Pencarian

Pendekar Mata Keranjang 7

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


"Di kuil itulah teecu (murid) bertemu dengan Suhu Siangkoan Ci Kang dan Subo Toan Hui Cu, menerima pelajaran ilmu-ilmu silat di samping teecu juga tekun mempelajari ilmu-ilmu kebudayaan dari kitab-kitab di dalam kuil, di bawah bimbingan para hwesio di sana. Setelah tamat belajar, barulah Suhu dan Subo menyuruh teecu untuk keluar dari kuil dan mencari keluarga teecu, yaitu keluarga Pek di Kong-goan."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Agaknya Subo dan Suhumu itu orang-orang yang baik dan juga cerdas sekali. Akan tetapi bagaimana engkau dapat mempelajari ilmu sihir seperti yang kaupergunakan untuk menghidupkan boneka saljuku tadi?"
"Teecu mempelajarinya sedikit dari Subo. Ketika Subo menjalani hukuman di kuil Siauw-lim-si, ia juga banyak mem baca kitab-kitab dan ia menemukan kitab yang mengatakan bahwa dalam diri setiap orang terdapat kekuatan gaib yang tersembunyi. Subo sendiri adalah keturunan orang-orang sakti yang diam-diam memiliki kekuatan gaib yang amat kuat. Mulailah Subo melatih diri membangkitkan kekuatan gaibnya dan dia pun mulai mempelajari ilmu sihir di dalam Kamar Penebusan Dosa itu dan dari Subo teecu mempelajari sedikit ilmu sihir yang tidak ada artinya dibandingkan dengan ilmu sihir dari Suhu sendiri."
"Hemmm, Subomu itu she Toan, ya" Aku seperti pernah mendengar akan kehebatan orang-orang dari keluarga Toan, kalau tak salah keluarga pangeran ".."
"Tidak salah, Suhu. Subo Toan Hui Cu adalah puteri mendiang Pangeran Toan Jit-ong yang berjuluk Raja Iblis ?""
"Ya Tuhan ?"! Benar, Raja dan Ratu Iblis ?"!" Kakek itu terbelalak dan mengangkat kedua tangan ke atas saking kagetnya. "Pantas saja ilmu-ilmu silatmu bermacam-macam, dan banyak yang merupakan ilmu yang sesat! Untung Suhu dan Subomu itu menemukan ilmu peninggalan Kwan Im Nio-nio dan diajarkan kepadamu, dan untung pula engkau bertemu dengan aku. Ketahuilah, Han Siong. Kwan Im Nio-nio dan aku adalah dua orang di antara orang-orang yang dijuluki Delapan Dewa."
Han Siong memandang kagum, akan tetapi terus terang menjawab, "Suhu dan Subo di dalam kuil banyak bercerita kepada teecu tentang tokoh-tokoh di dunia persilatan, akan tetapi terus terang saja, teecu belum pernah mendenga akan nama Delapan Dewa."
Kakek itu menarik napas panjang. "Salah kami sendiri. Puluhan tahun yang lalu kami pernah memperoleh nama besar dan disegani oleh seluruh golongan di dunia persilatan. Akan tetapi pada suatu hari kami bertemu dan bentrok dengan Raja dan Ratu Iblis. Kami mengadu ilmu dengan mereka dengan perjanjian bahwa siapa yang kalah harus pergi bertapa dan tidak boleh lagi muncul di dunia persilatan. Dan kami kalah! Kami memegang janji. Masing-masing pergi bertapa dan memperdalam ilmu silat. Setelah kami memperoleh ilmu-ilmu yang tinggi, ternyata Raja dan Ratu Iblis telah tewas di tangan pendekar-pendekar muda. Demikianlah, kami sudah terlanjur suka bertapa dan tidak muncul lagi di dunia persilatan."
Han Siong mendengarkan dengan kagum. Mereka tentulah orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan sehingga mereka setia terhadap janji sendiri sampai rela menderita dan mengasingkan diri. "Siapakah tokoh yang lain dari Delapan Dewa kecuali Suhu dan Locianpwe Kwan Im Nio-nio?" tanyanya.
Kakek gendut itu menarik napas panjang. "Nama Delapan Dewa yang tadinya gemilang itu telah menjadi muram, bahkan tenggelam dan lenyap setelah kami ditaklukkan oleh Raja dan Ratu Iblis. Kami cerai berai, pergi bertapa dan tidak saling berhubungan lagi sampai puluhan tahun. Di antara kami yang delapan orang, hanya terdapat dua orang wanitanya, yaitu Kwan Im Nio-nio dan In Liong Nio. Yang enam orang sisanya adalah pria semua, susunannya seperti ini. Aku sendiri disebut orang Ban Hok Lojin atau juga diejek dengan sebutan Ji-lai-hud, kemudian Ciu-sian Lo-kai atau Ciu-sian Sin-kai, Go-bi San-jin yang kabarnya sekarang telah masuk menjadi pendeta Lama berjuluk See-thian Lama, Wu-yi Lo-jin, Siang-kiang Lo-jin, dan Sian-eng-cu The Kok. Nah, itulah nama-nama Delapan Dewa yang sudah lama meninggalkan dunia ramai. Akan tetapi selama ini aku tidak pernah bertemu atau berhubungan dengan mereka, hanya kabarnya empat di antara kami, yaitu Go-bi San-jin, Ciu-sian Sin-kai, Wu-yi Lo-jin, dan Siang-kiang Lo-jin, ikut pula membantu ketika para pendekar muda yang menjadi murid-murid mereka membasmi Raja dan Ratu Iblis bersama gerombolannya. Sekarang aku tidak tahu di mana mereka, masih hidup ataukah sudah mati semua seperti Kwan Im Nio-nio." kembali kakek gendut itu menarik napas panjang, akan tetapi wajahnya sudah cerah kembali dan senyum menghias mulutnya.
Han Siong menjadi semakin kagum Kiranya kakek yang menjadi gurunya ini adalah seorang sakti dan dia pun girang bukan main. "Semoga dalam waktu setahun teecu akan menerima petunjuk-petunjuk yang berharga dari Suhu."
"Ilmu silatmu sudah tinggi tingkatnya, Han Siong. Kalau engkau sudah menguasainya dengan sempurna, agaknya aku sendiri pun tidak akan menang darimu. Sayang engkau terlalu banyak mempelajari ilmu-ilmu sesat, untuk itu aku akan mengajarkan ilmu silat Pek-hong-sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) kepadamu. Dan ilmu sihirmu itu jangan kaupergunakan. Aku akan mengajarmu untuk mempergunakan tenaga batin yang bersih untuk menghadapi segala macam kekuatan ilmu hitam."
"Suhu, apakah perbedaan antara sihir putih dan sihir hitam" Antara kekuatan bersih dan kekuatan kotor?" Han Siong merasa penasaran dan bertanya.
"Sudah kukatakan tadi bahwa bersih dan kotornya suatu ilmu tergantung daripada watak orang yang mempergunakannya. Akan tetapi yang dinamakan ilmu silat kotor adalah ilmu silat di mana dipergunakan segala kecurangan, alat-alat rahasia, racun-racun, cara-cara yang penuh tipu muslihat licik. Sebaliknya ilmu silat bersih adalah ilmu silat yang berdasarkan kekuatan yang terlatih, gerakan-gerakan yang kuat dan cepat, kewaspadaan yang membuat gerakan menjadi tepat, tanpa mempergunakan cara-cara curang untuk mengalahkan lawan. Sihir putih adalah penggunaan kekuatan batin yang terhimpun di dalam tubuh, mempergunakan kekuasaan dan kekuatan alam dengan dasar iman dan kepercayaan kepada Tuhan dan para dewa. Sebaliknya sihir hitam adalah penggunaan kekuatan yang datang dari setan-setan, roh jahat, dan segala macam kekuatan gaib yang mendorong pemakainya ke arah perbuatan jahat."
Mulai hari itu, kembali Han Siong menerima gemblengan, sekali Ini dari seorang di antara Delapan Dewa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Dia belajar dengan amat tekun, di dalam sebuah guha di puncak bukit yang sunyi.
** Sungai itu mengalir dari Pegunungan Min-san dan sungai itu disebut Sungai Min-kiang. Ketika sungai itu tiba di dalam sebuah hutan di kaki Pegunungan Min-san, airnya masih jernih, belum dikotori sampah-sampah seperti kalau sudah melewati banyak dusun dan kota. Apalagi daerah itu merupakan pegunungan yang tanahnya dari tanah keras, tidak berlumpur sehingga airnya nampak jernih mengalir riang di antara batu-batu dan dasarnya pun nampak.
Sudah lebih dari setengah jam wanita itu mengintai pemuda yang sedang duduk di tepi sungai, di atas rumput tebal. Pemuda itu sedang memancing ikan seorang diri, nampaknya benar-benar dapat menikmati kesunyian dan keindahan keadaan di tepi Sungai Min-kiang di dalam hutan yang teduh itu. Air demikian jernihnya sehingga penuh dengan bayangan pohon-pohon di atasnya, bergerak-gerak sedikit karena tenangnya air yang mengalir perlahan. Aliran yang lambat ini, ditambah akar-akar pohon yang menciptakan tempat tinggal yang amat menyenangkan bagi ikan-ikan, apalagi bagian itu agak dalam, membuat tempat itu dihuni banyak ikan. Tidak mengherankan kalau dalam waktu setengah jam saja, pemuda itu telah berhasil mengangkat tiga ekor ikan yang lumayan besarnya.
Wanita itu mengintai dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri. Ia melihat betapa pemuda itu mengeluarkan teriakan girang dan kembali dia telah berhasil mendapatkan seekor ikan lagi, ikan yang kulitnya putih seperti perak, dengan perut kuning.
"Ha, seekor lagi saja aku akan pesta! Lima ekor sudah lebih dari cukup!" katanya. "Marilah manis, kausambar umpanku!" Pemuda itu tersenyum-senyum penuh kegembiraan dan sepasang mata yang mengintai itu menjadi semakin kagum.
Wanita yang mengintai itu kini berindap-indap mendekati, akan tetapi tetap saja ia melakukannya sambil bersembunyi, menyelinap di antara pohon-pohon, batu-batu dan semak-semak belukar. Gerakannya demikian ringan sehingga tidak menimbulkan suara dan akhirnya ia dapat bersembunyi di balik semak-semak terdekat, dapat memandang pemuda yang sedang memancing ikan itu dengan jelas sekali. Dan semakin jelas ia memandang, makin kagumlah ia, wajahnya makin berseri, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar-sinar.
Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Biarpun sedang duduk seenaknya di atas rumput, nampak betapa bidang dada itu, betapa tegap tubuh yang bentuknya sedang itu. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh gairah hidup, mulutnya yang berbentuk manis itu selalu mengembangkan senyum, hidungnya mancung dan wajahnya membayangkan kejantanan dengan dagu yang dapat mengeras dan agak berlekuk di tengahnya. Senyumnya manis dan memikat. Pakaiannya berwarna biru muda dengan garis-garis kuning emas di tepinya. Sebuah buntalan pakaian terletak di sebelahnya. Usianya kurang lebih dua puluh tahun.
Wanita yang mengintai itu pun bukan wanita sembarangan. Dari pakaiannya saja mudah diduga bahwa ia bukanlah penghuni dusun atau wanita gunung sederhana, melainkan seorang wanita yang biasa tinggal di kota. Apalagi kalau melihat gelung rambutnya yang tinggi dan dihias seekor burung Hong dari emas dan permata yang tentu amat mahal harganya. Ia juga membawa sebuah buntalan kain panjang yang digendong di belakang punggungnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa wanita itu pun seorang yang sedang melakukan perjalanan jauh dan membawa bekal pakaian. Akan tetapi, pakaian yang menempel di tubuhnya nampak bersih, demikian pula sepatunya yang kecil dan baru.
Wajahnya bulat dengan kulit yang putih halus, dibuat semakin putih halus karena dibedaki. Sepasang matanya agak lebar dan penuh sinar dan gairah hidup, penuh semangat, juga sepasang bola matanya dapat bergerak lincah, tanda bahwa wanita ini biasa mempergunakan kecerdikannya. Alisnya kecil melengkung hitam, lengkung yang tidak wajar, dibuat dengan cara mencabuti sebagian rambut alisnya. Sepasang pipinya nampak segar kemerahan, bukan karena pemerah pipi. Hidungnya kecil mancung, ujungnya agak mencuat ke atas menjadi penambah manis, mulutnya kecil dengan bibir yang merah basah dan selalu agak terbuka seperti orang terengah, menimbulkan sifat menantang. Wanita berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini memang memiliki wajah yang manis sekali. Juga bentuk tubuhnya padat dan ramping menggairahkan, dengan lekuk-lengkung yang sexy, bagian dada dan pinggul membusung, pinggangnya amat kecil seperti pinggang tawon kemit.
Pemuda yang sedang memancing ikan itu adalah Hay Hay! Memang pemuda ini memiliki wajah, bentuk tubuh dan pembawaan yang amat menarik hati bagi kaum wanita. Wajahnya yang tampan selalu cerah, pandang matanya selalu penuh gairah dan semangat, bibirnya selalu dibayangi senyum ramah. Seperti kita ketahui, Hay Hay melakukan perjalanan ke daerah itu untuk mencari keluarga Pek di Kong-goan. Ketika tiba di tepi sungai itu, dia melihat gerakan banyak ikan dan tertarik oleh keadaan yang indah dan nyaman, dia pun merasa lapar sekali dan segera dia membuat pancing sederhana dari peniti, tali dan ranting. Peniti dibentuk mata kail dan dengan cacing yang mudah didapatkan di tepi suhgai, dia pun mengail dan berhasil menangkap empat ekor ikan dada kuning.
Dia tidak akan patut disebut murid dari dua orang sakti, dua di antara Delapan Dewa, kalau saja dia tidak tahu bahwa ada orang sedang mengintainya. Sejak tadi pun dia sudah tahu dan hal ini membuat Hay Hay menjadi semakin gembira. Pemandangan alam di tempat itu demikian indah, hawanya sejuk nyaman, memancing ikan pun berhasil menangkap ikan-ikan yang gemuk, dan kini ada seorang wanita yang mengintainya pula! Dengan ujung matanya, dia tadi sekelebatan dapat menangkap bayangan pengintainya, dan tahu bahwa pengintai itu seorang wanita. Akan tetapi tentu saja dia tidak tahu siapa dan jantungnya berdegup agak keras penuh kegembiraan yang menegangkan ketika dia menduga pahwa bayangan itu mungkin saja Bi Lian, gadis cantik jelita yang amat menarik hati itu. Akan tetapi dia membantah sendiri dugaan itu. Kalau Bi Lian, tidak mungkin gadis itu demikian bodoh uhtuk mengintainya seperti itu. Bukankah Bi Lian sudah tahu bahwa dia memiliki kepandaian sehingga kalau diintai seperti itu akan mengetahuinya" Dan pula, apa perlunya Bi Lian mengintai seperti Itu" Gadis itu tentu akan langsung saja menemuinya kalau hal itu dikehendakinya. Bukan, wanita itu bukan Bi Lian, dan pendapat ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Membayangkan akan bertemu dengan seorang wanita lain yang penuh rahasia, belum apa-apa sudah membuatnya bergembira. Wanita merupakan mahluk yang selalu menarik perhatiannya.
