Pencarian

Pendekar Mata Keranjang 21

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 21


Hay Hay tersenyum memandang wajah yang manis itu. Manis sekali puteri Ketua Cin-ling-pai ini, pikirnya, mengamati dan memperhatikan bagian muka itu satu demi satu. Mulut itu manis sekali biarpun ada tarikan keras pada kedua ujungnya. Dan hidung itu. Lucu sekali. Kecil mancung dan ujungnya seperti dapat bergerak-gerak, kelucuan yang menghapus kekerasan pada ujung kedua bibirnya.
"Gila karena cinta" Wah, agaknya engkau ahli dalam soal cinta sehingga tahu bahwa mereka tnenjadi gila karena cinta." pancing Hay Hay. Mata itu, biar agak kemerahan oleh bekas tangis dan agak membengkak, harus diakui amat indah, bening kalau mengerling tajam seperti gunting. Juga dengan bulu mata yang melengkung dan lentik panjang, dengan hiasan sepasang alis yang kecil hitam dengan bentuk indah pula. Seraut wajah yang amat manis, dengan dagu meruncing dan muka yang bulat telur. Daun telinganya pun menarik, sedang dan di depannya terhias rambut halus melingkar, juga di dahinya terhias sinom atau anak rambut yang halus dan kacau namun menarik sekali.
"Biarpun bukan ahli dalam soal cinta, mudah diketahui bahwa mereka itu menjadi gila karena cinta. Kakek itu menjadi gila karena cintanya kepada nenek iblis itu. Sudah tahu bahwa nenek itu demikian jahatnya, namun karena cinta, dia masih bersusah payah mau mengobati nenek itu, sehingga akibatnya dia terbunuh oleh nenek yang jahat itu. Bukankah itu suatu kegilaan namanya" Kegilaan yang membuat dia kehilangan kewaspadaan, padahal kakek itu berilmu tinggi, tidak semestinya dia demikian mudah diperdaya oleh Kiu-bwe Tok-li."
Hay Hay mendengarkan tanpa menanggalkan senyum dari bibirnya, matanya mengamati wajah itu dengan penuh perhatian dan kekaguman. "Menurut pendapatku, cinta kasih kakek itu terhadap isterinya amat murni dan suci. Biarpun isterinya telah melakukan penyelewengan dengan laki-lakl lain, bahkan isterinya itu bersama kekasihnya berusaha membunuhnya kemudian meninggalkannya sampai puluhan tahun, kemudian isterinya muncul lagi dan hendak membunuhnya, tetap saja dia tidak membenci isterinya. Bahkan dia berusaha mengobati isterinya dan mencegah ketika engkau hendak membunuh nenek itu. Nah, itulah cinta kasih yang suci murni dan kiranya di dunia ini sukar dicari seorang pria yang dapat mencinta seperti itu terhadap seorang wanita."
"Itu sebabnya kukatakan gila. Dia menjadi gila oleh cintanya! Cinta semacam itu tidak umum, tidak lumrah, tidak wajar. Cinta seperti itu hanya patut dimiliki seorang ibu atau ayah terhadap anak mereka, bukan seorang suami terhadap isterinya! Dan nenek itu pun sudah gila karena cintanya kepada kekasihnya. Kekasihnya itu telah dibelanya, bahkan diajak membunuh suaminya, akan tetapi kekasihnya kalah oleh Hek-hiat-kwi dan terluka. Nenek itu membelanya dan membawanya pergi ke guha, merawatnya.
Akan tetapi kekasihnya itu memukul dan melumpuhkan kedua kakinya karena tidak ingin di tinggalkan. Dan nenek i tu masih tetap saja mencintanya, bahkan ingin membalaskan kematiannya kepada Hek-hiat-kwi. Apalagi namanya itu kalau tidak gila?"
"Wah, kalau menurut aku, cinta nenek itu terhadap kekasihnya adalah cinta berahi, cinta nafsu belaka! Mungkin pria yang menjadi kekasihnya itu amat tampan, amat menyenangkan hatinya sehingga ketika ia kehilangan kekasihya itu, ia merasa kecewa dan berduka, dan dendam kepada suaminya yang membuat kekasihnya itu tewas."
"Itulah, bukankah gila keduanya itu" Cinta antara suami isteri, antara pria dan wanita, tidak semestinya begitu!" kata pula Kui Hong penuh semangat dan dengan mata berapi-api karena ia teringat akan hubungan antara ayah dan ibunya sendiri.
Senyum di mulut Hay Hay melebar. Bukan main, pikirnya. Kalau yang bicara tentang cinta itu seorang wanita seperti Ji Sun Bi misalnya, hamba nafsu berahi yang sudah penuh dengan pengalaman, atau setidaknya Kok Hui Lian, yang sudah dua kali menikah dan gagal, tidak akan aneh terdengarnya. Akan tetapi keluar dari mulut gadis ini, yang agaknya baru saja melewati masa remaja, paling banyak delapan belas tahun usianya, sungguh terdengar lucu dan ganjil.
"Kui Hong, engkau hebat! Kalau menurut pendapatmu, semestinya bagaimanakah cinta antara pria dan wanita itu?" Hay Hay menyembunyikan senyumnya karena dia khawatir kalau gadis itu menjadi marah. Pandang mata Kui Hong menyambar dan sejenak gadis itu mengamatinya penuh selidik. Kemudian, dengan lagak seorang guru besar memberi kuliah kepada para mahasiswanya, ia berkata, "Cinta kasih antara pria dan wanita adalah cinta kasih yang khas, tentu saja mengandung berahi karena mereka menjadi dekat oleh nafsu yang amat diperlukan untuk perkembangbiakan manusia. Bayangkan saja kalau cinta antara suami isteri itu seperti cinta antara sahabat atau saudara atau orang tua kepada anaknya, tanpa berahi! Tentu takkan terbentuk keluarga dan keturunan! Setelah mengandung nafsu berahi, juga mengandung rasa persahabatan, saling menerima dan memberi, saling terikat dan saling memiliki maka terdapat pula cemburu, terdapat pula pengorbanan. Akan tetapi semua itu dalam batas tertentu sehingga ada keseimbangan antara semua perasaan itu. Jadi bukan sekedar berahi semata, atau persahabatan semata, atau pengorbanan semata, melainkan persatuan yang seimbang dari kesemuanya itu. Nah, barulah kehidupan suami isteri dapat berjalan dengan lancar dan kesetiaan pun dapat mereka pertahankan."
Hay Hay terbelalak. Bagaimana mungkin gadis yang kelihatan masih "hijau" ini dapat bicara demikian panjang lepar dan pasti tentang cinta antara suami isteri" Dia bertepuk tangan memuji.
"Hebat, engkau hebat, Nona! Engkau ternyata seorang guru besar soal cinta mencinta. Tentu sudah banyak pengalaman dalam bidang itu!"
Tiba-tiba Kui Hong meloncat berdiri dan bertolak pinggang. "Keparat, hayo bangkit dan kita selesaikan penghinaan ini dengan perkelahian!"
Tentu saja Hay Hay terkejut dan tidak mau bangkit berdiri. "Aduh tobat! Ada apa lagi, Nona manis" Apa kesalahan hamba sekali ini?"
"Masih bertanya lagi dan pura-pura tidak tahu ya" Jelas engkau menghinaku, mengatakan bahwa aklu sudah banyak pengalaman dalam bidang cinta! Apa kaukira aku ini petualang cinta ?"
"Aduh, ampunkan hamba ini, yang mulia!" Hay Hay masih berkelakar, akan tetapi benar-benar dia bersoja (menghormat dengan kedua tangan dikepal depan dada) sambil membungkuk berkali-kali. "Aku tidak bermaksud menghina, hanya saja, bagaimana engkau tidak banyak pengalaman kalau pandai menguraikan soal cinta demikian jelas dan terperinci" Dari mana engkau memperoleh pengetahuan yang demikian luas tentang cinta?"
"Huh, orang bisa saja memperoleh pengetahuain dengan belajar!"
" Akan tetapi, bagaimana mungkin mengetahui tentang cinta hanya dengan belajar, tanpa mengalaminya sendiri?"
"Hay Hay, engkau ini memang tolol ataukah pura-pura tolol untuk mempermainkan aku?" bentak Kui Hong. "Tentu saja orang dapat memperoleh pengetahuan apa saja dengan belajar, tanpa harus mengalaminya sendiri. Kalau engkau mempelajari kehidupan seekor monyet, anjing atau babi, apakah engkau juga harus lebih dulu mengalami menjadi monyet, anjing atau babi?"
Hay Hay tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Kui Hong. Kalau engkau ingin memaki aku, makilah secara langsung saja, mengapa pula harus pakai berputar-putar segala?"
"Memang aku ingin memakimu. Engkau memualkan perutku!"
"Sudah dua kali engkau mengatakan kalimat itu. Mengapa, Kui Hong. Mengapa perutmu menjadi mual karena aku?"
"Habis engkau ini suka main-main, berpura-pura tolol. Pura-pura tidak tahu tentang cinta, padahal engkau ini seorang laki-laki perayu besar, dan aku yakin engkau tentu laki-laki hidung belang, mata keranjang dan kurang ajar! Dan Ibuku selalu memperingatkan aku agar berhati-hati terhadap laki-laki perayu!"
"Wah-wah, banyaknya tuduhan itu! Kaubilang aku hidung belang." dia mengelus hidungnya. yang mancung dan sama sekali tidak belang, "akan tetapi aku yakin hidungku tidak pernah belang, dan mata keranjang" Mataku pun tidak sekeranjang, juga tidak selalu ditujukan ke ranjang saja. Tentang kurang ajar, mungkin aku kurang ajar karena sejakkecil tidak mengenal Ayah Ibu. Dan perayu" Wah, kapan aku pernah merayumu, Kui Hong?"
Kui Hong membanting .kaki kanannya, lalu duduk lagi di atas rumput dan mengomel karena merasa kewalahan berdebat. "Huh, dasar pokrol bambu! Engkau berkali-kali memujiku, yang cantiklah, yang manislah, yang apalah... apakah itu bukan merayu namanya?"
"Tidak, aku tidak pernah merayu! Aku hanya jujur dan apa salahnya orang bicara jujur dan apa adanya" Apakah aku harus menipu dan berbohong mengatakan bahwa wajahmu yang amat manis itu menjadi amat buruk" Coba lihat saja sendiri. Matamu itu! Begitu indah bentuknya, jeli dan tajam, dengan bulu mata lentik dan alis melengkung indah, kerling matamu demikian tajam menyayat!" Wajah Kui Hong perlahan-lahan berubah kemerahan karena canggung dan malu, akan tetapi ia diam saja, hanya menundukkan mukanya, tidak berani menentang pandang mata pemuda itu.
"Dan hidungmu itu! Sungguh mati, belum pernah shidupku aku melihat hidung seindah itu. Kecil mancung dan ujungnya dapat bergerak-gerak lucu dan menarik sekali. Daun telingamu seperti gading terukir ahli yang amat pandai, kulit mukamu begitu halus sampai ke leher, putih mulus tanpa cacat " Kui Hong memejamkan matanya dan merasa betapa hatinya seperti dielus-elus, terasa nikmat dan bahagia sekali.
"Orang tuamu sungguh pandai memilih nama dengan memasukkan Hong karena matamu seperti mata burung Hong. Dan mulutmu! Ah, tidak mudah melukiskan keindahan mulutmu, Kui Hong. Heran aku, bagaimana ada sepasang bibir seperti bibirmu, dalam keadaan bagaimana pun tetap indah menarik. Kalau diam begitu anggun dan manis, kalau tersenyum seperti bunga mawar mekar merekah, kalau tertawa seperti sinar matahari siang yang panas, kalau cemberut juga bertambah manis, seperti bulan redup. Dan rambutmu kacau tak tersisir akan tetapi di dalam kekacauan itu terdapat sesuatu yang amat indah dan sempurna, seolah-olah kalau dibereskan malah berkurang keindahannya. Anak rambut di dahimu itu, di pelipismu, di lehermu, aduhai"!"
Kui Hong menggigit bibirnya. Belum pernah selama hidupnya ia merasakan kenikmatan dan kebahagiaan batin seperti itu. Pujian-pujian seperti itu berbeda sama sekali dengan pujian kurang ajar dari beberapa orang pria yang pernah dihajarnya hanya karena mereka memujinya dengan maksud kurang ajar. Akan tetapi pujian Hay Hay demikian jujur, demikian indah didengar, demikian mengelus hatinya, membuat ia seperti merasa mengantuk dan nyaman sekali. Ia menggigit bibir dan dengan mengeraskan hati ia berseru. "Cukup".!!" Bentakannya itu membuyarkan ayunan yang nikmat tadi dan ia menatap wajah Hay Hay dengan sepasang mata bersinar, penuh selidik. Akan tetapi ia tidak menemukan kekurangajaran di dalam pandang mata pemuda itu.
"Nah, Kui Hong. Demikianlah kira-kira keadaan wajahmu, yang kugambarkan secara canggung sekali karena bagaimana mungkin menggambarkan keindahan seperti itu. Aku bukan seorang seniman yang pandai. Kalau saja aku pandai melukis! Apakah itu namanya rayuan" Aku hanya menggambarkan dengan jujur, bukan sembarang memuji, bukan merayu dengan pamrih. Kalau engkau cantik, mana mungkin aku mengatakan buruk" Laki-laki yang menyembunyikan kecantikan wanita, tidak jujur dan menyimpan saja dalam hati agar dianggap sopan, maka dia adalah seorang munafik!"
Sejenak keduanya diam dan Kui Hong merasa senang sekali walaupun ia merasa malu dan canggung, Akhirnya ia mengangkat muka dan kedua orang itu beradu pandang. "Hay Hay, benar-benarkah engkau menganggap aku cantik?"
"Tentu saja. Kalau engkau buruk lalu kukatakan cantik, itu baru merayu namanya. Engkau seorang dara yang gagah perkasa, lihai, cantik dan lincah gembira, Kui Hong."
Kui Hong tidak cemberut kali ini, bahkan tersenyum manis, yakin akan kejujuran pemuda yang dianggapnya istimewa ini. Ia sudah banyak bertemu pria, akan tetapi belum pernah ada yang seperti Hay Hay, demikian pandai memuji dan menyenangkan hati dengan kata-kata yang indah seperti merayu, namun tidak memiliki pandang mata kurang ajar atau tidak sopan seperti pandang mata pria lain. Hatinya senang sekali.
"Dan engkau pun seorang pemuda yang tampan, sederhana namun memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, Hay Hay."
Hay Hay tertawa girang. Dia bangkit berdiri dan menjura dengan tubuh membungkuk sampai dalam. "Terima kasih, Nona manis, terima kasih atas pujianmu. Ternyata engkau mudah sekali belajar menjadi manusia yang jujur!" Dia lalu memandang ke sekeliling. "Akan tetapi senja telah larut dan malam hampir tiba. Tidakkah sebaiknya kita melanjutkan perjalanan mencari dusun agar kita mendapatkan rumah untuk melewatkan malam?"
Kui Hong menggeleng kepalanya. "Tidak, malam ini bulan muncul dan tempat ini pun cukup menyenangkan. Aku masih lelah dan biar kita melewatkan malam di sini saja. Akan tetapi, kalau engkau ingin mencari rumah penginapan di dusun, silakan pergi dan biarlah aku tinggal di sini sediri!" Kalimat terakhir mengandung kekerasan.
