Pencarian

Pendekar Mata Keranjang 8

Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


"Huh, engkau ini anjing kurus kurang makan mau banyak menjual lagak" Menggelindinglah dari sini!" bentak Pek Eng yang marah dan gadis ini sudah melangkah maju dan mengirim tendangan yang cepat dan kuat dengan kaki kanannya. Tendangan itu cepat datangnya, mengarah pusar lawan, gerakannya seperti terputar dan ini merupakan tendangan khas dari ilmu silat keluarga Pek, yaitu ilmu silat yang mereka namakan Pek-sim-kun.
"Hemm, gadis manis yang ganas!" terdengar pendeta kurus kering itu berseru perlahan, namun dengan miringkan tubuhnya, dia dapat mengelak dari sambaran kaki Pek Eng; tangannya menyambar untuk menangkap kaki yang menendang itu. Melihat ini, Hay Hay mengerutkan alisnya. Orang ini, biarpun memakai pakaian jubah pendeta, akan tetapi, mempunyai hati yang condong ke arah kecabulan dan kekurangajaran, pikirnya. Dia sendiri tidak akan tega, bahkan malu sendiri kalau menyerang dengan cara menangkap kaki lawan yang merupakan seorang gadis remaja!
Akan tetapi, pedang di tangan Pek Eng berkelebat menyambut tangan pendeta Lama itu! Sang Pendeta menarik kembali tangannya, membuat langkah memutar sehingga tubuhnya berputar dan keetika membalik, dia sudah membalas dengan cengkeraman tangannya ke arah kepala Pek Eng. Sungguh merupakan serangan yang amat ganas dan juga berbahaya sekali! Begitu melihat gerakan-gerakan mereka, Hay Hay sudah maklum bahwa agaknya lawan gadis itu lebih unggul dan lebih berbahaya, maka diam-diam dia sudah siap siaga untuk membantu dan menyelamatkan kalau sampai gadis itu terancam bahaya. Tentu saja dia menaruh perhatian besar atas peristiwa ini, peristiwa yang dekat sekali hubungannya dengan dirinya. Masih teringat dia betapa ketika masih kecil dia menjadi rebutan orang-orang sakti, karena dia disangka Sin-tong. Kiranya sampai sekarang, para pendeta Lama di Tibet itu masih saja meributkan urusan Sin-tong dan masih merasa penasaran, berani datang menyerbu Pek-sim-pang untuk menuntut agar Sin-tong yang kini lelah dewasa itu diserahkan kepada mereka!
Pek Eng dapat bergerak lincah. Ketika rnetihat sambaran tangan dengan lengan baju lebar itu ke arah kepalanya, ia cepat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik, lalu memutar pedangnya dan membuat serangan lagi. Pedangnya yang diputaar-putar itu mendahului gerakan kakinya ke depan dan tiba-tiba pedang meluncur menjadi serangan tusukan ke arah dada pendeta Lama yang kurus kering.
"Trakkk "..!" Pedang di tangan Pek Eng terpukul miring dan gadis itu harus mempertahankan pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya saking keras dan kuat tangkisan pendeta itu. Dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sang Pendeta untuk mencengkeram pundak Pek Eng dari samping. Namun, gadis itu memiliki gerakan lincah dan gesit sekali. Dalam keadaan berbahaya itu ia masih sempat melempar tubuh ke atas tanah, bergutingan menjauh dan melompat bangun lagi setelah terbebas dari ancaman lawan. Bukan main marahnya hati Pek Eng. Ia mengeluarkan suara melengking nyaring dan menyerang lagi.
Hay Hay kini siap siaga. Gadis itu sudah nekat dan ini tandanya ia terancam bahaya. Ilmu silat gadis itu memang cukup baik, apalagi ia memiliki ginkang yang lumayan, yang membuat tubuhnya dapat bergerak dengan gesit sekali, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian silat, jelas ia masih kalah jauh dibandingkan pendeta kurus kering itu. Kalau ia nekat menyerang, ia dapat celaka.
Terjangan Pek Eng disambut dengan senyum dingin oleh pendeta kurus kering. Beberapa kali ia mengelak dan mengebutkan lengan baju, melindungi diri sambil mencari kesempatan. Ketika tangkisan kebutan lengan bajunya kembali membuat tubuh gadis itu miring, kakinya menendang cepat. Pek Eng berusaha menarik kakinya dan miringkan tubuh namun tetap saja pahanya tersentuh ujung sepatu lawan dan ia pun terpelanting, lalu cepat bergulingan menjauhi. Ketika ia meloncat bangun, mukanya agak pucat, pakaiannya kotor dan kakinya agak terpincang. Akan tetapi agaknya ia tidak menjadi kapok bahkan kini ia memutar pedang di atas kepala untuk melakukan serangan lebih nekat lagi. Pada saat itu muncullah beberapa orang keluar dari pintu gerbang.
"Eng-ji, tahan senjata '" terdengar bentakan orang dan Pek Eng terpaksa menghentikan gerakan pedangnya ketika mendengar suara ayahnya. Dengan muka merah saking marah dan penasaran, ia lalu berdiri dengan pedang masih di tangan.
Pek Kong dan Pek Ki Bu telah berdiri di situ bersama Souw Bwee dan be-berapa murid Pek-sim-pang yang lebih tua. Melihat betapa Pek Eng berkelahi melawan seorang pendeta Lama, Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya memandang kepada tiga orang pendeta Lama itu dengan alis berkerut. Mereka berdua mengenal tiga orang pendeta Lama itu sebagai tokoh-tokoh para Lama di Tibet, tokoh tingkat tiga yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Jangankan Pek Eng, walaupun Pek Kong sendiri bukan lawan mereka, dan Pek Ki Bu sendiri pun meragukan apakah dia akan mampu melawan seorang di antara mereka.
"Omitohud... selamat bertemu, Pek-sim-pangcu!" kata pendeta Lama muka bopeng sambil menjura kepada Pek Ki Bu diturut oleh dua orang temannya.
Pek Ki Bu balas menjura dan berkata, "Sam-wi keliru, bukan saya yang menjadi ketua sekarang, melainkan anak saya Pek Kong."
"Aih, maaf... maaf... kiranya Pek-taihiap telah memperoleh banyak kemajuan dan menjadi Ketua Pek-sim-pang." kata pula pendeta muka bopeng.
Pek Kong mengerutkan alisnya dan menjura ke arah tiga orang pendeta itu. "Harap maafkan kalau puteri kami yang masih terlalu muda itu berlancang tangan dan mulut terhadap Sam-wi Losuhu. Akan tetapi, kami Pek-sim-pang agaknya sudah tidak mempunyai urusan lagi dengan Cu-wi di Tibet, maka, apa maksud Sam-wi datang berkunjung ke tempat kami?" Kata-kata itu sopan dan merendah, namun mengandung teguran. Sejak tadi Hay Hay memandang penuh perhatian dan dia merasa kagum kepada keluarga Pek itu. Mereka adalah orang-orang gagah, pikirnya.
"Perlukah Pangcu bertanya lagi" Sudah dua puluh tahun lebih kami bersabar dan kini terpaksa kami harus datang untuk menjemput Sin-tong yang kini tentu telah menjadi dewasa, untuk mengangkatnya dengan upacara kebesaran menjadi seorang pendeta Lama, calon Dalai Lama."
Pek Kong mengerutkan alisnya dan dia mendongkol bukan main. "Pihak para Lama di Tibet sungguh terlalu mendesak orang!" dia berkata, nada suaranya jelas menunjukkan kemarahannya. "Sejak kecil putera kami itu hilang entah ke mana, hal ini semua orang juga mengetahui. Bahkan kami sebagai orang tuanya, merasa prihatin dan berduka karena kami tidak tahu dia berada di mana. Bagaimana sekarang Sam-wi datang-datang menuntut kami menyerahkan putera kami" Kami sedang berduka akan tetapi Sam-wi bahkan hendak menekan, sungguh suatu perbuatan yang tidak layak dan tidak mulia sama sekali."
"Omitohud, semoga Sang Buddha mengampuni kita sekalian!" pendeta muka bopeng berseru, lalu dia tersenyum menyeringai. "Pangcu dapat saja membohongi orang lain, akan tetapi tidak mungkin membohongi para Dalai Lama yang arif bijaksana dan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di permukaan bumi ini. Menurut ramalan dan penglihatan tajam beliau, kini Sin-tong telah menjadi dewasa. Selama ini, anak itu diberi nama Pek Han Siong, bukan" Dan dia mempelajan ilmu-ilmu dan kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang perkasa. Nah, kalau dia belum pulang ke sini, katakan saja dimana dia dan kami akan segera menjemputnya, Pangcu." .
"Kami tidak tahu!" Tiba-tiba Souw Bwee, isteri Pek Kong menjawab dengan suara mengandung isak. "Andaikata kami tahu sekalipun, tidak akan kami beritahukan kepada kalian, pendeta-pendeta keparat!" Sakit sekali rasa hati ibu yang dipisahkan dari puteranya ini, merasa sakit hati yang dipendam selama ini sekarang meledak setelah melihat betapa tiga orang pendeta Lama itu mendesak.
"Omitohud..., Toanio, tidak baik memaki kami para pendeta. Toanio akan dikutuk dan akan hidup dalam kesengsaraan ?"" Pendeta muka bopeng menegur.
"Tidak peduli!" Wanita yang sudah marah itu membentak. "Selama ini aku sudah hidup sengsara dlpisahkan dari puteraku oleh kalian pendeta-pendeta busuk. Sekarang aku malah ingin membunuh kalian!" Berkata demikian, nyonya itu sudah bergerak maju menyerang Si Muka Bopeng. Suaminya terkejut sekali, akan tetapi tidak keburu mencegah.
"Plakk!" Si Muka Bopeng menggerakkan tangan dan lengan bajunya yang panjang lebar itu menyambar. Tubuh nyonya itu terhuyung ke belakang.
"Ibu "..!" Pek Eng menubruk dan merangkul ibunya yang mukanya menjadi pucat. Pipi kanan ibunya membiru dan darah mengalir dari mulutnya. Ternyata ujung lengan baju itu menampar muka dan biarpun tidak mengakibatkan luka berbahaya, namun pipi wanita itu bengkak dan membiru.
Melihat ini, Pek Kong tak dapat menahan kesabarannya lagi, demikian pula Pek Ki Bu. "Kalian sungguh tak tahu diri!" kata Pek Ki Bu sambil menerjang ke depan.
"Tamu-tamu tak tahu aturan!" Pek Kong juga menerjang maju. Pek Kong disambut oleh pendeta muka bopeng, sedangkan Pek Ki Bu disambut oleh pendeta tinggi besar muka hitam yang agaknya merupakan pendeta tertua dan terlihai di antara mereka.
Dess".!" Pukulan tangan Pek Ki Bu ditangkis dan disambut oleh pendeta muka hitam, mengakibatkan Pek Ki Bu terdorong ke belakang tiga langkah, sedangkan lawannya hanya mundur selangkah.
"Dukkk!" Pukulan Pek Kong juga tertangkis oleh Si Muka Bopeng dan tangkisan ini membuat tubuh Pek Kong terhuyung. Dalam pertemuan segebrakan ini saja dapat dilihat bahwa baik Pek Kong maupun Pek Ki Bu, bukanlah lawan para pendeta yang amat lihai dan kokoh kuat itu. Akan tetapi kini anak buah Pek-sim-pang sudah keluar semua, jumlah mereka berpuluh-puluh dan mereka sudah memegang senjata semua, siap untuk mengepung dan mengeroyok.
Pada saat itu, Hay Hay yang sejak tadi hanya menjadi penonton, merasa perlu untuk turun tangan. Bagaimanapun juga, dirinya terlibat secara langsung dalam urusan Sin-tong ini, maka dia pun melangkah lebar ke depan tiga orang pendeta itu dan dengan suara lantang dia berkata, "Sam-wi Losuhu jauh-jauh datang dari Tibet, apakah untuk menjemput Sin-tong" Nah, setelah Sin-tong berada di depan kalian, mengapa kalian tidak lekas menyambut dan memberi hormat?" Berkata demikian, dia berdiri tegak dengan dada terangkat dan sikapnya angkuh dan agung sekali.
Semua orang terkejut. Pek Eng juga terkejut akan tetapi dara ini pun mendongkol bukan main, segera membisiki ayahnya yang berdiri di dekatnya, "Ayah, dia itu pemuda mata keranjang yang kurang ajar."
Akan tetapi Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang tajam penuh perhatian, bahkan Pek Kong mengangkat tangan memberi isyarat kepada anak buah atau murid-murid Pek-sim-pang agar tidak bergerak dan tidak menyerang sebelum ada aba-aba darinya. Semua orang kini memandang kepada Hay Hay dan tiga orang pendeta itu dengan hati tegang, apalagi mereka tadi mendengar pengakuan pemuda itu bahwa dia adalah Sin-tong, putera ketua mereka yang selalu ditunggu-tunggu kedatangannya. Juga tiga orang pendeta Lama itu terbelalak, mengamati Hay Hay dengan penuh perhatian, penuh selidik memandang pemuda itu dari kepala sampai ke kaki. Sementara itu, Pek Kong dan isterinya, Siauw Bwee, terbelalak menatap wajah Hay Hay, mengingat-ingat, apakah benar pemuda tampan yang kini berdiri dengan mulut tersenyum itu adalah Pek Han Siong, putera mereka. Demikian pula Pek Ki Bu memandang dengan penuh keheranan, juga penuh harapan karena dia pun tidak dapat menentukan apakah benar pemuda ini adalah cucunya atau bukan. Hanya Pek Eng yang mendongkol, ingin dara ini memaki pemuda itu karena ialah yang tahu bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong, bukan kakaknya, melainkan seorang pemuda mata keranjang. Akan tetapi karena kemunculan pemuda ini agaknya hendak membantu dan berpihak kepada keluarganya, maka ia pun diam saja dan hanya memandang dengan heran mengapa pemuda itu berani menentang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya. Bahkan mulai timbul keraguan. Siapa tahu pemuda itu memang benar kakaknya, Pek Han Siong, dan tadi tidak mau mengaku kepadanya hanya untuk mempermainkannya saja. Siapa tahu!.
Tiga orang pendeta Lama itu kini berdiri bingung, kadang-kadang saling pandang dan pada wajah mereka terbayang ketegangan, harapan akan tetapi juga keraguan. Selama ini Sin-tong dilarikan keluarganya, disembunyikan dari para pendeta Lama. Mungkinkah kini Sin-tong muncul dan memperkenalkan diri begitu saja" Mereka adalah tokoh-tokoh Tibet, termasuk pimpinan para pendeta Lama tingkat tiga. Tentu saja selain memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga tiga orang Pendeta Lama ini adalah orang-orang yang cerdik, tidak akan mudah menipu mereka.
"Orang muda, jangan engkau main-main dengan kami! Kalau kau hendak menipu kami, dosamu besar sehingga kematian pun belum akan membebaskanmu daripada hukuman!" kata pendeta yang kurus pucat.
"Omitohud ?"!" Hay Hay berseru, menirukan lagak seorang pendeta. "Menipu adalah perbuatan yang tidak benar, aku sebagai Sin-tong mana mau melakukannya" Sejak terlahir aku disebut Sin-tong, diperebutkan sebagai Sin-tong, setelah kini menjadi dewasa dan mengaku bahwa akulah Sin-tong, Sam-wi Losuhu dari Tibet malah tidak percaya kepadaku! Sam-wi mengingkari Sin-tong, bukankah itu merupakan dosa yang amat besar pula?"
Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan kini sikap mereka menjadi agak berbeda, pandang mata mereka mulai menghormat walaupun masih ada keraguan. Nampaknya mereka mulai percaya bahwa pemuda di depan mereka itu mungkin sekali Sin-tong yang mereka cari-cari.
"Dia bukan Sin-tong! Dia bukan putera kami!" tiba-tiba Souw Bwee berseru. Tentu saja seruan ini mengejutkan dan mengherankan hati Pek Kong dan Pek Ki Bu. Bagaimana wanita itu dapat memastikan bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong"
"Memang Ibu benar! Dia bukan Kakak Pek Han Siong, dia seorang pemuda mata keranjang yang tidak tahu malu, berani memalsukan Kakakku!" teriak pula Pek Eng yang mengira ibunya mengenal betul bahwa pemuda itu bukan Pek Han Siong. Padahal teriakan Souw Bwee tadi sama sekali bukan karena ia tahu bahwa pemuda itu bukan puteranya. Ia sendiri ragu-ragu dan tentu saja tidak tahu benar, karena puteranya itu dipisahkan dari sampingnya semenjak masih bayi. Kalau ia tadi berteriak menyangkal justru terdorong oleh rasa khawatirnya. Kalau benar pemuda ini puteranya dan hal ini diketahui oleh tiga orang pendeta Lama yang lihai itu, tentu puteranya itu akan mereka bawa! Dan ia tidak mau kehilangan lagi puteranya yang baru saja pulang. Inilah sebabnya ia berteriak menyangkal agar tiga orang pendeta Lama itu percaya kepadanya dan tidak akan membawa pergi puteranya. Dan Pek Eng yang salah mengerti, kini bahkan membantunya dengan sangkalannya bahwa pemuda itu bukan kakaknya yang dicari-cari.
Pek Kong dan Pek Ki Bu memandang dengan bingung, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan isterinya, Pek Kong melihat betapa sinar mata isterinya itu mengandung kegelisahan dan ketakutan dan tahulah dia bahwa penyangkalan isterinya tadi hanya merupakan usaha untuk menyelamatkan pemuda itu! Maka dia sendiri pun merasa bingung dan tidak berkata apa-pa, hanya menanti untuk melihat perkembangan selanjutnya. Sementara itu, Hay Hay juga terkejut mendengar teriakan nyonya dan puterinya itu. Tak disangkanya mereka berteriak menyangkalnya. Dla berpura-pura menjadi Sin-tong untuk mengalihkan perhatian tiga orang pendeta yang lihai agar tidak lagi mendesak keluarga Pek, akan tetapi ternyata nyonya rumah bahkan menyangkalnya! Apakah mereka itu tidak tahu bahwa dia sengaja hendak membantu mereka" Ataukah keluarga Pek itu demikian tinggi hati sehingga tidak sudi menerima pertolongannya, walaupun jelas bahwa mereka terancam bahaya" Ataukah nyonya itu tidak ingin orang lain celaka karena keluarga mereka" Banyak sekali kemungkinan untuk menjawab dan mencari sebab ulah ibu dan anak itu, akan tetapi dia harus dapat meyakinkan tiga orang pendeta Lama itu bahwa dia benar-benar Sin-tong!
Hemm, Sam-wi Losuhu adalah tokoh-tokoh pandai dari Tibet, mana mungkin dapat dibohongi" Mereka menyangkal diriku, tentu saja, karena tentu saja mereka tidak ingin melihat aku kalian bawa pergi dari sini!" Ucapan Hay Hay ini memang tepat sekali sehingga Nyonya Souw Bwee menahan jeritnya, mukanya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada pemuda itu.
Tiga orang pendeta Lama yang tadinya sudah merasa ragu-ragu mendengar teriakan Nyonya Souw Bwee dan Pek Eng yang menyangkal pemuda itu sebagai Sin-tong, kini saling pandang dan harapan baru memancar lagi dari wajah mereka ketika mereka memandang Hay Hay. Memang tepat sekali ucapan pemuda itu, pikir mereka. Kalau benar pemuda ini Sin-tong, tentu ibunya dan adiknya berusaha menyelamatkannya dan satu-satunya cara adalah menyangkalnya!
"Omitohud ?"!" Pendeta Lama bermuka bopeng berseru lalu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, kami bukanlah orang-orang bodoh yang mudah dipermainkan dan ditipu. Orang muda, kautanggalkanlah bajumu!"
Keluarga Pek menjadi pucat. Mereka tahu bahwa Pek Han Siong yang dianggap Sin-tong oleh para pendeta Lama itu memang memiliki tanda tahi lalat merah di punggungnya sehingga kalau pemuda ini tidak memillki tanda itu, biar mengaku bagaimanapun juga akan nampak bohongnya. Akan tetapi di samping kekhawatirannya ini, juga mereka merasa tegang karena mereka pun ingin melihat siapa sebenarnya pemuda ini, Pek Han Siong ataukah bukan.
Hay Hay tersenyum. Sebelum tuntutan ini diajukan, dia memang sudah menduganya. Sambil tersenyum dia berkata kepada Pek Eng. "Adik yang baik, jangan menuduh aku kurang ajar kalau aku melepas bajuku di depanmu, karena aku dipaksa oleh ketiga Locianpwe ini." Berkata demikian, Hay Hay lalu menanggalkan bajunya, membiarkan tubuhnya bagian atas telanjang. Nampak dadanya yang bidang dan tubuh,bagian atas yang tegap, dengan otot-otot yang menonjol kuat dan kulit yang putih halus, dada seorang pemuda yang sedang mekar dan kokoh kuat. Dia lalu membalikkan tubuhnya, membiarkan punggungnya nampak oleh mereka.
Keluarga Pek dan tiga orang pendeta Lama ini memandang ke arah punggung dan dengan mudah menemukan tahi lalat merah yang cukup besar dl punggung itu!
"Anakku?"!" terlak Souw Bwee.
"Koko ?"!" Pek Eng juga berseru, akan tetapi ketika mereka hendak maju, keduanya dicegah oleh Pek Kong dan Pek Ki Bu. Keluarga itu lalu menonton saja, ingin tahu dengan hati tegang apa yang selanjutnya akan terjadi. Kiranya pemuda itu benar Pek Han Siong, pikir mereka dengan jantung berdebar.
Tentu saja dugaan mereka itu keliru. Pemuda itu adalah Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Tanda merah di punggungnya ltu hanyalah hasil muslihat Hay Hay saja. Sebelum tadi turun tangan, pemuda ini sudah berpikir panjang dan teringat bahwa satu-satunya tanda dari Sin-tong yang tak pernah muncul sejak bayi, hanyalah tahi lalat tanda merah di punggungnya, maka tadi diam-diam sebelum turun gelanggang, dia telah lebih dulu menutul kulit punggungnya dengan tinta merah. Dengan kecerdikannya, menggunakan kesempatan selagi orang ribut-ribut mengepung tiga orang pendeta Lama, dia menyelinap masuk ke dalam rumah dan berhasil mendapatkan tinta merah yang dicarinya. Maka, ketika dIa terjun ke dalam lapangan itu, di balik bajunya, di atas kulit punggungnya, telah terdapat tanda merah yang sengaja dibuatnya itu!
"Sin-tong ?"!" Tiga orang pendeta Lama itu terkecoh dan mereka bertiga cepat merangkapkan kedua tangan di depan dada dan memberi hormat kepada "Anak Ajaib" itu!
"Pinceng bertiga mendapat kehormatan untuk menjemput Paduka dan mengiringkan Paduka menuju ke istana Paduka di Tibet." kata pendeta Lama bermuka bopeng dengan sikap hormat sekali, seperti sikap seorang menteri terhadap rajanya.
Hampir saja Hay Hay tertawa karena gelinya. Sikap tiga orang Lama itu menggelitik hatinya. Demikian lucu seolah-olah dia sedang main sandiwara di atas panggung saja. Biarlah, dia akan bermain sandiwara sepuasnya, pikirnya. Bagaimanapun juga, dia telah berhasil memindahkan perhatian tiga orang pendeta Lama yang lihai itu dari keluarga Pek kepada dirinya. Tentu kini yang terpenting baglimereka hanyalah dirinya yang sudah dipercaya dan diterima sebagai Sin-tong!
"Hemm, begini sajakah penerimaan para pendeta Lama terhadap diriku" Tahukah kalian siapa yang menjelma menjadi diriku sekarang ini?" tanyanya dengan sikap agung berwibawa.
"Pinceng tahu... Paduka adalah calon Dalai Lama, penjelmaan Sang Buddha, omitohud ?"!" kata pendeta Lama bermuka bopeng.
"Nah, kalau kau sudah tahu, kenapa yang menyambutku hanya tiga orang pendeta Lama tingkat rendahan saja?"
"Kami bertiga yang rendah adalah anggauta pimpinan tingkat tiga".." kata pendeta Lama kurus pucat untuk memberi tahu bahwa tingkat mereka sudah terhitung tinggi.
"Hemm, seharusnya Dalai Lama sendiri, atau setidaknya harus utusan yang berilmu tinggi. Akan tetapi karena kalian bertiga sudah tiba di sini, baiklah. Aku akan ikut kalian kalau saja kuanggap ilmu kepandalan kalian tinggi sehingga aku akan merasa cukup terhormat. Nah, kalian majulah. Ingin kulihat sampai di mana kelihaian kalian, apakah patut untuk menjadi orang-orang yang ditugaskan menjemput diriku."
Tiga orang pendeta Lama itu saling pandang dan mereka kelihatan terkejut dan juga terheran-heran, lalu menjadi bingung sendiri. Selama mereka menjadi pendeta Lama, baru sekali inilah ada Sin-tong yang ketika dijemput hendak menguji dulu kepandaian para penjemputnya! Biasanya, yang sudah-sudah, seorang Sin-tong hanya pandai menghafal isi kitab-kitab suci, merupakan seorang setengah dewa yang lemah-lembut dan sama sekali tidak pernah mempergunakan kekerasan. Akan tetapi, Sin-tong yang ini menantang mereka untuk menguji kepandalan silat! Padahal tingkat mereka dalam ilmu silat sudah amat tinggi. Keluarga Pek yang merupakan orang-orang gagah terkenal dari Pek-sim-pang saja bukan tandingan mereka, apalagi pemuda ini yang kelihatan begitu lemah!
"Hayo mulai, kenapa kalian diam saja?" Hay Hay mendesak. Keluarga Pek dan juga para anggauta Pek-sim-pang memandang dengan muka pucat dan jantung berdebar. Betapa beraninya pemuda itu, menantang tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya sehingga Ketua Pek-sim-pang dan ayahnya saja bukan tandingan mereka!
"Kami... mana kami berani?" Akhirnya pendeta bermuka bopeng mewakili dua orang temannya menjawab.
Hay Hay mengerutkan alisnya, pura-pura marah. "Kalau katian tidak memenuhi permintaanku, berarti kalian memandang rendah kepadaku dan selain aku tidak akan sudi ikut ke Tibet, juga kelak aku akan melapor kepada Dalai Lama bahwa kalian bertiga telah menghina diriku!"
Terkejutlah tiga orang pendeta Lama itu. Mereka saling pandang, lalu berbisik-bisik dan mengadakan perundingan di antara mereka sendiri dalam bahasa Tibet. Akhirnya, Si Pendeta Kurus Pucat yang melangkah maju dan menjura dengan hormat kepada Hay Hay.
"Biarlah pinceng mewakili teman-teman untuk menerima perintah Sin-tong dan siap untuk diuji kepandaian pinceng." katanya dengan sikap hormat. Melihat ini. diam-diam Hay Hay tersenyum. Tiga orang pendeta Lama ini ternyata memandang rendah kepadanya. Dari gerakan-gerakan mereka tadi ketika berkelahi dalam beberapa gebrakan melawan orang-orang Pek-sim-pang, dia dapat menilai bahwa di antara mereka bertiga, Si Kurus Pucat ini yang paling rendah ilmunya, sedangkan yang tinggi besar muka hitam itu yang paling lihai.
"Baik, majulah. Akan tetapi kalau engkau kalah, dua yang lain harus kuuji pula kepandaiannya. Kalau aku tidak mampu mengalahkanmu, berarti tingkat kepandaian kalian bertiga sudah cukup tinggi." kata Hay Hay dan dengan sikap sembarangan saja dia lalu membuat kuda-kuda.
Melihat betapa pemuda itu membuat kuda-kuda dengan kedua kaki berdiri tegak, lututnya bengkak-bengkok seperti orang yang tidak bertenaga, pinggangnya juga menggeliat-geliat ke sana-sini seperti orang habis bangun tidur, matanya melirik-lirik ke sana-sini, terutama ke arah Pek Eng, kedua tangannya juga tergantung agak ke belakang, sungguh sikap ini sama sekali tidak meyakinkan! Bukan sikap atau kuda-kuda seorang ahli silat yang tangguh. Diam-diam keluarga Pek merasa kecewa dan gelisah, sedangkan pendeta kurus pucat itu bersama kawan-kawannya merasa geli. Sin-tong yang ini tidak becus ilmu silat akan tetapi hendak menyombongkan diri, pikir mereka. Akan tetapi karena pemuda itu Sin-tong, tentu saja mereka tidak berani mentertawakan, juga Si Kurus Pucat tidak akan berani menjatuhkan tangan besi melukai, apalagi membunuh Sin-tong! Hanya saja, melihat gaya Sin-tong yang lemah ini, hatinya merasa lega. Dari Dalai Lama dia mendengar bahwa Sin-tong telah menjadi seorang pemuda dewasa yang berilmu tinggi, akan tetapi melihat sikap tidak meyakinkan itu, dia tahu bahwa dengan mudah dIa akan mampu mengalahkan pemuda ini. Dia hanya akan mengelak dan menangkis sajaa, membuat pemuda itu kehabisan tenaga dan napas agar menyerah dengan sendirinya, tanpa membalas serangan dan tanpa memukul atau menendang!
"Hayo seranglah!" kata Hay Hay.
"Pinceng tidak berani, harap Paduka Yang Mulia menyerang." jawab kakek pendeta kurus pucat itu.
"Rewel benar kau! Kalau tidak mau menyerang, mana aku tahu sampai di mana kelihaianmu?"
Pek Eng memandang dengan alis berkerut. Benarkah pemuda tolol ini kakak kandungnya" Kenapa begitu tolol, apakah tidak melihat bahwa pendeta kurus pucat itu lihai bukan main" Sungguh mencari penyakit saja, pikirnya tak puas. Hatinya kecewa, tidak puas memiliki seorang kakak kandung seperti itu, sombong dan brengsek!
"Baiklah, pinceng menyerang, harap disambut!" kata pendeta kurus pucat dan dia pun menyerang. Akan tetapi itu sama sekali tidak dapat dinamakan serangan, karena tangan kirinya bergerak perlahan, seperti hendak mengusap pundak kanan Hay Hay saja. Gerakannya juga lambat dan tidak mengandung tenaga.
Hay Hay dengan gerakan kaku mundur untuk mengelak, mulutnya mengomel panjang pendek. "Wah, kalau pukulanmu hanya seperti itu, untuk memukul tahu pun tidak akan pecah. Mana bisa dibilang lihai?"