Tiba-tiba tali pancingnya bergerak, seekor ikan yang agaknya berat dan lebih besar daripada empat ekor yang sudah ditangkapnya, bergantung di mata kailnya. Dengan gerakan cepat Hay Hay menarik tangkai pancingnya sehingga mata kailnya mengail mulut ikan dan dia meneruskannya dengan gerakan kuat sehingga terlemparlah seekor ikan yang benar saja lebih besar daripada tadi, ke atas. Hay Hay sengaja melepaskan ranting yang menjadi tangkai pancing sambil berteriak, "Ohh, terlepas "..!"
Ikan berikut tali dan tangkai pancing itu meluncur ke arah semak-semak di mana wanita itu bersembunyi! Tiba-tiba sebuah tangan yang keci1 halus namun cekatan, menyambut dan menangkap tangkai pancing dan nampaklah seorang wanita muncul di balik semak-semak, memegang setangkai pancing di ujung mana nampak seekor ikan besar menggelepar-gelepar. Sambil tersenyum penuh daya daya pikat, wanita itu kini menghampiri Hay Hay, membawa ikan di ujung pancing itu.
"Ikan yang besar, gemuk dan mulus, tentu enak sekali!" Wanita itu berkata, senyumnya melebar membuat mulutnya merekah dan nampak rongga mulut yang merah sekali, dengan deretan gigi yang berki1auan dan putih rapi.
Hay Hay memandang dengan bengong. Dia seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang kini sudah berdiri di depannya. Sejenak pandang matanya menjelajahi wanita itu dari ujung kaki sampai ke ujung rambut, kadang-kadang berhenti agak lama di bagian-bagian tertentu yang menarik, dan akhirnya dia menarik napas panjang.
"Ya ampun Dewi "..! Paduka ini Dewi Air ataukah Dewi Hutan yang sengaja turun dari kahyangan hendak memberi anugerah ikan gemuk kepada hamba?" Tentu saja Hay Hay hanya main-main dan berkelakar karena dia sudah tahu bahwa wanita ini sejak tadi mengintainya, akan tetapi dia jujur dengan pandang matanya yang penuh kagum karena memang wanita ini cantik manis dan menggairahkan, penuh daya tarik kewanitaan seperti sekuntum bunga yang selain indah juga harum semerbak.
Mula-mula sepasang mata yang lebar itu terbelalak heran mendengar ucapan itu, kemudian menjadi kemerahan, bukan karena marah melainkan karena bangga dan girang bukan main. Wanita itu terkekeh sambil memasang aksi, menutupi mulutnya dengan punggung tangan kiri.
"Kenapa engkau menganggap aku Dewi Air atau Dewi Hutan yang baru turun dari kahyangan?" tanyanya, suaranya merdu sekali seperti suara rebab digesek.
Dengan terbuka Hay Hay mengagumi mata, hidung dan mulut itu. Anak rambut membentuk sinom di sepanjang pelipis, di atas dahi dan di belakang telinga itu pun manis sekali, melingkar-lingkar seperti dilukis saja, nampak hitam indah dilatar-belakangi kulit yang putih kuning mulus.
"Karena rasanya tidak mungkin ada seorang gadis secantik Paduka. Hanya bidadari dan para dewi kahyangan sajalah kiranya yang dapat memiliki kecantikan seperti ini." Hay Hay memang pandai sekali merayu, bukan rayuan kosong, melainkan kata-kata manis dan pujian yang muncul dari lubuk hatinya. Dalam pandang matanya, wanita itu seperti bunga. Mana ada bunga yang buruk" Semua bunga, setiap kuntum bunga pasti indah, walaupun keindahannya berbeda-beda. Demikian pula wanita. Tidak ada yang buruk, walaupun kemanisannya pun berbeda-beda. Ada yang terletak pada matanya, pada hidungnya, pada mulutnya, atau rambutnya, kulitnya. Akan tetapi wanita di depannya ini memiliki keindahan di banyak bagian!
Wajah yang manis itu semakin gembira berseri, dan matanya menjadi semakin ta jam bersinar-sinar. "Aihh, orang muda, engkau sungguh terlalu memujiku. Aku seorang manusia biasa seperti engkau. Kebetulan saja aku dapat menangkap pancing dan ikanmu yang terlempar tadi. Nah, terimalah kembali pancingmu."
Wanita itu menyerahkan pancing dengan ikan yang menggelepar-gelepar itu, diterima dengan gembira oleh Hay Hay yang tersenyum ramah.
"Terima kasih Nona. Ya Tuhan, hampir aku tidak percaya bahwa Nona seorang manusia. Kemunculanmu demikian tiba-tiba dan kecantikanmu... hemmm, sukar untuk dipercaya!"
Wanita itu sudah seringkali menghadapi laki-laki yang kurang ajar dan tidak sopan, yang memuji kecantikannya untuk merayu dan menarik perhatian. Akan tetapi baru sekarang dia bertemu dengan pemuda yang memuji kecantikannya sedemikian jujur terbuka, dengan mata yang sama sekali tidak membayangkan kekurangajaran, seperti mata setiap laki-laki yang selalu menyembunyikan tantangan, ajakan dan uluran tangan! Maka ia menjadi semakin gembira walaupun mulutnya pura-pura cemberut ketika ia berkata. "Ihhh, orang muda, jangan terlampau memuji, membuat aku merasa rikuh saja."
"Aku tidak memuji kosong, Nona. Dan kuharap Nona tidak menyebut aku orang muda. Aihhh, seolah-olah Nona lebih tua saja dariku. Padahal, paling-paling usia kita sebaya." Tentu saja Hay Hay dapat menduga bahwa wanita itu agak lebih tua darinya, namun ia tahu bahwa paling tidak enak bagi wanita kalau diingatkan tentang usianya yang sudah lebih tua. Pula, wanita di depannya ini memang masih nampak muda sekali dan memang pantas kalau dikatakan sebaya dengannya.
Wanita itu tersenyum, manis sekali. "Pemuda yang tampan dan ganteng, berapakah usiamu sekarang?"
Jantung di dalam dada Hay Hay berdebar dan dia merasa aneh. Betapa beraninya wanita ini. Memujinya sebagai tampan dan ganteng, juga menanyakan usianya! Wah, sungguh seorang wanita yang tidak malu-malu lagi, seorang yang agaknya sudah berpengalaman!
"Berapa menurut dugaanmu, Nona yang cantik jelita?"
"Hemm, kiranya tidak akan lebih dari sembilan belas atau delapan belas tahun."
"Ha, dugaanmu keliru dan aku lebih tua dari itu, Nona. Usiaku sudah dua puluh tahun!" Hay Hay tertawa dan balas bertanya. "Dan berapakah usiamu, Nona?"
"Berapa menurut dugaanmu, pemuda yang tampan menarik?" tanya wanita itu menirukan kata-kata dan gaya Hay Hay tadi.
Kembali pandang mata Hay Hay menjelajahi seluruh tubuh wanita itu, kemudian dia mengangguk-angguk. "Paling banyak dua puluh tahun, Nona."
Wanita itu tersenyum semakin manis. Agaknya penaksiran itu menyenangkan hatinya. "Lebih berapa tahun lagi. Aku lebih tua darimu."
"Aku tidak percaya!" Hay Hay berseru penasaran. Karena dia menggerakkan tangkai pancing, ikan itu meronta-ronta dan agaknya baru dia teringat akan ikan itu.
"Hi-hik, mau diapakan sih ikan itu?" Si Wanita bertanya menggoda.
"Wah, aku sampai lupa. Oh, ya, karena engkau baik sekali, Nona, dan sudah membantuku menangkap ikan yang terlepas ini, biarlah kuundang engkau untuk makan bersamaku. Daging ikan-ikan ini tentu enak sekali."
Wanita itu memandang dengan mata bersinar-sinar. "Bagaimana engkau hendak memasaknya?" .
Hay Hay mengangkat dada dan menepuk dadanya. "Jangan khawatir. Aku ahli masak! Tunggu sebentar dan bantulah aku menghabiskan daging ikan-ikan ini sebagai teman roti kering dan anggur. Pasti lezat sekali!"
Wanita itu menelan ludah, nampak berselera sekali. "Tentu saja lezat."
"Kau tunggu sebentar, Nona." Hay Hay yang sudah menjadi gembira bukan main menemukan seorang kawan baik, seorang wanita cantik untuk teman bercakap-cakap di tempat yang sunyi indah itu, segera bekerja. Selama beberapa tahun menjadi murid See-thian Lama, dia hidup berdua saja dengan gurunya itu dan dialah yang melayani suhunya, dia yang masak setiap hari sehingga dia memang dapat dikata ahli masak. Apalagi ketika dia mengikuti gurunya yang ke dua, Ciu-sian Sin-kai, kakek berpakaian jembel yang sesungguhnya merupakan to-cu (majikan pulau) dari Pulau Hiu dan hidup serba cukup, dia pun mempelajari masak dari juru-juru masak suhunya itu. Ketika tinggal di Pulau Hiu, tentu saja dia sering ikut menangkap ikan dan memasak ikan, maka dia tahu banyak cara memasak ikan. Setiap macam ikan memerlukan cara memasak yang khusus baru akan le zat dan cocok sekali. Dan di dalam perantauannya, dia tidak melupakan bekal bumbu-bumbu yang diperlukan. Dia memang suka akan segala yang indah, segala yang enak, dapat menikmati kehidupan ini biarpun berada dalam keadaan yang bagaimanapun juga.
Wanita itu lalu melepaskan buntalan panjang dari punggungnya, meletakkannya di tepi sungai dan ia pun duduk di atas akar pohon sambil mengikuti gerakan-gerakan Hay Hay dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah berseri. Pandang matanya penuh kekaguman ketika ia melihat betapa pemuda itu dengan cekatan membersihkan lima ekor ikan itu, menggunakan sebatang pisau yang dikeluarkan dari buntalan pakaiannya, kemudian menaburi ikan-ikan itu dengan bumbu dan garam, dan memanggangnya di atas bara api. Segera bau yang amat sedap menyerang hidungnya dan wanita itu tiba-tiba saja merasa betapa perutnya sudah lapar sekali! Mulutnya terasa basah oleh ludah karena ia sudah mengilar ingin merasakan bagaimana lezatnya ikan panggang itu.
Sambil kadang-kadang memandang kepada wanita itu dengan senyum, sekali dua kali dia mengedipkan matanya memberi tanda agar wanita itu bersabar, Hay Hay mempersiapkan makan untuk mereka. Roti kering dan anggur dikeluarkan dan ikan panggang ditaruh di dalam sebuah piring, dikeluarkannya pula bumbu dan saus yang selalu berada dalam perbekalannya.
"Mari silakan, Nona. Kita makan seadanya." Hay Hay mempersilakan dengan sikap ramah. Wanita itu tersenyum, bangkit dengan gerakan lemah gemulai dan setengah menggeliat sehingga nampaklah tonjolan-tonjolan tubuhnya hendak menembus bajunya yang ketat dari sutera tipis. Hay Hay tidak pura-pura, dia memandangi itu semua dengan penuh kagum.
"Eh, sobat, apa yang kau pandang?" tiba-tiba wanita itu bertanya, pura-pura marah padahal hatinya senang bukan main.
"Apa yang kupandang?" Hay Hay sama sekali tidak merasa gugup. "Apa lagi kalau bukan keindahan tubuhmu, Nona" Engkau seorang gadis yang beruntung sekali, dianugerahi wajah cantik manis dan tubuh yang indah. Sungguh lengkap. Eh, mari, mari kita makan, selagi daging ikannya masih panas."
Tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi wanita itu pun duduk di atas rumput, berhadapan dengan Hay Hay terhalang makanan yang diletakkan di atas rumput pula. Gadis itu menerima pemberian roti kering dan memilih panggang ikan yang nampak menimbulkan selera.
Mereka makan dan minum bersama, tanpa kata-kata. Wanita itu hanya mengeluarkan kata pujian karena memang daging ikan itu enak sekali. Belum pernah rasanya ia makan seenak ini! Padahal hanya roti kering dan panggang ikan saja, akan tetapi demikian nikmat, terasa lezatnya di setiap kunyahan.
Lima ekor ikan itu pun habis mereka makan, ditambah empat potong roti kering besar dan beberapa cawan anggur yang manis. Setelah selesai makan-makan, keduanya membersihkan tangan dan mulut di sungai itu, dengan air sungai yang jernih. Kemudian keduanya duduk di tepi sungai, berhadapan dan mulailah mereka bercakap-cakap.
"Hi-hik, alangkah lucunya!" Tiba-tiba gadis itu berkata, menutup mulut dengan punggung tangan kiri ketika ia tertawa.
Hay Hay mengangkat muka dan memandang. " Apanya yang lucu, Nona ?"
"Kita sudah makan bersama."
"Apa salahnya dengan itu?"
"Kita sudah saling mengetahui usia masing-masing."
"Wajar dalam perkenalan, akan tetapi aku belum mengetahui dengan pasti berapa usiamu?""
"Itu tidak penting. Akan tetapi anehnya, kita belum saling mengenal nama."
Hay Hay tertawa. Dia memang sengaja tadi. Bagaimanapun juga, keadaan wanita ini mencurigakan. Wanita itu ketika mengintainya, dapat bergerak dengan cepat dan amat ringan, itu saja menunjukkan bahwa wanita ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan dia belum tahu siapa wanita ini, dari golongan mana, dan berdiri di pihak mana, kawan ataukah lawan. Karena itu, dia harus berhati-hati dan biarlah wanita ini yang lebih dahulu memperkenalkan diri. Maka dia pun tidak pernah memperkenalkan diri dan sekarang dia tertawa seperti baru melihat kelucuan keadaan mereka.
"Ah, benar juga! Aku merasa seolah-olah kita sudah menjadi sahabat baik selama puluhan tahun! Ha-ha, Nona yang baik, siapakah Anda" Di mana tempat tinggal, datang dari mana dan hendak ke mana?"
Gadis itu tertawa pula dan kini ia tidak lagi bersusah payah menutupi mulutnya dan Hay Hay melihat betapa manis dan menggairahkan mulut itu kalau tertawa. "Hi-hi-hik, pertanyaanmu menyerangku seperti ombak samudera saja. Sebaiknya kita saling mengenal nama lebih dulu. Namaku Sun Bi she Ji."
"Ji Sun Bi... hemmm, nama yang indah dan cantik, secantik orangnya." Hay Hay memuji sambil mengangguk-angguk.
"Sekarang giliranmu. Siapakah namamu?" Wanita yang bernama Ji Sun Bi itu bertanya.
"Namaku" Namaku Hay"
"Hay siapa?""
"Yah, Hay saja."
"Shemu apa?" Hay Hay menggeleng kepalanya. "Aku sendiri pun tidak tahu, Sun Bi." kata Hay Hay, menyebut nama gadis itu begitu saja seolah-olah mereka telah menjadi kenalan lama, dan hal ini membuat Ji Sun Bi merasa senang sekali. Kalau pemuda itu menyebutnya Enci (Kakak) misalnya, ia akan merasa tidak enak, seolah-olah diingatkan bahwa ia lebih tua.
