Pencarian

Pendekar Aneh Naga Langit 40

Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong Koay Hiap Karya Marshall Bagian 40


Ilmu dan jurus yang mereka mainkan mirip, hanya beda di pendalaman, kematangan dan juga pengalaman. Sementara kekuatan iweekang mereka berdua tidaklah jauh berbeda. Tetapi variasi serangan Liok Kong Djie jelas masih lebih kaya, lebih variatif, sementara Tio Lian Cu lebih tajam dan lebih murni. Sesuai sifatnya, beberapa jurus Liok Kong Djie lebih keji dan bersifat kejam dan mematikan, meski tetap berpatokan dari daya dan tata gerak Hoa San Pay. Karena itu, pertarungan mereka berdua lebih terlihat bagai pertarungan pibu ataupun latihan dari dua aliran Hoa San Pay yang dimainkan oleh tokoh-tokoh puncak dan tokoh tertinggi. Tidak heran jika kemudian Bok Hong Ek dan juga Lui Beng Wan memandangi pertarungan mereka berdua dengan sinar mata kagum dan ketertarikan yang tidak tersembunyikan. Hanya, sinar mata Lui Beng Wan terlihat kelam dan seperti sedih, sementara Bok Hong Ek jelas tertarik dengan pameran kekuatan dua orang yang bertarung. Maklum, betapapun untuk saat ini, kedua petarung adalah tokoh-tokoh terkemuka dan menguasai Ilmu Hoa San Pay dengan sempurna.
Cukup cepat, 50 jurus sudah berlalu dengan serang menyerang yang terus berganti dan dengan jurus dan ilmu Hoa San Pay yang dihamburkan keduanya. Ilmu apapun yang dikembangkan baik oleh Tio Lian Cu maupun oleh Liok Kong Djie, dapatlah diantisipasi oleh lawan. Maklum, dua-duanya tokoh puncak perguruan yang sama, yang sayangnya membela kepentingan kelompok yang berbeda. Dalam hati Tio Lian Cu, sebagaimana pesan Thian Hoat Tosu Suhunya, jelas masih tersisa hormat dan ijin kepada tokoh tua mereka, Liok Kong Djie. Bagaimanapun dia masih saja tetap menyayangkan pilihan orang tua yang sering memang mengangkangi aturan kaum pendekar. Meski setahunya, tidak banyak dosa di luar perguruan dari sesepuh ini yang dapatlah membuatnya dihukum secara hebat. Justru dosanya terhadap Hoa San Pay yang sangat menyesakkan. Itu sebabnya Tio Lian Cu masih dapat bersabar dan tetap berusaha memberi jalan hidup bagi seorang Liok Kong Djie. Tetapi, bagaimanapun dia juga paham, bahwa pada satu titik, dia tetap harus mengambil keputusan untuk kepentingan orang banyak dan juga untuk tetap menjaga dan juga melindungi nama besar Hoa San Pay.
Sementara Liok Kong Djie, sejak terpukul lukanya Suma Cong Beng dan bahkan belakangan tidak mampu diobati, memang lebih sering merenung dan jadi banyak bercakap dengan Lui Beng Wan. Meski Lui Beng Wan sering dia perlakukan tidak layak dibanding Suma Cong Beng, tetapi justru murid inilah yang paling berbakat dan paling banyak menyerap ilmunya. Liok Kong Djie memang aneh. Meskipun dia sangat ambisius dalam ilmu silat, tetapi sifat positif lainnya, dia tidaklah menyimpan ilmu silatnya dari para muridnya. Inilah keuntungan Lui Beng Wan yang mampu menguasai ilmu-ilmu Suhunya, bahkan kemampuannya sudah tidak berbeda dengan sang Suhu pada saat itu. Itu sebabnya, Lui Beng Wan mampu memperkirakan apa yang akan terjadi di arena, karena dia sudah dapat mengukur dan paham sampai dimana kemampuan Tio Lian Cu. Kesedihan yang membayang, karena dia seperti bisa mengetahui seperti apa nanti Tio Lian Cu akan bertarung dengan Suhunya, dan dia tidak lagi dapat mencampurinya.
