Pencarian

Suling Pualam Rajawali Terbang 1

Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An Bagian 1


SULING PUALAM DAN RAJAWALI
TERBANG Di bagian tengah propinsi Kam-siok,
ada sebuah gunung Liok-phoa-san.
Jalanan yang berliku-liku di gunung
ini, merupakan sebuah jalan yang
menghubungkan propinsi Shiam-say
dengan propinsi Kam-siok. Tidak jauh
dari jalan ini, ada sebuah perkampungan, yang letaknya di
tengah-tengah gunung, sehingga
kelihatannya angker sekali.
Perkampungan ini tidak banyak bangunannya, hanya ada
beberapa puluh keluarga saja. Di bagian luar perkampungan
ditanami banyak pohon Yang-liu, di atas pintu gerbang terdapat
empat huruf besar-besar yang bunyinya
"Bing Hong San Chung".
Penduduk perkampungan ini bukannya kaum sasterawan atau
petani, sebaliknya adalah beberapa orang gagah yang pernah
menggetarkan dunia Kang-ouw pada masa itu. Mereka sejak
mengasingkan diri di perkampungan ini, tidak pernah campur
urusan dunia Kang-ouw lagi, melainkan menuntut penghidupan
yang tenteram dan damai. Tapi siapa nyana bahwa
perkampungan yang tenteram dan damai ini, dalam beberapa
hari saja telah berubah menjadi medan pertempuran, malahan
1 mengakibatkan pergolakan hebat dalam dunia Kang-ouw di
kemudian harinya. Orang gagah yang hidup mencil dalam perkampungan itu adalah
tiga bersaudara Cu Kang, Kim Hay dan Kim Som. Mereka ada
murid-murid dari Siau-siang Tay-hiap Siang Koan Hoa. Di antara
mereka bertiga, yang tertua adalah Kim Hay, kedua Cu Kang,
dan paling muda adalah Kim Som. Setelah Siang Koan Hoa
wafat, ketiga saudara dalam seperguruan itu lalu melanjutkan.
tindakan gurunya, di dalam dunia Kang-ouw telah mendapat
nama harum. Kim Hay gelarnya "si pendekar berjenggot", Cu Kang "telapakan
besi" tapi yang paling cerdik dan paling tinggi ilmu silatnya
adalah Kim Som, hingga mendapat gelar Kun-lun Siau-cu-kat.
Kim Hay tidak beristeri, Cu Kang beristerikan gadisnya Siang
Koan Hoa, ialah Siang Koan Hwie, mereka cuma mempunyai
seorang puteri, yang diberi nama Ling Cie. Dalam usia tujuh
tahun, Ling Cie telah diambil murid oleh Ceng Jie Sin-nie dari
Ceng-shia. Isteri Kim Som adalah Lie Hun Cu, yang di dalam kalangan
Kang-ouw terkenal dengan julukannya "Dewi tangan ganas".
Mereka cuma mendapat satu putera, yang diberi nama Kim Tan.
Sejak kecil Kim Tan sudah kelihatan sangat pintar, maka orang
tua atau paman-pamannya pada sangat suka ingin memberi
didikan ilmu silat sebaik-baiknya.
Kim Som suami-isteri dalam kalangan Kang-ouw belum pernah
menemukan tandingan, sehingga pada sepuluh tahun yang lalu,
2 mereka telah kena dibokong oleh musuh-musuhnya di Tay-san.
Jika tidak keburu ditolong oleh Sam Hie To-tiang, mungkin
mereka akan celaka. Dan atas anjuran Sam Hie To-tiang, tiga
saudara itu lantas meninggalkan dunia Kang-ouw, mereka
pindah dari Sam-siang, akhirnya menetap di pegunungan Liokphoa-san.
Isteri Cu Kang, Siang Koan Hwie, pindah ke Liok-phoa-san baru
empat tahun, mendadak mendapat penyakit rematik, separoh
badannya tidak bisa bergerak, adatnya pun agak berubah, tidak
suka dengan suara ribut-ribut. Oleh karenanya, maka oleh Kim
Som dan Kim Hay telah dibuatkan sebuah rumah lagi, yang
letaknya hanya beberapa pal saja dari Bing Hong San-chung,
untuk Siang Koan Hwie dan suaminya tinggal. Dua tahun
kemudian, ketika Ceng Jie Sin-nie membawa Ling Cie datang
menyambangi, pernah memberi obat kepada Siang Koan Hwie,
sebetulnya sudah akan sembuh, tapi karena kesalahan makan,
penyakitnya kambuh kembali.
Pada satu hari, Kim Hay, Kim Som dan Lie Hun Cu, sedang
melatih Kim Tan di pekarangan.
Cu Kang datang sambil tertawa ia berkata: "Semalam aku
mendapat impian yang sangat aneh, ada seekor harimau yang
gigi dan kukunya telah terlepas dari pohon-pohon Yang-liu di
sekitar Bing Hong San-chung ini, kecuali sebatang yang masih
tetap subur, yang lain-lainnya pada rontok. Ketika aku terjaga,
terdengar kentongan berbunyi tiga kali. Menurut ramalan
Ensomu, mungkin akan timbul malapetaka, maka ia perintah aku
pagi-pagi kemari, untuk memberitahukan kepada kamu, supaya
3 lekas siap sedia menjaga segala kemungkinan. Meski aku
sendiri kurang percaya, tapi aku tidak ingin membuat ia kurang
senang." Sebelum Kim Som memberi jawaban, Lie Hun Cu mendahului:
"Sudah lama berdiam di pegunungan ini, aku pun sedang pikirpikir mau bergerak, harap saja ramalan Enso ini jitu, baik juga
untuk mencoba-coba ilmu silatku yang sudah sepuluh tahun
tidak dipergunakan." Sehabis berkata, sebelah tangannya
diangkat, telapaknya diayunkan ke arah sebuah patokan kayu
yang jauhnya tiga atau empat langkah kaki, dengan dibarengi
suara "crak" patokan kayu itu terbelah.
Kim Som berkata sambil kerutkan alisnya: "Adik Cu mengapa
adatnya masih seperti dulu-dulu. Harap Ji-ko sampaikan kepada
Enso, Siau-tee dalam beberapa hari ini pun agak kurang
tenteram, di gunung ini mungkin akan terjadi apa-apa, tapi kita
bertiga saudara juga bukannya bangsa lemah, perbuatan kita
juga tidak ada yang melanggar hati nurani kita. Jika betul-betul
akan terjadi apa-apa sebaiknya kita berjaga-jaga, hanya Ji-ko
yang tinggal agak memisah dengan kita, Siau-tee merasa sangat
kuatir!" Cu Kang tertawa: "Aku sebetulnya tidak percaya segala omong
kosong dari Ensomu, tapi jika Siau-cu-kat sendiri juga
beranggapan demikian, mungkin ada mempunyai alasan yang
kuat. Bagi aku sendiri, kamu tidak perlu kuatir. Telapak besi dan
senjata rahasiaku masih belum puntul, sekalipun Ensomu tidak
bisa turun dari tempat tidurnya, tapi rasanya juga bukan
sembarang orang bisa mendekati. Lagi pula, di kalangan Kang4
ouw ada berapa orang yang berani melanggar kita" Hanya Kim
Tan, aku pikir dalam berapa hari ini jangan dibiarkan pergi jauhjauh."
Tiga hari telah berlalu dengan tenang. Tiga jago Siau-siang itu
semua mengira hanya impian belaka, hingga penjagaan agak
kendor. Hari itu, sudah dekat perayaan Tiong-chiu. Semua orang
dalam perkampungan itu sedang repot membuat kueh Tiongchiu, sedang Kim Tan, karena dilarang keluar oleh orang tuanya,
maka siang-siang sudah masuk tidur.
Kedua saudara Kim sedang main catur di bawah jendela.
Beberapa saat kemudian, Kim Hay merasa agak kalut
pikirannya, tidak dapat meneruskan permainannya, dan
mengajak Kim Som jalan-jalan di luar pekarangan rumah. Lie
Hun Cu setelah menyelesaikan pekerjaan dapur, lantas
membaca buku di dalam kamar menunggu suaminya.
Mendadak terdengar suara orang lompat dari tembok
pekarangan. Hun Cu kaget, ia melemparkan bukunya dan
mendengarkan lebih jauh, tapi ternyata itu ada suara tindakan
kaki suaminya, hanya rasanya agak tergesa-gesa. Ia menduga
ada terjadi sesuatu, dan betul saja, sebentar kemudian Kim Som
telah muncul dihadapannya dengan wajah luar biasa.
Belum sempat Lie Hun Cu membuka mulutnya, sudah didahului
oleh suara sang suami: "Dimana adanya Tan-ji sekarang?"
5 Lie Hun Cu bingung menghadapi sikap suaminya ini, ia cuma
bisa menjawab: "Dia sedang tidur, dan apakah sebenarnya yang
telah terjadi" Dimana Toa-ko sekarang?"
Kim Som tahu anaknya tidak kurang suatu apa, hatinya agak
lega, tapi air matanya segera bercucuran, sambil mengelah
napas ia menuturkan kejadian-kejadian yang menimpah
saudara-saudaranya. Malam itu, menurut kehendak Kim Hay, berdua saudara itu
berjalan-jalan di muka pekarangan, tanpa dirasa, mereka sudah
sampai dekat kediamannya Cu Kang. Mendadak Kim Hay
melihat sebuah bayangan orang berkelebat di dekat rumah Cu
Kang, segera berkata kepada Kim Som: "Kediaman Jie-tee,
rupa-rupanya ada orang jahat yang datang menyatroni, marilah
kita pergi menolong."
Tidak menunggu jawaban adiknya, Kim Hay lantas melompat
dari batu gunung. Kim Som hanya merasakan mendesirnya
angin gunung, cahaya rembulan karena tertutup awan, keadaan
berubah menjadi remang-remang. Ia juga sudah melihat
bayangan orang itu, tapi karena tempat berdirinya berlainan arah
dengan Kim Hay, hanya terlihat seolah-olah ada dua bayangan
yang saling kejar di dekat kediaman Cu Kang.
Ketika mendengar perkataan kakaknya, ia juga segera lari
memburu, tapi karena terpisah dengan Kim Hay beberapa
langkah jauhnya, hingga tidak dapat mengejar jejaknya. Dan
siapa nyana, bahwa terpaut beberapa langkah ini, telah
membawa akibat hebat bagi tiga jago Liok-phoa-san itu.
6 Kim Hay yang tiba lebih dulu, dapat lihat satu bayangan orang
meloncat dari loteng rumah Cu Kang, sekejap saja bayangan itu
sudah lenyap, dan ternyata tidak ada orang yang mengejar. Ia
menduga pasti telah terjadi apa-apa atas diri Cu Kang, maka
tanpa pikir panjang lagi, dengan menggunakan ilmu
mengentengi tubuh, ia melompat ke atas loteng.
Dan, selagi tubuhnya Kim Hay masih di tengah udara terbuka,
dari loteng kembali meloncat satu bayangan orang yang sangat
pesat, karena cuaca gelap satu sama lain tidak dapat mengenali,
dan selagi dua bayangan saling beradu, orang dari loteng itu
mengangkat tangan kanannya, menyusul mana terlihat enam
buah benda berkeredepan menyamber ke arah dirinya.
Kim Hay tahu benda itu adalah senjata rahasia yang berupa
paku, tapi karena badannya di udara dan jaraknya sangat dekat
sekali, ia merasa susah mengelak, maka tidak ayal lagi, ia telah
kerahkan seluruh tenaganya di telapakan tangannya, dan
ditujukan ke arah dada penyerang tadi.
Bayangan yang menyerang dengan senjata rahasia tadi segera
dapat mengenali suara dan cara pukulannya Kim Hay, tapi
sudah tidak keburu menarik kembali senjata rahasianya, maka
sesaat kemudian, dua bayangan rubuh berbareng di atas tanah.
Di saat itu pula, Kim Som pun tiba di tempat kejadian itu.
Kim Som yang ketinggalan beberapa langkah dari Kim Hay,
maka dapat melihat dengan tegas bahwa bayangan yang lompat
belakangan dari atas loteng itu adalah Cu Kang.
7 Tapi ia tidak mengira sama sekali bahwa saudara seperguruan
itu telah menggunakan senjata rahasia yang sangat liehay,
hingga ketika ia tiba di tempat kejadian itu hanya dapat
menyaksikan pemandangan yang sangat mengerikan. Kim Hay
mukanya, dadanya dan sebagian badannya tertembus senjata
rahasia paku itu, dan mati seketika itu juga. Cu Kang di mulut
dan hidungnya mengeluarkan banyak darah, mukanya sangat
pucat. Menyaksikan kejadian yang sangat tragis itu, Kim Som sekujur
badannya dirasakan lemas, ia berdiri gemetar dan air matanya
mengalir bercucuran, sepatah katapun tidak dapat diucapkan.
Cu Kang membuka sepasang matanya, dengan suara lemah ia
berkata: "Sam-tee, kita bertiga saudara, belum pernah berbuat
apa-apa yang bertentangan dengan liang-sim. Siapa nyana hari
ini telah mengalami nasib yang kejam serupa ini, aku telah
berdosa membikin Toa-ko mati di tanganku, kematianku tidak
cukup untuk menebus dosaku ini, tapi sebelum ajalku tiba,
baiklah aku jelaskan kepadamu segala kejadian tadi."
Pada malam yang naas bagi jago Liok-phoa-san itu, Cu Kang
suami-isteri siang-siang sudah masuk tidur. Dalam keadaan
layap-layap, Cu Kang seperti mendengar suara tiupan benda
yang aneh, ia segera membanguni isterinya, serta memesan
supaya siap sedia. Ia sendiri setelah dandan ringkas, lalu
meloncat ke atas loteng, di atas loteng yang sangat tinggi itu ia
mengintai keluar pekarangan. Mendadak dapat melihat
berkelebatnya satu bayangan orang di sela-sela pepohonan,
8 tidak ayal lagi ia segera meloncat dan menubruk ke arah
bayangan itu. Tapi bayangan itu ternyata lebih sebat, sebelum Cu Kang dapat
mencandak dirinya, sudah melesat ke udara untuk melarikan
diri. Cu Kang, terus mengejar, sekejap saja, dua bayangan itu
lalu saling kejar, jauh di luar pekarangan, bayangan itu sudah
menyelusup dalam rimba dan lenyap dari pemandangan.
Dalam mendongkolnya, Cu Kang mendadak sadar bahwa ia
sudah terpancing oleh musuh. Ia segera kuatirkan isterinya,
meski Siang Koan Hwie cukup tinggi ilmu silatnya, tapi
bagaimana pun juga, karena badannya tidak bisa bergerak,
sudah tentu sukar sekali untuk mengadakan perlawanan.
Mengingat demikian, ia segera, lari kembali, setelah tiba di
kamar isterinya, ia menjadi kesima, seketika itu hatinya
dirasakan remuk redam. Di atas lantai ada menggeletak satu tubuh yang sudah jadi
mayat, di samping tubuhnya ada satu bumbung yang terbikin
dari kuningan, ternyata itu ada salah satu senjata rahasia yang
ampuh, tidak kalah dengan senjata rahasianya yang berupa
paku. Waktu menengok isterinya, ia lihat sang isteri duduk
menyender di tempat tidurnya, sebilah senjata tajam yang
menyerupai panah tangan bengkok telah menancap di
badannya, mukanya pucat laksana mayat.