"Ha-ha-ha, engkau sungguh seperti sebutir batu mulia, Kui Hong!"
"Hemm" Apa artinya engkau menyamakan aku dengan batu?"
"Batu bukan sembarang batu, Nona, melainkan batu mulia seperti intan dan kemala, indah, bernilai tinggi, akan tetapi keras seperti baja. Baiklah, kalau engkau menghendaki bermalam di sini, aku pun suka sekali. Kita dapat bercakap-cakap agar perkenalan antara kita lebih akrab. Yang kuketahui darimu hanyalah bahwa engkau bernama Cia Kui Hong, puteri Ketua Cin-ling-pai. Tentu saja aku ingin mengetahui lebih banyak."
"Engkau harus bercerita lebih dulu." kata Kui Hong sambil menjulurkan kedua kakinya dan duduk bersandar batang pohon yang tumbuh di situ. Tempat itu memang enak sekali, rumputnya tebal dan bersih, ada pohon yang melindungi mereka dan agaknya tak jauh dari situ terdapat anak sungai karena terdengar suara gemericik air.
"Baiklah, akan tetapi karena memang tidak ada apa-apanya yang menarik tentang diriku, kau boleh bertanya apa saja dan aku akan menjawab."
"Hay Hay, tadi ketika engkau bertanding melawan Hek-hiat-kwi, engkau terdesak dan kemudian ternyata engkau bersiasat dan mengalah untuk menjebak nenek iblis. Andaikata engkau tidak mengalah, apakah engkau akan dapat mengalahkan Hek-hiat-kwi?"
"Locianpwe itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, ilmu silatnya aneh dan matang, tenaga saktinya juga amat kuat. Akan tetapi, aku yakin akan mampu mengatasinya kalau kami bertanding dengan sungguh-sungguh." jawab Hay Hay sejujurnya.
Gadis itu mengangguk-angguk tanpa melepaskan tatapan matanya kepada wajah pemuda itu dengan sinar mata kagum. "Aku pun menduga demikian Hay Hay, engkau begini lihai ilmu silatmu, jauh lebih tinggi daripada kepandaianku, bahkan engkau pandai ilmu sihir, dan engkau mengaku masih sute dari Toako (Kakak Besar) Cia Sun?"
"Eh" Engkau menyebut Toako kepada Suheng Cia Sun" Apa hubunganmu"."
"Nanti dulu. Ingat, kini giliran cerita tentang dirimu! Nah, siapakah gurumu yang membuat engkau demikian lihai?"
"Wah, Kui Hong, terus terang saja, selama ini aku tidak pernah menceritakan kepada siapa pun tentang guru-guruku. Akan tetapi karena aku sudah berjanji untuk menjawab, biarlah aku memberi pengecualian kepadamu. Engkau seorang gadis yang hebat, pantas mendapatkan keistimewaan itu. Nah, guru-guruku banyak. Yang mengajar ilmu silat adalah dua orang dari Delapan Dewa, yaitu. Ciu-sian Sin-kai, majikan Pulau Hiu di Pohai, dan See-thian Lama atau Go-bi Sian-jin, yaitu guru suheng Cia Sun. Yang mematangkan ilmu-ilmuku adalah suhu Song Lojin (Kakek Song) dan Guruku dalam ilmu sihir adalah mendiang Pek Mau san-jin."
Kui Hong memandang penun kagum. "Pantas engkau hebat. Kiranya yang menjadi guru-gurumu dalam ilmu silat adalah dua di antara Delapan Dewa. Aku pernah mendengar dari Kong-kong (Kakek) tentang kehebatan Delapan Dewa. Sekarang aku ingin tahu tentang keluargamu. Engkau tentu sudah beristeri?"
"Ah, jangan mengejek, Kui Hong! Siapa sudi kepada orang macam aku" Aku belum menikah, bertunangan pun belum, pacar pun tidak punya!"
"Hemm, benarkah" Engkau sudah begitu berpengalaman dan pandai menyenangkan hati wanita, dan usiamu juga tidak muda lagi."
"Aku baru berusia dua puluh satu, masih terlalu muda untuk memikirkan soal jodoh." "Begitu pendapatmu" Dan siapa nama Ayah Ibumu" Di mana mereka tinggal?"
Sekali ini, lenyaplah seri wajah Hay Hay. Untung bahwa malam mulai tiba, sinar senja mulai terganti keremangan menjelang malam sehingga gadis itu tidak melihat perubahan mukanya yang diliputi mendung.
"Ayahku she Tang, aku tidak tahu siapa namanya. Aku tidak tahu siapa nama Ibuku. Aku pun tidak pernah melihat Ayah Ibuku. Ibu meninggal dunia ketika aku masih kecil, dan Ayahku, aku tidak tahu dia berada di mana."
"Ohhhh"!" Seruan Kui Hong mengandung kekagetan dan juga iba. "Kasihan engkau, Hay Hay?"
Keriangan watak Hay Hay pulih kembali. "Tidak usah kasihan, Kui Hong, aku sendiri pun tidak kasihan kepada diriku sendiri. Kenapa mesti kasihan kalau memang sudah semestinya begitu keadaan hidupku?"
"Tapi... tapi, bagaimana sampai engkau tidak tahu dan tidak mengenal Ayah Ibumu" Apa yang telah terjadi dengan mereka?"
Hay Hay merasa canggung sekali, akan tetapi karena sudah berjanji, dia terpaksa menceritakan sebagian dari riwayatnya tanpa harus menceritakan keadaan ayah kandungnya seperti yang didengarnya dari keluarga Pek. "Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi. Ketika aku masih kecil sekali, agaknya Ibu mengajak aku bepergian dengan perahu. Perahu itu terguling, Ibu dan aku hanyut. Ibu tewas dan aku tertolong orang. Kemudian aku bertemu dengan kedua orang guruku dan menjadi murid mereka. Hanya begitulah. Nah, tidak ada yang menarik tentang diriku, bukan" Sekarang giliranmu, Kui Hong."
"Nanti dulu." bantah Kui Hong. "Engkau memiliki ilmu sihir, bahkan aku sendiri pun pernah kau permainkan dengan sihirmu ketika kita memperebutkan kijang itu. Akan tetapi kenapa nenek itu tidak dapat kaupengaruhi dengan ilmu sihirmu?"
"Ah, hal itu hanya menunjukkan bahwa nenek itu pernah mempelajari sihir atau memiliki kekuatan batin yang amat kuat untuk melindungi dirinya. Sekarang aku ingin tahu tentang dirimu, Kui Hong. Biarpun aku sudah tahu bahwa Ayahmu adalah Ketua Cin-ling-pai yang terkenal, akan tetapi aku belum tahu siapa nama kedua orang tuamu."
"Ayah bernama Cia Hui Song, keturunan dari para Ketua Cin-ling-pai, adapun Ibuku bernama Ceng Sui Cin, puteri Pendekar Sadis?"
"Ahh! Pendekar sadis yang amat terkenal itu adalah Kong-kongmu?" kata Hay Hay penuh kagum. "Dan semua ilmu silatmu tentu kaudapat dari orang tuamu."
"Benar, akan tetapi selama tiga tahun terakhir ini aku tinggal di Pulau Teratai Merah dan menerima petunjuk dari Kakek dan Nenekku."
"Pantas! Ilmu silatmu demikian lihai, Kui Hong. Apalagi dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), sungguh aku kagum dan taluk."
"Sudahlah, jangan terlalu banyak memuji. Buktinya aku tidaklah selihai engkau." kata Kui Hong yang tidak ingin bicara lebih banyak tentang orang tuanya karena tidak mungkin baginya untuk menceritakan tentang keretakan rumah tangga orang tuanya. "Sekarang engkau sedang hendak pergi ke manakah?"
Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo yang bijaksana di rumah Jaksa Kwan, dan tentang permintaan tolong Menteri Yang Ting Hoo kepadanya agar suka melakukan penyelidikan terhadap persekutuan di Lembah Yangce.
"Menurut keterangan kedua orang pejabat tinggi yang bijaksana dan setia itu, gerakan para pemberontak itu dipimpin oleh para datuk sesat, kabarnya diketuai oleh Lam-hai Giam-lo, bahkan Pek-lian-kauw juga bergabung dengan persekutuan itu. Nah, sekarang aku sedang menuju ke sana ketika perutku terasa lapar dan aku berburu kijang itu dan bertemu denganmu." Hay Hay tersenyum ketika teringat akan peristiwa itu. "Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?"
"Aku" Aku hanya ingin merantau, meluaskan pengalaman, juga mencari seorang pengkhianat keji, seorang murid murtad yang sudah sepatutnya dihancurkan karena dia dapat menjadi seorang yang amat berbahaya." Kui Hong mengepal tinju dan nampak marah sekali.
Hay Hay terkejut dan mengerutkan alisya. Tak nyaman rasa hatinya melihat gadis itu dicengkeram dendam yang demikian penuh kebencian terhadap seseorang. "Hemm, siapakah orang itu" Seorang murid Cin-ling-pai?"
"Kalau hanya murid Cin-ling-pai, kiranya tidaklah demikian membahayakan, tidak perlu aku bersusah payah mencarinya sendiri. Akan tetapi dia jauh lebih lihai dari hanya seorang murid Cin-ling-pai, karena dia adalah murid gemblengan dari Kakek dan Nenek di Pulau Teratai Merah."
"Ahhh...! Maksudmu, dia itu murid dari kakekmu Pendekar Sadis?"
"Benar. Namanya Ciang Ki Liong. Seperti juga engkau, dia seorang korban kecelakaan di laut yang sejak kecil ditolong oleh Kakek dan Nenekku, diambil murid dan digembleng. Aku sendiri ketika tiga tahun yang lalu berkunjung ke pulau itu, sama sekali tidak mampu menandinginya. Tiga tahun yang lalu, dia minggat dari pulau membawa banyak pusaka Pulau Teratai Merah, dan karena itulah Kakek dan Nenek lalu mengajarkan ilmu-ilmu kepadaku agar aku dapat menandinginya."
"Tapi... tapi sebagai murid Pendekar Sadis, tentu dia mempunyai ahlak yang baik. Mengapa dia sampai pergi meninggalkan pulau itu dan membawa banyak pusaka milik Kakekmu?"
"Menurut Kakek dan Nenek, sejak kecil dia memang kelihatan berwatak baik sekali, akan tetapi ketika aku berkunjung ke pulau itu, malam itu dia... dia mempunyai niat kotor dan kurang ajar terhadap diriku.
Aku menolak dan menyerangnya, kami berkelahi dan begitulah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia minggat membawa barang-barang pusaka, termasuk pedang Kakek yang bernama Gin-hwa-kiam (Pedang Bunga Perak)."
"Aih, kiranya begitu?" Hay Hay mengangguk-angguk. "Terbuktilah sekarang bahwa aku tidak membohong ketika aku memuji-muii kecantikanmu, Kui Hong. Pantas saja Ciang Ki Liong itu tergila-gila kepadamu karena engkau memang cantik menggairahkan, hanya dia tidak mampu melawan nafsu berahinya sendiri sehingga melakukan hal yang buruk. Kecantikan, seperti semua keindahan, menjadi berbahaya sekali kalau ingin dimiliki dan dinikmati sebagai kesenangan,."
"Hemm, engkau sendiri seorang laki-laki mata keranjang yang suka akan kecantikan wanita. Tentu engkau pun sering kali tertarik oleh kecantikan wanita, bukan?"
"Tidak kusangkal, Kui Hong. Aku suka sekali dan tertarik akan kecantikan wanita seperti aku suka dan tertarik akan kecantikan bunga-bunga yang beraneka warna dan bentuk. Semuanya indah mengagumkan. Akan tetapi, aku tidak membiarkan diriku dikuasai nafsu untuk memetik bunga-bunga itu, karena hal itu berarti merusak dan merusak adalah perbuatan jahat. Aku hanya menikmati kecantikan wanita melalui pandang mataku, tanpa dipengaruhi berahi yang akan mendorongku ke arah perbuatan yang melanggar susila."
Hening sejenak dan malam pun tiba. Tanpa bicara keduanya lalu mengumpulkan kayu kering dan membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin. Api bernyala dengan indahnya karena kayu yang dimakannya sudah kering betul dan malam itu tidak ada angin. Kehangatan dan penerangan diciptakan api yang bernyala itu. Mereka duduk berhadapan, terhalang api unggun. Hay Hay mengagumi wajah yang tertimpa sinar api itu, mewarnai wajah cantik itu dengan warna kemerahan. Ketika gadis itu mengangkat muka dan menatapnya, dia tidak melepaskan pandang matanya, sehingga sejenak sinar mata mereka bertemu dan bertaut.
"Hay Hay, pernahkah engkau jatuh cinta?"
Hay Hay terkejut. Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan tak tersangka, seperti sebuah jurus serangan yang aneh dan berbahaya. Dia melihat betapa sepasang mata jeli dan tajam itu memandang kepadanya penuh selidik.
Hay Hay tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Aku bersukur bahwa aku belum pernah jatuh cinta, Kui Hong."
"Bersukur" Kenapa mesti bersukur?"
"Karena, seperti katamu tadi, cinta merupakan ikatan, seperti burung dalam sangkar. Aku tidak ingin terkurung dalam sangkar atau terikat kakiku, lebih suka terbang bebas di angkasa seperti seekor burung garuda! Bagaimana dengan engkau sendiri, Kui Hong" Seorang gadis selihai dan secantik engkau tentu banyak pengagumnya dan tentu engkau pernah jatuh cinta."
"Huh, engkau yang sudah berusia dua puluh satu tahun saja belum pernah jatuh cinta, apalagi aku yang baru berusia delapan belas tahun. Sudahlah, tak perlu kita bicara tentang cinta. Aku tertarik mendengar ceritamu tadi tentang para datuk yang bersekutu untuk memberontak itu. Siapa pula nama pemimpin mereka tadi, dan di mana mereka bersarang?"
"Menurut keterangan Menteri Yang, pemimpin mereka adalah Lam-hai Giam-lo seorang datuk sesat yang amat sakti, dan banyak tokoh sesat yang lihai bergabung dalam persekutuan itu, juga Pek-lian-kauw yang memiliki banyak tokoh lihai. Mereka sedang menyusun kekuatan di sepanjang Lembah Yangce, di Pegunungan Yunan."
"Hemm, aku tertarik sekali. Sebagai puteri Ketua Cin-ling-pai, sudah selayaknya kalau aku turun tangan menentang mereka. Dan siapa tahu, di sana aku akan dapat bertemu dengan murid murtad itu. Aku pun akan pergi ke sana, Hay Hay."
"Bagus! Kalau begitu kita melakukan perjalanan bersama, Kui Hong. Betapa senangnya melakukan perjalanan bersamamu!"
"Kenapa senang?" Kui Hong bertanya sambil mengerling, disertai senyum. Bagaimanapun juga, hati gadis ini senang mendengar pujian-pujian pemuda itu dan menginginkan lebih banyak mendengarnya.
