankah kau bukan seperti dia" Benar bahwa Pun Hui sudah menjadi anak angkatnya, akan tetapi, jangan lupa bahwa lama sebelum siucai itu menjadi anak angkatnya, dia sudah berhubungan dengan kita. Juga Liem siucai adalah murid dari Yap Thian Giok, berarti dia masih murid keponakan kita sendiri. Membicarakan soal perjodohan diantara orang kita sendiri, masih pakai sungkan sungkan apalagi" Terutama sekali, kau melakukan hal ini demi kebahagiaan puteri kita."
Melihat isterinya sudah menyerang dengan muka merah, Bun Sam mengangkat pundak dan mengangguk angguk.
"Baiklah, baiklah, memang aku orang tua harus selalu turun tangan sendiri, baru urusan orang orang muda dapat dibereskan. Aah, begini kalau menjadi orang tua...."
Pendekar besar itu menghela napas berulang ulang dan Sian Hwa diam diam mentertawakannya.
"Lo pangcu, di luar ada tamu hendak bicara dengan pangcu," seorang anggauta Ang sin tung Kai pang melapor kepada Sin tung Lo kai Thio Houw yang sedang bercakap cakap dengan puteri nya, yakni Bi sin tung Thio Leng Li dan putera angkatnya, Liem Pun Hui di ruang belakang.
"Siapa dia?" tanya kakek itu kurang perhatian.
"Dia bukan orang biasa, lo pangcu, melainkan Thian te Kiam ong Song Bun Sam sendiri," anak buahnya melapor dengan wajah berseri karena anggauta ini menganggap bahwa kunjungan pendekar besar itu merupakan peristiwa yang amat penting.
"Hm, biarpun Thian te Kiam ong sendiri, orang apakah perlu disebut bukan orang biasa" Suruh dia menunggu di luar!" kata Sin tung Lo kai ketus sehingga anggautanya itu buru buru keluar lagi.
Lem Pun Hui ketika mendengar bahwa yang datang adalah ayah Siauw Yang, otomatis berdiri dari bangkunya dan hendak berlari keluar.
"Duduk saja kau!" Sin tung Lo kai membentak dan Pun Hui yang melihat lirikan penuh arti dan Leng Li, lalu duduk kembali.
"Ayah, tentu kedatangannya ada hubungannya dengan perjodohan Song lihiap dengan toako," kata Leng Li.
"Hm, habis mengapa" Dia bukan orang yang pinangannya harus diterima oleh siapapun juga," jawaban dari kakek ini membuat muka Pun Hui menjadi pucat, akan tetapi Leng Li tersenyum.
"Ayah, sekiranya dicari di dunia ini, tidak ada besan bagimu yang lebih berharga daripada Thian te Kiam ong! Akan tetapi, kita tak boleh merendahkan diri dan tidak seharusnya menerima begitu saja usul perjodohannya, biar ia seorang besar seperti Thian te Kiam ong sekalipun."
Berseri wajah Sin tung Lo kai, akan tetapi Pun Hu memandang kepada Leng Li dengan heran dan muka muram.
"Kau benar, anakku! Mengapa kita harus merendah rendah dan tunduk kepadanya" Hendak kulihat dia akan berbuat apa kalau kita tidak menuruti kemauannya!"
"Bukan begitu ayah. Dalam jaman sekacau ini, mempunyai hubungan keluarga dengan keluarga Song, merupakan keuntungan besar bagi kita. Hal itu akan menjunjung tinggi namamu dan juga orang orang lebih memandang hormat dan segan kepada kita. Lagi pula, toako sudah suka kepada Song lihiap yang kepandaiannya kita sudah menyaksikannya. Akan tetapi, harus diadakan syarat syaratnya."
"Hm, siapa suka mempunyai mantu yang pernah menghina dan menantangku?"
"Hal itu boleh dimaafkan, ayah, karena Song lihiap tidak tahu bahwa kau adalah ayah angkat toako, dan dia masih muda serta berdarah panas. Bagaimana kalau ayahnya diharuskan minta maaf untuk puterinya?"
"Itu saja belum cukup mendinginkan hatiku," jawab Sin tung Lo kai, "Memang di samping itu harus ada syarat lain, yakni dia harus diajak bertanding," kata Leng Li dengan kerling mata cerdik sekali.
Sin tung Lo kai mengerutkan kening. "Kepandaiannya tinggi sekali, aku takkan menang." Memang kakek ini jujur sekali biarpun ia tidak suka mengaku kalah.
"Itulah syarat untuk memancingnya. Kalau ayah kalah berarti kita mempunyai cukup alasan untuk menolak usul perjodohannya. Ayah boleh minta waktu sampai ayah kelak dapat menang daripadanya."
"Hm, boleh juga. Hitung hitung menguji kepandaian sendiri. Akan tetapi, bagaimana kalau dia yang kalah?"
"Kalau dia kalah, berarti ayah tidak takut padanya dan tentu saja usul itu boleh diterima atau ditolak menurut sekehendak hati ayah."
Sin tung Lo kai diam untuk beberapa lama, lalu mengangguk angguk. "Baik, mari kita keluar menyambutnya." Dengan langkah lebar kakek ini keluar, diikuti oleh Leng Li yang tersenyum senyum dan yang tidak memperdulikan pandang mata Pun Hui yang penuh sesal kepadanya.
Dengan amat sabar dan tenang Song Bun Sam menanti di ruang tamu dan ketika ia melihat tuan rumah, cepat bangun berdiri dan memberi hormat selayaknya. Sekilas ia mengerling ke arah Pun Hui dan Leng Li serta menerima penghormatan mereka dengan anggukan kepala.
"Ah, tidak tahunya Thian te Kiam ong Si Raja Pedang yang ternama besar mengunjungi tempatku yang buruk. Tidak tahu ada urusan penting apakah?" tanya Sin tung Lo kai dengan sikap angkuh.
Diam diam Bun Sam berdebar mendengar ucapan dan melihat sikap tidak mengasih ini, akan tetapi ia tetap berlaku tenang dan senyum di bibirnya tidak mengurang.
"Sin tung Lo kai, selain aku datang untuk berkunjung karena sudah lama menghormati namamu yang besar juga kedatanganku ini ada hubungannya dengan putera angkatmu itu,"
"Ada apa dengan dia?"
"Kami sekeluarga sudah merundingkan hal ini dan sudah sepakat untuk minta persetujuanmu agar puteramu ini dijodohkan dengan puteri kami. Puteramu sudah kenal baik dengan puteri kami dan mereka itu nampaknya memang berjodoh."
"Eh, eh, kau lucu sekali, Thian te Kiam ong. Mana ada fihak wanita meminang laki laki?"
"Memang berat menjadi orang tua yang hendak memenuhi keinginan hati anak muda," jawab Bun Sam tersenyum, akan tetapi mukanya berubah merah.
"Bukankah puterimu itu bernama Song Siauw Yang?"
"Benar begitu, agaknya kau sudah mengenalnya"
"Siapa tidak mengenalnya dia, nona yang berkepandaian begitu tinggi sehingga berani menghina dan menantangku?"
Bun Sam terkejut, Siauw Yang tak pernah bercerita kepadanya tentang hal ini. Juga Sian Hwa yang mendengar penuturan puterinya, tidak berani menceritakan hal ini kepada suaminya. Kalau Bun Sam mendengar hai ini, tentu ia tidak mau datang mengunjungi kakek pengemis ini!
Untuk beberapa lama Bin Sam tak dapat berkata kata, nampaknya bingung dan gugup.
"Kekeliruan tindak anaknya adalah kesalahan orang tuanya, demikianlah orang orang jaman dahulu berkata," tiba tiba Leng Li berkata. "Song lihiap memang keras kepala dan berwatak berani serta kasar."
Bun Sam mengerling ke arah gadis itu dan tiba tiba ia tersenyum.
"Cocok sekali perbilangan itu, Sin tung Lo kai, kalau puteriku telah bersikap keliru kepadamu, biarlah aku sebagai ayahnya memintakan maaf kepadamu." Bun Sam menjura dan Sin tung Lo kai menjadi bangga sekali. Thian te Kiam ong menjura minta maaf kepadanya. Ah, kalau saja orang orang kang ouw melihat akan hal ini.
"Sudahlah, hal itu tak perlu diperbincangkan lagi. Tentang usul perjodohanmu, aku mempunyai cita cita bahwa siapa yang menimang kedua anakku, harus memenuhi syaratnya, yakni bertanding dulu dengan aku. Bagaimana, apakah kau menerima usul ini?"
Song Bun Sam makin bingung. Bagaimanakah kakek ini" Didatangi orang yang mengusulkan perjodohan, bahkan diajak bertanding silat! Bukankah hal ini berbahaya sekali dan dapat menjadikan bibit permusuhan"
"Kalau aku kalah, berarti bahwa yang menjadi calon jodoh anakku adalah puteri seorang yang benar benar gagah, jadi aku tidak ragu ragu lagi."
"Hm, maksudmu, kalau kau kalah, kau akan menerima usul perjodohan ini?" Bun Sam minta keterangan.
"Belum tentu begitu. Hal diterima atau tidak adalah soal belakang, tak dapat dibicarakan sekarang. Pendeknya, mau atau tidak kau memenuhi syarat itu dan bertanding melawanku?"
"Kalau aku yang katah?"
"Kalau kau kalah" Aku akan menimbang nimbang apakah puteraku sudah cukup patut menjadi mantu seorang yang kepandaiannya lebih rendah daripadaku."
Bun Sam menjadi bingung. Ia dihadapkan pada teka teki yang ruwet. Kalau ia menang, tentu kakek yng keras kepala ini akan sakit hati, dan kalau ia kalah, kakek yang sombong ini akan memandang rendah kepadanya. Bagaimana baiknya"
"Ayah, jangan kau sampai kalah olehnya. Kalau kau kalah, aku akan belajar lebih giat lagi agar kelak aku dapat menebus kekalahanmu itu. Pendeknya, kita akan berusaha untuk mengalahkan Thian te Kiam ong pendekar yang tak terkalahkan. Tidak percuma ayah terpilih menjadi ketua Ang sin tung Kai pang!" tiba tiba Leng Li berkata dengan penuh semangat.
Bun Sam yang amat cerdik tergerak hatinya mendengar ucapan ini. Tadi gadis itupun secara rahasia telah memberi nasehat padanya untuk minta maaf bagi kekalahan Siauw Yang, kini kata kata gadis itu mempunyai arti yang lebih dalam lagi. Maka ia tersenyum dan berkata,
"Kekalahan ayah akan merendahkan nama kami sebagai pengurus Ang sin tung Kai pang yang besar!" kata pula Leng Li dan Bun Sam menjadi lebih yakin lagi.
"Leng Li, tutup mulutmu!" Sin tung Lo kai yang kasar itu membentak, sedikitpun tidak tahu akan isi daripada kata kata puterinya. "Thian te Kiam ong, bagaimana jawabanmu" Sanggupkah kau?"
"Tentu saja, sobat. Marilah kita main main sebentar!" jawab Raja Pedang itu.
Sin tung Lo kai lalu mengeluarkan tongkat merahnya yang ampuh, diputar putar di atas kepala sambil memasang kuda kuda yang teguh.
Bun Sam tahu bahwa dengan bertangan kosong, belum tentu ia akan kalah. Akan tetapi hal ini akan merupakan penghinaan terhadap tuan rumah, sedangkan ia telah mengambil keputusan untuk melakukan kebijaksanaan sehingga ia dapat memecahkan hal yang amat sulit ini. Dengan tenang dicabutnya pedang Kim kong kiam, lalu ia memasang kuda kuda seakan akan bersungguh sungguh sambil berkata,
"Sin tung Lo kai, majulah!"
Kakek ketua pengemis itu tidak sungkan sungkan lagi, lalu menerjang dengan tongkat merahnya. Bun Sam menangkis dan tak lama kemudian mereka bertempur dengan hebatnya. Pun Hui berdiri dengan muka pucat dan hampir ia menangis. Bagaimanakah urusan menjadi begini ruwet" Diam diam ia mengeluh dan menyesali nasib sendiri.
Ilmu tongkat dari Sin tung Lo kai bukanlah ilmu tongkat biasa dan mampunyai gerakan yang amat berbahaya. Setelah bertempur beberapa belas jurus, tahulah Bun Sam bahwa kepandaian lawannya benar benar tinggi, tidak jauh bedanya dengan tingkat kepandaian Tung hai Sian jin, sungguhpun masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian Lam hai Lo mo. Akan tetapi ia mengimbangi kepandaian kakek ini dan tidak terlalu mendesak sehingga pertempuran berjalan dengan amat serunya.
Ilmu Pedang Tee coan Liok kiam sut adalah raja ilmu pedang, maka tentu saja tongkat merah di tangan Sin tung Lo kai tidak berdaya menghadapinya. Hai ini semenjak tadi sudah terasa oleh Sin tung Lo kai yang tiada habis kagumnya menyaksikan gerakan pedang kuning emas sinarnya itu. Namun ia memang pantang kalah dan terus mendesak sambi mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Setelah bertempur enampuluh jurus lebih dan pedang serta tongkat bergulung gulung seakan akan menjadi satu, tiba tiba Bun Sam yang menghadapi gebukan tongkat pada pinggangnya, sengaja melompat dan memberikan pahanya digebuk.
"Buk!" Bun Sam melayang dan terhuyung huyung dengan muka merah, lalu menyimpan pedangnya dan menjura,
"Sin tung Lo kai, kau pantas menjadi ketua Ang sin tung Kai pang, karena kepandaianmu benar benar luar biasa. Aku Thian te Kiam ong mengaku kalah. Harap sebulan lagi kau sudi datang ke gubukku di Tit le untuk merundingkan urusan perjodohan anak kita." Setelah menjura sekali lagi, Bun Sam lalu melenggang pergi dari situ. Sedikitpun ia tidak kelihatan terluka atau kesakitan.
