Pencarian

Pedang Sinar Emas 22

Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 22


"Cukup, aku sudah mengerti. Sekarang bagaimana kalau dipergunakan untuk memperkuat tubuh ?" tanya Tung hai Sian jin dengan penuh gairah karena hal inilah baginya yang terpenting.
Kakek gendut itu terseryum. "Tidak ada manusia di dunia ini yang mengenal cukup, dia yang mengenal cukup, barulah seorang yang kaya dan berbahagia, yang tidak mengenal cukup akan hancur dalam kekecewaan, diburu oleh nafsunya sendiri."
"Jangan ngaco belo, lekas katakan bagaimana caranya!" bentak Eng Kiat yang ingin pula mendapatkan khasiat obat itu.
"Kalian hendak memperkuat tubuh" Sampai bagaimana kuatnya" Tetap saja takkan dapat melawan maut.... "
"Apa kau ingin kami kehilangan kesabaran dan memecahkan kepalamu?" bentak Tung hai Sian jin marah.
"Baiklah, baiklah, bukan aku yang menghendaki, akan tetapi kalian sendiri. Pencetlah katak itu dari belakang sehingga keluar darah merah dari mulutnya Nah, darah ini kalau diminum mendatangkan kekuatan yang luar biasa, akan tetapi jangan banyak banyak, setetespun cukuplah."
"Kau tidak bohong?"
"Siapa berani bohong" Aku berani membuktikannya."
Tung hai Sian jin menggerakkan tangan mengetuk pundak kakek gendut ini sehingga tertotoklah jalan darahnya dan akibatnya seluruh tubuh kakek ini seperti lumpuh, lenyap sama sekali tenaganya, Tung hai Sian jin lalu memencet belakang tubuh katak putih itu dan benar saja, dari mulut yang terbuka itu menetes darah merah. Dengan memaksa membuka mulut kakek gendut, Tung hai Sian jin meneteskan setitik darah ke dalam mulut kakek itu.
Ajaib! Sudah terang bahwa kakek gendut itu tidak mempunyai tenaga lweekang dan takkan mungkin membebaskan diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi, begitu tetesan darah merah itu tertelan olehnya, tiba tiba ia dapat menggerakkan tubuhnya kembali, tanda bahwa totokan Tung hai Sian jin tadi buyar!
"Bagus, kau tidak membohong!" serunya keras akan tetapi berbareng kakek kejam ini menggerakkan tongkatnya ke arah kepala kakek itu.
"Prak!" Tanpa dapat bersambat lagi kakek gendut itu roboh dengan kepala pecah!
Pada saat itu, muncullah Siang Cu yang memondong tubuh Tek Hong. Melihat nona ini, Tung hai Sian jin menjadi marah, akan tetapi sebaliknya, Eng Kiat cengar cengir dengan sikap menjemukan sekali.
"Nona, kau benar benar amat memalukan. Bagaimana kau mati matian membela pemuda ini dan hendak mencarikan obat untuknya sedangkan kau tentu tahu bahwa pemuda ini adalah musuh besar suhumu, putera dan Thian te Kiam ong" Seharusnya kau membunuhnya!" tegur Tung hai Sian jin dengan suara marah.
"Kau calon isteriku mengapa memondong mondong seorang pemuda" Siang Cu, lemparkan dia di jurang!" kata Eng Kiat dengan sikap ceriwis sekali.
Siang Cu merasa dadanya panas. Ingin ia mengamuk dan menyerang dua orang ini. Akan tetapi ia bukan seorang gadis bodoh, ia maklum bahwa hal itu tidak akan menguntungkan, pertama tama ia takkan menang menghadapi dua orang ini seorang diri saja, kedua kalinya obat katak putih itu telah terjatuh ke dalam tangan mereka, sedangkan ia amat membutuhkannya untuk menolong Tek Hong.
"Tung hai Sian jin, harap kau mengingat perikemanusiaan dan berikanlah obat katak putih itu kepadaku agar aku dapat mengobati Tek Hong."
"Hm, kau tidak tahu bagaimana cara mempergunakannya, bagaimana kau dapat mengobatinya" Kalau salah pengobatan itu, dia takkan sembuh bahkan sebaliknya akan mempercepat kematiannya."
Mendengar ucapan ini Siang Cu yang cerdik tahu bahwa tentu kakek yang licik dan kejam ini sudah dapat mengetahui cara pengobatannya sebelum membunuh kakek gemuk yang bernasib malang itu. Maka ia lalu bersikap halus dan berkata,
"Tung hai Sian jin, mengingat akan hubungan antara kau dan suhu, tolonglah aku dan obatilah Tek Hong."
"Satu permintaan yang aneh. Tek Hong ini adalah putera dari Thian te Kiam ong Song Bun Sam musuh besar kita, bagaimana kini kau murid Lam hai Lo mo minta aku mengobatinya" Bahkan kalau aku harus mengingat akan hubunganku dengan suhumu, pemuda ini harus kubunuh sekarang juga!" Setelah berhenti sebentar Tung hai Sian jin memandang tajam tajam kepada Siang Cu lalu bertanya. "Sebetulnya apakah yang membuat kau begitu memperhatikan pemuda ini dan ingin melihat dia sembuh?"
Sambil menahan perasaan hatinya yang jengah dan malu. Siang Cu mengeraskan hati dan menjawab dengan suara gagah, "Aku cinta padanya! Aku suka berkurban apa saja asal dia dapat disembuhkan. Orang macam aku tidak apa mati, akan tetapi dia adalah seorang mulia dan tidak selayaknya mari muda."
"Kau tak tahu malu!" bentak Tung hai Sian jin marah sekali dan tongkatnya sudah menggetar di dalam kedua tangannya yang menggigil, ia marah sekali dan ingin ia membunuh Siang Cu dan Tek Hong di saat itu juga.
Akan tetapi Eng Kiat yang sudah mengetahui watak ayahnya dan sudah merasa khawatir sekali kalau kalau ayahnya menjadi marah dan membunuh Siang Cu, segera maju dan berkata,
"Ayah, jangan mengganggu calon menantumu sendiri."
"Mantu apa" Siapa sudi mempunyai mantu tak kenal malu seperti dia ini" Dunia masih lebar, masih banyak wanita yang lebih cantik dari padanya. Kau akan kucarikan puteri yang jauh lebih cantik. Jangan khawatir, Eng Kiat, sebutkan saja gadis mana yang kaukehendaki, biar puteri pangeran akan dapat kauambil untukmu."
"Hanya satu, ayah, yakni Siang Cu inilah kuharapkan menjadi isteriku. Karena itu, harap ayah jangan membunuhnya,"
"Tung hai Sian jin, lekaslah kau mengobati Tek Hong!" Siang Cu yang tidak memperdulikan percakapan mereka, mendesak dan membujuk, ia tidak berani mempergunakan kekerasan karena maklum bahwa hal itu percuma saja.
"Hm, kau benar benar ingin melihat dia sembuh?"
"Tentu saja!" "Dan kau rela berkurban apa saja untuknya?" tanya pula Tung hai Sian jin.
"Biarpun harus menebus nyawanya dengan nyawaku, aku rela!" jawab nona itu tegas.
"Eng Kiat, aku menyerahkan syaratnya kepadamu. Aku akan mengobati pemuda ini asalkan Siang Cu memenuhi syarat yang kau ajukan," kata Tung hai Sianjin yang sudah merasa bohwat (tak berdaya) menghadapi puteranya yang tergila gila kepada Siang Cu ini. Ia maklum bahwa puteranya hanya suka betul betul kepada dua orang gadis, yakni Siang Cu dan Siauw Yang puteri Thian te Kiam ong. Hal ini tidak mengherankan, karena di dunia ini agaknya sukar dicari gadis gadis seperti kedua orang nona ini, tidak saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang luar biasa dan mengagumkan.
Mendengar kata kata ayahnya, Eng Kiat maju mendekati Siang Cu dan berkata, "Syaratnya ringan saja, yakni kau harus bersumpah bahwa kau suka menjadi isteriku."
Siang Cu merasa kepalanya pening, jantungnya berdebar kera dan ia menahan nahan nafsunya yang hendak meluap dan menekan kedua tangannya yang seakan akan ingin bergerak sendiri untuk menampar muka pemuda yang amat dibencinya itu. Akan tetapi kalau ia menengok ke bawah, ia melihat wajah Tek Hong yang pucat seperti mayat, maka ia tak dapat menahan lagi jatuhnya air matanya, ia tak dapat menjawab hanya mengangguk anggukkan kepalanya kepada Eng Kiat sambil menurunkan tubuh Tek Hong ke atas salju.
"Obatilah dia.... sembuhkanlah dia.... !" katanya di antara isaknya.
"Kau bersumpahlah dulu seperti yang diminta oleh Eng Kiat, bersumpah bahwa kau akan suka menjalani upacara pernikahan dengan dia, menjadi isterinya," kata Tung hai Sian jin.
"Aku bersumpah untuk.... menjalankan upacara pernikahan dengan Eng Kiat dan menjadi.... isterinya," kata Siang Cu dengan hati hancur. "Lekas obati dia, takut kalau kalau terlambat. Akan tetapi sumpahku ini hanya berlaku kalau Tek Hong kausembuhkan."
"Bagus," Eng Kiat bersorak girang. "Ayah, kau obatilah dia ini. Siang Cu sudah menjadi calon isteriku benar benar! Aduh senangnya. Bidadariku yang manis, kau seakan akan telah memberi hadiah bulan purnama kepadaku. Ke sinilah, adinda yang tercinta, sini duduk dengan kanda."
Bukan main mendongkol dan marahnya hati Siang Cu, Gadis ini sudah lelah sekali dan dalam waktu sepekan tidak tidur dan tidak makan. Kemudian ia menghadapi goncangan goncangan batin yang hebat, sekarang ditambah pula oleh nafsu amarah yang tertahan tahan, maka sambil memandang penuh kebencian kepada Eng Kiat, ia menjerit dan roboh pingsan di dekat Tek Hong.
Eng Kiat menjadi bingung sekali, ia membanting banting kedua kakinya dan hampir menangis. Sambil mewek mewek ia berkata kepada ayahnya, "Ayah, lekas sembuhkan dia! Aduh bagaimana ini" Ayah jangan perdulikan Tek Hong, lekas obati dia lebih dulu, bagaimana pengantinku menjadi begini?" Eng Kiat menggoyang goyang pundak Siang Cu sambil mewek mewek dan memanggil namanya. "Dinda Siang Cu.... dindaku yang manis, bangunlah.... !"
"Minggirlah!" Tung hai Sian jin membentak marah kepada puteranya. Kemudian ia memegang nadi pergelangan tangan Siang Cu lalu tertawa terbahak bahak.
"Dia kurang tidur dan lapar sekali. Hayo keluarkan bekal makanan dan arak!"
Tanpa menanti perintah kedua kalinya, Eng Kiat lalu menurunkan gendongan buntalannya, mengeluarkan kue kering dan dengan amat telaten dan penuh cinta kasih. Setelah memasukkan beberapa potong kue dan memberi minum arak kepada Siang Cu, mulailah gadis itu siuman kembali. Akan tetapi begitu melihat bahwa ia sedang disuapi oleh Eng Kiat, ia cepat cepat melompat bangun dengan muka merah. Eng Kiat tertawa.
"Ha, ha, ha, tadi kau sambil meram makan kue dengan enaknya. Marilah kaumakan lagi manis!"
Akan tetapi Siang Cu tidak mau memperdulikan lagi dan ketika ia menengok ke arah Tek Hong, ia segera berkata, "Kenapa dia belum diobati" Hayo lekas obati dia, Tung hai Sian jin. Bukankah aku sudah mengucapkan sumpahku?"
Tung hai Sian jin terkenal akan kelicikannya, kini melihat sikap Siang Cu tentu saja ia tidak percaya begitu saja.
"Untuk mengobati pemuda ini, adalah hal yang mudah. Akan tetapi makan waktu lama. Aku sudah mempelajarinya dan kakek itu. Sedikitnya makan waktu tiga hari. Akan tetapi aku bertanggung jawab bahwa dia pasti akan sembuh. Sementara itu kau harus pergi dengan Eng Kiat dan merayakan pernikahan di kampungku, yakni di rumah adikku, seorang piauwsu (pengantar barang ekspidisi) di dusun Tiang kwan."
"Kau licik!" Siang Cu membentak marah, akan tetapi ia segera menahan marahnya dan berpikir cepat. "Kita harus atur seadil adilnya. Boleh aku meninggalkan Tek Hong di sini bersamamu, dan aku memang sudah bersumpah untuk menjalankan upacara pernikahan dengan anakmu. Akan tetapi, semua itu hanya dengan satu syarat bahwa aku harus melihat dulu kesembuhan Tek Hong dan bahwa aku baru mau menikah kalau Tek Hong sudah sembuh Sementara itu, jangan harap Eig Kiat akan berlaku kurang ajar. Sekali saja melakukan hal kurang ajar, aku anggap sumpahku tak berlaku!"
Jilid XXX TUNG HAI SIAN JIN sudah mengenal kekerasan hati Siang Cu, akan tetapi iapun tahu bahwa gadis ini betapapun juga pasti tidak akan sudi melanggar sumpah sendiri. Oleh karena itu ia berkata,
"Baiklah, kau akan melihat dia sembuh. Sekarang pergilah kau dengan Eng Kiat ke dusun Tiang kwan. Eng Kiat, kau beri tahukan kepada pamanmu untuk mempersiapkan pesta pernikahan. Pernikahan harus dilangsungkan seminggu setelah kalian tiba di sana. Dan aku berjanji bahwa dalam saat pesta pernikahan dilangsungkan Tek Hong akan kubawa ke sana dalam keadaan sembuh. Akan tetapi, nona, jangan sekali kali kau berani melanggar sumpah sendiri karena tidak sukar bagiku untuk membunuh pemuda ini kalau kau melanggar sumpah."
Dengan air mata bercucuran Siang Cu menjawab tegas,
"Kaukira aku orang apakah" Ludah yang sudah keluar takkan kujilat lagi. Biar aku mampus kalau aku melanggar sumpahku!"
"Bagus, berangkatlah kalian !"
Siang Cu menubruk Tek Hong memeluk lehernya dengan mesra sambil menangis.
"Tek Hong, selamat tinggal. Ketahuilah bahwa semua ini kulakukan demi keselamatanmu. Di dunia kita tak berjodoh, biar di akhirat kita bertemu kembali." Setelah berkata demikian, ia mengibaskan tangan Eng Kiat yang hendak membangunkannya.
"Mari kita pergi!" katanya kasar dan mendahului pemuda itu berlari turun dari tempat itu. Eng Kiat mengikutinya dengan senyum lebar.
Setelah dua orang muda itu pergi, Tung hai Sian jin juga tertawa tawa.
"Kau boleh kusembuhkan, kubawa ke Tiang kwan agar kau dapat menyaksikan pernikahan anakku dengan Siang Cu, itupun merupakan hukuman berat bagimu. Dan pula, setelah kau sembuh dan anakku sudah menikah, lalu kemudian membunuhmu apa sukarnya" Ha, ha, ha!"
