Pencarian

Pedang Sakti Tongkat Mustika 5

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Bagian 5


senapan. Terdengar mereka membentak:
"Hayo, pergi dari sini! Cepat ...!" sewaktu berada
duapuluh langkah dibelakang Aruji mereka mencabut
pedangnya dan mengancam punggung pemuda itu.
Diam-diam Aruji mengeluh dalam hati:
'Celaka! Baru saja lolos dari bahaya, kin i bertemu
dengan bencana lain lagi. Yang terancam bukan hanya
aku seorang, tetapi Lingga W isnu pula.'
Ia merasa ilmu kepandaiannya telah punah. Jangan
lagi bertempur melawan ampat orang, meskipun
menghadapi seorang, rasanya tidak mampu lagi. Maka
melihat ancaman bahaya itu, terpaksa ia menyerah kan
dirinya kepada nasib . Selagi meneruskan perjalanan dengan menyerahkan
diri kepada nasib, tiba-tiba ia melihat beberapa kompeni
Belanda mengganas terhadap penduduk kampung.
Melihat hal itu Aruji mempunyai setitik harapan. Katanya:
"Rupanya serdadu-serdadu Belanda itu sedang
mengumpulkan penduduk desa, dan tidak bermaksud
menangkap aku!" Tahulah Aruji apa sebab serdadu Belanda itu
mengumpulkan penduduk. Mereka hendak merampok
barang milik penduduk. Karena merasa diri tak mampu
melawan, segera Aruji menggabungkan diri dengan
penduduk yang dikumpulkan itu.
Sampai disimpang tiga ia melihat seorang perwira
Belanda memimpin serdadunya. Jumlah mereka kira-kira
enampuluh orang. Mereka semua menghunus pedang.
Perwira itu lantas berseru kepada semua penduduk
dengan lantangnya : "Hai! Kalian manusia atau binatang" Kalau kalian
manusia, lekas berlut ut dihadapan kami!"
Penduduk desa yang ketakutan itu segera mematuhi
perint ah tersebut. Mereka menjatuhkan diri berlut ut.
Melihat hal itu Lingga W isnu yang berpengalaman segera
membisiki t elinga Aruji :
"Abang, lekas lemparkan pedangmu! Pastilah serdadu
itu akan menggeledah mereka. Dan biasanya, siapa yang
bersenjata akan dibunuhnya."
Aruji seperti diingatkan. Segera ia berpura-pura
tergelint ir sambil melemparkan senjat anya kedalam
semak-belukar. Setelah itu dengan merintih ia berjalan
tertatih-tatih. "Hai, kau yang berberewok!" teriak perwira itu kepada
Aruji. "Mengapa engkau tidak berlut ut?"
Aruji seorang pemuda angkuh hat i. Meskipun ayannya
menjadi abdi Patih Pringgalaya, tetapi dia sendiri tidak.
Ia seorang pemuda yang hidup dengan bebas. Ia ikut
menjadi anggauta laskar Raden Mas Said. Dan Raden
Mas Said berada di pihak Pangeran Mangkubumi. Itulah
sebabnya terhadap kompeni Belanda ia benci tujuh
turunan! Sekarang ia mendengar perint ah agar berlut ut.
Karuan saja ia beront ak. Dalam hati ia sudah mengambil
keputusan, lebih baik mati dari pada berlut ut dihadapan
lawan. Melihat Aruji membangkang, seorang serdadu menghampiri dan mendupak lut utnya. Karena ilmu
kepandaian Aruji telah punah, ia roboh begitu kena
dupak serdadu itu. Dengan sendirinya ia jad i berlut ut.
"Kau siapa?" bentak serdadu itu.
"Kami berdua hidup mengemis. Ini abangku. Ia tuli.
Itu sebabnya ia tidak mendengar perint ah tuan." sahut
Lingga W isnu cepat. "Bangsat ! " bentaknya lagi. Kaki serdadu itu
dilayangkan, dan Aruji kena dupak untuk kedua kalinya.
Ia roboh terjungkal. Dengan sendirinya L ingga W isnu ikut
terbanting pula. Keruan saja Aruji gusar bukan main. Tetapi sadar
bahw a dirinya tak sanggup melawan, ia hanya dapat
memaki didalam hat i. Pada detik itu pula ia bersumpah :
'A ku bersumpah demi bumi dan langit, akan
menghabiskan set iap serdadu berserta begundalnya,
seorang demi seorang, sampai mereka lenyap dari muka
bumi. Kalau aku tak sanggup menghabiskan mereka, aku
bukan seorang laki-laki ! '
Karena mereka dianggap pengemis, maka Aruji dan
Lingga W isnu dapat melanjutkan perjalanannya. Selagi
mendekati bukit yang berada didepan dusun itu, tiba-tiba
mereka mendengar teriakan yang menyayatkan hati.
Ternyata penduduk kampung itu disembelih serdadu
Belanda seorang demi seorang.
Pada dewasa itu perjuangan Pangeran Mangkubumi
sangat termashur. Ia dibant u oleh sekalian penduduk Tak
mengherankan pihak Belanda mengalami kekalahan
total. Karena sudah tiga tahun lamanya tidak dapat
menangkap Pangeran Mangkubumi, maka Belanda
mencari biang keladi. Penduduk menjadi sasaran k ini.
Setiap kali mereka mengadakan perondaan, segera
mengumpulkan penduduk kampung dengan dalih hendak
mencari para gerilyawan. Apabila maksudnya tidak
tercapai, segera mereka mengadakan pembunuhan
masal. Menyaksikan hal itu, dendam dan rasa gusar Aruji k ian
membara. Ia mengeluh, mengapa menyaksikan peristiwa
demikian, justeru ilmu kepandaiannya dalam keadaan
punah. Seumpama ilmu kepandaiannya belum punah,
sudah semenjak tadi ia melabrak serdadu itu meskipun
jumlahnya cukup besar. Aruji memangnya seorang
pemuda yang gagah perkasa. Akan tetapi pada saat itu ia
merasa diri tidak berdaya. Itulah sebabnya setelah
mengeluh sambil membant ing kaki, ia lalu melanjutkan
perjalanan. Menjelang tengah hari ia bertemu dengan seorang
penebang kayu. Ia segera menghampiri dan mint a
keterangan dimanakah letak padepokan Mrepat Kepanasan, tempat tinggal pamannya Sarapada. Tetapi
penebang kayu itu menggelengkan kepalanya. Katanya:
"Selama hidupku belum pernah mendengar nama dusun
tersebut." Dan mendengar keterangan penebang kayu itu,
sejenak Aruji t ergugu. Tetapi ia yakin, bahwa padepokan
pamannya Sarapada tentu tidak jauh lagi. Dengan sabar
ia melanjutkan perjalanan kembali.
Pemandangan seberang-menyeberang jalan sangat
indah kini. Bunga-bunga sedang bermekaran dan
mahkot a dedaunan hijau meresapkan penglihatan.Tetapi
baik Aruji maupun Lingga W isnu masih belum b isa
melepaskan diri dari penglihatan yang disaksikan tadi.
Itulah penglihatan serdadu Belanda menyembelih
penduduk kampung. Karena itu, betapa mereka berdua dapat menikmati
pemandangan yang bagaimanapun indahnya. Kata anak
itu : "Abang, Padepokan pamanmu bernama Mrepat
Kepanasan. Kalau tidak salah, Mrepat Kepanasan adalah
lapangan perang para Dew a-dewa. Menurut cerita ibuku,
kahyangan itu sangatlah indahnya. Sekarang kita melihat
seberang-menyeberang jalan ini sangat indah pula.
Apakah tidak mungkin pamanmu itu bertempat tinggal
disekitar sin i?" Mendengar kata-kata Lingga W isnu, benar-benar Aruji
kagum. Pikirnya didalam hati:
'Sungguh, anak ini cerdas luar biasa! Me ngapa aku
tidak dapat berpikir demikian sejak t adi"'
Ia segera menyeberang kedalam gerombolan bunga.
Setelah berjalan selint asan, timbul ah set itik harapan.
Serunya kepada Lingga W isnu:
"Dugaanmu agaknya benar, adik. Bunga-bunga ini
seperti ada yang mengatur."
Dengan menuruti jalan pegunungan yang berliku-liku,
mereka menuju ke utara. Selagi melayangkan pandangnya, mereka melihat suatu tebing disebelah
barat. Disitu nampak seorang tua sedang mencangkul.
Mereka segera mendekati. Dengan sekali pandang,
tahulah mereka bahwa orang itu berusia hampir
mencapai limapuluh tahun. Perawakan tubuhnya jangkung kurus. Entah apa sebabnya melihat orang itu hati Lingga
W isnu berdebar-debar. Katanya didalam hati :
'Apakah dia yang bernama Ki Sarapada"'
Selagi hendak minta keterangan kepada Aruji, pemuda
itu telah menghampiri dan berkata dengan membungkuk
hormat : "Aku bernama Aruji. Dapatkah aku mohon petunjukmu" Jalan manakah yang harus kami tempuh,
agar dapat bertemu dengan t abib sakti Sarapada" Kami
berdua ingin bertemu untuk mohon pertolongan. "
Mendengar pertanyaan Aruji, tahulah Lingga W isnu,
bahw a orang itu bukan Ki Sarapada. Maka dengan penuh
perhatian ingin ia mendengar jawaban orang itu. Sama
sekali tak terduga, orang tua itu tetap menundukkan
kepalanya dan terus mencangkul. Beberapa kali Aruji
membuka mulutnya untuk mohon keterangan, akan
tetapi agaknya orang tua itu tuli.
Selagi Lingga Wisnu hendak membantu bertanya, tibatiba Aruji mencubit pahanya.
Maka ia segera membatalkan niatnya. Dan Aruji yang biasanya mudah
tersinggung, kali ini tidaklah demikian. Ia melanjutkan
berjalan dengan langkah sabar. Kira-kira satu kilometer
barulah ia berkata : "Adikku. Paman mempunyai tabiat yang aneh sekali.
Ia mempunyai murid dan pengikut yang setia. Dan t abiat
mereka mirip majikannya pula. Kita telah memasuki
wilayahnya, karena itu tiada boleh gegabah. Sekali kita
melanggar pantangnya, tiada lagi harapan. Sekarang
tiada jalan lagi selain mencari padepokan paman
Sarapada dengan menyerahkan nasib kepada Tuhan
Yang Maha Agung." Setelah menikung beberapa kali, tiba-tiba mereka
melihat sebidang taman bunga yang terpisah beberapa
puluh meter dari pinggir jalan. Ditengah ladang itu
tampak seorang gadis dusun mengenakan pakaian hijau
sedang merawat tanaman bunga sambil membungkuk.
Lingga W isnu berada diatas punggung Aruji. Karena
itu ia memperoleh penglihatan lebih luas dari pada Aruji.
Nampak gadis itu membelakangi tiga rumah atap berdiri
sejajar. Dan disekitar rumah itu sunyi-sepi.
Dengan masih menggendong Lingga W isnu, mereka
menghampiri gadis itu. Sambil membungkuk hormat ia
berkata : "Adik, eh, mbakyu. Bolehkah kami bertanya kepadamu" Jalan manakah yang harus kami tempuh
agar dapat bertemu dengan paman Sarapada?"
Gadis itu mengangkat kepalanya, memandang Aruji
dan Lingga W isnu dengan kedua matanya bersinar
tajam, sehingga membuat Aruji maupun Lingga W isnu
terkejut. 'A kh ! ' kata Lingga W isnu dan Aruji didalam hati.
'Mengapa sinar matanya begitu luar biasa" L ingga W isnu
menatap paras muka gadis itu. Dibandingkan dengan
Damayant i atau Linggarsih, gadis itu kalah cantik.
Kulitnya kering, kuning. Dan mukanya agak pucat
seperti kekurangan makan. Rambutnya jarang dan
berwarna agak kuning. Pundaknya tinggi dan tubuhnya
kurus. Hal itu menunjukkan bahwa dia seorang gadis
dusun yang miskin. Dilihat dari pandang muka gadis itu, kira-kira berumur
enambelas atau tujuhbelas tahun. Tetapi karena
tubuhnya kurus-kering dan kecil, nampaknya seperti
kanak-kanak berumur tigabelas atau empatbelas t ahun.
Meskipun demikian, oleh rasa hati-hati, Aruji tidak
berani berlaku sem-berono. Ia memanggil adik dan
mbakyu dengan berbareng, karena takut menyinggung
perasaannya. "Adik, eh mbakyu," ulang Aruji. "Numpang tanya,
dimanakah letak Mrepat Kepanasan" Apa kami harus ke
Timur atau ke Barat apa ke sebelah utara?"
Dengan suara dingin gadis itu menjawab:
"T ak tahu ! " setelah menjawab demikian, ia
menundukkan kepalanya lagi.
Melihat sikap yang agak sombong dan kasar itu, hati
Aruji mendongkol. Tetapi mengingat tempat itu sangat
berdekatan dengan

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mrepat Kepanasan, sedapatdapatnya ia menahan rasa mendongkol nya. Katanya
kepada Lingga W isnu : "Saudara kecil, hayolah kita berangkat. Mrepat
Kepanasan adalah sebuah pertapaan sangat terkenal.
Biar bagaimanapun juga kita pasti akan dapat mencari
sendiri." Tetapi Lingga W isnu tidak sependapat dengan Aruji.
Menimbang bahwa matahari sudah condong ke Barat, ia
harus menemukan petunjuk yang pasti. Rasanya akan
mengalami kejadian yang tidak enak apabila sampai
tersesat diwaktu malam hari. Maka dengan sabar ia
bertanya : "mBakyu, apa ayah dan ibumu ada dirumah" Mereka
tentu tahu jalan yang menuju ke Mrepat Kepanasan."
Akan tetapi gadis itu tetap saja tidak melayani. Ia
terus mencabuti rumput sambil menundukkan kepalanya.
Hati Aruji yang mudah tersinggung jadi semakin
panas. Dengan membuang muka ia melanjutkan
perjalanan. Hati Aruji t idak jahat, tetapi ia kasar.
Oleh rasa mendongkolnya ia berjalan menyeberang
taman bunga itu dan menginjak beberapa rumput
tetanaman. o))00oodwoo00((o Jilid 3 Menyaksikan hal itu buru-buru Lingga W isnu berseru :
"Abang, hati-hati!"
Oleh peringatan Lingga W isnu, Aruji tersadar akan
kesembronoannya. Cepat-cepat ia menghindarkan kakinya agar jangan sampai menginjak rumpun
tetanaman bunga didepannya.
"Adik kecil,gadis itu rupanya t uli! Buat apa kita bicara
berkepanjangan dengan dia" Hayolah berangkat !"
Sambil berkata demikian ia melompat ke pengempangan dan meneruskan perjalanan dengan
langkah panjang. Semenjak kanak-kanak Lingga W isnu hidup dalam
kemiskinan dan penuh bahaya. Itulah sebabnya hatinya
cepat menaruh iba terhadap orang orang miskin seperti
dirinya. Diperlakukan gadis itu dengan sikap dingin, ia
tidak menjadi gusar. Ia malah merasa iba kepadanya. Ia
menduga tanaman bunga itu merupakan mata pencarihan keluarga gad is itu. Maka tak hent inya ia
memberi peringatan kepada Aruji apabila kaki pemuda
itu hendak menginjak t anaman.
Tiba-tiba diluar dugaan, gadis itu mengangkat
kepalanya dan berseru : "Hai ! Unt uk apa kalian pergi ke Mrepat Kepanasan?"
Aruji menahan langkah kakinya dan menjawab :
"Saudaraku ini lumpuh t erkena racun. Karena itu kami
hendak menghadap beliau unt uk mohon pertolongan."
"Aku hanya pernah mendengar namanya saja. Tapi
belum pernah bertemu dengan orangnya." kata gadis itu.
