Pedang Naga Kemala 7
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
menyusup ke dalam perjuangan para pendekar ini, mereka ini menyusup untuk
dapat merampok rumah-rumah orang kulit putih yang kaya, dengan dalih
memusuhi mereka seperti para pendekar.
Tiga orang yang tadi dirobohkannya adalah penjahat-penjahat pula. Dia
dan golongannya sama sekali bukan pembela orang kulit putih, hanya tidak
memusuhi mereka pada saat itu. Kalau tadi dia menyelamatkan gadis kulit
putih ini hanya terdorong oleh perasaannya, oleh sifat kegagahannya yang
tidak mau membiarkan tiga orang laki-laki memperkosa seorang gadis yang
tidak berdaya. Dan kini, setelah bersusah payah menolong, dan hendak
menyelamatkan gadis itu dari tempat berbahaya itu, si gadis menolak dan
memilih mati! "Apakah engkau menghendaki hal itu terjadi atas dirimu?"
Ucapan itu seperti sengatan yang menyakitkan. Wajah gadis itu berobah
pucat dan ia sudah menengok ke kanan kiri dengan sikap ketakutan.
"Jangan...! Tolonglah aku..."
"Kalau begitu, mari kita pergi. Kita harus cepat pergi dari sini, lebih cepat
lebih baik." Baru sekarang Sheila teringat akan pesan ayahnya. Ia harus cepat pergi ke
Kapal. Peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya tadi sempat membuat
ia lupa lagi akan niatnya melarikan diri.
"Ouhhh... tolonglah saya, tolong antarkan saya ke kapal. Saya harus segera
pergi kesana, menyelamatkan diri...!" katanya dan menuding ke arah pantai
yang masih agak jauhdari tempat itu.
Seng Bu menengok ke timur. Tentu saja, menggunakan kepandaiannya, dia
akan dapat menerobos dan membawa nona ini sampai ke pantai, ke kapal.
Akan tetapi ada dua hal yang membuat dia mengambil keputusan untuk tidak
melakukan hal ini. Pertama, andaikata dia berhasil melarikan nona ini sampai
ke kapal, dia sendiri tentu akan dicurigai dan tidak merupakan hal yang
mustahil kalau dia langsung saja ditembak dan dibunuh oleh orang kulit putih.
Dan kedua, entah bagaimana, dia tidak ingin melihat gadis itu pergi
meninggalkan dia! Seng Bu menggelengkan kepala.
"Tidak mungkin, nona. Lihat, ada kebakaran-kebakaran di sana.
Mereka telah menghadang di jalan dan mereka bahkan akan menyerang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kapal-kapal itu. Kalau nona ke sana, sebelum sampai di kapal tentu akan
tertawan." Dia tidak berbohong, karena kalau Sheila pergi sendirian ke pantai, tentu
dara itu akan terhadang dan tertangkap. Tentu saja kalau dia yang
membawanya, dengan mengandalkan kepandaiannya, banyak kemungkinan
gadis itu akan selamat sampai di pantai!
Sheila menjadi bingung. Dengan matanya yang lebar dan basah, ia lalu
memandang wajah pemuda itu.
"Habis... lalu aku harus pergi kemana?"
"Mari ikut bersamaku, nona. Aku akan menyelamatkanmu. Percayalah, aku
akan melindungimu dengan taruhan nyawaku, nona."
Sepasang mata yang basah itu terbelalak, penuh keheranan, penuh terima
kasih dan keharuan. Kata-kata pemuda itu, apalagi yang terakhir, menimbulkan
kesan mendalam di hati Sheila dan wajah itu nampak demikian simpatik,
demikian mengagumkan sehingga terasa ada kedamaian dan keamanan yang
menenangkan di hatinya. "Baiklah, aku tidak tahu harus kemana. Aku tidak punya siapa-siapa lagi."
"Mari, nona," kata Seng Bu yang melihat bayangan banyak orang datang
dari sebelah selatan. Dia menggandeng tangan Sheila, tidak lagi memegang
pergelangan lengannya dan menarik gadis itu, diajaknya lari ke barat.
Akan tetapi, baru kurang lebih satu mil mereka berjalan, tiba-tiba Sheila
terpekik dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Di depan mereka
nampak serombongan orang laki-laki yang jumlahnya duapuluh orang lebih,
semua memegang senjata dan nampak mereka itu menyeramkan sekali,
dengan senjata di tangan, dengan pakaian kusut, mata beringas, dan sikap
membayangkan kekerasan. Dan bukan hanya Sheila yang terkejut, akan tetapi
Seng Bu juga kaget sekali. Dia mengenal mereka itu sebagai golongan anti kulit
putih! Celaka, pikirnya, tak mungkin menyembunyikan kenyataan bahwa gadis
yang berjalan di sampingnya adalah seorang gadis kulit putih, dan tentu
mereka takkan tinggal diam!
"Maaf, terpaksa aku memperlakukanmu sebagai tawananku!"
Seng Bu berbisik dan kini dia sudah menyambak rambut kuning emas yang
panjang itu dan menyeretnya.
"Auuwww...!" Sheila menjerit kaget dan ketakutan, tidak mengerti mengapa kini
penolongnya bersikap demikian terhadap dirinya.
"Iblis putih betina!" Terdengar seruan-seruan mereka.
Mereka adalah orang-orang yang membenci orang kulit putih dan
menyebut orang kulit putih itu "iblis putih". Ramailah duapuluhlima orang itu
kini mengurung Seng Bu yang menyeret rambut Sheila. Melihat pemuda ini
menyeret rambut Sheila, mereka berteriak-teriak dan tertawa-tawa.
"Hei, kawan!" teriak pemimpin mereka, seorang laki-laki yang berusia
limapuluh tahunlebih, berperut gendut dan memegang sebatang ruyung besar.
"Dari mana kau memperoleh iblis putih betina ini dan kenapa tidak
langsung saja dibunuh?"
Seng Bu tersenyum. "Aku telah membunuh seluruh keluarganya, dan dia kubawa untuk kusiksa
di depan makam ayahku yang tewas karena madat. Baru akan kubunuh dia di
depan makam ayah agar disiram dengan darahnya!"
Mendengar ucapan Seng Bu, terdengar suara ketawa dan orang-orang itu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memuji Seng Bu. "Bagus, memang iblis-iblis putih patut disembelih semua diatas makam
korban madat. Selamat, kawan, semoga kebaktianmu itu diterima oleh arwah
orang tuamu," kata si gendut yang lalu memberi isyarat kepada kawankawannya untuk melanjutkan perjalanan.
"Hayo cepat!" Seng Bu menghardik Sheila dan mendorongnya sehingga gadis itu
terhuyung dan jatuh bangun, ditertawai oleh rombongan orang itu. Akan tetapi
tiba-tiba seorang di antara rombongan itu berseru.
"Haiii! Ia adalah puteri Opsir Hellway!"
Seng Bu tidak memperdulikan seruan itu karena dia sendiripun tidak tahu
siapa adanya gadis ini, akan tetapi tiba-tiba si gendut berteriak keras.
"Hai, kawan. Berhenti dulu!"
Dengan sikap tenang, sambil memegang lengan Sheila, Seng Bu berhenti
dan membalikkan tubuhnya. Si gendut itu dengan langkah lebar
menghampirinya, diikuti seorang laki-laki bermata juling.
"Benarkah katamu, A-kong?" tanya si gendut kepada si mata juling.
Si mata juling mendekat dan sepasang matanya yang juling meneliti Sheila.
Gadis inipun merasa seperti pernah melihat laki-laki bermata juling ini.
"Tidak salah lagi! Ketika aku mengunjungi keponakanku yang bekerja
sebagai pelayan di rumahnya, aku pernah melihat gadis ini!" kata si juling, dan
sekarang Sheila teringat bahwa memang si juling ini pernah mengunjungi
seorang di antara para pelayannya yang oleh pelayan itu diperkenalkan
sebagai seorang pamannya dari dusun.
Si gendut kini menghadapi Seng Bu.
"Kawan, gadis ini adalah puteri Opsir Hellway."
"Kalau begitu, mengapa" Aku tidak tahu siapa, akan tetapi siapapun gadis
ini, ia harus menjadi korban di makam ayahku!" kata Seng Bu dengan sikap
tenang. "Tidak, kawan. Ia puteri opsir, merupakan tangkapan penting. Ia harus
kami bawa sebagai tawanan penting. Pemimpin kami akan girang sekali
mendapatkan tawanan opsir itu. Opsir itu di samping Kapten Elliot merupakan
musuh-musuh besar, dan puterinya tentu merupakan tawanan penting sekali!"
"Tidak bisa. Akulah yang menangkapnya dan ia adalah tawananku!" kata
Seng Bu. Si gendut mengerutkan alisnya.
"Kawan, kami adalah para pejuang, dan dalam perjuangan, urusan pribadi
harus dikesampingkan. Berikan gadis ini kepada kami dan jasamu akan kami
catat, kami laporkan kepada atasan kami!"
"Aku tidak perduli. Gadis ini menjadi tawananku dan siapapun tidak boleh
merampasnya!" "Kau mau menjadi pengkhianat?" Bentak si gendut.
"Aku bukan anak buahmu, aku tidak mengkhianati siapa-siapa."
"Tidak perlu banyak cakap, rampas saja gadis itu!" terdengar teriakanteriakan.
Seng Bu maklum akan gawatnya keadaan, maka cepat ia menotok jalan
darah di pundak Sheila yang membuat gadis itu seketika menjadi lemas dan
tidak mampu bergerak, kemudian dengan tangan kirinya, Seng Bu memondong
tubuh yang lemas itu di atas pundak kirinya. Sejenak jari-jarinya menyentuh
kulit daging yang lunak dan halus, akan tetapi semua perasaan aneh ini
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ditekannya dan diapun meloncat ke depan.
Orang-orang itu berteriak-teriak dan beberapa orang sudah menghadang.
Akan tetapi Seng Bu menerjang mereka dan empat orang terpelanting ke kanan
kiri ketika kaki tangannya bergerak.
Seng Bu hanya menggerakkan golok untuk menangkis senjata-senjata yang
diarahkan kepadanya, terutama sekali untuk menjaga agar tubuh yang
dipondongnya tidak sampai terkena bacokan atau tusukan. Begitu goloknya
menangkis sambil mengerahkan tenaganya, dia membuat beberapa buah
senjata lawan beterbangan. Tentu saja orang-orang itu merasa terkejut bukan
main. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu demikian lihainya. Hal ini
menimbulkan kecurigaan mereka, dan mereka lalu mengepung. Si gendut yang
memegang ruyung besar itu lalu menubruk, menggerakkan ruyungnya
menghantam ke arah tubuh Sheila yang dipanggul di atas pundak kiri Seng Bu.
"Wuuuutttt... tranggg!!"
Golok Seng Bu menangkis dan si gendut hampir terpelanting. Dia
mengeluarkan seruan kaget. Si gendut yang memimpin kelompok orang itu
terkenal dengan julukan Gajah Sakti. Dari julukannya ini saja dapat diduga
bahwa dia tentu memiliki tenaga yang kuat seperti gajah. Oleh karena itu,
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ruyungnya yang besar dan berat
itu tadi ditangkis oleh Seng Bu, tubuhnya terpelanting dan hampir saja
terlempar! Sampai beberapa lamanya Seng Bu berlari kencang. Baru setelah dia
merasa yakin bahwa tidak ada orang yang mengejarnya lagi, dia berhenti dan
dengan hati-hati dia menurunkan tubuh Sheila sambil membebaskan
totokannya. Kembali jari-jari tangannya menyentuh kulit daging yang lunak
halus dan hangat ketika dia menurunkan tubuh itu, dan hidungnya mencium
bau keringat wanita bercampur dengan minyak harum yang keluar dari tubuh
dan rambut Sheila. Jantungnya berdebar kencang, akan tetapi Seng Bu dapat
menekan batinnya sehingga jantungnya berdenyut normal kembali.
Kini Sheila berdiri memandang dengan bengong dan sepasang matanya
menatap wajah Seng Bu penuh selidik. Ia sedang menimbang-nimbang,
sedang menduga-duga, dengan siapa ia berhadapan, orang macam apa adanya
pemuda ini, dan baik ataukah buruk niat yang terkandung di hati dalam dada
yang bidang itu. Dan diapun kagum bukan main karena kini ia merasa yakin
bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar ahli silat seperti yang pernah
dibacanya dan didengarnya dari dongeng para pelayannya.
"Kau... kembali telah menolong dan menyelamatkan aku dari tangan
gerombolan itu." "Karena itulah kukatakan tadi bahwa engkau harus cepat pergi. Terlalu
berbahaya di daerah ini dan banyak sekali rombongan seperti mereka itu."
"Siapakah gerombolan itu?"
"Mereka bukan gerombolan jahat, sama sekali bukan seperti tiga orang
bajingan yang menangkapmu pertama kali itu. Tidak, mereka tadi adalah
sepasukan patriot, orang-orang gagah yang memusuhi orang kulit putih."
Baru dia teringat bahwa yang diajak bicara adalah seorang gadis kulit
putih. "Maaf, aku tidak dapat menyalakan mereka..."
Dan dengan berani Seng Bu menentang pandang mata itu. Sheila menarik
napas panjang, lalu berkata lirih.
"Tidak, akupun tidak dapat menyalakan mereka!"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Ucapan ini mengejutkan dan mengherankan hati Seng Bu, dan dialah yang
kini memandang wajah gadis itu penuh selidik.
"Apa" Benarkah itu" Mereka memusuhi bangsamu, bahkan membunuh
bangsamu, juga orang tuamu terbunuh oleh mereka dan kau tidak menyalahkan
mereka" Apa maksudmu?"
Kembali Sheila menarik napas panjang.
"Bangsaku bersalah, aku sudah sejak lama tidak setuju dengan
perdagangan candu mereka. Benda itu berbahaya, meracuni rakyat. Aku
melihat akibat-akibat mengerikan dari madat itu. Jadi kalau sekarang
bangsamu marah dan memusuhi bangsaku, bagaimana aku dapat menyalakan
mereka" Andaikata aku menjadi mereka, akupun akan berbuat demikian!"
Seng Bu terbelalak, matanya memandang kagum.
"Dan engkau... engkau tentu seorang pendekar yang pandai ilmu silat."
Seng Bu semakin heran. "Eh, bagaimana engkau bisa tahu tentang pendekar silat?"
"Aku banyak membaca tentang pendekar dan banyak mendengar dari para
pelayanku...." Seng Bu mengangguk-angguk.
"Kiranya nona seorang terpelajar. Ah, baru teringat aku bahwa nona,
biarpun seorang asing kulit putih, akan tetapi pandai sekali berbahasa daerah
dan kata-katamu sopan halus seperti orang terpelajar."
"Sejak berusia empat tahun, aku tinggal di sini, tentu saja aku pandai
bahasa sini. Benarkah engkau menolongku dengan maksud baik, ingin
menyelamatkan aku" Tidak akan kaubawa untuk..."
Wajah gadis itu memandang jijik.
"Untuk apa, Nona?"
"Untuk kaubunuh di makam ayahmu agar darahku membasahi makam
ayahmu...?" Ia bergidik ngeri.
Seng Bu menggeleng kepala.
"Tidak, tadi hanya kupakai agar mereka mau membiarkan aku
membawamu pergi. Siapa kira ada yang mengenalmu. Jadi kau anak opsir?"
Sheila mengangguk. "Ayah dan ibu telah tewas..." dan tiba-tiba ia menangis lagi, menangis
terisak-isak karena teringat akan mayat ayah ibunya yang menggeletak di
dekat kereta. "Sudahlah, nona. Mereka sudah tewas, ditangisi sampai bagaimanapun
tidak ada gunanya. Yang sudah mati tidak perlu dipikirkan lagi, yang penting
memikirkan yang masih hidup dan engkau masih hidup, nona."
Seng Bu bukan orang yang pandai mengatur kata-kata, maka ucapan yang
keluar dari lubuk hatinya ini walaupun mempunyai maksud yang amat baik,
namun tidak dimengerti oleh Sheila dan gadis itu menjadi makin mengguguk
karena seolah-olah diingatkan oleh pemuda itu, bahwa hanya ialah seorang
yang masih hidup seorang diri saja di dunia yang penuh bahaya ini, di sebuah
negeri asing yang kejam terhadap dirinya.
Melihat seorang gadis menangis demikian sedihnya, hal yang baru pertama
kali ini dialami oleh Seng Bu, hati pemuda ini diliputi keharuan dan rasa kasihan
yang mendalam dan suara tangis itu demikian memilukan hatinya sehingga
tanpa disadarinya lagi kedua matanya menjadi basah!
"Aku... aku memang masih hidup... akan tetapi apa artinya" Aku... aku tidak
punya siapa-siapa lagi, aku hidup sebatangkara di sini..." kata Sheila di antara
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tangisnya. "Dan"mereka mati karena... madat...?"
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suaranya mengandung penuh kekhawatiran, dan teringatlah ia akan katakata ancaman yang dipergunakan oleh pemuda itu kepada gerombolan yang
tadi hendak menawannya. Seng Bu menggeleng kepala.
"Sama sekali tidak. Mereka tewas... karena kekacauan yang timbul oleh
pemberontakan. Aku melihat... mereka terbunuh tanpa dapat berbuat apa
apa..." Seng Bu menghentikan kata-katanya dan kesedihan memenuhi hatinya
karena percakapan itu mengingatkan dia akan keadaan dirinya sendiri, akan
kematian ayah bundanya dan akan semua kesengsaraan yang pernah
dialaminya, dan baru sekali ini dia bicarakan dengan orang lain. Tanpa terasa
olehnya, kedua matanya menjadi basah, bahkan ada dua butir air mata
mengalir turun di atas pipinya.
Melihat betapa pemuda yang demikian gagah perkasa itu menitikkan air
mata, Sheila menjadi terharu sekali. Gadis ini kini tidak merasa begitu berduka
lagi, melainkan terharu dan kasihan kepada Seng Bu. Kini air mata yang jatuh
menitik dari kedua matanya berbeda lagi dengan air matanya yang tadi, seperti
juga air mata yang jatuh dari mata Seng Bu berbeda dengan air mata yang
membasahi kedua matanya sebelum dia terkenang akan keadaan dirinya
sendiri. Tangis merupakan suatu peristiwa amat penting dari kehidupan, bahkan
air mata tidak terpisahkan dari kehidupan seorang manusia. Kebohongan
besarlah kalau seorang mengatakan bahwa dia tidak pernah menangis!
Setidaknya, tentu dia pernah menangis dalam hatinya. Dan tentu dia banyak
menangis pula di waktu masih kecil, setiap hari menangis entah berapa kali.
Bahkan menurut penyelidikan para cendekiawan, tangis merupakan suatu
keharusan bagi manusia karena tangis merupakan obat yang amat mujarab,
merupakan suatu pelepasan segala ganjalan, pelampiasan segala kekecewaan
dan kemarahan. Tanpa tangis, mungkin usia manusia menjadi lebih pendek
dari pada kepanjangan usia pada umumnya seperti sekarang ini.
Tangis bukan hanya menjadi tanda kedukaan hatinya, bahkan
kegembiraan yang besar, manusia menitikkan air mata seperti orang menangis.
Kegembiraan besar mendatangkan keharuan yang membuat orang menangis
pula. Agaknya hanya dalam suara tangis sajalah, terdapat suatu kesungguhan,
suatu kewajaran, walaupun tentu saja ada tangis yang dibuat-buat. Betapapun
juga, tangis tidaklah sepalsu tawa.
Suara pertama dari manusia adalah tangis. Begitu terlahir, manusia dari
bangsa apapun juga, mengeluarkan suara pertama itu, ialah menangis. Dan
suara ini adalah suara kemanusiaan, suara suci karena dikeluarkan dari mulut
manusia sebagai gerakan pertama kali, keluar tanpa dikehendaki, suara yang
sama sekali tidak mengandung emosi, atau pamrih. Karena itu, suara yang
wajar ini dikenal oleh seluruh manusia di dunia tanpa membedakan bangsa dan
bahasa, menjadi satu-satunya suara yang amat dekat dengan manusia
berbangsa apapun juga. Dari suara tangis, kita tidak akan mampu
membedakan apakah tangis itu keluar dari mulut seorang berbangsa ini atau
itu. Kelahiran manusia diiringi tangis, tangisnya sendiri. Kematiannyapun
diiringi tangis, tangis mereka yang ditinggalkan. Kehidupan itu sendiri, antara
lahir dan mati, penuh dengan selingan tangis!
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Sesungguhnya, tangis merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari hidup,
dan tangis merupakan pertanda dari keadaan batin yang macam-macam pula.
Tangis duka didasari oleh rasa iba diri, seperti yang dilakukan oleh Sheila dan
Seng Bu ketika keduanya teringat akan keadaan diri mereka masing-masing.
Ada pula tangis haru yang didasari oleh rasa iba terhadap orang lain. Ada
tangis karena kegembiraan yang besar. Tangis karena kemarahan. Tangis
merupakan pencerminan keadaan batin yang diusik emosi.
Demikian dekatnya tangis dengan kehidupan kita sehingga tangis inipun
mudah sekali menular. Berada di antara banyak orang yang sedang menangis,
sukarlah bagi kita menahan diri agar tidak ikut menitikkan air mata.
Gan Seng Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, yang sejak kecil
sudah digembleng oleh keadaan yang pahit, oleh kesukaran, kemudian
digembleng ilmu oleh seorang datuk sesat yang sakti. Semenjak menjadi murid
Thian-tok, dia tidak lagi pernah menangis, seolah-olah hatinya telah membeku.
Hanya karena memang pada dasarnya dia tidak suka akan kejahatan, dan
memiliki watak gagah perkasa, maka dia tidak terseret oleh watak gurunya
yang aneh, jahat dan amat kejam itu.
Akan tetapi, begitu bertemu dengan Sheila, terjadilah perobahan yang
besar dan luar biasa, yang membuat Seng Bu sendiri menjadi bingung dan
terkejut. Dalam waktu sehari, bahkan baru beberapa jam saja, setelah bertemu
dengan Sheila, dia beberapa kali mengalami guncangan batin, jantungnya
berdebar penuh ketegangan, penuh kekhawatiran, dan lebih hebat lagi, kini dia
sampai dua kali menitikan air mata dalam keadaan yang berbeda!
Pertama, keharuan dan iba terhadap diri gadis itu membuat dia tidak dapat
menahan air matanya, dan kini, setelah teringat akan keadaan diri sendiri, dia
menitikkan air mata karena iba diri dan duka. Kedukaan, saling iba, dan
persamaan nasib itu mendekatkan dua hati yang bertemu dalam keadaan yang
demikian mengharukan dan menyedihkan. Mereka duduk di atas rumput, kini
tidak bicara, hanya sinar mata mereka saling pandang dengan penuh getaran
perasaan. "Engkau sungguh patut dikasihani, nona."
Akhirnya Seng Bu berkata untuk menghibur hati sendiri. Memang tidak ada
cara yang paling mujarab untuk mengobati kesedihan diri sendiri dari pada
mengalihkan perhatian kepada nasib lain orang, sehingga iba diri berobah
menjadi iba kepada orang lain.
"Engkaulah yang patut dikasihani," jawab Sheila.
Mereka saling merasa kasihan, dan mereka sama sekali tidak sadar bahwa
rasa iba ini merupakan jembatan yang dekat sekali untuk menyeberang kepada
cinta asmara. "Tidak, nona. Aku adalah orang dari negeri ini, dan aku langsung terlibat,
bahkan aku juga ikut aktip dalam pergolakan sehingga sudah sepantasnya
kalau aku menjadi korban gelombang ini. Akan tetapi engkau, engkau seorang
asing dan engkau sama sekali tidak tahu menahu tentang semua ini menjadi
korban.. dan engkau"."
"Tidak! Pandanganmu itu keliru, sahabat yang gagah. Setiap orang tentu
menjadi sebab dari pada akibat yang menimpa dirinya sendiri. Ayah bertugas
di sini, dan ayah ikut pula mendorong kereta kejahatan yang berupa
penyelundupan madat ke negeri ini. Itulah sebab terjadinya musibah hari ini.
Dan apabila ada angin ribut melanda, angin tidak memilih pohon apa saja tentu
akan dilandanya, daun apa saja, bunga apa saja mungkin rontok oleh amukan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan angin dan badai. Biar aku tinggal di negeriku sendiri, kalau disana terjadi badai
seperti di sini, kalau terjadi pergolakan, mungkin saja aku tertimpa dan menjadi
korban. Dalam hal ini, aku tidak menyalahkan siapa-siapa, melainkan
kesalahan pihakku sendiri, orang tuaku dan bangsaku."
Seng Bu tertegun. Demikian mendalam arti kata-kata gadis itu, demikian
bijaksana sehingga sukar ditangkapnya secara jelas, namun samar-samar dia
dapat mengerti. Memang gadis itu seorang yang bijaksana, luas
pengetahuannya biarpun usianya masih muda, karena ia banyak membaca.
Bacaan, kalau dilakukan dengan tekun, kalau dilakukan dengan pencurahan
perhatian, merupakan sumber pengetahuan dan pengertian dan memupuk
kebijaksanaan. Seorang bijaksana akan melihat bahwa segala akibat itu tentu
bersebab, dan kalau diteliti, maka segala akibat yang menimpa diri sendiri
sudah pasti sebabnya bersumber pada diri sendiri pula.
Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk mencari kesalahan di luar diri sendiri,
untuk mencari kambing hitam atau keranjang sampah. Hal ini sama sekali tidak
ada manfaatnya, bahkan mengeruhkan pikiran, menimbulkan dendam dan
permusuhan, kebencian kepada yang berada di luar diri. Mengapa kita tidak
pernah mau menjenguk ke dalam diri sendiri untuk mencari sebab dari pada
setiap akibat yang timbul dan yang menimpa diri kita sendiri" Bukankah hal ini
timbul karena kita sudah membuat dan menciptakan sebuah gambaran
tentang diri kita sendiri, sebuah gambaran yang menjadi raja "aku?" Aku yang
paling baik, paling benar, dan paling patut dikasihani, menjadikan kita menjadi
rendah diri atau tinggi hati, satu di antara dua. Keakuan yang membuat kita
enggan untuk mencari kesalahan pada diri sendiri.
Kalau kita tertipu seseorang, kita condong untuk mencurahkan semua
perhatian kepada si penipu, menyalahkannya, menuntutnya, membencinya,
mendendam dan mencari jalan untuk membalasnya berikut bunganya.
Mengapa kita tidak menghentikan pencurahan keluar itu dan mencari
sebabnya dalam diri sendiri" Kalau kita melakukan hal itu, maka akan
nampaklah oleh kita sebabnya yang terutama adalah pada diri kita, yaitu
karena kita lengah, karena kita bodoh, karena kita lemah, maka kita sampai
tertipu. Pengamatan terhadap diri sendiri ini jauh lebih besar manfaatnya, dapat
membuat kita sadar dan menganggap peristiwa itu sebagai suatu pengalaman
berharga, sebagai pelajaran sehingga selanjutnya kita akan berhati-hati, akan
waspada sehingga tidak sampai tertipu lagi. Pandangan keluar, sebaliknya,
mendatangkan emosi, dendam dan kebencian, dan tidak akan menambah
kewaspadaan kita sehingga kelak mungkin saja hal yang sama terulang lagi
karena kelengahan kita sendiri.
Dalam menghadapi setiap peristiwa yang menimpa kita, demikian kata
orang bijaksana, kita tidak menyalahkan Tuhan, tidak mengutuk Setan,
melainkan mencari sebab-musababnya dalam diri kita sendiri!
"Nona, engkau tabah menghadapi semua penderitaan, membuat aku
kagum sekali," akhirnya Seng Bu menyatakan kekaguman hatinya.
"Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan denganmu, sobat. Engkau gagah
perkasa, engkau berbudi mulia, biarpun aku seorang asing sama sekali bagimu,
bahkan dari bangsa asing yang telah banyak menimbulkan kesengsaraan
kepada bangsamu, engkau masih mau menolongku, bahkan melindungiku
dengan taruhan nyawa. Bolehkah aku mengenal namamu?"
"Namaku Gan Seng Bu, hidup sebatangkara saja di dunia ini."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Gan Seng Bu" Nama yang gagah."
"Dan engkau siapakah, nona?"
"Namaku Sheila."
"Sheila..." Sheila...?"
Seng Bu tidak memberi komentar, akan tetapi beberapa kali bibirnya
bergerak menyebut nama Sheila dengan lembut dan tidak kaku. Diam-diam
Sheila merasa girang bahwa namanya Sheila, sebuah nama yang tidak akan
sukar terucapkan oleh mulut pribumi yang sukar menyebut huruf "r". Coba
namanya Margaret atau lain nama yang menggunakan huruf itu, tentu akan
sukar bagi Seng Bu untuk menyebutnya. Tidak, nama Sheila tidak sukar bagi
lidah Seng Bu. "Biarlah aku menyebutmu Seng Bu saja dan engkau menyebutku Sheila
tanpa nona, bagaimana?"
Ketika Seng Bu mengangguk tersenyum, Sheila juga tersenyum dan pada
saat itu keduanya sudah lupa sama sekali akan keharuan dan kesedihan
mereka tadi. Memang, suka atau duka hanyalah permainan pikiran belaka yang
menimbulkan emosi, kalau pikiran tidak lagi tertuju kepada hal itu, tentu tidak
ada pula duka atau Suka !
"Seng Bu, setelah engkau mengajakku sampai ke tempat ini, lalu
selanjutnya bagaimanakah" Aku seharusnya pergi ke kapal dan
menyelamatkan diri dengan orang-orang kulit putih lainnya. Akan tetapi jalan
ke sana sudah terputus dan aku berada di sini. Bagaimana selanjutnya" Engkau
tidak akan meninggalkan aku begini saja di sini, bukan?"
"Aih, tentu saja tidak, Sheila. Aku tidak akan berbuat kepalang tanggung.
Aku sudah berani mengajakmu ke sini, aku harus dapat mempertanggung
jawabkan dan selanjutnya aku akan melindungimu sampai... sampai engkau
selamat benar." Makin yakinlah hati Sheila akan kegagahan Seng Bu, akan kesungguhan
hatinya melindunginya dan hatinya mulai pasrah. Ia akan merasa aman kalau
selalu berada di dekat pemuda ini, dalam keadaan bagaimanapun juga.
"Terima kasih, Seng Bu. Akan tetapi, kemana selanjutnya kita akan pergi?"
Ia menatap wajah yang gagah itu.
"Apakah engkau mempunyai rumah?"
