Pencarian

Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia 5

Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Bagian 5


Ketika si nona mengetok pintu kelenteng itu beberapa
kali, benar saja lantas terdengar suara orang yang
berjalan keluar membukakan pintu sambil bertanya:
"Siapakah itu yang mengetok pintu pada waktu malam
begini?" 286 "Kami," sahut Liu Sian, "orang-orang yang telah
kegelapan dalam perjalanan dan mohon menumpang
berhenti untuk melepaskan rasa letih kami." Begitulah
tatkala pintu kelenteng itu dibuka, dari dalam lalu tampak
dua orang nikouw yang masih muda dan buat beberapa
saat lamanya mereka tinggal terbengong mengawaskan
pada si nona dan kedua orang kawannya dengan tidak
mengucapkan barang sepatah katapun.
Hal mana, telah membuat Poan Thian kuatir, kalaukalau Liu Sian nanti kesalahan dalam hal menerangkan
siapa diri mereka bertiga. Oleh sebab itu, buru-buru ia
minta supaya si nona suka pegangi dahulu Kong Houw
yang masih duduk di atas punggung kudanya,
sedangkan ia sendiri lalu maju memberi hormat pada
kedua orang nikouw itu sambil berpurapuramenerangkan, bahwa mereka bertiga adalah
pelindung-pelindung kereta piauw yang telah tidak
beruntung kena dirampok oleh kawanan penjahat yang
telah melukai juga salah seorang kawannya ini.
Oleh karena kawan ini mendapat luka-luka yang agak
hebat dalam pertempuran tadi, maka ia mohon supaya
mereka diperbolehkan untuk menumpang berhenti guna
melepaskan lelah dan merawat lukanya sang sahabat itu.
Apabila luka-luka itu telah tidak berbahaya pula, maka di
hari esok juga mereka berjanji akan segera berlalu dari
situ. Tetapi karena nikouw-nikouw itu tak berani
mengambil keputusan sendiri untuk menerima serta
memberikan orang menumpang tinggal, maka salah
seorang antaranya lantas berkata: "Sicu, aku harap
engkau jangan menjadi kecil hati. Tentang permintaanmu
untuk menumpang bermalam di sini, itulah tidak kuasa
buat mengabulkan atau melarang. Coba saja nanti aku
287 beritahukan hal ini pada guru kami. Apabila ia suka
mengizinkan, sudah tentu saja kami pun tidak
berkeberatan untuk menerima kunjunganmu ini."
Poan Thian mengucap terima kasih dan menunggu di
luar untuk menantikan jawaban dari paderi kepala. Tidak
antara lama salah seorang nikouw muda tadi telah balik
kembali dan memberitahukan, bahwa guru mereka tidak
berkeberatan buat memberikan mereka menumpang di
situ untuk sementara waktu.
Mendengar penyahutan demikian, sudah tentu saja
Poan Thian dan kawan-kawannya jadi sangat girang dan
lalu menanyakan pada kedua orang nikouw itu, dimana
kuda mereka mesti dititipkannya.
"Di belakang kelenteng ini terdapat sebuah emper tua
yang sudah lama tidak terpakai," kata salah seorang
nikouw itu, "tempatkanlah kuda-kudamu itu di sana,
karena selain tempat itu dapat dipergunakan untuk
berlindung dari hujan atau panas di waktu siang hari,
juga di sekitarnya terdapat banyak rumput-rumput yang
gemuk buat makan binatang-binatang itu."
Poan Thian mengucap terima kasih dan lalu turunkan
Kong Houw dan pauwhok-pauwhok mereka dari atas
binatang-binatang itu. Setelah kuda-kuda itu ditambatkan di tempat yang
telah diunjuk oleh si nikouw tadi, barulah Poan Thian
bertiga masuk ke kelenteng itu untuk menjumpai paderi
kepala yang kemudian ia ketahui bernama Beng Sim
Suthay. Nikouw tua ini berasal dari distrik Tay-lie dalam
propinsi Hun-lam. Usianya sudah tua sekali, (menurut
keterangan muridnya, sembilanpuluh tahun), tetapi
gerakan-gerakannya masih gesit dan tangkas laksana
288 orang-orang yang baru berusia antara tigapuluh atau
empatpuluh tahun. Nikouw tua ini ketika melihat Poan Thian memondong
Kong Houw masuk dengan diiringi oleh Liu Sian, dengan
lantas ia ketahui bahwa luka-lukanya Kong Houw itu
sesungguhnya tak dapat dikatakan ringan.
Maka setelah diunjuk sebuah kamar yang agak
besar, Beng Sim lalu menganjurkan supaya pemuda kita
segera baringkan Kong Houw di atas ranjang, diberikan
minum air teh hangat dan dirawat luka- lukanya
sebagaimana mestinya. Sedangkan Liu Sian yang
merasa bahwa kecelakaan itu seolah-olah telah
diterbitkan oleh karena gara-gara tindakannya sendiri,
maka ia tinggal terus di dalam kamar buat melayani Kong
Houw yang dilarang banyak bergerak oleh nikouw tua
tersebut. Sementara Poan Thian yang diminta datang ke
ruangan pertengahan kelenteng oleh Beng Sim Suthay,
lalu buru-buru pergi ke sana, setelah terlebih dahulu ia
membuka baju luarnya, yang ia baru ketahui berlepotan
darah, ketika berada di dalam kelenteng itu.
Maka sesudahnya mempersilahkan pemuda kita
akan duduk dan disuguhkan air teh hangat, Beng Sim
lalu mulai menanyakan sebab-sebabnya, mengapa Poan
Thian dan kawan-kawannya bisa sampai ke situ dan
peristiwa apa yang telah dialami mereka, setelah menilik
keadaan Kong Houw yang mendapat luka- luka agak
berat itu. Buat menyembunyikan peristiwa sebetulnya yang
telah dialami mereka tadi, Poan Thian lalu karang sebuah
cerita tentang bagaimana mereka dirampok di
pegunungan Pek-ma-san, dimana sahabatnya ini telah
289 menderita luka-luka dalam pertempuran dengan
perampok-perampok itu. Kemudian barulah mereka
berhasil dapat meloloskan diri dan sampai ke kelenteng
Giok-hun-am di situ. Tetapi Beng Sim yang mendengar penuturan itu,
bukan saja agak tak percaya dengan keteranganketerangan itu, malah sebaliknya ia tersenyum sambil
berkata: "Cong-su, rasanya ada lebih baik engkau bicara
terus-terang dan jangan menjustakan kepadaku. Karena
walaupun aku ini bukan dewa atau malaikat, tetapi aku
percaya, bahwa namaku cukup diindahkan oleh segala
penjahat-penjahat besar dan kecil yang hidup keliaran di
kalangan Kang-ouw. Lagi pula letaknya pegunungan
Pek-ma-san itu hanya tigapuluh atau empatpuluh lie saja
jauhnya dari sini. Maka apa bila orang-orang yang berada laksaan lie
jauhnya bisa ketahui Beng Sim Lo-nie itu siapa, apakah
nama itu sebaliknya tidak dapat didengar oleh orangorang yang berdiam hanya beberapa puluh lie saja
jauhnya dari kelenteng ini?"
Pemuda kita jadi kemekmek waktu mendengar
omongan paderi perempuan itu. Karena dengan
memperhatikan gaya bicara dan maksud-maksudnya
omongan tadi, ia baru mendusin bahwa Beng Sim Suthay
ini bukanlah seorang nikouw sembarangan.
Jikalau ia bukan seorang ahli silat yang ilmu
kepandaiannya sangat tinggi, cara bagaimanakah orangorang dari kalangan Kang-ouw yang hidup laksaan lie
jauhnya dari situ bisa kenal dan mengindahkan
kepadanya" Poan Thian jadi merasa menyesal yang ia telah
menjustakan kepadanya tadi. Maka buat menebus sedikit
290 kedosaan itu, buru-buru ia berbangkit dari tempat
duduknya, menyoja sambil mengucapkan maaf dan
berkata: "Suthay, aku percaya engkau tentu akan
memaafkan kami sekalian, apabila sebentar aku
menuturkan peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya
dialami oleh kami bertiga."
"Ya, ya, sebagai seorang penganut agama Buddha
yang berpegang kepada pokok dasar kebaikan hati dan
mencintai pada sesama makhluk yang hidup di dalam
dunia ini," kata nikouw tua itu, "sudah barang tentu aku
harus berlaku jujur dan tidak berat sebelah dalam hal
timbang menimbang terhadap pada segala persoalan ini
atau itu yang dialami oleh seseorang. Oleh karena itu,
aku anjurkan supaya engkau bicara dengan sejujurjujurnya. Peristiwa apakah yang sebenarnya telah dialami
oleh kamu bertiga?" Sekarang Poan Thian yang baru mengerti, bahwa
nikouw tua itu bukan seorang jahat, maka dengan secara
terus terang ia lantas menuturkan apa yang telah terjadi
atas diri mereka, dari awal sehingga diakhirnya, dengan
sama sekali tiada dikurangi atau dilebih-lebihkan.
Sementara Beng Sim Suthay yang mendengar
penuturan itu, sambil menghela napas ia lantas berkata:
"Oh, kalau begitu, patutlah tampaknya kamu begitu
tergesa-gesa. Tetapi, tentang ini, tidak perlu kamu
merasa takut atau curiga apa-apa, apabila kamu sekalian
masih ada di sini." Poan Thian lalu berbangkit dari tempat duduknya dan
menyoja serta mengucapkan terima kasih atas
kebaikannya nikouw tua itu.
"Aku lihat luka-lukanya kawanmu itu agak berat juga,"
kata Beng Sim pula. "Sekarang marilah kita coba periksa,
291 agar supaya selanjutnya kita ketahui apa yang kita harus
perbuat untuk meringankan sedikit penderitaannya."
"Ya, baiklah." Pemuda kita mengangguk sebagai
tanda setuju. Kemudian ia mengikut Beng Sim menuju ke kamar
dimana Kong Houw dirawat oleh Bu Liu Sian.
Tetapi Kong Houw di sana ternyata telah tidur
dengan nyenyak oleh karena khasiat obat luka Poan
Thian yang telah dipakaikan kepadanya oleh si nona tadi.
Maka Beng Sim yang melihat kemajuan obat yang
dipakainya itu, lalu memberi isyarat supaya Poan Thian
dan si nona membiarkan saja Kong Houw tidur dan
jangan diganggu. "Apabila nanti ia tersadar," memesan nikouw tua itu,
"engkau boleh berikan padanya sedikit bubur dan obat
minum yang nanti aku suruh anak-anak buat sediakan."
Poan Thian dan si nona kembali mengucapkan
terima kasih, hingga Beng Sim jadi tersenyum dan minta
supaya mereka tidak usah berlaku sungkan sampai
begitu. Tetapi karena kuatir mereka nanti dikenali oleh matamata pemerintah, maka nikouw tua itu menasehatkan,
agar supaya Poan Thian jangan keluar kemana-mana
dahulu, buat mana Poan Thian berjanji akan perhatikan
nasehat itu dengan sebaik-baiknya.
Begitulah beberapa hari telah lalu dengan tidak
terasa pula. "Y" 292 Pada suatu sore sesudah membantu Liu Sian
merawat dan mengobati Kong Houw, Poan Thian lalu
iseng- iseng pergi ke belakang kelenteng untuk melihat
kuda-kuda mereka yang ditambatkan dalam sebuah
emper kosong. Di situ, selagi menambahkan rumput dan air dalam
sebuah periuk bekas, mendadak Poan Thian telah dibikin
kaget oleh suara orang-orang yang membentak dan
dibarengi dengan suara beradunya barang tajam.
Buru-buru ia berlompat bangun dan coba pasang
telinga akan mendengari, dari mana datangnya suarasuara yang mencurigai hatinya itu.
Tatkala mendengar dengan pasti, bahwa suara-suara
itu telah keluar dari belakang pagar tembok yang terpisah
tidak berapa jauh dari emper kosong itu, Poan Thian lalu
melayang ke atas genteng dan terus merangkak menuju
ke arah pagar tembok tadi, dari mana, ketika
memandang ke arah pelataran sebelah dalam kelenteng
itu, ternyata di sana ada beberapa orang nikouw yang
masih muda, tengah berlatih ilmu silat di bawah pimpinan
Beng Sim Suthay, yang duduk melihati dari halaman
belakang kelenteng yang hampir menghadapi pagar
tembok tersebut. Tetapi karena halaman itu teraling
dengan ujung wuwungan yang menyenderung ke bawah,
maka Poan Thian yang berjongkok di situ tidak terlihat
oleh nikouw- nikouw yang sedang berlatih itu.
Tetapi sungguh tidak dinyana, selagi nikouw-nikouw
itu asyik bertempur dengan menggunakan golok masingmasing, sekonyong-konyong Beng Sim terdengar
berseru: "Berhenti!" hingga sepasang nikouw yang
sedang berlatih itu segera menghentikan latihan mereka
dengan rupa heran. Karena sebegitu jauh yang mereka
tahu, selama itu mereka tak pernah melakukan gerakan293
gerakan yang menyimpang daripada apa yang mereka
telah dapat ajaran dari sang guru itu.
Sementara Beng Sim yang tampaknya paham juga
akan perasaan mereka di saat itu, lalu menunjuk ke atas
genteng sambil berkata: "Perhatikanlah olehmu sekalian!
Di atas wuwungan itu ada seorang yang mengintip
gerakan-gerakan kita."
Kemudian ia menoleh pada seorang muridnya yang
berdiri tidak berjauhan dengan nikouw-nikouw yang
sedang berlatih tadi. "Biauw Ko!" katanya, "cobalah kau pergi lihat siapa
adanya orang itu!" Tetapi pada sebelum Biauw Ko melompat ke atas
genteng, Poan Thian sudah mendahului turun ke bawah
dan segera membungkukkan badannya memberi hormat
pada Beng Sim sambil berkata: "Suthay, murid mohon
beribu ampun atas kelancanganku yang telah berani
datang ke sini dan dengan secara tidak disengaja telah
mengganggu pada Suthay yang sedang melatih para


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid sekalian." Tetapi Beng Sim bukan saja tidak kelihatan jadi
gusar, malah sebaliknya lantas panggil pemuda kita
sambil ditanyakan: "Selama beberapa hari ini, aku telah
lupa menanyakan tentang asal usulmu. Kau ini asal
orang mana" Oleh karena kau juga mengerti ilmu silat,
apakah aku boleh dapat tahu siapa nama gurumu?"
"Murid ini berasal dari Cee-lam dalam propinsi Shoatang," sahut Lie Poan Tian, "dahulu pernah berguru pada
Kak Seng Siangjin Lo-siansu yang menjadi ketua dari
kelenteng Liong-tam-sie."
294 "Kalau begitu," kata nikouw tua itu pula, "kau ini
tentunya ada seorang murid yang berasal dari satu
perguruan dengan Hoa In Liong, bukan?"
"Benar, benar," sahut Poan Thian, "Hoa In Liong itu
adalah Suheng hamba."
Mendengar penyahutan itu, Beng Sim jadi tertawa
dan berkata: "Oleh karena kau ada seorang she Lie,
apakah kau ini bukan Lie Poan Thian yang orang- orang
di kalangan Kang-ouw memberikan gelaran Sin- tui itu?"
Poan Thian tersenyum sambil menghela napas.
"Suthay," katanya, "itulah hanya gelaran kosong yang
orang telah berikan kepadaku sebagai suatu "umpakan"
Karena menurut apa yang aku ketahui, ilmu kepadaianku
itu adalah sangat terbatas. Maka kalau Suthay telah
mendengar juga tentang adanya seorang yang
mempunyai gelaran demikian di kalangan Kang-ouw, aku
harap supaya Suthay anggap itu sebagai suatu "kabar
burung" belaka. Karena dengan sesungguhnya juga
gelaran itu telah diberikan orang tidak seimbang dengan
kenyataan atau apa yang mereka tahu tentang "isi" yang
sebenar-benarnya." "Kau ini kelihatannya terlalu merendahkan diri
sendiri," kata Beng Sim Suthay sambil tersenyum.