Pendeta Lama itu maklum bahwa gerakannya terlalu lambat dan lemah, maka agar tidak kentara bahwa dia mengalah, dia maju lagi dan menyerang lagi, kini agak lebih cepat dan lebih kuat, maksudnya pun hanya mengelus ke arah pundak kiri pemuda itu, sambil menanti pemuda itu membalas serangannya.
Akan tetapi kembali dengan gerakan kaku Hay Hay mengelak, kini mengelak ke samping dan masih mengomel. "Hanya sebegini" Tidak ada mutunya sama sekali. Ilmu silat apa sih ini?" Dia mengejek dan mencela.
Muka yang pucat itu kini berubah agak merah, apalagi ketika pendeta itu mendengar suara ketawa di sana-sini, suara ketawa para anggauta Pek-sim-pang yang merasa betapa lucunya pertunjukan itu.
"Pinceng akan menyerang lagi lebih cepat, harap siap siaga!" Dia membentak lalu kini menubruk dengan lebih cepat dan bertenaga. Maksudnya untuk menangkap dan memeluk Sin-tong agar tidak dapat bergerak meronta lagi dan langsung membawanya lari ke Tibet.
"Wuuuttt... brukkk ?".!" Hampir saja pendeta itu berteriak kaget karena yang ditubruknya hanya angin belaka! Tubrukannya luput! Betapa mungkin ini" Dia tadi menggunakan kecepatan dan tenaga sinkang, akan tetapi tanpa diketahuinya bagaimana caranya, tahu-tahu tubrukannya mengenai tempat kosong dan pemuda itu entah pergi ke mana.
"Heii, muka pucat. Engkau sedang apa-apaan di situ" Jangan main-main, aku minta engkau menggunakan ilmu silat mengalahkan aku, bukan untuk main-main seperti orang mencari kodok saja. Apakah engkau biasa menangkap dan makan daging kodok?"
Kini lebih banyak lagi terdengar suara ketawa dan keluarga Pek memandang dengan terheran-heran. Tadinya mereka merasa kecewa dan tidak puas melihat sikap ketololan dari pemuda yang mereka sangka Pek Han Siong itu. Mereka tahu bahwa pendeta kurus pucat itu mengalah dan tidak berani menggunakan kekerasan. Pemuda itu yang mereka anggap tidak tahu diri. Akan tetapi tubrukan tadi cukup cepat, dan mereka melihat betapa pemuda itu hanya memutar kakinya seperti gasing dan tahu-tahu sudah berada di luar tubrukan dan tubrukan itu pun mengenai tempat kosong sedangkan pemuda itu tahu-tahu dengan terhuyung-huyung, telah berada di belakang Si Pendeta dan menegurnya dengan kata-kata mengejek. Seperti juga pendeta kurus pucat itu, para keluarga Pek juga mengira bahwa keberhasilan pemuda itu menghindarkan diri dari tubrukan hanyalah kebetulan saja.
"Hayo pukullah aku, seranglah dan jangan main.main. Apa engkau ingin aku menjadi marah dan memukulmu sampai babak belur"' Mendengar ucapan keras pemuda ini, kembali memancing suara ketawa geli di sana-sini. Pemuda yang agaknya sama sekali tidak pandai ilmu silat itu kini malah mengancam hendak memukul si pendeta lihai sampai babak belur!
"Baik, dan Paduka sambutlah!" kata Si Pendeta Kurus Pucat. Kini dia harus berhasil, pikirnya. Dia mengerahkan sinkang dan dengan cepat sekali pukulan tangannya yang dikepal sudah meluncur ke arah perut Hay Hay. Semua orang terkejut. Pukulan itu cepat dan dahsyat, kalau mengenai perut pemuda yang tidak pandai silat itu tentu akan mengakibatkan isi perutnya berantakan dan Sin-tong pasti tewas! Wajah Pek Kong, Souw Bwee, Pek Ki Bu dan Pek Eng sudah menjadi pucat sekali, bahkan Souw Bwee memejamkan mata, tidak tega melihat puteranya terpukul mati. Dan semua orang melihat betapa pemuda yang tidak pandai silat itu agaknya tidak tahu akan datangnya pukulan, buktinya dia masih menyeringai dan tidak bergerak untuk mengelak atau menangkis!
Pendeta kurus pucat itu memang sudah menduga bahwa Sin-tong pasti tidak akan mampu mengelak, maka dengan kepandaiannya yang tinggi dia sudah dapat menguasai gerakannya sepenuhnya, maka begitu kepalan tangannya mendekati perut lawan, dia sudah dapat menahan dan mengeremnya sehingga kepalan itu hanya menyentuh kulit perut perlahan saja, tanpa ada angin pukulan tenaga sinkang.
"Plekk!" kepalan itu hanya menempel lirih saja, lembut dan tidak mendatangkan rasa nyeri sama sekali. Hay Hay tersenyum mengejek.
"Ha-ha, begitu saja pukulanmu! Wah, lebih lunak daripada tahu! Mana bisa dibilang lihai kalau pukulannya hanya seperti ini?"
"Sin-tong, pinceng tidak berani memukul sungguh-sungguh. Paduka tidak akan kuat menerima pukulan pinceng!" kata Si Kurus Pucat yang menjadi mendongkol juga karena semua orang tersenyum, ada pula yang tertawa mendengar ejekan Hay Hay tadi. Mereka semua tidak suka kepada para Lama yang menyebabkan Pek-sim-pang harus pergi mengungsi, apalagi kini tiga orang Lama datang untuk membawa pergi putera ketua mereka. Maka, melihat betapa pendeta Lama yang kurus pucat itu dipermainkan, mereka merasa gembira juga
"Apa ?".." Aku tidak tahan menerima pukulanmu" Ha-ha-ha, jangan bergurau! Pukulanmu tidak akan menghancurkan sepotong tahu, apalagi perutku!" Hay Hay tidak, menyombong. Tadi pun sudah melindungi perutnya dengan sin-kang yang terkuat, untuk menjaga diri Andalkata tadi Si Pendeta Lama memukulnya benar-benar, tetap saja dia tidak akan terluka!
"Sebaiknya kalau Paduka saja yang memukul pinceng dan pinceng akan menjaga diri. Kalau sampai pinceng dapat terpukul roboh satu kali saja, biarlah pinceng mengaku kalah." kata pula hwesio kurus pucat dengan sikap serba salah. Diam-diam dia mendongkol bukan main karena ucapan-ucapan yang mengejek itu, yang membuat dia menjadi bahan tertawaan orang banyak. Memukul sungguh-sungguh, tentu saja dia tidak berani melukai Sin-tong, tidak sungguh-sungguh, dia dijadikan bahan ejekan dan tertawaan.
"Benarkah" Saudara-saudara semua mendengar sendiri bahwa kalau aku mampu memukul dia roboh satu kali saja, dia akan mengaku kalah. Harap Saudara seka1ian menjadi saksi!" kata Hay Hay sambil memutar tubuh ke empat penjuru. Para anggauta Pek-sim-pang sudah menjadi semakin gembira.
"Kami menjadi saksi!" terdengar; teriakan di sana-sini.
"Nah, puluhan orang menjadi saksi agar engkau nanti tidak melanggar janjimu sendiri. Bersiaplah, aku akan segera menyerang!" kata Hay Hay. Kini pendeta itu bersiap siaga, memasang kuda-kuda yang kokoh kuat, sedangkan para keluarga Pek menonton dengan hati tegang dan penuh perhatian. Kini mereka ingin melihat bagaimana sebenarnya kepandaian pemuda itu karena sejak tadi, pemuda itu belum pernah memperlihatkan satu kali pun gerakan ilmu silat. Sekarang, karena dia hendak menyerang, tentu dia akan menggunakan jurus-jurus silat dan mereka ingin mengenal aliran silat apa yang dimiliki pemuda itu.
"Pinceng sudah siap!" kata hwesio Lama yang kurus pucat itu.
"Awas, aku menyerang, sambutlah!" Hay Hay membentak, suaranya nyaring dan semua orang menduga akan terjadi serangan yang dahsyat. Akan tetapi mereka semua kecewa. Pemuda itu menyerang dengan gerakan liar dan semrangan saja, bukan seperti orang bersilat, melainkan seperti anak kecil berkelahi di tepi jalan, asal memukul saja tanpa pememilih sasaran. Kepalan kedua tangannya diayun dan dipukulkan bergantian ke arah tubuh pendeta Lama itu. Melihat datangnya pukulan yang lamban dan tanpa tenaga sinkang ini, pendeta Lama itu tersenyum dan dengan mudahnya mengelak ke belakang.
"Mau lari ke mana kau?" Hay Hay berseru, lagaknya seperti orang yang mendesak lawannya, mengejar dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan ngawur. Setiap kali pukulan atau tendangan dielakkan oleh pendeta lama itu, tubuh pemuda itu terhuyung, bahkan hampir saja jatuh tertelungkup ke depan. Semua orang kecewa, terutama sekali Pek Eng.
"Tolol yang tak tahu malu!" gadis itu membentak, cukup keras karena hatinya kecewa, bahkan marah sekali melihat pemuda yang mengaku sebagai Sin-tong ini. Memalukan sekali mempunyai seorang kakak kandung seperti itu, pikirnya gemas.
Hay Hay mendengar celaan ini, dan tiba-tiba dia menghentikan serangannya, menoleh kepada Pek Eng sambil menyeringai. "Memang dia ini tolol sekali, bukan, Adik yang manis" Seorang pendeta Lama yang tolol memang, engkau benar sekali dan karena ketololannya, dia akan kubikin roboh sekarang!"
Kalau saja tidak ingat bahwa pemuda itu kemungkinan besar adalah kakak kandungnya, dan karena di situ terdapat banyak orang, tentu Pek Eng akan memaki dan mencela terang-terangan pemuda itu. Ia mendongkol bukan main, dan terpaksa menelan kegemasan hatinya ketika pemuda itu sudah membalik lagi dan menghadapi pendeta Lama yang kurus itu.
"Nah, sekarang kau robohlah!" Hay Hay membentak dan bentakannya yang penuh keyakinan ini memancing suara ketawa dari banyak orang. Kini Hay Hay yang menjadi bahan tertawaan karena pemuda itu tampak demikian tolol. Jelas bahwa pemuda itu tidak becus apa-apa, bersilat sejurus pun tidak becus, akan tetapi lagaknya demikian hebat, memastikan bahwa pendeta Lama yang lihai itu roboh! Diiringi suara ketawa riuh rendah, kini Hay Hay meloncat. Gerakannya bukan gerakan silat, melainkan gerakan katak melompat ke depan, ke arah lawannya, dengan kedua kaki dan tangan bergerak-gerak di udara ketika meloncat, seperti seorang anak kecil mencoba untuk melompati sebuah got. Kedua tangannya dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah muka pendeta itu, dan kedua kakinya bergerak ke depan dengan liar dan ngawur. Semua orang semakin geli melihat loncatan katak itu dan suara ketawa makin riuh.
Tiba-tiba saja suara ketawa itu terhenti dan tubuh pendeta Lama itu jatuh berlutut! Seperti seekor jengkerik mengerik kini terpijak, suara ketawa itu seperti dicekik dan semua orang memandang dengan mata terbelalak, tidak percaya akan apa yang disaksikannya. Lebih terkejut dan terheran lagi adalah pendeta lama kurus pucat itu. Tadi ketika pemuda itu membuat loncatan katak, tentu saja dia menjadi geli dan memandang rendah. Ketika kedua tangan pemuda itu menusuk dengan jari-jarinya ke arah kedua matanya, barulah dia agak terkejut dan cepat dia miringkan kepala untuk menghindarkan diri dari tusukan jari-jari tangan yang meluncur dengan cepat sekali itu. Saking cepatnya tusukan jari-jari itu ke arah matanya, pendeta Lama ini terkejut dan hanya memperhatikan serangan ke arah matanya itu. Tiba-tiba, kedua lututnya dicium ujung sepatu kedua kaki Hay Hay dan karena yang tertotok ujung sepatu itu adalah sambungan lutut, maka seketika tubuh pendeta itu tak dapat bertahan untuk berdiri lagi. Kedua lututnya seketika lemas dan lumpuh dan dia pun jatuh berlutut!
"Nah, engkau sudah roboh, berarti engkau sudah kalah!" Hay Hay berkata sambil tersenyum-senyum memandang ke empat penjuru. Barulah kini suara sorak sorai dan tepuk tangan meledak. Semua orang bergembira melihat betapa tanpa disangka-sangka, pemuda itu telah berhasil mengalahkan seorang di antara tiga pendeta Lama yang lihai itu. Walaupun mereka sendiri tidak tahu bagaimana mungkin pendeta itu roboh berlutut, dan walaupun sebagian besar di antara mereka, juga keluarga Pek, menyangka bahwa kejadian itu hanyalah kebetulan saja, namun mereka semua gembira bahwa seorang di antara para Lama itu telah roboh dan kalah!
Kalau saja yang dihadapinya bukan Sin-tong, pendeta Lama itu tentu akan marah dan mengamuk, menyerang pemuda itu. Akan tetapi yang dihadapinya adalah Sin-tong, dan peristiwa tadi kalau diingat membuat bulu tengkuknya meremang. Tentu para dewa melindungi Sin-tong, pikirnya. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin dia sendiri roboh hanya oleh tendangan-tendangan yang tidak berarti, yang secara kebetulan sekali mengenai sambungan kedua lututnya" Para Dewa yang agaknya menuntun gerakan-gerakan kacau dan ngawur itu dan menghadapi kekuasaan para dewa, tentu saja dia kalah! Maka dia pun bangkit berdiri, merangkap kedua tangan depan dada dan berkata dengan suara merendah. "Pinceng mengaku kalah dan terima kasih atas petunjuk Sin-tong."
"Ha-ha, bagus, engkau tahu diri juga. Nah, siapa orang kedua yang akan mencoba ilmu silatnya!" kata Hay Hay sengaja berlagak dan senyumnya melebar ketika dia mengerling dan melihat betapa Pek Eng merengut dan mengerutkan alisnya. Kemenangannya tadi agaknya membuat gadis itu tidak merasa puas dan hal ini menambah kegembiraan di hati Hay Hay. Memang dia ingin mempermainkan tiga orang pendeta Lama ini, juga ingin menggoda semua orang, terutama gadis manis berlesung pipit yang amat menarik hatinya itu.
Diam-diam dua orang pendeta Lama lainnya mengerutkan alis dan menyesal atas kesembronoan teman mereka. Mereka berdua merasa yakin bahwa tidak mungkin teman mereka itu kalah dan dirobohkankan oleh Sin-tong, melihat betapa Sin-tong tidak pandai ilmu silat. Walaupun tendangan mengenai kedua lutut itu luar biasa dan aneh sekali, akan tetapi mereka yakin bahwa hal itu tentu terjadi hanya karena suatu kebetulan yang sial belaka. Kini pendeta bermuka bopeng yang melangkah maju dan menjura kepada Hay Hay.
"Biarlah pinceng yang mohon petunjuk Sin-tong. Pinceng akan mengeluarkan semua kebodohan pinceng untuk menyerang Paduka dan mencoba untuk merobohkan Paduka seperti yang Paduka lakukan terhadap teman pinceng tadi."