Seng Bu tersenyum dan semua bayangan kekerasan meninggalkan garisgaris wajahnya ketika dia tersenyum. Dia menggeleng kepalanya, dan Sheila
melihat kuncir rambut yang hitam gemuk dan panjang itu bergoyang di depan
dada pemuda itu. Rambut yang hitam mengkilap, gemuk panjang, bagus sekali.
"Aku adalah seorang yang hidup sebatangkara, tidak memiliki apa-apa,
Sheila. Juga tidak mempunyai rumah. Akan tetapi untuk sementara ini, aku
tinggal bersama kawan-kawan lain di dalam sebuah hutan dimana dibangun
pondok darurat besar dimana kami tinggal bersama."
"Kawan-kawan?" "Ya, kawan-kawan seperjuangan, orang-orang gagah yang mempunyai
cita-cita yang serupa, yaitu mengenyahkan penjajah asing dari tanah air."
"Ah, sekarang aku tahu!" Sheila berkata dengan sikap gembira.
"Aku sudah pernah baca dan mendengar tentang pendekar-pendekar
patriot yang bercita-cita membebaskan tanah air dari cengkeraman pemerintah
Mancu. Ada perkumpulan Tombak Merah, Pintu Besar, Thian-te-pang. Yang
manakah perkumpulanmu?"
Seng Bu menggeleng kepalanya.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Aku bebas, tidak terikat perkumpulan yang manapun, Sheila. Akan tetapi
ada kukenal mereka itu karena kami setujuan, dan yang kini berkumpul dan
bersembunyi di dalam hutan itu, sebagian besar memang anggauta-anggauta
Thian-te-pang, sebagian pula adalah pejuang-pejuang sukarela seperti aku,
termasuk suhengku yang menjadi tokoh Thian-tepai yang terkenal pula."
Sheila lalu diajak melanjutkan perjalanan oleh Seng Bu, memasuki sebuah
hutan besar, dan di tengah-tengah hutan itu, Sheila dan Seng Bu disambut oleh
puluhan orang. Mereka semua terheran-heran melihat munculnya Seng Bu
bersama seorang gadis kulit putih yang cantik jelita. Mereka itu semua adalah
orang-orang yang sejak kecil dididik memusuhi penjajah Mancu, dan
merupakan pejuang-pejuang yang ingin meruntuhkan kekuasaan Mancu, tidak
mempunyai rasa permusuhan terhadap bangsa kulit putih walaupun hal ini
bukan berarti bahwa mereka menyukai orang kulit putih. Tidak, kebanyakan
dari mereka tidak suka kepada orang kulit putih, terutama sekali dengan
adanya penyebaran madat. Namun, mereka tidak memusuhi bangsa asing ini
secara terbuka. Oleh karena itu, biarpun Sheila disambut dengan penuh
keheranan, namun tidak ada yang memusuhi atau ingin mengganggunya.
Seng Bu lalu memperkenalkan Sheila sebagai seorang gadis yang
kehilangan semua keluarganya yang tewas oleh mereka yang antibangsa kulit
putih dan bahwa dia telah menyelamatkan gadis itu dari gangguan penjahatpenjahat yang hendak memperkosanya. Mendengar ini, orang-orang yang
kebanyakan berjiwa pendekar itu ikut merasa simpati dan mereka menyambut
kedatangan Sheila dengan sikap ramah, apalagi setelah mendengar dari mulut
Sheila sendiri betapa gadis asing yang pandai bicara daerah ini mengagumi
perjuangan mereka. Sheila pandai bicara daerah, dan sikapnya juga ramah, wajahnya manis
menarik, maka sebentar saja semua orang merasa suka dan kasihan
kepadanya. Di dalam rombongan besar ini terdapat pula wanita-wanita, ada
wanita yang menjadi anggauta keluarga para pejuang itu, ada pula wanita
gagah yang memang menjadi anggauta pasukan. Mereka yang tidak suka akan
kekerasan bekerja sebagai pelayan dapur umum. Karena adanya para wanita
yang menerima Sheila sebagai seorang sahabat, maka gadis inipun merasa
senang dan tidak terasing hidup di antara para pejuang itu.
Dan lucunya, para wanita di dalam rombongan itu, dan juga sebagian besar
di antara mereka, diam-diam menganggap bahwa Sheila adalah pacar atau
calon isteri Gan Seng Bu! Semua orang menganggap hal ini sebagai suatu yang
lumrah, bahkan ketika mendengar desas-desus ini, baik Seng Bu maupun Sheila
hanya senyum-senyum saja. Hanya ada satu orang yang menerima berita ini
dengan alis berkerut, dengan hati yang tidak suka dan orang ini bukan lain
adalah Ong Siu Coan! Mula-mula Ong Siu Coan juga bukan merupakan anggauta Thiante-pang.
Akan tetapi sejak kecil dia memang bercita-cita untuk menentang pemerintah
Mancu dan berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air. Maka, begitu
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertemu dengan perkumpulan seperti Thian-te-pang yang terdiri dari orangorang yang memiliki cita-cita demikian pula, hatinya segera tertarik dan diapun
menggabungkan diri. Dan Siu Coan merupakan seorang pejuang yang gagah
perkasa, berilmu tinggi, sehingga sebentar saja namanya terkenal sekali di
antara orang-orang Thian-te-pang, bahkan dia dianggap sebagai seorang tokoh
Thian-te-pang walaupun dia tidak menjadi anggauta secara syah.
Dalam perkelahian dan penyerbuan terhadap pasukan pemerintah, Siu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Coan selalu berada di depan dan dicontoh oleh lain-lainnya, bahkan menjadi
pemimpin mereka. Ketika berjumpa dengan sutenya dalam keributan di sekitar
Kanton, Siu Coan membujuk sutenya untuk bergabung. Seng Bu tidak memiliki
cita-cita seperti suhengnya, namun dia berjiwa pendekar dan melihat bahwa
Thian-te-pang terdiri dari orang-orang gagah yang juga membela kaum lemah,
diapun tidak berkeberatan untuk menggabungkan diri.
Ketika melihat sutenya pulang ke hutan bersama seorang gadis kulit putih
yang cantik, mula-mula Siu Coan hanya tersenyum saja dan menyambut
dengan sikap biasa saja. Akan tetapi, aneh sekali, begitu mendengar bahwa
gadis itu adalah pacar dan calon isteri Seng Bu, mulailah timbul perasaan tidak
enak di dalam hatinya. Dia sendiri tidak tahu bahwa itu adalah permulaan
perasaan iri! Mulailah dia memperhatikan Sheila dan makin diperhatikan,
makin kagum dia, karena baru sekarang dia melihat bahwa Sheila adalah
seorang gadis yang cantik sekali, dan memiliki bentuk tubuh yang amat
menggairahkan! Perlu diketahui bahwa Thian-tok yang menjadi guru dua orang pemuda itu
adalah seorang datuk sesat yang berhati kejam sekali. Juga Thian-tok, seperti
kebanyakan datuk sesat lalinnya, mempunyai watak mata keranjang dan suka
menggoda wanita. Memang, setelah usianya tua sekali, yaitu setelah menjadi
guru kedua orang muda itu, kegilaannya akan wanita tidaklah seperti dahulu
di waktu muda. Dahulu Thian-tok terkenal sebagai pengganggu wanita, tidak
perduli wanita itu isteri orang yang sudah mempunyai anak, ataukah gadis
yang masih remaja, asal dia tertarik tentu akan diculiknya begitu saja. Ketika
dia menjadi guru Siu Coan dan Seng Bu, hanya beberapa kali saja dia menculik
wanita dan hal inipun diketahui oleh dua orang muridnya.
Diam-diam Seng Bu hanya merasa tidak senang, akan tetapi tidak berani
menentang gurunya. Sebaliknya, Siu Coan diam-diam merasa senang dan
bahkan mencoba untuk mengintai apa yang diperbuat oleh suhunya. Dan
secara diam-diam pula, di luar tahu sutenya, beberapa kali Siu Coan juga
mengikuti jejak gurunya, mengganggu wanita dengan paksa atau dengan
halus. Demikianlah, terdapat suatu watak buruk tersembunyi di balik lubuk hati
Siu Coan yang kelihatannya bersikap sebagai seorang pejuang, seorang patriot
dan pendekar yang gagah perkasa itu. Dan melihat Sheila, timbul pula
gairahnya yang didorong oleh perasaan iri dan cemburu terhadap sutenya,
apalagi melihat betapa Sheila selalu bersikap manis dan mesra terhadap Seng
Bu. Mulailah dia mendekati gadis kulit putih itu, mula-mula hal ini dilakukan
ketika Seng Bu sedang tidak ada, dan secara wajar seperti seorang sahabat.
Dibandingkan dengan Seng Bu, Siu Coan lebih pandai bicara, pandai
membawa diri dan menyesuaikan diri dengan keadaan sekelilingnya. Juga dia
lebih pandai dalam hal kesusasteraan, lebih luas pengetahuan umumnya, dan
tentu saja jauh lebih pandai dibandingkan dengan Seng Bu mengenai tulisan
dan bacaan, karena di waktu kecilnya Siu Coan pernah bersekolah, tidak seperti
Seng Bu yang hanya anak keluarga pemburu yang kasar. Oleh karena itu,
setelah Siu Coan melakukan pendekatan, tidak mengherankan kalau Sheila
cepat tertarik sekali dan nampak bergaul akrab dengan Siu Coan.
Sheila kini menjadi semakin kagum saja setelah hidup di tengah-tengah
para pendekar dan pejuang itu. Ia mengagumi kejujuran mereka, kegagahan
mereka, dan betapa orang-orang ini hanya untuk menunjang sebuah cita-cita
membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah, rela hidup demikian
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bersahaja, kehilangan keluarga, bahkan mempertaruhkan nyawa demi cita-cita
mereka. Ia merasa kagum sekali.
Ketika Siu Coan mendekati, tentu saja ia sambut dengan ramah. Siu Coan
adalah suheng dari Seng Bu, dan ternyata bahwa suheng dari sahabat baiknya
ini adalah seorang yang demikian pandainya, tidak saja pandai ilmu silatnya,
akan tetapi juga luas pengetahuannya dan enak diajak bicara. Bahkan tidak
seperti Seng Bu yang agak pendiam dibandingkan dengan sang suheng ini.
Bukan hanya jasmani Sheila yang menarik perhatian Siu Coan. Ada suatu
hal lain lagi yang amat menarik hatinya ketika dia mulai mendekati Sheila
seringkali bercakap-cakap dengan gadis itu. Hal yang amat menarik hatinya ini
adalah tentang Agama Kristen! Di dalam percakapan itu, mereka berdua
menyinggung soal agama dan Sheila lalu bercerita tentang agamanya. Dan
sungguh aneh sekali, Siu Coan tertarik bukan main. Mula-mula memang
menjadi taktiknya saja untuk mendekati gadis itu, membicarakan soal agama
gadis itu. Akan tetapi, makin lama dia semakin tertarik dan banyak bertanya
tentang pelajaran dalam agama itu.
Dengan senang hati, Sheila menceritakan segalanya, bahkan gadis itu lalu
memberi tahu kepada Siu Coan tentang Alkitab yang sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa daerah! Dan karena Siu Coan mendesak untuk dapat membaca
kitab itu, Sheila memberi tahu bahwa ada beberapa orang di Kanton yang
memiliki kitab terjemahan itu, yaitu mereka yang sudah masuk Agama Kristen.
Semenjak waktu itu, mulailah Siu Coan tertarik kepada Agama Kristen dan
diam-diam dia melakukan banyak hubungan dengan pemuka-pemuka Kristen
di Kanton, yaitu bangsa sendiri yang sudah memeluk agama itu, dan dari
merekalah dia memperoleh kitab terjemahan.
Pada waktu itu, terjemahan Alkitab dalam Bahasa Tiongkok amatlah
buruknya. Tanpa bimbingan seorang pendeta atau seorang ahli, tidak mudah
menangkap arti terjemahan itu. Akan tetapi Siu Coan yang memiliki watak
tinggi hati dan menganggap diri sendiri paling pintar, tidak membutuhkan
bimbingan dan dia mempelajari sendiri kitab terjemahan itu. Dia sendiri yang
membuat penafsirannya dan mulailah dia menganut agama baru yang
dicampur adukkan dengan agama-agama lain yang pernah dipelajarinya.
Mulailah orang muda yang memang berwatak aneh, cerdik dan luar biasa
ini membentuk sebuah agama baru yang aneh, pencampuran dari Agama
Kristen dan agama-agama yang lebih dulu. Atau semacam Agama kristen yang
berbahu pengaruh pelajaran Agama-agama Buddha, Tao, dan Khong-hu-cu!
Masih dicampuri lagi dengan segala macam tradisi turun-temurun. Di dalam
dada pemuda ini mulai dipengaruhi dua unsur yang amat kuat. Pertama adalah
cita-cita menentang penjajah Mancu, kebencian yang mendalam terhadap
penjajah Mancu, dan kedua adalah pembentukan Agama Kristen yang tanpa
disadarinya telah menyimpang dari pada pelajaran yang sebenarnya itu.
Kebanyakan dari kita, terutama di dunia modern akhir-akhir ini, condong
untuk menilai seseorang melalui agamanya, atau kebangsaannya,
kesukuannya, kelompoknya, kedudukannya, pendidikannya, atau bahkan dari
kekayaannya! Karena penilaian seperti itu, tentu saja lalu bermunculan konflikkonflik antar agama, antar suku, antar kelompok dan sebagainya. Masingmasing pihak tentu saja menilai pihak sendiri paling baik dan paling benar,
sedangkan pihak lain yang paling salah dan paling buruk!
Padahal, seperti dapat kita lihat dari kenyataan, bukan dari teori, baik
buruknya seseorang sama sekali tidak tergantung dari agamanya,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kebudayaannya, dan sebagainya itu. Baik buruknya seseorang tergantung dari
perbuatannya dan batinnya, karena perbuatan itu mencerminkan keadaan
batin. Agama, kebangsaan, kedudukan dan sebagainya adalah pakaian yang
dikenakan pada seseorang manusia. Betapapun indah dan bersihnya pakaian
itu, kalau manusia yang memakainya kotor dan buruk, tentu saja akan tetap
kotor dan buruk, dan bukan tidak mungkin bahwa pakaian yang bersih itu akan
terbawa menjadi kotor. Agama hanyalah suatu pelajaran bagi manusia agar
hidup menurut jalur yang benar dan baik, akan tetapi tentu saja bukan
agamanya yang menentukan, melainkan manusianya sendiri karena dapat saja
dia menyeleweng dari pada jalur itu.
Sayang bahwa banyak yang tidak melihat kenyataan ini. Kita terlalu
mementingkan pakaian-pakaiannya sehingga melupakan manusia itu sendiri.
Banyak pertikaian timbul di antara manusia karena pakaian itu, karena agama,
karena suku, karena bangsa, karena kedudukan dan kekayaan, dan semua ini
bersumber kepada keakuan yang ingin senang, ingin benar sendiri.
Demikian pula yang terjadi dengan Ong Siu Coan, dia bukan orang
sembarangan. Sejarah membuktikan bahwa Ong Siu Coan (1814-1864) kelak
menjadi seorang pemimpin besar dari kelompok pejuang yang pernah
menggegerkan Tiongkok dengan gerakan yang terkenal dengan nama Taipeng! Akan tetapi sungguh patut disesalkan, bahwa manusia Ong Siu Coan
yang terbuai oleh cita-cita, terbuai oleh segala macam pelajaran yang
diciptakannya sendiri sehingga dia menjadi tersesat.
Ong Siu Coan demikian tertarik kepada Sheila dan mulai bermimpi untuk
menjadi seorang pemimpin rakyat seperti yang dicita-citakan, memimpin
rakyat bangkit menentang penjajah dengan Sheila sebagai isteri di
sampingnya, dan dia bersama Sheila akan menyebarkan agama barunya!
Terdorong oleh perasaan ini, pada suatu pagi dia mencari Sheila. Gadis itu
sedang mencuci pakaian bersama para wanita lain di anak sungai yang jernih
airnya, di lereng bukit. Dengan amat ramah Siu Coan lalu membantu gadis itu
mencuci pakaian. Tentu saja Sheila tidakmau menolak bantuan ini, akan tetapi
sambil tertawa Siu Coan berkata.
"Sheila, apakah pakaianmu terlalu kotor maka engkau malu kalau aku
membantumu mencucinya?"
Ucapan ini tentu saja membuat Sheila tidak dapat menolak lagi dan
terpaksa memberikan beberapa baju luar yang sedang dicucinya, sedangkan ia
mencuci pakaian dalamnya.
Tentu saja perbuatan Siu Coan ini memimpin suara ketawa tertahan dan
senyum simpul para wanita yang sedang mencuci pakaian. Bagi mereka,
mencuci pakaian adalah pekerjaan wanita dan kalau ada laki-laki yang ikut
mencuci pakaian, apalagi pakaian wanita yang dicucinya, maka hal itu
sungguh lucu dan juga tidak pantas! Hal ini agaknya disadari oleh Siu Coan,
dan pemuda yang cerdik ini lalu mendapatkan kesempatan untuk
mempropagandakan kepercayaan barunya.
"Kenapa kalian mentertawakan aku" Karena aku membantu cucian Sheila"
Ah, tentu kalian berpikir bahwa mencuci pakaian tidak pantas bagi pria" Itu
adalah pikiran yang kuno dan kotor yang harus dibuang. Di dalam pandangan
Tuhan, derajat pria dan wanita sama saja. Kalau wanita boleh mencuci pakaian
pria, kenapa pria tidak boleh mencuci pakaian wanita" Pria bukanlah manusia
istimewa yang harus dibedakan dan lebih tinggi derajatnya dari pada wanita.
Kalian harus mempelajari agama baruku, maka kalian akan dapat berpikiran
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan maju seperti aku, dan derajat kalian akan sama dengan pria."
Ucapan Siu Coan tentang derajat, tentang persamaan hak antara pria dan
wanita itu pada waktu itu terdengar amat janggal dan lucu, maka ramailah
orang-orang perempuan itu terkekeh mentertawakan. Akan tetapi Siu Coan
hanya tersenyum saja dan memang pemuda ini pandai sekali membawa diri
sehingga banyak wanita yang suka dan kagum kepadanya.
Setelah selesai mencuci pakaian, Siu Coan mengantarkan Sheila pulang
membawa cuciannya. Kesempatan inilah dipergunakan Siu Coan untuk
mengajaknya bicara berdua saja. Di tengah perjalanan, dia mengajak gadis itu
berhenti. "Ada apakah, Siu Coan" Engkau kelihatan ada sesuatu yang amat penting
untuk dibicarakan denganku?" tanya Sheila.
"Memang tepat dugaanmu, Sheila. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang
amat penting, sesuatu yang amat suci" dan untuk itu, semalam aku telah
menerima petunjuk sendiri dari Tuhan."
"Ahhh, benarkah?"
Sheila sendiri kadang-kadang terkejut dengan pernyataan Siu Coan. Pernah
pemuda itu menceritakan betapa semalam dia digoda setan dan setan itu
diusirnya dengan kekuatan doa. Pernah pula suatu kali dia mengatakan bahwa
semalam dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, dia bertemu dengan
Jesus! "Aku tidak membohong, Sheila. Dan petunjuk itu mengatakan bahwa kelak
aku akan menjadi raja..."
"Ehh...?" "Bukan raja seperti kaisar penjajah sekarang, melainkan raja di antara
rakyat untuk membebaskan rakyat dari penjajah, untuk menuntun rakyat ke
jalan terang, untuk mengajak dan membawa rakyat ke kaki Tuhan..."
"Hemm, itu bagus sekali, Siu Coan."
"Dan di sampingku ada engkau, Sheila. Engkaulah yang membantuku,
bahkan engkau yang memperkuat imanku, mempertebal keberanianku dan
memperteguh tekadku, menambah semangatku."
"Aku, ah" itupun baik sekali," kata Sheila yang mengira bahwa Siu Coan
tentu hanya menceritakan mimpinya saja dan apa salahnya kalau ia juga
dimasukkan ke dalam mimpi itu"
"Baik sekali, Sheila" Benarkah itu?"
Dan tiba-tiba Siu Coan memegang tangannya Sheila dengan lembut.
Barulah Sheila gelagapan. Pegangan Siu Coan demikian kuatnya sehingga
menakutkan hatinya. Juga naluri kewanitaannya merasakan hal tidak wajar.
Apalagi ketika ia menyambut pandang mata pemuda itu, melihat betapa
sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang aneh, sinar mata seorang laki-laki
yang penuh berahi! Sheila gemetar dan dengan hati-hati ia menarik tangannya
terlepas dari genggaman tangan Siu Coan, dan hatinya merasa lega karena
pemuda itu tidak menahannya.
"Tentu saja aku menganggapnya baik. Bukankah hal itu baik sekali" Dan
pula, bukankah hal itu hanya mimpi saja, Siu Coan?"
"Bukan, bukan mimpi, Sheila! Melainkan petunjuk yang kulihat nyata sekali.
Peristiwa yang akan terjadi kelak, akan tetapi yang sudah dapat kulihat dengan
jelas sekarang ini. Sheila, karena itulah pagi-pagi ini aku menemuimu, dan aku
ingin bertanya kepadamu. Maukah engkau berada di sampingku selalu"
Maukah engkau membantuku, Sheila?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Pertanyaan itu diajukan dengan suara menggigil dan mengandung getaran
aneh sehingga Sheila memandang dengan mata terbelalak. Sepasang mata
yang biru laut itu memandang penuh selidik, lalu ia bertanya.
"Apa yang kaumaksudkan, Siu Coan" Bicaralah yang jelas dan terus
terang!" Siu Coan menghela napas panjang. Dia tidak merasa heran kalau ada orang
tidak mengerti maksud hatinya, karena kadang-kadang suara hatinya
"terlampau tinggi" untuk orang lain dan harus dijelaskan.
"Baiklah, Sheila, dengan kata-kata biasa, aku hendak mengatakan bahwa
aku cinta padamu" dan bahwa aku ingin sekali engkau dapat menjadi
isteriku." Kini Sheila benar-benar terkejut. Hal itu sama sekali tak pernah
disangkanya. Memang ia suka bergaul dengan pemuda ini, suka bercakapcakap karena selain Siu Coan mempunyai sikap yang menarik dan
menyenangkan, juga pemuda ini pandai sekali. Lebih-lebih karena Siu Coan
menaruh perhatian demikian mendalamnya tentang Agama Kristen. Akan
tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Siu Coan menaruh hati
kepadanya. Bukankah sudah jelas bagi Siu Coan dan bagi semua orang bahwa
ia dan Seng Bu mempunyai pertalian hati yang mendalam" Bukankah
merupakan hal yang jelas bahwa ia dan Seng Bu saling mencinta" Dan tibatiba saja gadis itu teringat betapa ia dan Seng Bu belum pernah mengatakan
cinta itu satu sama lain, walaupun tentu saja mereka dapat saling merasakan
tentang hal itu melalui sinar mata, melalui senyum dan getaran kata-kata.
"Ah, tidak, Siu Coan! Hal itu tidak mungkin!"
Siu Coan menerima tanparan pada jantungnya ini dengan tenang, hanya
matanya saja yang mengeluarkan sinar mata aneh dan wajahnya tetap biasa,
mulutnya tetap tersenyum.
"Sheila, mengapa engkau menolak" Aku cinta padamu dan mengharapkan
engkau menjadi isteriku, kenapa engkau menolak?"
Siu Coan baru saja terjun ke dalam pemikiran yang dianggapnya bebas
seperti pikiran barat, seperti pikiran pembawa Agama Kristen itu, yaitu orangorang dari barat yang berkulit putih. Maka diapun penasaran kalau ada wanita
menolak cintanya, karena dia masih memandang wanita seperti keadaan nenek
moyangnya, lupa bahwa Sheila adalah seorang wanita barat yang sudah benarbenar bebas dalam hal memilih jodoh!
Betapapun juga, tidak enak bagi Sheila untuk mengatakan terus terang
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa ia tidak mencinta Siu Coan, maka iapun hanya menggeleng kepalanya
saja, lalu menundukkan muka karena ngeri melihat sinar mata pemuda itu
berobah sedemikian aneh dan liar, seolah-olah dari situ terpancar ancaman
yang amat hebat walaupun sikap pemuda itu masih tenang dan halus seperti
biasa. "Sheila, engkau menolakku karena engkau mencinta Seng Bu sute, bukan"
Karena engkau dan dia sudah ada ikatan batin untuk kelak menjadi suami
isteri?" Pertanyaan yang tiba-tiba ini seperti todongan pistol pada dadanya dan
amat mengejutkan, karena hal itu sesungguhnya merupakan rahasia hatinya
dan belum pernah diutarakan, bahkan kepada Seng Bu sekalipun belum pernah
ia menyatakan isi hatinya, walaupun ia tahu bahwa Seng Bu mencintanya, dan
ia yakin pula bahwa pemuda gagah perkasa itupun dapat menduga akan isi
hatinya. Kini ditanya seperti itu, Sheila tidak membantah dan untuk
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menghindarkan desakan selanjutnya dari pemuda itu, iapun mengangguk.
"Benar, aku mencinta Seng Bu?" jawabnya lirih, karena diam-diam iapun
merasa kasihan kepada Siu Coan karena terpaksa cintanya hanya bertepuk
sebelah tangan. Siu Coan menarik napas panjang, nampak kecewa sekali, akan tetapi sinar
matanya masih berkilauan aneh.
"Sheila, sudah kaupikir masak-masakkah hal itu" Apakah engkau tidak
keliru pilih" Ingat, sute adalah seorang kafir, tidak seagama denganmu,
pengikut setan!" Sheila mengerutkan alisnya. Memang, di antara bangsanya yang beragama
Kristen, banyak yang menganggap bahwa orang-orang pribumi yang tidak
beragama kristen sebagai orang-orang yang ingkar, orang-orang yang tidak
beriman, bahkan dianggap orang-orang biadab. Akan tetapi ia sudah banyak
bergaul dengan mereka ini, dengan pelayan-pelayan rumah keluarganya, dan
sudah banyak menyelami dan mempelajari kebudayaan mereka, sehingga ia
memperoleh kenyataan bahwa dalam hal kebudayaan, dalam hal ketatasusilaan dan peradaban, penduduk pribumi yang sederhana itu tidak kalah oleh
orang-orang kulit putih. Bahkan filsafat hidup yang mereka anut amat tinggi.
"Siu Coan, harap engkau tidak berkata demikian. Biarpun Seng Bu bukan
seorang yang beragama Kristen, namun dia adalah seorang pendekar yang
gagah perkasa, seorang pria yang budiman, sopan dan terhormat. Engkau
tentu mengenal watak dari sutemu sendiri. Dan aku cinta padanya, mencinta
orangnya, bukan agamanya. Kelak, perlahan-lahan aku akan dapat
menuntunnya agar dia dapat masuk agamaku."
"Hemm, kaupikirkan dulu baik-baik, Sheila, agar kelak engkau tidak akan
menyesal namun sudah terlambat. Terus terang saja, biarpun sute juga seorang
pria yang gagah perkasa, namun dia sama sekali tidak sepadan menjadi
jodohmu. Dia bodoh, pengetahuannya sempit, jalan pikirannya sederhana,
tanpa cita-cita, dan engkau akan hidup melarat dengan dia. Nah, biarlah lain
kali kalau engkau sudah memikirkan hal ini masak-masak, kita bicara lagi."
Wajah gadis itu berobah merah dan matanya memancarkan sinar
kemarahan mendengar pemuda kekasih hatinya dijelek-jelekkan oleh Siu Coan.
"Siu Coan, tidak perlu kau memburuk-burukkan sutemu sendiri di depanku.
Aku mencintanya, dan cinta tidak memandang kemelaratan dan kebodohan.
Tak perlu kupikirkan lagi, dan mengenai hubungan antara kita tidak perlu
dibicarakan lagi!" Siu Coan menggoyangkan kedua pundaknya lalu meninggalkan gadis itu
dengan cepat, karena pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Seng
Bu yang datang dari jauh. Ketika dia pergi dengan berlari cepat, agaknya baru
saja meninggalkan Sheila, Seng Bu menegur ramah.
"Suheng...!" Akan tetapi yang ditegur terus lari, menolehpun tidak sehingga Seng Bu
merasa heran, akan tetapi dia mengira bahwa tentu suhengnya itu tidak
mendengar seruannya dan diapun melanjutkan larinya menghampiri Sheila.
Dia mengerutkan alisnya dengan hati khawatir ketika melihat Sheila masih
berdiri di situ dan wajah gadis itu nampak masih merah, dan wajah itupun
membayangkan ketegangan hati.
"Sheila, apakah yang telah terjadi" Bukankah suheng tadi dari sini?"
Sheila memandang wajah Seng Bu, lalu menarik napas panjang dan
mengangguk. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Benar, dia baru saja meninggalkan aku dengan marah agaknya."
"Eh" Kenapakah" Apa yang telah terjadi antara kalian sehingga suheng
menjadi marah kepadamu?"
Sheila mengaku terus terang.
"Dia kecewa karena cintanya kutolak."
Seng Bu terbelalak dan menatap wajah Sheila penuh selidik. Wajah gadis
itu segar dan manis sekali karena tadi sambil mencuci pakaian, gadis itu mandi
dan menggosok kulit mukanya dengan batu halus seperti yang dilakukan oleh
wanita-wanita lain. Apalagi kini gadis itu merasa tegang, kedua pipinya
menjadi merah sekali dan sepasang mata yang indah lebar itu bersinar-sinar
seperti sepasang bintang pagi.
"Apa... apa maksudmu?"
Sama sekali Seng Bu tidak mengira bahwa suhengnya juga mencinta gadis
kulit putih ini, maka tentu saja pengakuan Sheila tadi mengejutkan hatinya.
Sheila tersenyum untuk menenangkan hatinya sendiri, juga hati Seng Bu,
lalu berkata dengan halus.
"Seng Bu, tadi suhengmu itu mengatakan bahwa dia cinta padaku dan
bahwa dia ingin aku menjadi calon isterinya."
Biarpun pemberitahuan pertama tadi sudah dimengertinya, namun
penjelasan ini tetap saja amat mengherankan dan mengejutkan hati Seng Bu.
Suhengnya" Kelihatan sama sekali tidak memperlihatkan perasaan itu
terhadap Sheila, dan suhengnya tahu benar bahwa dia mencinta Sheila.
"Dan... dan kau...?"