"Mungkin juga karena aku belum menerangkan siapa
sebenarnya aku ini, maka engkau telah berlaku sungkan
dan pura-pura mengatakan begitu. Aku inilah bukan lain
daripada adik seperguruan gurumu Kak Seng Siang-jin
dari Liong-tam-sie. Jadi dengan adanya hubungan
dengan gurumu itu, kau dan aku masih kepernah Su-tit
dan Su-kouw. Oleh sebab itu, dimanalah ada seorang
Su-kouw yang tidak merasa bangga, akan mendengar
salah seorang Su-titnya memperoleh nama besar di
295 kalangan Kang-ouw, hingga dengan begitu, nama ilmu
silat dari cabang Siauw-lim jadi semakin mengharum di d
alam dunia ini?" Lie Poan Thian jadi kaget tercampur girang tatkala
mendengar omongan itu. Ia sama sekali tidak menduga,
akan bisa berjumpa dengan salah seorang adik
seperguruan gurunya sendiri di tempat sunyi itu.
Maka setelah sekarang mengetahui dengan siapa ia
berhadapan, Poan Thian lekas jatuhkan diri berlutut dan
menjura di hadapan Beng Sim sambil berkata: "Su-kouw,
nyatalah aku ini ada seorang yang punya mata tetapi tak
mengenali Su-kouw sendiri! Maka jikalau selama itu aku
telah melakukan perbuatan sesuatu yang kurang patut
dan tidak sopan, sudilah apa kiranya Su-kouw
memaafkan kepadaku."
Sementara Beng Sim yang melihat Poan Thian
menjura di adapannya, buru-buru ia banguni dan
berkata: "Kita sekarang adalah terhitung sanak saudara
dari satu golongan juga, perlu apakah Su-tit mesti
berlaku sungkan sampai begitu?"
Poan Thian lalu bangun dan berdiri di hadapan
nikouw tua itu, yang sekarang ia kenali sebagai Sukouwnya, Su-moay atau adik seperguruan dari gurunya
sendiri. "Kita sekarang justeru tengah berlatih ilmu silat," kata
Beng Sim Suthay, "oleh sebab itu, sudikah kiranya kau
juga turut berlatih, untuk membuka pemandangan para
Su-cie dan Su-moymu yang sekarang justeru berkumpul
di sini?" Poan Thian merasa tidak baik buat menolak, apalagi
kalau mengingat bahwa mereka semua adalah berasal
dari satu cabang perguruan Siauw-lim juga.
296 Dari itu, sesudah memberi hormat pada Beng Sim,
yang lalu perkenalkannya pada sekalian nikouw- nikouw
yang berkumpul di situ, Poan Thian lalu menyatakan
kesediaannya akan turut berlatih.
Tetapi berhubung ilmu kepandaiannya masih sangat
terbatas, si pemuda merendahkan diri, maka ia harap
jangan dibuat celaan, jikalau ilmu silat yang
dipertunjukkannya itu kurang baik.
"Kak Seng Suheng adalah seorang yang terlalu
cerewet dalam hal memilih murid," kata Beng Sim Suthay
sambil tersenyum, "oleh sebab itu aku tidak percaya ia
akan mempunyai murid yang mengecewakan pengharapannya. Salah seorang antaranya, aku boleh
sebutkan namanya Hoa In Liong, seorang yang sekarang
dianggapnya sebagai salah seorang murid keluaran
Liong-tam-sie yang paling berjasa dan telah membikin
orang-orang di kalangan Kang-ouw semakin mengindahkan terhadap orang tua yang menjadi
gurunya. Sedangkan orang kedua yang telah membikin
Kak Seng mendapat muka terang di mana-mana, adalah
kau sendiri " Sin- tui Lie Poan Thian. Karena aku tahu,
bahwa setiap orang yang tidak mempunyai bakat baik
akan dididik menjadi seorang ahli silat, Kak Seng selalu
menolak dengan getas akan orang itu belajar ilmu silat di
Liong-tam-sie. Tidak perduli berapa banyak orang itu
hendak membayar biaya melatih kepadanya. Sedangkan
murid-muridnya yang sekarang ada di Liong-tam-sie,
itulah ada murid-murid pilihan, yang baru keluar apabila
ilmu kepandaiannya sudah dianggap sempunra betul.
Oleh sebab itu, perlu apakah kau mesti berlaku sungkan
terus-menerus?" Poan Thian jadi merasa tidak enak karena
perbuatannya yang terlalu see-jie itu. Maka setelah
297 memberi hormat pada Beng Sim dan para nikouw
sekalian, lalu ia menindak ke tengah lataran, dimana ia
lalu bersilat dengan menggunakan ilmu pukulan Kie-tokun yang dimulai dengan merangkapkan kedua
tangannya, kemudian ia bergerak dengan mengunjukkan
gerakan-gerakan lain yang semakin lama tampak
semakin cepat dan menarik di pemandangan mata.
Setelah seantero gerakan dari ilmu pukulan itu
selesai dipertunjukkan, barulah Poan Thian dengan
berturut- turut menyambungkan ilmu pukulan tadi dengan
ilmu- ilmu tendangan Lian-hwan-jie-sie-tui, Tiap- pouwwan- yo-tui, Soan-hong-tui, dan lain-lain., hingga Beng
Sim Suthay yang merasa kagum menyaksikan ilmu
kepandaian pemuda itu, saban-saban terdengar
bersorak-sorak: "Sungguh bagus sekali! Sungguh bagus
sekali!" "Jikalau ditilik dari jalannya ilmu kepandaian Kok
Ciang ini," pikir nikouw tua itu, "nyatalah dia tak kecewa
akan dimintakan bantuan tenaganya untuk melakukan
kebaikan bagi dunia."
Begitulah, tatkala Poan Thian selesai menjalankan
ilmu pukulannya yang terakhir, ia segera membungkukkan badannya sambil berkata: "Su- kouw,
sekianlah ilmu kepandaianku yang jelek itu."
Beng Sim jadi kelihatan girang dan berkata: "Jikalau
dilihat dari segala sudut ilmu kepandaianmu itu, yang
sesungguhnya tidak mengecewakan bagi nama baiknya
kita orang-orang dari golongan Siauw-lim, kukira orang
macam kau inilah yang sangat dibutuhkan oleh In Cong
Sian-su dari kelenteng Po-to- sie. Hanya belum tahu
apakah kau bersedia akan membantu usaha orang tua
itu?" 298 "Su-tit belum kenal siapa adanya In Cong Sian-su
itu," Poan Thian memotong pembicaraan nikouw tua itu.
"Juga dalam soal apakah, yang ia membutuhkan
seorang sebagaiku ini?"
Beng Sim Suthay lalu menerangkan kepadanya
sebagai berikut: "In Cong Sian-su ini adalah ketua dari
kelenteng Po- to-sie, yang terletak di pegunungan Po-tosan dalam propinsi Ciat-kang. Oleh karena mempunyai
penglihatan yang amat tajam dan dapat melihat segala
sesuatu di waktu malam yang gelap gelita, maka orangorang di kalangan Kang-ouw telah memberikan ia nama
julukan Kim-gan-sin-eng, atau garuda sakti yang bermata
emas. Ilmu kepandaiannya In Cong Sian-su ini walaupun
benar setingkat denganku, tetapi ia bukan belajar dengan
secara langsung dari kelenteng Siauw-lim-sie di
pegunungan Siong-san, tetapi dengan melalui kelenteng
Ceng-liang-sie di pegunungan Ngo-tay-san dalam
propinsi San-see, maka dari itu, ia sangat paham dalam
ilmu Lo-han-kun yang menjadi pokok pelajaran ilmu silat
di kelenteng tersebut. "Sedangkan aku sendiri dan Kak Seng Suheng,
adalah berasalkan dari kelenteng Siauw-lim-sie dan
keluar dari paseban Lo-han-tong untuk bantu menyiarkan
ilmu silat cabang Siauw-lim disamping mengembangkan
agama Buddha. Lebih jauh karena Kak Seng Suheng menjadi salah
seorang antara empat murid dari kelenteng Siauw- limsie yang ilmu kepandaiannya telah mencapai puncak
yang tertinggi, maka ia telah diunjuk sebagai salah
seorang guru besar dengan membuka sendiri perguruan
ilmu silat di kelenteng Liong-tam-sie, dimana kau
299 sendiripun pernah belajar di bawah
sehingga beberapa tahun lamanya.
pimpinannya "Tetapi caranya Kak Seng dan In Cong menerima
murid-murid masing-masing sangat berlainan sekali.
Karena jikalau yang pertama mengutamakan kwalitet
pelajaran dan bakat seseorang, adalah In Cong suka
dengan banyak murid dan kepingin kelihatan maju di
mata umum. Oleh sebab itu, ia menjadi kurang menaruh
perhatian terhadap pada kwalitet murid- murid yang turut
belajar di kelenteng Po-to-sie tersebut.
3.19. Tugas Perguruan Dari Bibi Guru
"Salah seorang muridnya In Cong yang bernama Wie
Hui, akhirnya telah melarikan diri dari Po-to-sie, setelah
dapat memahamkan ilmu Pek-houw-kang dengan
sebaik-baiknya. "In Cong Sian-su sendiri mula-mula tidak mengerti
apa sebabnya sang murid itu telah melarikan diri, apalagi
kalau mengingat bahwa ia itu adalah seorang yang tidak
suka mencari setori dan bisa hidup rukun di antara
sesama kawan seperguruannya.
"Begitulah beberapa orang muridnya telah diperintah
akan pergi mencari kepadanya di daerah-daerah sekitar
pegunungan itu dan di tepi daratan yang berdekatan,
tetapi murid-murid itu telah kembaIi dengan memberikan
laporan, bahwa orang yang cari itu tidak dapat
diketemukan. "Paling belakang karena orang melihat pakaiannya
pemuda itu telah diketemukan di tepi jurang yang di
bawahnya terletak lautan yang sangat luas dan dalam,
maka orang segera menarik kesimpulan, kalau-kalau Wie
300 Hui itu telah membunuh diri dengan jalan menyebur ke
dalam laut, walaupun tidak terdapat tanda-tanda yang
mengunjukkan dengan tegas, bahwa tindakan itu telah
diambil oleh Wie Hui karena dialaminya sesuatu peristiwa
dalam penghidupannya selama berdiam di kelenteng Poto- sie tersebut. Oleh sebab itu. selanjutnya orang telah
tidak mencoba pula akan mencarinya.
"Tahu-tahu ketika pada suatu hari ada salah seorang
sahabatnya In Tiong yang berkunjung ke Po-to-sie,
barulah diketahui, bahwa Wie Hui itu sekarang telah
menjadi seorang penjahat yang namanya mulai dikenal
oleh pihak yang berwajib, tetapi sampai sebegitu jauh
belum ada seorang pun yang mampu membekuk murid
yang sesat itu. "In Cong yang mendengar kabar itu sudah tentu saja
tak berbeda dengan seorang yang mendadak
mendengar suara guntur di hari terang, dan ia marah
bukan main pada Wie Hui, yang dianggapnya telah
berkhianat kepadanya dan merusak nama baik
perguruan ilmu silat cabang Siauw-lim yang terbesar di
seluruh Tiongkok. "Barang siapa yang mengkhianat atau menodakan
nama baik rumah perguruannya," kata paderi tua itu, "ia
harus dihukum dengan jalan membunuh diri atau
dibunuh dengan secara kekerasan!"
"Demikianlah menurut kata salah seorang muridku,
tatkala aku perintah ia membawa surat ke sana untuk
memperingati pada In Cong, agar supaya murid yang
begitu jahat bisa lekas dibasmi pada sebelum keburu ia
melakukan lebih banyak kejahatan yang membikin
namanya cabang Siauw-lim jadi semakin "jatuh" di
matanya khalayak ramai. 301 "Akhir-akhirnya karena In Cong sendiri tak
mempunyai murid lain yang ilmu kepandaiannya lebih


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tinggi daripada Wie Hui, maka ia telah minta supaya aku
di sini pun turut mengikhtiarkan akan mencari salah
seorang atau beberapa orang saja yang bisa dimintakan
bantuannya untuk membasmi muridnya yang telah
berkhianat itu, asalkan permintaan itu diajukan kepada
orang-orang dari golongan kita juga.
"Maka waktu aku menyaksikan ilmu kepandaianmu
yang begitu bagus dan aku percaya tak ada di bawah
daripada Wie Hui, aku jadi ingat pada pesanan In Cong
pada beberapa bulan yang lampau itu. Hanya belum tahu
apakah kau bersedia akan bantu melaksanakan usaha
orang tua itu, yang mengalami peristiwa tidak enak dan
mungkin juga karena ini akan kejadian hilang muka dan
"turun merek" dalam pandangan saudara-saudara dan
saudari-saudari kaum lain di kalangan Kang-ouw?"
Poan Thian yang memang berhati tabah dan tidak
suka mendengar segala perbuatan yang melanggar tatatertib dan kesusilaan umum, dengan lantas menyatakan
kesediaannya untuk membantu, sehingga Wie Hui dapat
dibasmi dan nama baiknya In Cong Sian-su terbebas
pada tuduhan orang banyak sebagai seorang guru yang
tak mampu mengajar murid.
"Aku sendiri sebetulnya hendak pergi ke Tiong-ciu
untuk memberitahukan kepada kakakku di sana tentang
pernikahanku yang akan dilakukan sekembalinya aku
dari sana," kata pemuda kita.
"Tetapi karena mengingat bahwa itu hanya
bersangkutan dengan suatu perkara perseorangan saja
yang masih boleh ditunda, maka aku pikir urusan ini akan
kudahulukan penyelesaiannya, selagi perbuatannya Wie
Hui belum seberapa menghebat. Karena jikalau ia telah
302 memperoleh banyak kawan yang turut serta dalam
"perjoangannya", mungkin juga aku seorang tidak cukup
untuk membasmi kejahatannya manusia busuk itu
sehingga tercabut sampai ke akar-akarnya. Hanya belum
tahu sekarang Su-kouw hendak atur bagaimana tentang
penyelesaiannya urusan ini?"
"Buat itu," kata Beng Sim Suthay dengan paras muka
yang berseri-seri, "sudah tentu saja kau harus berangkat
ke Po-to-sie untuk merembukkan hal ini dengan In Cong
Lo-siansu di sana." Poan Thian mengangguk-anggukkan kepalanya
beberapa kali, kemudian dengan suara perlahan ia
berkata: "Su-kouw, aku ada suatu hal yang hendak minta
bantuanmu di seketika ini juga."
"Ya, itu sudah tentu saja boleh sekali," kata nikouw
tua itu. "Cobalah kau terangkan, bantuan apa yang
hendak kau minta dari aku."
Poan Thian lalu tuturkan riwayatnya Kong Houw dan
Bu Liu Sian, yang kedua-duanya pernah ia tolong untuk
melaksanakan pekerjaan masing-masing dalam hal
menuntut balas terhadap musuh-musuh mereka.
Maka setelah maksud masing-masing telah tercapai,
apakah tidak baik kalau diusulkan supaya mereka
menikah saja, agar supaya dengan begitu, perhubungan
mereka jadi lebih erat dan bisa hidup terus sehingga
selama-lamanya?" "Ya, ya, benar," Beng Sim Suthay menyetujui. "Itu
aku sangat mufakat. Apakah hanya dalam hal ini saja
yang hendak kau minta bantuanku?"
Poan Thian membenarkan omongan itu.
303 "Urusan itu tidak sukar," kata nikouw tua itu sambil
tersenyum. "Nanti besok aku sampaikan urusan ini
kepada mereka berdua. Aku percaya mereka tentu suka
menurut. Karena dengan hidup saling berkumpul setelah
mengalami kesukaran bersama-sama, sudah tentu saja
ada lebih baik daripada tercerai-berai di luaran dengan
masing-masing tak mempunyai tujuan yang tertentu,
bukan?" Poan Thian tersenyum dan mengucapkan terima
kasih atas bantuannya Beng Sim yang baik budi itu.
"Y" Sekembalinya dari perkunjungan dan turut berlatih
ilmu silat di hadapan Su-kouwnya, Poan Thian segera
kembali ke kamarnya untuk masuk tidur. Akan tetapi
tidak langsungnya ia masuk ke kamar itu, berhubung dari
sebelah luar ia mendengar Liu Sian dan Kong Houw
yang luka-lukanya sudah hampir sembuh tengah pasang
omong dengan suara perlahan-lahan.
"Itulah sebabnya mengapa aku telah bersembunyi di
kelenteng Leng-coan-sie," si nona terdengar berbicara,
sambil dibarengi dengan suara elahan napas, "tetapi
sungguh tidak kunyana, karena adanya aku di situ, lalu
timbullah lelakon "Hantu Putih" yang telah menggemparkan khalayak ramai, sehingga akhirnya aku
telah beruntung bisa bertemu dengan kau dan Lie Congsu. Jikalau aku tidak bertemu dengan Lie Cong- su dan
kau berdua, belum tahu sampai kapan musuh- musuhku
itu bisa terbalas. Oleh karena itu, apakah salahnya
jikalau aku menjunjung begitu tinggi atas pertolongan
dan bantuan-bantuan kamu berdua itu?"
