Pencarian

Pendekar Mata Keranjang 13

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


Melihat sikap guru mereka, dan mendengar guru mereka menyebut Taihiap (Pendekar Besar) dan Lihiap (Pendekar Wanita) kepada suheng dan sumoi itu, juga mendengar ucapan suhu mereka, dua orang murid kepala itu menjadi bengong. Akan tetapi mereka melihat dua buah kancing yang tanggal dari baju guru mereka, maka sebagai orang yang sudah memiliki kepandaian cukup, mereka pun maklum betapa lihainya pria yang berlengan satu ini.
Ciang Su Kiat dan Kok Hui Lian keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan diantar oleh mereka bertiga, dan sikap mereka amat menghormat sehingga para murid lain pun menjadi heran dan mengerti bahwa dua orang itu telah diterima oleh guru mereka. Demikianlah, berita bahwa suheng dan sumoi yang aneh itu telah keluar dari perguruan Hek-houw Bu-koan dengan selamat, bahkan dihormati oleh pimpinan Bu-koan terbesar itu, banyak orang muda mendaftarkan diri sebagai calon murid Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun dan ramailah perguruan itu. Suheng dan sumoi itu mulai bekerja dan tentu saja mereka berdua hanya mengajarkan dasar-dasar ilmu silat dan beberapa jenis pukulan yang kiranya cukup untuk menjadi bekal membela diri.
** "Sumoi, percayalah bahwa aku bermaksud baik. Usiamu sudah dua puluh tiga tahun dan masih menanti apa lagi" Ingatlah, Sumoi, bahwa harga diri setiap orang wanita dalam kehidupan ini adalah kalau ia sudah berumah tangga, menjadi isteri dan kemudian menjadi ibu." Pada suatu senja, ketika mereka berdua duduk di serambi depan tanpa ada orang lain karena para murid dan pelayan berada di bagian belakahg rumah mereka yang kini menjadi besar karena ditambah bangunan, Su Kiat berkata kepada sumoinya dengan sikap serius. Hui Lian yang duduk berhadapan dengan suhengnya, menunduk, dengan muka kemerahan. Percakapan mengenai perjodohannya membuat jantungnya berdebar dan ia merasa malu dan canggung sekali. Betapapun juga, urusan perjodohan itu merupakan hal yang asing baginya. Ia pun mengerti bahwa pada jamannya itu, setiap orang gadis menikah dalam usia belasan tahun, bahkan gadis-gadis kang-ouw pun menikah dalam usia paling banyak dua puluh tahun. Dan ia sudah berusia dua puluh tiga tahun, maka sewajarnyalah kalau suhengnya, yang juga menjadi pengganti guru dan orang tuanya, mendesak dan menganjurkannya untuk segera memilih seorang di antara banyak pemuda yang telah berdatangan meminangnya. Setiap kali ada pemuda meminangnya, ia selalu menolak dengan halus.
"Tapi, Suheng, aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk menikah dan mengikatkan diri selamanya kepada seorang suami."
"Aku mengerti perasaanmu, Sumoi. Akan tetapi pendirian seperti itu tidak benar. Jangan meniru aku, karena aku adalah seorang laki-laki dan tidak ada celanya bagi seorang pria kalau dia tidak berumah tangga, berbeda dengan seorang wanita. Aku adalah Suhengmu, dan karena engkau hidup sebatang kara, maka aku adalah pengganti orang tuamu. Kakakmu dan akulah yang akan dicela orang kalau mendiamkan saja engkau hidup seorang diri seperti ini. Demi nama baikmu, dan nama baikku. Kuharap engkau tidak berkeras Sumoi. Sampai bosan aku menolak pinangan demikian banyaknya orang muda yang baik-baik, dari dusun ini mau pun yang datang dari kota Kong-goan. Jatuhkanlah pilihanmu, Sumoi. Rasanya tidak enak juga kalau harus menolak terus pinangan yang membanjir itu, seolah-olah aku yang tidak setuju kalau engkau berumah tangga
Mendengar suara suhengnya yang bersungguh-sungguh, dan sikapnya yang serius itu, Hui Lian mengusap dua tetes air mata yang keluar dari sepasang matanya. Melihat ini, Su Kiat cepat menghiburnya.
"Sumoi, mengapa engkau berduka" Urusan ini adalah urusan yang menggembirakan. Ketahuilah bahwa selama hidup ini, hanya ada tiga kali peristiwa kita alami, tiga peristiwa terpenting dalam kehldupan. Pertama adalah peristiwa kelahiran, ke dua peristiwa pernikahan dan ke tiga peristiwa kematian. Bagi kaum wanita masih ditambah satu lagi yang amat penting, yaitu peristiwa melahirkan. Engkau menghadapi peristiwa pernikahan, mengapa harus berduka" Apalagi kalau pernikahan ini bukan merupakan pemaksaan, dan engkau berhak memilih sendiri calon suamimu."
"Tidak, Suheng, aku tidak dapat memilih. Terserah saja kepadamu, karena aku yakin bahwa pilihanmu adalah yang terbaik."
Wajah Su Kiat berseri. "Ah, jadi engkau sudah setuju, Sumoi" Banyak pemuda yang baik yang telah meminangmu, akan tetapi, bagiku yang paling baik adalah Tee Sun, putera kepala dusun Hek-bun itu. Usianya sudah dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan dan wataknya baik sekali, halus dan sopan. Juga dia telah lulus ujian di kota raja, seorang terpelajar. Aku yakin engkau tentu akan berbahagia menjadi isterinya. Bagaimana pendapatmu, Sumoi?" "
Di lubuk hatinya, Hui Lian agak kecewa karena pemuda yang dlmaksudkan itu tidak pandai ilmu silat, seorang pemuda yang lemah walaupun harus diakuinya bahwa pemuda itu memang tampan, terpelajar dan sopan, tidak seperti kebanyakan pemuda yang ceriwis dan genit. Juga, sebagaI putera kepala dusun keadaannya cukup mampu.
"Terserah kepadamu, Suheng, aku hanya menurut saja kalau memang hal Itu kaukehendaki."
"Akan tetapi ini bukan paksaan dariku, Sumoi."
"Aku mengerti, Suheng. Engkau aturlah saja, dan aku akan mentaati karena kuyakin bahwa segala yang kaukehendaki itu memang benar dan tepat." Setelah berkata demikian, Hui Lian meninggalkan suhengnya, kemudian memasuki kamarnya untuk menyembunyikan tangisnya. Su Kiat mengikuti kepergian sumolnya dengan wajah berseri, mengira bahwa sumoinya sebagai seorang gadis, tentu malu membicarakan urusan perjodohan itu.
Demikianlah, tanpa ragu-ragu lagi Su Kiat lalu membicarakan urusan perjodohan itu dengan keluarga Tee, yaitu keluarga kepala dusun Hek-bun yang menyambutnya dengan penuh kegembiraan. Hui Lian merupakan gadis yang dikagumi, karena bukan saja ia dikenal sebagai seorang yang memiliki ilmu silat amat tinggi, akan tetapi juga karena sikapnya ramah dan halus, dan juga gagah perkasa sehingga selama suheng dan sumoi itu tinggal di Hek-bun, tidak pernah lagi terjadi kejahatan. Orang-orang jahat menjauhkan diri dari perguruan silat Cia-ling Bu-koan itu.
Dua bulan kemudlan setelah Su Kiat membicarakan urusan perjodohan, dilangsungkanlah pernikahan yang sederhana namun cukup meriah di dusun Hek-bun, antara Kok Hui Lian yang berusia dua puluh tiga tahun dengan Tee Sun, putera lurah yang berusia dua puluh lima tahun.
Pernikahan itu cukup rukun dan Hui Lian berusaha untuk mencinta suaminya, walaupun ia menjadi isteri tanpa cinta kasih suaminya yang pernah lulus di kota raja itu suka bertani dan sering kali Hui Lian mengirim makan minum kepada suaminya yang bekerja di sawah ladang. Kehidupan mereka nampak rukun dan bahagia, walaupun sampai tiga tahun lamanya Hui Lian juga belum dikaruniai keturunan. Akan tetapi, apa yang nampak indah dari luar, belum tentu demikian keadaan di sebelah dalamnya.
Terdapat perbedaan cara dan selera kehidupan antara Hui Lian dan Tee Sun. Sebagai seorang gadis yang sejak kecil ikut Su Kiat dan mempelajari ilmu silat Hui Lian sudah terbiasa oleh kekerasan dan kehidupan yang penuh tantangan, sebaliknya Tee Sun suka akan kehidupan yang tenang dan amman. Perbedaan selera hidup inilah yang mulai menjauhkan kedua suami isteri itu, menimbulkan celah atau jarak antara keduanya. Sebagai seorang wanita yang gagah perkasa dan suka akan tantangan hidup penuh kekerasan, Hui Lian sering kali ikut pergi berburu bintang buas di hutan-hutan bersama para pemburu. Memburu binatang buas di hutan penuh tantangan, penuh kesukaran dan kekerasan dan kadang-kadang Hui Lian rindu akan keadaan hidup seperti ini. Makin sering ia ikut pergi berburu, makin tak senanglah rasa hati Tee Sun.
Pada dasamya, Tee Sun memang penuh dengan cemburu terhadap isterinya. Dia merasa bahwa isterinya itu sesungguhnya tidak mencintanya, tidak ada kemesraan mendalam dirasainya dari isterinya. Isterinya demikian cantik jelita, tubuhnya mengeluarkan keringat yang berbau harum, dan dia tahu betapa banyaknya pria di dusun Hek-bun maupun di kota Kong-goan yang jatuh cinta kepada Hul Lian. Rasa cemburu ini sekarang memperoleh jalan keluar. Dia semakin cemburu ketika melihat betapa seorang di antara para pemburu, seorang laki-laki yang usianya sekitar tiga puluh tahun, jelas memperlihatkan sikap mencinta isterinya! Pemburu muda ini bertubuh tinggi dan gagah, juga wajahnya ganteng walaupun agak kurus dan jalannya agak pincang sedikit karena pernah kakinya terluka oleh terkaman harimau buas.
Pemburu tinggi kurus yang pincang ini bernama Su Ta Touw, dan memang dia telah tergila-gila kepada Hui Lian. Dia sendiri seorang pemburu yang gagah berani, namun melihat kelihaian Hui Lian, juga kegagahan dan kecantikannya, dia telah jatuh cinta. Tanpa mempedulikan bahwa Kok Hui Lian telah bersuami, Su Ta Touw mulai merayu wanita itu. Dia memang pandai merayu dan Hui Lian adalah seorang wanita yang sama sekali belum berpengalaman. Ia menikah dengan Tee Sun tanpa cinta, dan kini, ia melihat seorang pria yang merayunya dengan kata-kata manis, dengan sumpah, bahkan dengan air mata! Su Ta Touw yang tinggi kurus itu tidak segan-segan untuk mengeluarkan air mata dan menangis ketika memperoleh kesempatan menyatakan cintanya kepada Hui Lian!
Tentu saja mula-mula Hui Lian menolak, bahkan marah-marah dan menegur teman seperburuan itu, mengingatkannya bahwa ia telah mempunyai suami. Akan tetapi Su Ta Touw yang belum mempunyai isteri itu membujuk rayu terus, tidak mengenal malu, tidak takut ditegur dan dimarahi sehingga lama-kelamaan Hui Lian merasa kasihan kepadanya. Wanita ini mengira bahwa Su Ta Touw benar-benar cinta kepadanya, cinta yang mati-matian, cinta yang tulus ikhlas dan sepenuhnya, bukan seperti cinta suaminya yang dianggapnya tidak mendalam benar. Namun ia tetap menjaga diri dan tidak melayani rayuan Su Ta Touw.
Akan tetapi berita tentang usaha Su Ta Touw merayu isterinya itu akhirnya sampai juga ke telinga Tee Sun dan marahlah suami ini. "Begitukah kelakuanmu ketika engkau jauh dariku, dan ikut bersama para pemburu kasar itu" Engkau telah berpacaran dengan pemburu yang kurus tinggi dan pincang itu!"
Hui Lian memandang suaminya dengan alis berkerut dan mata bersinar. Kalau ia tidak ingat bahwa penuduhnya itu suaminya dan suaminya itu bertubuh lemah, tentu sudah ditamparnya Tee Sun.
"Laki-laki bodoh dan buta! Engkau menuduh orang secara membabi-buta! Dialah yang merayuku, bukan aku yang tergila-gila. Kalau engkau memang laki-laki jantan, datangi dia dan hajar dia yang berani merayu isterimu!" Hui Lian berkata ketus sambil pergi meninggalkan suaminya.
Akan tetapi, tentu saja Tee Sun tidak berani kalau harus menegur apalagi menghajar Su Ta Touw, pemburu yang tentu saja lebih kuat dari padanya itu. Akan tetapi sikapnya terhadap Hui Lian menjadi semakin hambar dan uring-uringan, bahkan dia lalu pergi ke rumah Su Kiat di perguruan Cia-ling Bu-koan, mengadukan isterinya kepada Su Kiat!
Ciang Su Kiat mendengarkan dengan alis berkerut. Dia tidak percaya bahwa sumoinya dapat melakukan perbuatan serendah itu. Berjina dengan pria lain!
"Tee Sun, apakah ada buktinya bahwa Sumoi berjina dengan orang lain?" dia bertanya sambil menatap waiah tampan suami dari sumoinya itu.
Tee Sun menarik napas paniang, wajahnya penuh dengan kekesalan dan kemarahan. "Memang belum ada buktinya, akan tetapi banyak pemburu yang menceritakan betapa orang she Su itu selalu merayunya dan betapa akrab hubungan antara mereka. Orang she Su itu terang-terangan mengatakan kepada siapa saja bahwa dia tergila-gila dan jatuh cinta kepada Hui Lian! Bukankah itu sudah merupakan bukti cukup kuat" Tidak, aku tidak percaya lagi dan aku akan ceraikan ia!"
"Bagus!" Tiba-tiba muncul Hui Lian yang agaknya sejak tadi sudah mengikuti dan mendengarkan ketika suaminya mengadu kepada suhengnya. "Engkau hendak menceraikan aku" Baik, sekarang juga! Kaukira aku kesenangan menjadi isteri seorang pencemburu macam kau" Ceraikan aku. Sekarang juga!"
"Bolehl Aku pun tidak tahan lagi!" Tee Sun juga berteriak.
Su Kiat berusaha melerai dan mendamaikan, namun sia-sia saja. Keduanya sudah merasa panas dan percekcokan itu pun berakhir dengan perceraian. Atas desakan sumoinya, terpaksa Su Kiat pergi mengunjungi keluarga Tee untuk membicarakan urusan perceraian itu.
"Sumoi, apakah tidak ada jalan lain?" Su Kiat masih membujuknya.
"Tidak, Suheng. Apakah engkau ingin aku hidup dalam kesengsaraan, di samping suami pencemburu yang setiap saat marah-marah dan menduga yang bukan-bukan" Dilanjutkan hanya akan menjadi siksaan saja bagiku, juga bagi dia, maka perceraianlah jalan terbaik."