Isteri itu menggapaikan tangannya, dengan suara sangat lemah
ia berkata: "Tadi kau telah tertipu oleh musuhmu, setelah kau
keluar rumah, jahanam itu lalu menerobos masuk. Untung selagi
9 hendak melepas senjata rahasianya kepadaku, aku sudah
mendahului dengan ilmu pukulanku serangan menembus udara,
hingga mati seketika itu juga. Siapa tahu di luar jendela masih
ada kawannya. Selagi aku menyerang jahanam itu, kawannya
tadi telah menyerang aku dengan senjata rahasia beracun.
"Sekarang aku merasa sudah tak ada harapan hidup, mungkin
ini ada lebih baik daripada menderita penyakit yang sudah tidak
bisa sembuh. Hanya dirinya Ling Cie saja supaya kau suka
menjaga sebaik-baiknya, dan lekaslah pindah ke Bing Hong
San-chung, bersama-sama Toa-ko dan Sam-tee balaskan sakit


Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatiku ini." Ia tidak dapat menyambung lagi perkataannya, karena setelah
mencabut senjata panah yang menancap di badannya lantas
rubuh dan melepaskan napasnya yang penghabisan.
Cu Kang merasa sedih, gemas, maka seketika itu seolah-olah
hilang ingatannya. Ia mengira penjahat belum lari jauh, maka
tanpa pikir panjang lagi ia segera enjot tubuhnya, dan melompat
keluar dari jendela. Mendadak lihat satu bayangan hitam
melayang ke arahnya. Tidak memikir lebih jauh, ia segera ayun
tangannya dan senjata rahasianya yang sangat dahsyat itu telah
melesat. Ketika ia dapat mengenali suara gentakannya Kim Hay, ternyata
sudah terlambat, dan dengan demikian ia telah membunuh mati
saudara seperguruannya sendiri. Ia sendiri juga sudah terkena
pukulannya Kim Hay yang terkenal hebatnya itu, hingga sudah
tidak ada harapan untuk hidup lagi.
10 Dalam sekejap mata Kim Som telah menyaksikan cara
kematiannya yang sangat mengerikan dari kedua saudaranya,
maka seketika tidak dapat membuka mulut. Lama ia berdiri
menjublek, baru sadar setelah mendengar suara ribut-ribut dari
bujang-bujangnya Cu Kang yang pada memburu, maka ia
segera perintahkan bujang-bujang itu mengangkat tubuhnya Cu
Kang. setelah memeriksa sebentar tubuhnya kawanan penjahat
yang binasa itu, ia segera lari pulang ke rumahnya untuk
menemui isteri dan anaknya.
Kim Som selagi menceritakan semua kejadian kepada isterinya.
Dalam pekarangannya mendadak seperti ada orang yang
datang, ia segera siap sedia, tapi orang yang baru datang itu
ternyata adalah Sim Khiam, kawan karibnya. Dan
kedatangannya justru untuk memberi kabar bahwa tiga momok
dari Ouw-pak Utara dengan mengajak beberapa orang kosen
akan menyatroni Liok-phoa-san, untuk menuntut balas terhadap
tiga persaudaraan itu. Kawanan yang terdiri dari tujuh orang itu
semuanya bukan orang sembarangan, maka ia perlukan datang
untuk memberi kabar lebih dulu, agar Kim Som dan saudarasaudaranya siap sedia.
Pada saat itu, baru Kim Som mengerti sebab musababnya
kematian kedua saudaranya. Tidak tertahan lagi, kedua suami
isteri itu lantas mengalirkan air mata karena sedihnya.
Sim Khiam merasa heran lalu menanya: "Sam-ko, Sam-ko
mengapa demikian" Apakah yang telah terjadi?"
11 Kim Som sambil mengelah napas panjang, menjawab: "Terima
kasih atas kecintaanmu yang sangat besar ini Hian-tee. Sayang
kedatanganmu agak terlambat, sehingga sudah tidak bisa
menemui Toa-ko dan Jie-ko suami isteri lagi."
Mendengar jawaban itu, Sim Khiam kaget, segera menanyakan
lebih jauh, dan oleh Kim Som telah diceritakan apa yang telah
terjadi dengan kedua saudaranya tadi.
Saat itu, mendadak terdengar suara orang di atas tembok: "Siausiang-sam-hiap, diminta keluar sebentar untuk menjawab."
Kim Som yang sudah mulai tenang, segera mendekati pintu,
dengan suara keras ia menanya: "Siapakah Tuan, harap suka
memberi tahu namamu."
Orang itu menjawab: "Aku yang, rendah adalah Ko Thing,
dengan membawa titah guruku Poei Lip, diperintah
menyampaikan undangan kepada Siau-siang-sam-hiap dan Lie
Hun Cu Lie-hiap, supaya pada besok tengah malam suka datang
di sebelah gunung ini untuk membikin perhitungan hutang lama."
Kim Som tertawa besar: "Ouw-pak-sam-sat, apa yang
menjadikan heran, tolong sampaikan kepada gurumu, bahwa
kita sekeluarga besok akan mengunjungi padanya dalam waktu
yang tepat." Setelah kembali ke ruangan dalam, Sim Khiam berkata: "Samsat kali ini dengan mengundang beberapa pembantu yang
terkenal kosen dan kejam, rupa-rupanya sudah 12 memperhitungkan masak-masak di pihak kita sekarang
kekurangan pembantu, apalagi Toa-ko dan Jie-ko sudah tidak
ada, ada lebih baik minta tempo untuk menunda, agar kita dapat
ketika untuk mencari tenaga bantuan. Mengapa Sam-ko buruburu menerima baik undangannya" Bukankah terlalu tergesagesa?"
Kim Som tertawa: "Dengan matinya kedua saudaraku, hidup
sendiri bagi kita suami-isteri sudah tidak ada artinya lagi. Untuk
pertemuan besok malam, dengan kepandaian yang ada pada
kita berdua, tidak nanti mereka akan dapat berbuat sesuka hati
secara mudah. Sekalipun badan kita nanti akan hancur lebur,
tidak nanti akan menyesal. Apa perlunya meminta bantuan lain
orang, yang berarti akan menyeret mereka ke dalam neraka"
"Dan lagi berapa gelintir adanya orang yang mempunyai hati
mulia seperti Hian-tee" Hanya Toa-ko tidak berumah tangga,
kita berdua cuma mempunyai satu anak Tan-jie, maka mau tidak
mau, kita harus berdaya untuk menjaga agar keturunan keluarga
Kim tidak akan terputus. Tadi aku sengaja terkebur terhadap
mereka, agar mereka menganggap bahwa kita belum
mengetahui kekuatan mereka, dan tidak akan melakukan
pengawasan lebih kuat lagi.
"Hian-tee, kedatanganmu ini sangat kebetulan sekali, jiwanya
Tan-jie dan keturunan keluarga Kim aku serahkan di tanganmu.
Aku kira tentunya Hian-tee tidak akan menolak." Sehabis berkata
lantas menjura kepada Sim Khiam.
13 Sim Khiam buru-buru membalas menjura. Dengan diam ia
berpikir, sedianya aku akan membantu mereka di medan
pertempuran, tapi perkataannya Kim Som juga ada benarnya,
mati hidupnya Kim Tan, ada mempunyai hubungan erat dengan
keturunan keluarga Kim. Keadaan sekarang sudah tidak
mungkin bisa menjamin keutuhan kedua-duanya, maka ia
segera ambil putusan untuk menerima baik permintaannya.
Mereka lantas berdamai bagaimana caranya untuk menyingkirkan Tan-jie, agar bisa sampai di tempat tujuannya
dengan selamat. Akhirnya diambil putusan, Tan-jie dikirim ke
tempat pamannya, dan diminta agar sang paman itu nanti suka
pelihara serta mengajar ilmu silat, supaya di kemudian hari
dapat menuntut balas. Besok paginya, dengan bujukan halus, Tan-jie diperintah ibunya
supaya mengikuti Sim Khiam berguru kepada pamannya. Dan
setelah dipesan wanti-wanti, Hun Cu membekali tiga buah
senjata rahasianya berupa mutiara yang pernah menggetarkan
dunia Kang-ouw di waktu mudanya, dan dipesan supaya jangan
digunakan jika tidak sangat perlu sekali.
Kim Tan yang sudah berusia limabelas tahun, meski dalam
hatinya merasa agak heran dengan kejadian yang sangat
mendadak itu, tapi tidak berani membantah kehendak ayah
bundanya, maka lantas mengikuti Sim Khiam meninggalkan Bing
Hong San-chung. Sim Khiam dan Kim Tan menunggang kuda, setibanya di tempat
yang berliku-liku, Sim Khiam hentikan kudanya. Menurut
14 rencana semula, Sim Khiam akan menuju ke Barat dengan
melalui jalan yang sunyi, terus menuju ke Ko-lan. Tapi kini
mendadak berubah pikirannya, dan mengajak Kim Tan menuju
ke Timur, ke Tiang-an. Kim Tan sejak tinggal di Bing Hong San-chung, meski usianya
sudah menanjak dewasa, tapi belum pernah meninggalkan
gunung Liok-phoa-san, sudah tentu sangat setuju ajakan Sim
Khiam tersebut. Sepanjang jalan Kim Tan menunjukkan sikap sangat girang. Sim
Khiam yang menyaksikan kesemuanya ini hatinya sangat pilu, ia
sedang memikir-mikir dengan jalan bagaimana untuk
memberitahukan kepada Kim Tan tentang peristiwa akan
dihadapi oleh ayah bundanya, agar sang anak yang masih
belum mengetahui apa-apa ini tidak terpukul hebat perasaannya.
Sebenarnya, Sim Khiam meski menerima baik permintaan Kim
Som suami-isteri, untuk menyingkirkan Kim Tan ke gunung Ngobie-san, tapi ia masih belum percaya kalau Siau-siang-sam-hiap
akan binasa di tangannya Sam-sat, maka kini ia ingin mencari
tempat pemondokan di dekat gunung Liok-phoa-san, untuk
menunggu kabar bagaimana kesudahannya pertempuran yang
dahsyat itu. Jika Kim Som terhindar dari malapetaka, sudah
tentu tidak menjadi persoalan, dan jika Sam-sat yang menang,
untuk membasmi musuhnya sehingga pada akar-akarnya, sudah
tentu akan mencari keturunannya Kim Som!
Tapi dari gunung Liok-phoa-san ini cuma ada tiga jalanan yang
penting. Jika Sam-sat hendak mengejar, tentunya akan
15 menempuh salah satu atau ketiga-tiganya jalanan itu, dan tidak
akan mengira bahwa ia dan Kim Tan berani sembunyi di sekitar
gunung Liok-phoa-san ini.
Dan setelah pihak pengejar nanti sudah berlalu jauh, baru
meneruskan perjalanannya. Sim Khiam setelah ambil keputusan
demikian, maka lalu mengajak Kim Tan singgah di salah satu
rumah penginapan di pedusunan di bawah kaki gunung Liokphoa-san.
Heran, malam itu baik Sim Khiam maupun Kim Tan, dua-duanya
tidak dapat tidur nyenyak, terutama Kim Tan. Semalaman bulakbalik di atas pembaringan, dan hatinya selalu bergoncang keras,
hingga terdengar berkeruyuknya ayam jago.
Ia buru-buru bangun dan menemui Sim Khiam lalu berkata: "Titjie baru kali ini keluar pintu, maka dalam hati selalu memikirkan
ayah bunda saja, tadi malam tidak dapat tidur sama sekali!"
Sim Khiam mendengarkan sambil berpikir, pertempuran di atas
Liok-phoa-san tentunya sudah berakhir, rasanya tidak ada
gunanya untuk menyimpan rahasia lama-lama. Ada baiknya
lekas-lekas disampaikan kepada Kim Tan, supaya tidak terlalu
menderita dalam hatinya, maka ia segera berkata: "Hian-tit, kau
ada seorang anak yang cerdik, bakatmu pun baik, pelajaran Bun
dan Bu sudah mempunyai dasar yang kuat, segala urusan
kiranya dapat menimbang sendiri secara sehat. Kini pamanmu
ada sesuatu yang hendak dituturkan kepadamu, harap kau
jangan terlalu kaget, dan tabahkanlah hatimu!"
16 Kim Tan yang sangat cerdas, segera dapat menebak beberapa
bagian tentang urusan apa yang akan dituturkan oleh sang
paman ini, maka ia segera menanyakan. Dan Sim Khiam lalu
menuturkan apa yang telah terjadi di Bin Hong San-chung.
Sehabisnya mendengar, Kim Tan meminta kepada Sim Khiam
supaya suka mengantarkan pulang ke Liok-phoa-san, agar
dapat menemani ayah bundanya bersama-sama hidup atau
mati. Meskipun bagaimana dibujuk oleh Sim Khiam, Kim Tan tidak
menurut. Akhirnya Sim Khiam hilang sabarnya, lalu dengan
roman keren ia membentak, dan mengatakan Kim Tan tidak tahu
selatan. Mati hidupnya ayah bundanya belum mendapat
kepastian, tapi biar bagaimana yang perlu ia harus menjaga
dirinya. Jika benar ayah bundanya sudah binasa di tangan
musuh, ia sebagai anaknya harus berusaha untuk menuntut
balas. Jika dewasa ini ia akan menempur musuh, tidak bedanya
seperti mengadu telor dengan batu, dan berarti mengorbankan
jiwanya dengan sia-sia."
Kim Tan tidak bisa berbuat lain, maka bersama Sim Khiam
lantas minta pertolongan penduduk dusun itu untuk mencari
kabar di atas gunung. Sampai tengah hari, mereka masih belum dapat kabar apa-apa.
Mendadak dari jurusan Barat mendatangi dua penunggang
kuda. Kim Tan mengira orang yang mencari kabar telah kembali,
segera hendak lari memapak, tapi Sim Khiam yang sudah
banyak pengalamannya, lantas mengenali bahwa kedua orang
17 yang menunggang kuda itu bukannya orang dari golongan baikbaik, maka segera menarik tangan Kim Tan, dan diajak masuk
ke rumah makan, minta jongos menyediakan beberapa rupa
makanan. Kedua penunggang kuda itu ada orang-orang yang tinggi besar,
masing-masing membawa sebilah golok besar. Wajahnya
menunjukkan sifatnya yang kasar, menandakan bukannya orang
baik-baik. Setibanya di depan rumah makan, satu orang yang
jalan duluan segera melompat turun dari kudanya, sambil
menenteng goloknya berjalan menuju ke pintu rumah makan.
Ia menengok sebentar dan berkata: "Jie-te, sekarang sudah
tengah hari, jika kita mengejar terus, mungkin tidak akan dapat
tempat menginap. Untung pemimpin kita suruh kita mengejar
berpencaran, lagi pula tidak diberi batas tempo. Rumah makan
ini kelihatannya bersih, mari kita mampir makan dulu, baik juga
kita menginap disini sekalian, besok kita melanjutkan perjalanan
lagi." Yang lainnya menjawab: "Toa-ko benar, kiranya pemimpin kita
juga terlalu banyak pikiran, setan kecil itu sudah dibawa lari
orang. Sekarang mungkin sudah terbang jauh, tidak nanti berani
sembunyi di dekat-dekat sini. Ada baiknya kita nanti mengejar ke
Tiang-an, agar tidak percuma perjalanan kita ini."
