Pencarian

Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia 6

Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek Bagian 6


Thian melihat Wie Hui meloloskan diri dari tendangantendangannya dengan secara gesit dan tanpa dapat
dituruti olehnya sendiri. Maka biarpun benar bahwa Wie
Hui itu seorang musuhnya, tetapi tidak urung ia harus
memuji juga, atas ilmu kepandaiannya yang amat bagus
dan telah mencapai pada puncaknya yang tertinggi itu.
Demikianlah ilmu Pek-houw-kang yang ia pernah
dengar namanya, tetapi baru saja pada waktu itu dapat
menyaksikan dilakukan orang, hingga selanjutnya belum
pernah ia menjumpai seorang ahli Pek-houw-kang lain
yang dapat mempergunakan ilmu tersebut dengan sama
baik dan lincahnya daripada apa yang pernah diunjukkan
oleh pihak lawan pada kali itu.
Lebih jauh karena Wie Hui selalu menjauhkan diri
dan tidak lagi mau bertempur seperti barusan, maka apa
boleh buat Poan Thian lalu melakukan pengejaran
padanya ke sana sini. Setelah bertempur dan meloloskan
diri dari tendangan-tendangan yang dilakukan Lie Poan
Thian tadi, kembali Wie Hui melompat kian-kemari selaku
orang yang mengejek atau memang jeri melanjutkan
pertempuran itu. Oleh sebab itu, Poan Thian yang akhirnya menjadi
sangat jengkel, lalu sengaja membikin panas hati sang
358 lawan sambil mengatakan, bahwa dia bukan seorang hohan, (seorang laki-laki sejati), karena berkelahinya selalu
dengan berlari-lari saja. Dan jikalau ia benar-benar sudah
putus asa untuk mengalahkan padanya, paling baik ia
menyerah saja, agar supaya ia masih mempunyai
kesempatan untuk hidup di dunia, dengan jalan
mengoreksi perbuatan- perbuatannya yang sesat itu.
Tetapi sebaliknya, jikalau ia benar berani dan tidak sudi
dicap sebagai seorang pengecut, perlu apakah ia mesti
mempermainkan orang sampai begitu, sedangkan
kedatangannya ke situ pun adalah karena menerima
"undangannya" yang katanya bersifat "ramah tamah" itu"
Wie Hui yang usianya masih muda dan berdarah
panas, ternyata berhasil juga dibikin panas hatinya dan
lalu berbalik menerjang pemuda kita sambil berseru:
"Orang she Lie, janganlah engkau membuka mulut besar!
Aku Wie Hui bersumpah tak akan mau hidup bersamasama kau, apabila belum dapat membinasakan
kepadamu!" "Ayoh! Marilah kau boleh buktikan omonganmu itu!"
membalas Poan Thian sambil menggerakkan kaki
tangannya bagaikan angin taufan yang hendak
menggoncangkan gelombang di lautan.
Dari itu Wie Hui yang merasa dirinya dihinakan, kali
ini telah bertempur bagaikan seekor harimau yang haus
darah. Ia tidak kenal takut atau memikirkan bahaya apaapa yang bakal menimpah atas dirinya sendiri.
Sementara Lie Poan Thian yang telah menyaksikan
pihak lawannya yang mendadak jadi nekat, dengan sikap
yang tenang dan cepat lalu maju menghujani pukulanpukulan dan tendangan-tendangan dalam gerakangerakan paling cepat yang ia pernah unjuk dalam
pertempuran seumur hidupnya. Maka jikalau yang satu
359 tidak ingin mengalah mentah-mentah, adalah yang lain
pun tidak mandah saja akan dicap lawannya sebagai
seorang pengecut. Mereka bertempur dengan sepenuhnya tenaga dan
ilmu kepandaian yang pernah diyakinkan seumur hidup
mereka. Beberapa banyak pukulan telah tiba di badannya Lie
Poan Thian, seperti juga tendangan-tendangannya
sendiri yang telah membikin Wie Hui jatuh bangun dan
saban-saban menjerit karena kesakitan.
Dalam pertempuran itu Wie Hui yang kepingin lekas
menghabiskan jiwa lawannya, bukan saja tak pernah
memikirkan tentang keadaan tempat-tempat yang begitu
curam dan berbahaya di kiri kanannya, bahkan akibat
tendangan-tendangan Poan Thian tadipun ia sama sekali
tidak bayangkan bagaimana akan jadinya nanti. Tetapi
lain sekali dengan pandangan Lie Poan Thian yang
ternyata telah matang betul-betul dalam hal menggunakan siasat-siasat di waktu sangat perlu untuk
dapat menjatuhkan seorang lawan, ia telah melakukan
penyerangan-penyerangannya dengan cara yang tidak
tergesa-gesa. Maka setelah dengan berturut-turut ia mundur
beberapa kali untuk menghindarkan diri dari seranganserangan Wie Hui yang senekat itu, dengan tiba-tiba
Poan Thian telah merangsek sambil menghujani pula
pukulan-pukulan dan tendangan- tendangan yang telah
memaksa akan membikin Wie Hui berlompat, berkelit
dan mengegos untuk menghindarkan diri. Dan tatkala ia
berbalik menjadi pihak yang diserang, Wei Hui lalu
sengaja mundur sehingga punggungnya menempel pada
batu-batu karang yang licin dan tinggi itu.
360 Tetapi Poan Thian yang telah mengerti, bahwa dalam
cara itu Wie Hui bisa menggunakan ilmu Pek-houw- kang
buat meloloskan diri, buru-buru ia menggunakan siasat
Thian-ong-tok-tha buat menyolok kedua biji mata Wie Hui
sambil membentak "Murid pengkhianat, ternyatalah
bahwa ilmu kepandaianmu belum cukup untuk dibanggabanggakan di hadapan orang banyak! Jangan lari!"
"Kurang ajar!" teriak Wie Hui yang karena
perhatiannya dicurahkan pada pihak musuh yang sedang
menghujani serangan-serangan kepadanya, maka ia
tidak sadar, bahwa ia telah sengaja dibikin lebih panas
hatinya untuk tidak kabur pada saat-saat yang terbaik
akan Poan Thian segera dapat mengakhiri pertempuran
itu. Maka sebegitu lekas Wie Hui memiringkan sedikit
kepalanya untuk menyingkir daripada dua jari tangan
Poan Thian yang dijujukan ke arah biji matanya, ia
segera melompat ke samping jurang dengan kesebatan
melombai seekor kera. "Lekaslah menyerah!"
sambil maju mendesak. membentak pemuda kita Dalam pada itu Lie Poan Thian yang telah
menendang dengan sangat bernapsu, mendadak
kakinya telah kena tersandung batu karang sehingga ia
jatuh ngusruk dengan tak dapat dicegah pula.
"Aih!" ia berseru dengan rupa sangat kaget.
Melihat ketika yang terbaik itu untuk turun tangan,
dengan sebat Wie Hui lantas mengayunkan kakinya akan
menendang. "Celaka!" Poan Thian yang terkenal bisa berlaku
tenang dalam waktu-waktu yang kesusu, pada waktu itu
361 kelihatan terkesiap dan lekas menyampok kaki Wie Hui
yang ditendangkan ke jurusan tubuhnya yang separuh
terbaring di antara batu-batu karang.
Tetapi pada sebelum Wie Hui sempat memikirkan hal
apa yang akan terjadi selanjutnya, Poan Thian telah
keburu melompat bangun dan lalu balas menendang
dengan ilmu Lian-hwan Sauw-tong-tui yang telah
membikin Wie Hui jadi kelabakan dan amat sibuk akan
menghindarkannya. Satu tendangan yang dijujukan ke ulu hatinya telah
dapat disingkirkan olehnya dengan bagus sekali, tetapi
tendangan lain yang menyambar dari bawah dan
kelihatan agak mustahil akan dapat disingkirkan tanpa
berlompat ke atas, telah membikin Wie Hui lupa, bahwa
di belakangnya terletak jurang yang curam dengan di
bawahnya terbentang batu-batu karang yang tajam dan
tiada seorang pun yang jatuh ke situ akan bisa utuh baik
pun badan maupun jiwanya.
Maka di waktu berlompat ke atas dengan
menggunakan tipu Hui-yan-cwan-thian, Poan Thian
segera mengirim pula satu tendangan sambil menyapu
kaki musuhnya yang tiba di tanah, hingga Wie Hui yang
berlompat terlalu jauh dan kemudian diserang pula
dengan tendangan yang serupa itu, sudah barang tentu
jadi amat gugup dan dengan tidak terasa lagi telah
"menyelonong" ke tempat kosong dan terjerumus ke
dalam jurang, sehingga badannya remuk di antara batubatu gunung yang tajam dan sangat mengerikan hati itu!
Demikianlah akhirnya pertempuran itu, yang di setiap
waktu ia beromong-omong dengan handai taulannya,
Poan Thian kerap mengakui sebagai salah satu
pertempurannya yang paling dahsyat yang pernah ia
alami seumur hidupnya. Karena selain merasakan sangat
362 lelah sesudah mengalami pertempuran itu, iapun baru
pertama kali ini mengalami dapat luka dari pukulanpukulan musuhnya, sehingga buat itu ia mesti berobat
sehingga hampir sebulan lamanya dengan berturut-turut,
barulah luka-luka itu sembuh kembali dan ia bisa
bergerak pula dengan leluasa seperti sediakala.
Dan tatkala Poan Thian mengetahui bahwa Wie Hui
tidak akan bisa hidup kembali, barulah ia ingat pada
Hwat Yan yang sedang bertempur dengan Hok Cit tadi.
Buru-buru .ia menengok dan memandang ke sana-sini,
tetapi sang Sutee itu tidak kelihatan bayangbayangannya. Lebih jauh karena teringat pula pada nasib
Tay Hong yang telah terjerumus ke dalam perangkap
yang dalam dan seolah-olah telah disediakan sebagai
kuburannya, Poan Thian jadi sangat berkuatir dan buruburu mencari Hwat Yan dengan melalui jalan-jalan yang
kiranya selamat dan tidak terdapat jebakan menurut
petunjuk-petunjuk Sin-to-thay-swee Khu Siu Cun tadi.
Karena jikalau mula-mula ia menganggap bahwa itulah
hanya merupakan omongan-omongan untuk menakutnakuti saja kepadanya, adalah sekarang ia harus
mengakui, bahwa itulah sesungguhnya bukan mustahil
dan tidak bisa dipandang ringan dengan begitu saja.
Tetapi betapa girangnya hati pemuda kita, tatkala ia
membiluk ke suatu jalan gunung yang sedikit teraling
oleh semak-semak yang agak tinggi, ia melihat Hwat Yan
berjalan mendatangi dalam keadaan sehat wal'afiat,
walaupun pakaiannya compang-camping karena terlanggar oleh senjata yang dipergunakan dalam
pertempuran oleh musuh-musuhnya tadi.
Kemudian Poan Thian lekas menghampiri dan
menjabat tangan sang Sutee itu sambil menanyakan:
363 "Kemanakah perginya kawanan berandal yang telah
mengepung padamu tadi?"
"Mereka itu telah pada kabur ketika mengetahui Liu
Tay Hong mati dan kau sendiri sedang menguber pada
Wie Hui," sahut calon paderi itu. "Tetapi bagaimana
dengan halnya Wie Hui si terkutuk itu?"
Poan Thian lalu menjawab: "Dia sekarang sudah
tidak berbahaya. Dia mati terjerumus ke dalam jurang,
tatkala ia bertempur denganku tadi."
"Syukur," kata Hwat Yan dengan perasaan puas,
"karena dengan begitu, hilanglah suatu noda besar yang
sangat mencemarkan nama baik kaum kita golongan
Siauw-lim....." Begitulah dengan tidak menghiraukan pula apa yang
selanjutnya akan terjadi di pegunungan Jie-sian-san itu,
Poan Thian dan Hwat Yan lalu kembali ke tempat
penignapannya di Leng-po, dari mana mereka segera
kembali ke kelenteng Po-to-sie dan melaporkan usaha
mereka yang telah berhasil itu, hingga In Cong Sian- su
yang mendengar laporan tersebut, girang bukan main
dan berterima kasih atas bantuan pemuda kita yang
sangat berharga itu. Maka setelah sebulan lamanya
Poan Thian berobat di kelenteng itu dari luka-luka yang
telah dialaminya dalam pertempuran dengan Wie Hui,
barulah ia bisa melanjutkan perjalanannya ke Tiong-ciu,
untuk mencari kakaknya yang berniaga garam di sana,
pada siapa ia bermaksud akan mengabarkan tentang
pernikahannya dengan gadis keluarga Na itu.
Tetapi karena kakak itu tidak dapat diketemukannya,
maka apa boleh buat ia kembali kedesa Sam-li-tun
rumah obat Tiang-seng-tong, dimana ia telah disambut
364 oleh An Chun San yang telah tahan ia berdiam di situ
sehingga beberapa bulan lamanya.
"Y" Dari desa itu Poan Thian kemudian menuju ke
propinsi Ho-lam, dengan maksud akan menyambangi Cin
Kong dan Bu Liu Sian yang membuka sebuah piauw-kiok
di sana. Pada hari itu Poan Thian justeru telah sampai ke
Tian- tien, sebuah kota kecil yang terpisah delapanpuluh
lie jauhnya di sebelah barat kota Hang-ciu. Kota kecil ini
walaupun hanya mempunyai lima atau enamribu
penduduk saja banyaknya, tetapi keadaannya boleh
dikatakan ramai juga. Karena selain di situ terdapat
banyak bangunaan-bangunan yang besar, gedunggedung, toko-toko, rumah-rumah penginapan dan kedaikedai makanan, kota itupun terhitung "hidup" oleh karena
mempunyai jalan-jalan penting yang dapat menghubungkan beberapa propinsi yang tersebar di
empat penjuru dengan sekaligus.
Sedangkan pedagang-pedagang keliling, orangorang perjalanan dan pelindung-pelindung kereta piauw
yang kerap mondar-mandir dari satu propinsi pada yang
lainnya, biasa berkumpul di situ jika kebetulan
kemalaman atau menantikan kawan-kawan mereka
untuk melanjutkan perjalanan mereka ke kota-kota lain
yang letaknya terpisah agak jauh dari kota kecil yang
tersebut. Demikianlah keadaan kota Tian-tien tersebut.


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada hari itu sebenarnya Poan Thian tidak
bermaksud akan bermalam di Tian-tien, tetapi karena
365 kehujanan dalam perjalanan, maka terpaksa ia mencari
juga rumah penginapan, agar supaya bisa melanjutkan
perjalanannya ke Ho-lam pada keesokan harinya.
Tatkala itu kota Tian-tien yang telah sekian lamanya
mengalami "kekeringan", mendadak telah ditimpah hujan
yang bukan main lebatnya, sehingga selain jalan-jalan
raja tergenang air, orangpun sukar sekali berjalan
dengan leluasa, sedangkan rumah-rumah yang penuh
sesak dengan para tamu, membuat Poan Thian
mengalami kesukaran mencari kamar.
Maka setelah keluar-masuk di beberapa banyak
rumah-rumah penginapan dengan selalu mendapat
jawaban: "Sangat menyesal, tuan, kami di sini tidak ada
kamar kosong," akhirnya Poan Thian telah sampai ke
rumah penginapan Cee Hok, yang ternyata ada rumah
penginapan satu-satunya dimana orang masih bisa dapat
kamar kosong, yang jumlahnyapun hanya tinggal satusatunya pula.
"Kamar ini sebenarnya telah dipesan oleh
serombongan pelindung kereta piauw yang mestinya
datang ke sini pada hari ini," menerangkan pemilik rumah
penginapan itu, "tetapi berhubung mereka tidak datang,
maka boleh juga tuan pakai kamar itu, walaupun itu
sebenarnya terlalu besar untuk ditinggali oleh hanya
seorang saja." "Soal besar kecilnya kamar," kata pemuda kita, "itulah
sama sekali aku tidak pikiri. Pendeknya, asal ada saja
sudah merasa puas. Begitupun tentang uang
sewaannya, engkau boleh perhitungkan menurut apa
yang dirasa pantas."
"Ya, ya, baiklah," kata pemilik rumah penginapan itu.
366 "Tetapi cara bagaimanakah mesti diaturnya apabila
mereka mendadak datang dan hendak pakai kamar itu?"
"Sudah tentu saja akan kumengalah dan serahkan itu
pada mereka, yang memang berhak untuk mendiami
kamar itu," sahut Lie Poan Thian.