Akhirnya bercerailah Hui Lian dari Tee Sun. Hui Lian kembali tinggal bersama suhengnya, membantu suhengnya melatih murid-murid Cia-ling Bu-koan. Sementara itu, melihat betapa Hui Lian kini telah menjanda, Su Ta Touw menjadi semakin berani, mendapat hati dan dengan nekat dia pun melakukan pendekatan dan melimpahkan rayuan-rayuan mautnya. Hui Lian yang masih hijau itu semakin terharu dan hanyut. Ia tidak cinta kepada Su Ta Touw, seperti juga ia tidak pernah mencinta Tee Sun, akan tetapi ia merasa iba sekali melihat laki-laki itu seakan-akan menyembah-nyembahnya, berlutut dan menangis mohon agar cintanya diterima. Ia mengira bahwa sekali ini benar-benar ia bertemu dengan pria yang mencintanya dengan tulus ikhlas, dengan murni. Maka, ia pun menerima ketika Su Ta Touw meminangnya!
Ketika ia minta persetujuan suhengnya, Su Kiat memandang kepada sumoinya dengan alis berkerut. "Dia" Ah, Sumoi, sudah kaupikir baik-baikkah kalau engkau menerima pinangan Su Ta Touw" Ingatlah bahwa dia yang menjadi gara-gara sehingga rusak rumah tanggamu, sehingga engkau bercerai dari suamimu! Apakah kelak engkau tidak akan menyesal" Kulihat Su Ta Touw tidaklah lebih baik daripada Tee Sun, karena dia demikian kasar dan terlalu pandai bermanis muka."
"Tidak, Suheng. Justru karena aku bercerai karena dia, maka sebaiknya kalau kini aku menjadi isterinya. Tidak kepalang tanggung. .Dulu, aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Su Ta Touw, kecuali teman berburu, akan tetapi aku disangka berpacaran dengan dia. Karena itu, melihat kesungguhan hatinya, biarlah aku menerima pinangannya untuk menghentikan desas-desus orang, dan pula sekali ini aku percaya bahwa dia sungguh-sungguh mencintaku, Suheng."
Su Kiat hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. "Aih, engkau tahu apa tentang cinta, Sumoi?" Akan tetapi dia tidak membantah atau mencegah sumoinya menikah lagi, sekali ini dengan Su Ta Touw. Karena suaminya yang baru ini tinggal di sebuah dusun di sebelah selatan Kong-goan, kurang lebih tiga puluh li jauhnya dari Hek-bun, maka Hui Lian mengikuti suaminya dan kini tempat tinggalnya agak jauh dari tempat tinggal suhengnya.
Pada bulan-bulan pertama, Hui Lian merasa berbahagia karena suaminya yang baru ini selalu berusaha menyenangkan hatinya dan agaknya memang benar mencintanya. Akan tetapi setelah setahun mereka menjadi suami isteri, nampaklah perubahan pada sikap Su Ta Touw! Baru nampak belangnya sekarang. Kiranya Su Ta Touw termasuk seorang hamba nafsu dan kalau dia dahulu begitu merendahkan diri, menangis dan merayu, adalah karena tergoda oleh nafsu berahi yang membadai. Kini, setelah Hui Lian menjadi isterin.ya, maka muncullah kembali sifatnya yang aseli, yaitu pembosan! Laki-laki macam ini tak pernah dapat sungguh-sungguh mencinta wanita. Nampaknya saja mencinta mati-matian kalau belum terdapat, akan tetapi mudah merasa bosan. Mulailah berubah sikap Su Ta Touw dan mulailah nampak oleh Hui Lian betapa suaminya ini seorang laki-Iaki hidung belang yang selalu mengejar wanita muda dan cantik. Hui Lian merasa hatinya seperti disayat-sayat. Ia mempertahankan kedudukannya karena merasa malu kalau harus bercerai lagi. Terutama sekali malu terhadap suhengnya. Betapa tepat peringatan suhengnya dahulu. Akan tetapi, segalanya telah terlanjur. Ia berusaha memperbaiki rumah tangganya, memperingatkan Su Ta Touw. Namun Su Ta Touw hanya nampak menurut dan jinak kalau berada di dekatnya, karena takut. Kalau sudah berada di luar rumah, suaminya itu berubah menjadi binal dan bermain-main dengan wanita lain, tak terhitung banyaknya
Hui Lian mempertahankan rumah tangganya sampai setahun lagi. Sudah dua tahun ia menjadi isteri Su Ta Touw dan ketika ia mendengar bahwa suaminya itu main gila dengan seorang wanita tetangganya lagi, dan wanita yang sudah mempunyai tiga orang anak!
Ketegangan memuncak ketika ia mendengar keributan antara suami isteri tetangga itu, di mana sang suaminya marah-marah, menuduh bahwa isterinya yang sedang mengandung lagi itu telah berjina dengan Su Ta Touw, karena suaminya sudah berbulan-bulan tidak mendekatinya. Suami itu menuduh bahwa isterinya mengandung sebagai hasil perjinaannya dengan Su Ta Touw!
"Benarkah semua keributan di sebelah itu." Ia bertanya kepada suaminya. Su Ta Touw bersumpah-sumpah menyangkal.
Seperti juga dahulu ketika merayunya, dia bersumpah-sumpah. "Biar selama hidupku aku menderita susah dan sukar mencari makan, biar aku, mampus disambar geledek kalau aku melakukan hal itu!" katanya. Karena suaminya bersumpah seberat itu, Hui Lian diam saja. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan gerak-gerik suaminya, bahkan membayangi di luar tahu suaminya.
Pada suatu malam, di waktu hujan, ia membayangi suaminya yang pergi berkunjung ke tetangga sebelah, memasuki kamar nyonya tetangga itu melalui jendela yang dibuka dari dalam! Hampir meledak rasa hati Hui Lian saking panasnya melihat kelakuan suaminya itu. Ia membiarkan sampai beberapa lama, kemudian secara tiba-tiba ia membuka daun jendela dari luar dan melompat ke dalam kamar.
"Jahanam busuk!" bentaknya dan bergidik ia menyaksikan perbuatan suaminya dan nyonya tetangga itu. Su Ta Touw terkejut dan ketakutan, mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa kemudian hendak berlari keluar. Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya, Hui Lian sudah menendangnya, sedemikian keras tendangan itu sehingga tubuh suaminya terlempar keluar jendela! Hui Lian mengejar keluar, dan menyeret rambut suaminya, ditariknya kembali ke rumah mereka, tidak peduli akan hujan yang turun mengguyur tubuh mereka.
" Ampun". ampunkan aku... ah, ampunkann?"" Su Ta Touw menggigil ketakutan ketika isterinya melempar tubuhnya ke atas tanah di pekarangan depan rumah mereka.
"Bangunlah dan pertahankan dirimu, karena kalau tidak, demi Tuhan, aku akan membunuhmu begitu saja!"
"Tidak... tidak... ah, ampunkan aku ".." Su Ta Touw yang ditantang isterinya itu berlutut dan menyembah-nyembah sambil menangis. Tentu saja dia tidak berani melawan Hui Lian, maklum bahwa tingkat kepandaian silatnya masih jauh sekali di bawah sehingga dalam segebrakan saja isterinya akan mampu merobohkannya, bahkan membunuhnya.
"Desss!" Kembali sebuah tendangan membuat tubuh Su Ta Touw terjengkang dan bergulingan. Dia mengaduh-aduh, bangkit dan berlutut lagi. Mulutnya berdarah dan seluruh tubuhnya basah oleh lumpur.
" Ampunkan aku... aku bersumpah tidak akan berani lagi... aku bersumpah... ah, ampunkan aku."
"Jahanam keparat! Sumpah yang keluar dari mulutmu hina dan busuk!" Kembali kaki Hui Lian menendang dan tubuh itu pun terpelanting keras. Ia menendang untuk melampiaskan kemarahannya, hanya mempergunakan tenaga otot biasa. Kalau ia menendang dengan pengerahan sinkang, satu kali saja tentu akan putus nyawa laki-laki itu.
"Tidak, sekali ini aku taubat benar-benar, aku bersumpah ".. demi nenek moyangku, demi ". nama dan kehormatanku ". aku "."
"Cukup!" Hui Lian membentak marah. "Bangkitlah dan lawan aku sebagai seorang laki-laki! Pertahankanlah nyawamu!"
Melihat kemarahan isterinya yang amat ditakuti itu, Su Ta Touw menjadi semaki ketakutan dan dia menangis tanpa bangkit dari atas tanah di mana dia berlutut!
Melihat ini, Hui Lian menjadi semakin marah, "Kalau begitu, bersiaplah untuk mampus!" bentaknya dan ia sudah melangkah maju untuk mengirim tendangan maut.
"Sumoi, tahan "..!" Tiba-tiba terdengar suara orang. Hui Lian terkejut, membalikkan tubuhnya dan melihat bahwa seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya sudah berdiri disitu.
"Sumoi, apalagi yang kaulakukan ini?" kembali laki-laki menegurnya dengan suara keras penuh teguran.
"Suheng ".!" Hui Lian berlari menghampiri dan menubruk laki-laki itu, menangis sejadi-jadinya di pundak Su Kiat, Su Kiat menarik napas panjang dan mendengarkan dengan sabar ketika Hui Lian menceritakan dengan suara terisak-isak akan semua perbuatan suaminya yang sudah semenjak setahun yang lalu berubah sikapnya, menjadi laki-laki hidung belang. Kemudian diceritakannya pula peristiwa perjinaan suaminya dengan nyonya tetangga yang sudah bersuami dan beranak tiga, bahkan perjinaan itu kini menumbuhkan kandungan dalam perut nyonya itu.
Su Kiat menggeleng-gelengkan kepala, memandang kepada Su Ta Touw yang masih berlutut di atas tanah yang becek. Bagaimana seorang laki-laki dapat terperosok sedemikian dalamnya, melakukan hal yang amat memalukan hanya karena terdorong nafsu berahi"
"Suheng, sebelum engkau datang, aku tadinya hendak membunuhnya sebelum aku bunuh diri. Malu aku hidup di dunia ramai ini".."
Su Kiat terkejut. Dia maklum akan kekerasan hati sumoinya, dan dia khawatir kalau-kalau sumoinya akan benar-benar membunuh diri. "Sumoi, pikiranmu itu keliru. Agaknya memang sudah menjadi nasibmu, dua kali menikah dengan laki-laki yang tidak benar. Akan tetapi, membunuhnya lalu membunuh diri bukan merupakan jalan keluar yang baik. Bunuh diri hanya dapat dilakukan oleh pengecut yang sudah tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Mari kita selesaikan urusan ini sebaiknya, Sumoi. Engkau bercerai saja lagi dari keparat ini, kemudian mari kembali membantuku, membina Cia-ling Bu-koan kita. Bukankah sebelum semua ini terjadi, kita hidup cukup bahagia?"
Diam-diam Hui Lian menyalahkan suhengnya yang dulu membujuknya agar menikah, akan tetapi tidak ada suara keluar dari mulutnya. Suhengnya demikian baik, dan siapa lagi orang di dunia ini kecuali suhengnya yang dapat ditangisinya di waktu ia menghadapi masalah yang demikian menyedihkan hatinya"
"Mari kita pulang ke Hek-bun, dan besok aku yang akan membereskan urusan perceraianmu dengan jahanam ini, menemui orang tuanya." Tanpa pamit lagi, Hui Lian dan Su Kiat mempergunakan ilmu lari cepat meninggalkan tempat itu setelah Hui Lian membawa pakaian dan barang-barangnya yang dianggap perlu.
Pada keesokan harinya, Su Kiat menjumpai Su Ta Touw dan orang tuanya. Su Ta Touw tidak berani banyak cakap lagi karena dia memang merasa bersalah. Juga ayah ibunya tidak berani banyak cakap, maklum akan watak putera mereka yang gila perempuan dan tidak bertanggung jawab itu.
Demikianlah, untuk kedua kalinya, dalam waktu lima tahun, Hui Lian kembali menjadi janda. Ia merasa malu sekali tinggal di Hek-bun. Seluruh penduduk Hek-bun tahu belaka bahwa ia adalah wanita yang dalam waktu beberapa tahun saja sudah menjanda sampai dua kali! Karena itu, biarpun tidak ada orang berani mengejeknya atau bicara tentang dirinya, Hui Lian merasa malu sendiri dan ia pun berpamit kepada suhengnya.
"Suheng, perkenankanlah aku pergi dari dusun ini," katanya pada suatu senja.
Su Kiat terkejut bukan main mendengar ucapan ini dan melihat betapa sumoinya telah mengenakan pakaian pria yang agaknya sudah lama dipersiapkannya. Juga sumoinya itu mengatur rambutnya seperti seorang pria, menyamar sebagai pria. Sudah berbulan-bulan sumoinya tinggal lagi di situ bersama dia setelah bercerai dari Su Ta Touw dan baru terasa olehnya perubahan yang terjadi dalam kehidupannya. Sebelum sumoinya menikah untuk pertama kali, dia merasa hidupnya berbahagia bersama sumoinya. Ketika sumoinya menikah dengan Tee Sun dan pindah, dia merasa kesepian, bahkan berduka. Namun, perasaan ini di lawannnya dengan keyakinan bahwa sumoinya pergi untuk menempuh hidup baru yang berbahagia dan sepatutnya kalau dia merasa ikut berbahagia pula. Kemudian, sumoinya bercerai dan menikah lagi. Kini, setelah sumoinya bercerai untuk kedua kalinya dan tinggal lagi bersamanya dalam satu rumah, membantunya, baik untuk melatih para murid maupun untuk urusan rumah tangga, dia merasa seolah-olah matahari bertambah cerah dan kicau burung bertambah merdu. Kehidupan menjadi amat berbahagia baginya, seolah-oleh dia menemukan kembali dirinya dan kebahagiaan yang tadinya sedikit demi sedikit menghilang bersama dengan perginya Hui Lian dari sampingnya. Karena itu, mendengar sumoinya berpamit, dia terkejut bukan main sampai berubah air mukanya.
"Kau ". kau hendak pergi kemanakah, Sumoi?" tanyanya gagap.
"Aku " aku hendak pergi merantau, ke mana saja, Suheng."
"Ah, apa artinya ini, Sumoi" Kenapa engkau sekarang tidak suka tinggal bersamaku, membantuku" Apakah kita ". tidak dapat kembali hidup seperti dulu, Sumoi, dimana kita mengalami segala hal berdua, pahit maupun manis" Kenapa engkau tiba-tiba hendak meninggalkan aku" Dam aku khawatir sekali karena engkau pergi tanpa tujuan."
"Aku mau mencari pengalaman, Suheng, dan aku ". aku berusaha melupakan segala yang pernah terjadi denganku di sini, juga agar semua orang melupakan semua itu " aku mungkin akan mencari keluarga orang tuaku di San-hai-koan."
"Bukankah aku pengganti keluargamu, Sumoi?"