Mendengar percakapan kedua orang itu, diam-diam hatinya Sim
Khiam mengeluh. Pengejar sudah tiba disini, terang sekali Kim
Som sudah celaka di tangan musuhnya. Ia kuatir Kim Tan tidak
18 bisa menahan sabar, maka ia menekan dirinya Kim Tan supaya
tidak bergerak. Kedua orang itu sambil makan sambil mengobrol, dan akhirnya
membicarakan pertempuran di Liok-phoa-san. Terdengar orang
yang membawa golok itu berkata: "Orang-orang pada sohorkan
kegagahannya Siau-siang-sam-hiap, ternyata tidak keliru. Lihat
saja hanya berdua suami-isteri, sudah bikin Sam-sat dan kawankawannya yang terdiri tidak kurang dari belasan orang-orang
gagah kelas satu dari dunia Kang-ouw repot kalang-kabut.
"Siau-cu-kat dengan sepasang kepalannya telah membinasakan
dua lawannya, isterinya juga dapat melukai dua musuhnya. Jika
tidak menggunakan senjata rahasia, sukar juga rasanya
dibinasakan." Mendengar warta kematian kedua orang tuanya, Kim Tan lantas
jatuh pingsan di pangkuan Sim Khiam. Sang Paman ini meski
merasa sedih dan gemes, tapi masih tetap tenang. Karena kuatir
Kim Tan nanti terbitkan onar, maka ia totok urat gagunya, baru
pelahan-lahan bikin sadar dirinya.
Sim Khiam dengan suara sabar membujuk Kim Tan supaya
bersabar, setelah ia menganggukkan kepalanya, lalu dibuka
totokannya. Pada saat itu, orang suruan Sim Khiam telah kembali, dan
menceritakan apa yang ia dapat dengar tentang kejadian
semalam.

Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

19 Itu malam, setelah Kim Tan dan Sim Khiam berlalu, Kim Som
dan isterinya lantas mengumpulkan semua orang-orangnya, dan
setelah membereskan jenazah kedua saudara dan Ensonya,
memberitahukan apa yang akan terjadi atas dirinya. Semua
sawah dan harta bendanya dibagi-bagikan kepada semua
pegawainya, dan pesan supaya mereka tidak perlu kuatirkan
keselamatannya, karena pertempuran ini adalah soal balas
dendam, musuh tidak nanti akan mencelakakan mereka. Semua
pegawainya merasa sedih, tapi tidak bisa berbuat suatu apa.
Setelah semua diatur beres, berdua suami-isteri lalu bersemedi,
menunggu tibanya putri malam. Ketika sang waktu telah tiba,
Kim Som dan isterinya sesudah makan minum puas, lalu
berdandan ringkas, tidak lupa membekal senjatanya, pergi
menemui musuh. Setibanya di tempat yang telah dijanjikan, ternyata musuhmusuhnya sudah berkumpul. Mereka adalah Poei Lip, Poei
Tiauw dan Poei Tao bertiga saudara, atau yang terkenal dengan
julukannya Sam-sat (tiga momok). Melihat kedatangannya Kim
Som suami isteri, segera tertawa berkakakan, suaranya sangat
seram kedengarannya. Ia lantas angkat tangannya untuk
memberi hormat kepada Kim Som suami isteri.
"Siau-siang-sam-hiap, benar-benar pegang kepercayaan,
sepuluh tahun kita berpisahan, Siau-cu-kat dan "Dewi tangan
ganas" ternyata masih tetap segar wajahnya, menandakan
betapa tinggi ilmu dalam berdua saudara, tapi mengapa tidak
kelihatan si Jenggot dan Telapakan Besi" Apakah mereka tidak
sudi memberi pengajaran kepada aku yang rendah ini?"
20 Kim Som tertawa dingin: "Toa-ko dan Jie-ko tidak gemar
keduniawian, tidak akan berebutan nama dan kehormatan,
mereka bersama Jie-so sudah mendahului kita ke sorga ketujuh.
Saudara Poei barusan tertawanya telah mengagetkan para
penghuni hutan ini, satu tanda berapa kekuatan ilmu dalam
saudara. Malam ini, kita suami-isteri hendak menyediakan kedua
tulang-tulang bangkotan untuk membayar hutang. Kabarnya
saudara ada mengajak beberapa kawan untuk memberi
bantuan, mengapa tidak suka mengajar kenal kepada kita
berdua?" Mendengar jawaban Kim Som, Poei Lip tercengang. "Tidak
dinyana bahwa saudara Cu dan saudara Kim telah pergi
mendahului kita, sungguh sayang, memang benar ada beberapa
kawan dari sungai telaga yang kagum dengan kegagahanmu,
maka mereka ingin berkenalan dengan saudara."
Ia menggapai tangannya, dari dalam gerombolan muncul
beberapa orang. Yang paling depan ada paderi yang romannya
sangat jahat, badannya tinggi besar dan tangannya memegang
senjata berupa sodokan, ia adalah paderi yang bergelar Lo Han
yang menundukkan Naga Liauw Ceng, di belakang ia ada tiga
orang lagi, mereka adalah Toa-ko-sin-mo Kiat Ciang Hoa, Hokhouw-sin-mo Yap Ho kedua orang ini merupakan kenalan lama
bagi Kim Som, yang satu lagi adalah seorang yang tinggi
langsing, tapi kelihatannya sangat gesit, belum dikenal oleh Kim
Som. Poei Lip lalu ajar kenal mereka, ternyata adalah seorang yang
terkenal dalam angkatan Hwie-thian-yao Go Kim Seng, yang
21 lainnya adalah orang-orangnya Sam-sat. Kim Som matanya
melirik ke arah Go Kim Seng yang pada pinggangnya kelihatan
sebaris panah tangan, dan itu adalah senjata yang dipakai untuk
membokong Jie-sonya. Inilah orangnya yang menjadikan garagara kematiannya kedua saudaranya, demikian pikirnya.
Kim Som anggap dalam pertempuran ini tidak akan
menguntungkan pihaknya, maka ia berkeputusan membinasakan penjahat she Go itu terlebih dahulu, untuk
membalaskan sakit hatinya kedua saudaranya. Sambil tertawa ia
berkata kepada Poei Lip: "Kedatangannya saudara-saudara ini
membuat berat pada diriku yang rendah ini, baiklah kita tidak
perlu ayal-ayalan lagi, selagi rembulan sedang memancarkan
sinarnya yang terang benderang ini, marilah kita mulai. Dengan
saudara Poei dan lain-lainnya kita sudah saling kenal, hanya
dengan saudara Go baru kali ini kita bertemu, maka, aku yang
ingin mendapat pengajaran terlebih dahulu dari padanya,
bagaimana saudara?" Go Kim Seng yang tadi malam berhasil membinasakan isterinya
Cu Kang, dalam hati kecilnya menganggap cuma demikian saja
kepandaian Sam-hiap. Ia merasa berbesar hati, pula ingin
pertontonkan kepandaiannya dihadapan umum, maka belum
sempat Poei Lip menjawab, ia sudah melompat ke dalam
kalangan. Sekejap saja, keduanya sudah saling keprak.
Kim Seng ternyata sangat gesit, tenaga dalamnya pun lumayan.
Ia mengeluarkan ilmu pukulan tujuhpuluh dua rupa pukulan jarak
pendek. Pukulannya cepat, gerak badannya sangat lincah
hingga dapat melayani pukulannya Kim Som, "Sung-yang-liok22
kiu-chiu" dan "Lo-kong-pat-it-sek" sampai sampai tigapuluh jurus
lebih. Kim Som tidak menduga musuh ada demikian liehay, setelah
tigapuluh jurus dilewati, ia kehilangan sabarnya.
Mendadak ia berteriak nyaring. Kedua lengannya dikibaskan,
badannya mencelat setinggi lima atau enam tombak, hingga
terapung di udara. Sebentar badannya bergerak, tangannya
dilonjorkan, secepat kilat ia menubruk Kim Seng.
Ouw-pak-sam-sat segera mengenali ilmu silat yang dimainkan
oleh Kim Som itu. Dalam hatinya berpikir, kali ini Go Kim Seng
akan celaka, tapi ia tidak mengerti mengapa Kim Som terhadap
musuh yang baru kenal telah menggunakan ilmu pukulan yang
mematikan itu. Cuma terlihat Kim Som perlahan-lahan membalikkan ke dua
telapak tangannya ke dadanya, jeriji tangannya dilekuk seperti
gaetan. Poei Lip mengerti jika Kim Som membuka telapak
tangannya, Kim Seng tentu tak akan terhindar dari kematian, tapi
ia tidak keburu memberi pertolongan. Go Kim Seng juga tahu
bahaya, ia tidak berani keras lawan keras, dengan jumpalitan ia
berdaya untuk menghindarkan serangan.
Ia mengira sudah terlepas dari bahaya, ketika hendak
mengundurkan diri dari medan pertempuran untuk mengaku
kalah, tapi baru saja ia berdiri, atau badannya Kim Som seolaholah membayangi. Laksana angin puyuh, ujung jari tangannya
Kim Som sudah menempel di punggungnya Kim Seng.
23 Sambil tertawa dingin Kim Som berkata: "Hutang jiwa tadi
malam, tidakkah mau dibayar?"
Go Kim Seng cuma merasakan seperti terkena pukulan berat di
belakang gegernya, lalu dari mulutnya menyemburkan darah
hidup, badannya lantas jatuh tengkurep untuk tidak bangun lagi.
Terdengar suara ribut dalam rombongan Poei Lip. Yap Ho yang
mempunyai perhubungan rapat dengan Go Kim Seng segera
mengeluarkan senjatanya yang berupa gelang emas. Sambil
menuding Kim Som ia memaki kalang kabut: "Orang she Kim,
percuma kau mempunyai gelar orang gagah. Saudara Go ini
tidak bermusuhan dengan kau, mengapa kau turunkan tangan
jahat kepadanya?" Kim Som tidak meladeni cacian itu, segera mengeluarkan
pedangnya, untuk menempur lawannya.
Sepasang gelang emas Yap Ho didapat dari pinggir daerah
Tibet. Besarnya seperti mangkok, kalau diputarkan sinarnya
gemerlapan, di tengah-tengah diukir kepala dan gigi harimau,
merupakan senjata yang jarang terlihat di kalangan persilatan.
Yap Ho menggunakan senjatanya sudah lebih dari tigapuluh
tahun. Kini dalam keadaan sangat murka, ia memutar
senjatanya mengajak bertempur dengan Kim Som.
Kim Som meskipun memperlihatkan sikapnya yang sombong,
tapi sedikitpun tidak berani memandang ringan musuhnya ini.
24 Sambil mengangkat pedangnya ia persilahkan Yap Ho membuka
serangan. Yap Ho menggeserkan badannya di tengah-tengah, gelang di
tangan kirinya pura-pura disambarkan di depan mukanya Kim
Som, berbareng di tangan kanannya membuka serangan,
mengarah ke tulang iga kirinya Kim Som.
Kim Som sambil tertawa dingin, dengan memutarkan pedangnya
ia sambut serangan Yap Ho.
Yap Ho mengangkat kedua tangannya, sambil memutar
badannya, ia arahkan gelang-gelangnya ke ujung pedang Kim
Som. Kim Som membiarkan senjatanya beradu, ia kerahkan
tenaganya di tangan kanannya, badannya agak menjongkok
sedikit, lalu menarik pedangnya dan laksana angin meniup daun
kering disabetkan ke kakinya Yap Ho.
Ilmu pedang Kim Som ini, perubahannya sangat cepat sekali,
juga susah diduga oleh musuh, maka hampir saja Yap Ho
celaka. Untung ia mempunyai tenaga dalam yang sangat kuat, ia
juga menarik kembali senjatanya, dengan menggunakan ilmu
pukulan "Burung garuda membuka sayap", ia membelah ke
kanan dan ke kiri, sebentar terdengar beradunya senjata,
masing-masing mundur setindak.
Kim Som bertempur sambil berpikir, ia merasakan senjatanya
yang luar biasa dari Yap Ho ini ternyata sangat hebat
25 tekanannya. Jika tidak menggunakan ilmu silatnya yang tunggal,
susah untuk mendapat kemenangan. Ia segera merubah
pukulannya, menggunakan ilmu silat yang ia ciptakan sendiri.
Sekejap saja, keadaan lantas berubah. Kim Som cuma terlihat
badannya seolah-olah tidak berpisah dengan pedangnya.
Perubahan pukulannya sangat cepat, sepasang gelang Yap Ho
segera terkurung rapat oleh sinar pedang Kim Som.
Kawan-kawan Yap Ho yang menyaksikan gelagat kurang baik
ini, terutama Kiat Chiang Hoa, yang merasa kuatir keselamatan
saudara seperguruannya itu, segera mendesak Ouw-pak-samsat supaya lekas-lekas melaksanakan rencananya. Dan ia
sendiri hendak membantu turun tangan, tapi baru saja hendak
melangkahkan kakinya, mendadak terdengar suara nyaring dan
Yap Ho sudah terbabat oleh pedangnya Kim Som.
Mula-mula, Yap Ho masih dapat bertahan beberapa puluh jurus,
tapi setelah Kim Som mainkan ilmu silatnya yang tunggal, Yap
Ho segera terdesak dan segera berdaya hendak mundur, tapi
selalu tidak dapat ketika untuk meloloskan diri, dalam keadaan
begini. Ia segera ambil putusan nekat, kedua gelangnya
digunakan sebagai senjata rahasia, dilontarkan ke arah muka
Kim Som. Kim Som yang tidak menduga Yap Ho berbuat demikian, buruburu miringkan kepalanya untuk kasih lewat sepasang gelang
itu. 26 Yap Ho melompat setinggi dua tumbak, hendak kembali ke
barisan kawannya, tapi Kim Som mana mau memberi ketika
untuk dia melarikan diri. Dengan cepat ia mencelat melampaui
Yap Ho, kemudian membalikkan diri dan mengayunkan
pedangnya, maka tidak ampun lagi, badannya Yap Ho terbelah
menjadi dua potong, jatuh dari udara.
Kim Som badannya baru menginjak tanah, suara bentakan
teriakan dan beradunya senjata tajam segera menyusul, karena
momok yang kedua Poei Tiauw, adatnya sangat berangasan.
Dalam sekejap saja ia menyaksikan kematian dua kawannya,
tak dapat menahan sabar lagi, maka dengan mengeluarkan
suara bentakan keras, ia lantas lompat menubruk Kim Som.
Lie Hun Cu yang sedari tadi berdiri di samping, mendadak dapat
melihat Poei Tiauw hendak membokong suaminya, maka
mencabut pedang Cing-kong-kiam nya, lalu melesat ke kalangan
memapaki Poei Tiauw. Poei Tiauw dengan senjata Phoan-koan-pit nya beradu dengan
pedangnya Lie Hun Cu, kedua tangannya dirasakan sakit sekali,
dengan tidak disengaja ia memandang Lie Hun Cu.
Lie Hun Cu yang selamanya tidak mau kenal tata cara
merendahkan diri di medan pertempuran, segera menggerakkan
pedangnya menusuk ke arah dadanya Poei Tiauw.
Poei Tiauw sangat murka, maka ia pun tidak sungkan-sungkan
lagi, lantas melayani bertempur. Sepuluh jurus telah lewat, Lie
Hun Cu mendadak melesat ke atas udara, kemudian memutar
27 tubuh kakinya mengikuti garis Pat-kwa. Pedangnya diputar,
hingga sekejap saja cuma kelihatan gemerlapan sinar pedang
mengurung dirinya Poei Tiauw.