"Apa engkau kenal dengannya?"
"Belum!" jawab Lingga W isnu diatas punggung Aruji
sambil memijit pundaknya.
Perlahan gadis itu menegakkan badannya dan
menatap wajah Lingga W isnu dengan sinar mata yang
sangat tajam. "Bagaimana engkau yakin bahwa dia sudi mengobati
dirimu?" tanyanya. W ajah Lingga W isnu lantas saja menjadi suram.
Jawabnya dengan berduka :
"Y a, sebenarnya akupun hanya main doa saja."
Setelah menjawab demikian, tanpa disadarinya Lingga
W isnu menghela napas. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk
benaknya. Pikirnya didalam hati :
'Gadis ini nampaknya kenal tabiat dan perangai tabib
sakti Sarapada. Kalau begitu, tentu padepokan Mrepat
Kepanasan tidak jauh lagi dari sini.'
Memperoleh pikiran demikian, segera ia bisiki Aruji
agar menghanpiri gadis itu lagi. Kemudian berkata
dengan hormat : "Itulah sebabnya aku mohon petunjukmu!"
Lingga W isnu adalah seorang bocah yang memiliki
ot ak cerdas luar biasa. Dengan istilah 'petunjuk' itu, ia
mempunyai dua maksud. Yang pertama mohon
keterangan kepada gadis itu dimana letak Mrepat
Kepanasan. Sedang yang kedua mohon petunjuk te ntang
cara-cara mengobati lukanya. Akan tetapi gadis itu tidak
menyahut. Dengan pandang tajam ia mengamati Aruji
berdua Lingga wisnu dari kaki sampai kekepalanya. Beberapa saat kemudian tiba-
tiba ia menuding dua buah
pasu berisi kotoran binatang.
Katanya memerint ah : "Disebelah sana ada kolam berisi kotoran binatang.
Ada beberapa pasu pula di tepinya. Penuhilah dua pasu
dengan kotoran binatang itu! Lalu siramlah t etanaman ini
dengan kotoran binatang itu!"
Setelah memberi perintah demikian, gadis itu
membungkuk lagi dan meneruskan pekerjaannya
menyabuti rumput. Baik Aruji maupun Lingga W isnu terkesiap hatinya.
Mereka berdua meskipun selisih umur tetapi memiliki
pengalaman h idup yang hebat. Seringkali mereka
menjumpai manusia-manusia dengan tabiat aneh. Akan
tetapi kata-kata gadis itu sangat aneh. Betapa tidak "
Gadis itu terang seorang dusun yang miskin. T etapi katakatanya seolah-olah
perint ah majikan terhadap kulinya.
Meskipun melarat, semenjak kanak-kanak baik Lingga
W isnu maupun Aruji belum pernah mengerjakan
pekerjaan menyiram tetanaman dengan kotoran binatang. Syukurlah Lingga W isnu seorang anak yana kenyang
digembleng pengalaman hidup pahit.
Setelah hilang kagetnya, dalam hati lantas saja timbul
rasa kasihan. Katanya didalam hati :
"Dia begitu kurus kering. Meskipun berkemauan besar,
betapa sanggup menyirami tetanaman bunga diseluruh
ladang ini dengan seorang diri."
Tepat pada saat itu ia melihat wajah Aruji merah
padam. Buru-buru ia berkata :
"Abang! Seorang laki-laki yang kuat menang harus
menolong yang lemah. Biarlah kita membantunya. "
"Kau berkata apa?" seru Aruji dengan mendongkol.
"Membantu dia!" sahut Lingga W isnu dengan tenang.
Tentu saja ARuji tahu maksud Lingga W isnu. Dialah
sesungguhnya yang disuruh membantu pekerjaan gadis
itu. Selama dalam perjalanan d ia merasakan kecerdikan
adik kecilnya ini. Maka sekali lagi ia percaya adiknya
mempunyai rencana tertentu. Maka dengan menggelengkan kepalanya ia menurunkan Lingga W isnu
keatas tanah. Kemudian dengan seorang diri ia mencari
kolam kotoran binatang. Setelah mengisi dua pasu penuh air kotoran binatang.
Aruji segera kembali dan menyirami tetanaman dengan
menggunakan gayung. Tetapi baru saja ia menyiram
satu, dua kali, tiba t iba gadis itu berseru :
"Salah! T erlalu kent al! Bunganya lant as bisa layu nanti
....... " Menuruti t abiatnya, Aruji pasti akan mendamprat gadis
itu, yang berani menegornya demikian. Akan tetapi
mengingat bahwa Lingga W isnu mempunyai rencana
tertentu, ia menguasai gejolak hatinya sedapat mungkin.
Justru demikian ia menjadi tertegun. Sejenak kemudian
ia mengerling kepada Lingga W isnu.
Bocah itu memberi isyarat agar patuh. Oleh isyarat itu
ia segera balik lagi kekolam dan melakukan perintah si
gadis dusun. Selagi hendak menyiram tetanaman, lagilagi gadis itu menegur :
"Awas, jangan sampai daun dan bunganya kena
tersiram!" Dengan sikap mengalah Aruji menyahut :
"Baik!" Setelah berkata demikian, ia me nyiram tetanaman itu
dengan hati-hati. Justru demikian, ia dapat memperhatikan warna bunga itu. Bentuknya sedang.
W arnanya biru t ua dan harum luar biasa. Bunga apa itu"
Selama hidupnya belum pernah ia melihat. Tak lama
kemudian kedua pasunya telah kosong kembali.
"Bagus!" kata gadis dusun itu. "Coba tolong satu pikul
lagi!" Mendengar perint ah itu, Lingga W isnu yang duduk
dipengempangan berseru dengan suara halus :
"Sahabatku itu harus segera berangkat. Malam ini juga
kita harus menghadap tabib sakti Sarapada. Baiklah
begini saja. Sepulang kami dari Mrepat Kepanasan, kami
akan singgah kembali untuk membantumu ! "
"Lebih baik kalian t inggal saja disin i menyiram bunga!"
kata gadis itu. "Karena kulihat kalian berdua baik-baik,
maka aku mint a agar kalian menyiram tetanamanku."
Mendengar alasan gadis itu, baik Aruji maupun Lingga
W isnu makin menjadi heran. Mereka berdua saling
memandang. Lingga W isnu konribali memberi isyarat.
Dan pada saat itu Aruji berpikir dalam hati :
'Apa boleh buat. Sudah terlanjut membantu maka
harus membantu sampai selesai,' Demikianlah ia memikul
dua pasu berisi air kotoran binatang dan dengan telaten
ia menyiram tetanaman bunga diseluruh ladang.
Dalam pada itu matahari telah turun dibalik gunung.
Sinarnya yang kuning ke emasan masih menyoroti bungabunga bir itu, sehingga
memberikan penglihatan yang
indah sekali. Aruji seorang pemuda kasar. Tetapi melihat
keindahan itu didalam hati ia berkata: 'Benar-benar indah
bunga ini.' Dalam pada itu Lingga W isnu yang duduk dipengempangan berseru lagi kepada gadis dusun itu :
"Ayunda! Sekarang perkenankan kami meneruskan
perjalanan." Sambil berkata demikian, ia menatap w ajah
gadis itu dengan pandang mohon belas kasihan.
Mendadak saja wajah gadis itu berubah angker.
Katanya tegas : "Kalian telah membantuku. Kalianpun mint a petunjukku, bukan?" Mendengar perkataan gadis dusun itu, Aruji dan
Lingga W isnu berkata didalam hati :
'Memang ! Memang aku membutuhkan petunjukmu.
Akan tetapi bantuan menyirami tanamanmu in i terbersit
dari hati, menaruh belas kasihan kepadamu. Sudahlah!
Rasanya jika kini mohon bantuannya agar menunjukkan
tempat Sarapada, agaknya seperti orang menagih
hutang.' Pada saat itu Aruji tertawa lebar. Katanya :
"Akh, indah benar bungamu ini." Setelah berkata
demikian, pemuda berewok itu menghampiri Lingga
W isnu. Selagi hendak meneruskan perjalanan dengan
menggendong Lingga W isnu, t iba- tiba gadis itu berseru
memanggil : "T ahan!" Aruji mulai tak sabar. Dengan pandang gelisah ia
menatap gadis dusun itu. Ia melihat gadis tersebut
membungkuk memetik dua kuntum bunga. Katanya :
"Kau tadi berkata, bunga ini indah sekali. Nah, kuberi
kalian dua tangkai bungai" Setelah berkata demikian, ia
memberikan dua t angkai bunga itu.
"Terima kasih!" kata Aruji dan Lingga W isnu. Dengan
isyarat Lingga W isnu, Aruji membungkuk dan dimasukkan kedalam sakunya.
"Sebetulnya siapa nama kalian?" tanya gadis dusun
itu.

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku Lingga W isnu, dan kakaku ini Aruji." Jawab
Lingga W isnu. Gadis dusun itu mengangguk dan berkata lagi :
"Jika kalian hendak ke Mrepat Kepanasan, lebih baik
ambil jalan mengarah ke Timur Laut!"
Sebenarnya dalam hati Aruji mendongkol kepada gadis
itu. Tetapi begitu mendengar petunjuknya, lantas saja
hilang. Bisiknya kepada Lingga W isnu sambil t ertawa :
"Adik, benar-benar engkau bisa memandang jauh.
Coba, kalau aku t adi menuruti kekasaranku, pastilah aku
akan tersesat dipinggang Gunung Merapi ini."
Tapi sebaliknya, hati Lingga W isnu bercuriga. Pikirnya
didalam hati: 'J ika pertapaan Ki Sarapada berada
disebelah T imur Laut, sebenarnya ia dapat menerangkan
dengan tegas. Kenapa menggunakan kata-kata: lebih
baik mengambil jalan ke T imur Laut"'
Lingga W isnu meskipun baru berumur belasan tahun,
akan tetapi pengalamannya terhadap manusia lebih
banyak dari pada Aruji. Maklum lah selama delapan t ahun
ia d ikejar musuh musuh ayah dan ibunya t erus-menerus.
Dan semua musuh musuh itu seringkali menggunakan
tipu muslihat berupa jebakan tertentu.
Karena itu set iap kali hendak mengambil keputusan,
keluarganya dipaksa untuk memecahkan teka-teki atau
menduga-duga tata muslihat law an terlebih dahulu. Akan
tetapi ini kali meskipun dia menaruh curiga, namun
segan mendesak lebih jauh lagi. Segera ia memberi
isyarat kepada Aruji agar meneruskan perjalanan.
Baru saja mereka melint asi gundukan tanah tinggi,
dihadapannya menghadang sebuah telaga yang sangat
luas. Jalan satu-satunya yang nampak didepan matanya
mengarah ke jurusan Barat. Dengan demikian petunjuk
gadis dusun tadi sangat bertentangan.
"Kurang ajar perempuan itu!" maki Aruji. "Kalau tak
sudi memberi petunjuk, sebenarnya kita juga tak akan
memaksa. Biarlah! Kalau kelak kita lewat didusunnya
lagi, aku akan menghajarnya!"
Lingga W isnu pun merasa heran. Baik Aruji maupun
dirinya, tadi telah berbuat baik terhadap gadis itu. Apa
sebab balasannya demikian buruk"
"Abang," kata Lingga W isnu. "Kurasa perempuan itu
mempunyai hubungan dengan ki Sarapada, atau
mungkin pula sanaknya."
"Apa engkau melihat tanda-tanda yang mencurigakan?" sahut A ruji.
"Kedua matanya bersinar luar b iasa." kata Lingga
W isnu pula. "Aku merasa bahw a ia bukan seorang
perempuan dusun yang belum pernah melihat dunia."
"Benar!" kata Aruji mengamini. "Kalau begitu
kubuangnya saja dua t angkai bunga pemberiannya ini."
Aruji segera mengeluarkan dua tangkai bunga dari
sakunya. Melihat bunga itu berwarna sangat indah,
Lingga W isnu merasa sayang. Katanya :
"Perempuan itu memang patut kita sesali. Akan tetapi
bunga pemberiannya ini sangat indah. Belum tentu
bunga ini akan mencelakan kita." Setelah berkata
demikian, ia mengambil dua tangkai bunga itu dari
tangan Aruji dan dimasuk kannya kedalam kantongnya
sendiri. Kemudian memberi isyarat kepada Aruji agar
meneruskan jalan menuju ke Barat.
"Hai, hati-hati sedikit! Jalan ini nampaknya licin
sekali!" ia memberi ingat dari punggung Aruji. Tetapi
Aruji nampaknya sudah uring-uringan karena mendongkol terhadap gadis dusun tadi. Ia berjalan
dengan langkah panjang. Makin lama makin cepat.
W aktu itu magrib telah tiba. Semenjak tadi hati
mereka sudah khawatir. Pada siang hari, meskipun
andaikata perjalanan sangat berbahaya, semuanya dapat
dilihat dengan terang-benderang. Sebaliknya, apabila
malam hari tiba, suasana alam menjadi gelap-pekat.
Teringat pengalamannya kemarin malam, hati mereka
makin menjadi berdebaran. Setelah berjalan setengah jam lagi, suasana alam berubah dengan mendadak. Pohon-pohon dan rumput-rumput yang tumbuh dikiri dan kanan jalan makin berkurang. Akhirnya mereka tiba pada suatu tempat yang gundul sama sekali. Dan melihat pemandangan demikian, jant ung Lingga
W isnu maupun Aruji memukul keras. Kata Lingga W isnu
dengan suara cemas : "Abang, coba lihat! Selembar rumputpun tiada tampak
tumbuh disini. Sungquh mengherankan!"
"Benar," jawab Aruji. "Andaikata semua tumbuhtumbuhan yang berada disin i
dibabat manusia, set idaknya masih nampak bekas bekasnya. Janganjangan inilah akibat tanah
gamping atau lahar Gunung
Merapi ..." Ia tidak menyelesaikan perkataannya
sebaliknya set elah berdiam sejenak ia berbisik kepada
Lingga W isnu : "Sesungguhnya adikku, belum pernah aku singgah
dirumah paman Sarapada. Tetapi aku yakin bahw a
padepokan paman Sarapada sudah berada dekat sekali.
Mungkin dialah yang menebari racun, hingga tanah disini
tidak dapat ditumbuhi rumputpun."
Lingga W isnu mengangguk. Teringat kelumpuhan
jasman inya d isebabkan karena racun pula, ia menjadi
ketakutan begitu mendengar kata-kata racun. Tiba-tiba
saja ia mengeluarkan dua saput angan. Setelah menutupi
pernapasannya dengan saputangan itu, ia memberikan
saputangan lain nya kepada Aruji.
Katanya : "Kau t utuplah hidungmu dengan saputangan. Mungkin
sekali d isini kita akan menghisap asap beracun. Kalau
abang mempunyai sehelai kain panjang, bebatlah kedua
kakimu agar tidak menginjak tenpat-tempat yang
beracun." Aruji mendengarkan peringatan Lingga W isnu dengan
perasaan kagum. Ia memuji sikap hati-hati adiknya itu.
Segera ia menutupi pernapasannya dengan sehelai
saputangan pemberian Lingga W isnu. Kemudian melepaskan ikat pinggangnya dan dibebatkan pada
kedua kakinya. Dengan waspada mereka melanjutkan perjalanan. Tak
lama kemudian kembali mereka melihat sebuah
bangunan atau sebuah rumah yang bentuknya aneh
sekali. Rumah itu seperti kuburan besar tanpa pintu dan
tanpa jendela. Sedang w arnanya hitam mulus, sehingga
kelihatannya menyeramkan sekali. Sepuluh meter
disekitar rumah itu berdiri pohon-pohon pendek yang
daunnya berwarna merah darah.
Aruji seorang pemuda yang tak pernah mengenal
takut menghadapi segala kejadian yang menyeramkan.
