Bloon Cari Jodoh 3
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong Bagian 3
walaupun kuda tunggangannya terpanah mati. Rupanya Ko
Kiat masih belum puas. Dia mengirim pasukan untuk
menyerang di pos pertahanan Tik Kong di kota Gi-cin. Tek
Kong menderita kerusakan besar.
Sudah tentu Tek Kong marah sekali. Dia nengirim surat
kepada baginda Hok Ong, mohon diperkenankan untuk
menghancurkan Ko Kiat. baginda menitahkan Su Go Hwat
untuk menyelesaikan perselisihan itu.
Kebetulan mamahnya Tek Kong meninggal. Waktu
melayat, Su Go Hwat membujuk Tek Kong agar
menghapus dendam kemarahannya kepada Ku Kiat.
"Demi kepentingan negara, kupercaya ciang- kun tentu
berjiwa besar untuk menghapus dendam itu. Semua orang
tahu bahwa Ko Kiat yang bersalah maka akan kusuruh dia
menghaturkan maaf kepada ciang-kun," kata Su Go Hwat.
Ko Kiat menurut perintah. Dia hendak mengganti semua
kerugian pasukan Tek Kong dan akan menghaturkan seribu
tail emas sebagai tanda ikut berdukacita atas kematian
ibunda Tek Kong. Dengan tindakan itu dapatlah Su Go Hwa untuk
kesekian kalinya menjaga keutuhan para jenderal pasukan
kerajaan Beng. Demikian jenderal Ko Kiat telah mengirim undangan
kepada tujuh tokoh hitam yang ganas untuk mengawal
uang sebanyak seribu tail emas itu.
Memang sejak menguasai kota Yang-ciu, Ko Kiat
mempergunakan juga tenaga2 tokoh hitam dalam dunia
persilatan untuk menjalankan tangan besi menindas rakyat.
Rakyat makin menggigil karena marah, benci tetapi takut.
Munculnya seorang pemuda aneh di kota Yang-ciu,
tidaklah banyak menarik perhatian orang kecuali mereka
hanya menyangka bahwa pemuda aneh itu seorang yang
kurang waras pikirannya, tapi sebuah peristiwa yang cukup
menggempar, membuat pemuda aneh itu dapat merebut
hati rakyat. Peristiwa itu terjadi diwaktu sore dikala matahari masih
bersinar terang. Sekawanan prajurit anakbuah Ko Kiat yang
terdiri dari 10 orang, makan minum disebuah rumah
makan. Kebetulan saat itu Loan Thian Te atau si Huru
Hara juga berada dalam rumahrnakan itu. Melihat kawanan
prajurit masuk, pelayan ketakutan setengah mati. Meja2
sudah penuh diduduki tetamu. Yang ada hanya meja si
Huru Hara yang masih kosong karena hanya diduduki
Huru Hara seorang. "Tuan, maafkan, kuminta tuan suka mengalah untuk
para loya ( tuan besar ) itu. Tuan tak perlu membayar
rekening makanan tuan,'' kata pelayan itu.
Huru Hara deliki mata kepada si pelayan tapi sesaat
kemudian mau menjawab juga, "Kalau mereka mau duduk,
silakan saja duduk, perlu harus mengusir lain tetamu?"
"Tetapi tuan ....," belum habis pelayan berkata,
rombongan prajurit itupun menghampiri dan berseru, "Hai,
meja masih kosong. Kita dudukdisini "
"Hai, tolol, lekas pergi," bentak salah seorang prajurit
kepada Huru Hara. "Enak saja engkau ngomong," sahut Huru hara, "ini kan
rumahmakan umum, bukan milikmu. Mengapa engkau
berani mengusir tetamu?"
"'Eh, rupanya engkau sudah bosan hidup, ' bentak
prajurit itu seraya terus hendak memukul Huru Hara.
"Lo Bun, dia orang gila, perlu apa marah kepadanya?"
seorang prajurit kawannya mencegah "seret saja dia keluar
sana!" Prajurit yang pertama membentak tadi, serentak terus
menarik Huru Hara. Biasanya orang menyeret tentu
menarik tangannya tetapi prajurit itu memang ugal-ugalan.
Dia menarik kuncir rambut Huru Hara, "Hayo, keluar
babi!" Tetapi alangkah kaget prajurit itu ketika ia tak kuat
menarik orang aneh itu. Huru Hara melanjutkan
menyantap hidangannya, menyumpit sekerat tulang ayam
dan terus dimasukkan kelubang hidung si prajurit,
"Makanlah ....!"
"Aduhhhhh," prajurit itu menjerit sekeras-kerasnya
ketika lubang hidungnya kemasukan tulang ayam yang
tajam. Hidungnya berdarah, lepaskan cekalannya pada
kuncir rambut Huru Hara dia berusaha untuk
mengeluarkan tulang itu dari hidungnya tetapi tak berhasil.
"Haya, celaka, bagaimana hidungku ini".. prajurit itu
berjingkrak-jingkrak seperti orang gila. Beberapa tetamu
ketakutan dan bubar. Ada yang menolong prajurit celaka itu, ada pula
kawannya yang terus menghampiri Huru Hara, "Bangsat,
engkau berani menganiaya kawanku," dia hendak memukul
tetapi sebelum tinju mendarat dia sudah menjerit keras
karena mukanya disembur dengan arak oleh Huru Hara.
Demikian berturut-turut tanpa ada yang bebas, kesepuluh
prajurit anakbuah Ko Kiat itu telah menelan pil pahit dari si
orang aneh Huru Hara. Ada yang giginya putus, ada yang
mukanya disembur arak, matanya ditabur bubuk lada. Yang
paling sial adalah prajurit yang telinganya dimasuki biji
kacang. Prajurit itu benar2 koming setengah mati dan
berteriak-teriak di sepanjang jalan seperti orang gila. Dia
terus terjun kedalam sungai karena tak kuat menahan rasa
sakitnya. Demikian peristiwa 10 orang prajurit dihajar oleh
seorang aneh telah tersebar luas di kota Yang-ciu.
Huru Hara mendengar tentang surat undangan jenderal
Ko Kiat kepada ketujuh tokoh hitam. Dia memutuskan
untuk merebut pekerjaan itu. Dia hendak melihat apakah
benda yang hendak dikirim Ko Kiat itu. Kalau hal itu
merugikan rakyat, dia akan membagi-bagikan barang itu
kepada rakyat. Begitu sekelumit cerita munculnya seorang aneh yang
menamakan diri sebagai Loan Thian Te atau pendekar
Huru Hara di kota Yang-ciu.
Setelah berhasil membereskan ketujuh Pembunuh besar,
maka Huru Hara hendak masuk ke dalam kota Yang-ciu
tetapi ditengah jalan dia berjumpa dengan seorang manusia
aneh, tingginya hanya satu meter dan bergelar Cian-li-ji
atau Telinga-seribu-li dan mengaku menjabat sebagai mentri
kebun istana raja. Apa boleh buat karena kasihan kepada orang kate itu,
Huru Harapun mau membawanya. Tiba di Yang-ciu
mereka mendapat keterangan bahwa jenderal Ko Kiat tidak
tinggal di kota itu melainkan di Cho-ciu. Huru Hara dan
Cian-li-ji menuju ke sana.
Sudah tentu tak sembarang orang dapat masuk kedalam
gedung kediaman jenderal Ko Kiat penguasa kota. Selain
dikelilingi dengan pagar tembok yang tinggi, pun di pintu
gerbang dijaga oleh selusin prajurit bersenjata lengkap.
"Berhenti!" bentak seorang prajurit penjaga seraya
mengacungkan tombak ketika melihat Huru Hara dan Cianli-
ji terus hendak masuk begitu saja tanpa menghiraukan
para penjaga itu. "Kalian ini setan2 dari mana saja berani masuk kedalam
gedung ciangkun!" seru prajurit itu.
"Aku manusia dan pamanku ini juga manusia, bukan
setan," sahut Huru Hara dengan polos.
Melihat bentuk potongan kedua orang itu, yang satu
berpakaian seperti pendekar, pakai kain kepala tetapi
berlubang dua. Yang satu seorang lelaki kate, keduabelas
prajurit itu tertawa gembira.
"Aku datang kemari bukan untuk menjadi bahan
tertawaan kalian tetapi hendak menghadap jenderal Ko,"
kata Huru Hara mulai tak sabar.
"Engkau hendak menghadap ciangkun " Ha, ha, ha.....,"
kembali penjaga itu tertawa gelak2, "tak perlu, cukup
menghadap aku saja. Mau apa engkau ?"
"Penjaga," seru Huru Hara dengan serius, "jangan
berolok-olok. Aku benar2 hendak menghadap ciangkun.
Jika engkau tak mengidinkan terpaksa aku harus masuk
sendiri." "Engkau hendak masuk sendiri ?"" ulang prajurit itu,
"boleh, boleh .... asal engkau mampu melewati selakangku,"
prajurit itu terus merentang kedua kakinya.
Huru Hara terkesiap. Sejenak iapun berseru, "Apakah
kakimu cukup kuat untuk menerima tubuhku " Kalau
terlanggar, mungkin engkau akan terjerembab. Lebih baik
kuperisanya dulu. Huru Hara terus maju menghampiri, "Awas,
kencangkanlah kakimu kuat2, bung !" Ia gerakkan kakinya
pelahan-lahan untuk mengait kaki prajurit itu. Karena
hendak dikait, prajurit itu kencangkan kakinya untuk
bertahan. Tetapi akibatnya, bum.....dia terpelanting
terbanting ke tanah. Gelak tawa kawanan penjaga itu sirap seketika, "Lo
Kian, mengapa engkau tak punya guna lama sekali ?"
Namun penjaga yang terbanting itu hanya meringis
kesakitan. Kepalanya pusing tujuh keliling dan matanya
berbinar-binar. "Hayo siapa yang mau menggantinya ?" seru Huru Hara.
"Aku," seru seorang penjaga yang bertubuh besar seraya
bersiap. "Huh.....!" ia memekik ketika Huru Hara gerakkan
kakinya mengait dan dia terpelanting jungkir balik.
Kali ini kawanan penjaga itu benar2 terkejut. Lo Siang,
penjaga bertubuh tinggi besar itu paling kuat sendiri
diantara mereka. Tetapi mudah seperti tak menggunakan
tenaga, orang aneh itu dapat mengaitnya jatuh. Mereka
kasak kusuk lalu dua orang maju, "Engkau hebat sekali.
Apa engkau mampu mengait kami berdua ?"
"Jangan !" "Apa maksudmu ?"
"Terlalu membuang waktuku."
"Hah ?" "Kalian maju semua saja. Boleh pilih, mau mengait atau
dikait ?" kata Huru Hara.
"Setan, sombong benar engkau !" teriak penjaga2 itu,"
baik, karena engkau sendiri yang menantang, kami akan
maju berdelapan. Kalau engkau tak mampu mengait jatuh,
lehermu kupotong mau ?"
"Bersiaplah !" sahut Huru Hara.
Kedelapan penjaga itu segera berjajar melipat dan
merentang kakinya. Maka bergerak kaki Huru Hara
menyusup kebelakang tumit mereka dan sekali bergerak,
uh, ah, auh, ih, hait .... bum?"bum, terdengar delapan
sosok tubuh berjatuhan ketanah seperti buah kelapa yang
gugur dari atas pohonnya.
"Hi, hi. hi," Cian-li-ji tertawa mengikik, 'hai, tunggu
aku.....!" ia berteriak kaget ketika Huru Hara terus
melangkah masuk ke halaman gedung.
Cian-li-ji lari menyusul. Dia heran. Walaupun
tampaknya seperti berjalan, tetapi langkah Huru Hara itu
amat cepat sekali. Sepintas keduanya seperti orang yang
kejar mengejar. "Berhenti!" tiba2 dua orang prajurit menyongsongkan
tombak menghadang mereka. Ternyata dipintu ruang muka
juga dijaga oleh empat orang prajurit bersenjata lengkap.
Melihat dua orang aneh berlari-lari hendak masuk kedalam
gedung, prajurit2 itu terkejut. Disangkanya kedua orang itu
orang gila yang hendak mengamuk.
Memang mengingat suasana yang masih genting dan
karena merasa telah melakukan pembunuhan besar-besaran
pada rakyat di empat desa maka jenderal Ko Kiat merasa
cemas. Untuk menjaga keselamatannya maka Ko Kiat
mengatur penjagaan yang keras. Setiap orang yang hendak
masuk ke gedung panglima, harus minta izin lebih dulu.
Kalau tidak, prajurit2 penjaga diberi hak untuk menangkap,
kalau perlu boleh dibunuh ditempat.
"Aku hendak menghadap jenderal Ko Kiat, seru Huru
Hara. "Apa " Engkau hendak menghadap ciangkun" Pergi .... !"
prajurit itu terus tusukkan ujung tombak untuk menghalau.
Tetapi Huru Hara tenang2 saja. Prajurit itu tertegun sendiri,
"Hai, apa engkau benar2 tak mau pergi ?"
"Aku belum bertemu jenderal, mengapa harus pergi ?"
sahut Huru Hara. "Eh, orang gila, kalau belum ditusuk tentu tak kapok,"
prajurit itu terus menusuk dada Huru Hara, uh?".
uh?"". uh Huru Hara kisarkan tubuh dan ujung tom bak itupun
menyusup kebawah ketiaknya. Prajurit rasakan tombaknya
macet seperti terjepit kepingting baja. Dia kerahkan tenaga
untuk menarik keluar. Tetapi sampai mulutnya mendesusdesuh
ah-uh, dia tetap tak mampu menarik tombaknya dari
kepitan ketiak Huru Hara.
Melihat itu seorang prajurit kawannya terus menusukkan
tombaknya ke dada Huru Hara. Maksudnya agar Huru
Hara ketakutan dan melepaskan kepitannya. Cret ..uh,
uh".. ternyata prajurit yang kedua itu juga menderita nasib
seperti kawannya tadi. Waktu ujung tombak meluncur
maju, tiba2 Huru Hara ngangakan lengannya dan
mengempit ujung tombak itu. Kini dia mengepit kedua
ujung tombak dalam ketiak kanan dan kiri.
Kedua prajurit itu mengerahkan seluruh tenaga namun
sampai muka mereka merah padam dan mata mendelik,
kumis meregang tegak, tetap mereka tak mampu menarik
keluar tombaknya. Melihat kejadian seaneh itu, dua prajurit yang lain
terkejut. Mereka berhamburan menghampiri dan hendak
menusuk Huru Hara. Tetapi sekonyong-konyong mata
mereka seperti ditabur oleh bayangan hitam yang berkelebat
seperti kilat menyambar, plok . . .plak . . .
"Aduh . . . aduh . . . , " kedua prajurit itu menjerit ketika
yang satu pipinya ditampar dan yang satu kepalanya
ditabok orang, Mereka hentikan gerakan tombaknya dan hendak
mencari siapa bayangan aneh yang menampar mukanya itu.
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Setan kate, engkau!" teriak prajurit itu ketika melihat
Cian-li it tegak dihadapan mereka dengan tertawa
mengikik. "Jangan rnembunuh keponakanku!" seru Cian-li it.
"Ya, tidak keponakanmu tetapi engkau!" kedua prajurit
itu ganti sasaran, menyerang Clan-li-it tapi seperti tadi,
merekapun gelagapan ketika disambar oleh berkelebatnya
bayangan hitam yang berputar mengelilingi mereka.
'Aduh-duh . . . aiihhhh . . . , " kedua prajurit itu memekik
keras lagi. Yang satu, kumisnya sebelah kiri dicabut sampai
brodol. Yang satu, hidungnya merah sekali karena diremas
keras2. Mereka berhenti dan ha, ha, ha . . . tiba2 yang hidungnya
merah itu tertawa geli, "Lo Sim, mengapa kumisnya brodol
separoh . . . . " "Bangsat, jangan menertawakan aku. Hidungmu sendiri
juga merah seperti kepiting rebus!" seru yang dipanggil Lo
Sim dengan rnarah, "hayo kita sate saja setan kate itu!"
Tetapi sebelum sempat bergerak, mereka gelagapan
karena disambar sesosok bayangan hitam.
"Aduh-duh . . . mati aku . . .," kembali kedua prajurit itu
menjerit lagi. Tetapi beberapa saat yang kumisnya brodol
tadi segera tertawa, "Ha, ha, ha, mengapa kumismu juga
brodol, kawan?"' Memang kali ini mereka mendapat giliran. Yang
hidungnya diremas sampai merah tadi, sekarang kumisnya
sebelah kanan brodol. Sedang prajurit yang kumisnya
sebelah kiri brodol tadi, kini telinganya merah padam
karena dipelintir sekeras- kerasnya.
"Anjing lu Lo Sim, mengapa menertawa aku, hayo
bunuh si kate!" rupanya prajurit itu marah.
Keduanya segera menyerang dengan kalang-kabut.
Tetapi yang diserang itu bukan si kate Cian-li-ji melainkan
sesosok bayangan hitam yang berputar-putar seperti angin
meniup. Tungng, cret . . . aduh . . . auh . . . terdengar suara
senjata mengenai tubuh dan jerit mengaduh disusul dua
tubuh prajurit itu terhuyung-huyung jatuh ke tanah.
Ternyata mereka saling menghantam kawan sendiri.
Tombak Lo Sim menusuk kaki kawannya dan ujung
tombak kawannya itu mengemplang kepala Lo Sim.
"Uh.. . . uh . . . tiba2 terdengar pula suara mendesuh
kejut dan kedua prajurit yang tengah menarik tombaknya
dari kepitan lengan Huru Hara itu terdorong kebelatang,
kepalanya terantuk tembok dan tersungkurlah mereka di
tanah. Ternyata pada saat kedua prajurit itu mengerahkan
segenap kekuatannya, tiba2 Huru Hara membuka kepitan
lengannya sehingga kedua prajurit itu terjorok ke belakang
dan membentur tembok. "Beres!" seru Huru Hara terus melangkah masuk diikuti
Cian-it-ji. Melintasi ruang depan mereka harus melalui sebuah
halaman lagi. Halaman itu merupakan halaman sebelah
dalam dari ruang tempat kerja jenderal Ko Kiat. Ujujug
halaman merupakan titian batu yang naik keatas ruang.
Juga di halaman, tepatnya di bawah titian batu itu,
dijaga oleh empat prajurit gagah perkasa. Menilik
seragamnya mereka bukan prajurit kerucuk tetapi
berpangkat perwira. Sudah tentu mereka terkejut melihat munculnya dua
manusia aneh di halaman itu, "Gila mereka itu! Mengapa
orang2 gila semacam ini dibiarkan masuk," seru salah
seorang perwira yang bertubuh kekar.
"Berhenti!" serentak dia maju menghadang Huru Hara
dan Cian-li-ji, "mau apa kalian masuk kemari?"
"Aku hendak menghadap jenderal Ko Kiat,'! sahut Huru
Hara. "Siapa engkau?"
"Aku diundang jenderal Ko!"'
"Gila! Masakan Ko ciangkun sudi mengundang manusia
semacam kalian, lekas enyah!" bentak perwira itu.
Huru Hara menyadari bahwa kali ini dia tak mau
berkelahi. Lebih baik dia menyelesaikan dengan damai,
"aku membawa surat undangal jenderal Ko' serunya seraya
mengeluarkan tujuh buah surat undangan.
Perwira itu menyambarnya lalu memeriksa. Ia
memanggil ketiga kawannya, "Apakah surat undangan ini
tidak palsu?" "Menilik tanda tangannya memang tulisan Ko
ciangkun," salah seorang perwira menyatakan,
"Lalu bagaimana?" tanya perwira pertama itu.
Kawannya mengusulkan, lebih baik dilaporkan kepada
jenderal. Sedang kedua orang itu harus ditahan dulu. Kalau
mereka bohong, barulah di tangkap atau dibunuh.
"Baik, kalian tunggu dulu," kata perwira yang pertama.
Setelah suruh ketiga kawannya menjaga disitu, dia terus
masuk kedalam. "Hai, bung, dari mana saja engkau mendapat surat
undangan itu ?" tanya seorang perwira secara iseng.
"Rahasia," sahut Blo'on.
"Engkau menemu di jalan, ya ?"
"Tidak." "Mencuri ?" "Eh, jangan bicara seenakmu sendiri!"
"Eh, pak tua, mengapa engkau sependek itu?" seorang
perwira yang lain menggoda Ciang-li-ji.
"Entah, aku sendiri juga tak tahu," sahut Cian-li-ji seraya
mengeluarkan botol dari dalam bajunya. Membuka tutup
botol lalu meneguknya, gluk, gluk, gluk.....habis itu
diberikan kepada Huru Hara, "minumlah nak."
Huru Hara menyambuti dan terus meneguk lalu
diberikan kembali kepada Cian-li-ji. Cian-li-ji memasukkan
lagi kedalam bajunya. Bau arak itu luar biasa harumnya. Ketiga perwira itu
melongo dan meneteskan air liur.
"Aduh, harumnya arakmu itu," seru mereka.
Tetapi Cian-li-ji tak mengacuhkan. Sebelum
memasukkan kedalam baju, lebih dulu dia membuka tutup
botol, dituangkan sedikit ke tanah.
"Hai, mengapa arak begitu harum engkau buang ke
tanah ?" kembali perwira itu menegur seraya meneguk
airliurnya. "Mau gua minum habis, mau gua buang kek, mau gua
tuang ketanah kek, apa pedulimu ?" sahut Cian-li-ji dengan
sinis. "O, dari pada dibuang kan lebih baik kasih kan kepadaku
saja," seru perwira itu.
"Engkau kan orangnya jenderal Ko, makan minum tentu
serba lezat. Mengapa masih seperti tikus yang rakus ?"
"Tetapi arakmu itu luar biasa harumnya! Mungkin
ciangkunpun tidak memiliki persediaan arak seperti itu !
"Terang dong," sahut Cian-li-ji, "jangankan jenderalmu
disini, pun di istana raja juga tak punya arak seperti ini !"
"Jangan sombong! Tak mungkin raja tak punya arak
seperti itu." "Mari kita bertaruh. Kalau raja punya arak begini,
potonglah leherku. Tetapi kalau dia tak punya, kepalamu
kupenggal!" "Dari mana engkau memperoleh arak itu ?"
"Itu rahasia. Kalau kukatakan nanti orang dapat
membuatnya, "Cian-li-ji minum lagi seteguk sehingga bau
arak bertebaran menyengat hidung, menyegarkan semangat.
Rupanya perwira itu benar2 tak kuat menahan
keinginannya lagi, serunya, "Pak tua, maukah engkau
memberi aku barang seteguk dua teguk saja ?"
"O, boleh, boleh, asal engkau menurut syaratku."
"Apa ?" "Engkau harus berlutut dan memberi hormat sampai
tujuh kali dan menyebut loya (tuan besar) kepadaku."
Perwira itu kerutkan dahi, "Aku seorang perwira, mana
aku sudi engkau suruh bertekuk lutut dihadapanmu untuk
mengemis arak " Pak tua, sudah baik kalau aku
memintanya secara baik2. Tetapi kalau engkau berkeras
kepala, terpaksa aku akan menggunakan hak kekuasaanku
!" "Lho, engkau hendak main paksa mengambil arakku ?"
"Bukan mengambil tetapi merampas. Karena setiap
orang, baik siapapun saja, kalau hendak menghadap
ciangkun harus digeledah. Semua barang yang dibawanya,
apakah itu senjata atau barang pusaka, harus dirampas.
Nah, sekarang berikan saja arak itu dengan baik agar aku
tak perlu menggunakan paksaan."
"Tidak bisa !" teriak Cian-li-ji," kalau memang terdapat
peraturan begitu, aku mau keluar dulu untuk menyimpan
botol arakku, baru nanti aku kembali kesini lagi !"
"Tunggu !" cepat perwira itu loncat menghadang, "disini
bukan tempat seperti jalanan dimana orang boleh keluar
masuk seenaknya sendiri. Masuk pakai izin, keluarpun juga
harus pakal izin !" Cian-li-ji mendelik, serunya, "Baik, aku tidak jadi keluar.
Ia mengambil botol arak lalu diteguknya sampai habis,
kemudian memberikan botol yang sudah kosong itu kepada
perwira, "ni daripada engkau rampas, sekarang kuberikan
secara baik2." "Orang kate, engkau berani menghina aku," merasa
dipermainkan, perwira itu marah dan terus ayunkan tangan
menampar kepala Cian-li-ji. Tetapi alangkah kejutnya
ketika sesosok bayangan hitam berkelebat dimuka
mengaling pandang matanya dan aduh.... ia menjerit kaget
ketika daun telinganya diselentik sekeras-kerasnya sampai
merah dan panas rasanya. "Setan tua. mampus engkau !" perwira itu mencabut
pedang dan menyerang Cian-li-ji dengan jurus Soh-ju-ciankun
atau Menyapu-seribu prajurit. Dari kaki sampai ke
kepala Cian-li diserangnya habis-habisan.
Perwira itu makin penasaran. Dia merasa dirinya
dikepung oleh beberapa bayangan si orang kate sehingga
dia terpaksa berputar-putar sederas kitiran.
"Uh . . . , " tiba2 perwira itu mendesuh kaget dan
berhenti. Tangan kiri mendekap pinggang. Apa yang
terjadi" Ternyata tali celana perwira itu telah putus. Entah apa
sebabnya. Karena celana hendak meluncur kebawah,
perwira itupun buru2 hentikan serangan dan mendekap
pinggangnya untuk mencegah jangan sampai celananya
longsor turun. "Ha, ha, ha . . . , " kedua perwira kawannya tertawa geli
menyaksikan peristiwa kawannya tertawa geli menyaksikan
peristiwa itu. "Hai. mengapa ribut2 itu!" teriak seseorang yaitu perwira
pertama yang masuk melapor kepada jenderal Ko Kiat tadi.
Dan dia juga ikut melongo ketika melihat perwira
kawannya sedang sibuk mengurus celananya.
"Kenapa Lo Gan itu?" tegurnya
"Tali celananya putus, ha,..ha"ha," kawan-kawannya
menyahut dengan tertawa. "Bagaimana?" Huru Hara terus meminta keterangan
kepada perwira yang habis menghadap jenderaI Ko Kiat.
"Ya, mari masuk," kata peiwira itu. Dia segera
membawa Huru Hara dan dan Cian-li-ji masuk kedalam.
Dalam sebuah ruang yang indah dengan dindingnya
yang tebal kokoh, si seorang lelaki berumur sekitar 45
tahun, sedang duduk di atas sebuah kursi besar. Sehelai
kulit macan terdampar dibawah kakinya. Wajahnya biasa,
tak terdapat ciri2 yang istimewa kecuali sepasang kelopak
matanya yang cekung kedalam, hidung agak bengkok.
Dia adalah jenderal Ko Kiat. Jenderal yang mengganas
empat buah desa di daerah Yang-ciu karena marah kepada
rakyat Yang-ciu yang tak mau menerimanya masuk kota.
Saat itu jenderal Ko sedang duduk menunggu tetamu
yang dilaporkan penjaga tadi. Dua orang bu-su (jago silat)
dengan pangkat perwira tegak di kanan kiri jenderal itu.
Ko Kiat terkejut ketika penjaga membawa dua orang
yang aneh. Seorang pemuda dengan dandanan kaum
pendekar, kain kepalanya berhias dua untai rambut yang
menyembul keluar. Sedang yang satu, seorang lelaki tua
berwajah kanak2 tubuh kate. Hal itu benar2 diluar
dugaannya. Ia menduga yang datang itu tentulah seorang
jago silat yang gagah perkasa.
"Hai, mana yang lainnya?" tegur jenderal Ko kepada
penjaga. "Maaf, ciangkun, memang hanya dua ini "Tetapi
bukankah engkau menghaturkan tujuh buah surat undangan
kepadaku tadi ?" "Benar," sahut si penjaga, "hamba terima surat itu dari
orang yang muda ini."
Setelah memberi isyarat kepada penjaga supaya kembali
ke tempatnya, jenderal itu sepera mengajukan pertanyaan,
"Benarkah (kalian yang membawa ketujuh surat
undangaaku itu ?" "Benar, ciangkun," sahut Huru Hara.
"Apa maksudmu ?"
"Untuk melamar pekerjaan yang ciangkun . hendak
berikan kepada mereka."
"Apakah mereka sudah setuju ?"
"Akhirnya harus setuju."
Ko Kiat kerutkan dahi, "Apa maksudmu ?"
"Bermula mereka menolak tetapi satelah hamba ajak
berkelahi merela kalah dan mau menyerahkan surat
undangannya kepada hamba."
Ko Kiat terkejut, "Ketujuh orang itu termasyhur sebagai
tokoh persilatan yang sakti. Apakah mereka benar2 kalah
dengan engkau?" "Jika tidak, bagaimana mungkin hamba dapat membawa
tujuh buah surat undangan itu,"
"Ah, jika begitu, kalian berdua ini tentu memilik
kepandaian yang sakti sekali."
"Tidak, ciangkun," tiba2 Cian-li-ji berseru, "hanya
keponakanku ini yang mengalahkan mereka, tetapi aku
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak ikut berkelahi."
"O, betulkah itu ?" Ko Kiar menegas.
Huru Hara mengangguk. "Lalu mengapa engkau ajak dia
kemari ?" "Sebagai pembantuku."
"Siapa namamu ?" tanya Ko Kiat pula. Dan ketika
mendapat jawaban, dia terkejut, "Loan Thian Te?"
"Ya, alias Huru Hara."
"Apakah itu nama buatanmu sendiri .
"Bukan. Itu nama aseli pemberian orangtua."
"Baik," kata Ko Kiat, "memang aku hendak memberi
suatu tugas penting kepadamu. Apabila engkau berhasil
menunaikan tugas, engkau akan kuberi ganjaran besar."
"Silakan ciangkun memberi petunjuk."
"Sebagai ujian pertama, akan kusuruh engkau mengawal
antaran uang dan emas permata kepada jenderal Ui Tek
Kong. Apabila engkau dapat menyelesaikan tugasmu
dengan baik, barulah kupercayakan lagi sebuah tugas lain
yang lebih berat," kata jenderal Ko Kiat.
"Dirnana tempat tinggal jenderal Ui Tek Kong itu?"
"Dia tinggal di Gi-cin, hanya perjalanan sehari semalam
dan Cho-ciu sini. Ibu dari jenderal Ui Tek Kong meninggal
dunia. Haturkanlah peti uang itu kepada jenderal Ui,
katakan kalau aku, jenderal Ko Kiat, ikut berduka yang
sedalam-dalamnya atas kepergian ibu jenderal Ui. Ingat,
walaupun Cho-ciu itu tak berapa jauh dengan kota Gi-cin,
tetapi mengingat sekarang ini suasana sedang kacau dan
keamanan terganggu maka engkau harus dapat menjaga
baik2 peti uang itu agar jangan sampai dirampok penjahat."
"Terserah engkau hendak menggunakan alat pengangkat
apa saja, kereta, gerobak atau kuda dan membawa berapa
pengiring, engkau boleh minta kepada perwira bagian
perlengkapan, supaya menyediakannya. Tetapi yang
penting, malam ini juga engkau harus berangkat agar besok
sore sudah tiba disana."
"Tugas ini penting maka besar ganjarannya tetapi pun
berat hukumannya, kalau sampai gagal. Nah, apa engkau
masih ada pertanyaan?"
"Ada." "Katakan." "Apa sebab jenderal menyumbang seperti uang perak
kepada jenderal Ui yang kematian ibu nya" Dari mana
jenderal memperoleh harta sekian banyak itu?"
Ko Kiat berobah mukanya seketika. Namun karena dia
yang memberi kesempatan kepada Huru Hara untuk
bertanya, maka ia menekan perasaannya.
"Karena salah faham, aku pernah menyerang pasukan
jenderal Ui sehingga hancur berantakan. Dia marah dan
mendendam kepadaku. Untung Peng-poh-siang-si ( mentri
hankam ) Su Go Hwat mendamaikan dan menganjurkan
aku supaya menyumbang besar-besaran atas kematian ibu
jenderal Ui dan menghaturkan maaf. Kita sama2 jenderal
kerajaan Beng, harus bersatu untuk meng hadapi pasukan
Ceng yang saat ini sedang menyerang negeri kita."
