Bloon Cari Jodoh 26
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Bagian 26
itupun jatuh. Ih Giam melepas lagi piau Ular-emas sampai dua kali
tetapi tetap tak dapat mengenai lawan. Dan Huru Harapun
sempat memperhatikan bahwa piau Ular-emas itu
mempunyai daya kekuatan menyerang sampai dua kali.
Yaitu, apabila menyambar luput, benda itu masih dapat
menyambar lagi untuk yang kedua kalinya. Apabila luput
lagi, baru piau itu jatuh.
Sekalian orang terpesona menyaksikan keistimewaan
piau Ular-emas dari Ih Giam. Tetapi merekapun, termasuk
Ih Giam sendiri, juga mengagumi akan kelihayan Huru
Hara dapat menghindar. Semula setiap melontar hanya sebuah piau Ular-emas,
setelah tiga kali gagal, baru Ih Gam melontarkan dua buah.
Kemudian tiga buah. Setiap kali tentu diulangi sampai tiga
kali. "Kunyuk, bagaimanapun juga, engkau tentu harus
rubuh," seru Ih Giam. Kali ini sekaligus dia melontar
sampai sepuluh yang dilakukan dengan sepuluh jarinya,
kanan dan kiri. "Matikkk," Huru Hara mengeluh. Waktu menerima
lontaran dua, tiga buah piau Ular-emas Huru Hara harus
mandi keringat untuk menghindari. Tetapi kalau sekarang
ia harus menghadapi sepuluh batang piau Ular-emas,
terpaksa ia harus mengakui bahwa tak mungkin ia mampu
menghindar lagi. Serentak dia keringat pedang Thiat-cek-kiam atau
pedang- magnit yang terselip di pinggangnya. Segera ia
mencabut pedang itu dari kerangkanya dan diputar sederas
angin kencang. Tring, tring, tring . . . . kesepuluh batang piau Ular-emas
itu segera melekat pada batang pedang semua.
Ih Giam mendelik seperti melihat setan di siang hari. Ia
hampir tak percaya apa yang disaksikannya. Masakan piau
Ular-emas yang sudah membuktikan keampuhannya sejak
berpuluh tahun, kini harus melekat pada sebatang pedang.
"Pedang luar biasa," puji Ih Giam.
"Hayo teruskan saja," seru Huru Hara.
"Masih ada lagi, kunyuk," teriak Ih Giam teraya
mencabut pedang dari pinggangnya. Ah, ternyata pedang
itu juga berbentuk seperti ular.
"Pedangku ini disebut Kim-coa-kiam (pedang ular emas).
Kalau engkau mampu menghadapi seranganku sampai 100
jurus, engkau boleh menganggap bahwa engkaulah yang
menang!" Sebenarnya Huru Hara hendak menyimpan pedang
magnitnya tetapi karena ia kuatir pedang Ular emas musuh
itu juga mengandung keanehan maka dia tetap hendak
memakai pedangnya. Serentak Ih Giam memutar pedangnya sederas hujan
mencurah. Setelah beberapa kali menghindar Huru Hata
lalu memutar pedangnya. Tring, tring . . . . benturan antara kedua pedang itu tak
dapat terhindar lagi. Tetapi anehnya setelah itu, tidak
terdengar suara apa2 lagi.
Dan saat itu terjadilah suatu adegan yang menarik.
Kedua pedang saling melekat dan kedua jago itupun saling
tarik menarik untuk melepaska pedangnya.
Setelah beberapa waktu tak berhasil, keduan lalu saling
dorong mendorongkan pedangnya untuk menindih pedang
lawan. Beberapa waktu kemudian tampak wajah Ih Giam
tegang sekali. Urat2 pada dahinya tampak membenjol dan
matanyapun merah berapi-api, buas sekali. Jelas jago itu
sedang menumpahkan seluruh ilmu tenaga-dalamnya untuk
mendesak Huru Hara namun tak berhasil.
Sebaliknya Huru Hara bersikap mempertahankan diri
saja. Oleh karena itu diapun tak begitu tegang.
"Celaka, "keluh Ih Giam dalam hati, "apabila aku
sampai kalah, malulah aku."
Karena malu terhadap Torgun dan rekan2 pengawal, Ih
Giam mencari akal untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapinya saat itu. Diam2 tangan kirinya merogoh kedalam saku celana.
Serempak dengan - mulut menggerung keras. 1h Giam
tamparkan tangan kirinya kedada Huru Hara.
Jarak begitu dekat dan serangan yang curang dari Ih
Giam dilakukan secara mendadak sekali. Sudah tentu Huru
Hara tak dapat menghindar lagi. Dalam gugup dia berusaha
untuk menampar dengan tangan.............. blek . .. . .
Tamparan Huru Hara itu seperti mengenai karung pasir
sehingga tak menimbulkan suara benda logam. Tetapi
berbareng itu, berhamburan segulung asap kearah muka
Huru Hara. "Wah, wangi sekali baunya," kata Huru Hara dalam hati
ketika asap dari benda yang di lemparkan Ih Giam
berhamburan. Dan beberapa saat itu tampak tenaga Huru
Hara mulai berkurang dan makin berkurang,
Agar semangatnya segar, asap yang berbau wangi itupun
disedot mulut Huru Hara. memang semangatnya menjadi
segar tetapi kesadaran pikirannya mulai turun. Makin lama
makin berkurang dan hampir tak dapat mempertahankan
senjatanya dari senjata Ih Giam.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ih Giam
"Lepaskan !" setelah menghimpun tenaga-dalam dia
menggembor sekeras-kerasnya dan menyentakkan
pedangnya dengan sekuat tenaga, diserempaki tendangau ke
lambung lawan. Plakk. . . . uh, bluk ...... Terdengar tiga macam bunyi.
Pertama. bunyi tendangan kaki yang mengenai lambung
Huru Hara, kedua bunyi mulut Ih Kiam yang mendesuh
kaget, dan ketiga adalah bunyi tubuh Ih Kiam yang
terlempar kebelakang dan terbanting dilantai.
Aneh ! Yang menendang Ih Kiam tetapi mengapa yang
rubuh malah dia " Disitulah letak kesaktian dari tenaga-sakti Ji ih-sin-kang
yang dimiliki Huru Hara. Tenaga sakti itu akan memancar
apabila menderita pukuIan maupun tendangan atau apa
saja yang jatuh, pada tubuhnya.
Tendangan yang disertai dengan tenaga sepenuhnya dari
Ih Giam hanya merupakan mata bumerang yang membalik
dan mengenai dirinya sendiri. Tenaga tendangan itu seperti
ditolak oleh daya-mental dari tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang
hingga Ih Giam kontal terlempar sampai dua meter dan
terbanting dilantai. Yang lebih celaka dan memalukan adalah pedang Kimcoa-
kiam milik Ih-Giam juga masih terlekat pada pedang
magnit Huru Hara. Tetapi karena telah menghisap asap dari taburan bubuk
beracun tadi maka Huru Hara pun lunglai tenaganya.
"Ciangkun, idinkan hamba yang menghadapi pemuda
brandat ini," tiba2 Su Hong Liang maju kehadapan
Torgun.. Torgtin sedang memperhatikan keadaan Ih Kiam
sehingga ia kurang menaruh perhatian pada keadaan Huru
Hara. Dan tanpa banyak pertimbangan.............. Torgun
meluluskan. "Loan Thian Te," seru Su Hong Liang setelah
berhadapan dengan Huru Hara, "karena engkau tak
sungkan dan tak mengingat persahabatan kita, maka
akupun juga tak mau mengingat hubunganku dengan
engkau. Aku dan engkau sama2 terlibat dalam kepentingan
masing-masing. Kalau engkau tak mampu mengalahkan
pengawal2 ciang kun disini, engkau tak dapat pulang.
Begitu juga aku. Kalau aku tak mampu mengalahkan
engkau, akupun tak dapat pulang. Maka tak perlu kita harus
saling mengingat hubungan kita tetapi harus mementingkan
kepentingan kita sendiri2."
Dalam pandangan yang masih belum terang dan pikiran
yang masih belum normal, terpaksa Huru Hara menyahut,
"Jika :engkau berpendirian begitu, terserah saja."
"Mari kita adu kesaktian. Andaikata aku mati, aku
takkan penasaran. Tetapi kalau engkau yang harus mati,
kuharap engkaupun jangan penasaran."
Huru Hara tertawa hambar, "Mati hidup ditangan Thian.
Jangan bicara soal mati apabila engkau belum tahu apa arti
hidup. Mati soal mudah. tetapi hidup soal nilai. Nilai hidup
seseorang menentukan kematian orang itu."
"Hm," dengus Su Hong Liang. Merah mukanya karena
mendengar kata2 yang tajam Huru Hara.
"Kalau nilai hidupku sebagai manusia yang tak berharga
hidup mengapa aku harus penasaran kalau mati ?" seru
Huru Hara pula. "Sudah jangan banyak bicara," tukas Su Hong Liang,
"nilai hidup itu bukan manusia yang memberi, tetapi
kebenaran yang menentukan. Lekas siapkan senjatamu dan
sambutlah seranganku."
"Hm, silakan saja," kata Huru Hara,
Su Hong Liang mencabut pedangnya dan segera mulai
menyerang dengan jurus Hun-hoa-hu liu atau Menyiakbunga-
meniup-pohon-liu. Suatu jurus ilmupedang yang
bergaya tabasan dalam gerak yang cepat.
Huru Hara yang masih grogy pikirannya, hanya
mengangkat pedang untuk menangkis, Tetapi secepat itu Su
Hong Liang sudah mengganti gerak tabasan dengan gerak
tusukan. Ujung pedang menikam ke uluhati Huru Hara.
"Ih," Huru Hara;mendesis seraya menyurut mundur
selangkah. Gerakan pedang Su Hong Liang itu memang
ganas sekali. Apabila kena, dada Huru Hara pasti akan
tembus. Dalam keadaan yang sangat terdesak, Huru Hara
membuang tubuh menekuk kebelakang. Suatu gerakan yang
mirip dengan Thiat- pian-kio atau jembatan-besi-gantung.
Namun karena jarak terlalu dekat; sebuah buah baju Huru
Hara telah tertusuk sampai lepas.
Su Hong Liang terkejut. Dia penasaran sekali. Pedang
yang masih berada diatas tubuh Huru Hara terus ditabaskan
kebawah. Apabila kena, muka Huru Hara pasti terbelah jadi
dua. Melihat ancaman itu, terpaksa Huru Hara rebahkan diri
ke lantai dan serempak dengan itu, ia mengangkat sebelah
kakinya untuk mengait kaki Su Hong Liang.
"Uhhhbh," Su Hong Liang mendesuh kaget karena tiba2
kakinya terangkat dan tubuh terpelanting. Dan celakanya,
pedangnyapun menusuk pada pahanya sendiri. Ia menjerit
dan terus rubuh pingsan. Beberapa pengawal segera mengangkutnya keluar.
Melihat beberapa kawannya kalah. beberapa pengawal
yang lain sarempak maju untuk menyerbu Huru Hara. Ada
lima orang pengawal yang mengeroyok. Mereka
menggunakan senjata semua.
Sudah tentu Huru Hara merasa terancam, cepat dia
mencabut pedang dan melayani mereka. tetapi dia merasa
tenaganya makin lama makin lemas dan pada suatu ketika,
kakinya terkait dari belakang. Memang yang mengait juga
mengaduh kesakitan dan terlempar sampai dua langkah.
Tetapi Huru Hara juga terpelanting jatuh ke lantai.
"Ringkus!" empat orang pengawal yang berkepandaian
tinggi segera berhamburan meringkus Huru Hara yang
kebetulan jatuhnya tertelungkup.
Karena gemas, salah seorang pengawal hendak
membelah tubuh Huru Hara tetapi pada saat itu juga
terdengarlah suara teriakan yang melengking nyaring,
"Curang engkau!"
Sekalian orang terkejut ketika seorang gadis cantik
muncul di ruangan itu. "Ayah, mengapa ayah mengidinkan perbuatan curang
berlangsung dihadapan ayah?" seru gadis itu.
Ternyata gadis itu adalah puteri panglima Torgun yang
bernama Amila. Dia mewarisi watak ayahnya yang jujur,
tegas, berani. Dan diapun gemar akan ilmusilat,
ilmuperang. Sering dia ikut dalam pasukan yang menyerang
musuh. Sebenarnya Torgun tak setuju kalau puterinya ikut
perang tetapi karena anak itu memang pandai dan sakti,
terpaksa Torgun memperbolehkan.
"Kenapa Mila?" tanya Torgun.
"Dia sudah jatuh, berarti sudah kalah, mengapa hendak
dibunuh" Dan tidak adil sekali pertempuran itu. Masa satu
orang dikeroyok empat lima orang!" seru Amila.
"Aku tidak suruh, Mila," kata Torgun. Memang kelima
pengawal itu bertindak sendiri tanpa minta idin lebih dulu
kepada panglima. Kelima pengawal itu memang gemas
terhadap Huru Hara tetapi merekapun kuatir kalau harus
menghadapi satu lawan satu, akan kalah.
"Lepaskan," seru Torgun.
Keempat pengawal itupun mengundurkan diri dan Huru
Hara segera bangun. "Engkau hebat, engkau boleh pulang," kata Torgun.
"Tidak!" jawab Huru Hara.
Mendengar itu Torgun terbeliak.
"Apa katamu?" ia menegas.
"Hamba tidak kembali," kata Huru Hara. "Mengapa?"
"Karena hamba sudah berjanji kepada ciangkun, akan
memenuhi syarat yang ciangkun ajukan
"Tetapi engkau sudah dapat mengalahkan berapa
pengawalku." "Ya, belum semua."
"Lalu bagaimana maksudmu?"
"Hamba menyerah pada keputusan ciangkun."
"0, maksudmu engkau bersedia kerja padaku?"
"Tidak." "Tidak " Lalu apa maksudmu ?"
"Hamba rela menjadi tawanan ciangkun."
"Hm," dengus Torgun, "Loan Thian Te, tetapi apakah
engkau tak merasa kalau , dalam pertempuran tadi engkau
mendapat perlakuan yang tidak wajar ?"
"Ya," sahut Huru Hara, "waktu bertempur dengan jago
yang menggunakan pisau Ular emas tadi dia telah
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menaburkan bubuk berasap dan waktu hamba sedot asap
wangi itu ternyata tenaga dan pikiran hamba agak kabur."
"Dan juga karena dikeroyok lima orang itu"
"Tidak ciangkun," kata Huru Hara, "andaikata tenaga
dan pikiran hamba masih segar, tentulah hamba masih
dapat bertahan diri."
"Nab, karena engkau dicurangi maka engkau kuanggap
memenangkan pertandingan ini dan ...."
"Tidak bisa, ciangkun," seru Huru Hara, "bagaimanapun
halnya. yang jelas hamba telah rubuh."
"Mereka bermain curang !" seru Torgun.
"Itu sudah lumrah kalau orang berbuat curang, Bukan
salah dia tetapi salah hamba mengapa tak tahu kalau
dicurangi hingga hamba menyedot asap wangi itu."
Torgun menghela napas dalam hati. Dia benar2 heran
dan tak mengerti berhadapan dengan seorang pemuda yang
seaneh itu, Betapa tidak "
Biasanya orang tentu gembira kalau dibebaskan dari
tawanan, tetapi Huru Hara tidak mau dan lebih suka
ditawan. Biasanya orang gembira kalau dianggap menang
tetapi Huru Hara menolak karena ia merasa telah rubuh,
Biasanya orang tentu memaki orang yang berlaku curang
terhadap dirinya tetapi Huru Hara tidak. Dia malah
menyalahkan dirinya sendiri mengapa begitu bodoh sampai
dapat dicurangi orang. Apakah di dunia ini terdapat orang
kedua yang seperti pemuda nyentrik itu " Pikir Torgun,
"Yah, karena dia minta ditawan, baiklah kita luluskan
saya," tiba2 Amila berseru.
"Hm, apa boleh buat," kata Torgun, "itu dia yang minta
sendiri." Ia perintahkan pengawal untuk membawa Huru Hara
kedalam ruang tawanan.. Namun diam2 Torgun pesan agar
pemuda itu diperlakukan dengan baik.
"Yah. pemuda itu aneh sekali," guman Amila setelah
Huru Hara pergi, "masakan orang kok suka ditawan?"
"Ya, dia memang aneh."
"Tetapi apakah dia tak mempunyai maksud tertentu ?"
"Maksud tertentu bagaimana ?"
"Misalnya dia hendak menggunakan kesempatan untuk
memata-matai gerakan pasukan kita dan rencana2 ayah."
"Kulihat dia seorang pemuda yang jujur."
"Tetapi tiada jeleknya kalau kita memata-matai gerak
geriknya, ayah. idinkanlah aku saja yang melakukan
penyelidikan itu." Torgun setuju. Sementara itu setelah berada di kamar tahanan, Huru
Harapun melamun. beberapa saat kemudian ia tersadar.
"Ah, mengapa aku harus menuruti suara hatiku dan rela
ditawan disini" Bukankah saat ini aku harus lekas2 kembali
ke Yang-ciu untuk membantu Su tayjin?" ia menyesal atas
tindakan yang terlalu gegabah.
Memang kalau menurut hati nuraninya, ia tak mau
mendapat kemurahan dari panglima Tor-gun. Dia akan
membuktikan bahwa ia dapat keluar dart markas panglima
Boan itu dengan suatu cara yang gemilang
Dia merasa kalah janji dengan Torgun maka diapun
menolak dibebaskan. Sesaat dia tak berpikir lebih panjang
tentang akibat yang lebih penting terhadap tugasnya
membantu Su Go Hwat. "Ah, tetapi apa boleh buat. Sudah
terlanjur berkata, tak mungkin aku menarik kembali,"
katanya. Hari itu dia beristirahat. Dan menjelang malam,
muncullah seorang pelayan gadis yang membawa makanan
dan minuman. "Hohan, inilah makanan dan minuman untuk hohan,"
kata gadis pelayan itu. Ternyata penampan dan mangkuk serta cawannya lux
sekali. Begitu pula hidangan dan araknya, hebat dan nikmat
sekali. "Eh, mengapa aku diberi makanan dan minuman begini
istimewa" Bukankah aku hanya seorang tawanan?" tanya
Huru Hara. "Entah, hohan."
"Siapa- yang suruh" Apakah panglima yang
menitahkan?" "Bukan." "Lalu siapa?" "Siocia . . . "Siocia" Puteri dari panglima itu?"
"Betul, hohan. Siocialah yang menitahkan aku supaya
mengantarkan minuman dan hidangan begini. Biasanya
inilah hidangan arak yang disantap oleh ciangkun sendiri."
"Hm, apakah ciangkun tidak marah?"
"Marah" Siapa yang berani melarang kehenak siocia?"
"Apakah panglima tidak berani menegur putrinya?"
"Bukan tidak berani, hohan. Tetapi panglima memang
amat kasih sekali kepada siocia."
"Sehingga dia manja?" tukas Huru Hara.
"Habis kalau tidak manja kepada ayahnya lalu manja
kepada siapa?" balas gadis pelayan itu dengan tersenyum.
Huru Hara sempat memperhatikan bahwa pelayan itu
seorang gadis yang amat cantik. Dia heran.
"Apakah engkau pelayan siocia ?"
"Benar. hohan. Mengapa ?"
Huru Hara tersipu-sipu. "Ah. Tidak hanya sekedar
bertanya saja." "Apakah hohan menganggap aku bersikap kurang ajar
kepada hohan ?" "0, tidak. tidak," buru2 huru Hara berkata, "engkau tidak
apa2." "Apakah hohan tak ingin bertanya tentang diri siocia ?"
Huru Hara terkejut. Mengapa bujang itu bertanya begitu.
"Apakah siocia yang suruh engkau bertanya begitu
kepadaku ?" ia bertanya.
"Ti.. , . dak. Tetapi aku memang ingin tahu apakah
hohan tidak kepingin tahu tentang diri siocia."
"Mengapa engkau memiliki pikiran -begitu ?"
"Karena siocia juga memperhatikan hohan.
"Memperhatikan aku ?"
"Benar. Itulah sebabnya maka siocia sengaja menyuruh
hamba mengantarkan makanan dan arak istimewa ini.
Apakah hohan tidak merasa ?"
Huru Hata tertegun. Aneh benar. Dia seorang tawanan
mengapa puteri panglima Ceng menaruh perhatian
kepadanya" "Ah," ia hanya menghela napas. "Mengapa begitu"
Apakah siociamu mengatakan sesuatu tentang diriku?"
"Ya, siocia bilang hohan benar2 sakti. Siocia ingin
belajar silat kepada hohan."
"Apa?" Huru Hara melongo, "aku tak mengerti
ilmusilat." Pelayan itu kerutkan dahi, "Ah, harap hohan jangan
naerendah diri. Jago2 yang kalah dari hohan tadi termasuk
pengawal kepercayaan ciangkun. Jelas hohan tentu berilmu
sakti." Memang Huru Hara menyadari bahwa sukar bagi orang
untuk menerima penjelasannya. Kalau ia mengatakan tak
mengerti ilmusilat, orang tentu tak percaya.
"Untuk apa siocia hendak belajar silat?"
"Ah, hohan, siocia memang gemar belajar silat dan
mahir dalam ilmu perang."
"Kalau sudah begitu, perlu apa siocia mau belajar silat
lagi?" tanya Huru Hara.
"Ah, hohan tak tahu. Siocia memang gemar sekali.
Setiap mclihat orang memainkan ilmusilat yang sakti, dia
tentu minta pelajaran. Oleh karena itu banyaklah aneka
ragam ilmusilat yang dimiliki siocia."
"Bagus," seru Huru Hara, "hanya sayang aku memang
tak dapat ilmusilat. Apa yang harus kuajarkan kepada
siocia?" "Apa saja, pokok ilmusilat yang siocia belum memiliki."
Huru Hara menghela napas.
"0, apakah hohan tak bersedia memberi pelajaran kepada
siocia?" tanya gadis pelayan itu.
"Bukan tak mau tetapi memang aku tak mengerti ilmu
silat. Apa yang harus kuajarkan kepadanya ?"
"Soal itu, hohan tak perlu bingung. Siocia dapat
menentukan sendiri mana2 yang berguna. Hohan cukup
bermain silat saja. Yang penting hohan kan bersedia
memberi pelajaran ?"
Huru Hara hanya menghela napas,
"Hohan," kata gadis pelayan itu pula, "mengapa hohan
ikut berjuang " Apakah hohan tak punya keluarga ?"
Huru Hara gelengkan kepala.
"Apakah hohan belum menikah ?"
"Huh, apa-apaan bujang ini tanya orang menikah
segala?" guniam Huru Hara dalam hati.
"Mengapa engkau bertanya begitu ?" tegurnya.
"Karena siocia juga pesan begitu."
"Lho, koq aneh. Apa kepentingan siocia bertanya begitu
?" "Aku tak tahu, hohan. Apa saja yang siocia perintahkan
tentu akan kulaksanakan."
"Aku belum menikah."
"Punya tunangan ?"
Huru Hara gelengkan kepala.
"Sudahlah, silakan tinggalkan tempat ini," akhirnya
Huru Hara menghalau gadis pelayan itu.
"Baik, hohan. Tetapi kapankah hohan akan mulai
memberi pelajaran silat kepada siocia ?" tanya gadis pelayan
itu pula. "Terserah. saja," karena kewalahan, terpaksa Huru Hara
menyahut sekenanya. "Hm, gila," gumam Huru Hara setelah bujang itu pergi.
Lebih kurang sejam kemudian, kembali gadis pelayan itu
muncul. "Hohan, maaf, siocia tak enak badan. Tapi siocia suruh
aku meminta pelajaran ilmusilat kepada hohan," katanya.
"Apa ?" Huru Hara terkejut.
"Begini hohan," kata gadis pelayan itu, "pikir2 memang
kurang pantas kalau siocia datang kemari untuk meminta
pelajaran ilmusilat kepada hohan. Siocia kuatir akan
menimbulkan desas desus yang kurang enak."
Huru Hara mengangguk. memang apabila terdengar
orang, tentu akan gempartah kalau puteri panglima hesar
kerajaan Ceng datang ke kamar tahanan seorang tawanan
karena hendak minta pelajaran ilmusilat.
"Tetapi siocia benar2 kagum akan kepandaian hohan,"
kata gadis pelayan itu. "maka siocia lalu menyuruh aku
untuk mewakilinya. Dengan begitu aku nanti yang akan
menyampaikan pelajaran itu kepada siocia."
Huru Hara terkesiap. "Dengan begitu hohan dapat membantu banyak pada
siocia. Siocia berjanji, kelak tentu takkan melupakan budi
kebaikan hohan," kata gadis pelayan itu pula.
Sebelum Huru Hara sempat membuka mulut gadis
pelayan itu sudah berkata lagi, "Hohan mari kita berlatih ke
kebun saja. Disini kurang le luasa."
"Tetapi apakah para penjaga nanti tidak marah kalau
tahu aku keluar dari ruang tahanan ini?"
"Tidak," kata gadis pelayan, "siapa beran menentang
perintah siocia Karena terus menerus didesak, apa boleh buat, Huru
Hara terpaksa menurut saja. Keduanya menuju ke sebuah
taman yang cukup luas. "Nah, sekarang silakan hohan mulai memberi pelajaran,"
kata gadis pelayan itu. Sebenarnya Huru Hara benar2 tak tahu bagaimana harus
mengajar ilmusilat. Dia sendiri tak mengerti silat.
"Hm, asal gerak sajalah. Misakan bujang tahu, katanya
dalam hati." Huru Harapun bersiap, "Lihatlah baik2" katanya dan
mulaikan ia menggerakkan sepasang tangannya. Makin
lama makin cepat sehingga dia seperti memiliki belasan
buah tangan yang berserabutan mengelilingi tubuhnya.
"Bagus. bagus," seru gadis pelayan itu. Ia minta agar
Huru Hara bergerak secara pelahan saja.
Huru Harapun menurut. "Ah, mudah sekali, hanya menggeiakkan sepasang
tangan kian kemari, saling bersilang," kata gadis pelayan itu
setelah menirukan gerakan Huru Hara.
"Cobalah hohan mainkan cepat lagi," gadis itu
memintanya. "Oah, hebat sekali," teriak gadis pelayan itu ketika Huru
Hara bermain dengan cepat lagi, "apakah nama ilmu silat
ini ?" "Cian-jiu-hud atau Dewa-seribu-tangan," kata Huru Hara
sekenanya saja. "0, memang tepat sekali nama itu. Karena waktu hohan
yang melakukan, hohan seperti memiliki berpuluh-puluh
tangan." gadis pelayan itu berseru memuji.
Tetapi sampai berulang kali dia menirukan, tetap dia tak
mampu bermain seperti Huru Hara.
"Mengapa kalau aku yang memainkan malah seperti
orang menari-nari saja ?" tanyanya heran.
"Ya, segalanya harus sabar."
"Berapa lama harus belajar supaya dapat menyamai
seperti hohan ?" "Tergantung dari kegiatanmu," kata Huru Hara, "kalau
giat, engkau tentu dapat mencapainya dalam waktu lima
tahun. 'Tetapi kalau malas tentu makan waktu sampai
sepuluh tahun." "Baiklah, hohan," kata gadis pelayan, "akan
kusampaikan pelajaran ini kepada siocia. Siocia tentu
senang sekali. Itu mengenai pelajaran menyerang. Sekarang
cobalah hohan ajarkan suatu ilmusilat untuk bertahan.
Misalnya, supaya kita dapat terhindar kalau sampai
dikeroyok oleh beberapa lawan.
"Wah, pelayan ini memang mengada-ada saja," pikir
Huru Hara. Tetapi diapun segera melakukan suatu gerak
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berloncat-loncat. Makin lama makin cepat dan makin tinggi
sehingga mencapai beberapa meter.
"Wah, hebat," seru gadis pelayan itu pula. Dia mulai
menirukan lagi. Tetapi sampai beberapa kali tetap dia tak
mampu mencapai kecepatan dan ketinggian seperti gerakan
Huru Hara. "Apa namanya jurus itu, hohan?" tanyanya.
"Tong-lang-poh atau Belalang-loncat," kata Huru Hara
sekenanya saja. Diapun mengataka bahwa ilmu itu harus
dipelajari dengan sungguh sampai beberapa tahun.
Pada akhirnya, gadis pelayan itu meminta lagi, "Hohan,
cobalah ajarkan cara untuk menangkap orang supaya
jangan mampu melepaskan diri."
"Baik," kata Huru Hara, "tetapi siapa yang akan
kujadikan lawan ?" "Aku." serempak gadis pelayan itu menyambut dan
terus- maju dihadapan Huru Hara. "silakan hohan
meriugkus aku." Tanpa sadar Huru Hara terus menyekap gadispelayan
itu. Gadis pelayan berusaha untuk meronta tetapi tidak
mampu. "Hai, Narci, mengapa engkau ..... " tiba2 terdengar
seorang berseru dan pada lain saat seorang perwira muda
terus menerjang Huru Hara, "bangsat, engkau berani
kurang ajar terhadap gadisku !"
"Huh ...... " karena tak menyangka akan dicengkeram
dan disentakkan ke belakang, Huru Harapun terpental ke
belakang sampai beberapa langkah.
Perwira muda itu terus menyerang lagi tetapi gadis
pelayan .berseru, "Jangan !"
"Hai, kenapa engkau melarang, Narci" Apakah engkau
suka kepadanya ?" perwira muda itu berpaling dan . . . . ,
"Hai. siapa engkau !" teriaknya keras ketika melihat wajah
gadis pelayan itu. Gadis pelayan itu juga terkejut. Cepat ia maju
menghampiri dan, plakkkk ..... ia menampar mulut perwira
muda itu dan terus lari pergi.
Perwira itu begap mukanya. Dia tertegun seraya
mengusap-usap pipinya. "Siapa engkau.?" Huru Hara maju menghampiri.
Perwira muda itu terkejut. sahutnya, "Aku Mogin,
perwira pasukan pengawal panglima besar kerajaan Ceng.
Siapa engkau ?" "Aku tawanan kalian."
"Mengapa engkau berani kurang ajar terhadap gadis itu
?" seru Mogin dengan marah.
"Lho, dia sedang minta pelajaran ilmusilat kepadaku."
"Setan !" bentak perwira muda itu," tak mungkin !
Engkaulah yang hendak merayunya !"
Merah muka Huru Hara. "Eh, perwira, jangan omong
seenakmu sendiri saja. Dia disuruh sio-cianya. Aku tak tahu
kalau dia itu pacarmu!' "Bangsat !" maki perwira Mogin, "siapa bilang dia
pacarku ?" "Bukankah engkau memanggil namanya dan engkau lalu
marah kepadaku ini ?"
"Engkau tak tahu siapa gadis tadi ?" Huru Hara
gelengkan kepala. "Dia adalah Amila siocia, puteri dari panglima besar
kerajaan Ceng !" "Apa ?" Huru Hara melonjak kaget, "ah, jangan gilagilaan
engkau, perwira. Dia jelas pelayan mengapa engkau
katakan siocia puteri dari panglimamu ?"
"Engkau gila !" teriak Mogin," dia memang puteri dari
panglima kami." "Mengapa dia bilang disuruh siocianya dan bukankah
dia mengenakan seperti pelayan ?"
"Entah, aku tak tahu," jawab Mogin, "kukira tadi dia
memang Narci, pelayan siocia yang menjadi kenalanku.
Tetapi ternyata bukan. Dia adalah siocia sendiri."
Huru Hara terkejut juga. Ia heran mengapa puteri dari
panglima besar Torgun berulang kali menghubunginya.
Adalah puteri itu yang menolongnya ketika dia hendak
dibunuh pengawal2 panglima. Dan sekarang gadis itu
menyaru jadi pelayan untuk meminta pelajaran ilmusilat.