Poei Tiauw meskipun orangnya sangat kasar, tapi ilmu silatnya
ternyata sangat tinggi. Setelah dapat tahu dirinya terkurung oleh
sinar pedang Hun Cu, ia segera mengeluarkan seluruh
kepandaiannya, dengan tenang melayani.
Poei Tao yang selama itu mengikuti jalannya pertempuran,
sudah tahu bahwa kepandaiannya Kim Som suami-isteri
ternyata lebih tinggi daripada sepuluh tahun berselang,
sedangkan di pihaknya sendiri, kecuali sang kakak Poei Lip,
yang lainnya bukan tandingan Kim Som.
Selagi memikir hendak mengerahkan barisannya yang
disembunyikan di sekitar hutan itu, keadaan di medan
pertempuran sudah berubah sangat cepat, maka tak sempat
memikir panjang lagi. Dengan Poei Lip, berbareng mengerahkan
tenaganya ditujukan ke arah Lie Hun Cu. Di lain pihak lantas
memberi tanda kepada kawan-kawannya yang bersembunyi
supaya segera bergerak. Li Hun Cu meskipun ilmu pedangnya lebih tinggi setingkat dari
suaminya, tapi lama sekali belum dapat menundukkan
musuhnya. Ia lantas kertak gigi dan keluarkan seluruh
kepandaiannya. Pedangnya dengan hebat menusuk dan
membabat kepada Poei Tiauw laksana angin puyuh.
28 Poei Tiauw terpaksa mencelat ke udara untuk mengelakkan
tikaman pedang. Dan selagi badannya masih terapung, Lie Hun
Cu membentak, tenaga dalamnya dikerahkan ke tangan kanan,
pedangnya digetarkan. Poei Tiauw merasakan seolah-olah ada
puluhan ribu ujung pedang hendak menusuk dirinya yang tak
mungkin dapat dielakkan. I.ie Hun Cu selagi hendak memetik hasilnya, mendadak
merasakan mendesirnya pukulan dari tenaga dalam, dengan
tangan kiri ia memapaki serangan itu, tangan kanan
mengayunkan pedangnya dan daun kupingnya Poei Tiauw
terpapas sebelah. Tapi Lie Hun Cu sendiri pun merasakan
terdesak oleh serangan tenaga dalam dari kedua saudara Poei,
hingga terpental beberapa langkah.
Berbareng dengan itu, kawan-kawannya Poei Lip yang sembunyi
dalam rimba, yaitu Chek Hong, Yu Thian Hay dan The Seng,
yang semuanya terkenal sebagai jago senjata rahasia di
kalangan Kang-ouw, dengan berbareng melepaskan senjata


Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rahasia masing-masing ke arah Kim Som.
Kim Som sedikit pun tidak kira bahwa musuhnya telah
menggunakan akal keji dan serendah itu, tak sempat untuk
mengelakkan diri lagi, maka akhirnya rubuh binasa.
Lie Hun Cu menyaksikan kematian suaminya secara
mengenaskan, hatinya pilu dan gemas, mendadak mengeluarkan suara nyaring, tangannya diayunkan. Enam
benda gemerlapan telah melesat ke arah rimba, kemudian
dengan pedangnya ia membunuh dirinya sendiri.
29 Setelah Kim Som suami-isteri binasa, Poei Lip segera
menggeledah Bing Hong San-chung, dan mereka telah
mengetahui bahwa Kim Tan sudah dibawa lari oleh kawannya
Kim Som. Ketiga saudara Poei itu lalu perintahkan orangorangnya untuk mengejar ke arah tiga jurusan.
Mendengar ceritanya orang buruan ini, Sim Khiam dan Kim Tan
merasakan seolah-olah bumi itu telah amblas.
Malam itu, kedua orang tinggi besar itu kebetulan menginap di
sebelah kamarnya Sim Khiam dan Kim Tan.
Meskipun tahu ayah bundanya sudah binasa di tangan musuh,
Kim Tan malah tidak begitu gelisah lagi. Sim Khiam dapat
menebak apa yang sedang dipikir oleh anak muda itu, maka
berkali-kali ia memberi nasehat supaya tetap sabar, jangan
menimbulkan onar, karena untuk membalas sakit hati orang tua,
sepuluh tahun pun belum terlambat.
Malamnya, Kim Tan masuk tidur lebih pagi, tapi tidak dapat tidur
enak. Pada tengah malam, ia bangun dari pembaringan, sambil
menyekal pedang, dengan endap-endap ia mencongkel pintu
kamar kedua orangnya Poei Lip tadi. Beberapa saat kemudian
kedua orang tadi sudah menjadi mayat yang tidak berkepala.
Waktu Kim Tan kembali ke kamarnya ia lihat Sim Khiam sedang
membereskan barang bekalannya, dengan tandas ia berkata
pada Kim Tan: "Aku tidak hendak menghalangi maksudmu untuk
melampiaskan sakit tapi kini rahasia sudah terbuka, jejak kita
30 sudah diketahui oleh musuh, maka tidak lama tentu mereka
akan datang mengejar, kita harus segera tinggalkan tempat ini!"
Mereka lalu melanjutkan perjalanannya dengan melalui gunung
dan rimba, tapi karena kematiannya dua orang itu, akhirnya
mereka dapat dicandak oleh The Seng, Poei Tiauw dan Yu
Thian Hay. Pada satu hari, mereka telah tiba di Ciong-lam-san, berdua lalu
mendaki gunung itu dan mengaso di puncaknya. Sim Khiam
sehabis semedi, mendadak romannya berubah, karena lapatlapat ia telah dapat tangkap suara orang mendatangi, ia lalu
memesan kepada Kim Tan supaya bersembunyi di belakang
batu besar. "Ouw-pak-sam-sat sebentar mungkin akan tiba, maka
sembunyilah di belakang batu besar itu. Jangan sembarangan
bergerak jika tidak ada perintahku. Jika ada orang yang coba
mendekati kau, seranglah dengan senjata rahasiamu, jangan
beri ampun pada mereka."
Sambil mengeretek gigi Kim Tan menyawab: "Selain senjata
rahasia panah tangan, Tit-jie masih dibekali ibu tiga butir senjata
rahasia mutiara, biarlah mereka nanti rasakan ini!"
"Musuh sudah sampai di tengah gunung, berikan aku sebutir
peluru mutiara itu, lekas sembunyi, bekerjalah melihat selatan."
Setelah menyerahkan sebutir peluru mutiara kepada Sim Khiam,
Kim Tan lantas bersembunyi di belakang batu besar.
31 Dengan menggenggam pedang dan pisau terbangnya, Sim
Khiam tetap berduduk dengan tenang menantikan kedatangannya musuh. Sebentar kemudian, dengan beruntun
tiga orang telah muncul di hadapannya. Yang pertama adalah
seorang bertubuh pendek dengan kepalanya yang sangat besar,
usianya kurang lebih limapuluh tahun, di sebelah kanannya
berdiri seorang yang seluruh badannya merah membara,
matanya bundar besar, bebokongnya ada menggemblok
sepasang roda ,,Jit-goat-lun", seorang lagi yang berdiri sebelah
kiri ronannya sangat luar biasa, tubuhnya kurus, mukanya pucat
tidak ada darahnya, kuku tangannya panjang luar biasa.
Sim Khiam menyaksikan kedatangan ketiga orang ini, dalam
hatinya agak bercekat, karena orang tua yang berbadan pendek
dan berkepala besar itu adalah salah satu dari Ouw-pak-samsat, Poei Tiauw, yang seluruh badannya merah membara itu
adalah Liat-hwee-sin-mo Yu Thian Hay, dan yang tinggi kurus itu
ialah penjahat dari Ouw-pak Selatan yang sangat disegani oleh
kedua golongan baik putih maupun hitam, yang nama dan
gelarnya Kelabang beracun The Seng, karena seluruh badannya
penuh racun, senjata satu-satunya ialah sepasang kuku yang
panjang tapi beracun. Siapa yang kena tercakar atau terbentur
badannya jika tidak dapat obat pemunah racun yang manjur,
susah tertolong jiwanya. Menghadapi orang-orang yang luar biasa ini, diam-diam Sim
Khiam berpikir, dengan satu lawan satu, mungkin masih dapat
dilawan, tapi jika dikerubuti bertiga, tentunya tidak dapat
bertahan lama. Tapi ia tetap tenang, sambil tertawa ia berdiri.
32 Poei Tiauw sambil menudingkan tangannya membentak: "Sim
Khiam, itu Kim Hay, Kim Som, Cu Kang dan Lie Hun Cu, dulu
pernah membinasakan isteriku dan mencelakakan keponakanku.
Kita orang-orang dari kalangan Kang-ouw, selamanya harus
tegas terhadap budi dan musuh, ada budi harus dibalas, ada
permusuhan harus menuntut. Kita bertiga saudara selama
sepuluh tahun ini memperdalam ilmu silat kita, jauh-jauh kita
datang ke Liok-phoa-san, perlunya adalah untuk menuntut balas.
Tak ada sangkut pautnya dengan kau, tapi mengapa kau hendak
campur tangan. "Sekarang aku hendak tanya padamu, dimana sekarang adanya
keturunan si orang she Kim itu" Jika kau bersedia menyerahkan
atau menunjukkan tempatnya, antara kita tidak ada apa-apa, tapi
jika tidak, huh, ilmu pedang Kao-kiam-hoat mu, dalam sepuluh
jurus tentu tak akan lolos dari tanganku!"
Sim Khiam tertawa berkakakan. "Tua bangka yang tidak tahu
diri, itu perempuan hina Cung Giok Lim yang pada berapa tahun
yang lalu telah berbuat sangat memalukan kalangan Kang-ouw.
Pada dirinya masih hutang duapuluh tujuh jiwa pemuda, di dunia
dan di akherat tak ada tempat untuknya, sehingga membuat
murkanya Kim So-so. Dengan sebutir Ling-kong-cu, telah
menyingkirkan salah satu biang keladi kejahatan di daerah Samsiang. Dan keponakanmu keparat itu, lebih-lebih kejahatannya.
Kim Toa-ko dan Cu Tay-hiap masih untung cuma membikin buta
kedua matanya, tidak tahunya kamu bertiga saudara telah
menuntut balas. Yang lucu adalah kamu yang sudah merantau
puluhan tahun di dunia persilatan, kali ini ternyata terpedaya
dengan tipu muslihatku. 33 "Kau tanya dimana adanya turunan Kim" Apa salahnya
kuberitahukan kepadamu, sekarang ini dia sudah berada di
beberapa ribu pal jauhnya dari sini. Meski kamu ada
kepandaian, juga tak dapat mengejar, apa lagi disana ia berada
pada Sam Hie To-tiang yang masih pernah Bo-koe (kakak
ibunya). Kepandaian dan tenaga dalamnya, masih jauh lebih
tinggi dari pada kamu bertiga saudara. Tanyakan dirimu sendiri,
adakah kemampuan untuk melawan" Aku sendiri karena hendak
menolong keturunan kawan, sudah tidak memikirkan jiwaku
sendiri. Kamu bertiga jika mau, bolehlah turun tangan
berbareng." Poei Tiauw ternyata masih tetap tidak berubah sikapnya. Tapi
ketika mendengar disebutnya nama Sam Hie To-tiang,
mendadak alisnya dikerutkan, sambil tertawa dingin ia berkata:
"Sim Khiam, tak perlu kau menggosok. Menghadapi orang
semacam kau, perlu apa mesti turun tangan berbareng" Dengan
salah satu antara kita sudah cukup untuk antar jiwamu ke
akherat." Sim Khiam tersenyum. "Tidak nyana kamu tua bangka ini masih
mengerti kehormatan. Aku sudah lama mendengar kabar
tentang liehaynya sepasang senjata roda dari Liat-hwee-sin-mo
ini, baiklah aku ingin coba-coba beberapa jurus."
Yu Thian Hay yang ditantang lebih dulu oleh Sim Khiam, segera
mencabut sepasang senjatanya dan maju menghampiri Sim
Khiam. 34 Itu waktu, sepasang matanya The Seng yang tajam, tidak
hentinya menyapu keadaan di sekitarnya, waktu matanya
ditujukan kepada batu besar tempat sembunyinya Kim Tan,
mulutnya mesem. Sim Khiam yang cerdik segera mengerti, maka dengan cepat ia
lantas ambil keputusan nekat. Ia segera cabut pedang Go-kaokiam nya. Itu waktu dari jauh terdengar suaranya burung
rajawali. Empat orang itu karena sedang pusatkan perhatiannya
kepada lawan, maka tidak satupun yang mendengar.
Sim Khiam mulai menyerang lawannya, di tangan kirinya
menggenggam sebuah senjata rahasia mutiara. Mutiara ini di
dalamnya mengandung racun, jika sudah terlepas dari tangan,
selaput kulit yang membungkus segera pecah dan racunnya
berhamburan, siapa yang terkena akan meninggal seketika itu
juga. Mengapa Sim Khiam menunjuk Yu Thian Hay" Sebabnya ialah
dia itu merupakan musuh yang paling lemah di antara bertiga.
Hanya beberapa rupa senjata rahasianya sangat liehay, jika ia
herhasil menyingkirkan dia lebih dulu tidak usah kuatir terbokong
oleh senjata tersebut. Kemudian dengan gerakan yang tidak disangka-sangka ia akan
serang The Seng dengan peluru mutiaranya dengan demikian ia
cuma akan berhadapan dengan Poei Tiauw. Bagaimana
tinggipun kepandaiannya, rasanya masih dapat dilawan, dan
kalau perlu akan tempur sampai mati bersama-sama, hingga
dapat menyelamatkan jiwanya Kim Tan.
35 Yu Thian Hay juga sudah maju ke medan pertempuran. Terlebih
dulu ia sengaja mempertunjukkan kepandaiannya mengentengkan tubuh sambil mencelat setinggi dua tumbak
kemudian dengan enteng ia turun ke tanah. Sim Khiam yang
menyaksikan pertunjukkan ini diam-diam sangat terkejut, ia
mulai sangsi dengan rencananya semula, apakah akan berhasil"
Mendadak ia dapatkan satu akal. Dengan melempangkan
pedangnya di dada, ia keluarkan ilmu pukulan "Naga sakti keluar
gua" mengarah dadanya Yu Thian Hay. Dengan cara yang agak
memandang enteng ini, membuat Yu Thian Hay sangat murka,
dan timbullah pikirannya yang jahat, senjata rodanya itu
memang khusus untuk mengunci senjata pedang atau golok,
maka ia tidak berkelit sama sekali, malahan mengangkat
senjatanya untuk memapaki pedang Sim Khiam.
Siapa tahu bahwa pedang Sim Khiam yang panjangnya tiga kaki
enam dim ini ujungnya bengkok semacam gaetan. Ketika
melihat datangnya sepasang roda, ia tidak tarik mundur
pedangnya, malahan berbalik menusuk, hingga ujung
pedangnya yang bengkok terjepit di tengah-tengah sepasang
roda. Dengan menggentak Sim Khiam kerahkan tenaganya,
hanya terdengar beradunya dua senjata, sekejap kemudian,
pedang di tangannya telah patah, begitu juga sepasang rodanya
Yu Thian Hay telah pecah berantakan, tangannya mengucurkan
darah. Sim Khiam setelah tipunya berhasil, segera keluarkan ilmu
pukulannya yang dapat menembus udara, menyerang ke arah
musuhnya. 36 Dan Yu Thian Hay yang tidak menyangka senjatanya akan rusak
berantakan, agak kesima. Belum sempat berpikir lain, atau
dirasakan samberan angin yang sangat berat menumbuk
dadanya. Tak dapat ia mengelakkan pukulan ini, maka ia
bertekad hendak bersama-sama mati, ia maju dan kerahkan
tenaga dalamnya di tangan kanan menyerang ke arah lawannya.