Diam-diam Hay Hay memandang tajam penuh perhatian. Pendeta bermuka buruk ini kelihatan cerdik sekali, dan dia tahu bahwa tentu kata-katanya bukan sekedar basa-basi, melainkan merupakan ancaman yang akan dipenuhi. Tentu pendeta ini akan benar-benar berusaha untuk merobohkan dia tanpa mendatangkan luka berat, dan hal itu tidaklah sukar bagi seorang yang memlliki ilmu kepandaian tinggi. Maka dia harus berlaku hati-hati terhadap orang ini, pikirnya.
"Ha-ha, bagus sekali engkau mengakui kebodohanmu sehingga nanti kalau engkau gagal merobohkan aku, kebodohanmu tidak akan bertambah. Biar sampai seratus jurus, aku yakin engkau tidak akan mampu merobohkan aku."
Pek Eng dan ayah ibunya, juga kakeknya, mengerutkan alisnya. Pemuda itu sungguh luar biasa beraninya. Menentang dan mengadu kepandaian dengan pendeta-pendeta lihai itu saja sudah amat berat dan sudah berani sekali. Akan tetapi pemuda ini masih demikian beraninya untuk membual bahwa dia sanggup melayani sampai seratus jurus! Hal ini pun terasa oleh pendeta muka bopeng. Hemm, pikirnya dengan gemas, belum sepuluh jurus saja tentu engkau akan roboh. Apalagi kalau dia menghadapi pemuda ini sebagai musuh, bukan sebagai Sin-tong, mungkin sejurus saja dia akan mampu merobohkan dan membunuhnya!
"Mungkin saja Paduka jauh lebih pandai daripada pinceng. Nah, harap Paduka siap. Pinceng mulai menyerang!" Berkata demikian, pendeta bermuka buruk itu sudah mengembangkan kedua lengannya, kemudian menggerakkan kaki tangannya menyerang ke arah Hay Hay. Serangannya itu merupakan tamparan dari kanan kiri susul-menyusul, dan ketika tangan pendeta itu menyambar, terdengar suara bersiutan dan terasa oleh Hay Hay ada hawa panas sekali menyambar ke arah tubuhnya! Dia terkejut. Kiranya pendeta ini mengeluarkan kepandaiannya dan menyerang sungguh-sungguh dengan pengerahan tenaga sinkang! Memang inilah maksud pendeta itu, merobohkan Hay Hay, kalau mungkin melalui angin, dan hawa pukulan saja, mengandalkan sin-kangnya!
"Siuuuuttt". Siuutttt?"!" Dua tamparan dengan kedua tangan menyambar dari kanan kiri, atas bawah.
"Haiiittt?" ouuuuttt?" lupuuutttt"..!" Hay Hay sudah mengelak ke belakang, gerakannya kaku dan lucu, namun kenyataannya, dua tamparan itu memang tidak mengenai sasaran! Biarpun kaku, namun tubuh pemuda itu nampak sedemikian ringannya, seolah-olah tubuh itu berubah menjadi kapas yang dapat menjauh dan mengelak sendiri tertiup angin pukulan!
Akan tetapi kakek pendeta itu mendesak terus dengan tamparan-tamparan yang lebih cepat, lebih kuat dan lebih panas lagi hawanya. Menghadapi desakan ini, tiba-tiba Hay Hay nampak terhuyung-huyung, kakinya bergeser ke sanasini dan mulutnya nyerocos, "Hooshhhh... heshhhh... luput lagi ".!" Dan memang benar, pukulan atau tamparan beruntun itu tidak mengenai sasaran, selalu lewat saja di kanan kiri tubuh Hay Hay, seolah-olah kakek itu yang pikun dan bodoh, tidak mampu memukul sasaran dan selalu pukulannya menyeleweng ke samping!
Namun kakek pendeta itu terus mendesak dengan pukulan-pukulan,. tamparan, totokan bahkan mulai melakukan tendangan-tendangan. Memang hebat sekali ilmu silat pendeta ini, tubuhnya bahkan mulai sukar diikuti pandang mata saking cepatnya dia bergerak.
Mula-mula maslh terdengar suara ketawa disana-sini karena memang lucu sekali gerakan Hay Hay yang megal-megol, loncat sana-sini, kadang-kadang membungkuk, kadang-kadang hampir rebah, menungging, berjongkok, dan lain gerakan aneh dan lucu lagi. Akan tetapi kini semua orang mulai merasa tegang dan kagum. Betapa pun aneh gerakan pemuda itu kenyataannya, semua serangan pendeta itu luput!
"Manusla tolol "..!" Pek Eng mencela, akan tetapi tiba-tiba tangannya dipegang oleh ayahnya yang berdiri di sampingnya.
"Anak bodoh, 1ihat baik-baik "..!" bisik ayahnya dan ketua Pek-sim-pang ini, seperti juga Kakek Pek Ki Bu, menonton dengan wajah tegang dan pandang mata penuh kagum. Penglihatan di situ memang aneh. Seorang pendeta Lama, dengan jubah dan mantel lebar berkibar-kibar, gerakannya cepat sehingga sukar mengikuti bentuk tubuhnya dengan mata, menghujankan serangan-serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat, sedangkan pemuda yang diserangnya itu selalu dapat mengelak dengan gerakan yang aneh bukan main. Namun karena kini diserang dan didesak hebat, terpaksa Hay Hay tak berani main-main lagi. Biarpun gerakan-gerakannya masih dibuat-buat sehingga nampak aneh dan konyol, namun kedua kakinya kini mulai melakukan gerakan ilmu kesaktian yang dipelajarinya dari See-thian Lama yang dahulu berjuluk Go-bi San-jin, seorang di antara Delapan Dewa. Gerakan ini adalah Jiauw- pouw- poan- soan, yaitu langkah-langkah berputaran yang amat aneh karena langkah-langkah ini dapat menghindarkan dirinya dari serangan-serangan berbahaya. Tubuhnya juga mulai sukar diikuti gerakannya saking cepatnya dan mulailah para penonton memandang kagum, dan dapat menduga bahwa bukan karena nasib baik atau kebetulan saja pemuda itu tadi mempermainkan Lama pertama dan merobohkannya, melainkan karena memang pemuda itu lihai sekali!
Pendeta Lama bermuka bopeng juga terkejut ketika melihat gerakan langkah-langkah ajaib itu. Biarpun dia sendiri tidak menguasai ilmu itu, namun pernah dia mendengar tentang langkah-langkah ajaib yang mengandung garis-garis pat-kwa yang amat luar biasa. Akan tetapi hanya tokoh-tokoh besar yang memiliki tingkat tinggi saja yang kabarnya mampu menguasai langkah-langkah ajaib seperti itu. Mungkinkah seorang pemuda seperti ini sudah mampu menguasainya" Dia teringat bahwa pemuda ini adalah Sin-tong, bukan pemuda sembarangan. Tentu saja mungkin bagi Sin-tong untuk menguasai ilmu apa saja!
"Hesshhh... hosshhh... tidak kena! Heii, sudah berapa ratus jurus seranganmu ini" Wahhh, panasnya... gerah sekali, dan keringatrnu mengeluarkan bau amat busuk! Tak tahan aku ".!" kata Hay Hay dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menjauh. Karena sejak tadi dia memainkan ilmu langkah ajaib Jiauw-pouw-poan-soan sedangkan lawannya menyerangnya dengan cepat, maka dia pun telah mengeluarkan banyak tenaga dan tubuh bagian atas yang tidak berbaju itu kini basah oleh keringat.
Tiba-tiba terdengar teriakan pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, orang terlihai di antara tiga pendeta itu, "Lihat, dia bukan Sin-tong! Tanda merah itu luntur oleh keringatnya!"
Semua orang kini dapat melihat dengan jelas, "tahi lalat" merah yang berada di punggung Hay Hay itu kini luntur karena keringatnya membasahi tanda yang dibuat dari tinta merah itu! Melihat ini, pendeta kurus pucat menjadi marah sekali. Dia kini tahu bahwa pemuda itu bukan Sin-tong, melainkan seorang pemuda yang memalsukan nama Sin-tong dan tadi telah mempermainkannya.
"Manusia jahat!" bentakan ini disusul oleh serangannya yang hebat. Pendeta lama ini agaknya sudah marah sekali dan serangannya merupakan serangan maut. Dia menyerang dengan kedua ujung lengan bajunya yang menyambar bagaikan sepasang senjata yang ampuh melakukan totokan-totokan ke arah jalan darah di bagian depan. Bertubi-tubi kedua ujung lengan baju itu menotok ke arah tujuh titik jalan darah yang dapat mendatangkan maut apabila tepat mengenai sasaran!
"Celaka ".!" Pek Ki Bu berseru kaget karena melihat betapa hebatnya serangan pendeta lama yang kurus pucat itu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi dia mengenal serangan maut yang amat ampuh dan berbahaya sekali.
Namun, dengan gerakan lincah sekali Hay Hay sudah mengelak ke sana-sini dan masih mempergunakan langkah-langkah ajaibnya. Kini dia pun tidak mau main-main lagi, menghadapi serangan yang sungguh-sungguh itu dia pun lalu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan sebuah jurus pilihan dari ilmu Silat Ciu-sian Cap-pik-ciang (Delapan Belas Pukulan Dewa Arak) dia membalas, tangan kanan mencengkeram ke depan dan ketika lawan mengelak ke kiri, tangan kirinya memapaki dengan tamparan.
"Plakkk?". !" Tubuh kakek Lama yang kurus itu terpelanting! Masih untung bahwa pemuda itu tidak mempergunakan tenaga sepenuhnya sehingga ketika pundaknya kena ditampar, tulangnya tidak sampai patah-patah, hanya tubuhnya yang terpelanting dan terbanting ke atas tanah!
Semua orang terkejut dan Pek Eng memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Gerakan pemuda itu kini nampak demikian indah dan gagah, tidak ketolol-tololan seperti tadi. Dan dalam segebrakan saja pemuda itu mampu merobohkan pendeta Lama muka pucat yang demikian lihainya! Hati Pek Eng menjadi kagum sekali dan mukanya berubah merah ketika ia teringat betapa tadi ia memandang rendah kepada pe-muda itu. Akan tetapi pemuda itu bukan kakak kandungnya dan kembali ia merasa menyesal! Kalau saja pemuda itu kakak kandungnya, tentu ia sudah bersorak karena senang dan bangganya mempunyai seorang kakak yang demikian lihainya. Akan tetapi pemuda itu jelas bukan Pek Han Siong, karena bukankah tanda merah di punggungnya itu palsu belaka"
Sementara itu orang-orang Pek-sim-pang menjadi gembira bukan main dan mereka bertepuk tangan memuji, senang bahwa pendeta Lama yang mereka benci itu telah ada yang menandingi. Pendeta Lama bermuka bopeng menjadi terkejut akan tetapi juga marah melihat temannya roboh. Dan dia pun mengeluarkan suara menggereng dahsyat dan tubuhnya sudah menerjang maju dengan cepat dan kedua tangannya mengeluarkan uap putih ketika dia melancarkan pukulan-pukulan maut yang mengandung angin pukulan dahsyat sampai debu mengepul di sekitarnya.
Hay Hay kembali mengeluarkan kelihaiannya. Dengan gerakan yang gagah dan lincah, tubuhnya mengelak dan tangannya menangkis dari atas ke bawah. Dua buah lengan yang mengandung tenaga sinkang bertemu dengan kerasnya.
"Dukk!!" Akibatnya, tubuh pendeta Lama itu tergetar dan terhuyung, sedangkan Hay Hay masih berdiri tegak. Pendeta Lama bermuka bopeng itu maklum bahwa pemuda ini ternyata kuat bukan main. !
"Orang muda, siapakah engkau" Kenapa engkau mencampuri urusan kami dengan Pek-sim-pang?" dia bertanya karena hatinya menjadi ragu mendapat kenyataan bahwa pemuda yang sakti ini bukanlah Sin-tong dan tidak baik untuk menanam permusuhan dengan golongan lain. Juga dia perlu mengenal lawan yang tangguh ini agar urusan menjadi jelas.
Hay Hay tersenyum dan dengan tenang sekali dan kini mengenakan kembali bajunya yang tadi dilepas, sikapnya seperti tidak sedang menghadapi ancaman tiga orang pendeta Lama yang lihai.
"Sam-wi Losuhu adalah tiga orang tokoh dari Tibet, ingin mengenal namaku" Aku bernama Hay Hay dan aku akan mencampuri urusan siapa saja kalau kulihat di situ orang menggunakan kepandaian untuk memaksa para orang gagah di sini, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja. Keluarga Pek yang gagah perkasa ini dengan jujur mengatakan bahwa mereka tidak tahu tentang putera mereka, akan tetapi kenapa Sam-wi hendak memaksa dan menggunakan kepandaian untuk menekan?"
"Bocah sombong, engkau hendak menentang kami" Siapakah gurumu?" bentak pula pendeta Lama bermuka bopeng. Melihat sikap ini, Hay Hay mengerutkan alisnya, akan tetapi dia masih tersenyum.
"Locianpwe, aku tidak perlu membawa nama suhu-suhuku yang mulia dalam urusan ini. Pergilah saja pulang ke Tibet dan jangan mengotorkan nama besar para pendeta Lama dengan perbuatan kekerasan yang tidak patut dilakukan pendeta-pendeta yang suci."
"Keparat sombong!" Tiba-tiba pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar sudah menerjang ke depan. Tubuhnya menyerang bagaikan seekor gajah marah. Angin besar terasa oleh orang banyak ketika tubuh yang tinggi besar itu menerjang maju dan bertubi-tubi kedua lengan panjang dan kaki panjang itu menyerang dengan pukulan dan tendangan ke arah Hay Hay. Kembali semua orang menonton dengan hati tegang, terutama sekali Pek Ki Bu dan Pek Kong yang memiliki ilmu silat lebih tinggi daripada orang-orang Pek-sim-pang dan mereka berdua dapat mengikuti perkelahian itu lebih teliti lagi. Mereka maklum betapa lihainya tiga orang pendeta itu, maka tentu saja mereka mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang berpihak kepada mereka itu.
Akan tetapi sekali ini, Hay Hay tidak berani main-main lagi. Dia pun tahu bahwa biarpun ilmu silatnya masih lebih tinggi daripada mereka bertiga, namun dia kalah pengalaman dan tiga orang pendeta itu merupakan lawan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dia pun cepat menggerakkan kakinya, mengelak ke sana-sini dengan cepat bukan main. Dia masih tetap menggunakan Jiauw-pouw-poan-soan untuk menghindarkan terjangan dahsyat dari pendeta Lama tinggi besar itu.
Dengan lincahnya, tubuhnya berloncatan ke sana-sini, kadang-kadang tubuhnya melejit-lejit, kedua kakinya digeser secara aneh dan ke mana pun tangan dan kaki pendeta tinggi besar itu menyambar, tubuh Hay Hay selalu dapat mengelak dengan indah dan tepat sekali. Melihat betapa pendeta tinggi besar itu tidak mampu mengenai tubuh lawan dengan semua serangannya, dua orang pendeta Lama lainnya cepat maju dan kini Hay Hay dikeroyok oleh mereka bertiga! Tentu saja Hay Hay menjadi repot sekali! Tiga orang pendeta itu adalah tokoh-tokoh tingkat tiga dari Tibet, kini maju bersama. Tentu saja gabungan tiga tenaga itu amat kuatnya. Namun Hay Hay masih mampu mengelak, menangkis, bahkan membalas dengan serangan-serangan yang membuat tiga orang lawannya kadang-kadang terhuyung ke belakang.
