Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 4

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 4


Paku Bhuwana II menganggap buah pikirannya Patih
Pringgalaya sangat cemerlang. Maka segera ia menyetujui. Dan istilah menyerahkan dan menitipkan in i,
dikemudian hari akan menerbitkan suatu ekor panjang
dan salah tafsir yang membawa nasib kerajaan ke dasar
bumi. Patih Pringgalaya berbesar hati memperoleh kepercayaan Paku Bhuwana II. Ia segera datang ke
Semarang, menemui Gubernur Jendral Belanda Baron
van Imhoff. Ia menyarankan kepada Gubernur Jendral
Belanda itu, agar memperlihatkan kekuasaannya di
Mataram, dengan turut campur urusan dalam negeri.
Demikianlah kedatangan van Imhoff yang sebenarnya
hanya untuk mengadakan pemeriksaan daerah, menjadi
kebetulan sekali. Sebab sebenarnya Belanda belum
merasa puas tentang perjanjian Mataram yang terjadi
pada t ahun 1743. Tatkala Paku Bhuwana II datang ke Semarang segera
ia mempergunakan kesempatan itu dengan sebaikbaiknya. Ia sanggup menerima
kepercayaan Paku Bhuwana II dengan suatu perjanjian :
1. Tegal, Pekalongan harus diserahkan kepada
Belanda sebagai daerah jajahan.
1. Bea cukai jalan di daerah hulu dan bea barang yang
diangkut sepanjang jalan atau sungai di w ilayah Mataram
harus diserahkan kepada Belanda.
1. Bea keluar-masuk d iseluruh kerajaan d iatur Belanda
dan diserahkan kepada V.O.C. Bea keluar-masuk ini
meliputi ampat hal, yakni :
a. Bea di kali Solo b. Bea di pasar-pasar c. Bea tembakau di Kedu d. Hak penjualan, hak memungut sarang burung.
1. Susuhunan menerima uang yang sudah ditetapkan
jumlahnya sebagai pengganti pemungutan bea-bea itu,
ialah 9000 real. 1. Belanda mengakui putera Paku Bhuwana II yang
ditunjuk olehnya, sebagai putera mahkota yang syah.
Perjanjian yang demikian itu sebenarnya memerosotkan derajat Paku Bhuwana II. Akan tetapi
Paku Bhuwana II nyatanya sangat bersyukur dan
bergembira. Karena kecuali mendapat jaminan kedudukan puteranya sebagai putera mahkota, juga
mendapat jaminan pemasukan uang bea tanpa bersusah
payah lagi. Perselisihan tentang daerah Sukawati, diajukan pula
oleh Patih Pringgalaya kepada Gubernur Jendral Baron
van Imhoff. Pengaduan ini bertambah membuka mata
Belanda bahw a Paku Bhuwana II sesungguhnya tidak
dapat mengemudikan negaranya sendiri, sehingga perlu
dapat atau minta bantuan kepihaknya.
Dalam pertemuan di istana yang dihadiri o leh segenap
bangsawan, maka punggawa dan wakil-wakil Belanda
Patih Mangkubhumi dipanggil menghadap. Dan para
hadirin, Pangeran itu disemprot habis-habisan oleh
Gubernur Baron van Imhoff.
Inilah suatu peristiwa yang menusuk hati Pangeran
Mangkubhumi. Sebab sesungguhnya ia tidak berselisih
dengan kakaknya. Semuanya ini akibat rasa irihati Patih
Pringgalaya. Maka pada hari itu juga, Pangeran
Mangkubhumi meninggalkan istana. Dia lantas menggabungkan diri dengan Raden Mas Said dan
Panembahan Martapura. Kyahi Basaman berada dipihak
Pangeran Mangkubumi. Dia merupakan t ulang punggung
Pangeran itu. Itulah sebabnya ia menjadi musuh Patih
Pringgalaya pula. Maka seraya berpaling kepada pemuda berberewok
itu, Kyahi Basaman menegas :
"Apakah betul yang mereka tuduhkan kepadamu?"
Seluruh badan pemuda itu sudah berlumuran darah,
namun tangannya masih memondong bocah laki-laki
yang tertembus panah tadi. Sambil menahan air
matanya, ia berkata : "Benar, benar! Inilah majikanku. Ia tewas kena
panah," dengan kata-kata itu ia mengakui, bahwa dirinya
sesungguhnya adalah hamba sahaja Patih Pringgalaya.
Keruan saja Kyahi Basaman kaget. Katanya lagi :
"Jadi bocah itu putera Pringgalaya?"
"Benar," sahut pemuda berberewok itu. "Aku telah
gagal memiku l tanggung jawab. Biarlah mereka
mencabut jiwaku sekalian." setelah berkata deniikian ia
meletakkan mayat majikan kecilnya itu, lalu menubruk
kearah perwira t adi. Tetapi karena lukanya terlalu parah, ia gagal, karena
anak panah yang menancap dipundak dan punggungnya
belum dapat dicabutnya. Baru ia meloncat, tahu-tahu
tubuhnya jatuh terbanting diatas perahunya sendiri.
Tangan anak perempuan itupun terkena panah pula. Ia
menangis sambil berteriak-teriak:
"Kangmas! Kangmas!"
Kyahi Basaman menjadi serba salah. Pikirnya:
"Akh, jika tadi aku tahu bahw a mereka ini puteraputerinya Pringgalaya, lebih
baik aku tak ikut campur.
Sekarang aku sudah mengulurkan tangan. Masakan
harus menarik diri ditengah jalan. Setelah berpikir
demikian, ia berkata kepada perwira t adi :
"Saudara! Bocah laki-laki itu sudah mati. Sekarang
tinggal dua orang saja yang masing-masing kena panah
pula. Mereka in ipun nampaknya akan segera mati. Jasa
kalian sudah cukup. Kalian boleh pergi dengan rasa
syukur." "T idak bisa!" sahut perwira itu. "Kepala tiga orang itu harus kupenggal
dahulu." "Kenapa mesti mendesak mereka begitu habishabisan?" ujar Kyahi Basaman.
"Sebenarnya engkau ini siapa" Apakah alasanmu
sampai engkau berani merint angi kami?" bentak perwira
itu dengan mendongkol. Kyahi Basaman tertawa. Sahutnya :
"Kulihat saudara agaknya orang beragama pula.
Pernahkah saudara mendengar suatu pepatah yang
berbunyi begini: peristiwa-peristiwa di dunia ini manusia
boleh ikut serta. Tetapi apabila engkau masih dapat
mengampuni seseorang, hendaklah engkau ampuni."
Tiba-tiba perwira itu memberi isyarat mata kepada dua
bawahannya. Lalu berkata :
"Sebenarnya siapa engkau in i" Agaknya engkau
seorang pendeta. Dimana padepokanmu?"
Pada saat itulah mendadak dua orang bawahan yang
diberi isyarat tadi terus mengangkat goloknya, lalu
membabat pundak Kyahi Basaman.
Betapa cepat dan hebatnya samberan golok itu, tidak
dapat terlukiskan lagi. Kecuali jaraknya sangat dekat,
tenaga dua orang itu besar pula. Pada hakekatnya susah
untuk dihindarkan. Akan tetapi dengan manis sekali Kyah i Basaman dapat
mengelakkan. Tadinya ia menghadap haluan perahu.
Tiba-tiba ia sudah menghadap kekiri.
Elakan in i nampaknya biasa saja. Akan tetapi
sebenarnya, karena jitu menggunakan waktu serta
tempat. Maka babatan kedua golok itu menumbuk udara
kosong. Sebaliknya, kedua t enaga Kyahi Basaman sudah
menempel punggung mereka. "Enyahlah kalian!" bentak Kyahi Basaman. Dan terbanglah tubuh kedua laskar itu kena sodokan Kyahi Basaman. Dengan diikut i suara bergedubrakan mereka jatuh tertelungkup didalam perahunya sendiri. Sudah puluhan tahun Kyahi Basaman tidak pernah bergebrak. Kini dengan menguji kepandaian kembali, ternyata segalagalanya dapat dimainkan dengan
sesuka hati. Meskipun laskar-laskar itu sebenarnya jago-jago pilihan, akan
tetapi menghadapi ilmu sakti Kyahi Basaman yang tiada
bandingnya itu boleh dikatakan mereka mati kut u. Oleh
rasa terkejut, perwira itu sampai ternganga-ngana
mulut nya. Katanya dengan suara tak lancar :
"Apakah kau ... kau ..."
Tetapi pada saat itu Kyahi Basaman sudah
mengebaskan lengan bajunya lagi. Bentaknya :
"Selama hidupku aku paling gemar membunuh kaum
penjajah!" Berbareng dengan perkataannya, dua perwira merasa
sesak dadanya. Untuk sejenak mereka tak dapat
bernapas. Apabila Kyahi Basaman menarik kembali
pukulannya, wajah mereka menjadi pucat lesi. Terus saja
mereka berebutan mencari penggayuh dan cepat-cepat
menjauhkan perahunya. Kawan kawannya yang tercebur
kedalam sungai segera ditolongnya. Sebentar lagi perahu
mereka hilang di kelokan sungai.
Melihat panah-panah yang menembus pemuda
berewok dan anak perempuan itu, Kyahi Basaman segera
mengeluarkan obat pemunah racun. Setelah ditelankan
ke mulut mereka, ia menolong mencabut panah-panah
itu. Segera ia mendayung perahu kecil itu menghampiri
perahu tambangannya. Setelah berdempetan, ia lalu
membungkuk hendak memajang pemuda berewok itu
pindah keperahunya. Tak terduga, pemuda berewok itu seorang yang luar
biasa. Tiba-tiba ia bangkit, sebelah tangannya memondong mayat anak laki-laki tadi dan yang lain
mengempit anak perempuan. Dengan satu lompatan
enteng, ia sudah menyeberang ke perahu Kyahi
Basaman. Diam-diam Kyahi Basaman menjadi memuji di dalam
hati: 'Bocah ini terluka parah akan t etapi masih begitu setia
terhadap majikannya. Benar benar seorang laki-laki
sejati. Aku tadi begitu sembrono mengulur t angan. Akan
tetapi menimbang kegagahannya, pantaslah rasanya aku
menolongnya ...' Iapun melompat kembali kedalam perahunya. Setelah
memeriksa luka panah pemuda berewok dan anak
perempuan itu, segera ia membubuhi obat luar. Dalam
pada itu perahunya sudah menepi di seberang, diamdiam Kyahi Basaman berpikir
dalam hati : "Seluruh tubuh Lingga W isnu sekarang lumpuh, ia
sama sekali tidak dapat menggerakkan kakinya. Jika aku
meneruskan perjalanan, rasanya kurang menguntungkan. Pemuda berewok dan kedua majikannya ini menjadi buronan pemerint ah Belanda.
Jika aku harus melindungi mereka bertiga, rasanya agak
susah juga.' Ia merenung sejenak. Kemudian memberi uang sew a
kepada pemilik perahu. Katanya :
"Kang! Apakah engkau masih sanggup membawa kami
pada suatu tempat yang kira-kira terdapat sebuah
penginapan?" Tukang perahu tadi menyaksikan betapa tangkasnya
Kyahi Basaman menghajar dan mengusir laskar Belanda
yang bersenjata lengkap. Hatinya kagum luar biasa.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan sendirinya ia menaruh hormat sekali. Sekarang ia
mendapat uang sewa. Jumlahnya terlalu banyak pula.
Maka tak mengherankan ia segera memanggut dan
cepat-cepat meneruskan perjalanan.
Dalam pada itu sipemuda berewok terus berlut ut
didepan Kyahi Basaman sebagai pernyataan terima kasih.
Katanya dengan suara terharu:
"Atas budi pertolongan eyang dengan ini aku
menghaturkan terima kasih. Eyang, aku bernama Aruji.
Semenjak ini aku bersumpah demi bumi dan langit
bahw a selama hidupku aku takkan melupakan budi
eyang." Cepat-cepat Kyahi Basaman membangunkannya.
Sahutnya : "Akh, engkau tak perlu berlutut begini terhadapku."
Tiba-tiba tatkala ia menyentuh telapak tangan pemuda
itu, ia menjadi kaget. T elapak tangan pemuda itu terasa
sangat dingin bagaikan es. Cepat-cepat ia bertanya:
"Apakah kau mendapat luka juga?"
"Benar, eyang. Aku membawa kedua majikanku ini
dari Pekalongan. Sepanjang jalan aku bertempur sampai
empat kali berturut-turut. Aku kena terhajar punggung
dan dadaku. Apakah aku terluka berat?"
Dengan berdiam diri Kyahi Basaman memegang urat
nadinya. Denyutannya sangat lemah. Dengan hati
tercekat, Kyahi Basaman membuka baju pemuda itu dan
memeriksa lukanya. Begitu melihat luka yang dideritanya, orang tua itu makin tercekat hatinya. Bekasbekas pukulan nampak
bengkak hebat. Itulah suatu
tanda bahwa luka pemuda itu bukan luka enteng. Apabila
orang lain yang kena pukulan demikian, pastilah sudah
tidak t ahan lagi. Tetapi nyatanya pemuda ini masih kuat
melarikan diri sejauh itu dengan membawa kedua
majikan mudanya. Disepanjang jalan ia mengadakan
perlawanan dengan sekuat tenaga. Benar benar harus
dipuji ketangkasan dan jiwanya yang penuh keperwiraan.
Maka ia tidak mengajak berbicara lagi kepadanya. Ia
hanya mempersilahkan agar pemuda itu merebahkan diri
didalam perahu, beristirahat.
Kira-kira menjelang tengah malam, sampailah perahu
tambangan itu di sebuah kota kecil. Kyahi Basaman
mencoba mencari ramuan obat. Pada masa itu, seluruh
wilayah Jawa Tengah dalam keadaan perang. Karena
penduduk kebanyakan berpihak kepada Pangeran
Mangkubumi, apa bila mereka mendengar seseorang
mencari obat luka, segera menolong dengan sukarela.
Demikian maka Kyahi Basaman dapat memperoleh
ramuan obat yang dikehendaki dengan mudah.
Anak perempuan majikan pemuda berewok itu
berumur kurang lebih sembilan tahun. Ia sangat cantik
jelita. W aktu itu ia duduk disamping mayat kakaknya
tanpa bergerak. Dan menyaksikan hal itu, hati Kyahi
Basaman tersayat-sayat. Ia bertanya dengan suara
lembut : "Siapa namamu, angger?"
"Aku bernama Sitaresmi." sahut anak perempuan itu
sambil berdiri dengan sopan santun. "Apakah aku boleh
mengetahui nama eyang?"
Heran dan kagum Kyahi Basaman mendengar
pertanyaan itu. Gadis cilik itu belum boleh dikatakan
cukup umur. Akan tetapi didalam keadaan yang begini
kusut, masih dapat ia berlaku sopan dan beradat. Tibatiba saja terbesitlah rasa
sayang dalam dada Kyahi Basaman. Sahut nya dengan tersenyum :
"Aku bernama Basaman."
"Ha!" seru Aruji dengan terkejut. W aktu itu ia masih
rebah diatas geladak perahu. Mendadak saja bangkit,
meneruskan dengan suara setengah berseru :
"Jadi, eyang inilah yang bernama Kyahi Basaman"
Pant aslah ilmu sakti eyang tiada tandingnya. Hari in i aku
benar-benar berbahagia dapat berjumpa, bertemu dan
berhadap-hadapan dengan eyang."
"Mengapa" Apakah aku malaikat?" potong Kyahi
Basaman dengan t ertawa. "Aku manusia biasa. Bedanya
dengan engkau, karena usiaku sudah lanjut. Selebihnya
adalah sama. Anak lebih baik kau rebahkan saja agar
lukamu cepat sembuh."