"Tentu saja aku menolaknya dan dia kelihatan kecewa, lalu pergi
meninggalkan aku." "Akan tetapi... kenapa, Sheila" Kenapa kau... kau menolaknya" Suheng
adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, dan dia mempunyai cita-cita
yang besar untuk menjadi seorang pemimpin besar."
Tentu saja Seng Bu sudah tahu benar akan cita-cita suhengnya yang selalu
didengung-dengungkan itu.
"Kenapa" Karena aku tidak cinta padanya."
"Mengapa engkau tidak cinta padanya, Sheila?"
Seng Bu bertanya, di dalam suaranya terkandung nada mendesak yang
aneh dan kini pemuda itu menatap wajah Sheila dengan tajam penuh selidik.
"Ouhhh... Seng Bu, alangkah kejam hatimu mengajukan pertanyaan seperti
itu. Seng Bu, perlukah kita berpura-pura lagi" Perlukah selama ini kita saling
menyembunyikan perasaan" Engkau tentu tahu mengapa aku tidak bisa
mencinta orang lain. Engkau tentu tahu bahwa aku hanya mencinta seorang
pria saja di dunia ini, dan aku tahu pula bahwa dia mencintaku sepenuh
hatinya. Akan tetapi... pria itu masih berpura-pura lagi, bertanya mengapa aku
tidak mencinta pria lain! Betapa kejamnya engkau....."
Dan Sheila lalu terisak menangis. Hati Seng Bu diliputi keharuan dan
melihat Sheila menangis, suatu dorongan kuat membuat dia melangkah maju
dan di lain saat, entah siapa yang memulai gerakan itu, tahu-tahu Sheila telah
berada dalam dekapannya. Gadis itu merebahkan mukanya di dada yang
bidang itu dan merasa aman sentausa penuh kedamaian. Kedua matanya
menitikkan air mata dan kedua lengannya memeluk leher, sedangkan kedua
lengan Seng Bu melingkari tubuhnya dalam rangkulan ketat, seolah-olah
pemuda itu khawatir kalau-kalau tubuh yang dirangkulnya itu akan terlepas.
"Maafkan aku, Sheila. Aku tahu bahwa engkau cinta padaku dan bahwa
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan akupun cinta padamu, bahwa tanpa kata sekalipun kita sudah yakin akan cinta
kita masing-masing. Akan tetapi aku" aku selalu khawatir akan kehilangan
engkau, Sheila. Aku" aku merasa betapa aku ini kesasar, bodoh dan miskin,
merasa tidak layak berada di sampingmu, karena itu" tadi aku meragu..."
"Ah, sudahlah Seng Bu. Aku hanya mencinta engkau seorang, sejak
pertama kita saling jumpa dan aku takkan mau berpisah lagi dari sisimu..."
"Dan aku... aku hanya memiliki engkau seorang..."
Mereka saling dekap, dan Sheila yang memulai lebih dahulu ketika mereka
saling mencium, karena Seng Bu takkan berani mendahuluinya, apalagi dia
seorang pemuda yang sama sekali belum pernah berdekatan dan berhubungan
dengan seorang wanita. Pada saat itu, mereka merasa merasa semakin yakin
akan cinta kasih masing-masing, perasaan cinta yang terasa sampai jauh sekali
di dasar hati masing-masing, kemesraan yang membuat semua bulu di tubuh
mereka meremang. Suara cekikikan para wanita yang tadi mencuci pakaian bersama Sheila,
menyadarkan dua orang muda itu dari keadaan yang asyik masyuk itu. Mereka
cepat saling melepaskan rangkulan dan keduanya menjadi jengah kemalumaluan, wajah mereka kemerahan dan mereka membiarkan para wanita itu
lewat tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
"Ada orang melihat kita, Sheila, ini berarti bahwa kita harus cepat-cepat
menikah agar tidak menjadi pergunjingan orang. Maukah engkau menikah
denganku?" Sheila mencium pipi dan dagu pemuda itu dengan hidungnya, kelembutan
yang membuat Seng Bu hampir menitikkan air mata saling saking bangga, haru
dan bahagianya. "Engkau masih bertanya lagi" Setiap saat aku bersedia, Seng Bu, setiap
saat. Sudah sejak lama aku merasa bahwa aku adalah milikmu, seluruhnya, aku
telah menyandarkan seluruh kehidupanku kepadamu."
Sambil menggandeng tangan Sheila, Seng Bu lalu menemui kawan-kawan
seperjuangannya dan mengumumkan bahwa dia hendak melangsungkan
pernikahannya dengan Sheila di dalam hutan itu juga. Semua kawan
seperjuangannya yang merasa kagum kepada Seng Bu akan kegagahannya,
bersorak gembira, dan mereka lalu bergotong royong membuat persiapan
untuk pesta sekedarnya menyambut pernikahan itu. Diam-diam Ong Siu Coan
tentu saja merasa iri hati dan marah sekali, akan tetapi pada lahirnya, dia juga
menyambut dengan gembira ketika Seng Bu minta pendapatnya dan doa
restunya. Demikianlah, pernikahan antara Seng Bu dan Sheila terjadi di dalam hutan
itu, dirayakan oleh para pejuang. Suasana cukup meriah dan gembira malam
itu walaupun tidak ada pesta besar seperti kalau pernikahan dirayakan di kota
dalam suasana damai dan tenteram. Malam itu dengan penerangan api unggun
dan beberapa belas lampu minyak, para pejuang merayakan pesta pernikahan
itu. Seng Bu mengenakan pakaian bersih, dan Sheila mengenakan pakaian
pengantin yang dipinjamkan dari seorang wanita. Ia nampak cantik jelita
dalam pakaian mempelai yang baginya lucu itu, dan sepasang mempelai
dipertemukan oleh para wanita dan diberi selamat oleh para pejuang.
Malam itu pesta sederhana dirayakan para pejuang sampai menjelang
tengah malam. Tiba-tiba terdengar suara tambur dan terompet, dan semua
pejuang terkejut setengah mati ketika tiba-tiba nampak banyak sekali pasukan
pemerintah menyerbu. Kiranya hutan itu sudah dikepung oleh pasukan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pemerintah yang jumlahnya ratusan orang! Tentu saja suasana menjadi panik.
Para pejuang cepat memadamkan api unggun, juga lampu-lampu dan dalam
keadaan remang-remang, hanya diterangi cahaya bulan sepotong, para
pejuang melakukan perlawanan mati-matian.
Dalam keadaan kacau itu, tentu saja Seng Bu juga terkejut dan cepat dia
siap siaga membantu teman-teman.
"Sheila, engkau bersembunyi di pondok kita, aku akan membantu kawankawan mengusir pasukan pemerintah," kata Seng Bu setelah tadi
menggandeng tangan isterinya dan membawanya ke pondok yang disediakan
untuk mereka oleh kawan-kawan mereka.
Sheila yang bermuka pucat dan ketakutan itu mengangguk, akan tetapi
masih memegangi tangan suaminya.
"Jangan lama-lama" cepat ambil aku kembali?"
Seng Bu mencium isterinya lalu melompat ke luar, siap dengan penuh
semangat membantu teman-temannya menghadapi pasukan pemerintah yang
datang menyerbu. Dia tidak tahu bagaimana pasukan pemerintah dapat
mengetahui tempat persembunyian para pejuang itu dan menyerbu di malam
itu, kebetulan ketika pernikahannya sedang dirayakan.
Akan tetapi belum jauh dia berlari, tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku saking
kagetnya. Dia mendengar jeritan Sheila! Bagaikan dikejar setan, Seng Bu lalu
membalikkan tubuh dan berlari cepat kembali ke pondok. Dapat dibayangkan
betapa rasa kaget, heran dan juga marahnya ketika dia melihat suhengnya
meloncat keluar dari pondok sambil memondong tubuh Sheila.
"Suheng!!" Bentaknya marah sekali dan segera dia melompat menghadang.
"Eh, sute. Aku datang untuk menyelamatkan Sheila!" kata Siu Coan gugup
dan diapun melepaskan tubuh Sheila yang dipondongnya secara paksa tadi.
Sheila lalu lari merangkul suaminya, menahan tangisnya.
"Aku... aku tidak mau dia larikan, dan dia memaksaku...!"
"Aku hanya ingin menolong dan menyelamatkannya, keadaan gawat
sekali." Kembali Siu Coan berkata.
Seng Bu mengerutkan alisnya. Marah dia melihat betapa tadi dengan paksa
tubuh isterinya dipondong oleh suhengnya. Biarpun dengan alasan menolong
dan ingin menyelamatkan, akan tetapi tidak pantas kalau suhengnya memaksa
orang yang mau ditolong. Tentu ada sesuatu yang tidak pantas.
"Suheng!" bentaknya.
"Tidak pantas kau maksa isteriku!"
Siu Coan yang tertangkap basah itu menjadi malu dan kini dia menjadi
marah. "Eh, sute, apa maksudmu" Aku datang untuk menyelamatkan isterimu dan
engkau marah-marah" Engkau sungguh kurang ajar!"
Siu Coan menyeringai girang. Ada alasan dan kesempatan baginya untuk
membunuh sutenya dan merampas Sheila yang membuatnya tergila-gila!
Sesungguhnya, dia tidak begitu tergila-gila kepada Sheila karena pada
hakekatnya, Siu Coan lebih gila kedudukan dan cita-cita dari pada wanita.
Akan tetapi, melihat Sheila menolaknya dan memilih Seng Bu, dia merasa iri
dan iri inilah yang mendorongnya menjadi nekat untuk membunuh sutenya dan
merampas Sheila. Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras.
"Darrr...!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Tubuh Siu Coan terhuyung dan tangan kirinya menekan pundak kanan yang
berdarah. Seng Bu terkejut dan menengok. Kiranya Sheila telah menembakkan
pistol kecil. Pistol ini memang tak pernah terpisah dari badan gadis itu, selalu
disembunyikan dalam lipatan bajunya dan kini, melihat suaminya terdesak,
iapun dengan nekat lalu mengeluarkan pistolnya dan menembak ke arah Siu
Coan. Gadis ini memang pernah dilatih menggunakan pistol oleh ayahnya, dan
pistol itupun pemberian ayahnya, maka ia dapat menembak dengan cepat.
Gerakan Siu Coan yang berusaha mengelak secara refleks ketika letusan
terdengar membuat peluru yang ditujukan ke arah dada itu hanya mengenai
ujung pangkal lengan. Akan tetapi cukup membuat kulit terkupas dan daging
menonjol di ujung pundak juga tertembus peluru, nyerinya bukan kepalang
karena luka itu seperti terbakar oleh besi panas.
Dan pada saat itu, belasan orang anggauta pasukan pemerintah datang
menyerbu! Seng Bu yang melihat suhengnya masih lemah terhuyung, terancam
tusukan tombak seorang perajurit, melompat ke depan dan sekali tendang,
perajurit itu roboh dan suhengnya terbebas dari ancaman maut. Melihat ini, Siu
Coan tersenyum. "Orang berhati lemah..." katanya.
Dan karena pada saat itu lebih banyak lagi datang pasukan yang menyerbu,
terpaksa diapun membela diri dengan sebelah tangannya saja, yaitu tangan
kiri karena tangan kanannya tidak dapat digerakkan karena nyeri. Seng Bu lalu
menyambar sebatang pedang lawan setelah dia kembali merobohkan lawan
berpedang itu, dan memutar pedangnya sambil berseru.
"Sheila, ke sinilah kau! Suheng, larilah, aku melindungimu!"
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dar-darr...!!"
Kembali Sheila meletuskan pistolnya dua kali. Seorang pengeroyok roboh
dan yang lain mundur karena jerih terhadap senjata api.
"Suheng, mari kita lari. Kau lebih dulu. Aku dan Sheila melindungimu dari
belakang!" "Suheng, kita berpisah di sini dan maafkan kami, maafkanlah segala yang
telah terjadi." Setelah berkata demikian, Seng Bu yang memondong isterinya lalu
meloncat dan berlari cepat menuju ke barat. Siu Coan berdiri bengong, lalu
menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, biar Sheila telah melukainya
dengan pistol, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya, namun Sheila dan
Seng Bu tadi telah melindunginya mati-matian pula! Sudahlah, pikirnya, ia
bukan jodohku. Menurut pelajaran agama barunya, memaafkan orang lain
adalah perbuatan mulia, bahkan terdapat pelajaran yang menganjurkan agar
kalau kita dipukul pipi kiri kita, kita harus menyerahkan pipi kanan kita!
Siu Coan tersenyum seorang diri. Biarlah dia memaafkan Seng Bu dan
Sheila, bahkan menurut pelajaran agamanya, dia harus mencinta musuhmusuhnya, maka biarlah dia melepaskan mereka dengan hati mencinta. Dan
Siu Coan tersenyum, merasa betapa hatinya mekar, penuh dengan
kebanggaan, penuh dengan harapan untuk menerima pahala karena dia telah
berbuat jasa. Betapa banyaknya di antara kita memiliki kebanggaan dan harapan seperti
yang dimiliki Siu Coan itu. Semua agama mengajarkan agar kita hidup sebagai
manusia yang baik, karena hanya hidup baik ini yang menjadikan kita
bermanfaat bagi dunia, bagi manusia. Akan tetapi kita mau hidup baik karena
di balik itu terdapat harapan dan pamrih agar kita memperoleh pahala,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memperoleh hadiah, baik hadiah itu dinamakan Sorga atau Nirwana, ataukah
kesempurnaan atau segala macam kata kata yang muluk lagi.
Karena adanya ancaman hukum bagi yang berbuat jahat, dan janji pahala
bagi yang berbuat baik, maka kita condong untuk berbuat baik. Memang inilah
tujuannya, akan tetapi, hal ini pula yang membuat kita menjadi manusiamanusia palsu, menjadi munafik, menjadi srigala-srigala berkedok domba,
yang berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat HANYA karena kita ingin
memperoleh pahala dan ingin dijauhkan dari pada hukuman. Kebaikan yang
dilakukan dengan sengaja ini tentu berpamrih, dan pamrih membuat kita
menjadi munafik, membuat perbuatan kita adalah palsu, karena perbuatan itu
bukan perbuatan baik, melainkan suatu cara bagi kita untuk memperoleh
pahala, cara untuk menghindarkan hukuman!
"Cintailah musuh-musuhmu" adalah serangkaian kata-kata yang amat indah
dan suci kalau kita dapat menangkap maknanya. Kalau tidak, tentu akan
menimbulkan keraguan, karena di situ terdapat dua kata yang berlawanan,
yaitu "cinta" dan "musuh". Biasanya, cinta berkaitan dengan sahabat, dan yang
berkaitan dengan musuh adalah benci. Maka, cintailah musuhmu seakan-akan
mengandung makna yang berlawanan atau saling bertolak belakang. Akan
tetapi sesungguhnya pelajaran ini mengandung makna yang sekaligus
menghapuskan benci dari dalam hati berdasarkan kasih. Bukan berarti suatu
waktu kita mencintai musuh kita dan di lain waktu kita siling berbunuhan
dengan musuh itu! Ini sama sekali tak masuk akal dan omong kosong. Akan
tetapi, kita dapat mencintai orang yang memusuhi kita!
Mungkin banyak orang memusuhi kita, membenci kita, tidak senang
kepada kita, karena mungkin iri hati, dengki, salah paham dan sebagainya lagi.
Biarlah mereka itu membenci kita, akan tetapi orang yang memiliki sinar kasih
dalam batinnya, tidak akan membalas kebencian itu, tidak membalas
permusuhan itu, melainkan menghadapi mereka yang memusuhi kita dengan
cinta kasih antara manusia! Tidaklah ini indah, besar dan mulia sekali" Kita
dapat melihat cinta kasih seperti itu, cinta kasih Tuhan melalui sinar matahari,
melalui harumnya bunga, melalui tanah, air, hawa, udara. Biar ada manusia
yang mengutuk dan membenci alam dan semua kekuasaan Tuhan, namun
tetap saja semua itu diberikan dengan rela, kepada siapa saja tanpa pilih kasih,
kepada mereka yang membenci sekalipun. Orang yang sejahat-jahatnya
sekalipun, yang segala tindakannya berlawanan dengan kebaikan, akan tetap
memperoleh hawa udara, memperoleh sinar matahari, dapat menikmati
keharuman bunga, sama seperti orang yang paling baik, paling saleh sekalipun.
Akan tetapi, seperti Ong Siu Coan, kita selalu ingin untung, lahir maupun
batin, oleh karena itu berbondong-bondong orang lari ke agama dengan dasar
ingin untung itulah. Ingin memperoleh hiburan batin karena pahitnya
kehidupan, ingin memperoleh jaminan keadaan yang enak menyenangkan
setelah mati kelak, ingin memperoleh berkah sebanyaknya. Lenyapkanlah janjijanji pahala dan hadiah ini dari agama, dan para munafik itu tentu akan mundur
meninggalkannya dan yang tinggal hanyalah mereka yang benar-benar sadar
dan waspada akan segala kekotoran yang memenuhi batin sendiri, karena
hanya mereka inilah yang akan dapat berobah. Orang yang sadar akan
kekotoran diri sendiri sajalah yang akan dapat berobah menjadi bersih, tanpa
ada usaha membersihkan, karena usaha membersihkan ini akan menumpuk
pamrih dan menciptakan kemunafikan.
Semua agama tentu mengajarkan kebaikan, akan tetapi bagi kehidupan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan manusia, yang penting adalah manusianya, bukan agamanya. Semua manusia
di dunia ini mengaku beragama atau mempunyai pegangan sesuatu yang
menggariskan jalan hidup yang harus ditempuhnya. Semenjak ribuan tahun,
semua pelajaran kerohanian ini tersebar di antara seluruh manusia di dunia.
Akan tetapi, bagaimana hasilnya" Manusia tetap saja hidup dalam lembah
kesengsaraan, hidup dalam neraka dunia yang penuh dengan kebencian, iri
hati, dengki, kemurkaan, permusuhan sehingga cinta kasih makin muram
kehilangan sinarnya karena tertutup oleh segala macam hawa nafsu angkara
yang merupakan debu-debu kotor hitam tebal itu.
Permusuhan terjadi bukan hanya antara perorangan, bukan hanya antara
suku dan antara kelompok, bahkan meluas menjadi antara bangsa, antara
negara sehingga timbullah perang yang amat kejam, pembunuhan dan
pembantaian semena-mena yang lebih biadab dari pada perbuatan golongan
yang dianggap masih liar dan buas sekalipun! Jelaslah di sini bahwa
manusianya yang menentukan, bukan agamanya. Dan jelaslah bahwa yang
dapat merobah manusia adalah diri sendiri masing-masing, dengan
pengenalan diri sendiri sehingga nampak segala kekotoran yang membutakan
mata hati, yang menulikan telinga hati.
Demikianlah halnya dengan Ong Siu Coan. Pemuda ini memiliki cita-cita
yang muluk, dan makin besar cita-cita seseorang, makin besar pulalah "aku"nya, dan makin besar pamrihnya sehingga semua perbuatannya ditujukan
dengan pamrih untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri sebesarbesarnya. Perbuatan itu mungkin di mata umum bisa disebut perbuatan buruk
atau perbuatan baik, akan tetapi apapun macam perbuatan itu, selalu di
belakangnya terkandung pamrih untuk kepentingan diri pribadi.
Tidak ada seorangpun mengetahui bahwa penyerbuan pasukan
pemerintah di malam hari itupun adalah hasil perbuatan Ong Siu Coan! Dialah
yang diam-diam mengirim berita tempat persembunyian para pejuang itu
kepada pihak pasukan pemerintah! Dia rela berkhianat untuk kepentingan diri
sendiri, untuk melampiaskan iri hatinya terhadap Seng Bu, kemarahannya
terhadap Sheila, dan untuk membuka kesempatan agar dia dapat merampas
Sheila dengan dalih menyelamatkanya, dan kalau mungkin membunuh sutenya
sendiri. Tentu saja pihak pasukan pemerintah tidak tahu bahwa yang mengirim
berita itu adalah Ong Siu Coan. Dan memang bukan maksud Siu Coan untuk
membantu pasukan pemerintah. Sama sekali tidak! Dia membenci pemerintah
Mancu, dan dia bercita-cita untuk membasmi pemerintah penjajah itu. Kalau
dia dapat berbuat khianat pada malam hari itu adalah karena ada pamrih
terhadap Seng Bu dan Sheila.
Karena serbuan itu, beberapa orang pejuang tewas dan selebihnya cerai
berai dan kacau balau, kocar kacir. Dan Siu Coan melarikan diri ke selatan, dan
beberapa hari kemudian dia sudah bergabung kembali dengan orang-orang
Thian-te-pang, dan dia memperoleh perawatan dengan baik. Untung tidak ada
yang tahu tentang peristiwa antara dia dan Seng Bu, dan mereka mengira
bahwa tembakan yang mengenai ujung pundak Siu Coan itu dilakukan oleh
seorang opsir pasukan pemerintah.
-------Peristiwa pembakaran madat di Kanton itu tidak berhenti sampai di situ
saja. Pembakaran madat yang lebih dari satu juta kilogram banyaknya itu juga
mulai menyalakan api perang yang kemudian terkenal dengan sebutan Perang
Madat selama tiga tahun (tahun 1839-1842).
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Peristiwa pembakaran madat disusul pembunuhan terhadap orang kulit
putih yang sesungguhnya dilakukan oleh golongan-golongan yang anti kulit
putih, bukan oleh pemerintah Mancu, dianggap oleh pemerintah Inggris
sebagai suatu penghinaan terhadap bangsanya. Apalagi ada laporan dari
Kapten Charles Elliot yang didesak oleh para pedagang untuk minta bantuan
pasukan, maka pemerintah Inggris lalu mengirim armada ke timur. Kapal-kapal
perang dengan pasukan-pasukan yang cukup kuat dikirim dan Kanton diserang
dari lautan, dihujani peluru meriam.
Pasukan-pasukan Inggris berusaha untuk mendarat, akan tetapi usaha
mereka itu selalu menemui perlawanan yang amat kuat. Dalam hal ini, tanpa
persekutuan yang syah, pemerintah penjajah Mancu menerima bantuan yang
amat besar dari rakyat, dari perkumpulan-perkumpulan para patriot yang tidak
suka melihat bangsa kulit putih hendak menguasai tanah air. Para pendekar
segera bangkit dan untuk sementara menghentikan kegiatan mereka
memusuhi pemerintah Mancu karena mereka kini menganggap bahwa
ancaman pasukan asing itu lebih berbahaya.
Terjadilah perang dimana-mana, perang antara senjata api melawan anak
panah dan senjata-senjata tajam. Pasukan Inggris tidak pernah berhasil
mendarat karena perlawanan yang amat kuat.
Panglima Lim Ce Shu memimpin pasukannya dan melakukan perlawanan
mati-matian, dan penyerbuan pasukan Inggris itu akhirnya hanyalah kandas di
pantai-pantai saja, dimana akibat-akibat perang terjadi. Perampokanperampokan, pembunuhan-pembunuhan dan perkosaan-perkosaan terjadilah
di pantai-pantai terhadap penduduk yang berada di sekitar pantai. Namun,
pasukan-pasukan kulit putih itu akhirnya harus mengakui bahwa kekuatan
kekuatan pihak musuh di daratan terlalu sukar untuk dapat ditembus.
Setelah peperangan yang kacau ini berlangsung hampir tiga tahun
lamanya, Ingggris hanya berhasil menduduki Pulau Hong-kong yang letaknya
di depan kota Kanton. Pulau ini dijadikan pangkalan oleh armada Inggris,
namun semua penyerangan mereka di daerah pantai timur daratan Tiongkok
selalu mengalami kegagalan.
Kalau pasukan Inggris yang dipukul mundur melarikan diri ke kapal-kapal
perang mereka, maka perang masih juga terjadi di darat, yaitu pasukanpasukan para patriot yang anti pemerintah penjajah lalu berbalik dan
menyerang pasukan pemerintah sendiri! Memang mereka ini sejak dahulu ingin
menjatuhkan kekuasaan Mancu, dan mereka ikut menghalau orang kulit putih
bukan untuk membantu pemerintah, melainkan khawatir kalau-kalau bangsa
kulit putih akan menguasai tanah air mereka. Tentu saja pukulan-pukulan
bertubi dari orang kulit putih yang datang dari luar, dan pukulan-pukulan para
pemberontak dalam negeri membuat pasukan pemerintah Mancu menjadi
lemah. Hal ini diketahui dengan baik oleh para mata-mata yang disebar oleh
Inggris. Akhirnya dalam tahun 1842, Inggris dengan cerdik lalu
menyelundupkan kapal-kapalnya melalui Sungai Yang-ce-kiang, berlayar
mudik. Pemerintah Mancu di Peking terkejut bukan main. Dengan dikuasainya
sungai besar itu oleh orang kulit putih, maka hubungan antara Lembah Yangce-kiang dan Peking tertutup dan terancam. Keselamatan keluarga kaisar di
Peking dapat terancam kalau begitu. Istana menjadi gentar dan panik, dan
melalui menteri-menteri yang memang condong untuk berbaik dengan orangorang kulit putih yang mendatangkan banyak keuntungan kepada mereka
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan melalui madat, akhirnya pemerintah Mancu membujuk Inggris menghentikan
perang! Tentu saja hal ini sama dengan pernyataan tunduk dan kalah!
Sebagai pihak pemenang yang ditakuti, Inggris mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya! Kemenangan dalam tahun 1842 ini membuat
mereka dapat memaksa kaisar untuk melakukan hal-hal yang membikin panas
hati dan perut para patriot.
Pertama-tama, untuk menyenangkan hati orang-orang kulit putih itu, kaisar
memecat Panglima Lim Ce Shu dan membuangnya! Kemudian, Hong-kong
diserahkan kepada Inggris begitu saja! Pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok
Selatan, termasuk Kanton, dibuka lebar-lebar dan diperbolehkan menerima
pedagang-pedagang kulit putih untuk masuk dan berdagang di situ dengan
bebas, juga diperbolehkan untuk bertempat tinggal di situ sebagai pedagangpedagang yang dihormati.
Bahkan orang-orang kulit putih lainnya, seperti orang-orang Portugal dan
orang-orang Perancis, ikut-ikutan membonceng kemenangan Inggris ini dan
ikut-ikutan menuntut agar merekapun diperbolehkan membuka perdagangan
di pelabuhan-pelabuhan itu. Sebagai negara yang kalah perang, pemerintah
Mancu yang sudah tidak berdaya itu terpaksa menuruti tuntutan-tuntutan itu.
Makin banyaklah perjanjian-perjanjian "perdamaian" dibuat, yang
sesungguhnya merupakan perjanjian yang menguntungkan orang-orang kulit
putih dan terpaksa disetujui oleh pemerintah Mancu. Yang merasa tidak puas
dan marah adalah para pendekar yang mewakili rakyat untuk mempertahankan
tanah air dari kekuasaan asing. Pemerintah Mancu adalah pemerintah asing
yang menjajah. Pemerintah itu belum juga dapat dihalau, dan sekarang sudah
bertambah lagi dengan bercokolnya orang-orang asing kulit putih yang
menjajah melalui perdagangan!
Perang madat memang berakibat luas sekali. Perang madat ini
menunjukkan bahwa kekuatan pemerintah Mancu yang sudah hampir duaratus
tahun menjajah Tiongkok itu mulai kehilangan sinarnya, mulai lemah dan
nampak awal-awal keruntuhannya. Dan perang itupun membuka pintu bagi
orang asing kulit putih untuk memperluas cengkeraman mereka terhadap
negara itu melalui perdagangan yang dipaksakan oleh senjata api. Dan hal ini
lambat laun akan menjadi penjajahan-penjajahan.
Kekuasaan Kerajaan Mancu digerogoti, daerah-daerah kekuasaannya mulai
dikuasai oleh orang-orang asing itu. Seperti dapat tercatat dalam catatan
sejarah, Bangsa Perancis saja kelak dalam tahun 1862 akan menguasai
Kamboja, kemudian duapuluh tahun kemudian menguasai An-nam (Vietnam)
setelah lebih dulu menguasai Cochin China pada tahun 1863. Juga Portugal
kemudian menguasai Macao. Inggrispun bukan hanya puas dengan memiliki
Hong-kong, melainkan meluaskan kekuasaannya sampai akhirnya menduduki
Birma yang tadinya mengakui kekuasaan pemerintah Ceng di jaman Kaisar
Kian Liong. Sejarah yang membuktikan bahwa pemerintah yang tidak disukai oleh
rakyatnya, akan kehilangan kekuatannya. Betapapun kuatnya bala tentara
yang dimiliki sebuah pemerintahan, namun tanpa dukungan rakyat, kekuatan
itu akan rapuh. Sebaliknya, kalau pemerintah didukung rakyat, tidak akan
mudah bagi kekuatan luar untuk merobohkannya. Hal ini adalah karena ajang
yang dijadikan arena pertempuran adalah tempat dan milik rakyat, dan
bantuan-bantuan rakyat inilah yang paling menentukan. Pihak lawan akan
selalu dirongrong dan akan menjadi lemah kalau rakyat setempat setia kepada
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pemerintah yang disukainya, dan tidak akan dapat menguasai tempat yang
telah direbutnya itu sepenuhnya. Sebaliknya pasukan-pasukan pemerintah
yang didukung oleh rakyat, dimanapun akan memperoleh bantuan-bantuan
sehingga kedudukan mereka menjadi kuat.
-------Kita tinggalkan dulu keadaan pemerintah Ceng yang mulai lemah itu, dan
marilah kita menengok peristiwa lain yang terjadi di sebuah puncak di
Pegunungan Tapie-san. Seorang gadis dan seorang kakek berjalan bersama-sama mendaki puncak
itu. Mereka itu kelihatannya seperti seorang kakek pengemis bersama seorang
gadis yang pakaiannya juga penuh tambalan, seperti orang biasa saja yang
banyak berkeliaran pada waktu itu, orang-orang yang miskin dan setengah
terlantar sebagai akibat perang dan pemberontakan yang terjadi dimana-mana.
Banyak rakyat yang pada waktu itu terpaksa pergi mengungsi, meninggalkan
kampung halaman, rumah dan semua harta miliknya. Kalau sudah merasa
aman dan kembali, banyak yang sudah tidak dapat menemukan rumah mereka
kembali, apalagi harta milik mereka. Sudah habis dirampok dan dibongkar
orang. Karena itu, banyaklah orang-orang yang jatuh miskin dan terlantar,
berkeliaran tanpa tempat tinggal seperti halnya kakek dan gadis itu.