Tepuk sorak semakin riuh menyambut kehebatan Hay Hay menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta itu. Keluarga Pek kini melongo. Biarpun mereka sudah tahu bahwa pemuda yang mengaku Sin-tong itu amat lihai, namun tak pernah mereka dapat membayangkan bahwa pemuda itu mampu menghadapi pengeroyokan tiga orang pendeta Lama yang demikian lihainya.
"Anak itu luar biasa sekali ?"!" Pek Ki Bu sampai berseru saking kagumnya. Pek Eng memandang dengan muka merah. Pemuda yang demikian lihainya, jauh lebih lihai dari ayahnya, bahkan dari kakeknya sendiri, dan ia tadi telah menantang pemuda itu! Kalau pemuda itu menghendaki, agaknya dalam segebrakan saja ia tentu sudah roboh!
Perkelahian itu berlangsung dengan amat cepatnya. Tiga orang pendeta Lama itu memang tangguh, apalagi mereka kini maju bersama. Bahkan kini pendeta kurus pucat mempergunakan kedua ujung lengan bajunya, pendeta muka bopeng mengeluarkan sebuah kipas sebagai senjata sedangkan pendeta tinggi besar mengeluarkan seuntai tasbeh yang dipergunakan sebagai senjata. Hay Hay yang mengandalkan ilmu langkah ajaibnya menjadi kewalahan dan terpaksa dia pun menggunakan Ilmu Yan-cu Coan-in sehingga dia dapat mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sepenuhnya. Tubuhnya kadang-kadang lenyap saking cepatnya dia bergerak, menyelinap di antara gulungan sinar senjata yang menyambar-nyambar dan mengepungnya. Para penonton menjadi kabur pandangan mereka, dan tidak mampu lagi mengikuti gerakan empat orang itu dengan jelas.
Hay Hay tidak mau melukai tiga orang pendeta Lama itu, apalagi membunuh mereka. Inilah yang membuat dia semakin kewalahan. Tiga orang lawan itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh, dengan serangan maut, sedangkan dia hanya mempertahankan diri saja, dan serangan balasannya bukan ditujukan untuk merobohkan lawan, melainkan untuk membendung banjir serangan itu. Tentu saja keadaan seperti itu tidak menguntungkan dan dia pun kini terdesak dan tertekan, berada dalam ancaman bahaya.
Maklum bahwa kalau dia terus melayani tiga orang lawan itu akhirnya dia tentu akan terpaksa melukai mereka karena kalau tidak dia sendiri yang akan celaka, Hay Hay lalu mengambil keputusan untuk mencoba ilmu barunya yang belum lama ini dipelajarinya dari Pek Mau San-jin selama setahun. Diam-diam dia mengerahkan tenaga batinnya dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kemudian, dia meloncat jauh ke belakang sampai kurang lebih enam meter. Ketika tiga orang lawannya mengejar, dia berseru dan suaranya lembut namun mengandung getaran yang amat kuat.
"Heii, tiga orang pendeta Lama dari Tibet, buka mata kalian dan lihat baik-baik siapa aku. Aku adalah Sin-tong yang siap untuk ikut dengan kalian ke Tibet, menghadap Dalai Lama!"
Semua orang terkejut karena ucapan itu seperti memaksa mereka untuk percaya bahwa pemuda itu benar-benar Sin-tong. Bahkan Souw Bwee sudah berseru dengan hati terharu. "Anakku Pek Han Siong !" Akan tetapi tangannya keburu dipegang oleh Pek Kong yang tidak ingin melihat isterinya lari kepada pemuda itu. Bagaimanapun juga, pengaruh suara Hay Hay itu tidak begitu hebat terhadap mereka karena ditujukan kepada tiga orang pendeta Lama. Tiga orang pendeta itulah yang langsung menerima serangan ilmu sihir dari Hay Hay dan tiba-tiba mereka bertiga mengubah sikap mereka, menyimpan senjata masing-masing, lalu mereka menjura dengan hormat kepada Hay Hay! Bahkan pendeta muka bopeng yang agaknya menjadi juru bicara mereka, segera berkata dengan sikap hormat sekali.
"Marilah, Sin-tong, pinceng bertiga datang untuk menjemput dan mengantar Paduka ke Lasha di Tibet."
Hay Hay masih memandang dengn sinar mata mencorong, kemudian dia berkata.
"Aku lelah sekali, aku mau ke Tibet asal digendong."
"Pinceng yang siap menggendong Paduka!" kata pendeta Lama yang bertubuh tinggi besar, siap untuk menggendong Hay Hay.
Hay Hay lalu mengambil sebongkah batu besar yang berada tak jauh dari situ kemudian meletakkan batu itu di depannya. Kembali suaranya mengandung getaran kuat sekali ketika dia berkata, "Sin-tong telah siap, angkat dan pondonglah ke Tibet!"
Suara itu mengandung kekuatan yang luar biasa, dan kini kakek pendeta Lama yang tinggi besar itu menghampiri batu dan segera mengangkat dan memondongnya, dipandang oleh dua orang rekannya. Kemudian, mereka bertiga lalu membalikkan tubuh dan berjalan hendak pergi meninggalkan tempat itu, Si Pendeta Tinggi Besar masih memondong batu besar tadi.
Tentu saja peristiwa itu membuat semua orang terheran-heran. Mereka merasa seperti sedang menonton pertunjukan sandiwara di panggung saja, atau pertunjukan pelawak. Melihat betapa pendeta tinggi besar itu menggendong batu besar seperti menggendong tubuh Sin-tong seperti yang diucapkan oleh pemuda itu, beberapa orang tak dapat menahan ketawanya, mereka tertawa karena merasa heran dan juga lucu. Suara ketawa amat mudah menular sehingga tak lama kemudian meledaklah suara ketawa.
Suara ini memiliki kekuatan dan membuyarkan pengaruh sihir atas diri tiga orang pendeta itu. Tiba-tiba Si Pendeta Tinggi Besar berteriak kaget dan memandang batu dalam pondongannya, juga dua orang temannya terbelalak.
"Omitohud... Si Keparat!" teriak pendeta tinggi besar dan dia pun membalik, kemudian dia melontarkan batu besar itu ke arah Hay Hay! Lontaran ini mengandung tenaga yang amat kuat, membuat batu besar itu meluncur cepat seperti sebuah peluru meriam yang amat besar menuju ke arah tubuh Hay Hay. Pemuda ini terkejut, kalau dia mengelak, batu itu tentu akan menyerang murid-murid Pek-sim-pang yang berada di belakangnya. Kalau menerimanya, dia khawatir tenaganya tidak mampu menahan lajunya lontaran itu. Jalan satu-satunya hanyalah menyambut batu itu dengan pukulan.
Hay Hay mengerahkan tenaga sin-kangnya dan begitu batu menyambar sampai di depannya, dia pun memukul batu itu dengan tangan miring, menggunakan tangan kirinya yang mengandung tenaga sepenuhnya itu.
"Darrr ...!" Batu besar itu pecah berhamburan, pecahannya yang kecil-kecil melesat ke mana-mana, akan tetapi tidak berbahaya lagi andaikata mengenai orang-orang yang berada di sekitar tempat itu. Kembali semua orang memuji dengan sorak dan tepuk tangan!
Kini tiga orang pendeta Lama itu sudah maju lagi menghampiri Hay Hay dengan pandang mata penuh kemarahan dan dendam. Akan tetapi begitu tiba di depan pemuda itu, Hay Hay membentak, "Kalian bertiga mau apa" Lihat baik-baik, aku adalah Dalai Lama!"
Dan tiga orang pendeta itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri berlutut di depan Hay Hay sambil memberi hormat. Tentu saja semua murid Pek-sim- pang terkejut dan terheran-heran, akan tetapi mereka kini mulai mengerti bahwa pemuda yang luar biasa itu tentu telah mempergunakan ilmu sihir! Karena mereka dapat menduga bahwa tiga orang pendeta itu kini tentu melihat pemuda itu berubah menjadi Dalai Lama, tentu saja mereka merasa geli dan kembali mereka tertawa-tawa. Suara ketawa ini kembali membuyarkan kekuatan sihir. Suara orang banyak memang mengandung kekuatan yang luar biasa. Tiga orang pendeta itu sadar.
Pendeta kurus pucat meloncat dan menerjang, akan tetapi disambut tamparan oleh Hay Hay yang membuat dia terpelanting jatuh. Orang kedua, yang bermuka bopeng, maju dan disambut tendangan yang membuatnya terjungkal pula. Pendeta tinggi besar menerkam Hay Hay, dan dia pun terpelanting oleh pukulan tangan kiri Hay Hay yang menyambutnya. Tiga orang pendeta itu tidak terluka, dan mereka sudah bangkit lagi, siap untuk mengeroyok, sementara para murid Pek-sim-pang memandang kagum metihat betapa pemuda itu merobohkan tiga orang Lama itu satu demi satu.
"Hemm, kalian ini tiga orang pendeta Lama, sungguh tidak tahu malu, berdiri di sini dengan telanjang bulat! Tak tahu malu!"
Kini para murid Pek-sim-pang yang mulai mengerti bahwa suara ketawa mereka membuyarkan kekuatan sihir pemuda itu, tidak mau tertawa, bahkan dengan suara bulat mereka pun mengejek. "Tak tahu malu!"
Tiga orang pendeta Lama itu memandang kepada tubuh sendiri dan saling pandang dengan mata terbelalak. Suara orang banyak itu memperkuat pengaruh sihir yang dilancarkan Hay Hay sehingga mereka bertiga metihat betapa mereka benar-benar telah telanjang bulat. Dengan malu bukan main, ketiganya lalu menggunakan kedua tangan, sedapat mungkin menutupi tubuh di bawah pusar, dan seperti tiga ekor anjing yang ketakutan, mereka pun lari meninggalkan tempat itu. Pemandangan yang amat lucu ini tentu saja membuat semua orang tertawa, tak dapat ditahan lagi mereka tertawa. Dan sekali ini, biarpun suara ketawa itu membuyarkan pengaruh sihir dan tiga orang pendeta Lama itu melihat bahwa sesungguhnya mereka tidak telanjang, namun mereka maklum bahwa mereka takkan menang menghadapi pemuda luar biasa itu. Mereka pun sudah agak jauh, maka daripada menderita malu lebih parah lagi, ketiganya lalu melarikan diri tanpa menoleh lagi, diiringi suara ketawa banyak orang.
Kini Pek Ki Bu sudah menghampiri pemuda itu, memandang penuh perhatian lalu bertanya, suaranya sungguh-sungguh,
"Orang muda, sebenarnya siapakah engkau" Benarkah engkau Sin-tong?"
Hay Hay cepat memberi hormat. Teringat dia akan nasibnya di waktu kecil, oleh keluarga ini dia diambil dan dibiarkan menjadi Sin-tong dalam pandangan banyak orang sehingga dia diperebutkan. Maka dia pun tidak membohong ketika dia mengangguk dan menjawab. "Benar, Locianpwe. Saya adalah Sin-tong"."
Semua orang yang tadi melihat tanda merah di punggung itu luntur, kemudian melihat betapa pemuda ini pandai ilmu sihir, mengira bahwa lunturnya tanda merah itu pun hanya karena pengaruh sihir saja, maka muncul kembali harapan dan dugaan bahwa pemuda ini memang benar Pek Han Siong. Maka, jawaban Hay Hay yang membenarkan bahwa dia adalah Sin-tong, membuat Pek Eng berteriak dengan girang dan bangga sekali.
"Koko "..! Ah, kiranya engkau kakakku Pek Han Siong! Koko ".!" Dan saking girang dan bangganya, Pek Eng lari menghampiri, merangkul leher pemuda itu dan mencium pipinya! Ketika merasa betapa pipinya dingok oleh gadis manis itu, dengan girang Hay Hay membalas pula dengan dua kali ngok pada kedua pipi Pek Eng!
"Anakku "..!" Souw Bwee juga lari dan merangkul leher Hay Hay, mencium dahi pemuda itu. Hay Hay hanya menyeringai saja dirangkul dua orang wanita itu. Kalau Pek Eng yang merangkul dan menciuminya, biar sehari pun dia tidak akan merasa keberatan dan akan membiarkannya saja, akan tetapi melihat nyonya itu pun menyangka bahwa dia Pek Han Siong, hati Hay Hay merasa tidak enak. Tidak baik mempermainkan seorang nyonya yang sedang kehilangan puteranya, pikirnya. Maka dia pun dengan halus melepaskan diri dari rangkulan nyonya itu tanpa melepaskan rangkulan Pek Eng pada pundaknya dan rangkulan lengannya sendiri pada pinggang ramping itu, kemudian dia berkata halus.
"Maaf, menyesal sekali saya harus mengecewakan Cu-wi (Anda Sekalian) karena sesungguhnyalah saya bukanlah Pek Han Siong. Nama saya Hay Hay "
"Aihhh ?"!" Souw Bwee mundur tiga langkah, mukanya berubah pucat, dan Pek Eng juga cepat melepaskan rangkulannya dan melangkah mundur dengan muka berubah merah sekali.
"Tapi kau ". kau ?"!" teriaknya
"Ya, aku kenapakah, adik yang baik?"
"Kalau engkau bukan kakakku, aku pun bukan adikmu! Kalau engkau bukan Kakak Pek Han Siong, lalu kenapa kau... kau .. kau ". tadi menciumku ".."
Hay Hay memandang wajah yang manis itu sambil tersenyum. Bukan main indahnya mata dan mulut itu, pikirnya. Wajah yang manis sekali, biarpun kulitnya agak gelap seperti terlalu banyak terbakar sinar matahari, namun bahkan menambah manisnya dan kulit itu pun halus dan betapa hangatnya ketika kedua lengan itu tadi merangkul lehernya, ketika hidung dan bibir itu tadi menyentuh pipinya. Sepasang mata yang agak sipit itu indah sekali bentuknya, dengan kedua ujung di kanan kiri meruncing seperti dilukis, bulu matanya panjang melengkung, alisnya hitam panjang. Manisnya hidung itu, kecil dan ujungnya agak naik seperti menantang, membuat wajah itu nampak mungil dan lucu penuh kelincahan. Bibir yang merah basah itu nampak segar tanda kesehatan yang sempurna, dan dipermanis lagi oleh sebuah lesung pipit di pipi kiri. Gadis yang lincah jenaka, galak dan manja, dan memiliki daya tarik amat kuatnya.
"Heeiii! Jawab pertanyaanku, jangan longang-longong seperti kerbau tolol!" Pek Eng memaki karena ia merasa kecelik, marah dan malu telah berciuman dengan pemuda itu di depan orang banyak lagi!
"Nona, aku tidak pernah mengaku sebagai kakakmu, sejak semula aku memperkenalkan namaku, yaitu Hay Hay, bukan Pek Han Siong. Dan tentang ciuman itu... eh, siapakah yang memulai lebih dulu, Nona?"
Wajah itu menjadi semakin merah saking malunya, karena harus diakuinya bahwa ialah yang tadi memeluk dan mencium dengan hati penuh keyakinan bahwa pemuda ini adalah kakak kandungnya. "Kau... kau... memang laki-laki kurang ajar, laki-laki mata keranjang "!" Ia memaki dan kedua tangannya sudah dikepal karena saking malu dan marahnya ia hendak menyerang pemuda itu.
"Eng-ji, jangan!" bentak Pek Kong kepada puterinya. "Mundurlah!"
