Pencarian

Pedang Naga Kemala 8

Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


akan sia-sia. Bangsa kita akan terbebas dari belenggu penjajahan, dan kalau
kita gugur, nama kita akan dipuja selamanya sebagai pahlawan. Karena itu,
kita tidak boleh melupakan kawan-kawan seperjuangan yang gugur baru-baru
ini, dan marilah kita sembahyangi mereka agar roh mereka mendapat tempat
yang baik, dan nama mereka akan dipuja selamanya."
Siu Coan tersenyum di dalam hatinya, senyum mengejek. Mungkin nama
beberapa orang pentolan saja yang akan diingat selamanya, akan tetapi nama
para perajurit biasa, siapa yang akan mengingatnya" Nama itupun akan
terlupa. Perjuangan tanpa pamrih" Mana mungkin itu, cemooh hatinya.
Menumbangkan penjajah hanya merupakan jalan saja, tidak hanya habis
sampai di situ. Aku jelas tidak mau berjuang tanpa pamrih, dengan sia-sia.
Setelah semua orang selesai sembahyang dan meja sembahyang
disingkirkan, dimulailah rapat itu. Mula-mula sang ketua membicarakan soal
pusaka Giok-liong-kiam. "Mendapatkan kembali pusaka itu merupakan kewajiban kita, akan tetapi
tidak begitu mutlak perlu," kata Ma Ki Sun.
"Yang penting adalah soal perjuangan. Seperti kita semua ketahui,
pemerintah penjajah Mancu yang mulai bobrok itu telah secara tak tahu malu
menakluk kepada orang-orang kulit putih dan menyerahkan kota-kota penting
begitu saja kepada mereka. Penjilat-penjilat tak tahu malu itu sungguh
terkutuk! Madat akan dimasukkan lagi dan bangsa kita akan dijejali barang
beracun itu sampai akhirnya kita menjadi bangsa yang lemah dan pemadatan!
Ini harus kita tentang! Kita harus mengerahkan tenaga untuk mengganggu dan
menyerang mereka, sekarang kita mulai mendekati kota raja dan mengadakan
kekacauan di daerah kota raja!"
Akan tetapi, para murid dan anggauta Thian-te-pang nampak saling
pandang dan agaknya tidak semangat menyambut anjuran sang ketua ini. Hal
ini adalah hasil dari permainan kasak-kusuk yang dilakukan Siu Coan selama
ini di antara mereka. Dengan cerdik, dia tanpa mencela secara terang-terangan,
mengatakan bahwa Thian-te-pang perlu memperoleh pimpinan baru yang
perkasa dan pandai. Dan dia sengaja menyinggung betapa pusaka Giok-liongkiam merupakan lambang kebesaran Thian-te-pang, dan hilangnya pusaka itu
menunjukkan kemerosotan Thian-te-pang, maka perlu segera didapatkan
kembali. Dan sekarang, sang ketua bahkan meremehkan Giok-liong-kiam, dan
mengajak mereka untuk mengganggu daerah kota raja yang amat berbahaya
karena di daerah itu penjagaan pasukan kerajaan amatlah kuatnya. Melakukan
pengacauan di daerah kota raja sama saja dengan membunuh diri! Karena
itulah, mereka saling pandang dan tidak menyambut ucapan sang ketua itu
dengan semangat seperti biasanya. Apalagi mereka masih lelah, baru saja
pulang dari pertempuran-pertempuran yang melelahkan dimana mereka
kehilangan banyak teman. Melihat sikap para anak buah ini, Ma Ki Sun dan sutenya saling pandang.
Kemudian sutenya, Coa Bhok, berseru dengan suara lantang.
"Apakah di antara kalian ada yang hendak mengajukan usul ?"
Tentu saja para murid dan para anggauta itu tidak berani menentang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kehendak ketua mereka, maka merekapun kini hanya saling pandang dan
akhirnya mereka memandang kepada Siu Coan. Pemuda ini tersenyum dan
bangkit dari tempat duduknya.
"Pangcu, aku ingin mengajukan usul-usul!"
"Ong-sicu !" jawab Coa Bhok dengan alis berkerut.
"Ini adalah rapat para anggauta Thian-te-pang, sicu sebagai orang luar
tidak berhak mencampuri. Maaf, kami tidak dapat menerima usul dari luar."
Sedikit banyak Coa Bhok sudah mendengar tentang pemuda ini dari para
muridnya. Seorang pemuda yang lihai, akan tetapi aneh. Tak seorangpun
mengetahui asal-usulnya, dari perguruan mana, dan juga bahwa sute dari
pemuda ini telah menikah dengan seorang wanita kulit putih. Orang seperti itu
mana boleh dipercaya" Apalagi tadi pemuda itu melakukan sembahyang
secara aneh dan melanggar adat kebiasaan.
Siu Coan tidak mundur oleh teguran ini.
"Maaf, aku terpaksa mencampuri karena melihat hal-hal yang baik dalarn
Thian-te-pang. Aku menganggap Thian-te-pang sebagai saudara
seperjuangan, dan aku tahu bahwa para anggauta ingin sekali mengajukan
usul-usul namun mereka tidak berani. Kini aku akan maju sebagai wakil
pembicara mereka. Saudara-saudara, bagaimana kalau aku menjadi wakil
saudara, bagaimana kalau aku menjadi wakil pembicara kalian untuk
menyampaikan segala ketidakpuasan yang menekan batin kalian" Setujukah?"
Sudah banyak Siu Coan mempengaruhi para anggauta Thiantepai, apalagi
mereka yang kagum menyaksikan sepak terjangnya, maka mereka ini serentak
menyatakan setuju dan suara ini diikuti saja oleh para anggauta lain yang
agaknya sudah kehilangan pegangan itu.
"Setujuuuuu...!" Terdengar suara serentak mereka.
Ma Ki Sun dan Coa Bhok saling pandang dan akhirnya Ma Ki Sun
mengangguk. "Baiklah," kata Coa Bhok denga suara kering dan ketus.
"Kalau memang para anggauta menghendaki, engkau boleh menyatakan
usul-usulmu, Ong-sicu."
"Terima kasih, akan tetapi sebelumnya aku minta agar pangcu berjanji
bahwa sebelum aku selesai menyatakan usul-usulku, maka usul-usulku tidak
boleh dipotong. Berjanjilah bahwa aku akan diperbolehkan menyatakan usulusulku sampai aku habis bicara."
Ma Ki Sun melambaikan tangannya dengan tidak sabar.
"Baik, bicaralah, orang muda!"
Siu Coan berhenti sebentar untuk memberi kesempatan para anggauta
menyatakan persetujuan mereka. Kemudian dia menyambung dengan cepat.
"Aku hanya menjadi juru pembicara para anggauta Thian-te-pang. Kami
semua merasa tidak puas terhadap kebijaksanaan yang diambil oleh pimpinan.
Pertama, setelah Giok-liong-kiam dicuri orang dan terlepas dan tangan kita,
maka pamor Thian-te-pang menjadi suram. Karena itu, urusan mencari dan
merampas kembali Giok-liong-kiam merupakan hal terpenting dan menyangkut
kehormatan dan nama besar Thian-te-pang sendiri. Maka kami tidak setuju
kalau dinomorduakan. Giok-liong-kiam harus didapatkan kembali lebih dulu!"
Siu Coan berhenti sebentar untuk memberi kesempatan para anggauta
menyatakan persetujuan mereka. Kemudian dia menyambung dengan cepat.
"Kedua, melakukan pengacauan dan menyerang ke daerah kota raja pada
saat ini adalah sama sekali tidak tepat. Pemerintah penjajah baru saja berbaik
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dengan orang-orang kulit putih sehingga kedudukan mereka kuat, sebaliknya
kita baru saja bertempur dan kehilangan banyak tenaga. Kita harus
menghimpun kekuatan lebih dulu, bergabung dengan golongan lain kalau
perlu, dan setelah kita kuat benar, barulah kita bergerak. Akan tetapi, jangan
jadikan Thian-te-pang sebagai kelompok pengacau-pengacau tak berarti saja.
Kita bercita-cita, bukan hanya untuk menjadi sekedar pengacau, melainkan
kalau mungkin kita akan gulingkan pemerintah penjajah Mancu!"
Kembali terdengar tepuk tangan dan seruan-seruan pujian dari para
anggauta. "Ketiga, kami sama sekali tidak setuju dengan ucapan ketua ketika
diadakan upacara sembahyang tadi. Buat apa kita berjuang mati-matian,
mengorbankan nyawa kalau sekedar mencari nama kosong belaka" Kita
berjuang harus dengan cita-cita, dengan pamrih luhur! Thian-te-pang harus
berjuang bukan hanya untuk dicap sebagai pahlawan kalau mati, melainkan
untuk merampas tahta kerajaan dan kalau berhasil kelak, setiap orang
anggauta Thian-te-pang, tidak terkecuali, harus mendapatkan kedudukan atau
pangkat sesuai dengan jasa-jasa mereka! Dengan demikian, tidak akan
percuma kalau sekarang kita berjuang dengan taruhan nyawa juga, sehingga
kelak dapat memperoleh pahala untuk mengangkat nama dan derajat keluarga,
juga menjamin kemakmuran bagi kehidupan mereka!"
Sekali ini, tepuk tangan dan sorak-sorai menyambut ucapan Siu Coan
sehingga tidak dapat disangsikan lagi dukungan mereka terhadap Siu Coan.
Ma Ki Sun dan Coa Bhok dengan muka pucat saling pandang dan keduanya
merasa betapa ada bahaya besar mengancam mereka, setidaknya kedudukan
mereka. Akan tetapi sebelum mereka sempat bicara, kembali Siu Coan sudah
mengangkat kedua tangan ke atas, dan terdengar suaranya melengking
mengatasi semua suara bising. Dua orang pimpinan Thia-te-pang terkejut
karena mereka maklum bahwa suara itu didukung oleh tenaga khikang yang
amat kuat! "Masih ada satu hal lagi yang teramat penting, lebih penting dari pada
yang terdahulu. Kami berpendapat bahwa pimpinan Thian-te-pang sekarang
ini sudah tidak becus, sudah terlalu tua dan tidak mungkin dapat memajukan
Thian-te-pang, maka kami usulkan agar diganti oleh tenaga muda yang lebih
bersemangat!" Ma Ki Sun dan Coa Bhok kini saling pandang dengan muka pucat dan Coa
Bhok sudah meloncat berdiri.
"Orang she Ong! Sikapmu sungguh keterlaluan dan tidak bersahabat!
Apakah engkau hendak mengajak murid-murid kami berkhianat?"
"Coa-pangcu harap sabar dulu. Aku sama sekali tidak mengajak mereka
berkhianat, melainkan bicara sejujurnya saja. Pimpinan Thian-te-pang tidak
becus mendapatkan kembali pusaka Giok-liong-kiam dan telah
memperlihatkan kepemimpinan yang tidak baik. Maka, wajarlah kalau
pimpinan sekarang yang sudah terlalu tua dan lemah mundur saja untuk
diganti oleh yang muda dan kuat!"
Coa Bhok tersenyum mengejek.
"Orang she Ong. Mereka semua adalah murid-murid kami, siapakah di
antara mereka yang dapat melebihi kekuatan kami?"
"Wah, banyak!" kata Ong Siu Coan.
"Di antaranya" aku sendiripun mampu melebihi kekuatan kalian."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Keparat!" Kini Coa Bhok meloncat ke depan menghadapi Siu Coan yang juga sudah
meninggalkan kursinya dan berdiri di tengah-tengah ruangan itu. Keduanya
kini saling berhadapan seperti dua ekor jago yang siap untuk saling serang.
"Jadi engkau menghendaki kedudukan ketua Thian-te-pang?"
"Kalau kalian yang sudah tua dan lemah tahu diri, aku akan sanggup
memimpin Thian-te-pang jauh lebih baik dari pada kalian orang-orang tua yang
sudah lemah!" "Jahanam bermulut besar! Ingin kulihat apakah kepandaianmu juga
sebesar mulutmu!" bentak Coa Bhok yang sudah tidak mampu menahan
kemarahannya lagi. Berkata demikian, wakil ketua Thia-te-pang ini sudah mencabut sebatang
pedang. Dia marah sekali, akan tetapi sebagai seorang wakil ketua sebuah
perkumpulan besar yang merasa dirinya telah menduduki tingkat tinggi, dia
merasa tidak enak kalau harus menyerang seorang lawan yang begitu muda
dengan senjata tanpa memberi kesempatan kepada lawan.
"Ong Siu Coan, keluarkanlah senjatamu!" tantangnya sambil melintangkan
pedangnya di depan dada. Akan tetapi Siu Coan tersenyum, suaranya lantang terdengar oleh semua
orang ketika diabicara. Pada waktu itu, keributan itu sudah terdengar oleh
orang-orang yang berada di luar ruangan sehingga kini lubang pintu dan
jendela penuh dengan kepala-kepala tersembul memandang ke dalam, kepala
para anggauta Thian-te-pang.
"Aku datang bukan untuk berkelahi, melainkan mengatakan hal-hal yang
sebenarnya. Akan tetapi kalau Coa-pangcu yang bernafsu untuk menyerang
dan membunuhku, silahkan. Aku sendiri sama sekali tidak takut menghadapi
pedangmu dengan tangan kosong saja."
"Orang she Ong! Kalau tidak engkau yang menggeletak mati di ujung
pedangku, akulah yang harus mampus di tanganmu. Lihat senjata!"
Dan kakek itu sudah menerjang maju dan mengirim serangan dengan
pedangnya secara kilat dan dahsyat sekali.
Betapapun cepatnya tusukan pedang yang menuju ke arah tenggorokan Siu
Coan itu, namun Siu Coan lebih cepat lagi. Tubuhnya sudah mencelat ke kiri
dan tusukan itu mengenai angin kosong. Sebagai seorang ahli pedang yang
tangguh, begitu pedangnya luput mengenai sasaran, pergelangan tangannya
bergerak dan pedang itu membuat gerakan memutar terus menyambar dengan
bacokan yang lebih dahsyat lagi ke arah leher Siu Coan.
Pemuda itu merendahkan tubuh membiarkan pedang lewat dan cepat dia
meloncat ke atas ketika pedang itu sudah datang lagi dari lain jurusan
membabat kedua kakinya! Pedang itu terus bergerak cepat menghujankan
serangan dan sebentar kemudian pedang itu sudah lenyap bentuknya dan
berobah menjadi segulungan sinar putih yang menyambar-nyambar. Akan
tetapi bentuk tubuh Siu Coan juga sudah lenyap. Hanya bayangan tubuhnya
saja yang berloncatan ke sana-sini sehingga pedang yang bayangannya
berobah banyak itu seolah-olah hanya menyerang bayangan kosong saja!
Semua mata yang nonton perkelahian itu hampir tak pernah dikejapkan.
Semua orang memandang dengan hati tegang. Para murid dan anggauta Thiante-pang maklum betapa lihainya wakil ketua itu bermain pedang, dan kini Siu
Coan menghadapinya dengan tangan kosong saja! Mereka sudah
membayangkan bahwa tak lama lagi tentu tubuh pemuda itu akan roboh mandi
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan darah, tewas atau terluka berat. Akan tetapi, makin cepat pedang itu
berkelebat, makin cepat pula tubuh Siu Coan bergerak menghindar, sehingga
jangankan tubuh pemuda itu dilanggar pedang, bahkan ujung baju pemuda
itupun tidak pernah tergores pedang sama sekali! Dan agaknya pemuda itu
dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya, hal ini terbukti dari suara
ketawanya yang kadang-kadang terdengar, bahkan terdengar pula suaranya
penuh ejekan. "Nah, bukankah kau sudah terlalu tua dan gerakanmu terlalu lemah dan
lamban, Coa-pangcu?"