"Benar, benar sekali, Suheng!" Hui Lian memegang tangan suhengnya yang terletak di atas meja. "Engkau keluargaku, engkau pengganti orang tua dan Kakakku juga Guruku dan sahabatku. Ahh ". betapa aku telah bersikap tak mengenal budi, akan tetapi " aku ingin pergi, Suheng. Aku ingin menghirup udara bebas setelah bertahun-tahun mengalami penderitaan batin yang tak mungkin dapat kuceritakan kepadamu. Perkenankanlah aku pergi, Suheng. Untuk setahun, dua tahun ". Tanpa ijinmu aku tidak berani pergi. Tapi, kasihanilah aku, Suheng "."
Su Kiat memejamkan kedua matanya. Aih, sumoi, tidakkah seharusnya engkau yang mengasihani diriku, bisik hatinya. Akan tetapi dia menahan gejolak hatinya dan membuka mata, memandang wajah sumoinya penuh haru, penuh rasa sayang.
"Baiklah, Sumoi. Aku tidak mungkin dapat mencegah kehendakmu. Aku hanya mendoakan semoga engkau akan menemukan kebahagiaan "."
"Aih, Suheng! Engkau seperti dapat menjenguk dan membaca isi hatiku! Benar sekali, aku rindu akan kebahagiaan, Suheng! Selama ini hanya kebahagiaan palsu yang kuraih, dan aku rindu sekali. Aku akan pergi untuk mencari kebahagiaan, Suheng."
Su Kiat tidak menjawab dan dia masih duduk termenung setelah lama sekali Hui Lian meninggalkan tempat itu, meninggalkannya. Ingin dia pun pergi mencari kebahagiaan, akan tetapi hal itu tidaklah mungkin. Bagaimana mungkin dia mencari kebahagiaan kalau baru saja kebahagiaan sendiri meninggalkannya" Dia sekarang tahu benar. Hui Lianlah sumber kebahagiaannya! Dan kini Hui Lian telah pergi, membawa kebahagiaan menjauhi hatinya yang menjadi penuh dengan kesepian, penuh kekosongan dan kerinduan.
Betapa banyaknya keinginan itu terlontar dari lubuk hati manusia, baik melalui mulut ataupun hanya dipendam saja. Keinginan untuk mencari kebahagiaan! Mencari kebahagiaan! Semua orang rindu akan kebahagiaan. Semua orang ingin mencari kebahagiaan, seolah-oleh kebahagiaan adalah sesuatu yang dapat di cari, dapat ditemukan dan digenggam agar tidak pergi lagi! Su Kiat mengira bahwa baginya, kebahagiaan adalah diri Hui Lian, kehadiran Hui Lian karena ia MEMBUTUHKAN kehadiran Hui Lian YANG MENYENANGKAN hatinya. Orang lain mungkin bukan itu, melainkan harta bendalah sumber kebahagiaannya karena dia membutuhkannya, karena hanya harta benda yang dapat menyenangkan hatinya. Ada pula yang mengejar kebahagiaan melalui kedudukan, atau nama besar, atau benda atau keadaan bagaimanapun juga, semata-mata karena dia membutuhkannya, karena dianggapnya bahwa itulah yang akan menyenangkan dirinya, hatinya, selamanya!
Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu sama dengan kesenangan" Apakah orang yang senang hatinya itu berbahagia" Apakah kesenangan itu dapat dinikmati selamanya" Hal ini dapat kita pelajari dengan mengamati diri sendiri, mengamati kesenangan-kesenangan kita, yang kita cari dan kejar-kejar itu. Betapa banyaknya macam kesenangan atau benda atau keadaan yang mendatangkan kesenangan. Namun, betapa rapuhnya kesenangan itu sendiri, seperti gelembung-gelembung sabun yang indah beraneka warna, mempesona kanak-kanak yang mengejar-ngejarnya, namun setelah terpegang, gelembung itu pun meletus dan lenyap, terganti kekecewaan. Betapa benda atau orang ataupun keadaan, yang tadinya kita kejar-kejar, kita anggap sebagai sumber kesenangan, bahkan mendatangkan kekecewaan, kebosanan, bahkan kejengkelan! Adakah kesenangan yang abadi"
Jelas bukan! Yang kita sebut kebahagiaan jelas bukanlah kesenangan! Kesenangan dapat kita gambarkan, dapat kita cari dan perebutkan, namun kesenangan memiliki muka yang banyak sekali, seperti sepotong dadu yang mempunyai banyak permukaan, dan permukaan yang lain itu sama sekali tidak menyenangkan!
Kita semua mengejar kebahagiaan secara membuta, mengira bahwa kebahagiaan terletak disini, di sana, dan kita mengejar tanpa mengetahui apa sebenarnya kebahagiaan itu! Mungkinkah orang mencari sesuatu yang tidak dikenalnya, sesuatu yang tidak diketahuinya" Kebahagiaan tidak mungkin dikenal, karena kebahagiaan adalah sesuatu yang hidup, sedangkan pengenalan hanyalah melalui sesuatu penggambaran yang mati. Kesenangan adalah penggambaran yang mati, sesuatu yang telah kita kenal, melalui pengalaman, maka dapat kita kejar. Kebahagiaan yang terasa lalu dikenal melalui pengalaman, bukanlah kebahagiaan lagi, melainkan menjadi kesenangan dan seperti biasa kita ingin mengulang kesenangan.
Kita tidak dapat mengenal kebahagiaan, tidak dapat menggenggam kebahagiaan. Akan tetapi kita mengenal dan mengerti akan ketidak-bahagiaan karena kita semua mengalaminya, merasakannya. Justeru karena tidak bahagia inilah maka kita mengejar kebahagiaan. Kita ingin lari dari ketidak-kebahagiaan dan mencari kebahagiaan. Mengapa kita tidak menghadapi saja ketidak-bahagiaan ini, bukan hanya merasakan lalu mencoba lari, melainkan menyelaminya, mengamatinya dengan seksama dan teliti sehingga akan nampak benar oleh kita bahwa kita tidak berbeda, tidak terpisah dari ketidak-bahagiaan itu sendiri. Ketidak-bahagiaan itu adalah kita sendiri, pikiran kita yang selalu mencari senang menjauhi susah, selalu mengejar keuntungan menghindarkan kerugian, selalu ingin, ingin dan ingin lagi! Hanya pengamatan terhadap diri sendiri inilah, yang akan membuat kita waspada dan mengerti, yang akan menghentikan ketidak-bahagiaan itu sendiri merajalela di dalam batin.
Dan kalau sudah tidak ada lagi ketidak-bahagiaan ini di dalam diri kita, apakah kita masih mengejar kebahagiaan" Kiranya tidak, karena tanpa adanya ketidak-bahagiaan, maka kita tidak butuh kebahagiaan lagi, justeru karena kebahagiaan sudah ada pada kita, menyinar sepenuhnya tidak terhalang oleh awan ketidak-bahagiaan, seperti matahari yang terbebas daripada halangan awan yang menggelapkan.
Tuhan Maha Kasih! Kita dilahirkan dalam keadaan lengkap selengkap-lengkapnya. Bukan hanya kelengkapan pada diri kita lahir batin yang lengkap, bahkan yang berada di luar diri kita, yang berada di alam mayapada ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, semua itu melengkapi hidup kita, seolah-olah diciptakan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Matahari, bulan, bintang, angin, air tanah dan segenap tumbuh-tumbuhannya, bahkan segala logam dan minyak di dalam tanah, semua itu bermanfaat bagi kehidupan kita, bukan hanya bermanfaat, bahkan menghidupkan! Kasih Tuhan inilah kebahagiaan, bagi mereka yang mampu menerimanya, dan mau menerimanya. Akan tetapi kebahagiaan akan sirna seperti sinar matahari tertutup mendung kalau muncul ketidak-bahagiaan di dalam batin kita, yang sesungguhnya muncul karena sang aku yang ingin ini dan itu tiada hentinya, diantaranya ingin bahagia pula!
** Sungai Yuan yang airnya jernih itu mengalir ke timur menuju ke Telaga Tung-ting yang terletak diperbatasan Propinsi Hu-nan dan Hu-pai. Ketika sungai itu melewati pegunungan yang penuh dengan hutan cemara, airnya mengambil jalan berkelok-kelok dan dari tempat ketinggian itu nampak seperti seekor ular perak yang amat panjang.
Pemuda itu mengagumi pemandangan alam yang amat indah ini, smabil duduk di atas padang rumput di puncak bukit yang datar itu dan memberi kesempatan pada tubuhnya untuk beristirahat. Dari tempat dia duduk nampak di kejauhan Danau Tung-ting yang luar biasa luasnya itu, seperti lautan. Danau inilah yang memberi nama kepada dua propinsi, yaitu Propinsi Hu-nan (sebelah selatan danau) dan Propinsi Hu-pai (sebelah utara danau). Danau atau Telaga Tung-ting ini di sebelah selatan menampung air dari sungai-sungai Yuan, Siang, Ce, dan Li dan menghubungkan air danau dengan Sungai Yang-ce-kiang yang amat besar itu. danau itu menjadi semacam waduk alam yang amat besar, yang mengatur pasang-surutnya air Sungai Yang-ce.
Di pagi hari menjelang siang itu, pemuda tadi duduk mengaso dan termenung. Alangkah jauhnya sudah dia menjelajahi bumi. Telaga atau Danau Tung-ting yang nampak dikejauhan seperti laut membentang luas itu juga dikunjunginya beberapa hari yang lalu, sempat berperahu dan mengail ikan disana. Alangkah jauh dan lama dia menjelajah.
Dia tidaklah terlalu muda lagi. Usianya sudah kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya serba putih dari kain kasar yang kuat dan bersih. Hanya pita rambut dan ikat pinggangnya yang berwarna biru. Dia sesungguhnya bukanlah seorang pemuda, melainkan seorang wanita, yaitu Kok Hui Lian! Kita tahu bahwa wanita ini meninggalkan Hek-bun, dusun tempat tinggalnya, meninggalkan suhengnya, untuk melakukan perantauan, untuk menghibur hatinya yang penuh dengan kekecewaan dan kedukaan. Sekali merantau, ia menemukan hiburan di dalam kehidupan baru ini, sehingga ia lupa akan janjinya untuk pulang ke tempat tinggal suhengnya. Sudah dua tahun ia merantau dan sudah jauh tempat yang dijelajahinya. Bahkan sudah pula ia mengunjungi San-hai-koan di mana mendiang ayahnya pernah tinggal dan bahkan menjabat sebagai gubernur. Namun, ketika ia melakukan penyelidikan, ternyata ayah dan ibunya, juga seisi rumah, telah menjadi korban perang, semua telah tewas, kecuali ia seorang yang diselamatkan seorang pendekar yang menurut cerita suhengnya kemudian, bernama Cia Hui Song, putera dari Ketua Cin-ling-pai.
Ia berhasil menemui seorang paman, yaitu adik misan ayahnya yang menjadi seorang pembesar di San-hai-koan. Akan tetapi ternyata paman itu bersikap congkak dan tinggi hati, membuat ia merasa sungkan untuk mengenalkan dirinya dan akhirnya ia meninggalkan San-hai-koan dan menganggap bahwa orang tuanya tidak meninggalkan anggauta keluarga lain kecuali dirinya sendiri. Ia berkunjung ke makam ayah ibunya dan bersembahyang.
Kini ia telah tiba di tempat sunyi yang indah itu, dan duduk mengagumi keindahan pemandangan alam sambil melamun. Ia teringat akan masa lalunya, teringat kepada Ciang Su Kiat, orang yang tadinya menjadi gurunya, menjadi pengganti orang tuanya, sahabatnya, dan kemudian menjadi suhengnya. Dan ia menjadi terharu. Setiap kali termenung dan terkenang kepada suhengnya, makin jelas teringat olehnya betapa baiknya suhengnya itu terhadap dirinya. Dan betapa malang nasib suhengnya. Pernah suhengnya bercerita tentang lengannya yang buntung. Lengan kiri itu dibuntungi sendiri sebagai pernyataan bersalah terhadap Cin-ling-pai! Di depan ketua Cin-ling-pai, ayah dari Pendekar Cia Hui Song yang menyelamatkannya, suhengnya itu membuntungi lengan kirinya sendiri, sebagai penebusan dosa dan sebagai protes pula atas peraturan yang amat keras dan bengis dari Cin-ling-pai. "Dosa" suhengnya itu adalah karena Su Kiat membunuh seorang tihu untuk membalas dendam atas kematian ayahnya yang disiksa sampai mati oleh tihu itu karena ayahnya mencuri perhiasan untuk membiayai pengobatan anak bungsunya
Kasihan sekali suhengnya! Dan keterlaluan sekali Ketua Cin-ling-pai itu. Apakah ketua itu tidak melihat bahwa suhengnya tidak melakukan kejahatan, melainkan hendak membalaskan kematian dan sakit hati ayah kandungnya" Biarpun suhengnya melupakan urusan itu, namun kini perasaan penasaran membuat Hui Lian mengambil keputusan untuk mengunjungi Cin-ling-pai dan setidaknya ia akan menegur Ketua Cin-ling-pai atas kebengisan dan kekejamannya itu!
Tiba-tiba Hui Lian tersentak dari lamunannya ketika ada suara melengking merdu, naik turun dengan lembutnya, memasuki pendengarannya. Ia segera memperhatikan dan itu adalah suara suling yang ditiup secara aneh. Suara itu demikian lembut, naik turun dengan halusnya, dalam lagu yang selamanya belum pernah ia mendengarnya. Akan tetapi hanya sebentar saja suara itu terdengar, karena segera menjauh dengan amat cepatnya, seolah-olah suling itu dibawa terbang lalu saja.
Hui Lian bangkit berdiri, memandang ke sekeliling untuk mencari peniup suling, akan tetapi tidak nampak sesuatu dan kini suara suling itu telah makin sayup-sayup kemudian menghilang di kejauhan. Ketika ia memandang ke bawah, di sebuah lereng yang penuh rumout hijau gemuk, ia melihat puluhan ekor domba digembala oleh seprang anak laki-laki yang usianya belasan tahun. Anak itukah Si Peniup Suling, pikirnya. Karena ingin tahu sekali, masih tertarik oleh suara yang aneh tadi, Hui Lian meninggalkan puncak bukit itu dan menuruni bukit menuju ke lereng bukit dimana anak laki-laki itu sedang menggembala dombanya.