Kong Houw kedengaran tertawa.
304 "Hanya belum tahu setelah kita saling berpisahan
nanti," katanya, "sampai kapankah kita akan bisa
berjumpa pula?" Kata-kata yang kedengaran agak romantis itu, bikin
Poan Thian yang berada di luar jadi semakin asyik
mendengarinya. Ia saban-saban kelihatan tersenyum
sendiri. Ia sangat kepingin tahu, jawaban apa yang
hendak diberikan si nona itu.
"Setelah kemudian kita saling berpisahan," sahut Liu
Sian dengan suara yang kurang nyata, "ada
kemungkinan kita tak akan berjumpa pula."
Pemuda kita jadi terharu mendengar omongan si
nona itu. "Itu tidak bisa jadi," kata Kong Houw. "Biarpun kita
berada dimana juga, kalau kita masih ada umur, tentulah
kita akan bisa saling bertemu. Hanya belum tahu nona
Bu berumah di bagian mana dari kota Ham-yang?"
Liu Sian bungkam. Tetapi elahan napasnya bisa
terdengar dengan tegas dalam keadaan yang sesunyi itu.
"Aku..... tidak punya rumah tangga lagi," tiba-tiba ia
menjawab. "Karena apa yang ada..... semua telah disita
oleh jahanam she An yang kita telah bunuh itu. Dari itu,
aku sekarang hidup sebatang kara....."
Setelah berkata sampai di situ, Liu Sian tak tertahan
pula terdengar menangis dengan suara perlahan.
Poan Thian jadi menghela napas dan turut berduka
atas nasib si nona yang malang itu.
Kong Houw yang rupanya jadi "kesima" dengan
kelakuan si nona, mula-mula tidak terdengar berbicara
apa-apa, tetapi kemudian lantas menghibur sambil
berkata: "Nona Bu, segala sesuatu yang telah terjadi,
305 sudah tentu kita sesalkan pun tak ada gunanya pula.
Maka apa yang sekarang paling perlu kita pikirkan,
adalah berikhtiar untuk penghidupan kita yang bakal
datang. Aku telah lama memikirkan dan berniat akan
membuka sebuah piauw-kiok. Kau dan aku adalah
orang-orang yang boleh dikatakan hampir senasib,
hanya persoalannya saja yang agak berbedaan. Juga,
seperti apa yang telah dialami olehmu sendiri, akupun
beruntung telah mendapat bantuan dan pertolongannya
Lie Lauw-hia, kalau tidak, belum tahu bagaimana jadinya
dengan diriku sekarang. Bisa jadi juga aku sudah mati
dibuang ke tempat yang jauh. Aku pikir, jikalau maksudku
buat membuka piauw- kiok itu kesampaian, apakah tidak
baik jikalau..... jikalau kau juga turut dalam usahaku itu?"
". . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ."
Akhir-akhirnya Poan Thian yang tidak sabar lagi
mendengari pembicaraan mereka di luar kamar, lalu
berjalan masuk dan turut menimbrung: "Mufakat,
mufakat! Cara kerja sama itu memanglah ada suatu jalan
yang paling baik untuk mempererat perhubungan kita,"
katanya sambil tersenyum. "Aku bantu doakan, agar
supaya cita-cita itu bisa lekas kesampaian."
Kong Houw tertawa, yang juga diturut oleh Liu Sian
sambil menyusut airmatanya.
"Dan jikalau piauw-kiok itu bisa kejadian dibuka,"
Poan Thian menambahkan, "aku pujikan supaya
diberi bernama ,,Siang-hap Piauwkiok" atau "Piauw-kiok
Dua Sejoli"! Tetapi belum tahu apakah kamu setuju
dengan nama pemberianku itu?"
Kedua orang itu jadi bungkem sejurus. Karena dalam
kata penolong mereka itu seakan-akan menyelip
306 "maksud" sesuatu yang agak samar tetapi mudah
dimengerti. Selanjutnya karena urusan Kong Houw hendak
membuka piauw-kiok telah tidak dilanjutkan pula, maka
ketiga orang itupun lalu pergi masuk tidur.
Di hari esoknya pagi-pagi sehabis dahar nasi, ketika
Poan Thian pergi memeriksa kuda mereka di belakang
kelenteng, Beng Sim Suthay telah datang menyambangi
Kong Houw yang luka-lukanya sudah hampir sembuh.
Di situ, setelah duduk mengobrol beberapa saat
lamanya, ni-kouw itu lalu mulai mengulangi penuturannya
Lie Poan Thian tentang dirinya (Kong Houw) dan Si nona
itu, yang dikatakan betapa baiknya apabila mereka bisa
terangkap menjadi suami-isteri.
Karena disamping keperluan Kong Houw sehari-hari
bisa ada orang yang bantu urus, juga si nona yang
sekarang hidup sebatang kara bisa mempunyai
pelindung yang boleh dipercaya dan telah saling
mengenal dengan baik tabeat masing-masing pada
beberapa waktu itu. Sementara Kong Houw dan Liu Sian yang
mendengar omongan ni-kouw tua itu, mereka pun jadi
teringat akan omongan Poan Thian yang telah diucapkan
kemarin di hadapan mereka dengan secara memain.
Maka setelah sekarang mereka mendapat juga
anjuran dari Beng Sim Suthay, yang baik hati itu, sudah
tentu saja mereka pun suka menurut dan berjanji akan
melaksanakan pengharapan Poan Thian dan nikouw tua
itu, lebih-lebih karena mereka memang "ada hati" satu
sama lain selama mereka menumpang tinggal di
kelenteng Giok-hun-am itu.
307 Tetapi karena mereka berdua tak mempunyai sanak
saudara, maka Beng Sim kembali menganjurkan kepada
mereka, supaya upacara pernikahan itupun diadakan
saja di kelenteng tersebut, dengan semua keperluankeperluannya diatur serba sederhana oleh ia sendiri dan
Poan Thian berdua. Kong Houw dan Liu Sian yang mendengar omongan
itu, dengan girang lekas menjura di hadapan Beng Sim
Suthay, sambil menyampaikan rasa terima kasih mereka.
Demikian juga ketika melihat Poan Thian kembali
memeriksa kuda, merekapun lalu menyambut dan
mengucap terima kasih, atas perantaraan si pemuda
yang telah bantu mengikat perjodohan mereka, dengan
melalui usaha yang telah disampaikan oleh Beng Sim
Suthay tadi. Sedang Poan Thian yang melihat maksudnya yang
hendak merangkapkan perjodohan Kong Houw dan Liu
Sian telah berhasil sebagaimana apa yang diharapnya,
sudah tentu saja iapun menyatakan turut bergirang,
maka selanjutnya dengan suara separuh memain ia
bantu berdoa, supaya dengan perangkapan jodoh ini,
"Siang-hap Piauwkiok" yang dicita-citakannya pun bisa
lekas dibuka. Karena dengan begitu, sewaktu-waktu ia
bisa "numpang berhenti", apabila ia kebetulan sempat
atau melewat ke tempat kediaman mereka berdua.
Sebaliknya Kong Houw dan Liu Sian yang telah
menerima budi bukan kecil dari pemuda kita, mengharap
juga akan lekas ikut minum arak kemantin yang akan
diadakan di rumah keluarga Na, dimana pun akan
dirayakan pernikahan antara Poan Thian sendiri dan
nona Giok Tin. Maka setelah Kong Houw dan Liu Sian menikah dan
menuju ke selatan untuk melaksanakan cita-cita mereka
308 akan membuka sebuah piauw-kiok, Poan Thian pun
dengan membawa surat dari Beng Sim Suthay lalu
menuju ke propinsi Ciat-kang, dari mana ia telah
diperintah akan berangkat ke kelenteng Po- to-sie, untuk
membantu usaha In Cong Sian-su yang telah dikhianati
oleh seorang muridnya yang bernama Wie Hui itu.
Oleh karena kuda-kuda yang ada telah diberikan
pada Kong Houw suami-isteri, maka ia sendiri terpaksa
melanjutkan perjalanannya ke Po-to-sie dengan berjalan
kaki. "Y" Pada suatu hari sesampainya di desa Sam-li-tun,
yang terletak beberapa puluh lie jauhnya di sebelah utara
dari kota Hang-ciu, Poan Thian telah dibikin tertarik oleh
orang banyak yang berkumpul di muka sebuah kelenteng
Touw-tee-bio, sambil sebentar-sebentar bertampik sorak
riuh dan berseru: "Ho bugee! Ho bugee! Itulah
sesungguhnya permainan silat yang bagus sekali!"
Mula-mula ia menyangka di situ ada seorang penjual
silat keliling yang sedang mempertunjukkan ilmu
kepandaiannya. Tetapi ketika mendapat keterangan
tentang adanya pertandingan antara dua orang ahli silat
yang penduduk situ belum pernah kenal, Poan Thian jadi


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin tertarik dan lalu turut menonton dengan jalan
naik ke atas gunung-gunungan tanah yang terdapat di
muka bio tersebut. Dari situ ketika Poan Thian memandang sekian
lamanya, mendadak ia kenali, bahwa salah seorang ahli
silat yang sedang bertempur itu, ia rasanya pernah kenal
tetapi lupa dimana dahulu ia pernah bertemu dengannya.
309 Pertempuran itu rupanya telah berlangsung agak
lama juga, karena ahli silat yang ia rasa kenal itupun
sudah agak kalut ilmu pukulannya dan mulai terdesak
oleh lawannya, yang usianya jauh lebih muda daripada
dirinya sendiri. Dalam pada itu, Poan Thian perhatikan dengan teliti
ilmu-ilmu pukulan yang telah diajukan oleh si ahli silat
muda itu, yang telah meluncurkan pukulan-pukulan
dahsyat untuk merobohkan pada lawannya yang lebih
tua itu. "Itulah ada bagian-bagian dari ilmu silat Lo-han-kun
yang telah dipergunakan oleh si pemuda itu," kata Poan
Thian pada diri sendiri. "Oleh sebab itu, tidak salah lagi,
bahwa ia inilah salah seorang ahli silat Siauw-lim dari
cabang Ngo-tay-san. Tetapi belum tahu apa sebab
musabab mereka bertempur di tempat yang agak ramai
ini, sedangkan tempat-tempat lain buat bertempur pun
bukan sedikit di sekitar pedusunan ini?"
Belum habis Poan Thian berpikir tentang caranya
mereka mengadu ilmu silat di tempat yang sedemikian
itu, ketika dengan sekonyong-konyong dari sebelah
belakang ia merasai bersiurnya angin yang menandakan
tentang kedatangannya seorang yang hendak menghampiri kepadanya dengan secara diam-diam. Dan
tatkala ia coba menoleh ke belakang, ia jadi terperanjat
melihat seorang yang bertubuh tinggi besar berdiri di
belakangnya dengan sorot mata yang menyala-nyala.
Kemudian orang itu mengunjukkan senyuman iblis
sambil bertanya: "Apakah kau masih kenali siapa aku
ini?" "Itu aku tidak sangsi lagi," sahut Lie Poan Thian. "Kau
ini adalah Liu Tay Hong, salah seorang kauw-su Tan
310 Chung-cu Tan Tong Goan yang dahulu pernah
kupecundangi. Sekarang, sebab kuyakin, bahwa
pertemuan ini tidak mengandung maksud baik, kukira
tidak perlu lagi aku menanyakan kepadamu: "Apakah
selama ini kau ada baik?" tetapi lebih tepat jikalau aku
menanyakan: "Apakah sekarang kau telah cukup melatih
diri untuk merobohkan kepadaku?" Jikalau kau ternyata
telah bersedia, bolehlah kita melanjutkan pertempuran
kita yang telah tertunda beberapa tahun lamanya itu,
jikalau kau merasa masih belum berlatih cukup matang,
aku nasehatkan supaya kau boleh lekas berlalu dari
hadapanku. Tunggu kalau nanti kau sesungguhnya telah berlatih
sampai cukup matang, barulah kau mencari pula padaku,
untuk menetapkan siapa salah seorang antara kita
berdua yang ilmu kepandaiannya lebih unggul!"
Orang itu, yang ternyata bukan lain daripada Liu Tay
Hong yang para pembaca tentu masih ing at, sudah tentu
saja jadi amat gusar dan lalu menerjang pada Lie Poan
Thian dengan tidak banyak bicara lagi.
Poan Thian buru-buru berkelit dan berlompat turun
dari atas gunung-gunungan tanah itu, untuk menunda
pauw-hok yang digendong di atas bebokongnya.
Begitulah dengan terjadinya pertempuran antara Lie
Poan Thian dan Liu Tay Hong di bawah gununggunungan tanah tersebut, maka di halaman kelenteng
Touw-tee-bio itu telah tertampak jadi semakin ramai,
dengan adanya dua rombongan orang-orang yang
bertempur dengan para penonton sama sekali tidak
mengetahui sebab-musabab daripada perkelahian itu.
Tapi kebanyakan orang pada umumnya tidak
mengambil pusing mereka siapa atau sebab apa mereka
311 bertempur, oleh karena itu, orang banyak yang
berkerumun di depan kelenteng itu segera terpecah
menjadi dua rombongan: dengan yang sekelompok
saban-saban bertampik sorak lebih ramai daripada
rombongan yang lainnya. Dan semakin ramai orangorang yang bertampik sorak, semakin tegas pula
kehebatannya pertempuran-pertempuran yang sedang
berlangsung di saat itu. Dalam pada itu, Sin-tui Lie Poan Thian yang telah
sekian lamanya tidak bertemu muka dengan Liu Tay
Hong, dengan lantas mengetahui lebih tegas tentang
kemajuan ilmu silat sang lawan itu, hingga jikalau dahulu
ia boleh berlaku sedikit ayal-ayalan dalam perlawanannya, adalah sekarang tak sempat pula ia
berbuat begitu tanpa menanggung resiko yang bukan
kecil bagi keselamatan dirinya sendiri.
Karena jikalau dahulu Tay Hong hanya merupakan
sebagai seorang kauw-su yang semata-mata mengajar
ilmu silat untuk mencari nafkah, adalah sekarang ia telah
menjadi seorang yang betul-betul ahli dalam hal
mempertunjukkan ilmu Hek-houw-kun yang terkenal lihay
dan disegani orang itu. Maka Poan Thian yang telah matang dalam
pengalaman di kalangan ilmu silat, sudah tentu saja
lantas atur penjagaan dengan sebaik-baiknya, sehingga
Tay Hong sama sekali tidak mendapat ketika akan
melakukan penyerangan kilat terhadap pada bagianbagian Poan Thian yang ia anggap lemah.
Begitupun Poan Thian yang mengerti bahwa Liu Tay
Hong tak dapat dirobohkan dengan menggunakan ilmu
pukulan, buru-buru ia maju menerjang lawan itu dengan
ilmu tendangan lihay yang ia memang amat paham.
312 Sementara Liu Tay Hong yang telah kenal bahwa
keunggulan Lie Poan Thian adalah di bagian ini, sudah
tentu saja iapun terpaksa mesti pasang mata dengan
betul, dan ia sudah merasa sangat beruntung jikalau ia
tidak sampai dirobohkan pula seperti apa yang telah
dialaminya pada waktu yang lampau itu.
Maka karena sikap yang sangat hati, daripada kedua
belah pihak lawan itu, tidaklah heran jikalau pertempuran
itu telah berlangsung sampai beberapa lamanya dengan
tidak tertampak pihak mana yang lebih unggul atau lebih
rendah ilmu kepandaiannya.
Meskipun Tay Hong telah beberapa kali mengajukan
ilmu-ilmu pukulan yang sangat berbahaya, tidak urung
pukulan-pukulan itu telah dapat dielakkan dan dibikin
tidak berbahaya oleh kegesitan dan kepandaian Lie Poan
Thian, hingga orang banyak jadi sangat memuji atas
kepandaian pemuda kita yang dikatakan sangat lihay itu.