Baru jenderal Ko Kiat berkata sampai disitu, tiba2
seorang perwira masuk menghadap dan menghaturkan
laporan, "Hatur bertahu kepada ciangkun, bahwa ada
seorang lelaki mohon menghadap ciangkun."
"Siapa orang itu?"
"Hamba belum kenal, ciangkun. Tetapi dia mengatakan
dari perguruan Macan Hitam atau Hek-hou-bun yang
termasyhur." "Hek-hou-bun?" ulang Ko Kiat, kemudian berpaling
kearah Huru Hara, "pernahkah engkau mendengar tentang
perguruan itu?" "Belum." "Apa keperluannya hendak menghadap aku?"! tanya
jenderal itu kepada perwira.
"Dia hendak memenuhi undangan ciangkun."
"Hah" Aku mengundang dia" Gila, aku tak pernah
mengundangnya." "Tetapi dia mengatakan dengan sungguh2, bahwa
ciangkun mengundangnya."
Sejenak berdiam maka jenderal Ko lalu perintahkan
perwira itu supaya membawa orang itu masuk, "Kalau dia
bohong, bunuh saja!"
Tak berapa lama perwira itu masuk pula dengan seorang
lelaki muda berumur sekitar 30 tahun. Mengenakan
dandanan seperti seorang persilatan. Dia memanggul
sebuah karung dari kain hitam.
Setelah memberi hormat, dia memperkenalkan diri
dengan nama Yap Hou, murid pertama dari perguruan
Macan Hitam. "Hek-hou-bun," kata jenderal Ko Kiat, "mengapa dalam
dunia persilatan tak pernah kudengar nama perguruan itu?"
"Ciangkun seorang jenderal perang yang sibuk mengurus
pasukan, sudah tentu ciangkun tak sempat memperhatikan
perkembangan yang terjadi dalam dunia persilatan," kata
Yap Hou, "memang perguruan hamba, belum berapa lama
muncul dalam dunia persilatan. Apalagi saat ini sedang
perang, orang tak memperhatikan lagi peristiwa dalam
dunia persilatan." Diam2 jenderal Ko Kiat mendapat kesan bahwa pemuda
Yap Hou itu lebih genah dan lebih pintar bicaranya dari si
Huru Hara. Kemudian dia bertanya apa keperluan Yap
Hou menghadap kepadanya. "Hamba hendak memenuhi perintah paduka seperti yang
termaksud dalam surat undangan kepada ketujuh tokoh
hitam yang termasyhur itu." Jenderal Ko Kiat terkejut.
Bukankah si Huru Hara juga menyerahkan tujuh buah surat
undangan yang dirampasnya dari ketujuh tokoh hitam itu"
Mengapa sekarang Yap Hou juga mengatakan begitu"
"Hm, untung dia datang," gumam jenderal dalam hati,
"dengan begitu dapatlah kuketahui siapa yang berani mati
hendak menipu aku." "O, engkau hendak melamar pekerjaan yang hendak
kuberikan kepada ketujuh tokoh benggolan itu?" ia
menegas. "Benar, ciangkun."
"Apakah engkau membawa surat undangan mereka?"
"Tidak, ciangkun."
Jenderal Ko Kiat kerutkan dahi, "Tidak membawa surat
undangan mereka tetapi engkau hendak melamar pekerjaan
yang kuberikan kepada mereka" Apa artinya ini?"
"Hamba memang merasa berhak untuk menggantikan
mereka, ciangkun." "Jangan berbelit-belit, lekas katakan. Mana buktinya
kalau engkau lebih sakti dari mereka," suara jenderal itu
makin keras. Rupanya dia mulai marah.
"Hamba dapat membuktikan hal itu," kata Yap Hou,
"tetapi apakah ciangkun takkan marah kepada hamba?"
"Mengapa marah?"
"Karena hal itu mungkin akan menimbulkan rasa kejut
dan ngeri pada ciangkun."
"Hm, aku biasa maju di medan perang. Mayat yang
bagaimana bentuknya, sudah pernah ku lihat semua dan
aku tak merasa ngeri. Lekas tunjukkan!"
"Baik, ciangkun, hamba akan melaksanakan perintah,"
kata Yap Hou. Dia pelahan-lahan mengambil karung hitam
yang dipanggul dibelakang bahunya. Setelah tali
pengikatnya dibuka, tenang2 dia mencurahkan isi karung
itu. Gluduk.,. . sebuah kepala manusia menggelundung
keluar . , . . "Inilah kepala Sebun Pa yang bergelar Manusiapemakan-
serigala," seru Yap Hou.
Gluduk ..... "Inilah kepala Ma Hiong yang bergelar
Landak-bun." Geluduk .... "Ini kepala dari setan tua yang bergelar
Kolera-tua." Geluduk ..... "Ini kepala benggolan licik yang berwajah
seperti anak2, Ang Hay Ji.
Geluduk ..... "Ini kepala paderi Tou Yau alias Paderi
Gemar-segala-apa.. dan ini kepaIa si laknat Im pohpoh
terakhir ini, kepala si cantik berbisa Harpa-asmara Hoa Lan
Ing. Tujuh batang kepala, tak lebih tak kurang. Bukankah
ketujuh benggolan ini yang ciangkun undang itu ?"
Walaupun sudah mengatakan kalau sudah biasa melihat
mayat2 bergelimpangan di medan perang daIam berbagai
keadaan yang mengerikan tapi tak urung bergidik juga
jenderal Ko Kiat waktu menyaksikan tujuh butir kepala
manusia yang bergelundungan di lantai saat itu.
"Lekas masukkan lagi," serunya.
"Nah," kata Yap Hou seraya memasukkan ketujuh butir
batang kepala manusia itu kedalam tas lagi, "sekarang
bukankah ciangkun percaya kepadaku ?"
"Ya," sahut jenderal Ko, "tetapi mengapa engkau tak
membawa surat undangan mereka " Kemana saja surat
undangan itu ?" "Karena hamba kira, kepala mereka lebih dapat menjadi
saksi yang kuat daripada hanya surat undangan saja !"
Kini jenderal Ko beralih kepada Huru Hara, "Benarkah
engkau telah membunuh mereka dan surat undangan
mereka ?" "Mengapa hamba harus berbohong kepada jenderal ?"
balas Huru Hara. "Mengapa tak engkau potong kepala mereka ?"
"Ah, terlebih kejam, ciangkun," kata Huru Hara, "musuh
yang sudah kalah tak boleh terlalu dikaniaya. Karena
dengan mendapat surat undangan itu tujuan hamba sudah
tercapai maka hamba tak mau membunuh mereka lagi."
"Ya, benar," kata jenderal Ko Kiat yang diam-diam
makin bingung. Baik alasan dan bukti dari Huru Hara itu
memang kuat dan alasan serta bukti yang dibawa Yap Hou
juga kuat. Lalu siapakah diantara kedua orang itu yang
benar2 dapat mengalahkan tujuh benggolan itu "
"Hai, apakah kalian tahu dengan siapa kalian
berhadapan saat ini, ?" akhirnya ia membentak Huru Hara
dan Yap Hou. Kedua orang itu mengatakan bahwa mereka sadar kalau
sedang menghadap jenderal pasukan kerajaan Beng yang
bernama Ko Kiat. "Saat ini negara sedang dalam perang, hukum perang
berlaku dimana-mana. Diantara kalian berdua, tentu ada
salah seorang yang bohong dan hendak menipu aku.
Mengakulah saja agar aku dapat memperingan
hukumanmu !" "Hamba harus mengaku bagaimana ?" tanya Huru Hara,
"apa yang hamba lakukan, memang sungguh2 benar.
Hamba anggap, orang yang sudah menyerahkan surat
undangannya tak perlu harus dibunuh lagi."
"Ciangkun," seru Yap Hou, "ketujuh bangolan itu
merupakan momok yang paling menggangu rakyat maka
harus dibunuh." "Apakah waktu kau bunuh, surat undangan Hasih
berada dalam baju mereka ?" tanya Ko Kiat.
"Hamba pikir. kepala mereka sudah cukup menjadi bukti
maka hambapun tak menggeledah badan mereka lagi."
Jenderal Ko Kiat garuk2 kepala. Ia anggap alasan kedua
orang itu memang sama2 kuat. Lalu apakah yang harus
dianggap sebagai orang yang mengalahkan ketujuh
benggolan itu" Tiba2 ia menapat akal.
"Baik, untuk mengetahui siapa sebenarnya yang
berkepandaian sakti dan pantas menerima pekerjaan yang
akan kuberikan, apakah kalian sanggup diadu ?" tanyanya.
Melihat Huru Hara itu berdandan seperti seorang
persilatan yang nyentrik, serentak Yap Houpun menyahut,
"Sanggup." "Dan engkau ?" tegur Ko Kiat karena Huru Hara diam
saja. "Terserah, hamba menurut saja perintah ciangkun."
"Baik, sekarang kalian boleh beradu kepandaian
dihadapanku. Mana yang menang, dialah yang akan
kuserahi tugas itu."
Demikian kedua orang itu tegak berhadapan. Yap Hou
tak mau bersikap sungkan lagi, begitu sudah saling
berhadapan, dia terus mulai menyerang dulu. Rupanya dia
benar2 ingin menunjukkan kepandaiannya dihadapan
jenderal Ko Kiat maka walaupun baru bergebrak, dia sudah
melancarkan jurus yang ganas.
Hek-hou-thou-sim atau Macan-hitam mencuri-hati,
demikian jurus yang dilancarkan itu bergerak cepat sekali.
Tangan Yap Hou mengarah uluhati Huru Hara.
Gerakannya seperti orang mencengkeraman tetapi setiap
saat dapat dirobah menjadi jurus menutuk atau
menghantam. Huru Hara menyurut mundur lalu bergerak kian kemari
menghindari jari2 maut lawan.
Jenderal Ko Kiat terkejut ketika menyaksikan ilmu
kepandaian Yap Hou. Serangannya, walaupun hanya
dalam satu jurus, tetapi mengandung gerak dari berbagai
aliran ilmusilat perguruan ternama, antara lain Siau-lim,
Butong, Go-bi, Kun-lun dan Kay-pang. Walaupun bukan
seorang jago kelas satu tetapi jenderal itu juga memiliki
ilmu-silat yang hebat. Dia benar2 terpikat hatinya oleh
kepandaian Yap Hou. Diam2 timbullah rasa suka dan ingin
mengangkat pemuda itu sebagai pengawalnya.
Karena perhatiannya tercurah kepada Yap Hou maka
jenderal itupun tak memperhatikan Huru Hara. Beberapa
saat kemudian, pada saat ia mulai memperhatikan orang
aneh itu. serentak diapun terkejut sekali.
Serangan Yap Hou memang luar biasa cepat dan
derasnya tetapi sampai sekian lama ternyata tetap tak
mampu merubuhkan Huru Hara. Jenderal itu tercengang
dan heran menyaksikan gaya permain lan Huru Hara yang
berlincahan kian kemari menurutkan gerak serangan lawan.
Dia tak tahu nama ilmusilat yang dimainkan si Huru Hara
itu. Yang jelas, Huru Hara hanya menghindar tak mau
balas menyerang. Yap Hou sendiri memang penasaran sekali. Ia merasa
setiap kali pukulannya hampir mengenai tentu tahu2 lawan
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah menyelinap hilang. Siapakah orang aneh ini ?" pikirnya. Namun baik orang
maupun aliran ilmu kepandaian lawannya itu, ia tak kenal
sama sekali. Waktu masih belajar dalam perguruan,
gurunya juga memberi pengetahuan tambahan tentang
tokoh2 silat ternama dalam dunia persilatan. Tetapi
suhunya tak pernah menyinggung tentang seorang pendekar
aneh semacam Huru Hara itu.
"Hm, kalau sampai tak mampu mengalahkan orang ini,
jenderal Ko tentu tak percaya kepadaku," setelah
menimang-nimang ia segera mengganti gerak langkahnya
dalam ilmu Hui-eng-sip-pat poh atau delapanbelas-langkahgaruda-
melayang dan melancarkan ilmu pukulan Hoanthian
hay-ciang (menjungkir-langit-membalik-laut ), sebuah
ilmu pukulan dari perguruan Bu-tong pay.
Seketika terjadilah perobahan dalam ruang pertandingan
itu. Yap Hou seperti seekor burung garuda yang melayanglayang
dan menyambar nyambar lawan. Sedang Huru Hara
hanya seperti kelinci yang lari ketakutan hendak
menyelamatkan diri. Jenderal Ko Kiat makin kagum akan kepandaian Yap
Hou tetapi diapun tak habis mengerti mengapa serangan
yang begitu dahsyat dan gencar, tetapi tak dapat mengenai
tubuh Huru Hara. Entah bagaimana, tanpa disadari
jenderal lebih simpathi dan senang kepada Yap Hou
mengharap Yap Hou dapat menyelesaikan lawannya.
Akhirnya yang dinanti-nantikan itu terjuga. Dengan
sebuah gerak tipu yang indah Yap Hou berhisil menggertak
Huru Hara supaya bergerak kesebelah kiri. Tiba2 tubuh Ya
p Hou berputar dan cepat sekali tangannya menghantam
bahu Huru Hara. Sebenarnya dia hendak mengarah tulang
pi-peh-kut orang tetapi tak berhasil dan hanya mengenai
pangkal bahu Huru Hara, duk . . . Huru Hara terhuyung
sampai dua langkah. Tetapi anehnya, Yap Hou juga
mencelat sampai satu tombak kebelakang.
"Cukup!" tiba2 jenderal Ko berseru menghentikan
pertandingan, "engkaulah yang menang!" ia menunjuk Yap
Hou. Saat itu Yap Hou sedang tertegun. Ia masih heran
mengapa waktu pukulannya mengenai bahu Huru Hara,
tangannya seperti tertolak tenaga yang kuat sekali sehingga
dia mencelat ke belakang.
"O, terima kasih, ciangkun," ia gelagapan ketika
mendengar kata2 jenderal Ko. Bergegas ia maju kehadapan
jenderal itu dan memberi hormat.
Tiba2 jenderal Ko Kiat melihat sesuatu yang kurang
pantas pada baju Yap Hou. Cepat dia ber kata, '"Hai,
kancingkanlah bajumu itu!"
Yap Hou menunduk. Ia terkejut ketika bajunya terbuka
sehingga dada kelihatan. Buru-buru ia hendak
mengancingkannya. Tetapi ia terkejut ketika buah bajunya
hilang. Mungkin terlepas jatuh maka iapun memandang ke
sekelili permukaan lantai. Tetapi tak bertemu. Terpakasa ia
mendekap dada bajunya. "O, apakah engkau hendak mencari kancing bajumu ?"
tiba2 terdengar suara orang menghampiri. Ketika Yap Hou
berpaling ternyata yang menghampiri itu adalah Huru Hara
seraya menyodorkan sebuah kancing baju, "maaf, buah
bajumu ini tertarik tanganku . . . ."
Seketika pucatlah wajah Yap Hou. Ia tahu apa artinya
itu. Buah bajunya telah tercabut oleh lawan tanpa ia merasa
sama sekali. Jugu jenderal Ko Kiat terkejut. Ia tak menyangka kalau
Huru Hara mampu mencomot buah baju Yap Hou. Itu
berarti kalau Huru Hara mau dia tentu sudah dapat
memukul dada lawannya. Jenderal Ko Kiat cepat memberi keputusan "Baik, Loan
Thian Te, karena tadi aku sudah nyerahkan tugas itu
kepadamu, maka engkau! yang wajib menerima tugas itu.
Sekarang silahkan engkau mempersiapkannya," jenderal itu
menyuruh salah seorang pengawal untuk membawa Huru
Hara dan Cian-li-ji keluar menuju ketempat perwira yang
telah diserahi mengatur peti yang hendak dikirim kepada
jenderal Ui Tek Kong. "Yap sauhiap," seru jenderal Ko Kiat kepada Yap Hou,
"apakah engkau suka bekerja kedaku?"
"Tetapi ciangkun, hamba telah dikalahkan pemuda tadi,"
sahut Yap Hou. "Tak apa," kata jenderal Ko Kiat," memang orang itu
aneh, dan ilmu kepandaiannyapun aneh. Akan kuberimu
kesempatan untuk menebus kekalahanmu itu, sanggupkah
engkau ?" "Baik, ciangkun," sahut Yap Hou, "kalau ciangkun tetap
berkenan menerima hamba, hamba pun akan sanggup
melaksanakan tugas apa saja yang ciangkun hendak berikan
kepada hamba." Jenderal itu mengajak Yap Hou masuk kedalam kamar
tulisnya "Yap sauhiap, tugas yang kuberikan ini amat
penting dan rahasia sekali. Jangan sampai engkan beritahu
dan diketahui orang. Maukah engkau berjanji ?"
"Baik, ciangkun."
"Jika sampai hal itu bocor, engkau akan kujatuhi hukum
perang." Yap Hou mengiakan. "Rebutlah peti uang yang diantar Loan Thian Te itu , ,. .
" "Ciangkun !" "Jangan putus omonganku dulu !" kata jen-leral Ko Kiat,
"sebenarnya aku enggan untuk menyumbang sekian banyak
kepada jenderal Ui Tek wong, Tetapi karena yang
menganjurkan Su Go Iwat tayjin, terpaksa aku menurut.
Jika engkau berhasil merampas antaran itu, sekali gus aku
nendapat dua keutungan. Disatu fihak aku mentaati
perintah Su tayjin sehingga di mata orang aku benar2
menginginkan kerukunan diantara sesama panglima. Tetapi
dilain fihak, aku tak kehilangan Sepeser buta."
"O, inilah yang disebut siasat unjuk kepala sembunyikan
ekor'," kata Yap Hou.
"Apakah engkau sanggup ?" jenderal Ko Kiat menegas.
"Hamba sanggup."
"Bagus," seru jenderal Ko Kiat, "apabila engkau benar2
mampu menyelesaikan tugasmu itu, engkau akan kuanggap
sebagai pengawal kepercayaanku. Saat ini negara sedang
perang. Inilah saatnya bagi semua orang gagah untuk
muncul dar membuat jasa. Asal dapat memilih jalan yang
tepat, kelak tentu akan mulia hidupmu."
Yap Hou menghaturkan terima kasih.
"Usahakan jangan sampai orang tahu tentang rencanaku
ini. Besok engkau boleh berangkat dan kepada orang2
engkau katakan saja bahwa engkau kutugaskan untuk
menyelidiki keadaan musuh di utara. Dan waktu merampas
barang antaran itu, pakailah penutup muka atau menyaru
.... eh, sebaiknya menyarulah seperti prajurit Beng dan
bawalah sekelompok anakbuah."
"Bagaimana maksud ciangkun ?"
"Agar memberi kesan bahwa yang merampas peti
antaran kepada jenderal Ui Tek Kong itu, anak pasukan
Beng juga. Yang kini berkumpul di wilayah Holam, ada
empat jenderal yaitu jeaderai Lau tek Jing, Ui Tek Kong
dan Lau Liang Co dan aku. Ui Tek Kong tentu menduga
kalau anak pasukan Lau Cek Jing atau Lau Liang Co yang
melakukan perampasan itu. Mereka akan saling mencurigai
dan aku dapat memanfaatkan hubungan mereka yang buruk
itu untuk menguasai mereka. Mengerti ?"
Yap Hou mengiakan. Keesokan harinya semua perintah
jenderal Ko Kiat telah dilaksanakannya. Dihadapan para
perwira anakbuah Ko Kiat mengatakan kalau mendapat
tugas jenderal untuk menyelidiki medan perang di utara.
Dan memang diapun segera berangkat menuju ke utara.
Sebenarnya ia lebih suka bekerja seorang diri tetapi
karena Ko Kiat menghendaki supaya ia membawa
anakbuah, maka terpaksa ia mencari orang lebih dulu.
Tidak sukar untuk mendapatkan orang2 itu. Ia menyewa
sepuluh orang kaum persilatan dari aliran hitam. Mereka
disuruh mengenakan pakaian seragam prajurit. Demikian
Yap cu segera membawa anakbuahnya untuk mencegat
perjalanan Huru Hara dengan barang antarannya itu.
Ko Kiat memang licik. Selain suruh Yap cu melakukan
perampasan, pun diam2 ia suruh orang untuk menyiarkan
berita itu keluar supaya orang-orang tahu.
Hujan bencana. Walau hanya sebuah peti besi tetapi peti itu amat besar
dan berat sehingga Huru Hara terpaksa meminta sebuah
kereta dengan dua ekor kuda. Cian-li-ji disuruh jadi kusir
dan Huru Hara mengawal di belakang dengan naik kuda.
Saat itu mereka tiba disebuah jalan sempit di
pegunungan. Huru Hara suruh Cian-li-ji berhenti, "Carilah
rumput dan aku akan mencari air untuk kuda itu," katanya.
Cian-li-ji melakukan perintah. Setelah Huru Hara datang
membawa air, maka rumput di masukkan kedalam tong air
dan dihidangkan kepada kuda itu.
Tiba2 dari arah belakang muncul seseorang. Seorang
lelaki tua, pakaian penuh tambalan dan bahunya
menyanggul kantong kain yang besar berjalan dengan
sebatang tongkat bambu, Aneh benar orang itu. Berjalan
pakai tongkat tetapi cepatnya bukan main.
Huru Hara hanya mengerling sejenak kearah orang itu
dan lanjutkan pekerjaannya memberi makan pada kuda.
Tiba di dekat kereta, orang itu berhenti dan tertawa
mengekeh, "Tuan, apakah engkau hendak menuju ke Yangciu?"
Huru Hara hanya mengangguk tak mau men jawab.
"Ha, ha, aku pengemis tua ini juga akan ke Yang-ciu,"
seru orang itu, "apakah aku boleh numpang di kereta tuan?"
"Tidak," Huru Hara gelengkan kepala. "Mengapa tak
boleh" Apakah harus pakai bayaran" Ah, kalau soal uang
aku pengemis tua ini memang tak punya."
"Pergilah, jangan ganggu aku," seru Huru Hara.
"Tetapi tuan," masih pengemis tua itu memjantah, "aku
dapat membantu tuan menggebuk kawanan anjing yang
hendak mengganggu tuan. Sejak terjadi pembunuhan besarbesaran
atas rakyat empat desa, sekarang ini banyak bangsa
anjing dan serigala yang berkeliaran. Rupanya setelah
merasakan daging manusia, mereka jadi ketagihan.''
Huru Hara tertegun. Ia terkejut mendengar kata2 si
pengemis tentang pembunuhan besar-besaran itu.
"Siapa yang membunuh mereka?" tanyanya.
"Eh, apakah engkau belum tahu?" pengemis tua itu
heran. "Kalau sudah tahu perlu apa harus bertanya lagi?"
"Jenderal Ko Kiat yang mundur dari medan perang
utara, hendak menduduki kota Yang-ciu. Tetapi rakyat
menolak. Jenderal itu marah lalu mengadakan pembunuhan
besar-besaran pada rakyat empat desa di sekeliling Yangciu."
"Uh," Huru Hara mendesuh. Diam2 dia menyesal
mengapa mau bekerja untuk jenderal itu.
"Bagaimana, apa aku boleh numpang di keretamu?"
ulang pengemis itu pula. "Tidak!" "Lho, apakah keretamu itu ada muatannya"'
"Ya." "Jika begitu bukankah engkau untung sekali kalau aku
ikut naik sekalian menjaga barangmu itu?"
"Aku dapat menjaganya sendiri."
"Uh, memang pengemis itu kemana-mana tentu tak
dipandang mata. Tetapi coba saja nanti apakah engkau
mampu menolak permintaan tiga orang yang akan datang
setelah aku ini?" pengemis itu bersungut-sungut seraya
lanjutkan langkah, Huru Hara tak mengacuhkan. Setelah rumput dan air
habis, dia lalu menyimpan tong di belakang kereta dan
perintahkan Cian-li-ji rangkat lagi.
Kereta meluncur cepat. Tak berapa lama sudah
melampaui pengemis tua yang berjalan kaki tadi. Kini
kereta memasuki sebuah hutan. Dan tepat pada saat itu di
belakangpun muncul tiga sosok bayangan orang yang
mencurigakan. Ketiga orang itu berlari-lari mengejar kereta
Huru Hara. "Hm, rupanya pengemis tua tadi memang benar. Ketiga
orang ini rupanya hendak cari perkara dengan aku," gumam
Huru Hara. Ia suruh Cian-li-ji berhenti.
"Mengapa?" tanya Cian-li-ji. "Ada tiga orang mengejar
kita. Lebih baik kita hadapi saja," kata Huru Hara.
Tiga orang yang mengenakan pakaian seperti pedagang
cepat tiba. Salah seorang yang berbibir tebal segera tertawa,
"Hai, bung, apakah kami boleh numpang?"
"Maaf, aku mau pakai sendiri," sahut Huru Hara.
Pedagang bibir tebal itu tertawa, "Ah, mutanmu masih
sedikit, mengapa kami tak boleh ikut numpang?"
Huru Hara turun dari kuda dan tersenyum, Mengapa
kalian tak mau omong terus terang saja?"
Pedagang itu tertawa gelak2, "Baik, tetapi kuheran
mengapa hanya engkau dan seorang kusir saja?"
"Karena jenderal Ko menganggap, kekuatan pasukan itu
bukan terletak pada jumlahnya tetapi pada mutunya.
Katanya, cukup aku seorang saja, sahut Huru Hara dengan
tenang. "O, apakah engkau ini Bu-te-sin-kun?" seru pedagang
yang berbibir tebal pula. Bu-te-sin-kun artinya Jago-tanpatanding.
"Siapa itu Bu-te-sin-kun?"
"O, engkau tak kenal?"
"Perlu apa harus mengenalnya" Apakah engkau kira
hanya Bu-te-sin-kun saja yang dapat mengavval barang?"
"Kabarnya Bu-te-sin-kun itu seorang jago muda yang
belum lama muncul dalam dunia persilatan. Ilmu
kepandaiannya luar biasa sekali. Dia dapat memainkan
segala jenis ilmusilat dari berbagai aliran. Siapa yang berani
menentangnya tentu akan dibasmi habis-habisan."
"Sayang aku bukan dia."
"Aneh," seru pedagang berbibir tebal itu "apakah jenderal
Ko tidak memberitahu kepadamu tentang bahaya yang
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal engkau hadapi dalam perjalanan?"
"Biasa," sahut Huru Hara. "apalagi dalam jaman edan
begini. Jangan lagi membawa harta, membawa nyawa juga
diganggu." "Apakah jenderal Ko Kiat memang sengaja hendak
suruh engkau mengantar jiwa?"
"Lebih dan itu," kata Huru Hara, "dia bilang, mungkin
aku akan mengalami mati sampai tujuh kali."
Pedagang bibir tebal itu tertawa menyeringai, "Lalu
mengapa engkau masih berani melakukan ?"
"Sudah terlanjur, aku harus menyelesaikan sampai
tuntas," sahut Huru Hara, "aku harus berani mati sampai
tujuh kali." Pedagang itu tertawa gelak2, "Ha, ha, ha, menurut
pandanganku, engkau tak lebih hanya anak kemarin sore
yang tak tahu tingginya langit."
"Apakah engkau hendak menantang aku ?"
Wajah pedagang itu tiba2 berobah sarat, serunya dengan
bengis, "Mengingat engkau masih muda, lekaslah engkau
tinggalkan kereta ini dan pergi dari sini !"
"O, engkau hendak mengganggu aku ?"
"Jangan banyak bicara !" bentak pedagang itu.
"Baik, mari kita main-main," kata Huru Hara.
"Hm, biarlah keinginanmu tercapai dan bisa bertamasya
ke akhirat !" pedagang bibir tebal itu merogoh kedalam
baju. sing, tahu2 tangannya sudah mencekal sebatang bianto
atau golok tipis. Golok itu tidak bersinar, batangnya
berwarna hitam. "O, engkau hendak main2 dengan pedang ?" seri Huru
Hara. "Lekas cabut senjatamu !" bentak pedagang.
"Aku tak punya pedang, melainkan tongkat pendek ini,"
kata Huru Hara seraya lari kedalam kereta dan mengambil
sebatang tongkat bambu, "hayo, silakan mulai !"
Merasa di hina, pedagang bibir tebal itu marah. Ia
hendak memberi pelajaran yang pahit kepada Huru Hara.
Serentak dia menabhas sekuat-kuatnya, tring.....
Pedagang bibir tebal itu terkejut bukan kepalang. Bukan
saja tongkat bambu si Huru Harar tak kurang suatu apa,
pun dia sendiri malah terpental sampai tiga empat langkah
ke belakan. Seketika berobahlah wajahnya.
"Ho, ternyata engkau berisi juga, budak," serunya seraya
maju menyerang dengan dahsyat. Dia gunakan jurus Jayhong-
suan-ok atau Burung hong-memutari-sarang. Golok
melingkar-lingkar tiga kali membabat kaki Huru Hara.
Huru Hara mencelat ke udara. Gerakan mirip jurus Itho-
jong-thian atau Burung-bangau melambung-ke-udara.
Tetapi cepatnya berlipat ganda dari gerakan yang sering
dilakukan orang. Sebelum pedagang itu sempat berputar
tubuh, Huru Hara sudah berada di belakangnya. Pedagang
itu terkejut sekali. Cepat dia loncat ke muka dan berputar
diri. Ah, ternyata Huru Hara tenang saja menunggunya.
Pedagang bibir tebal itu tergetar hatinya. Tetapi
bukannya jera, dia malah makin marah. Diserangnya Huru
Hara makin seru. Huru Hara tetap melayani dengan gerak
yang aneh. Dia berputar-putar mengelilingi lawan, seperti
sesosok bayangan. Melihat kawannya sudah mengerjai Huru Hara, kedua
orang yang lain segera hendak masuk kedalam kereta.
Tetapi tiba2 mereka disongsong dengan cambuk oleh Cianli-
ji, tar . . . Kedua orang itu umurnya sebaya dengan lawan Huru
Hara, juga mengenakan pakaian seperti pedagang. Mereka
terkejut ketika diserang cambuk.
"Hai, kusir. jangan kurang ajar engkau ".!" mereka
loncat menghindar. Yang satu loncat menyambar kaki
Cian-li-ji, yang satu menyambar ujung cambuk dan
ditariknya. "Uh, ?".," yang menyambar kaki Cjan-li-ji terkejut
karena orang kate itu tiba2 loncat kebawah. Yang menarik
cambukpun terkejut karena dengan mudah sekali dia sudah
dapat merampas cambuk. Habis itu dia terus membuka
pintu kereta, duk ?".
"Uh . .," orang itu menjerit kaget dan terpelanting keluar
ketika sebuah kaki menyambut dari dalam kereta, tepat
menjejak dadanya. "Bajingan !" teriak yang berada diatas tadi ketika melihat
kawannya didupak oleh kusir kereta. Dia heran mengapa
secepat itu, kusir sudah dapat menyelundup masuk kedalam
gerbong. Dia terus loncat turun hendak menghajar kusir itu
Tetapi sekonyong-konyong pedagang bibir tebal menjerit
keras dan sempoyongan beberapa langkah lalu jatuh
terduduk. Pedagang yang hendak menyerang kusir tadi tertegun,
berpaling. Plak ..... aduh........ tiba2 pipinya ditampar oleh
Cian-li-ji. Dan tiba2 pula leher bajunya mengencang,
tubuhnya terangkat dan terus melayang kedalam semak
belukat bum ..... Ternyata setelah dapat menghajar pedagang bibir tebal
sampai kepalanya benjut dan mata berkunang-kunang,
Huru Hara lompat menerkam pedagang yang ditampar
Cian-li--ji, mengangkat tubuhnya dan diiempar kedalam
semak berduri. Setelah itu dia terus hendak membereskan
yang satu lagi. "Jangan dia bagianku." teriak Cian-li-ji terus mengangkat
orang itu bangun, hayo, kita Ianjutkan lagi !"
Melihat bagaimana kedua kawannya dengan mudah
dapat dibereskan Huru Hara, pedagang itu kesima.