Tadi ia memang membohong kepada Siang Cu, karena sebetulnya untuk menyembuhkan pemuda itu, cukup memerlukan waktu sehari saja. Ia lalu memencet katak putih di bagian mulutnya dan benar saja, keluarlah darah berwarna putih dari lubang di belakang tubuh katak itu. Tung hai Sian jin mengambil cawan arak dan bungkusnya, menghitung tetesan darah sebanyak lima belas tetes. Kemudian ia menotok jalan darah di bagian pundak Tek Hong untuk menjaga agar pemuda ini tidak memberontak setelah sembuh, lalu diminumkannya obat itu ke dalam mulut Tek Hong.
Setelah itu, Tung hai Sian jin mempergunakan perut katak putih, digosok gosokkan pada jidat Tek Hong yang ada tanda bekas tiga jari tangan merah. Benar saja, tak lama kemudian tanda itu perlahan lahan lenyap dan terdengar pemuda itu mengeluh perlahan.
Seperti tadi ketika memeriksa Siang Cu kini Tung hai Sian jin juga mengerti bahwa pemuda ini lapar sekali, hampir mati kelaparan! Dengan kasar Tung hai Sian jin lalu menjejalkan kue kering di mulut Tek Hong dan memberi minum arak. Tak lama kemudian Tek Hong membuka kedua matanya.
Pemuda ini setelah melihat wajah kakek yang duduk di dekatnya, terkejut sekali dan tahulah dia bahwa dia terjatuh ke dalam tangan musuh, ia mencoba menggerakkan tubuhnya dan tahu pula bahwa dia berada dalam keadaan tertotok. Ia melihat pula katak putih ditangan Tung hai Sian jin maka dengan heran ia bertanya,
"Tung hai Sian jin, kau menyembuhkan aku dengan katak itu, dengan maksud apakah" Di mana Siang Cu" Kau apakan dia?"
Tung hai Sian jin tertawa bergelak, nampaknya senang sekali. Baru sekarang ia dapat membalas dendamnya setelah berkali kali dibikin sakit hati oleh keluarga Song Bun Sam.
"Setan, kalau aku mau, sekarang juga aku dapat memukul kepalamu sampai hancur. Akan tetapi aku kasihan kepadamu, kasihan melihat nasibmu!"
Tentu saja Tek Hong tidak dapat mempercayai omongan ini dan ia berkata,
"Tung hai Sian jin, tak perlu berkelakar dan berpura pura. Bagaimana orang seperti engkau bisa menaruh hati kasihan kepadaku" Apa yang telah terjadi" Mana Siang Cu?"
"Murid Lam hai Lo mo itu setelah melihat kau menggeletak seperti mayat, tak berdaya dan kelihatan buruk sekali, mana ia dapat mencintamu lagi" Ia bertemu dengan puteraku dan ia telah menyatakan setuju menjadi isterinya. Sekarang dia dan Eng Kiat sedang menuju ke Tiang kwan untuk merayakan pernikahan mereka. Aku melihat kau disia siakan dan dipatahkan hatimu olehnya, menjadi tidak tega untuk membiarkan kau mampus, maka aku menyembuhkanmu."
Tek Hong adalah seorang pemuda yang cerdik, maka di dalam ketidakpercayaannya terhadap kakek ini, ia melirik ke sekelilingnya yang sunyi sekali, terlihat olehnya tubuh kakek gemuk menggeletak tak bernyawa dengan kepala pecah, maka ia berpikir pikir apakah gerangan yang terjadi. Tak salah lagi bahwa tentu Siang Cu telah tertawan oleh kakek ini dan entah bagaimana nasibnya. Kemudian ia teringat bahwa di dalam keadaan seperti tadi, sangat boleh jadi Siang Cu terjepit dan terdesak oleh Tung hai Sian jin, sehingga meluluskan permintaan apa saja asal ia dapat disembuhkan. Mengingat itu, Tek Hong menarik napas panjang dan mengeluh.
"Siang Cu.... mungkinkah kau berkorban untukku.... ?"
"Apa maksudmu" Siapa berkurban" Siang Cu telah menerima pinangan Eng Kiat dan sekarang mereka sedang menuju ke tempat perayaan pernikahan mereka."
"Aku tidak percaya!" kata Tek Hong dengan suara disengaja keras menunjukkan ketidakpercayaannya. Hal ini ia lakukan untuk memancing agar kakek itu mau membawanya ke sana.
"Sabar, orang muda. Memang aku bermaksud membawamu ke sana agar kau dapat melihat sendiri betapa gadis itu melakukan upacara pernikahan dengan puteraku. Ha, ha, ha! Akan tetapi tunggulah sebentar, aku hendak menambah kekuatanku dengan obat ini. Menghadapi engkau saja tak perlu aku khawatir, akan tetapi kalau gadis itu hendak melakukan khianat, aku perlu menambah kekuatanku untuk menghadapi kalian berdua. Setelah aku minum obat ini, biar ayahmu sendiri aku sanggup menghadapinya!"
Tek Hong tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, akan tetapi ia diam saja dan hanya memandang dengan penuh perhatian.
Tung hai Sian jin lalu memegang katak itu di bagian belakang tubuhnya dan menggenggam nya erat erat. Menitiklah darah merah dari mulut katak itu, suatu hal yang benar benar amat mengherankan. Bagaimanakah seekor katak yang sudah mati masih mengandung darah" Sebenarnya darah itu adalah darah ular ular merah yang telah dihisap oleh tubuh katak yang aneh itu, dan setelah darah itu berada di dalam tubuh katak, memang setitik darah dapat mendatangkan tenaga yang luar biasa di dalam tubuh manusia.
Akan tetapi Tung hai Sian jin bukanlah Tung hai Sian jin yang sudah terkenal akan ketamakan dan kelicikannya kalau ia cukup puas dengan setitik darah merah itu saja. Ia tadi sudah membuktikan bahwa darah itu memang benar mendatangkan tenaga luar biasa pada kakek gendut. Baru setetes saja sudah dapat membuat kakek gendut itu terlepas dari pengaruh totokan, apalagi kalau secawan banyaknya! Maka ia terus memencet katak itu sampai habis darahnya, memenuhi setengah cawan. arak. Kemudian diminumnya darah merah setengah cawan itu!
Tek Hong memandang saja dan ia amat tertarik dan menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Akibatnya hebat sekali. Wajah Tung hai Sian jin menjadi merah sekali dan matanya melotot lebar. Kakek ini merasa betapa seluruh tubuhnya menjadi panas dan tulang tulangnya berbunyi berkerotokan. Kemudian ia merasa seluruh tubuhnya gatal gatal dan bukan main girangnya ketika ia merasa tubuhnya amat ringan dan hawa dari dalam pusarnya naik ke dada.
"Ha, ha, ha, tenagaku menjadi berlipat ganda. Aku harus berlatih untuk menguji tenagaku!" Bagaikan seorang gila ia mencak mencak dan melompat ke sana ke mari. Sebatang pohon yang tak berdaun lagi dan seluruhnya diliputi oleh salju berada di dekat situ. Batang pohon ini besarnya dua kali besar tubuh orang. Tung hai Sian jin melompat ke dekat pohon dan memukul batang pohon itu dengan tangan kanannya. Terdengar suara keras dan batang pohon itu patah di tengah tengah, tumbang mengeluarkan suara berisik. Tung hai Sian jin tertawa bergelak, mengungkai pohon itu dan melontarkannya jauh jauh. Kemudian ia melompat ke kiri, memukul sebuah balu besar yang tertutup salju. Debu salju berhamburan ketika terdengar suara keras dan batu itu pecah!
Diam diam Tek Hong terkejut sekali melihat hal ini. Batu itu adalah batu karang yang beratnya ribuan kati, bagaimana dengan sekali pukul saja kakek ini dapat memecahkannya" Ia maklum bahwa ayahnya sendiripun tak mungkin dapat melakukan hal ini. Bukan main hebatnya tenaga dari kakek ini. Benar benarkah obat yang diminumnya telah mendatangkan tenaga yang berlipat ganda"
Tung hai Sian jin makin menggila. Sambil mengeluarkan suara tertawa yang terdengar bukan seperti suara manusia, ia memukuli batu batu di sekitar tempat itu sehingga batu batu itu pecah pecah dan menumbangkan pohon pohon bagaikan seekor gajah yang mengamuk. Makin lama mukanya menjadi makin merah dan ia merasa seluruh tubuhnya makin gatal gatal dan panas. Kemudian sambil berjingkrak jingkrak seperti orang gila, ia menghampiri Tek Hong.
"Ha, ha, ha, sudah kaulihat, anak muda" Sekarang kau tak perlu kutakuti, juga ayahmu bukan apa apa bagiku. Kau dan ayahmu mampu berbuat apa kepadaku" Ha, ha, ha !" Ia lalu menepuk nepuk pundak Tek Hong untuk membebaskan totokannya ladi. "Hayo kau ikut aku menyaksikan upacara pernikahan Siang Cu dan Eng Kiat."
Tek Hong terbebas dari totokan dan setelah mengatur pernapasan memulihkan perjalanan darahnya, ia lalu meloncat bangun. Tung hai Sian jin tertawa tawa dan mendorongnya. Tek Hong mengelak, akan tetapi ia terkejut bukan main karena bawa dorongan itu masih saja mendatangkan kekuatan luar biasa sehingga ia terhuyung huyung ke belakang!
"Ha, ha, ha, kau sudah merasakan betapa hebat tenagaku, bukan" Ha, ha, kepandaianmu tiada artinya bagiku." Kembali ia mendorong beberapa kali sehingga pemuda itu terhuyung huyung ke sana ke mari seperti daun kering tertiup angin puyuh. Tek Hong menjadi mendongkol dan marah, maka ia membalas dorongan orang yang mengganggunya, ia mempergunakan tenaga Kim kong dan mendorong dengan kedua tangannya. Akan tetapi apa yang terjadi" Kakek itu menerima dorongannya dengan dadanya dan bukan kakek itu yang terdorong, melainkan Tek Hong yang merasa ada tenaga raksasa menolak dorongannya dan membuat tubuhnya terjungkal ke belakang!
"Ha, ha, ha, Kim kong Pek lek jiu tidak berarti apa apa lagi bagiku, ha, ha!"
Tek Hong benar benar heran dan terkejut. Tokoh persilatan yang bagaimana tinggi ilmu silatnyapun tidak akan kuat menerima dorongannya tadi tanpa menangkis atau mengelak, akan tetapi kakek ini menerimanya begitu saja dengan dada terbuka! Benar benar Tung hai Sian jin telah memiliki tenaga yang luar biasa sekali.
Adapun Tung hai Sian jin lalu menubruk maju dan sebelum Tek Hong dapat menghindarkan diri ia telah kena dipegang tanpa dapat bergerak lagi.
"Hayo kau ikut ke Tiang kwan!" katanya sambil menyeret tangan pemuda itu. Mereka berlari larian cepat sekali dan Tek Hong terpaksa mengikutinya karena tidak berdaya untuk melepaskan pegangan yang amat kuat itu.
Akan tetapi, tiba tiba Tung hai Sian jin berteriak keras sekali dan melepaskan pegangannya kepada Tek Hong karena ia mempergunakan kedua tangan untuk memegang lehernya.
"Aduh.... aku tak dapat bernapas.... aduh.... !" Sambil berkata demikian, kakek ini mencekik lehernya sendiri, sakan akan hendak menghancurkan sesuatu yang mengganjal kerongkongannya.
"Hm, darah katak putih telah meracunimu sendiri, Tung hai Sian jin," kata Tek Hong sambil memandang penuh perhatian dan dengan perasaan tegang. Muka kakek itu menjadi merah sekali dan warna merah menjalar terus sampai di seluruh tubuhnya.
Teringatlah Tung hai Sian jin akan kata kata kakek gendut pemilik katak putih. Kakek itu sudah menyatakan bahwa tidak boleh terlalu banyak minum darah katak putih, cukup setetes saja. Akan tetapi ia telah minum setengah cawan banyaknya. Mulai timbul rasa takut dalam hatinya.
"Aku akan mati....." Kalau begitu, kau lebih dulu harus mampus!" serunya tiba tiba dan dengan menggerakkan kedua lengan memukul Tek Hong, ia menerjang maju.
Baiknya Tek Hong sudah siap sedia dan cepat ia mengelak sambil melompat ke kiri. Akan tetapi, bukan itu saja serangan itu cepat dan hebat, akan tetapi terutama sekali tenaga pukulannya yang luar biasa. Memang Tek Hong berhasil mengelak, akan tetapi hawa pukulan kedua tangan itu menyambarnya dan ia melempar sampai lima kaki lebih dan merasa betapa dadanya sakit! Cepat ia duduk bersila dan mengatur napas untuk menolak pengaruh hawa pukulan yang akan dapat mengakibatkan luka di dalam dadanya itu.
Sementara itu Tung hai Sian jin kelihatan terputar putar di atas ke dua kakinya, mukanya menjadi makin merah dan kedua tangan yang memegangi leher lagi juga menjadi amat merah. Kemudian sambil berteriak ngeri Tung hai Sian jin roboh terlentang tak bergerak lagi. Tubuhnya kaku dan nyawanya melayang meninggalkan raganya! Ia telah menjadi korban daripada hawa nafsu ketamakannya sendiri. Darah ular merah yang berada di dalam katak putih itu memang merupakan obat penguat tubuh luar biasa, akan tetapi karena terlampau banyak ia meminumnya, kekuatan yang luar biasa itu merusak darahnya sendiri dan memutuskan urat urat di seluruh tubuhnya.
Setelah Tek Hong merasa bahwa kesehatannya pulih kembali, ia membuka matanya, ia melihat tubuh Tung hai Sian jin menggeletak di atas tanah, maka cepat ia melompat bangun dan menghampirinya. Bergidik ia ketika melihat betapa kakek itu telah kaku seperti sebatang balok, dengan mata mendelik dan lidah keluar, seluruh muka dan tubuhnya merah seperti kepiting direbus. Bukan main ngerinya hati Tek Hong menyaksikan pemandangan ini maka ia menarik napas panjang dan teringatlah ia akan ujar ujar Nabi Locu yang menyatakan bahwa,
"Nama dan tubuh, manakah yang lebih dekat"
Tubuh dan barang, manakah yang lebih
berharga" Mendapat dan kehilangan, mana lebih
merugikan" Karena itu : Terlalu kikir pasti mengakibatkan
pemborosan besar, Banyak menimbun pasti mengakibatkan
kehilangan besar! Yang tahu akan cukup takkan sampai
pada kehinaan. Yang tahu takkan sampai pada bahaya.
Dia akan dapat bertahan lama!"
Tek Hong tidak sampai hati untuk meninggalkan jenazah Tung hai Sian jin begitu saja. Dia seorang keturunan pendekar besar yang berhati mulia dan bijaksana, maka sebagai seorang manusia yang penuh rasa perikemanusiaan, pemuda ini lalu menggali lubang di bawah salju dan mengubur jenazah itu secara sederhana. Juga ia berlari kembali ke tempat dimana tadi ia melihat jenazah seorang kakek gendut dan jenazah inipun dikuburkan baik baik. Kemudian, tanpa mengenal lelah, ia cepat cepat pergi menuju ke dusun Tiang kwan untuk mencari Siang Cu, kekasihnya.
