Pendekar Mata Keranjang 12
Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Hay Hay merasa ngeri. Jangan-jangan kakek ini menjadi gila karena latihan-latihan yang entah bagaimana. Akan tetapi dia adalah seorang laki-laki yang jantan dan gagah, tidak sudi menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut. "Teecu sanggup."
"Engkau tidak boleh meninggalkan sebelum kusuruh, dan kalau aku sudah menyuruh engkau pergi, engkau tidak boleh membantah, dimana saja dan kapan saja. Sanggup?"
"Sanggup, Suhu."
"Nah, sekarang engkau harus melakukan latihan pertama. Ingat baik-baik kalimat ini dan hafalkan: Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada. Nah, coba hahafalkan!"
Hay Hay menahan ketawanya. Tentu saja baginya amat mudah menghafal kalimat itu, apalagi karena dari See-thian Lama dia sudah banyak diajar tentang Agama Budha, sedangkan dari Ciu-sian Sin-kai dia banyak mendengar tentang filsafat Agama To.
"Baik, Suhu. Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada."
"Bagus, engkau pintar," kata kakek itu memuji karena memang Hay Hay membaca kalimat itu dengan suara indah setengah dinyanyikan, sudah banyak dia membaca sajak dan pandai berdeklamasi. "Sekarang berikan bungkusanmu kepadaku, juga tanggalkan semua pakaianmu dan mari ikut bersamaku."
Hay Hay tertegun, memandang kepada gurunya dengan bengong. Dia disuruh telanjang dan pakaiannya dibawa oleh kakek ini" Akan tetapi teringat akan janjinya, dan mengingat bahwa di tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, Hay Hay tidak membantah. Ditinggalkannya semua pakaiannya, lalu pakaian itu dimasukkan dalam buntalan pakaiannya, diserahkan kepada kakek itu yang memandang sambil menyeringai.
"Kau tidak khawatir kalu aku melarikan diri membawa semua pakaianmu?"
Hay Hay menggeleng kepala. "Tidak mungkin, karena Suhu tidak suka berpakaian."
"Nah, mari ikuti aku!"
Kakek itu berlari cepat. Hay Hay mengikutinya dan pemuda ini harus mengerahkan Ilmu Yang-cu Coan-in (Burung Walet Membungkus Awan) untuk dapat mengimbangi cepatnya langkah kedua kaki kakek itu. Ternyata kakek ini membawanya kembali ke hutan pertama dimana dia untuk pertama kalinya bertemu kakek yang mengaku bernama Kakek Song ini. Setibanya di tepi sebuah anak sungai, diantara pohon-pohon yang besar, kakek itu berhenti.
"Nah, sekarang engkau masuklah ke dalam air dan berendam sampai setinggi leher sambil duduk bersila. Apa pun yang terjadi, jangan engkau tinggalkan tempat ini sampai aku datang menyuruhmu keluar."
Hay Hay bergidik ngeri. Berendam di dalam air anak sungai itu" Sampai kapan" Dan perutnya amat lapar, hawa amat dingin. Akan tetapi dia tidak berani membantah, hanya bertanya. "Bagaimana kalau perut saya lapar, Suhu?" dan dia memancing, "Bolehkah saya menangkap ikan yang berenang dekat dan memakannya kalau perut saya sudah lapar sekali?"
Pancingannya berhasil. Kakek itu mencak-mencak dan matanya melotot, bahkan menjadi kemerahan. "Apa kaubilang" Mau menangkap ikan yang tak berdosa dan makan bangkai ikan" Akan kubenamkan kepalamu ke dalam air sampai putus napasmu kalau begitu!"
Habis, bagaimana kalau saya lapar?"
"Apakah engkau akan mampus kelaparan kalau tidak makan bangkai" Lihat di sekelilingmu, begitu banyak makanan lezat dan segar, lihat ke atasmu. Akan tetapi awas, sebelum engkau kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan tempat latihan itu, dan seluruh perhatianmu harus kaucurahkan kepada kalimat yang kauhafal tadi. Mengerti?"
"Mengerti, Suhu."
"Kalau begitu, lekas kaulaukan!"
Hay Hay tidak mengerti apa manfaat latihan gila ini, akan tetapi karena sudah berjanji dan karena dia yakin akan kesaktian kakek itu, dia pun menurut saja, memasuki air yang amat dingin, lalu memilih tempat di tengah, di mana dia dapat duduk di atas batu yang bundar dan rata ketika dia duduk bersila, ternyata air sampai di atas dadanya dekat leher.
"Bagus, dan ingat, jangan mengira setelah aku pergi, engkau dapat meninggalkan tempat bertapa itu tanpa kuketahui. Kalau engkau melanggar, berarti pelajaran gagal dan engkau boleh pergi sebelum aku datang membunuhmu!" Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap bersama buntalan pakaian Hay Hay.
Pemuda itu celingukan memandang ke kanan kiri, merasa seperti telah menjadi seekor kura-kura di tengah sungai, kesepian dan ditinggalkan, merasa seperti menjadi bulan-bulan permainan dan olok-olok. Mengapa dia menurut saja" Apa yang dilakukan dengan bertelanjang bulat di tengah sungai seperti ini" Tidak boleh meninggalkan tempat itu, padahal perutnya lapar" Dia memandang ke atas dan mengertilah dia akan maksud gurunya yang baru itu. Kiranya tempat itu penuh dengan pohon-pohon yang mengandung buah-buah yang lezat dan segar. Bahkan di kanan kiri anak sungai itu nampak bergantuung buah appel merah dan besar-besar! Akan tetapi bagaimana dia dapat mengambilnya" Dia tidak boleh meninggalkan tempat itu!
Perut yang lapar membuat dia memutar otak mencari akal. Lalu diambilnya batu-batu kecil dari dasar sungai. Disambitnya appel yang bergantung di depannya. Dua buah butir appel runtuh ke atas air dan terbawa arus sungai itu menghampirinya karena dia diharuskan duduk melawan atau menghadapi arus air. Dengan gembira dimakannya buah itu dan ternyata rasanya manis dan segar bukan main. Setelah menghabiskan tujuh butir appel besar, perutnya menjadi tenang dan mulailah dia memperhatikan latihan yang diberikan oleh gurunya yang aneh itu. Dia duduk dengan tenang, dan karena dia bersamadhi, mudah saja baginya untuk mengheningkan cipta, dan yang teringat hanyalah kalimat itu saja yang dibacanya berulang-ulang di dalam hatinya. Kadang-kadang bibirnya ikut bergerak dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu. Kesadarannya bekerja bersama pengamatannya karena dia mengamati isi atau arti dari kalimat itu. Agama To pernah mengajarkan bahwa sebelum ada sesuatu, yang ada hanyalah Kosong, dan kosong sama dengan Tiada. Disebut Tiada atau Kosong karena keadaan itu tidak dapat diselami oleh pikiran manusia yang berisi, isi yang terbentuk dari ingatan-ingatan tentang pengalaman masa lalu, yang hanya dapat dicatat oleh pikiran berupa ingatan. Akan tetapi, jauh sebelum itu, otak tak mampu mencatatnya.
Segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi, sudah pasti mempunyai sebab. Segala sesuatu hanya merupakan akibat belaka dari sebab-sebab tertentu. Dan selama ingatan masih mampu mencatat, selama pikiran masih mampu meraba, orang dapat mnelihat sebab-sebabnya. Akan tetapi sebab dan akibat itu berkait-kaitan, tiada putusnya dan ingatan tidak mungkin dapat menelusuri sampai pada bagian yang tanpa batas. Dan kalau sudah begini, maka manusia tidak tahu lagi dan tidak dapat melihat sebab-sebab yang tidak dilihatnya, tidak dimengertinya. Karena itulah, otak yang kehilangan akal dan kehilangan ukuran lalu melahirkan kata Nasib, menyerahkan Kehendak Tuhan, atau bahkan tidak mau tahu karena tidak melihat sebabnya, hanya mementingkan akibatnya dan mencari kesalahan kepada siapa saja secara membabi-buta!
Ketika malam tiba, hawanya dingin bukan main, rasanya sampai menusuk tulang. Terpaksa Hay Hay harus mengerahkan tenaga sinkangnya untuk melawan hawa dingin ini. Semalam suntuk dia berjuang seperti melawan musuh yang tidak nampak, musuh yang berupa hawa dingin dan yang lebih daripada itu, perasaan ngeri. Gerakan air yang menggoyang tubuhnya, suara air, penglihatan remang-remang, mendatangkan bayang-bayang yang mengerikan dan menyeramkan, mengingatkan dia akan segala macam dongeng tentang setan dan iblis. Juga dia harus berjuag melawan rasa kantuk. Tidak mungkin membiarkan diri terseret hanyut oleh tidur dalam keadaan bersila di dalam air yang tingginya hanya dibawah dagu itu!
Semalam suntuk Hay Hay merasa tersiksa, namun dengan gagah dia melawan semua itu sampai matahari pagi menimbulkan kabut dipermukaan air anak sungai itu, dan burung-burung berkicau menyambut sinar pertama matahari pagi. Akan tetapi, sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga muncul! Padahal Hay Hay mengharapkan pagi ini kakek itu akan menghentikan siksaan atas dirinya. Makin siang, makin kecewa hatinya dan diam-diam ketika dia merenung kembali kalimat yang harus selalu diingatnya itu, dia memperoleh kenyataan baru dalam hidup, sehubungan dengan kesibukan pikirannya. Dia mendapat kenyataan bahwa kekecewaan timbul karena adanya harapan. Mengharapkan untuk memperoleh sesuatu menjadi biang kekecewaan, yaitu kalau harapan itu tidak terpenuhi seperti yang dilakukannya sejak semalam. Dia mengharapkan kakek itu akan mengakhiri penderitannya pada keesokan harinya, dan kini dia merasa kecewa bukan mainkarena kenyataannya kakek itu tidak muncul! Andaikata dia tidak mengharapkan, agaknya tidak akan muncul rasa kecewa itu.
Ketika perasaan kecewa itu hampir membuat dia tidak kuat menahan lagi, mendorongnya untuk meloncat kedarat, dia cepat memejamkan kedua matanya dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu, bahkan bibirnya ikut bergerak seperti membaca mantera. "Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada." Demikian berkali-kali dia membaca kalimat itu. Memang segalanya akan kembali ke Tiada. Juga dirinya.
Setelah matahari condong ke barat, perutnya menagih lagi. Kembali dia meruntuhkan buah-buahan yang berada di depannya, dan buah-buahan itu terbawa hanyut oleh air menghampirinya. Dia makan buah-buahan itu sampai kenyang, lalu duduk tepekur pula. Hatinya tenang setelah dia mengulang kalimat itu dan setelah perutnya kenyang sehingga dia tidak lagi memikirkan hal yang bukan-bukan, tidak lagi ada rasa kecewa setelahnya hening dan kosong. Dia kini tenggelam ke dalam keheningan dan terus memasuki keheningan itu dalam keadaan sadar sepenuhnya, namun tidak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengarkan apa-apa lagi, tidak melihat apa-apa lagi. Yang hidup hanyalah kesadarannya yang masuk kedalam dirinya sendiri, tidak terpengaruh oleh keadaan di luar dirinya. Dan rasanya seperti melayang-layang kedalam dunia yang amat luas, dengan beraneka macam warna, beraneka macam suara dan penglihatan yang tembus pandang namun tidak dapat diingat lagi bagaimana bentuk yang sesungguhnya. Sudah matikah dia" Tidak, dia masih hidup, hal ini diketahuinya benar melalui kesadarannya. Namun, dia merasa seperti berada di dunia lain!
Tiba-tiba terdengar suara menggeelegar yang amat keras dibarengi cahaya yang menyilaukan mata. Hay Hay terseret ke dalam alam kenyataan dan dia pun membuka mata, terbelalak heran karena ternyata telah turun hujan dan suara menggelegar dibarengi cahaya tadi adalah suara kilat menyambar. Hujan sudah turun agakk lama kiranya melihat dari rambut kepalanya yang sudah basah kuyup. Dan cuaca remang-remang, agaknya sudah senja atau karena sinar matahari terhalang mendung dan hujan. Tak disangkanya akan turun hujan karena seingatnya sebelum dia tenggelam ke dalam alam samadhi tadi, hari amat ceah. Dia lalu merenungkan kembali kalimat yang harus diingatnya selalu, matanya memandang permukaan air sungai yang selama ini tak pernah berhenti bergerak, dan kini ditambah pula rintik air hujan yang menetes-netes tiada hentinya, membuat permukaan air seperti tertimpa ribuan batu-batu kecil.
Hidup seperti air sungai mengalir, renungnya. Dan setiap gerakan air, setiap tetes air bergerak karena ada sebabnya, ada pendorong dibelakangnya. Juga air hujan yang berjatuhan dari angkasa itu pun ada penyebabnya. Juga guntur dan kilat itu. Hidup bagaikan air sungai mengalir, tak pernah berhenti dan tidak pernah sama, selalu berubah. Biarpun nampaknya sama, namun setiap detik ada perubahan pada permukaan air sungai, tak pernah sama keadaannya karena bukan benda mati. Karena itu, mempelajari hidup harus membiarkan diri hanyut oleh hidup itu sendiri, detik demi detik. Tak mungkin mempelajari hidup sambil tiduran, karena kehidupan akan lewat dan jauh meninggalkan si pelajar.
Malam pun tiba dan malam itu gelap sekali. Hujan sudah berhenti, dan air naik tinggi. Hay Hay terus mengambil batu lagi untuk mengganjal pantatnya, sehingga dia dapat duduk lebih tinggi dan tidak sampai tenggelam. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Bagaimana kalau muncul ular air, atau buaya atau binatang lain" Akan tetapi dia dapat melenyapkan rasa takut. Dia sudah pasrah dan bertekad untuk terus melakukan tapa itu sampai Kakek Song datang menyuruhnya keluar. Apapun yang akan terjadi akan dihadapinya dengan tabah.
Hay Hay pernah mempelajari tentang perbintangan dan setelah menjelang tengah malam, angkasa penuh dengan bintang sejuta. Indah bukan main. Kalimat yang harus diingatnya itu membuatnya sadar bahwa segala bintang diangkasa itu pun terjadi dan etrcipta bukan tanpa sebab. Alangkah banyaknya rahasia di alam mayapada ini, dan betapa besar kekuasaan Sang Pencipta. Penuh rahasia gaib yang tak mungkin di buka oleh pikiran manusia yang sesungguhnya amatlah dangkal, rapuh, dan penuh sesak sehingga membuatnya menjadi kotor. Ketika dia melihat jutaan bintang itu, nampak olehnya keindahan yang selama ini belum pernah dilihatnya, merasakan kebahagiaan yang belum pernah menyentuh batinnya. Betapa indahnya malam ini, dan betapa bahagianya manusia dapat melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasakan semua keindahan yang seolah-olah dilimpahkan untuk manusia. Keindahan tinggal membuka mata memandang, menikmati keharuman tinggal membuka hidung mencium, menikmati kemerduan tinggal membuka telinga mendengar. Betapa bahagianya hidup ini. Hidup ini adalah kebahagiaan itu sendiri karena hidup adalah anugerah, hidup adalah cinta kasih. Namun, mengapa kita tidak dapat melihatnya" Mengapa kita tidak mau menikmatinya" Mengapa pikiran kita sibuk terus dan demikian ruwet, penuh sesak dan tiada hentinya dikuasai keinginan mengejar kesenangan-kesenangan yang sesungguhnya hanya merupakan gelembung-gelembung kosong yang mudah pecah belaka"
Jutaan bintang mendatangkan cahaya remang-remang, namun cukup terang bagi mata Hay Hay yang terlatih. Tiba-tiba dia terkejut. Ada benda hitam besar bergerak-gerak di depan, hanya kurang lebih sepuluh meter di depan sana. Dan benda hitam panjang itu bergerak menuju ke arahnya. Berenang menghampirinya, meluncur dengan berat dan perlahan-lahan, lambat namun tentu menuju ke arah dirinya. Buaya! Apalagi kalau bukan buaya" Dan memang nampak sekarang garis bentuh tubuh buaya itu, dari moncong yang panjang sampai ekor yang kokoh kuat bergigi-gigi itu. Celaka, pikirnya. Kalau dia berada di darat, dia tidak perlu takut menghadapi buaya, selain mudah menghindar, juga dia dapat menyerang dan mungkin membunuh binatang air yang buas itu. Akan tetapi dia berada di tengah sungai! Dan dia tidak sehebat kalau berada di atas tanah, walaupun selama berada di Pulau Hiu, ikut gurunya yang kedua, Ciu-sian Sin-kai, dia sudah biasa dengan air laut dan pandai pula berenang. Akan tetapi berkelahi melawan buaya di air" Wah, dia tidak berani!
Dengan jantung berdebar saking tegang dan takut, Hay Hay memandang benda hitam yang bergerak mendekatinya itu. Teringatlah dia bahwa apapun yang terjadi, dia harus tenang dan sama sekali tidak boleh meninggalkan tempat itu. Kini ada dua pilihan. Mampus dimakan buaya akan tetapi mentaati perintah kakek gila itu, atau meloncat kedarat dan menyelamatkan diri akan tetapi melanggar janjinya dan dia harus melarikan diri dalam keadaan telanjang bulat kalau tidak mau dibunuh kakek itu! Dan dia memilih yang pertama. Kalau memang buaya itu akan menyerangku, sampai bagaimanapun juga akan kulawan, akan tetapi aku tidak akan melanggar janji, tidak akan meninggalkan tempat ini, demikian tekadnya dan kembali dia membaca kalimat yang harus diingatnya selalu.
"Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada. Ada datang dari Tiada!" Dia mengulangnya terus sambil memandang kepada benda hitam itu penuh kewaspadaan. Ada datang dari Tiada! Dan ..... setelah benda itu berada dekat, hanya dalam jarak satu meter sehingga dia dapat memandang lebih jelas, hampir dia tertawa bergelak mentertawakan diri sendiri. Jantungnya masih berdebar dan keringat masih membasahi dahinya, padahal hawanya sangat dingin. Kiranya benda yang disangkanya buaya tadi memang berbentuk buaya dan berenang menghampirinya, ternyata kini bahwa benda itu hanyalah sepotong kayu hitam panjang! Potongan batang pohon yang hanyut disungai itu!
Bukan hanya "buaya" itu yang nampak malam itu oleh Hay Hay. Berturut-turut muncullah ular-ular, ikan-ikan aneh dan lintah-lintah besar yang merubung dan mengancamnya, akan tetapi semua itu ternyata hanyalah daun-daun dan ranting-ranting. Tahulah dia bahwa semua itu timbul dari khayalannya sendiri yang dihantui rasa khawatir dan takut. Senja tadi dia membayangkan semua binatang itu sehingga kini bermunculan menggodanya! Menjelang pagi, tiba-tiba nampak bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di atas batu tak jauh dari tempat dia berendam diri. Batu itu menonjol ke atas permukaan air dan kakek itu sudah berada disitu, mengulurkan tangan kepadanya, seperti hendak menolongnya keluar dari sungai itu, Hay Hay menggeleng kepalanya dengan keras dan ketika dia berkedip, bayangan kakek itu pun lenyap.
Anehnya, kini dia tidak merasa dingin lagi. Agaknya tubuhnya sudah dapat menyesuaikan diri dengan hawa dingin di dalam air itu, bahkan dia merasa betapa hawa yang hangat menjalari seluruh tubuh. Diapun menampung hawa ini di pusarnya dan setelah berkumpul, dia membiarkan hawa panas itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, mendatangkan rasa nyaman sekali dan hampir saja membuat dia pulas! Untung dia masih sadar dan kesadaran ini, disertai kewaspadaan pencurahan perhatian pada kalimat yang harus dihafalnya, membuat kantuk pun lenyap.
Pada keesokan harinya, muncullah Kakek Song. "Bagus, engkau dapat menyelesaikan dengan baik. Sekarang meningkat pada latihan selanjutnya. Keluarlah dari situ dan kenakan pakaianmu."
Bukan main lega rasa hati Hay Hay. Selama berguru kepada tiga orang sakti, yaitu See-thian Lama, Ciu-sian Sin-kai dan Pek Mau San-jin, belum pernah dia memperoleh latihan seaneh ini. Akan tetapi latihan pertama yang berlangsung dua malam itu telah mendatangkan pengalaman yang takkan terlupakan olehnya. Mengerikan, menakutkan juga menegangkan, dimana orang harus berjuang melawan perasaan, khayal dan penderitaan yang dibuat oleh pikirannya sendiri, juga siksaan karena adanya kemungkinan ancaman bahaya-bahaya.
"Terima kasih, Suhu!" katanya dan ketika dia menggerakkan tubuhnya meloncat, diam-diam dia merasa heran mengapa tubuhnya tidak merasa kaku setelah selama dua malam bersila di atas batu dalam air itu, bahkan terasa segar dan ringan sekali walaupun perutnya kembali terasa lapar.
Dengan cepat Hay Hay lalu mengenakan pakaian dari buntalan yang sudah dibawa ke situ oleh Kakek Song. "Nah, sekarang engkau boleh makan sampai kenyang, akan tetapi ingat, jangan makan bangkai! Mulai sore nanti, engkau harus melakukan latihan kedua tang lebih berat. Datang saja ke dalam guha di mana aku tinggal, di tengah hutan ini, tak jauh dari rawa yang kemarin dulu itu. Nah, sampai sore nanti!" Kembali kakek itu berkelebat dan lenyap. Hay Hay tidak mau mengejar walaupun dia ingin sekali bertanya-tanya. Dia maklum akan keanehan watak kakek itu dan mengejar pun percuma saja. Maka dia pun lalu memilih buah-buah yang paling enak, makan sampai kenyang, lalu beristirahat dan tertidur di atas pohon besar. Dia tidak berani tidur di bawah, karena tahu bahwa dalam keadaan kurang tidur, dia akan nyenyak sekali dan ada bahaya diserang binatang buas. Sebelum tidur, dia menanam dalam ingatannya bahwa sebelum matahari terbenam, dia harus sudah bangun
Hay Hay tidur pulas sekali. Terbayarlah sudah semua hutang kepada matanya. Dan menjelang senja, dia pun terbangun. Cepat digendongnya buntalan pakaiannya yang tadi dipakai sebagai bantal, dan dia meloncat turun lalu mencari guha itu, di dinding bukit tak jauh dari rawa di mana kemarin dulu dia bertemu suhunya. Kakek itu nampak duduk bersila di mulut guha. Guha itu sendiri bermulut kecil, hanya satu meter, akan tetapi di dalamnya cukup luas.
"Engkau sudah siap" Tinggalkan buntalan pakaianmu dalam guha dan seperti kemarin dulu, tanggalkan semua pakaianmu dan ikuti aku!"
Hay Hay mengerutkan alisnya. Celaka, agaknya kakek gila ini memang suka mempermainkan orang. Kalau kemarin dulu dia disuruh bertapa dalam air, maka bertelanjang pun tidak mengherankan. Akan tetapi sekarang" Apakah dia disuruh berendam di dalam air lagi" Dia tidak berani membantah dan sambil menarik napas panjang, dia menanggalkan semua pakaiannya dan dalam keadaan telanjang bulat dia mengikuti kakek itu yang juga hampir telanjang karena pakaiannya hanyalah sebuah cawat kecil! Karena ini, Hay Hay tak merasa canggung.
Kakek ini membawanya ke lereng bukit yang gundul penuh dengan pasir dan batu-batu. Bagian itu tandus sekali, tidak ditumbuhi pohon. "Nah, sekarang engkau harus menghafalkan kalimat lain. Dengarkan baik-baik: Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada. Tirukan!"
Kembali Hay Hay merasakan keanehan kalimat ini. Mudah dimengerti dan amat sederhana, apalagi kalimat sependek itu, tentu saja sekali dengar dia sudah hafal, mengapa harus diuji dulu" Akan tetapi dia tidak membantah dan mengulang dengan lantang, "Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada!"
"Bagus, sekarang kaugalilah lubang di dalam pasir kemudian duduk bersila di dalam lubang dan kubur tubuhmu dengan pasir sampai sebatas leher. Ingat, yang nampak hanya kepalanya saja, dan sekali ini engkau tidak boleh makan minum, bertapa dan berpuasa sampai aku datang menyuruhmu keluar!" Tanpa memberi kesempatan pemuda itu bicara, kakek itu sudah berkelebat dan lenyap pula. Hay Hay berdiri tertegun, memandang ke sekeliling yang gundul dan sunyi, lalu menarik napas panjang. Kenapa dia harus mentaati saja semua perintah gila dan aneh ini" Apa manfaatnya mengubur diri dalam pasir" Apakah dia sudah menjadi gila"
Biarpun pikirannya kacau, tetap saja dia menggali lubang menggunakan jari-jari tangannya, kemudian masuk ke dalam lubang, bersila dan menguruk tubuhnya dengan pasir sampai tubuhnya yang bersila itu terpendam pasir sebatas leher.
Mula-mula terasa hangat dan nyaman sehingga dia mampu berkonsentrasi mengulang kalimat itu sambil mengheningkan cipta dengan tenang dan anteng. Akan tetapi, tak lama kemudian mulailah dia merasa gatal-gatal ketika pasir bergerak, bahkan menjadi geli seperti digelitik. Dia mengerahkan sinkang mengusir perasaan tidak enak itu dan berhasil. Makin lama, setelah mengulang kalimat itu ratusan kali, timbul pendalaman mengenai kalimat itu dan dia pun mulai menyelidiki dengan mengamati diri sendiri.
"Yang merasa dirinya pintar adalah tolol!" Tentu saja, karena perasaan demikian itu sesungguhnya hanya merupakan suatu kecongkakan belaka, merajalelanya si aku yang ingin mengangkat diri setinggi-tingginya, sebesar-besarnya, yang paling besar, yang tak dapat lenyap, yang abadi dan banyak macam "yang ter" lagi. Perasaan ini hanya timbul dari pikiran yang bukan lain adalah si aku sendiri. Orang yang merasa dirinya pintar adalah orang-orang bodoh yang mudah bersikap sombong, congkak, tinggi hati, merasa benar sendiri, menang sendiri, meremehkan orang lain. Tentu saja orang macam itu adalah tolol sekali. Kemudian kalimat lanjutannya yang menjadi kebalikan, "yang merasa dirinya bodoh adalah waspada." Bukan pintar, melainkan waspada. Memang sesungguhnya, kalau orang mengamati diri sendiri dan merasa betapa dirinya, seperti semua manusia lain, sebenarnya hanyalah mahluk-mahluk yang banyak sekali kekurangan dan kelemahannya, maka dia adalah seorang waspada. Kewaspadaan itu sendiri yang akan mengadakan perobahan pada dirinya, menghilangkan segala macam kebodohan dalam bentuk keangkuhan, ketinggian hati dan sebagainya dan kewaspadaan ini yang melenyapkan kebodohannya. Bukan berarti lalu menjadi pintar, karena kalau dia merasa pintar, berarti dia terjeblos kedalam kebodohan yang ak~n membuatnya tolol!
"Merasa" dalam hal ini berbeda dengan "mengaku". Mengaku diri bodoh saja tidak ada artinya. Pengakuan itu bahkan berselubung untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya, yaitu agar dianggap orang yang "waspada", agar dianggap orang yang tahu akan kebodohannya dan karena itu waspada dan berisi. Bukan pengakuan yang ditujukan kepada orang lain, melainkan perasaan yang merupakan pengakuan terhadap diri sendiri, bukan sekedar mengaku, melainkan yakin karena melihat sendiri kebodohannya.
Itu adalah batiniahnya, sedangkan secara lahiriah, orang yang merasa pintar tentu akan mengabaikan segala macam pendapat dan pengertian orang lain, sehingga orang seperti ini tidak akan mampu menambah pengertiannya sehingga seperti katak dalam tempurung dan tenggelam ke dalam kebodohannya. Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bodoh, tentu akan selalu haus akan pelajaran, selalu ingin tahu dan ingin menambah pengetahuannya, mendengarkan pendapat dan buah pikiran orang lain sehingga muncul kewaspadaannya dan tentu dia tidak bodoh kalau sudah mau belajar setiap saat!
Hay Hay menyelami isi kalimat itu dan tahu-tahu malam telah larut. Tiba-tiba dia mendengar sesuatu, gerakan yang ringan dan halus. Karena telinganya berada dekat dengan permukaan pasir, maka dia menjadi lebih peka lagi. Dicobanya untuk menembus kegelapan dengan pandang matanya, akan tetapi tidak berhasil. Gelap pekat malam itu. Bintang-bintang tertutup mendung. Kemudian, suara itu semakin jelas dan tiba-tiba dia melihat ada tiga ekor tikus besar berada di dekat kepalanya! Celaka! Kedua tangannya berada di bawah pasir. Hanya kepalanya saja yang tersembul keluar dan bagaimana kalau tikus-tikus ini menggigitnya" Kalau hidungnya atau daun telinganya digigit, tentu dia tidak akan mampu melindungi anggauta badan itu! Tikus-tikus itu mendekat dan mulai mencium-cium mukanya. Terasa geli sekali dan bau apak menyerang hidungnya. Kumis-kumis panjang tiga ekor tikus itu menyapu-nyapu, geli dan jijik rasanya
Phuhhhhh "!" Hay Hay menggunakan sinkangnya dan meniup ke arah tiga ekor tikus itu. Tiupannya kuat sekali, pasir-pasir berhamburan menyerang tiga ekor tikus itu yang segera lari mencicit ketakutan.
