Pencarian

Pusaka Pulau Es 2

Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Bagian 2


Lebih baik kita menyerahkan segala hal yang belum datang itu kepada Tuhan, karena Tuhan yang mengatur segala apa yang ter jadi di dunia ini! Dengan penyerahan dan kepasrahan yang total kita melangkah dalam kehidupan ini dan tidak takut akan tertimpa apa pun juga. Apa pun yang terjadi, kalau kita menerimanya sebagai kehendak Tuhan kita akan terbebas dari segala penyesalan dan duka. Bukan berarti kita lalu mandeg dan menjadi malas, menyerahkan segalanya kepada Tuhan tanpa berusaha. Tidak! Kita berikhtiar sekuat kemampuan kita untuk mendapatkan yang terbaik, akan tetapi dengan landasan penyerahan seutuhnya sehingga apa pun yang kita hasilkan, itulah anugerah dari Tuhan. Bahkan ke-gagalan dalam usaha kita pun merupakan anugerah terselubung dan kesalahannya harus kita cari dalam sepak terjang kita sendiri!Pagi itu udara amat cerah, matahari pagi hangat dan cerah, langit bersih hanya terdapat sedikit awan putih yang berarak dengan indahnya. Air laut juga tenang dan angin berhembus lembut, membuat perahu yang ditumpangi Keng Han meluncur dengan sempurna. Keng Han merasa gembira sekali. Dia teringat akan cerita ibunya ketika bertamasya dengan ayahnya, juga naik perahu berlayar di sepanjang lautan ini. Ah, seperti apa macam pria yang menjadi ayahnya" Menurut ibunya, ayahnya seorang pangeran yang berwajah tampan dan gagah. Kata ibunya, tubuhnya sedang, dahinya lebar, alisnya tebal dan matanya seperti mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersungging senyuman, pakaiannya indah! Ah, betapa akan bangga hatinya kalau dia bertemu dengan ayahnya. Dan ayah serta ibunya menyaksikan ketika pulau yang kini disebut Pulau Hantu oleh para nelayan itu "lahir"!
Mendengar kelahiran sebuah pulau dari ibunya sudah timbul keinginan tahunya untuk berkunjung ke pulau aneh itu, apalagi sekarang pulau itu bahkan disebut Pulau Hantu oleh para nelayan. Cerita ini tidak membuatnya takut, bah-kan menambah keinginan tahunya.
Benar-benarkah ada hantu di pulau itu" Atau bahkan, benar-benarkah ada hantu di dunia ini"
Hantu seperti dalam dongeng, yang bentuknya aneh-aneh dan mengeri-kan"
Setelah berlayar selama setengah hari dan matahari sudah naik tinggi, tiba-tiba Ji Koan berseru. "Itulah dia.... Pulau Hantu....!" ketika menyebut pulau itu, suaranya berubah menjadi bisikan.
Keng Han yang sedang melamun menjadi kaget dan cepat memandang nelayan itu yang menudingkan telunjuknya ke kiri. Dia menengok dan melihat sebuah pulau, tak jauh lagi dari Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
31 situ. Pulau itu tidak terlalu besar, memanjang dan berwarna hijau kehitaman. Agaknya pulau itu tidak gundul, melainkan ditumbuhi banyak pohon-pohonan. Padahal, ibunya pernah bercerita bahwa kabarnya pulau itu dahulunya disebut Pulau Es yang lenyap di telan air lautan puluhan tahun yang lalu dan lima belas tahun yang lalu lahir atau timbul kembali mun-cul dari dalam lautan. Dia tidak dapat mengira-ngirakan apa yang sesungguhnya telah terjadi di dasar lautan itu, mengapa ada pulau dapat lenyap ditelan air dan kini muncul kembali dalam bentuk lain. Kalau dulu menjadi Pulau Es, kini menjadi Pulau Hantu yang banyak pohon-pohonnya.
"Ah, kelihatan pulau biasa saja, meng-apa disebut Pulau Hantu" Paman Ji Koan, arahkan perahu mendekat."
"Tao-kongcu.... saya.... saya takut....!"
"Aih, apa yang ditakuti" Mari, biar aku yang mengemudikan perahu!" katanya dan Keng Han mengambil oper kemudi dari tangan Ji Koan. Tadi dia sudah belajar dari nelayan itu dan karena dia memang seorang pemuda yang cerdik maka sebentar saja dia sudah dapat menguasai kepandaian itu. Kini dia mengemudikan perahu mendekati pulau. Setelah dekat baru nampak bahwa pulau itu di bagian tengahnya gundul dan terdapat bagian menonjol seperti bukit, dan pohon-pohon yang tumbuh itu hanya tumbuh di bagian pinggirnya saja.
Karena sudah dekat dengan daratan yang berbatu-batu, Ji Koan menggulung layarnya dan melanjutkan luncuran perahu dengan menggunakan dayung. Dibantu oleh Keng Han, dia mendayung perahunya ke daratan pulau dengan muka pucat ketakutan. Tiba-tiba dia menuding ke air.
"Kongcu, lihat....!" Dia berseru dengan suara gemetar dan tangannya yang memegang dayung menggigil. Keng Han melihat ke air dan dia pun bergidik. Terdapat banyak sekali ular berenang di dekat perahu. Ular-ular yang berwarna merah darah, yang kecil sebesar keling-king jari tangan, yang besar seperti ibu jari kaki panjangnya, paling panjang dua kaki.
Ular-ular itu berenang dengan cepat dan lincah sekali. Tiba-tiba dua ekor ular sebesar jari telunjuk meloncat dari air menuju ke atas perahu. Ji Koan berteriak, akan tetapi Keng Han menggunakan dayungnya menghantam dan dua ekor ular Itu terjatuh lagi ke air, menggeliat-geliat sekarat. Lalu terjadi hal yang mengerikan. Dua ekor ular itu menjadi mangsa kawankawannya sendiri, tubuh mereka hancur lebur dibuat rebutan. Agaknya ular-ular laut yang merah ini ganas seperti ikan-ikan hiu yang akan menyerang kawan sendiri kalau kawan ini terluka dan mencium darah. Ji Koan gemetar seluruh tubuhnya.
"Kongcu.... mari kita kembali saja...." Dia mengeluh ketakutan.
Akan tetapi pengalaman itu bagi Keng Han menambah keinginan tahunya. "Tidak, Paman.
Kita terus ke pulau, mendarat!" katanya sambil menggerakkan dayunnya dengan penuh tenaga.
Ji Koan tidak dapat membantah lagi dan terpaksa ikut pula mendayung, biarpun pandang matanya ditujukan ke arah air di mana ular-ular itu masih mengikuti perahu dan bahkan berenang di kanan kiri perahu. Hatinya diliputi rasa ngeri yang hebat sehingga mukanya pucat dan matanya terbelalak.
"Lihat itu, Paman!" tiba-tiba Keng Han menuding ke depan.
Ji Koan memandang dan dia terkejut, juga heran melihat banyak perahu di pantai. Ada tujuh buah perahu kecil dan sebuah perahu besar.
"Saya takut mendarat, Kongcu."
"Kalau begitu, tinggallah saja di perahu ini, di dekat pantai biar aku sendiri yang mendarat.
Akan tetapi tunggu, jangan pergi sebelum aku kembali."
"Baik, Kongcu." kata Ji Koan yang masih ketakutan.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
32 Keng Han lalu membawa buntalan pakaiannya yang diikatkan di punggungnya dan meloncat dari perahu itu ke atas sebuah batu besar, lalu dari batu melompat ke batu lain sampai akhirnya dia dapat mendarat. Tadinya, tepi pantai itu terhalang oleh batu-batu besar sehingga dia tidak dapat melihat apa yang terjadi di balik batu-batu itu. Akan tetapi sekarang dia dapat menyaksikan pemandangan yang amat mengerikan. Juga suara air memecah pada batu-batu karang membuat dia tidak dapat mendengar suara yang keluar dari tempat itu, dan baru sekarang dia dapat mendengarnya.
Di tempat itu terjadi pertempuran. Seorang kakek yang tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, yang semua rambutnya sudah putih seperti kapas, sedang mengamuk dikeroyok oleh kurang lebih tiga puluh orang yang dia kenali dipimpin oleh si Harimau Hitam yang pernah dihajarnya di dusun para nelayan itu. Sungguh mengherankan bahwa mereka dapat demikian cepat tiba di tempat itu, agaknya mereka mendapatkan perahu-perahu entah dari. mana dan lebih dulu berlayar sampai ke pulau kosong itu, bertemu dengan raksasa rambut putih dan terjadi pertempuran di antara mereka. Akan tetapi Keng Han terbelalak melihat pertempuran itu. Kakek raksasa rambut putih itu sungguh ganas bukan main. Ke mana saja tangannya menyambar, tentu ada pengeroyok yang roboh dan orang yang roboh ini menggigil seperti kedinginan, lalu berkelojotan dan mati! Seluruh tubuh mereka putih membiru dan berkeriput seperti direndam air es saja. Tidak ada yang sampai dipukul dua kali. Sekali saja sudah cukup membuat mereka tewas. Itu pun bukan pukulan yang langsung mengenai badan, hanya hawa pukulannya saja yang menyambar! Tiga puluh orang perampok yang dipimpin oleh Hek Houw itu mengeroyok dengan nekat, akan tetapi satu demi satu roboh dan tewas. Melihat ini, Hek Houw dan tujuh orang sisa anak buahnya hendak melarikan diri karena gemetar menghadapi kakek raksasa yang amat ganas dan lihai itu, kan tetapi kakek itu tertawa bergelak dan sekali kedua tangannya didorongkan ke depan dengan kedua kaki ditekuk ke bawah, delapan orang itu roboh semua dan berkelojotan, menggigil dan tewas tak lama kemudian.
"Ha-ha-ha-ha-ha, segala macam cacing tanah berani melawanku. Aku Swat-hai Lo-kwi (Iblis Tua Lautan Salju), tidak ada yang mampu menandingi! Ha-ha-ha, mampuslah kalian semua, ha-ha-ha!"
Keng Han merasa penasaran sekali. Dia menganggap kakek itu terlalu sombong dan terlalu kejam, membunuhi tiga puluh orang begitu saja. Dia tidak dapat menahan kemarahan hatinya dan Keng Han melompat keluar dari balik batu besar sambil berseru, "Kakek tua, sungguh engkau seorang manusia yang kejam seperti iblis!"
Kakek itu menoleh dan ketika melihat seorang pemuda remaja memakinya ke-jam seperti iblis, dia tidak menjadi ma-rah bahkan tertawa bergelak. "Bagus, aku memang kejam seperti iblis, dan memang aku ini iblis Tua Lautan Salju. Karena engkau telah memuJiku, maka aku meng-ampunimu dan tidak akan membunuhmu, ha-ha-ha!"
Akan tetapi Keng Han menjadi semakin marah. "Kakek iblis, bukan engkau yang hendak membunuhmu, melainkan aku yang akan membunuhmu. Iblis seperti engkau ini harus dibasmi dari permukaan bumi agar tidak lagi membunuhi manusia!"
Keng Han meloncat ke depan menghampiri kakek raksasa berambut putuh itu. Dia seperti seekor burung yang baru saja dapat terbang, tidak takut apa-apa. Dia menganggap ilmu silatnyn sudah cukup tinggi untuk membela diri, tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia iblis yang selain kejam juga lihai bukan main. Dengan gerakan cepat, Keng Han sudah menyerang kakek itu dengan kepalan tangan kanannya. Akan tetapi kakek itu hanya tertawa dan sama sekali tidak mengelak atau menangkis.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
33 "Bukkk....!" Pukulan tangan Keng Han mengenai dada kakek itu, akan tetapi bukan kakek itu yang roboh melainkan Keng Han sendiri yang terlempar dan terjengkang ke atas tanah. Dia seperti memukul bukit baja yang mengeluarkan tenaga mendorong amat kuatnya.
"Ha-ha-ha, engkau berani melawan aku" Baiklah, engkau sudah bosan hidup, mampuslah!"
Kakek itu lalu mengirim pukulan jarak jauh dengan tangan kirinya. Melihat ini, Keng Han teringat kepada para perampok yang roboh karena pukulan jarak jauh itu, maka dia tahu betapa berbahayanya pukulan ini. Cepat dia menggulingkan tubuhnya sehingga hawa pukulan yang menyambarnya itu luput.
Pada saat itu, nampak sinar kecil merah menyambar ke arah kakek raksasa itu. "Ihhh....!"
Kakek itu mendengus dan sekali tangannya menyampok, ular merah itu terpukul hancur. Dua ular lain melayang dan menyerangnya, akan tetapi juga dua ekor ular ini ditangkis dan jatuh berkelojotan dengan kepala remuk.
Kakek itu merasa penasaran karena melihat pukulannya ke arah Keng Han tadi dapat dielakkan, dia memburu dengan langkah panjang ke arah Keng Han dan kembali melancarkan pukulan jarak jauh. Kini, biarpun Kong Han sudah me-lompat ke kiri untuk manghindar, tetap saja tubuhnya dilanda hawa pukulan yang membuat dia terlempar dan terbanting keras.
Hawa yang amat dingin menyerang seluruh tubuhnya membuat dia menggigil. Akan tetapi dia masih dapat bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk melawan sampai akhir. Pada saat itu, banyak sekali ular merah yang tadi mengikuti perahu Keng Han mendarat seperti barisan ular yang banyak sekali. Ketika melihat Keng Han bangkit terhuyung ke arah barisan ular, menyong-songnya di luar kesadarannya, langsung saja tiga ekor ular menyerangnya. Dia tidak mampu mengelak atau menangkis setiingga seekor ular telah menggigit lehernya, seekor lagi menggigit tangan-nya dan seekor lagi menggigit kakinya!
Digigit tiga ekor ular merah itu, Keng Han seperti terkena sengatan halilintar. Dia terbelalak, tidak menggigil lagi, dan seperti mendadak menjadi gila. Keng Han tertawa dan menangis, lalu merenggut ular yang rnenggigit lehernya lalu.... membuka mulutnya dan menggigit ular itu, dikunyahnya seperti orang makan kue yang lezat saja! Kemudian dia berteriak-teriak sambil lari ke tengah pulau, masih memegangi tubuh ular yang berlepotan darah sedangkan dua ular masih bergantung kepada tangan dan kakinya.
Sementara itu, kakek raksasa rambut putih kini diserang oleh puluhan, bahkan ratusan ular merah! Dia sibuk berloncat-an ke sana sini sambil mengibaskan kedua tangannya.
"Huo-hiat-coa (ular darah api)....!