Berpaling ke kanan, ia melihat kawan si bibir tebal tadi
masih duduk pejamkan mata wayahnya pucat lesi.
Berpaling ke kiri dilihat kawannya yang seorang, masih
menggeletak dalam semak berduri.
"Lekas ! plak........ ," tiba2 ia terkejut ketika sesosok
bayangan berkelebat menerjang kehadapannya dan tahu2
mulut ditampar keras. Ia mengaduh karena dua buah gigi
muka putus. Dan sebelum rasa sakit itu hilang, kembali
kepalanya ditempeleng, plak ..... seketika orang itu rasakan
matanya seperti memancar beribu bintang dan benda2
disekelilingnya seolah-olah berputar deras, bluk .....
rubuhlah dia tak sadarkan diri.
"Bagus, hiantit, kau apakan pedagang yang bibirnya tebal
tadi ?" seru Cian li-ji. Ia memanggil Huru Hara dengan
sebutan "hian-tit" atau keponakanku.
"Sebenarnya aku tak tegah memukulnya tetapi dia amat
ganas sekali hendak membacok kepalaku. Terpaksa
kukemplang kepalanya dengan tongkatku," kata Huru
Hara. "Bagus, hiantit, tadi yang satupun kujejak dadanya," kata
Cian-li-ji. "Paman Cian," kata Huru Hara, "mungkin kita nanti
masih akan menghadapi beberapa penjahat yang hendak
merampok peti uang dalam kereta itu, Kuminta, apabila
tidak sangat terpaksa, janganlah paman sampai membunuh
mereka. Cukup kalau dihljar sampai tele-tele saja."
"Bagus, hiautit, aku setuju sekali. Memang aku juga tak
mau membunuh jiwa manusia. Soal mencabut jiwa
manusia itu urusan Giam-lo-ong (raja Akhirat)."
===== Hal 54-55 tidak ada ====== "Kalau barangku sih boleh saja. Tetapi ini adalah barang
dari jenderal Ko Kiat yang suruh aku mengawal....."
"Persetan dengan jenderal Ko Kiat atau Teh Kiat.
Masakan seorang jenderal bisa punya sekian banyak harta
benda. Dari mana dia memperolehnya kalau tidak
merampas harta benda rakyat."
"O, apakah hendak engkau berikan kepada rakyat ?"
Huru Hara menegas. "Enaknya," sahut salah seorang Se-pak-song-eng, "sudah
tentu akan kami ambil sendiri. Rakyat kan urusan negara
bukan urusan kami berdua.
Huru Hara berbangkit. Dia marah mendengar
keterangan kedua orang itu, "Jika begitu kalian ini bangsa
perampok yang harus dibasmi!"
Se-pak-song-eng itu sepasang saudara kembar. Yang
besar bernama Siang Hong dan adiknya Siang Gi.
Keduanya memiliki ilmusilat Eng jiau-kang atau Cakargaruda
yang sakti. Dan biasanya, melawan siapa saja,
mereka tentu maju berdua.
Serempak mereka pun segera menyerang Huru Hara.
Yang satu menerkam kepala dan yang satu menyerang
punggung Huru Hara. Tetapi mereka terkejut ketika
menyaksikan gerak gerik Huru Hara yang aneh. Mereka
harus melalui pertempuran dengan berpuluh jago2 silat
lihay sebelum mereka mampu mengangkat nama sebagai
Se-pak-song-eng. Tetapi kali ini mereka benar2 bingung dan
tak tahu gerak ilmusilat apa yang dimainkan Huru Hara
saat itu. Tetapi yang jelas, betapapun mereka menyerang
dengan ganas, Huru Hara tetap dapat menghindari dan
bahkan dapat membalas dengan tamparan.
Akhirnya kedua orang itu marah sekali. Dalam suatu
kesempatan, tiba2 mereka menerjang dan memukul sekuatkuatnya.
Suatu hal yang menyebabkan mereka harus lekas
rubuh sendiri karena dengan suatu gerak yang hampir tak
dapat dipercaya, Huru Hara sudah melambung ke udara
sehingga kedua saudara kembar itu harus saling berbentur
sendiri. Akibatnya keduanya saling terpental ke belakang
dan menderita luka parah.
Memang Huru Hara memiliki suatu gerak tubuh yang
luar biasa anehnya. Entah dia berputar-putar mengelilingi
lawan, entah loncat ke udara, entah bergeliatan menghindar
tetapi yang jelas, gerakannya itu luar biasa cepatnya. Dan
ada sebuah keistimewaan lagi dari dia. Kalau lawan belum
dapat menghantam tubuhnya, lawan masih bertahan
beberapa waktu. Tetapi setiap kali lawan berhasil memukul
tubuh Huru Hara, lawan itu pasti serentak menderita.
Karena setiap kali terkena pukulan, tubuh Huru Hara itu
seperti memancarkan tenaga-membal (refleks) yang
mengembalikan pukulan orang. Makin besar tenaga yang
digunakan orang dalam pukulannya itu, makin parah dia
nanti akan menderita. Kedua Se-pak-song- eng itu menderita luka-dalam yang
parah akibat pukulan mereka sendiri! Mereka terpaksa
melarikan diri seperti anjing yang takut digebuk. Tetapi
Huru Hara tak mau mengejar.
"Wah, berabe sekali," gumam Huru Hara.
"Habis mengapa engkau begitu ngotot hendak melamar
pekerjaan itu kepada Ko Kiat ?" tegur Cian-li-ji.
"Itu sih sumoayku yang menganjurkan. Siapa tahu bukan
benda pusaka tetapi hanya uang yang dikirimkan jenderal
Ko Kiat,...." "Apa " Pusaka ?" Cian-li-ji menegas.
"Ya, kabarnya sebuah pusaka yang mempunyai sangkut
paut penting terhadap nasib kaum persilatan. Tetapi
ternyata hanya uang dan uang itupun asalnya dari rakyat.
Sialan . . . ." "Lalu bagaimana tindakanmu ?"
"Karena sudah terlanjur, kita harus menyampaikan
kepada jenderal Ui Tek Kong. Akan kuanjurkan kepada
jenderal Ui agar uang itu dikembalikan saja kepada rakyat."
Demikian keduanya segera meneruskan perjalanan.
Tiba2 mereka melihat sebuah biara Huru Hara berhenti di
biara itu. Malam hari lanjutkan perjalanan, banyak
bahayanya. Lebih baik bermalam di biara situ dan esok
harinya baru berangkat lagi.
"Hai, ketemu lagi!" tiba2 terdengar suara orang
menyambut dari dalam biara.
"O, engkau," sahut Huru Hara ketika melihat yang
berseru itu tak lain adalah pengemis yang siang tadi hendak
minta numpang naik di keretanya.
"Ya mengapa engkau disini ?"
"Bermalam," sahut Huru Hara.
"Ah, mengapa tak bermalam didalam kota Disini banyak
setan." "O, kebetulan sekali. Aku memang kepingin melihat
bagaimanakah sebenarnya setan itu."
"Engkau tak takut ?"
"Kalau manusia takut setan, lebih baik serahkan saja
bumi ini kepada setan. Manusia supaya berhenti hidup."
"Benar," sahut pengemis tua itu, "mudah-mudahan
engkau nanti dapat menghadapi mereka dengan baik," kata
pengemis tua itu seraya ngeloyor keluar.
"Mau kemana ?" tegur Huru Hara. "Aku sih seorang
pengemis, bisa tidur diluaran di emper. Beda dengan
engkau yang sedang menjalankan tugas seorang jenderal . .
." Huru Hara terkesiap. Kata2 pengemis itu menusuk
hatinya tetapi pengemis itupun sudah melangkah keluar,
terpaksa Huru Hara diam. Malam itu gelap dan sunyi. Huru Hara hampir mau
pulas ketika tiba2 ia mendengar suara lengking jeritan,
"aduh .... ampun, loya".ampunilah".bunuhlah aku saja,
jangan anakku yang masih kecil itu ... . aduh"..
Huru Hara terkejut. Sesaat telinganya terngiang pula
oleh suara yang amat halus tetapi cukup tajam,
"Dengarkanlah, hai, engkau, yang mengangkat nama
sebagai pendekar Huru Hara .. . itulah suara jerit tangis dari
rakyat empat desa yang telah dijagal oleh anak pasukan
jenderal si Ko Kiat itu. Engkau rela menjadi anteknya dan
engkau begitu mati-matian mengawal uang berdarah itu,
huh ..". Huru Hara makin gelagapan. Serentak pun mendengar
ruang depan biara itu penuh hamburan suara orang
menjerit-jerit. "Hayo, kembalikan uangku .... hayo,
bayarlah jiwaku bayarlah darahku ... suamiku, isteriku,
anak-anakku .. " Huru Hara benar2 tak kuat mendengar suara yang
memenuhi telinganya itu, Serentak dia loncat dan terus lari
keluar, Ah . . . . di halaman biara itu penuh dengan orang2
yang berpakaian jembel. Mereka membawa mangkuk
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kosong dan, merintih-rintih, "Kami lapar . . . kami lapar ..
berilah kami makan .. . ."
Huru Hara makin tak mengerti, "Siapakah kalian ini ?"
teriaknya. "Kami adalah rakyat daerah Yang-ciu yang kelaparan.
Harta benda kami telah dirampas, sawah dan ladang kami
telah dibabati semua."
"Siapa yang merampasnya?" seru Huru Hara.
"Prajurit2 itu. Prajuri!2 yang telah menjagal beribu ribu
penduduk dari empat desa yang tak berdosa . . .. "
"Prajurit2 dari jenderal Ko Kiat?"
"Ya." "Lalu sekarang kalian mau apa?"
"Kami lapar .. kami lapar .. kami tak punya apa2 lagi .. .
"Mengapa kalian datang kepadaku?"
"Karena hohan membawa harta dari jenderal Kiat. Itulah
harta yang dirampasnya dari penduduk."
"Lalu maksud kalian?"
"Bagikan harta itu kepada kami . . . . atau bunuhlah kami
ini semua . . . " "Siapa yang kasih tahu kepada kalian?"
"Wi sin-kay!" "Siapa Wi sin-kay itu?"
"Wi sin-kav adalah pengemis sakti yang berhati
budiman. Dialah yang sering datang kepada kami untuk
membagi-bagikan uang dan beras. Kali ini dia bilang, lebih
baik kami datang menghadap dan meminta kepada hohan
sendiri." "O, apakah dia seorang pengemis tua yang kakinya
pincang dan kalau jalan pakai tongkat?"
"Benar, benar, diatah Wi sin-kay yang mulia itu!" seru
berpuluh rakyat. lapar itu.
"Baik, kalian tunggu disini !" kata Huru Hara terus
menghampiri ke tempat kereta. Dia mencari-cari Cian-li-ji
yang tidur dalam kereta itu tetapi orang kate itu tak dapat
diketemukan, "setan, kecil manakah si pendek itu ?"
Ia terus mengangkat peti, dibawa kedalam biara, "Baik,
karena uang ini berasal dari penduduk maka akan
kukembalikan lagi kepada kalian!"
Kawanan rakyat itupun bersorak kegirangan dan
menghaturkan terima kasih. Tetapi tiba2 reka terbelalak
ketika melihat Huru Hara mendelik memandang peti besi
yang telah dibongkar itu. Huru Hara sibuk mengaduk-aduk
isi peti seperti hendak mencari sesuatu. Tetapi akhir dia
geleng2 kepala. "Bagaimana hohan ?" seru kawanan rakyat.
"Celaka ! Aku ditipu jenderal itu !"
"Ditipu bagaimana ?"
"Lihatlah !" seru Huru Hara, "ternyata peti yang berat ini
hanya berisi tanah !"
"Ah, kalau begitu engkau ditipu mentah-mentah oleh
jenderal keparat itu !"
"Ya," sahut Huru Hara, "apakah kalian betul2 lapar ?"1
"Kami hanya makan akar2 pohon saja. Di mana2 rakyat
menderita bahaya kelaparan."
Huru Harad mengambil pundi2 peberian Jenderal Ko
Kiat, jenderal itu memberi uang muka sepuluh tail perak,
"Kalau sudah selesai, kembalilah kesini. Kuberi kamu
seribu tail uang perak," katanya.
"Uangku hanya sepuluh tail perak," kata Huru Hara
kepada kawanan rakyat itu, "kalian bagi rata untuk beli
makanan." "Bagus hiantit !" tiba2 terdengar suara orang memuji.
Huru Hara mengenali suara itu adalah suara Cian-li-ji tetapi
orangnya belum tampak. Beberapa saat kemudian muncullah orang kate itu
bersama si peagemis tua. Cian-li-ji membawa sebuah
karung besar. Sebelum Huru Hara sempat bertanya, Cian-liji
sudah membuka karung itu mengeluarkan kepingan perak
hancur, "Nih, saudara2, kutambah lagi. Belilah makanan
dan berusahalah lagi untuk menanarni sawah dan ladang
kalian." Riuh rendah kawanan rakyat itu menerima hadiah dari
Cian-Ii-ji. Ada salah seorang uang berkata, "Tetapi kami
takut pulang. Kalau pulang dan membawa uang, tentu akan
dirampas oleh prajurit2 itu,"
"Saudara2," seru pengemis tua, "jika demikian, tempat
yang aman ke gunung atau lembah yang sunyi."
Rakyat berteriak menghaturkan terima kasih. mereka
membungkukkan tubuh dihadapan pengemis tua itu,
"Hidup Wi sin-kay! Semoga Tuhan melindungi Wi sin-kay
yang mulia!" Setelah kawanan rakyat itu pergi maka Huru Hara segera
minta keterangan kepada Cian-li-ji kemana saja tadi dia
pergi. "Dia mendatangi aku," kata Cian-li ji seraya menunjuk
pada pengemis tua, "dan mengajak bertaruh. Katanya, peti
ini tentu tidak berisi uang Kalau berisi uang, dia berani
membayar sejumlah berapa besarnya uang itu. Tetapi kalau
kosong aku harus ikut dia ..."
"O, lalu?" kata Huru Hara.
"Aku menerima pertaruhan itu dan peti terus kobongkar.
Ternyata isinya hanya tanah. Sialan . . . . "
"Teruskan!" "Aku kalah dan terpaksa menurut perintahnya. Aku
diajak kembali ke tempat jenderal Ko Kiat.
"Hah?" Untuk apa?"
"Mencuri!" -oodwoo- Jilid: 5 Pendekar Huru Hara terbelalak. Ia benar2 tak mengerti
apa yang dikatakan Cian-li-ji.
"Engkau mencuri?" ia menegas.
"Ya, diajak pengemis ini," sahut Cian-li-ji.
"Mencuri apa?" "Mencuri uang di tempat jenderal Ko Kiat."
"Gila!" teriak Huru Hara.
"Nih, buktinya," Cian-li-ji lalu membuka karung dan
isinya memang uang emas, "seribu tail emas, tak lebih tak
kurang." Huru Hara terlongong, kemudian bertanya, "Buat apa
uang itu?" "Soal itu, tanyakan saja pada pengemis, ini. Aku hanya
kalah bertaruh dan melaksanakan perintahnya," sahut Cianli-
ji. Huru Hara sudah mendengar keterangan penduduk yang
kelaparan tadi tentang diri pengemis tua yang bernama Wi
sin-kay itu. Ia mendapati kesan baik terhadap pengemis itu,
"Paman Wi, tegurnya dengan nada bersahabat, "apa
maksudmu! suruh paman Ciar-li ji mencuri uang di gedung
jenderal Ko Kiat?" "'Untukmu," sahut pengemis itu singkat.
"Untukku" Maksud paman untuk diriku?"
"Bukan," kata Wi sin-kay, "untuk isi peti uang yang
hendak engkau antarkan kepada jenderal Ui Tek Kong itu."
"O," seru Huru Hara, "tetapi bukankah jenderal Ko Kiat
memang sengaja hendak mempermainkan jenderal Ui?"
"Tidak," sahut pengemis tua, "dia hendak mencelakai
engkau supaya engkau ditangkap dan dihukum jenderal
Ui." "Ah, bagaimana mungkin?" seru Huru Hara, "aku kan
hanya melaksanakan perintahnya masakan dia hendak
mencelakai aku?" "Engkau percaya tidak kalau jenderal Ko bukan
mengirim uaug tetapi mengirim tanah kepada jenderal Ui?"
"Ya?"..," beberapa saat kemudian baru Huru Hara
dapat menjawab, "tetapi jenderal itu mengatakan kalau peti
yang kukawal itu berisi uang seribu tail emas sebagai
sumbangan atas kematian ibu jenderal Ui."
"Ya, memang dia berkata begitu,"' kata pengemis tua,
"tetapi benarkah yang akan diterima jenderal Ui itu peti
berisi uang emas ?" "Tidak," sahut Huru Hara, "peti itu jelas berisi tanah.
Jenderal Ui tentu terkejut . . . ."
"Dan marah kepadamu," tukas Wi sin-kay.
"Mengapa marah kepadaku ?"
"Eh, cobalah jawab pertanyaanku. Jenderal Ui percaya
kepadamu atau kepada jenderal Ko ?"
"Apa maksud paman ?"
"Bukankah jenderal Ko juga memberi surat kepada
jenderal Ui " Nah, dalam surat itu tentu disebut tentang
sumbangannya sebesar seribu tail emas. Tetapi ternyata peti
itu berisi tanah. Lalu jenderal Ui apa percaya" Dia tentu
menuduh engkau yang main gila mengambil uang itu.
Akibatnya engkau tentu ditangkap dan mungkin dihukum."
"Ah," Huru Hara mengeluh, "kalau begitu jenderal Ko
hendak mencelakai aku. Apa maksudnya dia berbuat begitu
kepadaku?" "Itulah kelicikan Ko Kiat," kata Wi sin-kay "dia taat
pada perintah atasannya, menteri Su Go Hwat, untuk
berdamai dengan jenderal Ui. Tetapi dalam hati kecilnya
dia sayang kehilangan uang sejumlah itu. Maka dia
mengorbankan engkau. Agar engkau yang dituduh
menggasak uang itu."
"Setan alas !" Huru Hara menggeram, "jika tahu begini,
aku tak perlu merebut surat undangan dari ketujuh
benggolan itu." "Ya," kata Wi sin-kay, "sebenarnya jenderal mempunyai
rencana untuk meminjam tangan jenderal Ui membunuhi
ketujuh benggolan itu. Siapa tahu, engkau yang
mengajukan diri sehingga engkaulah yang menjadi korban."
"Jika begitu, lebih baik aku kembali dan menyerahkan
lagi peti itu kepada jenderal Ko," Huru Hara menggeram.
"Percuma," kata Wi sin-kay, "jenderal itu tentu bertanya
kepadamu, apa sebabnya engkau membatalkan
perjanjianmu ?" "Akan kukatakan terus terang apa isi peti itu !"
"Engkau tentu segera ditangkap dan dihukum mati!" seru
Wi sin-kay. "Mengapa " Bukankah dia sendiri yang mengadakan
rencana busuk itu?" "Mana dia mau mengakui kalau peti itu di isi tanah "
Engkaulah yang dituduh telah mengambilnya dan pura2
engkau mengembalikan kepadanya."
"Ah, tidak ! Dia bohong"
"Jangan ngotot semaumu sendiri !" seru Wi sinkay,
"pangkat itu lebih berkuasa. Apalagi dia seorang jenderal
tentu kuasa menjadikan yang putih itu hitam dan yang
hitam, putih. Dan orang tentu tak percaya kalau seorang
jenderal akan mengirim peti berisi tanah kepada jenderal
lain. Orang tentu lebih percaya kalau engkau yang
mengambil uang itu dan diganti dengan tanah."
"Tetapi kebenaran itu tak dapat diganggu gugat."
"Jangan menyebut-nyebut soal Kebenaran. Dalam
suasana kacau seperti sekarang itu, Kebenaran yang murni
sudah ikut gugur dengan jenasah mantri2 setya dan
prajurit2 yang mati mempertahankan tanahairnya.
Kebenaran yang sekarang ini bukan kebenaran yang murni
lagi. Siapa berkuasa, dia pemilik Kebenaran !"
"Lalu bagaimana aku harus bertindak?" tanya Huru
Hara. "Teruskan pekerjaanmu."
"Mengantar peti berisi tanah itu kepada jenderal Ui."
"Bukankah engkau sudah sanggup ?"
"Ya, tetapi peti uang bukan peti berisi tanah."
Wi sin-kay tertawa, "Itulah sebabnya maka kuajak Cianli-
ji mencuri uang di gedung jenderal Ko. Uang itu nanti
engkau isikan kedalam peti dan serahkan kepada jenderal
Ui." "O, hebat sekali pikiranmu, paman Wi," seru Huru Hara
kegirangan. "Ah, kita hanya menjadikan permainan jenderal Ko itu
menjadi suatu kenyataan yang sungguh-sungguh. Dia
mengatakan mengirim uang dan peti itu benar2 berisi uang.
Tak mungkin, apabila dia mendengar hal itu, dia akan
marah kepadamu. Jenderal Uipun akan menerima
sumbangan itu dengan senang hati. Dengan demikian kita
dapat membantu melaksanakan maksud mentri Su Go
Hwat agar kedua jenderal itu bisa rukun kembali."
"Bagus, bagus, Wi sin-kay," seru Cian-li-ji, "kalau tahu
begitu maksudmu, akan kuambil lagi uang emas jenderal
Ko itu yang lebih banyak."
"Kukira cukup itu dulu," sahut Wi sin-kay.
Huru Hara menanyakan bagaimana cara Cian-li-ji
mencuri uang emas dari gedung jenderal Ko Kiat tadi.
"Sebenarnya Cian-li-ji itu tidak biasa mencuri. Tetapi dia
memiliki ilmu gin-kang yang luar biasa. Maka kuajaknya
dia masuk ke gedung jenderal Ko. Dia kujadikan setan . . .
." "Setan ?" Huru Hara terkejut.
"Ya, kusuruh dia pakai pakaian hitam dan topeng yang
menyeramkan. Lalu kusuruh dia mengganggu penjaga
gudang. Setelah kawanan penjaga gudang itu tersebar
mengejarnya, aku lalu masuk dan mengambil uang itu."
Huru Hara tertawa. "Apakah sekarang kita ganti tanah itu dengan uang emas
?" tanyanya sesaat kemudian.
Wi sin-kay gelengkan kepala, "Tak perlu buru-buru.
Nanti saja setelah tiba ditempat jenderal Ui. Sekarang kita
tutup lagi peti itu dan biarkan isinya tetap tanah."
Malam itu tiada terjadi suatu peristiwa apa2 lagi.
Keesokan harinya Huru Hara dan Cian-li-ji berangkat.
Mereka terkejut ketika tak mendapatkan pengemis tua Wi
sin-kay berada di biara itu.
Tak berapa lama mereka tiba di sebuah kota kecil,
setelah itu baru mereka akan tiba di kota Cho-ciu.
Sebenarnya Huru Hara enggan untuk berhenti tetapi Cianli-
ji menyatakan kepingin minum teh. Terpaksa mereka
singgah di sebuah kedai minuman.
Teh sebenarnya merupakan minuman biasa. Tetapi bagi
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang yang sudah lama tak minum, apalagi kebetulan teh di
warung itu memang istimewa, minum teh merupakan
hidangan yang nikmat sekali.
Tengah Huru Hara dan Cian-li-ji menikmati teh dengan
kuwih, tiba2 masuklah tiga orang lelaki kasar. Maka mereka
penuh brewok, dada dan tangannya yang besarpun tumbuh
bulu yang lebat. Ketiga orang itu memanggil pelayan, "Kasih sekali arak
yang nomor satu dan bak-pau istimewa," kata salah
seorang. Setelah pelayan pergi maka seorang lelaki tua segera
menghampiri ketiga orang kasar itu.
"Hai. ciangkui,"' seru salah seorang dari ketiga tetamu
kasar itu, "bagaimana, apakah tidak pesan lagi" Jangan
terlalu lama nanti kambing2 itu jadi kurus karena kurang
makan." "Tetapi kiriman yang beberapa hari itu, kurus sekali.
Dagingnya sedikit dan banyak boroknya," ciangkui atau
pemilik kedai mengeluh. "Ya, dong, harganya kan murah. Kalau menghendaki
yang muda dan gemuk, wah, harganya lipat. Apa ada
pesanan?" "Ada," seru ciangkui dengan mata berkilat-kilat, "tetapi
wah, sukar. Apa engkau sanggup mencarikan?"
"Jangan kuatir!" seru orang kasar itu, "pokok jaman
sekarang ini ada fulus, mau minta a-pa saja bisa!"
Ciangkui menghampiri kesamping lelaki kasar itu dan
segera membisiki ke telinganya. Tampak wajah orang kasar
itu berobah tegang. "Wah, itu benar2 pesanan istimewa! Tetapi tak mudah
mencarikannya. Harganya harus sepuluh kali lipat dari
barang biasa." "Jangan kuatir, bung. Soa! harga dia tak tawar. Engkau
minta berapa, dia tentu akan membayarmu. Asal engkau
benar2 dapat mencarikan barang yang dikehendakinya itu."
"Tetapi buat apa dia minta barang semacam itu?"
"Entah, katanya untuk ramuan obat."
"Siapakah yang pesan itu?"
"St, jangan keras2," ciangkui itu lalu membisiki telinga si
orang kasar. Tampak orang kasar itu kerutkan dahi dan
mengangguk-angguk. Setelah ciangkui masuk, tiba2 dari jauh terdengar derap
suara kuda berlari. Makin lama makin dekat tiba2
muncullah dua ekor kuda. Yang satu putih yang satu hitam.
Tetamu2 dalam kedai minum itu terbeliak kaget ketika
kedua ekor kuda itu berhenti di depan kedai. Lebih terkejut
pula orang2 itu ketika kedua penunggang kuda itu
melangkah masuk. Sekalian orang menumpahkan mata ke
arah kedua pendatang itu.
Kedai itu banyak disinggahi tetamu2 yang terdiri dari
para pedagang, pengembara maupun prajurit2. Bahwa ada
dua orang penunggang kuda singgah ke dalam kedai minum
itu, memang bukan suatu hal yang mengherankan. Tetapi
yang mengejutkan tetamu2 itu tak lain karena kedua
penunggang kuda itu adalah dua orang nona yang cantik.
Sepintas pandang, mereka merupakan nona majikan dan
bujangnya. Nona itu memakai cadar atau kain penutup muka warna
hitam. Tetapi walaupun tak kelihatan jelas, orang masih
dapat memandang dari kulitnya yang putih, bahwa nona itu
tentulah seorang gadis yang cantik jelita. Sedang yang
seorang masih dara, berwajah manis, umur lebih kurang 16
tahun. Kedua nona itu tak menghiraukan mata para tetamu
yang mencurah kepada mereka. Mereka mengambil tempat
duduk tak berapa jauh dari meja Huru Hara. Seorang
pelayan bergegas menghampiri.
"Nona minum?" tanya dara itu kepada nona yang
mengenakan cadar "Teh dan bak-pau," kata si nona.
"Bak-paunya yang biasa atau istimewa?" ta nya pelayan.
"Apa sih bedanya?" tukas si dara.
"Sudah tentu berbeda, nona," kata pelayan, "bak-pau
istimewa kami rasanya luar biasa lezatnya. Di seluruh
Yang-ciu, tak ada yang menyamai. Sekali coba, orang tentu
akan ketagihan." Dara itu memandang si nona dan si nona memberi
anggukan kepala, "Baik, coba bak-pau yang istimewa," kata
si dara. "Ah Liu, bagaimana kuda kita?" kata si nona bercadar.
''O, ya," kata dara yang dipanggil dengan nama Ah Liu,
"nanti kusuruh pelayan memberi makan juga."
"Apakah disini sedia rumput"'' tanya si nona bercadar.
"Ah, siocia, kuda kita si Melati dan si Kumbang itu
segala apa mau. Tidak ada rumput, bak-paupun suka," kata
Ah Liu. Siocia berarti nona. Lazim digunakan sebutan
menghormat, terutama seorang pelayan terhadap nona
majikannya. Sementara tampak Huru Hara berbisik-bisik dengan
Cian-li-ji. Sedang dibangku lain, ketiga lelaki brewok yang
kasar tadipun tengah kasak kusuk.
"Siocia, heran benar," kata Ah Liu yang lincah bicara."
"Kenapa ?" tegur nona bercadar.
"Di kota sekecil ini, ternyata terdapat beberapa macam
mahluk aneh. Ada pendekar jambul, ada orang kate, ada
orang-utan, hi, hi, hi. . . ."
"St, jangan bermulut usil," tegur gadis bercadar, "kita
masih ada tugas penting,"
Tampak Huru Hara lekatkan telinganya ke mulut Cianli-
ji yang membisikinya. Huru Hara tampak tersenyum dan
geleng2 kepala, "Biarlah, tak perlu diladeni," bisik Huru
Hara. Tiba2 Cian-li ji berbangkit dan menghampiri seorang
pelayan. Pelayan mengangguk dan menuju ke belakang.
Cian-h-ji terus masuk kedalam.
Ternyata orang kate itu hendak buang air kecil. Kamar
kecil terletak diujung belakang sendiri. Sebelum mencapai
tempat itu, dia harus melalui dapur. Beberapa tukang masak
sedang bekerja, antara lain ada yang membuat bak-pau.
Setelah keluar dari kamar kecil, tiba2 Cian-li-ji melihat
seorang tukang masak sedang keluar dari sebuah bangunan
yang terletak paling belakang, dekat pagar tembok.
Bangunan itu ditutup dengan pagar tembok sehingga tak
tampak jelas. Tetapi terang bangunan itu merupakan sebuah
pondok kecil. Rupanya orang itu tak tahu kalau Cian-li-ji sedang
berada dalam kamar kecil. Dia berjalan sambil membawa
sebuah beri (talam) yang tertutup dengan kain hitam. Entah
apa isinya. Tetapi hidung Cian-li-ji yang tajam segera
mencium bau yang anyir, menyengat hidung. Hampir saja
dia muntah. Serentak dia teringat akan pembicaraan bisik2 dari ketiga
orang kasar dengan pemiIik rumah makan itu. Seketika
timbullah keinginannya untuk mengetahui apa yang
terdapat dalam kamar tertutup itu.
Siut, dia bergerak cepat sekali untuk menerobos kebalik
dinding tembok yang menutup bangunan itu. Pintunya
terkunci. Dengan kerahkan tenaga, dia dapat mendobrak
pintu itu. Ah, ternyata sebuah rumah pondok yang kosong.
Mungkin ruang sembahyang pemujaan. Karena disitu
hanya terdapat sebuah meja sembahyang, sebuah arca dewa
dan sepasang lilin serta sebuah hio-lou atau tempat dupa.
Didepan meja terdapat sebuah tikar tebal.
"Ah, untuk sembahyang," pikirnya, "tentulah orang tadi
sedang mengantar ikan untuk sembahyangan."
Tetapi tiba2 dia meregang, "Tetapi mengapa di meja ini
tak terdapat barang hidangan suatu apa " Dan kalau
mengantar hidangan, tentulah dia tidak membawa beri.
Lebih tepat kalau dikatakan orang tadi sedang mengambil
hidangan dari sini. Tetapi hidangan kok baunya begitu
anyir sampai membuat perut mau muntah ?"
Tiba2 terdengar pintu berkerotekan, grendel-nya sedang
diputar orang. "Celaka, ada orang masuk," Cjan-li-ji cepat2
menyelonong masuk ke-bawah kolong meja itu. Untung
didepan meja itu diberi kain to-wi (kain penutup yang
bersulam lukisan dewa), "Ah, Ah Hok memang sembrono sekali." gumam orang
itu, "masakan keluar lupa tak mengunci pintu."
Rupanya yang dimaksud Ah Hok adalah orang yang
keluar membawa beri penampan tadi.
Orang itu berjongkok lalu menyingkap tikar. Ah,
ternyata dibawah tikar itu terdapat sebuah papan besi.
Orang itu lalu membuka papan besi dan terus turun
kebawah. Tak berapa lama orang itupun keluar dengan membawa
penampan bertutup kain. Setelah menutup papan besi
dengan tikar, dia keluar dari ruang itu.