Biarpun hatinya masih panas sekali, Pek Eng mundur juga dibentak ayahnya. Pek Kong lalu melangkah maju menghadapi pemuda itu. Sejenak dia memandang penuh perhatian dan penuh selidik, kemudian dia bertanya, "Orang muda, kalau engkau bukan puteraku Pek Han Siong, bagaimana engkau dapat mengaku bahwa engkau adalah Sin-tong?"
Jantung Hay Hay berdebar tegang ketika dia memandang laki-laki gagah di depannya itu. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, bertubuh tegap dan berwajah tampan dan gagah, pembawaannya penuh wibawa dan matanya bersinar tajam. Dia tahu bahwa laki-laki inilah yang pernah menjadi ayahnya, ayah angkat mungkin, dan bahwa laki-laki ini sajalah yang tahu tentang riwayat dirinya! Cepat dia memberi hormat.
"Apakah saya berhadapan dengan Pek-pangcu, Ketua Pek-sim-pang?" tanyanya.
"Benar, aku adalah Ketua Pek-sim-pang bernama Pek Kong."
"Ah, Pangcu. Justru pertanyaan tadi itulah yang mendorong saya untuk berkunjung ke sini, karena hanya Pangcu yang akan dapat menjawabnya."
"Maksudmu?" tanya Pek Kong terbelalak.
Pada saat itu, Pek Ki Bu yang tidak menghendaki percakapan itu dilakukan di tempat terbuka dan terdengar oleh semua murid Pek-sim-pang, cepat melangkah maju dan berkata. "Sebaiknya kita bicara saja di dalam. Bagaimanapun juga, orang muda ini telah menyelamatkan kita dari keadaan yang tidak enak sekali tadi. Marilah, orang muda, marr kita masuk dan bicara di dalam."
Hay Hay mengangguk, akan tetapi kakinya ragu-ragu melangkah karena ketika dia menoleh kepada Pek Eng, dia melihat gadis itu berdiri melotot kepadanya dan seolah-olah gadis itu tidak rela menerimanya sebagai tamu di rumahnya. Melihat pemuda itu ragu-ragu, kemudian mengikuti pandang mata pemuda itu dan melihat sikap puterinya, Nyonya Souw Bwee lalu menggandeng tangan puterinya.
"Eng-ji, mari kita masuk dulu dan mempersiapkan hidangan untuk menyambut tamu!" Pek Eng tidak dapat membantah dan ditarik ibunya masuk lebih dulu. Hay Hay melempar senyum kepadanya dan gadis itu membuang muka, membuat senyum Hay Hay menjadi semakin lebar.
Kini mereka duduk berhadapan mengelilingi sebuah meja besar di ruangan belakang. Nyonya Souw Bwee, setelah memerintahkan pelayan mempersiapkan hidangan, ikut pula duduk karena ia ingin sekali mendengar penuturan pemuda itu. Juga Pek Eng ikut duduk, akan tetapi ia duduk agak di belakang, tidak mau berdeKatan dengan pemuda itu.
"Nah, sekarang ceritakan kepada kami tentang dirimu dan tentang pengakuanmu sebagai Sin-tong tadi, orang muda." Kata Pek Kong.
Sejenak Hay Hay memandang kepada wajah mereka, seorang demi seorang. Mula-mula dipandangnya wajah Pek Kong, kemudian Souw Bwee, kemudian wajah Kakek Pek Ki Bu, dan kepada Pek Eng yang duduk di belakang orang tuanya, dia melirik. Setelah itu dia pun berkata, "Saya sendiri tidak tahu siapa saya ini sebenarnya. Setahu saya, saya bernama Hay Hay dan saya dianggap Sin-tong, diperebutkan banyak orang. Saya tahu bahwa jawabannya terletak dalam rahasia keluarga Pek, karena semenjak bayi saya dianggap sebagai putera keluarga Pek. Kemudian ketika masih bayi, saya diculik orang dari tangan keluarga Pek, ditukar dengan bayi mati dan ?""
"Ahhhh ?"!!" Pek Kong dan isterinya, berteriak kaget sehingga Hay Hay menghentikan ceritanya dan memandang kepada dua orang suami isteri itu dengan sinar mata penuh harap dan permohonan.
"Karena itulah, Pangcu. Saya sengaja datang mencari Pek-sim-pang untuk bertanya tentang rahasia diri saya ini kepada Pek-pangcu. Siapakah sebenarnya saya ini, dan mengapa menjadi putera keluarga Pek lalu diculik orang?"
"Ah, kiranya engkau anak yang malang itu "..!" Tiba-tiba Pek Ki Bu berseru dan dia menggeleng-geleng kepala saking takjubnya. Anak itu kini muncul dan menuntut agar diceritakan asal-usulnya.
"Baiklah, kami akan ceritakan semua kepadamu. Sudah menjadi hakmu untuk mengetahui segalanya tentang dirimu, anak yang malang." kata Pek Kong.
Dengan jantung berdebar dan muka agak pucat karena saat inilah yang dinanti-nantikan selama bertahun-tahun ini, Hay Hay memandang kepada Ketua Pek-sim-pang itu, siap mendengarkan semua cerita yang akan keluar dari mulut Pek Kong.
Pek Kong lalu menceritakan peristiwa yang terjadi kurang lebih dua puluh satu tahun yang lalu, ketika isterinya, Souw Bwee mengandung dan pada waktu itu Pek-sim-pang masih berada di Nam-co, di daerah Tibet. Kandungan isterinya itu menimbulkan masalah karena para Lama di Tibet meramalkan bahwa anak yang dikandung adalah Sin-tong dan kelak harus diserahkan kepada para pendeta Lama untuk dirawat dan dididik, karena Sin-tong setelah dewasa akan menjadi Dalai Lama. Pek Kong dan isterinya lalu melarikan diri mengungsi ke timur.
"Pada saat kelahiran putera kami itulah engkau muncul." Pek Kong melanjutkan ceritanya yang didengarkan penuh perhatian oleh Hay Hay. "Ketika itu kakekku, yaitu Kakek Pek Khun, melihat seorang ibu muda bunuh diri di laut bersama puteranya. Kakek Pek Khun berhasil menyelamatkan anak laki-laki itu, akan tetapi ibu muda itu meninggal dunia setelah meninggalkan sedikit pesan. Bayi laki-laki yang diselamatkan oleh Kakek Pek Khun itu ".."
Sayalah bayi itu!" kata Hay Hay, wajahnya agak pucat dan suaranya gemetar.
"Benar sekali! Engkaulah bayi laki-laki itu. Karena putera kami terancam dan dicari para Lama, maka putera kami itu dibawa pergi dan disembunyikan oleh Kakek Pek Khun, sedangkan engkau kami pelihara sebagai gantinya. Akan tetapi, tak lama kemudian engkau diculik orang dan sebagai gantinya, di tempat tidurmu diletakkan seorang bayi lain yang sudah mati. Dua orang penjagamu juga dibunuh oleh penculik itu."
"Hemmm, Lam-hai Siang-mo "..!" kata Hay Hay.
"Apa maksudmu?" tanya Pek Kong.
"Yang menculik saya di waktu bayi itu adalah suami isteri Lam-hai Siang-mo."
"Ah kiranya Siangkoan Leng dan Ma Kim Li?" kata Pek Ki Bu mengepal tinju. "Kalau aku tahu tentu kucari mereka. Mereka begitu kejam, membunuh anak sendiri untuk ditukar denganmu, dan membunuh dua orang penjaga."
"Mereka memang orang-orang kejam dan jahat. Mereka lalu merawat saya dan sejak kecil saya menganggap bahwa mereka adalah ayah dan ibu saya. Akan tetapi ketika saya berusia tujuh tahun, muncul suami isteri Guha Iblis Pantai Selatan ".."
"Kwee Siong Si Tangan Maut dan Tong Ci Ki Si Jarum Sakti?" tanya Kakek Pek Ki Bu yang agaknya mengenal tokoh-tokoh persilatan di selatan.
"Benar," kata Hay Hay. "Mereka merampas saya dan mulailah saya dijadikan perebutan dan baru saya mendengar bahwa saya bukanlah anak kandung Lam-hai Siang-mo, melainkan anak kandung keluarga Pek. Akan tetapi, setelah kemudian orang tahu bahwa tidak ada tanda merah di punggung saya, saya pun mengerti bahwa sesungguhnya saya bukanlah putera kandung keluarga Pek, dan bahwa rahasia tentang diri saya berada di sini, di antara keluarga Pek. Oleh karena itu, saya mohon kepada Cu-wi untuk dapat membuka rahasia itu. Siapakah saya" Siapakah ibu saya itu yang membunuh diri di lautan dan siapa pula ayah saya?"
Pek Ki Bu saling pandang dengan putera dan mantunya. Pek Kong mengangguk lalu dia berkata, "Tunggulah sebentar, saya ingin mengambil sesuatu dari dalam kamar ." Dia pun pergi dan tak lama kemudian kembali lagi ke ruangan itu.
"Ketahuilah, orang muda. Sebelum wanita muda yang membunuh diri itu tewas, ia sempat meninggalkan pesan kepada Kakek Pek Khun. Ia sempat bercerita di saat terakhir itu bahwa ia membunuh diri karena ingin melarikan diri dari aib."
"Ahhh "..y Hay menahan napas dan Souw Bwee memandang kepadanya dengan sinar mata penuh rasa iba. Sedangkan Pek Eng yang juga belum pernah mendengar cerita ,itu, ikut mendengarkan dengan hati tertarik.
"Menurut pengakuannya, ibu muda itu adalan seorang gadis yang diperkosa dan dipaksa oleh seorang... laki-laki ?"" Pek Kong tidak tega mengatakan bahwa pemerkosa itu seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita), "dan ketika wanita itu mengandung dan melahirkan anak karena hubungan itu, ia tidak kuat menghadapi aib itu dan mencoba membunuh diri bersama anaknya itu. Laki-laki yang menjadi... ayah kandungmu itu adalah she (bernama keturunan) Tang ?"."
"Hemmm, jadi saya she Tang" Tang Hay ?"?" kata Hay Hay seperti kepada diri sendiri dengan hati amat tidak enak rasanya. Ibunya diperkosa orang sampai mengandung dan melahirkan dia. Dia seorang anak haram! Anak yang lahir dari perkosaan. Jadi ayahnya adalah seorang yang amat jahat, she Tang!
"Dan di manakah adanya Ayah saya yang she Tang itu?"
Pek Kong menggeleng kepala sambil merogoh saku jubahnya. "Kami juga tidak tahu, hanya Ibumu dalam pesan terakhir itu menyerahkan benda ini kepada Kakek Pek Khun. Katanya benda ini adalah milik ayahmu, orang she Tang itu. dan Ibumu berpesan agar engkau mencarinya"." Pek Kong menyerahkan benda itu kepada Hay Hay.
Hay Hay menerima benda itu, mengamatinya, dan tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan keras dan jatuh terguling dari kursi yang didudukinya. Pingsan! Tentu saja semua orang terkejut dan Pek Kong segera memondongnya ke atas dipan dan mengurut beberapa jalan darah untuk membuatnya siuman kembali.
Tidak mengherankan kalau Hay Hay menjadi pingsan saking kagetnya ketika dia menerima benda itu dan mengenalnya. Benda itu adalah sebuah tawon merah terbuat dari emas dan permata persis dengan benda yang ditinggalkan oleh jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) yang telah membunuh seorang gadis dusun yang hitam manis dan kemudian memperkosa Siauw Lan, gadis dusun yang lain sehingga dialah yang dituduh sebagai pembunuh dan pemerkosa. Kiranya yang melakukan itu adalah jai-hwa-cat yang berjuluk Ang Hong, Cu, Si Tawon Merah, yang meninggalkan perhiasan berbentuk tawon merah itu. Dan Ang Hong Cu bukan lain adalah ayah kandungnya! Jai-hwa-cat itu telah memperkosa gadis yang kemudian mengandung dan melahirkan dia. Dia anak seorang jai-hwa-cat, lahir dari hasil perkosaan. Anak haram! Darah penjahat keji! Maka, tidaklah mengherankan ketika melihat benda itu dan menyadari siapa dirinya, Hay Hay langsung roboh pingsan.
Setelah siuman kembali, dia mengeluh dan cepat bangkit duduk, lalu bangkit pula berdiri memberi hormat kepada Pek Ki Bu, Pek Kong dan Souw Bwee. "Harap Cu-wi memaafkan saya. sekarang setelah saya mendengar dari Cu-wi tentang rahasia diri saya, maka saya mohon pamit. Terima kasih atas pertolongan yang diberikan oleh Locianpwe Pek Khun kepada mendiang Ibu saya dan kepada saya sendiri karena kalau tidak ditolong, tentu saya sudah mati bersama Ibu dan... tidak akan mendengar kenyataan yang amat pahit ini. Dan maafkanlah bahwa saya telah membikin repot keluarga Pek yang budiman."
Hati tiga orang itu merasa kasihan, bahkan Pek Eng memandang dengan terharu, walaupun di dalam hatinya ia pun memandang rendah. Anak seorang jai-hwa-cat yang lahir dari hubungan perkosaan!
"Jangan berkata demikian... Tang-taihiap " kata Pek Ki Bu. "Bagaimanapun juga, keluarga kami berhutang budi kepadamu dan pernah melakukan kesalahan kepada dirimu ketika engkau masih bayi. Engkau telah menyelamatkan Pek Han Siong dari pengejaran orang, dan kami bahkan telah menggantikan tempatnya dengan engkau sehingga engkau menjadi perebutan orang-orang kang-ouw. Maafkanlah kami."
"Tidak, tidak ".! Dan harap Locianpwe jangan menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada saya. Saya hanya... hanya anak jai-hwa-cat ".." Hay Hay memberi hormat lagi dan hendak pergi ketika pada saat itu seorang pelayan masuk ke ruangan dan melaporkan bahwa ada tamu-tamu dari Cin-an, yaitu keluarga Song, datang berkunjung.
Mendengar ini, wajah Pek Ki Bu dan Pek Kong berseri-seri. "Aih, kiranya mereka yang datang! Tang-taihiap, kuharap engkau tidak tergesa-gesa pergi karena kami masih ingin berbincang-bincang denganmu mengenai masa lampau. Marilah kami perkenalkan dengan tamu-tamu terhormat, yaitu keluarga Song yang gagah perkasa dari Cin-an, keluarga para pimpinan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Tangan Baja) yang amat terkenal sebagai pejuang-pejuang dan pendekar-pendekar yang budimar."
Hay Hay yang baru saja menemukan dirinya dan masih berada dalam keadaan nelangsa, sebenarnya ingin sekali pergi. Akan tetapi karena pihak tuan rumah meminta dengan sangat, dan dia pun tertarik mendengar datangnya keluarga pendekar yang terkenal dan ingin melihat mereka, dia pun menerima tanpa banyak cakap dan bersama rombongan tuan rumah dia pun ikut keluar menyambut tamu.