Mendengar suara ketawa dan ejekan ini, para penonton menjadi terheranheran dan kagum bukan main. Dianggap oleh mereka bahwa agaknya tidak
masuk akal kalau ada orang mampu menghadapi pedang Coa Bhok dengan
tangan kosong, dan masih sempat tertawa-tawa bahkan mengeluarkan suara
mengejek. Mereka tahu bahwa Siu Coan lihai, akan tetapi tidak pernah
menduga bahwa pemuda itu memiliki kesaktian seperti itu! Juga ketua Thiante-pang, Ma Ki Sun, terbelalak kaget. Kakek ini adalah suhengnya dari Coa Bhok
dan lebih lihai daripada sutenya. Akan tetapi dia tidaklah seangkuh Coa Bhok
yang terlalu percaya akan kepandaian sendiri sehingga suka memandang
ringan orang lain. Melihat betapa selama lebih dari duapuluh jurus sutenya
yang menggunakan pedang itu terus menerus menyerang pemuda itu tanpa
berhasil sedikitpun juga, bahkan melihat pemuda itu benar-benar memiliki
kepandaian yang jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada sutenya. Dia merasa
heran dan terkejut akan kenyataan ini, akan tetapi dia masih cukup waspada
untuk berseru kepada sutenya.
"Sute, sudahlah, jangan berkelahi lagi!" katanya dengan maksud agar
sutenya tidak menderita malu dan bahkan mungkin terancam bahaya.
Akan tetapi, Coa Bhok sudah memuncak kemarahannya. Kehebatan lawan
dan ejekan lawan tadi sudah meracuni batinnya, dan dia merasa lebih baik mati
dari pada harus menghentikan serangannya dan mengaku kalah!
"Biarlah, suheng. Dia atau aku yang mati!" teriaknya dan dia memperhebat
serangannya. Siu Coan bukan seorang bodoh. Tadinya sedikitpun tidak terlintas dalam
benaknya untuk merobohkan lawannya dengan luka berat, apalagi
membunuhnya. Dia tahu bahwa dua orang kakek ini, bagaimanapun juga,
merupakan guru-guru dari para anggauta Thian-te-pang sehingga mereka itu
masih akan mampu mempengaruhi para anggauta. Dia bermaksud untuk
menanamkan kekuasaannya di Thian-te-pang tanpa mengganggu para
pimpinannya, hanya menundukkan saja dan dia dapat mempergunakan
kekuatan Thian-te-pang untuk mencapai tujuannya.
Akan tetapi, melihat sikap Coa Bhok, tahulah dia bahwa orang ini kalau
dibiarkan hidup, akhirnya tentu akan menjadi orang yang selalu memusuhinya,
baik berterang ataupun dengan menggelap. Cegahan ketua Thian-te-pang tadi
meyakinkan hatinya bahwa dengan ketua itu dia masih boleh mengharapkan
kerja sama, akan tetapi terhadap Coa Bhok yang keras hati ini harus diambil
tindakan tegas, akan tetapi harus diatur sedemikian rupa agar para anggauta
Thian-te-pang tidak akan menjadi sakit hati kepadanya.


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siu Coan membiarkan lawannya mengamuk terus. Dengan ilmu silat Ngoheng Lian-hoan Kun-hoat yang amat hebat dari Thian-tok, dia mampu
menghindarkan semua serangan itu. Dan kini kadang-kadang dia menangkis
dengan tangannya, tangan yang sudah diisi dan dialiri tenaga ilmu kebal Kimdikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan ciong-ko. Ilmu Kim-ciong-ko ini dapat membuat tubuhnya seperti dilindungi
baju emas saja. Sebetulnya, melihat ilmu ini saja yang membuat kedua tangan
pemuda itu mampu menangkis pedangnya tanpa lecet sedikitpun juga, sudah
cukup bagi Coa Bhok untuk menyadari bahwa dia kalah jauh.
Namun kakek ini keras hati dan dia menganggap bahwa Siu Coan sudah
melontarkan penghinaan terhadap dia dan suhengnya, maka dia tetap tidak
mau mundur dan menyerang terus walaupun kini napasnya mulai empasempis. Bersilat pedang memang lebih cepat melelahkan, karena membutuhkan
tenaga tambahan untuk menggerakkan pedang. Walaupun pedangnya itu
pedang tipis dan tidak sangat berat, akan tetapi kalau harus menyerang terus
sejak tadi, tenaganya mulai berkurang juga.
Siu Coan cukup waspada. Dia melihat lowongan baik. Kalau hanya untuk
merobohkan kakek itu saja, sejak tadipun dia akan mampu melakukannya.
Akan tetapi merobohkan lawan seperti yang dikehendakinya, membutuhkan
waktu karena dia harus mencari kesempatan baik dan gerak cepat yang luar
biasa. Tiba-tiba saja, tanpa dapat dilihat oleh semua orang kecuali ketua Thiante-pang bagaimana terjadinya, kakek Coa Bhok mengeluarkan teriakan
mengaduh dan tubuh kakek itu roboh miring dan tewas seketika dengan tubuh
mandi darah, pedang yang gagangnya masih dipegangnya itu telah menusuk
dadanya sendiri sampai tembus! Karena pedang itu tepat menembus jantung,
maka kakek itupun tewas seketika. Semua orang terkejut dan terbelalak.
Siu Coan berdiri dan memandang mayat itu, menarik napas panjang dan
berkata. "Coa-pangcu sungguh keras hati, memilih bunuh diri dari pada menderita
kekalahan. Sayang, sayang...!"
Barulah para anggauta Thian-tepang maklum bahwa wakil ketua itu telah
membunuh diri karena merasa akan menderita kekalahan. Mereka menjadi
semakin kagum terhadap pemuda itu, dan mereka juga semakin tegang, ingin
melihat apa yang akan dilakukan oleh ketua mereka terhadap Siu Coan.
Ma Ki Sun bangkit dari kursinya, menanggalkan jubahnya yang lebar, lalu
memerintahkan murid-muridnya untuk menyingkirkan mayat sutenya.
"Urus jenazahnya baik-baik," katanya dengan suara datar.
Setelah mayat itu diangkut, dia lalu melangkah perlahan menghampiri Siu
Coan yang masih berdiri di tengah ruangan itu. Di lantai masih ada darah dan
melihat ini, sakit juga rasa hati Ma Ki Sun, teringat betapa sutenya sejak muda
membantunya dan sutenya adalah seorang pendekar yang gagah perkasa,
seorang patriot yang gagah berani. Akan tetapi tak disangkanya, sutenya
tewas di tangan seorang pemuda yang sama sekali tidak ada nama, walaupun
harus diakuinya bahwa kepandaian pemuda itu benar-benar amat hebat.
Sejenak mereka saling pandang, pandang mata ketua itu penuh selidik,
pandang mata Siu Coan menanti dengan sikap waspada.
"Orang muda, sebetulnya apakah yang kaucari di sini?" tanyanya dengan
suara lirih dan tegas. Siu Coan menjura dengan horrnat.
"Harap pangcu maafkan kalau peristiwa berekor seperti ini. Adalah Coapangcu yang memaksaku?"
"Aku mengerti, orang muda. Akan tetapi, apakah sebenarnya
kehendakmu?" Melihat mata yang hanya satu itu memandangnya penuh selidik, seolahdikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan olah dapat menembus dan menjenguk isi hatinya, diam-diam Siu Coan bergidik
dan dia cepat-cepat menjawab dengan suara lantang agar terdengar oleh
semua orang. "Pangcu, aku hanya ingin agar Thian-te-pang menjadi sebuah perkumpulan
patriot yang kuat dan kelak akan berhasil menggulingkan kerajaan penjajah
Mancu. Aku ingin menghimpun seluruh kekuatan para pejuang untuk bersatu
dan menghalau penjajah dari tanah air."
"Hemm, jadi engkau ingin menjadi ketua Thian-te-pang?"
"Bukan hanya Thian-te-pang, melainkan aku ingin memimpin seluruh
pasukan pejuang yang menentang pemerintah penjajah, ingin mendirikan
sebuah kekuatan baru yang meliputi segenap rakyat jelata untuk bangkit
melawan penjajah!" Ucapan ini keluar dari lubuk hati Siu Coan, terdengar penuh semangat
sehingga membakar semangat para anggauta Thian-te-pang yang
menyebabkan perasaan suka dan kagum mereka terhadap Siu Coan meningkat.
Sikap Siu Coan ini agaknya mulai meyakinkan hati Ma Ki Sun pula. Dia
bukan seorang yang ambisius dan diapun mengerti bahwa karena usianya
sudah makin menua, sudah wajarlah kalau Thian-te-pang dipegang oleh
tenaga muda dan mungkin saja akan menjadi semakin kuat dan maju.
"Baiklah, Ong-sicu. Akan tetapi karena saat ini aku yang menjadi pangcu,
kalau engkau ingin mengambil alih kursi pimpinan, engkau harus dapat pula
mengalahkan aku." Siu Coan merasa tidak enak dan khawatir kalau-kalau para anggauta Thiante-pang yang dia tahu sudah mulai suka kepadanya, akan berobah sikap kalau
dia sampai mencelakai ketua Thian-te-pang yang juga menjadi guru mereka ini.
Kalau tadi para anggauta Thian-te-pang tidak marah melihat tewasnya Coa
Bhok adalah karena mereka melihat Coa Bhok seperti membunuh diri, dan
melihat adanya ketua Thian-te-pang di situ yang akan mengambil keputusan.
Tentu saja Coa Shok tadi bukan membunuh diri, melainkan dibunuhnya
sedemikian rupa sehingga nampaknya seperti bunuh diri. Ketika dia
memperoleh kesempatan, dengan kecepatan kilat dia menotok tengkuk kakek
itu sehingga tubuhnya kaku dan pada detik berikutnya, dia menusukkan
pedang yang masih dipegang tangan kanan kakek itu ke dalam dada kakek itu
sendiri! "Pangcu, aku tidak ingin berkelahi!"
"Akupun bukan menantangmu berkelahi seperti yang dilakukan sute tadi,
melainkan sebagai peraturan belaka. Siapa yang hendak menjadi ketua Thiante-pang selagi ketuanya yang lama masih ada dan belum mengundurkan diri,
maka calon ketua baru itu harus mampu mengalahkan ketua lama. Nah, aku
sudah siap, majulah orang muda!"
Tidak seperti sutenya, kini Ma Ki Sun tidak mempergunakan senjata,
walaupun dia juga seorang ahli pedang. Kakek ini, melihat perkelahian tadi
saja, sudah maklum bahwa diapun bukan lawan pemuda ini! Walaupun dia
menggunakan pedang, akhirnya dia akan kalah juga. Dengan maju tanpa
pedang, dia akan dapat melihat apa sesungguhnya kehendak pemuda ini dan
bagaimana sikapnya. Apakah pemuda ini tetap akan membunuhnya" Kalau
demikian, dia masih ada kesempatan untuk memperingatkan para muridnya
dan membuka kedok Siu Coan yang tadi membunuh Coa Bhok.
Karena maklum akan lihainya pemuda itu, Ma Ki Sun tidak bersikap
sungkan-sungkan lagi, dan diapun membuka serangan, disambut dengan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tenang oleh Siu Coan. Terjadilah perkelahian tangan kosong yang seru, lebih
seru dari pada tadi karena kini Ma Ki Sun bersilat dengan hati-hati dan diamdiam dia mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan tenaga
sinkangnya. Akan tetapi, Siu Coan yang ingin memberi muka kepada kakek ini,
demi berhasilnya apa yang dicita-citakan, menandinginya dengan seimbang.
Kalau dia menghendaki, pemuda ini tentu akan mampu merobohkannya,
karena sesungguhnya, ilmu yang dikuasai pemuda ini masih setingkat lebih
tinggi dari pada ketua Thian-te-pang. Namun, Siu Coan tidak mau merobohkan
lawannya dan selalu menangkis, mengelak dan membalas serangan
sekedarnya saja. Ma Ki Sun bukan seorang bodoh. Dia adalah seorang ahli silat tinggi yang
sudah banyak pengalaman pula. Dia tahu bahwa memang lawannya banyak
mengalah. Apalagi ketika pada suatu saat dia menyerang, tiba-tiba saja
tubuhnya menjadi lemas karena ditotok, akan tetapi sebelum dia roboh,
pemuda itu sudah membebaskan kembali totokannya. Semua ini terjadi
sedemikian cepatnya sehingga hanya diketahui dan dirasakan oleh Ma Ki Sun
sendiri saja. Diam-diam dia merasa semakin kagum. Pemuda ini benar-benar
hebat. Kalau memang benar pemuda itu mempunyai watak baik, seorang
pendekar sejati, maka diapun ikut bergembira bahwa pihak pejuang
memperoleh seorang tenaga muda yang demikian baiknya. Akan tetapi dia
bergidik membayangkan bahwa pemuda itu termasuk golongan sesat yang
akan menyelewengkan perjuangan.
"Dukk!" Dua lengan bertemu dan Siu Coan menambah sedikit tenaganya, sehingga
pertemuan tenaga melalui lengan itu membuat ketua Thian-te-pang terhuyung
ke belakang dengan napas terengah-engah dan muka pucat penuh keringat.
"Ong-sicu, engkau memang hebat dan pantas menjadi ketua Thian-tepang!" kata kakek itu.
Tentu saja Siu Coan gembira bukan main dan dia sudah cepat memberi
hormat kepada kakek itu, lalu berkata lantang, ditujukan kepada semua
anggauta Thian-te-pang. "Aku bukan datang untuk merampas kedudukan ketua! Aku datang untuk
membantu Thian-te-pang menjadi sebuah perkumpulan yang besar,
mengembalikan kehormatan Thian-te-pang, memperoleh kembali Giok-liongkiam dan memperbesar perkumpulan ini menjadi kekuatan yang kelak akan
menjadi pelopor bagi semua patriot untuk mengenyahkan penjajah dari tanah
air!" Para anggauta Thian-te-pang bersorak gembira. Juga Ma Ki Sun merasa
gembira sekali. Memang sutenya tewas di tangan pemuda ini. Akan tetapi
sesungguhnya, dia melihat sendiri tadi, bahwa pemuda ini sama sekali tidak
berniat membunuh sutenya sebelum sutenya dengan nekat menghendaki adu
nyawa. Kiranya pemuda ini hanya ingin diterima menjadi seorang anggauta
kehormatan saja yang tentu akan membantu kemajuan Thian-te-pang,
sedangkan kedudukan ketua masih diberikan kepadanya!
Demikianlah, mulai hari itu, Thian-te-pang menerima Ong Siu Coan sebagai
seorang pemimpin tanpa kedudukan! Karena maklum bahwa pemuda ini lihai
bukan main, semua mata para anggauta ditujukan kepadanya dan pemuda
inipun dengan cerdiknya lalu merobah cara berlatih silat, memberi petunjuk
beberapa pukulan yang lihai sehingga mereka semua semakin tunduk
kepadanya. Akan tetapi, pertama-tama yang dilakukannya adalah
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mengerahkan mereka itu untuk menyelidiki dimana adanya Koan Jit. Tentu saja
dengan dalih bahwa Thian-te-pang harus mendapatkan kembali pusakanya itu
agar nama dan kehormatannya dapat terangkat lagi. Padahal, jauh di sudut
hatinya tersimpan keinginan untuk menguasai sendiri pusaka itu apabila sudah
dapat dirampasnya dari Koan Jit.
Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kecewa rasa hati Siu Coan ketika
para anggauta thian-te-pang itu tidak pernah berhasil dalam mencari dan
menemukan jejak Koan Jit. Orang yang menjadi suhengnya itu ternyata benarbenar amat licin. Seolah-olah menghilang ditelan bumi saja.
Langkah kedua yang diambil oleh Siu Coan adalah mulai menyebarkan
agama baru yang dipeluknya, yaitu Agama Kristen yang mulai menarik hatinya.
Akan tetapi, dasar wataknya sombong, baru saja berkenalan dengan agama
baru itu, dia sudah merasa menjadi ahli, bahkan merasa bahwa pengertiannya
yang baru secuwil tentang kitab suci agama itu, sudah menandingi pengertian
para pendeta agama itu sendiri. Dia merasa seolah-olah dia menjadi seorang
petugas suci, seorang pendeta yang menyebarkan ajaran agama itu demi
kepentingan manusia. Padahal, ayat-ayat suci yang harus dipelajari dan harus
ditafsirkan secara benar dan tepat itu, dia tafsirkan sendiri menurut kemauan
sendiri, disesuaikan dengan keinginan hatinya.
Sikap Siu Coan yang tidak menentang bangsa kulit putih, bahkan kini dia
secara terang-terangan hendak menyebarluaskan agama yang oleh para patriot
dianggap sebagai agama bangsa kulit putih yang jahat, yang telah menyebar
racun madat, mendatangkan kecurigaan dan kekecewaan. Agama baru Kristen
itu oleh para patriot juga dianggap sebagai pelajaran yang mengandung racun.
Hal ini tidaklah aneh. Pertama adalah karena pada waktu itu, kenyataan
bahwa orang kulit putih menyelundupkan madat yang meracuni rakyat,
membuat semua orang terutama yang berjiwa patriot, membenci orang kulit
putih dan tidak percaya kepada mereka. Hal ini mengakibatkan kecurigaan
sehingga apapun yang dimasukkan oleh orang kulit putih, juga agama mereka,
merupakan sesuatu yang beracun, enak memang, akan tetapi merusak badan
dan batin! Kedua adalah karena pada waktu itu, agama oleh para pedagang
kulit putih itu memang dijadikan senjata untuk menaklukkan orang-orang
pribumi, melunakkan sikap mereka, memperoleh kepercayaan mereka. Dapat
dibuktikan menurut catatan sejarah betapa semua negeri yang akhirnya
menjadi jajahan kaum kulit putih, sebelum mengenal bedil orang kulit putih,
lebih dahulu mengenal agama mereka. Sudah menjadi kenyataan pula bahwa
masuknya kompeni atau serdadu orang-orang barat itu selalu dipelopori
dengan masuknya para pendeta sebagai pembuka jalan.
Di dunia ini terdapat banyak sekali agama atau pelajaran kebatinan yang
tujuannya sebenarnya hanya satu, yakni: menuntun manusia agar hidup
dengan bersih, dalam arti kata tidak saling mengganggu, bahkan saling
menolong, memperbesar nyala api cinta kasih antara manusia dan
melenyapkan kebencian, iri hati, permusuhan dan sebagainya. Tidak ada
satupun di antara agama-agama itu yang mempunyai tujuan buruk! Namun,
baiknya agama tidak menjamin baiknya manusia. Bahkan manusia sendirilah
yang menentukan apakah agama yang dianutnya itu benar-benar menjadi obor
dan petunjuk kebersihan hidup ataukah sebaliknya. Manusia yang menentukan
karena manusia adalah kehidupan ini. Agama adalah agama, tidak baik tidak
buruk, suatu pelajaran hidup, makanan rohani juga obat batin. Baik buruknya
tergantung si pemakai, ialah manusia.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Penggunaan yang benar dari manusia dapat membuat agama sebagai
penyedar batin yang menyeleweng, sebagai obor penyuluh bagi batin yang
menderita, penuntun bagi manusia yang makin menjauhkan diri dari pada
Alam dan pencipta-Nya. Akan tetapi sebaliknya, penggunaan yang keliru dari
manusia dapat saja membuat agama menjadi penimbul kemunafikan, menjadi
bahan bentrokan antara agama, menjadi pembangkit kesombongan dan
ketinggian hati karena merasa diri paling bersih, paling benar dan paling suci.
Hal ini bukan sekedar dongeng, melainkan kenyataan yang dapat kita lihat
setiap hari di sekeliling kita, bahkan di dalam batin kita sendiri.
Memang tidak mungkin dapat menangkap pemuda itu pada saat dia
melakukan kejahatan, tidak mungkin menangkap basah karena pemuda itu
amat lihai. Akan tetapi, mereka menjadi semakin curiga. Terutama sekali Ma Ki
Sun. Diam-diam kakek ini lalu mengadakan hubungan dengan para pendekar,
dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ada pendekar yang
mengenal Siu Coan sebagai murid dari datuk iblis Thian-tok!
Diam-diam Ma Pangcu mengumpulkan murid-murid utamanya dan
mengundang tokoh-tokoh persilatan, di antaranya dua orang hwesio Siauwlim-si dan dua orang tosu Kun-lun-pai. Mereka lalu mengadakan pertemuan di
sebuah kuil Siauw-lim-si di belakang Bukit Kijang Putih, tanpa setahu Siu Coan.
"Ong Siu Coan memang memiliki ilmu silat yang amat lihai dan lagaknya
seolah-olah dia benar-benar hendak menghimpun kekuatan untuk
meruntuhkan kekuatan penjajah. Akan tetapi sepak terjangnya sungguh
berlawanan dengan lagaknya. Banyak hal pada dirinya yang amat meragukan
dan mengkhawatirkan, karena itu kami mengundang para suhu dan totiang
untuk membantu kami memecahkan persoalan ini."
"Bicaralah, pangcu. Kamipun sudah banyak mendengar tentang orang she
Ong itu," kata Giok Cin Cu, seorang tokoh Kun-lun-pai yang berpakaian tosu.
"Pertama sekali yang perlu diketahui adalah kenyataan bahwa Ong Siu
Coan adalah murid datuk sesat Thian-tok, seorang di antara Empat Racun
Dunia, yang pernah menyamar sebagai Siauw-bin-hud dan merampas pusaka
kami Giok-liong-kiam. Bahkan sekarangpun yang melarikan pusaka itu adalah
murid pertamanya yang bernama Koan Jit, hal ini kita semua sudah
mendengarnya." "Omitohud"!" seorang di antara tokoh Siauw-lim-pai berseru kaget.
"Jadi, anak murid Thian-tok sekarang menjadi pemimpin Thian-te-pang"
Sungguh berbahaya!" "Kedua, dia tidak memusuhi orang kulit putih, bahkan condong untuk
bersahabat dengan orang kulit putih. Sutenya, murid ketiga dari Thian-tok,
kabarnya bahkan telah menikah dengan seorang gadis kulit putih. Ini
merupakan bukti bahwa dia sama sekali tidak memusuhi orang kulit putih yang
jelas merupakan ancaman bagi keselamatan bangsa."
Mereka yang mendengar keterangan ini mengangguk-angguk maklum.
Tidak ada seorangpun di antara para patriot itu yang setuju dengan
membanjirnya orang kulit putih di kota-kota yang telah dibuka oleh keputusan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kaisar Tao Kuang yang ketakutan terhadap penyerbuan orang kulit putih itu.
"Ada hal lain yang amat berbahaya," kata pula Ma Ki Sun, sekali ini sengaja
hendak membakar hati para hwesio Siauw-lim-pai dan para tosu Kun-lun-pai.
"Ong Siu Coan kini melakukan kegiatan menyebarkan agama baru dari
orang kulit putih, bahkan dia berani menghina agama-agama kita, mengatakan
bahwa Agama Buddha dan Agama To merupakan agama tersesat."
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Siancai...!" seru para tosu Kun-lun-pai.
"Omitohud...!" para hwesio Siauw-lim-pai juga berseru marah.
Demikianlah, para tokoh itu lalu mengambil keputusan untuk menentang
Ong Siu Coan dan mengenyahkan pemuda itu dari Thian-te-pang agar
perkumpulan ini tidak dibawa menyeleweng ke jalan sesat. Siasat diatur dan
waktu telah ditentukan. Dengan dalih merayakan ulang tahun perkumpulan mereka, Ma Ki Sun
berhasil membujuk Siu Coan untuk menyetujui diadakannya perayaan
sederhana sambil mengundang para tokoh persilatan yang menjadi sahabat
Thian-te-pang. Siu Coan sama sekali tidak tahu bahwa ketika perayaan itu tiba
saatnya, Ma Ki Sun sudah membuat persiapan yang amat matang. Para
muridnya telah diberitahu, dan murid-murid itupun mempengaruhi para
anggauta sehingga sebagian besar para anggauta Thian-te-pang sudah
maklum bahwa pemuda yang lihai itu sama sekali tidak cocok untuk menjadi
pemimpin perkumpulan mereka. Selain itu, juga para tokoh persilatan yang
hadir sebagai tamu, semua adalah sahabat-sahabat Ma Ki Sun yang sudah siap
turun tangan membantu kalau keadaan memaksa.
Di tengah-tengah perayaan itulah, Ma Ki Sun bangkit berdiri dan
mengumumkan kepada semua anggauta bahwa mulai hari itu, Thian-te-pang
harus kembali ke jalan benar.
"Sudah beberapa bulan lamanya perkumpulan kita ini sudah melakukan
penyelewengan-penyelewengan dan hal ini harus dihentikan. Hal semua ini
terjadi setelah Ong-sicu memimpin kita, oleh karena itu, mengingat bahwa
Ong-sicu bukan merupakan anggauta Thian-te-pang, mulai hari ini kami semua
minta kepada Ong-sicu untuk mengundurkan diri dan jangan mencampuri
urusan Thian-te-pang kami."
Tentu saja hal ini sama sekali tidak pernah diduga oleh Siu Coan. Wajah
pemuda ini menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi
ketika dia memandang kepada ketua Thian-te-pang itu. Diapun bangkit berdiri
dan dengan sikap tenang dia berkata.
"Apakah ini berarti bahwa Ma-pangcu menantangku untuk mengadu
kepandaian?" "Sama sekali bukan begitu," jawab Ma Ki Sun.
"Kami semua tahu bahwa sicu memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi sicu
bukan anggauta kami, dan kalau sicu hendak memaksakan kehendak menjadi
pimpinan kami, hal itu berarti bahwa sicu sebagai orang luar hendak memaksa
diri menguasai kami. Kalau benar demikian, terpaksa kami seluruh anggauta
Thian-te-pang akan bangkit dan menentang sicu sebagai orang luar yang
hendak mengacau perkumpulan kami!"
Siu Coan marah sekali dan dia melayangkan pandangannya kepada mereka
yang hadir. Kaget juga hatinya ketika melihat betapa semua anggauta Thiantepang berkumpul di situ dan kebanyakan dari mereka telah bangkit dan siap
menentangnya dengan pandang mata Bermusuhan! Bahkan dia melihat pula
para hwesio dan tosu yang hadir dari perkumpulan-perkumpulan persilatan
besar, sudah siap pula membela tuan rumah.
"Omitohud, kalau Thian-te-pang dikacau orang luar, pinceng sekalian
sebagai sahabat-sahabatnya tidak akan tinggal diam!" kata seorang hwesio
Siauw-limpai. "Benar, pinto bersama saudara semua juga akan membela Thian-te-pang
dari gangguan orang luar!" kata seorang tosu tinggi kurus yang bermuka
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan kuning. Siu Coan bukan orang bodoh. Dia tidak gentar menghadapi semua orang
Thian-te-pang. Akan tetapi diapun tahu bahwa tak mungkin dia akan menang
menghadapi pengeroyokan mereka semua, apalagi diingat bahwa di antara
para tamu terdapat tokoh-tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang lihai. Juga,
kalau dia menggunakan kekerasan, tentu dia akan kehilangan rasa suka
mereka, padahal dia masih mengharapkan bantuan orang-orang Thian-tepang, setidaknya para anggauta yang suka kepadanya dan yang bahkan sudah
menerima agama baru yang disiarkannya. Dalam waktu beberapa puluh detik
saja, pemuda yang cerdik ini sudah dapat memutar otaknya dan diapun tetap
bersikap tenang, bahkan dia lalu menjura ke arah Ma Ki Sun dan suaranya
terdengar lantang, lembut dan tenang.
"Ma-pangcu, sejak dahulupun aku tidak ingin mengganggu Thian-te-pang,
melainkan hendak memajukan perkumpulan ini. Akan tetapi kalau Ma-pangcu
dan para anggauta Thian-te-pang tidak menghendaki bantuanku, tidak
mengapalah. Aku akan mundur sekarang juga. Akan tetapi, tentu Ma-pangcu
dan semua anggauta tidak akan menganggap aku sebagai musuh, melainkan
sebagai seorang sahabat, bukan?"
Ma Ki Sun sendiri tercengang. Tak disangkanya bahwa pemuda itu akan
demikian mudahnya mengalah! Tadinya dia bahkan mengharapkan pemuda itu
akan menjadi marah dan akan memberontak dan melawan agar dia dapat
mengeroyoknya bersama para anggauta dan para tamu yang lihai agar dia
dapat membasmi pemuda yang lihai dan berbahaya ini. Akan tetapi siapa kira,
pemuda itu bersikap demikian mengalah dan lunak, sehingga tentu saja tidak
ada alasan baginya untuk mengeroyoknya! Terpaksa dia balas menjura kepada
pemuda itu. "Tentu saja Ong-sicu tetap menjadi sahabat kami, karena bagaimanapun
juga, maksud sicu memimpin perkumpulan kami adalah baik walaupun sepak
terjang sicu tidak cocok dengan pendirian kami."
Dia masih mengharapkan agar pemuda itu membantah sehingga ada bahan
untuk saling bertentangan. Akan tetapi, pemuda itu tersenyum, menjura dan
duduk lagi sambil mengucapkan terima kasih. Melihat sikap pernuda ini, tentu
saja para tamupun tidak ada yang dapat mencela, bahkan ada di antara mereka
yang diam-diam memuji sikap pemuda itu yang dianggap tahu diri dan tidak
mencari keributan. Karena sikap pemuda ini, maka tidak terjadi peristiwa di dalam pesta, dan
semenjak hari itu, Siu Coan meninggalkan Thian te-pang dengan aman, sama
sekali tidak mau memancing keributan. Memang pemuda ini pandai bukan
main. Dengan sikapnya ini, maka kelak akan banyak di antara para anggauta
Thian-te-pang yang mau masuk menjadi anggauta perkumpulan baru yang
didirikannya, diberinya nama Fhi-sang-ti-hui (Perkumpulan Pemuja Tuhan),
sebagai suatu perkumpulan yang memeluk Agama Kristen, akan tetapi yang di
dalamnya mengandung cita-cita untuk meruntuhkan kekuasaan Mancu yang
menguasai tanah air. -------Pulau yang tidak begitu jauh dari daratan besar itu disebut Pulau Layar,
karena dari jauh bentuknya seperti layar sebuah perahu besar dan berwarna
hitam. Letaknya di lautan kuning, kurang lebih hanya tiga li dari daratan. Para
nelayan mengenal pulau ini sebagai pulau kecil milik seorang hartawan she
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Tang, akan tetapi tidak ada nelayan berani mencoba mendekati pulau itu,
karena hartawan itu terkenal memiliki banyak anak buah yang galak dan kejam,
juga mereka itu terkenal sebagai orang-orang yang pandai ilmu silat, terutama
sekali ilmu dalam air. Karena daerah ini jarang didatangi para nelayan, maka
perairan di dekat pulau mengandung banyak ikan.