"Ah," Huru Hara tersipu-sipu malu ketika teringat bahwa
yang diajarkan itu tak lain hanyaah ilmusilat awuran alias
acak-acakan. Perwira itu meminta maaf kepada Huru Hata karena
kesalah faham tadi. Selama beberapa hari, Huru Hara tetap mendapat
hidangan yang enak. Dan selama itu tak pernah dia
diperiksa ataupun disiksa. Lama kelamaan, jenuh juga
perasaannya. Habis dia disuruh apa berada disitu. Tidak
kerja apa2, kecuali hanya disuruh makan tidur saja. Selama
itu Amila tak muncul lagi. Dan bagaimana kabarnya Su
Hong Liang, dia juga tak tahu.
Pada suatu hari dia dipanggil panglima.
"Loan Titian Te, aku hendak memberimu buah tugas,"
kata Torgun. "Baik, ciangkun."
"Aku hendak mengirim surat kepada Su Go Hwat tayjin.
Untuk yang terakhir kalinya akan kuberinya kesempatan.
Supaya dia mau mempertimbangkan. Jika dia tetap
berkeras keputusan yah apa boleh buat. Kota Yang-ciu akan
kuserang," kata panglima Torgun.
"Adakah hamba harus kembali kemari untuk
menyerahkan surat balasan Su tayjin?" tanya Huru Hara.
"Disitu tak kuminta surat balasan. Karena memakan
waktu," kata panglima Torgun, "hanya kuberi waktu.
Berapa lama engkau dapat mencapai Yang- ciu."
"Dua hari." "Kuberi waktu kepada Su tayjin selama tiga hari,
dihitung dengan perjalananmu, jadi sampai sekarang kira2
lima hari. Kalau selama lima hari ini, Su tayjin tidak
memberi pernyataan apa2, berarti dia menolak kesempatan
yang kuberikan ini. Dan mintalah dia supaya bersiap-siap
menghadapi serangan pasukan Ceng."
"Huru Hara heran mengapa panglima Ceng itu begitu
memberi kelonggaran sekali kepada Su tayjin.
"Engkau tentu heran mengapa aku masih memberi
kesempatan dan kelonggaran kepada tayjin," kata Torgun,
"itulah karena aku menghargakan sekali kepadanya dan
tetap ingin memakainya."
Huru Hara segera berangkat. Begitu tiba di luar markas
pada sebuah tempat yang sepi, muncullah seorang gadis
dengan pelayannya, juga masih gadis.
Huru Hara berdebar ketika melihat gadis itu tak lain
adalah pelayan yang pada malam pertama datang
kepadanya untuk meminta pelajaran ilmusilat.
"Maaf, hohan, aku telah mengelabuhimu beberapa hari
yang lalu," kata gadis cantik itu.
Huru Hara makin yakin bahwa gadis itu adalah puteri
dari panglima Torgun tempo hari.
"Ah, harap siocia jangan berkata begitu," kata Huru
Hara, "aku seorang tawanan. Dan aku juga pernah
mendapat pertolongan siocia. Seharusnya akulah yang
menghaturkan terima kasih kepada siocia."
"Hohan, apakah hohan akan kembali lagi kemari?" tanya
Amila. Huru Hama menghela napas, "Ciangkun tidak
menitahkan aku kembali lagi."
"Tetapi .. .. tetapi mengapa hohan harus meninggalkan
daerah ini" Bukanlah disini lebih aman" Apabila hohan
mau menetap disini, ayah tentu akan gembira sekali."
"Ah;" kembali Haru Hara menghela napas.
"Mengapa?" tegur Amila.
"Aku sudah terikat dengan kewajiban untuk membantu
perjuangan Su tayjin."
"Tidak apa," kata Amela, "asal engkau mau menetap
disini, andaikata engkau tak mau bekerja kepada ayah, pun
tak apa. Akan kuminta kepada ayah untuk kebebasanmu."
"Terima kasih, siocia," kata Huru Hara, "saat ini aku
sedang melaksanakan tugas untuk mengantarkan surat dari
ciangkun. Harus kuselesaikan tugas itu."
"Akan kuminta kepada ayah untuk menyuruh lain orang
saja." "Terima kasih," kata Huru Hara pula, "biarlah kali ini
aku menyelesaikan semua tugas kewajibanku. Terhadap
ciangkun dan terhadap Su tayjin."
"Apakah engkau bersedia kembali kemari?"
"Ah, sukar untuk kukatakan. Marilah kita serahkan
segalanya kepada Yang Kuasa. Aku sendiri tak tahu
bagaimana nasibku nanti."
"Hohan, mengapa hohan begitu keras hati"
"Bukan keras hati, siocia. Tetapi aku memang sudah
terlanjurkan menyerahkan jiwa ragaku untuk mengabdi
kepada negara " "Hohan, apakah . . . apakah engkau tak kasihan
kepadaku . . .. " "Nona adalah puteri dari seorang panglima kerajaan
Ceng yang berkuasa. Harap siocia jangan kecewa. Hari
depan siocia masih panjang dan gemilang . . . ."
"Hohan, engkau sungguh kejam . .. , " tiba2 Amila terus
lari meninggalkan Huru Hara. Huru Hara berdiri
terlongong-longong. Ia tak tahu mengapa puteri panglima
Ceng itu begitu rupa sikapnya terhadap dia.
Setelah menguatkan perasaan dia terus melanjutkan
perjalanan lagi. Baru beberapa li ketika harus melintasi
sebuah bukit, tiba2 dia dihadang oleh segerombolan lelaki
bersenjata yang ternyata adalah rombongan prajurit Ceng.
"Hm, inilah yang kurunggu-tunggu," kata perwira yang
menjadi kepala pasukan. Huru Hara berhenti. "Serahkan jiwamu!" teriak perwira, seorang suku Ceng.
"Apa salahku?" "Jangan banyak mulut! Engkau melawan atau
menyerah?" "Aku adalah utusan Torgun ciangkun untuk
mengantarkan surat kepada Su Go Hwat tayjin."
"Aku tak peduli. Itu urusan ciangkun. Teapi disini adalah
aku yang berkuasa. Lekas, jangan banyak mulut!"
"Katakanlah, apa kesalahanku. Kalau aku memang
bersalah, aku bersedia menyerahkan diri," seru Huru Hara.
"Kudengar engkau telah mengalahkan beberapa
pengawal Torgun ciangkun, benarkah itu ?" tanya perwira
Boan itu. "Ya, hanya secara kebetulan saja."
"Hm, pantas. pantas."
"Mengapa ?" "Engkau pandai merendah diri, pantas Amila jatuh hati
kepadamu," seru perwira Boan.
Huru Hara terkejut. "Mengapa engkau menyebut-nyebut puteri panglima
Torgun ?" serunya. "Apakah aku tak berhak ?" balas perwira itu. Huru Hara
makin tak mengerti kata2 dan sikap orang yang
bermusuhan. "Aku tak mengerti apa yang engkau katakan. Aku tak
kenal kepadamu, engkau hendak menangkap aku. Katakan
apa kesalahanku, engkau bicara yang lain2. Apakah
maksudmu ?" "Pengawal2 dari Torgun ciangkun itu adalah jago2
berilmu tinggi. Engkau dapat mengalahkan mereka maka
Amila jatuh hati kepadamu. Tak mungkin engkau menang
secara kebetulan saja tetapi karena engkau memang benat2
lihay." "Ah. buat apa hal itu dipersoalkan lagi " Bukankah
sekarang aku sudah pergi dari daerah ini?"
"Ketahuilah," kata perwira itu," engkau telah menghina
aku maka engkau harus mati."
Huru Hara terkejut. "Ngaco !" bentak Huru Hara, "aku tak kenal engkau.
Mengapa engkau mengatakan aku menghinamu ?"
Perwira Boan itu tertawa "Banyak sekali engkau telah menghina aku. Pertama,
engkau mengalahkan beberapa pengawal Torgun ciangkun.
Itu berarti menampar muka ciangkun dan para keluarga
raja..... " "Apakah engkau keluarga raja Ceng ?" tukas Huru Hara.
"Aku memang putera dari sanak raja yang agak jauh Bibi
misan dari baginda sekarang adalah ibuku."
"Oh, kalau begitu engkau seorang pangeran " Siapa
namamu ?" "Aku bernama Haka. Memang aku seorang pwelek
(pangeran). Maka akupun merasa terhina atas perbuatanmu
mengalahkan para pengawal Torgun ciangkun itu."
"0, kalau begitu, akupun tak dapat berbuat apa2 lagi.
Apakah aku harus menyerahkan jiwa kepada mereka, pada
hal panglima menitahkan supaya aku mengalahkan mereka.
Salahkah itu ?" "Salah," seru Haka pwelek, "dan kedua, engkau berani
memikat Amila. Ini suatu kesalahan besar yang kuanggap
sebagai hinaan besar kepaku !"
"Aneh, mengapa begitu ?"
"Aku diangkat sebagai orang kepercayaan ciangkun
untuk menghubungi para jenderal pasukan Ceng didaerahdaerah
pendudukan. Waktu. engkau mengalahkan
pengawal2 ciangkun, aku kebetulan sedang bertugas ke
Holam untuk menyampaikan perintah ciangkun," kata
Haka pwelek. "Lalu?" "Ciangkun menaruh kepercayaan besar sekali kepadaku
dan telah berjanji kepadaku, bahwa kelak apabila kerajaan
Ceng sudah dapat mengalahkan kerajaan Beng, aku akan
dimkahkan dengan Amila . . . . "
"0, engkau calon menantu panglima Tor-gun," tukas
Huru Hara. "Hm," dengus Haka pwelek, "setelah tahu hal itu kiranya
engkau tentu dapat mengerti apa sebab kuanggap engkau
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghina aku!" "Soal diri Amila siocia itu?"
"Ya," sahut Haka, "sejak engkau datang, Amila telah
berobah dingin kepadaku. Dan menurut keterangan
pelayan2, Amila tertarik sekali kepadamu. Memberimu
makanan yang lezat dan minta ajaran silat kepadamu."
"Ya, memang," jawab Huru Hara, "walau pun Amila
siocia dapat menerima penjelasanku bahwa antara kita
berdua tak ada ikatan apa2, kecuali hanya dalam batas
persahabatan, tetapi akulah yang akan bertanggung jawab
atas pristrwa itu. Amila siocia tidak bersalah."
"Hm, gagah benar engkau," seru Haka pwelek, "engkau
berani mencuri hati puteri yang akan menjadi isteriku. Itu
berarti engkau menghilangkan dadaku. Nai, bersiaplah
untuk mati!" "Baik," sahut Huru Hara, "tetapi sebelumnya aku hendak
menyatakan bahwa aku tak mempunyai perasaan apa2
terhadap Amila. Jangan engkau menuduh yang bukanbukan
!" "Hm, mana ada maling yang mau mengaku?" seru Haka.
Dia terus menyerang Huru Hara.
Huru Hara terkejut ketika menyaksikan gerak serangan
pangeran itu, Luar biasa, pikirnya. Cepatnya bukan main
dan tenaga pangeran Boan itu juga amat kuat. Untuk
beberapa saat, Huru Hara memang agak kebingungan.
Terpaksa dia harus berloncatan menghindari.
Haka sendiri juga tak kalah kejutnya. Dia telah
mendapat pelajaran ilmusilat dari seorang paderi lhama di
Tibet. Pun dia juga mendapat ilmusilat dari tokoh2 sakti
dari Tiong-goan. Dan dengan kecerdasan otaknya, dia
dapat menggabung aliran kedua ilmu silat itu untuk
menciptakan suatu aliran ilmusilat yang hebat.
Ada sebuah ilmusilat ciptaannya yang (beri nama Sippat-
hui-eng-ciang atau Delapan-belas-garuda-menyambar.
Gerakannya mirip dengan garuda yang menyambar
korbannya. Ganas dan dahsyat.
Huru Hara memang agak kebingungan. Berulang kali
hampir saja kepala dan tubuhnya kena tersambar tangan
Haka, Untunglah dia masih dapat menghindar.
Sebenarnya Huru Hara masih mempunyai pertimbangan
lain. Dia segan untuk mengadu jiwa dengan Haka. Hal itu
bukan lain karena ia tahu bahwa pangeran itu hanya salah
faham. Dan disamping itu. Huru Harapun ingin membalas
budi kebaikan Amila. Bukankah Amila akan hancur
hatiuya apabila Haka sampai cacad atau mati "
Memang baik panglima Torgun, Amila maupun Haka,
adalah orang Boan yang menjadi musuh rakyat Beng.
Tetapi Huru Hara akan memisahkan antara permusuhan
dengan hubungan antara manusia dengan manusia.
Di medan perang, apabila berhadapan dengan Torgun
ataupun Haka, dia tentu akan hancurkannya. Karena
perang adalah perang. Kalau tak mau memhunuh tentu
dibunuh, Dan perang itu adalah demi membela negara.
Tetapi apabila dalam hubungan sebagai manusia
peribadi, dia tak mempunyai dendam apa2 terhadap
Torgun. Bahkan ada beberapa dari panglima Ceng itu yang
ia hargakan. antara lain pandangan dan cara panglima itu
menghargai mentri besar seperti Su tayjin dan cara dia
memimpin anak pasukannya.
Juga terhadap puteri Amila, Huru Hara menaruh
simpati. Bukan karena dia ada hati melainkan karena dia
kasihan. Bukankah puteri itu sudah mempunyai calon
suami si Haka " Mengapa hendak main cinta kepadanya "
"Ah, kemungkinan ada sesuatu yang terjadi diantara
kedua muda mudi itu," pikirnya. Lepas dari siapa
keduanya. namun Huru Hara mempunyai pendirian bahwa
persoalan muda-mudi itu pada umumnya adalah sama, baik
dia muda-muda Han, Beng maupun Ceng.
Untuk membalas kebaikan puteri itu, Huru Hara
mempunyai rencana agar hubungan Amila dengan Haka
dapat berjalan baik lagi. Karena betapapun halnya, Huru
Hara tak mungkin dapat menerima cinta puteri Amila.
Jangan lagi karena dia memang tak ada hati puteri
panglima Ceng itu. Pun andaikata dia menaruh hati, diapun
akan sanggup untuk mengorbankan perasaan cinta itu demi
kepentingan perjuangan. Saat itu serangan Haka makin buas dan ganas sehingga
Huru Hara makin kelabakan. Akhirnya ia mengambil
keputusan. Selekas menghindari terjangan Haka, dia terus loncat ke
belakang dan lari. "Hai, hendak lari kemana engkau!" Haka berteriak dan
terus mengejarnya. "Hm, lu kira gua kalah " Andaikata tak mengingat
kepentingan Amila, tentu akan kuhadapimu," sambil berlari
Huru Hara mendesuh dalam hati.
Rupanya Haka memang sedang terbakar betu12 hatinya.
Dia marah kepada Huru Hata yang dituduhnya berani
mengganggu Amila. Dia heran mengapa dengan
mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya, dia tetapi tak
mampu menyusul lari Huru Hara,
Entah sudah berapa puluh li keduanya kejar mengejar
itu. Pada saat itu sudah menjelang petang dan mereka
tengah memasuki sebuah pegunungan yang sepi.
Waktu berpaling ke belakang, Huru Hara terkejut. Dia
tak melihat Haka lagi. "Ah, mungkin pangeran Boan itu lelah dan kehabisan
napas." pikirnya. Diapun berhenti dan masuk kedalam
sebuah hutan kecil yang berada di tepi jalan.
Ternyata Haka memang kehabisan napas, Terpaksa dia
berhenti. Dia memang penasaran sekali karena tak dapat
menangkap Huru Hara. Tetapi apa daya "
Cuaca makin gelap. Anak pasukan masih tertinggal di
belakang. Mungkin mereka kehilangan jejak Haka. Dan
kuda Hakapun masih ketinggalan. Kemanakah malam itu la
harus menuduh " Beranjak dari sebuah batu, diapun ayunkan langkah
mencari suatu tempat yang dapat dibuat bermalam. Belum
berapa lama ia berjalan, ia melihat sebuah gendung
bangunan rumah batu diatas sebuah tanjakan tanah bukit.
Ah, mungkin rumah penduduk.
Ternyata rumah itu adalah sebuah bio atau kuil gunung
yang sudah jarang didatangi orang. Tetapi Haka agak heran
mengapa ruang depan tempat sembahyang terawat dengan
bersih. Bahkan diatas meja sembahyang terdapat dua buah
cektay tempat lilin dan sepiring buah segar.
Haka menyulut lilin dan seketika ia melihat bahwa yang
dipuja di kuil itu adalah sebuah arca dari Dewi Koan 1m.
"Aneh," pikirnya, "kuil ini terletak di bukit yang begini
sepi mengapa masih terdapat sesaji hidangannya.
Lantainya juga cukup bersih maka Hakapun lalu duduk
bersila pejamkan mata untuk melakukan semedhi.
Beberapa saat kemudian setelah letih hilang, mulailah ia
merasa lapar. Ah, tetapi kemanakah ia harus mencari
makanan " Tiba2 ia teringat akan hidangan buah segar diatas meja
sembahyang. Buah tho, delima, dan biji teratai. Serentak
dia berbangkit lalu hendak mengambil buah tho. Tetapi
pada saat itu juga lilinpun padam dan gelaplah ruangan itu.
"Uhh, . , . . ," Haka mendesis ketika merasa bahwa piring
buah yang sudah hampir dapat dijamahnya itu seperti
lenyap. Mungkin karena gelap dan mungkin karena masih
harus ke muka lagi, pikirnya. Maka tangannyapun
menyorong maju. "Uh . . . ," kembali mulutnya mendesus kaget. Tak
mungkin tangannya masih kurang panjang. Jelas piring
buah itu hanya terpaut sekilan tangan.
Daripada menebak-nebak maka iapun menyulut api lagi.
Tub, benarlah. Piring buah itu masih terletak di meja.
Ia menyimpan korek dan ulurkan tangannya lagi. Tetapi
pada saaat itu juga lilin padam pula dan tangannya juga
menyambar tempat kosong. Hingga dua tiga kali dia menyulut korek dan setiap
hendak mengulurkan tangan lilin tentu padam, seketika
timbullah rasa seram dalam hatinya.
"Setan .... " " suatu dugaan segera mencengkam
pikirannya. Kalau tidak, mengapa lilin itu selalu padam.
Pada hal jelas tiada angin berhembus.
Untuk terakhir kali dia menya!ut lilin.
Tetapi ternyata tidak padam. Setelah ditunggu beberapa
saat lilin itu masih menyala maka mulailah ia mengulurkan
tangan kearah piring buah, wut ........ lilin segera padam.
"Wah, benar2 setan," akhirnya ia merangkai kesimpulaa.
Sesaat membayangkan bahwa setan itu tentulah suatu
mahluk yang menyeramkan, bergidiklah Haka diapun terus
hendak melangkah keluar. Kritttt . . . . pintu seketika tertutup dan serempak lilinpun
padam. "Celaka!" Haka mengucurkan keringat dingin dan
serentak terus mencabut pedang.
Tik . . . sebuah benda kecil macam biji kacang hijau
seperti menyambar telinganya. Ia mengira tentulah nyamuk
atau lalat. Tik, lagi sebuah benda kecil membentur dadanya.
Tik, mulut, hidung dan . .. . , "Slap !" akhirnya Haka
menyadari kalau benda2 yang mengganggu itu bukan
bangsa serangga melainkan kacang hijau yang melayang
kepadanya. Ia cepat memainkan pedangnya untuk menyerang kalang
kabut, ke kanan kiri, kian kemari. Pokok apabila ada setan
atau mahluk yang berada dalam ruang itu tentulah tertabas.
Dia tak tahu jelas karena ruang gelap gelita.
Namun sampai beberapa saat, pedangnya tak pernah
terasa membentur sesuatu. Akhirnya ia hentikan permainan
pedangnya. Kemudian ia berdiri tegak, mengheningkan pikiran dan
menyalurkan tenaga-murni untuk mempertajam indera
pendengarannya. "Kikkk, kikkkk , ... hi ... hi ... hiii"."
Tiba2 telinganya menangkap suara orang tertawa
mengikik. Nadanya seperti suara wanita. Serentak ia sadar
bahwa memang dalam ruang kuil tua itu terdapat mahluk.
Entah munusia entah bangsa setan.
"Siapa !" teriaknya dengan keras dan mencabut pedang,
"kalau setan, keluarlah. Aku tak takut. Kalau manusia,
jangan main sembunyi, hayo, unjukkan mukamu .... !"
"Hi, hi, hi, hi?""
-oo0dw0oo- Jilid 40 Hong-li-hoa. Rasa seram makin mencengkam hati Haka, pangeran
Boan yang tersesat dalam sebuah kuil diatas bukit. Namun
sesaat kemudian dia menyadari bahwa kemungkinan besar
suara tertawa mengikik itu bukanlah dari bangsa setan
melainkan dari bangsa manusia jenis wanita.
Tetapi baru pikirannya menduga begitu, terdengarlah
suara bernada membatu roboh, "Ho, ho, hoooo . . . . "
"Hai, siapa kalian! Kalau berani hayo tunjukkan
mukamu!" seru Haka yang sudah membulatkan tekad.
Setan maupun manusia, toh dia harus menghadapi.
Daripada mati ketakutan lebih baik dia melawan. Kalau
memang harus mati, biarlah dia mati secara ksatrya.
Sebagai jawaban setiup angin halus berhembus
menampar hidurgnya. Ah, harum, harum sekali .....
Haka cepat menyadari bahwa bangsa setan memang ada
yang menebarkan bebauan harum. Tetapi segera dia
merasa, bahwa bau harum itu telah mengikat pikirannya
dan membawanya melayarg-layang ke suatu alam yang
indah, penuh bunga2 mekar, gadis2 cantik dan kolam yang
eok. Sesaat terbawalah pikirannya melayang pada keadaan
istana baginda dimana sekali dia pernah diajak masuk oleh
ayahnya ketika ia masih agak muda.
Saat itu dia tak dapat merasakan keindahan yang
tersimpul dalam taman istana yang penuh dengan dayang
sahaya yang cantik2. Namun sekarang ia merasa suatu daya pesona yang
cepat menggelorakan darah mudanya Nafsu birahinyapun
berkobar ..... "Celaka," cepat ia menyadari bahwa bebauan harum itu
mengandung suatu daya yang tak wajar. Maka diapun
segera menutup pernapasannya.
Tiba2 ia mendengar suara harpa mengalun lembut dan
sejuk, dan sayup2 berkumandang suara yang merdu. Sesaat
terlenalah ia dalam pesona yang memukau seluruh hati
pikirannya. "Celaka," sesaat kemudian ia tersadar bahwa suara tawa,
harpa dan nyanyian itu semuanya mengandung daya
pesona yang menghanyutkan kesadaran pikirannya. Buru2
dia kerahkan tenaga dalam untuk menghalau tetapi ia
terkejut. Sebahagian dari tenaga dalamnya telah hilang.
Menyadari bahwa dia telah terkena suatu serangan
tenaga-dalam yang dipancarkan melalui tawa, harpa dan
nyanyian, Haka mengerahkan seluruh sisa tenaga-dalam
dan terus mengamuk. Brakkk.............. brakkkk.............. ,
Meja sembahyangan diterjang, sekali babat terbelah
menjadi dua kemudian dia menendang patung Dewi Koan
Im yang setinggi orang. Patung mencelat dan seketika itu
terang benderanglah ruangan.
Ternyata ruang kuil tua itu pada keempat sudutnya
dipasangi lampu lilin. Saat itu menyala semua.
"Hai, siapa kalian...........!" seketika berteriaklah Haka
setelah tahu bahwa dalam ruang kuil itu telah berjajar enam
gadis cantik. Salah seorang yang paling tua, berusia sekitar dua puluh
tahun, menyahut, "Yang berhak bertanya adalah kami,
bukan engkau. Siapa engkau mengapa engkau berani
menginjak-injak kuil kami ?"
"Aku tak menginjak-injak, aku hendak meneduh untuk
semalam ini."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa engkau ?"
"Aku adalah Haka pwelek".."
"Seorang Boan ?"
"Ya." "Hm, bagus," seru gadis itu, "susah payah kita mencari
kemana-mana tak ketemu, ternyata sekarang malah datang
sendiri." "Apa " Siapa yang engkau maksudkan itu ?" seru Haka.
"Engkau." sahut gadis itu, "engkau seperti ikan yang
mencaplok pancing." Haka makin tak mengerti, "Katakan yang jelas !"
"Ketahuilah wahai pangeran Boan, kami adalah
anggauta Hong-li-hoa . , . ."
"Apa itu Hong-li-hoa ?"
"Hong-li-hoa yalah perkumpulan dari gadis2 dan wanita2
yang telah menjadi korban keganasan prajurit Boan.
Mereka telah mencemarkan kesucian kami, membunuh
orangtua, saudara dan merampas harta benda kami."
Haka terkejut. Memang selama ini ia pernah mendengar
tentang sepak terjang prajurit2 Ceng apabila berhasil
merebut sebuah kota. "Lalu bagaimana maksudmu ?" tanyanya.
"Sudah terang seperti burung bangau terbang di siang
hari," sahut gadis itu. "bahwa setiap budi tentu berbalas.
setiap dendam harus dihimpaskan."
Haka terkejut namun karena hanya berhadapan dengan
kawanan gadis, diapun tenang kembali.
"O, maksud kalian hendak membalas dendam kepadaku
?"- tanyanya. "Kepada siapa lagiIah dendam itu harus kita tagih ?" seru
gadis itu dengan fasih, "bukankah engkau seorang pangeran
Boan " Bukankah keluargamu sekarang telah menduduki
istana kerajaan Beng " Bukankah engkau telah menikmati
kehiduan diatas penderitaan rakyat kami ?"
"Ya." kata Haka, "itu hukum kodrat, siapa kuat menang,
siapa lemah kalah." "Ya, benar," sahut si gadis, "oleh karena itu mari kita adu
kekuatan. Kalau engkau yang kuat, bunuhlah kami. Tetapi
kalau engkau yang lemah, engkau harus menyerah."
"0, engkau hendak menangkap aku ?"
"Engkau seorang pangeran Boan, nilainya tinggi sekali
bagi kami." "Nilai apa ?" "Kepada sekalian anggauta anak murid Hong-li-hoa telah
dliberi pesan. Kalau dapat membunuh prajurit Boan, akan
diberi hadiah uang. Kalau dapat membunuh perwira, dapat
pelajaran ilmusilat. Membunuh jenderal dan mentri dapat
pelajaran ilmupedang. Dan kalau membunuh pangeran atau
raja Boan, dapat pusaka dan pelajaran ilmupedang yang
sakti. Nah, kalau engkau memang mau menyerah, kami
berjanji tak kan mengganggumu dan hanya membawamu
menghadap ke tempat suhu. Kelonggaran ini kami berikan
untuk membalas kesediaan dan bantuanmu sehingga kami
berenam akan mendapat senjata pusaka dan ilmupedang."
Haka tertawa mengejek, "Ya, memang enak sekali bagi
kalian. Tetapi sayang, kawanku tak mengidinkan kalau aku
menyerahkan diri." "Mana kawanmu?" seru gadis itu.
"Ini," Haka acungkan pedangnya, "dialah yang melarang
aku. Kalau aku melanggar dia tentu marah."
"Hm, kematian sudah didepan mata, mengapa engkau
masih berani jual aksi begitu macam. Di istana engkau
seorang pangeran, tetapi disini engkau seekor babi yang
akan dijadikan sesaji sembahyangan."
"Kejam! Buas benar kalian!" teriak Haka, "kalian kan
kaum wanita mengapa hendak menjadikan diriku sebagai
sesaji" Apakah kalian doyan daging manusia?"
"Gila!" bentak gadis itu, "siapa sudi menyentuh
badanmu" Engkau akan dijadikan sesaji pada Makam
Dendam dari perkumpulan kami."
"0, apakah Makam Dendam itu, makam dari mcreka2
yang menjadi korban perang ?" seru Haka.
"Ya, makam itu tempat kami memuja. Sesajinya adalah
darah orang Boan !" "Baiklah," akhirnya Haka berseru, "kalau kalian memang
hendak menangkap aku, silakan saja kalau mampu !"
"Jadi engkau hendak melawan ?"
"Aku kan seorang lelaki, masakan mandah kalian
tangkap seperti ayam saja," kata Haka.
"Baik, sekarang engkau boleh bersiap."
"Tunggu," seru Haka, "sebelum bertempur agar kalau
aku sampai kalah dan dibunuh aku jangan mati penasaran,
aku ingin bertanya sesuatu kepada kalian."
"Hm, katakanlah."
"Mengapa lilin diatas meja itu dapat padam dan piring2
buah itu dapat bergerak ?" tanya Haka.
"Menurut engkau bagaimana ?"
"Kalau aku tahu aku tak perlu bertanya. Kukira setan
karena kalau manusia sukar lepas dari perhatianku."
"Baiklah, karena engkau toh akan mati, maka tak apa
kalau kuberitahu tentang rahasia itu," kata gadis tersebut,
"sebenarnya aku berada dalam patung Dewi Koan Im itu.
patung itu berlubang dan dari lubang itu maka
kuhembuskan napas untuk memadamkan lilin."
"Dan bagaimana dengan piring buah itu?" tanya Haka.
"Piring itu mempunyai tali pengikat dari kawat yang
halus sekali sehingga tak kelihatan mata. Dapat ditarik kian
kemari." "0," seru Haka."
"Sudah jelaskah ?"
"Ya" "Nah, sekarang bersiaplah," seru gadis itu. Dan serentak
dia memberi aba-aba maka kelima gadis itupun segera
melolos sabuk pinggang masing2. Dan pada lain saat,
merekapun menarikan ikat pinggangnya, menyerang Haka.
Seketika itu juga Haka rasakan hawa yang luar biasa
harumnya bertebaran dari taburan kain pinggang mereka.
Serentak ia menyadari kalau bau harum itu tentu
mengandung obat pelelap pikiran tetapi sudah terlambat.
Pangeran Boan itu rasakan kepalanya pening dan tenaga
lunglai. Plak.. sehelai ujung kain ikat pinggang dari kelima
gadis itu menampar punggung dan seketika rubuhlah
pangeran itu. Tamparan selendang itu mengandung tenaga dalam yang
kuat. "Hm, pangeran Boan, engkau cari penyakit sendiri,"
dengus gadis yang tertua. kemudian dia memberi perintah
kepada kelima kawannya untuk menggotong pangeran itu.
Cepat sekali kelima gadis itu bekerja. Kaki, tangan dan
tubuh pangeran itu diikat dengan ikat pinggang lalu
diangkat bersama-sama, semisal orang menggotong
harimau. Mereka keluar dari kuil dan menuju ke arah bukit. Haka
masih sadar tetapi tak bertenaga. Dia tak berkutik sama
sekali. Dia tahu bahwa kawanan gadis aneh itu tentu
menggunakan bebauan harum yang mengundang obat
untuk menghilangkan tenaganya.
Dia menyesal mengapa tak lekas2 manyadari hal itu.
Dan diapun menyesal mengapa sampai meninggalkan anak
pasukannya. Kalau dia sampai mati, dia benar2 penasaran
sekali. Bukan karena takut mati tetapi mati ditangan
kawanan gadis, benar2 suatu kematian yang memalukan.
Apalagi dia seorang pangeran.
"Hm, andaikata aku tak menurutkan emosi untuk
mengejar Huru Hara, tentulah aku tak sampai mengalami
nasib begini," keluhnya dalam hati.