Ketika mengerahkan ilmunya berlari cepat, dalam waktu singkat saja Hui Lian telah tiba di lereng bukit itu. Akan tetapi ketika ia tiba di tempat di mana anak laki-laki berusia belasan tahun itu menggembala tiga puluh ekor dombanya, ia terkejut dan cepat menyelinap dibalik batang pohon sambil mengintai ke depan. Tak jauh dari situ, ia melihat empat orang yang mengerikan. Mereka itu dua orang pria dan dua orang wanita, keempatnya sudah berusia enam puluh tahun lebih. Agaknya mereka adalah dua pasang suami isteri. Yang sepasang merupakan kakek dan nenek biasa saja, bahkan kakek tinggi besar itu nampak gagah dan isterinya, nenek yang tubuhnya masih ramping itu memperlihatkan bekas kecantikannya. Namun, pasangan ke dua amat mengerikan. Yang pria tinggi kurus dengan muka yang cukup tampan akan tetapi seperti topeng saja, karena tidak nampak pergerakan pada kulit muka itu! dan isterinya, yang juga berpakaian hitam-hitam seperti suaminya, dapat dibilang cantik akan tetapi mukanya pucat seperti mayat dan membayangkan kekejaman. Dari sikap mereka saja mudah diduga bahwa empat orang itu bukanlaj kakek dan nenek sembarangan.
Dugaannya memang tidak keliru. Dua pasang suami isteri tua itu bukan lain adalah Lam-hai Saing-mo (Sepasang Iblis Laut Selatan) dan suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan. Seperti telah kita ketahui dari bagian depan kisah ini, dua pasang suami isteri sesat ini pernah saling bermusuhan ketika mereka saling memperebutkan Sin-tong (Anak Ajaib) belasan tahun yang lalu. Kemudian, karena dari permusuhan itu mereka sama-sama tidak memperoleh keuntungan, mereka lalu bersekutu dan akhirnya mereka bertemu dengan tokoh datu sesat Lam-hai Giam-lo yang amat sakti dan menjadi sekutu atau anak buahnya. Lam-hai Giam-lo telah mendapatkan seorang murid yang kaya raya dan kini datuk ini tinggal bersama muridnya, mempunyai banyak anak buah yang terdiri dari tokoh-tokoh sesat yang pandai seperti dua pasang suami isteri itu.
"Aahh, kebetulan sekali. Perut kita lapar dan lihat domba-domba yang muda dan gemuk itu!" terdengar Ma Kim Li, nenek isteri Siangkoan Leng yang menjadi Sepasang Iblis Laut Selatan itu berkata sambil menunjuk ke arah sekumpulan domba yang makan rumput dan berkeliaran di situ. Anak penggembala itu duduk di bawah pohon, kadang-kadang meneriaki domba yang berkeliaran telampau jauh. Melihat pakaiannya yang terbuat dari kain Liu-jang, yaitu kain yang terbuat dari bahan rami yang terkenal di daerah Hu-nan, mudah di duga bahwa anak ini adalah suku bangsa Miao, suku bangsa yang banyak terdapat di daerah itu.
"Benar sekali! Daging domba muda dan gemuk itu dibakar setengah matang, diberi garam saja sudah lezat bukan main," kata suaminya.
"Aku masih menyimpan sisa garam dan bumbunya," kata Tong Ci Ki yang mukanya pucat seperti mayat.
"Aku lebih suka mengganyang otak domba itu mentah-mentah, segar dan memperkuat tulang!" kata suaminya yang bernama Kwee Siong.
"Mari kita tangkap, seorang seekor dan boleh makan menurut selera masing-masing," kata Siangkoan Leng, suami dari Ma Kim Li. Mereka serentak muncul dari balik semak-semak dan menghampiri sekumpulan domba itu. Melihat ada empat orang kakek dan nenek menghampiri domba-dombanya yang menjadi gelisah, ana penggembala berusia sekitar tiga belas tahun itu pun cepat bangkit dan lari menghampiri.
Ketika anak itu melihat betapa empat orang kakek dan nenek itu masing-masing menangkap seekor domba muda, dia terkejut sekali dan dalam bahasanya sendiri, bahasa suku bangsa Miao, dia berteriak, "Lepaskan domba-dombaku, jangan tangkap mereka!"
Anak itu berusaha untuk mengambil kembali domba-dombanya dari tangan empat orang kakek dan nenek yang menangkapnya, akan tetapi Ma Kim Li yang berdiri paling dekat, mendorongkan tangan kirinya dan tubuh anak itu pun terdorong ke belakang, terjengkang dan terguling-guling, di atas rumput. Sambil tertawa-tawa empat orang kakek dan nenek sesat itu hendak pergi dari situ membawa empat ekor domba muda yang kini mengembik ketakutan. Anak laki-laki itu terkejut sekali, akan tetapi dia tidak menangis, bahkan cepat dia bangkit lagi dan lari mengejar.
"Kembalikan domba-dombaku! Kembalikan, kalian pencuri-pencuri busuk!"
Mendengar mereka di maki pencuri busuk, Kwee Siong yang berjuluk Si Tangan Maut, berhenti dan membalikkan tubuhnya. Wajahnya yang seperti topeng itu sama sekali tidak menunjukkan apa-apa, namun sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat.
"Hemm, besar juga nyali anak ini. Tentu otaknya lebih segar dan menguatkan tulang daripada otak domba. Nak, mari ikut bersamaku!" katanya dan Kwee Siong sudah melemparkan domba yang tadi dipegangnya ke atas tanah, lalu tangannya menjangkau untuk menangkap leher anak laki-laki itu.
"Tua bangka busuk, jangan ganggu anak itu!" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan tiba-tiba saja tubuh anak itu tertarik ke belakang sehingga terluput dari cengkeraman tangan Kwee Siong. Kakek itu terkejut dan cepat mengangkat muka memandang. Kiranya seorang dengan pakaian serba putih telah berdiri di depannya. Dia seorang laki-laki muda, berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya serba putih kasar namun bersih, dengan ikat rambut dan ikat pinggang berwarna biru. Wajahnya yang tampan sekali itu membayangkan kemarahan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong.
Empat orang tua itu kini menghadapi pemuda yang bukan lain adalah Hui Lian itu, dan mereka semua memandang marah.
"Eh, pemuda liar dari mana berani mencampuri urusan kami?" bentak Siangkoan Leng sambil melangkah maju, tubuhnya yang tinggi besar itu nampak mengancam dan wajahnya beringas.
Dengan suara lantang dan ketus Hui lian berkata, "Melihat sikap kalian, kalian adalah empat orang tua bangka yang tidak miskin, juga bukan orang sembarangan. Tidak malukah kalian mengganggu seorang anak penggembala domba dan merampas domba-dombanya" Kembalikan domba-domba itu!"
"Wah, bocah itu sudah bosan hidup!" bentak Kwee Siong yang tadi sudah melempar dombanya karena hendak menangkap anak penggembala. Sambil membentak, dia sudah menerjang maju dan mengirim tamparan kedua tangannya bergantian ke arah kepala Hui Lian . Tamparan ini bukan sembarangan tamparan, melainkan tamparan yang mengandung tenaga kuat sekali, merupakan serangan maut. Jangankan kepala orang, batu karang pun akan remuk terlanda tamparan kedua tangan yang amat kuat itu.
Dengan tenang Hui Lian mengangkat kedua lengannya ke kanan kiri. Ketika dua pasang lengan itu bertemu, kedua lengan Kwee Siong terpental dan kesempatan ini dipergunakan Hui Lian untuk melanjutkan kedua tangannya yang menangkis itu untuk mendorong ke depan, ke arah dada lawan. Kwee Siong terkejut dan mengelak ke belakang, namun hawa dorongan yang kuat masih menerjangnya dan membuat tubuhnya terjengkang keras! Hanya dengan berjungkir balik sajalah dia terhindar dari bantingan keras.
Tentu saja hal ini mengejutkan empat orang itu. Pemuda berpakaian putih itu bukan saja mampu menangkis tamparan kedua tangan Kwee Siong Si Tangan Maut, bahkan mampu membalas menyerang yang nyaris membuat Kwee Siong terbanting roboh!
Isteri Kwee Siong, Tong Ci Ki, menjadi marah. Ia pun melempar dombanya dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sinar hitam kecil-kecil beterbangan menyambar ke arah tubuh Hui Lian. Gadis yang menyamar sebagai seorang pemuda ini maklum bahwa ia diserang jarum-jarum halus yang mungkin sekali mengandung racun. Namun, sebagai seorang ahli silat yang berilmu tinggi, Hui Lian tidak menjadi gugup dengan datangnya serangan dengan senjata gelap ini. Sekali berkelebat, tubuhnya sudah lenyap dari depan empat orang lawan karena tubuh itu, dengan ginkang yang luar biasa, telah mencelat ke atas sehingga jarum-jarum itu lewat di bawah kakinya. Hui Lian tidak hanya mengelak, akan tetapi ketika tubuhnya turun, tubuh itu menyambar ke arah Tong Ci Ki yang tadi menyerangnya dengan jarum.
Tentu saja Tong Ci Ki yang berjuluk Si Jarum Sakti, terkejut sekali melihat lawan yang diserang jarum-jarum halus itu secara tiba-tiba lenyap, dan ia menjadi semakin kaget ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari atas dan ketika ia menengadah, ia melihat lawannya tadi telah meluncur turun dan menyerangnya dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepalanya! Datangnya serangan ini demikian tiba-tiba dan cepat sehingga satu-satunya jalan bagi nenek iblis itu untuk menyelamatkan diri hanyalah dengan cara membuang tubuhnya ke samping, ke arah yang berlawanan dengan datangnya serangan, terus menjatuhkan diri ke bawah. Akan tetapi, gerakannya masih belum cukup cepat karena pita rambut bersama sebagian rambut, segumpal rambut bercampur uban, telah kena dicengkeram dan rontok dari kepalanya! Tong Ci Ki bergulingan dan melompat bangun dengan muka yang sudah pucat itu menjadi kehijauan, dan tengkuk meremang saking ngerinya. Nyaris ia tewas dalam segebrakan saja!
Dua pasang suami isteri yang terkenal sebagai tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu hampir tidak dapat mempercayai mata mereka sendiri melihat betapa ada seorang pemuda yang sama sekali tidak terkenal, dengan beberapa gebrakan saja membuat suami isteri iblis dari Guha Pantai Selatan itu hampir roboh! Siangkoan Leng dan isterinya tahu bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendekar yang lihai, maka tanpa banyak cakap lagi mereka pun melempar domba yang mereka tangkap tadi dan keduanya sudah menerjang maju membantu kawan-kawan mereka. Siangkoan Leng meloncat ke atas dan menubruk dengan kedua tangannya membentuk cakar, seperti serangan seekor singa kelaparan. Hui Lian menghindar dengan kecepatan kilat ke samping lalu kakinya bergerak menendang ke arah lambung penyerangnya. Siangkoan Leng menangkis tendangan itu dengan tangannya, bermaksud menangkap kaki lawan, akan tetapi akibatnya, lengannya tertendang dan dia pun terhuyung!
Pada saat itu, Ma Kim Li sudah menubruk dengan serangan kilat, memukul ke arah dada, disusul dengan serangan yang dilakukan oleh Tong Ci Ki dan Kwee Siong. Karena mereka bertiga memiliki ilmu silat yang tinggi, maka dapat dibayangkan betapa dahsyatnya serangan mereka bertiga yang dilakukan hampir berbareng itu. Namun, Hui Lian juga maklum bahwa para lawannya bukanlah orang lemah, dan melihat cara mereka menyerang itu mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang dari golongan hitam, cepat mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya dan tubuh itu pun berkelebatan ke sana-sini, di antara tangan dan kaki lawan yang menyerang. Hui Lian di kepung dan dikeroyok dari empat penjuru, namun, tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan putih yang sukar sekali disentuh, apalagi dipukul. Lebih mudah menangkap seekor burung walet dariapda menyentuh bayangan putih yang berkelebatan dengan amat cepatnya itu. Empat orang tokoh sesat itu menjadi semakin terkejut. Tak mereka sangka bahwa di daerah sunyi ini mereka akan bertemu dengan seorang lawan yang sakti, padahal lawan itu masih demikian muda dan tidak terkenal sama sekali!
Hui Lian tahu bahwa empat orang ini bukan orang baik-baik, tentu golongan hitam yang suka bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi karena ia tidak mengenal mereka dan tidak bermusuhan dengan mereka, sedangkan kesalahan mereka hanyalah mencuri domba-domba, maka ia pun tidak bermaksud untuk membunuh mereka. Kalau hal itu dikehendakinya, biarpun tidak begitu mudah karena dikeroyok empat, ia tentu akan dapat merobohkan mereka satu demi satu. Kini ia membalas dengan kecepatan gerak tangan dan kakinya, dan biarpun empat orang lawan ini pun dapat menghindarkan diri dengan saling bantu, namun permainan silat mereka menjadi kacau saking cepatnya gerakan Hui Lian, dan mereka pun merasa jerih. Mereka sedang melaksanakan tugas, tidak menguntungkan kalau melibatkan diri dalam perkelahian melawan orang yang amat lihai ini, apalagi hanya untuk urusan yang sepele.
Siangkoan Leng memberi isyarat kepada tiga orang lainnya untuk melarikan diri sedangkan dia mendahului menarik tangan isterinya diajak meloncat ke laur kalangan perkelahian. Suami isteri dari Guha Iblis Pantai Selatan juga berloncatan menjauh, kemudian tanpa menoleh lagi, keempatnya sudah melarikan diri secepatnya meninggalkan lereng itu. Hui Lian tidak mengejarnya, karena ia mengenal bahayanya melakukan pengejaran terhadap orang-orang golongan sesat yang suka mempergunakan segala macam kecurangan. Apalagi memang tidak ada apa-apa antara mereka dan dirinya.
Ketika dia menoleh dan mencari, ternyata sekumpulan domba itu telah lenyap dari situ dan ketika ia mencari-cari dengan pandang matanya, domba-domba itu telah jauh berada di kaki bukit, digembala oleh anak tadi yang kini berjalan bersama seorang dewasa yang tidak dikenalnya, seorang laki-laki yang mengenakan sebuah caping lebar yang menutupi seluruh kepala dan mukanya. Caping seperti itu memang dapat dipergunakan untuk melindungi tubuh, baik dari panas maupun dari curahan air hujan. Hui Lian tersenyum. Anak itu terlepas dari bahaya tanpa mengucapkan terima kasih sediki pun kepadanya. Hal ini tidak mengapa, apalagi anak itu tidak dikenalnya dan secara kebetulan saja mereka bertemu, juga anak itu tidak minta tolong kepadanya. Akan tetapi betapa melihat anak itu kini berjalan bersama seorang dewasa, hatinya merasa tidak enak dan ia menjadi curiga. Siapa tahu kalau orang bercaping lebar itu juga seorang penjahat yang menipu anak itu dan hendak merampas domba-dombanya! Maka, ia pun cepat berlari turun dari lereng itu melakukan pengejaran.
Ketika ia sudah dapat menyusul, Hui Lian mencoba untuk memperhatikan muka orang dewasa yang berjalan bersama dengan anak itu. Mereka berjalan berdampingan, akan tetapi agaknya tidak pernah bicara. Anak itu pun melihatnya, dan nampaknya bingung dan juga khawatir, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata, hanya berjalan lebih merapat kepada orang dewaasa itu. Ketika Hui Lian mendahului untuk dapat melihat wajah orang, orang itu agak menundukkan mukanya sehingga caping lebar itu kini menutupi mukanya sama sekali dari arah samping dan depan! Hui Lian yang melirik tidak melihat apa-apa kecuali sebuah caping yang dicat kuning itu. Orang itu mengenakan pakaian berwarna biru muda dengan garis-garis di pinggirnya.