Si pemilik rumah penginapan itupun menyatakan
mufakat, hingga dengan begitu, Poan Thian boleh
merasa bersyukur, akan tidak kebasahan atau
kedinginan selama hujan turun ke muka bumi bagaikan
dituang-tuang hebatnya. Akan tetapi, apa mau, selagi baru saja ia tidur layaplayap, mendadak Poan Thian mendengar pintu kamarnya
diketok orang. "Siapa?" ia bertanya dengan gugup.
"Aku, pemilik rumah penginapan ini," sahut satu
suara yang ia kenali sebagai suara pemilik tersebut.
Buru-buru ia turun dari ranjang dan membuka pintu.
Si pemilik rumah penginapan yang telah datang
dengan diikuti oleh tiga orang piauw-su yang berbadan
tegap dan salah seorang antaranya bertubuh tinggi
besar, dengan paras muka yang berseri-seri lalu maju
memberi hormat pada Lie Poan Thian sambil berkata:
"Tuan, inilah adalah tiga orang antara tuan-tuan yang
telah memesan kamar ini."
Sementara Poan Thian yang melihat kedatangannya
ketiga orang asing yang kamarnya ia diami itu, buru- buru
memberi hormat sambil berkata: "Tuan-tuan, oleh karena
aku kehujanan dan mengira yang kamu tidak datang,
maka dengan secara lancang aku telah diami kamarmu
yang telah kau pesan ini. Banyak harap supaya tuantuan sudi memaafkan atas kelancanganku itu."
367 "Oh, itulah sama sekali bukan suatu perbuatan yang
lancang," kata salah seorang antara ketiga piauw-su itu,
"juga bukan suatu perbuatan yang terlalu salah apabila
kamu telah berbuat begitu."
Tetapi ketika Poan Thian hendak pindahkan pauwhoknya keluar kamar, ketiga orang itu lalu mencegah
sambil berkata: "Itu tidak perlu, itu tidak perlu. Kamar ini
masih cukup besar untuk didiami oleh empat atau lima
orang lagi. Oleh karena semua kamar telah penuh,
mengapakah tuan juga tidak turut berdiam di sini"
Kawan-kawan kita sebenarnya ada beberapa belas
orang banyaknya, tetapi banyak antaranya yang
mengawal kereta-kereta piauw dengan terpencar ke
sana-sini, maka orang-orang yang ditugaskan untuk
melindungi kereta-kereta piauw melalui kota ini, adalah
hanya kami bertigaan saja."
4.23. Kehilangan Bendera Piauw-kiok
Poan Thian mengucapkan terima kasih atas kebaikan
ketiga orang piauw-su itu.
"Kamar ini," kata piauw-su yang bertubuh tinggi besar
itu kepada pemilik rumah penginapan, "kami akan diami
bersama-sama tuan ini." Sambil ia menunjuk pada Lie
Poan Thian. Si pemilik rumah penginapan tersebut menyatakan
turut bersyukur dan berterima kasih atas kebaikan para
tetamunya itu. Kemudian ia berlalu meninggalkan mereka
dengan perasaan hati lega.
Maka setelah ketiga orang itu mengajak Poan Thian
kembali ke dalam kamar, mereka lalu saling
memperkenalkan diri dan duduk mengobrol di muka lima
368 buah pembaringan yang terdapat di dalam kamar yang
berhalaman amat luas itu.
Dari keterangan-keterangan yang ia dengar
disampaikan oleh ketiga orang itu, Poan Thian telah
ketahui, bahwa mereka itu masing-masing bernama Ang
Tek Piu, Sie Hiong dan Teng Kim Sek (yang bertubuh
tinggi besar itu). Lebih jauh karena nama Lie Poan Thian telah cukup
terkenal di kalangan Kang-ouw pada dewasa itu, sudah
tentu saja merekapun jadi sangat girang akan bisa
berkenalan dan sama sekali tidak nyana bakal berjumpa
dengan Sin-tui Lie Poan Thian yang mereka telah lama
dengar namanya, tetapi baru pada kali itu saja kenal
orangnya di rumah penginapan itu.
Selanjutnya dalam tanya-jawab soal perusahaan
pengangkutan barang-barang yang pada masa itu diurus
oleh berbagai-bagai piauwkiok, Poan Thian telah
menanyakan: apakah mereka kenal juga dengan
seorang piauw-su yang bernama Cin Kong Houw"
Ang Tek Piu dan kedua orang kawannya lalu
menjawab dengan suara yang hampir berbareng: "Kenal,
kenal. Ia itu adalah dari Siang-hap Piauwkiok, yang pada
baru-baru ini telah mengalami kegagalan karena
dipedayakan orang. Hanya belum tahu apa tuan Lie
mempunyai juga hubungan dengan dia itu?"
"Ia itu adalah seorang sahabat karibku," kata Poan
Thian yang hatinya mendadak tidak enak, tatkala
mendengar kabar jelek tentang diri sahabatnya itu.
"Tetapi belum tahu dengan jalan bagaimana sehingga ia
mengalami kegagalan yang tuan telah katakan itu?"
Ketiga orang itu mula-mula kelihatan ragu-ragu akan
menjelaskan tentang duduknya peristiwa itu, berhubung
369 kuatir nanti ada kata-kata apa-apa yang agak
menyinggung nama baiknya Kong Houw, yang tentunya
akan membikin tidak enak juga hatinya Poan Thian yang
menjadi sahabat karibnya. Akan tetapi setelah mereka
mendapat kepastian bahwa persoalan itu tak akan
menyinggung perasaan hati Poan Thian, walaupun itu,
umpamanya, terpaksa harus dibicarakan juga, maka
Teng Kim Sek yang mengetahui paling jelas duduknya
peristiwa tersebut, lalu mulai berceritera, setelah
mengatakan, bahwa Kong Houw pasti tak mudah
dikalahkan orang, apabila dengan sejujurnya hati orang
meladeninya bertempur. Demikianlah peristiwa-peristiwa kegagalan Kong
Houw yang dituturkan Kim Sek dalam bagian-bagian
yang sekecil-kecilnya seperti berikut.
Sebagaimana para pembaca tentu belum lupa,
semenjak berpisahan dengan Poan Thian, Kong Houw
dan isterinya telah kembali ke kota Kim-leng, dimana,
buat memenuhi pengharapan pihak penolongnya, yaitu
Lie Poan Thian, ia telah membuka sebuah piauw-kiok
dengan memakai merek Siang-hap Piauwkiok. Oleh
karena nama Kong Houw telah dikenal orang sebagai
seorang bekas guru silat militer yang tinggi ilmu
kepandaiannya, maka sudah tentu saja perusahaan
angkutannya mendapat kepercayaan orang banyak,
hingga dalam tempo beberapa waktu saja lamanya,
namanya Siang-hap Piauwkiok segera jadi terkenal ke
mana-mana. Ketambahan karena belakangan ia mendapat pula
dua orang pembantu Lauw Thay dan Lauw An yang telah
dikerjakan atas anjurannya Lie Poan Thian, ternyata dua
orang pembantu inipun sampai cukup cakap dalam hal
melakukan segala pekerjaan yang dipercayakannya.
370 Dengan begitu, atas kerja sama antara Kong Houw
suami isteri dan kedua orang pembantunya ini, lambatlaun kemasyhuran Siang-hap Piauwkiok telah meningkat
begitu rupa, sehingga lambang pengangkutan perusahaan angkutan itu lebih dikenal orang dari pada
lambang-lambang yang dipergunakan oleh kantor-kantor
perusahaan pengangkutan yang lain-lainnya. Hal mana,
sudah barang tentu, telah menerbitkan rasa mengiri
hatinya pengusaha-pengusaha piauw-kiok lain yang tak
mampu menyaingi perusahaan angkutan yang diurus
oleh Cin Kong Houw itu. Pada suatu hari sekembalinya dari pesta makanminum dengan beberapa orang handai taulannya, di
jembatan Hian-bu-kio Kong Houw telah berpapasan
dengan dua orang berkuda yang berjalan mendatangi
dengan berendeng satu sama lain, dan karena jembatan
itu agak sempit, sudah tentu saja ia bisa terdesak ke
samping dan terpijak kuda, jikalau tidak mau mengalah
dengan jalan menyebur ke dalam sungai.
Maka Kong Houw yang menyangka bahwa mereka
telah keenakan mengobrol sehingga tidak memperhatikan padanya yang mendatangi dengan
berjalan kaki, buru-buru ia memberi tanda supaya salah
seorang antaranya suka minggir sedikit, agar supaya
dengan begitu, ia bisa juga turut melewat di situ dengan
tidak usah mesti terdesak ke sisi jembatan.
Tetapi, entah isyarat itu tidak dapat dilihat atau
memang mereka sengaja tidak hiraukan, kedua orang itu
bukan saja tidak suka minggir, malah sebaliknya lantas
larikan kuda mereka dengan tidak memperdulikan pada
keselamatan diri Kong Houw yang sekarang telah berada
di tengah jembatan. Maka Kong Houw yang menyaksikan
perbuatan kedua orang itu, karuan saja jadi mendongkol
371 dan lalu berdiri tegak akan menantikan mereka berdua.
Dan sebegitu lekas mereka mendatangi cukup dekat,
ia lantas menyerukan: "Tuan-tuan, jembatan ini sangat
sempit dan tak mungkin aku bisa melewat, apabila kamu
berjalan berendeng begitu rupa. Sudikah kiranya kamu
berlaku cukup baik akan berjalan dengan yang seorang
mengikuti pada yang lainnya, sehingga dengan begitu,
kita bisa lewat bersama-sama dengan tidak saling
menyukarkan pada satu dengan yang lainnya?"
"Jembatan ini toh bukan kau yang punya!" kata salah
seorang penunggang kuda itu dengan suara ketus.
"Apabila kau kuatir terpijak kuda, cara bagaimanakah kau
telah berani mendahului pada kita akan melewat di sini,
sedangkan kau yang berjalan kaki seharusnya mesti
menunggu dahulu di tepi jembatan sehingga kita berdua
lewat?" Kong Houw yang memang agak sinting karena
minum terlalu banyak air kata-kata, sudah tentu saja jadi
gusar dan lantas membentak: "Kurang ajar! Kamu berdua
ternyata ada orang-orang kasar yang berkepala batu dan
tidak mengerti perikesopanan! Maka jikalau omongan
yang baik belum cukup akan membuka keinsyafanmu,
biarlah kepalanku ini nanti membikin kamu insyaf dari
segala perbuatanmu yang amat congkak itu! Jangan lari!"
Sambil memasang kuda-kuda di tengah jembatan,
Kong Houw lalu cekal lesnya salah seekor kuda itu yang
lalu didorong ke belakang, dengan sebelah tangan ia
sanggapi dada binatang itu sambil mengeluarkan suara
bentakan keras, sedangkan dengan sebelah kakinya ia
tolak perut binatang itu. Oleh karena dikejutkan dengan
cara yang amat sekonyong-konyong itu, sudah barang
tentu kuda itu segera berdiri dengan dua kakinya, hal
mana, tidak ampun lagi, telah membikin penunggangnya
372 jadi terlempar dan jatuh ke dalam sungai!
Sementara kawannya penunggang kuda itu yang
telah menyaksikan perbuatan Kong Houw yang tidak sudi
menelan saja segala hinaan orang, dengan lantas pecut
kudanya supaya lari menubruk pada Cin Kong Houw
yang berjalan kaki itu. Tetapi Kong Houw yang bermata
celi dan tidak boleh dipermainkan punya suka, walaupun
dalam keadaan sinting, pikirannya masih tetap jernih. Ia
mengerti apa maksudnya penunggang kuda yang kedua
itu, maka buru-buru ia berbuat seperti apa yang telah
dilakukannya tadi, untuk melemparkan orang itu ke
dalam sungai dengan meminjam tenaga binatang yang
kaget itu, tetapi dugaan itu sekarang meleset dan si
penunggang itu tidak sampai jatuh sebagaimana apa
yang diharapkannya di dalam hatinya.


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang itu tidak dapat dijatuhkan dari atas kudanya,
karena ia lekas jepitkan kedua kakinya pada punggung
kuda yang berdiri dengan dua kakinya itu. Bahkan lebih
dari itu, ia telah ayunkan cambuknya ke arah mukanya
Kong Houw sambil membentak: "Kau jahanam, apakah
matamu buta, sehingga kau tidak tahu dengan siapa kau
sekarang berhadapan?"
"Aku tidak perduli kau siapa," sahut Kong Houw,
"apabila kelakuanmu tidak senonoh, apakah orang harus
mandah saja dibikin punya suka dengan tiada ketahuan
apa sebab musababnya?"
"Tutup bacotmu!" membentak penunggang kuda itu
sambil mengayunkan pula cambuknya, yang pada kali ini
disabetkan dengan hebat pada dirinya piauw-su dan
pemimpin dari Siang-hap Piauwkiok itu.
Kong Houw jadi semakin marah dan lalu tangkap
cambuk yang disabetkan kepadanya itu, kemudian,
373 dengan mengeluarkan satu suara bentakan, ia lantas
menarik ujung cambuk itu dengan sepenuh tenaganya,
hingga orang itu yang ternyata kalah tenaganya, hampir
dalam saat itu juga telah jadi terlempar dan terbanting ke
atas jembatan seperti juga sebuah kundur yang
mendadak gugur dari tangkainya!
Tetapi orang itu ternyata ada seorang ahli silat yang
ilmu kepandaiannya tidak boleh dipandang ringan.
Karena sebegitu lekas ia jatuh, sebegitu lekas juga ia
mencelat ke atas dengan menggunakan siasat Lee-hietiauw-liong-bun, sambil berbalik menerjang pada Cin
Kong Houw. Tetapi Kong Houw yang tak mudah
diselomoti orang dengan begitu saja, buru-buru
menggunakan siasat Sian-jin-toat-yang, untuk menghindarkan diri dari pada penyerangan sang musuh
itu. Dalam pada itu si penunggang kuda yang telah jatuh
ke dalam sungai tadi, pun telah naik ke daratan dan terus
membantui kawannya mengerubuti Cin Kong Houw, yang
ternyata selain berhati tabah, juga ilmu silatnya tidak ada
di bawah dari pada mereka berdua.
"Jikalau aku belum melihat kau mampus di tengah
jembatan ini," teriaknya, "belum puas rasa hatiku!"
"Engkau tidak perlu sesumbar yang tidak ada artinya
sama sekali," sahut Cin Kong Houw sambil meladeni
mereka berkelahi, "tetapi cobalah buktikan apa katamu,
kalau saja engkau sesungguhnya mampu berbuat
begitu!" Apa katanya pemilik Siang-hap Piauwkiok, sesungguhnyalah bukan berarti suatu gertakan belaka.
Karena selain ia telah unjuk sampai berapa jauh ilmu
kepandaiannya, iapun sanggup meladeni kedua orang
374 lawan itu seperti juga orang yang bertempur dengan satu
melawan satu. Ia tidak kelihatan gugup atau jerih, juga tidak mundur
barang setindakpun, meski ia dikepung sedemikian
hebatnya oleh kedua orang musuhnya itu.
Lama-lama karena salah seorang musuh itu telah
dipukul roboh, maka seorang musuh yang lainnya buruburu, berlompat keluar dari kalangan pertempuran sambil
berseru: "Tahan dulu! Aku ada omongan yang hendak
disampaikan kepadamu!"
Cin Kong Houw lalu berhentikan gerakannya sambil
menjawab: "Baik! Engkau ada omongan apakah yang
hendak disampaikan kepadaku?"
"Pertempuran ini kita terpaksa mesti tunda,
berhubung kita masih ada urusan sangat penting yang
perlu diurus selekasnya," kata sang musuh yang belum
keburu dirobohkan itu. "Kami perlu menanyakan she dan
namamu, untuk kemudian kita bertemu pula."
Cin Kong Houw kelihatan mendengar omongan itu. bersenyum tatkala "Aku inilah bernama Cin Kong Houw," katanya,
"pemilik dari Siang-hap Piauwkiok. Kamu berdua juga
boleh menerangkan she dan namamu untuk kemudian
memudahkan kita akan melanjutkan pertempuran ini!"
"Kami berdua adalah murid-murid dari golongan
Siauw-lim cabang Hong-pay dan berguru pada Khong
Hoat Cwan," sahut sang musuh itu. "Namaku disebut
Gouw-kong Ho In Kheng, sedang itu kawanku," (sambil ia
menunjuk pada kawannya yang tadi), "bernama Thiatsian-ciu Ong Liong."
Kemudian mereka naikkan kuda masing-masing dan
375 berlalu dengan tidak banyak bicara pula.