"Kenapa" Tentu saja amat menyenangkan melakukan perjalanan bersama seorang gadis yang cantik manis, lincah jenaka dan lihai pula ilmu silatnya. Biar bertemu setan dan iblis di jalan, aku tidak akan takut kalau melakukan perjalanan bersamamu, Kui Hong."
"Hushh, di malam gelap dan sunyi seperti ini, jangan bicara tentang setan dan iblis, Hay Hay!"
"Ah, sebentar lagi bulan akan muncul. Lihat di timur itu, sudah ada cahaya merah di langit timur, berarti bulan akan segera muncul."
"Apalagi waktu terang bulan, katanya setan dan iblis suka berkeliaran. Hihh, mengerikan!" Dan Kui Hong benar-benar agak menggigil mengenang tentang setan dan iblis.
"Ha-ha-ha, seorang gadis selihai engkau ini ngeri dan takut soal setan dan iblis" Sesungguhnya, merekalah yang harus merasa ngeri dan takut berhadapan denganmu, Kui Hong, bukan engkau yang takut!" Hay Hay berkelakar.
"Kalau setan dan iblis yang hanya dipakai penjahat untuk julukan mereka, tentu saja aku tidak takut sama sekali. Akan tetapi kalau setan dan iblis sungguh-sungguh, mahluk-mahluk halus, hiiihh, siapa yang tidak merasa ngeri?" Kui Hong memandang ke kanan kiri, lalu menoleh ke belakang. Ketika melakukan perjalanan seorang diri, gadis ini tidak takut menghadapi siapa pun, dan karena tidak pernah bicara atau berpikir tentang setan, maka ia pun tidak pernah takut. Kini, sekali Hay Hay menyebut tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia, teringat ia akan dongeng-dongeng mengerikan tentang setan dan iblis yang suka mengganggu manusia.
"Kui Hong, apakah engkau pernah melihat sendiri setan itu?"
Kui Hong menggeleng kepala menyangkal.
"Kalau belum pernah melihat sendiri, bagaimana engkau bisa percaya adanya setan
"Hay Hay, banyak hal-hal yang gaib di dunia ini, yang tak dapat dilihat, namun toh ada dan harus dipercaya keadaannya. Siapa dapat melihat adanya angin" Siapa dapat melihat adanya nyawa" Siapa dapat melihat adanya Tuhan" Namun, kita toh percaya. Aku percaya akan adanya setan dan iblis seperti yang didongengkan orang."
Hay Hay mengangguk. "Memang, di dalam ilmu sihir, ada ilmu yang disebut ilmu hitam, yang kekuatannya berpangkal kepada kepercayaan dan pemujaan setan dan iblis. Seperti juga kepercayaan terhadap Tuhan, walaupun tak dapat dilihat, namun kekuasaan Tuhan dapat kita lihat di mana-mana, bahkan di dalam detak jantung kita sendiri, dalam pertumbuhan kuku dan rambut dan dalam seluruh kehidupan diri kita. Kalau Tuhan itu sumber segala kebenaran dan kebaikan, maka sebaliknya, setan itu sumber segala kejahatan. Aku sendiri ingin sekali melihat setan dengan mata kepala, namun tak pernah berhasil"."
"Ihhh... sudahlah, Hay Hay, jangan bicara tentang setan dan iblis di waktu seperti ini. Lihat bulan mulai muncul dan bayangan-bayangan pohon itu sungguh menyeramkan!" Kembali Kui Hong nampak ketakutan dan diam-diam gadis ini merasa beruntung sekali malam itu ada Hay Hay yang menemaninya. Ia menambahkan kayu pada api unggun sehingga api membesar.
"Aku mau tidur, tubuhku masih terasa lelah bukan main." katanya dan ia pun merebahkan diri miring di bawah pohon itu berbantal tangan.
"Tidulah, biar aku yang berjaga. Tidurlah dengan tenang dan nyenyak dan jangan takut akan diganggu setan"."
Tiba-tiba Kui Hong menahan jeritnya dan meloncat duduk dengan mata terbelalak memandang ke sebelah kirinya.
"Kui Hong! Ada apakah?" tanya Hay Hay dan dia pun menoleh. Dia pun terbelalak karena melihat asap hitam mengepul dan di tengah asap itu muncullah bentuk yang amat menyeramkan, seorang manusia seperti raksasa, tinggi besar, mukanya hitam arang, matanya lebar melotot hidungnya besar dan mulutnya bertaring! Pendeknya, bukan bentuk manusia umum yang muncul dari dalam asap hitam itu, melainkan ujud yang biasanya dimiliki setan datam dongeng!
Kui Hong yang tadinya terkejut sekali, kini tiba-tiba meloncat ke arah bayangan raksasa itu dan ia menyerang dengan pukulan dahsyat. Akan tetapi, gadis itu menahan pekiknya ketika tangannya tembus saja seolah-olah ia memukul bayangan! Dan "raksasa" itu tertawa bergelak, giginya yang besar-besar nampak dan lidahnya terjulur panjang! Kui Hong menjadi pucat dan kini ia tidak meragukan lagi bahwa yang diserangnya itu sudah pasti setan! Bukan manusia biasa.
"Kui Hong, mundurlah dan biarkan aku menghadapinya." terdengar suara Hay Hay di belakangnya dan Kui Hong cepat melompat ke arah Hay Hay dan dengan tubuh gemetar ia ikut duduk di atas rumput dekat Hay Hay karena pemuda itu pun masih duduk seperti tadi. Saking ngeri dan takutnya, tanpa disadarinya Kui Hong duduk merapat dan merangkul leher pemuda itu, minta perlindungan.
" Aku... aku takut?" bisiknya dan suaranya juga gemetar. Api unggun kini padam karena tidak ditambah kayu, akan tetapi bulan sudah muncul sehingga cuaca cukup terang, akan tetapi penerangan redup yang menambah keseraman suasana. Kini suara ketawa terdengar semakin ramai dan dengan muka pucat dan mata terbelalak Kui Hong melihat bahwa kini, bersama dengan mengepulnya asap hitam, muncul pula empat sosok aayangan lain yang kesemuanya merupakan mahluk-mahluk mengerikan yang mengepung mereka dengan setengah lingkaran dari depan. Kui Hong merasa semakin takut dan di luar kesadarannya, kedua lengannya merangkul pundak dan leher Hay Hay, seperti seorang anak kecil yang ketakutan dan minta perlindungan dalam dekapan ibunya.
"Tenanglah, Kui Hong, itu hanya permainan kanak-kanak!" bisik Hay Hay. Padahal, di dalam hatinya, pemuda ini juga terkejut karena dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki kekuatan sihir yang cukup kuat. Bayangan-bayangan menyeramkan itu adalah jadi-jadian atau ujud yang muncul karena kekuatan sihir ilmu hitam! Hay Hay mengerahkan kekuatan batinnya, tangannya mengambil tanah di bawah rumput, kemudian menujukan pandang matanya ke arah lima sosok bayangan setan yang menyeramkan itu. Bayangan-bayangan itu masih mengeluarkan suara ketawa yang tidak seperti suara manusia.
"Kalian datang dari tiada, kembalilah kepada tiada!" serunya dan tangannya melontarkan tanah ke arah bayangan-bayangan itu. Tanah itu melayang berpencar lebar dan mengenai lima sosok bayangan. Terdengar pekik-pekik mengerikan dan lima sosok bayangan setan itu menghilang, berubah menjadi asap hitam dan kini lima gumpal asap itu menjadi satu, hitam dan tebal bergerak perlahan, membentuk sosok bayangan yang amat panjang dan ternyata berubah menjadi seekor naga hitam yang amat mengerikan!
"Ihhh"!" Kui Hong menggigil ketakutan. Gadis ini adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, berilmu tinggi dan memiliki keberanian menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, karena sebelumnya tadi ia sudah merasa ngeri ketika bicara tentang setan dengan Hay Hay, maka kini begitu muncul apa yang disangkanya setan benar-benar, ia kehilangan ketabahannya dan merasa takut bukan main. Ia menganggap bahwa semua ilmu silatnya tidak ada artinya sama sekali untuk melawan setan, dan kemunculan bentuk-bentuk yang menyeramkan itu menambah rasa takutnya. Apalagi tadi sudah dicobanya, ketika ia memukul, tangannya tembus saja tanpa mempengaruhi sedikit pun terhadap bayangan-bayangan itu. Kini rasa takut membuat wajahnya pucat, kepalanya pening dan tubuhnya lemas seolah-olah semua tenaganya lenyap meninggalkan tubuhnya.
Melihat betapa Kui Hong ketakutan, Hay Hay menjadi mendongkol juga kepada lima orang yang sedang mengganggu mereka dengan ilmu hitam. Dia mengerahkan semua tenaganya karena kini lima orang itu, dengan mempersatukan kekuatan sihir mereka, telah membentuk bayangan seekor naga hitam. Seperti yang pernah dipelajarinya dari Pek-mau San-jin, kembali tangannya mencengkeram segenggam tanah, mulutnya membaca mantra yang artinya. "Ngo-heng (Lima Unsur Inti) menjadi senjataku, Im-yang (Positip Negatip) rnenjadi perisaliku, kekuasaan Tuhan menjadi peganganku, dan hancurlah semua anasir jahat!" Dia melontarkan tanah itu ke arah bayangan naga yang amat menyeramkan itu, yang kini agaknya hendak menerkam kedua orang muda itu, dengan mata yang bernyala, dengan mulut terbuka nampak gigi dan lidahya yang mengeluarkan asap dan suara geraman dahsyat.
"Darrr".!" Terdengar bunyi ledakan dan bayangan naga hitam itu pun lenyap berubah menjadi asap hitam dan kini nampaklah lima orang laki-laki berpakaian pendeta dengan gambar bunga teratai di jubah bagian dada mereka. Lima orang itu nampak marah sekali dan dengan cepat mereka menerjang ke arah Hay Hay dengan gaya masing-masing. Ada yang menubruk seperti seekor harimau menubruk kambing, ada yang menghantamkan kedua tangan ke arah kepala Hay Hay, ada pula yang melakukan tendangan kilat, dan ada pula yang mempergunakan tenaga dalam untuk menghantamkan kedua telapak tangan ke arah pemuda itu. Gerakan mereka itu berbareng, dan agaknya memang disengaja agar pemuda itu tidak lagi mampu menghindarkan diri dari pengeroyokan itu. Akan tetapi mereka itu terlalu memandang rendah kepada pemuda sederhana ini. Pengalaman mereka tadi saja, ketika mereka menggabungkan kekuatan sihir dan dibikin hancur dengan mudah oleh Hay Hay, mestinya telah memperingatkan mereka bahwa mereka menghadapi seorang pemuda yang amat lihai. Akan tetapi agaknya mereka memang bandel dan belum mengaku kalah.
Kui Hong masih ketakutan, seperti lemas dan hanya bersandar kepada Hay Hay. Ia masih bingung dan masih menganggap bahwa lima orang itu adalah setan-setan atau para siluman menyeramkan, yang tidak dapat dilawan dengan ilmu silat. Maka, melihat betapa mereka kini menerjang Hay Hay, ia pun hanya menonton saja dengan tubuh masih gemetar. Akan tetapi, melihat serangan mereka, Hay Hay yang waspada sudah dapat mengukur tenaga mereka, maka dia pun masih tetap saja duduk dan untuk menghadapi serangan mereka itu, dia menyambutnya dengan dorongan kedua tangannya, dengan telapak tangan menghadap ke depan.
"Haiiittt".!" Pemuda itu membentak dan suaranya mengandung khi-kang amat kuat, sedangkan dari kedua telapak tangannya menyambar hawa pukulan dahsyat menyambut serangan lima orang itu. Terdengar teriakan-teriakan keras dan tubuh lima orang itu terjengkang dan terbanting roboh! Mereka baru terkejut bukan main, baru menyadari bahwa mereka berhadapan dengan orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada mereka, maka tanpa dikomando lagi, lima orang itu pun lalu berloncatan dan lari menghilang di dalam kegelapan bayangan-bayangan pohon.
Setelah lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu pergi, baru Hay Hay memperhatikan keadaan Kui Hong. Gadis itu masih merangkulnya dan dengan tubuh lemas bersandar kepadanya, seperti orang kehabisan tenaga, dengan tubuh masih agak dingin gemetar, seperti seekor kelenci ketakutan yang baru saja terhindar dari terkaman harimau.
"Tenanglah, Kui Hong, mereka sudah pergi." kata Hay Hay dengan hati iba. Dia tahu bahwa Kui Hong bukan seorang pengecut atau penakut, akan tetapi pada saat itu gadis ini sedang dilanda rasa takut dan kengerian terhadap setan yang ia merasa takkan mampu melawannya.
Mendengar ucapan Hay Hay itu, Kui Hong rnengeluh tanda lega hatinya, akan tetapi ketegangan hatinya masih belum lenyap dan ia pun masih menyandarkan kepalanya di pundak Hay Hay dan untuk melepaskan ketegangan hatinya, ia memejamkan kedua matanya. "Aku... aku tadi takut sekali?" desahnya.
Hay Hay tersenyum dan menunduk. Dilihatnya wajah yang manis itu masih pucat, bahkan nampak lebih pucat karena sinar bulan yang memang membuat suasana nampak pucat itu. Rambut itu terurai dan nampak leher yang panjang, kulit leher yang demikian halusnya seperti lilin, putih mulus dan menantang. Hay Hay terbayang akan semua pengalamannya, pertama dengan Ji Sun Bi, kemudian dengan Kok Hui Lian dan tergeraklah hatinya, bernyalalah api gairah dalam dirinya dan bagaikan orang yang tak sadar, dia pun mendekatkan bibirnya dan di lain saat dengan lembut mulutnya sudah mencium leher Kui Hong.
Leher itu menegang sesaat, akan tetapi lalu lemas kernbali. Kui Hong tetap memejamkan kedua matanya dan napasnya terengah-engah, akan tetapi Hay Hay merasa betapa leher itu menjadi hangat dan lembut. Dia menjadi semakin lupa diri, tenggelam dalam perasaan mesra yang mendalam. Bibirnya mengecup kulit leher itu, ujung lidahnya menjilat-jilat dan Kui Hong mengeluarkan keluhan lirih, memanjang dan tubuhnya menggelinjang. Bibir Hay Hay menciumi leher itu dengan lembut, lalu ke atas, ke bawah dagu dan ke bawah daun teiinga. Kui Hong mendesah tanpa membuka mata, bahkan ketika mulut Hay Hay bergerak lembut ke atas pipinya dan sampai ke ujung mulutnya, ia menengok, menyambut dan dua mulut itu saling bertemu dalam sebuah ciuman yang mesra. Rintihan halus terdengar dari leher Kui Hong, dan ketika Hay Hay merasa betapa mulut yang panas dan basah itu menyambutnya seperti bunga merekah, dia terkejut dan melepaskan ciuman dan rangkulannya. Napasnya terengah-engah, berpacu dengan napas Kui Hong yang juga memburu. Ketika Hay Hay melepaskan dekapannya, Kui Hong seperti baru sadar dan keduanya, seperti tersentak kaget, lalu saling menjauhi, Kui Hong terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah, sedangkan Hay Hay merasa menyesal bukan main bahwa dia tadi telah lupa diri.
"Setan kau! Iblis kau! Berani menggodaku!" bentak Hay Hay sambil memukul tanah tiga kali.