"Amaaaann ".!" Hay Hay bernapas lega. Tidak ada lagi tikus yang datang, akan tetapi tiba-tiba dia merasa ada benda bergerak yang rnenyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang. Celaka! Tikus-tikus itu, atau binatang-binatang kecil lain, mungkin cacing atau serangga bawah tanah yang mulai mengganggunya dari bawah! Dan dia tidak mampu bergerak untuk mengusir binatang-binatang itu. Bagaimana kalau anggauta tubuhnya yang terpendam digerogoti" Ihh, dia merasa ngeri dan kalau menurutkan perasaan takut dan ngeri, mau rasanya sekali melompat keluar dari pendaman pasir itu. Akan tetapi tidak, dia harus dapat mempertahankan diri. Memang ini merupakan ujian, pikirnya. Kini dia tahu bahwa selain dilatih untuk siulian (samadhi) dan mengamati diri sendiri, juga kakek aneh itu memang sengaja menguji dirinya, batinnya, badannya, merupakan suatu gemblengan lahir batin yang semakin berat! Dan dia harus mampu mempertahankan diri dan mengatasi semua godaan itu, betapa pun berat derita dan siksa yang dirasakannya. Maka, dia lalu mengerahkan sinkangnya dan setiap kali ada gelitik atau gigitan kecil pada tubuhnya, dia mengerahkan sinkang dan membuat tubuhnya menjadi panas. Ini menolong. Biarpun masih ada gigitan-gigitan, karena tubuhnya sudah dilindungi sinkang panas dan kekebalan, yang terluka hanyalah kulitnya saja yang menimbulkan rasa perih. Akan tetapi karena tubuh itu berada di dalam pasir yang panas, maka perasaan nyeri itu tidaklah terasa benar.
Menjelang pagi, terdengar lolong anjing. Hay Hay terbelalak. Celaka, kalau yang datang itu anjing liar atau srigala! Dan cuaca yang remang-remang membuat dia dapat melihat bayangan lima ekor anjing yang besar-besar! Benar saja, lima ekor anjing liar datang ke tempat itu! Jantungnya berdebar tegang. Tak mungkin dia mempergunakan tiupannya untuk mengusir anjing-anjing itu seperti yang dilakukannya terhadap gangguan tiga ekor tikus semalam. Kalau lima ekor anjing liar itu menggigitnya, dia tidak akan mampu mengelak atau menangkis. Sungguh mengerikan!
Lima ekor arijing itu berhenti, mengepungnya sambil menyalak-nyalak, memperlihatkan gigi mereka yang besar dan runcing. Hay Hay menenangkan hatinya. Dalam keadaan panik, dia bisa benar-benar celaka, pikirnya. Dia memang tidak boleh mengeluarkan tangan dan yang nampak hanyalah kepalanya. Akan tetapi, mengapa dia tidak mau mempergunakan akal" Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi bukan hanya kaki dan tangannya saja yang terlatih, akan tetapi kepalanya juga. Bahkan bagian kepalanya yang di depan, belakang, kanan dan kiri merupakan bagian-bagian yang keras dan kuat. Kalau terpaksa, dia akan mampu membela diri dengan kepalanya!
Lima ekor anjing itu agaknya merasa ragu-ragu dan agak takut melihat sebuah kepala manusia hidup tersembul di atas pasir. Setelah menggonggong dan menyalak cukup lama tanpa ada reaksi dari kepala itu, mereka mulai mendekat dan mencium-cium dengan alat penciuman mereka yang amat peka. Makin dekat mereka mencium, makin kuat saja bau mereka menusuk hidung Hay Hay. Bau apak, amis dan busuk. Namun dia tidak memperhatikan itu semua karena seluruh perhatiannya dicurahkan mengikuti gerak-gerik mereka, siap untuk melawan apabila anjing-anjing itu menyerang. .Dan lima ekor anjing itu amat cerdik karena tiba-tiba saja seekor di antara mereka menyerang lebih dulu, menubruk dari belakang dengan moncong lebar menggigit ke arah tengkuk Hay Hay! Empat ekor yang lain menyalak-nyalak di dekat muka Hay Hay, agaknya untuk membikin panik korban mereka itu.
Biarpun kepalanya tidak mampu menengok dan di belakang kepala itu tidak ada matanya, namun Hay Hay dapat mendengar gerakan serangan anjing pertama yang menerkam dan menggigit dari belakangnya itu. Sambil mengerahkan tenaga sinkang, Hay Hay menyambut terkaman itu dengan gerakan kepala yang memukul ke belakang.
"Cukkk!" Belakang kepala Hay Hay bertemu dengan moncong binatang itu dengan keras sekali. Annjing itu menguik keras dan terpelanting, lalu berteriak kesakitan. Ujung hidungnya pecah berdarah. Pada saat itu, anjing ke dua menerkam dari depan, disambut oleh dahi Hay Hay dengan cepat dan kuatnya.
"Desss ".!" Anjing ini pun menguik keras dan terpelanting dengan hidung dan ujung moncong berdarah dan pada saat itu, Hay Hay sudah menggerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk menyambut terkaman dua anjing lainnya. Dua ekor anjing ini pun melolong kesakitan, diikuti anjing terakhir yang kembali bertemu dengan bagian belakang kepala Hay Hay yang keras. Lima ekor anjing yang kesakitan itu menjadi ketakutan dan mereka pun lari tunggang-langgang sambil menguik-nguik, diikuti pandang mata Hay Hay yang berseri penuh kelegaan dan juga kegelian hatinya. Pengalaman ini sungguh menegangkan dan lebih berbahaya daripada latihan pertama di dalam air itu.
Pada keesokan harinya, tidak terdapat gangguan binatang, akan tetapi rasa panas seperti membakar dirinya. Matahari membakar pasir dan dari bawah juga membubung hawa panas yang membuat kepala yang tersembul di atas pasir itu basah oleh keringat. Namun, Hay Hay mampu bertahan dan dia bahkan tak pernah lagi menghentikan renungannya atas kalimat yang harus dlhafalnya. Malam itu pun hanya ada seekor harimau yang menghampirinya dan mencium-ciumnya, membuat Hay Hay hampir kehabisan nyali. Akan tetapi sungguh aneh, harimau itu tidak mengganggunya dan pergi lagi tanpa menyerangnya! Dan pada keesokan harinya, setelah dua malam dia bertapa di dalam pasir, Kakek Song muncul di depannya.
"Bagus, engkau berhasil. Keluarlah untuk mengikuti latihan-latihan selanjutnya."
Dengan semangat lebih besar dari kemarin dulu walaupun dengan perut lebih lapar lagi, Hay Hay keluar dari dalam pendaman pasir itu dan kembali dia terkejut dan girang. Begitu suhunya memanggil dan dia mempunyai niat untuk keluar dari situ, tiba-tiba timbul tenaga yang amat besar dan tubuhnya seperti dijebol dari dalam. Sekali bergerak saja dia sudah keluar dari pendaman itu dengan tubuh terasa segar dan semangat berkobar! Dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut dalam keadaan telanjang bulat itu di depan suhunya.
"Bagus, engkau berhasil. Sudah, tak perlu segala upacara ini. Hayo bangun dan ikuti aku, taati semua petunjukku."
Dengan penuh semangat Hay Hay mengikuti gurunya ke guha dan mengenakan pakaiannya, kemudian mencari buah-buah untuk dia dan gurunya. Dia masih harus mengikuti cara berlatih yang aneh-aneh, berpuasa dan bertapa dengan cara yang sesungguhnya amat berat dan berbahaya. Namun semua dia taati dan dia lakukan penuh semangat dan pantang mundur. Tiga hari tiga malam tanpa makan dia harus bertapa dengan cara bergantung di cabang pohon yang tinggi, dengan kedua kaki terikat dan bergantung dan kepala di bawah! Latihan ini berat bukan main, dan hanya orang yang sudah memiliki sinkang yang amat kuat saja dapat bertahan. Karena peredaran darah tidak seperti biasanya, banyak darah mengalir dalam kepala, maka pada hari pertama terasa amat berat dan mendatangkan pemandangan-pemandangan khayal yang menakutkan. Namun Hay Hay amat teguh dan berhasil melewati waktu tiga hari dengan baik sambil menghafal kalimat yang diberikan kakek itu, begini bunyinya : "Langit di bawah kaki, Bumi di atas kepala, atas bawah baik buruk hanya pendapat, bukan kebenaran nyata!"
Ada pula latihan berpuasa tujuh hari tujuh malam sambil bersamadhi di dalam kegelapan. Di dalam guha terdapat terowongan yang pada ujungnya terdapat sebuah ruangan di bawah tanah yang amat gelap. Tidak ada sedikit pun cahaya masuk, siang malam sama saja gelap pekat hitam legam. Di tempat inilah Hay Hay harus duduk bersamadhi dan bertapa dalam keadaan telanjang bulat, dengan kalimat yang harus diingatnya, kalimat yang paling aneh di antara kalimat yang pernah diajarkan kepadanya. "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening "!"
Dan ternyata latihan ini terasa paling berat bagi Hay Hay. Dia tidak lagi mengenal waktu, tidak lagi melihat apa-apa, tidak mendengar apa-apa, tidak mencium apa-apa, tidak meraba apa-apa. Seluruh anggauta tubuhnya seperti mati, tidak melakukan kegiatan apa pun. Namun anehnya, pikirannya menjadi makin liar dalam keadaan tanpa gerak itu, bagaikan seekor naga yang terikat dan meronta, meliar, memberontak hendak keluar. Ketika dia dapat menenangkannya, muncul bermacam-macam gambaran yang membuat dia merasa seperti telah menjadi gila! Segala ingatan datang pergi dengan cepatnya, teringat dia akan pengalamannya di waktu kanak-kanak, dan bahkan terbayang olehnya seorang laki-laki menyerupai dirinya, Si Tawon Merah yang menjadi ayah kandungnya. Terasa olehnya seolah-olah laki-laki yang menjadi ayah kandungnya itu menyusup ke dalam dirinya, dan membawa pula rangsangan-rangsangan berahi ke dalam tubuhnya, membuat dia gelisah dan hampir tidak kuat bertahan. Terbayang segala yang indah dan cantik menarik dari para wanita, membuat nafsu berahi dalam dirinya berkobar dan menyesakkan napas, menuntut pelepasan. Kemudian, yang paling hebat dan berat dari segala godaan, di dalam kehitaman itu tiba-tiba muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Segala kecantikan wanita yang dapat digambarkan otaknya dimillki wanita ini! Dengan suara merayu-rayu, membawa keharuman khas wanita. Ia menghampiri Hay Hay, membelai dan merayunya, merangkul dan menciuminya, dan hampir saja Hay Hay tidak kuat lagi bertahan. Napasnya telah terengah memburu, seluruh tubuhnya sudah menggigil dan di dalam hatinya terjadi perang yang amat seru antara keinginan untuk merangkul mendekap wanita itu dan menahan diri.
"Kosong hampa hening... kosong hampa hening ".!" hanya tiga kata ini yang dapat teringat olehnya, akan tetapi diucapkannya tiga kata yang teringat itu keras-keras, dengan seluruh kekuatan batinnya dengan seluruh perhatiannya dan tiba-tiba lenyaplah wanita yang membelai seluruh tubuhnya itu.
Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya basah oleh keringatnya sendiri dan betapa napasnya terengah-engah, tubuhnya lemas seolah-olah baru saja dia mempergunakan tenaga yang amat besar. Dia bergidik kalau teringat betapa hampir saja dia kalah oleh godaan yang timbul dari pikirannya sendiri, karena sekali dia terpeleset dan jatuh, kalah oleh godaan itu, mungkin latihannya akan berakhir dengan munculnya seorang laki-laki yang gila. Dia tentu akan menjadi gila kalau tadi dia kalah. Cepat dia berkemak-kemik membaca kalimat yang diajarkan suhunya, "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening ".!"
Memang, kini dapat dirasakannya sendiri, bahwa segala sesuatu adalah hasil darl pada pendapat pikiran sendiri, disesuaikan dengan pengalaman, dengan keadaan diri sendiri, dengan kebutuhan badan dan keinginan batin untuk menyenangkan diri sendiri. Sesungguhnya tidak ada apa-apa, kalaupun ada maka kita sendirilah yang mengadakan. Susah, senang, buruk, baik, duka, suka, dan semua keadaan dengan kebalikan-kebalikannya itu hanya ada karena kita adakan oleh pikiran, kalau pikiran kosong, hampa dan hening, maka sesungguhnya tidak ada apa-apa. Semua itu hanyalah permainan pikiran yang merasakan adanya suatu keadaan. Kalau pikiran tidak mengada-ada, maka yang ada hanyalah kosong, hampa dan hening seperti keadaan seseorang yang tidur pulas tanpa mimpi!
Sampai kurang lebih satu bulan Hay Hay melaksanakan perintah Kakek Song dan melakukan bermacam latihan dan tapa yang aneh-aneh dan macam-macam. Namun semua itu, bahkan yang terberat sekalipun, yaitu bertapa di tempat gelap selama tujuh hari tujuh malam, dapat dilewatinya dengan baik. Setelah bertapa di tempat gelap, dia pun dipanggil oleh Kakek Song. Dia keluar dari terowongan, mengenakan pakaian dan menjatuhkan diri berlutut didepan kaki orang itu.
Tidak seperti biasanya, kini kakek itu hanya memandang Hay Hay dan mengangguk-angguk. "Bagaimana, Hay Hay" Apakah kini engkau masih memandang aku sebagai seorang yang gila?" akhirnya dia bertanya dengan suaranya yang aneh, karena suara itu kadang-kadang parau, kadang-kadang halus lembut penuh wibawa.
Hay Hay mengangkat mukanya memandang kakek itu. Dia terkejut karena tak pernah mengira bahwa kakek ini tahu bahwa dia pernah memandangnya sebagai seorang yang berotak miring. Kini, sejak beberapa hari yang lalu, dia sudah tidak lagi beranggapan demikian. Sebaliknya malah dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat tinggi ilmunya, amat bijaksana dan waspada, seorang manusia yang sudah bersatu dengan alam tidak lagi menghiraukan segala kesibukan lahiriah dan bersikap wajar. Justru kewajarannya itu bagi manusia pada umumnya akan nampak aneh dan gila.
"Teecu telah menerima petunjuk-petunjuk dari Suhu, teecu merasa gembira dan beruntung sekali. Teecu hanya menanti apa petunjuk Suhu selanjutnya agar teecu dapat mentaatinya dengan baik untuk menambah pengertian teecu tentang hidup dan diri sendiri."
"Heh-heh-heh, latihan-latihan selama sebulan ini merupakan gemblengan yang jauh lebih berhasil daripada gemblengan bertahun-tahun dari gurumu."
"Teecu menyadari hal itu, Suhu, dan mengharapkan petunjuk selanjutnya."
"Ha-ha-ha, tiada sesuatu tanpa akhir di dunia ini kecuali cinta kasih, Hay Hay. Hubungan lahiriah lebih rapuh lagi, dan kita harus berpisah hari ini. Lanjutkan perjalananmu dan jangan kauingat lagi kepadaku."
"Betapa mungkin teecu dapat melupakan Suhu yang telah melimpahkan kasih sayang kepada teecu?"
"Ha-ha-ha, aku tidak memberi sesuatu dan engkau pun hanya menerima hasil dari pada jerih payahmu sendiri. Boleh engkau ingat kepada manusia lain bernama Kakek Song, aku tidak peduli, akan tetapi aku tidak akan ingat lagi kepadamu. Aku hanya akan ingat kepada seorang pemuda nakal bersama Hay Hay yang tekun dan tahan uji. Nah, selanjutnya, tentukanlah langkahmu sendiri. Hanya ada satu pesanku kepadamu. Kalau engkau mendaki gunung yang kelihatan biru di sana itu, engkau akan mendapatkan sebuah air terjun yang besar. Di balik air terjun itu terdapat sebuah guha. Belasan tahun aku pernah bertapa di sana. Kalau engkau mau bertapa di bawah air terjun, membiarkan air terjun menyiram kepala dan tubuhmu selama tiga hari tiga malam, engkau akan memperoleh kematangan yang amat menguntungkan badanmu. Nah, aku pergi sekarang, Hay Hay!" Seperti biasa, kakek itu tanpa ragu lagi berkelebat dan lenyap.
Hay Hay maklum akan keanehan gurunya, tidak berani mengejar, hanya tetap berlutut memberi hormat ke bekas tempat duduk suhunya.
Tak lama kemudian dia pun bangkit dan meninggalkan bukit itu, menuju ke gunung yang nampak biru, di sebelah selatan bukit itu. Ada sesuatu di dalam langkahnya yang membedakan Hay Hay dari keadaannya sebulan yang lalu. Langkah satu-satu yang membawa dirinya maju itu demikian mantap, tanpa ragu-ragu, dan senyum di mulutnya itu kini nampak penuh pengertian, sepasang mata yang mencorong mengandung kelembutan. Benarkah bahwa gemblengan yang satu bulan itu lebih berhasil daripada gemblengan bertahun-tahun yang pernah didapatkannya. Dia tidak diberi pelajaran ilmu silat atau ilmu apapun juga oleh Kakek Song, namun gemblengan sebulan lamanya itu membuat ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya menjadi lebih matang dan sempurna.
** Sebelum kita mengikuti perjalanan Hay Hay, marilah kita menengok ke belakang beberapa tahun yang lalu untuk mengikuti perjalanan Kok Hui Lian dan Ciang Su Kiat. Seperti pernah diceritakan di bagian depan kisah ini, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya sebatas siku, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur dan keras. Telah diceritakan betapa dia menyelamatkan seorang anak perempuan bernama Kok Hui Lian yang kemudian menjadi murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri olehnya. Kok Hui Lian adalah puteri mendiang Kok-taijin, seorang gubernur dari San-hai-koan. Kemudian, di dalam perjalanan mereka, ketika Ciang Su Kiat berusia tiga puluh empat tahun dan Hui Lian berusia belasan tahun, mereka bertemu dengan Lam-hai Giam-lo yang amat jahat. Lam-hai Giam-lo menangkap Hui Lian dengan niat keji, akan tetapi Ciang Su Kiat menyerangnya sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan Ciang Su Kiat terjatuh ke dalam jurang dan Hui Lian ikut meloncat ke dalam jurang yang amat curam itu. Akan tetapi, keduanya tidak binasa, bahkan menemukan kitab-kitab rahasia peninggalan dua orang sakti dari Delapan Dewa, yaitu mendiang In Liong Nio-nio dan mendiang Sian-eng-cu The Kok. Dua orang itu dapat hidup di tebing jurang, di dalam sebuah guha dan mereka mempelajari ilmu kesaktian dari dua kitab ilmu peninggalan dua orang sakti itu. Juga mereka terpaksa hanya makan daging burung, telur, dan jamur-jamur kecil, akan tetapi makanan ini bahkan membuat mereka menjadi kuat, bahkan karena makanan aneh selama sepuluh tahun ini, tubuh Hui Lian mengeluarkan bau yang harum seperti bunga!
Setelah memperoleh ilmu yang amat tinggi, ditambah makanan aneh selama sepuluh tahun, Su Kiat dan Hui Lian berhasil keluar dari tempat terasing itu, mendaki tebing jurang yang amat curam. Mereka telah meninggalkan dunia ramai selama sepuluh tahun dan ketika mereka berhasil keluar dari situ, Ciang Su Kiat telah berusia empat puluh empat tahun sedangkan Kok Hui Lian telah menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh dua tahun! Seorang gadis yang cantik dan keras, dengan keringat berbau harum.
Tentu saja mereka merasa sakit hati terhadap Lam-hai Giam-lo dan mulailah mereka mencari tokoh sesat itu untuk membalas dendam. Mereka berhasil dan berkali-kali mereka menyerang Lam-hai Giam-lo, bahkan hampir berhasil membunuhnya, kalau iblis itu tidak cepat melarikan diri. Lam-hai Giam-Io ketakutan menghadapi dua orang yang haus akan darahnya itu sehingga dia mencukur gundul rambut kepalanya dan menyamar menjadi hwesio kuil Siauw-lim-pai.
Demikianlah kisah yang sudah kita ketahui di bagian depan cerita ini, dan kedua orang itu kehilangan musuhnya. Setelah mencari-cari tanpa hasil, keduanya lalu menghentikan pencarian mereka.
"Sudahlah, kita tidak perlu mencari lebih jauh." kata Su Kiat kepada Hui Lian. "Dia tentu bersembunyi dan selama dia tidak keluar di dunia ramai, tak mungkin kita dapat menemukannya. Kita tunggu saja sampai dia kembali muncul di dunia ramai. Kita tentu akan dapat mendengar akan sepak terjangnya dan belum terlambat kalau kelak kita mendengar namanya disebut orang."
"Baiklah, Suheng. Lalu kita akan pergi ke mana sekarang?" tanya Hui Lian. Semenjak sama-sama mempelajari kitab-kitab yang mereka temukan di dalam guha di tebing yang curam itu, Su Kiat minta kepada Hui Lian agar gadis ini tidak lagi menganggapnya sebagai guru. Mereka berdua secara kebetulan telah menerima peninggalan warisan ilmu dari dua orang sakti, sehingga mereka berdua menjadi murid-murid kedua orang sakti itu dan dengan sendirinya mereka menjadi suheng dan sumoi. Mula-mula Hui Lian tidak setuju karena ia merasa betapa Su Kiat adalah penolongnya, juga gurunya dan selama ini Su Kiat menganggapnya sebagai murid dan anak angkat. Akan tetapi atas desakan Su Kiat, Hui Lian yang ketika itu baru berusia dua belas tahun, menurut dan demikianlah, mereka belajar bersama dan menjadi seperti kakak dan adik seperguruan. Memang ada keanehan dalam hubungan antara mereka. Walaupun di tempat terasing itu Hui Lian tumbuh menjadi gadis dewasa yang amat cantik menarik, namun Su Kiat selalu dapat menguasai dirinya dan tidak sampai mempunyai keinginan yang bukan-bukan terhadap gadis itu. Biarpun kini mereka saling panggil seperti kakak dan adik seperguruan, namun Su Kiat memandang gadis itu sebagai anaknya sendiri, dan di dalam hatinya hanya terdapat kasih sayang dan iba seperti perasaan seorang ayah terhadap anaknya. Pandangan ini yang menjauhkan nafsu berahinya, walaupun gadis yang hidup di sampingnya itu memiliki daya tarik dan daya pikat yang amat kuat.
Ketika Hui Lian bertanya ke mana mereka akan pergi, Su Kiat menjadi bingung juga. Dia memang hidup sebatang kara. Ketika dia masih menjadi murid Cin-ling-pai, dia sudah hidup sebatang kara, tanpa keluarga. Juga gadis yang menjadi sumoinya itu hidup sebatang kara. Seluruh keluarganya, keluarga Kok yang pernah menjadi keluarga bangsawan terhormat, telah terbasmi habis ketika terjadi pemberontakan. Gubernur Kok dan keluarganya telah habis. Mungkin masih ada sisanya, akan tetapi dia tidak ingin membawa Hui Lian kembali kepada keluarga Kok di San-hai-koan, karena dia tidak mau kehilangan gadis itu. Akan tetapi, dia pun tidak boleh membiarkan Hui Lian hidup menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal yang patut. Hui Lian telah menjadi seorang gadis yang cukup dewasa, yang sudah sepantasnya kalau dijodohkan! Dan untuk dapat menjodohkannya dia harus mencari tempat tinggal yang tetap dan hidup sebagai keluarga terhormat.
"Sumoi, kita harus memilih dusun yang cocok untuk menjadi tempat tinggal kita. Kita harus hidup sebagai keluarga yang pantas, mempunyai rumah dan sawah yang memadai "."
"Akan tetapi, kita akan bekerja apa kalau tinggal di dusun, Suheng" Tidakkah sebaiknya kalau kita tinggal di sebuah kota di mana kita dapat bekerja, misalnya membuka perguruan silat?"
Su Kiat mengangguk-angguk. Memang tidak keliru pendapat sumoinya itu. Bagaimana dia dapat bercita-cita menjadi petani kalau lengannya hanya sebelah" Dia tidak memiliki modal, dan tidak memiliki keahlian lain kecuali ilmu silat. Karena itu, untuk dapat mencari uang guna membeli rumah dan sebagainya, satu-satunya kemungkinan hanyalah menjual kepandaian itu dengan membuka perguruan silat.
Akhirnya mereka memilih sebuah dusun yang berada di tepi Sungai Cia-ling, di luar kota Kong-goan, untuk menjadi tempat tinggal. Dusun itu tidak besar, hanya merupakan dusun nelayan yang hidupnya dari menyewakan perahu untuk pengangkutan rempa-rempa dan mencari ikan di Sungai Cia-ling, dan semua penghuni dusun mencari nafkah ke kota Kong-goan yang besar. Mereka membeli sebidang tanah dengan harga murah, agak terpencil di ujung dusun, membangun sebuah pondok sederhana. Setelah mempunyai rumah tinggal, barulah Su Kiat dan Hui Lian bicara tentang mencari pekerjaan. .
"Suheng, apakah tidak ada pikiran padamu untuk pergi mengunjungi Cin-ling-pai?" Sepasang mata yang bening tajam itu menatap wajah suhengnya. "Bukankah Cin-ling-san dekat dari sini, di sebelah utara itu?"
Su Kiat menarik napas panjang. Pertanyaan sumoinya itu mengingatkan dia akan masa mudanya di Cin-ling-pai dan tanpa disengaja dia melirik ke arah lengan kirinya yang buntung. Tidak, dia tidak mendendam kepada Cin-ling-pai! Dia sendiri yang membuntungi lengan kirinya, walaupun dia didesak oleh Ketua Cin-ling-pai yang berhati keras seperti baja itu. Dia sudah keluar dari Cin-ling-pai dan tidak ada sangkut-paut lagi. Untuk apa pergi ke sana" Dia tahu bahwa sumoinya merasa penasaran dan sakit hati terhadap Cin-ling-pai setelah mendengar ceritanya tentang sebab buntungnya lengan kirinya. Sungguh kejam ketua Cin-ling-pai itu, demikian sumoinya membentak, tidak patut menjadi ketua perkumpulan orang yang mengaku pendekar gagah perkasa!
Dia menggeleng kepala dan memandang wajah sumoinya. "Tidak, Sumoi. Sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi antara aku dan Cin-ling-pai. Untuk apa aku berkunjung ke sana" Hanya akan menggali kenangan-kenangan pahit belaka."
Pada suatu hari, pergilah mereka berdua memasuki kota Kong-goan yang besar dan ramai. Kota Kong-goan terletak di dekat perbatasan antara Propinsi Secuan dan Shen-si, di sebelah timur Sungai Cia-ling. Karena Sungai Cia-ling datang mengalir dari utara, jauh dari dalam Propinsi Kan-su, kemudian mengalir ke selatan memasuki sungai besar Yang-ce-kiang, maka adanya sungai itu di dekat kota Kong-goan membuat kota ini menjadi semakin ramai karena dilewati jalur perdagangan melalui sungai itu.
Karena belum mempunyai kenalan di kota itu sehingga sukar bagi mereka untuk memperkenalkan diri sebagai ahli silat yang hendak membuka perguruan silat, Su Kiat mengajak sumoinya untuk langsung saja pergi ke pusat kota yang ramai. Di luar sebuah pasar di tepi jembatan, dia lalu memilih tempat di sudut di mana terdapat petak rumput dan mengeluarkan kain yang sudah ditulisi dan digulung. Dipasangnya kain itu dengan tali yang diikatkan pada batang pohon dan dinding pagar pasar. Kain putih itu telah ditulis dari rumah tadi, dengan huruf-huruf besar.
KAMI MEMBUKA PERGURUAN SILAt DI
DUSUN HEK-BUN, DENGAN BIAYA PANtAS
DAN ANDA DAPAt BELAJAR ILMU BELA
DIRI YANG BERMUTU DARI KAMI SILAKAN
MENDAFTARKAN DI SINI. CIA-LING BU-KOAN. Sebentar saja banyak orang datang merubung tempat itu. Mereka itu terdiri dari pria-pria yang tertarik, bukan hanya oleh tulisan itu, terutama sekali oleh kecantikan Hui Lian!
"Eh, apakah gurunya berlengan buntung itu?"
"Wah, mana mungkin melatih silat dengan baik?"
"Kalau Si Cantik itu yang menjadi guru, aku membayar berapa mahal pun!"
"Cia-ling-bu-koan (Perguruan Silat Sungai Cia-ling), aliran manakah?"
Bermacam-macam pendapat dan dugaan orang sehingga tempat itu menjadi berisik. Melihat banyaknya orang yang tertarik dan kini merubung tempat itu, Su Kiat lalu berdiri dan menghadap ke empat penjuru sambil mengangkat sebelah tangannya ke depan dada.
"Cu-wi yang terhormat. Ketahuilah bahwa kami suheng dan sumoi, merupakan penduduk baru dari dusun Hek-bun di luar kota ini di tepi Sungai Cia-ling. Karena kami ingin bekerja mencari nafkah dan keahlian kami hanyalah ilmu silat, maka kami memberanikan diri untuk membuka sebuah perguruan silat. Kami mengambil nama Cia-ling Bu-koan karena dusun kami berada di tepi Sungai Cia-ling. Kalau di antara Cu-wi ada yang ingin belajar silat yang baik, dan mau menolong kami mencari nafkah secara halal, silakan mendaftarkan dl sini!"