Sin tung Lo kai berdiri dengan tangan kanan memegang tongkat, akan tetapi tangan kirinya sejak tadi bertolak pinggang saja. Bahkan ia tidak membalas penghormatan Bun Sam, hanya berdiri memandang dengah muka berubah pucat. Di dalam hatinya, ia tunduk betul kepada jago pedang itu. Gebukannya tadi tidak tersangka sangka olehnya karena kalau lawannya mau, tawannya itu masih dapat menangkis, mengapa sengaja memberikan pahanya untuk digebuk" Yang digebuk tidak apa apa, padahal gebukannya tadi cukup keras untuk menghancurkan batu karang, sebaliknya telapak kedua tangannya terasa panas dan linu. Bukan itu saja, ketika lawannya itu terlempar, tiba tiba tangan Bun Sam secepat kilat digerakkan ke arahnya dan kakek ini merasa ada sesuatu yang terputus atau terobek pada perutnya. Ketika ia meraba, ternyata bahwa tali celananya telah putus, kena direnggut secara halus dan tidak kentara oleh raja pedang itu!
"Hebat, hebat.... dia benar benar hebat!...." hanya demikian kakek itu berkata sambil menghela napas berhati kati, lalu menyeret tongkatnya sambil berjalan masuk. Pun Hui berdiri bengong dan terheran heran karena melihat kakek itu berjalan masuk sambil tangan kirinya masih bertolak pinggang. Benar benar aneh sekali. Pertempuran tadi aneh. Penyelesaiannya sudah aneh dan berakhir ganjil pula. Sekarang kakek itu berjalan sambil bertolak pinggang, benar benar ia tidak mengerti sama sekali.
Akan tetapi setelah kakek itu lenyap dari pandangan mata, terdengar Leng Li tertawa cekikikan, nampaknya geli hati sekali. Ketika Pun Hui menengok ke arahnya, pemuda ini lebih heran lagi. Leng Li tertawa tawa ditahan, akan tetapi kedua matanya mencucurkan air mata.
"Eh, eh, adik Leng Li, ada terjadi apakah semua ini" Aku yang sudah menjadi gila ataukah kalian semua bersikap aneh sekali?"
Leng Li menyusut air matanya, menahan geli hatinya dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata berseri.
"Selamat, selamat, kakakku yang baik. Perjodohanmu sudah dapat ditentukan dengan tangan."
"Eh, apa kau gila" Kelakuan kalian benar benar merupakan teka teki bagiku."
"Yang manakah yang membikin bingung padamu" Aku bisa memberi penjelasan."
"Pertama tama, bagaimana dengan pertempuran tadi" Berjalan demikian cepatnya dan tahu tahu Thian te Kiam ong pergi mengaku kalah. Benar benarkah dia kalah?"
"Dia memang kalah, akan tetapi kekalahan yang luar biasa, karena ia sengaja mengalah! Ia memberikan pahanya digebuk oleh tongkat ayah, bukan karena kalah pandai, bahkan sebaliknya, untuk membuktikan bahwa kepandaiainya memang jauh lebih tinggi daripada ayah. Digebuk tidak apa apa, bahkan aku berani bertaruh tentu ayah merasa tangannya sakit sakit."
"Hm, lihai sekali." Pun Hui memuji girang karena memang di dalam hati, ia berfihak kepada ayah Siauw Yang. "Dan ke dua mengapa ayahmu berdiri saja bertolak pinggang, bahkan berjalan masuk rumah sambil bertolak pinggang pula" Apakah itu tandanya ia marah marah besar?"
Leng Li tertawa cekikikan lagi karena pertanyaan ini membangkitkan geli hatinya yang tadi sudah ditindasnya.
"Kasihan sekali ayah.... kau tidak tahu bahwa ia bertolak pinggang karena terpaksa."
"Mengapa terpaksa. .?" Pun Hui makin heran.
"Karena karena kalau tangannya ia lepaskan dari pinggang...." Leng Li tidak dapat melanjutkan kata katanya karena kembali ia tertawa.
"Kalau diepaskan mengapa?" Pun Hui terkejut, mengira bahwa ayah angkatnya terluka hebat.
"Kalau dilepaskan, celananya akan merosot ke bawah!" Leng Li memegangi perutnya menahan ketawanya, "Tali celananya telah direnggut putus oleh Thian te Kiam ong."
Pun Hui menggeleng geleng kepalanya. Ia tidak mengerti ketakuan orang orang kang ouw itu.
"Itupun memperlihatkan bahwa Thian te Kiam ong sepuluh kali lebih lihai daripada ayah, hanya pendekar besar itu sengaja tidak mau membikin malu dan sengaja mengalah. Apalagi yang kau tidak mengerti?"
"Kau tertawa geli aku dapat mengerti sekarang, akan tetapi mengapa kau mencucurkan air mata" Biasanya tak pernah kulihat kau tertawa sambil menangis."
Kembali dua butir air mata bertitik dari mata gadis itu.
"Aku.... aku kasihan kepada ayah dan aku". aku girang karena soal perjodohanmu tentu akan beres."
"Bagaimana kau bisa bilang begitu?" Pun Hui tidak mengerti bahwa kali ini gadis itu membohong, bukan karena berbahagia, melainkan karena terharu. Cinta hati gadis itu terhadap Pun Hui membuat ia merasa perih hati mengingat bahwa pemuda ini akan menjadi jodoh orang lain.
"Karena aku tahu akan watak ayah. Ia telah ditundukkan oleh Thian te Kiam ong, tanpa tersinggung kehormatannya. Kalau Thian te Kiam ong merobohkan dia, kiraku akan sukar bagimu untuk berjodoh dengan Song lihiap. Juga lebih sulit lagi. Akan tetapi sekarang, Thian te. Kiam ong telah berlaku demikian bijaksana untuk mengalah, sehingga pada luarnya ia kelihatan telah dikalahkan oleh ayah, akan tetapi diam diam ia menundukkan hati ayah karena kelihaiannya. Aku berani pastikan bahwa sebulan lagi ayah pasti akan pergi ke Tit le untuk meminang Song lihiap.
Ramalan Leng Li ini terbukti karena sebulan lagi, benar saja Sin tung Lo kai mengajak Pun Hui dan Leng Li pergi ke Tit le melakukan peminangan. Tentu saja pinangan diterima dengan sukacita dan tak lama kemudian dilangsungkanlah pernikahan antara Tek Hong dan Siang Cu serta Pun Hui dan Siauw Yang.
Orang orang kang ouw dari seluruh penjuru dunia datang menghadiri upacara pernikahan dan semua orang bergembira ria. Juga Leng Li dapat menghibur hatinya karena berkat bantuan Pun Hui, akhirrya ia mendapat jodoh pula dengan seorang sasterawan muda kawan Pun Hui, seorang sasterawan yang akhirnya menduduki pangkat cukup tinggi.
Belasan tahun lewat dengan cepatnya semenjak pernikahan itu dirayakan. Pada suatu hari yang amat meriah, karena itu adalah hari Tahun Baru. Di mana mana bergema ucapan ucapan setamat!
"Sin chun, Kiong hi (Selamat Hari Raya Musim Semi)!"
"Kiong hi, kiong hi, thiam hok siu (Selamat, selamat, panjang usia banyak rezeki).... !"
Di mana mana terdengar ucapan ini, saling sambut, disertai wajah berseri, mata bercahaya, mulut tersenyum. Suasananya gembira ria di setiap rumah penduduk kota Soa couw. Bukan hanya di kota ini saja, bahkan di seluruh daratan Tiongkok. Tidak, bahkan di seluruh daratan permukaan bumi di dunia ini di mana terdapat orang orang Tionghoa yang merayakan hari raya Musim Semi atau lebih terkenal dengan hari raya Tahun Baru atau Sincia!
Segala apa nampak berseri dan serba baru. Karena segala apa serba baru inilah kiranya yang menyebabkan Pesta Musim Semi untuk menyambut datangnya musim semi setelah musim kering yang panjang itu berlalu, berubah sebutannya menjadi Pesta Tahun Baru. Segala apa serba baru dan bersih. Jalan jalan sudah sejak kemarin dibersihkan orang secara bergotong royong, selokan selokan bersih. Rumah rumah diberi warna baru, pintu pintu dan jendela jendela dicat, ditempeli kertas kertas merah tanda bahagia. Huruf huruf kertas gunungan yang melukiskan Soa soa mereka yakni sebagian besar huruf REZEKI atau BAHAGIA memenuhi dinding dan pintu pintu.
Ini semua ditambah dengan hiruk pikuk yang luar biasa. Tidak ada kegembiraan tanpa suara ribut ribut yang lain daripada biasa terdengar sehari hari. Suara petasan petasan berdar der dor gembira, antara tambur dan gembreng yang mengiringi liong dan barongsai saling bersaing dengan suara terompet dan tambur arak arakan.
Ada banyak sekali anak anak yang berlari larian di luar rumah, dalam pakaian dan sepatu baru, tangan membawa kue atau kembang gula atau mainan, mengikuti arak arakan barongsai dan liong. Suara ketawa para wanita cekikikan tertahan dari balik jendela loteng di mana mereka berkumpul menonton arak arakan menjadi sasaran pandangan mata kurang ajar kagum dari anak anak muda di bawah jendela. Suara para engkong (nenek) yang mendongeng di dalam rumah, di kelilingi oleh belasan, bahkan ada yang puluhan orang cucu cucunya, mendongeng tentang cerita rakyat yang berhubungan dengan tahun baru. Pendeknya semua rumah nampak kegembiraan besar. Bahkan rumah tangga yang miskinpun tidak luput mengalami perobahan dihari hari itu ikut ikutan menjadi gembira ria. Betapa tidak" Sungguhpun mereka tidak mampu membeli pakaian dan sepatu baru, tidak mampu memperbaiki atau menghias rumah, namun pada hari itu banyak sekali orang orang baik! Agaknya semua orang berlomba untuk "berbaik hati" di hari hari pesta ini. Rumah orang orang miskin ini kebanjiran hadiah, kebanjiran antaran antaran berupa makanan makanan enak yang biasanya dalam mimpi sekalipun tak mereka jumpai Terutama sekali, tentu saja, di rumah hartawan hartawan dan bangsawan bangsawan yang banyak uangnya, kegembiraan menjadi jadi. Arak wangi dan mahal berlimpah limpah, daging takkan habis termakan, disertai senda gurau mereka.
Di rumah keluarga Thio yang besar sekali itu tidak ketinggalan. Bahkan lebib meriah daripada rumah rumah lain karena bagi keluarga Thio membuang uang bagaikan membuang pasir di hari baik itu, bukan apa apa. Seluruh rumah terhias indah. Dari pintu pekarangan depan yang terhias dengan kertas berwarna dari sutera, sampai ke taman belakang yang dihias kertas kertas berwarna pula, menunjukkan betapa royalnya keluarga ini membuang uang. Teng teng besar dari keras bergambar indah dan berharga mahal tergantung di segala ruangan. Petasan petasan dari pagi sampai malam, sampai pagi lagi.
Semua penghuni rumah gembira dan merasa bahagia. Semua?" Sayang tidak demikian adanya. Banyak sekali orang orang yang bergembira ria ini, bahkan di balik wajah wajah gembira itu banyak sekali terbayang kesedihan dan kedukaan yang untuk sementara waktu, agaknya untuk menghormati hari raya, ditunda dan coba dilupakan dengan senyum dan tawa.
Bahkan ada suara tangis lapat lapat terdengar dari ruangan belakang gedung tengah dan meriah dari keluarga Thio itu. Tangis itu akan terdengar sejak pagi sampai sore, kalau saja di luar tidak begitu riuh dan hiruk pikuk dengan suara petasan dan tambur terompet gembreng canang.
Apakah yang terjadi" Siapakah yang menangis" Perbuatan yang benar benar janggal dan ganjil sekali di malam tahun baru seperti itu"
Keluarga Thio adalah keluarga yang dapat disebut keluarga bangsawan, atau bekas bangsawan, karena Thio loya (Tuan Besar Thio) adalah seorang bekas pejabat pemerintah yang bertugas mengumpulkan pajak. Selama tigapuluh tahun ia mengerjakan tugas ini dan setelah ia merasa terlalu tua dan mengundurkan diri, ia telah berhasil tidak saja mengumpulkan pajak untuk negara, akan tetap terutama sekali mengumpulkan harta benda untuk sakunya sendiri cukup banyak untuk ia dapat hidup menganggur selama hidupnya secara berlimpah limpah dau mewah mewahan.
Thio loya atau nama lengkapnya Thio Kin sudah berusia limapuluh tahun lebih, akan tetapi masih terkenal sebagai seorang mata keranjang. Selain isterinya, yaitu Thio hujin atau nyonya besar Thio yang hanya mempunyai seorang putera, ia masih mempunyai tiga orang bini muda yang menggembirakan hidup tuanya di rumah gedung itu. Sudah tentu saja yang tua diantara bini bininya hanya Thio hujin seorang sedangkan tiga orang selir ini masih muda muda, patut menjadi anak anaknya. Di samping ini, ia masih tidak malu malu dan tidak segan segan untuk mengganggu pelayan pelayan wanita muda yang ada belasan orang bekerja di dalam rumahnya, pelayan pelayan muda yang boleh dibilang "miliknya" karena mereka ini dapat ia "beli" dari tengkulak tengkulak manusia. Juga Thio loya masih tidak segan segan untuk mengunjungi "rumah rumah bunga" di kota Soa couw. Memang hal hal macam ini agak janggal terdengarnya bagi kita, akan tetapi di jaman Thio Kin hidup, hal seperti ini adalah biasa saja, sudah jamak. Bahkan Thio Kin terhitung masih "alim" kalau dibandingkan dengan hampir semua hartawan dan bangsawan yang rata rata memiliki setir selir lebih dari sepuluh orang.