Sim Khiam tidak sempat menarik pukulannya, juga tidak ada
ketika undurkan diri, dengan berkelit ia hindarkan serangan
musuhnya. Tenaganya dikerahkan di atas pundak kiri untuk
memapaki pukulan itu. Sesaat kemudian, terdengar suara
bentrokan yang hebat. Hidung dan mulutnya Yu Thian Hay
mengeluarkan darah, mati seketika itu juga, dan Sim Khiam
terpental setumbak lebih jauhnya, baru berdiri kembali.
Poei Tiauw dan The Seng tak terlintas sama sekali dalam
pikirannya bahwa dalam segebrakan saja Sim Khiam sudah
dapat tamatkan riwayatnya Yu Thian Hay. Baru saja mereka
hendak maju berbareng, atau dengan mendadak terlihat
berkelebatnya bayangan orang di belakang batu besar dan
berbareng dengan itu, beberapa benda mengkredep telah
menyamber ke arah mereka.
Sim Khiam sambil menahan sakit dengan pisau terbang dan
peluru mutiara menyerang kedua musuh itu.
Diserang secara berbareng, meski bagaimana tinggi ilmu
silatnya juga susah untuk menghindarkan secara sempurna.
Poei Tiauw yang lebih tinggi ilmunya, dalam keadaan antara
mati dan hidup itu masih tidak gugup, dengan beruntun ia
37 keluarkan pukulan menembus udara untuk menyampok jatuh
senjata pisau terbang, kemudian dengan jumpalitan
menghindarkan senjata panahnya Kim Tan.
Tapi tidak urung pahanya masih tertembus sebuah panah dan
merasakan kakinya sangat kaku. Ia tahu bahwa panah tangan
itu ada racunnya maka dalam keadaan sangat ripuh itu ia buruburu menelan pil untuk mencegah menjalarnya racun.
The Seng yang agak rendah kepandaiannya, tidak dapat
mengelakkan serangan yang datangnya secara mendadak dan
berbareng dari dua jurusan itu, demi terkena peluru mutiara dan
pisau terbang tersebut lalu melayang jiwanya. Tapi sebelum mati
ia masih sempat kerahkan tenaganya yang penghabisan untuk
menyerang Sim Khiam dengan senjata rahasianya yang
beracun. Sim Khiam karena barusan menempur Yu Thian Hay sudah
mengeluarkan terlalu banyak tenaga dan pula terkena
pukulannya, maka pada saat itu sudah habis tenaganya dan


Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jatuh di atas tanah. Waktu senjata rahasianya The Seng
menyamber, ia hendak berkelit, tapi sudah tidak ada tenaga lagi,
ia cuma bisa bergelimpangan di atas tanah untuk
menghindarkan datangnya bencana itu, tapi tidak urung tiga
buah paku dan sebuah panah tangan mengenakan pundak dan
punggungnya. Ia tahu bahwa senjata rahasianya The Seng ini semuanya
beracun, terkena salah satu saja susah akan tertolong jiwanya,
maka ia hanya memikirkan Kim Tan yang sudah memperlihatkan
38 dirinya, apalagi mesti menghadapi Poei Tiauw, maka putuslah
harapannya untuk menolong jiwanya anak itu. Memikir sampai
disitu, mendadak matanya gelap lalu jatuh pingsan.
Kim Tan yang bersembunyi di belakang batu sambil mengintip,
dapat melihat keadaannya Sim Khiam sangat berbahaya, karena
bukan saja senjatanya sudah patah, orangnya pun terpental di
udara. Dan Poei Tiauw bersama The Seng hendak menyerang
Sim Khiam, maka ia tidak perdulikan pesanannya lagi, segera
muncul dari tempat sembunyinya dan menyerang kedua
musuhnya. Waktu menyaksikan Sim Khiam sudah pingsan, ia
menjadi bingung, sambil menghadapinya, ia mengucurkan air
matanya. Poei Tiauw yang pahanya terkena panah tangan, ternyata
lukanya tidak berat, waktu menyaksikan kedua kawannya sudah
pada menggeletak di atas tanah menjadi mayat, murkanya tidak
kepalang. Selagi Kim Tan tidak memperhatikan, ia lalu kerahkan
seluruh tenaganya untuk menyerang yang menerbitkan angin
keras menyamber ke arah kedua orang ini.
Dan waktu Kim Tan merasa ada angin menyamber, sudah tidak
sempat untuk menyingkir lagi. Tapi heran, dalam keadaan
sangat berbahaya itu, angin yang menyamber itu seolah-olah
kena membentur tembok yang kokoh, lalu membalik, hingga
Poei Tiauw menjadi sempoyongan, hampir saja tidak bisa
berdiri. 39 Kim Tan merasa terheran-heran, dari belakangnya mendadak
mendengar suara "O Mi To Hud", kemudian muncul satu orang
pertapaan kurus, di sebelah tangannya memegang kebutan.
Dengan kebutan orang pertapaan itu menuding Poei Tiauw
seraya berkata: "Hukum Tuhan, tak dapat ditentang. Adikku Lie
Hun Cu meski julukannya dewi bertangan ganas, tapi selama
hidupnya, yang dibunuh hanya kawanan dorna atau penjahatpenjahat besar saja. Permusuhan antara ia dengan kamu, yang
bersalah juga pihakmu. Tapi kini kamu sudah tidak
mengindahkan peraturan dunia persilatan, dengan secara tidak
hormat kamu telah datang mengeroyok dan membokong dengan
senjata rahasia untuk menuntut balas.
"Kasihan keluarga Kim dan Cu, kecuali Cu Ling Cie yang
berguru pada Ceng Jie Sin-nie di Ceng-shia dan Kim Tan yang
dilarikan oleh Sim Khiam, semuanya habis kamu bunuh.
Sekarang kau masih hendak membinasakan ini anak yang tidak
berdosa. Apakah kau masih terhitung manusia yang berhati
manusia" "Sepantasnya kau harus dibunuh, tapi karena Pin-to tidak tega
melakukan pembunuhan, maka biarlah kali ini aku ampuni
jiwamu. Hutang jiwa ini tunggu nanti Kim Tan yang membuat
perhitungan denganmu."
Poei Tiauw baru mengerti bahwa orang yang menangkis
serangannya tadi adalah orang pertapaan tua ini. Sehabis
didamprat, meski hatinya mendongkol, tapi karena merasa tidak
ungkulan tenaganya, maka ia menjawab, dengan suara lantang:
40 "Sam Hie To-tiang, dengarlah! Kita orang bekerja, selamanya
tidak kepalang tanggung, kedua pihak sudah bermusuhan, perlu
apa berbicara tentang kesopanan atau kehormatan. Kini aku
tidak melawan kau, lebih baik kau bunuh saja, jikalau tidak, di
lain waktu jika aku bertemu dengan keturunan keluarga Kim dan
Cu, jangan sesalkan bahwa aku berhati hitam dan bertangan
besi." Sam Hie To-tiang lihat ia masih penasaran dan tidak mau sadar
dari kekeliruannya, dengan tidak terasa telah mengelah napas
panjang seraya berkata: "Sekarang badanmu sudah terluka
parah, susah untuk turun gunung, baiklah kau turun gunung,
lima tahun kemudian, tunggu saja nanti muridku yang akan
membereskan jiwamu."
Lalu bersuit ke udara, sekejap kemudian, seekor burung besar
terbang turun dan membawa tubuhnya Poei Tiauw turun
gunung. Di samping itu, burung tersebut dengan kedua
sayapnya menyapu mayat Thian Hay dan The Seng, hingga
terjatuh ke jurang. Sim Khiam itu waktu pun sudah sadar dari pingsannya, melihat
Sam Hie To-tiang berdiri di depannya, ia kaget bukan main. Ia
hendak membuka mulutnya, tapi tidak bertenaga. Pertapa ini
mendekati, sambil menganggukkan kepalanya ia memberi
hormat: "Sejak berpisahan di Siauw-siang, tidak terasa duapuluh tahun
telah lewat. Hatimu yang mulia, dengan tidak memperdulikan
jiwamu sendiri kau telah berdaya untuk menyelamatkan jiwanya
41 anak adik perempuanku, Pin-to merasa sangat berterima kasih.
Racun yang mengenakan dirimu, untunglah Pin-to masih
sanggup mengobati." Ia lalu keluarkan obat pil, suruh Sim Khiam
segera telan. Sejenak kemudian, Sim Khiam sudah hilang rasa sakitnya, dan
tenaganya pun sudah pulih kembali. Ia segera melompat bangun
dan memberi hormat kepada Sam Hie To-tiang, tapi dicegah
oleh pertapa ini: "Lukamu baru saja sembuh, tenagamu belum pulih seluruhnya,
sebelum tengah malam ini, kekuatan badanmu belum bisa pulih
sama sekali." Ia lantas cabut anak panah dan paku yang
menancap di badan Sim Khiam, setelah diberi obat luar
disuruhnya duduk bersemedi. Sambil menggenggam sebelah
tangan Sim Khiam, Sam Hie To-tiang menyalurkan tenaga
dalamnya ke tubuhnya. Setengah jam kemudian, Sim Khiam sudah segar kembali,
setelah membuka matanya ia berkata: "Siau-tee tidak berguna,
hanya dapat menolong jiwa anak ini saja, sungguh membuat aku
malu terhadap kawanku yang telah mangkat."
Kemudian berkata kepada Kim Tan: "Hian-tit, lekaslah memberi
hormat kepada Bo-koe mu, jika kau dapat meyakinkan salah
satu dari ilmu silatnya Thay-it-sin-kang dan Liang-gie-ceng-khie,
cukup untuk kau menuntut balas terhadap musuh ayah
bundamu." 42 Kim Tan lalu berlutut dihadapan Sam Hie To-tiang, kemudian
menangis sedih sekali. Sam Hie To-tiang yang sudah jernih pikirannya pun tidak tahan,
ia ikut terharu menyaksikan keadaan anak muda itu. "Sudahlah,
umur manusia ditentukan oleh Tuhan. Kali ini aku turun dari
gunung Ngo-bie-san, dan datang ke Ciong-lam-san ini juga
lantaran kau. Nanti malam setelah dapatkan wasiat dari dalam
goa di gunung ini dan makan buah ajaib, kau harus ikut aku ke
Ngo-bie-san untuk belajar ilmu silat."
Sim Khiam bangun dari tempat duduknya bertanya pada pertapa
ini: "To-tiang, Siau-tee cuma tahu kau pandai dalam ilmu silat,
yang tidak ada tandingannya di masa ini, mengapa semua
kejadian sejauh ini kau dapat tahu sebelumnya" Adakah kau
sudah paham betul dengan ilmu petangan dari Ngo-bie?"
Sam Hie tertawa menyeringai: "Mana begitu mudah untuk
mempelajari petangan dari golongan Ngo-bie."
"Sejak aku meninggalkan Siauw-siang dan pergi ke Ngo-bie-san,
telah bertemu dengan turunan keempat dari pendekar pedang
Ngo-bie-san, selain diterima sebagai murid, juga diberi tempat di
goa Ciat-hun-tong, untuk mempelajari semua ilmu dari golongan
Ngo-bie. "Kemudian diizinkan setelah selesai urusan permusuhan adik
perempuanku, segera berangkat ke Hian-pit-gan untuk
mempelajari ilmu petangan.
43 "Kebetulan saja aku tiba disini, karena aku sedang mencari
barang wasiat yang terpendam di gunung ini, tidak kusangka
akan bertemu dengan kalian. Guruku meski sudah tinggi
ilmunya, juga cuma dapat tahu bahwa dalam gunung ini selain
semacam rumput ajaib, masih ada benda wasiat yang sangat
berharga harus menjadi milik Kim Tan."
"Bagaimana macamnya benda wasiat itu, malam ini baru kita
dapat menyaksikan." Mendadak dari udara terdengar suara burung rajawali yang
sudah kembali dari bawah gunung, burung itu terbang turun di
samping Sam Hie To-tiang berdiri. Sim Khiam dan Kim Tan
merasa sangat kagum dan heran, setahu bagaimana Sam Hie
To-tiang mengajar binatang yang bisa terbang itu, sehingga
demikian jinaknya. Tidak lama, sang malam telah tiba. Rembulan memancarkan
sinarnya yang terang benderang. Keadaan di sekitar gunung itu
sangat merawankan hati. Sim Khiam mendadak ingat sesuatu, dari dalam sakunya ia
mengeluarkan buku pelajaran ilmu pedang, Sam-cay yang ia
dapatkan di jembatan Kiauw-ling tanpa sengaja. Buku itu ia
tunjukkan kepada Sam Hie To-tiang, untuk minta penjelasannya.
Ia menyambuti buku itu, dikulitnya terdapat sebaris perkataan
yang berbunyi: "Pelajaran ilmu pedang Sam-cay, ditinggalkan untuk orang yang
berjodoh". 44 Sam Hie To-tiang membuka-buka buku itu, sambil tertawa ia
memberi selamat kepada Sim Khiam: "Selamat Hian-tee, Chiong
Hauw Lo-cianpwee, adalah seorang aneh di masa jamannya,
ilmu pedang dan silatnya, merupakan kepandaian yang
tersendiri. Seluruh ilmu dan kepandaiannya ia turunkan dalam
buku ini, dan sekarang buku ini telah jatuh di tanganmu,
sungguh besar peruntunganmu. Baiklah kau mencari tempat
yang sunyi, lalu kau pelajari baik-baik menuruti petunjuk buku ini,
kau nanti akan menjagoi di kolong dunia ini."
Sim Khiam sangat girang. Cuma beberapa bagian yang
menyangkut soal ilmu kebatinan, ia minta petunjuk dari Sam Hie
To-tiang. Itu waktu, sudah tiba saatnya untuk mengambil benda wasiat
dari dalam goa. Setelah mencari sebentar, Sam Hie To-tiang menemukan
sebuah lereng yang luar biasa keadaannya. Ia lalu kerahkan
tenaganya, ayunkan tangannya ke arah tembok gunung itu,
sebentar kemudian, tembok gunung itu terbuka, sebuah goa
terlihat di depannya. Bersama Kim Tan ia memasuki goa
tersebut, bau yang sangat harum menusuk hidung kedua orang
tersebut. Kim Tan menyalakan api, goa itu ternyata sangat luas.
Dalamnya terdapat tempat tidur batu, perapian, beberapa buah
genta kuningan dan sebagainya.
45 Terus mereka masuk ke dalam, mereka terus mencari bau
harum itu, akhirnya tiba di satu tempat. Terlihat sebuah tanaman
semacam rumput yang tumbuh di atas tembok gunung itu,
kembangnya berwarna merah darah, di tengah-tengah kembang
ada buah yang merah warnanya.
Sam Hie To-tiang segera memetik beberapa biji suruh Kim Tan
makan. Kemudian dengan sebilah pisau kumala, ia menggorek
temboknya dan mengangkat tumbuh-tumbuhan itu dengan akarakarnya.
Ia kembali memeriksa keadaan dalam goa itu, di atas meja batu
ia dapatkan dua bilah pedang wasiat, di bawahnya tertindih
sehelai kertas yang ada tulisannya, setelah dibaca, Sam Hie Totiang baru mengetahui bahwa pedang tersebut adalah
peninggalannya Couw-su nya sendiri, sambil menyoja ia lalu
memberi hormat menghadap kedua bilah pedang itu.
