Pencarian

Makam Bunga Mawar 15

Makam Bunga Mawar Karya Opa Bagian 15


alamnya, dan bangunan-bangunan itu sudah berdiri demikian
megahnya, dapat diduga, bahwa penghuni bangunan itu
pastilah orang yang mengasingkan diri di tempat itu. Selagi ia
berdiri termangu dan terpesona menyaksikan pemandangan
itu, dengan tiba-tiba dari jauh terdengar suara bunyi lonceng
tiga kali. Seorang nona berbaju putih berjalan keluar dari
sebuah bangunan bertingkat tiga. Gerakan nona itu gesit
sekali, hanya beberapa kali lompatan sudah berada di
hadapan Hee Thian Siang. Nona itu mengawasi Hee Thian Siang sejenak lalu bertanya
kepadanya : "Tuan datang dari mana" Siapa namamu" Siancu telah
mengundang kau ke loteng untuk menanyakan sendiri."
Hee Thian Siang yang sejak tadi mengawasi saja, ia
mendapat kenyataan bahwa kepandaian ilmu silat gadis itu
sangat bagus, tetapi ia tidak dapat menduga, dari mana asal
usul golongan gadis itu, maka ia lalu menjura dan menjawab
sambil tertawa : "Aku yang rendah Hee Thian Siang, karena mengejar
seekor kera putih, hingga kesasar datang kemari. Numpang
tanya, nona, tempat ini tempat apa" Siancumu itu siapakah
orangnya?" Nona berbaju putih itu membalikkan diri dan mengajak Hee
Thian Siang ke rumah bertingkat itu, sementara itu mulutnya
menjawab : "Tempat ini adalah air lautan, nama Siancu selamanya
tidak diberitahukan kepada orang lain hanya setelah kau
bertemu muka sendiri dengannya, kau boleh bertanya sendiri
kepadanya." Nama air lautan, mengingatkan Hee Thian Siang kepada
nama gunung yang diberitahukan oleh Duta Bunga Mawar di
dalam gua kuno, di gunung Tay-pa-san, teringatlah ia
sekarang bahwa nama salah satu dari Iblis Pek-kut Siancu.
Siancu itu berdiam di lembah Bambu Merah di gunung air
lautan ini. Kalau tempat ini benar adanya, apalagi dalam
tempat itu terdapat banyak bambu merah, apalagi ditambah
dengan keterangan nona berbaju putih, jelas bahwa dirinya
yang mengejar-ngejar kera putih tidak karuan masuk ke
sarang Pek-kut Siancu. Hee Thian Siang yang kesasar dalam
lembah bambu merah dan hendak berjumpa dengan salah
satu iblis dari tiga orang Pek-Kut Sam-mo, bukan saja merasa
keder, sebaliknya semangatnya makin tersa bangun.
Kiranya sebelum Duta Bunga Mawar menyalurkan
kekuatan tenaga dalamnya ke dalam tubuhnya memesan
padanya, bahwa kalau nanti sudah mendapatkan ilmu silat
dan kekuatan tenaganya, masih perlu berlatih. Katanya, setiap
kali melakukan pertandingan, kekuatan tenaganya juga akan
makin bertambah. Semakin giat latihannya, semakin cepat
mendapat kemajuan, jadi di waktu menghadapi lawan
tertangguhnya Pek -Kut Thian-kun nanti, kepandaian dan
kekuatannya sudah mencapai ke taraf yang sama dengan iblis
itu. Dan kini ia hendak menjumpai Pek-Kut Sian-cu, bukankah
itu merupakan suatu kesempatan baik baginya untuk mencoba
kepandaiannya sendiri" Akan tetapi dalam keadaan demikian,
ia masih ingat dan mengambil keputusan hendak menyimpan
dulu kepandaiannya ilmu silat Bunga Mawar jurus ketiga,
jangan sampai Pek-kut Siancu nanti mengetahui bahwa
dirinya mempunyai kepandaian ilmu silat yang luar biasa.
Sementara itu ia sudah mengikuti nona berbaju putih itu
berjalan masuk ke rumah bertingkat itu. Nona itu sangat gesit
dan tenang sekali. Di depan pintu tampak dinding bambu
halus, di balik tirai samar-samar tampak sesosok bayangan
berbaju putih yang sedang duduk bersila. Gadis berbaju putih
yang mengajak Hee Thian Siang masuk ke situ, memberi
hormat kepada orang berbaju putih di belakang tirai, seraya
berkata : "Siancu, orang yang datang ini bernama Hee Thian Siang.
Sekarang kami datang, harap Siancu bertanya sendiri."
"Hee Thian Siang, mengapa kau kejar monyet
kesayanganku hingga menjadi demikian rupa?"
Hee Thian Siang yang sudah tahu siapa adanya orang itu,
maka ia dapat menjawab dengan tenang :
"Siancu ini janganlah sembarangan menegor orang dulu,
bagaimana Hee Thian Siang tahu, bahwa monyet putih itu ada
majikannya?" Orang di balik tirai itu mengeluarkan suara dari hidung, lalu
bertanya pula : "Monyetku putih ini bukanlah sembarangan. Gerak kakinya
gesit sekali, juga buas, bagaimana kau dapat mengejar dia,
bahkan tidak terluka di tangannya?"
"Manusia adalah makhluk yang paling cerdik, sangat
mustahil kalau tidak sanggup menghadapi kera. Keramu itu
meskipun memiliki kepintaran dari alam, tetapi aku
mempunyai kepandaian ilmu silat . . ." Berkata Hee Thian
Siang sambil tertawa. Belum habis ucapannya, perempuan berbaju putih yang
berada di belakang tirai sudah perdengarkan suara dingin,
kemudian berkata : "Pada waktu ini, siapa yang berani mengaku memiliki
kepandaian luar biasa" Kau ini sebetulnya murid golongan
mana?" Karena menurut keterangan Duta Bunga Mawar, di dalam
upacara pembukaan partai Ceng-thian-pay nanti, Pek-kut
Siancu ini disediakan untuk melawan suhunya sendiri ialah
Hong-poh Tjui, maka ketika mendengar ucapan itu, ia lantas
berkata sambil tertawa : "Suhuku adalah orang kuat nomor satu dalam rimba
persilatan pada dewasa ini!"
Perempuan berbaju putih di belakang tirai itu semakin tidak
percaya, dan dengan sikap menghina bertanya "
"Partai-partai Ngo-bie, Kun-lun, Bu-tong, Siauw-lim, Lo-hu,
Swat-san, Tiam-cong dan Kie-lian, siapa yang berani
menganggap partai kuat nomor satu demikian sombongnya?"
Hee thian Siang sengaja memanaskan hati perempuan itu,
maka lantas berkata sambil tertawa :
"Apa kau kata sombongkan diri" Nama Suhuku sangat
kesohor dan pernah menggetarkan seluruh jagat."
Perempuan berbaju putih itu tanpa menunggu ucapan Hee
Thian Siang selesai, sudah memotong :
"Suhumu sebetulnya siapa?"
"Pak-Bin Sin-po Hong-poh Cui." Demikian Hee Thian Siang
menjawab sambil berdiri tegak sebagai penghormatan kepada
gurunya. "Oo, nama Pak-bin Sin-po memang betul sangat kesohor.
Tetapi kalau mau menganggap dirinya sebagai orang kuat
nomor satu, itu masih ku anggap terlalu sombong!"
Sepasang alis Hee Thian Siang berdiri, katanya dengan
suara marah : "Kau ini siapa" jikalau kau penasaran, akupun cukup untuk
melawan kau!" Nona berbaju putih yang berdiri di sampingnya, ketika
mendengar ucapannya itu lantas membentak :
"Hee Thian Siang, kau jangan anggap dirimu terlalu gagah,
karena itu berarti mencari mampus sendiri."
Hee Thian Siang pendelikkan matanya, dengan sikap lebih
sombong ia berkata : "Apa terlalu gagah" Aku tidak percaya bahwa di dalam
dunia ini ada orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi dari
diriku!" Ia memang bermaksud hendak membakar hati perempuan
berbaju putih itu, maka kata-katanya selalu membakar dan
membikin panas hati orang. Benar saja, perempuan berbaju
putih di belakang tirai yang mendengar ucapan itu lantas
perintahkan gadis berbaju putih untuk membuka tirainya.
Gadis berbaju putih menurut, ia berjalan ke sudut rumah,
tirai bambu itu perlahan-lahan tergulung naik.
Di atas tempat duduk bersemadi, tampak duduk seorang
perempuan tua berbaju putih. Perempuan itu rambutnya
sudah putih semua, akan tetapi wajahnya masih kemerah-
merahan bagaikan anak kecil. Bagi seorang ahli tenaga dalam
tahu perempuan tua itu sudah memiliki kekuatan tenaga
dalam yang tiada taranya.
Perempuan tua berbaju putih dengan sinar tajam menatap
Hee Thian Siang kemudian berkata :
"Bocah. . . . . "
Tidak menunggu perempuan itu berkata lebih lanjut, Hee
Thian Siang sudah berkata dengan alis berdiri :
"Kau jangan kira pandang aku dari usiaku yang sangat
muda sekali, tetapi jejakku sebetulnya sudah menjelajahi
seluruh negeri,. . ."
Perempuan itu tertawa hambar, kemudian berkata :
"Sombong benar, kalau kau anggap dirimu sudah banyak
pengetahuan dan sudah menjelajahi seluruh negeri, mungkin
kau sudah kenal diriku."
Hee Thian Siang menggunakan kesempatan itu
memandang wajah perempuan berbaju putih, semakin lama ia
memandangnya, semakin tahu bahwa nenek itu benar-benar
adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia sengaja
pura-pura berpikir dulu, baru berkata :
"Bukankah kau ini Siang-swat Siangcu Leng Biauw Biauw?"
Perempuan berbaju putih itu tampak sangat terkejut,
katanya sambil tertawa : "Kau bocah ini sungguh pintar menebak orang. Sayang aku
bukan Siang-swat Siang-tju Leng Biauw Biauw, juga bukan
Kiu-thian Mo-li Tang Siang Siang yang namanya sama-sama
terkenal dengannya!"
Hee Thian Siang kembali berpikir, lama baru berkata :
"Jikalau menurut usiamu seperti ini, dan dari nada
pembicaraanmu, kau pasti merupakan salah seorang iblis
wanita Pek-kut Sam-mo yang mempunyai julukan Pek-kut
Siancu!" Perempuan tua berbaju putih itu sungguh-sungguh tak
menduga bahwa dirinya sendiri yang sudah mengasingkan diri
demikian lama, masih ditebak jitu oleh Hee Thian Siang yang
usianya masih muda sekali. Maka ia lalu berkata sambil
tersenyum : "asal usulku sudah kau tebak dengan jitu, tahukah kau
betapa lihaynya Pek-kut Sam-mo itu?"
"Tentang dirimu dan Pek-kut Thian-kun serta Pek-kut I-su,
dalam kalangan Kang-ouw tersiar luas delapan bait nyanyian
ini!" Pek-kut Sin-cu merasa tertarik oleh cerita Hee Thian Siang,
maka bertanya : "Aku tidak percaya bahwa kami bertiga yang sudah
mengasingkan diri beberapa puluh tahun lamanya masih
belum dilupakan oleh orang-orang rimba persilatan, coba kau
sebutkan bunyi nyanyian itu kepadaku!"
Hee Thian Siang tersenyum dan menganggukkan kepala,
dengan sembarangan saja ia mengarang sendiri beberapa
patah kata dan dinyanyikannya lambat-lambat :
"Dua pria satu wanita, tiga iblis tulang putih itu namanya,
gagah perkasa menjinakkan harimau dan singa, tenaganya
dapat mematahkan nyamuk dan serangga. Ilmu yang
dimilikinya tidak terhingga. . ."
Yang disebut di atas itu juga kata yang mengandung pujian,
tetapi juga mengandung ejekan, sehingga Pek-kut Sin-cu yang
mendengarkan diam-diam juga merasa geli dan mendongkol.
Melihat sikap dan keadaan Hee Thian Siang yang sengaja
berhenti dan tidak melanjutkannya, Pek-kut Sian-cu merasa
heran, katanya : "Nyanyian itu katamu ada berapa bait, mengapa baru lima
bait sudah kau hentikan?"
"Yang pertama kau dengar tadi, kau dengar mungkin tidak
marah. Tetapi bait yang belakangan sangat tidak enak sekali,
maka sudahlah tidak perlu ku sebut lagi!"
"Sekalipun tidak enak juga tidak halangan, kau lanjutkan
saja!" "Siapa. . .yang bisa. . . ." Berkata Hee Thian Siang sepatah demi sepatah.
Pek-Kut Siancu tiba-tiba tertawa tergelak-gelak, kemudian
berkata : "sudahlah, kau tak perlu bacakan lagi, aku sudah bisa
menerkanya!" "Apa kau juga dapat menebak?"
"Yang dimaksudkan dalam bait terakhir itu apakah bukan
Pak-bin Sin-po?" "Apa yang kuceritakan padamu tadi adalah sebenarnya.
mungkin kau kira aku membuat sendiri?"
Pek-kut Siancu hanya tertawa menyeringai. Hee Thian
Siang lalu berkata : "jangan tertawa, kau ingin mencoba kepandaian ilmu
silatku, barangkali kau nanti ingin tahu bahwa aku tidak omong
kosong belaka?" "Aku tak akan bertempur denganmu!" Menjawab Pek-kut
Siancu sambil menggelengkan kepala.
"Apa kau tidak pandang mata padaku?" Bertanya Hee
Thian Siang marah. Pek-kut Siancu menatap wajah Hee Thian Siang sekian
lama, katanya sambil menggelengkan kepala dan tertawa:
"Bukan aku tidak pandang mata padamu, itu adalah orang-
orang rimba persilatan yang tidak pandang muka gurumu!"
Hee Thian Siang kini yang dibingungkan oleh ucapan Pek-
kur Siancu, tanyanya heran :
"Apa maksud ucapanmu ini?"
"Coba kau ulangi lagi bunyi nyanyian tadi!"
Hee Thian Siang menurut, ia mengulangi kata-kata dalam
nyanyian tadi. Tapi kini hanya di bait terakhir memang disebut
Pak-bin Sin-po. "Betul tidak kataku, bukankah orang-orang rimba persilatan
tidak pandang mata gurumu" Mereka hanya mengatakan Pak-
bin Sin-po Hong-Poh Cui yang dapat menundukkan Pek-kut
Sam-mo, sedikitpun tidak terdapat namamu Hee Thian Siang
yang diikut sertakan." berkata Pek-kut Siancu sambil
tersenyum. Mendengar jawaban itu Hee Thian Siang tak dapat berkata
apa-apa. Baru saja ia hendak membuka mulut lagi, Pek-kut
Siancu sudah berkata lagi sambil tertawa :
"Tetapi meskipun aku sendiri tak mau turun tangan
denganmu, kau masih ada kesempatan untuk menunjukkan


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepandaianmu!" Mendengar itu, semangat Hee Thian Siang terbangun.
Dengan sepasang alis berdiri ia mendengarkan ucapan Pe-kut
Siancu lebih lanjut. Berkatalah Pek-kut Siancu seterusnya :
"Pak-bin Sin-po Hong-poh Cui adalah gurumu. Betapa
tinggi kepandaian gurumu, barangkali selisih tidak begitu jauh
dengan aku sendiri, asal kau mau, kau boleh main-main
beberapa jurus dengan muridku!"
Hee Thian Siang alihkan pandangan matanya kepada nona
berbaju putih yang tadi mengajaknya datang ke mari, lalu
bertanya : "Apakah kau suruh aku bertanding dengan nona ini?"
Pek-kut Siancu tertarik, dan berkata kepada nona berbaju
putih itu : "Engji pergilah kau bentuk barisan. . di atas barisan tulang itu kau boleh coba-
coba kepandaian Hee Thian Siang murid
seorang gaib nomor satu di rimba persilatan, Pak-bin Sin-po
Hong-poh Cui, sebetulnya memiliki berapa tinggi
kepandaian?" Gadis itu menerima baik perintah gurunya sambil
membongkokkan badan, setelah itu berjalan keluar.