Sementara Kong Houw yang mengerti bahwa urusan
ini pasti akan ada "buntutnya" di lain hari, iapun
selanjutnya sangat hati-hati dan tidak pernah keluar pintu
di waktu malam hari, kalau saja tidak sangat perlu. Kalau
ia mesti keluar juga, ia selalu berlaku waspada, agar
jangan sampai kejadian dibokong orang.
Apalagi ketika mendapat keterangan bahwa Khong
Hoat Cwan itu ada seorang guru yang mudah dihasuthasut, lebih-lebih pula ia berhati-hati akan menjaga
keselamatan dirinya. Demikian juga kepada Liu Sian, Lauw Thay, Lauw An
dan pengawal-pengawal yang lainnya, ia tidak lupa
memesan akan berlaku hati-hati, jikalau berurusan
dengan orang-orang sebagai Ho In Kheng dan Ong
Liong itu. Dan bersamaan dengan itu, iapun lukiskan
roman dan perawakan kedua orang musuhnya itu.
Satu bulan, dua bulan, dan bulan yang ketiga telah
hampir tiba, semenjak terjadinya peristiwa di jembatan
Hian-bu-kio itu, tetapi selama itu tidak terjadi apa-apa
yang perlu dituturkan di sini.
Sementara Kong Houw yang sibuk mengurus
pekerjaan-pekerjaan angkutan dari satu tempat ke
tempat yang lainnya, lambat-laun telah melupakan juga
peristiwa yang tersebut tadi. Bahkan semua pengawalpengawal Cin Kong Houw beranggapan, peristiwa itu
telah berakhir sampai di situ saja.
Pada suatu hari karena menerima pesanan dari
sekian langganannya akan melindungi satu party barangbarang angkutan sehingga sejumlah beberapa puluh
kereta banyaknya, maka Kong Houw lalu pecah
rombongan piauwsu-piauwsunya menjadi beberapa
376 kelompok, dengan ia sendiri terpaksa mesti turun tangan
untuk melindungi kereta-kereta piauw yang perlu dikirim
ke Kie-ciu, yang letaknya agak jauh dan mesti melalui
perjalanan yang "penuh duri gangguan" dari "cabangcabang atas" di kalangan Rimba Hijau.
Begitulah ketika berjalan kira-kira setengah bulan
lamanya dan hampir sampai di perbatasan kota Kie-ciu,
mendadak ada seorang pegawainya yang datang
melaporkan, bahwa bendera lambang Siang-hap
Piauwkiok telah...... hilang entah kemana perginya!
Kong Houw jadi kaget tercampur masgul, waktu
mendengar keterangan begitu.
Lalu ia kasih perintah pada sekalian pegawainya
akan coba periksa segala barang-barang angkutan
mereka, tetapi setelah diperiksa dengan teliti hingga
beberapa lamanya, ternyata semua tiada terdapat
barang sepotong pun yang kurang karena kehilangan.
Maka Kong Houw yang mendapat laporan itu,
dengan lantas ia menduga, kalau-kalau pencurian
bendera lambang itu adalah perbuatan salah seorang
atau mungkin juga kedua-dua musuhnya yang ia pernah
labrak agak hebat juga di jembatan Hian-bu-kio itu.
Tetapi karena tidak melihat ada bukti-bukti yang
memperkuat tentang pencurian bendera yang berarti
suatu penghinaan itu, Kong Houw jadi bingung juga dan
tidak tahu selanjutnya ia mesti berbuat bagaimana.
Karena selain belum kenal betul kedua orang musuhnya
itu, iapun tidak ketahui dimana tempat kediaman mereka
berdua. Selanjutnya sesudah berpikir beberapa saat lamanya,
akhirnya Kong Houw teringatlah pada seorang sahabat
yang dahulu pernah melakukan pekerjaan sebagai
377 seorang piauw-su, tetapi sekarang telah mengundurkan
diri dan tidak campur tangan lagi di kalangan itu.
Orang itu bernama Ouw Yong, dan sekarang berdiam
di sebuah rumah yang terletak di jalan Po-ciok-kee di
pintu kota barat. Oleh karena mengingat bahwa Ouw Yong kenal baik
setiap orang gagah yang berdiam di daerah Kie-ciu,
maka ia percaya bahwa sahabat ini tentu dapat
memberikan keterangan tentang siapa yang mencuri
bendera lambang yang dimilikinya itu, yang jikalau
urusan ini sampai terdengar di luaran, niscaya Kong
Houw bisa hilang muka dan hilang mata pencarian
karena adanya peristiwa pencurian yang sangat
memalukan nama baiknya itu.
Di zaman dahulu di antara pengusaha-pengusaha
piauw-kiok ada suatu pepatah yang mengatakan: Lebih
baik hilang barang angkutan dari pada hilang bendera
lambang kehormatan, dan itulah sebabnya mengapa
Kong Houw jadi jengkel dan akhir-akhirnya telah coba
pergi menjumpai Ouw-Yong untuk mencari keterangan,
kalau-kalau sahabat itu mengetahui, siapa manusianya
yang telah mencuri bendera lambangnya itu.
Ouw Yong kelihatan girang sekali melihat kunjungan
si sahabat itu, hingga dengan wajah yang berseri-seri ia
berkata: "Tidak nyana hari ini mendapat kunjunganmu.
Belum tahu ada angin manakah yang telah meniup
engkau datang ke sini?"
"Seorang yang membutuhkan nasehat sang guru,
memang kerap berkunjung di waktu yang tidak terduga,"
sahut Kong Houw sambil memaksakan diri buat
bersenyum. "Tetapi belum tahu ada urusan apa sih yang telah
378 membikin engkau kelihatan begitu bersusah hati?"
bertanya Ouw Yong sambil persilahkan si sahabat itu
akan duduk. Kong Houw lalu tuturkan dengan sejelas-jelasnya,
dari mulai terjadinya peristiwa di jembatan Hian-bu-kio,
sehingga kemudian bendera lambangnya kejadian hilang
dicuri orang. Lebih jauh, karena ia yakin bahwa Ouw
Yong mempunyai banyak kenalan di kalangan Kang-ouw
putih dan hitam, maka Kong Houw telah sengaja
berkunjung untuk meminta nasehat si sahabat itu, kalaukalau ia bisa mencari keterangan tentang siapa pencuri
bendera lambangnya itu, agar kalau nanti sudah
diketahui, ia boleh pergi parani sendiri untuk minta
dikembalikan dengan secara baik atau menggunakan
kekerasan, apabila tindakan itu dirasa perlu.
Sedang Ouw Yong yang juga mengerti kepentingan
dan artinya bendera lambang itu, sudah tentu saja
berpendapat, bahwa Kong Houw memang perlu
mengambil segala tindakan untuk menjaga kehormatan
dan nama baiknya di kalangan pengusaha-pengusaha
piauwkiok. Karena jikalau dia tak mampu mengambil
pulang atau mencari lambang yang hilang itu sehingga
didapat kembali, ia bisa mengalami hilang muka dan
mata pencarian dengan sekaligus. Oleh sebab itu,
siapakah yang tidak jengkel mengalami kejadian yang
amat tidak enak itu"
Ouw Yong sendiri sebenarnya tidak bisa menduga
pasti siapa yang telah menjadi pencuri bendera lambang
itu. Juga, sebagai seorang yang sudah "mencuci tangan",
tidak patut akan ia mencampuri diri dalam urusan-urusan
begini. Tetapi karena mengingat perhubungannya yang
begitu baik dengan Cin Kong Houw, maka apa boleh
buat ia telah memberikan petunjuk juga, supaya Kong
379 Houw coba pergi mencari keterangan pada Ca Tiauw Cin
di desa Ca-kee-chung. Tetapi karena orang she Ca ini
bukan tergolong pada orang baik-baik, maka ada baiknya
juga kalau Kong Houw suka berlaku hati-hati, jangan
coba berbantahan atau mencari setori dengan "cabang
atas" ini. Maka setelah Kong Houw mendapat petunjukpetunjuk yang perlu dari Ouw Yong, dengan tidak berayal
lagi ia segera menuju ke gedung keluarga Ca di desa Cakee-chung.
Di sana Kong Houw telah disambut oleh beberapa
orang pengawal yang lantas menanyakan she, nama,
maksud kedatangannya dan dengan siapa ia hendak
bertemu, atas pertanyaan-pertanyaan mana, Kong Houw
lalu menjawab satu-persatu dengan mengasih unjuk
sikap yang seolah-olah tidak bersangkut paut dengan
urusan penting apapun juga.
Dan tatkala kabar ini telah disampaikan pada Ca
Tiauw Cin, ahli silat dari cabang atas itu lalu persilahkan
Kong Houw akan masuk berjumpa.
Kong Houw menurut, setelah terlebih dahulu ia
mengucapkan banyak terima kasih kepada para
pengawal yang telah melayani padanya dengan ramahtamah.
Begitulah tatkala berada di ruangan pertengahan, di
situ Kong-Houw telah berjumpa dengan seorang yang
bertubuh tidak berapa tinggi, tetapi agak gemuk dedakan
badannya. Tidak bermisai atau berjanggut, tetapi
romannya cukup keren oleh karena agak jarang tampak
tersenyum. Ia berpakaian baju pendek warna coklat yang
ditimpali dengan kopiah yang berwarna coklat pula.
380 Bersepatu tipis, berkaos kaki putih dan tinggal duduk
tegak ketika Kong Houw masuk dan memberi hormat
kepadanya sambil bertanya: "Tuan, apakah tuan ini Ca


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lo-su Ca Tiauw Cin?"
Orang itu lalu berbangkit dari kursinya, balas
memberi hormat dan menjawab: "Ya, itulah memang
namaku yang rendah. Belum tahu tuan ini orang dari
mana" She dan nama apa, dan apa keperluannya tuan
mencari aku?" Di dalam hatinya, Kong Houw jadi merasa heran
juga. Pikirnya, mengapakah pertanyaan itu telah diulangi
pula, sedangkan hal itu ia telah sampaikan dengan
perantaraan para pegawai tadi" Ia tidak mengerti
maksud apa yang terkandung di dalam pertanyaan itu,
tetapi ia sengaja telah kesampingkan itu buat tidak
mensia-siakan pesannya Ouw Yong, maka dengan sikap
yang mengunjuk sangat mengindahkan kepada tuan
rumah, Kong Houw lalu menerangkan pula siapa dia dan
dengan maksud apa ia berkunjung ke situ.
Mendengar omongan itu, Tiauw Cin buru-buru
membungkukkan diri sambil memberi hormat dan
berkata: "Oh, oh, aku kira tuan ini siapa, tidak tahunya
Cin Kong Houw Piauw-su yang namanya begitu terkenal
di kalangan Kang-ouw, yang begitu lama aku kagumi
tetapi baru hari ini mempunyai kesempatan buat saling
berkenalan. Sit-lee, sit-lee."
Kong Hauw lekas membalas pemberian hormat itu
dengan sikap merendah. "Marilah silahkan Cin Piauw-su duduk mengobrol di
ruangan dalam," mengajak Tiauw Cin pada tetamunya.
Kong Houw tidak menolak atas tawaran itu.
381 Setelah dipersilahkan duduk dan disuguhkan air teh,
Kong Houw lalu menanyakan nasihat Ca Tiauw Cin,
dengan jalan apa si pencuri bendera lambang itu harus
diselidikinya" Ca Tiauw Cin tersenyum sedikit dan tidak
memberikan penjelasan apa-apa tentang ikhtiar yang
dikandung di dalam hatinya.
"Dari hal bendera lambangmu yang telah hilang dicuri
orang itu," katanya, ..aku percaya dalam tempo sedikit
waktu saja akan bisa diketemukan serta diambil pulang.
Perlu apakah urusan yang sekecil itu mesti dipikirkan
sampai begitu!" Kong Houw mengangguk-angguk selaku orang yang
menantikan jawaban yang dibutuhkannya, tetapi
anehnya, bukannya Tiauw Cin membentangkan ikhtiarikhtiar apa yang harus diambilnya, malah sebaliknya ia
memanggil koki buat minta disediakan satu meja
perjamuan. "Cin Piauw-su ini yang mengalami banyak kecapaian
dalam perjalanana," katanya, "tentunya merasa haus dan
lapar serta perlu beristirahat beberapa waktu lamanya.
Pergilah kau sediakan beberapa macam hidangan yang
paling lezat dengan beberapa kati arak yang terbaik.
Juga jangan lupa buat menyediakan cawan-cawan yang
agak besar, karena kita jago-jago minum tidak biasa
memakai cawan-cawan yang terlampau kecil di waktu
mengundang handai taulan atau sahabat-sahabat karib
kita." 4.24. Gangguan Sin-tui Bie di Kelenteng Tua
Kong Houw mengerti, bahwa perjamuan itu akan
382 diadakan dengan secara istimewa untuk dirinya, maka
barang tentu ia lantas menampik dengan kata-kata yang
manis dan merendah. Sambil mengatakan supaya Tiauw
Cin jangan membikin susah apa-apa. Tetapi Tiauw Cin
yang sebenarnya mengandung maksud lain, dengan
wajah yang berseri-seri lalu berkata "Cin Piauw-su, kita
ini adalah orang-orang dari satu golongan juga, perlu
apakah mesti berlaku begitu sungkan" Kita saling
bertemu pun tidak kejadian setiap hari. Oleh karena itu,
apakah salahnya jikalau aku mengadakan sedikit
perjamuan sebagai tanda berkenalan dan mempererat
persahabatan kita-kita?"
Kong Houw yang kurang bersiasat, tertarik benar
oleh omongan itu, hingga selanjutnya ia tak bisa berbuat
lain dari pada mengucapkan terima kasihnya.
Maka setelah koki balik kembali memberitahukan,
bahwa hidangan telah disediakan. Tiauw Cin lalu
mengundang Kong Houw akan duduk makan minum di
halaman lain dari gedung yang besar dan mentereng itu.
Di sini, dengan dilayani oleh beberapa pelayan
perempuan yang berparas elok, Tiauw Cin lalu perintah
salah seorang antaranya menuangi secawan arak buat
Kong Houw, yang kemudian dipersembahkannya sendiri
sambil berkata "Dengan cawan yang pertama ini, aku
doakan supaya Cin Piauw-su beroleh kemajuan dalam
usahamu yang sekarang ini."
Kouw Houw lalu sambuti cawan itu sambil
mengucapkan terima kasih. Kemudian ia minum kering
arak yang terisi di dalamnya dengan beberapa tegukan.
Cawan yang kedua lalu menyusul dengan diiringi
oleh kata-kata yang bantu mendoakan, agar supaya
Kong Houw panjang umur sehingga ia sanggup
383 mempertahankan nama baiknya di kalangan perusahaan
pengangkutan di bawah bendera Siang-hap Piauwkiok
itu. Setelah itu, lalu menyusul cawan yang ketiga.
"Dengan ini," kata Ca Tiauw Cin yang seakan-akan
orang berpikir untuk mencari perkataan-perkataan yang
tepat buat diucapkannya, "adalah......
Ia merandek, tetapi tangannya yang memegang
cawan itu tetap diangsurkan kehadapannya Kong Houw.
Tidak kira ketika Kong Houw menyambuti cawan itu,
mendadak Ca Tiauw Cin menindak maju, dengan
kecepatan bagaikan kilat, ia menggerakkan telapak
tangannya ke arah Cin Kong Houw.
Plok! " "Ayo!"
Suara kedua lengan Ca Tiauw Cin yang menepuk
embun-embunan Kong Houw, masing-masing telah
mengeluarkan suara yang hampir berbareng waktunya.
Jikalau yang tersebut belakangan tidak keburu
berkelit, mungkin juga batok kepalanya akan remuk
ditepuk oleh kedua telapak tangan Ca Tiauw Cin yang
paham ilmu Thiat-see-ciang itu!
Selagi Kong Houw merasakan kepalanya pusing dan
matanya berkunang-kunang, Tiauw Cin telah mengeluarkan suara bentakan keras sambil menendang
dengan ilmu tendangan Swan-hong-tui, hingga Kong
Houw yang belum berdiri jejak karena menyingkirkan diri
dari pada pukulan tadi, sudah tentu saja jadi terpental
dan jatuh di sudut ruangan itu dalam keadaan tidak ingat
orang. Dan tatkala kemudian ia tersedar dari pingsannya,
Kong Houw melihat ada beberapa orang yang berkumpul
384 di situ dengan membekal senjata di tangan masingmasing, tetapi pada saat itu Tiauw Cin telah tidak
kelihatan pula mata hidungnya.