Tetapi hal itu sudah menjadi suatu kenyataan. Dia tak
dapa! berbuat apa2 lagi kecuali hanya mengharap akan
timbul suatu keajaiban yalah anak-pasukannya akan
menyusul dan menolongnya dari cengkeraman kawanan
gadis misterius itu. Saat itu sudah lewat tengah malam dan angin malampun
makin dingin. Rombongan gadis dari perkumpulan Hong-lihoa
itu perjalanan beriring dengan menggotong tubuh
pangeran Haka. Sebagaimana diketahui Hong-li-hoa artinya adalah
Bunga Penghibur. Suatu perkumpulan dari dan wanita yang
telah menderita akibat keganasan pasukan Ceng. Mereka
bersumpah akan membalas dendam. Mereka rela untuk
mengorbankan kehormatannya, menjadi wanita penghibur
pemuas nafsu prajurit Ceng. Tetapi mereka sebenarnya
menjadi mata-mata untuk mencari tahu tentang rahasia
militer dari pasukan Ceng. Bahkan kalau perlu mereka tak
segan untuk meracuni tokoh2 pembesar Ceng.
Dengan pengorbanan itu mereka telah banyak berjasa
untuk menyelamatkan rakyat dan terutama kaum wanita
yang masih suci dari keganasan prajurit2 Ceng.
Hong-li-hoa, Bunga Penghibur. memang suatu nama
yang cukup terkenal di kalangan pasukan Ceng.
Dan secara kebetulan pangeran Haka telah terjatuh ke
tangan anakbuah Hong-Ii-hoa.
Tiba2 mereka dikejutkan oleh suara orang berbatukbatuk.
Serempak mereka berhenti.
"Cici, siapakah yang batuk2 itu ?" tanya salah seorang
gadis yang berada di muka.
"Ya, terdengar suara orang batuk2 tetapi mengapa tak
kelihatan orangnya ?" sahut kawannya.
"Jangan2 ada setan ........."
"Jangan ngaco, Ah Ing," seru gadis yang tertua tadi,
"dunia ini tak ada setan. Namun kalau memang ada,
tentulah tak berani dekat dengan kita. Kita ini kan sudah
menjadi setan juga, bukan ?"
"Ya, benar, cici, setan dunia !"
"Tetapi walaupun setan, pun bukan setan sembarangan
setan. Kita menjadi setan bagi orang Boan, tidak bagi rakyat
Beng." "Diam !" tiba2 gadis yang tertua itu membentak, "coba
dengarkan suara apa itu !"
Ternyata memang ada suatu suara yang aneh, macam
tubuh bergesek dengan pohon. Suara itu amat halus sekali,
hampir tak terdengar. Tetapi dengan mencurahkan
perhatikan kawanan gadis itu dapat menangkapnya. Jelas
mereka tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Memang anggauta dari perkumpulan Hong-li-hoa itu,
bermula hanya terdiri dari sepuluh gadis yang dipimpin
oleh seorang wanita setengah baya. Wanita itu berilmu
kepandaian tinggi. Kepada anakmuridnya dia juga
menurunkan kepandaian ilmusilat.
Kemudian perkumpulan itu makin lama makin
bertambah luas. Hong-li-hoa menampung berbagai
kalangan wanita yang menjadi korban keganasan pasukan
Ceng. Ada gadis, ada janda muda. Mereka sudah terlanjur
kaku dan tak diberi pelajaran. Mereka hanya diberi tugas
khusus untuk menjadi wanita penghibur.
Ada pula yang bertugas sebagai pedagang, tani dan
buruh bahkan budak. Organisasinya diatur begitu rapih dan
tertib sehingga hubungan mereka dengan pimpinan selalu
ada. Sedangkan kesepuluh gadis2 yang menjadi murid inti
dari wanita pimpinan Hong-li-hoa itu memiliki kepandaian
silat yang tinggi. Keenam gadis yang menangkap pangeran
Haka adalah murid inti dari Hong-li-hoa. Itulah sebabnya
dengan mengerahkan perhatian mereka dapat menangkap
suara berkeresekan yang lembut.
"Ho, kiranya ada manusia yang tidur diatas batang
pohon," seru salah seorang dari mereka seraya memandang
keatas dahan pohon yang besar.
Seorang gadis menjemput sebutir batu dan terus
ditimpukkan pada tubuh orang itu.
"Aduh.............. ," terdengar orang itu menjerit kesakitan
namun terus tidur lagi. 'Setan," gumam gadis yang lain. Diapun menjemput batu
yang agak besar, terus di lontarkan.
"Aduhhhh," kembali orang itu menjerit, beringsut tubuh
dan terus tidur lagi, "Gila barangkali orang itu," kata salah seorang gadis,
"masakan dilempari batu, juga tak bangun."
"Kalau begitu mari kita beramai-ramai melontarinya,"
kata gadis yang pertama menimpuk batu tadi.
"Ya, benar." sambut gadis kawannya. "aku yang
mengarah kepala, engkau tengkuk, engkau punggung,
engkau pantat, dan engkau kakinya. Lihat saja apa dia
masih tak mau bangun !"
"Aduh, aduh, duhhhh," terdengar orang itu berteriak
beberapa kali karena tubuhnya diserang lima butir batu.
Namun setelah itu ia tetap tidur lagi.
Kelima gads itu heran ! Salah seorang berseru, "Katau
begitu kita lepaskan hui-to (pisau ter-bang) saja, biar dia
mampus "Jangan," tiba2 gadis yang tertua tadi mencegah. "lihat,
bagaimana akan kupaksanya supaya turun."
Dia mencabut pedang dan terus menabas batang pohon
tempat orang itu melintang. Tajam sekali pedang nona itu
sehingga dalam beberapa kejab, pohon berderak-derak
rubuh, bum ... Debu bertebaran tercampak dahan dan ranting. Setelah
segalanya tenang dan terang kembali, rombongan gadis itu
segera mencari orang yang tidur tadi.
"Hai. mana orang tadi, ngo-ci ?" seru seorang gadis
bertubuh langsing. Ngo-ci artinya taci nomor lima.
Keenam gadis itu saudara seperguruan. Gadis yang
tertua tadi masih jatuh urutan nomor lima. Sedang kelima
gadis yang lain adalah sumoainya.
Gadis yang dipanggil Ngo-ci itu menengadah kepala,
"Sialan," serunya terkejut.
Kelima sumoaynyapun memandang keatas. Mereka
terkejut, mendongkol dan penasaran, "Setan alas ! Dia
sudah pindah ke lain pohon !"
Memang orang itu masih tidur melintang di atas dahan,
tetapi lain pohon lagi. Beramai-ramai kelima gadis itu
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera menebang pohon itu. Tetapi setelah pohon tumbang,
orang itu pun sudah pindah ke lain pohon. Hingga sampai
lima enam batang pohon telah ditebang, masih orang itu
tidak mau turun. Gadis yang tertua terkejut. Diam2 ia membatin bahwa
orang yang tidur diatas dahan itu jelas seorang sakti. Kalau
tidak, masakan mampu berpindah ke lain pohon tanpa
diketahui orang. "Jangan tebang pohon ini," kata gadis tertua, "tetapi
tebanglah pohon2 yang berada di sekeliling. Kalau tak ada
lain pohon lagi, mau lari kemana dia !"
Kelima gadis segera bekerja. Tak selang berapa lama,
beberapa batang pohon di sekeliling pohon tempat orang itu
tidur, sudah ditebang semua. Kini hanya tinggal pohon itu
saja. "Nah, sekarang babatlah pohon itu," seru gadis tertua itu.
Krek, krek, bum ..... beberapa saat kemudian karena
ditebang secara beramai-ramai pohon itupun tumbang.
Gadis2 itupun bingung mencari orang aneh tadi di dalam
gerumbul ranting dan daun yang melintang di tanah. Tetapi
tak melihatnya. "Aneh benar," seru gadis itu, "apakah orang itu manusia
atau setan ?" Tiba2 salah seorang gadis menjerit kaget "Hai dia .... ..
Ketika kawan-kawannya berpaling, mereka pun ikut
terkejut. Ternyata di tempat mereka meletakkan pangeran
Haka, saat itu terdapat seorang lelaki tua yang kumis serta
jenggotnya memutih dan menjulai pandang. Kakek itu
tengah mengangkat Haka. "Hai, lepaskan !" teriak kelima gadis seraya berhamburan
loncat ketempat kakek itu.
Kakek tua itu sudah memanggul tubuh Haka dan
memandang kawanan gadis, "Hai, kawanan budak liar,
mengapa kalian berani menculik puteraku ini?"
Rombongan gadis anakmurid Hong-li-h tertegun, "Siapa
anakmu?" "Siapa engkau!" teriak yang lain.
"Anak ini adalah puteraku, si Put Hau."
"Put Hau?" gadis2 itu terkejut. Put Hau artinya Tidakberbakti.
Mengapa digunakan sebagai nama orang"
"Engkau salah," seru gadis yang tertua, "dia bukan Put
Hau tetapi seorang pangeran Boan?"
"Ha, ha, ha," kakek itu tertawa gelak2, "dia seorang
pangeran Boan" Dunia ini memang sudah tua. Anak boleh
lupa bapak, tetapi mana bapak bisa lupa anak" Anak
perempuan, pergilah. Mengingat anakku sudah ketemu dan
tidak kurang suatu apa, maka kedosaanmu kepadaku tadi,
kuhapus. Kalian boleh pergi melanjutkan perjalanan."
Keenam gadis itu saling berpandangan sendiri, "Kakek,
bukankah engkau ini bangsa manusia?" seru salah seorang.
"Mungkin," sahut si kakek, "tetapi aku sendiri tak
menghiraukan soal itu. Manusia atau binatang sama saja.
Sama2 mempunyai nyawa dan sama2 memenuhi jagad ini."
"Kakek, jangan engkau ganggu pangeran itu!' seru salah
seorang gadis. "Ganggu" Engkau gila, anak perempuan," seru kakek
aneh itu, "ini kan anakku, mengapa aku harus
mengganggunya?" "Siapa engkau, kakek?"
"Aku sendiri sudah lupa siapa diriku. Hanya orang2 dulu
memberiku nama Bo-lang-bwe," kata kakek itu.
"Bo-lang-bwe" Aneh," gumam gadis itu, "bukankah bolang-
bwe itu artinya tidak ada orang yang mau membeli?"
"Benar, memang tak ada manusia di dunia ini yang mau
dekat dengan aku. Oleh karena itu mereka menggelari aku
sebagai Bo-lang-bwe alias tidak laku. Memang susah juga
hidup ini. Sudah dilahirkan menjadi manusia masih tidak
laku. Karena tidak laku, akupun lalu hidup di hutan
belantara." "Mengapa engkau mengatakan kalau orang itu anakmu?"
tanya si gadis pula. "Dulu aku pernah mempunyai isteri dan anak. Eh, tahu2
isteriku kabur bersama lain lelaki dan anakkupun lenyap."
"Mengapa engkau mengaku dia anakmu?"
"Jelas dong," sahut kakek Bo-lang-bwe, "masa sebagai
bapak tak tahu anaknya sendiri."
"Apa buktinya kalau dia itu anakmu?"
"Punggungnya ada tembong merah," kata kakek itu dan
bratttt . ... tahu2 dia terus menarik punggung baju Haka
sehingga robek. "Lihatlah, eh...... mengapa hilang ?" kakek itu berteriak,
"Put Hau, mengapa tembong merah pada punggungmu
engkau hapus ?" "Aku aku .... tidak punya tembong merah," sahut Haka
tergegap-gegap. Sebenarnya dia sudah berusaha untuk
meronta tetapi tenaganya masih lumpuh.
"Apa" Engkau menyangkal kalau punya tembong merah
" Kurang ajar, engkau benar2 put-hau (tidak berbakti)
kepada orangtua. Orantua memberimu ciri tembong,
engkau hapus seenakmu sendiri, plak, plak . . ," kakek itu
terus menampar pantat Haka sampai beberapa kali.
Haka meringis dan menjerit jerit kesakita tetapi tak dapat
berkutik. "Kakek gila, bunuhlah aku! Aku bukan anakmu !" teriak
pangeran Boan itu. "Kurang ajar! Engkau berani tidak mengakui aku sebagai
ayabmu, plak, plak . . . ," kali ini si kakek menampar muka
Haka. Selama hidup belum pernah Haka menderita siksaan
yang begitu hebat. Tenaganya hilang masih dihajar oleh
seorang kakek tak dikenal. Saking marahnya, Haka pingsan.
"Berhenti !" gadis yang tertua tadi berseru. Setelah
mendengar Haka tak kenal dengan kakek itu, makin
besarlah dugaan nona itu kalau kakek itu ngawur sakali.
Kalau sampai pangeran Boan itu mati sebelum dibawa
menghadap suhunya, pastilah mereka akan kehilangan
hadiah. "Kakek, sekali lagi kuperingatkan, lekaslah engkau pergi
dan jangan mengganggu pemuda itu," seru gadis tertua.
"Anak perempuan." sahut kakek aneh itu, "karena kalian
tetap mencampuri urusan ini maka aku hendak
memperkitungkan perbuatan kalian tadi, Bukankah tadi
kalian telah mengganggu tidurku ?"
"Ngo ci," seru salah seorang nona, "perlu apa harus tarik
urat dengan kakek sinting itu ?"
"Benar, ngo-ci, kita hajar saja dia !" sambut gadis yang
lainnya. "Bagus, bagus," seru kakek itu dengan gembira, "kalau
kalian mau berkelahi dengan aku sungguh senang sekali.
Dengan begitu terang kalau di dunia ini masih ada yang
sudi mendekati diriku ...."
Gadis tertua mengangguk dan kelima gadis itupun
serentak meloloskan ikat pinggangnya. Mereka lalu
berhamburan menyerang si kakek.
"Wah, harum sekali. bagus, bagus. anak perempuan, aku
senang dengan bau yang harum," seru kakek itu.
Anakmurid Hong-li-hoa terkejut ketika melihat kakek itu
tak kurang suatu apa, Pada hal mereka telah menaburkan
bebauan wangi yang mengandung daya untuk melenyapkan
tenaga orang. "Bagus, bagus hayo, terus, hayo terus, biar aku
berkeringat," seru kakek itu sambil berlonjak-lonjak kian
kemari seperti anak kecil yang menari-nari kegirangan.
Beberapa saat kemudian tiba2 salah seorang dari
anakmurid Hong-li-hoa itu muntah-muntah. Kemudian
disusul oleh satu, dua, tiga dan semua kawan kawannya.
Mereka terus menerus muntah tak henti-hentinya karena
hidungnya diserang oleh suatu bau keringat yang luar biasa
busuknya. Karena terus menerus muntah2 saja, akhirnya keenam
gadis itupun lemas dan rubuh.
"Ho, budak2 perempuan, rasain lu bagaimana lihaynya
bau keringatku. Adalah karena bau keringatku ini maka
orang tak mau mendekati aku," kata kakek itu seorang diri.
"Jangankan kalian. sedangkan isteriku sendiripun
minggat karena tak tahan dengan bau keringatku," kata
kakek itu pula dengan penuh kebanggaan.
Kakek Bo-lang-bwe lalu mengangkat tubuh Haka dan
dibawanya pergi. Ketika menuruni bukit dan melintai sebuah hutan, tiba2
kakek itu berpaling, "Lho, kurang ajar, siapa berani tidur di
tempatku itu ?" Dia terus menghampiri ke sebatang pohon dan berteiiak'
"Hai, orang diatas dahan, turun .... !"
Sesosok tubuh melayang turun dan tegak di hadapan
kakek itu. Dia terkejut ketika melihat kakek itu memanggul
pangeran Haka. Namun sebelum ia sempat membuka
mulut, kakek Bolang-bwe sudah membentak, "Kunyuk,
mengapa engkau berani tidur diatas dahan pohon ?"
"Lho, memangnya kenapa ?" orang itu terkejut.
"Dahan pohon itu adalah tempatku !"
"Aneh," gumam orang itu, "siapa engkau ?"
"Bo- lang- pwe"
"Bo-lang-bwe ?"
"Siapa engkau ?" balas si kakek,
"Loan Thian Te," sahut orang itu yang bukan lain
memang Huru Hara. Dia sedang tidur di atas dahan pohon
karena takut kalau tidur dibawah, akan diganggu binatang
buas atau ular. "Loan Thian Te ?" ulang kakek itu seraya kerutkan dahi,
"apa artinya nama itu ?"
"Dunia kacau atau mengacau dunia," jawab Huru Hara.
"Lho, memangnya engkau hendak mengacau dunia atau
engkau ini dunia yang kacau ?" seru kakek Bo-lang-pwe.
"Akan kujawab," sahut Huru Hara, "tetapi engkau juga
harus menjawab pertanyaanku, mau?"
"0, bagus, bagus. Aku mau."
"Dunia kacau atau mengacau dunia, sama saja."
"Mengapa pakai nama saja koq begitu aneh?"
"Mengepa aneh " Dunia ini tak ada barang yang aneh.
Bukankah sekarang ini negara kita sedang kacau " Musuh
menyerang, rakyat menderita, raja dan mentri malah
bersenang-senang. Apakah tidak kacau namanya ?"
"Musuh " Musuh yang mana ?" seru kakek
"Lho, engkau ini manusia atau bukan ?"
"Jelas, manusia."
"Manusia hidup atau mati ?"
"Hidup." "Kalau hidup mengapa engkau tak tahu kalau negara kita
sedang diserang oleh orang Boan ?"'
"0, jadi sekarang ini ada perang " Mengapa aku tak tahu "
0, benar, benar, karena aku tidak laku. Bo-lang-bwe . . . ."
"Mengapa engkau menggunakan nama begitu aneh ?"
balas Huru Hara. "Apa engkau merasa heran ?"
"Tidak," Huru Hara gelengkan kepala, "aku hanya
sekedar ingin tahu saja."
"Bo-lang bwe itu orang yang kasih nama. Karena kata
mereka. aku tak layak campur dengan manusia. Maka
akupun hidup seorang diri dihutan. 0, ya, aku ingat,
mengapa engkau berani tidur didahan pohon ini "
"Aku bebas untuk tidur dimana saja. Apa aku menyalahi
engkau ?" balas Huru Hara.
"Ya, engkau berani meniru cara aku tidur. Karena kukira
di dunia ini hanya aku seorang yang tidur diatas dahan
pohon. Ternyata mash ada lain manusia seperti engkau
yang juga tidur diatas dahan."
"0, kalau tidur engkau selalu diatas dahan pohon ?"
Bo-lang-bwe mengiakan. "Ya, memang begitu. Nah,
sekarang engkau boleh bertanya kepadaku."
"Celaka," seru Huru Hara, "aku sudah mengajukan
pertanyaan ini." "Yang mana " Mengapa aku tak terasa ?"
"Aku hendak menanyakan mengapa engkau bernama
Bo-lang-bwe. Apakah engkau ini memang seorang budak
belian yang diperjual-belikan ?"
Gila...... dengus kakek itu," aku bukan barang atau
manusia yang diperdagangkan. Tetapi merekalah, manusia2
itu, yang tak mau dekat dengan aku."
"Lho, kenapa" Apakah engkau suka makan manusia?"
"Tidak," kakek Bo-lang-pwe gelengkan kepala, "kata
mereka keringatku bau sekali. Begitu aku berkeringat,
mereka tentu muntah2 sampai pingsan. Pernah pada suatu
hari, di kampungku ada orang punya kerja menikahkan
anaknya..Aku juga diundang. Yang datang banyak sekali.
Apalagi hidangannya arak keras. Wah, aku terus
bercucuran keringat. Dan saat itu juga seluruh tetamu yang
hadir muntah2 sampai pingsan. Bahkan mempelai berdua
juga ikut pingsan . . . ."
Huru Hara tertawa geli, "Lalu apakah engkau sendiri
juga tidak ikut-ikutan pingsan?"
"Gila," dengus Bo-lang-pwe, "mana aku mau ikut
pingsan. Kan lebih enak, makan dan minum sampai puas."
Huru Hara tertawa. "Sejak itu, aku diberi nama Bo-lang-pwe dan diusir dari
desaku. Kemana saja aku pergi, orang tentu menolak.
Bahkan isteriku . .. "
"0, engkau pernah beristeri" Mengapa dia mau menjadi
isteriku?" "Itu ada ceritanya juga," kata kakek Bolang-pwe,
"isteriku juga berkeringat busuk. Sudah cari jodoh sehingga
jadi perawan kasip. Pada hal dia cantik dan anak orang
kaya. Akhirnya diberikan kepadaku. Tetapi akhirnya dia
minggat juga." "Kenapa?" tanya Huru Hara.
"Karena dia tak tahan dengan bau keringatku. Orang
mengatakan kalau keringat istetiku itu baunya membikin
pening kepala. Tetapi masih kalah dengan bau keringatku.
Tiap hari begitu aku berkeringat, dia tentu muntah2.
Karena tak tahan lama2 dia melarikan diri."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Huru Hara tertawa. Tiba2 dia berterlak kaget, "Hai,
kakek, hendak kemana engkau?"
Kakek itu memang ayunkan langkah hendak
melanjutkan perjalanan lagi. Dia tak menghiraukan Huru
Hara. Huru Hara mengejarnya, "berhenti dulu."
"Kenapa?" tanya kakek Bo-lang-bwe, "apakah engkau
hendak mencoba keringatku?"
"Bukan," Huru Hara gelengkan kepala, "hanya pemuda
yang engkau panggul itu. Hendak engkau bawa kemana
dia?" "Pulang." "Siapakah dia, engkau tahu?"
"Anakku." Huru Hara terbelalak, "Anakmu" Kalau begitu, engkau
ini seorang bangsawan Boan?"
"Gila," seru kakek itu, "aku bukan orang Boan."
"Tetapi mengapa engkau mengatakan pemuda itu
anakmu" Engkau tahu siapa dia?"
"Dia anakku?" teriak kakek itu.
"Kalau begitu engkau ini jelas orang Boan.
"Bukan, aku bukan orang Boan,"
"Aneh, padahal pemuda itu adalah pangeran Haka,
seorang Boan." "Hus, engkau gila. Dia anakku, bukan pangeran Boan."
"Mengapa engkau mengatakan begitu?"
"Karena kutahu anakku itu mempunyai ciri tembong
merah pada punggungnya."
"Apakah dia mempunyai ciri begitu?"
"Dia memang anak edan. Ciri itu telah dihapusnya. Pada
hal itu ciri pemberian orangtua.
"Siapa nama anakmu dan mengapa baru sekarang
engkau ketemukan?" "Waktu isteriku minggat, dia meninggalkan anaknya di
rumah. Aku penasaran dan mencarinya kemana-mana
tetapi tak ketemu dan terpaksa pulang. Uh, ternyata anakku
juga lenyap. Untung sekarang setelah berselang duapuluh
tahun, aku dapat menemukannya lagi."
Kini Huru Hara mulai mendapat kesan bahwa yang
dihadapinya itu seorang kakek yang ling-lung. Mungkin
benar kalau kakek itu mempunyai anak dan anak itu hilang.
Tetapi jelas bukan pemuda yang dipanggulnya itu karena
pemuda itu jelas pangeran Haka.
"Mungkin wajah pangeran Haka itu mirip dengan
anaknya," pikir Huru Hara pula. Tetapi pada lain saat dia
teringat bahwa anak dari kakek itu lenyap ketika masih
kecil. Jelas tentu berbeda dengan wajah pangeran Haka
yang sudah dewasa itu, "o, dia mengatakan tentang ciri
tembong pada punggung."
"Apakah pemuda itu punya tembong pada punggungnya
?" tanya Huru Hara. "Engkau ini memang linglung." Kata kakek Bo-lang-bwe,
"aku kan sudah bilang kalau ciri itu telah dihapusnya.
Kalau sudah dihapus, mana ada tembongnya lagi ?"
Kini Huru Hara menyadari bahwa kakek itu ngawur
saja. "Kakek Bo-lang-bwe," kata Huru Hara, "pemuda itu
bukan anakmu. dia adalah seorang pangeran Boan yang
bernama ,.............. ."
"Apa " Engkau juga berani mengganggu aku seperti
kawanan budak2 perempuan tadi ?" seru kakek Bo-langbwe.
Huru Hara terkejut, "Siapa yang engkau maksudkan
kawanan budak2 perempuan itu ?"
"Tadi anak ini telah digotong oleh beberapa budak
perempuan. Kurang ajar memang budak2 perempuan itu.
Mereka mau menculik anakku. Hm, memang jaman
sekarang, bukan anak laki yang menculik anak perempuan
tetapi sebaliknya anak perempuan yang berburu anak laki,
sialan ......" Samar2 Huru Hara mulai mengerti apa yang terjadi pada
pangeran Haka, namun ia masih belum jelas sekali.
"Lalu bagaimana ?" tanyanya.
"Budak perempuan itu memang jahil. Aku sedang tidur
diatas dahan pohon, mereka melontari batu dan menebang
pohon itu hingga aku jatuh. Dan kebetulan kulihat budak
lelaki yang mereka digotong itu adalah anakku maka
kuambil. Budak2 perempuan itu hendak melawan tetapi
waktu aku mengucurkan keringat, mereka muntah2 sampai
pingsan semua. Sekarang aku hendak pulang, lagi2 engkau
yang mengganggu, Apa engkau minta muntah2 seperti
budak perempuan itu ?"
"Sudahlah, kakek," seru Huru Hara, "jangan gila-gilaan.
Pokok, pemuda yang engkau panggul itu adalah pangeran
Haka, bukan anakmu. Kecuali engkau memang seorang
bangsawan Boan." "Setan, aku bukan orang Boan !"
"Kalau begitu, lepaskanlah dia dan biar dia kembali ke
rumahnya." "Kuraug ajar, engkau berani mengganggu aku ?" teriak
kakek itu, "hayo, kalau berani, seranglah aku."
"Tetapi aku tak bisa berkelahi, engkau saja yang
menyerang." seru Huru Hara.
"Baik," kakek Bo-tang-bwe terus menerjang Tetapi
sampai beberapa saat, dia tetap belum mampu menyentuh
Huru Hara. "Wah, cialat nih," serunya.
"Kenapa ?" tanya Huru Hara.
"Kalau aku yang menyerang, aku tak dapat berkeringat.
Dan selama tak berkeringat aku tentu kalah. Hayo engkau
saja yang menyerang . , . ."
"Baik," akhirnya Huru Hara berseru. Dia terus
berloncatan menyambar-nyambar untuk menampar dan
menabok gundul kakek Bo-lang-bwe.
Kakek itu marah dan terus berloncatan menghindar kian
kemari. Lama kelamaan, dia mulai berkeringat.
"Huak. hauakkkk ..... ," seketika itu juga Huru Hara
muntah2. "Ha, ha, ha, rasain lu seka. . . . ," baru kakek Bo-langpwe
berseru kegirangan, tiba2 huakkkk . . .. Huru Hara
muntah dan menyemburkan isi perutnya ke muka Bo-langpwe.
"Aduh ..... ," kakek itu menjerit kesakitan karena
mukanya seperti disemprot bubur panas,
Huak . . . . aduh .. , .. kembali Huru Hara muntah dan
menyemprot kemuka si kakek. Kali ini kedua mata si kakek
kena. Dia menjerit kesakitan, melemparkan pangeran Haka
ke tanah dan terus kabur.
Huru Hara masih muntah2 tak keruan dan karena lemas
diapun jatuh terduduk. Dia pejamkan mata untuk
menenangkan diri. Selang beberapa saat kemudian,
perutnya sudah tenang kembali.
Dia berbangkit dan menghampiri pangeran Haka yang
mash menggeletak pingsan. Ditolongnya pangeran itu.
"Hai, engkau !" Haka menjerit ketika membuka mata ia
melihat Huru Hara sedang mengurut-urut tubuhnya.
"Ya, memang aku. jangan takut, aku takkan mencelakai
engkau," kata Huru Hara.
Demikian setelah diberi pertolongan beberapa waktu
akhirnya Hakapun sudah sembuh. Dia teringat akan
peristiwa yang dialaminya.
"Mengapa engkau menolong aku ?" tanya Haka.
"Aku tiada mempunyai permusuhan suatu apa dengan
engkau. Mengapa aku harus membunuhmu?" balas Huru
Hara. "Tetapi.............. ."
"Lupakanlah," sahut Huru Hara," aku bersumpah bahwa
aku tak pernah mempunyai hati untuk mengganggu hati
puteri Amila. Jangan engkau mencurigainya. Dia seorang
putri yang baik." Haka terlongong-longong. "Aku seorang pangeran Boan dan engkau orang
kepercayaan mentri Su Go Hwat. Bukankah kita sedang
berperang " Mengapa engkau tak mau membunuhku?"
"Sudah pernah kukatakan, bahwa antara perang dan
kemanusiaan, ada dua garis. Sekarang kita sedang
berhadapan sebagai manusia dengan manusia. Engkau
seorang manusia yang salah faham dan menuduh aku
merebut hati gadis yang engkau cintai. Oleh karena itu
engkau mengejar aku dan hendak membunuhku. Tetapi aku
sebagai manusia yang tertuduh, ingin hendak
membersihkan tuduhan itu. Dan sebagai rasa ketulusan
hatiku bahwa aku tak mempunyai perasaan apa2 terhadap
kekasihmu itu. maka engkau kubebaskan. Silakan
pulang.............. . "
"Pangeran Haka tertegun.
"0, apakah engkau tetap hendak melampiaskan dendam
kemarahanmu" Baiklah, agar engkau puas, aku bersedia
untuk melayanimu," seru Huru Hara pula.
"Bukan begitu," kata pangeran Haka, "aku hanya merasa
bahwa jarang sekali kudapati seorang manusia seperti
engkau. Andaikata aku menjadi engkau dan engkau
menjadi aku, belum tentu aku akan bertindak seperti yang
engkau laku-kan sekarang."
"Sebenarnya manusia, baik dari suku atau bangsa
apapun juga, adalah sama. Yang tidak sama, adalah
martabat kemanusiawiannya. Ada manusia yang lupa pada
peri-kemanusiaannya karena mabuk akan kekuasaan,
pangkat dan harta. Manusia2 semacam, adalah manusia2
yang khilaf, yang buta. Mungkin engkau tergolong sebagai
manusia itu , . ." Merah muka pangeran Haka, "Huru Hara engkau benar.
Memang selama ini aku selalu dimanja oleh nafsu
memburu pangkat, harta dan kekuasaan. Bahkan dalam
soal cinta, akupun mempunyai pendirian, angkuh dan ingin
menang. Gadis2 yang kuinginkan, harus jatuh ke tanganku.
Barangsiapa berani mendekati dan mengganggu tentu akan
kubunuh......... ." Huru Hara mengangguk-angguk.
"Tetapi kini setelah menerima pelajaran dari peristiwa
yang engkau lakukan sekarang, aku menjadi sadar. Bukan
salahmu apabila engkau mendekati Amila karena Amilalah
yang menghendaki. Kini akupun sadar, bahwa mungkin
aku masih mempunyai kekurangan2 sehingga Amila tidak
mau membalas cintaku dengan sepenuh hati. Baiklah aku
takkan memaksa Amila harus mencintaiku. Akan
kupersilakan dia menentukan pilihan menurut sekehendak
hatinya. Dengan begitu, engkau bebas untuk bergaul
dengan Amila . . ." Huru Hara tertawa, "Engkau salah paham, pangeran
Haka. Cinta itu suatu perasan hati. Tak dapat dipaksa.
Dalam hal ini bukan karena puteri Amila itu kurang cantik,
atau karena dia puteri seorang panglima, dari kerajaan yang
menjadi musuh negeriku, atau karena aku takut kepadamu.
Tidak, bukan 'itu sebabnya. Tetapi karena aku memang tak
mempunyai perasaan apa2 terhadap Amila siocia."
"Pangeran Haka, saat ini kita bukan berhadapan sebagai
musuh melainkan sebagai seorang pemuda dengan seorang
pemuda. Aku ingin menyampaikan pandanganku
kepadamu. Bahwa puteri Amila itu seorang gadis yang baik
budi, cantik dan pandai. Tidak sia2 apabila engkau
mencurahkan harapanmu kepadanya. Dalam mencintai
seseorang, janganlah engkau mendua hati. Cintailah dia
dengan setulus hatimu Engkau benar, mungkin ada sesuatu
kekurangan pada dirimu mengapa puteri Amila tidak dapat
menerimamu. Tetapi janganlah engkau kuatir akan hal itu.