Pengalamannya pun banyak sekali. Seringkali ia
menghadapi lawan yang bersenjata racun jahat. DAn
kerapkali pula ia melint asi wilayah-wilayah yang
berbahaya. Akan tetapi pada saat itu dia yang
mempunyai keberanian besar, tak urung mengeluarkan
keringat dingin juga, begitu menyaksikan penglihatan
yang aneh dan menyeramkan itu. Bisiknya kepada Lingga
W isnu : "Adik, bagaimana pikiranmu?"
"Apakah rumah itu kira-kira tempat pertapaan tabib
sakti Ki Sarapada?" Lingga W isnu menduga. "Jika rumah
tersebut memang pertapaan Ki Sarapada, kita mohon
dengan sopan-santun lalu kita mempertimbangkan
perkembangan selanjutnya. "
Aruji sudah percaya akan kecerdasan Lingga W isnu,
maka dengan hati-hati ia maju terus. Kemudian dengan
sikap sangat hormat ia berseru:
"Kami Aruji. Keponakan paman hari ini datang
bersama seorang sahabat bernama Lingga W isnu. Kami
berdua menghaturkan sembah kehadapan paman
Sarapada." Meskipun ilmu kepandaian Aruji punah, akan tetapi
tidak berarti tenaganya benar-benar hilang. Masih
sanggup ia berseru dengan nyaring sekali. Suaranya
tajam dan jelas. Apalagi ia berteriak ditengah alam yang
sunyi-sepi. Suara demikian dapat ditangkap lima puluh
atau seratus meter dengan jelas. Akan tetapi rumah itu
tetap sunyi. Tak terdengar suara apapun juga.
Sekali lagi Aruji berteriak. Tetapi tetap saja tidak
memperoleh jawaban. Pemuda itu jadi agak mendongkol.
Segera ia berteriak untuk yang ketiga kali dengan sekuat
tenaga. Katanya : "Aku kena pukulan hebat, dan adikku ini terkena racun
jahat. Entah siapa yang melakukan pengeniayaan
terhadap kami berdua. Kami sendiri tidak jelas. Itulah
sebabnya kami datang kemari mohon pertolongan
paman." Tetapi kali in i t iada jawaban.
Dalam pada itu, cuaca semakin gelap. Lingga W isnu
menjadi gelisah. Tanyanya mint a pertimbangan kepada
Aruji. "Abang, apa engkau pernah bertemu dengan paman
Sarapada?" Aruji mangangguk. Katanya:
"T iga kali aku pernah bertemu dengannya."
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?"
Aruji tertegun. Tak berani ia mengambil keputusan.
Rupanya ia terlalu mengenal tabiat pamannya, sehingga
apabila kurang hati-hati jerih payahnya akan menjadi siasia belaka.
"Apa kita pulang saja dan menyerahkan nasib kepada
Tuhan?" ujar Lingga W isnu lagi. "Kalau demikianlah
keputusanmu, biar aku menunggu nasibku. Percayalah,
aku t idak akan menyesali siapapun juga."
"Aku sudah berjanji kepada kakekmu, Kyahi B asaman.
Meskipun tiba-tiba pamanku menjadi raja iblis yang
paling kejam dijagad ini, aku tidak akan mundur. Coba
engkau menunggu disini. Biarlah aku sendiri memasuki
halamannya. Mungkin pula dia enggan memberi jawaban
kepadaku karena melihat dirimu."
Tanpa menunggu persetujuan, ia menurunkan Lingga
W isnu dari punggungnya. Kemudian seorang diri ia
memasuki halaman rumah yang aneh itu.
Dalam hatinya la sudah rgengambil kepulasan tetap
hendak menggunakan kekerasan apabila perlu. Meskipun
pernah menyaksikan kemampuan Ki Sarapada, namun ia
percaya bahwa pamannya Itu hanya pandai mengobati
sakit saja. Dia yakin dalam hal ilmu berkelahi,
kepandaiannya tidak, begitu tinggi .
Pohon-pohon berdaun merah itu ternyata, mempunyai
cabang yang lebat sekali. Demikian pula daunnya.
Sehingga merupakan sebuah mahkota yang rimbun.
Begitu lebat cahang rant ihg dan daunnya, sehingga
meraba tanah. Maka tidaklah mudah untuk melint asi
dengan begitu.saja. Tanpa berpikir panjang lagi, Aruji segera mengambil
keputusan hendak melompati pagar pohon itu saja.
Selagi badannya masih terada di tengah udara, tiba-tiba
ia mencium bau wangi itu juga kedua matanya menjadi
pusing. Dan ia roboh te rbanting di antara rimbun pohon.
Peristiwa itu tentu saja mengejutkan hati. Lingga
W isnu. Segera ia hendak menyusul, akan tetapi kaki dan
tangannya tidak dapat digerakkan. Setiap kali berusaha
akan berdiri, tubuhnya gemetaran dan terasa lemah.
Akan tetapi ia anak yang keras hati. Segera timbul ah
keputusannya hendak mencoba menghampiri Hati-hati ia
bertiarap. Kemudian merangkak maju dengan mengisutkan tubuhnya. Ia dapat melakukan gerakan
tersebut, akan tetapi tentu saja sangat lambat.
Baru saja ia merangkak beberapa meter jauhnya,
tenaga jasmaninya terasa habis. Keringat membasahi
seluruh tubuhnya. Namun dengan menguatkan diri, ia
terus maju sedikit-demi sedikit.
Sekarang ia telah memasuki halaman rumah
berbentuk aneh itu. Seperti Aruji, segera ia mencium bau
wangi. Dan dadanya lantas saja menjadi sesak. Karena


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tadi menyaksikan robohnya Aruji, dapatlah ia berlaku
lebih hati-hati. Dengan menguatkan diri, kerapkali ia
menahan napas. Kemudian dengan menundukkan
kepalanya ia maju terus mendekati tubuh Aruji yang
tergolek diatas tanah dalam keadaan tidak berkutik lagi.
Segera ia memeriksa kedua mata Aruji, ternyata tertutup
rapat. Tangan dan mukanya dingin. Akan tetapi
napasnya masih berjalan dengan baik.
Lingga W isnu menjadi bingung berbareng juga
khawatir. Katanya didalam hati :
'A kh, dia datang kemari dengan maksud mulia sekali,
untuk menolong diriku. Akan tetapi belum lagi ia bertemu
dengan pamannya, sudah terbanting roboh terkena
racun. Aku sendiripun sudah menghisap hawa beracun
dan tinggal menunggu waktu saja. Tak apalah bila aku
yang mati. Tetapi dia" Dia harus hidup! Ki Sarapada
adalah pamannya. Seumpama dia datang seorang diri,
pastilah dia akan menerima nasib lain.'
Oleh pikiran itu, ia menjadi nekad. Lalu mendekati
rumah aneh itu. "Paman Sarapada!" ia berteriak. "Dengan tangan
kosong kami datang kemari untuk memohon pertolongan. Sama sekali kami tidak mengandung
maksud kurang baik. Jika paman tetap t ak sudi menenui
kami, maka kami terpaksa tak dapat menghargai paman
lagi ..." Sambil berteriak ia mengamati bangunan rumah itu.
Tatawarna rumah tersebut hitam seluruhnya, sehingga
seolah-olah bukan t erbuat dari kayu. Kesannya tak ubah
sekapan gerombolan liar yang berada diatas gunung.
W alaupun demikian sekitar rumah tersebut bersih luar
biasa. Tak ada sepotong kayupun atau selembar daun
dikiri-kanannya. Bahkan sebutir batu juga t idak nampak.
Beberapa saat lamanya ia berdiri tertegun sambil
mengasah otak. Setelah menghampiri rumah itu, tak
berani ia menyentuh karena takut terkena racun.
Tiba-tiba teringatlah dia. Didalam sakunya terdapat
beberapa potong uang perak. Segera ia mengeluarkan
sepotong uang perak dan dipergunakan untuk mengetuk
dinding rumah tersebut. Ia heran, tatkala terdengar
suara 't ring'. Maka jelaslah sudah, bahwa bangunan
tersebut terbikin dari logam.
Setelah memasukkan uang peraknya ke dalam saku
kembali, ia menundukkan kepala hendak menyelidiki.
Tiba-tiba bau wangi menyambar hidungnya. Dan begitu
mencium bau wangi, dadanya terasa lega dan ot aknya
menjadi lebih terang. Heran dan terkejut ia menundukkan kepalanya lagi. Dan sekali lagi ia mencium
bau wangi yang menyegarkan dadanya.
Ternyata bau wangi itu meruap dari kuntum bunga
biru pemberian gadis dusun tadi. Katanya didalam hati :
"Akh! Kalau begitu, bunga ini mempunyai khasiat
penolak racun. Sekarang terbuktilah bahw a gadis itu
tidak bermaksud buruk. Bahkan dengan diam-diam ia
memberi pertolongan."
Memperoleh keyakinan demikian, timbul ah keberanian
Lingga W isnu. Dengan merangkak ia maju mendekati
rumah aneh itu. Benar-benar heran. Rumah tersebut
tidak mempunyai jendela maupun pintu. Bahkan lubang
kecilpun tidak terdapat disana. Pikirnya: 'A pakah rumah
ini tidak ada penghuninya" Kalaupun ada penghuninya
bagaimana bisa hidup didalam bangunan yang tidak
berhawa sama sekali"!
Sebenarnya besar kemauannya hendak mengadakan
penyelidikan lebih lanjut. Akan tetapi ia sudah tidak
bertenaga lagi. Setelah menimbang sejenak, ia
menghampiri Aruji dan menempelkan bunga birunya
pada lubang hidungnya. Begitu Aruji mencium harum
bunga biru itu, ia bersin dan tersadar.
Lingga W isnu girang bukan kepalang. Dan lantas saja
mengambil keputusan untuk kembali kepada gadis dusun
yang dijumpainya petang tadi dengan maksud memohon
nasehat dan petunjuknya. Setangkai bunga biru lalu
ditancapkan pada dada Aruji, sedang yang lainnya
digenggamnya erat-erat seolah-olah jimat dari sorga.
Kemudian ia menunggu sampai tenaga Aruji pulih
koribali. Tak usah menunggu terlalu lama, Aruji telah dapat berdiri tegak.
Karena pemuda itu semakin percaya
kepada Lingga W isnu,, ia tidak membantah tatkala
diajaknya kembali kedusun untuk mencari si gadis penilik
bunga biru . Demikianlah samb il mendukung Lingga W isnu, segera
ia melompati pohon-pohon merah yang ternyata sangat
beracun itu. Tetapi baru saja kedua kakinya hinggap
diatas tanah, mendadak terdengarlah bentakan datang
dari dalam rumah aneh itu :
"Hei " Suara itu terdengar menyeramkan, dan mengandung
rasa gusar yang bergolak hebat. Dan mendengar
bentakan itu, Lingga W isnu menolehkan kepalanya.
Serunya : "Kyahi Sarapada! Apa engkau sekarang sudi menerima
kami?" Pertanyaan itu tidak memperoleh jawaban, dan tetap
tak terjawab meskipun ia mengulangi seruannya
beberapa kali lagi. Tiba-tiba kesunyian malam itu dipecahkan oleh suara
gedubrakan seolah-olah benda berat jatuh keatas tanah.
Dengan berbareng Aruji dan Lingga W isnu memalingkan
kepalanya. Hati mereka terkesiap tatkala kesiur ang in
tajam menyambar dirinya. Sebelum dapat berbuat
sesuatu, mereka telah terbanting roboh ketanah.
Entah sudah berapa lama mereka terkapar di tanah.
Setelah menyenakkan mata, mereka ternyata berada
ditengah tegalan bunga tanaman si gadis dusun. Malam
hari pada waktu itu sunyi senyap. Diantara kesunyian
malam, bunga-bunga biru yang sedang bermekaran
menyiarkan bau yang sangat kuat. Dan mencium harum
bunga itu, dada Aruji. dan Lingga W isnu menjadi lega
dan semangatnya menjadi pulih kembali.
Mereka berdua masing-masing menderita luka. Lingga
W isnu semenjak turun dari Argapura boleh dikatakan
lumpuh, tak bertenaga. Sedang Aruji kecuali menderita
luka parah akibat pukulan beracun, kakinya menginjak
racun di halaman rumah aneh itu pula. Maka dapatlah
dibayangkan, bahwa penderitaan mereka kian menjadi
hebat. Akan tetapi aneh, Benar-benar aneh. Setelah
sadar penuh, baik Aruji maupun Lingga W isnu, dapat
menggerakkan kaki dan tangannya dengan leluasa,
walaupun terasa agak lemas.
Dalam hal in i, Lingga W isnu nyaris tak percaya kepada
perubahannya sendiri. Berkali-kali ia mencoba menggerakkan kaki tangannya. Kemudian mencoba
berjalan pula. Semuanya berjalan lancar.
"Hai! Benarkah ini?" serunya.
Dan hampir berbareng dengan seruannya, Aruji pun
berteriak kagum penuh sukacita :
"Adik! Kau bisa berjalan?"
"Benar! Aku bisa berjalan. Benarkah ini" Ini bukan
mimpi, bukan?" Aruji tertawa sambil menggelengkan kepalanya.
Serunya tinggi : "Bukan! Bukan mimpi! Benar-benar terjadi! Engkau
bisa berjalan, adikku!"
Mereka berdua lantas berpelukan hangat. Setelah
puas mereka memutuskan, untuk bermalam dirumah si
gadis dusun, agar memperoleh pertolongan dan
petunjuknya. Sekonyong-konyong rumah gubuk yang
berada didepannya terbuka jendelanya, dan muncullah
sinar pelita. Brak! Pintu terbuka dan gadis dusun itu
kelihatan diambang pintu.
"Kisanak, masuk lah!" gadis itu mengundang. "Kampungku sangat melarat dan aku sendiri sangat
miskin pula. T ak dapat aku menyuguhkan makanan yang
pant as kepadamu. Silahkan kalian minum teh tawar dan
nasi kasar." Dengan bergandengan tangan, Aruji dan Lingga Wisnu
memasuki rumah. Buru-buru L ingga W isnu membungkuk
hormat. Katanya dengan suara merendah :
"Kami berdua sungguh merasa malu, karena di tengah
malam buta begini, mengganggu ketenteramanmu."
Gadis itu tersenyum dan berdiri disamping pintu
mempersilahkan kedua tetamunya masuk.
Begitu masuk, baik Lingga W isnu maupun Aruji
melihat bahwa perabot gubuk itu sangat sederhana.
Tiada bedanya dengan gubuk-gubuk orang miskin. T etapi
ada satu hal yang aneh. Seluruh ruangan luar biasa
bersihnya seolah-olah tiada debu menempel. Menyaksikan hal itu, jantung Lingga W isnu memukul
keras. Kebersihan gubuknya mirip benar dengan
kebersihan rumah aneh yang berpagar pohon-pohon
beracun. "Kisanak, duduklah." kata gadis itu lagi mempersilahkan kedua tetamunya. Ia masuk ke dalam
dan beberapa saat kemudian ia keluar dengan membawa
dua tempurung kosong. Setelah itu sebakul rasi, sepiring
sayur, semangkok kuah dan tempuruk berisi air teh
tawar. Hidangan yang di sajikan sangat sederhana, akan
tetapi masih mengepul asap panas. Begitu ruap asap
hidangannya tercium hidung, Lingga W isnu dan Aruji
lantas tergugah rasa laparnya.
Tak usah dikatakan lagi, setelah mengarungi
perjalanan yang begitu jauh mereka berdua sangat lapar.
"Terima kasih," kata Lingcra W isnu sambil tertawa.