Lebih jauh di lain sudut dari ruangan itu, ia
menampak sebuah bendera yang ia kenali bukan lain
dari pada bendera lambangnya yang telah hilang dicuri
orang itu! "Kurang ajar!" Kong Houw memaki.
"Tuan Cin," kata salah seorang bersenjata yang
berkumpul di situ, "barusan Lo-suhu telah memesan
pada kami, apabila nanti kau sudah tersadar dari
pingsanmu, supaya engkau boleh membawa balik
bendera lambangmu yang hilang itu."
Tetapi Kong Houw tak mau memungut hendera itu,
karena menganggap bahwa perbuatan itu sangat
menghinakan nama baiknya, dan ia baru mau ambil balik
bendera itu, apabila nanti ia sudah merobohkan Ca
Tiauw Cin yang licin itu.
Maka dari itu, dengan hati sangat penasaran ia lalu
menoleh pada orang-orang itu sambil berkata: "Tuantuan, bendera ini aku titip dahulu pada kamu sekalian
buat beberapa waktu lamanya. Apabila aku sudah
sembuh dan aku balik kembali untuk menentukan siapa
antara aku dan Ca Tiauw Cin yang lebih unggul ilmu
kepandaiannya, barulah aku mau ambil balik bendera itu.
Ca Tiauw Cin telah berlaku pengecut melukai aku
dengan jalan membokong, hingga buat ini aku tidak mau
sudah jikalau salah satu antara kita belum ada yang mau
menyerah atau mati. Sampaikanlah omonganku ini pada
gurumu yang pengecut itu!"
Begitulah setelah memuntahkan darah di atas lantai
bekas tadi ia jatuh pingsan, dengan gerakan yang susah
385 payah ia kembali ke tempat penginapannya dan
sampaikan berita celaka ini pada kawan-kawannya,
hingga semua orang jadi mendongkol dan lalu dengan
serentak hendak menyatroni serta menggempur orang
she Ca itu. Tetapi Kong Houw lalu mencegah dan
mengatakan, bahwa urusan ini adalah ia sendiri yang
harus tanggung, hingga terhadap yang lain-lain tidak ada
sangkut pautnya. Dari itu, paling betul mereka
menantikan saja apa yang akan terjadi kemudian.
Pendek kata selain ia dan isterinya, Kong Houw
melarang akan orang lain turut campur dalam urusan
permusuhannya ini. Demikianlah penuturan yang Poan Thian dapat
dengar tentang Cin Kong Houw dari keterangan Teng
Kim Sek, hingga ia jadi begitu gusar sehingga ia
berjingkrak dengan tidak terasa pula.
"Kurang ajar benar si jahanam she Ca itu!" teriak
pemuda kita. "Apabila aku belum hancurkan ilmu Thiatsee-ciang yang dipunyakannya, belumlah puas rasa
hatiku! Tetapi belum tahu apakah saudara-saudara
bersedia akan menjadi petunjuk-petunjukku, sehingga
dengan begitu aku bisa sampai ke tempat tujuanku dan
menjumpakan orang yang aku niat cari itu!"
Ketiga piauw-su itu yang memang tidak mempunyai
perhubungan baik dengan Ca Tiauw Cin dan berdiri di
pihaknya Cin Kong Houw, sudah tentu saja menyatakan
kesediaannya buat mengantar Poan Thian pergi
menjumpai Ca Tiauw Cin, hingga ia jadi girang dan minta
mereka menetapkan, bilamana ia dapat turut berangkat
kedesa Ca-kee-chung itu. "Pikirku," kata Ang Tek Piu setelah berpikir beberapa
saat lamanya, "paling betul kita jangan pergi ke Ca-kee386
chung pada sebelum menjumpai dahulu Cin-toako.
Karena selain kita belum tahu jelas duduknya perkara, di
sanapun kita bisa berembuk lebih jauh sambil melihat
bagaimana kewarasannya Cin-toako dewasa ini.
"Kita bukan takut pada Ca Tiauw Cin dan sekalian
gundal-gundalnya, tetapi rasanya ada baiknya juga
apabila kita bertindak ke dalam urusan ini dengan cara
yang lebih teliti dan jujur, sehingga biarpun kemudian Ca
Tiauw Cin sampai kena dirobohkan, iapun tentu akan
merasa rela hati dan tidak terjadi permusuhan yang tak
ada akhirnya antara kita dan pihak mereka. Tetapi belum
tahu pendapat tuan Lie bagaimana?"
Lie Poan Thian yang tadi telah diliputi oleh
kemarahan dengan secara tiba-tiba, sudah tentu saja
tidak memikirkan sama sekali akibat-akibat dari pada
perbuatannya itu, hingga ketika mendengar nasehat baik
yang telah diajukan oleh Ang Tek Piu, ia jadi insyaf akan
kekeliruannya dan berkata: "Ai, jikalau tuan Ang tidak
mengajukan nasehat yang berharga itu, mungkin juga
aku bisa terlibat dalam urusan permusuhan yang
memang ada kemungkinan akan jadi menjalar ke segala
kalangan di antara kambrat-kambratnya orang she Ca
itu! Maka setelah sekarang kau telah berhasil dapat
menghalaukan peristiwa yang tidak baik itu, sudikah
kiranya tuan Ang memberikan petunjuk-petunjuk lain
yang berharga mengenai urusan ini" Dan cara
bagaimanakah aku harus berbuat supaya permusuhan
itu tidak sampai merembet pada diri kawan-kawan kita
yang lainnya?" "Perbuatan orang she Ca itu memang sudah terang
bersifat pengecut dan kita perlu tindas dengan beramairamai," kata Sie Hiong, "perlu apakah tuan Lie mesti
387 berkuatir akan hal itu merembet pada kawan-kawan kita
yang lain-lainnya" "Seorang Tay-tiang-hu (laki-laki sejati) jikalau berani
berbuat. haruslah berani juga menanggung risikonya.
Buat apakah mesti ditanyakan jalan mana yang lebih,
selamat bagi pihak ini atau itu"
"Ingatlah, tuan, bahwa di dalam segala urusan,
pastilah mesti ada risikonya. Tidak perduli berapa kecil
atau berapa besar sifatnya risiko itu. Dan jikalau orang
selalu ragu-ragu memikirkan ini atau itu, paling betul
orang jangan berbuat apa-apa sama sekali, hingga
dengan begitu urusan pun boleh disudahi sampai di situ
saja." "Omongan Sie Hian-tee inipun memang tidak
bersalahan!" menyetujui Teng Kim Sek. "Tetapi turut
pikiranku yang cupat, pikiran Ang Toako memang patut
dan lebih selamat buat diturut."
"Tetapi aku tidak bisa mufakat," Lie Poan Thian
memotong pembicaraan semua orang, "apabila karena
perbuatan aku seorang, kawan-kawan kita yang lainnya
lantas jadi kerembet ke dalam urusanku itu. Hal ini aku
sesungguhnya merasa amat tidak senang, dan sedapat
mungkin ingin melakukan apa-apa atas risikoku sendiri,
barulah aku anggap bahwa perbuatan itu benar-benar
merupakan perbuatan seorang Tay-tiang-hu!"
"Itu juga benar, itu juga benar," kata Ang Tek Piu.
"Tetapi bilamana kita dapat menyambangi Cin Lauwhia dan menanyakan padanya tentang duduknya urusan


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ca Tiauw Cin ini?" Poan Thian bertanya dengan rupa
yang bernapsu. "Semua angkutan kita telah selesai diserahkan pada
388 tiap-tiap alamat yang harus menerimanya," kata Ang Tek
Piu, hingga sekarang kita tinggal menantikan kedatangan
rombongan kawan-kawan kita yang kedua. Dan jikalau
merekapun telah dapat menyerahkan barang-barang
angkutan mereka, kitapun sudah boleh berangkat ke kota
Kim-leng dalam waktu seminggu itu."
"Ah, kalau begitu," kata Lie Poan Thian, "aku kuatir
waktu itu akan terlalu lama buat aku bisa menahan napsu
amarahku. Maka turut pikiranku, biar saja aku pergi
sendiri ke kota Kim-leng, kemudian kita bertemu lagi
jikalau urusan ini sudah beres. Apakah tuan Ang juga
tidak pikir baik diatur begitu saja?"
"Ya, begitupun boleh," kata Ang Tek Piu akhirakhirnya.
Begitulah setelah di hari esoknya mereka duduk
dahar bersama-sama, Poan Thian lalu menggendong
pauw-hoknya, berpisahan dengan ketiga piauw-su itu
dan terus melanjutkan perjalanannya ke kota Kim-leng,
untuk pergi menyambangi Cin Kong Houw yang telah
mendapat luka karena muslihat Ca Tiauw Cin yang
curang itu. Dalam perjalanan itu karena Poan Thian kerap kali
ketimpa hujan, maka apa boleh buat ia mesti sabansaban berhenti di rumah penginapan, hingga lantaran ini,
sudah tentu saja sangat memperlambat perjalanannya
itu. Lebih-lebih ketika tiba di suatu daerah pegunungan
yang terpencil dan tidak ada penduduknya, ia jadi
mengeluh karena merasai sukarnya mencari tempat
perlindungan dari serangannya air hujan yang semakin
lama telah turun semakin lebat ke muka bumi.
Lie Poan Thian yang tak berkuasa akan menentang
389 kemarahan alam, mau atau tidak mesti berlindung juga
dari bawah satu ke lain pohon untuk melanjutkan
perjalanannya. Dan tatkala hari sudah hampir magrib, barulah ia
menemukan sebuah kelenteng yang terletak di lereng
gunung yang sunyi dan dengan tidak mencari tahu lagi
apakah di dalam kelenteng itu ditinggali orang atau tidak,
Poan Thian segera berlari-lari di antara hujan dan terus
masuk ke dalamnya. "Untunglah masih ada kelenteng ini sebagai
penolongku," kata pemuda kita sambil menaruh pauwhoknya di atas jubin yang batunya sudah banyak rusak.
Lebih jauh karena pada pintu kelenteng itu tertampak
sarang laba-laba dan debu yang bertimbun di sana-sini,
maka ia lantas ketahui, bahwa kelenteng itu sudah lama
tidak dirawat atau ditinggali orang.
Maka karena berkeyakinan bahwa ialah seorang diri
yang berada di situ pada saat itu, Poan Thian lalu
mencari suatu pelosok yang lebih bersih untuk dudukduduk dan beristirahat sehingga hari sudah menjadi
terang tanah di hari esoknya.
Begitulah pada malam itu Poan Thian telah menjemur
pakaiannya yang basah di sekitar meja-meja dan kursikursi rusak yang masih terdapat reruntuknya di kelenteng
itu. Dan tatkala ini semua telah selesai dilakukan, barulah
ia duduk bersemedi untuk meringankan rasa letih dan
dingin yang telah dialami selama melalui hujan yang
lebat itu. Di sini perlu diterangkan, bahwa Poan Thian biasa
bersemedi dalam keadaan telanjang bulat. Tidak perduli
di musim dingin atau panas.
390 Dalam pada itu siliran angin dan kilat yang diseling
dengan suara guntur, telah membikin Poan Thian lebih
anteng bersemedinya, sehingga pada waktu ia selesai
tepekur, tahu-tahu pakaiannya telah..... lenyap entah
kemana perginya! Dan sebagai gantinya dari pada pakaian yang telah
hilang itu, di situ tampak sepotong kertas yang di atasnya
terdapat tulisan yang rupanya telah diperbuat orang
dengan mempergunakan arang. Bunyinya tulisan itu
adalah sebagai berikut: Lie Poan Thian! Janganlah kau menganggap bahwa di kolong langit
ini hanyalah kau sendiri saja yang berhak memakai
gelaran SIN-TUI. Maka jikalau di utara ada satu SIN-TUI, apakah
salahnya jikalau di selatan pun ada yang memakai
juga gelaran begitu"
Aku bukan sirik atau mengiri. Gelaran itu tidak boleh
ada dua-tiga di jagat Tiongkok ini.
Oleh sebab itu, sudilah kiranya kau memberitahukan
di mana kita boleh bertemu akan menetapkan, siapa
salah seorang antara kita yang berhak memakai
gelaran itu" Tertanda aku. SIN-TUI-BIE. Poan Thian yang membaca bunyi surat itu, bukan
saja tidak menjadi gusar atau kecil hati, malah sebaliknya
jadi tertawa bergelak-gelak sambil kemudian berkatakata seorang diri: "Sungguh edan benar orang itu!
Rupanya dia tidak tahu bahwa gelaran itu bukan dipakai
olehku atas kehendakku sendiri. Dan juga tidak benar
391 jikalau ia beranggapan bahwa aku hendak monopoli
gelaran itu. Apakah artinya segala gelaran kosong"
Tampaknya dia terlalu penasaran, karena aku memakai
gelaran ini. Maka buat mencegah segala kemungkinan
yang akan terjadi karena hasutan-hasutan orang, paling
betul aku jangan ladeni segala urusan tetek bengek
serupa ini." Demikianlah, sambil mengakhiri omongannya, Poan
Thian lalu merobek-robek surat itu, kemudian ia buka
pauw-hoknya buat mengambil pakaian keringnya yang
terbungkus dengan bungkusan yang tidak dapat
ditembusi air. Setelah selesai berpakaian, sang hujan pun sudah
mulai berhenti, tetapi karena memikirkan bahwa
perjalanannya masih jauh dan belum tentu ia
mendapatkan tempat berlindung yang lebih baik dari
pada kelenteng itu, maka ia pikir lebih baik berdiam saja
di situ dahulu, dari pada melanjutkan perjalanannya
dalam suasana musim hujan itu.
Maka setelah membeberkan selembar selimut di atas
jubin Poan Thian lalu merebahkan dirinya, sambil
mendengari...... perutnya yang berkeruyukan menagih
isi...... Lama-lama ia jadi kepulesan juga.
Kira-kira hampir tengah malam, ia telah dibikin kaget
oleh rasa dingin yang telah menyerang pada dirinya
dengan amat tiba-tiba. Buru-buru ia bangun akan
mencari tahu sebab-musabab yang telah membikin ia
tersadar dari tidurnya yang nyenyak itu.
Segala apa tinggal tetap sebagaimana biasa,
kecuali..... selimut yang dibuat hamparan telah hilang
entah kemana perginya! 392 Maka jikalau surat tantangan yang telah diterimanya
tanpa diketahui siapa pengirimnya itu tidak membikin ia
jadi gusar atau kecil hati, adalah pada kali ini ia jadi
terbengong sehingga beberapa saat lamanya, tak dapat
menduga siapa kiranya orang yang telah menggoda
kepadanya itu! Kemudian ia bangun berdiri sambil menoleh ke kirikanan. Oleh karena awan-awan yang tebal telah tersapu
oleh angin yang menderu-deru di angkasa, maka sang
rembulan sabit pun segera terlihat sinarnya yang
remang-remang menjoroti muka bumi ini.
Dalam pada itu Lie Poan Thian yang merasa sangat
gegetun dengan peristiwa yang barusan terjadi, lalu coba
berjalan ke sekitar kelenteng itu buat coba memeriksa,
kalau-kalau ia nanti dapat menyelidiki siapa dan dari
mana datangnya orang yang telah menggoda padanya
itu, yang ternyata mempunyai kepandaian yang jauh
lebih tinggi dari pada apa yang diketahui olehnya sendiri.
"Dia mempunyai ilmu kepandaian yang begitu tinggi
dan bagus," pikir pemuda kita di dalam hatinya, "dari itu,
ada apakah kesukarannya, jikalau dia benar seorang
jahat, akan mengambil kepalaku selagi aku tidur
nyenyak" Aku berkeyakinan bahwa dia itu bukan orang
jahat. Tetapi apakah maksudnya dia menggoda begini
kepadaku" Hal ini aku sesungguhnya tidak bisa mengerti
dan belum mau sudah dengan begitu saja, apabila
perkara gelap ini belum dapat dibikin terang!"
Begitulah sambil berjalan kian-kemari, pemuda kita
telah menyelidiki segala sesuatu ke sekeliling pelosokpelosok di dalam kelenteng itu, tetapi segala
percobaannya ternyata sia-sia saja. Ia sama sekali tidak
dapat mencari bekas atau apa-apa yang dapat
memudahkan penyelidikannya.
393 Maka setelah merasa bo-hwat buat melanjutkan
penyelidikan itu, Poan Thian lalu kembali ke tempat
mana ia menaruh pauw-hoknya tadi.
Tetapi, dalam kekagetan dan keheranannya, ternyata
pauw-hok itupun telah terbang entah kemana perginya!