Beberapa kali Hui Lian berjalan di dekat mereka, baik dari belakang maupun dari depan. Sambil melirik. Namun selalu hanya caping yang dilihatnya karena dari manapun ia memandang, muka itu selalu terlindung caping. Ia menjadi penasaran dan semakin curiga. Jangan-jangan orang ini memang sengaja menyembunyikan mukanya, pikirnya mendongkol, merasa di permainkan. Karena itu, dengan langkah lebar ia pun menghampiri mereka.
"Hei, berhenti dulu!" kata Hui Lian dengan suara gemas, menggunakan bahasa Miao sedapatnya.
Anak itu berhenti menahan langkahnya dan orang bercaping itu pun ikut pula berhenti. Akan tetapi kalau anak itu pun mengangkat muka memandang kepada wajah Hui Lian dengan sikap takut, orang bercaping itu berhenti dan berdiri sambil menundukkan muka sehingga kembali Hui Lian hanya melihat caping saja!
"Angkat mukamu dan perlihatkan kepadaku!" Hui Lian yang sudah tidak sabar lagi membentak. Ia masih mempergunakan bahasa campuran dengan bahasa Miao. Orang itu baru sekarang mengangkat mukanya, caping itu kini berada di belakang kepalanya dan wajahnya nampak jelas ketika sepasang mata Hui Lian bertemu dengan sepasang mata lain yang membuat ia terkejut bukan main. Wajah itu adalah wajah seorang pemuda yang tampan, hidungnya mancung, mulutnya dihias senyum ramah dan sepasang matanya seperti mata naga, mencorong dan berpengaruh!
"Eh, siapa kau?" tanyanya dalam bahasa Miao , akan tetapi pemuda yang usianya dua puluh tahun lebih sedikit itu hanya memandang kepadanya sambil tersenyum bodoh.
Hui Lian mengerutkan alisnya dan bertanya kepada anak penggembala yang juga memandang kepadanya. "Siapakah dia ini?"
Penggembala itu menoleh dan memandang kepada Si Caping Lebar, lalu menggeleng dan menjawab. "Aku tidak tahu."
Hui Lian menjadi semakin curiga. Wah, benar dugaannya, pikirnya. Penggembala itu tidak mengenal orang ini, berarti penggembala ini tertipu. "Tanya siapa dia!" katanya lagi dalam bahasa Miao sambil menatap wajah orang bercaping yang masih senyum-senyum akan tetapi agaknya tidak mengerti apa yang dipertanyakan itu.
Anak itu kini menghadapi Si Caping Lebar, dan menggerak-gerakkan kedua kedua tangan dan jari-jari tangannya, berusaha memberi isyarat dengan tangan menanyakan namanya sambil menuding-nuding ke arah dada orang itu. Melihat ini, Hui Lian menjadi semakin heran dan terkejut, juga jengkel karena agaknya melalui bahasa isyarat tangan, orang bercaping yang berwajah tampan itu juga belum dapat mengerti maksudnya pertanyaannya melalui anak penggembala itu.
"Sialan," gerutunya dalam bahasanya sendiri. "Dia gagu pula "."
Akan tetapi pemuda tampan itu terkekeh geli sambil memandang kepadanya. "Sobat yang baik, aku tidaklah gagu seperti yang kaukira."
Hui Lian terkejut. Kiranya orang bercaping ini tidak gagu sama sekali. Ia menjadi semakin jengkel karena merasa dipermainkan. "Kalau tidak gagu, kenapa sejak tadi engkau tidak mau menjawab pertanyaanku dan anak ini mengajakmu bicara dengan isyarat tangan?" bentaknya.
"Aih, bagaimana aku tahu bahwa engkau mengajakku bicara sobat" Apa yang kaubicarakan bersama adik ini tadi, aku sama sekali tidak mengerti sebuah kata pun."
Hui Lian kini menahan ketawanya. Barulah ia mengerti. Kiranya orang ini tidak pandai bahasa Miao, maka tentu saja tidak menjawab ketika ia bertanya karena memang tidak mengerti. Dan ia menyuruh anak penggembala itu bertanya kepadanya, tentu saja merekapun tidak dapat saling bicara dan anak itu agaknya sudah tahu bahwa orang ini tidak pandai bahasa Miao maka mencoba dengan isyarat tangan. Hui Lian tersenyum dan orang itu agaknya girang bukan main melihat senyumnya.
"Wah, dugaanku benar sekali, ha-ha-ha!"
Hui Lian mengerutkan alisnya kembali. Ia melihat pemuda itu tertawa dan wajahnya yang tampan menjadi semakin menarik.
"Engkau mentertawakan apa!" bentaknya.
Pemuda yang sedang celangap tertawa itu tiba-tiba menghentikan ketawanya dan hal ini nampak demikian lucu sehingga anak penggembala itu tidak dapat menahan ketawanya. Memang lucu sekali melihat wajah yang tadinya tertawa gembira, tiba-tiba menghentikan suara ketawa itu dan berubah menjadi demikian serius. Pemuda itu menoleh, memandang kepada anak penggembala dan melihat anak itu tertawa-tawa, dia pun tertawa lagi. Keduanya tertawa dan Hui Lian yang tidak mengerti apa yang mereka ketawakan, mengerutkan alisnya lebih dalam lagi.
"Diam! Mengapa kalian tertawa-tawa seperti orang gila!" bentaknya dan biarpun anak itu tidak mengerti ucapannya, namun agaknya dia mengerti bahwa orang berpakaian serba putih itu marah-marah, maka dia pun berhenti tertawa seperti juga Si Pemuda Bercaping Lebar yang sudah menghentikan lagi suara ketawanya dengan tiba-tiba.
"Nah, apa yang kauketawakan" Kau mentertawakan aku, ya?" Hui Lian kini menghardik Si Caping Lebar.
Caping lebar itu bergerak-gerak lucu ketika kepala yang ditungganginya menggeleng. "Bukan mentertawakan, melainkan tertawa karena girang bahwa dugaanku benar. Tadi aku menduga bahwa engkau adalan seorang yang amat tampan dan ganteng, juga berhati baik sekali. Ketika engkau menegur aku dan marah-marah, aku merasa kecelik. Orang marah mana bisa nampak tampan" Akan tetapi ketika engkau tidak marah lagi dan tersenyum tadi, barulah aku yakin bahwa dugaanku benar. Engkau seorang pria yang tampan dan ganteng, juga berhati baik sekali. Atau ". barangkali dugaanku tetap keliru?"
Tentu saja Hui Lian tidak berani lagi memperlihatkan sikap marah. Siapa orangnya yang tidak ingin disebut tampan dan baik hati" Ia tersenyum, kini senyumnya lebih manis dan ramah, akan tetapi karena ia masih merasa curiga kalau-kalau pemuda bercaping ini mempermainkannya, iapun berkata. "Tentu saja aku marah kalau engkau pecengisan?"
"Pecengisan" Apa itu?" tanya Si Pemuda Bercaping.
Pecengisan itu tidak bersungguh-sungguh dan memperolokku! Engkau tidak sedang mempermainkan aku, bukan?"
"Wah, tidak! Tidak! Mana bisa aku mempermainkan" Engkau begini tampan dan gagah, begini baik, mana aku berani?"
"Nah, kalau begitu, tanggalkan dulu capingmu yang selalu menutupi mukamu agar aku dapat bicara sambin memandang mukamu!"
Pemuda itu menanggalkan capingnya dengan cara mendorong caping itu ke belakang dan kini benda itu tergantung di belakang tubuhnya karena talinya tergantung di leher, dan caping itu menutupi buntalan pakaiannya yang digendongnya. Hui Lian semakin kagum. Ternyata pemuda ini ganteng bukan main! Pakaiannya yang berwarna biru muda itu pun sederhana, namun bersih, juga rambutnya hitam sekali, terawat baik.
"Nah, begitu baru baik. Sekarang katakan, bagaimana engkau tahu-tahu dapat berjalan bersama penggembala ini" Dimana engkau ketika ada orang mencuri domba-domba itu tadi?"
"Aku kebetulan saja lewat dan melihat engkau berkelahi melawan empat orang iblis tadi. Melihat adik penggembala ini ketakutan, aku lalu mengajaknya pergi dan menghalau semua domba-dombanya, menjauhi tempat itu karena takut kalau-kalau ada orang jahat lagi yang akan merampas dombanya. Bagaimana dengan perkelahian tadi" Menangkah engkau" Dan dimana mereka itu?"
Hui Lian mengangguk-angguk. Kiranya hanya orang lewat secara kebetulan saja. "Aku telah berhasil mengusir mereka," jawabnya singkat. "Mereka itu orang-orang berbahaya sekali, aku harus mengantar adik penggembala ini sampai kerumahnya."
"Wah, kebetulan sekali kalau begitu. Aku pun tadinya hendak mengantarnya, akan tetapi aku takut kalau-kalau ketemu orang jahat. Kalau engkau yang suka mengantarnya, hatiku menjadi lega, Toako. Aku akan melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, senang sekali dapat bertemu seorang yang demikian gagah perkasa seperti engkau." Pemuda itu mengenakan lagi capingnya, lalu memisahkan diri dengan langkah lebar menuju ke kiri. Kepada anak penggembala itu, dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan, dibalas oleh penggembala itu.
"Dimana dusunmu?" Hui Lian bertanya kepada Si Penggembala setelah orang bercaping lebar itu lenyap di balik pohon-pohon.
Anak itu menunjuk ke sebuah bukit gundul yang berada di depannya. "Di balik bukit itu."
"Hemm, kenapa engkau menggembala domba sedemikian jauhnya?"
"Di sana tidak ada rumput baik, dan domba-domba ini harus di beri makan rumput yang segar agar mereka tetap sehat dan segar kalau disembelih esok lusa."
"Disembelih" Semua ini ?"" Hui Lian memandang kepada domba-domba itu, dan baru sekarang timbul perasaan ngeri mendengar bahwa domba-domba yang jinak dan manis itu akan disembelih semua! Melihat betapa binatang-binatang yang jinak dan lemah ini, yang ketika digiring dan mengembik nampak sekali tidak berdaya, kini ihendak disembelih semua, timbul perasaan kasihan dan ngeri. Padahal, sejak kecil daging domba sudah dimakannya dan belum pernah ia teringat kepada dombanya kalau sedang makan daging domba.
"Ya, semua ini dan masih banyak lagi. Kepala suku kami hendak mengadakan pesta pemilihan suami untuk puterinya. Wah, akan ramai sekali karena pemilihan sekali ini pakai sayembara mengadu ilmu ketangkasan!" Tentu saja Hui Lian merasa tertarik sekali. Pernah ia mendengar tentang suku bangsa yang mempunyai kebiasaan bermacam-macam mengenai pernikahan, dan ia pun pernah mendengar akan kebiasaan sayembara untuk memperebutkan seorang wanita cantik, terutama puteri kepala suku.
"Apakah aku boleh nonton?" tanyanya, menggunakan bahasa Miao yang hanya dikuasalnya setengah matang, namun cukup untuk dapat dipakai berkomunikasi dengan anak penggembala itu.
Anak itu mengangguk. "Pesta ini memang merupakan pesta suku kami, akan tetapi boleh saja orang luar menonton, bahkan boleh juga kalau ada yang mau mengikuti sayembara. Apalagi engkau yang telah menyelamatkan domba-domba ini, kepala suku kami tentu akan senang mendengarnya. Marilah ikut bersamaku sampai ke dusun dan kuperkenalkan kepada kepala suku."
Hui Lian yang memang sedang merantau dan ingin mengalami hal-hal baru, mengangguk senang. Mereka mendaki bukit didepan dan ketika tiba di puncak bukit, anak itu menuding ke bawah. "Nah, di sanalah perkampungan kami." Di bawah bukit itu nampak perkampungan dari rumah-rumah sederhana. Akan tetapi perhatian Hui Lian tertarik kepada sebuah tubuh yang menggeletak tak jauh dari situ, telentang seperti sudah tak bernyawa saja.
"Di sana ada orang ".." katanya dan cepat menghampiri, diikuti oleh anak penggembala itu yang berlari-lari di belakang Hui Lian.
"Aih, dia Kiao Yi!" tiba-tiba penggembala itu berseru. "Tuan, apakah dia... dia mati ".?" Wajahnya pucat dan matanya terbelalak penuh kekhawatiran.
Hui Lian cepat memeriksa. Orang itu belum mati, akan tetapi lemah sekali dan pingsan. Melihat mukanya yang agak kebiruan, dan mulutnya yang mengeluarkan busa, ia dapat menduga bahwa tentu orang ini telah keracunan. Suhengnya pandai membuat obat anti racun, dan ia juga membawa obat itu untuk bekal dalam perjalanan.
"Tidak, dia belum mati. Cepat cari air untuk kuberi minum obat padanya." kata Hui Lian.
Penggembala itu lalu mengeluarkan guci tempat air yang dibawanya untuk bekal. Hui Lian mengeluarkan satu butir pel putih dan memaksa orang yang pingsan itu menelan pel bersama air yang diminumkannya, dibantu oleh penggembala itu.
Hui Lian lalu menotok sana-sini. Orang itu masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya, kulitnya kecoklatan seperti bangsa Miao pada umumnya, kepalanya memakai kain kepala yang dilibat-libatkan seperti sorban, dan wajahnya cukup tampan.
Pemuda Miao itu mengeluh, lalu siuman dan membuka mata" lalu bangkit dan muntah-muntah, legalah hati Hui Lian. Kalau pemuda itu muntah, hal itu berarti dia tertolong nyawanya, karena racun itu ikut tertumpah keluar. Setelah semua isi pencernaannya tertumpah keluar, agaknya pemuda itu baru melihat adanya Hui Lian dan penggembala itu. Dia mengenal penggembala itu, akan tetapi heran melihat Hui Lian. Anak penggembala itu cepat memberi tahu bahwa Hui Lian adalah orang yang telah mengobatinya. Pemuda itu lalu cepat memberi hormat dan menghaturkan terima kasih.
"Tak perlu berterima kasih." kata Hui Lian dengan bahasa yang kaku. "Lebih baik ceritakan bagaimana engkau berada di sini, pingsan dan keracunan."
Pemuda yang bernama Kiao Yi itu mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
"Saya sendiri tidak tahu. Tadi saya bersama para pemuda lain, terutama mereka yang hendak mengikuti sayembara, makan-makan bersama. Kemudian saya merasa perutku tidak enak dan saya menjauhkan diri pergi ke sini. Makin lama semakin nyeri rasa perutku dan saya tidak ingat apa-apa lagi."
"Hemm, engkau keracunan, tentu dalam makanan itu terdapat racunnya." kata Hui Lian.
