Bloon Cari Jodoh 4
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Bagian 4
"Ya, kutahu," kata nona itu, "seharusnya engkaupun
sudah tahu juga siapa pembanuhnya itu."
"Imam tua tadi ?"
"Yang dekat hanya engkau dan dia. Kalau engkau tidak,
tentulah imam itu !"
"Siapakah imam itu ?"
"Tanya saja kepadanya !" sahut si nona.
Huru Hara menyeringai, '"Mengapa dia mem bunuh
kedua orang ini ?" "Untuk menghapus jejak," sahut si nona dengan tenang,
"dia adalah orang yang berkepentingan dengan pesanan dua
lusin anak kepada ciangkui itu."
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Menduga saja," sahut si nona, "apa engkau mempunyai
pendapat lain?" Huru Hara diam sejenak, kemudian berkata, "Dia tadi
juga mendorong aku. Memang tangannya memancarkan
arus tenaga yang panas sekali."
"Engkau harus hati2 dia seorang jago ilmu pukulan yang
hebat." si nona memberi peringatan.
"Baik," sahut Huru Hara, "eh, mengapa engkau memberi
bantuan kepadaku ?" "Kalau engkau tidak merampas bak-pau yang kupesan
tadi, kemungkinan aku tentu makan bak-pau yang
menjijikkan itu. Aku hanya membayar kebaikanmu tadi,"
kata nona itu kemudian menggamit Ah Liu.
"Bung, maafkan kurang-ajarku tadi menampar engkau,"
Ah Liu menghaturkan maaf kepada Huru Hara.
"Tak perlu urusan sekecil itu engkau harus minta maaf.
Masih banyak urusan besar yang akan menimpa kita," kata
Huru Hara. "Ya, benar," tiba2 Cian-li-ji menyelutuk, "makanya jadi
anak perempuan jangan galak2."
Ah Liu cemberut tetapi si nona tersenyum Ia senang
karena bujangnya itu ketemu batunya.
"Sampai jumpa," kata nona itu seraya melangkah pergi
diikuti Ah Liu. Huru Hara terlongong. Sebenarnya ia masih ingin
bertanya lagi. Tetapi apa boleh buat, tak-baik mengganggu
orang terutama gadis. "Panggil seluruh kawanmu !" perintah Huru Hara kepada
pelayan Ah Sing yang masih tegak dengan tubuh gemetar.
Tak berapa lama belasan pelayan dan tukang masak
berjajar-jajar menghadap Huru Hara.
"Sebenarnya rumahmakan ini hendak kubakar," kata
Huru Hara, "tetapi mengingat kalian tentu kehilangan
pekerjaan dan orang2 masih membutuhkan adanya sebuah
rumahmakan ditempat ini maka rumahmakan ini biar tetap
buka. Siapa keluarga ciang-kui ?"
Seorang wanita gemuk maju, "Aku isterinya."
Huru Hara terkesiap melihat tubuh wanita yang begitu
gemuk, "Hai, tukang masak," serunya, "apakah sudah lama
nyonya ini menjadi isteri majikanmu?"
"Baru dua tahun, hohan."
"Baru dua tahun" Bukankah ciang-kui itu sudah setengah
tua" Apakah dia baru menikah sekarang?"
"Tukang masak gelengkan kepala, "Sudah beberapa
kali." "O, apakah isteri2 itu diceraikan semua?"
"Ciang-kui memang gemar menikah. Maklum dia orang
kaya, setiap kali tentu cari gadis yang masih perawan.
Biasanya dia senang mengambil gadis dari keluarga miskin,
syukur yang sudah sebatang kara."
"Lalu kemana mereka itu sekarang?"
"Mati semua!" "Mati?" '"Ya, paling lama tiga tahun, isteri2 itu tentu meninggal."
"Setan!"' tiba2 Huru Hara mencekik leher baju si tukang
masak, "'katakan yang jujur, apa sebab isteri2 itu mati
semua?" '"En . . . tahlah," kata tukang masak gemetar, yang jelas
setiap isterinya tentu bertubuh gemuk.
"Dimana kubur mereka!" Huru Hara makin tegang. Ia
makin curiga. "Setiap kali seorang isteri mati tentu ada orang yang
datang mengambil untuk dibawa pulang ke kampungnya.
Tetapi besoknya, kami tentu menerima karung berisi
potongan daging manusia .... "
"Setan engkau . . . ! " tiba2 karena marah, Huru Hara
telah mendorong tukang masak itu. Bluk .... dorongan yang
dilakukan biasa saja itu ternyata akibatnya mengejutkan
sekalian orang. Tukang masak itu terlempar sampai dua
tombak dan tepat membentur tiang besar. Dia menjerit
ngeri dan terus rubuh lunglai karena tulang punggungnya
pecah dan nyawanya amblas.
Ngeri sekalian orang menyaksikan tenaga Huru Hara
yang sakti itu. Kawanan tukang masak dan pelayan2
rumahmakan itu serta merta berlutut minta ampun,
"Hohan, ampunilah jiwa kami. Kami benar2 tak tahu
tentang perbuatan majikan kami."
Huru Hara berkata kepada isteri ciang kui, "Hm, untung
engkau tak keburu dijagai oleh suamimu!
Perempuan itupun berlutut menghaturkan terima kasih.
Huru Hara memberi perintah supaya rumah di kebun
belakang itu dibakar dan semua alat2 dan perabot dapur
dibuang, diganti baru "Nyonya, engkau boleh melanjutkan usaha rumahmakan
ini. Tetapi ingat, kalau lain kali aku datang kemari, kalian
masih melakukan perbuatan terkutuk itu, kalian semua
akan kubunuh!" Isteri pemilik dan segenap karyawan rumahmakan
berlutut dan berjanji akan melaksanakan perintah Huru
Hara. "Paman, mari kita pergi!" Huru Hara terus melangkah.
Tetapi dia terkejut ketika di jalan tampak beberapa orang
yang siap bertempur. Dan lebih terkejut ketika yang akan
bertempur itu ada lah nona bercadar beserta bujangnya Ah
Liu. Nona dan bujangnya itu dihadang oleh tiga orang
lelaki. Salah seorang adalah yang marah kepada Ah Liu dan
hendak melemparkan dara itu tetapi sebelum sempat
melaksanakan niatnya, tiba2 tangannya melentuk tak dapat
digerakkan tadi. Huru Hara dan Cian-li-ji cepat menghampiri, "Nona,
kenapa ini?" tegurnya.
"Menyingkirlah, ini bukan urusanmu!" bentak nona
bercadar itu. "Hayo, kasih tahu namamu. Aku tak pernah membunuh
seorang tanpa nama apalagi seorang budak perempuan,"
seru lelaki yang mukanya tersiram bubur tadi.
"Apa tujuanmu menghadang aku" Hendak mengajak
bertempur atau tanya nama?" sahut si nona bercadar.
"Hm, jangan kira aku tak tahu ilmu kepan daianmu Tanci-
sin-kang itu," seru orang itu pula, "tetapi mengapa tanpa
hujan tanpa angin engkau menyerang aku dengan ilmu itu?"
"Nona ini," sahut si nona bercadar, "adalah kawanku.
Mengapa hendak engkau lemparkan semaumu sendiri
saja?" "Dia menabrak mejaku sehingga mukaku sampai
terlumur bubur panas.?"
"Tapi dia tak sengaja. Dia juga terdorong ke belakang!'"
"Siapa yang mendorongnya?"
"Tak perlu cari lain urusan. Batasi saja sampai persoalan
kawanku ini!" "'Hm, anak perempuan, jangan bicara seenakmu
terhadap aku. Tahukah engkau siapa kami bertiga ini?"
"Tak ada gunanya mengetahuinya!"
"Hm, rupanya engkau menganggap dirimu sudah jagoan
yang tiada tanding," kata lelaki itu, "aku bersedia
menghabiskan perkara ini dengan dua syarat."
"Terserah." "Budak perempuan itu harus berlutut dihahapanku minta
maaf Dan kedua, engkau harus membuka kain cadar dan
memperlihatkan wajahmu yang sebenarnya!"
"Kentut busuk!"' tiba2 Ah Liu berteriak, "siapa sudi
minta maaf kepadamu"''
"Hm, budak liar, kalau tak merasakan tanganku, engkau
tentu masih nengil," tiba2 salah seorang dari ketiga lelaki
itu, melangkah maju. Rupanya Ah Liu juga panas hatinya karena dimaki
budak liar itu. Dia loncat menyongsong ke muka. "Huh,
engkau mau menghajar aku " Akan kurobek mulutmu yang
lebar itu !" Memang orang itu bermulut lebar, hidung mekar dan
mata besar dengan alis lebat. Dia bernama Ciok Kui
bergelar si Tangan- bubrah. Dia berlatih ilmu Thiat-satciang
atau pukulan Pasir-besi. Kalau pukulannya mengenai,
tubuh lawan tentu mlonyoh seperti dibakar. Dan kalau
mencengkeram, tubuh lawan yang dicengkeram itu akan
rusak atau bubrah. Tak diketahui berasal dari perguruan
mana, hanya yang jelas dia. seorang tokoh hitam yang
terkenal di daerah utara.
Nona bercadar terkejut. Namun untuk mencegah sudah
tak keburu lagi. Diam2 dia bersiap untuk memberi
pertolongan di saat yang diperlukan, "Hm, budak itu
memang bernyali besar. Tetapi dia memang berbakat dan
giat sekali berlatih silat," katanya dalam hati.
"Setan engkau !" Ciok Kui terus loncat menerkam, la
ingin dara itu menangkis dan pada saat itu dia hendak
merobah menjadi cengkeraman.
"Bagus mulut besar," seru Ah Liu seraya song-songkan
tangannya menangkis. "Budak edan," maki Ciok Kui dalam hati. Cepat dia
tebarkan tangan hendak mencengkeram.
"Uh......," tiba2 dia menjerit kaget ketika tiba2 Ah Liu
juga menebarkan tinju, telunjuk jarinya menutuk telapak
tangan lawan. Di tengah telapak tangan terdapat sebua jalandarah yang
disebut Lau-kiong-hiat. Apabila jalandarah itu tertutuk,
tentu tenaga ilmu kepandaiannya akan merana alias hapus.
Itulah sebabnya maka Ciok Kui menjerit dan loncat
mundur. "Ih, mengapa mundur ?" ejek Ah Liu seraya
menertawatakan. Ciok Kui marah sekali. Dihadapan kedua kawannya,
dalam gebrak pertama saja dia sudah hampir menderita
kerugian dari seorang dara yang tak dikenal. Dengan
sebuah gerak Tok-coa-tho-sin atau Ular-beracunmenjulurkan-
lidah, kedua tangannya bergerak cepat.
Tangan kanan memagut (menutuk) mata Ah Liu dan
tangan kiri meremas buah dada.
"Bajingan !" teriak Ah Liu karena marah atas perbuatan
lawan yang cabul itu. Dengan berani, dara itu menggunakan jurus Kim-tiau tian-ki atau Elang-emasmerentangsayap.
Secepat kilat dia menebas tangan lawan yang hendak menutuk matanya. Tetapi Ciok Kui juga hebat. Ternyata gerakan tutukannya itu hanya suatu siasat. Secepat Ah Liu hendak menebas, diapun segera mengganti pukulan dengan
cengkeraman, menerkam tangan Ah Liu.
Ah Liu terkejut. Cepat dia mengirim tendangan. Uh.....,
Ciok Kui masih dapat berkisar ke samping dan kini
melanjutkan cengkeramannya ke bahu dara itu.
Dalam kedudukan kaki kanan sedang menendang dan
bahu terancam terkaman Ah Liu ternyata masih dapat
meloloskan diri. "Ah....." mulut Ciok Kui mendesis kejut ketika tubuh
dara itu melambung ke belakang dalam jurus Kek-cu-hoansim
atau Merpati-membalik-tubuh. Dara itu melakukan
sebuah gerak salto ke belakang dengan indah sekali.
"Hm, ilmu gin-kangnya maju sekali," kata nona bercadar
dalam hati ketika menyaksikan gerakan Ah Liu.
Kini kedua orang itu terlibat lagi dalam serangmenyerang
yang hebat. Ciok Kui memang hebat sekali.
Pukulannya keras dan memancarkan hawa panas. Tetapi
betapapun dia hendak menyerang namun tetap tak mampu
menyentuh tubuh Ah Liu. Dara itu bergerak gesit sekali.
Ciok Kui makin marah. Dia malu sekali dihadapannya
kedua kawan, tak mampu mengalahkan seorang dara saja.
Apabila hal itu sampai tersiar keluar, dia tentu tak dapat
berdiri lagi dalam dunia persilatan.
"Budak perempuan ini harus kuhancurkan," Ciok Kui
membulatkan keputusan dan segera dia salurkan tenagadalam
ke tangannya. "Ah Liu, awas, dia mengeluarkan pukulan beracun,
jangan ditangkis," nona bercadar cepat berseru memberi
peringatan kepada Ah Liu sesaat melihat telapak tangan
Ciok Kui berwarna merah. Ah Liu memang memperhatikan juga telapak tangan
lawan yang kemerah-merahan itu. dia segera merobah
permainannya dan mengeluarkan ilmusilat Co-kut-hun-kinkang
atau pukulan Menggeser- tulang- mencerai- urat.
Lelaki yang beralis tebal dan tubuh tegap, segera berseru
pelahan, "Ah, ilmu pukulan Co-kut-hun-kin-kang dari
perguruan Kun-lun-pay."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dia tak mau memberi peringatan kepada
kawannya yang sedang bertempur itu. Dia segan untuk
menyinggung perasaan orang. Begitu pula dia takut
ditertawakan Ah Liu karena memberitahu kepada
kawannya. Sedangkan si nona bercadar juga diam2 ter kejut, "Ah,
budak itu baru setengah tahun kuberi ajaran ilmu itu. Dia
tentu belum mahir." "Mampus engkau!" bentak Ciok Kui seraya menghantam
kepala Ah Liu. Tetapi seketika itu diapun mendesuh kaget
ketika Ah Liu menghindar kesamping dan sebelum ia
sempat merobah kekedudukannya, tiba2 ia rasakan iga
dibawah ketiak kanan tertusuk benda dan seketika itu
rasanya seperti terkena aliran listrik sehingga lengannya
mengencang kaku tak dapat digerakkan. Plak .... plak ....
Terdengar dua buah tamparan. Yang satu berasal dari
tangan Ah Liu yang menampar si mulut lebar Ciok Kui
sehingga dua buah giginya rontok. Tetapi berbareng itu
lelaki beralis tebal tadipun sudah loncat dan menampar
bahu Ah Liu sehingga Ah Liu terhuyung-huyung beberapa
langkah. "Bangsat, engkau curang!" sesosok tubuh serempak
melayang ke tengah medan dan menuding lelaki beralis
tebal itu. "Ho, kalau aku benar2 mau menghantar kawanmu itu,
dia tentu sudah remuk. Aku hanya menampar bahunya
supaya jangan keliwat menghina kawanku," sahut lelaki
beralis tebal itu. Cian-li ji terkejut ketika melihat Ah Liu sempoyongan
dan jatuh terduduk di tanah. Cepat dia menghampiri
hendak memberi pertolongan, "Anak perempuan,
minumlah arakku ini menyodorkan botol araknya.
Ah Liu deliki mata lalu meram dan duduk bersila untuk
menenangkan darah dalam tubuhnya yang bergolak keras.
"Ih, budak perempuan ini memang keras kepala. Arakku
ini mengandung kolesom yang berkhasiat tinggi untuk
memulihkan tenaga," Cian-li-ji bersungat-sungut.
"Tapi jangan takut, anak perempuan," katanya pula,
"kalau engkau menampik arakku, berarti engkau suruh aku
membalaskan kekalahanmu kepada orang itu. Baiklah....."
tanpa menunggu jawaban, kakek kate itu terus maju ke
tengah gelanggang. Karena lelaki beralis tebal sudah
berhadapan dengan si nona bercadar maka dia mencari
lelaki yang mukanya berlumur bubur hangat tadi.
"Hayo, engkau harus menerima tamparanku," teriak
Cian-li-ji terus maju menampar. Sudah tentu orang itu
marah. Dia menghindar dan balas menyerang.
"Bujangmu si kate itu sungguh berandalan sekali," seru
lelaki beralis tebal kepada nona bercadar.
"Dia bukan bujangku!" bentak nona bercadar.
"Lho, mengapa dia menyerang kawanku."
"Jangan banyak mulut! Biar mereka membereskan
urusannya sendiri, engkau dengan aku!" bentak nona
bercadar. "Menilik kawanmu tadi pandai silat, engkau tentu juga
seorang li hiap. Siapa namamu?"
"Kita bertempur apa berkenalan" Kalau bertempur akan
kulayani tetapi kalau mau cari tahu nama. pergilah!"
"Baik,.. sahut lelaki itu, "'engkau tentu seorang
persilatan. Tentulah engkau pernah mendengar nama Tuihong-
pian (Ruyung angin puyuh) Gak Si Bun yang
termasyhur di dunia persilatan itu, bukan?"
"Peduli apa!" "Akulah Gak Si Bun itu. Jika engkau kenal selatan,
lekaslah engkau menjurah dan minta maaf. Mengingat
engkau seorang gadis, akupun dapat memberi ampun.
Tetapi kalau engkau tetap berkeras kepala, hm . . . . "
"Hm, bagaimana" Kalau aku takut, masakan aku berdiri
disini!" "Baiklah, akan kujajal sampai dimana keli-hayan murid
perguruan Kun-lun-pay itu!" seru Gak Si Bun.
Nona bercadar terkejut dalam hati namun dia tetap
bersikap tenang, "Hayo, mulailah!"
Gak Si Bun ingin menjajal dulu sampai dimana
kepandaian nona itu. Apabila memang lihay, barulah dia
nanti menggunakan pian atau ruyung.
Thui-jong-ong-gwat atau membuka-jendela-memandangrembulan
adalah jurus pembukaan yang dilakukan Gak Si
Bun. Maksudnya apabila lawan bergerak, dia terus hendak
mengganti dengan lain jurus.
Tetapi ternyata nona beicadar itu tenang2 saja. Terpaksa
Gak Si Bun lanjutkan serangannya. Tepat pada saat tangan
Gak Si Bun hampir menyentuh dada lawan, nona bercadar
itu kisarkan tubuh dan secepat kilat menujuk jalandarah
Jiok-ti-hiat pada persambungan lengan orang.
"Uh?"..," Gak Si Bun terkejut dan cepat menarik
lengannya. Tetapi dia tetap rasakan lengan kanannya
kesemutan, "Tan-ci-sin-kang ..." serentak dia teringat akan
ilmu tutukan jari sakti dari nona itu. Kawannya yang
mukanya terpopok bubur panas tadi, juga menderita ilmu
Tan-ci-sin-kang dari nona bercadar itu.
Tan-ci-sin-kang atau selentikkan jari sakti, merupakan
gerakan jari yang dilambari dengan tenaga-dalam. Jika Biatgong-
ciang atau pukulan membelah-angkasa, merupakan
pukulan tenaga-dalam yang dilontarkan dari jauh, pun ilmu
Tan-ci-sin-kang itu merupakan tutukan jaii dari jarak jauh.
Walaupun nona bercadar itu belum mencapai tataran
tinggi dalam ilmu Tan-ci-sin-kang, tetapi karena jaraknya
begitu dekat, walaupun tidak mengenai lengan tetapi
anginnya cukup tajam sehingga membuat jalandarah Jiokti-
hiat lengan Gak Si Bun kejang.
"Masih dilanjutkan ?" dengus si nona bercadar.
Marah wajah Gak Si Bun. Dia lengah dan agak
memandang rendah pada si nona bercadar akibatnya dalam
gebrak pertama saja dia sudah menderita kerugian. Lengan
kanannya lunglai. "Ya," sahutnya seraya mencabut ruyung dari
pinggangnya. Ruyung itu lemas seperti ikat pinggang tetapi
setelah digentakkan maka menjadi panjang sampai
setombak panjangnya, Ruyung itu terdiri dari tujuh ruas.
diberi alat yang dapat menyurut dan menjulur. Jit-aat-tuihong-
jjian atau Ruyung-angin-puyuh-tujuh-ruas, demi kian
nama ruyung itu. Terbuat dari baja lemas yang tahan
ditabas senjata tajam. Nona bercadar itu terkesiap. Dari gurunya ia mendapat
pengetahuan bahwa ruyung itu merupakan senjata lemas
yang amat berbahaya. Orang yang menggunakan senjata
ruyung tentu memiliki tenaga-dalam yang hebat. Nona itu
pun segera mencabut pedangnya.
Sring.... mulailah ruyung berhamburan melayang kearah
nona bercadar. Anginnya memancarkan bunyi yang
mendesing tajam sekali. Dalam beberapa saat saja nona
bercadar sudah terkurung oleh sambaran ruyung. Memang
sesuai sekali ilmu permainan ruyung Tui-hong-pian itu
dengan kenyataannya. Nona bercadar itupun tak berani lengah. Dia segera
keluarkan permainan ilmupedang simpanannya yang
disebut Hui-eng-hwe-suan-kiam-hwat atau ilmupedang
Burung Elang-berputar-melayang-layang.
Pedang memang merupakan senjata yang paling sukar
dipelajari tetapipun paling berbahaya. Ilmupedang Burungelang-
berputar-melayang-layang itu mengutamakan
kelincahan dan kecepatan. Waktu dimainkan oleh nona
bercadar maka tampaknya segulung sinar putih yang
berputar-putar menyambar kian kemari, merobek-robek
kepungan sinar ruyung. "Bagus, bagus !" seru Cian-li-ji sembari bertepuk tangan
memuji adegan pertempuran itu.
"Apanya sih yang bagus ?" lengking Ah Lui
"Pertempuran itu," sahut Cian-li-ji, "tetapi sayang....."
"Apanya yang sayang ?" kembali Ah Liu meladeni
ocehan Cian-li-ji. "Gerakan nona kawanmu itu masih kurang cepat," kata
Cian-li-ji. "Uh, ngomong sih gampang saja," gumam Ah Liu, "coba
kalau melakukan sendiri, apakah engkau mampu lebih
cepat dari nonaku " "'Bisa mengatakan tentu bisa melakukan," sahut Cian-liji.
"Uh, tak percaya !"
"Apa " Engkau tak percaya padaku " Coba katakan, akan
kutampar muka mereka. Coba engkau pilihkan yang mana
?" Ah Liu memang seorang dara yang lincah dan suka
mengolok orang. Sejak di rumahmakan tadi, dia belum
sempat melihat ilmu gerak-cepat dari Cian-li-ji. Maka
diapun segera berkata, "Tuh, coba yang mukanya terpopok
bubur panas tadi. Tamparlah pipi kanan kirinya kalau
engkau mampu !" "Lihat.....," tiba2 Cian-li-ji melesat. Lelaki yang mukanya
terpopok bubur itu bernama Tian Wi, seorang murid
peiguruan Ceng-shia-pay. Dia terkejut ketika tahu2 sesosok
bayangan kecil menyambarnya. Sebelum dia sempat
berbuat apa2, tahu2 plak.... pipi kanan dan kiri, telah
ditampar sekeras-kerasnya.
"Auh?".," dia menyurut mundur beberapa langkah.
"Hi, hi, hi . . . .," Ah Liu tertawa mengikik melihat Tian
Wi menderita kesakitan itu.
"Bagaimana " Engkau percaya atau tidak ?" seru Cian-liji
dengan bangga. "Ih ?"..," tiba2 ditengah gelanggang terdengar si nona
bercadar mendesis kejut dan loncat ke belakang dalam
keadaan terpontang-panting.
"Celaka !" Ah Liu berteriak seraya terbeliak memandang
keadaan nonanya. Cian-li-ji terkejut dan berpaling. Dia pun kaget sekali
melihat Gak Si Bun sedang maju dan ayunkan ruyungnya
kepada nona bercadar yang masih berdiri tegak.
Serentak dia loncat, wut.....Tetapi saat itu juga, Huru
Harapun sudah melayang ke tengah gelanggang dan
menangkis dengan tongkatnya.
Plak..... Pada saat ruyung tertahan tongkat, tiba2 pipi Gak Si Bun
ditampar orang. Sebenarnya saat itu Gak Si Bun hendak
menarik ruyungnya yang melilit tongkat Huru Hara tetapi
karena pipinya ditampar, kepalanya agak puyeng dan mata
berkunang-kunang dan uh.....ia tersentak kaget ketika
ruyung terlepas dari tangannya.
"Nih, ruyungmu!" seru Huru Hara seraya melemparkan
ruyung yang terlilit pada tongkatnya.
Tamparan Cian-li-ji dan tangkisan tongkat Huru Hara
yang setelah diliIit ujung ruyung terus ditariknya itu,
hampir berbareng waktunya. Ketika sadar, Gak Si Bun
terkejut. Tetapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Huru
Hara sudah melemparkan ruyung kepadanya. Terpaksa dia
menyambuti. Setetah tahu apa yang terjadi, marahlah dia.
"Bangsat, engkau berani, turut campur !" teriaknya
seraya ayunkan ruyung menyerang Huru Hara. Tetapi
sebelum Huru Hara sempat bergerak, nona bercadarpun
sudah melesat menyerang Gak Si Bun.
Pertempuran antara nona bercadar dengan Gak Si Bun
berlangsung lagi dengan seru. Tadi Gak Si Bun berhasil
mencuri sebuah kesempatan untuk menghantam bahu nona
bercadar dengan tangan kanan. Tangan kanannya yang
tertutuk ilmu Tan-ci-sin-kang tadi sudah dapat digerakkan
lagi. Sekonyong-konyong terdengar derap kuda berlari
mendatangi dan pada lain saat muncullah dua penunggang
kuda. Yang satu seorang pemuda cakap dan yang satu
seorang imam tua. Imam tua itu tak lain adalah imam yang
masuk kedalam rumahmakan dan dengan pura2 melerai,
dia telah membunuh ciang-kui dan lelaki kasar.
"Hai, berhenti Gak sucia !" seru pemuda cakap itu.
Gak Si Bun kenal dengan suara pemuda itu. Cepat dia
loncat mundur. Nona bercadarpun berhenti.
"Ai, nona Su," seru pemuda itu seraya turun dari
kudanya, "mengapa kalian ini ?" kemudian dia berpaling
kearah Gak Si Bun, Gak sucia, apakah engkau bertempur
dengan Su sio-cia?" "Ya," sahut Gak Si Bun pelahan.
"Ah, untung aku datang," seru pemuda itu pula, "kalau
tidak tentu akan timbul peristiwa yang hebat."
"Mengapa begitu " Siapakah nona itu ?" tanya Gak Si
Bun terkejut. "O, apakah anda belum tahu ?" Gak Si Bun gelengkan
kepala, "Dia adalah nona Su Tiau Ing, puteri dari Su Go
Hwat tayjin....." "Hai !" teriak Gak Si Bun terkejut, "puteri Peng-pohsiang-
si Su Go Hwat tayjin ?"
"Engkau ini bagaimana Gak sucia," keluh pemuda itu,
"masakan engkau tak tahu ?"
"Maaf, Ma kongcu," kata Gak Si Bun, "tugasku adalah
berkeliling kedaerah-daerah. Dan pula Su tayjin juga akhir2
ini jarang berada di kota raja. Aku benar2 tak tahu kalau Su
tayjin mempunyai puteri yang begitu lihay."
"Maafkan aku Su siocia." Gak Si Bunpun memberi
hormat kepada gadis bercadar yang ternyata adalah puteri
dari Peng-poh-siang-si atau mentri pertahanan Su Go
Hvvat. "Su siocia, paman Gak Si Bun ini adalah salah seorang
kepercayaan ayahku. "kata pemuda cakap itu
memperkenalkan Gak Si Bun.
"O, tak apalah. Kita sama2 tak tahu, maka tak salah,"
kata nona bercadar yang ternyata bernama Su Tiau Ing.
"Tetapi nona Su. apakah yang telah terjadi sehingga
sampai timbul salah faham ini?"
Su Tiau Ing menceritakan tentang peristiwa di
rumahmakan dan tentang Ah Liu yang telah membentur
meja sehingga mula Tian Wi sampai berlumur bubur panas.
"O, karena belum kenal siapa nona, maka dapat
dimaklumi kalau paman Gak Si Bun marah dan hendak
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membela anakbuahnya," kata pemuda itu, "mengenai
pemilik rumahmakan, dia memang pantas dibunuh karena
telah melakukan perbuatan begitu keji."
"Aku hendak b;cara !"
Sekalian orang terkejut dan berpaling mendengar kata2
itu. Ternyata berasal dari Huru Hara.
"Nona Su, siapakah dia " Apakah dia bersama nona ?"
tanya pemuda itu. "Aku juga tak kenal," sahut Su Tiau Ing, "hanya dialah
yang dapat menemukan bak-pau berisi daging orang iru
sehingga dia marah."
"O," kata pemuda cakap itu, "baiklah, silakan anda
berkata," katanya kepada Huru Hara.
"Siapakah anda ini ?" tanya Haru Hara.
"Aku Ma Sun, putera tay-hak-su Ma Su Ing!" kata
pemuda itu dengan nada bangga. Ia menjura setelah
mendengar namanya itu temulah Haru Hara akan buru2
memberi hormat. Tetapi ternyata pemuda itu tenang2 saja
dan melanjutkan pertanyaan, "Dan siapakah imam itu?"
"O, inilah Hun Hun tojin, salah seorang tokoh dari Samto
(tiga serangkai imam) yang termasyhur itu," kata Ma
Sun. "Baik," kata Huru Hara, "mengapa dia membunuh
pemilik rumahmakan dan lelaki kasar dalam ruang
rumahmakan tadi?" Ma Sun berpaling kepada Hun Hun tojin dan tojin
itupun segera menyahut, "Aku hanya melerai mereka.
Semua tetamu menyaksikan hal itu."
"Benar, tetapi engkau telah menyalurkan tenagadalammu
untuk menghancurkan jantung mereka," kata
Huru Hara. "Ah, tidak?".."
"Memang tidak kentara caramu memancarkan ilmu
tenaga-dalam jenis Siu-lo-im-sat-kang untuk membunuh
mereka itu. Tetapi mengapa engkau lancang membunuh
mereka?"' "Tetapi aku benar2 tak membunuh mereka," bantah
imam itu. "Rupanya engkau tentu mempunyai maksud tertentu,"
seru Huru Hara. "Jangan menuduh sembarangan!" kata Hun Hun tojin,
"perlu apa aku harus membunuh mereka?"
"Sebenarnya saat itu aku sedang menyelidiki siapakah
yang memesan dua lusin anak perempuan dan anak laki
kepada ciang-kui itu. Belum mereka memberi keterangan
tahu2 engkau sudah membunuh mereka. Bukankah ergkau
memang sengaja hendak melenyapkan mulut mereka?"!
"Jangan memfitnah !" bentak Hun Hun tojin dengan
muka merah, "siapa engkau ini ?"
"Aku yang bertanya, engkau yang menjawab!"
"Bu-liang siu-hud," seru Hun Hun tojin, "besar sekali
lagak orang ini. Apa maksudmu?"
"Engkau harus menjawab pertanyaanku tadi!"
"Harus " Ha, ha, ha ....," Hun Hun tertawa ngakak," Ma
kongcu, tidakkah dunia ini sudah gila " Seorang manusia
yang aneh, telah mengharuskan orang kepercayaan tayhaksu
Ma Su Ing untuk menjawab pertanyaan....."
"Sudahlah hwatsu, tak perlu melayani orang itu," kata
Ma Sun lalu berkata kepada Su Tiau Ing si nona bercadar,
"Ing-moay, mau kemanakah engkau ini " Mari kita pulang
ke Lam-khia kurasa paman Su tentu berada di kotaraja."
"Hai, anakmuda, kalau mau pulang, pulanglah. Tetapi
tinggalkan dulu imam itu sebelum dia menjawab
pertanyaanku," seru Huru Hara.