Kini Cian-li-ji makin curiga. Dia menyingkap tikar,
membuka papan besi. Ah ternyata di-bawahnya terdapat
titian batu. Ia segera menuruni titian, Ternyata dibawah,
merupakan sebuah kamar bawah tanah. Sebuah meja besar
dari batu marmar, dibangun ditengah ruang. Tetapi apa
yang disaksikan Cian-li-ji saat itu hampir membuatnya
pingsan Ternyata diatas meja marmar itu penuh dengan
potongan tulang badan manusia. Tangan, kaki, gembung
dan tulang belulang manusia.
"Jagal manusia," serunya bergidik. Serentak-dia teringat
akan beberapa orang yang membawa penampan bertutup
kain tadi. Baunya sama dengan bau di ruangan itu. Seketika
marahlah dia.l Dia mencari akal bagaimana mengobrak-abrik rumah
makan terkutuk itu. Cepat ia mendapat pikiran. Ia
mengumpulkan gigi2 lalu dibungkus. Sebelum pergi, dia
membakar ruangan itu. Kemudian dia berlari ke dapur, "Hai, mengapa pondok
dibelakang itu mengepul asap ?"
Beberapa tukang masak dan pelayan segera keluar ke
belakang. Mereka terkajut ketika melihat pondok di
belakang itu mengepulkan asap tebal.
"Kebakaran," seru mereka seraya berlari-lari menuju ke
pondok itu. Cian-li-ji cepat bekerja. Ia menyelundup ke dapur dan
mengaduk-aduk bak-pau. Isinya diganti dengan gigi
manusia. Setelah itu dia keluar lagi mendapatkan Huru
Hara. "Bersiap-siaplah menghadapi keadaan yang kacau nanti,"
bisik Cian-li-ji. "Apa yang terjadi ?" tanya Huru Hara. Cian li-ji
menceritakan apa yang dilihatnya tadi dengan bisik2.
Seketika marahlah Huru Hara. Dia terus hendak
mengamuk tetapi dicegah Cian-li-ji, "Jangan terburu nafsu.
Tunggu saja pertunjukan yang bagus nanti!"
"Bagaimana rencana kita, siocia ?" tanya Ah Liu kepada
nonanya. "Kita ke Cho-ciu menyampaikan surat kepada jenderal
Ko Kiat, setelah itu kita Holam untuk menemui jenderal Ho
Tay Sing. Pekerjaan ini harus dilakukan secepat mungkin
karena rasanya ayah sudah putus asa meminta bantuan
ransum pada baginda," kata gadis bercadar kain hitam itu.
"Lalu bagaimana prajurit2 kita kalau tidak punya
ransum?" tanya Ah Liu.
"Justeru itu yang menjadi tugas paling penting. Ayah
telah menitahkan engkoh Hong Liang untuk menghubungi
sisa2 anakbuah Li Cu Seng yang kebanyakan menjadi
lasykar liar dan ada pula sebagian yang menjadi
gerombolan perampok. Mereka adalah unsur2 kekuatan
yang harus dihimpun lagi dan digabungkan dengan pasukan
kita, kata nona bercadar.
"Dan apakah Bok siauya juga mendapat tugas?" tanya
Ah Liu pula. "Bok koko disuruh menemani ayah. Ayah kuatir kalau
menyuruh Bok koko keluar. Dia orangnya terlalu jujur dan
tolol." "Tetapi siocia, dia seorang yang berhati setia," bantah Ah
Liu. "Hm," nona itu hanya mendesuh.
"Memang Su sauya lebih cakap dan pintar tetapi . . . . "
"Tetapi apa?" tukas nona bercadar itu.
"Ah, jangan, nanti siocia marah kepadaku
"Tidak," bantah nona itu, "mengapa aku ha rus marah"
Hong Liang koko itu putera keponakan ayah dan Bok Kian
koko itu putera keponakan mama. Mereka disayang ayah
seperti putera sendiri. Dengan aku merekapun seperti
saudara sekandung." "Ya, kutahu," kata Ah Liu, "tetapi rupanya siocia lebih
suka bergaul dengan Su sauya daripada Bok sauya.
Memang Su sauya pintar bicara dan ramah sedang Bok
sauya tak pandai bicara. Tetapi menurut perasaanku, Bok
sauya itu lebih jujur dan setia."
"Apakah Su koko tidak jujur dan tidak setia?" tukas si
nona bercadar. "Ai, aku tidak mengatakan begitu, siocia. Aku hanya
ingin mengatakan kalau Su sauya itu pintar bicara."
"Apa salahnya sih orang pintar bicara itu?"
"Ya, ya ... " Ah Liu tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena saat itu pelayan datang membawa pesanan mereka.
Sebuah teko teh, dua buah cawan. Bak-pau yang dipesan
belum matang. "Hai, loji, engkau mengatakan bak-pau buatan rumahmakanmu
ini paling istimewa sendiri, bukan?" tiba2
terdengar Cian-li-ji berbicara.
"Ya, memang benar," sahut pelayan. Memang adat
kebiasaan tetamu2, kalau memanggil jongos atau pelayan
rumahmakan tentu dengan sebutan lo-ji.
"Apakah engkau sudah pernah makan sendiri?" tanya
Cian-li-ji. Pelayan itu gelagapan, "Semua tetamu selalu memuji
begitu. Aku sendiri jarang makan."
Cian-li-ji tertawa, "Loji, apa engkau dapat menghabiskan
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua biji bak-pau ini?"
"Ah, jangan bergurau loya. Masakan bak-pau dua biji
saja tak habis. Lima bijipun aku dapat menghabiskan."
"Jangan sombong !" , seru Cian-liji," hayo engkau berani
bertaruh dengan aku ?"
"Bertaruh bagaimana ?"
"Kalau engkau dapat menghabiskan dua biji bakpau ini,
kubayar seratus tail perak .. ."
"Loya !" teriak pelayan terkejut, "apakah loya bergurau ?"
"Siapa bergurau dengan engkau, babi '" bentak Cian-li-ji
seraya merogoh keluar sebuah pundi2 uang lalu dituang,"
nih, coba hitunglah. Bukankah jumlahnya lebih dari seratus
tail perak ?" Pelayan itu mendelik, "Maksud loya, kalau aku dapat
menghabiskan dua butir bak-pau itu, loya akan memberi
hadiah seratus tail perak ?"
"Ya." "Baik, loya. Aku sanggup!"
"Jangan terburu-buru dulu. Tetapi bagaimana kalau
engkau tak dapat menghabiskan dua butir bak-pau itu ?"
"Terserah, loya mau menghendaki apa !"
"Begini," kata Cian-li-ji, "kalau engkau tak mampu
menghabiskan dua butir bak-pau ini, engkau akan
kurangket dengan rotan sampai seratus kali !"
Pelayan terbeliak. "Tetapi seratus kali rangketan itu, dibagi begini. Yang
limapuluh rangketan, untuk majikanmu pemilik
rumahmakan ini. Engkau sendiri sepuluh dan yang empat
puluh dibagi rata pada semua pekerja disini."
"Hah,r jangan merembet-rembet ciangkui dan teman2ku
loya. Biar aku sendiri saja yang tanggung !" seru pelayan
itu. "Tidak bisa !" teriak Cian-li-ji sekeras-kerasnya sehingga
sekalian tetamu mendengar tentang ribut2 itu, "seratus tail
perak itu juga dibagi seperti pembagian rangketan itu.
Limapuluh untuk majikanmu, sepuluh untuk engkau dan
sisanya dibagi rata kepada kawan2mu."
"Biarlah aku sendiri saja yang menerima taruhan ini,
loya," seru pelayan. Dia ngiler sekali dengan uang yang
sekian banyak, "menang kalah aku yang tanggung sendiri."
"Hai, Ah Sing, ribut2 apa itu "'" tiba2 seorang lelaki
setengah tua menghampiri. Dia ternyata ciangkui atau
pemilik rumahmakan di situ.
"Anu, loya, tuan ini hendak bertaruh dengan aku.
Katanya kalau aku dapat menghabiskan dua butir bak-pau
istimewa yang baru saja dipesannya ini, dia akan
menghadiahi uang Tetapi kalau aku tak dapat
menghabiskan, dia akan menghadiahi rangketan dengan
rotan sampai seratus kali....."
"Engkau terima taruhan itu ?"
"Ya," sahut pelayan, "tetapi tuan itu kasih peraturan
aneh. Hadiah uang atau rangketan itu harus dibagi rata,
Ciangkui harus menerima 50 kali rangketan rotan, Aku 10
kali dan sisanya dibagi rata kepada semua pekerja disini."
"Kalau engkau menang ?"
"Limapuluh tail perak untuk ciangkui, aku mendapat
sepuluh tail dan sisanya dibagi rata pada kawan2."
"Lakukan !" perintah ciang-kui. Tetapi pelayan itu
meragu. Rupanya dia menginginkan dia sendiri yang
menerima hadiah uang atau rangketan sekian banyak itu
dapat dijadikan modal berdagang sendiri.
"Eh, rupanya engkau tak berani, ya " Baiklah," kata
ciang-kui seraya melangkah maju ke hadapan Cian-li-ji,
"loya, akulah yang menggantikan pegawaiku.
"O, jika ciangkui lain lagi," kata Cian-li-ji "Lho,
bagaimana ?" ciang-kui terkejut karena mengira Cian-li-ji
tak berani, "apa tidak jadi"''
Waktu ciang-kui sedang bertanya jawab dengan pelayan.
Ah Sing tadi, muncullah seorang pelayan lain yang
membawa penampan berisi dua butir bak-pau istimewa
kepada si nona bercadar. Dengan cepat Huru Hara
menghampiri. Selekas pelayan pergi. Huru Harapun berkata, "Maaf,
nona, bolehkah aku pinjam bak-paumu ini dulu ?"
Ah Liu marah sekali. Karena sebelum mendapat
persetujuan, Huru Hara sudah ulurkan tangan mengambil
kedua butir bak-pau istimewa itu, "Lepaskan, manusia liar
!" Ah Liu membentak seraya menampar tangan Huru Hara.
Plak. uh . . . Ah Liu menjerit kaget karena dia terlempar ke
belakang. Dia rasakan tangan Huru Hara yang ditamparnya
itu, memancarkan tenaga tolak yang melempar dirinya
sehingga dia tersurut mundur bersama kursinya.
Nona bercadar itupun kerutkan dahi. Cepat dia
menyambar pergelangan tangan Huru Hara dengan ilmu
Siau-kin-na-jiu (ilmu merebut senjata lawan dengan tangan
kosong), tetapi nona itu hanya menerkam meja. Huru Hara
sudah lebih cepat mengangkat tangannya.
"Nona, percayalah, jangan makan bak-pau ini. Lihatlah
sendiri bagaimana buktinya," bisik Huru Hara seraya terus
melangkah kembali ke mejanya sendiri.
Saat itu kebetulan Cian-li-ji sedang hendak mengatakan
syarat pertaruhannya. Maka Huru Harapun cepat
menimbrung, "Paman Cian, suruh dia makan empat butir
bak-pau, kalau habis, kita kasih dia seribu tail perak. Tetapi
kalau tak bisa habis, kecuali menerima rangketan, dia harus
menyerahkan rumahmakan ini kepada kita !"
"Nah, engkau dengar tidak permintaan dari
keponakanku itu ?" tanya Cian-li-ji kepada pemilik
rumahmakan. "Baik," sambut ciang-kui, "tetapi kuminta uang
pertaruhan itu supaya ditaruh di meja ini agar semua orang
menyaksikan." Rupanya melihat perwujutan Cian-li-ji dan Huru Hara
yang nyentrik, pemilik rumahmakan itu bersangsi, jangan2
kedua orang itu tak punya uang sekian banyak.
Cian-li-ji terkesiap lalu berpaling kearah Huru Hara.
Huru Hara juga bersangsi. Kalau dia mengambil uang emas
yang berada dalam karung, tentulah semua orang tahu.
Suatu hal yang tak menguntungkan tetapi sebaliknya malah
mengundang bahaya. Tetapi kalau tidak diperlihatkan uang
itu, tentulah ciang-kui tak mau menerima pertaruhan itu,
Pada hal rumahmakan itu harus diobrak-abrik.
"Baik paman Cian, silakan ambil uang itu," akhirnya ia
memutuskan lebih penting untuk membasmi rumahmakan
itu, Cian-li-ji melangkah keluar tak berupa lama dia
membawa karung dan diperlihatkan kepada ciang-kui,
"Lihatlah," serunya seraya membuka kantong itu.
Ciang kut terbelalak ketika melihat uang emas dalam
kantong itu, "Ah, masakan gua tak mampu menghabiskan
empat biji bak-pau," pikirnya.
"Bagaimana?" Cian-li-ji menegas. "Baik, aku terima,"
sahut ciang-kui. "Saudara" sekalian," seru Cian-li-ji kepada tetamu2 yang
berada di ruang itu, "harap saudara-saudara suka menjadi
saksi bahwa aku bertaruh dengan ciang-kui ini. Kalau dia
mampu menghabiskan bak-pau istimewa buatannya, aku
akan memberinya seribu tail perak. Tetapi kalau dia tak
dapat menghabiskan, dia menerima 50 kali rangketan rotan
dan setiap pegawainya menerima 10 kali. Juga
rumahmakan ini akan diserahkan kepadaku dan dia
sanggup angkat kaki dari sini!"
"Orang gila," ketiga orang kasar tadi berseru seraya
menertawakan, "jangankan hanya empat, sepuluhpun aku
sanggup, ha, ha, ha .... "
"Hm, apakah omonganmu itu sungguh?" tiba-tiba Huru
Hara berseru menegas. "Tentu," sahut salah seorang dari ketiga o-rang kasar itu.
"Baik," kata Huru Hara, "setelah ciang-kui nanti engkau
yang bertaruh. Bukankah engkau sanggup menghabiskan 10
biji bak-pau?" "Ya." "Baik, tunggu saja giliranmu."
"Bagaimana kalau aku yang bertaruh lebih dulu?"
rupanya orang kasar itu sangat bernafsu sekali untuk
memenangkan perintahan itu. Dia kuatir nanti uang Huru
Hara sudah habis diambil ciang-kui.
"O, baik, baik," tiba2 Huru Hara berseru, "jika demikian
kalian berdua boleh serempak melakukan pertaruhan itu.
Berapa biji bak-pau yang engkau pesan?"
"Hanya enam, setiap orang dua biji," kata' si orang kasar.
"Jika begitu, hai, loji, ambil 10 biji bak-pau yang
istimewa," seru Huru Hara.
Tak berapa lama pelayanpun datang dengan membawa
penampan berisi 10 biji bak-pau yangi masih hangat.
"Paman Cian, engkau yang mengamati ciang kui dan
aku yang mengawasi orang ini," seru Huru Hara.
Dan mulailah ciang-kui serta orang kasar itu mengambil
bak-pau, terus dilalapnya. Klutuk, uh.....tiba2 ciang-kui dan
lelaki kasar itu menjerit ketika merasa telah menggigit
benda yang keras. "Hai, apakah isi bak-pau ini?" teriak ciangkui seraya
memeriksa isi bak-pau yang sudah tergigit separoh itu.
"Gigi orang!" tiba2 pula lelaki kasar itu juga berteriak.
Beberapa tetamu, termasuk si nona bercadar serta
bujangnya si Ah Iiu tadi, tersentak kaget.
"Tidak boleh dibuang, harus dimakan semua!" bentak
Cian-li-ji ketika melihat ciang-kui hendak membuangi gigi
yang berada dalam bak-pau itu.
Lelaki kasarpun sebenarnja hendak mengambil isi
istimewa dari bak-pau itu tetapi dia terkejut mendengar
bentakan Cian-li-ji dan iapun melepaskan pandang bertanya
kepada Huru Hara. "Ya, benar, harus dimakan semua," kata Huru Hara.
Lelaki kasar itu menyeringai, "Tetapi mana mungkin gigi
orang disuruh makan?"
"Bukankah pertaruhan kita ini mengatakan bahwa kalau
engkau dapat menghabiskan 10 biji bak-pau, engkau akan
terima seribu tail perak. Apa artinya "habis ' itu" Maka
semua yang berada dalam bak-pau itu harus engkau makan
habis!" kata Huru Hara tenang".
Tanpa menjawab apa2, lelaki kasar itu terus menyambar
sebuah bak-pau lain. Tetapi begitu digigit, diapun menjerit,
"Hai, telinga orang . . . !"
"Makan saja!" Huru Hara tertawa.
Lelaki kasar itu mencomot sebuah bak-pau lagi dan
ketika digigit, ia menjerit, "Auh, jari orang . . . . "
"Makan terus .... sampai tua," seru Hu-iu Hara.
Sementara itu ciang-kui juga meniru tindakan lelaki
kasar. Bak-pau kesatu yang berisi gigi belum dihabiskan, dia
terus mengambil bak-pau kedua. Tetapi begitu digigit, dia
menjerit, "Auh, telinga orang . . . . "
"Makan!" teriak Cian-li-ji.
Ciang-kui masih ngotot. Dia menjemput lain bak-pau
lagi, "Auh, ma . . . ta . . . , " ia menjerit dengan suara
gemetar. Dan bak-pau keempat yang dicomot dan digigitnya berisi
segenggam gigi orang. "Gila!" teriak ciang-kui, "siapa yang masak bak-pau
begini ini! Lekas panggilkan tukang masaknya!"
Tukang masak, seorang lelaki setengah tua yang
berwajah dingin, segera berlarian menghampiri.
"Hai, mengapa bak-pau engkau isi dengan gigi, telinga
dan mata orang?" teriak ciang-kui de ngan marah.
"Tidak loya . . . isinya hanya bagian daging orang saja!"
tanpa disadari karena hendak membela diri, tukang masak
itu telah kelepasan ngo-mong.
"Hai!" tiba2 Ah L:u menjerit dan terus muntah2. Setelah
itu ia menghampiri ciang-kui,
"O, yang engkau katakan bak-pau istimewa itu ternyata
berisi daging manusia !"
Ah Liu tak dapat menguasai diri lagi. Dia terus hendak
memukul ciang-kui tetapi dicegah Huru Haja, "Jangan,
harap sabar dulu !" Ah Liu tadi telah menderita. Dia menampar tangan
Huru Hara tetapi malah terjengkang ke belakang. Sekarang
dia mau memukul ciang-kui, kembali Huru Hara
menghadang. Dara itu tumpahkan kemarahannya kepada
Huru Hara "Engkau mau membelanya !"
Dengan sebuah gerak dalam jurus Raja-kera-menjolokbuah,
dara itu meninju dada Huru Hara, "duk.....uh!" Ah
Liu menjerit ketika dia terlempar ke belakang sampai
beberapa langkah dan membentur meja di belakangnya.
"Hayaaaa?"..," tiba2 terdengar orang menjerit. Orang
itu ternyata sedang mengangkat mangkuk bubur panas.
Begitu tiba dimuka mulut, bangku telah terlanggar Ah Liu,
bangku terpelanting dan buburpun mengguyur muka orang
itu. Muka tersiram bubur panas, dapat dimaklumi kalau
orang itu sampai menjerit seperti babi hendak disembelih
..... Ah Liu melenting bangun. Dia hendak maju menyerang
Huru Hara tetapi tiba2 dibentak orang, "Jangan liar, Ah Liu
!" Ah Liu berhenti. Ia kenal suara itu adalah suara nona
majikannya. Huru Harapun menghampiri.
"Maaf, nona, maksudku janganlah nona memukulnya
dulu. Biarkan dia menghabiskan bak-paunya," dia memberi
penjelasan. Ah Liu tersipu-sipu dan kembali ke tempat duduknya,
Tetapi tiba2 di dicegat oleh tetamu yang mukanya
berlumuran bubur panas tadi, "Budak liar, nih,
pembalasanku !" Ah Liu terkejut tetapi terlambat. Dia merasa tengkuknya
telah dicengkeram tangan orang dan tubuhnya diangkat,
"Celaka......" Ah Liu mengeluh karena menyadari bahwa
dirinya hendak dilempar keluar.
"Hek . , . ," tiba2 lelaki itu mendesah tertahan dan
tangannyapun terkulai melentuk sehingga tubuh Ah Liu
pun jatuh ke bawah. Untung dara itu dapat bergeliatan
untuk menjaga diri agar tubuhnya tak sampai jatuh ke
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantai. Ah Liu memandang kearah nonanya dan
memperhatikan nona majikannya melingkarkan ke dua jari
telunjuk dengan jempol tangan. Rupanya hal itu merupakan
suatu kode atau sandi kedua gadis itu. Ah Liupun segera
kembali kemejanya lagi. Sedang tetamu yang hendak
melemparnya tadi, deliki mata kepada Ah Liu lalu dengan
berjalan setengah menyeret kaki, dia melangkah keluar.
Sementara itu terjadilah peristiwa yang menegangkan.
Muka pemilik rumahmakan merah padam memandang
empat butir bak-pau yang setelah di gigit ternyata berisi
beberapa macam benda istimewa : gigi, telinga dan mata.
Dia memanggil tukang masak dan tukang masak telah
kelepasan bicara mengatakan kalau yang diisikan kedalam
bak-pau itu bukan macam begitu tetapi hanya daging
manusia yang dicacah. Sekalian tetamu gempar mendengar hal itu. Mereka
serempak bangkit dan memaki-maki. Ada yang terus
ngeloyor keluar tetapi ada yang masih berada disitu hendak
menyaksikan bagaimana kesudahan pertaruhan tadi.
"Ciang-kui, lekas habiskan bak-paumu itu !" bentak Cianli-
ji. "Tidak !" teriak ciang-kui, tukang masak telah keliru
memberi isinya !" "Ciang-kui, jangan ingkar janji. Aku juga tak tahu apa
isinya. Engkau sudah menerima peraturan ini, kalau engkau
tak mampu menghabiskan, baiklah," seru Cian-li-ji, "engkau
harus kurangket dulu 50 kali, setelah itu baru engkau boleh
minggat dari sini !"
"Setan kate, jangan mengacau disini !" pemilik
rumahmakan itu terus menyerang Cian-li-ji. Juga lelaki
kasar tadi marah2 dan tak mau makan bak-pau istimewa
itu. Tetapi Huru Hara memakannya, "Mau, tak mau, suka
tak suka, engkau harus makan bak-pau itu !"
"Bangsat, engkau berani memaksa aku !" sebuah tinju
yang besar dan kuat segera diayunkan kearah kepala Huru
Hara. Huru Hara mengendap kebawah. Secepat tinju
melayang disisinya, dia terus melonjak berdiri, tangan kiri
menyambar dagu orang lalu dipencet sehingga mulut orang
itu terbuka lalu secepat kilat tangan kanan menyambar
bakpau dan dijejalkan kemulutnya.
"Auhhhhh . . . ." orang itu menjerit-jerit tetapi karena
mulutnya disumpat dengan bak-pau, dia tak dapat bersuara.
Dia meronta-ronta hendak melepaskan diri tetapi juga tak
mampu. Pada hal sederhana dan enak saja tangan Huru
Hara mencengkeram dagu orang itu tetapi nyatanya orang
itu tak mampu berdaya. "Lepaskan !" tiba2 dari belakang terdengar suara orang
membentak Huru Hara. Huru Hara tahu hal itu. Dua orang
kawan lelaki kasar itu telah berbangkit dan menghampiri
hendak menolong kawannya. Mereka menyerang Huru
Hara dari belakang. Yang seorang memukul kepala, yang
seorang menendang pantat Huru Hara.
Plak?". duk?".. aduh
Kedua lelaki kasar itu terkejut ketika tiba2 Huru Huru
menyelinap ke samping. Mereka tak dapat menghentikan
tinju dan kakinya lagi. Kepala dan perut kawannya menjadi
sasaran. Akibatnya orang itu terlempar jatuh terjerembab ke
lantai ... . Belum hilang kejut kedua lelaki kasar tadi, tahu2 tengkuk
mereka terasa mengencang seperti dijepit besi. Mereka
hendak meronta dan menghantam ke belakang tetapi
sebelum sempat melakukan gerakan itu, tubuh mereka
seperti terangkat naik dan melayang,
bummmm.....Keduanya terlempar keluar dari rumahmakan
dan jatuh di jalan besar.
Habis melemparkan kedua orang itu, Huru Hara
berputar tubuh. Dilihatnya ciang-kui tengah menyerang
kalang kabut kepada Cian-li-ji yang bergerak
mengelilinginya dengan cepat sekali.
"Hek . . . . , " ciang-kui itu menjerit tertahan ketika
tengkuknya dicengkeram Huru Hara. Dia berusaha untuk
meronta sambil gerakkan kaki dan tangan untuk memukul
dan menyepak. Tetapi semakin dia bergerak, semakin
tulang tengkuknya seperti patah rasanya. Akhirnya dia
menyerah tak berani berkutik lagi.
"Hayo, katakan, mengapa engkau berani membuat bakpau
berisi daging manusia!" bentak Huru Hara.
"Ampun, hohan . . . , " akhirnya pemilik rumah-makan
itu meratap minta ampun. "Aku dapat memberi ampun atau tidak tergantung
engkau sendiri. Kalau engkau mau menjawab pertanyaanku
secara jujur, engkau boleh mengharapkan ampun itu," kata
Huru Hara. "Baiklah, silakan hohan bertanya."
"Mengapa engkau menjagal manusia dan dagingnya
engkau jadikan isi bak-pau?"
"Sebenarnya dulu aku tidak berbuat begitu. Tetapi
setelah tentara negeri ( kerajaan Beng ) mundur ke daerah
sini, sukar sekali mendapat ternak. Sapi, kerbau, babi, ayam
telah diambil untuk ransum tentara. Akhirnya datang orang
menawarkan daging orang. Lebih murah dan lebih lezat,
katanya. Akhirnya karena benar2 sukar untuk mencari
ternak, aku mencoba tawaran orang itu. Harganya murah
dan memang rasanya lebih enak . ..."
"Siapa yang menawari engkau itu?"
"Itu . . . . , " ciang-kui menunjuk pada lelaki kasar yang
menggeletak di lantai, "mereka bertigalah yang mengirim
potongan2 tubuh manusia ke rumah makanku itu."
"Dari mana mereka mendapatkan potongan tubuh orang
itu?" "Aku .... aku tak tahu, hohan . . . Aku hanya menerima
dan membayar harganya saja ..."
"Paman Cian, bangunkanlah orang itu!" seru Huru Hara.
Ciau-li-ji menyeret lelaki kasar itu dan me-namparnampar
mukanya supaya bangun. "Hai, bangsat, dari mana engkau mendapatkan potongan
daging manusia itu!" bentak Huru Hara.
Lelaki kasar itu tahu bahwa dirinya tentu takkan
terhindar dari hukuman. Sama2 akan dibunuh, lebih baik
dia bersikap keras tak mau mengakui perbuatannya, "Siapa
mengatakan aku berbuat begitu?" serunya menantang.
"Kawanmu pemilik rumahmakan ini!"
"Bohong!" teriak lelaki kasar itu, "aku tak tahu menahu
soal itu. Aku datang kesini sebagai tetamu."
"Hm, engkau masih menyangkal?"
"Dia memfitnah aku! Dia sendiri yang menjagal manusia
untuk dijadikan isi bak-pau!" teriak lelaki kasar itu.
"Hm, engkau memfitnah, ya?" Huru Hara deliki mata
kepada pemilik rumahmakan.
"Tidak, hohan, tidak. Aku berkata dengan
sesungguhnya! " "Engkau berani menghadapinya?"
"Berani, harap hohan lepaskan tengkukku," kata pemilik
rumahmakan. "Baik," Huru Hara melepaskan cengkeramannya. Dan
ciang-kui itu terus menghampiri ke hadapan lelaki kasar lalu
menuding mukanya, "Jangan menyangkal engkau!
Engkaulah yang mengirim potongan2 daging manusia itu?"
"Baik, kuakui," seru lelaki kasar itu, "tetapi kalau engkau
tidak mau menerima, masakan aku melanjutkan pekerjaan
itu. Semisal tadi, engkau-pun pesan kepadaku suruh
mencarikan selusin anak perempuan yang masih dara dan
selusin anak laki yang masih jejaka ..."
"Itu bukan aku tetapi aku juga menerima pesanan dari
seorang pembesar ..."
"Bu-Iiang-siu-hud!" tiba2 terdengar seseorang berseru
dan serempak muncullah seorang imam ke dalam
rumahmakan itu, "apakah yang terjadi di-sini" Mengapa
meja kursi tumpah ruah begini macam?"
Imam itu bertubuh kurus, berumur lebih kurang 60-an
tahun. Matanya yang cekung dan pelipisnya yang
menonjol, menandakan dia memiliki ilmu Iwekang (tenagadalam
) yang tinggi. Pelahan-lahan saja dia berseru tetapi
dalam pendengaran orang2 itu seperti terngiang letusan
mercon. "Hai, mengapa sicu berdua hendak berkelahi" Ah, tak
baik Orang bermusuhan iru," tiba2 imam itu menyiak.
Dengan tangan kiri dia menyiak dada ciang-kui, dengan
tangan kanan dia mendorong dada lelaki kasar. Sepintas
memang seperti orang yang hendak melerai.
Kemudian dia menghampiri Huru Hara dan
mendorongnya, "Si-cu, sudahlah, silakan duduk iagi"."
Tetapi mulut imam aneh itu terdengar mendesuh kejut
ketika dia terdorong mundur dua Iangkah, sedang Huru
Hara yang didorongnya itu hanya tersurut selangkah, "O,
apakah sicu tak mau menghargai permintaanku ?"
"Sudahlah, jangan ikut campur, engkau tak tahu
persoalannya," bentak Huru Hara.
"Bu-liang-siu-hud," seru imam aneh itu, "Jika sicu
memang hendak mengumbar kemarahan, lebih baik aku
keluar saja dari sini. . .Dia terus melangkah keluar dan
lenyap. "Hai, ciangkui, mengapa engkau diam saja " Pembesar
siapakah yang menyuruh engkau mencari dua lusin anak itu
" Apa perlunya ?" seru Huru Hara.
Ciang-kui diam saja. Matanya masih mendelik
memandang kearah lelaki kasar.
"Hai, ciangkui, apa engkau tuli ?" bentak Huru Hara
pula. Dan karena ciang-kui itu tetap tak menghiraukan,
Huru Hara menampar bahunya," hai, ciang-kui, mengapa
engkau membisu sa .. .. hai !" tiba2 Huru Hara berteriak
kaget karena ciang-kui itu rubuh.
Cian-li-ji terkejut dan cepat mengangkatnya, "Hai,
dia".mati!" Bukan kepalang kejut Huru Hara. Mengira kalau lelaki
kasar itu yang melakukan, dia membentaknya, "Hai,
mengapa engkau berani membunuhnya!"
Tetapi lelaki kasar itu diam saja dan hanya deliki mata
kepada ciang-kui. Huru Hara menampar bahunya, "Hai,
mengapa bisu saja ! Seperti waktu menampar ciang-kui tadi, Huru Harapun
memekik kaget karena lelaki kasar itupun terjungkal rubuh.
Huru Hara buru2 berjongkok memeriksa pernapasannya.
"Dia sudah mati tiba2 terdengar sebuah suara yang halus
dan merdu. Huru Hara berpaling. Serentak dia berbangkit
sesaat melihat seorang nona bertutup cadar tegak ditempat
itu. Dibelakangnya tampak Ah Liu.
"Apa katamu ?" Huru Hara menegas.
"Dia sudah mati, perlu apa engkau periksa
pernapasannya ?" kata nona bercadar itu ?"
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Lihatlah, bukankah matanya mendelik dan bibirnya
biru ?" Huru Hara berpaling sejenak, "Ya, benar, bagaimana
engkau tahu ?" "Dia terkena pukulan jenis Siu-lo-im-sat-kang yang
ganas. Urat2 jantungnya putus seketika."
"O, lalu siapakah yang membunuhnya ?"
"Engkau !" "Gila !" teriak Huru Hara, "aku sedang mencari
keterangan mereka, perlu apa akan membunuhnya."
Sang Ratu Tawon 3 Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 9
walaupun kuda tunggangannya terpanah mati. Rupanya Ko
Kiat masih belum puas. Dia mengirim pasukan untuk
menyerang di pos pertahanan Tik Kong di kota Gi-cin. Tek
Kong menderita kerusakan besar.