Selagi Hee Thian Siang hendak mengikut, Pek-kut Sincu
sudah menunjuk kepada tempat duduk yang kecil di samping
kanan dirinya, lalu berkata :
"Muridku Sam Heng tadi pergi membentuk barisan tulang,
masih memerlukan sedikit waktu. Duduklah kau di tempat ini
lebih dulu untuk bersemedi, barangkali bisa memulihkan
tenagamu yang tadi sudah kau gunakan untuk mengejar kera
putih, supaya kalau mengadakan pertandingan nanti adil."
Hee Thian Siang mendengar ucapan itu, ia memandang
kepada Pek-kut Siancu beberapa kali. Pek-kut Siancu
bertanya sambil tersenyum :
"Untuk apa kau mengawasi aku?"
"Kiraku, kepandaian ilmu silat yang sudah dilatih mencapai
taraf seperti kalian ini, meskipun dari golongan iblis, setidak-
tidaknya sudah harus memiliki kedudukan sebagai ketua
golongan itu." Pek-kut Siancu tertawa menyeringai, dengan tiba-tiba
seperti teringat sesuatu, lalu bertanya kepada Hee Thian
Siang : "Tahukah kau bahwa delapan partai besar rimba persilatan
pada dewasa ini, dan dua di antaranya ialah Tiam-cong dan
Kie-lian hendak menggabungkan diri dan membentuk partai
gabungan yang dinamakan partai Ceng-thian-pay" Kabarnya
waktu itu sudah mengambil keputusan pada nanti tanggal
enam belas bulan dua tahun depan, akan dilakukan upacara
pembukaan, sekalian hendak mengumpulkan semua tokoh-
tokoh rimba persilatan seluruh negeri untuk menghadiri
pertemuan itu?" "aku bukan saja tahu, bahkan sudah mengambil keputusan,
nanti pada waktunya aku pun akan datang hadir." Menjawab
Hee Thian Siang sambil menganggukkan kepala.
"Apakah gurumu Pak-bin Sin-po Hong-poh Cui juga akan
hadir?" "Pasti datang, kiraku kalian berdua nanti boleh bertempur
sepuas-puasnya di depan goa Siang-swat-tong." Menjawab
Hee Thian Siang sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Pek-kut Siancu tampaknya sangat girang sekali, kemudian
berkata sambil tertawa : "aku rasa, aku sudah menemukan tandingan yang tepat,
sayang sejak itu Pek-kut I-su dan Pek-kut Thian-kun belu ada
orang yang melawan, mereka akan mengiri terhadapku!"
"Pek-kut I-su dan Pek-kut Thian-kun semuanya sudah
mendapat lawan sendiri." Berkata Hee Thian Siang sambil
tertawa. Pek-kut Siancu terkejut, ia bertanya dengan perasaan
terheran-heran : "Siapakah yang akan menjadi lawannya" Ketua-ketua dari
delapan partai besar masih belum sanggup menjadi lawan
Pek-kut I-su atau Pek-kut Thian-kun!"
"Mengenai lawan mereka berdua, aku boleh tunjukkan
mulai sekarang. Yang satu adalah Thian-gwa Ceng-mo Tiong-
sun Seng." "Aku kenal. Thian-gwa Ceng-mo ini namanya sangat
kesohor, agaknya selisih tidak banyak dengan gurumu sendiri.
Dan satu lagi?" Hee Thian Siang sebetulnya hendak mengatakan dirinya
sendiri. Tetapi kemudian ia berpikir lain, ia selalu menjunjung
nama Duta Bunga Mawar, maka lalu menyebutkan nama jago
tua itu : "yang satu adalah Cian-ceng Kiesu Cie Hiang Po !"
Pek-kut Siancu yang mendengar jawaban itu bukan
kepalang terkejutnya, tanyanya :
"Kabarnya Cie Hiang Po sudah menutup mata, bagaimana
masih berada dalam dunia?"
"tentang Cie locianpwe itu masih segar bugar, ia berdiam di
lembah kematian dekat gunung Cong-lam, mengapa kau
sumpahi dia mati?" Sepasang alis Pek-kut Siancu dikerutkan, tanyanya pula :
"Kalau benar ia masih ada di dalam dunia, maka orang-
orang yang namanya sama-sama kesohor dengannya ialah
Go Boan Ciu dan Bu-ceng kiam-khek Bo Cun Yang, apakah
juga masih hidup?" "Tentang mereka berdua, memang sudah lama meninggal
dunia." Pek-kut Siancu menarik nafas lega, katanya :
"Dahulu aku pernah bersumpah dengan Bu-ceng Kiam-
khek Bo Cun Yang tidak akan bertemu muka untuk selama-
lamanya. Untuk dia sekarang sudah tiada, jikalau tidak,
keramaian di depan goa Siang-swat-tong nanti, aku terpaksa
tidak akan turut hadir." Mendengar ucapan demikian, dalam
hati Hee Thian Siang merasa menyesal, dia sesalkan dirinya
sendiri, mengapa ia tadi tidak membohongi padanya bahwa
Go Boan Ciu dan Bu-ceng Kiam-khek Bo Cun Yang, dikatakan
saja mereka masih hidup"
Jikalau dengan nama-nama mereka berhasil mencegah
kedatangan Pek-kut Thian-kun, bukankah tidak perlu lagi
memerlukan dirinya turun tangan sendiri" Berpikir sampai di
situ nona berbaju putih yang bernama Tham Eng yang pergi,
sudah berjalan kembali ke dalam rumah dan memberi hormat
kepada Pek-kut Siancu untuk melaporkan bahwa barisan
tulang itu sudah selesai.
Pek-kut-Siancu menganggukkan kepala dan berkata sambil
tertawa : "Tunggu. . kau sediakan lagi dua tempat tidur es, sama
perapian yang besar apinya dan tujuh puluh dua butir Jit-gwat
Kang-cu." Tham Eng sambil menganggukkan kepala, diam-diam
merasa heran dan bertanya :
"Siancu hendak mengadu hiankang dengan siapa?"
Pek-kut Siancu menunjuk Hee Thian Siang sambil berkata :
"sekarang bocah ini tampaknya bukan dari golongan
sembarangan, apabila kau masih terkalahkan olehnya di atas
barisan tulang, aku akan mengajaknya duduk di atas
pembaringan es, main-main peluru api."
"Apakah siancu mengijinkan muridmu menggunakan ilmu
Pek-kut Pat-sian-jiao?"
Pek-kut Siancu berpikir dulu, kemudian menjawab sambil
tersenyum : "Ilmu Pek-kut Pat-sian-jiao itu meskipun luar biasa
hebatnya, tetapi bocah ini yang sudah mengeluarkan
omongan besar, pasti memiliki kepandaian yang berarti.
Seharusnya ia tak takut menghadapi apa saja, maka aku
mengijinkan kau menggunakannya!"
Tham Eng memandang Hee Thian Siang dengan sinar
mata dingin, lalu memberi hormat kepada Pek-kut Siancu, dan
setelah itu ia mengundurkan diri keluar dari rumah bertingkat
itu. Pek-kur Siancu berkata kepada Hee Thian Siang :
"kau sudah mempropagandakan gurumu Pak-bin Sin-po
demikian hebat, juga kau anggap dirimu sendiri hebat sekali.
Sekarang apa salahnya kau coba main-main beberapa jurus
dengan muridku di atas barisan tulang Pek-hut-theng!"
Hee Thian Siang tahu, sebagai murid Pek-kut Siancu gadis
berbaju putih itu meskipun usianya masih sangat muda, tetapi
kepandaian ilmu silatnya mungkin tinggi sekali, dan karena ia
sendiri pikir tidak mau menggunakan jurus ketiga dari ilmu silat
Bunga Mawar, maka untuk menghadapinya perlu berlaku hati-
hati sekali. "Hee Thian Siang bersedia menggunakan kemampuannya
yang ada untuk menerima pelajaran nona Tham di atas baris
tulang!" Pek-kut Siancu tersenyum tidak berkata apa-apa, ia bangkit
lambat-lambat dari tempat duduknya, lalu mengajak Hee
Thian Siang berjalan ke belakang rumahnya.
Di belakang rumah itu terdapat sebuah tanah lapang yang
dilapisi oleh pasir yang sangat halus sekali, di atas tanah
berpasir itulah ditancapi tujuh puluh dua batang tulang.
Tulang itu ditancapkan sedemikian rupa, merupakan
bundaran bagaikan bentuk telor. Tulang-tulang itu panjangnya
kira-kira dua kaki, tetapi bukan seluruhnya sama panjangnya,
agaknya terdiri dari tulang-tulang bagian paha binatang dan
manusia. Ditancapkan dalam tanah berpasir itu tidak lebih dari satu
dim dalamnya. Ini berarti mudah sekali jatuh, jikalau tidak memiliki ilmu
meringankan tubuh yang sudah betul-betul sempurna,
jangankan bertanding diatasnya sambil berlari-lari, sedangkan
untuk berjalan diatasnya saja sudah tidak mudah, yang lebih
menyulitkan ialah bentuk tulang-tulang itu merupakan bentuk
barisan Bwee-hwa-cang dan sejenisnya, tulang-tulang itu
terpisah demikian rupa satu sama lain, ada yang lebih tinggi,
juga ada yang lebih pendek. Jelas apabila perhatiannya ke
tulang-tulang diatasnya, harus membagi perhatiannya ke
tulang-tulang yang hendak diinjak oleh kakinya. Maka
kekuatan tenaga yang digunakan untuk menghadapi
lawannya, dengan sendirinya harus dikurangi.
Pek-kut Siancu melihat Hee Thian siang mengerutkan
alisnya, tahu bahwa pemuda itu sudah melihat betapa
lihaynya barisan tulang itu, maka lantas berkata sambil
tersenyum : "Kalau kau murid seorang guru silat ternama,
seharusnya sudah bisa lihat bahwa barisan tulangku ini
berbeda sekali dengan barisan-barisan sejenisnya yang biasa
!" "Barisan Pek-kut-ceng ini dibagian dua kepala, tengahnya
berbentuk bundar, menancap sedikit sekali didalam tanah,
tulang-tulang yang ditancapkan demikian rupa, kekuatannya
menerima tenaga injakan, rupanya mirip dengan barisan Lo-
han-swat-yan-ceng, akan tetapi tinggi pendeknya terpisah-
pisahnya yang berbeda jauh terhadap gerak kaki orang yang
bertempur merupakan handicap yang sangat besar ! Masih
untung aku sudah mempunyai latihan ilmu meringankan tubuh
leng pho-pou, mungkin masih sanggup main-main mengawani
beberapa jurus kepandaian nona Tham, juga untuk belajar
kenal serangannya Pek-kut-cap-sha-jiauw."
Tham Eng perdengarkan suara tertawa dingin, badannya
bergerak, dengan sangat ringan sekali sudah lompat ke atas
tulang Pek-kut-teng. Hee Thian Siang sejak penemuan
gaibnya di dalam peti mati, kekuatan tenaganya sudah banyak
bertambah. Ditambah lagi dengan penemuan yang terakhir
dengan Duta Bunga Mawar yang kemudian mendapat saluran
kekuatan tenaga dalam orang tua itu, sudah tentu baik
kepandaian ilmu silatnya maupun kekuatan tenaga dalamnya,
sudah tak dapat dibandingkan dengan yang dahulu.
Di luar pengetahuannya sendiri, kekuatan tenaga dalamnya
pada waktu itu bisa dijajarkan dengan para ketua partai besar.
Ditambah lagi karena ada maksud hendak mempertunjukkan
kepandaiannya, maka ketika melompat dan melayang di
tengah udara, dengan seolah-olah Dewa terbang, dengan
gerakannya yang sangat mencengangkan sudah berada di
atas tulang. Ilmu meringankan tubuh yang dipertunjukkan itu, benar saja
sangat mengejutkan Pek-kut Siancu, bahkan Tham eng yang
lompat lebih dulu di atas tancapan tulang-tulang dalam hati
merasa berdebar. Melakukan pertempuran di atas tulang-tulang yang
ditancapkan demikian rupa, sebelum dimulai kedua pihak lebih
dulu harus memikirkan letak-letaknya setiap tulang yang
menancap di tanah, supaya dapat mengukur berapa dalam
bagian yang menancap di tanah, berapa kekuatan yang
sanggup menerima tenaganya.
Hee Thian Siang yang sangat cerdik, selama berjalan
berputaran di atas tulang-tulang itu, sudah merasakan betul,
bahwa tinggi pendeknya dan jauh dekatnya sukar sekali
diinjak, apabila kurang hati-hati, pasti akan jatuh tergelincir.
Dalam keadaan demikian, jikalau ia tidak hati-hati pasti akan
terjungkel di tangan lawannya, maka ia lalu memikirkan suatu
akal untuk mengurangi kesalahannya sendiri.
Selagi masih memikirkan caranya, selama ia berjalan di
atasnya, diam-diam mengerahkan ilmunya Sin-kong sim-hwat,
tulang-tulang yang agak tinggi diinjak dengan menggunakan
tenaga lebih kuat, supaya menancap lebih dalam, dan menjadi
agak rata dengan yang pendek, tetapi jarak yang jauh dan
dekat ia tidak berdaya untuk memperbaiki.
Tham Eng yang menyaksikan tindakan Hee Thian Siang,
diam-diam mengagumi ketelitian pemuda itu, tetapi ia juga
merasa gemas atas kelicikannya, di samping itu ia juga tahu
benar bahwa pemuda itu memiliki kepandaian dan kekuatan
tenaga dalam yang sudah sempurna, agaknya tidak mudah
untuk dihadapi. Maka diam-diam mengerahkan ilmunya
Pek-kut-hian-kang, dikerahkan kedua tangannya untuk
menghadapi lawan tangguh itu.
Sementara itu Hee Thian Siang sudah menginjak satu
persatu tulang yang menancap di tanah yang jumlahnya tujuh
puluh dua itu, lalu kembali ke tengah-tengah. Selagi hendak
bicara dengan Tham Eng untuk mempersilahkan ia membuka
serangannya, tetapi ketika matanya melihat gadis itu, dalam
hati mendadak terkejut. Dalam hatinya berpikir : Gadis itu
kulitnya semula agak sedikit kemerah-merahan, tetapi
mengapa dalam waktu sekejap mata dengan tiba-tiba sudah
berubah demikian pucat, bagaikan kulit mayat.


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Selagi dalam keadaan terkejut dan heran, Tham Eng sudah
menggulung lengan bajunya, dari jarak agak jauh melakukan
serangannya yang menyambar dengan tangan.
Pada waktu itu kedua pihak berdiri terpisah kira-kira tiga
kaki, Hee Thian Siang dengan mendadak merasakan sekujur
badannya menjadi dingin, dan semangatnya seperti terbang,
ia baru tahu bahwa serangan yang dinamakan Pek-kut-cap-
sha-jiauw itu benar-benar memiliki pengaruh demikian hebat,
maka buru-buru menenangkan pikirannya dan mengerahkan
kekuatan tenaganya, untuk memberikan perlawanan. Matanya
terus menatap Tham Eng, sementara mulutnya menunjukkan
senyuman yang sangat jumawa.
Ilmu Pek-kut-cap-sha-jiauw yang dimiliki oleh Tham Eng
terbagi dari ilmu-ilmu yang ada wujudnya dan tiada wujudnya
dua jenis, gerakan pertama yang dilakukan tadi, termasuk
jenis yang tak berwujud, harus menggunakan kekuatan tenaga
dalam kira-kira sembilan bagian dari seluruh kekuatan
tenaganya. Semula ia melihat Hee Thian Siang sekujur tubuhnya
menggigil, ia mengira bahwa serangannya tadi sudah
membawa hasil. Di luar dugaannya, bahwa lawannya itu
hanya menunjukkan sikap terkejut saja, segera diganti dengan
senyumnya yang sangat jumawa. Apalagi matanya itu
memandang dirinya, seolah-olah mengandung sikap mengejek.