Pada satu saat karena suatu kesalahan dalam
penyerangan yang telah dilakukan oleh Liu Tay Hong,
maka Poan Thian mendapat kesempatan buat segera
menggunakan ilmu tendangan yang gerakkannya amat
cepat untuk membikin terkesiap hati lawannya itu. Dan
sebegitu lekas Tay Hong hendak berkelit buat
meluputkan diri daripada tendangan tersebut, Poan
Thian lalu barengi mempergunakan ilmu Sauw-tong Lianhwan-tui yang ternyata belum pernah diketahui
bagaimana kelihayannya oleh Liu Tay Hong, hingga
biarpun tendangan yang satu telah berhasil dapat
dielakkannya, tetapi tendangan yang lain tak berdaya ia
dapat singkirkannya. Maka pada sebelum ia keburu
berpikir dengan jalan apa ia harus menyelamatkan
dirinya, kaki kiri Lie Poan Thian telah menyamber ke ulu
hatinya bagaikan kilat cepatnya. Tay Hong lekas
313 miringkan sedikit badannya, tetapi tidak urung ia telah
kena juga ditendang sehingga terpental dan jatuh di
suatu tempat yang terpisah kira-kira beberapa belas kaki
jauhnya. Beruntung juga kenanya tendangan itu tidak
seberapa telak, hingga Tay Hong keburu bangun dan
berteriak: "Lekas lari!" Kemudian ia panjangkan
langkahnya dan melarikan diri ke sebelah barat
kelenteng, dengan tidak menoleh lagi ke belakang buat
melihat, apakah Poan Thian masih mengejar atau tidak.
Sementara pemuda yang sedang bertempur dengan
orang setengah tua di muka kelenteng Touw-tee-bio
tersebut, segera berlompat keluar dari kalangan
pertempuran, tatkala mendengar seruan Liu Tay Hong
itu. Ia ini, yang rupanya menjadi juga kawan Liu Tay
Hong, lalu melarikan diri dengan mengambil jurusan yang
dituju oleh sang kawan itu.
Selanjutnya karena melihat musuh itu telah kabur,
maka Poan Thian pun merasa tidak perlu akan
melakukan pengejaran, tetapi segera maju menghampiri
orang setengah tua itu sambil tersenyum dan memberi
hormat. "Suhu," katanya," semenjak kita saling
berpisahan, apakah kau ada baik dan sehat wal'afiat?"
Orang itu kelihatan jadi terperanjat dan buat sejurus
lamanya tak dapat berkata-kata barang sepatahpun.
"Apakah kau ini bukan Lie Kok Ciang dari Cee-lam?"
ia menegaskan bagaikan orang yang takut keliru
mengenali orang. "Benar," sahut Poan Thian, "apakah Suhu telah lupa
kepadaku?" 314 Orang itu mendadak tertawa bergelak-gelak,
kemudian ia lantas memegang bahu pemuda kita sambil
berkata: "Aku tidak nyana bahwa sehingga sekarang kau
masih tetap mengaku aku sebagai gurumu. Kok Ciang,
nyatalah engkau ini ada seorang yang berbudi."
Setelah orang banyak yang berkerumun di muka
kelenteng telah pada bubaran, Poan Thian lalu gendong
pula pauw-hoknya dan ajak orang itu yang ternyata
bukan lain daripada An Chun San, yang dahulu pernah
menjadi guru dan pernah dirobohkannya akan mampir ke
sebuah kedai untuk mengaso dan menanyakan: apa
sebab ia bertempur di situ, dan siapakah orang muda
yang menjadi musuhnya itu"
Maka setelah kedai yang dicari itu telah dapat
diketemukan, Poan Thian lalu ajak bekas guru itu akan
mampir dan persilahkan Chun San pilih sendiri, makanan
atau minuman apa yang digemarinya.
Begitulah sambil duduk makan minum bersama-sama
Chun San telah menuturkan riwayat perjalanannya,
semenjak ia mabur dari rumah Poan Thian di Cee-lam
sehingga mereka bertemu di kelenteng Touw-tee-bio
yang telah dipilih oleh kedua pihak sebagai tempat untuk
menentukan, siapa salah seorang antara Chun San dan
musuhnya yang lebih unggul ilmu kepandaiannya.
"Musuh ini sebenarnya aku tidak kenal siapa
namanya yang benar," memulai bekas guru itu. "Dalam
desa Sam-li-tun ini aku telah berdiam beberapa tahun
lamanya, yaitu semenjak aku berlalu dengan diam- diam
dari rumahmu di Cee-lam. Di dalam desa ini aku
kebetulan ada mempunyai seorang sahabat yang
membuka sebuah toko obat. Oleh karena ia mengetahui
bahwa aku paham juga obat-obatan dan ilmu
pengobatan, maka ia telah ajak aku bersero dengan
315 hanya keluar tenaga, sedangkan segala ongkos-ongkos
dan keperluan semua ditanggung oleh sahabatku itu.
Dalam perseroan ini kita telah peroleh keuntungan yang
lumayan buat melewati hari.
"Semakin lama perusahaan kita ini semakin maju,
sehingga akhirnya rumah obat kita menjadi tersohor dan
dikenal oleh hampir seluruh penduduk tua dan muda
dalam desa Sam-li-tun ini.
"Paling belakang karena banyak terjangkit penyakit
mejen di antara rakyat-rakyat yang miskin dan tidak
mampu, maka kita lantas adakan kampanye untuk
memberikan obat dan pemeriksaan dengan cuma- cuma,
sehingga penyakit itu dapat dibasmi di seluruhnya dari
desa tersebut. Maka berkat kampanye ini, bukan saja kita mendapat
pujian dari pihak anak negeri, bahkan pihak yang
berwajibpun menyatakan terima kasihnya atas bantuan
kita yang berharga itu terhadap masyarakat di Sam-li-tun
khususnya, sehingga karena itu, nama rumah obat kita
jadi semakin termasyhur di mana- mana. Hanya amat
disayangkan, antara adanya kemasyhuran itu, kita jadi
menghadapi soal lain yang berupa gangguan dari
sahabat-sahabat yang menuntut penghidupan tidak baik
di kalangan Kang- ouw hitam. Mereka berpendapat,
karena kita memperoleh banyak keuntungan dalam
perusahaan kita, maka mereka pun ingin minta juga
beberapa bagian dari keuntungan itu guna dibagibagikan di antara golongan mereka. Hal mana, sudah
barang tentu, aku sebagai kuasa dan pengurus rumah
obat Tiang-seng-tong itu, tidak suka mengabulkan atas
permintaan yang sangat bo-ceng-li itu.
"Oleh sebab itu juga, pada suatu hari anak muda
yang bertempur dengan aku itu dan mengaku bernama
316 Hok Cie Tee, telah datang berkunjung ke rumah obat kita
buat coba membujuk padaku. Katanya, kalau aku tidak
suka keluarkan "uang jago" sejumlah yang telah diminta
duluan, dikasih separuhnyapun mereka mau terima juga.
"Tetapi aku tetap tidak mau memberinya juga,
sehingga akhirnya terbit percekcokan yang telah


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebabkan ia menantang berkelahi padaku di muka
kelenteng Touw-tee-bio itu.
"Ilmu kepandaian anak muda itu ternyata tidak bisa
dicela, dan jikalau aku memangnya tidak meyakinkan
ilmu silat pula pada seorang paderi dari kelenteng Siauwlim-sie sebegitu lekas aku berlalu dari Cee-lam, niscaya
siang-siang aku telah dirobohkan oleh pemuda bajingan
itu." "Ketika barusan aku lalu di kelenteng Touw-tee-bio,"
Poan Thian memotong pembicaraan bekas gurunya itu,
"akupun telah bertemu dengan seorang kauw-su yang
aku pernah pecundangi dan dia bersumpah akan
menuntut balas kepadaku di kemudian hari. Dia ini
rupanya menjadi juga komplotan si anak muda yang aku
percaya telah datang bersama-sama, tetapi berpura-pura
tidak kenal satu sama lain. Hanya belum tahu apakah
Suhu ketahui juga hal ini di muka terjadinya pertempuran
itu!" "Tentang ini aku tidak tahu pasti," sahut An Chun
San, "tetapi aku percaya, bahwa si pemuda bajingan itu
tidak datang ke situ dengan hanya seorang diri saja.
Apalagi ketika aku melihat kau dan orang itu bertempur
dari kejauhan, hatiku bercekat dan semakin percaya,
bahwa kedatangan kawannya itu dengan secara diamdiam, adalah telah diatur lebih dahulu buat mengerubuti
atau mencelakai pada diriku dengan secara menggelap.
Hanya aku tidak mengerti, apa sebabnya sehingga kau
317 jadi bertemu dengan orang itu. Barusan, karena aku
sedang sibuk menjaga diriku dari serangan-serangan
musuh itu, maka tidak sempat aku berpikir akan mencari
tahu, sebab-sebab atau alasan-alasannya yang masuk
diakal berhubung dengan terjadinya pertempuran yang
amat sekonyong-konyong itu."
Maka buat menjelaskan tentang duduknya urusan
yang benar, Poan Thian lalu tuturkan pertemuannya
dengan Liu Tay Hong di rumah Tan Tong Goan, dari
awal sehingga akhirnya ia merobohkan bekas kauw- su
itu. Tetapi tak tahu ia bagaimana Tay Hong bisa jadi
berkawan dengan pemuda bajingan itu.
"Ketika barusan aku melihat Suhu bertempur dengan
penjahat itu," Poan Thian melanjutkan omongannya,
"sebenarnya aku tidak nyana bakal bertemu dengan
Suhu di tempat ini."
3.20. Bantuan Murid Bagi Mantan Guru
Tatkala Chun San menanyakan, Poan Thian
sebenarnya hendak pergi kemana, pemuda kita lalu
tuturkan perutusannya, yang ia telah terima dari Beng
Sim Suthay dari kelenteng Giok-hun-am. "Aku diperintah
akan membantu In Cong Sian-su buat menaklukkan atau
menangkap muridnya yang berkhianat dan bernama Wie
Hui itu," ia akhiri bicaranya.
"Nama itu sudah lama aku dapat dengar," kata Chun
San, "tetapi sayang bukan di dalam golongan orangorang yang terhormat. Menurut ceritera beberapa orang
kawanku di kalangan Kang-ouw putih, Wie Hui itu adalah
seorang ahli ilmu Pek-houw-kang yang paling muda di
masa ini, jikalau tidak mau dikatakan paling baik dan
paling pandai dari antara yang lain- lainnya."
318 "Ya, itupun aku telah ketahui sedikit dari mulut orangorang yang aku ketemukan dalam perjuanganku," sahut
Lie Poan Thian. Sehabisnya bermakan minum dan Poan Thian
membayar semua rekening meski Chun San mencegah
dan hendak membayar sendiri, Chun San lalu ajak Poan
Thian mampir ke tempat kediamannya dan menganjurkan, agar supaya pemuda itu suka berdiam
beberapa hari lamanya sebagai tanda memperbaharui
serta mempererat perhubungan mereka yang dahulu
telah terputus itu. Poan Thian menurut untuk memenuhi pengharapan
bekas gurunya itu. Dua malam telah lewat dengan tiada terjadi hal apaapa yang penting untuk dituturkan di sini. Tetapi pada
malam ketiga selagi Chun San menjamu Poan Thian
duduk makan minum di halaman belakang tempat
kediamannya, mendadak mereka telah dibikin kaget oleh
sepasang bayangan manusia yang berkelebatan masuk
ke halaman itu. Oleh karena An Chun San dan Poan Thian baru saja
beberapa hari mengalami pertempuran, karuan saja
mereka lantas menyangka, kalau-kalau kedatangan
kedua orang itu tentu lah tidak bermaksud baik.
Tidak kira ketika melihat tuan rumah dan tetamunya
pada berbangkit dari tempat duduk masing-masing kedua
orang tadi lalu maju menghampiri sambil berkata:
,,Selamat malam, tuan-tuan! Kedatangan kami ini
bukanlah bermaksud jahat, sebagaimana kamu berdua
tentu mengira. Kami berdua adalah kakak dan adik yang
bernama Lauw Thay dan Lauw An, berdua saudara yang
bekerja di bawah perintah Liu Tay Hong dan Hok Cit,
319 yang tempo hari telah mengaku bernama Hok Cie Tee di
hadapan tuan An. Oleh karena mengingat atas budi kebaikan tuan An
yang telah berlaku dermawan memberikan bantuan yang
berupa obat-obatan, pemeriksaan dengan cuma- cuma
dan uang untuk menghidupkan seluruh rumah tangga
kami, maka kami berdua walaupun bekerja di bawah
perintah mereka, tetapi masih mempunyai liang-sim dan
tidak bersedia akan mentaati tugas busuk yang kami
sekarang telah diperintah untuk melakukannya."
Tatkala Chun San menanyakan, tugas apakah itu
yang mereka telah diperintah buat lakukan pada malam
itu, Lauw Thay lalu bentangkan telapak tangannya dan
unjukkan itu pada si tuan rumah dan Lie Poan Thian di
bawah penerangan api lampu.
"Api!" kata mereka dengan suara yang hampir
berbareng. "Kalau dugaanku tidak keliru," kata An Chun San
kemudian, "kamu berdua telah diperintah akan
membakar rumah tanggaku ini. Apakah bukan begitu,
maksud yang benar dari perkataan "Api" yang dituliskan
dimana telapak tanganmu itu?"
"Ya, benar," sahut Lauw Thay. "Tetapi disamping itu,
masih ada pula lain macam perintah yang bagi orang lain
berarti amat hebat, tetapi bagi tuan An boleh dianggap
sepi saja. Yaitu..... ini."
Sambil berkata begitu, Lauw Thay lalu membentangkan telapak tangan yang lainnya SOE
(mati). Demikianlah tulisan yang tampak pada telapak
tangan itu! "Tetapi ini boleh dikatakan tidak ada artinya
bagi tuan An yang berilmu kepandaian jauh lebih tinggi
daripada kami berdua," kata Lauw Thay pula, "karena
320 buat membunuh tuan An, aku percaya Hok Cit sendiripun
belum tentu mampu, apalagi kami berdua yang bodoh
dan tidak pernah berguru pada orang- orang pandai.
Dimanalah kami bisa lakukan pekerjaan yang seberat
itu?" An Chun San dan Lie Poan Thian berdua jadi
"kesima" waktu mendengar omongan itu. "Setelah
sekarang kamu menyampaikan kabar yang tidak baik itu
kepadaku," kata Chun San akhir-akhirnya, "ada hal
apakah lagi yang kamu hendak katakan selanjutnya?"
"Kami berdua sebetulnya tidak akan kembali pula
kepada mereka," kata kedua orang itu. "Tetapi oleh
karena kami kuatir akan hidup berkeliaran di luaran
apabila komplotan Liu Tay Hong dan Hok Cit belum
dapat dibasmi, maka kami bermohon, atas kebijaksanaan
dan kedermawanan tuan An di sini, untuk memberikan
kami berdua tempat bersembunyi untuk beberapa waktu
lamanya. Apabila komplotan manusia-manusia busuk itu
telah dibasmi oleh pihak yang berwajib, sudah tentu saja
kami lantas berlalu dengan tidak menyusahkan apa-apa
lagi bagi tuan An. Hanya belum tahu apakah tuan An
sudi meluluskan atas permintaan kami ini?".
An Chun San mula-mula kelihatan ragu-ragu, karena
biarpun mereka telah mengatakan bahwa mereka pernah
menerima budi kebaikannya, tetapi ia sama sekali tidak
pernah kenal, mereka asal dari mana dan dimana rumah
tangga mereka yang dikatakannya itu. Air yang dalam
bisa diukur, tetapi hati manusia cara bagaimanakah bisa
diukurnya" "Kalau begitu aku punya suatu jalan yang paling baik
bagi kamu berdua dan bagi aku juga yang berada di sini,"
kata An Chun San setelah berpikir sejurus lamanya.
321 Ketika mereka mendahului menanyakan, cara
bagaimana yang Chun San akan atur buat menolong diri
mereka, si tuan rumah lantas menjawab: "Begini.
Sekarang aku berikan kamu ongkos duaratus tail perak
untuk menyingkir sementara waktu lamanya ke tempat
lain yang kamu kira cukup selamat untuk kamu
berlindung. Dan di sana, apabila kamu mendengar kabar
bahwa komplotan manusia- manusia busuk itu telah
dibasmi oleh pihak yang berwajib, barulah kamu kembali
lagi ke sini, agar supaya dengan begitu, akupun bisa atur
cara lain guna menjamin penghidupanmu berdua. Tetapi
belum tahu apakah kamu setuju dengan caraku ini?"