Sudah tentu Tek Kong marah sekali. Dia nengirim surat
kepada baginda Hok Ong, mohon diperkenankan untuk
menghancurkan Ko Kiat. baginda menitahkan Su Go Hwat
untuk menyelesaikan perselisihan itu.
Kebetulan mamahnya Tek Kong meninggal. Waktu
melayat, Su Go Hwat membujuk Tek Kong agar
menghapus dendam kemarahannya kepada Ku Kiat.
"Demi kepentingan negara, kupercaya ciang- kun tentu
berjiwa besar untuk menghapus dendam itu. Semua orang
tahu bahwa Ko Kiat yang bersalah maka akan kusuruh dia
menghaturkan maaf kepada ciang-kun," kata Su Go Hwat.
Ko Kiat menurut perintah. Dia hendak mengganti semua
kerugian pasukan Tek Kong dan akan menghaturkan seribu
tail emas sebagai tanda ikut berdukacita atas kematian
ibunda Tek Kong. Dengan tindakan itu dapatlah Su Go Hwa untuk
kesekian kalinya menjaga keutuhan para jenderal pasukan
kerajaan Beng. Demikian jenderal Ko Kiat telah mengirim undangan
kepada tujuh tokoh hitam yang ganas untuk mengawal
uang sebanyak seribu tail emas itu.
Memang sejak menguasai kota Yang-ciu, Ko Kiat
mempergunakan juga tenaga2 tokoh hitam dalam dunia
persilatan untuk menjalankan tangan besi menindas rakyat.
Rakyat makin menggigil karena marah, benci tetapi takut.
Munculnya seorang pemuda aneh di kota Yang-ciu,
tidaklah banyak menarik perhatian orang kecuali mereka
hanya menyangka bahwa pemuda aneh itu seorang yang
kurang waras pikirannya, tapi sebuah peristiwa yang cukup
menggempar, membuat pemuda aneh itu dapat merebut
hati rakyat. Peristiwa itu terjadi diwaktu sore dikala matahari masih
bersinar terang. Sekawanan prajurit anakbuah Ko Kiat yang
terdiri dari 10 orang, makan minum disebuah rumah
makan. Kebetulan saat itu Loan Thian Te atau si Huru
Hara juga berada dalam rumahrnakan itu. Melihat kawanan
prajurit masuk, pelayan ketakutan setengah mati. Meja2
sudah penuh diduduki tetamu. Yang ada hanya meja si
Huru Hara yang masih kosong karena hanya diduduki
Huru Hara seorang. "Tuan, maafkan, kuminta tuan suka mengalah untuk
para loya ( tuan besar ) itu. Tuan tak perlu membayar
rekening makanan tuan,'' kata pelayan itu.
Huru Hara deliki mata kepada si pelayan tapi sesaat
kemudian mau menjawab juga, "Kalau mereka mau duduk,
silakan saja duduk, perlu harus mengusir lain tetamu?"
"Tetapi tuan ....," belum habis pelayan berkata,
rombongan prajurit itupun menghampiri dan berseru, "Hai,
meja masih kosong. Kita dudukdisini "
"Hai, tolol, lekas pergi," bentak salah seorang prajurit
kepada Huru Hara. "Enak saja engkau ngomong," sahut Huru hara, "ini kan
rumahmakan umum, bukan milikmu. Mengapa engkau
berani mengusir tetamu?"
"'Eh, rupanya engkau sudah bosan hidup, ' bentak
prajurit itu seraya terus hendak memukul Huru Hara.
"Lo Bun, dia orang gila, perlu apa marah kepadanya?"
seorang prajurit kawannya mencegah "seret saja dia keluar
sana!" Prajurit yang pertama membentak tadi, serentak terus
menarik Huru Hara. Biasanya orang menyeret tentu
menarik tangannya tetapi prajurit itu memang ugal-ugalan.
Dia menarik kuncir rambut Huru Hara, "Hayo, keluar
babi!" Tetapi alangkah kaget prajurit itu ketika ia tak kuat
menarik orang aneh itu. Huru Hara melanjutkan
menyantap hidangannya, menyumpit sekerat tulang ayam
dan terus dimasukkan kelubang hidung si prajurit,
"Makanlah ....!"
"Aduhhhhh," prajurit itu menjerit sekeras-kerasnya
ketika lubang hidungnya kemasukan tulang ayam yang
tajam. Hidungnya berdarah, lepaskan cekalannya pada
kuncir rambut Huru Hara dia berusaha untuk
mengeluarkan tulang itu dari hidungnya tetapi tak berhasil.
"Haya, celaka, bagaimana hidungku ini".. prajurit itu
berjingkrak-jingkrak seperti orang gila. Beberapa tetamu
ketakutan dan bubar. Ada yang menolong prajurit celaka itu, ada pula
kawannya yang terus menghampiri Huru Hara, "Bangsat,
engkau berani menganiaya kawanku," dia hendak memukul
tetapi sebelum tinju mendarat dia sudah menjerit keras
karena mukanya disembur dengan arak oleh Huru Hara.
Demikian berturut-turut tanpa ada yang bebas, kesepuluh
prajurit anakbuah Ko Kiat itu telah menelan pil pahit dari si
orang aneh Huru Hara. Ada yang giginya putus, ada yang
mukanya disembur arak, matanya ditabur bubuk lada. Yang
paling sial adalah prajurit yang telinganya dimasuki biji
kacang. Prajurit itu benar2 koming setengah mati dan
berteriak-teriak di sepanjang jalan seperti orang gila. Dia
terus terjun kedalam sungai karena tak kuat menahan rasa
sakitnya. Demikian peristiwa 10 orang prajurit dihajar oleh
seorang aneh telah tersebar luas di kota Yang-ciu.
Huru Hara mendengar tentang surat undangan jenderal
Ko Kiat kepada ketujuh tokoh hitam. Dia memutuskan
untuk merebut pekerjaan itu. Dia hendak melihat apakah
benda yang hendak dikirim Ko Kiat itu. Kalau hal itu
merugikan rakyat, dia akan membagi-bagikan barang itu
kepada rakyat. Begitu sekelumit cerita munculnya seorang aneh yang
menamakan diri sebagai Loan Thian Te atau pendekar
Huru Hara di kota Yang-ciu.
Setelah berhasil membereskan ketujuh Pembunuh besar,
maka Huru Hara hendak masuk ke dalam kota Yang-ciu
tetapi ditengah jalan dia berjumpa dengan seorang manusia
aneh, tingginya hanya satu meter dan bergelar Cian-li-ji
atau Telinga-seribu-li dan mengaku menjabat sebagai mentri
kebun istana raja. Apa boleh buat karena kasihan kepada orang kate itu,
Huru Harapun mau membawanya. Tiba di Yang-ciu
mereka mendapat keterangan bahwa jenderal Ko Kiat tidak
tinggal di kota itu melainkan di Cho-ciu. Huru Hara dan
Cian-li-ji menuju ke sana.
Sudah tentu tak sembarang orang dapat masuk kedalam
gedung kediaman jenderal Ko Kiat penguasa kota. Selain
dikelilingi dengan pagar tembok yang tinggi, pun di pintu
gerbang dijaga oleh selusin prajurit bersenjata lengkap.
"Berhenti!" bentak seorang prajurit penjaga seraya
mengacungkan tombak ketika melihat Huru Hara dan Cianli-
ji terus hendak masuk begitu saja tanpa menghiraukan
para penjaga itu. "Kalian ini setan2 dari mana saja berani masuk kedalam
gedung ciangkun!" seru prajurit itu.
"Aku manusia dan pamanku ini juga manusia, bukan
setan," sahut Huru Hara dengan polos.
Melihat bentuk potongan kedua orang itu, yang satu
berpakaian seperti pendekar, pakai kain kepala tetapi
berlubang dua. Yang satu seorang lelaki kate, keduabelas
prajurit itu tertawa gembira.
"Aku datang kemari bukan untuk menjadi bahan
tertawaan kalian tetapi hendak menghadap jenderal Ko,"
kata Huru Hara mulai tak sabar.
"Engkau hendak menghadap ciangkun " Ha, ha, ha.....,"
kembali penjaga itu tertawa gelak2, "tak perlu, cukup
menghadap aku saja. Mau apa engkau ?"
"Penjaga," seru Huru Hara dengan serius, "jangan
berolok-olok. Aku benar2 hendak menghadap ciangkun.
Jika engkau tak mengidinkan terpaksa aku harus masuk
sendiri." "Engkau hendak masuk sendiri ?"" ulang prajurit itu,
"boleh, boleh .... asal engkau mampu melewati selakangku,"
prajurit itu terus merentang kedua kakinya.
Huru Hara terkesiap. Sejenak iapun berseru, "Apakah
kakimu cukup kuat untuk menerima tubuhku " Kalau
terlanggar, mungkin engkau akan terjerembab. Lebih baik
kuperisanya dulu. Huru Hara terus maju menghampiri, "Awas,
kencangkanlah kakimu kuat2, bung !" Ia gerakkan kakinya
pelahan-lahan untuk mengait kaki prajurit itu. Karena
hendak dikait, prajurit itu kencangkan kakinya untuk
bertahan. Tetapi akibatnya, bum.....dia terpelanting
terbanting ke tanah. Gelak tawa kawanan penjaga itu sirap seketika, "Lo
Kian, mengapa engkau tak punya guna lama sekali ?"
Namun penjaga yang terbanting itu hanya meringis
kesakitan. Kepalanya pusing tujuh keliling dan matanya
berbinar-binar. "Hayo siapa yang mau menggantinya ?" seru Huru Hara.
"Aku," seru seorang penjaga yang bertubuh besar seraya
bersiap. "Huh.....!" ia memekik ketika Huru Hara gerakkan
kakinya mengait dan dia terpelanting jungkir balik.
Kali ini kawanan penjaga itu benar2 terkejut. Lo Siang,
penjaga bertubuh tinggi besar itu paling kuat sendiri
diantara mereka. Tetapi mudah seperti tak menggunakan
tenaga, orang aneh itu dapat mengaitnya jatuh. Mereka
kasak kusuk lalu dua orang maju, "Engkau hebat sekali.
Apa engkau mampu mengait kami berdua ?"
"Jangan !" "Apa maksudmu ?"
"Terlalu membuang waktuku."
"Hah ?" "Kalian maju semua saja. Boleh pilih, mau mengait atau
dikait ?" kata Huru Hara.
"Setan, sombong benar engkau !" teriak penjaga2 itu,"
baik, karena engkau sendiri yang menantang, kami akan
maju berdelapan. Kalau engkau tak mampu mengait jatuh,
lehermu kupotong mau ?"
"Bersiaplah !" sahut Huru Hara.
Kedelapan penjaga itu segera berjajar melipat dan
merentang kakinya. Maka bergerak kaki Huru Hara
menyusup kebelakang tumit mereka dan sekali bergerak,
uh, ah, auh, ih, hait .... bum?"bum, terdengar delapan
sosok tubuh berjatuhan ketanah seperti buah kelapa yang
gugur dari atas pohonnya.
"Hi, hi. hi," Cian-li-ji tertawa mengikik, 'hai, tunggu
aku.....!" ia berteriak kaget ketika Huru Hara terus
melangkah masuk ke halaman gedung.
Cian-li-ji lari menyusul. Dia heran. Walaupun
tampaknya seperti berjalan, tetapi langkah Huru Hara itu
amat cepat sekali. Sepintas keduanya seperti orang yang
kejar mengejar. "Berhenti!" tiba2 dua orang prajurit menyongsongkan
tombak menghadang mereka. Ternyata dipintu ruang muka
juga dijaga oleh empat orang prajurit bersenjata lengkap.
Melihat dua orang aneh berlari-lari hendak masuk kedalam
gedung, prajurit2 itu terkejut. Disangkanya kedua orang itu
orang gila yang hendak mengamuk.
Memang mengingat suasana yang masih genting dan
karena merasa telah melakukan pembunuhan besar-besaran
pada rakyat di empat desa maka jenderal Ko Kiat merasa
cemas. Untuk menjaga keselamatannya maka Ko Kiat
mengatur penjagaan yang keras. Setiap orang yang hendak
masuk ke gedung panglima, harus minta izin lebih dulu.
Kalau tidak, prajurit2 penjaga diberi hak untuk menangkap,
kalau perlu boleh dibunuh ditempat.
"Aku hendak menghadap jenderal Ko Kiat, seru Huru
Hara. "Apa " Engkau hendak menghadap ciangkun" Pergi .... !"
prajurit itu terus tusukkan ujung tombak untuk menghalau.
Tetapi Huru Hara tenang2 saja. Prajurit itu tertegun sendiri,
"Hai, apa engkau benar2 tak mau pergi ?"
"Aku belum bertemu jenderal, mengapa harus pergi ?"
sahut Huru Hara. "Eh, orang gila, kalau belum ditusuk tentu tak kapok,"
prajurit itu terus menusuk dada Huru Hara, uh?".
uh?"". uh Huru Hara kisarkan tubuh dan ujung tom bak itupun
menyusup kebawah ketiaknya. Prajurit rasakan tombaknya
macet seperti terjepit kepingting baja. Dia kerahkan tenaga
untuk menarik keluar. Tetapi sampai mulutnya mendesusdesuh
ah-uh, dia tetap tak mampu menarik tombaknya dari
kepitan ketiak Huru Hara.
Melihat itu seorang prajurit kawannya terus menusukkan
tombaknya ke dada Huru Hara. Maksudnya agar Huru
Hara ketakutan dan melepaskan kepitannya. Cret ..uh,
uh".. ternyata prajurit yang kedua itu juga menderita nasib
seperti kawannya tadi. Waktu ujung tombak meluncur
maju, tiba2 Huru Hara ngangakan lengannya dan
mengempit ujung tombak itu. Kini dia mengepit kedua
ujung tombak dalam ketiak kanan dan kiri.
Kedua prajurit itu mengerahkan seluruh tenaga namun
sampai muka mereka merah padam dan mata mendelik,
kumis meregang tegak, tetap mereka tak mampu menarik
keluar tombaknya. Melihat kejadian seaneh itu, dua prajurit yang lain
terkejut. Mereka berhamburan menghampiri dan hendak
menusuk Huru Hara. Tetapi sekonyong-konyong mata
mereka seperti ditabur oleh bayangan hitam yang berkelebat
seperti kilat menyambar, plok . . .plak . . .
"Aduh . . . aduh . . . , " kedua prajurit itu menjerit ketika
yang satu pipinya ditampar dan yang satu kepalanya
ditabok orang, Mereka hentikan gerakan tombaknya dan hendak
mencari siapa bayangan aneh yang menampar mukanya itu.
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Setan kate, engkau!" teriak prajurit itu ketika melihat
Cian-li it tegak dihadapan mereka dengan tertawa
mengikik. "Jangan rnembunuh keponakanku!" seru Cian-li it.
"Ya, tidak keponakanmu tetapi engkau!" kedua prajurit
itu ganti sasaran, menyerang Clan-li-it tapi seperti tadi,
merekapun gelagapan ketika disambar oleh berkelebatnya
bayangan hitam yang berputar mengelilingi mereka.
'Aduh-duh . . . aiihhhh . . . , " kedua prajurit itu memekik
keras lagi. Yang satu, kumisnya sebelah kiri dicabut sampai
brodol. Yang satu, hidungnya merah sekali karena diremas
keras2. Mereka berhenti dan ha, ha, ha . . . tiba2 yang hidungnya
merah itu tertawa geli, "Lo Sim, mengapa kumisnya brodol
separoh . . . . " "Bangsat, jangan menertawakan aku. Hidungmu sendiri
juga merah seperti kepiting rebus!" seru yang dipanggil Lo
Sim dengan rnarah, "hayo kita sate saja setan kate itu!"
Tetapi sebelum sempat bergerak, mereka gelagapan
karena disambar sesosok bayangan hitam.
"Aduh-duh . . . mati aku . . .," kembali kedua prajurit itu
menjerit lagi. Tetapi beberapa saat yang kumisnya brodol
tadi segera tertawa, "Ha, ha, ha, mengapa kumismu juga
brodol, kawan?"' Memang kali ini mereka mendapat giliran. Yang
hidungnya diremas sampai merah tadi, sekarang kumisnya
sebelah kanan brodol. Sedang prajurit yang kumisnya
sebelah kiri brodol tadi, kini telinganya merah padam
karena dipelintir sekeras- kerasnya.
"Anjing lu Lo Sim, mengapa menertawa aku, hayo
bunuh si kate!" rupanya prajurit itu marah.
Keduanya segera menyerang dengan kalang-kabut.
Tetapi yang diserang itu bukan si kate Cian-li-ji melainkan
sesosok bayangan hitam yang berputar-putar seperti angin
meniup. Tungng, cret . . . aduh . . . auh . . . terdengar suara
senjata mengenai tubuh dan jerit mengaduh disusul dua
tubuh prajurit itu terhuyung-huyung jatuh ke tanah.
Ternyata mereka saling menghantam kawan sendiri.
Tombak Lo Sim menusuk kaki kawannya dan ujung
tombak kawannya itu mengemplang kepala Lo Sim.
"Uh.. . . uh . . . tiba2 terdengar pula suara mendesuh
kejut dan kedua prajurit yang tengah menarik tombaknya
dari kepitan lengan Huru Hara itu terdorong kebelatang,
kepalanya terantuk tembok dan tersungkurlah mereka di
tanah. Ternyata pada saat kedua prajurit itu mengerahkan
segenap kekuatannya, tiba2 Huru Hara membuka kepitan
lengannya sehingga kedua prajurit itu terjorok ke belakang
dan membentur tembok. "Beres!" seru Huru Hara terus melangkah masuk diikuti
Cian-it-ji. Melintasi ruang depan mereka harus melalui sebuah
halaman lagi. Halaman itu merupakan halaman sebelah
dalam dari ruang tempat kerja jenderal Ko Kiat. Ujujug
halaman merupakan titian batu yang naik keatas ruang.
Juga di halaman, tepatnya di bawah titian batu itu,
dijaga oleh empat prajurit gagah perkasa. Menilik
seragamnya mereka bukan prajurit kerucuk tetapi
berpangkat perwira. Sudah tentu mereka terkejut melihat munculnya dua
manusia aneh di halaman itu, "Gila mereka itu! Mengapa
orang2 gila semacam ini dibiarkan masuk," seru salah
seorang perwira yang bertubuh kekar.
"Berhenti!" serentak dia maju menghadang Huru Hara
dan Cian-li-ji, "mau apa kalian masuk kemari?"
"Aku hendak menghadap jenderal Ko Kiat,'! sahut Huru
Hara. "Siapa engkau?"
"Aku diundang jenderal Ko!"'
"Gila! Masakan Ko ciangkun sudi mengundang manusia
semacam kalian, lekas enyah!" bentak perwira itu.
Huru Hara menyadari bahwa kali ini dia tak mau
berkelahi. Lebih baik dia menyelesaikan dengan damai,
"aku membawa surat undangal jenderal Ko' serunya seraya
mengeluarkan tujuh buah surat undangan.
Perwira itu menyambarnya lalu memeriksa. Ia
memanggil ketiga kawannya, "Apakah surat undangan ini
tidak palsu?" "Menilik tanda tangannya memang tulisan Ko
ciangkun," salah seorang perwira menyatakan,
"Lalu bagaimana?" tanya perwira pertama itu.
Kawannya mengusulkan, lebih baik dilaporkan kepada
jenderal. Sedang kedua orang itu harus ditahan dulu. Kalau
mereka bohong, barulah di tangkap atau dibunuh.
"Baik, kalian tunggu dulu," kata perwira yang pertama.
Setelah suruh ketiga kawannya menjaga disitu, dia terus
masuk kedalam. "Hai, bung, dari mana saja engkau mendapat surat
undangan itu ?" tanya seorang perwira secara iseng.
"Rahasia," sahut Blo'on.
"Engkau menemu di jalan, ya ?"
"Tidak." "Mencuri ?" "Eh, jangan bicara seenakmu sendiri!"
"Eh, pak tua, mengapa engkau sependek itu?" seorang
perwira yang lain menggoda Ciang-li-ji.
"Entah, aku sendiri juga tak tahu," sahut Cian-li-ji seraya
mengeluarkan botol dari dalam bajunya. Membuka tutup
botol lalu meneguknya, gluk, gluk, gluk.....habis itu
diberikan kepada Huru Hara, "minumlah nak."
Huru Hara menyambuti dan terus meneguk lalu
diberikan kembali kepada Cian-li-ji. Cian-li-ji memasukkan
lagi kedalam bajunya. Bau arak itu luar biasa harumnya. Ketiga perwira itu
melongo dan meneteskan air liur.
"Aduh, harumnya arakmu itu," seru mereka.
Tetapi Cian-li-ji tak mengacuhkan. Sebelum
memasukkan kedalam baju, lebih dulu dia membuka tutup
botol, dituangkan sedikit ke tanah.
"Hai, mengapa arak begitu harum engkau buang ke
tanah ?" kembali perwira itu menegur seraya meneguk
airliurnya. "Mau gua minum habis, mau gua buang kek, mau gua
tuang ketanah kek, apa pedulimu ?" sahut Cian-li-ji dengan
sinis. "O, dari pada dibuang kan lebih baik kasih kan kepadaku
saja," seru perwira itu.
"Engkau kan orangnya jenderal Ko, makan minum tentu
serba lezat. Mengapa masih seperti tikus yang rakus ?"
"Tetapi arakmu itu luar biasa harumnya! Mungkin
ciangkunpun tidak memiliki persediaan arak seperti itu !
"Terang dong," sahut Cian-li-ji, "jangankan jenderalmu
disini, pun di istana raja juga tak punya arak seperti ini !"
"Jangan sombong! Tak mungkin raja tak punya arak
seperti itu." "Mari kita bertaruh. Kalau raja punya arak begini,
potonglah leherku. Tetapi kalau dia tak punya, kepalamu
kupenggal!" "Dari mana engkau memperoleh arak itu ?"
"Itu rahasia. Kalau kukatakan nanti orang dapat
membuatnya, "Cian-li-ji minum lagi seteguk sehingga bau
arak bertebaran menyengat hidung, menyegarkan semangat.
Rupanya perwira itu benar2 tak kuat menahan
keinginannya lagi, serunya, "Pak tua, maukah engkau
memberi aku barang seteguk dua teguk saja ?"
"O, boleh, boleh, asal engkau menurut syaratku."
"Apa ?" "Engkau harus berlutut dan memberi hormat sampai
tujuh kali dan menyebut loya (tuan besar) kepadaku."
Perwira itu kerutkan dahi, "Aku seorang perwira, mana
aku sudi engkau suruh bertekuk lutut dihadapanmu untuk
mengemis arak " Pak tua, sudah baik kalau aku
memintanya secara baik2. Tetapi kalau engkau berkeras
kepala, terpaksa aku akan menggunakan hak kekuasaanku
!" "Lho, engkau hendak main paksa mengambil arakku ?"
"Bukan mengambil tetapi merampas. Karena setiap
orang, baik siapapun saja, kalau hendak menghadap
ciangkun harus digeledah. Semua barang yang dibawanya,
apakah itu senjata atau barang pusaka, harus dirampas.
Nah, sekarang berikan saja arak itu dengan baik agar aku
tak perlu menggunakan paksaan."
"Tidak bisa !" teriak Cian-li-ji," kalau memang terdapat
peraturan begitu, aku mau keluar dulu untuk menyimpan
botol arakku, baru nanti aku kembali kesini lagi !"
"Tunggu !" cepat perwira itu loncat menghadang, "disini
bukan tempat seperti jalanan dimana orang boleh keluar
masuk seenaknya sendiri. Masuk pakai izin, keluarpun juga
harus pakal izin !" Cian-li-ji mendelik, serunya, "Baik, aku tidak jadi keluar.
Ia mengambil botol arak lalu diteguknya sampai habis,
kemudian memberikan botol yang sudah kosong itu kepada
perwira, "ni daripada engkau rampas, sekarang kuberikan
secara baik2." "Orang kate, engkau berani menghina aku," merasa
dipermainkan, perwira itu marah dan terus ayunkan tangan
menampar kepala Cian-li-ji. Tetapi alangkah kejutnya
ketika sesosok bayangan hitam berkelebat dimuka
mengaling pandang matanya dan aduh.... ia menjerit kaget
ketika daun telinganya diselentik sekeras-kerasnya sampai
merah dan panas rasanya. "Setan tua. mampus engkau !" perwira itu mencabut
pedang dan menyerang Cian-li-ji dengan jurus Soh-ju-ciankun
atau Menyapu-seribu prajurit. Dari kaki sampai ke
kepala Cian-li diserangnya habis-habisan.
Perwira itu makin penasaran. Dia merasa dirinya
dikepung oleh beberapa bayangan si orang kate sehingga
dia terpaksa berputar-putar sederas kitiran.
"Uh . . . , " tiba2 perwira itu mendesuh kaget dan
berhenti. Tangan kiri mendekap pinggang. Apa yang
terjadi" Ternyata tali celana perwira itu telah putus. Entah apa
sebabnya. Karena celana hendak meluncur kebawah,
perwira itupun buru2 hentikan serangan dan mendekap
pinggangnya untuk mencegah jangan sampai celananya
longsor turun. "Ha, ha, ha . . . , " kedua perwira kawannya tertawa geli
menyaksikan peristiwa kawannya tertawa geli menyaksikan
peristiwa itu. "Hai. mengapa ribut2 itu!" teriak seseorang yaitu perwira
pertama yang masuk melapor kepada jenderal Ko Kiat tadi.
Dan dia juga ikut melongo ketika melihat perwira
kawannya sedang sibuk mengurus celananya.
"Kenapa Lo Gan itu?" tegurnya
"Tali celananya putus, ha,..ha"ha," kawan-kawannya
menyahut dengan tertawa. "Bagaimana?" Huru Hara terus meminta keterangan
kepada perwira yang habis menghadap jenderaI Ko Kiat.
"Ya, mari masuk," kata peiwira itu. Dia segera
membawa Huru Hara dan dan Cian-li-ji masuk kedalam.
Dalam sebuah ruang yang indah dengan dindingnya
yang tebal kokoh, si seorang lelaki berumur sekitar 45
tahun, sedang duduk di atas sebuah kursi besar. Sehelai
kulit macan terdampar dibawah kakinya. Wajahnya biasa,
tak terdapat ciri2 yang istimewa kecuali sepasang kelopak
matanya yang cekung kedalam, hidung agak bengkok.
Dia adalah jenderal Ko Kiat. Jenderal yang mengganas
empat buah desa di daerah Yang-ciu karena marah kepada
rakyat Yang-ciu yang tak mau menerimanya masuk kota.
Saat itu jenderal Ko sedang duduk menunggu tetamu
yang dilaporkan penjaga tadi. Dua orang bu-su (jago silat)
dengan pangkat perwira tegak di kanan kiri jenderal itu.
Ko Kiat terkejut ketika penjaga membawa dua orang
yang aneh. Seorang pemuda dengan dandanan kaum
pendekar, kain kepalanya berhias dua untai rambut yang
menyembul keluar. Sedang yang satu, seorang lelaki tua
berwajah kanak2 tubuh kate. Hal itu benar2 diluar
dugaannya. Ia menduga yang datang itu tentulah seorang
jago silat yang gagah perkasa.
"Hai, mana yang lainnya?" tegur jenderal Ko kepada
penjaga. "Maaf, ciangkun, memang hanya dua ini "Tetapi
bukankah engkau menghaturkan tujuh buah surat undangan
kepadaku tadi ?" "Benar," sahut si penjaga, "hamba terima surat itu dari
orang yang muda ini."
Setelah memberi isyarat kepada penjaga supaya kembali
ke tempatnya, jenderal itu sepera mengajukan pertanyaan,
"Benarkah (kalian yang membawa ketujuh surat
undangaaku itu ?" "Benar, ciangkun," sahut Huru Hara.
"Apa maksudmu ?"
"Untuk melamar pekerjaan yang ciangkun . hendak
berikan kepada mereka."
"Apakah mereka sudah setuju ?"
"Akhirnya harus setuju."
Ko Kiat kerutkan dahi, "Apa maksudmu ?"
"Bermula mereka menolak tetapi satelah hamba ajak
berkelahi merela kalah dan mau menyerahkan surat
undangannya kepada hamba."
Ko Kiat terkejut, "Ketujuh orang itu termasyhur sebagai
tokoh persilatan yang sakti. Apakah mereka benar2 kalah
dengan engkau?" "Jika tidak, bagaimana mungkin hamba dapat membawa
tujuh buah surat undangan itu,"
"Ah, jika begitu, kalian berdua ini tentu memilik
kepandaian yang sakti sekali."
"Tidak, ciangkun," tiba2 Cian-li-ji berseru, "hanya
keponakanku ini yang mengalahkan mereka, tetapi aku
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tidak ikut berkelahi."
"O, betulkah itu ?" Ko Kiar menegas.
Huru Hara mengangguk. "Lalu mengapa engkau ajak dia
kemari ?" "Sebagai pembantuku."
"Siapa namamu ?" tanya Ko Kiat pula. Dan ketika
mendapat jawaban, dia terkejut, "Loan Thian Te?"
"Ya, alias Huru Hara."
"Apakah itu nama buatanmu sendiri .
"Bukan. Itu nama aseli pemberian orangtua."
"Baik," kata Ko Kiat, "memang aku hendak memberi
suatu tugas penting kepadamu. Apabila engkau berhasil
menunaikan tugas, engkau akan kuberi ganjaran besar."
"Silakan ciangkun memberi petunjuk."
"Sebagai ujian pertama, akan kusuruh engkau mengawal
antaran uang dan emas permata kepada jenderal Ui Tek
Kong. Apabila engkau dapat menyelesaikan tugasmu
dengan baik, barulah kupercayakan lagi sebuah tugas lain
yang lebih berat," kata jenderal Ko Kiat.
"Dirnana tempat tinggal jenderal Ui Tek Kong itu?"
"Dia tinggal di Gi-cin, hanya perjalanan sehari semalam
dan Cho-ciu sini. Ibu dari jenderal Ui Tek Kong meninggal
dunia. Haturkanlah peti uang itu kepada jenderal Ui,
katakan kalau aku, jenderal Ko Kiat, ikut berduka yang
sedalam-dalamnya atas kepergian ibu jenderal Ui. Ingat,
walaupun Cho-ciu itu tak berapa jauh dengan kota Gi-cin,
tetapi mengingat sekarang ini suasana sedang kacau dan
keamanan terganggu maka engkau harus dapat menjaga
baik2 peti uang itu agar jangan sampai dirampok penjahat."
"Terserah engkau hendak menggunakan alat pengangkat
apa saja, kereta, gerobak atau kuda dan membawa berapa
pengiring, engkau boleh minta kepada perwira bagian
perlengkapan, supaya menyediakannya. Tetapi yang
penting, malam ini juga engkau harus berangkat agar besok
sore sudah tiba disana."
"Tugas ini penting maka besar ganjarannya tetapi pun
berat hukumannya, kalau sampai gagal. Nah, apa engkau
masih ada pertanyaan?"
"Ada." "Katakan." "Apa sebab jenderal menyumbang seperti uang perak
kepada jenderal Ui yang kematian ibu nya" Dari mana
jenderal memperoleh harta sekian banyak itu?"
Ko Kiat berobah mukanya seketika. Namun karena dia
yang memberi kesempatan kepada Huru Hara untuk
bertanya, maka ia menekan perasaannya.
"Karena salah faham, aku pernah menyerang pasukan
jenderal Ui sehingga hancur berantakan. Dia marah dan
mendendam kepadaku. Untung Peng-poh-siang-si ( mentri
hankam ) Su Go Hwat mendamaikan dan menganjurkan
aku supaya menyumbang besar-besaran atas kematian ibu
jenderal Ui dan menghaturkan maaf. Kita sama2 jenderal
kerajaan Beng, harus bersatu untuk meng hadapi pasukan
Ceng yang saat ini sedang menyerang negeri kita."