"Bangsat, engkau berani tak menghormat ke pada Ma
kongcu putera Ma tay-haksu !" seru Hun Hun makin
marah. "Yang berpangkat adalah ayahnya, mengapa engkau
suruh orang harus menghormat anaknya ?" balas Huru
Hara. "'Hm, engkau ini manusia atau berandal " Kalau
manusia tentu tahu aturan. Apakah engkau hanya mau
menghormat seri baginda tetapi tak mau menghormat
kepada puteranya para thay-swe-ya itu ?"
"Itu dalam istana. Para mentri dan ponggawa kerajaan
harus menghormat. Tetapi aku bukan ponggawa keraton
dan disinipun bukan keraton. Asal aku tak menghinanya,
itu kan sudah cukup baik. Mengapa aku harus disuruh
menghormat seperti seorang hamba keraton ?" bantah Huru
Hara. "Dia memang benar," tiba2 Su Tiau Ing menyelutuk. Ma
Sun terbeliak. Waktu dia hendak bicara, Su Tiau Ing sudah
berpaling kepada Huru Hara, "sudahlah, tak perlu memaksa
keterangan orang. Kalau engkau memang seorang pendekar
sakti, engkau kan mampu menyelidiki sendiri hal itu.
Apalagi ciangkui itu sudah mati."
Huru Hara diam. "Ma kongcu, silakan melanjutkan perjalanan. Akupun
hendak melanjutkan perjalananku," kata Su Tiau Ing pula.
"O, apakah Ing-moay tidak kembali ke ko-taraja ?" ^
Su Tiau Ing gelengkan kepala, "Aku hendak menemui
Ko ciangkun untuk menyampaikan pesan ayah"
"O, baiklah," kata Ma Sun. Sebenarnya dia ingin
menemani nona yang diidam-idamkannya itu. Tetapi dia
tahu perangai Tiau Ing, "kalau begitu sampai ketemu di
kotaraja." Ma Sun segera mengajak Hun Hun tojin dan Gak Si Bun
bertiga tinggalkan tempat itu. Setelah mereka pergi barulah
Tiau Ing dan Ah Liu juga berangkat.
"Hayo, paman Cian, kita juga berangkat," kata Huru
Hara. Mereka menghampiri keretanya yang masih berada di
samping rumahmakan tadi. Cian-li-ji membuka gerbong kereta untuk, melihat peti
yang akan diantarkan kepada jenderal Ui Tek Kong.
"Celaka!" tiba2 Cian-li-ji memekik keras, "hian-tit,
petinya hilang ....!"
"Hilang?" Huru Hara terkejut.
"Ya." -oodwoo- Jilid 6 Maling kemalingan Huru Hara menghampiri dan melongok kedalam
gerbong kereta. Memang peti itu tak ada lagi.
"Engkau taruh dimana peti itu?" tegurnya.
"Eh, engkau ini bagaimana hiantit," kata Cian-Ii-ji, "sejak
kita berangkat dari biara tua itu, peti kutaruh lagi disini.
Aku berani bersumpah, waktu kita singgah di rumah
makan, peti itu masih ada."
Huru Hara kerutkan dahi, "Aneh, siapakah yang
mengambilnya?" Cian-li-ji juga garuk2 gundulnya.
"Tetapi bukankah peti itu hanya berisi tanah?" katanya.
"Ya," jawab Huru Hara, "tetapi apapun isinya harus
kusampaikan pada jenderal Ui Tek Kong. Kalau nanti
berhadapan dengan jenderal itu, lalu apa yang akan kita
serahkan?" "Iya, ya," kata Cian-li-ji, "eh, bukankah pundi2 uang itu
masih dibawa si pengemis tua."
"Ya, tetapi dimana dia sekarang?"
"Entahlah," kata Huru Hara, "sampai saat ini dia belum
nongol." "Lalu bagaimana kita sekarang?" tanya Cianli-
ji- "Tetap menghadap jenderal Ui."
"Lalu apa yang hendak engkau serahkan?"
"Surat dari jenderal Ko Kiat dan keterangan tentang
hilangnya peti itu di jalan."
"Ya, benar," Cian-li-ji mengangguk tetapi pada lain saat
dia mendelik, "goblok engkau! Dengan memberi laporan
itu, engkau pasti akan dihukum."
"Tetapi aku dapat menerangkan kalau peti itu hanya
berisi tanah." "Ya, ya, benar," kata Cian-li-ji pula. Tetapi pada lain saat
dia mendelik lagi, "tolol engkau! Dia tentu tak percaya dan
engkau tentu tetap dihukum."
Huru Hara terdiam. Beberapa saat kemudian dia
mengajak lagi, "Sudahlah, paman Cian, mari kita
berangkat." "Lalu bagaimana nanti?"
"Dalam perjalanan kita nanti cari pikiran. Kalau
terpaksanya kita bilang saja apa adanya."
Demikian keduanya segera berangkar. Menjelang sore
hari tibalah mereka di kota Co ciu.
Ketika hendak menuju ke gedung Jenderal Ui Tek Kong,
di tengah jalan muncullah Wi sin-pay, "Hian-tit, inilah
kantong pundi- uang iiu."
"O, dari manakah paman selama ini" Mengapa sejak di
biara tua, paman terus pergi?" tegur Huru Hara. '
"Ah, - banyak pekerjaan," pengemis tua Wi sin-kay
tersenyum, "yang penting serahkan dulu pundi2 uang ini
nanti kuceritakan apa yang kualami."
"Apakah paman tidak ikut serta menghadap jenderal
Ui?" "Wi sin-kay tertawa mengangkat bahu, "Yang jadi
utusan jenderal Ko adalah engkau. Masakan aku harus ikut.
Lebih baik aku menunggu di luar saja."
"Kalau begitu, aku juga," seru Cian-li-ji.
Huru Hara menganggap karena sudah membawa pundi2
uang maka tentulah takkan terjadi suatu apa apabila dia
menghadap jenderal Ui Tek Kong. Maka diapun
menyetujui keinginan kedua orang itu.
Tiba di pintu gerbang, dia disambut penjaga pintu yang
bersenjata. "Aku mau menghadap jenderal Ui," kata Huru Hara,
"aku utusan jenderal Ko Kiat untuk me nyampaikan barang
sumbangan." , "Penjaga itu kerutkan dahi, "Tetapi saat ini jenderal
sedang menerima tetamu penting."
"Tetapi aku juga penting," bantah Huru Hara, "tulung
laporkan kehadapan jenderal Ui."
Penjaga itu setuju. Dia masuk dan tak berapa lama
keluar lagi, "Baik, jenderal mengidinkan engkau
menghadap." Waktu dibawa masuk, Huru Hara terkejut karena dalam
gedung jenderal itu terdapat sebuah peti mati dan meja
sembahyangan yang penuh dengan berbagai hidangan.
"Hm, rakyat menderita kelaparan, sebaliknya orang mati
diberi makan sampai sekian banyak," pikir Huru Hara.
Tiba2 dia teringat, kalau Cian-li-ji ikut masuk, akan
disuruhnya untuk mengambil sam sing yang terdiri dari
kepala babi, ingkung itik dan ayam.
Huru Hara dibawa masuk ke ruang dalam. Ia terkejut
ketika disitu terdapat dua orang lelaki setengah baya. Yang
satu bertubuh tegap dan yang seorang bertubuh kurus
seperti seorang sasterawan.
"Hamba utusan dari jenderal Ko Kiat untuk
menghaturkan surat kehadapan jenderal," kata Huru Hara.
"Baik, serahkan," kata lelaki bertubuh tegap atau jenderal
Ui Tek Kong. Setelah menerima surat dari Huru Hara maka jenderal
Ui lalu membacanya. Ia tersenyum dan berkata kepada
lelaki bertubuh kurus, "Jenderal Ui telah menghaturkan
maaf dan pernyataan ikut berdukacita atas meninggalnya
ibuku. Terima kasih Su tayjin."
Lelaki kurus yang disebut Su tayjin itu ternyata adalah
Su Go Hwat, mentri pertahanan kerajaan Beng. Dia
tersenyum, "Aku gembira karena jenderal Ko mau
mendengar kata. Dan kuharap peristiwa itu selesai, anda
dapat rukun lagi dengan jenderal Ko dan lain2 jenderal. Ini
penting sekali bagi arti perjuangan kita menghadapi
pasukan Ceng." "Baik, tayjin," kata jenderal Ui. Kemudian dia beralih
pertanyaan pada Huru Hara, "Siapakah namamu?"
"Hamba Loan Thian Te."
"Loan Thian Te" Aneh, nama itu berarti dunia kacau
atau mengacau dunia."
"Benar," sahut Huru Hara.
"Aneh." gumam jenderal Ui, "banyak nama yang bagusbagus
mengapa engkau memilih nama begitu?"
"Hamba tidak memilih, jenderal. Tetapi orangtua hamba
yang memberinya." Jenderal Ui mengangguk, "Apakah engkau orang
kepercayaan jenderal Ko?"
"Tidak," sahut Huru Hara, "hamba hanya disuruh
mengantarkan barang antarannya saja."
"Sebenarnya tindakan itu tidak benar, bisa dianggap
lancang. Tetapi karena tepat, maka engkau kuampuni."
"Ya," seru Su Go Hwat pula, "engkau telah membeli hati
rakyat kepada kita. Rakyat pasti akan setia dan membantu
pasukan Beng." Huru Hara tercengang mendengar keterangan kedua
pembesar itu. "Loan Thian Te, serahkan surat balasanku ini kepada
jenderal Ko," seru jenderal Ui, "dan kalau tak ada lain
persoalan lagi, engkau boleh pulang."
Huru Hara menyambuti sepucuk surat dari jenderal itu
tetapi dia masih terlongong-longong seperti orang heran.
"Eh, mengapa engkau teilongong seperti orang heran?"
tegur jenderal Ui. "Hamba tak mengerti akan ucapan jenderal tadi."
"Aku sudah tahu tindakanmu membagi-bagikan uang
sumbangan jenderal Ko itu kepada rakyat yang kelaparan.
Tak apa. Su tayjin juga menyetujui tindakanmu itu."
"Kecuali surat, hambapun hendak menyerah kan uang
sumbangan dari jenderal Ko kehadapan jenderal disini."
"Eh, engkau ini bagaimana?" jenderal Ui ler tawa,
"bukankah uang itu sudah engkau bagi-bagikan kepada
rakyat miskin yang sedang menderita kelaparan?"
Huru Hara terkejut, "Bagaimana jenderal tahu hal itu?"
"Pagi tadi beratus-ratus rakyat menghadap kemari untuk
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghaturkan terima kasih kepadaku atas pertolongan yang
kuberikan kepada mereka."
"Ah "Huru Hara mengeluh.
"Kenapa engkau menghela napas ?"
"Karena hamba masih membawa pundi2 uang itu dan
hendak hamba serahkan kepada jenderal."
"Ah, jangan bergurau," kata jenderal Ui.
"Tidak, hamba tidak bergurau. Pundi2 uang itu masih
hamba simpan dalam kereta diluar gedung ini."
"Ah, mungkin engkau sedang sakit kepala atau mungkin
sedang merasa bermimpi. Jelas uang dari jenderal Ko itu
sudah engkau bagi-bagikan kepada rakyat yang kelaparan,
mengapa engkau masih membawa pundi2 uang itu ?"
"Tidak, jenderal. Pundi2 itu masih hamba bawa. Apakah
jenderal mengidinkan hamba ambil pundi2 itu ?"
"Ya," jenderal Ui mengangguk.
Huru Hara segera keluar. Tetapi alangkah kejutnya
ketika ia mendapatkan pundi2 itu kosong isinya, "Celaka,
mengapa uang itu lenyap ?"
Dia terus keluar dari gedung untuk mencari Cian-li-ji dan
Wi sin-kay tetapi kedua orang itu tak tampak batang
hidungnya. "Gila, kemanakah kedua orang itu " Mereka mengatakan
hendak menunggu aku disini tetapi mengapa mereka tak
kelihatan ?" Huru Hara heran. Dia mulai gelisah bagaimana
dia harus mengatakan kepada jenderal Ui nanti. Apa boleh
buat, dia membawa pundi2 kosong itu masuk lagi kedalam
gedung jenderal Ui. Jenderal Ui tertawa melihat Huru Hara tergopoh-gopoh
masuk menghadapnya, "Bagaimana?" tegurnya.
"Jenderal Ui, maaf, inilah pundi2 uang dari jenderal Ko
yang hamba bawa. Tetapi ternyata isinya sudah n a bis ... ."
"Tentu saja karena sudah engkau bagi-bagi kan kepada
rakyat kelaparan," kata jenderal Ui.
"Tetapi jelas uang itu tadi masih lengkap .... "
"Sudahlah," kata jenderal Ui seraya memerintahkan
pengawal untuk mengantarkan Huru Hara keluar.
Waktu melalui meja sembahyangan, Huru Hara melirik,
uh .... ia terkejut karena melihat kepala babi, ingkung itik
dan ayam lenyap Juga beberapa macam hidangan ikut
amblas. Tetapi dia diam saja.
Setiba diluar gedung, dia terus mencari Cian-li-ji dan Wi
sin-kay. Hah .... ternyata kedua orang itu sedang duduk
dibawah pohon asyiki menghadapi hidangan.
"Gila ! Itulah kepala babi, itik dan ayam di meja
sembahyangan tadi," teriak Huru Hara.
"Ya, memang," sahut Cian-h-ji, "kenapa?"
"Itu kan untuk sembahyangan arwah mama dari jenderal
Ui, kenapa kalian ambil"''
"Mama jenderal itu kan sudah tua, masa makannya
begitu banyak," sahut Cian-li-ji," lebih baik untuk kita atau
diberikan kepada rakyat yang kelaparan."
"Bagaimana kabarnya waktu engkau menghadap
jenderal Ui tadi ?" Wi sin-kay mengalihkan pertanyaan.
"Aneh," kata Huru Hara lalu menceritakan peristiwa
yang dialaminya," mengapa pundi2 uang itu kosong ?"
"Jangan heran," kata Wi sin-kay, "uangnya telah
kuambil, Nanti kita bagi-bagikan kepada rakyat yang
menderita kelaparan."
Huru Hara terkejut tetapi ketika mendengar keterangan
terakhir dari pengemis itu, diapun agak tenang. Namun ia
tetap heran mengapa pengemis itu berbuat begitu,
"Bukankah aku malu kepada jenderal Ui?"
Wi sin-kay tertawa, "Apakah jenderal itu marah
kepadamu ?" Huru Hara gelengkan kepala.
"Bukankah jenderal Ui dan Su tayjin memuji
tindakanmu ?" Huru Hara terkesiap, "Mengapa paman tahu?"
"Tentu saja tahu, karena semua itu aku yang
merencanakan." Pengemis itu lalu menceritakan apa yang telah
dilakukan. Karena mendengar mentri pertahanan Su Go
Hwat datang ke Co-ciu untuk sekalian menyatakan ikut
berdukacita atas meninggalnya mama jenderal Ui, maka dia
mengerahkan rakyat supaya berbondong-bondong
menghadap jenderal Ui Tek Kong untuk menghaturkan
terima kasih karena jenderal itu telah memberi sumbangan
berharga menolong rakyat yang sedang menderita
kelaparan. "Kuperhitungkan jenderal Ui tentu terpaksa menerima
kenyataan itu karena malu hati terhadap Su tayjin. Su tayjin
seorang mentri yang jujur dan sangat memperhatikan
keadaan rakyat," kata Wi sin-kay, "dan ternyata
perhitungan itu tepat. Maka tak mengherankan waktu
engkau menghadap jenderal Ui, engkau bertemu juga
dengan Su tayjin yang ikut memuji tindakanmu."
"Ah," Huru Hara menghela napas, "mengapa paman tak
bilang kepadaku ?" "Kalau engkau sudah tahu, engkau tentu bersikap
tenang2 saja dan hal itu mungkin akan menimbulkan
penilaian lain dari jenderal Ui dan Su tayjin."
"Penilaian lain bagaimana ?" .Huru Hara tak mengerti.
"Watak Su tayjiu itu jujur, dia tentu menyukai orang
jujur. Dan sebagai seorang mentri yang luas pengetahuan
dia tentu dapat menilai engkau. Tetapi kalau engkau
bersikap tenang karena sudah tahu peristiwa itu, dia tentu
menganggap engkau seorang yang lancang berani
mendahului perintah."
Huru Hara mengangguk Kemudian dia bertanya,
"Bukankah tadi paman mengatakan hendak menceritakan
sebuah hal yang penting" Apakah itu" Apakah mengenai
rencana paman tentang uang dalam pundi2 itu?"
"Bukan," sahut pengemis sakti, "ada sebuah hal yang
penting lagi yalah mengenai hilangnya peti uang dalam
keretamu itu." "Oh, paman tahu hal itu?" Huru Hara terkejut.
"Ya," sahut Wi sin-kay, "peristiwa itu benar2
mengejutkan sekali."
Huru Hara minta agar Wi sin-kay menceritakan saja apa
yang telah terjadi. "Sebenarnya hal itu terjadi ketika masih berada di biara
tua. Saat itu aku tidur diluar, tiba2 muncullah sesosok
bayangan berpakaian hitam. Dia bersembunyi di balik
pohon dan melontarkan sebutir kerikil ke halaman biara.
Kutahu, itulah cara kaum ya-heng-jin (orang persilatan
yang bekerja pada malam hari) bertanya jalan. Artinya, dia
hendak mengetahui apakah penghuni rumah yang hendak
dikerjai itu sudah tidur atau belum.
Akupun pura2 tidur mendengkur . . . . "
"Setelah mendapat kepastian kalau kita sudah tidur,
barulah orang itu bergerak. Ternyata dia menghampiri
kereta dan membongkar peti. Diam2 aku
menertawakannya. Apanya sih yang akan diambil. Kalau
mau ambil tanah itu silakan saja, kataku dalam hati.
Ternyata orang itu menurunkan peti dan setelah membuka
tutupnya lalu menuang tanahnya. Dia mengaduk-aduk
tanah itu beberapa saat dan tiba2 ia mengambil segunduk
tanah yang kempal, sebesar kepala bayi. Matanya berkilatkilat
dan dengan cepat dia mengupas perongkolan tanah itu.
Serentak matanyapun bersinar terang ketika melihat benda
yang berada dalam perongkolan tanah itu. Benda itu
sebesar gelas dan berbentuk seperti singa. Cepat dia
memasukkan benda itu kedalam baju lalu cepat2
mengembalikan lagi tanah kedalam peti dan ditaruh
kembali kedalam gerbong kereta."
"Aku segera mengikuti orang itu .... "
"Siapakah dia?" tukas Huru Hara.
"Dia memakai kerudung muka sehingga tak kelihatan
siapa orangnya," kata Wi sin-kay, "tetapi baru lebih kurang
sepuluh li, tiba2 muncul seorang yang juga memakai tutup
muka." "O, kawannya?" "Bukan,"' kata Wi sin-kay, "orang itu ternyata hendak
menghadangnya. Berikan Giok-say itu kepadaku, seru
orang kedua. Tetapi orang pertama menyangkal, "Giok-say
apa?" "Hm, jangan kira aku tak tahu perbuatanmu. Lekas
berikan sebelum kubongkar semua rahasiamu!" seru orang
kedua. "Jangan jual gertak kosong!" seru orang per tama, "aku
tak tahu menahu tentang Giok-say itu."
Giok-say artinya Singa Kumala.
"Baik," kata orang kedua, "karena engkau berkeras
kepala terpaksa akan kutelarjangi belangmu. Di mata orang
persilatan engkau terkenal sebagai tokoh silat yang
hartawan dan dermawan. Tanganmu selalu terbuka kepada
siapa saja. Tetapi sebenarnya engkau tak lebih dari seekor
harimau yang berselimut kulit keledai . . . . "
"Tutup mulutmu!" bentak orang pertama.
"Engkau mengorbankan gundikmu yang cantik Say-se-si
Li Li Hoa untuk mengumpan Ko Kiat agar dapat mencuri
pusaka Giok-say. Bukankah si Li Hoa itu menyelundupkan
Giok-say itu kedalam peti yang berisi tanah yang akan
dikirim Ko Kiat kepada Ui Tek Kong?"
"Ngaco belo!" bentak oiang pertama, "mana rnungkin
seorang jenderal sebagai Ko Kiat hendak mengirim peti
berisi tanah kepada jenderal Ui Tek Kong?"
"'Soal itu tanyakan sendiri kepada Ko Kiat. Tetapi yang
jelas perbuatan Li Hoa itu sudah dikelahui Ko Kiat dan
karena disiksa akhirnya perempuan itu mengaku."
"Tidak, aku tidak tahu tentang Giok-say itu!" seru orang
pertama. "Li Thian Ong, sekali lagi kuperingatkan kepadamu.
Serahkan Giok say itu atau rahasia dirimu akan kubongkar,
biarlah dunia persilatan tahu siapa sesungguhnya Li Thian
Ong yang bergelar Dewa bertangan emas itu."
"Siapa engkau!" teriak orang pertama yang dipanggil Li
Thian Ong itu. "Dengan susah payah aku berhasil menyelidiki siapa
dirimu maka engkaupun harus menggunakan tenaga dan
pikiranmu untuk menyelidiki siapa diriku. Lekas serahkan!"
orang kedua itupun segera melayang dan menyerang Li
Thian Ong. Akhirnya dalam pertempuran yang dahsyat dan amat
menegangkan itu, orang kedua itu berhasil menundukkan
Li Thian Ong. "Baik, akan kuserahkan tetapi lepaskanlah
cengkeramanmu," seru Li Titian Ong yang bahunya dapat
dicengkeram lawan. Asal lawan meremasnya tentulah
tulang pi-peh-kut Li Thian Ong akan hancur dan jadilah Li
Thian Ong itu seorang cacad seumur hidup.
"Baik, aku dapat membebaskan engkau pun dapat
meringkusmu lagi. Tetapi ingat, apabila engkau curang,
pasti akan kuhancurkan dirimu !"
Orang bertutup muka itu lepaskan cengkeramannya.
Tampak Li Thian Ong merogoh kedalam bajunya dan tiba2
dia berseru, "Nih, terimalah !"
Sebuah benda sebesar kepal tangan melayang kearah
orang itu. Pada saat orang itu terkejut menyambut, tiba2 Li
Thian Ongpun loncat dan menyambar kain penutup
mukanya, "Ah, engkau.... Bu Te sin-kun ..... "
Orang yang disebut Bu Te sin-kun itu menyalangkan
mata dan tertawa nyaring, "Bagus, Li Thian Ong, engkau
berani melihat wajahku. Ketahuilah, barangsiapa melihat
wajah Bu Tek sinkun, dia harus mati !"
"Tiba2 saat itu aku mendapat pikiran." Wi sin-kay
mengakhiri penuturannya, "aku ingin menolong Li Thian
Ong dari keganasan Bu Tek sinkun."
"Siapa Li Thian Ong dan Bu Te sin-kun itu ?" tukas Huru
Hara. "Li Thian Ong adalah hartawan yang tinggal di Khayhong.
Dia mempunyai hubungan luas dengan kaum
persilatan dan para pembesar, Tangannya selalu terbuka
kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan. Itulah
sebabnya maka dia diberi gelar Kim-jiu-sian atau Dewabertangan-
emas oleh dunia persilatan."
"Sedangkan Bu Te sin-kun itu," pengemis Wi sin-kay
melanjutkan pula," adalah seorang tokoh dunia persilatan
yang misterius. Tempat tinggalnya tak menentu, demikian
pula sepak terjangnya sukar diduga, entah berdiri pada
golongan putih atau hitam. Tetapi yang jelas, dia amat
bernafsu sekali mendapatkan senjata pusaka maupun kitab
pusaka. Pendeknya setiap benda pusaka, tentu akan
dirampas dan dia tak segan2 berhadapan dengan siapapun
baik tokoh dunia hitam maupun putih.
"Apakah artinya Bu Te sin-kun itu ?" tanya Huru Hara.
"Bu Te sin-kun berarti Jago sakti tanpa tanding."
"Huah, sombong benar manusia itu," desuh Huru Hara.
"Ya, benar, kalau kelak kita bertemu dengan dia, kita
harus memberi pelajaran," sambut Cian-li-ji.
"Mudah-mudahan akan terkabul keinginanmu itu,"
pengemis Wi sin-kay tertawa, "nah, dengarkanlah, aku
hendak melanjutkan ceritaku lagi."
"O, ya, baiklah," kata Huru Hara.
"Aku segera melontarkan batu kepadanya seraya berseru
'itulah Bu Te sin-kun, hayo, kita ringkus'. Serempak akupun
terus loncat keluar seraya berseru," Li Thian Oag, jangan
kuatir, aku dan kawan2 datang membantumu . . . ."
mendengar itu Bu Te sim-kun terus melarikan diri."
"Lho. katanya jago tanpa tading, mengapa melarikan diri
?" tanya Cian-li-ji.
"Pertama, dia sudah mengantongi pusaka Giok-say dan
kedua, karena dia tak mau terlihat wajahnya oleh orang
maka diapun lari meninggal kan Li Thian Ong," jawab Wi
sin-kay. "Kepadaku," Wi sin-kay melanjutkan ceritanya, "dia
menderita luka-dalam yang cukup parah tetapi untung tak
sampai membahayakan jiwanya. Karena menduga aku
tentu sudah tahu peristiwa itu maka diapun membuka
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rahasia. Menurut katanya Giok-say itu berasal dari
peninggalan Cu Goan Ciang, kaisar kerajaan Beng. Dalam
usia tua Cu Goan Ciang mendapat putera dari seorang
selirnya yang tercinta. Ia tahu bahwa putera2nya tidak
saling akur. Terutama putera mahkota amat lemah. Kuatir
kalau kelak puteranya yang masih bayi itu akan terlantar
maka dia memberikan kepada selir itu sebuah Giok-say.
Dalam Giok-say itu tersimpan sebuah peta dari harta karun
yang disimpan Cu Goan Ciang disebuah tempat rahasia.
Ternyata apa yang dikuatirkan Cu Goan Ciang itu
terbukti. Waktu dia meninggal maka kekuasaan tahta
direbut dengan kekerasan oleh saudaranya yang bernama
Cu Te. Cu Te naik tahta dan bergelar Beng-seng-cou.
Dengan tangan besi dia memerintah dan membersihkan
semua mentri yang tak setia kepadanya. Bahkan terhadap
saudaranya yang berani merintangi tentu akan diambil
tindakan. Selir tercinta baginda Beng thaycou (Cu Goan
Ciong) karena merasa tertekan lalu lolos dari keraton.
Kemudian entah berselang berapa puluh tahun kemudian,
setelah kerajaan Beng runtuh diserang pasukan Ceng, dalam
keadaan kacau balau kerajaan pindah dari kotaraja Pak-kia
ke kota Lam-kia, entah bagaimana Ko Kiat telah berhasil
merampas Giok-say itu dari tangan seorang hartawan yang
tinggal di kota Thay-goan. Demikianlah riwayat Giok-say
itu." "O, jadi Giok-say itu tersimpan sebuah peta harta karun
peninggalan baginda Beng thaycou ?" tanya Huru Hara.
"Ya." Huru Hara serentak teringat akan anjuran sumoaynya
agar berusaha untuk mendapatkan pekerjaan dari jenderal
Ko Kiat yang akan mengirim barang antaran kepada
jenderal Ui Tak Kong," Apakah yang dimaksud sumoay itu
yalah pusaka Giok-say itu " Jika Giok-say itu benar
menyimpan peta harta karun, memang hal itu berguna
sekali untuk menolong rakyat dari kesengsaraan dan
membantu perjuangan kaum pendekar pejuang untuk
menentang pasukan Ceng."
"Bagaimana mencari jejak Bu Te sing-kun itu ?" tanya
Huru Hara. "Apakah hian-tit hendak mencarinya ?"
"Ya," sahut Huru Hara tegas, "pusaka Singa-kumala itu
harus kita rebut. Jika benar berisi peta harta katun, kita
dapat menggunakan harta itu untuk rakyat yang kelaparan
dan membantu perjuangan melawan pasukan Ceng."
Wi sin-kay mengangguk, "Baik. Kelak kita mencurinya.
Aku masih belum selesai menuturkan ceritaku ini."
"O, apakah masih ada peristiwa lagi ?"
"Ya," kata Wi sin-kay, ketika aku kembali ke biara, aku
terkejut lagi. Tampak sekelompok prajurit sedang
mengangkut peti dari keretamu.. .."
"Peti yang berisi tanah itu ?" Huru Hara terkejut.
"Ya," kata Wi sin-kay.
"Lalu bagaimana tindakan paman ?"
"Aku tak mau menyerang mereka melainkan kuikuti saja
kemana mereka pergi. Ternyata mereka adalah prajurit2
Beng juga tetapi entah dari pasukan mana. mereka menuju
ke utara. Karena hanya seorang diri dan mereka berjumlah
banyak, terpaksa aku kembali."
"Mereka benar prajurit Beng ?" Huru Hara menegas.
"Ya, aku tahu benar dari seragam mereka.
"Aneh," Huru Hara garuk2 kepala," kalau benar begitu,
tentulah mereka tergabung dalam pasukan salah seorang
jenderal pasukan Beng. Tetapi perlu apa mereka hendak
merebut peti dari jenderal Ko Kiat ?"
Wi sin-kay juga tak dapat memecahkan teka teki itu.
Akhirnya dia membuat kesimpulan, "Jenderal Ko Kiat
terkenal keras dan licik. Demikian pula dengan jenderal2
lainnya juga temaha dan rakus. Mereka saling berebut
kekuasaan tempat. Bukan mustahil karena mendengar
jenderal Ko Kiat mengirim peti berisi uang maka jenderal
yang lain lalu menyuruh prajuritnya untuk merampas."
Huru Hara masih belum terang pikirannya, Persoalan itu
sederhana tampaknya yalah dia menerima pekerjaan dari
jenderal Ko Kiat untuk mengantar peti uang kepada
jenderal Ui Tek Kong. Tetapi ternyata telah berekor
panjang dan aneh. Pertama, ternyata peti uang itu bukan
berisi uang melainkan berisi tanah. Lalu Li Thian Ong
datang, membongkar peti berisi tanah itu dan menemukan
pusaka Giok-say. Tetapi ditengah jalan, Li Thian Ong telah
dihadang oleh Bu Te sin-kun dan Giok-say itu dapat
direbutnya. Lalu ada juga sekawanan prajurit yang mencuri peti
berisi tanah itu. Dan prajurit2 itu ternyata prajurit' pasukan
Beng sendiri. Perlu apakah prajurit2 itu berampas peti " Ah,
kemungkinan mereka mengira bahwa peti dari Ko Kiat itu
memang berisi uang. Ya, jawaban itu memang dapat
diterima akal. "Hiantit, bagaimana tindakanmu sekarang," tanya Cianh-
ji. "Aku hendak kembali ke Co-ciu menghadap jenderal Ko
Kiat lalu, menyerahkan surat balasan dari jenderal Ui."
"Ah, buat apa " Bukankah jenderal Ko Kiat sudah
menipu kepadamu " Dia mengatakan peti itu berisi uang
tetapi ternyata berisi tanah," kata Cian-li-ji.
"Biar saja dia hendak menipu aku. Toh akhirnya jenderal
Ui sudah mengaku telah menerima kiriman uang dari Ko
Kiat itu. Dan memang aku hendak melihat bagaimana nanti
sikap jenderal itu kepadaku," kata Huru Hara.
Wi sin-kay menyetujui dan ketiga orang itu pun segera
berangkat pulang ke Co-ciu. Tetapi mereka menempuh
perjalanan dengan berjalan kaki saja sekalian untuk
meninjau keadaan rakyal di daerah2 yang menderita
kelaparan. Menjelang sore hari, mereka tiba disebuah daerah hutan
yang sepi. Sedianya malam itu mereka akan bermalam di
biara tua lagi. "Uh, ada sebuah rombongan kereta dan penunggang
kuda yang akan datang," tiba2 Cian-li-ji berseru.
"Bagaimana engkau tahu ?" Wi sin-kay heran.
Huru Hara menerangkan bahwa Cian-li-ji itu memang
mempunyai keistimewaan yalah dapat mendengarkan suara
dari jarak beberapa li. "O," seru Wi sin-kay, "lalu bagaimanakah?"