"Kacang tidak meninggalkan lanjaran" demikian bunyi pepatah kuno yang diartikan bahwa perangai sang anak tidak jauh daripada perangai bapaknya. Maka tidak mengherankan apabila putera tunggal Thio Kin yang bernama Thio Sui, juga terkenal sebagai seorang pemuda lacur. Thio Sui memiliki wajah seperti ibunya, maka ia tampan sekali. Mukanya bulat dan kulitnya halus putih, bentuk muka lembut seperti wanita Akan tetapi sayang hatinya tidak selembut ibunya, melainkan sekeras dan sematakeranjang ayahnya. Karena itu, di dalam rumah ia seakan akan merupakan "saingan" dari ayahnya sendiri, karena Thio Sui juga tidak melewatkan kesempatan untuk menggoda para pelayan yang cantik bersih. Dan diam diam pemuda inipun mengadakan perhubungan rahasia dengan dua orang ibu tirinya atau setir selir ayahnya yang usianya sebaya atau lebih tua sedikit daripadanya. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh ayahnya.
Pada suatu hari, Thio hujin membeli seorang gadis pelayan dari seorang tengkulak manusia yang biasa menawarkan dagangannya yang istimewa di gedung gedung hartawan besar. Gadis itu pakaiannya compang camping seperti pengemis. Dia ini adalah seorang pengungsi dari dekat Lembah Sungai Kuning yang kembali mengamuk, memusnahkan banyak kampung berikut rumah rumah dan penghuninya, termasuk keluarga gadis she Liu ini. Gadis berusia empatbeleas tahun ini terlunta lunta seperti seorang pengemis. Ayah bundanya telah hanyut bersama gubuk mereka menjadi mangsa iblis iblis Sungai Kuning yang ganas. Baiknya Kui Lian, demikian nama gadis ini, semenjak kecil biasa berenang di pinggir Sungai Hoang Ho, maka ketika banjir mengamuk kampungnya, ia berhasil menyelamatkan diri. Akan tetapi segera menyesali nasibnya mengapa ia tidak ikut hanyut dan tewas saja bersama ayah bunda dan rumahnya karena hidup seorang diri berarti neraka baginya, ia terlunta tunta, wajahnya yang manis tertutup air mata campur debu, sehingga tidak menarik perhatian orang orang jahat. Akhirnya ia terjatuh ke dalam tangan seorang tengkulak manusia yang pada masa itu sekali berkeliaran di Tiongkok. Tengkulak manusia ini memberinya makan dan dengan bujukan bujukan manis akhirnya berhasil membawanya ke Soa couw dan menjualnya kepada keluarga Thio untuk duapuluh lima tael perak!
Nasib baik menimpa diri Kui Lan. Baiknya ia terjatuh ke dalam tangan Thio hujin yang berhati mulia, kalau terjatuh ke tangan keluarga lain, mungkin sebentar saja hidupnya akan rusak, bagaikan setangkai bunga, dipetik dipuja sampai layu lalu dibuang begitu saja, diinjak injak.
Thio hujin merasa kasihan dan sayang kepada gadis pantai yang jujur ini, dan diambilnya gadis itu sebagai pelayan. Dalam waktu satu tahun saja tinggal d gedung keluarga Thio, Kui Lian nampak segar, sehat dan kecantikannya yang dulu timbul bahkan lebih berseri. Ia telah menjadi seorang gads berusia limabelas tahun yang cantik dan menggairahkan, terutama menarik hati Thio loya, bandot tua yang paling suka akan daun daun muda itu. Akan tetapi oleh karena Thio hujin sudah maklum akan gerak gerik suaminya, tahu pula akan penyakit lama suaminya, muka Thio hujin yang sebetulnya sayang dan kasihan kepada Kui Lian, telah memperingatkan Kui Lan akan bahaya itu dan berusaha sedapat mungkin agar pelayan muda ini jarang berpisah dari dekatnya. Inilah sebabnya mengapa sebegitu jauh belum juga Thio loya tercapai idam idamannya, yakni menjadikan pelayan baru ini sebagai korbannya pula.
Akan tetapi, pada jaman seperti itu, bagaimana mungkin bicara tentang nasib baik seorang pelayan" Pelayan pelayan seperti Kui Lian tiada bedanya dengan binatang peliharaan, nasibnya berada di tangan majikan majikannya, bahkan mati hidupnya boleh dibilang berada dalam kekuasaan mereka yang memberinya makan sehari hari. Bagaimana dapat disebut bernasib baik bagi orang orang yang berhak hidup namun tidak berhak menentukan nasib sendiri"
Biarpun bahaya yang datang dari pihakThio loya untuk sementara dapat dibendung berkat kebijaksanaan dan kemuliaan hati nyonya besar, namun datang bahaya lain yang lebih berbahaya. Yaitu godaan dari Thio kongcu (tuan muda Thio) sendiri. Godaan ini jauh lebih berbahaya kalau dibandingkan dengan niat niat buruk Tho loya, karena sebagai seorang gadis muda yang cantik tentu saja Kui Lian sama sekali tidak ada hati untuk melayani kehendak majikan tuanya. Akan tetapi dengan Thio Sui lain lagi soalnya. Thio Sui adalah seorang pemuda yang tampan dan ganteng, sikapnya halus, bicaranya manis, bujukannya merayu kalbu. Apalagi bagi Kui Lian, Thio Sui adalah majikan mudanya, masih jejaka lagi.
Kui Lian hanya seorang gadis dusun yang bodoh. Tak mungkin ia dapat membaca isi hati orang. Dianggapnya cinta kasih Thio Sui itu dari mulut terus ke hati. Dianggapnya sumpah dan janji pemuda itu jujur dan setulusnya. Ia jatuh menghadapi bujukan Thio Sui dan sepasang orang muda itu membuat perhubungan di luar tahu siapapun juga, kecuali mereka sendiri dan para dewata yang setiap hari dimintai berkah oleh Kui Lian agar supaya melindungi dia dan kekasihnya.
Dewata agaknya meluluskan permintaannya, buktinya sampai berbulan bulan perhubungan mereka berlangsung dengan lancar dan selamat tidak mendapat gangguan siapapun juga. Demikian anggapan Kui Lian. Dia terlalu bodoh untuk mengerti bahwa hal hal yang demikian tak mungkin dilakukan orang tanpa diketahui akhirnya oleh orang orang lain. Para penghuni rumah itu tahu belaka, bahkan Thio hujin sendiri juga sudah tahu. Namun mereka ini hanya menarik napas panjang, bahkan ada yang sambil terkekeh kekeh membicarakan perhubungan ini di belakang Kui Lian atau Thio Sui. Orang satu satunya yang tidak tahu hanya Thio loya sendiri. Hal ini adalah karena Thio hujin yang amat memanjakan puteranya memesan kepada semua isi rumah agar jangan membocorkan rahasia orang orang muda itu.
Segalanya akan berjalan baik dan tidak ada perubahan kalau saja tidak terjadi perubahan dalam diri Kui Lian sendiri ia mulai merasa pusing pusing dan badannya tidak enak juga malas. Akhirnya ia tahu apa yang sedang terjedi dengan dirinya. Dengan hati kebat kebit ia menyampaikan hal ini kepada kekasihnya. Thio Sui menjadi kaget setengah mati dan bingung. Terpaksa ia mengeluarkan isi hati kekhawatirannya di depan ibunya.
Biarpun memiliki hati yang lembut dan budiman, Thio hujin hanya seorang wantia kepala rumah tangga yang jalan pikirannya dipengaruhi seluruhnya oleh hukum hukum tradisi. Mendengar penuturan putera tunggalnya, ia hampir pingsan.
"Perempuan hina dina itu berani sekali menggoaa hatimu" Berani betul dia mempunyai kandungan darimu" Celaka, hal ini akan menghancurkan nama baik kita, akan mancemarkan nama baik seluruh keluarga Thio yang dihormati orang karena semenjak nenek moyang kita dahulu tidak pernah melakukan hal hal yang remeh. Sekarang kau putera tunggal keluarga Thio akao menjadi ayah dari anak seorang pelayan belian yang tidak diselir secara sah! Ah, Thio Sui, kemana kita akan menyembunyikan muka kita?"
"Ibu, tidak ada lain jalan lagi. Kita harus mencarikan seorang suami untuknya. Kalau kita beri sedikit uang modal, kiranya banyak laki laki dari luar yang suka mengambil Kui Lian sebagai isterinya, dia masih muda lagi tidak buruk mukanya," kata pemuda yang pengecut dan palsu hati ini. Setelah menghadapi akibat daripada perbuatannya, ia bukan melindungi Kui Lian, bahkan hendak mencuci tangan!
"Bodoh, apa kaukira semua pelayan tidak tahu akan keadaan Kui Lian" Pula, suaminya juga akan tahu bahwa dia sudah mengandung, apakah dia takkan menjual hal ini secara murah di luaran?"
Ibu dan anak ini bicara kasak kusuk dan akhirnya mereka menemukan jalan terbaik. Tiada jalan lain kecuali menimpakan segala kesalahan ke pundak seorang pelayan pria! Demikianlah, pada malaman tahun baru itu, tiba tiba Gan Keng Ki dipanggil majikannya. Pelayan yang usianya baru duapuluh lima tahun ini dengan wajah berseri dan hati gembira datang menghadap di ruang tengah, mengira akan mendapat hadiah Tahun Baru. Akan tetapi alangkah herannya ketika berlutut di depan kursi Thio loya, ia melihat wajah majikannya ini muram dan marah, sedangkan Thio hujin, Thio kongcu dan para selir duduk di situ tak bergerak seperti patung. Suasana demikian tegang dan dingin, sama sekali tidak membayangkan kegembiran tahun baru. Ada apakah" Hati Keng Ki mulai berdebar debar tak enak. Apalagi ketika ia melihat Kui Lian yang terisak isak sambil menutupi mukanya, duduk berlutut di sudut ruangan. Sudah lama Keng Ki menaruh hati kepada pelayan muda ini, akan tetapi segera mengusir perasaannya karena dihadapannya duduk Thio Kongcu. Ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat bersaing dengan majikan mudanya.
"Keng Ki, hayo akui semua dosamu agar hukumannya agak ringan!" Thio loya mendamprat dengan bentakan marah. Memang hartawan tua ini marah sekali ketika mendengar bahwa Kui Lian telah mengandung karena perhubungannya dengan seorang bujang, yaitu Gan Keng Ki, orang kepercayaannya. Gila betul! Sudah lama ia merindukan bunga cantik yang tumbuh di dalam tamannya. Sebelum ia berhasil memetiknya, eh, tahu tahu sudah didahului oleh bujangnya. Siapa takkan marah"
Di lain pihak Keng Ki menjadi bingung dan melongo. Kemudian setelah memeras otak mengingat ingat kesaahan apa gerangan yang telah ia lakukan, ia mengangguk anggukkan kepalanya sampai menyentuh lantai dan menjawab,
"Hamba Gan Keng Ki menghaturkan Sin chun Kionghi, hamba akan bersembahyang siang malam dengan doa semoga Thio loya diberkahi usia panjang sampai ratusan tahun, rezeki bertambah sampai kekurangan tempat untuk menampung dan...."
"Tutup mulut!" bentak Thio loya marah sekali. Dalam keadaan biasa, ucapan setamat dan pelayannya ini akan memancing keluar uang hadiah, akan tetapi sekarang sebaliknya, disangka sebagai sindiran dan ejekan. Sebaliknya, Keng Ki menjadi pucat. Tadinya ia mengira bahwa karena ia terlambat mengucapkan selamat, ia dianggap bersalah dan tidak tahu adat, maka ia tadi buru buru menghaturkan selamat. Tak tahunya malah dibentak marah.
"Anjing betinanya sudah mengaku, apa kau anjing jantannya masih berpura pura lagi" Kau bermain gila di belakangku dengan Kui Lian, sampai gadis itu mengandung. Tahukah kau apa artinya dosa itu" Kau telah mengotori rumahku, telah mendatangkan kesialan, telah mencemarkan nama baik kami, telah.... telah...." Saking marah dan kecewanya melihat kembang idamannya diserobot orang, Thio toya tak dapat mengeluarkan kata kata lagi, hanya tangannya meruding nuding ke kanan ke kiri menyuruh pelayan pelayan lain menangkap dan memberi hukuman kepada Keng Ki.
"Tigapuluh kali cambukan!" akhirnya ia dapat juga membentak dengan perintahnya setelah melihat Keng Ki dipaksa oleh delapan buah tangan untuk rebah telungkup di depan majikannya yang sedang marah marah.
Segera terdengar suara suara aneh di malaman Tahun Baru itu. Suara cambuk cambuk menghantam hantam punggung disusul oleh rintihan memilukan juga tangis perlahan dari Kui Lian tak pernah berhenti. Semenjak pagi tadi menerima tuduhun yang bukan bukan, Kui Lian terus menangis. Thio hujin dengan gamasnya menuduh ia melakukan perhubungan dengan Gan Keng Ki! Apa yang ia harus jawab" Tentu saja sampai mati ia tidak berani mengaku bahwa yang menjadi ayah dari kandungannya adalah Thio kongcu! Selain hal ini takkan dapat diterima oleh keluarga Thio, juga akan membuat majikan majikannya menjadi makin marah saja. Kui Lian hanya mengharapkan campur tangan kekasihnya, mengharapkan perlindungan, pembelaan dan penolongan Thio Sui. Akan tetapi, alangkah perih hatinya ketika ia melihat pemuda itu memandang acuh tak acuh, seakan akan dia orang yang paling bersih di dunia.
Tidak sekalipun pemuda itu memandang kepadanya sehingga payah Kui Lan mencoba untuk bertemu pandang dan menyampatkan jerit jiwanya melalui pandang mata kepada pemuda itu.
Setelah diberi hukuman tigapuluh kali cambukan yang merobek robek kulit punggungnya, Thio loya berkata,
"Jahanam yang tidak tahu budi. Sejak kecil kau kupelihara, kami beri makan dan pakatan secara berlebih lebihan menolongmu dari kelaparan, akan tetapi balasmu hanya memalukan nama baik kami saja. Sekarang katakan apakah kau ingin kami ajukan ke depan pengadilan atau akan menerima putusan hukuman kami sendiri?"