Sepasang pipi Tham Eng lantas menjadi merah,
serangannya Pek-kut-cap-sha-jiauw dari yang tidak berwujud
menjadi yang berwujud. Sepuluh jari tangannya yang runcing
semua meluncurkan hembusan angin yang sangat dingin,
dengan suatu gerakan menerkam, menyerbu Hee Thian Siang.
Terhadap serangan kedua itu Hee Thian Siang tak mau
menyambuti dengan kekerasan, ia terpaksa menggeser kaki
dan badannya turut menggeser miring. Dengan menggunakan
ilmu perguruannya Pak-bin Sin-po yang dinamakan Thian-
liong-cwan mengelakkan diri dan melompat melewati tiga
batang tulang. Gerakan Thian-liong-cwan itu memang luar biasa sekali
indah dan hebatnya, ditambah lagi kekuatan tenaga dalam
yang telah mendapat kemajuan demikian pesat, sudah tentu
tampak semakin hebat. Maka sesaat itu Tham Eng hanya
tampak berkelebatnya bayangan Hee Thian Siang,
serangannya dengan gerakan menerkam tadi sudah
mengenakan tempat kosong. Sedangkan Pek-kut Siancu yang
menyaksikan dari samping, diam-diam juga mengagumi
gerakan Hee Thian Siang yang luar biasa itu.
Hee thian Siang dalam jurus pertama tadi menggunakan
ilmunya Hian-kang untuk melawan serangan lawannya.
Sedang jurus kedua menggunakan ilmu yang diturunkan dari
Pak-bin Sin-po ialah ilmu Thian-liong-cwan, untuk
mengelakkan serangan hebat lawannya dan jurus ketiga ia
sudah mulai melancarkan serangan pembalasan, ujung
kakinya menginjak sebatang tulang, ia lantas memutar
badannya, lengan tangan kiri mengibas ke belakang, dari situ
mengeluarkan hembusan tenaga dalam tak berwujud, tetapi
mengandung kekuatan yang hebat sekali.
Tham Eng yang tak berhasil dalam serangan pertama,
demikian pula dalam serangan kedua, bagaimana umumnya
sifat anak perempuan yang selalu ingin menang sendiri, selagi
lompat melesat mengejar Hee Thian siang dengan maksud
hendak menggunakan serangan yang paling hebat sebelum
Hee Thian siang memperbaiki kedudukannya, ia pikir dengan
demikian mungkin bisa saja tubuhnya melesat tinggi
melancarkan serangannya, hembusan angin yang hebat
sudah menggulung dirinya.
JILID 16 Tham Eng juga seorang yang sangat cerdik, ia tahu
tindakannya yang terlalu tergesa-gesa hendak merebut
kemenangan, sudah kehilangan posisi terlebih dahulu, jikalau
pikir hendak melawan tantangan lawannya dengan kekerasan,
jangankan diri sendiri masih belum mempunyai keyakinan
dengan kekuatannya sendiri, walaupun berhasil
menghantamnya, tetapi sang lawan pasti akan mengejar dan
melancarkan serangannya dengan beruntun, dengan demikian
ia sendiri pasti akan menjadi bulan-bulanan dari serangan
hebat lawannya. Maka ia terpaksa menggunakan ilmunya
untuk menyalurkan kembali kekuatan tenaga dalamnya yang
sudah di kerahkan, dan badannya lompat melesat setinggi
delapan kaki. Hee Thian Siang tertawa terbahak-bahak, dengan gerakan
yang sangat cepat sudah mendesak maju, selagi hendak
mencecer serangannya kepada Tham Eng, tiba-tiba terdengar
suara Pek-kui Sian-cu dari samping: "Thamji, sudahlah
hentikan seranganmu! Bocah yg bernama Hee Thian Siang ini
benar-benar memiliki kepandaian yang berarti, kau bukan
tandingannya, tidak perlu di langsungkan lagi!"
Tham Eng yang mendengar ucapan gurunya, dengan
perasaan agak berat lompat keluar dari barisan Pek-kut-
cheng, lalu bertanya kepada suhunya: "Suhu berkata
demikian, apakah itu adil" Muridmu belum merasakan dia jauh
lebih kuat daripada muridmu sendiri!"
"Seranganmu yang pertama tadi sudah tidak berhasil.
Apakah itu belum cukup untuk membuktikan bahwa lawanmu
itu memiliki kekuatan tenaga dalam yang hebat sekali" Dan
seranganmu yang kedua tadi kau sudah menyerang ke tempat
kosong, apakah belum cukup untuk membuktikan betapa gesit
dan lincah gerakan bocah itu" Seranganmu yang ketiga,
belum sempat kau keluarkan sudah di sambut oleh kibasan
lengan baju yang mengandung serangan hawa Ceng-Khie,
sehingga kau harus lompat mundur delapan kaki jauhnya,
apakah itu belum cukup untuk membuktikan betapa cerdik dan
gesit dia dalam menghadapi serangan lawan" Dari 3 jurus
pertandingan itu, aku telah memberikan keputusan dengan
adil. Kekuatan tenaga pemuda itu kira-kira masih tinggi dua
bagian darimu, siapa yang akan menang dan yang akan kalah
sudah jelas keadaannya, perlu apa masih akan dilanjutkan
lagi?" Berkata Pek-kut Sian-cu sambil tertawa.
Oleh karena keadaan memang demikian sebenarnya, maka
Tham Eng yang mendengar penjelasan itu mukanya menjadi
merah serta menundukkan kepala tak berani membuka mulut
lagi. Dalam hati Hee Thian Siang juga merasa malu sendiri,
sebab ia tahu benar jikalau ia tidak mendapat warisan tenaga
dari Duta Bunga Mawar, bagaimana ia dapat melawan gadis
she Tham ini" Barangkali baru diserang pertama saja sudah
tak sanggup melawan lagi.
Dengan perasaan sangat malu Tham Eng pergi ke
samping, memerintahkan para pelayan wanita menggotong
dua balok es dengan perapian yang apinya menyala, serta
dua belas butir biji It-yap-cie, dimasukkan dalam perapian itu,
Pek-kut Sian-cu lalu berkata kepada Hee Thian Siang:
"Di lembah Cu-tek-kok ini, selamanya belum ada orang luar
datang kemari. Aku yang berdiam di sini juga sudah lama
merasa kesepian, maka sekarang hendak kugunakan
kesempatan ini untuk coba-coba denganmu dengan
menggunakan api bara ini"
Hee Thian Siang tahu bahwa dia sedang menghadapi
persoalan yang sangat sulit meskipun ia masih
menganggukkan kepala sambil tersenyum, tapi matanya terus
di tujukan kepada api yang menyala dan dua balok es besar
yg di letakkan di situ, dalam hatinya diam-diam merasa heran,
entah pertunjukkan macam apa lagi yang hendak dilakukan
oleh Pek-kut Sian-cu. Pek-kut Sian-cu berkata pula sambil
tertawa: "Kau tak usah khawatir, latihan ilmu Hian Kang
sejenis ini hanya tergantung lama tidaknya waktu latihannya,
sedikitpun tidak boleh dipaksa. Usiamu dan usiaku selisih
terlalu jauh, sudah tentu tidak dapat disamakan, maka tidak
perlu kau meniru perbuatanku seluruhnya, kau boleh
melakukan seberapa banyak mungkin, itu sudah cukup, juga
merupakan suatu hasil yang lumayan!" Setelah berkata
demikian ia lantas duduk di atas balokan es yang setebal dua
kaki dan panjangnya kira-kira empat kaki.
Hee Thian Siang mengerti bahwa ilmu Hian-kang semacam
itu bukan saja harus tahan hawa dingin, tetapi juga harus bisa
duduk di atas es, dan jangan sampai es yang diduduki itu jadi
lumer, itu berarti suatu syarat mutlak. Maka ia juga ikut duduk
dibalokan es, dengan mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya.
Pek-kut Sian-cu dari jarak jauh sekira tiga empat kaki
dengan perapian itu, ia mengulurkan tangannya dan
melakukan gerakan menyedot dari tengah udara tiga butir biji
Jit-gwat-cu yang merah membara keluar dari api bara dan
terbang ke dalam tangannya!
Hee Thian Siang yang menyaksikan itu, selagi hendak
menelad perbuatan Pek-kut Sian-cu, Pek-kut Sian-cu sudah
berkata padanya sambil menggelengkan kepala dan tertawa:
"Kau tak sanggup mengambil biji ini dari dalam perapian. Kau
boleh menyambuti dari tanganku saja sudah cukup."
Sehabis berkata demikian, tiga butir biji ditangan Pek-kut
Sian-cu yang warnanya sudah tidak terlalu merah dilemparkan
kepada Hee Thian Siang. Hee Thian Siang yang sudah
mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, menyambuti tiga
butir biji itu. Ia tahu ini sudah merupakan suatu keuntungan
baginya. Ternyata Pek-kut Sian-cu tak mau mengandalkan
kekuatan tenaga dalamnya yang sudah sempurna untuk
mengalahkan lawannya yang masih muda, benar-benar masih
merupakan seorang berjiwa jantan. Sebab biji Jit-gwat-cu
yang sudah terbakar merah setelah berada ditangan Pek-kut
Sian-cu, lalu di oper ke tangan Hee Thian Siang, hawa
panasnya sudah lebih banyak berkurang. Bagi orang yang
sudah melatih ilmu Pan-san-ciang sampai sempurna, sudah
tentu tak usah takut dengan panasnya biji itu.
Tangan kanan Pek-kut Sian-cu melemparkan tiga butir biji
berapi itu kepada Hee Thian Siang, sedang tangan kirinya
mengikuti pula bergerak ke tengah udara, kembali tiga butir biji
yang sudah merah membara dalam perapian melayang lagi ke
dalam tangannya. Dalam permainan itu meskipun Hee Thian Siang sudah
banyak mendapat keuntungan, tetapi ketika ia menyambut
sampai ke enam puluh butir, kekuatan tenaganya sudah mulai
kendor, telapak tangannya merasa sangat panas dan nyeri
sekali. Tapi karena ia adalah pemuda yang keras hatinya,
meskipun menghadapi demikian, ia masih mencoba
menyambuti sisanya yang tinggal dua belas butir, setelah itu
dia berkata kepada Pek-kut Sian-cu sambil tertawa terbahak-
bahak: "Kau benar-benar tidak kecewa menjadi seorang nona
dari golongan Pek-kut Sam-mo, ilmu Hian-kangmu tinggi sekali,
benar-benar berhak untuk bertanding dengan suhuku didalam pertemuan pada waktu
pembukaan partai Ceng-thian-pay nanti!"
Pek-kut Sian-cu hanya menyambut dengan senyuman,
setelah itu ia melayang turun dari atas es balokannya, tempat
yang bekas di duduki tampak rata, seolah-olah tidak ada
bekasnya, tidak mencair, juga tidak tampak tanda apa-apa.
Sedangkan balok es yang bekas diduduki oleh Hee Thian
Siang, tengahnya nampak legok, jelas tampak tanda bekas
didudukinya. Pek-kut Sian-cu menganggukkan kepala kepada Hee Thian
Siang, dan berkata sambil tertawa: "Dengan usiamu yang
masih begitu muda, yang bisa menyambuti tujuh puluh dua
butir biji yang sudah membara, dan duduk di atas balokan es
yang hanya meninggalkan bekas sedikit saja, benar-benar
sudah merupakan suatu prestasi yang bagus sekali!"
Hee Thian Siang waktu itu telapak tangannya sudah
merasa sangat panas sekali, sehingga hampir tak dapat
menahannya. tetapi ia terus paksakan diri untuk bertahan,
ketika mendengar ucapan itu ia tertawa menyeringai, tidak
menjawab. Pek-kut Sian-cu berkata pula sambil tertawa: "Kau jangan
terlalu sombong dan keras kepala, sepasang tanganmu
barangkali sudah terluka parah. . "
Tidak menantikan ucapan selanjutnya, Hee Thian Siang
sudah berpura-pura seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa,
ia minta diri sambil tersenyum katanya: "Dalam pembukaan
partai Ceng-thian-pay nanti, bukan saja aku mengharap agar
kau datang tepat pada waktu nya, supaya bisa bertanding
dengan suhuku, juga harap supaya kau bawa serta monyet
putihmu itu!" "Kau suruh aku membawa monyet putihku lagi kesana
untuk apa" Apakah kau ingin berkelahi dengannya?" Bertanya
Pek-kut Sian-cu. "Aku mempunyai seorang enci yang memelihara seekor
kera putih, kera itu sangat cerdik sekali. Pada waktu itu aku
ingin supaya mereka dua monyet ini, juga bisa melakukan
pertarungan di sana, bukankah itu sangat menarik" Berkata
Hee Thian Siang. Pek-kut Sian-cu tersenyum sambil menganggukkan kepala,
matanya menatap Hee Thian Siang, dari dalam sakunya
mengeluarkan sebutir pil berwarna putih, dan kemudian
berkata kepadanya: "Pil semacam ini mempunyai khasiat luar biasa untuk
menyembuhkan luka terbakar!"
Tetapi Hee Thian Siang yang sifatnya sombong tak mau
menerima maksud baik dari perempuan tua itu, dengan suara
nyaring ia memotong ucapan Pek-kut Sian-cu: "Kau keliru,
tujuh puluh dua butir biji besar itu belum sampai membuat aku
terluka parah" Belum habis ucapannya badannya sudah melesat dengan
melalui rumah bertingkat itu lari keluar dari lembah Cu-tek-kok.
Pek-ku Sian-cu mengawasi berlalunya Hee Thian Siang,
diam-diam menghela nafas, ia berkata pada dirinya sendiri:
"Anak muda ini terlalu keras kepala, tetapi dua telapak
tangannya sudah terkena racun api, kalau racun itu bekerja,
sekalipun ia terbuat dari besi atau baja, pasti tidak sanggup
bertahan!" Hee Thian Siang yang memiliki kekuatan tenaga dalam
yang sudah sempurna, pendengarannya sangat tajam,
meskipun ia mendengar ucapan Pek-kut Sian-cu itu, tetapi ia
tetap lari dan tidak menghiraukan.
Tetapi tidak jauh dari sekeluarnya dari lembah itu, ketika
tiba di suatu tempat yang sunyi, peringatan yang keluar dari
mulut Pek-kut Sian-cu tadi, kini sudah mulai tampak
kenyataannya.

Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hee Thian Siang waktu itu merasakan sepasang telapak
tangannya panas luar biasa, ia buru-buru menelan dua butir
pilnya sendiri, dan sebutir lagi di pulaskan ditelapak
tangannya. Sesudah menggunakan hancuran pil itu, di luar
dugaannya, rasa nyeri semakin hebat, Hee Thian Siang
tujukan matanya ketempat seputarnya, tampak disebelah
kanan dinding tebing ada air mancur yang bening sekali, maka
ia lalu melompat kesana, dan mengulurkan sepasang
tangannya kedalam air mancur itu. Air mancur itu setelah
mengguyur telapak tangan Hee Thian Siang yang bengkak
dan merah, sesungguhnya merasa sangat dingin dan nyaman.
Hee Thian Siang bukan tidak tahu bahwa luka ditelapak
tangannya sendiri tidak tepat untuk menggunakan air yang
kelewat dingin, tetapi dalam keadaan luar biasa nyerinya
seperti itu, mau tak mau ia harus berbuat demikian, untuk
mengurangi rasa sakitnya.
Sesaat kemudian, perasaan dingin air mancur itu perlahan-
lahan mulai berkurang, bengkak di telapak tangannya mulai
bertambah besar, dan warnanya juga mulai bertambah merah.
Waktu itu ketika air dingin menyiram di tangannya, bukan saja
sedikitpun tidak merasa nyaman, sebaliknya malah rasa
sakitnya semakin menjadi-jadi. Ia terpaksa menarik kembali
tangannya dan mencari ke suatu tempat yang rata untuk
duduk diatasnya, dalam keadaan demikian, tampaknya
sedikitpun ia tidak berdaya.