"Nona Leng Li, terus terang saja kukatakan bahwa aku mencinta Siauw Yang, puteri dari Thian te Kiam ong dan apapun juga yang terjadi, aku akan tetap setia kepadanya. Maafkan aku banyak banyak, nona. Aku tahu bahwa kau adalah seorang gadis yang bijaksana dan gagah dan pemuda yang manapun juga akan berbahagia sekali kalau bisa menjadi suamimu. Kau telah menolongku terlepas dan bahaya maut, dan sekarang, aku... sebaliknya mengecewakan hatimu. Maafkanlah." Demikian kata kata Pun Hui yang diucapkan kepada Leng Li. Nona ini duduk di atas batu di taman bunga sambil mengusap usap air matanya yang membasahi pipinya.
"Liem siucai, aku dapat memaklumi isi hatimu. Akupun bukan seorang gadis tak tahu malu yang akan memaksa hati orang menyukaiku. Sejak dahulu kau telah menolak kehendak ayah yang memaksa hendak menjodohkan kau, dan aku tahu bahwa kau..... kau tidak suka kepadaku. Akan tetapi...."
"Nanti dulu, nona. Siapa bilang aku tidak suka kepadamu" Aku bahkan akan berbahagia sekali kalau boleh mengaku sebagai kakakmu," bantah Pun Hui.
Tiba tiba wajah Leng Li yang manis menjadi terang berseri, sepasang matanya memandang dengan sinar gembira.
"Ah, itulah jalannya! Kau tahu bahwa aku tidak ingin menikah dengan si apapun juga dan penolakanmu itu sama sekali tidak menyusahkan hatiku, sungguhpun membuat aku merasa rendah."
"Maaf.... !" "Jangan ulangi lagi persoalan maaf, Liem siucai. Sekarang mari kita mencari jalan bagaimana baiknya. Yang kususahkan adalah watak ayah. Dia menghendaki agar kita berjodoh dan wataknya yang keras membuat aku tak berdaya. Kalau kau menolak, dia tentu akan membunuhmu."
"Kalau begitu kehendaknya, biarlah. Kematian hanyalah merupakan pembebasan daripada derita hidup," jawab Pun Hui dengan sikap gagah, sikap yang telah menarik banyak wanita, di antaranya Leng Li, Siang Cu, dan Siauw Yang.
"Bukan begitu, Liem siucai. Aku percaya akan keteguhan hatimu, akan tetapi bukankah kau tadi menyatakan bahwa kau mencinta Song lihiap" Kalau rela mati begitu saja, bagaimana gerangan dengan perasaan hatimu terhadap Song lihiap" Bukankah itu berani bahwa kau memutuskan hubungan cinta kasih?"
Mendengar ini, wajah Pun Hui menjadi pucat dan sedih. Memang, hal ini merupakan pukulan yang melemahkan hatinya dan menghancurkan semangatnya. Laki laki manakah yang takkan menjadi lemah semangat apabila terpengaruh oleh asmara"
"Habis, apakah dayaku" Menuruti kehendak ayahmu, aku tidak mungkin dapat melakukannya. Menolak berarti aku akan dibunuhnya dan aku mana bisa menghindarkan diri dari ayahmu yang berkepandaian tinggi?"
"Liem siucai, kau tadi menyatakan bahwa kau suka menjadi kakakku, betul betulkah?" tanya Leng Li sambil memandang tajam.
Pun Hui berkata sungguh sungguh, "Aku hidup sebatangkara di dunia ini. Kau seorang gadis yang baik hati dan gagah perkasa, mendapat seorang adik seperti engkau merupakan kehormatan yang besar sekali bagiku. Mengapa aku tidak bersungguh sungguh?"
"Nah, itulah jalan satu satunya supaya kau dapat menghindarkan diri dari paksaan ayah. Kau harus menjadi kakak beradik!" kata Leng Li girang.
"Apa maksudmu?"
"Kita dapat melakukan upacara sembahyang dan mengangkat saudara!"
Pun Hui berseri wajahnya. Benar juga, hal inilah satu satunya jalan untuk menghindarkan diri dari paksaan. Kalau sudah mengangkat saudara dengan bersumpah di meja sembahyang, berarti mereka telah menjadi kakak beradik dan tidak mungkin lagi dijodohkan!
Dua orang muda itu tengah bercakap cakap di taman bunga di sebelah belakang gedung besar tempat tinggal Sin tung Lo kai Thio Houw. Adapun kakek ini sendiri sedang sibuk mengatur rumah yang hendak dihiasnya, karena dengan berkeras kakek ini memaksa Leng Li dan Pun Hui untuk segera merayakan pernikahan!
Selagi Sin tung Lo kai memberi petunjuk petunjuk kepada para anak buahnya, yakni pengemis pengemis bertongkat merah memberes bereskan rumahnya, tiba tiba seorang pelayan datang kepadanya dan berkata, "Lo enghiong, nona dan Lim siucai di taman bunga sedang melakukan upacara sembahyang."
Sin tung Lo kai terkejut dan memandang penuh keheranan.
"Apa" Apakah mereka melakukan upacara pernikahan sendiri dengan diam diam" Gila mereka itu." Dengan langkah lebar ia lalu menuju ke belakang rumah dan memang benar, di tengah tengah taman bunga ia melihat puterinya dan Pun Hui sedang berlutut di depan meja sembahyang sambil memegang hio di tangan masing masing. Agaknya mereka telah selesai sembahyang, karena kini mereka berdiri, menancapkan hio di hioluw dan memberi hormat sekali lagi kepada meja sembahyang lalu membalikkan tubuh menghadapi Sin tung Lo kai.
"Ayah.,...!" kata Leng Li dengan wajah berseri.
"Ayah.....!" kata pula Pun Hui yang cepat menjatuhkan diri berlutut di dpan pengemis tua yang sakti itu.
Semua ini adalah akal daripada Leng Li. Dialah yang menyuruh pelayan memberitahukan ayahnya dan dia pula yang mengatur agar upacara sembahyang mereka selesai begitu ayahnya tiba di situ. Dan kini Pun Hui menyebut "ayah" sambil berlutut, sesuai pula dengan akal yang direncanakan oleh gadis yang cerdik itu.
Sin tung Lo kai Thio Houw tertegun melihat wajah puterinya berseri seri, ayah yang mencinta puterinya dan ingin melihat anaknya berbahagia itu menegur sambil tertawa,
"Hm, apakah kalian sudah begitu tidak sabar menanti sehingga melakukan upacara pernikahan sendiri" Dan kau ini anak mantuku, mengapa menyebut ayah" Seharusnya menyebut ayah mertua!"
Leng Li melangkah maju menghadapi ayahnya.
"Ayah, aku dan Hui ko (kakak Hui) tidak melakukan upacara sembahyang untuk pernikahan."
"Apa" Jangan kalian main main!" Sin tung Lo kai membentak dan sepasang alisnya telah berdiri.
Leng Li menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya, di sebelah Pun Hui yang masih berlutut. Gadis ini telah melihat ayahnya hendak marah, maka cepat cepat ia mendahului ayahnya dan berkata, "Ayah, harap ayah saka mendengarkan dengan sabar. Tadi memang aku dan Hui ko bersembahyang, akan tetapi untuk bersumpah mengangkat saudara."
"Kau gila!" "Tidak, ayah. Semua ini untuk kebaikan kita bersama. Aku dan Hui ko memang sudah menganggap seperti saudara sendiri dan kebetulan kami berdua tidak mempunyai saudara. Kami berdua amat berterima kasih atas kehendak ayah yang amat baik, akan tetapi kalau hal itu dipaksakan, akan banyak mendatangkan hal hal yang tidak menyenangkan, ayah."
"Bicaralah yang jelas!" kata Sin tsng Lo kai yang masih belum padam api kemarahannya.
"Pertama tama, anak sendiri memang belum ingin menikah."
"Anak bandel!" "Kedua kalinya, Hui ko telah bertunangan dengan nona Siauw Yang, puteri dari Thian te Kiam ong. Oleh karena itu kalau ayah memaksa kami menikah, tidak saja ayah berarti akan menyusahkan hatiku, juga ayah akan menanam bibit permusuhan dengan keluarga Thian te Kiam ong."
"Aku tidak takut." Sin tung Lo kai berkeras kepala.
"Aku percaya bahwa ayah takkan takut. Akan tetapi, bukankah maksud ayah menikahkan aku hanya karena ayah hendak melihat anakmu hidup berbahagia" Aku tidak ingin menikah, kalau ayah memaksaku dan kemudian timbul permusuhan yang tiada habisnya, bagaimana aku berbahagia" Sekarang aku berbahagia. Aku tidak usah menikah, mendapat saudara tua yang amat baik seperti Hui ko, dan dengan keluarga Song kita semua mempunyai bubungan amat baik."
Sin tung Lo kai termenung dan merasa dikalahkan oleh puterinya sendiri, ia mengangkat bangun puterinya dan memegang kedua pundak Leng Li, menatap wajah puterinya dengan tajam. Leng Li yang melihat tarikan muka ayahnya, menjadi terharu dan dua titik air mata melompat keluar dari sepasang matanya.
"Leng Li, apakah kau tidak membohong" Apakah kau tidak melakukan semua ini untuk berkorban" Apakah hati mu tidak merasa sakit dan terluka" Bukankah kau suka kepada Pun Hui?"
Dengan air mata mengalir akan tetapi bibir tersenyum, gadis itu mengangguk anggukkan kepalanya. "Tentu saja aku suka padanya, ayah. Kalau tidak masa aku mau menjadi adik angkatnya" Tentang jodohku, kelak Hui ko tentu akan dapat mencarikan untukku, bukan begitu, Hui ko?"
"Aku bersumpah untuk menjaga dan membela adik Leng Li seperti adik kandungku sendiri, ayah," kata Pun Hui dengan suara bersungguh sungguh.
Sin tung Lo kai merasa terharu dan ia lalu mengangkat bangun pemuda itu, dipeluknya bersama Leng Li di kanan kiri.
"Bagus, aku mendapat seorang putera! Akan tetapi mulai sekarang kau harus belajar silat, tidak suka aku mempunyai putera yang lemah!"
Demikianlah, Pun Hui telah tertolong dari keadaannya yang sulit sekali berkat kecerdikan Leng Li. Leng Li khawatir kalau kalau ayahnya menjadi curiga dan mengerti bahwa pengangkatan saudara itu hanya sebagai akal belaka, maka ia membujuk kepada Pun Hui supaya untuk sementara waktu mau tinggal di situ dan menurut saja mempelajari ilmu silat.
Pun Hui pernah mendapat petunjuk tentang ilmu silat dari Siauw Yang. Pengetahuannya tentang kauwkoat (teori ilmu silat) sudah mendalam sehingga ketika Leng Li mengajarnya, gadis ini menjadi tercengang.
"Pengertianmu sudah luas sekali tentang pokok pokok ilmu silat!" kata gadis ini sambil membelalakkan matanya yang bening.
Pun Hui tersenyum. "Aku hanyalah seorang kutu buku dan seorang terpelajar, pengetahuanku itu hanya sampai di dalam otak saja, tidak mendarah daging."
Leng Li lalu memberi pelajaran praktek kepada pemuda ini dan ternyata bahwa Pun Hui dapat melatih ilmu silat dengan cepat.
Beberapa hari kemudian, pada suatu senja Sin tung Lo kai sendiri perkenan mengajar ilmu silat kepada Pun Hui Kakek ini sikapnya biasa dan ia mulai merasa suka kepada pemuda yang pandai membawa diri ini.
"Leng Li berbakat, akan tetapi ia tidak cukup kuat untuk mewarisi seluruh kepandaianku. Kulihat kau berbakat baik dan kau masih mempunyai darah dan pikiran yang bersih. Juga semangatmu besar, maka kaulah kelak yang akan mewarisi kepandaianku," kata kakek ini kepada Pun Hui.
Kemudian ia mulai memberi petunjuk tentang kedudukan kaki dan tubuh dalam bersilat dan mainkan ilmu tongkatnya yang istimewa. Dengan taat, sungguhpun ia tidak begitu suka mempelajari ilmu silat, Pun Hui memperhatikan dan mencontoh petunjuk petunjuk itu.
Selagi mereka bermain silat di taman bunga tiba tiba terdengar suara nyaring.
"Liem suheng, mari kita pergi dari sini!" Maka melayanglah seorang gadis bertubuh langsing memasuki taman itu.
"Kau ...?" Pun Hui berseru dan semua kegirangan dan kerinduan terkandung dalam suara ini.
"Song lihiap!" kata Leng Li ketika melihat gadis yang datang ini.
Adapun Sin tung Lo kai tersenyum mengejek dan berkata, "Hm, kiranya nona Song yang datang tanpa diundang. Apakah kehendakmu?"
Siauw Yang, gadis yang baru datang itu memandang dengan tajam dan dan pandangan matanya. Pun Hui maklum bahwa gadis ini penuh kemarahan dan kecurigaan.
"Aku datang untuk mengajak Liem suheng pergi dari sini. Mengapa mesti menunggu undangan?"
"Nona, kau kurang ajar sekali! Mengherankan sekali kalau ayahmu tidak akan marah kepadamu kalau dia melihat sikapmu sekarang ini. Kau hendak mempergunakan paksaan membawa pergi Pun Hui dari sini?" Tanya Sin tung Lo kai yang kelihatan marah juga sehingga diam diam Leng Li merasa amat khawatir dan gelisah.
"Siapa mulai mempergunakan kekerasan" Suhengku ini dengan paksa diculik pergi oleh puterimu, kalau aku sekararg bersikap keras pula membawanya kembali, kau mau apa?" Sambil berkata demikian, Siauw Yang karena merasa amat panas hati dan penuh cemburu terhadap Leng Li, melirik ke arah Leng Li sambil mencabut pedang Kim kong kiam.
Muka Leng Li menjadi merah sekali ketika ia mendengar ini dan sambil menundukkan mukanya ia berkata lirih,
"Song lihiap, harap kau jangan salah duga. Aku hanya menolongnya dari bahaya ketika kami diserbu oleh anak buah Pangeran Ciong, lalu membawanya ke sini. Baiknya di tengah jalan kami bertemu dengan ayah dan mendapat pertolongannya. Harap kau jangan menyangka yang tidak tidak."
"Siapa menyangka yang tidak tidak" Aku hanya bicara sebetulnya saja. Bukankah kau memang membawa pergi Liem suheng secara paksa dan tidak membawanya kembali ke tempat semula" Marilah, Liem suheng, kita pergi dan sini dan jangan menanti keributan yang hanya akan menyebalkan saja." Sambil berkata demikian, Siauw Yang memandang kepada Pun Hui.
Pemuda ini menjadi bingung sekali. Ia girang bukan main melihat Siauw Yang masih selamat dan dapat bertemu di sini, akan tetapi suasana panas yang di bawa datang oleh Siauw Yang membuatnya gelisah.