Segera ia mengisi tempurung kosongnya dengan nasi
putih yang masih mengepul asap hangat. Setelah
menaruhkan sayur serta kuahnya, segera ia makan
dengan bernapsu sekali. Sebaliknya tidaklah demikian dengan Aruji. Pemuda
berewok ini tidak berani bergerak karena hatinya
menaruh curiga. Katanya didalam hati:
'Semua makanan in i t entunya sudah disiapkan t erlebih
dahulu. Kalau tidak, masakan masih begini hangat. Aku
tadi jatuh pingsan tidak sadarkan diri. Mengapa dia bisa
menduga dengan tepat bahwa aku tersadar pada jam
begini" Akh,aku-harus hati-hati dan waspada terhadap
penduduk sekitar Mrepat Kepanasan ini. Biarlah aku
menderita lapar, daripada mampus kena racun orang,'
Memperoleh pikiran demikian, tatkala si gadis masuk
kedalam bilik segera ia berbisik ke pada Lingga W isnu :
"ssti Lebih baik kau jangan makan apa-apa, dusun Ini
sangat berdekatan dengan Mrepat Kepanasan. Dan
paman Sarapada bertabiat aneh sekali apa engkau lupa"
Jangan-jangan semuanya ini beracun'.
Akan tetapi Lingga Wisnu berpendapat lain Ia mengira
gadis dusun itu tidak mengandung hati kurang, baik.
Apabila dia. bermaksud jahat, apa sebab tadi
menghadiahkan dua kuntum bunga kepada mereka
berdua" Dan ternyata sangat besar faedahnya.
Disamping itu, jikalau hidangan yang disediakan ini tidak
dimakan, gadis itu tentu merasa tersinggung. Selagi ia
hendak menyatakan pendapatnya itu, si gadis sudah
keburu keluar dari dapur. Kali in i ia membawa sebuah
niru kayu. Dan diatas niru itu terdapat sebakul nasi lagi
yang masih mengepulkan asap hangat. Lingga W isnu
bangkit dari duduknya. Berkata :
"Terima kasih atas budi baik Ayunda. Dapatkah kami
berdua menyampaikan hormat kepada ayah-bundamu?"
"Kedua orang tuaku sudah meninggal dunia." jawab
gadis itu. "Aku hidup sebatang kara di sini."
"Akh !" Lingga W isnu berseru tertahan. Terus ia jadi
teringat kepada nasibnya sendiri. Pada hari ini d ia pun
hidup sebatang kara disin i. Tetapi dia tidak berkata
sesuatu apa. Setelah kembali duduk, ia meneruskan
makannya . Hidangan yang disajikan berupa sayur-mayur segar
yang rasanya lezat sekali. Dengan tiada sangsi lagi,
Lingga W isnu menyapu semua hidangan

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang disuguhkan kepadanya. Untuk menyenangkan hati gadis
itu, sambil makan tiada hentinya ia memuji lezatnya
sant apan. Keruan saja Aruji tambah prihatin. Dengan menghela
napas perlahan ia mengawaskan Lingga W isnu yang
terus menjejali mulut nya dengan tidak mengenal bahaya.
Katanya didalam hati : 'Baiklah jika engkau tidak mendengarkan nasehatku.
Akupun tidak dapat berbuat apa-apa.... Bagaimanapun
juga kita berdua tidak boleh mati berbareng karena
racun.' W alaupun kasar, Aruji mempunyai pengalaman
pergaulan yang luas dalam masyarakat. Maka agar tidak
menyinggung hati gadis itu, ia berkata :
"Nona, harap engkau memaafkan aku. Tatkala aku
mendekati rumah aneh itu, aku kena racun. Sehingga
perutku t erasa tidak enak sekali. Napsu makanku lenyap
sama sekali." Mendengar perkataannya, si gadis lantas menuangkan
teh pada tempurung kosong dan diangsurkan kepada
Aruji. Katanya : "Kalau begitu, minumlah air teh ini saja."
Aruji menerima perberian air teh yang di tuang ke
dalam tempurung tadi. Dengan sudut matanya, ia
menjenguk kedalam tempurung W arna air teh itu
ternyata kehijau-hijauan. Sebenarnya ia haus sekali.
Akan tetapi begitu melihat warnanya, napsunya lantas
hilang. Seperti orang yang punah tenaganya, ia menaruh
tempurung teh keatas meja dengan lemah-lunglai.
Si gadis tidak merasa tersinggung. Sikapnya tenang
tenang saja. Sama sekali ia t idak menunjukkan rasa kesal
atau jengkel. Melihat Lingga W isnu menyapu habis
semua hidangan yang disajikan seperti macan kelaparan,
ia menjadi girang. Sinar matanya lantas berseri-seri .
Lingga W isnu, meskipun bocah lagi berumur belasan
tahun, namun memiliki ot ak cerdas luar biasa. Sekali
melirik, pandang mata gadis itu, tak luput dari
perhatiannya. Ia makan sekenyang kenyangnya, karena
sudah diperhitungkan untung ruginya. Semenjak turun
dari Argapura, hatinya sudah menjadi putus asa terhadap
hidup dan kehidupan. Seluruh tubuhnya sudah
berlumuran racun berbahaya. Itulah sebabnya ia tak
takut lagi menghadapi segala macam racun didunia ini.
Dan apabila hidangan yang disajikan kepadanya itu
mengandung racun, makan sedikit ataupun banyak,
akibatnya sama saja. Maka ia malah membuka perutnya
sebesar-besarnya dan menghabiskan ampat tempurung
nasi dan menyikat semua santapan yang berada diatas
meja. Setelah selesai, gadis itu lalu hendak mengundurkan
bekas-bekas hidangan. Akan tetapi Lingga W isnu telah
mendahuluinya. Dengan rapih ia menyusun perabot
makan minum diatas niru dan dibawanya ke dapur.
Kemudian dicucinya sekali. Setelah bersih, perabotan itu
lalu dimasukkannya kedalam lemari.
Melihat persediaan air dalam jembangan tinggal
sedikit, segera ia me ngambil tahang dan mengambil air
diselokan yang berada disamping rumah. Dalam pada itu
gadis Pemilik rumah menyapu sisa-sisa makanan yang
tercecer ditanah. Sebenarnya Lingga W isnu tidak boleh bergerak terlalu
banyak. Betapapun juga tenaganya yang datang tiba-tiba
sehingga bisa menggerakkan kaki-tangannya itu adalah
untuk sementara saja. Ia sadar akan hal itu. Justru
demikian, ia mau menggunakan kesempatan sebaikbaiknya untuk membuat jasa.
Demikianlah, setelah mengisi jambangan itu penuh-penuh, ia kembali ke
ruangan depan. Aruji ternyata sudah tidur sangat
nyenyak mendekam di tepi meja.
"Maaf, adik." kata gadis itu. "Aku tidak mempunyai
kamar tamu, untuk pelepas lelah adik hanya b isa
merebahkan diri diatas bangku panjang itu."
"Terima kasih atas segala budimu ini." jaw ab Lingga
W isnu sambil tertawa. "Janganlah kau bersegan-segan
lagi kepadaku." Gadis dusun itu tidak berkata apa-apa lagi. Setelah
menutup pintu depan, ia segera masuk kedalam.
Ternyata pintu itu tidak dikuncinya. Diam-diam Lingga
W isnu kagum terhadap sikap sigadis itu.
Meskipun hidup seorang diri d i tempat yang begini
sepi, namun masih berani ia menerima dua tetamu lakilaki semua. Perlahan-lahan
ia mendorong pundak Aruji
dan berbisik : "Abang, pindahlah kebangku panjang itu."
Diluar dugaan, begitu kena dorong Lingga W isnu,
badan Aruji miring dan terguling diatas tanah. Kaget
Lingga W isnu meraih dan mencoba membangunkannya.
Begitu tangannya menyentuh paras Aruji, hatinya
tercekat. Ternyata paras muka pemuda berewok itu
panas seperti api. Dengan suara tertahan ia mencoba
menyadarkan : "Abang, kau kenapa?"
Ia menjadi b ingung. Buru-buru ia mengambil pelita
dan menyelidiki keadaan Aruji. Muka Aruji nampak merah
membara. ia mirip seorang tertidur karena mabuk.
Anehnya mulutnya menebarkan ruap arak pula.
Pikirnya didalam hati : 'Aneh. Kapan ia minum arak" Jangan lagi arak, air
tehpun yang disuguhkan ia tidak berani menyentuhnya.
Tetapi apabila ia tidak m inum arak, kenapa mulutnya bau
arak begini keras" Iapun mabuk pula ...'
Dalam keadaan tak sadar Aruji mengigau :
"T idak! Aku tidak mabuk! Mari, mari kita minum tiga
mangkok lagi!" Lingga W isnu jadi prihatin. Besar dugaannya bahwa
mabuknya pemuda itu disebabkan perbuatan si gadis
yang mungkin tersinggung hatinya. Bukankah Aruji
menolak makanan dan minuman yang dihidangkan t adi"
Ia berkhawatir dan heran. Tidak tahu apa yang harus
dilakukan. Harus membangunkan si gadis untuk
memohon pertolongan" Atau membiarkan saja Aruji
sampai tersadar sendiri" Sekonyong-konyong ia mempunyai pikiran. 'A kh, apakah benar begitu" Aruji
takut kena racun. Justru demikian, gadis itu malah
meracunnya, karena hatinya tersinggung. Ya benar
begitu. Nampaknya Aruji bukan mabuk sewajarnya.
Pastilah ia t elah terkena racun.'
Selagi hatinya berbimbang-bimbang, dikejauhan sekonyong-konyong terdengar salak binatang liar yang
sangat menyeramkan. Di tengah kesunyian malam suara
itu membangunkan bulu roma. Salak itu memekik tinggi
seolah-olah jerit seseorang yang kena aniaya. Teringatlah
ia akan tutur kata ayah-bundanya bahwa jeritan
demikian adalah salak serigala kelaparan. Tetapi
masakan dipinggang Gunung Merapi ini ada kawanan
serigala" Andaikata memang ada, mestinya hanya satu
dua ekor saja. Dan t idak merupakan rombongan besar.
Dengan hati berdebaran Lingga W isnu memasang
telinganya. Semakin lama salak itu semakin dekat.
Kadang-kadang diseling dengan jerit kambing hutan yang
kesakitan. Selagi hendak menengok keadaan Aruji, tibatiba pintu ruang dalam
terbuka dan nampak si gadis
membawa lentera. W ajahnya nampak ketakutan.
Katanya : "Itulah kawanan serigala ..."
Lingga W isnu mengangguk. Ia mengawaskan gadis itu
dan berkata sambil menunjuk kepada Aruji :
"Ayunda ..." Sebenarnya ia hendak mint a pertolongan tetapi pada
saat itu salak kawanan serigala terdengar makin dekat.
Mendengkur hiruk-piruk salah serigala hati Lingga
W isnu tergoncang. Tak dikehendaki sendiri wajahnya
menjadi pucat. Aruji sedana dalam keadaan tak sadarkan
diri. Sedang sikap gadis itu masih meragukan. Apakah
dia kawan atau lawan" Lingga W isnu belum dapat
menentukan. Apa yang harus dilakukannya" Selagi
berada dalam kebingungan, ia mendengar bunyi derap
kaki kuda di antara salak anjang yang kacau-balau.
Derap kaki kuda itu terdengar cepat luar biasa.
Buru-buru Lingga W isnu membungkuk dan menyeret
Aruji kebawah bangku panjang. Ia sendiri lantas
melompat kedapur mencari golok. Tetapi karena gelapgulita, golok itu tak mudah
dicarinya. Bahkan untuk memperoleh sebilah pisau dapurpun tidak dapat.
"Apakah engkau suruhan keluarga Sarapada?"
terdengar gadis dusun itu membentak. "Apa perlu
engkau datang ditengah malam buta begini?"
Mendengar bentakan gadis itu yang sangat angker,
hati Lingga W isnu menjadi lega. Sekarang, sedikitnya
mengetahui bahwa penunggang kuda itu bukan kawan si
gadis. Dengan cepat ia menerobos keluar dan masuk
kedalam pekarangan belakang. Setelah mencari
batu-batu kecil, ia. segera
melompat keatas pohon dan
memanjatnya tinggi-tinggi .
Seperti kemarin malam, malam itu bulan muncul dilangit. Hanya kali ini sinarnya nampak suram. Dibawah sinar bulan ronang-remang ia mengamati penunggang kuda yang tiba-tiba berada
didepan pintu. Dia seorang
laki-laki. Pakaiannya abu-abu. Mungkin warna abu-abu
itu disebabkan oleh sinar bulan yang remang-remang. Ia
diikut i belasan serigala yang selalu menyalak dan
menjerit menyeramkan. Terang sekali binatang itu
sedang kelaparan. Sepintas lalu, orang itu lagi diubar binatang buas itu.
Tetapi setelah diamati, ternyata sipenunggang kuda
menyeret seekor kambing putih yang diikatkan pada
tunggangannya. Karena terseret kuda yang berlari
sangat cepat, kambing putih itu mengembik kesakitan.
Dan menyaksikan hal itu Lingga W isnu heran bukan
main. Apakah dia seorang pemburu yang lagi memberi
umpan pada belasan serigala yang memburu dibelakangnya " "Akh!" Lingga W isnu tersadar. "Nampaknya orang itu
sengaja hendak merusak kebun bunga ini! Kalau begitu
tak dapat aku berpeluk tangan saja."
Segera ia mempersiapkan batu-batu yang. digenggamnya. Akan tetapi sebelum ia
dapat berbuat sesuatu, terdengar suara erangan.
"Aduuuuh!" Berbareng dengan suara mengaduh itu, sipenunggang
kuda mengaburkan kudanya kearah utara dan kambing
yang tadi diseretnya itu ditinggalkan ditengah-tengsh
kebun. Keruan saja kambing putih itu lantas menjadi
mangsa belasan serigala yang kelaparan. Dengan
mengeram, menyalak dan menggerung, belasan serigala
lapar itu menerkam dan merobek-robek perut kambing
putih itu. 'Jahat benar orang tadi,' pikir Lingga W isnu sambil
menimpukkan dua butir batu. Oleh timpukan itu dua ekor
anjing serigala roboh terguling. Sekali lagi Lingga W isnu
menyambilkan dua butir batu. Kali in i batu yang di
sambit itu agak kecil. Yang satu mengenai perut serigala
dan yang lain menghajar kaki depan serigala yang
sedang merobek perut kambing. Meskipun tak sampai
mati, kedua serigala itu lantas memekik kesakitan.
Kawanan binatang buas itu agaknya mengerti bahwa
musuh mereka berada diatas pohon. Mereka mendongak
dan menggeram sambil memperlihatkan taringnya.
Pandang matanya berapi-api seperti bara api. Dan
menyaksikan keganasan dan kegalakan kawanan
binatang buas itu, tak terasa Lingga W isnu jadi bergidik.
Tanpa bersenjata ia merasa tak ungkulan melawan
kawanan serigala ganas itu. Apalagi sesungguhnya
tenaga yang diperoleh hanya untuk sementara saja.
Sekali lagi ia mengayunkan tangannya untuk
menimpuk serigala jantan yang paling besar. Bagaikan
kilat batunya menyamber tenggorokan serigala ganas itu.
Terkena sambitannya, binatang itu terguling dengan
mengiang. Kemudian kabur sekencang-kencangnya.
Sedang serigala lain yang perutnya sudah kenyang lantas
turut kabur. Kemudian serigala ketiga menyusul. Lantas
yang berikut nya dan begitu seterusnya.


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam, sekejab mata saja mereka semua telah lenyap
dari penglihatan. Akan tetapi kebun bunga itu sudah
gugur hancur. Lingga W isnu segera turun dari pohonnya. Ia
mendongkol dan mengutuk. Katanya berulang- kali :
"Sayang, sayang! Sungguh sayang!"