"Hay Hay" apa" mengapa"." Kui Hong berkata gagap karena hatinya masih terguncang hebat oleh peristiwa tadi, sejak munculnya setan-setan itu sampai pengalaman yang amat mengguncang hatinya, ketika kemesraan menenggelamkannya, pengalaman yang selama hidupnya baru sekali ini pernah dirasakannya dan yang membuatnya bingung.
Hay Hay cepat menghadapi gadis itu. "Ah, Kui Hong, kaumaafkanlah aku, kau ampunkanlah aku". aku... aku telah tergoda setan! Benar-benar setan dan iblis sendiri yang telah menggodaku tadi, menggoda kita sehingga kita... kita lupa diri"." Kui Hong memandang dengan muka merah karena malu dan canggung, dengan sinar mata bingung tidak mengerti. "Akan tetapi... apa salahnya... kalau kita... kita saling mencinta... apa salahnya?""
Hay Hay merasa terharu dan juga terkejut. Terharu karena gadis ini sungguh polos dan jujur, masih bersih dan suci dan dia yang telah menodai kebersihan batin gadis itu! Dan dia terkejut mendengar ucapan Kui Hong yang jelas menyatakan gadis itu mencintanya! Pernyataan bahwa mereka saling mencinta itu saja sudah cukup jelas membuktikan bahwa gadis itu cinta padanya dan mengira bahwa dia pun cinta pada Kui Hong! Akan tetapi, dia tidak boleh berbohong, tidak boleh menipu gadis yang hebat seperti Kui Hong ini. Memang, alangkah mudahnya untuk menyatakan cinta kepada seorang gadis sehebat Kui Hong, akan tetapi pernyataan itu hanya merupakan suatu kebohongan belaka. Di lubuk hatinya, dia tidak merasakan adanya cinta seperti yang dimaksudkan Kui Hong, cinta yang akan mendorong pria dan wanita untuk menjadi suami isteri dan hidup bersama untuk selamanya. Tidak, dia tidak menghendaki itu, dia tidak ingin, menjadi suami Kui Hong atau suami wanita manapun juga. Dia suka kepada Kui Hong, kagum dan mungkin mencintanya, akan tetapi bukan cinta untuk kemudian diikat menjadi suami! Bukan pula cinta nafsu karena bagaima.napun juga, biarpun dia kagum bukan main akan kecantikan gadis ini, dia masih dapat mengatasi kekuasaan nafsu berahinya.
Tanpa berani memandang kepada Kui Hong, Hay Hay yang masih duduk di atas rumput itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tidak, Kui Hong, aku menyesal sekali... akan tetapi aku... terus terang saja, aku tidak mencintamu seperti yang kaumaksudkan. Aku kagum padamu, aku suka padamu, bahkan aku cinta padamu, akan tetapi bukan cinta untuk kelak menjadi jodohmu, Kui Hong! Aku tidak ingin mencinta seperti itu, tidak ingin menjadi suami wanita mana pun, aku" aku?"
Kui Hong sudah meloncat berdiri. Mukanya pucat sekali, matanya terbelalak dan kini beberapa butir air mata mengalir keluar membasahi pipinya. "Kau"! Kau tidak cinta padaku akan tetapi tadi engkau berani menciumku! Aku cinta, padamu dan engkau hanya mempermainkan aku"! Ahh... hu-hu-huhhh... aku benci padamu! Aku benci padamu?" Kui Hong menyambar buntalan pakaiannya dan meloncat jauh dari tempat itu, membawa pergi isak tangisnya.
"Kui Hong"." Hay Hay memanggil sambil berdiri, akan tetapi gadis itu tidak nampak lagi, hanya terdengar isaknya lapat-lapat dari jauh dan Hay Hay tidak mengejarnya. Dia menjatuhkan diri ke atas rumput, lalu menjambak-jambak rambutnya sendiri. "Kau goblok! Kau tolol, membiarkan setan menggodamu!" Dia memaki-maki diri sendiri, maklum bahwa dia telah menyinggung perasaan hati Kui Hong, bahkan telah menghancurkan cintanya, dan menumbuhkan kebencian dalam hati gadis yang dikaguminya itu. Akhirnya dia tidak peduli lagi dan tak lama kemudian, Hay Hay sudah tidur pulas di tempat itu, tanpa api unggun, di bawah sinar bulan dan di dalam hawa yang semakin dingin.
Jauh dari situ, Kui Hong menjatuhkan diri di bawah pohon dan ia pun menangis sejadi-jadinya. Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya, dan kesedihan menyelimuti seluruh dirinya. Ingin ia membunuh Hay Hay, akan tetapi dua hal tidak memungkinkan hal itu terjadi. Pertama, ia kalah jauh dan tidak akan mungkin dapat menangkan pertandingan melawan pemuda lihai itu. Ke dua, ia tidak akan tega membunuhnya, karena selain ia telah berhutang budi dan nyawa, juga ia sadar betul bahwa telah jatuh cinta kepada Hay Hay. Ia mencinta pemuda itu sepenuh hatinya. Semua gerak-gerik pemuda itu menyenangkan hatinya dan mendatangkan perasaan kagum. Betapa pemuda itu dapat menundukkan musuh-musuh yang lihai, bahkan setan yang mengganggu malam itu, secara jantan dan hebat. Betapa ia akan berbahagia berada di samping pemuda itu selama hidupnya. Akan tetapi, kenyataan pahit yang tak dapat ditolak lagi, pemuda itu dengan mulutnya sendiri menyatakan bahwa dia tidak cinta padanya! Padahal, kalau ia membayangkan apa yang baru saja terjadi, betapa mesranya pemuda itu membelainya dan menciumnya, ia hampir tidak mau percaya bahwa Hay Hay tidak cinta padanya. Akan tetapi kenyataannya, dengan mulutnya sendiri pemuda itu mengatakan bahwa dia tidak cinta padanya atau wanita lain. Cintanya bukan untuk berjodoh!
Kui Hong menangis dan ingin ia mengamuk, bukan kepada Hay Hay, akan tetapi kepada siapa saja. Kalau saja pada saat itu ada musuh di depannya, tak peduli manusia atau setan, akan diamuknya. Biar setan-setan itu muncul kembali, ia tidak akan merasa takut sekarang. Akan diamuknya sampai membunuh mereka semua atau ia dibunuh mereka! Lebih baik lagi karena ia tidak akan menderita sakit hati seperti sekarang ini.
Akhirnya, Kui Hong juga dapat tidur di bawah pohon itu, " tidak peduli akan keselamatan dirinya lagi. Akan tetapi, seperti juga Hay Hay, tidurnya gelisah, kadang-kadang tersenyum penuh kebahagiaan kalau ia bermimpi tentang kemesraannya bersama Hay Hay, lalu terganti isak tangis.
Pada keesokan harinya, ketika kicau .burung dan kokok ayam hutan membangunkannya, Kui Hong segera meninggalkan tempat itu. Ia hendak pergi ke Pegunungan Yunan, bukan untuk membantu Hay Hay yang hendak menyelidiki ke sana, melainkan untuk mencari Ciang Ki Liong, murid murtad dari Pulau Teratai Merah itu. Dan inilah satu-satunya tujuan hidupnya saat ini. Menyeret Ciang Ki Liong, hidup atau mati, kembali ke Pulau Teratai Merah agar menerima hukuman dari kakek dan neneknya!
*** Bukan watak Hay Hay untuk membiarkan diri tenggelam dalam duka. Dia memang merasa menyesal bukan main bahwa dia telah lupa diri dan membiarkan dirinya hanyut dalam kemesraan, bahkan menyeret Kui Hong sehingga gadis itu mengira bahwa dia mencintanya. Kemudian, karena dia tidak membohong atau menipu, biarpun pahit, dia berterus terang dan tentu saja gadis itu tersinggung dan menjadi benci kepadanya. Hanya sehari dua hari saja dia kelihatan muram dan menyesal, akan tetapi beberapa hari kemudian, dia sudah melupakan pengalaman yang tidak enak itu. Dia sudah pulih kembali, menjadi seorang yang riang jenaka dan memandang dunia ini dari segi yang terang benderang. Senyumnya kembali lagi, tak pernah meninggalkan sudut bibirnya dan matanya kembali bersinar-sinar, wajahnya kembali berseri-seri. Biarlah yang lewat berlalu sudah, tak per lu dikenang lagi. Inilah pendiriannya sehingga Hay Hay tidak pernah mau menyimpan semua pengalaman yang lalu, maklum bahwa mengingat kembali hal-hal lalu hanya akan mendatangkan sesal dan duka, kecewa dan dendam. Dengan gembira dia melanjutkan perjalanan, menuju ke selatan, Pegunungan Yunan.
Hay Hay tahu bahwa yang mengganggu dia dan Kui Hong semalam adalah lima orang pendeta Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yang selain memiliki ilmu silat yang cukup lihai, juga pandai ilmu sihir sehingga membikin takut kepada Kui Hong. Dia berhasil mengusir mereka tanpa perkelahian, hanya dengan mengalahkan ilmu sihir mereka dan menangkis serangan mereka dengan tenaga saktinya yang jauh lebih kuat daripada tenaga mereka. Disangkanya bahwa lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi takut dan melarikan diri. Dia tidak tahu bahwa peristiwa semalam itu membuat orang-orang Pek-lian-kauw menjadi curiga dan waspada kepadanya sehingga perjalanannya selalu dibayangi dari jauh. Mereka melihat seorang lawan yang amat berbahaya dalam diri pemuda ini, apalagi ketika melihat bahwa pemuda itu melakukan perjalanan ke selatan! Kecurigaan mereka semakin besar ketika mereka tahu bahwa di dalam perjalanannya, ketika melewati sebuah kota pemuda itu mencari keterangan kepada orang-orang di jalan tentang Pegunungan Yunan. Jelaslah bahwa pemuda itu hendak pergi ke Pegunungan Yunan. Walaupun pemuda itu tidak pernah mengatakan kepada siapa pun juga apa urusannya di Pegunungan Yunan, namun pihak Pek-lian-kauw sudah dapat menduga bahwa tentu pemuda ini hendak mencari sarang persekutuan mereka! Karena itulah, maka jauh sebelum Hay Hay tiba di perbatasan Pegunungan Yunan, para pimpinan persekutuan kaum sesat itu telah lebih dulu tahu akan keadaan dirinya.
Dari keterangan yang diperolehnya di perjalanan, Hay Hay mendengar bahwa yang disebut Dataran Tinggi Yunan adalah daerah di bagian utara Propinsi Yunan yang berbatasan dengan Propinsi Secuan dan Kwei-couw. Di perbatasan itu terdapat Sungai Cin-sa, yang menjadi anak sungai besar Yang-ce-kiang. Menurut keterangan Menteri Yang Ting Hoo, sarang Lam-hai Giam-lo itu berada di lembah sungai itu, di antara kedua gunung besar atau Pegunungan Heng-tuan-san di barat dan Pegunungan Tatiang-san di timur, dan pegunungan atau dataran tinggi Yunan itu terapit oleh dua pegunungan ini.
Hay Hay mengambil jalan melewati Propinsi Kwei-couw, dan pada suatu hari tibalah dia di kota Wei-ning. Kota ini terletak di dekat sebuah telaga besar yang disebut Cao-hai (Lautan Cao) atau juga Cao-hu (Telaga Cao). Sebuah telaga yang amat indah, terletak di lereng bawah Pegunungan Wu-meng-san, di dekat tapal batas sebelah barat dari Propinsi Kwei-couw, tak berapa jauh lagi dari daerah Yunan sebelah timur. Karena melihat telaga yang demikian indahnya di dekat kota Wei-ning, Hay Hay tidak dapat menahan hatinya untuk tidak berhenti di kota itu dan menikmati keindahan telaga itu selama beberapa hari. Sudah terlalu lama dia melakukan perjalanan melalui gunung-gunung yang tinggi, bukit-bukit yang luas, melalui dusun dan kota, akan tetapi baru sekali ini dia melihat sebuah telaga besar yang airnya kebiruan dan demikian luasnya. Pantaslah kalau Telaga Cao itu kadang-kadang disebut Lautan Cao, karena memang airnya biru saking dalamnya, seperti air laut. Apalagi dilihat dari ketinggian sebelum Hay Hay memasuki kota Wei-ning, telaga itu nampak amat indahnya. Banyak pohon tumbuh di sekelilingnya, dan di bagian selatan nampak sekelompok pohon cemara yang indah, tumbuh di lereng di tepi telaga. Rumah-rumah para penduduk kampung berada di sebelah barat dan utara, sedangkan di bagian timur telaga itu adalah daerah kota Wei-ning. Para penghuni rumah perkampungan di sekitar telaga itu pada umumnya adalah para petani dan nelayan karena telaga itu selain dapat mengairi sawah sehingga para petani dapat menanam bermacam padi-padian sepanjang tahun, juga telaga itu sendiri mengandung ikan yang seakan-akan tiada habisnya biarpun setiap hari dikail dan dijala oleh para nelayan. Burung camar nampak beterbangan di permukaan air telaga kadang-kadang menyambar turun dan ketika melayang naik lagi, paruh mereka telah menangkap seekor ikan. Riuh rendah suara mereka seperti sedang bekerja mencari nafkah dengan gembira dan bersendau-gurau di antara teman.
Banyak pula nampak perahu nelayan dan perahu-perahu indah di mana orang-orang kota, baik dari Wei-ning maupun dari kota lain yang sengaja datang berkunjung dan bersenang-senang di telaga. Perahu para nelayan memilih bagian yang sepi, jauh di barat dan di tepi-tepi yang sunyi, karena akan sia-sia sajalah usaha mereka mencari ikan kalau berdekatan dengan perahu-perahu pelesiran yang selalu gaduh itu. Memang sebagian besar perahu-perahu pelesiran itu disediakan untuk para pria yang ingin bersenang-senang. Ada yang bermain kartu sambil minum arak, ada pula yang minum arak saja sampai mabok. Ada pula yang memanggil gadis-gadis penyanyi dan penari, dan banyak pula yang memanggil gadis panggilan atau pelacur-pelacur untuk menemani mereka minum arak atau menemani mereka tidur di bilik-bilik perahu besar itu. Ada pula pria-pria tua muda yang lebih suka menyendiri, menyewa perahu-perahu kecil dan mereka itu ada yang mencoba peruntungan mereka mengail ikan, ada pula yang hanya duduk membaca buku, ada yang bermain musik sendirian, meniup suling atau bermain yangkim, ada yang melukis atau menulis sanjak sambil minum arak.
Tak lama kemudian, perahu yang ditumpangi Hay Hay sudah menyelinap di antara ratusan buah perahu yang lain. Dia menyewa sebuah perahu kecil yang dicat merah, membawa bekal makanan dan minuman yang dibelinya di pantai tempat menyewa perahu, lalu mendayung perahu itu meluncur ke tengah telaga, bercampur dengan ratusan buah perahu lain. Hay Hay merasa lapar dan dia memilih tempat yang agak sunyi, jauh di tengah, lalu membuka buntalan daging ayam panggang, saus tomat semacam sayur hijau yang menjadi masakan, beberapa butir buah pir dan appel, juga seguci kecil arak dan seguci kecil air teh. Mulailah dia makan minum seorang diri dengan hati lapang. Sungguh lezat makan di atas perahu, di tengah telaga dengan hawa yang sejuk nyaman dan bersih.