Seratus jurus berlalu, dan terlihjat Lui Beng Wan menahan nafas karena Liok Kong Djie sudah mulai memainkan Ilmu keras, yakni ilmu pukulan Jit gwat it sian kun (pukulan matahari dan rembulan satu garis). Pukulan yang pernah dan sempat menggemparkan Tionggoan ini dimainkan suhunya dengan kekuatan gwakang dan iweekang yang sudah meningkat tajam. Bukan hanya itu, dia melihat emosi Suhunya juga mulai terpancing dan ini bakalan berbahaya dan menentukan. Sebab jika sang Suhu terpancing menyerang dengan seluruh kekuatan, dan dia tahu ini yang akan dilakukan sang Suhu, maka Tio Lian Cu cukup menunggu suhunya habis dimakan usia. Dan apa yang dia khawatirkan memang terjadi. Mengetahui lawannya mulai memainkan ilmu keras dan dalam, Tio Lian Cu malah memainkan Ilmu rahasia yang belum dikuasai orang lain di Hoa San Pay. Ilmu itu adalah ilmu sakti Tiang-kun Sip-toan kim, Ilmu yang rahasianya lama tenggelam dan diperoleh kembali oleh Tio Lian Cu lewat bantuan monyet sahabat Koay Ji.
Ilmu Khas HOA SAN PAY ini memang hebat, prinsipnya semakin lawan cepat dalam bergerak, semakin engkau gesit dan cerdik " semakin lawan kuat menyerang dalam iweekang ataupun gwakang, semakin engkau lincah dan licin bergerak. Semuanya mesti dilawan dengan gaya dan cara yang tepat, dan prinsip semua bukan tanpa batas dan tanpa lawan, dan karenanya melawan harus dengan cara yang pas dan juga tepat. Itulah prinsip ilmu sakti Hoa San Pay ini, yang baru seorang Tio Lian Cu yang memahami dan meyakinkannya berdasarkan Kitab Pusaka yang lama hilang dari perguruannya. Ilmu itu, bahkan menjadi jauh lebih sempurna jika dibandingkan dengan aslinya, setelah Tio Lian Cu tidak pelit mendiskusikannya dengan Koay Ji. Dan lebih dari itu, dia malah memperoleh beberapa formula tata gerak baru yang menyempurnakan ilmu mujijatnya, tata gerak yang beberapa diambil Koay Ji dari Ilmu Thian Liong Pat Pian.
Ilmu itulah yang mulai dikembangkan Tio Lian Cu dan membuatnya menyesuaikan gerakan menghindar dan menyerangnya dengan gerakan menyerang dan gerakan menghindar dari Liok Kong Djie. Dan memang hebat. Tio Lian Cu tidak sedikitpun merasa berat menghadapi serangan Liok Kondg Djie yang membadai, sebaliknya, ketika dia masuk menyerang lawan, dia merasakan betapa ada beberapa ketika Liok Kong Djie merasa agak kaget dan sedikit bingung dalam melawannya. Kondisi ini membuatnya terkenang dengan Koay Ji dan sempat kaget, karena benar, Liok Kong Djie yang sangat sakti dan hebat sesekali rada keteteran. "Sebenarnya sampai dimana pengetahuan ilmu dan gerak Koay Ji itu.....?" desisnya heran bareng kagum. Begitupun, dia tetap mengambil inisiatif sesuai dengan ilmu mujijat andalannya, dan dengan cara demikian dia selalu seperti berada selangkah didepan Liok Kong Djie. Dengan begitu pula, Tio Lian Cu memaksa Liok Kong Djie untuk terus dan terus mengembangkan ilmunya daam menyerang.
Dan kegembiraan Tio Lian Cu merupakan kegelisahan Lui Beng Wan. Dia melihat betapa ilmu mujijat Hoa San Pay, entah bagaimana, ternyata memiliki keampuhan yang "jauh" diluar perkiraannya semula. Dia sempat memandang enteng ilmu Tiang Kun Sip Toan Kim yang dia pahami agak remeh dan kurang hebat. Tetapi Suhunya, anehnya selalu saja berkeras dan berkeras bahwa sebetulnya itu merupakan satu ilmu mestika. Maka pada saat dia melihat bagaimana Tio Lian Cu memainkannya, dia mulai menjadi paham jika memang ilmu itu benar mujijat dan hebat. Begitupun, dia hanya menjadi bingung karena kurang paham kenapa terlihat demikian hebat" Bukankah semua gerakan Tio Lian Cu dia tahu dan paham" Tetapi, mengapa di tangan Tio Lian Cu terlihat demikian hebat dan membuat serangan suhunya jadi mentah" Demikian mujijatnya hingga mampu membuat suhunya seperti hilang arah" Sungguh pusing seorang Lui Beng Wan memikirkannya.