Banyak sekali....! Wah, sungguh berbahaya. Benar-benar Pulau Hantu....!" Dan kakek itu lalu melarikan diri, melompat ke atas sebuah perahu. Kebetulan dia melompat ke perahu yang ditumpangi Ji Koan yang ketakutan. Melihat ada orang di dalam perahu, raksasa itu menendang dan tubuh Ji Koan terlempar ke air dalam keadaan sudah tewas karena tendangan itu kuat bukan main! Segera kakek itu mendayung perahu ke tengah, mengembangkan layar dan pergi cepat-cepat dari pulau itu dengan wajah mem-bayangkan bahwa dia juga gemetar menghadapi barisan ular yang disebutnya Huo-hiat-coa itu.
Keng Han seperti telah menjadi gila. Dia berlari terus sambil makan ular itu. Digigitnya sepotong tubuh ular dan dikunyahnya dengan nikmat. Bibirnya berlepotan darah. Dia berlari terus sambil kadang menangis kadang tertawa, atau berteriak-teriak.
"Panas....! Panas....!" teriaknya akan tetapi tak lama keniudian teriakannya berubah menjadi,
"Dingin....! Dingin....!"
Dia berlari terus ke tengah pulau yang merupakan bukit. Dia mendaki bukit gundul itu, tidak tahu dan tidak menyadari apa yang dilakukannya. Setelah seekor ular habis dimakannya, dia Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
34 mengambil ular yang masih bergantung meng-gigit tangannya dan kembali dia makan ular itu, dimulai dari kepalanya! Sungguh mengerikan sekali keadaan pemuda remaja itu. Wajahnya kadang menjadi pucat, kadang merah sekali. Matanya terbelalak lebar napasnya kadang memburu dan terengah-engah. Akan tetapi dia terus makan ular dan setelah ular kedua habis, dia mengambil ular ketiga yang bergantung di kakinya. Akhirnya tiga ekor ular itu habis dimakannya dan dia kini tiba di sebuah gua dan terguling roboh ke dalam gua itu, pingsan!
Keadaan Keng Han mengerikan dan mencemaskan. Akan tetapi yang jelas, pukulan yang mengandung hawa sinkang amat dingin itu, yang telah membunuh tiga puluh orang dalam keadaan tubuh membeku, ternyata tidak sampai membunuh Keng Han. Dan lebih aneh lagi, gigitan tiga ekor ular merah itu pun tidak membunuhnya, padahal biasanya, sekali tergigit seekor ular darah api itu, orangnya akan tewas seketika dan tubuhnya menjadi hangus seperti terbakar!
Keadaan Keng Han yang mengherankan itu bukan tanpa sebab. Memang kematian seseorang sepenuhnya tergantung kepada kekuasaan Tuhan. Kalau Tuhan sudah menghendaki seseorang itu harus mati, kalau sudah tiba saat kematiannya, apa pun di dunia ini tidak akan dapat mencegahnya. Biar andaikata orang itu bersembunyi ke dalam liang semut, akhirnya sang maut akan datang pula menjemput. Sebaliknya kalau Tuhan belum menghendaki seseorang itu mati, biarpun sudah terancam bahaya maut, sudah berada di dalam mulut harimau umpamanya, dia akan dapat lolos dari maut dan sela-mat. Banyak orang yang sejak muda sekali menjadi seorang perajurit, sudah ratusan kali berperang dan bertempur, akan tetapi selalu saja dia lolos dari cengkeraman maut. Setelah tua dan pen-siun, berhenti dari pekerjaannya yang penuh bahaya itu, berada di rumah yang aman, datang penyakit dan dia pun meninggal dunia! Demikianlah, mati hidup seseorang sepenuhnya berada di tangan Tuhan. Apakah kalau sudah mengetahui akan kenyataan ini orang lalu bersikap masa bodoh terhadap keselamatan dirinya, menyerahkan saja kepada kekuasaan Tuhan untuk
mengaturnya" Tentu saja tidak! Manusia hidup sudah memiliki kewajiban sejak dilahirkan untuk men-jaga diri, untuk mempertahankan hidup ini, senang atau tidak senang. Ikhtiar itu suatu kewajiban mutlak, keputusan akhir adalah menjadi kekuasaan Tuhan.
Keng Han tentu sudah tewas akibat pukulan kakek raksasa berambut putih yang menamakan dirinya Swat-hai Lo-kwi itu, pukulan yang mengandung hawa sinkang dingin sekali, membuat orang yang dipukulnya mati beku, karena tenaga sinkang anak itu belum mampu
melawannya. Dia tentu sudah tewas kalau saja pada saat itu dia tidak tergigit oleh tiga ekor ular merah! Dan dia tentu sudah mati pula oleh gigitan ular darah api itu yang gigitannya mengandung ra-cun panas yang membuat orang yang digigit mati dengan tubuh hangus, kalau saja dia tidak terpukul oleh Swat-hai Lo-kwi dan karena dia tergigit oleh tiga ekor ular sekaligus, maka racun tiga ekor ular itu sebetulnya terlalu kuat bagi hawa sinkang dingin yang menyerang tubuh Keng Han. Akan tetapi dalam ke-adaan seperti gila karena
diombang-ambingkan antara dua hawa dingin dan hawa panas, yang membuat dia menangis dan tertawa, dia telah makan ular-ular itu dan hal ini merupakan obat penawar yang bukan main hebatnya.
Keng Han tergelimpang dalam gua, pingsan sampai hari menjadi malam. Semalam suntuk dia seperti telah mati, dalam tubuhnya terjadi pertempuran yang hebat antara dua tenaga yang berlawanan itu. Darahnya keracunan dua macam hawa, seluruh tubuhnya dijalari hawa dingin dan panas itu.
Akhirnya, pada keesokan harinya, setelah matahari mulai memandikan permukaan pulau itu dengan sinarnya yang keemasan, Keng Han mengeluh dan membuka matanya. Dia mengejap-ngejapkan matanya, silau karena kebetulan mukanya menghadap ke matahari, lalu Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
35 menggosok-gosok kedua matanya. Kemudian dia teringat akan kakek raksasa rambut putih dan ular merah, maka dia cepat bangkit duduk. Ketika membuat gerakan ini, dia terkejut sendiri karena tubuhnya terasa demikian ringan seolah tidak berbobot! Dia lalu duduk bersila dan mengingat-ingat apa yang telah terjadi.
Dia naik perahu bersama Paman Ji Koan nelayan tua itu menuju ke pulau kosong yang oleh para nelayan disebut Pulau Hantu. Dia telah tiba di pulau dan nampak ada tujuh buah perahu di tepi dekat batu-batu. Lalu ada ular-ular merah menyerangnya. Kemudian dia melompat ke atas batu meninggalkan Ji Koan dan melihat seorang kakek raksasa berambut putih bertempur melawan para perampok yang dipimpin oleh Hek Houw. Dan semua perampok telah dibunuh oleh kakek raksasa. Dia keluar dari balik batu menegur dan dia lalu dipukul oleh kakek itu.
Dan dia digigit ular-ular merah! Hanya itulah yang diingatnya. Dia tidak tahu bagaimana kini dia berada di tempat itu, di sebuah gua yang menganga besar seperti mulut seekor naga raksasa. Mengingat bahwa dia pernah terpukul oleh kakek raksasa bernama Swat-hai Lo-kwi yang membuat tubuhnya terasa dingin sekali itu, dan mengingat bahwa dia digigit ular-ular merah, dia terkejut sekali. Kenapa dia tidak mati seperti yang lain" Dia lalu memejamkan kedua matanya dan mengatur pernapasan dalam. Ternyata tubuhnya tidak mengalami luka dalam. Dia menyalurkan hawa dari tan-tian untuk melihat apakah tenaga sin-kangnya masih ada. Dan dia terkejut. Ketika dia mulai mengerahkan tenaga, ada tenaga yang amat dahsyat bangkit membubung ke atas dari tan-tian dan hampir saja dia tidak dapat mengendalikannya dan tubuhnya terjengkang! Untung dia segera menghentikan pengerahan tenaganya sehingga dia tidak sampai terguncang dan terluka oleh hawa sakti itu sendiri. Tubuhnya mendadak menggigil kedinginan lalu berubah menjadi kepanas-an. Ada dua hawa yang berlawanan ber-ada di tubuhnya dan keduanya demikian kuatnya mempengaruhi tubuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa hawa dingin akibat pukulan Swat-hai Lo-kwi itu menjadi berlipat ganda kuatnya setelah dia makan tiga ekor ular itu, perbuatan yang tidak diingatnya lagi. Di tubuhnya kini ada dua tenaga sakti yang luar biasa dahsyatnya. Hal ini mulai dia rasakan dan ketahui dan diam-diam Keng Han juga dapat menduga bahwa ini tentu akibat pukulan kakek raksasa dan akibat gigitan ular merah. Keng Han adalah seorang pemuda yang cerdik, maka dia sudah dapat menduga akan hal ini. Tentu saja dia merasa girang sekali. Dia lalu bangkit berdiri, keluar dari dalam gua itu dan menghampiri sebuah batu sebesar gajah. Dia lalu memasang kuda-kuda yang kokoh dan mengerahkan tenaga sin-kangnya, memukul dengan kedua telapak tangan ke depan. Serangkum tenaga yang tadi membuatnya terjengkang keluar melalui kedua tangannya menghantam batu besar itu dan.... dan batu besar itu meledak-ledak pecah dan menggelinding sampai jauh! Keng Han cepat menyimpan kembali tenaganya dan dia memandang kagum. Ah, dia harus berhati-hati sekali dan tidak boleh bermain-main dengan tenaganya itu. Dia harus melatih diri tmtuk dapat menguasai tenaga itu sepenuhnya sehingga dapat dia pergunakan seperlunya.
Kemudian dia teringat kepada Ji Koan. Paman itu masih dia tinggalkan di dalam perahu!
Teringat akan ini, dia lalu melompat dan berlari turun. Hampir saja dia bergulingan jatuh kalau tidak cepat dia menyimpan tenaganya. Ketika dia mengerahkan tenaganya berlari, tubuhnya terdorong kekuatan yang demikian hebat sehingga dia seolah terbang! Dia telah lupa lagi! Dia belum menguasai benar tenaga itu sehingga seolah-olah masih liar. Tenaga liar yang menguasai tubuhnya amatlah berbahaya kalau tidak dapat dia kendalikan. Dia lalu berjalan biasa saja menuruni bukit itu, menuju ke tepi di mana dia mendarat kemarin. Dia pun tidak tahu bahwa semalam telah lewat, disangkanya hari itu masih hari kemarin ketika dia datang.
Ketika tiba di tempat itu, dia masih melihat tiga puluh orang perampok itu malang melintang dan sudah tewas semua, dan banyak barang berceceran di tempat itu. Golok dan pedang, peti-Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
36 peti terisi barang berharga, mungkin barang rampokan, segala macam prabot masak dan lain-lain. Akan tetapi raksasa rambut putih itu sudah tidak berada di situ. Hal ini melegakan hatinya dan cepat dia naik ke atas batu-batu di tepi pantai. Hatinya berdebar penuh ketegangan dan kekecewaan. Bukan saja dia tidak melihat Ji Koan, akan tetapi juga dia tidak melihat sabuah pun perahu di situ! Dan melihat bekas-bekasnya, agaknya, pernah air laut pasang dan menyapu pergi semua perahu yang berada di situ. Bekas air laut sampai naik ke dekat tempat orang-orang itu bertempur dan beberapa buah peti agak-nya terbawa air karena dia melihat be-berapa buah peti itu terapung di laut. Tentu perahu-perahu itu telah hanyut oleh air pasang. Atau ada yang membawa pergi" Dia tidak tahu benar dan apa pun yang telah terjadi, kenyataannya bahwa dia ditinggal di situ tanpa perahu! Bagaimana dia akan dapat meninggalkan pulau itu"
Keng Han merasa lemas hatinya dan dia duduk termenung di atas batu, memandang jauh ke laut yang tidak bertepi. Dia tidak percaya kalau Ji Koan, paman nelayan yang baik hati itu, sengaja meninggalkannya! Kakek raksasa yang amat kejam itu! Dan dia mengkhawatirkan nasib Ji Koan.
"Tenangkan hati dan pikiranmu, Keng Han!" katanya kepada diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, dia harus bersikap tenang. Harus dapat menentukan apa yang lebih baik dan lebih dulu harus dia lakukan.
Mayat-mayat itu! Kalau dia dipaksa harus tinggal di tempat itu, lebih dulu mayat-mayat itu harus dikubur dengan baik. Kalau tidak mereka akan membusuk dan menimbulkan penyakit yang membahayakan dirinya. Setelah berpikir demikian, dia segera memilih tempat yang tanahnya agak lunak, menggunakan golok yang banyak terdapat di situ dan meng-gali beberapa buah lubang yang besar. Enam buah lubang besar dia gali dan ketika melakukan pekerjaan ini, dirasakan mudah sekali. Tenaganya amat besar dan menggali lubang itu dirasakan ringan saja. Setelah menggali lubang-lubang itu, dia lalu mengubur tiga puluh mayat itu.
Lima buah dalam satu liang dan setelah semua dikubur, dia menimbuni liang-liang itu dengan tanah. Setelah selesai, dia mencuci kedua tangan dan kakinya dengan air laut sampai bersih benar. Kemudian kembali dia duduk berpikir. Apa yang harus dikerjakan sekarang"
Mengumpulkan barang-barang yang akan berguna baginya. Kalau dia terpaksa hidup di pulau itu, dia harus memiliki barang-barang yang berguna. Mulailah dia memilih-milih di antara barang yang berserakan, milik para perampok itu. Dia mengambil dua batang golok yang terbaik, lalu mengambil prabot-prabot masak. Kemudian dia mengangkut barang-barang berharga seperti kain dan per-hiasan-perhiasan dan mengumpulkan semua itu ke dalam, gua di atas bukit. Gua itulah satu-satunya tempat yang baik baginya untuk dijadikan tempat tinggal.
Pekerjaan ini dilakukan sampai malam tiba. Perutnya terasa lapar sekali, akan tetapi karena malam telah tiba dia tidak dapat pergi mencari makanan. Dia membuat api dan membakar api unggun di mulut gua, lalu tertidur beralaskan sehelai permadani yang diketemukannya di antara banyak kain dan barang berharga tadi. Dia merasa heran mengapa tadi dia tidak melihat ada seekor pun ular merah. Agaknya ular-ular itu pergi bersembunyi ketika air laut pasang, pikirnya. Akhirnya dia pun tertidur saking lelahnya dan lapar di perutnya tidak dirasakannya lagi.
*** Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
37 Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah terang tanah pertama-tama yang dilakukan Keng Han adalah mencari sumber air di pulau itu. Hal ini amatlah penting karena tanpa adanya air tawar, bagaimana dia dapat hidup. Dan dia yakin bahwa di pulau di mana terdapat begitu banyak pohon, tentu ada sumber airnya dan dia pun benar. Dia menemukan sumber air di lereng belakang bukit di mana terdapat hutan. Dengan gembiranya dan dalamnya ada sepuluh meter. Dia mencoba memasuki gua itu lebih dalam dan ternyata dia menemukan sebuah lorong yang tadinya tertutup batu besar. Setelah dengan mudah dia menggeser batu yang menutupi lorong itu, terbukalah sebuah lorong dalam tanah. Karena lorong itu gelap, dia lalu membuat obor memasuki lorong itu. Panjang lorong itu ada dua puluh meter dan ke-tika tiba di ujung lorong, ada sinar menerangi ujung itu. Ternyata ujung itu merupakan ruangan yang lebarnya ada empat meter persegi dan di atasnya ada lubang, maka ada sinar matahari yang masuk. Jadi ruangan itu seperti sebuah dasar sumur yang besar. Dengan obornya Keng Han memeriksa dinding ruangan itu dan dia terbelalak! Keempat dinding itu penuh dengan huruf-huruf terukir, indah dan masih jelas dapat dibaca. Dan ternyata huruf-huruf itu adalah pelajaran ilmu silat!
Keng Han merasa beruntung sekali pernah mendapat pelajaran dari Gosang Lama tentang sastra sehingga pengetahuannya cukup mendalam dan dia dapat membaca semua tulisan itu dengan jelas. Mengingat betapa pulau ini pernah tenggelam selama puluhan tahun, kalau tulisan itu hanya digurat di tanah liat saja tentu kini telah terhapus habis. Akan tetapi hebatnya, guratan itu dilakukan orang pada batu yang keras! Ini berarti bahwa penulisnya tentu orang yang memiliki ilmu kepandaian hebat, dan bukan hanya seorang saja. Melihat bentuk tulisannya, Keng Han dapat membedakan dan mengetahui bahwa tulisan itu dibuat oleh tiga orang.
Dugaan Keng Han memang benar. Pulau yang kini menjadi pulau yang subur itu dahulunya memang Pulau Es. Dahulu, di situ terdapat Istana Pulau Es yang kemudian telah terbakar rata dengan bumi, dan ketika pulau itu tenggelam, maka segala sisa dari istana itu hilang sama sekali. Akan tetapi di dalam istana itu terdapat sebuah lorong bawah tanah dan lorong itu adalah yang ditemukan Keng Han sekarang ini. Istana itu sendiri kini hanya tinggal sebagai gua itulah.
Dahulu, penghuni Pulau Es ada tiga orang, yaitu seorang pendekar sakti bersama dua orang isterinya. Pendekar itu adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan Pendekar Super Sakti atau juga ada yang menyebut Pendekar Siluman karena dia pandai ilmu sihir. Adapun kedua orang isterinya adalah Puteri Nirahai dan yang ke dua adalah Puteri Lulu. Kedua orang isterinya itu adalah keturunan Mancu.
Tulisan itu dibuat oleh ketiga orang ini biarpun ilmu-ilmu mereka telah diwariskan kepada anak cucu. Maksud mereka adalah bahwa mereka hendak bersikap adil, yaitu tidak hanya menurunkan kepada anak cucu, akan tetapi kalau ada orang luar yang menemukan tulisan itu dan mempelajarinya, maka hal itu adalah sudah menjadi kehendak Tuhan dan itulah yang dinamakan jodoh. Mereka masing-masing menuliskan inti sari ilmu mereka yang sebetulnya tidak akan mudah dipelajari orang.
Ketika Keng Han secara kebetulan menemukan tempat itu, berarti dialah yang berjodoh mendapatkan Pusaka Pulau Es itu. Memang kebetulan sekali. Andaikata dia tidak mendapatkan dua tenaga dahsyat yang berlawanan akibat pukulan Swat-hai Lo-kwi dan, gigitan ular-ular darah api, belum tentu dia akan mampu mempelajari dua macam ilmu Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
38 menghimpun tenaga dalam Swat-im Sin-kang (Tenaga Sakti Inti Salju) dan Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) yang dituliskan oleh Pendekar Super Sakti di dinding pertama dan kedua! Pada dinding ke tiga terdapat pelajaran Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun (Tangan Lembut Pencabut Nyawa) yang hanya dapat dilatih oleh orang yang memillki sinkang kuat sekali. Dan pada dinding ke empat terdapat goresan tulisan pelajaran ilmu silat Hong In Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), semacam ilmu silat yang amat hebat, berdasarkan tulisan huruf-huruf yang dapat dilakukan dengan tangan kosong maupun dengan pedang.
Setelah membaca semua tulisan itu, Keng Han yang cerdik berpendapat bahwa dia menemukan tiga orang "guru" yang dia tidak tahu siapa, maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di tengah ruangan itu dan berkata dengan lantang, "Sam-wi Suhu (Ketiga Guru), teecu menghaturkan terima kasih atas peninggalan ilmu-ilmu ini dan teecu berjanji akan mempelajarinya sampai sempurna!" Dia tahu bahwa penghimpunan tenaga dalam merupakan inti ilmu silat, maka sebelum mempelajari yang lain, dia lebih dulu mempelajari ilmu menghimpun tenaga dalam Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang. Sebetulnya, pelajaran ini amatlah sukar bagi orang lain dan biarpun Keng Han pernah digembleng oleh Go-sang Lama, agaknya dia tidak akan mampu menguasai kedua ilmu ini kalau saja dia tidak memiliki dua tenaga yang su-dah menjadi inti dari kedua ilmu itu. Dengan mempelajari kedua ilmu itu, berarti dia akan mampu menguasai kedua tenaga mujijat yang terkandung di dalam tubuhnya secara kebetulan sekali itu.
Keng Han sudah bersumpah dalam hatinya akan mempelajari semua ilmu itu dengan sungguh-sungguh, sampai sempurna dan dia tidak akan meninggalkan pulau itu sebelum mampu menguasai semua ilmu itu dengan baik. Pula, bagaimana dia dapat meninggalkan pulau itu kalau tidak ada perahu di situ"
Demikianlah, mulai hari itu Keng Han menjadi penghuni tunggal pulau kosong itu, setiap hari mempelajari ilmu dengan amat tekunnya. Setiap hari dia makan jamur laut, ikan dan daging ular serta daun-daun muda dan buah yang tumbuh di pulau itu dan yang dapat dimakannya. Tanpa disadarinya sendiri, makanan itu, terutama jamur laut dan daging ular merah, mendatangkan kekuatan yang se-makin hebat dalam tubuhnya. Kini tubuhnya telah terbiasa menerima racun, sehingga dia tidak perlu takut lagi akan segala macam racun, betapapun hebatnya racun itu. Tubuhnya telah menjadi kebal racun!
Untuk berganti pakaian, dia juga tidak kekurangan karena para perampok itu membawa bahan kain yang serba mahal, hasil perampokan mereka. Dia membuat pakaian dari kain, sejadi-jadinya asal dapat membungkus tubuhnya dan tidak menjadi telanjang.
Bertahun-tahun Keng Han tekun belajar. Ternyata ilmu-ilmu itu amatlah sukarnya sehingga semacam ilmu harus dipelajari dan dilatihnya sedikitnya satu tahun!
*** Kita tinggalkan dulu Keng Hong yang terkurung di dalam pulau kosong mempelajari ilmu-ilmu Pusaka Pulau Es yang kebetulan ditemukannya dan kita menengok bagian lain dari kisah ini.
Seperti telah diceritakan di bagian depan Pangeran Mahkota Tao Kuang selamat dari pengkhianatan saudara-saudaranya sendiri, yaitu kedua kakaknya, Tao Seng dan Tao San. Dia telah diselamatkan oleh seorang datuk yang berjuluk Sin-tung Koai-jin bernama Liang Cun bersama puterinya yang bernama Liang Siok Cu. Kemudian, Liang Siok Cu yang memang cantik manis itu menjadi selir Pangeran Tao Kuang yang tercinta. Setahun kemudian selir ini melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Tao Kwi Hong. Dan sebagai puteri pangeran mahkota, tentu saja sejak kecli Kwi Hong amat dimanja ayah ibunya. Terutama sekali kakeknya, Sin-tung Koai-jin Liang Cun amat memanjakan cucunya. Sejak anak itu masih kecil, Sin-tung Koal-jin menggemblengnya dengan dasar-dasar ilmu silat. Ayahnya Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
39 juga tidak melupakan pendidikan ilmu surat kepada puterinya sehingga Kwi Hong menjadi seorang anak perempuan yang cerdik dan juga gagah.
Semenjak lancar membaca, Kwi Hong yang baru berusia lima belas tahun itu gemar sekali membaca dan perpustakaan istana menjadi langganannya. Perpustakaan istana itu lengkap sekali, bahkan banyak terdapat kitab-kitab kuno yang sudah sukar dimengerti oleh para pembaca sekarang. Hanya sedikit saja ahli-ahli sastra kuno yang akan mampu membacanya.
Dan anehnya, gadis remaja ini bahkan paling suka memeriksa kitab-kitab kuno ini.
Kebanyakan adalah kitab-kitab agama dan filsafat, juga catatan-catatan sejarah oleh para sastrawan jaman dahulu.
Pada suatu hari, Puteri Tao Kwi Hong menemukan sebuah kitab kuno yang sudah berdebu dan ia tertarik sekali karena pada sampulnya terdapat gambar segi lima dengan gambar Im-yang. Didalamnya dan ada sepasang pedang bersilang di atasnya. Gambar pedang itulah yang menarik perhatiannya dan ketika ia membukanya, ternyata itu merupakan sebuah kitab kuno ilmu pedang! Akan tetapi bahasanya kuno dan banyak sekali huruf yang tidak dikenalnya. Ia lalu mengatakan kepada penjaga perpustakaan bahwa ia hendak meminjam kitab itu untuk dibacanya. Penjaga perpustakaan tidak berani menolak permintaan puteri dari Pangeran Mahkota, hanya berpesan agar setelah selesai dibaca, kitab itu harus dikembalikan dan mencatatnya dalam buku catatannya.
Kwi Hong membawa pulang kitab itu dan memperlihatkannya kepada kakeknya. "Ah, aku pernah mendengar tentang adanya ilmu pedang Ngo-heng Sin-kiam yang telah hilang dari peredaran dan tidak ada lagi yang mampu memainkannya. Agaknya inilah kitabnya! Ah, engkau beruntung sekali dapat menemukan kitab ini, Kwi Hong!"
"Akan tetapi isinya sukar dimengerti, Kong-kong. Banyak huruf yang tidak kukenal.
Bagaimana dapat mempelajarinya kalau banyak huruf tidak dapat diketahui artinya?"
Sin-tung Koai-jin sendiri bukan seorang ahli sastra yang pandai. Ketika dia membuka-buka kitab itu, alisnya berkerut dan harus dia akui bahwa dia bahkan hampir tidak dapat membaca kitab itu. "Kita tidak boleh memperlihatkan kitab ini kepada sembarang orang, Kwi Hong.
Akan tetapi untuk dapat membaca ini, engkau harus menanyakan kepada ahli-ahli sastra kuno yang banyak terdapat di kota raja. Lalu bagaimana baiknya?"
Kwi Hong adalah seorang gadis yang amat cerdik. Setelah berpikir sejenak, sepasang matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri.
"Aku mempunyai akal, Kong-kong. Aku akan menuliskan semua huruf yang tidak aku kenal dan huruf-huruf itulah yang akan kutanyakan artinya kepada ahli sastra kuno. Dengan demikian dia tidak akan dapat membaca kitab ini, hanya beberapa huruf kuno saja."
"Bagus! Akalmu itu sungguh cemerlang. Aku akan mencari ahli sastra kuno dan engkau boleh mulai menuliskan huruf-huruf yang tidak kaukenal itu!"
Demikianlah, dengan akal itu, akhirnya Kwi Hong dapat membaca semua isi kitab itu dan dapat mempelajari ilmu pedang pasangan yang amat hebat. Dalam melatih gerakannya yang kadang terasa sukar, dia diberi petunjuk oleh kakeknya dan akhirnya, dalam waktu dua tahun, dara ini berhasil menguasai Ngo-heng Sin-kiam dengan baik. Dengan menguasai ilmu pedang pasangan itu, kakeknya sendiri akan kewalahan menandinginya! Demikian hebatnya ilmu pedang itu dan untuk mengimbangi ilmu pedang itu, kakeknya membuatkan sepasang pedang yang indah dan baik.
Kwi Hong memang manja dan sifatnya agak bengal. Seringkali, setelah menguasai ilmu silat yang cukup mendalam, ia minggat dari istana untuk merantau di dalam bahkan luar kota raja, jauh dari jangkauan para pengawal karena ia merasa tidak leluasa dan tidak senang kalau Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
40 harus keluar selalu diikuti pengawal yang menjaga keselamatannya! Tentu saja sebagai seorang gadis yang cantik jelita, ketika keluar seorang diri, banyak pula yang tidak tahu bahwa ia puteri pangeran, berani kurang ajar dan menggodanya. Akan tetapi Kwi Hong merobohkan mereka satu demi satu sehingga namanya menjadi terkenal di kota raja dan daerahnya. Karena ia selalu memakai hiasan burung bangau dari emas di sanggul rambutnya, Ia mendapat julukan "Si Nona Bangau Emas!"
Setelah Kwi Hong berusia tujuh belas tahun dan ia telah menguasai Ngo-heng Sin-kiam, ia mulai minggat lagi dari istana dan kini ia merantau sampai jauh dari kota raja. Bukan saja namanya yang terkenal membuat pria yang hendak mengganggunya menjadi jerih, akan te-tapi kini ke manapun ia pergi ada sepasang pedang bersilang di punggungnya, membuat laki-laki yang hendak kurang ajar kepadanya menjadi lebih gentar lagi.
Agaknya cerita yang sering didengar dari kakeknya sebagai seorang pendekar,
menumbuhkan jiwa pendekar dalam diri gadis ini. Biarpun ia seorang gadis bangsawan yang seharusnya berada di istana, dihormati dan dilayani, gerak-geriknya lembut dan halus, namun jiwa pendekar bergejolak dalam dirinya dan ia suka pergi tanpa pamit sampai berpekan-pekan, dan selama berada di luaran ia selalu bertindak sebagai pendekar wanita, menentang para penjahat dan membela yang lemah!