"Kita bersembunyi ke sana dulu," kata Huru Hara
sembari menunjuk kebalik sebuah gerumbul pohon.
Ketiganya lalu bersembunyi dibalik gerumbul pohon.
Tak berapa lama memang benar terdengar derap kuda yang
riuh dan derak bunyi roda kereta.
"Ah, rombongan pembesar agung," bisik Wi sin-kay.
Setelah rombongan berlalu mereka pun segera
melanjutkan perjalanan lagi. Tetapi tiba2 Cian-li-ji
berteriak, "Hai, ada orang bertempur !"
Kali ini Huni Hara dan Wi sin-kay terkejut, "Bertempur "
Siapakah yang bertempur ?"
Mereka berlari lari menuju kedalam hutan. Dari jauh
mereka melihat rombongan kereta pembesar agung tadi
berhenti dan beberapa orang tengah bertempur.
"Ah. rupanya rombongan pembesar itu sedang dihadang
musuh," kata Huru Hara.
Memang saat itu terjadi pertempuran yang dahsyat
Rombongan pengawal kereta pembesar itu sedang
berhantam dengan kawanan orang yang memakai kerudung
muka dari kain hitam. Diantara kawanan penghadang itu
terdapat seorang yang gagah berani. Beberapa prajurit
pengiring kereta pembesar itu banyak yang telah
dirubuhkan. Kini orang itu tengah berhadapan dengan
seorang pengawal yang bertubuh tinggi besar bersenjata
tombak. Menilik pakaiannya, rupanya orang itu kepala
rombongan prajurit yang berpangkat.
"Jelas penghadang itu kaum penjahat dan yang dihadang
itu adalah pembesar negeri. Mari kita tolong," kata Huru
Hara seraya terus maju. "Hai, kawanan perampok yang bernyali besar, serahkan
dirimu!" seru Huru Hara seraya menerjang.
Uh, uh, uh ... . beberapa kawanan penjahat yang
diterjang Huru Hara menjadi porak poranda. Ada yang
menjerit kesakitan, ada yang rubuh dan ada yang melarikan
diri. Penjahat yang bertarung dengan perwira tinggi besar tadi
segera melancarkan serangan yang dahsyat. Setelah berhasil
menabas jatuh tombak lawan, dHuru Hara. "'Siapa engkau!' bentaknya sambil menabas dengan
pedangnya. Tetapi dia mendesuh kejut ketika menyaksikan gerakan
Huru Hara yang luar biasa cepatnya. Pedang masih
diangkat keatas, Huru Hara sudah menyelinap ke belakang
dan menjotos punggungnya. Untung dia tahu dari angin
pukulan yang menyambar punggungnya itu dan cepat
loncat ke muka sehingga jotosan Huru Hara mengenai
angin. Plak . . . auh . . . tetapi sebelum orang itu berdiri tegak,
tiba2 sesosok bayangan pendek melesat ke arahnya dan
tahu2 menampar pipinya. Tamparan itu cukup
membuatnya meringis. Mukanya pun merah padam karena
malu dan marah. "Paman Cian jangan mengganggunya, biar aku yang
menyelesaikannya sendiri," seru Huru Hara.
Ternyata yang melesat dan menampar pipi orang itu
adalah Cian-li-ji. Memang kakek pendek itu mempunyai
penyakit aneh. Dia selalu gatal tangannya apabila melihat
musuh yang congkak. Dan setiap kali, dia tentu menampar
pipi orang. Rupanya dia memang gemar menampar pipi.
"Siapa engkau!" teriak orang itu sambil bersiap-siap.
"Mengapa engkau hendak mengganggu pembesar
negeri!" balas Huru Hara.
"Bukan urusanmu, mengapa engkau ikut campur!"
"Baik," kata Huru Hara, "kalau engkau mampu
mengalahkan aku, aku akan pergi dari sini!"
"Baik," sahut orang itu pula, "mungkin engkau tak dapat
pergi lagi. Yang pergi adalah nyawamu."
"Coba saja?""
"Lihat serangan!" orang itu tiba2 menyerang dengan
sebuah taburan. Pedang berhamburan laksana percikan
bunga api yang mencurah ke tubuh Huru Hara.
"Bagus," seru Huru Hara lalu memutar tongkatnya.
Seketika percikan bunga api itupun tersapu bersih oleh
lingkaran sinar tongkat yang menderu-deru laksana angin
lesus. Dan pada akhir daripada lenyapnya percikan bunga api
itu tiba2 terdengar jeritan keras, menyusul orang itupun
loncat ke belakang dan terus lari. Tetapi sebelum pergi dia
sempat melantangkan ancaman, "Baik, karena masih ada
lain urusan yang penting, aku terpaksa pergi. Tetapi lain
kali aku pasti akan mencarimu untuk membayar hutangmu
hari ini!" "Kapan dan dimana saja aku bersedia untuk menerima
kedatanganmu!" sahut Huru Hara.
"Kurang ajar," Cian-li-ji terus hendak mengejar tetapi
dicegah Huru Hara, "Jangan paman, biarkan dia pergi.
Yang penting pembesar dalam kereta ini selamat."
"Hohan Peng-poh tayjin mengundang hohan supaya
menghadap," tiba2 seorang prajurit menghampiri kepada
Huru Hara. "O, baiklah," kata Huru Hara lalu mengikuti prajurit itu
menghampiri kereta. "Bagur, Loan Thian Te, engkau telah berjasa melindungi
aku," seru pembesar dalam kereta.
"Ah, Su tayjin, terimalah hormat hamba," Huru Hara
cepat memberi hormat setelah mengetahui bahwa dalam
kereta itu tak lain adalah mentri pertahanan Su Go Hwat.
"Siapakah penjahat yang berani menghadang
perjalananku itu?" tanya Su Go Hwat.
"Entah tayjin," sahut Huru Hara, "tetapi kalau menilik
kepandaiannya, jelas mereka tentu kaum persilatan yang
berilmu tinggi." "Baik, Loan Thian Te, bantuanmu hari ini akan
kuingat," kata Su Go Hwat, "hendak kemanakah engkau
sekarang ini?" "Hamba hendak kembali menghadap jenderal Ko Kiat."
"Apakah engkau bekerja pada jenderal Ko?"
"Tidak, tayjin, hamba hanya khusus diberi tugas untuk
mengantar barang sumbangan kepada jenderal Ui Tek
Kong." "Setelah tugas itu selesai, lalu apakah engkau terus
bekerja padanya?" 'Tidak, tayjin. Mungkin hamba akan pulang ke gunung
lagi."' "Ah, engkau salah Loan Thian Te." kata Su Co Hwat,
"saat ini negara kita sedang menghadapi serangan pasukan
Ceng. Kerajaan Beng terpaksa pindah dari kotaraja Pak-kia
ke kota Lam-kia. Di seluruh wilayah barat Sungai Hong ho.
pasukan Beng sedang menyusun kekuatan untuk bertahan
dan melakukan serangan balasan. Tetapi kekuatan pasukan
saja masih belum cukup kuat. Perlu harus membangkitkan
semangat rakyat untuk berjuang melawan musuh.
Huru Hara tertegun mendengarkan.
"Saat ini negara sedang memerlukan putera puterinya
untuk ikut berjuang membela tanah-air. Tenaga2 sesakti
engkau, amat dibutuhkan sekali. Mengapa engkau hendak
pulang ke gunung " Apakah engkau tak mau mengabdikan
dirimu untuk negara ?" kata mentri pertahanan Su Go Hwat
lebih lanjut. "Tetapi tayjin, hamba seorang pemuda gunung yang
bodoh dan tak berguna. Mana hamba dapat membela
negara ?" sahut Huru Hara.
"Engkau merasa bodoh dan tak berguna ?" seru Su Go
Hwat, "salah sebali anggapanmu itu. buktinya jenderal Ko
Kiat telah memilih engkau untuk mengawal barang
antarannya. Dan tadipun engkau mampu menghalau
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perampok yang hendak menganggu aku. Engkau seorang
pemuda yang sakti, apakah engkau tak mau
menyumbangkan kepandaianmu itu untuk negara ?"
"Tetapi tayjin . . . . "
"Apakah engkau mau bekerja pada jenderal Ko Kiai?"
"Tidak, tayjin."
"Mengapa?" "Dia jenderal temaha, suka merampas harta benda
rakyat!" Mentri pertahanan kerajaan Beng terkesiap mendengar
kata2 Huru Hara yang diucapkan dengan tegas dan tenang.
Walaupun kenyataannya memang begitu, tetapi jarang atau
hampir tak ada orang yang berani berkata blak-blakan
seperti Huru Hara. Diam2 mentri Su Go Hwat terkesiap
dan memuji keberanian Huru Hara.
"Loan Thian Te, apakah engkau dapat mempertanggungjawabkan
omonganmu itu?" "Dalam perjalanan mengantar barang sumbangan itu
hamba telah dihadang oleh beratus rakyat yang kelaparan.
Mereka mengatakan bahwa harta benda mereka telah habis
dirampok prajurit2 jenderal Ko Kiat."
"Tetapi itu kan perbuatan prajuritnya bukan dia?"
"Kalau dia seorang jenderal yang jujur, dia tentu akan
menghukum anakbuahnya itu. Jelas dia tentu sudah tahu
hal itu, mungkin juga atas perintahnya."
"Loan Thian Te . . . . "
"Waktu dia hendak masuk kota Yang-ciu te tapi ditolak
rakyat, dia marah dan melakukan pembunuhan besarbesaran
pada rakyat dari empat desa."
"Ya, kutahu." "Mengapa tayjin tak mau menindaknya?"
Su Go Hwat terkesiap. Dia benar2 tak menyangka
bahwa Huru Hara berani mengajukan pertanyaan begitu
terhadap seorang mentri pertahanan. Namun diapun makin
mendapat kesan bahwa Huru Hara itu seorang yang berani
dan jujur. "Loan Thian Te, tahukah engkau dengan siapa saat ini
engkau bicara?" "Tahu, tayjin," sahut Huru Hara, "paduka adalah Pengpo-
siang-si kerajaan Beng."
"Jika sudah tahu, apakah engkau anggap pertanyaanmu
tadi tepat engkau ajukan kepadaku?"
"Hamba adalah rakyat negeri Beng. Dan rakyatlah yang
menjadi dasar dari sebuah negara. Prajurit berperang tetapi
rakyatpun telah memberi amal bhaktinya kepada negara.
Membayar pajak, menghasilkan pangan dan melancarkan
kehidupan negara. Tanpa rakyat bagaimana mungkin
negara dapat berdiri. Tanpa pangan, bagaimana prajurit
dapat perang. Oleh karena melihat rakyat dibunuh secara
se-wenang2 oleh seorang jenderal bangsa kita sendiri, aku
berhak untuk mengutuknya. Sebagai orang atasan, layaklah
kalau paduka menindak jenderal kejam itu."
"Apakah engkau tak takut kalau aku marah karena
tersinggung atas ucapanmu itu lalu menghukummu ?" tanya
Su Go Hwat. "Tidak, tayjin," sahut Huru Hara, "hamba hanya
menyuarakan suara hati rakyat. Sama sekali hamba tak
bermaksud menyinggung perasaan tayjin. Seorang atasan
menindak orang bawahannya yang salah, adalah sudah
layak. Rakyat tentu akan pulih kepercayaannya terhadap
tayjin dan mereka tentu merasa gembira karena mempunyai
pengayoman. Namun jika kata2 hamba ini dianggap salah,
hambapun menurut saja apabila akan dihukum."
Diam2 Su Go Hwat terkejut dan memuji dalam hati.
Seorang pemuda yang cara dandanannya mirip seorang
pendekar.kesiangan, ternyata berani melantangkan kata2
yang begitu tajam. "Benar katanya," kata Su Go Hwat dalami hati, "untuk
membangkitkan rakyat supaya ikut berjuang bahu
membahu dengan tentara, haruslah melindungi hak2
mereka." "Tayjin, maafkan apabila kata2 hamba tak berkenan
dihati tayjin," kata Huru Hara.
"Tidak apa2, Loan Thian Te. Engkau memang
mengatakan yang sebenarnya. Memang seharusnya Ko Kiat
itu kutindak. Tetapi ketahuilah Loan Thian Te," kata Su
Go Hwat, "saat ini kita sedang menyusun kekuatan.
Kutahu, kalau para jenderal itu tidak akur satu sama lain
suatu pergantian atau pemecatan dan hukuman kepada
mereka, mungkin akan menimbulkan bahaya. Mereka
mempunyai anakpasukan. Kalau mereka membangkang
kita terpaksa mengambil kekerasan. Dan apabila mereka
terpojok, kemungkinan mereka akan menyebrang pada
musuh. Inilah yang tak kuharap. Oleh karena itu aku
terpaksa menempuh jalan lunak dan berusaha untuk
menyadarkan mereka."
Huru Hara mengangguk. Dia mengakui memang
pendirian mentri pertahanan itu benar. Tetapi ada juga
kelemahannya. "Tayjin, ibarat bisul, kalau tak lekas2 dipotong, kelak
tentu akan makin membengkak dan menganggu tubuh
kita," katanya. "Benar" sahut Su Go Hwat, "akupun menyadari hal itu
tetapi untuk sementara, aku belum perlu memotong bisul
itu. Apabila sudah tiba saatnya, tentulah takkan kubiarkan
bisul itu merusak tubuh kita."
"Terima kasih, tayjin."
"Loan Thian Te, aku suka dengan keberanianmu dan
kejujuranmu berbicara. Jika engkau suka, bekerjalah
padaku saja." Huru Hara terkejap. Ia tak mengira bahwa menteri
kerajaan Beng itu akan menarik dirinya
"Tetapi tayjin, hamba seorang anak gunung yang bodoh .
. . ." "Kuangkat engkau sebagai pengawalku peribadi. Saat ini
aku sedang melakukan perjalanan keliling ke daerah2 untuk
mengkonsolidasi (menghimpun) pasukan Beng di seberang
barat sungai Hong-ho. Kita harus menyusun kekuatan baru
untuk membendung serangan pasukan Ceng ke selatan.
Dalam tugas itu kuyakin tentu banyak rintangan dan
ancaman bahaya. Apabila engkau mau, engkau akan
menyertai perjalananku berkeliling kedaerah2 itu."
Huru Hara terkejut. Memang hal itu merupakan suatu
jalan baginya untuk menyumbangkan tenaganya kepada
negara. Dia sudah mendengar bahwa mentri Su Go Hwat
itu seorang mentrl yang jujur dan setia.
"Terima kasih, tayjin. atas kepercayaan tayjin kepada diri
hamba," kata Huru Hara, "tetapi saat ini hamba masih
harus menyelesaikan beberapa tugas. Setiap waktu tugas
hamba itu sudah selesai, hamba tentu akan menggabungkan
diri pada tayjin." "Hm, baiklah," Su Go Hwat lalu merogoh kedalam baju
dan kemudian berkata, "Loan Thian Te, saat ini keadaan
dalam negeri sedang kacau. Gangguan dan bahaya setiap
saat dapat menghadang di mana2. Maka terimalah lencana
lambang peribadiku. Apabila engkau mendapat kesulitan
dengan prajurit2 Beng tunjukkan lencana ini, mereka tentu
akan membebaskan dan bahkan akan memberi bantuan
kepadamu." "Terima kasih tayjin," ucap Huru Hara seraya
menyambuti lencana itu. Lencana itu tak lain adalah sebuah
cap nama terbuat dari batu kumala.
"Loan Thian Te, walaupun sekarang engkau tak dapat
mengiringkan perjalananku tetapi aku hendak memberimu
sebuah tugas, apakah engkau sanggup mengerjakan?" tanya
Su Go Hwat. "Apabila tayjin yang menitahkan, hamba tentu sanggup
melakukannya." "Baik," kata Su Go Hwat, "hubungilah kaum pendekar
dan tokoh2 persilatan yang cinta negeri dan himpunlah
kekuatan mereka kedalam sebuah wadah perjuangan guna
ikut berjuang menentang serangan pasukan Ceng.
Sanggupkah engkau ?"
Tanpa banyak pikir lagi Huru Hara terus menyatakan
kesanggupannya. Dan karena sudah tak ada hal yang perlu
dibicarakan lagi maka Huru Harapun mohon diri dan
rombongan mentri Su Go Hwat itupun melanjutkan
perjalanan Iagi. Waktu mendengar penuturan Huru Hara tentang
pertemuannya dengan mentri pertahanan, Wi sin-kay
berseru gembira, "Kuhaturkan selamat kepadamu, hiantit.
Peng-poh-siang-si Su tayjin telah memberi kepercayaan
besar kepadamu. Su tayjin memang mentri yang paling setia
dan gigih berjuang membela tanah-air. Mengapa engkau tak
mau menggabung kepadanya."
"Bukan tak mau tetapi aku masih ingin menyelesaikan
beberapa hal dulu.' "Hal apa?" "Pertama, menghadap jenderal Ko untuk me laporkan
tentang tugas yang diberikan kepadaku. Kedua akn hendak
mencari Bu Te sin-kun untuk mengambil kembali mustika
Giok-say itu. Apabila berhasil, aku akan mencari harta
karun itu dan akan kuberikan kepada rakyat serta para
pendekar pejuang. Setelah itu baru aku nanti datang kepada
Su tayjin." Wi sin-kay menyetujui langkah Huru Hara. Ketika tiba
di tempat kediamannya Ko Kiat, Wi sin-kay tak ikut
masuk. Yang masuk menghadap jenderal itu hanya Huru
Hara dan Cian-h-ji. "Hm, untung engkau datang," kata jenderal Ko Kiat
dengan nada dingin, "besok lusa aku sudah pindah ke lain
tempat." "Hamba hendak melaporkan tentang tugas yang jenderal
berikan itu telah kuselesaikan. Dan inilah surat balasan dari
jenderal Ui," kata Huru Hara seraya menyerahkan surat.
Waktu membaca, merah padamlah wajah Ko Kiat.
Sudah tentu hal itu diperhatikan juga oleh Huru Hara,
namun dia tetap tenang2 saja.
"Engkau bohong!" tiba2 jenderal Ko Kiat membentak
keras. "Bohong" Mengapa aku harus bohong" Apa saja yang
kubohongkan itu?" sambut Huru Hara.
"Dari mana engkau memperoleh uang sekian banyak
untuk jenderal Ui Tek Kong?"
"Lho, bukankah uang itu sumbangan dari jenderal
sendiri?" "Tidak .... ya. Tetapi yang engkau berikan kepadanya
bukanlah uang dari peti itu."
"Eh, mengapa jenderal mengatakan begitu?"
Ko Kiat memberi perintah kepada dua orang prajurit dan
prajurit itupun segera pergi. Tak lama kemudian mereka
kembali dengan menggotong sebuah peti. Ah, itulah peti
yang diantarkan Huru Hara.
Setelah Ko Kiat memerintahkan supaya tutup peti
dibuka maka dia berseru pula, "Lihatlah, peti itu masih
disini, bagaimana engkau berani mengatakan kalau sudah
engkau serahkan kepada jenderal Ui?"
Huru Hara diam. "Dan lihatlah isinya. Bukankah tidak berisi uang?"
"Ya, memang tidak berisi uang," sahut Huru Hara.
"O, jadi engkau sudah tahu" Kalau begitu tentu
sebelumnya sudah engkau buka dan engkau ambil
uangnya." "Tidak!" sahut Huru Hara, "bukankah dalam surat
balasan jenderal Ui, dia mengatakan kalau sudah menerima
uang sumbangan dari jenderal?"
"Bohong!" bentak Ko Kiat pula, "apa engkau kira aku tak
tahu tipu muslihatmu?"
"Silakan jenderal mengatakan kesalahanku."
"Engkau mengatakan dihadapan jenderal Ui bahwa uang
itu telah engkau bagi-bagikan kepada rakyat yang
kelaparan. Karena mentri pertahanan Su tayjin kebetulan
sedang berkunjung pada jenderal Ui, maka jenderal itu
sungkan dan menyetujui tindakanmu. Maka dia mengirim
surati balasan yang mengatakan kalau sudah menerima
uang sumbanganku. Pada hal engkau tidak membagibagikan
uang itu kepada rakyat tetapi engkau kantongi
sendiri!" "Tidak!" teriak Huru Hara, "aku tidak berbuat begitu.
Dan jelas peti itu tidak berisi uang melainkan hanya tanah
belaka. Mengapa jenderal mengirim barang semacam itu
kepada jenderal Ui" "Tidak, aku tidak mengisi peti itu dengan tanah," bentak
jenderal Ko Kiat, "mana mungkin aku mengirim peti berisi
tanah kepada jenderal Ui" Engkaulah yang telah membuka
peti itu, mengambil uangnya lalu menggantinya dengan
tanah. Hm, lekas mengaku saja, dimana engkau
menyimpan uang itu?"
"Tidak, tidak! Aku tidak mengambil uang itu," bantah
Huru Hara, "memang ketika bermalam di biara tua, telah
muncul seorang yang tak dikenai dan membuka peti itu.
Kemudian ada lagi yang datang dan bahkan mengambil peti
itu." "Lalu bagaimana jenderal Ui dapat membalas surat itu?"
"Sedianya hendak kuganti tetapi jenderal Ui menyatakan
tidak perlu." "Hm, engkau tentu membuka peti itu sebelumnya," kata
jenderal Ko Kiat tetap menuduh, engkau harus mengaku
atau . . . . " "Tidak," seru Huru Hara, "aku tidak membukanya.
Orang yang pertama datang itulah yang membongkar peti
itu sehingga aku baru tahu kalau isinya hanya tanah. Hm,
jenderal Ko, jangan menganggap bahwa sebagai seorang
jenderal engkau dapat berbuat semaumu sendiri saja. Apa
maksudmu mengirim tanah kepada jenderal Ui" Bukankah
engkau hendak mencelakai aku?"
"Prajurit, tangkap bangsat kurang ajar ini tiba2 jenderal
Ko Kiat marah dan berseru memberi perintah kepada para
pengawal. Beberapa prajurit segera muncul hendak menangkap
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Huru Hara. Tetapi sekonyong-konyong sesosok tubuh
pendek telah melesat dan tahu-tahu plak, plak, plak,
terdengar suara tamparan disusul dengan jeritan mengaduh.
Prajurit2 itu menjerit kesakitan karena mukanya ditampar
orang. Mereka tak melihat jelas siapa yang menamparnya
kecuali hanya sesosok bayangan kecil yang melayang cepat
seperti setan. 'Hi, hi, hi . . . . "
"Engkau setan pendek!" kembali prajurit2 itu berteriak.
Kali ini mereka berteriak marah dan mengetahui kalau
Cian-li-ji tertawa mengikik seraya menuding pada prajurit2
itu. Tahu kalau Cian-j li-ji yang menampar muka mereka,
prajurit2 itu pun segera ganti sasaran, bukan menangkap
Huru Hara seperti yang diperintahkan Ko Kiat, melainkan
menyerbu Cian-li-ji. "Bagus, hayo tangkaplah aku kalau kalian mampu,"
Cian-li-ji terus bergerak melesat mengelilingi mereka.
Gerakannya sedemikian pesat sepert setan.
"Tangkap bangsat ini!" teriak Ko Kiat kepada
pengawalnya. Sudah lazim di kalangan para panglima, jenderal2 dan
para pembesar tinggi pada masa itu, tentu masing2
mempunyai pengawal peribadi yang berilmu silat- tinggi,
demikian pula dengan Ko Kiat. Dia mempunya dua orang
pengawal yang hebat ilmusilatnya. Yang seorang bernama
Tek San, seorang jago perguruan Toan-kui-bun, bersenjata
sepasang golok. Dan yang seorang bernama Kwe Cing, jago
dari perguruan Hong-lui-bun yang mahir dalam ilmupedang
Hong-lui-kiam-hwat atau ilmupedang Petir-menyambar.
Begitu mendengar perintah Ko Kiat, kedua pengawal
itupun serempak mencabut senjata dan menerjang Huru
Hara. Tring, tring, tring. terdengar dering gemerincing dari
pedang golok yang beradu dengan benda keras, disusul
dengan pekik tertahan dari kedua pengawal itu ketika golok
dan pedang mereka terpental ke udara. Dan ketika masih
tertegun, tahu2 sesosok bayangan setan melesat dan plak,
plak, aduh . . . aduh.....
Kedua pengawal itu menyurut ke belakang sembari
mendekap mulutnya yang berlumuran darah. Lagi2 kakek
kate Cian-li-ji yang gatal tangannya, terus melesat dan
menampar pipi kedua pengawal itu sehingga gigi mereka
sampai putus. Ko Kiat terkejut. Serentak dia berbangkit seraya lari
masuk dan berteriak memberi perintah. Serentak muncullah
seregu prajurit yang siap, dengan busur terentang di tangan.
"Hayo, menyerah atau mati !" teriak seorang perwira
yang menjadi pimpinan regu pemanah itu.
"Paman Cian, ikutilah tindakanku," bisik Huru Hara.
Kemudian dia menjawab ancaman peiwira itu," Aku tak
bersalah mengapa harus menyerah ?"
"Jangan banyak mulut, ini perintah jenderal!" bentak
perwira itu. "Hm, memang benar kata orang. Dibawah pimpinan
jenderal bebodoran, tentu tak ada prajuritnya yang baik.
Tidak, aku takkan menyerah !'
"Panah !" serentak perwira itupun memberi aba-aba.
Serenpak berpuluh-puluh anakpanah segera mencurah
kearah Huru Hara. Tetapi mereka memekik kaget ketika
menyaksikan cara Huru Hara menangkis serangan itu.
Ternyata dengan tangkas Huru Hara telah menyambar
tubuh seorang prajurit yang menggeletak lalu diputar-putar
seperti baling-baling. Puluhan batang anakpanah itu
bersarang ditubuh prajurit malang itu. Sudah tentu barisan
pemanah kesima dan hentikan serangannya.
"Nih, terimalah kawanmu !" Huru Hara me lontarkan
tubuh prajurit itu kearah barisan pemanah. Pada saat
mereka menjerit kaget, Huru Hara sudah melesat untuk
meringkus perwira itu. Dan pada saat yang bersamaan,
sikate Cian-li-ji pun angot lagi penyakitnya,
Wut.. , . sesosok bayangan kecil berkelebat kearah
kawanan prajurit pemanah itu dan plak,"plak, plak"..
aduh".aduh, "aduh ..... terdengar jerit gemuruh dari regu
prajurit pemanah itu karena mulut mereka ditampar orang.
Mereka berdesak-desak mundur sambil mendekap mulut
mereka yang berdarah karena giginya putus.
Cian-li ji gembira sekali karena dapat melampiaskan
kegemarannya menampar pipi atau mulut orang. Makin
banyak yang ditampar, makin puaslah hatinya.
'"Jalan," terdengar Huru Hira membentak pada perwira
kepala regu pemanah yang telah di lingkus dan digusurnya
keluar. Setelah rasa sakitnya berkurang, kawanan prajurit
pemanah itu teringat akan tugasnya lagi. Mereka marah
sekali karena ditampar oleh orang kate itu. Serempak
mereka bersiap merentang busurnya lagi.
"Mau memanah " Boleh, boleh, hayo panahlah !" seru
Huru Hara seraya menghadapkan perwira itu kearah
kawanan prajurit. "Berhenti !" teriak peiwira itu dengan ketakutan karena
tahu dirinya akan dijadikan perisai oleh Huru Hara.
Kawanan pemanah itupun menurut. Dan Huru Harapun
menggusur perwira itu keluar. Prajurit penjaga pintu
terkejut tetapi mereka terpaksa tak berani bertindak karena
perwira itu meminta mereka supaya memberi jalan.
Demikianlah dengan tindakan yang berani, mengamuk
dan meringkus seorang peiwira sebagai sandera, dapatlah
Huru Hara dan Cian-li-ji keluar dari gedung kediaman
jenderal Ko Kiat. "O, apakah yang telah terjadi ?" Wi sin-kay menyambut
kedua orang itu dengan terkejut.
"Mari kita tinggalkan tempat ini. Nanti akan kuceritakan
lagi," kata Huru Hara. Ia lepaskan perwira itu, '"kembalilah
dan sampaikan kepada jenderalmu. Pada satu hari aku akan
menghadapinya lagi untuk minta keterangan mengenai
kirimannya peti yang berisi tanah itu !"
Setelah perwira itu pergi, Huru Hara lalu menderitakan
peristiwa yang dialaminya dengan jenderal Ko Kiat.
"Lalu kemanakah hian-tit hendak pergi sekarang ini?"
tanya Wi sin-kay. "Mencari Bu Te sin-kun untuk merebut Giok-say itu,"
sahut Hura Hara. ==000== II. Blo"on yang blo'on Marilah kita tinggalkan dulu perjalanan Huru Hara yang
hendak memburu jejak Bu Te sin-kun itu. Seperti telah
dikatakan pengemis sakti Wi sin-kay, Bu Te sin-kun itu
seorang tokoh yang misterius. Bagaimana pendiriannya dan
betapa muncul lenyapnya, tak ada orang yang dapat
menduga. Memang tak mudah untuk mencari orang itu
namun Huru Hara bertekad keras untuk menghadapi tokoh
yang membanggakan diri sebagai Bu tek sin-kun atau jago
tanpa tanding. Kita ikuti kisah perjalanan si nona cantik Han Bi Ing dan
pemuda cakap Wan-ong Kui. Keduanya sama tujuan tetapi
beda maksudnya. Sama2 hendak mencari si Blo'on tetapi
lain rencananya. Han Bi Ing hendak menyerahkan surat wasiat dari
ayahnya yang mengatakan kalau Blo'on itu adaIah calon
suaminya. Sedang Wan-ong Kui hendak menuntut balas
dendam kepada Blo"on.
Setelah menyeberangi sungai Tiang-kang, hari itu kedua
muda mudi itu memasuki daerah gunung Lu san. Han Bi
Ing naik dalam kereta, Wan-ong Kui mengawal dengan
naik kuda. Sementara peti hartapun dimasukkan dalam
kereta. Mereka menyewa seorang kusir.
Karena hari panas dan sejak pagi sudah menempuh
perjalanan maka Wan-ong Kui memerintahkan kereta
supaya berhenti beristirahat. Kusir kereta itu bernama Thia
Kim, bertubuh kekar. "Paman Thia," kata Wan-ong Kui membuka
pembicaraan setelah beristirahat dan minum, "sepanjang
perjalanan tampaknya keadaan rakyat makin gelisah.
Apakah tentara Ceng sudah menyeberang sungai Hongho?"
"Kudengar pasukan Ceng sudah mulai mengadakan
persiapan untuk menyerang ke selatan, menggempur kota
Lam-kia. Walaupun daerah ini termasuk barat sungai
Tiang-kiang yang jauh dari daerah peperangan, tetapi
rakyat memang sudah hidup dalam kegelisahan."
"O, apakah musuh sudah merembes ke arah sini?" tanya
Wan-ong Kui pula. "Induk pasukannya memang masih berada di perairan
Hong-ho, tetapi mereka telah mengirim antek2, mata2 dan
cecunguk2 menyusup kedaerah pedalaman untuk mengacau
dengan berbagai cara. Mengadu domba golongan dengan
golongan, pembesar dengan pembesar agar tercipta suatu
iklim kekacauan dan perpecahan. Kemudian mereka
melancarkan anjuran supaya memberontak saja kepada
kerajaan Beng yang sudah jelas diambang kehancuran,
kemudian menggabung pada kerajaan Ceng. Kerajaan Ceng
pasti akan menyambut kedatangan mereka dan tentu akan
memberi pangkat dan kedudukan tinggi kepada mereka
yang mau bekerja kepadanya."
Wan-ong Kui menghela napas, "Negara kacau, memang
segala kutu busuk akan bermunculan untuk ikut
menggerogoti kerajaan."
"Bagaimana rencana kongcu (tuan ) setelah tiba di Louhu-
san nanti?" tanya kusir kereta itu.
"Terus terang, paman," kata Wan-ong Kui, "tujuanku
adalah hendak mencari Kim Blo"on."