"Ah, mustahil orang tidak mengetahui shenya sendiri! Siapa nama ayahmu?"
Hay Hay menggeleng kepala, mengangkat pundak dan mengembangkan kedua lengannya.
"Aku sungguh tidak tahu. Aku tidak pernah mengenal Ayah Ibuku, sejak bayi aku dibawa orang lain dan sekarang aku sedang mencari orang tuaku. Aku tidak tahu she apa. Namaku hanya Hay saja, begitulah."
"Lalu aku harus menyebutmu bagaimana?"
"Ya, sebut saja Hay, atau biasa orang memanggil aku Hay Hay."
"Hay Hay... hemm, enak juga kedengarannya. Baiklah, Hay Hay. Sekarang kita telah benar-benar saling berkenalan dan menjadi sahabat. Secara kebetulan saja kita saling berjumpa di sini dan menjadi sahabat baik. Engkau datang dari mana dan hendak pergi ke manakah?"
"Aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, Sun Bi. Sudah kukatakan bahwa aku sedang mencari orang tuaku, setelah selama dua puluh tahun ini aku selalu ikut orang lain. Aku belum tahu di mana adanya orang tuaku, apakah mereka masih hidup. Aku hidup sebatang kara di dunia ini, tidak punya keluarga tidak punya tempat tinggal. Ah, tidak menarik. bukan" Lebih baik kita bicara tentang dirimu, tentu lebih menarik."
"Aihh, kasihan sekali engkau, Hay Hay." Sun Bi berkata dengan suara halus dan nampak terharu, lalu tangannya diulur dan menyentuh lengan Hay Hay. Terasa hangat dan halus tangan itu, dan Hay Hay pun diam saja, hanya memandang tangan yang memiliki jari-jari yang kecil mungil. Ingin dia tahu sampai di mana besarnya kekuatan yang tersembunyi di dalam jari-jari tangan kecil mungil ini.
"Tidak perlu dikasihani. Aku hidup cukup bahagia, setiap hari aku hidup di alam bebas, bergembira melihat segala keindahan, burung-burung di udara binatang-binatang di hutan, kembang-kembang, air sungai yang jernih, gadis yang manis seperti engkau. Bukankah semua itu menyenangkan" Sekarang ceritakanlah, dari mana engkau datang dan hendak ke mana Sun Bi?"
Ditanya demikian, tiba-tiba wajah yang tadinya berseri itu menjadi murung dan gadis itu kini menundukkan mukanya dan perlahan-lahan dua titik air mata menuruni kedua ptpinya. Dua butir air mata itu dihapusnya dengan sehelai sapu tangan sutera, dan terdengar Wanlta itu berkata dengan suara yang penuh duka.
"Aihhh... Hay Hay, aku adalah seorang wanita yang paling sengsara di dunia "."
Hay Hay mengerutkan alisnya dan berusaha untuk menatap wajah itu penuh selidik. Akan tetapi wajah itu menunduk terus. "Sun Bi, apakah yang telah terjadi" Mengapa engkau merasa sengsara?"
Dengan suara sedih dan kadang-kadang mengusap air matanya, Sun Bi lalu berkata. "Aku adalah wanita yang paling sengsara, Hay Hay. Baru menikah beberapa bulan saja, suamiku terserang penyakit berat dan meninggal dunia. Orang tuaku dan mertuaku menganggap aku seorang yang membawa kesialan dan aku lalu diusir pergi. Demikianlah, aku merantau seorang diri, sebatang kara, seperti juga engkau... hanya aku membawa kepedihan hati sebagai seorang janda muda tanpa ada yang melindungi... tanpa ada yang menghibur kedukaanku ".." Sun Bi lalu menangis lagi, sekali ini tangisnya sesenggukan dan menyedihkan sekali. Kedua tangannya dipergunakan untuk menutupi kedua matanya dan air mata bercucuran melalui kedua tanganhya.
Hay Hay merasa kasihan, juga penasaran sekali. "Hemm, suamimu meninggal dunia karena sakit berat, kenapa engkau yang dipersalahkan?"
Mendengar ucapan Hay Hay yang penuh perasaan itu, tiba-tiba Sun Bi terisak semakin keras. Hay Hay mendekat dan menyentuh pundaknya. "Sudahlah, Sun Bi. Mati hidup seseorang berada di tangan Tuhan, diratap-tangisi pun tidak ada gunanya lagi."
Sentuhan tangan Hay Hay pada pundaknya membuat wanita itu seolah-olah menjadi semakin sedih dan ia pun tiba-tiba mengguguk dan menjatuhkan kepalanya bersandar pada dada Hay Hay.
"Hay Hay... ah, Hay Hay ".!" Wanita itu menangis sejadi-jadinya. Hay Hay merasa terharu dan merangkul pundak itu, menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus dan berbau harum itu.
"Sudahlah, Sun Bi, sudahlah, hentikan tangismu, tak perlu berduka lagi ?"" hiburnya.
Setelah tangisnya mereda, dengan kepala masih bersandar pada pundak dan dada Hay Hay, terdengar Sun Bi terisak berkata, "Selama ini... dalam perantauan, semua laki-laki menghinaku... aku dipandang sebagai seorang janda muda yang boleh dipermainkan sesuka mereka... mereka bersikap kurang ajar mereka menghina, akan tetapi engkau... ah, Hay Hay, baru sekarang aku bertemu dengan seorang laki-laki yang benar-benar baik... yang menaruh kasihan kepada diriku ".."
Hay Hay tersenyum senang, akan tetapi juga terharu. Dia tahu bahwa seorang janda muda mudah merasa tersinggung, dan tentu saja membutuhkan pelindung, membutuhkan orang yang dapat menghiburnya, menyayangnya. Maka dia pun makin mesra mengelus rambut itu.
"Karena engkau cantik manis, Sun Bi, maka semua laki-laki ingin menggodamu dan memiliki dirimu. Asal engkau pandai menjaga diri, semua itu akan berlalu."
Dengan lembut Sun Bi mengangkat kepalanya, terlepas dari dada Hay Hay dan ia memandang. Dua muka itu berdekatan sehingga Hay Hay dapat mencium bau bedak harum bercampur bau air mata, juga terasa olehnya pernapasan yang hangat menyapu leher dan pipinya.
"Dan engkau... engkau tidak ingin menggoda dan... dan memiliki diriku, Hay Hay?"
Sejenak mereka saling berpandangan, dan Hay Hay mengerutkan alisnya. Darah mudanya sudah berdesir keras naik ke mukanya. Tubuh itu demikian dekatnya, bahkan terasa kehangatannya ketika menempel di tubuhnya dan dalam pandang mata itu dia melihat kemesraan dan pemasrahan diri, juga tantangan. Dia tersenyum dan berkata lirih.
"Sun Bi, engkau cantik manis dan aku adalah seorang yang suka sekali akan segala yang indah. Aku suka padamu, Sun Bi, akan tetapi rasa sukaku dan kecantikanmu bukan berarti bahwa aku harus menggodamu dan menghinamu atau ingin memiliki dirimu seperti mereka itu. Hubungan antara seorang pria dan seorang wanita harus didasari rasa cinta, Sun Bi, dan setiap pemerkosaan dalam bentuk apapun juga merupakan suatu kejahatan."
Sun Bi yang sejak tadi memandang wajah pemuda itu, menarik napas panjang dan kembali menyandarkan kepalanya di dada Hay Hay. Ia mengeluh panjang lalu berbisik. "Ah, Hay Hay... engkau seperti mendiang suamiku... engkau lembut, baik hati, dan engkau tampan... Hay Hay, apakah engkau cinta padaku?"
Hampir saja Hay Hay mendorong tubuh itu dari atas dadanya karena dia benar terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun, dia masih dapat menguasai hatinya dan tersenyum menjawab. "Aku suka padamu, Sun Bi, aku suka dan kasihan, akan tetapi cinta" Aku tidak tahu bagaimana cinta itu, dan pula kita baru saja bertemu, bagaimana mungkin aku tahu tentang cinta?"
"Akan tetapi aku yakin, Hay Hay. Aku yakin bahwa aku... aku cinta padamu! Aku yakin, karena suara hatiku yang membisikkan padaku, dan kau mirip suamiku, bukan hanya wajahnya, juga sikapnya dan segalanya, ohhh". " Dan wanita itu makin merapatkan tubuhnya. Hay Hay mulai merasa bingung dan khawatir, juga lehernya mulai berkeringat, bukan hanya oleh kehangatan yang keluar dari tubuh wanita yang bersandar padanya. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Ingin dia melepaskan diri, agar dapat bicara dengan baik, agar jantungnya tidak berdebar kencang karena kehangatan dan kelembutan tubuh itu demikian mengguncang perasaannya, akan tetapi dia pun tidak ingin menyinggung perasaan wanita yang sedang haus akan perlindungan dan hiburan ini.
"Hay Hay, maafkan aku, akan tetapi engkau... engkau belum menikah, bukan?" Di dalam suara itu terkandung kekhawatiran dan Hay Hay seperti dapat merasakan betapa tubuh di pangkuannya itu agak menegang
Untuk melawan perasaannya sendiri Hay Hay tertawa dan memang ketika dia tertawa, lenyap ketegangan karena dekatnya tubuh wanita itu. "Ha-ha-ha, mana ada kesempatan bagiku untuk menikah" Dan pula, wanita mana yang mau bersuamikan aku, seorang yang menjadi gelandangan seperti ini, tanpa tempat tinggal tanpa keluarga?"
"Jangan kau merendahkah diri, Hay Hay. Banyak wanita akan berebutan untuk memilikimu. Aku sendiri... ahhh, engkau seolah-olah menjadi pengganti suamiku yang telah tiada. Maafkan aku, aku... aku sudah bertahun-tahun merindukan suamiku, rindu akan pelukannya. Ah, Hay Hay, maukah engkau memelukku" Peluklah, Hay Hay, peluklah aku seperti dulu suamiku memelukku... ahhhhh ?"."
Suara itu demikian memelas dan penuh permohonan sehingga Hay Hay merasa tidak tega. Apa salahnya memenuhi keinginan itu" Dia lalu merangkulkan kedua lengannya dan memeluk tubuh Sun Bi. Wanita itu mengerang dan makin merapatkan dirinya, kini bahkan duduk di atas pangkuan Hay Hay sambil merangkul pinggang pemuda itu dan membiarkan diri tenggelam dalam rangkulan Hay Hay. Pemuda itu sebaliknya merasa kepanasan dan mulai bingung. Degup jantungnya terdengar jelas di telinganya sendiri dan dia merasa malu kalau-kalau Sun Bi akan mendengarnya pula.
Tentu saja Sun Bi mendengarnya! Telinga wanita itu menempel di dadanya, dan diam-diam wanita itu tersenyum puas. Suara degup jantung pemuda ganteng itu seolah-olah menjadi sorak kemenangan baginya, atau sorak pertanda bahwa kemenangan sudah berada di ambang pintu! Ia harus pandai bersikap untuk menuntun pemuda ini memenuhi segala kehendaknya, memuaskan segala gairah dan hasratnya yang timbul. Hay Hay yang betapa lihai pun hanyalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hal hubungan dengan wanita, walaupun dia terkenal mata keranjang dan perayu wanita, kini berhadapan dengan seorang wanita yang sudah matang, tentu saja dia tidak tahu bahwa dialah yang kini menjadi permainan.
Wanita itu bukan sembarang orang. Selain cantik manis, ia pun memiliki ilmu silat yang amat hebat dan merupakan seorang tokoh besar dalam dunia golongan hitam, terkenal pula sebagai seorang wanita cabul yang menjadi hamba nafsu berahi yang berkobar-kobar dan tak pernah mengenal puas. Entah sudah berapa banyak pria yang menjadi korbannya, menjadi korban permainannya atau pun menjadi mayat karena dibunuhnya karena pria itu tidak memuaskan hatinya atau berani menolaknya! Demikian jahat dan palsunya sampai ia diberi julukan Tok-sim Mo-li (lblis Betina Berhati Racun). Namanya memang Ji Sun Bi dan usianya sudah tiga puluh tahun. Karena pandainya merawat diri dan bersolek, maka ia selalu nampak jauh lebih muda daripada usia yang sebenarnya. Ketika ia menceritakan riwayatnya kepada Hay Hay, memang ada beberapa hal yang benar. Ia memang seorang janda dan suaminya memang telah mati. Akan tetapi suaminya itu mati karena dibunuhnya! Juga kedua mertuanya dibunuhnya! Padahal, baru tiga bulan saja ia menikah dengan suaminya itu.
Tok-sim Mo-li Ji Sun Bi ini adalah murid tunggal dari Min-san Mo-ko (Iblis Gunung Min-san) yang usianya kini sudah enam puluh tahun. sejak masih kecil Ji Sun Bi yang sudah yatim piatu menjadi murid Min-san Mo-ko dan setelah ia menjadi dewasa, ia pun menjadi kekasih Min-san Mo-ko! Akan tetapi, guru yang mengambil murid menjadi kekasih ini memberi kebebasan kepada Sun Bi untuk bermain cinta dengan pria yang disukainya, di mana saja dan kapan saja! Bahkan gurunya ini mempunyai kesukaan yang aneh dan tidak patut. Dia suka mengintai kalau murid yang juga menjadi kekasihnya ini bermain cinta dengan orang lain! Dan Sun Bi tahu bahwa gurunya mengintai, akan tetapi ia pun malah senang kalau ditonton gurunya. Demikian bejat sudah ahlak kedua orang guru dan murid yang sebenarnya tak pernah berpisah ini sehingga mereka berdua terkenal sebagai sepasang iblis yang ditakuti, terutama di sepanjang sungai Min-kiang di Pegunungan Min-san.
Ketika Sun Bi menikah dengan pria yang membuatnya tergila-gila, Min-san Mo-ko tidak keberatan, bahkan dia yang bertindak sebagai "wali". Akan tetapi, hubungan di antara mereka masih saja dilanjutkan. Pada suatu hari, setelah menikah tiga bulan, suaminya menangkap basah hubungan antara isterinya dengan kakek itu. suaminya marah, akan tetapi Sun Bi yang sudah mulai bosan dengan suaminya, lalu turun tangan membunuhnya. Juga ayah dan ibu mertuanya dibunuhnya, kemudian ia melanjutkan permainan cintanya dengan Min-san Mo-ko di dalam ruangan di mana menggeletak mayat-mayat suaminya dan kedua mertuanya!
Pada suatu hari, kebetulan saja Sun Bi melihat Hay Hay yang sedang memancing ikan. Segera ia tertarik sekali karena Hay Hay memang memiliki banyak daya tarik yang kuat bagi wanita. Maka ia lalu mendekati Hay Hay, menggunakan kepandaiannya untuk bermain sandiwara. Hay Hay yang masih hijau itu tentu saja tidak menduga akan hal itu dan dia pun terkecoh, melayani wanita yang sebenarnya kehausan dan tak pernah puas dengan pria itu.