Pada suatu hari, Kwi Hong memasuki kota Tung-san, yaitu sebuah kota kecil di aebelah, selatan kota raja. Karena merasa perutnya lapar, gadis ini lalu memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar. Pada siang hari itu, rumah makan telah dipenuhi para tamu dan hampir semua orang menengok memandang kepada gadis yang baru masuk itu, terutama para tamu pria. Siapa yang tidak akan menoleh dan terpesona memandang gadis itu. Dalam usianya yang tujuh belas tahun, Kwi Hong memang merupakan seorang dara yang cantik jelita dan manis sekali. Rambutnya hitam sekali, panjang dan halus lebat. Rambut itu digelung ke atas tinggi dan dihias burung bangau emas, di bagian belakang diikat dengan pita merah. Di atas dahinya yang halus mulus itu terdapat anak rambut yang melingkar-lingkar, terutama di depan kedua telinganya. Alisnya seperti dilukis, hitam melengkung, kecil panjang. Anggun sekali.
Sepasang matanya dihias bulu mata yang lentik, dan mata itu sendiri bersinar tajam dan jeli dan jernih, dengan ujung kedua mata itu agak sipit menjungkat ke atas sehingga kalau ia mengerling nampak manis bukan main. Hidungnya kecil mancung, setimpal sekali dengan mulutnya. Mulut itu memang mempesonakan. Mulut yang kecil dengan sepasang bibir yang selalu kemerahan, merah basah dan berkulit tipis penuh. Di kanan kiri mulutnya terdapat lesung pipit yang membuat mulut itu makin menarik. Sukar dikatakan mana yang lebih mempesonakan. Matanya ataukah mulutnya. Di kedua anggauta muka itulah letak inti daya tarik Kwi Hong. Dagunya runcing dan lehernya panjang putih mulus. Sepasang pipinya yang selalu kemerahan seperti buah tomat walaupun tidak me-makai pemerah pipi. Wajah cantik itu hanya dipolesi bedak tipis-tipis saja karena Kwi Hong bukan seorang gadis pesolek.
Pakaiannya juga tidak terlalu mewah bagi seorang puteri istana, walaupun cukup indah.
Celana sutera biru tua dan bajunya biru muda, dengan sabuk kuning emas, sepatunya hitam mengkilap. Seorang gadis yang amat menarik hati, akan tetapi juga gagah karena terdapat sepasang pedang melintang di punggungnya. Pedang itulah yang membuat semua mata pria yang memandang tidak memandang langsung, melainkan melirik karena mereka agak gentar melihat pedang di punggung itu. Jelas bahwa gadis jelita itu adalah seorang gadis yang pan-dai ilmu silat.
Seorang pelayan rumah makan tergopoh menyambut. Hatinya gembira bukan main mendapat kesempatan menyambut tamu yang demikian cantiknya sehingga semua tamu yang lain menaruh perhatian. Dia membungkuk sebagai tanda menghormat dan berkata dengan suara hormat pula.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
41 "Selamat siang, Nona. Silakan, di sudut sana masih ada meja kosong."
Kwi Hong mengangguk dan tanpa mempedulikan lirikan mata begitu banyak orang ia pun melangkah mengikuti pelayan itu menuju ke meja kosong ,di sudut kiri rumah makan itu.
Selama ia melakukan perjalanan merantau keluar dari istana, sudah terlalu sering ia melihat pandang mata laki-laki seperti itu. Memang tadinya hal ini amat meng-ganggu dan membuat ia marah, akan tetapi akhirnya ia mengetahui bahwa hampir semua laki-laki adalah mata keranjang dan tidak dapat melewatkan seorang gadis cantik. Asalkan tidak ada yang mengganggunya dengan ucapan atau perbuatan kurang ajar, kalau hanya pan-dang mata saja, dara ini tidak lagi mengambil peduli dan pura-pura tidak melihatnya. Bahkan sedikit banyak ada perasaan bangga di hatinya karena diperhatikan banyak pria itu berarti bahwa dirinya memang cantik jelita dan menarik! Hanya bangga akan diri sendiri, sama sekali bukan senang karena ia tahu bah-wa sebagian besar dari mereka itu pandang matanya penuh gairah dan nafsu.
"Nona hendak memesan makanan apa?"
"Beri aku nasi dan panggang ayam, juga masak Sayur jamur dan lidah bebek."
"Minumnya, Nona" Arak?"
"Tidak, cukup air teh saja."
"Baik, Nona." Pelayan itu lalu pergi untuk memenuhi pesanan Kwi Hong.
Tiba-tiba dari meja sebelah terdengar orang berbisik-bisik. Ketika Kwi Hong melirik, dia melihat tiga orang laki-laki berusia antara dua puluh sampai tiga puluh tahun saling berbisik dan tersenyum-senyum. Jangan-jangan mereka akan bersikap kurang ajar, pikir Kwi Hong.
Akan tetapi ia bersikap tenang saja dan berpura-pura tidak melihatnya.
Akhirnya, benar seperti yang ia duga, seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung kurus, bangkit berdiri dan meng-hampiri, berdiri di depannya dan berkata sambil sedikit membungkuk, "Nona, makan seorang diri sungguh tidak menyenangkan. Bagaimana kalau Nona kami undang makan bersama kami" Kebetulan kami hanya bertiga, dan meja kami masih dapat menerima seorang lagi. Silakah, Nona. Pesanan Nona biar diantar ke meja kami."
Kwi Hong mengerutkan alisnya. Seorang pria yang tidak dikenal menegur seorang gadis, apalagi mengundang makan, sudah merupakan hal yang tidak wajar. Akan tetapi karena laki-laki jangkung kurus ini bersikap sopan, ia pun menahan kemarahannya.
"Tidak, terima kasih. Aku ingin makan sendirian saja dan harap jangan mengganggu aku."
Mendengar jawaban ini, laki-laki tinggi kurus itu hanya senyum-senyum agak malu karena penolakan itu didengar oleh para tamu lain. Akan tetapi seorang di antara kawan-kawannya, yang bertubuh gendut dan bermuka merah karena terlalu banyak minum arak, berkata dengan suara mengejek, "Aih, nona manis, harap jangan menjual mahal! Kami adalah pemuda-pemuda hartawan yang mampu membayar pesanan makanan apa saja yang Nona sukai!"
Mendengar ucapan kurang ajar ini, sekali melompat Kwi Hong sudah berada di dekat si gendut itu. "Apa yang kaukatakan?" bentaknya.
Laki-laki gendut itu agaknya tidak tahu diri atau dia sudah terlalu mabuk. "Ha-ha-ha, aku bilang jangan jual mahal, nona manis, aku...."
Tiba-tiba tangan kiri Kwi Hong bergerak menjambak rambut kepala pria itu dan membenamkan mukanya pada panci terisi kuah panas di depannya.
"Haepp....haeppppp....!" Laki-laki itu gelagapan dan setelah Kwi Hong
melepaskan jambakannya, laki-laki itu melonjak-lonjak kepanasan karena mukanya seperti dibakar, matanya tidak dapat dibuka.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
42 Kwi Hong sudah duduk kembali ke depan mejanya. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa dua orang Laki-laki teman si gendut menjadi marah melihat teman mereka diperbuat seperti itu oleh Kwi Hong.
Mula-mula dua orang itu menolong si gendut, mencuci dan membersihkan mukanya yang menjadi semakin merah seperti udang direbus dan ketika dia sudah mampu membuka matanya, kedua matanya menjadi sipit dan kemerahan. Kemudian dua orang itu meloncat ke depan meja Kwi Hong dengan sikap marah.
"Nona, engkau kejam sekali! Berani engkau menghina kami" Kami adalah murid-murid dari Pek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Putih)!"
Melihat kedua orang itu kini nampak-nya marah kepadanya, Kwi Hong tersenyum mengejek.
"Tidak peduli kalian dari perguruan Harimau Putih atau Harimau Belang, siapa berani menghinaku pasti akan kuhajar! Masih untung aku tidak menghancurkan mulutnya!"
"Engkau sombong!" kata orang yang tubuhnya pendek besar dan dia sudah mengayun tangannya untuk menampar muka Kwi Hong. Akan tetapi Kwi Hong sudah mengelak sambil duduk dan sekali kakinya menendang, orang itu pun terjengkang dan mengaduh karena perutnya tiba-tiba menjadi mulas terkena tendangan ujung kaki yang bersepatu hitam itu.
Si tinggi kurus kini menerjang maju dengan kedua tangannya, agaknya hendak menangkap Kwi Hong. Akan tetapi Kwi Hong tetap duduk di atas kursihya dan ketika kedua tangan itu datang ia sudah menggerakkan kedua tangannya menotok ke arah pergelangan tangan, lalu kembali kakinya menendang ke depan. Si tinggi kurus merasa betapa kedua tangannya tiba-tiba menjadi kaku dan sebelum dia sempat mengelak, tahu-tahu kaki gadis itu sudah menendangnya dan dia pun terjengkang ke belakang seperti si pendek besar.
Kini si gendut sudah dapat bangkit. Dia menghunus sebatang pedang dari atas meja, akan tetapi sebelum dia sempat bergerak, Kwi Hong sudah menyambar sebatang sumpit dan sekali sambit, pemuda gendut itu mengaduh-aduh dan pedangnya jatuh ke lantai. Ternyata lengan kanannya sudah ditembusi sumpit itu!
Dua orang kawannya terkejut, akan tetapi sebelum mereka mencabut pedang, Kwi Hong menggertak, "Kalau kalian nekat, sumpit-sumpit ini akan menembus jantung kalian!" Berkata demikian, dia melemparkan sumpit ke arah tembok dan dua batang sumpit itu menancap sampai, setengah lebih ke dalam tembok! Melihat ini, dua orang itu terbelalak dan tidak jadi mencabut pedang mereka, lalu menarik kawan si gendut yang terluka dan larl dari rumah makan itu. Terdengar teriakan si gendut.
"Nona kejam, kalau engkau memang gagah, tunggu pembalasanku!"
Akan tetapi Kwi Hong duduk kembali seolah tidak ada terjadi sesuatu dan ketika hidangan yang dipesannya tiba, ia segera makan dengan sikap tenang sekali. Para tamu lain yang menyaksikan peris-tiwa itu, segera bicara sendiri membicarakan gadis yang mereka anggap hebat luar biasa itu. Semua orang di Tung-san mengenal siapa murid-murid perguruan Harimau Putih yang suka bersikap ugal-ugalan mengandalkan perguruan mereka yang memiliki banyak murid dan guru mereka yang terkenal dengan julukan Pek-houw-eng (Pendekar Harimau Putih)" Tidak ada yang berani menentang mereka. Para murid itu bukan orang-orang jahat dan tidak pernah melakukan kejahatan, hanya sikap mereka ingin menang sendiri saja dan tidak mau ditentang, seolah mereka yang menguasai kota Tung-san.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
43 Tidak jauh dari situ, di tengah-tengah itu, sejak tadi seorang pemuda memperhatikan peristiwa itu dan melihat betapa gadis itu menghajar tiga orang tadi, dia tersenyum-senyum puas. Pemuda itu seorang pemuda yang berusia antara dua puluh atau dua puluh satu tahun.
Pakaiannya sederhana, akan tetapi wajahnya tampan dan gagah. Tubuhnya sedang saja, matanya lebar, hidung mancung dan mu-lutnya ramah selalu dihias senyum. Dagu-nya agak berlekuk sehingga menambah kejantanannya. Siapakah pemuda gagah tampan sederhana ini"
Dia bukan lain adalah Tao Keng Han.
Seperti kita ketahui, Keng Han terjebak di pulau kosong, tidak dapat meninggalkan pulau karena tidak ada perahu. Akan tetapi dia pun tidak ingin meninggalkan pulau itu sebelum dia menguasai ilmu-ilmu Pusaka Pulau Es yang dia temukan tergores pada dinding se-buah ruangan bawah tanah. Dia melatih diri dengan Hui-yang Sin-kang dan Swat-im Sin-kang, dua tenaga sakti yang si-fatnya panas dan dingin, dan dia dapat menguasai ilmu ini karena dalam tubuh-nya sudah terdapat kekuatan dahsyat yang sifatnya dingin dan panas itu. Dengan menguasai dua ilmu sinkang itu, dia kini dapat mengendalikan dua tenaga sakti dalam tubuhnya. Hampir tiga tahun dia hanya melatih diri dengan dua ilmu pengerahan tenaga sakti ini. Setelah dia berhasil baik, barulah dia melatih dua ilmu silat yang terdapat di dinding itu, yaitu ilmu silat Toat-beng Bian-kun yang sifatnya lemas namun mengandung kekuatan dahsyat sekali dan kedua adalah Hong In Bun-hoat yang halus dan nampak indah seperti orang menari sambil menuliskan huruf, akan tetapi mengandung daya serangan yang luar biasa hebatnya. Dua tahun dia menghabiskan waktu untuk melatih ilmu ini dengan baik sehingga tanpa terasa lagi dia sudah lima tahun tinggal di Pulau Hantu itu.
Setelah dia menguasai semua ilmu itu, dia lalu menggunakan, sebatang golok untuk merusak dinding itu sehingga coretan huruf-huruf itu lenyap dan rusak. Dia tidak ingin ilmu itu kelak dipelajari orang lain, apalagi dipelajari orang jahat. Ilmu itu terlalu hebat dan kalau terjatuh ke tangan orang jahat tentu akan membahayakan dunia. Selama lima tahun, dia hanya makan jamur laut, Ikan laut, dan daging ular serta sayur-sayuran aneh dan buah-buahan aneh pula.
Tanpa disadarinya sendiri, makanan yang dimakannya se-lama lima tahun itu memberinya kekuatan yang hebat pula. Dia tidak menyadari bahwa dia kini telah menjadi seorang pemuda yang memiliki kekuatan yang amat dahsyat!
Kini, setelah semua ilmu habis dipelajari timbul keinginannya untuk meninggalkan pulau itu.
Dia lalu menggunakan golok menebang pohon yang cukup besar, dan membuat perahu sedapatnya sehingga jadilah sebuah perahu kecil yang sederhana sekali. Untuk layarnya, dia menggunakan kain-kain sutera yang dulu dikumpulkan dari milik para perampok. Juga dia membuat dayung dari kayu. Setelah perahu itu jadi, Keng Han lalu membawa pakaian yang dibuatnya sendiri, dan mulailah dia berlayar meninggalkan pulau itu. Ketika dia mendorong perahu itu ke air, beberapa ekor ular merah menyerangnya, akan tetapi sambil tertawa dia menggunakan tangannya menyampok ular-ular itu yang baginya kini sama sekali tidak berbahaya lagi. Bahkan biasanya ular-ular itu dia tangkapi untuk dimasak dagingnya!