Gan Keag Ki adalah orang kepercayaan Thio loya, sudah sering kali disuruh mengantarkan ini itu dalam hubungan Thio loya dengan para pejabat tinggi. Ia cukup cerdik untuk mengerti bahwa hubungan majikannya dengan para pembesar pengadilan amat eratnya, dan bahwa segala perkara yang diadili di pegadilan keputusannya sama sekali bukan berdasarkan keadilan, melainkan tergantung daripada besar atau kecilnya uang sogokan yang diberikan oleh mereka yang diperiksa kepada para petugas pengadilan. Ia maklum pula bahwa kalau ia diserahkan kepada pengadilan yang sudah makan uang sogokan majikannya, nasibnya sudah dapat ditentukan, yakni siksa, hukum dan buang.
"Hamba menerima segala keputusan loya...." akhirnya ia berkata lemah.
Thio loya tersenyum. Ini berarti penghematan, tak perlu dia mengirim beberapa puluh tael perak ke pengadialn, dan dia dapat pula "mencuci muka" dan mempropagandakan kebaikan hatinya.
"Baiknya aku kasihan kepadamu dan mengingat bahwa kau sudah sebelas tahun bekerja disini, dan bahwa Kui Lian juga bekas pelayan nyonya besar, keputusanku sekarang supaya kau mengawini gadis itu dan pergi dari sini jangan sekali kali berani menginjak pekarangan rumah kami. Dan hati hati, kalau kau dan binimu sudah keluar dari sini berarti kau bukan pelayan kami lagi, kau tidak ada hubungan sama sekali dengan kami dan aku melarang kau bicara sesuatu tentang diri kami."
Dengan lemah Gan Keng Ki terpaksa menerima hukuman itu. Ia diusir bersama Kui Lian di malam hari itu juga. Ia menerima dengan kepala tunduk, kemudian pergi ke kamarnya untuk mengumpulkan barang barang yang dipunyainya. Tidak banyak, hanya sebungkus pakaian, hasil kerja selama sebelas tahun di situ.
Akan tetapi Kui Lian roboh pingsan mendengar keputusan ini. Roboh pingsan sambil menjerit lirih ketika melihat Thio Sui tersenyum puas dan meninggalkan ruangan tanpa melirik seleretpun kepadanya.
Semua ini terjadi pada jaman itu. Tidak aneh kejadian yang lebih hebat sekalipun bukan merupakan peristiwa aneh. Apakah anehnya anjing dipukuli sampai mati oleh majikannya" Apakah anehnya ayam dipotong. Kuda diperas tenaganya untuk seikat rumput saja" Dan pelayan belian di jaman itu tiada bedanya dengan anjing, ayam atau kuda, kadang kadang lebih rendah lagi. Ya, jaman itu, jaman di mana feodalisme masih merajlela, di mana derajat manusia masih bertingkat tingkat. Yang kelaparan, si miskin. Yang ditindas, si lemah. Yang terinjak injak, si rendah.
"Kau.... perempuan sialan.... Kau perempuan rendah.... tak tahu malu! Kau perusak hidupku.... !" Keng Ki memaki maki sambil menyeret tangan Kui Lian di sepanjang jalan yang sunyi ditengah malam itu, malam tahun baru! Akan tetapi yang dimaki maki, tidak menyahut, mendengarpun tidak Kui Lian berjalan terhuyung huyung, setengah diseret oleh Keng Ki wanita ini lebih banyak pingsan daripada sadarnya. Seperti orang mabuk yang tidak ingat apa apa lagi. Rintihan rintihan dan keluh kesah perlahan keluar dari bibirnya, matanya setengah terpejam, tubuhnya lemah lunglai.
"Kau perempuan hina dina.... kau main gila dengan majikan muda, main gila lupa daratan, lupa diri, sampat Thian mengutukmu, sampai kau mengandung. Dan aku orangnya yang menerima hukuman untuk pebuatanmu yang kotor itu!" Keng Ki tiada henti memaki maki. Yang dimaki tetap tidak mendengar, bahkan Keng Ki merasa tubuh itu menggelandot berat. Ketika ia melepaskan pegangannya, tubuh itu terkulai dan terguling di atas tanah dan rumput basah, pingsan.
"Terkutuk! Setan atas!" Keng Ki makin marah dan mendokol. Kemudian ia duduk mengaso di atas tanah di pinggir jalan itu, termenung dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya, apa yang akan diperbuatnya terhadap wanita yang pingsan itu. Ia sudah terlalu lelah. Tubuhnya sakit sakit dan lemas akibat hukuman yang ia terima tadi, panas seluruh badan akibat nafsu amarah yang berkobar. Akhirnya ia tak dapat menahan kelemasan tubuh, ia berbaring dan tak lama kemudian tidur membuat ia lupa akan kesedihannya, akan kemarahannya, akan nyeri nyeri badannya.
Menjelang tubuh Keng Ki bangun dari tidurnya, ia sadar kembali dan bersama kesadarannya, kembali pula kesedihannya, kemarahannya, kemendongkolannya. Ia melihat ke arah Kui Lian yang masih rebah miring di atas tanah. Ketika didekatinya ternyata Kui Lian masih tidur. Agaknya gadis ini setelah siuman kembali, saking lelahnya tertidur juga.
Melihat gadis yang berwajah manis ini tidur miring dalam keadaan menarik dan juga menimbulkan kasihan, untuk sedetik kemarahan dan kekerasan hati Keng Ki mencair. Teringat ia akan cinta kasihnya yang dulu diam diam ia tahan untuk gadis ini, gadis yang pernah dirindukannya siang malam. Akan tetapi tiba tiba perih dan nyeri di punggungnya mengusir kelemahan ini dan mengembahkan kemarahannya.
"Bangun! Perempuan sial!" bentaknya sambil melompat berdiri dan mengguncang guncang tubuh Kui Lian dengan kakinya.
Kut Lian mengeluh, membuka mata. Lalu bangkit cepat cepat seakan akan orang baru sadar dari mimpi, terbelalak memandang ke kanan kiri, kemudian kepada Keng Ki Lalu menangis tersedu sedu. Bukan mimpi buruk, melainkan kenyataan yang ia hadapi! Tadinya Kui Lian masih mengharapkan bahwa kesemuanya itu mimpi belaka, akan tetapi alangkah hancur hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa semua itu bukan mimpi, melainkan kenyataan pait.
"Diam! menangis lagi! Perempuan sial, kau tahu apa yang telah kauperbuat terhadap aku" Sejak kecil aku berada di gedung keluarga Thio, mendapat kepercayaan, disuka dan sering mendapat hadiah. Hidupku senang sampai belasan tahun. Kemudian iblis melemparkan kau ke tengah tengah keluarga Thio. Kau siluman betina ini main gila. menggoda kongcu sampai perutmu menjadi besar. Kemudian kau menimpakan dosanya kepundakku. Aku yang dituduh menjinaimu, aku yang dituduh menjadi bapak anak haram di perutmu itu. Cih, tak tahu malu. Coba kaukatakan, kapan aku pernah mendekatimu" Hayo katakan, kapan?" Makin banyak bicara makin melonjak marah di dada Keng Ki. Ia mencak mencak, membanting banting kaki mengepal tinju.
"Gan twako, ampunkan aku.... biarpun aku tak pernah memfitnahmu, biarpun aku bersumpah tak pernah membawa bawa namamu di depan mereka, tetap saja.... aku telah bersalah.... karena perbuatankulah kau menderita.... Twako, kalau tidak bisa mengampunkan aku.... mengaca kau tidak...... tidak bunuh saja aku di sini" Tidak akan ada orang tahu...."
Lemas kedua tangan Keng Ki yang tadinya dikepal kepal itu. Melihat gadis ini berlutut dengan kepala yang rambutnya awut awutan itu menunduk, mendengarkan kata kata yang lemah dan sayu diseling isak, lemaslah dia.
"Bunuh.... kau....?" ulang katanya gagap dengan pandang mata bodoh.
"Ya, mergapa tidak" Untuk apa artinya hidup bagiku" Aku telah tertipu...." ia tersedu sedu. "Aku tertipu oleh perasaanku, kau benar, twako. Aku seorang perempuan rendah, tak tahu malu, tak tahu menjaga kehormatan. Aku patut kau bunuh saja, jangan menjadi bebanmu...." Dan iapun menangis tersedu sedu.
-ooo0dw0ooo- Jilid XXXII KENG KI berdiri terpaku Tangan kanannya tergantung di belakang, tangan kiri menjambak jambak rambut, rasa nyeri punggungnya berdenyut denyut. Lebih baik kutinggalkan saja dia, ia termenung. Akan tetapi.... apa jadinya kalau di tinggalkan" Dia akan kelaparan atau akan terjatuh ke dalam tangan orang yang takkan membiarkan saja wanita cantik ini tidak diganggu. Pula, ia sendiri sudah tidak punya apa apa, diusir mentah mentah oleh keluarga Thio, karena perempuan celaka ini, pikirnya. Tiba tiba ia mendapat pikiran yang amat baik. Mengapa tidak" Aku dapat membalasnya, juga menolongnya, dan menolong diriku sendiri. Keng Ki tersenyum.
"Tidak, Kui Lian. Kau tidak seharusnya mati, kau masih muda dan kau harus ingat akan.... anak di kandunganmu," katanya sambil menarik bangun Kui Lian dengan halus.
Kui Lian merasa tertusuk hatinya diingatkan akan kandungannya, maka ia menangis tersedu sedu.
"Sudahlah, mari kau ikut saja dengan aku, aku akan mencarikan tempat tinggal yang baik untukmu," Keng Ki menghibur
"Gan twako, kalau aku tidak mengingat akan.... kandunganku ini.... aku lebih baik mati menyusul ayah bundaku...."
"Hushh.... sudahlah, adikku yang baik. Jangan putus asa, dunia masih terang, hidup masih panjang. Biadab orang orang jahanam seperti keluarga Thio terutama sekali Tho Sui pemuda keparat itu, cepat cepat mampus dimakan iblis di hari tahun baru ini. Angkat muka, Kui Lian, musim semi telah tiba, kau tidak boleh bermuram durja, rezeki akan pergi menjauhi kita kalau kita tidak menyambutnya dengan wajah berseri."
Kui Lian merasa berterima kasih sekali. Alangkah baiknya hati Keng Ki Sambil memegang tangan pemuda itu erat erat, ia melangkah maju, penuh harapan untuk masa depan.
"Gan twako, hidupku selanjutnya hanya mengandalkan kepadamu saja," katanya lemah. "Kau tertimpa bencana oleh karena aku, dan kau tidak sakit hati malah kau bersiap menolongku.... alangkah mulia hatimu...."
"Aah, jangan berkata demikian. Kita kan senasib" Asal selanjutnya kau taat kepadaku, ku tanggung kau akan mendapat tempat dan kedudukan yang baik."
Maka berjalanlah dua orang itu, di hari tahun baru, di tempat sunyi sepi, menuju ke timur ke arah matahari, menyongsong terbitnya raja sehari.
Kui Lian yang hatinya masih terluka oleh karena dikecewakan kepercayaannya terhadap manusia itu, kembali menerima pukulan batin yang hebat. Tadinya ia percaya penuh kepada Keng Ki, menggantungkan harapannya kepada pemuda ini yang ia anggap seorang yang semulia mulianya. Akan tetapi apakah yang terjadi"
Ketika mereka tiba di kota Kun san, Keng Ki bilang bahwa dia mempunyai seorang bibi di kota ini. Dengan segala senang hati Kui Lian mengikuti Keng Ki mampir di rumah bibinya itu. Ternyata bibi dan Keng Ki itu seorang janda yang sudah setengah tua, ramah tamah sekali, agak genit, rumahnya teratur rapi dan bersih, penuh bunga bunga dan di situ Kui Lian bertemu dengan empat orang wanita muda yang cantik cantik pulasan. Sikap mereka yang genit, bedak dan gincu tebal itu membuat Kui Lian merasa tidak enak dan tidak senang. Akan tetapi oleh karena bibi Keng Ki itu menyatakan bahwa empat orang wanita itu adalah anak anaknya, Kui Lian menelan kesebalannya dan bersikap halus dan ramah.
Di luar pengetahuan Kui Dan, Keng Ki telah main mata dengan perempuan setengah tua itu. Perempuan itu tersenyum senyum, kemudian mempersilahkan Kui Lian mengaso di ruangan dalam.
"Mengasolah dulu, adikku. Aku ada urusan penting sekali di sebuah kantor di kota ini, urusan pembelian rumah. Kalau sudah selesai, tentu aku akan datang menjemputmu."
Kui Lian yang sudah percaya penuh kepada pemuda ini, tentu saja menurut, bahkan diam diam ia berdoa semoga pemuda itu segera berhasil dalam usahanya mencari rumah tinggal. Dan dia merasa senang diperbolehkan mengaso di dalam sebuah kamar seorang diri, di mana ia baringkan tubuhnya yang lelah dan sebentar saja ia tertidur nyenyak.
Hari telah sore ketika Kui Lian terjaga dari tidurnya, ia terjaga karena suara ribut ribut dan ketika ia membuka matanya, ia melihat "bibi" tadi sudah berdiri di situ dan nampak marah marah.
"Hayo bangun! Enak saja kau sedari pagi tidur sampat sore. Jangan kira aku membelimu hanya untuk memeliharamu dan kau boleh malas malasan di sini. Lekas kau bersolek, itu bedak, itu yanci dan pakaianmu itu ganti dengan ini. Sebentar lagi gelap dan tamu tamu mulai datang."
Karuan saja Kui Lian melongo. Dia adalah seorang wanita berasal dari dusun, kemudian hidup di dalam rumah keluarga Thio, tidak pernah keluar. Mana ia tahu bahwa ia telah tersesat ke dalam rumah pelcuran" Mana ia dapat menduga bahwa wanita wanita yang genit tadi adalah pelacur pelacur dan bahwa bibi ini bukan lain adalah seorang pedagang wanita" Mana ia tahu bahwa Keng Ki telah menjualnya kepada "bibi" ini"
"Bibi, apa.... apa artinya ini....?" tanyanya gagap.