Akan tetapi sesungguhnya kakek dan gadis ini bukan orang-orang
terlantar, bukan gelandangan yang miskin dan tidak mempunyai tempat
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggal. Kakek itu usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih, rambutnya yang
awut-awutan itu cukup bersih. Kakek itu pakaiannya penuh tambalan, tangan
kirinya memegang sebuah tongkat kayu butut dan sebuah kipas butut terselip
di pinggangnya. Biarpun pakaiannya penuh tambalan, namun pakaian itu
cukup bersih dan biarpun dia kelihatan miskin dan papa, namun dia selalu
senyum-senyum sendiri, matanya yang sipit itu kadang-kadang berkedip-kedip
lucu. Gadis itupun tidak kalah menariknya. Seorang gadis berusia kurang lebih
delapanbelas tahun, dengan wajah yang manis, sepasang matanya lebar dan
jeli. Memang pakaiannya butut penuh tambalan biarpun bersih, dan sepasang
rambut yang gemuk hitam dan panjang itu dikuncir dua secara sederhana,
tidak mengenakan perhiasan secuilpun, akan tetapi gadis ini memiliki wajah
manis dan kulit yang nampak pada muka, leher dan tangannya amat putih
bersih dan halus mulus. Tubuhnya juga memiliki bentuk yang padat dan
ramping menggairahkan, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar
mengharum. Seperti juga kakek itu, gadis ini mempunyai sebuah kipas yang
tersembul di kantong bajunya.
Siapakah mereka" Mereka adalah penghuni-penghuni puncak Naga Putih
di Pegunungan Wuyi-san, dan kakek itu bukan lain adalah Bu-beng San-kai
(Jembel Gunung Tanpa Nama) atau lebih terkenal lagi dengan julukan San-tok
(Racun Gunung), seorang di antara Empat Racun yang pernah menjadi datukdatuk paling sakti di antara para datuk kaum sesat! Dan gadis itu adalah
muridnya, murid tunggalnya yang bernama Siauw Lian Hong!
Kita telah mengenal Lian Hong, puteri tunggal mendiang guru silat Siauw
Teng di dusun Tung-kang dekat Kanton itu. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, dua tahun yang lalu Lian Hong ikut bersama gurunya mengunjungi
Siauw-lim-si dimana Siauw-bin-hud menceritakan kepada para tamunya
bahwa pusaka Giok-liong-kiam kini berada di tangan Hek-eng-mo Koan Jit,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan murid Thian-tok yang merampas pusaka itu dari tangan gurunya.
Ketika meninggalkan Siauw-lim-pai, San-tok lalu memberi kesempatan
kepada muridnya untuk pergi merantau selama dua tahun, selain untuk
mencari jejak orang bernama Koan Jit itu, juga untuk meluaskan
pengalamandan memperdalam ilmu kepandaian yang selama ini dilatihnya.
Kakek ini sudah percaya sepenuhnya kepada muridnya. Akan tetapi, belum
juga lewat dua tahun, gadis itu telah kembali ke puncak Naga Putih di
Pegunungan Wu-yi-san, menemui suhunya yang sedang tekun bersamadhi.
Kakek itu tentu saja girang melihat muridnya yang amat disayangnya, dan lebih
girang lagi hatinya melihat kenyataan bahwa muridnya itu juga mengenakan
pakaian yang dihias tambalan! Hal ini saja menunjukkan bahwa murid itu
berbakti dan setia kepadanya, melanjutkan "tradisi" keturunan perguruan yang
suka memakai pakaian tambalan!
Lian Hong memberi hormat sambil berlutut di depan kaki gurunya yang
juga menjadi kakek angkatnya itu, dan kakek itu lalu bangkit dari
pertapaannya. Dia mendengar laporan muridnya bahwa murid itu terpaksa
menghentikan usahanya mencari jejak Hek-eng-mo Koan Jit yang menguasai
pusaka Giok-liong-kiam, karena keadaan keruh oleh adanya perang madat.
Kemudian gadis itu mengatakan bahwa karena sukar mencari jejak orang di
waktu keadaan sekacau itu, dimana terjadi pertempuran-pertempuran kacau
balau antara pasukan kulit putih yang menyerang dengan kapal-kapal besar,
dan golongan yang anti pemerintah, juga golongan yang anti kulit putih, maka
ia mengambil keputusan untuk menghentikan penyelidikannya dan pulang ke
Puncak Naga Putih. "Ah, Hong Hong, kenapa urusan perang saja membuat engkau mundur?"
Santok mencela muridnya. "Kalau kita tidak mencari pusaka itu, tentu yang lain akan dapat
menemukan lebih dulu. Mungkin dalam keadaan kacau karena perang, pusaka
itu tidak ada artinya, akan tetapi kelak kalau sudah tidak ada perang, orangorang akan kembali memperhatikan pusaka itu. Pemilik pusaka itu sama
dengan bukti bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia persilatan, dan
kalau engkau mampu merampasnya, maka namamu akan terangkat paling
tinggi dan aku sebagai gurumu akan ikut merasa bangga."
"Suhu, sebetulnya pusaka itu tidak terlalu menarik bagiku. Aku lebih
tertarik untuk mencari musuh-musuh besarku, pembunuh ayah ibuku. Akan
tetapi ketika aku pergi ke Tung-kang, ternyata si jahanam Ciu Lok Tai telah
tewas bersama keluarganya ketika diserbu oleh pasukan pemerintah. Dan
akupun belum berhasil mencari dua orang musuh lain, yaitu Gan Ki Bin dan Lok
Hun yang sudah lama pindah dari Tung-kang dan tidak lagi menjadi pengawalpengawal Ciu Wangwe."
"Wah, jadi keluarga Ciu Wan-gwe telah terbasmi dan tewas semua oleh
pasukan pemerintah" Sungguh aneh," kata kakek itu.
"Bukankah dia mempunyai pengaruh besar di kalangan pejabat
pemerintah?" "Gara-gara pembasmian madat itu, suhu. Akan tetapi menurut keterangan,
ada seorang puterinya yang dapat meloloskan diri, namanya Ciu Kui Eng dan
kabarnya ia itu lihai sekali. Kelak aku akan mencarinya dan minta dia
mempertanggungjawabkan dosa-dosa ayahnya kepadaku."
"Jadi selama ini engkau sama sekali tidak memperoleh jejak Koan Jit murid
Thian-tok itu?" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan San-tok mendesak karena kakek ini tertarik sekali untuk bisa mendapatkan
pusaka Giok-liong-kiam. "Beberapa kali aku menemukan jejaknya, akan tetapi selalu hanya
memperoleh jalan buntu. Akan tetapi jejaknya yang kedapati di daerah Tapiesan membawaku ke sebuah tempat yang luar biasa, suhu. Aku tidak
menemukan dia di sana, jejaknya hilang lagi akan tetapi aku menemukan
sesuatu yang amat aneh dan mengerikan."
"Apa itu?" "Aku menemukan sebuah guha yang dalamnya terdapat sebuah sumber air
yangm engeluarkan asap berbau aneh. Dan di situ nampak sesosok mayat
terendam, akan tetapi mayat itu sama sekali tidak membusuk. Banyak pula
tengkorak manusia kulihat di dalam guha itu. Ihh, mengerikan" dan aku
segera pergi meninggalkan tempat itu."
"Ehhh" Menarik sekali! Mari kita ke sana."
"Untuk apa, suhu?"
"Menarik sekali ceritamu. Tentu ada hal-hal yang penting di situ. Bawa aku
ke sana, Hong Hong."
Demikianlah, kedua orang guru dan murid itu lalu melakukan perjalanan
dan pada pagi hari itu mereka sudah tiba di lereng puncak di Pegunungan
Tapie-san seperti yang diceritakan oleh Lian Hong kepada gurunya. Setelah
tiba di puncak, Lian Hong membawa suhunya ke guha itu.
Guha itu aneh sekali. Mulut guha lebar akan tetapi tidak berapa tinggi
sehingga ketika memasuki guha, San-tok yang agak jangkung harus
menunduk. Dan di sebelah dalam guha itu tumbuh sebatang pohon yang
daunnya sudah rontok semua, tinggal cabang dan ranting yang sudah
mengering. Melihat keadaan ini, mudah diduga bahwa guha ini dahulunya
bukan guha dan terbentuk dengan runtuhnya batu-batu besar dari puncak
menimbun tempat itu sehingga pohon itupun tertimbun batu dan kini berada
di dalam sebuah guha. Begitu memasuki guha itu, yang nampak adalah
sebatang pohon yang tinggal batang, cabang dan rantingnya, dan terciumlah
bau yang aneh dan keras. Juga nampak asap mengepul, terasa hawa yang agak
panas. "Di sinilah tempatnya, suhu," kata Lian Hong dan gadis ini sudah berlutut
di tepi sebuah kolam kecil dimana terdapat air yang bergolak dan
mengeluarkan asap yang berbau belerang.
Di tepi kolam itu terdapat batu-batu besar dan nampak ada beberapa buah
tengkorak manusia di situ. Akan tetapi yang amat mengerikan, di tengahtengah kolam itu nampak seorang kakek tua renta yang rambut dan jenggotnya
sudah putih semua. Kakek itu nampak terendam di dalam air sebatas dada,
kelihatan seperti orang tidur saja, tubuhnya tak bergerak-gerak dan kedua
matanya terpejam. "Ah-ah-ah, sungguh menarik...!" kata San-tok yang berdiri di tepi kolam
sambil meneliti keadaan kolam itu.
"Aneh akan tetapi tidak ada apa-apanya, suhu. Aku pernah datang ke sini
dan melihat keadaan ini, aku lalu cepat pergi lagi. Ketika menyelidiki jejak Koan
Jit, jejak itu membawaku ke sini, akan tetapi di sini aku kehilangan jejaknya.
Tidak nampak seorangpun manusia di puncak ini sehingga aku tidak dapat
mencari keterangan lagi tentang dia."
"Mungkin ada rahasia tersembunyi di tempat ini. Mari kita selidiki," kata
kakek itu. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Dan mulailah dia melakukan penyelidikan, meneliti dinding batu di sekitar
tempat itu. Akan tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Semua dinding adalah
batu-batu yang wajar saja dan makin jelaslah kini bahwa tempat itu, mata air
panas dan pohon itu, tadinya merupakan tempat terbuka dan kemudian
tertimbun oleh batubatu dari puncak yang agaknya longsor ke bawah. Akan
tetapi peristiwa itu tentu telah terjadi lama sekali sehingga membentuk sebuah
guha aneh ini. Lian Hong juga membantu suhunya melakukan penyelidikan.
Sampai beberapa jam lamanya mereka mencari-cari tanpa hasil.
"Suhu, kalau ada rahasianya, agaknya terdapat dalam kolam air ini," tibatiba Lian Hong berkata.
"Lihat, mayat kakek itu tidak membusuk, ini saja menunjukkan bahwa air
sumber ini, yang bergolak seperti mendidih dan mengeluarkan asap berbau
aneh, mengandung sesuatu yang luar biasa, yang membuat mayat itu tidak
rusak." "Ha, engkau benar, Hong Hong. Tentu rahasianya terdapat di dalam
sumber atau mata air itu. Orang itu agaknya sejak dahulu duduk di situ sampai
mati, dan air panas yang mengandung belerang itu membuat mayatnya tidak
rusak. Sudah beberapa kali aku melihat sumber air seperti ini yang keluar dari
dalam perut bumi. Tidak ada yang aneh mengenai air seperti itu. Akan tetapi
kolam ini seperti dibuat merendam tubuhnya. Lihat batu-batuan itu, bukankah
batu-batu besar itu seperti sengaja diletakkan di situ untuk membentuk kolam"
Dan air yang luber mengalir keluar melalui samping guha. Kalau batu-batu itu
digempur dan dibongkar, tentu dasarnya akan nampak dan siapa tahu di situ
letak rahasianya." Dibantu oleh muridnya, San-tok lalu membongkar batu-batu besar.
Kepandaian dan tenaga sakti guru dan murid, memungkinkan mereka
membongkar batu-batu besar dan akhirnya air yang berbau belerang itupun
mengalir turun, karena batu-batu yang menjadi bendungan itu bobol. Air
mengalir dengan cepatnya dan kini rendaman pada tubuh mayat itu semakin
dangkal saja. Setelah air itu hanya tinggal sejengkal saja dalamnya dan hanya
menutupi kaki yang bersila itu sampai sebatas perut, nampaklah coretancoretan yang merupakan huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan
mempergunakan jari tangan saja!
"Aih, benar, tulisan-tulisan itulah yang amat penting dan agaknya tidak
ditemukan oleh Koan Jit!" kata San-tok dengan girang.
Biarpun dia seorang datuk kaum sesat, namun San-tok di waktu mudanya
pernah mempelajari ilmu kesusasteraan dengan tekun sehingga dia mampu
membaca dan mengerti huruf-huruf yang agak kuno itu. Lian Hong sendiri yang
sejak kecil ikut San-tok, hanya sempat mempelajari ilmu membaca sekedarnya
saja maka tentu ia tidak mampu kalau harus membaca tulisan huruf-huruf kuno
itu. Dengan suara bisik-bisik yang hanya dapat didengar oleh Lian Hong, Santok lalu membaca huruf-huruf itu satu demi satu sehingga dapat dirangkai
menjadi kalimat-kalimat yang jelas.
Srigala-srigala hina pencari pusaka,
Satu demi satu mampus di tangan Kwi Ong-ya!
Tetapi karena Thian-te-pai gerombolan hina,
memaksa aku bersembunyi di sini dan bertapa!
Giok-liong-kiam pusaka pembuka rahasia,
penyimpan benda-benda pusaka berharga
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tak mungkin ditemukan siapapun juga
tanpa bantuan Giok-liong-kiam kedua!
Akulah pembuat Giok-liong-kiam kedua
dari batu sumber menggantikan kemala!
Di dalam gagangnya tersimpan rahasia
tempat simpanan Giok-liong-kiam pertama!
Setelah membaca semua kalimat itu, San-tok tiba-tiba tertawa bergelak.
Lian Hong yang belum begitu mengerti akan arti tulisan itu, memandang heran
dan bertanya. "Suhu, mengapa suhu tertawa setelah membaca tulisan itu?"
"Ha-ha-ha, betapa lucunya! Agaknya si Kwi-ong (Raja Setan) ini selain lihai,
juga amat cerdik dan licin, pandai berkelakar pula. Hong Hong, dari tulisannya
ini, jelaslah bahwa si Koan Jit itu, murid pertama si gendut Thian-tok, hanya
menguasai Giok-liong-kiam palsu. Ha-ha, yang dijadikan rebutan selama ini
oleh semua tokoh kang-ouw, yang menimbulkan kekacauan dan keributan itu
bukan Giok-liong-kiam aseli, melainkan tiruan yang dibuat oleh Kwi-ong ini.
Ha-ha-ha!" "Apakah yang suhu maksudkan dengan semua itu" Aku tidak mengerti..."
Kakek itu masih tertawa bergelak, kemudian setelah ketawanya mereda,
baru dia menerangkan kepada muridnya.
"Dari tulisannya itu dapat kita ketahui semuanya, Hong Hong. Kakek luar
biasa ini berjuluk Kwi-ong, julukan yang jumawa sekali. Agaknya dialah yang
dahulu berhasil menguasai Giok-liong-kiam yang aseli. Tentu banyak tokoh
persilatan yang berusaha merebut pusaka itu, akan tetapi dia berhasil
membunuh mereka satu demi satu. Lihat saja tengkorak-tengkorak yang
berserakan di sini, agaknya itulah musuh-musuhnya yang dibunuhnya karena
hendak merampas Giok-liong-kiam.
Akan tetapi dari tulisannya dapat diduga bahwa dia merasa gentar
menghadapi desakan Thian-te-pai yang agaknya pada waktu itu memiliki
banyak orang pandai. Thian-te-pai memaksa dia bersembunyi dan bertapa, dan
dia lalu memperoleh akal, menyembunyikan pusaka Giok-liong-kiam di suatu
tempat rahasia, lalu dia membuat sebuah Giok-liong-kiam palsu. Ha-ha, dia
membuatnya dari batu kali atau batu di sumber ini sebagai pengganti kemala.
Dan agaknya pusaka palsu inilah yang akhirnya terjatuh juga ke tangan Thiante-pang atau Thian-te-pai, dan menjadi pusaka simpanan perkumpulan itu
sampai akhirnya dicuri orang dan menjadi perebutan, dan akhirnya dicuri dari
tangan Thian-tok oleh muridnya sendiri.
Ha-ha, kalau diingat betapa kita semua ribut-ribut memperebutkan benda
palsu! Akan tetapi, hanya Kwi-ong inilah yang tahu bahwa rahasia tempat
penyimpanan Giok-liong-kiam yang aseli berada di dalam gagang Giok-liongkiam yang palsu. Dan kini agaknya hanya kita yang mengetahuinya. Biarpun
pusaka di tangan Koan Jit itu palsu, akan tetapi bagi kita masih tetap berharga,
karena di dalam gagangnya terkandung rahasia penyimpanan yang aseli. Dan
agaknya, pusaka Giok-liong-kiam itu diperebutkan orang bukan hanya karena
pusaka itu berharga dan amat langka, melainkan pusaka itupun
menyembunyikan rahasia penyimpanan benda-benda pusaka yang amat
berharga. Mengertikah engkau kini, Hong Hong?"
Lian Hong mengangguk dan memandang kagum kepada mayat telanjang
yang terendam air sampai ke perut.
"Bukan main. Kakek ini dahulunya tentu pandai sekali, suhu."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Gurunya mengangguk, akan tetapi kakek ini masih terus menyelidiki batubatu di sekitar tempat mayat itu duduk bersila, dan akhirnya dia menemukan
apa yang dicari. Yaitu coretan huruf-huruf kecil di sebuah batu yang merupakan
catatan tentang Giok-liong-kiam! Agaknya di tempat inilah Kwi-ong membuat
pusaka yang palsu, dan dia membuat catatan-catatan Giok-liong-kiam aseli
agar pelmasuan itu dapat dibuat sebaik mungkin. Catatan itu menggambarkan
macam Giok-liong-kiam, ukurannya dan sebagainya.
San-tok lalu mengeluarkan sebuah kipas, dan dengan teliti dia mencatat
semua itu di atas kipasnya. Setelah selesai, dibantu oleh Lian Hong, kakek ini
lalu kembali memasang batu-batu besar sebagai bendungan dan tak lama
kemudian, air sumber yang terbendung itu membuat kolam yang merendam
tubuh Kwi-ong berikut batu-batu disekelilingnya. Akan tetapi terlebih dahulu
Santok yang cerdik itu melenyapkan tulisan-tulisan di permukaan batu dengan
gempuran-gempuran, menggunakan batu lain sehingga permukaan batu itu
hancur dan tulisannyapun lenyap.
"Hong Hong, engkau sudah melihat semua ini dan kini makin jelas pula
betapa pentingnya kita dapat menguasai Giok-liong-kiam. Aku akan kembali
ke Wuyi-san dimana aku akan mencoba akal yang pernah dipergunakan Kwiong, dan engkau pergilah menyelidiki dimana adanya Koan Jit. Akan tetapi
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jangan engkau turun tangan karena hal itu tentu amat berbahaya."
"Suhu menyuruh aku menyelidiki, akan tetapi kalau sudah kuketahui
tempatnya, aku tidak boleh turun tangan. Apa maksud suhu?"
"Aku akan membuat Giok- liong-kiam palsu seperti yang pernah dilakukan
Kwi-Ong. Aku sudah mencatat segala bentuk dan ukurannya. Sementara aku
mencoba membuat yang palsu itu, engkau pergi mencarinya. Setelah engkau
berhasil, cepat mengabarkan padaku. Kita harus dapat menukar pusaka di
tangan Koan Jit dengan yang palsu."
Lian Hong semakin tidak mengerti. Ia mengerutkan alisnya dan
memandang wajah suhunya dengan heran.
"Suhu ini aneh sekali. Sudah mengerti bahwa pusaka di tangan Koan Jit itu
palsu, mengapa kini suhu hendak menukarnya lagi dengan yang palsu buatan
suhu" Kalau memang sudah kita ketahui tempatnya, kita rampas saja pusaka
itu, kenapa susah-susah hendak menukarnya seolah-olah suhu takut kepada
Koan Jit itu?" Kakek kurus itu tertawa lebar.
"Ha-ha-ha, engkau belum mengerti, muridku yang baik. Aku tidak takut
kepada Koan Jit, bahkan terhadap gurunya sekalipun aku tidak takut. Akan
tetapi ketahuilah, semua orang di dunia persilatan berlumba untuk
memperebutkan pusaka itu. Kini mereka semua tahu bahwa pusaka itu berada
di tangan Koan Jit sehingga mereka semua tentu akan mencari Koan Jt. Kalau
kita merampas pusaka itu begitu saja dari tangan Koan Jit, tentu perhatian
semua tokoh persilatan berbalik kepada kita dan kehidupan kita tentu tidak
akan tenteram lagi. Ingat saja halnya Kwi-ong, akhirnya mati di tempat ini
tanpa menikmati pusaka yang dikuasainya. Maka, kita menukar pusaka itu dan
biarkan semua orang mencari dan memusuhi Koan Jit, sedangkan kita diamdiam memiliki pusaka itu dan mencari rahasianya. Bagaimana kaupikir?"
Lian Hong memandang kagum kepada suhunya.
"Wah, ternyata suhu tidak kalah lihai dan cerdiknya dibandingkan dengan
Kwi-ong!" Ia memuji dari dalam hatinya.
"Ha-ha-ha, baru engkau mengenal suhumu, ya" Nah, kita sekarang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berpisah di sini. Aku kembali ke Wuyi-san dan engkau pergilah dan mencari
Koan Jit. Orang macam dia tentu suka akan daerah yang bergolak. Dan perang
madat mendatangkan pergolakan di selatan. Maka, sebaiknya ke sanalah
engkau mencari. Semua orang kang-ouw berkumpul di sana dan lebih mudah
bagimu untuk mencari keterangan."
Guru dan murid inipun saling berpisah. Untuk kedua kalinya, Lian Hong
melakukan perjalanan seorang diri dalam usahanya mencari jejak Koan Jit yang
amat licin bagai belut itu.
-------Thian-te-pai atau Thian-te-pang amat terkenal di jaman itu, karena
perkumpulan ini merupakan satu di antara perkumpulan-perkumpulan yang
gigih menentang pemerintah penjajah Mancu. Mereka terdiri dari orang-orang
gagah segala aliran yang bergabung dalam satu wadah, sejak bertahun-tahun
mengadakan penentangan, pengacauan dan perlawanan terhadap pasukan
pemerintah Mancu, mengobarkan pemberontakan dimana-mana. Banyak
sudah anggauta mereka yang tewas dalam pertempuran-pertempuran
melawan pasukan pemerintah, namun mereka tidak pernah jera. Bahkan
anggauta mereka semakin banyak saja, terdiri dari orang-orang gagah segala
aliran dan suku. Selain itu, juga mereka mengadakan hubungan baik dengan
perkumpulan-perkumpulan lain yang mempunyai tujuan sama, yaitu
menentang pemerintah Ceng dan kalau mungkin menghalau penjajah Mancu
dari tanah air. Ketika terjadi perang madat yang berlangsung selama tiga tahun itu, orangorang Thian-te-pang juga bergerak. Akan tetapi karena mereka menjadikan
pemerintah Mancu sebagai sasaran utama, maka perang antara pemerintah
melawan orang-orang kulit putih itu membuat mereka seolah-olah memperoleh
bantuan dari orang-orang kulit putih. Karena itu, mereka sengaja tidak
menyerang orang kulit putih, melainkan menghantam pemerintah yang sedang
sibuk melawan musuh asing itu. Biarpun demikian, bukan berarti bahwa Thiante-pang suka bersekongkol dengan orang-orang kulit putih. Maka, setelah
perang dihentikan dan pemerintah Ceng yang dipimpin kaisar yang lemah itu
tunduk kepada orang kulit putih, menyerahkan banyak kota dan perlakuan
istimewa terhadap orang-orang kulit putih, diam-diam para pendekar,
termasuk orang-orang Thian-te-pang, menjadi marah bukan main.
Pada waktu itu, Thian-te-pang diketuai oleh seorang kakek berusia
enampuluh tahun Iebih yang bernama Ma Ki Sun, seorang ahli silat yang
pandai, seorang gagah sejati yang sejak muda sudah bangkit menentang
pemerintah penjajah. Dia diwakili oleh Coa Bhok, sutenya sendiri yang juga
lihai ilmu silatnya. Mereka berdualah yang memirnpin Thian-te-pang.
Akan tetapi, selama beberapa tahun ini, Thian-te-pang seolah-olah
kehilangan pamornya, seperti menyuram akibat lenyapnya pusaka Giok-liongkiam dari tangan mereka. Pusaka ini tadinya dianggap semacam simbol
kekuatan dan semangat Thian-te-pang, dan membuat mereka dihargai dan
dikagumi di dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah Giok-liong-kiam lenyap dicuri
orang, pandangan dunia persilatan terhadap Thian-te-pang agak menurun.
Mereka menganggap bahwa lenyapnya pusaka itu menunjukkan kelemahan
Thian-te-pang yang tidak mampu menjaga pusaka sendiri sampai dapat dicuri
orang. Tentu saja pihak Thian-te-pang sudah berusaha mati-matian untuk
mencari pencurinya dan merampas kembali pusaka mereka sehingga ketika
terjadi perebutan, murid pertama Thian-te-pang yang bernama Lui Siok Ek ikut
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pula memperebutkan. Bahkan ketika para tokoh mendatangi Siauw-bin-hud,
wakil ketua Thian-te-pang yang bernama Coa Bhok juga hadir. Namun, semua
usaha mereka sia-sia belaka. Giok-liong-kiam tetap tak dapat mereka temukan.
Seperti telah kita ketahui, ketika terjadi perang madat, orang-orang Thiante-pang banyak yang berjuang di Kanton dan daerahnya, dan banyak pula
menarik orang-orang gagah untuk bekerja sama dengan mereka. Di antara
orang-orang gagah ini terdapat Ong Siu Coan yang telah berpisah dan sutenya,
yaitu Gan Seng Bu yang pergi bersama isterinya, Sheila. Melihat adanya
kesempatan baik untuk memenuhi cita-citanya melalui Thian-te-pang yang
besar dan kuat, ketika pasukan itu kembali ke Bukit Kijang Putih di Propinsi
Hunan. Siu Coan ikut pula bersama rombongan orang-orang Thian-te-pang.
Para murid dan anggauta Thian-te-pang tentu saja menerirnanya dengan
tangan terbuka, karena mereka semua sudah mengenal kelihaian pemuda ini.
Thian-te-pang mengadakan rapat, dipimpin oleh Ma Ki Sun dan sute atau
wakilnya, Coa Bhok. Siu Coan yang diterima sebagai seorang sahabat dan
tamu, juga diperkenalkan hadir. Yang hadir di dalam ruangan luas itu adalah
para tokoh Thian-te-pang, murid-murid kepala dan komandan-komandan regu,
tidak kurang dari limapuluh orang banyaknya, memenuhi ruangan yang
biasanya menjadi tempat berlatih silat para anggauta dan murid Thian-tepang. Ma Ki Sun dan Coa Bhok mempunyai murid-murid yang jumlahnya
duapuluh orang lebih, dan para murid ini lalu melatih silat kepada para
anggauta Thian-te-pang. Siu Coan yang hadir sebagai tamu, mengamati keadaan di situ. Dilihatnya
bahwa tempat yang menjadi markas besar Thian-te-pang ini merupakan
sebuah perkampungan yang dilengkapi dengan tembok tinggi seperti benteng
di Ierer?g Bukit Kijang Putih itu. Tempat yang baik sekali dan kuat untuk
pertahanan. Dan di dalamnya terdapat segala macam senjata, juga mempunyai
anggauta yang tidak kurang dari tiga ratus orang banyaknya, tersebar dimanamana. Pendeknya, sebuah perkumpulan yang cukup kuat. Dia memperhatikan
Ma Ki Sun, ketua perkumpulan itu, dan wakilnya.
Ma Ki Sun sudah berusia sedikitnya enampuluh tiga tahun, bertubuh tinggi
kurus dengan mata yang sebelah kiri buta dan tidak berbiji lagi. Dengan mata
sebelah ini, dia pernah malang melintang sebagai seorang pendekar di selatan
sehingga di dikenal dengan julukan It-gan Lam-eng (Pendekar Selatan Mata
Satu). Seperti juga para anggauta Thian-te-pang, di baju ketua ini, di bagian
dada, terdapat lukisan bulatan yang mengambarkan Im-yang, akan tetapi
berbeda dengan para anggauta yang lukisannya disulam benang biasa, lukisan
di baju sang ketua ini disulam dengan benang emas. Sikapnya penuh wibawa
dan matanya yang tunggal itu melirik ke kanan kiri dengan tajam dan sinarnya
mencorong. Orang kedua, yang menjadi wakil ketua dan juga sutenya, bernama
Coa Bhok, nampak tinggi kurus pula, akan tetapi sikapnya angkuh, nampak dari
tarikan mulutnya yang agak sinis dan dagu serta pandang matanya yang
membayangkan kekerasan hati.
Di tempat itu sudah diatur meja sembahyang, lengkap dengan hidangan
dan lilin-lilin yang dinyalakan. Kemudian, Coa Bhok sebagai wakil suhengnya,
bangkit berdiri dari tempat duduknya dan terdengar suaranya yang lantang
dan tegas. Ma Ki Sun bangkit berdiri, tubuhnya lebih jangkung dari pada sutenya.
Justeru matanya yang tinggal satu itulah yang mendatangkan wibawa besar,
pikir Siu Coan sambil melihat dan mendengarkan penuh perhatian.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Anak-anak sekalian!" terdengar kakek mata satu itu berkata.
"Kita adalah pendekar-pendekar tanah air, patriot-patriot bangsa yang
berjuang tanpa pamrih, hanya dengan satu tujuan, yaitu membebaskan tanah
air dan bangsa dari cengkeraman penjajah! Akan tetapi, perjuangan kita tidak
Beruang Salju 1 Pendekar Cacad Karya Gu Long Naga Sakti Sungai Kuning 1
menyusup ke dalam perjuangan para pendekar ini, mereka ini menyusup untuk
dapat merampok rumah-rumah orang kulit putih yang kaya, dengan dalih
memusuhi mereka seperti para pendekar.