Ada tiga orang nelayan muda yang terlalu berani, mencari ikan dekat pulau
itu. Tiba-tiba sebuah perahu kecil hitam meluncur dekat, dan dua orang muda
yang tampan menegur para nelayan itu. Melihat bahwa yang mengganggu
mereka hanya dua orang pemuda yang kelihatan tampan dan bertubuh kecil,
tiga orang nelayan muda yang kuat-kuat itu tidak takut, bahkan membantah
sehingga terjadi percekcokan. Tiba-tiba dua orang pemuda tampan dalam
perahu hitam itu berloncatan ke dalam air, menyelam dan tak lama kemudian,
perahu nelayan itupun terbalik dan tentu saja tiga orang nelayannya ikut
tercebur! Mereka diseret ke bawah permukaan air dan akhirnya dua orang di
antara mereka tewas, yang seorang berhasil menyelamatkan diri membawa
cerita menyeramkan tentang pulau itu dan para penghuninya yang galak dan
kejam. Pulau layar ini memang dihuni oleh seorang hartawan yang kaya raya
bernama Tang Kok Bu atau yang lebih terkenal lagi di dunia persilatan sebagai
seorang datuk sesat berjuluk Hai-tok (Racun Lautan), seorang di antara Empat
Racun Dunia yang terkenal itu. Hai-tok Tang Kok Bu di waktu dahulu adalah
seorang datuk sesat yang menguasai lautan, menjadi raja di antara para bajak
laut. Pekerjaan ini mendatangkan hasil bajakan yang amat besar dan setelah
usianya semakin tua, Hai-tok menghentikan kegiatannya dan hidup di Pulau
Layar sebagai seorang hartawan yang kaya raya.
Hai-tok sudah kehilangan isterinya semenjak puterinya masih kecil, anak
tunggal ini bernama Tang Ki dan setelah kematian isterinya, Hai-tok hidup
secara yang tidak wajar. Dia menerima murid-murid yang terdiri dari pria-pria
yang tampan, pemuda-pemuda remaja yang ganteng dan mulailah
kehidupannya sebagai seorang homo, seorang kakek yang suka bermesraan
dengan pemuda-pemuda tampan.
Hanya seorang di antara muridnya yang tak pernah diganggunya walaupun
murid ini tampan juga, yaitu murid pertamanya yang sejak kecil bersama
puterinya telah dilatihnya. Karena sejak kecil menjadi muridnya, maka Lee Song
Kim, demikian nama murid itu, selain memiliki ilmu yang lihai, juga dianggap
seperti anak sendiri sehingga Hai-tok tidak pernah mengganggunya.
Murid-murid lain diambil murid setelah menjadi pemuda remaja dan
mereka ini tidak memperoleh latihan ilmu silat yang terlalu tinggi, melainkan
lebih banyak bertugas sebagai pelayan-pelayan dan juga penghiburpenghibur. Tidak kurang dari tigapuluh orang murid yang tampan-tampan
yang menjadi pelayan, dan anak buah ini dan selain puteri tunggalnya, Tang
Ki, tidak ada seorangpun wanita lain yang tinggal di pulau itu!
Pada pagi hari itu, Hai-tok Tang Kok Bu sudah berada di luar gedungnya
yang indah, di halaman luar gedungnya dan nampak dia marah-marah.
Suaranya lantang ketika dia memarahi belasan orang pemuda ganteng yang
berlutut di atas tanah, di depan kakinya.
"Kalian ini memang manusia-manusia tolol yang tiada guna!" bentaknya
berkali-kali, dan belasan orang anak buah atau juga muridnya itu berlutut
dengan muka pucat dan tubuh gemetar.
"Masa mencari satu orang saja, sampai berbulan-bulan pergi
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan menghabiskan banyak biaya, belum juga berhasil!"
Memang menakutkan kalau Hai-tok sedang marah-marah. Kakek yang
usianya sudah kurang lebih tujuhpuluh tahun ini bertubuh tinggi besar dengan
muka merah, pakaiannya mewah dan seperti pakaian hartawan kota saja.
Sepasang matanya yang besar itu melotot dan mukanya yang merah itu
menambah kebuasannya. Dia marah-marah karena belasan orang murid pilihan
ini gagal setelah berbulan-bulan meninggalkan pulau dan berpencaran untuk
mencari jejak seorang yang bernama Koan Jit, murid pertama Thian-tok yang
melarikan pusaka Giok-liongkiam.
Pagi hari itu, mereka pulang ke Pulau Layar dan membawa laporan bahwa
mereka gagal menemukan orang yang mereka cari-cari.
"Percuma saja kalian kuberi makan enak, kuberi pakaian indah-indah,
kuberi kehidupan yang mewah dan mulia di sini, bahkan menjadi muridmuridku! Kini diberi satu macam tugas saja tidak becus melaksanakan dengan
baik. Mau bicara apa kalian?"
Seorang di antara mereka, yang tertua, berusia kurang lebih duapuluh
empat tahun, agaknya memberanikan diri mewakili saudara-saudaranya dan
berkata. "Mohon suhu sudi mengampuni teecu sekalian, karena sesungguhnya
teecu sekalian telah mati-matian mencari jejak Koan Jit itu. Akan tetapi,
suasana di selatan amat kacau dan teecu menduga dia berada di daerah
selatan yang tadinya kacau dilanda perang madat, suhu. Dalam keadaan kacau
balau dengan banyaknya pejuang, teecu menemukan kesukaran, bahkan kalau
bertanya-tanya, kadang-kadang teecu dicurigai orang, disangka mata-mata
orang kulit putih." "Huh, alasan kosong! Sialan benar kalian!"
Kakek tinggi besar itu tetap marah-marah, dan pada saat itu terdengar
seruan nyaring. "Ayah sendiri yang bersalah, mengapa menyalahkan mereka?"
Hai-tok menoleh dan memandang marah kepada puterinya. Akan tetapi,
kemarahan terhadap puterinya selalu dikekangnya. Mana mungkin dia marah
kepada anak tunggalnya yang amat disayangnya itu"
Seorang gadis berusia kurang lebih delapanbelas tahun muncul. Gadis ini
memang puteri atau anak tunggal Hai-tok, akan tetapi dalam hal berpakaian,
ia tidak seperti ayahnya yang selalu berpakaian mewah. Tidak, gadis ini sama
sekali tidak mengenakan pakaian mewah, bahkan mukanya tidak dirias terlalu
menyolok. Pakaiannya ringkas walaupun terbuat dari bahan yang bagus.
Sepasang matanya bersinar-sinar penuh kenakalan, wajahnya selalu berseri
dan mulut itu selalu tersenyum. Manis bukan main karena di tepi mulutnya
terdapat sebuah tahi lalat hitam kecil yang menjadi pemanis. Dengan sikap
manja, gadis yang bernama Tang Ki itu mendekat dan menghampiri ayahnya,
lalu menggandeng tangan kakek itu.
"Sudahlah, ayah. Kalau ayah sering marah-marah, ayah akan jatuh sakit
lagi. Bukankah sebulan yang lalu, karena sering marah-marah, ayah pernah
jatuh sakit parah?" Sikapnya manja akan tetapi juga kelihatan sayangnya terhadap orang tua
itu. "Huh, Kiki, bagaimana engkau malah menyalahkan ayahmu" Mereka ini
yang tolol, tidak becus! Engkau tidak tahu betapa pentingnya Giok-liong-kiam
itu bagiku!" dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Tentu saja salah ayah sendiri. Mereka ini orang-orang macam apa maka
ayah beri tugas sedemikian beratnya" Sejak dulupun aku sudah mengatakan
bahwa biarlah aku saja yang melakukan penyelidikan terhadap Koan Jit. Harap
ayah ingat. Koan Jit adalah murid pertama Thian-tok. Mereka ini akan mampu
berbuat apakah terhadap dirinya?"
"Benar apa yang dikatakan sumoi, suhu!"
Tiba-tiba muncul pula seorang pemuda dari dalam gedung megah itu.
Pemuda ini usianya kurang lebih duapuluh tahun. Wajahnya tampan dan
pakaiannya mewah seperti gurunya, bahkan pesolek karena rambutnya disisir
halus, mukanya seperti ada bekas bedak lamat-lamat. Di punggungnya
tergantung sebatang pedang yang sarungnya indah terukir dan diberi ronceronce merah di gagangnya, di pinggang depan terselip sepasang pisau belati.
Kuncirnya yang tebal hitam itu jelas bekas diminyaki licin, dan berbau harum.
Pakaiannya seperti orang pelajar, akan tetapi karena dia membawa pedang dan
pisau belati, jelas bahwa dia seorang yang tidak lemah. Inilah dia Lee Song
Kim, murid utama Hai-tok yang sejak kecil digemblengnya dan mewarisi
banyak ilmunya dan dianggap sebagai putera sendiri.
Karena itu, biarpun tidak semanja Tang Ki atau yang biasa disebut Kiki,
pemuda ini berani mencampuri percakapan antara ayah yang sedang marah
dan puterinya itu. Kalau murid lain, seorang di antara pemuda-pemuda tampan
yang menjadi anak buah pula, sampai bagaimanapun tidak akan berani
selancang itu karena salah-salah mereka akan dipukul mampus!
"Si Koan Jit itu tentu lihai sekali. Kalau sumoi dan teecu yang berangkat,
tentu kami berdua akan mampu menemukannya dan sekalian merampas Giokliong-kiam untuk suhu!" kata pula pemuda itu setelah dengan gerakan cepat
dia tiba di dekat Hai-tok dan Kiki.
"Kurasa tidak perlu kalian berdua yang pergi, salah seorang saja," kata Haitok.
"Tapi, suhu, kalau kami pergi berdua, teecu dapat membantu sumoi dan
sekalian melindunginya. Harap suhu ingat bahwa murid pertama Thian-tok itu
tentu lihai bukan main, dan berbahayalah kalau sumoi pergi seorang diri saja..."
"Suheng, jangan lancang kau! Aku tidak minta bantuanmu, juga tidak
butuh perlindunganmu!"
Kiki merajuk dan bersungut sambil melirik marah ke arah pemuda itu. Lee
Song Kim tersenyum senang. Sejak kecil mereka berangkat bersama, berada di
satu tempat dan berlatih silat bersama-sama, sehingga di waktu kecil mereka
berdua itu merasa saling suka seperti kakak beradik saja. Akan tetapi setelah


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka dewasa, Lee Song Kim merasakan ada perobahan dalam hatinya. Dia
kagum dan terpikat oleh kecantikan dan kemanisan wajah sumoinya, dan
timbul gairahnya melihat betapa sumoinya itu kini berobah menjadi seorang
gadis yang makin hari makin nampak molek dan memikat hati. Apalagi setelah
dia mulai berkenalan dengan wanita ketika dia meninggalkan pulau dan
bermain-main dengan para nelayan dan para penghuni di dusun-dusun dekat
pantai. Dia membanding-bandingkan sumoinya dengan wanita-wanita dusun
pantai dan dengan para pelacur yang dikenalnya, dan nampaklah oleh matanya
bahwa sumoinya itu jauh lebih menarik dan menang dalam segala hal!
Mulailah dia tergila-gila dan diam-diam dia merindukan sang sumoi dan
mengharapkan kelak sumoinya itu akan menjadi isterinya. Dengan demikian,
bukan saja dia akan mendapatkan seorang isteri yang cantik jelita, juga gagah
perkasa dan boleh diandalkan, melainkan juga dapat mewarisi harta
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan peninggalan yang amat banyak dari gurunya kalau guru yang menjadi ayah
mertua itu meninggal kelak!
"Aih, sumoi, aku bermaksud baik. Koan Jit adalah murid pertama Thian-tok,
tentu lihai dan berbahaya sekali. Baru kalau kita maju berdua, banyak harapan
akan dapat membekuk dia dan merampas pusakanya. Tidakkah benar
demikian, suhu" Apakah suhu akan merelakan dan tega melihat sumoi pergi
sendirian dan kelak berhadapan dengan Koan Jit lalu mengalami celaka" Kalau
ada teecu di sampingnya, teecu akan membelanya dengan taruhan nyawa!"
"Phuahh! Lagaknya!" Kiki kembali menegur.
"Jangan kaupandang rendah aku, suheng! Kaukira aku ini anak kecil yang
perlu kaujaga" Hemm, lihat saja. Akulah yang berhasil merampas Giok-liongkiam!"
"Kiki, kukira pendapat suhengmu ada benarnya. Terlalu berbahaya kalau
engkau pergi seorang diri. Memang kepandaianmu sudah cukup untuk
menjaga diri, akan tetapi menghadapi murid utama Thian-tok, engkau harus
hati-hati. Kalau kalian maju berdua, aku tanggung kalian takkan kalah.
Kepandaian Thian-tok dan aku seimbang. Hanya mungkin engkau kalah
pengalaman dan kalah latihan, mengingat bahwa murid Thian-tok yang
pertama itu sudah jauh lebih tua."
"Ah, aku tidak suka pergi berdua!" kata Kiki merajuk.
"Kalau begitu, biarkan teecu yang pergi, suhu, dari pada membiarkan
sumoi terancam bahaya."
Sang guru mengangguk-angguk dan melihat ini, Kiki cemberut lalu pergi ke
dalam kamarnya. Percakapan dengan puteri dan muridnya itu membuat hati
Hai-tok terhibur sehingga kemarahannya mereda dan hal ini menyelamatkan
para murid yang baru pulang itu dari kemarahan dan hukuman selanjutnya.
Setelah memperoleh ijin dari gurunya, Song Kim lalu membuat persiapan
untuk berangkat besok pagi-pagi meninggalkan Pulau Layar. Dia
mengumpulkan belasan orang murid yang baru pulang pagi tadi dan
mendengar keterangan mereka tentang hasil penyelidikan mereka. Menurut
penuturan mereka, jejak Koan Jit menuju ke selatan dan lenyap di antara
kekacauan yang terjadi karena perang madat di selatan. Keterangan ini
membuat Song Kim mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan ke
selatan pula. Malam itu sunyi di pulau itu. Hai-tok telah tidur nyenyak ditemani dua
orang murid atau anak buah yang baru pulang pagi tadi. Sesosok bayangan
berkelebat dengan cepat sekali keluar dari gedung itu melalui sebuah jendela
kamar. Itulah bayangan Kiki yang sudah berpakaian ringkas, menggendong
sebuah buntalan berisi pakaian. Dengan gerakan yang amat lincah, gadis itu
memandang ke kanan kiri yang sudah sunyi. Ia tahu bahwa di depan gedung,
seperti biasa, terdapat beberapa orang murid yang melakukan penjagaan
secara bergilir. Maka iapun lalu meloncat dan berlari cepat ke arah belakang
gedung keluarganya, melompati pagar tembok di belakang kemudian, di
bawah sinar bulan, ia terus lari memutar menuju ke pantai dimana perahuperahu milik mereka berada.