"Baiklah, sumoi, memang akupun tentu akan mencarimu. Akan tetapi marilah kau bicara baik baik lebih dulu dengan kami. Perlu ada penjelasan penjelasan agar di antara kita tidak ada perasaan tidak enak."
"Apa kau bilang?" Sin tung Lo kai membentak marah kepada Pun Hui dan menggerak gerakkan tongkatnya. "Kau hendak pergi begitu saja" Kau adalah puteraku dan kau harus taat kepadaku! Kalau kau harus pergi, hanya ada satu keputusan yakni bahwa kepalamu harus pecah lebih dulu oleh tongkatku! Hendak melihat siapa orangnya berani mencegah aku menghajar puteraku sendiri." Sambil berkata demikian, Sin tung Lo kai melirik ke arah Siauw Yang dengan sikap menantang.
Tentu saja Siauw Yang menjadi heran dan marah. Akan tetapi kemarahannya jauh lebih besar daripada keheranannya, maka tanpa bertanya ia telah memegang gagang pedangnya erat erat dan matanya bernyala nyala ditujukan kepada Sin tung Lo kai.
"Sumoi, sabar dulu.... !" kata Pun Hui.
"Kau benar benar hendak menjadi seorang anak yang tidak berbakti dan berkhianat?" Sin tung Lo kai membentak dan melangkah maju. Siauw Yang juga melangkah maju, siap untuk melindungi pemuda itu.
"Tidak sama sekali, ayah, aku hanya hendak memberi penjelasan kepadanya," kata Pun Hui. Kemudian ia berpaling kepada Siauw Yang dn berkata, "Sumoi, ketahuilah bahwa aku telah menjadi anak angkat dan Sin tung Lo kai dan Leng Li adik angkatku."
"Nah, sekarang akan kutanya apakah kau masih hendak mencampuri urusan rumah tangga kami" Aku melarang puteraku pergi, dan kau mau apa?" kata Sin tung Lo kai kepada Siauw Yang dengan sikap mengejek.
Merah bukan main muka Siauw Yang demi mendengar ini ia marah, akan tetapi ia lebih heran dan menyesal mendengar pengakuan Pun Hai.
"Orang tua, kalau memang dia itu sudah menjadi puteramu, akupun tidak sudi mencampuri nya lagi. Aku bukanlah orang yang tidak tahu aturan." Akan tetapi baru sampai di sini kata kata Siauw Yang, Sin tung Lo kai yang merasa menang kedudukan dan mendapat angin, lalu memotong nya,
"Kalau sudah begitu, tidak lekas pergi dari sini mau tunggu apa lagi?"
Bukan main mendongkolnya hati Siauw Yang. Ia telah merasa amat kecewa kepada Pun Hui dan sekarang ia dihina pula oleh kakek itu. Sambil membanting banting kaki dan hampir menangis ia membentak,
"Orang tua, kita sudah tidak ada urusan apa apa mengenai diri orang muda ini. Akan tatapi kalau kau menghendaki pertempuran, mari kita keluar mengadu kepandaian sampai seribu jurus!"
"Siapa takut padamu, bocah sombong" Kau berkepandaian karena puteri Thian te Kiam ong, akan tetapi kau perlu diberi ajaran sopan santun!" Sin tung Lo kai sudah memuiar tongkatnya. Akan tetapi sebelum dua orang jagoan ini bertanding, Pun Hui sudah menjatuhkan diri berlutut di depan ayah angkatnya,
"Ayah, mohon jangan angkat tangan bertempur dengan dia. Maafkanlah dia ayah...."
"Kau mintakan maaf untuk seorang yang berlaku kurang ajar kepada ayahmu?"
"Ayah, jangan bertempur dengan dia. Aku... aku cinta padanya, ayah...."
Semua orang, kecuali Leng Li, tertegun mendengar ini. Dan Siauw Yang dengan perlahan menengok kepada Pun Hui, kemudian menahan jatuhnya air mata dan sekali berkelebat ia lenyap dari situ.
"Siauw Yang.... !" Pun Hui memanggil, akan tetapi gadis itu sudah pergi jauh dengan cepat sekali.
Sin tung Lo kai tertawa bergelak. "Ha, ha, ha, ha! Leng Li keras kepala, akan tetapi kau lebih keras kepala lagi. Akan tetapi, aku suka pada anak anak yang keras hati dan bersemangat. Dan kau dapat membawaku menjadi besan dari Thian te Kian ong. Tidak jelek, tidak jelek, ha, ha, ha!"
"Ayah, harap jangan mengharap hal ini sebagai main main belaka. Siauw Yang sudah marah dan kalau sampai aku terpisah selamanya dari Siauw Yang, hidupku akan menderita sengsara," kata Pun Hui.
"Anak bodoh! Soal perjodohan, kau dan dia tahu apa" Aku masih hidup, dan Thian te Kiam ong masih hidup pula. Biarkan dia datang membicarakan urusan ini, baru aku akan dapat mengangkat namaku. Bagus sekali!"
Pun Hui tak berani membantah lebih jauh karena ia mendapat isarat kerlingan mata dari Leng Li, maka pemuda ini yang sudah percaya akan kecerdikan adik angkatnya, lalu menutup mulut, ia tahu bahwa dalam hal urusannya dengan Siauw Yang, ia boleh mengharapkan bantuan dari Leng Li.
Sebagaimana telah ditularkan d bagian depan, Ong Siang Cu ikut pergi dengan Bong Eng Kiat menuju ke dusun Tiang kwan, di mana di rencanakan akan dilakukan upacara pernikahan mereka. Dapat dibayangkan betapa hancurnya hati Siang Cu ketika ia melakukan perjalanan di samping pemuda yang dibencinya itu.
Ia telah rela berkurban demi keselamatan Tek Hong, pemuda yang dicintainya, ia telah bersumpah mau menjadi isteri Eng Kiat dan ia tahu bahwa sumpah ini hanya berarti bahwa dia pasti mati. Dia tidak akan sudi diperisteri oleh Eng Kiat atau siapapun juga kecuali Tek Hong, maka ia lebih baik membunuh diri daripada menjadi jodoh Eng Kiat. Ia akan menghabiskan nyawanya setelah ia melihat betul bahwa kekasihnya itu benar benar telah disembuhkan oleh Tung hai Sian jin. Tentu saja ia bisa melanggar sumpahnya, akan tetapi hal inipun tidak akan ia lakukan. Jalan satu satunya hanya menghabiskan nyawa sendiri, dengan demikian, Tek Hong tertolong dan iapun terbebas dari pada sumpahnya menjadi isteri Eng Kiat.
Akan tetapi masih ada yang mengganjal hatinya, yakni urusan gurunya, Lam hai Lo mo. Telah berkali kali ia membaca surat Pangeran Kiam Tiong kepada Song Bun Sam yang sampai sekarang masih berada di saku bajunya. Kalau ia mati sebelum dapat menanyakan hal itu kepada Lam hai Lo mo ia akan mati dalam penasaran.
"Adik Siang Cu, mengapa kau melamun dan nampak berduka saja?" tiba tiba Eng Kiat yang semenjak tadi memandangnya, bertanya dengan suara halus penuh kasih sayang. Suara ini lebih menyebalkan hati Siang Cu daripada kalau pemuda itu bicara kasar.
"Siapa melamun" Siapa berduka" Perduli apa kau dengan semua urusan" Tak usah kau memperhatikan aku!" katanya ketus. Hening sesaat dan pada saat itu. Siang Cu terbenam dalam renungannya sendiri, karena ia sedang memikirkan sesuatu yang tiba tiba memasuki otaknya.
"Bagaimana aku tidak harus perduli" Aku cinta padamu, adik Siang Cu yang manis."
Akan tetapi kata kata yang halus dari Eng Kiat ini hampir tidak terdengar oleh Siang Cu yang sedang melamun dan tiba tiba gadis ini berpaling padanya sambil menahan tindakan kakinya.
"Eng Kiat, betul betulkah kau suka padaku?"
"Aku bersumpah, demi langit dan"."
"Cukup! Kalau kau suka padaku, tentu kau mau menceriterakan terus terang segala yang ingin kuketahui?"
"Tentu, tentu!"
"Sudah lama kau mengenal Lam hai Lo mo suhuku?"
"Semenjak aku kecil! Akan tetapi tentu saja yang lebih mengetahui keadaannya adalah ayahku, mereka semenjak dahulu sudah saling tahu."
"Hm, kalau begitu, ceritakan padaku tentang halnya dengan sepasang suami isteri bangsawan, yakni Pangeran Kian Tiong dan Puteri Luilee."
Berobah air muka Eng Kiai ketikjt ia mendengar ini. Sampai lama ia tidak dapat menjawab dan memandang kepada gadis itu dengan penuh keraguan.
"Kau.... sudah tahukah tentang". tentang mereka?" kata pemuda itu gagap dan matanya memandang dengan mata terbuka lebar lebar.
Melihat sikap dan mendengar kata kata pemuda itu, Siang Cu yang cerdik sekali dapat menduga bahwa pemuda itu tentu tahu akan peristiwa yang terjadi antara kedua suami isteri bangsawan itu dengan Lam hai Lo mo dan bahwa pemuda ini hanya takut untuk menceritakan hal itu kepada lain orang. Maka ia lalu berkata,
"Tentu saja aku tahu. Mereka itu adalah ayah bundaku dan aku dibawa oleh suhu dari kerajaan. Akan tetapi pengetahuanku ini baru suram suram saja, maka berlakulah baik kepadaku seperti janjimu tadi bahwa kau akan menceriterakan segala yang kau ingin tahu. Aku ingin kau menuturkan tentang kedua orang tuaku itu dan tentang kematian mereka di tangan Lam hai Lo mo suhuku."
Eng Kiat menjadi bengong. "Jadi selama ini kau telah tahu akan hal itu" Adikku Siang Cu, memang akupun tahu baik akan hal itu! akan tetapi biarpun terhadap kau sendiri, tadinya aku sama sekali tidak membuka mulut karena Lam hai Lo mo telah berkata bahwa siapa saja yang membocorkan hal yang ia rahasiakan itu, pasti akan dibunuhnya! Jangankan aku, bahkan ayahku sendiripun takkan mau membocorkan rahasia itu. Akan tetapi, sekarang ternyata kau sendiri telah mengetahuinya, tidak ada salahnya lagi kalau aku menuturkan hal itu. Apalagi, bukankah kau calon isteriku yang tercinta?"
"Cukup semua itu, lekas ceritakan!" Siang Cu mendesak sambil menahan perasaannya yang menegang.
"Sebetulnya tidak banyak yang dapat kuceritakan. Ayahmu seorang pangeran berkedudukan tinggi di kota raja, bahkan ada desas desus bahwa ayahmu itulah yang tadinya akan menggantikan singgasana kaisar. Adapun ibumu, pernah ketika aku masih kecil aku melihatnya, seorang yang amat cantik jelita, sama benar dengan engkau, hanya matanya berwarna biru dan indah sekali. Ibumu adalah puteri kepala suku bangsa Semu yang amat ternama pula. Hal hal lain aku tidak tahu, hanya yang aku ketahui bahwa ketika kau masih kecil, ayah bundamu itu didatangi oleh seorang kakek pincang yang membunuh mereka dan membawamu pergi. Ayah melihat ketika kakek pincang itu membawamu ke Sam liong to, oleh karena itu, Lam hai Lo mo mengancam ayah dan aku jangan sampai membocorkan rahasia itu. Nah. hanya itu yang kuketahui. Siang Cu, tidak penting bagimu karena kaupun sudah mengetahuinya." Dengan kata kata ini sambil berpaling ke kanan kiri, seakan akan Eng Kiat hendak menghihur hatinya yang ketakutan bahwa bukan dia yang membocorkan rahasia Lam hai Lo mo itu.
Siang Cu tersenyum mengejek menyaksikan sikap ini, akan tetapi di dalam hatinya, Siang Cu merasa terharu sekali. Ternyata betullah semua yang ia dengar dari Thian te Kiam ong sekeluarga, bahwa pembunuh orang tuanya bahkan suhunya sendiri.
"Akan tetapi, mengapa suhu melakukan pembunuhan itu semua" Tentu ada sebab sebabnya maka kedua orang tuaku dibunuhnya."
"Semua adalah kesalahan Thian te Kiam ong belaka! Memang orang itu selalu mengandalkan kepandaiannya sendiri melakukan pengacauan di mana mana, membikin hidup orang lain tidak bisa tenteram. Aku mendengar dan ayah bahwa dahulu Lam hai lo mo membantu kerajaan. bersama dengan Pat jiu Giam ong yang menjadi jenderal. Akan tetapi kedudukan Lam hai Lo mo yang amat baik itu dirusak oleh Thian te Kiam ong yang memusuhinya, bahkan akhirnya baik Pat jiu Giam ong maupun suhumu telah dikalahkan oleh Thian te Kiam ong secara curang. Kabarnya dikeroyok oleh Thian te Kiam ong dan guru gurunya. Adapun ayahmu, Pangeran Kian Tiong itu, bersahabat baik sekali dengan Thian te Kiam ong. Tentu saja suhumu yang menaruh hati dendam kepada Thian te Kiam ong, juga menganggap kawan kawan baik Thian te sebagai musuhnya pula."
Siang Cu mengangguk angguk. Pikirannya bekerja keras. Ia dapat membayangkan dengan amat mudahnya mengapa Thian te Kiam ong sampai bermusuhan dengan Lam hai Lo mo. Sudah bukan rahasia lagi baginya bahwa watak dari suhunya itu memang amat jahat dan keji, sebaliknya watak dari keluarga Song adalah watak orang orang gagah yang amat mengagumkan hatinya, ia sudah kenal baik watak Tek Hong pemuda pujaan kalbunya, ia membuktikan sendiri kegagahan Seng Bun Sam atau Thian te Kiam ong, raja pedang yang luar biasa itu. Ia telah tahu pula akan kehebatan sepak terjang Song Siauw Yang dan ibunya yang halus dan ramah tamah. Oleh karena itu, biarpun tidak tahu apa yang menjadi sebab sebab permusuhan antara suhunya dan keluarga Song. Siang Cu dapat menduga bahwa kesalahan tentu berada di pihak Lam hai Lo mo.
Semua pemikiran ini membuat hati Siang Cu tidak karuan rasanya. Kini sudah terang bahwa Lam hai Lo mo pembunuh ayah bundanya, jadi ia boleh menganggap kakek itu sebagai musuh besarnya yang harus dibalas. Akan tetapi di samping itu gadis ini tidak lupa pula betapa kakek itu telah memelihara dan mendidiknya semenjak ia masih kecil dengan penuh kasih sayang. Jadi boleh dibilang ia telah berhutang budi yang tak dapat dibayangkan besarnya kepada kakek yang menjadi gurunya itu. Mengapa demikian" Mengapa suhunya membunuh ayah bundanya secara kejam kemudaan memelihara dan mendidiknya menjadi murid" Apa yang dikehendaki oleh kakek yang aneh itu"
Tiba tiba terkilas dalam bayangan pikiran Siang Cu hal hal yang telah terjadi ketika ia masih kecil. Sering kali gurunya itu sambil menimang nimangnya dan tertawa berkikikan berkata kepadanya,
"Siang Cu, muridku yang manis, muridku yang pandai, muridku yang baik. Kaulah orangnya yang kelak akan mewarisi semua kepandaianku, bahkan kau akan menjadi lebih lihai daripadaku. Kaulah, ya kaulah orangnya yang kelak akan membalaskan sakit hatiku terhadap semua musuh musuhku! Ha, ha, ha, kaulah anak manis yang kelak akan membasmi seluruh musuh besar Lam hai Lo mo."