Liok Kong Djie sedang mencecar Tio Lian Cu dengan kekuatan hebat, tetapi Lui Beng Wan melihat Tio Lian Cu tidak terdesak sama sekali. Memang, Tio Lian Cu bergerak seperti dalam tekanan, tetapi semua pilihan langkahnya sangat menarik. Mudah, ringan dan tidak banyak makan tenaga. Sementara suhunya, justru berbeda dengan gaya Tio Lian Cu, menyerang dengan kekuatan penuh dan terus menerus berusaha menyudutkan Tio Lian Cu. Karena memang beberapa kali Tio Lian Cu bagai mati gaya, tetapi anehnya, selalu menghindarkan diri dari terpaan serangan dengan mudah. "Jelas ini bukan kebetulan, tetapi sesuatu yang sudah dipersiapkan dan diantisipasi olehnya.." desis Lui Beng Wan dan semakin tertarik mengikuti bagaimana kelanjutan pertarungan kedua tokoh hebat itu.
Tidak usah dikisahkan lagi, pada saat itu, semua tokoh yang berada disana, mulai menyaksikan dan paham mengapa Tio Lian Cu menjadi Ciangbudjin. Memang benar dia seorang wanita dan masih muda pula, kurang pengalaman dan masih kurang meyakinkan menjadi Ciangbudjin. Tetapi, melihat kemampuannya saat itu, banyak orang berdecak kagum dan heran dengan ketabahan Tio Lian Cu. Tidak takut, tidak khawatir, bertarung secara gagah dan terlihat benar jika dia bertarung hebat meski lebih sering terlihat mata awam "sedang didesak". Padahal, mata para ahli paham, bahwa Tio Lian Cu memainkan siasat yang tepat dan sedang "menjemput" sebuah kemenangan yang gemilang atas lawan tua yang sangat hebat itu. Ini pula yang ada dalam benak dan tebakan seorang Lui Beng San sebagai tokoh yang juga tidak berada dibawah kemampuan Tio Lian Cu sendiri. Dia sudah menebak, bahwa meskipun lama, tetapi Suhunya akan jatuh dengan bekal ilmu yang dilihatnya dari Tio Lian Cu, dan yang dia sendiri mengakui belum menemukan kehebatannya tetapi terlihat amat bermanfaat dan mujijat. Mungkin dia sendiri akan berlaku dan bertindak seperti suhunya pada saat itu.
Dan perkiraan Koay Ji dan Tek Ui Sinkay yang menduga bahwa ini akan menjadi pertarungan panjang mulai menjadi kenyataan. Dua jam sudah lewat, sudah lebih dua ratus jurus mereka hamburkan, tetapi belum ada tanda-tanda siapa yang akan menjadi pemenang dalam waktu dekat. Selama dua ratus jurus, Tio Lian Cu lebih banyak mengelak dan meladeni gaya menyerang lawan, tidak terlihat berusaha masuk dengan ilmu mematikan. Sinkang keduanya yang mirip yakni Siauw Thian Sinkang, sebuah sinkag khas Hoa San Pay sudah dikerahkan sejak sangat awal, dan melambari pertarungan mereka. Bahkan Ilmu Pa Hoat Sin Kong atau Ilmu Sakti Menotok Jalan Darah yang juga salah satu ilmu khas yang membutuhkan daya iweekang penuh, sudah habis dimainkan Liok Kong Djie. Tetapi, tidak mampu untuk membuat Tio Lian Cu dikalahkan, malah sebaliknya justru menguras banyak kekuatan tenaga dalam dan menguras kekuatan fisiknya.