Tiga orang yang tadi dirobohkannya adalah penjahat-penjahat pula. Dia
dan golongannya sama sekali bukan pembela orang kulit putih, hanya tidak
memusuhi mereka pada saat itu. Kalau tadi dia menyelamatkan gadis kulit
putih ini hanya terdorong oleh perasaannya, oleh sifat kegagahannya yang
tidak mau membiarkan tiga orang laki-laki memperkosa seorang gadis yang
tidak berdaya. Dan kini, setelah bersusah payah menolong, dan hendak
menyelamatkan gadis itu dari tempat berbahaya itu, si gadis menolak dan
memilih mati! "Apakah engkau menghendaki hal itu terjadi atas dirimu?"
Ucapan itu seperti sengatan yang menyakitkan. Wajah gadis itu berobah
pucat dan ia sudah menengok ke kanan kiri dengan sikap ketakutan.
"Jangan...! Tolonglah aku..."
"Kalau begitu, mari kita pergi. Kita harus cepat pergi dari sini, lebih cepat
lebih baik." Baru sekarang Sheila teringat akan pesan ayahnya. Ia harus cepat pergi ke
Kapal. Peristiwa yang amat mengguncangkan batinnya tadi sempat membuat
ia lupa lagi akan niatnya melarikan diri.
"Ouhhh... tolonglah saya, tolong antarkan saya ke kapal. Saya harus segera
pergi kesana, menyelamatkan diri...!" katanya dan menuding ke arah pantai
yang masih agak jauhdari tempat itu.
Seng Bu menengok ke timur. Tentu saja, menggunakan kepandaiannya, dia
akan dapat menerobos dan membawa nona ini sampai ke pantai, ke kapal.
Akan tetapi ada dua hal yang membuat dia mengambil keputusan untuk tidak
melakukan hal ini. Pertama, andaikata dia berhasil melarikan nona ini sampai
ke kapal, dia sendiri tentu akan dicurigai dan tidak merupakan hal yang
mustahil kalau dia langsung saja ditembak dan dibunuh oleh orang kulit putih.
Dan kedua, entah bagaimana, dia tidak ingin melihat gadis itu pergi
meninggalkan dia! Seng Bu menggelengkan kepala.
"Tidak mungkin, nona. Lihat, ada kebakaran-kebakaran di sana.
Mereka telah menghadang di jalan dan mereka bahkan akan menyerang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kapal-kapal itu. Kalau nona ke sana, sebelum sampai di kapal tentu akan
tertawan." Dia tidak berbohong, karena kalau Sheila pergi sendirian ke pantai, tentu
dara itu akan terhadang dan tertangkap. Tentu saja kalau dia yang
membawanya, dengan mengandalkan kepandaiannya, banyak kemungkinan
gadis itu akan selamat sampai di pantai!
Sheila menjadi bingung. Dengan matanya yang lebar dan basah, ia lalu
memandang wajah pemuda itu.
"Habis... lalu aku harus pergi kemana?"
"Mari ikut bersamaku, nona. Aku akan menyelamatkanmu. Percayalah, aku
akan melindungimu dengan taruhan nyawaku, nona."
Sepasang mata yang basah itu terbelalak, penuh keheranan, penuh terima
kasih dan keharuan. Kata-kata pemuda itu, apalagi yang terakhir, menimbulkan
kesan mendalam di hati Sheila dan wajah itu nampak demikian simpatik,
demikian mengagumkan sehingga terasa ada kedamaian dan keamanan yang
menenangkan di hatinya. "Baiklah, aku tidak tahu harus kemana. Aku tidak punya siapa-siapa lagi."
"Mari, nona," kata Seng Bu yang melihat bayangan banyak orang datang
dari sebelah selatan. Dia menggandeng tangan Sheila, tidak lagi memegang
pergelangan lengannya dan menarik gadis itu, diajaknya lari ke barat.
Akan tetapi, baru kurang lebih satu mil mereka berjalan, tiba-tiba Sheila
terpekik dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Di depan mereka
nampak serombongan orang laki-laki yang jumlahnya duapuluh orang lebih,
semua memegang senjata dan nampak mereka itu menyeramkan sekali,
dengan senjata di tangan, dengan pakaian kusut, mata beringas, dan sikap
membayangkan kekerasan. Dan bukan hanya Sheila yang terkejut, akan tetapi
Seng Bu juga kaget sekali. Dia mengenal mereka itu sebagai golongan anti kulit
putih! Celaka, pikirnya, tak mungkin menyembunyikan kenyataan bahwa gadis
yang berjalan di sampingnya adalah seorang gadis kulit putih, dan tentu
mereka takkan tinggal diam!
"Maaf, terpaksa aku memperlakukanmu sebagai tawananku!"
Seng Bu berbisik dan kini dia sudah menyambak rambut kuning emas yang
panjang itu dan menyeretnya.
"Auuwww...!" Sheila menjerit kaget dan ketakutan, tidak mengerti mengapa kini
penolongnya bersikap demikian terhadap dirinya.
"Iblis putih betina!" Terdengar seruan-seruan mereka.
Mereka adalah orang-orang yang membenci orang kulit putih dan
menyebut orang kulit putih itu "iblis putih". Ramailah duapuluhlima orang itu
kini mengurung Seng Bu yang menyeret rambut Sheila. Melihat pemuda ini
menyeret rambut Sheila, mereka berteriak-teriak dan tertawa-tawa.
"Hei, kawan!" teriak pemimpin mereka, seorang laki-laki yang berusia
limapuluh tahunlebih, berperut gendut dan memegang sebatang ruyung besar.
"Dari mana kau memperoleh iblis putih betina ini dan kenapa tidak
langsung saja dibunuh?"
Seng Bu tersenyum. "Aku telah membunuh seluruh keluarganya, dan dia kubawa untuk kusiksa
di depan makam ayahku yang tewas karena madat. Baru akan kubunuh dia di
depan makam ayah agar disiram dengan darahnya!"
Mendengar ucapan Seng Bu, terdengar suara ketawa dan orang-orang itu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memuji Seng Bu. "Bagus, memang iblis-iblis putih patut disembelih semua diatas makam
korban madat. Selamat, kawan, semoga kebaktianmu itu diterima oleh arwah
orang tuamu," kata si gendut yang lalu memberi isyarat kepada kawankawannya untuk melanjutkan perjalanan.
"Hayo cepat!" Seng Bu menghardik Sheila dan mendorongnya sehingga gadis itu
terhuyung dan jatuh bangun, ditertawai oleh rombongan orang itu. Akan tetapi
tiba-tiba seorang di antara rombongan itu berseru.
"Haiii! Ia adalah puteri Opsir Hellway!"
Seng Bu tidak memperdulikan seruan itu karena dia sendiripun tidak tahu
siapa adanya gadis ini, akan tetapi tiba-tiba si gendut berteriak keras.
"Hai, kawan. Berhenti dulu!"
Dengan sikap tenang, sambil memegang lengan Sheila, Seng Bu berhenti
dan membalikkan tubuhnya. Si gendut itu dengan langkah lebar
menghampirinya, diikuti seorang laki-laki bermata juling.
"Benarkah katamu, A-kong?" tanya si gendut kepada si mata juling.
Si mata juling mendekat dan sepasang matanya yang juling meneliti Sheila.
Gadis inipun merasa seperti pernah melihat laki-laki bermata juling ini.
"Tidak salah lagi! Ketika aku mengunjungi keponakanku yang bekerja
sebagai pelayan di rumahnya, aku pernah melihat gadis ini!" kata si juling, dan
sekarang Sheila teringat bahwa memang si juling ini pernah mengunjungi
seorang di antara para pelayannya yang oleh pelayan itu diperkenalkan
sebagai seorang pamannya dari dusun.
Si gendut kini menghadapi Seng Bu.
"Kawan, gadis ini adalah puteri Opsir Hellway."
"Kalau begitu, mengapa" Aku tidak tahu siapa, akan tetapi siapapun gadis
ini, ia harus menjadi korban di makam ayahku!" kata Seng Bu dengan sikap
tenang. "Tidak, kawan. Ia puteri opsir, merupakan tangkapan penting. Ia harus
kami bawa sebagai tawanan penting. Pemimpin kami akan girang sekali
mendapatkan tawanan opsir itu. Opsir itu di samping Kapten Elliot merupakan
musuh-musuh besar, dan puterinya tentu merupakan tawanan penting sekali!"
"Tidak bisa. Akulah yang menangkapnya dan ia adalah tawananku!" kata
Seng Bu. Si gendut mengerutkan alisnya.
"Kawan, kami adalah para pejuang, dan dalam perjuangan, urusan pribadi
harus dikesampingkan. Berikan gadis ini kepada kami dan jasamu akan kami
catat, kami laporkan kepada atasan kami!"
"Aku tidak perduli. Gadis ini menjadi tawananku dan siapapun tidak boleh
merampasnya!" "Kau mau menjadi pengkhianat?" Bentak si gendut.
"Aku bukan anak buahmu, aku tidak mengkhianati siapa-siapa."
"Tidak perlu banyak cakap, rampas saja gadis itu!" terdengar teriakanteriakan.
Seng Bu maklum akan gawatnya keadaan, maka cepat ia menotok jalan
darah di pundak Sheila yang membuat gadis itu seketika menjadi lemas dan
tidak mampu bergerak, kemudian dengan tangan kirinya, Seng Bu memondong
tubuh yang lemas itu di atas pundak kirinya. Sejenak jari-jarinya menyentuh
kulit daging yang lunak dan halus, akan tetapi semua perasaan aneh ini
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ditekannya dan diapun meloncat ke depan.
Orang-orang itu berteriak-teriak dan beberapa orang sudah menghadang.
Akan tetapi Seng Bu menerjang mereka dan empat orang terpelanting ke kanan
kiri ketika kaki tangannya bergerak.
Seng Bu hanya menggerakkan golok untuk menangkis senjata-senjata yang
diarahkan kepadanya, terutama sekali untuk menjaga agar tubuh yang
dipondongnya tidak sampai terkena bacokan atau tusukan. Begitu goloknya
menangkis sambil mengerahkan tenaganya, dia membuat beberapa buah
senjata lawan beterbangan. Tentu saja orang-orang itu merasa terkejut bukan
main. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu demikian lihainya. Hal ini
menimbulkan kecurigaan mereka, dan mereka lalu mengepung. Si gendut yang
memegang ruyung besar itu lalu menubruk, menggerakkan ruyungnya
menghantam ke arah tubuh Sheila yang dipanggul di atas pundak kiri Seng Bu.
"Wuuuutttt... tranggg!!"
Golok Seng Bu menangkis dan si gendut hampir terpelanting. Dia
mengeluarkan seruan kaget. Si gendut yang memimpin kelompok orang itu
terkenal dengan julukan Gajah Sakti. Dari julukannya ini saja dapat diduga
bahwa dia tentu memiliki tenaga yang kuat seperti gajah. Oleh karena itu,
dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ruyungnya yang besar dan berat
itu tadi ditangkis oleh Seng Bu, tubuhnya terpelanting dan hampir saja
terlempar! Sampai beberapa lamanya Seng Bu berlari kencang. Baru setelah dia
merasa yakin bahwa tidak ada orang yang mengejarnya lagi, dia berhenti dan
dengan hati-hati dia menurunkan tubuh Sheila sambil membebaskan
totokannya. Kembali jari-jari tangannya menyentuh kulit daging yang lunak
halus dan hangat ketika dia menurunkan tubuh itu, dan hidungnya mencium
bau keringat wanita bercampur dengan minyak harum yang keluar dari tubuh
dan rambut Sheila. Jantungnya berdebar kencang, akan tetapi Seng Bu dapat
menekan batinnya sehingga jantungnya berdenyut normal kembali.
Kini Sheila berdiri memandang dengan bengong dan sepasang matanya
menatap wajah Seng Bu penuh selidik. Ia sedang menimbang-nimbang,
sedang menduga-duga, dengan siapa ia berhadapan, orang macam apa adanya
pemuda ini, dan baik ataukah buruk niat yang terkandung di hati dalam dada
yang bidang itu. Dan diapun kagum bukan main karena kini ia merasa yakin
bahwa pemuda ini adalah seorang pendekar ahli silat seperti yang pernah
dibacanya dan didengarnya dari dongeng para pelayannya.
"Kau... kembali telah menolong dan menyelamatkan aku dari tangan
gerombolan itu." "Karena itulah kukatakan tadi bahwa engkau harus cepat pergi. Terlalu
berbahaya di daerah ini dan banyak sekali rombongan seperti mereka itu."
"Siapakah gerombolan itu?"
"Mereka bukan gerombolan jahat, sama sekali bukan seperti tiga orang
bajingan yang menangkapmu pertama kali itu. Tidak, mereka tadi adalah
sepasukan patriot, orang-orang gagah yang memusuhi orang kulit putih."
Baru dia teringat bahwa yang diajak bicara adalah seorang gadis kulit
putih. "Maaf, aku tidak dapat menyalakan mereka..."
Dan dengan berani Seng Bu menentang pandang mata itu. Sheila menarik
napas panjang, lalu berkata lirih.
"Tidak, akupun tidak dapat menyalakan mereka!"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Ucapan ini mengejutkan dan mengherankan hati Seng Bu, dan dialah yang
kini memandang wajah gadis itu penuh selidik.
"Apa" Benarkah itu" Mereka memusuhi bangsamu, bahkan membunuh
bangsamu, juga orang tuamu terbunuh oleh mereka dan kau tidak menyalahkan
mereka" Apa maksudmu?"
Kembali Sheila menarik napas panjang.
"Bangsaku bersalah, aku sudah sejak lama tidak setuju dengan
perdagangan candu mereka. Benda itu berbahaya, meracuni rakyat. Aku
melihat akibat-akibat mengerikan dari madat itu. Jadi kalau sekarang
bangsamu marah dan memusuhi bangsaku, bagaimana aku dapat menyalakan
mereka" Andaikata aku menjadi mereka, akupun akan berbuat demikian!"
Seng Bu terbelalak, matanya memandang kagum.
"Dan engkau... engkau tentu seorang pendekar yang pandai ilmu silat."
Seng Bu semakin heran. "Eh, bagaimana engkau bisa tahu tentang pendekar silat?"
"Aku banyak membaca tentang pendekar dan banyak mendengar dari para
pelayanku...." Seng Bu mengangguk-angguk.
"Kiranya nona seorang terpelajar. Ah, baru teringat aku bahwa nona,
biarpun seorang asing kulit putih, akan tetapi pandai sekali berbahasa daerah
dan kata-katamu sopan halus seperti orang terpelajar."
"Sejak berusia empat tahun, aku tinggal di sini, tentu saja aku pandai
bahasa sini. Benarkah engkau menolongku dengan maksud baik, ingin
menyelamatkan aku" Tidak akan kaubawa untuk..."
Wajah gadis itu memandang jijik.
"Untuk apa, Nona?"
"Untuk kaubunuh di makam ayahmu agar darahku membasahi makam
ayahmu...?" Ia bergidik ngeri.
Seng Bu menggeleng kepala.
"Tidak, tadi hanya kupakai agar mereka mau membiarkan aku
membawamu pergi. Siapa kira ada yang mengenalmu. Jadi kau anak opsir?"
Sheila mengangguk. "Ayah dan ibu telah tewas..." dan tiba-tiba ia menangis lagi, menangis
terisak-isak karena teringat akan mayat ayah ibunya yang menggeletak di
dekat kereta. "Sudahlah, nona. Mereka sudah tewas, ditangisi sampai bagaimanapun
tidak ada gunanya. Yang sudah mati tidak perlu dipikirkan lagi, yang penting
memikirkan yang masih hidup dan engkau masih hidup, nona."
Seng Bu bukan orang yang pandai mengatur kata-kata, maka ucapan yang
keluar dari lubuk hatinya ini walaupun mempunyai maksud yang amat baik,
namun tidak dimengerti oleh Sheila dan gadis itu menjadi makin mengguguk
karena seolah-olah diingatkan oleh pemuda itu, bahwa hanya ialah seorang
yang masih hidup seorang diri saja di dunia yang penuh bahaya ini, di sebuah
negeri asing yang kejam terhadap dirinya.
Melihat seorang gadis menangis demikian sedihnya, hal yang baru pertama
kali ini dialami oleh Seng Bu, hati pemuda ini diliputi keharuan dan rasa kasihan
yang mendalam dan suara tangis itu demikian memilukan hatinya sehingga
tanpa disadarinya lagi kedua matanya menjadi basah!
"Aku... aku memang masih hidup... akan tetapi apa artinya" Aku... aku tidak
punya siapa-siapa lagi, aku hidup sebatangkara di sini..." kata Sheila di antara
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tangisnya. "Dan"mereka mati karena... madat...?"
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suaranya mengandung penuh kekhawatiran, dan teringatlah ia akan katakata ancaman yang dipergunakan oleh pemuda itu kepada gerombolan yang
tadi hendak menawannya. Seng Bu menggeleng kepala.
"Sama sekali tidak. Mereka tewas... karena kekacauan yang timbul oleh
pemberontakan. Aku melihat... mereka terbunuh tanpa dapat berbuat apa
apa..." Seng Bu menghentikan kata-katanya dan kesedihan memenuhi hatinya
karena percakapan itu mengingatkan dia akan keadaan dirinya sendiri, akan
kematian ayah bundanya dan akan semua kesengsaraan yang pernah
dialaminya, dan baru sekali ini dia bicarakan dengan orang lain. Tanpa terasa
olehnya, kedua matanya menjadi basah, bahkan ada dua butir air mata
mengalir turun di atas pipinya.
Melihat betapa pemuda yang demikian gagah perkasa itu menitikkan air
mata, Sheila menjadi terharu sekali. Gadis ini kini tidak merasa begitu berduka
lagi, melainkan terharu dan kasihan kepada Seng Bu. Kini air mata yang jatuh
menitik dari kedua matanya berbeda lagi dengan air matanya yang tadi, seperti
juga air mata yang jatuh dari mata Seng Bu berbeda dengan air mata yang
membasahi kedua matanya sebelum dia terkenang akan keadaan dirinya
sendiri. Tangis merupakan suatu peristiwa amat penting dari kehidupan, bahkan
air mata tidak terpisahkan dari kehidupan seorang manusia. Kebohongan
besarlah kalau seorang mengatakan bahwa dia tidak pernah menangis!
Setidaknya, tentu dia pernah menangis dalam hatinya. Dan tentu dia banyak
menangis pula di waktu masih kecil, setiap hari menangis entah berapa kali.
Bahkan menurut penyelidikan para cendekiawan, tangis merupakan suatu
keharusan bagi manusia karena tangis merupakan obat yang amat mujarab,
merupakan suatu pelepasan segala ganjalan, pelampiasan segala kekecewaan
dan kemarahan. Tanpa tangis, mungkin usia manusia menjadi lebih pendek
dari pada kepanjangan usia pada umumnya seperti sekarang ini.
Tangis bukan hanya menjadi tanda kedukaan hatinya, bahkan
kegembiraan yang besar, manusia menitikkan air mata seperti orang menangis.
Kegembiraan besar mendatangkan keharuan yang membuat orang menangis
pula. Agaknya hanya dalam suara tangis sajalah, terdapat suatu kesungguhan,
suatu kewajaran, walaupun tentu saja ada tangis yang dibuat-buat. Betapapun
juga, tangis tidaklah sepalsu tawa.
Suara pertama dari manusia adalah tangis. Begitu terlahir, manusia dari
bangsa apapun juga, mengeluarkan suara pertama itu, ialah menangis. Dan
suara ini adalah suara kemanusiaan, suara suci karena dikeluarkan dari mulut
manusia sebagai gerakan pertama kali, keluar tanpa dikehendaki, suara yang
sama sekali tidak mengandung emosi, atau pamrih. Karena itu, suara yang
wajar ini dikenal oleh seluruh manusia di dunia tanpa membedakan bangsa dan
bahasa, menjadi satu-satunya suara yang amat dekat dengan manusia
berbangsa apapun juga. Dari suara tangis, kita tidak akan mampu
membedakan apakah tangis itu keluar dari mulut seorang berbangsa ini atau
itu. Kelahiran manusia diiringi tangis, tangisnya sendiri. Kematiannyapun
diiringi tangis, tangis mereka yang ditinggalkan. Kehidupan itu sendiri, antara
lahir dan mati, penuh dengan selingan tangis!
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Sesungguhnya, tangis merupakan sesuatu yang tak terpisahkan dari hidup,
dan tangis merupakan pertanda dari keadaan batin yang macam-macam pula.
Tangis duka didasari oleh rasa iba diri, seperti yang dilakukan oleh Sheila dan
Seng Bu ketika keduanya teringat akan keadaan diri mereka masing-masing.
Ada pula tangis haru yang didasari oleh rasa iba terhadap orang lain. Ada
tangis karena kegembiraan yang besar. Tangis karena kemarahan. Tangis
merupakan pencerminan keadaan batin yang diusik emosi.
Demikian dekatnya tangis dengan kehidupan kita sehingga tangis inipun
mudah sekali menular. Berada di antara banyak orang yang sedang menangis,
sukarlah bagi kita menahan diri agar tidak ikut menitikkan air mata.
Gan Seng Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, yang sejak kecil
sudah digembleng oleh keadaan yang pahit, oleh kesukaran, kemudian
digembleng ilmu oleh seorang datuk sesat yang sakti. Semenjak menjadi murid
Thian-tok, dia tidak lagi pernah menangis, seolah-olah hatinya telah membeku.
Hanya karena memang pada dasarnya dia tidak suka akan kejahatan, dan
memiliki watak gagah perkasa, maka dia tidak terseret oleh watak gurunya
yang aneh, jahat dan amat kejam itu.
Akan tetapi, begitu bertemu dengan Sheila, terjadilah perobahan yang
besar dan luar biasa, yang membuat Seng Bu sendiri menjadi bingung dan
terkejut. Dalam waktu sehari, bahkan baru beberapa jam saja, setelah bertemu
dengan Sheila, dia beberapa kali mengalami guncangan batin, jantungnya
berdebar penuh ketegangan, penuh kekhawatiran, dan lebih hebat lagi, kini dia
sampai dua kali menitikan air mata dalam keadaan yang berbeda!
Pertama, keharuan dan iba terhadap diri gadis itu membuat dia tidak dapat
menahan air matanya, dan kini, setelah teringat akan keadaan diri sendiri, dia
menitikkan air mata karena iba diri dan duka. Kedukaan, saling iba, dan
persamaan nasib itu mendekatkan dua hati yang bertemu dalam keadaan yang
demikian mengharukan dan menyedihkan. Mereka duduk di atas rumput, kini
tidak bicara, hanya sinar mata mereka saling pandang dengan penuh getaran
perasaan. "Engkau sungguh patut dikasihani, nona."
Akhirnya Seng Bu berkata untuk menghibur hati sendiri. Memang tidak ada
cara yang paling mujarab untuk mengobati kesedihan diri sendiri dari pada
mengalihkan perhatian kepada nasib lain orang, sehingga iba diri berobah
menjadi iba kepada orang lain.
"Engkaulah yang patut dikasihani," jawab Sheila.
Mereka saling merasa kasihan, dan mereka sama sekali tidak sadar bahwa
rasa iba ini merupakan jembatan yang dekat sekali untuk menyeberang kepada
cinta asmara. "Tidak, nona. Aku adalah orang dari negeri ini, dan aku langsung terlibat,
bahkan aku juga ikut aktip dalam pergolakan sehingga sudah sepantasnya
kalau aku menjadi korban gelombang ini. Akan tetapi engkau, engkau seorang
asing dan engkau sama sekali tidak tahu menahu tentang semua ini menjadi
korban.. dan engkau"."
"Tidak! Pandanganmu itu keliru, sahabat yang gagah. Setiap orang tentu
menjadi sebab dari pada akibat yang menimpa dirinya sendiri. Ayah bertugas
di sini, dan ayah ikut pula mendorong kereta kejahatan yang berupa
penyelundupan madat ke negeri ini. Itulah sebab terjadinya musibah hari ini.
Dan apabila ada angin ribut melanda, angin tidak memilih pohon apa saja tentu
akan dilandanya, daun apa saja, bunga apa saja mungkin rontok oleh amukan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan angin dan badai. Biar aku tinggal di negeriku sendiri, kalau disana terjadi badai
seperti di sini, kalau terjadi pergolakan, mungkin saja aku tertimpa dan menjadi
korban. Dalam hal ini, aku tidak menyalahkan siapa-siapa, melainkan
kesalahan pihakku sendiri, orang tuaku dan bangsaku."
Seng Bu tertegun. Demikian mendalam arti kata-kata gadis itu, demikian
bijaksana sehingga sukar ditangkapnya secara jelas, namun samar-samar dia
dapat mengerti. Memang gadis itu seorang yang bijaksana, luas
pengetahuannya biarpun usianya masih muda, karena ia banyak membaca.
Bacaan, kalau dilakukan dengan tekun, kalau dilakukan dengan pencurahan
perhatian, merupakan sumber pengetahuan dan pengertian dan memupuk
kebijaksanaan. Seorang bijaksana akan melihat bahwa segala akibat itu tentu
bersebab, dan kalau diteliti, maka segala akibat yang menimpa diri sendiri
sudah pasti sebabnya bersumber pada diri sendiri pula.
Kita sudah terbiasa sejak kecil untuk mencari kesalahan di luar diri sendiri,
untuk mencari kambing hitam atau keranjang sampah. Hal ini sama sekali tidak
ada manfaatnya, bahkan mengeruhkan pikiran, menimbulkan dendam dan
permusuhan, kebencian kepada yang berada di luar diri. Mengapa kita tidak
pernah mau menjenguk ke dalam diri sendiri untuk mencari sebab dari pada
setiap akibat yang timbul dan yang menimpa diri kita sendiri" Bukankah hal ini
timbul karena kita sudah membuat dan menciptakan sebuah gambaran
tentang diri kita sendiri, sebuah gambaran yang menjadi raja "aku?" Aku yang
paling baik, paling benar, dan paling patut dikasihani, menjadikan kita menjadi
rendah diri atau tinggi hati, satu di antara dua. Keakuan yang membuat kita
enggan untuk mencari kesalahan pada diri sendiri.
Kalau kita tertipu seseorang, kita condong untuk mencurahkan semua
perhatian kepada si penipu, menyalahkannya, menuntutnya, membencinya,
mendendam dan mencari jalan untuk membalasnya berikut bunganya.
Mengapa kita tidak menghentikan pencurahan keluar itu dan mencari
sebabnya dalam diri sendiri" Kalau kita melakukan hal itu, maka akan
nampaklah oleh kita sebabnya yang terutama adalah pada diri kita, yaitu
karena kita lengah, karena kita bodoh, karena kita lemah, maka kita sampai
tertipu. Pengamatan terhadap diri sendiri ini jauh lebih besar manfaatnya, dapat
membuat kita sadar dan menganggap peristiwa itu sebagai suatu pengalaman
berharga, sebagai pelajaran sehingga selanjutnya kita akan berhati-hati, akan
waspada sehingga tidak sampai tertipu lagi. Pandangan keluar, sebaliknya,
mendatangkan emosi, dendam dan kebencian, dan tidak akan menambah
kewaspadaan kita sehingga kelak mungkin saja hal yang sama terulang lagi
karena kelengahan kita sendiri.
Dalam menghadapi setiap peristiwa yang menimpa kita, demikian kata
orang bijaksana, kita tidak menyalahkan Tuhan, tidak mengutuk Setan,
melainkan mencari sebab-musababnya dalam diri kita sendiri!
"Nona, engkau tabah menghadapi semua penderitaan, membuat aku
kagum sekali," akhirnya Seng Bu menyatakan kekaguman hatinya.
"Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan denganmu, sobat. Engkau gagah
perkasa, engkau berbudi mulia, biarpun aku seorang asing sama sekali bagimu,
bahkan dari bangsa asing yang telah banyak menimbulkan kesengsaraan
kepada bangsamu, engkau masih mau menolongku, bahkan melindungiku
dengan taruhan nyawa. Bolehkah aku mengenal namamu?"
"Namaku Gan Seng Bu, hidup sebatangkara saja di dunia ini."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Gan Seng Bu" Nama yang gagah."
"Dan engkau siapakah, nona?"
"Namaku Sheila."
"Sheila..." Sheila...?"
Seng Bu tidak memberi komentar, akan tetapi beberapa kali bibirnya
bergerak menyebut nama Sheila dengan lembut dan tidak kaku. Diam-diam
Sheila merasa girang bahwa namanya Sheila, sebuah nama yang tidak akan
sukar terucapkan oleh mulut pribumi yang sukar menyebut huruf "r". Coba
namanya Margaret atau lain nama yang menggunakan huruf itu, tentu akan
sukar bagi Seng Bu untuk menyebutnya. Tidak, nama Sheila tidak sukar bagi
lidah Seng Bu. "Biarlah aku menyebutmu Seng Bu saja dan engkau menyebutku Sheila
tanpa nona, bagaimana?"
Ketika Seng Bu mengangguk tersenyum, Sheila juga tersenyum dan pada
saat itu keduanya sudah lupa sama sekali akan keharuan dan kesedihan
mereka tadi. Memang, suka atau duka hanyalah permainan pikiran belaka yang
menimbulkan emosi, kalau pikiran tidak lagi tertuju kepada hal itu, tentu tidak
ada pula duka atau Suka !
"Seng Bu, setelah engkau mengajakku sampai ke tempat ini, lalu
selanjutnya bagaimanakah" Aku seharusnya pergi ke kapal dan
menyelamatkan diri dengan orang-orang kulit putih lainnya. Akan tetapi jalan
ke sana sudah terputus dan aku berada di sini. Bagaimana selanjutnya" Engkau
tidak akan meninggalkan aku begini saja di sini, bukan?"
"Aih, tentu saja tidak, Sheila. Aku tidak akan berbuat kepalang tanggung.
Aku sudah berani mengajakmu ke sini, aku harus dapat mempertanggung
jawabkan dan selanjutnya aku akan melindungimu sampai... sampai engkau
selamat benar." Makin yakinlah hati Sheila akan kegagahan Seng Bu, akan kesungguhan
hatinya melindunginya dan hatinya mulai pasrah. Ia akan merasa aman kalau
selalu berada di dekat pemuda ini, dalam keadaan bagaimanapun juga.
"Terima kasih, Seng Bu. Akan tetapi, kemana selanjutnya kita akan pergi?"
Ia menatap wajah yang gagah itu.
"Apakah engkau mempunyai rumah?"
Seng Bu tersenyum dan semua bayangan kekerasan meninggalkan garisgaris wajahnya ketika dia tersenyum. Dia menggeleng kepalanya, dan Sheila
melihat kuncir rambut yang hitam gemuk dan panjang itu bergoyang di depan
dada pemuda itu. Rambut yang hitam mengkilap, gemuk panjang, bagus sekali.