Teringat akan semua ini, diam diam Siang Cu bergidik. Mukanya menjadi merah sekali, ia merasa ngeri dan marah sekali karena matanya telah terbuka kini akan kekejian kakek yang menjadi gurunya itu. Demikian besar kebencian Lam hai Lo mo terhadap Thian te Kiam ong dan Pangeran Kian Tiong sehingga tidak saja kakek ini membunuh pangeran dan isterinya, akan tetapi bahkan mendidik puteri mereka untuk kelak memusuhi Thian te Kiam ong, sahabat baik pangeran itu.
"Keparat jahanam!" Tak terasa mulut gadis itu memaki gurunya.
"Memang betul, Thian te Kiam ong itu keparat jahanam yang mengacaukan segala hal." Bong Eng Kiat salah sangka mengira gadis itu memaki Song Bun Sam. "Akan tetapi sudahlah, adikku yang manis, untuk apa kita memikirkan dia" Begitu sesudah kita menikah, kita tidak mau mencampur semua urusan itu. Kita menjadi suami isteri yang bahagia menjauhkan diri dan aku akan berdagang, di mana kita tidak lagi menghadapi permusuhan permusuhan."
Siang Cu gemas sekali, akan tetapi kata kata ini menarik hatinya, ia memandang dengan penuh selidik.
"Kau tidak hendak mencari dan memusuhi keluarga Song itu?" tanyanya.
Eng Kiat menggeleng kepala dan tersenyum lalu mengulur tangan hendak menangkap lengan Siang Cu akan tetapi gadis itu cepat mengelak sehingga Eng Kiat menangkap angin.
"Siang Cu, apa kaukira aku seorang yang haus darah" Cita citaku adalah mencari kebahagiaan hidup, dan dengan kau di sampingku sebagai isteri terkasih, aku akan hidup bahagia, menjadi ayah dan beberapa orang anak...."
"Oh, tutup mulutmu!" bentak Siang Cu dengan muka merah. Akan tetapi timbul pandangan lain baginya terhadap pemuda ini. Pemuda ini betapapun juga mata keranjang dan ceriwisnya, namun tidak sejahat ayahnya dan jauh lebih baik apabila dibandingkan dengan Lam hai Lo mo. Ia percaya bahwa seorang pemuda beriman lemah seperti Eng Kiat, apabila mendapat bimbingan dari seorang yang penuh kasih sayang besar kemugkinan akan menjadi orang baik baik. Akan tetapi, tentu saja ia tidak sudi menjadi isteri Eng Kiat atau isteri siapapun juga kecuali Tek Hong.
Perjalanan dilanjutkan dengan cepat menuju ke Tiang kwan, dan di dalam perjalanan, Siang Cu jarang sekali membuka mulut lagi. Jawaban jawabannya yang ia ucapkan atas pertanyaan dan senda gurau Eng Kiat hanya singkat saja, bahkan tidak jarang ia tidak menjawab sama sekali oleh karena itu, Eng Kiat ingin cepat cepat tiba di tempat tujuan. Sebelum pernikahan dilangsungkan, hatinya masih terap gelisah, karena siapa tahu akan perobahan hati gadis yang aneh wataknya ini.
Beberapa hari kemudian, tibalah mereka di pinggir sebuah hutan di lereng pegunungan. Karena sudah melakukan perjalanan jauh, merela lalu mengaso di bawah sebatang pohon besar. Siang Cu mempergunakan saputangan untuk menghapus peluh di dahinya dan dengan sikap manja. Eng Kiat lalu mengeluarkan kipasnya dan mengipasi gadis itu untuk mengusir hawa panas.
Terharu juga hati Siang Cu melihat pemuda ini. Makin lama sikap Eng Kiat makin baik dan mengambil ambil hatinya, padahal ia selalu bersikap tidak mengacuhkan. Seringkali di waktu bermalam di dalam hutan, setelah Siang Cu tertidur, Eng Kiat mempergunakan mantelnya untuk menyelimuti tubuh gadis itu dan ia berjaga semalam suntuk untuk mengusir nyamuk yang hendak menggigit kulit yang halus dan putih dari kekasihnya.
"Eng Kiat, kau tahu bahwa aku tidak suka padamu. Mengapa kau mati matian hendak mengawiniku?" Siang Cu bertanya dengan nada suara mengandung iba hati.
Eng Kiat tersenyum pahit. "Bagaimana seorang kasar dan bodoh seperti aku dapat mengharapkan cinta seorang seperti kau, Siang Cu" Mendapat kesempatan untuk mencintamu itu saja sudah merupakan kebahagiaan paling besar di dalam hidupku."
"Akan tetapi, kau tahu bahwa aku hanya mau menikah padamu karena terpaksa, karena cinta kasihku kepada Tek Hong, karena aku tidak ingin melihat ia mati. Aku lakukan ini sebagai pengorbananku terhadap Tek Hong. Adakah hal ini tidak menyakitkan hatimu?"
"Akan tetapi, kalau sampai Tek Hong tidak tertolong oleh ayahmu dan tidak dapat hadir ketika perayaan pernikahan dilangsungkan, tidak saja aku takkan sudi melakukan upacara itu, bahkan kau akan kubinasakan, Eng Kiat!" Siang Cu memandang tajam penuh ancaman.
Eng Kiat tertawa, "Aku percaya akan kesayangan ayah padaku. Dia pasti akan menyembuhkan pemuda itu."
"Akan tetapi masih ada sebuah syarat lagi, Eng Kiai. Sebelum upacara itu dilakukun lebih dulu aku harus bertemu dengan Lam hai Lo mo."
Eng Kiat terkejut. "Untuk apa kau akan bertemu dengan kakek buntung itu?"
"Untuk mendapat kepastian daripadanya apakah benar benar dia telah membunuh orang tuaku dan kalau benar demikian, hendak menuntut keterangan mengapa ia melakukan hal yang keji itu."
Eng Kiat tak dapat menjawab dan pada saat itu, terdengar suara ketawa terkekeh kekeh disusul oleh suara yang parau.
"Ha, ha, ha, bohong! Bohong benar ucapan itu. Siapa yang membunuh orang tuamu?"
Mendengar suara ini, serentak Siang Cu melompat bangun dan di lain saat pedangnya Cheng hong kiam sudah tercabut dan berada di tangan kanannya.


Pedang Sinar Emas Kim Kong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayangan kakek berkaki buntung sebelah melayang turun dari atas pohon besar dan Lam hai Lo mo berdiri di depan dua orang muda itu sambil mempermainkan tongkatnya.
"Siang Cu, kau tadi bicara tidak karuan. Kalau kau mau tahu, yang membunuh orang tuamu adalah Thian te Kiam ong ong Bun Sam! Sedangkan akulah yang menolongmu sehingga kau terbebas dari bahaya maut di tangan penjahat itu."
"Lam hai Lo mo, kau bohong, kau jahanam besar!" seru Siang Cu yang tak dapat mengendalikan hawa nafu kemarahannya lagi.
"Siang Cu, kau kurang ajar! Mana ada murid berani mengatakan bohong kepada suhunya?"
"Memang kau pembohong besar! Kau memutarbalikkan kenyataan. Kaulah yang membunuh mati ayah bundaku lalu menculikku. Apakah kau begitu pengecut tidak berani mengakui perbuatanmu?"
"Siapa bilang" Hayo katakan, siapa bilang?"
"Eng Kiat yang menjadi saksi, Eng Kiat dan ayahnya!"
Merah muka Lam hai Lo mo seperti kepiting direbus. Dengan muka mengancam ia menoleh kepada Eng Kiat dan memaki,
"Anjing busuk! Kau yang membuka rahasia?" Kau dan ayahmu" Kalau begitu kepalamu akan pecah, begitupun kepala ayahmu!"
Melihat betapa wajah Eng Kiat menjadi pucat sekali dan pemuda itu melangkah mundur ketakutan. Siang Cu menjadi kasihan dan ia teringat bahwa tidak seharusnya ia mengatakan bahwa Eng Kiat yang membuka rahasia itu. Maka ia melompat maju di depan Lam hai Lo mo sambil membentak,
"Lam hai Lo mo, tak usah kau membelokkan persoalan! Kau pembunuh orang tuaku, maka sekarang aku harus mengadu nyawa denganmu!" Setelah berkata demikian, Siang Cu terus saja menyerang dengan pedangnya menusuk kearah dada bekas guunya itu secepat kilat.
Kakek yang buntung sebelah kakinya itu cepat melompat dan mengelak sumbil membentur pedang bekas muridnya dengan tongkat di tangannya. Lalu ia mengeluarkan suara yang aneh, terdengar seperti suara tertawa dan menangis campur aduk.
"Alangkah buruknya nasibku! Seagala kepandaian yang kuajarkan kepadamu, ternyata sekarang dipergunakan untuk menyerangku sendiri."
Tertikam hati Siang Cu mendengar ini dan mukanya menjadi merah. Akan tetapi sambil mengertak giginya ia berkata.
"Kebaktian terhadap orang tua jauh lebih berharga daripada kebaktian terhadap guru. Kau haru menebus dosamu terhadap ayah bundaku." Lagi lagi ia menyerang, kini dengan sabetan pedang nya ke arah kakek itu.
Sebagai orang yang memberi pelajaran ilmu pedang kepada Siang Cu tentu saja Lam hai Lo mo tahu sepenuhnya segala macam sifat penyerangan pedang gadis itu, maka kembali ia dapat mengelak dengan baiknya. Akan tetapi dengan gerakan yang lebih ganas lagi Siang Cu menyerang untuk ke tiga kalinya. Lam hai Lo mo menangkis dan timbullah marahnya.
"Kau sudah bosan hidup dan hendak menyusul kedua orang tuamu" Baik, kuantarkan kau menjumpai mereka!" Tongkatnya lalu begerak cepat dan kini bekas guru dan murid itu saling gempur dengan hebatnya.
Siang Cu memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya, dan boleh dibilang kecepatan gerakannya sudah mengatasi suhunya. Hal ini karena memang ia berbakat baik sekali dan jauh lebih muda serta memiliki tubuh yang lemas dan gesit. Akan tetapi semua gerakan pedangnya telah dipahami baik oleh Lam hai Lo mo, sebaliknya penyerangan tongkat di tangan kakek itu memiliki banyak gerakan yang belum dimengerti oleh Siang Cu. Oleh karena ini, sebentar saja gadis itu terdesak hebat.
"Jangan bunuh isteriku........ jangan bunuh dia!" Berkali kali Eng Kiat menjerit jerit dengan hati gelisah, akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak berani menggerakkan tangannya untuk membantu Siang Cu. Memang, biarpun ia telah memiliki kepandaian yang tinggi, namun sifat pengecutnya masih ada. Tidak ada kepandaian yang dapat melenyapkan sifat seseorang dan Eng Kiat memang amat takut terhadap kakek buntung ini.
Dengan tongkat Lam hai Lo mo masih belum dapat membobolkan pertahanan pedang di tangan Siang Cu. Agaknya kalau hanya mengandalkan tongkatnya, kakek buntung ini akan sukar sekali atau setidaknya akan lama sekali untuk dapat merobohkan bekas muridnya. Maka dengan gemas sekali ia lalu mulai mainkan tangan kirinya, melakukan pukulan pukulan Sam hiat ci hoat.
Siang Cu terkejut sekali. Belum pernah ia mempelajari ilmu pukulan ini sungguhpun dahulu ia telah mendengar dari suhunya itu ketika Lam hai Lo mo tengah menciptakan ilmu pukulan yang hebat ini. Keadaan Siang Cu makin terdepak dan dalam jurus ke limapuluh lebih, tiba tiba ketika sepasang senjata bertemu dan saling menempel, jari jari tangan kiri kakek itu melayang dan menyentuh jidat Siang Cu yang berkulit putih halus. Gadis itu mengeluh, pedangnya terlepas dan tubuhnya terhuyung huyung lalu roboh. Wajahnya yang putih kemerahan berubah menjadi kebiruan dan jidatnya nampak tanda tiga buah jari merah.
Setelah merobohkan bekas muridnya, Lam hai Lo mo berdiri bagaikan patung, memandang kepada tubuh yang menggeletak itu dan butiran butiran air mata mengalir turun dari matanya. Teringat ia betapa dahulu ketika masih kecil, Siang Cu ia timang timang dengan penuh kasih sayang. Kemudian ia teringat kepada Eng Kiat yang berdiri sambil menangis keras.
"Kau.... anjing busuk, kaulah biang keladi semua ini.... !" kata Lam hai Lo mo yang melangkah maju menghampiri Eng Kiat dengan tindakan lambat.
"Tidak.... tidak.... aku tidak bersalah...." Eng Kiat mundur dengan muka pucat, menggoyang goyangkan kedua tangannya dan tubuhnya gemetar.
"Kau harus mampus!" berkali kali Lam hai Lo mo menggumam dan terus mengikuti pemuda itu.
Saking takutnya, Eng Kiat lalu membalikkan tubuhnya dan lari. Akan tetapi, baru beberapa langkah ia berlari, tiba tiba ia merasa pundak kanannya sakit sekali dan ternyata bahwa tongkat kakek itu telah dilontarkan dan menembus pundak tepat di bawah tulang pundaknya. Sakitnya bukan main sehingga tubuh Eng Kiat terhuyung huyung dan matanya menjadi berkunang kunang. Ia lebih mempercepat larinya, akan tetapi karena ia sudah pening dan pandang matanya gelap, ia lupa bahwa tadi dalam terputar putar, ia menghadapi Lam hai Lo mo sehingga ketika ia lari cepat ia bukan menjauhkan diri, sebaliknya menghampiri kakek itu. Ia mendapatkan kenyataan ini setelah terlambat, ia hanya mendengar suara kakek itu tertawa menyeramkan dan ketika ia membuka mata lebar lebar, kakek itu telah berada di depannya dan pada waktu tangan kanan kakek itu meluncur ke depan, terdengar suara "krek!" dan robohlah tubuh Eng Kiat setelah tersentak ke belakang. Jidatnya telah terkena pukulan Sam hiat ci hoat dengan hebatnya sehingga biarpun kulit jidatnya tidak rusak, namun seluruh isi kepalanya telah hancur. Ia menggeletak tak bernyawa lagi dengan seluruh kepala menjadi hitam dan jidatnya terhias tanda tiga buah jari merah.
Lam hai Lo mo mencabut tongkatnya dari pundak Eng Kiat, lalu memandang tubuh Siang Cu beberapa lama. Kemudian ia pergi, bicara seorang diri di dalam perjalanan. Suara penuh ancaman.
"Bun Sam, kau sekeluarga mu harus mampus"."