"Akan tetapi bagaimana kami tahu bahwa Anda pandai ilmu silat?" terdengar teriakan seorang di antara para penonton dan pertanyaan ini mendapat sambutan banyak orang.
Su Kiat tersenyum dan mengagguk. "Sudah pantas pertanyaan itu. Wajarlah kalau Cu-wi kurang percaya kepada kami karena memang kita belum berkenalan. Baru satu bulan kami tinggal di dalam dusun itu. Sumoi, mari kita main-main sebentar untuk memperkenalkan diri kepada mereka!"
Hui Lian mengangguk dan meloncat ke tengah lapangan rumput. Para penonton mundur dan memberi ruangan untuk mereka berdua. Gembira hati mereka karena hendak disuguhi tontonan yang paling mengasyikkan bagi mereka, yaitu demonstrasi silat, apalagi kalau dilakukan oleh seorang gadis demikian cantik manis melawan seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya. Mereka menduga bahwa ilmu silat kedua orang itu tentu hanya begitu-begitu saja, dan tentu saja mereka tidak begitu bodoh untuk belajar ilmu silat kepada orang yang bukan ahli benar. Di kota Kong-goan terdapat banyak perguruan silat yang besar dan kuat, dan biarpun harus mengeluarkan biaya besar, lebih baik belajar dari guru-guru silat yang pandai dan terkenal di kota itu. Akan tetapi ada pula di antara mereka yang sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan sedikit biaya agar selalu dapat berdekatan dengan gadis cantik itu, apalagi dilatih silat oleh gadis itu, berkesempatan untuk dipegang-pegang!
"Haiiiittt "..!" Hui Lian mengeluarkan teriakan untuk memberi tanda kepada suhengnya bahwa ia mulai menyerang. Serangannya cepat sekali, kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah kepala, yang kiri menusuk ke arah dada dengan jari tangan terbuka. Akan tetapi, dengan gerakan ringan sekali Su Kiat dapat menghindar, memutar tubuh dan langsung membalas dengan tendangan kilat. Tendangan menyambar lewat, dekat sekali dengan tubuh gadis itu sehingga para penonton mulai terkejut. Kini, dua orang itu saling serang dan para penonton mulai terbelalak. Suheng dan sumoi itu saling serang dengan sungguh-sungguh! Mereka sudah sering melihat demonstrasi silat berpasangan dan dalam demonstrasi itu, pukulan dan serangan selalu dilakukan dengan diatur lebih dahulu oleh kedua pesilat. Akan tetapi kedua orang ini sama sekali tidak. Serangan mereka dilakukan dengan demikian cepat dan kuatnya, dan setiap serangan nyaris mengenai tubuh lawan. Dan Si Buntung itu, biarpun lengannya hanya sebelah, ternyata lihai sekali. Bahkan lengan baju kiri yang kosong mampu dia pergunakan untuk menangkis serangan bahkan menotok! Demonstrasi itu seperti sungguh-sungguh dan tidak dapat disangkal lagi bahwa keduanya memang memlliki gerakan yang cepat, dan ilmu silat mereka pun aneh. Tidak seorang pun di antara para penonton, baik yang sudah pernah belajar silat sekalipun, dapat mengenal aliran ilmu silat yang dimainkan mereka.
"Hyaatt!" Tiba-tiba tubuh Su Kiat mencelat ke atas dan dia pun menghujankan serangan kepada lawannya. Ujung lengan baju kiri yang tidak berisi itu menyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah di leher dan pundak, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kedua kakinya bergantian mengirim tendangan bertubi-tubi. Gadis itu melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan harus terus-menerus berjungkir balik untuk mengelak dan menghindarkan dirinya dari hujan serangan itu. Gerakan mengelak ini sedemikian ringan dan indahnya sehingga tertariklah hati semua penonton. Mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.
"Berhenti "..!!!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Hul Lian dan Su Kiat cepat menghentikan gerakan mereka. Para penonton melihat munculnya serombongan orang dan mereka pun nampak jerih, lalu mundur menjauh. Mereka menonton dari jarak yang cukup jauh dan semua orang merasa khawatir akan keselamatan suheng dan sumoi itu, karena mereka mengenal siapa adanya rombongan orang yang baru tiba, dan siapa pula raksasa muka hitam yang tadi membentak.
Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang. Rombongan itu terdiri dari delapan orang. Melihat betapa di dada baju delapan orang itu terdapat sulaman gambar harimau hitam, Su Kiat dan Hui Lian menduga bahwa mereka adalah orang-orang dari satu golongan tertentu. Dan dugaan mereka memang benar. Para penonton sudah mengenal jagoan-jagoan dari Hek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Hitam) itu, sebuah perguruan silat terbesar di Kong-goan dan yang paling berpengaruh. Semua perguruan silat lainnya tunduk dan takut kepada Hek-houw Bu-koan dan perguruan ini dianggap sebagai perguruan yang paling tinggi dan mahal. Bahkan perguruan lain, setiap bulan mengirim hadiah tanda penghormatan kepada Hek-houw Bu-koan yang dianggap sebagai rekan paling tua dan paling lihai. Tentu saja tidak mudah menjadi murid Hek-houw Bu-koan, harus dapat membayar mahal dan karena anak-anak para bangsawan dan pejabat kebanyakan berguru di situ, tentu saja kedudukan Hek-houw Bu-koan menjadi semakin kuat. Murid-muridnya ditakuti dan disegani orang, apalagi murid dari golongan yang sudah tinggi tingkatnya, seperti delapan orang murid ini yang sudah memakai gambar harimau hitam di dada mereka!
Kini delapan orang itu menghadapi Su Kiat dan Hui Lian yang berdiri dengan sikap tenang walaupun dari sikap para penonton mereka dapat menduga bahwa delapan orang ini tentulah bukan orang-orang yang disukai rakyat, dan berarti merupakan orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang.
"Toako, Si Buntung ini kurang ajar sekali, berani tidak memandang kepada kita!" kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.
"Toako, Nona ini sungguh mulus!" kata orang ke dua yang berperut gendut dan mukanya menyeringai kurang ajar.
Raksasa muka hitam yang disebut Toako itu melangkah maju, melotot kepada Su Kiat. Betapa pun marahnya, dia tidak mampu memperlihatkan sikap marah kepada seorang gadis secantik Hui Lian, maka yang menerima kemarahannya adalah Su Kiat seorang.
"Heh, buntung! Siapa kau dan dari mana kau datang?" tanyanya dengan suara keras dan memandang rendah.
Wajah Hui Lian berubah merah dan kalau saja suhengnya tidak berkedip kepadanya, tentu ia sudah menerjang raksasa muka hitam yang berani menghina suhengnya itu. Akan tetapi Su Kiat maklum bahwa kalau dia dan sumoinya ingin mencari nafkah di kota itu, tidak menguntungkan kalau di hari pertama sudah harus bermusuhan dengan orang lain. Maka dia pun melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam itu, dan dengan muka cerah dan ramah dia menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya
Namaku Ciang Su Kiat dan ia adalah sumoiku bernama Kok Hui Lian. Kami baru kurang lebih sebulan tinggal di dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan ini di tepi Sungai Cia-ling." Dan dia pun balas bertanya, "Siapakah Si-cu dan mengapa Si-cu menghentikan demonstrasi kami?"
"Orang she Ciang yang sombong! Siapa memberi ijin kepadamu untuk membuka perguruan silat" Engkau sungguh tak tahu diri dan melanggar peraturan!"
"Eh" Maaf, peraturan apakah yang kulanggar" Apa kesalahanku dengan rencana membuka perguruan silat?" .
"Engkau melakukan dua pelanggaran besar. Pertama, engkau menghina kami karena membuka perguruan silat tanpa sepengetahuan kami! Ketahuilah bahwa di Kong-goan ini, perguruan silat kami Hek-houw Bu-koan mempunyai wewenang sepenuhnya dan semua perguruan silat harus mendapatkan restu kami. Akan tetapi engkau berani membuka tanpa minta persetujuan kami. Dan ke dua, engkau telah berani melakukan penipuan di kota kami!"
"Penipuan" Untuk yang pertama, kami minta maaf karena kami tidak tahu adanya peraturan seperti itu. Dan hal itu mudah saja dibereskan. Aku akan pergi menghadap pimpinan Hek-houw Bu-koan untuk minta persetujuan. Akan tetapi penipuan" Aku tidak merasa menipu siapapun juga."
"Sombong! Engkau ini berlengan buntung, mana mungkin akan dapat mengajar silat dengan baik" Bukankah itu artinya kalian mengelabuhi dan menipu para peminat, hendak mengeduk uang mereka dengan alasan mengajar silat akan tetapi sesungguhnya engkau tidak mampu bersilat dengan baik?"
"Toako, hajar saja orang ini dan kita tahan gadis itu sebagai sandera!" kata laki-laki berperut gendut dan dia pun melangkah maju, kakinya menendang meja kecil yang disediakan oleh Hui Lian. Di atas meja itu tersedia kertas dan alat tulis untuk mendaftar mereka yang berminat. Kini tinta dan kertas terlempar dan berserakan, meja itu pun ringsek. Delapan orang itu tertawa.
Bukan main marahnya Hui Lian. Ia tidak mampu menahan dirinya lagi dan iapun cepat meloncat di depan suhengnya.
"Suheng, aku tidak sudi dihina orang seperti ini. Biar aku mewakili Suheng menghadapi tikus-tikus busuk ini!" Dan sebelum Su Kiat dapat menahannya, Hui Lian telah melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam, tangannya menuding ke arah muka yang hitam itu.
"Kamu ini manusia ataukah iblis" Menjadi harimau hitam pun tidak patut karena harimau pun tidak sejahat kamu! Kamu menghina orang seenak perutmu sendiri. Apa kesalahan kami" Untuk membuka perguruan silat, tidak perlu minta persetujuan binatang macam kamu, dan kalau kami melanjutkan usaha kami, kamu mau apa" Majulah kalau ingin mengenal kelihaian nonamu!"
Si Perut Gendut sudah melangkah maju. "Toako, tahan kemarahanmu. Serahkan kuda betina liar ini kepadaku saja. Aku akan menangkapnya, barulah engkau menghajar Si Buntung itu!" Tanpa menanti jawaban raksasa muka hitam yang mendelik marah karena dimaki-maki oleh Hui Lian, Si Gendut itu sudah menerjang ke arah Hui Lian dan begitu dia menyerang, dia menggunakan, kedua tangannya untuk mencengkeram ke arah dada gadis itu! Serangan yang amat tidak sopan dan memandang rendah kepada Hui Lian.
"Sumoi, jangan membunuh orang!" Su Kiat memperingatkan, diam-diam juga marah melihat serangan yang kurang ajar itu.
"Plak! Plak!" Kedua tangan Hui Lian menyambut dua tangan Si Perut Gendut itu, yang tentu saja menjadi girang dan segera dia mencengkeram kedua tangan gadis itu. Jari-jari tangan mereka saling remas seperti sepasang kekasih sedang bermain-main saja. Teman-teman Si Gendut sudah mentertawakan.
"Wah, untung besar Si Gendut kali ini!"
"Wah, main remas jari tangan!"
"Halusnya!" "Hangatnya, heh-heh!"
Si Perut Gendut yang mencengkeram tangan Hui Llan, berusaha menarik gadis itu untuk mencium mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan pekik kesakitan, matanya terbelalak seperti hendak meloncat keluar, mukanya menjadi pucat sekali dan seluruh tubuhnya menggigil saking menahan rasa nyerinya. Kiranya, jari-jari tangannya itu bertemu dengan jari-jari tangan yang keras seperti baja dan panas seperti api membara! Biarpun jari-jari tangannya lebih panjang dan besar, namun jari-jari tangannya itu seperti tahu dicacah saja, tahu bertemu pisau! Jari tangan Hui Lian yang mencengkeram dan terdengar suara berkeretakan ketika tulang-tulang dan buku jari tangan Si Gendut itu patah-patah dan remuk!
"Aduhh... aduhhhh... ampunnn... amm... punnnn... augghhh "..!" Si Gendut mnenjerit-jerit dan menangis seperti babi disembelih, dan saking nyerinya, dia berjongkok dan kedua lengannya bergantung. Hui Lian mendengus jijik dan kakinya menendang sambil membentak.
"Anjing buduk, pergilah!"
"Bukk!" Kaki itu menendang perut yang gendut dan ia melepaskan cengkeramannya. Tubuh Si Gendut itu terjengkang dan bergulingan, dan kini dia merintih deng.an bingung, menggunakan kedua ,tangan yang remuk tulang-tulang jarinya itu untuk meraba-raba perutnya yang mendadak menjadi mulas dan nyeri sekali. Agaknya usus buntunya yang kena tendangan yang cukup keras itu
Gegerlah semua orang melihat peristiwa yang sama sekali tak mereka sangka-sangka itu. Para penonton yang berada di jarak aman, terbelalak dan wajah mereka berseri. Walaupun mereka bergembira, terkejut heran dan kagum bukan main, namun mereka tidak berani bersorak, hanya bersorak di dalam hati dan saling pandang dengan senyum dikulum. Sebaliknya, tujuh orang teman, Si Gendut terkejut bukan main dan mereka menjadi marah, terutama Si Raksasa muka hitam yang menjadi saudara tertua di antara mereka dan merupakan pimpinan kelompok itu karena dialah yang paling lihai dan paling kuat.
"Perempuan jahat, berani engkau memukul orang?" bentak Si Raksasa muka hitam.
"Huh, matamu kamu taruh di mana" Jelas dia yang memukul orang, bukan aku. Kalau kamu ingin memukulku juga, boleh. Majulah!"
"Perempuan sombong, engkau belum merasakan tangan besi jagoan Hek-houw Bu-koan" Nah, sambutlah!" Teriak Si Muka Hitam dan dia pun mengirim pukulan dengan tamparan tangannya ke arah pundak Hui Lian. Tangan raksasa muka hitam itu besar dan lengannya panjang, ketika menampar mendatangkan angin yang cukup kuat. Melihat Si Raksasa ini tidak menyerang dengan ganas, hanya menampar pundak, tidak kurang ajar seperti Si Perut Gendut, Hui Lian juga tidak bertindak kejam. Ia mengelak dengan mudah saja, kakinya menotok ke depan dan tubuh Si Raksasa itu pun terjungkal karena kedua kakinya tiba-tiba saja menjadi lumpuh ketika ujung sepatu kecil itu dua kali mencium kedua lututnya!
Kembali suasana menjadi geger. Gadis itu telah merobohkan toako mereka dalam segebrakan saja! Dan para penonton juga gempar, dan sekali ini biarpun tidak bersorak, namun ada terdengar suara ketawa di sana-sini menyambut kemenangan mudah gadis itu. Enam orang murid Hek-houw Bu-koan menjadi marah sekali. Pemimpin mereka dirobohkan seorang gadis sedemikian mudahnya, hal ini merupakan penghinaan bagi mereka.
"Bunuh siluman betina itu!" teriak mereka dan enam orang itu sudah menerjang ke depan dengan golok tipis di tangan. Melihat berkelebatnya senjata tajam, para penonton menjadi panik. Hanya Su Kiat yang masih berdiri di pinggir dengan tenang. Tingkat kepandaian enam orang itu tidak ada artinya bagi sumoinya, maka dia hanya diam menonton saja. Dan memang benarlah. Begitu melihat enam orang itu menerjangnya dalam kepungan, mempergunakan golok, Hui Lian tersenyum mengejek.
"Kalian memang tikus-tikus pengecut yang beraninya main keroyok!" Dan tiba-tiba saja, enam orang yang sudah menyerang dengan golok, menjadi terkejut dan bingung karena tubuh gadis yang dikepung mereka itu lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan ke sana-sini dan mereka pun satu demi satu mengeluarkan teriakan dan roboh. Golok di tangan mereka beterbangan ke sana-sini! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dapat roboh, hanya merasa ada bagian tubuh yang kena tendangan atau tamparan tanpa melihat lawan yang melakukannya!
Hui Lian berdiri tegak, bertolak pinggang memandangi delapan orang yang kini saling bantu dan merangkak bangun sambil mengerang kesakitan itu. "Nonamu masih mengampuni nyawa anjing kalian! Hayo lekas pergi dari sini dan jangan berani mengganggu orang lagi."
Si Raksasa muka hitam hanya dapat mendelik, lalu bersama tujuh orang kawannya dia pergi dari situ, terpincang-pincang, diikuti senyum lebar para penonton yang masih juga belum berani bersorak. Setelah delapan orang itu pergi, para penonton berduyun datang mengelilingi Su Kiat dan Hui Lian. Seorang diantara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih mendekati Su Kiat.
"Sebaiknya kalau Ji-wi cepat pergi meninggalkan tempat ini, bahkan meninggalkan kota ini. Ji-wi tidak tahu, Hek-houw Bu-koan merupakan perguruan silat paling besar dan berkuasa di sini. Banyak putera bangsawan dan hartawan menjadi muridnya, dan Hek-houw Bu-koan mempunyai banyak sekali tukang-tukang pukul! Ji-wi telah menghajar delapan orang murid rendahan saja, kalau sampai murid-murid utama atau bahkan pimpinan mereka datang ke sini, Ji-wi bisa celaka!"
Su Kiat memandang kepada orang itu dan tersenyum tenang. "Terima kasih atas peringatan itu, Saudara yang baik. Akan tetapi kita tinggal di dunia yang sopan dan ada hukumnya, bukan di rimba raya di mana kekuatan dan kekerasan merajalela. Kami berdua tidak bersalah, dan siapa saja yang mengganggu kami, akan kami hadapi. Nah, Saudara sekalian siapa yang hendak mendaftarkan diri menjadi murid perguruan silat Cia-ling?"
Hui Lian sudah memungut lagi kertas dan alat tulis yang tadi berserakan, siap untuk mencatat nama-nama dari mereka yang ingin belajar silat. Beberapa orang pemuda maju mendaftarkan diri sambil membayar uang pangkal. Ada pula yang bertanya. "Apakah kalau sudah menjadi murid Cia-ling Bu-koan, kami pun akan mendapatkan kepandaian sehebat Nona ini yang dapat mengalahkan orang-orang Hek-houw Bu-koan?"
Cu Kiat tersenyum dan mengangkat tangan minta perhatian semua orang. Suasana menjadi hening sehingga terdengarlah suara Su Kiat dengan jelas. "Harap Anda sekalian mengetahui bahwa ilmu silat bukanlah alat untuk berkelahi atau bermusuhan. Ilmu silat adalah suatu olahraga yang menyehatkan lahir batin, juga merupakan seni tari yang indah dan menyehatkan, selain itu merupakan pula ilmu bela diri, semacam perisai untuk melindungi diri kita dari ancaman marabahaya. Cu-wi tadi melihatnya. Sumoi bukan menggunakan ilmu silat untuk bermusuhan atau berkelahi, melainkan untuk membela diri dari ancaman orang-orang kasar tadi. Kalau sumoi mempergunakan untuk bermusuhan, tentu delapan orang tadi tidak akan dapat bangun kembali."
Semua orang mengangguk dan merasa kagum sekali. Makin banyaklah yang mendaftarkan diri. Untuk tahap pertama, karena pertama kali membuka perguruan silat, tentu saja Su Kiat dan Hui Lian tidak mungkin dapat mengadakan pemilihan atau ujian, melainkan menerima saja mereka semua. Tentu saja kelak, kalau keadaan mereka sudah baik, tidak mungkin menerima segala orang untuk menjadi murid. Harus lebih dulu diuji mentalnya, dinilai wataknya, dan dilihat pula bakatnya dan kesehatan tubuhnya.
"Semua orang harap mundur dan biarkan kami bicara dengan guru silat liar itu!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang cepat menengok. Orang yang tadi memberi peringatan kepada Su Kiat, ketika melihat munculnya dua orang itu, segera berbisik kepada Su Kiat.
"Celaka, dua orang pelatih mereka datang sendiri! Mereka adalah orang-orang kedua dalam perguruan itu, wakil dari ketuanya yang bertugas melatih ilmu silat. Kepandaiannya tinggi sekali!" Setelah berkata demikian, seperti juga dengan orang-orang lain, dia pun cepat menjauhkan diri. Kini Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang dua orang laki-laki yang melangkah menghampiri mereka dengan langkah lambat-lambat, sedangkan pandang mata mereka ditujukan kepada Hui Lian dengan tajam dan alis berkerut, mulut mereka cemberut, sikap yang tidak ramah atau bersahabat sama sekali. Diam-diam Su Kiat memperhatikan mereka. Dua orang itu adalah laki-laki yang berusia empat puluh tahun dan gerak-gerik mereka saja mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bertubuh kuat dan pandai ilmu silat. Keduanya bertubuh tegap dan kokoh kuat seperti batu karang. Yang seorang memelihara kumis dan jenggot pendek, kulit mukanya menghitam sedangkan orang ke dua bermuka bersih tanpa kumis dan jenggot, juga kulit mukanya kuning. Namun keduanya nampak marah sekali.
Su Kiat dan Hui Lian bersikap tenang saja menghadapi mereka dengan senyum mengejek. Dan orang itu agak tertegun melihat seorang gadis cantik manis menghadapi mereka dengan sikap demikian berani. Padahal, biasanya orang merasa takut dan sungkan kepada mereka yang terkenal sebagai jagoan di Kong-goan. Karena tidak ingin berurusan dengan seorang gadis muda, Si Jenggot muka hitam lalu memandang kepada Ciang Su Kiat dan membentak dengan suaranya yang parau dan bengis.
"Engkaukah guru silat baru yang tidak tahu aturan dan telah berani memukul murid-murid kami dari Hek-houw Bu-koan itu?" tanya yang bermuka hitam dan yang bernama Cu Kat. Orang ke dua itu bernama Cu Hoat, adiknya. Kedua orang kakak beradik ini terkenal di Kong-goan sebagai Kong-goan Siang-houw (Sepasang Harimau Kong-goan) dan ditakuti orang karena mereka adalah murid-murid kepala dan pelatih para murid perguruan silat Harimau Hitam itu.
Sebelum Su Kiat menjawab, Hui Lian sudah mendahuluinya. "Memang Suheng Ciang Su Kiat dan aku Kok Hui Lian yang hendak membuka perguruan silat Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun! Yang menghajar delapan orang kurang ajar tadi aku, bukan Suheng. Kalian mau apa" Apakah kalian hendak membela murid-murid kalian yang tidak tahu aturan dan kurang ajar tadi?"
Sepasnag Harimau Kong-goan itu saling pandang, agak terkejut dan hampir tak dapat percaya bahwa delapan orang murid mereka tadi di kalahkan oleh seorang gadis muda seperti ini. Dan gadis ini bersama suhengnya hanyalah orang-orang yang hendak membuka perguruan silat di dusun Hek-bun, dusun kecil itu! Padahal orang sedusun itu sudah mengenal belaka akan nama mereka berdua, apalagi nama perguruan silat Harimau Hitam.
"Nona, bukan murid-murid kami yang kurang ajar, melainkan kalian yang tidak tahu aturan. Setiap orang yang membuka perguruan silat di daerah Kong-goan ini, setidaknya harus melapor dulu kepada perguruan kami yang merupakan perguruan paling besar di Kong-goan. Tanpa memberitahu kami, berarti memandang rendah dan menghina kami!" kata pula Si Muka Hitam.
"Kami hendak membuka perguruan silat, apa hubungannya dengan kalian" Dan kami tidak memandang rendah, apalagi menghina, siapa juga. Bagaimana kami dapat menghina kalian yang tak pernah kami kenal" Kami hanya ingin mencari sesuap nasi secara halal, mengapa kalian dari Hel-houw Bu-koan hendak menggangu dan menghalangi?" Hui Lian membantah dengan suara yang marah dan penasaran.
"Bukan menghalangi, melainkan segala sesuatu harus menurut peraturan, dan kalian sudah melanggar peraturan dan sopan santun!" kini Si Muka Kuning berkata. Bagaimanapun juga, mereka berdua adalah murid-murid kepala bahkan pelatih, maka mereka tidak bersikap ugal-ugalan dan main keras seperti murid-murid mereka tadi.
"Boleh saja kalian menganggap demikian, habis kalian mau apa sekarang?" tanya Hui Lian dengan sikap menantang. Su Kiat membiarkan saja karena dia pun merasa penasaran melihat sikap orang-orang itu. Dia sendiri sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw, dan tahu-akan aturan-aturan di dunia kang-ouw ketika ketika dia masih menjadi murid Cin-ling-pai dahulu, akan tetapi orang-orang Hek-Houw Bu-koan ini sungguh congkak. Mudah dibayangkan bagaimana sikap mereka terhadap rakyat yang lemah.
"Hemm, kalian adalah dua orang baru yang sombong!" kata Si Muka Hitam. "Baiklah, kalau kalian hendak menggunakan aturan sendiri, lebih dahulu kalian harus berani menentang kami dan mengalahkan kami berdua dan guru kami!"
Hui Lian menjebikan bibirnya yang merah dan memandang tajam. "Aku sama sekali tidak takut kepada kalian, akan tetapi aku pun datang ke kota ini untuk bekerja, bukan untuk bermusuhan dengan kalian. Asal saja kalian tidak mengganggu, kami juga tidak akan peduli dengan kalian!"
"Kami tantang kalian sekarang juga datang ke perguruan kami, agar Suhu kami melihat apakah kalian cukup berharga untuk menjadi guru penduduk Kong-goan dan wilayahnya," kata pula Si Muka Hitam dengan hati-hati. Dia bukan seorang yang ceroboh. Melihat betapa gadis semuda ini dapat mengalahkan pengeroyokan delapan orang muridnya, dia dapat menduga bahwa gadis ini lihai sekali. Kalau gadis ini sudah lihai, apalagi suhengnya. Dia sudah memperoleh ilmu silat yang cukup matang untuk tidak memandang rendah kepada seorang yang buntung sebelah lengannya. Gurunya yang bernama Bouw Kwa Teng, pendiri perguruan silat Harimau Hitam, pernah memperingatkan dia agar berhati-hati kalau menghadapi lawan yang kelihatan lemah, seperti orang cacat, wanita, orang tua, pendeta dan orang-orang yang nampaknya saja lemah. Orang lemah yang sudah berani menghadapi lawan, tentu memiliki sesuatu yang diandalkannya dan orang seperti itu dapat menjadi lawan yang amat berbahaya.
Hui Lian hendak menolak dan membentak, akan tetapi Su Kiat yang merasa tidak enak kalau menolak terus, apalagi dia memang tahu akan peraturan seperti itu di dunia kang-ouw, lalu melangkah maju. "Baiklah, sobat. Kami akan datang menemui guru kalian dan pemimpin Hek-houw Bu-koan sekarang juga."
"Suheng "!"
"Biarlah, Sumoi. Biar cepat selesai urusan ini sehingga tidak mengganggu pekerjaan kita."
Hui Lan tidak membantah lagi dan mereka lalu mengikuti dua orang jagoan itu menuju ke Hek-houw Bu-koan yang ternyata merupakan bangunan besar dengan kebun yang luas untuk dipakai sebagai tempat berlatih silat. Ketika mereka memasuki pintu gerbang, Su Kiat dan Hui Lian melihat papan nama Hek-houw Bu-koan dengan tulisan yang besar dan gagah. Kemudian, begitu memasuki pekarangan depan, mereka melihat sedikitnya tiga puluh orang laki-laki sedang berlatih silat dengan gerakan yang berbareng, dipimpin oleh seorang laki-laki kurus yang memberi aba-aba. Melihat sepintas saja, Sui Kiat mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi gerakan tangan itu mirip dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Memang tidak keliru pandangannya yang tajam, karena sesungguhnya pemimpin Bu-koan (Perguruan Silat) itu, Bouw Kwa Teng adalah seorang ahli silat yang ilmu silatnya bersumber pada dua aliran silat, yaitu Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Pengetahuannya dalam kedua ilmu silat ini digabung dan muncullah ilmu silat yang diajarkan di Hek-houw Bu-koan.
Kong-goan Siang-houw dua orang jagoan itu, diam-diam merasa kagum dan makin tidak berani memandang rendah pria buntung dan gadis muda itu. Kalau mereka sudah berani memenuhi undangannya, memasuki Hek-houw Bu-koan dengan sikap demikian tenangnya, jelas bahwa mereka berdua itu pasti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga demikian percaya kepada diri sendiri.
Sementara itu, ketika para murid Hek-houw Bu-koan melihat masuknya dua orang tamu ini bersama dua orang toa-suheng mereka, seketika latihan itu pun menjadi kacau dan terhenti. Semua orang sudah mendengar belaka akan jatuhnya delapan orang murid Hek-houw Bu-koan oleh guru silat baru yang terdiri dari seorang pria berlengan sebelah dan seorang gadis muda yang cantik manis.
Akan tetapi, dengan muka bengis Cu Kat menghardik. "Lanjutkan latihan kalian!"
Sutenya yang kurus, yang tadi memimpin latihan, menjadi ketakutan dan cepat meneriakkan aba-aba lagi dan latihan itu pun dilanjutkan. Pukulan-pukulan dan tangkisan-tangkisan yang mantap, gerakan kaki yang kokoh, dan peluh membasahi tubuh-tubuh bagian atas yang telanjang dan rata-rata tegap berotot itu.