Kiki tahu bahwa di tempat ini juga terdapat beberapa orang murid berjaga,
menjaga perahu-perahu mereka kalau-kalau ada orang luar yang mendarat di
pulau mereka. Ia tahu dengan pasti dimana mereka berjaga. Ia ingin pergi
dengan diam-diam karena kalau sampai ketahuan ayahnya, tentu ayahnya akan
menahannya. Ayahnya terlalu sayang kepadanya sehingga tidak akan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan membiarkan ia pergi seorang diri saja. Kalau ia sudah dapat keluar dari pulau,
maka amanlah, ayahnyapun tidak akan dapat menyusulnya karena ia boleh
mengambil jalan kemanapun tanpa meningalkan jejak di atas air.
Sekali ini, Kiki tidak ingin mencoba untuk pergi dengan perahu tanpa
setahu para penjaga. Hal ini akan sukar sekali dan sebelum ia berlayar jauh,
tentu para penjaga sudah melihatnya. Maka, lalu dengan cepat iapun
menyembunyikan buntalan pakaiannya, kemudian dengan santai ia
menghampiri tempat jaga. Ada tiga orang murid berjaga di situ.
Tiga orang murid ini tercengang melihat betapa malam-malam gadis itu
datang ke tempat penjagaan mereka. Hampir semua murid atau anak buah di
pulau itu tentu saja diam-diam merindukan gadis yang cantik jelita dan yang
merupakan satu-satunya wanita di pulau itu, akan tetapi tentu saja mereka
tidak berani bersikap sembarangan, tahu akan kelihaian Kiki. Dan Kiki yang
amat manja itu, melihat bahwa para pemuda itu datang ke pulau sudah
pemuda remaja dan hanya menerima latihan silat sekedarnya saja dari
ayahnya, tidak mau disamakan dengan mereka dan tidak sudi disebut suci,
melainkan mengharuskan mereka menyebutnya siocia (nona)! Keangkuhan
karena manja dari Kiki ini diikuti pula oleh Song Kim yang minta disebut kongcu
(tuan muda) oleh para anak buah. Tingkah dua orang muda ini diketahui oleh
Hai-tok, akan tetapi didiamkan saja karena kakek inipun melihat perbedaan
tingkat dan derajat antara dua orang muda itu dengan anak buahnya.
"Selamat malam, siocia!" tegur mereka ketika melihat munculnya Kiki.
Dengan sikap wajar Kiki mengangguk lalu berkata.
"Malam ini aku ingin berjaga di pantai. Kalian berjagalah di depan gedung,
memperkuat penjagaan disana atau kalau kalian lelah, kalian boleh tidur."
"Tapi, siocia..."
Mereka meragu karena peraturan guru mereka amat keras tentang
penjagaan ini. Siapa yang memperoleh giliran jaga, sama sekali tidak boleh
meninggalkan tempat penjagaan.
"Tidak ada tapi! Aku yang memerintahkan, siapa yang akan melarang aku
ingin bergadang dan berjaga di sini malam ini, apakah kalian akan
menghalangi aku?" Dibentak seperti itu, tentu saja tiga orang itu menjadi pucat dan tergesagesa mereka lalu meninggalkan tempat penjagaan di pantai dan berlari-larian
ke tengah pulau. Setelah mereka pergi, dan ia maklum bahwa mereka tidak
akan berani mengganggu ayahnya malam ini dengan laporan, Kiki cepat
mengambil buntalannya dan segera meloncat ke dalam sebuah perahu kecil
hitam setelah melepaskan tali pengikat perahu itu. Tak lama kemudian,
perahunyapun meluncur ke tengah lautan setelah didayungnya, dan kemudian
layar dikembangkan dan menangkap angin. Sama sekali Kiki tidak tahu bahwa
pada saat itu, sesosok tubuh manusia bergantung pada dasar perahunya, dan
wajah orang itu tersenyum menyeringai penuh kepuasan. Orang itu bukan lain
adalah Song Kim! Kiranya pemuda yang cerdik ini telah dapat menduga akan rasa penasaran
di hati sumoinya dan pergaulannya sejak kecil dengan sumoinya membuat dia
dapat mengenal watak keras sumoinya. Dia dapat menduga bahwa sumoinya
mungkin sekali akan mendahuluinya pergi meninggalkan pulau untuk mencari
Koan Jit. Karena itu, diam-diam dia bersembunyi di dekat pantai tanpa setahu
para penjaga. Setelah dia melihat berkelebatnya bayangan sumoinya dari jauh,
dia makin yakin akan tepatnya persangkaannya. Maka diapun cepat masuk ke
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dalam air. Sebagai murid Hai-tok, tentu saja pemuda ini memiliki kepandaian
yang luar biasa di dalam air. Dia dapat bersembunyi di dalam air sampai lama,
menggunakan sebatang alang-alang untuk pernapasan. Dia melihat sumoinya
meloncat ke dalam sebuah perahu, diam-diam dia berenang di bawah
permukaan air dan mengikuti perahu itu sampai meluncur dibawa kekuatan
angin yang ditangkap layar dan dia memegangi dasar perahu itu, bergantung
dan ikut terbawa oleh perahu.
Tiba-tiba udara yang tadinya terang oleh sinar bulan, kini menjadi gelap.
Agaknya ada awan mendung tebal menutupi sinar bulan. Cuaca di atas
permukaan laut menjadi gelap sama sekali.
"Sialan!" Kiki mengomel sambil memandang ke atas dimana awan yang tebal dan
amat lebar bergantung di angkasa menutupi sinar bulan. Akan tetapi ia adalah
anak laut dan sudah biasa berlayar, maka ia dapat mengarahkan perahunya
tepat ke barat walaupun bulan tertutup awan.
Cuaca menjadi semakin gelap. Karena Kiki mengenal daerah lautan di situ,
iapun tahu bahwa ia harus berhati-hati karena di daerah ini terdapat beberapa
tonjolan batu karang yang berbahaya. Karena itu, maka iapun duduk
mengemudikan perahu dengan hati-hati dan mencurahkan seluruh
perhatiannya. Perahu mulai oleng dan ombak mulai datang. Air laut memercik
ke tubuh perahu mengeluarkan bunyi seperti dendang yang amat terkenal bagi
telinga Kiki. Karena perhatiannya dipusatkan pada kemudi, dan karena suara gaduh air
yang menutupi suara lain, ia sama sekali tidak tahu bahwa di luar perahu, ada
bayangan hitam bergerak merayap perlahan-lahan memanjat perahunya dan
kini bayangan itu tiba di belakangnya. Seperti ada sesuatu yang
memperingatkannya, ia menoleh akan tetapi terlambat, karena pada saat itu,
dua buah lengan kuat sudah merangkulnya dari belakang dan jari tangan yang
terlatih baik sudah menotok jalan darahnya.
Seketika tubuh Kiki menjadi lemas. Biarpun ia masih dapat melihat dan
mendengar dengan baik dalam keadaan sadar, namun ia tidak dapat melihat
siapa orang yang telah menotoknya. Bahkan bayangan orang itupun hampir
tidak nampak, demikian gelapnya cuaca. Akan tetapi yang membuat gadis ini
terkejut setengah mati, bahkan menjadi ngeri ketakutan adalah ketika tiba-tiba
orang itu menindihnya, mendekapnya dan menciuminya dengan buas dan
penuh nafsu berahi! Hanya terdengar suara "ah-ah-uh-uh" dari mulut orang itu
dan terus menciumi seluruh tubuh dan mukanya, bahkan menggigit bibirnya
dengan gemas. Kiki adalah seorang gadis yang belum pernah berdekatan dengan pria
seperti ini, dan biarpun ia sudah banyak membaca dan juga naluri
kewanitaannya yang memperingatkan, namun selamanya belum pernah ia
merasakan hal seperti itu. Ia ingin menjerit, ingin meronta, ingin membunuh
orang itu. Biarpun ia tidak tahu siapa, akan tetapi ia tahu bahwa orang ini tentu
seorang laki-laki. Karena tidak berdaya, Kiki menjadi ketakutan dan hampir
pingsan karena ia sudah dapat setengah menduga bahwa laki-laki ini tentu
akan memperkosanya dengan buas!
Akan tetapi, tiba-tiba perahu itu oleng keras dan mereka berdua tergulingguling, hampir terlempar keluar dari dalam perahu. Pria itu mengeluarkan suara
menggerutu, akan tetapi agaknya dia memang tidak ingin dikenal maka tidak
mengeluarkan kata-kata, lalu meloncat berdiri, melepaskan tubuh Kiki yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tadi ditindih dan dipeluknya. Perahu tetap oleng ke kanan kiri.
Kiki yang rebah miring itu terkejut juga. Badai telah tiba dengan mendadak
dan menyerang perahu! Bisa berbahaya di daerah yang banyak batu karangnya
ini! Laki-laki itu agaknya maklum pula. Dengan kuat dia mengemudikan perahu,
melawan ombak yang semakin membesar. Tiba-tiba tubuh Kiki bergulingan
ketika perahu miring. Tentu saja Kiki merasa ngeri sekali karena kalau
tubuhnya terlempar keluar, tidak ada harapan lagi baginya untuk hidup. Kalau
saja tidak tertotok, dengan ilmunya bermain di air mungkin ia akan dapat
menyelamatkan diri. Akan tetapi totokan itu demikian lihainya sehingga ia
tidak mampu bergerak sama sekali!
Bukan saja niatnya tadi gagal sama sekali, juga kini dia bahkan harus
berusaha keras untuk melawan badai, menyelamatkan perahu dan juga
sumoinya, juga dirinya sendiri! Sialan! Kalau saja dia tidak menotok sumoinya,
kalau saja dia tidak melakukan usahanya memperkosa tadi, tentu kini dengan
mudah dia membebaskan totokannya atas diri Kiki, dan mereka berdua akan
dapat meloloskan diri dengan lebih mudah. Tidak seperti sekarang, dia
terpaksa mengikat tubuh Kiki agar jangan ditelan air dan harus berjuang amat
keras seorang diri agar perahu itu tidak karam. Betapapun juga, dia masih
mengandung harapan agar dia dapat segera menyelamatkan perahu dan
sumoinya dari badai, kemudian karena cuaca masih amat gelap, di tempat
aman dia masih akan dapat melanjutkan maksud hatinya yang tadi. Mengingat
akan kemungkinan itu, dia menelan ludah dan mengemudikan perahu dengan
amat hati-hati. Lee Song Kim adalah seorang anak yatim piatu, anak seorang bajak laut
yang amat kejam dan jahat. Ketika dia berumur empat tahun, ayahnya yang
juga merupakan seorang pemberani, bentrok dengan Hai-tok dan inilah
kesalahan besar ayahnya dalam kehidupannya. Dia terbunuh oleh Hai-tok, dan
isterinya yang masih muda dan cukup cantik tidak terlepas pula dari
penghinaan Hai-tok terhadap orang yang berani menghinanya. Dia menangkap
dan memperkosa isteri bajak itu, bahkan setelah beberapa hari kemudian, dia
memberikan wanita itu kepada anak buah bajak laut yang berpesta pora
terhadap diri wanita itu sampai tewas.
Akan tetapi anak tunggalnya, yaitu Song Kim, menarik perhatian Hai-tok.
Dengan matanya yang tajam datuk sesat ini melihat adanya bakat yang amat
baik pada diri anak itu. Maka dia mengampuni anak itu dan mengambilnya
sebagai murid. Song Kim yang sama sekali tidak mengetahui asal usulnya,
menjadi murid yang terkasih, bahkan diperlakukan sebagai putera sendiri oleh
Hai-tok. Ketika itu, ibu Kiki masih hidup dan Kiki sendiri baru berusia kurang
lebih tiga tahun. Karena hidup di dalam lingkungan orang-orang yang suka bertindak kasar
dan kejam, melakukan segala macam kemaksiatan, dan mungkin juga karena
memang pembawaan dan darahnya, maka semua itu mudah sekali menular
pada batin Song Kim. Dia amat cerdik, amat kejam dan jahat, akan tetapi semua
itu disembunyikan di balik tampangnya yang menarik, sikapnya yang amat
ramah dan jenaka. Dan dia memang sungguh tergila-gila kepada Kiki, dia
mencinta Kiki karena sejak kecil bergaul dengan Kiki dan merasa cocok dengan
watak gadis itu yang jenaka periang dan gagah berani.
Kalau sekarang dia begitu tega untuk memperkosa gadis itu adalah justeru
terdorong rasa cintanya, menurut batin dan kelicikannya sendiri. Dia
berpendapat bahwa sekali dia berhasil memperkosa gadis itu, tanpa diketahui
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan oleh gadis itu sendiri, berarti dia telah memiliki kekuasaan atas diri Kiki. Kalau
kelak sampai gagal, dia akan dapat mempergunakan rahasia ini untuk
memaksa Kiki! Dengan adanya rahasia yang diketahuinya sendiri itu, bahwa
Kiki telah diperkosanya, kelak dia akan dapat memaksa gadis itu untuk menjadi
isterinya dan tidak mungkin menjadi isteri orang lain.
Tentu saja seorang pemuda seperti Song Kim tidak sadar sama sekali
bahwa cinta kasih adalah perasaan yang amat halus dan suci, yang sama sekali
tidak dipengaruhi oleh nafsu keinginan apapun. Yang diciptakan oleh nafsunafsu keinginan hanyalah pengejaran kesenangan belaka, baik melalui berahi,
melalui cita-cita dan sebagainya.
Akan tetapi, nasib agaknya kurang membantu Song Kim pada malam hari
itu. Badai amat besar dan buas, mempermainkan dia dan perahunya sampai
berjam-jam lamanya. Dia sendiri kehilangan arah perahunya, dan hanya
mengemudikan perahu dengan satu tujuan, yaitu agar perahunya tidak sampai
karam. Itu saja! Dia tidak tahu bahwa perahu itu diombang-ambingkan ombak
ganas dan diseret jauh ke selatan! Kegelapan cuaca membuat dia tidak tahu
pula bahwa kini perahunya sebetulnya sudah berada dekat dengan daratan.
"Braaakkkk...!!"
Tiba-tiba perahunya membentur karang dan demikian kerasnya benturan
itu sehingga hampir saja tubuh Song Kim terlempar keluar perahu! Dia dapat
cepat meloncat dan kedua tangannya memeluk tihang layar sehingga tubuhnya
tidak terlempar. Akan tetapi, perahunya pecah dan tihang layar itupun hampir
roboh, kemudian perlahan-lahan perahu itu tenggelam! Tentu saja tidak akan
tenggelam seluruhnya, hanya kemasukan air dan akhirnya tentu akan terbalik
dan mengambang. Dia berpikir cepat. Dia harus menyelamatkan sumoinya,
akan tetapi juga tidak boleh membuka mulut, tidak boleh membuka ikatan kaki
tangan sumoinya. Dia memang cerdik. Pelukan pada tihang itu diperkuat dan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan sekuat tenaga, dia menjebol tihang layar itu dan ketika tihang itu
ambruk, dia sengaja merangkul tihang itu dan membawanya meloncat keluar
perahu yang mulai miring!
"Byuurrr...!" Air muncrat tinggi dan tubuhnya bersama tihang dimana tubuh Kiki masih
terikat disambut ombak. Air itu hangat! Bukan main gembiranya hati Song Kim.
Ini berarti daratan sudah tidak jauh lagi! Untung masih ada kelebihan tali untuk
mengikat tubuh Kiki tadi, dan kini dia menarik tali ini, lalu berenang ke arah
daratan yang dapat dikira-kirakannya melihat arah ombak. Tihang yang kini
menjadi balok meluncur dengan tenang di belakangnya, dan tubuh Kiki
terlentang di atas balok.