Koreksilah dirimu dan perbaikilah apa yang masih kurang.
Percayalah, puteri Amila tentu akan menerimamu."
Pangeran Haka tertegun. Sebelum ia mengucap terima
kasih. Huru Hara sudah mendahului berkata," jika engkau
sudah tiada persoalau lagi, akupun hendak melanjutkan
perjalanan." Habis berkata Huru Hara terus ayunkan langkah.
Beberapa saat kemudian paageran Haka tersadar dan cepat2
mengejarnya. "Hohan, berhentilab dulu," serunya.
,4pakah, engkau masih belum puas?" tegur Huru Hara.
"Tidak, bukan begitu," kata pangeran Haka, "aku hendak
menghaturkan terima kasih kepadamu."
"Ah, tak perlu," kata Huru Hara, "lekaslah engkau
kembali agar anak pasukanmu jangan kebingungan."
Kali ini Huru Hara terus loncat dan lari. Dalam sekejab
saja dia sudah jauh. Pangeran Haka terlongong-longong dalam bermacam
kesan dan renungan. Ia merasa hari itu telah mengalami
sesuatu yang amat berharga dalam hidupnya.
Ia merasa selama ini hanya penuh dengan, nafsu
kegagahan, nafsu memburu kemenangan, nafsu mendirikan
jasa, nafsu untuk mencita-citakan pangkat yang tinggi.
Karena apabila dia dapat melaksanakan semua itu,
bukankah panglima Torgun akan mengambilnya sebagai
menantu" Tetapi ah, ternyata Amila lain pandangannya. Bukan
seorang pemuda yang berpangkat tinggi, bukan yang berjasa
memenangkan peperangan, melainkan seorang pemuda
yang mengerti dan memperhatikan perasaan hati seorang
gadis. "Ya, memang hampir aku tak mempunyai waktu untuk
memperhatikan perasaan hati Amila," diam2 dia mulai
mengoreksi tindakannya selama ini terhadap Amila.
Tiba2 pasukannya datang untuk menjemputnya.
==oo00oo== Ketika tiba diluar perbatasan kota Yang-ciu, Huru Hara
terkejut ketika dihadang oleh pasukan Ceng.
"Tangkap mata-mata !" seru kawanan prajurit itu. Dan
mereka terus hendak menyerang. Huru Hara mendongkol
sekali. "Aku diutus panglima Torgun untuk menyampaikan
surat kepada mentri Su Go Hwat," katanya.
"Engkau ?" ejek seorang prajurit. "ha, ha, ha. . . . masa
manusia semacam engkau akan dipakai panglima."
"Dia tentu orang gila," seru prajurit yang lain.
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, kalau tidak, masa kepalanya pakai tanduk rambut
begitu macam," seru yang lain.
"Hm, kawanan prajurit cacing, kesabaranku ada
batasnya." dengus Huru Hara.
"Wah, wah, engkau mau mengamuk ?" seru prajurit itu.
"Kalau kalian tak mau memberi jalan, terpaksa aku akan
menerjang," kata Huru Hara pula
Huru Hara terus ayunkan langkah menerjang kawanan
prajurit yang menghadang di muka. Dia hanya berjalan dan
tidak memperlihatkan suatu gerakan memukul, seolah-olah
seperti hendak menabrak saja.
Ada beberapa prajurit yang bertubuh kekar, karena
melihat Huru Hara seorang pemuda yang nyentrik, kurus
dia dianggap serengah sinting, maka mereka sengaja diam.
Ingin mereka mencoba apakah Huru Hara mampu
mendobrak mereka. Huru Hara tak peduli. Karena beberapa prajurit yang
ditengah itu tetap tak mau menyisih, diapun terus maju
saja. Melihat itu, waktu tiba pada jarak hanya tinggal dua
langkah. seorang prajurit kuatir juga melihat kenekadan
Huru Hara. Tanpa disadari, prajurit itu terus dorougkan
kedua tangannya untuk menghalau. Tetapi begitu
membentur tubuh Huru Hara, prajurit itu menjerit kaget
dan terpentai dua langkah ke belakang.
Melihat itu seorang kawannya juga langsung mendorong
Huru Hara, tetapi diapun mengalami nasib yang sama
bahkan lebih parah karena terpental lebih jauh ke belakang.
"Dua orang prajurit kaget. Serempak mereka memukul
Huru Hara, "Aduhh . . . " merekapun menjerit kesakitan
dan terlempar ke belakang.
Seketika gemparlah kawanan prajurit itu. Mereka tak
menyangka bahwa pemuda nyentrik yang dianggap sinting
itu ternyata seorang luar biasa. Betapa tidak. Ketika
mendorong maupun memukul, mereka rasakan tubuh
pemuda itu sekokoh gunung karang. Kemudian mereka
menambah tenaganya dan mendorong atau memukul
sekeras-kerasnya. Siapa tahu, dari tubuh pemuda itu telah
memancar suatu tenaga tolak yang hebat sehingga tenaga
dorong dan pukulan prajurit itu balik kepada mereka
sendiri. "Huh, huh . .. . " beberapa prajurit loncat menyekap
tubuh Huru Hara. Maksud mereka setelah dapat diringkus,
biarlah kawan-kawannya menghajar pemuda itu.
Huru Hara diam saja dan membiarkan dirinya disekap.
Benar juga. Beberapa prajurit yang terpental ke belakang
tadi, segera menumpahkan kemarahan. Mereka
berhamburan maju dan menghantam Huru Hara.
Duk .. . duk .. aduh, aduh ... terdengar pukulan
menghunjani tubuh dan suara jeritan kesakitan disusul
dengan tubuh2 yang rubuh.
Ternyata waktu prajurit2 itu memukul Huru Hara
meronta dan prajurit2 yang menyekap tubuhnya itu
terpental, tetapi disambut dengan tibanya pukulan kawan
mereka sendiri. Seorang prajurit bertubuh tinggi besar yang rasanya
menjadi kepala kelompok. segera menggembor dan
menusuk Huru Hara dengan tombak.
Huru Hara marah melihat keganasan prajurit itu. Loncat
menghindar kesamping, dengan sebuah gerakan yang amat
cepat, dia berputar tubuh dan menampar pipi prajurit tinggi
besar itu, plak ..... Aduhhh . . . , . prajurit tinggi besar itu menjerit karena
dua buah gigi depannya tanggal. Pada saat dia tengah
mendekap mulutnya yang berlumuran darah, Huru Hara
sudah mencengkeram tengkuk dan pantat prajurit itu terus
diangkat dan diputar-putar untuk menghantam kawanan
prajurit yang menghadang.
Gemparlab sekalian prajurit. Kepala kelompok mereka
seorang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa. Terkenal
sebagai seorang sersan yang gagah berani. Dalam medan
perang, dia laksana seekor singa yang ditakuti musuh.
Tetapi pada saat itu, dia diangkat tubuhnya tanpa
mampu berontak. Ditangan seorang pemuda nyentrik,
prajurit tinggi besar itu tak beda seperti seorang anak kecil
saja. "Serang! Serang" teriak kawanan prajurit itu. Tetapi
mereka hanya berkaok-kaok dengan mulut karena tiada
seorangpun yang berani maju menyerang. Mereka kuatir
akan melukai sersan mereka.
Pasukan Ceng yang berada ditempat berjumlah rihuan.
Berita tentang seorang pemuda nyentrik yang mengamuk,
cepat tersiar. Mereka lalu siap mengepung dengan senjata
terhunus. Tetapi sampai sekian saat, tak ada yang berani
turun tangan. Bahkan setiap tempat yang digasak Huru
Hara, tentulah akan terbuka sebuah jalan. Kawanan prajurit
itu jeri dan terpaksa menyingkir.
"Berhenti !" sekonyong-konyong terdengar seruan yang
keras dan tegas. Kawanan prajurit pun berhenti, memberi
jalan kepada seorang perwira yang tegap.
Perwira itu adalah kepala pasukan disitu. "Hai, berhenti
engkau !" serunya kepada Huru Hara.
Huru Hara menurut. "Kenapa engkau mengamuk dan menyiksa sersan kami
?" tegur perwira itu.
"Aku hendak ke Yarig-ciu tetapi mereka hendak
menangkap aku," sahut Huru Hara.
"Ciangkun, dia seorang mata2." seorang pra jurit
memberi laporan. "Dia pura2 mengatakan kalau membawa surat dari
Torgun tay-ciangkun untuk diberikan kepada mentri Su Go
Hwat," seru prajurit yang lain.
"Siapakah engkau ?" tegur perwira itu pula.
"Aku sedang membawa surat dari panglima Torgun
kepada mentri Su tayjin di Yang-ciu," sahut Huru Hara.
Sejenak komandan itu memandang Huru Hara tajam2.
Memang dia agak heran mengapa seorang pemuda yang
dandanannya begitu nyentrik, dapat berkenalan dengan
panglima Torgun bahkan disuruh mengantar surat kepada
mentri Su Go Hwat. Tetapi setelah menyaksikan sendiri
betapa kegagahan Huru Hara waktu mengamuk tadi,
komandan itupun hilang kesangsiannya.
"Apa buktinya kalau engkau diperintah Torgun tayciangkun
( panglima besar )?" tanyanya.
"Aku membawa surat panglima."
"Coba tunjukkan!"
Huru Hara bersangsi. Beberapa jenak kemudian dia
menjawab, "Tempat ini bukan tempat yan sesuai."
"Baik, mari ke markas," komandan itu mengajak Huru
Hara. Setelah diajak masuk kesebuah kubu besar maka
mulailah komandan itu mengu!ang pennintaannya tadi.
"Sebelumnya, aku hendak minta keterangan," kata Huru
Hara, "mengapa pasukan disini?"
"Kita mendapat perintah untuk kota Yang ciu. Jangan
sampai ada yang lolos," kata komandan itu.
Huru Hara terkejut. Bukankah Torgun mengatakan
kalau masih memberi waktu lima hari"
"Apakah hanya diperintahkan untuk mengepung atau
menyerang?" tanya Huru Hara pula.
"Hanya suruh mengepung. Tetapi setiap saat perintah
akan berobah. Siapa tahu kalau malam ini akan datang
perintah untuk menyerang."
"Panglima Torgun mengatakan kepadaku, bahwa
panglima masih memberi waktu lima hari kepada Su tayjin.
Kalau dalam lima hari itu Su tayjin tidak mengadakan
pernyataan apa2, barulah panglima akan bertindak."
"0, apakah engkau dengar sendiri dari tayciangkun?"
Huru Hara mengiakan. "Siapakah engkau" Mengapa engkau begitu dekat sekali
dengan tay-ciangkun?"
"Aku utusan dari Su tayjin untuk menghadap panglima
Torgun. Sekarang panglima suruh aku menyampaikan
balasan kepada Su tayjin."
"Mana surat itu?"
"Untuk apa engkau memintanya?"
"Aku hendak melihat," kata komandan Ceng itu, "agar
membuktikan bahwa engkau benar2 utusan tay-ciangkun."
"Baik, akan kutunjukkan. Tetapi. jangan sekali-kali
engkau membukanya," Huru Hara berkata seraya
mengambil sampul dari dalam bajunya.
Komandan itu menyambutinya dan memeriksa dengan
teliti. Tiba2 seorang prajurit masuk menghadap, "Komandan,
Ko tayjin datang dan minta bertemu dengan komandan."
"Siapa " Ko tayjin ?"
"Benar, sahut prajurit itu," beliau perlu bertemu dengan
komandan." Komandan itu bergegas keluar. Huru Hara terkejut
karena surat dari Torgun masih dibawa komandan itu. Dia
hendak mengejar tetapi dihadang penjaga.
"Mengapa " Aku hendak meminta kembali surat itu
kepada komandan," kata Huru Hara.
"Tunggu saja disini. Nanti komandan tentu datang lagi
kemari.". kata penjaga itu.
Huru Hara menganggap bahwa mungkin orang luar tak
diperbolehkan berkeliaran dalam daerah markas mereka.
Takut kalau mata", Pikir2, toh nanti komandan itu akan
kembali lagi, akhirnya Huru Hara menurut dan menunggu
di kubu itu. Tetapi sampai setengah jam kemudian belum juga
komandan itu muncul. Dia heran. Kemana saja komandan
itu. Baru dia hendak berbangkit, muncul seorang prajurit
dengan membawa minuman. "Komandan minta supaya tuan menunggu dulu disini.
Karena komandan sedang menerima. seorang tetamu
penting. Dan silakan minum," kata prajurit itu.
Huru Hara kembali menahan kesabaran. Namun sampai
beberapa saat kembali dia belum melihat komandan itu
muncul. Dan sebagai gantinya, ia merasa ngantuk. Aneh,
pikirnya. Tiba2 dia teringat bahwa kemungkinan minuman
teh yang diminumnya itu memang sengaja diberi obat tidur,
"Akan kucicipi teh ini lagi," Huru Hara meneguk dan
membaunya. Memang ada sesuatu bau yang berlainan
tetapi hampir tak terasa.
Namun rasa kantuk itu makin lama makin keras. Dan
makin keras pula kecurigaannya bahwa teh itu telah diberi
obat tidur. "Hm, orang Boan itu hendak main curang." pikirnya.
Kemudian dia menemukan akal.
Beberapa saat kemudian kubu itu tampak sunyi senyap.
Dan penjagapun masuk menghampiri Huru Hara.
"Hm, dia sudah pulas," kata penjaga itu seraya bergegas
keluar. Tak berapa lama dia kembali bersama komandan
tadi. "Bawa dia keluar dan ikat pada pohon didekat hutan,"
kata komandan. Penjaga itu seorang prajurit yang kuat tenaga.
Dipanggulnya Huru Hara dan dibawanya ke sebuah hutan
tak jauh dari kubu pasukan Ceng.
Baru dia hendak meletakkan tubuh Huru Hara tiba2 dia
rasakan tengkuk mengencang keras sekali seperti dicekik
setan, sehingga napasnya sesak. Dan sebelum dia sempat
bergerak, tahu2 kepalanya ditabok, plak ..... seketika
rubuhlah dia. "Hm, lu mau main2, sekarang rasain saja," dengus Huru
Hara. Ternyata Huru Hara memang menggunakan siasat.
Dia pura2 tertidur pulas pada hal sebelumnya dia sudah
makan buah som (Cian-lian-hay-te-som) yang khasiatnya
dapat menolak segala racun, termasuk obat tidur.
Setelah dapat merubuhkan penjaga, Huru Hara bekerja
cepat. Dilucutinya pakaian prajurit penjaga itu, lalu
dipakainya. Setelah mengikat penjaga itu pada sebatang
pohon dan menyumbat mu lutnya supaya jangan dapat
berteriak barulah Huru Hara kembali ke kubu. Dia tak
langsung masuk melainkan menjaga diluar pintu kubu.
Tetnyata didalam kubu, terdengar orang sedang
berbicara. Salah seorang dikenalnya sebagai komandan tadi.
"Ko tayjin, bagaimana rencana tayjin ?" tanya komandan
itu. "Surat itu memang benar dari Torgun tayciangkun.
Tetapi kita harus mencegahnya supaya jangan sampai tiba
ditangan Su Go Hwat" orang yang dipanggil Ko tayjin. Dia
bukan lain adalah Ko Cay Seng, sasterawan jago menutuk
jalandarah yang menjadi tangan kanan panglima Torgun
itu. Seperti telah dituturkan dibagian jilid2 terdepan, Ko Cay
Seng dan pertapa Suto Kiat, ditugaskan panglima Torgun
untuk menyusup kedaerah kerajaan Beng guna melakukan
pengacauan, memata-matai gerak gerik pasukan Beng dan
mengadakan perpecahan dikalangan pembesar sipil dan
militer dari kerajaan Beng.
Dia baru saja menghadap Torgun untuk melaporkan
hasil kerjanya selama ini. Dikatakan bahwa kekuatan Beng
di daerah yang masih dikuasai sekarang, sudah lapuk.
Banyak jenderal2 mereka yang sudah dibujuk untuk bekerja
pada kerajaan Ceng. Waktu mendengar keterangan Torgun bahwa panglima
itu memberi waktu lima hari kepada Su Go Hwat, diam2
Ko Cay Seng terkejut. "Mengapa tay-ciangkun masih begitu bermurah hati "
Keadaan pasukan Beng saat ini ibarat kayu dimakan bubuk.
Diluar tampak garang tetapi didalamnya sudah lapuk.
Sekali kita bergerak, mereka sudah musna," kata Ko Cay
Seng. Namun panglima Torgun tetap menolak, "Su Go Hwat
seorang mentri yang setya. Aku sangat menginginkan dia
bekerja padaku." Ko Cay Seng tak berani membantah tetapi diam2 dia
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuatir juga. Torgun begitu tertarik dan menghargai sekaIi kepada Su
Go Hwat. Kalau Su Go Hwat sampai bekerja pada Torgun,
tentulah dia (Ko Cay Seng) akan kalah. Torgun tentu lebih
memperhatikan Su Go. Hwat.
Manusia yang mau bekerja kepada musuh seperti Ko
Cay Seng, tentu manusia yang memiliki nafsu mengejar
pangkat dan kekayaan. Dan orang yang bermental begitu,
tentu buruk pikirannya. Ko Cay Seng mengukur Su Go Hwat seperti dia sendiri.
Oleh karena itu diam2 dia merancang sebuah siasat.
Dia segera mengejar perjalanan Huru Hara dan
kabetulan sekali dapat tiba diluar kota Yang-ciu tepat ada
saat Huru Hara sedang berhadapan dengan komandan
pasukan. Demikian asal mula mengapa Ko Cay Sing dapat
muncul dalam kubu komandan pasukan Ceng itu.
"Ko tayjin, bagaimana rencana tayjin ?" tanya komandan
itu. "Bunuh saya orang itu agar surat panglima kita jangan
sampai jatuh ke tangan Su Go Hwat" kata Ko Cay Seng.
"Mengapa ?" "Su Go Hwat itu seorang yang setya kepada kerajaan
Bang. Kalau demi siasat dia pura2 mau bekerja kepada
panglima Torgun, tidakkah itu membahayakan jiwa dan
kedudukan kita" Coba bayangkan, Su Go Hwat itu seorang
mentri yang pandai. Dengan kelihayannya, dia tentu dapat
mempengaruhi panglima kita dan akibatnya kita pasti akan
dicelakainya." Komandan orang Boan itu, diam2 mengakui bahwa
ucapan Ko Cay Seng memang beralasan.
"Tetapi tayjin, bagaimana kalau tay-ciangkun sampai
mengetahui hal itu?" tanyanya camas.
"Kita hilangkan jejak pemuda itu dan terus menyerang
Yang-ciu. Bagaimana ciangkun dapat mengetahui hal itu?"
balas Ko Cay Seng. Komandan itu berdiam diri.
"Perlu apa harus memberi kelonggaran kepada musuh.
Saat ini keadaan mereka sudah lapuk. Sekali kita serang,
mereka tentu ambruk. Tak usah ragu2, komandan. Apabila
ciangkun sampai mengetahui hal ini, akulah yang
bertanggung jawab . . . . "
"Hai, ada apa penjaga!" tiba2 komandan menukas
pembicaraan Ko Cay Seng dan membentak penjaga yang
menerobos masuk. "Tidak apa2, hanya ingin ikut dalam pembicaraan yang
panting ini," sahut penjaga palsu atau Huru Hara.
"Apa" Engkau mengatakan apa?" teriak komandan
terkejut. "Aku ingin mendengar dari dekat pembicaraan kalian,'
seru Huru Hara. "Kurang ajar!" bentak komandan, "apa pangkatmu?"
"Penjaga." "Mengapa engkau berani lancang hendak turut
mendengarkan pembicaraan kami" Tahukah engkau siapa
yang hadir dalam ruang ini?"
"Tahu, Ko tayjin."
"Hm, kalau sudah tahu mengapa engkau masih berani
membacot?" "Pembicaraan komandan bersama tayjin tentu tak lepas
dari soal pasukan. Aku juga seorang prajurit, mengapa
dilarang untuk turut mendengarkan soal2 yang menyangkut
gerakan pasukan?" bantah Huru Hara.
"Kurang ajar . .. komandan marah dan hendak
menghajar tetapi cepat dicegah Ko Cay Sang, "Tunggu,
komandan ........... "
"Eh, rasanya aku pernah mengenali mukamu, tetapi
entah lupa dimana. Apakah engkau pernah bertemu dengan
aku?" seru Ko Cay Seng.
"Selama ini aku selalu menjaga komandan, bagaimana
dapat bertemu dengan tayjin?" sahut Huru Hara.
"Tetapi menilik pembicaraanmu, jelas engkau tentu
bukan prajurit biasa," kata Ko Cay Seng kemudian berkata
kepada komandan, "Komandan, coba tulung komandan
amat-amati, apakah dia betul penjaga disini?"
Komandan juga merasakan sesuatu yang ganjil pada
penjaga itu. Dengan matanya yang tajam, ia sempat melirik
ke wajah penjaga itu dan diam2 terkejut. Namun komandan
itu seorang cerdik. Dia tak lekas terkejut atau menyatakan
apa2. "Ah, tidak apa2, tayjin. Dia memang prajurit yang
menjaga kubu kami," kata komandan itu dengan
tersenyum. "Mengapa dia begitu lancang sekali" Apakah memang
begitu sikapnya?" "Perang memang kadang dapat merobah perangai
seseorang. Mungkin karena sering menghadapi
pertempuran, syarafnya menjadi tegang sehingga dia
kadang berani bertindak lancang," kata komandan.
Mengira kalau komandan itu benar2 tak mengenalnya,
diam2 Huru Hara gembira. "Penjaga, bagaimana perintah yang kuberikan kepadamu
tadi?" tanya komandan.
"Beres, komandan," sahut Huru Hara, "pemuda itu
sudah kuikat pada pohon dalam rimba."
"Bagus," seru komandan, "aku telah berunding dengan
Ko tayjin, bahwa besok pemuda itu harus dihabisi
nyawanya." Diam2 Haru Htra terkejut, namun ia tetap bersikap
tenang2 saja, "Baik, komandan."
Setelah berbatuk-batuk sejenak, tiba2 komandan itu
berkata, "Tulisanmu bagus, dapatkah engkau meniru tulisan
dalam surat ini?"- Huru Hara terkejut. Dia merasa tak pandai menulis
huruf kan-ji, mengapa komandan mengatakan tulisannya
bagus" "0, kemungkinan penjaga yang kuringkus dalam hutan
itu memang pandai menulis," akhirnya ia menyadari.
"Maksud komandan aku disuruh menirukan tulisan
dalam surat tay-ciangkun Torgun itu?" ia bertanya.
Komandan mengiakan. "Wah, tetapi tulisanku buruk sekali. Bagaimana aku
dapat meniru tulisan tay ciangkun?"
"Kutahu engkau pandai sastera dan tulisanmupun bagus,
jangan sungkan," kata komandan. Ia mempersiapkan alat
tulis dan mengeluarkan surat dari Torgun tadi.
"Lekas kemari," perintahnya. Dan Huru Hara gopoh
maju menghampiri. Pada saat menerima surat, dia sudah
merencanakan hendak kabur.
Tetaoi pada saat komandan mengangsurkan surat tiba2
surat itu terlepas jatuh ke lantai, .. ... , " komandan
mendesuh kaget. Huru Hara cepat membungkukkan tubuh hendak
memunggut surat itu. Tetapi pada saat itu punggungnya
seperti ditusuk jari baja dan tengkuknya dihantam oleh
sebuah tangan kuat. "Ah . . ," Huru Hara mendesah tetapi sudah terlambat.
Dia tak dapat berkutik dan tegak seperti patung.
Ternyata mata Ko Cay Seng memang tajam sekali.
Walaupun komandan mengatakan penjaga itu memang
penjaga yang asli, namun Ko Cay Seng dapat menangkap
kedip mata yang diberikan komandan.
Memang komandan itu juga lihay. Dia tahu kalau
penjaga itu bukan penjaga yang biasanya. Namun dia tak
mau cepat2 memberi reaksi. Dia hendak membuat Huru
Hara jangan curiga, Maka dengan siasat menyuruhnya
menulis, waktu menyerahkan surat dari Torgun, sengaja ia
menjatuhkan surat itu ke lantai. Dia memperhitungkan
Huru Hata tentu segera membungkukkan badan
menjemput. Pada saat itulah baru dia turun tangan untuk
merobohkannya. Semua perhitungan komandan orang Boan itu memang
tepat. Hanya sedikit yang mengejutkan yalah ketika dia
ayunkan tangan menghantam, sebelum mengenai tubuh
Huru Hara. Huru Hara sudah rubuh.
"Ah, Ko tayjin memang tangkas," setelah sadar kalau
kalah dulu, ia tertawa memberi pujian kepada Ko Cay
Seng. "Maaf, komandan Yemu, atas kelancanganku," kata Ko
Cay Seng Memang Ko Cay Seng cerdik. Walaupun pangkatnya
lebih tinggi dari komandan yang bernama Yemu itu, namun
ia tahu diri. Bahwa dia seorang Han dan Yemu itu orang
Boan. Betapapun tinggi kedudukannya. terhadap perwira
orang Boan, dia tetap menghormati orang Boan, sekalipun
lebih rendah pangkat. Dengan penampilan itu maka dia
mendapat simpati dan disenangi oleh kalangan perwira
Boan. "Ah. tak apa tayjin, tak sama saja. Yang penting kita
dapat membekuk mata2 ini," kata Yemu.
Ia menghampiri Huru Hara yang telah kena tertutuk
jalandarahnya oleh Ko Cay Seng itu dan membuka peci
prajurit yang dipakai Huru Hara.
"Ho, ternyata engkau !" dengus Yemu.
"Siapa ?" tegur Ko Cay Seng.
"Dialah orang yang membawa surat dari panglima besar
Torgun. Sebenarnya dia sudah kuberi minuman obat tidur
lalu kusuruh mengikat dalam rimba. Entah bagaimana
mengapa dia bisa muncul lagi disini."
"0, ya, aku ingat sekarang," seru Ko Cay Seng, "dia
adalah pemuda yang pernah bertempur dengan aku. Dia
orangnya Su Go Hwat. Mengapa dia bisa muncul lagi
kemari ?" Yemu lalu menuturkan keterangan Huru Hara apa sehab
dia mendapat kepercayaan dari Torgun.
"Wah, orang ini memang lihay. Ibarat anakmacan kalau
dibiarkan tumbuh besar tentu berbahaya."
"Bagaimana maksud tayjin ?"
"Bunuh !" "Ya, akupun juga sudah memerintahkan begitu. Hanya
ternyata penjaga yang kusurun membawanya ke hutan itu
malah dapat dirubuh. Tuh, dia pakai seragam dari prajurit
penjaga yang membawanya ke hutan," kata Yemu. Dia
terus mencabut pedang dan menghampiri kemuka Huru
Hara terus menabas. "Tunggu, komandan," tiba2 Ko Cay Seng berseru.
Komandan terkejut," Bagaimana maksud tay jin ?"
"Aku menemukan suatu akal bagus," kata Ko Cay Seng
seraya memberi isyatat kepada Ye-mu supaya mendekat.
Kemudian dia membisiki ke telinga komandan itu.
Yemu mengangguk-angguk. Kemudian dia memanggil
prajurit dan suruh memborgol kaki dan tangan Huru Hara
dengan rantai yang kokoh. Setelah itu suruh membawa ke
asrama. "Jaga dan awasi dia baik2, jangan sampai dapat Iolos,"
kata komandan. Setelah Huru Hara dibawa keluar, barulah komandan
bertanya kepada Ko Cay Seng, "Ko tayjin, apakah tayjin
merasa bahwa siasat itu akan berhasil ?"
"Kuharap demikian," jawab Ko Cay Seng, karena Su Go
Hwat itu seorang yang setya pada anakbuahnya. Dia adalah
orang kepercayaannya, tentulah Su Go Hwat akan berusaha
keras untuk menyelamatkan jiwanya."
"Lalu bagaimana cara kita menyampaikan surat
peringatan itu kepada Su Go Hwat ?" tanya Yemu.
"Su Go Hwat seorang mentri yang jujur dan
menghormati peraturan. Kirim saja seorang prajurit untuk
menyampaikan surat kita. Tentulah Su Go Hwat takkan
menganggu keselamatan prajurit itu."
Demikian setelah menulis surat, Yemu lalu mengutus
seorang prajurit kepercayaannya untuk mengnadap Su Go
Hwat dikota Yang-ciu. Singkatuya, prajurit itu telah diterima Su Go Hwat dan
menyerahkan surat dari komandan.
Agak tegang wajah mentri Su Go Hwat ketika membaca
surat itu. Ternyata surat itu mengatakan bahwa Huru Hara
yang diutus Su Go Hwat menghadap Torgun itu, sekarang
sudah tertangkap. Huru Hara akan dibebaskan apabila Su
Go Hwat bersedia untuk meninggalkan Yang- ciu.
Beberapa saat timbul pertentargan dalam batin Su Go
Hwat. Ia tahu bahwa Huru Hara itu seorang pemuda
pejuang yang setia. Seorang putera dari pendekar besar Kim
Thian Cong yang pernah memberi pertolongan kepadanya.
Haruskah ia mengorbankan jiwa pemuda itu" Demikian
pertanyaan yang timbul tenggelam dalam benak Su Go
Hwat. Waktu mendapat laporan dari mata2 yang berhasil
menyusup kedalam daerah pendudukn bahwa Su Hong
Liang telah dihukum panglima Torgun, bukannya terkejut
kebalikannya mentri Su Go Hwat malah tertawa.
"Hm, memang manusia lain dengan Harimau tentu
beranak harimau, tetapi manusia belum tentu putera sama
dengan bapaknya. Aku setya kepada kerajaan Beng, tetapi
putra keponakanku, bekerja kepada orang Boan. Aku malu,
bahwa keluarga Su ada yang menjadi penghianat bangsa.
Oleh karena itu, biarlah dia mati dibunuh panglima musuh
agar kelak aku dapat mempertanggung jawabkan noda
keluarga kita itu kepada para leluhur yang sudah berada di
alam baka," pikirnya.
Jika Su Go Hwat sedang merenung, pun di kubu
pasukan Ceng, Ko Cay Seng dan komandan Yemu juga
sedang berbincang-bincang.
Mereka membicarakan tentang kemungkinan berhasilnya
surat mereka kepada Su Go Hwat. Mereka tahu bahwa Su
Go Hwat dan Huru Hara itu seorang pejuang muda yang
setya dan jujur. Tentu mentri Su Go Hwat sayang
mengorbankan dia." "Belum tente tayjin," seru Yemu, "mentri Su Go Hwat
seorang yang keras hati. Dia mengutamakan kepentingan
negara lebih dari segala. Bahkan dari pemuda tadi,
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kudengar mentri Su sengaja suruh anak keponakannya yang
bernama Su Hong Liang mengantarkan surat balasan
kepada panglima Torgun. Pada hal surat balasan itu jelas
berisi penolakan mentri Su terhadap tawaran panglima
Torgun supaya bekerja pada kerajaan Ceng. Dengan begitu
jelas mentri Su hendak menjerumuskan anak keponakannya
sendiri supaya dibunuh panglima Torgun."
"0, Su Hong Liang kongcu itu " Ya, benar, Su kongcu
memang diam2 telah bekerja kepada kita. Kemungkinan
mentri Su Go Hwat dapat mencium bau dan sengaja
hendak meminjam tangan Torgun tay-ciangkun supaya
Iblis Sungai Telaga 32 Persekutuan Pedang Sakti Lanjutan Pedang Karat Pena Beraksara Karya Qin Hong Tembang Tantangan 15
itupun jatuh. Ih Giam melepas lagi piau Ular-emas sampai dua kali
tetapi tetap tak dapat mengenai lawan. Dan Huru Harapun
sempat memperhatikan bahwa piau Ular-emas itu
mempunyai daya kekuatan menyerang sampai dua kali.