Kong-goan Siang-houw membawa dua orang tamunya memasuki ruangan tamu. Cu Kat lalu masuk ke dalam untuk mengundang gurunya sedangkan Cu Hoat menemani dua orang tamu-tamu itu. Ruangan tamu itu merupakaan ruangan yang cukup luas, dan di sudut nampak rak penuh senjata tajam, delapan belas macam. Di dinding terdapat tulisan-tulisan indah yang mengagungkan kegagahan.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi langkah kaki dan muncullah Cu Kat bersama seorang laki-laki yang membuat suheng dan sumoi itu memandang dengan terbelalak kagum. Laki-laki itu usianya sekitar enam puluh tahun, namun tubuhnya masih kokoh kuat, berdirinya tegak dan yang membuat dua orang tamu itu terbelalak adalah melihat betapa muka tuan rumah ini, hitam seperti arang! Bukan mukanya saja yang hitam, agaknya seluruh kulit tubuhnya, karena kulit kedua tangannya, juga kulit lehernya, lsemua menghitam! Hitam arang mengkilap dan sepasang matanya demikian lebar dan tajam. Pantaslah perguruan itu dinamakan perguruan silat Harimau Hitam, karena kakek ini memang mengingatkan mereka akan seekor harimau hitam yang gagah dan galak! Sejenak mereka saling pandang. Kakek itu sendiri memandang dengan sinar mata penuh keheranan. Tak disangkanya bahwa dua orang guru silat yang oleh kedua orang muridnya diceritakan kepadanya telah mengalahkan delapan orang muridnya, ternyata hanyalah seorang laki-laki berlengan sebelah dan seorang gadis muda!
Su Kiat cepat menjura, diturut oleh Hui Lian yang juga kagum melihat kakek itu. "Apakah kami mendapat kehormatan berhadapan dengan pemimpin Hek-houw Bu-koan?" tanyanya dengan sikap hormat.
Hemm, sama sekali bukan seorang congkak seperti yang diceritakan muridnya, pikir Bouw Kwa Teng. Sebenarnya, ahli silat ini adalah seorang yang berwatak gagah dan baik, akan tetapi sayang sekali, nama besar membuat dia menjadi agak tinggi hati, dan biarpun dia seorang guru silat yang pandai, namun ternyata dia tidak mampu mendidik moral murid-muridnya sehingga dia tidak tahu betapa para murid perguruannya itu bersikap kasar, congkak dan bahkan sewenang-wenang terhadap rakyat yang lemah.
Dia pun membalas penghormatan Su Kiat dan Hui Lian. "Benar, aku adalah pemimpin Hek-houw Bu-koan bernama Bouw Kwa Teng. Siapakah Ji-wi (Anda Berdua)?"
"Nama saya Ciang Su Kiat dan ini adalah Sumoi saya bernama Kok Hui Lian, kami datang dari dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan."
Kakek berkulit hitam arang itu mengangguk-angguk dan sinar matanya menyambar tajam mengamati dua orang di depannya itu. "Ji-wi yang hendak membuka perguruan silat dan telah merobohkan delapan orang murid Hek-houw Bu-koan?"
"Maaf, Bouw-kauwsu (Guru Silat Bouw), sesungguhnya bukan niat kami untuk berkelahi, akan tetapi ketika kami sedang mencari calon murid di tempat ramai di kota ini, muncul delapan orang itu yang melarang dan menyerang kami."
Kembali guru silat itu mengangguk-angguk. Sukar melihat perasaan hatinya melalui muka yang hitam itu, yang agaknya tidak pernah berubah. "Ji-wi memandang rendah kepada kami sampai dua kali. Pertama, Ji-wi membuka perguruan silat tanpa memberitahukan kepada kami sebagai rekan, dan ke dua, andaikata ada murid kami yang keliru, sepatutnya Ji-wi melaporkan kepada kami. Aku masih sanggup menegur dan menghukum murid-murid kami, tidak semestinya Ji-wi turun tangan menghajar mereka."
"Maaf, karena sungguh tidak tahu siapa mereka dan dari perguruan mana, kami telah lancang tangan, harap Bouw-kauwsu suka memaafkan." kata pula Su Kiat, sementara itu, Hui Lian yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan alis berkerut. Diam-diam ia merasa tidak setuju dan tidak puas melihat betapa suhengnya demikian mengalah, padahal mereka sama sekali tidak salah.
Baiklah, akan tetapi ketahuilah oleh Ji-wi, bahwa di Kong-goan ini terdapat peraturan di antara para pemimpin perguruan silat, yaitu bahwa hanya orang yang memiliki kepandaian sampai tingkat tertentu saja yang dibenarkan membuka bu-koan. Hal ini adalah untuk mencegah munculnya orang-orang yang melakukan penipuan kepada para muda di Kong-goan dengan membuka perguruan silat dan mengumpulkan uang, padahal mereka itu tidak memiliki kepandaian atau tingkat mereka terlampau rendah untuk menjadi guru silat."
"Bagus!" Hui Lian tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Kalau ada peraturan semacam itu, lalu siapa yang menentukan tinggi rendahnya dan tingkat kepandaian mereka yang hendak membuka perguruan silat baru?"
Tantangan berselubung ini disambut oleh Bouw-kauwsu tanpa gugup. "Biasanya kami tentukan bahwa mereka yang memiliki tingkat seperti tingkat seorang di antara dua murid kepala dari perguruan kami, dibenarkan untuk menjadi guru silat. Yang dapat menandingi seorang di antara Kong-goan Siang-houw ini, dua orang murid kepala yang kini menjadi pelatih di Hek-houw Bu-koan, selama lima puluh jurus tanpa jatuh, dianggap berhak menjadi guru silat."
"Bagus! Sudah kuduga demikian!" kata pula Hui Lian dan Su Kiat membiarkan saja sumoinya marah-marah karena dia sendiri pun sudah merasa panas. "Kiranya Hek-houw Bu-koan hendak merajai persilatan di daerah ini. Nah, akulah calon guru silat baru, dan aku akan memasuki ujian yang ditentukan itu! Akan tetapi, jangan hanya seorang yang maju. Biar kedua Kong-goan Siang-houw maju bersama, aku ingin melihat sampai di mana kehebatan Sepasang Harimau Kong-goan ini, apakah benar hebat ataukah hanya macan ompong belaka!" berkata demikian, Hui Lian sudah meloncat ke tengah ruangan yang luas itu, yang agaknya selain dipakai sebagai ruangan tamu, juga dipergunakan sebagai tempat berlatih silat, melihat adanya rak senjata di sudut itu.
Kakek muka hitam arang itu nampak tertegun, bahkan Cu Kat dan Cu Hoat saling pandang dengan bingung. Tentu saja sebagai dua orang terkuat di Kong-goan yang amat disegani, mereka merasa sungkan dan malu kalau harus maju bersama mengeroyok seorang gadis cantik manis ini! Akan tetapi mereka telah ditantang dan mereka kini hanya dapat memandang kepada suhu mereka untuk minta keputusan.
Bouw Kwa Teng tentu saja merasa penasaran dan tidak setuju kalau kedua orang murid kepala yang kini menjadi pembantunya dan pelatih para murid lain, yang sudah mewarisi tiga perempat dari seluruh ilmunya, maju bersama mengeroyok seorang gadis muda.
"Di sini muridku ada dua orang yang menjadi penguji, dan kalian juga dua orang, maka sebaiknya dua lawan dua, barulah adil." katanya. "Harap Ji-wi suka maju melayani Cu Kat dan Cu Hoat, selama lima puluh jurus!"
"Tidak perlu Suheng maju sendiri!" kembali Hui Lian berseru penuh tantangan. "Biarlah kalian maju berdua, atau boleh juga dengan guru kalian. Kalian boleh maju bertiga dan akan kulawan sendiri!"
"Sumoi ".!" Su Kiat terkejut dan menegur sumoinya yang dianggapnya terlalu lancang dan tekebur.
"Biarlah, Suheng. Orang telah menghina dan mengganggu kita, hendak kulihat sampai di mana kelihaian Hek-houw Bu-koan!"
Kong-goan Siang-houw bukan hanya terkejut mendengar tantangan Hui Lian, akan tetapi juga marah. Mereka sudah meloncat dan menghadapi Hui Lian dengan muka merah. Mereka merasa marah karena menganggap bahwa tantangan gadis yang ditujukan kepada mereka dan guru mereka itu merupakan penghinaan terhadap guru mereka.
"Bocah sombong!" bentak Cu Kat sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Hui Lian. "Baru mengalahkan delapan orang murid rendahan saja engkau sudah bersikap sombong! Guru kami terlalu terhormat untuk menandingi seorang bocah seperti engkau. Benarkah engkau menantang kami maju bersama" Jangan-jangan engkau akan mati konyol dan menjadi setan penasaran!"
"Huh!" Hui Lian mendengus dengan sikap mengejek. "Kalau kalian mampu mengalahkan aku dalam lima puluh jurus, biarlah aku berlutut dan menjadi murid Hek-houw Bu-koan!"
"Bagus!" kata Cu Hoat girang membayangkan betapa nona cantik ini akan menjadi muridnya. Dia sendiri yang akan turun tangan melatihnya kalau begitu. "Suhu, perkenankan teecu berdua menyambut tantangan Nona ini!"
Sebetulnya masih berat rasa hati Bouw Kwa Teng membiarkan dua orang murid kepala mengeroyok sevrang gadis muda, akan tetapi dia pun menjadi penasaran sekali mendengar tantangan gadis itu yang bukan hanya ditujukan kepada dua orang murid kepala itu, melainkan juga kepada dirinya sendiri. Gadis itu sombong sekali dan perlu diberi pelajaran agar tidak memandang rendah kepada Hek-houw Bu-koan, pikirnya. Biarlah kedua orang muridnya menghajar gadis Itu dan nanti dia sendiri yang akan menghajar orang yang sebelah lengannya buntung. Maka, mendengar permintaan Cu Hoat, dia mengangguk. Melihat suhu mereka memberi persetujuan, Kong-goan Siang-houw lalu menghadapi Hui Lian dari kanan kiri. Hui Lian berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, dan hanya mengikuti gerakan kedua orang lawan itu dengan pandang matanya.
"Sumoi, kendalikan diri dan jangan sampai melukai orang!" tiba-tiba Su Kiat berkata memperingatkan. Dia tidak menghendaki kalau baru saja tinggal di daerah Kong-goan sudah harus menanam bibit permusuhan dengan perguruan silat yang paling berkuasa di kota itu. Hal ini sama saja dengan mencari penyakit! Hui Lian yang biarpun berhati keras, namun ia juga seorang gadis yang tidak bodoh. Ia dapat mengerti apa maksud suhengnya, maka ia pun mengangguk sambil tersenyum.
Sebagai penguji, Kong-goan Siang-houw itu tidak merasa sungkan untuk menyerang lebih dahulu, maka Cu Kat segera berseru, "Nona Kok, bersiaplah kami segera menyerang!"
"Majulah. kalian!" Hui Lian berseru menantang tanpa memasang kuda-kuda seperti kedua orang lawan yang sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Melihat sepasang lengan mereka yang bersilang di depan dada membentuk cakar harimau, tahulah Hui Lian bahwa kedua orang lawannya mempergunakan ilmu silat harimau yang tangguh, karena ilmu silat yang sumbernya dari. Siauw-lim-pai ini mengandalkan gerak cepat dan tenaga kuat seperti seekor harimau, dan kedua lengan itu amat kuatnya, dengan jari-jari yang membentuk cakar mampu merobek kulit daging lawan, bahkan mampu mencengkeram remuk tulang! Memang kedua orang itu tidak mau main-main, begitu menyerang langsung saja mempergunakan Houw-kun (Silat Harimau) yang menjadi andalan mereka dan yang membuat mereka dijuluki Sepasang Harimau. Keduanya mengeluarkan suara gerengan seperti harimau dan ini pun termasuk bagian ilmu itu yang mempergunakan auman harimau untuk melemahkan semangat lawan. Auman itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sehingga terdengar menggetarkan jantung.
Namun, gadis muda itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan ia tersenyum manis. "Hemm, aumannya boleh juga, cukup nyaring!" Ia bahkan berkata yang tentu saja merupakan ejekan karena ucapan itu seperti ingin melihat apakah ilmu silatnya juga sehebat aumannya! Dan lebih menantang lagi, gadis itu sama sekali tidaki memasang kuda-kuda, melainkan berdiri tegak, bahkan kini bertolak pinggang dengan kedua tangannya. Sesungguhnya, bertolak pinggang dengan kedua tangan ini juga merupakan semacam kuda-kuda, karena kedua tangan itu sudah siap, baik untuk menangkis maupun untuk menyerang. Dan kedua kaki yang berdiri tegak itu kokoh kuat, namun mengandung kelenturan sehingga akan mudah dipergunakan untuk menendang, maupun untuk melompat dan bergeser.
"Haiiittt!!" Tiba-tiba Cu Kat membentak dengan nyaring, kedua tangannya bagaikan cakar harimau sudah menyerang dengan cengkeraman bertubi ke arah kepala dan pundak kiri Hui Lian. Pada saat yang hampir berbareng, Cu Hoat juga membentak dan menyerang dengan cengkeraman ke arah pundak kanan dan dada. Serangan itu cepat dan kuat bukan main, namun Hui Lian menyambutnya dengan tenang saja. Ia menggeser kakinya mundur dan kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah secara berlawanan dan angin besar menyambar dan menyambut cengkeraman kedua orang itu.
"Plakk! Plakk!!" Tubuh Cu Kat dan Cu Hoat terdorong mundur oleh kekuatan dahsyat dari tangkisan Hui Lian yang sudah menghindarkan diri sambil mundur tadi. Hui Lian tidak mau tinggal diam. Begitu kedua lawan itu terdorong mundur, ia pun cepat menggeser kakinya maju lagi dan mengirim tamparan dengan kedua tangannya, satu dari atas dan satu lagi dari bawah, menyambar ke arah kepala Cu Kat dan perut Cu Hoat. Kembali ada angin keras menyambar yang mengejutkan kedua orang pengeroyok itu sehingga mereka harus melompat ke samping menghindarkan sambaran tangan gadis itu.
"Aih, bukankah itu Thian-te Sin-ciang?" Tiba-tiba Bouw Kwa Teng berseru kaget.
"Apakah Ji-wi murid Cin-ling-pai" Kalau benar demikian, maafkan kami yang tidak tahu diri "..!"
Su Kiat tersenyum. Kiranya Cin-ling-pai masih mempunyai nama besar sehingga membikin gentar ketua perguruan silat Harimau Hitam ini. Memang tadi Hui Lian mempergunakan Thian-te Sin-ciang. Seperti diketahui, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang tingkatnya sudah cukup lumayan sehingga dia sudah pernah dilatih Thian-te Sin-ciang, satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang banyak ragamnya. Karena Hui Lian tadinya menjadi muridnya, maka dia pun mengajarkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang itu kepada Hui Lian. Agaknya kini melihat lawan tidak berapa kuat, Hui Lian memainkan ilmu silat itu, tidak mempergunakan ilmu silat tinggi yang mereka pelajari bersama di dalam guha di tebing jurang.
"Bouw-kauwsu, di antara kami berdua dan Cin-ling-pai tidak ada hubungan apa pun." Kemudian dia berseru kepada sumoinya, "Sumoi, harap kau jangan main-main!"
Hui Lian tersenyum. "Baik, Suheng. Nah, kalian majulah lagi, sekali ini aku tidak akan main-main!"
Dua orang kakak beradik itu saling lirik dan diam-diam mereka terkejut sekali. Dalam dua gebrakan tadi saja, gadis itu telah memperlihatkan kehebatannya dan itu baru main-main saja" Mereka tahu bahwa lawan mereka ini ternyata memang hebat dan mereka tidak merasa heran lagi mengapa delapan orang murid mereka jatuh dalam segebrakan saja menghadapi gadis ini! Kembali keduanya menerkam dari kanan kiri dan kini mereka tidak mengendalikan atau membatasi tenaga dan kecepatan mereka seperti tadi. Mereka menyerang dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuh Hui Lian seperti lenyap begitu saja dari pandang mata mereka dan tahu-tahu, tubuh itu menyambar dari atas seperti seekor burung garuda! Keduanya terkejut dan cepat menjatuhkan diri dan bergulingan agar tidak menjadi korban kedua kaki Hui Lian yang menendang dan menotok dari atas!
Kong-goan Siang-houw sudah meloncat bangun lagi dan begitu Hui Lian turun ke atas lantai, mereka sudah menyerangnya lagi dengan kedua tangan yang membentuk cakar itu mencengkeram dengan gerakan kuat dan cepat. Namun, kembali Hui Lian mengelak dan tahu-tahu tubuhnya hanya berkelebat dan lenyaplah tubuh itu, yang nampak oleh dua orang pengeroyoknya hanyalah bayangan putih yang cepat sekali, seperti burung terbang dan selagi dua orang pengeroyok itu kebingungan, kembali tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dari atas, kini dengan kepala di bawah dan kedua tangannya mengirim tamparan-tamparan yang cepat.
Kedua orang harimau Kong-goan ini selama hidupnya belum pernah mendapat lawan yang seperti pandai menghilang dan terbang seperti itu. Mereka sudah berusaha untuk menangkis dan mengelak, namun tetap saja kalah cepat karena tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dan tiba-tiba keduanya merasa betapa tubuh mereka lemas dan robohlah mereka seperti sehelai kain, Kiranya, dengan kecepatan yang tak terhindarkan mereka, gadis itu telah menotok pundak mereka yang membuat tubuh mereka lumpuh untuk beberapa detik lamanya namun cukup membuat mereka roboh. Biarpun begitu roboh mereka sudah pulih kembali dan dapat berloncatan bangun, namun mereka maklum bahwa mereka telah kalah. Biarpun hati mereka masih merasa penasaran, namun mereka tidak membantah ketika guru mereka menyuruh mereka berhenti.
"Cukup, jangan serang lagi. Nona Kok ini ternyata lihai bukan main, lebih dari cukup untuk menjadi seorang guru silat di Kong-goan. Akan tetapi, aku belum melihat kelihaian Ciang-sicu, maka harap suka memberi sedikit petunjuk kepada kami!" Berkata demikian, Bouw Kwa Teng sudah meloncat ke tengah ruangan itu. Melihat ini, Hui Lian berkata kepada suhengnya.
"Suheng, biarkan aku mewakilimu meghadapi Bouw-kauwsu!"
Akan tetapi Su Kiat cepat melangkah maju. "Sumoi, harap kau suka mundur. Engkau sudah lulus ujian, kini Bouw-kauwsu hendak mengujiku, biarlah aku yang bodoh menambah pengalaman sedikit." Mendengar ini, Hui Lian mundur.
Legalah hati Bouw Kwa Teng. Dia tadi sudah melihat gerakan Hui Lian dan terkejut juga kagum bukan main. Gadis itu memiliki keringanan tubuh yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Belum pernah dia melihat orang yang memiliki gerakan sedemikian cepatnya seperti gadis itu, seolah-olah pandai terbang atau tubuhnya memiliki keringanan seperti kapas saja. Dia mengakui bahwa dia sendiri pun belum tentu dapat menang dari gadis yang dalam waktu kurang dari sepuluh jurus telah merobohkan dua orang murid andalannya. Padahal, dia sendiri belum tentu menang dengan mudah kalau menghadapi pengeroyokan dua orang murid itu! Biarpun Ciang Su! Kiat suheng dari gadis itu, yang mungkin saja lebih lihai daripada gadis itu. Inilah sebabnya dia memilih Su Kiat, dan pula, andaikata dia kalah, tidaklah begitu memalukan seperti kalau sampai kalah oleh seorang gadis muda!
"Ciang-sicu, aku sudah tua, tenagaku sudah banyak berkurang, maka marilah kita bermain-main dengan senjata sebentar, dan tidak hanya mengandalkan tenaga dan kekerasn tulang dari tubuhku yang sudah rapuh," Berkata demikian, kakek berkulit hitam itu mengeluarkan sebatang pedang pendek dari balik jubahnya dan begitu pedang tercabut dan digerakkan, nampaklah gulungan sinar kehijauan, tanda bahwa pedang itu bukan pedang biasa, melainkan sebatang senjata pusaka yang ampuh. Namun, Su Kiat bersikap tenang saja dan dia pun menjawab, suaranya tenang dan tidak mengejek seperti sikap Hui Lian tadi.
"Bouw-kauwsu, di antara kita tidak ada permusuhan, dan aku pun tidak pernah menggunakan senjata tajam, maka biarlah aku menghadapimu dengan tangan kosong saja."
Bouw Kwa Teng mengira telah bertindak cerdik. Karena dapat menduga bahwa dia tentu akan kalah cepat dibandingkan lawannya, suheng dari gadis yang memiliki kecepatan jauh melebihinya itu, dan mungkin juga kalah tenaga mengingat pula akan hebatnya tenaga gadis itu, dia memilih menggunakan senjata pedangnya yang diandalkan. Dengan senjatanya ini, dia akan dapat menghadapi kecepatan dan tenaga lawan. Akan tetapi tak disangkanya bahwa laki-laki berlengan buntung sebelah itu menolak mempergunakan senjata. Tentu saja dia merasa serba salah. Menggunakan tangan kosong, dia jerih. Menggunakan senjata, apakah tidak memalukan, dia yang menjadi pimpinan Hek-houw Bu-koan, dan biarpun jauh lebih tua namun tubuhnya masih lengkap, kini melawan seorang penderita cacat yang bertangan kosong dengan mempergunakan pedang" Selagi dia meragu, Su Kiat yang dapat melihat sikap orang dan hal ini saja sudah membuat dia merasa suka kepada ketua ini, berkata dengan suara halus.
"Pakailah pedangmu, Bouw-kauwsu. Ketahuilah bahwa senjataku adalah sebuah tangan, dua buah kaki, dan ujung lengan kiriku ini."
"Sebetulnya aku merasa sungkan, akan tetapi karena engkau berkata demikian, Ciang-sicu, baiklah aku menerima alasanmu. Nah, mari kita main-main sebentar!"
Berkata demikian, Ketua Hek-houw Bu-koan ini sudah memutar pedang pendeknya dan pedang itu pun lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hijau yang menyilaukan mata. Tak mungkin dia dapat menandingi kecepatan pedangku, pikirnya dan dengan bentakan nyaring sebagai tanda dia membuka serangan, dia menubruk ke depan dengan sinar pedangnya menyambar dari kanan ke kiri, membabat ke arah pinggang lawan.
Su Kiat dapat mengetahui apa yang dipikirkan lawan. Tentu saja dia tidak merasa gentar karena seperti juga Hui Lian, pria yang buntung lengan kirinya ini yakin benar akan kemampuannya bergerak cepat. Gerakan cepat dengan ginkang yang luar biasa darinya itu bukan semata-mata karena latihan ilmu yang ampuh, melainkan terutama sekali mereka berdua mendapatkannya karena selama bertahun-tahun tubuh mereka kemasukan makanan yang luar biasa, bukan makanan lumrah manusia. Makanan berupa jamur dan sarang burung, juga daging burung yang mereka makan selama bertahun-tahun karena terpaksa oleh keadaan itu, ternyata membuat tubuh mereka memiliki tenaga ginkang yang istimewa, dan ditambah dengan latihan ilmu yang mereka dapatkan di dalam guha rahasia, maka kini mereka memiliki kecepatan gerakan yang sukar dilawan oleh siapapun juga di dunia persilatan. Dan Su Kiat kini menghadapi lawan yang berpedang itu dengan mengandalkan kehebatan gin-kangnya. Seperti juga yang dilakukan Hui Lian tadi, berkali-kali tubuhnya berkelebat cepat dan menghilang dari depan mata lawan. Hal ini membuat Bouw Kwa Teng terkejut dan bingung, namun guru silat ini yang sejak tadi sudah menduga akan kehebatan ginkang lawan, cepat memutar pedangnya, selain melindungi seluruh tubuhnya, juga menyerang lawan secara ngawur, terutama sekali ditujukannya ke atas. Tadi, ketika Hui Lian dikeroyok oleh Kong-goan Siang-houw, tubuh gadis itu dapat melesat ke udara dengan cepat, lalu menyerang dari atas yang membuat kedua orang muridnya itu kerepotan. Kini dia pun menduga bahwa tubuh yang lenyap dari Su Kiat tentu karena meloncat ke atas. Dugaannya memang mendekati kenyataan. Baik Hui Lian maupun Su Kiat telah melakukan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, satu di antara ilmu yang mereka dapatkan di dalam guha, peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan dewa yang mati di guha itu. Sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), maka ilmu silat ini mengandalkan gin-kang yang hebat sekali dan banyak melakukan penyerangan dari udara.
Akan tetapi karena semua serangannya banyak ngawur, maka sejak tadi pedangnya tidak pernah mampu menyentuh ujung baju lawan, apalagi tubuhnya. Di luar dugaannya, ternyata lawan itu mampu mengatasi serangan pedangnya hanya dengan menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya. Bukan main! Sampai tiga puluh jurus pedangnya menyerang menggunakan jurus-jurus pilihan darinya, namun tak pernah berhasil.
"Ciang-sicu, balaslah seranganku!" Dia membentak dengan penasaran sekali, karena dia merasa seperti dipermainkan. Lawan hanya main kucing-kucingan, mengelak terus tanpa balas menyerang.
"Baiklah, Bouw-kauwsu!" bayangan yang tidak jelas mukanya bergerak cepat itu menjawab dan tiba-tiba ada benda yang menangkis pedang di tangannya.
"Trakkk!" Dan pedang di tangannya terdorong ke belakang. Bouw Kwa Teng mengeluarkan seruan kaget karena dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu adalah ujung lengan baju kosong dari lengan kiri yang buntung itu. Tahulah dia kini bahwa lawannya tadi tidak membual ketika mengatakan bahwa ujung lengan bajunya yang kiri merupakan senjatanya. Senjata yang istimewa karena kain lengan baju itu ternyata mampu menggetarkan tangannya yang memegang pedang ketika menangkis.
"Sambutlah seranganku, Bouw-kauwsu!" terdengar Su Kiat berkata lagi dan tiba-tiba saja pandang mata guru silat itu menjadi berkunang dan kabur karena dia melihat banyak sekali ujung lengan baju yang menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuhnya, menusuk, menotok, membacok, seolah-olah dia berhadapan dengan puluhan orang yang menyerangnya dengan ujung lengan baju itu. Inilah Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut, ilmu peninggalan In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Kalau Hui Lian mewarisi ilmu ini berikut pedangnya, yaitu pedang Kiok-hwa-kiam, maka Su Kiat dapat mempergunakan ujung lengan baju sebelah kiri menjadi seperti sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya pula!
Bouw Kwa Teng berusaha memutar pedangnya melindungi dirinya, namun dia merasa ada sesuatu menyentuh leher dan dadanya, dan lenyaplah bayangan puluhan ujung lengan baju itu karena Su Kiat telah meloncat jauh ke belakang dan menjura sambil berkata, "Maafkan aku dan terima kasih atas petunjuk Bouw-kauwsu!"
Dari ujung lengan baju kiri yang kini tergantung ke bawah itu, jatuhlah dua buah kancing tulang. Bouw Kwa Teng cepat memandang ke arah dadanya dan meraba ke arah lehernya. Seketika mukanya yang berkulit hitam itu menjadi agak berkurang hitamnya dan dia pun menarik napas panjang.
"Aih, aku mempunyai mata akan tetapi telah menjadi buta saja!" katanya seperti mencela diri sendiri ketika mendapat kenyataan betapa kancing bajunya di leher dan dada telah lenyap. Dia maklum bahwa kalau lawan menghendaki, betapa mudahnya lawan membunuhnya atau setidaknya melukai dengan berat.
"Ciang-taihiap, maafkan kami dan tentu saja seorang dengan tingkat kepandaian seperti yang dimiliki oleh Taihiapi dan Lihiap, berhak membuka perguruan silat di manapun juga."
Rahasia Kunci Wasiat 12 Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 20
Hay Hay merasa ngeri. Jangan-jangan kakek ini menjadi gila karena latihan-latihan yang entah bagaimana. Akan tetapi dia adalah seorang laki-laki yang jantan dan gagah, tidak sudi menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut. "Teecu sanggup."
"Engkau tidak boleh meninggalkan sebelum kusuruh, dan kalau aku sudah menyuruh engkau pergi, engkau tidak boleh membantah, dimana saja dan kapan saja. Sanggup?"
"Sanggup, Suhu."
"Nah, sekarang engkau harus melakukan latihan pertama. Ingat baik-baik kalimat ini dan hafalkan: Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada. Nah, coba hahafalkan!"
Hay Hay menahan ketawanya. Tentu saja baginya amat mudah menghafal kalimat itu, apalagi karena dari See-thian Lama dia sudah banyak diajar tentang Agama Budha, sedangkan dari Ciu-sian Sin-kai dia banyak mendengar tentang filsafat Agama To.
"Baik, Suhu. Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke Tiada."
"Bagus, engkau pintar," kata kakek itu memuji karena memang Hay Hay membaca kalimat itu dengan suara indah setengah dinyanyikan, sudah banyak dia membaca sajak dan pandai berdeklamasi. "Sekarang berikan bungkusanmu kepadaku, juga tanggalkan semua pakaianmu dan mari ikut bersamaku."