"O, Kim Blo"on putera dari Kim Thian Cong tayhiap
itu?" tanya kusir kereta.
"Ya. Kenalkah engkau dengan dia?"
Kusir kereta gelengkan kepala, "Dengan Kim Blo'on aku
tak kenal tetapi aku pernah bertemu dengan Kim Thian
Cong tayhiap. Dia memang seorang pendekar besar yang
harum namanya. Seorang pejuang yang pernah membikin
pusing tentara kerajaan Kim tempo dulu."
Wan-ong Kui menghela napas dalam hati. "Ah, beda
sekali ayah dengan puteranya itu."
"Kongcu, maaf, perlu apakah engkau hendak mencari
Kim Blo'on itu?" tanya kusir Thia Kim.
Wan-ong Kui terkesiap. Setelah diam sejenak dia
merjawab, "Aku hanya mengantar nona itu" Dia adalah
calon isteri Kim Blo'on."
"Calon isteri Blo'on" Ya allah, masakan nona secantik itu
mau dijodohkan dengan Blo'on," kata kusir kereta yang
mengaku bernama Thia Kim itu.
"Menurut keterangannya, sejak kecil nona itu sudah
ditunangkan oleh orangtua mereka," kata Wan-ong Kui,"
dan apakah Blo'on itu tidak cakap?"
"Uh, namanya saja Blo'on, mana ada orang blo'on yang
cakap!" "Eh, paman Thia, jangan menghina orang. Andaikata
aku seorang gadis, biar blo'on kalau aku sudah cinta, aku
tetap mau menjadi isterinya," kata Wan-ong Kui agak
marah. Melihat Wan-ong Kui kurang senang, Thia Kim buru2
menyusuli kata2, "Ah, aku hanya bergurau saja, harap
kongcu jangan marah. Memang jodoh itu sukar dikata. Tak
dapat diukur dengan wajah cantik dan harta. Pokoknya
kalau sudah mau sama mau, biar loyangpun dianggap
emas." Tengah mereka asyik berbicara, tiba-tiba terdengar
desing anakpanah melengking di angkasa. Rupanya
anakpanah itu memang diperlengkapi dengan suituan. Dan
beberapa saat kemudian terdengar gemuruh derap kuda dan
muncullah lima penunggang kuda yang terus mengelilingi
kereta Han Bi Ing. Serempak pula dari balik gerumbul
semak bermunculan beberapa orang. Mereka ternyata
memang anakbuah kelima penunggang kuda itu yang telah
sejak lama bersembunyi dalam gerumbul.
Pemimpin dari kelima penunggang kuda itu, bertubuh
tinggi, rambutnya sudah putih, umur di antara 50-an tahun.
Tetapi mukanya masih berwarna merah segar, sepasang
matanya berkilat-kilat tajam. Yang termuda dari kelima
penunggang kuda itu seorang pemuda berumur 20 tahun
lebih, berwajah putih, alis lebat, tubuhnya gagah.
Kelima orang itu masing2 mengenakan mantel kulit
harimau beraneka warna. Yang paling tua bermantel
harimau gembong, yang kedua bermantel kulit harimau
loreng, yang ketiga bermantel harimau hitam, yang keempat
kulit harimau tutul dan yang kelima si pemuda gagah tadi
bermantel kulit harimau putih.
"Celaka, kongcu, mareka adalah Lu-san-ngo-hou," bisik
kusir Thia Kim. "Bangsa perampok?" tanya Wan-ong Kui.
"Gerombolan penyamun dari dunia Liok-lim yang
termasyhur. Jaman aman saja mereka sudah sering
mengganggu keamanan, apalagi negara sedang kacau
seperti sekarang ini. Di mata mereka seolah tiada beraja
lagi." Yang tertua bermantel kulit harimau gembong segera
berseru, "Mengapa engkau berani, melintasi daerah Lu-san
ini tanpa minta idin kepada kami Lu-san-ngo-hou (lima
harimau gunung Lusan) ?"
Kusir Thia Kim diam saja karena dia tak berani
melancangi Wan-ong Kui. Tetapi ternyata Wan-ong Kui
juga diam tak menyahut. "Hai, apakah kalian tuli ?" teriak lelaki bermantel kulit
harimau gembong itu. Namun Wan ong Kui tetap diam, sedangkan Thia Kim
hanya menunduk. "Kurang ajar, kalian berani tak mengacuhkan aku ?"
teriak lelaki itu pula seraya mencabut cambuk, "kamu hai,
jawab, siapa pemilik kereta itu ?" bertanya kepada Thia
Kim. "Ampun hohan, aku hanya kusirnya. Kongcu inilah yang
berkuasa," kata Thia Kim seraya mengerling mata kearah
Wan-ong Kui.
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hai, anakmuda, mengapa diam saja ?" bentak lelaki itu.
'"Apakah engkau bertanya kepadaku ?" Wan-ong
tenang2 menjawab, "Setan, siapa lagi kalau bukan engkau !"
"Kami berjumlah dua dan engkau tidak menunjuk salah
satu diantaia kami berdua. Haruskah kami berdua
menjawab semua ?" "Ha, ha, ha," diluar dugaan lelaki bermantel kulit
harimun gembong itu tertawa," cantik genit seperti
anakperempuan. Ho, banci, mengapa engkau berani
melalui hutan ini tanpa lapor kepadaku ?"
"Milikmukah hutan ini ?"
"Dunia lioklim (kalangan penyamun) sudah tahu bahwa
daerah Lusan adalah dalam kekuasaan Lu-san-ngo-hou.
Mengingat engkau baru pertama kali ini lewat disini maka
jiwamu kuampuni tetapi kereta itu harus engkau tinggal."
"Tetapi kereta itu tak berisi apa2 kecuali seorang gadis,"
seru Wan-ong Kui. "Itu lebih baik," seru lelaki bermantel kulit harimau
hitam yang umurnya disekitar 35 tahun.
Sejenak berpikir, Wan-ong Kui. menjawab, "Soal itu
akan kurundingkan dulu dengan nona yang berada dalam
kereta." Dia terus menghampiri kereta dan masuk kedalam
gerbong, "Ing-moay, kita dihadang oleh kawanan
penyamun." "Lalu bagaimana." tanya Bi Ing dengan cemas.
"Tak perlu kuatir," Wan-ong Kui menghibur, "rasanya
aku masih sanggup menghadapi mereka. Teiapi karena
mereka berlima, maka dikuatirkan aku sampai tak dapat
meljndungi engkau engkau harus dapat menjaga diri
sendiri." Ia mengeluarkan sebuah kantong kain dan berkata,
"Kantong ini.berisi bubuk Hu-bi-an (bubuk penghancur
kulit). Apabila ada salah seorang yang berani masuk kesini,
tabur saja mukanya tentu hancur."
"Tetapi mengapa tak engkau pakai sendiri " tanya Bi Ing.
"Bubuk itu harus ditaburkan dari jarak dekat dan hal itu
memang tepat untukmu. Karena engkau tak memiliki
ilmusilat. Sudahlah, bubuk ini tentu akan menolongmu,"
kata Wan-ong Kui, lalu menyerahkan kantong itu dan terus
menyelinap keluar. Ia menghampiri kusir Thia Kim dan
berbisik, "Paman Thia, jagalah kereta siocia ini. Kalau aku
sampai terdesak, berusahalah larikan kerata itu dan
lindungilah siocia !"
Setelah memberi pesan Wan-ong Kui segera maju
kehadapan kelima penyamun itu.
"Nona dalam kereta itu ingin tanya, siapakah nama
kalian berlima ini," serunya.
"Aku Macan-gembong Beng Ho," kata lelaki bertubuh
tinggi lalu menujuk berturut kepada keempat kawannya,"
dan ini Macang-loreng Beng Wan, Macan - hitam Beng
San, Macan tutul Beng Gi dan Macan-putih Beng Lok. Dan
siapa namamu ?" "Wan-ong Kui" "Wan-ong Kui " Engkau setan-penasaran " Mengapa
penasaran " Kepada siapa engkau penasaran ?"
"Kepada setiap orang yang jahat, yang suka membunuh,
suka membegal, suka memeras, suka".."
"Cukup!" seru Macan-gembong Beng Ho, jadi engkau
anggap dirimu itu seorang pendekar yang hendak
memberantas kejahatan " Ho, engkau benar2 seorang
pendekar kesiangan yang tak tahu kenyataan. Dunia sudah
kacau, negara rusak, jaman edan. Orang Boan-ceng
merampas kerajaan Beng, raja Beng bersenang-senang
dengan arak dan wanita cantik. Mentri2 dorna sibuk
mengumpulkan harta, jenderal-jenderal giat merampok
tanah dan harta benda rakyat. Mengapa engkau masih
bermimpi menjadi pendekar kesiangan?"
"Suasana, negara dan dunia kacau, bersumber pada jiwa
manusia. Jaman edan, apakah kita harus turut edan" Yang
edan biar edan, tapi yang waras jangan ikut edan. Engkau
mengejekku sebagai pendekar kesiangan karena engkau
pura2 edan dan merasa berhak untuk merampok harta
orang !" "Ho, mengingat engkau seorang lelaki yang cantik, aku
dapat mengampuni. Tetapi bagaimana keputusanmu"
Tinggalkan kereta itu dan engkau boleh pergi atau engkau
mau ikut aku sekalian, juga boleh."'
"Sudah kurundingkan," sahut Wan-ong Kui dan nona
itupun sudah menyerahkan keputusannya kepadaku.
Terserah bagaimana aku akan memutuskan."'
"Bagus, engkau tentu setuju, bukan?"'
'Ya."' "Wah, engkau benar2 seorang pemuda yang baik, pintar
dan tahu gelagat."' "Jangan terburu-buru mengobral pujian dulu.
"Lho, apa lagi?" Macan-gembong Beng Ho terkesiap.
"Yang mengawal kereta itu, bukan hanya aku seorang,
tetapi masih ada seorang kawanku lagi. Aku setuju
menyerahkan kereta itu kepadamu tetapi kawanku tidak
mau." "Setan," seru Beng Ho, "mana kawanmu itu?"
"Ini," tiba2 Wan-ong Kui mencabut pedang dari
pinggangnya." "O, engkau hendak melawan" Ha, ha, ha," Beng Ho
tertawa, "tak nyana kalau seorang pemuda seperti anak
perempuan begitu, berani mempermainkan Lu-san-ngohou.
Masih kuberi kesempatan yang terakhir kepadamu,
lebih baik engkau menyerah saja. Bukankah sayang kalau
pemuda yang secantik engkau akan menjadi mayat
berlumuran darah?" "Apa boleh buat, aku terpaksa harus menuruti kehendak
kawanku ini. Dan belum tentu siapa yang akan menjadi
mayat berlumuran darah nanti."
"Toako, tak perlu banyak bicara dengan pemuda banci
itu. .Kita bekuk saja . . . . "
Baru- Macan-loreng Beng Wan berkata begitu karena tak
sabar lagi mendengar pembicaraan Beng Ho dengan Wanong
Kui, tiba2 terdengar derap kuda berlari dan pada lain
saat muncul dua orang penunggang kuda. Seorang lelaki
tua berumur 60-an tahun dan seorang dara berumur 16-an
tahun. Melihat kedatangan kedua orang itu, berobah!ah
wajah Macan-gembong Beng Ho.
"Ai, Tong loya, telinga kalian benar2 tajam sekali!" seru
Beng Ho. Penunggang kuda lelaki tua itu tertawa hambar, "Apakah
engkau takut kalau tanganku juga panjang?"
Beng Ho tertawa, "Ah, Tong loya bergurau. Masakan
Tong loya juga tertarik akan barang dagangan yang tak
berharga ini" Kuharap Tong loya suka melonggarkan
tangan." Lelaki tua yang disebut Tong loya itu deliki mata, "Kalau
begitu, kalian tak senang atas kedatanganku ini?"
Si dara juga tertawa mencibir, "Harimau itu memang
binatang serakah. Engkong, Macan gembong Beng Ho ini
takut kalau harus membagi hasil kepada kita maka dia
berusaha untuk mengambil muka pada engkong."
Kalau tadi sikap Beng Ho begitu garang terhadap Wanong
Kui, sekarang berhadapan dengan engkong dan
cucunya seorang dara i tu mereka tak berani berkutik.
Bahkan disindir secara terang-terangan oleh sidara, Beng
Ho hanya tertawa, "Ah, mana aku berani begitu terhadap
Tong loya. Kami gembira sekali atas kedatangan Tong loya
dan nona In Hong. Nona In Hong tahun ini kan sudah
berumur 17 tahun, apakah nona sudah mendapat tempat ?"
Drra yang disebut dengan nama ln Hong itu deliki mata,
"Macan-gembong, apakah engkau buta " Urusan yang
penting engkau berusaha menghindar, sekarang mau
menggarap soal diriku. Jangan ngaco belo tak keruan. Apa
engkau kira aku tak berani menampar mulutmu yang lebar
itu ?" Macan-gembong Beng Ho tertawa gelak2, "Nona In
Hong, sekarang ini aku akan bicara soal yang penting.
Kupercaya engkong nona tentu tak memandang mata pada
dagangan sekecil ini. Tetapi karena kalian sudah datang
akupun tentu akan menghaturkan persembahan kepada
kalian, Dan parsembahan kami itu akan kami laksanakan
waktu nona In Hong akan keluar pintu ( menikah ) nanti.
Tetapi ah, ka nona kalian sudah datang kemari akupun
harus menghaturkan persembahan. Kalau banyak aku tak
kuat. Aku hanya kuat menghaturkan Iima ratus taji emas
harap suka terima." Begitu mudah kelima penyamun dari Lusan
menyerahkan sekian banyak uang, jelas betapa besar rasa
takut mereka terhadap kakek dan cucunya itu.
Karena kusir Thia Kim terpisah jauh menjaga di depan
kereta, terpaksa Wan-ong Kui tak dapat bertanya. Ia heran
siapakah orangtua yang disebut Tong loya dan cucunya
yang bernama In hong itu" Mengapa kelima benggolan
penyamun dari Lusan begitu takut kepada mereka" Ah,
Tong loya itu tentu seorang jago yang lihay.
Kembali si dara In-hong tertawa dingin, serunya, "Beng
lo-hou, engkau mengatakan menyambut gembira
kedatangan kami kesini. Tetapi mengapa engkau keluar dari
sarangmu mencari mangsa agak jauh. Apakah itu tidak
berarti kalian hendak menghindari kami?"
Macan-gembong Beng Ho pura2 terkejut, "Ayah kalian
sudah datang ke sarang kami" Maaf, aku tak tahu sehingga
tak dapat menyambut bagaimana mestinya. Nona In,
karena kuatir akan membikin kaget engkong nona, maka
aku mencari mangsa agak jauh. Harap nona jangan salah
faham, karena nona sudah datang maka aku tentu akan
menghaturkan limaratus tail emas itu sebagai sumbangan
apabila kelak nona menikah."
"Uh, siapa mengiler dengan limaratus tail emas itu?"
dengus In Hong. "Kalau begitu, tolong tanya apakah maksud kedatangan
Tong loya dan nona In Hong ini" Aku pasti takkan
mengecewakan pada nona In," kata Beng Ho.
"Benar, aku memang tak mau pulang dengan, kecewa.
Aku tak menghendaki emas tetapi orang!" sahut In Hong.
Beng Ho terkejut, "Engkau menghendaki orang" Siapa?"
"Beng lo-hou, terus terang saja sebenarnya aku malas
keluar. Tetapi karena Hong terus merengek-rengek hendak
melihat mempelai perempuan, terpaksa aku harus
menemaninya." "'Mempelai perempuan yang mana?" Beng Ho makin
heran. "Jangan pura2 tak tahu," lengking In Hong "yang berada
dalam kereta itu apa bukan mempelai perempuan"
Kudengar dia cantik sekali maka aku sengaja datang kemari
hendak melihatnya!" Tiba-tiba angin meniup keras dan kain tenda kereta
itupun tersingkap. Sekalian ormg mencurah pandang.
Tampak dalam gerbong kereta itu seorang nona cantik
tengah duduk dengan tenang. Sedemikian tenang seperti tak
memperdulikan dan mendengarkan apa yang sedang terjadi
di luar. Wan-ong Kui mengira kalau Bi Ing tentu akan terkejut
menyaksikan sekian banyak orang di luar kereta tetapi
ternyata nona itu diam saja.
"Ai, benar2 seorang cantik yang tiada tandingannya.
Engkong, aku suka pada taci itu. Aku ingin mengajaknya
supaya tinggal di rumah kita selama beberapa hari," seru In
Hong. Engkongnya yang bernama Tong Kui Tik, hanya
tertawa, "Ada pengawalnya, engkau harus minta idin dulu
kepada pengawalnya itu. In Hong terus langsung bertanya kepada Wan-ong Kui,
"Engkoh yang baik, aku hendak mengajak taci dalam kereta
itu ke rumahku dan tinggal beberapa hari disana. Engkau
tentu tak keberatan, bukan?"
"Wah, berabe nona." sahut Wan-ong Kui.
"Apanya yang berabe" Dia seorang gadis dan akupun
juga anak perempuan, kita sama-sama wanita, apanya yang
berabe" Hanya kuminta supaya tinggal beberapa hari saja di
rumahku masakan sampai menganggu pernikahannya" Aku
juga dapat mengantarkannya kepada calon suaminya, tak
perlu engkau repot2 lagi. Bukankah engkau akan lebih
ringan bebanmu disamping engkau bakal terlolos dari
ancaman kelima harimau di Lusan sini?"
Sebelum Wan-ong Kui menjawab, rupanya Macan-putih
Beng Lok yang paling muda diantara kelima macan itu, tak
sabar lagi dan terus berseru, "Nona In, kalau engkau mau
ikut dalam perdagangan ini, aku sih tak keberatan. Tetapi
menurut peraturan dalam Rimba Hijau ( dunia penyamun ),
kan ada bedanya antara yang datang dulu dengan yang
datang belakangan." Ternyata si Macan-putih Beng Lok itu telah berobah
pendiriannya. Semula seperti keempat saudaranya, dia
hendak merampas peti uang dalam kereta itu. Tetapi tadi
waktu melihat kecantikan Bi Ing, tergeraklah hatinya. Dia
ingin mendapatkan nona itu sebagai istetinya.
In Hong deliki mata, "Engkau tak setuju bukan?"
Buru-buru Macan-gembong Beng Ho campur bicara,
"Harap nona jangan bergurau. Kita sekarang bicara secara
serius. Lepaskan nona itu dan kami akan menghaturkan
limararus tail emas di tambah lagi dengan limaratus tail
perak. Tetapi harap nona jangan mengganggu kami lagi."
"Siapa ngiler pada emasmu itu ?" In Hong tertawa
mengejek, "Aku hendak mengajak nona pengantin itu
pulang, nanti aku akan kembali kesini memberimu
limaratus tail emas. Jangan engkau campur tangan lagi."
"Ah, tidak bisa." seru Macan-putih Beng Lok, "manusia
mempunyai muka dan pohon punya kulit. Kalau dagangan
yang diurus keluarga Beng sampai direbut orang ditengah
jalan, kelak bagaimana kami dapat berdiri di dunia
persilatan lagi" Toako, jangan menerima !"
Bukan karena Macan-putih Beng Lok tak tahu betapa
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lihaynya jago tua Tong Kui Tek itu, tetapi dia
memperhitungkan, jika dia berlima saudara maju
menempur kakek dan cucunya itu, tentulah dapat
menghadapi. Pada saat suasana memuncak dalam ketegangan,
sekonyong-konyong terdengar pula suara ringkik kuda dan
kembali seorang penunggang kuda muncul.
Dia seorang lelaki berumur 30-an tahun, dandanannya
seperti seorang sasterawan, tangannya mencekal sebatang
kipas. "Mana mempelai perempuannya " Aku juga ingin lihat,"
selekas datang dia terus nyelonong bicara.
Saat itu kusir Thia Kim sedang membenahi tenda kereta
untuk ditutup lagi. Tetapi mata sasterawan yang celi itu
sudah dapat melihat Bi Ing yang cantik.
"Bagus" dia serentak berseru gembira: "banyak sudah
nona dan gadis kota yang kulihat, tapi jarang sekali sepeiti
nona mempelai yang berada dalam kereta itu. Benglo-hou
(macan tutul Beng), kuberimu seribu tail emas dan kasihlah
mempelai cantik itu kepadaku !"
"Kentut!" Macan-gembong Beng Ho marah "apakah
engkau hendak menghina aku " Pergilah engkau tukang
petik bunga. Dalam lingkungan seratus li dari lembah limamacan
ini, jangan engkau berani campur tangan !"
Sastrawan yang berwajah pucat itu berkipas seraya
tertawa, "Macan tua Beng, jangan pura2 suci. Kalau engkau
menghendaki harta dan orang engkau pasti akan menggigit
jari. Lebih baik engkau yang mendapat uang dan aku
sicantik itu. Dengan begitu kita masing2 mendapat hasil,
apa tidak enak ?" Sebenarnya Macan-tua Beng Ho itu takut kepada
sasteravvan pucat. Andaikata jago tua Tong Kui Tek tidak
berada disitu, tentuiah dia akan berunding untuk tawar
menawar dengan sasterawan berwajah pucat itu. Tetapi
karena sekarang dihadapan Tong Kui Tek, sudah tentu
Beng Ho| menjaga gengsi. "Rase buduk, apa engkau tak tahu peraturan Rimbau
Hijau " Jelas engkau takan mendapat bagian dari
perdagangan ini!" "Tetapi aku tetap hendak minta bagian, engkau mau apa
?" sasterawan berwajah pucat itu tertawa menyeringai.
Sebelum Macan-gembong Beng Ho menjawab,, si dara
In Hong sudah menyelutuk, "Orang she San, boleh saja
engkau hendak ikut minta bagian tetapi engkau harus
menyerahkan suatu barang !"
Sasterawan berwajah pucat itu bernama Sun Kian,
seorang Don Yuan tukang merusak wanita atau istilahnya
dalam dunia persilatan disebut Jay- hoa-cat (penjahat
tukang petik bunga). Dia memiliki ilmu menutuk jalan
darah yang lihay serta tenaga-dalamnya juga tinggi, tetapi
karena terlalu mengumbar nafsu dengan wanita, mukanya
jadi pucat seperti mayat. Senjatanya adalah kipas. Kipasnya
itu bukan kipas biasa tetapi kerangkanya dari baja dan
daunnya juga dari plat baja yang tipis. Dapat digunakan
untuk menutuk jalan darah lawan. Thiat-san-jay-hoa-seng
atau Sastewan kipas-besi-pemetik-bunga, demikian orang
persilatan memberinya julukan.
Sun Kian tertawa, "Barang apa " Kalau engkau nona In
Hong yang minta, sekalipun bintang di langit, tentu akan
kupetikkan." Dara In Hong tertawa dingin, "Bintang untuk penghias
langit, menerangai bumi. Tak perlu bagiku. Cukup aku
minta sepasang gundu matamu saja. Lekas, koreklah sendiri
!" Sun Kian tertawa, "Ah, nona In, mengapa minta yang itu
" Kalau tak punya gundu mata bagaimana aku dapat
menikmati wanita cantik " Perlu apa aku harus hidup lagi "
Nona In, permintaanmu itu terlalu tinggi. Minta saja yang
lain, aku pasti akan melakukan."
"Sudah kukatakan aku tak butuh apa2 lagi. Uang dan
mainan sudah cukup banyak. Hanya gundu mata itu yang
belum punya." "Jangan bergurau nona In !"
"Siapa yang bergurau ?" sahut In Hong lalu berseru,
"engkong, dia tak mau mengorek biji matanya, sendiri.
Terpaksa kita harus mengoreknya. Engkong yang turun
tangan atau aku saja ?"
-oodwoo- Jilid: 07 Hiruk pikuk. Mendengar kata2 dara In Hong, sekalian orang tampak
tegang, terutama sasterawan mata ke keranjang itu.
Tong Kui Tek, engkong dari si dara, berkata tenang",
"Tak perlu terburu-buru, dia kan belum turun tangan!"
Dengan kata2 itu Tong Kui Tek hendak memberi
peringatan bahwa apabila Sun Kian berani bertindak, Tong
Kui Tek tentu akan mengorek biji matanya.
Sasterawan tukang merusak wanita tenang2 saja
bersenyum. Tetapi sebenarnya dalam hati dia juga gentar
dan tak berani bertindak lebih lanjut.
Wan-ong Kui telah memperhitungkan situasi luar itu.
Kawanan begal dan penjahat itu tentu akan saling berebut.
Dia harus gunakan akal untuk mengadu domba mereka.
"Hm, apakah kalian anggap kereta itu milik kakek
moyang kalian?" serunya dengan geram, "masakan
seenaknya sendiri saja kalian mengadakan pembagian rejeki
seolah-olah harta dan nona dalam kereta itu sudah menjadi
milik kalian?" Macan-gembong Beng Ho tertawa gelak2, "O, engkau
mengira engkau masih berhak memiliki barang yang engkau
antar itu?" "Aku yang mengantar, aku yang bertanggung jawab,"
sahut Wan-ong Kui dengan marah, "kalau kalian hendak
merampok, harus tanya dulu pada pedangku ini apakah
mau menyerahkan atau tidak kepada kalian!"
"Uh, yang punya kewajiban, rupanya mulai unjuk gigi.
Lalu bagaimana kita?" Tong Kui Tek tertawa.
"Karena aku yang datang lebih dulu maka aku yang akan
menghadapi pengawal itu," kata Macan-gembong Beng Ho,
"Tong loya, kalau aku sampai rubuh, baru nanti engkau
yang maju!" Dengan kata2 itu Beng Ho menyatakan bahwa menurut
peraturan dunia Rimba Hijau, yang datang lebih dulu, dia
yang berhak pada barang itu.
Tong Kui Tek tertawa gelak2, "Bagus, memang dengan
cara itu, kita tak saling merusak persahabatan. Sun laute,
engkau harus antri di belakangku. Kalau nanti aku kalah,
barulah engkau yang maju !'
Sebenarnya Sun Kian tak puas diatur begitu. Pengawal
kereta itu hanya seorang pemuda yang cakap seperti anak
perempuan. Tentu mudah bagi kelima harimau Lusan
untuk mengalahkannya. Dan kalau kelima harimau itu
menang, mereka tentu akan minta bagian yang paling
banyak. Kalau soal harta, itu sih boleh saja, terserah kalau
diambil mereka semua. Tetapi kalau mereka juga akan
mengambil mempelai perempuan, ah, dia pasti akan
menggigit jari. Dan diapun tahu bahwa di kalangan kelima
macan Lusan itu, Macan-putih Beng Lok juga paling gemar
akan paras cantik. Hampir saja Sun Kian hendak menentang ucapan Tong
Kui Tek tetapi tiba2 terlintas dalam pikirannya, "Ah, dara
cucu Tong Kui Tek itu juga menghendiki si mempelai
perempuan tak mungkin dia akan menyerahkan begitu saja
kepada ke lima harimau Lusan. Hm, biarlah aku menerima
saja. Kalau lelaki tua dengan si dara itu nanti ribut dan
bertempur dengan kelima macan Lusan, mereka tentu akan
sama2 menderita luka. Pada waktu itulah aku baru turun
tangan untuk membereskan mereka semua. Tetapi kalau
sekarang aku menentang tentulah aku yang akan bertempur
deng an kelima macan Lusan itu."
Demikian setelah memperhitungkan untung ruginya,
akhirnya Sun Kian mengangguk tanda setuju.
"Nah, kalau begitu silakan saja engkau maju, macan
tua," seru In Hong. "Jangan kuatir, nona In," sahut Beng Ho, "kalah atau
menang aku tetap akan mempersembahkan limaratus tail
emas kepadamu." Habis berkata dia terus hendak maju tetapi Macan-hitam
Beng San cepat maju, "Toako, menghadapi pemuda
semacam itu, tak perlu toako yang maju, cukup serahkan
aku saja," katanya seraya mendahului melangkah
kehadapan Wan-ong Kui. "Wan-ong Kui, apakah engkau benar2 tak mau
menyerahkan kereta itu ?" serunya.
"Aku sih boleh2 saja tetapi sayang pedangku ini tak suka
dengan tingkah laku manusia2 yang tak tahu undang2."
"Ha, ha, undang-undang " Kerajaan sudah mengungsi ke
selatan, dimana-mana kacau. Mana ada undang-undang
lagi ?" "Justeru karena kacau kita wajib menjaga undangundang.
Baik atau buruk, kerajaan Beng adalah negara kita.
Sebaik-baiknya raja Ceng, tetapi dia orang asing maka lebih
baik raja Beng. Dengan perbuatanmu mengacau undang2
ini, berarti engkau membantu orang Ceng yang hendak
merampok negeri kita itu !"
"Persetan raja Beng atau raja Ceng. Sudah berpuluh
tahun aku tinggal di daerah ini, hidup dan mendapat makan
disini. Daerah ini adalah daerah kami, kekuasaan kami.
Kamipun mempunyai undang2 sendiri di daerah ini."
"Sudahlah, jangan banyak mulut." bentak Wan-ong Kui,
"kalau engkau mampu mengalahkan pedangku ini, baru
nanti erigkau boleh bicara lagi!"
"Lihat golok !" Beng San segera melayangkan golok
menabas kepala Wan-ong Kui. Tetapi Wan ong Kui cepat
menyelinap ke samping dan menabas lengan orang.
Macan-hitam Beng San terkejut. Cepat2 dia tarik
goloknya tetapi diluar dugaan Wan-ong Kui lepaskan
sebuah tendangan yang tepat mengenai lengan Beng San.
Jago ketiga dari kelima Macan Lusan itu tak mengira kalau
lawan memiliki jurus yang sedemikian hebat. Dan diapun
menyesal mengapa tadi hanya menarik pulang goloknya
dan tak mau loncat mundur.
Tring..... Golok mencelat ke udara. Sesosok tubuh melesat maju,
menyambar golok dan berseru, "Sam-le, terimalah golokmu
dan silakan mundur. Biar aku yang menghadapi pemuda
cengeng ini !" Yang maju itu adalah Macan-loreng Beng Wan jago
kedua dari Lu-san-ngo-hou. Dia bersenjata sepasang
gembolan atau besi bundar sebesar buah kelapa yang
berduri tajam dan memakai tangkai. Setiap gembolan besi
itu tak kurang dari limapuluh kati beratnya. Sepasang
gembolan besi itu disebut Song-thiat-jui. Sebenarnya sudah
jarang sekali orang persilatan yang menggunakan senjata
seberat itu. Tetapi Macan-loreng Beng Wan senang
memakai senjata itu karena berat dan perkasa.
Lo-cia-hian-si atau dewa Lo-cia-mempersern bahkanpermainan,
demikian jurus yang dimainkan Beng Wan
ketika membuka serangan kepada Wan-ong Kui. Sepasang
gembolan itu menderu-deru laksana dua ekor harimau yang
berkejar-kejaran uutuk menerkam mangsa, Hebatnya bukan
kepalang, anginnya sampai mengeluarkan bunyi seperti
prahara. Wan-ong Kui terkejut akan kesaktian tenaga Beng Wan.
Walaupun ia memiliki po-kiam (pedang pusaka) yang dapat
menabas segala besi logam, tetapi ia tak mau sembarangan
adu kekerasan dengan lawan yang bertenaga hebat itu.
Ia tahu bagaimana harus menghadapi lawan, yang
bertenaga kuat itu. Hoa-gui-hong-u atau Bunga-mekarkumhang-
menari, maka berlincahan ia mengelilingi lawan.
Menghindari setiap kemung kinan adu senjata, mencuri
kesempatan pada setiap kemungkinan untuk balas
menyerang. Rupanya sasterawan berwajah pucat Sun Kian yang
mengikuti jalannya pertandingan itu, diam2 cemas. Dengan
Macan-loreng saja kemungkinan pemuda Wan-ong Kui itu
sukar untuk menang, dan andaikata menang, masih ada
Macan-gembong Beng Ho, Macan-tutul Beng Gi dan
Pedang Kayu Harum 21 Pedang Abadi Zhang Seng Jian Serial 7 Senjata Karya Khu Lung Kasih Diantara Remaja 1
"Ya, kutahu," kata nona itu, "seharusnya engkaupun
sudah tahu juga siapa pembanuhnya itu."