Betapa tidak" Jerih payah gadis dusun itu hilang
musnah dalam beberapa saat saja. Pastilah gadis itu
gusar bukan kepalang menyaksikan kebun bunganya
hancur terinjak-injak kawanan serigala. Syukurlah kalau
hanya bergusar saja. Kalau sampai turun semangat,
pastilah ia tidak sudi lagi menanam bunga-bunga yang
sangat berkhasiat itu. Tetapi diluar dugaan, gadis itu sama sekali tidak
menyebut-nyebut tentang kerusakan kebunnya. Malahan
ia tertawa sambil berkata :
"Adik, terima kasih atas bantuanmu tadi."
"Aku sungguh sangat malu," jawab Lingga W isnu.
"Aku sangat menyesal. Beradanya aku disini ternyata
tiada gunanya. Seumpama aku ini seorang perkasa,
semenjak tadi tentu telah kurobohkan penunggang kuda
yang biadab itu. Jika dia dapat kurobohkan, tanaman
bunga ini tentu dapat diselamatkan."
Gadis itu bersenyum manis. Berkata dengan suara
tenang : "Andaikata tidak dirusak oleh kawanan anjing liar itu,
beberapa hari lagi bunga-bunga itupun akan layu
sendiri." Mendengar kata-kata gadis itu, Lingga W isnu heran
berbareng tercekat hatinya. Gadis itu seolah-olah
mengerti segalanya. Keakhliannya melebihi gadis-gadis
yang hidup dikota. Karena itu ia jadi tertarik hati. Dengan
membungkuk hormat, Lingga W isnu minta keterangan :
"Ayunda, budimu sangat besar terhadapku. Bolehkah
aku mengetahui namamu?"
W ajah gadis itu lantas berubah menjadi angker.
Jawabnya : "Orang memanggilku si Gawuk. Tetapi dihadapan
orang lain, janganlah engkau sekali-kali memanggil
Gawuk kepadaku!" Karena dia berbicara seperti kepada
anggauta keluarganya sendiri, hati Lingga Wisnu menjadi
girang dan bersyukur bukan main. Ia maju selangkah
lagi. Bertanya : "Kalau aku tidak boleh memanggilmu Gawuk, lantas
aku harus memanggil bagaimana" Tak sudikah engkau
memperkenalkan namamu sebenarnya?"
"Kau sangat baik, adik." ujar gadis itu dengan
tersenyum manis. "Baiklah, karena sudah terlanjur,
biarlah aku memperkenalkan namaku kepadamu. Nama
lengkapku Palupi." Orang Jawa sering memberi nama anaknya dengan
suatu nama yang mengandung makna. Tetapi Lingga
W isnu lagi berumur belasan tahun. Tentu saja ia tidak
mengetahui makna Palupi. Yang terasa dalam hatinya
nama itu sangat nyaman dalam pendengaran dan
perasaan. Ia makin yakin bahw a gadis dusun itu
bukanlah seorang gadis sembarangan.
"Kalau begitu aku akan memanggil nama lengkap
saja," kata Lingga W isnu dengan tertawa.
Palupi membalas t ertawa pula. Menyahut :
"Kau sungguh ramah."
Dan oleh kata-kata itu entah apa sebabnya, jantung
Lingga W isnu berdebar. Palupi bukan seorang gadis
cant ik. Juga bukan gadis kota yang mengerti tentang
kemajuan jaman. Namun demikian, lagu kata-kata dan
suara tawanya sangat manis dan meresapkan hati.
Kedua modal ini merupakan daya tarik luar biasa
baginya. Selagi Lingga W isnu hendak membicarakan keadaan
Aruji, Palupi sudah mendahului. Katanya dengan acuh
tak acuh : "Sebenarnya siapakah kalian berdua ini?"
"Aku sendiri bernama Lingga W isnu. Dan Abangku itu
bernama Aruji." jawab Lingga W isnu dengan cepat.
"Oh, begitu" Keadaan Aruji sama sekali tidak
berbahaya. Sekarang ingin aku menemui beberapa
orang. Apakah engkau mau turut?"
Sekali lagi Lingga W isnu heran. Siapakah yang hendak
dijumpainya pada larut malam begini" Meskipun ia ing in
memperoleh keterangan, namun t ak berani ia membuka
mulut . Satu hal ia merasa pasti, bahw a tindakan Palupi
tentu mempunyai maksud yang penting sekali. Maka
tanpa berpikir panjang lagi ia menyahut :
"Baik. Aku ikut!"
"Tetapi sebelum berangkat, engkau harus berjanji t iga
hal. Yang pertama engkau tak boleh berbicara kepada
lain orang ..." "Setuju ! " sahut Lingga W isnu cepat. "Aku akan
berlagak bisu." "Itupun tak usah," ujar Palupi dengan tertawa lebar.
"Apakah engkau akan berlagak bisu pula terhadapku"
Engkau boleh berbicara secara wajar kepadaku. Hanya
terhadap orang lain engkau kularang membuka mulut.
Dan yang kedua: kau tak boleh bertempur serta tak
boleh melepaskan senjata macam apapun juga. Juga
engkau tidak boleh memukul orang. Pokoknya,
semuanya tak boleh! Ketiga, kau t ak boleh berpisah lebih
tiga langkah dari sampingku!"
0ooo-dw-ooo0 1. Nyala Lentera Dimalam Hari
Lingga Wisnu merasa mendapat kepercayaan.
Dengan sangat girang segera ia mengiakan. Ia yakin
bahw a gadis itu akan membawanya kepada Ki Sarapada.
Terus saja ia bertanya : "Apakah kita berangkat sekarang juga?"
"Sebentar! Kita harus membawa barang sedikit." ujar
Palupi. Dan gadis itu lantas masuk kedaiam. Kira-kira
setengah jam kemudian, ia keluar dengan membawa dua
keranjang bambu yang tertutup rapat, hingga tak dapat
diket ahui apa isinya. "Biarlah aku yang memikulnya," kata Lingga W isnu
menyambut. Gadis itu tersenyum, tetapi tidak menolak kehendak
Lingga W isnu. Ia meletakkan kedua keranjang beserta
pikulannya keatas tanah. Lingga W isnu sebenarnya
masih termasuk kanak-kanak, walaupun delapan tahun
ikut ayah-bundanya hidup dari tempat ketempat, akan
tetapi selama itu belum pernah ia memiku l sesuatu.
Hanya terdorong oleh rasa tata-sant un belaka, ia
menawarkan diri. Padahal tenaganya belum pulih
seluruhnya. Ia tahu bahwa keadaan dirinya yang kini b isa
menggerakkan tangan dan kaki, , semata-mata suatu
keajaiban belaka. Bukankah Kyahi Basaman yang
terkenal maha sakti menyatakan putus asa tentang
keadaan dirinya" Begitulah ia mencoba mengangkat
kedua keranjang bambu tersebut. Ia jadi sempoyongan
tatkala mencoba memikulnya, karena berat sebelah.
Yang sebelah seberat tujuh puluh kilo sedang yang
lainnya ringan sekali. Ia heran. Akan tetapi t idak berkata
sepatah katapun. Melihat Lingga W isnu sempoyongan, gadis itu lantas
meraihnya. Katanya dengan tersenyum mengerti :
"Biarlah aku yang memikulnya. Kesehatanmu belum
pulih seperti sediakala, bukan?"
Menghadapi kenyataan demikian, meskipun Lingga
W isnu ingin menyenangkan hati gadis itu, tak berani
menolak. Ia menyerahkan keranjang dan pikulan itu
kembali kepada pemiliknya.
Palupi mengunci pintu dari luar. Lingga W isnu masih
sempat menengok kearah Aruji yang terus tidur
menggeros, sedang mulutnya masih menebarkan ruap
arak. Kemudian ia berjalan mengikut i Palupi.
"Ayunda Palupi!" seru Lingga W isnu. "Bolehkah aku
menanyakan sesuatu hal kepadamu?"
"Boleh saja, asal aku dapat menjawabnya."
"Jikalau engkau tak dapat menjawab, didalam dunia
ini tiada seorangpun yang dapat memberi jawaban." kata
Lingga W isnu lagi. "Kau sendiri tahu, bahwa abang Aruji
tidak minum air set etespun. Dan juga tidak makan
sebutir nasi pun. Tetapi mengapa ia sampai mabuk
begitu rupa?" Palupi t ertawa geli. Jawabnya:
"Dia mabuk, justru karena tak makan dan tak minum!"
Jawaban ini sangat diluar dugaan. Lingga W isnu jadi
heran, lalu katanya tak mengerti :
"Akh! Inilah benar-benar suatu kejadian yang sama
sekali t ak kumengerti. Abang Aruji seorang pejuang yang
banyak pengalamannya. Ia berkepandaian tinggi pula.
Bertahun-tahun lamanya ia berada didalam laskar
perjuangan Raden Mas Said. Didalam segala hal ia cukup
berwaspada dan berhati-hati. Sebaliknya aku, anak
kemarin sore yang belum pandai beringus. Kepandaianku
sangat dangkal. Apa sebab abang Aruji yang selalu
berwaspada dan bersikap hati-hati justru ..." ia tak
meneruskan kata-katanya. "Bicaralah terus terang!" kata Palupi. "Kau tentu ingin
mengatakan bahwa ia roboh ditanganku meskipun telah
bersikap waspada dan hati-hati, bukan" Apakah engkau
mengira bahwa yang berhati-hati selalu selamat" Justeru
orang seperti dirimu lah yang jarang sekali mendapat
celaka." "kenapa begitu?" Lingga W isnu semakin heran.
"Karena engkau penurut. Disuruh memikul kotoran
binatang, engkau tak menolak. Disuruh makan, engkau
makan dengan lahap. Selesai makan engkau beresi
sendiri pula. Kau isi jambangan kosong meskipun tidak
ada yang menyuruh. Kau ingin bantu pula memikul
keranjang, meskipun tenagamu tidak mengijinkan."
jawab Palupi dengan tertawa lebar. "Terhadap bocah
yang begitu penurut, masakan ada orang yang tega
menurunkan tangan jahat kepadamu?"
"Oh, kalau begitu manusia hidup didunia sebaiknya
menjadi seorang penurut." ujar Lingga W isnu sambil
tertawa. "Tetapi bagaimana caramu mencelakakan dia" Benarbenar luar b iasa. Sampai
sekarang aku belum b isa menduga." Gadis itu tidak segera menjawab. Sejenak kemudian
barulah ia berkata : "Baiklah, biarlah r ahasia in i kukatakan kepadamu. Apa
engkau melihat kembang putih kecil yang berada di
ruang tengah?" Lingga W isnu mengerinyitkan dahinya. Ia mengingatingat kembali keadaan ruang
tengah di rumah Palupi. Memang, disamping meja makan terdapat sebuah meja
kecil. Dan diatas meja kecil t ersebut terdapat jambangan
kembang dengan sekuntum kembang putih. Karena
kembang itu tidak menyolok mata, ia menganggap hanya
sebagai perhiasan belaka.
"Orang menamakan kembang itu, kembang layar
mega!" kata Palupi. "Kembang itu dapat membikin
mabuk orang. Karena baunya yang sangat harum.
Barang siapa mengisap harum baunya, pasti akan roboh
dengan tanda-tanda orang mabuk minuman keras. Aku
telah mencampurkan obat pemunahnya didalam air teh
dan nasi put ih yang aku hidangkan untukmu berdua."
Mendengar keterangan Palupi, Lingga W isnu kagum
berbareng takut. Biasanya, seseorang yang hendak
meracun, akan menaruh racunnya didalam minuman
atau mengaduknya dalam makanan yang disajikan. Akan
tetapi cara gadis itu diluar dugaan siapapun juga,
sehingga Aruji yang senantiasa bersikap waspada, masih
kena dirobohkan. "Tetapi engkau tidak usah cemas, adik. Begitu pulang
aku akan memberi obat pemunahnya." ujar Palupi
dengan suara menghibur. Mendengar perkataan Palupa, t iba-tiba timbul ah suatu
pikiran didalam hat i Lingga W isnu:
"Kalau begitu, kecuali pandai menggunakan racun, ia
pandai pula mengobati orang yang keracunan. Apakah
kesembuhanku dengan mendadak ini oleh pertolongannya pula" Jika benar demikian, maka tak
usah lagi aku bersusah payah menemui Ki Sarapada."
Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia bertanya
mencoba : "Ayunda Palupi, dapatkah engkau menyembuhkan
orang yang kena racun Pacarkeling?"
"Hmmm." dengus gadis itu. "Hal itu rasanya sulit
kukatakan." Mendengar jawaban Palupi,
Lingga W isnu tak berani mendesak lagi. Maka benarlah
prasarannya bahw a kesembuhannya ini hanya untuk sementara saja. Samb il
berjalan mengikut i, ia kini
memperhatikan hal-hal yang
luar biasa baginya. Tubuh
Palupi kurus kering. Meskipun
demikian dengan

Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langkah yang ringan sekali ia berjalan
sambil memiku l keranjangnya.
Sedangkan gerakangerakan tubuhnya bukan berdasarkan ilmu sakti. Dengan sekejap mata saja mereka berdua telah
melampaui tujuh kilometer lebih. Arah perjalanannya
mengarah ke Timur dan bukan ke jurusan Mrepat
Kepanasan. Mendadak saja suatu ingatan menusuk
kedalam benak Lingga W isnu. Lantas saja bocah itu
bertanya : "Ayunda Palupi, bolehkah aku menanyakan satu
pertanyaan lagi" Tapi petang tatkala aku dan abang Aruji
hendak ke Mrepat Kepanasan, engkau berkata bahwa
lebih baik kami berdua mengarah ke Timur laut. Ternyata
engkau menyesatkan perjalanan kami, sehingga kami
harus berjalan me mutar. Artinya kami terpaksa
melampaui jarak perjalanan duapuluh kilometer lebih
jauh. Kenapa engkau berbuat begitu" Aku masih belum
mengerti maksudmu." Mendengar pertanyaan Lingga W isnu, Palupi tertawa
geli. Jawabnya : "Sudahlah ! Janganlah engkau bertanya melit-melit.
Kau ingin berkata: rumah Ki Sarapada letaknya di Barat
daya, sedang kita berdua kini mengarah ke Timur.
Bukankah perjalanan in i yang membuatmu bertanya
demikian?" Keadaan hati Lingga W isnu kena t ebak gadis itu. Dan
muka Lingga W isnu lantas saja bersemu merah.
Untunglah pada saat itu malam hari sehingga perubahan
air muka itu tak nampak si gadis. Sahutnya dengan suara
perlahan : "Benar. Engkau menebak tepat sekali ..."
"Jalan yang kita lalui ini bukan mengarah kepadepokan Ki Sarapada. Karena kitapun tidak
bermaksud menemui Ki Sarapada." kata Palupi.
"Akh!" "Apakah engkau tahu apa sebab siang tadi aku mint a
kepadamu menyiram tanaman bungaku?" Palupi memotong seruannya. "Sesungguhnya aku lagi menguji
kepadamu. Pertama, ingin aku mengetahui nilai hatimu
berdua. Kedua, aku sengaja memperlambat perjalanan
kalian. Dengan sengaja pula aku menyesatkan kalian.
Dengan mengarah ke timur-laut jarak perjalanan kalian
menjadi bertambah duapuluh kilometer lebih. Dengan
sengaja aku hendak memperlambat perjalanan kalian,
agar kalian tiba d i Mrepat Kepanasan pada w aktu malam
hari." "Kenapa begitu?" Lingga W isnu minta keterangan.
"Sebab pohon-pohon merah itulah! Pohon-pohon
merah itu yang memagari rumah Ki Sarapada kurang
racunnya pada waktu malam hari. Dengan demikian,
bunga biru yang kuberikan kepada kalian masih sanggup
melawan." Mendengar keterangan Palupi, bukan main kagum
Lingga W isnu. Sekarang ia merasa takluk berbareng
terima kasih kepada gadis dusun itu. Ternyata Palupi
bermaksud menolong dirinya dengan sesungguh hati.