"Ah, kalau begitu semua temanku tentu keracunan pula! Saya harus segera kembali ke sana untuk melihatnya!" Kiao Yi meloncat bangun, akan tetapi segera terguling roboh lagi dan dia mengeluh. Kepalanya pening dan tubuhnya lemah sekali.
"Engkau sudah terhindar dari bahaya maut, akan tetapi masih lemah dan sedikitnya harus beristirahat sampai seminggu barulah akan pulih kembali kesehatanmu."
"Ah, mana bisa begitu?" Kiao Yi berteriak kaget. "Saya harus mengikuti sayembara itu! Tidak mungkin saya membiarkan saja, tidak ikut dan kekasih saya jatuh ke tangan orang lain!"
Anak gembala itu lalu menerangkan kepada Hui Lian. "Kakak Kiao Yi ini adalah kekasih Nian Ci, puteri kepala suku kami, dan juga dia paling gagah di antara para pemuda kami. Sudah dapat dipastikan bahwa dia tentu akan menang dalam sayembara, apalagi memperoleh dukungan puteri kepala suku kami. Akan tetapi sekarang dia sakit "."
Kiao Yi mencoba untuk bangkit lagi, akan tetapi kembali dia harus terduduk kembali sambil memegangi kepala dengan kedua tangan karena kepalanya seperti melayang rasanya dan pandang matanya terputar.
"Jangan dipaksa berdiri, engkau harus beristirahat. Jelas bahwa engkau tidak mungkin dapat mengikuti sayembara itu, apalagi kalau sayembara itu dilakukan besok pagi. Apakah tidak bisa ditunda dan diundurkan sampai seminggu lagi agar engkau sembuh lebih dulu?"
"Tidak mungkin." jawab Kiao Yi. "Hari telah diputuskan oleh kepala suku, dan tidak mungkin dirobah atau diundurkan, semua persiapan telah dilakukan. Ah, Nian Ci... Nian Ci... agaknya Langit dan Bumi tidak menghendaki kita menjadi suami isteri " Pemuda itu nampak berduka sekali.
Pada saat itu terdengar suara gaduh dan ketika Hui Lian menoleh, ternyata ada belasan orang pemuda berlari-lari naik ke bukit itu. Melihat mereka, anak penggembala itu lalu mengangkat tongkatnya dan berteriak-teriak memanggil. Mereka berlarian naik dan nampak oleh Hui Lian bahwa mereka adalah pemuda-pemuda yang bertubuh sehat dan kuat, juga sikap mereka gembira. Akan tetapi, ketika mereka tiba di situ melihat adanya seorang asing, mereka memandang heran dan sibuklah anak penggembala itu menceritakan betapa domba-dombanya hampir dirampok orang, akan tetapi dia ditolong oleh pemuda bangsa Han. Selain itu diceritakannya pula betapa ketika pemuda Han itu mengantar dia pulang, di puncak itu mereka menemukan Kiao Yi dalam keadaan pingsan dan pemuda itu pula yang telah menolong dan mengobatinya.
"Dan aku harus beristirahat seminggu baru akan pulih kembali kesehatanku!" Kiao Yi mengeluh kepada teman-temannya. "Dan aku tidak bisa ikut sayembara itu... ah, betapa sial nasibku".!"
Hui Lian memandang kepada belasan orang muda itu, lalu bertanya kepada Kiao Yi. "Mereka inikah yang makan-makan bersamamu tadi?"
Kiao Yi mengangguk. "Untung di antara mereka agaknya tidak ada yang keracunan seperti aku."
Para pemuda itu lalu menggotong Kiao Yi yang lemah turun dari bukit, diikuti oleh penggembala domba dengan domba-dombanya, dan Hui Lian yang semakin tertarik juga mengikuti mereka. Setelah tiba di perkampungan itu, para pemuda membawa Kiao Yi ke dalam rumahnya, disambut oleh ibu pemuda itu dengan bingung. Kiao Yi sudah tidak berayah lagi, dan ibunya menjadi khawatir sekali melihat keadaan puteranya. Akan tetapi ketika mendengar bahwa Hui Lian adalah pemuda Han yang telah menolong puteranya, ia mempersilakan Hui Lian masuk ke dalam rumah sebagai seorang tamu yang dihormati.
Setelah penggembala itu dan para pemuda pergi, Hui Lian yang duduk di dekat pembaringan Kiao Yi, bertanya. "Namamu Kiao Yi, bukan" Aku tadi mendengarnya dari penggembala."
"Benar sekali." jawab pemuda yang lemah itu.
"Dan namaku Hui Lian. Kiao Yi, apa saja yang harus dilakukan dalam sayembara yang akan diadakan besok itu?"
"Ada lima macam. Pertama diadu kemahiran menunggang kuda dan mempergunakan anak panah sambil berkuda. Ke dua diadu kecepatan menangkap seekor rusa muda. Ke tiga diharuskan melawan seekor kerbau. Ke empat, diserang tiga kali dengan anak panah dalam jarak seratus meter, dan ke lima siapa yang bisa lulus dalam ujian sampai empat macam itu diharuskan mengadu ilmu berkelahi. Sebagai ujian saringan bagi para pengikut harus membawa sebuah batu besar meloncat ke atas panggung."
Hui Lian mengangguk-angguk. "Hemm, berat juga. Dan tadinya engkau yakin akan dapat menang?"
Kiao Yi menarik napas panjang. "Sejak kecil saya sudah mempelajari semua ilmu ketangkasan suku kami dan melihat kemampuan teman-teman yang memasuki sayembara, saya dapat mengharapkan untuk menang. Akan tetapi sekarang... ah, tak mungkin lagi "." Wajahnya nampak sedih sekali.
"Sudahlah, Anakku, jangan berduka. Memang agaknya Nian Ci bukan jodohmu. Lebih baik engkau menjaga dirimu agar cepat sembuh, dan aku akan mencarikan gantinya Nian Ci. Puteri Bibimu Mang juga cantik dan ?"
"Tidak, Ibu! Kalau tidak dengan Nian Ci, aku tidak mau menikah!"
"Anakku ?"!" lbu itu menangis. Melihat ini, tergerak hati Hui Lian. Pemuda ini sudah saling mencinta dengan Nian Ci, kalau sampai gagal perjodohan mereka, tentu akan mendukakan kedua orang muda itu. Dan lebih lagi, ia merasa curiga sekali. Kiao Yi makan-makan bersama belasan orang pemuda temannya yang juga akan menjadi saingannya itu. Dia keracunan, akan tetapi mengapa pemuda-pemuda yang lain tidak" Agaknya tentu ada permainan kotor di sini! Hal inilah yang membuat ia penasaran sekali.
"Kiao Yi, karena engkau sedang sakit, biarlah aku yang akan mewakilimu maju dalam sayembara itu. Aku akan berusaha sampai menang agar engkau dapat menikah dengan Nian Ci." katanya.
Sepasang mata pemuda itu terbelalak dan pandang matanya menatap wajah Hui Lian penuh selidik. "Kak Hui Lian, apakah engkau pernah melihat Nian Ci?"
Hui Lian menggeleng kepala. "Secara kebetulan saja aku bertemu dengan penggembala domba itu dan ikut ke sini."
Pemuda itu nampaknya semakin heran. Tadinya dia mengira bahwa tentu pemuda Han ini melihat Nian Ci dan tertarik oleh kecantikan gadis kepala suku itu.
"Kalau begitu, mengapa engkau hendak ikut sayembara?"
"Aku ingin mencegah agar Nian Ci t~idak menikah dengan orang lain, kecuali denganmu."
"Kak Hui Lian, engkau sudah menolong saya, sekarang hendak melakukan hal itu lagi" Tidak, engkau boleh memasuki sayembara, akan tetapi kalau menang, biarlah Nian Ci menjadi isterimu. Ia cantik jelita dan menarik, juga pandai sekali. Daripada ia terjatuh ke tangan pemuda lain, saya rela kalau ia menjadi isterimu!"
"Tidak, Kiao Yi, aku melakukannya untukmu."
"Mana bisa" Sayembara itu bukan tidak berbahaya, terutama sekali ujian diserang anak panah dan adu ilmu berkelahi itu. Bisa terluka, bahkan bisa tewas!"
"Akan tetapi aku yakin akan dapat menangkan mereka, Kiao Y i." .
"Tapi... tapi... Kak Hui Lian, kenapa engkau tidak mau menerima hadiahnya" Kenapa engkau tidak mau menikah dengan Nian Ci kalau menang, melalnkan hendak memberikan gadis itu kepadaku" Kenapa?" Melihat betapa pemuda ini berkeras dan agaknya akan menolak kalau ia tidak berterus terang, Hui Lian tersenyum.
"Kiao Yi, memang ada rahasianya mengapa aku tidak mau menikah dengan Nian Ci atau gadis mana saja di dunia ini. Akan tetapi, kalau aku membuka rahasia ini kepadamu agar engkau tidak penasaran, dapatkah engkau menjaga agar rahasia ini tidak bocor dan diketahui orang lain?"
Saya bersumpah tidak akan membocorkannya!" kata Kiao Yi dan pemuda ini minta kepada ibunya agar meninggalkan mereka berdua. Ibu yang tahu diri itu pun keluar dan setelah tinggal berdua saja, Hui Lian berkata lirih.
"Kiao Yi, ketahuilah mengapa aku tidak dapat menikah dengan Nian Ci, karena sesungguhnya aku adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria."
Kiao Yi terkejut sekali. Kalau saja tubuhnya tidak selemah itu, tentu dia sudah meloncat turun dari pembaringannya. Dia memandang dengan mata terbelalak dan sejenak dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya dia bicara, suaranya berat dan gemetar.
"Kalau begitu, sungguh... lebih tidak mungkin lagi. Sebagai seorang wanita, bagaimana... bagaimana engkau dapat melakukan semua ujian dalam sayembara ...?"
Kembali Hui Lian tersenyum. "Jangan khawatir, percayalah padaku, Kiao Yi. Kalau aku tidak merasa mampu, tentu aku tidak menawarkan diri mewakilimu."
Kiao Yi teringat akan cerita yang pernah didengarnya, yang dianggapnya sebagai dongeng, tentang wanita-wanita pendekar di antara bangsa Han.
"Apakah... apakah... engkau seorang pendekar wanita?"
Untuk meyakinkan hati pemuda itu, Hui Lian mengangguk. "Nah, cukuplah, jangan dibicarakan lagi hal itu. Bersikaplah seolah-olah aku masih seperti tadi, seorang sahabat laki-laki. Dan namaku tetap Hui Lian, karena memang itulah namaku."
Kiao Yi girang sekali. Kalau seorang pendekar wanita yang menolongnya, tentu dia akan berhasil menikah dengan gadis kekasihnya itu! Dia lalu berteriak memanggil ibunya yang tergopoh-gopoh memasuki kamar.
"Ibu, kakak Hui Lian ini akan mewakili aku dalam sayembara dan aku yakin dia pasti dapat menang. Ibu persiapkan saja segala keperluan untuk pernikahanku dengan Nian Ci. Dan berikan kamar tidur besar kepada Kakak Hui Lian. Ibu tidur di sini bersamaku."
Ibunya memandang puteranya dengan heran. Mengapa tamu muda itu tidak tidur saja bersama Kiao Yi" Bukankah hal itu lebih tepat, pemuda tidur dengan pemuda" Akan tetapi karena tamu itu merupakan orang terhormat, ia pun tidak membantah dan cepat meninggalkan kamar itu untuk membersihkan kamar besar
** Siapakah pemuda bercaping lebar yang pernah bertemu dengan Hui Lian ketika gadis ini menolong penggembala dari serangan empat orang manusia iblis itu" Dia bukan lain adalah Hay Hay! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dalam perantauannya Hay Hay bertemu dengan seorang kakek yang mengaku bernama Song Lojin dan Hay Hay lalu menjadi murid dari pencinta alam dan pencinta binatang itu. Tidak lama kakek itu melatih Hay Hay, hanya kurang lebih satu bulan, akan tetapi gemblengan yang diberikan itu benar-benar membuat Hay Hay menjadi seorang yang matang ilmu-ilmunya!
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, tentu saja Hay Hay kagum bukan main ketika dia melihat perkelahian antara Hui Lian dan empat orang manusia iblis itu. Apalagi ketika dia mengenal siapa adanya empat orang pengeroyok itu! Dia tahu betul akan kelihaian Lam-hai Siang-mo dan juga suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan. Akan tetapi, pemuda tampan yang dikeroyok empat orang datuk sesat yang lihai itu nampak demikian lincah, gerakannya demikian ringan dan nampak tidak sungguh-sungguh ketika menghadapi pengeroyokan mereka! Namun, tetap saja empat orang ilbis itu menjadi jerih dan melarikan diri. Tadinya Hay Hay sudah siap untuk membantu pemuda itu, akan tetapi setelah dia merasa yakin bahwa pemuda itu tidak akan kalah, dia lalu mengajak anak penggembala untuk meninggalkan tempat berbahaya itu, menggiring pergi domba-dombanya. Walaupun dia tidak mengerti sepatah kata bahasa Miao, namun dengan gerakan tangan dia mampu meyakinkan anak penggembala untuk cepat-cepat pergi dan Hay Hay lalu menemaninya pergi dari tempat pertempuran. Dia mengajak penggembala itu pergi, pertama untuk menyelamatkan anak itu bersama domba-dombanya, dan ke dua karena dia merasa segan untuk bertemu muka dengan mereka terutama Lam-hai Siang-mo yang pernah menjadi ayah ibunya selama hampir tujuh tahun, sejak dia bayi sampai beruusia tujuh tahun.
Ketika Hui Lian mengejar mereka dan dia berkesempatan bicara dengan Hui Lian, dia merasa amat kagum dan tertarik. Belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda yang demikian lihai dan juga tampan seperti pemuda itu, hanya sayang sedikit, pikirnya, pemuda perkasa itu agak galak dan agak kewanitaan sikapnya, terutama sekali bau harum yang keluar dari tubuhnya. Seorang pemuda yang suka memakai minyak wangi, sungguh tidak menyenangkan hatinya karena hal itu amat kewanitaan.
Ketika mereka berpisah, Hay Hay sudah melupakan Hui Lian dan penggembala domba itu. Akan tetapi ketika dia melanjutkan perjalanan, dia lewat dekat sebuah dusun dan mendengar percakapan orang tentang keramaian yang akan diadakan oleh suku bangsa Miao pada besok hari, yaitu keramaian adu kepandaian dan ketangkasan! Sebagai seorang pemuda, apalagi yang suka akan ilmu ketangkasan, Hay Hay tertarik sekali, maka pada keesokan harinya, setelah malam itu dia bermalam di sebuah padang rumput yang indah bersih, pagi-pagi sekali dia lalu pergi menuju ke perkampungan orang Miao untuk nonton keramaian adu ketangkasan!