Ah, kalau saja ada Kui Hong di dalam perahunya, pikirnya dan ingin Hay Hay menampar kepalanya sendiri. Kenapa mendadak saja dia merasa kesepian dan teringat kepada Kui Hong" Gadis itu tentu akan marah-marah dan mungkin akan menyerangnya di atas perahu! Mengingat akan hal ini, Hay Hay tersenyum lucu. Tentu mereka keduanya akan tercebur ke dalam air telaga dan akan mengalami hal-hal aneh dan berbahaya lagi bersama-sama! Tidak, tak boleh dia mengharapkan kehadiran Kui Hong. Bagaimana kalau Bi Lian" Setelah pikirannya menolak kehadiran Kui Hong, Hay Hay teringat kepada Bi Lian. Cu Bi Lian yang berjuluk Tiat-sim Sian-li itu. Murid dari dua di antara Empat Setan, yaitu Pak-kwi-ong dan Tung-hek-kwi. Bukan main gadis itu! Tidak kalah oleh Kui Hong dalam segala hal. Cantiknya, lincahnya, galaknya! Bahkan lebih galak di banding Kui Hong, walaupun belum tentu menang lihai. Akan tetapi Bi Lian juga lihai bukan main, dengan ilmu yang aneh-aneh. Tahi lalat di dagunya itu, bukan main manisnya! Tapi kemunculan Bi Lian tentu juga hanya akan mendatangkan keributan, karena bukankah gadis itu pernah mengancamnya bahwa kalau bertemu lagi, gadis itu tentu akan menyerangnya dan tidak akan memberi ampun" Dia tersenyum gembira teringat kepada Bi Lian. Seorang gadis yang hebat dan dia kagum dan suka sekali kepa.da gadis itu. Akan tetapi tidak, terlalu berbahaya kalau di tempat ini berjumpa dengan Bi Lian. Kalau sampai Bi Lian menggulingkan perahu! Memang benar, selama tinggal bersama suhunya yang ke dua, yaitu Ciu Sian Lokai yang menjadi majikan di Pulau Hiu, dia sering kali mandi di laut dan sudah pandai dan menguasai ilmu renang, akan tetapi ilmunya ini tidak cukup tinggi untuk dapat melindungi diri di dalam air kalau sampai dj.a diserang musuh. Tidak, lebih baik jauh dari Bi Lian kalau dia ingin bersantai di telaga itu.
Begitu dia mengusir bayangan Bi Lian dengan tahi lalat di dagunya yang manis itu, tiba-tiba saja muncul bayangan Pek Eng! Hay Hay mengeluh. Ada apakah dengan dirinya hari ini" Kenapa perempuan melulu yang memenuhi benaknya" Bayangan gadis-gadis cantik saja yang teringat olehnya" Biarpun dia mencela diri sendiri, tetap saja kini nampak wajah Pek Eng yang lucu dan manis menarik itu. Hitam manis, mata sipit yang indah, hidung yang ujungnya agak menjungkat naik, bibir yang selalu merah membasah, dan lesung pipit di pipi kiri itu. Aihh, gadis remaja yang segar, dengan tubuh tinggi semampai yang menggairahkan.Lincah jenaka dan manja! Hay Hay tersenyum ketika teringat betapa Pek Eng pernah mencium pipinya, mengira bahwa dia adalah kakaknya yang bernama Pek Han Siong! Gadis yang amat menyenangkan, kalau saja berada di dalam perahunya, tentu akan diajaknya bersendau-gurau! Dan Pek Eng tidak akan membahayakan dirinya. Pek Eng sudah memaafkannya karena kesalahpahaman itu, ketika gadis itu marah-marah sebab menciumnya, mencium orang yang salah. Kembali Hay Hay tersenyum dan tanpa disadarinya, tangan kirinya mengusap pipi kiri yang pernah disentuh hidung dan bibir lembut Pek Eng.
Tapi, aku tidak mencinta Pek Eng, juga tidak mencinta Bi Lian atau Kui Hong walaupun terhadap mereka ada rasa suka yang mendalam di lubuk hatinya. Dia tidak mencinta mereka dan sebaiknya kalau dia tidak dekat dengan mereka. Selalu timbul keributan kalau dia dekat dengan seorang gadis.
Bagaimana kalau Hui Lian" Jantungnya berdebar kencang karena dia membayangkan apa yang pernah terjadi antara dia dengan Hui Lian, janda muda itu. Bau tubuhnya yang harum! Bagaimana dia dapat melupakan wanita itu" Takkan pernah dia mampu melupakan Hui Lian! Dengan Hui Lian, hampir saja dia tak dapat menguasai dirinya lagi, hampir saja terjadi pelanggaran antara mereka. Dan dia tidak pernah menyalahkan dirinya. Pria mana yang akan mampu bertahan kalau sudah bergaul demikian dekatnya dengan seorang wanita seperti Hui Lian" Baru keharuman tubuhnya saja sudah membuat pria menjadi mabok. Ah, kalau ada Hui Lian di situ, di dalam perahu bersamanya, tentu dia akan merasa semakin gembira. Tidak akan ada bahaya diserang Hui Lian, yang ada hanyalah diserang gairah nafsunya sendiri. Dan ini bahkan jauh lebih berbahaya daripada kalau dia diserang orang! Bagaimana dengan keadaan Hui Lian sekarang" Di mana ia berada dan apa saja yang dilakukannya" Tiba-tiba ia merasa rindu sekali kepada Hui Lian, apalagi karena dia pun yakin bahwa Hui Lian cinta kepadanya. Dia tahu bahwa andaikata dia menanggapi cinta itu, sudah pasti mereka berdua takkan pernah saling berpisah lagi. Ah, betapa akan senangnya kalau kini mereka berdua berperahu di telaga itu, makan bersama dan bersenda gurau bersama. Dia tidak membayangkan hal-hal yang mesra, hanya ingin dekat dan bercakap-cakap dengan wanita yang luar biasa itu!
"Hay Hay".!"
Hay Hay terlonjak kaget. Suara Hui Lian! Gila benar! Apakah lamunannya tentang wanita itu tadi membuat dia menjadi gila sehingga dia mendengar suaranya" Biarpun dia tidak percaya bahwa itu adalah suara Hui Lian yang sesungguhnya, namun dia menengok juga ke kanan dan... tak salah lagi! Yang memanggilnya tadi bukan lain adalah Kok Hui Lian! Wanita itu nampak semakin cantik, wajahnya segar berseri tidak seperti dahulu yang agak diliputi mendung kedukaan. Wanita itu duduk di dalam sebuah perahu yang sedang besarnya dan melambai kepadanya. Dapat dibayangkan betapa girangnya rasa hati Hay Hay. Baru saja dirindukan, dilamunkan dan kini benar-benar berada di situ, di atas perahu yang jaraknya hanya sekitar lima meter dari perahunya, Hui Lian yang cantik jelita, Hui Lian yang manis, Hui Lian yang harum!
Saking gembiranya, Hay Hay bangkit berdiri dan sekali loncat, tubuhya sudah melayang ke arah perahu Hui Lian. Untung bahwa mereka berada di bagian yang sepi sehingga perbuatan Hay Hay itu tidaklah kelihatan orang lain yang tentu akan menimbulkan kekaguman dan perhatian.
"Enci Hui Lian"!" teriaknya. "Ah, Enci Hui Lian, betapa rindu aku padamu"!"
"Hay Hay, tak kusangka akan berjumpa denganmu di sini!" kata Hui Lian, juga dengan suara yang gembira sekali. Begitu kedua kakinya hinggap di atas perahu Hui Lian, Hay Hay lalu menghampiri dan memegang kedua tangan wanita itu sambil mengamati Hui Lian dari ujung rambut kepala sampai ke kaki.
"Aih, engkau nampak segar dan semakin cantik saja, Enci Hui Lian!"
"Hushhh"! Engkau masih juga belum berubah, pemuda mata keranjang!" kata Hui Lian sambil tertawa geli, akan tetapi kedua tangannya juga membalas remasan tangan Hay Hay, tanda bahwa ia girang dan gembira sekali bertemu dengan pemuda itu.
Pada saat itu terdengar suara batuk-batuk dan seorang laki-laki muncul dari dalam bilik perahu itu. Hay Hay merasa terkejut dan heran, akan tetapi Hui Lian bersikap tenang dan biasa saja, bahkan ia belum melepaskan kedua tangan pemuda itu dari genggamannya, hanya menoleh dan memandang kepada pria yang baru muncul itu sambil tersenyum girang.
"Suheng, inilah pemuda luar biasa yang pernah kuceritakan padamu itu, yang bernama Hay Hay!" katanya gembira!"
Hay Hay memandang kepada pria yang disebut suheng (kakak seperguruan) oleh Hui Lian dan diam-diam dia pun kagum. Seorang pria yang usianya tentu sudah lima puluh tahun lebih, lengan kirinya buntung sebatas siku, tubuhnya tinggi besar dan wajahnya membayangkan kejujuran, keterbukaan dan wibawa yang besar sehingga dia nampak gagah perkasa biarpun lengan kirinya buntung. Mengingat akan hebat dan tingginya ilmu kepandaian Hui Lian, dapat dia bayangkan bahwa tingkat suheng wanjta itu sudah tentu lebih hebat lagi.
"Hay Hay, perkenalkanlah. Dia itu adalah Suheng Ciang Su Kiat. Dia Suhengku, juga Guruku, juga suamiku."
"Ahhh"!" Mendengar kata "suamiku" itu, cepat-cepat Hay Hay melepaskan kedua tangannya yang sejak tadi saling berpegangan dengan kedua tangan Hui Lian, dan mukanya berubah kemerahan, sikapnya menjadi kikuk sekali.
Ciang Su Kiat memandang dengan sikap keren, sepasang alisnya yang tebal berkerut dan matanya mengamati wajah Hay Hay dengan tajam. "Hemm, kiranya inikah pemuda itu" Pantas! Dia tampan menarik dan pandai merayu, seorang pemuda lihai yang mata keranjang. Sumoi, kausebut dia pendekar mata keranjang" Hai, orang muda, kenapa engkau melepaskan kedua tanganmu setelah mengetahui bahwa Hui Lian adalah isteriku" Itu adalah suatu sikap pengecut yang sama sekali tidak dapat kuhargai. Bukankah ia nampak segar dan makin cantik katamu tadi" Ataukah itu pun hanya sekedar rayuan belaka?"
"Suheng"!" Hui Lian terbelalak memandang suaminya, terkejut karena belum pernah suaminya memperlihatkan sikap kurang senang seperti itu dan tahulah ia bahwa suaminya secara tiba-tiba dilanda cemburu!
"Sumoi, aku meragukan ceritamu bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi. Sikapnya menunjukkan bahwa dia hanyalah seorang perayu yang mata keranjang, dan tidak mampu menguasai perasaan hatinya sendiri. Orang muda, mari kita bicara di pantai agar tidak nampak orang lain."
"Tapi" baiklah!" kata Hay Hay yang tadinya meragu akan tetapi melihat sinar mata demikian jujur dan gagah dari Si Lengan Buntung, juga melihat sikap Hui Lian yang meragu dan agaknya gelisah, dia mengambil keputusan untuk menghadapi persoalan ini sampai tuntas. Dia harus berani bertanggung jawab, untuk membela diri yang memang tidak mempunyai niat buruk, juga untuk mencuci nama baik Hui Lian dari kecurigaan suaminya. Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapinya secara jantan! Maka, sekali melompat dia pun sudah melayang ke atas perarunya sendiri. Dia menanti sambil memegang dayung dan untuk sesaat lamanya, kedua orang pria itu saling pandang dari atas perahu masing-masing. Hay Hay mengangguk kepada Su Kiat, memberi tanda bahwa dia akan mengikutinya dan Su Kiat lalu mendayung perahunya menuju ke pantai yang sepi. Hay Hay mengikutinya dari belakang, diam-diam mengagumi suami isteri itu karena selama mendayung perahu ke tepi, keduanya diam saja dan sama sekali tidak kelihatan mereka bertengkar. Sungguh sikap dua orang yang sudah matang dan tidak hanya menurutkan perasaan hati saja.
Biarpun hatinya merasa tegang, namun diam-diam Hui Lian ingin sekali melihat apa yang akan terjadi antara suaminya dan Hay Hay. Diam-diam ia pun mendongkol sekali terhadap suaminya. Tidak tahukah suaminya bahwa cintanya hanya untuk suaminya, dan terhadap Hay Hay ia hanya merasa suka dan kagum, seperti seorang enci terhadap adiknya saja" Memang, tidak disangkal bahwa ia pernah tergila-gila kepada pemuda ini, terdorong oleh gairah nafsu berahinya, akan tetapi itu terjadi dahulu sebelum ia menjadi isteri suhengnya. Sekarang, tentu saja tidak ada lagi gairah nafsu terhadap pria lain karena ia telah mendapatkan segala-galanya dari suammya yang amat dicintanya. Biarlah, dia cemburu dan hendak kulihat apa yang akan dilakukan terhadap Hay Hay, pikirnya. Ia tidak merasa khawatir karena ia mengenal benar Hay Hay yang sudah pasti tidak akan mencelakakan suaminya dan dia pun tahu bahwa suaminya tidak akan dapat mencelakakan Hay Hay yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Pula, suaminya adalah seorang pendekar perkasa, tidak mungkin mau berbuat jahat terhadap orang lain hanya karena cemburu buta yang tidak beralasan sama sekali!
Ketika suami isteri itu meloncat ke darat, Hay Hay juga sudah tiba di darat dan dia pun meloncat dengan sigapnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang sekali.
"Toa-ko, aku masih tidak tahu apa maksudmu mengundangku ke tepi. Kalau kau menganggap aku bersalah karena kegembiraanku bertemu dengan Enci Hui Lian yang belum kuketahui bahwa ia sekarang telah menjadi isterimu, maka harap engkau suka memaafkan aku. Sungguh, aku tidak mempunyai maksud buruk, aku hanya demikian gembira dan hanya luapan kegembiraanlah yang membuat aku tadi memegang kedua tangan isterimu."
"Hemm, orang muda. Aku sudah mendengar tentang dirimu dari isteriku dan aku menghargai kejujuranmu. Melihat kemunculanmu dan engkau berpegang tangan dengan Sumoi Hui Lian, aku tidak apa-apa karena aku maklum bahwa tentu engkau bergembira bertemu dengannya, seperti juga isteriku bergembira bertemu denganmu. Akan tetapi, begitu mendengar bahwa aku suaminya, engkau segera melepaskan pegangan tanganmu. Hal ini kuanggap bahwa engkau tidak jujur, bahwa engkau tak lain hanyalah seorang laki-laki mata keranjang yang pandai merayu wanita. Timbul dugaanku bahwa kalau dulu engkau tidak sampai melanjutkan pelanggaran susila terhadap Sumoi, hanya karena engkau tidak berani menghadapi kelihaian Sumoi. Kalau engkau sekarang mampu memperlihatkan bahwa tingkat ilmu yang kaumiliki lebih tinggi dari tingkat Sumoi atau tingkatku, barulah aku percaya bahwa engkau memang tidak mau melakukan pelanggaran susila, dan baru aku akan percaya kejujuranmu. Nah, bersiaplah untuk menandingiku, orang muda, dan kalau engkau tidak mampu mengalahkan aku, maka aku akan menghajarmu karena engkau tak lain hanyalah seorang laki-laki mata keranjang perayu wamta yang hina!"