"Bibi. , bibi.... siapa bibimu" Mulai sekarang kau harus menyebutku Cia ma, tahu" Dan kau jangan pura pura tarik muka suci dan terheran heran. Aku membelimu dari orang muda itu seharga tiga puluh tael perak bukan untuk main main. Kau harus mulai melayani tamu malam ini juga!"
Kui Lian menjadi pucat sekali, matanya berkunang dan ia tentu roboh kalau tidak lekas lekas memegang pinggiran tempat tidur ia sekarang tahu, walaupun masih menduga duga.
"Apa...." Apa artinya ini...." Mana Gan twako" Bukankah dia mencari rumah dan sebentar akan datang ke sini menjemputku?"
Cia ma menjadi marah, ia melangkah maju dan menarik tangan Kui Lian dengan paksa, menurunkannya.
"Jangan banyak tingkah! Apa betul betul kau masih berpura pura lagi" Bukankah kau bisa melacur di rumah keluarga hartawan" Masih berpura pura seperti seorang gadis suci saja lagi. Lekas bereskan dirimu, lalu bereskan pembaringan ini. Kau bikin kusut saja tidur sehari penuh. Atau kau mau dicambuk atau kuseret ke pengadilan karena hendak menipuku untuk tigapuluh tael perak?"
Benar benar Kui Lian terkejut dan bingung.
"Tidak!" katanya menggeleng geleng kepala, mukanya pucat dan kedua tangan diangkat ke atas menahan mulut yang hendak menjerit jerit. "Tidak.... aku tidak tahu.... apa yang kaumaksudkan. Aku.... aku tidak mau tinggal di sini lagi.... aku mau pergi.... mencari Gan twako. Kau perempuan jahat!"
Melihat bahwa benar benar Kui Lian ketakutan dan agaknya tidak berpura pura, Cia ma menjadi agak sabar. Mungkin aku telah dibodohi oleh bangsat tadi. Ia membeli diri Kui Lian untuk tigapuluh tael perak dan mendengar dari Keng Ki bahwa Kui Lian adalah seorang bunga raja kelas tinggi yang pernah mejadi rebutan di rumah seorang hartawan besar sehingga gadis ini diserahkan kepadanya.
"Eh..... nona, benar benarkan kau tidak tahu urusannya" Pemuda tadi telah menjual dirimu kepadaku. Ini suratnya! Kau bisa baca" Nah, kau lihat sendiri, ini surat penjualannya. Kau sudah menjadi milikku yang syah. Aku membeli dirimu karena mendengar bahwa kau sudah biasa dengan pekerjaan ini. Kau harus melayani tamu tamuku."
"Tidak, aku.... tidak sudi, lebih baik kau bunuh aku."
Cia ma mengerutkan keningnya. "Eh, kenapa begitu" Kalau kau tidak mau bekerja, mana kembalikan uangku tigapuluh tael perak, ditambah sewa kamar untuk tidurmu tadi!"
"Dari mana aku dapat uang tigapuluh tael perak?" kata Kui Lian, hatinya berdarah, lukanya merekah lagi karena baru sekarang terbuka matanya bahwa Keng Ki tidak tebth baik danpada keluarga Thio!
"Kalau tidak punya uang, kau harus bekerja. Kau harus mengerti. Aku berhak memaksamu dengan surat penjualan ini dan tidak seorangpun di dunia ini dapat melarangku." Muka Cia ma kelihatan begitu beringas dan ganas sehingga Kui Lian menjadi ketakutan.
"Nah, itu. Ada tamu tamu datang, lekas kau berhias!" kata Cia ma menoleh ke arah pintu.
"Eh, Cia ma....! Di mana kau" Mana bunga baru yang kau janjikan?" terdengar suara keras seorang pria dan disusul oleh suara ketawa laki laki lain.
"Tunggu, Teng kongcu.... aku sudah dapat. Tunggu dan duduklah sebentar!" kata Cia ma ke arah luar. Kemudian ia menoleh kepada Kui Lian dan berbisik, "Lekas kau berdandan. Rejeki nomplok! Yang datang itu adalah putera tihu, Teng kongcu!"
Akas tetapi Kui Lian sudah begitu ketakutan sehingga tiba tiba sambil terisak ia mendorong Cia ma ke samping, kemudian melarikan diri keluar.
"Heii....tunggu.... tangkap dia.... penipu! Hayo kembalikan uangku....!" Cia ma mengejar dari belakang.
Dua orang laki laki muda yang menanti di ruangan depan, melihat seorang gadis cantik dengan rambut awut awutan berlari keluar dikejar oleh Cia ma, menjadi tertarik. Pemuda tinggi kurus yang tadi bicara, yaitu Teng kongcu putera tihu, cepat mengulur tangan dan menangkap lengan Kui Lian yang berlari di depannya.
"Lepaskan aku....! Lepaskan aku".!" Kui Lian meronta ronta. Akan tetapi oleh karena Cia ma berteriak teriak supaya pemuda itu jangan melepaskannya, Teng kongcu bahkan menarik dan memeluk tubuh Kui Lian sambil tersenyum senyum.
"Cia ma, kembang mawar hutan yang liar ini baik sekali!" Ia memuji.
Akan tetapi, sebelum Cia ma dapat menangkapnya tiba tiba Kui Lian menggunakan giginya yang putih dan kuat untuk menggigit tangan Teng kongcu sekuatnya.
"Aduuuhhh! Benar benar kuda betina liar....!" Pemuda itu berteriak kesaktian dan terpaksa melepaskan pelukannya, ditertawai oleh kawannya. Kui Lian berlari terus keluar dan ke jalan. Cia ma mengejar ngejar sambil memaki maki.
"Bangsat perempuan.... Tangkap, tangkap. Dia menipu uangku.... Tolong bantu tangkap!" Beberapa orang menghadang dan akhirnya Kui Lian tertangkap, dijambak rambutnya yang terurai dan diseret seret oleh Cia ma.
"Aku beri dia tigapuluh tael perak dan dia hendak lari. Banar benar penipu kecil!" Cia ma menerangkan kepada orang orang yang menonton di pinggir jalan.
Kebetutan sekali pada saat itu dari selatan datang seorang kakek yang amat aneh pakaiannya. Tambal tambalan bermacam macam warna. Potongan pakaian dan rambutnya seperti tosu. Tangan kanan memegang kebutan, tangan kiri memegang tongkat dan sepanjang jalan ia berteriak teriak.
"Gwa mia....! Gwa mia...." Nasib manusia di tangan Thian akan terapi usaha manusia dapat mengurangi kesengsaraan dan menambah kebahagiaan! Gwa mia.... Gwa mia....!"
Ternyata ia seorang tosu tukang gwa mia, yaitu tukang peramal nasib orang. Jenggotnya yang panjang putih itu melambai lambai tertiup angin di depan dadanya, matanya jernih dan tajam seperti mata kanak kanak, bibirnya selalu tersenyum ramah.
Melihat ribut ribut antara Cia ma dan Kui Lian, tosu tukang gwa mia ini menghentikan teriakan teriakannya yang menawarkan pekerjaannya, lalu melangkah menghampiri Cia ma yang masih menyeret nyeret rambut Kui Lian.
"Heh, calon mayat busuk. Kau hidup tinggal tiga bulan lagi, tidak mencari jalan terang, bahkan memupuk dosa! Nyonya muda ini sedang mendapat kurnia Thian, mengandung seorang anak laki laki, bagaimana kau berani menyeret nyeretnya seperti itu?"
Biarpun suara ini halus dan mukanya tetap ramah, Cia ma kaget setengah mati sehingga ia melepaskan jambakan tangannya pada rambut Kut Lian yang hitam dan panjang. Kui Lian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan tosu itu sambil menangis, Cia ma memandang kepada tosu dengan mata melotot, kemudian ia bengong melihat wajah tosu ini, mati kutunya ia tidak berani berlaku galak, karena wajah kakek itu benar benar mempunyai pengaruh yang besar sekali. Tubuh Cia ma mulai gemetar, apalagi kalau ia ingat kata kata kakek ini bahwa usianya tinggal tiga bulan.
"Dia.... dia telah menipu uangku tigapuluh tael. Aku membelinya akan tetapi ia hendak melarikan diri. Harap totiang suka pertimbangkan. Orang seperti aku yang miskin ini kalau ditipu tigapuluh perak, bukankah akan menjadi bangkrut?"
Tosu itu mengulurkan tangannya yang memegang kebutan kepada Cia ma.
"Nah, ini terimalah kembali uangmu. Aku tebus nyonya muda ini," katanya.
Cia ma memandang dan dengan hati girang menerima tiga potong perak dari sepuluh tael sebuah. Tadinya ia sudah merasa jengkel dan khawatir sekali melihat keadaan Kui Lian, takut kalau kalau kali ini ia rugi. Tentu saja ia merasa girang mendapatkan uangnya kembali dan terlepas dari gadis yang nekat itu.
"Terima kasih, totiang, terima kasih," katanya tersenyum senyum dan segera pergi dari situ, takut kalau kalau tosu itu berubah ingatan dan minta kembali uangnya. Akan tetapi tidak demikian dengan orang orang yang berada di situ. Bukan kejadian biasa seorang tosu aneh "membeli" kembali seorang gadis dari tangan tengkulak pelacur. Bahkan peristiwa yang luar biasa, sejak manusia tercipta sampai sekarang. Maka banyaklah orang di situ berkumpul, hanya untuk melihat apa yang selanjutnya akan terjadi dengan nona dan tosu itu. Cia ma sudah dilupakan orang seperti seorang pelaku yang sudah menghilang di balik layar.
"Anak, kau sudah bebas. Pulanglah kembali ke tempat asalmu," kata tosu itu sambil mengipas ngipas lehernya dengan kebutan.
Mendengar kata kata ini, Kui Lian yang masih berlutut itu tiba tiba menangis sedih.
"Totiang, dari mana tempat asalku kalau bukan alam baka" Kalau totiang menyuruh aku pulang kembali, bunuh saja aku...."
"Eh, eh, payah aku....!" Tosu itu tertawa.
"Apa kati tidak punya rumah" Tidak punya orang tua atau keluarga?"
Kui Lian menggeleng kepala. "Aku seorang yatim piatu, ayahku kesengsaraan, ibuku penderitaan, totiang sudah menebus dan membeli diriku berarti aku milik totiang, terserah hendak totiang bawa ke mana."
Tosu itu menggeleng geleng kepalanya.
"Anak baik, mari kau ikut padaku!" Tosu itu lalu mengulurkan tongkatnya yang dipegang oleh Kui Lian. Aneh sekali, begitu tangan gadis itu memegang ujung tongkat, ia merasa tubuhnya kuat. Tadi ia merasa lemas sekali, akan tetapi tongkat itu seakan akan mengalirkan hawa hangat yang menggetarkan tubuhnya dan mengusir kelelahan, sebaliknya mendatangkan tenaga. Tosu itu lalu berjalan, diikuti oleh Kui Lian yang masih memegangi tongkat.
"Bandot tua, kau yang sudah mau mampus ini masih tidak tahu malu menginginkan diri seorang perempuan muda" Gadis itu calon milikku!" Tiba tiba terdengar bentakan dan dua orang muda tahu tahu sudah melompat menghadang di depan tosu itu. Mereka ini bukan lain adalah Teng kongcu dan kawannya, seorang tukang pukul dan ahli silat di Kun san yang selalu berada di dekat Teng kongcu sebagai pelindung dan pelaksana tugas tugas kasar. Tukang pukul yang masih muda itu menyeringai dan menghampiri tosu tukang gwa mia itu dengan sikap mengancam, sedangkan Teng kongcu lalu menyambar tangan Kui Lian, hendak ditariknya.
Kui Lian meronta dan membetot tangannya yang terpegang, dan.... Teng kongcu berteriak, tubuhnya terpelanting sampai jauh.
Melihat majikannya terpelanting dan terbanting di tanah berteriak teriak mengaduh, tukang pukul itu menjadi marah sekali, mengira bahwa Kui Lian telah memukul roboh majikannya.
"Anjing betina liar, berani kau memukul kongcu?" bentaknya dan tangan kanannya diulur untuk menjambak rambut Kui Lian yang masih terurai dan awut awutan. Karena ngeri dan takut menghadapi siksaan tukang pukul yang marah marah itu, Kui Lian mengangkat tangan kiri melindungi kepalanya, sedangkan tangan kanannya tetap memegang ujung tongkat, karena ia tidak mau berpisah dengan kakek penolongnya.
Tangan tukang pukul yang mencengkeram itu bertemu dengan tengan yang halus dari Kui Lian dan.... terdengar suara keras, "krak" lalu tubuh tukang pukul itu terlempar. Sambil memegangi lengan kirinya yang ternyata patah tulangnya, tukang pukul itu meringis ringis, akan tetapi kini menjadi jerit menghadapi gadis yang sekali tangkis dapat mematahkan lengan tangannya itu.
Kui Lan tidak mengerti, bahkan tidak mengira sama sekali apa yang telah terjadi. Tidak mengerti mengapa Teng kongcu dan tukang pukul nya terpelanting dan roboh setelah menyentuhnya.
"Anak yang baik, mari kita pergi, di sini banyak lalat busuk," kata tosu itu perlahan lalu menarik tongkatnya dan Kui Lian mengikutinya dari belakang, berpegang pda ujung tongkat. Orang orang hanya memandang dengan mata terbelalak dan kini semua orang memandang Kui Lan dengan kagum, mengira bahwa gadis itu adalah seorang yang tiba. Karena ini tak seorang pun berani mengkuti kakek dan gadis itu sehingga sebentar saja mereka telah lenyap di satu tikungan jalan.
Tak lama kemudian, datang Cia ma berlari lari dan memaki maki. "Celaka.... tosu siluman.... dia telah menyihirku."
Ketika semua orang datang bertanya, ia memperlihatkan tiga gumpal tanah di tangannya sambil memberi penjelasan. "Dia membeli gadis itu tiga puluh tael perak, akan tetapi lihat! Ketika sampai di rumah potongan perak itu berubah menjadi tanah. Mana orangnya" Tangkap! Aku harus menyeretnya ke pengadilan."