Ketika dia tiba di perkampungan itu, di sana sudah berkumpul banyak orang, baik suku bangsa itu sendiri maupun penduduk dusun-dusun di sekitar daerah itu yang berdatangan untuk nonton keramaian yang menarik itu. Dan di sebuah lapangan telah dipersiapkan alat-alat untuk ujian saringan bagi para peserta sayembara. Ketika Hay Hay tiba di situ, dia melihat di sudut lapangan itu didirikan sebuah panggung, dan di bawah panggung terdapat sebuah batu hitam yang besarnya seperti perut kerbau dan nampak berat. Ketika itu, terdapat seorang laki-laki tinggi besar yang pakaiannya indah, dengan banyak gelang dan kalung menghias tubuhnya, dengan bulu burung indah menghias sorbannya dan keadaan pakaian yang berbeda dari para pria lainnya dari suku bangsa Miao itu menunjukkan bahwa dla adalah kepala suku. Laki-laki tinggi besar ini lalu membuat pidato pendek yang isinya memberitahukan tentang syarat-syarat dan macamnya perlumbaan, juga pengumuman bahwa pemenangnya akan berhak untuk menjadi mantunya, menikah dengan Nian Ci. Akan tetapi, biarpun dia mendengarkan, Hay Hay hanya melongo saja, sedikit pun tidak mengerti apa yang dikatakan oleh kepala suku itu. Tentu saja hal ini membuat dia merasa kesal dan dia lega bahwa pidato itu hanya pendek saja. Ketika para penonton mundur dan memberi tempat di sekitar panggung itu agar cukup luas, dia pun mendekat, maklum bahwa di panggung itulah akan diadakan pertunjukan pertama.
Ada belasan orang pemuda yang sudah siap di tempat itu, pemuda-pemuda suku bangsa Miao, ada juga yang peranakan dan yang agaknya berbangsa Han karena kulitnya putih kuning. Yang amat menarik hati Hay Hay yang berdiri di antara para penonton adalah ketika dia melihat hadirnya seorang pemuda bertubuh ramping yang amat tampan di antara para pemuda lainnya itu karena dia mengenal pemuda ini sebagai pemuda lihai yang kemarin pernah dikeroyok dua pasang suami isteri iblis dan mengalahkan mereka. Heran sekali, pikirnya. Seorang pemuda dengan ilmu kepandaian yang demikian tingginya hadir di situ dan ikut pula memasuki sayembara mengadu ketangkasan" Hampir dia tertawa karena dia dapat memastikan bahwa semua saingan itu tentu akan kalah jauh dibanding pemuda yang lihai itu.
Peserta pertama, seorang pemuda bangsa Miao yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam, melangkah maju setelah namanya dipanggil oleh seorang petugas perlumbaan. Dia menghampiri batu hitam itu, membungkuk dan memeluk batu, setiap gerakannya dlikuti pandang mata semua penonton. Kedua lengannya yang besar dan karena lengan bajunya disingsingkan nampak lengan itu penuh otot melingkar-lingkar, memeluk batu hitam dan sekali dia mengeluarkan bentakan, batu itu diangkatnya ke atas kepala. Terdengar para penonton menyambut dengan tepuk tangan. Hay Hay yang ikut gembira juga ikut pula bertepuk tangan memuji pertunjukan tenaga otot yang kuat itu.
Pemuda bermuka hitam itu lalu mengambil ancang-ancang dan lari meloncat ke atas panggung, akan tetapi loncatannya kurang dan tidak mencapai panggung. Terpaksa dia turun lagi dan melepaskan batu hitam yang jatuh berdebuk di atas tanah. Terdengar keluhan para penonton yang ikut menyayangkan dan pemuda muka hitam itu pun memberi hormat ke arah kepala suku yang duduk di belakang panggung, kemudian mengundurkan diri. Dia telah gagal dalam ujjan saringan dan tidak diperkenankan ikut sayembara.
Seorang demi seorang maju untuk melalui ujian saringan ini. Ada yang berhasil membawa baru itu meloncat ke atas panggung, disambut sorak-sorai dan tepuk tangan para penonton. Akan tetapi banyak yang tidak berhasil. Semua pengikut berhasil mengangkat batu itu ke atas, akan tetapi hanya sedikit yang mampu membawanya ke atas panggung. Bahkan ada seorang yang ketika meloncat, terjatuh kembali dan dia terlambat melepaskan batu sehingga batu itu menimpa kakinya dan kakinya menjadi patah. Terpaksa dia digotong kawan-kawannya keluar dari tempat itu untuk diobati.
Melihat betapa banyaknya orang yang tidak lulus, Kiao Yi yang ikut menonton di pinggir, dengan tubuh masih lemah dan muka masih pucat, berkali-kali memberi isyarat kepada Hui Lian agar membatalkan saja niat hatinya. Namun, "pemuda" itu hanya tersenyum tenang.
Ketika tiba giliran Hui Lian yang dipanggil namanya, semua orang memandang dengan sikap mencemooh. Ada yang tersenyum mengejek. Sebagian besar di antara para penonton adalah orang Miao, tentu saja mereka tidak menghendaki kalau pemenang sayembara ini seorang Han sehingga puteri kepala suku mereka akan menjadi isteri orang Han! Apalagi melihat pemuda Han yang bertubuh kecil ramping dibandingkan dengan para peserta lain, semua orang memandang rendah, kecuali Hay Hay. Dia merasa yakin benar bahwa pemuda itu akan dengan mudah membawa batu itu meloncat ke atas panggung. Yang paling tegang di antara mereka semua adalah Kiao Yi, tentu saja. Dia belum tahu sampai di mana kelihaian penolongnya itu, dan mengingat bahwa ia adalah seorang wanita, mengangkat batu seberat itu dan membawanya loncat, sungguh ngeri dia membayangkan. Bagaimana kalau sampai penolongnya itu celaka" Hampir Kiao Yi tidak berani membuka mata dan dia menundukkan mukanya ketika Hui Lian sudah menghampiri batu itu.
Tepuk tangan yang riuh-rendah membuat Kiao Yi cepat mengangkat mukanya dan muka itu segera berseri dengan cerah, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum, penuh kekaguman juga keheranan. Hampir dia tidak dapat mempercayai pandang matanya sendiri melihat betapa Hui Lian telah mengangkat batu besar itu di atas kepala, hanya dengan tangan kanan saja! Dengan sebelah tangan! Teringatlah dia akan pengakuan Hui Lian bahwa ia adalah seorang pendekar wanita dan kini timbullah harapan yang membuat Kiao Yi bertepuk tangan lebih keras daripada yang lain! Juga anak penggembala yang kemarin itu berjingkrak-jingkrak dan bersorak-sorak amat gembiranya. Anak itu merasa bangga karena dialah yang mula-mula "menemukan" peserta sayembara yang amat hebat itu! Sambutan orang-orang ini membuat Hay Hay yang tadinya ikut bertepuk tangan, menjadi cemberut dan agak iri hati. Huh, yang begitu saja dipamerkan, pikirnya. Apanya sih yang harus dikagumi kalau hanya mengangkat batu seperti itu"
Kini dengan langkah tenang. Hui Lian yang mengangkat batu dengan tangan kanan ke atas kepala itu menghampiri panggung, kemudian tanpa ancang-ancang lagi tubuhnya meloncat ke atas dan berhasil tiba di atas panggung. Demikian mudah dan enaknya sehingga mengagumkan semua orang. Paling hebatlah sambutan penonton kali ini, dibandingkan dengan sambutan peserta yang juga berhasil tadi. Hanya lima orang yang berhasil membawa batu itu loncat naik ke atas panggung setelah peserta terakhir gagal. Akan tetapi tiba-tiba, tanpa dipanggil namanya, ada peserta seorang lagi, juga seorang pemuda bangsa Han yang pakaiannya serba putih, menghampiri batu itu lalu mengangkat batu dengan tangan kiri ke atas! Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan sejenak tidak ada yang bersuara saking heran dan kagumnya, apalagi ketika pemuda baju putih itu melemparkan batu ke atas dan menerimanya dengan kepala! Pecahlah sorak-sorai dan tepuk tangan menyambut kehebatan pemuda baru ini. Dengan batu di atas kepala, Hay Hay meloncat ke atas panggung! Batu itu seperti menempel di kepalanya, sedikit pun tidak pernah bergoyang dan dia masih membawa batu itu di atas kepalanya ketika dia memberi hormat kepada kepala suku yang duduk bersama para pembantu dan keluarganya di panggung kehormatan sambil berkata nyaring.
"Saya ingin ikut meramaikan pesta ini, harap diperkenankan!"
Kepala suku itu ternyata dapat pula berbahasa Han. Tadi dia sudah hampir marah melihat orang luar yang tidak didaftar namanya ikut pula memasuki ujian saringan, akan tetapi melihat kehebatan orang ini, apalagi mendengar kata-kata Si Baju Putih yang katanya ingin ikut meramaikan pesta, kepala suku tertawa senang dan sambil berdiri dia pun berkata. "Boleh, boleh sekali!"
Tentu saja ucapan kepala suku ini merupakan ijin bagi Hay Hay untuk ikut bersama para pemenang yang lain berlumba untuk menentukan siapa yang menjadi juara! Dengan gerakan ringan dia pun meloncat turun kembali sambil membawa batu besar itu dan ketika menurunkan batu besar, dia menggerakkan kepalanya sehingga batu tertempar ke atas, disambut dengan tangan kirinya dan diletakkan kembali ke atas tanah perlahan-lahan tanpa menimbulkan suara apa pun. Semua orang kembali bersorak-sorai. Pemuda Han pertama yang kecil ramping tadi kini memperoleh lawan, pikir mereka. Akan ramailah perlumbaan ini!
Hui Lian mengerutkan alisnya melihat ulah Hay Hay. Diam-diam ia pun terkejut bukan main. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda bercaping itu ikut dalam sayembara dan ternyata memiliki kepandaian yang demikian hebat! Ia tidak merasa gentar atau heran karena dianggapnya perbuatan Hay Hay tadi tidak ada artinya. Ia sendiri pun sanggup melakukan hal itu. Pemuda bercaping itu hanya pamer saja! Akan tetapi ia pun tahu bahwa selanjutnya, pemuda itulah yang akan menjadi lawan utamanya. Ia harus menang, demi kebahagiaan Kiao Yi dan Nian Ci!
Hanya enam orang termasuk Hui Lian dan Hay Hay yang lulus dalam ujian saringan. Sayembara pertama adalah menunggang kuda dan memperlihatkan keahlian memanah sasaran yang telah ditentukan. Sambil menunggang kuda meloncati rintangan-rintangan, lalu memanah lingkaran yang digantungkan di atas pohon. Para peserta suku bangsa Miao yang ahli menunggang kuda dan juga sebagai pemburu ahli mempergunakan anak panah, keempatnya lulus semua dengan baik. Kuda mereka melompati rintangan-rintangan tanpa pernah gagal, dan dengan berbagai gaya mereka memanah lingkaran dengan tepat sekali.
Tiba-tiba giliran Hui Lian sebagai peserta ke lima. Gadis ini bukan ahli menunggang kuda, akan tetapi karena ia memiliki ilmu ginkang yang amat hebat sehingga kuda yang ditunggangi seolah-olah tidak merasa ada beban di punggungnya, biarpun dengan cara sederhana saja, kudanya juga dapat melompati semua rintangan dan tidak pernah gagal. Ketika tiba saatnya ia harus melepaskan anak panah, Hui Lian mempergunakan ginkangnya. Kalau empat peserta yang lain tadi melepas anak panah sambil duduk dengan berbagai gaya, kini Hui Lian meloncat dan berdiri di atas kudanya, lalu membidikkan anak panahnya dan tepat mengenai sasaran! Tentu saja cara memanah sambil berdiri di atas punggung kuda ini lebih sukar, sehingga Hui Lian kembali memperoleh pujian dan sambutan tepuk sorak yang gemuruh.
Tiba giliran Hay Hay. Pemuda ini tadi tentu tidak akan maju dan ikut bertanding kalau saja tidak melihat Hui Lian hadir pula. Dia memang nakal dan hanya ingin menyaingi pemuda itu saja yang dianggap pamer kepandaian! Melihat betapa Hui Lian memanah sambil berdiri di atas punggung kudat Hay Hay tersenyum dan ketika dipersilakan maju, dia mengerling dan tersenyum ke arah Hui Lian yang segera membuang muka ketika melihat pemuda itu tersenyum kepadanya. Hay Hay sengaja memilih seekor kuda hitam yang nampaknya liar! Semua orang terkejut, bahkan tukang kuda memberi tahu bahwa kuda itu tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan sebagai kuda tunggang bagi peserta keahlian memanah ini karena masih liar dan belum jinak benar. Akan tetapi, mana Hay Hay mengerti semua ucapannya" Hay Hay mengira bahwa orang itu mengeluarkan kata-kata memuji padanya karena keberhasilannya tadi, maka dia pun hanya mengangguk-angguk dan tetap saja melompat naik ke atas punggung kuda hitam! Begitu merasa ada yang duduk di atas punggungnya, kuda itu mengeluarkan suara meringkik keras dan segera berloncatan seperti kemasukan setan! Hay Hay terkejut, akan tetapi dia cepat menyambar tali kendali kuda dan membiarkan kuda itu berloncatan sesuka hatinya. Dengan ginkangnya, tentu saja dia mampu duduk di atas punggung kuda hitam. Memang dia hendak menonjolkan kepandaian agar tidak kalah hebat daripada Hui Lian. Dengan kedua kakinya, dia menjepit perut kuda dan mengerahkan sinkang sehlngga tubuhnya menjadi berat. Kuda itu tidak berloncatan lagi, bahkan kini keempat kakinya gemetar seperti menahan beban yang amat berat.
"Kuda yang baik, sekarang larilah dan loncati semua rintangan itu. Nah, terbanglah!" Dia meringankan tubuhnya dan menepuk leher kuda. Kuda itu agaknya maklum bahwa yang berada di punggungnya adalah orang yang jauh lebih kuat darinya dan kini tiba-tiba saja dia menjadi jinak. Apalagi karena Hay Hay mempergunakan kekuatan sihirnya yang mempengaruhi kuda itu! Kuda itu kini berlari dengan lurus dan indah dan Hay Hay juga merobah kedudukan, dia tidak duduk lagi melainkan tidur telentang di atas punggung kuda! Kendali kuda tetap dipegangnya dan ketika kuda itu meloncati rintangan-rintangan, dia enak-enak tidur telentang di punggung kuda seperti kain basah saja! Semua rintangan berhasil dilewati dan tepuk tangan sorak-sorai tiada hentinya mengikuti semua gerakan kuda itu.
Hay Hay masih tidur telentang ketika tiba saatnya harus memanah sasaran lingkaran yang tergantung di atas pohon. Dia sengaja memasang tiga batang anak panah pada busurnya dan sekali lepas, tiga batang anak panah itu meluncur ke atas, yang dua menembus lingkaran, yang satu mengenai tali gantungan sehingga papan lingkaran yang menjadi sasaran itu terjatuh. Kembali perbuatannya ini disambut sorak-sorai dan juga disambut kerut alis dan mulut cemberut oleh Hui Lian.