"Betapa rinduku selama bertahun-tahun ini kepada suamiku yang telah tiada..., siang malam aku merindukan pelukannya dan kini engkau mau memelukku seperti yang dilakukan suamiku dahulu ?" ah, terima kasih, Hay Hay, terima kasih "."
Hay Hay merasa terharu sekali akan tetapi juga girang bahwa sedikitnya dia dapat menghibur wanita yang sengsara ini. Dan dia pun bukan asing dalam pergaulan dengan wanita. Bahkan sudah seringkali dia berdekatan dengan wanita, berpacaran. Walaupun belum pernah dia melakukan hubungan yang lebih mendalam. Karena itu, merangkul dan memeluk tubuh wanita yang hangat itu pun tidak membuat dia kehilangan keseimbangannya.
Akan tetapi, seperti tidak disengaja, kedua tangannya yang merangkul itu ditangkap oleh kedua tangan Sun Bi dan wanita itu mengeluh. "Hay Hay... peluklah aku, belailah aku seperti dahulu suamiku membelaiku... ciumlah aku ".."
Sun Bi seperti menuntun Hay Hay yang nemenuhi semua permintaannya. Hay Hay membelai dan menciumnya. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda ini agak canggung menurut ukuran ia yang sudah berpengalaman, Sun Bi lalu balas mencium, dan mengajarnya cara bermain asmara yang amat asing bagi Hay Hay, yang dianggap terlampau berani!
Kalau tadinya Ji Sun Bi berusaha menggoda dan membangkitkan gairah pada pemuda itu, akibatnya malah ia sendiri yang kebakaran! Wanita itu sendiri yang kini dicengkeram berahi sampai ke puncaknya dan tubuhnya sudah panas dingin, gemetaran ketika ia berbisik.
"Hay Hay... belum... belum pernahkah engkau dengan wanita ".?"
Menghadapi permainan asmara yang amat berani dan merangsang dari Sun Bi, betapapun juga. Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya panas dan gemetar. Dia memandang wanita itu dan menggeleng kepala, tidak menjawab karena dia tahu bahwa suaranya tentu terdengar aneh dan menggetar.
Melihat ini, nafsu berahi semakin kuat mencengkeram pikiran Ji Sun Bi. Bagaikan seekor kuda binal yang lepas kendali, ia menarik tangan Hay Hay untuk rebah di atas rumput. Akan tetapi tiba-tiba Hay Hay melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur setelah dia tadi bangkit. Dia hanya menggeleng kepala sambil mengerutkan alis.
Sun Bi yang sudah kebakaran itu cepat meloncat berdiri dan menyambar tangan Hay Hay. "Hay Hay, kenapa" Marilah... aku... aku cinta padamu, Hay Hay, aku membutuhkan dirimu, aku..."
"Tidak, Sun Bi. Semua ada batasnya dan aku tidak mau melanggar batas itu. Aku belum siap untuk yang satu itu dan aku tidak mau melakukannya."
"Hay Hay...!" Sun Bi yang sudah mata gelap itu menarik, akan tetapi Hay Hay mempertahankan, bahkan lalu merenggutkan tangannya terlepas dari pegangan Sun Bi.
"Hay Hay, kasihanilah aku... aku kesepian ". aku ".."
"Tidak, Sun Bi. sadarlah, tenanglah! Engkau harus dapat menguasai dirimu. Aku mau menghiburmu, akan tetapi untuk yang satu itu, maaf, aku tidak mau melakukannya!" katanya tegas. Dia memang suka kepada wanita, suka berdekatan, suka bercumbuan, dan harus diakuinya bahwa bangkit pula gairahnya yang amat besar. Namun, dia tahu bahwa harus ada batasnya dan dia tidak boleh melanggar batas itu sembarangan saja. Dia hanya akan mau melakukan hal itu dengan wanita yang dicintanya, tidak dengan sembarang wanita, apalagi Ji Sun Bi yang janda muda dan baru saja dikenalnya.
Tiba-tiba terjadi perubahan pada wajah Ji Sun Bi. Wajah yang tadinya agak pucat dan pandang matanya sayu merayu itu, kini berubah kemerahan dan pandang matanya berubah sama sekali, menjadi berkilat. Mata yang tadinya memandang kepadanya dengan setengah terpejam, basah dan sayu, kini mencorong dan melotot. Mulut yang tadinya tersenyum manis, agak terengah dan menciuminya, juga diciuminya, kini ditarik keras dan terdengar suaranya membentak keras, "Hay Hay, sekali lagi. Benar engkau tidak memenuhi kehendak hatiku, memuaskan hasrat cintaku?"
Hay Hay terkejut melihat perubahan itu dan baru sekarang dia melihat kekejaman membayang pada sinar mata dan mulut itu. Dia hanya menggeleng kepala, merasa heran terkejut dan juga penasaran. Belum pernah dia bertemu dengan wanita senekat ini.
"Keparat jahanam! Apakah engkau lebih senang mampus?" Wanita itu, dengan mulutnya yang manis, hangat dan bergairah, kini memaki dengan kata-kata yang penuh kebencian.
"Sun Bi, ingatlah. Kita bersahabat, bukan" Kita baru saja bertemu, dan kita telah menjadi teman "
"Cukup! Untuk yang terakhir, mau tidak engkau melayani aku?"
Hay Hay mengerti apa yang dimaksudkan dan dengan sikap tegas dia menggeleng kepala.
"Mampuslah!" Tiba-tiba saja wanita itu sudah menerjang dengan pukulan tangan miring ke arah lehernya. Pukulan maut! Wanita ini jelas bermaksud membunuhnya sebagai pelampiasan kemarahan dan kekecewaan hatinya. Keganasan dan kekejamannya ini mengejutkan Hay Hay, walaupun serangan itu sendiri tidak mengejutkannya karena dia memang sudah bersikap waspada sejak tadi. Dengan mudah saja dia mengelak ke kiri, membiarkan pukulan itu lewat tanpa membalas.
Kini Jin Sun Bi yang merasa terkejut sendiri. Ia tadi sudah merasa yakin bahwa dengan sekali pukulan saja, pria yang mengecewakan hatinya itu tentu akan roboh dan tewas. Pukulannya tadi selain keras bertenaga, juga dilakukan dengan kecepatan kilat. Akan tetapi, siapa kira bahwa pemuda yang kelihatannya lemah ini mampu mengelak dan menghindarkan diri dari pukulan pertamanya. Ia masih merasa penasaran dan mengira bahwa hal itu hanya kebetulan saja.
"Heiiiittt "..!" Serangan berikutnya menyusul dan sekali ini, kedua tangannya mencengkeram dari kanan kiri, disusul tendangan kakinya.
"Wuuuttt... dukkk!" Tubuh Ji Sun Bi hampir terpelanting ketika tendangannya ditangkis Hay Hay setelah kedua cengkeramannya mengenai angin saja. Barulah wanita itu sadar bahwa pemuda itu ternyata tidaklah selemah yang disangkanya.
"Keparat, kiranya engkau dapat bersilat" Nah, kausambutlah ini!" Dan kini Ji Sun Bi menyerang seperti datangnya gelombang lautan yang ganas sekali, menghujankan serangan bertubi-tubi dengan gencar sekali dan setiap pukulan mengandung tenaga sin-kang yang akan dapat menewaskan seorang lawan tangguh!
Hay Hay maklum bahwa dia tidak boleh main-main lagi. Bagaimanapun juga, wanita ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada yang diduganya semula. Hal ini dapat diukurnya dari pertemuan tangan ketika dia menangkis tadi, juga dari kecepatan gerakannya. Maka, dia pun tidak mungkin tinggal diam dan hanya mengandalkan elakan dan tangkisan. Kalau hal ini terus dilakukan, dia dapat terancam bahaya. Apalagi karena dia maklum bahwa wanita ini jahat sekali, tentu inilah golongan wanita sesat yang pernah dia dengar diceritakan oleh Ciu-sian Sin-kai, gurunya yang ke dua. Menurut gurunya, dia harus berhati-hati menghadapi wanita-wanita cantik yang berwatak cabul, karena selain mereka itu lihai, juga licik dan pandai merayu. "Hati-hati," demikian antara lain gurunya berpesan, "engkau memiliki kelemahan terhadap wanita, dan rayuan wanita cantik jauh lebih berbahaya dan sukar dielakkan daripada serangan yang bagaimanapun dahsyatnya."
?"" Ketika terdengar suara itu,dan merasakan angin semilir meniup mukanya, tiba-tiba Hay Hay merasa kesadarannya pulih kembali, kedua tangannya menurut perintahnya dan berhenti dengan kegiatan mereka yang sama sekali tidak dikehendakinya. Ketika dia memandang, dia bergidik melihat betapa baju atasnya telah tanggal, sedangkan kedua tangannya tadi mulai membuka celananya. Terlambat sedikit saja tentu dia sudah bertelanjang bulat! Cepat dia mengenakan kembali bajunya dan meloncat berdiri, memandang kepada seorang kakek berambut putih yang tiba-tiba muncul di situ.
"Keparat"' Min-san Mo-ko membentak marah dengan mata melotot. "Berani kau mencampuri urusanku" Aku akan membunuhmu!" Berkata demikian, Min-san Mo-ko mengangkat pedangnya dan menerjang ke depan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tersentak ke belakang, seperti tertolak oleh kekuatan yang hebat, dan betapapun dia berusaha untuk maju, kedua kakinya tetap saja tertumbuk sesuatu dan tidak dapat maju, tidak dapat mendekati kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua itu.
"Setan, lihat kekuatanku"' Min-san Mo-ko berseru dan dia menghentakkan kakinya di atas tanah beberapa kali, mulutnya berkemak-kemik. Hay Hay hanya menonton saja karena merasa tidak mampu menghadapi ilmu-i1mu sihir yang aneh itu. Tiba-tiba Min-san Mo-ko menggerakkan tangannya dan angin yang keras sekali menyambar ke arahnya, ke arah kakek berambut putih. Rambut dan pakaian kakek itu sampai melambai-lambai dan angin itu mengeluarkan suara menderu-deru. Akan tetapi di tengah badai yang mengamuk itu, terdengar suara yang lunak dan lembut seperti tadi,
"Min-san Mo-ko, perbuatan jahat hanya akan menimpa diri sendiri, bukan orang lain."
Aneh sekali, angin itu kini berputaran di sekeliling kakek berambut putih, dan setelah berputaran beberapa kali, angin itu membalik dan menerjang Min-san Mo-ko dengan kekuatan yang berlipat ganda. Hay Hay melihat betapa Min-san Mo-ko terjengkang dan bergulingan, sedangkan Ji Sun Bi berlindung di balik batu besar dan sedang memakai kembali pakaiannya karena perempuan ini tadi sudah hampir telanjang sama sekali.
Min-san Mo-ko berteriak-teriak dengan suaranya yang melengking, lalu meloncat bangkit lagi. Kini dia mendorong dengan kedua telapak ta~gannya dan dari kedua telapak tangan itu kini mencuat sinar yang kemerahan, seperti api yang menyambar perlahan-lahan menuju ke arah kakek berambut putih.
"Siancai-siancai-siancai ?"!" Kakek itu berkata halus, dan dia pun menjulurkan kedua tangan dengan telapak tangan menghadap keluar. Dari kedua telapak tangannya kini keluar sinar terang yang perlahan-lahan meluncur ke depan, menyambut sinar kemerahan yang keluar dari telapak tangan Min-san -Mo -ko. Dua gulung sinar itu bertemu di antara mereka dan bertaut, akan tetapi Hay Hay melihat betapa perlahan akan tetapi pasti, sinar kemerahan dari Min-san Mo-ko terdorong mundur, terus mundur oleh sinar terang. Akan tetapi Hay Hay juga melihat betapa tubuh Ji Sun Bi berkelebat dan dengan sepasang pedangnya, wanita itu berindap-indap menghampiri kakek berambut putih dari belakang, siap untuk menusuk dari belakang dan agaknya kakek rambut putih itu tidak melihatnya. Melihat hal ini, Hay Hay meloncat dan membentak.
"Manusia curang!" Dan kakinya sudah menendang.
"Desss ?".!" Tubuh Ji Sun Bi terlempar dan terbanting keras. Akan tetapi sekali ini pun Hay Hay membatasi tenaganya sehingga wanita itu hanya terbanting saja dengan keras, tidak sampai menderita luka parah.
Sementara itu, sinar merah telah kembali ke telapak tangan Min-san Mo-ko dan sinar terang pun kembali ke tangan kakek berambut putih. "Pergilah kalian!" Kakek berambut putih itu berseru perlahan dan tangan kirinya melambai seperti menyuruh mereka pergi dan guru bersama muridnya itu seperti mentaati perintah ini dan mereka berdua pun mengambil langkah seribu, melarikan diri dari tempat itu!
Setelah kedua orang itu pergi dan tidak nampak lagi, tiba-tiba kakek berambut putih itu mengeluh dan tubuhnya terhuyung, lalu dia jatuh terduduk dan bersila di atas rumput. Hay Hay terkejut bukan main, cepat dia menghampiri dan berlutut di dekat kakek itu.
"Locianpwe kenapakah ?" tanyanya, khawatir melihat betapa wajah kakek ini pucat sekali.
Kakek itu membuka matanya, memandang kepada Hay Hay dan tersenyum, wajahnya ramah dan nampak kesabaran luar biasa membayang di seluruh bagian wajahnya. "Orang muda yang gagah, jangan menyebut Locianpwe padaku, karena aku hanyalah seorang pertapa yang lemah. Bahkan kalau tidak ada engkau, tadi aku tentu sudah tewas di ujung pedang wanita itu."
"Akan tetapi... Locianpwe telah menyelamatkan saya dari... dari ".." Tiba-tiba wajah Hay Hay berubah merah karena dia teringat akan peristiwa yang amat memalukan tadi.
Kakek itu mengangguk-angguk. "Aku tahu, engkau akan mengalami penghinaan, kemudian mungkin sekali kematian. Guru dan murid itu memang jahat sekali dan mereka seperti bukan manusia lagi, tidak mengenal tata susila dan kesopanan lagi. Akan tetapi, aku hanya dapat mengusir mereka dengan kekuatan sihir. Kalau mereka menyerangku dengan ilmu silat, hemmm, aku sama sekali tidak pandai ilmu silat dan... ahhhhhh!" Kakek itu memejamkan kedua matanya dan menggigit bibir, nampaknya menahan rasa nyeri yang hebat.
"Locianpwe... apakah Locianpwe terluka "..?" Hay Hay bertanya khawatir, masih belum dapat menerima bahwa kakek yang telah menyelamatkannya ini seorang pertapa lemah yang tidak pandai silat, hanya pandai dengan ilmu sihir saja.
Kakek itu mengangguk. " Aku memang sedang menderita sakit, akan tetapi bukan karena pertandingan tadi. Penggunaan sihir memaksa aku mengerahkan tenaga dan membuat penyakitku menjadi bertambah berat. Aahhh, orang muda, kalau tidak mendapatkan obatnya, agaknya paling lama dua puluh empat jam lagi aku akan terpaksa meninggalkan dunia yang keruh ini "."
Tentu saja Hay Hay menjadi prihatin sekali. Bagaimanapun juga, kakek ini adalah penolongnya! "Locianpwe, apakah obat itu" Di mana mencarinya" Biarlah saya yang akan mencarikan untukmu."