"Aku adalah seorang yang hidup sebatangkara, tidak memiliki apa-apa,
Sheila. Juga tidak mempunyai rumah. Akan tetapi untuk sementara ini, aku
tinggal bersama kawan-kawan lain di dalam sebuah hutan dimana dibangun
pondok darurat besar dimana kami tinggal bersama."
"Kawan-kawan?" "Ya, kawan-kawan seperjuangan, orang-orang gagah yang mempunyai
cita-cita yang serupa, yaitu mengenyahkan penjajah asing dari tanah air."
"Ah, sekarang aku tahu!" Sheila berkata dengan sikap gembira.
"Aku sudah pernah baca dan mendengar tentang pendekar-pendekar
patriot yang bercita-cita membebaskan tanah air dari cengkeraman pemerintah
Mancu. Ada perkumpulan Tombak Merah, Pintu Besar, Thian-te-pang. Yang
manakah perkumpulanmu?"
Seng Bu menggeleng kepalanya.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Aku bebas, tidak terikat perkumpulan yang manapun, Sheila. Akan tetapi
ada kukenal mereka itu karena kami setujuan, dan yang kini berkumpul dan
bersembunyi di dalam hutan itu, sebagian besar memang anggauta-anggauta
Thian-te-pang, sebagian pula adalah pejuang-pejuang sukarela seperti aku,
termasuk suhengku yang menjadi tokoh Thian-tepai yang terkenal pula."
Sheila lalu diajak melanjutkan perjalanan oleh Seng Bu, memasuki sebuah
hutan besar, dan di tengah-tengah hutan itu, Sheila dan Seng Bu disambut oleh
puluhan orang. Mereka semua terheran-heran melihat munculnya Seng Bu
bersama seorang gadis kulit putih yang cantik jelita. Mereka itu semua adalah
orang-orang yang sejak kecil dididik memusuhi penjajah Mancu, dan
merupakan pejuang-pejuang yang ingin meruntuhkan kekuasaan Mancu, tidak
mempunyai rasa permusuhan terhadap bangsa kulit putih walaupun hal ini
bukan berarti bahwa mereka menyukai orang kulit putih. Tidak, kebanyakan
dari mereka tidak suka kepada orang kulit putih, terutama sekali dengan
adanya penyebaran madat. Namun, mereka tidak memusuhi bangsa asing ini
secara terbuka. Oleh karena itu, biarpun Sheila disambut dengan penuh
keheranan, namun tidak ada yang memusuhi atau ingin mengganggunya.
Seng Bu lalu memperkenalkan Sheila sebagai seorang gadis yang
kehilangan semua keluarganya yang tewas oleh mereka yang antibangsa kulit
putih dan bahwa dia telah menyelamatkan gadis itu dari gangguan penjahatpenjahat yang hendak memperkosanya. Mendengar ini, orang-orang yang
kebanyakan berjiwa pendekar itu ikut merasa simpati dan mereka menyambut
kedatangan Sheila dengan sikap ramah, apalagi setelah mendengar dari mulut
Sheila sendiri betapa gadis asing yang pandai bicara daerah ini mengagumi
perjuangan mereka. Sheila pandai bicara daerah, dan sikapnya juga ramah, wajahnya manis
menarik, maka sebentar saja semua orang merasa suka dan kasihan
kepadanya. Di dalam rombongan besar ini terdapat pula wanita-wanita, ada
wanita yang menjadi anggauta keluarga para pejuang itu, ada pula wanita
gagah yang memang menjadi anggauta pasukan. Mereka yang tidak suka akan
kekerasan bekerja sebagai pelayan dapur umum. Karena adanya para wanita
yang menerima Sheila sebagai seorang sahabat, maka gadis inipun merasa
senang dan tidak terasing hidup di antara para pejuang itu.
Dan lucunya, para wanita di dalam rombongan itu, dan juga sebagian besar
di antara mereka, diam-diam menganggap bahwa Sheila adalah pacar atau
calon isteri Gan Seng Bu! Semua orang menganggap hal ini sebagai suatu yang
lumrah, bahkan ketika mendengar desas-desus ini, baik Seng Bu maupun Sheila
hanya senyum-senyum saja. Hanya ada satu orang yang menerima berita ini
dengan alis berkerut, dengan hati yang tidak suka dan orang ini bukan lain
adalah Ong Siu Coan! Mula-mula Ong Siu Coan juga bukan merupakan anggauta Thiante-pang.
Akan tetapi sejak kecil dia memang bercita-cita untuk menentang pemerintah
Mancu dan berjuang untuk mengusir penjajah dari tanah air. Maka, begitu
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bertemu dengan perkumpulan seperti Thian-te-pang yang terdiri dari orangorang yang memiliki cita-cita demikian pula, hatinya segera tertarik dan diapun
menggabungkan diri. Dan Siu Coan merupakan seorang pejuang yang gagah
perkasa, berilmu tinggi, sehingga sebentar saja namanya terkenal sekali di
antara orang-orang Thian-te-pang, bahkan dia dianggap sebagai seorang tokoh
Thian-te-pang walaupun dia tidak menjadi anggauta secara syah.
Dalam perkelahian dan penyerbuan terhadap pasukan pemerintah, Siu
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Coan selalu berada di depan dan dicontoh oleh lain-lainnya, bahkan menjadi
pemimpin mereka. Ketika berjumpa dengan sutenya dalam keributan di sekitar
Kanton, Siu Coan membujuk sutenya untuk bergabung. Seng Bu tidak memiliki
cita-cita seperti suhengnya, namun dia berjiwa pendekar dan melihat bahwa
Thian-te-pang terdiri dari orang-orang gagah yang juga membela kaum lemah,
diapun tidak berkeberatan untuk menggabungkan diri.
Ketika melihat sutenya pulang ke hutan bersama seorang gadis kulit putih
yang cantik, mula-mula Siu Coan hanya tersenyum saja dan menyambut
dengan sikap biasa saja. Akan tetapi, aneh sekali, begitu mendengar bahwa
gadis itu adalah pacar dan calon isteri Seng Bu, mulailah timbul perasaan tidak
enak di dalam hatinya. Dia sendiri tidak tahu bahwa itu adalah permulaan
perasaan iri! Mulailah dia memperhatikan Sheila dan makin diperhatikan,
makin kagum dia, karena baru sekarang dia melihat bahwa Sheila adalah
seorang gadis yang cantik sekali, dan memiliki bentuk tubuh yang amat
menggairahkan! Perlu diketahui bahwa Thian-tok yang menjadi guru dua orang pemuda itu
adalah seorang datuk sesat yang berhati kejam sekali. Juga Thian-tok, seperti
kebanyakan datuk sesat lalinnya, mempunyai watak mata keranjang dan suka
menggoda wanita. Memang, setelah usianya tua sekali, yaitu setelah menjadi
guru kedua orang muda itu, kegilaannya akan wanita tidaklah seperti dahulu
di waktu muda. Dahulu Thian-tok terkenal sebagai pengganggu wanita, tidak
perduli wanita itu isteri orang yang sudah mempunyai anak, ataukah gadis
yang masih remaja, asal dia tertarik tentu akan diculiknya begitu saja. Ketika
dia menjadi guru Siu Coan dan Seng Bu, hanya beberapa kali saja dia menculik
wanita dan hal inipun diketahui oleh dua orang muridnya.
Diam-diam Seng Bu hanya merasa tidak senang, akan tetapi tidak berani
menentang gurunya. Sebaliknya, Siu Coan diam-diam merasa senang dan
bahkan mencoba untuk mengintai apa yang diperbuat oleh suhunya. Dan
secara diam-diam pula, di luar tahu sutenya, beberapa kali Siu Coan juga
mengikuti jejak gurunya, mengganggu wanita dengan paksa atau dengan
halus. Demikianlah, terdapat suatu watak buruk tersembunyi di balik lubuk hati
Siu Coan yang kelihatannya bersikap sebagai seorang pejuang, seorang patriot
dan pendekar yang gagah perkasa itu. Dan melihat Sheila, timbul pula
gairahnya yang didorong oleh perasaan iri dan cemburu terhadap sutenya,
apalagi melihat betapa Sheila selalu bersikap manis dan mesra terhadap Seng
Bu. Mulailah dia mendekati gadis kulit putih itu, mula-mula hal ini dilakukan
ketika Seng Bu sedang tidak ada, dan secara wajar seperti seorang sahabat.
Dibandingkan dengan Seng Bu, Siu Coan lebih pandai bicara, pandai
membawa diri dan menyesuaikan diri dengan keadaan sekelilingnya. Juga dia
lebih pandai dalam hal kesusasteraan, lebih luas pengetahuan umumnya, dan
tentu saja jauh lebih pandai dibandingkan dengan Seng Bu mengenai tulisan
dan bacaan, karena di waktu kecilnya Siu Coan pernah bersekolah, tidak seperti
Seng Bu yang hanya anak keluarga pemburu yang kasar. Oleh karena itu,
setelah Siu Coan melakukan pendekatan, tidak mengherankan kalau Sheila
cepat tertarik sekali dan nampak bergaul akrab dengan Siu Coan.
Sheila kini menjadi semakin kagum saja setelah hidup di tengah-tengah
para pendekar dan pejuang itu. Ia mengagumi kejujuran mereka, kegagahan
mereka, dan betapa orang-orang ini hanya untuk menunjang sebuah cita-cita
membebaskan tanah air dari cengkeraman penjajah, rela hidup demikian
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan bersahaja, kehilangan keluarga, bahkan mempertaruhkan nyawa demi cita-cita
mereka. Ia merasa kagum sekali.
Ketika Siu Coan mendekati, tentu saja ia sambut dengan ramah. Siu Coan
adalah suheng dari Seng Bu, dan ternyata bahwa suheng dari sahabat baiknya
ini adalah seorang yang demikian pandainya, tidak saja pandai ilmu silatnya,
akan tetapi juga luas pengetahuannya dan enak diajak bicara. Bahkan tidak
seperti Seng Bu yang agak pendiam dibandingkan dengan sang suheng ini.
Bukan hanya jasmani Sheila yang menarik perhatian Siu Coan. Ada suatu
hal lain lagi yang amat menarik hatinya ketika dia mulai mendekati Sheila
seringkali bercakap-cakap dengan gadis itu. Hal yang amat menarik hatinya ini
adalah tentang Agama Kristen! Di dalam percakapan itu, mereka berdua
menyinggung soal agama dan Sheila lalu bercerita tentang agamanya. Dan
sungguh aneh sekali, Siu Coan tertarik bukan main. Mula-mula memang
menjadi taktiknya saja untuk mendekati gadis itu, membicarakan soal agama
gadis itu. Akan tetapi, makin lama dia semakin tertarik dan banyak bertanya
tentang pelajaran dalam agama itu.
Dengan senang hati, Sheila menceritakan segalanya, bahkan gadis itu lalu
memberi tahu kepada Siu Coan tentang Alkitab yang sudah diterjemahkan ke
dalam bahasa daerah! Dan karena Siu Coan mendesak untuk dapat membaca
kitab itu, Sheila memberi tahu bahwa ada beberapa orang di Kanton yang
memiliki kitab terjemahan itu, yaitu mereka yang sudah masuk Agama Kristen.
Semenjak waktu itu, mulailah Siu Coan tertarik kepada Agama Kristen dan
diam-diam dia melakukan banyak hubungan dengan pemuka-pemuka Kristen
di Kanton, yaitu bangsa sendiri yang sudah memeluk agama itu, dan dari
merekalah dia memperoleh kitab terjemahan.
Pada waktu itu, terjemahan Alkitab dalam Bahasa Tiongkok amatlah
buruknya. Tanpa bimbingan seorang pendeta atau seorang ahli, tidak mudah
menangkap arti terjemahan itu. Akan tetapi Siu Coan yang memiliki watak
tinggi hati dan menganggap diri sendiri paling pintar, tidak membutuhkan
bimbingan dan dia mempelajari sendiri kitab terjemahan itu. Dia sendiri yang
membuat penafsirannya dan mulailah dia menganut agama baru yang
dicampur adukkan dengan agama-agama lain yang pernah dipelajarinya.
Mulailah orang muda yang memang berwatak aneh, cerdik dan luar biasa
ini membentuk sebuah agama baru yang aneh, pencampuran dari Agama
Kristen dan agama-agama yang lebih dulu. Atau semacam Agama kristen yang
berbahu pengaruh pelajaran Agama-agama Buddha, Tao, dan Khong-hu-cu!
Masih dicampuri lagi dengan segala macam tradisi turun-temurun. Di dalam
dada pemuda ini mulai dipengaruhi dua unsur yang amat kuat. Pertama adalah
cita-cita menentang penjajah Mancu, kebencian yang mendalam terhadap
penjajah Mancu, dan kedua adalah pembentukan Agama Kristen yang tanpa
disadarinya telah menyimpang dari pada pelajaran yang sebenarnya itu.
Kebanyakan dari kita, terutama di dunia modern akhir-akhir ini, condong
untuk menilai seseorang melalui agamanya, atau kebangsaannya,
kesukuannya, kelompoknya, kedudukannya, pendidikannya, atau bahkan dari
kekayaannya! Karena penilaian seperti itu, tentu saja lalu bermunculan konflikkonflik antar agama, antar suku, antar kelompok dan sebagainya. Masingmasing pihak tentu saja menilai pihak sendiri paling baik dan paling benar,
sedangkan pihak lain yang paling salah dan paling buruk!
Padahal, seperti dapat kita lihat dari kenyataan, bukan dari teori, baik
buruknya seseorang sama sekali tidak tergantung dari agamanya,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kebudayaannya, dan sebagainya itu. Baik buruknya seseorang tergantung dari
perbuatannya dan batinnya, karena perbuatan itu mencerminkan keadaan
batin. Agama, kebangsaan, kedudukan dan sebagainya adalah pakaian yang
dikenakan pada seseorang manusia. Betapapun indah dan bersihnya pakaian
itu, kalau manusia yang memakainya kotor dan buruk, tentu saja akan tetap
kotor dan buruk, dan bukan tidak mungkin bahwa pakaian yang bersih itu akan
terbawa menjadi kotor. Agama hanyalah suatu pelajaran bagi manusia agar
hidup menurut jalur yang benar dan baik, akan tetapi tentu saja bukan
agamanya yang menentukan, melainkan manusianya sendiri karena dapat saja
dia menyeleweng dari pada jalur itu.
Sayang bahwa banyak yang tidak melihat kenyataan ini. Kita terlalu
mementingkan pakaian-pakaiannya sehingga melupakan manusia itu sendiri.
Banyak pertikaian timbul di antara manusia karena pakaian itu, karena agama,
karena suku, karena bangsa, karena kedudukan dan kekayaan, dan semua ini
bersumber kepada keakuan yang ingin senang, ingin benar sendiri.
Demikian pula yang terjadi dengan Ong Siu Coan, dia bukan orang
sembarangan. Sejarah membuktikan bahwa Ong Siu Coan (1814-1864) kelak
menjadi seorang pemimpin besar dari kelompok pejuang yang pernah
menggegerkan Tiongkok dengan gerakan yang terkenal dengan nama Taipeng! Akan tetapi sungguh patut disesalkan, bahwa manusia Ong Siu Coan
yang terbuai oleh cita-cita, terbuai oleh segala macam pelajaran yang
diciptakannya sendiri sehingga dia menjadi tersesat.
Ong Siu Coan demikian tertarik kepada Sheila dan mulai bermimpi untuk
menjadi seorang pemimpin rakyat seperti yang dicita-citakan, memimpin
rakyat bangkit menentang penjajah dengan Sheila sebagai isteri di
sampingnya, dan dia bersama Sheila akan menyebarkan agama barunya!
Terdorong oleh perasaan ini, pada suatu pagi dia mencari Sheila. Gadis itu
sedang mencuci pakaian bersama para wanita lain di anak sungai yang jernih
airnya, di lereng bukit. Dengan amat ramah Siu Coan lalu membantu gadis itu
mencuci pakaian. Tentu saja Sheila tidakmau menolak bantuan ini, akan tetapi
sambil tertawa Siu Coan berkata.
"Sheila, apakah pakaianmu terlalu kotor maka engkau malu kalau aku
membantumu mencucinya?"
Ucapan ini tentu saja membuat Sheila tidak dapat menolak lagi dan
terpaksa memberikan beberapa baju luar yang sedang dicucinya, sedangkan ia
mencuci pakaian dalamnya.
Tentu saja perbuatan Siu Coan ini memimpin suara ketawa tertahan dan
senyum simpul para wanita yang sedang mencuci pakaian. Bagi mereka,
mencuci pakaian adalah pekerjaan wanita dan kalau ada laki-laki yang ikut
mencuci pakaian, apalagi pakaian wanita yang dicucinya, maka hal itu
sungguh lucu dan juga tidak pantas! Hal ini agaknya disadari oleh Siu Coan,
dan pemuda yang cerdik ini lalu mendapatkan kesempatan untuk
mempropagandakan kepercayaan barunya.
"Kenapa kalian mentertawakan aku" Karena aku membantu cucian Sheila"
Ah, tentu kalian berpikir bahwa mencuci pakaian tidak pantas bagi pria" Itu
adalah pikiran yang kuno dan kotor yang harus dibuang. Di dalam pandangan
Tuhan, derajat pria dan wanita sama saja. Kalau wanita boleh mencuci pakaian
pria, kenapa pria tidak boleh mencuci pakaian wanita" Pria bukanlah manusia
istimewa yang harus dibedakan dan lebih tinggi derajatnya dari pada wanita.
Kalian harus mempelajari agama baruku, maka kalian akan dapat berpikiran
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan maju seperti aku, dan derajat kalian akan sama dengan pria."
Ucapan Siu Coan tentang derajat, tentang persamaan hak antara pria dan
wanita itu pada waktu itu terdengar amat janggal dan lucu, maka ramailah
orang-orang perempuan itu terkekeh mentertawakan. Akan tetapi Siu Coan
hanya tersenyum saja dan memang pemuda ini pandai sekali membawa diri
sehingga banyak wanita yang suka dan kagum kepadanya.
Setelah selesai mencuci pakaian, Siu Coan mengantarkan Sheila pulang
membawa cuciannya. Kesempatan inilah dipergunakan Siu Coan untuk
mengajaknya bicara berdua saja. Di tengah perjalanan, dia mengajak gadis itu
berhenti. "Ada apakah, Siu Coan" Engkau kelihatan ada sesuatu yang amat penting
untuk dibicarakan denganku?" tanya Sheila.
"Memang tepat dugaanmu, Sheila. Aku ingin menyampaikan sesuatu yang
amat penting, sesuatu yang amat suci" dan untuk itu, semalam aku telah
menerima petunjuk sendiri dari Tuhan."
"Ahhh, benarkah?"
Sheila sendiri kadang-kadang terkejut dengan pernyataan Siu Coan. Pernah
pemuda itu menceritakan betapa semalam dia digoda setan dan setan itu
diusirnya dengan kekuatan doa. Pernah pula suatu kali dia mengatakan bahwa
semalam dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar, dia bertemu dengan
Jesus! "Aku tidak membohong, Sheila. Dan petunjuk itu mengatakan bahwa kelak
aku akan menjadi raja..."
"Ehh...?" "Bukan raja seperti kaisar penjajah sekarang, melainkan raja di antara
rakyat untuk membebaskan rakyat dari penjajah, untuk menuntun rakyat ke
jalan terang, untuk mengajak dan membawa rakyat ke kaki Tuhan..."
"Hemm, itu bagus sekali, Siu Coan."
"Dan di sampingku ada engkau, Sheila. Engkaulah yang membantuku,
bahkan engkau yang memperkuat imanku, mempertebal keberanianku dan
memperteguh tekadku, menambah semangatku."
"Aku, ah" itupun baik sekali," kata Sheila yang mengira bahwa Siu Coan
tentu hanya menceritakan mimpinya saja dan apa salahnya kalau ia juga
dimasukkan ke dalam mimpi itu"
"Baik sekali, Sheila" Benarkah itu?"
Dan tiba-tiba Siu Coan memegang tangannya Sheila dengan lembut.
Barulah Sheila gelagapan. Pegangan Siu Coan demikian kuatnya sehingga
menakutkan hatinya. Juga naluri kewanitaannya merasakan hal tidak wajar.
Apalagi ketika ia menyambut pandang mata pemuda itu, melihat betapa
sepasang mata itu mengeluarkan sinar yang aneh, sinar mata seorang laki-laki
yang penuh berahi! Sheila gemetar dan dengan hati-hati ia menarik tangannya
terlepas dari genggaman tangan Siu Coan, dan hatinya merasa lega karena
pemuda itu tidak menahannya.
"Tentu saja aku menganggapnya baik. Bukankah hal itu baik sekali" Dan
pula, bukankah hal itu hanya mimpi saja, Siu Coan?"
"Bukan, bukan mimpi, Sheila! Melainkan petunjuk yang kulihat nyata sekali.
Peristiwa yang akan terjadi kelak, akan tetapi yang sudah dapat kulihat dengan
jelas sekarang ini. Sheila, karena itulah pagi-pagi ini aku menemuimu, dan aku
ingin bertanya kepadamu. Maukah engkau berada di sampingku selalu"
Maukah engkau membantuku, Sheila?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Pertanyaan itu diajukan dengan suara menggigil dan mengandung getaran
aneh sehingga Sheila memandang dengan mata terbelalak. Sepasang mata
yang biru laut itu memandang penuh selidik, lalu ia bertanya.
"Apa yang kaumaksudkan, Siu Coan" Bicaralah yang jelas dan terus
terang!" Siu Coan menghela napas panjang. Dia tidak merasa heran kalau ada orang
tidak mengerti maksud hatinya, karena kadang-kadang suara hatinya
"terlampau tinggi" untuk orang lain dan harus dijelaskan.
"Baiklah, Sheila, dengan kata-kata biasa, aku hendak mengatakan bahwa
aku cinta padamu" dan bahwa aku ingin sekali engkau dapat menjadi
isteriku." Kini Sheila benar-benar terkejut. Hal itu sama sekali tak pernah
disangkanya. Memang ia suka bergaul dengan pemuda ini, suka bercakapcakap karena selain Siu Coan mempunyai sikap yang menarik dan
menyenangkan, juga pemuda ini pandai sekali. Lebih-lebih karena Siu Coan
menaruh perhatian demikian mendalamnya tentang Agama Kristen. Akan
tetapi sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa Siu Coan menaruh hati
kepadanya. Bukankah sudah jelas bagi Siu Coan dan bagi semua orang bahwa
ia dan Seng Bu mempunyai pertalian hati yang mendalam" Bukankah
merupakan hal yang jelas bahwa ia dan Seng Bu saling mencinta" Dan tibatiba saja gadis itu teringat betapa ia dan Seng Bu belum pernah mengatakan
cinta itu satu sama lain, walaupun tentu saja mereka dapat saling merasakan
tentang hal itu melalui sinar mata, melalui senyum dan getaran kata-kata.
"Ah, tidak, Siu Coan! Hal itu tidak mungkin!"
Siu Coan menerima tanparan pada jantungnya ini dengan tenang, hanya
matanya saja yang mengeluarkan sinar mata aneh dan wajahnya tetap biasa,
mulutnya tetap tersenyum.
"Sheila, mengapa engkau menolak" Aku cinta padamu dan mengharapkan
engkau menjadi isteriku, kenapa engkau menolak?"
Siu Coan baru saja terjun ke dalam pemikiran yang dianggapnya bebas
seperti pikiran barat, seperti pikiran pembawa Agama Kristen itu, yaitu orangorang dari barat yang berkulit putih. Maka diapun penasaran kalau ada wanita
menolak cintanya, karena dia masih memandang wanita seperti keadaan nenek
moyangnya, lupa bahwa Sheila adalah seorang wanita barat yang sudah benarbenar bebas dalam hal memilih jodoh!
Betapapun juga, tidak enak bagi Sheila untuk mengatakan terus terang
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bahwa ia tidak mencinta Siu Coan, maka iapun hanya menggeleng kepalanya
saja, lalu menundukkan muka karena ngeri melihat sinar mata pemuda itu
berobah sedemikian aneh dan liar, seolah-olah dari situ terpancar ancaman
yang amat hebat walaupun sikap pemuda itu masih tenang dan halus seperti
biasa. "Sheila, engkau menolakku karena engkau mencinta Seng Bu sute, bukan"
Karena engkau dan dia sudah ada ikatan batin untuk kelak menjadi suami
isteri?" Pertanyaan yang tiba-tiba ini seperti todongan pistol pada dadanya dan
amat mengejutkan, karena hal itu sesungguhnya merupakan rahasia hatinya
dan belum pernah diutarakan, bahkan kepada Seng Bu sekalipun belum pernah
ia menyatakan isi hatinya, walaupun ia tahu bahwa Seng Bu mencintanya, dan
ia yakin pula bahwa pemuda gagah perkasa itupun dapat menduga akan isi
hatinya. Kini ditanya seperti itu, Sheila tidak membantah dan untuk
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menghindarkan desakan selanjutnya dari pemuda itu, iapun mengangguk.
"Benar, aku mencinta Seng Bu?" jawabnya lirih, karena diam-diam iapun
merasa kasihan kepada Siu Coan karena terpaksa cintanya hanya bertepuk
sebelah tangan. Siu Coan menarik napas panjang, nampak kecewa sekali, akan tetapi sinar
matanya masih berkilauan aneh.
"Sheila, sudah kaupikir masak-masakkah hal itu" Apakah engkau tidak
keliru pilih" Ingat, sute adalah seorang kafir, tidak seagama denganmu,
pengikut setan!" Sheila mengerutkan alisnya. Memang, di antara bangsanya yang beragama
Kristen, banyak yang menganggap bahwa orang-orang pribumi yang tidak
beragama kristen sebagai orang-orang yang ingkar, orang-orang yang tidak
beriman, bahkan dianggap orang-orang biadab. Akan tetapi ia sudah banyak
bergaul dengan mereka ini, dengan pelayan-pelayan rumah keluarganya, dan
sudah banyak menyelami dan mempelajari kebudayaan mereka, sehingga ia
memperoleh kenyataan bahwa dalam hal kebudayaan, dalam hal ketatasusilaan dan peradaban, penduduk pribumi yang sederhana itu tidak kalah oleh
orang-orang kulit putih. Bahkan filsafat hidup yang mereka anut amat tinggi.
"Siu Coan, harap engkau tidak berkata demikian. Biarpun Seng Bu bukan
seorang yang beragama Kristen, namun dia adalah seorang pendekar yang
gagah perkasa, seorang pria yang budiman, sopan dan terhormat. Engkau
tentu mengenal watak dari sutemu sendiri. Dan aku cinta padanya, mencinta
orangnya, bukan agamanya. Kelak, perlahan-lahan aku akan dapat
menuntunnya agar dia dapat masuk agamaku."
"Hemm, kaupikirkan dulu baik-baik, Sheila, agar kelak engkau tidak akan
menyesal namun sudah terlambat. Terus terang saja, biarpun sute juga seorang
pria yang gagah perkasa, namun dia sama sekali tidak sepadan menjadi
jodohmu. Dia bodoh, pengetahuannya sempit, jalan pikirannya sederhana,
tanpa cita-cita, dan engkau akan hidup melarat dengan dia. Nah, biarlah lain
kali kalau engkau sudah memikirkan hal ini masak-masak, kita bicara lagi."
Wajah gadis itu berobah merah dan matanya memancarkan sinar
kemarahan mendengar pemuda kekasih hatinya dijelek-jelekkan oleh Siu Coan.
"Siu Coan, tidak perlu kau memburuk-burukkan sutemu sendiri di depanku.
Aku mencintanya, dan cinta tidak memandang kemelaratan dan kebodohan.
Tak perlu kupikirkan lagi, dan mengenai hubungan antara kita tidak perlu
dibicarakan lagi!" Siu Coan menggoyangkan kedua pundaknya lalu meninggalkan gadis itu
dengan cepat, karena pada saat itu dia melihat berkelebatnya bayangan Seng
Bu yang datang dari jauh. Ketika dia pergi dengan berlari cepat, agaknya baru
saja meninggalkan Sheila, Seng Bu menegur ramah.
"Suheng...!" Akan tetapi yang ditegur terus lari, menolehpun tidak sehingga Seng Bu
merasa heran, akan tetapi dia mengira bahwa tentu suhengnya itu tidak
mendengar seruannya dan diapun melanjutkan larinya menghampiri Sheila.
Dia mengerutkan alisnya dengan hati khawatir ketika melihat Sheila masih
berdiri di situ dan wajah gadis itu nampak masih merah, dan wajah itupun
membayangkan ketegangan hati.
"Sheila, apakah yang telah terjadi" Bukankah suheng tadi dari sini?"
Sheila memandang wajah Seng Bu, lalu menarik napas panjang dan
mengangguk. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Benar, dia baru saja meninggalkan aku dengan marah agaknya."
"Eh" Kenapakah" Apa yang telah terjadi antara kalian sehingga suheng
menjadi marah kepadamu?"
Sheila mengaku terus terang.
"Dia kecewa karena cintanya kutolak."
Seng Bu terbelalak dan menatap wajah Sheila penuh selidik. Wajah gadis
itu segar dan manis sekali karena tadi sambil mencuci pakaian, gadis itu mandi
dan menggosok kulit mukanya dengan batu halus seperti yang dilakukan oleh
wanita-wanita lain. Apalagi kini gadis itu merasa tegang, kedua pipinya
menjadi merah sekali dan sepasang mata yang indah lebar itu bersinar-sinar
seperti sepasang bintang pagi.
"Apa... apa maksudmu?"
Sama sekali Seng Bu tidak mengira bahwa suhengnya juga mencinta gadis
kulit putih ini, maka tentu saja pengakuan Sheila tadi mengejutkan hatinya.
Sheila tersenyum untuk menenangkan hatinya sendiri, juga hati Seng Bu,
lalu berkata dengan halus.
"Seng Bu, tadi suhengmu itu mengatakan bahwa dia cinta padaku dan
bahwa dia ingin aku menjadi calon isterinya."
Biarpun pemberitahuan pertama tadi sudah dimengertinya, namun
penjelasan ini tetap saja amat mengherankan dan mengejutkan hati Seng Bu.
Suhengnya" Kelihatan sama sekali tidak memperlihatkan perasaan itu
terhadap Sheila, dan suhengnya tahu benar bahwa dia mencinta Sheila.
"Dan... dan kau...?"