Rombongan tamu itu terdiri dari tiga orang. Orang pertama adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun, jangkung kurus dan muka keras dan mata membayangkan kejujuran dan kekuatan. Orang ini adalah ketua perkumpulan Kang-jiu-pang dan bernama Song Un Tek. Orang ke dua adalah adiknya yang berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh pendek gendut seperti bola dan yang memiliki muka bulat yang selalu tersenyum mengejek. Orang ini bernama Song Un Sui, tidak kalah terkenalnya dibandingkan kakaknya yang menjadi pangcu dari Kang-jiu-pang karena ilmu silatnya yang tinggi dan jiwanya yang patriotik. Hanya sedikit sayang bahwa si gendut Song Un Sui ini agak tinggi hati, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan suka memandang rendah orang lain. Adapun orang ke tiga merupakan seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun yang bertubuh tinggi besar, gagah sekali nampaknya dengan pakaian seperti seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang, yang berada dalam sarung pedang terukir indah dan terhias ronce merah di bagian gagangnya. Pemuda ini adalah putera Ketua Kang-jiu-pang bernama Song Bu Hok, dan dia telah digembleng oleh ayahnya dan pamannya, mewarisi ilmu kepandaian mereka dan juga jiwa kepahlawanan mereka. Akan tetapi, Bu Hok ini pun agaknya mewarisi ketinggian hati pamannya, hal ini nampak pada pandangan matanya dan tarikan dagunya yang gagah.
Perkumpulan Kang-jiu-pang belum tua benar umurnya. Didirikan oleh mendiang ayah dari kedua orang pimpinan Kang-jiu-pang itu, yaitu Song Pak Lun, seorang bekas perwira tinggi di Pao-teng yang berjiwa pahlawan. Karena merasa tidak setuju dengan sepak terjang Kaisar Ceng Tek, yaitu kaisar yang lalu sebelum Kaisar Cia Ceng yang sekarang, karena Kaisar Ceng Tek terlalu percaya kepada para pembesar Thaikam (Orang Kebiri) sehingga kekuasaan hampir dicengkeram oleh para thaikam, maka Song Pak Lun lalu mendirikan perkumpulan Kang-jiu-pang. Perkumpulan ini terdiri dari orang-orang gagah yang menentang kekuasaan para thaikam demi menyelamatkan rakyat daripada penekanan dan penindasan, dan berpusat di dekat kota Cin-an di Lembah Sungai Huang-ho.
Setelah Kakek Song Pak Lun meninggal dunia, Kang-jiu-pang diketuai oleh puteranya, yaitu Song Un Tek yang dibantu oleh adiknya, Song Un Sui itu. Dua orang kakak beradik inilah yang menjadi pimpinan Kang-jiu-pang, akan tetapi karena kini tidak terdapat lagi thaikam yang ditentang seperti ketika jaman ayah mereka, setelah thaikam yang lalim ditangkap dan dihukum, maka perkumpulan itu lebih menyerupai perkumpulan orang gagah. Murid-murid Kang-jiu-pang, seperti para murid perkumpulan orang gagah lainnya, bertindak seperti para pendekar yang menentang dunia hitam atau kaum sesat di dunia kang-ouw. Nama Kang-jiu-pang menjulang tinggi karena sepak terjang anak buahnya yang rata-rata merupakan pendekar yang gagah perkasa.
Telah lama terjalin persahabatan antara pimpinan Kang-jiu-pang dan pimpinan Pek-sim-pang, maka dapat dibayangkan betapa gembira pihak Pek-sim-pang menerima kunjungan para sahabat mereka itu. Karena sudah menjadi sahabat yang akrab dan lama, maka Souw Bwee dan Pek Eng tidak ketinggalan menyambut para tamu, walaupun tamu itu hanya tiga orang laki-laki belaka. Pek Eng juga sudah mengenal Song Bu Hok, bahkan sudah berteman dengan pemuda tinggi besar itu.
Ketika pihak tuan rumah yang diikuti oleh Hay Hay keluar dari dalam, tiga orang tamu yang tadinya duduk di ruangan tunggu itu bangkit berdiri dan memberi hormat.
"Aihh, angin apakah yang membawa Sam-wi melayang-layang ke sini dari Cin-an?" kata Pek Kong dengan gemblra.
"Kami harap Pangcu sekeluarga dalam sehat dan Kang-jiu-pang menjadi semakin besar dan jaya." kata pula Pek Ki Bu dengan wajah gembira. Dia pun telah menjadi sahabat Song Pak Lun ketika kakek itu masih hidup dan menjadi Ketua Kang-jiu-pang.
"Kami baik-baik saja, terima kasih dan mudah-mudahan Pek-sim-pang semakin maju dan para keluarga Pek juga dalam sehat bahagia." jawab Song Un Tek dan Song Un Sui dengan ramah. Akan tetapi Song Bu Hok yang tadinya memandang kepada Pek Eng dengan wajah berseri, kini mengerutkan alisnya melihat munculnya seorang pemuda tampan yang tak dikenalnya di belakang gadis itu. Dia menatap tajam dan lupa untuk memberi salam.
"Bu Hok, kenapa engkau diam saja?" ayahnya menegur dan menoleh, kemudian dia pun melihat ke arah yang dipandang puteranya dan dia melihat pula pemuda di belakang Pek Eng itu.
"Pek-locianpwe dan Paman Pek Kong, terimalah hormat saya. Bibi, terimalah hormat saya." kata Bu Hok.
Akan tetapi kini Song Un Tek yang menatap tajam ke arah Hay Hay, lalu berseru. " Aha! Kalau tidak keliru dugaanku, pemuda yang gagah ini tentu putera kalian, Pek Han Siong alias Sin-tong itu yang sudah pulang! Benarkah?"
Mendengar seruan ayahnya, pandang mata yang tadinya keruh dan penuh curiga dari Bu Hok segera terganti cerah dan berseri. "Aih, Eng-moi, inikah kakakmu yang amat terkenal sebagai Sin-tong?" tanyanya kepada Pek Eng.
"Jangan sembarang sangka, Song-toako!" kata Pek Eng cemberut. Tak senang hatinya mendengar sangkaan orang bahwa ia adalah adik Hay Hay, pemuda mata keranjang keturunan jai-hwa-cat itu!
"Kalian salah sangka." Pek Kong menerangkan dengan ramah. "Pemuda ini adalah seorang tamu kami yang baru saja datang, namanya adalah... Tang Hay. Mari silakan duduk di dalam."
Berbondong-bondong mereka memasuki rumah dan tak lama kemudian mereka sudah duduk di ruangan dalam yang luas. Hay Hay yang juga dipersilakan duduk, mengambil tempat duduk di sudut, agak jauh dari rombongan tamu dan tuan rumah yang sedang bercakap-cakap dengan meriah dan gembiranya itu. Bahkan dia melihat betapa Pek Eng bercakap-cakap dengan ramah pula bersama pemuda tinggi besar yang gagah itu. Akan tetapi dia melihat pula pemuda tinggi besar itu berkali-kali melempar kerling ke arahnya, dengan sinar mata yang tidak ramah, akan tetapi dia pura-pura tidak melihatnya.
"Song-pangcu, bagaimana kabarnya di kota raja" Engkau baru saja datang dari sana, dekat kota raja, tentu banyak mendengar tentang keadaan di sana. Jangan-jangan kalian ini datang membawa kabar buruk yang akan membangkitkan kembali Kang-jiu-pang menjadi pejuang-pejuang yang gagah dan mengobarkan perang!" kata Pek Kong.
"Ah, untung tidak demikian, Pek-pangcu. Keadaan kota raja kini tenteram saja semenjak Kaisar Cia Ceng meme-gang tahta kerajaan. Semua ini berkat kebijaksanaan dua orang Tiong-sin (Menteri Setia) di istana "."
"Kaumaksudkan dua orang Menteri Yang Ting Hoo dan Cang Ku Ceng?" Pek Ki Bu menyela.
"Benar sekali, Paman." kata Song Un Tek.
Kakek Pek Ki Bu menarik napas panjang. "Benar kata para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa kalau negara merupakan sebatang pohon besar, maka kaisar dan para pejabat tinggi yang membantunya merupakan batang dan akar-akarnya. Kalau batang dan akar-akarnya sehat dan subur, maka semua cabang, ranting, daun dan bunga serta buahnya tentu akan sehat dan subur pula. Sebaliknya, kalau kaisar dan para pembesar yang membantunya busuk, tentu negara akan menjadi rapuh dan kehidupan rakyat menjadi sengsara."
"Benar sekali, Paman." kata pula ketua Kang-jiu-pang. "Memang besar sekali jasa dua orang menteri bijaksana itu, sehingga para Kan-sin (Menteri Durna) menjadi keder dan kehilangan pengaruh, bahkan banyak yang mengundurkan diri. Mudah-mudahan saja Sribaginda Kaisar Cia Ceng ini akan dapat membuat Kerajaan Beng menjadi benar-benar Beng (Terang) dan rakyat dapat hidup sejahtera."
"Sayang sekali bahwa para pimpinan itu tidak seperti akar dan batang pohon yang hanya bekerja demi kehidupan pohon seutuhnya, juga kepentingan daun-daunnya, cabang ranting kembang dan buahnya. Para pimpinan itu biasanya hanya memikirkan kepentingan dan kesenangan diri sendiri belaka. Di waktu perjuangan, mereka membujuk rakyat, menggandeng rakyat untuk memperoleh kekuatan, dengan segala macam slogan dan kata-kata indah patriotik, akan tetapi setelah berhasil memperoleh kemenangan dan mereka itu berkuasa, mereka lupa sama sekali kepada rakyat jelata. Mereka lupa bahwa tanpa dukungan rakyat, tanpa bantuan rakyat, mereka tidak mungkin dapat memperoleh kemenangan dan memperoleh kedudukan mereka yang sekarang." kata Kakek Pek Ki Bu.
Song Un Tek, ketua Kang-jiu-pang tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Kiranya hal itu tidak mengherankan, Paman, karena bagaimanapun juga, para pimpinan itu hanyalah manusia-manusia biasa dan manusia memang lemah, mudah mabok kekuasaan. Akan tetapi, ada pula pemimpin yang benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat jelata, ada yang agak memperhatikan, dan ada pula yang sama sekali tidak. Yang sama sekali tidak memperhatikan ini, yang hanya mengejar kesenangan pribadi berlandaskan kekuasaan yang didapatnya dengan bantuan rakyat, adalah pembesar lalim dan orang seperti itu pasti lambat laun akan digilas oleh roda perputaran dunia yang adil."
Kedua pimpinan perkumpulan orang-orang gagah itu bercakap-cakap tentang perjuangan, tentang kepahlawanan, didengarkan oleh Hay Hay yang dlam-diam merasa kagum kepada mereka. Dia sendiri tidak tertarik oleh urusan itu, namun dia dapat merasakan bahwa kedua pihak yang sedang bercakap-cakap itu memang orang-orang gagah perkasa yang patut dihormati. Kalau dia teringat betapa orang-orang muda seperti Pek Eng dan Song Bu Hok ini adalah keturunan orang-orang tua yang gagah perkasa dan terhormat, sedangkan dia sendiri adalah anak seorang jai-hwa-cat, hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dia pun menundukkan mukanya, merasa betapa dirinya rendah dan hina. Akan tetapi hanya sebentar saja dia berhal demikian. Wataknya yang periang dan tidak pernah mau terbenam di dalam perasaannya, membuat wajahnya menjadi cerah.
"Song-pangcu, selain ingin bertemu karena rindu, agaknya Pangcu mempunyai urusan penting yang dibawa dari rumah. Benarkah dugaanku itu dan kalau memang ada urusan penting, harap segera disampaikan kepada kami." Pek Kong berkata kepada temannya.
Song Un Tek tertawa dan mengangguk-angguk, mengelus jenggotnya yang pendek dan lebat. "Tidak salah dugaanmu, Pek-pangcu. Aku teringat akan permufakatan kita pada awal perkenalan kita dahulu dan ingin sekali menegaskan kepada keluarga Pek. Akan tetapi karena yang akan dibicarakan ini urusan orang-orang tua, dapatkah kita bicara sendiri?" Dia mengerling ke arah Pek Eng dan Hay Hay.
Pek Kong dan isterinya tersenyum, kemudian Pek Kong berkata kepada puterinya, "Eng-ji, kauajaklah Song Bu Hok dan Tang Hay berjalan-jalan di taman bunga. Biar kami orang-orang tua bicara sendiri dan kalian orang-orang muda bersenang-senang di taman."
Sebetulnya Pek Eng ingin mendengarkan terus percakapan mereka, maka hatinya merasa kecewa dan tidak senang mendengar perintah ayahnya. Akan tetapi ia juga tidak berani membantah, maka ia memandang dengan alis berkerut dan merasa malas untuk bangkit berdiri.
"Eng-moi, marilah!" Tiba-tiba Song Bu Hok yang bangkit lebih dulu dan berkata dengan wajah berseri. "Mari kita pergi ke taman, aku ingin sekali melihat betapa hebatnya kemajuan ilmu silatmu sejak dua tahun yang lalu."
Ajakan ini membuat Pek Eng bangkit berdiri dan timbul kegembiraannya. Memang gadis ini paling suka kalau bicara tentang ilmu silat, apalagi untuk saling menguji kepandaian. Dua tahun yang lalu pernah ayahnya mengajak ia merantau dan singgah di perkampungan Kang-jiu-pang di mana ia berkenalan dengan Song Bu Hok, bahkan berkesempatan untuk saling menguji kepandaian masing-masing. Akan tetapi pada waktu itu, usianya baru empat belas tahun lebih sedangkan Song Bu Hok sudah berusia dua puluh tahun sehingga tentu saja ia masih kalah matang dalam latihan. Kini, ia telah lebih matang dan ia ingin sekali melihat apakah kini ia dapat mengatasi kepandaian putea Ketua Kang-jiu-pang itu.
"Mari...!" katanya sambil bangkit berdiri dan melangkah pergi bersama putera Ketua Kang-jiu-pang itu.
"Eng-ji, ajak dia!" kata Ibunya sambil menunjuk ke arah Hay Hay yang masih duduk karena tidak diajak pergi. Barulah Pek Eng teringat akan tetapi alisnya berkerut ketika ia menoleh kepada Hay Hay.
"Mari ikut dengan kami." ajakya, suaranya agak kaku.
Akan tetapi Hay Hay tersenyum ramah. Dia bangkit berdiri dan berkata. "Terima kasih, Nona, engkau baik sekali!" Melihat sikap dan mendengar ucapan ini, Bu Hok mengerutkan alisnya dan memandang tajam. Pemuda itu tampan dan pandai menarik hati, pikirnya, dan dia merasa adanya seorang saingan yang berbahaya. Dari mana sih munculnya pemuda ini, pikirnya. Ayah dan pamannya mengajaknya berkunjung ke sini untuk mengajukan pinangan terhadap Pek Eng, untuk menjadi jodohnya, seperti pernah disetujui bersama oleh kedua orang tua mereka ketika mereka masih kecil. Dia sendiri memang telah tergila-gila dan amat tertarik sejak dua tahun yang lalu dia, bermain dengan Pek Eng yang ketika itu baru berusia empat belas tahun lebih namun sudah amat lincah menarik. Kini, dua tahun kemudian, ternyata Pek Eng telah menjadi seorang gadis dewasa yang lebih memikat lagi. Manis bukan main sehingga begitu tadi melihatnya, langsung saja Bu Hok yang memang sudah tertarik sekali itu menjadi jatuh cinta! Akan tetapi di situ terdapat seorang pemuda yang sikapnya demikian manis terhadap Pek Eng!