Yaitu, apabila menyambar luput, benda itu masih dapat
menyambar lagi untuk yang kedua kalinya. Apabila luput
lagi, baru piau itu jatuh.
Sekalian orang terpesona menyaksikan keistimewaan
piau Ular-emas dari Ih Giam. Tetapi merekapun, termasuk
Ih Giam sendiri, juga mengagumi akan kelihayan Huru
Hara dapat menghindar. Semula setiap melontar hanya sebuah piau Ular-emas,
setelah tiga kali gagal, baru Ih Gam melontarkan dua buah.
Kemudian tiga buah. Setiap kali tentu diulangi sampai tiga
kali. "Kunyuk, bagaimanapun juga, engkau tentu harus
rubuh," seru Ih Giam. Kali ini sekaligus dia melontar
sampai sepuluh yang dilakukan dengan sepuluh jarinya,
kanan dan kiri. "Matikkk," Huru Hara mengeluh. Waktu menerima
lontaran dua, tiga buah piau Ular-emas Huru Hara harus
mandi keringat untuk menghindari. Tetapi kalau sekarang
ia harus menghadapi sepuluh batang piau Ular-emas,
terpaksa ia harus mengakui bahwa tak mungkin ia mampu
menghindar lagi. Serentak dia keringat pedang Thiat-cek-kiam atau
pedang- magnit yang terselip di pinggangnya. Segera ia
mencabut pedang itu dari kerangkanya dan diputar sederas
angin kencang. Tring, tring, tring . . . . kesepuluh batang piau Ular-emas
itu segera melekat pada batang pedang semua.
Ih Giam mendelik seperti melihat setan di siang hari. Ia
hampir tak percaya apa yang disaksikannya. Masakan piau
Ular-emas yang sudah membuktikan keampuhannya sejak
berpuluh tahun, kini harus melekat pada sebatang pedang.
"Pedang luar biasa," puji Ih Giam.
"Hayo teruskan saja," seru Huru Hara.
"Masih ada lagi, kunyuk," teriak Ih Giam teraya
mencabut pedang dari pinggangnya. Ah, ternyata pedang
itu juga berbentuk seperti ular.
"Pedangku ini disebut Kim-coa-kiam (pedang ular emas).
Kalau engkau mampu menghadapi seranganku sampai 100
jurus, engkau boleh menganggap bahwa engkaulah yang
menang!" Sebenarnya Huru Hara hendak menyimpan pedang
magnitnya tetapi karena ia kuatir pedang Ular emas musuh
itu juga mengandung keanehan maka dia tetap hendak
memakai pedangnya. Serentak Ih Giam memutar pedangnya sederas hujan
mencurah. Setelah beberapa kali menghindar Huru Hata
lalu memutar pedangnya. Tring, tring . . . . benturan antara kedua pedang itu tak
dapat terhindar lagi. Tetapi anehnya setelah itu, tidak
terdengar suara apa2 lagi.
Dan saat itu terjadilah suatu adegan yang menarik.
Kedua pedang saling melekat dan kedua jago itupun saling
tarik menarik untuk melepaska pedangnya.
Setelah beberapa waktu tak berhasil, keduan lalu saling
dorong mendorongkan pedangnya untuk menindih pedang
lawan. Beberapa waktu kemudian tampak wajah Ih Giam
tegang sekali. Urat2 pada dahinya tampak membenjol dan
matanyapun merah berapi-api, buas sekali. Jelas jago itu
sedang menumpahkan seluruh ilmu tenaga-dalamnya untuk
mendesak Huru Hara namun tak berhasil.
Sebaliknya Huru Hara bersikap mempertahankan diri
saja. Oleh karena itu diapun tak begitu tegang.
"Celaka, "keluh Ih Giam dalam hati, "apabila aku
sampai kalah, malulah aku."
Karena malu terhadap Torgun dan rekan2 pengawal, Ih
Giam mencari akal untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapinya saat itu. Diam2 tangan kirinya merogoh kedalam saku celana.
Serempak dengan - mulut menggerung keras. 1h Giam
tamparkan tangan kirinya kedada Huru Hara.
Jarak begitu dekat dan serangan yang curang dari Ih
Giam dilakukan secara mendadak sekali. Sudah tentu Huru
Hara tak dapat menghindar lagi. Dalam gugup dia berusaha
untuk menampar dengan tangan.............. blek . .. . .
Tamparan Huru Hara itu seperti mengenai karung pasir
sehingga tak menimbulkan suara benda logam. Tetapi
berbareng itu, berhamburan segulung asap kearah muka
Huru Hara. "Wah, wangi sekali baunya," kata Huru Hara dalam hati
ketika asap dari benda yang di lemparkan Ih Giam
berhamburan. Dan beberapa saat itu tampak tenaga Huru
Hara mulai berkurang dan makin berkurang,
Agar semangatnya segar, asap yang berbau wangi itupun
disedot mulut Huru Hara. memang semangatnya menjadi
segar tetapi kesadaran pikirannya mulai turun. Makin lama
makin berkurang dan hampir tak dapat mempertahankan
senjatanya dari senjata Ih Giam.
Kesempatan itu tak disia-siakan Ih Giam
"Lepaskan !" setelah menghimpun tenaga-dalam dia
menggembor sekeras-kerasnya dan menyentakkan
pedangnya dengan sekuat tenaga, diserempaki tendangau ke
lambung lawan. Plakk. . . . uh, bluk ...... Terdengar tiga macam bunyi.
Pertama. bunyi tendangan kaki yang mengenai lambung
Huru Hara, kedua bunyi mulut Ih Kiam yang mendesuh
kaget, dan ketiga adalah bunyi tubuh Ih Kiam yang
terlempar kebelakang dan terbanting dilantai.
Aneh ! Yang menendang Ih Kiam tetapi mengapa yang
rubuh malah dia " Disitulah letak kesaktian dari tenaga-sakti Ji ih-sin-kang
yang dimiliki Huru Hara. Tenaga sakti itu akan memancar
apabila menderita pukuIan maupun tendangan atau apa
saja yang jatuh, pada tubuhnya.
Tendangan yang disertai dengan tenaga sepenuhnya dari
Ih Giam hanya merupakan mata bumerang yang membalik
dan mengenai dirinya sendiri. Tenaga tendangan itu seperti
ditolak oleh daya-mental dari tenaga-sakti Ji-ih-sin-kang
hingga Ih Giam kontal terlempar sampai dua meter dan
terbanting dilantai. Yang lebih celaka dan memalukan adalah pedang Kimcoa-
kiam milik Ih-Giam juga masih terlekat pada pedang
magnit Huru Hara. Tetapi karena telah menghisap asap dari taburan bubuk
beracun tadi maka Huru Hara pun lunglai tenaganya.
"Ciangkun, idinkan hamba yang menghadapi pemuda
brandat ini," tiba2 Su Hong Liang maju kehadapan
Torgun.. Torgtin sedang memperhatikan keadaan Ih Kiam
sehingga ia kurang menaruh perhatian pada keadaan Huru
Hara. Dan tanpa banyak pertimbangan.............. Torgun
meluluskan. "Loan Thian Te," seru Su Hong Liang setelah
berhadapan dengan Huru Hara, "karena engkau tak
sungkan dan tak mengingat persahabatan kita, maka
akupun juga tak mau mengingat hubunganku dengan
engkau. Aku dan engkau sama2 terlibat dalam kepentingan
masing-masing. Kalau engkau tak mampu mengalahkan
pengawal2 ciang kun disini, engkau tak dapat pulang.
Begitu juga aku. Kalau aku tak mampu mengalahkan
engkau, akupun tak dapat pulang. Maka tak perlu kita harus
saling mengingat hubungan kita tetapi harus mementingkan
kepentingan kita sendiri2."
Dalam pandangan yang masih belum terang dan pikiran
yang masih belum normal, terpaksa Huru Hara menyahut,
"Jika :engkau berpendirian begitu, terserah saja."
"Mari kita adu kesaktian. Andaikata aku mati, aku
takkan penasaran. Tetapi kalau engkau yang harus mati,
kuharap engkaupun jangan penasaran."
Huru Hara tertawa hambar, "Mati hidup ditangan Thian.
Jangan bicara soal mati apabila engkau belum tahu apa arti
hidup. Mati soal mudah. tetapi hidup soal nilai. Nilai hidup
seseorang menentukan kematian orang itu."
"Hm," dengus Su Hong Liang. Merah mukanya karena
mendengar kata2 yang tajam Huru Hara.
"Kalau nilai hidupku sebagai manusia yang tak berharga
hidup mengapa aku harus penasaran kalau mati ?" seru
Huru Hara pula. "Sudah jangan banyak bicara," tukas Su Hong Liang,
"nilai hidup itu bukan manusia yang memberi, tetapi
kebenaran yang menentukan. Lekas siapkan senjatamu dan
sambutlah seranganku."
"Hm, silakan saja," kata Huru Hara,
Su Hong Liang mencabut pedangnya dan segera mulai
menyerang dengan jurus Hun-hoa-hu liu atau Menyiakbunga-
meniup-pohon-liu. Suatu jurus ilmupedang yang
bergaya tabasan dalam gerak yang cepat.
Huru Hara yang masih grogy pikirannya, hanya
mengangkat pedang untuk menangkis, Tetapi secepat itu Su
Hong Liang sudah mengganti gerak tabasan dengan gerak
tusukan. Ujung pedang menikam ke uluhati Huru Hara.
"Ih," Huru Hara;mendesis seraya menyurut mundur
selangkah. Gerakan pedang Su Hong Liang itu memang
ganas sekali. Apabila kena, dada Huru Hara pasti akan
tembus. Dalam keadaan yang sangat terdesak, Huru Hara
membuang tubuh menekuk kebelakang. Suatu gerakan yang
mirip dengan Thiat- pian-kio atau jembatan-besi-gantung.
Namun karena jarak terlalu dekat; sebuah buah baju Huru
Hara telah tertusuk sampai lepas.
Su Hong Liang terkejut. Dia penasaran sekali. Pedang
yang masih berada diatas tubuh Huru Hara terus ditabaskan
kebawah. Apabila kena, muka Huru Hara pasti terbelah jadi
dua. Melihat ancaman itu, terpaksa Huru Hara rebahkan diri
ke lantai dan serempak dengan itu, ia mengangkat sebelah
kakinya untuk mengait kaki Su Hong Liang.
"Uhhhbh," Su Hong Liang mendesuh kaget karena tiba2
kakinya terangkat dan tubuh terpelanting. Dan celakanya,
pedangnyapun menusuk pada pahanya sendiri. Ia menjerit
dan terus rubuh pingsan. Beberapa pengawal segera mengangkutnya keluar.
Melihat beberapa kawannya kalah. beberapa pengawal
yang lain sarempak maju untuk menyerbu Huru Hara. Ada
lima orang pengawal yang mengeroyok. Mereka
menggunakan senjata semua.
Sudah tentu Huru Hara merasa terancam, cepat dia
mencabut pedang dan melayani mereka. tetapi dia merasa
tenaganya makin lama makin lemas dan pada suatu ketika,
kakinya terkait dari belakang. Memang yang mengait juga
mengaduh kesakitan dan terlempar sampai dua langkah.
Tetapi Huru Hara juga terpelanting jatuh ke lantai.
"Ringkus!" empat orang pengawal yang berkepandaian
tinggi segera berhamburan meringkus Huru Hara yang
kebetulan jatuhnya tertelungkup.
Karena gemas, salah seorang pengawal hendak
membelah tubuh Huru Hara tetapi pada saat itu juga
terdengarlah suara teriakan yang melengking nyaring,
"Curang engkau!"
Sekalian orang terkejut ketika seorang gadis cantik
muncul di ruangan itu. "Ayah, mengapa ayah mengidinkan perbuatan curang
berlangsung dihadapan ayah?" seru gadis itu.
Ternyata gadis itu adalah puteri panglima Torgun yang
bernama Amila. Dia mewarisi watak ayahnya yang jujur,
tegas, berani. Dan diapun gemar akan ilmusilat,
ilmuperang. Sering dia ikut dalam pasukan yang menyerang
musuh. Sebenarnya Torgun tak setuju kalau puterinya ikut
perang tetapi karena anak itu memang pandai dan sakti,
terpaksa Torgun memperbolehkan.
"Kenapa Mila?" tanya Torgun.
"Dia sudah jatuh, berarti sudah kalah, mengapa hendak
dibunuh" Dan tidak adil sekali pertempuran itu. Masa satu
orang dikeroyok empat lima orang!" seru Amila.
"Aku tidak suruh, Mila," kata Torgun. Memang kelima
pengawal itu bertindak sendiri tanpa minta idin lebih dulu
kepada panglima. Kelima pengawal itu memang gemas
terhadap Huru Hara tetapi merekapun kuatir kalau harus
menghadapi satu lawan satu, akan kalah.
"Lepaskan," seru Torgun.
Keempat pengawal itupun mengundurkan diri dan Huru
Hara segera bangun. "Engkau hebat, engkau boleh pulang," kata Torgun.
"Tidak!" jawab Huru Hara.
Mendengar itu Torgun terbeliak.
"Apa katamu?" ia menegas.
"Hamba tidak kembali," kata Huru Hara. "Mengapa?"
"Karena hamba sudah berjanji kepada ciangkun, akan
memenuhi syarat yang ciangkun ajukan
"Tetapi engkau sudah dapat mengalahkan berapa
pengawalku." "Ya, belum semua."
"Lalu bagaimana maksudmu?"
"Hamba menyerah pada keputusan ciangkun."
"0, maksudmu engkau bersedia kerja padaku?"
"Tidak." "Tidak " Lalu apa maksudmu ?"
"Hamba rela menjadi tawanan ciangkun."
"Hm," dengus Torgun, "Loan Thian Te, tetapi apakah
engkau tak merasa kalau , dalam pertempuran tadi engkau
mendapat perlakuan yang tidak wajar ?"
"Ya," sahut Huru Hara, "waktu bertempur dengan jago
yang menggunakan pisau Ular emas tadi dia telah
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menaburkan bubuk berasap dan waktu hamba sedot asap
wangi itu ternyata tenaga dan pikiran hamba agak kabur."
"Dan juga karena dikeroyok lima orang itu"
"Tidak ciangkun," kata Huru Hara, "andaikata tenaga
dan pikiran hamba masih segar, tentulah hamba masih
dapat bertahan diri."
"Nab, karena engkau dicurangi maka engkau kuanggap
memenangkan pertandingan ini dan ...."
"Tidak bisa, ciangkun," seru Huru Hara, "bagaimanapun
halnya. yang jelas hamba telah rubuh."
"Mereka bermain curang !" seru Torgun.
"Itu sudah lumrah kalau orang berbuat curang, Bukan
salah dia tetapi salah hamba mengapa tak tahu kalau
dicurangi hingga hamba menyedot asap wangi itu."
Torgun menghela napas dalam hati. Dia benar2 heran
dan tak mengerti berhadapan dengan seorang pemuda yang
seaneh itu, Betapa tidak "
Biasanya orang tentu gembira kalau dibebaskan dari
tawanan, tetapi Huru Hara tidak mau dan lebih suka
ditawan. Biasanya orang gembira kalau dianggap menang
tetapi Huru Hara menolak karena ia merasa telah rubuh,
Biasanya orang tentu memaki orang yang berlaku curang
terhadap dirinya tetapi Huru Hara tidak. Dia malah
menyalahkan dirinya sendiri mengapa begitu bodoh sampai
dapat dicurangi orang. Apakah di dunia ini terdapat orang
kedua yang seperti pemuda nyentrik itu " Pikir Torgun,
"Yah, karena dia minta ditawan, baiklah kita luluskan
saya," tiba2 Amila berseru.
"Hm, apa boleh buat," kata Torgun, "itu dia yang minta
sendiri." Ia perintahkan pengawal untuk membawa Huru Hara
kedalam ruang tawanan.. Namun diam2 Torgun pesan agar
pemuda itu diperlakukan dengan baik.
"Yah. pemuda itu aneh sekali," guman Amila setelah
Huru Hara pergi, "masakan orang kok suka ditawan?"
"Ya, dia memang aneh."
"Tetapi apakah dia tak mempunyai maksud tertentu ?"
"Maksud tertentu bagaimana ?"
"Misalnya dia hendak menggunakan kesempatan untuk
memata-matai gerakan pasukan kita dan rencana2 ayah."
"Kulihat dia seorang pemuda yang jujur."
"Tetapi tiada jeleknya kalau kita memata-matai gerak
geriknya, ayah. idinkanlah aku saja yang melakukan
penyelidikan itu." Torgun setuju. Sementara itu setelah berada di kamar tahanan, Huru
Harapun melamun. beberapa saat kemudian ia tersadar.
"Ah, mengapa aku harus menuruti suara hatiku dan rela
ditawan disini" Bukankah saat ini aku harus lekas2 kembali
ke Yang-ciu untuk membantu Su tayjin?" ia menyesal atas
tindakan yang terlalu gegabah.
Memang kalau menurut hati nuraninya, ia tak mau
mendapat kemurahan dari panglima Tor-gun. Dia akan
membuktikan bahwa ia dapat keluar dart markas panglima
Boan itu dengan suatu cara yang gemilang
Dia merasa kalah janji dengan Torgun maka diapun
menolak dibebaskan. Sesaat dia tak berpikir lebih panjang
tentang akibat yang lebih penting terhadap tugasnya
membantu Su Go Hwat. "Ah, tetapi apa boleh buat. Sudah
terlanjur berkata, tak mungkin aku menarik kembali,"
katanya. Hari itu dia beristirahat. Dan menjelang malam,
muncullah seorang pelayan gadis yang membawa makanan
dan minuman. "Hohan, inilah makanan dan minuman untuk hohan,"
kata gadis pelayan itu. Ternyata penampan dan mangkuk serta cawannya lux
sekali. Begitu pula hidangan dan araknya, hebat dan nikmat
sekali. "Eh, mengapa aku diberi makanan dan minuman begini
istimewa" Bukankah aku hanya seorang tawanan?" tanya
Huru Hara. "Entah, hohan."
"Siapa- yang suruh" Apakah panglima yang
menitahkan?" "Bukan." "Lalu siapa?" "Siocia . . . "Siocia" Puteri dari panglima itu?"
"Betul, hohan. Siocialah yang menitahkan aku supaya
mengantarkan minuman dan hidangan begini. Biasanya
inilah hidangan arak yang disantap oleh ciangkun sendiri."
"Hm, apakah ciangkun tidak marah?"
"Marah" Siapa yang berani melarang kehenak siocia?"
"Apakah panglima tidak berani menegur putrinya?"
"Bukan tidak berani, hohan. Tetapi panglima memang
amat kasih sekali kepada siocia."
"Sehingga dia manja?" tukas Huru Hara.
"Habis kalau tidak manja kepada ayahnya lalu manja
kepada siapa?" balas gadis pelayan itu dengan tersenyum.
Huru Hara sempat memperhatikan bahwa pelayan itu
seorang gadis yang amat cantik. Dia heran.
"Apakah engkau pelayan siocia ?"
"Benar. hohan. Mengapa ?"
Huru Hara tersipu-sipu. "Ah. Tidak hanya sekedar
bertanya saja." "Apakah hohan menganggap aku bersikap kurang ajar
kepada hohan ?" "0, tidak. tidak," buru2 huru Hara berkata, "engkau tidak
apa2." "Apakah hohan tak ingin bertanya tentang diri siocia ?"
Huru Hara terkejut. Mengapa bujang itu bertanya begitu.
"Apakah siocia yang suruh engkau bertanya begitu
kepadaku ?" ia bertanya.
"Ti.. , . dak. Tetapi aku memang ingin tahu apakah
hohan tidak kepingin tahu tentang diri siocia."
"Mengapa engkau memiliki pikiran -begitu ?"
"Karena siocia juga memperhatikan hohan.
"Memperhatikan aku ?"
"Benar. Itulah sebabnya maka siocia sengaja menyuruh
hamba mengantarkan makanan dan arak istimewa ini.
Apakah hohan tidak merasa ?"
Huru Hata tertegun. Aneh benar. Dia seorang tawanan
mengapa puteri panglima Ceng menaruh perhatian
kepadanya" "Ah," ia hanya menghela napas. "Mengapa begitu"
Apakah siociamu mengatakan sesuatu tentang diriku?"
"Ya, siocia bilang hohan benar2 sakti. Siocia ingin
belajar silat kepada hohan."
"Apa?" Huru Hara melongo, "aku tak mengerti
ilmusilat." Pelayan itu kerutkan dahi, "Ah, harap hohan jangan
naerendah diri. Jago2 yang kalah dari hohan tadi termasuk
pengawal kepercayaan ciangkun. Jelas hohan tentu berilmu
sakti." Memang Huru Hara menyadari bahwa sukar bagi orang
untuk menerima penjelasannya. Kalau ia mengatakan tak
mengerti ilmusilat, orang tentu tak percaya.
"Untuk apa siocia hendak belajar silat?"
"Ah, hohan, siocia memang gemar belajar silat dan
mahir dalam ilmu perang."
"Kalau sudah begitu, perlu apa siocia mau belajar silat
lagi?" tanya Huru Hara.
"Ah, hohan tak tahu. Siocia memang gemar sekali.
Setiap mclihat orang memainkan ilmusilat yang sakti, dia
tentu minta pelajaran. Oleh karena itu banyaklah aneka
ragam ilmusilat yang dimiliki siocia."
"Bagus," seru Huru Hara, "hanya sayang aku memang
tak dapat ilmusilat. Apa yang harus kuajarkan kepada
siocia?" "Apa saja, pokok ilmusilat yang siocia belum memiliki."
Huru Hara menghela napas.
"0, apakah hohan tak bersedia memberi pelajaran kepada
siocia?" tanya gadis pelayan itu.
"Bukan tak mau tetapi memang aku tak mengerti ilmu
silat. Apa yang harus kuajarkan kepadanya ?"
"Soal itu, hohan tak perlu bingung. Siocia dapat
menentukan sendiri mana2 yang berguna. Hohan cukup
bermain silat saja. Yang penting hohan kan bersedia
memberi pelajaran ?"
Huru Hara hanya menghela napas,
"Hohan," kata gadis pelayan itu pula, "mengapa hohan
ikut berjuang " Apakah hohan tak punya keluarga ?"
Huru Hara gelengkan kepala.
"Apakah hohan belum menikah ?"
"Huh, apa-apaan bujang ini tanya orang menikah
segala?" guniam Huru Hara dalam hati.
"Mengapa engkau bertanya begitu ?" tegurnya.
"Karena siocia juga pesan begitu."
"Lho, koq aneh. Apa kepentingan siocia bertanya begitu
?" "Aku tak tahu, hohan. Apa saja yang siocia perintahkan
tentu akan kulaksanakan."
"Aku belum menikah."
"Punya tunangan ?"
Huru Hara gelengkan kepala.
"Sudahlah, silakan tinggalkan tempat ini," akhirnya
Huru Hara menghalau gadis pelayan itu.
"Baik, hohan. Tetapi kapankah hohan akan mulai
memberi pelajaran silat kepada siocia ?" tanya gadis pelayan
itu pula. "Terserah. saja," karena kewalahan, terpaksa Huru Hara
menyahut sekenanya. "Hm, gila," gumam Huru Hara setelah bujang itu pergi.
Lebih kurang sejam kemudian, kembali gadis pelayan itu
muncul. "Hohan, maaf, siocia tak enak badan. Tapi siocia suruh
aku meminta pelajaran ilmusilat kepada hohan," katanya.
"Apa ?" Huru Hara terkejut.
"Begini hohan," kata gadis pelayan itu, "pikir2 memang
kurang pantas kalau siocia datang kemari untuk meminta
pelajaran ilmusilat kepada hohan. Siocia kuatir akan
menimbulkan desas desus yang kurang enak."
Huru Hara mengangguk. memang apabila terdengar
orang, tentu akan gempartah kalau puteri panglima hesar
kerajaan Ceng datang ke kamar tahanan seorang tawanan
karena hendak minta pelajaran ilmusilat.
"Tetapi siocia benar2 kagum akan kepandaian hohan,"
kata gadis pelayan itu. "maka siocia lalu menyuruh aku
untuk mewakilinya. Dengan begitu aku nanti yang akan
menyampaikan pelajaran itu kepada siocia."
Huru Hara terkesiap. "Dengan begitu hohan dapat membantu banyak pada
siocia. Siocia berjanji, kelak tentu takkan melupakan budi
kebaikan hohan," kata gadis pelayan itu pula.
Sebelum Huru Hara sempat membuka mulut gadis
pelayan itu sudah berkata lagi, "Hohan mari kita berlatih ke
kebun saja. Disini kurang le luasa."
"Tetapi apakah para penjaga nanti tidak marah kalau
tahu aku keluar dari ruang tahanan ini?"
"Tidak," kata gadis pelayan, "siapa beran menentang
perintah siocia Karena terus menerus didesak, apa boleh buat, Huru
Hara terpaksa menurut saja. Keduanya menuju ke sebuah
taman yang cukup luas. "Nah, sekarang silakan hohan mulai memberi pelajaran,"
kata gadis pelayan itu. Sebenarnya Huru Hara benar2 tak tahu bagaimana harus
mengajar ilmusilat. Dia sendiri tak mengerti silat.
"Hm, asal gerak sajalah. Misakan bujang tahu, katanya
dalam hati." Huru Harapun bersiap, "Lihatlah baik2" katanya dan
mulaikan ia menggerakkan sepasang tangannya. Makin
lama makin cepat sehingga dia seperti memiliki belasan
buah tangan yang berserabutan mengelilingi tubuhnya.
"Bagus. bagus," seru gadis pelayan itu. Ia minta agar
Huru Hara bergerak secara pelahan saja.
Huru Harapun menurut. "Ah, mudah sekali, hanya menggeiakkan sepasang
tangan kian kemari, saling bersilang," kata gadis pelayan itu
setelah menirukan gerakan Huru Hara.
"Cobalah hohan mainkan cepat lagi," gadis itu
memintanya. "Oah, hebat sekali," teriak gadis pelayan itu ketika Huru
Hara bermain dengan cepat lagi, "apakah nama ilmu silat
ini ?" "Cian-jiu-hud atau Dewa-seribu-tangan," kata Huru Hara
sekenanya saja. "0, memang tepat sekali nama itu. Karena waktu hohan
yang melakukan, hohan seperti memiliki berpuluh-puluh
tangan." gadis pelayan itu berseru memuji.
Tetapi sampai berulang kali dia menirukan, tetap dia tak
mampu bermain seperti Huru Hara.
"Mengapa kalau aku yang memainkan malah seperti
orang menari-nari saja ?" tanyanya heran.
"Ya, segalanya harus sabar."
"Berapa lama harus belajar supaya dapat menyamai
seperti hohan ?" "Tergantung dari kegiatanmu," kata Huru Hara, "kalau
giat, engkau tentu dapat mencapainya dalam waktu lima
tahun. 'Tetapi kalau malas tentu makan waktu sampai
sepuluh tahun." "Baiklah, hohan," kata gadis pelayan, "akan
kusampaikan pelajaran ini kepada siocia. Siocia tentu
senang sekali. Itu mengenai pelajaran menyerang. Sekarang
cobalah hohan ajarkan suatu ilmusilat untuk bertahan.
Misalnya, supaya kita dapat terhindar kalau sampai
dikeroyok oleh beberapa lawan.
"Wah, pelayan ini memang mengada-ada saja," pikir
Huru Hara. Tetapi diapun segera melakukan suatu gerak
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berloncat-loncat. Makin lama makin cepat dan makin tinggi
sehingga mencapai beberapa meter.
"Wah, hebat," seru gadis pelayan itu pula. Dia mulai
menirukan lagi. Tetapi sampai beberapa kali tetap dia tak
mampu mencapai kecepatan dan ketinggian seperti gerakan
Huru Hara. "Apa namanya jurus itu, hohan?" tanyanya.
"Tong-lang-poh atau Belalang-loncat," kata Huru Hara
sekenanya saja. Diapun mengataka bahwa ilmu itu harus
dipelajari dengan sungguh sampai beberapa tahun.
Pada akhirnya, gadis pelayan itu meminta lagi, "Hohan,
cobalah ajarkan cara untuk menangkap orang supaya
jangan mampu melepaskan diri."
"Baik," kata Huru Hara, "tetapi siapa yang akan
kujadikan lawan ?" "Aku." serempak gadis pelayan itu menyambut dan
terus- maju dihadapan Huru Hara. "silakan hohan
meriugkus aku." Tanpa sadar Huru Hara terus menyekap gadispelayan
itu. Gadis pelayan berusaha untuk meronta tetapi tidak
mampu. "Hai, Narci, mengapa engkau ..... " tiba2 terdengar
seorang berseru dan pada lain saat seorang perwira muda
terus menerjang Huru Hara, "bangsat, engkau berani
kurang ajar terhadap gadisku !"
"Huh ...... " karena tak menyangka akan dicengkeram
dan disentakkan ke belakang, Huru Harapun terpental ke
belakang sampai beberapa langkah.
Perwira muda itu terus menyerang lagi tetapi gadis
pelayan .berseru, "Jangan !"
"Hai, kenapa engkau melarang, Narci" Apakah engkau
suka kepadanya ?" perwira muda itu berpaling dan . . . . ,
"Hai. siapa engkau !" teriaknya keras ketika melihat wajah
gadis pelayan itu. Gadis pelayan itu juga terkejut. Cepat ia maju
menghampiri dan, plakkkk ..... ia menampar mulut perwira
muda itu dan terus lari pergi.
Perwira itu begap mukanya. Dia tertegun seraya
mengusap-usap pipinya. "Siapa engkau.?" Huru Hara maju menghampiri.
Perwira muda itu terkejut. sahutnya, "Aku Mogin,
perwira pasukan pengawal panglima besar kerajaan Ceng.
Siapa engkau ?" "Aku tawanan kalian."
"Mengapa engkau berani kurang ajar terhadap gadis itu
?" seru Mogin dengan marah.
"Lho, dia sedang minta pelajaran ilmusilat kepadaku."
"Setan !" bentak perwira muda itu," tak mungkin !
Engkaulah yang hendak merayunya !"
Merah muka Huru Hara. "Eh, perwira, jangan omong
seenakmu sendiri saja. Dia disuruh sio-cianya. Aku tak tahu
kalau dia itu pacarmu!' "Bangsat !" maki perwira Mogin, "siapa bilang dia
pacarku ?" "Bukankah engkau memanggil namanya dan engkau lalu
marah kepadaku ini ?"
"Engkau tak tahu siapa gadis tadi ?" Huru Hara
gelengkan kepala. "Dia adalah Amila siocia, puteri dari panglima besar
kerajaan Ceng !" "Apa ?" Huru Hara melonjak kaget, "ah, jangan gilagilaan
engkau, perwira. Dia jelas pelayan mengapa engkau
katakan siocia puteri dari panglimamu ?"
"Engkau gila !" teriak Mogin," dia memang puteri dari
panglima kami." "Mengapa dia bilang disuruh siocianya dan bukankah
dia mengenakan seperti pelayan ?"
"Entah, aku tak tahu," jawab Mogin, "kukira tadi dia
memang Narci, pelayan siocia yang menjadi kenalanku.
Tetapi ternyata bukan. Dia adalah siocia sendiri."
Huru Hara terkejut juga. Ia heran mengapa puteri dari
panglima besar Torgun berulang kali menghubunginya.
Adalah puteri itu yang menolongnya ketika dia hendak
dibunuh pengawal2 panglima. Dan sekarang gadis itu
menyaru jadi pelayan untuk meminta pelajaran ilmusilat.