"Imam tua tadi ?"
"Yang dekat hanya engkau dan dia. Kalau engkau tidak,
tentulah imam itu !"
"Siapakah imam itu ?"
"Tanya saja kepadanya !" sahut si nona.
Huru Hara menyeringai, '"Mengapa dia mem bunuh
kedua orang ini ?" "Untuk menghapus jejak," sahut si nona dengan tenang,
"dia adalah orang yang berkepentingan dengan pesanan dua
lusin anak kepada ciangkui itu."
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Menduga saja," sahut si nona, "apa engkau mempunyai
pendapat lain?" Huru Hara diam sejenak, kemudian berkata, "Dia tadi
juga mendorong aku. Memang tangannya memancarkan
arus tenaga yang panas sekali."
"Engkau harus hati2 dia seorang jago ilmu pukulan yang
hebat." si nona memberi peringatan.
"Baik," sahut Huru Hara, "eh, mengapa engkau memberi
bantuan kepadaku ?" "Kalau engkau tidak merampas bak-pau yang kupesan
tadi, kemungkinan aku tentu makan bak-pau yang
menjijikkan itu. Aku hanya membayar kebaikanmu tadi,"
kata nona itu kemudian menggamit Ah Liu.
"Bung, maafkan kurang-ajarku tadi menampar engkau,"
Ah Liu menghaturkan maaf kepada Huru Hara.
"Tak perlu urusan sekecil itu engkau harus minta maaf.
Masih banyak urusan besar yang akan menimpa kita," kata
Huru Hara. "Ya, benar," tiba2 Cian-li-ji menyelutuk, "makanya jadi
anak perempuan jangan galak2."
Ah Liu cemberut tetapi si nona tersenyum Ia senang
karena bujangnya itu ketemu batunya.
"Sampai jumpa," kata nona itu seraya melangkah pergi
diikuti Ah Liu. Huru Hara terlongong. Sebenarnya ia masih ingin
bertanya lagi. Tetapi apa boleh buat, tak-baik mengganggu
orang terutama gadis. "Panggil seluruh kawanmu !" perintah Huru Hara kepada
pelayan Ah Sing yang masih tegak dengan tubuh gemetar.
Tak berapa lama belasan pelayan dan tukang masak
berjajar-jajar menghadap Huru Hara.
"Sebenarnya rumahmakan ini hendak kubakar," kata
Huru Hara, "tetapi mengingat kalian tentu kehilangan
pekerjaan dan orang2 masih membutuhkan adanya sebuah
rumahmakan ditempat ini maka rumahmakan ini biar tetap
buka. Siapa keluarga ciang-kui ?"
Seorang wanita gemuk maju, "Aku isterinya."
Huru Hara terkesiap melihat tubuh wanita yang begitu
gemuk, "Hai, tukang masak," serunya, "apakah sudah lama
nyonya ini menjadi isteri majikanmu?"
"Baru dua tahun, hohan."
"Baru dua tahun" Bukankah ciang-kui itu sudah setengah
tua" Apakah dia baru menikah sekarang?"
"Tukang masak gelengkan kepala, "Sudah beberapa
kali." "O, apakah isteri2 itu diceraikan semua?"
"Ciang-kui memang gemar menikah. Maklum dia orang
kaya, setiap kali tentu cari gadis yang masih perawan.
Biasanya dia senang mengambil gadis dari keluarga miskin,
syukur yang sudah sebatang kara."
"Lalu kemana mereka itu sekarang?"
"Mati semua!" "Mati?" '"Ya, paling lama tiga tahun, isteri2 itu tentu meninggal."
"Setan!"' tiba2 Huru Hara mencekik leher baju si tukang
masak, "'katakan yang jujur, apa sebab isteri2 itu mati
semua?" '"En . . . tahlah," kata tukang masak gemetar, yang jelas
setiap isterinya tentu bertubuh gemuk.
"Dimana kubur mereka!" Huru Hara makin tegang. Ia
makin curiga. "Setiap kali seorang isteri mati tentu ada orang yang
datang mengambil untuk dibawa pulang ke kampungnya.
Tetapi besoknya, kami tentu menerima karung berisi
potongan daging manusia .... "
"Setan engkau . . . ! " tiba2 karena marah, Huru Hara
telah mendorong tukang masak itu. Bluk .... dorongan yang
dilakukan biasa saja itu ternyata akibatnya mengejutkan
sekalian orang. Tukang masak itu terlempar sampai dua
tombak dan tepat membentur tiang besar. Dia menjerit
ngeri dan terus rubuh lunglai karena tulang punggungnya
pecah dan nyawanya amblas.
Ngeri sekalian orang menyaksikan tenaga Huru Hara
yang sakti itu. Kawanan tukang masak dan pelayan2
rumahmakan itu serta merta berlutut minta ampun,
"Hohan, ampunilah jiwa kami. Kami benar2 tak tahu
tentang perbuatan majikan kami."
Huru Hara berkata kepada isteri ciang kui, "Hm, untung
engkau tak keburu dijagai oleh suamimu!
Perempuan itupun berlutut menghaturkan terima kasih.
Huru Hara memberi perintah supaya rumah di kebun
belakang itu dibakar dan semua alat2 dan perabot dapur
dibuang, diganti baru "Nyonya, engkau boleh melanjutkan usaha rumahmakan
ini. Tetapi ingat, kalau lain kali aku datang kemari, kalian
masih melakukan perbuatan terkutuk itu, kalian semua
akan kubunuh!" Isteri pemilik dan segenap karyawan rumahmakan
berlutut dan berjanji akan melaksanakan perintah Huru
Hara. "Paman, mari kita pergi!" Huru Hara terus melangkah.
Tetapi dia terkejut ketika di jalan tampak beberapa orang
yang siap bertempur. Dan lebih terkejut ketika yang akan
bertempur itu ada lah nona bercadar beserta bujangnya Ah
Liu. Nona dan bujangnya itu dihadang oleh tiga orang
lelaki. Salah seorang adalah yang marah kepada Ah Liu dan
hendak melemparkan dara itu tetapi sebelum sempat
melaksanakan niatnya, tiba2 tangannya melentuk tak dapat
digerakkan tadi. Huru Hara dan Cian-li-ji cepat menghampiri, "Nona,
kenapa ini?" tegurnya.
"Menyingkirlah, ini bukan urusanmu!" bentak nona
bercadar itu. "Hayo, kasih tahu namamu. Aku tak pernah membunuh
seorang tanpa nama apalagi seorang budak perempuan,"
seru lelaki yang mukanya tersiram bubur tadi.
"Apa tujuanmu menghadang aku" Hendak mengajak
bertempur atau tanya nama?" sahut si nona bercadar.
"Hm, jangan kira aku tak tahu ilmu kepan daianmu Tanci-
sin-kang itu," seru orang itu pula, "tetapi mengapa tanpa
hujan tanpa angin engkau menyerang aku dengan ilmu itu?"
"Nona ini," sahut si nona bercadar, "adalah kawanku.
Mengapa hendak engkau lemparkan semaumu sendiri
saja?" "Dia menabrak mejaku sehingga mukaku sampai
terlumur bubur panas.?"
"Tapi dia tak sengaja. Dia juga terdorong ke belakang!'"
"Siapa yang mendorongnya?"
"Tak perlu cari lain urusan. Batasi saja sampai persoalan
kawanku ini!" "'Hm, anak perempuan, jangan bicara seenakmu
terhadap aku. Tahukah engkau siapa kami bertiga ini?"
"Tak ada gunanya mengetahuinya!"
"Hm, rupanya engkau menganggap dirimu sudah jagoan
yang tiada tanding," kata lelaki itu, "aku bersedia
menghabiskan perkara ini dengan dua syarat."
"Terserah." "Budak perempuan itu harus berlutut dihahapanku minta
maaf Dan kedua, engkau harus membuka kain cadar dan
memperlihatkan wajahmu yang sebenarnya!"
"Kentut busuk!"' tiba2 Ah Liu berteriak, "siapa sudi
minta maaf kepadamu"''
"Hm, budak liar, kalau tak merasakan tanganku, engkau
tentu masih nengil," tiba2 salah seorang dari ketiga lelaki
itu, melangkah maju. Rupanya Ah Liu juga panas hatinya karena dimaki
budak liar itu. Dia loncat menyongsong ke muka. "Huh,
engkau mau menghajar aku " Akan kurobek mulutmu yang
lebar itu !" Memang orang itu bermulut lebar, hidung mekar dan
mata besar dengan alis lebat. Dia bernama Ciok Kui
bergelar si Tangan- bubrah. Dia berlatih ilmu Thiat-satciang
atau pukulan Pasir-besi. Kalau pukulannya mengenai,
tubuh lawan tentu mlonyoh seperti dibakar. Dan kalau
mencengkeram, tubuh lawan yang dicengkeram itu akan
rusak atau bubrah. Tak diketahui berasal dari perguruan
mana, hanya yang jelas dia. seorang tokoh hitam yang
terkenal di daerah utara.
Nona bercadar terkejut. Namun untuk mencegah sudah
tak keburu lagi. Diam2 dia bersiap untuk memberi
pertolongan di saat yang diperlukan, "Hm, budak itu
memang bernyali besar. Tetapi dia memang berbakat dan
giat sekali berlatih silat," katanya dalam hati.
"Setan engkau !" Ciok Kui terus loncat menerkam, la
ingin dara itu menangkis dan pada saat itu dia hendak
merobah menjadi cengkeraman.
"Bagus mulut besar," seru Ah Liu seraya song-songkan
tangannya menangkis. "Budak edan," maki Ciok Kui dalam hati. Cepat dia
tebarkan tangan hendak mencengkeram.
"Uh......," tiba2 dia menjerit kaget ketika tiba2 Ah Liu
juga menebarkan tinju, telunjuk jarinya menutuk telapak
tangan lawan. Di tengah telapak tangan terdapat sebua jalandarah yang
disebut Lau-kiong-hiat. Apabila jalandarah itu tertutuk,
tentu tenaga ilmu kepandaiannya akan merana alias hapus.
Itulah sebabnya maka Ciok Kui menjerit dan loncat
mundur. "Ih, mengapa mundur ?" ejek Ah Liu seraya
menertawatakan. Ciok Kui marah sekali. Dihadapan kedua kawannya,
dalam gebrak pertama saja dia sudah hampir menderita
kerugian dari seorang dara yang tak dikenal. Dengan
sebuah gerak Tok-coa-tho-sin atau Ular-beracunmenjulurkan-
lidah, kedua tangannya bergerak cepat.
Tangan kanan memagut (menutuk) mata Ah Liu dan
tangan kiri meremas buah dada.
"Bajingan !" teriak Ah Liu karena marah atas perbuatan
lawan yang cabul itu. Dengan berani, dara itu menggunakan jurus Kim-tiau tian-ki atau Elang-emasmerentangsayap.
Secepat kilat dia menebas tangan lawan yang hendak menutuk matanya. Tetapi Ciok Kui juga hebat. Ternyata gerakan tutukannya itu hanya suatu siasat. Secepat Ah Liu hendak menebas, diapun segera mengganti pukulan dengan
cengkeraman, menerkam tangan Ah Liu.
Ah Liu terkejut. Cepat dia mengirim tendangan. Uh.....,
Ciok Kui masih dapat berkisar ke samping dan kini
melanjutkan cengkeramannya ke bahu dara itu.
Dalam kedudukan kaki kanan sedang menendang dan
bahu terancam terkaman Ah Liu ternyata masih dapat
meloloskan diri. "Ah....." mulut Ciok Kui mendesis kejut ketika tubuh
dara itu melambung ke belakang dalam jurus Kek-cu-hoansim
atau Merpati-membalik-tubuh. Dara itu melakukan
sebuah gerak salto ke belakang dengan indah sekali.
"Hm, ilmu gin-kangnya maju sekali," kata nona bercadar
dalam hati ketika menyaksikan gerakan Ah Liu.
Kini kedua orang itu terlibat lagi dalam serangmenyerang
yang hebat. Ciok Kui memang hebat sekali.
Pukulannya keras dan memancarkan hawa panas. Tetapi
betapapun dia hendak menyerang namun tetap tak mampu
menyentuh tubuh Ah Liu. Dara itu bergerak gesit sekali.
Ciok Kui makin marah. Dia malu sekali dihadapannya
kedua kawan, tak mampu mengalahkan seorang dara saja.
Apabila hal itu sampai tersiar keluar, dia tentu tak dapat
berdiri lagi dalam dunia persilatan.
"Budak perempuan ini harus kuhancurkan," Ciok Kui
membulatkan keputusan dan segera dia salurkan tenagadalam
ke tangannya. "Ah Liu, awas, dia mengeluarkan pukulan beracun,
jangan ditangkis," nona bercadar cepat berseru memberi
peringatan kepada Ah Liu sesaat melihat telapak tangan
Ciok Kui berwarna merah. Ah Liu memang memperhatikan juga telapak tangan
lawan yang kemerah-merahan itu. dia segera merobah
permainannya dan mengeluarkan ilmusilat Co-kut-hun-kinkang
atau pukulan Menggeser- tulang- mencerai- urat.
Lelaki yang beralis tebal dan tubuh tegap, segera berseru
pelahan, "Ah, ilmu pukulan Co-kut-hun-kin-kang dari
perguruan Kun-lun-pay."
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dia tak mau memberi peringatan kepada
kawannya yang sedang bertempur itu. Dia segan untuk
menyinggung perasaan orang. Begitu pula dia takut
ditertawakan Ah Liu karena memberitahu kepada
kawannya. Sedangkan si nona bercadar juga diam2 ter kejut, "Ah,
budak itu baru setengah tahun kuberi ajaran ilmu itu. Dia
tentu belum mahir." "Mampus engkau!" bentak Ciok Kui seraya menghantam
kepala Ah Liu. Tetapi seketika itu diapun mendesuh kaget
ketika Ah Liu menghindar kesamping dan sebelum ia
sempat merobah kekedudukannya, tiba2 ia rasakan iga
dibawah ketiak kanan tertusuk benda dan seketika itu
rasanya seperti terkena aliran listrik sehingga lengannya
mengencang kaku tak dapat digerakkan. Plak .... plak ....
Terdengar dua buah tamparan. Yang satu berasal dari
tangan Ah Liu yang menampar si mulut lebar Ciok Kui
sehingga dua buah giginya rontok. Tetapi berbareng itu
lelaki beralis tebal tadipun sudah loncat dan menampar
bahu Ah Liu sehingga Ah Liu terhuyung-huyung beberapa
langkah. "Bangsat, engkau curang!" sesosok tubuh serempak
melayang ke tengah medan dan menuding lelaki beralis
tebal itu. "Ho, kalau aku benar2 mau menghantar kawanmu itu,
dia tentu sudah remuk. Aku hanya menampar bahunya
supaya jangan keliwat menghina kawanku," sahut lelaki
beralis tebal itu. Cian-li ji terkejut ketika melihat Ah Liu sempoyongan
dan jatuh terduduk di tanah. Cepat dia menghampiri
hendak memberi pertolongan, "Anak perempuan,
minumlah arakku ini menyodorkan botol araknya.
Ah Liu deliki mata lalu meram dan duduk bersila untuk
menenangkan darah dalam tubuhnya yang bergolak keras.
"Ih, budak perempuan ini memang keras kepala. Arakku
ini mengandung kolesom yang berkhasiat tinggi untuk
memulihkan tenaga," Cian-li-ji bersungat-sungut.
"Tapi jangan takut, anak perempuan," katanya pula,
"kalau engkau menampik arakku, berarti engkau suruh aku
membalaskan kekalahanmu kepada orang itu. Baiklah....."
tanpa menunggu jawaban, kakek kate itu terus maju ke
tengah gelanggang. Karena lelaki beralis tebal sudah
berhadapan dengan si nona bercadar maka dia mencari
lelaki yang mukanya berlumur bubur hangat tadi.
"Hayo, engkau harus menerima tamparanku," teriak
Cian-li-ji terus maju menampar. Sudah tentu orang itu
marah. Dia menghindar dan balas menyerang.
"Bujangmu si kate itu sungguh berandalan sekali," seru
lelaki beralis tebal kepada nona bercadar.
"Dia bukan bujangku!" bentak nona bercadar.
"Lho, mengapa dia menyerang kawanku."
"Jangan banyak mulut! Biar mereka membereskan
urusannya sendiri, engkau dengan aku!" bentak nona
bercadar. "Menilik kawanmu tadi pandai silat, engkau tentu juga
seorang li hiap. Siapa namamu?"
"Kita bertempur apa berkenalan" Kalau bertempur akan
kulayani tetapi kalau mau cari tahu nama. pergilah!"
"Baik,.. sahut lelaki itu, "'engkau tentu seorang
persilatan. Tentulah engkau pernah mendengar nama Tuihong-
pian (Ruyung angin puyuh) Gak Si Bun yang
termasyhur di dunia persilatan itu, bukan?"
"Peduli apa!" "Akulah Gak Si Bun itu. Jika engkau kenal selatan,
lekaslah engkau menjurah dan minta maaf. Mengingat
engkau seorang gadis, akupun dapat memberi ampun.
Tetapi kalau engkau tetap berkeras kepala, hm . . . . "
"Hm, bagaimana" Kalau aku takut, masakan aku berdiri
disini!" "Baiklah, akan kujajal sampai dimana keli-hayan murid
perguruan Kun-lun-pay itu!" seru Gak Si Bun.
Nona bercadar terkejut dalam hati namun dia tetap
bersikap tenang, "Hayo, mulailah!"
Gak Si Bun ingin menjajal dulu sampai dimana
kepandaian nona itu. Apabila memang lihay, barulah dia
nanti menggunakan pian atau ruyung.
Thui-jong-ong-gwat atau membuka-jendela-memandangrembulan
adalah jurus pembukaan yang dilakukan Gak Si
Bun. Maksudnya apabila lawan bergerak, dia terus hendak
mengganti dengan lain jurus.
Tetapi ternyata nona beicadar itu tenang2 saja. Terpaksa
Gak Si Bun lanjutkan serangannya. Tepat pada saat tangan
Gak Si Bun hampir menyentuh dada lawan, nona bercadar
itu kisarkan tubuh dan secepat kilat menujuk jalandarah
Jiok-ti-hiat pada persambungan lengan orang.
"Uh?"..," Gak Si Bun terkejut dan cepat menarik
lengannya. Tetapi dia tetap rasakan lengan kanannya
kesemutan, "Tan-ci-sin-kang ..." serentak dia teringat akan
ilmu tutukan jari sakti dari nona itu. Kawannya yang
mukanya terpopok bubur panas tadi, juga menderita ilmu
Tan-ci-sin-kang dari nona bercadar itu.
Tan-ci-sin-kang atau selentikkan jari sakti, merupakan
gerakan jari yang dilambari dengan tenaga-dalam. Jika Biatgong-
ciang atau pukulan membelah-angkasa, merupakan
pukulan tenaga-dalam yang dilontarkan dari jauh, pun ilmu
Tan-ci-sin-kang itu merupakan tutukan jaii dari jarak jauh.
Walaupun nona bercadar itu belum mencapai tataran
tinggi dalam ilmu Tan-ci-sin-kang, tetapi karena jaraknya
begitu dekat, walaupun tidak mengenai lengan tetapi
anginnya cukup tajam sehingga membuat jalandarah Jiokti-
hiat lengan Gak Si Bun kejang.
"Masih dilanjutkan ?" dengus si nona bercadar.
Marah wajah Gak Si Bun. Dia lengah dan agak
memandang rendah pada si nona bercadar akibatnya dalam
gebrak pertama saja dia sudah menderita kerugian. Lengan
kanannya lunglai. "Ya," sahutnya seraya mencabut ruyung dari
pinggangnya. Ruyung itu lemas seperti ikat pinggang tetapi
setelah digentakkan maka menjadi panjang sampai
setombak panjangnya, Ruyung itu terdiri dari tujuh ruas.
diberi alat yang dapat menyurut dan menjulur. Jit-aat-tuihong-
jjian atau Ruyung-angin-puyuh-tujuh-ruas, demi kian
nama ruyung itu. Terbuat dari baja lemas yang tahan
ditabas senjata tajam. Nona bercadar itu terkesiap. Dari gurunya ia mendapat
pengetahuan bahwa ruyung itu merupakan senjata lemas
yang amat berbahaya. Orang yang menggunakan senjata
ruyung tentu memiliki tenaga-dalam yang hebat. Nona itu
pun segera mencabut pedangnya.
Sring.... mulailah ruyung berhamburan melayang kearah
nona bercadar. Anginnya memancarkan bunyi yang
mendesing tajam sekali. Dalam beberapa saat saja nona
bercadar sudah terkurung oleh sambaran ruyung. Memang
sesuai sekali ilmu permainan ruyung Tui-hong-pian itu
dengan kenyataannya. Nona bercadar itupun tak berani lengah. Dia segera
keluarkan permainan ilmupedang simpanannya yang
disebut Hui-eng-hwe-suan-kiam-hwat atau ilmupedang
Burung Elang-berputar-melayang-layang.
Pedang memang merupakan senjata yang paling sukar
dipelajari tetapipun paling berbahaya. Ilmupedang Burungelang-
berputar-melayang-layang itu mengutamakan
kelincahan dan kecepatan. Waktu dimainkan oleh nona
bercadar maka tampaknya segulung sinar putih yang
berputar-putar menyambar kian kemari, merobek-robek
kepungan sinar ruyung. "Bagus, bagus !" seru Cian-li-ji sembari bertepuk tangan
memuji adegan pertempuran itu.
"Apanya sih yang bagus ?" lengking Ah Lui
"Pertempuran itu," sahut Cian-li-ji, "tetapi sayang....."
"Apanya yang sayang ?" kembali Ah Liu meladeni
ocehan Cian-li-ji. "Gerakan nona kawanmu itu masih kurang cepat," kata
Cian-li-ji. "Uh, ngomong sih gampang saja," gumam Ah Liu, "coba
kalau melakukan sendiri, apakah engkau mampu lebih
cepat dari nonaku " "'Bisa mengatakan tentu bisa melakukan," sahut Cian-liji.
"Uh, tak percaya !"
"Apa " Engkau tak percaya padaku " Coba katakan, akan
kutampar muka mereka. Coba engkau pilihkan yang mana
?" Ah Liu memang seorang dara yang lincah dan suka
mengolok orang. Sejak di rumahmakan tadi, dia belum
sempat melihat ilmu gerak-cepat dari Cian-li-ji. Maka
diapun segera berkata, "Tuh, coba yang mukanya terpopok
bubur panas tadi. Tamparlah pipi kanan kirinya kalau
engkau mampu !" "Lihat.....," tiba2 Cian-li-ji melesat. Lelaki yang mukanya
terpopok bubur itu bernama Tian Wi, seorang murid
peiguruan Ceng-shia-pay. Dia terkejut ketika tahu2 sesosok
bayangan kecil menyambarnya. Sebelum dia sempat
berbuat apa2, tahu2 plak.... pipi kanan dan kiri, telah
ditampar sekeras-kerasnya.
"Auh?".," dia menyurut mundur beberapa langkah.
"Hi, hi, hi . . . .," Ah Liu tertawa mengikik melihat Tian
Wi menderita kesakitan itu.
"Bagaimana " Engkau percaya atau tidak ?" seru Cian-liji
dengan bangga. "Ih ?"..," tiba2 ditengah gelanggang terdengar si nona
bercadar mendesis kejut dan loncat ke belakang dalam
keadaan terpontang-panting.
"Celaka !" Ah Liu berteriak seraya terbeliak memandang
keadaan nonanya. Cian-li-ji terkejut dan berpaling. Dia pun kaget sekali
melihat Gak Si Bun sedang maju dan ayunkan ruyungnya
kepada nona bercadar yang masih berdiri tegak.
Serentak dia loncat, wut.....Tetapi saat itu juga, Huru
Harapun sudah melayang ke tengah gelanggang dan
menangkis dengan tongkatnya.
Plak..... Pada saat ruyung tertahan tongkat, tiba2 pipi Gak Si Bun
ditampar orang. Sebenarnya saat itu Gak Si Bun hendak
menarik ruyungnya yang melilit tongkat Huru Hara tetapi
karena pipinya ditampar, kepalanya agak puyeng dan mata
berkunang-kunang dan uh.....ia tersentak kaget ketika
ruyung terlepas dari tangannya.
"Nih, ruyungmu!" seru Huru Hara seraya melemparkan
ruyung yang terlilit pada tongkatnya.
Tamparan Cian-li-ji dan tangkisan tongkat Huru Hara
yang setelah diliIit ujung ruyung terus ditariknya itu,
hampir berbareng waktunya. Ketika sadar, Gak Si Bun
terkejut. Tetapi sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Huru
Hara sudah melemparkan ruyung kepadanya. Terpaksa dia
menyambuti. Setetah tahu apa yang terjadi, marahlah dia.
"Bangsat, engkau berani, turut campur !" teriaknya
seraya ayunkan ruyung menyerang Huru Hara. Tetapi
sebelum Huru Hara sempat bergerak, nona bercadarpun
sudah melesat menyerang Gak Si Bun.
Pertempuran antara nona bercadar dengan Gak Si Bun
berlangsung lagi dengan seru. Tadi Gak Si Bun berhasil
mencuri sebuah kesempatan untuk menghantam bahu nona
bercadar dengan tangan kanan. Tangan kanannya yang
tertutuk ilmu Tan-ci-sin-kang tadi sudah dapat digerakkan
lagi. Sekonyong-konyong terdengar derap kuda berlari
mendatangi dan pada lain saat muncullah dua penunggang
kuda. Yang satu seorang pemuda cakap dan yang satu
seorang imam tua. Imam tua itu tak lain adalah imam yang
masuk kedalam rumahmakan dan dengan pura2 melerai,
dia telah membunuh ciang-kui dan lelaki kasar.
"Hai, berhenti Gak sucia !" seru pemuda cakap itu.
Gak Si Bun kenal dengan suara pemuda itu. Cepat dia
loncat mundur. Nona bercadarpun berhenti.
"Ai, nona Su," seru pemuda itu seraya turun dari
kudanya, "mengapa kalian ini ?" kemudian dia berpaling
kearah Gak Si Bun, Gak sucia, apakah engkau bertempur
dengan Su sio-cia?" "Ya," sahut Gak Si Bun pelahan.
"Ah, untung aku datang," seru pemuda itu pula, "kalau
tidak tentu akan timbul peristiwa yang hebat."
"Mengapa begitu " Siapakah nona itu ?" tanya Gak Si
Bun terkejut. "O, apakah anda belum tahu ?" Gak Si Bun gelengkan
kepala, "Dia adalah nona Su Tiau Ing, puteri dari Su Go
Hwat tayjin....." "Hai !" teriak Gak Si Bun terkejut, "puteri Peng-pohsiang-
si Su Go Hwat tayjin ?"
"Engkau ini bagaimana Gak sucia," keluh pemuda itu,
"masakan engkau tak tahu ?"
"Maaf, Ma kongcu," kata Gak Si Bun, "tugasku adalah
berkeliling kedaerah-daerah. Dan pula Su tayjin juga akhir2
ini jarang berada di kota raja. Aku benar2 tak tahu kalau Su
tayjin mempunyai puteri yang begitu lihay."
"Maafkan aku Su siocia." Gak Si Bunpun memberi
hormat kepada gadis bercadar yang ternyata adalah puteri
dari Peng-poh-siang-si atau mentri pertahanan Su Go
Hvvat. "Su siocia, paman Gak Si Bun ini adalah salah seorang
kepercayaan ayahku. "kata pemuda cakap itu
memperkenalkan Gak Si Bun.
"O, tak apalah. Kita sama2 tak tahu, maka tak salah,"
kata nona bercadar yang ternyata bernama Su Tiau Ing.
"Tetapi nona Su. apakah yang telah terjadi sehingga
sampai timbul salah faham ini?"
Su Tiau Ing menceritakan tentang peristiwa di
rumahmakan dan tentang Ah Liu yang telah membentur
meja sehingga mula Tian Wi sampai berlumur bubur panas.
"O, karena belum kenal siapa nona, maka dapat
dimaklumi kalau paman Gak Si Bun marah dan hendak
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membela anakbuahnya," kata pemuda itu, "mengenai
pemilik rumahmakan, dia memang pantas dibunuh karena
telah melakukan perbuatan begitu keji."
"Aku hendak b;cara !"
Sekalian orang terkejut dan berpaling mendengar kata2
itu. Ternyata berasal dari Huru Hara.
"Nona Su, siapakah dia " Apakah dia bersama nona ?"
tanya pemuda itu. "Aku juga tak kenal," sahut Su Tiau Ing, "hanya dialah
yang dapat menemukan bak-pau berisi daging orang iru
sehingga dia marah."
"O," kata pemuda cakap itu, "baiklah, silakan anda
berkata," katanya kepada Huru Hara.
"Siapakah anda ini ?" tanya Haru Hara.
"Aku Ma Sun, putera tay-hak-su Ma Su Ing!" kata
pemuda itu dengan nada bangga. Ia menjura setelah
mendengar namanya itu temulah Haru Hara akan buru2
memberi hormat. Tetapi ternyata pemuda itu tenang2 saja
dan melanjutkan pertanyaan, "Dan siapakah imam itu?"
"O, inilah Hun Hun tojin, salah seorang tokoh dari Samto
(tiga serangkai imam) yang termasyhur itu," kata Ma
Sun. "Baik," kata Huru Hara, "mengapa dia membunuh
pemilik rumahmakan dan lelaki kasar dalam ruang
rumahmakan tadi?" Ma Sun berpaling kepada Hun Hun tojin dan tojin
itupun segera menyahut, "Aku hanya melerai mereka.
Semua tetamu menyaksikan hal itu."
"Benar, tetapi engkau telah menyalurkan tenagadalammu
untuk menghancurkan jantung mereka," kata
Huru Hara. "Ah, tidak?".."
"Memang tidak kentara caramu memancarkan ilmu
tenaga-dalam jenis Siu-lo-im-sat-kang untuk membunuh
mereka itu. Tetapi mengapa engkau lancang membunuh
mereka?"' "Tetapi aku benar2 tak membunuh mereka," bantah
imam itu. "Rupanya engkau tentu mempunyai maksud tertentu,"
seru Huru Hara. "Jangan menuduh sembarangan!" kata Hun Hun tojin,
"perlu apa aku harus membunuh mereka?"
"Sebenarnya saat itu aku sedang menyelidiki siapakah
yang memesan dua lusin anak perempuan dan anak laki
kepada ciang-kui itu. Belum mereka memberi keterangan
tahu2 engkau sudah membunuh mereka. Bukankah ergkau
memang sengaja hendak melenyapkan mulut mereka?"!
"Jangan memfitnah !" bentak Hun Hun tojin dengan
muka merah, "siapa engkau ini ?"
"Aku yang bertanya, engkau yang menjawab!"
"Bu-liang siu-hud," seru Hun Hun tojin, "besar sekali
lagak orang ini. Apa maksudmu?"
"Engkau harus menjawab pertanyaanku tadi!"
"Harus " Ha, ha, ha ....," Hun Hun tertawa ngakak," Ma
kongcu, tidakkah dunia ini sudah gila " Seorang manusia
yang aneh, telah mengharuskan orang kepercayaan tayhaksu
Ma Su Ing untuk menjawab pertanyaan....."
"Sudahlah hwatsu, tak perlu melayani orang itu," kata
Ma Sun lalu berkata kepada Su Tiau Ing si nona bercadar,
"Ing-moay, mau kemanakah engkau ini " Mari kita pulang
ke Lam-khia kurasa paman Su tentu berada di kotaraja."
"Hai, anakmuda, kalau mau pulang, pulanglah. Tetapi
tinggalkan dulu imam itu sebelum dia menjawab
pertanyaanku," seru Huru Hara.