Sekarang Poan Thian jadi mendongkol betul-betul
dan lantas sesumbar dengan suara keras, katanya: "Hei,
sahabat! Engkau dan aku tidak pernah terbit permusuhan
apa-apa, tetapi kelihatannya engkau terlalu penasaran
karena aku mempunyai gelaran SIN-TUI. Tetapi,
ketahuilah olehmu, bahwa gelaran ini bukanlah aku yang
ciptakan sendiri, juga bukan aku yang memintanya pada
para sahabat dan handai taulan di kalangan Kang-ouw.
Maka apabila gelaran itu ada begitu mentereng sehingga
itu sedemikian berharganya untuk diperebuti, biarlah aku
serahkan itu kepadamu dengan baik, asalkan engkau
suka mengunjukkan rupamu dan minta itu dengan baik
juga kepadaku. Buat apakah mesti berlaku sembunyi dan
menggoda orang begini rupa?"
Tetapi selanjutnya tidak terdengar pula barang satu
suarapun, yang meladeni panggilan pemuda itu,
selainnya gema yang keluar dari dalam kelenteng yang
rusak dan mengirim suara itu balik kepadanya.
Poan Thian yang merasa bahwa urusan ini tidak
boleh disudahi sampai di situ saja, maka lalu dimulailah
menengadah kian kemari buat coba memperhatikan,
kalau-kalau nanti ia dapat ketemukan orang yang
menggodanya dan bersembunyi di bagian kelenteng itu.
Tetapi ternyata di sanapun tidak tampak tanda apaapa yang mengunjukkan, bahwa orang itu berada di situ.
Maka setelah merasa kewalahan dan tak berdaya
pula akan mencari orang yang jail itu, pada malam itu
394 juga ia lantas berangkat melanjutkan perjalanannya ke
kota Kim-leng dengan hati yang bukan main gusar dan
jengkelnya. Karena jikalau ia pertama mampir ke
kelenteng itu dengan menggendong pauw-hok, adalah
sekarang ia telah keluar dari situ dengan tangan kosong.
Tidak membawa pakaian, juga tidak mempunyai uang
barang sesen pun disakunya!
Tatkala hari hampir terang tanah, Poan Thian telah
sampai di sebuah desa yang ia tidak tahu apa namanya,
tetapi penduduknya kelihatannya ada banyak juga.
Karena selain ada kedai-kedai yang sudah mulai buka,
juga ada gedung-gedung yang rupanya dimiliki oleh
petani-petani kaya atau orang-orang hartawan kecil yang
berumah tinggal dalam desa tersebut.
Poan Thian yang melihat kedai arak dan makanan
yang baru membuka pintu itu, sudah tentu saja membikin
ia semakin mengiler akan mencicipi arak dan makanan
yang semenjak kemarin tidak melalui tenggorokannya.
Tetapi karena mengingat bahwa ia tidak punya uang,
maka apa boleh buat ia berjalan terus dengan tidak coba
menoleh lama-lama pada kedai itu.
Tidak disangka ada seseorang yang dengan tiba-tiba
memanggil-manggil kepadanya sambil berkata: "Tuan,
apakah engkau ini bukan seorang perjalanan yang telah
kehilangan pauw-hok dan pakaian di kelenteng rusak?"
Mendengar panggilan itu, Poan Thian jadi merandek
sesaat lamanya. Mula-mula ia bercelingukan ke sana-sini, karena
dikuatirkan ia keliru mendengar orang yang memanggil
pada orang lain. Tetapi ketika melihat seorang yang
berdiri di muka kedai itu melambai-lambaikan tangan ke
jurusannya, ia jadi menghampiri dan memberi hormat
395 sambil menanyakan: "Tuan, apakah itu aku ini yang
engkau teriakan tadi?"
"Ya, benar," sahut orang itu. "Barusan ada seorang
yang lalu di sini dan memesan pada kami, bahwa jikalau
engkau melewat di sini, supaya tolong terimakan pauwhok dan pakaian yang dititipkannya di sini."
Sambil berkata begitu, orang itu yang ternyata bukan
lain dari pada pemilik kedai tersebut, lalu keluarkan
sebuah pauw-hok dan pakaian yang masih agak demak
dan dibungkus dengan menggunakan selimut.
Poan Thian jadi terperanjat, hingga sejenak ia
kemekmek dan tidak tahu mesti bicara bagaimana di saat
itu. "Apakah barangkali tuan kenal siapa orangnya yang
telah menitipkan pauw-hok ini kepadamu?" akhirakhirnya Poan Thian bertanya.
Tetapi pemilik kedai itu lantas menjawab: .,Tidak
kenal." Hingga Poan Thian pun tidak bisa mendesak
lebih jauh, selain meminta sedikit keterangan tentang
roman, usia dan pakaiannya orang itu. Kemudian
kemanakah arah yang ditujunya"
"Orang itu masih muda sekali," sahut pemilik kedai,
"usianya barangkali belum cukup dua puluh tahun.
Potongan badannya tegap dan kulitnya putih kuning. Ia
berpakaian baju biru dengan banyak kancingnya,
menyoren pedang dan menggendong pauw-hok di atas
punggungnya."

Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan tatkala pemilik kedai itu mengunjukkan arah
yang ditujunya, Poan Thian jadi bercekat hatinya dan
berkata sendiri: ,,Hei, apakah dia juga hendak menuju ke
kota Kim-leng" Siapakah dia ini......" Ah, orang-orang
396 gagah di dunia ini sesungguhnya juga tidak sedikit
jumlahnya!" Sehingga pemilik kedai mempersilahkan dia duduk,
barulah Poan Thian "tersadar" dari bengongnya.
Lalu ia mengucap banyak terima kasih dan lantas
duduk, dan tidak antara lama seorang pelayan telah
membawakan air teh yang masih panas.
"Menurut keterangan pemuda tadi," si pemilik kedai
melanjutkan omongannya, "tuan telah semalaman tidak
makan atau minum karena dirintangi oleh hujan lebat.
Oleh karena itu, barusan ia telah memesan beberapa
rupa barang makanan untuk tuan, yang harganya telah
dibayar tunai olehnya. Maka jikalau tuan sudi menantikan
beberapa saat lamanya, aku percaya hidangan-hidangan
itu tentu sudah selesai di masak dan tersedia untuk tuan
dahar." Mendengar omongan begitu, Poan Thian jadi
semakin tidak mengerti, apa maksud pemuda yang tidak
dikenal itu. Tetapi buat tidak menerbitkan kecurigaan si
pemilik kedai, Poan Thian hanya menanyakan: "Apakah
selain ini, pemuda itu tidak memesan apa-apa pula
kepadamu?" ,,Tidak," sahut pemilik kedai itu.
Pemuda kita tidak melanjutkan pula pertanyaanpertanyaannya, tetapi di dalam hatinya ia tetap
memikirkan persoalan yang merupakan cangkriman sulit
ini. "Siapakah dia itu" Ditinjau sambil lalu, surat yang
ditinggalkannya itu seakan-akan orang yang penasaran
dan menantang kepadaku, tetapi buktinya ia berlaku
cukup baik hati kepadaku. Apakah maksudnya ini
397 semua" Apakah barangkali ia hendak mempamerkan
kepandaiannya semata-mata, atau memperingati kepadaku atas hal apa-apa yang telah diperbuat olehku
dengan secara keliru di luar pengetahuanku?"
4.25. Siapa Sin-tui Bie"!
Poan Thian berkutet buat mengajukan pertanyaan
dan jawaban kepada dirinya sendiri, yang hasilnya,
sudah barang tentu, tinggal tetap begitu-begitu juga.
Maka setelah hidangan telah disajikan berikut
araknya yang sudah dibikin hangat terlebih dahulu, Poan
Thian lalu ke sampingkan segala kesulitan itu dan lalu
mulai duduk dahar "untuk menunaikan" rasa lapar yang
ia telah alami di hari kemarin.
Tetapi, ketika ia melihat hidangan-hidangan yang
disajikan itu, kembali ia menjadi terperanjat, karena
hampir semua hidangan itu terdiri dari sayuran-sayuran
yang olehnya sangat digemari, orang itu bukan asing lagi
bagi dirinya. Maka jikalau ini bukannya dilakukan oleh
seorang yang kenal baik dirinya dan tahu benar tentang
kegemarannya dalam soal makanan, niscaya hal ini tidak
dapat dilakukan dengan cara yang begitu sempurna.
Tetapi ia sungguh tidak bisa mengerti, apakah sebabnya
orang itu tidak mau mengunjukkan rupa kepadanya"
Juga, siapakah sebenarnya dia itu"
"Ia kelihatan lebih senang menggoda dari pada
menjumpai aku," pikir Lie Poan Thian di dalam hatinya.
"Apakah di dalam hal ini, ada terselip rahasia apa-apa
yang sulit sehingga ia memilih jalan begini untuk
keselamatan kita berdua pihak?"
Begitulah sambil duduk dahar, Poan Thian memikiri
398 hal itu dengan tidak sudah-sudahnya.
Sehabis dahar, barulah ia
perjalanannya ke kota Kim-leng.
melanjutkan pula Pada suatu hari setibanya di kota tersebut, ia coba
menanyakan dimana tempat kediamannya Cin Kong
Houw pada beberapa orang piauw-khek yang kebetulan
berpapasan di jalan raya.
Oleh karena nama Kong Houw memang tidak asing
lagi di kota tersebut, maka Poan Thian tidak sukar akan
mencari sang kawan itu. Lalu ia mampir ke kantor Siang-hap Piauwkiok,
dimana ia telah disambut oleh Lauw An dengan wajah
yang berseri-seri. "Tuan Lie," katanya, "Cin Lo-pan pasti merasa girang
sekali atas kedatanganmu ini. Marilah engkau ikut aku
buat menjumpainya." Poan Thian mengangguk sambil tersenyum,
kemudian ia menanyakan tentang keselamatannya sang
kawan itu. "Ia sekarang sudah hampir sembuh sama sekali dari
luka-lukanya," kata Lauw An. "Apakah barangkali tuan
Lie juga telah ketahui, tentang peristiwa celaka yang
belum lama telah dialaminya itu?"
"Ya," sahut Lie Poan Thian, "dan justru urusan itulah
yang telah menyurung aku berkunjung ke sini."
Dan tatkala Liu Sian kedengaran berkata: "Lie Congsu datang! Lie Cong-su datang!"
Kong Houw yang sedang tidur nyenyak jadi terkesiap
dan lantas bangun dan bertanya: "Dimana" Ia dimana?"
Ia belum keburu berbangkit dari pembaringan, ketika
399 Poan Thian berjalan masuk dengan diiringi oleh Liu Sian.
Kong Houw rasanya kepingin menangis bahna
kegirangan. Karena selain memang sudah kangen tidak
bertemu sekian lamanya, iapun bisa mendapat juga
bantuannya Lie Poan Thian dalam hal berurusan dengan
Ca Tiauw Cin, walaupun ia sendiri belum suka menyerah
dengan cabang atas Ca-kee-chung yang curang itu.
Maka dengan diapit oleh Liu Sian dan Kong Houw di
kiri kanan, Poan Thian duduk di tepi ranjang, sambil
menjabat tangan kedua orang itu.
"Semenjak kita berpisahan di kelenteng Giok-hunam," katanya, "sehingga sekarang telah berselang
beberapa tahun lamanya dengan tidak terasa pula.
Tetapi belum tahu bagaimanakah dengan perusahaan
pengangkutanmu di sini" Apakah itu kiranya
menguntungkan juga?"
"Ya," kata Kong Houw sambil menghela napas.
"Jikalau mau dikatakan menguntungkan, itulah memang
juga benar demikian. Tetapi disamping keuntungan itu,
orang harus jangan lupa juga dengan rasa mengiri yang
keluar dari pihak sesama pengusaha pengangkutan yang
berhati dengki. Karena jikalau mereka tak mampu
mengganggu dengan secara berterang, mereka lalu
mengganggu pada kita dengan bergelap atau meminjam
tangannya orang lain. Demikian juga telah terjadi dengan
diriku, sehingga aku timbul perasaan segan buat
melanjutkan perusahaan ini. Apakah barangkali kau
belum tahu tentang terjadinya suatu peristiwa celaka
yang belum lama telah menimpa atas diriku?"
"Ya," sahut Poan Thian, "dan justeru itulah yang telah
menyurung aku datang ke sini. Oleh sebab itu, sudikah
kiranya engkau menuturkan padaku tentang duduknya
400 perkara ini, sehingga dengan begitu, aku ketahui juga
bagaimana aku harus perlakukan si jahanam she Ca
itu?" "Aku dan orang she Ca itu sebenarnya belum pernah
kenal atau mempunyai perhubungan apa-apa,"
menerangkan Cin Kong Houw. "Yang menjadi sebab
mengapa ia telah mencari setori dengan jalan mencuri
bendera lambangku, adalah karena ia telah disuap oleh
seorang pengusaha angkutan lain yang merasa iri hati
atas kemajuan kita di kalangan ini. Orang itu aku boleh
tidak usah sebutkan namanya, karena aku sendiripun
sudah cukup akan membikin ia tidak berani mengangkat
kepala. "Mula-mula ia telah sengaja mengirim dua orang
piauw-sunya buat "mencari lantaran" denganku di
jembatan Hian-bu-kio, tetapi keduanya telah kabur pada
sebelum pertempuran itu berakhir. Dan itulah ada dari
anjuran kedua orang ini, yang si pengusaha piauw-kiok
itu telah ,menyuruh" Ca Tiauw Cin buat membikin malu
kepadaku di hadapan umum. Ia telah melakukan
penyerangan gelap dengan menggunakan pukulan Thiatsee-ciang, yang sebenarnya dijujukan ke arah embunembunanku, tetapi syukur juga pukulan itu meleset.
Kalau tidak, niscaya siang-siang aku sudah menjadi
mayat karena kecurangan itu.
"Apakah hal itu tidak membikin aku jadi sangat
penasaran dan mendongkol" Dalam pertempuran
memang sudah sejamaknya, jikalau sampai mengalami
luka, tetapi akan mendapat luka dalam cara ini,
sesungguhnya aku tidak bisa terima dan kubelum mau
sudah, jikalau aku belum dapat membalasnya dengan
sama hebatnya!" "Kalau begitu," kata Lie Poan Thian, "aku ada suatu
401 akal yang akan membikin ia kapok akan bermusuh
dengan kau, kalau tidak mampu kubikin ia bertobat."
"Tetapi bagaimanakah Lie Lauw-hia hendak atur akal
itu?" Kong Houw bertanya.
"Nanti hari esok atau lusa aku akan berangkat ke Cakee-chung buat lantas mengatur akalku ini," kata Lie
Poan Thian dengan sikap yang sungguh-sungguh.
"Dalam hal ini kamu tidak usah menanyakan dahulu dari
di muka. Kamu di sini boleh dengarkan saja kabar apa
yang nanti tersiar di luaran, karena aku sendiripun dapat
memastikan siapa di antara Ca Tiauw Cin dan aku yang
lebih unggul." Kong Houw yang mendengar omongan itu, lalu
berbayanglah suatu khayalan yang seolah-olah
menggambarkan suatu pertempuran mati-matian antara
musuh dan sahabatnya yang tercinta ini, yang jikalau
belum ada salah seorang yang mati atau menyerah, ia
percaya bahwa pertempuran itu akan belum dapat
disudahi dengan begitu saja.
"Kalau begitu," kata Kong Houw pada akhirnya, "baik
aku saja yang berjalan di muka, sedangkan kau boleh
mengiringi padaku." "Itu tidak perlu," kata pemuda kita, "kau tidak perlu
merintangi buat menggagalkan siasat yang aku telah atur
ini!" "Lukaku sekarang boleh dikatakan telah sembuh
sama sekali," kata Cin Kong Houw.
"Ya, itu aku tahu," Poan Thian memotong
pembicaraan sahabatnya, "tetapi itu belum berarti bahwa
kau sudah cukup kuat untuk memasuki gelanggang
pertempuran. Aku bukan menganggap kau takut pada Ca
402 Tiauw Cin, malahan kemungkinan akan kau menang
dalam pertempuran pun memang bukan mustahil, kalau
saja orang she Ca itu suka bertempur dengan secara
jujur. Dan itulah ada karena kecurangannya ini, yang
telah bikin aku sangat penasaran dan ingin mencoba
sampai dimana kelihayannya."
Kong Houw dan Liu Sian yang mendengar omongan
itu, mau tak mau harus mengakui juga kebenarannya
omongan sahabat mereka itu.