Sepasang mata yang sayu itu kini menjadi terang dan wajah kakek itu berseri, jelas nampak harapan timbul dalam hatinya ketika dia memandang Hay Hay.
"Benarkah engkau mau menolongku, orang muda yang gagah?"
"Harap Locianpwe tidak meragukan kesanggupan saya. Apa artinya saya mempelajari ilmu kalau tidak untuk, menolong siapa saja yang terancam bahaya" Apalagi Locianpwe baru saja menyelamatkan saya. Katakanlah di mana saya dapat menemukan obat itu dan apakah macamnya obat itu."
"Ah, kalau saja kekuatan sihirku dapat menundukkan harimau seperti menundukkan manusia, tentu sudah lama dapat aku mencari sendiri obat itu. Obat yang akan dapat menyembuhkan penyakitku adalah otak seekor harimau dan di di hutan yang nampak dari sini itu terdapat banyak harimau hitam yang kumaksudkan."
"Otak seekor harimau hitam" Di hutan itu" Baiklah, harap Locianpwe menunggu di sini sebentar, saya akan mencarikannya!" Setelah berkata demikian, Hay Hay meloncat dan berlari cepat. Kakek itu tertegun melihat betapa sekali berkelebat saja pemuda itu telah lenyap dari depannya. Seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki ilmu silat tinggi, pikirnya. Sayang dia tidak mahir ilmu sihir sehingga tadi hampir saja menjadi korban kekuatan sihir Min-sah Mo-ko! Kakek ini pun mengangguk- angguk karena dia tahu dengan cara apa dia akan membalas kalau pemuda itu benar-benar dapat mencarikan obat dan dapat menyembuhkan penyakit yang dideritanya selama ini.
Dengan ilmu berlari cepat, sebentar saja Hay Hay tiba di tempat tujuan, memasuki hutan yang agak gelap karena di situ tumbuh pohon-pohon yang besar sekali, usianya sudah ratusan tahun dan amat lebat dan liar. Dia segera mencari binatang yang dikehendaki kakek itu dan akhirnya, jauh di tengah hutan, dia melihat dua ekor harimau hitam yang sedang mendekam di bawah pohon besar. Harimau-harimau itu sebesar anak lembu, nampaknya tangkas dan cekatan, liar dengan mata kehijauan yang bersinar-sinar. Belum pernah Hay Hay berkelahi dengan harimau, maka berdebar juga jantungnya karena tegang ketika dia menghampiri dua ekor binatang buas itu.
Dua ekor harimau itu segera dapat mencium bau manusia yang datang mendekat. Mereka bangkit dan menoleh. Ketika melihat Hay Hay muncul, mereka hanya mengeluarkan suara menggereng, memperlihatkan taring-taring yang runcing, akan tetapi tidak membuat gerakan menyerang. Hay Hay menenangkan hatinya dan dia pun mendekat, sikapnya hati-hati dan penuh kewaspadaan. Dia dapat menduga bahwa dua ekor harimau itu tentu jantan dan betina, dan tahu bahwa kedua ekor binatang itu tentu akan menyerangnya berbareng Dia belum tahu sampai di mana kekuatan atau kecepatan dua ekor harimau itu, namun maklum bahwa mereka tentu berbahaya sekali. Maka dia pun waspada, dan sudah mempersiapkan suling kayu hitamnya. Dia harus dapat membunuh keduanya, karena melarikan diri dari seekor harimau tentu saja amat berbahaya.
Dia pun berindap-indap mendekat, dan melihat betapa dua ekor harimau itu hanya mengikuti semua gerakannya dengan pandang mata mereka yang mencorong, Hay Hay mengerti bahwa dua ekor binatang itu berbahaya sekali dan agaknya cukup cerdik dan seperti juga dia, dua ekor harimau itu agaknya hendak mengukur kekuatannya dan mencari kesempatan baik.
"Hemmmmm "..!" Hay Hay menggereng dan kini dua ekor harimau itu memutar tubuh menghadapinya, menggereng-gereng dan makin lebar menyeringai dan memperlihatkan gigi mereka.
Melihat betapa mereka masih belum mau bergerak menyerang, hanya mengambil ancang-ancang dan agaknya mereka mengatur jarak karena kalau dia mendekat mereka mundur dan kalau dia mundur mereka maju, Hay Hay lalu menggunakan kakinya menendang sebatang kayu kering ke arah mereka untuk mengusik mereka.
Pancingannya berhasil. Dua ekor harimau itu nampak marah, merendahkan tubuhnya, mencengkeram tanah dan tiba-tiba seekor di antara mereka mendahului penyerangan, menubruk dengan loncatan yang amat kuat dan cepat. Hay Hay yang sudah siap siaga, melihat tubrukan yang demikian kuat dan cepatnya, segera menghindarkan diri dengan meloncat ke kiri, akan tetapi tidak lupa untuk menyambut dengan tendangan kaki kanan ketika tubuh harimau itu meluncur lewat di sampingnya.
"Bukkk!!" Tendangan itu cukup keras, membuat tubuh harimau itu terpelanting dan terbanting. Binatang itu mengaum keras dengan marahnya dan kini harimau ke dua sudah menerjang dengan dahsyatnya, tidak menubruk seperti tadi, melainkan menerjang dengan penyerangan dua buah kaki depannya, tubuhnya berdiri di atas kedua kaki belakang.
Akan tetapi Hay Hay sudah cepat meloncat lagi dengan elakan yang cepat. Pada saat itu, harimau jantan sebagai penyerang pertama, sudah meloncat dan menubruknya lagi dari belakang! Hay Hay maklum betapa hebatnya bahaya mengancam. Tak mungkin cengkeraman kuku-kuku sekuat baja dari kaki yang amat kokoh kuat itu dihadapi dengan kekebalan sinkang. Dia pun mengelak lagi. Ketika dia mengelak, kaki kiri depan binatang itu masih mencakar ke samping. Hay Hay mengayun suling kayu hitamnya, menangkis.
"Dukk!" Kembali tubuh harimau itu terpelanting. Hay Hay tidak menyiakan kesempatan ini, cepat dia menerjang dengan tendangannya pula yang mengenai tubuh belakang harimau itu.
"Desss "..!" Harimau itu terlempar dan terbanting jatuh sampai bergulingan. Hal ini membuat harimau betina marah. Sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, ia pun sudah menubruk dari samping. Pada saat itu, Hay Hay yang baru saja melakukan tendangan berada dalam posisi yang kurang baik, maka tidak sempat lagi baginya untuk mengelak. Terpaksa dia menyambut tubrukan itu dengan ayunan suling kayunya yang menusuk dari samping ke arah leher harimau, disusul tangan kirinya yang diayun dan melakukan pukulan ke arah kepala harimau itu. Tentu saja dia mengerahkan tenaga ketika memukul.
?"" -121" Kakek yang duduk di depannya ini telah menjadi gurunya yang ke tiga, Hay Hay tidak mau merahasiakan keadaannya lagi. "Sejak kecil teecu dirawat dan dididik oleh dua orang Suhu, yaitu See-thian Lama dan Suhu Ciu-si,an Sin-kai ?"
"Ya Tuhan ?"!" Kakek itu terbelalak memandang kepada pemuda itu seperti tidak percaya akan pendengarannya sendiri. "See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai?" " Bukankah mereka itu... dari Delapan Dewa"."
Hay Hay mengangguk. "Benar, Suhu. Mereka adalah dua dari Delapan Dewa yang masih hidup."
"Hebat hebat...! Engkau bahagia sekali dapat menjadi murid mereka dan aku bangga bukan main dapat membimbing seorang murid dari See-thian Lama dan Ciu-sian Sin-kai. Ohhh, kini aku akan dapat mati dengan tenang."
"Suhu, bolehkan teecu mengetahui nama dan julukan Suhu?"
Kini kakek itu menghela napas panjang. " Aku sendiri sudah lupa siapa namaku, karena selama puluhan tahun aku bertapa dan tidak berhubungan dengan manusia lain sehingga namaku pun tak pernah disebut-sebut lagi. Akan tetapi, tentu saja untukmu aku harus mempunyai nama. Nah, sebut saja namaku Pek Mau San-jin (Pertapa Gunung Berambut Putih), cocok dengan keadaanku, bukan?"
Hay Hay tidak mendesak lagi dan mulai hari itu, dia pun mengikuti Pek Mau San-jin, pergi ke puncak Pegunungan Min-san, ke dalam guha-guha yang paling sunyi untuk belajar ilmu sihir yang banyak membutuhkan latihan samadhi di tempat yang amat hening. Kakek itu dengan tekun melatih muridnya dengan dasar-dasar latihan kekuatan batin sebagai dasar pelajaran ilmu sihir. Akan tetapi sebelum memulai dengan pelajaran ilmu sihir, kakek itu dengan tegas memperingatkan muridnya. "Hay Hay, ingat baik-baik. Biarpun segala macam ilmu kalau dipergunakan dengan sesat akhirnya akan menjadi kutuk bagi sendiri, namun ilmu sihir ini mendatangkan akibat yang langsung. Sejak ribuan tahun turun-temurun, yang mempelajari ilmu sihir seperti yang akan kuajarkan kepadamu, tidak terlepas daripada syarat batin yang tak dapat dihindarkan lagi. Yaitu, ilmu ini harus dipergunakan untuk kebaikan saja, dan dilarang keras untuk dipergunakan secara sesat. Tidak boleh dipergunakan untuk melakukan kejahatan atau merugikan orang lain, lahir maupun batin. Kalau sampai larangan ini dilanggar, maka akibatnya akan menghantam diri sendiri. Ilmu itu sendiri yang akan menghancurkannya, sedikitnya mendatangkan penyakit seperti yang kualami, besar kecilnya hukuman itu sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran. Bahkan ilmu itu sendiri akan dapat membunuh kalau sampai melakukan kejahatan yang besar. Karena itu, ingatlah selalu, muridku, bahwa ilmu ini tidak sekali-kali boleh dipergunakan untuk kejahatan, karena engkau tidak akan bebas daripada hukumannya."
Hay Hay mengangguk-angguk, sedikit pun tidak merasa khawatir. "Akan teecu ingat selalu, Suhu."
Demikianlah, mulai hari itu Hay Hay belajar dengan tekun. Akan tetapi, dia hanya sempat belajar satu tahun saja pada Pek Mau San-jin, karena setelah kurang lebih setahun mempelajari ilmu sihir dari kakek itu, Pek Mau San-jin meninggal dunia karena usia tua. Hay Hay mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya itu seperti pesannya ketika masih hidup, di bawah sebatang pohon di dekat guha tempat gurunya bertapa, meletakkan sebuah batu besar sebagai tanda makam. Setelah melakukan sembahyang untuk memberi hormat terakhir kepada gurunya, Hay Hay lalu pergi meninggalkan tempat itu. Kini dibekali sebuah ilmu baru, yaitu ilmu sihir yang walaupun belum dipelajari sampai tamat karena gurunya keburu meninggal dunia, namun kiranya cukup untuk memperlengkap bekal ilmu pembela dan pelindung diri.
** Sungai Yalong merupakan sebatang sungai yang amat panjang, mengalir dari utara jauh melampaui tapal batas Propinsi Secuan, merupakan satu di antara anak Sungai Yang-ce yang amat panjang. Sungai Yalong mengalir dari Cing-hai, masuk ke Propinsi Secuan sebelah utara, mengalir sepanjang Propinsi Secuan ke selatan, sampai dekat kota Takou di ujung selatan Propinsi Secuan, Sungai Yalong bertemu dengan Sungai Jin-sha, membelok ke timur dan menjadi Sungai Yang-ce yang amat terkenal itu.
Sungai Yalong mengalir melalui Pegunungan Jin-ping-san dan di pegunungan inilah, di sepanjang Sungai Yalong, terdapat sebuah perkampungan yang menjadi pusat dari perkumpulan Pek-sim-pang. Keluarga Pek yang belasan tahun yang lalu meninggalkan Tibet karena dimusuhi para pendeta Lama yang menghendaki keturunan mereka yang dianggap Sin-tong, membawa anak buah Pek-sim-pang yang setia kepada keluarga itu, mengungsi masuk Propinsi Secuan yang menjadi tempat asal keluarga Pek. Akhirnya keluarga itu, bersama para anggauta Pek-sim-pang yang juga menjadi murid-murid mereka, rombongan itu menetap di tepi Sungai Yalong itu. Tempat itu amat indahnya, merupakan daerah perbukitan yang menjadi lereng Pegunungan Jin-ping-san. Daerah itu memiliki tanah yang subur dan hutan-hutan lebat yang dihuni banyak binatang-binatang buruan. Karena air cukup, tanah subur dan hutan-hutan lebar, keluarga besar Pek-sim-pang tinggal di tempat itu dengan senang, bertani, berburu dan dari sungai itu sendiri mereka dapat memperoleh ikan. Juga dari dalam hutan mereka bisa mendapatkan kayu-kayu besar untuk membangun rumah-rumah mereka. Kini, keluarga itu terkenal sebagai pedagang hasil bumi dan rempa-rempa, disamping terkenal pula sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang disegani dan ditakuti oleh para penjahat. Semenjak Pek-sim-pang bermarkas di tempat itu, daerah itu sampai berpuluh li luasnya, menjadi aman. Para penjahat terpaksa pergi mengungsi, dan hanya berani melakukan kejahatan jauh di luar jangkauan kekuasaan dan pengaruh keluarga besar Pek-sim-pang.
Setelah tinggal di daerah itu selama belasan tahun, Pek-sim-pang menjadi semakin terkenal. Anggauta atau murid Pek-sim-pang yang jumlahnya kurang lebih seratus orang itu kini bertambah karena di antara mereka ada yang sudah berkeluarga dan tinggal di dalam perkampungan yang merupakan markas atau benteng perkumpulan Pek-sim-pang itu. Perkampungan itu kini memiliki hampir dua ratus orang penghuni tetap. Setelah banyak di antara murid Pek-sim-pang bekerja menjadi pengawal-pengawal perjalanan, penjaga-penjaga. keamanan dan sebagainya, maka pengaruh Pek-sim-pang menjadi semakin meluas, sampai meliputi banyak kota besar di Propinsi Secuan.
Perkampungan itu cukup luas, berada di lereng sebuah bukit. Dari jauh sudah nampak tembok putih tinggi yang menjadi pagar perkampungan itu. Dua pintu gerbang depan dan belakang dibuka lebar-lebar di waktu siang hari, dan untuk menjaga keamanan karena sebagai perkumpulan orang gagah tentu ada saja pihak penjahat yang menaruh dendam, setiap hari, siang malam, pintu-pintu gerbang itu dijaga secara bergilir. Rumah keluarga Pek berada di tengah perkampungan, dikelilingi rumah-rumah para anggauta. Rumah keluarga Pek itu cukup besar, terbuat dari tembok dan kayu-kayu besar. Pekarangan depannya luas, ditanami pohon-pohon buah, dan di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukup luas, sebuah taman bunga mungil berada di sebelah timur rumah.