Lauw Thay kelihatan mendengar omongan itu. menghela napas ketika "Cara itu rasanya boleh juga diturut," kata Lauw An.
"Karena disamping kita bisa menyelamati diri kita,
tuan An di sinipun tidak usah kuatir jadi kerembet dengan
urusan kita. Maka setelah kita tidak melupakan atas budi
kebaikan tuan An terhadap seluruh keluarga kita, kitapun
sebaliknya harus bantu berdaya guna keselamatan tuan
An serumah tangga yang berdiam di desa Sam-li-tun ini."
"Ya, ya, itulah ada suatu jalan paling baik yang kukira
bisa disetujui oleh kedua pihak," kata Lie Poan Thian
yang turut campur berbicara.
Maka setelah mereka menyatakan mufakat, An Chun
San lalu pergi mengambil sejumlah uang yang lalu
diberikan pada mereka berdua sambil memesan seperti
berikut: "Uang ini kamu boleh gunakan dengan sehemathematnya. Apabila nanti ternyata tidak cukup, kamu
boleh suruhan orang datang membawa surat ke sini buat
minta ditambahkan. Aku di sini selalu terbuka buat
menolong sesuatu orang yang patut ditolong, apalagi
322 terhadap pada orang-orang yang memangnya kupernah
berhutang budi. Kalau nanti kamu sudah berada di
tempat lain, jangan lupa akan memberitahukan
alamatmu, agar jikalau nanti keadaan sudah tidak
berbahaya lagi bagi mu berdua, akupun boleh segera
panggil kamu kembali ke Sam-li- tun, buat membantu
pekerjaanku atau mengatur cara lain yang bisa
mendatangkan kebaikan bagi kita kedua pihak."
"Benar, benar," menyetujui Lauw An. "Cara lain yang
bisa digunakan dalam keadaan kesusu seperti sekarang,
mungkin juga tidak ada lagi yang sebaik itu."
Sementara Lie Poan Thian yang lebih banyak
mendengari pembicaraan orang daripada turut campur
berbicara, akhir-akhirnya mendapat suatu pikiran yang
segera diajukannya pada An Chun San seperti berikut:
"Menurut pendapatku yang cupat, kiranya ada baiknya
juga jikalau kedua saudara ini diperbantukan dalam
sebuah piauw-kiok. Karena selain pekerjaan itu
menyocokkan betul bagi bakat mereka, merekapun bisa
juga dipergunakan sebagai petunjuk-petunjuk dalam soal
pengangkutan-pengangkutan yang biasa dilakukan orang
ke tempat-tempat lain."
An Chun San mufakat. Demikian juga Lauw Thay
berdua saudara, mereka menyatakan setuju dengan usul
itu, asalkan mereka diperbantukan dalam piauwkiokpiauwkiok yang letaknya jauh dari daerah kekuasaan
komplotan Liu Tay Hong dan Hok Cit, hingga dengan
begitu, ketika buat kejadian berbentrok dengan kedua
penjahat itu jadi bisa diringankan, biarpun itu bukan
berarti akan dapat disingkirkan sama sekali.
"Aku juga makanya menganjurkan begitu," kata Lie
Poan Thian, "adalah karena aku mempunyai seorang
sahabat yang selama ini berniat akan membuka piauw323
kiok di selatan. Orang ini asal Ho-lam, she Cin bernama
Kong Houw. Kini ia dan isterinya ada dalam perjalanan
pulang ke desa kelahirannya. Jikalau kamu berdua
berlaku cepat, ada kemungkinan kamu ketinggalan pun
tidak berapa jauh." Semua orang mufakat benar dengan anjuran pemuda
kita itu. Maka sesudah merekapun dijamu makan minum,
diberikan uang dan sepucuk surat oleh Poan Thian yang
dialamatkan kepada Cin Kong Houw serta petunjukpetunjuk lain yang memudahkan untuk mereka mencari
pada orang yang dimaksudkan itu, barulah Lauw Thay
dan Lauw An memohon diri pada Chun San dan Poan
Thian, kemudian pada malam itu juga mereka kembali ke
rumah mereka sendiri, untuk berkemas-kemas dan
berangkat ke selatan di hari esoknya pagi-pagi.
Tatkala mereka telah berlalu lama juga, barulah Poan
Thian ingat suatu hal yang ia sebenarnya kepingin
menanyakan pada kedua saudara itu, tetapi, apa mau, ia
telah lupa utarakan selagi mereka berada di


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hadapannya. "Barusan aku telah lupa menanyakan," katanya.
"Apakah mereka kenal atau tidak dengan Wie Hui,
murid In Cong Lo-siansu yang berkhianat itu. Karena
kedua saudara itu yang hidup di kalangan Kang-ouw
hitam dalam daerah ini, tidak mustahil mereka tak kenal
nama itu." Chun San membenarkan omongan itu, tetapi sudah
tentu saja ia tidak bisa berbuat lain daripada
menganjurkan Poan Thian akan pergi menyelidiki sendiri,
berhubung orang-orang yang bisa dimintakan keterangannya telah berlalu dari hadapan mereka.
324 Di rumah An Chun San, Poan Thian telah berdiam
sehingga tiga hari lamanya, barulah ia dikabulkan
permintaannya buat melanjutkan perjalanannya ke Po-tosan, sambil tak lupa dipesan oleh Chun San akan
mampir lagi ke situ, apabila tugas sang bekas murid itu
telah dapat ditunaikan. Poan Thian berjanji akan berbuat begitu, biarpun ia
belum bisa tentukan kapan ia akan kembali lagi ke situ.
Kemudian ia berpamitan pada Chun San dan terus
menuju ke pantai untuk menumpang perahu yang akan
berangkat ke tempat yang dituju.
Begitulah dengan menumpang sebuah perahu
seorang nelayan yang kebetulan hendak pergi ke Po-tosan, Poan Thian akhirnya telah sampai ke pegunungan
tersebut, dan sesudah membayar uang sewaan perahu,
lalu ia menuju ke kelenteng Po-to-sie dengan mengikuti
jalan gunung yang semakin lama semakin tinggi, sedang
di kiri kanannya tampak pemandangan alam yang indah
dan seolah-olah tidak dipunyai oleh tempat-tempat dan
pegunungan-pegunungan lain yang terletak di alam
Tiongkok. Di situ Poan Thian menyaksikan cadas yang curam
dan batu-batu gunung yang sebesar-besar rumah, di
antara mana terdapat jalan-jalan yang menjurus ke sanasini. Sedangkan jalan yang terbesar sendiri, ialah sebuah
jalan yang menuju ke kelenteng Po-to-sie, yang ramai
oleh orang-orang dari tempat-tempat lain yang sengaja
berkunjung ke situ untuk bersembahyang, membayar
kaul atau menyaksikan pemandangan alam yang
tertampak di situ dan daerah sekitarnya.
Poan Thian yang baru pada kali itu pernah
menginjakkan kakinya di pegunungan yang merupakan
pulau itu, sudah tentu saja masih kelihatan agak kikuk
325 dan tidak tahu jurusan mana yang mesti diambilnya untuk
ia dapat menyampaikan tempat yang ditujunya.
Syukur juga karena banyaknya orang yang mondarmandir ke kelenteng itu dengan tidak putus-putusnya,
maka gampang ia menanyakan keterangan- keterangan
yang diperlukan, terutama mengenai jalan yang lebih
pendek supaya orang bisa lekas sampai ke kelenteng
tersebut. Tetapi karena ia memang masih asing bagi tempattempat di situ, tidak urung ia tersesat juga di jalan, dan
tahu-tahu ia telah sampai di bagian lain daripada
kelenteng yang masyhur itu, dimana karena mendengar
ada beberapa orang yang sedang berlatih ilmu silat di
balik pagar tembok yang terdekat, maka Poan Thian jadi
timbul keinginan buat coba menyaksikan ke sebelah
dalam, dengan jalan melompati pagar tembok yang tak
dapat dikatakan rendah itu.
Tetapi sungguh tidak dinyana, selagi baru saja ia
menindak akan mendekati pagar tembok tersebut, tibatiba ia telah dibikin kaget oleh suara seseorang yang
membentak dari balik tembok itu.
"Kau siapa?" tanyanya, "dan perlu apakah kau datang
mengintip kemari?" Poan Thian bukan main herannya dan terutama
sangat tidak mengerti, cara bagaimanakah orang yang
berada dibalik tembok sana bisa mengetahui bahwa ia
berada di luarnya" Ia pikir orang itu niscaya tidak bisa berbuat begitu,
apabila bukan seorang yang ilmu pendengarannya telah
sampai pada puncak yang tertinggi.
326 Tetapi ia belum sempat berpikir lebih jauh, ketika
suara itu mengatakan pula: "Apabila kedatanganmu tidak
bermaksud jahat, apakah sebabnya kau tidak berani
datang menghadap kepadaku?"
Poan Thian yang ditanya begitu, keruan saja lantas
insyaf dari kekeliruannya dan segera menjawab "Murid
mendatangi, dan maafkanlah atas perbuatanku yang
kurang sopan ini." Kemudian dengan menggunakan siasat Hui-yanchut- lim ia melayang masuk ke halaman sebelah dalam
dari pagar tembok itu. Di sana, sambil duduk di atas kursi di hadapan para
pelatih yang sedang meyakinkan ilmu silat, Poan Thian
nampak seorang paderi tua yang misai dan janggutnya
sudah berwarna putih seluruhnya, tetapi semangatnya
masih tetap gagah dan terutama sinar matanya yang
amat tajam bikin orang merasa terkesiap disaban waktu
beradu sorot mat a dengannya.
Maka setelah menyaksikan Poan Thian masuk
dengan menggunakan siasat silat tadi, sang paderi
lantas ketahui, bahwa pemuda itu tentulah bukan orang
sembarangan. "Kau ini orang dari mana?" tanyanya, ketika melihat
Poan Thian maju memberi hormat kepadanya, "nama
apa, dan dengan maksud apa kau datang ke sini?"
"Murid yang rendah bernama Lie Kok Ciang," sahut
Poan Thian, "orang dari Cee-lam propinsi Shoa-tang.
Hari ini murid membawa sepucuk surat Beng Sim Suthay
dari kelenteng Giok-hun-am untuk disampaikan kepada
In Cong Lo-siansu. Hanya belum tahu Lo-siansu
sekarang ada dimana" Murid seorang yang seumur
hidup baru pernah kali ini datang kemari, telah tersesat
327 jalan dan akhirnya sampai ke sini. Banyak harap supaya
guru sudi memberikan maaf atas kesemberonoanku ini."
"Apakah Beng Sim Suthay tidak mengatakan apa-apa
tentang isinya surat itu?" bertanya paderi itu pula sambil
memandang dengan teliti kepada pemuda kita.
Lie Poan Thian lalu tuturkan dengan sejelas-jelasnya
tentang maksud kedatangannya itu, tetapi tidak
menceritakan apa-apa tentang hal ia bertempur dalam
perjalanannya ke tempat itu.
"Ya, kalau begitu," kata sang paderi, "marilah kau
serahkan surat itu kepadaku."
"Apakah barangkali guru ini bukan In Cong Lo-siansu
yang hendak murid jumpai itu?" tanya Lie Poan Thian
yang mendadak telah mendusin, bahwa apa yang telah
dikatakannya tadi, adalah kurang sopan dan
sesungguhnya terlalu semberono.
Tetapi apa yang telah diperbuat, sudah tentu saja tak
dapat ditarik pulang, hingga selanjutnya ia melainkan
bisa berjanji pada diri sendiri, akan berlaku lebih hati- hati
dalam segala perkara untuk mencegah kekeliruankekeliruan yang akan datang itu.
Sementara paderi tua itu yang dengan sekonyongkonyong melihat tingkah laku Poan Thian jadi agak
gugup, dengan tersenyum-senyum lalu berkata: "Anak
muda, aku inilah memang benar In Cong Sian-su yang
hendak kau jumpai itu."
Poan Thian yang mendengar omongan itu, lalu buruburu-buru menjatuhkan diri menjura di hadapan paderi itu
sambil berkata: "Lo-siansu, mohon diberi keampunan dan
beribu maaf atas perbuatan murid yang amat tidak sopan
itu!" 328 Tetapi In Cong Sian-su lalu banguni padanya sambil
berkata: "Kita adalah orang-orang dari satu golongan
juga, perlu apakah mesti berlaku begitu sungkan?"
Poan Thian mengucap terima kasih dan lalu
serahkan suratnya Beng Sim Suthay yang lalu dibuka
sampulnya dan dibaca bunyinya oleh paderi tua tersebut.
Sehabis membaca surat itu, In Cong lalu menoleh
pada Lie Poan Thian dengan paras muka yang berseriseri.
"Gurumu dan aku adalah saudara yang berasal dari
satu golongan Siauw-lim juga," katanya, "demikian juga
dengan Beng Sim yang menyiarkan ilmu silat dari
golongan kita di kelenteng Giok-hun-am. Kepada ia ini
aku pernah meminta bantuannya, untuk mencari
beberapa orang murid-murid dari cabang Siauw-lim yang
ilmu kepandaiannya sudah boleh dianggap sempurna
untuk membantu usahaku akan menaklukkan atau
membasmi muridku Wie Hui yang telah berkhianat itu."
"Ya, hal itu muridpun telah dapat dengar dari
penuturan Beng Sim Su-kouw," kata pemuda kita.
"Hanya belum tahu, selama ini ia bersembunyi di
mana" Juga di mana ia kerap kelihatan mengunjukkan
rupanya?" "Belum berapa lama ia telah mengacau di kota Lengpo," sahut In Cong Sian-su. "Di sana ia telah coba
menculik seorang gadis she Ong, tetapi perbuatannya itu
telah gagal, berhubung si gadis yang hendak diculik itu
telah nyebur ke dalam sumur sehingga menemui
kematiannya. Oleh barisan polisi di sana ia telah
dikepung dengan secara hebat sekali, tetapi Wie Hui, si
bajingan ini tidak berhasil dapat dibekuk. Bahkan
semakin ia dicari oleh pihak yang berwajib, semakin
329 kurang ajar pula perbuatan-perbuatannya di luaran,
hingga kawanan polisi di sana yang hampir kewalahan
akan membekuk padanya tanpa mengalami kerusakan
atau kehilangan jiwa, akhirnya mendapat tahu juga
bahwa aku inilah guru si Wie Hui dan lalu hendak
menangkap kepadaku."
"Beruntung juga pembesar di Leng-po kerap
berkunjung ke sini dan kenal baik kepadaku, oleh karena
itu, penangkapan itupun telah diurungkan atas jaminan
pembesar tersebut. Maka aku sendiri yang merasa telah
dipertanggungkan keselamatanku oleh pembesar itu,
tentu saja aku lantas berjanji, buat selekas mungkin
membekuk Wie Hui sebagai penebusan atas kedosaanku
itu. "Aku sendiri bukannya tidak mampu membekuk anak
itu, tetapi aku sebagai gurunya tentu tidak baik akan
turun tangan sendiri, berhubung murid-muridku sendiri
bukan sedikit jumlahnya. Tetapi karena aku mengetahui,
bahwa di antara murid-muridku yang terbanyak itu bukan
tandingannya Wie Hui, maka aku merasa perlu meminta
bantuan saudara-saudara dan saudari-saudariku yang
berasal dari satu golongan, untuk mencari murid-murid
mereka yang kiranya sudah dididik cukup sempurna akan
bantu melaksanakan usahaku yang tidak bisa dikata
ringan itu. "Maka dengan diterimanya surat Beng Sim ini, yang
telah mengajukan kau akan membantu kepadaku, sudah
barang tentu bukan main besarnya terima kasihku
kepadamu, dan aku percaya betul bahwa dengan
bantuanmu ini, Wie Hui pasti akan dapat dikalahkan,
sehingga kejahatan-kejahatannya dapat dicabut bersih
sampai ke akar-akarnya."
330 Tetapi Poan Thian yang telah banyak merasakan
pahit-getirnya penghidupan di kalangan Kang-ouw, lalu
berjanji akan berdaya dengan sekuat-kuat tenaganya
untuk bantu melaksanakan usaha orang tua itu.
"Hanya berhubung murid tidak kenal pada Wie Hui,"
katanya, "maka sudilah apa kiranya Lo-siansu
memberikan aku seorang kawan yang kenal baik
kepadanya, sehingga dengan begitu, murid jadi mudah
mengenalinya dan tidak sampai kena dibokong olehnya,
yang tentu akan berlaku lebih waspada daripada murid
yang bermaksud hendak membekuk kepadanya."