Kini hatinya yakin sepenuhnya, maka tanpa berkata lagi
ia mengikut i terus perjalanan Palupi dengan hati mantap.
Setelah berjalan lima kilo meter lagi, mereka masuk
kedalam hutan yang lebat. Tiba-tiba Palupi berkata :
"Nah, sekarang kita sudah sampai, tetapi mereka
belum datang. Biarlah kita menunggu di sini. Maukah
engkau menolong meletakkan keranjang ini dibawah
pohon itu?" sambil berkata demikian ia menuding sebuah
pohon besar. Lingga W isnu lantas saja mengerjakan apa
yang dipint a gadis itu. Setelah Lingga W isnu meletakkan keranjang dibawah
pohon, Palupi menghampiri semak belukar yang
berumput tinggi terpisah kira-kira lima belas langkah
jauhnya. Kemudian berkata sambil memasuki belukar itu:
"Tolong bawakan keranjang yang satu ke mari."
Tanpa berkata sepatah katapun Lingga W isnu
membawa keranjang lainnya ke dalam belukar, menyusul
Palupi. Ia mendongak menatap udara. Dan mengamati
bulan yang kini sudah doyong kebarat. Teranglah sudah,
bahw a hari telah larut malam. Keadaan hutan itu sunyi
senyap. Yang terdengar hanyalah suara margasatwa
dengan bunyi burung hantu sebagai selingan.
Kemudian Palupi memberi sebutir obat sebesar telur
burung, sambil membisik :
"Kulum ini, tapi jangan kau telan!"
Tanpa ragu-ragu lagi Lingga W isnu memasukkan obat
itu ke dalam mulut nya. Rasanya sangat pahit.
Dengan menahan napas mereka menunggu. Hanya
apa yang sedang ditunggu, Lingga W isnu sama sekali
tidak mengetahui dan tidak dapat menduga. Alangkah
ajaib pengalamannya, selama berada dipinggang Gunung
Merapi. Hanya dalam w aktu satu hari satu malam saja ia
memperoleh pengalaman luar biasa. D alam kesunyian itu
teringatlah ia kepada Sitaresmi. Tak terasa ia menghela
napas. Katanya didalam hati :
'A ku mendaki gunung Merapi karena mengikuti abang
Aruji. Dan sementara itu ia ikut eyang kembali ke
Gunung Lawu. Akh. Pada saat ini, entah apa yang
dilakukannya.' Memperoleh pikiran demikian, tanpa disadari ia
memasukkan tangannya kedalam saku, meraba raba
saputangan yang bersulamkan bunga melati, pemberian
Sitaresmi. Kurang lebih setengah jam kemudian, tiba-tiba Palupi
menarik ujung baju Lingga W isnu. Ia menuding kearah
barat-laut. Serentak Lingga W isnu berpaling kearah itu.
Dikejauhan ia melihat sinar lentera. Aneh warna sinar
lentera itu. Biasanya sinar lentera berwarna kuning agak merah.
Tetapi kali ini tidak. Sinarnya hijau.
Lentera itu bergerak cepat sekali dan dalam sekejab
saja telah berada belasan langkah di depannya. Oleh
pantulan cahaya rembulan dan sinar lentera itu, Lingga
W isnu dapat melihat dengan jelas bahw a pembawanya
seorang wanita bongkok. Jalannya terpincang-pincang
dan diikut i seorang laki-laki dibelakangnya. Dan melihat
mereka, hati Lingga W isnu memukul keras. Teringatlah
dia, Mrepat Kepanasan terletak di barat-daya. Dan
mereka berdua datang dari barat daya pu la. Maka kuat
dugaannya, mereka ini suami isteri Ki Sarapada.
Oleh dugaan itu Lingga W isnu berpaling kepada Palupi
untuk memperoleh kayakinan. Akan tetapi dimalam hari
tak dapat ia melihat kesan wajah Palupi dengan jelas.
Apa yang dilihat hanya sepasang mata Palupi tiba-tiba
nampak berkilat. Dengan penuh perhatian ia mengawasi
kedatangan kedua orang itu. Terasa sekali hatinya
menjadi tegang. Menyaksikan hal itu, timbul ah rasa kasatria dihati
Lingga W isnu. Meskipun hanya memiliki kepandaian yang
dangkal, namun hatinya berkata :
'Jika Ki Sarapada sampai mengganggu ayunda Palupi,
meskipun mati aku akan menolongnya.'
Kedua orang itu berjalan semakin dekat. Sekarang
jelaslah walaupun wanita itu bercacad, namun paras
wajahnya cantik. Tetapi laki-laki yang berada dibelakangnya beroman buruk dan agaknya bersifat
ganas. Usia mereka sebaya, kira-kira ampatpuluh tahun.
Oleh pengalaman hidupnya, belum pernah bocah itu
berdebar hatinya menghadapi segala hal yang mengancam dirinya. Akan tetapi menghadapi mereka
berdua, entah apa sebabnya t iba-tiba hatinya berdebardebar. Nalurinya berkata
bahwa dia lagi menghadapi
sepasang suami isteri yang aneh dan gerak-gerik mereka
sukar diduga. Ku rang lebih delapan langkah didepan
persembunyian Palupi, tiba-tiba mereka berdua membelok ke kiri dan berjalan lagi belasan langkah
jauhnya. Kemudian barulah mereka menghentikan
langkah kaki mereka., Laki-laki yang berada di belakang
wanita bongkok itu lantas berseru dengan suara nyaring:
"Kakang! Kakang Panjisangar ! menurut suratmu, kami
suami-isteri pada malam hari ini harus datang kemari
untuk berjumpa denganmu. Hayolah keluar!"
Seruan itu tak memperoleh jawaban. Karena itu
beberapa saat kemudian wanita bongkok itu berseru
nyaring pula : "Kakang Sangar! Jika engkau t ak sudi keluar, terpaksa
kami berlaku kurang ajar terhadapmu. "
Juga kali ini tak mendapat jawaban.
Mendengar seruan yang tak berjawab itu, hati Lingga
W isnu menjadi geli sendiri. Katanya di dalam hati:
'Nah, rasakan sekarang! Inilah yang dinamakan balas
membalas. Tadi engkau tak melayani aku. Sekarang
engkau tak digubris oleh orang yang kau panggil!'
Mereka berdua menunggu kira-kira seperempat jam
lagi. W anita bongkok itu meraba saku nya, kemudian
mengeluarkan seikat rumput yang segera dinyalakan
dengan api lent era. Dalam sekejab mata saja, sekeliling
tempat itu penuh dengan asap putih yang menebarkan
bau wangi. Teringat akan kata-kata, terpaksalah kami berkurang
ajar, Lingga W isnu segera sadar bahwa asap itu tentulah
asap beracun. Iapun mengerti pula, apabila tidak
memperoleh obat peminah racun dari Palupi, tentulah ia
kena akibatnya dan ia mengerling kepada Palupi yang
kebetulan sedang mengerling pula kepadanya. Lingga
W isnu sangat berterima kasih kepadanya. Ia bersenyum
dan memanggut beberapa kali. Sebaliknya pandang mata
gadis itu berkesan mengandung rasa cemas.
Makin lama asap itu makin tebal. Sekonyong konyong
terdengarlah seseorang bersin dari arah bawah pohon
besar tempat menaruh keranjang. Dan mendengar bersin
itu, hati Lingga W isnu terkesiap. Barulah ia tahu, bahwa
isi keranjang tersebut orang hidup. Bahwasanya ia tak
mengerti soal racun adalah wajar. Akan tetapi
bahw asanya ia tetap tak mengerti bahwa dalam
keranjang itu tersekap seseorang, benar-benar mengherankan dirinya sendiri.
Sekian lamanya ia berjalan mengikut i gadis itu.
Mengapa ia t ak mendengar pernapasannya sama sekali.
Sementara itu orang yang berada di dalam keranjang
bersin beberapa kali lagi. Kemudian tut up keranjang itu
terbuka dan keluarlah orang itu. Ternyata dia seorang
laki-laki mengenakan jubah panjang serta berikat kepala.
Umurnya kurang-lebih limapuluh t ahun. DAn dialah orang
tua yang terlihat oleh Aruji dan Lingga W isnu sedang
memacul ditengah tegalan.
Begitu kakinya menginjak bumi, dengan pandang
melotot ia menatap suami-isteri itu. Bentaknya
mengguruh : "Bagus. Kiranya kau Janggel dan Poha. Telah lama
kita tak bertemu. Kiranya tanganmu makin lama makin
kejam!" Suami isteri itu mengawasi si orang tua yang
berpakaian t ak rapih dan berikat kepala miring.
"Kakang Sanggar! Kau menuduh kami sangat kejam,"
kata Janggel dengan suara dingin. "Siapa tahu, engkau
justru bersembunyi di dalam keranjang. Kakang Panji
Sanggar ..." Baru saja ia berkata demikian, laki-laki yang disebut
Panji Sangar mengendus-endus udara beberapa kali.
Kemudian dengan wajah berubah ia buru-buru
mengeluarkan sebutir obat ramuan yang lalu dikulumnya.
Poha, wanita bongkok itu lalu memadamkan rumput
beracunnya yang lantas dimasukkan ke dalam sakunya
kembali. Katanya : "Sayang tak ... tak keburu lagi. Sudah terlambat ..."
W ajah Panji sangar itu lantas nampak pucat bagaikan
mayat. Tiba-tiba ia lalu duduk ditanah dan beberapa saat
berselang, barulah ia berkata :
"Baiklah, aku kalah. Mulai sekarang tak lagi aku
membuntuti kalian berdua ..."


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Janggel, laki-laki beroman sangat jelek itu segera
mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna merah. Ia
mengangsurkan botol kecil itu seraya katanya :
"Inilah obat pemunah racun rumput Badui, anakku
telah kau celakakan dengan racunmu. Maka dari itu kalau
engkau menghendaki bebas dari akibat racunku, berilah
obat pemunah racunmu pula! Tegasnya, marilah kita
saling menukar obat pemunah!"
"Fitnah!" bentak Panji sangar. "Kau maksudkan aku
meracuni anakmu Sukasah" Sudah lima enambelas t ahun
aku tak bertemu dengan dia. Jangan memfitnah
sambarangan!" W anita bongkok itu terbatuk-batuk. Berkata dengan
suara gusar : "Jadi engkau meminta kami menemui hanya untuk
mendengarkan ocehanmu itu saja?" Setelah berkata
demikian, ia berpaling kepada suaminya. Berkata lagi :
"Janggel! Hayolah kita pulang saja!" Berbareng
dengan kata-katanya ia memut ar badan dan segera
hendak pergi. Akan tetapi Janggel tidak bergerak dari tempatnya. Ia
masih nampak bersangsi. Katanya tak jelas :
"T api Sukasah. Sukasah bagaimana?"
W anita bongkok itu menghentikan langkahnya.
Menengok sambil berkata menyahut :
"Kakang Panjisangar sangat membenci kita berdua.
Dia agaknya lebih suka mati dari pada mengampuni
Sukasah. Apakah engkau belum sadar juga akan hal itu?"
Masih juga Janggel belum bergerak dari t empatnya. Ia
menatap Panjisanger beberapa saat lamanya. Kemudian
berkata setengah membujuk:
"Kakang Panjisangar! Duapuluh tahun lamanya kita
saling mendendam. Apakah sekarang belum tiba
waktunya untuk melenyapkan permusuhan ini " Aku ingin
mengajukan sebuah usul kepadamu. Marilah kita saling
menukar obat pemunah dan mengakhiri permusuhan
kita." Kata-katanya itu diucapkan dengan penuh perasaan,
sehingga rasa hati Panjisangar terpengaruh juga.
Katanya dengan suara sabar:
"Roha, adikku. Sebenarnya Sukasah kena racun
apakah?" Mendengar ucapannya, Roha tertawa dingin. Sahutnya
mendongkol : "Kakang Panji sangar ! Sampai pada saat ini engkau
masih berpura-pura saja. B aiklah dengan ini kami berdua
menghaturkan selamat atas berhasilnya kakang menanam bunga Badjrarinonce."
"Siapa yang menanam Badjrarinonce?" teriak Panji
sangar t ersinggung. Tiba-tiba meledak :
"Apakah Sukasah kena racun Badjrarinonce" Kalau
begitu bukan aku ! Tentu saja bukan aku! Benar,
sungguh mati bukan aku!" Ia berteriak dengan suara
tinggi. Dan wajahnya mendadak bertambah pucat. Jelaslah
sudah, ia terserang rasa takut. Akan tetapi Roha seolaholah tidak menghiraukan
keadaan d irinya. Katanya
mengejek : "Sudahlah, kakang Panji sangar! Tak usahlah kita
membicarakan hal itu lagi! Hanya satu hal yang ingin
kut anyakan padamu: untuk apa engkau mint a kami
datang ke mari?" "Aku yang memint a kalian datang kemari?" teriak
Panjisangar keheranan. "Tidak! Sama sekali aku tak
pernah memint amu datang ke mari. Tuduhanmu ini
benar-benar tak kumengerti! Bahkan kalian berdualah
yang membawaku kemari. Apa sebab engkau malah
memutar balikkan kenyataan ini?"
Tadinya ia menggelengkan kepalanya untuk mengesahkan bahwa dalam hal in i, bukan dia yang
memint a mereka berdua datang ke tempat itu. Setelah
selesai berbicara, tiba-tiba ia menjadi gusar dan
menendang keranjang bambu itu yang lantas saja
terpental beberapa langkah jauhnya.
"Huh!" dengus Roha dengan suara bersakit-hati.
"Apakah surat ini bukan kau tulis dengan tanganmu
sendiri" Ah kakang Panjisangar, mataku belum lamur!
Aku masih cukup awas untuk mengenal kembali gaya
tulisanmu!" Setelah berkata demikian, ia meraba sakunya dan
mengeluarkan sehelai kertas yang diangsurkannya
kepada Panjisangar. Panjisangar segera mengulurkan
tangannya hendak menyambut kertas itu, tiba-tiba suatu
ingatan menyadarkannya. Segera ia mengibas dengan
telapakan tangannya. Dan kertas itu terpental tinggi
melayang diudara. Hampir berbareng dengan itu, jarijarinya menyentil sebatang
paku. Dan paku itu menyambar serta memaku kertas itu pada sebatang
pohon. Menyaksikan adegan itu, hati Lingga W isnu tergoncang. Katanya di dalam hati :
'Sungguh berbahaya! Bermusuhan dengan mereka ini.
Setiap detik kita harus berhati-hati dan berwaspada.
Orang tua itu tidak berani menyambut kertas perberian
Roha, ia khawatir kalau ada ramuan racunnya.'
Roha kemudian mengangkat lenteranya tinggi tinggi,
dan diatas kertas terlihat beberapa deret huruf-huruf
besar yang berbunyi : Dua saudaraku seperguruan, Janggel dan Poha!
Haraplah engkau datang di hutan Pengalapan setelah
jam tiga malam. Aku ingin mendamaikan suatu perkara
yang maha penting. Huruf-huruf itu berbentuk panjang-kurus sedikit
melengkung, sehingga mirip perawakan tubuh Panjisangar. Dan melihat huruf-huruf
itu, Panjisangar berteriak heran : "Akh!" "He-he-he. Kau kenapa?" ejek Janggel dengan suara
mendongkol. "Itu bukan tulisanku!" seru Panjisangar.
Kedua suami-isteri itu saling memandang dan
mencibirkan bibirnya. Berkata dengan berbareng :
"Kau bilang apa?"