Semakin lama semakin mampu Tio Lian Cu merangsang Liok Kong Djie untuk terus mengejar dan menyerangnya. Terkini, Liok Kong Dji mulai memainkan kombinasi ilmu Thiat Sat Ciung (Pukulan Pasir Besi) dengan sebuah Imu Eng Jiauw Kang (Cengkeraman Kuku Garuda). Ilmu ini juga sama membutuhkan kekuatan besar agar dapat mendesak dan merangsek lawan. Tetapi, yang membuat Lui Beng Wan mengernyitkan keningnya adalah, Tio Lian Cu tidak mengimbangi dengan sama menggunakan ilmu itu. Tetapi justru menggabungkan ginkang Liap In Sut dari Bu In Sinliong dan juga dengan jurus-jurus gerak mujijat yang terus dia pertahankan dari ilmu Sakti Tiang Kun Sip Toan Kim. Akibatnya, Liok Kong Djie terlihat jauh lebih lelah ketimbang Tio Lian Cu, meskipun memang belum tentu dia akan kalah. Tapi bukankah dengan usia tua Liok Kong Djie ini dalam jangka panjang akan dapat nanti menentukan siapa yang menang"
"Accchhh, dia sudah tahu, bahwa menang dari Suhu haruslah mengandalkan daya tahannya yang jelas jauh melebihi Suhu...." desis Lui Beng Wan dalam hati dan mau tidak mau memuji Tio Lian Cu. Meskipun, dugaannya tidaklah seluruhnya benar, karena sesungguhnya, Tio Lian Cu masih menjaga muka sesepuhnya. Jika benar keadaan memaksa, Tio Lian Cu memiliki kemampuan dan kepercayaan diri untuk bisa keluar sebagai pemenang dari pertarungan ini. Dugaan Lui Beng Wan hanya benar separuhnya, tetapi tidak dalam keseluruhannya. Dia memang belum mampu mengenali kemampuan Tio Lian Cu seperti Koay Ji mengetahui dengan jelas tingkat kemampuan Tio Lian Cu saat ini. Tingkat kemampuan yang bahkan sudah sedikit mengatasi sesepuhnya itu, atau supeknya itu.
Memasuki pertarungan di atas jurus ketigaratus setelah lebih dua jam atau mendekati tiga jam pertarungan, tiba-tiba keadaan berubah lagi. Di tangan Liok Kong Djie entah bagaimana bertambah dengan sebuah tongkat kecil yang tidaklah panjang sepanjang tongkat kaum Siauw Lim Sie. Seperti pedang saja panjangnya, terlampau pendek menjadi tongkat. Dan, dengan tiba-tiba dia mendesak Tio Lian Cu dengan sebuah Ilmu Pedang yang disebut Ilmu Ngo lian hoan kiam hwat (Ilmu Pedang Lima Teratai). Tentu saja Tio Lian Cu juga paham dengan Ilmu ini, karena itu dia tidak kesulitan menghadapinya meski tidak memakai pedang. Tetapi, ketika memasuki ilmu pedang yang lain, yakni Ilmu Pedang Hoan Ki Bun Kiam Hoat (Ilmu Pedang Sungsang Balik), kelihatan agak sulit bagi Tio Lian Cu jika bertangan kosong. Dia lebih mendasarkan pada ginkang Liap In Sut dan juga gaya ilmu mujijat atau Ilmu Sakti Tiang Kun Sip Toan Kim untuk menghadapinya.
Koay Ji sempat terkejut melihat Liok Kong Djie memakai senjata, tetapi tidak dapat melarang karena memang tidak ada peraturan yang mereka sepakati. Yang penting bertarung dengan kepandaian, memakai senjata, racun ataupun ilmu sihir tidaklah dilarang. Meski tidak yakin Tio Lian Cu kalah, tetapi keadaannya yang menjadi agak sedikit terdesak cukup merisaukan. Tetapi, tidak berapa lama, Bok Hong Ek sudah melemparkan senjata pedang yang dapat ditangkap Tio Lian Cu setelah dia mampu mengerahkan beberapa jurus istimewa dari ilmu Liap In Sut. Pertarungan berikut menjadi semakin menegangkan karena kini mereka bersenjata, bahkan Tio Lian Cu sendiripun sudah menggenggam dan menggunakan sebatang pedang. Resiko untuk terluka tetap saja terbuka lebar.