Sepasang telapak tangannya itu sesungguhnya merupakan
salah satu jalan darah tertentu, dan racun panas yang
mengenai telapak tangannya sangat mudah sekali menyerang
ke ulu hatinya, setelah lama ia coba bertahan dari rasa
sakitnya, akhirnya ia tidak sanggup hingga jatuh pingsan di
atas batu. Tatkala ia perlahan-lahan mulai sadarkan diri, telinganya
menangkap suara pembicaraan dari seorang wanita.
Ia masih mengira bahwa dirinya kembali terjatuh ditangan
Pek-kut Sian-cu dan Tham Eng, tetapi ketika membuka mata,
apa yang dilihatnya, bukan kepalang terkejutnya. Kiranya dua
wanita yang berdiri disampingnya, meskipun terdiri dari
seorang wanita tua dan seorang wanita muda, tetapi mereka
itu bukanlah Pek-kut Sian-cu dan muridnya, melainkan Liok
Giok Jie yang pernah mengadakan hubungan raga dengannya
karena perangsang bunga mujizat bersama Pao Sam-kow,
salah seorang tokoh terkuat dari Kie-lian-pay!
Dengan tiba-tiba Hee Thian Siang teringat pesan Duta
Bunga Mawar yang mengatakan bahwa Liok Giok Jie yang
sedikit banyak masih ada titisan darah ibunya, ditambah lagi
dengan perbuatannya yang dipergoki oleh Pao Sam-kow, ada
kemungkinan karena merasa malu, bisa berbalik benci
terhadapnya. Maka harus berhati-hati terhadapnya. . .
Mengingat akan hal itu maka menghela nafas panjang, karena
dia sendiri yang baru terlepas dari mulut harimau, kini kembali
terjatuh di sarang ular. Apa mau dikata, sepasang tangannya
waktu itu sudah terluka parah, dengan sendirinya tak bisa
digunakan untuk berkelahi.
Belum hilang kekhawatirannya, tiba-tiba terdengar suara
Pao Sam-kow yang bertanya kepada Liok Giok Jie: "Nona
Liok, apakah ini bukan bocah yang melakukan perbuatan tidak
senonoh terhadap dirimu ketika berada didalam goa rahasia di
gunung Tay-pa-san?" Waktu itu Liok Giok Jie dan Pao Sam-kow membawa tugas
dari Leng Biaw Biaw dan Kiu-thian Mo-li Tang Siang Siang
pergi kegunung Tay-pa-san, lao-san dan Ay-lao san, untuk
menghubungi Pek-kut Thian-khun, Pek-kut I-su dan Pek-kut
Sian-cu, kawanan tiga serangkai Pek-kut Sam-mo itu. Tak
disangka-sangkanya, ditempat sunyi didekat daerah gunung
Ay-lao-san itu dengan secara tiba-tiba menemukan Hee Thian
Siang yang sedang pingsan dia tas batu, dalam hati Liok Giok
Jie sendiri terhadap pemuda itu merasa kasihan, cinta, tetapi
juga gemas. Dalam keadaan demikian, ketika ditanya demikian oleh Pak
thao Losat, dengan sendirinya tak bisa mengendalikan
perasaannya sendiri, maka dalam keadaan terpaksa, ia hanya
menganggukan kepala sambil menjawab: "Betul, itulah
orangnya!" "Kalau memang benar adalah bocah yang berbuat tidak
senonoh terhadap dirimu itu, maka kita seharusnya mencari
suatu cara sebaik-baiknya untuk mengadakan pembalasan
terhadapnya!" Berkata Pak-thao Losat sambil tertawa dingin.
Hee Thian Siang mendengar ucapan itu semakin terkejut,
ia lalu berpura-pura belum sadar, untuk mendengarkan
jawaban Liok Giok Jie. Sementara itu Liok Giok Jie hanya mengeluarkan suara
dari hidung, lalu bertanya kepada Pao Sam-kow: "Bo-lo, kita
sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, tidak
seharusnya melakukan pembunuhan terhadap orang yang tak
mempunyai daya perlawanan sama sekali, kau lihat Hee Thian
Siang ini kecuali masih pingsan sepasang telapak tangannya
juga bengkak dan merah, bagaimana ia bisa bertempur
dengan kita?" Biji mata Pao Sam-kow berputaran, katanya sambil tertawa
sinis: "Aku lebih dulu akan menyembuhkan luka-luka
tangannya, barulah kubereskan perlahan-lahan; dengan
demikian, bukankah itu suatu perbuatan yang adil?"
"Apakah lukanya yang demikian itu mudah disembuhkan?"
"Ini merupakan luka karena terserang oleh racun api yang
menyerang ke ulu hati. Obat pil Kiu-han-tan di golongan kita
Kie-Lian-pay khusus untuk menyembuhkan luka semacam ini.
Pil ini khasiatnya manjur sekali!"
Hee Thian Siang yang mendengarkan ucapan itu hatinya
merasa tergerak, diam-diam berpikir pil Kiu-han-tan dari Kie-
Lian-pay yang bisa menyembuhkan racun api, makan senjata
rahasia Peng-pek-sin-tan yang dihadiahkan kepadanya oleh
Leng Pek Ciok, sudah tentu juga mempunyai faedah yang
serupa. Mengapa aku tadi tidak berpikir untuk mencobanya"
Liok Giok Jie ketika mendengar ucapan Pao Sam-kow itu,
lalu berkata sambil menganggukkan kepala: "Kalau Bo-lo
berkata demikian, harap kau berikan sebutir kepadanya,
supaya lukanya sembuh kembali, biarlah aku yang turun
tangan sendiri untuk melakukan pembalasan!"
Pao Sam-kow tertawa dingin, dari dalam saku nya
mengeluarkan dua butir pil Kiu-han-tan, kemudian dimasukkan
ke dalam mulut Hee Thian Siang. Liok Giok Jie mengerutkan
sepasang alisnya, kemudian bertanya: "Kira-kira memerlukan
waktu berapa lama baru bisa sembuh dari luka-lukanya?"
Pao sam-kow menundukkan kepala, mengamati luka di
telapak tangan Hee Thian Siang. Setelah ia berpikir sejenak,
baru menjawab: "Lukanya terlalu parah, mungkin memerlukan
waktu dua jam lebih, bengkaknya baru mulai hilang dan rasa
sakitnya barulah berhenti, setelah itu baru bisa melakukan
pertempuran." "Apakah selama dua jam itu kita harus mengawasi terus
padanya di sini?" Hee Thian Siang mendengar ucapan yang keluar dari mulut
Liok Giok Jie itu, benar saja terhadap dirinya sedikitpun tidak
mempunyai perasaan cinta kasih, maka ia lantai membuka
sepasang matanya, untuk melihat Liok Giok Jie dan bertanya:
"Adik Giok, benarkah kau masih hendak berkelahi denganku?"
Sebutan "Adik Giok" yang diucapkan di hadapan Pek-thao
Lo-sat Pao Sam-kow itu, bukan saja membuat marah Liok
Giok Jie, sebaliknya malah menimbulkan perasaan bencinya
semakin dalam, dengan nada yang tajam ia balas bertanya
kepada Hee Thian Siang: "Siapa adik Giokmu, orang tidak
tahu malu seperti kau ini" Hari ini kita berhadapan sebagai
musuh, aku hendak menuntut balas dendam atas
perbuatanmu terhadap diriku ketika aku dalam keadaan
terluka!" Beberapa patah kata itu didengar oleh Hee Thian Siang
sangat tidak enak sekali, hingga menimbulkan hawa
amarahnya. Ia lalu berkata sambil tertawa hambar: "Kalau
demikian besar bencimu terhadapku, mengapa aku tidak kau
bunuh mati saja?" Dengan wajah pucat, Liok Giok Jie berkata dengan nada
suara dingin: "Liok Giok Jie tidak seperti kau, orang yang tak tahu malu,
melakukan perbuatan mesum selagi orang dalam
keadaan tak berdaya! Aku menunggu sampai luka-luka racun
api di telapak tanganmu sampai sembuh kembali, dan sudah
memiliki kekuatan tenaga untuk melawan, barulah aku akan
turun tangan sendiri untuk membunuhmu!"
Sebaiknya sekarang saja kau bunuh aku, itu barangkali
tidak perlu menggunakan banyak tenaga, kalau tidak asal
luka-lukaku sudah sembuh, dengan kepandaianmu seperti itu,
belum tentu dapat menandingi aku!" Berkata Hee Thian Siang
sambil tertawa terbahak-bahak.
Dengan cepat Liok Giok Jie memotong ucapan Hee Thian
Siang: "Kau jangan pandang dirimu sendiri terlalu tinggi, kau harus tahu bahwa
ibuku waktu belakangan ini telah
menurunkan ilmu kepandaiannya dari Bu-siang-mo-su Kong
Yang Ek, yang namanya pernah menggemparkan rimba
persilatan." "Tadi aku dengar Pao Sam-kow berkata bahwa lukaku ini
memerlukan waktu dua jam baru bisa sembuh sama sekali.
Kalian tak perlu di sini mengawasi aku cuma-cuma, baiknya
kau pergi melakukan pekerjaanmu, dua jam kemudian kau
boleh datang lagi untuk menghajar aku dengan ilmu itu."
Pek-thao Losat bertanya: "Apakah kau pikir hendak
menyuruh kita pergi dari sampingmu supaya kau dapat
kesempatan untuk melarikan diri?"
Hee Thian siang memandangnya dengan sinar mata
marah, katanya dengan sikap menghina: "Hei! Phao Sam
Kow, percuma saja kau merupakan salah seorang tokoh kuat
dari Kie-lian-pay, namun dalam otakmu ternyata dipenuhi oleh
pikiran mesum dan jahat. kau tak perlu menggunakan pikiran
manusia rendah untuk mengukur hati orang!"
Liok Giok Jie tertawa terkekeh-kekeh, kemudian berkata:
"Kalau kau anggap dirimu sendiri adalah seorang ksatria, tidak ada halangan kita
membuat perjanjian secara kesatria!"
Hee Thian siang tahu bahwa gadis itu mempunyai banyak
akal, maka ia segera bertanya sambil mengerutkan alisnya:
"Apa yang kau namakan perjanjian secara kesatria itu?"
"Aku hendak menggoreskan tanda tempat ini sebagai
dinding penjara, aku ingin mencoba apakah kau juga
menghargai dirimu sendiri untuk memegang teguh janjimu?"
"Cara ini nampaknya masih baru, terserah kau membuat
berapa luas goresan tanah dan . . meskipun tempat disekitar
tempat ini kosong melompong, tapi aku akan menganggap
disekitar diriku ini dibentuk dinding tinggi sebagai tembok
penjara!" Liok Giok Ji mengawasi keadaan di sekitarnya sejenak, lalu
mengeluarkan senjata Kun-lun-cek, ia membuat goresan di
tanah kira-kira tiga empat persegi, kemudian berkata kepada
Hee Thian Siang sambil tersenyum: "Rumah penjara ini
seharusnya sudah cukup besar, juga cukup memuaskan!"
"Kapan kau akan balik untuk menepati janjimu" Toh tidak
mungkin kau akan menghukum aku seumur hidup!"
Liok Giok Ji angkat muka, mengawasi keadaan cuaca, ia
berpikir sejenak kemudian baru menjawab: "Sebab perjanjian
kali ini adalah merupakan suatu pertempuran antara mati dan
hidup kita dan yang baru sembuh lukamu, aku harus
memberimu cukup waktu untuk beristirahat. Dengan demikian
barulah adil!" Pada waktu itu Hee Thian Siang sebetulnya tidak dapat
meraba-raba perubahan sikap Liok Giok Ji itu, terpaksa
menjawab: "Kau tak perlu memikirkan demikian sempurna,
sekalipun bertempur sekarang juga, aku juga akan mengiringi
kehendakmu, sedikitpun tidak merasa gentar!"
"Kau benar-benar seorang yang tak tahu diri, kau selalu
ingin gagah-gagahan dan keras kepala, tetapi selagi aku tidak
suka untuk turun tangan kepada orang masih belum mampu
melawan. Karena perbuatan itu akan merupakan suatu
perbuatan yang memalukan! Sekarang baru bunyi kentongan
pertama, kita pasti akan kembali pada waktu subuh, untuk
mengadakan pertempuran ditempat ini."
"Seandainya lewat subuh kau masih belum datang,
bagaimana dengan aku?"
"Jikalau lewat waktu subuh aku belum datang ke sini, maka
perjanjian ini kau boleh anggap batal dan kau boleh berbuat
sesukamu, kubebaskan kau dari situasimu sebagai seorang
tawanan!" Berkata sampai di situ Liok Giok Ji berpaling dan
berkata kepada Pao Sam-Kow: "Bo-lo, marilah kita pergi, nanti diwaktu subuh kita
kembali lagi untuk membunuh dia!"
"Nona Liok, kau tidak usah kuatir, aku jamin setan kecil ini
jiwanya tidak akan lolos dari tanganku, aku pasti akan
memberikan kesempatan padamu untuk membunuh dia, guna
melampiaskan kebencianmu!" Berkata Pao Sam-Kow sambil
tertawa menyeringai. Liok Giok Ji mendengar perkataan Pao Sam Kow itu seperti
ada mengandung maksud, maka lalu ia berkata sambil
mengerutkan alisnya: "Bo-lo, meskipun aku hendak
membunuhnya tapi aku ingin turun tangan sendiri, kau tidak
boleh mencampuri urusanku!"
Dengan alis berdiri, Hee Thian Siang berkata sambil
tertawa terbahak-bahak: "Sekalipun kalian berdua turun
tangan bersama, aku Hee Thian Siang juga tidak takut!"
Pao Sam-Kow tiba-tiba mengeluarkan suaranya yang aneh
dan menyeramkan, katanya sambil tertawa: "Kalau raja
akherat Giam-lo-ong sudah menetapkan kau harus mati pada
jam tiga, siapa ada orang yang menahan kau sampai jam
lima. ." Ia berdiam sejenak, lalu berkata kepada Liok Giok Ji sambil
tertawa: "Nona Liok, aku lihat bocah ini di jidatnya tampak
tanda guram. Ini suatu pertanda bahwa dia akan mendapat
bencana. Bencana itu sudah berada di depan mata. Mungkin,
kalau kita nanti kembali diwaktu subuh, dia sudah menjadi
santapan binatang buas atau ular berbisa."
Dengan sikap dingin Liok giok Ji menatap wajah Hee Thian
Siang, kemudian berkata dengan nada suara dingin: "Aku
harap kau supaya menjaga jiwamu sendiri, setidak-tidaknya
menunggu sampai waktu subuh. Apabila benar seperti apa
yang dikatakan oleh Pao Bo-lo ini, ini akan berarti membuat
aku Liok Giok Ji sangat menyesal untuk selama-lamanya!"
Sehabis berkata demikian, ia bersama-sama Pao Sam-kow


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bergerak lari menuju ke lembah Cu-tek-kok, kediaman Pek-kut
Sian-cu. Setelah Liok Giok Ji dan Pao sam-kow berlalu, dengan
seorang diri Hee Thian Siang berada ditempat itu. Diam-diam
ia sesalkan dirinya sendiri, karena terkena pengaruh bunga
mukjizat, hingga didalam goa kuno itu melakukan perbuatan
tidak pantas terhadap diri Liok Giok Ji. dalam hati terhadap
gadis itu selalu merasa menyesal. Tetapi sekarang Liok Giok
Ji ternyata sudah mengabaikan semua kenyataan dan
mengucapkan kata-kata mengandung sikap permusuhan
terhadapnya. Perbuatannya yang keji itu, sebaliknya membuat
perasaan menyesalnya Hee Thian Siang mulai luntur!
Dalam pertempuran yang akan datang nanti apabila ia yang
kalah, ini berarti menggunakan jiwanya sendiri untuk menebus
dosanya, Jikalau tidak, jangan sampai melakukan tangan
kejam, supaya dapat menebus perbuatannya yang tak
disengaja didalam goa gunung Tay-pa-san itu.
Teringat akan perbuatannya itu, sekujur badan Hee Thian
siang tiba-tiba mengucurkan keringat dingin, diam-diam ia
mengeluh sendiri ! Sebab perbuatannya itu hanya ia sendiri
dan Liok Giok jie serta Duta Bunga Mawar yang mengetahui
dengan jelas, sedangkan Pek-thao losat Pao Sam-kwo hanya
mengetahui setelah hal itu terjadi.