Baru jenderal Ko Kiat berkata sampai disitu, tiba2
seorang perwira masuk menghadap dan menghaturkan
laporan, "Hatur bertahu kepada ciangkun, bahwa ada
seorang lelaki mohon menghadap ciangkun."
"Siapa orang itu?"
"Hamba belum kenal, ciangkun. Tetapi dia mengatakan
dari perguruan Macan Hitam atau Hek-hou-bun yang
termasyhur." "Hek-hou-bun?" ulang Ko Kiat, kemudian berpaling
kearah Huru Hara, "pernahkah engkau mendengar tentang
perguruan itu?" "Belum." "Apa keperluannya hendak menghadap aku?"! tanya
jenderal itu kepada perwira.
"Dia hendak memenuhi undangan ciangkun."
"Hah" Aku mengundang dia" Gila, aku tak pernah
mengundangnya." "Tetapi dia mengatakan dengan sungguh2, bahwa
ciangkun mengundangnya."
Sejenak berdiam maka jenderal Ko lalu perintahkan
perwira itu supaya membawa orang itu masuk, "Kalau dia
bohong, bunuh saja!"
Tak berapa lama perwira itu masuk pula dengan seorang
lelaki muda berumur sekitar 30 tahun. Mengenakan
dandanan seperti seorang persilatan. Dia memanggul
sebuah karung dari kain hitam.
Setelah memberi hormat, dia memperkenalkan diri
dengan nama Yap Hou, murid pertama dari perguruan
Macan Hitam. "Hek-hou-bun," kata jenderal Ko Kiat, "mengapa dalam
dunia persilatan tak pernah kudengar nama perguruan itu?"
"Ciangkun seorang jenderal perang yang sibuk mengurus
pasukan, sudah tentu ciangkun tak sempat memperhatikan
perkembangan yang terjadi dalam dunia persilatan," kata
Yap Hou, "memang perguruan hamba, belum berapa lama
muncul dalam dunia persilatan. Apalagi saat ini sedang
perang, orang tak memperhatikan lagi peristiwa dalam
dunia persilatan." Diam2 jenderal Ko Kiat mendapat kesan bahwa pemuda
Yap Hou itu lebih genah dan lebih pintar bicaranya dari si
Huru Hara. Kemudian dia bertanya apa keperluan Yap
Hou menghadap kepadanya. "Hamba hendak memenuhi perintah paduka seperti yang
termaksud dalam surat undangan kepada ketujuh tokoh
hitam yang termasyhur itu." Jenderal Ko Kiat terkejut.
Bukankah si Huru Hara juga menyerahkan tujuh buah surat
undangan yang dirampasnya dari ketujuh tokoh hitam itu"
Mengapa sekarang Yap Hou juga mengatakan begitu"
"Hm, untung dia datang," gumam jenderal dalam hati,
"dengan begitu dapatlah kuketahui siapa yang berani mati
hendak menipu aku." "O, engkau hendak melamar pekerjaan yang hendak
kuberikan kepada ketujuh tokoh benggolan itu?" ia
menegas. "Benar, ciangkun."
"Apakah engkau membawa surat undangan mereka?"
"Tidak, ciangkun."
Jenderal Ko Kiat kerutkan dahi, "Tidak membawa surat
undangan mereka tetapi engkau hendak melamar pekerjaan
yang kuberikan kepada mereka" Apa artinya ini?"
"Hamba memang merasa berhak untuk menggantikan
mereka, ciangkun." "Jangan berbelit-belit, lekas katakan. Mana buktinya
kalau engkau lebih sakti dari mereka," suara jenderal itu
makin keras. Rupanya dia mulai marah.
"Hamba dapat membuktikan hal itu," kata Yap Hou,
"tetapi apakah ciangkun takkan marah kepada hamba?"
"Mengapa marah?"
"Karena hal itu mungkin akan menimbulkan rasa kejut
dan ngeri pada ciangkun."
"Hm, aku biasa maju di medan perang. Mayat yang
bagaimana bentuknya, sudah pernah ku lihat semua dan
aku tak merasa ngeri. Lekas tunjukkan!"
"Baik, ciangkun, hamba akan melaksanakan perintah,"
kata Yap Hou. Dia pelahan-lahan mengambil karung hitam
yang dipanggul dibelakang bahunya. Setelah tali
pengikatnya dibuka, tenang2 dia mencurahkan isi karung
itu. Gluduk.,. . sebuah kepala manusia menggelundung
keluar . , . . "Inilah kepala Sebun Pa yang bergelar Manusiapemakan-
serigala," seru Yap Hou.
Gluduk ..... "Inilah kepala Ma Hiong yang bergelar
Landak-bun." Geluduk .... "Ini kepala dari setan tua yang bergelar
Kolera-tua." Geluduk ..... "Ini kepala benggolan licik yang berwajah
seperti anak2, Ang Hay Ji.
Geluduk ..... "Ini kepala paderi Tou Yau alias Paderi
Gemar-segala-apa.. dan ini kepaIa si laknat Im pohpoh
terakhir ini, kepala si cantik berbisa Harpa-asmara Hoa Lan
Ing. Tujuh batang kepala, tak lebih tak kurang. Bukankah
ketujuh benggolan ini yang ciangkun undang itu ?"
Walaupun sudah mengatakan kalau sudah biasa melihat
mayat2 bergelimpangan di medan perang daIam berbagai
keadaan yang mengerikan tapi tak urung bergidik juga
jenderal Ko Kiat waktu menyaksikan tujuh butir kepala
manusia yang bergelundungan di lantai saat itu.
"Lekas masukkan lagi," serunya.
"Nah," kata Yap Hou seraya memasukkan ketujuh butir
batang kepala manusia itu kedalam tas lagi, "sekarang
bukankah ciangkun percaya kepadaku ?"
"Ya," sahut jenderal Ko, "tetapi mengapa engkau tak
membawa surat undangan mereka " Kemana saja surat
undangan itu ?" "Karena hamba kira, kepala mereka lebih dapat menjadi
saksi yang kuat daripada hanya surat undangan saja !"
Kini jenderal Ko beralih kepada Huru Hara, "Benarkah
engkau telah membunuh mereka dan surat undangan
mereka ?" "Mengapa hamba harus berbohong kepada jenderal ?"
balas Huru Hara. "Mengapa tak engkau potong kepala mereka ?"
"Ah, terlebih kejam, ciangkun," kata Huru Hara, "musuh
yang sudah kalah tak boleh terlalu dikaniaya. Karena
dengan mendapat surat undangan itu tujuan hamba sudah
tercapai maka hamba tak mau membunuh mereka lagi."
"Ya, benar," kata jenderal Ko Kiat yang diam-diam
makin bingung. Baik alasan dan bukti dari Huru Hara itu
memang kuat dan alasan serta bukti yang dibawa Yap Hou
juga kuat. Lalu siapakah diantara kedua orang itu yang
benar2 dapat mengalahkan tujuh benggolan itu "
"Hai, apakah kalian tahu dengan siapa kalian
berhadapan saat ini, ?" akhirnya ia membentak Huru Hara
dan Yap Hou. Kedua orang itu mengatakan bahwa mereka sadar kalau
sedang menghadap jenderal pasukan kerajaan Beng yang
bernama Ko Kiat. "Saat ini negara sedang dalam perang, hukum perang
berlaku dimana-mana. Diantara kalian berdua, tentu ada
salah seorang yang bohong dan hendak menipu aku.
Mengakulah saja agar aku dapat memperingan
hukumanmu !" "Hamba harus mengaku bagaimana ?" tanya Huru Hara,
"apa yang hamba lakukan, memang sungguh2 benar.
Hamba anggap, orang yang sudah menyerahkan surat
undangannya tak perlu harus dibunuh lagi."
"Ciangkun," seru Yap Hou, "ketujuh bangolan itu
merupakan momok yang paling menggangu rakyat maka
harus dibunuh." "Apakah waktu kau bunuh, surat undangan Hasih
berada dalam baju mereka ?" tanya Ko Kiat.
"Hamba pikir. kepala mereka sudah cukup menjadi bukti
maka hambapun tak menggeledah badan mereka lagi."
Jenderal Ko Kiat garuk2 kepala. Ia anggap alasan kedua
orang itu memang sama2 kuat. Lalu apakah yang harus
dianggap sebagai orang yang mengalahkan ketujuh
benggolan itu" Tiba2 ia menapat akal.
"Baik, untuk mengetahui siapa sebenarnya yang
berkepandaian sakti dan pantas menerima pekerjaan yang
akan kuberikan, apakah kalian sanggup diadu ?" tanyanya.
Melihat Huru Hara itu berdandan seperti seorang
persilatan yang nyentrik, serentak Yap Houpun menyahut,
"Sanggup." "Dan engkau ?" tegur Ko Kiat karena Huru Hara diam
saja. "Terserah, hamba menurut saja perintah ciangkun."
"Baik, sekarang kalian boleh beradu kepandaian
dihadapanku. Mana yang menang, dialah yang akan
kuserahi tugas itu."
Demikian kedua orang itu tegak berhadapan. Yap Hou
tak mau bersikap sungkan lagi, begitu sudah saling
berhadapan, dia terus mulai menyerang dulu. Rupanya dia
benar2 ingin menunjukkan kepandaiannya dihadapan
jenderal Ko Kiat maka walaupun baru bergebrak, dia sudah
melancarkan jurus yang ganas.
Hek-hou-thou-sim atau Macan-hitam mencuri-hati,
demikian jurus yang dilancarkan itu bergerak cepat sekali.
Tangan Yap Hou mengarah uluhati Huru Hara.
Gerakannya seperti orang mencengkeraman tetapi setiap
saat dapat dirobah menjadi jurus menutuk atau
menghantam. Huru Hara menyurut mundur lalu bergerak kian kemari
menghindari jari2 maut lawan.
Jenderal Ko Kiat terkejut ketika menyaksikan ilmu
kepandaian Yap Hou. Serangannya, walaupun hanya
dalam satu jurus, tetapi mengandung gerak dari berbagai
aliran ilmusilat perguruan ternama, antara lain Siau-lim,
Butong, Go-bi, Kun-lun dan Kay-pang. Walaupun bukan
seorang jago kelas satu tetapi jenderal itu juga memiliki
ilmu-silat yang hebat. Dia benar2 terpikat hatinya oleh
kepandaian Yap Hou. Diam2 timbullah rasa suka dan ingin
mengangkat pemuda itu sebagai pengawalnya.
Karena perhatiannya tercurah kepada Yap Hou maka
jenderal itupun tak memperhatikan Huru Hara. Beberapa
saat kemudian, pada saat ia mulai memperhatikan orang
aneh itu. serentak diapun terkejut sekali.
Serangan Yap Hou memang luar biasa cepat dan
derasnya tetapi sampai sekian lama ternyata tetap tak
mampu merubuhkan Huru Hara. Jenderal itu tercengang
dan heran menyaksikan gaya permain lan Huru Hara yang
berlincahan kian kemari menurutkan gerak serangan lawan.
Dia tak tahu nama ilmusilat yang dimainkan si Huru Hara
itu. Yang jelas, Huru Hara hanya menghindar tak mau
balas menyerang. Yap Hou sendiri memang penasaran sekali. Ia merasa
setiap kali pukulannya hampir mengenai tentu tahu2 lawan
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah menyelinap hilang. Siapakah orang aneh ini ?" pikirnya. Namun baik orang
maupun aliran ilmu kepandaian lawannya itu, ia tak kenal
sama sekali. Waktu masih belajar dalam perguruan,
gurunya juga memberi pengetahuan tambahan tentang
tokoh2 silat ternama dalam dunia persilatan. Tetapi
suhunya tak pernah menyinggung tentang seorang pendekar
aneh semacam Huru Hara itu.
"Hm, kalau sampai tak mampu mengalahkan orang ini,
jenderal Ko tentu tak percaya kepadaku," setelah
menimang-nimang ia segera mengganti gerak langkahnya
dalam ilmu Hui-eng-sip-pat poh atau delapanbelas-langkahgaruda-
melayang dan melancarkan ilmu pukulan Hoanthian
hay-ciang (menjungkir-langit-membalik-laut ), sebuah
ilmu pukulan dari perguruan Bu-tong pay.
Seketika terjadilah perobahan dalam ruang pertandingan
itu. Yap Hou seperti seekor burung garuda yang melayanglayang
dan menyambar nyambar lawan. Sedang Huru Hara
hanya seperti kelinci yang lari ketakutan hendak
menyelamatkan diri. Jenderal Ko Kiat makin kagum akan kepandaian Yap
Hou tetapi diapun tak habis mengerti mengapa serangan
yang begitu dahsyat dan gencar, tetapi tak dapat mengenai
tubuh Huru Hara. Entah bagaimana, tanpa disadari
jenderal lebih simpathi dan senang kepada Yap Hou
mengharap Yap Hou dapat menyelesaikan lawannya.
Akhirnya yang dinanti-nantikan itu terjuga. Dengan
sebuah gerak tipu yang indah Yap Hou berhisil menggertak
Huru Hara supaya bergerak kesebelah kiri. Tiba2 tubuh Ya
p Hou berputar dan cepat sekali tangannya menghantam
bahu Huru Hara. Sebenarnya dia hendak mengarah tulang
pi-peh-kut orang tetapi tak berhasil dan hanya mengenai
pangkal bahu Huru Hara, duk . . . Huru Hara terhuyung
sampai dua langkah. Tetapi anehnya, Yap Hou juga
mencelat sampai satu tombak kebelakang.
"Cukup!" tiba2 jenderal Ko berseru menghentikan
pertandingan, "engkaulah yang menang!" ia menunjuk Yap
Hou. Saat itu Yap Hou sedang tertegun. Ia masih heran
mengapa waktu pukulannya mengenai bahu Huru Hara,
tangannya seperti tertolak tenaga yang kuat sekali sehingga
dia mencelat ke belakang.
"O, terima kasih, ciangkun," ia gelagapan ketika
mendengar kata2 jenderal Ko. Bergegas ia maju kehadapan
jenderal itu dan memberi hormat.
Tiba2 jenderal Ko Kiat melihat sesuatu yang kurang
pantas pada baju Yap Hou. Cepat dia ber kata, '"Hai,
kancingkanlah bajumu itu!"
Yap Hou menunduk. Ia terkejut ketika bajunya terbuka
sehingga dada kelihatan. Buru-buru ia hendak
mengancingkannya. Tetapi ia terkejut ketika buah bajunya
hilang. Mungkin terlepas jatuh maka iapun memandang ke
sekelili permukaan lantai. Tetapi tak bertemu. Terpakasa ia
mendekap dada bajunya. "O, apakah engkau hendak mencari kancing bajumu ?"
tiba2 terdengar suara orang menghampiri. Ketika Yap Hou
berpaling ternyata yang menghampiri itu adalah Huru Hara
seraya menyodorkan sebuah kancing baju, "maaf, buah
bajumu ini tertarik tanganku . . . ."
Seketika pucatlah wajah Yap Hou. Ia tahu apa artinya
itu. Buah bajunya telah tercabut oleh lawan tanpa ia merasa
sama sekali. Jugu jenderal Ko Kiat terkejut. Ia tak menyangka kalau
Huru Hara mampu mencomot buah baju Yap Hou. Itu
berarti kalau Huru Hara mau dia tentu sudah dapat
memukul dada lawannya. Jenderal Ko Kiat cepat memberi keputusan "Baik, Loan
Thian Te, karena tadi aku sudah nyerahkan tugas itu
kepadamu, maka engkau! yang wajib menerima tugas itu.
Sekarang silahkan engkau mempersiapkannya," jenderal itu
menyuruh salah seorang pengawal untuk membawa Huru
Hara dan Cian-li-ji keluar menuju ketempat perwira yang
telah diserahi mengatur peti yang hendak dikirim kepada
jenderal Ui Tek Kong. "Yap sauhiap," seru jenderal Ko Kiat kepada Yap Hou,
"apakah engkau suka bekerja kedaku?"
"Tetapi ciangkun, hamba telah dikalahkan pemuda tadi,"
sahut Yap Hou. "Tak apa," kata jenderal Ko Kiat," memang orang itu
aneh, dan ilmu kepandaiannyapun aneh. Akan kuberimu
kesempatan untuk menebus kekalahanmu itu, sanggupkah
engkau ?" "Baik, ciangkun," sahut Yap Hou, "kalau ciangkun tetap
berkenan menerima hamba, hamba pun akan sanggup
melaksanakan tugas apa saja yang ciangkun hendak berikan
kepada hamba." Jenderal itu mengajak Yap Hou masuk kedalam kamar
tulisnya "Yap sauhiap, tugas yang kuberikan ini amat
penting dan rahasia sekali. Jangan sampai engkan beritahu
dan diketahui orang. Maukah engkau berjanji ?"
"Baik, ciangkun."
"Jika sampai hal itu bocor, engkau akan kujatuhi hukum
perang." Yap Hou mengiakan. "Rebutlah peti uang yang diantar Loan Thian Te itu , ,. .
" "Ciangkun !" "Jangan putus omonganku dulu !" kata jen-leral Ko Kiat,
"sebenarnya aku enggan untuk menyumbang sekian banyak
kepada jenderal Ui Tek wong, Tetapi karena yang
menganjurkan Su Go Iwat tayjin, terpaksa aku menurut.
Jika engkau berhasil merampas antaran itu, sekali gus aku
nendapat dua keutungan. Disatu fihak aku mentaati
perintah Su tayjin sehingga di mata orang aku benar2
menginginkan kerukunan diantara sesama panglima. Tetapi
dilain fihak, aku tak kehilangan Sepeser buta."
"O, inilah yang disebut siasat unjuk kepala sembunyikan
ekor'," kata Yap Hou.
"Apakah engkau sanggup ?" jenderal Ko Kiat menegas.
"Hamba sanggup."
"Bagus," seru jenderal Ko Kiat, "apabila engkau benar2
mampu menyelesaikan tugasmu itu, engkau akan kuanggap
sebagai pengawal kepercayaanku. Saat ini negara sedang
perang. Inilah saatnya bagi semua orang gagah untuk
muncul dar membuat jasa. Asal dapat memilih jalan yang
tepat, kelak tentu akan mulia hidupmu."
Yap Hou menghaturkan terima kasih.
"Usahakan jangan sampai orang tahu tentang rencanaku
ini. Besok engkau boleh berangkat dan kepada orang2
engkau katakan saja bahwa engkau kutugaskan untuk
menyelidiki keadaan musuh di utara. Dan waktu merampas
barang antaran itu, pakailah penutup muka atau menyaru
.... eh, sebaiknya menyarulah seperti prajurit Beng dan
bawalah sekelompok anakbuah."
"Bagaimana maksud ciangkun ?"
"Agar memberi kesan bahwa yang merampas peti
antaran kepada jenderal Ui Tek Kong itu, anak pasukan
Beng juga. Yang kini berkumpul di wilayah Holam, ada
empat jenderal yaitu jeaderai Lau tek Jing, Ui Tek Kong
dan Lau Liang Co dan aku. Ui Tek Kong tentu menduga
kalau anak pasukan Lau Cek Jing atau Lau Liang Co yang
melakukan perampasan itu. Mereka akan saling mencurigai
dan aku dapat memanfaatkan hubungan mereka yang buruk
itu untuk menguasai mereka. Mengerti ?"
Yap Hou mengiakan. Keesokan harinya semua perintah
jenderal Ko Kiat telah dilaksanakannya. Dihadapan para
perwira anakbuah Ko Kiat mengatakan kalau mendapat
tugas jenderal untuk menyelidiki medan perang di utara.
Dan memang diapun segera berangkat menuju ke utara.
Sebenarnya ia lebih suka bekerja seorang diri tetapi
karena Ko Kiat menghendaki supaya ia membawa
anakbuah, maka terpaksa ia mencari orang lebih dulu.
Tidak sukar untuk mendapatkan orang2 itu. Ia menyewa
sepuluh orang kaum persilatan dari aliran hitam. Mereka
disuruh mengenakan pakaian seragam prajurit. Demikian
Yap cu segera membawa anakbuahnya untuk mencegat
perjalanan Huru Hara dengan barang antarannya itu.
Ko Kiat memang licik. Selain suruh Yap cu melakukan
perampasan, pun diam2 ia suruh orang untuk menyiarkan
berita itu keluar supaya orang-orang tahu.
Hujan bencana. Walau hanya sebuah peti besi tetapi peti itu amat besar
dan berat sehingga Huru Hara terpaksa meminta sebuah
kereta dengan dua ekor kuda. Cian-li-ji disuruh jadi kusir
dan Huru Hara mengawal di belakang dengan naik kuda.
Saat itu mereka tiba disebuah jalan sempit di
pegunungan. Huru Hara suruh Cian-li-ji berhenti, "Carilah
rumput dan aku akan mencari air untuk kuda itu," katanya.
Cian-li-ji melakukan perintah. Setelah Huru Hara datang
membawa air, maka rumput di masukkan kedalam tong air
dan dihidangkan kepada kuda itu.
Tiba2 dari arah belakang muncul seseorang. Seorang
lelaki tua, pakaian penuh tambalan dan bahunya
menyanggul kantong kain yang besar berjalan dengan
sebatang tongkat bambu, Aneh benar orang itu. Berjalan
pakai tongkat tetapi cepatnya bukan main.
Huru Hara hanya mengerling sejenak kearah orang itu
dan lanjutkan pekerjaannya memberi makan pada kuda.
Tiba di dekat kereta, orang itu berhenti dan tertawa
mengekeh, "Tuan, apakah engkau hendak menuju ke Yangciu?"
Huru Hara hanya mengangguk tak mau men jawab.
"Ha, ha, aku pengemis tua ini juga akan ke Yang-ciu,"
seru orang itu, "apakah aku boleh numpang di kereta tuan?"
"Tidak," Huru Hara gelengkan kepala. "Mengapa tak
boleh" Apakah harus pakai bayaran" Ah, kalau soal uang
aku pengemis tua ini memang tak punya."
"Pergilah, jangan ganggu aku," seru Huru Hara.
"Tetapi tuan," masih pengemis tua itu memjantah, "aku
dapat membantu tuan menggebuk kawanan anjing yang
hendak mengganggu tuan. Sejak terjadi pembunuhan besarbesaran
atas rakyat empat desa, sekarang ini banyak bangsa
anjing dan serigala yang berkeliaran. Rupanya setelah
merasakan daging manusia, mereka jadi ketagihan.''
Huru Hara tertegun. Ia terkejut mendengar kata2 si
pengemis tentang pembunuhan besar-besaran itu.
"Siapa yang membunuh mereka?" tanyanya.
"Eh, apakah engkau belum tahu?" pengemis tua itu
heran. "Kalau sudah tahu perlu apa harus bertanya lagi?"
"Jenderal Ko Kiat yang mundur dari medan perang
utara, hendak menduduki kota Yang-ciu. Tetapi rakyat
menolak. Jenderal itu marah lalu mengadakan pembunuhan
besar-besaran pada rakyat empat desa di sekeliling Yangciu."
"Uh," Huru Hara mendesuh. Diam2 dia menyesal
mengapa mau bekerja untuk jenderal itu.
"Bagaimana, apa aku boleh numpang di keretamu?"
ulang pengemis itu pula. "Tidak!" "Lho, apakah keretamu itu ada muatannya"'
"Ya." "Jika begitu bukankah engkau untung sekali kalau aku
ikut naik sekalian menjaga barangmu itu?"
"Aku dapat menjaganya sendiri."
"Uh, memang pengemis itu kemana-mana tentu tak
dipandang mata. Tetapi coba saja nanti apakah engkau
mampu menolak permintaan tiga orang yang akan datang
setelah aku ini?" pengemis itu bersungut-sungut seraya
lanjutkan langkah, Huru Hara tak mengacuhkan. Setelah rumput dan air
habis, dia lalu menyimpan tong di belakang kereta dan
perintahkan Cian-li-ji rangkat lagi.
Kereta meluncur cepat. Tak berapa lama sudah
melampaui pengemis tua yang berjalan kaki tadi. Kini
kereta memasuki sebuah hutan. Dan tepat pada saat itu di
belakangpun muncul tiga sosok bayangan orang yang
mencurigakan. Ketiga orang itu berlari-lari mengejar kereta
Huru Hara. "Hm, rupanya pengemis tua tadi memang benar. Ketiga
orang ini rupanya hendak cari perkara dengan aku," gumam
Huru Hara. Ia suruh Cian-li-ji berhenti.
"Mengapa?" tanya Cian-li-ji. "Ada tiga orang mengejar
kita. Lebih baik kita hadapi saja," kata Huru Hara.
Tiga orang yang mengenakan pakaian seperti pedagang
cepat tiba. Salah seorang yang berbibir tebal segera tertawa,
"Hai, bung, apakah kami boleh numpang?"
"Maaf, aku mau pakai sendiri," sahut Huru Hara.
Pedagang bibir tebal itu tertawa, "Ah, mutanmu masih
sedikit, mengapa kami tak boleh ikut numpang?"
Huru Hara turun dari kuda dan tersenyum, Mengapa
kalian tak mau omong terus terang saja?"
Pedagang itu tertawa gelak2, "Baik, tetapi kuheran
mengapa hanya engkau dan seorang kusir saja?"
"Karena jenderal Ko menganggap, kekuatan pasukan itu
bukan terletak pada jumlahnya tetapi pada mutunya.
Katanya, cukup aku seorang saja, sahut Huru Hara dengan
tenang. "O, apakah engkau ini Bu-te-sin-kun?" seru pedagang
yang berbibir tebal pula. Bu-te-sin-kun artinya Jago-tanpatanding.
"Siapa itu Bu-te-sin-kun?"
"O, engkau tak kenal?"
"Perlu apa harus mengenalnya" Apakah engkau kira
hanya Bu-te-sin-kun saja yang dapat mengavval barang?"
"Kabarnya Bu-te-sin-kun itu seorang jago muda yang
belum lama muncul dalam dunia persilatan. Ilmu
kepandaiannya luar biasa sekali. Dia dapat memainkan
segala jenis ilmusilat dari berbagai aliran. Siapa yang berani
menentangnya tentu akan dibasmi habis-habisan."
"Sayang aku bukan dia."
"Aneh," seru pedagang berbibir tebal itu "apakah jenderal
Ko tidak memberitahu kepadamu tentang bahaya yang
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bakal engkau hadapi dalam perjalanan?"
"Biasa," sahut Huru Hara. "apalagi dalam jaman edan
begini. Jangan lagi membawa harta, membawa nyawa juga
diganggu." "Apakah jenderal Ko Kiat memang sengaja hendak
suruh engkau mengantar jiwa?"
"Lebih dan itu," kata Huru Hara, "dia bilang, mungkin
aku akan mengalami mati sampai tujuh kali."
Pedagang bibir tebal itu tertawa menyeringai, "Lalu
mengapa engkau masih berani melakukan ?"
"Sudah terlanjur, aku harus menyelesaikan sampai
tuntas," sahut Huru Hara, "aku harus berani mati sampai
tujuh kali." Pedagang itu tertawa gelak2, "Ha, ha, ha, menurut
pandanganku, engkau tak lebih hanya anak kemarin sore
yang tak tahu tingginya langit."
"Apakah engkau hendak menantang aku ?"
Wajah pedagang itu tiba2 berobah sarat, serunya dengan
bengis, "Mengingat engkau masih muda, lekaslah engkau
tinggalkan kereta ini dan pergi dari sini !"
"O, engkau hendak mengganggu aku ?"
"Jangan banyak bicara !" bentak pedagang itu.
"Baik, mari kita main-main," kata Huru Hara.
"Hm, biarlah keinginanmu tercapai dan bisa bertamasya
ke akhirat !" pedagang bibir tebal itu merogoh kedalam
baju. sing, tahu2 tangannya sudah mencekal sebatang bianto
atau golok tipis. Golok itu tidak bersinar, batangnya
berwarna hitam. "O, engkau hendak main2 dengan pedang ?" seri Huru
Hara. "Lekas cabut senjatamu !" bentak pedagang.
"Aku tak punya pedang, melainkan tongkat pendek ini,"
kata Huru Hara seraya lari kedalam kereta dan mengambil
sebatang tongkat bambu, "hayo, silakan mulai !"
Merasa di hina, pedagang bibir tebal itu marah. Ia
hendak memberi pelajaran yang pahit kepada Huru Hara.
Serentak dia menabhas sekuat-kuatnya, tring.....
Pedagang bibir tebal itu terkejut bukan kepalang. Bukan
saja tongkat bambu si Huru Harar tak kurang suatu apa,
pun dia sendiri malah terpental sampai tiga empat langkah
ke belakan. Seketika berobahlah wajahnya.
"Ho, ternyata engkau berisi juga, budak," serunya seraya
maju menyerang dengan dahsyat. Dia gunakan jurus Jayhong-
suan-ok atau Burung hong-memutari-sarang. Golok
melingkar-lingkar tiga kali membabat kaki Huru Hara.
Huru Hara mencelat ke udara. Gerakan mirip jurus Itho-
jong-thian atau Burung-bangau melambung-ke-udara.
Tetapi cepatnya berlipat ganda dari gerakan yang sering
dilakukan orang. Sebelum pedagang itu sempat berputar
tubuh, Huru Hara sudah berada di belakangnya. Pedagang
itu terkejut sekali. Cepat dia loncat ke muka dan berputar
diri. Ah, ternyata Huru Hara tenang saja menunggunya.
Pedagang bibir tebal itu tergetar hatinya. Tetapi
bukannya jera, dia malah makin marah. Diserangnya Huru
Hara makin seru. Huru Hara tetap melayani dengan gerak
yang aneh. Dia berputar-putar mengelilingi lawan, seperti
sesosok bayangan. Melihat kawannya sudah mengerjai Huru Hara, kedua
orang yang lain segera hendak masuk kedalam kereta.
Tetapi tiba2 mereka disongsong dengan cambuk oleh Cianli-
ji, tar . . . Kedua orang itu umurnya sebaya dengan lawan Huru
Hara, juga mengenakan pakaian seperti pedagang. Mereka
terkejut ketika diserang cambuk.
"Hai, kusir. jangan kurang ajar engkau ".!" mereka
loncat menghindar. Yang satu loncat menyambar kaki
Cian-li-ji, yang satu menyambar ujung cambuk dan
ditariknya. "Uh, ?".," yang menyambar kaki Cjan-li-ji terkejut
karena orang kate itu tiba2 loncat kebawah. Yang menarik
cambukpun terkejut karena dengan mudah sekali dia sudah
dapat merampas cambuk. Habis itu dia terus membuka
pintu kereta, duk ?".
"Uh . .," orang itu menjerit kaget dan terpelanting keluar
ketika sebuah kaki menyambut dari dalam kereta, tepat
menjejak dadanya. "Bajingan !" teriak yang berada diatas tadi ketika melihat
kawannya didupak oleh kusir kereta. Dia heran mengapa
secepat itu, kusir sudah dapat menyelundup masuk kedalam
gerbong. Dia terus loncat turun hendak menghajar kusir itu
Tetapi sekonyong-konyong pedagang bibir tebal menjerit
keras dan sempoyongan beberapa langkah lalu jatuh
terduduk. Pedagang yang hendak menyerang kusir tadi tertegun,
berpaling. Plak ..... aduh........ tiba2 pipinya ditampar oleh
Cian-li-ji. Dan tiba2 pula leher bajunya mengencang,
tubuhnya terangkat dan terus melayang kedalam semak
belukat bum ..... Ternyata setelah dapat menghajar pedagang bibir tebal
sampai kepalanya benjut dan mata berkunang-kunang,
Huru Hara lompat menerkam pedagang yang ditampar
Cian-li--ji, mengangkat tubuhnya dan diiempar kedalam
semak berduri. Setelah itu dia terus hendak membereskan
yang satu lagi. "Jangan dia bagianku." teriak Cian-li-ji terus mengangkat
orang itu bangun, hayo, kita Ianjutkan lagi !"
Melihat bagaimana kedua kawannya dengan mudah
dapat dibereskan Huru Hara, pedagang itu kesima.
Berpaling ke kanan, ia melihat kawan si bibir tebal tadi
masih duduk pejamkan mata wayahnya pucat lesi.
Berpaling ke kiri dilihat kawannya yang seorang, masih
menggeletak dalam semak berduri.