Pedang itu sangat kuno sekali, seluruhnya hitam melekat,
seolah-olah dua potong besi hitam. Kelihatannya tidak ada apaapa yang luar biasa, tapi jika diperiksa dengan teliti, dalam
warna yang hitam mengkilat itu mengandung sinar berkredepan.
Sam Hie mengulurkan tangannya mengangkat pedang itu dan
digoreskan pelahan-lahan di atas tembok gunung. Berapa
potong batu telah jatuh menandakan betapa tajamnya pedang
tersebut. Sam Hie To-tiang dengan tangan kiri mengempit dua bilah
pedang dan tangan kanannya membawa pohon rumput berkata
46 kepada Kim Tan: "Tan-jie, rejekimu besar sekali, kali ini kita
mendapatkan pedang dan pohon ini, tak usah dikata berapa
besar faedahnya. "Kini pamanmu Sim Khiam sudah terlalu banyak mengeluarkan
tenaga, baiklah diberi obat mujijat ini."
Lalu bersama Kim Tan keluar dari goa.
Sim Khiam setelah memakan obat rumput itu, sebentar saja
lantas pulih kesehatannya.
Kim 'I'an barusan mendengar bahwa setelah mendapatkan
rumput itu segera kembali ke Ngo-bie-san. Ia memikirkan
beberapa hari ini selalu berdampingan dengan Sim Khiam, kini
mendadak hendak berpisahan, hatinya merasa sangat pilu.
Sim Khiam mengetahui ini, ia tertawa dan berkata: "Hian-tit perlu
apa bersusah hati, kali ini kau pergi ke Ngo-bie untuk belajar
ilmu silat, perlunya supaya lekas dapat membalas sakit hati ayah
bundamu, paling lama cuma lima tahun. Lekaslah ikut Bo-koe
mu!" Sam Hie To-tiang mendengarkan sambil menganggukanggukkan kepalanya, kemudian perintah Kim Tan naik ke atas
punggung burung yang besar itu. Sebelum berangkat, Sam Hie
meninggalkan pesan kepada Sim Khiam: "Hian-tee, hatimu
sudah mulai berkembang kebenaran, ingatlah baik-baik
perkataan "air dan api saling berdesak" dalam pelajaran ilmu
pedang Chiong-hauw-cu, lain kali kita bertemu lagi."
47 Sehabis memesan, ia lalu duduk di atas punggung burung,
terbang ke Ngo-bie-san. Sim Khiam mulai saat itu lantas
berdiam di gunung Ciong-lam-san untuk meyakinkan ilmu silat
Sam-cay-kiam-hoat. "Y" Setelah tiba di kediaman Ciat-hun-tong, Sam Hie To-tiang lantas
menulis surat kepada Ceng Jie Sin-nie di Ceng-shia,
menuturkan semua kejadian atas diri keluarga Kim dan Cu.
Surat itu ia suruh burung rajawali segera disampaikan kepada
alamatnya. Kemudian ia berkata pada Kim Tan: "Dalam berapa
hari ini kau sudah terlalu lelah, mengasolah di kamar belakang,
mulai besok pagi, kau harus belajar dengan giat."
Keesokan hari pagi-pagi, Kim Tan sudah bangun dari tempat
tidurnya, di luar goa seperti terdengar suara orang bicara. Ia


Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera berpakaian dan keluar dari goa. Begitu tiba di luar,
pertama-tama yang ia lihat adalah satu gadis yang sangat
cantik, hingga merasa kaget.
Setelah mendekati, baru tahu bahwa gadis itu adalah kawan
memainnya di waktu masih anak-anak, Cu Ling Cie adanya. Ia
berdiri di sampingnya satu paderi wanita rambutnya sudah putih
semua, ia bukan lain adalah Ceng Jie Sin-nie.
Sam Hie To-tiang, lihat Kim Tan muncul segera berkata
padanya: "Tan-jie, ini adalah Soe-pek mu Ceng Jie Sin-nie,
lekaslah memberi hormat."
48 Kim Tan segera maju memberi hormat sambil berlutut.
Ceng Jie Sin-nie memandang sebentar, tertawa berkata kepada
Sam Hie: "Sungguh pasangan yang setimpal!"
Marilah kita ajak pembaca kembali pada asal mulanya Ling Cie
mengikuti Ceng Jie Sin-nie. Itu waktu Ling Cie baru berusia tujuh
tahun dan kini ia sudah berusia empatbelas tahun. Sejak kecil
hidup di atas gunung, belum pernah bergaul dengan orang luar,
maka hatinya masih putih bersih, sudah tentu tidak kenal soal
perbedaan antara pria dan wanita.
Ia segera maju dan menarik tangannya Kim Tan: "Engko Tan,
kabarnya ayah dan ibu telah dibinasakan oleh penjahat, hanya
tinggal aku seorang. Sekarang Suhu pun tidak mau aku lagi,
apakah kau masih suka perlakukan aku begitu baik seperti duludulu?" Sehabis berkata, air matanya mengalir di kedua pipinya.
Hal ini membikin Kim Tan sangat bingung, tidak terasa ia pun
keluarkan air mata. Ceng Jie Sin-nie yang menyaksikan keadaan ini, tidak tahan lalu
tertawa. "Anak ini berapa tahun saja tidak ketemu dengan Kim
Koko nya, mengapa begitu bertemu lantas tidak mau berpisah.
Sam Hie Soe-siok adalah keturunan asli dari golongan Hian Bun,
kau beruntung sekali bisa menjadi muridnya, mengapa berat
berpisah denganku?" Kemudian berkata lagi kepada Kim Tan: "Aku telah tiba saatnya
untuk meninggalkan keduniawian. Barusan aku sudah bicara
49 dengan gurumu, biarlah Ling Cie berguru kepadanya. Kau
dengan dia sama-sama piatu, sama-sama mempunyai ganjelan
sakit hati, maka baik-baiklah belajar, supaya segera dapat
menuntut balas. Aku tidak mempunyai apa-apa untuk
dihadiahkan kepada kamu, biarlah ini ilmu pedang, yang telah
kupelajari selama enampuluh tahun kuturunkan kepadamu."
Sam Hie To-tiang menyambutnya: "Ilmu pedang Hok-mo-capkau-chiu dari Soe-pek mu adalah suatu kepandaian yang
langkah di ini jaman, tidak gampang diturunkan kepada
sembarangan orang, bukanlah kau lekas-lekas mengucapkan
terima kasih?" Kim Tan sangat girang, ia buru-buru memberi hormat dan
mengucapkan terima kasih.
Ceng Jie Sin-nie lalu sejurus demi sejurus memainkan
pedangnya. Kim Tan memperhatikannya dengan seksama, kemudian meniru
cara gurunya ia memainkan pedangnya. Meskipun kurang
sempurna, tapi tidak ada yang salah.
Setelah selesai mengajar Kim Tan ilmu pedang, Ceng Jie Sinnie lalu pamitan kepada Sam Hie To-tiang, dengan menunggang
burung rajawali pertapa itu kembali ke Ceng-shia.
Sam Hie To-tiang berkata kepada Kim Tan dan Ling Cie:
"Pelajaran Pan-yok-sin-kang yang Ling Cie yakinkan, ada serupa
dengan ilmu pelajaranku Thay-it-sin-kang, keduanya ada
50 merupakan ilmu tenaga dalam yang sangat tinggi, tak usah
dikatakan berapa hebatnya ilmu pedang yang barusan Tan-jie
telah terima. Sekarang aku akan ajarkan lagi semacam ilmu
pukulan telapak tangan, namanya adalah Hoan-ceng-im-yangciang. Kamu harus pelajari baik-baik, sesudah berhasil, boleh
kamu pergi menuntut balas."
Mulai hari itu, kedua anak muda itu lantas berdiam di Ngo-biesan untuk belajar silat.
"Y" Cepat sekali lima tahun telah berlalu, pelajaran-pelajaran ilmu
silat yang Kim Tan dan Ling Cie pelajarkan ternyata sudah
sampai di puncak kesempurnaannya. Pada suatu hari, Sam Hie
To-tiang menyaksikan kedua muridnya belajar silat, setelah
selesai, ia berkata kepada Kim Tan: "Tan-jie punya ilmu Thay-itsin-kang, melontarkannya menggunakan tenaga halus dan
lemah gemulai. Ling Cie punya Pan-yok-sin-kang sebaliknya
harus memakai tenaga keras, cobalah kamu masing-masing
memukul batu itu yang terletak sejauh tujuh tindak."
Kim Tan angkat tangannya, melontarkan serangan ke arah yang
dimaksud, dan batu tersebut menjadi hancur. Tindakan ini
disusul oleh Ling Cie, hasilnya serupa.
Sam Hie To-tiang tertawa girang: "Kamu belajar baru lima tahun,
ternyata hasilnya sangat memuaskan.
51 "Besok pagi aku akan suruh burung, rajawali mengantar kamu
turun gunung untuk mencari musuh-musuhmu. Kamu herdua
telah berkawan sejak masih kanak-anak, turunan dari keluarga
Kim dan Cu adalah kamu yang harus menyambung. Hari ini
adalah hari baik, maka aku akan jodohkan kamu berdua, dan
setelah kamu berhasil membasmi musuh-musuhmu, barulah
menikah." Mendengar pesan gurunya Ling Cie merasa malu, lama sekali ia
tidak dapat menjawab. Besok paginya, mereka berpisah kepada
gurunya, dengan menunggang burung rajawali turun gunung
untuk mencari musuhnya. Hari itu, di kota Pek-te-shia telah muncul sepasang anak muda
dengan pakaian putih dan membawa senjata pedang. Ketika
mereka sedang memandang pemandangan kota, dari belakang
mendadak terdengar tindakan kaki yang antap. Mereka
menoleh, dari berapa langkah jauhnya berdiri satu pengemis tua.
Kim Tan lihat pengemis tersebut meski pakaiannya rombeng,
tapi romannya tidak menunjukkan seorang jahat, sepasang
matanya sangat tajam. Ia segera maju menghampiri dan
memberi hormat seraya berkata: "Boanpwee Kim Tan, bersama
Soemoy Cu Ling Cie hendak pergi ke Ouw-pak, disini telah
bertemu dengan Lo-cianpwee, sukalah Lo-cianpwee memberi
tahukan namamu yang terhormat?"
Pengemis itu membalas hormat dan berkata "Aku yang rendah
adalah Ma Beng. Aku melihat gerak-gerikmu sangat enteng,
52 sinar matamu yang tajam, mungkin mempunyai kepandaian
tinggi, bolehkah beritahukan kepadaku, siapakah gurumu?"
Kim Tan setelah mendengar nama pengemis itu, segera
menyoja. Pengemis tua itu ternyata ada orang gagah dari
kalangan Kang-ouw, yang beberapa puluh tahun berselang
karena bergulat dengan seekor ular besar, hampir saja mati
digigitnya ular itu. Untung segera ditolong oleh ibunya Kim Tan,
Lie Hun Cu, dan ular itu dapat dibinasakan.
Kemudian Ma Beng mengambil racunnya ular itu untuk membuat
senjata rahasia yang berupa peluru mutiara, tapi ternyata sangat
beracun. Peluru mutiara itu semuanya ada duabelas butir, yang
ia berikan semuanya kepada Lie Hun Cu untuk membalas
budinya yang sudah menolong dirinya. Lie Hun Cu sangat
sayang senjata rahasia itu, tidak gampang-gampang digunakan,
selama itu cuma pernah memakai tiga butir.
Tentang ini Lie Hun Cu di masa hidupnya pernah menceritakan
kepada Kim Tan, maka segera mengetahui siapa adanya Ma
Beng ini. Ia segera keluarkan senjata rahasia peninggalan
ibunya ditunjukkan kepada Ma Beng, hingga Ma Beng, segera
mengenalinya. Mulai saat itu Kim Tan lantas membahasakan Ma
Beng Empek, serta diberitahukan semua kejadian di Liok-phoasan yang menyebabkan kematian ayah bundanya.
Ma Beng mendengar penuturan Kim Tan berulang-ulang
menggelengkan kepala dan mengelah napas panjang.
Kemudian ia berkata: "Peristiwa di Liok-phoa-san itu aku pun
53 sudah dengar, tapi aku masih belum tahu perbuatan siapa, hari
ini aku baru tahu kalau Ouw-pak-sam-sat punya perbuatan.
"Kini kalian telah turun gunung untuk menuntut balas maka jika
tidak keberatan, aku bersedia sepenuh tenaga untuk memberi
bantuan, hitung-hitung turut membalas budi terhadap ibumu."
Kim Tan merasa girang mendapat bantuan Ma Beng, maka
tawaran itu segera diterima baik. Mereka bertiga lalu menyewa
sebuah perahu untuk menyeberang sungai.
Di tengah sungai, Ma Beng berpikir sebentar, lalu menanyakan
kepada Kim Tan: "Apakah kalian ada dengar bahwa baru-baru
ini di kalangan Kang-ouw telah muncul se?orang penjahat?"
Kim Tan kaget, ia menjawab: "Boanpwee baru saja turun
gunung, terhadap semua kejadian di kalangan kang-ouw, sama
sekali tidak tahu. Bolehkah Empe menceritakan."
"Di gunung Ay-lie-san daerah Hun-lam, baru-baru ini ada
seorang bernama Pek Cu Lam, ia sebetulnya bekas penjahat
dari Hun-lam selatan, kemudian dari gunung Ay-lie-san
mendapatkan sejilid kitab "Pek-kut-hian-keng", setelah dipelajari
duapuluh tahun lamanya, ia berhasil menemukan semacam ilmu
silat yang sangat liehay, sehingga menjagoi di kalangan Kangouw.
Ia mempunyai dua murid, murid kepala bernama Go Beng, murid
kedua bernama Phoa Cay, di samping itu ia telah memungut
seorang anak perempuan yang bernama Han Ing. Antara tiga
54 anak muda ini, adalah Phoa Cay yang paling pandai ilmu
silatnya dan paling kuat tenaga dalamnya. Sepasang telapakan
tangannya sangat beracun, orangnya pun sangat ganas.
Karena anjurannya Phoa Cay ini, Pek Cu Lam telah mendirikan
perkumpulan agama Pek-kut-kauw di gunung Ay-lie-san, ia
sendiri bergelar Pek-kut-sin-kun. Ia mengumpulkan semua orang
gagah dari dunia persilatan, pengaruhnya semakin hari semakin
tambah besar, dan di daerah sepanjang sungai Tiang-kang ia
membuka cabang-cabangnya.
Pada suatu waktu, orang-orangnya Pek-kut-sin-kun ini telah
bentrok dengan Piauw-soe dari Ceng Hin Piauwkiok di Tiang-an.
Bentrokkan itu tambah meluas, sehingga Soe-sioknya Piauwsoe tua yang sudah lama mengundurkan diri, turut campur
tangan. Ia mengundang semua kawan-kawannya dari orangorang gagah, pada nanti malaman Tiong-chiu mengadakan
pertandingan dengan kaum Pek-kut-kauw
Dari pihak Pek-kut-sin-kun juga banyak orang-orang gagah yang
bersedia membantu tenaga, mungkin Ouw-pak-sam-sat nanti
juga akan berada di sana. Kita meskipun tidak menerima
undangan, baik juga kita datang untuk melihat-lihat keramaian."