"Ah," Huru Hara tersipu-sipu malu ketika teringat bahwa
yang diajarkan itu tak lain hanyaah ilmusilat awuran alias
acak-acakan. Perwira itu meminta maaf kepada Huru Hata karena
kesalah faham tadi. Selama beberapa hari, Huru Hara tetap mendapat
hidangan yang enak. Dan selama itu tak pernah dia
diperiksa ataupun disiksa. Lama kelamaan, jenuh juga
perasaannya. Habis dia disuruh apa berada disitu. Tidak
kerja apa2, kecuali hanya disuruh makan tidur saja. Selama
itu Amila tak muncul lagi. Dan bagaimana kabarnya Su
Hong Liang, dia juga tak tahu.
Pada suatu hari dia dipanggil panglima.
"Loan Titian Te, aku hendak memberimu buah tugas,"
kata Torgun. "Baik, ciangkun."
"Aku hendak mengirim surat kepada Su Go Hwat tayjin.
Untuk yang terakhir kalinya akan kuberinya kesempatan.
Supaya dia mau mempertimbangkan. Jika dia tetap
berkeras keputusan yah apa boleh buat. Kota Yang-ciu akan
kuserang," kata panglima Torgun.
"Adakah hamba harus kembali kemari untuk
menyerahkan surat balasan Su tayjin?" tanya Huru Hara.
"Disitu tak kuminta surat balasan. Karena memakan
waktu," kata panglima Torgun, "hanya kuberi waktu.
Berapa lama engkau dapat mencapai Yang- ciu."
"Dua hari." "Kuberi waktu kepada Su tayjin selama tiga hari,
dihitung dengan perjalananmu, jadi sampai sekarang kira2
lima hari. Kalau selama lima hari ini, Su tayjin tidak
memberi pernyataan apa2, berarti dia menolak kesempatan
yang kuberikan ini. Dan mintalah dia supaya bersiap-siap
menghadapi serangan pasukan Ceng."
"Huru Hara heran mengapa panglima Ceng itu begitu
memberi kelonggaran sekali kepada Su tayjin.
"Engkau tentu heran mengapa aku masih memberi
kesempatan dan kelonggaran kepada tayjin," kata Torgun,
"itulah karena aku menghargakan sekali kepadanya dan
tetap ingin memakainya."
Huru Hara segera berangkat. Begitu tiba di luar markas
pada sebuah tempat yang sepi, muncullah seorang gadis
dengan pelayannya, juga masih gadis.
Huru Hara berdebar ketika melihat gadis itu tak lain
adalah pelayan yang pada malam pertama datang
kepadanya untuk meminta pelajaran ilmusilat.
"Maaf, hohan, aku telah mengelabuhimu beberapa hari
yang lalu," kata gadis cantik itu.
Huru Hara makin yakin bahwa gadis itu adalah puteri
dari panglima Torgun tempo hari.
"Ah, harap siocia jangan berkata begitu," kata Huru
Hara, "aku seorang tawanan. Dan aku juga pernah
mendapat pertolongan siocia. Seharusnya akulah yang
menghaturkan terima kasih kepada siocia."
"Hohan, apakah hohan akan kembali lagi kemari?" tanya
Amila. Huru Hama menghela napas, "Ciangkun tidak
menitahkan aku kembali lagi."
"Tetapi .. .. tetapi mengapa hohan harus meninggalkan
daerah ini" Bukanlah disini lebih aman" Apabila hohan
mau menetap disini, ayah tentu akan gembira sekali."
"Ah;" kembali Haru Hara menghela napas.
"Mengapa?" tegur Amila.
"Aku sudah terikat dengan kewajiban untuk membantu
perjuangan Su tayjin."
"Tidak apa," kata Amela, "asal engkau mau menetap
disini, andaikata engkau tak mau bekerja kepada ayah, pun
tak apa. Akan kuminta kepada ayah untuk kebebasanmu."
"Terima kasih, siocia," kata Huru Hara, "saat ini aku
sedang melaksanakan tugas untuk mengantarkan surat dari
ciangkun. Harus kuselesaikan tugas itu."
"Akan kuminta kepada ayah untuk menyuruh lain orang
saja." "Terima kasih," kata Huru Hara pula, "biarlah kali ini
aku menyelesaikan semua tugas kewajibanku. Terhadap
ciangkun dan terhadap Su tayjin."
"Apakah engkau bersedia kembali kemari?"
"Ah, sukar untuk kukatakan. Marilah kita serahkan
segalanya kepada Yang Kuasa. Aku sendiri tak tahu
bagaimana nasibku nanti."
"Hohan, mengapa hohan begitu keras hati"
"Bukan keras hati, siocia. Tetapi aku memang sudah
terlanjurkan menyerahkan jiwa ragaku untuk mengabdi
kepada negara " "Hohan, apakah . . . apakah engkau tak kasihan
kepadaku . . .. " "Nona adalah puteri dari seorang panglima kerajaan
Ceng yang berkuasa. Harap siocia jangan kecewa. Hari
depan siocia masih panjang dan gemilang . . . ."
"Hohan, engkau sungguh kejam . .. , " tiba2 Amila terus
lari meninggalkan Huru Hara. Huru Hara berdiri
terlongong-longong. Ia tak tahu mengapa puteri panglima
Ceng itu begitu rupa sikapnya terhadap dia.
Setelah menguatkan perasaan dia terus melanjutkan
perjalanan lagi. Baru beberapa li ketika harus melintasi
sebuah bukit, tiba2 dia dihadang oleh segerombolan lelaki
bersenjata yang ternyata adalah rombongan prajurit Ceng.
"Hm, inilah yang kurunggu-tunggu," kata perwira yang
menjadi kepala pasukan. Huru Hara berhenti. "Serahkan jiwamu!" teriak perwira, seorang suku Ceng.
"Apa salahku?" "Jangan banyak mulut! Engkau melawan atau
menyerah?" "Aku adalah utusan Torgun ciangkun untuk
mengantarkan surat kepada Su Go Hwat tayjin."
"Aku tak peduli. Itu urusan ciangkun. Teapi disini adalah
aku yang berkuasa. Lekas, jangan banyak mulut!"
"Katakanlah, apa kesalahanku. Kalau aku memang
bersalah, aku bersedia menyerahkan diri," seru Huru Hara.
"Kudengar engkau telah mengalahkan beberapa
pengawal Torgun ciangkun, benarkah itu ?" tanya perwira
Boan itu. "Ya, hanya secara kebetulan saja."
"Hm, pantas. pantas."
"Mengapa ?" "Engkau pandai merendah diri, pantas Amila jatuh hati
kepadamu," seru perwira Boan.
Huru Hara terkejut. "Mengapa engkau menyebut-nyebut puteri panglima
Torgun ?" serunya. "Apakah aku tak berhak ?" balas perwira itu. Huru Hara
makin tak mengerti kata2 dan sikap orang yang
bermusuhan. "Aku tak mengerti apa yang engkau katakan. Aku tak
kenal kepadamu, engkau hendak menangkap aku. Katakan
apa kesalahanku, engkau bicara yang lain2. Apakah
maksudmu ?" "Pengawal2 dari Torgun ciangkun itu adalah jago2
berilmu tinggi. Engkau dapat mengalahkan mereka maka
Amila jatuh hati kepadamu. Tak mungkin engkau menang
secara kebetulan saja tetapi karena engkau memang benat2
lihay." "Ah. buat apa hal itu dipersoalkan lagi " Bukankah
sekarang aku sudah pergi dari daerah ini?"
"Ketahuilah," kata perwira itu," engkau telah menghina
aku maka engkau harus mati."
Huru Hara terkejut. "Ngaco !" bentak Huru Hara, "aku tak kenal engkau.
Mengapa engkau mengatakan aku menghinamu ?"
Perwira Boan itu tertawa "Banyak sekali engkau telah menghina aku. Pertama,
engkau mengalahkan beberapa pengawal Torgun ciangkun.
Itu berarti menampar muka ciangkun dan para keluarga
raja..... " "Apakah engkau keluarga raja Ceng ?" tukas Huru Hara.
"Aku memang putera dari sanak raja yang agak jauh Bibi
misan dari baginda sekarang adalah ibuku."
"Oh, kalau begitu engkau seorang pangeran " Siapa
namamu ?" "Aku bernama Haka. Memang aku seorang pwelek
(pangeran). Maka akupun merasa terhina atas perbuatanmu
mengalahkan para pengawal Torgun ciangkun itu."
"0, kalau begitu, akupun tak dapat berbuat apa2 lagi.
Apakah aku harus menyerahkan jiwa kepada mereka, pada
hal panglima menitahkan supaya aku mengalahkan mereka.
Salahkah itu ?" "Salah," seru Haka pwelek, "dan kedua, engkau berani
memikat Amila. Ini suatu kesalahan besar yang kuanggap
sebagai hinaan besar kepaku !"
"Aneh, mengapa begitu ?"
"Aku diangkat sebagai orang kepercayaan ciangkun
untuk menghubungi para jenderal pasukan Ceng didaerahdaerah
pendudukan. Waktu. engkau mengalahkan
pengawal2 ciangkun, aku kebetulan sedang bertugas ke
Holam untuk menyampaikan perintah ciangkun," kata
Haka pwelek. "Lalu?" "Ciangkun menaruh kepercayaan besar sekali kepadaku
dan telah berjanji kepadaku, bahwa kelak apabila kerajaan
Ceng sudah dapat mengalahkan kerajaan Beng, aku akan
dimkahkan dengan Amila . . . . "
"0, engkau calon menantu panglima Tor-gun," tukas
Huru Hara. "Hm," dengus Haka pwelek, "setelah tahu hal itu kiranya
engkau tentu dapat mengerti apa sebab kuanggap engkau
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghina aku!" "Soal diri Amila siocia itu?"
"Ya," sahut Haka, "sejak engkau datang, Amila telah
berobah dingin kepadaku. Dan menurut keterangan
pelayan2, Amila tertarik sekali kepadamu. Memberimu
makanan yang lezat dan minta ajaran silat kepadamu."
"Ya, memang," jawab Huru Hara, "walau pun Amila
siocia dapat menerima penjelasanku bahwa antara kita
berdua tak ada ikatan apa2, kecuali hanya dalam batas
persahabatan, tetapi akulah yang akan bertanggung jawab
atas pristrwa itu. Amila siocia tidak bersalah."
"Hm, gagah benar engkau," seru Haka pwelek, "engkau
berani mencuri hati puteri yang akan menjadi isteriku. Itu
berarti engkau menghilangkan dadaku. Nai, bersiaplah
untuk mati!" "Baik," sahut Huru Hara, "tetapi sebelumnya aku hendak
menyatakan bahwa aku tak mempunyai perasaan apa2
terhadap Amila. Jangan engkau menuduh yang bukanbukan
!" "Hm, mana ada maling yang mau mengaku?" seru Haka.
Dia terus menyerang Huru Hara.
Huru Hara terkejut ketika menyaksikan gerak serangan
pangeran itu, Luar biasa, pikirnya. Cepatnya bukan main
dan tenaga pangeran Boan itu juga amat kuat. Untuk
beberapa saat, Huru Hara memang agak kebingungan.
Terpaksa dia harus berloncatan menghindari.
Haka sendiri juga tak kalah kejutnya. Dia telah
mendapat pelajaran ilmusilat dari seorang paderi lhama di
Tibet. Pun dia juga mendapat ilmusilat dari tokoh2 sakti
dari Tiong-goan. Dan dengan kecerdasan otaknya, dia
dapat menggabung aliran kedua ilmu silat itu untuk
menciptakan suatu aliran ilmusilat yang hebat.
Ada sebuah ilmusilat ciptaannya yang (beri nama Sippat-
hui-eng-ciang atau Delapan-belas-garuda-menyambar.
Gerakannya mirip dengan garuda yang menyambar
korbannya. Ganas dan dahsyat.
Huru Hara memang agak kebingungan. Berulang kali
hampir saja kepala dan tubuhnya kena tersambar tangan
Haka, Untunglah dia masih dapat menghindar.
Sebenarnya Huru Hara masih mempunyai pertimbangan
lain. Dia segan untuk mengadu jiwa dengan Haka. Hal itu
bukan lain karena ia tahu bahwa pangeran itu hanya salah
faham. Dan disamping itu. Huru Harapun ingin membalas
budi kebaikan Amila. Bukankah Amila akan hancur
hatiuya apabila Haka sampai cacad atau mati "
Memang baik panglima Torgun, Amila maupun Haka,
adalah orang Boan yang menjadi musuh rakyat Beng.
Tetapi Huru Hara akan memisahkan antara permusuhan
dengan hubungan antara manusia dengan manusia.
Di medan perang, apabila berhadapan dengan Torgun
ataupun Haka, dia tentu akan hancurkannya. Karena
perang adalah perang. Kalau tak mau memhunuh tentu
dibunuh, Dan perang itu adalah demi membela negara.
Tetapi apabila dalam hubungan sebagai manusia
peribadi, dia tak mempunyai dendam apa2 terhadap
Torgun. Bahkan ada beberapa dari panglima Ceng itu yang
ia hargakan. antara lain pandangan dan cara panglima itu
menghargai mentri besar seperti Su tayjin dan cara dia
memimpin anak pasukannya.
Juga terhadap puteri Amila, Huru Hara menaruh
simpati. Bukan karena dia ada hati melainkan karena dia
kasihan. Bukankah puteri itu sudah mempunyai calon
suami si Haka " Mengapa hendak main cinta kepadanya "
"Ah, kemungkinan ada sesuatu yang terjadi diantara
kedua muda mudi itu," pikirnya. Lepas dari siapa
keduanya. namun Huru Hara mempunyai pendirian bahwa
persoalan muda-mudi itu pada umumnya adalah sama, baik
dia muda-muda Han, Beng maupun Ceng.
Untuk membalas kebaikan puteri itu, Huru Hara
mempunyai rencana agar hubungan Amila dengan Haka
dapat berjalan baik lagi. Karena betapapun halnya, Huru
Hara tak mungkin dapat menerima cinta puteri Amila.
Jangan lagi karena dia memang tak ada hati puteri
panglima Ceng itu. Pun andaikata dia menaruh hati, diapun
akan sanggup untuk mengorbankan perasaan cinta itu demi
kepentingan perjuangan. Saat itu serangan Haka makin buas dan ganas sehingga
Huru Hara makin kelabakan. Akhirnya ia mengambil
keputusan. Selekas menghindari terjangan Haka, dia terus loncat ke
belakang dan lari. "Hai, hendak lari kemana engkau!" Haka berteriak dan
terus mengejarnya. "Hm, lu kira gua kalah " Andaikata tak mengingat
kepentingan Amila, tentu akan kuhadapimu," sambil berlari
Huru Hara mendesuh dalam hati.
Rupanya Haka memang sedang terbakar betu12 hatinya.
Dia marah kepada Huru Hata yang dituduhnya berani
mengganggu Amila. Dia heran mengapa dengan
mengerahkan seluruh tenaga gin-kangnya, dia tetapi tak
mampu menyusul lari Huru Hara,
Entah sudah berapa puluh li keduanya kejar mengejar
itu. Pada saat itu sudah menjelang petang dan mereka
tengah memasuki sebuah pegunungan yang sepi.
Waktu berpaling ke belakang, Huru Hara terkejut. Dia
tak melihat Haka lagi. "Ah, mungkin pangeran Boan itu lelah dan kehabisan
napas." pikirnya. Diapun berhenti dan masuk kedalam
sebuah hutan kecil yang berada di tepi jalan.
Ternyata Haka memang kehabisan napas, Terpaksa dia
berhenti. Dia memang penasaran sekali karena tak dapat
menangkap Huru Hara. Tetapi apa daya "
Cuaca makin gelap. Anak pasukan masih tertinggal di
belakang. Mungkin mereka kehilangan jejak Haka. Dan
kuda Hakapun masih ketinggalan. Kemanakah malam itu la
harus menuduh " Beranjak dari sebuah batu, diapun ayunkan langkah
mencari suatu tempat yang dapat dibuat bermalam. Belum
berapa lama ia berjalan, ia melihat sebuah gendung
bangunan rumah batu diatas sebuah tanjakan tanah bukit.
Ah, mungkin rumah penduduk.
Ternyata rumah itu adalah sebuah bio atau kuil gunung
yang sudah jarang didatangi orang. Tetapi Haka agak heran
mengapa ruang depan tempat sembahyang terawat dengan
bersih. Bahkan diatas meja sembahyang terdapat dua buah
cektay tempat lilin dan sepiring buah segar.
Haka menyulut lilin dan seketika ia melihat bahwa yang
dipuja di kuil itu adalah sebuah arca dari Dewi Koan 1m.
"Aneh," pikirnya, "kuil ini terletak di bukit yang begini
sepi mengapa masih terdapat sesaji hidangannya.
Lantainya juga cukup bersih maka Hakapun lalu duduk
bersila pejamkan mata untuk melakukan semedhi.
Beberapa saat kemudian setelah letih hilang, mulailah ia
merasa lapar. Ah, tetapi kemanakah ia harus mencari
makanan " Tiba2 ia teringat akan hidangan buah segar diatas meja
sembahyang. Buah tho, delima, dan biji teratai. Serentak
dia berbangkit lalu hendak mengambil buah tho. Tetapi
pada saat itu juga lilinpun padam dan gelaplah ruangan itu.
"Uhh, . , . . ," Haka mendesis ketika merasa bahwa piring
buah yang sudah hampir dapat dijamahnya itu seperti
lenyap. Mungkin karena gelap dan mungkin karena masih
harus ke muka lagi, pikirnya. Maka tangannyapun
menyorong maju. "Uh . . . ," kembali mulutnya mendesus kaget. Tak
mungkin tangannya masih kurang panjang. Jelas piring
buah itu hanya terpaut sekilan tangan.
Daripada menebak-nebak maka iapun menyulut api lagi.
Tub, benarlah. Piring buah itu masih terletak di meja.
Ia menyimpan korek dan ulurkan tangannya lagi. Tetapi
pada saaat itu juga lilin padam pula dan tangannya juga
menyambar tempat kosong. Hingga dua tiga kali dia menyulut korek dan setiap
hendak mengulurkan tangan lilin tentu padam, seketika
timbullah rasa seram dalam hatinya.
"Setan .... " " suatu dugaan segera mencengkam
pikirannya. Kalau tidak, mengapa lilin itu selalu padam.
Pada hal jelas tiada angin berhembus.
Untuk terakhir kali dia menya!ut lilin.
Tetapi ternyata tidak padam. Setelah ditunggu beberapa
saat lilin itu masih menyala maka mulailah ia mengulurkan
tangan kearah piring buah, wut ........ lilin segera padam.
"Wah, benar2 setan," akhirnya ia merangkai kesimpulaa.
Sesaat membayangkan bahwa setan itu tentulah suatu
mahluk yang menyeramkan, bergidiklah Haka diapun terus
hendak melangkah keluar. Kritttt . . . . pintu seketika tertutup dan serempak lilinpun
padam. "Celaka!" Haka mengucurkan keringat dingin dan
serentak terus mencabut pedang.
Tik . . . sebuah benda kecil macam biji kacang hijau
seperti menyambar telinganya. Ia mengira tentulah nyamuk
atau lalat. Tik, lagi sebuah benda kecil membentur dadanya.
Tik, mulut, hidung dan . .. . , "Slap !" akhirnya Haka
menyadari kalau benda2 yang mengganggu itu bukan
bangsa serangga melainkan kacang hijau yang melayang
kepadanya. Ia cepat memainkan pedangnya untuk menyerang kalang
kabut, ke kanan kiri, kian kemari. Pokok apabila ada setan
atau mahluk yang berada dalam ruang itu tentulah tertabas.
Dia tak tahu jelas karena ruang gelap gelita.
Namun sampai beberapa saat, pedangnya tak pernah
terasa membentur sesuatu. Akhirnya ia hentikan permainan
pedangnya. Kemudian ia berdiri tegak, mengheningkan pikiran dan
menyalurkan tenaga-murni untuk mempertajam indera
pendengarannya. "Kikkk, kikkkk , ... hi ... hi ... hiii"."
Tiba2 telinganya menangkap suara orang tertawa
mengikik. Nadanya seperti suara wanita. Serentak ia sadar
bahwa memang dalam ruang kuil tua itu terdapat mahluk.
Entah munusia entah bangsa setan.
"Siapa !" teriaknya dengan keras dan mencabut pedang,
"kalau setan, keluarlah. Aku tak takut. Kalau manusia,
jangan main sembunyi, hayo, unjukkan mukamu .... !"
"Hi, hi, hi, hi?""
-oo0dw0oo- Jilid 40 Hong-li-hoa. Rasa seram makin mencengkam hati Haka, pangeran
Boan yang tersesat dalam sebuah kuil diatas bukit. Namun
sesaat kemudian dia menyadari bahwa kemungkinan besar
suara tertawa mengikik itu bukanlah dari bangsa setan
melainkan dari bangsa manusia jenis wanita.
Tetapi baru pikirannya menduga begitu, terdengarlah
suara bernada membatu roboh, "Ho, ho, hoooo . . . . "
"Hai, siapa kalian! Kalau berani hayo tunjukkan
mukamu!" seru Haka yang sudah membulatkan tekad.
Setan maupun manusia, toh dia harus menghadapi.
Daripada mati ketakutan lebih baik dia melawan. Kalau
memang harus mati, biarlah dia mati secara ksatrya.
Sebagai jawaban setiup angin halus berhembus
menampar hidurgnya. Ah, harum, harum sekali .....
Haka cepat menyadari bahwa bangsa setan memang ada
yang menebarkan bebauan harum. Tetapi segera dia
merasa, bahwa bau harum itu telah mengikat pikirannya
dan membawanya melayarg-layang ke suatu alam yang
indah, penuh bunga2 mekar, gadis2 cantik dan kolam yang
eok. Sesaat terbawalah pikirannya melayang pada keadaan
istana baginda dimana sekali dia pernah diajak masuk oleh
ayahnya ketika ia masih agak muda.
Saat itu dia tak dapat merasakan keindahan yang
tersimpul dalam taman istana yang penuh dengan dayang
sahaya yang cantik2. Namun sekarang ia merasa suatu daya pesona yang
cepat menggelorakan darah mudanya Nafsu birahinyapun
berkobar ..... "Celaka," cepat ia menyadari bahwa bebauan harum itu
mengandung suatu daya yang tak wajar. Maka diapun
segera menutup pernapasannya.
Tiba2 ia mendengar suara harpa mengalun lembut dan
sejuk, dan sayup2 berkumandang suara yang merdu. Sesaat
terlenalah ia dalam pesona yang memukau seluruh hati
pikirannya. "Celaka," sesaat kemudian ia tersadar bahwa suara tawa,
harpa dan nyanyian itu semuanya mengandung daya
pesona yang menghanyutkan kesadaran pikirannya. Buru2
dia kerahkan tenaga dalam untuk menghalau tetapi ia
terkejut. Sebahagian dari tenaga dalamnya telah hilang.
Menyadari bahwa dia telah terkena suatu serangan
tenaga-dalam yang dipancarkan melalui tawa, harpa dan
nyanyian, Haka mengerahkan seluruh sisa tenaga-dalam
dan terus mengamuk. Brakkk.............. brakkkk.............. ,
Meja sembahyangan diterjang, sekali babat terbelah
menjadi dua kemudian dia menendang patung Dewi Koan
Im yang setinggi orang. Patung mencelat dan seketika itu
terang benderanglah ruangan.
Ternyata ruang kuil tua itu pada keempat sudutnya
dipasangi lampu lilin. Saat itu menyala semua.
"Hai, siapa kalian...........!" seketika berteriaklah Haka
setelah tahu bahwa dalam ruang kuil itu telah berjajar enam
gadis cantik. Salah seorang yang paling tua, berusia sekitar dua puluh
tahun, menyahut, "Yang berhak bertanya adalah kami,
bukan engkau. Siapa engkau mengapa engkau berani
menginjak-injak kuil kami ?"
"Aku tak menginjak-injak, aku hendak meneduh untuk
semalam ini."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa engkau ?"
"Aku adalah Haka pwelek".."
"Seorang Boan ?"
"Ya." "Hm, bagus," seru gadis itu, "susah payah kita mencari
kemana-mana tak ketemu, ternyata sekarang malah datang
sendiri." "Apa " Siapa yang engkau maksudkan itu ?" seru Haka.
"Engkau." sahut gadis itu, "engkau seperti ikan yang
mencaplok pancing." Haka makin tak mengerti, "Katakan yang jelas !"
"Ketahuilah wahai pangeran Boan, kami adalah
anggauta Hong-li-hoa . , . ."
"Apa itu Hong-li-hoa ?"
"Hong-li-hoa yalah perkumpulan dari gadis2 dan wanita2
yang telah menjadi korban keganasan prajurit Boan.
Mereka telah mencemarkan kesucian kami, membunuh
orangtua, saudara dan merampas harta benda kami."
Haka terkejut. Memang selama ini ia pernah mendengar
tentang sepak terjang prajurit2 Ceng apabila berhasil
merebut sebuah kota. "Lalu bagaimana maksudmu ?" tanyanya.
"Sudah terang seperti burung bangau terbang di siang
hari," sahut gadis itu. "bahwa setiap budi tentu berbalas.
setiap dendam harus dihimpaskan."
Haka terkejut namun karena hanya berhadapan dengan
kawanan gadis, diapun tenang kembali.
"O, maksud kalian hendak membalas dendam kepadaku
?"- tanyanya. "Kepada siapa lagiIah dendam itu harus kita tagih ?" seru
gadis itu dengan fasih, "bukankah engkau seorang pangeran
Boan " Bukankah keluargamu sekarang telah menduduki
istana kerajaan Beng " Bukankah engkau telah menikmati
kehiduan diatas penderitaan rakyat kami ?"
"Ya." kata Haka, "itu hukum kodrat, siapa kuat menang,
siapa lemah kalah." "Ya, benar," sahut si gadis, "oleh karena itu mari kita adu
kekuatan. Kalau engkau yang kuat, bunuhlah kami. Tetapi
kalau engkau yang lemah, engkau harus menyerah."
"0, engkau hendak menangkap aku ?"
"Engkau seorang pangeran Boan, nilainya tinggi sekali
bagi kami." "Nilai apa ?" "Kepada sekalian anggauta anak murid Hong-li-hoa telah
dliberi pesan. Kalau dapat membunuh prajurit Boan, akan
diberi hadiah uang. Kalau dapat membunuh perwira, dapat
pelajaran ilmusilat. Membunuh jenderal dan mentri dapat
pelajaran ilmupedang. Dan kalau membunuh pangeran atau
raja Boan, dapat pusaka dan pelajaran ilmupedang yang
sakti. Nah, kalau engkau memang mau menyerah, kami
berjanji tak kan mengganggumu dan hanya membawamu
menghadap ke tempat suhu. Kelonggaran ini kami berikan
untuk membalas kesediaan dan bantuanmu sehingga kami
berenam akan mendapat senjata pusaka dan ilmupedang."
Haka tertawa mengejek, "Ya, memang enak sekali bagi
kalian. Tetapi sayang, kawanku tak mengidinkan kalau aku
menyerahkan diri." "Mana kawanmu?" seru gadis itu.
"Ini," Haka acungkan pedangnya, "dialah yang melarang
aku. Kalau aku melanggar dia tentu marah."
"Hm, kematian sudah didepan mata, mengapa engkau
masih berani jual aksi begitu macam. Di istana engkau
seorang pangeran, tetapi disini engkau seekor babi yang
akan dijadikan sesaji sembahyangan."
"Kejam! Buas benar kalian!" teriak Haka, "kalian kan
kaum wanita mengapa hendak menjadikan diriku sebagai
sesaji" Apakah kalian doyan daging manusia?"
"Gila!" bentak gadis itu, "siapa sudi menyentuh
badanmu" Engkau akan dijadikan sesaji pada Makam
Dendam dari perkumpulan kami."
"0, apakah Makam Dendam itu, makam dari mcreka2
yang menjadi korban perang ?" seru Haka.
"Ya, makam itu tempat kami memuja. Sesajinya adalah
darah orang Boan !" "Baiklah," akhirnya Haka berseru, "kalau kalian memang
hendak menangkap aku, silakan saja kalau mampu !"
"Jadi engkau hendak melawan ?"
"Aku kan seorang lelaki, masakan mandah kalian
tangkap seperti ayam saja," kata Haka.
"Baik, sekarang engkau boleh bersiap."
"Tunggu," seru Haka, "sebelum bertempur agar kalau
aku sampai kalah dan dibunuh aku jangan mati penasaran,
aku ingin bertanya sesuatu kepada kalian."
"Hm, katakanlah."
"Mengapa lilin diatas meja itu dapat padam dan piring2
buah itu dapat bergerak ?" tanya Haka.
"Menurut engkau bagaimana ?"
"Kalau aku tahu aku tak perlu bertanya. Kukira setan
karena kalau manusia sukar lepas dari perhatianku."
"Baiklah, karena engkau toh akan mati, maka tak apa
kalau kuberitahu tentang rahasia itu," kata gadis tersebut,
"sebenarnya aku berada dalam patung Dewi Koan Im itu.
patung itu berlubang dan dari lubang itu maka
kuhembuskan napas untuk memadamkan lilin."
"Dan bagaimana dengan piring buah itu?" tanya Haka.
"Piring itu mempunyai tali pengikat dari kawat yang
halus sekali sehingga tak kelihatan mata. Dapat ditarik kian
kemari." "0," seru Haka."
"Sudah jelaskah ?"
"Ya" "Nah, sekarang bersiaplah," seru gadis itu. Dan serentak
dia memberi aba-aba maka kelima gadis itupun segera
melolos sabuk pinggang masing2. Dan pada lain saat,
merekapun menarikan ikat pinggangnya, menyerang Haka.
Seketika itu juga Haka rasakan hawa yang luar biasa
harumnya bertebaran dari taburan kain pinggang mereka.
Serentak ia menyadari kalau bau harum itu tentu
mengandung obat pelelap pikiran tetapi sudah terlambat.
Pangeran Boan itu rasakan kepalanya pening dan tenaga
lunglai. Plak.. sehelai ujung kain ikat pinggang dari kelima
gadis itu menampar punggung dan seketika rubuhlah
pangeran itu. Tamparan selendang itu mengandung tenaga dalam yang
kuat. "Hm, pangeran Boan, engkau cari penyakit sendiri,"
dengus gadis yang tertua. kemudian dia memberi perintah
kepada kelima kawannya untuk menggotong pangeran itu.
Cepat sekali kelima gadis itu bekerja. Kaki, tangan dan
tubuh pangeran itu diikat dengan ikat pinggang lalu
diangkat bersama-sama, semisal orang menggotong
harimau. Mereka keluar dari kuil dan menuju ke arah bukit. Haka
masih sadar tetapi tak bertenaga. Dia tak berkutik sama
sekali. Dia tahu bahwa kawanan gadis aneh itu tentu
menggunakan bebauan harum yang mengundang obat
untuk menghilangkan tenaganya.
Dia menyesal mengapa tak lekas2 manyadari hal itu.
Dan diapun menyesal mengapa sampai meninggalkan anak
pasukannya. Kalau dia sampai mati, dia benar2 penasaran
sekali. Bukan karena takut mati tetapi mati ditangan
kawanan gadis, benar2 suatu kematian yang memalukan.
Apalagi dia seorang pangeran.
"Hm, andaikata aku tak menurutkan emosi untuk
mengejar Huru Hara, tentulah aku tak sampai mengalami
nasib begini," keluhnya dalam hati.