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
44 Demikianlah, setelah berhasil mendarat di pantai, meninggalkan pulau itu dengan selamat, mulailah Keng Han melakukan perjalanan, menuju ke kota raja. Dia hendak mencari ayahnya!
Dan dalam perjalanan inilah dia tiba di kota Tung-san. Ketika dia mendarat, dia segera membuat pakaian yang biasa, membeli dari toko dan untuk itu dia memiliki banyak emas dan perak. Segera dia berganti pakaian dan membuang pakaian buatan sendiri yang amat sederhana seperti jubah pendeta itu. Selama dalam per jalanan, dia tidak pernah mengalami gangguan karena penampilannya sebagai pemuda biasa dan sederhana.
Ketika dia lapar dan memasuki rumah makan di Tung-san itu, dia menyaksikan peristiwa yang terjadi di antara gadis cantik jelita itu yang menghajar tiga orang pemuda berandalan dan dia tersenyum kagum. Jarang ada gadis yang demikian pemberani dan lihai pula, apalagi gadis itu agaknya puteri seorang bangsawan atau hartawan, melihat dari pakaiannya. Keng Han menjadi kagum, akan tetapi tidak seperti para pria lain, dia menyembunyikan kekagumanya dan dengan hati geli mendengar betapa orang-orang di beberapa meja itu saling beri bisik memuji-muji kelihaian dan kecantikan gadis itu.
Akan tetapi pemilik rumah makan merasa khawatir sekali, bukan saja khawatir akan keselamatan gadis itu, juga terutama sekali khawatir kalau-kalau rumah makannya akan menjadi medan pertempuran sehingga akan merugikan isi rumah makan dan membikin takut para langganannya. Dia tidak ingin terjadi pertempuran besar di situ, apalagi sam-pai pembunuhan. Maka dia segera meng-hampiri Kwi Hong yang sedang makan dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangannya ke depan dada.
"Maafkan kalau saya mengganggu Nona yang sedang makan." katanya dengan jerih.
Kwi Hong yang sedang makan itu mengerutkan alisnya dan menoleh sedikit ke arah orang itu. "Engkau mau apa?" tanyanya tak senang.
"Maafkan, Nona. Akan tetapi Nona agaknya tidak tahu. Pek-houw Bu-koan itu adalah sebuah perkumpulan atau perguruan silat yang besar dan berpengaruh sekali di kota ini. Nona telah memukul tiga orang murid mereka. Tentu mereka itu akan datang membalas dendam kepadamu, oleh karena itu saya anjurkan Nona segera meninggalkan tempat ini dan pergi sebelum terlambat."
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
45 "Aku tidak takut! Biar mereka semua datang, kalau, berani menggangguku, akan kuberi hajaran satu demi satu!" kata Kwi Hong.
"Akan tetapi, Nona. Kalau terjadi perkelahian di sini bagaimana dengan rumah makanku ini"
Tentu akan hancur berantakan dan para langgananku akan berlarian meninggalkan rumah makanku. Aku akan menderita kerugian besar...." Pemilik rumah makan itu hampir me-nangis. Baginya, yang terpenting adalah keselamatan rumah makannya."
"Hemmm, Jadi engkau pemilik rumah makan ini" Jangan khawatir, kalau terjadi kerusakan, aku akan memaksa mereka untuk mengganti semua kerugianmu, atau aku sendiri yang akan menggantinya. Sekarang, pergilah dan jangan ganggu aku yang sedang makan!" Kwi Hong melanjutkan makannya dan pemilik rumah makan itu tidak berani bicara lagi melainkan pergi dengan muka pucat dan wajah penuh kekhawatiran. Kembali Keng Hah yang mendengarkan semua itu, tersenyum kagum. Gadis yang tabah luar biasa dan juga bertanggung jawab.
Sungguh seorang gadis yang memiliki kepribadian yang kuat dan berwibawa. Ingin dia melihat kelanjutan peristiwa itu dan kalau memang diperlukan, dia siap membantu gadis itu.
Kwi Hong makan dengan tenang saja, padahal tentu saja, ia tahu bahwa ucapan pemilik rumah makan itu bukan hanya kosong belaka dan memang besar sekali kemungkinan tiga orang tadi akan meng-undang kawan-kawan mereka bahkan guru mereka. Akan tetapi sedikit pun ia tidak merasa gentar, bahkan ia mengambil keputusan untuk memberi hajaran kepada Pek-houw Bu-koan kalau benar mereka itu hendak membela tiga orang muda yang kurang ajar tadi.
Kekhawatiran pemilik rumah itu ternyata terbukti benar. Serombongan orang terdiri dari tiga puluh orang lebih mendatangi rumah makan itu, dipimpin oleh seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun yang mengenakan pakaian serba putih. Itulah guru silat Pek-houw Bu-koan yang berjuluk Pendekar Harimau Putih!
Melihat ini, pemilik rumah makan lalu berlari keluar dan berlutut di depan kaki orang berpakaian putih itu. "Teng kauwsu (Guru Silat Teng), mohon di kasihani, harap jangan berkelahi di dalam rumah makan kami dan menghancurkan segalanya. Kami sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa tadi dan kami sama sekali tidak bersalah...."
Guru silat yang berjuluk Pek-houw-eng dan menjadi kepala dari Pek-houw Bu-koan itu.
mendengus. "Hemmm, mana perempuan yang telah menghina murid-murid kami itu?"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
46 "Ia masih makan di dalam, Teng-kauwsu. Akan tetapi harap Kauwsu suka bersabar dan menanti sampai ia keluar. Kasihanilah tamu-tamu lain yang tidak bersalah dan jangan merusak rumah ma-kan kami."
"Hemmm, baiklah. Hei, kalian jaga di empat sudut, jangan biarkan perempuan itu meloloskan diri!" perintahnya kepada anak buahnya dan dia sendiri men jaga di depan pintu pekarangan rumah makan itu.
Para tamu lain yang melihat kedatangan rombongan itu, menjadi ketakutan. Mereka segera membayar harga makanan dan bergegas meninggalkan tempat itu, takut, terlibat. Kwi Hong melihat hal ini, akan tetapi ia tetap tenang. dan melan-jutkan makannya. Ia melihat semua tamu telah pergi, kecuali seorang pemuda berpakaian sederhana yang duduk di meja tengah ruangan itu. Ia tidak peduli. Setelah selesai makan, Ia menyeka mulutnya dan memanggil pelayan. Dengan sikap seenaknya ia membayar harga makanan, barulah ia melenggang keluar dari rumah makan itu. Keng Han mengikutinya dengan pandang mata dan akhirnya dia membayar pula harga makanan dan menyelinap keluar.
Karena memang sudah dinanti, begitu keluar dari rumah makan yang sudah sunyi itu, Kwi Hong telah datang dihadang oleh Pek-houw-eng Teng Coan bersama tiga puluh orang muridnya! Guru silat itu tercengang juga. Tak disangkanya bahwa perempuan yang telah menghina dan menghajar tiga orang muridnya itu adalah seorang gadis yang cantik jelita dan masih remaja! Paling banyak tujuh belas tahun usianya! Akan tetapi karena sudah terlanjur, dia harus tetap menjaga nama dan kehormatan Pek-houw Bu-koan!
"Nona, berhenti dulu!" Bentak Teng Coan ketika melihat Kwi Hong melangkah terus tanpa mempedulikan dia dan para muridnya, dan sengaja dia menghadang di depan gadis itu.
Kwi Hong mengangkat muka memandang seolah baru sekarang ia melihat ada orang menghadangnya. "Hemmm, siapakah engkau dan mau apa engkau menahan perjalananku?"
tanyanya dengan sikap acuh tak acuh.
"Nona, benarkah engkau yang tadi telah menghina dan memukuli tiga orang murid kami?"
"Hemmm, kalau memang betul, mengapa?"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
47 "Nona, engkau terlalu kejam. Tanpa alasan yang kuat engkau melukai murid-murid kami, akan tetapi melihat bahwa engkau hanya seorang gadis remaja, maka biarlah aku akan habiskan urusan itu kalau saja engkau suka mohon maaf sambil berlutut di depan kakiku!"
Guru silat itu merasa tidak enak sendiri kalau harus berkelahi dengan seorang gadis remaja, maka dia hendak menghapus penghinaan itu dengan balas menghina dara itu. Kalau dara itu mau berlutut dan minta maaf, dia pun sudah akan puas dan semua orang tentu akan melihat dan membicarakannya.
Akan tetapi Kwi Hong mengerutkan alisnya. "Apa katamu" Aku berlutut minta maaf kepadamu" Jadi engkau guru mereka" Sepatutnya engkau yang mintakan maaf bagi mereka kepadaku. Tahukah engkau apa sebabnya aku menghajar tiga orang muridmu" Semua orang melihatnya betapa mereka bertiga itu bersikap kurang ajar kepadaku, maka aku mewakilimu untuk menghajarnya! Sepatutnya engkau menghaturkan terima kasih dan mohon maaf, kepadaku!"
Keng Han yang menonton pertemuan itu hampir tertawa bergelak mendengar ucapan itu.
Gadis itu benar-benar hebat. Selain tabah dan berani, ternyata juga amat pandai bicara dan bicaranya tidak ngawur! Akan tetapi kepala perguruan silat itu menjadi merah mukanya dan dia menggertak, "Nona, engkau masih tidak mau minta maaf" Lihatlah, tiga puluh orang muridku siap untuk membalaskan dendam saudara mereka. Apakah engkau tidak takut"
Cepatlah minta maaf agar urusan ini segera beres dan habis."
"Kalau engkau dan mereka itu datang untuk membela orang-orang yang bersalah, aku sama sekali tidak takut, bahkan kalian semua ini patut dihajar karena membela yang salah!" Kwi Hong marah.
"Bagus, engkau ternyata keras kepala dan sombong, sudah sepatutnya aku menghajarmu!"
teriak guru silat itu agar semua orang mendengar bahwa dia terpaksa melawan seorang gadis remaja karena gadis itu sombong dan tidak mau minta maaf. Setelah berkata demikian dengan gerakan sembarangan saja tangannya menampar ke arah pundak gadis itu. Bagaimanapun juga, Teng Coan bukan penjahat, bahkan julukannya adalah Pendekar Harimau Putih, maka dia menganggap dirinya seorang pendekar sejati. Dia tidak menyerang dengan
sungguh-sungguh, maksudnya cukup asal menjatuhkan gadis itu saja untuk menghukumnya.
Akan tetapi dia kecelik kalau mengira dengan satu tamparan dapat mengalahkan Kwi Hong.
Dengan amat mudahnya Kwi Hong menarik pundaknya ke belakang sehingga tamparan itu mengenai angin kosong saja. Melihat tamparannya dapat dielakkan dengan mudah, Teng Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
48 Coan menjadi penasaran dan kembali tangan kirinya menampar, kini lebih cepat dan kuat ditujukan ke arah muka gadis itu.
"Wuuuttttt....!" Kembali tamparannya mengenai tempat kosong karena dengan mudah dielakkan oleh Kwi Hong yang menggeser kakinya ke kiri lalu tangannya bergerak cepat membalas serangan lawan dengan tonjokan ke arah dada guru silat itu. Kwi Hong tidak me-mandang rendah lawan, maka tonjokannya tidak dilakukan dengan setengah tenaga melainkan dengan cepat dan amat kuat. Melihat ini. Teng Coan cepat menarik tangannya dan sambil miring ke kiri dia menggunakan tangan kanan untuk me-nangkis pukulan Kwi Hong.
Dia mengerahkan seluruh tenaganya dengan maksud membuat pukulan itu bukan hanya tertangkis, akan tetapi agar gadis itu terdorong dan lengannya terasa sakit bertemu dengan lengannya sendiri.
"Dukkkkk....!" Dua buah lengan tangan bertemu, lengan tangan yang bertulang besar dan berotot kekar melawan lengan tangan yang bertulang kecil dan berkulit putih halus seolah tidak berotot. Akan tetapi akibatnya sungguh amat mengherankan. Tubuh guru silat itu terhuyung ke belakang sedangkan Kwi Hong tetap berdiri tegak sambil tersenyum!
Kini anak buah atau murid-murid Teng Coan sudah tidak sabar lagi. Dengan senjata golok dan pedang di tangan, mereka maju mengeroyok.
Melihat ini, Teng Coan tidak melerai bahkan dia pun menghunus pedangnya. Karena menghadapi banyak orang yang memegang senjata tajam, Kwi Hong melompat jauh ke belakang sambil mengerahkan kedua tangannya ke punggung dan di lain saat kedua tangannya sudah memegang sepasang pedang yang berkilauan saking tajamnya.
Para penonton menjadi panik melihat mereka semua sudah memegang senjata tajam. Banyak yang menjauhkan diri dan memandang dengan ngeri dan khawatir akan keselamatan gadis cantik itu. Akan tetapi, begitu Kwi Hong menggerakkan sepasang pedangnya menyambut serbuan para murid Pek-houw-bukoan, terdengar jerit-jerit kesakitan dan tiga orang sudah roboh dan terluka. Ada yang pundaknya, ada yang pangkal lengannya, ada pula yang pahanya terserempet pedang di tangan Kwi Hong yang amat lihai itu.
Keng Han yang melihat itu, tidak mengkhawatirkan Kwi Hong. Melihat gerakan sepasang pedang itu, maklumlah dia bahwa gadis itu memang lihai bukan main dan tidak akan kalah biarpun dikeroyok banyak orang. Akan tetapi karena pengeroyoknya terlampau banyak, mungkin saja gadis itu akan melakukan banyak pembunuhan dan inilah yang
dikhawatirkannya. Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
49 "Nona, jangan membunuh orang!" teriaknya dan Keng Han melompat maju. Kaki tangannya bergerak dan para pengeroyok itu berpelantingan seperti diamuk badai. Mereka hanya merasa ada hawa yang mendatangkan angin demikian kuatnya sehingga mereka semua terdorong ke belakang dan terjengkang bergulingan!
Sementara itu, Kwi Hong sudah bertanding melawan guru silat Teng Coan.
Akan tetapi baru sekarang Pek-houweng Teng Coan menyadari betapa lihainya gadis itu.