"Lekas ! plak........ ," tiba2 ia terkejut ketika sesosok
bayangan berkelebat menerjang kehadapannya dan tahu2
mulut ditampar keras. Ia mengaduh karena dua buah gigi
muka putus. Dan sebelum rasa sakit itu hilang, kembali
kepalanya ditempeleng, plak ..... seketika orang itu rasakan
matanya seperti memancar beribu bintang dan benda2
disekelilingnya seolah-olah berputar deras, bluk .....
rubuhlah dia tak sadarkan diri.
"Bagus, hiantit, kau apakan pedagang yang bibirnya tebal
tadi ?" seru Cian li-ji. Ia memanggil Huru Hara dengan
sebutan "hian-tit" atau keponakanku.
"Sebenarnya aku tak tegah memukulnya tetapi dia amat
ganas sekali hendak membacok kepalaku. Terpaksa
kukemplang kepalanya dengan tongkatku," kata Huru
Hara. "Bagus, hiantit, tadi yang satupun kujejak dadanya," kata
Cian-li-ji. "Paman Cian," kata Huru Hara, "mungkin kita nanti
masih akan menghadapi beberapa penjahat yang hendak
merampok peti uang dalam kereta itu, Kuminta, apabila
tidak sangat terpaksa, janganlah paman sampai membunuh
mereka. Cukup kalau dihljar sampai tele-tele saja."
"Bagus, hiautit, aku setuju sekali. Memang aku juga tak
mau membunuh jiwa manusia. Soal mencabut jiwa
manusia itu urusan Giam-lo-ong (raja Akhirat)."
===== Hal 54-55 tidak ada ====== "Kalau barangku sih boleh saja. Tetapi ini adalah barang
dari jenderal Ko Kiat yang suruh aku mengawal....."
"Persetan dengan jenderal Ko Kiat atau Teh Kiat.
Masakan seorang jenderal bisa punya sekian banyak harta
benda. Dari mana dia memperolehnya kalau tidak
merampas harta benda rakyat."
"O, apakah hendak engkau berikan kepada rakyat ?"
Huru Hara menegas. "Enaknya," sahut salah seorang Se-pak-song-eng, "sudah
tentu akan kami ambil sendiri. Rakyat kan urusan negara
bukan urusan kami berdua.
Huru Hara berbangkit. Dia marah mendengar
keterangan kedua orang itu, "Jika begitu kalian ini bangsa
perampok yang harus dibasmi!"
Se-pak-song-eng itu sepasang saudara kembar. Yang
besar bernama Siang Hong dan adiknya Siang Gi.
Keduanya memiliki ilmusilat Eng jiau-kang atau Cakargaruda
yang sakti. Dan biasanya, melawan siapa saja,
mereka tentu maju berdua.
Serempak mereka pun segera menyerang Huru Hara.
Yang satu menerkam kepala dan yang satu menyerang
punggung Huru Hara. Tetapi mereka terkejut ketika
menyaksikan gerak gerik Huru Hara yang aneh. Mereka
harus melalui pertempuran dengan berpuluh jago2 silat
lihay sebelum mereka mampu mengangkat nama sebagai
Se-pak-song-eng. Tetapi kali ini mereka benar2 bingung dan
tak tahu gerak ilmusilat apa yang dimainkan Huru Hara
saat itu. Tetapi yang jelas, betapapun mereka menyerang
dengan ganas, Huru Hara tetap dapat menghindari dan
bahkan dapat membalas dengan tamparan.
Akhirnya kedua orang itu marah sekali. Dalam suatu
kesempatan, tiba2 mereka menerjang dan memukul sekuatkuatnya.
Suatu hal yang menyebabkan mereka harus lekas
rubuh sendiri karena dengan suatu gerak yang hampir tak
dapat dipercaya, Huru Hara sudah melambung ke udara
sehingga kedua saudara kembar itu harus saling berbentur
sendiri. Akibatnya keduanya saling terpental ke belakang
dan menderita luka parah.
Memang Huru Hara memiliki suatu gerak tubuh yang
luar biasa anehnya. Entah dia berputar-putar mengelilingi
lawan, entah loncat ke udara, entah bergeliatan menghindar
tetapi yang jelas, gerakannya itu luar biasa cepatnya. Dan
ada sebuah keistimewaan lagi dari dia. Kalau lawan belum
dapat menghantam tubuhnya, lawan masih bertahan
beberapa waktu. Tetapi setiap kali lawan berhasil memukul
tubuh Huru Hara, lawan itu pasti serentak menderita.
Karena setiap kali terkena pukulan, tubuh Huru Hara itu
seperti memancarkan tenaga-membal (refleks) yang
mengembalikan pukulan orang. Makin besar tenaga yang
digunakan orang dalam pukulannya itu, makin parah dia
nanti akan menderita. Kedua Se-pak-song- eng itu menderita luka-dalam yang
parah akibat pukulan mereka sendiri! Mereka terpaksa
melarikan diri seperti anjing yang takut digebuk. Tetapi
Huru Hara tak mau mengejar.
"Wah, berabe sekali," gumam Huru Hara.
"Habis mengapa engkau begitu ngotot hendak melamar
pekerjaan itu kepada Ko Kiat ?" tegur Cian-li-ji.
"Itu sih sumoayku yang menganjurkan. Siapa tahu bukan
benda pusaka tetapi hanya uang yang dikirimkan jenderal
Ko Kiat,...." "Apa " Pusaka ?" Cian-li-ji menegas.
"Ya, kabarnya sebuah pusaka yang mempunyai sangkut
paut penting terhadap nasib kaum persilatan. Tetapi
ternyata hanya uang dan uang itupun asalnya dari rakyat.
Sialan . . . ." "Lalu bagaimana tindakanmu ?"
"Karena sudah terlanjur, kita harus menyampaikan
kepada jenderal Ui Tek Kong. Akan kuanjurkan kepada
jenderal Ui agar uang itu dikembalikan saja kepada rakyat."
Demikian keduanya segera meneruskan perjalanan.
Tiba2 mereka melihat sebuah biara Huru Hara berhenti di
biara itu. Malam hari lanjutkan perjalanan, banyak
bahayanya. Lebih baik bermalam di biara situ dan esok
harinya baru berangkat lagi.
"Hai, ketemu lagi!" tiba2 terdengar suara orang
menyambut dari dalam biara.
"O, engkau," sahut Huru Hara ketika melihat yang
berseru itu tak lain adalah pengemis yang siang tadi hendak
minta numpang naik di keretanya.
"Ya mengapa engkau disini ?"
"Bermalam," sahut Huru Hara.
"Ah, mengapa tak bermalam didalam kota Disini banyak
setan." "O, kebetulan sekali. Aku memang kepingin melihat
bagaimanakah sebenarnya setan itu."
"Engkau tak takut ?"
"Kalau manusia takut setan, lebih baik serahkan saja
bumi ini kepada setan. Manusia supaya berhenti hidup."
"Benar," sahut pengemis tua itu, "mudah-mudahan
engkau nanti dapat menghadapi mereka dengan baik," kata
pengemis tua itu seraya ngeloyor keluar.
"Mau kemana ?" tegur Huru Hara. "Aku sih seorang
pengemis, bisa tidur diluaran di emper. Beda dengan
engkau yang sedang menjalankan tugas seorang jenderal . .
." Huru Hara terkesiap. Kata2 pengemis itu menusuk
hatinya tetapi pengemis itupun sudah melangkah keluar,
terpaksa Huru Hara diam. Malam itu gelap dan sunyi. Huru Hara hampir mau
pulas ketika tiba2 ia mendengar suara lengking jeritan,
"aduh .... ampun, loya".ampunilah".bunuhlah aku saja,
jangan anakku yang masih kecil itu ... . aduh"..
Huru Hara terkejut. Sesaat telinganya terngiang pula
oleh suara yang amat halus tetapi cukup tajam,
"Dengarkanlah, hai, engkau, yang mengangkat nama
sebagai pendekar Huru Hara .. . itulah suara jerit tangis dari
rakyat empat desa yang telah dijagal oleh anak pasukan
jenderal si Ko Kiat itu. Engkau rela menjadi anteknya dan
engkau begitu mati-matian mengawal uang berdarah itu,
huh ..". Huru Hara makin gelagapan. Serentak pun mendengar
ruang depan biara itu penuh hamburan suara orang
menjerit-jerit. "Hayo, kembalikan uangku .... hayo,
bayarlah jiwaku bayarlah darahku ... suamiku, isteriku,
anak-anakku .. " Huru Hara benar2 tak kuat mendengar suara yang
memenuhi telinganya itu, Serentak dia loncat dan terus lari
keluar, Ah . . . . di halaman biara itu penuh dengan orang2
yang berpakaian jembel. Mereka membawa mangkuk
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kosong dan, merintih-rintih, "Kami lapar . . . kami lapar ..
berilah kami makan .. . ."
Huru Hara makin tak mengerti, "Siapakah kalian ini ?"
teriaknya. "Kami adalah rakyat daerah Yang-ciu yang kelaparan.
Harta benda kami telah dirampas, sawah dan ladang kami
telah dibabati semua."
"Siapa yang merampasnya?" seru Huru Hara.
"Prajurit2 itu. Prajuri!2 yang telah menjagal beribu ribu
penduduk dari empat desa yang tak berdosa . . .. "
"Prajurit2 dari jenderal Ko Kiat?"
"Ya." "Lalu sekarang kalian mau apa?"
"Kami lapar .. kami lapar .. kami tak punya apa2 lagi .. .
"Mengapa kalian datang kepadaku?"
"Karena hohan membawa harta dari jenderal Kiat. Itulah
harta yang dirampasnya dari penduduk."
"Lalu maksud kalian?"
"Bagikan harta itu kepada kami . . . . atau bunuhlah kami
ini semua . . . " "Siapa yang kasih tahu kepada kalian?"
"Wi sin-kay!" "Siapa Wi sin-kay itu?"
"Wi sin-kav adalah pengemis sakti yang berhati
budiman. Dialah yang sering datang kepada kami untuk
membagi-bagikan uang dan beras. Kali ini dia bilang, lebih
baik kami datang menghadap dan meminta kepada hohan
sendiri." "O, apakah dia seorang pengemis tua yang kakinya
pincang dan kalau jalan pakai tongkat?"
"Benar, benar, diatah Wi sin-kay yang mulia itu!" seru
berpuluh rakyat. lapar itu.
"Baik, kalian tunggu disini !" kata Huru Hara terus
menghampiri ke tempat kereta. Dia mencari-cari Cian-li-ji
yang tidur dalam kereta itu tetapi orang kate itu tak dapat
diketemukan, "setan, kecil manakah si pendek itu ?"
Ia terus mengangkat peti, dibawa kedalam biara, "Baik,
karena uang ini berasal dari penduduk maka akan
kukembalikan lagi kepada kalian!"
Kawanan rakyat itupun bersorak kegirangan dan
menghaturkan terima kasih. Tetapi tiba2 reka terbelalak
ketika melihat Huru Hara mendelik memandang peti besi
yang telah dibongkar itu. Huru Hara sibuk mengaduk-aduk
isi peti seperti hendak mencari sesuatu. Tetapi akhir dia
geleng2 kepala. "Bagaimana hohan ?" seru kawanan rakyat.
"Celaka ! Aku ditipu jenderal itu !"
"Ditipu bagaimana ?"
"Lihatlah !" seru Huru Hara, "ternyata peti yang berat ini
hanya berisi tanah !"
"Ah, kalau begitu engkau ditipu mentah-mentah oleh
jenderal keparat itu !"
"Ya," sahut Huru Hara, "apakah kalian betul2 lapar ?"1
"Kami hanya makan akar2 pohon saja. Di mana2 rakyat
menderita bahaya kelaparan."
Huru Harad mengambil pundi2 peberian Jenderal Ko
Kiat, jenderal itu memberi uang muka sepuluh tail perak,
"Kalau sudah selesai, kembalilah kesini. Kuberi kamu
seribu tail uang perak," katanya.
"Uangku hanya sepuluh tail perak," kata Huru Hara
kepada kawanan rakyat itu, "kalian bagi rata untuk beli
makanan." "Bagus hiantit !" tiba2 terdengar suara orang memuji.
Huru Hara mengenali suara itu adalah suara Cian-li-ji tetapi
orangnya belum tampak. Beberapa saat kemudian muncullah orang kate itu
bersama si peagemis tua. Cian-li-ji membawa sebuah
karung besar. Sebelum Huru Hara sempat bertanya, Cian-liji
sudah membuka karung itu mengeluarkan kepingan perak
hancur, "Nih, saudara2, kutambah lagi. Belilah makanan
dan berusahalah lagi untuk menanarni sawah dan ladang
kalian." Riuh rendah kawanan rakyat itu menerima hadiah dari
Cian-Ii-ji. Ada salah seorang uang berkata, "Tetapi kami
takut pulang. Kalau pulang dan membawa uang, tentu akan
dirampas oleh prajurit2 itu,"
"Saudara2," seru pengemis tua, "jika demikian, tempat
yang aman ke gunung atau lembah yang sunyi."
Rakyat berteriak menghaturkan terima kasih. mereka
membungkukkan tubuh dihadapan pengemis tua itu,
"Hidup Wi sin-kay! Semoga Tuhan melindungi Wi sin-kay
yang mulia!" Setelah kawanan rakyat itu pergi maka Huru Hara segera
minta keterangan kepada Cian-li-ji kemana saja tadi dia
pergi. "Dia mendatangi aku," kata Cian-li ji seraya menunjuk
pada pengemis tua, "dan mengajak bertaruh. Katanya, peti
ini tentu tidak berisi uang Kalau berisi uang, dia berani
membayar sejumlah berapa besarnya uang itu. Tetapi kalau
kosong aku harus ikut dia ..."
"O, lalu?" kata Huru Hara.
"Aku menerima pertaruhan itu dan peti terus kobongkar.
Ternyata isinya hanya tanah. Sialan . . . . "
"Teruskan!" "Aku kalah dan terpaksa menurut perintahnya. Aku
diajak kembali ke tempat jenderal Ko Kiat.
"Hah?" Untuk apa?"
"Mencuri!" -oodwoo- Jilid: 5 Pendekar Huru Hara terbelalak. Ia benar2 tak mengerti
apa yang dikatakan Cian-li-ji.
"Engkau mencuri?" ia menegas.
"Ya, diajak pengemis ini," sahut Cian-li-ji.
"Mencuri apa?" "Mencuri uang di tempat jenderal Ko Kiat."
"Gila!" teriak Huru Hara.
"Nih, buktinya," Cian-li-ji lalu membuka karung dan
isinya memang uang emas, "seribu tail emas, tak lebih tak
kurang." Huru Hara terlongong, kemudian bertanya, "Buat apa
uang itu?" "Soal itu, tanyakan saja pada pengemis, ini. Aku hanya
kalah bertaruh dan melaksanakan perintahnya," sahut Cianli-
ji. Huru Hara sudah mendengar keterangan penduduk yang
kelaparan tadi tentang diri pengemis tua yang bernama Wi
sin-kay itu. Ia mendapati kesan baik terhadap pengemis itu,
"Paman Wi, tegurnya dengan nada bersahabat, "apa
maksudmu! suruh paman Ciar-li ji mencuri uang di gedung
jenderal Ko Kiat?" "'Untukmu," sahut pengemis itu singkat.
"Untukku" Maksud paman untuk diriku?"
"Bukan," kata Wi sin-kay, "untuk isi peti uang yang
hendak engkau antarkan kepada jenderal Ui Tek Kong itu."
"O," seru Huru Hara, "tetapi bukankah jenderal Ko Kiat
memang sengaja hendak mempermainkan jenderal Ui?"
"Tidak," sahut pengemis tua, "dia hendak mencelakai
engkau supaya engkau ditangkap dan dihukum jenderal
Ui." "Ah, bagaimana mungkin?" seru Huru Hara, "aku kan
hanya melaksanakan perintahnya masakan dia hendak
mencelakai aku?" "Engkau percaya tidak kalau jenderal Ko bukan
mengirim uaug tetapi mengirim tanah kepada jenderal Ui?"
"Ya?"..," beberapa saat kemudian baru Huru Hara
dapat menjawab, "tetapi jenderal itu mengatakan kalau peti
yang kukawal itu berisi uang seribu tail emas sebagai
sumbangan atas kematian ibu jenderal Ui."
"Ya, memang dia berkata begitu,"' kata pengemis tua,
"tetapi benarkah yang akan diterima jenderal Ui itu peti
berisi uang emas ?" "Tidak," sahut Huru Hara, "peti itu jelas berisi tanah.
Jenderal Ui tentu terkejut . . . ."
"Dan marah kepadamu," tukas Wi sin-kay.
"Mengapa marah kepadaku ?"
"Eh, cobalah jawab pertanyaanku. Jenderal Ui percaya
kepadamu atau kepada jenderal Ko ?"
"Apa maksud paman ?"
"Bukankah jenderal Ko juga memberi surat kepada
jenderal Ui " Nah, dalam surat itu tentu disebut tentang
sumbangannya sebesar seribu tail emas. Tetapi ternyata peti
itu berisi tanah. Lalu jenderal Ui apa percaya" Dia tentu
menuduh engkau yang main gila mengambil uang itu.
Akibatnya engkau tentu ditangkap dan mungkin dihukum."
"Ah," Huru Hara mengeluh, "kalau begitu jenderal Ko
hendak mencelakai aku. Apa maksudnya dia berbuat begitu
kepadaku?" "Itulah kelicikan Ko Kiat," kata Wi sin-kay "dia taat
pada perintah atasannya, menteri Su Go Hwat, untuk
berdamai dengan jenderal Ui. Tetapi dalam hati kecilnya
dia sayang kehilangan uang sejumlah itu. Maka dia
mengorbankan engkau. Agar engkau yang dituduh
menggasak uang itu."
"Setan alas !" Huru Hara menggeram, "jika tahu begini,
aku tak perlu merebut surat undangan dari ketujuh
benggolan itu." "Ya," kata Wi sin-kay, "sebenarnya jenderal mempunyai
rencana untuk meminjam tangan jenderal Ui membunuhi
ketujuh benggolan itu. Siapa tahu, engkau yang
mengajukan diri sehingga engkaulah yang menjadi korban."
"Jika begitu, lebih baik aku kembali dan menyerahkan
lagi peti itu kepada jenderal Ko," Huru Hara menggeram.
"Percuma," kata Wi sin-kay, "jenderal itu tentu bertanya
kepadamu, apa sebabnya engkau membatalkan
perjanjianmu ?" "Akan kukatakan terus terang apa isi peti itu !"
"Engkau tentu segera ditangkap dan dihukum mati!" seru
Wi sin-kay. "Mengapa " Bukankah dia sendiri yang mengadakan
rencana busuk itu?" "Mana dia mau mengakui kalau peti itu di isi tanah "
Engkaulah yang dituduh telah mengambilnya dan pura2
engkau mengembalikan kepadanya."
"Ah, tidak ! Dia bohong"
"Jangan ngotot semaumu sendiri !" seru Wi sinkay,
"pangkat itu lebih berkuasa. Apalagi dia seorang jenderal
tentu kuasa menjadikan yang putih itu hitam dan yang
hitam, putih. Dan orang tentu tak percaya kalau seorang
jenderal akan mengirim peti berisi tanah kepada jenderal
lain. Orang tentu lebih percaya kalau engkau yang
mengambil uang itu dan diganti dengan tanah."
"Tetapi kebenaran itu tak dapat diganggu gugat."
"Jangan menyebut-nyebut soal Kebenaran. Dalam
suasana kacau seperti sekarang itu, Kebenaran yang murni
sudah ikut gugur dengan jenasah mantri2 setya dan
prajurit2 yang mati mempertahankan tanahairnya.
Kebenaran yang sekarang ini bukan kebenaran yang murni
lagi. Siapa berkuasa, dia pemilik Kebenaran !"
"Lalu bagaimana aku harus bertindak?" tanya Huru
Hara. "Teruskan pekerjaanmu."
"Mengantar peti berisi tanah itu kepada jenderal Ui."
"Bukankah engkau sudah sanggup ?"
"Ya, tetapi peti uang bukan peti berisi tanah."
Wi sin-kay tertawa, "Itulah sebabnya maka kuajak Cianli-
ji mencuri uang di gedung jenderal Ko. Uang itu nanti
engkau isikan kedalam peti dan serahkan kepada jenderal
Ui." "O, hebat sekali pikiranmu, paman Wi," seru Huru Hara
kegirangan. "Ah, kita hanya menjadikan permainan jenderal Ko itu
menjadi suatu kenyataan yang sungguh-sungguh. Dia
mengatakan mengirim uang dan peti itu benar2 berisi uang.
Tak mungkin, apabila dia mendengar hal itu, dia akan
marah kepadamu. Jenderal Uipun akan menerima
sumbangan itu dengan senang hati. Dengan demikian kita
dapat membantu melaksanakan maksud mentri Su Go
Hwat agar kedua jenderal itu bisa rukun kembali."
"Bagus, bagus, Wi sin-kay," seru Cian-li-ji, "kalau tahu
begitu maksudmu, akan kuambil lagi uang emas jenderal
Ko itu yang lebih banyak."
"Kukira cukup itu dulu," sahut Wi sin-kay.
Huru Hara menanyakan bagaimana cara Cian-li-ji
mencuri uang emas dari gedung jenderal Ko Kiat tadi.
"Sebenarnya Cian-li-ji itu tidak biasa mencuri. Tetapi dia
memiliki ilmu gin-kang yang luar biasa. Maka kuajaknya
dia masuk ke gedung jenderal Ko. Dia kujadikan setan . . .
." "Setan ?" Huru Hara terkejut.
"Ya, kusuruh dia pakai pakaian hitam dan topeng yang
menyeramkan. Lalu kusuruh dia mengganggu penjaga
gudang. Setelah kawanan penjaga gudang itu tersebar
mengejarnya, aku lalu masuk dan mengambil uang itu."
Huru Hara tertawa. "Apakah sekarang kita ganti tanah itu dengan uang emas
?" tanyanya sesaat kemudian.
Wi sin-kay gelengkan kepala, "Tak perlu buru-buru.
Nanti saja setelah tiba ditempat jenderal Ui. Sekarang kita
tutup lagi peti itu dan biarkan isinya tetap tanah."
Malam itu tiada terjadi suatu peristiwa apa2 lagi.
Keesokan harinya Huru Hara dan Cian-li-ji berangkat.
Mereka terkejut ketika tak mendapatkan pengemis tua Wi
sin-kay berada di biara itu.
Tak berapa lama mereka tiba di sebuah kota kecil,
setelah itu baru mereka akan tiba di kota Cho-ciu.
Sebenarnya Huru Hara enggan untuk berhenti tetapi Cianli-
ji menyatakan kepingin minum teh. Terpaksa mereka
singgah di sebuah kedai minuman.
Teh sebenarnya merupakan minuman biasa. Tetapi bagi
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang yang sudah lama tak minum, apalagi kebetulan teh di
warung itu memang istimewa, minum teh merupakan
hidangan yang nikmat sekali.
Tengah Huru Hara dan Cian-li-ji menikmati teh dengan
kuwih, tiba2 masuklah tiga orang lelaki kasar. Maka mereka
penuh brewok, dada dan tangannya yang besarpun tumbuh
bulu yang lebat. Ketiga orang itu memanggil pelayan, "Kasih sekali arak
yang nomor satu dan bak-pau istimewa," kata salah
seorang. Setelah pelayan pergi maka seorang lelaki tua segera
menghampiri ketiga orang kasar itu.
"Hai. ciangkui,"' seru salah seorang dari ketiga tetamu
kasar itu, "bagaimana, apakah tidak pesan lagi" Jangan
terlalu lama nanti kambing2 itu jadi kurus karena kurang
makan." "Tetapi kiriman yang beberapa hari itu, kurus sekali.
Dagingnya sedikit dan banyak boroknya," ciangkui atau
pemilik kedai mengeluh. "Ya, dong, harganya kan murah. Kalau menghendaki
yang muda dan gemuk, wah, harganya lipat. Apa ada
pesanan?" "Ada," seru ciangkui dengan mata berkilat-kilat, "tetapi
wah, sukar. Apa engkau sanggup mencarikan?"
"Jangan kuatir!" seru orang kasar itu, "pokok jaman
sekarang ini ada fulus, mau minta a-pa saja bisa!"
Ciangkui menghampiri kesamping lelaki kasar itu dan
segera membisiki ke telinganya. Tampak wajah orang kasar
itu berobah tegang. "Wah, itu benar2 pesanan istimewa! Tetapi tak mudah
mencarikannya. Harganya harus sepuluh kali lipat dari
barang biasa." "Jangan kuatir, bung. Soa! harga dia tak tawar. Engkau
minta berapa, dia tentu akan membayarmu. Asal engkau
benar2 dapat mencarikan barang yang dikehendakinya itu."
"Tetapi buat apa dia minta barang semacam itu?"
"Entah, katanya untuk ramuan obat."
"Siapakah yang pesan itu?"
"St, jangan keras2," ciangkui itu lalu membisiki telinga si
orang kasar. Tampak orang kasar itu kerutkan dahi dan
mengangguk-angguk. Setelah ciangkui masuk, tiba2 dari jauh terdengar derap
suara kuda berlari. Makin lama makin dekat tiba2
muncullah dua ekor kuda. Yang satu putih yang satu hitam.
Tetamu2 dalam kedai minum itu terbeliak kaget ketika
kedua ekor kuda itu berhenti di depan kedai. Lebih terkejut
pula orang2 itu ketika kedua penunggang kuda itu
melangkah masuk. Sekalian orang menumpahkan mata ke
arah kedua pendatang itu.
Kedai itu banyak disinggahi tetamu2 yang terdiri dari
para pedagang, pengembara maupun prajurit2. Bahwa ada
dua orang penunggang kuda singgah ke dalam kedai minum
itu, memang bukan suatu hal yang mengherankan. Tetapi
yang mengejutkan tetamu2 itu tak lain karena kedua
penunggang kuda itu adalah dua orang nona yang cantik.
Sepintas pandang, mereka merupakan nona majikan dan
bujangnya. Nona itu memakai cadar atau kain penutup muka warna
hitam. Tetapi walaupun tak kelihatan jelas, orang masih
dapat memandang dari kulitnya yang putih, bahwa nona itu
tentulah seorang gadis yang cantik jelita. Sedang yang
seorang masih dara, berwajah manis, umur lebih kurang 16
tahun. Kedua nona itu tak menghiraukan mata para tetamu
yang mencurah kepada mereka. Mereka mengambil tempat
duduk tak berapa jauh dari meja Huru Hara. Seorang
pelayan bergegas menghampiri.
"Nona minum?" tanya dara itu kepada nona yang
mengenakan cadar "Teh dan bak-pau," kata si nona.
"Bak-paunya yang biasa atau istimewa?" ta nya pelayan.
"Apa sih bedanya?" tukas si dara.
"Sudah tentu berbeda, nona," kata pelayan, "bak-pau
istimewa kami rasanya luar biasa lezatnya. Di seluruh
Yang-ciu, tak ada yang menyamai. Sekali coba, orang tentu
akan ketagihan." Dara itu memandang si nona dan si nona memberi
anggukan kepala, "Baik, coba bak-pau yang istimewa," kata
si dara. "Ah Liu, bagaimana kuda kita?" kata si nona bercadar.
''O, ya," kata dara yang dipanggil dengan nama Ah Liu,
"nanti kusuruh pelayan memberi makan juga."
"Apakah disini sedia rumput"'' tanya si nona bercadar.
"Ah, siocia, kuda kita si Melati dan si Kumbang itu
segala apa mau. Tidak ada rumput, bak-paupun suka," kata
Ah Liu. Siocia berarti nona. Lazim digunakan sebutan
menghormat, terutama seorang pelayan terhadap nona
majikannya. Sementara tampak Huru Hara berbisik-bisik dengan
Cian-li-ji. Sedang dibangku lain, ketiga lelaki brewok yang
kasar tadipun tengah kasak kusuk.
"Siocia, heran benar," kata Ah Liu yang lincah bicara."
"Kenapa ?" tegur nona bercadar.
"Di kota sekecil ini, ternyata terdapat beberapa macam
mahluk aneh. Ada pendekar jambul, ada orang kate, ada
orang-utan, hi, hi, hi. . . ."
"St, jangan bermulut usil," tegur gadis bercadar, "kita
masih ada tugas penting,"
Tampak Huru Hara lekatkan telinganya ke mulut Cianli-
ji yang membisikinya. Huru Hara tampak tersenyum dan
geleng2 kepala, "Biarlah, tak perlu diladeni," bisik Huru
Hara. Tiba2 Cian-li ji berbangkit dan menghampiri seorang
pelayan. Pelayan mengangguk dan menuju ke belakang.
Cian-h-ji terus masuk kedalam.
Ternyata orang kate itu hendak buang air kecil. Kamar
kecil terletak diujung belakang sendiri. Sebelum mencapai
tempat itu, dia harus melalui dapur. Beberapa tukang masak
sedang bekerja, antara lain ada yang membuat bak-pau.
Setelah keluar dari kamar kecil, tiba2 Cian-li-ji melihat
seorang tukang masak sedang keluar dari sebuah bangunan
yang terletak paling belakang, dekat pagar tembok.
Bangunan itu ditutup dengan pagar tembok sehingga tak
tampak jelas. Tetapi terang bangunan itu merupakan sebuah
pondok kecil. Rupanya orang itu tak tahu kalau Cian-li-ji sedang
berada dalam kamar kecil. Dia berjalan sambil membawa
sebuah beri (talam) yang tertutup dengan kain hitam. Entah
apa isinya. Tetapi hidung Cian-li-ji yang tajam segera
mencium bau yang anyir, menyengat hidung. Hampir saja
dia muntah. Serentak dia teringat akan pembicaraan bisik2 dari ketiga
orang kasar dengan pemiIik rumah makan itu. Seketika
timbullah keinginannya untuk mengetahui apa yang
terdapat dalam kamar tertutup itu.
Siut, dia bergerak cepat sekali untuk menerobos kebalik
dinding tembok yang menutup bangunan itu. Pintunya
terkunci. Dengan kerahkan tenaga, dia dapat mendobrak
pintu itu. Ah, ternyata sebuah rumah pondok yang kosong.
Mungkin ruang sembahyang pemujaan. Karena disitu
hanya terdapat sebuah meja sembahyang, sebuah arca dewa
dan sepasang lilin serta sebuah hio-lou atau tempat dupa.
Didepan meja terdapat sebuah tikar tebal.
"Ah, untuk sembahyang," pikirnya, "tentulah orang tadi
sedang mengantar ikan untuk sembahyangan."
Tetapi tiba2 dia meregang, "Tetapi mengapa di meja ini
tak terdapat barang hidangan suatu apa " Dan kalau
mengantar hidangan, tentulah dia tidak membawa beri.
Lebih tepat kalau dikatakan orang tadi sedang mengambil
hidangan dari sini. Tetapi hidangan kok baunya begitu
anyir sampai membuat perut mau muntah ?"
Tiba2 terdengar pintu berkerotekan, grendel-nya sedang
diputar orang. "Celaka, ada orang masuk," Cjan-li-ji cepat2
menyelonong masuk ke-bawah kolong meja itu. Untung
didepan meja itu diberi kain to-wi (kain penutup yang
bersulam lukisan dewa), "Ah, Ah Hok memang sembrono sekali." gumam orang
itu, "masakan keluar lupa tak mengunci pintu."
Rupanya yang dimaksud Ah Hok adalah orang yang
keluar membawa beri penampan tadi.
Orang itu berjongkok lalu menyingkap tikar. Ah,
ternyata dibawah tikar itu terdapat sebuah papan besi.
Orang itu lalu membuka papan besi dan terus turun
kebawah. Tak berapa lama orang itupun keluar dengan membawa
penampan bertutup kain. Setelah menutup papan besi
dengan tikar, dia keluar dari ruang itu.