Hay Hay tertegun, memandang kepada gurunya dengan bengong. Dia disuruh telanjang dan pakaiannya dibawa oleh kakek ini" Akan tetapi teringat akan janjinya, dan mengingat bahwa di tempat itu sunyi dan tidak ada orang lain kecuali mereka berdua, Hay Hay tidak membantah. Ditinggalkannya semua pakaiannya, lalu pakaian itu dimasukkan dalam buntalan pakaiannya, diserahkan kepada kakek itu yang memandang sambil menyeringai.
"Kau tidak khawatir kalu aku melarikan diri membawa semua pakaianmu?"
Hay Hay menggeleng kepala. "Tidak mungkin, karena Suhu tidak suka berpakaian."
"Nah, mari ikuti aku!"
Kakek itu berlari cepat. Hay Hay mengikutinya dan pemuda ini harus mengerahkan Ilmu Yang-cu Coan-in (Burung Walet Membungkus Awan) untuk dapat mengimbangi cepatnya langkah kedua kaki kakek itu. Ternyata kakek ini membawanya kembali ke hutan pertama dimana dia untuk pertama kalinya bertemu kakek yang mengaku bernama Kakek Song ini. Setibanya di tepi sebuah anak sungai, diantara pohon-pohon yang besar, kakek itu berhenti.
"Nah, sekarang engkau masuklah ke dalam air dan berendam sampai setinggi leher sambil duduk bersila. Apa pun yang terjadi, jangan engkau tinggalkan tempat ini sampai aku datang menyuruhmu keluar."
Hay Hay bergidik ngeri. Berendam di dalam air anak sungai itu" Sampai kapan" Dan perutnya amat lapar, hawa amat dingin. Akan tetapi dia tidak berani membantah, hanya bertanya. "Bagaimana kalau perut saya lapar, Suhu?" dan dia memancing, "Bolehkah saya menangkap ikan yang berenang dekat dan memakannya kalau perut saya sudah lapar sekali?"
Pancingannya berhasil. Kakek itu mencak-mencak dan matanya melotot, bahkan menjadi kemerahan. "Apa kaubilang" Mau menangkap ikan yang tak berdosa dan makan bangkai ikan" Akan kubenamkan kepalamu ke dalam air sampai putus napasmu kalau begitu!"
Habis, bagaimana kalau saya lapar?"
"Apakah engkau akan mampus kelaparan kalau tidak makan bangkai" Lihat di sekelilingmu, begitu banyak makanan lezat dan segar, lihat ke atasmu. Akan tetapi awas, sebelum engkau kusuruh keluar, engkau tidak boleh meninggalkan tempat latihan itu, dan seluruh perhatianmu harus kaucurahkan kepada kalimat yang kauhafal tadi. Mengerti?"
"Mengerti, Suhu."
"Kalau begitu, lekas kaulaukan!"
Hay Hay tidak mengerti apa manfaat latihan gila ini, akan tetapi karena sudah berjanji dan karena dia yakin akan kesaktian kakek itu, dia pun menurut saja, memasuki air yang amat dingin, lalu memilih tempat di tengah, di mana dia dapat duduk di atas batu yang bundar dan rata ketika dia duduk bersila, ternyata air sampai di atas dadanya dekat leher.
"Bagus, dan ingat, jangan mengira setelah aku pergi, engkau dapat meninggalkan tempat bertapa itu tanpa kuketahui. Kalau engkau melanggar, berarti pelajaran gagal dan engkau boleh pergi sebelum aku datang membunuhmu!" Setelah berkata demikian, kakek itu berkelebat dan lenyap bersama buntalan pakaian Hay Hay.
Pemuda itu celingukan memandang ke kanan kiri, merasa seperti telah menjadi seekor kura-kura di tengah sungai, kesepian dan ditinggalkan, merasa seperti menjadi bulan-bulan permainan dan olok-olok. Mengapa dia menurut saja" Apa yang dilakukan dengan bertelanjang bulat di tengah sungai seperti ini" Tidak boleh meninggalkan tempat itu, padahal perutnya lapar" Dia memandang ke atas dan mengertilah dia akan maksud gurunya yang baru itu. Kiranya tempat itu penuh dengan pohon-pohon yang mengandung buah-buah yang lezat dan segar. Bahkan di kanan kiri anak sungai itu nampak bergantuung buah appel merah dan besar-besar! Akan tetapi bagaimana dia dapat mengambilnya" Dia tidak boleh meninggalkan tempat itu!
Perut yang lapar membuat dia memutar otak mencari akal. Lalu diambilnya batu-batu kecil dari dasar sungai. Disambitnya appel yang bergantung di depannya. Dua buah butir appel runtuh ke atas air dan terbawa arus sungai itu menghampirinya karena dia diharuskan duduk melawan atau menghadapi arus air. Dengan gembira dimakannya buah itu dan ternyata rasanya manis dan segar bukan main. Setelah menghabiskan tujuh butir appel besar, perutnya menjadi tenang dan mulailah dia memperhatikan latihan yang diberikan oleh gurunya yang aneh itu. Dia duduk dengan tenang, dan karena dia bersamadhi, mudah saja baginya untuk mengheningkan cipta, dan yang teringat hanyalah kalimat itu saja yang dibacanya berulang-ulang di dalam hatinya. Kadang-kadang bibirnya ikut bergerak dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu. Kesadarannya bekerja bersama pengamatannya karena dia mengamati isi atau arti dari kalimat itu. Agama To pernah mengajarkan bahwa sebelum ada sesuatu, yang ada hanyalah Kosong, dan kosong sama dengan Tiada. Disebut Tiada atau Kosong karena keadaan itu tidak dapat diselami oleh pikiran manusia yang berisi, isi yang terbentuk dari ingatan-ingatan tentang pengalaman masa lalu, yang hanya dapat dicatat oleh pikiran berupa ingatan. Akan tetapi, jauh sebelum itu, otak tak mampu mencatatnya.
Segala sesuatu yang ada, segala sesuatu yang terjadi, sudah pasti mempunyai sebab. Segala sesuatu hanya merupakan akibat belaka dari sebab-sebab tertentu. Dan selama ingatan masih mampu mencatat, selama pikiran masih mampu meraba, orang dapat mnelihat sebab-sebabnya. Akan tetapi sebab dan akibat itu berkait-kaitan, tiada putusnya dan ingatan tidak mungkin dapat menelusuri sampai pada bagian yang tanpa batas. Dan kalau sudah begini, maka manusia tidak tahu lagi dan tidak dapat melihat sebab-sebab yang tidak dilihatnya, tidak dimengertinya. Karena itulah, otak yang kehilangan akal dan kehilangan ukuran lalu melahirkan kata Nasib, menyerahkan Kehendak Tuhan, atau bahkan tidak mau tahu karena tidak melihat sebabnya, hanya mementingkan akibatnya dan mencari kesalahan kepada siapa saja secara membabi-buta!
Ketika malam tiba, hawanya dingin bukan main, rasanya sampai menusuk tulang. Terpaksa Hay Hay harus mengerahkan tenaga sinkangnya untuk melawan hawa dingin ini. Semalam suntuk dia berjuang seperti melawan musuh yang tidak nampak, musuh yang berupa hawa dingin dan yang lebih daripada itu, perasaan ngeri. Gerakan air yang menggoyang tubuhnya, suara air, penglihatan remang-remang, mendatangkan bayang-bayang yang mengerikan dan menyeramkan, mengingatkan dia akan segala macam dongeng tentang setan dan iblis. Juga dia harus berjuag melawan rasa kantuk. Tidak mungkin membiarkan diri terseret hanyut oleh tidur dalam keadaan bersila di dalam air yang tingginya hanya dibawah dagu itu!
Semalam suntuk Hay Hay merasa tersiksa, namun dengan gagah dia melawan semua itu sampai matahari pagi menimbulkan kabut dipermukaan air anak sungai itu, dan burung-burung berkicau menyambut sinar pertama matahari pagi. Akan tetapi, sampai matahari naik tinggi, kakek itu belum juga muncul! Padahal Hay Hay mengharapkan pagi ini kakek itu akan menghentikan siksaan atas dirinya. Makin siang, makin kecewa hatinya dan diam-diam ketika dia merenung kembali kalimat yang harus selalu diingatnya itu, dia memperoleh kenyataan baru dalam hidup, sehubungan dengan kesibukan pikirannya. Dia mendapat kenyataan bahwa kekecewaan timbul karena adanya harapan. Mengharapkan untuk memperoleh sesuatu menjadi biang kekecewaan, yaitu kalau harapan itu tidak terpenuhi seperti yang dilakukannya sejak semalam. Dia mengharapkan kakek itu akan mengakhiri penderitannya pada keesokan harinya, dan kini dia merasa kecewa bukan mainkarena kenyataannya kakek itu tidak muncul! Andaikata dia tidak mengharapkan, agaknya tidak akan muncul rasa kecewa itu.
Ketika perasaan kecewa itu hampir membuat dia tidak kuat menahan lagi, mendorongnya untuk meloncat kedarat, dia cepat memejamkan kedua matanya dan seluruh perhatiannya dicurahkan kepada kalimat itu, bahkan bibirnya ikut bergerak seperti membaca mantera. "Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada." Demikian berkali-kali dia membaca kalimat itu. Memang segalanya akan kembali ke Tiada. Juga dirinya.
Setelah matahari condong ke barat, perutnya menagih lagi. Kembali dia meruntuhkan buah-buahan yang berada di depannya, dan buah-buahan itu terbawa hanyut oleh air menghampirinya. Dia makan buah-buahan itu sampai kenyang, lalu duduk tepekur pula. Hatinya tenang setelah dia mengulang kalimat itu dan setelah perutnya kenyang sehingga dia tidak lagi memikirkan hal yang bukan-bukan, tidak lagi ada rasa kecewa setelahnya hening dan kosong. Dia kini tenggelam ke dalam keheningan dan terus memasuki keheningan itu dalam keadaan sadar sepenuhnya, namun tidak merasakan apa-apa lagi, tidak mendengarkan apa-apa lagi, tidak melihat apa-apa lagi. Yang hidup hanyalah kesadarannya yang masuk kedalam dirinya sendiri, tidak terpengaruh oleh keadaan di luar dirinya. Dan rasanya seperti melayang-layang kedalam dunia yang amat luas, dengan beraneka macam warna, beraneka macam suara dan penglihatan yang tembus pandang namun tidak dapat diingat lagi bagaimana bentuk yang sesungguhnya. Sudah matikah dia" Tidak, dia masih hidup, hal ini diketahuinya benar melalui kesadarannya. Namun, dia merasa seperti berada di dunia lain!
Tiba-tiba terdengar suara menggeelegar yang amat keras dibarengi cahaya yang menyilaukan mata. Hay Hay terseret ke dalam alam kenyataan dan dia pun membuka mata, terbelalak heran karena ternyata telah turun hujan dan suara menggelegar dibarengi cahaya tadi adalah suara kilat menyambar. Hujan sudah turun agakk lama kiranya melihat dari rambut kepalanya yang sudah basah kuyup. Dan cuaca remang-remang, agaknya sudah senja atau karena sinar matahari terhalang mendung dan hujan. Tak disangkanya akan turun hujan karena seingatnya sebelum dia tenggelam ke dalam alam samadhi tadi, hari amat ceah. Dia lalu merenungkan kembali kalimat yang harus diingatnya selalu, matanya memandang permukaan air sungai yang selama ini tak pernah berhenti bergerak, dan kini ditambah pula rintik air hujan yang menetes-netes tiada hentinya, membuat permukaan air seperti tertimpa ribuan batu-batu kecil.
Hidup seperti air sungai mengalir, renungnya. Dan setiap gerakan air, setiap tetes air bergerak karena ada sebabnya, ada pendorong dibelakangnya. Juga air hujan yang berjatuhan dari angkasa itu pun ada penyebabnya. Juga guntur dan kilat itu. Hidup bagaikan air sungai mengalir, tak pernah berhenti dan tidak pernah sama, selalu berubah. Biarpun nampaknya sama, namun setiap detik ada perubahan pada permukaan air sungai, tak pernah sama keadaannya karena bukan benda mati. Karena itu, mempelajari hidup harus membiarkan diri hanyut oleh hidup itu sendiri, detik demi detik. Tak mungkin mempelajari hidup sambil tiduran, karena kehidupan akan lewat dan jauh meninggalkan si pelajar.
Malam pun tiba dan malam itu gelap sekali. Hujan sudah berhenti, dan air naik tinggi. Hay Hay terus mengambil batu lagi untuk mengganjal pantatnya, sehingga dia dapat duduk lebih tinggi dan tidak sampai tenggelam. Timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Bagaimana kalau muncul ular air, atau buaya atau binatang lain" Akan tetapi dia dapat melenyapkan rasa takut. Dia sudah pasrah dan bertekad untuk terus melakukan tapa itu sampai Kakek Song datang menyuruhnya keluar. Apapun yang akan terjadi akan dihadapinya dengan tabah.
Hay Hay pernah mempelajari tentang perbintangan dan setelah menjelang tengah malam, angkasa penuh dengan bintang sejuta. Indah bukan main. Kalimat yang harus diingatnya itu membuatnya sadar bahwa segala bintang diangkasa itu pun terjadi dan etrcipta bukan tanpa sebab. Alangkah banyaknya rahasia di alam mayapada ini, dan betapa besar kekuasaan Sang Pencipta. Penuh rahasia gaib yang tak mungkin di buka oleh pikiran manusia yang sesungguhnya amatlah dangkal, rapuh, dan penuh sesak sehingga membuatnya menjadi kotor. Ketika dia melihat jutaan bintang itu, nampak olehnya keindahan yang selama ini belum pernah dilihatnya, merasakan kebahagiaan yang belum pernah menyentuh batinnya. Betapa indahnya malam ini, dan betapa bahagianya manusia dapat melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasakan semua keindahan yang seolah-olah dilimpahkan untuk manusia. Keindahan tinggal membuka mata memandang, menikmati keharuman tinggal membuka hidung mencium, menikmati kemerduan tinggal membuka telinga mendengar. Betapa bahagianya hidup ini. Hidup ini adalah kebahagiaan itu sendiri karena hidup adalah anugerah, hidup adalah cinta kasih. Namun, mengapa kita tidak dapat melihatnya" Mengapa kita tidak mau menikmatinya" Mengapa pikiran kita sibuk terus dan demikian ruwet, penuh sesak dan tiada hentinya dikuasai keinginan mengejar kesenangan-kesenangan yang sesungguhnya hanya merupakan gelembung-gelembung kosong yang mudah pecah belaka"
Jutaan bintang mendatangkan cahaya remang-remang, namun cukup terang bagi mata Hay Hay yang terlatih. Tiba-tiba dia terkejut. Ada benda hitam besar bergerak-gerak di depan, hanya kurang lebih sepuluh meter di depan sana. Dan benda hitam panjang itu bergerak menuju ke arahnya. Berenang menghampirinya, meluncur dengan berat dan perlahan-lahan, lambat namun tentu menuju ke arah dirinya. Buaya! Apalagi kalau bukan buaya" Dan memang nampak sekarang garis bentuh tubuh buaya itu, dari moncong yang panjang sampai ekor yang kokoh kuat bergigi-gigi itu. Celaka, pikirnya. Kalau dia berada di darat, dia tidak perlu takut menghadapi buaya, selain mudah menghindar, juga dia dapat menyerang dan mungkin membunuh binatang air yang buas itu. Akan tetapi dia berada di tengah sungai! Dan dia tidak sehebat kalau berada di atas tanah, walaupun selama berada di Pulau Hiu, ikut gurunya yang kedua, Ciu-sian Sin-kai, dia sudah biasa dengan air laut dan pandai pula berenang. Akan tetapi berkelahi melawan buaya di air" Wah, dia tidak berani!
Dengan jantung berdebar saking tegang dan takut, Hay Hay memandang benda hitam yang bergerak mendekatinya itu. Teringatlah dia bahwa apapun yang terjadi, dia harus tenang dan sama sekali tidak boleh meninggalkan tempat itu. Kini ada dua pilihan. Mampus dimakan buaya akan tetapi mentaati perintah kakek gila itu, atau meloncat kedarat dan menyelamatkan diri akan tetapi melanggar janjinya dan dia harus melarikan diri dalam keadaan telanjang bulat kalau tidak mau dibunuh kakek itu! Dan dia memilih yang pertama. Kalau memang buaya itu akan menyerangku, sampai bagaimanapun juga akan kulawan, akan tetapi aku tidak akan melanggar janji, tidak akan meninggalkan tempat ini, demikian tekadnya dan kembali dia membaca kalimat yang harus diingatnya selalu.
"Ada datang dari Tiada, maka segala yang Ada akan kembali ke dalam Tiada. Ada datang dari Tiada!" Dia mengulangnya terus sambil memandang kepada benda hitam itu penuh kewaspadaan. Ada datang dari Tiada! Dan ..... setelah benda itu berada dekat, hanya dalam jarak satu meter sehingga dia dapat memandang lebih jelas, hampir dia tertawa bergelak mentertawakan diri sendiri. Jantungnya masih berdebar dan keringat masih membasahi dahinya, padahal hawanya sangat dingin. Kiranya benda yang disangkanya buaya tadi memang berbentuk buaya dan berenang menghampirinya, ternyata kini bahwa benda itu hanyalah sepotong kayu hitam panjang! Potongan batang pohon yang hanyut disungai itu!
Bukan hanya "buaya" itu yang nampak malam itu oleh Hay Hay. Berturut-turut muncullah ular-ular, ikan-ikan aneh dan lintah-lintah besar yang merubung dan mengancamnya, akan tetapi semua itu ternyata hanyalah daun-daun dan ranting-ranting. Tahulah dia bahwa semua itu timbul dari khayalannya sendiri yang dihantui rasa khawatir dan takut. Senja tadi dia membayangkan semua binatang itu sehingga kini bermunculan menggodanya! Menjelang pagi, tiba-tiba nampak bayangan orang dan tahu-tahu seorang kakek telah berdiri di atas batu tak jauh dari tempat dia berendam diri. Batu itu menonjol ke atas permukaan air dan kakek itu sudah berada disitu, mengulurkan tangan kepadanya, seperti hendak menolongnya keluar dari sungai itu, Hay Hay menggeleng kepalanya dengan keras dan ketika dia berkedip, bayangan kakek itu pun lenyap.
Anehnya, kini dia tidak merasa dingin lagi. Agaknya tubuhnya sudah dapat menyesuaikan diri dengan hawa dingin di dalam air itu, bahkan dia merasa betapa hawa yang hangat menjalari seluruh tubuh. Diapun menampung hawa ini di pusarnya dan setelah berkumpul, dia membiarkan hawa panas itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, mendatangkan rasa nyaman sekali dan hampir saja membuat dia pulas! Untung dia masih sadar dan kesadaran ini, disertai kewaspadaan pencurahan perhatian pada kalimat yang harus dihafalnya, membuat kantuk pun lenyap.
Pada keesokan harinya, muncullah Kakek Song. "Bagus, engkau dapat menyelesaikan dengan baik. Sekarang meningkat pada latihan selanjutnya. Keluarlah dari situ dan kenakan pakaianmu."
Bukan main lega rasa hati Hay Hay. Selama berguru kepada tiga orang sakti, yaitu See-thian Lama, Ciu-sian Sin-kai dan Pek Mau San-jin, belum pernah dia memperoleh latihan seaneh ini. Akan tetapi latihan pertama yang berlangsung dua malam itu telah mendatangkan pengalaman yang takkan terlupakan olehnya. Mengerikan, menakutkan juga menegangkan, dimana orang harus berjuang melawan perasaan, khayal dan penderitaan yang dibuat oleh pikirannya sendiri, juga siksaan karena adanya kemungkinan ancaman bahaya-bahaya.
"Terima kasih, Suhu!" katanya dan ketika dia menggerakkan tubuhnya meloncat, diam-diam dia merasa heran mengapa tubuhnya tidak merasa kaku setelah selama dua malam bersila di atas batu dalam air itu, bahkan terasa segar dan ringan sekali walaupun perutnya kembali terasa lapar.
Dengan cepat Hay Hay lalu mengenakan pakaian dari buntalan yang sudah dibawa ke situ oleh Kakek Song. "Nah, sekarang engkau boleh makan sampai kenyang, akan tetapi ingat, jangan makan bangkai! Mulai sore nanti, engkau harus melakukan latihan kedua tang lebih berat. Datang saja ke dalam guha di mana aku tinggal, di tengah hutan ini, tak jauh dari rawa yang kemarin dulu itu. Nah, sampai sore nanti!" Kembali kakek itu berkelebat dan lenyap. Hay Hay tidak mau mengejar walaupun dia ingin sekali bertanya-tanya. Dia maklum akan keanehan watak kakek itu dan mengejar pun percuma saja. Maka dia pun lalu memilih buah-buah yang paling enak, makan sampai kenyang, lalu beristirahat dan tertidur di atas pohon besar. Dia tidak berani tidur di bawah, karena tahu bahwa dalam keadaan kurang tidur, dia akan nyenyak sekali dan ada bahaya diserang binatang buas. Sebelum tidur, dia menanam dalam ingatannya bahwa sebelum matahari terbenam, dia harus sudah bangun
Hay Hay tidur pulas sekali. Terbayarlah sudah semua hutang kepada matanya. Dan menjelang senja, dia pun terbangun. Cepat digendongnya buntalan pakaiannya yang tadi dipakai sebagai bantal, dan dia meloncat turun lalu mencari guha itu, di dinding bukit tak jauh dari rawa di mana kemarin dulu dia bertemu suhunya. Kakek itu nampak duduk bersila di mulut guha. Guha itu sendiri bermulut kecil, hanya satu meter, akan tetapi di dalamnya cukup luas.
"Engkau sudah siap" Tinggalkan buntalan pakaianmu dalam guha dan seperti kemarin dulu, tanggalkan semua pakaianmu dan ikuti aku!"
Hay Hay mengerutkan alisnya. Celaka, agaknya kakek gila ini memang suka mempermainkan orang. Kalau kemarin dulu dia disuruh bertapa dalam air, maka bertelanjang pun tidak mengherankan. Akan tetapi sekarang" Apakah dia disuruh berendam di dalam air lagi" Dia tidak berani membantah dan sambil menarik napas panjang, dia menanggalkan semua pakaiannya dan dalam keadaan telanjang bulat dia mengikuti kakek itu yang juga hampir telanjang karena pakaiannya hanyalah sebuah cawat kecil! Karena ini, Hay Hay tak merasa canggung.
Kakek ini membawanya ke lereng bukit yang gundul penuh dengan pasir dan batu-batu. Bagian itu tandus sekali, tidak ditumbuhi pohon. "Nah, sekarang engkau harus menghafalkan kalimat lain. Dengarkan baik-baik: Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada. Tirukan!"
Kembali Hay Hay merasakan keanehan kalimat ini. Mudah dimengerti dan amat sederhana, apalagi kalimat sependek itu, tentu saja sekali dengar dia sudah hafal, mengapa harus diuji dulu" Akan tetapi dia tidak membantah dan mengulang dengan lantang, "Yang merasa dirinya pintar adalah tolol, dan yang merasa dirinya bodoh adalah waspada!"
"Bagus, sekarang kaugalilah lubang di dalam pasir kemudian duduk bersila di dalam lubang dan kubur tubuhmu dengan pasir sampai sebatas leher. Ingat, yang nampak hanya kepalanya saja, dan sekali ini engkau tidak boleh makan minum, bertapa dan berpuasa sampai aku datang menyuruhmu keluar!" Tanpa memberi kesempatan pemuda itu bicara, kakek itu sudah berkelebat dan lenyap pula. Hay Hay berdiri tertegun, memandang ke sekeliling yang gundul dan sunyi, lalu menarik napas panjang. Kenapa dia harus mentaati saja semua perintah gila dan aneh ini" Apa manfaatnya mengubur diri dalam pasir" Apakah dia sudah menjadi gila"
Biarpun pikirannya kacau, tetap saja dia menggali lubang menggunakan jari-jari tangannya, kemudian masuk ke dalam lubang, bersila dan menguruk tubuhnya dengan pasir sampai tubuhnya yang bersila itu terpendam pasir sebatas leher.
Mula-mula terasa hangat dan nyaman sehingga dia mampu berkonsentrasi mengulang kalimat itu sambil mengheningkan cipta dengan tenang dan anteng. Akan tetapi, tak lama kemudian mulailah dia merasa gatal-gatal ketika pasir bergerak, bahkan menjadi geli seperti digelitik. Dia mengerahkan sinkang mengusir perasaan tidak enak itu dan berhasil. Makin lama, setelah mengulang kalimat itu ratusan kali, timbul pendalaman mengenai kalimat itu dan dia pun mulai menyelidiki dengan mengamati diri sendiri.
"Yang merasa dirinya pintar adalah tolol!" Tentu saja, karena perasaan demikian itu sesungguhnya hanya merupakan suatu kecongkakan belaka, merajalelanya si aku yang ingin mengangkat diri setinggi-tingginya, sebesar-besarnya, yang paling besar, yang tak dapat lenyap, yang abadi dan banyak macam "yang ter" lagi. Perasaan ini hanya timbul dari pikiran yang bukan lain adalah si aku sendiri. Orang yang merasa dirinya pintar adalah orang-orang bodoh yang mudah bersikap sombong, congkak, tinggi hati, merasa benar sendiri, menang sendiri, meremehkan orang lain. Tentu saja orang macam itu adalah tolol sekali. Kemudian kalimat lanjutannya yang menjadi kebalikan, "yang merasa dirinya bodoh adalah waspada." Bukan pintar, melainkan waspada. Memang sesungguhnya, kalau orang mengamati diri sendiri dan merasa betapa dirinya, seperti semua manusia lain, sebenarnya hanyalah mahluk-mahluk yang banyak sekali kekurangan dan kelemahannya, maka dia adalah seorang waspada. Kewaspadaan itu sendiri yang akan mengadakan perobahan pada dirinya, menghilangkan segala macam kebodohan dalam bentuk keangkuhan, ketinggian hati dan sebagainya dan kewaspadaan ini yang melenyapkan kebodohannya. Bukan berarti lalu menjadi pintar, karena kalau dia merasa pintar, berarti dia terjeblos kedalam kebodohan yang ak~n membuatnya tolol!
"Merasa" dalam hal ini berbeda dengan "mengaku". Mengaku diri bodoh saja tidak ada artinya. Pengakuan itu bahkan berselubung untuk menyembunyikan pamrih yang sesungguhnya, yaitu agar dianggap orang yang "waspada", agar dianggap orang yang tahu akan kebodohannya dan karena itu waspada dan berisi. Bukan pengakuan yang ditujukan kepada orang lain, melainkan perasaan yang merupakan pengakuan terhadap diri sendiri, bukan sekedar mengaku, melainkan yakin karena melihat sendiri kebodohannya.
Itu adalah batiniahnya, sedangkan secara lahiriah, orang yang merasa pintar tentu akan mengabaikan segala macam pendapat dan pengertian orang lain, sehingga orang seperti ini tidak akan mampu menambah pengertiannya sehingga seperti katak dalam tempurung dan tenggelam ke dalam kebodohannya. Sebaliknya, orang yang merasa dirinya bodoh, tentu akan selalu haus akan pelajaran, selalu ingin tahu dan ingin menambah pengetahuannya, mendengarkan pendapat dan buah pikiran orang lain sehingga muncul kewaspadaannya dan tentu dia tidak bodoh kalau sudah mau belajar setiap saat!
Hay Hay menyelami isi kalimat itu dan tahu-tahu malam telah larut. Tiba-tiba dia mendengar sesuatu, gerakan yang ringan dan halus. Karena telinganya berada dekat dengan permukaan pasir, maka dia menjadi lebih peka lagi. Dicobanya untuk menembus kegelapan dengan pandang matanya, akan tetapi tidak berhasil. Gelap pekat malam itu. Bintang-bintang tertutup mendung. Kemudian, suara itu semakin jelas dan tiba-tiba dia melihat ada tiga ekor tikus besar berada di dekat kepalanya! Celaka! Kedua tangannya berada di bawah pasir. Hanya kepalanya saja yang tersembul keluar dan bagaimana kalau tikus-tikus ini menggigitnya" Kalau hidungnya atau daun telinganya digigit, tentu dia tidak akan mampu melindungi anggauta badan itu! Tikus-tikus itu mendekat dan mulai mencium-cium mukanya. Terasa geli sekali dan bau apak menyerang hidungnya. Kumis-kumis panjang tiga ekor tikus itu menyapu-nyapu, geli dan jijik rasanya
Phuhhhhh "!" Hay Hay menggunakan sinkangnya dan meniup ke arah tiga ekor tikus itu. Tiupannya kuat sekali, pasir-pasir berhamburan menyerang tiga ekor tikus itu yang segera lari mencicit ketakutan.