Sepasang pedang itu menutup semua lubang dan sebaliknya dapat menyerang dari arah manapun sehingga dia yang menjadi repot harus melindungi dirinya dari serangan sepasang pedang yang baginya seolah-olah telah berubah menjadi lima buah banyaknya itu! Dan bayangan pedang-pedang yang menyerangnya itu saling mendukung, susul menyusul datangnya seperti rangkaian yang tidak pernah putus! Belum sampai dua puluh jurus, setelah dengan susah payah dia melindungi tubuhnya, akhirnya pedang kiri Kwi Hong mengenai pundak kanannya sehingga tangan kanannya menjadi lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegang-an.
"Singgg....!" Tahu-tahu sepasang pedang di tangan Kwi Hong telah menyilang di lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak karena bergerak berarti lehernya akan terluka.
"Nah, perintahkan semua muridmu untuk mundur!" bentak Kwi Hong kepada Teng Coan.
Guru silat ini dengan muka sebentar pucat sebentar merah saking malunya, melirik dan melihat betapa para muridnya itu sedang diamuk seorang pemuda dengan tamparan dan tendangan.
"Semua murid, hentikan serangan!" bentaknya dan para murid Pek-houw-bukoan segera berlompatan ke belakang. Mereka memang sudah jerih melihat sepak terjang pemuda yang tiba-tiba muncul membantu Kwi Hong itu. Dan kini mereka melihat betapa guru mereka sudah dikalahkan gadis itu, maka semangat mereka hilang.
Keng Han menghampiri guru silat itu dan berkata dengan suara halus namun mengandung teguran, "Engkau adalah pemimpin perguruan, sepatutnya engkau dapat mengajarkan kesusilaan dan sopan santun kepada para muridmu di samping ilmu silat. Ilmu silat bukan untuk main ugal-ugalan dan menang-menangan sendiri. Tiga orang muridmu itu tadi bersikap kurang ajar terhadap Nona ini dan akulah seorang di antara para saksi yang berada di dalam rumah makan. Engkau baru dapat disebut orang gagah kalau mau mengakul kesalahanmu, maka suruhlah murid-muridmu tadi minta ampun kepada Nona ini!"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
50 Pek-houw-eng Teng Coan menyadari kesalahannya. Dia terburu nafsu mendengarkan laporan tiga orang muridnya. Sekarang baru dia bertemu batunya, menghadapi gadis remaja saja dia kalah.
"Hayo kalian bertiga cepat maju ke sini!" bentaknya kepada para muridnya.
Tiga orang murid yang tadi membuat kekacauan di rumah makan maju dengan sikap takut.
Kwi Hong sendiri sudah menyimpan pedang dan ia memandang kepada pemuda sederhana itu dengan heran dan kagum. Ia juga dapat melihat betapa pemuda itu dengan tangan kosong telah merobohkan belasan orang murid tanpa melukai mereka. Tentu pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat.
Setelah tiga orang murid itu mendekat, Teng Coan lalu menggerakkan tangannya, tiga kali menampar dan tiga orang muridnya itu terpelanting.
"Hayo cepat berlutut dan minta maaf kepada Nona ini!" kata Teng Coan, kini kemarahannya sepenuhnya ditujukan kepada tiga orang murid itu yang menimbulkan gara-gara sehingga dia mendapat malu di depan banyak orang. Kalau bukan karena ulah tiga orang murid itu tentu dia tidak sampai terlihat orang-orang dikalahkan oleh seorang gadis remaja!
Tiga orang murid itu merangkak ke depan kaki Kwi Hong dan memberi hormat sambil berlutut. "Nona, kami mohon maaf atas kesalahan kami!" kata mereka.
Kwi Hong tersenyum. "Sudah, bangkitlah. Aku tahu bahwa kebanyakan orang muda memang ugal-ugalan. Akan tetapi kalian jangan sekali-kali menggoda wanita. Sepatutnya orang-orang yang belajar silat seperti kalian malah menjadi pelindung dan pembela wanita dari gangguan orang jahat. Apakah kalian ingin menjadi orang jahat yang suka mengganggu wanita?" '
"Tidak, tidak...., Nona." kata mereka serempak.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
51 "Bagus, kalian harus menjadi pendekar-pendekar yang sejati, yang menghormati wanita dan membela mereka sebagaimana patutnya seorang pendekar yang menentang si jahat dan melindungi si lemah. Nah, sudahlah, kuhabiskan urusan sampai di sini!"
Terima kasih, Nona." tiga orang itu bangkit berdiri dan mundur ke tempat kawan-kawannya.
Pek-houw-eng Teng Coan juga memberi hormat kepada Kwi Hong dan Keng Han. "Hari ini aku Teng Coan menerima pelajaran dari Ji-wi, untuk itu kami menghaturkan terima kasih dan mulai hari ini, aku akan meneliti kelakuan murid-murid perguruan dan kami bertindak sesuai dengan nasihat Ji-wi (Kalian berdua)."
Setelah berkata demikian, dengan sikap bengis dia membentak para muridnya untuk kembali ke perguruan dan tempat itu kembali sepi. Para penonton juga bubaran dan tentu saja Kwi Hong menjadi bahan pembicaraan mereka. Setelah melihat tindakan Kwi Hong yang gagah, beberapa orang di antara mereka teringat akan pendekar wanita yang ber-juluk Si Bangau Emas. Bukankah gadis itu memakai perhiasan bangau emas di rambutnya.
"Si Bangau Emas, ia tentu Si Bangau Emas yang terkenal gagah dan pemberantas kejahatan!"


Pusaka Pulau Es Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

demikian segera tersiar berita itu dan nama Si Bangau Emas, semakin dikagumi orang.
Sementara itu, Kwi Hong memandang kepada Keng Han. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, pikirnya, dan amat sederhana. Kebetulan Keng Han juga se-dang memandang kepadanya. Dua pasang mata yang bersinar tajam saling bertemu dan bertaut sejenak, lalu Kwi Hong mem-bungkuk dan berkata, "Terima kasih atas bantuanmu, Sobat!"
"Tidak perlu berterima kasih, Nona. Aku tahu bahwa tanpa dibantu sekalipun Nona akan mampu menghajar mereka semua, akan tetapi melihat demikian banyaknya orang pria mengeroyok seorang gadis, bagaimana aku dapat tinggal diam" Terpaksa aku mencampuri, Nona."
"Ah, tidak mengapa. Aku melihat ilmu silatmu amat hebat, Sobat. Bolehkah aku mengetahui siapa namamu dan dari perguruan silat manakah engkau?"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
52 Keng Han tidak ingin memperkenalkan diri sebagai seorang she Tao, putera pangeran mahkota!. Dia akan merahasiakan keadaan dirinya itu sampai dia dapat bertemu ayahnya.
"Aku bernama Keng Han...., Si Keng Han, dan guruku adalah seorang hwesio perantauan dari Tibet. Dan engkau sendiri, bolehkah aku mengetahui siapa namamu, Nona" Dan siapa pula gurumu" ilmu sepasang pedang yang kau mainkan itu demikian hebat, tentu suhumu seorang yang amat terkenal pula."
Seperti juga Keng Han, Kwi Hong tidak ingin orang mengenalnya sebagai puteri Pangeran Mahkota Tao Kuang. Ia tidak ingin menarik perhatian orang. Kebetulan namanya Kwi Hong nama Kwi itu boleh dipakai sebagai nama marga. "Namaku Kwi Hong, dan guruku adalah kakekku sendiri. Ilmu silatku biasa saja, tidak dapat dibandingkan dengan kepandaiamu, Saudara Keng Han. Atau bolehkah aku menyebutmu Han-koko saja. Bukankah kita telah menjadi kenalan dan sahabat sekarang?"
Girang sekali hati Keng Han. Gadis ini selain tabah, lihai ilmu silatnya, lihai pula bicaranya, juga wataknya amat polos! Sungguh watak yang menyenangkan sekali.
"Tentu Saja dan aku pun tentu boleh menyebutmu Moi-moi saja, karena aku yakin bahwa engkau jauh lebih muda dari padaku."
"Hik-hik-hik, Han-ko. Engkau bicara seolah engkau ini telah menjadi kakek-kakek saja.
Memang aku lebih muda darimu, akan tetapi kuyakin selisihnya tidak seberapa banyaknya.
Berapa usiamu sekarang?"
"Sudah hampir dua puluh satu tahun, Nona....eh, Hong-moi."
"Nah, dan aku sudah hampir delapan belas tahun! Selisihnya hanya sedikit saja, tiga tahun.
Eh, Han-ko, sebetulnya engkau hendak ke manakah dan datang dari mana?"
Pertanyaan ini lebih lagi tidak dapat dijawab sejujurnya oleh Keng Han. Tidak mungkin dia menceritakan bahwa dia datang dari Pulau Hantu dan kini hendak pergi mencari ayahnya.
Pangeran Mahkota. Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
53 "Aku adalah seorang perantau, Hong-moi. Aku sedang menuju ke kota raja untuk mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Aku belum pernah ke sana dan aku mendengar hahwa kota raja amat besar dan indah."
"Ah, kebetulan sekali, aku pun hendak pergi ke kota raja. Kita dapat melakukan perjalanan bersama, Han-ko."
"Aih, apakah engkau.... tidak me-rasa....janggal, Hong-moi" Melakukan perjalanan bersama Seorang pemuda seperti aku yang sama sekali asing bagimu" Apa akan kata orang nanti?"
"Peduli amat dengan pendapat orang, Han-ko. Kalau aku terlalu mempedulikan pendapat orang lain, tidak mungkin aku dapat berkelana seperti ini seorang diri. Aku selalu meneliti langkah sendiri, ka-lau aku tidak melakukan sesuatu yang tidak besar, habis perkara. Orang lain boleh menilai bagaimanapun sesuka perut mereka, aku tidak peduli. Kita telah berkenalan, kita telah menjadi sahabat, sama-sama menghadapi orang-orang yang sesat jalan.
Nah, bukankah kita tidak asing lagi satu sama lain" Atau.... engkau yang tidak suka melakukan perjalanan bersamaku, Han-ko?"
Keng Han menghela napas panjang. Tepat dugaannya, gadis ini seorang yang polos dan keras hati. Tentu gadis ini minggat dari rumahnya karena kalau terang-terangan, tentu orang tuanya tidak akan mengijinkannya merantau seorang diri seperti itu! "Hong-moi, bagaimana aku dapat tidak suka melakukan perjalanan bersamamu" Tentu saja aku suka sekali, apalagi engkau dapat menjadi penunjuk jalan. Aku tadi ragu hanya karena mengingat akan dirimu, jangan sampai engkau menjadi celaan orang."
"Biarkan saja orang mencelaku, asal tidak di depanku. Kalau ada yang berani mencela di depanku, tentu akan kutampar mulutnya sampai semua giginya copot. Han-ko, yang penting adalah kita sendiri, bukan" Kalau kita berdua melakukan perjalanan dengan sewajarnya, sebagai dua orang sahabat yang saling menghormati dan saling menghargai, tidak melakukan sesuatu yang melanggar susila, siapa yang akan berani mencela?"
Bukan main kagumnya hati Keng Han, seorang gadis yang masih begini muda, akan tetapi pengetahuannya tentang kehidupan dan tentang kemanusiaan demikian mendalam. Tentu seorang gadis yang amat terpelajar, di samping ahli silat yang pandai.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
54 "Engkau benar, Hong-moi. Mendengar pendapatmu, aku menjadi tidak ragu lagi, dan bahkan besar dan bangga hatiku mendapatkan seorang sahabat yang masih muda akan tetapi demikian bijaksana sepertimu. Nah, mari kita berangkat, Hong-moi. Mana jalan yang menuju ke kota raja?"
"Kita keluar dari pintu gerbang utara dan terus menuju ke utara, tentu akan sampai ke kota raja, Han-ko. Mari kita berangkat."
Mereka lalu berangkat meninggalkan Tung-san melalui pintu gerbang utara.
Ternyata perjalanan itu melalui daerah pegunungan yang sunyi. Baru kurang lebih sepuluh li mereka berjalan, tiba-tiba dari depan datang seorang petani berlari-lari dan nampak ketakutan.
Keng Han menghadang dan bertanya.
"Paman, ada apakah Paman berlari-lari seperti orang ketakutan?"
"Ah, orang muda, jangan pergi ke sana. Aku melihat perkelahian antara orang-orang yang berkepala gundul dan berjubah merah. Tiga orang mengeroyok seorang dan agaknya mereka hendak membunuhnya. Aku menjadi ketakutan ah, jangan-jangan mereka akan mengejarku pula....!" Orang itu berlari lagi ketakutan.Mendengar ini, Keng Han menjadi tidak enak hati.
Tiga orang gundul berjubah merah mengingatkan dia akan tiga orang pendeta Lama yang pernah mencari gurunya, Gosang Lama, yang berkepandaian amat tinggi sehingga ketika dia memukulnya, tangannya sendiri merasa kesakitan dan sekali dorong saja seorang di antara mereka merobohkannya! Jangan-jangan yang dimaksudkan petani tadi adalah tiga orang pendeta Lama itu dan yang dikeroyok adalah gurunya!
"Mari kita ke sana!" katanya dan dia pun berlari cepat, dikejar oleh Kwi Hong.
"Tunggu aku, Han-ko!" teriak gadis itu yang mengejar dengan secepatnyd sehingga ia dapat menyusul Keng Han.
Tak lama kemudian mereka melihat tiga orang berpakaian pendeta berjubah merah sedang mengeroyok seorang kakek yang berpakaian biasa seperti seorang petani yang kepalanya botak hampir gundul. Ketika mereka tiba di situ kakek yang dikeroyok itu agaknya sudah terluka parah dan sempoyongan hampir roboh. Melihat ini Kwi Hong yang penasaran melihat seorang dikeroyok tiga, sudah menerjang maju dan membentak.
"Pengecut-pengecut tidak tahu malu! Mengeroyok seorang tua!" Dan ia menyerang pendeta terdekat. Pendeta itu menangkis serangannya. Dukkk....!" Dan tubuh Kwi Hong terhuyung ke belakang. Ia merasa terdorong oleh tenaga yang kuat sekali ketika lengannya tertangkis tadi.
Maklum bahwa ia berhadapan dengan orang pandai, Kwi Hong lalu mencabut sepasang pedangnya dan menyerang pendeta itu dengan ilmu Ngo-heng-kiam. Pendeta itu terkejut melihat kehebatan serangan sepasang pedang dan menggunakan lengan bajunya yang lebar untuk menangkis sam-bil mundur.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
55 Sementara itu, Keng Han melihat bahwa kakek yang terluka parah itu adalah Gosang Lama.
Dia cepat menyambar tubuh yang hampir roboh itu.