Pada saat itu terdengar jerit mengerikan.
"Siang Cu.... !"
Ketika Lam hai Lo mo menengok wajahnya berobah seram, ia melihat seorang pemuda tegap, dan tampan memeluk tubuh Siang Cu sambil menangis. Ternyata bahwa pemuda itu bukan lain adalah Tek Hong, putera dan Thian te Kiam ong Song Bun Sam! Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, setelah meninggalkan Tung hai Sian jin yang tewas karena ketamakannya sendiri, Tek Hong cepat cepat mengejar Siang Cu yang pergi bersama Eng Kiat. Pemuda ini amat khawatir akan keselamatan kekasihnya, maka ia melakukan perjalanan cepat sekali tanpa menunda nunda. Oleh karena itulah maka ia dapat menyusul Siang Cu dan Eng Kiat. Namun sayang sekali, ia terlambat sedikit sehingga ketika tiba di dekat hutan itu, ia mendapatkan dua tubuh menggeletak di atas tanah. Ketika melihat bahwa yang menggeletak itu adalah Siang Cu dan Eng Kiat, ia cepat menubruk Siang Cu dan memeluknya sambil menangis.
"Siang Cu.... kau, kenapakah.... ?"
Gadis itu belum tewas. Pukulan Sam hiat ci hoat yang mengenai jidat Eng Kiat jauh lebih hebat sehingga pemuda itu tewas pada saat itu juga. Akan tetapi pukulan yang ditujukan kepada Siang Cu, biarpun amat hebat namun belum cukup kuat untuk menewaskan gadis itu seketika.
Siang Cu membuka matanya dan ketika melihat wajah Tek Hong dekat dengan wajahnya, ia tersenyum dan sepasang mata yang tadinya sudah menyuram itu bersinar kembali untuk beberapa lama.
"Tek Hong.... sampai akhir.... aku tetap setia.... pada cintaku...."
Tek Hong mendekap kepala di pangkuannya itu ke dada, seakan akan takut kalau kalau gadis itu akan lenyap dari depannya.
"Siang Cu.... Siang Cu, kau jangan meninggalkan aku...."
"Aku akan menantimu...." kata kata Siang Cu makin lemah dan tiba tiba sepasang mata gadis itu terbuka lebar lalu ia menjerit, "Tek Hong, awas belakang! Hati hatilah!" Lalu ia terkulai, dan tak dapat bergerak lagi.
Tek Hong cepat melompat sambil melepaskan tubuh Siang Cu karena ia merasa ada sambaran angin dari belakang. Sambil mempergunakan gerak tipu It ho hoan sin (Burung Ho Membalikkan Tubuh) ia membalik sambil mencabut pedangnya. Baiknya ia berlaku cepat karena sebatang tongkat menyambar cepat sekali ke arah kepalanya dan mendatangkan angin yang dingin.
"Lam hai Lo mo, siluman tua. Kiranya kau yang telah menewaskan Siang Cu. Rasakan pembalasanku!" Tek Houg menyerang tanpa banyak cakap lagi. Pemuda ini menyerang dengan penuh semangat. Memang ilmu pedangnya Tee coan Liok kiam sut luar biasa hebatnya, kini ditambah oleh dendam yang menggelora karena kematian Siang Cu, maka serangannya menjadi jauh lebih ganas dan berbahaya daripada biasanya.
Lam hai Lo mo juga tidak banyak komentar lagi ia maklum bahwa pemuda ini mencinta bekas muridnya dan maklum pula bahwa betapapun juga, putera Thian te Kiam ong ini tentu takkan mau menyerah begitu saja sebelum mengadu nyawa. Maka kakek inipun lalu mengeluarkan kepandaiannya dan kini pertempuran menjadi lebih hebat daripada tadi ketika Lam hai Lo mo menghadapi Siang Cu. Diam diam Lam hai Lo mo mengeluh karena menghadapi ilmu pedang pemuda ini mengingatkan dia akan ilmu pedang yang dimainkan oleh Sang Bun Sam, begitu tangguh dan kuatnya. Biarpun ia telah mengerahkan tenaga dan memutar tongkatnya dengan ilmu silatnya yang penuh keganasan dan kecurangan, namun tetap saja sinar pedang lawannya mengurungnya dan membuatnya menjadi bingung dan cepat lelah.
Tek Hong yang mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian disertai kenekatan yang meluap luap, tetap waspada, ia sudah maklum bahwa tangan kiri kakek buntung itu lihai sekali dalam mempergunakan ilmu pukulan Sam hiat ci hoat. Hal ini tidak memungkinkan Lam hai Lo mo untuk mempergunakan ilmu pukulan yang mematikan itu karena tiap kali tangan kirinya bergerak, selalu ia didahului oleh Tek Hong yang mempergunakan ilmu pukulan Kim kong pek lek jiu untuk menyerang tangan kiri lawan itu.
Akan tetapi, pemuda ini tentu saja kalah pengalaman dan ia lupa bahwa yang dihadapinya adalah Lam hai Lo mo, seorang tokoh jalan hitam yang di waktu dahulu sebelum ia lahir, sudah merupakan seorang tokoh yang amat berbahaya.
Tiba tiba Lam hai Lo mo memperlambat gerakannya, sepasang matanya memandang tajam seakan akan mengeluarkan cahaya berapi, bibirnya kemak kemik membaca mantera dan dengan mendadak ia berkata, suaranya dalam dan amat berpengaruh,
"Anak muda, Siang Cu memanggilmu apakah kau tidak dengar" Coba dengarkan baik baik ia memanggil dan minta petolongamu!"
Tek Hong tertarik dan merasa amat heran. Ia tahu bahwa tadi gadis itu telah menghembuskan napas terakhir, maka kini mendengar ucapan Lam hai Lo mo cepat ia melompat, membalikkan tubuh dan memandang ke arah gadis itu.
Sungguh luar biasa sekali. Tek Hong hampir tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Ia melihat Siang Cu telah bangun duduk, membetulkan rambutnya dengan gaya yang amat menggairahkan hatinya.
"Tek Hong, kesinilah...." Suara Siang Cu berbisik sayu.
"Tek Hong, ke sinilah...." Akan tetapi pada saat itu, Tek Hong masih dapat mengelak cepat untuk menghindarkan diri dari sambaran tongkat Lam hai Lo mo. Pemuda ini lalu membalas serangan lawan dan kembali mereka bertempur ramai dan seru.
"Dengar, dia memanggil manggilmu!" Berkali kali Lam hai Lo mo berkata dengan suaranya yang berpengaruh. Benar saja dalam menghadapi serangan serangan kakek itu, Tek Hong mendengar suara Siang Cu merayu rayu.
"Tek Hong kemarilah.... ! Tidak kasihankah kau kepadaku" Tolonglah...."
Tek Hong melompat sambil menangkis serangan tongkat Lam hai Lo mo dan sekali melompat ia telah berada di dekat Siang Cu. Akan tetapi ketika ia menengok, ia melihat gadis itu telah rebah kembali tak bergerak sedikitpun, dengan muka kebiru biruan dan pada jidatnya nampak tanda tiga jari tangan merah yang mengerikan itu.
"Siang Cu....!" dengan hati hancur Tek Hong menggunakan tangan kiri menggoyang goyangkan tubuh kekasihnya, akan tetapi ia segera menarik kembali tangannya ketika jari jarinya menyentuh kulit tubuh yang dingin seperti tubuh seorang yang telah mati! Teringatlah ia kini akan penuturan ayahnya bahwa Lam hai Lo mo adalah seorang ahli hoat sut (ahli sihir) yang memiliki ilmu hitam yang mujijat.
"Celaka!" pikirnya ketika ia merasa ada sambaran angin pukulan yang amat hebat dari belakang. Ternyata bahwa tadi dalam kebingungannya menghadapi ketangguhan pemuda itu, Lam hai Lo mo telah mempergunakan hoat sut sehingga dalam pandangan Tek Hong, Siang Cu kelihatan bangun duduk sedangkan telinganya seolah olah mendengar gadis itu memanggilnya dengan suara merayu. Dan pada saat pemuda itu mencurahkan perhatiaannya kepada gadis itu, Lam hai Lo mo segera mengirim pukulan pukulan mematikan!
Tek Hong cepat mengangkat pedang menangkis pukulan tongkat, akan tetapi ia tidak berhasil menghindarkan bahaya yang datang dan pukulan tangan kiri Lam hai Lo mo. Jidatnya terkena pukulan Sam hiat ci hoat dan tergulinglah tubuh pemuda itu, bergelimpangan di dekat tubuh Siang Cu!
Memang tadi Tek Hong sedang terkejut sekali ketika menjamah tubuh kekasihnya yang dingin, maka untuk seketika itu, perhatiannya terbagi dan ia tidak mungkin dapat menangkis dua macam serangan dari Lam hai Lo mo yang sangat ganas dan keji.
Pukulan Sam htat ci hoat yang mengenai jidat Tek Hong amat hebat dan pemuda ini biarpun telah mengerahkan tenaga dalam dan sudah pula mendapatkan sari pengobatan katak mujijat, tetap saja menjadi pening dan otaknya terluka hebat. Namun dalam keadaan hampir mati itu, Tek Hong masih sempat mempergunakan tenaga terakhir, melontarkan pedangnya ke arah Lam hai Lo mo dengan gerak tipu Kim coa jip te (Ular Emas Masuk Ke Dalam Tanah). Pedangnya berobah menjadi sinar yang cepat menyambar ke arah perut Lam hai Lo mo yang sedang tertawa bergelak melihat hasil dan kemenangannya. Bukan main kagetnya Lam hai Lo mo melihat datangnya sambaran pedang. Ia tidak mempunyai jalan lain kecuali melompat ke atas. Namun gerakannya kurang cepat karena tadi ia tertawa gembira sehingga perhatiannya berkurang, maka pedang itu masih berhasil menyerempet pahanya yang tinggal sebelah.
"Aduh...." jeritnya dan kulit pahanya terobek pedang sehingga mengeluarkan banyak sekali darah berceceran di atas tanah. Lam hai Lo mo menyumpah nyumpah dan lari masuk ke dalam hutan terpincang pincang.
Tek Hong makin pening dan pemuda ini lalu menghampiri tubuh kekasihnya, menubruk dan memeluk Siang Cu lalu roboh miring dengan tangan masih memeluk leher kekasihnya. Sebentar saja mukanya menjadi biru dan jidatnya terdapat tanda tiga buah jari tangan merah!
Dengan hati tidak karuan rasa, Siauw Yang berlari lari meninggalkan Sin tung Lo kai, mendongkol, kecewa, berduka dan banyak lagi perasaan tidak enak tercampur aduk di dalam hatinya. Juga ia merasa malu kepada diri sendiri, seakan akan telah menerima tamparan dari keluarga Thio dan dari Pun Hui, pemuda yang selalu menjadi buah kenangannya.
Berkali kali ia menggigit bibir dan menghapus air matanya. Dan tujuan perjalanannya hanya satu, yakni menyusul orang tuanya yang masih berada di Sam liong to.
Pada suatu hari ia memasuki sebuah dusun pegunungan yang banyak hutannya, ia melihat orang orang dusun bersimpang siur dan kelihatan ada terjadi sesuatu yang luar biasa.
"Lopeh, ada terjadi apakah maka kalian begitu sibuk dan bingung?" tanyanya kepada seorang tua petani yang kebetulan lewat di dekatnya.
Petani itu menoleh dan memandang kepadanya dengan sinar mata bercuriga dan ragu ragu.
"Aku paling tidak suka melihat orang berpedang atau bergolok. Sejak muda aku tidak suka melihatnya!" jawabnya ketus dan bersungut sungut.
Siauw Yang memang sedang mendongkol, maka jawaban yang langsung menyindirnya yang berpedang itu, membuatnya marah.
"Orang jahat terdapat di manapun juga." jawabnya, "bukan hanya dengan golok dan pedang orang dapat berbuat jahat, bahkan dengan sebatang paculpun orang dapat berbuat jahat. Lebih lebih lagi dengan mulutnya yang tidak dapat ditahan orangpun dapat menyakiti hati orang lain!"
Kakek itu tadinya hendak melanjutkan perjalanannya, akan tetapi jawaban Siauw Yang ini membuat ia menahan kakinya dan memandang lebih tajam.
"Eh, kau lain lagi dengan orang orang kang ouw biasa yang kasar, nona. Aku tadi katakan bahwa aku tidak suka kepada orang bersenjata memang beralasan, karena mereka itu selalu mendatangkan keonaran. Dan sekarang, kembali terjadi hal yang membikin ribut. Di luar dusun ini, di dekat hutan terdapat tiga mayat orang menggeletak dalam keadaan mati mengerikan sekali. Sayang.... yang dua orang masih pemuda pemuda teruna yang gagah dan tampan, dan yang seorang adalah gadis remaja yang amat cantik jelita. Semua ini gara gara pedang dan golok, bukankah itu tepat sekali kalau kukatakan bahwa aku tidak suka melihat orang orang berpedang atau bergolok?"
Siauw Yang tertarik hatinya. Memang ia tidak ingin melihat jenazah tiga orang yang menggeletak di luar dusun, akan tetapi penuturan tentang keadaan orang orang yang masih muda itu sedikitnya membuat ia bertanya lebih lanjut,
"Apanya yang mengerikan, lopeh" Apakah mereka itu terluka hebat oleh bacokan pedang dan golok?"
"Kalau terluka hebat masih tidak berapa mengerikan. Yang bikin orang takut adalah muka mereka itu semuanya menjadi hitam dan di jidat mereka terdapat tanda tiga jari yang merah.... ah, bergidik aku kalau mengingatnya."
Tanpa banyak cakap lagi, begitu mendengar keterangan ini, Siauw Yang berkelebat dan dalam sekejap mata saja ia lenyap dari hadapan kakek itu yang tentu saja menjadi melongo seperti orang melihat setan di tengah hari.
"Orang orang kang ouw memang aneh sekali.... " Ia menggerutu.
Dengan hati berdebar cemas, Siauw Yang lari keluar dan dusun menuju ke tempat di mana dikabarkan orang terdapat mayat tiga orang muda itu.
"Tentu korban dari Lam hai Lo mo si keparat...." pikir Siauw Yang, karena di antara para anggauta Sam hiat ci pai, yang masih hidup hanya Lam hai Lo mo dan Tung hai Sian jin saja. Akan tetapi ia tidak ragu ragu lagi akan kekejaman Lam hai Lo mo yang tidak segan segan mencabut nyawa orang sambil tertawa bergelak.
Setelah tiba di tempat itu, Siauw Yang melihat beberapa orang dusun merubung sesuatu, cepat ia mendorong mereka ke kanan kiri sehingga orang orang itu terhuyung mundur dan memberi jalan kepada nona cantik yang kedua lengannya kuat seperti jepitan baja itu.
"Thian Yang Agung....!" Siauw Yang menjerit ketika melihat kakaknya menggeletak dan memeluk Siang Cu. Gadis ini cepat berlutut dan menangis. Akan tetapi tiba tiba matanya menjadi beringas ketika ia melihat darah merah berceceran di atas tanah.