"Amaaaann ".!" Hay Hay bernapas lega. Tidak ada lagi tikus yang datang, akan tetapi tiba-tiba dia merasa ada benda bergerak yang rnenyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang. Celaka! Tikus-tikus itu, atau binatang-binatang kecil lain, mungkin cacing atau serangga bawah tanah yang mulai mengganggunya dari bawah! Dan dia tidak mampu bergerak untuk mengusir binatang-binatang itu. Bagaimana kalau anggauta tubuhnya yang terpendam digerogoti" Ihh, dia merasa ngeri dan kalau menurutkan perasaan takut dan ngeri, mau rasanya sekali melompat keluar dari pendaman pasir itu. Akan tetapi tidak, dia harus dapat mempertahankan diri. Memang ini merupakan ujian, pikirnya. Kini dia tahu bahwa selain dilatih untuk siulian (samadhi) dan mengamati diri sendiri, juga kakek aneh itu memang sengaja menguji dirinya, batinnya, badannya, merupakan suatu gemblengan lahir batin yang semakin berat! Dan dia harus mampu mempertahankan diri dan mengatasi semua godaan itu, betapa pun berat derita dan siksa yang dirasakannya. Maka, dia lalu mengerahkan sinkangnya dan setiap kali ada gelitik atau gigitan kecil pada tubuhnya, dia mengerahkan sinkang dan membuat tubuhnya menjadi panas. Ini menolong. Biarpun masih ada gigitan-gigitan, karena tubuhnya sudah dilindungi sinkang panas dan kekebalan, yang terluka hanyalah kulitnya saja yang menimbulkan rasa perih. Akan tetapi karena tubuh itu berada di dalam pasir yang panas, maka perasaan nyeri itu tidaklah terasa benar.
Menjelang pagi, terdengar lolong anjing. Hay Hay terbelalak. Celaka, kalau yang datang itu anjing liar atau srigala! Dan cuaca yang remang-remang membuat dia dapat melihat bayangan lima ekor anjing yang besar-besar! Benar saja, lima ekor anjing liar datang ke tempat itu! Jantungnya berdebar tegang. Tak mungkin dia mempergunakan tiupannya untuk mengusir anjing-anjing itu seperti yang dilakukannya terhadap gangguan tiga ekor tikus semalam. Kalau lima ekor anjing liar itu menggigitnya, dia tidak akan mampu mengelak atau menangkis. Sungguh mengerikan!
Lima ekor arijing itu berhenti, mengepungnya sambil menyalak-nyalak, memperlihatkan gigi mereka yang besar dan runcing. Hay Hay menenangkan hatinya. Dalam keadaan panik, dia bisa benar-benar celaka, pikirnya. Dia memang tidak boleh mengeluarkan tangan dan yang nampak hanyalah kepalanya. Akan tetapi, mengapa dia tidak mau mempergunakan akal" Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi bukan hanya kaki dan tangannya saja yang terlatih, akan tetapi kepalanya juga. Bahkan bagian kepalanya yang di depan, belakang, kanan dan kiri merupakan bagian-bagian yang keras dan kuat. Kalau terpaksa, dia akan mampu membela diri dengan kepalanya!
Lima ekor anjing itu agaknya merasa ragu-ragu dan agak takut melihat sebuah kepala manusia hidup tersembul di atas pasir. Setelah menggonggong dan menyalak cukup lama tanpa ada reaksi dari kepala itu, mereka mulai mendekat dan mencium-cium dengan alat penciuman mereka yang amat peka. Makin dekat mereka mencium, makin kuat saja bau mereka menusuk hidung Hay Hay. Bau apak, amis dan busuk. Namun dia tidak memperhatikan itu semua karena seluruh perhatiannya dicurahkan mengikuti gerak-gerik mereka, siap untuk melawan apabila anjing-anjing itu menyerang. .Dan lima ekor anjing itu amat cerdik karena tiba-tiba saja seekor di antara mereka menyerang lebih dulu, menubruk dari belakang dengan moncong lebar menggigit ke arah tengkuk Hay Hay! Empat ekor yang lain menyalak-nyalak di dekat muka Hay Hay, agaknya untuk membikin panik korban mereka itu.
Biarpun kepalanya tidak mampu menengok dan di belakang kepala itu tidak ada matanya, namun Hay Hay dapat mendengar gerakan serangan anjing pertama yang menerkam dan menggigit dari belakangnya itu. Sambil mengerahkan tenaga sinkang, Hay Hay menyambut terkaman itu dengan gerakan kepala yang memukul ke belakang.
"Cukkk!" Belakang kepala Hay Hay bertemu dengan moncong binatang itu dengan keras sekali. Annjing itu menguik keras dan terpelanting, lalu berteriak kesakitan. Ujung hidungnya pecah berdarah. Pada saat itu, anjing ke dua menerkam dari depan, disambut oleh dahi Hay Hay dengan cepat dan kuatnya.
"Desss ".!" Anjing ini pun menguik keras dan terpelanting dengan hidung dan ujung moncong berdarah dan pada saat itu, Hay Hay sudah menggerakkan kepalanya ke kanan kiri untuk menyambut terkaman dua anjing lainnya. Dua ekor anjing ini pun melolong kesakitan, diikuti anjing terakhir yang kembali bertemu dengan bagian belakang kepala Hay Hay yang keras. Lima ekor anjing yang kesakitan itu menjadi ketakutan dan mereka pun lari tunggang-langgang sambil menguik-nguik, diikuti pandang mata Hay Hay yang berseri penuh kelegaan dan juga kegelian hatinya. Pengalaman ini sungguh menegangkan dan lebih berbahaya daripada latihan pertama di dalam air itu.
Pada keesokan harinya, tidak terdapat gangguan binatang, akan tetapi rasa panas seperti membakar dirinya. Matahari membakar pasir dan dari bawah juga membubung hawa panas yang membuat kepala yang tersembul di atas pasir itu basah oleh keringat. Namun, Hay Hay mampu bertahan dan dia bahkan tak pernah lagi menghentikan renungannya atas kalimat yang harus dlhafalnya. Malam itu pun hanya ada seekor harimau yang menghampirinya dan mencium-ciumnya, membuat Hay Hay hampir kehabisan nyali. Akan tetapi sungguh aneh, harimau itu tidak mengganggunya dan pergi lagi tanpa menyerangnya! Dan pada keesokan harinya, setelah dua malam dia bertapa di dalam pasir, Kakek Song muncul di depannya.
"Bagus, engkau berhasil. Keluarlah untuk mengikuti latihan-latihan selanjutnya."
Dengan semangat lebih besar dari kemarin dulu walaupun dengan perut lebih lapar lagi, Hay Hay keluar dari dalam pendaman pasir itu dan kembali dia terkejut dan girang. Begitu suhunya memanggil dan dia mempunyai niat untuk keluar dari situ, tiba-tiba timbul tenaga yang amat besar dan tubuhnya seperti dijebol dari dalam. Sekali bergerak saja dia sudah keluar dari pendaman itu dengan tubuh terasa segar dan semangat berkobar! Dia pun cepat menjatuhkan diri berlutut dalam keadaan telanjang bulat itu di depan suhunya.
"Bagus, engkau berhasil. Sudah, tak perlu segala upacara ini. Hayo bangun dan ikuti aku, taati semua petunjukku."
Dengan penuh semangat Hay Hay mengikuti gurunya ke guha dan mengenakan pakaiannya, kemudian mencari buah-buah untuk dia dan gurunya. Dia masih harus mengikuti cara berlatih yang aneh-aneh, berpuasa dan bertapa dengan cara yang sesungguhnya amat berat dan berbahaya. Namun semua dia taati dan dia lakukan penuh semangat dan pantang mundur. Tiga hari tiga malam tanpa makan dia harus bertapa dengan cara bergantung di cabang pohon yang tinggi, dengan kedua kaki terikat dan bergantung dan kepala di bawah! Latihan ini berat bukan main, dan hanya orang yang sudah memiliki sinkang yang amat kuat saja dapat bertahan. Karena peredaran darah tidak seperti biasanya, banyak darah mengalir dalam kepala, maka pada hari pertama terasa amat berat dan mendatangkan pemandangan-pemandangan khayal yang menakutkan. Namun Hay Hay amat teguh dan berhasil melewati waktu tiga hari dengan baik sambil menghafal kalimat yang diberikan kakek itu, begini bunyinya : "Langit di bawah kaki, Bumi di atas kepala, atas bawah baik buruk hanya pendapat, bukan kebenaran nyata!"
Ada pula latihan berpuasa tujuh hari tujuh malam sambil bersamadhi di dalam kegelapan. Di dalam guha terdapat terowongan yang pada ujungnya terdapat sebuah ruangan di bawah tanah yang amat gelap. Tidak ada sedikit pun cahaya masuk, siang malam sama saja gelap pekat hitam legam. Di tempat inilah Hay Hay harus duduk bersamadhi dan bertapa dalam keadaan telanjang bulat, dengan kalimat yang harus diingatnya, kalimat yang paling aneh di antara kalimat yang pernah diajarkan kepadanya. "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening "!"
Dan ternyata latihan ini terasa paling berat bagi Hay Hay. Dia tidak lagi mengenal waktu, tidak lagi melihat apa-apa, tidak mendengar apa-apa, tidak mencium apa-apa, tidak meraba apa-apa. Seluruh anggauta tubuhnya seperti mati, tidak melakukan kegiatan apa pun. Namun anehnya, pikirannya menjadi makin liar dalam keadaan tanpa gerak itu, bagaikan seekor naga yang terikat dan meronta, meliar, memberontak hendak keluar. Ketika dia dapat menenangkannya, muncul bermacam-macam gambaran yang membuat dia merasa seperti telah menjadi gila! Segala ingatan datang pergi dengan cepatnya, teringat dia akan pengalamannya di waktu kanak-kanak, dan bahkan terbayang olehnya seorang laki-laki menyerupai dirinya, Si Tawon Merah yang menjadi ayah kandungnya. Terasa olehnya seolah-olah laki-laki yang menjadi ayah kandungnya itu menyusup ke dalam dirinya, dan membawa pula rangsangan-rangsangan berahi ke dalam tubuhnya, membuat dia gelisah dan hampir tidak kuat bertahan. Terbayang segala yang indah dan cantik menarik dari para wanita, membuat nafsu berahi dalam dirinya berkobar dan menyesakkan napas, menuntut pelepasan. Kemudian, yang paling hebat dan berat dari segala godaan, di dalam kehitaman itu tiba-tiba muncul seorang wanita yang luar biasa cantiknya. Segala kecantikan wanita yang dapat digambarkan otaknya dimillki wanita ini! Dengan suara merayu-rayu, membawa keharuman khas wanita. Ia menghampiri Hay Hay, membelai dan merayunya, merangkul dan menciuminya, dan hampir saja Hay Hay tidak kuat lagi bertahan. Napasnya telah terengah memburu, seluruh tubuhnya sudah menggigil dan di dalam hatinya terjadi perang yang amat seru antara keinginan untuk merangkul mendekap wanita itu dan menahan diri.
"Kosong hampa hening... kosong hampa hening ".!" hanya tiga kata ini yang dapat teringat olehnya, akan tetapi diucapkannya tiga kata yang teringat itu keras-keras, dengan seluruh kekuatan batinnya dengan seluruh perhatiannya dan tiba-tiba lenyaplah wanita yang membelai seluruh tubuhnya itu.
Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya basah oleh keringatnya sendiri dan betapa napasnya terengah-engah, tubuhnya lemas seolah-olah baru saja dia mempergunakan tenaga yang amat besar. Dia bergidik kalau teringat betapa hampir saja dia kalah oleh godaan yang timbul dari pikirannya sendiri, karena sekali dia terpeleset dan jatuh, kalah oleh godaan itu, mungkin latihannya akan berakhir dengan munculnya seorang laki-laki yang gila. Dia tentu akan menjadi gila kalau tadi dia kalah. Cepat dia berkemak-kemik membaca kalimat yang diajarkan suhunya, "Tiada cahaya, tiada bentuk tiada warna tidak ada apa-apa, kosong hampa hening ".!"
Memang, kini dapat dirasakannya sendiri, bahwa segala sesuatu adalah hasil darl pada pendapat pikiran sendiri, disesuaikan dengan pengalaman, dengan keadaan diri sendiri, dengan kebutuhan badan dan keinginan batin untuk menyenangkan diri sendiri. Sesungguhnya tidak ada apa-apa, kalaupun ada maka kita sendirilah yang mengadakan. Susah, senang, buruk, baik, duka, suka, dan semua keadaan dengan kebalikan-kebalikannya itu hanya ada karena kita adakan oleh pikiran, kalau pikiran kosong, hampa dan hening, maka sesungguhnya tidak ada apa-apa. Semua itu hanyalah permainan pikiran yang merasakan adanya suatu keadaan. Kalau pikiran tidak mengada-ada, maka yang ada hanyalah kosong, hampa dan hening seperti keadaan seseorang yang tidur pulas tanpa mimpi!
Sampai kurang lebih satu bulan Hay Hay melaksanakan perintah Kakek Song dan melakukan bermacam latihan dan tapa yang aneh-aneh dan macam-macam. Namun semua itu, bahkan yang terberat sekalipun, yaitu bertapa di tempat gelap selama tujuh hari tujuh malam, dapat dilewatinya dengan baik. Setelah bertapa di tempat gelap, dia pun dipanggil oleh Kakek Song. Dia keluar dari terowongan, mengenakan pakaian dan menjatuhkan diri berlutut didepan kaki orang itu.
Tidak seperti biasanya, kini kakek itu hanya memandang Hay Hay dan mengangguk-angguk. "Bagaimana, Hay Hay" Apakah kini engkau masih memandang aku sebagai seorang yang gila?" akhirnya dia bertanya dengan suaranya yang aneh, karena suara itu kadang-kadang parau, kadang-kadang halus lembut penuh wibawa.
Hay Hay mengangkat mukanya memandang kakek itu. Dia terkejut karena tak pernah mengira bahwa kakek ini tahu bahwa dia pernah memandangnya sebagai seorang yang berotak miring. Kini, sejak beberapa hari yang lalu, dia sudah tidak lagi beranggapan demikian. Sebaliknya malah dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat tinggi ilmunya, amat bijaksana dan waspada, seorang manusia yang sudah bersatu dengan alam tidak lagi menghiraukan segala kesibukan lahiriah dan bersikap wajar. Justru kewajarannya itu bagi manusia pada umumnya akan nampak aneh dan gila.
"Teecu telah menerima petunjuk-petunjuk dari Suhu, teecu merasa gembira dan beruntung sekali. Teecu hanya menanti apa petunjuk Suhu selanjutnya agar teecu dapat mentaatinya dengan baik untuk menambah pengertian teecu tentang hidup dan diri sendiri."
"Heh-heh-heh, latihan-latihan selama sebulan ini merupakan gemblengan yang jauh lebih berhasil daripada gemblengan bertahun-tahun dari gurumu."
"Teecu menyadari hal itu, Suhu, dan mengharapkan petunjuk selanjutnya."
"Ha-ha-ha, tiada sesuatu tanpa akhir di dunia ini kecuali cinta kasih, Hay Hay. Hubungan lahiriah lebih rapuh lagi, dan kita harus berpisah hari ini. Lanjutkan perjalananmu dan jangan kauingat lagi kepadaku."
"Betapa mungkin teecu dapat melupakan Suhu yang telah melimpahkan kasih sayang kepada teecu?"
"Ha-ha-ha, aku tidak memberi sesuatu dan engkau pun hanya menerima hasil dari pada jerih payahmu sendiri. Boleh engkau ingat kepada manusia lain bernama Kakek Song, aku tidak peduli, akan tetapi aku tidak akan ingat lagi kepadamu. Aku hanya akan ingat kepada seorang pemuda nakal bersama Hay Hay yang tekun dan tahan uji. Nah, selanjutnya, tentukanlah langkahmu sendiri. Hanya ada satu pesanku kepadamu. Kalau engkau mendaki gunung yang kelihatan biru di sana itu, engkau akan mendapatkan sebuah air terjun yang besar. Di balik air terjun itu terdapat sebuah guha. Belasan tahun aku pernah bertapa di sana. Kalau engkau mau bertapa di bawah air terjun, membiarkan air terjun menyiram kepala dan tubuhmu selama tiga hari tiga malam, engkau akan memperoleh kematangan yang amat menguntungkan badanmu. Nah, aku pergi sekarang, Hay Hay!" Seperti biasa, kakek itu tanpa ragu lagi berkelebat dan lenyap.
Hay Hay maklum akan keanehan gurunya, tidak berani mengejar, hanya tetap berlutut memberi hormat ke bekas tempat duduk suhunya.
Tak lama kemudian dia pun bangkit dan meninggalkan bukit itu, menuju ke gunung yang nampak biru, di sebelah selatan bukit itu. Ada sesuatu di dalam langkahnya yang membedakan Hay Hay dari keadaannya sebulan yang lalu. Langkah satu-satu yang membawa dirinya maju itu demikian mantap, tanpa ragu-ragu, dan senyum di mulutnya itu kini nampak penuh pengertian, sepasang mata yang mencorong mengandung kelembutan. Benarkah bahwa gemblengan yang satu bulan itu lebih berhasil daripada gemblengan bertahun-tahun yang pernah didapatkannya. Dia tidak diberi pelajaran ilmu silat atau ilmu apapun juga oleh Kakek Song, namun gemblengan sebulan lamanya itu membuat ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya menjadi lebih matang dan sempurna.
** Sebelum kita mengikuti perjalanan Hay Hay, marilah kita menengok ke belakang beberapa tahun yang lalu untuk mengikuti perjalanan Kok Hui Lian dan Ciang Su Kiat. Seperti pernah diceritakan di bagian depan kisah ini, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang buntung lengan kirinya sebatas siku, bertubuh tinggi besar dan berwatak jujur dan keras. Telah diceritakan betapa dia menyelamatkan seorang anak perempuan bernama Kok Hui Lian yang kemudian menjadi murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri olehnya. Kok Hui Lian adalah puteri mendiang Kok-taijin, seorang gubernur dari San-hai-koan. Kemudian, di dalam perjalanan mereka, ketika Ciang Su Kiat berusia tiga puluh empat tahun dan Hui Lian berusia belasan tahun, mereka bertemu dengan Lam-hai Giam-lo yang amat jahat. Lam-hai Giam-lo menangkap Hui Lian dengan niat keji, akan tetapi Ciang Su Kiat menyerangnya sehingga terjadi perkelahian yang mengakibatkan Ciang Su Kiat terjatuh ke dalam jurang dan Hui Lian ikut meloncat ke dalam jurang yang amat curam itu. Akan tetapi, keduanya tidak binasa, bahkan menemukan kitab-kitab rahasia peninggalan dua orang sakti dari Delapan Dewa, yaitu mendiang In Liong Nio-nio dan mendiang Sian-eng-cu The Kok. Dua orang itu dapat hidup di tebing jurang, di dalam sebuah guha dan mereka mempelajari ilmu kesaktian dari dua kitab ilmu peninggalan dua orang sakti itu. Juga mereka terpaksa hanya makan daging burung, telur, dan jamur-jamur kecil, akan tetapi makanan ini bahkan membuat mereka menjadi kuat, bahkan karena makanan aneh selama sepuluh tahun ini, tubuh Hui Lian mengeluarkan bau yang harum seperti bunga!
Setelah memperoleh ilmu yang amat tinggi, ditambah makanan aneh selama sepuluh tahun, Su Kiat dan Hui Lian berhasil keluar dari tempat terasing itu, mendaki tebing jurang yang amat curam. Mereka telah meninggalkan dunia ramai selama sepuluh tahun dan ketika mereka berhasil keluar dari situ, Ciang Su Kiat telah berusia empat puluh empat tahun sedangkan Kok Hui Lian telah menjadi seorang gadis dewasa berusia dua puluh dua tahun! Seorang gadis yang cantik dan keras, dengan keringat berbau harum.
Tentu saja mereka merasa sakit hati terhadap Lam-hai Giam-lo dan mulailah mereka mencari tokoh sesat itu untuk membalas dendam. Mereka berhasil dan berkali-kali mereka menyerang Lam-hai Giam-lo, bahkan hampir berhasil membunuhnya, kalau iblis itu tidak cepat melarikan diri. Lam-hai Giam-Io ketakutan menghadapi dua orang yang haus akan darahnya itu sehingga dia mencukur gundul rambut kepalanya dan menyamar menjadi hwesio kuil Siauw-lim-pai.
Demikianlah kisah yang sudah kita ketahui di bagian depan cerita ini, dan kedua orang itu kehilangan musuhnya. Setelah mencari-cari tanpa hasil, keduanya lalu menghentikan pencarian mereka.
"Sudahlah, kita tidak perlu mencari lebih jauh." kata Su Kiat kepada Hui Lian. "Dia tentu bersembunyi dan selama dia tidak keluar di dunia ramai, tak mungkin kita dapat menemukannya. Kita tunggu saja sampai dia kembali muncul di dunia ramai. Kita tentu akan dapat mendengar akan sepak terjangnya dan belum terlambat kalau kelak kita mendengar namanya disebut orang."
"Baiklah, Suheng. Lalu kita akan pergi ke mana sekarang?" tanya Hui Lian. Semenjak sama-sama mempelajari kitab-kitab yang mereka temukan di dalam guha di tebing yang curam itu, Su Kiat minta kepada Hui Lian agar gadis ini tidak lagi menganggapnya sebagai guru. Mereka berdua secara kebetulan telah menerima peninggalan warisan ilmu dari dua orang sakti, sehingga mereka berdua menjadi murid-murid kedua orang sakti itu dan dengan sendirinya mereka menjadi suheng dan sumoi. Mula-mula Hui Lian tidak setuju karena ia merasa betapa Su Kiat adalah penolongnya, juga gurunya dan selama ini Su Kiat menganggapnya sebagai murid dan anak angkat. Akan tetapi atas desakan Su Kiat, Hui Lian yang ketika itu baru berusia dua belas tahun, menurut dan demikianlah, mereka belajar bersama dan menjadi seperti kakak dan adik seperguruan. Memang ada keanehan dalam hubungan antara mereka. Walaupun di tempat terasing itu Hui Lian tumbuh menjadi gadis dewasa yang amat cantik menarik, namun Su Kiat selalu dapat menguasai dirinya dan tidak sampai mempunyai keinginan yang bukan-bukan terhadap gadis itu. Biarpun kini mereka saling panggil seperti kakak dan adik seperguruan, namun Su Kiat memandang gadis itu sebagai anaknya sendiri, dan di dalam hatinya hanya terdapat kasih sayang dan iba seperti perasaan seorang ayah terhadap anaknya. Pandangan ini yang menjauhkan nafsu berahinya, walaupun gadis yang hidup di sampingnya itu memiliki daya tarik dan daya pikat yang amat kuat.
Ketika Hui Lian bertanya ke mana mereka akan pergi, Su Kiat menjadi bingung juga. Dia memang hidup sebatang kara. Ketika dia masih menjadi murid Cin-ling-pai, dia sudah hidup sebatang kara, tanpa keluarga. Juga gadis yang menjadi sumoinya itu hidup sebatang kara. Seluruh keluarganya, keluarga Kok yang pernah menjadi keluarga bangsawan terhormat, telah terbasmi habis ketika terjadi pemberontakan. Gubernur Kok dan keluarganya telah habis. Mungkin masih ada sisanya, akan tetapi dia tidak ingin membawa Hui Lian kembali kepada keluarga Kok di San-hai-koan, karena dia tidak mau kehilangan gadis itu. Akan tetapi, dia pun tidak boleh membiarkan Hui Lian hidup menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal yang patut. Hui Lian telah menjadi seorang gadis yang cukup dewasa, yang sudah sepantasnya kalau dijodohkan! Dan untuk dapat menjodohkannya dia harus mencari tempat tinggal yang tetap dan hidup sebagai keluarga terhormat.
"Sumoi, kita harus memilih dusun yang cocok untuk menjadi tempat tinggal kita. Kita harus hidup sebagai keluarga yang pantas, mempunyai rumah dan sawah yang memadai "."
"Akan tetapi, kita akan bekerja apa kalau tinggal di dusun, Suheng" Tidakkah sebaiknya kalau kita tinggal di sebuah kota di mana kita dapat bekerja, misalnya membuka perguruan silat?"
Su Kiat mengangguk-angguk. Memang tidak keliru pendapat sumoinya itu. Bagaimana dia dapat bercita-cita menjadi petani kalau lengannya hanya sebelah" Dia tidak memiliki modal, dan tidak memiliki keahlian lain kecuali ilmu silat. Karena itu, untuk dapat mencari uang guna membeli rumah dan sebagainya, satu-satunya kemungkinan hanyalah menjual kepandaian itu dengan membuka perguruan silat.
Akhirnya mereka memilih sebuah dusun yang berada di tepi Sungai Cia-ling, di luar kota Kong-goan, untuk menjadi tempat tinggal. Dusun itu tidak besar, hanya merupakan dusun nelayan yang hidupnya dari menyewakan perahu untuk pengangkutan rempa-rempa dan mencari ikan di Sungai Cia-ling, dan semua penghuni dusun mencari nafkah ke kota Kong-goan yang besar. Mereka membeli sebidang tanah dengan harga murah, agak terpencil di ujung dusun, membangun sebuah pondok sederhana. Setelah mempunyai rumah tinggal, barulah Su Kiat dan Hui Lian bicara tentang mencari pekerjaan. .
"Suheng, apakah tidak ada pikiran padamu untuk pergi mengunjungi Cin-ling-pai?" Sepasang mata yang bening tajam itu menatap wajah suhengnya. "Bukankah Cin-ling-san dekat dari sini, di sebelah utara itu?"
Su Kiat menarik napas panjang. Pertanyaan sumoinya itu mengingatkan dia akan masa mudanya di Cin-ling-pai dan tanpa disengaja dia melirik ke arah lengan kirinya yang buntung. Tidak, dia tidak mendendam kepada Cin-ling-pai! Dia sendiri yang membuntungi lengan kirinya, walaupun dia didesak oleh Ketua Cin-ling-pai yang berhati keras seperti baja itu. Dia sudah keluar dari Cin-ling-pai dan tidak ada sangkut-paut lagi. Untuk apa pergi ke sana" Dia tahu bahwa sumoinya merasa penasaran dan sakit hati terhadap Cin-ling-pai setelah mendengar ceritanya tentang sebab buntungnya lengan kirinya. Sungguh kejam ketua Cin-ling-pai itu, demikian sumoinya membentak, tidak patut menjadi ketua perkumpulan orang yang mengaku pendekar gagah perkasa!
Dia menggeleng kepala dan memandang wajah sumoinya. "Tidak, Sumoi. Sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi antara aku dan Cin-ling-pai. Untuk apa aku berkunjung ke sana" Hanya akan menggali kenangan-kenangan pahit belaka."
Pada suatu hari, pergilah mereka berdua memasuki kota Kong-goan yang besar dan ramai. Kota Kong-goan terletak di dekat perbatasan antara Propinsi Secuan dan Shen-si, di sebelah timur Sungai Cia-ling. Karena Sungai Cia-ling datang mengalir dari utara, jauh dari dalam Propinsi Kan-su, kemudian mengalir ke selatan memasuki sungai besar Yang-ce-kiang, maka adanya sungai itu di dekat kota Kong-goan membuat kota ini menjadi semakin ramai karena dilewati jalur perdagangan melalui sungai itu.
Karena belum mempunyai kenalan di kota itu sehingga sukar bagi mereka untuk memperkenalkan diri sebagai ahli silat yang hendak membuka perguruan silat, Su Kiat mengajak sumoinya untuk langsung saja pergi ke pusat kota yang ramai. Di luar sebuah pasar di tepi jembatan, dia lalu memilih tempat di sudut di mana terdapat petak rumput dan mengeluarkan kain yang sudah ditulisi dan digulung. Dipasangnya kain itu dengan tali yang diikatkan pada batang pohon dan dinding pagar pasar. Kain putih itu telah ditulis dari rumah tadi, dengan huruf-huruf besar.
KAMI MEMBUKA PERGURUAN SILAt DI
DUSUN HEK-BUN, DENGAN BIAYA PANtAS
DAN ANDA DAPAt BELAJAR ILMU BELA
DIRI YANG BERMUTU DARI KAMI SILAKAN
MENDAFTARKAN DI SINI. CIA-LING BU-KOAN. Sebentar saja banyak orang datang merubung tempat itu. Mereka itu terdiri dari pria-pria yang tertarik, bukan hanya oleh tulisan itu, terutama sekali oleh kecantikan Hui Lian!
"Eh, apakah gurunya berlengan buntung itu?"
"Wah, mana mungkin melatih silat dengan baik?"
"Kalau Si Cantik itu yang menjadi guru, aku membayar berapa mahal pun!"
"Cia-ling-bu-koan (Perguruan Silat Sungai Cia-ling), aliran manakah?"
Bermacam-macam pendapat dan dugaan orang sehingga tempat itu menjadi berisik. Melihat banyaknya orang yang tertarik dan kini merubung tempat itu, Su Kiat lalu berdiri dan menghadap ke empat penjuru sambil mengangkat sebelah tangannya ke depan dada.
"Cu-wi yang terhormat. Ketahuilah bahwa kami suheng dan sumoi, merupakan penduduk baru dari dusun Hek-bun di luar kota ini di tepi Sungai Cia-ling. Karena kami ingin bekerja mencari nafkah dan keahlian kami hanyalah ilmu silat, maka kami memberanikan diri untuk membuka sebuah perguruan silat. Kami mengambil nama Cia-ling Bu-koan karena dusun kami berada di tepi Sungai Cia-ling. Kalau di antara Cu-wi ada yang ingin belajar silat yang baik, dan mau menolong kami mencari nafkah secara halal, silakan mendaftarkan dl sini!"