"Heran, sungguh heran!" kata Panjisangar. "Bentuk
huruf-hurufnya memang mirip dengan tulisanku. Akan
tetapi ..." Panjisangar mengusap jenggotnya dan tibatiba saja berteriak dengan
suara kalap. "Binatang! Sama
sekali tak kuduga bahwa sampai pada saat ini, kalian
masih main f itnah saja kepadaku. Dengan maksud apa
kalian memasukkan aku ke dalam keranjang dan
membawa kemari" Aku sudah bersumpah, bahwa selama
hidupku tak sudi aku melihat moncongmu berdua!"
"Sudahlah, jangan berpura-pura!" bentak Roha si
wanita bongkok itu. "Sukasah kena racun Badjrarinonce.
Katakan saja, kau mau memberikan obat pemunahnya
atau tidak?" "Kau t ahu dengan pasti bahwa, anakmu Sukasah kena
bunga Badjrarinonce?" kata Panjisangar dengan suara
tak jelas. Tatkala mengucapkan Badjrarinonce, suaranya bergemetaran seperti ketakutan. Lambat laun Lingga
W isnu mengerti duduk persoalannya. Ia mendoga bahwa
seorang berkepandaian t inggi memegang peranan dalam
peristiwa ini. Tetapi siapakah orang itu" Tanpa di
kehendaki sendiri ia mengerling kepada Palupi.
Mungkinkah gadis kurus kering ini yang memerankan
mereka bertiga" Selagi Lingga W isnu merasa bimbang, mendadak
terdengar suara bentakan :
"Uuh!" Suara itu terdengar aneh dan menyeramkan hati.
Dengan meremang Lingga W isnu menoleh. Ternyata
suara tersebut meloncat dari mulut Panjisangar dan
kedua suami isteri Jenggel Roha. Ketiganya mendorongkan kedua belah tangannya masing-masing
kedepan. Dalam sekejapan saja malam yang sunyi
menjadi makin hening. Tidak ada sesuatu yang
terdengar, kecuali suara: UUhh-uuhh-uuhh-uuhh yang
tiada hentinya. Mendadak saja suara uh-uh itu berhenti. Kemudian
berkejaplah secercah sinar dingin dan lentera hijau itu
padam seketika. Lingga W isnu tahu, bahwa padamnya
lentera itu adalah akibat paku Panji sanger yang
dilepaskan dengan mendadak. Beberapa saat kemudian
terdengar suara meremang. Itulah suara erangan si
Jenggel laki-laki bermuka jelek. Rupanya ia kena senjata
paku Panjisangar. Alangkah menyeramkan suasana pada
malam hari itu. Udara dan bumi seolah-olah terancam
suatu bahaya maut. Dan menyaksikan hal itu, darah
kasatria Lingga W isnu meluap dengan tak dikehendaki
sendiri. Ia memegang tangan Palupi dan ditariknya ke
belakang. Ia sendiri lant as bersedia berkorban untuk
melindungi jiwa gadis kurus kering itu.
Begitu suara rint ih dan erangan lenyap,keadaan
sekitar hutan itu lantas menjadi sunyi-senap kembali.
Yang terdengar hanyalah bunyi margasatwa dan burungburung hantu dikejauhan.
Tiba-tiba terasa ada tangan
kecil halus memegang t angan Lingga W isnu. Dan bocah
itu terkejut sekali. Tangan anak kecil yang mint a
perlindungan. Tadi ia menduga bahwa yang memerankan
mereka bertiga adalah Palup i. Akan tetapi setelah Palupi
memegang tangannya, tahulah dia bahw a gadis itupun
berada dalam ketakutan. Di tengah kesunyian itu, mendadak muncullah dua
gulung asap. Yang satu berasap putih dan yang lain
berasap abu-abu. Seperti dua ekor binatang ular, kedua
gumpalan asap itu saling menyambar. Munculnya kedua
gumpalan asap itu tersusul suara orang seperti meniup
api. Lingga W isnu membuka matanya lebar-lebar untuk
memperoleh penglihatan yang lebih jelas lagi. Samarsamar ia melihat dua sinar
api berada disebelah kiri dan
kanan. Di belakang sinar api duduk Panjisangar sedang
di belakang sinar api yang lain, Roha berjongkok dan
membungkukkan badannya ketanah. Ternyata mereka
berdua sedang berusaha meniup titik api yang seger
meruapkan asap. Tahulah Lingga W isnu kini bahw a
mereka berdua tengah menggunakan senjata asap
beracun untuk merobohkan.
Kira-kira seperempat jam kemudian, sekitar hutan
tersebut sudah penuh dengan asap beracun. Lingga
W isnu menekap pergelangan tangan Palupi erat-erat.
Dan tangan Palupi terasa bergemetaran. Mendadak dari
sebuah pohon terdengar suara aneh. Cepat Lingga W isnu
berpaling dan mengawasi pohon itu. Itulah pohon tempat
menancap kertas Roha yang terpantek paku beracun
Panjisangar. Ia terkesiap karena kertas itu mendadak
saja menyinarkan cahaya terang. Dan dengan pertolongan sinar tersebut, kelihatanlah beberapa
deretan huruf. Melihat hal itu Panjisangar dan Roha
berpaling berbareng. Dengan sendirinya mereka berhenti
meniup api beracun. Dan dengan terbengong mengamati
huruf-huruf yang mendadak muncul dengan tegar.
Hampir berbareng mereka membaca :
Surat ini kualamatkan kepada ketiga muridku:
Panjisangar, Janggel dan Roha
Dengan melupakan ikatan rasa cinta kasih antara
sesama saudara seperguruan, kamu bertiga saling
mencelakakan. Peristiwa ini benar-benar sangat menyedihkan hatiku. Itulah sebabnya mulai saat ini, aku
mengharap dengan sangat agar kalian bertiga cepatcepat memperbaiki pekerti yang
sesat. Dan hendaklah kalian bertiga menuntut penghidupan yang sesuai
dengan cita-citaku. Segala sesuatu mengenai kepulanganku ke alam baka, kamu bertiga bisa


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengetahui dari muridku: Palupi. Inilah pesanku yang
terakhir. Gurumu: Resi NGEST I TUNGGAL. Setelah membaca bunyi surat itu Panjisangar dan
Roha berseru kaget. Dengan serentak mereka berseru
berbareng : "Apakah guru sudah wafat" Palupi ! Dimana kau?"
Perlahan-lahan Palupi menarik tangannya dari genggaman Lingga W isnu. Ia menyalakan sebatang lilin.
Kemudian berjalan dengan t enang menghampiri mereka
bertiga. Melihat Palupi muncul, Panji sangar dan Roha berubah
wajahnya. Dengan serentak mereka membentak :
"Adik! Apakah engkau menyimpan kitab Pangusadan"
Ya, pastilah himpunan ilmu ketabiban guru diwariskan
kepadamu. Sekarang dimana kau simpan?"
"Kang mas Panjisangar dan ayunda Roha," kata Palupi
dengan sabar. "Kamu berdua benar benar tidak
mempunyai perasaan. Nilai budi kamu berdua sungguh
mengecewakan guru. Dengan susah payah almarhum
guru mengasuh, merawat dan mendidikmu. Budi
sedemikian besarnya, bagaimana kalian hendak membalasnya" Sebaliknya, kalian tidak pernah memperhatikan kesejahteraan guru. Bahkan matihidupnya gurupun luput dari
perhatian kalian. Yang kalian ingat hanya buku warisannya belaka. Benar-benar
mengecewakan. Kangmas Janggel, bagaimana menurut
pendapatmu?" Janggel yang rebah ditanah akibat paku beracun
Panjisangar menegakkan kepalanya dan berteriak
dengan suara gusar : "Janganlah engkau mengoceh dan berkotbah seperti
gurubesar. Hayo kau perlihatkanlah kit ab warisan itu
secepat mungkin kepada kami! Bukankah Sukasah
engkau yang melukai" Ya, ya tak bisa salah lagi. Semua
peristiwa yang terjadi pada malam in i, tentu hasil
pekerjaanmu pula!" Dengan menutup mulut, Palupi menjiratkan pandang
kepada ketiga kakak seperguruannya.
"Benar-benar guru pilih kasih!" teriak Panjisangar
dengan hati dengki. "Sudah pasti bahw a guru
menyerahkan kitab sakti tersebut kepadanya."
"Adik, coba perlihatkan kitab sakti Pangusadan guru,"
bujuk Roha dengan suara halus, dan menambahkan lagi:
"Marilah kita beramai-ramai mempelajarinya."
Dengan pandang mata tajam, Palupi menatap mereka
bertiga. Akhirnya berkata :
"Benar. Memang benar garu mewariskan kitab
saktinya kepadaku." Setelah berkata demikian, ia segera
mengangsurkan selembar kertas kepada Roha.
Mereka bertiga jadi kecew a. T adinya mereka mengira
Palupi hendak memperlihatkan buku warisan gurunya.
Tak tahunya, yang diperlihatkannya hanya selembar
kertas dan diangsurkan kepada Roha. Tatkala Roha
hendak menerimanya, tiba-tiba Janggel berteriak
memperingatkan : "Awaaas!" Dan oleh peringatan itu, sadarlah Roha, akan
kesemberonoannya. Dengan cepat ia melompat mundur
sambil menunjuk kearah pohon.
Menyaksikan pekerti ketiga kakak seperguruannya,
Palupi menghela napas. Dengan berdiam diri ia mencabut
tusuk kondenya yang terbuat dari bahan perak. Ia
menusuk kertas itu. Dan dengan sekali mengayun
tangannya, tertancap pada pohon.
Lingga W isnu kagum menyaksikan timpukan itu.
Katanya dalam hati: 'Benar-benar tak terduga, bahwa gadis dusun yang
kurus kering in i mempunyai kepandaian tinggi.' Ia ikut
memperhatikan kertas yang tertancap pada pohon itu.
Dan dengan bantuan sinar lilin Palupi, mereka semua
dapat membaca tulisannya dengan jelas. Bunyinya
begini: "Surat pusaka ini kutulis untuk muridku: Palupi. "
AnakkuSetelah aku meninggal dunia engkau boleh menceritakan semua peristiwa yang terjadi kepada ketiga
kakak seperguruanmu. Engkau kuijinkan memperlihatkan
kitab himpunanku kepada salah seorangnya,yang benarbenar memperlihatkan rasa
cinta kasihnya kepadaku. Siapa saja d iantara mereka bertiga yang tidak
memperlihatkan rasa duka-c ita dan rasa kasih-sayang
kepadaku sebagai murid maka perhubungan diant ara
guru dan murid terputuslah. Inilah pesanku kepadamu.
Surat terakhir dari gurumu :
Resi Ngesti Tunggal. Dua kali sudah Lingga W isnu membaca nama Ngesti
Tunggal. Sesungguhnya siapakah yang disebut Resi
Ngesti Tunggal itu" Apakah dia Panembahan Bondan
Sejiwan, cikal-bakal aliran Ngesti Tunggal" Pada saat itu
dapat ia memperoleh keterangan. Satu-satunya yang
dapat dilakukan hanyalah memperhatikan mereka
berempat. Demikianlah, set elah membaca surat wasiat itu,
Panjisangar, Janggel dan Roha saling memandang
dengan mulut t ernganga. T ak dapat mereka menginkari
bahw a sepak terjang mereka tadi benar-benar keterlaluan dan tidak pant as sebagai murid terhadap
gurunya. Betapa tidak" Setelah mengetahui gurunya
wafat, sedikitpun mereka tidak mengatakan kata-kata
dukacita. Bahkan mereka hanya menanyakan kitab
warisannya. Unt uk beberapa saat lamanya mereka
termenung seperti kehilangan diri. Tiba-tiba seperti saling
berjanji, mereka berteriak dan menerjang dengan
serentak. "Ayunda Palupi, awas!" seru Lingga W isnu sambil
melompat dari persembunyiannya.
Pada saat itu kedua tangan Roha menyambar muka
Palupi. Menyaksikan ancaman bahaya itu, kembali lagi
Lingga W isnu berteriak memperingatkan : "Ayunda
Palupi, awas!" Dan cepat bagaikan kilat ia menangkis
dengan sebelah tangannya: Plaak!
Seperti diket ahui, Lingga W isnu mewarisi ilmu sakti
Panembahan Larasmojo, kakeknya sendiri. Ilmu sakti
Panembahan Larasmojo yang diwariskan kepada anak
perempuannya, Larasati dan kemudian diajarkan sejurus
dua jurus kepada Lingga W isnu, pernah mengejutkan
Kyahi Basaman. Sebab cara mengatur tata pernapasan
dan tata peredaran darah sangat bertentangan dengan
ajaran aliran Aristi. Apa yang diwarisi Lingga W isnu itu
sebenarnya termasuk golongan ilmu sakti yang luar biasa
dahsyatnya. Akan tetapi sangat memakan tenaga,
sehingga aliran itu merupakan aliran sesat. Seseorang
yang dapat mewarisi ilmu sakti Panembahan Larasmojo,
akan menjadi orang yang mempunyai tenaga sehebat
rasaksa. Karena itu Lingga W isnu meskipun berumur
belasan tahun, sudah memiliki pukulan pukulan sakti
yang hebat pula dayanya. Maka begitu kena tangkisan
tangan Lingga W isnu, Roha terpental dengan menjerit
keras. Begitu berhasil, Lingga W isnu membalikkan tangan
dan mencengkeram pergelangan tangan Janggel.
Kemudian dengan menggunakan pukulan ilmu sakti
warisan kakeknya, ia mendorong dengan meminjam
tenaga lawan. Tubuh Janggel tinggi besar. Akan tetapi
kena pukulan sakti warisan Panembahan Larasmojo,
lantas saja terpental tujuh langkah lebih dan roboh
terguling di atas t anah. Maka tahulah Lingga W isnu kini,
bahw a kedua suami isteri itu memang ahli dalam menggunakan racun, akan tetapi
dalam hal tata berkelahi mereka tidak mempunyai kepandaian yang berarti.
Dengan hati mantap, ia kemudian memutar badannya
menghadapi Panjisangar. Akan tetapi belum lagi ia
bergerak, mendadak saja orang itu bergoyang-goyang
tubuhnya, kemudian roboh sendiri. Aneh sekali, begitu
roboh badannya lantas saja tak bergerak sama sekali.
"Adik!" kata Roha dengan meringis menahan rasa
nyeri. "Benar-benar hebat kawanmu ini. Dia masih
kanak-kanak yang belum pandai beringus, akan tetapi
pukulannya bukan main hebatnya. Siapa dia?"
"Namaku Lingga W isnu!" sahut Lingga W isnu cepat
dengan suara nyaring, mendahului Palupi. "J ika kamu
suami isteri merasa penasaran, carilah aku saja."
Sebenarnya Lingga W isnu hanya menirukan cara para
pendekar menantang lawannya. Sama sekali ia tidak
memikirkan akibatnya dikemudian hari. Sebaliknya,
Palupi lantas saja membentak dengan suara penuh sesal:
"Sudah! Mengapa engkau usilan?" sambil berkata
demikian, gadis itu membanting banting kakinya.
Heran dan terkejut Lingga W isnu menyaksikan pekerti
Palupi, sehingga ia tergugu. Meskipun cerdas, pada saat
itu tak dapat ia menebak pekerti Palupi yang
membanting-banting kaki. Dalam pada itu, Janggel dan Roha sudah dapat
bangkit kembali. Dengan pandang berkilat-kilat, mereka
menatap w ajah Lingga Wisnu. Kemudian memutar t ubuh
dan berjalan meninggalkan tempat itu dengan langkah
panjang. Dengan membungkam mulut, Palupi meniup lilinnya.
Lalu dimasukkan kembali ke dalam sakunya. Pada saat
itu, Lingga W isnu minta keterangan kepadanya. Katanya:
"Ayunda Palupi! Kenapa Panjisangar roboh sendiri?"
Palupi menggerendeng. Ia tak segera menjawab.