Kim Tan berpikir: menggunakan ketika ini untuk mencari tahu
jejaknya Ouw-pak-sam-sat juga ada baiknya, maka ia setuju usul
Ma Beng. Kemudian Ma Beng melanjutkan penuturannya:
55 "Pek-kut-sin-kun ilmunya sangat tinggi, sukar sekali dijajaki.
Murid-muridnya, Go Beng dan Phoa Cay punya pukulan
telapakan tangan Pek-kut-im-hong dan Pek-kut-im-lin-shoa
sangat beracun, hati-hati jika nanti bertemu dengan mereka.
Tapi anak pungutnya, Han Ing, sebaliknya tidak suka dengan
sepak terjang Pek-kut-sin-kun, sampaipun senjata tunggalnya
golongan Pek-kut-kauw yang berupa Pek-kut-song-bun-kiam
juga tidak mau menggunakan. Pek-kut-sin-kun sangat sayang
kepadanya, maka ia tidak mau memaksa, dan oleh karena ia
suka meniup suling, maka Pek-kut-sin-kun telah ajarkan
padanya ilmu silat dengan menggunakan seruling.
Orang-orang dari kalangan Kang-ouw memberi ia gelar "Gioktek-hwie-sian" atau "Seruling kumala si dewi terbang". Giok-tekhwie-sian ini romannya sangat cantik, Phoa Cay sudah lama
ingin dapatkan dia, tapi gadis itu sangat dingin hatinya terhadap
sang Suheng itu." Cu Ling Cie sehabis mendengar penuturan Ma Beng, sambil
tertawa manis ia berkata kepada Kim Tan: "Orang semacam
Giok-tek-hwie-sian itu sukar sekali dicari bandingannya, jika
Engko Tan ketemu dia, janganlah kau bikin luka."
Kim Tan buru-buru menjawab: "Hal ini kau tak usah kuatir.
Waktu turun gunung aku sudah berjanji kepada Suhu, kecuali
musuhku, tak akan aku bunuh orang."
Ma Beng yang menyaksikan kedua anak muda ini riang gembira,
seolah-olah tidak pandang mata murid-muridnya Pek-kut-sinkun, diam-diam merasa kuatir.
56 Mereka bertiga berjalan bersama-sama, lewat beberapa hari,
mereka telah tiba di Bu-han, dan melanjutkan perjalanan darat.
Sesampainya di kota, terlebih dahulu mereka pergi ke rumah
makan untuk menangsel perut. Dari atas lo-teng, mereka melihat
satu pemuda berpakaian hijau, lewat di depan rumah makan.
Pemuda itu parasnya sangat cakap, gerak jalannya cepat dan
gesit. Kim Tan merasa heran, segera menanyakan kepada Ma Beng:
"Empe Ma, lihat itu anak muda, rupa-rupanya sangat tinggi ilmu
silatnya. Empe sudah lama merantau di kalangan Kang-ouw,
tahukah dari golongan apa dia itu?"
"Maafkan mataku yang lamur, orang ini aku tidak kenal. Tapi
barusan melihat tindakan kakinya, rupa-rupanya seperti
mempunyai ilmu mengentengkan tubuh "Ling-hie-pe" yang
sudah lama lenyap, meski aku lebih tua dari kalian, menyesal
tidak dapat menerka. Tapi agaknya bukan seorang jahat."
Setelah membayar makanan, pegawai rumah makan
memberitahukan kepada mereka bahwa malam ini pemandangan di Oey-he-lauw sangat indah, banyak orang yang
datang untuk mencari hiburan.
Cu Ling Cie yang masih kekanak-anakan, terlebih dulu
menyatakan setuju, hingga mereka menyewa sebuah perahu
menuju ke Bu Ciang. 57 Ma Beng, Kim Tan dan Cu Ling Cie telah tiba di Oey-he-lauw.
Mereka naik ke atas lo-teng, hingga dapat menikmati
pemandangan alam di sekitar sungai. Selagi dalam keadaan
kesengsem, mendadak terdengar suara orang meniup suling.
Kim Tan mendadak ingat Giok-tek-hwie-sian. Betulkah dia yang
meniup" Mereka lalu turun dari lo-teng, untuk mencari orang
yang meniup suling itu. Di tengah-tengah sungai, ada satu perahu besar, ternyata suara
suling itu datangnya dari perahu tersebut. Kim Tan bertiga
segera menyewa sebuah perahu kecil, didayung menuju ke arah
perahu besar itu. Setelah mendekati, Kim Tan dapat lihat bahwa
orang yang meniup suling itu adalah itu pemuda berbaju hijau,
yang tadi siang pernah lewat di depan rumah makan, ketika
sedang makan. Kim Tan sangat girang, buru-buru berdiri di kepala perahu,
sambil angkat tangannya ia berkata dengan suara nyaring:
"Heng-tay sungguh sangat gembira sekali, sudikah mengijinkan
aku yang rendah kesana untuk belajar kenal?"
Pemuda baju hijau itu lalu menengok, ia pun dapat mengenali
mereka bertiga.

Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku hanya main-main saja, tak kusangka telah menarik
perhatian kalian bertiga. Jika sudi, silahkan singgah di perahuku
untuk bercakap-cakap."
58 Kim Tan bertiga, setelah tiba di atas perahunya si anak muda,
masing-masing lalu menyebutkan namanya, untuk belajar kenal.
Pemuda tersebut mengaku bernama Tan Cee, selain gemar
suling, juga mengerti sedikit ilmu silat. Meski baru kenal, tapi
mereka segera merasa cocok satu sama lain. Tan Cee dapatkan
mereka pada membawa pedang, lalu menanyakan kepada Ma
Beng. "Ma Lo-cianpwee, namamu sangat terkenal di kalangan Kangouw, ini aku sudah lama dapat dengar. Hanya Kim-heng dan
Hian-moy, dari sinar matanya menunjukkan orang-orang yang
mempunyai tenaga dalam sangat sempurna. Aku dengar pada
nanti harian Tiong-chiu, di atas bukit Kun-san akan ada
pertempuran hebat. Kalian bertiga berani tunjukkan diri disini,
apakah ada sangkut pautnya dengan pertempuran itu?"
"Kita kebetulan lewat disini saja. Tentang itu pertempuran, sama
sekali kita, tidak akan turut campur. Apakah Tan Lo-tee suka
menonton pertempuran itu?"
"Terhadap soal permusuhan di kalangan Kang-ouw, Boan-pwee
sudah sangat jemu. Dewasa ini anak muridnya Pek-kut-kauw
sudah pada datang. Hek-hoat-lo-han Liauw Ceng dan Cian-pisin-mo juga sudah mengirim bala bantuan, orang-orangnya
Ceng Hin Piauw-kiok mungkin bukan tandingannya."
Cu Ling Cie mendengar Tan Cee mengatakan orang-orangnya
Pek-kut-kauw sangat liehay, tertawa dingin.
59 "Kita tidak ada permusuhan apa-apa terhadap kedua pihak,
tujuan kita cuma ingin turut menyaksikan ramai-ramai saja, tapi
jika Cian-pi-sin-mo dan Hek-hoat-lo-han datang, rasanya Pekkut-kauw akan mencari kesukaran sendiri."
Mendengar itu perkataan, Tan Cee merasa tidak senang. Dalam
hati berpikir: Anak dara ini betul-betul tidak tahu selatan, usiamu
yang begitu muda. Betapapun kepandaianmu, juga belum tentu
bisa nempil kepandaian mereka berdua. Mengapa begitu
sombong, baiklah aku coba uji ilmunya.
"Kalian bertiga merantau di kalangan Kang-ouw, melakukan
perbuatan yang budiman, sepantasnya tidak takut bahaya. Aku
tadi telah kesalahan omong, harap supaya dimaafkan. Sekarang
biarlah aku menghormat kalian masing-masing secawan arak."
Ma Beng tahu bahwa Tan Cee hendak menguji mereka, ia kuatir
Kim Tan dan Ling Cie akan tergelincir, maka ia yang maju
terlebih dulu. Tan Cee tangannya sudah menenteng poci arak,
dengan pelahan maju ke depan, dengan sebelah tangan ia
tuangkan araknya di cawan Ma Beng. Cucut poci baru saja
menempel pinggiran cangkir, seolah-olah ada tenaga ribuan kati
beratnya menekan ke bawah. Ma Beng segera kerahkan
tenaganya untuk menyambuti, tapi peluhnya sudah mengucur di
kedua dahinya. Cu Ling Cie sambil menenteng cangkir, dengan suara lemah
lembut berkata pada Ma Beng.
"Empe Ma, biarlah aku yang menyambuti cangkir yang kedua."
60 Tan Cee memandang sebentar, melihat ia begitu lemah-lembut,
agaknya memandang enteng. Maka tidak memakai tenaga
sepenuhnya, kembali menuangkan poci ke cangkirnya Ling Cie.
Tapi kedua benda itu begitu menempel satu sama lain.
Ia sangat terkejut, kedua pipinya mendadak bersemu dadu.
Karena ia merasakan satu tenaga yang sangat kuat, menahan
turunnya poci, hingga tidak berdaya sama sekali. Sejak
merantau di dunia Kang-ouw, belum pernah Tan Cee ketemu
tandingan yang ilmunya begitu tinggi.
Hal itu terjadinya hanya dalam tempo sekejapan saja. Ma Beng
yang menyaksikan dari samping, masih belum tahu duduknya
perkara. Tapi Kim Tan sudah mengerti, ia kuatir Tan Cee nanti
mendongkol. Kebetulan itu waktu ada seekor burung yang sedang terbang
pendek di jarak enam atau tujuh kaki jauhnya. Ia lantas berdiri
dan menarik tangannya Ling Cie perlahan-lahan.
"Moy-moy, lihat sungguh indah bulu burung itu, nanti aku coba
tangkap untuk kau memain."
Tan Cee mengerti Kim Tan sengaja cari alasan untuk
memisahkan mereka berdua, diam-diam ia memuji kecerdikan
anak muda ini. Tapi burung itu sedang terbang sejauh enam
atau tujuh kaki dari perahu, di sekitarnya ada air, dengan cara
bagaimana hendak menangkap hidup-hidup. Di dalam hatinya
memikir, tapi sepasang matanya memandang Kim Tan.
61 Ia lihat Kim Tan keluar dari perahu, kemudian menggulung
lengan bajunya, dengan membalikkan kedua telapakan
tangannya, digapaikan kepada burung yang sedang terbang.
Burung itu seolah-olah kena tersedot besi semberani, menempel
ditelapakkan tangan Kim Tan, meski sepasang sayapnya
dikibas-kibaskan, tapi tetap tak bisa terbang. Hal ini bukan saja
membuat Ma Beng dibikin kesima, Tan Cee pun merasa tunduk,
hingga ia maju menyoja. "Kalian berdua, boleh dikatakan sepasang orang pandai yang
tidak ada bandingannya, barusan aku ada mata tapi tak bisa
melihat, hingga menunjukkan kejelekkanku, haraplah jangan
dibuat celaan. Hanya belum tahu siapakah guru kalian"
Bolehkah memberitahukan kepadaku yang rendah ini?"
Kim Tan menarik kembali tenaga ditelapakan tangannya, hingga
burung tersebut terbang ke angkasa. Selagi hendak menjawab
pertanyaan Tan Cee, mendadak terdengar suara orang yang
tertawa dingin. Suara itu meski dari jarak beberapa tumbak datangnya, namun
terdengarnya sangat tegas, menunjukkan betapa tinggi ilmu dan
tenaga dalamnya orang tersebut. Suara tertawa yang sifatnya
menyindir itu, agaknya ditujukan kepada orang-orang di dalam
perahu. Tan Cee mendadak wajahnya berubah, lalu menyoja kepada
mereka bertiga. 62 "Aku merasa girang, telah dapat berkenalan dengan orang-orang
pandai, sayang sekali pertemuan kita ini agak terlalu pendek,
biarlah sampai di sini dulu. Pertemuan di bukit Kun-san, mungkin
aku akan sampai duluan, biarlah di sana nanti kita bertemu lagi."
Kim Tan tadi menyaksikan pemuda ini sangat gembira, setelah
mendengar suara tertawa sindiran, mendadak berubah
sikapnya, mungkin ada sebab-sebabnya. Selagi hendak
bertanya, perahu sudah menepi, Ma Beng terlebih dulu
mendarat. Cu Ling Cie dan Kim Tan baru melangkahkan
kakinya, telah ditarik oleh Tan Cee.
"Sebentar mungkin ada pemuda berbaju kuning datang akan
mencari onar, katakan saja bahwa kalian baru saja kenal
denganku, hal yang lain-lain tak perlu kalian ladeni, sedapat
mungkin hindarkan permusuhan. Jika terpaksa mesti bertempur,
barusan aku sudah saksikan kepandaian kalian, sudah tentu
akan dapat menundukkan dia. Tapi pemuda itu adatnya sangat
ganas, senjata rahasianya sangat berbisa.
"Jika kalian bertanding dengan dia, hati-hatilah dengan tangan
kirinya serta kantong yang menggantung di pinggangnya.
Pendeknya, soal ini semuanya lantaran Siau-tee, aku sangat
menyesal sekali jika terjadi apa-apa terhadap kalian. Di lain
waktu jika kita bertemu lagi, aku nanti akan menghaturkan
maaf." Mendengar perkataan yang tak keruan ujung pangkalnya ini,
Kim Tan merasa bertambah heran. Cu Ling Cie sangat cerdas,
ia sudah dapat menduga beberapa bagian, namun tidak berkata
63 suatu apa. Ia mengajak Kim Tan dan Ma Beng mencari rumah
penginapan di sekitar itu tempat.
Di tengah malam, kembali terdengar suara tertawa sindiran,
yang kemudian disusul dengan suara mantap: "Kawan di dalam
kamar, marilah kita bertemu di Oey-he-lauw."
"Orang ini mungkin yang barusan dikatakan oleh Tan Cee,
kelihatannya bukan orang sembarangan, kita tidak boleh
pandang enteng padanya," Kim Tan berkata kepada kedua
kawannya. Kemudian lantas melesat ke atas genteng, menuju
ke Oey-he-lauw. Bertiga setibanya di Oey-he-lauw, keadaan ternyata sangat
sunyi, di bawah sinarnya rembulan, terlihat satu pemuda berbaju
kuning, sedang mundar-mandir sambil menggemblokan kedua
tangannya. Pemuda itu berusia kira-kira duapuluh lima tahun,
wajahnya tampan, hanya mengandung sifat kejam, mungkin
bukan orang baik-baik. Kim Tan segera memberi hormat.
"Terima kasih atas undanganmu, belum tahu ada keperluan
apa?" Ma Beng berkata dengan sikap yang merendah sekali,
tapi pemuda itu masih menunjukkan sikap sangat sombong.
"Kau mungkin ada itu orang yang bernama Ma Beng, tapi aku
tidak mencari kau, suruhlah itu seorang she Kim Tan menemui
aku," menjawab pemuda baju kuning itu dengan adem.
64 Meski Ma Beng sudah kenyang merantau di kalangan Kangouw, tapi kali ini bertemu dengan orang yang begitu sombong,
hingga hilang kesabarannya.
"Aku sudah enampuluh tahun lebih hidup di kalangan Kang-ouw,
tapi belum pernah bertemu dengan orang yang begitu sombong
semacam kau. Meskipun aku harus mati di tempat ini, juga ingin
sekali mencoba kepandaianmu."