"Akan tetapi bagaimana kami tahu bahwa Anda pandai ilmu silat?" terdengar teriakan seorang di antara para penonton dan pertanyaan ini mendapat sambutan banyak orang.
Su Kiat tersenyum dan mengagguk. "Sudah pantas pertanyaan itu. Wajarlah kalau Cu-wi kurang percaya kepada kami karena memang kita belum berkenalan. Baru satu bulan kami tinggal di dalam dusun itu. Sumoi, mari kita main-main sebentar untuk memperkenalkan diri kepada mereka!"
Hui Lian mengangguk dan meloncat ke tengah lapangan rumput. Para penonton mundur dan memberi ruangan untuk mereka berdua. Gembira hati mereka karena hendak disuguhi tontonan yang paling mengasyikkan bagi mereka, yaitu demonstrasi silat, apalagi kalau dilakukan oleh seorang gadis demikian cantik manis melawan seorang laki-laki yang buntung lengan kirinya. Mereka menduga bahwa ilmu silat kedua orang itu tentu hanya begitu-begitu saja, dan tentu saja mereka tidak begitu bodoh untuk belajar ilmu silat kepada orang yang bukan ahli benar. Di kota Kong-goan terdapat banyak perguruan silat yang besar dan kuat, dan biarpun harus mengeluarkan biaya besar, lebih baik belajar dari guru-guru silat yang pandai dan terkenal di kota itu. Akan tetapi ada pula di antara mereka yang sudah mengambil keputusan untuk mengeluarkan sedikit biaya agar selalu dapat berdekatan dengan gadis cantik itu, apalagi dilatih silat oleh gadis itu, berkesempatan untuk dipegang-pegang!
"Haiiiittt "..!" Hui Lian mengeluarkan teriakan untuk memberi tanda kepada suhengnya bahwa ia mulai menyerang. Serangannya cepat sekali, kedua tangannya bergerak, yang kanan mencengkeram ke arah kepala, yang kiri menusuk ke arah dada dengan jari tangan terbuka. Akan tetapi, dengan gerakan ringan sekali Su Kiat dapat menghindar, memutar tubuh dan langsung membalas dengan tendangan kilat. Tendangan menyambar lewat, dekat sekali dengan tubuh gadis itu sehingga para penonton mulai terkejut. Kini, dua orang itu saling serang dan para penonton mulai terbelalak. Suheng dan sumoi itu saling serang dengan sungguh-sungguh! Mereka sudah sering melihat demonstrasi silat berpasangan dan dalam demonstrasi itu, pukulan dan serangan selalu dilakukan dengan diatur lebih dahulu oleh kedua pesilat. Akan tetapi kedua orang ini sama sekali tidak. Serangan mereka dilakukan dengan demikian cepat dan kuatnya, dan setiap serangan nyaris mengenai tubuh lawan. Dan Si Buntung itu, biarpun lengannya hanya sebelah, ternyata lihai sekali. Bahkan lengan baju kiri yang kosong mampu dia pergunakan untuk menangkis serangan bahkan menotok! Demonstrasi itu seperti sungguh-sungguh dan tidak dapat disangkal lagi bahwa keduanya memang memlliki gerakan yang cepat, dan ilmu silat mereka pun aneh. Tidak seorang pun di antara para penonton, baik yang sudah pernah belajar silat sekalipun, dapat mengenal aliran ilmu silat yang dimainkan mereka.
"Hyaatt!" Tiba-tiba tubuh Su Kiat mencelat ke atas dan dia pun menghujankan serangan kepada lawannya. Ujung lengan baju kiri yang tidak berisi itu menyambar dengan totokan-totokan ke arah jalan darah di leher dan pundak, tangan kanannya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kedua kakinya bergantian mengirim tendangan bertubi-tubi. Gadis itu melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan harus terus-menerus berjungkir balik untuk mengelak dan menghindarkan dirinya dari hujan serangan itu. Gerakan mengelak ini sedemikian ringan dan indahnya sehingga tertariklah hati semua penonton. Mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.
"Berhenti "..!!!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Hul Lian dan Su Kiat cepat menghentikan gerakan mereka. Para penonton melihat munculnya serombongan orang dan mereka pun nampak jerih, lalu mundur menjauh. Mereka menonton dari jarak yang cukup jauh dan semua orang merasa khawatir akan keselamatan suheng dan sumoi itu, karena mereka mengenal siapa adanya rombongan orang yang baru tiba, dan siapa pula raksasa muka hitam yang tadi membentak.
Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang. Rombongan itu terdiri dari delapan orang. Melihat betapa di dada baju delapan orang itu terdapat sulaman gambar harimau hitam, Su Kiat dan Hui Lian menduga bahwa mereka adalah orang-orang dari satu golongan tertentu. Dan dugaan mereka memang benar. Para penonton sudah mengenal jagoan-jagoan dari Hek-houw Bu-koan (Perguruan Silat Harimau Hitam) itu, sebuah perguruan silat terbesar di Kong-goan dan yang paling berpengaruh. Semua perguruan silat lainnya tunduk dan takut kepada Hek-houw Bu-koan dan perguruan ini dianggap sebagai perguruan yang paling tinggi dan mahal. Bahkan perguruan lain, setiap bulan mengirim hadiah tanda penghormatan kepada Hek-houw Bu-koan yang dianggap sebagai rekan paling tua dan paling lihai. Tentu saja tidak mudah menjadi murid Hek-houw Bu-koan, harus dapat membayar mahal dan karena anak-anak para bangsawan dan pejabat kebanyakan berguru di situ, tentu saja kedudukan Hek-houw Bu-koan menjadi semakin kuat. Murid-muridnya ditakuti dan disegani orang, apalagi murid dari golongan yang sudah tinggi tingkatnya, seperti delapan orang murid ini yang sudah memakai gambar harimau hitam di dada mereka!
Kini delapan orang itu menghadapi Su Kiat dan Hui Lian yang berdiri dengan sikap tenang walaupun dari sikap para penonton mereka dapat menduga bahwa delapan orang ini tentulah bukan orang-orang yang disukai rakyat, dan berarti merupakan orang-orang yang suka bertindak sewenang-wenang.
"Toako, Si Buntung ini kurang ajar sekali, berani tidak memandang kepada kita!" kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.
"Toako, Nona ini sungguh mulus!" kata orang ke dua yang berperut gendut dan mukanya menyeringai kurang ajar.
Raksasa muka hitam yang disebut Toako itu melangkah maju, melotot kepada Su Kiat. Betapa pun marahnya, dia tidak mampu memperlihatkan sikap marah kepada seorang gadis secantik Hui Lian, maka yang menerima kemarahannya adalah Su Kiat seorang.
"Heh, buntung! Siapa kau dan dari mana kau datang?" tanyanya dengan suara keras dan memandang rendah.
Wajah Hui Lian berubah merah dan kalau saja suhengnya tidak berkedip kepadanya, tentu ia sudah menerjang raksasa muka hitam yang berani menghina suhengnya itu. Akan tetapi Su Kiat maklum bahwa kalau dia dan sumoinya ingin mencari nafkah di kota itu, tidak menguntungkan kalau di hari pertama sudah harus bermusuhan dengan orang lain. Maka dia pun melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam itu, dan dengan muka cerah dan ramah dia menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya
Namaku Ciang Su Kiat dan ia adalah sumoiku bernama Kok Hui Lian. Kami baru kurang lebih sebulan tinggal di dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan ini di tepi Sungai Cia-ling." Dan dia pun balas bertanya, "Siapakah Si-cu dan mengapa Si-cu menghentikan demonstrasi kami?"
"Orang she Ciang yang sombong! Siapa memberi ijin kepadamu untuk membuka perguruan silat" Engkau sungguh tak tahu diri dan melanggar peraturan!"
"Eh" Maaf, peraturan apakah yang kulanggar" Apa kesalahanku dengan rencana membuka perguruan silat?" .
"Engkau melakukan dua pelanggaran besar. Pertama, engkau menghina kami karena membuka perguruan silat tanpa sepengetahuan kami! Ketahuilah bahwa di Kong-goan ini, perguruan silat kami Hek-houw Bu-koan mempunyai wewenang sepenuhnya dan semua perguruan silat harus mendapatkan restu kami. Akan tetapi engkau berani membuka tanpa minta persetujuan kami. Dan ke dua, engkau telah berani melakukan penipuan di kota kami!"
"Penipuan" Untuk yang pertama, kami minta maaf karena kami tidak tahu adanya peraturan seperti itu. Dan hal itu mudah saja dibereskan. Aku akan pergi menghadap pimpinan Hek-houw Bu-koan untuk minta persetujuan. Akan tetapi penipuan" Aku tidak merasa menipu siapapun juga."
"Sombong! Engkau ini berlengan buntung, mana mungkin akan dapat mengajar silat dengan baik" Bukankah itu artinya kalian mengelabuhi dan menipu para peminat, hendak mengeduk uang mereka dengan alasan mengajar silat akan tetapi sesungguhnya engkau tidak mampu bersilat dengan baik?"
"Toako, hajar saja orang ini dan kita tahan gadis itu sebagai sandera!" kata laki-laki berperut gendut dan dia pun melangkah maju, kakinya menendang meja kecil yang disediakan oleh Hui Lian. Di atas meja itu tersedia kertas dan alat tulis untuk mendaftar mereka yang berminat. Kini tinta dan kertas terlempar dan berserakan, meja itu pun ringsek. Delapan orang itu tertawa.
Bukan main marahnya Hui Lian. Ia tidak mampu menahan dirinya lagi dan iapun cepat meloncat di depan suhengnya.
"Suheng, aku tidak sudi dihina orang seperti ini. Biar aku mewakili Suheng menghadapi tikus-tikus busuk ini!" Dan sebelum Su Kiat dapat menahannya, Hui Lian telah melangkah maju menghadapi raksasa muka hitam, tangannya menuding ke arah muka yang hitam itu.
"Kamu ini manusia ataukah iblis" Menjadi harimau hitam pun tidak patut karena harimau pun tidak sejahat kamu! Kamu menghina orang seenak perutmu sendiri. Apa kesalahan kami" Untuk membuka perguruan silat, tidak perlu minta persetujuan binatang macam kamu, dan kalau kami melanjutkan usaha kami, kamu mau apa" Majulah kalau ingin mengenal kelihaian nonamu!"
Si Perut Gendut sudah melangkah maju. "Toako, tahan kemarahanmu. Serahkan kuda betina liar ini kepadaku saja. Aku akan menangkapnya, barulah engkau menghajar Si Buntung itu!" Tanpa menanti jawaban raksasa muka hitam yang mendelik marah karena dimaki-maki oleh Hui Lian, Si Gendut itu sudah menerjang ke arah Hui Lian dan begitu dia menyerang, dia menggunakan, kedua tangannya untuk mencengkeram ke arah dada gadis itu! Serangan yang amat tidak sopan dan memandang rendah kepada Hui Lian.
"Sumoi, jangan membunuh orang!" Su Kiat memperingatkan, diam-diam juga marah melihat serangan yang kurang ajar itu.
"Plak! Plak!" Kedua tangan Hui Lian menyambut dua tangan Si Perut Gendut itu, yang tentu saja menjadi girang dan segera dia mencengkeram kedua tangan gadis itu. Jari-jari tangan mereka saling remas seperti sepasang kekasih sedang bermain-main saja. Teman-teman Si Gendut sudah mentertawakan.
"Wah, untung besar Si Gendut kali ini!"
"Wah, main remas jari tangan!"
"Halusnya!" "Hangatnya, heh-heh!"
Si Perut Gendut yang mencengkeram tangan Hui Llan, berusaha menarik gadis itu untuk mencium mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan pekik kesakitan, matanya terbelalak seperti hendak meloncat keluar, mukanya menjadi pucat sekali dan seluruh tubuhnya menggigil saking menahan rasa nyerinya. Kiranya, jari-jari tangannya itu bertemu dengan jari-jari tangan yang keras seperti baja dan panas seperti api membara! Biarpun jari-jari tangannya lebih panjang dan besar, namun jari-jari tangannya itu seperti tahu dicacah saja, tahu bertemu pisau! Jari tangan Hui Lian yang mencengkeram dan terdengar suara berkeretakan ketika tulang-tulang dan buku jari tangan Si Gendut itu patah-patah dan remuk!
"Aduhh... aduhhhh... ampunnn... amm... punnnn... augghhh "..!" Si Gendut mnenjerit-jerit dan menangis seperti babi disembelih, dan saking nyerinya, dia berjongkok dan kedua lengannya bergantung. Hui Lian mendengus jijik dan kakinya menendang sambil membentak.
"Anjing buduk, pergilah!"
"Bukk!" Kaki itu menendang perut yang gendut dan ia melepaskan cengkeramannya. Tubuh Si Gendut itu terjengkang dan bergulingan, dan kini dia merintih deng.an bingung, menggunakan kedua ,tangan yang remuk tulang-tulang jarinya itu untuk meraba-raba perutnya yang mendadak menjadi mulas dan nyeri sekali. Agaknya usus buntunya yang kena tendangan yang cukup keras itu
Gegerlah semua orang melihat peristiwa yang sama sekali tak mereka sangka-sangka itu. Para penonton yang berada di jarak aman, terbelalak dan wajah mereka berseri. Walaupun mereka bergembira, terkejut heran dan kagum bukan main, namun mereka tidak berani bersorak, hanya bersorak di dalam hati dan saling pandang dengan senyum dikulum. Sebaliknya, tujuh orang teman, Si Gendut terkejut bukan main dan mereka menjadi marah, terutama Si Raksasa muka hitam yang menjadi saudara tertua di antara mereka dan merupakan pimpinan kelompok itu karena dialah yang paling lihai dan paling kuat.
"Perempuan jahat, berani engkau memukul orang?" bentak Si Raksasa muka hitam.
"Huh, matamu kamu taruh di mana" Jelas dia yang memukul orang, bukan aku. Kalau kamu ingin memukulku juga, boleh. Majulah!"
"Perempuan sombong, engkau belum merasakan tangan besi jagoan Hek-houw Bu-koan" Nah, sambutlah!" Teriak Si Muka Hitam dan dia pun mengirim pukulan dengan tamparan tangannya ke arah pundak Hui Lian. Tangan raksasa muka hitam itu besar dan lengannya panjang, ketika menampar mendatangkan angin yang cukup kuat. Melihat Si Raksasa ini tidak menyerang dengan ganas, hanya menampar pundak, tidak kurang ajar seperti Si Perut Gendut, Hui Lian juga tidak bertindak kejam. Ia mengelak dengan mudah saja, kakinya menotok ke depan dan tubuh Si Raksasa itu pun terjungkal karena kedua kakinya tiba-tiba saja menjadi lumpuh ketika ujung sepatu kecil itu dua kali mencium kedua lututnya!
Kembali suasana menjadi geger. Gadis itu telah merobohkan toako mereka dalam segebrakan saja! Dan para penonton juga gempar, dan sekali ini biarpun tidak bersorak, namun ada terdengar suara ketawa di sana-sini menyambut kemenangan mudah gadis itu. Enam orang murid Hek-houw Bu-koan menjadi marah sekali. Pemimpin mereka dirobohkan seorang gadis sedemikian mudahnya, hal ini merupakan penghinaan bagi mereka.
"Bunuh siluman betina itu!" teriak mereka dan enam orang itu sudah menerjang ke depan dengan golok tipis di tangan. Melihat berkelebatnya senjata tajam, para penonton menjadi panik. Hanya Su Kiat yang masih berdiri di pinggir dengan tenang. Tingkat kepandaian enam orang itu tidak ada artinya bagi sumoinya, maka dia hanya diam menonton saja. Dan memang benarlah. Begitu melihat enam orang itu menerjangnya dalam kepungan, mempergunakan golok, Hui Lian tersenyum mengejek.
"Kalian memang tikus-tikus pengecut yang beraninya main keroyok!" Dan tiba-tiba saja, enam orang yang sudah menyerang dengan golok, menjadi terkejut dan bingung karena tubuh gadis yang dikepung mereka itu lenyap, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan ke sana-sini dan mereka pun satu demi satu mengeluarkan teriakan dan roboh. Golok di tangan mereka beterbangan ke sana-sini! Mereka sendiri tidak tahu bagaimana mereka dapat roboh, hanya merasa ada bagian tubuh yang kena tendangan atau tamparan tanpa melihat lawan yang melakukannya!
Hui Lian berdiri tegak, bertolak pinggang memandangi delapan orang yang kini saling bantu dan merangkak bangun sambil mengerang kesakitan itu. "Nonamu masih mengampuni nyawa anjing kalian! Hayo lekas pergi dari sini dan jangan berani mengganggu orang lagi."
Si Raksasa muka hitam hanya dapat mendelik, lalu bersama tujuh orang kawannya dia pergi dari situ, terpincang-pincang, diikuti senyum lebar para penonton yang masih juga belum berani bersorak. Setelah delapan orang itu pergi, para penonton berduyun datang mengelilingi Su Kiat dan Hui Lian. Seorang diantara mereka, yang usianya sudah lima puluh tahun lebih mendekati Su Kiat.
"Sebaiknya kalau Ji-wi cepat pergi meninggalkan tempat ini, bahkan meninggalkan kota ini. Ji-wi tidak tahu, Hek-houw Bu-koan merupakan perguruan silat paling besar dan berkuasa di sini. Banyak putera bangsawan dan hartawan menjadi muridnya, dan Hek-houw Bu-koan mempunyai banyak sekali tukang-tukang pukul! Ji-wi telah menghajar delapan orang murid rendahan saja, kalau sampai murid-murid utama atau bahkan pimpinan mereka datang ke sini, Ji-wi bisa celaka!"
Su Kiat memandang kepada orang itu dan tersenyum tenang. "Terima kasih atas peringatan itu, Saudara yang baik. Akan tetapi kita tinggal di dunia yang sopan dan ada hukumnya, bukan di rimba raya di mana kekuatan dan kekerasan merajalela. Kami berdua tidak bersalah, dan siapa saja yang mengganggu kami, akan kami hadapi. Nah, Saudara sekalian siapa yang hendak mendaftarkan diri menjadi murid perguruan silat Cia-ling?"
Hui Lian sudah memungut lagi kertas dan alat tulis yang tadi berserakan, siap untuk mencatat nama-nama dari mereka yang ingin belajar silat. Beberapa orang pemuda maju mendaftarkan diri sambil membayar uang pangkal. Ada pula yang bertanya. "Apakah kalau sudah menjadi murid Cia-ling Bu-koan, kami pun akan mendapatkan kepandaian sehebat Nona ini yang dapat mengalahkan orang-orang Hek-houw Bu-koan?"
Cu Kiat tersenyum dan mengangkat tangan minta perhatian semua orang. Suasana menjadi hening sehingga terdengarlah suara Su Kiat dengan jelas. "Harap Anda sekalian mengetahui bahwa ilmu silat bukanlah alat untuk berkelahi atau bermusuhan. Ilmu silat adalah suatu olahraga yang menyehatkan lahir batin, juga merupakan seni tari yang indah dan menyehatkan, selain itu merupakan pula ilmu bela diri, semacam perisai untuk melindungi diri kita dari ancaman marabahaya. Cu-wi tadi melihatnya. Sumoi bukan menggunakan ilmu silat untuk bermusuhan atau berkelahi, melainkan untuk membela diri dari ancaman orang-orang kasar tadi. Kalau sumoi mempergunakan untuk bermusuhan, tentu delapan orang tadi tidak akan dapat bangun kembali."
Semua orang mengangguk dan merasa kagum sekali. Makin banyaklah yang mendaftarkan diri. Untuk tahap pertama, karena pertama kali membuka perguruan silat, tentu saja Su Kiat dan Hui Lian tidak mungkin dapat mengadakan pemilihan atau ujian, melainkan menerima saja mereka semua. Tentu saja kelak, kalau keadaan mereka sudah baik, tidak mungkin menerima segala orang untuk menjadi murid. Harus lebih dulu diuji mentalnya, dinilai wataknya, dan dilihat pula bakatnya dan kesehatan tubuhnya.
"Semua orang harap mundur dan biarkan kami bicara dengan guru silat liar itu!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua orang cepat menengok. Orang yang tadi memberi peringatan kepada Su Kiat, ketika melihat munculnya dua orang itu, segera berbisik kepada Su Kiat.
"Celaka, dua orang pelatih mereka datang sendiri! Mereka adalah orang-orang kedua dalam perguruan itu, wakil dari ketuanya yang bertugas melatih ilmu silat. Kepandaiannya tinggi sekali!" Setelah berkata demikian, seperti juga dengan orang-orang lain, dia pun cepat menjauhkan diri. Kini Su Kiat dan Hui Lian berdiri memandang dua orang laki-laki yang melangkah menghampiri mereka dengan langkah lambat-lambat, sedangkan pandang mata mereka ditujukan kepada Hui Lian dengan tajam dan alis berkerut, mulut mereka cemberut, sikap yang tidak ramah atau bersahabat sama sekali. Diam-diam Su Kiat memperhatikan mereka. Dua orang itu adalah laki-laki yang berusia empat puluh tahun dan gerak-gerik mereka saja mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bertubuh kuat dan pandai ilmu silat. Keduanya bertubuh tegap dan kokoh kuat seperti batu karang. Yang seorang memelihara kumis dan jenggot pendek, kulit mukanya menghitam sedangkan orang ke dua bermuka bersih tanpa kumis dan jenggot, juga kulit mukanya kuning. Namun keduanya nampak marah sekali.
Su Kiat dan Hui Lian bersikap tenang saja menghadapi mereka dengan senyum mengejek. Dan orang itu agak tertegun melihat seorang gadis cantik manis menghadapi mereka dengan sikap demikian berani. Padahal, biasanya orang merasa takut dan sungkan kepada mereka yang terkenal sebagai jagoan di Kong-goan. Karena tidak ingin berurusan dengan seorang gadis muda, Si Jenggot muka hitam lalu memandang kepada Ciang Su Kiat dan membentak dengan suaranya yang parau dan bengis.
"Engkaukah guru silat baru yang tidak tahu aturan dan telah berani memukul murid-murid kami dari Hek-houw Bu-koan itu?" tanya yang bermuka hitam dan yang bernama Cu Kat. Orang ke dua itu bernama Cu Hoat, adiknya. Kedua orang kakak beradik ini terkenal di Kong-goan sebagai Kong-goan Siang-houw (Sepasang Harimau Kong-goan) dan ditakuti orang karena mereka adalah murid-murid kepala dan pelatih para murid perguruan silat Harimau Hitam itu.
Sebelum Su Kiat menjawab, Hui Lian sudah mendahuluinya. "Memang Suheng Ciang Su Kiat dan aku Kok Hui Lian yang hendak membuka perguruan silat Cia-ling Bu-koan di dusun Hek-bun! Yang menghajar delapan orang kurang ajar tadi aku, bukan Suheng. Kalian mau apa" Apakah kalian hendak membela murid-murid kalian yang tidak tahu aturan dan kurang ajar tadi?"
Sepasnag Harimau Kong-goan itu saling pandang, agak terkejut dan hampir tak dapat percaya bahwa delapan orang murid mereka tadi di kalahkan oleh seorang gadis muda seperti ini. Dan gadis ini bersama suhengnya hanyalah orang-orang yang hendak membuka perguruan silat di dusun Hek-bun, dusun kecil itu! Padahal orang sedusun itu sudah mengenal belaka akan nama mereka berdua, apalagi nama perguruan silat Harimau Hitam.
"Nona, bukan murid-murid kami yang kurang ajar, melainkan kalian yang tidak tahu aturan. Setiap orang yang membuka perguruan silat di daerah Kong-goan ini, setidaknya harus melapor dulu kepada perguruan kami yang merupakan perguruan paling besar di Kong-goan. Tanpa memberitahu kami, berarti memandang rendah dan menghina kami!" kata pula Si Muka Hitam.
"Kami hendak membuka perguruan silat, apa hubungannya dengan kalian" Dan kami tidak memandang rendah, apalagi menghina, siapa juga. Bagaimana kami dapat menghina kalian yang tak pernah kami kenal" Kami hanya ingin mencari sesuap nasi secara halal, mengapa kalian dari Hel-houw Bu-koan hendak menggangu dan menghalangi?" Hui Lian membantah dengan suara yang marah dan penasaran.
"Bukan menghalangi, melainkan segala sesuatu harus menurut peraturan, dan kalian sudah melanggar peraturan dan sopan santun!" kini Si Muka Kuning berkata. Bagaimanapun juga, mereka berdua adalah murid-murid kepala bahkan pelatih, maka mereka tidak bersikap ugal-ugalan dan main keras seperti murid-murid mereka tadi.
"Boleh saja kalian menganggap demikian, habis kalian mau apa sekarang?" tanya Hui Lian dengan sikap menantang. Su Kiat membiarkan saja karena dia pun merasa penasaran melihat sikap orang-orang itu. Dia sendiri sudah lama berkecimpung di dunia kang-ouw, dan tahu-akan aturan-aturan di dunia kang-ouw ketika ketika dia masih menjadi murid Cin-ling-pai dahulu, akan tetapi orang-orang Hek-Houw Bu-koan ini sungguh congkak. Mudah dibayangkan bagaimana sikap mereka terhadap rakyat yang lemah.
"Hemm, kalian adalah dua orang baru yang sombong!" kata Si Muka Hitam. "Baiklah, kalau kalian hendak menggunakan aturan sendiri, lebih dahulu kalian harus berani menentang kami dan mengalahkan kami berdua dan guru kami!"
Hui Lian menjebikan bibirnya yang merah dan memandang tajam. "Aku sama sekali tidak takut kepada kalian, akan tetapi aku pun datang ke kota ini untuk bekerja, bukan untuk bermusuhan dengan kalian. Asal saja kalian tidak mengganggu, kami juga tidak akan peduli dengan kalian!"
"Kami tantang kalian sekarang juga datang ke perguruan kami, agar Suhu kami melihat apakah kalian cukup berharga untuk menjadi guru penduduk Kong-goan dan wilayahnya," kata pula Si Muka Hitam dengan hati-hati. Dia bukan seorang yang ceroboh. Melihat betapa gadis semuda ini dapat mengalahkan pengeroyokan delapan orang muridnya, dia dapat menduga bahwa gadis ini lihai sekali. Kalau gadis ini sudah lihai, apalagi suhengnya. Dia sudah memperoleh ilmu silat yang cukup matang untuk tidak memandang rendah kepada seorang yang buntung sebelah lengannya. Gurunya yang bernama Bouw Kwa Teng, pendiri perguruan silat Harimau Hitam, pernah memperingatkan dia agar berhati-hati kalau menghadapi lawan yang kelihatan lemah, seperti orang cacat, wanita, orang tua, pendeta dan orang-orang yang nampaknya saja lemah. Orang lemah yang sudah berani menghadapi lawan, tentu memiliki sesuatu yang diandalkannya dan orang seperti itu dapat menjadi lawan yang amat berbahaya.
Hui Lian hendak menolak dan membentak, akan tetapi Su Kiat yang merasa tidak enak kalau menolak terus, apalagi dia memang tahu akan peraturan seperti itu di dunia kang-ouw, lalu melangkah maju. "Baiklah, sobat. Kami akan datang menemui guru kalian dan pemimpin Hek-houw Bu-koan sekarang juga."
"Suheng "!"
"Biarlah, Sumoi. Biar cepat selesai urusan ini sehingga tidak mengganggu pekerjaan kita."
Hui Lan tidak membantah lagi dan mereka lalu mengikuti dua orang jagoan itu menuju ke Hek-houw Bu-koan yang ternyata merupakan bangunan besar dengan kebun yang luas untuk dipakai sebagai tempat berlatih silat. Ketika mereka memasuki pintu gerbang, Su Kiat dan Hui Lian melihat papan nama Hek-houw Bu-koan dengan tulisan yang besar dan gagah. Kemudian, begitu memasuki pekarangan depan, mereka melihat sedikitnya tiga puluh orang laki-laki sedang berlatih silat dengan gerakan yang berbareng, dipimpin oleh seorang laki-laki kurus yang memberi aba-aba. Melihat sepintas saja, Sui Kiat mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, akan tetapi gerakan tangan itu mirip dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Memang tidak keliru pandangannya yang tajam, karena sesungguhnya pemimpin Bu-koan (Perguruan Silat) itu, Bouw Kwa Teng adalah seorang ahli silat yang ilmu silatnya bersumber pada dua aliran silat, yaitu Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai. Pengetahuannya dalam kedua ilmu silat ini digabung dan muncullah ilmu silat yang diajarkan di Hek-houw Bu-koan.
Kong-goan Siang-houw dua orang jagoan itu, diam-diam merasa kagum dan makin tidak berani memandang rendah pria buntung dan gadis muda itu. Kalau mereka sudah berani memenuhi undangannya, memasuki Hek-houw Bu-koan dengan sikap demikian tenangnya, jelas bahwa mereka berdua itu pasti memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sehingga demikian percaya kepada diri sendiri.
Sementara itu, ketika para murid Hek-houw Bu-koan melihat masuknya dua orang tamu ini bersama dua orang toa-suheng mereka, seketika latihan itu pun menjadi kacau dan terhenti. Semua orang sudah mendengar belaka akan jatuhnya delapan orang murid Hek-houw Bu-koan oleh guru silat baru yang terdiri dari seorang pria berlengan sebelah dan seorang gadis muda yang cantik manis.
Akan tetapi, dengan muka bengis Cu Kat menghardik. "Lanjutkan latihan kalian!"