Dalam hati Kyahi Basaman merasa senang terhadap
kedua orang yang ditolongnya itu. Aruji, seorang pemuda
gagah perkasa. Dan Sitaresmi gadis cant ik, ramahtamah, sopan santun dan lembut
tak ubah rembulan. Akan tetapi mengingat mereka berdua adalah keluarga
Pringgalaya, hati orang t ua itu menjadi dingin. Tak ingin
lagi ia berbicara berkepanjangan. Lalu berkata setengah
memerint ah : "Kalian t erluka berat. Lebih baik jangan berbicara lagi.
Nah, beristirahatlah selagi ada kesempatan yang baik!"
Hati Kyahi Basaman sebenarnya cukup lapang.
Terhadap golongan lawan, ia tidak berpikiran sempit. Ia
selalu bersedia mengampuni, bilamana perlu diampuni.
Baginya, seorang yang boleh dianggap lawan ialah,
apabila dia berada di tengah gelanggang mengadu jiwa.
Akan tetapi Patih Pringgalaya terlalu licik dan terlalu
menyakitkan hati orang-orang yang sadar akan negara
dan bangsa serta tanah air. Karena orang itulah yang
membuat perpecahan besar ant ara keluarga raja. K arena
orang itu pulalah yang membuat Paku Bhuwana II
menulis surat wasiat pada tahun 1749 kepada V.O.C.
yang menyebutkan, bahwa kerajaan dan tahta diserahkan serta dititipkan.
Alangkah merosotnya derajat bangsa, negara dan
tanah air. Kini pihak kompeni merasa agak terdesak. Lalu
merubah sikap untuk mengambil hati. Patih Pringgalaya
menjadi sasarannya. Mungkin sekali Patih itu kena
dibunuhnya. Akan tetapi, Kyahi Basaman kenal kelic inan
dan kelicikan V.O.C. Baik terhadap Pringgalaya maupun
V.O.C., semua kaum pejuang harus selalu berwaspada.
Pada hari itu, Kyahi Basaman menolong keluarga
Pringgalaya yang dibencinya sampai ke-bulu-bulunya.
Itulah terjadi karena kemuliaan hati nuraninya. Sebagai
seorang mahaguru, ia harus dapat memberi contoh
kepada siapapun, bahwasanya dalam hidup ini seseorang
harus saling mengulurkan tangan kepada yang perlu
diberi pertolongan. Dalam hal menolong, seseorang t idak
perlu mengetahui atau mengenal pihak yang ditolong.
Akan tetapi, setelah mengetahui siapa mereka
sesungguhnya, bet apapun juga membuat suatu masalah
besar didalam hatinya.Karena sesungguhnya bertentangan dengan panggilan hidupnya. Tiba t iba saja
teringatlah dia kepada Udayana yang mati kena kerubut.
Mengapa selama menjadi buronan delapan tahun
lamanya, tiada seorangpun yang mengulurkan tangan
untuk menolongnya" Apakah sesungguhnya didalam
dunia ini, hanya dia seorang yang mempunyai panggilan
hidup berdasarkan cinta-kasih"
Sekarang anak satu-satunya Udayana, menggeletak
didalam perahu. Jiwanya tinggal beberapa saat saja. T api
teringat bahwasanya didalam pertapaan Argapura
terdapat seseorang yang mengulurkan tangan tanpa
mengenal terlebih dahulu siapa dia dan dari golongan
mana dia datang, Kyahi Basaman agak t erhibur.
'A khI Setidaknya aku mempunyai teman,' kata Kyahi
Basaman didalam hatinya. 'Tetapi Aruji dan Sitaresmi ini
bisa menimbulkan masalah ruwet, apabila aku kurang
berhati-hati. Sebab mereka berdua menjadi buronan
kompeni dan kaum pejuang. Tak terasa orang tua yang
berhati mulia itu menghela napas.
Dalam pada itu, pemilik perahu sudah sele sai
memasak hidangan malam. Kyahi Basaman mempersilahkan Aruji dan Sitaresmi makan dahulu,
sebab ia hendak menyuapi Lingga W isnu yang t ak dapat
bergerak itu. "Sebenarnya dia menderita sakit apa?" Aruji mint a
keterangan dengan penuh perhatian.
Segera Kyahi Basaman memberi keterangan, bahwa
Lingga W isnu kena racun jahat yang kini menyerang
bagian perut. Itulah sebabnya ia terpaksa menghentikan
peredaran darahnya untuk menyelamatkan jiwanya.
Lingga W isnu ikut mendengarkan keterangan kakekgurunya itu. Ia makin sadar,
bahwa jiwanya takkan tertolong lagi. Dan d iam-diam ia jadi terharu terhadap
jerih-payah eyang gurunya itu yang berjuang untuk
menyelamatkan jiwanya. Oleh rasa haru, ia tak sanggup
makan lagi. Kerongkongannya serasa tersumbat.
Tatkala Kyahi Basaman hendak memasukkan suapan
yang ketiga kalinya, ia menggelengkan kepala.
Tiba-tiba Sitaresmi yang selama itu menaruh perhatian
kepadanya, melompat menghampiri. Ia merebut mangkok nasi yang berada ditangan Kyahi Basaman.
Katanya dengan lembut : "Eyang, biarlah aku yang menyapinya. Semenjak siang
hari t adi, eyang bekerja keras. Silahkan makan dahulu!"
Tercengang Kyahi Basaman melihat sikap gadis cilik
itu yang begitu pandai membawa diri. Tatkala itu ia
mendengar Lingga W isnu menyangga kepada Sitarismi :
"Terima kasih. Aku sudah kenyang. Tak bisa aku
makan lagi." Sitaresmi menoleh kepada Kyahi Basaman. Mint a
keterangan : "Eyang, siapakah namanya?"
Dengan tersenyum Kyahi Basaman menjawab:
"Ia bernama Lingga W isnu."
Setelah mendengar nama Lingga W isnu, Sitaresmi
menoleh kepadanya. Berkata dengan suara halus:
"Kangmas Lingga, jika engkau tidak mau makan,
pastilah eyang akan sedih. Dan eyangpun tidak akan
bernapsu makan pula. Bukankah engkau membuat eyang
lapar?" Lingga W isnu diam menimbang-nimbang. Pikirnya,
benar juga alasan anak perempuan itu. Maka tatkala
Sitaresmi menyapkan nasi kemulut -nya, ia lantas
menelannya. Sitaresmi ternyata sangat telaten menyuapi.
Sebelum menyuapkan, ia membuangi tulang-tulang
ikannya dahulu. Dan set iap suapan ditambahinya dengan
sedikit kuah. Oleh pelayanan yang begitu sempurna
Lingga menjadi doyan makan, sehingga dengan tidak
diket ahui sendiri t elah menghabiskan semangkok nasi.
Selama itu Kyahi Basaman menaruh perhatian kepada
mereka. Melihat Lingga W isnu dapat menghabiskan
semangkok besar nasi, ia menjadi agak lega. Pikirnya
didalam hati: 'Lingga W isnu ini benar-benar anak yang
bernasib malang, la tidak hanya ditinggalkan kedua
orang tuanya, tetapi-pun oleh kedua saudaranya pula.
Sekarang ia menderita sakit begini berat. Memang, untuk
menghibur dirinya mestinya harus ada seorang perawat
yang sebaya dengan umurnya.
Ia menoleh kepada Aruji. Meskipun sedang terluka
parah, akan tetapi pemuda itu menyambar makan
malamnya dengan lahap dan bernapsu. Dalam sekejab
saja ia telah menghabiskan tiga piring, nasi penuhpenuh. Kena pandang Kyahi
Basaman, pemuda itu berhenti mengunyah, menengadah sambil berkata :
"Akh, hampir aku menghabiskan persediaan makan
eyang. Eyang, silahkan makan!"
"T idak. Aku mempunyai persediaan sendiri. Anger,
senang hatiku engkau dapat menghabiskan tiga piring
nasi dengan sekaligus. Hal itu perlu untuk menjaga
kesehatanmu. Kulihat t enagamu hebat pula. Dikemudian
hari, engkau bisa mengembangkan tenagamu itu."
Aruji meletakkan piringnya. Menyahut:
"Akh, eyang. Sekalipun andaikata aku mempunyai
tenaga sebesar gajah, kurasa tiada gunanya. Sebab aku
ini orang kasar." Dengan pandang penuh perhatian, Kyahi Basaman
menatap wajahnya. Kemudian berkata sambil mengurut
jenggotnya : "Aruji! Berapa umurmu?"
Dengan cepat Aruji menjawab:
"Duapuluh tahun tepat."
Dibandingkan dengan usia Kyahi B asaman, umur Aruji
baru seperlimanya. Akan t etapi karena ia berewok, maka
nampaknya seram luar b iasa. Apabila d ilihatnya sekilas
pandang, kesannya seperti sudah berumur tigapuluh
tahun lebih. Dalam pada itu Kyahi Basaman manggut dan
berkata dengan hati lapang :
"Hmmm, kau masih sangat muda angger. Sayang,
mengapa engkau salah jalan. Engkau terjerumus angger.
Orang yang angger sebut sebagai majikan sebenarnya
seorang penghianat besar. Akan tetapi hal itu belum
terlambat. Aku mempunyai suatu pendapat yang
sebenarnya tidak pantas kuucapkan kepada angger.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebab pendatat ini berkesan sebagai suatu nasehat.
Andaikata kuucapkan juga, apakah angger tidak merasa
tersinggung?" "Tersinggung?" kata pemuda itu. "Bila memang eyang
sudi memberi petunjuk-petunjuk atau pendapat, apalagi
nasehat kepadaku, sudah pasti nilainya bagaikan gunung
emas. Bagaimana aku malahan merasa t ersinggung?"
"Baik." ujar Kyahi Basaman. "Ingin aku menasehati
angger, agar cepat-cepat meninggalkan jalan sesat in i.
Jika angger tiada menganggap aliran kami berkepandaian rendah, aku bersedia menyuruh muridku
Ugrasena menerimamu sebagai murid. Kelak, angger
bisa bergaul lebih luas lagi untuk mengangkat nama
sendiri. Siapapun tidak akan berani memandang hina lagi
kepadamu. Mungkin sekali apabila nasib angger baik
angger akan diterima dengan tangan terbuka oleh
Pangeran Mangkubumi atau Raden Mas Said, atau
Panembahan Martapura W aridan."
Ugrasena adalah murid tertua Kyahi Basaman.
Namanya sudah menggoncangkan jagad. Para pendekar
biasa yang belum mempunyai nama, tidak dapat
menemuinya dengan mudah. Pada akhir-akhir in i, para
pendekar aliran Resi Aristi, telah murid. Akan tetapi
syarat pilihannya sangat berat. Apabila seseorang tidak
mempunyai bangun tubuh, dan nilai watak serta
kelakuan yang dikehendaki, pasti t idak akan dapat masuk
rumah perguruan Kyahi Basaman. Sedangkan Kyahi
Basaman tahu, bahw a pemuda itu adalah bekas anak
buah Patih Pringgalaya y ang terkenal sebagai penghianat
besar. Karena itu sesungguhnya Aruji mempunyai nasib
sangat bagus. Tak terduga Aruji menjawab dengan tegas:
"Akh, eyang mengira bahw a aku in i budaknya Patih
Pringgalaya. Sebenarnya tidaklah demikian. Ayahku
memang salah seorang abdinya. Tatkala ia meninggal,
ayah berpesan kepadaku hendaklah aku membawa dua
putera-puteri asuhannya. Karena aku sudah menyanggupkan diri, maka aku membawanya pergi pada
suatu tempat demi keamanan dan keselamatan puteraputeri Patih Pringgalaya in i.
Eyang, aku sendiri sebenarnya laskar Raden Mas Said. Sekali aku sudah
menyanggupkan diri, se lama h idupku takkan berani
menghianati nya." Kagum Kyahi Basaman mendengar pendirian pemuda
itu. Pikirnya didalam hati: 'Kukuh benar pendirian anak
ini. Sebenarnya bahan bagus sekali, apabila anak ini
diabdikan kepada Pangeran Mangkubumi.'
Seperti diketahui, kyahi Basaman pernah membantu
Pangeran Mangkubumi memadamkan pemberontakan
Raden Mas Said dan Panembahan Martapura yang
menduduki daerah Sukawati. Itulah sebabnya meskipun
kini Pangeran Mangkubumi sudah bekerja sama dengan
Raden Mas Said dan Panembahan Martapura, sesungguhnya masih ia menganggap sebagai lawan.
Maka dengan pikiran demikian, segera ia membujuk Aruji
agar meninggalkan majikannya. Ia berjanji setelah
mewariskan kepandaiannya akan membawa menghadap
Pangeran Mangkubumi. Ia menjamin bahw a kedudukannya dikemudian hari akan baik. Akan tetapi
pemuda itu tetap kokoh pendiriannya. Berulangkali ia
mengesankan, bahwa sekali ia sudah mengabdikan diri
pada seseorang, dia tidak akan menghianati.
W aktu itu fajar hari t elah t iba. Kyahi Basaman hendak
melanjutkan perjalanannya. Ia mengambil jalan darat.
Maka segera ia memondong Lingga W isnu dan berkata
kepada Aruji : "Baiklah, kita berpisah sampai disini saja. Mudahmudahan angger dapat mencapai t
ujuan dengan selamat sejahtera." Setelah berkata demikian, ia melompat
kedarat hendak meninggalkan perahu.
Dengan berdiri tegak, berulangkali Aruji dan Sitaresmi
mengucapkan terima kasih tak terhingga. Sedang
Sitaresmi berkata dengan lemah lembut kepada Lingga
W isnu : "Kangmas Lingga ! Tiap hari kau harus makan yang
kenyang! Dengan demikian kangmas tidak akan
membuat sedih eyangmu."
Terharu Lingga W isnu mendengar kata-kata Sitaresmi.
Entah apa sebabnya tiba-tiba saja air matanya meleleh
dikedua pipinya. Sahutnya :
"Terima kasih atas perhatianmu. Tetapi ... tetapi
beberapa hari lagi aku akan tidak bisa makan nasi atau
meneguk air ..." Mendengar ucapan Lingga W isnu hati Kyahi-Basaman
seperti tersayat. Dengan terharu ia mengusap air mata
bocah itu. "Kau berkata apa" Kau ... kau .. kenapa?" Sitaresmi
kaget. Lingga W isnu tak kuasa menjawab pertanyaan
Sitaresmi. Kyahi Basaman segera menjawabnya :
"Angger, hati nuranimu sangat baik. Mudah-mudahan
Tuhan memilihkan jalan yang benar bagimu. Aku sendiri
selalu berdoa, agar engkau jangan terjerumus ke jalan
yang sesat." "Terima kasih, eyang," sahut Sitaresmi dengan tulus.
Tiba-tiba Aruji berkata setengah berseru:
"Eyang! Ilmu sakti eyang sangat tinggi. W alaupun
ribuan racun berada dalam tubuh anak kecil ini, pastilah
eyang dapat menyembuhkan."
"Y a, tentu!" sahut Kyahi Basaman singkat. Akan tetapi
sebelah tangan yang berada dibawah tubuh Lingga
W isnu nampak digoyang goyangkan beberapa kali.
Terang sekali maksudnya, bahw a luka yang diderita
Lingga W isnu te rlalu berat, sehingga tiada harapan untuk
dapat disembuhkan kembali. Hanya saja tak pernah ia
memberitahukan hal itu kepada Lingga W isnu.
Melihat goyangan tangan Kyahi Basaman, maka Aruji
kaget. Katanya lagi : "Eyang, luka yang kuderita tidak enteng pula. Aku
bermaksud hendak mencari pamanku yang pandai
mengobati. Pamanku terkenal sebagai seorang tabib
sakti. Tidakkah lebih baik apabila adik kecil in i bersamasama aku menghadap
kepadanya?" Kyahi Basaman mendengarkan ucapan Aruji dengan
sungguh-sungguh. Sejenak kemudian ia goyang kepala
dan berkata : "Urat-urat nadi sudah tertembus, sehingga racun yang
jahat meresap kedalam perutnya. Kurasa obat dewa
sekalipun susah sekali menyembuhkannya."