Dan satu satunya orang yang bisa dijadikan saksi atas
perbuatannya yang dilakukan tanpa sengaja itu orangnya
sudah tiada, maka perbuatannya itu, oleh si gadis dan Pao
Sam-kwo dianggapnya telah dilakukan terhadap orang yang
lagi dalam keadaan bahaya, sehingga menodai diri dan
kesucian gadis itu. Hal itu kalau dibuat alasan guna menuduh
dirinya, bukankah ia sulit untuk membantah " Dan tuduhan
yang menodai nama gadis itu, sungguh susah untuk
membersihkan dirinya ! Berpikir sampai di situ hati Hee Thian siang merasa sedih,
dengan tiba-tiba telinganya menangkap suara seperti orang
bicara kepadanya dengan samar : "Hee Thian siang, kau
sudah dekat ajalmu !"
Ia lalu mengawasi keadaan sekitarnya, namun tidak tampak
bayangan seorangpun juga. Ia mengira bahwa itu adalah
akibat lamunannya sendiri, maka ia lalu menghela napas
panjang dan berkata pada diri sendiri: "Mati lebih baik, mati segala galanya
sudah habis!" Baru saja menutup mulutnya, suara samar-samar seperti
lamunan itu terdengar pula, kali ini kata katanya demikian :
"Mati itu tidak baik, mati masih belum berarti bahwa semuanya sudah selesai !"
Dalam hati Hee Thian siang terkejut, ia pikir bahwa dua
patah kata itu memang benar. Mati itu tidak baik. Dan sesudah
mati belum berarti segala galanya sudah selesai, sebab jikalau
ia sendiri tidak mati, mungkin masih bisa berusaha untuk
menjernihkan segala kesalah pahaman, dan membersihkan
nama baiknya sendiri. Jikalau tidak, bukan saja akan mati
secara penasaran, sedangkan nama perguruannya juga akan
ternoda oleh dirinya sendiri !
Pada saat itu dari ujung puncak gunung, tiba-tiba tampak
seorang tua berjubah hijau berjalan pelahan lahan. Semula
Hee Thian siang tidak tampak benar tapi setelah semakin
dekat it baru mengenali kalau orang itu adalah Thian-gwa
Ceng-mo tiang-sun Seng adanya, sudah tentu ia merasa
terkejut dan girang. Maka buru-buru memberi hormat seraya
berkata: "Murid Pak-bin Hee Thian siang, unjuk hormat
kepada Locianpwe" Thian-gwa cengmo berdiri sejarak empat lima tombak,
menggapai kepada Hee Thian siang seraya berkata: "Hee
laote, mari kemari, aku hendak bicara baik baik denganmu !"
Hee Thian Siang berjalan di batas guratan Liok Giok Jie
lantas berhenti, lalu memberi hormat dan berkata sambil
tertawa: "Locianpwe, maafkan Hee Thian Siang terpaksa tak
dapat memenuhi perintah Locianpwe, karena Liok Giok Jie
telah berjanji denganku pada sebelum matahari terbit akan
melakukan pertempuran di sini. Ia telah memberi tanda
guratan di tanah ini sebagai penjaraku."
Thian-gwa Ceng-mo memandang guratan di tanah itu
sejenak, kemudian berkata sambil tersenyum: "Kau ini benar-
benar bisa mentaati janji, tempat yang hanya digurat dengan
pedang ini kau sudah anggap sebagai dinding tembok yang
kokoh kekar." "Hee Thian Siang meskipun tak berani mengatakan harus
patuh kepada janjinya sendiri, tetapi sebagai orang rimba
persilatan, janji itu mutlak perlu sekali untuk dipatuhi."
"Orang yang bisa pegang janji, sudah tentu itulah yang
paling baik. tetapi aku ada keperluan satu hal, hendak minta
keterangan kepadamu."
"Locianpwe ingin minta keterangan apa, silahkan.
Bagaimana aku berani tidak berkata terus terang?"
"Laote, kau berada didalam penjara. Di empat penjurumu
terkurung dengan dinding tembok tinggi, tapi bagaimana kau
bisa melihat aku Thian-gwa Ceng-mo Tiong-sun Seng?"
Pertanyaan itu hampir membuat Hee Thian Siang tak bisa
menjawabnya. Setelah berpikir sejenak, barulah ia menjawab
dengan muka merah: "Pikiran itulah yang harus berisi,
pandangan itu sebetulnya kosong. Asal sebagian besar
jangan melanggar, bagian kecil agaknya tak perlu terlalu kita
perhatikan." "Ucapan Hee laote ini memang merupakan satu ucapan
yang keluar dari seorang jujur dan berjiwa ksatria. Harapanku,
semoga kau akan selalu ingat dengan ucapanmu ini. Karena
itulah merupakan suatu pedoman bagi kehidupan manusia!"
Setelah berkata demikian ia tiba-tiba tertawa terbahak-
bahak, dan dengan tiba-tiba lengan bajunya terbentang,
orangnya melesat tinggi enam tombak lebih, seolah-olah
terbang, dan ditengah udara melakukan gerakan jalan yang
sangat ringan, setelah itu melayang turun di samping Hee
Thian Siang sejarak tiga kaki. Hee Thian Siang tidak mengerti
mengapa Tiong-sun Seng bertindak demikian"
Maka ia terheran-heran dan memandangnya dengan mata
bersinar. Tiong-sun Peng berkata sambil tertawa: "Kau jangan
heran, aku bukannya hendak menunjukkan kepandaianku
kepadamu, hanya oleh karena kau berada didalam penjara,
jikalau aku ingin bicara secara bebas dan sepuas-puasnya,
mau tak mau aku harus masuk ke dalam melalui dinding
tembok ini!" Hee Thian Siang sungguh tak menduga bahwa Tiong-sun
Peng itu orangnya demikian menyenangkan dan pegang
aturan, maka ia semakin menaruh hormat kepadanya.
Tiong-sun Seng memandang Hee Thian Siang, katanya
dengan sungguh-sungguh: "Hee laote harap ulurkan tangan
kirimu, aku hendak memeriksa guratan tangan dan
peruntunganmu!" Hee Thian Siang mengulurkan tangannya dengan perasaan
tak mengerti, Tiong-sun Seng dengan tiga jari tangannya
meletakkan ke tangan Hee Thian Siang, tiba-tiba matanya
memancarkan sinar tajam, katanya sambil tertawa dingin:
"Pantas tadi Pek-thao Losat Pao Sam Kow berani berkata
bahwa raja akhirat Giam-lo-ong sudah menetapkan jam tiga
harus mati, siapakah yang berani menahan sampai jam lima.
Jikalau bukan lantaran aku harus mencari jejak May Ceng
Ong, sehingga aku harus menjelajahi daerah barat selatan
dan kebetulan lewat disini, kau benar-benar tidak bisa hidup
hingga jam lima pagi, dan kau akan mati penasaran!"
Oleh karena Liok Giok Jie menggurat tanah sebagai
penjara, dengan maksud supaya Hee Thian Siang menunggu
ditempat itu, untuk melakukan pertempuran pada esok pagi,
tapi kini Thian-gwa Ceng-mo telah memeriksa
peruntungannya dan mengatakan bahwa dirinya tak bisa
hidup sampai esok jam lima pagi, bukankah itu sangat
membingungkan" Tiong-sun Seng berkata lagi padanya sambil tersenyum:
"Hee laote, tadi Pek-thao Losat Pao Sam Kow telah
memberimu pil Kiu-han-tan, apakah bukan lebih dari satu
butir?" Hee Thian Siang berpikir dulu, kemudian baru menjawab:
"Waktu itu meskipun aku baru sadar dan pikiranku belum
jernih, tetapi samar rasanya aku masih ingat pernah diberi dua
butir pil." "Itulah, sebetulnya hawa panas dari racun api yang ada
dikedua telapak tanganmu, sebutir Kiu-han-tan saja sudah
cukup untuk memunahkan racunnya. Tetapi Pek-thao Losat
telah memberikan kau lebih dari satu butir, maksudnya ialah
supaya kau sebelum jam lima pagi, tulang-tulang sumsummu
akan menjadi beku, sehingga kau akan mati kedinginan!"
Hee Thian Siang mendengar keterangan itu seolah-olah
baru sadar dari mimpinya, ia merasa sangat gemas sekali
kepada Pao Sam Kow, dan selagi hendak bicara, Tiong-sun
Seng sudah berkata lagi: "Tetapi laote, kau jangan khawatir.
Pek-thao Losat Pao Sam Kow meskipun sangat licik, culas
dan kejam, tetapi bagaimanapun juga ia tidak bisa
memerintahkan raja akhirat Gian-lo-ong untuk menurutin
kehendaknya. Aku Tiong-sun Seng boleh menyumbangkan
sedikit tenaga, bukan saja akan menghilangkan seluruh racun
dingin dalam tubuhmu, bahkan lantaran ini kau nanti akan
mendapat keuntungan. Untuk selanjutnya kau nanti akan
mampu bertahan terhadap hawa dingin atau panas yang
bagaimanapun jahatnya!"
Hee Thian Siang mendengar ucapan itu lantas
mengucapkan terima kasih se-dalam-dalamnya. Tiong-sun
Seng mengeluarkan sebutir obat pil warna merah diberikan
kepada Hee Thian Siang seraya berkata: "Laote, kau boleh
makan pil Peng-ling-tan ini, setelah itu aku nanti akan
membantu dengan tenagaku, supaya kedua obat itu
membawa khasiat dalam tubuhmu, untuk selanjutnya, selain
tidak usah takut dengan hawa panas atau dingin, juga tahan
serangan yang mengandung sifat keras atau lunak dari
kekuatan tenaga dalam."
Hee Thian Siang menurut, ia menelan pil merah itu, tetapi
setelah pil itu masuk kedalam tenggorokannya, hawa panas
dirasakan seolah-olah membakar dirinya.
Meskipun kepala dan dadanya merasa panas, namun
kedua kaki dan tangannya dengan tiba-tiba merasa dingin.
Sesaat kemudian Hee Thian Siang sudah tak sanggup
bertahan, dari mulut nya mengeluarkan suara rintihan, sekujur
badannya juga menggigil. Tiong-sun Seng yang menyaksikan keadaan demikian,
mengitari Hee Thian Siang dengan lari secepet-cepatnya
sambil mengibaskan lengan jubahnya. Selama berjalan
mengitari dengan cepat itu, lengan bajunya berkibaran,
dengan menggunakan ilmunya membuka jalan darah sambil
lalu, ia sudah membuka seratus delapan lubang jalan darah
disekitar tubuh Hee Thian Siang.
Hee Thian Siang semula merasa tertekan oleh hawa panas
dan dingin dalam tubuhnya, dengan susah payah menahan
penderitaan, sebetulnya hampir tak sanggup bertahan lebih
lama. Ia lalu mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya untuk
menenangkan perasaannya sendiri, untuk melupakan segala
siksaan badan. Setelah tiga puluh enam lubang jalan darah penting tertotok
seluruhnya oleh Tiong-sun Seng, barulah merasakan ringan
hawa panas dan dingin dalam tubuhnya, juga perlahan-lahan
mulai lenyap, dan hembusan angin yang keluar dari kebutan
baju Tiong-sun Seng, seolah-olah berubah menjadi lunak,
ketika angin itu menghembus tubuhnya, ia merasa segar
sekali. Hingga jam empat tengah hari, Tiong-sun Seng baru
menghentikan usahanya, dan berkata kepada Hee Thian
Siang yang saat itu masih dalam keadaan lupa pada dirinya
sendiri: "Hee laote, sekarang ini kau harus pura-pura mati!"
Kata-kata ini mengandung maksud sangat dalam, hingga
Hee Thian Siang yang mendengar itu membuka matanya, dan
perasaannya menjadi heran!
Thian-gwa Ceng-mo pasang telinga, kembali berkata
kepada Hee Thian Siang: "Hee laote, aku dengar dari jauh ada
orang datang. Mungkin itu adalah Liok Giok Jie dan Pao Sam
Kow, ia datang hendak memenuhi janjinya. Laote, kau jangan
pura-pura terkena akal kejinya Pao Sam Kow, kau boleh
berlagak seperti orang keracunan, dan liat apa yang mereka
hendak perbuat?" Hee Thian Siang mendengar usul Tiong-sun Seng itu
merasa tertarik hatinya, maka ia lalu meng-angguk-kan kepala
untuk menerima baik usul tersebut.
Tiong-sun Seng menunjuk lamping gunung di belakang
dirinya, dan berkata dengan suara pelan: "Aku akan
bersembunyi di belakang tumbuhan rotan di lamping gunung
itu untuk melindungi dirimu, maka kalau kau berlagak mati,
harus berlagak yang mirip benar-benar!"
Hee Thian Siang menganggukkan kepala, lalu berkata
sambil tersenyum: "Aku sudah melatih ilmu panti hidup,
mengerti caranya untuk menutup pernapasanku sendiri."
Baru berkata sampai di situ, tiba-tiba terdengar suara
langkah kaki orang, orang itu agaknya akan muncul dari
tikungan ujung sebelah selatan.
Tiong-sun Seng memberi isyarat dengan lirikan mata
kepada Hee Thian Siang, lantai bergerak bagaikan burung
terbang, tanpa mengeluarkan sedikit suarapun juga sudah
bersembunyi dibalik pohon rotan.
Hee Thian Siang juga buru-buru menggunakan ilmunya, ia
segera menutup jalan pernapasannya, dan rebah terlentang di
tanah, pura-pura sudah mati.
Begitu orang yang datang itu unjukkan dirinya, benar saja
adalah Giok Liok Jie yang sifatnya susah diduga, bersama
Pek-thao Losat yang sangat kejam. Pada saat itu sudah jam
lima pagi, ditempat daerah pegunungan yang sunyi senyap
dan dingin itu, tampak mulai sedikit terang.
Liok Giok Jie ketika melihat Hee Thian Siang benar-benar
menepati janjinya, dan orangnya rebah terlentang didalam
penjara buatannya, maka ketika berada sejarak lima enam
kaki di luar penjara, lantas berkata dengan suara nyaring:
"Hee Thian Siang, nyalimu benar-benar besar sekali. Kau
sudah berani mengadu Hiang-kang dengan Pek-kut Sian-cu,
sudah tentu kau mengalami kerugian. Mari, mari! sekarang
sudah jam lima pagi, hari sudah akan terang tanah, kau boleh
mengeluarkan kepandaianmu dari golongan Pak-bin, untuk
melawan ilmuku!"

Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hee Thian Siang meskipun mendengar jelas kata-kata Liok
Giok Jie, tetapi ia pura-pura tidak mendengar. Ia masih tetap
rebah membujur bagaikan bangkai, tidak bergerak.
Liok Giok Jie melihat Hee Thian Siang tidak menghiraukan
dirinya, sepasang alisnya berkerut, dengan suatu gerakan ia
melesat empat tombak lebih, berada didalam garis yang ia
buat sendiri. Tetapi begitu kakinya menginjak tanah sudah
menyaksikan keadaan Hee Thian Siang agak lain. Ia lalu
berpaling dan bertanya kepada Pao Sam Kow:
"Dia rebah membujur seperti ini, keadaannya seperti orang
mati, apakah orang lelaki dalam tidur itu sikapnya memang
demikian?" Pao Sam Kow sendiri yang sudah melakukan kejahatan,
sudah tentu dalam hatinya mengerti, dan ketika di tanya
demikian, lantas berkata sambil tertawa menyeringai: "Tadi
bukankah aku sudah berkata kepadamu, Giam-lo-ong sudah
menentukan jam tiga harus mati, siapakah yang bisa menahan
sampai jam lima pagi" bocah she Hee ini, sekujur badannya
kaku, barangkali benar-benar sudah mati, bukan sedang
tidur." Liok Giok Jie tak tahu bahwa Pao Sam Kow telah
menurunkan tangan keji kepada Hee Thian Siang. Maka
ketika mendengar ucapan itu, sudah tentu ia tak mau percaya,
buru-buru ia menghampiri Hee Thian Siang, dan diperiksanya
dengan teliti, memang benar, Hee Thian Siang sudah tidak
ada napasnya lagi, dan sekujur badannya sudah kaku. Saat
itu entah bagaimana tiba-tiba hatinya merasa pilu, hingga dari
sudut matanya mengalir dua tetes airmata.