Tetapi hal itu sudah menjadi suatu kenyataan. Dia tak
dapa! berbuat apa2 lagi kecuali hanya mengharap akan
timbul suatu keajaiban yalah anak-pasukannya akan
menyusul dan menolongnya dari cengkeraman kawanan
gadis misterius itu. Saat itu sudah lewat tengah malam dan angin malampun
makin dingin. Rombongan gadis dari perkumpulan Hong-lihoa
itu perjalanan beriring dengan menggotong tubuh
pangeran Haka. Sebagaimana diketahui Hong-li-hoa artinya adalah
Bunga Penghibur. Suatu perkumpulan dari dan wanita yang
telah menderita akibat keganasan pasukan Ceng. Mereka
bersumpah akan membalas dendam. Mereka rela untuk
mengorbankan kehormatannya, menjadi wanita penghibur
pemuas nafsu prajurit Ceng. Tetapi mereka sebenarnya
menjadi mata-mata untuk mencari tahu tentang rahasia
militer dari pasukan Ceng. Bahkan kalau perlu mereka tak
segan untuk meracuni tokoh2 pembesar Ceng.
Dengan pengorbanan itu mereka telah banyak berjasa
untuk menyelamatkan rakyat dan terutama kaum wanita
yang masih suci dari keganasan prajurit2 Ceng.
Hong-li-hoa, Bunga Penghibur. memang suatu nama
yang cukup terkenal di kalangan pasukan Ceng.
Dan secara kebetulan pangeran Haka telah terjatuh ke
tangan anakbuah Hong-Ii-hoa.
Tiba2 mereka dikejutkan oleh suara orang berbatukbatuk.
Serempak mereka berhenti.
"Cici, siapakah yang batuk2 itu ?" tanya salah seorang
gadis yang berada di muka.
"Ya, terdengar suara orang batuk2 tetapi mengapa tak
kelihatan orangnya ?" sahut kawannya.
"Jangan2 ada setan ........."
"Jangan ngaco, Ah Ing," seru gadis yang tertua tadi,
"dunia ini tak ada setan. Namun kalau memang ada,
tentulah tak berani dekat dengan kita. Kita ini kan sudah
menjadi setan juga, bukan ?"
"Ya, benar, cici, setan dunia !"
"Tetapi walaupun setan, pun bukan setan sembarangan
setan. Kita menjadi setan bagi orang Boan, tidak bagi rakyat
Beng." "Diam !" tiba2 gadis yang tertua itu membentak, "coba
dengarkan suara apa itu !"
Ternyata memang ada suatu suara yang aneh, macam
tubuh bergesek dengan pohon. Suara itu amat halus sekali,
hampir tak terdengar. Tetapi dengan mencurahkan
perhatikan kawanan gadis itu dapat menangkapnya. Jelas
mereka tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Memang anggauta dari perkumpulan Hong-li-hoa itu,
bermula hanya terdiri dari sepuluh gadis yang dipimpin
oleh seorang wanita setengah baya. Wanita itu berilmu
kepandaian tinggi. Kepada anakmuridnya dia juga
menurunkan kepandaian ilmusilat.
Kemudian perkumpulan itu makin lama makin
bertambah luas. Hong-li-hoa menampung berbagai
kalangan wanita yang menjadi korban keganasan pasukan
Ceng. Ada gadis, ada janda muda. Mereka sudah terlanjur
kaku dan tak diberi pelajaran. Mereka hanya diberi tugas
khusus untuk menjadi wanita penghibur.
Ada pula yang bertugas sebagai pedagang, tani dan
buruh bahkan budak. Organisasinya diatur begitu rapih dan
tertib sehingga hubungan mereka dengan pimpinan selalu
ada. Sedangkan kesepuluh gadis2 yang menjadi murid inti
dari wanita pimpinan Hong-li-hoa itu memiliki kepandaian
silat yang tinggi. Keenam gadis yang menangkap pangeran
Haka adalah murid inti dari Hong-li-hoa. Itulah sebabnya
dengan mengerahkan perhatian mereka dapat menangkap
suara berkeresekan yang lembut.
"Ho, kiranya ada manusia yang tidur diatas batang
pohon," seru salah seorang dari mereka seraya memandang
keatas dahan pohon yang besar.
Seorang gadis menjemput sebutir batu dan terus
ditimpukkan pada tubuh orang itu.
"Aduh.............. ," terdengar orang itu menjerit kesakitan
namun terus tidur lagi. 'Setan," gumam gadis yang lain. Diapun menjemput batu
yang agak besar, terus di lontarkan.
"Aduhhhh," kembali orang itu menjerit, beringsut tubuh
dan terus tidur lagi, "Gila barangkali orang itu," kata salah seorang gadis,
"masakan dilempari batu, juga tak bangun."
"Kalau begitu mari kita beramai-ramai melontarinya,"
kata gadis yang pertama menimpuk batu tadi.
"Ya, benar." sambut gadis kawannya. "aku yang
mengarah kepala, engkau tengkuk, engkau punggung,
engkau pantat, dan engkau kakinya. Lihat saja apa dia
masih tak mau bangun !"
"Aduh, aduh, duhhhh," terdengar orang itu berteriak
beberapa kali karena tubuhnya diserang lima butir batu.
Namun setelah itu ia tetap tidur lagi.
Kelima gads itu heran ! Salah seorang berseru, "Katau
begitu kita lepaskan hui-to (pisau ter-bang) saja, biar dia
mampus "Jangan," tiba2 gadis yang tertua tadi mencegah. "lihat,
bagaimana akan kupaksanya supaya turun."
Dia mencabut pedang dan terus menabas batang pohon
tempat orang itu melintang. Tajam sekali pedang nona itu
sehingga dalam beberapa kejab, pohon berderak-derak
rubuh, bum ... Debu bertebaran tercampak dahan dan ranting. Setelah
segalanya tenang dan terang kembali, rombongan gadis itu
segera mencari orang yang tidur tadi.
"Hai. mana orang tadi, ngo-ci ?" seru seorang gadis
bertubuh langsing. Ngo-ci artinya taci nomor lima.
Keenam gadis itu saudara seperguruan. Gadis yang
tertua tadi masih jatuh urutan nomor lima. Sedang kelima
gadis yang lain adalah sumoainya.
Gadis yang dipanggil Ngo-ci itu menengadah kepala,
"Sialan," serunya terkejut.
Kelima sumoaynyapun memandang keatas. Mereka
terkejut, mendongkol dan penasaran, "Setan alas ! Dia
sudah pindah ke lain pohon !"
Memang orang itu masih tidur melintang di atas dahan,
tetapi lain pohon lagi. Beramai-ramai kelima gadis itu
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segera menebang pohon itu. Tetapi setelah pohon tumbang,
orang itu pun sudah pindah ke lain pohon. Hingga sampai
lima enam batang pohon telah ditebang, masih orang itu
tidak mau turun. Gadis yang tertua terkejut. Diam2 ia membatin bahwa
orang yang tidur diatas dahan itu jelas seorang sakti. Kalau
tidak, masakan mampu berpindah ke lain pohon tanpa
diketahui orang. "Jangan tebang pohon ini," kata gadis tertua, "tetapi
tebanglah pohon2 yang berada di sekeliling. Kalau tak ada
lain pohon lagi, mau lari kemana dia !"
Kelima gadis segera bekerja. Tak selang berapa lama,
beberapa batang pohon di sekeliling pohon tempat orang itu
tidur, sudah ditebang semua. Kini hanya tinggal pohon itu
saja. "Nah, sekarang babatlah pohon itu," seru gadis tertua itu.
Krek, krek, bum ..... beberapa saat kemudian karena
ditebang secara beramai-ramai pohon itupun tumbang.
Gadis2 itupun bingung mencari orang aneh tadi di dalam
gerumbul ranting dan daun yang melintang di tanah. Tetapi
tak melihatnya. "Aneh benar," seru gadis itu, "apakah orang itu manusia
atau setan ?" Tiba2 salah seorang gadis menjerit kaget "Hai dia .... ..
Ketika kawan-kawannya berpaling, mereka pun ikut
terkejut. Ternyata di tempat mereka meletakkan pangeran
Haka, saat itu terdapat seorang lelaki tua yang kumis serta
jenggotnya memutih dan menjulai pandang. Kakek itu
tengah mengangkat Haka. "Hai, lepaskan !" teriak kelima gadis seraya berhamburan
loncat ketempat kakek itu.
Kakek tua itu sudah memanggul tubuh Haka dan
memandang kawanan gadis, "Hai, kawanan budak liar,
mengapa kalian berani menculik puteraku ini?"
Rombongan gadis anakmurid Hong-li-h tertegun, "Siapa
anakmu?" "Siapa engkau!" teriak yang lain.
"Anak ini adalah puteraku, si Put Hau."
"Put Hau?" gadis2 itu terkejut. Put Hau artinya Tidakberbakti.
Mengapa digunakan sebagai nama orang"
"Engkau salah," seru gadis yang tertua, "dia bukan Put
Hau tetapi seorang pangeran Boan?"
"Ha, ha, ha," kakek itu tertawa gelak2, "dia seorang
pangeran Boan" Dunia ini memang sudah tua. Anak boleh
lupa bapak, tetapi mana bapak bisa lupa anak" Anak
perempuan, pergilah. Mengingat anakku sudah ketemu dan
tidak kurang suatu apa, maka kedosaanmu kepadaku tadi,
kuhapus. Kalian boleh pergi melanjutkan perjalanan."
Keenam gadis itu saling berpandangan sendiri, "Kakek,
bukankah engkau ini bangsa manusia?" seru salah seorang.
"Mungkin," sahut si kakek, "tetapi aku sendiri tak
menghiraukan soal itu. Manusia atau binatang sama saja.
Sama2 mempunyai nyawa dan sama2 memenuhi jagad ini."
"Kakek, jangan engkau ganggu pangeran itu!' seru salah
seorang gadis. "Ganggu" Engkau gila, anak perempuan," seru kakek
aneh itu, "ini kan anakku, mengapa aku harus
mengganggunya?" "Siapa engkau, kakek?"
"Aku sendiri sudah lupa siapa diriku. Hanya orang2 dulu
memberiku nama Bo-lang-bwe," kata kakek itu.
"Bo-lang-bwe" Aneh," gumam gadis itu, "bukankah bolang-
bwe itu artinya tidak ada orang yang mau membeli?"
"Benar, memang tak ada manusia di dunia ini yang mau
dekat dengan aku. Oleh karena itu mereka menggelari aku
sebagai Bo-lang-bwe alias tidak laku. Memang susah juga
hidup ini. Sudah dilahirkan menjadi manusia masih tidak
laku. Karena tidak laku, akupun lalu hidup di hutan
belantara." "Mengapa engkau mengatakan kalau orang itu anakmu?"
tanya si gadis pula. "Dulu aku pernah mempunyai isteri dan anak. Eh, tahu2
isteriku kabur bersama lain lelaki dan anakkupun lenyap."
"Mengapa engkau mengaku dia anakmu?"
"Jelas dong," sahut kakek Bo-lang-bwe, "masa sebagai
bapak tak tahu anaknya sendiri."
"Apa buktinya kalau dia itu anakmu?"
"Punggungnya ada tembong merah," kata kakek itu dan
bratttt . ... tahu2 dia terus menarik punggung baju Haka
sehingga robek. "Lihatlah, eh...... mengapa hilang ?" kakek itu berteriak,
"Put Hau, mengapa tembong merah pada punggungmu
engkau hapus ?" "Aku aku .... tidak punya tembong merah," sahut Haka
tergegap-gegap. Sebenarnya dia sudah berusaha untuk
meronta tetapi tenaganya masih lumpuh.
"Apa" Engkau menyangkal kalau punya tembong merah
" Kurang ajar, engkau benar2 put-hau (tidak berbakti)
kepada orangtua. Orantua memberimu ciri tembong,
engkau hapus seenakmu sendiri, plak, plak . . ," kakek itu
terus menampar pantat Haka sampai beberapa kali.
Haka meringis dan menjerit jerit kesakita tetapi tak dapat
berkutik. "Kakek gila, bunuhlah aku! Aku bukan anakmu !" teriak
pangeran Boan itu. "Kurang ajar! Engkau berani tidak mengakui aku sebagai
ayabmu, plak, plak . . . ," kali ini si kakek menampar muka
Haka. Selama hidup belum pernah Haka menderita siksaan
yang begitu hebat. Tenaganya hilang masih dihajar oleh
seorang kakek tak dikenal. Saking marahnya, Haka pingsan.
"Berhenti !" gadis yang tertua tadi berseru. Setelah
mendengar Haka tak kenal dengan kakek itu, makin
besarlah dugaan nona itu kalau kakek itu ngawur sakali.
Kalau sampai pangeran Boan itu mati sebelum dibawa
menghadap suhunya, pastilah mereka akan kehilangan
hadiah. "Kakek, sekali lagi kuperingatkan, lekaslah engkau pergi
dan jangan mengganggu pemuda itu," seru gadis tertua.
"Anak perempuan." sahut kakek aneh itu, "karena kalian
tetap mencampuri urusan ini maka aku hendak
memperkitungkan perbuatan kalian tadi, Bukankah tadi
kalian telah mengganggu tidurku ?"
"Ngo ci," seru salah seorang nona, "perlu apa harus tarik
urat dengan kakek sinting itu ?"
"Benar, ngo-ci, kita hajar saja dia !" sambut gadis yang
lainnya. "Bagus, bagus," seru kakek itu dengan gembira, "kalau
kalian mau berkelahi dengan aku sungguh senang sekali.
Dengan begitu terang kalau di dunia ini masih ada yang
sudi mendekati diriku ...."
Gadis tertua mengangguk dan kelima gadis itupun
serentak meloloskan ikat pinggangnya. Mereka lalu
berhamburan menyerang si kakek.
"Wah, harum sekali. bagus, bagus. anak perempuan, aku
senang dengan bau yang harum," seru kakek itu.
Anakmurid Hong-li-hoa terkejut ketika melihat kakek itu
tak kurang suatu apa, Pada hal mereka telah menaburkan
bebauan wangi yang mengandung daya untuk melenyapkan
tenaga orang. "Bagus, bagus hayo, terus, hayo terus, biar aku
berkeringat," seru kakek itu sambil berlonjak-lonjak kian
kemari seperti anak kecil yang menari-nari kegirangan.
Beberapa saat kemudian tiba2 salah seorang dari
anakmurid Hong-li-hoa itu muntah-muntah. Kemudian
disusul oleh satu, dua, tiga dan semua kawan kawannya.
Mereka terus menerus muntah tak henti-hentinya karena
hidungnya diserang oleh suatu bau keringat yang luar biasa
busuknya. Karena terus menerus muntah2 saja, akhirnya keenam
gadis itupun lemas dan rubuh.
"Ho, budak2 perempuan, rasain lu bagaimana lihaynya
bau keringatku. Adalah karena bau keringatku ini maka
orang tak mau mendekati aku," kata kakek itu seorang diri.
"Jangankan kalian. sedangkan isteriku sendiripun
minggat karena tak tahan dengan bau keringatku," kata
kakek itu pula dengan penuh kebanggaan.
Kakek Bo-lang-bwe lalu mengangkat tubuh Haka dan
dibawanya pergi. Ketika menuruni bukit dan melintai sebuah hutan, tiba2
kakek itu berpaling, "Lho, kurang ajar, siapa berani tidur di
tempatku itu ?" Dia terus menghampiri ke sebatang pohon dan berteiiak'
"Hai, orang diatas dahan, turun .... !"
Sesosok tubuh melayang turun dan tegak di hadapan
kakek itu. Dia terkejut ketika melihat kakek itu memanggul
pangeran Haka. Namun sebelum ia sempat membuka
mulut, kakek Bolang-bwe sudah membentak, "Kunyuk,
mengapa engkau berani tidur diatas dahan pohon ?"
"Lho, memangnya kenapa ?" orang itu terkejut.
"Dahan pohon itu adalah tempatku !"
"Aneh," gumam orang itu, "siapa engkau ?"
"Bo- lang- pwe"
"Bo-lang-bwe ?"
"Siapa engkau ?" balas si kakek,
"Loan Thian Te," sahut orang itu yang bukan lain
memang Huru Hara. Dia sedang tidur di atas dahan pohon
karena takut kalau tidur dibawah, akan diganggu binatang
buas atau ular. "Loan Thian Te ?" ulang kakek itu seraya kerutkan dahi,
"apa artinya nama itu ?"
"Dunia kacau atau mengacau dunia," jawab Huru Hara.
"Lho, memangnya engkau hendak mengacau dunia atau
engkau ini dunia yang kacau ?" seru kakek Bo-lang-pwe.
"Akan kujawab," sahut Huru Hara, "tetapi engkau juga
harus menjawab pertanyaanku, mau?"
"0, bagus, bagus. Aku mau."
"Dunia kacau atau mengacau dunia, sama saja."
"Mengapa pakai nama saja koq begitu aneh?"
"Mengepa aneh " Dunia ini tak ada barang yang aneh.
Bukankah sekarang ini negara kita sedang kacau " Musuh
menyerang, rakyat menderita, raja dan mentri malah
bersenang-senang. Apakah tidak kacau namanya ?"
"Musuh " Musuh yang mana ?" seru kakek
"Lho, engkau ini manusia atau bukan ?"
"Jelas, manusia."
"Manusia hidup atau mati ?"
"Hidup." "Kalau hidup mengapa engkau tak tahu kalau negara kita
sedang diserang oleh orang Boan ?"'
"0, jadi sekarang ini ada perang " Mengapa aku tak tahu "
0, benar, benar, karena aku tidak laku. Bo-lang-bwe . . . ."
"Mengapa engkau menggunakan nama begitu aneh ?"
balas Huru Hara. "Apa engkau merasa heran ?"
"Tidak," Huru Hara gelengkan kepala, "aku hanya
sekedar ingin tahu saja."
"Bo-lang bwe itu orang yang kasih nama. Karena kata
mereka. aku tak layak campur dengan manusia. Maka
akupun hidup seorang diri dihutan. 0, ya, aku ingat,
mengapa engkau berani tidur didahan pohon ini "
"Aku bebas untuk tidur dimana saja. Apa aku menyalahi
engkau ?" balas Huru Hara.
"Ya, engkau berani meniru cara aku tidur. Karena kukira
di dunia ini hanya aku seorang yang tidur diatas dahan
pohon. Ternyata mash ada lain manusia seperti engkau
yang juga tidur diatas dahan."
"0, kalau tidur engkau selalu diatas dahan pohon ?"
Bo-lang-bwe mengiakan. "Ya, memang begitu. Nah,
sekarang engkau boleh bertanya kepadaku."
"Celaka," seru Huru Hara, "aku sudah mengajukan
pertanyaan ini." "Yang mana " Mengapa aku tak terasa ?"
"Aku hendak menanyakan mengapa engkau bernama
Bo-lang-bwe. Apakah engkau ini memang seorang budak
belian yang diperjual-belikan ?"
Gila...... dengus kakek itu," aku bukan barang atau
manusia yang diperdagangkan. Tetapi merekalah, manusia2
itu, yang tak mau dekat dengan aku."
"Lho, kenapa" Apakah engkau suka makan manusia?"
"Tidak," kakek Bo-lang-pwe gelengkan kepala, "kata
mereka keringatku bau sekali. Begitu aku berkeringat,
mereka tentu muntah2 sampai pingsan. Pernah pada suatu
hari, di kampungku ada orang punya kerja menikahkan
anaknya..Aku juga diundang. Yang datang banyak sekali.
Apalagi hidangannya arak keras. Wah, aku terus
bercucuran keringat. Dan saat itu juga seluruh tetamu yang
hadir muntah2 sampai pingsan. Bahkan mempelai berdua
juga ikut pingsan . . . ."
Huru Hara tertawa geli, "Lalu apakah engkau sendiri
juga tidak ikut-ikutan pingsan?"
"Gila," dengus Bo-lang-pwe, "mana aku mau ikut
pingsan. Kan lebih enak, makan dan minum sampai puas."
Huru Hara tertawa. "Sejak itu, aku diberi nama Bo-lang-pwe dan diusir dari
desaku. Kemana saja aku pergi, orang tentu menolak.
Bahkan isteriku . .. "
"0, engkau pernah beristeri" Mengapa dia mau menjadi
isteriku?" "Itu ada ceritanya juga," kata kakek Bolang-pwe,
"isteriku juga berkeringat busuk. Sudah cari jodoh sehingga
jadi perawan kasip. Pada hal dia cantik dan anak orang
kaya. Akhirnya diberikan kepadaku. Tetapi akhirnya dia
minggat juga." "Kenapa?" tanya Huru Hara.
"Karena dia tak tahan dengan bau keringatku. Orang
mengatakan kalau keringat istetiku itu baunya membikin
pening kepala. Tetapi masih kalah dengan bau keringatku.
Tiap hari begitu aku berkeringat, dia tentu muntah2.
Karena tak tahan lama2 dia melarikan diri."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Huru Hara tertawa. Tiba2 dia berterlak kaget, "Hai,
kakek, hendak kemana engkau?"
Kakek itu memang ayunkan langkah hendak
melanjutkan perjalanan lagi. Dia tak menghiraukan Huru
Hara. Huru Hara mengejarnya, "berhenti dulu."
"Kenapa?" tanya kakek Bo-lang-bwe, "apakah engkau
hendak mencoba keringatku?"
"Bukan," Huru Hara gelengkan kepala, "hanya pemuda
yang engkau panggul itu. Hendak engkau bawa kemana
dia?" "Pulang." "Siapakah dia, engkau tahu?"
"Anakku." Huru Hara terbelalak, "Anakmu" Kalau begitu, engkau
ini seorang bangsawan Boan?"
"Gila," seru kakek itu, "aku bukan orang Boan."
"Tetapi mengapa engkau mengatakan pemuda itu
anakmu" Engkau tahu siapa dia?"
"Dia anakku?" teriak kakek itu.
"Kalau begitu engkau ini jelas orang Boan.
"Bukan, aku bukan orang Boan,"
"Aneh, padahal pemuda itu adalah pangeran Haka,
seorang Boan." "Hus, engkau gila. Dia anakku, bukan pangeran Boan."
"Mengapa engkau mengatakan begitu?"
"Karena kutahu anakku itu mempunyai ciri tembong
merah pada punggungnya."
"Apakah dia mempunyai ciri begitu?"
"Dia memang anak edan. Ciri itu telah dihapusnya. Pada
hal itu ciri pemberian orangtua.
"Siapa nama anakmu dan mengapa baru sekarang
engkau ketemukan?" "Waktu isteriku minggat, dia meninggalkan anaknya di
rumah. Aku penasaran dan mencarinya kemana-mana
tetapi tak ketemu dan terpaksa pulang. Uh, ternyata anakku
juga lenyap. Untung sekarang setelah berselang duapuluh
tahun, aku dapat menemukannya lagi."
Kini Huru Hara mulai mendapat kesan bahwa yang
dihadapinya itu seorang kakek yang ling-lung. Mungkin
benar kalau kakek itu mempunyai anak dan anak itu hilang.
Tetapi jelas bukan pemuda yang dipanggulnya itu karena
pemuda itu jelas pangeran Haka.
"Mungkin wajah pangeran Haka itu mirip dengan
anaknya," pikir Huru Hara pula. Tetapi pada lain saat dia
teringat bahwa anak dari kakek itu lenyap ketika masih
kecil. Jelas tentu berbeda dengan wajah pangeran Haka
yang sudah dewasa itu, "o, dia mengatakan tentang ciri
tembong pada punggung."
"Apakah pemuda itu punya tembong pada punggungnya
?" tanya Huru Hara. "Engkau ini memang linglung." Kata kakek Bo-lang-bwe,
"aku kan sudah bilang kalau ciri itu telah dihapusnya.
Kalau sudah dihapus, mana ada tembongnya lagi ?"
Kini Huru Hara menyadari bahwa kakek itu ngawur
saja. "Kakek Bo-lang-bwe," kata Huru Hara, "pemuda itu
bukan anakmu. dia adalah seorang pangeran Boan yang
bernama ,.............. ."
"Apa " Engkau juga berani mengganggu aku seperti
kawanan budak2 perempuan tadi ?" seru kakek Bo-langbwe.
Huru Hara terkejut, "Siapa yang engkau maksudkan
kawanan budak2 perempuan itu ?"
"Tadi anak ini telah digotong oleh beberapa budak
perempuan. Kurang ajar memang budak2 perempuan itu.
Mereka mau menculik anakku. Hm, memang jaman
sekarang, bukan anak laki yang menculik anak perempuan
tetapi sebaliknya anak perempuan yang berburu anak laki,
sialan ......" Samar2 Huru Hara mulai mengerti apa yang terjadi pada
pangeran Haka, namun ia masih belum jelas sekali.
"Lalu bagaimana ?" tanyanya.
"Budak perempuan itu memang jahil. Aku sedang tidur
diatas dahan pohon, mereka melontari batu dan menebang
pohon itu hingga aku jatuh. Dan kebetulan kulihat budak
lelaki yang mereka digotong itu adalah anakku maka
kuambil. Budak2 perempuan itu hendak melawan tetapi
waktu aku mengucurkan keringat, mereka muntah2 sampai
pingsan semua. Sekarang aku hendak pulang, lagi2 engkau
yang mengganggu, Apa engkau minta muntah2 seperti
budak perempuan itu ?"
"Sudahlah, kakek," seru Huru Hara, "jangan gila-gilaan.
Pokok, pemuda yang engkau panggul itu adalah pangeran
Haka, bukan anakmu. Kecuali engkau memang seorang
bangsawan Boan." "Setan, aku bukan orang Boan !"
"Kalau begitu, lepaskanlah dia dan biar dia kembali ke
rumahnya." "Kuraug ajar, engkau berani mengganggu aku ?" teriak
kakek itu, "hayo, kalau berani, seranglah aku."
"Tetapi aku tak bisa berkelahi, engkau saja yang
menyerang." seru Huru Hara.
"Baik," kakek Bo-tang-bwe terus menerjang Tetapi
sampai beberapa saat, dia tetap belum mampu menyentuh
Huru Hara. "Wah, cialat nih," serunya.
"Kenapa ?" tanya Huru Hara.
"Kalau aku yang menyerang, aku tak dapat berkeringat.
Dan selama tak berkeringat aku tentu kalah. Hayo engkau
saja yang menyerang . , . ."
"Baik," akhirnya Huru Hara berseru. Dia terus
berloncatan menyambar-nyambar untuk menampar dan
menabok gundul kakek Bo-lang-bwe.
Kakek itu marah dan terus berloncatan menghindar kian
kemari. Lama kelamaan, dia mulai berkeringat.
"Huak. hauakkkk ..... ," seketika itu juga Huru Hara
muntah2. "Ha, ha, ha, rasain lu seka. . . . ," baru kakek Bo-langpwe
berseru kegirangan, tiba2 huakkkk . . .. Huru Hara
muntah dan menyemburkan isi perutnya ke muka Bo-langpwe.
"Aduh ..... ," kakek itu menjerit kesakitan karena
mukanya seperti disemprot bubur panas,
Huak . . . . aduh .. , .. kembali Huru Hara muntah dan
menyemprot kemuka si kakek. Kali ini kedua mata si kakek
kena. Dia menjerit kesakitan, melemparkan pangeran Haka
ke tanah dan terus kabur.
Huru Hara masih muntah2 tak keruan dan karena lemas
diapun jatuh terduduk. Dia pejamkan mata untuk
menenangkan diri. Selang beberapa saat kemudian,
perutnya sudah tenang kembali.
Dia berbangkit dan menghampiri pangeran Haka yang
mash menggeletak pingsan. Ditolongnya pangeran itu.
"Hai, engkau !" Haka menjerit ketika membuka mata ia
melihat Huru Hara sedang mengurut-urut tubuhnya.
"Ya, memang aku. jangan takut, aku takkan mencelakai
engkau," kata Huru Hara.
Demikian setelah diberi pertolongan beberapa waktu
akhirnya Hakapun sudah sembuh. Dia teringat akan
peristiwa yang dialaminya.
"Mengapa engkau menolong aku ?" tanya Haka.
"Aku tiada mempunyai permusuhan suatu apa dengan
engkau. Mengapa aku harus membunuhmu?" balas Huru
Hara. "Tetapi.............. ."
"Lupakanlah," sahut Huru Hara," aku bersumpah bahwa
aku tak pernah mempunyai hati untuk mengganggu hati
puteri Amila. Jangan engkau mencurigainya. Dia seorang
putri yang baik." Haka terlongong-longong. "Aku seorang pangeran Boan dan engkau orang
kepercayaan mentri Su Go Hwat. Bukankah kita sedang
berperang " Mengapa engkau tak mau membunuhku?"
"Sudah pernah kukatakan, bahwa antara perang dan
kemanusiaan, ada dua garis. Sekarang kita sedang
berhadapan sebagai manusia dengan manusia. Engkau
seorang manusia yang salah faham dan menuduh aku
merebut hati gadis yang engkau cintai. Oleh karena itu
engkau mengejar aku dan hendak membunuhku. Tetapi aku
sebagai manusia yang tertuduh, ingin hendak
membersihkan tuduhan itu. Dan sebagai rasa ketulusan
hatiku bahwa aku tak mempunyai perasaan apa2 terhadap
kekasihmu itu. maka engkau kubebaskan. Silakan
pulang.............. . "
"Pangeran Haka tertegun.
"0, apakah engkau tetap hendak melampiaskan dendam
kemarahanmu" Baiklah, agar engkau puas, aku bersedia
untuk melayanimu," seru Huru Hara pula.
"Bukan begitu," kata pangeran Haka, "aku hanya merasa
bahwa jarang sekali kudapati seorang manusia seperti
engkau. Andaikata aku menjadi engkau dan engkau
menjadi aku, belum tentu aku akan bertindak seperti yang
engkau laku-kan sekarang."
"Sebenarnya manusia, baik dari suku atau bangsa
apapun juga, adalah sama. Yang tidak sama, adalah
martabat kemanusiawiannya. Ada manusia yang lupa pada
peri-kemanusiaannya karena mabuk akan kekuasaan,
pangkat dan harta. Manusia2 semacam, adalah manusia2
yang khilaf, yang buta. Mungkin engkau tergolong sebagai
manusia itu , . ." Merah muka pangeran Haka, "Huru Hara engkau benar.
Memang selama ini aku selalu dimanja oleh nafsu
memburu pangkat, harta dan kekuasaan. Bahkan dalam
soal cinta, akupun mempunyai pendirian, angkuh dan ingin
menang. Gadis2 yang kuinginkan, harus jatuh ke tanganku.
Barangsiapa berani mendekati dan mengganggu tentu akan
kubunuh......... ." Huru Hara mengangguk-angguk.
"Tetapi kini setelah menerima pelajaran dari peristiwa
yang engkau lakukan sekarang, aku menjadi sadar. Bukan
salahmu apabila engkau mendekati Amila karena Amilalah
yang menghendaki. Kini akupun sadar, bahwa mungkin
aku masih mempunyai kekurangan2 sehingga Amila tidak
mau membalas cintaku dengan sepenuh hati. Baiklah aku
takkan memaksa Amila harus mencintaiku. Akan
kupersilakan dia menentukan pilihan menurut sekehendak
hatinya. Dengan begitu, engkau bebas untuk bergaul
dengan Amila . . ." Huru Hara tertawa, "Engkau salah paham, pangeran
Haka. Cinta itu suatu perasan hati. Tak dapat dipaksa.
Dalam hal ini bukan karena puteri Amila itu kurang cantik,
atau karena dia puteri seorang panglima, dari kerajaan yang
menjadi musuh negeriku, atau karena aku takut kepadamu.
Tidak, bukan 'itu sebabnya. Tetapi karena aku memang tak
mempunyai perasaan apa2 terhadap Amila siocia."
"Pangeran Haka, saat ini kita bukan berhadapan sebagai
musuh melainkan sebagai seorang pemuda dengan seorang
pemuda. Aku ingin menyampaikan pandanganku
kepadamu. Bahwa puteri Amila itu seorang gadis yang baik
budi, cantik dan pandai. Tidak sia2 apabila engkau
mencurahkan harapanmu kepadanya. Dalam mencintai
seseorang, janganlah engkau mendua hati. Cintailah dia
dengan setulus hatimu Engkau benar, mungkin ada sesuatu
kekurangan pada dirimu mengapa puteri Amila tidak dapat
menerimamu. Tetapi janganlah engkau kuatir akan hal itu.