"Tetapi pamanku mempunyai kepandaian menghidupkan orang mati," ujar Aruji dengan sungguh
sungguh. Kyahi Basaman tercengang. Mendadak teringatlah dia
kepada seseorang. Katanya mencoba:
"Apakah yang kau panggil pamanmu itu bernama
Kyahi Sarapada?" "Benar! Memang dialah!" seru Aruji dengan suara
bersorak. "Kiranya eyang kenal sama paman."
Kyahi Basaman diam merenung-renung. Ia berbimbang-bimbang. Memang pernah ia mendengar
nama Kyahi Sarapada. Orang itu terkenal sebagai
seorang tabib sakti. Ia bermukim dilereng gunung
Merapi. Dan ia mempunyai kisah hidup begini :
Kerajaan Mataram dibawah Sultan Agung dahulu
pernah mengalami suatu kegoncangan dengan munculnya seorang yang aneh dan sakti bernama
Bondan Sejiwa. Bondan Sejiwa mendirikan semacam ilmu
kebatinan tunggal bernama Ngesti Tunggal. Ia membuat
tata sembah sendiri serta tata tertib yang dianggap
bertentangan dengan agama. Itulah sebabnya anggautaanggauta Ngesti Tunggal tidak
mendapat t empat dalam masyarakat Mereka dibenci dan disingkiri. Dan Kyahi
Sarapada ini kabarnya masuk menjadi anggauta mashab
Ngesti T unggal t ersebut.
Ia seorang yang fanatik. Artinya tidak sudi membuka
pintu terhadap faham-faham yang lain Kepandaiannya
mengobati orang hanya diperuntukkan kawan-kawan
sefahamnya sendiri tanpa memungut bayaran. Sebaliknya terhadap orang luar, meskipun teruruk harta
benda setinggi bukit, sama sekali tidak menarik
perhatiannya. Itulah sebabnya walaupun Lingga W isnu kini terancam
maut karena racun jahat yanq merumun dalam tubuhnya, akan tetapi Kyahi Basaman
tidak rela bahw a penyakitnya itu dikemudian hari menyebabkan dirinya
terjerumus dalam suatu mashab tersesat.
Melihat Kyahi Basaman berbimbang bimbang, segera
Aruji dapat menebak. Katanya membujuk:
"Eyang, paman Sarapada meskipun selamanya tidak
sudi mengobati orang-orang diluar fahamnya, akan tetapi
eyang sudah menanam budi demikian luhur menolong
jiwa kami. Kurasa pamanpun akan melanggar kebiasaan
sendiri. Sebaliknya kalau ia benar-benar tidak mau
menolong, aku, Aruji bersumpah kepada eyang, akan
terus berusaha sehingga berhasil. Apabila ia tetap
menutup pintu, aku akan menggedornya sehingga terbuka. Jika membangkang aku akan
menyudahi dengan cara kekerasan. "Ilmu kesaktian Kyahi Sarapada in i memang juga
pernah kudengar," ujar Kyahi Basaman kemudian.
"Hanya saja racun yang berada dalam tubuh Lingga
W isnu ini sungguh luar biasa hebatnya."
Aruji dapat menebak jalan
pikiran Kyahi Basaman. Ia
sendiri salah seorang anggauta
Ngesti Tunggal yang dibenci
dan disingkiri masyarakat. Pastilah orang tua itu mengkhawatirkan hari kemudian Lingga W isnu. Pikirnya dalam hati, pastilah
eyang mengira paman akan memaksa adik kecil ini memasuki Ngesti Tunggal. Biarlah kut erangkan bahwa dugaannya itu tidak benar. Dengan pikiran demikian ia
kemudian berkata kepada Kyahi Basaman :
"Eyang, dengarkan. Aku mempunyai sebuah usul ..."
o)))oo-dw-oo((o 1. Mendaki Gunung Merapi Dengan menengadahkan muka dan dengan wajah
sungguh-sungguh, Aruji berkata:
"Eyang ! Kalau aku tidak salah tangkap maksud eyang
hendak mengatakan kepadaku, bahwa adik kecil ini tiada
harapan lagi. Katakan saja dibawa kesana mati, tidak
dibawa mati pula. Kenapa tidak diserahkan kepadaku
saja" Manusia in i pastilah kalau tidak hidup ya mati.
Sebelum mati benar, biarlah aku berusaha. Siapa tahu,
berangkali adik kecil ini bisa ditolong."
Mendengar perkataan: Manusia itu kalau tidak hidup
ya mati, hati Kyahi Basaman tergetar. Katanya didalam
hati: 'Bocah ini berwatak terus terang. Apa yang terpikir


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

olehnya segera dinyatakan tanpa pertimbangan lagi.
Meskipun kasar, ada benarnya juga. Tampaknya jiwa
Lingga W isnu tak akan tahan satu bulan lagi. Baiklah,
biarlah jalan ini kut empuh, dengan kuserahkan nasibnya
kepada bocah ini.' Lalu berkata : "Jika demikianlah kata-katamu, aku terpaksa memohon bantuanmu. Hanya saja aku ing in berbicara
terus terang kepadamu. Kyahi Sarapada tidak boleh
memaksa Lingga W isnu memasuki fahamnya. Jika oleh
usahanya Lingga W isnu dapat disembuhkan, kamipun
tidak akan merasa hutang budi kepada alirannya."
Disini bertambah jelas, bahw a Kyahi Basaman
menyangsikan mutu rohaniah orang-orang Ngesti
Tunggal. Seperti orang-orang tekun kepada agamanya,
ia berpendapat bahwa faham Ngesti Tunggal adalah
semacam aliran iblis yang sangat berbahaya karena
meracuni jiwa seseorang. Jika Lingga W isnu sampai terlibat, entah bagaimana
nasibnya dikemudian hari. Ia tidak hanya disingkiri dan
dibenci masyarakat saja, akan tetapi didalam alam
bakapun tidak akan mendapat tempat yang semestinya.
Aruji menjawab dengan tegas :
"Agaknya eyang terlalu memandang rendah aliran
kami." Tiba-tiba ia berpaling kepada Sitaresmi dan
berkata : "nDorojeng Sitaresmi, untuk sementara, maukah
engkau ikut Kyahi Basaman pulang ke Gunung Lawu?"
"Apa katamu?" tukas Kyahi Basaman dengan tak
mengerti. Sebelum Sitaresmi sempat menjawab dan Aruji
menerangkan maksudnya : "Alasan eyang tidak sudi menemui pamanku cukup
terang bagiku. Memang semenjak dahulu sesat dan suci
tidak dapat hidup berdampingan. Eyang adalah seorang
pemimpin besar yang tidak hanya berkepandaian sangat
tinggi akan tetapi pun mempunyai kewajiban memuliakan
agama. Sebagai seorang beragama yang saleh, betapa
mungkin eyang membiarkan diri memohon bantuan
kepada pamanku yang beraliran sesat. Tabiat paman
Sarapada memang aneh pula. Belum tentu ia bisa
menerima kedatangan eyang dengan semestinya. Apabila
sampai terjadi hal demikian, kedua-duanya akan susah.
Maka biarlah adik kecil ini aku yang membawanya
seorang diri saja. Namun aku tahu, eyang menyangsikan
nilai budi aliran kami. Karena itu aku mohon kepada
eyang, biarlah ndorojeng Sitaresmi ini mengantarkan
eyang pulang ke Gunung Lawu sebagai jaminan. Kelak
apabila adik kecil ini sudah sembuh, aku akan
menjemputnya kembali. "
Selama hidup Kyahi Basaman belum pernah mencurigai seseorang. Akan tetapi mengingat Lingga
W isnu adalah keturunan satu-satunya dari Udayana,
maka ia bersikap sangat hati-hati. Sebab jika keturunan
anak muridnya itu dikemudian hari sampai masuk
kedalam aliran ib lis, bagaimana ia mempertanggung
jawabkan kepada arwah ayahnya. Itulah sebabnya masih
saja ia ragu. Aruji ternyata tidak hanya seorang gagah perkasa,
akan tetapi cerdik pula. Segera ia main paksa. Katanya :
"Eyang, ndorojeng Sitaresmi ini merupakan puteri
satu-satunya dari gusti Patih Pringgalaya yang masih
hidup. Sekarang ini kuserahkan kepada eyang. Gusti
Patih Pringgalaya terkenal sebagai seorang penghianat
besar. Dahulu beliau kawan kompeni Belanda. Akan
tetapi karena kompeni Belanda t erdesak oleh perlawanan
Gusti Pangeran Mangkubumi dan Gusti Said, mendadak
berbalik arah. Gusti Patih Pringgalaya dimusuhinya.
Itulah sebabnya baik fihak kompeni maupun fihak Gusti
Pangeran Mangkubumi dan Gusti Said, ingin sekali
menangkap ndorojeng Sitaresmi in i. Maka kuharap
setelah berada di Gunung Lawu, eyang harus berhati-hati
menjaganya. " Diam-diam Kyahi Basaman tertawa geli di-dalam
hatinya. Belum lagi ia menyanggupi menerima atau
tidaknya Sitaresmi d idalam tangannya, Aruji yang
berwatak jujur dan tulus itu lantas saja sudah memberi
pesan-pesan gawat. Memang orang yang ingin mengarah
jiwa Sitaresmi sangat banyak. Akan tetapi orang yang
ingin mengarah nyawa Lingga W isnupun tak terhitung
banyaknya. Namun racun yang mengamuk didalam tubuh Lingga
W isnu sudah terlalu hebat. Betapapun juga, akhirnya
kalau tidak hidup ya mati. Bahaya yang bakal
mengancam dirinya, apa perlu diperpanjang dan
dipertimbang kan lagi. Oleh pertimbangan itu segera
Kyahi Basaman menjawab: "Aruji, baiklah kita saling janji. Aku akan merawat
Sitaresmi in i baik-baik. Dan tolong kau rawat Lingga
W isnu sebaik-baiknya pula. Kelak apabila racun yang
mengamuk didalam dirinya sudah sirna, hendaklah
engkau membawanya sendiri ke Gunung Lawu!"
"Memperoleh kepercayaan seseorang apalagi nendapat tugas demikian mulia, aku harus bersedia,"
sahut Aruji. "Eyang, legakan hatimu, aku akan
menjaganya dengan mempertaruhkan jiwaku sendiri."
Setelah berkata demikian, ia melompat ke darat. Ia
menggali liang kubur dengan sebatang golok. Liang itu
berada dibawah pohon besar. Setelah selesai ia
menghampiri mayat majikan kecilnya. Mayat itu
ditelanjangi bulat-bulat. Kemudian ditaruhnya dengan
hati-hati kedalam liang kubur. Cara meletakkannya
ditengkurapkan sehingga hidungnya mencium bumi.
Setelah selesai, dengan penuh haru mayat itu mulai
ditimbuni tanah. Kyahi Basaman menyaksikan upacara itu dengan
berdiam diri. Sedikit banyak ia pernah mendengar faham
Ngesti Tunggal. Karena orang ini lahir dengan
bertelanjang bulat, maka pulangpun harus bertelanjang
bulat pula. Sedang apa sebab mayatnya harus
ditengkurapkan mencium bumi, karena bumi ini adalah
sumber hidup jasmaniah manusia. Tegasnya asal dari
bumi kembali ke bumi. Sitaresmi menangisi kuburan kakaknya dengan
sedihnya. Sedang Aruji hanya berdiri t egak tanpa berkata
sepatah katapun. Ia tidak berdoa atau bersembahyang.
Demikianlah, setelah puas menyatakan rasa dukacitanya, perlahan-lahan mereka
memutar badannya dan menghampiri Kyah i Basaman.
Kala itu pagihari telah tiba. Kyahi Basaman hendak
segera meneruskan perjalanan pulang ke Gunung Lawu
dengan membawa Sitaresmi. Arahnya tepat ketimur.
Sedang Aruji membawa Lingga W isnu keselatan. Setelah
tiada berayah bunda lagi, Lingga W isnu menganggap
Kyahi Basaman seperti kakeknya sendiri. Itulah sebabnya
perpisahan pada pagi hari itu sangat mengharukan
hatinya, sehingga air matanya bercucuran. Sebelum
berangkat, Kyahi Basaman mencoba membesarkan hati
Lingga W isnu. Katanya : "Lingga ! Aku percaya, penyakitmu akan sembuh.
Apabila penyakitmu sudah sembuh kembali pastilah
kakakmu Aruji membawamu pulang kembali ke Gunung
Lawu. Angger, hanya beberapa bulan saja kita berpisah.
Karena itu tak perlu engkau bersedih hati."
Lingga W isnu belum dapat menggerakkan anggauta
badannya. Ia hanya mengangguk. Namun air matanya
mengucur makin deras. Tiba-tiba saja Sitaresmi kembali
keperahunya. Lalu balik kembali dengan membawa
saputangan bersulam sekunt um bunga melati. Saputangan itu dimasukkan ke dalam baju Lingga W isnu.
Lalu menghampiri Kyahi Basaman, siap untuk berangkat.
Tergerak hati Kyahi Basaman menyaksikan sepak
terjang Sitaresmi. Pikirnya: 'Bocah ini begini cantik. Kelak
apabila sudah dewasa, pastilah akan tumbuh menjadi
seorang gadis yang elok luar biasa. Apabila Lingga W isnu
dapat disembuhkan, aku pasti tidak akan mengijinkan
pertemuannya dengan gadis ini. Sebab apabila keduaduanya sampai saling jatuh
cinta, bukankah Lingga W isnu akan dapat terseret memasuki aliran sesat"
Demikianlah dengan pandang mata yang berat, Lingga
W isnu menyaksikan Kyahi Basaman membawa pergi
Sitaresmi. Tiada hentinya dara c ilik itu menoleh dan
melambaikan tangan sampai tubuhnya hilang teraling
gerombol pohon-pohon yang lebat.
Pada saat itu, terasa didalam hati Lingga W isnu,
bahw a dirinya hidup sebatang kara. Alangkah sunyi dan
hampa rasanya. Oleh rasa itu kembali ia menangis sedih.
"Lingga W isnu. Berapa umurmu sekarang?" tanya Aruji
tiba-tiba dengan mengkerutkan kening.
"Mungkin duabelas t ahun," sahut Lingga W isnu.
"Bagus, seorang yang sudah berumur dua belas tahun
tiada boleh dibilang anak kecil lagi. Masakan engkau
menangis demikian rupa hanya disebabkan suatu
perpisahan saja" Apa engkau tidak malu?" seru Aruji
dengan sungguh-sungguh. "Dahulu sewaktu aku berumur duabelas tahun, entah sudah berapa ratus kali
aku kena hajar orang. Akan t etapi selama itu setetespun
tak pernah aku mengeluarkan air mata. Seorang laki-laki
sejati, hanya mengalirkan darah, tidak air mata. Jika
engkau terus menangis lagi begini manja, aku akan
segera menghajarmu."
Pandang wajah Aruji nampak bersungguh hati, hingga
kelihatan bengis. Hati Lingga W isnu merasa gentar juga.
pikirnya diam-diam: 'Huh, baru saja eyang berangkat,
engkau sudah berlagak-lagak kepadaku. Apalagi dikemudian hari. Entah penderitaan bagaimana lagi yang
akan kut anggung. ' Meskipun hatinya gentar dan takut,
akan tetapi t ak sudi ia mengalah. Sahutnya :
"Aku menangis sebab berpisah dengan eyangku.
Tetapi kalau aku dipukul orang, tidak bakal aku
menangis. Kau hendak memukul aku, hayo pukullah aku.
Hari ini boleh engkau memukul aku. Akan tetapi satu kali
engkau memukulku, dikemudian hari aku akan memukulmu kembali sepuluh kali ..."