"Tentu saja aku menolaknya dan dia kelihatan kecewa, lalu pergi
meninggalkan aku." "Akan tetapi... kenapa, Sheila" Kenapa kau... kau menolaknya" Suheng
adalah seorang pendekar yang gagah perkasa, dan dia mempunyai cita-cita
yang besar untuk menjadi seorang pemimpin besar."
Tentu saja Seng Bu sudah tahu benar akan cita-cita suhengnya yang selalu
didengung-dengungkan itu.
"Kenapa" Karena aku tidak cinta padanya."
"Mengapa engkau tidak cinta padanya, Sheila?"
Seng Bu bertanya, di dalam suaranya terkandung nada mendesak yang
aneh dan kini pemuda itu menatap wajah Sheila dengan tajam penuh selidik.
"Ouhhh... Seng Bu, alangkah kejam hatimu mengajukan pertanyaan seperti
itu. Seng Bu, perlukah kita berpura-pura lagi" Perlukah selama ini kita saling
menyembunyikan perasaan" Engkau tentu tahu mengapa aku tidak bisa
mencinta orang lain. Engkau tentu tahu bahwa aku hanya mencinta seorang
pria saja di dunia ini, dan aku tahu pula bahwa dia mencintaku sepenuh
hatinya. Akan tetapi... pria itu masih berpura-pura lagi, bertanya mengapa aku
tidak mencinta pria lain! Betapa kejamnya engkau....."
Dan Sheila lalu terisak menangis. Hati Seng Bu diliputi keharuan dan
melihat Sheila menangis, suatu dorongan kuat membuat dia melangkah maju
dan di lain saat, entah siapa yang memulai gerakan itu, tahu-tahu Sheila telah
berada dalam dekapannya. Gadis itu merebahkan mukanya di dada yang
bidang itu dan merasa aman sentausa penuh kedamaian. Kedua matanya
menitikkan air mata dan kedua lengannya memeluk leher, sedangkan kedua
lengan Seng Bu melingkari tubuhnya dalam rangkulan ketat, seolah-olah
pemuda itu khawatir kalau-kalau tubuh yang dirangkulnya itu akan terlepas.
"Maafkan aku, Sheila. Aku tahu bahwa engkau cinta padaku dan bahwa
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan akupun cinta padamu, bahwa tanpa kata sekalipun kita sudah yakin akan cinta
kita masing-masing. Akan tetapi aku" aku selalu khawatir akan kehilangan
engkau, Sheila. Aku" aku merasa betapa aku ini kesasar, bodoh dan miskin,
merasa tidak layak berada di sampingmu, karena itu" tadi aku meragu..."
"Ah, sudahlah Seng Bu. Aku hanya mencinta engkau seorang, sejak
pertama kita saling jumpa dan aku takkan mau berpisah lagi dari sisimu..."
"Dan aku... aku hanya memiliki engkau seorang..."
Mereka saling dekap, dan Sheila yang memulai lebih dahulu ketika mereka
saling mencium, karena Seng Bu takkan berani mendahuluinya, apalagi dia
seorang pemuda yang sama sekali belum pernah berdekatan dan berhubungan
dengan seorang wanita. Pada saat itu, mereka merasa merasa semakin yakin
akan cinta kasih masing-masing, perasaan cinta yang terasa sampai jauh sekali
di dasar hati masing-masing, kemesraan yang membuat semua bulu di tubuh
mereka meremang. Suara cekikikan para wanita yang tadi mencuci pakaian bersama Sheila,
menyadarkan dua orang muda itu dari keadaan yang asyik masyuk itu. Mereka
cepat saling melepaskan rangkulan dan keduanya menjadi jengah kemalumaluan, wajah mereka kemerahan dan mereka membiarkan para wanita itu
lewat tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
"Ada orang melihat kita, Sheila, ini berarti bahwa kita harus cepat-cepat
menikah agar tidak menjadi pergunjingan orang. Maukah engkau menikah
denganku?" Sheila mencium pipi dan dagu pemuda itu dengan hidungnya, kelembutan
yang membuat Seng Bu hampir menitikkan air mata saling saking bangga, haru
dan bahagianya. "Engkau masih bertanya lagi" Setiap saat aku bersedia, Seng Bu, setiap
saat. Sudah sejak lama aku merasa bahwa aku adalah milikmu, seluruhnya, aku
telah menyandarkan seluruh kehidupanku kepadamu."
Sambil menggandeng tangan Sheila, Seng Bu lalu menemui kawan-kawan
seperjuangannya dan mengumumkan bahwa dia hendak melangsungkan
pernikahannya dengan Sheila di dalam hutan itu juga. Semua kawan
seperjuangannya yang merasa kagum kepada Seng Bu akan kegagahannya,
bersorak gembira, dan mereka lalu bergotong royong membuat persiapan
untuk pesta sekedarnya menyambut pernikahan itu. Diam-diam Ong Siu Coan
tentu saja merasa iri hati dan marah sekali, akan tetapi pada lahirnya, dia juga
menyambut dengan gembira ketika Seng Bu minta pendapatnya dan doa
restunya. Demikianlah, pernikahan antara Seng Bu dan Sheila terjadi di dalam hutan
itu, dirayakan oleh para pejuang. Suasana cukup meriah dan gembira malam
itu walaupun tidak ada pesta besar seperti kalau pernikahan dirayakan di kota
dalam suasana damai dan tenteram. Malam itu dengan penerangan api unggun
dan beberapa belas lampu minyak, para pejuang merayakan pesta pernikahan
itu. Seng Bu mengenakan pakaian bersih, dan Sheila mengenakan pakaian
pengantin yang dipinjamkan dari seorang wanita. Ia nampak cantik jelita
dalam pakaian mempelai yang baginya lucu itu, dan sepasang mempelai
dipertemukan oleh para wanita dan diberi selamat oleh para pejuang.
Malam itu pesta sederhana dirayakan para pejuang sampai menjelang
tengah malam. Tiba-tiba terdengar suara tambur dan terompet, dan semua
pejuang terkejut setengah mati ketika tiba-tiba nampak banyak sekali pasukan
pemerintah menyerbu. Kiranya hutan itu sudah dikepung oleh pasukan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pemerintah yang jumlahnya ratusan orang! Tentu saja suasana menjadi panik.
Para pejuang cepat memadamkan api unggun, juga lampu-lampu dan dalam
keadaan remang-remang, hanya diterangi cahaya bulan sepotong, para
pejuang melakukan perlawanan mati-matian.
Dalam keadaan kacau itu, tentu saja Seng Bu juga terkejut dan cepat dia
siap siaga membantu teman-teman.
"Sheila, engkau bersembunyi di pondok kita, aku akan membantu kawankawan mengusir pasukan pemerintah," kata Seng Bu setelah tadi
menggandeng tangan isterinya dan membawanya ke pondok yang disediakan
untuk mereka oleh kawan-kawan mereka.
Sheila yang bermuka pucat dan ketakutan itu mengangguk, akan tetapi
masih memegangi tangan suaminya.
"Jangan lama-lama" cepat ambil aku kembali?"
Seng Bu mencium isterinya lalu melompat ke luar, siap dengan penuh
semangat membantu teman-temannya menghadapi pasukan pemerintah yang
datang menyerbu. Dia tidak tahu bagaimana pasukan pemerintah dapat
mengetahui tempat persembunyian para pejuang itu dan menyerbu di malam
itu, kebetulan ketika pernikahannya sedang dirayakan.
Akan tetapi belum jauh dia berlari, tiba-tiba tubuhnya menjadi kaku saking
kagetnya. Dia mendengar jeritan Sheila! Bagaikan dikejar setan, Seng Bu lalu
membalikkan tubuh dan berlari cepat kembali ke pondok. Dapat dibayangkan
betapa rasa kaget, heran dan juga marahnya ketika dia melihat suhengnya
meloncat keluar dari pondok sambil memondong tubuh Sheila.
"Suheng!!" Bentaknya marah sekali dan segera dia melompat menghadang.
"Eh, sute. Aku datang untuk menyelamatkan Sheila!" kata Siu Coan gugup
dan diapun melepaskan tubuh Sheila yang dipondongnya secara paksa tadi.
Sheila lalu lari merangkul suaminya, menahan tangisnya.
"Aku... aku tidak mau dia larikan, dan dia memaksaku...!"
"Aku hanya ingin menolong dan menyelamatkannya, keadaan gawat
sekali." Kembali Siu Coan berkata.
Seng Bu mengerutkan alisnya. Marah dia melihat betapa tadi dengan paksa
tubuh isterinya dipondong oleh suhengnya. Biarpun dengan alasan menolong
dan ingin menyelamatkan, akan tetapi tidak pantas kalau suhengnya memaksa
orang yang mau ditolong. Tentu ada sesuatu yang tidak pantas.
"Suheng!" bentaknya.
"Tidak pantas kau maksa isteriku!"
Siu Coan yang tertangkap basah itu menjadi malu dan kini dia menjadi
marah. "Eh, sute, apa maksudmu" Aku datang untuk menyelamatkan isterimu dan
engkau marah-marah" Engkau sungguh kurang ajar!"
Siu Coan menyeringai girang. Ada alasan dan kesempatan baginya untuk
membunuh sutenya dan merampas Sheila yang membuatnya tergila-gila!
Sesungguhnya, dia tidak begitu tergila-gila kepada Sheila karena pada
hakekatnya, Siu Coan lebih gila kedudukan dan cita-cita dari pada wanita.
Akan tetapi, melihat Sheila menolaknya dan memilih Seng Bu, dia merasa iri
dan iri inilah yang mendorongnya menjadi nekat untuk membunuh sutenya dan
merampas Sheila. Tiba-tiba terdengar suara ledakan keras.
"Darrr...!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Tubuh Siu Coan terhuyung dan tangan kirinya menekan pundak kanan yang
berdarah. Seng Bu terkejut dan menengok. Kiranya Sheila telah menembakkan
pistol kecil. Pistol ini memang tak pernah terpisah dari badan gadis itu, selalu
disembunyikan dalam lipatan bajunya dan kini, melihat suaminya terdesak,
iapun dengan nekat lalu mengeluarkan pistolnya dan menembak ke arah Siu
Coan. Gadis ini memang pernah dilatih menggunakan pistol oleh ayahnya, dan
pistol itupun pemberian ayahnya, maka ia dapat menembak dengan cepat.
Gerakan Siu Coan yang berusaha mengelak secara refleks ketika letusan
terdengar membuat peluru yang ditujukan ke arah dada itu hanya mengenai
ujung pangkal lengan. Akan tetapi cukup membuat kulit terkupas dan daging
menonjol di ujung pundak juga tertembus peluru, nyerinya bukan kepalang
karena luka itu seperti terbakar oleh besi panas.
Dan pada saat itu, belasan orang anggauta pasukan pemerintah datang
menyerbu! Seng Bu yang melihat suhengnya masih lemah terhuyung, terancam
tusukan tombak seorang perajurit, melompat ke depan dan sekali tendang,
perajurit itu roboh dan suhengnya terbebas dari ancaman maut. Melihat ini, Siu
Coan tersenyum. "Orang berhati lemah..." katanya.
Dan karena pada saat itu lebih banyak lagi datang pasukan yang menyerbu,
terpaksa diapun membela diri dengan sebelah tangannya saja, yaitu tangan
kiri karena tangan kanannya tidak dapat digerakkan karena nyeri. Seng Bu lalu
menyambar sebatang pedang lawan setelah dia kembali merobohkan lawan
berpedang itu, dan memutar pedangnya sambil berseru.
"Sheila, ke sinilah kau! Suheng, larilah, aku melindungimu!"
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Dar-darr...!!"
Kembali Sheila meletuskan pistolnya dua kali. Seorang pengeroyok roboh
dan yang lain mundur karena jerih terhadap senjata api.
"Suheng, mari kita lari. Kau lebih dulu. Aku dan Sheila melindungimu dari
belakang!" "Suheng, kita berpisah di sini dan maafkan kami, maafkanlah segala yang
telah terjadi." Setelah berkata demikian, Seng Bu yang memondong isterinya lalu
meloncat dan berlari cepat menuju ke barat. Siu Coan berdiri bengong, lalu
menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, biar Sheila telah melukainya
dengan pistol, hal yang sama sekali tak pernah disangkanya, namun Sheila dan
Seng Bu tadi telah melindunginya mati-matian pula! Sudahlah, pikirnya, ia
bukan jodohku. Menurut pelajaran agama barunya, memaafkan orang lain
adalah perbuatan mulia, bahkan terdapat pelajaran yang menganjurkan agar
kalau kita dipukul pipi kiri kita, kita harus menyerahkan pipi kanan kita!
Siu Coan tersenyum seorang diri. Biarlah dia memaafkan Seng Bu dan
Sheila, bahkan menurut pelajaran agamanya, dia harus mencinta musuhmusuhnya, maka biarlah dia melepaskan mereka dengan hati mencinta. Dan
Siu Coan tersenyum, merasa betapa hatinya mekar, penuh dengan
kebanggaan, penuh dengan harapan untuk menerima pahala karena dia telah
berbuat jasa. Betapa banyaknya di antara kita memiliki kebanggaan dan harapan seperti
yang dimiliki Siu Coan itu. Semua agama mengajarkan agar kita hidup sebagai
manusia yang baik, karena hanya hidup baik ini yang menjadikan kita
bermanfaat bagi dunia, bagi manusia. Akan tetapi kita mau hidup baik karena
di balik itu terdapat harapan dan pamrih agar kita memperoleh pahala,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memperoleh hadiah, baik hadiah itu dinamakan Sorga atau Nirwana, ataukah
kesempurnaan atau segala macam kata kata yang muluk lagi.
Karena adanya ancaman hukum bagi yang berbuat jahat, dan janji pahala
bagi yang berbuat baik, maka kita condong untuk berbuat baik. Memang inilah
tujuannya, akan tetapi, hal ini pula yang membuat kita menjadi manusiamanusia palsu, menjadi munafik, menjadi srigala-srigala berkedok domba,
yang berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat HANYA karena kita ingin
memperoleh pahala dan ingin dijauhkan dari pada hukuman. Kebaikan yang
dilakukan dengan sengaja ini tentu berpamrih, dan pamrih membuat kita
menjadi munafik, membuat perbuatan kita adalah palsu, karena perbuatan itu
bukan perbuatan baik, melainkan suatu cara bagi kita untuk memperoleh
pahala, cara untuk menghindarkan hukuman!
"Cintailah musuh-musuhmu" adalah serangkaian kata-kata yang amat indah
dan suci kalau kita dapat menangkap maknanya. Kalau tidak, tentu akan
menimbulkan keraguan, karena di situ terdapat dua kata yang berlawanan,
yaitu "cinta" dan "musuh". Biasanya, cinta berkaitan dengan sahabat, dan yang
berkaitan dengan musuh adalah benci. Maka, cintailah musuhmu seakan-akan
mengandung makna yang berlawanan atau saling bertolak belakang. Akan
tetapi sesungguhnya pelajaran ini mengandung makna yang sekaligus
menghapuskan benci dari dalam hati berdasarkan kasih. Bukan berarti suatu
waktu kita mencintai musuh kita dan di lain waktu kita siling berbunuhan
dengan musuh itu! Ini sama sekali tak masuk akal dan omong kosong. Akan
tetapi, kita dapat mencintai orang yang memusuhi kita!
Mungkin banyak orang memusuhi kita, membenci kita, tidak senang
kepada kita, karena mungkin iri hati, dengki, salah paham dan sebagainya lagi.
Biarlah mereka itu membenci kita, akan tetapi orang yang memiliki sinar kasih
dalam batinnya, tidak akan membalas kebencian itu, tidak membalas
permusuhan itu, melainkan menghadapi mereka yang memusuhi kita dengan
cinta kasih antara manusia! Tidaklah ini indah, besar dan mulia sekali" Kita
dapat melihat cinta kasih seperti itu, cinta kasih Tuhan melalui sinar matahari,
melalui harumnya bunga, melalui tanah, air, hawa, udara. Biar ada manusia
yang mengutuk dan membenci alam dan semua kekuasaan Tuhan, namun
tetap saja semua itu diberikan dengan rela, kepada siapa saja tanpa pilih kasih,
kepada mereka yang membenci sekalipun. Orang yang sejahat-jahatnya
sekalipun, yang segala tindakannya berlawanan dengan kebaikan, akan tetap
memperoleh hawa udara, memperoleh sinar matahari, dapat menikmati
keharuman bunga, sama seperti orang yang paling baik, paling saleh sekalipun.
Akan tetapi, seperti Ong Siu Coan, kita selalu ingin untung, lahir maupun
batin, oleh karena itu berbondong-bondong orang lari ke agama dengan dasar
ingin untung itulah. Ingin memperoleh hiburan batin karena pahitnya
kehidupan, ingin memperoleh jaminan keadaan yang enak menyenangkan
setelah mati kelak, ingin memperoleh berkah sebanyaknya. Lenyapkanlah janjijanji pahala dan hadiah ini dari agama, dan para munafik itu tentu akan mundur
meninggalkannya dan yang tinggal hanyalah mereka yang benar-benar sadar
dan waspada akan segala kekotoran yang memenuhi batin sendiri, karena
hanya mereka inilah yang akan dapat berobah. Orang yang sadar akan
kekotoran diri sendiri sajalah yang akan dapat berobah menjadi bersih, tanpa
ada usaha membersihkan, karena usaha membersihkan ini akan menumpuk
pamrih dan menciptakan kemunafikan.
Semua agama tentu mengajarkan kebaikan, akan tetapi bagi kehidupan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan manusia, yang penting adalah manusianya, bukan agamanya. Semua manusia
di dunia ini mengaku beragama atau mempunyai pegangan sesuatu yang
menggariskan jalan hidup yang harus ditempuhnya. Semenjak ribuan tahun,
semua pelajaran kerohanian ini tersebar di antara seluruh manusia di dunia.
Akan tetapi, bagaimana hasilnya" Manusia tetap saja hidup dalam lembah
kesengsaraan, hidup dalam neraka dunia yang penuh dengan kebencian, iri
hati, dengki, kemurkaan, permusuhan sehingga cinta kasih makin muram
kehilangan sinarnya karena tertutup oleh segala macam hawa nafsu angkara
yang merupakan debu-debu kotor hitam tebal itu.
Permusuhan terjadi bukan hanya antara perorangan, bukan hanya antara
suku dan antara kelompok, bahkan meluas menjadi antara bangsa, antara
negara sehingga timbullah perang yang amat kejam, pembunuhan dan
pembantaian semena-mena yang lebih biadab dari pada perbuatan golongan
yang dianggap masih liar dan buas sekalipun! Jelaslah di sini bahwa
manusianya yang menentukan, bukan agamanya. Dan jelaslah bahwa yang
dapat merobah manusia adalah diri sendiri masing-masing, dengan
pengenalan diri sendiri sehingga nampak segala kekotoran yang membutakan
mata hati, yang menulikan telinga hati.
Demikianlah halnya dengan Ong Siu Coan. Pemuda ini memiliki cita-cita
yang muluk, dan makin besar cita-cita seseorang, makin besar pulalah "aku"nya, dan makin besar pamrihnya sehingga semua perbuatannya ditujukan
dengan pamrih untuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri sebesarbesarnya. Perbuatan itu mungkin di mata umum bisa disebut perbuatan buruk
atau perbuatan baik, akan tetapi apapun macam perbuatan itu, selalu di
belakangnya terkandung pamrih untuk kepentingan diri pribadi.
Tidak ada seorangpun mengetahui bahwa penyerbuan pasukan
pemerintah di malam hari itupun adalah hasil perbuatan Ong Siu Coan! Dialah
yang diam-diam mengirim berita tempat persembunyian para pejuang itu
kepada pihak pasukan pemerintah! Dia rela berkhianat untuk kepentingan diri
sendiri, untuk melampiaskan iri hatinya terhadap Seng Bu, kemarahannya
terhadap Sheila, dan untuk membuka kesempatan agar dia dapat merampas
Sheila dengan dalih menyelamatkanya, dan kalau mungkin membunuh sutenya
sendiri. Tentu saja pihak pasukan pemerintah tidak tahu bahwa yang mengirim
berita itu adalah Ong Siu Coan. Dan memang bukan maksud Siu Coan untuk
membantu pasukan pemerintah. Sama sekali tidak! Dia membenci pemerintah
Mancu, dan dia bercita-cita untuk membasmi pemerintah penjajah itu. Kalau
dia dapat berbuat khianat pada malam hari itu adalah karena ada pamrih
terhadap Seng Bu dan Sheila.
Karena serbuan itu, beberapa orang pejuang tewas dan selebihnya cerai
berai dan kacau balau, kocar kacir. Dan Siu Coan melarikan diri ke selatan, dan
beberapa hari kemudian dia sudah bergabung kembali dengan orang-orang
Thian-te-pang, dan dia memperoleh perawatan dengan baik. Untung tidak ada
yang tahu tentang peristiwa antara dia dan Seng Bu, dan mereka mengira
bahwa tembakan yang mengenai ujung pundak Siu Coan itu dilakukan oleh
seorang opsir pasukan pemerintah.
-------Peristiwa pembakaran madat di Kanton itu tidak berhenti sampai di situ
saja. Pembakaran madat yang lebih dari satu juta kilogram banyaknya itu juga
mulai menyalakan api perang yang kemudian terkenal dengan sebutan Perang
Madat selama tiga tahun (tahun 1839-1842).
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Peristiwa pembakaran madat disusul pembunuhan terhadap orang kulit
putih yang sesungguhnya dilakukan oleh golongan-golongan yang anti kulit
putih, bukan oleh pemerintah Mancu, dianggap oleh pemerintah Inggris
sebagai suatu penghinaan terhadap bangsanya. Apalagi ada laporan dari
Kapten Charles Elliot yang didesak oleh para pedagang untuk minta bantuan
pasukan, maka pemerintah Inggris lalu mengirim armada ke timur. Kapal-kapal
perang dengan pasukan-pasukan yang cukup kuat dikirim dan Kanton diserang
dari lautan, dihujani peluru meriam.
Pasukan-pasukan Inggris berusaha untuk mendarat, akan tetapi usaha
mereka itu selalu menemui perlawanan yang amat kuat. Dalam hal ini, tanpa
persekutuan yang syah, pemerintah penjajah Mancu menerima bantuan yang
amat besar dari rakyat, dari perkumpulan-perkumpulan para patriot yang tidak
suka melihat bangsa kulit putih hendak menguasai tanah air. Para pendekar
segera bangkit dan untuk sementara menghentikan kegiatan mereka
memusuhi pemerintah Mancu karena mereka kini menganggap bahwa
ancaman pasukan asing itu lebih berbahaya.
Terjadilah perang dimana-mana, perang antara senjata api melawan anak
panah dan senjata-senjata tajam. Pasukan Inggris tidak pernah berhasil
mendarat karena perlawanan yang amat kuat.
Panglima Lim Ce Shu memimpin pasukannya dan melakukan perlawanan
mati-matian, dan penyerbuan pasukan Inggris itu akhirnya hanyalah kandas di
pantai-pantai saja, dimana akibat-akibat perang terjadi. Perampokanperampokan, pembunuhan-pembunuhan dan perkosaan-perkosaan terjadilah
di pantai-pantai terhadap penduduk yang berada di sekitar pantai. Namun,
pasukan-pasukan kulit putih itu akhirnya harus mengakui bahwa kekuatan
kekuatan pihak musuh di daratan terlalu sukar untuk dapat ditembus.
Setelah peperangan yang kacau ini berlangsung hampir tiga tahun
lamanya, Ingggris hanya berhasil menduduki Pulau Hong-kong yang letaknya
di depan kota Kanton. Pulau ini dijadikan pangkalan oleh armada Inggris,
namun semua penyerangan mereka di daerah pantai timur daratan Tiongkok
selalu mengalami kegagalan.
Kalau pasukan Inggris yang dipukul mundur melarikan diri ke kapal-kapal
perang mereka, maka perang masih juga terjadi di darat, yaitu pasukanpasukan para patriot yang anti pemerintah penjajah lalu berbalik dan
menyerang pasukan pemerintah sendiri! Memang mereka ini sejak dahulu ingin
menjatuhkan kekuasaan Mancu, dan mereka ikut menghalau orang kulit putih
bukan untuk membantu pemerintah, melainkan khawatir kalau-kalau bangsa
kulit putih akan menguasai tanah air mereka. Tentu saja pukulan-pukulan
bertubi dari orang kulit putih yang datang dari luar, dan pukulan-pukulan para
pemberontak dalam negeri membuat pasukan pemerintah Mancu menjadi
lemah. Hal ini diketahui dengan baik oleh para mata-mata yang disebar oleh
Inggris. Akhirnya dalam tahun 1842, Inggris dengan cerdik lalu
menyelundupkan kapal-kapalnya melalui Sungai Yang-ce-kiang, berlayar
mudik. Pemerintah Mancu di Peking terkejut bukan main. Dengan dikuasainya
sungai besar itu oleh orang kulit putih, maka hubungan antara Lembah Yangce-kiang dan Peking tertutup dan terancam. Keselamatan keluarga kaisar di
Peking dapat terancam kalau begitu. Istana menjadi gentar dan panik, dan
melalui menteri-menteri yang memang condong untuk berbaik dengan orangorang kulit putih yang mendatangkan banyak keuntungan kepada mereka
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan melalui madat, akhirnya pemerintah Mancu membujuk Inggris menghentikan
perang! Tentu saja hal ini sama dengan pernyataan tunduk dan kalah!
Sebagai pihak pemenang yang ditakuti, Inggris mempergunakan
kesempatan itu sebaik-baiknya! Kemenangan dalam tahun 1842 ini membuat
mereka dapat memaksa kaisar untuk melakukan hal-hal yang membikin panas
hati dan perut para patriot.
Pertama-tama, untuk menyenangkan hati orang-orang kulit putih itu, kaisar
memecat Panglima Lim Ce Shu dan membuangnya! Kemudian, Hong-kong
diserahkan kepada Inggris begitu saja! Pelabuhan-pelabuhan di Tiongkok
Selatan, termasuk Kanton, dibuka lebar-lebar dan diperbolehkan menerima
pedagang-pedagang kulit putih untuk masuk dan berdagang di situ dengan
bebas, juga diperbolehkan untuk bertempat tinggal di situ sebagai pedagangpedagang yang dihormati.
Bahkan orang-orang kulit putih lainnya, seperti orang-orang Portugal dan
orang-orang Perancis, ikut-ikutan membonceng kemenangan Inggris ini dan
ikut-ikutan menuntut agar merekapun diperbolehkan membuka perdagangan
di pelabuhan-pelabuhan itu. Sebagai negara yang kalah perang, pemerintah
Mancu yang sudah tidak berdaya itu terpaksa menuruti tuntutan-tuntutan itu.
Makin banyaklah perjanjian-perjanjian "perdamaian" dibuat, yang
sesungguhnya merupakan perjanjian yang menguntungkan orang-orang kulit
putih dan terpaksa disetujui oleh pemerintah Mancu. Yang merasa tidak puas
dan marah adalah para pendekar yang mewakili rakyat untuk mempertahankan
tanah air dari kekuasaan asing. Pemerintah Mancu adalah pemerintah asing
yang menjajah. Pemerintah itu belum juga dapat dihalau, dan sekarang sudah
bertambah lagi dengan bercokolnya orang-orang asing kulit putih yang
menjajah melalui perdagangan!
Perang madat memang berakibat luas sekali. Perang madat ini
menunjukkan bahwa kekuatan pemerintah Mancu yang sudah hampir duaratus
tahun menjajah Tiongkok itu mulai kehilangan sinarnya, mulai lemah dan
nampak awal-awal keruntuhannya. Dan perang itupun membuka pintu bagi
orang asing kulit putih untuk memperluas cengkeraman mereka terhadap
negara itu melalui perdagangan yang dipaksakan oleh senjata api. Dan hal ini
lambat laun akan menjadi penjajahan-penjajahan.
Kekuasaan Kerajaan Mancu digerogoti, daerah-daerah kekuasaannya mulai
dikuasai oleh orang-orang asing itu. Seperti dapat tercatat dalam catatan
sejarah, Bangsa Perancis saja kelak dalam tahun 1862 akan menguasai
Kamboja, kemudian duapuluh tahun kemudian menguasai An-nam (Vietnam)
setelah lebih dulu menguasai Cochin China pada tahun 1863. Juga Portugal
kemudian menguasai Macao. Inggrispun bukan hanya puas dengan memiliki
Hong-kong, melainkan meluaskan kekuasaannya sampai akhirnya menduduki
Birma yang tadinya mengakui kekuasaan pemerintah Ceng di jaman Kaisar
Kian Liong. Sejarah yang membuktikan bahwa pemerintah yang tidak disukai oleh
rakyatnya, akan kehilangan kekuatannya. Betapapun kuatnya bala tentara
yang dimiliki sebuah pemerintahan, namun tanpa dukungan rakyat, kekuatan
itu akan rapuh. Sebaliknya, kalau pemerintah didukung rakyat, tidak akan
mudah bagi kekuatan luar untuk merobohkannya. Hal ini adalah karena ajang
yang dijadikan arena pertempuran adalah tempat dan milik rakyat, dan
bantuan-bantuan rakyat inilah yang paling menentukan. Pihak lawan akan
selalu dirongrong dan akan menjadi lemah kalau rakyat setempat setia kepada
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pemerintah yang disukainya, dan tidak akan dapat menguasai tempat yang
telah direbutnya itu sepenuhnya. Sebaliknya pasukan-pasukan pemerintah
yang didukung oleh rakyat, dimanapun akan memperoleh bantuan-bantuan
sehingga kedudukan mereka menjadi kuat.
-------Kita tinggalkan dulu keadaan pemerintah Ceng yang mulai lemah itu, dan
marilah kita menengok peristiwa lain yang terjadi di sebuah puncak di
Pegunungan Tapie-san. Seorang gadis dan seorang kakek berjalan bersama-sama mendaki puncak
itu. Mereka itu kelihatannya seperti seorang kakek pengemis bersama seorang
gadis yang pakaiannya juga penuh tambalan, seperti orang biasa saja yang
banyak berkeliaran pada waktu itu, orang-orang yang miskin dan setengah
terlantar sebagai akibat perang dan pemberontakan yang terjadi dimana-mana.
Banyak rakyat yang pada waktu itu terpaksa pergi mengungsi, meninggalkan
kampung halaman, rumah dan semua harta miliknya. Kalau sudah merasa
aman dan kembali, banyak yang sudah tidak dapat menemukan rumah mereka
kembali, apalagi harta milik mereka. Sudah habis dirampok dan dibongkar
orang. Karena itu, banyaklah orang-orang yang jatuh miskin dan terlantar,
berkeliaran tanpa tempat tinggal seperti halnya kakek dan gadis itu.