Baru saja hendak turun tangan, atau sudah dicegah oleh Cu
Ling Cie. "Empe Ma, terhadap orang begini tidak perlu kau turun tangan,
biarlah Tan-ko nanti yang memberi hajaran padanya." Dan ia
menoleh kepada pemuda baju kuning.
"Kau ini mungkin Phoa Cay, itu murid yang terpandai dari Pekkut-sin-kun. Maksudmu aku sudah mengerti, tentunya kau takut
kalau Tan-ko akan bersobat rapat dengan Tan Cee cuma
sayang, pedang Song-bun-kiam dan segala senjata rahasiamu
yang kau agulkan, dipandangan mataku tidak ada artinya apaapa."
Sambil memasang mata ia menyambung: "Aku nasehati kau,
lebih baik kau segera lepaskan niatmu dan lekas-lekas insyaf.
Jika tidak, bagaimana hebatpun kepandaianmu, asal kita turun
tangan, tanggung kau nanti akan kembali asalmu, yaitu
segundukan tulang-tulang!"
65 Mendengar perkataan anak dara ini, Ma Beng kaget, ia tidak
sangka bahwa pemuda baju kuning ini adalah itu orang yang
terkenal sangat ganas di kalangan Kang-ouw.
"Perempuan hina, jangan kau sembarangan mencaci orang,
lihatlah aku nanti akan antar kau ke akherat," Phoa Cay
menjawab dengan sangat mendongkol.
Kim Tan sangat murka, ia pikir senjata wasiatnya belum pernah
digunakan, maka ini adalah saat untuk mencoba-coba. Ia lantas
cabut Po-kiam nya yang kelihatannya hitam, tapi sinarnya
bergemerlapan. Ia menjura kepada Phoa Cay.
"Jangan kau terkebur, Pek-kut-song-bun-kiam kabarnya sangat
liehay, aku ingin coba-coba beberapa jurus."
Phoa Cay sangat menghina. Ia menyahut sambil nyindir. "Kau
yang kelihatannya masih anak bawang, mana sanggup
menerima sejurus saja aku punya pedang Song-bun-kiam ini"
Dengan menggunakan sepasang kepalan saja, sudah cukup
untuk mentberi hajaran padamu." Habis berkata lantas melesat
menyerang Kim Tan. Tapi Kim Tan berdiri tegak, melihat datangnya serangan, ia tidak
berkelit juga tidak menangkis, cuma membalikkan telapakan
tangannya, diangkat untuk melindungi dadanya. Phoa Cay itu
waktu mendadak merasakan satu serangan dari tenaga dalam
yang sangat kuat, ia insyaf keliehayannya anak muda ini, maka
tidak berani menangkis, dan buru-buru menarik kembali
serangannya, mencelat mundur dua tumbak lebih.
66 Phoa Cay kakinya baru menginjak tanah lantas menoleh, tapi
Kim Tan masih tetap berdiri tidak bergerak, mulutnya
tersungging senyuman. "Lekas keluarkan senjatanmu, dengan kepandaian yang tidak
ada artinya ini, mana mampu memberi pelajaran padaku."
Phoa Cay yang pernah malang melintang di kalangan Kangouw, belum pernah menerima hinaan demikian rupa. Ia sangat
murka, segera mencabut pedangnya yang sangat lemas,
macamnya seperti cambuk, apabila tangannya dikibaskan, maka
pedang itu lantas berubah menjadi lempeng, lalu menikam dada
Kim Tan. Dengan memutar sedikit tubuhnya, Kim Tan
menghindarkan tikaman itu, kemudian dengan pedangnya
menentang tangan kirinya Phoa Cay.
Setelah serangannya tidak menemukan sasarannya, lalu
merubah gerakannya, dengan menggunakan telapakan tangan
ia menyerang bebokongnya. Kim Tan memutar tubuhnya ke
sebelah kirinya Phoa Cay, selagi hendak membalas menyerang,
Phoa Cay sudah memutar tubuhnya, dan dengan pedangnya ia
kembali menusuk. Kim Tan melihat Phoa Cay berkelahi menggunakan pedang dan
telapakan tangannya dengan berbareng, diam-diam memuji
keliehayannya pemuda ini. Karena gerakan dan tikamannya
Phoa Cay selalu diarahkan di tempat berbahaya, Kim Tan
menjadi sangat murka, maka ia lalu keluarkan ilmu silat Samhoan-te-goat dengan berbareng.
67 Phoa Cay yang merasakan hebatnya serangan dari perubahan
ini, diam-diam sangat terkejut. Maka ia lalu keluarkan ilmu silat
Song-bu-cap-sha-kiam untuk mengimbangi lawan.
Sebelum bergebrak, Phoa Cay tadinya terlalu memandang
enteng lawannya, sama sekali tidak memandang mata. Setelah
beberapa puluh jurus dilewati, masih juga belum bisa merebut
kemenangan, hingga mulai gelisah. Ia coba hendak
mengandelkan ketajaman pedang Song-bun-kiamnya, untuk
memapas pedang lawan. Kim Tan dengan matanya yang tajam, dapat melihat gerakan
kedua pundaknya, dan pedangnya Song-bun-kiam selalu
mencari kesempatan akan diadu dengan pedangnya, ia segera
mengerti maksud lawannya yang sangat licik ini. Untung
pedangnya sendiri ada sebilah pedang mustika, dalam hatinya ia
merasa geli, maka ia sengaja pura-pura takut pedangnya
terbentur, kemudian dengan pura-pura ia kendorkan
gerakannya. Phoa Cay melihat ada lobang terbuka, pedangnya segera
disontak ke atas, tapi lacur baginya, pedang Pek-kut-song-bunkiam yang diandelkan itu telah patah menjadi dua. Phoa Cay
sangat murka, dengan sepotong pedangnya ia lontarkan ke arah
Kim Tan, berbareng dengan itu, ia juga melontarkan serangan
dengan telapakan tangan kirinya.
Sambil berseru "bagus!" Kim Tan sentakkan pedangnya ke atas,
dan potongan pedang Phoa Cay yang dilontarkan padanya itu,
kembali dipapas menjadi dua potong.
68 Cu Ling Cie itu waktu sudah merasa gatal tangannya, maka


Suling Pualam Dan Rajawali Terbang Karya Peng An di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera berdiri, dan dengan gerakan "Lian-thay-pay-hut, ia
melontarkan serangan kepada Phoa Cay. Phoa Cay merasa
agak tergetar, tidak dapat berdiri tegak, seolah-olah melayanglayang dirinya terdampar, lama sekali baru dapat berdiri.
Kim Tan sudah masukkan pedangnya ke dalam sarungnya,
dengan tangan kanan ia mengarah punggung lawan. Dalam
keadaan terjepit serupa itu, meski bagaimana tinggipun
kepandaian Phoa Cay, susah sekali untuk menghindarkan,
hingga ia pejamkan matanya sambil mengelah napas untuk
menerima kematian. Kim Tan yang sudah lontarkan serangannya, melihat Phoa Cay
tidak melawan, ia tertegun. Dalam hatinya ia memikir, meski
Phoa Cay telah tersesat, namun kepandaiannya itu
didapatkannya tidak dengan mudah. Karena perasaan sayang
ini, maka ia segera menarik kembali serangannya, hanya
dengan tenaga enteng ia tolak tubuhnya Phoa Cay sambil
berkata dengan suara rendah: "Dosa tak ada habisnya, insyaflah
sebelum terlambat." Meski ditolak sangat perlahan, tak urung tubuhnya Phoa Cay
terpental tujuh sampai delapan kaki jauhnya. Di luar dugaan,
Phoa Cay yang berhati binatang, ternyata membalas budi
dengan keganasan. Dengan secara sangat rendah, ia
membokong Kim Tan dengan senjata rahasianya yang sangat
berbisa, kemudian melarikan diri.
69 Diserang secara keji ini, apa lagi di luar dugaan sama sekali,
maka betapa tinggi ilmu kepandaiannya Kim Tan, susah juga
untuk menghindarkan diri. Dalam keadaan yang sulit ini, ia cuma
bisa mengerahkan tenaga dalamnya untuk menangkis, tapi tak
urung kakinya masih terkena.
Cu Ling Cie segera memburu, menanyakan apakah dirinya
terkena senjata rahasianya Phoa Cay.
"Aku tidak nyana bahwa Phoa Cay itu betul-betul seorang yang
berhati kejam dan ganas. Senjata rahasia pasirnya meski sudah
kusampok jatuh, tapi pahaku rasanya ada terkena. Untung aku
ada membawa obat pil dan obat bubuk penolak racun, mungkin
untuk sementara tidak akan menjadikan halangan, nanti setelah
kembali ke rumah penginapan, kita obati lagi." Kim Tan
menjawab. Tapi baru saja hendak bangun, wajahnya sudah
berubah pucat dan badannya rubuh.
Ling Cie sangat bingung, untung Ma Beng sudah kenyang
dengan pengalamannya, hingga tidak menjadi gugup, ia segera
gendong Kim Tan pulang ke rumah penginapan.
Setibanya di dalam kamar, Ma Beng segera periksa lukanya Kim
Tan ternyata terdapat enam sampai tujuh totol-totol merahmerah, tiga diantaranya mengeluarkan darah. Cu Ling Cie
dengan tangan memegang botol obat, berdiri tegak di
sampingnya, air matanya mengalir tidak hentinya. Dalam
keadaan demikian, Ma Beng segera ingat sesuatu.
70 "Obat yang ditelan Suhengmu tadi, dapat menahan racun
berapa lama?" "Pil pemberian Suhu ini, meski tidak dapat memunahkan racun,
tapi bisa menahan racun tidak sampat menyerang ke jantung,
bagaimana pun bisanya, dalam tempo tiga jam tidak menjadikan
halangan. Apakah maksudnya Empe menanyakan hal ini?"
"Aku ada mempunyai satu kawan yang pandai ilmu ketabiban,
tinggalnya ada beberapa ratus pal dari sini, dalam tempo tiga
jam, aku percaya dapat undang dia kemari untuk menolong
jiwanya Kim Hian-tit."
"Kalau begitu, baiklah Empe buru-buru berangkat."
Ma Beng tidak menjawab lagi, segera lompat dari jendela,
sekejap mata kemudian sudah berada di atas rumah dan
menghilang di tempat gelap.
Itu waktu, Kim Tan berbaring di atas pembaringan dalam
keadaan tidak ingat orang. Cu Ling Cie duduk di sebelahnya
sambil menangis. Dalam keadaan demikian, mendadak
terdengar suara orang mengetok jendela sangat perlahan,
disusul dengan suaranya orang menanya.
"Apakah Ma Lo-cianpwee sudah tidur" Aku Tan Cee ingin
bertemu." Cu Ling Cie terkejut mendengar suara itu, untung ia masih ingat
pesanan Tan Cee, yang harus waspada terhadap senjata
berbisanya Phoa Cay yang berupa pasir. Kedatangan ia ini tak
71 mungkin ada mengandung maksud jahat. Maka ia baru
membuka pintu, mempersilahkan Tan Cee masuk kamar.
Tan Cee masih tetap dengan pakaian hijaunya, kelihatannya
malah makin tampan. Ia segera dapat lihat Kim Tan sedang
berbaring di pembaringan sambil meramkan matanya,
kelihatannya seperti sedang menderita luka parah, yang akan
mendekati ajalnya. Ia menanyakan kepada Ling Cie dengan kaget bukan main:
"Suhengmu terluka sudah berapa jam?"
"Kira-kira sudah setengah jam."
Tan Cee merabah dadanya Kim Tan, jantungnya masih
berdenyut. Ia merasa lebih heran. "Ia terkena senjata pasir beracunnya
Phoa Cay, senjata rahasia itu meskipun sangat halus seperti
pasir, tapi terbikin dari bahan-bahan yang sangat berbisa. Siapa
terkena, dalam tempo setengah jam, bisanya menyerang
jantung, sehingga sang korban akan mati seketika itu juga.
Suhengmu terkena senjata itu sudah setengah jam, tapi
jantungnya masih berdenyut, satu tanda peruntungannya masih
bagus, dan jiwanya akan tertolong."
Cu Ling Cie mendengar dengan perasaan terharu, ia berkata
sambil mewek: "Ia barusan sudah menelan obat pilnya
pemberian Suhu, untuk melindungi jantung. Dalam tempo tiga
72 jam dapat menahan serangannya segala bisa, tapi selewatnya,
tidak tahu bagaimana jadinya."
Tan Cee mendengari tidak berkata apa-apa. Ia keluarkan dua
jeriji tangannya, dengan keras ditotokkan kedua tempat jalan
darahnya Kim Tan. Ling Cie kaget, baru ia hendak menanyakan
atau sudah didahului oleh Tan Cee dengan bersenyum:
"Lie-hiap jangan kaget, Siau-tee sekarang hendak membedah
daging Suhengmu untuk membuang racunnya, karena kuatir ia
tidak tahan sakit, maka aku totok kedua jalan darahnya, agar ia
tetap tidur. Setelah pembedahan selesai, nanti kubuka lagi
totokkanku. Tanggung tidak akan menyadi halangan suatu apa,
legakanlah hatimu." Tan Cee dari dalam sakunya mengeluarkan sebilah pisau kecil
yang terbikin dari batu kumala, dan sebungkus obat puder yang
berwarna merah. Kemudian minta Ling Cie supaya memegangi
paha kanannya Kim Tan, dan ia sendiri menggulung celananya.
Tidak tahu apa sebabnya, Tan Cee kedua pipinya mendadak
bersemu dadu. Cu Ling Cie yang menyaksikan semua ini,
hatinya merasa sangat heran.
Tan Cee setelah tetapkan hatinya, lalu mulai mengerjakan
pisaunya, sepotong daging dari pahanya Kim Tan telah jatuh
terpotong, darah hidup mengucur deras. Ia buru-buru
menuangkan obatnya untuk menalan mengucurnya darah,
kemudian dibungkus dengan kain bersih dan dari dalam
73 sepotong daging paha tadi, ia mengeluarkan tiga butir pasir
beracun sebesar beras. Ling Cie melengak ketika menyaksikan itu semua.
Setelah semua selesai, Tan Cee lalu menanyakan kepada Ling
Cie: "Tadi siang telah menyaksikan Suhengmu mengeluarkan
kepandaiannya dengan tangan kosong menangkap burung
hidup, suatu tanda tinggi ilmu dalamnya. Andai kata tidak dapat
melawan senjata berbisanya Phoa Cay, tokh tidak nanti bisa
kena terbokong. Hal ini benar-benar bikin Cay-hee tidak habis
mengerti, bolehkah Hian-moy memberi penjelasan!"
Cu Ling Cie lalu menceritakan bagaimana Kim Tan tidak sampai
hati menurunkan tangan jahat terhadap Phoa Cay, dan
bagaimana Phoa Cay telah membalas kebajikan dengan
kekejaman. Mendengar penuturan ini, Tan Cee mengelah napas panjang.
"Sungguh tidak dinyana binatang Phoa Cay itu demikian keji."
Tan Cee berpikir sejenak, ingat barusan Ling Cie menceritakan
bagaimana Kim Tan telah menggunakan ilmu pukulan dalam
"Pan-yok-sin-kang" membikin terpental senjata rahasia pasir
Phoa Cay, ia tahu bahwa ilmu pukulan itu adalah ilmu simpanan
Hoat-hoa-am-cu dari Ceng-shia, yang tidak pernah diturunkan
Tusuk Kondai Pusaka 19 Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Hong Lui Bun 5
^