In Cong Sian-su memang telah berpikir juga sampai
di situ. Maka setelah Poan Thian mendahului
mengajukan permintaannya, barulah ia panggil seorang
muridnya yang bernama Hwat Yan, buat disuruh pergi
mengikut Poan Thian akan membikin penyelidikan
dimana adanya Wie Hui di hari esoknya.
Begitulah setelah menginap di kelenteng Po-to-sie
pada malam itu, di hari esoknya pagi-pagi ia sudah
bangun menghadap pada In Cong Sian-su, yang ternyata
telah bangun lebih dahulu dan berikan Poan Thian
sebilah pedang yang amat tajam dan dapat memutuskan
logam dengan sama mudahnya seperti juga orang
membacok tanah liat. Kemudian ia panggil Hwat Yan dan perintah supaya
murid itu ajak Poan Thian sarapan dahulu, setelah itu,
barulah mereka berpamitan pada In Cong dan terus
menyewa perahu yang akan membawa mereka ke
daratan Tin-hay, dari mana mereka menuju ke kota Lengpo yang terletak di arah barat daya dari kota pelabuhan
tadi. 331 Di kota Leng-po ini ketika Poan Thian dan calon
paderi Hwat Yan menyelidiki tempat sembunyinya Wie
Hui, akhirnya, mereka mendapat keterangan, bahwa
penjahat muda itu sering berkeliaran di rumah-rumah
pelacuran. Salah seorang bunga raya yang menjadi
kecintaannya Wie Hui dan terkenal dengan nama Ban
Tho Hoa atau selaksa sungai Tho, lalu sengaja pura-pura
"ditempel" oleh Poan Thian buat coba mencari
keterangan, pada waktu bagaimana Wie Hui biasa
datang berkunjung ke situ.
Setelah keterangan-keterangan yang diperlukan telah
dapat diperoleh, barulah Poan Thian berembuk dengan
Hwat Yan cara bagaimana mereka harus membikin
penggerebekan selagi Wie Hui belum keburu membikin
persediaan. Tetapi tidak kira pada sebelum rencana ini dapat
dijalankan, mendadak pada suatu hari ada seorang
kacung yang datang berkunjung ke tempat penginapan


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Poan Thian dan Hwat Yan dengan membawa sepucuk
surat. Surat tersebut diterimakan pada kedua orang itu
sambil berkata: "Apabila Ji-wie hendak bertemu dengan
tuan Wie, diharap supaya berhubungan dengan nona
Ban Tho Toa, karena di sana ia sudah titipkan alamatnya
dimana Jie-wie mesti bertemu dengannya."
Poan Thian dan Hwat Yan jadi tidak habis mengerti,
mengapa mereka dianjurkan akan menanyakan pula
keterangan dari bunga raya itu, sedangkan Wie Hui bisa
tuliskan alamatnya di dalam surat yang dikirimkannya ini.
Maka tempo hal ini ia coba tanyakan pada si kacung
pembawa surat tersebut, orang yang ditanya itu lalu
menggelengkan kepalanya sambil berkata: "Dari hal itu,
aku sesungguhnya tidak tahu-menahu."
332 "Apakah kau dipesan oleh tuan Wie, supaya surat ini
dijawab olehku?" Poan Thian bertanya sambil membuka
sampul surat itu. "Hal itu tinggal terserah atas kehendakmu sendiri.
Apabila di situ diminta jawaban tuan dan tuan hendak
menjawabnya aku tunggu, kalau tidak, akupun boleh
lantas pergi." "Anak ini sungguh pandai sekali berbicara," pikir
Poan Thian di dalam hatinya. "Apakah tidak bisa jadi,
bahwa ia ini ada seorang mata-matanya Wie Hui, yang
telah sengaja dikirim ke sini untuk menyelidiki kami
berdua?" Kemudian ia menoleh pada kacung itu sambil
berkata: "Kalau begitu, boleh tunggu dahulu sehingga
aku selesai membaca bunyinya surat ini."
Tetapi alangkah herannya hati pemuda kita, tatkala ia
bentangkan surat itu akan dibaca bunyinya, ternyatalah
bahwa surat itu hanya sehelai kertas kosong yang tidak
ada artinya sama sekali, hingga Poan Thian yang
menerima surat kosong itu, sudah tentu saja tidak
mengerti apa maksudnya Wie Hui mengirimkan kertas
kosong tersebut kepadanya! Tetapi buat tidak membikin
kentara rasa herannya di hadapan si kacung itu, maka
Poan Thian lalu berpura- pura menanyakan: "Apakah
selain menyampaikan amanat akan kita menanyakan
alamatnya pada nona Ban Tho Hoa, tuan Wie tidak
mengatakan apa-apa pula kepadamu?"
"Tidak," sahut kacung itu dengan pendek.
"Kalau begitu kau boleh kasih tahu pada tuan Wie,
bahwa kita akan bertemu di tempat yang diunjuk menurut
alamat yang dititipkannya pada nona Ban Tho Hoa," kata
pemuda kita. 333 Si kacung menjawab, "baik, baik," dan terus berlalu
dengan tidak banyak bicara pula.
"Apakah tidak bisa jadi bahwa Wie Hui sekarang
tengah mengatur suatu rencana akan menjebak kita
berdua?" tanya Hwat Yan setelah mendusin, bahwa
kedatangan mereka ke kota Leng-po itu telah diketahui
oleh saudaranya seperguruan yang telah berkhianat itu.
"Ya, hal inipun memang bukan mustahil akan terjadi
atas diri kita," sahut Poan Thian, "maka selanjutnya kita
harus berlaku sangat hati-hati akan menghindarkan diri
kita daripada akal muslihat musuh yang keji itu."
Hwat Yan menyatakan mufakat dengan pikiran
pemuda kita itu. "Y" Tatkala mereka menanyakan hal ini pada Ban Tho
Hoa, si nona lalu menunjuk ke atas tiong-cit sambil
berkata: "Alamat yang kamu minta itu, tidak diterimakan
ke dalam tanganku sendiri, hanyalah ditaruh di sana,
digantungkan di atas tiong-cit itu."
Ketika Poan Thian dan Hwat Yan menengadah ke
arah tiong-cit tersebut, betul saja di sana tertampak
sebuah sampul merah yang digantungkan dengan
sepotong tali. Dan jikalau perbuatan itu bukannya
dilakukan oleh seorang yang ilmu kepandaian silatnya
amat tinggi, niscaya tidak akan mampu melakukan
pekerjaan yang sesukar itu.
Setelah menyaksikan perbuatan Wie Hui itu, Poan
Thian lalu tersenyum sambil menoleh pada Hwat Yan
dan berkata: "Sekarang aku mengerti, apa sebabnya Wie
Hui minta kita datang ke sini buat meminta alamatnya....."
334 "Itulah melulu buat mempamerkan ilmu kepandaiannya di hadapan kita berdua," kata Hwat Yan yang
memotong pembicaraan si pemuda.
3.21. Pengejaran Terhadap Murid Khianat
"Itu benar," Poan Thian menyetujui. "Tetapi apakah
artinya perbuatan itu bagi kita, yang juga mengerti ilmu
silat dan tidak ada di bawah daripadanya?"
Hwat Yan membenarkan omongan kawan itu.
Tetapi ketika Poan Thian hendak mengambil piauw
akan menyambit sampul merah itu, si calon paderi lalu
mencegah sambil berkata: "Tidak usah Suheng
mencapaikan hati, biarkan saja perkara kecil ini diurus
olehku sendiri." "Ya, kalau begitu, aku persilahkan kau mengambil
sampul itu menurut caramu sendiri," kata Lie Poan Thian
yang lantas urungkan niatnya buat menyambit sampul
yang tergantung di atas tiong-cit itu.
Sementara Hwat Yan yang merasa telah dikasih
ketika akan mengunjukkan kepandaiannya, lalu merogo
sakunya dan keluarkan sebuah pelanting dengan sebutir
peluru besi dengan mana ia telah tembak jatuh sampul
itu, karena talinya putus terlanggar peluru tersebut.
Poan Thian jadi sangat kagum dan memuji atas
kepandaian Hwat Yan dalam mempergunakan alat yang
tergolong pada senjata-senjata rahasia itu.
Dan tatkala sampul itu dibuka, ternyata di dalamnya
terisi beberapa baris tulisan yang berbunyi: Kamu berdua
boleh susul aku ke Giok-hong-kok di pegunungan Jiesian-san pada hari esok di waktu lohor. Aku tunggu
335 kedatangan kamu berdua dengan segala senang hati.
Jangan salah. Surat itu tidak dibutuhi tandatangan, tetapi sudah
terang bahwa itulah telah ditulis oleh Wie Hui sendiri.
"Tetapi dimanakah letaknya pegunungan Jie-sian-san
itu?" bertanya Lie Poan Thian yang baru saja pada kali
itu mendengar ada sebuah gunung yang bernama begitu.
Sedangkan Hwat Yan sendiri yang tidak tahu dimana
letaknya pegunungan itu, tentu saja tak dapat berbuat
lain dari pada menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Kemudian ia berjanji akan menanyakan ini kepada
penduduk-penduduk yang berdiam di luar kota Leng-po.
"Apabila gunung itu betul ada," katanya, "niscaya
tidak sukar akan kita dapat ketemukan, tidak perduli
berapa jauh letaknya dari kota ini."
Poan Thian mufakat dengan omongan itu.
Begitulah setelah berpamitan pada nona Ban Tho
Hoa, kedua orang itu lalu menuju keluar kota Leng-po
dan mampir di sebuah kedai makanan dan minuman
yang banyak dikunjungi oleh orang-orang yang mondarmandir keluar masuk kota.
Di sini, sambil berpura-pura membicarakan soal ini
dan itu dengan orang-orang yang pada berkumpul di
kedai itu, akhirnya Poan Thian mendapat kesempatan
buat menanyakan, dimana letaknya pegunungan Jiesian- san itu.
"Tuan ini orang dari mana?" bertanya orang itu sambil
mengawaskan pada pemuda kita sesaat lamanya.
"Kami berasal dari utara," sahut Lie Poan Thian,
"yang sekarang berada dalam perjalanan ke Jie-sian-san
akan mencari seorang sahabatku."
336 "Tuan," kata orang itu, setelah bercelingukan ke kirikanan, "menurut pikiranku, lebih baik kau jangan pergi ke
sana. Pegunungan itu bukan tempat kediaman orang
baik-baik. Itulah sarang kawanan perampok yang di
kepalai oleh seorang kepala kampak muda yang
bernama Wie Hui." "Ya, ya, benar, dia itulah yang kami hendak cari,"
kata Lie Poan Thian yang merasa tidak perlu lagi akan
berlaku dengan secara sembunyi.
Karena ia telah yakin dari bukti-bukti yang telah
dialaminya selama itu, biarpun mereka telah mencoba
akan menyelidiki dengan secara diam-diam, tidak urung
perbuatan itu telah ketahuan juga oleh pihak bakal
lawannya itu. Maka dari itu, apakah perlunya ia
selanjutnya berlaku sembunyi-sembunyi pula"
Orang yang ditanyakan keterangan tadi jadi semakin
heran, ketika menyaksikan tingkah-laku dan pembicaraan
Poan Thian yang begitu terbuka dan tidak mengunjuk
sikap yang khawatir barang sedikitpun.
Ia jadi kelihatan ragu-ragu akan bicara lebih jauh.
"Aku percaya bahwa tuan ini tentulah seorang yang
jujur dan berhati tulus," kata Poan Thian pula pada orang
itu. "Oleh sebab itu, kukira tidak jahatnya akan aku
menerangkan dengan sejujur-jujurnya, tentang maksud
kunjungan kami ke pegunungan Jie-sian-san tersebut.
Kami berdua ini adalah kakak dari satu golongan
perguruan ilmu silat dengan Wie Hui itu. Tetapi oleh
karena perbuatan-perbuatan adik itu sangat mencemarkan nama baik perguruan silat kami, maka hari
ini kami perlu memperingati supaya ia suka
menghentikan perbuatan-perbuatannya yang tidak baik
itu. Syukur jikalau ia mau mendengar nasehat kami,
337 apabila ia ternyata sudah menjadi sukar akan
diperbaikinya, terpaksa kami harus menggunakan
kekerasan dan membasmi padanya sebagai seorang
perampok biasa. Demikianlah maksud yang benar dari
perkunjungan kami ini. Oleh sebab itu, sudilah apa
kiranya tuan memberikan petunjuk pada kami, berapa
jauh dan dimana letaknya pegunungan Jie- sian-san itu?"
"Pegunungan itu letaknya lebih-kurang tigapuluh lie
jauhnya dari tempat ini," sahut orang yang ditanya itu.
"Dari sini kamu boleh menuju ke arah tenggara
dengan mengikuti jalan ini." Sambil berkata ia menunjuk
pada sebuah jalan kecil yang terpecah dari jalan desa
yang lebih besar dan lebar. "Tetapi jalan itu semakin jauh
semakin sempit dan buruk, dan sudah sekian lama tidak
diurus oleh pihak yang berwajib.
Karena kekurangan pengurusan ini, maka kawanan
perampok yang bersarang di daerah itu jadi semakin
enak melakukan pekerjaan mereka. Bahkan menurut
kabar di luaran, Wie Hui sendiri pernah mengakui, bahwa
pegunungan Jie-sian-san itu adalah punyanya sendiri."
Poan Thian dan Hwat Yan jadi heran mendengar
keterangan begitu. "Apakah barangkali Wie Hui hendak memberontak
dengan mempergunakan gunung itu sebagai pangkal
operasinya?" tanya pemuda kita.
Tetapi, sudah tentu, saja, pertanyaan-pertanyaan
demikian ada di luar kemampuan orang itu akan
menjawabnya. "Di atas gunung itu kudengar ada sebuah gedung
atau bangunan yang bernama Giok-hong-kok," kata
Poan Thian pula, "apakah gedung atau bangunan itu
338 berupa rumah berhala atau hanya suatu nama saja yang
sengaja dikarang untuk menyesatkan orang?"
"Tentang ini aku memang tahu dan bukan suatu
isapan jempol belaka," sahut orang itu. "Adapun nama
Giok-hong-kok itu, asalnya sebuah rumah berhala dari
kaum Taoist. Umurnya rumah berhala ini memang sudah
amat tua, karena menurut ceritera orang tua- tua, rumah
berhala tersebut telah didirikan di jaman Tong Tiauw, di
masa kaisar Tong Thay Cong (Lie Sie Bin) duduk
bertakhta. Ketambahan di situ pernah bersemayam
seorang pertapaan she Lie yang bergelar Thay Liong
Cin-jin, maka kaisar jadi lebih-lebih mengindahkan dan
lalu perbaiki rumah berhala itu dengan serba-serbinya
dari lantai sehingga ke atas wuwungan dibuat daripada
bahan-bahan tembaga, berhubung kaisar menaruh
kepercayaan, bahwa agama Too Kauw itu telah
diturunkan oleh leluhurnya Lie Jie yang kemudian dikenal
orang sebagai Lo Cu, bapak dari agama Too Kauw tadi.
Tetapi setelah Thay Liong Cin-jin naik menjadi dewa,
mendadak di dalam rumah berhala itu tampak lukisan
Cin-jin di ruangan sembahyang. Oleh karena itu, maka
anak negeri yang menganggap Cin-jin sebagai keramat,
tidak putusnya datang bersembahyang buat meminta ini
atau itu, sehingga kepercayaan itu berlangsung turuntemurun sampai di jaman ini.
Pada suatu hari lebih kurang 1,5 tahun yang lampau,
tiba-tiba di dalam rumah itu telah muncul seekor ular
amat besar yang telah makan semua orang yang
berdiam di situ, bahkan orang-orang yang datang untuk
bersembahyang, pun tidak sedikit yang jiwanya telah
melayang di makan oleh binatang yang tidak diketahui
dari mana datangnya itu. 339 Karena terjadinya peristiwa-peristiwa yang sangat
menggemparkan itu, sudah tentu saja selanjutnya orang
tak berani berkunjung pula ke rumah berhala itu. Maka
selama berselang beberapa bulan saja, jalan ini yang
menyambung, ke jalan-jalan lain dengan mana orang
bisa sampai ke Giok-hong-kok telah menjadi sunyi dan
kembali pula pada asal mulanya, yalah jalan pegunungan
yang ditumbuhi oleh alang- alang yang semakin hari
kelihatan bertumbuh semakin tinggi karena kurang
dirawat. Pihak yang berwajib telah mengambil tindakantindakan yang perlu untuk membasmi binatang itu, tetapi
segala percobaan telah berhasil nihil, berhubung
pemburu-pemburu yang diperintah pergi membinasakan


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

binatang itu, hanya beberapa orang saja yang bisa lari
pulang dan mati di rumah.