"Mundur kalian semua! Biarkan aku memeriksa jejak ini....!" bentaknya kepada para petani yang menonton.
Ternyata mata Siauw Yang amat tajam dan dengan cepat ia dapat mengikuti jejak yang dibuat oleh Lam hai Lo mo. Seperti sudah diceritakan di bagian depan, kakek jahat ini terluka pahanya dan luka itu mencucurkan banyak darah. Maka ketika ia masuk ke dalam hutan terpincang pincang, darah menetes dari pahanya dan meninggalkan jejak yang mudah diikuti oleh seorang yang cerdik dan awas pandangannya seperti Siauw Yang.
Gadis ini setelah mendapat kepastian bahwa ceceran darah itu membawanya ke hutan, lalu mengadakan penyelidikan dengan cepat. Benar saja dugaannya, ia melihat seorang kakek duduk di bawah pohon sambil membalut pahanya yang tinggal sebelah lagi, dan kakek itu duduk membalut paha sambil menangis!
"Siang Cu.... kau mengecewakan hatiku ! Ah, makin tua makin buruk nasibku...." Demikian Lam hai Lo mo mengeluh sambil menangis dan ia nampaknya demikian berduka sehingga tidak mendengar kedatangan Siauw Yang yang memandang gemas dan mencabut pedang.
"Lam hai Lo mo iblis tua yang keji! Kau telah menewaskan kakakku, rasakan pembalasanku!" Sambil berkata demikian. Siauw Yang menubruk dan langsung menyerang dengan pedangnya.
Lam hai Lo mo terkejut sekali dan cepat melempar tubuhnya ke samping lalu menggelundung dengan gerak tipu Trenggiling Menggelinding Dari Puncak. Berkat kecepatan gerakannya, baru ia terlolos dari pada bahaya maut karena serangan yang dilakukan oleh Siauw Yang tadi memang berbahaya sekali, penuh kegemasan dan keganasan.
Berapi api sepasang mata kakek itu ketika melihat siapa orangnya yang datang menyerang. Kemudian ia tertawa bergelak dan mukanya berobah girang.
"Ha, ha, ha, bagus! Masih baik nasibku sehingga tanpa dipanggil kau datang! Memang aku harus membasmi keluarga Song keparat! Keluargamu yang selalu mendatangkan malapetaka bagiku. Ha, ha, ha!"
"Tutup mulut dan mampuslah!" bentak Siauw Yang dan gadis ini cepat menyerang lagi sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya serta tenaganya. Pedangnya menjadi enam gulung sinar yang menyilaukan mata dan mengurung lawan dari segala jurusan. Setiap serangan membawa tangan maut karena kali ini Siauw Yang benar benar marah dan berhati hati dalam menggerakkan pedangnya, ia tidak mau mainkan jurus yang biasa, melainkan mengeluarkan jurus jurus dari Tee coan Liok kiam sut yang paling hebat.
Kalau dibandingkan dengan kepandaian Tek Hong, ilmu pedang dan Siauw Yang masih lebih berbahaya lagi. Kecepatan gerak dan kegesitannya luar biasa, laksana seekor burung walet dan getaran angin yang terbawa oleh sambaran pedangnya membuat daun daun pohon di atas menjadi bergerak melambai lambai Lam hai Lo mo sibuk sekali. Tadi telah merasai kelihaian Tek Hong yang amat sukar dikalahkannya, kini menghadapi Siauw Yang yang lebih gesit dan yang sedang marah sekali, sebentar saja ia terkurung sinar pedang dan menjadi terdesak hebat. Apalagi pahanya yang tinggal sebelah itu terasa sakit dan perih sekali. Tiba tiba kakek buntung ini tertawa bergelak dengan suara yang amat menyeramkan, lalu ia membentak,
"Ha, ha, ha, bocah cilik, apa kaukira bisa menangkan Lam hai Lo mo yang lihai?"
Siauw Yang terkejut selengah mati. Suara ketawa yang dikeluarkan oleh kakek itu demikian aneh dan nyaring sehingga ia merasa tidak saja anak telinganya, bahkan jantungnya juga tergetar hebat. Gadis ini maklum bahwa lawannya ini menurut ayahnya, memiliki ilmu hitam yang amat jahat dan berbahaya, maka ia cepat mengerahkan semangat, menahan napas dan menolak getaran yang seakan akan melumpuhkan semangatnya itu.
"Ha, ha, ha, bagaimana kau dapat melawan ku dengan sebatang pedang buntung?" kembali Lam hai Lo mo membentak dengan suara mengandung penuh pengaruh ilmu hitam. Otomatis Siauw Yang memandang ke arah pedangnya dan bukan main kagetnya ketika melihat betapa pedangnya benar benar tinggal sepotong! Namun, ia mengerahkan semangatnya dan dengan perlawanan sengit dari batinnya, pedang di tangannya itu berubah ubah kadang kadang kelihaian buntung kadang kadang tidak!
Namun, tentu saja gangguan ini melelahkan dan mengacaukan permainan pedangnya. Sedangkan tongkat di tangan Lam hai Lo mo makin lihai saja sehingga kini keadaan menjadi berbalik, bukan kakek itu yang terdesak, melainkan Siauw Yang.
"Ha, ha, ha, kau akan roboh! Kedua kakimu sudah lemas, dan tubuhmu gemetar. Kau roboh, roboh.... roboh!" Lam hai Lo mo mengerahkan tenaga batinnya, mempergunakan hoat sut sepenuhnya.
Siauw Yang adalah seorang nona muda yang belum banyak pengalaman, bagaimana ia dapat bertahan menghadapi kekuatan ilmu hitam kakek ini" Dahulu ayahnya sendiripun ketika bertempur melawan Lam hai Lo mo, apabila tidak dibantu oleh Kim Kong Taisu agaknya akan roboh oleh ilmu hitam dari Lam hai Lo mo yang curang.
-ooo0dw0ooo- Jilid 31 UCAPAN terakhir dari Lam hai Lo mo itu benar benar membuat kedua kakinya lemas dan tubuhnya gemetar sehingga kedudukan kakinya lemah dan terhuyung huyung. Namun nona perkasa ini masih mencoba untuk menguatkan hatinya. Memang ia berhasil mengusir perasaan itu, akan tetapi terlambat baginya karena tiba tiba tongkat di tangan Lam hai Lo mo sudah menyambar dan menotok jalan darah di lambungnya. Siauw Yang terlempar dan tak dapat bergerak lagi!
Lam hai Lo mo berjingkrak jingkrak seperti orang gila, ia menari nari sambil melompat lompat di sekitar tubuh Siauw Yang, tertawa tawa dan mengoceh kegirangan.
"Ha, ha, ha, ha, ha! mereka roboh semua, musuh musuh besarku. Ha ha ha! Aku dapat menyembelihmu, dapat menghancurkan kepalamu dengan Sam hiat ci hoat." Kakek itu memungut pedang yang terlempar dari tangan Siauw Yang, menggerak gerakkan pedang itu di dekat leher Siauw Yang untuk menakut nakuti gadis yang jalan pikirannya masih sadar itu. Namun tidak ada tanda sedikitpun di wajah yang cantik itu menyatakan bahwa gadis itu merasa ngeri atau takut. Kemudian Lam hai Lo mo menggerakkan tangannya hendak memberi pukulan Sam hiat ci hoat pada muka yang berkulit putih halus itu.
Akan tetapi, melihat wajah dan mata gadis itu, tiba tiba Lam hai Lo mo menurunkan tangannya yang hendak memukul.
"Sayang kalau kau mati begitu saja," katanya mengerutkan kening, lalu ia tertawa tawa karena mendapatkan sebuah pikiran yang dianggapnya amat baik. "Aku akan memotong urat sarafmu yang menuju ke otak sehingga kau akan kehilangan ingatan, lupa akan keadaanmu sendiri. Sesudah itu, dengan hoat sut (ilmu sihir) kau akan kujadikan boneka hidup dan kau akan kusuruh mencarinya dan membunuh Song Bun Sam dan isterinya. Ha, ha, ha, ini bagus sekali. Satu kali pukul mendapat tiga ekor tikus!" Kakek itu tertawa tawa dan menari nari kegirangan dan kali ini benar benar Siauw Yang merasa takut dan gelisah sekali, ia percaya bahwa kakek yang seperti siluman ini memang bisa membuktikan omongannya dan kalau sampat terjadi begitu, alangkah ngerinya! Ia dapat membayangkan betapa ia sebagai seorang yang kehilangan ingatan dan menjadi boneka hidup yang bergerak atas kehendak kakek itu, mencari dan membunuh ayah bundanya sendiri di luar kesadarannya!
Sambil terkekeh kekeh Lam hai Lo mo mulai memegang megang dan meraba raba kepala Siauw Yang, mencari cari urat saraf yang akan dipotongnya. Jari jari tangan kiri meraba raba jidat dan tengkuk sedangkan tangan kanan memegang pedang Kim kong kiam. Akhirnya ia menemukan urat yang akan dipotongnya, lalu pedangnya didekatkan pada kepala gadis itu. Akan tetapi gerakannya di urungkan, dan kepada gadis itu ia berkata,
"Pedang ini akan melukai kulitmu dan orang tuamu akan menaruh curiga. Lebih baik aku menggunakan senjata yang lebih kecil agar jidatmu yang bagus itu tidak rusak kulitnya."
Sambil menyeringai kakek itu lalu mempergunakan pedang untuk mengambil sepotong kulit dari tongkat bambunya. Kemudian ia meruncingkan kulit bambu itu dan tangannya siap bergerak memotong urat syaraf di kepala Siauw Yang!
Kulit bambu diangkat, kepala dipegang dan". Lam hai Lo mo menggulingkan tubuhnya menggelundung pergi menjauhi Siauw Yang. Hampir saja kepalanya tertembus oleh sebatang pedang yang melayang bagaikan seekor ular terbang yang menyambarnya.
"Lam hai Lo mo, keparat keji! Masih belum kapok kau melakukan kekejaman di atas dunia ini?" Terdengar bentakan nyaring dan bukan main kagetnya Lam hai Lo mo karena ia melihat Thian te Kiam ong Song Bun Sam berdiri mendekati Siauw Yang dan mengambil kembali pedangnya yang menancap pada batang pohon setelah gagal menembusi kepala Lam hai Lo mo.
Bagaimana tiba tiba saja pendekar besar ini dapat datang di situ" Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Song Bun Sam yang terluka oleh pukulan Sam hiat ci hoat beristirahat dan memulihkan kesehatannya di atas Pul au Sam liong to, ditemani oleh isterinya. Tiga hari kemudian, ia telah sembuh kembali. Ia amat mengkhawatirkan keadaan Tek Hong, maka segera mengajak isterinya untuk mencari puteranya yang dibawa pergi oleh Siang Cu. Sebelum pergi mereka memeriksa keadaan di dalam gua bekas tempat tinggal Lam hai Lo mo dan dengan girang Bun Sam mendapatkan seekor katak putih yang sudah berisi darah ular merah. Sebagai seorang yang banyak pengalamannya di dunia kang ouw, tahulah Bun Sam bahwa katak putih ini adalah obat penawar racun yang paling jahat, maka dengan amat hati hati ia menyimpan katak mati itu di dalam kantong bajunya.
Di dalam perjalanan, atas keterangan penduduk di sepanjang perjalanan itu, mereka mendengar bahwa putera mereka menuju Ke dusun Tiang kwan, maka cepat cepat mereka mengejar ke jurusan itu. Tak lama setelah Siauw Yang pergi mencari Lam hai Lo mo setelah melihat kakaknya dan Siang Cu menggeletak di atas tanah, datanglah Bun Sam dan isterinya. Yang menggeletak itu adalah tubuh tiga orang muda yang sudah menggeletak seperti tak bernyawa pula, yakni tubuh Tek Hong, Siang Cu, dan Bong Eng Kiat.
"Tek Hong...." Sian Hwa meratap pilu sambil menubruk dan memeluk tubuh Tek Hong. Ia merasa terharu sekail melihat betapa puteranya itu masih dalam keadaan merangkul leher Siang Cu dan merasa ngeri melihat wajah sepasang orang muda ini menjadi kebiruan dan di jidat mereka terdapat tanda tiga jari merah.
Bun Sam yang lebih tenang, segera menarik pergi isterinya dan cepat berlutut memeriksa nadi dan dada Tek Hong. Wajahnya berpeluh dan sepasang matanya sukar dilukiskan, karena di situ terdapat bayangan gelisah, marah, terharu dan juga penuh harapan.
"Bagaimana terjadinya semua ini?" tanya Bun Sam tanpa menoleh kepada seorang petani yang terdekat.
"Entahlah, kami hanya melihat tahu tahu mereka bertiga sudah menggeletak di sini. Akan tetapi baru saja seorang gadis gagah juga melihat mereka dan gadis itu berlari masuk ke dalam hutan seperti mengejar sesuatu!"
Pucat wajah Bun Sam mendengar ini. Segera dikeluarkannya katak putih dari kantongnya.
"Sian Hwa, lekas kau mencoba menolong mereka berdua. Tekan keras keras katak ini sampai keluar darah putih dari tubuh belakang nya dan beri minum tigabelas tetes kepada mereka!"
"Bukankah.... bukankah mereka sudah.... sudah.... mati?" tanya Sian Hwa.
"Mati atau hidup berada di tangan Thian. Kau boleh mencoba. Aku tidak tahu berapa tetes seharusnya, akan tetapi obat ini amat berbahaya, jangan lebih dari tigabelas tetes. Aku haru mengejar gadis itu...."
"Siauw Yang.... ?"
Bun Sam mengangguk. "Siapa lagi kalau bukan dia" Tentu Lam hai Lo mo tidak jauh dari sini." Setelah berkata demikian dan memberikan katak putih kepada isterinya, Bun Sam melompat dan lenyap dari situ membuat para petani yang berada di situ bengong.
Setelah memasuki hutan, dengan tepat sekali Bun Sam melihat betapa Lam hai Lo mo menari nari dan hendak menusuk kepala Siauw Yang dengan sekerat kulit bambu. Cepat sekali pendekar ini menghunus pedang, untuk melompat tiada waktu lagi, maka ia lalu melemparkan pedangnya, dan mengarah kepala Lam hai Lo mo dalam usahanya untuk menolong puterinya.
Demikianlah, Lam hai Lo mo ternyata dapat mengelak dari sambaran pedang dan kedatangan Song Bun Sam telah menyelamatkan nyawa Siauw Yang dari bahaya yang mengerikan sekali. Sekali totok saja Thian te Kiam ong telah dapat membebaskan puterinya dari pengaruh tiam hoat yang tadi dilakukan oleh Lam hai Lo mo dengan tongkatnya.
"Ayah.... Hong ko telah...." kata Siauw Yang penama kali ia dapat membuka mulutnya.
"Aku sudah tahu, kau lekas pergi membantu ibumu menolong mereka!"
"Mereka sudah.... sudah mati, ayah...."