"Bangsat, engkau berani tak menghormat ke pada Ma
kongcu putera Ma tay-haksu !" seru Hun Hun makin
marah. "Yang berpangkat adalah ayahnya, mengapa engkau
suruh orang harus menghormat anaknya ?" balas Huru
Hara. "'Hm, engkau ini manusia atau berandal " Kalau
manusia tentu tahu aturan. Apakah engkau hanya mau
menghormat seri baginda tetapi tak mau menghormat
kepada puteranya para thay-swe-ya itu ?"
"Itu dalam istana. Para mentri dan ponggawa kerajaan
harus menghormat. Tetapi aku bukan ponggawa keraton
dan disinipun bukan keraton. Asal aku tak menghinanya,
itu kan sudah cukup baik. Mengapa aku harus disuruh
menghormat seperti seorang hamba keraton ?" bantah Huru
Hara. "Dia memang benar," tiba2 Su Tiau Ing menyelutuk. Ma
Sun terbeliak. Waktu dia hendak bicara, Su Tiau Ing sudah
berpaling kepada Huru Hara, "sudahlah, tak perlu memaksa
keterangan orang. Kalau engkau memang seorang pendekar
sakti, engkau kan mampu menyelidiki sendiri hal itu.
Apalagi ciangkui itu sudah mati."
Huru Hara diam. "Ma kongcu, silakan melanjutkan perjalanan. Akupun
hendak melanjutkan perjalananku," kata Su Tiau Ing pula.
"O, apakah Ing-moay tidak kembali ke ko-taraja ?" ^
Su Tiau Ing gelengkan kepala, "Aku hendak menemui
Ko ciangkun untuk menyampaikan pesan ayah"
"O, baiklah," kata Ma Sun. Sebenarnya dia ingin
menemani nona yang diidam-idamkannya itu. Tetapi dia
tahu perangai Tiau Ing, "kalau begitu sampai ketemu di
kotaraja." Ma Sun segera mengajak Hun Hun tojin dan Gak Si Bun
bertiga tinggalkan tempat itu. Setelah mereka pergi barulah
Tiau Ing dan Ah Liu juga berangkat.
"Hayo, paman Cian, kita juga berangkat," kata Huru
Hara. Mereka menghampiri keretanya yang masih berada di
samping rumahmakan tadi. Cian-li-ji membuka gerbong kereta untuk, melihat peti
yang akan diantarkan kepada jenderal Ui Tek Kong.
"Celaka!" tiba2 Cian-li-ji memekik keras, "hian-tit,
petinya hilang ....!"
"Hilang?" Huru Hara terkejut.
"Ya." -oodwoo- Jilid 6 Maling kemalingan Huru Hara menghampiri dan melongok kedalam
gerbong kereta. Memang peti itu tak ada lagi.
"Engkau taruh dimana peti itu?" tegurnya.
"Eh, engkau ini bagaimana hiantit," kata Cian-Ii-ji, "sejak
kita berangkat dari biara tua itu, peti kutaruh lagi disini.
Aku berani bersumpah, waktu kita singgah di rumah
makan, peti itu masih ada."
Huru Hara kerutkan dahi, "Aneh, siapakah yang
mengambilnya?" Cian-li-ji juga garuk2 gundulnya.
"Tetapi bukankah peti itu hanya berisi tanah?" katanya.
"Ya," jawab Huru Hara, "tetapi apapun isinya harus
kusampaikan pada jenderal Ui Tek Kong. Kalau nanti
berhadapan dengan jenderal itu, lalu apa yang akan kita
serahkan?" "Iya, ya," kata Cian-li-ji, "eh, bukankah pundi2 uang itu
masih dibawa si pengemis tua."
"Ya, tetapi dimana dia sekarang?"
"Entahlah," kata Huru Hara, "sampai saat ini dia belum
nongol." "Lalu bagaimana kita sekarang?" tanya Cianli-
ji- "Tetap menghadap jenderal Ui."
"Lalu apa yang hendak engkau serahkan?"
"Surat dari jenderal Ko Kiat dan keterangan tentang
hilangnya peti itu di jalan."
"Ya, benar," Cian-li-ji mengangguk tetapi pada lain saat
dia mendelik, "goblok engkau! Dengan memberi laporan
itu, engkau pasti akan dihukum."
"Tetapi aku dapat menerangkan kalau peti itu hanya
berisi tanah." "Ya, ya, benar," kata Cian-li-ji pula. Tetapi pada lain saat
dia mendelik lagi, "tolol engkau! Dia tentu tak percaya dan
engkau tentu tetap dihukum."
Huru Hara terdiam. Beberapa saat kemudian dia
mengajak lagi, "Sudahlah, paman Cian, mari kita
berangkat." "Lalu bagaimana nanti?"
"Dalam perjalanan kita nanti cari pikiran. Kalau
terpaksanya kita bilang saja apa adanya."
Demikian keduanya segera berangkar. Menjelang sore
hari tibalah mereka di kota Co ciu.
Ketika hendak menuju ke gedung Jenderal Ui Tek Kong,
di tengah jalan muncullah Wi sin-pay, "Hian-tit, inilah
kantong pundi- uang iiu."
"O, dari manakah paman selama ini" Mengapa sejak di
biara tua, paman terus pergi?" tegur Huru Hara. '
"Ah, - banyak pekerjaan," pengemis tua Wi sin-kay
tersenyum, "yang penting serahkan dulu pundi2 uang ini
nanti kuceritakan apa yang kualami."
"Apakah paman tidak ikut serta menghadap jenderal
Ui?" "Wi sin-kay tertawa mengangkat bahu, "Yang jadi
utusan jenderal Ko adalah engkau. Masakan aku harus ikut.
Lebih baik aku menunggu di luar saja."
"Kalau begitu, aku juga," seru Cian-li-ji.
Huru Hara menganggap karena sudah membawa pundi2
uang maka tentulah takkan terjadi suatu apa apabila dia
menghadap jenderal Ui Tek Kong. Maka diapun
menyetujui keinginan kedua orang itu.
Tiba di pintu gerbang, dia disambut penjaga pintu yang
bersenjata. "Aku mau menghadap jenderal Ui," kata Huru Hara,
"aku utusan jenderal Ko Kiat untuk me nyampaikan barang
sumbangan." , "Penjaga itu kerutkan dahi, "Tetapi saat ini jenderal
sedang menerima tetamu penting."
"Tetapi aku juga penting," bantah Huru Hara, "tulung
laporkan kehadapan jenderal Ui."
Penjaga itu setuju. Dia masuk dan tak berapa lama
keluar lagi, "Baik, jenderal mengidinkan engkau
menghadap." Waktu dibawa masuk, Huru Hara terkejut karena dalam
gedung jenderal itu terdapat sebuah peti mati dan meja
sembahyangan yang penuh dengan berbagai hidangan.
"Hm, rakyat menderita kelaparan, sebaliknya orang mati
diberi makan sampai sekian banyak," pikir Huru Hara.
Tiba2 dia teringat, kalau Cian-li-ji ikut masuk, akan
disuruhnya untuk mengambil sam sing yang terdiri dari
kepala babi, ingkung itik dan ayam.
Huru Hara dibawa masuk ke ruang dalam. Ia terkejut
ketika disitu terdapat dua orang lelaki setengah baya. Yang
satu bertubuh tegap dan yang seorang bertubuh kurus
seperti seorang sasterawan.
"Hamba utusan dari jenderal Ko Kiat untuk
menghaturkan surat kehadapan jenderal," kata Huru Hara.
"Baik, serahkan," kata lelaki bertubuh tegap atau jenderal
Ui Tek Kong. Setelah menerima surat dari Huru Hara maka jenderal
Ui lalu membacanya. Ia tersenyum dan berkata kepada
lelaki bertubuh kurus, "Jenderal Ui telah menghaturkan
maaf dan pernyataan ikut berdukacita atas meninggalnya
ibuku. Terima kasih Su tayjin."
Lelaki kurus yang disebut Su tayjin itu ternyata adalah
Su Go Hwat, mentri pertahanan kerajaan Beng. Dia
tersenyum, "Aku gembira karena jenderal Ko mau
mendengar kata. Dan kuharap peristiwa itu selesai, anda
dapat rukun lagi dengan jenderal Ko dan lain2 jenderal. Ini
penting sekali bagi arti perjuangan kita menghadapi
pasukan Ceng." "Baik, tayjin," kata jenderal Ui. Kemudian dia beralih
pertanyaan pada Huru Hara, "Siapakah namamu?"
"Hamba Loan Thian Te."
"Loan Thian Te" Aneh, nama itu berarti dunia kacau
atau mengacau dunia."
"Benar," sahut Huru Hara.
"Aneh." gumam jenderal Ui, "banyak nama yang bagusbagus
mengapa engkau memilih nama begitu?"
"Hamba tidak memilih, jenderal. Tetapi orangtua hamba
yang memberinya." Jenderal Ui mengangguk, "Apakah engkau orang
kepercayaan jenderal Ko?"
"Tidak," sahut Huru Hara, "hamba hanya disuruh
mengantarkan barang antarannya saja."
"Sebenarnya tindakan itu tidak benar, bisa dianggap
lancang. Tetapi karena tepat, maka engkau kuampuni."
"Ya," seru Su Go Hwat pula, "engkau telah membeli hati
rakyat kepada kita. Rakyat pasti akan setia dan membantu
pasukan Beng." Huru Hara tercengang mendengar keterangan kedua
pembesar itu. "Loan Thian Te, serahkan surat balasanku ini kepada
jenderal Ko," seru jenderal Ui, "dan kalau tak ada lain
persoalan lagi, engkau boleh pulang."
Huru Hara menyambuti sepucuk surat dari jenderal itu
tetapi dia masih terlongong-longong seperti orang heran.
"Eh, mengapa engkau teilongong seperti orang heran?"
tegur jenderal Ui. "Hamba tak mengerti akan ucapan jenderal tadi."
"Aku sudah tahu tindakanmu membagi-bagikan uang
sumbangan jenderal Ko itu kepada rakyat yang kelaparan.
Tak apa. Su tayjin juga menyetujui tindakanmu itu."
"Kecuali surat, hambapun hendak menyerah kan uang
sumbangan dari jenderal Ko kehadapan jenderal disini."
"Eh, engkau ini bagaimana?" jenderal Ui ler tawa,
"bukankah uang itu sudah engkau bagi-bagikan kepada
rakyat miskin yang sedang menderita kelaparan?"
Huru Hara terkejut, "Bagaimana jenderal tahu hal itu?"
"Pagi tadi beratus-ratus rakyat menghadap kemari untuk
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghaturkan terima kasih kepadaku atas pertolongan yang
kuberikan kepada mereka."
"Ah "Huru Hara mengeluh.
"Kenapa engkau menghela napas ?"
"Karena hamba masih membawa pundi2 uang itu dan
hendak hamba serahkan kepada jenderal."
"Ah, jangan bergurau," kata jenderal Ui.
"Tidak, hamba tidak bergurau. Pundi2 uang itu masih
hamba simpan dalam kereta diluar gedung ini."
"Ah, mungkin engkau sedang sakit kepala atau mungkin
sedang merasa bermimpi. Jelas uang dari jenderal Ko itu
sudah engkau bagi-bagikan kepada rakyat yang kelaparan,
mengapa engkau masih membawa pundi2 uang itu ?"
"Tidak, jenderal. Pundi2 itu masih hamba bawa. Apakah
jenderal mengidinkan hamba ambil pundi2 itu ?"
"Ya," jenderal Ui mengangguk.
Huru Hara segera keluar. Tetapi alangkah kejutnya
ketika ia mendapatkan pundi2 itu kosong isinya, "Celaka,
mengapa uang itu lenyap ?"
Dia terus keluar dari gedung untuk mencari Cian-li-ji dan
Wi sin-kay tetapi kedua orang itu tak tampak batang
hidungnya. "Gila, kemanakah kedua orang itu " Mereka mengatakan
hendak menunggu aku disini tetapi mengapa mereka tak
kelihatan ?" Huru Hara heran. Dia mulai gelisah bagaimana
dia harus mengatakan kepada jenderal Ui nanti. Apa boleh
buat, dia membawa pundi2 kosong itu masuk lagi kedalam
gedung jenderal Ui. Jenderal Ui tertawa melihat Huru Hara tergopoh-gopoh
masuk menghadapnya, "Bagaimana?" tegurnya.
"Jenderal Ui, maaf, inilah pundi2 uang dari jenderal Ko
yang hamba bawa. Tetapi ternyata isinya sudah n a bis ... ."
"Tentu saja karena sudah engkau bagi-bagi kan kepada
rakyat kelaparan," kata jenderal Ui.
"Tetapi jelas uang itu tadi masih lengkap .... "
"Sudahlah," kata jenderal Ui seraya memerintahkan
pengawal untuk mengantarkan Huru Hara keluar.
Waktu melalui meja sembahyangan, Huru Hara melirik,
uh .... ia terkejut karena melihat kepala babi, ingkung itik
dan ayam lenyap Juga beberapa macam hidangan ikut
amblas. Tetapi dia diam saja.
Setiba diluar gedung, dia terus mencari Cian-li-ji dan Wi
sin-kay. Hah .... ternyata kedua orang itu sedang duduk
dibawah pohon asyiki menghadapi hidangan.
"Gila ! Itulah kepala babi, itik dan ayam di meja
sembahyangan tadi," teriak Huru Hara.
"Ya, memang," sahut Cian-h-ji, "kenapa?"
"Itu kan untuk sembahyangan arwah mama dari jenderal
Ui, kenapa kalian ambil"''
"Mama jenderal itu kan sudah tua, masa makannya
begitu banyak," sahut Cian-li-ji," lebih baik untuk kita atau
diberikan kepada rakyat yang kelaparan."
"Bagaimana kabarnya waktu engkau menghadap
jenderal Ui tadi ?" Wi sin-kay mengalihkan pertanyaan.
"Aneh," kata Huru Hara lalu menceritakan peristiwa
yang dialaminya," mengapa pundi2 uang itu kosong ?"
"Jangan heran," kata Wi sin-kay, "uangnya telah
kuambil, Nanti kita bagi-bagikan kepada rakyat yang
menderita kelaparan."
Huru Hara terkejut tetapi ketika mendengar keterangan
terakhir dari pengemis itu, diapun agak tenang. Namun ia
tetap heran mengapa pengemis itu berbuat begitu,
"Bukankah aku malu kepada jenderal Ui?"
Wi sin-kay tertawa, "Apakah jenderal itu marah
kepadamu ?" Huru Hara gelengkan kepala.
"Bukankah jenderal Ui dan Su tayjin memuji
tindakanmu ?" Huru Hara terkesiap, "Mengapa paman tahu?"
"Tentu saja tahu, karena semua itu aku yang
merencanakan." Pengemis itu lalu menceritakan apa yang telah
dilakukan. Karena mendengar mentri pertahanan Su Go
Hwat datang ke Co-ciu untuk sekalian menyatakan ikut
berdukacita atas meninggalnya mama jenderal Ui, maka dia
mengerahkan rakyat supaya berbondong-bondong
menghadap jenderal Ui Tek Kong untuk menghaturkan
terima kasih karena jenderal itu telah memberi sumbangan
berharga menolong rakyat yang sedang menderita
kelaparan. "Kuperhitungkan jenderal Ui tentu terpaksa menerima
kenyataan itu karena malu hati terhadap Su tayjin. Su tayjin
seorang mentri yang jujur dan sangat memperhatikan
keadaan rakyat," kata Wi sin-kay, "dan ternyata
perhitungan itu tepat. Maka tak mengherankan waktu
engkau menghadap jenderal Ui, engkau bertemu juga
dengan Su tayjin yang ikut memuji tindakanmu."
"Ah," Huru Hara menghela napas, "mengapa paman tak
bilang kepadaku ?" "Kalau engkau sudah tahu, engkau tentu bersikap
tenang2 saja dan hal itu mungkin akan menimbulkan
penilaian lain dari jenderal Ui dan Su tayjin."
"Penilaian lain bagaimana ?" .Huru Hara tak mengerti.
"Watak Su tayjiu itu jujur, dia tentu menyukai orang
jujur. Dan sebagai seorang mentri yang luas pengetahuan
dia tentu dapat menilai engkau. Tetapi kalau engkau
bersikap tenang karena sudah tahu peristiwa itu, dia tentu
menganggap engkau seorang yang lancang berani
mendahului perintah."
Huru Hara mengangguk Kemudian dia bertanya,
"Bukankah tadi paman mengatakan hendak menceritakan
sebuah hal yang penting" Apakah itu" Apakah mengenai
rencana paman tentang uang dalam pundi2 itu?"
"Bukan," sahut pengemis sakti, "ada sebuah hal yang
penting lagi yalah mengenai hilangnya peti uang dalam
keretamu itu." "Oh, paman tahu hal itu?" Huru Hara terkejut.
"Ya," sahut Wi sin-kay, "peristiwa itu benar2
mengejutkan sekali."
Huru Hara minta agar Wi sin-kay menceritakan saja apa
yang telah terjadi. "Sebenarnya hal itu terjadi ketika masih berada di biara
tua. Saat itu aku tidur diluar, tiba2 muncullah sesosok
bayangan berpakaian hitam. Dia bersembunyi di balik
pohon dan melontarkan sebutir kerikil ke halaman biara.
Kutahu, itulah cara kaum ya-heng-jin (orang persilatan
yang bekerja pada malam hari) bertanya jalan. Artinya, dia
hendak mengetahui apakah penghuni rumah yang hendak
dikerjai itu sudah tidur atau belum.
Akupun pura2 tidur mendengkur . . . . "
"Setelah mendapat kepastian kalau kita sudah tidur,
barulah orang itu bergerak. Ternyata dia menghampiri
kereta dan membongkar peti. Diam2 aku
menertawakannya. Apanya sih yang akan diambil. Kalau
mau ambil tanah itu silakan saja, kataku dalam hati.
Ternyata orang itu menurunkan peti dan setelah membuka
tutupnya lalu menuang tanahnya. Dia mengaduk-aduk
tanah itu beberapa saat dan tiba2 ia mengambil segunduk
tanah yang kempal, sebesar kepala bayi. Matanya berkilatkilat
dan dengan cepat dia mengupas perongkolan tanah itu.
Serentak matanyapun bersinar terang ketika melihat benda
yang berada dalam perongkolan tanah itu. Benda itu
sebesar gelas dan berbentuk seperti singa. Cepat dia
memasukkan benda itu kedalam baju lalu cepat2
mengembalikan lagi tanah kedalam peti dan ditaruh
kembali kedalam gerbong kereta."
"Aku segera mengikuti orang itu .... "
"Siapakah dia?" tukas Huru Hara.
"Dia memakai kerudung muka sehingga tak kelihatan
siapa orangnya," kata Wi sin-kay, "tetapi baru lebih kurang
sepuluh li, tiba2 muncul seorang yang juga memakai tutup
muka." "O, kawannya?" "Bukan,"' kata Wi sin-kay, "orang itu ternyata hendak
menghadangnya. Berikan Giok-say itu kepadaku, seru
orang kedua. Tetapi orang pertama menyangkal, "Giok-say
apa?" "Hm, jangan kira aku tak tahu perbuatanmu. Lekas
berikan sebelum kubongkar semua rahasiamu!" seru orang
kedua. "Jangan jual gertak kosong!" seru orang per tama, "aku
tak tahu menahu tentang Giok-say itu."
Giok-say artinya Singa Kumala.
"Baik," kata orang kedua, "karena engkau berkeras
kepala terpaksa akan kutelarjangi belangmu. Di mata orang
persilatan engkau terkenal sebagai tokoh silat yang
hartawan dan dermawan. Tanganmu selalu terbuka kepada
siapa saja. Tetapi sebenarnya engkau tak lebih dari seekor
harimau yang berselimut kulit keledai . . . . "
"Tutup mulutmu!" bentak orang pertama.
"Engkau mengorbankan gundikmu yang cantik Say-se-si
Li Li Hoa untuk mengumpan Ko Kiat agar dapat mencuri
pusaka Giok-say. Bukankah si Li Hoa itu menyelundupkan
Giok-say itu kedalam peti yang berisi tanah yang akan
dikirim Ko Kiat kepada Ui Tek Kong?"
"Ngaco belo!" bentak oiang pertama, "mana rnungkin
seorang jenderal sebagai Ko Kiat hendak mengirim peti
berisi tanah kepada jenderal Ui Tek Kong?"
"'Soal itu tanyakan sendiri kepada Ko Kiat. Tetapi yang
jelas perbuatan Li Hoa itu sudah dikelahui Ko Kiat dan
karena disiksa akhirnya perempuan itu mengaku."
"Tidak, aku tidak tahu tentang Giok-say itu!" seru orang
pertama. "Li Thian Ong, sekali lagi kuperingatkan kepadamu.
Serahkan Giok say itu atau rahasia dirimu akan kubongkar,
biarlah dunia persilatan tahu siapa sesungguhnya Li Thian
Ong yang bergelar Dewa bertangan emas itu."
"Siapa engkau!" teriak orang pertama yang dipanggil Li
Thian Ong itu. "Dengan susah payah aku berhasil menyelidiki siapa
dirimu maka engkaupun harus menggunakan tenaga dan
pikiranmu untuk menyelidiki siapa diriku. Lekas serahkan!"
orang kedua itupun segera melayang dan menyerang Li
Thian Ong. Akhirnya dalam pertempuran yang dahsyat dan amat
menegangkan itu, orang kedua itu berhasil menundukkan
Li Thian Ong. "Baik, akan kuserahkan tetapi lepaskanlah
cengkeramanmu," seru Li Titian Ong yang bahunya dapat
dicengkeram lawan. Asal lawan meremasnya tentulah
tulang pi-peh-kut Li Thian Ong akan hancur dan jadilah Li
Thian Ong itu seorang cacad seumur hidup.
"Baik, aku dapat membebaskan engkau pun dapat
meringkusmu lagi. Tetapi ingat, apabila engkau curang,
pasti akan kuhancurkan dirimu !"
Orang bertutup muka itu lepaskan cengkeramannya.
Tampak Li Thian Ong merogoh kedalam bajunya dan tiba2
dia berseru, "Nih, terimalah !"
Sebuah benda sebesar kepal tangan melayang kearah
orang itu. Pada saat orang itu terkejut menyambut, tiba2 Li
Thian Ongpun loncat dan menyambar kain penutup
mukanya, "Ah, engkau.... Bu Te sin-kun ..... "
Orang yang disebut Bu Te sin-kun itu menyalangkan
mata dan tertawa nyaring, "Bagus, Li Thian Ong, engkau
berani melihat wajahku. Ketahuilah, barangsiapa melihat
wajah Bu Tek sinkun, dia harus mati !"
"Tiba2 saat itu aku mendapat pikiran." Wi sin-kay
mengakhiri penuturannya, "aku ingin menolong Li Thian
Ong dari keganasan Bu Tek sinkun."
"Siapa Li Thian Ong dan Bu Te sin-kun itu ?" tukas Huru
Hara. "Li Thian Ong adalah hartawan yang tinggal di Khayhong.
Dia mempunyai hubungan luas dengan kaum
persilatan dan para pembesar, Tangannya selalu terbuka
kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan. Itulah
sebabnya maka dia diberi gelar Kim-jiu-sian atau Dewabertangan-
emas oleh dunia persilatan."
"Sedangkan Bu Te sin-kun itu," pengemis Wi sin-kay
melanjutkan pula," adalah seorang tokoh dunia persilatan
yang misterius. Tempat tinggalnya tak menentu, demikian
pula sepak terjangnya sukar diduga, entah berdiri pada
golongan putih atau hitam. Tetapi yang jelas, dia amat
bernafsu sekali mendapatkan senjata pusaka maupun kitab
pusaka. Pendeknya setiap benda pusaka, tentu akan
dirampas dan dia tak segan2 berhadapan dengan siapapun
baik tokoh dunia hitam maupun putih.
"Apakah artinya Bu Te sin-kun itu ?" tanya Huru Hara.
"Bu Te sin-kun berarti Jago sakti tanpa tanding."
"Huah, sombong benar manusia itu," desuh Huru Hara.
"Ya, benar, kalau kelak kita bertemu dengan dia, kita
harus memberi pelajaran," sambut Cian-li-ji.
"Mudah-mudahan akan terkabul keinginanmu itu,"
pengemis Wi sin-kay tertawa, "nah, dengarkanlah, aku
hendak melanjutkan ceritaku lagi."
"O, ya, baiklah," kata Huru Hara.
"Aku segera melontarkan batu kepadanya seraya berseru
'itulah Bu Te sin-kun, hayo, kita ringkus'. Serempak akupun
terus loncat keluar seraya berseru," Li Thian Oag, jangan
kuatir, aku dan kawan2 datang membantumu . . . ."
mendengar itu Bu Te sim-kun terus melarikan diri."
"Lho. katanya jago tanpa tading, mengapa melarikan diri
?" tanya Cian-li-ji.
"Pertama, dia sudah mengantongi pusaka Giok-say dan
kedua, karena dia tak mau terlihat wajahnya oleh orang
maka diapun lari meninggal kan Li Thian Ong," jawab Wi
sin-kay. "Kepadaku," Wi sin-kay melanjutkan ceritanya, "dia
menderita luka-dalam yang cukup parah tetapi untung tak
sampai membahayakan jiwanya. Karena menduga aku
tentu sudah tahu peristiwa itu maka diapun membuka
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rahasia. Menurut katanya Giok-say itu berasal dari
peninggalan Cu Goan Ciang, kaisar kerajaan Beng. Dalam
usia tua Cu Goan Ciang mendapat putera dari seorang
selirnya yang tercinta. Ia tahu bahwa putera2nya tidak
saling akur. Terutama putera mahkota amat lemah. Kuatir
kalau kelak puteranya yang masih bayi itu akan terlantar
maka dia memberikan kepada selir itu sebuah Giok-say.
Dalam Giok-say itu tersimpan sebuah peta dari harta karun
yang disimpan Cu Goan Ciang disebuah tempat rahasia.
Ternyata apa yang dikuatirkan Cu Goan Ciang itu
terbukti. Waktu dia meninggal maka kekuasaan tahta
direbut dengan kekerasan oleh saudaranya yang bernama
Cu Te. Cu Te naik tahta dan bergelar Beng-seng-cou.
Dengan tangan besi dia memerintah dan membersihkan
semua mentri yang tak setia kepadanya. Bahkan terhadap
saudaranya yang berani merintangi tentu akan diambil
tindakan. Selir tercinta baginda Beng thaycou (Cu Goan
Ciong) karena merasa tertekan lalu lolos dari keraton.
Kemudian entah berselang berapa puluh tahun kemudian,
setelah kerajaan Beng runtuh diserang pasukan Ceng, dalam
keadaan kacau balau kerajaan pindah dari kotaraja Pak-kia
ke kota Lam-kia, entah bagaimana Ko Kiat telah berhasil
merampas Giok-say itu dari tangan seorang hartawan yang
tinggal di kota Thay-goan. Demikianlah riwayat Giok-say
itu." "O, jadi Giok-say itu tersimpan sebuah peta harta karun
peninggalan baginda Beng thaycou ?" tanya Huru Hara.
"Ya." Huru Hara serentak teringat akan anjuran sumoaynya
agar berusaha untuk mendapatkan pekerjaan dari jenderal
Ko Kiat yang akan mengirim barang antaran kepada
jenderal Ui Tak Kong," Apakah yang dimaksud sumoay itu
yalah pusaka Giok-say itu " Jika Giok-say itu benar
menyimpan peta harta karun, memang hal itu berguna
sekali untuk menolong rakyat dari kesengsaraan dan
membantu perjuangan kaum pendekar pejuang untuk
menentang pasukan Ceng."
"Bagaimana mencari jejak Bu Te sing-kun itu ?" tanya
Huru Hara. "Apakah hian-tit hendak mencarinya ?"
"Ya," sahut Huru Hara tegas, "pusaka Singa-kumala itu
harus kita rebut. Jika benar berisi peta harta katun, kita
dapat menggunakan harta itu untuk rakyat yang kelaparan
dan membantu perjuangan melawan pasukan Ceng."
Wi sin-kay mengangguk, "Baik. Kelak kita mencurinya.
Aku masih belum selesai menuturkan ceritaku ini."
"O, apakah masih ada peristiwa lagi ?"
"Ya," kata Wi sin-kay, ketika aku kembali ke biara, aku
terkejut lagi. Tampak sekelompok prajurit sedang
mengangkut peti dari keretamu.. .."
"Peti yang berisi tanah itu ?" Huru Hara terkejut.
"Ya," kata Wi sin-kay.
"Lalu bagaimana tindakan paman ?"
"Aku tak mau menyerang mereka melainkan kuikuti saja
kemana mereka pergi. Ternyata mereka adalah prajurit2
Beng juga tetapi entah dari pasukan mana. mereka menuju
ke utara. Karena hanya seorang diri dan mereka berjumlah
banyak, terpaksa aku kembali."
"Mereka benar prajurit Beng ?" Huru Hara menegas.
"Ya, aku tahu benar dari seragam mereka.
"Aneh," Huru Hara garuk2 kepala," kalau benar begitu,
tentulah mereka tergabung dalam pasukan salah seorang
jenderal pasukan Beng. Tetapi perlu apa mereka hendak
merebut peti dari jenderal Ko Kiat ?"
Wi sin-kay juga tak dapat memecahkan teka teki itu.
Akhirnya dia membuat kesimpulan, "Jenderal Ko Kiat
terkenal keras dan licik. Demikian pula dengan jenderal2
lainnya juga temaha dan rakus. Mereka saling berebut
kekuasaan tempat. Bukan mustahil karena mendengar
jenderal Ko Kiat mengirim peti berisi uang maka jenderal
yang lain lalu menyuruh prajuritnya untuk merampas."
Huru Hara masih belum terang pikirannya, Persoalan itu
sederhana tampaknya yalah dia menerima pekerjaan dari
jenderal Ko Kiat untuk mengantar peti uang kepada
jenderal Ui Tek Kong. Tetapi ternyata telah berekor
panjang dan aneh. Pertama, ternyata peti uang itu bukan
berisi uang melainkan berisi tanah. Lalu Li Thian Ong
datang, membongkar peti berisi tanah itu dan menemukan
pusaka Giok-say. Tetapi ditengah jalan, Li Thian Ong telah
dihadang oleh Bu Te sin-kun dan Giok-say itu dapat
direbutnya. Lalu ada juga sekawanan prajurit yang mencuri peti
berisi tanah itu. Dan prajurit2 itu ternyata prajurit' pasukan
Beng sendiri. Perlu apakah prajurit2 itu berampas peti " Ah,
kemungkinan mereka mengira bahwa peti dari Ko Kiat itu
memang berisi uang. Ya, jawaban itu memang dapat
diterima akal. "Hiantit, bagaimana tindakanmu sekarang," tanya Cianh-
ji. "Aku hendak kembali ke Co-ciu menghadap jenderal Ko
Kiat lalu, menyerahkan surat balasan dari jenderal Ui."
"Ah, buat apa " Bukankah jenderal Ko Kiat sudah
menipu kepadamu " Dia mengatakan peti itu berisi uang
tetapi ternyata berisi tanah," kata Cian-li-ji.
"Biar saja dia hendak menipu aku. Toh akhirnya jenderal
Ui sudah mengaku telah menerima kiriman uang dari Ko
Kiat itu. Dan memang aku hendak melihat bagaimana nanti
sikap jenderal itu kepadaku," kata Huru Hara.
Wi sin-kay menyetujui dan ketiga orang itu pun segera
berangkat pulang ke Co-ciu. Tetapi mereka menempuh
perjalanan dengan berjalan kaki saja sekalian untuk
meninjau keadaan rakyal di daerah2 yang menderita
kelaparan. Menjelang sore hari, mereka tiba disebuah daerah hutan
yang sepi. Sedianya malam itu mereka akan bermalam di
biara tua lagi. "Uh, ada sebuah rombongan kereta dan penunggang
kuda yang akan datang," tiba2 Cian-li-ji berseru.
"Bagaimana engkau tahu ?" Wi sin-kay heran.
Huru Hara menerangkan bahwa Cian-li-ji itu memang
mempunyai keistimewaan yalah dapat mendengarkan suara
dari jarak beberapa li. "O," seru Wi sin-kay, "lalu bagaimanakah?"