Sementara itu dalam hari Hee Thian Siang diam-diam
berpikir: Kau setan yang tak mempunyai perasaan ini, ternyata
juga bisa merasa sedih dan bisa mengeluarkan airmata!
Pek-thao Losat Pao Sam Kow yang menyaksikan keadaan
Hee Thian Siang benar-benar sudah mati, maka dengan
sangat bangganya mengeluarkan suara tertawa.
Liok Giok Jie lompat balik sambil mengucurkan airmata, ia
bertanya dengan perasaan terkejut: "Bo-lo, mengapa kau
tertawa demikian bangga?"
"Inilah hasil pekerjaanku yang patut kubanggakan!"
Sekujur badan Liok Giok Jie gemetar, dengan menatap Pao
Sam Kow ia bertanya pula: "Apakah dia mati di tanganmu?"
"Racun api yang mengenai sepasang telapak tangannya,
sebetulnya sudah cukup dengan sebutir pilku Kiu-han-tan,
tetapi aku telah menggunakan kesempatan ini untuk
memberikan dua pil kepadanya, supaya ia tak bisa hidup
sampai jam lima pagi. Karena pil itu akan menjadikan beku
tulang dan sumsum-sumsum dalam tubuhnya, hingga sekujur
badannya akan menjadi kaku dan akhirnya mati." Menjawab
Pao Sam Kow sambil tertawa bangga.
Hee Thian Siang yang mendengar ucapan itu, diam-diam
juga bergidik, sebab jikalau ia tidak secara kebetulan diketahui
oleh Thian-gwa Ceng-mo, bukankah akan mati penasaran
ditangan perempuan jahat itu"
Liok Giok Jie kini baru ingat bahwa Pao Sam Kow tadi
pernah mengatakan bahwa kalo Giam-lo-ong sudah
menetapkan jam tiga harus mati, siapakah yang berani
menahan sampai jam lima pagi" Maka kini diam-diam merasa
bergidik, tangannya lalu bergerak dan menempeleng pipi Pao
Sam Kow, hingga tempelengan yang demikian keras itu telah
menimbulkan suara nyaring. Pao Sam Kow meraba pipi
kirinya, dengan perasaan terkejut dan terheran-heran ia
mundur terhuyung-huyung hingga sampai lima langkah.
Tamparan yang dilakukan Liok Giok Jie dalam keadaan
sangat marah, sudah tentu menggunakan tenaga
sepenuhnya. Kalau bukan karena Pao Sam Kow sudah
melatih ilmunya yang kebal, barangkali ia juga sudah jatuh
pingsan. Hee Thian Siang yang mendengar semua kejadian itu, ia
dapat merasakan bahwa apa yang dilakukan oleh Thian-gwa
Ceng-mo benar-benar sangat menarik.
Pao Sam Kow yang mendapat pelajaran demikian, sudah
tentu sangat marah sekali hingga rambut putihnya tampak
berdiri, dan dengan sikap marah menatap Liok Giok Jie,
tanyanya dengan suara bengis: "Liok . . Giok . . Giok . . Jie
. . apakah artinya ini?""
Liok Giok Jie semakin pilu, airmatanya mengalir deras,
dengan suara terisak-isak ia balas bertanya kepada Pao Sam
Kow: "Kau . . mengapa . . hendak . membinasakan . . dia?"
Pao Sam Kow yang melihat sikap Liok Giok Jie itu agaknya
sudah jatuh cinta kepada Hee Thian Siang, maka lantas
bertanya dengan terheran-heran: "Bukankah dia telah
melakukan perbuatan yang tidak pantas terhadap dirimu,
ketika kau terkena serangan duri beracun dari Siang Biauw
Yan" Aku membunuh dia, adalah untuk menuntut balas
untukmu, apa salahnya?"
"Huh. kau ini benerlah apa yang dikatakan memutar balik
kenyataan, aku terkena serangan duri beracun Siang Biauw
Yan, justru Hee Thian Siang yang menolong diriku, kemudian
kita berdua sama-sama kesalahan, karena mencium bau
harum yang keluar dari setangkai bunga berwarna merah,
hingga kedua-duanya dalam keadaan tak sadar sudah
melakukan perbuatan terlarang,
bagaimana kau bisa mengatakan selagi orang dalam keadaan bahaya menodai
kesucianku?" Hee Thian Siang mendengar ucapan yang keluar dari mulut
Liok Giok Jie itu, hatinya merasa lega, diam-diam merasa
girang, bahwa perbuatan yang akan mencemarkan nama
baiknya sudah tersapu bersih oleh orang yang bersangkutan
sendiri! Baru saja timbul perasaan girangnya, sudah timbul
rasa sedih lagi, dengan tiba-tiba ia teringat kepada diri Tiong-
sun Seng yang bersembunyi di belakang pohon rotan, justru
merupakan ayah dari kekasihnya yang paling dicintai. Karena
perbuatannya yang tak pantas itu telah didengarnya, apabila
hal itu disampaikan kepada Tiong-sun Hui Kheng, bukankah
akan menimbulkan perasaan cemburu"
Sementara itu Pao Sam Kow yang mendengar Liok Giok
Jie berkata demikian, lantas tahu bahwa perbuatannya sendiri
yang diam-diam menurunkan tangan kejam, benar saja
sesungguhnya memang terlalu gegabah. Maka dengan
perasaan sangat menyesal ia bertanya pula: "Kalau kau benar
tidak membenci Hee Thian Siang, mengapa kau tadi
menggurat tanah sebagai batas penjara dan berjanji
dengannya untuk bertempur pada hari ini?"
"Oleh karena aku merasakan bahwa ayah ibuku sendiri
adatnya sama-sama sombong, tak mudah akur kembali. Aku
sebagai anaknya, sudah tentu tidak enak membantu ibu untuk
melawan ayah, juga tak enak membantu ayah melawan ibu.
Maka setelah kupikir bolak balik, dalam hidupku ini merasa
tidak ada gunanya, barulah kupikir hendak menggunakan
kesempatan dalam pertempuran ini, supaya aku bisa
mengakhiri hidupku ditangan Hee Thian Siang yang pernah
kucintai, juga berarti bebas dari segala penderitaan batinku!"
Pek-thao Losat Pao Sam Kow menghela napas panjang
dan berkata: "Bagaimana aku tahu dari nona Liok yang
ternyata demikian risau" Tindakanku itu memang terlalu
gegabah, tetapi sekarang sudah terlanjur, Hee Thian Siang
sudah kaku, sudah tentu tak ada jalan lain untuk
menghidupkan lagi . ."
Liok Giok Jie menyeka airmatanya, sepasang alisnya
tampak berdiri, dan wajahnya tampak sangat dingin, ia
memotong perkataan Pao Sam Kow, dengan nada suara yang
dingin pula: "Enak saja kau bicara, bahwa urusan sudah
terlanjur, tak bisa ditolong lagi. Bo-bo, kau sebagai tokoh
terkuat dalam Kie-lian-pay, seharusnya kau tahu bahwa
membunuh orang harus mengganti jiwa, hutang uang harus
mengganti uang . . Pao Sam Kow yang mendengar ucapan itu bukan kepalang
terkejutnya, pertanyaan yang keluar dari mulut Liok Giok Jie,
sesungguhnya di luar dugaannya. Maka ia lalu bertanya:
"Apakah artinya ucapan itu" Apakah kau ingin aku
mengganti jiwa Hee Thian Siang si setan kecil ini?"
Liok Giok Jie dengan mata memancarkan sinar buas,
berkata sambil menganggukkan kepala: "ucapan itu benar,
aku menghendaki selembar jiwamu, ditambah dengan jiwaku,
untuk mengganti jiwanya!"
Sehabis berkata demikian, sepasang tangannya lalu
bergerak, tujuh butir duri beracun Thian-keng-cek sudah
melayang kediri Pek-thao Losat Pao Sam Kow.
Pao Sam Kow menggunakan dua lengan jubahnya, di
depan dirinya diliputi jaring hawa tenaganya yang tak
berwujud, tujuh butir serangan duri berbisa itu semua nya
terpental jatuh, katanya dengan suara nyaring: "Nona Liok,
kau sekarang dalam keadaan marah, sudah tentu tak kenal
aturan. Aku si nenek tua untuk sementara minta diri darimu,
tunggu nanti digoa Siang-swat-tong aku akan meminta ampun
terhadapmu!" Sehabis berkata demikian kakinya lalu bergerak,
hendak berlalu, tetapi Liok Giok Jie lantai berkata dengan
suara marah: "Pao Sam Kow kalo kau meninggalkan
nyawamu, kau jangan pikir hendak kabur!"
Dengan suatu gerakan ia lompat melesat sejauh enam
tombak, sudah berhasil mengejar Pao Sam Kow. Tetapa Pao
Sam Kow yang memiliki kekuatan tenaga dalam yang lebih
hebat daripada Kie Tay Cao, ia terhitung seorang terkuat
dalam Kie-lian-pay dengan gerakan kakinya itu sudah tentu ia
tak berhasil menyambarnya.
Pada saat itu Hee Thian Siang oleh karena rebah terlalu
lama, ada sedikit kepayahan, maka dengan suara perlahan ia
berkata kepada Tiong-sun Seng: "Tiong-sun Seng locianpwe. . "
Ucapan itu baru keluar dari mulutnya, Liok Giok Jie yang
tak berhasil mengejar Pao Sam Kow, sudah balik kembali
dengan perasaan jengkel. Hee Thian Siang terpaksa buru-buru menutup mulutnya,
dan berlagak mati lagi. Ketika Liok Giok Jie berjalan disamping Hee Thian Siang,
berkata dengan suara sedih: "Engko Siang, Liok Giok Jie tidak sengaja melakukan
kesalahan, maka aku tidak ada jalan lain
untuk menebus dosa, terpaksa dialam surga aku nanti akan
tuangkan cintaku lagi kepadamu, dan berjanji kita akan hidup
rukun dilain penitisan!"
Sambil bicara airmatanya mengalir bercucuran, lalu
menghunus senjatanya Kun-lun-cek sendiri, lantas ditusukkan
kepada tenggorokannya. Hee Thian Siang karena sudah tahu bahwa Liok Giok Jie
kecintaannya masih tidak berubah, mendengar perkataan
seperti mau menghabisi jiwanya sendiri, makanya hatinya
merasa cemas, begitu membuka sepasang matanya, hampir
saja ia melompat bangun. Liok Giok Jie waktu itu sudah bertekad hendak menghabisi
jiwanya sendiri, selagi pejamkan sepasang matanya, dan
dengan senjatanya hendak menikam dirinya sendiri, sudah
tentu ia tidak memperhatikan Hee Thian Siang yang pura-pura
mati di tanah, sudah mengawasi perbuatannya sendiri dengan
kedua mata terbuka lebar.
Ketika senjata Kun-lun-cek hampir menancap di
tenggorokannya sendiri, tiba-tiba dirasakan sambaran angin
disamping dirinya, siku tangannya merasa kesemutan, dan
senjatanya sudah dirampas oleh tangan orang.
Dengan perasaan terkejut Liok Giok Jie membuka
matanya, dihadapannya tampak berdiri seorang tua berjubah
hijau, dengan sikapnya yang agung.
Hee Thian Siang melihat Thian-gwa Ceng-mo sudah turun
tangan, makan kembali memejamkan matanya, sedangkan
keringat dingin sudah membasahi badannya. Liok Giok Jie
merasa pernah melihat orang tua berjubah hijau itu, ia berpikir
agak lama, kemudian baru teringat, maka lalu bertanya:
"locianpwe bukankah Thian-gwa Ceng-mo Tiong-sun locianpwe?"
Tiong-sun Seng karena bersahabat baik dengan ayah Liok
Giok Jie, ialah Hong-tim Ong-khek May Ceng Ong, Maka
ketika ditanya demikian, lantas ia menjawab sambil
menganggukkan kepala dan tertawa: "Hian-titlie sungguh
tajam pandangan matamu, pertemuan sepintas lalu di depan
goa Siang-swat-tong, ternyata masih kau ingat dengan baik."
Liok Giok Jie melihat senjatanya berada ditangan Tiong-
sun Seng, hatinya merasa pilu, dan kembali mengeluarkan
airmata "Hian-titlie, mengapa kau begitu sedih" Aku adalah
seorang yang memiliki julukan Thian-gwa Ceng-mo, jikalau
lantaran soal asmara, aku memiliki jimat yang tinggi
khasiatnya, rasanya dapat memberikan bantuan untuk
meringankan penderitaan!" Berkata Tiong-sun Seng sambil
tertawa. Oleh karena Liok Giok Jie mengira Hee Thian Siang sudah
lama mati, sudah tentu segala harapannya ikut ludes.
Mendengar ucapan itu, sedikitpun tidak merasa tertarik,
tanyanya: "Tiong-sun cianpwe, berapakah besar khasiat jimat
locianpwe itu?" Tiong-sun Seng sengaja membesar-besarkan pengaruhnya,
katanya sambil tersenyum: "Walaupun terpisah ribuan pal
dengan orangnya, tetapi jikalau selalu kau ingat seperti
berada di hadapan matamu. Andai anggauta family dialam
baka, meskipun mati seolah-olah bisa hidup lagi."
Mendengar ucapan terakhir itu Liok Giok Jie terbangun
semangatnya; dengan tangan menunjuk Hee Thian Siang
yang rebah di tanah, ia bertanya: "Tiong-sun locianpwe, jikalau locianpwe benar-
benar memiliki kepandaian yang bisa
menghidupkan orang yang sudah mati, harap cianpwe tolong
dia, Liok Giok Jie seumur hidup akan merasa bertanggung
budi terhadap locianpwe!"
Tiong-sun Seng dengan tiba-tiba mendongakkan kepala
dan tertawa terbahak-bahak. Dengan penuh rasa curiga, Liok
Giok Jie bertanya: "Tiong-sun cianpwe, mengapa tertawa?"
"Hian-titlie, apakah kau sudah pernah liat orang mati bisa
mengeluarkan keringat?" Berkata Tiong-sub Seng sambil
menunjuk keringat di jidat Hee Thian Siang.
Liok Giok Jie seolah-olah baru sadar, sebagai seorang
yang sedang bingung karena menyaksikan Hee Thia Siang, ia
tidak mendapat kesempatan untuk berpikir sampe disitu,
setelah ditunjuk oleh Tiong-sun Seng, matanya segera
ditunjukkan kepada keringat yang membasahi Hee Thian
Siang. Maka lalu bertanya: "Apakah . . dia terhindar dari
tangan kejam Pao Sam Kow, tidak mati benar-benar?"


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiong-sun Seng sengaja memberi sedikit penambahan dari
kenyataan yang sebenarnya, katanya sambil tersenyum: "Hee
Thian Siang terkena akal keji Pek-thao Losat Pao Sam Kow, ia
sudah keracunan dari obat yang diberikan olehnya, selagi
sekujur badannya kedinginan dan jiwanya terancam bahaya
maut, secara kebetulan aku lewat ditempat ini dan melihat
keadaannya, dengan kepandaian yang kumiliki, sedapat
mungkin aku berusaha memunahkan racun dingin didalam
tubuhnya, barangkali tak lama lagi ia akan sembuh dari luka-
lukanya!" Oleh karena Hee Thian Siang telah mendapat kenyataan
bahwa Liok Giok jie demikian gelisah sehingga hampir
membunuh dirinya sendiri suatu bukti betapa besar cintanya
kepada dirinya; maka ia pikir tak perlu ber-pura-pura lagi.
Selagi hendak bangkit untuk menghibur gadis itu, tetapi
setelah mendengar ucapan demikian dari Tiong-sun Seng,
maka terpaksa menutup pernafasannya lagi, dengan tenang
menantikan perintah Tiong-sun Seng selanjutnya. Sebab
apabila ia bertindak gegabah, dikhawatirkan akan
menggagalkan rencana Tiong-sun Seng.