Aruji t ercengang. Sejenak kemudian tertawa terbahakbahak dengan mata berseri,
serunya penuh syukur : "Adikku yang baik! Beginilah engkau baru dapat
disebut seorang laki-laki sejati. Engkau begini hebat,
terus terang saja aku tak berani memukulmu."
"Kau t ahu aku tak dapat bergerak sama sekali. Kenapa
kau bilang aku hebat" Hayo pukullah aku!" seru Lingga
W isnu dengan kalap. "Jika sekarang aku memukulmu, aku takut akan
pembalasanmu dikemudian hari. Sebab dengan berbekal
ilmu sakti eyangmu tadi, bagaimana aku sanggup
melawanmu?" sahut Aruji dengan tertawa.
Mendengar dan melihat Aruji terus tertawa, mau tak
mau Lingga W isnu te rpaksa turut tertawa geli juga.
Sekarang tahulah dia, meskipun kakak ini berwajah
bengis, tetapi sesungguhnya hatinya baik sekali. Ia
nampak bengis karena mukanya penuh berewok tebal.
Karena pertolongan orang-orang kampung, Aruji
memperoleh seekor kuda. Dengan menunggang kuda ia
membawa Lingga W isnu mengarah keselatan. Siang dan
malam Aruji meneruskan perjalanannya. Hampir-hampir
boleh dikatakan tidak mengenal istirahat.
Kurang lebih delapan tahun lamanya, Lingga W isnu
mengikuti orang tuanya berkuda dari tempat ketempat.
W alaupun selalu diancam bahaya, hatinya selalu tegar
karena berada di tengah keluarga. Sekarang, benar
masih h idup, tetapi ia tak dapat menggerakkan anggauta
tubuhnya. Lagi pula dibawa oleh seseorang yang baru
saja dikenalnya. Tak mengherankan, hatinya terasa
menjadi hampa dan sedih luar b iasa. Sebenarnya ingin ia
menangis, akan tetapi takut kena marah Aruji. Setiap
hari, diwaktu matahari berada dititik t engah, racun Pacar
keling yang berada ditubuhnya mengamuk hebat. Dan
diwaktu kumat, rasa deritanya luar b iasa. Ia harus mempertahankan diri dan
mengkuatkan hatinya kurang lebih
setengah jam lamanya. Untuk mengenyahkan, rasa sakit
ia selalu menggigit bibir. Setelah setengah jam berkutat
mati-matian, sedikit demi sedikit rasa sakit itu berkurang.
Sekarang ia telah melepaskan gigitannya. Akan tetapi


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bibirnya sudah terlanjur matang biru. Tak setahunya,
serangan racun itu makin lama semakin sering dirasakan.
Malahan tidak hanya selama setengah jam. Kadangkadang sampai hampir mencapai
satu jam. Sepuluh hari kemudian, sampailah Aruji di kota
Magelang. Dikota ini ia menjual kudanya yang sudah
kelelahan. Kemudian menyewa sebuah kereta besar,
yang lebih kokoh dan sentausa. Beberapa hari lagi
sampailah mereka dikaki gunung Merapi.
Aruji cukup mengenal tabiat pamannya yang sangat
aneh. Pamannya adalah seorang tabib sakti yang tidak
senang apabila diket ahui tempat tinggalnya. Itulah
sebabnya, setelah sampai d i kaki gunung Merapi segera
ia membayar sew a kereta. Kemudian memanggul Lingga
W isnu. Dan dengan langkah lebar, ia melanjutkan
perjalanan. Pamannya Sarapada bermukim di sebuah lembah. Dia
menyebut lembah itu dengan nama Mrepat Kepanasan.
Dengan demikian ia mengumpamakan dirinya sebagai
dewa yang tinggal di Kahyangan Mrepat Kepanasan,
seperti diket ahui, dalam cerita wayang, Mrepat
Kepanasan adalah lapangan perang dewa-dewa Suralaya.
Mrepat Kepanasan berada di belakang bukit yang berada
ditimur. Jauhnya kira-kira duapuluh kilometer. Aruji
mengira bahwa sebelum menjelang malam hari, ia sudah
tiba dilembah Mrepat Kepanasan. Tak pernah terlintas
dalam benaknya, bahwa luka yang dideritanya sesungguhnya menjadi rint angan yang amat menentukan. Diluar kemauannya sendiri, mendadak langkahnya
makin lama semakin menjadi perlahan. Seluruh
badannya merasa linu, napasnya tersengal-sengal.
Mengapa jadi begini" pikirnya. Lingga W isnu walaupun
masih berumur duabelas tahun, akan tetapi kaya dalam
pengalaman. Segera ia mengetahui apa yang menyebabkan langkah Aruji makin lama semakin
perlahan. Dengan lemas ia berkata :
"Abang! Tak apa engkau berjalan perlahan. Apa perlu
engkau berkutat untuk berjalan cepat" Bukankah dengan
demikian dirimu akan cepat lelah pula?"
Aruji ternyata seorang pemuda yang mudah sekali
tersinggung kehormatannya. Ia menjadi gopoh. Serunya
mengandung gusar : "Sehari aku sanggup berjalan sejauh duaratus
kilometer. Dan sedikitpun tak pernah aku merasa letih.
Masakan karena cuma kena dua kali pukulan pendeta
bangsat itu, bisa membuat langkahku makin lama
semakin pendek?" Oleh rasa penasarannya ia mencoba mempercepat
langkahnya, dengan mengerahkan seluruh tenaga
penuh-penuh. Akan tetapi sebenarnya hal itu merupakan
pant angan besar bagi seseorang yang mendapat luka
dalam. Ia t idak boleh menjadi gopoh atau marah. Apalagi
sampai mengerahkan tenaga secara berlebih lebihan.
Apabila hal itu sampai terjadi, maka luka dalam yang
dideritanya akan menjadi lebih parah lagi.
Tak mengherankan, baru saja ia melangkah seratus
meter, seluruh sendi-sendi tulangnya terasa seakan-akan
mau lepas. Namun masih saja ia t ak sudi menyerah. T ak
sudi pula ia beristirahat dahulu. Selangkah demi selangkah ia memaksa diri unt
uk maju terus. Dengan demikian perjalananya menjadi lambat sekali.
Cuaca sudah mulai gelap. Akan tetapi belum juga ia
mencapai setengah perjalanan. Sedangkan jalan pegunungan yang berada didepannya, nampak melingkar-lingkar penuh dengan batu tajam. Hal itu
membuat hati Aruji semakin gugup. Sekali lagi ia
memaksa dan memaksa untuk berjalan secepatnya.
Apabila malam hari tiba, sampailah ia ditepi sebuah
rimba. Segera ia memasukinya dengan t ak ragu-ragu lagi. la
meletakkan Lingga W isnu ketanah dengan hati-hati. Dan
barulah ia beristirahat, untuk meluruskan napasnya.
Sambil mengunyah bekal makanan, ia segera memberi
keterangan kepada Lingga W isnu bahwa seorang yang
menyandang sebagai pendeta telah memukulnya dua kali
berturut-turut. Y ang pertama pada dadanya, yang kedua
menghantam punggungnya. Tatkala bertempur, ia tidak
memikirkan akibat pukulan itu. Ia menganggap sebagai
suatu pukulan yang lumrah. Tak tahunya kini benarbenar menyita tenaganya.
Setelah beristirahat kira-kira
satu jam lamanya, Aruji bermaksud hendak melanjutkan perjalanan. Akan
tetapi Lingga W isnu segera
menyanggahnya. Ia menyarankan agar bermalam
saja dalam rimba itu. Esok pagi
setelah matahari t erbit, barulah
melanjutkan perjalanan. Aruji mempertimbangkan saran Lingga W isnu. Benar.
Meskipun malam ini aku dapat tiba di lembah Mrepat
Kepanasan, akan tetapi tabiat paman terlalu aneh.
Jangan-jangan karena gusar, ia lalu memut uskan tidak
mau menolong. Apabila dia sudah menolak, bukankah
persoalan akan menjadi runyam" Dan memperoleh
pikiran demikian, ia menerima saran Lingga W isnu.
Demikianlah mereka saling bersandar pada sebuah
pohon dan tertidur dengan aman dan tenteram.
Kira-kira tengah malam, tiba-tiba penyakit Lingga
W isnu kumat menggigil tiada hentinya. Ia khawatir akan
membuat kaget Aruji, maka ia mempertahankan diri
dengan membungkam mulut sambil menggigit bibir agar
tidak sampai mengeluarkan suara. Pada saat-saat itulah
dari jauh terdengar beradunya senjata tajam. Kemudian
teriak suara beberapa orang.
"Hayo! Mau lari kemana kau?"
"Cegat sebelah timur! Kurung dia didalam rimba itu."
"Jaga dia dan jangan beri kesempatan melarikan diri!"
Hampir berbareng dengan hilangnya kumandang
suara itu, terdengarlah langkah seseorang yang cepat
sekali. Kemudian beberapa orang memasuki rimba. Oleh
suara berisik itu Aruji terjaga. Segera ia menghunus
goloknya. Dengan sebelah tangan membopong Lingga
W isnu, ia bersiaga bertempur.
"Abang! Agaknya bukan kita yang diarah," bisik L ingga
W isnu. Aruji mengangguk. Akan tetapi didalam hati ia sudah
mengambil keputusan hendak melindungi jiwa Lingga
W isnu meskipun dengan mempertaruhkan nyawa sendiri.
Hanya saja ia dalam keadaan luka parah. Tiba-tiba
terasalah bahw a ilmu ke pandaiannya sudah punah
semua. Maka ia menjadi gugup dan khawatir.
Dengan cepat ia membawa Lingga W isnu bersembunyi
dibelakang pohon besar. Dengan mata penuh kecemasan, ia mengint ip segala yang bergerak
didepannya. Dan terlihatlah berkelebatnya tujuh atau
delapan sosok bayangan, sedang mengkerubut orang
yang mengenak jubah abu-abu. Dalam cuaca gelap,
wajah mereka semua tidak nampak dengan jelas.
Dengan demikian, baik L ingga W isnu maupun Aruji, tidak
segera dapat mengetahui siapa mereka sebenarnya.
Yang mereka ketahui dengan jelas adalah orang yang
berada di tengah-tengah mereka. Tanpa bersenjata
orang itu mempertahankan diri dari pengeroyokan
mereka. Kedua tangannya bergerak cepat luar biasa,
sehingga para pengeroyoknya tidak berani bertindak
sembarangan. Tak lama kemudian, pertarungan mereka makin lama
semakin mendekati pohon tempat bersembunyi Aruji dan
Lingga W isnu. Kebetulan sekali pada saat itu cahaya
bulan menembus mega-mega putih. Sinarnya yang cerah
memasuki celah-celah mahkota daun, sehingga Aruji dan
Lingga W isnu kini dapat melihat dengan jelas seperti
penglihatan mereka yang pertama. Orang yang kena
keroyok itu menyandang sebagai pendeta. Ia berjubah
abu-abu. Perawakannya tinggi kurus, kira-kira berusia
limapuluh tahunan. Sedangkan para pengeroyoknya
terdiri dari bermacam-macam golongan. Ada yang
menyandang pendeta, ada pula yang mengenakan
pakaian singsat, dan ada pula yang mengenakan pakaian
Malahan terdapat dua orang wanita.
Sesudah memperhatikan pertarungan sengit itu, Aruji
nampak terkejut. Segera ia mengetahui, bahwa para
pengeroyok ternyata memiliki ilmu kepandaian sangat
tinggi, yang berada d iatasnya. Dua orang yang
menyandang sebagai pendeta, menggunakan senjata
tongkat dan golok. Dua orang lainnya bersenjata seutas
rant ai panjang dan penggada. Dua orang ini bergulingan
diatas tanah. Mungkin sekali mereka hendak menyerang
kaki orang berjubah abu-abu itu. Hebat gerak-gerik
mereka. Semua pukulan mereka membawa angin keras
yang menggoncangkan daun-daun kering sehingga
rontok berguguran. Salah seorang pengeroyok yang bersenjata Pedang,
gesit luar biasa. Kecuali cepat, gerakannya aneh pula.
Kadang-kadang ia melesat ke kanan, kadang-kadang ke
kiri. Pedangnya berke-redep di antara cahaya bulan.
Sedang kedua wanita yang bersenjata pedang pula,
berperawakan langsing. Ilmu pedangnya ternyata sangat
ringan dan gesit. Dalam pertarungan semakin sengit,
tiba-tiba salah seorang wanita itu memalingkan
kepalanya. W ajahnya kena sinar cahaya bulan nan
terang-benderang. Dan melihat w ajah w anita itu, hampir
saja L ingga W isnu memanggil :
"Bibi Damayant i!"
Memang, wanita itu adalah Damayant i, puteri
Prangwedhani. Dialah seorang dari aliran Parwati yang
pernah datang kerumah perguruan Kyahi Basaman.
Mula-mu la tatkala melihat tujuh-delapan orang
mengeroyok seorang yang menyandang jubah abu-abu,
Lingga W isnu diam-diam mengutuk didalam hati. Inilah
suatu pertarungan yang tidak adil. Maka ia berdoa,
mudah-mudahan orang berjubah abu-abu itu dapat
membobolkan kepungan mereka dan segera melarikan
diri. Akan tetapi setelah melihat bahwa salah seorang
pengeroyoknya adalah Damayanti, ia jadi berpikir lain.
Damayant i ikut pula mendaki Gunung Lawu dan
datang kerumah Perguruan Kyahi Basaman karena
hendak memperoleh keterangan dimana t ongkat mustika
berada. W alaupun demikian ia berkesan baik terhadap
pendekar wanita itu. Itulah sebabnya, kini ia berada
dipihaknya. Dalam pada itu, Aruji juga berpenasaran, melihat
suatu perkelahian yang tidak adil itu. Perlahan-lahan ia
menggerendeng : "Hmm, delapan orang mengeroyok seorang. Benarbenar memalukan. Entah siapa mereka
ini." Lingga W isnu mendengar gerendeng Aruji. Segera ia
membisiki : "Dua wanita itu adalah golongan Parwati. Dan dua
pendeta itu, pastilah orang-orang Argapura." Setelah
mengamat-amati sebentar, ia berkata lagi: "Dan orang
yang berpedang itu, mungkin sekali pendekar Sekar
Ginabung. Lihatlah, betapa keji tipu-tipu serangannya.
Akan tetapi tiga orang lainnya ent ahlah. Mereka entah
dari golongan mana ..."
"Apakah mereka bukan orang-orang Madura?" ujar
Aruji. "Bukan," sahut Lingga W isnu dengan menggelengkan
kepala. "Orang-orang Madura biasanya senang menggunakan belati. Meskipun sebelah tangannya
memegang senjata panjang, tapi tak pernah ia


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan belatinya."
Mendengar alasan Lingga Wisnu yang sangat nalar itu,
diam-diam Aruji kagum akan kepandaiannya. Pikirnya
didalam hati: 'A nak macan, mesti melahirkan macan
pula. Dia cucu Kyahi Basaman. Tidak mengherankan
bahw a pengetahuannya tak mengecewakan.'
Akan tetapi sebenarnya pengetahuan Lingga W isnu
bukan diperoleh dari rumah perguruan sang kakek.
Itulah berkat pengalamannya selama delapan tahun
dibawa merantau ayah-bundanya dari tempat ketempat.
Dan selama delapan t ahun itu, entah sudah berapa ratus
kali ia dibawa bertempur dan secara wajar ia faham serta
mengenal baik segala tipu-tipu serangan musuh-musuh
ayah bundanya. Itulah sebabnya pula dengan yakin ia
memberi kisikan kepada Aruji, bahwa tiga orang yang
bersenjata rant ai serta penggada bukanlah orang-orang
Madura. Mereka bertempur belasan jurus lagi. Tiba-tiba kawan
Damayant i menjadi gelisah. Maklumlah sekian lamanya
mereka berdelapan mengeroyok seorang lawan, akan
tetapi belum juga berhasil. Bahkan t enaga pukulan orang
berjubah abu-abu itu makin lama makin dahsyat.
perubahannya sukar sekali diduga. Kadang-kadang
cepat, telapak tangannya seakan-akan tak kelihatan.