Kini Cian-li-ji makin curiga. Dia menyingkap tikar,
membuka papan besi. Ah ternyata di-bawahnya terdapat
titian batu. Ia segera menuruni titian, Ternyata dibawah,
merupakan sebuah kamar bawah tanah. Sebuah meja besar
dari batu marmar, dibangun ditengah ruang. Tetapi apa
yang disaksikan Cian-li-ji saat itu hampir membuatnya
pingsan Ternyata diatas meja marmar itu penuh dengan
potongan tulang badan manusia. Tangan, kaki, gembung
dan tulang belulang manusia.
"Jagal manusia," serunya bergidik. Serentak-dia teringat
akan beberapa orang yang membawa penampan bertutup
kain tadi. Baunya sama dengan bau di ruangan itu. Seketika
marahlah dia.l Dia mencari akal bagaimana mengobrak-abrik rumah
makan terkutuk itu. Cepat ia mendapat pikiran. Ia
mengumpulkan gigi2 lalu dibungkus. Sebelum pergi, dia
membakar ruangan itu. Kemudian dia berlari ke dapur, "Hai, mengapa pondok
dibelakang itu mengepul asap ?"
Beberapa tukang masak dan pelayan segera keluar ke
belakang. Mereka terkajut ketika melihat pondok di
belakang itu mengepulkan asap tebal.
"Kebakaran," seru mereka seraya berlari-lari menuju ke
pondok itu. Cian-li-ji cepat bekerja. Ia menyelundup ke dapur dan
mengaduk-aduk bak-pau. Isinya diganti dengan gigi
manusia. Setelah itu dia keluar lagi mendapatkan Huru
Hara. "Bersiap-siaplah menghadapi keadaan yang kacau nanti,"
bisik Cian-li-ji. "Apa yang terjadi ?" tanya Huru Hara. Cian li-ji
menceritakan apa yang dilihatnya tadi dengan bisik2.
Seketika marahlah Huru Hara. Dia terus hendak
mengamuk tetapi dicegah Cian-li-ji, "Jangan terburu nafsu.
Tunggu saja pertunjukan yang bagus nanti!"
"Bagaimana rencana kita, siocia ?" tanya Ah Liu kepada
nonanya. "Kita ke Cho-ciu menyampaikan surat kepada jenderal
Ko Kiat, setelah itu kita Holam untuk menemui jenderal Ho
Tay Sing. Pekerjaan ini harus dilakukan secepat mungkin
karena rasanya ayah sudah putus asa meminta bantuan
ransum pada baginda," kata gadis bercadar kain hitam itu.
"Lalu bagaimana prajurit2 kita kalau tidak punya
ransum?" tanya Ah Liu.
"Justeru itu yang menjadi tugas paling penting. Ayah
telah menitahkan engkoh Hong Liang untuk menghubungi
sisa2 anakbuah Li Cu Seng yang kebanyakan menjadi
lasykar liar dan ada pula sebagian yang menjadi
gerombolan perampok. Mereka adalah unsur2 kekuatan
yang harus dihimpun lagi dan digabungkan dengan pasukan
kita, kata nona bercadar.
"Dan apakah Bok siauya juga mendapat tugas?" tanya
Ah Liu pula. "Bok koko disuruh menemani ayah. Ayah kuatir kalau
menyuruh Bok koko keluar. Dia orangnya terlalu jujur dan
tolol." "Tetapi siocia, dia seorang yang berhati setia," bantah Ah
Liu. "Hm," nona itu hanya mendesuh.
"Memang Su sauya lebih cakap dan pintar tetapi . . . . "
"Tetapi apa?" tukas nona bercadar itu.
"Ah, jangan, nanti siocia marah kepadaku
"Tidak," bantah nona itu, "mengapa aku ha rus marah"
Hong Liang koko itu putera keponakan ayah dan Bok Kian
koko itu putera keponakan mama. Mereka disayang ayah
seperti putera sendiri. Dengan aku merekapun seperti
saudara sekandung." "Ya, kutahu," kata Ah Liu, "tetapi rupanya siocia lebih
suka bergaul dengan Su sauya daripada Bok sauya.
Memang Su sauya pintar bicara dan ramah sedang Bok
sauya tak pandai bicara. Tetapi menurut perasaanku, Bok
sauya itu lebih jujur dan setia."
"Apakah Su koko tidak jujur dan tidak setia?" tukas si
nona bercadar. "Ai, aku tidak mengatakan begitu, siocia. Aku hanya
ingin mengatakan kalau Su sauya itu pintar bicara."
"Apa salahnya sih orang pintar bicara itu?"
"Ya, ya ... " Ah Liu tak dapat melanjutkan kata-katanya
karena saat itu pelayan datang membawa pesanan mereka.
Sebuah teko teh, dua buah cawan. Bak-pau yang dipesan
belum matang. "Hai, loji, engkau mengatakan bak-pau buatan rumahmakanmu
ini paling istimewa sendiri, bukan?" tiba2
terdengar Cian-li-ji berbicara.
"Ya, memang benar," sahut pelayan. Memang adat
kebiasaan tetamu2, kalau memanggil jongos atau pelayan
rumahmakan tentu dengan sebutan lo-ji.
"Apakah engkau sudah pernah makan sendiri?" tanya
Cian-li-ji. Pelayan itu gelagapan, "Semua tetamu selalu memuji
begitu. Aku sendiri jarang makan."
Cian-li-ji tertawa, "Loji, apa engkau dapat menghabiskan
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dua biji bak-pau ini?"
"Ah, jangan bergurau loya. Masakan bak-pau dua biji
saja tak habis. Lima bijipun aku dapat menghabiskan."
"Jangan sombong !" , seru Cian-liji," hayo engkau berani
bertaruh dengan aku ?"
"Bertaruh bagaimana ?"
"Kalau engkau dapat menghabiskan dua biji bakpau ini,
kubayar seratus tail perak .. ."
"Loya !" teriak pelayan terkejut, "apakah loya bergurau ?"
"Siapa bergurau dengan engkau, babi '" bentak Cian-li-ji
seraya merogoh keluar sebuah pundi2 uang lalu dituang,"
nih, coba hitunglah. Bukankah jumlahnya lebih dari seratus
tail perak ?" Pelayan itu mendelik, "Maksud loya, kalau aku dapat
menghabiskan dua butir bak-pau itu, loya akan memberi
hadiah seratus tail perak ?"
"Ya." "Baik, loya. Aku sanggup!"
"Jangan terburu-buru dulu. Tetapi bagaimana kalau
engkau tak dapat menghabiskan dua butir bak-pau itu ?"
"Terserah, loya mau menghendaki apa !"
"Begini," kata Cian-li-ji, "kalau engkau tak mampu
menghabiskan dua butir bak-pau ini, engkau akan
kurangket dengan rotan sampai seratus kali !"
Pelayan terbeliak. "Tetapi seratus kali rangketan itu, dibagi begini. Yang
limapuluh rangketan, untuk majikanmu pemilik
rumahmakan ini. Engkau sendiri sepuluh dan yang empat
puluh dibagi rata pada semua pekerja disini."
"Hah,r jangan merembet-rembet ciangkui dan teman2ku
loya. Biar aku sendiri saja yang tanggung !" seru pelayan
itu. "Tidak bisa !" teriak Cian-li-ji sekeras-kerasnya sehingga
sekalian tetamu mendengar tentang ribut2 itu, "seratus tail
perak itu juga dibagi seperti pembagian rangketan itu.
Limapuluh untuk majikanmu, sepuluh untuk engkau dan
sisanya dibagi rata kepada kawan2mu."
"Biarlah aku sendiri saja yang menerima taruhan ini,
loya," seru pelayan. Dia ngiler sekali dengan uang yang
sekian banyak, "menang kalah aku yang tanggung sendiri."
"Hai, Ah Sing, ribut2 apa itu "'" tiba2 seorang lelaki
setengah tua menghampiri. Dia ternyata ciangkui atau
pemilik rumahmakan di situ.
"Anu, loya, tuan ini hendak bertaruh dengan aku.
Katanya kalau aku dapat menghabiskan dua butir bak-pau
istimewa yang baru saja dipesannya ini, dia akan
menghadiahi uang Tetapi kalau aku tak dapat
menghabiskan, dia akan menghadiahi rangketan dengan
rotan sampai seratus kali....."
"Engkau terima taruhan itu ?"
"Ya," sahut pelayan, "tetapi tuan itu kasih peraturan
aneh. Hadiah uang atau rangketan itu harus dibagi rata,
Ciangkui harus menerima 50 kali rangketan rotan, Aku 10
kali dan sisanya dibagi rata kepada semua pekerja disini."
"Kalau engkau menang ?"
"Limapuluh tail perak untuk ciangkui, aku mendapat
sepuluh tail dan sisanya dibagi rata pada kawan2."
"Lakukan !" perintah ciang-kui. Tetapi pelayan itu
meragu. Rupanya dia menginginkan dia sendiri yang
menerima hadiah uang atau rangketan sekian banyak itu
dapat dijadikan modal berdagang sendiri.
"Eh, rupanya engkau tak berani, ya " Baiklah," kata
ciang-kui seraya melangkah maju ke hadapan Cian-li-ji,
"loya, akulah yang menggantikan pegawaiku.
"O, jika ciangkui lain lagi," kata Cian-li-ji "Lho,
bagaimana ?" ciang-kui terkejut karena mengira Cian-li-ji
tak berani, "apa tidak jadi"''
Waktu ciang-kui sedang bertanya jawab dengan pelayan.
Ah Sing tadi, muncullah seorang pelayan lain yang
membawa penampan berisi dua butir bak-pau istimewa
kepada si nona bercadar. Dengan cepat Huru Hara
menghampiri. Selekas pelayan pergi. Huru Harapun berkata, "Maaf,
nona, bolehkah aku pinjam bak-paumu ini dulu ?"
Ah Liu marah sekali. Karena sebelum mendapat
persetujuan, Huru Hara sudah ulurkan tangan mengambil
kedua butir bak-pau istimewa itu, "Lepaskan, manusia liar
!" Ah Liu membentak seraya menampar tangan Huru Hara.
Plak. uh . . . Ah Liu menjerit kaget karena dia terlempar ke
belakang. Dia rasakan tangan Huru Hara yang ditamparnya
itu, memancarkan tenaga tolak yang melempar dirinya
sehingga dia tersurut mundur bersama kursinya.
Nona bercadar itupun kerutkan dahi. Cepat dia
menyambar pergelangan tangan Huru Hara dengan ilmu
Siau-kin-na-jiu (ilmu merebut senjata lawan dengan tangan
kosong), tetapi nona itu hanya menerkam meja. Huru Hara
sudah lebih cepat mengangkat tangannya.
"Nona, percayalah, jangan makan bak-pau ini. Lihatlah
sendiri bagaimana buktinya," bisik Huru Hara seraya terus
melangkah kembali ke mejanya sendiri.
Saat itu kebetulan Cian-li-ji sedang hendak mengatakan
syarat pertaruhannya. Maka Huru Harapun cepat
menimbrung, "Paman Cian, suruh dia makan empat butir
bak-pau, kalau habis, kita kasih dia seribu tail perak. Tetapi
kalau tak bisa habis, kecuali menerima rangketan, dia harus
menyerahkan rumahmakan ini kepada kita !"
"Nah, engkau dengar tidak permintaan dari
keponakanku itu ?" tanya Cian-li-ji kepada pemilik
rumahmakan. "Baik," sambut ciang-kui, "tetapi kuminta uang
pertaruhan itu supaya ditaruh di meja ini agar semua orang
menyaksikan." Rupanya melihat perwujutan Cian-li-ji dan Huru Hara
yang nyentrik, pemilik rumahmakan itu bersangsi, jangan2
kedua orang itu tak punya uang sekian banyak.
Cian-li-ji terkesiap lalu berpaling kearah Huru Hara.
Huru Hara juga bersangsi. Kalau dia mengambil uang emas
yang berada dalam karung, tentulah semua orang tahu.
Suatu hal yang tak menguntungkan tetapi sebaliknya malah
mengundang bahaya. Tetapi kalau tidak diperlihatkan uang
itu, tentulah ciang-kui tak mau menerima pertaruhan itu,
Pada hal rumahmakan itu harus diobrak-abrik.
"Baik paman Cian, silakan ambil uang itu," akhirnya ia
memutuskan lebih penting untuk membasmi rumahmakan
itu, Cian-li-ji melangkah keluar tak berupa lama dia
membawa karung dan diperlihatkan kepada ciang-kui,
"Lihatlah," serunya seraya membuka kantong itu.
Ciang kut terbelalak ketika melihat uang emas dalam
kantong itu, "Ah, masakan gua tak mampu menghabiskan
empat biji bak-pau," pikirnya.
"Bagaimana?" Cian-li-ji menegas. "Baik, aku terima,"
sahut ciang-kui. "Saudara" sekalian," seru Cian-li-ji kepada tetamu2 yang
berada di ruang itu, "harap saudara-saudara suka menjadi
saksi bahwa aku bertaruh dengan ciang-kui ini. Kalau dia
mampu menghabiskan bak-pau istimewa buatannya, aku
akan memberinya seribu tail perak. Tetapi kalau dia tak
dapat menghabiskan, dia menerima 50 kali rangketan rotan
dan setiap pegawainya menerima 10 kali. Juga
rumahmakan ini akan diserahkan kepadaku dan dia
sanggup angkat kaki dari sini!"
"Orang gila," ketiga orang kasar tadi berseru seraya
menertawakan, "jangankan hanya empat, sepuluhpun aku
sanggup, ha, ha, ha .... "
"Hm, apakah omonganmu itu sungguh?" tiba-tiba Huru
Hara berseru menegas. "Tentu," sahut salah seorang dari ketiga o-rang kasar itu.
"Baik," kata Huru Hara, "setelah ciang-kui nanti engkau
yang bertaruh. Bukankah engkau sanggup menghabiskan 10
biji bak-pau?" "Ya." "Baik, tunggu saja giliranmu."
"Bagaimana kalau aku yang bertaruh lebih dulu?"
rupanya orang kasar itu sangat bernafsu sekali untuk
memenangkan perintahan itu. Dia kuatir nanti uang Huru
Hara sudah habis diambil ciang-kui.
"O, baik, baik," tiba2 Huru Hara berseru, "jika demikian
kalian berdua boleh serempak melakukan pertaruhan itu.
Berapa biji bak-pau yang engkau pesan?"
"Hanya enam, setiap orang dua biji," kata' si orang kasar.
"Jika begitu, hai, loji, ambil 10 biji bak-pau yang
istimewa," seru Huru Hara.
Tak berapa lama pelayanpun datang dengan membawa
penampan berisi 10 biji bak-pau yangi masih hangat.
"Paman Cian, engkau yang mengamati ciang kui dan
aku yang mengawasi orang ini," seru Huru Hara.
Dan mulailah ciang-kui serta orang kasar itu mengambil
bak-pau, terus dilalapnya. Klutuk, uh.....tiba2 ciang-kui dan
lelaki kasar itu menjerit ketika merasa telah menggigit
benda yang keras. "Hai, apakah isi bak-pau ini?" teriak ciangkui seraya
memeriksa isi bak-pau yang sudah tergigit separoh itu.
"Gigi orang!" tiba2 pula lelaki kasar itu juga berteriak.
Beberapa tetamu, termasuk si nona bercadar serta
bujangnya si Ah Iiu tadi, tersentak kaget.
"Tidak boleh dibuang, harus dimakan semua!" bentak
Cian-li-ji ketika melihat ciang-kui hendak membuangi gigi
yang berada dalam bak-pau itu.
Lelaki kasarpun sebenarnja hendak mengambil isi
istimewa dari bak-pau itu tetapi dia terkejut mendengar
bentakan Cian-li-ji dan iapun melepaskan pandang bertanya
kepada Huru Hara. "Ya, benar, harus dimakan semua," kata Huru Hara.
Lelaki kasar itu menyeringai, "Tetapi mana mungkin gigi
orang disuruh makan?"
"Bukankah pertaruhan kita ini mengatakan bahwa kalau
engkau dapat menghabiskan 10 biji bak-pau, engkau akan
terima seribu tail perak. Apa artinya "habis ' itu" Maka
semua yang berada dalam bak-pau itu harus engkau makan
habis!" kata Huru Hara tenang".
Tanpa menjawab apa2, lelaki kasar itu terus menyambar
sebuah bak-pau lain. Tetapi begitu digigit, diapun menjerit,
"Hai, telinga orang . . . !"
"Makan saja!" Huru Hara tertawa.
Lelaki kasar itu mencomot sebuah bak-pau lagi dan
ketika digigit, ia menjerit, "Auh, jari orang . . . . "
"Makan terus .... sampai tua," seru Hu-iu Hara.
Sementara itu ciang-kui juga meniru tindakan lelaki
kasar. Bak-pau kesatu yang berisi gigi belum dihabiskan, dia
terus mengambil bak-pau kedua. Tetapi begitu digigit, dia
menjerit, "Auh, telinga orang . . . . "
"Makan!" teriak Cian-li-ji.
Ciang-kui masih ngotot. Dia menjemput lain bak-pau
lagi, "Auh, ma . . . ta . . . , " ia menjerit dengan suara
gemetar. Dan bak-pau keempat yang dicomot dan digigitnya berisi
segenggam gigi orang. "Gila!" teriak ciang-kui, "siapa yang masak bak-pau
begini ini! Lekas panggilkan tukang masaknya!"
Tukang masak, seorang lelaki setengah tua yang
berwajah dingin, segera berlarian menghampiri.
"Hai, mengapa bak-pau engkau isi dengan gigi, telinga
dan mata orang?" teriak ciang-kui de ngan marah.
"Tidak loya . . . isinya hanya bagian daging orang saja!"
tanpa disadari karena hendak membela diri, tukang masak
itu telah kelepasan ngo-mong.
"Hai!" tiba2 Ah L:u menjerit dan terus muntah2. Setelah
itu ia menghampiri ciang-kui,
"O, yang engkau katakan bak-pau istimewa itu ternyata
berisi daging manusia !"
Ah Liu tak dapat menguasai diri lagi. Dia terus hendak
memukul ciang-kui tetapi dicegah Huru Haja, "Jangan,
harap sabar dulu !" Ah Liu tadi telah menderita. Dia menampar tangan
Huru Hara tetapi malah terjengkang ke belakang. Sekarang
dia mau memukul ciang-kui, kembali Huru Hara
menghadang. Dara itu tumpahkan kemarahannya kepada
Huru Hara "Engkau mau membelanya !"
Dengan sebuah gerak dalam jurus Raja-kera-menjolokbuah,
dara itu meninju dada Huru Hara, "duk.....uh!" Ah
Liu menjerit ketika dia terlempar ke belakang sampai
beberapa langkah dan membentur meja di belakangnya.
"Hayaaaa?"..," tiba2 terdengar orang menjerit. Orang
itu ternyata sedang mengangkat mangkuk bubur panas.
Begitu tiba dimuka mulut, bangku telah terlanggar Ah Liu,
bangku terpelanting dan buburpun mengguyur muka orang
itu. Muka tersiram bubur panas, dapat dimaklumi kalau
orang itu sampai menjerit seperti babi hendak disembelih
..... Ah Liu melenting bangun. Dia hendak maju menyerang
Huru Hara tetapi tiba2 dibentak orang, "Jangan liar, Ah Liu
!" Ah Liu berhenti. Ia kenal suara itu adalah suara nona
majikannya. Huru Harapun menghampiri.
"Maaf, nona, maksudku janganlah nona memukulnya
dulu. Biarkan dia menghabiskan bak-paunya," dia memberi
penjelasan. Ah Liu tersipu-sipu dan kembali ke tempat duduknya,
Tetapi tiba2 di dicegat oleh tetamu yang mukanya
berlumuran bubur panas tadi, "Budak liar, nih,
pembalasanku !" Ah Liu terkejut tetapi terlambat. Dia merasa tengkuknya
telah dicengkeram tangan orang dan tubuhnya diangkat,
"Celaka......" Ah Liu mengeluh karena menyadari bahwa
dirinya hendak dilempar keluar.
"Hek . , . ," tiba2 lelaki itu mendesah tertahan dan
tangannyapun terkulai melentuk sehingga tubuh Ah Liu
pun jatuh ke bawah. Untung dara itu dapat bergeliatan
untuk menjaga diri agar tubuhnya tak sampai jatuh ke
Bloon Cari Jodoh Pendekar Huru Hara Karya S D. Liong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lantai. Ah Liu memandang kearah nonanya dan
memperhatikan nona majikannya melingkarkan ke dua jari
telunjuk dengan jempol tangan. Rupanya hal itu merupakan
suatu kode atau sandi kedua gadis itu. Ah Liupun segera
kembali kemejanya lagi. Sedang tetamu yang hendak
melemparnya tadi, deliki mata kepada Ah Liu lalu dengan
berjalan setengah menyeret kaki, dia melangkah keluar.
Sementara itu terjadilah peristiwa yang menegangkan.
Muka pemilik rumahmakan merah padam memandang
empat butir bak-pau yang setelah di gigit ternyata berisi
beberapa macam benda istimewa : gigi, telinga dan mata.
Dia memanggil tukang masak dan tukang masak telah
kelepasan bicara mengatakan kalau yang diisikan kedalam
bak-pau itu bukan macam begitu tetapi hanya daging
manusia yang dicacah. Sekalian tetamu gempar mendengar hal itu. Mereka
serempak bangkit dan memaki-maki. Ada yang terus
ngeloyor keluar tetapi ada yang masih berada disitu hendak
menyaksikan bagaimana kesudahan pertaruhan tadi.
"Ciang-kui, lekas habiskan bak-paumu itu !" bentak Cianli-
ji. "Tidak !" teriak ciang-kui, tukang masak telah keliru
memberi isinya !" "Ciang-kui, jangan ingkar janji. Aku juga tak tahu apa
isinya. Engkau sudah menerima peraturan ini, kalau engkau
tak mampu menghabiskan, baiklah," seru Cian-li-ji, "engkau
harus kurangket dulu 50 kali, setelah itu baru engkau boleh
minggat dari sini !"
"Setan kate, jangan mengacau disini !" pemilik
rumahmakan itu terus menyerang Cian-li-ji. Juga lelaki
kasar tadi marah2 dan tak mau makan bak-pau istimewa
itu. Tetapi Huru Hara memakannya, "Mau, tak mau, suka
tak suka, engkau harus makan bak-pau itu !"
"Bangsat, engkau berani memaksa aku !" sebuah tinju
yang besar dan kuat segera diayunkan kearah kepala Huru
Hara. Huru Hara mengendap kebawah. Secepat tinju
melayang disisinya, dia terus melonjak berdiri, tangan kiri
menyambar dagu orang lalu dipencet sehingga mulut orang
itu terbuka lalu secepat kilat tangan kanan menyambar
bakpau dan dijejalkan kemulutnya.
"Auhhhhh . . . ." orang itu menjerit-jerit tetapi karena
mulutnya disumpat dengan bak-pau, dia tak dapat bersuara.
Dia meronta-ronta hendak melepaskan diri tetapi juga tak
mampu. Pada hal sederhana dan enak saja tangan Huru
Hara mencengkeram dagu orang itu tetapi nyatanya orang
itu tak mampu berdaya. "Lepaskan !" tiba2 dari belakang terdengar suara orang
membentak Huru Hara. Huru Hara tahu hal itu. Dua orang
kawan lelaki kasar itu telah berbangkit dan menghampiri
hendak menolong kawannya. Mereka menyerang Huru
Hara dari belakang. Yang seorang memukul kepala, yang
seorang menendang pantat Huru Hara.
Plak?". duk?".. aduh
Kedua lelaki kasar itu terkejut ketika tiba2 Huru Huru
menyelinap ke samping. Mereka tak dapat menghentikan
tinju dan kakinya lagi. Kepala dan perut kawannya menjadi
sasaran. Akibatnya orang itu terlempar jatuh terjerembab ke
lantai ... . Belum hilang kejut kedua lelaki kasar tadi, tahu2 tengkuk
mereka terasa mengencang seperti dijepit besi. Mereka
hendak meronta dan menghantam ke belakang tetapi
sebelum sempat melakukan gerakan itu, tubuh mereka
seperti terangkat naik dan melayang,
bummmm.....Keduanya terlempar keluar dari rumahmakan
dan jatuh di jalan besar.
Habis melemparkan kedua orang itu, Huru Hara
berputar tubuh. Dilihatnya ciang-kui tengah menyerang
kalang kabut kepada Cian-li-ji yang bergerak
mengelilinginya dengan cepat sekali.
"Hek . . . . , " ciang-kui itu menjerit tertahan ketika
tengkuknya dicengkeram Huru Hara. Dia berusaha untuk
meronta sambil gerakkan kaki dan tangan untuk memukul
dan menyepak. Tetapi semakin dia bergerak, semakin
tulang tengkuknya seperti patah rasanya. Akhirnya dia
menyerah tak berani berkutik lagi.
"Hayo, katakan, mengapa engkau berani membuat bakpau
berisi daging manusia!" bentak Huru Hara.
"Ampun, hohan . . . , " akhirnya pemilik rumah-makan
itu meratap minta ampun. "Aku dapat memberi ampun atau tidak tergantung
engkau sendiri. Kalau engkau mau menjawab pertanyaanku
secara jujur, engkau boleh mengharapkan ampun itu," kata
Huru Hara. "Baiklah, silakan hohan bertanya."
"Mengapa engkau menjagal manusia dan dagingnya
engkau jadikan isi bak-pau?"
"Sebenarnya dulu aku tidak berbuat begitu. Tetapi
setelah tentara negeri ( kerajaan Beng ) mundur ke daerah
sini, sukar sekali mendapat ternak. Sapi, kerbau, babi, ayam
telah diambil untuk ransum tentara. Akhirnya datang orang
menawarkan daging orang. Lebih murah dan lebih lezat,
katanya. Akhirnya karena benar2 sukar untuk mencari
ternak, aku mencoba tawaran orang itu. Harganya murah
dan memang rasanya lebih enak . ..."
"Siapa yang menawari engkau itu?"
"Itu . . . . , " ciang-kui menunjuk pada lelaki kasar yang
menggeletak di lantai, "mereka bertigalah yang mengirim
potongan2 tubuh manusia ke rumah makanku itu."
"Dari mana mereka mendapatkan potongan tubuh orang
itu?" "Aku .... aku tak tahu, hohan . . . Aku hanya menerima
dan membayar harganya saja ..."
"Paman Cian, bangunkanlah orang itu!" seru Huru Hara.
Ciau-li-ji menyeret lelaki kasar itu dan me-namparnampar
mukanya supaya bangun. "Hai, bangsat, dari mana engkau mendapatkan potongan
daging manusia itu!" bentak Huru Hara.
Lelaki kasar itu tahu bahwa dirinya tentu takkan
terhindar dari hukuman. Sama2 akan dibunuh, lebih baik
dia bersikap keras tak mau mengakui perbuatannya, "Siapa
mengatakan aku berbuat begitu?" serunya menantang.
"Kawanmu pemilik rumahmakan ini!"
"Bohong!" teriak lelaki kasar itu, "aku tak tahu menahu
soal itu. Aku datang kesini sebagai tetamu."
"Hm, engkau masih menyangkal?"
"Dia memfitnah aku! Dia sendiri yang menjagal manusia
untuk dijadikan isi bak-pau!" teriak lelaki kasar itu.
"Hm, engkau memfitnah, ya?" Huru Hara deliki mata
kepada pemilik rumahmakan.
"Tidak, hohan, tidak. Aku berkata dengan
sesungguhnya! " "Engkau berani menghadapinya?"
"Berani, harap hohan lepaskan tengkukku," kata pemilik
rumahmakan. "Baik," Huru Hara melepaskan cengkeramannya. Dan
ciang-kui itu terus menghampiri ke hadapan lelaki kasar lalu
menuding mukanya, "Jangan menyangkal engkau!
Engkaulah yang mengirim potongan2 daging manusia itu?"
"Baik, kuakui," seru lelaki kasar itu, "tetapi kalau engkau
tidak mau menerima, masakan aku melanjutkan pekerjaan
itu. Semisal tadi, engkau-pun pesan kepadaku suruh
mencarikan selusin anak perempuan yang masih dara dan
selusin anak laki yang masih jejaka ..."
"Itu bukan aku tetapi aku juga menerima pesanan dari
seorang pembesar ..."
"Bu-Iiang-siu-hud!" tiba2 terdengar seseorang berseru
dan serempak muncullah seorang imam ke dalam
rumahmakan itu, "apakah yang terjadi di-sini" Mengapa
meja kursi tumpah ruah begini macam?"
Imam itu bertubuh kurus, berumur lebih kurang 60-an
tahun. Matanya yang cekung dan pelipisnya yang
menonjol, menandakan dia memiliki ilmu Iwekang (tenagadalam
) yang tinggi. Pelahan-lahan saja dia berseru tetapi
dalam pendengaran orang2 itu seperti terngiang letusan
mercon. "Hai, mengapa sicu berdua hendak berkelahi" Ah, tak
baik Orang bermusuhan iru," tiba2 imam itu menyiak.
Dengan tangan kiri dia menyiak dada ciang-kui, dengan
tangan kanan dia mendorong dada lelaki kasar. Sepintas
memang seperti orang yang hendak melerai.
Kemudian dia menghampiri Huru Hara dan
mendorongnya, "Si-cu, sudahlah, silakan duduk iagi"."
Tetapi mulut imam aneh itu terdengar mendesuh kejut
ketika dia terdorong mundur dua Iangkah, sedang Huru
Hara yang didorongnya itu hanya tersurut selangkah, "O,
apakah sicu tak mau menghargai permintaanku ?"
"Sudahlah, jangan ikut campur, engkau tak tahu
persoalannya," bentak Huru Hara.
"Bu-liang-siu-hud," seru imam aneh itu, "Jika sicu
memang hendak mengumbar kemarahan, lebih baik aku
keluar saja dari sini. . .Dia terus melangkah keluar dan
lenyap. "Hai, ciangkui, mengapa engkau diam saja " Pembesar
siapakah yang menyuruh engkau mencari dua lusin anak itu
" Apa perlunya ?" seru Huru Hara.
Ciang-kui diam saja. Matanya masih mendelik
memandang kearah lelaki kasar.
"Hai, ciangkui, apa engkau tuli ?" bentak Huru Hara
pula. Dan karena ciang-kui itu tetap tak menghiraukan,
Huru Hara menampar bahunya," hai, ciang-kui, mengapa
engkau membisu sa .. .. hai !" tiba2 Huru Hara berteriak
kaget karena ciang-kui itu rubuh.
Cian-li-ji terkejut dan cepat mengangkatnya, "Hai,
dia".mati!" Bukan kepalang kejut Huru Hara. Mengira kalau lelaki
kasar itu yang melakukan, dia membentaknya, "Hai,
mengapa engkau berani membunuhnya!"
Tetapi lelaki kasar itu diam saja dan hanya deliki mata
kepada ciang-kui. Huru Hara menampar bahunya, "Hai,
mengapa bisu saja ! Seperti waktu menampar ciang-kui tadi, Huru Harapun
memekik kaget karena lelaki kasar itupun terjungkal rubuh.
Huru Hara buru2 berjongkok memeriksa pernapasannya.
"Dia sudah mati tiba2 terdengar sebuah suara yang halus
dan merdu. Huru Hara berpaling. Serentak dia berbangkit
sesaat melihat seorang nona bertutup cadar tegak ditempat
itu. Dibelakangnya tampak Ah Liu.
"Apa katamu ?" Huru Hara menegas.
"Dia sudah mati, perlu apa engkau periksa
pernapasannya ?" kata nona bercadar itu ?"
"Bagaimana engkau tahu ?"
"Lihatlah, bukankah matanya mendelik dan bibirnya
biru ?" Huru Hara berpaling sejenak, "Ya, benar, bagaimana
engkau tahu ?" "Dia terkena pukulan jenis Siu-lo-im-sat-kang yang
ganas. Urat2 jantungnya putus seketika."
"O, lalu siapakah yang membunuhnya ?"
"Engkau !" "Gila !" teriak Huru Hara, "aku sedang mencari
keterangan mereka, perlu apa akan membunuhnya."
Sang Ratu Tawon 3 Kembalinya Sang Pendekar Rajawali Sin Tiaw Hiap Lu Karya Chin Yung Kemelut Di Ujung Ruyung Emas 9