Pada waktu itu, yang menjadi ketua Pek-sim-pang adalah Pek Kong yang telah berusia empat puluh satu tahun. Para ketua Pek-sim-pang memang keturunan keluarga Pek, turun temurun. Pek Kong beristerikan Souw Bwee yang sudah berusia tiga puluh delapan tahun, seorang wanita yang juga memiliki ilmu silat bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai. Walaupun kepandaian silatnya tidak setinggi suaminya, namun wanita itu termasuk seorang wanita perkasa. Ayah dari Pek Kong yang bernama Pek Ki Bu, bekas Ketua Pek-sim-pang pula, telah mengundurkan diri dan kini hanya menjadi penasehat saja dari puteranya yang menggantikannya menjadi ketua. Dalam usianya yang enam puluh tahun, Pek Ki Bu telah menjadi seorang duda karena isterinya telah meninggal dunia karena penyakit. Hidupnya terasa sunyi dan untung bahwa dia mempunyai seorang cucu perempuan yang menjadi penghibur hatinya. Seperti diketahui, Pek Kong mempunyai seorang putera yang menjadi sebab keributan sehingga keluarga Pek terpaksa melarikan diri dari Tibet, dianggap sebagai Sin-tong (Anak Ajaib) calon Dalai Lama! Dan semenjak puteranya itu dibawa pergi oleh kakek buyutnya, yaitu Pek Khun, pendiri dari Pek-sim-pang, untuk diselamatkan dan disembunyikan dari pengejaran para pendeta Lama dan para tokoh sesat di dunia hitam yang memperebutkannya, kehidupan keluarga Pek menjadi muram dan sunyi. Akan tetapi empat tahun kemudian sejak anak yang menghebohkan itu terlahir, Souw Bwee atau Nyonya Pek Kong telah melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Pek Eng. Anak inilah yang kemudian menjadi hiburan bagi Kakek Pek Ki Bu yang ditinggal mati isterinya. Dia mendidik cucunya itu penuh kasih sayang.
Kini Pek Eng telah menjadi seorang gadis berusia enam belas tahun yang berwajah manis sekali. Ia lincah gembira, jenaka dan nakal suka menggoda orang, juga galak dan manja karena sejak kecil dimanjakan oleh kakeknya. Tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang diajarkan sendiri oleh kakeknya dan karena ia seorang anak yang cerdas dan berbakat maka dalam usia enam ibelas tahun, ia telah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan kiranya tidak ada di antara murid Pek-sim-pang yang dapat menandinginya.
Pek Eng seorang gadis remaja yang bertubuh tinggi ramping, dengan sepasang kaki yang panjang, pinggang yang kecil, namun dalam usia enam belas tahun, bagaikan setangkai bunga yang mulai mekar semerbak harum, tubuhnya sudah nampak padat berisi dengan lekuk-lekung yang sempurna. Kecepatan dewasanya ini adalah karena ia hidup di alam bebas, suka berburu binatang dan sudah biasa terpanggang terik matahari, tertiup angin badai, tertimpa hujan lebat, pendeknya ia sudah biasa menghadapi keadaan yang keras dan sulit. Karena di daerah Secuan bagian selatan banyak terdapat orang-orang dari suku bangsa Yi, maka sedikit banyak kehidupan Pek Eng terpengaruh pula oleh kebiasaan suku bangsa Yi. Apalagi karena kakeknya, setelah kini mengundurkan diri, tertarik oleh kehidupan rohani yang menjadi tradisi suku bangsa Yi, yaitu mendasarkan kehidupan agama mereka dari kitab-kitab suci, kitab-kitab kuno yang bersumber kepada Agama Hindu kuno. Kakek Pek Ki Bu kini tekun membaca kitab-kitab kuno itu dan membiarkan cucunya banyak bergaul dengan suku bangsa Yi. Pakaian dari suku bangsa ini amat indah, juga gagah, sesuai dengan watak suku bangsa Yi yang terkenal sejak jaman dahulu sebagai peraiurit-perajurit yang gagah perkasa. Selain terkenal sebagai perajurit-perajurit yang gagah perkasa, juga suku bangsa Yi terkenal sebagai orang-orang yang mempertahankan kebudayaan dan tradisi mereka, hidup sebagai keluarga dan masyarakat golongan tinggi dan menganggap kelompok mereka lebih tinggi derajatnya dengan suku-suku lain. Tidaklah mengherankan kalau hampir setiap keluarga Yi, walaupun yang tergolong kurang mampu, memiliki budak belian atau hamba sahaya yang terdiri dari orang-orang yang pernah mereka talukkan, dari suku-suku lain yang dianggap lebih rendah martabat dan derajat mereka.
Suku bangsa Yi suka mengenakan pakaian yang berwarna hitam sebagai dasar, dengan beraneka ragam dan warna hiasan. Juga mereka biasa menghias dan menutupi kepala mereka dengan kain sorban yang dihias dengan bulu burung, atau yang bagian ujung sorbannya dibentuk mencuat ke atas sebagai pengganti bulu burung.
Pek Eng juga sering kali mengenakan pakaian suku bangsa Yi, walaupun adakalanya dia mengenakan pakaian biasa sebagai seorang gadis bersuku bangsa Han, yaitu suku bangsa terbesar di seluruh Tiongkok. Dan tentu saja Pek Eng pandai berbahasa Yi. Pandai pula ia menunggang kuda, mempergunakan anak panah dan suling, di samping tentu saja pandai bermain silat tangan kosong dan pedang dari ilmu silat keluarganya.
Keluarga Ketua Pek-sim-pang itu sudah lama prihatin kalau mereka memikirkan tentang keturunan mereka, yaitu Pek Han Siong. Ketika Kakek Pek Khun yang sudah tua sekali itu meninggal dunia, dia tidak meninggalkan pesan apa pun mengenai putera Pek Kong itu, yang memang dirahasiakan oleh kakek tua itu sejak dahulu. Sebelum kakek itu mati, kalau ada keluarga Pek yang bertanya tentang Pek Han Siong, selalu dijawab bahwa anak yang diperebutkan itu berada dalam tangan yang dapat dipercaya, keadaannya selamat, sehat dan aman. Dan selalu mengatakan bahwa kalau anak itu sudah dewasa kelak, tentu akan datang sendiri mencari keluarganya di Secuan!
Pada suatu sore, ketika Pek Ki Bu datang ke ruangan menengok keluarga puteranya, kakek ini sekarang berdiam di sebuah rumah kecil yang menyendiri di sudut perkampungan agar dapat bersamadhi dan mempelajari kitab dengan tenteram, Souw Bwee isteri Pek Kong kembali teringat akan puteranya dan nyonya ini pun menangis dengan sedihnya. Suaminya, juga puterinya, berada di situ menghiburnya.
"Sudahlah, disusahkan dan ditangisi apa gunanya?" demikian Kakek Pek Ki Bu berkata untuk menghibur mantunya. "Persoalan apa pun yang timbul dalam kehidupan merupakan tantangan hidup yang harus dihadapi dan diatasi dengan usaha yang didasari akal budi kita. Dan tangis tidak ada gunanya sama sekali untuk dijadikan dasar usaha mengatasi persoalan itu karena tangis bahkan akan menumpulkan akal budi."
Mendengar ucapan ayah mertuanya, Souw Bwee menghapus air matanya dan setelah tangisnya terhenti ia pun berkata, "Harap Ayah memaafkan saya. Akan tetapi saya merasa heran sekali, mengapa mendiang Kakek menyembunyikan keadaan Han Siong dari kita?"
"Tentu mendiang Ayah mempunyai alasan yang kuat untuk itu. Mungkin saja dia melihat bahwa rahasia tentang keadaan Han Siong perlu dipegang kuat-kuat karena masih terdapat banyak ancaman. Pula, bukankah mendiang Kakek kalian itu sudah berpesan bahwa kelak, kalau sudah dewasa, Han Siong tentu akan mencari sendiri keluarganya di sini?"
Pek Kong mengerutkan alisnya. Dia merasa kasihan kepada isterinya yang sudah menderita bertahun-tahun, selalu berduka kalau teringat akan putera mereka. "Ayah, memang tidak seharusnya membenamkan diri dalam duka dan tangis. Akan tetapi, menurut perhitungan saya, kini Han Siong sudah berusia dua puluh tahun lebih, sudah cukup dewasa. Kenapa belum juga dia pulang" Tentu kami merasa khawatir sekali, Ayah, karena bagaimanapun juga, dia adalah putera kami satu-satunya, dialah penyambung satu-satunya keturunan keluarga Pek!"
Mendengar puteranya menyinggung tentang keturunan keluarga Pek, Kakek Pek Ki Bu terdiam dan dia pun mengerutkan alisnya dengan khawatir. Kekhawatiran timbul karena andaikata cucunya itu benar-benar telah tidak ada, bukankah hal itu berarti bahwa keluarga Pek akan terputus keturunannya" Dan hal ini tentu saja akan merupakan hal yang amat menyedihkan.
Sejak tadi Pek Eng mendengarkan dengan alis berkerut. Ia duduk bersimpuh merangkul ibunya untuk menghiburnya ketika ibunya menangis, sementara ia mendengarkan percakapan mereka. Ketika ayahnya menyinggung soal keturunan keluarga Pek, kerut alisnya makin mendalam dan sepasang matanya yang agak sipit itu mengeluarkan sinar penasaran, mukanya yang manis itu menjadi merah gelap. Hatinya tak pernah mau menerima sikap orang-orang tua bangsanya yang selalu mementingkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Keturunan! Hanya nama keturunan, hanya she. Ia tahu bahwa ia tidak akan melahirkan keturunan Pek, melainkan keturunan marga orang yang akan menjadi suaminya. Dan hal ini menyakitkan hatinya sekali! Ia merasa seolah-olah didorong ke samping sehingga berdiri di luar kalangan atau lingkaran keluarga Pek!
Tiba-tiba ia melepaskan rangkulan dari pundak ibunya dan bangkit berdiri. Sikapnya gagah ketika ia berkata. "Kakek, Ayah dan Ibu, biarkan aku berangkat pergi mencari Koko Pek Han Siong yang menimbulkan kedukaan dalam keluarga Pek!"
Tiga orang tua itu terkejut, seolah-olah baru ingat akan adanya Pek Eng di situ. "Eng-ji (Anak Eng), engkau seorang anak perempuan ?"!" Seru ibunya.
Seruan ibunya membuat rasa penasaran dan marah di hati Pek Eng semakin bergelora. "Apa salahnya seorang anak perempuan, Ibu" Aku tidak kalah oleh seorang anak laki-laki. Aku tidak pernah menyusahkan hati Ibu, tidak seperti Koko! Daripada Ibu susah-susah selalu, biarlah aku akan pergi mencari Koko sampai dapat!"
"Eng-ji, jangan bicara tidak karuan!" bentak ayahnya. "Kami saja tidak tahu di mana Han Siong berada, apalagi engkau. Ke mana engkau hendak mencarinya?"
"Ke mana saja, Ayah. Kalau memang Koko masih hidup, pasti akan dapat kucari dan kutemukan. Aku akan mulai dengan daerah Kun-lun-san di mana kakek buyut bertapa dan mencari keterangan di sana."
"Jangan, Eng-ji, engkau jangan pergi!" Ibunya berseru penuh kekhawatiran.
"Pek Eng, apakah engkau akan menjadi seorang anak yang durhaka" Ibumu sedang berduka memikirkan kakakmu yang belum juga pulang dan sekarang engkau malah hendak, pergi meninggalkannya?" Terdengar Pek Ki Bu berkata halus menegur cucunya yang amat disayangnya.
Pek Eng cemberut memandang kakeknya. Anak ini paling manja terhadap kakeknya, dan setiap kali ditegur, ia merasa kecewa dan marah. "Kong-kong, aku hendak mencari Koko justeru agar Ibu tidak selalu berduka. Hemmm, mentang-mentang aku ini anak perempuan, apa pun yang kulakukan serba tidak kebetulan saja. Huh!" Gadis itu membanting kakinya lalu meninggalkan ruangan itu.
Dengan uring-uringan Pek Eng keluar dari rumahnya, lalu berjalan-jalan menuju ke pintu gerbang di depan perkampungan mereka. Hatinya masih terasa jengkel dan kesal. Diam-diam ia merasa tak suka kepada kakaknya, rasa tidak suka yang timbul pada saat itu karena ia merasa iri hati. Biasanya ia sendiri merasa rindu kepada kakak yang selama hidup belum pernah dilihatnya itu. Sudah seringkali ibu dan ayahnya bicara tentang kakak yang sejak bayi dibawa pergi kakek buyutnya. Ia ingin sekali melihat bagaimana wajah kakak kandungnya itu. Seperti ayahnyakah" Atau seperti ibunya" Orang bilang ia sendiri mirip ibunya dan ia merasa bangga karena ibunya amat cantik.
Setelah tiba di pintu gerbang, ia hanya menjawab sambil lalu saja ketika para penjaga pintu gerbang menyapanya. Semua anggauta Pek-sim-pang yang sebetulnya masih terhitung saudara-saudara seperguruannya, karena mereka adalah murid-murid ayahnya atau kakeknya, menyebutnya Pek-siocia (Nona Pek), panggilan menghormat karena biarpun saudara seperguruan, gadis remaja ini adalah puteri ketua mereka.
"Pek-siocia, senja telah mendatang, engkau hendak ke manakah" Sebentar lagi pintu gerbang akan ditutup." Kata seorang di antara mereka. Semua penjaga memandang gadis itu dengan sinar mata penuh kagum. karena siapakah yang tidak tertarik dan kagum kepada gadis yang amat manis itu"
Biasanya Pek Eng bersikap manis kepada semua anggauta Pek-sim-pang. Ia memang seorang gadis yang lincah jenaka dan gembira. Akan tetapi saat itu hatinya sedang murung, maka pertanyaan orang itu diterimanya sebagai suatu gangguan.
"Aku mau pergi jalan-jalan. Biar sudah kaututup, apa disangka aku tidak dapat masuk?" Berkata demikian, ia lalu meloncat dan berlari cepat sekali sehingga sebentar saja bayangannya sudah menghilang. Para penjaga itu hanya menggeleng kepala, kagum akan kelihaian gadis itu. Tentu saja mereka akan selalu berjaga di situ, walaupun pintu gerbang sudah ditutup nanti, besiap-siap untuk cepat membuka pintu gerbang kalau gadis itu pulang. Tentu saja mereka maklum bahwa walaupun pintu gerbang ditutup, tanpa dibuka sekalipun, dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi, gadis itu akan mampu meloncat dah masuk melalui atas pagar tembok.
Dengan hati masih kesal Pek Eng lalu berlari menuju ke kaki bukit di mana ia tahu merupakan tempat tinggal sekelompok suku bangsa Yi yang menjadi sahabatnya. Dusun suku Yi itu sudah nampak dari situ dan ia mempunyai banyak kawan baik di sana. Senang mendengar cerita orang-orang tua suku bangsa Yi menceritakan pengalaman mereka yang menegangkan ketika terjadi perang, menceritakan kegagahan nenek moyang mereka.