"Suheng!" Hui Lian berseru. "Jangan menuduh sedemikian keji terhadap Hay Hay! Dia bukanlah orang yang seperti kauduga itu, dan engkau takkan menang melawan dia, Suheng! Engkau dibikin buta oleh cemburu!"
Ciang Su Kiat mengangguk-angguk akan tetapi tersenyum kepada isterinya, sama sekali dia tidak memperlihatkan sikap marah kepada isterinya yang amat dicintanya itu. "Memang benar, aku merasa cemburu, Sumoi. Belum pernah aku merasa cemburu seperti sekarang ini! Akan tetapi alasanku untuk merasa cemburu kuat sekali, bukan cemburu karena menyangka engkau tidak setia kepadaku. Sama sekali bukan. Dijauhkan Tuhan aku dari perasaan seperti itu kepadamu, Sumoi. Akan tetapi aku merasa cemburu oleh sikap pemuda ini dan sebelum dia menunjukkan bahwa persangkaanku terhadap dirinya tidak benar, yaitu dengan mengalahkan aku. Sebelum dia mengalahkan aku, hatiku akan selalu digoda cemburu dan prasangka buruk terhadap dirinya."
"Tapi, sudah kuceritakan kepadamu betapa dia seorang yang kuat lahir batin, dan memang aku pernah tergila-gila kepadanya dan andaikata bukan dia yang kuat batinnya sehingga mengingatkan aku, tentu akan terjadi pelanggaran susila. Dialah yang mencegah terjadinya pelanggaran itu, Suheng. Semua itu telah kuceritakan kepadamu."
"Aku percaya padamu, Sumoi. Akan tetapi aku tidak percaya padanya. Dia bukan dewa, dan tidak mungkin dia kuat menolak dirimu! Kalau dia melakukan hal itu, tentu karena dia takut akan akibatnya, takut akan kelihaianmu dan takut menghadapi kemarahanmu kemudian. Nah, orang muda, majulah dan kita akan melihat bukti kejujuranmu."
"Suheng, engkau takkan menang." kata pula Hui Lian.
"Kalau begitu, baru hatiku puas dan aku akan minta maaf kepadanya, juga kepadamu, Sumoi. Marilah, orang muda."
"Hay Hay, layani dia. Si Keras Hati ini memang harus diperlihatkan buktinya, kalau tidak, dia akan gelisah terus, tak enak makan tak enak tidur!" Akhirnya Hui Lian berkata.
Hay Hay menarik napas panjang, lalu melangkah maju menghadapi Su Kiat sambil berkata, "Ciang-toako, aku tidak menyangkal bahwa aku suka akan keindahan, suka akan kecantikan wanita seperti aku suka akan tamasya alam indah, akan bunga-bunga. Aku suka akan keindahan dan kecantikan wanita merupakan suatu keindahan yang mengagumkan. Enci Hui Lian adalah seorang wanita yang luar biasa cantik jelitanya. Kuakui bahwa aku pernah tergila-gila kepadanya. Akan tetapi bukan berarti aku mencintanya. Demikian pula Enci Hui Lian, ia tidak cinta kepadaku. Kami saling tertarik karena saling mengagumi, karena dorongan gairah berahi yang wajar. Katakanlah aku mata keranjang, akan tetapi jangan mengira bahwa nafsu berahi akan mudah begitu saja mengalahkan aku sehingga aku menjadi mata gelap dan melakukan pelanggaran susila. Dan aku sama sekali bukan takut menghadapi ilmu kepandaian Enci Hui Lian, melainkan takut kalau sampai aku menodainya dan membuat hidupnya sengsara karena merasa ternoda kehormatannya. Sekarang, engkau tidak percaya kepadaku dan hendak mengujiku. Silakan Ciang-toako!"
Ciang Su Kiat mengangguk-angguk. "Bagus, nah, kauterimalah seranganku ini!" Dan begitu orang yang buntung lengan kirinya ini menyerang, Hay Hay terkejut dan kagum. Dia sudah menyangka bahwa Si Lengan Kiri Buntung ini tentulah ahli gin-kang yang hebat, mengingat betapa dalam hal gin-kang, Hui Lian juga hebat bukan main. Dan dugaannya memang tepat. Biarpun tadinya Ciang Su Kiat tidak memasang kuda-kuda, hanya berdiri biasa saja, akan tetapi begitu kata-katanya habis, tubuhnya sudah menerjang dengan kecepatan yang akan mengaburkan pandang mata lawan saking cepatnya.
Lengan kanannya bergerak menyambar dengan pukulan ke arah dada Hay Hay, nampaknya perlahan saja, akan tetapi datangnya cepat sekali dan dari telapak tangannya menyambar hawa pukulan yang dahsyat. Pukulan ini menjadi semakin berbahaya karena dibayangi sambaran ujung lengan baju kosong yang menotok ke arah pelipis kanan Hay Hay! Memang, Su Kiat yang ingin menguji kepandaian pemuda itu, tidak mau membuang banyak waktu dan begitu bergerak, dia telah mainkan Ilmu Silat Sian-eng Sin-kun, ilmu silat sakti peninggalan kitab dari Sian-eng-cu The Kok, seorang di antara Delapan Dewa. Tentu saja hebat bukan main serangannya itu.
Akan tetapi, yang diserangnya adalah seorang pemuda yang juga menjadi murid dua orang di antara Delapan Dewa, bahkan pemuda ini digembleng oleh dua orang sakti itu sendiri, tidak seperti Ciang Su Kiat yang hanya mempelajari dari peninggalan kitab. Oleh karena itu, kalau dibuat perbandingan, tentu saja Su Kiat masih kalah jauh dalam hal ilmu silat dibandingkan Hay Hay. Akan tetapi, untuk mengurangi jarak kekalahannya dalam pendidikan ilmu silat, si lengan kiri buntung ini telah memiliki tenaga yang luar biasa berkat makan jamur selama sepuluh tahun, jamur aneh yang hanya terdapat dalam sebuah guha di tebing yang terjal, maka kekalahannya itu dapat ditebus oleh kekuatan mujijat itu. Makan jamur selama sepuluh tahun ini membuat Su Kiat dan Hui Lian memiliki tenaga sin-kang dan gin-kang yang istimewa, dan pada Hui Lian bahkan akibatnya membuat wanita ini memiliki keringat yang harum baunya!
Melihat datangnya serangan, Hay Hay melangkah ke belakang sambil mengibaskan kedua tangannya menangkis. Akan tetapi, dengan kecepatan yang luar biasa, Su Kiat telah menarik kedua lengannya dan sudah melangkah maju mendesak dan menyerang lagi dengan lebih ganas. Ujung lengan baju kiri itu kini tiba-tiba saja menegang dan menusuk seperti sebatang pedang ke arah muka Hay Hay, di antara kedua matanya, sedangkan tangan kanan sudah melakukan cengkeraman ke arah perut. Dua serangan ini datang secara bertubi dan yang berbahaya adalah karena kecepatannya, dan ujung lengan baju tangan kiri itu juga tak boleh dipandang ringan karena setelah dialiri tenaga sin-kang, menjadi kaku seperti sebatang pedang dan kalau mengenai sasaran antara kedua mata Hay Hay, tentu amat berbahaya.
Namun, dengan tenang dan mudah saja, Hay Hay kembali dapat menghindarkan diri dengan memutar tubuh dan mengibaskan kedua tangan menangkis. Dia masih belum mau membalas karena belum merasa perlu dan belum terdesak. Melihat betapa pemuda itu dengan mudahnya dapat menghindarkan diri, Ciang Su Kiat tidak mau memberi hati dan kini dia menyusulkan serangan bertubi-tubi, dengan ujung lengan baju kiri, dengan tangan kanan, bahkan dengan kedua kakinya yang dapat mengirim tendangan istimewa. Kini Hay Hay didesak terus dengan serangan yang datang bagaikan gelombang samudera, susul-menyusul dan tiada hentinya. Dibandingkan dengan Kok Hui Lian, tentu saja tingkat Ciang Su Kiat lebih tinggi, karena sebelum keduanya menemukan kitab-kitab peninggalan dua orang di antara Delapan Dewa, yaitu mendiang In Liong Nio-nio dan mendiang Sian-eng-cu The Kok, Su Kiat telah memiliki ilmu silat cukup kuat sebagai murid pilihan Cin-ling-pai sedangkan Hui Lian merupakan gadis cilik yang belum pernah belajar ilmu silat.
Kini Hay Hay terkejut dan i harus mengakui bahwa lawannya amat tangguh, dan kalau dia hanya main elak dan tangkis saja, akhirnya dia akan terancam bahaya besar. Maka, setelah membiarkan lawannya mendesaknya sampai belasan jurus, barulah Hay Hay mulai membalas dan karena dia maklum bahwa menghadapi seorang lawan tangguh seperti itu dia tidak boleh main-main, begitu membalas dia sudah mengeluarkan ilmu simpanan Ciu-sian Cap-pek-ciang! Ilmu ini adalah ciptaan Ciu-sian Lo-kai, sudah hebat bukan main walaupun hanya terdiri dari delapan belas jurus. Akan tetapi setelah Hay Hay digembleng oleh kakek aneh setengah gila Song Lo-jin, semua ilmunya, termasuk Ciu-sian Cap-pek-ciang, menjadi hebat bukan main! Begitu Hay Hay mengelak dan menangkis lalu membalas dengan jurus ke tiga belas, disertai pengerahan sin-kang, Ciang Su Kiat yang mencoba untuk menangkis, merasa seperti dilanda badai dan betapa pun dia bertahan, tetap saja tubuhnya terlempar ke belakang seperti daun kering tertiup angin. Dia terhuyung dan akhirnya terpaksa merobohkan dirinya dan bergulingan agar jangan sampai terbanting. Melihat betapa suaminya terlempar dan terhuyung kemudian bergulingan, Hui Lian meloncat ke depan dan menyerang Hay Hay dengan tamparannya.
"Engkau melukai suamiku"!" bentaknya marah.
Hay Hay terkejut, akan tetapi tidak mengelak dan menerima tamparan itu dengan pundaknya.
"Plakk!" Dan tubuh Hay Hay terpelanting!
"Sumoi, jangan"!" Ciang Su Kiat membentak.
"Aih, Suheng, engkau tidak apa-apa?" Hui Lian membalik dan girang melihat suaminya sudah berada di belakangnya dan tidak kelihatan terluka parah.
"Aku tidak apa-apa. Kenapa engkau menyerang dia, Sumoi?"
"Kukira... kukira dia telah melukaimu, Suheng?" kata Hui Lian menyesal.
Su Kiat menghampiri Hay Hay yang sudah bangkit berdiri. Ada sedikit darah di bibir Hay Hay. Tamparan tadi memang hebat, akan tetapi dia sengaja menerimanya. Dia tidak terluka, namun guncangan karena tamparan itu membuat dia muntahkan sedikit darah.
"Saudara Hay Hay, engkau tidak apa-apa?" tanya Su Kiat, suaranya ramah dan pandang matanya penuh kagum. "Maafkan isteriku?"
Hay Hay tersenyum. "Tidak mengapa, Toako. Aku tahu bahwa Enci Hui Lian memang galak dan tamparannya hebat sekali. Akan tetapi kini bertambah pengetahuanku bahwa ia amat mencintamu, Toako, dan tadi ia seperti seekor singa betina marah melihat jantannya diganggu!"
"Ah, Hay Hay, kaumaafkan aku!" kata Hui Lian yang menghampiri dan dengan menyesal ia meletakkan tangannya di atas pundak Hay Hay, untuk memeriksa pundak yang ditamparnya tadi.
Su Kiat tersenyum melihat isterinya merangkul pundak pemuda itu, dan dia pun merangkul Hay Hay. "Sungguh, engkau seorang pemuda hebat, Hay Hay! Engkau memang patut mendapatkan perhatian dan kasih sayang setiap orang wanita. Engkau begini lihai, akan tetapi tidak mau mempergunakan ketampanan dan kelihaianmu untuk menghina wanita, bahkan engkau mengalah terhadap aku yang mencurigaimu. Maafkan aku."
Hay Hay tertawa gembira dan dia pun merangkul kedua orang itu seperti dua orang sahabat baiknya. Dia menoleh ke kiri, ke arah Hui Lian. "Enci, pilihanmu yang terakhir ini sungguh tepat sekali. Engkau telah memperoleh seorang suami yang hebat, berkepandaian .tinggi, berwatak jujur dan terbuka, gagah perkasa. Sungguh, dan engkau juga, Ciang-toako, engkau telah memperoleh seorang isteri yang tiada keduanya di dunia ini. Aku harus mengucapkan kionghi (selamat) kepada kalian!" Dia pun melepaskan rangkulannya dan memberi hormat kepada mereka yang dibalas oleh suami isteri itu yang tersipu-sipu, akan tetapi juga gembira sekali.
"Nah, Hay Hay, mari kita lanjutkan percakapan kita dalam pertemuan yang tadi terganggu." kata Hui Lian sambil melirik ke arah suaminya yang juga tersenyum. "Engkau datang darimana dan hendak ke mana?"
Hay Hay mengangkat tangan dan mengamangkan telunjuknya kepada Hui Lian seperti orang menegur. "Ih, Enci Hui Lian, sudahlah jangan menyindir suamimu sendiri. Aku dalam perjalanan menuju ke Pegunungan Yunan"."
"Ahhh".! Apa sekiranya ada hubungannya dengan persekutuan orang-orang dunia hitam?" Hui Lian memotong.
"Benarkah engkau hendak menyelidiki persekutuan yang kabarnya dipimpin oleh Lam-hai Giam-lo itu?" Ciang Su Kiat juga bertanya.
Kini Hay Hay memandang mereka dengan mata terbelalak. "Wah, kalian ini bukan saja suami isteri yang lihai ilmu silatnya, akan tetapi agaknya juga pandai meramal dan membaca isi hati orang. Bagaimana kalian bisa menduga bahwa aku hendak menyelidiki persekutuan itu dan kalian tahu pula bahwa persekutuan itu dipimpin Lam-hai Giam-lo?"
"Tentu saja kami dapat menduga karena kami sendiri pun sedang menuju ke sana. Kami sudah mendengar akan persekutuan itu, akan tetapi kami tidak ada urusan dengan itu, yang penting aku harus mencari Lam-hai Giam-lo, musuh besar kami!" kata Ciang Su Kiat.
"Musuh besar kalian?"
"Dialah yang membuat kami berdua terjatuh ke dalam jurang sehingga kami berdua terpaksa hidup selama sepuluh tahun di dalam jurang itu sebelum kami berhasil naik ke dunia ramai. Sudah lama kami mencarinya dan beberapa kali kami hampir berhasil membunuhnya, akan tetapi dia selalu dapat menghindarkan diri dan akhirnya selama bertahun-tahun ini kami kehilangan jejak. Entah di mana dia bersembunyi." kata Hui Lian.