Kemudian Liu Sian perintah koki buat menyajikan
satu meja perjamuan untuk menjamu pada Lie Poan
Thian. "Y" Selama duduk makan minum dengan ditemani oleh
Cin Kong Houw dan isterinya, mendadak Poan Thian
teringat pula pada peristiwa yang terjadi di kelenteng
rusak itu, dimana ia telah ditantang oleh seorang yang
mengaku bernama Sin-tui Bie, tetapi tidak kenal siapa
dan dimana tempat kediamannya. Maka karena
mengingat bahwa pergaulan Kong Houw di kalangan
Kang-ouw begitu luas, ia jadi percaya, kalau-kalau
sahabat ini tentu kenal dengan nama itu. Tetapi buat
membikin suasana kelihatan tenang. Poan Thian sama
sekali tidak mengatakan apa-apa tentang peristiswaperistiwa yang dialaminya di kelenteng rusak sehingga ia
mendapat kembali pauw-hoknya yang hilang itu.
Ia hanya menanyakan pada Kong Houw demikian:
"Di daerah Kang-lam ini sudah lama aku mendengar
namanya seorang gagah yang disebut Sin-tui Bie."
katanya, "tetapi belum tahu apakah Cin Lauw-hia kenal
403 baik dan mempunyai perhubungan apa-apa dengan dia
itu?" "Nama itu rasanya akupun pernah dengar juga,"
sahut Kong Houw. "Ia itu ada seorang jago tua yang
sekarang telah mengundurkan diri dari kalangan Kangouw dan menuntut penghidupan sebagai toosu di
kelenteng Ceng-hie-koan di kota ini. Belum tahu dari
mana Lie Lauw-hia mendapat dengar nama orang tua
itu" Juga engkau ada hubungan apakah dengan dia.
itu?" Poan Thian jadi kemekmek sejurus lamanya. ketika
mendengar Kong Houw menghujani pertanyaanpertanyaan padanya begitu rupa.
"Itu semua hanyalah suatu kejadian yang kebetulan
saja," ia berkata akhir-akhirnya. "Di dalam perjalananku
kemari, aku mendengar orang bercerita tentang dirinya
orang tua itu, maka aku telah iseng-iseng menanyakan
hal ini kepadamu. Apakah kau sudah pernah
mengunjungi kelenteng Ceng-hie-koan tersebut?"
"Belum," sahut Cin Kong Houw. "Tetapi apabila kau
hendak berkunjung ke sana, akupun ingin turut juga
pergi, buat sekalian belajar kenal dengan orang tua itu."
Poan Thian mufakat. Begitulah setelah mereka habis dahar dan istirahat, di
waktu sorenya kedua sahabat itu lalu berkunjung ke


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kelenteng Ceng-hie-koan yang ternyata terletak sedikit
jauh di luar kota Kim-leng, hingga mereka merasa perlu
akan menunggang kuda untuk menyampaikan tempat
yang dituju itu. Sesampainya di halaman kelenteng tersebut dan
menambatkan kuda mereka di bawah sebuah pohon
404 gouw-tong, Kong Houw dan Poan Thian lalu mengetok
pintu beberapa kali. Kemudian dari sebelah dalam
terdengar suara orang yang bertanya: "Siapa?"
"Kami, orang dari kota Kim-leng yang sengaja
berkunjung kemari untuk mencari sahabat," kata kedua
orang itu dengan suara hampir berbareng.
Dan tatkala pintu kelenteng itu dibuka, seorang toosu
kecil lalu menyambut pada mereka sambil bertanya:
"siapakah nama sahabat tuan-tuan yang hendak dicari
itu" Di sini tidak ada lain orang selainnya guruku dan
para toosu. Apakah barangkali tuan-tuan mempunyai
sahabat juga kaum toosu?"
Kedua orang itu jadi kemekmek dan sejurus lamanya
tidak tahu mesti menjawab bagaimana.
Tetapi Poan Thian yang lekas juga bisa membikin
tenteram hatinya, segera maju menanyakan: "Apakah di
antara para toosu di sini, ada seorang yang dahulu
bernama Sin-tui Bie?"
Si toosu kecil itu jadi melongo waktu mendengar
omongan itu. "Aku ini adalah toosu baru dan tidak tahu-menahu
tentang nama itu," katanya, "tetapi apabila tuan-tuan sudi
menunggu sebentar, boleh juga aku coba tanyakan
nama ini pada guru kami."
"Ya, baik," kata pemuda kita. "Kami tunggu padamu
di sini." Tidak antara lama toosu kecil itu telah balik kembali
dan bertanya pada mereka: "Apakah tuan-tuan ini bukan
pesuruh-pesuruh dari Sin-kun Louw Cu Leng di kota
Cee-lam?" Poan Thian jadi melengak waktu mendengar nama
405 itu. Ia tidak tahu mesti memberikan jawaban bagaimana.
Ia tahu yang ia memang kenal baik dengan nama yang
disebutkan itu, tetapi ia belum tahu, apakah Louw Cu
Leng itu ada sahabat atau musuhnya Sin-tui Bie ini"
Maka karena memikirkan bahwa sedikit saja ia keliru
menjawab akan mengakibatkan suatu salah paham yang
bisa menerbitkan permusuhan, tidaklah heran jikalau
Poan Thian menjadi kelihatan serba salah dan akhirnya
dengan apa boleh buat menjawab: "Oh, bukan, bukan.
Kami ini bukan pesuruh-pesuruh Louw Cu Leng dari Ceelam, hanyalah dua orang pelindung piauw yang sengaja
berkunjung untuk meminta nasehat dan petunjukpetunjuk dari Sin-tui Bie di sini. Belum tahu apakah orang
itu sesungguhnya ada di sini atau tidak?"
"Ya, benar," kata toosu kecil itu. "itulah ternyata ada
guru kami sendiri. Kalau begitu, marilah tuan-tuan boleh
mengikut padaku." Poan Thian dan Kong Houw jadi girang dan lalu
masuk ke kelenteng tersebut, mengikuti toosu kecil tadi.
Di sebuah halaman yang bersih dan di antara asap
dupa yang berkepul-kepul, kedua orang itu menampak
seorang tua yang usianya antara enampuluh-tujuhpuluh
tahun. Rambut, janggut, dan misainya sudah putih
bagaikan kapas. Ia duduk di atas dipan yang diberi alas
permadani. Dan tatkala ia melihat Poan Thian dan Kong
Houw mendatangi, dengan sabar ia lantas berbangkit
dari atas dipan dan memberi hormat sambil berkata:
"Selamat datang atas kunjungan kedua orang Kie-su ke
tempat kediamanku yang hina ini. Belum tahu Kie-su
berdua ada urusan apa datang berkunjung ke kelenteng
kami ini?" "Murid yang rendah bernama Lie Kok Ciang," sahut
406 Poan Thian, "orang dari Cee-lam dan ini adalah
sahabatku Cin Kong Houw, yang mengusahakan sebuah
piauw-kiok di kota Kim-leng di sini."
"Kalau begitu," kata toosu tua itu setelah
mempersilahkan duduk kedua orang tetamunya, "apakah
tuan Lie ini kenal baik Sin-kun Louw Cu Leng di Ceelam" Kau yang menjadi penduduk dari kota itu, mestinya
kenal juga namanya orang tua itu, bukan?"
Poan Thian jadi gugup, tetapi kesediaan pikirannya di
waktu kesusu segera timbul dan lantas menjawab: "Ya,
nama itu memang sudah lama murid dengar, tapi tidak
kenal betul yang mana satu antara penduduk Cee-lam
yang bernama begitu."
Si toosu tua itu kelihatan menganggukkan kepalanya
sambil tersenyum sedikit.
"Kalau begitu, tidak heran jikalau kau tidak kenal
pada orang tua itu," katanya dengan pelahan.
Si pemuda mengangguk, membenarkan.
"Omong punya omong," kata Poan Thian pula,
"dengan ini murid numpang bertanya, apakah Lo-suhu
bukan seorang gagah di kalangan Kang-ouw yang
dahulu terkenal dengan nama julukan Sin-tui Bie?"
Orang tua itu jadi memandang wajah pemuda kita
dengan sorot mata tajam. Kemudian ia tersenyum sambil
berkata: "Itulah hanya sebuah gelaran kosong belaka.
Dari manakah kau mendengar tentang segala urusan
tetek-bengek itu?" "Itulah karena..... karena..... oh, bukan, bukan," kata
Poan Thian dengan gugup. "Nama itu memang sudah
lama aku dengar di kalangan Kang-ouw......"
"Kau tidak perlu see-jie akan bicara dengan secara
407 terus terang," kata orang tua itu, yang ternyata benar
dahulu terkenal dengan nama julukan Sin-tui Bie.
"Apakah barangkali kau mendapat pengunjukan orang,
bahwa Tie Hwie Taysu yang bersemayam di kelenteng,
Ceng-hie-koan di sini dahulunya seorang yang dijulukkan
dengan nama Sin-tui Bie itu?"
Poan Thian menggelengkan kepalanya.
"Bukan, bukan," katanya. "Nama itu sebenarnya telah
dikenal olehku dengan secara tidak disengaja."
"Cobalah tuturkan padaku dengan sejujur-jujurnya,"
kata toosu tua itu, yang ternyata ia baru ketahui bergelar
Tie Hwie Taysu. Oleh karena melihat tidak ada jalan buat
menyembunyikan rahasia hatinya, maka dengan rasa
sungkan Poan Thian lalu tuturkan juga segala
pengalamannya, semenjak ia kehujanan di kelenteng
rusak sehingga akhirnya ia berkunjung ke kelenteng
Ceng-hie-koan dengan diantar oleh Cin Kong Houw,
yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang terjadinya
peristiwa yang luar biasa itu.
Sin-tui Bie alias Tie Hwie Taysu jadi kelihatan sedikit
terperanjat, ketika mendengar penuturan Poan Thian
tersebut. Tetapi setelah berdiam sejurus bagaikan
seorang yang memikirkan sesuatu, dengan lantas ia jadi
tersenyum sambil berkata: "Di dunia ini memang lebih
banyak terdapat manusia yang berhati busuk dan dengki
dari pada manusia-manusia yang sesungguhnya ingin
melihat perdamaian dan kerukunan di antara sesamanya
yang hidup di kolong langit ini.
"Satu pihak tidak segan menggunakan pengaruh atau
nama pihak ini untuk meruntuhkan atau membusuki
pihak lain, yang tujuannya semata-mata adalah untuk
408 keuntungan diri sendiri. Pikirnya, dengan menggunakan
cara yang dianggapnya amat cerdik ini, dia bisa
merobohkan dua saingan dengan sekaligus. Dan dengan
tidak banyak susah atau mesti berjoang dengan matimatian, dia bisa menjagoi dan boleh menganggap bahwa
dirinya adalah paling jempolan di kolong langit! Padahal
dia lupa akan memikirkan, bahwa jikalau kedua-dua
saingannya itu (yang dibusuki namanya) mempunyai
kesadaran pikiran dan bekerja sama untuk menindas
pada dirinya, dia bisa mengalami dua ancaman hebat
dengan sekaligus pula! "Maka dengan adanya lelakon yang agak
"menegangkan" ini, apakah Lie Sicu mau percaya, bahwa
segala apa yang orang telah berbuat kepada dirimu itu,
adalah sesungguhnya telah dilakukan olehku Sin-tui Bie,
yang sekarang telah memeluk agama Too Kauw dengan
memakai gelaran Tie Hwie ini?"
Poan Thian yang sekarang baru mendusin, bahwa
dirinya orang hendak "adu dombakan" dengan Sin-tui
Bie, sudah barang tentu jadi amat terkejut dan segera
meminta maaf sambil berkata: "Jikalau Lo-suhu bukan
seorang yang berpikir panjang, niscaya urusan tetek
bengek ini bisa membikin orang jadi terjerumus ke dalam
permusuhan yang tidak ketahuan asal-mula atau sebabmusababnya."
Sementara Cin Kong Houw yang baru di saat itu
mengetahui apa sebabnya Poan Thian mencari pada
Sin-tui Bie, dengan lantas ia menghela napas sambil
berkata: "Ah, ternyata bahwa Lie Lauw-hia juga telah
mengalami suatu peristiwa yang jalannya hampir mirip
dengan peristiwa yang telah kualami itu. Hanya jikalau
aku telah mengalami itu dari suatu jalanan yang agak
jelas, adalah soalmu ini amat sukar dimengerti dan tidak
409 diketahui pasti karena apa dan untuk maksud apa orang
berbuat begitu kepadamu, disamping beranggapan
bahwa orang telah sengaja berbuat begitu untuk mencari
setori kepadamu. Itulah bedanya, antara soalmu dan
soalku, yang kita sekarang justru sedang hadapi
bersama-sama." "Ya, ya, itu benar," kata Lie Poan Thian selaku orang
yang sedang asyik berpikir.
Tidak antara lama toosu kecil yang telah menyambut
mereka tadi balik kembali dengan membawa teh-koan,
tiga buah cangkir dan beberapa piring yang terisi buahbuahan kering yang sangat digemari oleh Tie Hwie
Taysu. Setelah menuangi air teh buat guru dan kedua
tetamunya, lalu ia suguhkan itu di hadapan masingmasing, sambil mempersembahkan juga buah-buahan
kering tadi, yang ditaruhnya di atas meja di hadapan
ketiga orang itu. Kemudian ia berdiri di suatu pinggiran
untuk melayani, tetapi Tie Hwie lantas perintah ia berlalu
dan tak usah melayani mereka di situ, asalkan teh-koan
itu ditaruh di atas meja di dekatnya.
Toosu kecil itu menurut, kemudian ia berjalan masuk
setelah memberi hormat pada semua orang.
"Anak ini adalah salah seorang murid yang baru saja
beberapa hari ini datang ke sini," kata toosu tua itu,
"tetapi aku yakin bahwa ia inilah seorang anak yang
cerdik dan terang sekali otaknya. Ia ini bukan lain dari
pada cucu seorang bekas musuhku di waktu masih
sama-sama muda, tetapi kemudian kita jadi berbalik
saling menghormati dan bersahabat begitu akrab,
sehingga melebihi saudara yang keluar dari satu
kandungan." 410 Dan tatkala Poan Thian hendak menanyakan siapa
adanya orang itu, dengan pengharapan kalau-kalau ia
juga kenal pada orang itu, Tie Hwie telah keburu berkata:
"Lie Sicu sendiri tentu pernah dengar tentang
perbuatannya orang itu di kalangan Kang-ouw dari
penuturan orang-orang Cee-lam juga."
"Ya, bisa jadi juga akupun pernah mendengarnya,"
sahut pemuda kita dengan sembarangan.
"Dia itulah bukan lain dari pada Sin-kun Louw Cu
Leng," kata Sin-tui Bie alias Tie Hwie Taysu sambil
tertawa. "Kedatanganmu tadi sebetulnya aku tidak
menduga lain dari pada pesuruh-pesuruhnya Louwsamtee. yang memang ia telah berjanji akan kirim, jikalau
ia sendiri tidak bisa datang sendiri ke sini."
"Oh, oh, kalau begitu," kata Lie Poan Thian seperti
orang yang baru mendusin dari tidur yang nyenyak,
sekarang teranglah sudah, bagaimana aku telah keliru
menyangka jahat atas diri Lo-suhu di sini, sehingga tadi
aku telah berjusta dengan mengatakan bahwa Louw Cu
Leng itu aku hanya kenal namanya saja, padahal dalam
kenyataan, kita pernah bertempur, hendak saling
merobohkan satu sama lain, yang beruntung juga
akhirnya tidak sampai kejadian ada salah seorang yang
celaka, malah selanjutnya kita jadi bersahabat akrab
sekali sehingga di saat ini."
Tie Hwie Taysu yang mendengar omongan itu, iapun
jadi tertawa dan berkata: "Nah, itulah justru ada apa yang
telah kusangka tentang salah paham yang mungkin
terjadi antara kita sama kita, tetapi syukur juga tidak
sampai mengakibatkan hal-hal lain yang merugikan pada
perhubungan persahabatan kita. Maka soal ada seorang
yang mengaku bernama "SIN-TUI BIE" hendak
menantang kepadamu, bolehlah urusan itu 411 dikesampingkan dan dianggap remeh saja. Karena,
sebagaimana katanya satu pepatah, batu-batu akan
segera kelihatan, jikalau air banjir di sungai telah surut.
"Maka ada baiknya juga jikalau Lie Sicu suka
bersabar dan saksikan dari kejauhan, akibat dari pada
surat tantangan yang tidak keruan juntrungannya itu.