Sudah ada sinar remang-remang dan Song Kim melihat tubuh yang indah
itu terlentang di atas tihang. Pakaian yang basah itu melekat pada tubuh Kiki,
dan kembali gelora nafsu berahi melanda batin Song Kim. Dia harus bertindak
cepat, pikirnya. Sebentar lagi kalau sudah ada sinar menerangi wajahnya,
sumoinya akan dapat mengenalnya dan celakalah kalau begitu. Sumoinya tentu
akan melapor kepada suhunya dan jangan harap dia akan dapat hidup lagi!
Karena terdorong oleh gairah nafsu, juga kegirangan bahwa niatnya akan
tercapai, dia lalu menubruk tubuh di atas tihang itu dan kembali dia
melanjutkan perbuatannya di atas perahu, memeluk dan menciumi muka Kiki
yang basah kuyup itu. Kiki sudah terbebas dari totokan, namun tidak mampu
melepaskan diri dari ikatan. Tali yang basah air laut itu demikian kuatnya,
seperti masuk ke dalam daging kaki dan tangannya yang terikat, dan makin ia
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan meronta, seperti semakin kuat saja. Iapun berusaha untuk mencoba melihat
orang yang mendekap dan menciuminya, akan tetapi cuaca masih terlalu gelap
untuk dapat mengenal orang itu walaupun kini dia dapat melihat bahwa
bayangan ini tentu seorang laki-laki. Akan tetapi, perbuatan orang itu yang
menciuminya dan meraba-raba tubuhnya membuat Kiki yang biasanya gagah
berani itu tak dapat menahan lagi untuk menjerit sekuat tenaga. Dan karena
totokan itu sudah pulih, maka jeritan minta tolong yang mengandung tenaga
khikang amat kuat itu terdengar melengking tinggi dan tentu terdengar sampai
jauh! Song Kim terkejut bukan main. Akan tetapi dia menenangkan hatinya. Tak
mungkin jeritan itu dapat terdengar orang lain. Mana ada orang di tepi laut
yang demikian sunyinya" Apalagi waktunya masih demikian pagi, bahkan
masih malam dan gelap. Akan tetapi untuk mencegah agar gadis itu tidak
menjerit lagi, dia cepat menotok atau menekan jalan darah di leher Kiki dan
gadis inipun tidak mampu lagi mengeluarkan suara.
"Siapakah itu dan apa yang terjadi" Mengapa ada suara wanita menjerit?"
Song Kim terkejut sekali dan mengangkat muka. Nampaklah seorang lakilaki datang berlari menghampiri dengan sebuah obor di tangan. Kiranya lakilaki itu yang tadi bicara. Tidak aneh kalau suaranya dapat ditangkapnya,
karena tentu angin yang membawa suara itu sampai dapat terdengar dari jauh.
Hampir dia mengeluarkan suara makian. Niatnya sudah demikian dekat
tercapai, ada saja datang gangguan. Apalagi obor itu sungguh berbahaya.
Kalau dibawa dekat tentu akan menyinari mukanya dan Kiki akan dapat
mengenalnya. Maka diapun cepat melompat dan lari menyambut orang yang
datang membawa obor itu. Kebetulan sekali orang itu datang dari arah kaki Kiki
sehingga gadis ini dapat melihat pria yang membawa obor itu.
Seorang pria muda, karena sinar obor menimpa mukanya. Wajah yang
gagah. Pakaiannya petani. Seorang petani muda! Hatinya penuh kekhawatiran.
Apa yang akan dapat dilakukan seorang petani muda" Dan laki-laki yang
menawannya itu agaknya bukan orang lemah, terbukti dari caranya
menotoknya dan juga kegagahannya diperlihatkan ketika melawan badai di
tengah lautan. Celaka, petani muda itu hanya datang mengantarkan nyawa,
pikirnya. Untung bahwa kedua kakinya berada di luar ikatan dan berada di kanan kiri
tihang, tidak di atasnya, dan dara ini dapat menggerak-gerakkan kedua kaki itu
karena yang terikat hanya sampai di lutut. Dengan pengerahan tenaga pada
kedua kakinya, Kiki dapat menggerakkan kedua kaki yang sudah hilang
sepatunya itu pada pasir di bawah dan menekan. Ia berhasil!
Tihang itu bergerak. Ia terus mempergunakan kedua kakinya sehingga
akhirnya ia dapat membawa tihang layar itu kembali ke air dan begitu
menyentuh air, tihang itupun hanyut dan mengambang! Lega hati Kiki. Dengan
kedua kakinya, ia akan dapat mengatur kesimbangan tihang itu sehingga
tubuhnya akan tetap terlentang di atas tihang, dan ia dapat menggunakan
kedua kakinya untuk mendayung sedikit-sedikit pula untuk membuat tihang itu
seperti perahu yang meluncur perlahan-lahan! Apa saja akan dilakukannya dan
akan ditempuhnya asal ia dapat menghindarkan diri dari laki-laki biadab itu!
Lebih baik diancam bahaya mati di lautan dari pada bahaya di tangan laki-laki
itu. Akan tetapi, Kiki belum mau mati kelaparan di atas tihang. Kalau tihang itu
sampai hanyut ke tengah, sukarlah baginya untuk dapat mendayung ke pantai
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan hanya dengan kedua kaki sebatas lutut. Maka diarahkan perahu istimewa itu
ke sekumpulan batu karang, dan akhirnya tihang layar itu dapat berhenti
melintang di balik batu-batu karang, tidak nampak dari daratan. Dan dari
tempat ia rebah terlentang, kini ia dapat melihat bayangan hitam dua orang
yang sedang berkelahi di pantai!
Dapat dibayangkan kemarahan hati Song Kim melihat munculnya laki-laki
yang membawa obor. Dia menganggap bahwa orang itu menjadi penghalang
besar, sengaja datang untuk menganggunya! Demikianlah ulah orang yang
sedang dimabok nafsunya sendiri, yang sedang mengejar suatu kesenangan.
Siapa saja yang menjadi penghalang akan diterjangnya, tidak perduli orang itu
sengaja menghalang maupun tidak sengaja. Semua penghalang, baik ataupun
buruk, salah ataukah tiada, harus dihancurkan! Dia berlari cepat menyambut
dan begitu berhadapan, tanpa banyak cakap lagi diapun menerjang, mengirim
pukulan-pukulan maut dengan dahsyat! Pukulan-pukulannya itu dilakukan
dengan jurus-jurus maut, karena Song Kim tidak mau gagal, tidak mau
kepalang tanggung. Lebih cepat membunuh orang ini lebih baik agar dia tidak
sampai terlambat untuk melaksanakan hasrat hatinya terhadap Kiki.
"Heiii...!" Orang itu berseru kaget bukan main dan membuat gerakan cepat.
"Bressss...!!" Kini Song Kim yang terkejut setengah mati. Orang itu dapat menangkis
pukulan-pukulannya dan hanya obornya saja yang terlepas dan padam, akan
tetapi jangankan membunuh orang itu, merobohkannyapun serangannya tadi
tidak mampu. Sebaliknya, tangkisan orang itu terasa amat kuat olehnya
sehingga tangannya yang tertangkis sampai tergetar hebat. Jelaslah bahwa
orang pembawa obor ini bukan seorang petani biasa seperti nampak pada
pakaiannya tadi, melainkan seorang yang memiliki kepandaian silat inggi dan
tenaga sinkang yang cukup kuat!
Pemuda Pulau Layar ini sama sekali tidak tahu bahwa tidak menyangka
bahwa dia berhadapan dengan orang yang jauh lebih melampaui dugaandugaannya, karena dia berhadapan dengan murid terkasih dari Siauw-bin-hud,
tokoh sakti dari Siauw-lim-pai itu. Pemuda itu adalah Tan Ci Kong.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tan Ci Kong pemuda
gemblengan Siauw-bin-hud itu, menyelamatkan Ciu Kui Eng, puteri tunggal
dari orang yang menyebabkan kehancuran keluarga ayahnya, dari ancaman
maut ketika Kui Eng dikeroyok oleh pasukan pemerintah dan keluarga gadis ini
terbasmi habis, rumahnya terbakar gara-gara madat yang menjadi penyebab
keruntuhan keluarga ayahnya. Madat pula yang tadinya mendatangkan
kemewahan dan kekayaan pada keluarga Ciu, dan madat juga yang akhirnya
membinasakannya. Setelah menolong Kui Eng dan berpisah dari gadis itu di luar kota Tungkang setelah gadis itu yang tadinya salah paham tahu bahwa pemuda ini
adalah murid Siauw-bin-hud dan telah menyelamatkannya, Ci Kong lalu
berkelana. Dia menjumpai banyak peristiwa yang menyedihkan sewaktu
terjadi perang madat. Dan di dalam pergolakan dan kekacauan yang terjadi
selama tiga tahun itu, Ci Kong bersikap sebagai seorang pendekar sejati. Dia
menentang siapa saja yang melakukan kekejaman dan kejahatan, membela
yang lemah tertindas. Sesuai dengan ajaran kakek Siauw-bin-hud, pemuda ini
tidak pernah mau melibatkan diri dalam perang, melainkan bertindak tegas
sebagai seorang pendekar pembela keadilan berdasarkan perikemanusiaan,
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tidak mencampuri urusan politik dan negara.
Betapapun juga, dia tahu akan segala yang telah terjadi tentang
penyerbuan pasukan kulit putih dan lemahnya kaisar. Diapun tahu bahwa
akibat sikap kaisar yang lemah, kaum kulit putih menjadi semakin berani untuk
memperlebar jaringan perdagangan mereka yang merusak rakyat, yaitu
perdagangan candu. Hal ini tentu saja berlawanan dengan hati nuraninya,
maka beberapa kali, seorang diri Ci Kong menggunakan kepandaian untuk
mencuri sejumlah besar candu dan membakarnya di dalam hutan.
Dia membayangkan dengan hati ngeri betapa para nelayan yang pada
malam hari itu kebetulan berada di tengah lautan tentu sedang berjuang matimatian melawan amukan badai, bahkan dengan hati penuh iba dia
membayangkan pula perahu yang dihadangnya itu, perahu yang kabarnya
akan menyelundupkan candu dari kapal orang kulit putih. Ketika mendapat
kenyataan bahwa tidak ada sebuahpun perahu yang mendarat malam itu, dia
menduga bahwa tentu perahu penyelundup itu karam oleh badai, atau
mungkin juga membatalkan pelayaran. Dia menanti sampai hampir pagi,
berlindung di dalam sebuah guha di antara batu-batu besar dari hembusan
angin badai yang keras, dan menerangi guha itu dengan sebuah obor.
Kemudian, tiba-tiba dia mendengar jerit seorang wanita. Terkejutlah
hatinya ketika mendengar jerit yang datangnya dari pantai itu. Tentu ada
perahu yang berhasil dihempaskan badai ke pantai, pikirnya. Dan tentu orangorang itu membutuhkan pertolongan. Dia lalu membawa obor dan meloncat ke
luar guha, berlari menuju pantai sambil berteriak menanya siapa yang berada
di pantai dan mengapa ada suara wanita menjerit.
Karena pandang matanya silau oleh sinar obor yang dipegangnya sendiri,
dan cuaca masih amat gelap, maka Ci Kong hanya remang-remang melihat
seorang laki-laki meloncat bangun dan di bawah seperti ada wajah seorang
wanita. Akan tetapi dia tidak sempat memperhatikan, karena tiba-tiba saja
laki-laki itu menyerangnya dengan dahsyat. Dia terkejut bukan main. Serangan
itu bukan serangan sembarangan saja, melainkan pukulan-pukulan yang amat
dahsyat dan berbahaya. Dari angin pukulannya saja, tahulah dia bahwa dia diserang oleh seorang
yang berilmu tinggi. Maka diapun cepat bergerak melakukan elakan dan
tangkisan. Demikian hebatnya serangan orang itu sehingga obornya terpental,
terlempar dan padam. Akan tetapi dia berhasil menghindarkan serangan maut
itu dengan tangkisan-tangkisan, dan mendapat kenyataan ketika lengannya
bertemu dengan lengan penyerang itu bahwa penyerangnya memiliki dan
menggunakan tenaga sinkang yang kuat dalam penyerangannya tadi.
Selain terkejut dan heran mendapat seorang lawan yang demikian
tangguhnya di tempat sunyi ini, hal yang sama sekali tidak tersangka-sangka,
Song Kim juga menjadi penasaran dan marah sekali.
"Keparat yang bosan hidup!" bentaknya, dan diapun sudah menyerang
lagi, kini menggunakan sepasang belati yang selalu terselip di pinggangnya!
"Mampuslah...!" bentaknya.
"Hemmm...!" Ci Kong dapat merasakan sambaran senjata itu walaupun dia tidak dapat
melihat lawannya mempergunakan senjata. Pendengarannya sudah terlatih
dengan baik sekali sehingga dia mampu membedakan antara suara senjatasenjata dan tangan kosong.
Segera Ci Kong mengisi kedua tangannya dengan ilmu kekebalan yang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan diajarkan gurunya, yaitu Tiat-ciang (Tangan Besi), sehingga dengan kedua
tangannya itu, dia mampu menangkis senjata tajam tanpa khawatir tangannya
terluka. Karena lawannya agaknya hendak membunuhnya, diam-diam Ci Kong
merasa heran bukan main. Sambil berloncatan ke sana-sini dan kadang-kadang
kalau terdesak menangkis dengan tangannya, beberapa kali Ci Kong
menyabarkannya. "Tahan serangan! Mengapa engkau menyerangku, sobat" Di antara kita
tidak ada permusuhan. Aku datang untuk menolong wanita yang menjerit
tadi." Akan tetapi, ucapan-ucapannya ini agaknya mesih membuat penyerangnya
menjadi semakin marah. Lawannya hanya mendengus dan memaki-maki,
serangannya menjadi semakin berbahaya sehingga akhirnya Ci Kong dapat
menduga bahwa tentu wanita tadi menjerit karena ulah kejahatan orang ini.
Dia teringat akan wanita yang menjerit tadi dan sambil mengelak, dia meloncat
ke arah pantai dimana tadi samar-samar dia melihat seorang wanita
menggeletak disitu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya
ketika wanita itu lenyap dari situ.
"Eh, dimana wanita tadi...?"
Akan tetapi terpaksa dia harus cepat melempar tubuh ke belakang karena
lawannya sudah menyerang lagi dengan hebatnya, menggunakan dua buah
belatinya untuk menusuknya dari atas dan bawah. Serangan itu sedemikian
hebatnya sehingga Ci Kong terpaksa harus melempar tubuh ke belakang lalu
menggulingkan tubuhnya di atas pasir pantai. Ketika dia bangkit berdiri lagi
dengan loncatan yang cepat, ternyata lawannya sudah lenyap dari situ.