Sedangkan yang lain-lain semua telah hilang dan
tidak ada kabar ceritanya sehingga sekarang ini."
"Kalau betul di Giok-hong-kok itu ada bersarang
seekor ular besar sebagaimana katamu tadi," Poan Thian
memotong pembicaraan orang itu. "Cara bagaimanakah
Wie Hui bisa bersarang juga di situ dengan tidak
mengalami gangguan-gangguan dari binatang liar yang
telah mengorbankan sekian jiwa manusia itu?"
"Itulah karena Wie Hui sendiri yang memang telah
membasminya, yang telah membakarnya dengan
mempergunakan bahan-bahan bakar yang terdiri dari
getah cemara yang mudah menyala," sahut orang itu.
"Maka setelah binatang itu dapat dibinasakan,
barulah kemudian tersiar kabar di luaran, bahwa Wie Hui
dengan mengajak beberapa orang kawannya di kalangan
Kang-ouw hitam telah mendiami Giok-hong- kok yang
340 telah dipergunakannya sebagai markas besar kawanan
perampok dan melakukan pekerjaannya dengan dimulai
dari kecil dahulu. "Dan tatkala kabar tentang dibinasakan ular yang
berbahaya itu telah tersiar ke mana-mana, barulah orang
mulai berani lagi akan berjalan-jalan ke pegunungan Jiesian-san, yang mula, tidak pernah diganggu oleh Wie Hui
dan kawan-kawannya yang bersarang di situ.
"Tetapi ketika lalu-lintas di situ menjadi semakin
ramai dan umum juga dilalui oleh pengantar-pengantar
kereta piauw untuk memperpendek perjalanan mereka,
barulah Wie Hui dan kawan-kawannya mulai beraksi
dengan mengadakan peraturan-peraturan cukai jalan
yang sangat menggelisahkan bagi khalayak ramai yang
kerap kali melewat di tempat itu.
"Lebih-lebih terhadap para pengantar piauw yang
dimestikan membayar 10% dari jumlah angkutan mereka,
hingga banyak antara piauwsu-piauwsu yang merasa
kurang puas dengan peraturan itu dan telah menentang
dengan sekeras-kerasnya, telah terbit perselisihan dan
pertempuran yang telah mengakibatkan tidak sedikit
antara piauwsu-piauwsu itu yang mendapat luka atau
binasa di tangan Wie Hui dan kawan-kawannya itu.
"Oleh sebab adanya peristiwa-peristiwa tersebut,
tidaklah heran apabila selanjutnya orang jadi segan akan
melewat di situ, hingga jalan pegunungan yang telah
mulai jadi ramai itu, pun pelahan dengan pelahan telah
kembali pada keadaan seasalnya dahulu, yalah menjadi
sunyi dan tidak tampak pula manusia yang berjalan
mondar-mandir seperti pada beberapa waktu yang lalu
itu." 341 Demikianlah menurut penuturan orang yang telah
ditanyakan oleh Poan Thian dan Hwat Yan tadi.
"Apabila Wie Hui telah bertindak sekian jauhnya,"
kata Lie Poan Thian, "nyatalah kita tak boleh membiarkan
saja ia berbuat menurut sesuka hatinya. Kita harus
membasmi padanya selekas mungkin, untuk bantu
meringankan penderitaan orang-orang yang tertindas
oleh manusia keji dan kawan- kawannya itu."
Hwat Yan membenarkan atas omongan saudara
segolongannya itu. "Kalau begitu," katanya, "sekarang hari masih siang.
Apakah tidak baik jika kita berangkat ke sana sekarang
juga?" "Ya, benar," Poan Thian menyetujui kawannya itu.
Begitulah sesudah membayar harga makanan dan
minuman yang mereka telah pesan tadi, Poan Thian dan
Hwat Yan mengucap banyak terima kasih atas petunjukpetunjuk orang itu, kemudian mereka menuju ke Jie-siansan dengan menuruti jalanan yang telah ditunjukkan
orang itu tadi. Sesampainya di kaki pegunungan yang dituju, Poan
Thian dan Hwat Yan telah berjumpa dengan seorang
pemotong kayu yang lalu menghampiri kepada mereka
sambil bertanya: "Tuan-tuan, apakah kamu berdua bukan
orang-orang yang sedang mencari tuan Wie?"
"Ya, benar," sahut Poan Thian yang sekarang telah
tidak merasa heran lagi, karena ia telah yakin bahwa
mata-matanya saudara segolongan yang berkhianat itu
telah tersebar dengan luas di segala pelosok.
"Apakah barangkali Tuan Wie ada meninggalkan
pesan apa-apa bagi kami berdua?"
342 "Ya," kata orang itu sambil mengangguk. "Dalam
daerah dan jalan pegunungan-pegunungan di sini
banyak terdapat perangkap-perangkap yang sehingga
tentara negeri tak berani datang melakukan penggerebekan untuk kedua kalinya. Oleh sebab kuatir
kamu akan terjerumus ke dalam perangkap- perangkap
itu, maka tuan Wie telah perintah aku buat menjemput
padamu berdua akan naik ke atas gunung. Tuan Wie
mengatakan, bahwa ia tunggu kedatangan tuan-tuan di
sana dengan segala senang hati."
Poan Thian dan Hwat Yan mengucap terima kasih
dengan suara yang hampir berbareng. Kemudian mereka
mengikut si pemotong kayu itu akan bersama-sama naik
gunung. Tatkala berjalan beberapa lamanya, akhirnya mereka
menampak di muka perjalanan mereka ada sebuah
gedung mirip kelenteng yang atapnya seolah-olah
mengeluarkan sinar karena menjadi sasaran matahari
yang hampir selam ke barat. Gedung itu tidak berapa
besar bentuknya, tetapi buatannya amat teguh dan
bercokol di atas gunung bagaikan sebuah menara.
"Gedung itu adalah apa yang dinamakan orang Giokhong-kok," kata pemotong kayu itu pada Lie Poan Thian
dan kawannya. "Perjalanan dari sini sudah tidak berapa
jauh lagi, maka dari itu, aku percaya tuan-tuan tentu akan
dapat menyampaikan gedung itu tanpa diantar pula
olehku. Akan tetapi, buat mencegah kejadian-kejadian
yang tidak diingini, janganlah sekali-kali kamu masuk ke
Giok-hong-kok dengan melalui pintu besar atau
menginjak halaman lantai yang terbentang di sekitar
tempat itu." 343 "Kalau begitu," kata mereka. "dari manakah kami
akan dapat masuk ke situ, apabila di sekitar tempat itu
tidak dapat dilalui orang?"
"Jalan satu-satunya adalah kamu harus mengambil
jalan dari atas wuwungan gedung tersebut," kata
pemotong kayu itu pula, "kemudian kamu mengikuti
tembok wuwungan menuju ke barat. Dari situ jangan
kamu berjalan terus, tetapi kamu harus melalui
wuwungan emper yang terletak di sebelah kiri dan terus
menuju ke halaman cim-che. Itulah ada jalan yang paling
selamat akan kamu dapat masuk ke Giok-hong-kok."
Lie Poan Thian yang mendengar begitu dan kelihatan
agak sukar untuk dapat mengikuti petunjuk-petunjuk itu
dengan sebaik-baiknya, sudah tentu saja jadi tertawa
dan berbalik mengejek pada diri Wie Hui sambil berkata:
"Hm, apakah itu ada perbuatan seorang ho-han, yang
berani "mengundang" orang tetapi seolah-olah tidak
berani bertemu muka dengan sengaja mengambil jalan
yang mempersukar orang begitu rupa" Kita sendiri bukan
beranggapan ia takut pada kita. Tetapi apakah orang lain
tidak nanti menganggap demikian, apabila mereka tahu
tentang adanya cara-cara yang sangat tidak masuk
diakal ini?" Kemudian ia berpura-pura menoleh pada Hwat Yan
sambil menambah: "Saudara, kukira sekarang paling
betul kita kembali saja ke tempat penginapan kita, sebab
Wie Hui yang mau dijumpai itu ternyata tidak berani
bertemu dengan kita. Marilah. Buat apakah kita mesti
dijemur orang di sini sampai berjam-jam dengan tak ada
gunanya sama sekali?"
Lalu kedua orang itu membalikkan badan masingmasing, seolah-olah benar-benar mereka hendak
membatalkan perjalanan mereka dan berlalu dari situ.
344 Tetapi ketika mereka baru saja berjalan beberapa
tindak jauhnya, mendadak Poan Thian merasakan ada
angin yang berkesiur agak hebat menyamber ke
jurusannya. Pemuda kita mengerti, bahwa ia hendak "dijajal"
orang, maka ia sengaja berdiri jejak buat mengunjukkan
sedikit kelihayan dalam hal menjaga diri dengan jalan
Thia-hong atau mendengar berkesiurnya suara angin.
"Itulah ada tiga buah hui-piauw yang orang sambitkan
kepadaku," kata Poan Thian di dalam hatinya.
Dan sebegitu lekas ia mendengar suara-suara itu
telah mendatangi cukup dekat, dengan sebat ia lantas
putarkan badannya sambil menggerakkan kaki
tangannya untuk menghindarkan diri daripada penyerangan gelap yang orang telah sengaja jujukan
pada dirinya. "Jangan main kayu!" katanya sambil menyambuti
sebuah piauw dengan tangan kirinya.
Dengan tangan kanannya ia menyambuti sebuah
piauw yang lainnya, sedangkan yang sebuah lagi lalu
disambut olehnya dengan tendangan, sehingga senjata
rahasia itu telah terpental entah kemana perginya!
Semua itu telah dilakukan olehnya dengan kesebatan
yang begitu mengagumkan, sehingga orang hampir tidak
melihat dengan jalan apa ia telah dapat menghindarkan
diri daripada sambitan-sambitan itu.
Hal mana, bukan saja telah menerbitkan rasa
kagumnya Hwat Yan, tetapi si pemotong kayu tadipun
yang telah melakukan perbuatan itu, jadi melongo dan
kemudian buru-buru membungkukkan dirinya memberi
hormat sambil berkata: "Tuan, nyatalah bahwa kau ini
345 ada seorang ahli silat paling pandai yang aku pernah
jumpai seumur hidupku!"
Poan Thian tersenyum sambil menyindir: "Benar. Aku
pun baru pernah pada kali ini saja menjumpai seorang
ahli silat paling curang seumur hidupku!"
Orang itu jadi kebogehan, sehingga tak dapat pula ia
berkata-kata barang sepatahpun.
"Beruntung juga sambitan itu kau telah lakukan atas
diriku," kata Poan Thian pula, "apabila itu dilakukan atas
diri orang lain, apakah itu tidak nanti membahayakan jiwa
orang itu?" Orang itu jadi semakin bungkem.
"Pergilah kau sampaikan omonganku pada Wie Hui,"
kata Hwat Yan yang campur bicara. "Jikalau
sesungguhnya ia minta bertemu dengan kita berdua,
bolehlah ia lekas keluar bicara dengan kami di sini,
jikalau ia tidak mau bertemu dengan kita, kitapun boleh
segera berlalu dari sini. Perlu apakah mesti
membicarakan segala urusan tetek-bengek yang tidak
ada gunanya sama sekali?"
Orang itu yang kemudian ternyata ada seorang kakitangannya Wie Hui yang menyamar sebagai seorang
pemotong kayu, dengan rupa malu segera memberi
hormat dan berjanji akan sampaikan pesan itu kepada
pemimpinnya. Tetapi pada sebelum ia berlalu dari situ, tiba-tiba dari
kejauhan tampak mendatangi seorang muda yang
perawakan badannya tegap, halisnya hitam jengat,
berpakaian baju pendek dengan menyoren sebilah golok
tan-to di pinggangnya. 346 Hwat Yan jadi mengawasi dengan mata mendelong
dan bertanya pada diri sendiri: "Siapakah adanya orang
muda ini?" "Y" Tetapi Poan Thian kelihatan tidak asing lagi terhadap
pada orang muda yang sedang mendatangi itu.
"Ia itulah bukan lain dari seorang penjahat yang
pernah mengacau di Sam-li-tun," katanya. "Ia pernah
mengaku bernama Hok Cie Tee, tetapi menurut
keterangan yang pernah kuperoleh, ia ini sebenarnya
bernama Hok Cit. Hanya belum tahu cara bagaimana ia
bisa berada di sini?"
"Suheng rupanya kenal juga pada orang ini?" tanya
Hwat Yan. "Ya," sahut Poan Thian dengan pendek.
Penjahat muda itu jadi agak terperanjat ketika melihat
Poan Thian datang bersama-sama seorang lain yang ia
tidak kenal. "Wie-toako mengundang Ji-wie akan datang ke Giokhong-kok," katanya dengan suara ragu.
"Kau jangan omong kosong!" kata Hwat Yan dengan
suara ketus. "Kedatangan kita kemari adalah karena
menerima undangan Wie Hui. Oleh sebab itu, pergilah
kau kasih tahu pada Wie Hui, supaya ia datang
menyambut sendiri pada kita, tetapi bukanlah kita yang
harus pergi "menghadap" kepadanya!"
Orang muda itu kelihatan kurang senang mendengar
omongan Hwat Yan yang seketus itu.
347 Lalu ia menuding pada calon paderi itu dengan mata
mendelik dan membentak "Hei, sahabat! Di sini bukan di
rumah tanggamu sendiri, sehingga dalam segala sesuatu
kau boleh menuruti apa kata hatimu. Inilah ada tanah
daerah kekuasaan kami, dimanakah kau sebagai
seorang tetamu harus tunduk kepada segala peraturan
yang umumnya berlaku di tempat ini!"


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tak usah kau banyak bicara!" akhir-akhirnya Poan
Thian teturutan membentak. "Pergilah kau panggil
kawanmu Liu Tay Hong buat sekalian bertemu juga
dengan Wie Hui di sini!"
Hok Cit jadi sengit dan lalu dengan tidak banyak
bicara lagi ia menerjang pada Lie Poan Thian dengan
menghunus golok di tangannya.
Begitulah selanjutnya di lereng gunung Jie-sian-san
itu telah terjadi pertempuran yang dahsyat antara Lie
Poan Thian dan Hok Cit, sedangkan Hwat Yan mendapat
lawan si pemotong kayu tetiron tadi, yang kemudian baru
diketahui bernama Sin-to-thay-swee Khu Siu Cun.
Kedua pasang lawan ini mula-mula kelihatan
berimbang dalam hal tenaga kepandaiannya. terutama
mengenai kepandaian Hwat Yan yang bertempur dengan
menggunakan joan-pian dengan Khu Siu Cun yang
bersenjatakan sebilah golok. Tetapi Lie Poan Thian yang
bersenjata pedang pemberian In Cong Sian-su yang
amat tajam dan bergerak dengan amat lincahnya,
pelahan dengan pelahan telah dapat mendesak pada
Hok Cit yang segera merasa, bahwa ia lebih selamat
akan mundur ke atas gunung daripada mendesak pada
musuhnya yang ia belum tentu mampu kalahkan.
Maka setelah dua kali ujung goloknya terkupas oleh
pedangnya Lie Poan Thian, Hok Cit lekas melarikan diri
348 dengan diikuti oleh Siu Cun yang dikejar oleh Hwat Yan
dari sebelah belakang. "Hei, beburonan hutan! Kemanakah kamu hendak
menyembunyikan diri!" teriak calon paderi itu yang
hendak melanjutkan pengejarannya.
Tetapi Poan Thian lekas mencegah sambil berkata:
"Sutee! Sabar dulu! Paling baik kita tunggu Wie Hui di
sini, daripada mesti membuang tenaga dengan sia-sia
dalam pertempuran dengan kawanan tikus hutan itu!"
Hwat Yan pikir omongan itu memang ada benarnya
juga. "Pergilah kamu panggil Wie Hui buat bicara dengan
kami di sini!" menyeruhkan calon paderi itu pada dua
orang musuhnya yang lari naik ke atas gunung itu.
Tidak antara lama, betul saja dari atas gunung telah
muncul seorang muda yang Hwat Yan lantas kenali
sebagai saudara seperguruannya yang sedang dicari
dan telah mengundang mereka akan datang ke Jie- siansan.