Sedangkan aku di sini pun, nanti membantu sedapat
mungkin untuk menyelidiki urusan ini dengan bantuannya
beberapa orang sahabat dan handai taulan di kalangan
Kang-ouw." 4.26. Penyelidikan Sin-tui Bie Palsu
Poan Thian yang mendengar omongan itu, merasa
terhibur juga, walaupun hatinya masih tetap kepingin
menyelidiki sendiri, siapa sebenarnya orang yang telah
menggoda padanya di kelenteng rusak itu, yang ilmu
kepandaiannya bukan saja tidak ada di bawah dari pada


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya sendiri, malah di lain pihak ia masih kalah jauh
dan perlu berlatih keras untuk dapat memperoleh
kepandaian seperti apa yang dipunyai orang yang ia
sama sekali belum pernah kenal atau melihat romannya
itu. Maka setelah minum air teh dan makan buah-buahan
kering yang disuguhkan, barulah Poan Thian dan Kong
Houw meminta diri kepada Tie Hwie Taysu yang dengan
laku ramah tamah menyatakan kesediaannya akan
menerima kunjungannya kedua orang itu di setiap waktu
mereka ada waktu terluang untuk berbuat begitu, buat
mana kedua orang itupun tak lupa mengucapkan banyak
terima kasih atas kebaikannya toosu tua itu.
Begitulah sekembalinya Poan Thian dan Kong Houw
ke kota Kim-leng, kedua orang itu lalu menuturkan
412 pengalaman mereka pada Liu Sian di waktu mereka
duduk bersama-sama untuk bersantap sore.
"Terhadap orang yang mengaku bernama Sin-tui Bie
itu," kata si nyonya, "memanglah amat perlu akan kita
berlaku hati-hati, karena ia tentu bukan orang
sembarangan, apabila ia mampu mempermainkan Lie
Cong-su sampai begitu rupa."
"Ya, itupun memang justru salah suatu hal yang
dibuat pikiran olehku," kata Lie Poan Thian sambil
menghela napas. "Orang itu mestinya jauh lebih pandai
dari pada diriku sendiri....."
Tetapi Liu Sian lalu memotong pembicaraannya.
"Bukan dia lebih pandai," katanya, "tetapi dia lebih
sebat, lebih gesit dari pada kau. Tetapi dia belum tentu
bisa lawan tendanganmu, tidak perduli dia meminjam
nama SIN-TUI dari siapa juga! Sampai pun Sin-tui Bie
sendiri, aku tidak percaya akan mampu mengalahkan
kau. Aku bukan hendak bicara secara "mengumpak",
itulah ada perkataan yang keluar dari hatiku yang tulus."
"Itu benar, itu benar," menambahkan Cin Kong Houw
dengan separuh bersorak. Setiap orang memang doyan dipuji, tetapi pujian Liu
Sian kali ini justru dianggap paling tepat oleh Lie Poan
Thian. "Aku boleh kalah sebat atau gesit dengan orang lain,"
pikirnya, "tetapi dapatkah ia memenangkan tendanganku" Dalam hal ini aku sungguh mesti membenarkan
pendapat Liu Sian ini."
Itulah sebabnya mengapa Poan Thian jadi kelihatan
adem terhadap urusan ini, walaupun di dalam hatinya ia
tetap berjanji akan mencari Sin-tui Bie tetiron itu hingga
413 dapat untuk dijajal sampai dimana ilmu kepandaiannya
yang sesungguhnya dipunyainya.
Maka setelah berdiam di Kim-leng beberapa hari
lamanya, Poan Thian lalu menyatakan pikirannya pada
Kong Houw dan Liu Sian, mengenai niatannya semula
akan menyatroni pada Ca Tiauw Cin di Ca-kee-chung itu.
Kong Houw dan Liu Sian menganjurkan, supaya
pemuda kita suka membawa kawan secara diam-diam,
apabila ia tidak suka dikawani oleh mereka dengan
secara berterang. Tetapi Poan Thian telah menolak dengan getas dan
berkata: "Cara itu malah akan memberi kesan semakin
buruk dari pada membawa kawan dengan secara
berterang. Maka turut pendapatku, paling betul kamu
tidak usah pikirkan tentang diriku. Rawatlah dirimu
sebaik-baiknya, sehingga kesehatanmu dapat pulih
kembali sebagaimana sediakala. Selanjutnya, kamu
boleh lepas orang untuk mendengar-dengar tentang
segala sepak terjangku di Ca-kee-chung. Tetapi, tidak
perduli apa aku di sana memperoleh kemenangan atau
kekalahan, aku melarang keras akan kamu turut campur
dalam urusanku ini, karena menyimpang dari pada
rencana yang kamu juga tentu pikirkan di dalam hati, aku
telah pecah antara urusanmu dan urusanku yang hendak
dilakukan ini menjadi dua soal yang terpisah sendirisendiri. Tidak saling berhubung satu sama lain, walaupun
pokoknya didasarkan atas titik yang bersamaan."
Kong Houw dan Liu Sian merasa akan sia-sia saja
untuk menanyakan keterangan lebih jauh tentang
tindakan-tindakan yang akan diambilnya terhadap pada
diri cabang atas dari desa Ca-keechung itu, maka
selanjutnya merekapun tak menanyakan apa-apa pula
selainnya memesan dengan wanti-wanti, agar supaya
414 Poan Thian suka menjaga diri dan berlaku waspada
terhadap perbuatan musuh yang telah ternyata amat
curang dan suka membokong itu.
"Jikalau orang lain bisa berbuat begitu," kata pemuda
kita, "masakah kita juga tidak mampu meneladaninya?"
"Pertempuran ini tentunya akan terjadi dengan amat
hebatnya," berbisik Liu Sian pada suaminya, ketika pada
sore itu Poan Thian kebetulan beromong-omong dengan
para piauw-su di serambi depan kantor usaha
pengangkutan Siang-hap Piauwkiok itu. "Maka buat
bantu melindungi supaya Lie Cong-su jangan sampai
dicelakai pihak musuh kita paling betul kau boleh lantas
perintah Lauw An atau Lauw Thay untuk menguntit
padanya secara diam-diam. Syukur jikalau Ca Tiauw Cin
dapat dikalahkan; tetapi jikalau urusan sampai kejadian
sebaliknya, bolehlah kau perintah supaya dia selekasnya
kembali ke sini akan mengabarkan pada kita, agar kita di
sini bisa berikhtiar bagaimana baiknya untuk melakukan
pembalasan pada orang she Ca itu."
Cin Kong Houw menyatakan mufakat dengan pikiran
isterinya itu. Lalu ia perintah salah seorang pelayannya untuk
pergi memanggil pada Lauw Thay.
Dan tatkala Lauw Thay diberitahukan apa yang ia
harus berbuat, lalu teringatlah olehnya desa Sam-li-tun,
dimana ia tahu Poan Thian bersahabat baik dengan An
Chun San, yang di suatu waktu pernah menjadi juga
penolong dari kaum keluarganya. Maka setelah hal ini ia
terangkan juga pada Kong Houw suami-isteri, sudah
tentu suami-isteri itupun jadi girang dan berkata: "Nah,
kalau begitu, apakah salahnya " jikalau ternyata
memang amat perlu " kau minta bantuan orang tua itu,
415 sementara menantikan bala bantuan dari kita di sini" Kita
bukan hendak membikin susah pada orang tua she An
itu. Juga aku melarang akan kau berbuat begitu, jikalau
keadaan masih dapat dipertahankan tanpa bantuannya."
Lauw Thay mufakat dengan omongan itu. Kemudian
ia diperintah untuk bersiap-siap akan melakukan tugas
menurut apa yang telah dirundingkan mereka tadi,
apabila nanti Poan Thian berangkat ke Ca-kee-chung.
Lauw Thay menjawab: "Baik," barulah kemudian ia
berlalu buat melakukan tugas itu dengan secara diamdiam dan di luar pengetahuannya Sin-tui Lie Poan Thian.
Maka ketika Poan Thian bermohon diri pada Cin
Kong Houw suami-isteri akan berangkat ke Ca-keechung, Lauw Thay pun dengan diam-diam lalu
membuntutinya belakangan.
Begitulah setelah melalui perjalanan beberapa hari
lamanya, akhirnya Poan Thian telah sampai di luar desa
Ca-kee-chung dan lalu mencari sebuah pondok untuk
melewati hari yang telah mulai berganti dengan malam.
Sementara Lauw Thay yang membuntuti dari
kejauhan, juga mencari sebuah pondok lain untuk
membantui dengan bergelap, apabila kiranya Poan Thian
tidak berhasil dapat mengalahkan cabang atas she Ca
itu. Di dalam pondok itu, setelah mendapat kamar dan
duduk dahar, Poan Thian lalu panggil seorang pelayan
buat ditanyakan keterangannya mengenai beberapa hal
yang bersangkut-paut dengan dirinya Ca Tiauw Cin, yang
menjadi chung-cu dari desa tersebut. Tetapi, sudah
barang tentu, ia tidak menerangkan dengan maksud apa
ia telah datang ke desa itu.
416 "Sudah lama aku mendengar namanya dia orang tua
yang begitu tersohor di kalangan Kang-ouw," Lie Poan
Thian pura-pura memuji. "tetapi belum tahu pada waktu
bagaimana ia biasa ada di rumah" Kau yang menjadi
penduduk di sini dan menjadi juga salah seorang
rakyatnya, tentulah mesti ketahui juga urusan ini,
bukan?" "Ya," sahut pelayan itu.
"Pada beberapa hari yang lalu, aku dengar ia
bepergian ke luar kota, hingga belum tahu apakah ia
sekarang sudah kembali atau belum. Tetapi belum tahu
apakah tuan kenal juga kepadanya, atau memang
sengaja datang ke sini dengan maksud untuk berkenalan
saja?" "Benar, benar," sahut Poan Thian, "maksud
kedatanganku ini memanglah semata-mata untuk belajar
kenal dengannya. Oleh karena itu, sudikah kiranya
saudara turut juga aku pergi bersama-sama ke rumah Ca
Lo-suhu akan menjumpainya.
Si pelayan menyatakan tidak berkeberatan buat
mengabulkan permintaan pemuda itu.
"Tetapi karena aku di sini memang diwajibkan untuk
menerima tetamu," katanya, "maka aku tidak bisa
mengantarkan kamu sampai di hadapan Ca Chung-cu.
Hanya asal aku sudah menunjukkan tempat
kediamannya, akupun sudah mesti buru-buru kembali
lagi ke sini, harap tuan sudi maafkan sebesar-besarnya."
"Ya, begitupun boleh," kata Lie Poan Thian yang lalu
minta disediakan air masak untuk mencuci muka dan
membersihkan badan. Pelayan itu menjawab: "Baik," sambil kemudian
417 berlalu untuk melayani segala keperluan tetamunya itu.
Dan tatkala selesai dahar dan membersihkan badan,
Poan Thian lalu ajak pelayan itu pergi berkunjung ke
rumahnya Ca Tiauw Cin. "Ca Chung-cu ini apakah orangnya berhati budiman?"
begitulah sambil berjalan Poan Thian coba menyelidiki
tentang dirinya orang she Ca itu dari mulut pelayan
tersebut. "Tentang itu aku kurang terang," katanya. ,,tetapi aku
tahu betul bahwa ia itu ada seorang yang mempunyai
banyak sekali kawan-kawan yang paham ilmu silat.
Sedangkan dia sendiri " menurut kabar yang aku dapat
dengar di luaran " adalah seorang ahli silat yang paham
ilmu Thiat-see-ciu. Tidak perduli batu atau besi yang
bagaimana keras juga, jikalau digenggam dan diremes
dalam telapak tangannya, niscaya akan hancur menjadi
tepung. Demikianlah menurut cerita orang, tetapi belum
tahu apakah itu benar atau cuma berarti suatu "umpakan"
saja terhadap Ca Chung-cu, yang memang umumnya
amat gila hormat dan tidak suka orang berlaku sedikit
saja kurang menghormati terhadap pada dirinya."
Mendengar keterangan begitu, Poan Thian jadi
tersenyum adem. "Patutlah lagaknya begitu congkak terhadap Kong
Houw," pikirnya di dalam hati, "tidak tahunya dia
mempunyai banyak "simpanan" yang berupa tukang
kepruk di dalam rumahnya. Tunggulah. aku nanti kasih
ajaran yang akan membikin dia kapok buat berlaku
congkak pula, karena mengandal tenaga banyak orang!"
"Tetapi belum tahu apakah Ca Chung-cu ini suka
menerima juga ahli-ahli silat yang datang dari tempattempat lain untuk menumpang tinggal atau minta bekerja
418 di bawah perintahnya?" Poan Thian mencari tahu tentang
keadaan pihak bakal lawannya dengan jalan
menanyakan pada pelayan itu, yang ternyata mengetahui
banyak juga tentang dirinya cabang atas she Ca itu.
"Dahulu memang ia suka juga menerimanya," kata
pelayan itu, "malahan beberapa orang sebawahannya ia
telah sengaja datangkan dari tempat-tempat lain, antara
mana ada seorang yang terkenal dengan nama sebutan
Hek-houw-lie Cian Cong, yang sehingga sekarang masih
berdiam di desa ini, yang kabarnya dipekerjakan oleh Ca
Chung-cu sebagai seorang penasehatnya. Orang ini
amat jahat dan terlalu dibenci oleh penduduk desa ini.
Tetapi karena ia selalu dikeloni oleh Ca Chung-cu, maka
penduduk di sini tidak bisa mengusirnya, lain perkara
jikalau hal ini disetujui oleh Ca Chung-cu sendiri. Kita
anak negeri yang lemah memang harus selalu mengalah
pada segala bebodor. Tidak perduli kita diperlakukan
bagaimana, kita harus terima dan telan itu semua tanpa
berani memprotes apa-apa. Itulah caranya tuan tanah
mengunjuk sepak terjangnya di desa Ca-kee-chung ini!"
Poan Thian jadi menghela napas, sedang di dalam
hatinya ia menyomel: "Kurang ajar!" Kemudian ia pasang
telinganya mendengari terus sesuatu penuturan si
pelayan itu. "Apakah barangkali Ca Chung-cu ini ada seorang
yang suka memeras pada anak rakyatnya?"
Si pelayan itu lalu menggelengkan kepalanya.
"Tentang itu aku sama sekali belum pernah dengar,"
katanya. "Orang tua ini memang bertabeat agak luar
biasa. Di waktu dia berlaku keras, dia sering seperti juga
kerangsokan iblis, jikalau dia berlaku lemah, dia sering
seperti juga buta dalam hal mengeloni pihak-pihak yang
419 dicintainya. Maka dari itu, tidaklah heran kalau orangorang semacam Hek-houw Lie Cian Cong yang begitu
licin dan likiat bisa pentang pengaruhnya dan mengadu
biru ke sana-sini, dengan semua penyesalan orang
timpakan di atas bahu Chungcu-ya seorang. Maka kalau
hal ini kita pikirkan secara teliti, bukan saja perkara itu
amat tidak adil, tetapi juga kita telah berlaku membuta
dalam soal mempersalahkan orang yang sama sekali
tidak campur dalam urusan orang lain, yang ia sendiri
sama sekali tidak tahu-menahu sebab-musababnya,
bukan?"

Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, itulah memang sudah sepantasnya," kata Lie
Poan Thian. "apabila orang timpakan kesalahan itu ke
atas bahunya Ca Chung-cu sendiri. Karena dia yang
seolah-olah bertanggungjawab atas segala urusan yang
telah diperbuat oleh orang-orangnya, cara bagaimanakah
bisa terlolos dari segala penyesalan serupa itu, yang
memang ia harus terima sebagai risiko dari perbuatannya
yang terlalu mengeloni pada gundal-gundalnya sendiri?"
Si pelayan itu mendadak jadi bungkem, ketika
mendengar penyahutan pemuda kita yang agak keras
itu, hingga selanjutnya ia tidak berani berkata apa-apa
pula, jikalau Poan Thian tidak menanyakan sesuatu
kepadanya. Begitulah setelah berjalan beberapa lamanya,
akhirnya sampailah mereka ke muka sebuah gerbang
yang dijaga oleh beberapa orang pengawal, yang hampir
rata-rata bertubuh tinggi besar dan menyoren pedang di
masing-masing pinggangnya.
"Inilah pintu gerbang dari mana tuan bisa minta
permisi akan berjumpa pada Ca Chung-cu," kata si
pelayan. "dengan begitu, selanjutnya aku persilahkan
supaya tuan sendiri saja yang berurusan dengan para
420 pengawal itu. Aku tak dapat mengantar tuan terlebih jauh
pula." "Ya," sahut Poan Thian, sambil meminta terima kasih
dan memberikannya sedikit uang sebagai persenannya.