"Kita bersembunyi ke sana dulu," kata Huru Hara
sembari menunjuk kebalik sebuah gerumbul pohon.
Ketiganya lalu bersembunyi dibalik gerumbul pohon.
Tak berapa lama memang benar terdengar derap kuda yang
riuh dan derak bunyi roda kereta.
"Ah, rombongan pembesar agung," bisik Wi sin-kay.
Setelah rombongan berlalu mereka pun segera
melanjutkan perjalanan lagi. Tetapi tiba2 Cian-li-ji
berteriak, "Hai, ada orang bertempur !"
Kali ini Huni Hara dan Wi sin-kay terkejut, "Bertempur "
Siapakah yang bertempur ?"
Mereka berlari lari menuju kedalam hutan. Dari jauh
mereka melihat rombongan kereta pembesar agung tadi
berhenti dan beberapa orang tengah bertempur.
"Ah. rupanya rombongan pembesar itu sedang dihadang
musuh," kata Huru Hara.
Memang saat itu terjadi pertempuran yang dahsyat
Rombongan pengawal kereta pembesar itu sedang
berhantam dengan kawanan orang yang memakai kerudung
muka dari kain hitam. Diantara kawanan penghadang itu
terdapat seorang yang gagah berani. Beberapa prajurit
pengiring kereta pembesar itu banyak yang telah
dirubuhkan. Kini orang itu tengah berhadapan dengan
seorang pengawal yang bertubuh tinggi besar bersenjata
tombak. Menilik pakaiannya, rupanya orang itu kepala
rombongan prajurit yang berpangkat.
"Jelas penghadang itu kaum penjahat dan yang dihadang
itu adalah pembesar negeri. Mari kita tolong," kata Huru
Hara seraya terus maju. "Hai, kawanan perampok yang bernyali besar, serahkan
dirimu!" seru Huru Hara seraya menerjang.
Uh, uh, uh ... . beberapa kawanan penjahat yang
diterjang Huru Hara menjadi porak poranda. Ada yang
menjerit kesakitan, ada yang rubuh dan ada yang melarikan
diri. Penjahat yang bertarung dengan perwira tinggi besar tadi
segera melancarkan serangan yang dahsyat. Setelah berhasil
menabas jatuh tombak lawan, dHuru Hara. "'Siapa engkau!' bentaknya sambil menabas dengan
pedangnya. Tetapi dia mendesuh kejut ketika menyaksikan gerakan
Huru Hara yang luar biasa cepatnya. Pedang masih
diangkat keatas, Huru Hara sudah menyelinap ke belakang
dan menjotos punggungnya. Untung dia tahu dari angin
pukulan yang menyambar punggungnya itu dan cepat
loncat ke muka sehingga jotosan Huru Hara mengenai
angin. Plak . . . auh . . . tetapi sebelum orang itu berdiri tegak,
tiba2 sesosok bayangan pendek melesat ke arahnya dan
tahu2 menampar pipinya. Tamparan itu cukup
membuatnya meringis. Mukanya pun merah padam karena
malu dan marah. "Paman Cian jangan mengganggunya, biar aku yang
menyelesaikannya sendiri," seru Huru Hara.
Ternyata yang melesat dan menampar pipi orang itu
adalah Cian-li-ji. Memang kakek pendek itu mempunyai
penyakit aneh. Dia selalu gatal tangannya apabila melihat
musuh yang congkak. Dan setiap kali, dia tentu menampar
pipi orang. Rupanya dia memang gemar menampar pipi.
"Siapa engkau!" teriak orang itu sambil bersiap-siap.
"Mengapa engkau hendak mengganggu pembesar
negeri!" balas Huru Hara.
"Bukan urusanmu, mengapa engkau ikut campur!"
"Baik," kata Huru Hara, "kalau engkau mampu
mengalahkan aku, aku akan pergi dari sini!"
"Baik," sahut orang itu pula, "mungkin engkau tak dapat
pergi lagi. Yang pergi adalah nyawamu."
"Coba saja?""
"Lihat serangan!" orang itu tiba2 menyerang dengan
sebuah taburan. Pedang berhamburan laksana percikan
bunga api yang mencurah ke tubuh Huru Hara.
"Bagus," seru Huru Hara lalu memutar tongkatnya.
Seketika percikan bunga api itupun tersapu bersih oleh
lingkaran sinar tongkat yang menderu-deru laksana angin
lesus. Dan pada akhir daripada lenyapnya percikan bunga api
itu tiba2 terdengar jeritan keras, menyusul orang itupun
loncat ke belakang dan terus lari. Tetapi sebelum pergi dia
sempat melantangkan ancaman, "Baik, karena masih ada
lain urusan yang penting, aku terpaksa pergi. Tetapi lain
kali aku pasti akan mencarimu untuk membayar hutangmu
hari ini!" "Kapan dan dimana saja aku bersedia untuk menerima
kedatanganmu!" sahut Huru Hara.
"Kurang ajar," Cian-li-ji terus hendak mengejar tetapi
dicegah Huru Hara, "Jangan paman, biarkan dia pergi.
Yang penting pembesar dalam kereta ini selamat."
"Hohan Peng-poh tayjin mengundang hohan supaya
menghadap," tiba2 seorang prajurit menghampiri kepada
Huru Hara. "O, baiklah," kata Huru Hara lalu mengikuti prajurit itu
menghampiri kereta. "Bagur, Loan Thian Te, engkau telah berjasa melindungi
aku," seru pembesar dalam kereta.
"Ah, Su tayjin, terimalah hormat hamba," Huru Hara
cepat memberi hormat setelah mengetahui bahwa dalam
kereta itu tak lain adalah mentri pertahanan Su Go Hwat.
"Siapakah penjahat yang berani menghadang
perjalananku itu?" tanya Su Go Hwat.
"Entah tayjin," sahut Huru Hara, "tetapi kalau menilik
kepandaiannya, jelas mereka tentu kaum persilatan yang
berilmu tinggi." "Baik, Loan Thian Te, bantuanmu hari ini akan
kuingat," kata Su Go Hwat, "hendak kemanakah engkau
sekarang ini?" "Hamba hendak kembali menghadap jenderal Ko Kiat."
"Apakah engkau bekerja pada jenderal Ko?"
"Tidak, tayjin, hamba hanya khusus diberi tugas untuk
mengantar barang sumbangan kepada jenderal Ui Tek
Kong." "Setelah tugas itu selesai, lalu apakah engkau terus
bekerja padanya?" 'Tidak, tayjin. Mungkin hamba akan pulang ke gunung
lagi."' "Ah, engkau salah Loan Thian Te." kata Su Co Hwat,
"saat ini negara kita sedang menghadapi serangan pasukan
Ceng. Kerajaan Beng terpaksa pindah dari kotaraja Pak-kia
ke kota Lam-kia. Di seluruh wilayah barat Sungai Hong ho.
pasukan Beng sedang menyusun kekuatan untuk bertahan
dan melakukan serangan balasan. Tetapi kekuatan pasukan
saja masih belum cukup kuat. Perlu harus membangkitkan
semangat rakyat untuk berjuang melawan musuh.
Huru Hara tertegun mendengarkan.
"Saat ini negara sedang memerlukan putera puterinya
untuk ikut berjuang membela tanah-air. Tenaga2 sesakti
engkau, amat dibutuhkan sekali. Mengapa engkau hendak
pulang ke gunung " Apakah engkau tak mau mengabdikan
dirimu untuk negara ?" kata mentri pertahanan Su Go Hwat
lebih lanjut. "Tetapi tayjin, hamba seorang pemuda gunung yang
bodoh dan tak berguna. Mana hamba dapat membela
negara ?" sahut Huru Hara.
"Engkau merasa bodoh dan tak berguna ?" seru Su Go
Hwat, "salah sebali anggapanmu itu. buktinya jenderal Ko
Kiat telah memilih engkau untuk mengawal barang
antarannya. Dan tadipun engkau mampu menghalau
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perampok yang hendak menganggu aku. Engkau seorang
pemuda yang sakti, apakah engkau tak mau
menyumbangkan kepandaianmu itu untuk negara ?"
"Tetapi tayjin . . . . "
"Apakah engkau mau bekerja pada jenderal Ko Kiai?"
"Tidak, tayjin."
"Mengapa?" "Dia jenderal temaha, suka merampas harta benda
rakyat!" Mentri pertahanan kerajaan Beng terkesiap mendengar
kata2 Huru Hara yang diucapkan dengan tegas dan tenang.
Walaupun kenyataannya memang begitu, tetapi jarang atau
hampir tak ada orang yang berani berkata blak-blakan
seperti Huru Hara. Diam2 mentri Su Go Hwat terkesiap
dan memuji keberanian Huru Hara.
"Loan Thian Te, apakah engkau dapat mempertanggungjawabkan
omonganmu itu?" "Dalam perjalanan mengantar barang sumbangan itu
hamba telah dihadang oleh beratus rakyat yang kelaparan.
Mereka mengatakan bahwa harta benda mereka telah habis
dirampok prajurit2 jenderal Ko Kiat."
"Tetapi itu kan perbuatan prajuritnya bukan dia?"
"Kalau dia seorang jenderal yang jujur, dia tentu akan
menghukum anakbuahnya itu. Jelas dia tentu sudah tahu
hal itu, mungkin juga atas perintahnya."
"Loan Thian Te . . . . "
"Waktu dia hendak masuk kota Yang-ciu te tapi ditolak
rakyat, dia marah dan melakukan pembunuhan besarbesaran
pada rakyat dari empat desa."
"Ya, kutahu." "Mengapa tayjin tak mau menindaknya?"
Su Go Hwat terkesiap. Dia benar2 tak menyangka
bahwa Huru Hara berani mengajukan pertanyaan begitu
terhadap seorang mentri pertahanan. Namun diapun makin
mendapat kesan bahwa Huru Hara itu seorang yang berani
dan jujur. "Loan Thian Te, tahukah engkau dengan siapa saat ini
engkau bicara?" "Tahu, tayjin," sahut Huru Hara, "paduka adalah Pengpo-
siang-si kerajaan Beng."
"Jika sudah tahu, apakah engkau anggap pertanyaanmu
tadi tepat engkau ajukan kepadaku?"
"Hamba adalah rakyat negeri Beng. Dan rakyatlah yang
menjadi dasar dari sebuah negara. Prajurit berperang tetapi
rakyatpun telah memberi amal bhaktinya kepada negara.
Membayar pajak, menghasilkan pangan dan melancarkan
kehidupan negara. Tanpa rakyat bagaimana mungkin
negara dapat berdiri. Tanpa pangan, bagaimana prajurit
dapat perang. Oleh karena melihat rakyat dibunuh secara
se-wenang2 oleh seorang jenderal bangsa kita sendiri, aku
berhak untuk mengutuknya. Sebagai orang atasan, layaklah
kalau paduka menindak jenderal kejam itu."
"Apakah engkau tak takut kalau aku marah karena
tersinggung atas ucapanmu itu lalu menghukummu ?" tanya
Su Go Hwat. "Tidak, tayjin," sahut Huru Hara, "hamba hanya
menyuarakan suara hati rakyat. Sama sekali hamba tak
bermaksud menyinggung perasaan tayjin. Seorang atasan
menindak orang bawahannya yang salah, adalah sudah
layak. Rakyat tentu akan pulih kepercayaannya terhadap
tayjin dan mereka tentu merasa gembira karena mempunyai
pengayoman. Namun jika kata2 hamba ini dianggap salah,
hambapun menurut saja apabila akan dihukum."
Diam2 Su Go Hwat terkejut dan memuji dalam hati.
Seorang pemuda yang cara dandanannya mirip seorang
pendekar.kesiangan, ternyata berani melantangkan kata2
yang begitu tajam. "Benar katanya," kata Su Go Hwat dalami hati, "untuk
membangkitkan rakyat supaya ikut berjuang bahu
membahu dengan tentara, haruslah melindungi hak2
mereka." "Tayjin, maafkan apabila kata2 hamba tak berkenan
dihati tayjin," kata Huru Hara.
"Tidak apa2, Loan Thian Te. Engkau memang
mengatakan yang sebenarnya. Memang seharusnya Ko Kiat
itu kutindak. Tetapi ketahuilah Loan Thian Te," kata Su
Go Hwat, "saat ini kita sedang menyusun kekuatan.
Kutahu, kalau para jenderal itu tidak akur satu sama lain
suatu pergantian atau pemecatan dan hukuman kepada
mereka, mungkin akan menimbulkan bahaya. Mereka
mempunyai anakpasukan. Kalau mereka membangkang
kita terpaksa mengambil kekerasan. Dan apabila mereka
terpojok, kemungkinan mereka akan menyebrang pada
musuh. Inilah yang tak kuharap. Oleh karena itu aku
terpaksa menempuh jalan lunak dan berusaha untuk
menyadarkan mereka."
Huru Hara mengangguk. Dia mengakui memang
pendirian mentri pertahanan itu benar. Tetapi ada juga
kelemahannya. "Tayjin, ibarat bisul, kalau tak lekas2 dipotong, kelak
tentu akan makin membengkak dan menganggu tubuh
kita," katanya. "Benar" sahut Su Go Hwat, "akupun menyadari hal itu
tetapi untuk sementara, aku belum perlu memotong bisul
itu. Apabila sudah tiba saatnya, tentulah takkan kubiarkan
bisul itu merusak tubuh kita."
"Terima kasih, tayjin."
"Loan Thian Te, aku suka dengan keberanianmu dan
kejujuranmu berbicara. Jika engkau suka, bekerjalah
padaku saja." Huru Hara terkejap. Ia tak mengira bahwa menteri
kerajaan Beng itu akan menarik dirinya
"Tetapi tayjin, hamba seorang anak gunung yang bodoh .
. . ." "Kuangkat engkau sebagai pengawalku peribadi. Saat ini
aku sedang melakukan perjalanan keliling ke daerah2 untuk
mengkonsolidasi (menghimpun) pasukan Beng di seberang
barat sungai Hong-ho. Kita harus menyusun kekuatan baru
untuk membendung serangan pasukan Ceng ke selatan.
Dalam tugas itu kuyakin tentu banyak rintangan dan
ancaman bahaya. Apabila engkau mau, engkau akan
menyertai perjalananku berkeliling kedaerah2 itu."
Huru Hara terkejut. Memang hal itu merupakan suatu
jalan baginya untuk menyumbangkan tenaganya kepada
negara. Dia sudah mendengar bahwa mentri Su Go Hwat
itu seorang mentrl yang jujur dan setia.
"Terima kasih, tayjin. atas kepercayaan tayjin kepada diri
hamba," kata Huru Hara, "tetapi saat ini hamba masih
harus menyelesaikan beberapa tugas. Setiap waktu tugas
hamba itu sudah selesai, hamba tentu akan menggabungkan
diri pada tayjin." "Hm, baiklah," Su Go Hwat lalu merogoh kedalam baju
dan kemudian berkata, "Loan Thian Te, saat ini keadaan
dalam negeri sedang kacau. Gangguan dan bahaya setiap
saat dapat menghadang di mana2. Maka terimalah lencana
lambang peribadiku. Apabila engkau mendapat kesulitan
dengan prajurit2 Beng tunjukkan lencana ini, mereka tentu
akan membebaskan dan bahkan akan memberi bantuan
kepadamu." "Terima kasih tayjin," ucap Huru Hara seraya
menyambuti lencana itu. Lencana itu tak lain adalah sebuah
cap nama terbuat dari batu kumala.
"Loan Thian Te, walaupun sekarang engkau tak dapat
mengiringkan perjalananku tetapi aku hendak memberimu
sebuah tugas, apakah engkau sanggup mengerjakan?" tanya
Su Go Hwat. "Apabila tayjin yang menitahkan, hamba tentu sanggup
melakukannya." "Baik," kata Su Go Hwat, "hubungilah kaum pendekar
dan tokoh2 persilatan yang cinta negeri dan himpunlah
kekuatan mereka kedalam sebuah wadah perjuangan guna
ikut berjuang menentang serangan pasukan Ceng.
Sanggupkah engkau ?"
Tanpa banyak pikir lagi Huru Hara terus menyatakan
kesanggupannya. Dan karena sudah tak ada hal yang perlu
dibicarakan lagi maka Huru Harapun mohon diri dan
rombongan mentri Su Go Hwat itupun melanjutkan
perjalanan Iagi. Waktu mendengar penuturan Huru Hara tentang
pertemuannya dengan mentri pertahanan, Wi sin-kay
berseru gembira, "Kuhaturkan selamat kepadamu, hiantit.
Peng-poh-siang-si Su tayjin telah memberi kepercayaan
besar kepadamu. Su tayjin memang mentri yang paling setia
dan gigih berjuang membela tanah-air. Mengapa engkau tak
mau menggabung kepadanya."
"Bukan tak mau tetapi aku masih ingin menyelesaikan
beberapa hal dulu.' "Hal apa?" "Pertama, menghadap jenderal Ko untuk me laporkan
tentang tugas yang diberikan kepadaku. Kedua akn hendak
mencari Bu Te sin-kun untuk mengambil kembali mustika
Giok-say itu. Apabila berhasil, aku akan mencari harta
karun itu dan akan kuberikan kepada rakyat serta para
pendekar pejuang. Setelah itu baru aku nanti datang kepada
Su tayjin." Wi sin-kay menyetujui langkah Huru Hara. Ketika tiba
di tempat kediamannya Ko Kiat, Wi sin-kay tak ikut
masuk. Yang masuk menghadap jenderal itu hanya Huru
Hara dan Cian-h-ji. "Hm, untung engkau datang," kata jenderal Ko Kiat
dengan nada dingin, "besok lusa aku sudah pindah ke lain
tempat." "Hamba hendak melaporkan tentang tugas yang jenderal
berikan itu telah kuselesaikan. Dan inilah surat balasan dari
jenderal Ui," kata Huru Hara seraya menyerahkan surat.
Waktu membaca, merah padamlah wajah Ko Kiat.
Sudah tentu hal itu diperhatikan juga oleh Huru Hara,
namun dia tetap tenang2 saja.
"Engkau bohong!" tiba2 jenderal Ko Kiat membentak
keras. "Bohong" Mengapa aku harus bohong" Apa saja yang
kubohongkan itu?" sambut Huru Hara.
"Dari mana engkau memperoleh uang sekian banyak
untuk jenderal Ui Tek Kong?"
"Lho, bukankah uang itu sumbangan dari jenderal
sendiri?" "Tidak .... ya. Tetapi yang engkau berikan kepadanya
bukanlah uang dari peti itu."
"Eh, mengapa jenderal mengatakan begitu?"
Ko Kiat memberi perintah kepada dua orang prajurit dan
prajurit itupun segera pergi. Tak lama kemudian mereka
kembali dengan menggotong sebuah peti. Ah, itulah peti
yang diantarkan Huru Hara.
Setelah Ko Kiat memerintahkan supaya tutup peti
dibuka maka dia berseru pula, "Lihatlah, peti itu masih
disini, bagaimana engkau berani mengatakan kalau sudah
engkau serahkan kepada jenderal Ui?"
Huru Hara diam. "Dan lihatlah isinya. Bukankah tidak berisi uang?"
"Ya, memang tidak berisi uang," sahut Huru Hara.
"O, jadi engkau sudah tahu" Kalau begitu tentu
sebelumnya sudah engkau buka dan engkau ambil
uangnya." "Tidak!" sahut Huru Hara, "bukankah dalam surat
balasan jenderal Ui, dia mengatakan kalau sudah menerima
uang sumbangan dari jenderal?"
"Bohong!" bentak Ko Kiat pula, "apa engkau kira aku tak
tahu tipu muslihatmu?"
"Silakan jenderal mengatakan kesalahanku."
"Engkau mengatakan dihadapan jenderal Ui bahwa uang
itu telah engkau bagi-bagikan kepada rakyat yang
kelaparan. Karena mentri pertahanan Su tayjin kebetulan
sedang berkunjung pada jenderal Ui, maka jenderal itu
sungkan dan menyetujui tindakanmu. Maka dia mengirim
surati balasan yang mengatakan kalau sudah menerima
uang sumbanganku. Pada hal engkau tidak membagibagikan
uang itu kepada rakyat tetapi engkau kantongi
sendiri!" "Tidak!" teriak Huru Hara, "aku tidak berbuat begitu.
Dan jelas peti itu tidak berisi uang melainkan hanya tanah
belaka. Mengapa jenderal mengirim barang semacam itu
kepada jenderal Ui" "Tidak, aku tidak mengisi peti itu dengan tanah," bentak
jenderal Ko Kiat, "mana mungkin aku mengirim peti berisi
tanah kepada jenderal Ui" Engkaulah yang telah membuka
peti itu, mengambil uangnya lalu menggantinya dengan
tanah. Hm, lekas mengaku saja, dimana engkau
menyimpan uang itu?"
"Tidak, tidak! Aku tidak mengambil uang itu," bantah
Huru Hara, "memang ketika bermalam di biara tua, telah
muncul seorang yang tak dikenai dan membuka peti itu.
Kemudian ada lagi yang datang dan bahkan mengambil peti
itu." "Lalu bagaimana jenderal Ui dapat membalas surat itu?"
"Sedianya hendak kuganti tetapi jenderal Ui menyatakan
tidak perlu." "Hm, engkau tentu membuka peti itu sebelumnya," kata
jenderal Ko Kiat tetap menuduh, engkau harus mengaku
atau . . . . " "Tidak," seru Huru Hara, "aku tidak membukanya.
Orang yang pertama datang itulah yang membongkar peti
itu sehingga aku baru tahu kalau isinya hanya tanah. Hm,
jenderal Ko, jangan menganggap bahwa sebagai seorang
jenderal engkau dapat berbuat semaumu sendiri saja. Apa
maksudmu mengirim tanah kepada jenderal Ui" Bukankah
engkau hendak mencelakai aku?"
"Prajurit, tangkap bangsat kurang ajar ini tiba2 jenderal
Ko Kiat marah dan berseru memberi perintah kepada para
pengawal. Beberapa prajurit segera muncul hendak menangkap
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Huru Hara. Tetapi sekonyong-konyong sesosok tubuh
pendek telah melesat dan tahu-tahu plak, plak, plak,
terdengar suara tamparan disusul dengan jeritan mengaduh.
Prajurit2 itu menjerit kesakitan karena mukanya ditampar
orang. Mereka tak melihat jelas siapa yang menamparnya
kecuali hanya sesosok bayangan kecil yang melayang cepat
seperti setan. 'Hi, hi, hi . . . . "
"Engkau setan pendek!" kembali prajurit2 itu berteriak.
Kali ini mereka berteriak marah dan mengetahui kalau
Cian-li-ji tertawa mengikik seraya menuding pada prajurit2
itu. Tahu kalau Cian-j li-ji yang menampar muka mereka,
prajurit2 itu pun segera ganti sasaran, bukan menangkap
Huru Hara seperti yang diperintahkan Ko Kiat, melainkan
menyerbu Cian-li-ji. "Bagus, hayo tangkaplah aku kalau kalian mampu,"
Cian-li-ji terus bergerak melesat mengelilingi mereka.
Gerakannya sedemikian pesat sepert setan.
"Tangkap bangsat ini!" teriak Ko Kiat kepada
pengawalnya. Sudah lazim di kalangan para panglima, jenderal2 dan
para pembesar tinggi pada masa itu, tentu masing2
mempunyai pengawal peribadi yang berilmu silat- tinggi,
demikian pula dengan Ko Kiat. Dia mempunya dua orang
pengawal yang hebat ilmusilatnya. Yang seorang bernama
Tek San, seorang jago perguruan Toan-kui-bun, bersenjata
sepasang golok. Dan yang seorang bernama Kwe Cing, jago
dari perguruan Hong-lui-bun yang mahir dalam ilmupedang
Hong-lui-kiam-hwat atau ilmupedang Petir-menyambar.
Begitu mendengar perintah Ko Kiat, kedua pengawal
itupun serempak mencabut senjata dan menerjang Huru
Hara. Tring, tring, tring. terdengar dering gemerincing dari
pedang golok yang beradu dengan benda keras, disusul
dengan pekik tertahan dari kedua pengawal itu ketika golok
dan pedang mereka terpental ke udara. Dan ketika masih
tertegun, tahu2 sesosok bayangan setan melesat dan plak,
plak, aduh . . . aduh.....
Kedua pengawal itu menyurut ke belakang sembari
mendekap mulutnya yang berlumuran darah. Lagi2 kakek
kate Cian-li-ji yang gatal tangannya, terus melesat dan
menampar pipi kedua pengawal itu sehingga gigi mereka
sampai putus. Ko Kiat terkejut. Serentak dia berbangkit seraya lari
masuk dan berteriak memberi perintah. Serentak muncullah
seregu prajurit yang siap, dengan busur terentang di tangan.
"Hayo, menyerah atau mati !" teriak seorang perwira
yang menjadi pimpinan regu pemanah itu.
"Paman Cian, ikutilah tindakanku," bisik Huru Hara.
Kemudian dia menjawab ancaman peiwira itu," Aku tak
bersalah mengapa harus menyerah ?"
"Jangan banyak mulut, ini perintah jenderal!" bentak
perwira itu. "Hm, memang benar kata orang. Dibawah pimpinan
jenderal bebodoran, tentu tak ada prajuritnya yang baik.
Tidak, aku takkan menyerah !'
"Panah !" serentak perwira itupun memberi aba-aba.
Serenpak berpuluh-puluh anakpanah segera mencurah
kearah Huru Hara. Tetapi mereka memekik kaget ketika
menyaksikan cara Huru Hara menangkis serangan itu.
Ternyata dengan tangkas Huru Hara telah menyambar
tubuh seorang prajurit yang menggeletak lalu diputar-putar
seperti baling-baling. Puluhan batang anakpanah itu
bersarang ditubuh prajurit malang itu. Sudah tentu barisan
pemanah kesima dan hentikan serangannya.
"Nih, terimalah kawanmu !" Huru Hara me lontarkan
tubuh prajurit itu kearah barisan pemanah. Pada saat
mereka menjerit kaget, Huru Hara sudah melesat untuk
meringkus perwira itu. Dan pada saat yang bersamaan,
sikate Cian-li-ji pun angot lagi penyakitnya,
Wut.. , . sesosok bayangan kecil berkelebat kearah
kawanan prajurit pemanah itu dan plak,"plak, plak"..
aduh".aduh, "aduh ..... terdengar jerit gemuruh dari regu
prajurit pemanah itu karena mulut mereka ditampar orang.
Mereka berdesak-desak mundur sambil mendekap mulut
mereka yang berdarah karena giginya putus.
Cian-li ji gembira sekali karena dapat melampiaskan
kegemarannya menampar pipi atau mulut orang. Makin
banyak yang ditampar, makin puaslah hatinya.
'"Jalan," terdengar Huru Hira membentak pada perwira
kepala regu pemanah yang telah di lingkus dan digusurnya
keluar. Setelah rasa sakitnya berkurang, kawanan prajurit
pemanah itu teringat akan tugasnya lagi. Mereka marah
sekali karena ditampar oleh orang kate itu. Serempak
mereka bersiap merentang busurnya lagi.
"Mau memanah " Boleh, boleh, hayo panahlah !" seru
Huru Hara seraya menghadapkan perwira itu kearah
kawanan prajurit. "Berhenti !" teriak peiwira itu dengan ketakutan karena
tahu dirinya akan dijadikan perisai oleh Huru Hara.
Kawanan pemanah itupun menurut. Dan Huru Harapun
menggusur perwira itu keluar. Prajurit penjaga pintu
terkejut tetapi mereka terpaksa tak berani bertindak karena
perwira itu meminta mereka supaya memberi jalan.
Demikianlah dengan tindakan yang berani, mengamuk
dan meringkus seorang peiwira sebagai sandera, dapatlah
Huru Hara dan Cian-li-ji keluar dari gedung kediaman
jenderal Ko Kiat. "O, apakah yang telah terjadi ?" Wi sin-kay menyambut
kedua orang itu dengan terkejut.
"Mari kita tinggalkan tempat ini. Nanti akan kuceritakan
lagi," kata Huru Hara. Ia lepaskan perwira itu, '"kembalilah
dan sampaikan kepada jenderalmu. Pada satu hari aku akan
menghadapinya lagi untuk minta keterangan mengenai
kirimannya peti yang berisi tanah itu !"
Setelah perwira itu pergi, Huru Hara lalu menderitakan
peristiwa yang dialaminya dengan jenderal Ko Kiat.
"Lalu kemanakah hian-tit hendak pergi sekarang ini?"
tanya Wi sin-kay. "Mencari Bu Te sin-kun untuk merebut Giok-say itu,"
sahut Hura Hara. ==000== II. Blo"on yang blo'on Marilah kita tinggalkan dulu perjalanan Huru Hara yang
hendak memburu jejak Bu Te sin-kun itu. Seperti telah
dikatakan pengemis sakti Wi sin-kay, Bu Te sin-kun itu
seorang tokoh yang misterius. Bagaimana pendiriannya dan
betapa muncul lenyapnya, tak ada orang yang dapat
menduga. Memang tak mudah untuk mencari orang itu
namun Huru Hara bertekad keras untuk menghadapi tokoh
yang membanggakan diri sebagai Bu tek sin-kun atau jago
tanpa tanding. Kita ikuti kisah perjalanan si nona cantik Han Bi Ing dan
pemuda cakap Wan-ong Kui. Keduanya sama tujuan tetapi
beda maksudnya. Sama2 hendak mencari si Blo'on tetapi
lain rencananya. Han Bi Ing hendak menyerahkan surat wasiat dari
ayahnya yang mengatakan kalau Blo'on itu adaIah calon
suaminya. Sedang Wan-ong Kui hendak menuntut balas
dendam kepada Blo"on.
Setelah menyeberangi sungai Tiang-kang, hari itu kedua
muda mudi itu memasuki daerah gunung Lu san. Han Bi
Ing naik dalam kereta, Wan-ong Kui mengawal dengan
naik kuda. Sementara peti hartapun dimasukkan dalam
kereta. Mereka menyewa seorang kusir.
Karena hari panas dan sejak pagi sudah menempuh
perjalanan maka Wan-ong Kui memerintahkan kereta
supaya berhenti beristirahat. Kusir kereta itu bernama Thia
Kim, bertubuh kekar. "Paman Thia," kata Wan-ong Kui membuka
pembicaraan setelah beristirahat dan minum, "sepanjang
perjalanan tampaknya keadaan rakyat makin gelisah.
Apakah tentara Ceng sudah menyeberang sungai Hongho?"
"Kudengar pasukan Ceng sudah mulai mengadakan
persiapan untuk menyerang ke selatan, menggempur kota
Lam-kia. Walaupun daerah ini termasuk barat sungai
Tiang-kiang yang jauh dari daerah peperangan, tetapi
rakyat memang sudah hidup dalam kegelisahan."
"O, apakah musuh sudah merembes ke arah sini?" tanya
Wan-ong Kui pula. "Induk pasukannya memang masih berada di perairan
Hong-ho, tetapi mereka telah mengirim antek2, mata2 dan
cecunguk2 menyusup kedaerah pedalaman untuk mengacau
dengan berbagai cara. Mengadu domba golongan dengan
golongan, pembesar dengan pembesar agar tercipta suatu
iklim kekacauan dan perpecahan. Kemudian mereka
melancarkan anjuran supaya memberontak saja kepada
kerajaan Beng yang sudah jelas diambang kehancuran,
kemudian menggabung pada kerajaan Ceng. Kerajaan Ceng
pasti akan menyambut kedatangan mereka dan tentu akan
memberi pangkat dan kedudukan tinggi kepada mereka
yang mau bekerja kepadanya."
Wan-ong Kui menghela napas, "Negara kacau, memang
segala kutu busuk akan bermunculan untuk ikut
menggerogoti kerajaan."
"Bagaimana rencana kongcu (tuan ) setelah tiba di Louhu-
san nanti?" tanya kusir kereta itu.
"Terus terang, paman," kata Wan-ong Kui, "tujuanku
adalah hendak mencari Kim Blo"on."
"O, Kim Blo"on putera dari Kim Thian Cong tayhiap
itu?" tanya kusir kereta.