Akan tetapi ketika Cia ma mengejar, diikuti oleh banyak orang yang ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, kakek dan gadis itu sudah lenyap.
Kita tinggatkan dulu Kui Lian, gadis yatim piatu yang selalu ditimpa kemalangan itu dan mari kita menengok ke lain tempat, di kota Tit le.
Telah berpuluh tahun di kota ini tinggal keluarga Song yang amat terkenal, apalagi di kalangan dunia kang ouw, keluarga Song ini amat disegani. Siapakah orangnya yang tidak mengenal kakek tua Song Bun Sam yang berjuluk Thtan te Kiam ong (Raja Pedang Langit dan Bumi)" Naga Sakti tentu berkeluarga naga sakti pula, demikian kata kalangan kang ouw. Di rumah kakek sakti ini juga tinggal orang orang yang berkepandaian tinggi. Mendiang isteri kakek ini dulu juga seorang pendekar wanita gemblengan, bernama Can Sian Hwa dan ilmu pedang serta ginkangnya sudah tersohor di seluruh kolong langit!
Sekarang yang singgah di rumah besar dari pendekar tua ini adalah putera tunggalnya yang bernama Song Tek Hong, juga seorang ahli pedang yang telah mewarisi kepandaian ayahnya. Di samping putera ini tinggat pula mantu perempuannya yang dalam hal kelihaiannya tidak kalah oleh Song Tek Hong sendiri, karena mantu perempuan ini adalah Ong Siang Cu, murid mendiang Lam hai Lo mo Seng Jin Siansu, tokoh seperti iblis dari dunia selatan. Ong Sang Cu ini sebetulnya adalah anak dari Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee.
Selain anak dan mantu yang termasuk ahli ahli silat kelas tinggi ini, masih ada lagi cucu tunggal dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam, yakni Song Bun Hui, puteri dari Song Tek Hong. Suami isteri yang saling mecinta ini ternyata hanya mempunyai seorang anak saja. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila ayah bundanya, juga kakeknya, amat sayang kepadanya dan amat memanjakan sehingga Bi Hui menjadi seorang anak yang manja sekali. Kini ia telah berusia limabelas tahun, cantik jelita, periang dan keras hati seperti ibunya, bagaikan setangkai bunga mawar hutan yang bebas liar sukar didekati.
Selain puteranya Song Tek Hong, Thian te Kiam ong Song Bun Sam masih mempunyai seorang puteri yang tidak kalah lihainya. Puteri ini bernama Song Siauw Yang, sudah menikah bahkan sudah mempunyai seorang putera yang sudah hampir dewasa, sebaya dengan Bi Hui. Song Siauw Yang menikah dengan seorang sasterawan bernama Liem Pun Hui dan putera tunggal mereka ini diberi nama Liem Kong Hwat, Keluarga Liem ini tinggal di kota Liok Can, tak jauh dari Tit le.
Pada waktu itu, keluarga Liem juga berada di Tit le karena mereka ini mendengar bahwa kakek Song menderita sakit berat. Memang kakek Song Bun Sam yang gagah perkasa ini betapapun lihai dan saktinya, harus mengaku kalah terhadap usia tua. Ia sudah berusia hampir tujuhpuluh tahun. Melihat kakek ini menderita sakit, anak cucunya datang menengok dan sampai sepekan keluarga Liem tinggal di rumah besar di Tit le itu.
Pada suatu hari, keluarga besar ini sedang bercakap cakap di luar sedangkan kakek Song beristirahat dan tidur nyenyak sehingga para anak cucunya berkesempatan mengobrol di luar, datanglah seorang kakek yang tua sekali, pakaiannya tambal tambalan, tangan kanan memegang tongkat, tangan kiri menuntun seorang bocah laki laki berusia kurang lebih empat tahun. Di punggungnya terselip sebatang hudtim (kebutan pertapa ) yaitu sebuah kebutan yang dipergunakan sebagai alat pengusir lalat.
Yang sedang mengobrol di luar adalah Song Tek Hong suami isteri, Liem Pun Hui suami isteri dan Song Bi Hui. Liem Kong Hwat tidak nampak karena pemuda ini sedang mendapat giliran menjaga kakeknya dengan para pelayan. Pemuda ini memang amat sayang kepada kakek yang ia kagumi lebih daripada ia mengagumi ayah bunda atau orang orang lain.


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Melihat kakek yang keadaannya seperti tosu ini, Song Tek Hung, Song Siauw Yang, dan Ong Siang Cu terkejut. Tiga orang gagah ini sudah kenyang akan pengalaman di dunia kang ouw dan mereka sekali lihat saja dapat membedakan antara orang biasa dan aneh. Dan keadaan kakek yang datang ini benar benar aneh. Sukar sekali untuk menaksir usianya karena wajahnya masih kemerah merahan dan matanya seperti mata kanak kanak, akan tetapi jenggotnya yang putih sudah sampai di perut panjangnya.
Inilah kakek tukang gwa mia yang telah menolong Kui Lian lima tahun yang lalu! Dia tersenyum senyum melihat orang orang setengah tua yang gagah gagah itu dan memandang kagum kepada Bi Hui yang cantik jelita dan juga membayangkan sifat gagah perkasa. Kemudian ia mengangguk angguk.
"Hebat.... hebat.... di kolong langit ini mana ada keluarga yang lebih hebat daripada keluarga Song?" katanya seorang diri.
Song Tek Hong yang dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang luar biasa, segera bangun dari duduknya, menyambut kakek itu dengan sikap hormat, menjura dalam lalu berkata,
"Boanpwe mohon tanya, siapakah locianpwe dan kehormatan apakah yang locianpwe hendak berikan kepada kami keluarga Song?"
Kakek itu tertawa bergelak, lalu menunduk memandang kepada bocah yang digandengnya.
"Beng Han, kaulihat dan dengar, buka telinga dan mata baik baik dan kau akan dapat membedakan orang gagah dan orang busuk di dunia ini. Di depanmu berdiri keturunan orang gagah yang patut dihormati, seorang anggota keluarga hebat, maka kau kubawa ke sini."
Bocah berusia empat tahun lebih itu mendengar kata kata ini, menujukan pandang matanya kepada Song Tek Hong dengan tajam penuh selidik, kemudian ia menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu Thio Beng Han yang bodoh mohon pimpinan lo enghiong....." suaranya kecil dan merdu akan tetapi nyaring sekali.
Melihat ini, sekaligus timbul rasa suka di hati Song Tek Hong. Dia tidak mempunyai putera, hanya seorang anak perempuan, maka melihat anak ini, ia merasa kagum sekali diangkatnya anak itu berdiri.
"Anak baik, bangunlah."
Sementara itu, kakek tua itu menghadapi Tek Hong dan berkata, suaranya seperti wajahnya, ramah.
"Sicu, aku ingin sekali bertemu dengan Thian te Kiam ong Song Bun Sam. Sampaikan bahwa aku Koai Thian Cu tukang gwa mia dari selatan datang untuk menyampaikan hormatku."
Nama Koai Thian Cu sama sekali tidak terkenal. Biarpun Song Tek Hong seorang yang sudah banyak pengalaman dan amat terkenal di dunia kang ouw, namun ia belum pernah mendengar nama Koai Thian Cu ini. Maka ia mengerutkan keningnya dan menjawab,
"Maafkan, locianpwe. Ayah sidang menderita sakit oleh karena itu kiranya tidak mungkin dapat menyambut tamu. Harap locianpwe suka maafkan dan sudi datang lain kali saja kalau ayah sudah sehat. Kecuali kalau locianpwe suka boanpwe mewakili ayah menyambut locianpwe."
"Mana bisa lain kali" Lain kali Thian te Kiam ong sudah tidak berada di dunia lagi. Apakah kau tidak suka memberi tahu tentang kedatanganku kepadanya?"
"Harap locianpwe sudi memaafkan. Ayah sedang tidur dan boanpwe tidak berani mengganggu."
"Kau betul, sicu. Bakti adalah dasar daripada segala kebajikan di dunia ini. Akan tetapi, keperluanku ini penting sekali dan bukan hanya penting untukku, bahkan penting untuk ayahmu sendiri. Lihat, tak lama lagi tentu dia mencariku!"
Baru saja kata kata ini diucapkan, dari dalam muncul Liem Kong Hwat. Pemuda ini berkata kepada Tek Hong,
"Paman, kong kong minta supaya tamu yang datang dipersilahkan menghadap ke dalam, langsung ke kamarnya."
Karuan saja Tek Hong menjadi melongo dan ia makin merasa kagum kepada kakek ini. Sambil membungkuk bungkuk ia mempersilahkan Koai Thian Cu masuk, lalu mengiringkannya ke kamar ayahnya. Koai Thian Cu dengan sikap acuh tak acuh berjalan sambil menggandeng tangan bocah yang bernama Thio Beng Han itu.
Di dalam kamarnya, kakek Song Bun Sam rebah terlentang. Wajahnya yang masih nampak gagah itu pucat, akan tetapi matanya masih bersinar tajam. Napasnya agak berat akan tetapi tidak sediktpun wajahnya membayangkan kesesalan hati, tanda bahwa ia menerima penderitaan jasmaninya dengan rohani yang sehat. Pendengaran kakek ini masih tajam sekali, ia mendengar kedatangan orang dan menoleh pelahan, lalu tersenyum ketika melihat masuknya seorang kakek aneh yang diikuti oleh puteranya.
"Sahabat, kepandaianmu coan in (mengirim suara) mengingatkan aku kepada mendiang Lam hai Lo mo," kata kakek Song sambil bangun duduk dan memberi hormat.
Tosu itu tertawa, gema suaranya memenuhi kamar itu.
"Ha, ha, ha, Thian te Kiam ong, memang sudah dekat sekali dugaanmu itu. Lam hai Lo mo adalah suhengku dan aku sendiri bernama Koai Thian Cu."
Dengan suara tegas dan sikap keren kakek yang sedang sakit itu berkata kepada puteranya, "Tek Hong, bersihkan lian bu thia (ruang main silat), biar aku menerima pelajaran dari Koai Thian Cu taihiap."
"Ha, ha, ha, Thian te Kiam ong sudah tua masih berhati muda, semangat bertempurnya masih berkobar kobar. Sungguh mengagumkan! Akan tetapi biarpun aku sute dari Lam hai Lo mo, aku bukan termasuk seorang lo mo (iblis tua). Bukan, bukan, Thian te Kiam ong. Mana aku ada harga untuk berpibu dengan raja pedang seperti engkau" Aku hanya seorang tukang gwa mia biasa saja, juga seorang tukang obat yang bodoh, hanya mengandalkan peruntungan baik."
Mendengar ini, kakek Song Bun Sam tersenyum dan wajahnya yang tadi nampak keren dan sungguh sungguh itu berubah terang dan ramah.
"Tek Hong, tinggalkan kamar ini. Biar aku bicara berdua dengan tamu kita yang terhormat."
Dengan taat Tek Hong mengundurkan diri diikuti oleh semua pelayan hingga di lain saat kamar itu telah kosong. Tak seorangpun berani mencoba coba untuk mendekati kamar itu karena siapakah yang tidak maklum akan kepandaian kakek Song yang sakti" Melihat ini, Koai Thian Cu juga menyuruh bocah yang selalu digandengnya ini untuk keluar.
"Beng Han, kau main main di depan sana, menanti aku keluar."
"Baik, kong kong," kata anak itu yang segera keluar dengan cepat. Di ruang luar ia bertemu dengan keluarga Song yang segera mengajaknya duduk dan memberi makanan kepada bocah yang ternyata pandai membawa diri ini.
"Koai Thian Cu, sekarang katakan, apa maksud kedatanganmu ini?" tanya kakek Song setelah semua orang meninggalkan kamar.
"Thian te Kiam ong, tadinya aku ingin main main sebentar denganmu karena sudah lama sekali aku mendengar nama besarmu. Akan tetapi ternyata Thian mendahului aku. Aku bukan orang yang tak tahu malu dan tidak tahu aturan untuk mengajak seseorang sakit berpibu, apalagi karena kulihat bahwa kau takkan dapat melewati dua bulan lagi. Lepas dari batas usia yang sudah ditentukan oleh Thian. Kau terlalu banyak mencurahkan pikiran dan perasaan mengenangkan isterimu dan kau sudah bosan hidup, ingin lekas lekas menyusul isterimu."
Kakek Song memandang kagum dan tersenyum. "Kau patut jadi tukang gwa mia, Koai Thian Cu. Memang cocok sekali dugaanmu itu. Tentang usia tinggal dua bulan lagi terserah pada kekuasaan Thian. Akan tetapi baik sekali kau beritahu hingga aku dapat membuat persiapan persiapan. Memang sudah teralu lama aku mengawani Kim kong kiam di dunia." Kakek Song menuding ke arah pedang pusaka Kim kong kiam yang tergantung di tembok, dekat pembaringannya.
Tak terasa Koai Thian Cu menoleh ke arah pedang itu. Matanya bersinar sinar.
"Pedang pusaka yang hebat! Seratus kali namanya lebih terkenal daripada nama tukang gwa mia."
Song Bun Sam tertawa. "Yang ternama itu berarti banyak berlagak, sebaliknya yang pendiam yang selalu menyembunyikan diri, bagaimana bisa ternama" Akan tetapi, makin ternama, makin banyak kesukaran dihadapi dan makin tidak ternama, makin aman!"
"Kau bijaksana sekali, Thian te Kiam ong. Pantas saja Thian hendak buru buru membebaskanmu daripada hukuman di dunia ini, kau beruntung sekali. Eh, bolehkah aku melihat pedang pusaka Kim kong kiam itu?"
"Tentu saja boleh. Hanya kau tahu, selama pemiliknya masih hidup, pedang pusaka hanya boleh di pandang pantang dipegang oleh orang lain," kata kakek Song sambil menyambar Kim kong kiam dan mencabut dari sarungnya. Sinar keemasan berkeredep menyilaukan mata ketika pedang itu sudah keluar dari sarungnya.