Akan tetapi ketika ia tiba di pintu gerbang dusun Yi, ia melihat belasan orang Yi mengepung seorang pemuda yang menggendong buntalan, dan seorang gadis Yi nampak duduk bersimpuh di atas tanah sambil menangis, seorang pemuda Yi marah-marah sedangkan orang-orang Yi lainnya mendengarkan, tangan memegang gagang senjata dan semua mata ditujukan kepada pemuda itu.
Karena tidak ingin mengganggu dan ingin sekali tahu apa yang terjadi, Pek Eng lalu menyelinap dan mengintai sambil mendengarkan. Juga ia memperhatikan pemuda itu yang kelihatannya tenang-tenang saja dikepung oleh orang-orang Yi yang kelihatannya marah-marah. Seorang pemuda yang bertubuh sedang namun tegap, dengan dada bidang. Yang menarik adalah wajahnya yang berseri dan sikapnya yang tenang, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum-senyum, seolah-olah dia menghadapi sekumpulan sahabat baik yang menyambutnya, bukan sekumpulan orang Yi yang sedang marah kepadanya.
Pemuda itu bukan lain adalah Hay Hay! Seperti kita ketahui, Hay Hay berguru kepada Pek Mau San-jin selama satu tahun dan setelah gurunya itu meninggal dunia dan dikuburnya sebagaimana mestinya, Hay Hay lalu melanjutkan perjalanannya, yaitu mencari keluarga Pek di Secuan. Sore hari itu, tibalah dia di sebuah hutan, tak jauh dari dusun Yi itu. Karena hari telah sore, dia bergegas hendak menuju ke dusun yang sudah dilihatnya dari jauh tadi, agar dia dapat melewatkan malam di dusun itu. Akan tetapi tiba-tiba dia mendengar suara wanita menjerit. Cepat dia lari ke arah datangnya suara dan betapa marahnya melihat seorang gadis suku Yi sedang dipeganggi dua orang laki-laki suku Miau yang agaknya hendak menyeretnya dan menculiknya. Dia mengenal mereka dari pakaian-pakaian mereka dan memang dia sudah mendengar dalam perjalanannya bahwa ada permusuhan antara kedua suku bangsa itu. Tidak salah lagi, dua orang suku Miau itu tentu hendak menculik gadis Yi yang cukup cantik itu.
"Lepaskan gadis itu!" Hay Hay membentak dalam bahasa Han karena dia tidak dapat berbahasa Yi ataupun Miau. Dua orang laki-laki itu terkejut dan ketika mereka melihat bahwa yang membentak itu adalah seorang pemuda Han yang kelihatan biasa saja, keduanya menjadi marah. Seorang di antara mereka mencabut parang, sedangkan orang ke dua masih memegangi kedua lengan gadis yang meronta-ronta itu. Si pemegang Parang yang tinggi besar itu segera menerjang Hay Hay dengan parangnya, menyerang dengan dahsyat. Namun Hay Hay melihat bahwa orang ini hanya memiliki tenaga besar saja, maka dengan mudah dia mengelak dan sekali kakinya bergerak, lutut kanan orang itu telah tercium ujung sepatu Hay Hay dan dia pun terpelanting.
Melihat ini, orang ke dua melepaskan gadis Yi dan ikut mengeroyok. Namun, dengan kedua kakinya saja, tanpa menggunakan tangan, Hay Hay menghajar mereka, menendangi mereka sampai akhirnya mereka lari tunggang-langgang meninggalkan gadis yang masih menangis terisak-isak.
Hay Hay tidak mengejar, hanya tersenyum dan dia menghampiri gadis itu. Gadis itu mengangkat muka memandang, kemudian sambil menangis menubruk dan merangkul Hay Hay, menangis di dada pemuda itu. Tentu saja Hay Hay merasa senang sekali karena gadis itu memang manis. Otomatis tangannya mengusap-usap rambut itu, dibelainya rambut itu dan dia pun balas merangkul. Sampai beberapa lamanya gadis itu berada dalam pelukannya.
"Nona manis, di manakah rumahmu" Hari sudah hampir malam, sebaiknya kalau engkau pulang saja." akhirnya Hay Hay berkata setelah bajunya menjadi basah di bagian dada oleh air mata gadis Yi itu.
Gadis itu melepaskan diri dan bicara dalam bahasa Yi, akan tetapi karena Hay Hay tidak mengerti gadis itu lalu menuding-nuding ke arah letak dusunnya. Hay Hay mengangguk, lalu menggandeng tangan gadis itu, diajaknya pulang ke dusunnya. Mereka berjalan sambil bergandeng tangan dan biarpun mereka tak dapat saling bicara, namun setiap kali gadis itu menoleh dan memandang wajahnya, Hay Hay dapat menangkap sinar mata penuh rasa syukur dan terima kasih terpancar dari sinar mata yang bening itu. Seorang gadis yang manis, pikirnya senang bahwa dia sudah secara kebetulan dapat menyelamatkan gadis ini dari tangan dua orang penculiknya. Dia membayangkan betapa malam ini dia akan diterima sebagai tamu agung oleh keluarga gadis itu, dijamu dan memperoleh kamar yang enak di mana dia dapat membiar kan tubuhnya yarig penat itu beristirahat!
Karena berpikir demikian, wajah Hay Hay cerah, berseri dan mulutnya tersenyum ketika dia dan gadis itu tiba di luar pintu gerbang dusun tempat tinggal suku bangsa Yi itu dan melihat beberapa orang keluar dari pintu gerbang dan bicara dengan hiruk-pikuk sambil menuding-nuding ke arah dia dan gadis itu. Gadis itu melepaskan tangannya yang digandeng Hay Hay, lalu berlari menghampiri kelompok orang itu, bicara kepada mereka sambil tangannya menuding ke arah Hay Hay, agaknya menceritakan apa yang telah terjadi. Akan tetapi seorang di antara mereka, seorang pemuda yang bertubuh jangkung mengeluarkan suara keras dan menampar gadis itu. Gadis itu menjerit, lalu menjatuhkan diri bersimpuh dan menangis. Melihat ini, Hay Hay terkejut sekali dan cepat dia berlari menghampiri mereka. Orang-orang itu mengurungnya dengan sikap mengancam.
Demikianlah keadaan di situ ketika Pek Eng tiba dan gadis ini mengintai untuk melihat dan mendengar apa yang telah terjadi. Ia melihat sikap pemuda Han itu yang tenang dan tersenyum-senyum. Seorang di antara para pengepung itu yang agaknya merupakan satu-satunya di antara mereka yang pandai berbahasa Han, melangkah maju dan menudingkan telunjuknya dengan marah kepada Hay Hay.
"Engkau telah menodai nama baik keluarga Hamani!"
Hay Hay mengerutkan alisnya. "Aku" Menodai nama baik keluarga orang" Hemm, apa kesalahanku" Dan siapa itu Hamani ?"
Tiba-tiba gadis itu bangkit berdiri, menghampiri Hay Hay dan dengan muka ketakutan ia bicara dalam bahasa Yi dan menepuk dada sendiri sambil berkata, "Hamani."
Mengertilah Hay Hay bahwa gadis yang ditolongnya itu berkata Hamani dan agaknya dimarahi orang banyak dan agaknya membutuhkan perlindungannya pula. Maka dengan sikap melindungi, dia merangkul pinggang gadis itu. "Jangan takut, Hamani, aku akan melindungimu." bisiknya. Melihat ini, orang-orang itu makin ribut dan menuding-nuding.
"Orang asing, engkau telah menggandeng dan merangkul Hamani. Tidak seorang pun laki-laki boleh memeluk seorang gadis kecuali dia menjadi tunangannya atau suaminya."
Hay Hay terkejut dan otomatis rangku1annya pada pinggang ramping itu pun dilepaskan. " Akan tetapi aku... aku hanya menolongnya dari ancaman orang-orang jahat, dan aku hanya ingin melindungi...!" Dia memprotes keras.
"Apalagi engkau seorang asing, telah berani menghina seorang gadis kami. Oleh karena itu, engkau harus ikut bersama kami untuk melangsungkan pernikahan!"
Kalau pada saat itu ada kilat menyambarnya, belum tentu Hay Hay akan sekaget seperti ketika mendengar ucapan orang itu. Sepasang matanya terbelalak dan dia undur dua langkah, menjauhi Hamani. Menikah" Apa-apaan ini" Dia menggelengkan kepalanya.
"Tidak, aku tidak mau menikah " katanya.
Pek Eng mendengarkan semua itu dan merasa geli hatinya. Ia tahu akan peraturan dan kebiasaan suku bangsa Yi. Kalau seorang gadis sudah mau digandeng, apalagi dipeluk oleh seorang pemuda, maka berarti bahwa gadis dan pemuda itu saling mencinta. Dan bagi keluarga gadis itu, tentu akan merasa ternoda dan terhina kalau si pemuda tidak mau kawin dengan gadis yang telah "dinodainya" itu, dalam arti kata, diperlakukan dengan mesra di depan umum.
Mendengar penolakan Hay Hay, orang itu menterjemahkannya dalam bahasa Yi dan marahlah orang-orang itu.
"Dia menghina kita!"
"Dia hendak mempermainkan gadis kita!"
"Orang asing. ini harus dibunuh sebagai musuh kalau tidak mau mengawini Hamani!" Ucapan terakhir ini dikeluarkan oleh pemuda yang tadi menampar Hamani karena dia adalah kakak kandung gadis itu.
Mendengar betapa pemuda yang menolongnya itu menolak untuk menjadi suaminya, Hamani sendiri terkejut dan ia pun lari menghampiri Hay Hay dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dalam bahasa Yi ia berteriak-teriak. "Engkau telah menyelamatkan aku, dan aku telah menyerahkan diri, dan engkau menerimaku, memelukku, menggandengku, memandang dengan mesra, kita telah sama-sama tersenyum dan sepakat dalam pandang mata kita, dan kau... kau sekarang menolak untuk menikah dengan aku" Aihhh, engkau merayuku dan hendak meninggalkan" Engkau jahat... jahat sekali"!" Dan kini Hamani menggunakan kedua tangannya untuk memukul dan mencakar muka Hay Hay.
Hay Hay tidak mengerti akan semua itu, akan tetapi melihat sikap Hamani, dia terkejut dan cepat dia mengelak ke belakang. Akan tetapi pada saat itu, semua orang telah maju dengan sikap mengancam untuk menyerangnya. Hay Hay merasa bingung sekali. Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan menerima penyambutan seperti ini! Tidak ada gunanya untuk membela diri dengan kata-kata karena agaknya di antara mereka hanya seorang saja yang dapat mengerti bahasanya. Dan tidak ada gunanya melayani mereka yang marah-marah itu, maka dia pun cepat membalikkan tubuhnya dan melarikan diri dari tempat itu!
"Kejar "..!"
"Tangkap ".!"
"Hajar dia "..!"
Orang-orang itu mengejarnya, akan tetapi Hay Hay telah berlari cepat memasuki hutan yang mulai gelap.


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pek Eng yang melihat semua ini, diam-diam merasa geli hatinya. Biarlah, pemuda itu memang perlu dihajar, pikirnya. Tentu pemuda itu telah mempergunakan ketampanan wajahnya yang selalu cerah tersenyum-senyum itu untuk memikat hati Hamani, akan tetapi dia tidak berani bertanggung jawab dan menolak ketika disuruh mengawini gadis itu. Bukan urusannya. Ia pun lalu meninggalkan tempat itu untuk kembali ke perkampungannya sendiri. Dibatalkan niatnya untuk berkunjung ke dusun orang-orang Yi itu. Ia merasa tidak enak karena pemuda itu adalah bangsa Han, bangsanya. Tentu kalau ia berkunjung, percakapan akan mengenai pemuda Han itu dan bagaimanapun juga, ia akan merasa tersinggung. Hemm, pemuda mata keranjang tukang perayu, rasakan kau sekarang, pikirnya sambil tersenyum geli, akan tetapi juga jengkel terhadap pemuda itu. Hamani adalah kembang dusun itu dan ia mengenalnya sebagai seorang gadis yang baik.
Bagaimanapun juga, sedikit ketegangan karena persitiwa di dusun suku Yi tadi telah banyak mengurangi perasaan kesal dan dongkolnya yang dibawa dari rumah tadi, dan begitu tiba di pintu gerbang, ternyata para penjaga masih berada di situ menunggunya dan membukakan pintu. Hal ini membuat ia semakin tenang dan ia pun kembali ke rumah keluarganya, langsung masuk ke kamar dan tidur.
** Dengan sikap uring-uringan Hay Hay merebahkan diri di antara cabang-cabang pohon yang tinggi itu. Sialan, dia mengomel. Membayangkan sambutan yang meriah dan ramah ternyata yang diterima adalah caci maki bahkan serangan dan ancaman! Membayangkan tidur nyenyak dengan perut kenyang di dalam kamar yang bersih di atas tempat tidur beralaskan kasur dqn bantal, ternyata kini dia rebah tak enak sekali di atas cabang pohon, di antara ranting dan daun, kotor dan basah, dengan perut lapar pula! Sialan! Sialan gadis itu, pikirnya penasaran. Ditolong malah mencelakakan! Itu namanya dia memberi air susu dibalas air tuba! Tapi gadis itu manis, dan pinggangnya ramping sekali, dia membayangkan dan senyumnya muncul kembali. Bagaimanapun juga, dia sudah merangkulnya, merasakan kehangatan tubuhnya, kelembutan kulitnya, dan jalan bersama sambil bergandeng tangan! Kawin" Sialan! Siapa yang ingin kawin"
Dengan keadaan gelisah akhirnya Hay Hay dapat tidur nyenyak di antara ranting dan daun pohon, jauh tinggi di atas, aman dari pengejaran orang-orang Yi yang sama sekali tidak menyangka bahwa orang buruan mereka itu berada di atas pohon yang tinggi, yang beberapa kali mereka lewati.
Baru setelah matahari menembuskan sinarnya di antara celah-celah daun dan menimpa mukanya, Hay Hay terbangun pada keesokan harinya. Sinar keemasan matahari pagi nampak indah, seperti jalur-jalur benang emas di antara daun-daun. Hay Hay bangkit duduk, lalu berdiri di atas cabang yang paling tinggi, memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah masih ada orang-orang Yi yang mencarinya di tempat itu. Sunyi saja di sekeliling pohon itu, akan tetapi dia melihat sesuatu yang menarik. Tidak jauh dari situ, di lereng bukit, dia melihat tembok perkampungan dan jantungnya berdebar tegang. Dia mengenal bentuk pagar tembok orang-orang Han. Perkampungan itu tentulah perkampungan orang Han dan agaknya dia akan dapat mencari keterangan tentang keluarga Pek yang kabarnya tinggal di sekitar pegunungan ini. Dia lalu meloncat turun setelah mengikatkan buntalan pakaian yang tadi dipakai sebagai bantal itu di punggungnya. Hay Hay segera keluar dari hutan itu dan menuiu ke arah bukit di mana dia tadi melihat ada pagar tembok sebuah perkampungan. Tak lama kemudian dia sudah berdiri di depan pintu gerbang perkampungan Pek-sim-pang! Hatinya girang bukan main ketika dia melihat papan dengan huruf-huruf besar PEK SIM PANG terpasang di depan pintu gerbang itu. Tidak salah, inilah perkampungan Pek-sim-pang, tempat tinggal keluarga Pek yang merupakan satu-satunya keluarga di dunia ini yang dapat menceritakan siapa dirinya yang sesungguhnya, siapa pula orang tuanya! Jantungnya berdebar penuh ketegangan, juga keharuan. Pagi itu suasana di situ masih sunyi, pintu gerbang agaknya baru saja dibuka dan masih nampak kesibukan di sebelah dalam perkampungan itu, akan tetapi tidak nampak orang keluar masuk
Tiba-tiba saja, muncul seorang gadis yang membuat Hay Hay membelalakkan matanya. Seorang gadis yang baru saja berangkat dewasa berusia antara enam belas atau tujuh belas tahun. Mata itu, bibir itu! Mempesonakan! Dengan wajah penuh senyum cerah Hay Hay melangkah maju menghampiri gadis yang baru keluar dari pintu gerbang itu.