"Suhu....!" Teriaknya.
"Keng Han...., pergilah.... mereka lihai sekali. Larilah!" kata Gosang Lama ketika melihat muridnya. Akan tetapi Keng Han segera merebahkan gurunya dan meloncat berdiri. Ketika memutar tubuhnya, dia melihat betapa Kwi Hong sudah bertanding melawan seorang pendeta jubah merah kotak-kotak, sedangkan dua pendeta lain hanya menonton. Dia menjadi marah sekali dan meloncat ke depan dua orang pendeta yang menonton pertandingan itu.
"Pendeta-pendeta keparat dan kejam!" bentaknya dan karena dia maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh sekali maka dia lalu menyerang dengan pukulan yang dilatihnya di Pulau Hantu. Tangan kanannya memukul dengan kan-dungan hawa yang amat panas sedangkan tangan kirinya memukul dengan kandungan hawa yang amat dingin. Melihat pemuda itu memukul dan ada angin menyambar dahsyat, dua orang pendeta itu terkejut dan cepat menangkis dengan tangan mereka.
"Wuuuuuttt.... desssss....!" Pertemuan tenaga itu hebat sekali dan akibatnya dua orang pendeta itu terjengkang dan terbanting. Yang seorang merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa panas sekali dan yang kedua merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa yang amat dingin.
Mereka tidak terluka parah akan tetapi terkejut bukan main. Seorang pemuda dapat menggunakan pukulan berlawanan dalam satu saat sungguh luar biasa sekali! Dan mereka pernah dengar bahwa ilmu-ilmu tangguh seperti itu hanya di-miliki oleh pendekar keluarga Pulau Es! Mereka menjadi jerih dan dalam bahasa Tibet mereka memanggil teman yang bertanding melawan Kwi Hong untuk melarikan diri. Pemuda itu terlalu tang-guh, apalagi di situ masih terdapat Kwi Hong yang memiliki ilmu sepasang pedang yang hebat. Mereka lalu melarikan diri dengan cepat, jubah mereka berkibar di belakang mereka.
Keng Han hendak mengejar, akan tetapi dia mendengar suara gurunya mengeluh, "Keng Han, jangan....!"
Mendengar suara gurunya ini, Keng Han tidak jadi mengejar dan berlutut di samping tubuh gurunya. Ternyata Gosang Lama telah terluka parah sekali, napasnya terengah-engah. Melihat keadaan gurunya ini Keng Han mencoba untuk membantunya dengan menempelkan kedua tangan di dada gurunya dan mengerahkan sinkangnya. Akan tetapi tiba-tiba mata Gosang Lama mendelik dan napasnya makin ngos-ngosan! Keng Han terkejut dan segera
menghentikan pengerahan tenaganya. Bagaimana napas Gosang Lama tidak akan menjadi terengah-engah kalau ada dua hawa yang berlawanan memasuki tubuhnya yang sudah terluka parah
"Ah, Suhu. Bagaimana keadaanmu?" Dia mengguncang pundak kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun itu. Gosang Lama hanya menggeleng kepalanya dan mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara berbisik. Keng Han men-dekatkan telinganya dan mengerahkan pendengarannya untuk menangkap pesan terakhir itu. "Semua ini.... gara-gara.... Dalai Lama...., Keng Han, kau bunuh Dalai Lama untuk membalas dendamku.... kemudian kau hancurkan Bu-tong-pai.... itu juga musuh besarku.... ada puteraku....Gulam Sang temui dia, ajak kerjasama.... aku.... aku...." Kepala itu terkulai dan Gosang Lama telah menghembuskan napas terakhir, membawa semua rahasia hidupnya bersamanya.
"Suhu....!" Keng Han menangis sambil memeluk tubuh yang masih hangat itu.
Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. "Han-ko, yang sudah mati tidak ada gunanya ditangisi lagi. Suhumu sudah meninggal, sebaiknya diurus jenazahnya."
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
56 Ucapan ini menyadarkannya. Tadi dia menangis karena terharu. Selama lima tahun dia digembleng oleh kakek ini dengan penuh kesungguhan hati dan kakek inilah satu-satunya gurunya. Teringat akan kebaikan kakek itu maka dia tadi terharu dan menangis. Ucapan Kwi Hong menyadarkannya dan dia berhenti menanis.
Dia menghapus air matanya, menoleh kepada Kwi Hong dan berkata, suaranya sudah tenang lagi. "Engkau benar, Hong-moi. Aku terlalu lemah tadi."
Dengan dibantu oleh Kwi Hong, Keng Han menggali lubang dan mengubur jenazah Gosang Lama dengan sederhana dan khidmat. Setelah itu dia berlutut di depan makam gurunya sambil berjanji, "Suhu, teecu akan melaksanakan semua perintah Suhu."
Kwi Hong mengerutkan alisnya mendengar ucapan Keng Han ini. "Han-ko, pesan terakhir suhumu itu sungguh luar biasa sekali."
Keng Han menoleh kepada gadis itu. "Luar biasa" Apanya yang luar biasa" Suhu menyuruh aku membasmi musuh-musuh besarnya yang telah berlaku jahat kepadanya."
"Pertama, agaknya suhumu itu juga seorang pendeta. Seorang pendeta memesan kepada muridnya untuk membalas dendam! Sungguh luar biasa dan aneh sekali. Biasanya seorang pendeta bahkan melarang muridnya mengandung dendam di hati. Dan kedua kalinya, pesan itu sungguh amat tidak mungkin kaulakukan, Han-ko."
"Tidak mungkin?" Keng Han mengerutkan alisnya. "Kenapa tidak mungkin, Hong-moi?"
Dia merasa penasaran sekali walaupun alasan pertama tadi juga men-jadi bahan pemikirannya. Dia pun sudah banyak membaca kitab agama yang melarang adanya dendam di hati, akan tetapi mengapa suhunya malah menyuruh dia membalas dendam" Akan tetapi tidak mungkin dia mengingkari janjinya kepada suhunya sendiri!
"Tidak mungkin karena permintaan suhumu itu luar biasa beratnya. Kau tahu siapa itu Dalai Lama?"
Keng Han menggeleng kepalanya. Memang dia belum pernah membaca atau mendengar tentang Dalai Lama.
"Belum pernah. Siapa sih dia?"
"Dalai Lama adalah pendeta kepala dari para pendeta Lama di Tibet. Kekuasaannya besar sekali, bahkan melebihi kekuasaan raja. Dan di Tibet terdapat banyak sekali pendeta berilmu tinggi yang tentu akan melindungi Dalai Lama. Kurasa engkau tidak akan dapat menyentuh sehelai rambut pun dari Dalai Lama. Beliau sendiri merupakan seorang yang amat tinggi ilmunya. Bagaimana mungkin engkau melaksanakan tugas yang amat berbahaya itu?"
"Bagaimana besar pun bahayanya, tugas yang diberikan oleh suhu harus kulaksanakan, Hong-moi. Aku tidak takut!" kata Keng Han dengan suara tegas.
"Hemmm, dan tugas kedua lebih aneh lagi."
"Membasmi Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu" Apa anehnya" Kalau mereka itu musuh besar suhu memang harus dibasmi!"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
57 "Tahukah engkau siapa Bu-tong-pai itu, Han-ko?"
"Yang pernah kudengar, Bu-tong-pai adalah satu di antara perguruan-perguruan silat yang terkenal."
"Bukan hanya terkenal karena ilmu silatnya, melainkan lebih terkenal lagi bahwa murid-murid Bu-tong-pai merupakan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan pembela kebenaran dan keadilan. Bu-tong-pai adalah perkumpulan para pendekar. Bagaimana engkau disuruh untuk membasminya" Sungguh heran sekali aku. Kalau gurumu itu musuh besar Butong-pai, maka...." Kwi Hong tidak mau melanjutkan kata-katanya karena dia tidak ingin menyinggung perasaan hati Keng Han.
"Maka bagaimana, Hong-moi" Engkau hendak bilang bahwa guruku yang berada di pihak yang salah?"
"Mungkin saja, karena Bu-tong-pai selalu menentang kejahatan dan tidak pernah murid mereka melakukan kejahatan."
"Apapun alasannya, kalau mereka itu musuh besar suhu, harus kulaksanakan janjiku kepada suhu untuk membasmi mereka!" kata Keng Han berkeras.
"Jangan, Han-ko. Engkau mempertaruhkan nyawamu!"
"Tidak sudah sepatutnyakah budi kebaikan guru dibalas dengan taruhan nyawa?"
"Han-ko...." Kwi Hong merasa bingung sekali. Dara ini mengkhawatirkan Keng Han, pemuda yang menarik perhatiannya dan yang mendatangkan suatu perasaan aneh di dalam hatinya. Ia merasa sayang sekali kalau sampai Keng Han menderita celaka dalam tugasnya itu, apalagi memusuhi Bu-tong-pai! Pemuda itu dapat dianggap sebagai seorang penjahat!
"Han-ko, urungkan niatmu itu! Marilah engkau pergi bersamaku ke kota raja....!"
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
58 "Tidak, Hong-moi. Aku mengubah tujuan perjalananku. Aku sekarang juga harus pergi mencari Dalai Lama di Tibet!"
"Akan tetapi perjalanan itu jauh sekali, Han-ko."
"Aku tidak peduli." Dia bangkit berdiri, "Selamat tinggal, Hong-moi. Aku berangkat sekarang, juga." Dia lalu melompat pergi.
"Han-ko....tunggu....!" Teriakan ini membuat Keng Han menahan larinya dan dia berhenti.
Gadis itu mengejar dan menyusulnya.
"Ada apa, Hong-moi?"
"Han-ko, aku ikut denganmu!" katanya dengan tegas, lupa sama sekali bahwa ia adalah puteri Pangeran Mahkota! "Aku akan ikut ke Tibet!" Benar-benar Kwi Hong sudah lupa diri dan lupa keadaan. Hasrat hatinya hanya ingin bersama pemuda itu, tidak ingin berpisah.
Akan tetapi Keng Han masih memiliki kesadaran. Tidak mungkin dia membawa seorang gadis yang baru dikenalnya melakukan perjalanan sejauh itu. Apa akan kata orang tua gadis itu" Juga ini di luar kepantasan.
"Tidak, Hong-moi. Ini adalah urusan pribadiku yang harus kuselesaikan sendiri. Aku tidak ingin engkau terbawa-bawa. Kalau sudah selesai tugasku, mungkin kita dapat bertemu kembali. Nah, selamat tinggal!" Dia menggunakan ilmunya berlari cepat sekali sehingga sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata gadis itu. Dan tanpa disadarinya, kedua mata Kwi Hong menjadi basah! Ia merasa menyesal sekali. Pemuda sehebat itu menerima tugas seberat dan seaneh itu. Ia menoleh dan memandang kepada makam Gosang Lama.
"Hemmm, aku sangsi apakah dia seorang baik-baik." gumamnya, kemudian ia pun
meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja.
*** Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
59 Kita tinggalkan dulu Kwi Hong yang kembali ke kota raja dan Keng Han yang pergi ke Tibet dan mari kita menengok keadaan perkumpulan Thian-li-pang.
Thian-li-pang terkenal sebagai sebuah perkumpulan para pendekar dan patriot yang diam-diam menghendaki kemerdekaan bagi nusa dan bangsanya, terbebas dari penjajahan bangsa Mancu. Perkum-pulan Thian-li-pang tadinya dibawa menyeleweng oleh seorang sesat, akan tetapi kemudian setelah dipegang oleh ketuanya yang sekarang, kembali ke jalan benar.
Biarpun sama-sama menentang kekuasaan Mancu, Thian-li-pang tidak sudi bekerja sama dengan dua perkumpul-an lain yang dianggap sesat, yaitu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
Setelah dipegang oleh ketuanya yang sekarang, yaitu Yo Han, seorang pendekar yang terkenal dengan julukan Pendekar Tangan Sakti, perkumpulan itu menjadi makin besar dan maju, pusat perkumpulan ini berada di puncak Bukit Naga. Para murid Thian-li-pang memegang keras peraturan yaitu tidak boleh sembarangan membunuh, biar yang dibunuh pejabat pemerintah kerajaan Mancu sekalipun. Sasaran mereka bukan para pembesar yang baik, akan tetapi para pembesar yang melakukan penindasan terhadap rakyat jelata. Yo Han mengerti betul bahwa belum tiba saatnya untuk memberontak terhadap pernerintah Mancu.
Keadaan pemerintah Mancu masih terlampau kuat. Bahkan banyak bangsa Han yang mendukungnya, termasuk perkumpulan-perkumpulan besar dan pendekar-pendekar sakti. Yo Han hanya memimpin para murid untuk bertindak sebagai pendekar-pendekar yang menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat dan melindungi yang lemah tertindas. Karena itu, pemerintah pun tidak melakukan usaha untuk membasminya sebagai pemberontak, karena tindakan para muridnya seperti para pendekar, bukan seperti pemberontak.
Ketua Thian-li-pang yang bernama Yo Han adalah seorang pendekar besar yang namanya amat terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti berjuluk Pendekar Tangan Sakti. Selain terkenal amat lihai, juga dia bijak-sana sekali. Pendekar yang satu ini pantang membunuh lawan, bahkan para penjahat yang ditundukkannya selalu diberi nasihat agar kembali ke jalan benar dan tidak dibunuh. Oleh karena itu, banyak sekali penjahat besar yang berhutang budi kepadanya, telah kembali ke jalan benar karena sikap pendekar ini.