Tiba tiba wajah Koai Thian Cu berubah pucat, matanya menatap pedang pusaka itu penuh perhatian.
"Celaka.... Celaka...."
"Ada apakah, Koai Thian Cu?" tanya Thian te Kiam ong Song Bun Sam sambil menatap wajah tamunya dengan penuh selidik.
Koai Thian Cu menarik napas berulang ulang sambil menggeleng gelengkan kepalanya. Song Bun Sam merasa makin tak enak ia melihat sikap kakek aneh itu, apalagi karena ia mendapat kenyataan betapa jitu dan cocok dugaan dugaan kakek itu tentang nasib dirinya.
"Koai Thian Cu, kau melihat apakah?"
"Pedang itu... ah, Thian te Kiam ong. Aku tahu bahwa segala bujukanku takkan berhasil, dan hal itu tetap akan terjadi...."
"Hal apakah" Ada apa dengan pedang ini?"
"Aku melihat darah.... darah mengalir oleh pedang pusaka ini... ah, Kim kong kiam... ganas"."
"Tidak aneh Koai Thian Cu," kakek Sang memotong sambil tersenyum dan memandangi pedangnya penuh kasih sayang, "sudah ratusan penjahat menjadi korbannya, darah para penjahat itu mengalir oleh Kim kong kiam."
"Bukan.... bukan...." Koai Thian Cu memandang pedang, matanya terpejam, mukanya penuh keringat, berkerut kerut, "bukan darah penjahat, bukan! Kim kong kiam akan minum darah keluargamu, banyak sekali.... aduuh, bagaimana nasib keluarga mulia sampai menjadi begitu.." Kim kong kiam jahat.... harus kau basmi sebelum terlambat.... ah, sia sia, kau tak percaya!"
Biarpun mulutnya tersenyum, tak luput wajah Thian te Kiam ong Song Bun Sam, pendekar besar yang tak pernah gentar menghadapi penjahat penjahat keji ini, menjadi pucat, ia segera memasukkan Kim kong kiam di sarung pedang kembali, lalu berkata dengan suara mengejek,
"Koai Thian Cu, mengapa kau tidak bilang bahwa pedang ini lebih baik kuserahkan kepadamu agar selanjutnya tidak mengganggu keluargaku?"
Koai Thian Cu mengerti akan sindiran ini. Kembali ia menarik napas panjang dan memandang kepada Song Bun Sam dengan sinar mata tajam menentang.
"Aku tidak salahkan engkau, Thian te Kiam ong. Memang sudah demikianlah garisnya, kau takkan percaya kepadaku. Biarlah aku menyerahkan kepada kebijaksanaanmu sendiri dan kepada kekuasaan Thian. Aku tidak dapat membuka lebih lebar lagi karena rahasia Thian tidak boleh dibuka begitu saja. Ada soal ke dua, dan hal ini kuharapkan kau tidak akan menolak "
"Katakantah, Koai Thian Cu, aku tak pernah menolak permintaan orang yang kiranya dapat kupenuhi."
"Aku mohon kepadamu agar supaya kau sudi menerima Beng Han sebagai muridmu."
"Bocah cilik yang datang bersamamu tadi?"
"Betul, dia bernama Thio Beng Han, seorang yang tidak mengetahui siapa ayahnya dan tidak diakui oleh ibunya. Menurut penglihatanku, dia bertulang pendekar dan kiranya hanya kau yang patut menjadi gurunya."
Tiba tiba Thian te Kiam ong Song Bun Sam tertawa geli dan membaringkan tubuhnya yang sudah terlalu lama duduk, akan tetapi ia masih saja tertawa sambil berbaring.
"Bagaimana, Thian te Kiam ong" Apa kau mau memenuhi permintaanku ini?"
"Koai Thian Cu, mendengar omongan omonganmu satu kali, orang akan mengira kau seorang peramal jempolan. Akan tetapi mendengar dua kali, orang akan menyangka kau berotak miring. Ha, ha, ha!"
"Sesukamu kau menganggap aku bagaimana, akan tetapi, apakah kau menerima permintaanku?"
"Tadi kau bilang bahwa usiaku tidak akan lewat dua bulan, sekarang kau menyerahkan cucumu menjadi muridku. Bagaimana ini?"
"Thio Beng Han bukan cucuku, akan tetapi akulah yang memeliharanya semenjak lahir. Adapun tentang dia menjadi muridmu, jangankan sampai dua bulan, baru sepuluh hari saja sudah jauh lebih berharga daripada menjadi murid orang lain selama sepuluh tahun. Bagaimana Keputusanmu?" kembali ia mendesak.
Kakek Song menarik napas panjang. "Banyak sudah aku menjumpai orang aneh, akan tetapi kau seakan akan menjadi rajanya, raja orang aneh! Aku sudah berada di ranjang kematian, bagaimana aku bisa menerima murid seorang bocah cilik" Akan tetapi, kalau ada kata kata tentang perbuatan baik, kiranya hanya memenuhi permintaan inilah yang akan dapat kulakukan, sebagai perbuatan terakhir meringankan dosa dosa yang lalu. Baiklah, tukang gwa mia, aku terima permintaanmu. Panggil dia ke sini!"
Bukan main girangnya wajah Koai Thian Cu ia menghadap keluar kamar, bibirnya bergerak gerak akan tetapi tidak mengeluarkan suara apa apa. Akan tetapi, tak lama kemudian datanglah bocah itu berlari larian.
"Kau panggil aku ada keperluan apakah, kong kong?" tanyanya.
"Beng Han, aku telah beritahu padamu bahwa kau akan kucarikan seorang guru yang baik. Nah, sekarang kau telah berhadapan dengan gurumu, tidak lekas memberi hormat mau tunggu kapan lagi?" Ia menunjuk ke arah kakek Song yang rebah di atas pembaringan. Beng Han lalu cepat memasuki kamar dan menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan sambil mengangguk anggukkan kepala delapan kali dan berkata,
"Suhu yang mulia, teecu Thio Beng Han menghaturkan terima kasih atas budi suhu yang mulia, sudi menerima teecu sebagai murid. Teecu bersumpah akan menjunjung tinggi semua ajaran suhu dan akan menjaga nama baik suhu sampai teecu mati."
Thian te Kiam ong Song Bun Sam sampai melompat dan bangun duduk saking kagetnya melihat semua ini. Pertama tama ia kaget sekali melihat cara Koai Thian Cu memanggil Beng Han yang diperlihatkan oleh kakek tukang gwa mia tadi adalah demonstrasi lweekang yang tinggi sekali, mengirim suara halus sehingga yang keluar dari mulut bukan suara lagi melainkan getaran dan yang hanya dapat ditangkap oleh orang yang sudah menerima latihan tinggi. Akan tetapi anehnya, Beng Han dapat menerima panggilan kong kongnya ini dan datang dengan cepat. Inilah hal pertama yang mengagetkan hatinya, kaget dan heran. Hal ke dua hal yang amat aneh melihat bocah berusia paling banyak lima tahun ini dapat bersikap baik, penuh sopan santun, tahu aturan. Benar benar kakek Song kaget bercampur girang sekali. Tidak rugi menerima seorang murid seperti bocah aneh ini.
Koai Thian Cu segera berpamit pulang setelah dengan muka girang ia menghaturkan terima kasih. Thio Beng Han diterima di rumah keluarga pendekar itu, biarpun dengan muka terheran heran oleh semua orang, namun dengan hati rela dan senang.
Di lembah Sungai Wei ho yang berada di kaki Gunung Cin ling san, terdapat banyak sekali gunung berkarang dan di situ banyak pula terdapat gua gua yang besar dan kelihatan menyeramkan. Menurut dongeng kuno, gua gua ini dibuat oleh para dewa, akan tetapi lebih tepat kiranya kalau air bah dari Sungai Wei ho meluap sampai merendam gunung gunung dan batu batu karang di tepi pantainya.
Dilihat dari jauh, batu batu karang ini bentuknya aneh aneh menyerupai muka setan setan penjaga sungai yang menakutkan. Gua gua besar yang kehitaman dengan pintu ada yang menyerupai mulut naga, benar benar menimbulkan dugaan menyeramkan bahwa sampai seperti itu patutnya menjadi sarang para siluman dan iblis. Sudah sepatutnya kalau gua gua itu mempunyai penghuni iblis iblis yang menyeramkan.
Akan tetapi, di sebuah daripada gua gua besar itu, duduk seorang wanita yang seolah olah sudah berubah menjadi patung. Sama sekali tidak bergerak, bahkan napasnyapun hampir tidak dapat dilihat, begitu halus dan panjang panjang. Manusiakah dia atau ibliskah"
Kalau ia termasuk golongan iblis, tentulah ia sebangsa siuman binatang yang indah, karena ia mempunyai bentuk muka yang cantik manis dan tubuh yang indah. Tentu saja ia sama sekali tidak bisa digolongkan dengan iblis yang menyeramkan. Siapakah dia"
Wanita yang usianya duapuluh tahun lebih ini bukan lain adalah Kui Lian! Seperti telah dituturkan di bagian depan, Kui Lian yang bernasib malang ditolong oleh kakek tukang gwa mia, yakni tosu yang sakti, Koai Thian Cu. Dapat dibayangkan betapa lihainya dan saktinya Koai Thian Cu ketika Kui Lian yang hendak ditangkap oleh Teng kongcu dan tukang pukulnya, sekali gadis itu menggerakkan tangannya dua orang itu terlempar, bahkan si tukang pukul patah tulang lengannya. Tentu saja bukan Kui Lian yang melakukan hai ini, melainkan Koai Thian Cu yang mengeluarkan lweekangnya melalui tongkat yang dipegang oleh Kui Lian sehingga di dalam lengan gadis ini mengalir hawa lweekang yang luar biasa!
Koai Thian Cu merasa kasihan sekali kepada Kui Lian dan melihat bahwa wanita muda itu ada jodoh dengannya, jodoh untuk menjadi muridnya. Oleh kerena itu, tanpa ragu ragu lagi kakek ini lalu membawa Kui Lian ke tempatnya bertapa. yaitu di lembah Sungai Wei ho, di dalam gua yang menyeramkan tersebut. Di sinilah ia mulai menurunkan ilmu ilmunya kepada Kui Lian.
Koai Thian Cu memang sute dari Lam has Lo mo Seng Jin Siansu yang telah amat terkena, baik akan ketlihaiannya maupun akan kejahatannya. Akan tetapi Koai Thian Cu berlainan sekali dengan suhengnya itu. Dalam hal kepandaian, juga amat berbeda. Kalau Lam hai Lo mo lebih mengutamakan ilmu silat, sebaliknya Koai Thian Cu lebih memperhatikan pelajaran ilmu hoat sut yang ia pelajari dari guru mereka, seorang pendeta Buddha dari tanah barat. Hal ini bukan berarti bahwa ilmu sitat Koai Thian Cu rendah, sama sekali tidak. Kalau dibandingkan dengan Lam hai Lo mo, ia hanya kalah setingkat, akan tetapi dalam hal ilmu hoat sut (sihir), benar benar Koai Thian Cu telah mencapai tingkat tinggi. Bukan ini saja, bahkan ia pandai menghitung nasib manusia dengan perantaraan bintang dan ramalan ramalannya yang jitu.
Oleh karena maklum bahwa Kui Lian tidak mempunyai bakat besar untuk menjadi ahli sitat, maka Koai Thian Cu hanya memberi dasar dasar ilmu silat saja sambil memberi pelajaran ginkang dan lweekang ringan. Akan tetapi ia menurunkan ilmu ilmu sihirnya kepada Kui Lian dan alangkah girangnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa dalam hal ilmu ini, Kui Lian ternyata berjodoh dan berbakat sekali. Dengan tekun Kui Lian bertapa, menempuh segala macam percobaan kekuatan hatinya dan mencurahkan seluruh perhatiannya untuk ilmu hoat sut ini. Beberapa bulan kemudian Kui Lan melahirkan anaknya yang dikandungnya, akan tetapi ia tidak mau memperdulikan anaknya bahkan katanya kepada Koai Thian Cu,
"Suhu, anak ini keturunan seorang yang rendah budinya, maka teecu tidak mau mengakuinya."
Koai Thian Cu melenggong. "Habis bagaimana" Siapa yang akan memeliharanya?"
"Terserah kepada suhu. Pendeknya teecu tidak mau tahu lagi, teecu ingin mempelajari ilmu dan bertapa untuk menebus dosa dosa yang lalu."
Koai Thian Cu yang telah waspada akan hukum karma dan tahu bahwa hal ini tak dapat dicegah lagi, lalu berusaha mencarikan pengasuh anak itu di sebuah dusun beberapa puluh mil jauhnya dari situ. Akan tetapi ia merasa kasihan dan sayang kepada bocah yang ia beri nama Thio Beng Han itu, dan seringkali ia datang menengok, ia tahu bahwa ayah anak ini adalah Thio Sui seperti yang dulu pernah ia dengar dari Kui Lian, maka ia memberi she Thio kepada Beng Han.
Setelah anak itu dapat berjalan, ia sengaja membawanya kepada ibunya. Akan tetapi tetap saja Kui Lian tidak mau menoleh kepada bocah itu. Melihatpun tidak sudi, apalagi mengaku. Akhirnya Koai Thian Cu mengalah dan teringatlah ia akan Thian te Kiam ong Song Bun Sam yang nama besarnya sudah menggetarkan langit selatan dan yang sudah lama ia ingin jumpai. Memang datangnya Koai Thian Cu di daerah ini, tadinya adalah karena ia bermaksud mencari Thian te Kiam ong untuk menantang pibu. Akan tetapi pertemuannya dengan Kui Lian membuat ia terpaksa menunda niatnya itu dan membawa Kui Lian tinggal bersama di tempat pertapaannya yang baru saja ia pilih ketika ia tiba di daerah itu. Seperti telah dituturkan di bagian depan. Koai Thian Cu yang memikirkan masa depan Beng Han yang tidak diakui oleh ibunya itu mengantar Beng Han kepada Thian te Kiam ong dan berhasil membuat Beng Han di akui sebagai murid dan ditinggalkan di Tit le. Hatinya sudah puas dan lega. Anak yang dilihatnya bertulang baik itu telah di tangan keluarga bijaksana, sungguhpun ia kadang kadang merasa khawatir kalau mengingat akan pedang Kim kong kiam yang dilihatnya akan menimbulkan bencana pada keluarga Song.