Liok Giok Jie ketika mendengar keterangan Tiong-sun
Seng, bahwa Hee Thian Siang belum mati, kedukaannya
lenyap seketika, tetapi kemudian disusul oleh perasaan
malunya kepada dirinya sendiri, maka sesaat kemudian ia
lantas bergerak dan lompat melesat sejauh empat tobak:
Thian-gwa Ceng-mo lalu berkata padanya sambil tertawa:
"Nona Liok, mengapa hendak pergi tergesa-gesa" Mengapa
tidak menunggu Hee Thian Siang sadar kembali, baru pergi?"
Liok Giok Jie tidak menghentikan kakinya, dengan beruntun
tiga kali bergerak sudah berada ditempat sejauh dua puluh
tombak. Kemudian dengan kekuatan tenaga dalamnya,
menjawab pertanyaan Tiong-sun Seng: "Terima kasih atas
usaha locianpwe yang sudah menolong jiwa Hee Thian Siang
dari ancaman bahaya maut, tetapi Liok Giok Jie sudah tidak
ingin bertemu muka lagi dengannya, ditambah lagi dengan
pertentangan antara ayah dan ibu, hal itu membuat Liok Giok
Jie berada dalam kesulitan dan penderitaan batin yang hebat.
Untuk selanjutnya, Liok Giok Jie hendak menghabiskan sisa
hidupnya sebagai murid Buddha yang setia, Liok Giok Jie
hendak mencari suatu tempat yang sunyi dan tenang, untuk
melewatkan sisa hidupnya!"
Sehabis berkata demikian, kembali bergerak dan sebentar
sudah menghilang dari pandangan mata Tiong-sun Seng.
Tiong-sun Seng memandang ke arah berlalunya Liok Giok
Jie, dan berkata sendiri dengan hati pilu: "Dalam dunia
memang banyak hal-hal yang tak menyenangkan, hati anak
perempuan memang sudah di jajaki."
Sementara itu Hee Thian Siang yang masih rebah di tanah
sudah tidak dapat mengendalikan perasaannya lagi. Dengan
menggunakan ilmunya menyampaikan suara ke dalam telinga,
ia bertanya kepada Tiong-sun Seng: "Locianpwe, aku sudah
terlalu lama mati, apakah sekarang sudah boleh hidup lagi?"
"Liok Giok Jie sudah menghilang dan tak diketahui kemana
jejaknya. Sudah tentu kamu boleh bangun, tetapi pembicaraan
yang dilakukan tadi, kau tentunya sudah dapat mengerti
bahwa kemenakan perempuanku yang dirinya patut dikasihani
dan luar biasa aneh asal usulnya itu, besar sekali cinta
kasihnya terhadap dirimu!"
Hee Thian Siang menarik napas lega. Ia melompat bangun,
dan dengan wajah kemerah-merahan bertanya kepada Tiong-
sun Seng: "Locianpwe, ucapan Liok Giok Jie sebelum berlalu
dari sini agaknya bersedih hati lantaran diriku. Ia pikir,
mungkin hendak menyucikan diri."
"Meskipun ia pernah menyatakan bahwa kepergiannya kali
ini hendak mencari tempat yang tenang, untuk menyucikan
diri, tetapi itu kan lantaran kau!" Berkata Tiong-sun Seng
sambil menggelengkan kepala.
"Lantaran siapa?" Bertanya Hee Thian Siang.
Tiong-sun Seng menatap wajahnya sejenak, jawabnya
lambat-lambat: "Lantaran ibunya sendiri Siang-swat Sian-jin
Leng Biauw Biauw dengan ayahnya Hong-tim Ong-khek May
Ceng Ong!" Hee Thian Siang ingat bahwa Liok Giok Jie dulu memang
pernah mengutarakan penderitaan batinnya lantaran
pertentangan antara ayah dan ibunya.
Tiong-sun Seng berkata pula: "Hingga saat ini ayah dan
ibunya masih merupakan musuh yang hampir saja tidak mau
mengalah satu dengan yang lain, Liok Giok Jie sebagai
anaknya, dengan sendirinya tak bisa bertindak membantu di
pihak ibunya untuk membunuh ayahnya, juga tak bisa
berpihak kepada ayahnya untuk membunuh ibunya, ia juga
tidak mampu membujuk kedua orang tuanya, dengan
sendirinya hanya meninggalkan mereka berdua
yang dianggapnya sebagai satu-satu-nya jalan yang se-baik-
baiknya." Hee Thian Siang menggelengkan kepala dan menghela
napas, sementara mulutnya menggumam sendiri: "Dunia ini
luas, banyak terdapat gunung-gunung yang sunyi dan tenang,
kemana harus pergi" . . . . "
Tiong-sun Seng lantas berkata sambil tertawa: "Laote, kau
tak perlu menguatirkan hal itu, di kemudian hari aku akan
memerintahkan kepala Hwiji, beserta siaopek dan Taywong
serta kuda Cong-hong-kie-nya untuk bersama-sama kau
mencarinya. Sekalipun dunia ini luas, tidak mungkin kalau
tidak menemukan!" Beberapa patah kata itu memberi dorongan kepada Hee
Thian Siang, hingga saat itu semangatnya terbangun lagi.
Tiong-sun Seng melihat itu semua, dalam hati diam-diam
membenarkan bahwa pengaruh asmara itu sesungguhnya
jahat sekali, lantaran soal asmara sudah berapa banyak gadis-
gadis terlibat dan tidak dapat menguasai dirinya sendiri!.
Hee Thian Siang tiba-tiba bertanya: "Locianpwe, dengan
cara bagaimana locianpwe secara tiba-tiba berada di daerah
ini?" "Aku bermaksud mencari ayah Liok Giok Jie, ialah May
Ceng Ong, Jikalau aku nanti bisa menemukannya, aku pasti
akan mendamprat orang tua yang tidak tahu malu itu. Juga
akan kuberitahukan kepadanya, karena perbuatannya yang
durhaka itu, sehingga menyusahkan diri anak perempuannya
sendiri." "Tentang May locianpwe itu bukan saja jejaknya tidak di
daerah ini lagi, bahkan ia sudah tahu bahwa Siang-swat Sian-
jin Leng Biauw Biauw dan Kiu-thian Mo-lie Teng Siang Siang
sedang mencari dirinya untuk membuat perhitungan urusan
yang lama." "Kalau begitu, dimana sekarang May Ceng Ong berada"
Apakah kau sudah pernah bertemu dengannya?"
Hee Thian Siang lalu menceritakan pertemuannya di
sebuah rumah minum di daerah gunung Tay-pa-san, tetapi ia
tak menceritakan pertemuan dan perbuatannya dengan Liok
Giok Jue didalam goa. Tiong-sun Seng seorang yang sangat cerdik, walaupun
Hee Thian Siang tidak mau menceritakan, ketika mendengar
ucapan itu ia sudah tahu bahwa Hee Thian Siang ada
menyembunyikan rahasia apa-apa, tetapi ia juga tak perlu
mengorek keterangan lebih jauh, katanya sambil tersenyum:
"Aku semua masih mengira bahwa May Ceng Ong masih
berada di daerah propinsi ini. Aku tidak menyangka kalau ia
sudah pergi sejauh itu, jadi sia-sia saja perjalananku ini!"
"Locianpwe, bolehkah aku numpang tanya" Dimanakah
sekarang Enci Tiong-sun berada?"
"Aku tadi baru saja membicarakan kekuatanku kepada Liok
Giok Jie, apakah kamu masih ingat?"
"Apakah mengenai kata-kata yang locianpwe ucapkan . .?"
"Tadi Liok Giok Jie minta aku menggunakan kepandaianku
untuk menghidupkan orang yang sudah mati. Kau sekarang
barangkali sudah menjadi orang kenang-kenangan baginya!"
Berkata Tiong-sun Seng sambil menganggukkan kepala.
Wajah Hee Thian Siang menjadi merah, ia berkata dengan
terus terang: "Dengan terus terang, aku sebetulnya
memikirkan Enci Tiong-sun."
"Iya, barangkali ia sekarang masih ada di sekitar gunung
Ko-Ie-kong-san, untuk mencari jejak May Ceng On!" Berkata
Tiong-sun Seng sambil tertawa.
Mendengar bahwa Tiong-sun Hui Kheng berada di daerah
Ko-Ie-kong-san, Hee Thian Siang lalu berkata sambil tertawa:
-- halaman berikut ceritanya tidak nyambung ---
"Kalau kau Kwan Cu Gang sama saja gendeng yang
bermata keranjang dan gemar nona-nona yang berparas
cantik!" "Kau jangan sembarangan menyangka orang baik." kata
Kwan Cu Gang yang juga menjadi gusar dengan tuduhan
orang perempuan yang membuta tuli itu. "Aku bukan datang
kemari karena tertarik oleh kecantikannya nona. Karena
walaupun ia bagaimana cantiknya ia toh tidak mempunyai
sangkut paut denganku. Demikian juga kalo ia jelek, juga tidak
mempunyai sangkut paut denganku."
Sambil berkata demikian, ia segera menunggang kudanya
yang segera dilarikan menuju keluar ?"" yang tidak terawat
itu. "Balik kembali!" Tiba-tiba ia mendengar suara perempuan
itu yang memanggilnya. Tapi Kwan Cu Gang bukan saja tidak mendengari, bahkan
menolehkan kepalanya pun tidak.
?"" kemari - Kamu boleh memandangku di belakang . .?""
Kwan Cu Gang tetap tidak menghiraukannya, bahkan
membedal kudanya terlebih cepat lagi.
Hampir dalam saat itu juga, Cu Gang mendengar desiran
angin yang dibarengin dengan berkelebatnya sesosok
bayangan yang melayang dari ?"" dan jatuh ke tanah tepat di
hadapan kudanya yang sedang lari dengan pesatnya itu! Dan
kuda Pek-liong-sin-ku yang tiba-tiba dikejutkan oleh orang
yang menghadangnya, sudah barang tentu segera berhenti
dengan kedua kaki depan terangkat bagaikan kuda dalam
pertunjukkan komedi yang sedang berakrobatik kemudian ia
berhenti ditengah jalan menghadapi seorang gadis jelita
berbaju ungu menolak pinggang dan berdiri tegak ditengah
jalan. Apakah dia perempuan muda berbaju ungu yang barusan juga"
Ya. Namun wajahnya yang semula buruk dan agak
menyeramkan hati itu, kini telah berobah sesuai dengan
bentuk tubuhnya dan kulitnya yang putih bersih. Bentuk
wajahnya yang lonjong dan beruntusan, kini telah berobah
menjadi bersih dan licin. Alisnya melengkung bagaikan
rembulan muda, sedang matanya yang bersinar terang
ditimpahi oleh hidung yang mancung dan bagus. Dikala ia
menyunggingkan senyuman dibibirnya yang merah delima,
dua baris gigi yang putih tampak jelas bagaikan dua baris
mutiara terpilih yang teratur rapi diatas tilam empuk yang
berwarna dadu. Cu Gang berdiri terpaku dengan sorot mata yang tidak
berkesip. Karena kini ia baru sadar bahwa penglihatannya tadi
hanya ditutupi oleh sebuah topeng belaka. Maka setelah
topengnya ditanggalkan, kini ia berhadapan dengan Kie Siauw
Tiap yang tulen atau gadis yang manis yang cocok dengan
pembilangan Ie-han-lim Ie-?"-Yang itu!
Tetapi si pemuda ber-pura-pura tidak memperhatikannya
dan hendak membelokkan kudanya ke lain jurusan.
"Kini kau berhadapan dengan Kie-Siauw Tiap yang tulen."
Kata gadis manis itu sambil tersenyum menggairahkan. "Maka
tidak berhalangan kau mengutarakan maksud kedatanganmu
ini." Kwan Cu Gang segera menahan tali kekang kudanya,
mengerlingkan matanya dengan sikap dingin dan bertanya:
"Benarkah kau ini nona yang se-sungguh-sungguhnya?"
Kie Siauw Tiap mengangguk dengan wajah dingin
Kwan Cu Gang menunjukkan matanya sambil berkata
dengan suara dingin: "Seratus kali mendengar tak sama
dengan sekali melihat! Tetapi sama sekali bahwa pandangan
Ie-bun locianpwe itu terlampau berlebih-lebihan!"
Kie Siauw Tiap merasa tersinggung dengan perkataan si
pemuda itu, hingga wajahnya agak berubah dan kedua belah
pipinya berwarna merah. "apa katamu?" ia menegaskan.
Kwan Cu Gang tersenyum simpul. "Ie-bun locianpwe
terlampau memandang tinggi pada ?""." katanya. "Ia
menyuruh aku berikhtiar agar kau tak mau menerima
pengoperan dari gurumu untuk menjadi pangcu dari golongan
Kay Pang. Tetapi karena aku sendiri tidak memperoleh jalan
yang lain, maka dengan ini aku hendak menasehati padamu.
Aku melihat bagi seorang sebagaimu ini, memang tak ada
jalan yang tepat daripada menjadi pengemis!"
Mendengar kata-kata Kwan Cu Gang itu, wajah Kie Siauw
Tiap berobah menjadi merah padam dan amat gusarnya. Ia
mengerutkan alisnya dan menggigit bibirnya, kemudian ia
berseru: "Apakah kau kira aku hendak menolak kedudukan
pangcu dari golongan Kaypang itu?"
Kwan Cu Gang tertawa terbahak-bahak.
"Ternyata bertentangan dengan
dugaanku semula." katanya. "Tetapi apabila pada suatu hari kau betul-betul
menolak kedudukan itu, aku pasti akan mentertawakan dirimu!"
"Baik," kata gadis manis itu, mendongkol. "Apabila pada hari lusa aku dilantik
menjadi pangcu, kau boleh datang
menyaksikan, kalau saja aku sudi!"
Kwan Cu Gang menyoja sambil tertawa" "Sangat
menyesal" katanya, "selama dua hari ini mungkin juga tak ada waktu yang luang.
Perbuatan benar menjadi salah dalam hal
penggantian pangcu dari golongan Kaypang ini, pasti akan
diketahui oleh orang sedunia. Sekarang aku mohon nona Kie
sudi minggir untuk memberikan kesempatan aku berlalu."
Kie Siauw Tiap mengeluarkan suara jengekan dari lobang
hidup: "Hm!" katanya. Kemudian ia melangkahkan kakinya ke samping untuk mengasih
lewat si pemuda yang berkuda itu.
Cu Gang segera membedal kudanya meninggalkan
halaman taman Leng-wan untuk menuju kota Thiang-an.
Ia tampak keluar dari situ dalam keadaan bebas, pada hal
hatinya diam-diam tertawan oleh gadis manis yang tertinggal
di belakangnya. Sedang didalam hati ia bertanya-tanya,
apakah sebab musabab seorang gadis secantik dan secerdik
Kie Siauw Tiap itu rela menjadi pengemis"


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kian lama ia berpikir, kian bertambah pula rasa pening
kepalanya, hingga akhirnya ia menemui jalan buntu dan
terpaksa melemparkan pikiran-pikiran yang memberatkan
hatinya disaat itu juga. Dan tatkala ia hampir memasuki daerah luar kota Tiang-an,
haripun telah menjelang senja pula.
Ditengah jalan ia menjumpai seorang pengemis wanita
yang usianya telah lanjut dab seorang laki-laki setengah tua
yang mengenakan pakaian seperti seorang sekolahan.
Rambut pengemis wanita itu telah berobah putih
seluruhnya. Wajah bengis dan sinar matanya menyala-nyala.
Ia mengenakan pakaian yang bersih, walaupun pakaian itu
penuh tambalan, sedang didalam tangannya ia mencekal
sebatang tongkat bambu yang berbuku sembilan. Disamping
kiri sinenek pengemis itu tampak seorang laki-laki setengah
tua yang oleh Ie-han-lim Ie bun Yang diperkenalkannya
sebagai Im-yang Siu-cai. Maka sebegitu lekas ia menampak
kehadiran Kwan Cu Gang didaerah belakang mereka, dengan
lantas ia membisiki sesuatu ditelinga sinenek pengemis itu,
hingga sinenek pengemis mendadak membelalakkan matanya
sambil mengeluarkan suara jengekan dari lobang hidung
:"Hm!" katanya.