Gadis itu adalah Pek Eng. Begitu ia melihat Hay Hay, alisnya berkerut. Tentu saja ia segera mengenal pemuda yang menjadi orang buruan suku Yi semalam. Kiranya dia dapat melarikan diri, pikirnya. Melihat pemuda itu menghampirinya dengan wajah berseri, pandang mata bersinar dan mulut tersenyum-senyum, Pek Eng menghardiknya.
"Mau apa kau cengar-cengir di sini" Hayo pergi atau aku akan menyeretmu ke dusun orang-orang Yi agar engkau dihukum!"
Hay Hay membelalakkan matanya. "Ehh" Bagaimana Nona tahu" Pernahkah kita saling bertemu" Rasanya belum pernah walaupun aku akan merasa berbahagia sekali dapat bertemu dengan Nona, biarpun hanya dalam mimpi."
Selama hidupnya belum pernah Pek Eng menghadapi seorang laki-laki yang bicara seperti ini, maka ia tertegun, hatinya tertarik untuk mengetahui dan bertanya, "Kenapa merasa berbahagia kalau dapat bertemu denganku?" Pemuda ini memang tampan dan memiliki wajah yang ramah menyenangkan dan menarik hati, pikirnya sambil menatap wajah Hay Hay.
Kini Hay Hay juga memandang dengan penuh kagum. Setelah tadi membuka mulut dan bicara, nampak jelas bahwa gadis ia memang manis bukan main, ketika menggerakkan mulutnya, muncullah lesung pipit di pipi sebelah kiri. Dan sinar mata gadis itu pun demikian penuh gairah hidup, wajahnya membayangkan kelincahan dan kejenekaan. Seorang gadis pilihan di antara seribu!
"Kenapa, Nona" Siapa yang takkan berbahagia bertemu dengan seorang gadis yang cantik jelita dan manis sepertimu ini?"
Pek Eng adalah seorang gadis yang lincah jenaka, pandai berdebat. Akan tetapi dia sudah melihat pemuda ini hampir dikeroyok orang kemarin sore, karena berani bermain-main dengan seorang gadis Yi. Kiranya seorang pemuda yang pandai merayu wanita, dengan kata-kata manis.
"Hemm, engkau memang mata keranjang dan perayu. Akan tetepi jangan harap akan dapat memikat aku dengan rayuan gombalmu itu, ya" Hayo lekas pergi dari sini, kalau tidak, terpaksa aku akan menghajarmu!"
Hay Hay membuka mata lebar-lebar dan mulutnya mengomel. "Hayaaa... agaknya daerah ini ditinggali oleh orang-orang yang ringan mulut ringan tangan, mudah menghajar orang yang tidak bersalah. Nona yang baik, aku jauh-jauh datang untuk bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang, maka ijinkanlah aku masuk dan menghadap Pek-sim Pangcu (Ketua)."
Pek Eng mengerutkan alisnya. Orang ini benar tidak tahu diri. Mau apa minta bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang" Ia tidak percaya bahwa ayahnya mengenal seorang pemuda seperti ini... tiba-tiba wajahnya berubah pucat dan ia bertanya dengan suara agak gemetar.
"Kau... kau... siapakah namamu "..?"
Hay Hay merasa terkejut juga melihat perubahan pada wajah dara cantik ini. Kalau tadi nampak galak dan lincah, kini nampaknya pucat dan suaranya gemetar. Dia merasa tidak tega untuk bermain-main, maka dengan suara sungguh-sungguh dia pun menjawab. "Namaku Hay, biasa dipanggil Hay Hay ?""
Wajah itu nampak lega akan tetapi masih ragu-ragu. "Benarkah" Namamu bukan... Han Siong "..?"
Hay Hay tersenyum lebar. "Aih, kalau namaku Han Siong, kenapa aku mengaku Hay Hay" Aku tidak mempermainkanmu, Nona, aku tidak berani. Namaku Hay Hay, dan aku ingin sekali bertemu dengan Ketua Pek-sim-pang"."
"Apakah engkau mengenal Ayahku?"
Kini Hay Hay terkejut bukan main. "Eh, jadi Nona... engkau adalah puteri Pek-sim-pang?"
"Benar, sekarang jawab, apakah engkau mengenal Ayahku?"
Hay Hay menggeleng kepala.
"Kalau begitu pergilah dan jangan ganggu kami lagi. Pergilah sebelum ada orang Yi datang ke sini dan mengenalmu. Engkau tentu akan diseret!"
"Tidak, Nona, aku harus menghadap Pangcu lebih dulu. Aku mempunyai keperluan yang teramat penting ".." Hay Hay mendesak.
Pada saat itu, tujuh orang penjaga pintu gerbang murid-murid Pek-sim-pang, sudah keluar karena mereka tertarik oleh keributan antara nona mereka dengan seorang pemuda asing.
"Pek-siocia, apakah yang terjadi?"
"Siapakah dia ini?"
Pek Eng menoleh kepada para penjaga itu. "Dia seorang pendatang yang kemarin telah membuat keributan di perkampungan orang Yi, dan sekarang minta bertemu dengan Ayah. Suruh dia pergi dan jangan mengganggu lebih lanjut." kata Pek Eng dan ia pun masuk ke dalam gardu penjagaan di pintu gerbang dengan sikap tidak peduli lagi.
"Eh, sobat. Kalau engkau datang untuk minta pekerjaan, di sini tidak ada pekerjaan." kata komandan jaga kepada Hay Hay.
Aku datang bukan ingin minta pekerjaan atau minta apa pun, aku datang untuk bertemu dengan Pek-sim Pangcu karena ada suatu hal yang amat penting bagiku untuk kutanyakan kepada Pangcu. Harap kalian suka menyampaikan hal ini kepada Pangcu agar aku dapat diterima menghadap."
Karena tadi Pek Eng sudah memberi perintah agar pemuda ini diusir, maka para anggauta Pek-sim-pang itu bersikap keras. "Tidak bisa, Pangcu tidak boleh diganggu dan Siocia tadi sudah minta agar engkau pergi. Pergilah dan jangan ganggu kami." kata komandan jaga.
Hay Hay mengerutkan alisnya dan melirik ke arah Pek Eng yang sudah duduk di bangku tempat jaga dengan sikap acuh. Dia menarik napas panjang lalu berkata seperti kepada diri sendlri. "Ribuan li jauhnya aku melakukan perjalanan dan mendengar bahwa Pek-sim-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah. Akan tetapi melihat kenyataannya, lebih tepat kalau huruf Pek (Putih) di diganti dengan Hek (Hitam) saja!"
"Ee-eeeh-eeehhh!" Tiba-tiba saja tubuh Pek Eng meluncur dari dalam gardu itu, bagaikan seekor burung terbang saja kini melayang dan tiba di depan Hay Hay, bertolak pinggang dan matanya terbelalak walaupun masih agak sipit mencorong penuh kemarahan, dan ia berdiri tegak, dada dibusungkan, kepala ditegakkan dan kedua tangannya bertolak pinggang, lalu tangan kirinya bergerak, telunjuknya yang agak melengkung bentuknya itu, kecil mungil, menunjuk ke arah hidung Hay Hay.
"Apa kamu bilang tadi" Menghina kami, ya" Apa maksudmu mengatakan bahwa Pek-sim-pang harus diganti menjadi Hek-sim-pang (Perkumpulan Hati Hitam)?"
Hay Hay juga sudah marah karena dia ditolak menghadap Ketua Pek-sim-pang. "Sikap kalian yang menyebabkan aku bermulut lancang, Nona. Nama perkumpulannya Pek-sim-pang, sepatutnya para anggautanya juga berhati putih. Hati putih berarti hatinya baik, akan tetapi melihat sikap kalian menerima kunjunganku sungguh jauh daripada baik dan lebih pantas kalau kalian menjadi anggauta Perkumpulan Hati Hitam saja."
"Keparat bermulut kotor! Kau muncul dan merayu gadis orang, kemudian melarikan diri ketika akan dikawinkan, sudah terlalu bagus perbuatanmu itu, ya" Kamu sendiri jahat, hatimu lebih hitam daripada arang, masih berani memaki kami?"
"Pukul saja mulut lancang itu, Pek-siocia!" kata komandan jaga yang marah sekali mendengar perkumpulannya dihina orang.
Para murid Pek-sim-pang sudah menghampiri Hay Hay dengan sikap mengancam. Pada saat ini terdengar suara yang berat, "Omitohud... orang-orang Pek-sim-pang sekarang hanya menjadi tukang-tukang pukul yang suka mengeroyok orang!"
Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang terkejut dan cepat menengok. Kiranya di situ telah berdiri tiga orang pendeta Lama. Usia mereka antara enam puluh sampai enam puluh lima tahun, memakai jubah panjang berwarna kuning dengan garis-garis merah. Pek Eng dan para murid Pek-sim-pang sudah mendengar belaka akan riwayat perkumpulan mereka yang terpaksa lari mengungsi dari Tibet karena ulah para pendeta Lama ini. Apalagi Pek Eng. Sejak kecil ia mendengar tentang peristiwa yang menimpa keluarganya, gara-gara para pendeta Lama ingin merampas kakaknya yang mereka namakan Sin-tong. Maka, sejak kecil sudah tertanam perasaan tidak suka kepada para pendeta Lama. Kini di situ muncul tiga orang pendeta Lama, maka seketika ia dan para murid Pek-sim-pang tidak lagi memperhatikan Hay Hay yang dianggap tidak penting.
"Apakah kalian bertiga ini pendeta-pendeta Lama dari Tibet?" tanya Pek Eng dengan sikap yang sama sekali tidak menghormat. Bukan wataknya demikian. Ia cukup terdidik baik dan biasanya ia bersikap sopan dan halus terhadap orang-orang tua, apalagi terhadap pendeta. Akan tetapi, karena memang ia sudah merasa sakit hati kepada pendeta-pendeta Lama, maka kini ia bersikap kasar ketika menduga bahwa tiga orang ini tentulah pendeta-pendeta Lama dari Tibet.
"Omitohud, tidak keliru dugaanmu, Nona. Kami adalah tiga orang pendeta Lama dari Tibet. Kami ingin bertemu dengan Pek Kong atau ayahnya, Pek Ki Bu." kata seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng dan matanya melotot lebar.
"Aku adalah Pek Eng, puteri Ketua Pek-sim-pang. Tidak perlu bicara dengan Ayahku, kalau ada keperluan, cukup kalian bicara saja dengan aku. Mau apakah kalian datang ke tempat kami ini?" Hatinya makin kesal membayangkan betapa keluarganya bersama para anggauta Pek-sim-pang terpaksa melarikan diri karena ulah orang-orang ini.
Tiga orang pendeta itu saling pandang, kemudian Si Muka Bopeng yang agaknya menjadi wakil pembicara mereka, berseru. "Omitohud...! Kiranya Nona adalah puteri Pek Kong" Jadi Nona adalah Adik Sin-tong... hemmm, baiklah, kami akan bicara denganmu, Nona. Sampaikan kepada Ayahmu bahwa kami datang untuk menagih hutang. Sudah dua puluh tahun kami menanti dengan sabar, kini Sin-tong telah menjadi dewasa, maka keluarga Pek harus menyerahkan Sin-tong kepada kami!"
Tentu saja hati Pek Eng yang sudah sakit dan marah terhadap para pendeta Lama, kini menjadi semakin panas mendengar ucapan pendeta muka bopeng itu. Ia pun melangkah maju, membusungkan dadanya dan suaranya nyaring dan keras penuh kemarahan ketika ia membentak. "Kalian iblis-iblis neraka yang menyamar menjadi pendeta-pendeta, seperti harimau-harimau berkerudung bulu domba! KalIan inIlah manusia-manusia terkutuk yang telah membuat kakak kandungku semenjak lahir berpisah dengan keluarga kami. Masih belum puas kalian yang jahat ini mengacau keluarga kami sampai dua puluh tahun, kini datang lagi. Sungguh, manusia-manusia terkutuk macam kalian ini harus dibasmi!"
Kini ada dua belas orang anak murid Pek-sim-pang yang berkumpul di situ dan mendengar kata-kata keras nona mereka, empat orang yang berada paling depan sudah menerjang pendeta Lama muka bopeng itu.
"Pergilah!" pendeta Lama itu membentak sambil mengebutkan lengan bajunya ke depan, menyambut serangan empat orang itu. Empat orang itu seperti daun-daun kering dilanda angin keras, tubuh mereka terpelanting dan terbanting keras sampai bergulingan di atas tanah.
Melihat ini, delapan orang murid Pek-sim-pang lainnya cepat mengikuti gerakan Pek Eng yang mengepung tiga orang pendeta Lama itu. Pek Eng sudah mencabut sebatang pedang, juga delapan orang itu mengambil senjata masing-masing. Empat orang murid yang tadi roboh ternyata tidak terluka berat dan mereka pun kini ikut mengepung.
"Omitohud, kiranya Pek-sim-pang kini hanya menjadi Perkumpulan tukang pukul yang beraninya hanya main keroyokan saja!" kembali kakek pendeta bermuka bopeng itu berseru mengejek.
Mendengar ini, Pek Eng lalu membentak para murid itu. "Kalian mundurlah dan jangan mengeroyok! Biarkan aku menghadapi anjing gundul muka bopeng ini!" Kemarahan Pek Eng sudah memuncak sehingga ia tidak ingat akan sopan santun lagi, kini terang-terangan ia memaki pendeta Lama itu sebagai anjing!
Pendeta Lama termuda di antara mereka lalu maju, dan dengan bahasa Han yang lucu dan patah-patah dia berkata, "Omitohud, biarlah pinceng yang melayani Nona ini, Suheng."
Kiranya pendeta ini sute dari Si Muka Bopeng. Dia seorang pendeta yang tubuhnya kurus sekali, seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja, mukanya seperti tengkorak hidup, sepasang mata yang cekung itu nampak kehitaman, mengerikan sekali wajah pendeta Lama ini. Dia melangkah maju sambil mengebutkan jubah kuningnya. Si Muka Bopeng mengangguk dan mundur, berdiri di samping pendeta lainnya yang sejak tadi diam saja.
Hikmah Pedang Hijau 5 Raden Banyak Sumba Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Rahasia Peti Wasiat 12
^