"Ya. Kenalkah engkau dengan dia?"
Kusir kereta gelengkan kepala, "Dengan Kim Blo'on aku
tak kenal tetapi aku pernah bertemu dengan Kim Thian
Cong tayhiap. Dia memang seorang pendekar besar yang
harum namanya. Seorang pejuang yang pernah membikin
pusing tentara kerajaan Kim tempo dulu."
Wan-ong Kui menghela napas dalam hati. "Ah, beda
sekali ayah dengan puteranya itu."
"Kongcu, maaf, perlu apakah engkau hendak mencari
Kim Blo'on itu?" tanya kusir Thia Kim.
Wan-ong Kui terkesiap. Setelah diam sejenak dia
merjawab, "Aku hanya mengantar nona itu" Dia adalah
calon isteri Kim Blo'on."
"Calon isteri Blo'on" Ya allah, masakan nona secantik itu
mau dijodohkan dengan Blo'on," kata kusir kereta yang
mengaku bernama Thia Kim itu.
"Menurut keterangannya, sejak kecil nona itu sudah
ditunangkan oleh orangtua mereka," kata Wan-ong Kui,"
dan apakah Blo'on itu tidak cakap?"
"Uh, namanya saja Blo'on, mana ada orang blo'on yang
cakap!" "Eh, paman Thia, jangan menghina orang. Andaikata
aku seorang gadis, biar blo'on kalau aku sudah cinta, aku
tetap mau menjadi isterinya," kata Wan-ong Kui agak
marah. Melihat Wan-ong Kui kurang senang, Thia Kim buru2
menyusuli kata2, "Ah, aku hanya bergurau saja, harap
kongcu jangan marah. Memang jodoh itu sukar dikata. Tak
dapat diukur dengan wajah cantik dan harta. Pokoknya
kalau sudah mau sama mau, biar loyangpun dianggap
emas." Tengah mereka asyik berbicara, tiba-tiba terdengar
desing anakpanah melengking di angkasa. Rupanya
anakpanah itu memang diperlengkapi dengan suituan. Dan
beberapa saat kemudian terdengar gemuruh derap kuda dan
muncullah lima penunggang kuda yang terus mengelilingi
kereta Han Bi Ing. Serempak pula dari balik gerumbul
semak bermunculan beberapa orang. Mereka ternyata
memang anakbuah kelima penunggang kuda itu yang telah
sejak lama bersembunyi dalam gerumbul.
Pemimpin dari kelima penunggang kuda itu, bertubuh
tinggi, rambutnya sudah putih, umur di antara 50-an tahun.
Tetapi mukanya masih berwarna merah segar, sepasang
matanya berkilat-kilat tajam. Yang termuda dari kelima
penunggang kuda itu seorang pemuda berumur 20 tahun
lebih, berwajah putih, alis lebat, tubuhnya gagah.
Kelima orang itu masing2 mengenakan mantel kulit
harimau beraneka warna. Yang paling tua bermantel
harimau gembong, yang kedua bermantel kulit harimau
loreng, yang ketiga bermantel harimau hitam, yang keempat
kulit harimau tutul dan yang kelima si pemuda gagah tadi
bermantel kulit harimau putih.
"Celaka, kongcu, mareka adalah Lu-san-ngo-hou," bisik
kusir Thia Kim. "Bangsa perampok?" tanya Wan-ong Kui.
"Gerombolan penyamun dari dunia Liok-lim yang
termasyhur. Jaman aman saja mereka sudah sering
mengganggu keamanan, apalagi negara sedang kacau
seperti sekarang ini. Di mata mereka seolah tiada beraja
lagi." Yang tertua bermantel kulit harimau gembong segera
berseru, "Mengapa engkau berani, melintasi daerah Lu-san
ini tanpa minta idin kepada kami Lu-san-ngo-hou (lima
harimau gunung Lusan) ?"
Kusir Thia Kim diam saja karena dia tak berani
melancangi Wan-ong Kui. Tetapi ternyata Wan-ong Kui
juga diam tak menyahut. "Hai, apakah kalian tuli ?" teriak lelaki bermantel kulit
harimau gembong itu. Namun Wan ong Kui tetap diam, sedangkan Thia Kim
hanya menunduk. "Kurang ajar, kalian berani tak mengacuhkan aku ?"
teriak lelaki itu pula seraya mencabut cambuk, "kamu hai,
jawab, siapa pemilik kereta itu ?" bertanya kepada Thia
Kim. "Ampun hohan, aku hanya kusirnya. Kongcu inilah yang
berkuasa," kata Thia Kim seraya mengerling mata kearah
Wan-ong Kui.
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hai, anakmuda, mengapa diam saja ?" bentak lelaki itu.
'"Apakah engkau bertanya kepadaku ?" Wan-ong
tenang2 menjawab, "Setan, siapa lagi kalau bukan engkau !"
"Kami berjumlah dua dan engkau tidak menunjuk salah
satu diantaia kami berdua. Haruskah kami berdua
menjawab semua ?" "Ha, ha, ha," diluar dugaan lelaki bermantel kulit
harimun gembong itu tertawa," cantik genit seperti
anakperempuan. Ho, banci, mengapa engkau berani
melalui hutan ini tanpa lapor kepadaku ?"
"Milikmukah hutan ini ?"
"Dunia lioklim (kalangan penyamun) sudah tahu bahwa
daerah Lusan adalah dalam kekuasaan Lu-san-ngo-hou.
Mengingat engkau baru pertama kali ini lewat disini maka
jiwamu kuampuni tetapi kereta itu harus engkau tinggal."
"Tetapi kereta itu tak berisi apa2 kecuali seorang gadis,"
seru Wan-ong Kui. "Itu lebih baik," seru lelaki bermantel kulit harimau
hitam yang umurnya disekitar 35 tahun.
Sejenak berpikir, Wan-ong Kui. menjawab, "Soal itu
akan kurundingkan dulu dengan nona yang berada dalam
kereta." Dia terus menghampiri kereta dan masuk kedalam
gerbong, "Ing-moay, kita dihadang oleh kawanan
penyamun." "Lalu bagaimana." tanya Bi Ing dengan cemas.
"Tak perlu kuatir," Wan-ong Kui menghibur, "rasanya
aku masih sanggup menghadapi mereka. Teiapi karena
mereka berlima, maka dikuatirkan aku sampai tak dapat
meljndungi engkau engkau harus dapat menjaga diri
sendiri." Ia mengeluarkan sebuah kantong kain dan berkata,
"Kantong ini.berisi bubuk Hu-bi-an (bubuk penghancur
kulit). Apabila ada salah seorang yang berani masuk kesini,
tabur saja mukanya tentu hancur."
"Tetapi mengapa tak engkau pakai sendiri " tanya Bi Ing.
"Bubuk itu harus ditaburkan dari jarak dekat dan hal itu
memang tepat untukmu. Karena engkau tak memiliki
ilmusilat. Sudahlah, bubuk ini tentu akan menolongmu,"
kata Wan-ong Kui, lalu menyerahkan kantong itu dan terus
menyelinap keluar. Ia menghampiri kusir Thia Kim dan
berbisik, "Paman Thia, jagalah kereta siocia ini. Kalau aku
sampai terdesak, berusahalah larikan kerata itu dan
lindungilah siocia !"
Setelah memberi pesan Wan-ong Kui segera maju
kehadapan kelima penyamun itu.
"Nona dalam kereta itu ingin tanya, siapakah nama
kalian berlima ini," serunya.
"Aku Macan-gembong Beng Ho," kata lelaki bertubuh
tinggi lalu menujuk berturut kepada keempat kawannya,"
dan ini Macang-loreng Beng Wan, Macan - hitam Beng
San, Macan tutul Beng Gi dan Macan-putih Beng Lok. Dan
siapa namamu ?" "Wan-ong Kui" "Wan-ong Kui " Engkau setan-penasaran " Mengapa
penasaran " Kepada siapa engkau penasaran ?"
"Kepada setiap orang yang jahat, yang suka membunuh,
suka membegal, suka memeras, suka".."
"Cukup!" seru Macan-gembong Beng Ho, jadi engkau
anggap dirimu itu seorang pendekar yang hendak
memberantas kejahatan " Ho, engkau benar2 seorang
pendekar kesiangan yang tak tahu kenyataan. Dunia sudah
kacau, negara rusak, jaman edan. Orang Boan-ceng
merampas kerajaan Beng, raja Beng bersenang-senang
dengan arak dan wanita cantik. Mentri2 dorna sibuk
mengumpulkan harta, jenderal-jenderal giat merampok
tanah dan harta benda rakyat. Mengapa engkau masih
bermimpi menjadi pendekar kesiangan?"
"Suasana, negara dan dunia kacau, bersumber pada jiwa
manusia. Jaman edan, apakah kita harus turut edan" Yang
edan biar edan, tapi yang waras jangan ikut edan. Engkau
mengejekku sebagai pendekar kesiangan karena engkau
pura2 edan dan merasa berhak untuk merampok harta
orang !" "Ho, mengingat engkau seorang lelaki yang cantik, aku
dapat mengampuni. Tetapi bagaimana keputusanmu"
Tinggalkan kereta itu dan engkau boleh pergi atau engkau
mau ikut aku sekalian, juga boleh."'
"Sudah kurundingkan," sahut Wan-ong Kui dan nona
itupun sudah menyerahkan keputusannya kepadaku.
Terserah bagaimana aku akan memutuskan."'
"Bagus, engkau tentu setuju, bukan?"'
'Ya."' "Wah, engkau benar2 seorang pemuda yang baik, pintar
dan tahu gelagat."' "Jangan terburu-buru mengobral pujian dulu.
"Lho, apa lagi?" Macan-gembong Beng Ho terkesiap.
"Yang mengawal kereta itu, bukan hanya aku seorang,
tetapi masih ada seorang kawanku lagi. Aku setuju
menyerahkan kereta itu kepadamu tetapi kawanku tidak
mau." "Setan," seru Beng Ho, "mana kawanmu itu?"
"Ini," tiba2 Wan-ong Kui mencabut pedang dari
pinggangnya." "O, engkau hendak melawan" Ha, ha, ha," Beng Ho
tertawa, "tak nyana kalau seorang pemuda seperti anak
perempuan begitu, berani mempermainkan Lu-san-ngohou.
Masih kuberi kesempatan yang terakhir kepadamu,
lebih baik engkau menyerah saja. Bukankah sayang kalau
pemuda yang secantik engkau akan menjadi mayat
berlumuran darah?" "Apa boleh buat, aku terpaksa harus menuruti kehendak
kawanku ini. Dan belum tentu siapa yang akan menjadi
mayat berlumuran darah nanti."
"Toako, tak perlu banyak bicara dengan pemuda banci
itu. .Kita bekuk saja . . . . "
Baru- Macan-loreng Beng Wan berkata begitu karena tak
sabar lagi mendengar pembicaraan Beng Ho dengan Wanong
Kui, tiba2 terdengar derap kuda berlari dan pada lain
saat muncul dua orang penunggang kuda. Seorang lelaki
tua berumur 60-an tahun dan seorang dara berumur 16-an
tahun. Melihat kedatangan kedua orang itu, berobah!ah
wajah Macan-gembong Beng Ho.
"Ai, Tong loya, telinga kalian benar2 tajam sekali!" seru
Beng Ho. Penunggang kuda lelaki tua itu tertawa hambar, "Apakah
engkau takut kalau tanganku juga panjang?"
Beng Ho tertawa, "Ah, Tong loya bergurau. Masakan
Tong loya juga tertarik akan barang dagangan yang tak
berharga ini" Kuharap Tong loya suka melonggarkan
tangan." Lelaki tua yang disebut Tong loya itu deliki mata, "Kalau
begitu, kalian tak senang atas kedatanganku ini?"
Si dara juga tertawa mencibir, "Harimau itu memang
binatang serakah. Engkong, Macan gembong Beng Ho ini
takut kalau harus membagi hasil kepada kita maka dia
berusaha untuk mengambil muka pada engkong."
Kalau tadi sikap Beng Ho begitu garang terhadap Wanong
Kui, sekarang berhadapan dengan engkong dan
cucunya seorang dara i tu mereka tak berani berkutik.
Bahkan disindir secara terang-terangan oleh sidara, Beng
Ho hanya tertawa, "Ah, mana aku berani begitu terhadap
Tong loya. Kami gembira sekali atas kedatangan Tong loya
dan nona In Hong. Nona In Hong tahun ini kan sudah
berumur 17 tahun, apakah nona sudah mendapat tempat ?"
Drra yang disebut dengan nama ln Hong itu deliki mata,
"Macan-gembong, apakah engkau buta " Urusan yang
penting engkau berusaha menghindar, sekarang mau
menggarap soal diriku. Jangan ngaco belo tak keruan. Apa
engkau kira aku tak berani menampar mulutmu yang lebar
itu ?" Macan-gembong Beng Ho tertawa gelak2, "Nona In
Hong, sekarang ini aku akan bicara soal yang penting.
Kupercaya engkong nona tentu tak memandang mata pada
dagangan sekecil ini. Tetapi karena kalian sudah datang
akupun tentu akan menghaturkan persembahan kepada
kalian, Dan parsembahan kami itu akan kami laksanakan
waktu nona In Hong akan keluar pintu ( menikah ) nanti.
Tetapi ah, ka nona kalian sudah datang kemari akupun
harus menghaturkan persembahan. Kalau banyak aku tak
kuat. Aku hanya kuat menghaturkan Iima ratus taji emas
harap suka terima." Begitu mudah kelima penyamun dari Lusan
menyerahkan sekian banyak uang, jelas betapa besar rasa
takut mereka terhadap kakek dan cucunya itu.
Karena kusir Thia Kim terpisah jauh menjaga di depan
kereta, terpaksa Wan-ong Kui tak dapat bertanya. Ia heran
siapakah orangtua yang disebut Tong loya dan cucunya
yang bernama In hong itu" Mengapa kelima benggolan
penyamun dari Lusan begitu takut kepada mereka" Ah,
Tong loya itu tentu seorang jago yang lihay.
Kembali si dara In-hong tertawa dingin, serunya, "Beng
lo-hou, engkau mengatakan menyambut gembira
kedatangan kami kesini. Tetapi mengapa engkau keluar dari
sarangmu mencari mangsa agak jauh. Apakah itu tidak
berarti kalian hendak menghindari kami?"
Macan-gembong Beng Ho pura2 terkejut, "Ayah kalian
sudah datang ke sarang kami" Maaf, aku tak tahu sehingga
tak dapat menyambut bagaimana mestinya. Nona In,
karena kuatir akan membikin kaget engkong nona, maka
aku mencari mangsa agak jauh. Harap nona jangan salah
faham, karena nona sudah datang maka aku tentu akan
menghaturkan limaratus tail emas itu sebagai sumbangan
apabila kelak nona menikah."
"Uh, siapa mengiler dengan limaratus tail emas itu?"
dengus In Hong. "Kalau begitu, tolong tanya apakah maksud kedatangan
Tong loya dan nona In Hong ini" Aku pasti takkan
mengecewakan pada nona In," kata Beng Ho.
"Benar, aku memang tak mau pulang dengan, kecewa.
Aku tak menghendaki emas tetapi orang!" sahut In Hong.
Beng Ho terkejut, "Engkau menghendaki orang" Siapa?"
"Beng lo-hou, terus terang saja sebenarnya aku malas
keluar. Tetapi karena Hong terus merengek-rengek hendak
melihat mempelai perempuan, terpaksa aku harus
menemaninya." "'Mempelai perempuan yang mana?" Beng Ho makin
heran. "Jangan pura2 tak tahu," lengking In Hong "yang berada
dalam kereta itu apa bukan mempelai perempuan"
Kudengar dia cantik sekali maka aku sengaja datang kemari
hendak melihatnya!" Tiba-tiba angin meniup keras dan kain tenda kereta
itupun tersingkap. Sekalian ormg mencurah pandang.
Tampak dalam gerbong kereta itu seorang nona cantik
tengah duduk dengan tenang. Sedemikian tenang seperti tak
memperdulikan dan mendengarkan apa yang sedang terjadi
di luar. Wan-ong Kui mengira kalau Bi Ing tentu akan terkejut
menyaksikan sekian banyak orang di luar kereta tetapi
ternyata nona itu diam saja.
"Ai, benar2 seorang cantik yang tiada tandingannya.
Engkong, aku suka pada taci itu. Aku ingin mengajaknya
supaya tinggal di rumah kita selama beberapa hari," seru In
Hong. Engkongnya yang bernama Tong Kui Tik, hanya
tertawa, "Ada pengawalnya, engkau harus minta idin dulu
kepada pengawalnya itu. In Hong terus langsung bertanya kepada Wan-ong Kui,
"Engkoh yang baik, aku hendak mengajak taci dalam kereta
itu ke rumahku dan tinggal beberapa hari disana. Engkau
tentu tak keberatan, bukan?"
"Wah, berabe nona." sahut Wan-ong Kui.
"Apanya yang berabe" Dia seorang gadis dan akupun
juga anak perempuan, kita sama-sama wanita, apanya yang
berabe" Hanya kuminta supaya tinggal beberapa hari saja di
rumahku masakan sampai menganggu pernikahannya" Aku
juga dapat mengantarkannya kepada calon suaminya, tak
perlu engkau repot2 lagi. Bukankah engkau akan lebih
ringan bebanmu disamping engkau bakal terlolos dari
ancaman kelima harimau di Lusan sini?"
Sebelum Wan-ong Kui menjawab, rupanya Macan-putih
Beng Lok yang paling muda diantara kelima macan itu, tak
sabar lagi dan terus berseru, "Nona In, kalau engkau mau
ikut dalam perdagangan ini, aku sih tak keberatan. Tetapi
menurut peraturan dalam Rimba Hijau ( dunia penyamun ),
kan ada bedanya antara yang datang dulu dengan yang
datang belakangan." Ternyata si Macan-putih Beng Lok itu telah berobah
pendiriannya. Semula seperti keempat saudaranya, dia
hendak merampas peti uang dalam kereta itu. Tetapi tadi
waktu melihat kecantikan Bi Ing, tergeraklah hatinya. Dia
ingin mendapatkan nona itu sebagai istetinya.
In Hong deliki mata, "Engkau tak setuju bukan?"
Buru-buru Macan-gembong Beng Ho campur bicara,
"Harap nona jangan bergurau. Kita sekarang bicara secara
serius. Lepaskan nona itu dan kami akan menghaturkan
limararus tail emas di tambah lagi dengan limaratus tail
perak. Tetapi harap nona jangan mengganggu kami lagi."
"Siapa ngiler pada emasmu itu ?" In Hong tertawa
mengejek, "Aku hendak mengajak nona pengantin itu
pulang, nanti aku akan kembali kesini memberimu
limaratus tail emas. Jangan engkau campur tangan lagi."
"Ah, tidak bisa." seru Macan-putih Beng Lok, "manusia
mempunyai muka dan pohon punya kulit. Kalau dagangan
yang diurus keluarga Beng sampai direbut orang ditengah
jalan, kelak bagaimana kami dapat berdiri di dunia
persilatan lagi" Toako, jangan menerima !"
Bukan karena Macan-putih Beng Lok tak tahu betapa
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lihaynya jago tua Tong Kui Tek itu, tetapi dia
memperhitungkan, jika dia berlima saudara maju
menempur kakek dan cucunya itu, tentulah dapat
menghadapi. Pada saat suasana memuncak dalam ketegangan,
sekonyong-konyong terdengar pula suara ringkik kuda dan
kembali seorang penunggang kuda muncul.
Dia seorang lelaki berumur 30-an tahun, dandanannya
seperti seorang sasterawan, tangannya mencekal sebatang
kipas. "Mana mempelai perempuannya " Aku juga ingin lihat,"
selekas datang dia terus nyelonong bicara.
Saat itu kusir Thia Kim sedang membenahi tenda kereta
untuk ditutup lagi. Tetapi mata sasterawan yang celi itu
sudah dapat melihat Bi Ing yang cantik.
"Bagus" dia serentak berseru gembira: "banyak sudah
nona dan gadis kota yang kulihat, tapi jarang sekali sepeiti
nona mempelai yang berada dalam kereta itu. Benglo-hou
(macan tutul Beng), kuberimu seribu tail emas dan kasihlah
mempelai cantik itu kepadaku !"
"Kentut!" Macan-gembong Beng Ho marah "apakah
engkau hendak menghina aku " Pergilah engkau tukang
petik bunga. Dalam lingkungan seratus li dari lembah limamacan
ini, jangan engkau berani campur tangan !"
Sastrawan yang berwajah pucat itu berkipas seraya
tertawa, "Macan tua Beng, jangan pura2 suci. Kalau engkau
menghendaki harta dan orang engkau pasti akan menggigit
jari. Lebih baik engkau yang mendapat uang dan aku
sicantik itu. Dengan begitu kita masing2 mendapat hasil,
apa tidak enak ?" Sebenarnya Macan-tua Beng Ho itu takut kepada
sasteravvan pucat. Andaikata jago tua Tong Kui Tek tidak
berada disitu, tentuiah dia akan berunding untuk tawar
menawar dengan sasterawan berwajah pucat itu. Tetapi
karena sekarang dihadapan Tong Kui Tek, sudah tentu
Beng Ho| menjaga gengsi. "Rase buduk, apa engkau tak tahu peraturan Rimbau
Hijau " Jelas engkau takan mendapat bagian dari
perdagangan ini!" "Tetapi aku tetap hendak minta bagian, engkau mau apa
?" sasterawan berwajah pucat itu tertawa menyeringai.
Sebelum Macan-gembong Beng Ho menjawab,, si dara
In Hong sudah menyelutuk, "Orang she San, boleh saja
engkau hendak ikut minta bagian tetapi engkau harus
menyerahkan suatu barang !"
Sasterawan berwajah pucat itu bernama Sun Kian,
seorang Don Yuan tukang merusak wanita atau istilahnya
dalam dunia persilatan disebut Jay- hoa-cat (penjahat
tukang petik bunga). Dia memiliki ilmu menutuk jalan
darah yang lihay serta tenaga-dalamnya juga tinggi, tetapi
karena terlalu mengumbar nafsu dengan wanita, mukanya
jadi pucat seperti mayat. Senjatanya adalah kipas. Kipasnya
itu bukan kipas biasa tetapi kerangkanya dari baja dan
daunnya juga dari plat baja yang tipis. Dapat digunakan
untuk menutuk jalan darah lawan. Thiat-san-jay-hoa-seng
atau Sastewan kipas-besi-pemetik-bunga, demikian orang
persilatan memberinya julukan.
Sun Kian tertawa, "Barang apa " Kalau engkau nona In
Hong yang minta, sekalipun bintang di langit, tentu akan
kupetikkan." Dara In Hong tertawa dingin, "Bintang untuk penghias
langit, menerangai bumi. Tak perlu bagiku. Cukup aku
minta sepasang gundu matamu saja. Lekas, koreklah sendiri
!" Sun Kian tertawa, "Ah, nona In, mengapa minta yang itu
" Kalau tak punya gundu mata bagaimana aku dapat
menikmati wanita cantik " Perlu apa aku harus hidup lagi "
Nona In, permintaanmu itu terlalu tinggi. Minta saja yang
lain, aku pasti akan melakukan."
"Sudah kukatakan aku tak butuh apa2 lagi. Uang dan
mainan sudah cukup banyak. Hanya gundu mata itu yang
belum punya." "Jangan bergurau nona In !"
"Siapa yang bergurau ?" sahut In Hong lalu berseru,
"engkong, dia tak mau mengorek biji matanya, sendiri.
Terpaksa kita harus mengoreknya. Engkong yang turun
tangan atau aku saja ?"
-oodwoo- Jilid: 07 Hiruk pikuk. Mendengar kata2 dara In Hong, sekalian orang tampak
tegang, terutama sasterawan mata ke keranjang itu.
Tong Kui Tek, engkong dari si dara, berkata tenang",
"Tak perlu terburu-buru, dia kan belum turun tangan!"
Dengan kata2 itu Tong Kui Tek hendak memberi
peringatan bahwa apabila Sun Kian berani bertindak, Tong
Kui Tek tentu akan mengorek biji matanya.
Sasterawan tukang merusak wanita tenang2 saja
bersenyum. Tetapi sebenarnya dalam hati dia juga gentar
dan tak berani bertindak lebih lanjut.
Wan-ong Kui telah memperhitungkan situasi luar itu.
Kawanan begal dan penjahat itu tentu akan saling berebut.
Dia harus gunakan akal untuk mengadu domba mereka.
"Hm, apakah kalian anggap kereta itu milik kakek
moyang kalian?" serunya dengan geram, "masakan
seenaknya sendiri saja kalian mengadakan pembagian rejeki
seolah-olah harta dan nona dalam kereta itu sudah menjadi
milik kalian?" Macan-gembong Beng Ho tertawa gelak2, "O, engkau
mengira engkau masih berhak memiliki barang yang engkau
antar itu?" "Aku yang mengantar, aku yang bertanggung jawab,"
sahut Wan-ong Kui dengan marah, "kalau kalian hendak
merampok, harus tanya dulu pada pedangku ini apakah
mau menyerahkan atau tidak kepada kalian!"
"Uh, yang punya kewajiban, rupanya mulai unjuk gigi.
Lalu bagaimana kita?" Tong Kui Tek tertawa.
"Karena aku yang datang lebih dulu maka aku yang akan
menghadapi pengawal itu," kata Macan-gembong Beng Ho,
"Tong loya, kalau aku sampai rubuh, baru nanti engkau
yang maju!" Dengan kata2 itu Beng Ho menyatakan bahwa menurut
peraturan dunia Rimba Hijau, yang datang lebih dulu, dia
yang berhak pada barang itu.
Tong Kui Tek tertawa gelak2, "Bagus, memang dengan
cara itu, kita tak saling merusak persahabatan. Sun laute,
engkau harus antri di belakangku. Kalau nanti aku kalah,
barulah engkau yang maju !'
Sebenarnya Sun Kian tak puas diatur begitu. Pengawal
kereta itu hanya seorang pemuda yang cakap seperti anak
perempuan. Tentu mudah bagi kelima harimau Lusan
untuk mengalahkannya. Dan kalau kelima harimau itu
menang, mereka tentu akan minta bagian yang paling
banyak. Kalau soal harta, itu sih boleh saja, terserah kalau
diambil mereka semua. Tetapi kalau mereka juga akan
mengambil mempelai perempuan, ah, dia pasti akan
menggigit jari. Dan diapun tahu bahwa di kalangan kelima
macan Lusan itu, Macan-putih Beng Lok juga paling gemar
akan paras cantik. Hampir saja Sun Kian hendak menentang ucapan Tong
Kui Tek tetapi tiba2 terlintas dalam pikirannya, "Ah, dara
cucu Tong Kui Tek itu juga menghendiki si mempelai
perempuan tak mungkin dia akan menyerahkan begitu saja
kepada ke lima harimau Lusan. Hm, biarlah aku menerima
saja. Kalau lelaki tua dengan si dara itu nanti ribut dan
bertempur dengan kelima macan Lusan, mereka tentu akan
sama2 menderita luka. Pada waktu itulah aku baru turun
tangan untuk membereskan mereka semua. Tetapi kalau
sekarang aku menentang tentulah aku yang akan bertempur
deng an kelima macan Lusan itu."
Demikian setelah memperhitungkan untung ruginya,
akhirnya Sun Kian mengangguk tanda setuju.
"Nah, kalau begitu silakan saja engkau maju, macan
tua," seru In Hong. "Jangan kuatir, nona In," sahut Beng Ho, "kalah atau
menang aku tetap akan mempersembahkan limaratus tail
emas kepadamu." Habis berkata dia terus hendak maju tetapi Macan-hitam
Beng San cepat maju, "Toako, menghadapi pemuda
semacam itu, tak perlu toako yang maju, cukup serahkan
aku saja," katanya seraya mendahului melangkah
kehadapan Wan-ong Kui. "Wan-ong Kui, apakah engkau benar2 tak mau
menyerahkan kereta itu ?" serunya.
"Aku sih boleh2 saja tetapi sayang pedangku ini tak suka
dengan tingkah laku manusia2 yang tak tahu undang2."
"Ha, ha, undang-undang " Kerajaan sudah mengungsi ke
selatan, dimana-mana kacau. Mana ada undang-undang
lagi ?" "Justeru karena kacau kita wajib menjaga undangundang.
Baik atau buruk, kerajaan Beng adalah negara kita.
Sebaik-baiknya raja Ceng, tetapi dia orang asing maka lebih
baik raja Beng. Dengan perbuatanmu mengacau undang2
ini, berarti engkau membantu orang Ceng yang hendak
merampok negeri kita itu !"
"Persetan raja Beng atau raja Ceng. Sudah berpuluh
tahun aku tinggal di daerah ini, hidup dan mendapat makan
disini. Daerah ini adalah daerah kami, kekuasaan kami.
Kamipun mempunyai undang2 sendiri di daerah ini."
"Sudahlah, jangan banyak mulut." bentak Wan-ong Kui,
"kalau engkau mampu mengalahkan pedangku ini, baru
nanti erigkau boleh bicara lagi!"
"Lihat golok !" Beng San segera melayangkan golok
menabas kepala Wan-ong Kui. Tetapi Wan ong Kui cepat
menyelinap ke samping dan menabas lengan orang.
Macan-hitam Beng San terkejut. Cepat2 dia tarik
goloknya tetapi diluar dugaan Wan-ong Kui lepaskan
sebuah tendangan yang tepat mengenai lengan Beng San.
Jago ketiga dari kelima Macan Lusan itu tak mengira kalau
lawan memiliki jurus yang sedemikian hebat. Dan diapun
menyesal mengapa tadi hanya menarik pulang goloknya
dan tak mau loncat mundur.
Tring..... Golok mencelat ke udara. Sesosok tubuh melesat maju,
menyambar golok dan berseru, "Sam-le, terimalah golokmu
dan silakan mundur. Biar aku yang menghadapi pemuda
cengeng ini !" Yang maju itu adalah Macan-loreng Beng Wan jago
kedua dari Lu-san-ngo-hou. Dia bersenjata sepasang
gembolan atau besi bundar sebesar buah kelapa yang
berduri tajam dan memakai tangkai. Setiap gembolan besi
itu tak kurang dari limapuluh kati beratnya. Sepasang
gembolan besi itu disebut Song-thiat-jui. Sebenarnya sudah
jarang sekali orang persilatan yang menggunakan senjata
seberat itu. Tetapi Macan-loreng Beng Wan senang
memakai senjata itu karena berat dan perkasa.
Lo-cia-hian-si atau dewa Lo-cia-mempersern bahkanpermainan,
demikian jurus yang dimainkan Beng Wan
ketika membuka serangan kepada Wan-ong Kui. Sepasang
gembolan itu menderu-deru laksana dua ekor harimau yang
berkejar-kejaran uutuk menerkam mangsa, Hebatnya bukan
kepalang, anginnya sampai mengeluarkan bunyi seperti
prahara. Wan-ong Kui terkejut akan kesaktian tenaga Beng Wan.
Walaupun ia memiliki po-kiam (pedang pusaka) yang dapat
menabas segala besi logam, tetapi ia tak mau sembarangan
adu kekerasan dengan lawan yang bertenaga hebat itu.
Ia tahu bagaimana harus menghadapi lawan, yang
bertenaga kuat itu. Hoa-gui-hong-u atau Bunga-mekarkumhang-
menari, maka berlincahan ia mengelilingi lawan.
Menghindari setiap kemung kinan adu senjata, mencuri
kesempatan pada setiap kemungkinan untuk balas
menyerang. Rupanya sasterawan berwajah pucat Sun Kian yang
mengikuti jalannya pertandingan itu, diam2 cemas. Dengan
Macan-loreng saja kemungkinan pemuda Wan-ong Kui itu
sukar untuk menang, dan andaikata menang, masih ada
Macan-gembong Beng Ho, Macan-tutul Beng Gi dan
Pedang Kayu Harum 21 Pedang Abadi Zhang Seng Jian Serial 7 Senjata Karya Khu Lung Kasih Diantara Remaja 1