Bu Hok bersikap acuh saja terhadap Hay Hay ketika dia berjalan di samping Pek Eng menuju ke taman di belakang rumah besar keluarga Pek. Hay Hay berjalan di belakang mereka, tersenyum-senyum dan ingin sekali tahu apa yang akan dilakukan dua orang itu terhadap dirinya yang agaknya tidak diinginkan kehadirannya. Dari belakang, dia melihat betapa pinggul Pek Eng yang padat itu menari-nari ketika gadis itu berjalan dengan lenggang yang santai dan lemah gemulai. Pinggangnya yang ceking seperti pinggang lebah kemit itu seperti mau jatuh ke kanan kiri, kedua kaki ketika melangkah itu merapat sehingga lututnya saling bersentuhan. Sungguh seorang dara yang mulai mekar dewasa dengan tubuh yang menggiurkan!
Mereka memasuki taman dan ternyata di tengah-tengah taman itu terdapat sebuah taman rumput yang cukup luas dan tempat ini memang biasa dipergunakan Pek Eng untuk berlatih ilmu silat. Enak sekali berolah raga di taman itu, di atas petak rumput dikelilingi bunga-bunga yang indah dan pohon-pohon yang menimbulkan hawa segar. Apalagi berolah raga pi waktu pagi-pagi sekali, amat sejuk dan menyegarkan tubuh.
"Eng-moi, aku percaya bahwa engkau sekarang tentu telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu silatmu. Maukah engkau memainkan ilmu silat keluargamu agar aku dapat mengaguminya?" kata Bu Hok.
Kalau saja di situ tidak ada Hay Hay, tentu Pek Eng akan suka sekali memamerkan ilmu silat keluarganya. Akan tetapi di situ terdapat Hay Hay dan ia tahu betapa lihainya pemuda ini, jauh lebih lihai dari dirinya, bahkan lebih lihai dari ayahnya dan kakeknya. Bagaimana mungkin ia dapat memamerkan ilmu silatnya di depan seorang yang lihai seperti Tang Hay itu" Ia tentu hanya akan menjadi buah tertawaan saja. Maka sambil melirik ke arah Hay Hay yang berdiri di tepi petak rumput itu, agak menjauh dari mereka, ia pun menggeleng kepala.


Pendekar Mata Keranjang Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, Song-toako. Aku sedang lelah sekali karena baru saja tadi di sini datang tiga orang pendeta Lama yang mengacau. Kami semua turun tangan berkelahi dan aku lelah sekali."
"Ahhhh ?"!!" Bu Hok berseru kaget. "Tiga orang pendeta Lama membikin kacau di sini" Mana mereka itu sekarang" Biar kuhajar mereka dengan pedangku!" katanya dengan sikap angkuh seolah-olah dengan mudah dia akan mampu membasmi mereka yang berani mengacau keluarga gadis itu.
"Mereka sudah pergi. Belum ada satu jam mereka pergi dan engkau bersama Ayah dan pamanmu datang."
"Akan tetapi mengapa ada pendeta-pendeta mengacau" Apakah mereka itu masih terus mendesak dan mencari Kakak kandungmu yang disebut Sin-tong itu?"
Pemuda ini memang sudah mendengar tentang peristiwa yang menimpa keluarga Pek dengan lahirnya kakak Pek Eng yang dianggap Sin-tong dan diminta oleh para pendeta Lama di Tibet.
Gadis itu mengangguk. "Mereka masih terus mencari kakakku yang belum juga pulang. Ah, sudahlah, Toako. Sekarang aku lelah sekali dan kuharap engkau tidak pelit untuk memperlihatkan ilmumu. Tentu Ilmu Silat Tangan Baja darimu kini sudah maju pesat dan engkau tentu sudah menjadi lihai sekali."
Bu Hok adalah seorang yang amat mengagulkan kepandaiannya sendiri. Harus diakui bahwa dia telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya dan pamannya, dan dia dapat dikatakan murid terpandai di Kang-jiu-pang dan tingkatnya hanyalah sedikit di bawah tingkat ayahnya dan pamannya!
"Ilmu silat tangan kosong dari Kang-jiu-pang telah kukuasai semua, Eng-moi, dan latihanku telah matang dan mencapai puncaknya. Kiranya hanya Ayah dan Paman saja yang dapat mengimbangi aku. Akan tetapi itu masih belum dapat dinamakan maju pesat. Dengan bantuan Ayah dan Paman, aku telah dapat merangkai semacam ilmu pedang yang bersumber dari gerakan Ilmu Silat Tangan Baja, dan karena itu, kuberi nama Ilmu Pedang Tangan Baja (Kang-jiu-kiam). Ilmu pedang ini sedang kulatih terus dan kuperbaiki dengan petunjuk-petunjuk Ayah dan Paman, dan aku baru akan puas kalau dapat menciptakan ilmu pedang itu sebagai ilmu pedang terkuat di dunia persilatan."
Pek Eng memandang kagum. Pemuda Kang-jiu-pang ini memang selalu mengagumkan hatinya, seorang pemuda yang gagah dan selalu bersikap ramah dan manis kepadanya sebagai seorang sahabat baik atau seorang kakak yang bersikap melindungi. Akan tetapi kini kekagumannya terhadap Bu Hok ternoda oleh kenyataan bahwa kiranya tidak mungkin Bu Hok lebih pandai dari pemuda anak jai-hwa-cat yang berdiri di sudut petak rumput itu! Hay Hay seperti merusak semua kegembiraannya, membuat segalanya meniadi tawar. Akan tetapi juga kini sikap Bu Hok dan sikap Hay Hay membuat Pek Eng melihat kenyataan lain yang menggugah hatinya. Dia telah melihat sendiri kelihaian Hay Hay yang mampu mengusir tiga orang pendeta Lama yang berilmu tinggi tadi, akan tetapi sikap Hay Hay demikian merendah, bahkan kelihatan seperti seorang pemuda lemah dan tolol, sedikit pun tidak menonjolkan kepandaiannya. SebaliKnya, kini dalam pandang matanya, Bu Hok kelihatan terlalu mengagulkan dirinya! Maka, timbullah keinginan hatinya untuk mengadu kedua orang pemuda ini!
"Song-toako, perlihatkanlah ilmu silatmu agar aku dan... Saudara Tang Hay di sana itu dapat mengaguminya."
Bu Hok menoleh ke arah Hay Hay, agaknya baru sekarang dia teringat bahwa Hay Hay berada di situ bersama mereka. "Baik, aku akan berdemonstrasi untukmu, Eng-moi. Akan tetapi apakah dia itu akan dapat menilai dan menghargai ilmu silatku" Seorang laki-laki yang tidak pandai ilmu silat adalah seperti seekor harimau yang kehilangan taring dan kukunya, tidak ada harganya lagi."
"Aih, Song-toako, jangan pandang rendah kepada dia itu. Ilmu silatnya lihai sekali dan kita berdua bukanlah tandingannya!" Pek Eng berkata sungguh-sungguh akan tetapi juga bermaksud membakar hati Bu Hok.
Mendengar ucapan ini, Bu Hok memandang kepada Hay Hay dengan sinar mata tajam penuh selidik, alisnya berkerut dan hatinya sama sekali tidak percaya. Dia lalu menghampiri Hay Hay dan dengan sikap hormat namun angkuh dia bertanya. "Saudara Tang Hay, benarkah engkau lihai sekali dalam ilmu silat?"
Hay Hay sejak tadi tersenyum saja dan kini menghadapi pertanyaan putera Ketua Kang-jiu-pang, dia tersenyum makin lebar. Dari sikap pemuda itu, dia tahu bahwa pemuda tinggi besar itu agaknya tertarik atau bahkan jatuh cinta kepada Pek Eng dan dalam gerak-gerik dan kata-katanya, juga pandang mata dan ucapannya, jelas bahwa pemuda tinggi besar itu sedang berusaha untuk memamerkan diri dan memancing kekaguman dari gadis itu. Hal ini dianggapnya wajar dan dia tidak merasa heran kalau pemuda itu agak angkuh dan sombong nampaknya, memang demikian sikap orang yang ingin menonjolkan diri untuk menarik perhatian seorang gadis.
"Ah, tidak, Song-kongcu (Tuan Muda Song), aku hanya mempelajari sedikit saja gerakan untuk membela diri." katanya merendah karena dia tidak ingin mengurangi nilai pribadi yang sedang dipupuk oleh pemuda Kang-jiu-pang itu.
Akan tetapi Song Bu Hok masih belum merasa puas. Gadis tadi mengatakan bahwa ia berdua dengan dirinya tidak akan mampu menandingi pemuda yang senyum-senyum tolol ini!
"Saudara Tang, engkau dari perguruan manakah?" tanyanya pula, agak lega bahwa setidaknya pemuda tni menyebut "kongcu" kepadanya, tanda bahwa pemuda ini menghormat dan menghargainya, dan tahu bahwa derajatnya lebih tinggi daripada pemuda itu.
Kembali Hay Hay menjawab sambil tersenyum, "Ah, aku hanya belajar begitu saja, tidak dari perguruan mana pun."
Tentu saja Bu Hok tidak percaya. Kalau bukan dari perguruan yang terkenal, tak mungkin Pek Eng memujinya, dan lebih tidak mungkin lagi pemuda ini dapat berkenalan dengan keluarga Pek dan agaknya diterima oleh keluarga itu dengan baik dan hormat.
"Kalau begitu, bagaimana engkau dapat berada di sini sebagai tamu keluarga Pek yang terhormat?" Dia menuntut, dan matanya memandang penuh selidik, alisnya berkerut dan wajahnya membayangkan ketidaksenangan dan keraguan.
Diam-diam Hay Hay merasa mendongkol juga. Pemuda ini boleh saja tidak menganggapnya sederajat, boleh saja tidak memperhatikannya, akan tetapi kenapa Pek Eng juga mengacuhkannya" Bukankah gadis itu tadi sudah mendengar semua penuturan tentang dirinya" Hemm, agaknya gadis ini merasa malu untuk menerimanya sebagai seorang sahabat dan tamu.
"Begini, Song-kongcu. Keluarga Pek sudah sedemikian baik dan ramahnya terhadap diriku sehingga ketika untuk pertama kali tadi aku tiba di sini, aku disambut rangkulan dan ciuman, tidakkah begitu, Nona Pek Eng?"
Tiba-tiba wajah Pek Eng menjadi merah sekali. "Ihhh "..!" Ia mengeluarkan seruan kaget akan tetapi tidak dapat menjawab, hanya memandang wajah Hay Hay dengan muka merah dan mata terbelalak.
"Eng-moi, apa. artinya itu" Kalau dia bermaksud menghina ".." Bu Hok mengepal tinjunya, sinar matanya mengandung ancaman.
"Dia datang tiba-tiba dan kami sekeluarga menyangka bahwa dia kakakku Pek Han Siong, karena itu aku dan Ibu yang mengira dia kakakku, menyambutnya dengan gembira dan... dan menciumnya. Dia tidak berhak untuk mengingat-ingat hal itu dan membicarakannya!" Pek Eng berterus terang dan memandang kepada Hay Hay dengan marah.
"Aku tidak mengingat-ingat, akan tetapi peristiwa itu takkan terlupakan selama hidupku, Nona."
"Dasar engkau laki-laki ?" mata keranjang!" Pek Eng berseru marah. "Buah takkan jatuh terlalu jauh dari pohonnya!" Dengan ucapan ini Pek Eng mengingatkan bahwa Hay Hay tidak akan banyak berbeda dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu. Mendengar ini, wajah Hay Hay menjadi merah dan matanya yang tadinya bersinar-sinar kini menjadi sayu dan muram, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa. Sebaliknya, mendengar seruan gadis itu, Bu Hok tertarik dan dia segera mendesak.
"Eng-moi, dia putera siapakah?" Dia mengharapkan keterangan gadis itu dan menduga bahwa tentu pemuda itu putera seorang datuk sesat. Akan tetapi Pek Eng sudah merasa menyesal bahwa ia telah mengumbar kemarahannya. Ia menggeleng kepala dan menjawab dengan sikap acuh.
"Sudahlah, tak perlu mengurus keadaan orang lain, Toako. Perlihatkanlah ilmu silatmu dan dia sebagai tamu kami boleh saja kalau mau menonton."
Bu Hok tidak mendesak, akan tetapi merasa penasaran bahwa pemuda itu telah disambut oleh Pek Eng dengan ciuman! Dia membayangkan betapa mesranya mereka itu saling berciuman, dan makin dibayangkan, makin panaslah hatinya, panas oleh cemburu dan iri!
"Saudara Tang Hay, mendengar bahwa Saudara lihai sekali, marilah kita main-main sebentar untuk menggembirakan Nona rumah kita. Bagaimana?"
"Ah, tidak, Song-kongcu, aku... aku tidak bisa ".."
"Hemm, kenapa pura-pura" Kalau hanya untuk sekedar pi-bu (pertandingan silat) secara persahabatan, apa salahnya?" Pek Eng berkata.
"Tidak, aku tidak berani main-main dengan Song-kongcu. Silakan Kongcu bersilat sendiri, biar aku menonton saja untuk menambah pengetahuanku."
Song Bu Hok membusungkan dadanya, merasa bangga. Orang ini tidak berani! Dia tersenyum mengejek, mengangguk dan berkata kepada Pek Eng. "Kalau dia tidak berani, aku pun tidak perlu memaksanya. Lihat aku akan bermain pedang, Eng-moi, dan coba engkau menilainya, apakah permainan pedangku cukup baik." Berkata demikian, pemuda itu menggerakkan tangannya dan nampaklah sinar terang berkelebat ketika pedang itu telah tercabut dari sarungnya. Sebatang pedang yang bagus, berkilauan saking tajamnya, terbuat dari baja yang pilihan.
Song Bu Hok memang bertubuh gagah dan kini dia beraksi dengan pedangnya, memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, pedangnya menunjuk ke atas di depan dahinya, tangan kiri menyembah di dada, memang hebat sekali. Tiba-tiba dia mengeluarkan seruan nyaring dan pedangnya berkelebat, lalu nampaklah gulungan sinar terang berkelebatan ketika pedangnya digerakkan dengan cepat dan kuat.
Diam-diam Hay Hay memperhatikan gerakan pemuda itu. Memang indah dan cukup cepat dan kuat, namun gerakan pemuda itu masih belum masak dan tenaga yang dikandung gerakan itu pun tidak cukup kokoh. Hal ini nampak jelas olehnya, akan tetapi harus diakui bahwa pemuda itu memang gagah sekali dan kalau saja tidak angkuh dan mau belajar dengan tekun, tentu ilmu pedangnya itu akan menjadi ilmu yang ampuh. Karena ingin memamerkan kepandaiannya, Bu Hok bersilat dengan cepat, setiap kali menusuk atau membabat, dibarengi bentakannya yang nyaring. Kemudian dia mengeluarkan suara melengking dan pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang mendekati sebuah pohon di taman itu. Pohon yang tingginya seorang akan tetapi daunnya lebat. Gulungan sinar pedang itu kini menyambar di sekeliling pohon, cepat sekali dan tubuh Bu Hok sendiri tertutup sinar pedang, hanya nampak kedua kakinya berloncatan mengitari pohon kembang itu. Nampaklah daun pohon itu berhamburan dan ketika akhirnya dia menghentikan gerakannya dan berdiri tegak dengan pedang di belakang lengan, pohon itu telah berubah. Kini daun-daun yang tumbuh pada pohon itu terbabat rata dan seperti dicukur bulat dan rapi!
Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 13 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Mutiara Hitam 6
^