"Diam dan pergilah!" bentak Song Bun Sam dengan penuh geram sambil berdiri dan menghadapi Lam hai Lo mo. Raja Pedang ini marah bukan main kepada Lam hai Lo mo sehingga ia sampai membentak bentak puterinya yang tercinta. Adapun Siauw Yang tidak berani membantah pula, cepat ia mengambil pedangnya yang tadi terlempar dan diletakkan di atas tanah oleh Lam hai Lo mo, kemudian ia meninggalkan ayahnya yang hendak menghadapi kakek itu. Akan tetapi baru beberapa langkah, ia berhenti dan berkata,
"Ayah, ini pedangmu!" Ia melemparkan pedang itu ke arah ayahnya yang menyambutnya tanpa melihat pedang itu. Kemudian pendekar besar ini lalu melontarkan pedang Oei giok kiam, yakni pedang isterinya, kepada Siauw Yang.
Gadis inipun menyambut pedang itu, lalu berlari cepat meninggalkan hutan untuk membantu ibunya. Hatinya berdebar girang karena melihat ayahnya, seakan akan kakaknya dan Siang Cu masih akan dapat tertolong!
"Lam hai Lo mo, kau manusia ataukah iblis" Kekejamanmu sudah melewati batas kekejian iblis sendiri!" Saking marahnya, Thian te Kiam ong Song Bun Sam tidak dapat mengeluarkan kata kata lebih panjang lagi.
"Ha, ha, hi hi hi! Song Bun Sam, puaskah kau sekarang" Puteramu mampus, puterimu hampir saja gila. Ha, ha, ha! Dan sekarang kaupun akan mampus!" Sambil berkata demikian, tiba tiba kakek ini menyerang dengan tongkatnya, ditusukkan ke leher Bun Sam sedangkan tangan kirinya bergerak memukul dengan ilmu Sam hiat ci hoat. Serangan ini ganas dan berbahaya sekali karena mengetahui akan ketangguhan lawannya. Lam hai Lo mo telah mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya.
Namun, dalam kemarahannya, Bun Sam tidak mengenal kasihan lagi ia menggerakkan pedangnya, menangkis tongkat itu dan begitu terbentur, tongkat bambu itu patah menjadi dua, sedangkan pedang yang terbentur cepat membalik memapaki tangan kiri lawan.
"Aduh....!" Lam hai Lo mo menjerit ketika pergelangan tangannya terbabat putus oleh pedang Kim kong kiam. Dari gerakan ini saja dapat di ukur kehebatan ilmu pedang Bun Sam. Dalam segebrakan saja, ia telah dapat membabat putus tangan Lam hai Lo mo yang terkenal memiliki kepandaian hebat itu.
"Lam hai Lo mo, putusnya tanganmu itu menjadi bukti akan keganasan dan kekejaman tanganmu yang sudah merobohkan banyak orang yang tak berdosa. Sekarang aku mengajukan penawaran padamu. Sembuhkan Tek Hong dan Siang Cu, dan kau akan kuberi pembebasan!"
Lam hai Lo mo meringis ringis kesakitan dan cepat cepat ia menggunakan tangan kanan yang sudah melempar jauh tongkatnya yang terputus, untuk menotok jalan darah di tangan kirinya sehingga aliran darah terhenti dan tidak lagi darahnya mengucur keluar dari pergelangan tangan kiri yang putus. Kemudian ia tertawa bergelak! Memang hebat sekali kakek buntung ini. Dalam keadaan paha terluka dan tangan kiri putus, ia masih dapat tertawa terbahak bahak seperti iblis.
"Ha, ha, ha, hi, hi, hi, Thian te Kiam ong. Kau mau menukar nyawaku dengan nyawa dua orang anak itu" Murah sekali, aku yang rugi! Aku sudah tua dan bercacat, sedangkan mereka masih muda belia!"
"Akan tetapi kau akan menerimanya karena kau masih suka hidup," kata Bum Sam.
"Tepat! Tepat sekali, memang aku harus hidup untuk dapat membalas dendam atas sakit hati ini."
"Kau gila karena hatimu diracuni dendam."
"Manusia mana yang tidak gila" Ha, ha, ha! Hayo kita ke sana, akan kucoba menyembuhkan mereka."
Dengan didampingi oleh Lam hai Lo mo yang terpincang pincang Bun Sam lalu pergi kembali ke tempat di mana Tek Hong dan Siang Cu menggeletak. Mereka mendapatkan Sian Hwa dan Siauw Yang masih sibuk mengobati mereka. Besar hati ibu dan adik ini melihat Tek Hong dan Siang Cu mulai dapat bernapas lagi, sungguhpun wajah mereka masih kebiruan. Tadi ketika menolong puteranya dan Siang Cu, hati Sian Hwa yang penuh welas asih itu mendorongnya untuk menolong Eng Kiat pula. Akan tetapi ternyata bahwa pemuda putera Tung hai Sian jin ini remuk isi kepalanya dan sudah tidak bernyawa lagi. Adapun Tek Hong dan Siang Cu, kalau sekiranya tidak lekas lekas mendapat pengobatan katak putih, tentu takkan tertolong pula. Obat di seluruh dunia takkan bisa menyembuhkan mereka, karena akibat pukulan Sam hiat ci hoat memang luar biasa hebatnya.
Biarpun Tek Hong dan Siang Cu sudah bernapas lagi dan hati Sauw Yang sudah agak lega, namun mereka masih menangis melihat dua orang muda itu diam tak bergerak dan muka mereka masih kebiruan.
"Sudahlah, jangan kalian menangis." Bun Sam menegur.
"Bagaimana tidak akan menangis melihat putera kita berjuang antara hidup dan mati?" Sian Hwa mencela suaminya yang dianggap kurang mencinta anak dengan kata katanya tadi.
"Mati dan hidup di tangan Thian, mengapa kita harus memusingkannya" Andakata dia mau, Hong ji hanya mati raganya belaka, mengapa susah susah?" Bun Sam sengaja berkata demikian agar Lam hai Lo mo tidak menjadi makin girang dan menjual mahal. Kalau dia memperlihatkan kesedihan terlau hebat, tentu kakek itu akan menggodanya dan menjual mahal dalam mengobati Tek Hong.
Akan tetapi, Sian Hwa sebagai ibu yang sedang gelisah melihat keadaan puteranya, menjadi marah dan berkata gemas.
"Bagaimanakah kau ini" Andaikata kau tega kematian anak kita, apakah kau tega melihat penderitaannya yang demikian hebat?" Lam hai Lo mu sudah tertawa tawa dan sepasang matanya berseri seri mendengar ucapan isteri dari musuh besarnya itu.
"Betapa beratpun penderitaannya, yang menderita hanyalah raganya. Jiwanya takkan mati, takkan luka, takkan merasakan sakit. Serahkan saja kepada Thian...." Bun Sam menghibur.
"Enak saja kau bicara! Kita diamkan saja tanpa mengusahakan kesembuhannya?" Sian Hwa berdiri dan memandang kepada suaminya dengan mata bersinar sinar. Dalam kemarahannya, nyonya ini sampai lupa akan kehadiran Lam hai Lo mo di tempat itu yang sesungguhnya merupakan hal yang amat ganjil.
Akan tetapi tidak demikian dengan Siauw Yang. Melihat musuh besarnya datang bersama ayahnya dalam keadaan masih hidup, gadis ini membentak keras dan segera menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi tangannya tergetar dan pedangnya hampir terlepas dari pegangan ketika ayahnya menangkis serangan ini.
"Sabar, Siauw Yang " Kemudian Bun Sam menghadapi isterinya. "Tentang ikhtiar penyembuhan, tentu saja menjadi kewajiban kita untuk melakukannya. Kedatangan Lam hai Lo mo ini adalah untuk mengobati mereka."
Seketika itu Sian Hwa dan Siauw Yang tertegun dan tak dapat berkata kata, hanya memandang ke arah Lam hai Lo mo dengan mata terbuka lebar lebar. Benar benarkah kakek siluman ini hendak menyembuhkan Tek Hong dan Siang Cu"
Sambil tersenyum mengejek karena dalam suasana sekarang ini dia menang, yakni menjadi orang yang amat dibutuhkan pertolongannya, Lam hai Lo mo lalu berlutut memeriksa Siang Cu dan Tek Hong.
"Hmm, dari mana kalian mencuri katak putih?" tegurnya sambil berpaling kepada Bun Sam.
"Bukan mencuri, melainkan membawa dari guamu di Sam liong to," jawab Bun Sam tenang.
"Ha, ha, ha, kalian pencuri!" Kenudian diperiksanya sekali lagi jidat dua orang anak muda itu. "Akan tetapi kalau kalian tadi tidak menolong mereka ini dengan katak putih, biarpun aku sendiri takkan mungkin menyembuhkan mereka."
Sebagai orang yang menciptakan ilmu Pukulan Sam hiat ci hoat, tentu saja Lam hai Lo mo selalu membawa obat penawar racun pukulan itu. Ia mengeluarkan sebuah botol berisi obat cair warna putih, yakni sari daripada darah putih katak putih.
"Berapa teteskah mereka diberi minun darah putih dari katak mujijat?" tanyanya.
"Masing masing tiga belas tetes," jawab Sian Hwa, suaranya halus karena pada saat itu, tidak ada kebencian sedikupun juga di dalam hatinya terhadap Lam hai Lo mo.
"Hm, kurang dua tetes masing masing," kata kakek itu dan dengan cepat ia meneteskan dua tetes darah putih ke dalam mulut Tek Hong dan Siang Cu. Kemudian ia minta katak putih itu dari Sian Hwa dan mempergunakan perut katak itu untuk digosok gosokkan pada luka di jidat dua orang muda itu. Sebentar saja warna kebiruan yang membayang pada muka itu menjadi hilang, demikian pula tiga jari merah yang berbekas di jidat. Setelah itu, Lam hai Lo mo lalu mengeluarkan enam butir pel hijau.
"Beri minum mereka itu masing masing tiga butir dan semua darah berbisa akan lenyap dari tubuh mereka,"
Sian Hwa sambil bercucuran air mata berlutut di depan kakek itu.
"Lam hai Lo mo, banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada anakku dan Siang Cu."
Lam hai Lo mo menjadi pucat.
"Eh, apa apaan ini" Aku.... aku....."
Kakek itu menjadi makin terkejut ketika melihat Bun Sam menjura pula kepadanya dan berkata dengan suara terharu, "Lam hai Lo mo, istriku benar. Akupun menghaturkan terima kasih kepadamu dan maafkanlah semua kesalahanku yang sudah sudah. Mudah mudahan semenjak saat ini kita akan menjadi sahabat yang baik dan lenyaplah segala permusuhan yang tidak berarti."
Lam hai Lo mo membanting banting kakinya seperti orang gila.
"Kalian gila! Gila sehebat hebatnya! Akulah yang melukai mereka ini. Aku yang tadinya hendak membunuh mereka, dan aku pula yang sudah membunuh Eng Kiat itu! Dan kalian sekarang menghaturkan terima kasih?"
Makin mencak mencak Lam hai Lo mo ketika melihat Siauw Yang ikut berlutut pula di samping ibu nya.
"Pembunuhan yang belum terlaksana bukanlah pembunuhan namanya. Akan tetapi penyembuhanmu telah terbukti, maka sudah seharusnya kami berterima kasih," jawab Bun Sam.
Inilah pukulan batin yang amat hebat bagi Lam hai Lo mo.
"Tidak bisa! Tak mungkin! Kalau musuh musuh besarku. Aku akan bunuh kalian kalau bisa. Aku mengobati mereka ini karena terpaksa! Song Bun Sam, kau dan sekeluargamu akan kubunuh semua. Ha, ha, ha, biarpun kalian berlutut memberi hormat, tetap akan kubunuh. Ha, ha, ha!"
"Mana mungkin, Lam hai Lo mo" Kau sudah kehilangan sebelah kaki dan sebelah tangan. Hanya satu tangan kananmu itu dapat dipergunakan untuk apakah" Lebih baik kau merubah cara hidupmu, bertaubat dan menjadi manusia baik baik, bertapa mensucikan diri menebus dosa dosamu...." Bun Sam membujuk.
Lam hai Lo mo makin pucat, ia menunduk, memandang ke arah kakinya yang buntung dan tangan kirinya yang buntung pula. Kemudian ia tertawa terbahak bahak.
"Ha ha ha, hi hi hi! Kakiku hilang, tanganku hilang! Tinggal tangan kanan ini untuk apakah" Aha, Thian te Kiam ong, kaukira aku tidak bisa membunuhmu dengan satu tangan" Lihat, aku bersumpah, disaksikan oleh jari kelingkingku, dengan empat jari tangan kanan akan kubunuh sekeluargamu!" Setelah berkata demikian, kakek ini lalu menggigit putus jari kelingking kanannya dan makan jari kelingking itu seperti orang makan kacang! Ternyata bahwa sikap keluarga Song itu benar benar merupakan tusukan batin yang lebih hebat daripada tusukan pedang dan membuat kakek ini berobah ingatannya!
Suara jari kelingking dimakan terdengar kletak kletuk karena gigi kakek yang sudah ompong itu sukar untuk meremukkan tulang tulang jari itu. Sian Hwa dan Siauw Yang menjadi pucat saking merasa ngeri, sedangkan Bun Sam menggeleng geleng kepalanya dengan muka mengandung hati iba.
"Ha, ha, ha, keluarga Song. Lihat, jari tanganku tinggal empat. Akan tetapi jangankan empat, tiga jari saja sudah cukup! Ibu jariku tidak perlu, karena dengan tiga jari saja, Sam hiat ci hoat akan menumpas seluruh keluarga Song!" Setelah berkata demikian, kembali mulut kakek itu menggigit ibu jarinya yang besar. Nampak mukanya berkerut kerut, bibirnya merah karena darahnya sendiri dan kini ibu jarinya telah putus pula, terus dimakannya seperti anjing menggerogoti tulang keras!
"Lam hai Lo mo, ingatlah dan sebutlah nama Thian!" kata Bun Sam penuh rasa haru.
"Bun Sam, anjing gila! Kau kira aku tidak ingat" Ha, ha, lihat, tiga jari tanganku sanggup memecahkan batok kepalamu!" Setelah berkata demikan, kakek itu maju hendak mempergunakan ilmu Pukulan Sam hiat ci hoat menyerang Bun Sam. Pendekar ini dengan tenang tidak mundur selangkahpun dan memandang tajam.
Akan tetapi, tiba tiba tubuh kakek itu terguling dan ia menjerit jerit kesakitan. Tangan kanan yang sudah buntung dua jarinya dan tangan kiri yang sudah buntung sebatas pergelangan itu menekan nekan perutnya, kakinya yang belun buntung berkelojotan. Mukanya menjadi biru dan tak lama lagi menghitam. Berhentilah kelojotan kakinya dan ia rebah tertelungkup dalam keadaan tak bernyawa lagi.
"Mari kita tolong dia dengan katak putih....." kata Sian Hwa terharu.
"Tiada gunanya, ia telah makan jari jarinya sendiri sedangkan jari jari tanganya itu penuh dengan racun untuk melatih ilmu Pukulan Sam hiat ci hoat." kata Bun Sam. Benar saja, setelah diperiksa kakek yang jahat seperti siluman itu telah tewas.
Kampung Setan 11 Payung Sengkala Karya S D Liong Hamukti Palapa 2
^