Sutenya yang kurus, yang tadi memimpin latihan, menjadi ketakutan dan cepat meneriakkan aba-aba lagi dan latihan itu pun dilanjutkan. Pukulan-pukulan dan tangkisan-tangkisan yang mantap, gerakan kaki yang kokoh, dan peluh membasahi tubuh-tubuh bagian atas yang telanjang dan rata-rata tegap berotot itu.
Kong-goan Siang-houw membawa dua orang tamunya memasuki ruangan tamu. Cu Kat lalu masuk ke dalam untuk mengundang gurunya sedangkan Cu Hoat menemani dua orang tamu-tamu itu. Ruangan tamu itu merupakaan ruangan yang cukup luas, dan di sudut nampak rak penuh senjata tajam, delapan belas macam. Di dinding terdapat tulisan-tulisan indah yang mengagungkan kegagahan.
Tak lama kemudian, terdengar bunyi langkah kaki dan muncullah Cu Kat bersama seorang laki-laki yang membuat suheng dan sumoi itu memandang dengan terbelalak kagum. Laki-laki itu usianya sekitar enam puluh tahun, namun tubuhnya masih kokoh kuat, berdirinya tegak dan yang membuat dua orang tamu itu terbelalak adalah melihat betapa muka tuan rumah ini, hitam seperti arang! Bukan mukanya saja yang hitam, agaknya seluruh kulit tubuhnya, karena kulit kedua tangannya, juga kulit lehernya, lsemua menghitam! Hitam arang mengkilap dan sepasang matanya demikian lebar dan tajam. Pantaslah perguruan itu dinamakan perguruan silat Harimau Hitam, karena kakek ini memang mengingatkan mereka akan seekor harimau hitam yang gagah dan galak! Sejenak mereka saling pandang. Kakek itu sendiri memandang dengan sinar mata penuh keheranan. Tak disangkanya bahwa dua orang guru silat yang oleh kedua orang muridnya diceritakan kepadanya telah mengalahkan delapan orang muridnya, ternyata hanyalah seorang laki-laki berlengan sebelah dan seorang gadis muda!
Su Kiat cepat menjura, diturut oleh Hui Lian yang juga kagum melihat kakek itu. "Apakah kami mendapat kehormatan berhadapan dengan pemimpin Hek-houw Bu-koan?" tanyanya dengan sikap hormat.
Hemm, sama sekali bukan seorang congkak seperti yang diceritakan muridnya, pikir Bouw Kwa Teng. Sebenarnya, ahli silat ini adalah seorang yang berwatak gagah dan baik, akan tetapi sayang sekali, nama besar membuat dia menjadi agak tinggi hati, dan biarpun dia seorang guru silat yang pandai, namun ternyata dia tidak mampu mendidik moral murid-muridnya sehingga dia tidak tahu betapa para murid perguruannya itu bersikap kasar, congkak dan bahkan sewenang-wenang terhadap rakyat yang lemah.
Dia pun membalas penghormatan Su Kiat dan Hui Lian. "Benar, aku adalah pemimpin Hek-houw Bu-koan bernama Bouw Kwa Teng. Siapakah Ji-wi (Anda Berdua)?"
"Nama saya Ciang Su Kiat dan ini adalah Sumoi saya bernama Kok Hui Lian, kami datang dari dusun Hek-bun di luar kota Kong-goan."
Kakek berkulit hitam arang itu mengangguk-angguk dan sinar matanya menyambar tajam mengamati dua orang di depannya itu. "Ji-wi yang hendak membuka perguruan silat dan telah merobohkan delapan orang murid Hek-houw Bu-koan?"
"Maaf, Bouw-kauwsu (Guru Silat Bouw), sesungguhnya bukan niat kami untuk berkelahi, akan tetapi ketika kami sedang mencari calon murid di tempat ramai di kota ini, muncul delapan orang itu yang melarang dan menyerang kami."
Kembali guru silat itu mengangguk-angguk. Sukar melihat perasaan hatinya melalui muka yang hitam itu, yang agaknya tidak pernah berubah. "Ji-wi memandang rendah kepada kami sampai dua kali. Pertama, Ji-wi membuka perguruan silat tanpa memberitahukan kepada kami sebagai rekan, dan ke dua, andaikata ada murid kami yang keliru, sepatutnya Ji-wi melaporkan kepada kami. Aku masih sanggup menegur dan menghukum murid-murid kami, tidak semestinya Ji-wi turun tangan menghajar mereka."
"Maaf, karena sungguh tidak tahu siapa mereka dan dari perguruan mana, kami telah lancang tangan, harap Bouw-kauwsu suka memaafkan." kata pula Su Kiat, sementara itu, Hui Lian yang sejak tadi diam saja hanya memandang dengan alis berkerut. Diam-diam ia merasa tidak setuju dan tidak puas melihat betapa suhengnya demikian mengalah, padahal mereka sama sekali tidak salah.
Baiklah, akan tetapi ketahuilah oleh Ji-wi, bahwa di Kong-goan ini terdapat peraturan di antara para pemimpin perguruan silat, yaitu bahwa hanya orang yang memiliki kepandaian sampai tingkat tertentu saja yang dibenarkan membuka bu-koan. Hal ini adalah untuk mencegah munculnya orang-orang yang melakukan penipuan kepada para muda di Kong-goan dengan membuka perguruan silat dan mengumpulkan uang, padahal mereka itu tidak memiliki kepandaian atau tingkat mereka terlampau rendah untuk menjadi guru silat."
"Bagus!" Hui Lian tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Kalau ada peraturan semacam itu, lalu siapa yang menentukan tinggi rendahnya dan tingkat kepandaian mereka yang hendak membuka perguruan silat baru?"
Tantangan berselubung ini disambut oleh Bouw-kauwsu tanpa gugup. "Biasanya kami tentukan bahwa mereka yang memiliki tingkat seperti tingkat seorang di antara dua murid kepala dari perguruan kami, dibenarkan untuk menjadi guru silat. Yang dapat menandingi seorang di antara Kong-goan Siang-houw ini, dua orang murid kepala yang kini menjadi pelatih di Hek-houw Bu-koan, selama lima puluh jurus tanpa jatuh, dianggap berhak menjadi guru silat."
"Bagus! Sudah kuduga demikian!" kata pula Hui Lian dan Su Kiat membiarkan saja sumoinya marah-marah karena dia sendiri pun sudah merasa panas. "Kiranya Hek-houw Bu-koan hendak merajai persilatan di daerah ini. Nah, akulah calon guru silat baru, dan aku akan memasuki ujian yang ditentukan itu! Akan tetapi, jangan hanya seorang yang maju. Biar kedua Kong-goan Siang-houw maju bersama, aku ingin melihat sampai di mana kehebatan Sepasang Harimau Kong-goan ini, apakah benar hebat ataukah hanya macan ompong belaka!" berkata demikian, Hui Lian sudah meloncat ke tengah ruangan yang luas itu, yang agaknya selain dipakai sebagai ruangan tamu, juga dipergunakan sebagai tempat berlatih silat, melihat adanya rak senjata di sudut itu.
Kakek muka hitam arang itu nampak tertegun, bahkan Cu Kat dan Cu Hoat saling pandang dengan bingung. Tentu saja sebagai dua orang terkuat di Kong-goan yang amat disegani, mereka merasa sungkan dan malu kalau harus maju bersama mengeroyok seorang gadis cantik manis ini! Akan tetapi mereka telah ditantang dan mereka kini hanya dapat memandang kepada suhu mereka untuk minta keputusan.
Bouw Kwa Teng tentu saja merasa penasaran dan tidak setuju kalau kedua orang murid kepala yang kini menjadi pembantunya dan pelatih para murid lain, yang sudah mewarisi tiga perempat dari seluruh ilmunya, maju bersama mengeroyok seorang gadis muda.
"Di sini muridku ada dua orang yang menjadi penguji, dan kalian juga dua orang, maka sebaiknya dua lawan dua, barulah adil." katanya. "Harap Ji-wi suka maju melayani Cu Kat dan Cu Hoat, selama lima puluh jurus!"
"Tidak perlu Suheng maju sendiri!" kembali Hui Lian berseru penuh tantangan. "Biarlah kalian maju berdua, atau boleh juga dengan guru kalian. Kalian boleh maju bertiga dan akan kulawan sendiri!"
"Sumoi ".!" Su Kiat terkejut dan menegur sumoinya yang dianggapnya terlalu lancang dan tekebur.
"Biarlah, Suheng. Orang telah menghina dan mengganggu kita, hendak kulihat sampai di mana kelihaian Hek-houw Bu-koan!"
Kong-goan Siang-houw bukan hanya terkejut mendengar tantangan Hui Lian, akan tetapi juga marah. Mereka sudah meloncat dan menghadapi Hui Lian dengan muka merah. Mereka merasa marah karena menganggap bahwa tantangan gadis yang ditujukan kepada mereka dan guru mereka itu merupakan penghinaan terhadap guru mereka.
"Bocah sombong!" bentak Cu Kat sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Hui Lian. "Baru mengalahkan delapan orang murid rendahan saja engkau sudah bersikap sombong! Guru kami terlalu terhormat untuk menandingi seorang bocah seperti engkau. Benarkah engkau menantang kami maju bersama" Jangan-jangan engkau akan mati konyol dan menjadi setan penasaran!"
"Huh!" Hui Lian mendengus dengan sikap mengejek. "Kalau kalian mampu mengalahkan aku dalam lima puluh jurus, biarlah aku berlutut dan menjadi murid Hek-houw Bu-koan!"
"Bagus!" kata Cu Hoat girang membayangkan betapa nona cantik ini akan menjadi muridnya. Dia sendiri yang akan turun tangan melatihnya kalau begitu. "Suhu, perkenankan teecu berdua menyambut tantangan Nona ini!"
Sebetulnya masih berat rasa hati Bouw Kwa Teng membiarkan dua orang murid kepala mengeroyok sevrang gadis muda, akan tetapi dia pun menjadi penasaran sekali mendengar tantangan gadis itu yang bukan hanya ditujukan kepada dua orang murid kepala itu, melainkan juga kepada dirinya sendiri. Gadis itu sombong sekali dan perlu diberi pelajaran agar tidak memandang rendah kepada Hek-houw Bu-koan, pikirnya. Biarlah kedua orang muridnya menghajar gadis Itu dan nanti dia sendiri yang akan menghajar orang yang sebelah lengannya buntung. Maka, mendengar permintaan Cu Hoat, dia mengangguk. Melihat suhu mereka memberi persetujuan, Kong-goan Siang-houw lalu menghadapi Hui Lian dari kanan kiri. Hui Lian berdiri tegak, sama sekali tidak memasang kuda-kuda, dan hanya mengikuti gerakan kedua orang lawan itu dengan pandang matanya.
"Sumoi, kendalikan diri dan jangan sampai melukai orang!" tiba-tiba Su Kiat berkata memperingatkan. Dia tidak menghendaki kalau baru saja tinggal di daerah Kong-goan sudah harus menanam bibit permusuhan dengan perguruan silat yang paling berkuasa di kota itu. Hal ini sama saja dengan mencari penyakit! Hui Lian yang biarpun berhati keras, namun ia juga seorang gadis yang tidak bodoh. Ia dapat mengerti apa maksud suhengnya, maka ia pun mengangguk sambil tersenyum.
Sebagai penguji, Kong-goan Siang-houw itu tidak merasa sungkan untuk menyerang lebih dahulu, maka Cu Kat segera berseru, "Nona Kok, bersiaplah kami segera menyerang!"
"Majulah. kalian!" Hui Lian berseru menantang tanpa memasang kuda-kuda seperti kedua orang lawan yang sudah memasang kuda-kuda dengan gagahnya. Melihat sepasang lengan mereka yang bersilang di depan dada membentuk cakar harimau, tahulah Hui Lian bahwa kedua orang lawannya mempergunakan ilmu silat harimau yang tangguh, karena ilmu silat yang sumbernya dari. Siauw-lim-pai ini mengandalkan gerak cepat dan tenaga kuat seperti seekor harimau, dan kedua lengan itu amat kuatnya, dengan jari-jari yang membentuk cakar mampu merobek kulit daging lawan, bahkan mampu mencengkeram remuk tulang! Memang kedua orang itu tidak mau main-main, begitu menyerang langsung saja mempergunakan Houw-kun (Silat Harimau) yang menjadi andalan mereka dan yang membuat mereka dijuluki Sepasang Harimau. Keduanya mengeluarkan suara gerengan seperti harimau dan ini pun termasuk bagian ilmu itu yang mempergunakan auman harimau untuk melemahkan semangat lawan. Auman itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang sehingga terdengar menggetarkan jantung.
Namun, gadis muda itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan ia tersenyum manis. "Hemm, aumannya boleh juga, cukup nyaring!" Ia bahkan berkata yang tentu saja merupakan ejekan karena ucapan itu seperti ingin melihat apakah ilmu silatnya juga sehebat aumannya! Dan lebih menantang lagi, gadis itu sama sekali tidaki memasang kuda-kuda, melainkan berdiri tegak, bahkan kini bertolak pinggang dengan kedua tangannya. Sesungguhnya, bertolak pinggang dengan kedua tangan ini juga merupakan semacam kuda-kuda, karena kedua tangan itu sudah siap, baik untuk menangkis maupun untuk menyerang. Dan kedua kaki yang berdiri tegak itu kokoh kuat, namun mengandung kelenturan sehingga akan mudah dipergunakan untuk menendang, maupun untuk melompat dan bergeser.
"Haiiittt!!" Tiba-tiba Cu Kat membentak dengan nyaring, kedua tangannya bagaikan cakar harimau sudah menyerang dengan cengkeraman bertubi ke arah kepala dan pundak kiri Hui Lian. Pada saat yang hampir berbareng, Cu Hoat juga membentak dan menyerang dengan cengkeraman ke arah pundak kanan dan dada. Serangan itu cepat dan kuat bukan main, namun Hui Lian menyambutnya dengan tenang saja. Ia menggeser kakinya mundur dan kedua tangannya bergerak ke atas dan ke bawah secara berlawanan dan angin besar menyambar dan menyambut cengkeraman kedua orang itu.
"Plakk! Plakk!!" Tubuh Cu Kat dan Cu Hoat terdorong mundur oleh kekuatan dahsyat dari tangkisan Hui Lian yang sudah menghindarkan diri sambil mundur tadi. Hui Lian tidak mau tinggal diam. Begitu kedua lawan itu terdorong mundur, ia pun cepat menggeser kakinya maju lagi dan mengirim tamparan dengan kedua tangannya, satu dari atas dan satu lagi dari bawah, menyambar ke arah kepala Cu Kat dan perut Cu Hoat. Kembali ada angin keras menyambar yang mengejutkan kedua orang pengeroyok itu sehingga mereka harus melompat ke samping menghindarkan sambaran tangan gadis itu.
"Aih, bukankah itu Thian-te Sin-ciang?" Tiba-tiba Bouw Kwa Teng berseru kaget.
"Apakah Ji-wi murid Cin-ling-pai" Kalau benar demikian, maafkan kami yang tidak tahu diri "..!"
Su Kiat tersenyum. Kiranya Cin-ling-pai masih mempunyai nama besar sehingga membikin gentar ketua perguruan silat Harimau Hitam ini. Memang tadi Hui Lian mempergunakan Thian-te Sin-ciang. Seperti diketahui, Ciang Su Kiat adalah bekas murid Cin-ling-pai yang tingkatnya sudah cukup lumayan sehingga dia sudah pernah dilatih Thian-te Sin-ciang, satu di antara ilmu silat Cin-ling-pai yang banyak ragamnya. Karena Hui Lian tadinya menjadi muridnya, maka dia pun mengajarkan Ilmu Silat Thian-te Sin-ciang itu kepada Hui Lian. Agaknya kini melihat lawan tidak berapa kuat, Hui Lian memainkan ilmu silat itu, tidak mempergunakan ilmu silat tinggi yang mereka pelajari bersama di dalam guha di tebing jurang.
"Bouw-kauwsu, di antara kami berdua dan Cin-ling-pai tidak ada hubungan apa pun." Kemudian dia berseru kepada sumoinya, "Sumoi, harap kau jangan main-main!"
Hui Lian tersenyum. "Baik, Suheng. Nah, kalian majulah lagi, sekali ini aku tidak akan main-main!"
Dua orang kakak beradik itu saling lirik dan diam-diam mereka terkejut sekali. Dalam dua gebrakan tadi saja, gadis itu telah memperlihatkan kehebatannya dan itu baru main-main saja" Mereka tahu bahwa lawan mereka ini ternyata memang hebat dan mereka tidak merasa heran lagi mengapa delapan orang murid mereka jatuh dalam segebrakan saja menghadapi gadis ini! Kembali keduanya menerkam dari kanan kiri dan kini mereka tidak mengendalikan atau membatasi tenaga dan kecepatan mereka seperti tadi. Mereka menyerang dengan sungguh-sungguh. Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuh Hui Lian seperti lenyap begitu saja dari pandang mata mereka dan tahu-tahu, tubuh itu menyambar dari atas seperti seekor burung garuda! Keduanya terkejut dan cepat menjatuhkan diri dan bergulingan agar tidak menjadi korban kedua kaki Hui Lian yang menendang dan menotok dari atas!
Kong-goan Siang-houw sudah meloncat bangun lagi dan begitu Hui Lian turun ke atas lantai, mereka sudah menyerangnya lagi dengan kedua tangan yang membentuk cakar itu mencengkeram dengan gerakan kuat dan cepat. Namun, kembali Hui Lian mengelak dan tahu-tahu tubuhnya hanya berkelebat dan lenyaplah tubuh itu, yang nampak oleh dua orang pengeroyoknya hanyalah bayangan putih yang cepat sekali, seperti burung terbang dan selagi dua orang pengeroyok itu kebingungan, kembali tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dari atas, kini dengan kepala di bawah dan kedua tangannya mengirim tamparan-tamparan yang cepat.
Kedua orang harimau Kong-goan ini selama hidupnya belum pernah mendapat lawan yang seperti pandai menghilang dan terbang seperti itu. Mereka sudah berusaha untuk menangkis dan mengelak, namun tetap saja kalah cepat karena tubuh itu sudah menyambar-nyambar lagi dan tiba-tiba keduanya merasa betapa tubuh mereka lemas dan robohlah mereka seperti sehelai kain, Kiranya, dengan kecepatan yang tak terhindarkan mereka, gadis itu telah menotok pundak mereka yang membuat tubuh mereka lumpuh untuk beberapa detik lamanya namun cukup membuat mereka roboh. Biarpun begitu roboh mereka sudah pulih kembali dan dapat berloncatan bangun, namun mereka maklum bahwa mereka telah kalah. Biarpun hati mereka masih merasa penasaran, namun mereka tidak membantah ketika guru mereka menyuruh mereka berhenti.
"Cukup, jangan serang lagi. Nona Kok ini ternyata lihai bukan main, lebih dari cukup untuk menjadi seorang guru silat di Kong-goan. Akan tetapi, aku belum melihat kelihaian Ciang-sicu, maka harap suka memberi sedikit petunjuk kepada kami!" Berkata demikian, Bouw Kwa Teng sudah meloncat ke tengah ruangan itu. Melihat ini, Hui Lian berkata kepada suhengnya.
"Suheng, biarkan aku mewakilimu meghadapi Bouw-kauwsu!"
Akan tetapi Su Kiat cepat melangkah maju. "Sumoi, harap kau suka mundur. Engkau sudah lulus ujian, kini Bouw-kauwsu hendak mengujiku, biarlah aku yang bodoh menambah pengalaman sedikit." Mendengar ini, Hui Lian mundur.
Legalah hati Bouw Kwa Teng. Dia tadi sudah melihat gerakan Hui Lian dan terkejut juga kagum bukan main. Gadis itu memiliki keringanan tubuh yang belum pernah dilihatnya sebelumnya. Belum pernah dia melihat orang yang memiliki gerakan sedemikian cepatnya seperti gadis itu, seolah-olah pandai terbang atau tubuhnya memiliki keringanan seperti kapas saja. Dia mengakui bahwa dia sendiri pun belum tentu dapat menang dari gadis yang dalam waktu kurang dari sepuluh jurus telah merobohkan dua orang murid andalannya. Padahal, dia sendiri belum tentu menang dengan mudah kalau menghadapi pengeroyokan dua orang murid itu! Biarpun Ciang Su! Kiat suheng dari gadis itu, yang mungkin saja lebih lihai daripada gadis itu. Inilah sebabnya dia memilih Su Kiat, dan pula, andaikata dia kalah, tidaklah begitu memalukan seperti kalau sampai kalah oleh seorang gadis muda!
"Ciang-sicu, aku sudah tua, tenagaku sudah banyak berkurang, maka marilah kita bermain-main dengan senjata sebentar, dan tidak hanya mengandalkan tenaga dan kekerasn tulang dari tubuhku yang sudah rapuh," Berkata demikian, kakek berkulit hitam itu mengeluarkan sebatang pedang pendek dari balik jubahnya dan begitu pedang tercabut dan digerakkan, nampaklah gulungan sinar kehijauan, tanda bahwa pedang itu bukan pedang biasa, melainkan sebatang senjata pusaka yang ampuh. Namun, Su Kiat bersikap tenang saja dan dia pun menjawab, suaranya tenang dan tidak mengejek seperti sikap Hui Lian tadi.
"Bouw-kauwsu, di antara kita tidak ada permusuhan, dan aku pun tidak pernah menggunakan senjata tajam, maka biarlah aku menghadapimu dengan tangan kosong saja."
Bouw Kwa Teng mengira telah bertindak cerdik. Karena dapat menduga bahwa dia tentu akan kalah cepat dibandingkan lawannya, suheng dari gadis yang memiliki kecepatan jauh melebihinya itu, dan mungkin juga kalah tenaga mengingat pula akan hebatnya tenaga gadis itu, dia memilih menggunakan senjata pedangnya yang diandalkan. Dengan senjatanya ini, dia akan dapat menghadapi kecepatan dan tenaga lawan. Akan tetapi tak disangkanya bahwa laki-laki berlengan buntung sebelah itu menolak mempergunakan senjata. Tentu saja dia merasa serba salah. Menggunakan tangan kosong, dia jerih. Menggunakan senjata, apakah tidak memalukan, dia yang menjadi pimpinan Hek-houw Bu-koan, dan biarpun jauh lebih tua namun tubuhnya masih lengkap, kini melawan seorang penderita cacat yang bertangan kosong dengan mempergunakan pedang" Selagi dia meragu, Su Kiat yang dapat melihat sikap orang dan hal ini saja sudah membuat dia merasa suka kepada ketua ini, berkata dengan suara halus.
"Pakailah pedangmu, Bouw-kauwsu. Ketahuilah bahwa senjataku adalah sebuah tangan, dua buah kaki, dan ujung lengan kiriku ini."
"Sebetulnya aku merasa sungkan, akan tetapi karena engkau berkata demikian, Ciang-sicu, baiklah aku menerima alasanmu. Nah, mari kita main-main sebentar!"
Berkata demikian, Ketua Hek-houw Bu-koan ini sudah memutar pedang pendeknya dan pedang itu pun lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar hijau yang menyilaukan mata. Tak mungkin dia dapat menandingi kecepatan pedangku, pikirnya dan dengan bentakan nyaring sebagai tanda dia membuka serangan, dia menubruk ke depan dengan sinar pedangnya menyambar dari kanan ke kiri, membabat ke arah pinggang lawan.
Su Kiat dapat mengetahui apa yang dipikirkan lawan. Tentu saja dia tidak merasa gentar karena seperti juga Hui Lian, pria yang buntung lengan kirinya ini yakin benar akan kemampuannya bergerak cepat. Gerakan cepat dengan ginkang yang luar biasa darinya itu bukan semata-mata karena latihan ilmu yang ampuh, melainkan terutama sekali mereka berdua mendapatkannya karena selama bertahun-tahun tubuh mereka kemasukan makanan yang luar biasa, bukan makanan lumrah manusia. Makanan berupa jamur dan sarang burung, juga daging burung yang mereka makan selama bertahun-tahun karena terpaksa oleh keadaan itu, ternyata membuat tubuh mereka memiliki tenaga ginkang yang istimewa, dan ditambah dengan latihan ilmu yang mereka dapatkan di dalam guha rahasia, maka kini mereka memiliki kecepatan gerakan yang sukar dilawan oleh siapapun juga di dunia persilatan. Dan Su Kiat kini menghadapi lawan yang berpedang itu dengan mengandalkan kehebatan gin-kangnya. Seperti juga yang dilakukan Hui Lian tadi, berkali-kali tubuhnya berkelebat cepat dan menghilang dari depan mata lawan. Hal ini membuat Bouw Kwa Teng terkejut dan bingung, namun guru silat ini yang sejak tadi sudah menduga akan kehebatan ginkang lawan, cepat memutar pedangnya, selain melindungi seluruh tubuhnya, juga menyerang lawan secara ngawur, terutama sekali ditujukannya ke atas. Tadi, ketika Hui Lian dikeroyok oleh Kong-goan Siang-houw, tubuh gadis itu dapat melesat ke udara dengan cepat, lalu menyerang dari atas yang membuat kedua orang muridnya itu kerepotan. Kini dia pun menduga bahwa tubuh yang lenyap dari Su Kiat tentu karena meloncat ke atas. Dugaannya memang mendekati kenyataan. Baik Hui Lian maupun Su Kiat telah melakukan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, satu di antara ilmu yang mereka dapatkan di dalam guha, peninggalan dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara delapan dewa yang mati di guha itu. Sesuai dengan nama ilmu itu, ialah Sian-eng Sin-kun (Silat Sakti Bayangan Dewa), maka ilmu silat ini mengandalkan gin-kang yang hebat sekali dan banyak melakukan penyerangan dari udara.
Akan tetapi karena semua serangannya banyak ngawur, maka sejak tadi pedangnya tidak pernah mampu menyentuh ujung baju lawan, apalagi tubuhnya. Di luar dugaannya, ternyata lawan itu mampu mengatasi serangan pedangnya hanya dengan menggunakan kecepatan gerakan tubuhnya. Bukan main! Sampai tiga puluh jurus pedangnya menyerang menggunakan jurus-jurus pilihan darinya, namun tak pernah berhasil.
"Ciang-sicu, balaslah seranganku!" Dia membentak dengan penasaran sekali, karena dia merasa seperti dipermainkan. Lawan hanya main kucing-kucingan, mengelak terus tanpa balas menyerang.
"Baiklah, Bouw-kauwsu!" bayangan yang tidak jelas mukanya bergerak cepat itu menjawab dan tiba-tiba ada benda yang menangkis pedang di tangannya.
"Trakkk!" Dan pedang di tangannya terdorong ke belakang. Bouw Kwa Teng mengeluarkan seruan kaget karena dia melihat bahwa yang menangkis pedangnya itu adalah ujung lengan baju kosong dari lengan kiri yang buntung itu. Tahulah dia kini bahwa lawannya tadi tidak membual ketika mengatakan bahwa ujung lengan bajunya yang kiri merupakan senjatanya. Senjata yang istimewa karena kain lengan baju itu ternyata mampu menggetarkan tangannya yang memegang pedang ketika menangkis.
"Sambutlah seranganku, Bouw-kauwsu!" terdengar Su Kiat berkata lagi dan tiba-tiba saja pandang mata guru silat itu menjadi berkunang dan kabur karena dia melihat banyak sekali ujung lengan baju yang menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuhnya, menusuk, menotok, membacok, seolah-olah dia berhadapan dengan puluhan orang yang menyerangnya dengan ujung lengan baju itu. Inilah Ilmu Pedang In-liong Kiam-sut, ilmu peninggalan In Liong Nio-nio, seorang di antara Delapan Dewa. Kalau Hui Lian mewarisi ilmu ini berikut pedangnya, yaitu pedang Kiok-hwa-kiam, maka Su Kiat dapat mempergunakan ujung lengan baju sebelah kiri menjadi seperti sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya pula!
Bouw Kwa Teng berusaha memutar pedangnya melindungi dirinya, namun dia merasa ada sesuatu menyentuh leher dan dadanya, dan lenyaplah bayangan puluhan ujung lengan baju itu karena Su Kiat telah meloncat jauh ke belakang dan menjura sambil berkata, "Maafkan aku dan terima kasih atas petunjuk Bouw-kauwsu!"
Dari ujung lengan baju kiri yang kini tergantung ke bawah itu, jatuhlah dua buah kancing tulang. Bouw Kwa Teng cepat memandang ke arah dadanya dan meraba ke arah lehernya. Seketika mukanya yang berkulit hitam itu menjadi agak berkurang hitamnya dan dia pun menarik napas panjang.
"Aih, aku mempunyai mata akan tetapi telah menjadi buta saja!" katanya seperti mencela diri sendiri ketika mendapat kenyataan betapa kancing bajunya di leher dan dada telah lenyap. Dia maklum bahwa kalau lawan menghendaki, betapa mudahnya lawan membunuhnya atau setidaknya melukai dengan berat.
"Ciang-taihiap, maafkan kami dan tentu saja seorang dengan tingkat kepandaian seperti yang dimiliki oleh Taihiapi dan Lihiap, berhak membuka perguruan silat di manapun juga."
Rahasia Kunci Wasiat 12 Suling Naga Karya Kho Ping Hoo Suling Emas Dan Naga Siluman 20