Sebaliknya apabila bergerak lambat, mereka semua
merasakan seperti tertindih sebuah batu sebesar gubuk.
Sejenak kemudian terdengarlah salah seorang berseru: "Serang saja dengan senjata bidik!"
Dua orang laki-laki lantas keluar gelanggang. Pada
saat itu, nampak berkeredepnya berpuluh senjata bidik
menghantam orang berjubah abu-abu itu. Menghadapi
serangan ini orang berjubah abu-abu itu nampaknya
kewalahan juga. Sedangkan orang yang bersenjata
pedang lantas membentak :
"Mayang-seta! Kami bukan bermaksud hendak
mengambil jiwamu. Mengapa engkau berkelahi mati
matian" Asal saja engkau sudi menyerahkan anak
perempuan yang kau bawa dua tahun lalu, bernama
Sudarawerti, segera kami akan pergi. Bukankah urusan
lantas saja menjadi beres?"
Mendengar orang itu menyebut nama Mayang-set a,
Aruji kaget. Bisiknya perlahan :
"Oh, jadi dialah paman Mayang-set a?"
Lingga W isnu mendengar bisik Aruji. Tetapi ia sibuk
dengan pikirnya sendiri. Itulah disebabkan orang
menyerukan nama Sudarawerti. Kalau begitu, Sudan
werti masih h idup. Sudarawerti adalah kakak perempuannya, yang dahulu masih nampak berkelahi
mati-matian mempertahankan diri. Jadi dia masih hidup!
seru Lingga W isnu di dalam hati. Pada saat itu berbagai
pikiran menusuk benaknya.
Pikirnya lagi di dalam hati:
'Benar. W aktu itu aku melihat seseorang mengenakan
jubah abu-abu. Apakah dia" Abang Aruji ini menyebut
namanya dengan Mayangseta. Agaknya dia kenal.
Apakah Mayang seta juga salah seorang anggauta Ngesti
Tunggal"' Segera terdengar Mayangseta menjawab dengan
suara lant ang : "Keluarga Udayana yang kalian ubar-ubar semenjak
delapan tahun yang lalu, telah mati semua. Mengapa
engkau menyebut-nyebut seorang yang bernama
Sudarawerti" Siapa dia?"
"Akh, jangan engkau berlagak pilon!" bentak orang itu.
"Bukankah perempuan yang kau bawa bernama
Sudarawerti" Dialah anak satu-satunya Udayana yang
masih hidup." Mayang set a tertawa terbahak-bahak. Serunya dengan
suara tetap lantang: "Benar-benar kalian ini sudah kalap. Aku tahu, aku
tahu. Kalian menghendaki jiwa anak perempuan
Udayana, bukankah kalian berharap dapat mengompes
mulut nya dimana tongkat mustika itu berada" Bah!
Kalian yang menamakan diri orang-orang suci, sebenarnya berhati iblis!"
Mendengar orang-orang itu mengungkat ungkat nama
ayahnya, dan menyebut-nyebut nama saudara perempuannya, hati Lingga W isnu jadi berduka. Ia belum
tahu pasti bagaimana kedudukan orang berjubah abuabu itu yang menyebut dirinya
Mayangseta. Akan tetapi, hatinya tiba-tiba berpihak kepadanya. Katanya didalam
hati: 'Dahulu aku melihat dia muncul didekat jembatan
maut. Menilik pembicaraan para pengeroyoknya ini,
agaknya dia membawa ayunda Sudarawerti. Kalau
ayunda berada ditangannya, agaknya lebih terjamin
keselamatan jiwanya.' Tanya-jawab itu tidak membuat mereka berhenti
berkelahi. Dengan tetap gesit, Mayangseta melayani
mereka. Gerakan t angannya tidak pernah ayal. Lawannya
yang bersenjata pedang itu, sengaja mengajak berbicara
dengan maksud memecah perhatiannya. Tak terduga,
ilmu kepandaian Mayangseta memang sangat tinggi,
kecerdasannya juga melebihi orang lain. Kalau hanya
karena t ipu-tipu semacam itu, betapa bisa menjebaknya.
Hanya saja para pengeroyoknya itu adalah jago-jago
terkemuka dari berbagai aliran. Beberapa kali ia berusaha
menerjang keluar, akan tetapi masih saja gagal.
Tiba-tiba dua orang yang berada diluar gelanggang
bidik berteriak kaget dengan berbareng:
"Aduh, celaka! Senjata bidik habis!"
Mendengar seruan mereka, keenam rekan lainnya
lantas menelungkupkan badan serata tanah. Dan pada
detik itu, lima sinar berkeredepan menyambar diudara.
Itulah lima pisau terbang yang dengan kecepatan luar
biasa membikik Mayangseta. Kiranya seruan senjata bidik
habis merupakan kata-kata sandi mereka. Itulah
sebabnya mereka lantas saja mendekam serata tanah
begitu kedua temannya nenyerukan tanda sandi.
Kelima p isau terbang menyambar dengan cepatnya.
Sasarannya membidik menyambar dada Mayangset a.
Dalam keadaan biasa, asal Mayangseta membungkukkan badannya, mendoyongkan badan kebelakang, pisau-pisau itu akan dapat dihindarinya.
Akan tetapi dia harus riemperhitungkan keenam
lawannya yang berada diatas tanah. Mereka semua
menyerang berbareng mengarah kaki. Maka tak dapat ia
bergerak dengan leluasa. Hati Lingga Wisnu cemas bukan kepalang. T iba-tiba ia
melihat Mayangseta melompat tinggi diudara dan lima
pisau terbang yang menyambar padanya lewat dibawah
kaki. Dengan demikian ia dapat menghindari ancaman
maut. Akan tetapi pada saat itu tongkat dan golok kedua
pendeta dari Argapura menyerang dengan berbareng.
Juga pedang pendekar Sekar Ginabung sudah menikam
kedua kakinya. Dalam keadaan terapung diudara, terpaksalah Mayangseta mengeluarkan gerak tipu untung-untungan.
Telapak tangannya lantas menghantam kepala seorang
pendeta Argapura dengan tepat sekali. Kemudian t angan
kanannya menyambar golok. Setelah dapat merampas
senjata itu, ia menangkis tongkat. Dan dengan
meminjam tenaga pentalan ia melesat manjauhi.
Pendeta Argapura yang kena terhantam kepalanya
mati seketika itu juga. Tentu saja kawan-kawannya yang
lain berteriak penuh kegusaran. Terus saja mereka
melesat merubung dengan berbareng. Mendadak pada
saat itu nampak langkah Mayangseta tidak wajar lagi. Ia seperti kena terkait
sesuatu. Hairpir-hampir ia terpeleset jatuh. Karena itu
ketujuh lawannya kembali dapat mengepungnya rapatrapat.
Yang paling kalap ialah pendekar dari Argapura. Ia
bertempur bagaikan kerbau edan. Senjatanya menyamber tak hentinya sambil berteriak teriak.
"Mayangset a! Mayangseta! Engkau berani membunuh
adikku. Karena itu malam ini aku hendak mengadu jiwa
denganmu." Dalam pada itu berkali-kali pendekar Sekar Ginabung
berteriak : "Kakinya kena tikaman pedangku. Kawan-kawan,
pedangku ini beracun. Sekejab lagi racun itu tentu
menjalar keseluruh tubuhnya. Dan dia akan mampus
terjengkang." Benar saja. Tidak lama kemudian langkah Mayangseta
nampak sempoyongan. Pukulannya lantas menjadi
kacau. Terdengar Aruji berteriak tertahan :
"Celaka! Paman Mayangseta adalah tokoh penting
dalam Ngesti Tunggal. Bagaimana aku dapat menolongnya?" Lingga W isnu tahu, bahwa Aruji berhati mulia.
Meskipun dirinya sendiri terluka parah, namun nampaknya ia hendak menerjang keluar untuk menolong
Mayangseta. Apabila hal ini sampai terjadi, kecuali
jiwanya sendiri bakal melayang guna faedahnyapun tak
ada. Tiba-tiba pikiran bocah ini tergerak. Katanya cepat :
"Abang! Engkau hendak menolong paman Mayangseta?" "Benar. Dia harus ditolong. Lihatlah. Dia kena pedang
beracun. Sebentar lagi dia bakal .. akh aku ... sendiri,
rasanya t idak mampu menggerakkan tanganku."
"Legakan hatimu. Aku mempunyai akal....." ujar
Lingga W isnu. "Begini, maukah engkau kuajar salah satu ilmu ajaran
aliran kami" Ilmu itu kuperoleh dahulu dari eyang.
Gunanya untuk memulihkan tenaga yang hilang karena
luka. Tenagamu akan menjadi berlipat ganda. Akan
tetapi setelah itu keadaan tubuhmu akan menjadi rusak.
Itulah sebabnya eyang melarang jangan sekali-kali
menggunakan ilmu tersebut. Bagaimana" Kau mau
menggunakan ilmu itu atau tidak?"
Tadi Aruji mengagumi kepandaian Lingga karena
dapat mengenal berbagai tipu muslihat dalam suatu
pertempuran cepat. Ia percaya, bahwa semuanya itu
berkat ilmu warisan Kyahi Basaman. Sekarang iapun
yakin, bahwa ilmu ke pandaian yang dikatakan itu pastilah
bukan ilmu isapan jempol belaka. Lingga W isnu
menerangkan, bahwa setelah menggunakan ilmu
tersebut badannya akan menjadi rusak. Pikirnya, tak
apalah demi menolong jiwa paman Mayangseta.
Bukankah paman Mayangseta jauh lebih berharga
daripada aku" Memperoleh pikiran demikian, dengan
girang ia menyahut : "Akh, adikku yang baik. Katakanlah dengan cepat.
Menolong orang paling perlu. Sekalipun badan sendiri
bakal rusak. " "Kalau begitu carilah sepotong batu yang berujung
tajam!" kata Lingga W isnu.
Segera Aruji meraba-raba tanah dan memungut
sebuah batu sekenanya saja.
"Coba pegang. Apakah batu ini cukup?" tanyanya.
Lingga W isnu meraba-raba bentuk batu itu. Kemudian
menyahut : "Dapat. Nah, sekarang

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau tutuklah kedua pinggangmu sendiri dengan ujung batu itu. Letak nya
diatas kedua paha." "Apakah disini?" tanpa berpikir lagi Aruji mint a
keterangan sambil menunjuk paha bagian atas.
"T urun lagi sedikit," ujar Lingga W isnu. "Nah, disitulah.
Kekiri sedikit! Bagus. Nah, sekarang tutuklah. Satu, dua,
tiga. Yang keras!" Aruji bukanlah seorang bodoh. Dia sudah berumur
duapuluh tahun. Selama itu entah sudah berapa kali ia
memperoleh pengalaman dalam satu pertempuran.
Sedikit banyak ia tahu juga ilmu urat. Didalam hati ia
menyangsikan kata-kata Lingga W isnu. Seseorang yang
kena tutuk urat nadi diatas pahanya, akan bisa
melumpuhkan kedua kakinya. Akan t etapi terlalu percaya
kepada Lingga W isnu. Pikirnya waktu itu: Ilmu sakti
Kyahi Basaman tidak dapat dipersamakan dengan ilmu
sakti lainnya. Pastilah ilmu menutuk urat di atas paha ini
merupakan salah satu ilmu simpanan aliran Aristi yang
hebat. Dan tanpa ragu lagi ia lantas menghantam urat
diatas pahanya sendiri dengan sekuat tenaga.
Duk! Tetapi ia kaget bukan kepalang. Begitu pahanya
terhantam batu, seketika itu juga kedua kakinya lantas
lumpuh. Tepat pada saat itu ia melihat Mayangseta
melompat sepuluh langkah jauhnya, akan tetapi segera
terbanting roboh ke atas tanah. Keruan saja hati Aruji
gugup bukan kepalang. Segera ia bermaksud hendak
menerjang memberi pertolongan, akan tetapi kedua
kakinya tak dapat berkutik. Bertanya dengan cemas
kepada Lingga W isnu : "Hai! Kenapa jadi begini?"
Diam-diam Lingga W isnu tertawa geli didalam hati.
Pikirnya: 'A ku telah menipumu, abang! Tentu saja kau tak dapat
bergerak, karena urat nadimu kini tergeser dari
tempatnya.' Akan tetapi ia berpura-pura kaget dan
heran. Menyahut tak jelas :
"Hai! Mungkin sekali engkau salah menutuk-nya.
Tenaga yang kau gunakan kurang tepat. Baiklah jangan
kuatir, tunggu saja barang setengah jam, pastilah
engkau bisa berjalan kembali."
Tentu saja Aruji mendongkol bukan main. Ia kena
diakali dan ditipu bocah cilik dengan mata membelalak.
Tetapi ia tahu akan maksud baik Lingga W isnu. Dalam
khawatir dan gugup, terbint ik rasa geli juga.
Dalam pada itu Mayangseta menggelet ak di atas
tanah. Racun yang berada dalam tubuhnya mulai
bekerja. Kemudian ia tak bergerak. Tetapi ketujuh
lawannya belum juga berani mendekati.
"Saudara Habib, jangan maju dulu! Biar rekan Mukmin
menikamnya dari jauh." kata pendekar Sekar Ginabung
yang menggenggam pedang panjang.
Orang yang disebut Mukmin lantas mengayunkan
tangannya. Dan pundak kiri serta paha kanan Mayang
set a tertancap dua pisau tajam. Kena tikaman pisau itu
tubuh Mayangseta tidak bergerak. Itulah suatu tanda
bahw a ia sudah mati kena racun.
"Sayang, sayang. Dia terlanjur mati." pendekar Sekar
Ginabung mengeluh. "Sekarang kita tidak t ahu dimana ia
sembunyikan Sudarawerti. Eh, nanti dulu. Biasanya ia
selalu d isertai bidalnya yang bernama Kumambang.
Hayolah k ita cari orang itu. Pasti dia berada t ak jauh dari
sin i." Akan tetapi kawan-kawannya menghampiri mayat
Mayangseta. Ia merasa tertarik pula dan
ikut menghampiri. Baik Lingga W isnu maupun Aruji, sedih menyaksikan
kematian Mayangseta. Mendadak saja terdengarlah suara
barang jatuh lima kali. Dan pada saat itu lima orang yang
merubung mayat Mayangseta terpental dan terbanting
keatas t anah. Setelah itu dengan gagah perkasa Mayang
set a bangkit berdiri dengan pundak dan paha masih
tertancap dua pisau tajam.
Kiranya, kakinya tadi memang kena tikaman pedang
beracun. Ia sadar bahw a tenaganya tidak akan dapat
merpertahankan diri. Maka ia pura-pura mati untuk
memancing ketujuh lawannya.
Begitu mereka mendekat, ia lantas melontarkan
pukulan sakti yang dipergunakan apabila menghadapi
lawan banyak. Dahsyatnya t ak dapat diperkirakan. Maka
tak mengherankan lawan-lawannya lantas saja roboh
dengan memuntahkan darah. Hanya dua orang saja yang
ketinggalan. Itulah Damayant i dan kawannya.
Kawan Damayant i bernama Linggarsih. Dialah kakak
tiri Damayant i. Dalam kagetnya, mereka berdua
melompat mundur. Tatkala menoleh, mereka melihat
kelima kawannya menyemburkan darah segar.
Malahan dua diant ara mereka yang berkepandaian
agak rendah roboh menggeletak di tanah. Sebaliknya,
karena mengeluarkan tenaga yang berlebihan, Mayangseta nampak terhuyung. Berdirinya agak tegak
lagi. "Nona Damayant i dan Nona Linggarsih! Tikam saja
dengan pedang kalian!" seru pendekar Sekar Ginabung
yang menderita luka parah.