Akan tetapi sesungguhnya kakek dan gadis ini bukan orang-orang
terlantar, bukan gelandangan yang miskin dan tidak mempunyai tempat
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tinggal. Kakek itu usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih, rambutnya yang
awut-awutan itu cukup bersih. Kakek itu pakaiannya penuh tambalan, tangan
kirinya memegang sebuah tongkat kayu butut dan sebuah kipas butut terselip
di pinggangnya. Biarpun pakaiannya penuh tambalan, namun pakaian itu
cukup bersih dan biarpun dia kelihatan miskin dan papa, namun dia selalu
senyum-senyum sendiri, matanya yang sipit itu kadang-kadang berkedip-kedip
lucu. Gadis itupun tidak kalah menariknya. Seorang gadis berusia kurang lebih
delapanbelas tahun, dengan wajah yang manis, sepasang matanya lebar dan
jeli. Memang pakaiannya butut penuh tambalan biarpun bersih, dan sepasang
rambut yang gemuk hitam dan panjang itu dikuncir dua secara sederhana,
tidak mengenakan perhiasan secuilpun, akan tetapi gadis ini memiliki wajah
manis dan kulit yang nampak pada muka, leher dan tangannya amat putih
bersih dan halus mulus. Tubuhnya juga memiliki bentuk yang padat dan
ramping menggairahkan, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar
mengharum. Seperti juga kakek itu, gadis ini mempunyai sebuah kipas yang
tersembul di kantong bajunya.
Siapakah mereka" Mereka adalah penghuni-penghuni puncak Naga Putih
di Pegunungan Wuyi-san, dan kakek itu bukan lain adalah Bu-beng San-kai
(Jembel Gunung Tanpa Nama) atau lebih terkenal lagi dengan julukan San-tok
(Racun Gunung), seorang di antara Empat Racun yang pernah menjadi datukdatuk paling sakti di antara para datuk kaum sesat! Dan gadis itu adalah
muridnya, murid tunggalnya yang bernama Siauw Lian Hong!
Kita telah mengenal Lian Hong, puteri tunggal mendiang guru silat Siauw
Teng di dusun Tung-kang dekat Kanton itu. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, dua tahun yang lalu Lian Hong ikut bersama gurunya mengunjungi
Siauw-lim-si dimana Siauw-bin-hud menceritakan kepada para tamunya
bahwa pusaka Giok-liong-kiam kini berada di tangan Hek-eng-mo Koan Jit,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan murid Thian-tok yang merampas pusaka itu dari tangan gurunya.
Ketika meninggalkan Siauw-lim-pai, San-tok lalu memberi kesempatan
kepada muridnya untuk pergi merantau selama dua tahun, selain untuk
mencari jejak orang bernama Koan Jit itu, juga untuk meluaskan
pengalamandan memperdalam ilmu kepandaian yang selama ini dilatihnya.
Kakek ini sudah percaya sepenuhnya kepada muridnya. Akan tetapi, belum
juga lewat dua tahun, gadis itu telah kembali ke puncak Naga Putih di
Pegunungan Wu-yi-san, menemui suhunya yang sedang tekun bersamadhi.
Kakek itu tentu saja girang melihat muridnya yang amat disayangnya, dan lebih
girang lagi hatinya melihat kenyataan bahwa muridnya itu juga mengenakan
pakaian yang dihias tambalan! Hal ini saja menunjukkan bahwa murid itu
berbakti dan setia kepadanya, melanjutkan "tradisi" keturunan perguruan yang
suka memakai pakaian tambalan!
Lian Hong memberi hormat sambil berlutut di depan kaki gurunya yang
juga menjadi kakek angkatnya itu, dan kakek itu lalu bangkit dari
pertapaannya. Dia mendengar laporan muridnya bahwa murid itu terpaksa
menghentikan usahanya mencari jejak Hek-eng-mo Koan Jit yang menguasai
pusaka Giok-liong-kiam, karena keadaan keruh oleh adanya perang madat.
Kemudian gadis itu mengatakan bahwa karena sukar mencari jejak orang di
waktu keadaan sekacau itu, dimana terjadi pertempuran-pertempuran kacau
balau antara pasukan kulit putih yang menyerang dengan kapal-kapal besar,
dan golongan yang anti pemerintah, juga golongan yang anti kulit putih, maka
ia mengambil keputusan untuk menghentikan penyelidikannya dan pulang ke
Puncak Naga Putih. "Ah, Hong Hong, kenapa urusan perang saja membuat engkau mundur?"
Santok mencela muridnya. "Kalau kita tidak mencari pusaka itu, tentu yang lain akan dapat
menemukan lebih dulu. Mungkin dalam keadaan kacau karena perang, pusaka
itu tidak ada artinya, akan tetapi kelak kalau sudah tidak ada perang, orangorang akan kembali memperhatikan pusaka itu. Pemilik pusaka itu sama
dengan bukti bahwa dia adalah orang yang paling lihai di dunia persilatan, dan
kalau engkau mampu merampasnya, maka namamu akan terangkat paling
tinggi dan aku sebagai gurumu akan ikut merasa bangga."
"Suhu, sebetulnya pusaka itu tidak terlalu menarik bagiku. Aku lebih
tertarik untuk mencari musuh-musuh besarku, pembunuh ayah ibuku. Akan
tetapi ketika aku pergi ke Tung-kang, ternyata si jahanam Ciu Lok Tai telah
tewas bersama keluarganya ketika diserbu oleh pasukan pemerintah. Dan
akupun belum berhasil mencari dua orang musuh lain, yaitu Gan Ki Bin dan Lok
Hun yang sudah lama pindah dari Tung-kang dan tidak lagi menjadi pengawalpengawal Ciu Wangwe."
"Wah, jadi keluarga Ciu Wan-gwe telah terbasmi dan tewas semua oleh
pasukan pemerintah" Sungguh aneh," kata kakek itu.
"Bukankah dia mempunyai pengaruh besar di kalangan pejabat
pemerintah?" "Gara-gara pembasmian madat itu, suhu. Akan tetapi menurut keterangan,
ada seorang puterinya yang dapat meloloskan diri, namanya Ciu Kui Eng dan
kabarnya ia itu lihai sekali. Kelak aku akan mencarinya dan minta dia
mempertanggungjawabkan dosa-dosa ayahnya kepadaku."
"Jadi selama ini engkau sama sekali tidak memperoleh jejak Koan Jit murid
Thian-tok itu?" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan San-tok mendesak karena kakek ini tertarik sekali untuk bisa mendapatkan
pusaka Giok-liong-kiam. "Beberapa kali aku menemukan jejaknya, akan tetapi selalu hanya
memperoleh jalan buntu. Akan tetapi jejaknya yang kedapati di daerah Tapiesan membawaku ke sebuah tempat yang luar biasa, suhu. Aku tidak
menemukan dia di sana, jejaknya hilang lagi akan tetapi aku menemukan
sesuatu yang amat aneh dan mengerikan."
"Apa itu?" "Aku menemukan sebuah guha yang dalamnya terdapat sebuah sumber air
yangm engeluarkan asap berbau aneh. Dan di situ nampak sesosok mayat
terendam, akan tetapi mayat itu sama sekali tidak membusuk. Banyak pula
tengkorak manusia kulihat di dalam guha itu. Ihh, mengerikan" dan aku
segera pergi meninggalkan tempat itu."
"Ehhh" Menarik sekali! Mari kita ke sana."
"Untuk apa, suhu?"
"Menarik sekali ceritamu. Tentu ada hal-hal yang penting di situ. Bawa aku
ke sana, Hong Hong."
Demikianlah, kedua orang guru dan murid itu lalu melakukan perjalanan
dan pada pagi hari itu mereka sudah tiba di lereng puncak di Pegunungan
Tapie-san seperti yang diceritakan oleh Lian Hong kepada gurunya. Setelah
tiba di puncak, Lian Hong membawa suhunya ke guha itu.
Guha itu aneh sekali. Mulut guha lebar akan tetapi tidak berapa tinggi
sehingga ketika memasuki guha, San-tok yang agak jangkung harus
menunduk. Dan di sebelah dalam guha itu tumbuh sebatang pohon yang
daunnya sudah rontok semua, tinggal cabang dan ranting yang sudah
mengering. Melihat keadaan ini, mudah diduga bahwa guha ini dahulunya
bukan guha dan terbentuk dengan runtuhnya batu-batu besar dari puncak
menimbun tempat itu sehingga pohon itupun tertimbun batu dan kini berada
di dalam sebuah guha. Begitu memasuki guha itu, yang nampak adalah
sebatang pohon yang tinggal batang, cabang dan rantingnya, dan terciumlah
bau yang aneh dan keras. Juga nampak asap mengepul, terasa hawa yang agak
panas. "Di sinilah tempatnya, suhu," kata Lian Hong dan gadis ini sudah berlutut
di tepi sebuah kolam kecil dimana terdapat air yang bergolak dan
mengeluarkan asap yang berbau belerang.
Di tepi kolam itu terdapat batu-batu besar dan nampak ada beberapa buah
tengkorak manusia di situ. Akan tetapi yang amat mengerikan, di tengahtengah kolam itu nampak seorang kakek tua renta yang rambut dan jenggotnya
sudah putih semua. Kakek itu nampak terendam di dalam air sebatas dada,
kelihatan seperti orang tidur saja, tubuhnya tak bergerak-gerak dan kedua
matanya terpejam. "Ah-ah-ah, sungguh menarik...!" kata San-tok yang berdiri di tepi kolam
sambil meneliti keadaan kolam itu.
"Aneh akan tetapi tidak ada apa-apanya, suhu. Aku pernah datang ke sini
dan melihat keadaan ini, aku lalu cepat pergi lagi. Ketika menyelidiki jejak Koan
Jit, jejak itu membawaku ke sini, akan tetapi di sini aku kehilangan jejaknya.
Tidak nampak seorangpun manusia di puncak ini sehingga aku tidak dapat
mencari keterangan lagi tentang dia."
"Mungkin ada rahasia tersembunyi di tempat ini. Mari kita selidiki," kata
kakek itu. dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Dan mulailah dia melakukan penyelidikan, meneliti dinding batu di sekitar
tempat itu. Akan tetapi tidak ada sesuatu yang aneh. Semua dinding adalah
batu-batu yang wajar saja dan makin jelaslah kini bahwa tempat itu, mata air
panas dan pohon itu, tadinya merupakan tempat terbuka dan kemudian
tertimbun oleh batubatu dari puncak yang agaknya longsor ke bawah. Akan
tetapi peristiwa itu tentu telah terjadi lama sekali sehingga membentuk sebuah
guha aneh ini. Lian Hong juga membantu suhunya melakukan penyelidikan.
Sampai beberapa jam lamanya mereka mencari-cari tanpa hasil.
"Suhu, kalau ada rahasianya, agaknya terdapat dalam kolam air ini," tibatiba Lian Hong berkata.
"Lihat, mayat kakek itu tidak membusuk, ini saja menunjukkan bahwa air
sumber ini, yang bergolak seperti mendidih dan mengeluarkan asap berbau
aneh, mengandung sesuatu yang luar biasa, yang membuat mayat itu tidak
rusak." "Ha, engkau benar, Hong Hong. Tentu rahasianya terdapat di dalam
sumber atau mata air itu. Orang itu agaknya sejak dahulu duduk di situ sampai
mati, dan air panas yang mengandung belerang itu membuat mayatnya tidak
rusak. Sudah beberapa kali aku melihat sumber air seperti ini yang keluar dari
dalam perut bumi. Tidak ada yang aneh mengenai air seperti itu. Akan tetapi
kolam ini seperti dibuat merendam tubuhnya. Lihat batu-batuan itu, bukankah
batu-batu besar itu seperti sengaja diletakkan di situ untuk membentuk kolam"
Dan air yang luber mengalir keluar melalui samping guha. Kalau batu-batu itu
digempur dan dibongkar, tentu dasarnya akan nampak dan siapa tahu di situ
letak rahasianya." Dibantu oleh muridnya, San-tok lalu membongkar batu-batu besar.
Kepandaian dan tenaga sakti guru dan murid, memungkinkan mereka
membongkar batu-batu besar dan akhirnya air yang berbau belerang itupun
mengalir turun, karena batu-batu yang menjadi bendungan itu bobol. Air
mengalir dengan cepatnya dan kini rendaman pada tubuh mayat itu semakin
dangkal saja. Setelah air itu hanya tinggal sejengkal saja dalamnya dan hanya
menutupi kaki yang bersila itu sampai sebatas perut, nampaklah coretancoretan yang merupakan huruf-huruf yang agaknya ditulis dengan
mempergunakan jari tangan saja!
"Aih, benar, tulisan-tulisan itulah yang amat penting dan agaknya tidak
ditemukan oleh Koan Jit!" kata San-tok dengan girang.
Biarpun dia seorang datuk kaum sesat, namun San-tok di waktu mudanya
pernah mempelajari ilmu kesusasteraan dengan tekun sehingga dia mampu
membaca dan mengerti huruf-huruf yang agak kuno itu. Lian Hong sendiri yang
sejak kecil ikut San-tok, hanya sempat mempelajari ilmu membaca sekedarnya
saja maka tentu ia tidak mampu kalau harus membaca tulisan huruf-huruf kuno
itu. Dengan suara bisik-bisik yang hanya dapat didengar oleh Lian Hong, Santok lalu membaca huruf-huruf itu satu demi satu sehingga dapat dirangkai
menjadi kalimat-kalimat yang jelas.
Srigala-srigala hina pencari pusaka,
Satu demi satu mampus di tangan Kwi Ong-ya!
Tetapi karena Thian-te-pai gerombolan hina,
memaksa aku bersembunyi di sini dan bertapa!
Giok-liong-kiam pusaka pembuka rahasia,
penyimpan benda-benda pusaka berharga
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tak mungkin ditemukan siapapun juga
tanpa bantuan Giok-liong-kiam kedua!
Akulah pembuat Giok-liong-kiam kedua
dari batu sumber menggantikan kemala!
Di dalam gagangnya tersimpan rahasia
tempat simpanan Giok-liong-kiam pertama!
Setelah membaca semua kalimat itu, San-tok tiba-tiba tertawa bergelak.
Lian Hong yang belum begitu mengerti akan arti tulisan itu, memandang heran
dan bertanya. "Suhu, mengapa suhu tertawa setelah membaca tulisan itu?"
"Ha-ha-ha, betapa lucunya! Agaknya si Kwi-ong (Raja Setan) ini selain lihai,
juga amat cerdik dan licin, pandai berkelakar pula. Hong Hong, dari tulisannya
ini, jelaslah bahwa si Koan Jit itu, murid pertama si gendut Thian-tok, hanya
menguasai Giok-liong-kiam palsu. Ha-ha, yang dijadikan rebutan selama ini
oleh semua tokoh kang-ouw, yang menimbulkan kekacauan dan keributan itu
bukan Giok-liong-kiam aseli, melainkan tiruan yang dibuat oleh Kwi-ong ini.
Ha-ha-ha!" "Apakah yang suhu maksudkan dengan semua itu" Aku tidak mengerti..."
Kakek itu masih tertawa bergelak, kemudian setelah ketawanya mereda,
baru dia menerangkan kepada muridnya.
"Dari tulisannya itu dapat kita ketahui semuanya, Hong Hong. Kakek luar
biasa ini berjuluk Kwi-ong, julukan yang jumawa sekali. Agaknya dialah yang
dahulu berhasil menguasai Giok-liong-kiam yang aseli. Tentu banyak tokoh
persilatan yang berusaha merebut pusaka itu, akan tetapi dia berhasil
membunuh mereka satu demi satu. Lihat saja tengkorak-tengkorak yang
berserakan di sini, agaknya itulah musuh-musuhnya yang dibunuhnya karena
hendak merampas Giok-liong-kiam.
Akan tetapi dari tulisannya dapat diduga bahwa dia merasa gentar
menghadapi desakan Thian-te-pai yang agaknya pada waktu itu memiliki
banyak orang pandai. Thian-te-pai memaksa dia bersembunyi dan bertapa, dan
dia lalu memperoleh akal, menyembunyikan pusaka Giok-liong-kiam di suatu
tempat rahasia, lalu dia membuat sebuah Giok-liong-kiam palsu. Ha-ha, dia
membuatnya dari batu kali atau batu di sumber ini sebagai pengganti kemala.
Dan agaknya pusaka palsu inilah yang akhirnya terjatuh juga ke tangan Thiante-pang atau Thian-te-pai, dan menjadi pusaka simpanan perkumpulan itu
sampai akhirnya dicuri orang dan menjadi perebutan, dan akhirnya dicuri dari
tangan Thian-tok oleh muridnya sendiri.
Ha-ha, kalau diingat betapa kita semua ribut-ribut memperebutkan benda
palsu! Akan tetapi, hanya Kwi-ong inilah yang tahu bahwa rahasia tempat
penyimpanan Giok-liong-kiam yang aseli berada di dalam gagang Giok-liongkiam yang palsu. Dan kini agaknya hanya kita yang mengetahuinya. Biarpun
pusaka di tangan Koan Jit itu palsu, akan tetapi bagi kita masih tetap berharga,
karena di dalam gagangnya terkandung rahasia penyimpanan yang aseli. Dan
agaknya, pusaka Giok-liong-kiam itu diperebutkan orang bukan hanya karena
pusaka itu berharga dan amat langka, melainkan pusaka itupun
menyembunyikan rahasia penyimpanan benda-benda pusaka yang amat
berharga. Mengertikah engkau kini, Hong Hong?"
Lian Hong mengangguk dan memandang kagum kepada mayat telanjang
yang terendam air sampai ke perut.
"Bukan main. Kakek ini dahulunya tentu pandai sekali, suhu."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Gurunya mengangguk, akan tetapi kakek ini masih terus menyelidiki batubatu di sekitar tempat mayat itu duduk bersila, dan akhirnya dia menemukan
apa yang dicari. Yaitu coretan huruf-huruf kecil di sebuah batu yang merupakan
catatan tentang Giok-liong-kiam! Agaknya di tempat inilah Kwi-ong membuat
pusaka yang palsu, dan dia membuat catatan-catatan Giok-liong-kiam aseli
agar pelmasuan itu dapat dibuat sebaik mungkin. Catatan itu menggambarkan
macam Giok-liong-kiam, ukurannya dan sebagainya.
San-tok lalu mengeluarkan sebuah kipas, dan dengan teliti dia mencatat
semua itu di atas kipasnya. Setelah selesai, dibantu oleh Lian Hong, kakek ini
lalu kembali memasang batu-batu besar sebagai bendungan dan tak lama
kemudian, air sumber yang terbendung itu membuat kolam yang merendam
tubuh Kwi-ong berikut batu-batu disekelilingnya. Akan tetapi terlebih dahulu
Santok yang cerdik itu melenyapkan tulisan-tulisan di permukaan batu dengan
gempuran-gempuran, menggunakan batu lain sehingga permukaan batu itu
hancur dan tulisannyapun lenyap.
"Hong Hong, engkau sudah melihat semua ini dan kini makin jelas pula
betapa pentingnya kita dapat menguasai Giok-liong-kiam. Aku akan kembali
ke Wuyi-san dimana aku akan mencoba akal yang pernah dipergunakan Kwiong, dan engkau pergilah menyelidiki dimana adanya Koan Jit. Akan tetapi
Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jangan engkau turun tangan karena hal itu tentu amat berbahaya."
"Suhu menyuruh aku menyelidiki, akan tetapi kalau sudah kuketahui
tempatnya, aku tidak boleh turun tangan. Apa maksud suhu?"
"Aku akan membuat Giok- liong-kiam palsu seperti yang pernah dilakukan
Kwi-Ong. Aku sudah mencatat segala bentuk dan ukurannya. Sementara aku
mencoba membuat yang palsu itu, engkau pergi mencarinya. Setelah engkau
berhasil, cepat mengabarkan padaku. Kita harus dapat menukar pusaka di
tangan Koan Jit dengan yang palsu."
Lian Hong semakin tidak mengerti. Ia mengerutkan alisnya dan
memandang wajah suhunya dengan heran.
"Suhu ini aneh sekali. Sudah mengerti bahwa pusaka di tangan Koan Jit itu
palsu, mengapa kini suhu hendak menukarnya lagi dengan yang palsu buatan
suhu" Kalau memang sudah kita ketahui tempatnya, kita rampas saja pusaka
itu, kenapa susah-susah hendak menukarnya seolah-olah suhu takut kepada
Koan Jit itu?" Kakek kurus itu tertawa lebar.
"Ha-ha-ha, engkau belum mengerti, muridku yang baik. Aku tidak takut
kepada Koan Jit, bahkan terhadap gurunya sekalipun aku tidak takut. Akan
tetapi ketahuilah, semua orang di dunia persilatan berlumba untuk
memperebutkan pusaka itu. Kini mereka semua tahu bahwa pusaka itu berada
di tangan Koan Jit sehingga mereka semua tentu akan mencari Koan Jt. Kalau
kita merampas pusaka itu begitu saja dari tangan Koan Jit, tentu perhatian
semua tokoh persilatan berbalik kepada kita dan kehidupan kita tentu tidak
akan tenteram lagi. Ingat saja halnya Kwi-ong, akhirnya mati di tempat ini
tanpa menikmati pusaka yang dikuasainya. Maka, kita menukar pusaka itu dan
biarkan semua orang mencari dan memusuhi Koan Jit, sedangkan kita diamdiam memiliki pusaka itu dan mencari rahasianya. Bagaimana kaupikir?"
Lian Hong memandang kagum kepada suhunya.
"Wah, ternyata suhu tidak kalah lihai dan cerdiknya dibandingkan dengan
Kwi-ong!" Ia memuji dari dalam hatinya.
"Ha-ha-ha, baru engkau mengenal suhumu, ya" Nah, kita sekarang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan berpisah di sini. Aku kembali ke Wuyi-san dan engkau pergilah dan mencari
Koan Jit. Orang macam dia tentu suka akan daerah yang bergolak. Dan perang
madat mendatangkan pergolakan di selatan. Maka, sebaiknya ke sanalah
engkau mencari. Semua orang kang-ouw berkumpul di sana dan lebih mudah
bagimu untuk mencari keterangan."
Guru dan murid inipun saling berpisah. Untuk kedua kalinya, Lian Hong
melakukan perjalanan seorang diri dalam usahanya mencari jejak Koan Jit yang
amat licin bagai belut itu.
-------Thian-te-pai atau Thian-te-pang amat terkenal di jaman itu, karena
perkumpulan ini merupakan satu di antara perkumpulan-perkumpulan yang
gigih menentang pemerintah penjajah Mancu. Mereka terdiri dari orang-orang
gagah segala aliran yang bergabung dalam satu wadah, sejak bertahun-tahun
mengadakan penentangan, pengacauan dan perlawanan terhadap pasukan
pemerintah Mancu, mengobarkan pemberontakan dimana-mana. Banyak
sudah anggauta mereka yang tewas dalam pertempuran-pertempuran
melawan pasukan pemerintah, namun mereka tidak pernah jera. Bahkan
anggauta mereka semakin banyak saja, terdiri dari orang-orang gagah segala
aliran dan suku. Selain itu, juga mereka mengadakan hubungan baik dengan
perkumpulan-perkumpulan lain yang mempunyai tujuan sama, yaitu
menentang pemerintah Ceng dan kalau mungkin menghalau penjajah Mancu
dari tanah air. Ketika terjadi perang madat yang berlangsung selama tiga tahun itu, orangorang Thian-te-pang juga bergerak. Akan tetapi karena mereka menjadikan
pemerintah Mancu sebagai sasaran utama, maka perang antara pemerintah
melawan orang-orang kulit putih itu membuat mereka seolah-olah memperoleh
bantuan dari orang-orang kulit putih. Karena itu, mereka sengaja tidak
menyerang orang kulit putih, melainkan menghantam pemerintah yang sedang
sibuk melawan musuh asing itu. Biarpun demikian, bukan berarti bahwa Thiante-pang suka bersekongkol dengan orang-orang kulit putih. Maka, setelah
perang dihentikan dan pemerintah Ceng yang dipimpin kaisar yang lemah itu
tunduk kepada orang kulit putih, menyerahkan banyak kota dan perlakuan
istimewa terhadap orang-orang kulit putih, diam-diam para pendekar,
termasuk orang-orang Thian-te-pang, menjadi marah bukan main.
Pada waktu itu, Thian-te-pang diketuai oleh seorang kakek berusia
enampuluh tahun Iebih yang bernama Ma Ki Sun, seorang ahli silat yang
pandai, seorang gagah sejati yang sejak muda sudah bangkit menentang
pemerintah penjajah. Dia diwakili oleh Coa Bhok, sutenya sendiri yang juga
lihai ilmu silatnya. Mereka berdualah yang memirnpin Thian-te-pang.
Akan tetapi, selama beberapa tahun ini, Thian-te-pang seolah-olah
kehilangan pamornya, seperti menyuram akibat lenyapnya pusaka Giok-liongkiam dari tangan mereka. Pusaka ini tadinya dianggap semacam simbol
kekuatan dan semangat Thian-te-pang, dan membuat mereka dihargai dan
dikagumi di dunia kang-ouw. Akan tetapi setelah Giok-liong-kiam lenyap dicuri
orang, pandangan dunia persilatan terhadap Thian-te-pang agak menurun.
Mereka menganggap bahwa lenyapnya pusaka itu menunjukkan kelemahan
Thian-te-pang yang tidak mampu menjaga pusaka sendiri sampai dapat dicuri
orang. Tentu saja pihak Thian-te-pang sudah berusaha mati-matian untuk
mencari pencurinya dan merampas kembali pusaka mereka sehingga ketika
terjadi perebutan, murid pertama Thian-te-pang yang bernama Lui Siok Ek ikut
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan pula memperebutkan. Bahkan ketika para tokoh mendatangi Siauw-bin-hud,
wakil ketua Thian-te-pang yang bernama Coa Bhok juga hadir. Namun, semua
usaha mereka sia-sia belaka. Giok-liong-kiam tetap tak dapat mereka temukan.
Seperti telah kita ketahui, ketika terjadi perang madat, orang-orang Thiante-pang banyak yang berjuang di Kanton dan daerahnya, dan banyak pula
menarik orang-orang gagah untuk bekerja sama dengan mereka. Di antara
orang-orang gagah ini terdapat Ong Siu Coan yang telah berpisah dan sutenya,
yaitu Gan Seng Bu yang pergi bersama isterinya, Sheila. Melihat adanya
kesempatan baik untuk memenuhi cita-citanya melalui Thian-te-pang yang
besar dan kuat, ketika pasukan itu kembali ke Bukit Kijang Putih di Propinsi
Hunan. Siu Coan ikut pula bersama rombongan orang-orang Thian-te-pang.
Para murid dan anggauta Thian-te-pang tentu saja menerirnanya dengan
tangan terbuka, karena mereka semua sudah mengenal kelihaian pemuda ini.
Thian-te-pang mengadakan rapat, dipimpin oleh Ma Ki Sun dan sute atau
wakilnya, Coa Bhok. Siu Coan yang diterima sebagai seorang sahabat dan
tamu, juga diperkenalkan hadir. Yang hadir di dalam ruangan luas itu adalah
para tokoh Thian-te-pang, murid-murid kepala dan komandan-komandan regu,
tidak kurang dari limapuluh orang banyaknya, memenuhi ruangan yang
biasanya menjadi tempat berlatih silat para anggauta dan murid Thian-tepang. Ma Ki Sun dan Coa Bhok mempunyai murid-murid yang jumlahnya
duapuluh orang lebih, dan para murid ini lalu melatih silat kepada para
anggauta Thian-te-pang. Siu Coan yang hadir sebagai tamu, mengamati keadaan di situ. Dilihatnya
bahwa tempat yang menjadi markas besar Thian-te-pang ini merupakan
sebuah perkampungan yang dilengkapi dengan tembok tinggi seperti benteng
di Ierer?g Bukit Kijang Putih itu. Tempat yang baik sekali dan kuat untuk
pertahanan. Dan di dalamnya terdapat segala macam senjata, juga mempunyai
anggauta yang tidak kurang dari tiga ratus orang banyaknya, tersebar dimanamana. Pendeknya, sebuah perkumpulan yang cukup kuat. Dia memperhatikan
Ma Ki Sun, ketua perkumpulan itu, dan wakilnya.
Ma Ki Sun sudah berusia sedikitnya enampuluh tiga tahun, bertubuh tinggi
kurus dengan mata yang sebelah kiri buta dan tidak berbiji lagi. Dengan mata
sebelah ini, dia pernah malang melintang sebagai seorang pendekar di selatan
sehingga di dikenal dengan julukan It-gan Lam-eng (Pendekar Selatan Mata
Satu). Seperti juga para anggauta Thian-te-pang, di baju ketua ini, di bagian
dada, terdapat lukisan bulatan yang mengambarkan Im-yang, akan tetapi
berbeda dengan para anggauta yang lukisannya disulam benang biasa, lukisan
di baju sang ketua ini disulam dengan benang emas. Sikapnya penuh wibawa
dan matanya yang tunggal itu melirik ke kanan kiri dengan tajam dan sinarnya
mencorong. Orang kedua, yang menjadi wakil ketua dan juga sutenya, bernama
Coa Bhok, nampak tinggi kurus pula, akan tetapi sikapnya angkuh, nampak dari
tarikan mulutnya yang agak sinis dan dagu serta pandang matanya yang
membayangkan kekerasan hati.
Di tempat itu sudah diatur meja sembahyang, lengkap dengan hidangan
dan lilin-lilin yang dinyalakan. Kemudian, Coa Bhok sebagai wakil suhengnya,
bangkit berdiri dari tempat duduknya dan terdengar suaranya yang lantang
dan tegas. Ma Ki Sun bangkit berdiri, tubuhnya lebih jangkung dari pada sutenya.
Justeru matanya yang tinggal satu itulah yang mendatangkan wibawa besar,
pikir Siu Coan sambil melihat dan mendengarkan penuh perhatian.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Anak-anak sekalian!" terdengar kakek mata satu itu berkata.
"Kita adalah pendekar-pendekar tanah air, patriot-patriot bangsa yang
berjuang tanpa pamrih, hanya dengan satu tujuan, yaitu membebaskan tanah
air dan bangsa dari cengkeraman penjajah! Akan tetapi, perjuangan kita tidak
Beruang Salju 1 Pendekar Cacad Karya Gu Long Naga Sakti Sungai Kuning 1