Koreksilah dirimu dan perbaikilah apa yang masih kurang.
Percayalah, puteri Amila tentu akan menerimamu."
Pangeran Haka tertegun. Sebelum ia mengucap terima
kasih. Huru Hara sudah mendahului berkata," jika engkau
sudah tiada persoalau lagi, akupun hendak melanjutkan
perjalanan." Habis berkata Huru Hara terus ayunkan langkah.
Beberapa saat kemudian paageran Haka tersadar dan cepat2
mengejarnya. "Hohan, berhentilab dulu," serunya.
,4pakah, engkau masih belum puas?" tegur Huru Hara.
"Tidak, bukan begitu," kata pangeran Haka, "aku hendak
menghaturkan terima kasih kepadamu."
"Ah, tak perlu," kata Huru Hara, "lekaslah engkau
kembali agar anak pasukanmu jangan kebingungan."
Kali ini Huru Hara terus loncat dan lari. Dalam sekejab
saja dia sudah jauh. Pangeran Haka terlongong-longong dalam bermacam
kesan dan renungan. Ia merasa hari itu telah mengalami
sesuatu yang amat berharga dalam hidupnya.
Ia merasa selama ini hanya penuh dengan, nafsu
kegagahan, nafsu memburu kemenangan, nafsu mendirikan
jasa, nafsu untuk mencita-citakan pangkat yang tinggi.
Karena apabila dia dapat melaksanakan semua itu,
bukankah panglima Torgun akan mengambilnya sebagai
menantu" Tetapi ah, ternyata Amila lain pandangannya. Bukan
seorang pemuda yang berpangkat tinggi, bukan yang berjasa
memenangkan peperangan, melainkan seorang pemuda
yang mengerti dan memperhatikan perasaan hati seorang
gadis. "Ya, memang hampir aku tak mempunyai waktu untuk
memperhatikan perasaan hati Amila," diam2 dia mulai
mengoreksi tindakannya selama ini terhadap Amila.
Tiba2 pasukannya datang untuk menjemputnya.
==oo00oo== Ketika tiba diluar perbatasan kota Yang-ciu, Huru Hara
terkejut ketika dihadang oleh pasukan Ceng.
"Tangkap mata-mata !" seru kawanan prajurit itu. Dan
mereka terus hendak menyerang. Huru Hara mendongkol
sekali. "Aku diutus panglima Torgun untuk menyampaikan
surat kepada mentri Su Go Hwat," katanya.
"Engkau ?" ejek seorang prajurit. "ha, ha, ha. . . . masa
manusia semacam engkau akan dipakai panglima."
"Dia tentu orang gila," seru prajurit yang lain.
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, kalau tidak, masa kepalanya pakai tanduk rambut
begitu macam," seru yang lain.
"Hm, kawanan prajurit cacing, kesabaranku ada
batasnya." dengus Huru Hara.
"Wah, wah, engkau mau mengamuk ?" seru prajurit itu.
"Kalau kalian tak mau memberi jalan, terpaksa aku akan
menerjang," kata Huru Hara pula
Huru Hara terus ayunkan langkah menerjang kawanan
prajurit yang menghadang di muka. Dia hanya berjalan dan
tidak memperlihatkan suatu gerakan memukul, seolah-olah
seperti hendak menabrak saja.
Ada beberapa prajurit yang bertubuh kekar, karena
melihat Huru Hara seorang pemuda yang nyentrik, kurus
dia dianggap serengah sinting, maka mereka sengaja diam.
Ingin mereka mencoba apakah Huru Hara mampu
mendobrak mereka. Huru Hara tak peduli. Karena beberapa prajurit yang
ditengah itu tetap tak mau menyisih, diapun terus maju
saja. Melihat itu, waktu tiba pada jarak hanya tinggal dua
langkah. seorang prajurit kuatir juga melihat kenekadan
Huru Hara. Tanpa disadari, prajurit itu terus dorougkan
kedua tangannya untuk menghalau. Tetapi begitu
membentur tubuh Huru Hara, prajurit itu menjerit kaget
dan terpentai dua langkah ke belakang.
Melihat itu seorang kawannya juga langsung mendorong
Huru Hara, tetapi diapun mengalami nasib yang sama
bahkan lebih parah karena terpental lebih jauh ke belakang.
"Dua orang prajurit kaget. Serempak mereka memukul
Huru Hara, "Aduhh . . . " merekapun menjerit kesakitan
dan terlempar ke belakang.
Seketika gemparlah kawanan prajurit itu. Mereka tak
menyangka bahwa pemuda nyentrik yang dianggap sinting
itu ternyata seorang luar biasa. Betapa tidak. Ketika
mendorong maupun memukul, mereka rasakan tubuh
pemuda itu sekokoh gunung karang. Kemudian mereka
menambah tenaganya dan mendorong atau memukul
sekeras-kerasnya. Siapa tahu, dari tubuh pemuda itu telah
memancar suatu tenaga tolak yang hebat sehingga tenaga
dorong dan pukulan prajurit itu balik kepada mereka
sendiri. "Huh, huh . .. . " beberapa prajurit loncat menyekap
tubuh Huru Hara. Maksud mereka setelah dapat diringkus,
biarlah kawan-kawannya menghajar pemuda itu.
Huru Hara diam saja dan membiarkan dirinya disekap.
Benar juga. Beberapa prajurit yang terpental ke belakang
tadi, segera menumpahkan kemarahan. Mereka
berhamburan maju dan menghantam Huru Hara.
Duk .. . duk .. aduh, aduh ... terdengar pukulan
menghunjani tubuh dan suara jeritan kesakitan disusul
dengan tubuh2 yang rubuh.
Ternyata waktu prajurit2 itu memukul Huru Hara
meronta dan prajurit2 yang menyekap tubuhnya itu
terpental, tetapi disambut dengan tibanya pukulan kawan
mereka sendiri. Seorang prajurit bertubuh tinggi besar yang rasanya
menjadi kepala kelompok. segera menggembor dan
menusuk Huru Hara dengan tombak.
Huru Hara marah melihat keganasan prajurit itu. Loncat
menghindar kesamping, dengan sebuah gerakan yang amat
cepat, dia berputar tubuh dan menampar pipi prajurit tinggi
besar itu, plak ..... Aduhhh . . . , . prajurit tinggi besar itu menjerit karena
dua buah gigi depannya tanggal. Pada saat dia tengah
mendekap mulutnya yang berlumuran darah, Huru Hara
sudah mencengkeram tengkuk dan pantat prajurit itu terus
diangkat dan diputar-putar untuk menghantam kawanan
prajurit yang menghadang.
Gemparlab sekalian prajurit. Kepala kelompok mereka
seorang bertubuh tinggi besar, gagah perkasa. Terkenal
sebagai seorang sersan yang gagah berani. Dalam medan
perang, dia laksana seekor singa yang ditakuti musuh.
Tetapi pada saat itu, dia diangkat tubuhnya tanpa
mampu berontak. Ditangan seorang pemuda nyentrik,
prajurit tinggi besar itu tak beda seperti seorang anak kecil
saja. "Serang! Serang" teriak kawanan prajurit itu. Tetapi
mereka hanya berkaok-kaok dengan mulut karena tiada
seorangpun yang berani maju menyerang. Mereka kuatir
akan melukai sersan mereka.
Pasukan Ceng yang berada ditempat berjumlah rihuan.
Berita tentang seorang pemuda nyentrik yang mengamuk,
cepat tersiar. Mereka lalu siap mengepung dengan senjata
terhunus. Tetapi sampai sekian saat, tak ada yang berani
turun tangan. Bahkan setiap tempat yang digasak Huru
Hara, tentulah akan terbuka sebuah jalan. Kawanan prajurit
itu jeri dan terpaksa menyingkir.
"Berhenti !" sekonyong-konyong terdengar seruan yang
keras dan tegas. Kawanan prajurit pun berhenti, memberi
jalan kepada seorang perwira yang tegap.
Perwira itu adalah kepala pasukan disitu. "Hai, berhenti
engkau !" serunya kepada Huru Hara.
Huru Hara menurut. "Kenapa engkau mengamuk dan menyiksa sersan kami
?" tegur perwira itu.
"Aku hendak ke Yarig-ciu tetapi mereka hendak
menangkap aku," sahut Huru Hara.
"Ciangkun, dia seorang mata2." seorang pra jurit
memberi laporan. "Dia pura2 mengatakan kalau membawa surat dari
Torgun tay-ciangkun untuk diberikan kepada mentri Su Go
Hwat," seru prajurit yang lain.
"Siapakah engkau ?" tegur perwira itu pula.
"Aku sedang membawa surat dari panglima Torgun
kepada mentri Su tayjin di Yang-ciu," sahut Huru Hara.
Sejenak komandan itu memandang Huru Hara tajam2.
Memang dia agak heran mengapa seorang pemuda yang
dandanannya begitu nyentrik, dapat berkenalan dengan
panglima Torgun bahkan disuruh mengantar surat kepada
mentri Su Go Hwat. Tetapi setelah menyaksikan sendiri
betapa kegagahan Huru Hara waktu mengamuk tadi,
komandan itupun hilang kesangsiannya.
"Apa buktinya kalau engkau diperintah Torgun tayciangkun
( panglima besar )?" tanyanya.
"Aku membawa surat panglima."
"Coba tunjukkan!"
Huru Hara bersangsi. Beberapa jenak kemudian dia
menjawab, "Tempat ini bukan tempat yan sesuai."
"Baik, mari ke markas," komandan itu mengajak Huru
Hara. Setelah diajak masuk kesebuah kubu besar maka
mulailah komandan itu mengu!ang pennintaannya tadi.
"Sebelumnya, aku hendak minta keterangan," kata Huru
Hara, "mengapa pasukan disini?"
"Kita mendapat perintah untuk kota Yang ciu. Jangan
sampai ada yang lolos," kata komandan itu.
Huru Hara terkejut. Bukankah Torgun mengatakan
kalau masih memberi waktu lima hari"
"Apakah hanya diperintahkan untuk mengepung atau
menyerang?" tanya Huru Hara pula.
"Hanya suruh mengepung. Tetapi setiap saat perintah
akan berobah. Siapa tahu kalau malam ini akan datang
perintah untuk menyerang."
"Panglima Torgun mengatakan kepadaku, bahwa
panglima masih memberi waktu lima hari kepada Su tayjin.
Kalau dalam lima hari itu Su tayjin tidak mengadakan
pernyataan apa2, barulah panglima akan bertindak."
"0, apakah engkau dengar sendiri dari tayciangkun?"
Huru Hara mengiakan. "Siapakah engkau" Mengapa engkau begitu dekat sekali
dengan tay-ciangkun?"
"Aku utusan dari Su tayjin untuk menghadap panglima
Torgun. Sekarang panglima suruh aku menyampaikan
balasan kepada Su tayjin."
"Mana surat itu?"
"Untuk apa engkau memintanya?"
"Aku hendak melihat," kata komandan Ceng itu, "agar
membuktikan bahwa engkau benar2 utusan tay-ciangkun."
"Baik, akan kutunjukkan. Tetapi. jangan sekali-kali
engkau membukanya," Huru Hara berkata seraya
mengambil sampul dari dalam bajunya.
Komandan itu menyambutinya dan memeriksa dengan
teliti. Tiba2 seorang prajurit masuk menghadap, "Komandan,
Ko tayjin datang dan minta bertemu dengan komandan."
"Siapa " Ko tayjin ?"
"Benar, sahut prajurit itu," beliau perlu bertemu dengan
komandan." Komandan itu bergegas keluar. Huru Hara terkejut
karena surat dari Torgun masih dibawa komandan itu. Dia
hendak mengejar tetapi dihadang penjaga.
"Mengapa " Aku hendak meminta kembali surat itu
kepada komandan," kata Huru Hara.
"Tunggu saja disini. Nanti komandan tentu datang lagi
kemari.". kata penjaga itu.
Huru Hara menganggap bahwa mungkin orang luar tak
diperbolehkan berkeliaran dalam daerah markas mereka.
Takut kalau mata", Pikir2, toh nanti komandan itu akan
kembali lagi, akhirnya Huru Hara menurut dan menunggu
di kubu itu. Tetapi sampai setengah jam kemudian belum juga
komandan itu muncul. Dia heran. Kemana saja komandan
itu. Baru dia hendak berbangkit, muncul seorang prajurit
dengan membawa minuman. "Komandan minta supaya tuan menunggu dulu disini.
Karena komandan sedang menerima. seorang tetamu
penting. Dan silakan minum," kata prajurit itu.
Huru Hara kembali menahan kesabaran. Namun sampai
beberapa saat kembali dia belum melihat komandan itu
muncul. Dan sebagai gantinya, ia merasa ngantuk. Aneh,
pikirnya. Tiba2 dia teringat bahwa kemungkinan minuman
teh yang diminumnya itu memang sengaja diberi obat tidur,
"Akan kucicipi teh ini lagi," Huru Hara meneguk dan
membaunya. Memang ada sesuatu bau yang berlainan
tetapi hampir tak terasa.
Namun rasa kantuk itu makin lama makin keras. Dan
makin keras pula kecurigaannya bahwa teh itu telah diberi
obat tidur. "Hm, orang Boan itu hendak main curang." pikirnya.
Kemudian dia menemukan akal.
Beberapa saat kemudian kubu itu tampak sunyi senyap.
Dan penjagapun masuk menghampiri Huru Hara.
"Hm, dia sudah pulas," kata penjaga itu seraya bergegas
keluar. Tak berapa lama dia kembali bersama komandan
tadi. "Bawa dia keluar dan ikat pada pohon didekat hutan,"
kata komandan. Penjaga itu seorang prajurit yang kuat tenaga.
Dipanggulnya Huru Hara dan dibawanya ke sebuah hutan
tak jauh dari kubu pasukan Ceng.
Baru dia hendak meletakkan tubuh Huru Hara tiba2 dia
rasakan tengkuk mengencang keras sekali seperti dicekik
setan, sehingga napasnya sesak. Dan sebelum dia sempat
bergerak, tahu2 kepalanya ditabok, plak ..... seketika
rubuhlah dia. "Hm, lu mau main2, sekarang rasain saja," dengus Huru
Hara. Ternyata Huru Hara memang menggunakan siasat.
Dia pura2 tertidur pulas pada hal sebelumnya dia sudah
makan buah som (Cian-lian-hay-te-som) yang khasiatnya
dapat menolak segala racun, termasuk obat tidur.
Setelah dapat merubuhkan penjaga, Huru Hara bekerja
cepat. Dilucutinya pakaian prajurit penjaga itu, lalu
dipakainya. Setelah mengikat penjaga itu pada sebatang
pohon dan menyumbat mu lutnya supaya jangan dapat
berteriak barulah Huru Hara kembali ke kubu. Dia tak
langsung masuk melainkan menjaga diluar pintu kubu.
Tetnyata didalam kubu, terdengar orang sedang
berbicara. Salah seorang dikenalnya sebagai komandan tadi.
"Ko tayjin, bagaimana rencana tayjin ?" tanya komandan
itu. "Surat itu memang benar dari Torgun tayciangkun.
Tetapi kita harus mencegahnya supaya jangan sampai tiba
ditangan Su Go Hwat" orang yang dipanggil Ko tayjin. Dia
bukan lain adalah Ko Cay Seng, sasterawan jago menutuk
jalandarah yang menjadi tangan kanan panglima Torgun
itu. Seperti telah dituturkan dibagian jilid2 terdepan, Ko Cay
Seng dan pertapa Suto Kiat, ditugaskan panglima Torgun
untuk menyusup kedaerah kerajaan Beng guna melakukan
pengacauan, memata-matai gerak gerik pasukan Beng dan
mengadakan perpecahan dikalangan pembesar sipil dan
militer dari kerajaan Beng.
Dia baru saja menghadap Torgun untuk melaporkan
hasil kerjanya selama ini. Dikatakan bahwa kekuatan Beng
di daerah yang masih dikuasai sekarang, sudah lapuk.
Banyak jenderal2 mereka yang sudah dibujuk untuk bekerja
pada kerajaan Ceng. Waktu mendengar keterangan Torgun bahwa panglima
itu memberi waktu lima hari kepada Su Go Hwat, diam2
Ko Cay Seng terkejut. "Mengapa tay-ciangkun masih begitu bermurah hati "
Keadaan pasukan Beng saat ini ibarat kayu dimakan bubuk.
Diluar tampak garang tetapi didalamnya sudah lapuk.
Sekali kita bergerak, mereka sudah musna," kata Ko Cay
Seng. Namun panglima Torgun tetap menolak, "Su Go Hwat
seorang mentri yang setya. Aku sangat menginginkan dia
bekerja padaku." Ko Cay Seng tak berani membantah tetapi diam2 dia
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuatir juga. Torgun begitu tertarik dan menghargai sekaIi kepada Su
Go Hwat. Kalau Su Go Hwat sampai bekerja pada Torgun,
tentulah dia (Ko Cay Seng) akan kalah. Torgun tentu lebih
memperhatikan Su Go. Hwat.
Manusia yang mau bekerja kepada musuh seperti Ko
Cay Seng, tentu manusia yang memiliki nafsu mengejar
pangkat dan kekayaan. Dan orang yang bermental begitu,
tentu buruk pikirannya. Ko Cay Seng mengukur Su Go Hwat seperti dia sendiri.
Oleh karena itu diam2 dia merancang sebuah siasat.
Dia segera mengejar perjalanan Huru Hara dan
kabetulan sekali dapat tiba diluar kota Yang-ciu tepat ada
saat Huru Hara sedang berhadapan dengan komandan
pasukan. Demikian asal mula mengapa Ko Cay Sing dapat
muncul dalam kubu komandan pasukan Ceng itu.
"Ko tayjin, bagaimana rencana tayjin ?" tanya komandan
itu. "Bunuh saya orang itu agar surat panglima kita jangan
sampai jatuh ke tangan Su Go Hwat" kata Ko Cay Seng.
"Mengapa ?" "Su Go Hwat itu seorang yang setya kepada kerajaan
Bang. Kalau demi siasat dia pura2 mau bekerja kepada
panglima Torgun, tidakkah itu membahayakan jiwa dan
kedudukan kita" Coba bayangkan, Su Go Hwat itu seorang
mentri yang pandai. Dengan kelihayannya, dia tentu dapat
mempengaruhi panglima kita dan akibatnya kita pasti akan
dicelakainya." Komandan orang Boan itu, diam2 mengakui bahwa
ucapan Ko Cay Seng memang beralasan.
"Tetapi tayjin, bagaimana kalau tay-ciangkun sampai
mengetahui hal itu?" tanyanya camas.
"Kita hilangkan jejak pemuda itu dan terus menyerang
Yang-ciu. Bagaimana ciangkun dapat mengetahui hal itu?"
balas Ko Cay Seng. Komandan itu berdiam diri.
"Perlu apa harus memberi kelonggaran kepada musuh.
Saat ini keadaan mereka sudah lapuk. Sekali kita serang,
mereka tentu ambruk. Tak usah ragu2, komandan. Apabila
ciangkun sampai mengetahui hal ini, akulah yang
bertanggung jawab . . . . "
"Hai, ada apa penjaga!" tiba2 komandan menukas
pembicaraan Ko Cay Seng dan membentak penjaga yang
menerobos masuk. "Tidak apa2, hanya ingin ikut dalam pembicaraan yang
panting ini," sahut penjaga palsu atau Huru Hara.
"Apa" Engkau mengatakan apa?" teriak komandan
terkejut. "Aku ingin mendengar dari dekat pembicaraan kalian,'
seru Huru Hara. "Kurang ajar!" bentak komandan, "apa pangkatmu?"
"Penjaga." "Mengapa engkau berani lancang hendak turut
mendengarkan pembicaraan kami" Tahukah engkau siapa
yang hadir dalam ruang ini?"
"Tahu, Ko tayjin."
"Hm, kalau sudah tahu mengapa engkau masih berani
membacot?" "Pembicaraan komandan bersama tayjin tentu tak lepas
dari soal pasukan. Aku juga seorang prajurit, mengapa
dilarang untuk turut mendengarkan soal2 yang menyangkut
gerakan pasukan?" bantah Huru Hara.
"Kurang ajar . .. komandan marah dan hendak
menghajar tetapi cepat dicegah Ko Cay Sang, "Tunggu,
komandan ........... "
"Eh, rasanya aku pernah mengenali mukamu, tetapi
entah lupa dimana. Apakah engkau pernah bertemu dengan
aku?" seru Ko Cay Seng.
"Selama ini aku selalu menjaga komandan, bagaimana
dapat bertemu dengan tayjin?" sahut Huru Hara.
"Tetapi menilik pembicaraanmu, jelas engkau tentu
bukan prajurit biasa," kata Ko Cay Seng kemudian berkata
kepada komandan, "Komandan, coba tulung komandan
amat-amati, apakah dia betul penjaga disini?"
Komandan juga merasakan sesuatu yang ganjil pada
penjaga itu. Dengan matanya yang tajam, ia sempat melirik
ke wajah penjaga itu dan diam2 terkejut. Namun komandan
itu seorang cerdik. Dia tak lekas terkejut atau menyatakan
apa2. "Ah, tidak apa2, tayjin. Dia memang prajurit yang
menjaga kubu kami," kata komandan itu dengan
tersenyum. "Mengapa dia begitu lancang sekali" Apakah memang
begitu sikapnya?" "Perang memang kadang dapat merobah perangai
seseorang. Mungkin karena sering menghadapi
pertempuran, syarafnya menjadi tegang sehingga dia
kadang berani bertindak lancang," kata komandan.
Mengira kalau komandan itu benar2 tak mengenalnya,
diam2 Huru Hara gembira. "Penjaga, bagaimana perintah yang kuberikan kepadamu
tadi?" tanya komandan.
"Beres, komandan," sahut Huru Hara, "pemuda itu
sudah kuikat pada pohon dalam rimba."
"Bagus," seru komandan, "aku telah berunding dengan
Ko tayjin, bahwa besok pemuda itu harus dihabisi
nyawanya." Diam2 Haru Htra terkejut, namun ia tetap bersikap
tenang2 saja, "Baik, komandan."
Setelah berbatuk-batuk sejenak, tiba2 komandan itu
berkata, "Tulisanmu bagus, dapatkah engkau meniru tulisan
dalam surat ini?"- Huru Hara terkejut. Dia merasa tak pandai menulis
huruf kan-ji, mengapa komandan mengatakan tulisannya
bagus" "0, kemungkinan penjaga yang kuringkus dalam hutan
itu memang pandai menulis," akhirnya ia menyadari.
"Maksud komandan aku disuruh menirukan tulisan
dalam surat tay-ciangkun Torgun itu?" ia bertanya.
Komandan mengiakan. "Wah, tetapi tulisanku buruk sekali. Bagaimana aku
dapat meniru tulisan tay ciangkun?"
"Kutahu engkau pandai sastera dan tulisanmupun bagus,
jangan sungkan," kata komandan. Ia mempersiapkan alat
tulis dan mengeluarkan surat dari Torgun tadi.
"Lekas kemari," perintahnya. Dan Huru Hara gopoh
maju menghampiri. Pada saat menerima surat, dia sudah
merencanakan hendak kabur.
Tetaoi pada saat komandan mengangsurkan surat tiba2
surat itu terlepas jatuh ke lantai, .. ... , " komandan
mendesuh kaget. Huru Hara cepat membungkukkan tubuh hendak
memunggut surat itu. Tetapi pada saat itu punggungnya
seperti ditusuk jari baja dan tengkuknya dihantam oleh
sebuah tangan kuat. "Ah . . ," Huru Hara mendesah tetapi sudah terlambat.
Dia tak dapat berkutik dan tegak seperti patung.
Ternyata mata Ko Cay Seng memang tajam sekali.
Walaupun komandan mengatakan penjaga itu memang
penjaga yang asli, namun Ko Cay Seng dapat menangkap
kedip mata yang diberikan komandan.
Memang komandan itu juga lihay. Dia tahu kalau
penjaga itu bukan penjaga yang biasanya. Namun dia tak
mau cepat2 memberi reaksi. Dia hendak membuat Huru
Hara jangan curiga, Maka dengan siasat menyuruhnya
menulis, waktu menyerahkan surat dari Torgun, sengaja ia
menjatuhkan surat itu ke lantai. Dia memperhitungkan
Huru Hata tentu segera membungkukkan badan
menjemput. Pada saat itulah baru dia turun tangan untuk
merobohkannya. Semua perhitungan komandan orang Boan itu memang
tepat. Hanya sedikit yang mengejutkan yalah ketika dia
ayunkan tangan menghantam, sebelum mengenai tubuh
Huru Hara. Huru Hara sudah rubuh.
"Ah, Ko tayjin memang tangkas," setelah sadar kalau
kalah dulu, ia tertawa memberi pujian kepada Ko Cay
Seng. "Maaf, komandan Yemu, atas kelancanganku," kata Ko
Cay Seng Memang Ko Cay Seng cerdik. Walaupun pangkatnya
lebih tinggi dari komandan yang bernama Yemu itu, namun
ia tahu diri. Bahwa dia seorang Han dan Yemu itu orang
Boan. Betapapun tinggi kedudukannya. terhadap perwira
orang Boan, dia tetap menghormati orang Boan, sekalipun
lebih rendah pangkat. Dengan penampilan itu maka dia
mendapat simpati dan disenangi oleh kalangan perwira
Boan. "Ah. tak apa tayjin, tak sama saja. Yang penting kita
dapat membekuk mata2 ini," kata Yemu.
Ia menghampiri Huru Hara yang telah kena tertutuk
jalandarahnya oleh Ko Cay Seng itu dan membuka peci
prajurit yang dipakai Huru Hara.
"Ho, ternyata engkau !" dengus Yemu.
"Siapa ?" tegur Ko Cay Seng.
"Dialah orang yang membawa surat dari panglima besar
Torgun. Sebenarnya dia sudah kuberi minuman obat tidur
lalu kusuruh mengikat dalam rimba. Entah bagaimana
mengapa dia bisa muncul lagi disini."
"0, ya, aku ingat sekarang," seru Ko Cay Seng, "dia
adalah pemuda yang pernah bertempur dengan aku. Dia
orangnya Su Go Hwat. Mengapa dia bisa muncul lagi
kemari ?" Yemu lalu menuturkan keterangan Huru Hara apa sehab
dia mendapat kepercayaan dari Torgun.
"Wah, orang ini memang lihay. Ibarat anakmacan kalau
dibiarkan tumbuh besar tentu berbahaya."
"Bagaimana maksud tayjin ?"
"Bunuh !" "Ya, akupun juga sudah memerintahkan begitu. Hanya
ternyata penjaga yang kusurun membawanya ke hutan itu
malah dapat dirubuh. Tuh, dia pakai seragam dari prajurit
penjaga yang membawanya ke hutan," kata Yemu. Dia
terus mencabut pedang dan menghampiri kemuka Huru
Hara terus menabas. "Tunggu, komandan," tiba2 Ko Cay Seng berseru.
Komandan terkejut," Bagaimana maksud tay jin ?"
"Aku menemukan suatu akal bagus," kata Ko Cay Seng
seraya memberi isyatat kepada Ye-mu supaya mendekat.
Kemudian dia membisiki ke telinga komandan itu.
Yemu mengangguk-angguk. Kemudian dia memanggil
prajurit dan suruh memborgol kaki dan tangan Huru Hara
dengan rantai yang kokoh. Setelah itu suruh membawa ke
asrama. "Jaga dan awasi dia baik2, jangan sampai dapat Iolos,"
kata komandan. Setelah Huru Hara dibawa keluar, barulah komandan
bertanya kepada Ko Cay Seng, "Ko tayjin, apakah tayjin
merasa bahwa siasat itu akan berhasil ?"
"Kuharap demikian," jawab Ko Cay Seng, karena Su Go
Hwat itu seorang yang setya pada anakbuahnya. Dia adalah
orang kepercayaannya, tentulah Su Go Hwat akan berusaha
keras untuk menyelamatkan jiwanya."
"Lalu bagaimana cara kita menyampaikan surat
peringatan itu kepada Su Go Hwat ?" tanya Yemu.
"Su Go Hwat seorang mentri yang jujur dan
menghormati peraturan. Kirim saja seorang prajurit untuk
menyampaikan surat kita. Tentulah Su Go Hwat takkan
menganggu keselamatan prajurit itu."
Demikian setelah menulis surat, Yemu lalu mengutus
seorang prajurit kepercayaannya untuk mengnadap Su Go
Hwat dikota Yang-ciu. Singkatuya, prajurit itu telah diterima Su Go Hwat dan
menyerahkan surat dari komandan.
Agak tegang wajah mentri Su Go Hwat ketika membaca
surat itu. Ternyata surat itu mengatakan bahwa Huru Hara
yang diutus Su Go Hwat menghadap Torgun itu, sekarang
sudah tertangkap. Huru Hara akan dibebaskan apabila Su
Go Hwat bersedia untuk meninggalkan Yang- ciu.
Beberapa saat timbul pertentargan dalam batin Su Go
Hwat. Ia tahu bahwa Huru Hara itu seorang pemuda
pejuang yang setia. Seorang putera dari pendekar besar Kim
Thian Cong yang pernah memberi pertolongan kepadanya.
Haruskah ia mengorbankan jiwa pemuda itu" Demikian
pertanyaan yang timbul tenggelam dalam benak Su Go
Hwat. Waktu mendapat laporan dari mata2 yang berhasil
menyusup kedalam daerah pendudukn bahwa Su Hong
Liang telah dihukum panglima Torgun, bukannya terkejut
kebalikannya mentri Su Go Hwat malah tertawa.
"Hm, memang manusia lain dengan Harimau tentu
beranak harimau, tetapi manusia belum tentu putera sama
dengan bapaknya. Aku setya kepada kerajaan Beng, tetapi
putra keponakanku, bekerja kepada orang Boan. Aku malu,
bahwa keluarga Su ada yang menjadi penghianat bangsa.
Oleh karena itu, biarlah dia mati dibunuh panglima musuh
agar kelak aku dapat mempertanggung jawabkan noda
keluarga kita itu kepada para leluhur yang sudah berada di
alam baka," pikirnya.
Jika Su Go Hwat sedang merenung, pun di kubu
pasukan Ceng, Ko Cay Seng dan komandan Yemu juga
sedang berbincang-bincang.
Mereka membicarakan tentang kemungkinan berhasilnya
surat mereka kepada Su Go Hwat. Mereka tahu bahwa Su
Go Hwat dan Huru Hara itu seorang pejuang muda yang
setya dan jujur. Tentu mentri Su Go Hwat sayang
mengorbankan dia." "Belum tente tayjin," seru Yemu, "mentri Su Go Hwat
seorang yang keras hati. Dia mengutamakan kepentingan
negara lebih dari segala. Bahkan dari pemuda tadi,
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kudengar mentri Su sengaja suruh anak keponakannya yang
bernama Su Hong Liang mengantarkan surat balasan
kepada panglima Torgun. Pada hal surat balasan itu jelas
berisi penolakan mentri Su terhadap tawaran panglima
Torgun supaya bekerja pada kerajaan Ceng. Dengan begitu
jelas mentri Su hendak menjerumuskan anak keponakannya
sendiri supaya dibunuh panglima Torgun."
"0, Su Hong Liang kongcu itu " Ya, benar, Su kongcu
memang diam2 telah bekerja kepada kita. Kemungkinan
mentri Su Go Hwat dapat mencium bau dan sengaja
hendak meminjam tangan Torgun tay-ciangkun supaya
Iblis Sungai Telaga 32 Persekutuan Pedang Sakti Lanjutan Pedang Karat Pena Beraksara Karya Qin Hong Tembang Tantangan 15