Sembilan orang yang bergebrak itu, yang satu mati,
ialah seorang pendekar dari Argapura. Kini Mayang set a
dan kelima musuhnya juga terluka parah dengan
berbareng. Hanya tinggal Damayanti dan Linggarsih yang
masih segar bukar. Mendengar seruan pendekar Sekar
Ginabung, di dalam hati Linggarsih berkata :
'Masakan aku sendiri tak bisa membunuhnya. Apakah
aku harus menunggu perint ahmu" Iddih! Lagakmu ...!'
Pedangnya lantas bergerak hendak memotong betis
Mayangseta. Pada saat itu Mayangseta tak bisa berkutik
lagi. Melihat berkelebatnya pedang, ia hanya dapat
menghela napas panjang. Di dalam hati ia berkata :
'Karena kalian berdua adalah wanita, maka aku tidak
sampai hati memukul dada kalian. Itulah sebabnya kalian
berdua selamat tak kurang suatu apa. Eh, sama sekali
tak kuduga bahwa kebajikan in i justru mengakibatkan
malapetaka sendiri.' Dengan kata hati itu, ia memejamkan mata menunggu nasibnya.
Mendadak saja ia terkejut berbareng heran, tatkala
mendengar suara nyaring beradunya dua senjata. Segera
ia menjenakkan matanya. Masih sempat ia menyaksikan
pedang Damayant i menangkis pedang Linggarsih.
"Adik, kenapa?"
"Ayunda, Mayangseta tidak menghendaki kita berdua
mati. Bahkan ia t ak mau melukai k ita. Karena itu kitapun
jangan keterlaluan." sahut Damayanti.
"Aku tidak akan membunuhnya. Aku hanya mau
menahannya disin i, agar ia menerangkan dimana
Sudarawerti kini berada." kata Linggarsih dengan suara
tajam. "Ia terkena tikaman senjata berbisa. Lukanya sudah
cukup berat. Lebih baik kita mengobati dulu. Dengan
demikian kita bisa mendapat keterangan lebih leluasa
lagi." Damayant i memberi saran. Setelah berkata
demikian, ia menghampiri pendekar Sekar Ginabung.
Berkata kepadanya: "Kakang Lemah Ijo, dia kena
tikaman pedang beracunmu. Berilah dia obat pemunahnya. Dengan demikian aku bisa mengharapkan
keterangannya lebih leluasa."
Memang pendekar berpedang panjang itu, sesungguhnya Lemah Ijo. Dia termasuk tokoh aliran
Sekar Ginabung. Dahulu dengan dua rekannya, Sadat
Satir dan Ruji P inentang, ikut mengejar-ngejar Udayana
sekeluarga sampai dilereng Gunung Lawu. Keruan saja
Lingga W isnu kaget mendengar Damayant i menyebut
namanya. Badannya tiba-tiba menggigil, karena diamuk
rasa dendam. Akan tetapi ia tak dapat berbuat sesuatu.
Kecuali badannya tidak dapat bergerak, andaikata dalam
keadaan segar bugarpun, belum bisa berbuat sesuatu
apa untuk membalaskan dendam ayah bunda dan
sekalian saudaranya. Tatkala itu ia mendengar Lemah Ijo berkata
menyahut: "Ringkus dia dahulu agar tidak b isa melarikan diri.
Orang-orang Ngesti Tunggal banyak tipu muslihatnya.
Kita harus berjaga-jaga t erhadap manusia-manusia iblis."
Lemah Ijo berkata dengan napas tersengal-sengal.
Setelah sengal. Setelah berkata demikian, ia menyemburkan darah segar lagi dari
rongga dadanya. Pukulan Esmugunting Mayangseta benar-benar melukai dadanya
cukup berat. Damayant i merenung sejenak menimbang perkataan
Lemah Ijo. Kemudian menunduk. Setelah melepaskan
ikat pinggangnya, ia menghampiri Mayangseta dan
berkata dengan lemah lembut :
"Paman Mayangseta! Maaf, t erpaksa aku mengikatmu
sebentar." Kedua kaki Mayangseta terasa pegal luar biasa. Ia
tahu, apabila tidak segera mendapat obat pemunahnya,
sebentar iagi t entulah jiwanya melayang. Pada saat itu ia
berpikir: 'Dari pada kena tabasan pedang Linggarsih,
lebih baik kena ringkus Damayant i. Kalau mau, ia b isa
membunuh Damayant i dengan sekali pukul. Akan tetapi
disana masih berdiri seorang yang segar bugar. Ia adalah
Linggarsih yang tadi hendak menabas kedua kakinya.
Maka apabila ia membunuh Damayant i maka pendekar
wanita itupun bakal menabas kakinya juga. Terpaksalah
sekarang ia membiarkan dirinya kena ringkus Damayant i
dengan tersenyum getir. Melihat Mayangseta sudah kena ringkus, barulah
Lemah Ijo mengeluarkan obat pemanahnya. Dengan
napas tersengal-sengal ia memberi tahu Damayant i,
bagaimana menggunakan obat tersebut. Mula-mula
Damayant i harus mencabut kedua pisau yang menancap
pada punggung dan paha Mayangseta. Setelah itu
barulah ia membubuhi obat pemunah.
Linggarsih yang selama itu mengawaskan gerak gerik
adiknya, segera berseru kepada Mayang seta:
"Mayangset a, lihatlah. Hati adikku penuh cinta kasih.
Itulah sebabnya kini jiwamu tertolong. Maka bukankah
sudah pada tempatnya apabila engkau membalas budi
dengan menerangkan dimana engkau sembunyikan
Sudarawerti?" Sebagai jawaban, Mayangseta tertawa. Sahutnya :
"Linggarsih! Kau benar-benar terlalu me mandang
rendah padaku. Aku Mayangseta meski terkenal sebagai
anggauta aliran iblis, tetapi aku tidaklah serendah
sangkamu. Lihatlah, pendekar Udayana, murid kelima
Kyahi Basaman. Dengan rela ia mengorbankan anak
isterinya karena ia tidak mau dipaksa orang-orang seperti
dirimu untuk memberikan keterangan dimana tongkat
mustika berada. W alaupun aku tidak bisa menyamai sifat
kesatria Udayana, akan tetapi ingin aku mencontohnya."
Kata-kata Mayangseta membuat darah Lingga W isnu
bergolak hebat. Seketika itu juga rasa simpati kepada
Mayangseta menjadi bertambah. Setelah delapan tahun
ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa
ayahnya dikejar orang dari berbagai aliran. Dan set iap
pengejarnya selalu memaki-maki. Sekarang ia mendengar seorang bernama Mayangseta memuji dan
mengagumi ayahnya. Keruan saja ia menjadi t erharu.
Pada saat itu terdengarlah Linggarsih berkata dengan
nada mengejek : "Hmm Udayana! Apakah ada harganya untuk
dibicarakan" Apalagi untuk ditiru. Cih. Ia mati akibat
kebodohannya!" "Ayunda!" potong Damayanti.
"Jangan khawatir adikku," kata Linggarsih dengan
mengulum senyum. "Aku tidak akan merembet Panjalu
dan sekalian saudara seperguruannya". Setelah berkata
demikian, pedangnya menuding mata kanan Mayangseta.
Mengancam: "Hei iblis! Jika engkau tidak sudi mengaku, pada saat
ini juga kedua matamu akan kubut akan. Mula-mula akan
kutembus mata kananmu. Kemudian mata kirimu.
Setelah itu telingamu akan kupangkas. Mula-mula dari
telinga kanan kemudian telinga kiri. Lalu aku akan
memotong hidungmu. Pendek kata aku akan membuat
dirimu seperti iblis benar-benar."
Ujung pedang Linggarsih kini sudah berada satu senti


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

didepan mata kanan Mayangseta. Akan tetapi Mayangseta sama sekali tidak nampak gentar. Kedua
matanya bahkan dipantangnya lebar-lebar tanpa berkedip sekejappun. Sahutnya dengan suara t awar :
"Sudah lama aku mendengar sepak terjang Prangwedani yang berhati kejam dan bertangan gapah.
Engkau adalah salah seorang muridnya. Sudah tentu
engkau serupa benar dengan dia. Pada malam in i aku
Mayangseta jatuh ditanganmu. Nah coba tunjukkanlah
kebesaranmu. Hayo butakan mataku. Tidak akan aku
berkedip sedikitpun."
"Bangsat gundul!" maki Linggarsih dengan suara
bengis. "Engkau berani mengolok-olok nama ayahku?"
setelah berkata demikian, pedangnya didorong dan
seketika itu juga mata kanan Mayangseta buta.
Setelah matanya tertusuk ujung pedang, mata kirinya
segera terancam pula. Akan tetapi lagi-lagi Mayangseta tertawa bergelak.
Mata kirinya d ibelalakkannya lebar-lebar, memelototi
Linggarsih, sehingga gadis itu bergidik bulu kuduknya.
Untuk mengatasi rasa ngeri, Linggarsih berkata
membentak : "Engkau toh bukan pengikut Said. Bukan pula budak
Mangkubumi. Atau menantu Kyahi Basaman. Apa sebab
engkau melindungi Sudarawerti sampai engkau rela
mengorbankan jiwamu?"
"Aku adalah seorang laki-laki," sahut Mayangseta.
"Perbuatan seorang laki-laki sejati, sekalipun aku
terangkan kepadamu, engkau tidak bisa memahami.
Karena engkau seorang wanita."
Bukan main gagahnya jawaban Mayangseta sehingga
membuat gadis itu mendongkol. Betapa tidak, Mayangseta sudah tiada berdaya lagi. Mata kirinya sudah
buta pula. Sekalipun demikian mu lut nya masih tajam,
sehingga masih mampu menghina dan merendahkan
dirinya. Maka dengan kalap ia menusukkan ujung
pedangnya mengarah mata kiri Mayangset a.
Syukurlah pada saat itu Damayant i menangkis ujung
pedangnya, sambil berkata :
"Ayunda, pendekar Ngesti Tunggal in i memang
berkepala batu. Andaikata kau bunuhpun tidak ada
gunanya." "Ia memaki ayahku, berhati keji dan bertangan gapah.
Karena itu biarlah aku tunjukkan kekejaman dan
kegapahan tanganku." sahut Linggarsih dengan suara
berkobar-kobar. "Manusia siluman aliran iblis ini, kalau
dibiarkan hidup akan merusak peradaban manusia saja.
Kalau aku bisa membunuhnya, artinya aku bisa sekedar
memberi sedekah kepada angkatan mendatang."
"Tetapi ayunda, meskipun ia anggauta aliran sesat,
akan tetapi nyatanya dia seorang laki-laki sejati. Menurut
pendapatku, ampunilah jiwanya!" bujuk Damayant i.
"Tetapi rekan kita dari Argapura yang berada disini
mati seorang. Dan lainnya menderita luka parah.
Lihatlah, paman Lemah Ijo, paman Caraka, paman
Mukmin dan paman Gobyok! Mereka semua menderita
luka berat. Masakan dengan membutakan kedua
matanya, aku berlaku keji terhadapnya?" teriak
Linggarsih dengan suara keras.
"Karena itu biarlah aku membutakan mata kirinya lalu
kita memaksa untuk mengaku dimana dia sembunyikan
Sudarawerti." Setelah berkata demikian secepat kilat
pedangnya kembali menusuk mengarah mata kiri
Mayangseta. Namun dengan cepat pula Damayanti menangkis
tikaman pedangnya. Katanya membujuk:
"Ayunda, orang ini sudah tak berdaya lagi.
Menganiaya secara demikian kalau tersiar dalam
masyarakat, nama aliran Parwati akan tercemar."
Linggarsih gusar bukan kepalang, karena kehendaknya
selalu dirint angi adiknya. Dengan sepasang alis berdiri
tegak ia membentak : "Minggir! Kau minggir atau tidak" Jangan perdulikan
diriku ! " "Ayunda, kau ..."
"Apa?" potong Linggarsih dengan cepat. "Engkau
memanggilku ayunda" Bagus, kalau engkau memanggilku dengan ayunda, maka engkau harus patuh
kepada perkataanku. Nah, minggirlah!"
"Y a, ayunda," sahut Damayant i dengan suara
merendah. Pedang Linggarsih bergerak lagi mengarah kemata kiri
Mayangseta. Akan tetapi lagi-lagi Damayanti menangkisnya. Karena melihat t ikaman Linggarsih kali ini
sangat ganas dan berbahaya, maka Damayant i
menangkisnya dengan sungguh-sungguh pula. Ia
menggunakan tenaga tujuh bagian. Pada saat itu
terdengarlah suara gemerincing. Api meletik dari
perbenturan itu. Dan keduanya tergetar mundur dua
langkah. Keruan saja Linggarsih gusar bukan kepalang.
Bentaknya dengan sengit :
"Damayanti. Kenapa berulangkali engkau melindungi
jiwa pendekar iblis ini" Apakah maksudmu sesungguhnya?" "Aku tidak mempunyai suatu tujuan, aku hanya
berharap agar engkau tidak menyiksanya dengan cara
demikian." sahut Damayant i. "Bukankah kita mengejarnya semata-mata hendak memperoleh keterangan dimana beradanya Sudarawerti" Nah,kita
tanyakan kepadanya dengan perlahan lahan dan sabar."
"Hem, apa kau kira aku tiada tahu apa yang
terkandung didalam pikiranmu?" tiba-tiba Linggarsih
mengalihkan pembicaraan secara tak lang sung. "Cobalah
engkau bertanya kepada dirimu sendiri. Seringkali
engkau berhubungan dengan murid-murid Kyahi Basaman yang bernama Raden mas Panjalu. Bukankah
sudah terang latar belakangnya" Apa sebab setiap kali
ayah mendesak agar engkau mengejar laskar Mangkubumi selalu engkau mengingkari?"
"Ayunda! Ini adalah urusan adikmu sendiri, dalam hal
ini tiada sangkut pautnya dengan persoalan yang sedang
kita hadapi. Kenapa kau mencampurkan?" kata
Damayant i. "Eh, mari kita bicara dengan t erus terang saja," sahut
Linggarsih dengan cepat. "Dihadapan banyak orang ini,
kitapun t idak perlu mencakar borok kita masing-masing.
Tetapi perlu kukatakan kepadamu, meskipun engkau
berada di tengah-tengah kami, tetapi hatimu berada pula
pada gerakan Mangkubumi. Benar atau tidak?"
Seperti diketahui, Prangwedani mengabdikan diri pada
Paku Buwana II. Dialah pendekar andalan Patih
Pringgalaya, yang bermusuhan dengan Pangeran
Mangkubumi. Prangwedani adalah pewaris aliran Parwati.
Meskipun dengan Kyahi Basaman satu aliran, akan tetapi
nyatanya masing-masing pihak saling bermusuhan
dengan tidak terang-terangan. Hal itu disebabkan Kyahi
Basaman berpihak pada Pangeran Mangkubumi. Sedang
Prangwedani sebagai abdi Paku Buwana II, secara wajar
berpihak kasununan. Demikianlah karena diejek t erang-terangan dihadapan
para pendekar berbagai aliran itu, wajah Damayant i
menjadi pucat. Katanya sulit :
"Biasanya, biasanya aku menghormatimu sebagai
kakak. Kurasa belum pernah aku menyalahi kepadamu.
Kenapa engkau sekarang menghinaku dengan cara
begini?" Linggarsih mendengar suara Damayanti agak gemetar.
Ia lantas berkata dengan suara gagah:
"Baiklah. Aku tidak mengusut hal ini berkepanjangan.
Sekarang aku minta bukti dirimu. Kau tahu, bukan.
Bahwa aliran Ngesti Tunggal membantu perjuangan
Mangkubumi. Jika engkau benar-benar berada dipihak
kami, nah tolonglah, wakili diriku menusuk mata kiri
pendekar iblis itu!"