Kemudian ia menghampiri pada para pengawal itu
sambil memberi hormat dan bertanya: "Tuan-tuan, aku
mohon tanya, apakan hari ini Ca Lo-suhu ada di rumah?"
"Kau ini siapa" Asal dari mana" Dan ada keperluan
apa dengan induk semang kami?" balas menanyakan
salah seorang pengawal itu, setelah beberapa saat
lamanya ia mengawaskan dengan teliti kepada pemuda
kita. "Aku bernama Lie Kok Ciang," sahut Poan Thian
dengan terus terang, "asal orang Cee-lam dalam propinsi
Shoa-tang." Tetapi si pengawal lalu memotong omongan orang
sambil menegaskan, katanya: "Tuan, apakah kau ini
bukan Lie Kok Ciang yang terkenal dengan nama alias
Poan Thian dan bergelar Sin-tui?"
"Ya, benar," sahut Lie Poan Thian. "memang nama
alias dan gelaranku yang rendah."
Si pengawal lalu membungkukkan badannya sambil
memberi hormat dan berkata: "Selamat datang Lie-toako,
induk semang kami memang sudah lama mengharapharap tentang kedatanganmu ini. Ia sangat kagumi
padamu dan telah mencari padamu beberapa lamanya
untuk belajar kenal."
"Tetapi belum tahu apakah Ca Lo-suhu sekarang ada
di rumah atau tidak?" menanya Lie Poan Thian sambil
mengunjukkan roman girang yang dibuat-buat.
"Kemarin malam ia memang ada di rumah," kata si
421 pengawal. "tetapi entahlah apa hari ini ia keluar
bepergian atau tidak. Dan jikalau Lie-toako sudi
menunggu di sini beberapa saat lamanya, aku boleh
coba tengok ke dalam untuk mendapat kepastian,
apakah sesungguhnya ia ada di rumah atau tidak."
"Ya, jikalau Lauw-hia sudi mencapaikan hati buat
pergi melaporkan pada ia orang tua tentang
kedatanganku ini," kata Lie Poan Thian dengan suara
merendah, "sudah barang tentu aku merasa girang dan
berterima kasih atas kebaikanmu. itu."
Kemudian Poan Thian menantikan di situ beberapa
lamanya barulah pengawal tadi kelihatan muncul dan
berkata: "Lie-toako, sangat menyesal, hari ini Ca Chungcu telah keburu keluar, berhubung ada sesuatu urusan
penting yang perlu sekali segera dibereskan pada hari ini
juga. Tetapi pada orang-orang kepercayaannya di sana
aku telah memberitahukan tentang kedatanganmu ini,
agar supaya nanti bisa disampaikan pada Ca Chung-cu,
jikalau ia kembali sebentar lohor atau di hari esok. Maka
buat membikin kunjunganmu tidak sampai tersia-sia,
hendaknya Lie-toako kembali ke sini di hari esok saja
kira-kira di waktu magrib."
"Ya, baiklah," kata Lie Poan Thian sambil memberi
hormat dan berlalu, tetapi di dalam hatinya diam-diam ia
menggerutu: "Kurang ajar! Dia kira aku boleh dikelabui
dengan segala omongan yang tidak masuk diakal"
Tunggulah, apa yang nanti "kuketemukan" dalam
penyelidikanku sebentar malam."
Dari situ Poan Thian tidak kembali lagi ke tempat
penginapannya, hanyalah segera mencari sebuah kedai
buat duduk menantikan sampai hari sudah terganti
dengan malam, kemudian barulah ia akan kembali ke
desa Ca-kee-chung, untuk melakukan penyelidikan dan
422 pengintaian atas diri Ca Tiauw Cin, yang ia percaya tidak
pergi ke mana-mana, tetapi sedang bersiap-siap untuk
,,menyambut" kedatangannya.
Karena jikalau pengawalnya telah dapat mengenali
dirinya, apakah itu bukan berarti bahwa orang she Ca
itupun memang sudah "mengendus" tentang maksud
kedatangannya ini" Dugaan ini memang belum tentu cocok dengan
anggapannya sendiri, tetapi gerak-gerik si pengawal itu
telah menimbulkan kesan apa-apa bagi pirasat pemuda
kita ini. Maka sesudah hari terganti dengan malam, Poan
Thian lalu kembali ke Ca-kee-chung dan masuk dengan
diam-diam ke gedung Ca Tiauw Cin dengan melompat
pagar tembok yang agak tinggi dan tidak terjaga.
Seperti juga seekor kucing yang hendak menerkam
mangsanya, Poan Thian merayap dari atas pagar tembok
itu dan terus berlompat ke atas wuwungan rumah, yang
ia sebenarnya kurang tahu, apakah Ca Tiauw Cin
berdiam di situ atau di-gedung-gedung lain, yang
memangnya banyak terdapat dalam halaman yang
dikitari dinding-dinding tembok yang tinggi dan mustahil
akan dapat dipanjat, jikalau bukannya oleh orang-orang
yang pandai ilmu silat dan dapat berlompat tinggi.
Tetapi maksud itu kelihatannya agak sukar berhasil,
karena Poan Thian yang melakukan penyelidikan pada
sebelum mengetahui betul seluk-beluk keadaan tempat
itu. Tentu saja bukan perkara yang mudah, akan mencari
Ca Tiauw Cin yang memangnya ia belum pernah kenal
sama sekali! Maka sesudah mendusin atas kesemberonoannya,
buru-buru ia kembali ke arah pagar tembok tadi, lompat
423 turun dan terus kembali ke kedai tadi, dimana ia berniat
akan mencari keterangan-keterangan yang perlu pada
sebelum menyatroni pula sarangnya cabang atas she Ca
itu. Tetapi, di luar sangkaannya, pelayan kedai yang
telah melayani padanya tadi, telah menyodorkan
padanya sepucuk surat yang tertutup sambil
menanyakan: "Tuan, apakah tuan ini bukan Lie Poan
Thian yang berasal dari Cee-lam dalam propinsi Shoatang?"
"Ya, benar," sahut pemuda kita dengan rupa heran.
"Barusan ada seorang muda yang minta aku
sampaikan surat ini kepadamu," kata pelayan itu.
Dan tatkala Poan Thian membuka sampulnya dan
membaca bunyinya surat itu, ia jadi sangat terperanjat
dan menyebut "Aya!" dengan hampir tak terasa pula.
"Inilah kembali suratnya Sin-tui Bie tetiron itu!"
katanya dengan hati berdebar-debar.
Bunyi surat itu tidak begitu panjang seperti apa yang
pertama ia terima di kelenteng rusak pada beberapa
waktu yang lampau, tetapi bermaksud cukup keras buat
membikin Poan Thian mendongkol bukan buatan!
Lie Poan Thian Sampai kapankah kita bisa bertemu buat
menentukan siapa di antara kita berdua yang berhak
memakai gelaran SIN-TUI itu"
Aku tunggu kedatanganmu di kelenteng Ceng-hiekoan di kota Kim-leng.
Tertanda aku, SIN-TUI BIE.
Poan Thian jadi gemetaran karena menahan 424 amarahnya. "Jikalau manusia ini aku belum putar batang lehernya
sehingga tidak mampu berkutik lagi," katanya. "belumlah
puas rasa hatiku. Aku nanti kembali ke Ceng-hie-koan
setelah aku selesai berhitungan dengan si jahanam she
Ca ini. Tunggulah giliranmu dalam tempo tidak berapa
lama lagi!" Sesudah berkata begitu, lalu ia berniat akan
merobek-robek surat tantangan itu. Tetapi, setelah ia
mendapat pikiran bahwa surat itu bisa dipergunakan
sebagai bukti dimana ia perlu, maka ia lantas urungkan
niatannya dan lalu masukkan surat itu ke dalam saku
bajunya. Kemudian ia panggil pelayan tadi yang lalu diminta
keterangannya mengenai orang muda yang memberikan
surat untuk disampaikan kepadanya itu.
"Orang itu rupanya belum cukup berusia duapuluh
tahun," kata pelayan itu. "Ia menyoren pedang dan
memakai baju biru." "Akur!" Poan Thian berkata di dalam hatinya. Karena
lukisan itu agak cocok dengan apa yang dahulu ia
pernah dengar dari pemilik kedai di sebuah desa yang
dilewatinya dalam perjalanan ke kota Kim-leng. "Apakah
kau tidak coba menanyakan padanya," tanyanya pula.
"dia itu orang dari mana?"
"Dia itu orang dari mana," sahut pelayan itu. "itulah
sama sekali tidak pernah kutanyakan. Tetapi dia itu
memang sering datang ke sini, juga tidak jarang aku
menjumpainya di pasar atau di kantor-kantor usaha
pengangkutan di dalam kota."
Poan Thian mengangguk-angguk sambil berpikir di
425 dalam hatinya. "Apakah barangkali dia menjadi juga salah seorang
gundalnya jahanam she Ca itu?" pikirnya. "Cobalah hal
ini aku selidiki sedikit demi sedikit dari keterangan si
pelayan ini." "Orang itu," kata pemuda kita kemudian. "apakah kau
pernah juga lihat berkunjung ke tempat kediamannya Ca
Chung-cu di sini?" Si pelayan lalu menggelengkan kepalanya.
"Tidak," sahutnya. "Itu belum pernah aku ketahui."
"Apakah kau tidak pernah dengar " di waktu kawankawannya berbicara " sebutan apa yang orang biasa
pergunakan untuk memanggil kepadanya?" Poan Thian
coba menanyakan terlebih jauh pula.
"Ya," sahut si pelayan. "Mereka sering bahasakan
orang muda itu dengan sebutan Bie-sutee, tetapi aku
tidak tahu siapa nama aslinya."
"Siapa" Bie-sutee" Apakah antaranya ada juga orang
yang mengatakan Sin-tui Bie?" menanya Poan Thian
dengan rupa bernapsu. "Ya, benar," kata pelayan itu sambil tertawa. "Apakah
dia itu bukan sahabat tuan juga?"
"Benar," kata Lie Poan Thian yang juga berpura-pura
tertawa, walaupun hatinya panas bagaikan dibakar oleh
api yang tidak kelihatan. "Apakah ia tidak mengatakan
bilamana ia dapat kembali lagi ke sini?"
"Tidak. Tetapi mungkin juga ia bisa kembali dalam
tempo tidak berapa lama lagi," sahut si pelayan.
"Kalau begitu," kata Lie Poan Thian akhirnya,
"apakah boleh kau tolong sampaikan kepadanya, bahwa
426 aku akan kembali lagi ke sini pada hari esok selewatnya
lohor" Katakanlah padanya, bahwa aku ada omongan
sangat penting yang hendak disampaikan kepadanya."
Si pelayan berjanji akan berbuat begitu.
Dalam pada itu, Lie Poan Thian yang melihat ada
suatu jalan untuk mencari tahu bagaimana raut mukanya
Sin-tui Bie itu dengan pertolongan si pelayan ini, lalu
keluarkan sedikit uang yang segera diberikan pada si
pelayan tersebut sebagai "persekot" atas pertolongannya
yang akan datang itu. 4.27. Pelayan Penipu Buka Kartu
"Jangan salah," ia memesan lebih jauh. "Katakanlah
bahwa aku sangat perlu akan dapat menjumpainya di
sini." "Ya, baiklah, tuan," kata si pelayan dengan wajah
berseri-seri. Tatkala itu karena sang waktu sudah tidak
mengizinkan pula akan ia kembali ke Ca-kee-chung,
maka apa boleh buat Poan Thian lalu pulang ke tempat
penginapannya, sambil di dalam hatinya berjanji akan
menempur Ca Tiauw Cin dan Sin-tui Bie dengan
sekaligus di hari esok juga.
Hanya hal apa yang telah membikin ia agak raguragu adalah ini:
Apakah di dalam dunia ini bisa ada dua orang yang
mempunyai gelaran dan she yang bersamaan seperti
Sin-tui Bie itu, dengan Sin-tui Bie alias Tie Hwie Taysu
dari kelenteng Ceng-hie-koan itu"
Kalau kejadian itu memang sesungguhnya ada suatu
427 hal yang kebetulan, memanglah kedua-duanya orang
itupun tidak bisa dipersalahkan. Tetapi jikalau Sin-tui Bie
yang lebih muda itu ternyata ada Sin-tui Bie tetiron, ia
benar-benar ingin bertanya: Perlu apakah ia memakai
nama dan/atau gelaran orang lain, sedangkan orang


Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan Karya Hong San Khek di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang menjadi pemilik gelaran aslinya masih segar bugar
di kolong langit ini"
Tetapi semua ini sukar dijawab atau dijelaskan pada
sebelum urusan ini dapat dibikin terang. hingga Poan
Thian pikir lebih baik tunggu apa yang akan terjadi, dari
pada memutar otak buat menerka dari di muka hal apa
yang akan terjadi berikutnya.
Demikianlah ia menuju ke tempat penginapannya
dengan tidak banyak memikirkan pula segala hal yang
tidak-tidak. Tidak kira selagi enak berjalan, mendadak di suatu
tempat yang terpisah kira-kira beberapa puluh tindak
jauhnya dari tepi jalan, ia melihat dua orang yang sedang
bertempur dengan amat hebatnya.
Tetapi karena keadaan di situ amat gelap, maka
Poan Thian tidak dapat mengenali apakah kedua pihak
yang sedang bertempur itu ada orang-orang muda atau
orang-orang yang usianya sudah lanjut. Karena di
kalangan orang-orang yang paham ilmu silat, perbedaan
usia bukan menjadi ukuran bagi gesit/ayalnya atau
tangkas/lemahnya seseorang. Maka itu, tidak mudah
akan mengenali usia seseorang selagi orang-orang itu
bertempur di tempat gelap.
Maka Poan Thian yang juga tidak tahu yang mana
pihak lawan atau kawan, sudah tentu saja tidak tahu
mesti berbuat bagaimana di saat itu.
Tetapi ketika pikiran tentang persaudaraan teringat di
428 dalam hatinya, buru-buru ia berlompat ke dalam
kalangan pertempuran sambil berseru: "Ji-wie Ho-han,
haraplah supaya kamu berhenti dahulu dan janganlah
bertempur satu sama lain jikalau masih ada jalan untuk
saling mengalah!" Tetapi sebegitu lekas pemuda kita terdengar berseru,
salah seorang yang sedang bertempur itu lantas
menyahuti: "Lie-toako! Jangan kasih lari manusia yang
pandai mengacau ini?"
Poan Thian jadi terperanjat tempo mendengar ada
orang yang mengenali dirinya.
Tetapi pada sebelum ia membuka mulut akan
menanyakan, mendadak orang itu terdengar berteriak
dan segera roboh oleh karena kena terpukul atau dilukai
oleh pihak musuhnya. Sementara Poan Thian yang menyangka bahwa
orang yang memanggil itu adalah kawannya sendiri,
buru-buru ia berlompat ke tengah kalangan pertempuran
untuk mencegat orang yang telah merobohkan orang
yang pertama memanggil dan rupanya kenal pada dirinya
itu. "Tunggu dahulu, sahabat!" Poan Thian berseru
sambil berkelit dari pukulan yang dijujukan orang itu
kepadanya. "Aku sungguh ingin tahu apa yang telah
menjadi sebab-musabab dari pertempuran ini."
Dalam pada itu Poan Thian yang memang bukan
bermaksud akan bertempur dengan orang yang ia tidak
kenal itu, lalu berkelit kian-kemari dengan sama sekali
tidak mencoba buat membalas.
Dan tatkala orang itu melihat sesuatu pukulannya
telah jatuh di tempat kosong, dengan lantas ia ketahui,
429 bahwa Lie Poan Thian ini bukan tandingan yang terlalu
empuk, hingga setelah beberapa tendangan yang
dipergunakannyapun tidak ada satu yang mengenai
dirinya sang lawan, maka orang itupun lalu berlompat
keluar kalangan pertempuran dan menghilang di antara
kegelapan. Poan Thian yang merasa lebih perlu menolong orang
yang telah dirobohkan tadi, tentu saja tidak ada pikiran
untuk mengejar pada sang lawan yang kabur itu. Tidak
tahunya, ketika ia menghampiri dan mengangkat bangun
orang yang jatuh tadi, mendadak ia jadi kaget dan
Naga Pembunuh 13 Ksatria Negeri Salju Karya Sujoko Misteri Bayangan Setan 11
^