"Baru beberapa bulan yang lalu kami mendengar bahwa dia kini memimpin sebuah persekutuan antara tokoh-tokoh sesat yang hendak menyusun kekuatan di pegunungan atau dataran tinggi Yunan, kabarnya hendak mengadakan pemberontakan. Kami tidak peduli akan hal itu. Yang penting, kami harus mencari Lam-hai Giam-lo untuk membalas kejahatannya yang dilakukan kepada kami belasan tahun yang lalu," sambung Su Kiat.
"Dan engkau sendiri, apa yang mendorongmu untuk melakukan penyelidikan tentang persekutuan tokoh-tokoh sesat itu, Hay Hay?" tanya Hui Lian.
Hay Hay lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Menteri Yang Ting Hoo di rumah Jaksa Kwan. "Engkau tentu masih ingat, Enci Hui Lian, tentang mustika batu kemala milik Jaksa Kwan itu" Nah, aku pergi ke rumah Jaksa Kwan untuk mengembalikan batu mustika itu, akan tetapi Jaksa Kwan memberikan batu itu kepadaku dan di sana aku bertemu dengan Menteri Yang Ting Hoo. Mereka berdua menceritakan tentang Lam-hai Giam-lo yang memimpin persekutuan para tokoh sesat yang lihai.
Di antara mereka terdapat banyak tokoh sesat yang berilmu tinggi seperti Lam-hai Siang-mo, suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan Min-san Mo-ko, Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, bahkan para pendeta Pek-lian-kauw juga bergabung dengan mereka. Menteri Yang minta bantuanku agar membantu para pendekar untuk menghadapi para tokoh sesat, sedangkan pasukan kaum pemberontak akan dihancurkan pasukan pemerintah kalau saatnya tiba. Aku pun lalu berangkat dan sampai di sini, tertarik oleh keindahan telaga, aku lalu berhenti dengan maksud untuk menikmati keindahan telaga selama beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanan."
"Hemm, kalau begitu, kami pun akan membantu para pendekar untuk menentang gerakan persekutuan itu!" kata Su Kiat penuh semangat.
"Kebetulan sekali engkau tertarik oleh telaga ini. Demikianpun kami, Hay Hay. Kami melihat telaga ini dari atas ketika akan memasuki kota Wei-ning dan kami juga tertarik dan singgah di sini. Sungguh kebetulan sekali sehingga kita dapat saling jumpa. Kalau begitu, sebaiknya kalau kita pergi bersama ke dataran tinggi Yunan, bersama-sama melakukan penyelidikan terhadap persekutuan itu!" kata Hui Lian gembira.
Akan tetapi Hay Hay menggeleng kepalanya dan tersenyum Dia maklum bahwa biarpun Su Kiat kelihatan tersenyum dan sinar matanya tidak lagi membayangkan keraguan dan kemarahan, namun pendekar itu tetap saja merupakan seorang laki-laki biasa dan tentu akan timbul kembali cemburunya kalau dia melakukan perjalanan bersama mereka dan kemudian nampak hubungan yang amat akrab antara dia dan Hui Lian. Tidak, dia tidak akan mengganggu ketenteraman dan kedamaian hubungan suami isteri yang saling mencinta itu.
"Kurasa sebaiknya kalau kita melakukan tugas kita secara terpisah. Bukankah akan lebih mudah melakukan penyelidikan kalau kita berpencar" Kita tentu akan saling jumpa di sana dan dapat saling membantu." katanya.
Su Kiat mengangguk-angguk. "Apa yang dikatakan Hay Hay itu memang benar. Lam-hai Giam-lo sudah lihai, kalau dia dibantu oleh banyak tokoh sesat yang lihai, maka keadaan di sana itu amat berbahaya. Kita harus berhati-hati dan melakukan penyelidikan beramai-ramai tentu akan lebih mudah diketahui pihak musuh."
Hui Lian nampak kecewa akan tetapi ia tidak mendesak karena naluri kewanitaannya yang halus juga memperingatkannya bahwa kebersamaannya dengan Hay Hay memang cukup berbahaya dan dapat menimbulkan salah sangka dan cemburu di pihak suaminya.
"Kami sudah berada di sini tiga hari, hari ini kami harus melanjutkan perjalanan. Kami akan berangkat lebih dulu." Kata pula Su Kiat. Mereka lalu berpamit dari Hay Hay yang masih ingin pesiar di telaga itu.
Hay Hay cepat menghapus ingatannya dari suami isteri itu dan kembali mendayung perahunya setelah suami isteri itu mengembalikan perahu yang mereka sewa. Akan tetapi sungguh mengherankan hati Hay Hay. Biarpun dia sudah berhasil mengusir bayangan suami isteri itu, terutama sekali bayangan Hui Lian, tetap saja dia sudah kehilangan kegembiraan dan kehilangan gairah. Dia merasa seolah-olah kesepian. Akhirnya dia pun mendayung perahunya ke tepi dan mengembalikan perahu sewaan itu, lalu dia menggendong buntalan pakaiannya dan berjalan-jalan di tepi telaga. Matahari telah naik tinggi dan sinarnya menyengat kulit. Hay Hay menjauhkan diri dari tempat ramai, berjalan-jalan di bagian tepi telaga, yang penuh dengan pohon-pohon rindang. Di situ sunyi dan dia terlindung dari sinar matahari yang terik. Tidak ada seorang pun di situ, juga perahu-perahu itu berada jauh dari bagian itu, merupakan perahu-perahu yang nampak kecil dan memenuhi permukaan telaga di sebelah sana dan di tengah telaga. Akan tetapi tidak sebanyak pagi tadi. Perahu-perahu yang tidak memakai bilik, yaitu perahu-perahu kecil yang terbuka, mulai berkurang. Tentu mereka yang mempergunakan perahu-perahu terbuka itu kepanasan dan sudah mulai meninggalkan telaga. Hanya perahu-perahu yang ada biliknya sajalah yang masih berseliweran, agaknya para penumpangnya asyik sendiri terutama mereka yang membawa gadis-gadis penghibur.
Hay Hay sama sekali tidak tahu bahwa sejak pertemuannya dengan para pendeta Pek-lian-kauw di malam itu, para pendeta itu tidak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengintaian. Bahkan ketika dia bertanding melawan Ciang Su Kiat, banyak mata menonton dari jarak aman. Makin teganglah hati para pendeta Pek-lian-kauw melihat betapa pemuda yang mereka takuti itu, menghadapi lawan Si Lengan Buntung yang demikian lihai pun masih mampu menang! Sebagian dari mereka sudah lama memberi laporan kepada Lam-hai Giam-lo tentang munculnya pemuda lihai itu. Dan Lam-hai Giam-lo tentu saja menjadi curiga dan penasaran lalu dia mengutus dua orang pembantunya yang paling dipercaya, yaitu Min-san Mo-ko dan Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi, untuk menyelidiki siapa pemuda itu dan kalau perlu membantu lima tokoh Pek-lian-kauw untuk menundukkan pemuda itu.
"Kalau dia benar selihai seperti yang dilaporkan, kalau mungkin bujuklah agar dia dapat bekerja sama dengan kita, membantu gerakan kita." Lam-hai Giam-lo memesan kepada dua orang pembantunya itu, "Kukira Tok-sim Mo-li cukup tahu bagaimana untuk menundukkan hati seorang pemuda. Kalau kiranya tidak mungkin, daripada dia menjadi ancaman bagi kita, bunuh saja dia."
Dengan penuh semangat, guru dan murid yang menjadi kekasih itu berangkat bersama pendeta Pek-lian-kauw yang melapor itu. Akan tetapi, ketika Min-san Mo-ko dan Ji Sun Bi melihat siapa adanya pemuda itu, tentu saja mereka terkejut bukan main.
"Hay Hay".!" desis Ji Sun Bi dari tempat ia mengintai.
"Pemuda setan itu!" kata pula Min-san Mo-ko dengan hati gentar. Mereka sudah pernah merasakan kelihaian pemuda itu, bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi bahkan memiliki ilmu sihir yang pernah membuat guru dan murid ini tidak berdaya dan dipermainkan. Pantas saja lima orang pendeta Pek-lian-kauw yang ahli sihir itu tidak mampu menandinginya! Bahkan kini guru dan murid itu sendiri saling pandang dengan sikap ragu- ragu dan was-was karena mereka sangsi apakah dengan bantuan mereka yang bergabung dengan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu mereka akan mampu mengalahkan, Hay Hay.
"Kita harus minta bala bantuan." Kata Min-san Mo-ko kepada muridnya, tanpa malu-malu lagi.
Ji Sun Bi mengangguk. "Benar, dan kurasa hanya ada dua orang saja di antara perserikatan kita yang akan mampu menandinginya. Pertama tentu saja Lam-hai Giam-lo sendiri, akan tetapi Bengcu kita itu tak mungkin turun tangan sendiri. Dan ke dua adalah Ki Liong. Baiknya aku segera mengundangnya ke sini untuk memperkuat kita."
Min-san Mo-ko yang maklum akan kelihaian Ki Liong yang kini dikenal sebagai Sim Ki liong, pembantu utama dari Lam-hai Giam-lo, mengangguk menyetujui. Berangkatlah Ji Sun Bi secepatnya, kembali ke dataran tinggi Yunan yang tidak berapa jauh lagi dari situ, sedangkan Min-san Mo-ko dan lima orang pendeta Pek-lian-kauw itu hanya membayangi Hay Hay dari kejauhan, tidak berani turun tangan. Dan karena Hay Hay mengambil keputusan untuk tinggal selama tiga hari di kota Wei-ning dan berpesiar di Telaga Cao, maka Ki Liong dapat tiba di situ bersama Ji Sun Bi sebelum Hay Hay meninggalkan tempat itu.
Pada hari terakhir itu pagi-pagi sekali Hay Hay sudah duduk di tepi telaga, di tempat yang paling sepi, sambil memegang setangkai pancing. Kemarin ketika berperahu, dia melihat bahwa di bagian ini justeru banyak sekali ikannya, dan dia ingin sekali mengail ikan di situ dan kalau mendapatkan ikan lalu dipanggangnya di situ pula. Untuk keperluan ini dia sudah membawa bumbu dan gatam dari rumah penginapan.
Akan tetapi sial baginya. Sampai satu jam lebih dia duduk di situ, tak seekorpun ikan mencium umpannya! Dia menganggap dirinya sial, padahal hari masih terlampau pagi dan agaknya ikan-ikan masih belum waktunya keluar dari sarang mencari makanan.
"Huh, apakah kalian masih tidur" Ataukah belum waktunya sarapan pagi" Atau pergi melancong sekeluarga kalian?" Hay Hay mengomel panjang pendek akan tetapi dia lalu tertawa geli, mentertawakan diri sendiri. Mana mungkin ada ikan tidur" Dan dia termenung. Bagaimana kalau ikan beristirahat dan tidur" Apakah juga ada waktu makan seperti manusia, makan pagi, siang dan malam sebanyak tiga kali" Ataukah asal lapar lalu makan tanpa waktu" Dan pernahkan keluarga ikan itu bersenang-senang, pelesir bersama anak isterinya" Gambaran ini demikian menggelitik hatinya sehingga dia pun tertawa dengan bebas karena ditempat itu tidak terdapat orang lain.
"Ha-ha-ha, engkau sudah gila, Hay Hay!" demikian dia berkata, lalu mengangkat pancingnya, mengganti dengan umpan yang baru dan mulai memancing lagi. Memancing adalah suatu pekerjaan yang mengasyikkan. Kalau dia tidak membiarkan pikirannya melamun, mengingat-ingat hal yang lalu atau membayangkan hal mendatang, maka pikiran menjadi tenang dan hening, dan kalau semua perhatiannya ditujukan kepada tali pancing di permukaan air telaga, keadaannya hampir sama dengan kalau dia bersamadhi. Tenang dan damai, demikian keadaan seorang yang sedang mengail kalau pikirannya tidak melayang-layang, melainkan tenggelam dalam keheningan. Dia menjadi lupa waktu, lupa keadaan, tidak menyadari bahwa satu jam telah lewat pula dan kini sinar matahari pagi mulai menciptakan sinar keemasan pada permukaan air telaga. Dan agaknya sinar matahari pagi itu yang menggugah ikan-ikan karena mulailah dia merasa betapa ujung tali pancingnya bergerak-gerak, tanda bahwa umpannya mulai ada yang menciumnya! Tentu saja seluruh perhatian Hay Hay dicurahkan ke ujung pancingnya sehingga dia tidak tahu akan datangnya sebuah perahu kecil yang di dayung oleh seorang gadis menuju ke tempat dia mengail.
Hay Hay baru sadar ketika ikan-ikan yang mulai mencium umpannya itu tiba-tiba melepaskan umpan dan permukaan air berombak, lalu terdengar suara dayung memukul air.
"Haiii".!" Dia mengangkat mukanya dan berteriak marah. "Apakah engkau tidak tahu bahwa di sini ada orang sedang mengail ikan" Engkau datang mengganggu sehingga ikan-ikan yang sudah mulai mendekati umpan pancingku, kini lari cerai-berai ketakutan karena datangnya perahumu!"
Perahu itu telah datang dekat, dan penumpangnya yang tadi mendayung perahu itu bangkit berdiri. Karena orang itu tadinya tertutup mukanya oleh sebuah caping lebar pelindung muka itu dari panas matahari, maka setelah orang itu berdiri dan mendorong caping ke belakang, baru nampak oleh Hay Hay bahwa penumpang perahu yang ditegurnya itu ternyata adalah seorang gadis remaja yang tersenyum manis sekali!
Gadis yang usianya paling banyak delapan belas tahun, pakaian dan wajahnya sederhana, namun tubuh yang mulai mekar ranum itu menarik sekali, sedangkan wajah yang sederhana tanpa bedak gincu itu memiliki daya tarik yang amat kuat, mungkin karena kelembutan dan kepolosan yang terpancar pada wajah yang berseri itu.
"Maaf, aku tidak tahu bahwa aku mengganggumu." kata gadis itu, dan suaranya juga lunak halus.
"Maaf, maaf! Setelah ikan-ikan itu pergi jauh" Aih, engkau tidak tahu bahwa engkau telah merampas sedikitnya seekor ikan besar untuk sarapanku, padahal perutku sudah lapar dan sejak tadi aku sudah siap untuk memanggang ikan hasil pancinganku!" kata Hay Hay, mulai berkurang kemarahannya melihat betapa gadis itu bersikap dan berbicara demikian lunak dan halus.
Gadis itu masih tersenyum ramah dan sinar matanya mengandung penyesalan.
"Ah, kalau begitu aku berhutang seekor ikan padamu, bung! Nah, biar kubayar hutang itu!" Gadis itu masih berdiri di atas perahunya, dan dayung itu dipegangnya dengan tangan kanan. Kini matanya mengamati permukaan air telaga yang mulai tenang lagi setelah berhenti meluncur. Tiba-tiba dayungnya menyambar ke bawah, terdengar air terpukul dan gadis itu berjongkok, lalu tangan kirinya mengambil seekor ikan sebesar betis yang sudah mengambang karena mati terpukul dayungnya.
"Nah, inilah hutangku padamu, bung!" katanya sambil melemparkan ikan itu ke darat, di belakang Hay Hay.