Ujian pertama itu dilewati dengan baik oleh keenam orang yang menyertai sayembara. Mereka dinyatakan lulus dan mereka kini siap untuk melakukan ujian ke dua. Belasan ekor rusa muda dilepas dalam sebuah hutan kecil di lereng bukit. Setelah rusa-rusa itu lari memasuki hutan dan lenyap menyelinap di antara semak-semak, enam orang peserta sayembara itu pun diperbolehkan melakukan pengejaran. Empat orang peserta segera berlari ke dalam hutan. Hui Lian tenang-tenang saja, akan tetapi ia pun pergi memasuki hutan. Hanya Hay Hay yang masih enak-enak, sama sekali tidak kelihatan tergesa-gesa biarpun orang-orang yang menjagoinya dan ingin melihat dia menjadi pemenang sudah meneriakinya agar dia cepat masuk ke hutan menangkap seekor rusa. Hay Hay tentu saja tidak mengerti apa yang mereka maksudkan, bahkan dia sama sekali tidak mengerti apa yang diperintahkan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya karena melihat rusa-rusa itu dilepas ke hutan, kemudian para peserta lain melakukan pengejaran, dia dapat menduga bahwa kini tiba ujian menangkap seekor rusa liar. Karena hal itu dianggapnya amat mudah, dia pun enak-enak saja, dan kini dia berjalan seenaknya, dengan lenggang malas-malasan memasuki hutan.
Semua orang yang menonton sayembara itu menanti dengan hati tegang, dan diantara mereka ada juga yang bertaruhan siapa yang akan lebih dulu mendapatkan seekor rusa. Akan tetapi yang paling ramai menjadi jago dalam taruhan adalah Hui Lian dan Hay Hay. Dari demonstrasi membawa loncat batu kemudian memanah sambil menunggang kuda tadi saja mereka sudah tahu bahwa kedua orang muda Han itu lebih unggul dibandingkan dengan empat orang saingannya yaitu para pemuda suku MIao.
Dugaan mereka benar karena tak lama kemudian, nampak berkelebat dua bayangan orang keluar dari dalam hutan dan ketika mereka tiba di situ, ternyata mereka adalah Hui Lian dan Hay Hay yang masing-masing telah memondong seekor rusa muda! Mereka tiba di situ dalam waktu yang bersamaan, disambut sorak-sorai para penonton. Muka Hui Lian menjadi merah karena penasaran. Tak disangkanya bahwa gerakannya yang cepat itu dapat diimbangi oleh pemuda bercaping yang kini senyum-senyum kepadanya. Kembali Hui Lian membuang muka dan hatinya mulai marah karena pemuda bercaping itu dianggapnya sengaja hendak menyaingi dan mempermainkannya. Juga diam-diam ia menganggap pemuda ini mata keranjang. Sayang seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah, juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat, kini mau saja mempetebutkan seorang gadis suku Miao! Tak mungkin untuk benar-benar diperisteri karena kalau dia mau, pemuda itu tentu bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih cantik daripada puteri kepala suku Miao itu. Tentu hanya untuk main-main! Ia pun memandang dengan sinar mata mencorong. Kalau pemuda ini ternyata seorang laki-laki yang suka mempermainkan wanita, ia yang akan menentangnya! Berbahaya kalau seorang laki-laki tukang mempermainkan wanita memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi. Lama setelah kedua orang peserta ini tiba di situ membawa rusa tangkapan mereka, bermunculanlah empat orang peserta lainnya, berturut-turut sambil membawa seekor rusa yang sudah mati karena mereka merobohkan rusa-rusa itu dengan anak panah mereka. Tentu saja hampir tidak mungkin bagi para pemburu itu untuk dapat menangkap seekor rusa tanpa menggunakan anak panah seperti yang dilakukan Hui Lian dan Hay Hay, dan mereka berempat hanya memandang dengan terheran-heran melihat betapa dua orang pemuda Han itu telah menda hului mereka, bahkan masing-masing telah menangkap seekor rusa yang masih hidup dan sama sekali tidak terluka!
Ujian ketiga lebih menegangkan hati karena para peserta kini diuji kegagahan dan kekuatan mereka dengan melawan seekor kerbau! Mereka itu masing-masing harus dapat merobohkan seekor kerbau dan membuat binatang itu tidak berdaya dan tidak mampu bangkit kembali.
Kerbau adalah seekor binatang yang jinak. Akan tetapi binatang ini kuat sekali dan biarpun jinak, kalau dipaksa akan dirobohkan, tentu melawan dan dapat berbahaya! Di situ telah disediakan belasan ekor kerbau dan setiap orang peserta boleh memilih seekor
Seorang peserta, pemuda Miao yang bertubuh jangkung dan kumis melengkung, mendapat giliran pertama dan dia pun memilih seekor kerbau, menuntunnya keluar dari kandang dan membawanya ke lapangan di bawah panggung. Semua orang melihat dengan penuh perhatian. Menurut kelajiman di antara suku bangsa Miao, cara merobohkan kerbau dan mem buatnya tidak berdaya dalah dengan jalan merangkul lehernya, memegangi kedua tanduk dengan dua tangan dan memuntir lehernya sehingga binatang itu akan terguling. Dengan terus menindihnya, dan memuntir batang leher, binatang itu tidak akan dapat bangun lagi. Akan tetapi hal ini bukan tidak berbahaya karena kerbau itu kuat sekali dan tentu akan memberontak dan marah. Kalau orangnya kalah kuat, dan kerbau itu sampai dapat melepaskan diri, akan berbahayalah keadaannya.
Pemuda Miao jangkung berkumis itu agaknya cukup kuat dan tahu bagaimana caranya menguasai kerbaunya. Setelah menuntun kerbaunya ke tengah lapangan, dia memilih saat kerbau itu lengah, tiba-tiba saja dia menerkam, memegang kedua tanduk kerbau, menjepit lehernya dan memutar. Kerbau itu terkejut dan hendak melepaskan diri, namun terlambat karena lehernya sudah dipuntir sehingga ia kehilangan keseimbangan tubuhnya dan roboh terguling. Orang-orang bersorak, akan tetapi dengan hati tetap tegang karena kini saat yang paling berbahaya pun tiba. Kerbau yang sudah rebah miring itu kini meronta dan mencoba untuk melepaskan diri, menggunakan kekuatan lehernya. Di sinilah terjadinya pergulatan itu dan terdengarlah pemimpin sayembara menghitung perlahan-lahan. Menurut peraturan, kalau hitungan itu sampai lima puluh dan kerbau itu tidak terlepas, berarti menanglah peserta sayembara itu. Kalau lebelum lima puluh kerbau itu dapat bangkit berdiri, dia harus merobohkannya kembali dan hitungan pun diulang dari latu sampai lima puluh!
Kerbau yang ditindih dan dipuntir lehernya oleh Si Jangkung berkumis itu berusaha meronta, namun Si Jangkung mempertahankan dan akhirnya hitungan sampal lima puluh. Dengan tubuh penuh keringat, napas agak memburu, peserta jangkung itu melepaskan jepitan lengannya dan kerbau itu pun digiring pergi, disambut sorak-sorai penonton yang memujinya.
Peserta ke dua maju dan menuntun keluar seekor kerbau lain. Seperti juga peserta pertama, dia merobohkan kerbau itu dengan memuntir lehernya, memegangi kedua tanduknya. Akan tetapi, agaknya kerbau itu amat kuat, atau peserta itu yang kurang kuat. Binatang itu terlalu kuat baginya sehingga ketika hitungan mencapai dua puluh tiga, kerbau yang meronta itu berhasil menggerakkan kepalanya sedemikian kuatnya dan orang itu pun tidak lagi dapat menguasainya. Kerbau itu bangkit dan kepalanya terus digoyang-goyangkan dan orang itu terlempar dengan lengannya berdarah, luka oleh tanduk kerbau. Kalau saja pada saat itu tidak muncul beberapa orang pengatur pertunjukan sayembara ini yang terus mengikat kerbau dan menggiringnya pergi, peserta itu dapat celaka karena diserang kerbau yang mulai marah itu. Gagallah peserta ke dua ini dan terpaksa dia harus mengundurkan diri, dinyatakan kalah!
Peserta ke tiga mengalami nasib yang sama seperti peserta ke dua. Kerbau itu terlampau kuat baginya sehingga dia tidak mampu menahan kerbau itu di atas tanah lebih dari dua puluh hitungan. Bahkan dia menderita luka lebih parah karena kalau peserta ke dua hanya luka di lengannya yang berdarah, orang ke tiga ini terkena seruduk dadanya sehingga pingsan! Tentu saja dia dinyatakan gagal.
Peserta ke empat berhasil menahan kerbaunya sampai hitungan ke lima puluh, walaupun seperti peserta pertama dia pun mandi peluh dan napasnya memburu. Setelah peserta ke empat, majulah Hui Lian. Penonton menyambutnya dengan sorak-sorai, terutama sekali yang menjagoinya dalam taruhan. Akan tetapi Kiao Yi memandang dengan hati berdebar-debar. Ujian ini sepenuhnya merupakan pekerjaan laki-laki yang mempergunakan tenaga, sedangkan wakilnya itu adalah seorang wanita! Bagaimana kalau gagal" Dan lebih celaka lagi, bagaimana kalau sampai terluka" Ngeri dia membayangkan kerbau itu mengamuk dan menyeruduk dada gadis yang menyamar pria itu!


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semua orang menghentikan sorak sambutan mereka ketika melihat Hui Lian menuntun keluar seekor kerbau dari dalam kandang. Melihat banyaknya orang dan tadi mendengar sorak-sorai gaduh, kerbau itu sudah kelihatan panik dan matanya liar memandang ke kanan kiri, dan ia sudah kelihatan curiga kepada Hui Lian sehingga ketika di tuntun keluar beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang dan hendak mogok. Akhirnya, Hui Lian tiba dengan kerbaunya di tengah lapangan. Ia menengok ke atas panggung dan melihat betapa kepala suku dengan keluarganya, termasuk puterinya, menjenguk dari atas panggung dan seperti semua orang, sedang mencurahkan perhatiannya kepadanya. Ketika ia mengerling ke kiri, ia melihat Hay Hay berjongkok, mukanya sebagian tertutup caping, akan tetapi sebelah mata yang nampak memandang kepadanya dengan berseri, dan mulutnya tersenyum, senyum yang seperti mengejek dan mentertawakannya. Ia tidak tahu bahwa pemuda bercaping itu amat kagum dan tertarik kepadanya, dan ada perasaan penasaran juga keinginan keras dalam hati pemuda bercaping itu untuk menguji kepandaiannya.
Tidak seperti empat orang peserta terdahulu, Hui Lian tidak mau merobohkan kerbaunya dengan puntiran batang lehernya, walaupun kalau ia mau melakukan hal itu, tidak sukar baginya untuk memutar leher kerbau itu sampai patah tulang lehernya! Tidak, ia tidak merangkul dan memuntir lehernya, melainkan dengan cepat sekali kakinya mengirim tendangan, tidak terlalu keras ke arah lutut ke empat kaki binatang itu, cepat sekali bertubi-tubi dan binatang itu pun roboh! Empat batang kaki itu rasanya lumpuh dan tentu saja kerbau itu tidak mampu berdiri lagi. Setiap kali ia berusaha bangkit berdiri, Hui Lian menyusulkan tendangan, tidak terlalu keras agar tidak membikin patah sambungan lutut, dan kerbau itu pun tidak mampu bangkit. Hitungan sampai lima puluh dan binatang itu sama sekali tidak dapat bangkit kembali karena selalu Hui Lian menyusulkan tendangan.
Orang-orang bersorak, walaupun hati mereka tidak puas karena dalam ujian ini, walaupun lulus, Hui Lian tidak memperlihatkan kekuatan, melainkan menggunakan akalnya walaupun semua peserta, kecuali Hay Hay, harus mengakui bahwa mereka tidak akan mampu melakukan tendangan-tendangan seperti itu. Ketika kerbau itu dituntun pergi, kakinya tidak mengalami cedera,. hanya agak terpincang-pincang sedikit. Legalah hati Kiao Yi dan dia semakin kagum saja kepada pendekar wanita yang menolongnya itu.
Tiba giliran Hay Hay sebagai peserta terakhir. Ketika dia memilih seekor kerbau yang paling besar dan paling galak di antara belasan ekor kerbau di kandang semua orang tertegun, bahkan Hui Lian memandang dengan alis berkerut. Akan tetapi, kini meledaklah suara ketawa para penonton karena Hay Hay tidak lagi menuntun kerbaunya seperti yang lain, melainkan meloncat ke atas punggung kerbau dan menungganginya. Kerbau yang sengaja dlpilihkan dari kerbau yang liar itu terkejut dan dia hendak meronta, mendengus marah. Akan tetapi aneh, begitu Hay Hay menggerakkan kaki menendang perut dan menggunakan kedua tangan memegang leher, kerbau itu menjadi jinak dan dengan tenang melangkah perlahan menuju ke tengah lapangan, di tempat yang ditentukan bagi para peserta memperlihatkan kekuatannya. Dan tiba-tiba Hay Hay berseru, "Kerbau yang baik, engkau rebahlah!"
Kerbau itu tentu saja tidak mengerti dan semua orang sudah mulai tertawa melihat cara pemuda itu hendak menundukkan kerbaunya. Akan tetapi, mereka terbelalak memandang ketika kerbau itu tiba-tiba mendengus, berusaha meronta, akan tetapi kedua tangan Hay Hay menekan leher, beberapa kali menepuk punggung dan ke empat kaki kerbau itu menjadi lemas dan kehilangan tenaga, mengakibatkan kerbau itu mendekam, di luar kemauannya! Para petugas mulai menghitung dan dihitung sampai lima puluh kali, kerbau itu tetap saja mendekam. Baru setelah hitungan habis dan Hay Hay meloncat turun, kerbau itu mendengus dan melompat, marah dan hendak lari mengamuk. Akan tetapi, dengan cekatan Hay Hay menangkap ekornya dan kerbau itu pun tidak mampu lari lagi. Ketika Hay Hay menangkap kedua tanduknya dan menyeret kembali ke kandang, semua orang mengikutinya dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Hay Hay pun lulus dalam ujian ini.
Kini sisa peserta tinggal empat orang lagi setelah dua orang gagal dalam ujian merobohkan kerbau. Ujian ke empat amat berbahaya, yaitu menghadapi serangan anak panah dalam jarak seratus meter! Padahal anak panah yang dilepas oleh pemburu suku Miao terkenal dengan kecepatannya dan ketepatannya! Berbahaya sekali dan orang harus memiliki kecepatan gerakan untuk menghindar dari tiga batang anak panah yang dilepas secara beruntun itu! Memang untuk keperluan itu, ujung anak panah yang runcing telah dihilangkan, namun, biarpun tidak runcing, tetap saja dapat menembus kulit dan melukai daging, apalagi kalau sampai mengenai mata!
Pendekar Super Sakti 23 Tongkat Rantai Kumala Seruling Kumala Kim Lan Pay Karya Oh Chung Sin Bara Naga 8
^