Sementara Kwan Cu Gang yang terlebih siang sudah
menyaksikan juga Im-yang Siu-cai kasak kusuk dengan
sinenek itu, diam-diam segera menduga didalam hatinya,
bahwa dia telah membocorkan siasat yang telah dilakukannya
itu atas suruhan Ie-han-lim Ie-bun Yang. Maka biarpun
didalam hatinya timbul perasaan cemas, tetapi ia berjalan
terus dengan ber-pura-pura tenang dan tidak menghiraukan
mereka berdua. Sinenek itu, yang memang bukan lain daripada pangcu dari
golongan Kay-pang Kway-po-po Lay In Nio segera
menghadang dijalan sambil menggerak-gerakkan tongkatnya
dan berseru dengan suara bengis: "Kwan Cu Gang, apakah
maksudmu datang kekota Tiang-an?"
Kwan Cu Gang lekas turun dari kuda dan menyoja serta
bertanya: "Lay pang-cu, apakah pang-cu baik-baik saja"
Kepergianku kekota Tiang-an pada kali ini adalah membawa
dua rupa tugas. Yang pertama untuk menyelidiki penyakit
keliuran dalam keadaan tertidur yang diderita oleh orang-
orang perempuan disana, sedang yang keduanya aku
menerima pesan Ie-bun locianpwe untuk menasehati muridmu
supaya menolak pengoperan kedudukan pangcu dari
golongan Kay-pang yang hendak diwariskan padanya oleh
Lay pang-cu sendiri."
Kway po po yang mendengar percakapan Kwan Cu Gang
yang jujur dan tanpa tedeng aling-aling itu, keruan saja
menjadi terbengong bagaikan orang yang kesima. Maka untuk
melampiaskan amarahnya yang tdk diketahui kemana harus
ditimpakannya, lalu digerakkan tongkatnya dan terus dihantamkan pada punggung Im-yang Siu-cay sambil
berseru: "Enyahlah! . . cucilah pakaianmu sehingga bersih betul!
Apabila dilain kali aku melihat kau mengenakan pakaian yang
kotor serupa ini pula, lo-sin akan kemplang kakiku hingga parah!"
Sipengemis setengah tua itu bagaikan orang yang
memperoleh pengampunan, lekas-lekas berlutut ditanah
dengan kepala diangguk-anggukkan bagaikan ayam yang
mematuk gabah. Setelah itu, ia berbangkit dan menyingkir
kesamping bagaikan tikus yang ketakutan kucing.
"Anak," kata Kway po po dengan senyuman dingin,
"ternyata kau bernyali sangat besar, berani melakukan
perbuatan senekad ini, walaupun semua itu adalah atas
anjuran si setan tua bangka itu! Apakah kau telah menjumpai
muridku itu?" "Sudah," Kwan Cu Gang menganggukkan kepalanya.
Wajah sinenek pengemis itu tampak berobah, "Apakah
yang telah kamu percakapkan dengannya?"
"Aku telah menganjurkan supaya ia terima pengoperan
kedudukan pangcu dari Lay Pangcu itu," kata Kwan Cu Gang.
Kway po po terbengong sejenak, lalu membelalakkan
matanya, "Bohong!" bentaknya. "Mengapakah kau berbalik telah menganjurkannya
untuk menerima pengoperan
kedudukan dariku?" Kwan Cu Gang tersenyum dengan waja yang tenang,"
Karena menurut pendapatku muridmu itu tidak memiliki
sesuatu yang luar biasa. Tapi ia mungkin juga dapat menjadi
pengemis kelas satu!"
"Kamu menghinakan pada muridku?" berseru Kway po po
dengan rupa yang sangat gusar.
Kwan Cu Gang lekas-lekas membungkukkan badannya
memberi hormat," Bukan menghinakannya," kata nya, "tetapi aku mengatakan itu
dengan menilik pada kenyataan yang
ada." Kway po po menggerakkan tongkatnya seolah-olah hendak
memukul Kwan Cu Gang, tetapi Cu Gang yang ternyata tidak
mudah digertak, bukan saja tidak takut, bahkan iapun pantang
mundur, oleh sebab itu, pukulan tongkat itu telah me layang
kesamping dan menimpa bahu Im-yang Siu-cay yang berdiri
didekatnya, hingga si siucay jorok itu menyengir menahan
rasa sakit nya sambil tersenyum jengah.
"Im-yang Siu-cay!" berseru sinenek itu pula, "Segeralah kau mewakilkan padaku
untuk menghajar anak ini!"
Tetapi Im-yang Siu-cay segera berlompat mundur sambil
tersenyum dan minta maaf: "Harap pangcu jangan menjadi
gusar. Aku dan Kwan Siauw-hiap tidak bermusuhan, maka tak
mungkin aku melawan bertempur padanya . . Kini . aku ada
sedikit urusan didalam kota . . Harap pangcu sudi memaafkan
. . aku mohon diri . ."
Sambil bercakap-cakap, lekas-lekas ia mengundurkan diri
dan terus berlalu dengan laku tersipu-sipu.
Kwan Cu Gang yang melihat Im-yang Siu-cay, menuju
kekota Tiang-an, didalam hatinya ia menjadi gugup dan
segera menyerukannya: "Im-yang Siu-cay, kau jangan membocorkan rahasia
kedatanganku kekota Tiang-an pada kali ini. Apabila kau
berani membocorkannya, kelak aku membuat perhitungan
kepadamu!" Kway po po tertawa terkekeh-kekeh. "Apabila kau tak mau
ia bercakap-cakap," katanya, "kau harus potong dahulu
lidahnya, barulah kau berhasil membuatnya menutup mulut!"
"Im-yang Siu-cay tampaknya kerap juga berkunjung pada
pangcu disini," kata Kwan Cu Gang, "tetapi mengapakah
pangcu tak pernah mendengar atau menanyakan hal ini
kepadanya?" Dalam rimba itu tak ada apa-apanya yang menarik
perhatian. Apa yang dilihatnya hanya tumpukkan daun-daun
kering dan kayu-kayu yang sudah rusak. Tentang binatang
buas dan ular berbisa, tidak banyak terdapat. Dan apa yang
didengarnya hanya suara monyet-monyet dan menggaungnya
harimau, serta burung-burung yang banyak terdapat disitu.
Tetapi ketika ia berjalan lagi beberapa tombak jauhnya, apa
yang disaksikannya membuat ia terkejut. Daun-daun dan
ranting-ranting yang terdapat dalam rimba itu tampak tulang
tengkorak yang masih utuh. Semula ia kira bahwa tulang-
tulang itu adalah tulang-tulangnya orang yang datang ke
dalam rimba dan terbinasa oleh binatang buas atau ular
berbisa. Tetapi ia berpikir lagi, ia tahu bahwa dugaannya itu keliru
seluruhnya. Sebab apabila digigit ular berbisa atau binatang
buas, tulang-tulang yang berupa tengkorak itu tak mungkin
bisa dalam keadaan rebah demikian rapi. dari apa yang
disaksikan itu bisa ditarik kesimpulan bahwa didalam rimba itu
pasti ada hal-hal yang sangat mujizat. Hee Thiang Siang yang
memang pemberani, ditambah
lagi dengan beberapa penemuan-penemuan yang ajaib hingga kekuatan tenaganya
banyak bertambah, sudah tentu lebih berani lagi mengadakan
penyelidikan. Setelah ia menduga didalam rimba itu ada apa-
apanya yang mujizat, bukan saja tak merasa takut, bahkan
sebaliknya menarik perhatiannya yang ingin tahu. Maka ia
melanjutkan perjalanannya lebih jauh untuk mengadakan
penyelidikan. Di depan matanya terbentang pohon tua yang sangat besar
sekali, akan tetapi ranting-ranting dan daunnya sudah jarang,
agaknya sudah lama mati hanya tinggal batangnya yang tinggi
besar yang masih belum rubuh.
Ketika ia berjalan ke bawah pohon itu dengan tiba-tiba
kepalanya merasa pening, perutnya merasa mual, agaknya
hendak muntah. Ia yang mulai banyak pengalaman, meskipun
nyalinya besar, tetapi masih berlaku sangat hati-hati terhadap
keadaan dalam rimba itu. Maka ketika kepalanya merasa pening, buru-buru menelan
obat pil buatan Say Han Kong, yang khasiatnya untuk
menolak hawa racun didalam rimba.
Benar saja ketika pil itu berada dalam mulutnya, badannya
merasa segar kembali, hingga ia dapat kepastian bahwa
didalam rimba itu ada hawa racun yang sangat berbisa.
Tak di-sangka-sangka baru saja ia melalui pohon besar itu,
lantas merandek dan dikejutkan oleh pemandangan di depan
matanya. Kiranya ia tiba di suatu tempat yang dihadapannya sudah
jarang terdapat pohon, di situ terdapat sebidang tanah, yang
luas setombak persegi yang ditumbuhi rumput yang lebat.
Didalam rumput lebat itu, ada seekor harimau yang sangat
besar sekali, namun sekujur badannya berbulu hitam.
Harimau hitam itu berada ditempat sejarak kira-kira tiga
tombak dengan pohon raksasa itu, sepasang matanya
mengawasi Hee Thian Siang, mata itu memancarkan sinar
tajam dan menakutkan, hingga bagi orang yang dipandangnya
bisa menimbulkan perasaan jeri. Hee Thian Siang yang
memiliki kepandaian ilmu silat yang sangat tinggi dan
keberaniannya melebihi manusia biasa, terhadap harimau
yang besar sekali itu hanya merasa terkejut dan terheran-
heran, tapi tidak merasa takut. Ia juga dapat membedakan
bahwa sinar menakutkan yang memancar dari mata harimau
hitam itu, agaknya mengandung cahaya yang luar biasa.
dengan tiba-tiba ia dapat kenyataan bahwa mata harimau
itu ternyata ditujukan ke atas pohon besar yang sudah kering
itu, ia segera sadar dan mulai dapat menduga apa sebabnya
dengan tiba-tiba merasa pening, dan mengapa harimau itu
menunjukkan pandangan matanya ke atas pohon, ia merasa
pasti, bahwa di atas pohon itu pasti ada sejenis ular berbisa
yang luar biasa besarnya. Teringat pikiran itu, ia lantas
waspada. Dengan menggunakan ilmunya meringankan tubuh
yang sangat mahir sekali ia melesat setinggi tiga tombak, dan
sudah berada di atas pohon lain.
Harimau hitam itu melihat Hee Thian Siang melompat ke
atas pohon lain, masih tetap tidak bergerak, sepasang
matanya juga masih tetap ditujukan ke arah pohon besar yang
sudah kering itu. Hee Thian Siang semakin kuat dugaannya,
bahwa apa yang dipikirnya tadi sedikitpun tidak salah. Ia lalu
memilih tempat yang agak rindang duduk di atas ranting yang
agak besar sedang matanya ditujukan ke atas pohon besar
tadi. Ia telah mendapat kenyataan bahwa terpisah dengan tanah
kira-kira tiga empat tombak, di atas pohon itu terdapat lobang
yang bergaris tengah kira-kira satu kaki. Dari dalam lobang itu
muncul keluar seekor makhluk aneh.
Makhluk aneh itu seperti ular, tetapi bukan ular, panjangnya
kira-kira setombak lebih. Badannya bagian depan bulat, tetapi
bagian belakang pipih. Di bawah perutnya terdapat delapan
pasang kaki yang pendek dan kasar. Warna sekujur badannya
coklat kehitam-hitam-an, tampaknya sangat mengerikan. Apa
yang mengherankan ialah bentuk badannya itukira-kira
beberapa kaki besarnya, akan tetapi kepalanya yang
berbentuk segi tiga, hanya sebesar kepalan tangan manusia.
Panca indra di kepalanya bentuknya sangat sederhana.
Kecuali bagian tengah-tengah kelihatan matanya yang hanya
satu, di bawah mata itu ialah mulutnya yang lebar dengan
giginya yang tajam-tajam. Lidahnya yang panjang bagaikan
ular, sebentar-bentar menyemburkan hawa racunnya yang
sangat ganas. Hee Thian Siang yang sudah cukup lama berkelana di
dunia kang-ouw meskipun pengalamannya cukup banyak,
tetapi belum pernah dengar orang berkata binatang sejenis
ular tetapi bukan ular seperti itu.
"Kalau ditinjau dari luarnya, binatang aneh itu pasti
mengandung bisa yang sangat jahat. Jelas bahwa harimau
besar itu bukanlah tandingannya, tetapi harimau hitam itu
masih coba melawannya, sekujur bulu badannya pada berdiri,
sedikitpun tidak tampak takut. dalam hati Hee Thian Siang
diam-diam merasa girang, sebab jikalau bisa menyaksikan
pertarungan antara harimau dan binatang aneh itu, juga
merupakan suatu pengalaman yang tak mudah diketemukan!
Kaki yang pendek dan kasar binatang aneh itu ternyata
memiliki daya kuat luar biasa, setapak demi setapak binatang
itu merayap turun ke bawah, lalu mengangkat kepalanya yang
berbentuk segi tiga, agaknya sangat bangga sekali. Matanya
yang cuma satu memancarkan cahaya yang berkilauan
mengawasi harimau hitam, kemudian dari mulutnya
mengeluarkan suara aneh yang sangat menyeramkan.
Dengan hati-hati sekali, harimau hitam itu mundur dua
langkah, kepalanya digoyang-goyangkan, mulutnya
mengeluarkan suara mengeram, seperti hendak menerkam.
Binatang aneh itu ketika melihat harimau hitam itu
mengambil sikap menantang, maka ia lantas menjadi marah.
Kepalanya diulur penjang membentang mulutnya lebar-lebar,
kemudian secepat kilat menyambar harimau hitam itu, bahkan
dari jarak enam tujuh kaki menepi jauh menyemburkan hawa
racunnya yang berwarna hitam. Harimau hitam itu ternyata
sangat gesit sekali gerakannya. Binatang aneh
menyemburkan hawa racunnya, ia sudah melompat melesat
sejauh setombak lebih, untuk mengelakkan semburan racun
dari binatang aneh tadi. Setelah itu ia mengulurkan kaki
depannya dengan kukunya yang runcing balik menyerang


Makam Bunga Mawar Karya Opa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala binatang aneh itu.
Binatang aneh itu meskipun tampaknya sangat jumawa,
tetapi ketika menyaksikan lawannya itu sangat cerdik dan
berani sekali, kakinya yang pendek dan kasar itu, mulai
bergerak lagi. Badan bagian belakangnya yang tampaknya
sangat kaku dengan tiba-tiba menjadi gesik, ia memutar
ditengah udara dan menyapu kepala harimau itu dengan
bagian ekornya. Harimau itu agaknya kenal baik dengan sekali gerakan dari
binatang aneh itu. Serangan tadi ternyata merupakan
serangan tipuan, secepat kilat balik kembali lagi dan lompat
sejauh lima enam tombak. Dengan demikian maka samberan
binatang aneh tadi dengan sendirinya mengenakan tempat
kosong. Ekor kasar itu ketika membabat pohon-pohon di
sekitarnya, terdengar suara gemuruh dan beberapa batang
pohon telah tumbang olehnya.
Hee Thian Siang ketika menyaksikan keadaan demikian,
meskipun tahu bahwa harimau hitam itu sangat lincah, tetapi
karena binatang aneh itu sudah menyemburkan hawa racun,
apalagi tenaganya demikian kuat, tampaknya apabila
pertempuran itu berlangsung terus, lama kelamaan harimau
hitam itu pasti akan kalah.
Meskipun kejadian itu tidak ada hubungannya dengan
dirinya sendiri, karena ia sudah menyaksikan dengan mata
Istana Pulau Es 1 Si Kumbang Merah Ang Hong Cu Karya Kho Ping Hoo Pendekar Cacad 3
^