Ketika Koai Thian Cu kembali dari perjalanannya ke Tit le, ia melihat Kui Lian bertapa. Wanita muda ini berpakaian serba putih, rambutnya diurai menutupi pundak dan punggung, duduk bersila di dalam gua tak bergerak seperti patung. Mukanya yang cantik agak pucat akan tetapi di sekeliling tubuhnya seakan akan memancarkan cahaya sehingga dari jauh ia seperti Kwan Im Pouwsat sendiri sedang duduk bersila! Melibat ke adaan Kui Lian ini. kagetlah gurunya. Bukan mam anak ini, pikirnya. Cepat sekali kemajuan kemajuan yang dicapainya dalam ilmu hoat sut yang berdasarkan samadbi dan benapa, melakukan segala pantangan. Kui Lian sudah sedemikian majunya sehingga wanita muda ini kuat sekali bertapa, tidak makan tidak tidur sebulan saja baginya bukan apa apa lagi. Akan tetapi, kekuatan sihir yang dihimpun di dalam dirinya juga amat hebat.
"Kui Lian, muridku. Bangunlah dari samadhimu," kata Koai Thian Cu dari mulut gua sambil duduk di atas sebuah batu hitam yang berbentuk punggung kura kura.
Tidak ada jawaban dari dalam.
Koai Thian Cu terheran. Biasanya muridnya ini amat cepat menyambutnya kalau ia datang dari perjalanan jauh. Ia berdiri dan menjenguk ke dalam. Baru kagetlah ia ketika melihat uap putih mengepul dari kepala Kui Lian. Uap ini bergulung gulung naik makin tebal dan akhirnya menyerupai bentuk, tak lama kemudian bentuk itu makin terang dan terciptalah Kui Lian kedua yang segera bersilat kian kemari dengan amat gesitnya.
Koai Thian Cu mendehem dan lenyaplah manusia uap itu Kemudian ia tersenyum puas. Hebat betul muridnya ini.
"Ah, dia sudah begitu kuat menguasai keadaan di sekelilingnya sehingga aku sendiri sampai terpengaruh. Hebat, benar benar hebat..... bukan main kuatnya Kemauan keras yang didorong oleh penderitaan rokhani," katanya dalam hati.
Karena maklum bahwa tak mungkin Kui Lian dibikin "bangun" dengan perintah yang dikeluarkan dan mulut saja, kakek ini lalu duduk kembali di atas batu, bersita dan tak lama kemudian iapun sudah mengheningkan cipta, seluruh tenaga dikerahkan untuk memanggil muridnya.
Kui Lian menggerakkan lehernya, mengeluarkan keluhan panjang, lalu bangkit berdiri, mengebut ngebutkan pakaiannya dari tanah yang melekat, lalu berjalan keluar dengan langkah halus. Ketika ia tiba di luar gua, nampaklah bahwa Kui Lian masih cantik dan menarik, bahkan jauh lebih cantik daripada dahulu. Sekarang ia telah menjadi seorang wanita yang masak, nampak tenang sekali, sepasang matanya bersinar sinar ganjil, mulutnya tersenyum tenang dan tubuhnya tegak. Hanya muka itu agak kepucatan karena kurang makan kurang tidur.
"Suhu sudah pulang" Maafkan teecu terlambat menyambut," katanya sambil berlutut di depan suhunya.
"Kui Lian, hari ini adalah hari terakhir dari pertemuan kita. Aku sudah bertemu dengan Thian te Kiam ong, berarti sudah tercapai pula maksud kedatanganku di daerah ini. Aku akan kembali ke tempat asalku, ke selatan. Anu tidak ingin badanku ini kelak dikubur di rantau orang, ingin aku di kubur di tanah kelahiranku sana. Oleh karena itu, hari ini juga aku akan berangkat ke selatan dan takkan kembali lagi. Aku tidak perlu mengkhawatirkan perihal engkau, muridku. Dengan kepandaian yang kaumiliki sekarang, kau takkan terlantar. Juga kiranya takkan ada orang yang dapat mengganggumu. Asal kau tidak salah jalan, kau akan selamat. Terserah kepadamu, jalan mana yang kaupilih, semoga Thian menuntunmu, Kui Lian. Hanya satu pesanku kalau kau ada waktu, pergilah ke Tit le, dan tempat tinggal keluarga Song. Keluarga itu mempunyai sebuah pedang, namanya pedang pusaka Kim kong kiam. Kauambil pedang itu dan simpanlah, atau musnahkan Aku menyuruhmu melakukan hal ini untuk menolong mereka."
"Suhu, teecu tak dapat berkata lain kecuali teecu menghaturkan banyak banyak terima kasih kepada suhu. Teecu tidak dapat membalas budi Suhu, biarlah di lain penjelmaan teecu menjadi anjing atau kuda suhu."
"Kau tahu apa" Kiranya dalam penjelmaan yang dahulu aku telah hutang budi kepadamu, maka yang sekarang ini anggap saja bahwa aku sudah membayarmu. Kalau aku tidak mempunyai anggapan bahwa aku harus membayar hutang budi kepadamu, apa kau kira aku mau membayarmu dengan semua ilmu itu" Aku akan berdosa besar, Kui Lian. Ilmu Howe sut yang kau pelajari ini bukan sembarang ilmu, amat berbahaya bagi orang lain kalau disalsh gunakan. Akan tetapi mudah mudahan kau tidak demikian. Nah, kau boleh mewarisi hudtim ini."
Dengan sikap hormat Kui Lian menerima kebutan suhunya dan berlutut kembali.
"Kui Lian, selamat berpisah."
Inilah kata kata terakhir yang didengar oleh Kui Lian sambil berlutut karena ketika ia mendongak, suhunya itu telah lenyap dari situ, iapun berdirilah, seorang wanita tinggi ramping yang tentu akan menarik hati semua kaum pria, kalau saja sepasang matanya tidak begitu ganjil dan terbayagg sinar membunuh di saat itu. Ia memandang jauh, melalui jurang jurang jauh sekali, ke arah Kota Soa couw! Kemudian, dengan senyum di bibirnya yang berbentuk indah akan tetapi bayangan sinar membunuh masih dimatanya, ia melenggang memasuki guanya. Lenggangnya lemah gemulai seperti puteri istana, nampaknya ia begitu lemah lembut, ketika ia berjalan memasuki gua untuk berkemas karena iapun harus meninggalkan tempat ini cepat cepat!
Ramalan Koai Thian Cu bahwa usianya tinggal dua bulan lagi tidak membikin hati kakek Song gelisah, bahkan diam diam ia mengharapkan ramalan itu akan terbukti karena ia sudah merasa rindu sekali kepada isterinya yang sudah lebih dulu meninggalkannya ke alam baka. Akan tetapi ramalan kedua tentang pedang pusaka Kim kong kiam, bahwa pedang itu akan menimbulkan banjir darah di keluarganya, benar benar membuat kakek ini merasa gelisah sekali. Boleh saja ia tidak percaya kepada Koai Thian Cu dan menganggap sebagai obrolan kosong seorang tukang gwa mia penipu, tetapi kalau ia teringat bahwa Koai Thian Cu adalah sute dari mendiang Lam hai Lo mo dan akan tingginya ilmu kepandaian Lam hai Lo mo, mau tidak mau Thian te Kiam ong Song Bun Sam menjadi gelisah juga.
Tadinya ia menaruh curiga juga terhadap diri Beng Han, bocah yang telah diaku sebagai muridnya itu. Akan tetapi ia segera mengusir pergi kecurigaannya setelah memanggil bocah itu, diajak bercakap cakap dan dilihat tindak tanduknya setiap hari, Beng Han benar benar seorang anak kecil yang luar biasa.
"Beng Han, sebenarnya siapakah ayah bundanmu?" tanya Thian te Kiam ong Song Bun Sam kepada bocah yang semenjak ditinggalkan oleh Koai Thian Cu, tak pernah pergi dari samping pembaringan kakek Song, merawat dan melayani segala keperluan kakek yang menjadi suhunya ini dengan penuh perhatian penuh kebaktian.
"Suhu, memang sebenarnya teecu tidak mempunyai ayah bunda. Semenjak kecil teecu di pelihara oleh seorang inang pengasuh atas perintah kong kong Koai Thian Cu. satu satunya orang tua yang mengaku teecu sebagai cucu angkatnya. Teecu tidak tahu siapa ayah teecu, juga menurut kong kong, ibu teecu sudah tidak mau mengakui teecu lagi sebagai anak semenjak teecu terlahir." Suara anak itu terdengar menggetar mengharukan, dan matanya yang lebar dan tajam itu dikejap kejapkan menahan keluar air mata.
"Hmmm, aneh sekali. Apa kau tidak ingin mencari ayah bundamu?" kakek Song memancing.
"Suhu, ayah bunda yang tidak sayang dan tidak menghiraukan anaknya, bukan orang tua yang baik. Sebaliknya, biar orang lain kalau melepas budi, kita boleh menganggapnya seperti orang tua sendiri. Orang tua teecu yang tidak sudi mengaku teecu sebagai anak, mengapa harus teecu cari" Teecu sudah mendapat penggantinya, tadinya kong kong Koai Thian Cu, sekarang suhu yang harus teecu anggap sebagai guru dan orang tua sendiri."
Kakek Song sampat melongo mendengar jawaban ini. Bagaimana seorang bocah begini cilik dapat mengeluarkan jawaban seperti itu. Seperti pikian orang dewasa saja!
"Eh, Beng Han. Dari siapakah kau mendapatkan pikiran seperti itu?"
"Sejak kecil kong kong Koai Thian Cu telah mendidik teecu dan teecu tidak berani melupakan segala apa yang diajarkannya kepada teecu."
Kemudian dalam tanya jawab ini tahulah kakek Song hahwa bocah itu ternyata tidak saja memiliki pengertian yang mendalam tentang hal hal di sekelilingnya, juga telah mempelajari baca tulis dan dasar dasar ilmu silat tinggi dan ilmu hoat sut! Sungguh luar biasa sekali hasil yang di capai anak itu selama belajar satu tahun lamanya dari Koai Thian Cu. Maka giranglah hati Thian te Kiam ong dan dia sendiri sampai lupa diri akan usia tua dan mulai menurunkan ilmu silat yang pelik pelik kepada anak itu untuk dihafal teorinya untuk kelak dipelajari sendiri latihan prakteknya.
Sementara itu, diam diam kakek Song menuliskan ilmu Pedang Kim kong kiam dalam sebuah kitab, dan menyuruh seorang pandai besi yang biasa membuat pedang untuk membuatkan sebuah pedang berselaput emas yang sama benar dengan Kim kong kiam. Hal ini diakukan dengan rahasia, bahkan Tek Hong sendiri tidak tahu akan perbuatan ayahnya ini.
Song Tek Hong bertiga isteri dan puterinya juga Liem Pun Hui bertiga isteri dan putranya, sama sekali tidak tahu ramalan kakek aneh yang baru baru ini datang mengunjungi ayah mereka, mereka juga tidak keberatan untuk menerima Thio Beng Han, oleh karena bocah itu memang pandai membawa diri dan menimbulkan rasa kasihan dan suka kepada mereka. Hanya Song Bi Hui puteri Song Tek Hong yang mengomel,
"Kong kong aneh sekali. Sudah sering kau aku minta memberi pelajaran ilmu pedang tak pernah dipenuhi, sebaliknya sekarang mengambil murid seorang anak kecil dari luar. Apakah ini bukan berarti membocorkan kepandaian keluarga sendiri?"
"Bi Hui, mengapa kau mengomel" Biarpun kong kong tidak memberi petunjuk padamu, bukankah ayahmu dan aku sendiri sudah memberi pelajaran" Ilmu pedang yang kuajarkan kepadamu juga tidak terlalu jelek!" kata Ong Siang Cu, ibunya dengan suara lembut menyembunyikan ketidak senangan hatinya. Memang iapun merasa kurang senang terhadap ayah mertuanya setelah mendengar kata kata puterinya. Semenjak mudanya, nyonya Song Tek Hong ini memang terkenal keras hati sekali.
Tek Hong mengerutkan keningnya mendengar kata kata anak dan isterinya ini.
"Bi Hui, kau tidak boleh bilang begitu! Kau adalah anakku, berarti cucu kong kongmu. Sudah ada aku yang menurunkan kepandaian keturunan keluarga Song, mengapa kau masih kurang puas dan minta kepada kong kongmu sendiri" Ilmu kepandaian tidak ada batasnya, kalau kong kongmu menurunkan semua kepandaiannya kepadamu, apa kau kira kau akan mampu menerimanya" Satu macam saja ilmu silat, kalau dipelajari sampai sempurna betul, sudah cukuplah. Biar ada seratus macam kepandaian, kalau semuanya setengah matang, takkan ada gunanya."
Bi Hui cemberut, bibirnya yang manis itu sampat berkerut kerut. "Ayah, aku memang anak cerewet. Memang sudah banyak aku menerima pelajaran dari ayah dan ibu, akan tetapi.... masih saja aku belum diberi pelajaran Kim kong Kiam sut secara lengkap!"
Tek Hong membanting banting kakinya. "Kau benar benar tak tahu diri! Ayahmu sendiri biarpun sudah membanting tulang mencurahkan seluruh perhatiannya, masih belum dapat mempelajari Kim kong Kiam sut seluruhnya, baru berhasil empat lima bagian saja. Kau kira gampang menguasai Kim kong Kiam sut?"
Kisah Si Rase Terbang 9 Pembalesan Seri Oey Eng Si Burung Kenari Karya Siao Ping Naga Dari Selatan 1
^