Yo Han telah berusia hampir lima puluh tahun, akan tetapi dia masih nampak tampan dengan matanya yang bersinar tajam dan cerdik. Wajahnya ber-bentuk lonjong dengan dagu runcing berlekuk, kini ditumbuhi jenggot sedang yang sebagian sudah berwarna putih. Rambutnya yang panjang juga bercampur sedikit uban. Akan tetapi alisnya yang menghias dahinya yang lebar masih tetap hitam tebal. Hidungnya mancung dan mulutnya ramah sekali, selalu dihias senyum. Tubuhnya sedang saja, namun tegap berisi. Inilah ,pendekar sakti Yo Han yang menjadi ketua Thian-li-pang di Bukit Naga.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
60 Isterinya juga bukan orang sembarangan. Isterinya yang bernama Tan Sian Li, dahulunya ketika masih menjadi gadis sudah terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang berjuluk Si Bangau Merah. Julukan ini karena pakaiannya yang selalu berwarna kemerahan dan juga karena ilmu silatnya yang khas, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah). Biarpun tingkat ilmu kepandaiannya tidak sehebat suaminya, namun Tan Sian Li merupakan seorang wanita yang sukar dicari tandingnya. Wanita ini adalah campuran keturunan dari para Pendekar Gurun Pasir dan Pendekar Pulau Es bahkan juga pernah mempelajari ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) dan menggunakan sebatang suling yang berselaput emas. Akan tetapi ilmu-nya yang paling diandalkan adalah Ang-ho Sin-kun yang ia pelajari dari ayahnya karena ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih yang namanya juga amat terkenal di dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu. Kini usia Tan Sian L i sudah empat puluh tahun, tujuh tahun lebih muda dari suaminya. Dalam usianya yang empat puluh tahun, ia masih nampak cantik jelita. Wajahnya bulat telur dan kulitnya putih mulus. Matanya lebar,hidungnya mancung dan mulutnya selalu senyum mengejek dengan dihias lesung pipit di kanan kiri. Wataknya keras dan agak galak. Selain pandai ilmu silat, Tan Sian Li ini juga pernah mempelajari ilmu pengobatan tusuk jarum dari mendiang Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat).
Suami isteri ini hanya mempunyai seorang anak perempuan yang kini telah berusia delapan belas tahun. Puteri mereka ini diberi nama Yo Han Li, yaitu gabungan dari nama Yo Han dan Tan Sian Li. Dengan ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Han Li amat cantik manis dan juga sejak kecil ia telah digembleng ilmu silat sehingga setelah berusia delapan belas tahun ilmu kepandaiannya sudah setingkat dengan ibunya! Namun, Han Li yang cantik ini berwatak pendiam dan anggun, tidak seperti ibunya yang dahulu lincah dan galak.
Yo Han dan isterinya memimpin Thian-li-pang dengan bijaksana dan keras memegang peraturan sehingga para murid semua patuh dan tunduk. Tidak ada diantara mereka yang berani melanggar pantangan perkumpulan. Mereka tidak boleh mencari perkara, tidak boleh meng-ganggu rakyat, tidak boleh bermain judi, dan kalau bertemu lawan, tidak boleh membunuh."Kita memang membenci kaum penjajah dan sudah menjadi cita-cita kita bersama untuk membebaskan rakyat kita dari cengkeraman penjajah. Akan tetapi kini belum saatnya.
Kekuatan kita tidak ada artinya dibandingkan kekuatan kerajaan Mancu. Kalau saatnya sudah tiba dan dalam pertempuran dengan bangsa Mancu, larangan membunuh dengan sendirinya dihapus. Demi membela bangsa dan memerdekakan tanah air dari cengkeraman penjajah, kita harus berjuang mati-matian, dibunuh atau membunuh." demikian antara lagi Yo Han memberi peringatan kepada para murid atau anggauta Thian-li-pang.
Perguruan-perguruan lain amat menghormati Thian-li-pang dan terjalin hubungan baik antara Thian-li-pang dengan partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Sudah beberapa kali Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai mencoba untuk menghubungi Thian-li-pang untuk bekerja sama memberontak, akan tetapi Thian-li-pang Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
61 selalu mengelak dan tidak bersedia bekerja sama dengan mereka. Yo Han mengenal benar mereka yang memimpin kedua partai ini. Mereka adalah orang-orang golongan sesat yang menggunakan kedok perjuangan untuk keuntungan mereka sendiri.
Untuk membiayai perkumpulan mereka, Yo Han menyuruh para muridnya bekerja. Mereka membuka piauw-kiok (pengawal barang kiriman) dan juga menjadi penjaga-penjaga keamanan. Karena barang kiriman yang dikawal Thian-li-pang selalu aman dan tidak pernah diganggu penjahat, maka usaha mereka itu maju sekali dan hasilnya dapat untuk biaya perkumpulan mereka. Di samping itu, ada pula para murid yang bekerja sendiri, ada yang berdagang, ada yang menjadi karyawan, ada pula yang bertani. Yo Han sendiri membuka sebuah toko rempah-rempah dan isterinya suka menolong orang sakit dengan pengobatan tusuk jarum.
Pada suatu hari, sebuah kereta yang mewah berhenti di depan rumah ketua Thian-li-pang ini.
Para murid Thian-li-pang merasa heran karena kereta seperti itu tentu milik seorang bangsawan tinggi. Segera mereka melapor kepada ketua mereka dan mendengar ada kereta bangsawan datang Yo Han bersama isterinya segera keluar menyambut karena mereka sudah dapat menduga siapa yang datang berkunjung.
Dari kereta itu turun seorang laki-laki bertubuh tegap, berusia empat puluh tiga tahun, bermuka bundar berkulit putih dengan mata tajam dan hidungnya agak besar, alisnya tebal dan mulutnya tersenyum-senyum. Di sampingnya turun pula seorang wanita yang usianya sebaya, anggun dan cantik, tubuhnya masih ramping, juga wajahnya nampak berseri ketika melihat Yo Han dan Tan Sian Li keluar menyambut. Rambutnya digelung tinggi dan dihias dengan hiasan rambut dari emas permata. Wajahnya yang can-tik dan anggun itu agak dingin, akan tetapi senyumnya demikian manis sehingga dapat mengusir kesan dingin itu. Paling akhir keluar seorang pemuda bangsawan yang gagah dan tampan.
Siapakah mereka ini yang menjadi tamu-tamu Thian-li-pang" Mereka memang keluarga bangsawan tinggi karena pria setengah tua itu bukan lain adalah Pangeran Cia Sun, seorang pangeran yang tidak penting kedudukannya di kota raja, karena ayahnya yaitu Pangeran Cia Yan hanya menjadi "anak angkat" mendiang Kaisar Kiang Liong. Pangeran Cia Sun ini juga agaknya tidak terlalu membanggakan kedudukannya sebagai pangeran, bahkan di waktu mudanya dia suka pergi berkelana di dunia kang-ouw. Dia memang pandai ilmu silat dan dia mengenal banyak pendekar dan tokoh kang-ouw. Bahkan dia pernah bersahabat baik dan mengangkat saudara dengan Yo Han. Pernah dia rnelakukan perjalanan petualangan di waktu mudanya dengan Yo Han sehingga hubungan mereka akrab sekali, pernah mengalami suka duka bersama dan menghadapi ancaman maut bersama!
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
62 Wanita cantik anggun dingin itu adalah isterinya yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini juga bukan wanita sembarangan. Ketika masih muda, ia pernah menjadi puteri angkat ketua Lembah Ban-kwi-kok, yaitu ketua Pouw-beng-pai, juga sebuah perkumpulan sesat yang berkedok perjuangan melawan penjajah. Akan tetapi ternyata kemudian bahwa Sim Hui Eng ini adalah puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan, sepasang suami isteri pendekar sakti yang hilang diculik orang ketika berusia tiga tahun. Baru setelah gadis, ia bertemu kembali dengan ayah bundanya dan sekarang ia menjadi isteri Pangeran Cia Sun, hidup berbahagia dengan suaminya tercinta di kota raja.Pemuda itu adalah putera mereka, anak tunggal yang diberi nama Cia Kun. Sebagai putera ayah ibu yang pandai, tentu saja dia tidak asing dengan ilmu silat. Selain mempelajari sastra seperti layaknya pemuda keluarga bangsawan tinggi, Cia Kun juga digembleng ilmu silat oleh ayah dan ibunya sendiri. Bah-kan oleh ibunya dia telah diajar ilmu yang amat tangguh dari ibunya, yaitu Kang-kin Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi)! Dan sebagai anak tunggal, watak Cia Kun agak manja dan tinggi hati, walaupun watak itu agak tertutup oleh ketampanan wajahnya yang menimbulkan rasa suka di hati orang yang bertemu dengannya.
"Yo-twako....!" Cia Sun lari menghampiri Yo Han dan merangkulnya.
"Cia-te....!" Yo Han juga memeluknya dengan terharu. Mereka memang seperti kakak adik saja, dan setelah bertahun-tahun tidak saling jumpa, mereka merasa saling rindu, Sim Hui Eng juga segera saling memberi hormat dengan Tan Sian Li.
Ketika melihat Han Li, Sim Hui Eng memandang dan tersenyum manis. "Ini tentu puterimu Han Li itu! Aih, sudah begini besar, sudah dewasa dan cantik jelita seperti ibunya!"
"Aih, engkau terlalu memuji. Han Li ini bodoh seperti ibunya. Hayo, Han Li, beri hormat kepada Paman Cia Sun dan Bibi Sim Hui Eng!" kata Tan Sian Li kepada puterinya yang berada di belakangnya.
Han Li cepat memberi hormat kepada suami isteri itu akan tetapi ia hanya memandang saja sejenak kepada Cia Kun.
"Dan ini tentu putera kalian, bukan" Siapa namanya" Cia Kun, bukan" Ah, sudah lama tidak berjumpa, sekarang telah menjadi seorang perjaka dewasa yang gagah dan tampan seperti ayahnya!" kata Yo Han memuji.
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
63 "Cia Kun, hayo cepat memberi hormat kepada pamanmu Yo Han yang sering kuceritakan padamu itu, dan kepada bibimu Tan Sian Li."
Cia Kun mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada suami isteri itu.
"Aihhh, kenapa kalian berdua hanya saling pandang saja?" tiba-tiba Sim Hui Eng menegur puteranya dan juga Han Li. "Cia Kun, gadis ini adalah Yo Han Li, puteri paman dan bibimu, engkau harus menyebutnya adik. Dan Han Li, jangan malu-malu terhadap Cia Kun, ini adalah putera kami atau kakakmu!"
Mendapat teguran itu, Han Li segera mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat yang segera disambut oleh Cia Kun dengan hormat pula.
"Mari silakan masuk!" Tan Sian Li mempersilakan tarmu-tamunya masuk dan duduk di ruangan dalam. Sebuah pesta kecil segera diadakan oleh tuan rumah untuk menjamu para tamu yang mereka sayang dan hormati itu. Para anak buah Thian-li-pang hanya saling pandang dan saling berbisik saja, melihat ketua mereka menyambut tamu keluarga bangsawan dari istana demikian akrabnya. Namun, tak seorang pun di antara mereka berani menyatakan ketidak-senangan hati mereka dan hanya memendam di dalam hati saja.
Tengah makan minum, Yo Han berkata, "Cia-te kunjunganmu, sekeluarga ini
menggembirakan hati kami sekeluarga. Akan tetapi di balik itu juga mengherankan. Adakah suatu keperluan penting yang kalian bawa dengan kunjungan ini?"
Cia Sun saling pandang dengan isterinya, lalu tersenyum dan menjawab. "Memang ada, Yo-toako. Akan tetapi sebaiknya urusan itu kita bicarakan setelah selesai makan agar lebih santai dan leluasa."
Demikianlah, setelah makan, mereka pindah duduk di ruangan tamu di samping yang lebih luas dan setelah semua pelayah meninggalkan ruangan, baru Cia Sun bicara.
"Sebetulnya, Yo-toako, kunjungan kami ini selain karena merasa rindu kepada kalian, juga kami membawa niat yang amat baik untuk mempererat tali kekeluargaan di antara kita.
Melihat kenyataan bahwa anak-anak kita telah dewasa dan kebetulan anakmu wanita dan anak Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
64 kami pria, maka kami mengusulkan agar diantara mereka diikat tali perjodohan. Bagaimana pendapatmu dengan usul kami itu, Toako dan Toa-so?"
Mendengar ucapan itu, Yo Han Li bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruangan itu dengan muka kemerahan. Melihat ini keempat orang tua itu hanya tersenyum, maklum bahwa sudah wajar kalau seorang gadis merasa malu mendengar dirinya dibicarakan untuk urusan perjodohan! Sementara itu, Cia Kun juga merasa tidak enak dan melihat ini, Yo Han berkata kepadanya.
"Cia Kun, kalau engkau ingin menemani adikmu, pergi ke taman bunga di sebelah. Biar kami orang-orang tua bicara dengan leluasa."
Cia Kun berterima kasih sekali dan cepat dia pun bangkit lalu melangkah ke taman bunga yang berada di pinggir bangunan itu.
"Yo-toako, tentu saja kami tidak minta keputusan yang tergesa-gesa dan kalau engkau hendak membicarakan dulu dengan Toaso (Kakak ipar), silakan. Kami akan sabar menunggu."
"Tidak perlu, Cia-te. Apa yang akan menjadi keputusan kami adalah sama dan dapat kami jawab sekarang juga. Sebelumnya kami mengharapkan maaf kalau kami hendak bicara terus terang dan sejujurnya."
"Kenapa minta maaf" Bicara terus terang dan sejujurnya bahkan yang kami harapkan. Nah, utarakan pendapatmu itu, Yo-toako."
"Begini, Cia-te berdua. Andaikata Cia-te bukan seorang Pangeran Mancu, tentu pinangan itu akan kami terima dengan kedua tangan dan hati terbuka. Akan tetapi sungguh sayang, Cia-te adalah. seorang Pangeran Mancu. Sedangkan kami, Cia-te tentu maklum sendiri bahwa kami adalah orang-orang yang berjuang dan bercita-cita memerdekakan bangsa dari tangan kaum penjajah. Kami berjiwa patriot yang mendambakan kemerdekaan bangsa. Bagaimana mungkin kami berbesan dengan Pangeran Mancu" Nah, Cia-te tentu dapat memaklumi alasan kami yang berkeberatan untuk menerima usul itu."
Pusaka Pulau Es > karya Kho Ping Hoo > published by buyankaba.com
65 "Akan tetapi, Yo-toako!" Sim Hui Eng membantah. "Suamiku bukan seorang yang berjiwa penjajah. Hal ini aku yakin Toako telah mengetahui sendiri!"
"Aku tahu. Cia-te adalah seorang yang berjiwa pendekar gagah perkasa. Akan tetapi aku juga yakin dia bukan seorang pengkhianat keluarga dan bangsanya. Kita berdua berdiri di seberang yang berlawanan. Kalau kelak terjadi perang antara para pejuang dan para penjajah, lalu bagaimana anak-anak kita akan bersikap" Aku tentu tidak suka kalau melihat mantuku membantu penjajah memerangi pejuang, sebaliknya aku pun tidak suka melihat mantuku menjadi seorang pengkhianat bagi keluarga dan bangsanya sendiri. Tidak, Cia-te berdua.
Ikatan perjodohan ini tidak mungkin kita lakukan. Biarlah mereka berdua menjadi sahabat saja seperti halnya kita."
Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 9 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 Karya Marshall Kitab Pusaka 12
^