Kiranya ketika melihat sumoinya lenyap, Song Kim tidak ada semangat lagi
untuk membunuh orang yang dianggapnya menghalangi niat hatinya itu. Dia
harus cepat melarikan diri, pikirnya. Ada beberapa hal yang memaksanya
untuk segera melarikan diri dari situ, demi keselamatannya. Pertama, kini
cuaca tidak lagi segelap tadi karena sinar matahari mulai muncul di balik
permukaan air laut jauh di timur. Kedua, sumoinya telah lenyap dan mungkin
sekali sumoinya berhasil melepaskan ikatan kaki tangannya. Ketiga, orang
yang menjadi penghalang itu ternyata lihai bukan main sehingga kalau dia
tidak mampu merobohkannya dalam waktu singkat, besar bahayanya dia akan
kedahuluan sinar matahari dan kalau sumoinya mengenalinya, tentu akan
celakalah dia. Maka, mempergunakan kesempatan selagi lawannya
bergulingan menghindarkan serangannya yang terakhir tadi, kembali
membuktikan kelihaian lawan itu, dia lalu meloncat dan melarikan diri. Biarpun
niat hatinya gagal untuk menguasai dan memperkosa sumoinya, namun
setidaknya sumoinya tidak akan pernah menyangka bahwa dialah pelakunya.
Juga Ci Kong mencari-cari kemana perginya wanita tadi. Dari tempat
dimana dia melihat wanita tadi menggeletak, dia melakukan penyelidikan,
akan tetapi tidak menemui jejak kaki di situ. Wanita itu lenyap begitu saja dan
tiba-tiba hatinya terguncang. Jangan-jangan wanita itu terseret ombak dan
dibawa ke tengah lautan" Dia memandang ke arah lautan. Ombak tidak begitu
besar lagi, akan tetapi air masih belum tenang, tanda bahwa badai semalam
telah mulai mereda dan yang nampak kini hanya bekas-bekasnya saja. Masih
ada bekas ombak sampai ke tempat dia berdiri dan kini air sudah surut jauh
sekali. Dia menuruni pantai dan memandang ke tengah lautan, mencari-cari.
Tiba-tiba Ci Kong terkejut melihat sesuatu mengambang di permukaan air,
bergoyang-goyang dipermainkan ombak kecil-kecil yang mulai berkilauan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan tertimpa cahaya keemasan matahari pagi. Karena dia menghadap ke timur,
maka cahaya matahari yang menimpa permukaan air itu nampak menyilaukan
dan langsung menyerang pandang matanya. Dia menggosok-gosok kedua
matanya karena khawatir salah lihat. Akan tetapi tidak! Benar ada seorang
wanita di atas sebuah balok kayu mengambang di sana! Dan kini dia dapat
melihat bahwa wanita itu terikat kaki tangannya pada balok itu! Mungkin
sudah mati! Atau masih hidup" Dan teringatlah dia akan wajah wanita
semalam, sekilas dilihatnya di bawah sinar obornya. Ah, jangan-jangan wanita
itulah semalam, dan agaknya balok dimana ia terikat telah diseret ombak ke
tengah! "Celaka, kalau dia tidak cepat ditolong, tentu binasa!"
Ci Kong lalu berlari ke tengah dan menempuh ombak. Dia bukan ahli dalam
air, akan tetapi cukup dapat berenang sehingga dia berani terus mendekati
balok mengambang dimana terdapat seorang wanita yang terikat kaki
tangannya itu. Makin dekat, makin jelaslah. Benar seorang wanita, seorang
gadis muda yang pakaiannya basah kuyup dan kedua matanya terpejam.
Mungkin sudah mati, atau mudah-mudahan hanya pingsan saja.
Kini dia tidak berjalan lagi di dasar lautan. Sudah mulai dalam dan terpaksa
berenang melawan ombak kecil-kecil yang berlarian ke pantai. Terasa ringan


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya pada mula-mula, akan tetapi makin lama makin berat. Sudah terlalu
lama dia tidak pernah berenang, apalagi di lautan dan kegiatan ini ternyata
memeras banyak tenaganya. Baju di pundak kanannya telah robek lebar akibat
perkelahian tadi, dan air laut terasa hangat. Celakanya, balok itu agaknya juga
bergerak terbawa ombak, makin ke tengah seperti menjauhinya, atau
melarikan diri darinya. Dan balok itu tidak terus ke tengah, melainkan bergerak ke utara.
Dikejarnya terus sambil berenang. Sungguh aneh, balok itu kini meluncur ke
barat, lalu kembali ke selatan. Bagaimana balok itu dapat bergerak seperti itu"
Sama sekali tidak seperti terbawa ombak, melainkan lebih mirip didorong
sesuatu dari bawah! Jangan-jangan di bawah ada ikannya, ikan besar yang
mendorong-dorong balok itu karena ingin makan tubuh gadis itu yang mungkin
sudah menjadi mayat" Tubuh itu tidak bergerak-gerak, dan muka yang
tengadah itu nampak pucat sekali. Muka yang amat cantik!
Pikiran ini menimbulkan kekhawatiran dan Ci Kong berenang semakin
cepat. Napasnya mulai terengah-engah karena sudah berjam-jam dia
melakukan pengejaran tanpa hasil. Akhirnya dia mogok, tengadah dan
terengah-engah menghirup udara sebanyaknya. Dia maklum bahwa kalau dia
terus mengejar, amat berbahaya baginya. Tenaganya dapat habis dan dia tentu
akan tenggelam! Akan tetapi, kini balok itu bergerak-gerak menghampirinya!
Besar lagi semangat Ci Kong. Begitu dekat balok itu, tinggal meraih saja
ujungnya, akan tetapi ketika dia meluncur dan meraih, balok itupun menjauh
lagi! Ci Kong merasa gemas. Mungkinkah ini" Balok itu seperti mempermainkannya. Dia melihat sehelai tali terseret di belakang balok dan tahulah dia
bahwa tali itu adalah kelebihan tali pengikat kaki tangan gadis itu, cukup
panjang. Diam-diam dia lalu mendekati tali itu, setelah dia pura-pura berhenti
kehabisan napas lagi dan balok itu kembali mendekati. Dan tiba-tiba, sebelum
balok itu sempat menghindar, dia sudah menyambar tali itu, dan menariknya!
"Ahhh...!" Terdengar gadis itu mengeluarkan seruan lirih. Giranglah hati Ci Kong dan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dia lupa akan keanehan balok yang pandai "berenang" dan menghindar itu.
Gadis itu masih hidup! "Syukurlah engkau masih hidup, nona. Bertahanlah, biar aku akan
menarikmu ke pantai!" katanya sambil terengah-engah.
Mulailah dia berenang menuju ke pantai sambil menarik tali itu. Mula-mula
balok meluncur di belakangnya, akan tetapi semakin lama, terasa olehnya
betapa balok itu menjadi semakin berat. Tentu tenaganya yang sudah mulai
menjadi lemah. Akan tetapi, pantai telah nampak tidak terlalu jauh. Dia harus
berhasil, biarpun harus menghabiskan tenaganya. Dan Ci Kong menguatkan
hati dan kemauannya, mengerahkan tenaganya dan terus berenang sambil
menarik-narik balok yang kadang-kadang seperti "mogok" itu.
Dia sama sekali tidak tahu betapa kalau dia sedang tidak memandang,
gadis di atas balok itu menoleh kepadanya dan mengejek, kadang-kadang
tersenyum-tersenyum geli. Gadis itu, Kiki memang nakal sekali. Ia sengaja
mempermainkan Ci Kong. Seperti kita ketahui, setelah melihat betapa
penawannya berkelahi dengan orang yang datang membawa obor, Kiki terus
menyembunyikan diri dengan baloknya di antara batu-batu karang. Hatinya
masih diliputi kepanikan. Penawannya itu lihai sekali dan pembawa obor yang
kelihatannya hanya seorang petani itu tentu akan segera roboh dan tewas. Dan
kalau penawannya kembali mencarinya, dan dapat menemukannya, tentu ia
akan celaka. Akan tetapi, ia melihat betapa seorang di antara mereka tiba-tiba meloncat
dan melarikan diri. Cuaca masih terlalu gelap dan ia berada di tempat yang
cukup jauh sehingga ia tidak tahu siapa di antara dua orang itu yang melarikan
diri. Maka iapun tetap menanti, dengan jantung berdebar tegang ketika ia
mengintai dari tempat ia rebah terlentang, di balik batu-batu karang itu, betapa
orang kedua yang masih berada di pantai itu kini mencari-cari dengan pandang
matanya ke permukaan air laut. Ia masih belum tahu siapakah orang itu.
Penawannyakah" Ataukah petani pembawa obor"
Baru setelah sinar matahari menimpa orang itu dan ia melihat bahwa orang
itu mengenakan pakaian petani, ia tahu bahwa orang ini si pembawa obor,
sedangkan yang melarikan diri tadi tentu orang yang telah menawannya.
Hatinya menjadi girang dan juga terheran. Kalau pembawa obor, petani ini
dapat membuat penawannya melarikan diri, tentu berarti orang ini juga juga
lihai lihai sekali! Dan ia belum tahu siapa orang ini, entah orang baik-baik
ataukah orang yang bahkan lebih jahat dari pada penawannya tadi"
Pikiran ini membuat Kiki menjadi gelisah lagi dan iapun takut kalau-kalau
orang itu melihatnya dan berlompatan di atas batu-batu karang
menghampirinya. Maka iapun cepat menggunakan kedua kakinya untuk
mendorong batu karang dan meluncurkan tihang layar itu ke permukaan air
laut bebas. Ia harus melarikan diri dari tempat ini, pikirnya.
Lalu ia melihat betapa petani itu mengejarnya sambil berenang. Dan
melihat cara petani itu berenang, Kiki hampir tertawa. Kalau ia menghendaki,
orang itu sampai mati takkan pernah dapat menangkapnya, walaupun ia hanya
menggerakkan tihang layar itu dengan gerakan kedua kaki sebatas lutut saja.
Maka iapun mempermainkan orang yang mengejarnya itu sambil diam-diam
memperhatikan muka orang itu dari balik bulu matanya kalau mereka berada
dalam jarak tidak terlalu jauh. Hampir ia tertawa keras ketika melihat betapa
petani muda itu, yang kepandaiannya berenang hanya dangkal saja, terengahengah kehabisan napas. Akan tetapi ketika kini sinar matahari sudah terang
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan dan ia dapat melihat wajah petani muda itu dengan jelas, diam-diam ia tertarik.
Petani muda itu ternyata memiliki wajah yang gagah, tubuh yang tegap.
Nampak jelas membayangkan kekuatan dalam tubuh itu.
Karena melihat orang itu sudah kepayahan, Kiki menjadi semakin berani. Ia
sengaja mendekatkan balok itu kalau si pemuda sudah tidak mengejar lagi
karena kehabisan napas, akan tetapi menjauh lagi kalau dikejar. Seperti jinakjinak merpati, dijauhi mendekat kalau hendak ditangkap terbang menghindar!
Maka, terkejutlah hati Kiki ketika tiba-tiba saja baloknya terhenti karena tali
itu disambar tangan Ci Kong. Ia sama sekali tidak tahu bahwa ada tali agak
panjang terseret tihang layar itu. Ketika Ci Kong menarik tali dan balok itu
meluncur, tak dapat ditahannya lagi Kiki mengeluarkan seruan kaget, hanya
terdengar lirih karena ditekannya. Kemudian ia mendengar suara pemuda itu
yang bersyukur melihat ia masih hidup, menyuruh ia bertahan dan pemuda itu
hendak menariknya ke pantai.
Suara ini demikian halus dan lembut, dan jelaslah bahwa pemuda itu tidak
mempunyai niat buruk, melainkan benar-benar hendak menolongnya.
Berkurang kekhawatirannya, namun ia tetap waspada dan pura-pura pingsan,
tidak bergerak maupun membuka mata ketika balok itu ditarik oleh Ci Kong
melalui tali yang dipegangnya. Akan tetapi dasar berwatak nakal, diam-diam
kedua kakinya utak-utik, diputar-putar sehingga kedua kaki itu menjadi
penahan ketika balok ditarik, maka tidaklah mengherankan kalau Ci Kong
merasa adanya perlawanan yang membuat balok terasa semakin berat. Dia
memaksa diri dan akhirnya kedua kakinya menyentuh dasar laut, tak jauh dari
pantai. Dengan tenaga yang hampir habis, Ci Kong menyeret balok itu, berjalan
terhuyung-huyung menuju pantai, seluruh tubuhnya terasa letih sekali.
Tenaganya terasa hampir habis. Penggunaan tenaga di darat dan di air
sungguh amat berbeda, terutama penggunaan pernapasan. Dan otot-otot di
tubuh juga harus dibiasakan dengan suatu gerakan. Otot-otot yang biasa
dipergunakan untuk latihan silat, biarpun seluruh tubuh bergerak, namun tidak
ada gerakan silat yang seperti gerakan orang berenang yang harus mengulang
terus-menerus gerakan kaki dan lengan secara tertentu. Otot-ototnya yang
tidak biasa dengan gerakan ini tentu saja menjadi cepat lelah.
Akan tetapi Ci Kong seorang pemuda gemblengan yang sejak kecil telah
dididik dengan cara-cara Siauw-lim-pai yang keras dan tepat sekali. Biarpun
dalam keadaan teramat letih, ketika dia menarik balok itu ke pantai, diam-diam
diapun mengatur pernapasan dan mulai menghimpun tenaga agar
kekuatannya pulih. Akhirnya tiang layar itu dapat diseret sampai ke pantai, jauh dari air. Ci
Kong menghentikan tarikannya, lalu berlutut di atas pasir dan memeriksa gadis
itu. Dia menaruh telapak tangan di depan hidung dan mulut yang tak terbuka
itu, dan hatinya terguncang. Gadis itu tak bernapas lagi! Cepat dia meraba nadi
pergelangan tangan dan mendapat kenyataan bahwa detik pergelangan
itupun lemah sekali. Celaka, pikirnya. Kalau gadis ini tidak cepat bernapas
kembali, denyut jantungnya akan makin melemah dan akhirnya berhenti! Dia
teringat akan cara pengobatan terhadap orang yang baru saja tenggelam, yang
sudah berhenti pernapasannya. Paru-paru orang itu harus dibantu, itulah cara
terbaik untuk memaksa orang itu bernapas kembali. Dan untuk membantu
bekerjanya paru-paru yang sudah berhenti, cara terbaik adalah meniupkan
napas ke dalam paru-paru itu melalui mulut, seperti orang meniup balon.
Tiba-tiba jantungnya berdebar dan mukanya menjadi merah. Mana
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan mungkin dia melakukan cara ini" Cara ini mengharuskan dia menutup lubang
hidung gadis itu kemudian meniupkan pernapasan dari mulut ke mulut! Akan
tetapi, kalau dia ragu-ragu, terlambat sedikit saja gadis ini akan mati! Ci Kong
menoleh ke kanan kiri. Tidak ada orang. Tidak mengapa dia melakukan hal
yang nampaknya tidak pantas itu kalau tidak terlihat oleh siapapun juga.
Maksudnya kan untuk menyelamatkan nyawa, sama sekali bukan untuk
berbuat kurang sopan. Betapapun juga, dia meragu dan diguncangnya pundak
gadis itu. "Nona... nona...! Sadarlah, nona...!"
Akan tetapi ketika dia mengguncang pundak, hanya kepala nona itu yang
terkulai ke kanan kiri dengan lemasnya, dan napas itu masih juga belum
nampak bekerja! Tentu saja Ci Kong tidak tahu bahwa gadis ini sejak kecil telah
dilatih dengan ilmu bermain di dalam air dan telah mempelajari ilmu yang
khusus untuk itu, ialah penghentian dan penahanan napas! Berkat latihannya,
gadis itu dapat menahan napas sampai lama sekali di dalam air, hal yang tidak
dapat dilakukan oleh dia sendiri sekalipun. Karena itulah, sejak tadi Kiki tidak
bernapas. Tentu saja bukan karena ia pingsan, melainkan karena kenakalannya
untuk menggoda orang, juga untuk melihat apa yang akan dilakukan
penolongnya itu. "Maaf, aku terpaksa harus melakukan ini untuk menolongmu, nona," tibatiba pemuda itu berkata lirih dan kedua tangan yang kuat itu lalu memegang
dagu dan memencet hidungnya dan memaksa mulutnya terbuka, kemudian
tiba-tiba Kiki merasa betapa mulutnya tertutup oleh sebuah mulut lain.