"Ayunda," kata Damayant i dengan suara tegas. "Aku
belajar ilmu pedang bukan untuk membunuh orang yang
tidak berdaya atau menyiksa yang lemah. Karena itu aku
menolak permint aanmu."
Mendengar jawaban Damayant i, Linggarsih tertawa
tinggi. Katanya dengan mencemoh :
"Bagus. Didengar sepintas lalu kata-kata bernilai besar
yang pantas diucapkan seorang pendekar yang bernama
kosong melompong. Maka dengan sangat menyesal aku
membeberkan rahasia hatimu sepatah kata demi sepatah
kata didepan para orang-orang gagah yang berada
disin i." Rupanya tuduhan Linggarsih kepada Damayanti
mengandung kebenaran. Pada waktu itu Damayanti
seperti terdorong kepojok. Ia nampak tak berani
melawan dengan keras. Ia menjawab halus :
"Ayunda, hendaklah kau ingat, bahwa aku dan engkau
kecuali satu perguruan, juga sesama saudara. Janganlah
engkau terlalu mendesakku."
"Sebenarnya bukan aku yang mendesakmu. Tetapi
engkau sendiri yang mint a kudesak," ujar Linggarsih
dengan tertawa menang. "Ayah berbareng gurumu
memberi perint ah kepada kita berdua agar mencari jejak
Sudarawerti, anak Udayana yang kena terbawa lari oleh
iblis itu. Sekarang iblis yang berada didepan matamu itu
sudah tidak berdaya, tinggal kita mendengar pengakuannya. Akan tetapi mengapa
engkau melindungi" Lihatlah
dengan matamu yang terang! Lima orang rekan kita kena
dilukai dengan berat. Entah jiwanya tertolong atau tidak.
Kalau aku hanya membutakan kedua matanya, bukankah
aku sudah berlaku murah terhadapnya?"
"Tetapi ingat, ayunda! Bukankah dia tadi menyelamatkan jiwa kita berdua" Andaikata dia tadi
melepaskan pukulannya terhadap kita berdua pastilah
jiwa kita sudah melayang semenjak tadi." Damayant i
memperingatkan. "Hemm ..." dengus Linggarsih. "Sering sekali ayah
memuji ilmu pedangmu yang hebat, keji dan gapah.
W atakmu dipujinya jujur pula, karena berani terus terang
menghadapi segala hal, karena itu ayah bermaksud
hendak mengangkat kau sebagai ahliwarisnya. Kenapa
sekarang engkau berhati selemah cacing begini?"
Semenjak tadi semua orang yang berada di situ
tertegun menyaksikan pertengkaran mereka yang tak
keruan. Mereka mencoba menebak-nebak. Apakah latar
belakang sesungguhnya" Setelah Linggarsih menyinggung sikap Prangwedani terhadap Damayant i,
barulah mereka dapat menduga duga sebagian.
Agaknya Linggarsih dengki dan irihati terhadap
Damayant i karena oleh Prangwedani dicalonkan sebagai
ahliwaris. Sebagai seorang ahliwaris Prangw edani


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikemudian hari Damayant i tidak hanya akan memiliki
ilmu kepandaian dan kedudukannya, tapipun harta benda
yang tak terhitung jumlahnya. Prangwedani adalah
tangan kanan Paku Buwana II disamping Patih
Pringgalaya. Kata-katanya seperti undang-undang negara. Oleh perhitungan ini sekarang Linggarsih bermaksud
menggeser kedudukan Damayant i dengan membuka
boroknya didepan para pendekar yang berpihak pada
Paku Buwana II. Dengan demikian kecuali mencoreng
muka Damayant i didepan rekan-rekan seperjuangannya,
juga untuk mengangkat diri sebagai seorang pejuang
yang bersih dan dahsyat. Pembawaan jiwa Lingga W isnu meletakkan nilai budi
diatas segala-galanya. Ia mempunyai kesan baik
terhadap Damayant i t atkala berada di rumah perguruan.
Itulah sebabnya menyaksikan betapa gadis itu kena
didesak oleh Linggarsih, hatinya ikut menjadi panas.
Ingin sekali ia melompat dan menghantam kepala
Linggarsih sepuas-puasnya.
"Damayanti, tiga tahun yang lalu tatkala ayah
mengumpulkan semua murid-muridnya, untuk merundingkan siasat memotong perjalanan mundur
Pangeran Mangkubumi dari daerah Sukawati, kau tidak
menampakkan batang hidungmu. Dimana kau waktu itu
berada?" kata Linggarsih dengan suara ditekan.
"W aktu itu aku lagi sakit disuatu tempat, sehingga
tidak dapat hadir." jawab Damayanti dengan suara agak
merasa t akut. "Hmm," dengus Linggarsih dengan mulut mengulum
ejekan. "Ayah memang sangat sayang kepadamu.
Sehingga alasanmu tidak direntangnya panjang. Akan
tetapi aku mempunyai pendapat lain. Baiklah aku akan
membatasi diri t idak mengajukan sebuah pertanyaan lagi
kepadamu. Tetapi asal saja engkau sekarang membutakan mata kiri pendeta iblis itu ! "
Damayant i menundukkan kepalanya. Tampaklah ia
berada dalam keadaan serba susah. Akhirnya dengan
suara perlahan ia berkata :
"Ayunda, benar-benarkan engkau memaksa diriku,
untuk melakukan pekerjaan hina ini?"
"Engkau mau menusuk atau t idak?" bentak Linggarsih
dengan suara kaku. "Sudahlah begini saja," ujar Damayant i dengan suara
mengalah. "Aku berjanji dan bersumpah kepadamu,
meskipun ayah hendak mengangkatku sebagai ahliwarisnya, aku t idak akan menerimanya."
"Apa kau bilang" Apa kau bilang" Bagus sekali!"
berteriak Linggarsih dengan muka merah padam. Ia
nampak makin mendongkol dan gusar bukan main.
Meneruskan dengan kata-kata sengit :
"Jadi engkau mengira aku beririhati kepadamu" Heh!
Apanya yang kuirikan" Apakah karena engkau diangkat
menjadi ahliwaris ayah" Sekalipun aku ini bukan anak
kandungnya, akan tetapi bila aku mau dengan sepatah
kataku akan bisa menggugurkan kedudukanmu. Hayo,
kau mau mencukil mata kiri iblis itu atau tidak?"
Damayant i nampaknya tidak sudi melayani lagi. Ia
memutar tubuhnya dengan sekonyong konyong. Terus
melarikan diri. Akan tetapi Linggarsih sudah menduga
demikian. Cepat ia mencegat dengan pedang dilantangkan didepan dadanya. Katanya pula :
"Aku tadi sudah bilang. Lebih baik k au t usuk mata kiri
iblis itu! Kalau engkau menolak, pastilah rahasiamu akan
kubeber dengan terus-terang didepan para pendekar
gagah ini. Baiklah. Karena engkau terus menerus
membangkang, maka terpaksalah aku bertanya kepadamu. Sudah beberapa kali engkau selalu meninggalkan kota dan masuk kedaerah pedalaman.
Ternyata engkau mengadakan pertemuan rahasia
dengan seorang pemuda gagah-manis dan ganteng. Dan
pemuda itu bernama Pramusint a. Bukankah begitu"
Semua orang tahu siapakah Pramusint a itu. Dialah budak
dalam Mangkubumi. Akh, rupanya selain engkau
berhubungan dengan antek-antek Mangkubumi, engkaupun mengadakan hubungan istimewa yang mesra
sekali. Bukankah demikian nona manis" Uah, sedap
sekali ..." Mendengar kata-kata Linggarsih, tak dapat lagi
Damayant i menyabarkan diri. Terus saja ia mengibaskan
pedangnya sambil membentak :
"Minggir!" Akan tetapi Linggarsih tak mengacuhkan. Dengan
ujung pedang menuding kedadanya, ia membentak lagi :
"Damayanti, akh sayang. Semua orang mengira bahwa
Damayant i seorang puteri yang suci dan bersih. Tak
tahunya setelah berhubungan dengan salah seorang
penghianat pengikut Mangkubumi, tiba-tiba mengandung
dan melahirkan hubungan diluar perkawinan. Sayang
sekali!" Ucapan Linggarsih itu bagaikan bumi t er-goncang oleh
suatu gempa. Tidak hanya Damayant i saja yang t erkejut,
tetapi semua orang yang mendengar tercekat hatinya.
Benarkah tuduhan linggarsih yang keji itu"
0odwo0 Usia Lingga W isnu belum duabelas tahun penuh.
Delapan atau sepuluh tahun ia berada di Jawa Barat.
Tidak mengherankan, ia asing dalam persoalan negara.
Tetapi andaikata d iapun berada di Jawa Tengah, belum
tentu dapat mengikuti apa yang terjadi didalam
pemerint ahan Susuhunan. Tegasnya, sama sekali ia but a
terhadap pertentangan antara Paku Buwana II dan Patih
Pringgalaya d isatu pihak, dengan Pangeran Mangkubumi.
Kala itu belum dapat ia menerima tuduhan Linggarsih
terhadap Damayant i yang menyatakan bahwa gadis itu
seorang penghianat. Seumpama Damayant i benar-benar
seorang penghianat, iapun belum dapat mengadili bahwa
perbuatannya itu suatu kesalahan besar. Sebaliknya yang
terasa didalam hati ialah t uduhan Linggarsih yang kedua,
yaitu bahwa Damayant i pernah melahirkan seorang bayi
diluar perkawinan. Ia ikut tersakit hati karena Damayanti
berkesan baik terhadapnya.
Meskipun belum pernah berbicara dengan Damayant i
sepatah katapun juga, akan tetapi tatkala gadis itu naik
ke atas gunung Lawu, ia bersikap lunak.
Lingga W isnu selalu menjungjung tinggi nilai budipakerti diatas segala-galanya.
Hal itu disebabkan pengalaman hidupnya. Selama delapan tahun, terusmenerus ia dikejar bahaya.
Didalam keadaan terjepit,
serinokali ia memanjatkan doa kepada Tuhan agar
menurunkan pertolongan. Maka apabila dalam keadaan
demikian ia memperoleh pertolongan dari seseorang, ia
sangat berterima kasih sampai ke dasar hatinya.
Sementara itu pikirnya didalam hati :
"Benarkah Damayant i berhubungan dengan seorang
laki-laki diluar perkawinan dan kemudian sampai
melahirkan anak?" Sudah barang tentu seorang bocah berusia belasan
tahun belum mengenal masalah penghidupan laki-laki
dan perempuan. Ia hanya bisa me rasakan secara
naluriah belaka, bahw a kejadian demikian itu sangat
tercela. Akan tetapi apabila mengingat kesan baiknya
terhadap Damayant i, ia membantah segala tuduhan
Linggarsih didalam hati. Karena tak dapat mengambil
suatu sikap, ia jadi bingung sendiri. Akan tetapi
sesungguhnya yang menjadi bingung dan heran tidak
hanya Lingga W isnu seorang. Bahkan Mayangseta yang
sudah kenyang makan garam, Aruji dan yang lain
demikian pula. Tatkala itu wajah Damayant i nampak pucat. Dengan
membungkam mulut ia menerjang kedepan dengan
maksud hendak meninggalkan persoalan. Sama sekali t ak
terduga bahwa ancaman Linggarsih bukan merupakan
gertakan belaka. Dengan sungguh-sungguh ia menggerakkan pedangnya menikam lengan kanan
Damayant i. Cret! Hebat tikaman itu, sampai menembus
ketulang. Kena tikaman tak terduga itu, Damayant i kehilangan
kesabarannya. Tangan kirinya segera meloloskan
pedang. Katanya mengancam :
"Ayunda! Jika terlalu mendesak, jangan persalahkan
aku sampai berani melawanmu!"
Semenjak tadi Linggarsih sadar akan perbuatannya. Ia
sudah terlanjur membuka rahasia adiknya d idepan
umum. Dan seseorang yang telah kena bongkar
rahasianya didepan umum pastilah akan membunuh
sipenuduh untuk menghilangkan saksi. Tentu saja pakerti
demikian itu diukur dengan cara berpikirnya sendiri. Ia
tahu, ilmu kepandaian Damayant i berada diatasnya.
Itulah sebabnya selagi Damayant i tidak berjaga-jaga, ia
menikam lengan kanannya. Setelah berhasil melukai
lengan Damayant i, ia menikam lagi ampat kali berturutturut dengan tertawa
menang. Memang, ilmu kepandaian Damayanti menang
set ingkat dengan Linggarsih. Akan tetapi lengan
kanannya telah tertikam. Maka terpaksa ia membela diri
dengan tangan kirinya. Menghadapi serangan Linggarsih
yang kejam itu, hati Damayanti tercekat. Dengan
memusatkan seluruh kepandaiannya segera ia memper
tahankan diri dan menyerang. Lantas terjadi dengan
cepat sekali, dalam, sekejab mata saja telah berlangsung
dua puluh jurus lebih. Mereka yang menonton, kecuali Lingga W isnu adalah
pendekar-pendekar terkemuka.
Diam-diam mereka kagum menyaksikan ilmu pedang Damayant i dan
Linggarsih. Pikir mereka dengan berbareng :
'A kh, benar-benar aliran Parwati bukan nama kosong
belaka. Pantaslah ilmu pedangnya merupakan mercu
suar unt uk Jawa Tengah.'
Sebagai pendekar-pendekar terkemuka, sudah barang
tentu mereka tahu belaka, bahaya yang saling
mengancam mereka berdua. Akan tetapi mereka semua
terluka parah sehingga t ak dapat berdaya untuk melerai.
Juga merekapun tak dapat membantu salah seorangnya.
Dan terpaksalah me reka hanya menyaksikan belaka
dengan mata terbelalak. Kedua saudara seperguruan itu mengenal akan
kepandaian masing-masing. Pada saat menyerang dan
bertahan mereka bergerak sangat cepat dan gesit. Maka
tak mengherankan pertarungan mereka makin lama
makin menjadi seru. Sayang, lengan kanan Damayanti
terluka dan mengalir darah terus. Makin ia menggerakkan pedangnya, darah makin mengucur
deras. Sadar akan kelemahannya itu, ia bermaksud
mendesak Linggarsih ke pinggir. Setelah itu ia bermaksud
meninggalkan gelanggang secepat mungkin. Akan t etapi
karena ia terpaksa menggunakan lengan kirinya, apalagi
sudah terluka, kemampuannya menggerakkan pedang
tinggal sebagian saja. Bahwasanya sudah sekian jurus lamanya masih belum
tertikam lagi, adalah karena Linggar-sih masih segan
terhadapnya. Tak berani ia terlalu mendesak, karena
takut adiknya itu masih mempunyai simpanan tipu
muslihat yang belum diketahuinya. Dalam usahanya
untuk memenangkan pertarungan itu, ia melibat
Damayant i terus-menerus agar menjadi letih karena


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darahnya terus keluar dengan sangat derasnya.
Apabila Damayant i kehilangan darah terlalu banyak,
pasti ia akan roboh dengan sendirinya.
Perhitungan itu memang benar belaka. Beberapa saat
kemudian langkah kaki Damayant i kelihatan tak tetap
lagi. Gerakan pedangnya mulai kacau. Teranglah sudah
bahw a ia tak tahan lagi. Menyaksikan hal itu Linggarsih
girang bukan kepalang. Dengan penuh semangat ia
melancarkan serangan-serangan berangkai. Yang dibidik
adalah lengan kanan Damayant i yang berlumuran darah.
Karuan saja Damayanti sangat sukar mempertahankan
diri. "Nona Damayant i!" tiba-tiba Mayangseta berteriak.
"Silahkan butakan saja mataku! Terima kasihku tak
terhingga kepadamu!"