Melihat ini Hay Hay terbelalak dan dia semakin tertarik. Gadis remaja yang lembut dan halus sikap dan tutur sapanya itu ternyata seorang gadis yang memiliki ilmu kepandalan hebat sehingga dengan mudah dapat menangkap seekor ikan yang dipukul dengan dayungnya. Hay Hay tersenyum lebar, merasa penasaran karena agaknya gadis itu hendak memamerkan kepandaiannya.
"Hemm, aku ingin mengail, bukan menangkap ikan begitu saja. Engkau tidak tahu seninya orang mengail, Nona. Kalau aku mau, tentu akan dapat pula menangkap ikan semudah seperti yang kaulakukan itu!" Hay Hay bangkit berdiri dan memandang permukaan air. Air yang jernih itu membuat dia dapat melihat beberapa ekor ikan berenang tak jauh dari situ. Dia menggerakkan tangkai pancirignya yang terbuat dari bambu itu. Tangkai itu meluncur ke dalam air dan ketika dia mencabutnya kembali, ujungnya sudah menusuk seekor ikan yang menggelepar-gelepar. Dia melepaskan ikan itu di atas darat, kemudian dengan cepat tangkai pancingnya masih dua kali lagi meluncur dan dalam waktu yang cepat dia sudah menangkap tiga ekor ikan yang cukup gemuk!
"Ah, kiranya engkau seorang yang amat lihai, yang menyamar sebagai seorang pengail. Maaf kalau aku bersikap kurang hormat, dan maafkan sekali lagi bahwa tadi aku telah mengganggu tanpa kusengaja." Gadis itu memberi hormat dari perahunya, kemudian duduk kembali dan dengan perlahan mendayung perahunya ke tengah.
"Heiii, Nona! Nanti dulu!" Hay Hay berteriak. "Engkau sudah bersalah padaku dan aku tidak mau memaafkan sebelum menghukummu!"
Gadis itu menahan perahunya, alisnya berkerut karena ia mengira bahwa pemuda di pantai itu akan bersikap kurang ajar. Akan tetapi dengan suara tetap lembut penuh kegembiraan, ia bertanya. "Aku memang bersalah, akan tetapi tidak kusengaja dan aku sudah minta maaf. Hukuman apa yang akan kaujatuhkan kepadaku?"
"Lihat!" Hay Hay menunjuk ke arah empat bangkai ikan tadi. "Karena ulahmu di sini empat ekor ikan yang tidak berdosa telah mati. Kalau tidak dimakan dagingnya, itu namanya suatu pemborosan dan sia-sia namanya. Karena itu, aku akan menghukummu agar engkau membantuku menghabiskan daging empat ekor ikan ini. Aku sudah siap dengan bumbu-bumbunya dan kalau dipanggang, daging ikan ini lezat sekali!"
Lenyaplah kerut-merut pada alis gadis itu dan ia pun tertawa, lalu mendayung perahu ke tepi. "Baiklah, aku terima hukuman itu!" katanya sambil tersenyum. "Aku pun lapar sekali!" Ia meloncat ke darat dan menarik tali perahu itu ke darat. Demikian mudahnya gadis itu menarik perahu ke darat, padahal pantai itu agak terjal, hal ini menunjukkan bahwa ia memang bukan gadis sembarangan dan memiliki tenaga yang kuat.
Mereka kini berdiri berhadapan, saling pandang dan Hay Hay semakin tertarik. Gadis ini tidak cantik sekali, akan tetapi pembawaannya demikian polos dan wajar, dan tubuhnya indah, memiliki daya tarik besar. Memang banyak dia temui wanita cantik yang kurang begitu kuat daya tariknya, seolah-olah setangkai bunga yang tidak begitu harum. Akan tetapi gadis ini bagaikan setangkai bunga sederhana yang amat harum semerbak, yang memiliki daya tarik besar dan membuat orang suka sekali berdekatan dan bicara dengannya. Sepasang matanya demikian lembut, keibuan dan penuh kesabaran, mulutnya juga selalu tersenyum ramah, wajahnya yang tanpa bedak itu kemerahan dan segar bagaikan setangkai bunga mawar merah bermandi embun. Pakaiannya juga sederhana, namun bahkan menonjolkan keindahan tubuhnya yang sedang mekar
Agaknya masing-masing merasa puas dengan apa yang mereka pandang dan nilai, karena keduanya tersenyum dan gadis itu berkata, "Mari kubantu engkau memanggang ikan."
Keduanya tidak banyak cakap, melainkan sibuk membersihkan sisik ikan-ikan itu, membuang isi perutnya, mencuci dengan air telaga dan melumurinya dengan bumbu yang sudah dipersiapkan oleh Hay Hay. Tak lama kemudian masing-masing memegangi dua tusuk bambu, memanggang dua ekor ikan di atas api membara dan terciumlah bau yang sedap.
"Aduh sedapnya"! Perutku menjadi semakin lapar saja!" kata gadis itu dan cuping hidungnya kembang kempis, lucu sekali.
"Ha-ha-ha, air liurku tak dapat kutahan lagi!" Hay Hay juga berkata dan dia tertawa, merasa gembira bukan main. Kehadiran gadis ini sungguh merupakan berkah baginya, membuat hari nampak demikian cerah dan suasana demikian gembira dan indah. Bukan main!
Tak lama kemudian, keduanya sudah mengganyang ikan-ikan itu dan terasa gurih, manis dan lezat bukan main. Gadis itu tidak kelihatan malu-malu. Ia memiliki watak yang terbuka dan polos, namun lembut, tidak liar seperti watak Kui Hong atau Bi Lian. Sama sekali tidak kelihatan galak, walaupun kadang-kadang sinar matanya mencorong penuh wibawa. Sebentar saja, daging ikan-ikan itu telah habis, tinggal kepala, ekor dan tulang-tulangnya saja.
"Sayang tidak ada minuman?"
"Jangan khawatir, Nona. Aku membawa sebotol anggur." Hay Hay mengeluarkan botol anggur dari buntalannya.
"Aku kurang begitu suka minum arak."
"Ini bukan arak keras, melainkan anggur yang halus. Rasanya manis dan enak, tidak memabokkan asal tidak terlampau banyak, dan menghangatkan perut. Cobalah!" Hay Hay menyodorkan botol yang terisi anggur hampir penuh itu sambil membuka tutupnya.
Gadis itu mendekatkan mulut botol ke bawah hidungnya. "Hemm, baunya memang harum. Akan tetapi mana cawannya" Akan kucoba sedikit, untuk menghilangkan amis ikan tadi dari mulut."
"Aku tidak membawa cawan, Nona. Minumlah saja dari botol, mengapa?"
"Ihh, mulut botol akan berbau amis oleh mulutku yang habis makan panggang ikan."


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa salahnya" Mulutku juga." kata Hay Hay.
Gadis itu tersenyum, kemudian menuangkan isi botol itu, diterima oleh mulutnya yang terbuka sehingga ia dapat minum anggur itu tanpa menyentuh bibir botol dengan bibirnya. Melihat mulut gadis itu terbuka, melihat rongga mulut yang merah sehat, gigi yang putih berkilau dan lidah yang merah jambu, bibir yang basah kemerahan pula, Hay Hay menelan ludah. Seorang gadis yang sehat dan bersih, dan memiliki daya tarik yang amat kuat justeru oleh kesederhanaannya!
"Hemm, engkau terlalu sopan, Nona." katanya setelah gadis itu mengembalikan botol anggur.
Gadis itu tidak menanggapi, melainkan memuji. "Anggurmu sungguh enak."
"Dan ini untuk mencuci dan menyegarkan mulut!" kata Hay Hay, mengeluarkan empat buah pir dan memberikannya kepada gadis itu dua buah. Wajah itu nampak berseri.
"Heii! Engkau seperti tahu saja akan buah kesukaanku!" teriaknya dan ia pun segera makan buah pir yang banyak airnya itu, segar dan manis rasanya, dan memang merupakan pencuci mulut yang segar untuk menghilangkan amis dan dari daging ikan tadi.
Mereka kini makan buah dan duduk berhadapan di atas rumput. Tiba-tiba Hay Hay tertawa, "Sungguh lucu sekali!"
"Apanya yang lucu?"
Gadis itu bertanya heran lalu memandangi tubuhnya, membereskan rambutnya yang agak awut-awutan karena ia mengira dirinya yang nampak lucu.
"Kita sudah menangkap ikan bersama, makan ikan dan minum anggur, kini makan buah bersama, seperti dua orang sahabat karib yang saling mengenal selama bertahun-tahun. Padahal kita baru saja saling jumpa secara kebetulan, bahkan kita belum mengenal nama masing-masing. Apakah kaukira tidak sepatutnya sudah kalau kita saling memperkenalkan nama" Namaku adalah Hay Hay."
"Dan namaku Ling Ling."
"Heii! Nama kita juga mirip, hanya satu suku kata yang diulang. Ling Ling, nama yang indah dan manis sekali, sesuai dengan orangnya!"
Ling Ling adalah Cia Ling, puteri tunggal dari Cia Sun. Seperti telah kita ketahui, Cia Ling atau panggilannya Ling Ling ini meninggalkan tempat tinggal ayahnya di dusun Ciangsi-bun di sebelah selatan kota raja, berkunjung ke Cin-ling-pai. Kemudian ia meninggalkan Cin-ling-pai untuk melanjutkan perjalanannya merantau dan mencari pengalaman sebelum pulang ke rumah orang tuanya. Dalam perjalanannya inilah ia mendengar akan persekutuan para tokoh dunia hitam yang kabarnya bersarang di dataran tinggi Yunan. Ia merasa tertarik. Persekutuan orang jahat itu tentu akan ditentang oleh para pendekar, pikirnya, mengingat akan cerita ayahnya tentang pengalaman ayahnya dahulu ketika masih muda, di mana para pendekar selalu siap untuk menentang gerakan para penjahat di dunia kang-ouw. Inilah kesempatan baik untuk meluaskan pengetahuan, pikirnya. Demikianlah, gadis gagah perkasa ini tanpa ragu lagi lalu melakukan perjalanan menuju ke selatan, ke Yunan. Dan ketika tiba di Telaga Cou, dara perkasa ini tertarik sekali dan menyewa perahu kecil sampai perjumpaannya yang tak disangka-sangka dengan seorang pemuda yang aneh dan menarik hatinya. Gadis ini mengalami cukup banyak godaan dan halangan di sepanjang perjalanannya, namun berkat ilmu silatnya yang tinggi, ia mampu mengatasi semua halangan, bahkan banyak menghajar orang-orang jahat yang berani mengganggunya, baik untuk merampok perbekalannya atau pun untuk mengganggu dirinya sebagai seorang gadis muda yang cukup menarik dan yang melakukan perjalanan senditian saja.
Kini, mendengar kata-kata Hay Hay yang mengatakan bahwa namanya indah dan manis sekali sesuai dengan orangnya, gadis ini memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan sepasang alisnya berkerut sedikit. Namun, suaranya masih terdengar lembut dan sabar ketika ia bertanya.
"Apa maksudmu?"
Ia mulai merasa.curiga, mengira bahwa Hay Hay tiada bedanya dengan para lelaki yang pernah dijumpainya di dalam perjalanan yaitu pada akhirnya lelaki-lelaki itu hanya ingin merayunya dan menjatuhkannya!
Akan tetapi Hay Hay tersenyum lebar dan memandang dengan polos. "Apa maksudku" Sudah jelas. Namamu itu, Ling Ling, terdengar merdu seperti nyayian dan indah manis, seperti pemiliknya. Apakah engkau belum tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang amat menarik, sederhana namun manis dan mengandung daya tarik bagaikan besi sembrani, Adik Ling Ling?"
Kalau tadinya Ling Ling sudah siap untuk menegur atau bahkan menghajar pemuda itu andaikata berani kurang ajar, kini gadis itu bimbang. Pemuda ini memang memujinya, bahkan kata-katanya mirip rayuan akan tetapi pandang matanya dan suaranya sama sekali bukan seperti para pria lain yang hendak berkurang ajar kepadanya. Mata itu demikian polos, dan suaranya juga datar saja seolah-olah bicara tentang kecantikannya merupakan hal yang lumrah dan sewajarnya, seperti seorang memuji keindahan setangkai bunga saja! Karena itu, ia pun tidak dapat marah, melainkan mengamati wajah pemuda itu dengan penuh selidik.
"Hemm, baru sekarang ada orang mengatakan bahwa aku manis menarik. Hay-ko (Kakak Hay ), katakan, apanya sih yang manis menarik?"
Senang hati Hay Hay disebut Hay-ko setelah tadi dia menyebut Ling-moi (Adik Ling), terdengar demikian akrab dan mesra, seperti kakak beradik, atau seperti... pacar saja! "Ha-ha, apamu yang menarik, Ling-moi" Entahlah, sukar untuk menentukan. Mungkin matamu yang lembut itu, atau mulutmu yang selalu tersenyum atau juga hidungmu yang cupingnya dapat kembang kempis lucu, atau rambutmu yang hitam panjang awut-awutan itu. Atau kesemuanya ditambah kesederhanaanmu, kelembutanmu, pakaianmu yang sederhana namun bahkan menonjolkan keindahan bentuk tubuhmu, waah, pendeknya engkau manis menarik!"
Kini Ling Ling tertawa. Bukan, bukan perayu kurang ajar yang mempunyai niat buruk, pikirnya. Pemuda ini lain sama sekali daripada para pria lainnya. Pria lainnya yang dijumpai, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata yang jelas membayangkan kebangkitan nafsu berahi, senyum-senyum buatan untuk memikat, kata-kata rayuan yang juga isinya penuh dengan daya pikat, mata dan mulut yang jelas mengandung kekurangajaran. Akan tetapi pemuda ini lain sama sekali. Biarpun rayuannya maut, lebih manis dan menyenangkan dibandingkan semua rayuan yang pernah didengarnya, namun sinar mata pemuda ini polos dan bersih dari nafsu, dan tidak ada nampak bayangan keinginan untuk memikat, apalagi kurang ajar. Maka ia pun tertawa.
"Hi-hik, Hay-ko, engkau sungguh seorang perayu besar! Rayuanmu yang maut itu bisa membuat kepala seorang gadis menjadi tujuh keliling dan membuat ia bertekuk lutut dan taluk kepadamu! Apakah engkau seorang laki-laki mata keranjang yang suka merayu wanita?"
Hay Hay menarik napas panjang. "Sudah mejadi nasibku barangkali, sudah suratan takdir bahwa selama hidupku, aku akan dicap sebagai seorang laki-laki mata keranjang! Hampir semua wanita menganggap aku mata keranjang dan perayu besar!"
"Tapi engkau memang perayu besar, Hay-ko. Selama hidupku, belum pernah aku dipuji laki-laki seperti yang kaulakukan tadi!" Ling Ling berkata, akan tetapi sambil tersenyum
Kembali Hay Hay menarik napas panjang. "Itulah nasibku! Aku sama sekali tidak pernah merayumu, Ling-moi. Aku hanya jujur dan terus terang saja, mengatakan apa adanya. Memang engkau manis menarik, habis aku harus berkata bagaimana?"
"Apakah engkau selalu memuji setiap orang wanita yang kaujumpai?"
Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 8 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa Pengelana Tangan Sakti Karya Lovely Dear Pendekar Satu Jurus 10
^