"Ihhh" dessss"!"
Tubuh Ci Kong terlempar ke atas dan terbanting jatuh ke atas pasir ketika
tiba-tiba Kiki menendang dan mendorong dadanya dengan kekuatan yang
amat dahsyat. "Ehhh... ahhhh...?"
Ci Kong yang sama sekali tidak menduga hal itu dapat terjadi, tidak dapat
menghindarkan dirinya yang ditendang dan didorong sedemikian kerasnya.
Ketika tubuhnya terlempar ke atas kemudian terbanting, dia masih bengong
dan kini matanya terbelalak memandang kepada Kiki, dan dia terbatuk-batuk
keras karena tendangan pada dadanya tadi sungguh amat keras. Kalau bukan
dia yang memiliki tubuh kuat terlatih, tentu akan roboh tewas atau setidaknya
akan terluka parah. Kiki sudah meloncat berdiri setelah tadi menendang dan mendorong tubuh
Ci Kong. Ia mengalami guncangan batin yang hebat ketika tiba-tiba merasa
pemuda itu menempelkan mulut ke mulutnya. Teringatlah ia akan semua
pengalamannya ketika penawannya semalam menggelutinya dan
menciuminya, juga penawannya itu mencium mulutnya secara menjijikkan
sekali. Kini, otomatis ia menggunakan lengan bajunya untuk menggosok-gosok
bibirnya, seolah-olah hendak menghapus bekas sentuhan bibir Ci Kong juga
sekaligus menghapus semua ciuman yang dilakukan oleh penawannya
semalam. Mukanya menjadi merah, sepasang matanya mengeluarkan sinar
berapi ditujukan kepada Ci Kong dengan penuh kebencian.
"Nona" apa yang kaulakukan tadi?""
Ci Kong masih kebingungan, karena terkejut dan juga karena kesakitan.
"Membunuh manusia macam kamu...!"
Kiki sudah menerjang dengan penuh kemarahan dan kebencian.
"Semua laki-laki sama! Kurang ajar, hanya ingin mempermainkan dan
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan memperkosa wanita! Semua laki-laki harus dibunuh!"
Terjangan itu merupakan pukulan disusul tendangan yang dahsyat sekali.
Karena Ci Kong masih belum percaya bahwa gadis yang telah diselamatkan
nyawanya itu benar-benar akan menyerangnya, maka diapun masih lengah dan
tidak membela diri dengan sungguh-sungguh. Akibatnya, biarpun dia dapat
menghindarkan pukulan, tendangan itu tetap saja singgah di perutnya.
"Dukkk...!" Kembali dia terjengkang dan terbanting ke atas pasir. Untung pasir itu
lunak dan dia sudah bersiap dengan melindungi perutnya menggunakan
tenaga dalam sehingga dia hanya terjengkang dan terbanting saja, tidak
menderita luka parah. Akan tetapi sebelum dia sempat bangkit, gadis itu
seperti harimau betina saja sudah menyerbu lagi dengan tendangantendangan berikutnya yang ditujukan ke arah kepalanya. Barulah Ci Kong
terkejut setengah mati karena tendangan-tendangan ini adalah tendangantendangan maut yang dapat membunuh orang. Cepat dia menggerakkan
tubuhnya bergulingan lalu meloncat berdiri.
Ketika gadis itu menyerbu dengan pukulan kedua tangan secara cepat dan
bergantian. Ci Kong mengangkat kedua tangannya dan menangkis.
"Dukk! Plakk!" Dua kali dia menangkis dan tahulah dia bahwa gadis inipun, seperti orang
yang menyerangnya semalam, memiliki tenaga sinkang yang kuat, gerakangerakan yang cepat dan serangan-serangan yang amat ganas. Jelaslah bahwa
gadis ini tidak main-main, karena semua serangannya merupakan serangan
maut! Dia merasa penasaran sekali dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang
ketika Kiki kembali menerjangnya.
"Tahan dulu, nona. Kalau engkau memang ingin membunuhku, setidaknya
katakanlah padaku apa kesalahanku padamu. Jangan membuat aku mati
penasaran." Mendengar suara yang lembut dan sopan ini, teringatlah Kiki bahwa
pemuda ini mungkin tidak bermaksud berbuat tidak sopan, karena bukankah
tadi pemuda itu mengatakan bahwa dia terpaksa melakukannya untuk
menolongnya" Menempelkan mulut mereka! Ia bergidik.
"Engkau kurang ajar, engkau tiada bedanya dengan penjahat semalam.
Engkau hendak berbuat hina dengan... men... mencium mulutku...!"
Akhirnya ia berkata, mukanya berobah merah.
Muka Ci Kong juga berobah merah sekali dan diapun menunduk, menarik
napas panjang. Celaka, pikirnya, kiranya ketika dia melakukan usaha
meniupkan napas ke paru-paru gadis itu melalui mulutnya, gadis itu sudah
siuman dan melihatnya! "Maaf, nona. Memang aku melakukan itu, akan tetapi bukan untuk berbuat
kurang ajar, melainkan untuk menolongmu. Engkau pingsan, dan paru-parumu
tidak bekerja, napasmu berhenti. Aku ingin meniupkan napas ke paru-parumu
agar bekerja kembali. Dan jalan satu-satunya hanyalah meniupkan melalui
mulut dan...." "Bohong! Aku tidak pingsan! Paru-paruku tidak macet!"
Kiki yang berwatak nakal itu tersenyum mengejek.
"Engkau memang tolol! Tapi agaknya engkau jujur. Benarkah kau... kau
tidak bermaksud kurang ajar ketika engkau tadi menempelkan mulutmu ke
mulutku?" Ci Kong menggeleng kepala dengan keras.
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan "Aku bukan manusia macam itu, nona! Kalau tidak melihat engkau pingsan,
atau pura-pura pingsan, dan melihat betapa napasmu berhenti, mana mungkin
aku berani melakukan hal itu?"
"Benar-benar kau tidak sengaja menciumku karena kurang ajar?"
"Tidak!" "Berani sumpah?"
Ci Kong melongo. "Sumpah...?" "Ya, bersumpahlah bahwa engkau tadi tidak bermaksud mencium aku
untuk kurang ajar. Engkau harus bersumpah demi nama baik orang tuamu,
menyebutkan namamu dan nama orang tuamu, baru aku mau percaya!"


Pedang Naga Kemala Giok Liong Kiam Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak mungkin, nona..."
Kiki mengerutkan alisnya, matanya menyinarkan api kemarahan lagi.
"Kenapa tidak mungkin" Berarti kau benar-benar telah..."
"Tidak mungkin" karena ayah ibuku telah lama meninggal dunia."
"Ahh...!" Jawaban ini sama sekali tidak disangka-sangka Kiki dan sinar matanya
kehilangan api kemarahannya, bahkan ada sinar kasihan membayang di
wajahnya yang manis. "Baiklah, kalau begitu" bersumpahlah demi nama baik gurumu dengan
menyebut namamu dan nama gurumu."
Gadis itu teringat bahwa pemuda ini lihai, tentu murid seorang sakti maka
tak mungkin berani mempermainkan nama gurunya dan tidak berani
berbohong. "Nona, selama hidupku aku belum pernah bersumpah kecuali ketika
menjadi murid suhu, bagaimana untuk urusan begini saja aku harus
bersumpah. Untuk apakah" Bagaimana kalau aku bersumpah tanpa menyebut
nama suhu segala?" "Aku takkan percaya! Kalau engkau berani bersumpah demi nama gurumu,
barulah aku mau percaya."
"Kalau aku tidak mau?"
"Aku tidak percaya dan berarti engkau bohong" dan aku akan
menyerangmu lagi, biar kita putuskan urusan ini dengan taruhan nyawa. Satu
di antara kita akan menggeletak mati di sini!"
Terpaksa Ci Kong tersenyum sedih. Dia sungguh tidak mengerti watak
wanita. Pernah dia menyelamatkan seorang gadis dari kematian, yaitu ketika
dia menolong Ciu Kui Eng, akan tetapi gadis itupun segera menyerangnya
mati-matian. Dan sekarang, dia mati-matian menolong gadis ini, hanya untuk
menghadapi sikap yang aneh, bukan hanya memusuhinya, bahkan memaksa
dia bersumpah segala dengan ancaman kalau dia menolak, dia akan diajak
berkelahi sampai seorang di antara mereka mati. Adakah yang lebih aneh dan
gila dari pada ini" Sejenak dia menatap wajah itu, mempelajarinya dan seperti
ingin menjenguk isi hati gadis yang berwajah manis ini. Akan tetapi segera
pandang matanya melekat pada wajah itu, terutama kemanisan pada mulut
yang dihias tahi lalat di pipi itu membuat dia sukar mengalihkan pandang
matanya, membuat matanya terus memandang tanpa kedip.
"Heii! Kenapa kau tidak cepat bersumpah malah bengong memandang
aku?" Bentak Kiki dan Ci Kong terkejut. Wajahnya kembali menjadi kemerahan.
"Baiklah, baiklah?"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Dia mengalah agar cepat selesai berurusan dengan gadis luar biasa ini.
"Aku Tan Ci Kong?"
"Ah, jadi namamu Ci Kong dan kau she Tan?"
Ci Kong mengangguk dan mengulang sumpahnya.
"Aku Tan Ci Kong, bersumpah demi nama suhu Nam San Losu..."
"Gurumu itu bernama Nam San Losu, apakah kedudukannya di tempat
perguruanmu?" Ci Kong mengerutkan alisnya melihat kecerewetan gadis itu, akan tetapi
dia menjawab juga. "Suhu Nam San Losu seorang ketua kuil," lalu dia melanjutkan dengan
mengulang kembali sumpahnya.
"Aku, Tan Ci Kong, bersumpah demi nama suhu Nam San Losu dan para
suhu di Siauw-lim-pai..."
"Aih, jadi engkau murid Siauw-lim-pai" Pantas engkau lihai! Menurut kata
ayah, tokoh Siauw-lim-pai yang paling lihai pada saat ini adalah Siauw-bin-hud.
Apamukah Siauw-bin-hud itu?"
Ci Kong menjadi jengkel, akan tetapi ditahannya pula.
"Beliau adalah kakek guruku."
"Hanya kakek guru" Jadi engkau hanya cucu muridnya" Ah, kalau begitu,
untung engkau tadi tidak jadi berkelahi dengan aku."
"Kenapa?" "Kalau dilanjutkan, tentu engkau akan mati di tanganku. Menurut ayah,
kepandaian Siauw-bin-hud itu setingkat dengan ayahku. Aku puteri ayah,
berarti muridnya, kepandaianku setingkat lebih rendah dari ayah. Engkau
hanya cucu murid Siauw-bin-hud, kepandaianmu tentu dua tingkat lebih
rendah, jadi aku setingkat lebih tinggi daripada engkau. Maka, kalau kita
berkelahi, engkau tentu akan mati. Eh, kenapa engkau belum juga bersumpah"
Apa ingin berkelahi saja?"
Agaknya mendengar bahwa pemuda itu hanya cucu murid Siauw-bin-hud,
hati Kiki menjadi besar dan memandang rendah.
Ci Kong menjadi gemas bukan main. Ingin rasanya dia membanting topi
kalau saja saat itu ada topi di atas kepalanya.
"Nona, sampai setahun di sinipun aku tidak akan dapat bersumpah kalau
engkau terus memotong-motong omonganku! Kalau memang engkau ingin aku
bersumpah, tutup dulu mulutmu!"
Ci Kong sudah merasa menyesal karena kemarahannya membuat dia
mengeluarkan kata-kata kasar, dan dia tidak akan heran kalau gadis itu
menjadi marah-marah oleh kekerasannya. Akan tetapi kembali dia melongo
saking herannya. Gadis itu sama sekali tidak marah oleh kekasarannya, bahkan
tersenyum demikian manisnya. Dia tidak tahu bahwa sejak kecil, Kiki hidup di
lingkungan yang kasar dan terbiasa oleh kekerasan, maka bahasa kasar yang
dikeluarkan Ci Kong bahkan merupakan bahasa yang amat dikenalnya,
sebaliknya sikap halus sopan malah membuat ia tak senang dan curiga.
"Baik, baik, bersumpahlah, Tan Ci Kong, aku yang salah tadi." kata Kiki
sambil terkekeh. Dengan hati masih mendongkol, Gi Kong terpaksa mengulang kembali
sumpahnya. "Aku, Tan Ci Kong, bersumpah demi nama baik suhu Nam San Losu dan
para suhu di Siauw-lim-pai..."
"Termasuk Siauw-bin-hud...!"
dikoleksi oleh : Didik- Bogor
infotik.net Tidak Diperjualbelikan Kiki memotong lagi dan Ci Kong mengangkat telunjuknya memperingatkan,
tidak memperdulikan ucapan Kiki dan melanjutkan saja.
"Aku bersumpah bahwa tadi aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk
terhadap nona... eh, nona yang berdiri di depanku ini, dan aku hanya
bermaksud untuk meniupkan napas ke paru-parunya untuk menyelamatkan
nyawanya!" "Apa-apaan itu sumpah tanpa menyebut namaku" Masa hanya nona yang
berdiri di depanku?" Kiki mencela.
"Habis aku belum tahu namamu, disuruh menyebut apa?"
"Namaku Kiki!" "Hemm, nama apa itu?"
Ci Kong mengerutkan alisnya, merasa dipermainkan lagi.
"Kau tidak percaya" Namaku Tang Ki" dan semua orang memanggilku
Kiki." "Ah, kau she Tang" Hemm, apakah ada hubunganmu barangkali dengan
Tang Kok Bu yang berjuluk Hai-tok?"
Sepasang mata yang indah jeli itu terbelalak.
"Ah, kau sudah mengenal nama ayahku?"
"Ayahmu...?" Ci Kong benar-benar terkejut setengah mati. Dia berhadapan dengan puteri
Hai-tok, seorang datuk iblis, seorang di antara Empat Racun Dunia yang amat
jahat! "Ya, kenapa kau kaget?"
"Pantas...!" "Pantas apa" Jangan bicara seperti teka-teki. Hayo katakan, pantas
bagaimana?" Kiki berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya menantang
sekali. Bajunya robek sana-sini, basah kuyup melekat pada kulit tubuhnya, dan
karena ia berdiri menantang dan membusungkan dada seperti itu, tubuhnya
nampak indah menggairahkan, tubuh seorang gadis dewasa yang bagaikan
bunga sedang mulai mekar, penuh dengan lekuk lengkung yang indah, tubuh
yang penuh dan mulai masak.
Ci Kong adalah seorang pemuda yang sejak kecil dididik kesopanan.
Biarpun dia terpesona dan sejenak matanya melekat pada tubuh itu, namun dia
cepat menundukkan pandang matanya. Namun, pandang mata yang sekilas itu
cukup sudah untuk memancing senyum kemenangan pada bibir Kiki. Sejak
Pukulan Si Kuda Binal 2 Kisah Para Naga Di Pusaran Badai Karya Marshall Kisah Pedang Bersatu Padu 1
^