"Inilah dia yang bernama Wie Hui, dan kita sedang
cari untuk membikin perhitungan guna kebaikannya
nama rumah perguruan kami di Po-to-sie," berbisik Hwat
Yan pada pemuda kita. Poan Thian mengangguk. 3.22. Hukuman Bagi Murid Murtad
Sementara Wie Hui yang dari kejauhan telah
mengenali pada Hwat Yan, dengan wajah yang tenang
dan berseri-seri lalu berjalan menghampiri dan memberi
hormat kepada mereka berdua sambil berkata: "Selamat
349 datang, saudara-saudaraku, aku sebenarnya tidak
menyangka yang kamu akan datang dengan cara yang
begitu terkonyong-konyong, sehingga aku telah terlambat
datang menyambut dan bikin kamu berdua kesal
menunggu-nunggu." "Engkau tidak perlu berlaku pura-pura untuk
menyembunyikan segala cacad-cacadmu," kata Hwat
Yan dengan suara kaku. "Engkau telah mencemarkan
nama baik guru dan rumah perguruan sendiri, kau
ketahui ini, tetapi engkau tidak mau merubah kekeliruankekeliruanmu itu. Bahkan disamping itu, engkau telah
menimbun dari satu kepada kedosaan yang lainnya
dengan sama sekali tidak berikhtiar untuk menghentikan.
Maka oleh sebab itu, apakah bukan berarti bahwa kau
memang sengaja hendak mencari setori dengan orangorang dari golongan sendiri?"
"Suheng!" kata Wie Hui dengan suara menyindir, "di
waktu aku masih berdiam di Po-to-sie, memang tidak
lebih dari pantas jika aku mesti menuruti segala perintah
guru di sana. Tetapi setelah sekarang aku berada di
luaran dan tidak ada pula sangkut pautnya dengan guru
dan kelenteng Po-to-sie, cara bagaimanakah engkau
masih juga tetap menganggap aku sebagai seorang
kacung yang harus mentaati perintah induk semangnya
dimana saja ia berada?"
"Kalau begitu," kata Hwat Yan dengan hati
mendongkol, "engkau ini tidak berbeda dengan seekor
babi atau binatang-binatang lain yang tak mengenal budi
kebaikan orang! "Ingatlah olehmu, bagaimana engkau
dari seorang anak jembel yang sebatang kara telah
ditolong oleh guru dan dididik sehingga menjadi seorang
yang agak pantas dilihat orang. Tetapi bukannya engkau
berterima kasih atas susah payah guru yang telah
350 mendidik padamu, sebaliknya kau telah melemparkan
najis ke muka orang yang telah menolongmu.
"Apakah itu suatu perbuatan seorang yang
menamakan dirinya "manusia-manusia" Seekor anjing
masih ingat kebaikan majikannya, tetapi seekor babi
tidak pernah memikirkan kebaikan majikannya barang
sedikitpun! Demikian juga dengan halnya dirimu, hingga
itu patut kukatakan perbuatannya seekor babi!"
Mendengar dirinya dicaci-maki sedemikian hebatnya,
sudah barang tentu ia menjadi sangat gusar, tetapi dilahir
ia tetap kelihatan tenang dan berkata: "Suheng, kukira
tidak perlu kau memberikan aku nasehat- nasehat
sampai begitu, apalagi karena aku sendiripun
memangnya tidak bersedia akan menerimanya.
Sekarang hanya terbuka satu jalan untuk mengakhiri
urusanku dan kamu dari Po-to-sie. Apakah kau sanggup
kalahkan aku, bolehlah aku menyerah kepadamu untuk
dibawa kembali kepada guru di sana, jikalau tidak,
jangan harap akan kamu bisa memaksa kepadaku!"
"Kurang ajar!" teriak Lie Poan Thian yang tidak tahan
mendengar omongan Wie Hui yang sangat brutal itu.
"Aku Lie Poan Thian memang telah sengaja dikirim
ke sini untuk menjajal sampai dimana kekerasan
kepalamu! Apabila dengan tanganku sendiri aku tak
mampu menaklukan kepadamu, aku bersumpah tak akan
hidup lebih lama pula di dalam dunia ini!"
Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu minta supaya
Hwat Yan menyingkir ke suatu pinggiran, kemudian ia
bertindak maju sambil menanyakan pada sang lawan itu,
apakah ia hendak bertempur dengan tangan kosong atau
bersenjata" 351 Wie Hui lalu mengeluarkan suara jengekan dari
lobang hidung sambil dengan cepat mencabut golok
yang disoren di pinggangnya.
Itulah jawabannya atas tantangan Poan Thian tadi.
Maka dengan tidak banyak bicara lagi Poan Thian
pun lalu maju menerjang dengan pedang terhunus dan
berseru: "Aku mendatangi!"
"Persilahkan!" sahut Wie Hui yang juga segera
mainkan goloknya untuk menangkis bacokan pemuda
kita yang dijujukan pada dirinya.
Begitulah dengan terjadinya pertempuran itu, maka
terjadilah pula pertempuran antara Hwat Yan dan
beberapa orangnya Wie Hui, yang kemudian telah turun
ke bawah gunung dengan beramai-ramai dan segera
mengepung calon paderi itu. Tetapi biarpun jumlah lawan
di kedua pihak tidak sama banyaknya, ternyata
pertempuran itu telah berlangsung dengan sama
imbangan dalam kekuatannya.
Dalam pertempuran itu, sebenarnya Wie Hui tidak
mengetahui bahwa pedangnya Poan Thian ada begitu
tajam. Jikalau ia ketahui ini lebih siang, ia tentu lebih
suka berkelahi dengan tangan kosong saja.
Tahu-tahu ketika goloknya terbacok putus oleh
pedangnya Lie Poan Thian, barulah ia jadi terperanjat
dan lekas-lekas berlompat ke samping sambil
melemparkan senjatanya yang telah tinggal separuh itu.
Sementara Poan Thian sendiri yang menyaksikan
lawannya telah tidak bersenjata lagi, buru-buru ia
masukkan pedang itu ke dalam serangkanya.
Demikianlah, pertempuran selanjutnya telah dilakukan olehnya dengan sama-sama bertangan
352 kosong, yang mana sebenarnya lebih digemari oleh
Poan Thian daripada bertempur dengan memakai
senjata. Kedua lawan ini yang masih asing dengan
kepandaian musuh masing-masing, kelihatannya agak
ragu-ragu tatkala pertempuran baru saja berjalan
beberapa jurus lamanya. Tetapi setelah kedua pihak
telah menyaksikan dan mengetahui gerakan-gerakan
masing-masing, barulah pertempuran itu menjadi
semakin sengit, semakin hebat, sehingga orang cuma
menampak saja bayangan orang-orang yang sedang
bertempur, tetapi tidak dapat melihat tegas yang mana
Lie Poan Thian atau yang mana Wie Hui! Selagi
pertempuran itu berlangsung dalam saat-saat yang amat
tegang dan seolah-olah tak dapat disudahi apabila belum
ada salah seorang yang mati atau mau menyerah kalah,
tiba-tiba Poan Thian telah dibikin kaget oleh seorang
yang muncul dengan sekonyong- konyong dan
membentak: "Hei, budak she Lie! Setelah beberapa kali
kita bertemu untuk menjajal ilmu kepandaian masingmasing, sekarang inilah ada hari yang terakhir bagimu
akan melihat dunia ini! Jangan lari! Aku Liu Tay Hong
belum merasa puas apabila belum dapat meminum
darah atau memakan dagingmu!"
Dalam pada itu, Poan Thian yang memang selalu
berlaku waspada memperhatikan serangan-serangan
Wie Hui yang semakin lama menjadi semakin gencar itu,
dengan lantas mengerti, bahwa dia hendak dijebak oleh
pihak musuhnya, terutama Liu Tay Hong ini yang
memang menjadi musuh besarnya dan permusuhan itu
tidak akan bisa berakhir, jikalau salah seorang belum ada
yang mati. 353 Maka pada sebelum Wie Hui keburu memberi tanda
supaya sang kawan itu jangan turut campur dalam
pertempuran yang sedang berlangsung itu, mendadak
Tay Hong telah berlompat maju sambil menghunus
sebilah golok dan menerjang pada Lie Poan Thian
dengan secara mati-matian.
Oleh sebab itu, pemuda kita yang sedang bertempur
dengan Wie Hui dan belum ketahuan bagaimana
kesudahannya, sudah tentu saja jadi agak sibuk untuk
menjaga diri dari serangan-serangan Tay Hong yang
bersenjata dan nekat itu. Maka sambil meladeni Wie Hui
di satu pihak, pemuda kitapun telah tidak mensia-siakan
kesempatan untuk melindungi diri dengan ilmu pukulan
Khong-siu-jip-pek-jim, yang memang khusus diciptakan
oleh para ahli silat angkatan tua dalam perlawanan
tangan kosong terhadap pihak musuh yang bersenjatakan golok atau barang tajam yang lainnya.
Dalam pertempuran satu melawan dua yang agak
ganjil itu, banyak macam ilmu pukulan telah diajukan
buat merobohkan salah satu pihak, tetapi berkat
ketangkasan dan kepandaian masing-masing, belumlah
tampak pihak mana yang lebih unggul atau asor,
walaupun pertempuran itu telah berlangsung beberapa
puluh jurus lamanya. Pada satu saat ketika Poan Thian maju menerjang
pada Wie Hui dengan menggunakan ilmu tendangan
Soan-hong-tui yang sudah cukup terkenal tentang
kelihayannya, Liu Tay Hong di lain pihak telah
mengayunkan goloknya dari bagian atas ke arah bawah,
hendak membelah kepalanya pemuda kita dengan
menggunakan tipu Tok-pek-hoa-san. Tetapi Poan Thian
yang bermata celi dan tidak mudah diselomoti oleh pihak
musuhnya, buru-buru miringkan kepalanya sedikit untuk
354 meluputkan diri dari bacokan itu. Dengan cara-cara ini
Poan Thian memang telah berhasil dapat meluputkan
dirinya daripada bacokan tersebut, tetapi berbareng
dengan itu, ia telah luput pula akan merobohkan pada
Wie Hui dengan tendangannya.
Hal itu, sudah barang tentu, telah membikin pemuda
kita jadi amat jengkel dan sengit. Karena dengan
bertambahnya Tay Hong dalam pertempuran segi tiga
itu, bukan saja telah memperlambat pekerjaannya untuk
mengakhiri pertempurannya dengan Wie Hui, tetapi juga
tak dapat ia "mengukur" dengan betul, sampai dimana
kepandaiannya Wie Hui yang benar dalam pertempuran
satu lawan satu. Maka untuk dapat melaksanakan dan menjajakkan ini
semua, ia pikir paling betul robohkan dahulu Tay Hong
yang menjadi cumi-cumi dalam pertempuran itu,
kemudian baru melangsungkan jalannya pertempuran
untuk menguji sampai dimana kepandaian Wie Hui yang
namanya sangat disohorkan orang sebagai salah
seorang ahli Pek-houw-kang yang termuda di masa itu.
Tetapi, sebagaimana telah kita katakan di muka ini,
ilmu kepandaian Tay Hong sekarang telah beroleh
banyak kemajuan dan berbeda jauh semenjak ia pertama
kali bertempur dengan Lie Poan Thian di rumahnya Tan
Tong Goan, hingga untuk dapat lekas mengakhiri


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

separuh dari pertempuran segi tiga ini, Poan Thian tak
dapat berbuat lain daripada menggunakan pedangnya
dalam menghadapi Tay Hong yang bersenjata dan
gerakan-gerakannya amat gesit itu.
Maka setelah ia berpikir beberapa saat lamanya,
buru- buru ia berlompat untuk mengasih lewat kakinya
Wie Hui yang ditendangkan ke arah ulu hatinya, sedang
tangan kanannya lekas menghunus pedang yang lalu
355 dipergunakan untuk menahan serangan-serangan Liu
Tay Hong, yang ketika itu telah menerjang maju sambil
menusuk ke arah iganya dengan kecepatan bagaikan
kilat yang menyamber ke muka bumi.
Lie Poan Thian yang sekarang tidak boleh pandang
terlalu ringan pula lawannya itu, dengan cepat telah
putarkan pedangnya dan membacok ujung golok Tay
Hong yang dijujukan ke arah tubuhnya itu. Dan
berbareng dengan terdengarnya suara barang tajam
yang beradu dan muncratnya beberapa banyak lelatu
api, separuh dari golok yang tergenggam oleh Tay Hong
itu telah terkupas dan terpental entah kemana perginya!
Bacokan yang berhasil itu karena dibarengi juga dengan
satu tendangan, telah membikin Tay Hong yang
terperanjat karena goloknya terkupas, jadi semakin
terkesiap hatinya, tatkala melihat menyambernya
tendangan Poan Thian yang secepat kilat itu. Dan
sebelum ia keburu mengegos untuk menghindarkan diri
daripada tendangan itu, kakinya Poan Thian telah
sampai dan bikin ia mengeluarkan satu suara jeritan
ngeri sambil membuang diri ke samping jalan gunung
yang penuh ditumbuhi dengan rumput-rumput. Dan
ketika Tay Hong jatuh ke atas rumput-rumput itu,
mendadak Poan Thian mendengar ia itu berseru:
"Matilah aku sekali ini!" Hal mana, sudah barang tentu,
telah membikin Poan Thian jadi heran dan tidak
mengerti. Karena, pikirnya, cara bagaimana Tay Hong
boleh berteriak begitu, sedangkan ia sama sekali tidak
kena tertendang dan telah keburu membuang dirinya"
"O Mi To Hud!" Begitulah Poan Thian telah
mengucapkan, tatkala menyaksikan di antara tepi jalan
yang ditumbuhi rumput-rumput itu mendadak tampak
merekah sebuah lubang jebakan yang besar dan dalam,
kemana Tay Hong telah jatuh terjerumus dan tak pernah
356 kembali ke dunia fana! Itulah sebabnya mengapa Tay
Hong telah memperdengarkan teriakannya yang
mengandung rasa ketakutan tadi, hingga Poan Thian jadi
bergidik apabila mengetahui jelas duduknya perkara
yang sangat menyeramkan ini! Maka dengan hilangnya
seorang lawan ini, Poan Thian jadi dapat melanjutkan
pertempurannya dengan Wie Hui dengan secara lebih
leluasa dan mencurahkan sepenuhnya perhatiannya ke
suatu jurusan saja. Begitulah tatkala pertempuran itu telah berlangsung
pula setelah Poan Thian menyimpan kembali bsp;
pedangnya, pemuda kita lalu "ngepiah" dengan ilmu- ilmu
tendangannya yang sangat lihay untuk merobohkan pada
Wie Hui, yang ternyata amat licin dan mengerti, bahwa
jikalau ia berlaku lambat sedikit saja dalam sesuatu
gerakannya, siang-siang ia bisa dapat celaka atau
terbinasa dalam tangan lawannya yang ternyata amat
lihay itu. Dari itu, ia insyaf, bahwa ia kalah jauh dalam bagian
yang musuhnya amat paham, hingga selanjutnya Wie
Hui tidak memberi kesempatan untuk Poan Thian
menyerang padanya terlalu dekat. Dan jikalau dia tak
dapat menghalaukan serangan-serangan itu, buru- buru
ia berlompat ke sana-sini, ke atas, ke bawah atau ke
jalan-jalan gunung yang lebih tinggi dan sempit
halamannya. Maka Poan Thian yang kuatir akan kena terjebak
oleh pihak musuhnya, sudah tentu saja berlaku sangat
hati, buat tidak sembarangan menginjak bagian- bagian
jalan gunung atau tepi jalan yang tidak terinjak oleh Wie
Hui. Pada satu saat dalam pertempuran di antara karangkarang yang licin dan curam di lereng pegunungan Jie357
sian-san itu, Poan Thian merasa agak kewalahan juga,
karena kalah biasa dengan Wie Hui yang memang telah
lama menjadi penghuni daerah pegunungan yang berada
di bawah kekuasaannya itu.
Dan itulah ada di bagian ini, yang Poan Thian telah
menyaksikan kepandaiannya Wie Hui, yang gerakangerakannya lincah sekali dalam hal berlari naik-turun di
lamping-lamping gunung yang licin bagaikan lakunya
seekor cicak. Dengan punggung menempel pada batubatu karang atau dinding-dinding batu yang tinggi, Poan
Pendekar Setia 1 Naga Dari Selatan Karya Liang Ie Shen Pedang Kayu Cendana 1
^