Hanya berkali-kali ia mendengus. Lingga W isnu hatinya
menjadi tak enak sendiri. Beberapa waktu kemudian, ia
berkata dengan perlahan: "Ayunda Palupi, engkau t ak menjawab pertanyaanku.
Mengapa" Apakah ayunda tidak senang lagi kepadaku?"
Mendengar ujar Lingga W isnu, Palupi mengangkat
kepalanya. Dengan suara menyesal ia me nyahut :
"Mengapa engkau tidak menetapi janji" Bu kankah
engkau telah berjanji tiga hal kepadaku sebelum ikut
kemari" Kenapa engkau langgar semuanya?"
Diingatkan tentang janjinya, Lingga W isnu terkejut.
Benar! Ia melanggar semua janjinya. Pertama, ia tak
boleh berbicara. Akan tetapi nyatanya ia berbicara juga.
Kedua, ia tak boleh bertempur atau melepaskan jenjata
rahasia apapun atau melukai siapapun. Juga janji yang
kedua ini dilanggar pula. Dan ketiga, ia tak boleh pisah
lebih tiga langkah dari Palupi. Nyatanya karena
bertempur, ia tidak hanya berpisah tiga langkah saja,
tetapi malahan lebih sepuluh langkah jauhnya. Itulah
sebabnya Lingga W isnu menjadi tertegun. Dengan
perasaan malu, ia berkata memohon belas kasihan :
"Ayunda Palupi, benar. Aku melanggar semua janjiku.
Maukah engkau memaafkan kesalahanku ini" Karena
melihat engkau dalam bahaya semata-mata, hatiku tak
tahan lagi. Aku takut, engkau akan kena dilukakan
mereka. Karena di dalam diriku in i telah penuh racun,
mati dan hidup belum memperoleh kepastian, lebih baik
aku yang menerima pukulan mereka dari pada ayunda.
Dengan begitu, engkau memperoleh kesempatan pula
untuk melarikan diri. Tetapi agaknya aku telah salah
terhadap ayunda. Karena itu maafkan semua kecerobohanku ini." "Hmm!" dengus Palupi, tetapi kali ini ia tertawa.
"Kalau begitu, semua yang kau lakukan tadi semata-mata
karena engkau mencemaskan diriku. Pandai benar
engkau mencari-cari alasan. Kau yang salah, akan tetapi
akibatnya nanti kau bebankan di atas pundakku. Kau t ak
percaya" Coba jawab pertanyaanku, apa sebab engkau
menyebut kan namamu kepada mereka" Tentu saja
mereka sangat dendam kepadamu. Tak mungkin mereka
melupakan dendam ini. Pada suatu hari mereka pasti
akan mencarimu. Dalam hal berkelahi, mereka tidak akan
menang. Tetapi dalam menggunakan racun, apa engkau
bisa menjaga diri" Karena itu, mulai sekarang hendaklah
engkau selalu waspada dan berhati-hati!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba sikap Palupi
menjadi lemah lembut. Dan suaranya yang paling akhir
diucapkan dengan penuh kecemasan atas keselamatan
Lingga W isnu. Mendengar keterangan Palupi, entah apa sebabnya
bulu rama Lingga W isnu te rbangun serent ak. Akan tetapi
dia anak seorang pendekar berjiwa kasatria. Lantas saja


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia dapat menetapkan hatinya. Dan pada saat itu, Palupi
menegas lagi : "Kenapa engkau tadi menyebutkan namamu kepada
mereka?" Lingga W isnu menjawab pertanyaan Palupi dengan
tertawa lebar. Palupi kemudian berkata lagi :
"Akh, adik yang baik! Rupanya engkau tidak juga
menyadari ancaman bahaya dikemudian hari. Sebaliknya
engkau bersikap seperti seorang pahlawan hendak
melindungi diriku. Kenapa engkau begitu baik kepadaku?" Ucapan Palupi yang terakhir ini dinyatakan dengan
penuh perasaan, sehingga hati Lingga W isnu terpengaruh karenanya. Halus budi pekerti gadis dusun
ini, p ikirnya. Oleh pikiran itu, ia menyahut dengan penuh
terima kasih: "Ayunda, bukan aku yang memperhatikan keselamatanmu. Tetapi sebaliknya, engkaulah yang
sangat memperhatikan keselamatanku, sehingga siap
melindungiku semenjak tadi." Ia sebentar menunda
untuk mengesankan kata-katanya itu. Kemudian melanjutkan: "Berkat perlindunganmu, aku lolos dari
bahaya. Ayah-bunda selalu berkata kepadaku, bahwa
kebajikan orang hidup ini harus baik kepada orang yang
berbuat kebaikan kepada kita. Karena itu sudah wajar
pula, kalau aku memandangmu sebagai sahabat sejati."
Mendengar ucapan Lingga W isnu, Palupi nampak
girang bukan main. Katanya menegas :
"Benarkah engkau sudi menganggapku sebagai
sahabatmu?" Ia lalu tertawa manis. Manis sekali.
Meneruskan: "Kalau begitu, biarlah aku menolong selembar jiwamu
terlebih dahulu ..."
"Apa?" Lingga W isnu heran.
"Coba nyalakan dulu lentera ayunda Roha." perint ah
Palupi. Kemudian ia menebarkan pandangnya sambil
bertanya: "Haii Mana lentera tadi?" Ia membungkuk
mencari-cari lentera Roha yang ketinggalan. Tetapi
karena gelap, tak dapat ia menemukannya.
"Bukankah dalam sakumu masih ada lilin?" Lingga
W isnu mengingatkan. "Kau mau mati?" kata Palupi dengan tertawa, serta
masih tetap membungkuk mencari lenteranya Roha.
Berkata meneruskan: "Lilin itu kubuat dari bahan
kembang Bandjrarinonce. Haai Ee, inilah dia !" Oleh
ketekunannya, akhirnya ia dapat menemukan juga
lentera itu yang segera dinyalakan.
Sesudah mendengar pembicaraan antara suami isteri
Janggel-Roha, dan Panjisangar, Lingga W isnu tahu
bahw a bunga Badjrarinonce pastilah merupakan bunga
beracun yang sangat dahsyat. Pada saat itu oleh cahaya
lentera, Lingga W isnu melihat Panjisangar masih
menggeletak di atas tanah seperti mayat. Dan melihat
keadaan Panjisangar, tiba-tiba Lingga W isnu jadi
mengerti sebab-musababnya. Terus saja ia berseru
tertahan : "Akh! Sekarang barulah aku mengerti. Jika aku tadi
tidak semberono menerjang keluar tak keruan macam,
pastilah suami-isteri Janggel dan Roha akan dapat kau
taklukkan pula." Palupi tersenyum, agaknya ia puas mendengar katakata Lingga W isnu. Katanya :
"Tetapi kelakuanmu tadi karena terdorong oleh
maksud yang sangat baik. Adik yang baik, biar
bagaimanapun juga aku merasa berhut ang budi
kepadamu." Lingga W isnu menatap gadis dusun yang bertubuh
kurus-kering itu dengan perasaan kagum berbareng
malu. Pikirnya didalam hati : 'Umurnya paling banyak terpaut lima t ahun denganku.
Akan tetapi ot aknya yang penuh tipu-tipu daya, seratus
kali lipat dari pada aku. Kukira aku sudah berotak
lumayan, tak tahunya dia jauh melebihi aku.'
W alaupun merasa tidak berarti apabila d ibandingkan
dengan kecerdasan gadis itu, tetapi sesungguhnya
Lingga W isnu sendiri memiliki otak yang cemerlang pula.
Dengan sekali melihat ia dapat menebak sebab-sebab
Panji sangar jatuh tak berkutik di atas tanah. Hal itu
disebabkan karena sesungguhnya lilin yang dinyalakan
Palupi mengandung racun yang hebat. Asapnya tidak
berbau dan tidak berwarna. Hal itu membuktikan betapa
pandai Palupi mengelabui orang. Jangan lagi manusia
biasa. Sedangkan suami-isteri Roha dan Janggel serta
Panjisangar yang terkenal sebagai ahli racun, masih
dapat diingusi terang-terangan. Dengan demikian,
apabila Lingga W isnu tidak semberono, dalam waktu
yang cepat suami-isteri itu beserta Panjisangar akan
roboh tak berkutik dengan sendirinya. Akan tetapi
sebelum suami-isteri Jenggel dan Roha dirobohkan
dengan hawa racun itu, mereka tadi sudah menyerang
dengan pukulan-pukulan kilat yang sangat hebat. Maka
kemungkinan besar sebelum mereka roboh, Palupi pun
akan kena malapetaka terlebih dahulu. Oleh pertimbangan itu, Lingga W isnu tidak mau terlalu
menyalahkan diri sendiri.
Akan tetapi Palupi rupanya dapat menebak pikiran
bocah itu. Katanya sabar :
"Adik yang baik, coba pukul pundakku dengan
tanganmu." Lingga W isnu tak mengerti maksud gadis dusun itu.
Akan t etapi karena percaya bahwa gadis itu mempunyai
rencana tertentu yang berada di luar dugaannya sendiri,
segera ia memukul pundak Palupi dengan jari t angannya.
Dan begitu ujung jarinya menyentuh pundak Palupi, jarijari Lingga Wisnu mendadak
terasa panas seperti terkena
bara. Tak sekehendaknya sendiri bocah itu melompat
mundur menjauhi beberapa tindak.
Palupi t ertawa geli. Katanya :
"Nah, engkau rasakan sekarang. Begitulah, apabila
mereka menghantam diriku dengan sekuat t enaga, akan
roboh begitu menyentuh pakaianku."
"Benar-benar hebat dan berbahaya!" kata Lingga
W isnu kagum sambil memijit-mijit jari-jarinya. "Racun
apa yang kau gunakan?"
"Sebenarnya bukan racun luar b iasa. Hanya campuran
bubuk ular hijau dan ular welang yang kucampurkan
dengan bubuk ketonggeng biru," jawab Palupi dengan
sederhana. Dengan pertolongan cahaya lentera, Lingga W isnu
melihat betapa jari-jarinya melepuh dengan mendadak.
Katanya: "Akh, masih untung aku tadi tidak menyentuh
pakaianmu!" "Adik yang baik," kata Palupi dengan suara mohon
maaf. "Aku bukan bermaksud hendak menyakiti dirimu.
Maksudku hanyalah agar engkau selalu berhati-hati dan
waspada menghadapi saudara seperguruanku dikemudian hari. Dalam ilmu kepandaian, mereka jauh
ketinggalan darimu. Tetapi lihatlah telapakan tanganmu,
yang tadi kau gunakan untuk menangkis pukulan
mereka." Lingga W isnu mengamati tangan kirinya. Tetapi tidak
melihat sesuatu yang luar biasa.
"Coba dekatkan kemari,"
kata Palupi sambil mengangsurkan lenteranya. Dan begitu mendekatkan tangannya pada lentera, Lingga W isnu terkejut. Pada saat itu ia melihat telapakan tangannya bergaris-garis hitam. Serunya tak mengerti : "Apa ini" Apa aku kena
racun?" "Hmm!" dengus Palupi. "Apa kau kira murid Ki
Sarapada t idak mempunyai ilmu pukulan beracun?"
"Akh ! " Lingga W isnu terkejut berbareng heran.
"Kalau begitu, orang yang menyebut dirinya Ngesti
Tunggal, sesungguhnya Ki Sarapada yang tulen. Tetapi
kenapa kalian saudara-saudara seperguruan saling
bertengkar?" Palupi tidak menjawab. Ia hanya menghela napas.
Kemudian ia mencabut tusuk kondenya yang t adi dipakai
untuk memantek kertas tulisan Ki Sarapada yang terkait
oleh paku beracun Panji sangar di pohon. Kemudian ia
memasukkan kedua benda itu ke dalam sakunya. Dan
waktu itu huruf huruf yang bercahaya pada surat
pertama sudah lenyap. "Apakah ayunda yang menulis sama surat-surat itu?"
tanya Lingga W isnu. "Benar," sahut Palupi. "Guru nampaknya sayang benar
kepada kangmas Panjisangar pada masa mudanya. Hal
itu terbukti dengan banyaknya tulisan kangmas
Panjisangar yang terdapat dalam kumpulan naskah
dalam peti peninggalan guru. Umpamanya catatan-
catatan mengenai nama-nama kembang, tumbuhan dan
ramuannya. Dengan demikian aku paham benar akan
bentuk tulisannya dan itulah sebabnya dapat aku meniru
bentuk hurufnya. Akan tetapi aku belum berhasil dengan
sempurna, karena melupakan pengucapan hatinya."
"Tentu saja engkau tidak dapat meniru dengan
sempurna, karena watakmu dan tabiatnya." potong
Lingga W isnu cepat. "Ayunda seorang jujur dan bersih
hati. Sebaliknya kakakmu Panjisangar penuh dengan
fitnah, kekejian dan kelicikan. "
Palupi tidak membenarkan ataupun membantah, ia
berdiam sejenak. Kemudian meneruskan:
"Surat wasiat guru ditulis dengan larutan tawas. Orang
harus memanggang terlebih dahulu di atas api, apabila
hendak membacanya. Kemudian setelah aku melakukan
percobaan percobaan maka aku mengaduknya dengan
sumsum harimau dan bubuk cacing phospor. Karena itu,
apabila surat itu berada di dalam gelap, akan menyala
sendirinya. Kau lihatlah!" setelah berkata demikian ia
memadamkan lenteranya dan benar saja tulisan yang
berada diatas kertas lantas bercahaya mengkilat. Dan
begitu lentera dinyalakan kembali sehingga kegelapan
malam dikalahkan o leh cahaya lent era, nyala huruf-huruf
itu lantas lenyap tak kelihatan lagi. Dengan demikian
pada kertas itu terdapat dua bentuk tulisan. Yang
pertama tulisan Palupi yang terbaca apabila keadaan
terang. Dan yang kedua tulisan Ki Sarapada yang terbaca
apabila keadaan gelap pekat.
Sebenarnya hal itu sangat sederhana saja. Baik
Panjisangar maupun Janggel dan Roha pasti mengerti
pula rahasia demikian. Akan tetapi mereka tadi sedang
bertempur mati-matian, sehingga kaget bukan main
begitu melihat tulisan gurunya yang muncul dengan
mendadak di pohon. Sudah begitu mereka terperanjat
lagi dengan munculnya Palupi setelah menyalakan
lilinnya. Mereka bertiga yang memusatkan seluruh perhatiannya kepada persoalan
kitab sakti warisan gurunya,
sedikitpun tidak sadar bahw a waktu itu adik seperguruannya sedang menebarkan hawa beracun
melalu i lilinnya. Setelah mengetahui latar belakangnya, maka Lingga
W isnu ikut bergembira dan bersyukur seolah-olah iapun
ikut menang dalam persoalan ini. Sebaliknya Palupi heran
melihat kegirangan Lingga W isnu. Tanyanya menegas :
"Kenapa engkau begitu girang" Bukankah tanganmu
terkena racun jahat kakak seperguruanku?"
"Kau tadi berjanji hendak menyembuhkan aku," sahut


Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lingga W isnu cerdik. "Dan aku tahu, ayunda Palupi
adalah seorang bidadari y ang jujur. Aku kira duduk dekat
anak murid terkasih Ki Sarapada, seorang tabib maha
sakti tak ubah malaikat. Karena itu meskipun andaikata
aku kena pukulan dewa maut, murid Ki Sarapada pasti
sanggup menolong jiwaku. Apa perlu aku takut?"
Mendengar perkataan Lingga W isnu yang kekanakkanakan , Palupi tertawa geli.
Tiba-tiba ia memadamkan lenteranya. Kemudian terdengar suara gemersik dari
tempat keranjang diletakkan. Dan ternyata Palupi sudah
berganti pakaian. Kini ia mengenakan kebaya hijau dan
berkain batik parangrusak.
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 6 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Si Rajawali Sakti 8
^