Betapa sulit kedudukan Damayant i dapat disadari
Mayangseta. Karena membela dirinya maka Damayanti
terpaksa menerima fitnah yang menodai namanya
sebagai seorang gadis yang suci bersih. Akan tetapi
meskipun Damayant i meluluskan permint aan Mayangseta
untuk membutakan matanya, pastilah Linggarsih tidak
akan mengampuni juga. Dan menyaksikan gerakan pedang Linggarsih yang
makin lama makin keji dan tak kenal ampun itu,
Mayangseta menjadi gusar. Dengan suara menggeledek
ia memaki kalang kabut : "Hei Linggarsih! Kau perempuan tak tahu malu! Pantas
saja orang-orang gagah menyebutmu sebagai sundal!
Sekarang dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan betapa keji dan kejam hatimu, melebihi ular
berbisa. Mukamu jelek, persegi dan kasar. Untunglah
wanita di seluruh dunia in i tiada yang mirip dengan
mukamu yang persegi itu. Seumpama demikian, pastilah
laki-laki diseluruh muka bumi rela menjadi pendeta
terkebiri. Ha-ha-ha!"
Padahal wajah Linggarsih meskipun belum terhitung
cant ik, akan tetapi lumayan juga. Namun Mayangseta
yang sudah kenyang makan baram, mengetahui
kelemahan jiwa wanita pada umumnya. Tak peduli dia
cant ik atau memang jelek wajahnya, apabila kena maki
demikian pastilah akan timbul dengkinya. Ia berharap,
terdorong oleh rasa gusar dan dengki itu, Linggarsih
akan mengalihkan perhatian kepadanya. Dalam keadaan
kalap gadis kejam itu pasti akan membunuhnya. Dengan
demikian Damayant i memperoleh kesempatan untuk
melarikan, diri atau set idaknya bisa membalut lukanya
terlebih dahulu. Sama sekali tak terduga, bahwa Linggarsih bukan
gadis bodoh. Pada saat itu ia berpikir, bahw a yang
terpenting ialah membunuh Damayant i terlebih dahulu.
Bukanlah pendekar iblis yang jail mu lut itu sudah terluka
berat" Hendak lari kemana lagi dia" Itulah sebabnya ia
berlagak tuli dan tidak menggubris makian Mayangset a.
Akan tetapi Mayangseta bukan sembarang pendekar.
Selain gagah, ia licin pula. Merasa pan cingnya yang
pertama gagal, segera ia berseru lantang :
"Damayanti terkenal sebagai seorang gadis sucibersih. Sebaliknya tidak demikian
dengan nona Linggarsih yang bermuka persegi dan berbulu itu. Dialah
seorang sundal benar-benar. Sadar bahw a kini umurnya
sudah duapuluh delapan t ahun, hatinya menjadi ciut dan
takut pada masa depannya. Maka setiap kali bertemu
dengan laki-laki, ia segera berusaha memancingnya dan
menjilatnya. Demikian pula terhadap pendekar Panjalu
anak murid Kyahi B asaman yang t ermashur itu. Biasanya
dengan menawarkan tubuhnya yang berbuluh itu tiap
laki-laki iseng menerima tawarannya. Tetapi kali ini ia
menumbuk batu. Pendekar Panjalu tidak menggubris.
Bahkan menolak dengan kasar. Nona Linggarsih yang
cant ik manis lant as cemburu terhadap nona Damayant i
yang berhati suci-bersih. Maka ia hendak membunuhnya!
Eh, nona Linggarsih yang cant ik manis bermuka persegi
dan berbulu! Cobalah, sekali-kali engkau bercermin yang
terang! Lihat yang terlihat dengan kedua matamu!
Bukankah selain wajahmu persegi juga berbulu dan
hitam seperti serabi hangus" Ha-ha-ha!"
Mendengar ejekan dan olok-olok Mayangseta benarbenar dada Linggarsih hampir-
hampir meledak. Oleh rasa
gusar, tubuhnya sampai bergetar tetapi masih saja ia
berusaha menguasai diri. Sebaliknya mata Mayangseta
yang berpengalaman segera mengetahui hal itu. Terus
saja ia mementang mulutnya lagi dan berpidato kepada
para pendekar yang berada dikiri-kanannya. Serunya
lantang : "Saudara-saudara! Saudara t adi menyebut aku sebagai
iblis ! Memang aku in i iblis. Bahkan raja iblis.
Kegemaranku berpesta diant ara kaum wanita cantik.
Pada suatu hari, aku melihat nona Linggarsih yang
bermuka persegi dan berbulu itu lagi memancing
pendekar Panjalu. Dengan mata kepalaku sendiri aku
melihat betapa ia sakit hati tatkala ditolak pendekar
Panjalu. Dengan uring-uringan ia menghunus pedangnya
dan memanjangkan langkah hendak mencari nona
Damayanti untuk melampiaskan rasa sesalnya. Karena
uring-uringan ia kurang waspada. Didekat t ikungan jalan
ia kusergap dari belakang. Kemudian kuperkosa sampai
ampatkali berturut-turut. Ha-ha-ha! "
Tentu saja olok-olok Mayangseta itu bualan kosong
belaka. Akan tetapi keterlaluan. Betapa cerdik dan sabar
seseorang, pasti akan meledak dadanya begitu
mendengar olok-olok yang beracun itu. Demikian pula
Linggarsih. Dengan menjerit tinggi ia meninggalkan
Damayant i dan melompat menikamkan pedangnya
kemulut Mayangseta yang jahil itu.
Melihat Linggarsih keluar gelanggang, masih sempat
Mayangseta tertawa syukur. Memang itulah harapannya.
Dengan demikian ia memberi kesempatan kepada
Damayant i untuk melarikan diri atau membalut terlebih
dahulu untuk mengadakan balasan. Itulah sebabnya ia
menunggu ujung pedang Linggarsih dengan dada
terbuka dan hati ikhlas. Hanya saja pada saat itu
peristiwa di luar dugaan siapapun.
Dari rumpun belukar melompatlah seorang secepat
kilat sambil membentak nyaring Perawakan tubuhnya
pendek-bulat. Ia menghadang di depan Mayangseta
menunggu datangnya tikaman. Oleh gerakannya yang
cepat dan datangnya tidak terduga, Linggarsih tak dapat
membatalkan tikamannya. Dengan cepat sekali pedangnya menikam dan menancap di jidat orang itu.
Pada detik bersamaan, orang berperawakan pendekbulat itupun melontarkan pukulan
yang tepat mengenai dada Linggarsih. Bluk! Tanpa ampun lagi Linggarsih,
terpental dan terbanting ditanah dan melontakkan darah
segar. Dan dengan berbareng pula orang itu roboh
ketanah berkelojotan. Pedang Linggarsih masih menancap dijidatnya. "Kumambang! Hei, bukankah dia Kumambang!" t eriak
Mukmin, Gobyok dan Carakan dengan berbareng.
Memang benar. Orang berperawakan pendek-bulat itu
Kumambang, bidal Mayangset a yang setia.
Semenjak tadi ia bersembunyi dibelakang-belakang
belukar menyaksikan gurunya dikeroyok delapan orang.
Ia percaya, gurunya pasti bisa memenangkan pertempuran itu. T atkala gurunya terluka parah, hampir
saja ia keluar dari persembunyiannya. Tetapi ia melihat
perkembangan baru tatkala Damayant i bertempur
melawan kakak angkatnya. Ia menunggu. Dan begitu
gurunya dalam ancaman bahaya, dengan cepat ia keluar
dan mewakili menerima tusukan pedang Linggarsih.
W alaupun ilmu kepandaiannya terpaut jauh dengan
gurunya, akan tetapi ia memiliki pukulan dahsyat. Begitu
mengenai dada Linggarsih, beberapa t ulang iga gadis itu
patah. Setelah menenangkan diri, Damayant i mencobek kain
bajunya dan membalut luka di lengannya. Kemudian
menolorg melepaskan tali pengikat Mayangseta pada
kaki-tangannya. Dan tanpa berkata sepatahpun ia
memutar tubuhnya hendak pergi.
"Nant i dulu, nona Damayant i! Terimalah hormatku!"
seru Mayangseta sambil membuat sembah.
Cepat Damayant i mengelakkan sembah Mayangset a.
Pendekar Mayangseta lalu memungut pedang Lemah Ijo
yang tadi jatuh ketanah. Katanya :
"Linggarsih ini memfitnah namamu yang suci bersih.
Karena itu tidak ia dibiarkan hidup terus!" Setelah
berkata demikian pedangnya lantas menusuk leher
Linggarsih. Tetapi dengan cepat Damayanti menangkisnya. Katanya : "Dia kakak angkatku. Meskipun budinya t ercela, tetapi
aku t ak sampai hati menghianati-nya."
"Urusan sudah begitu jauh. Kalau dia tak dibunuh,
dikemudian hari pasti akan merugikan nama pribadi
nona," ujar Mayangseta.
Damayant i mengucurkan air mata. Sahutnya:
"Aku memang gadis malang. Mungkin pula bakal
membawa alamat jelek. Biarlah aku menerima nasibku.
Paman Mayangset a, jangan engkau mencelakainya."
Mayangseta menghela napas. Berkata :
"Baiklah, jika memang demikian keinginannya. Aku
akan mematuhi." "Ayunda," kata Damayanti dengan suara terharu
kepada Linggarsih. "Harap engkau menjaga dirimu baik-
baik." set elah berkata demikian ia memasukkan
pedangnya kedalam sarungnya. Kemudian meninggalkan
gelanggang pertempuran dengan seorang diri.
Apabila Damayanti hilang dari penglihatan, Mayangseta berkata kepada sekalian pendekar yang
mengeroyoknya. Katanya dengan suara tegas:
"Aku Mayangseta, sebenarnya tiada mempunyai
permusuhan kepada kalian. Seumpama pendekar
Udayana hidup kembali, beliaupun tidak akan menaruh
dendam kepada kalian. Sebab beliau tahu bahw a kalian
hanya begundal-begundal belaka. Akan tetapi pada
malam ini kalian mendengar perempuan Linggarsih itu
memfitnah nona Damayant i begitu keji. Kalau hal itu
kalian siarkan, nasib nona Damayant i yang berhati suci
bersih bakal menjadi gelap di kemudian hari. Itulah sebabnya, terpaksa aku
meniadakan saksi-saksi hidup. Aku
mohon maaf kepada kalian. Kelak apa bila kalian
menghadapi malaikat-malaikat yang akan menghantarkan kalian kesorga, tolong katakan kepadanya, bahwa aku membunuh kalian karena
terpaksa saja." Setelah selesai berkata demikian ia tidak menunggu
reaksi mereka seorang demi seorang di bunuhnya
dengan tangannya sendiri. Setelah itu ia menghampiri
Linggarsih. Dan wajah Linggarsih digarisnya dengan
ujung pedang lima sampai tujuh kali. Dengan demikian
wajah Linggarsih yang tadinya agak lumayan kini
menjadi cacad seumur hidupnya. Hati gadis itu hampirhampir pecah tetapi dalam
keadaan luka parah tak dapat
ia mengadakan perlawanan. Ia hanya bisa memaki
kalang kabut . Serunya lantang :
"Bangsat gundul! Janganlah engkau menyiksaku cara
begini. Kalau mau bunuh, bunuhlah aku segera!"
Mayangseta tertawa lebar. Sahutnya :
"He-he-he! Perempuan jelek semacammu ini, set anpun enggan mendekati. Sebaliknya kalau kini
engkau kubunuh, humm. Mungkin setan setan jahat dan
roh roh yang tidak karuan dosanya akan lari kalang kabut
karena ketakutan melihat tampangmu. Boleh jadi
malaikat Jibril akan lari ketakutan pula!"
Berkata demikian ia tertawa gelak beberapa kali.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kemudian melemparkan pedangnya dan mendukung
jenazah Kumambang. Setelah menangis menggerung
beberapa saat lamanya, dengan mendukung jenazah
Kumambang ia berjalan perlahan-lahan meninggalkan
gelanggang pertarungan. Linggarsih berusaha menolong diri. Dengan napas
memburu ia mencoba merayap bangun. Dan dengan
bertongkat pedangnya ia berjalan perlahan-lahan
meninggalkan tempat itu. Pertarungan yang menggoncangkan hati itu mendebarkan jantung Aruji dan Lingga W isnu. Setelah
Linggarsih tiada nampak bayangannya lagi, barulah
mereka menghela napas lega.
"Abang!" kata.Lingga Wisnu kemudian. "Belum pernah
aku berbicara dengan bibi Damayanti. Aku hanya
melihatnya t atkala ia mendaki Gunung Lawu. Nampaknya
ia menaruh perhatian besar kepada pamanku Panjalu.
Apakah mereka berdua benar-benar pernah bertemu
dekat, aku tak tahu. Apa ... apakah menurut pendapatmu
benar-benar bibi Damayant i pernah melahirkan seorang
anak di luar perkawinan?"
"Hmm! Perempuan Linggarsih itu mengacau-balau tak
keruan. Janganlah engkau percayai" sahut Aruji.
Mendengar jawaban Aruji, hati Lingga W isnu
bergembira. Serunya : "Benar! Benar! Biar kelak kuadukan fitnah itu kepada
paman Panjalu, agar dihajarnya d ia. Aku benci pada
mulut nya yang kotor!"
"Jangan! Jangan!" cegah Aruji cepat. "Sekali-kali
jangan engkau ceritakan peristiwa ini karena bisa jadi
runyam malah!" "Apa sebab begitu?" tanya Lingga W isnu heran.
"Kata-kata kotor yang tak sedap didengar ini,
janganlah engkau ceritakan kepada siapapun juga!" ujar
Aruji. "Oh!" sahut Lingga W isnu. Meskipun dia baru berumur
belasan tahun tetapi otaknya sangat -cerdas. Setelah
berenung sejenak, segera ia berkata :
"Abang, apa abangpun merasa bahw a fitnah
perempuan busuk itu benar-benar terjadi" Tidak bukan?"
"Entahlah, aku sendiri t idak t ahu." sahut Aruji.
Setelah t erang tanah, jalan darah Aruji menjadi lancar
kembali. Ia segera menggendong Lingga W isnu
meneruskan perjalanan. Dengan perlahan-lahan ia
melint asi mayat-mayat yang bergelimpangan. Timbul ah
suatu pertanyaan besar dalam hatinya. Mereka
bertempur mati-matian karena persoalan seorang gadis
yang bernama Sudarawerti. Sesungguhnya apa latar
belakang gadis itu" Sebaliknya Lingga Wisnu yang berada digendongannya
berpikir pula. Katanya dalam hati dengan terharu :
'A yah-ibu sendiri belum tahu pasti tentang tongkat
mustika. Akan tetapi mereka bersedia mengorbankan
jiwa demi memperoleh keterangan tentang rahasia
tongkat mustika tersebut. Nampaknya tongkat mustika
itu merupakan sumber bencana, entah berapa orang lagi
yang akan mati bergelimpangan ..... '
Setelah beristirahat satu malam tanpa bergerak
didalam rimba, tenaga Aruji menjadi pulih kembali.
Langkahnya cekatan. Akan tetapi karena perjalanannya terpotong oleh kejadian semalam ia
menjadi tersesat. Tiba-tiba saja d ibawah bukit nampak
tergelar lembah ngarai yang berpen-duduk. Pikir Aruji
didalam hati : 'Paman Sarapada bertempat tinggal disebuah pertapaan bernama Mrepat Kepanasan. Tempatnya
sangat terpencil. Mengapa justru disini nampak tergelar
beberapa dusun" Apa aku tersesat"'
Aruji lant as memasuki perkampungan. Maksudnya
hendak mencari penduduk untuk mint a keterangan-.
Tiba-tiba ia mendengar suara derap kuda riuh
dibelakangnya. Ampat serdadu Belanda datang mengaburkan kudanya. Mereka bersenjata pedang dan
Playboy Dari Nanking 10 Bakti Pendekar Binal Karya Khu Lung Neraka Hitam 1
^