Memang, sesungguhnya Tio Lian Cu jarang berkelahi menggunakan pedang, meski dia terus menerus melatih diri dalam Ilmu pedang Hoa San Pay yang tadi sudah digunakan lawan menyerangnya. Liok Kong Djie tidak paham, jika Tio Lian Cu malah menguasai Ilmu Pedang Rahasia Hoa San Pay, meskipun tidak mampu memainkan jurus pamungkasnya. Pada saat itu, yang mampu melatih Ilmu Pedang Tian To Im Yang Ngo Heng Kiam Hoat, memang hanya Tio Lian Cu. Bahkan Liok Kong Djie sendiri tidak mengetahui keberadaan Ilmu ini, hanya mendengar jejaknya saja tanpa tahu bagaimana bentuk dan ilmu tersebut. Dengan berpedang, maka sudah terbuka kemungkinan Tio Lian Cu menyerang dengan Ilmu tersebut. Sebuah Ilmu yang sudah lama tidak lagi dikenal dimiliki oleh Hoa San Pay, karena memang hanya Ciangbudjin yang menguasai ilmu tersebut secara sempurna. Bahkan Thian Hoat Tosu sendiripun tidak belajar karena memang Ilmu khusus bagi seorang Ciangbudjin dari perguruan Hoa San Pay.
Tetapi, kemampuan bersilat pedang Liok Kong Djie cukup hebat. Dia menguasai prinsip ilmu pedang dengan baik, dan kelihatannya dia tidak kalah sebat dan tidak kalah hebat ketimbang Tio Lian Cu. Karena mereka kini bisa saling serang dengan lebih imbang dibanding tanpa senjata. Atau bahkan Liok Kong Djie seperti bisa lebih mendesak dan menghadirkan bahaya bagi Tio Lian Cu. Hal itu lebih disebabkan Tio Lian Cu sangat jarang bertempur dengan menggunakan senjata, meskipun diapun sering berlatih menggunakan pedang dalam latihannya. Untungnya, Liok Kong Djie menggunakan tongkat yang dimainkan sebagai pedang dan bukannya sebatang pedang asli yang tajam. Betapapun, Ilmu Pedang yang dimainkan bukan dengan pedang, sama dengan mengurangi efek hebat ilmu pedang aslinya.
"Haiiiiiit......."
Liok Kong Djie mendesak kembali dengan kini menggunakan berturut-turut dua jurus atau gerakan, yakni jurus Beng goat Kiam eng (Bayangan pedang diterang bulan) dan gerakan Hui niauw cut lim (Burung terbang keluar hutan). Kedua jurus atau gerakan sambung menyambung itu menerjang Tio Lian Cu dari 5 sisi berbeda dengan gerakan memukul dan menutul, cepat dan berkekuatan yang cukup untuk mematahkan ataupun menotok untuk mengakhiri pertarungan mereka. Iok Kong Djie bergerak dengan sepasang kaki yang melingkar-lingkar dalam gerakan khas Ilmu Hoan Ki Bun Kiam Hoat (Ilmu Pedang Sungsang Balik). Dengan jurus itu dia mencoba mengurung Tio Lian Cu di tengah arena sehingga mudah dia hujani dengan jurus serangannya yang bervariasi banyak. Tetapi, meskipun memang agak sedikit terdesak oleh serangan lawan, gerakan kaki dan kecepatan Tio Lian Cu tidak luntur. Dia mampu membaca arah serangan lawan dan karena itu diapun bergerak sama cepat dengan lincahnya dan balas menyerang.
Sampai 3 jurus berturut dilepaskan Tio Lian Cu untuk menetralisasi serangan Liok Kong Djie yang berusaha menjebaknya di tengah arena. Paduan antara gerakan lemas, licin dan cepat dilepaskannya dalam tiga rangkaian jurus Thian lie pian in (Bidadari menari di dalam awan), disusul dengan jurus ok miao pok cie (Kucing galak menubruk tikus) dan terakhir dengan jurus Hay tee lo got (Di dasar laut meraup rembulan). Menarik melihat dan menyaksikan bagaimana keduanya dalam aksi saling antisipasi dan saling serang balik untuk mematahkan serangan lawan. Meski memang setiap dua jurus serangan Liok Kong Djie, harus dijawab dengan 3 gerakan atau 3 jurus Tio Lian Cu untuk memunahkannya.
Tetapi, bayangan keduanya saling libas satu dengan yang lainnya, bergerak maju, mundur, menyamping, menggerakkan tubuh, melentingkan badan, dan seterusnya terus menerus mereka lakukan. Sudah beberapa kali badan, lengan, kaki keduanya terlihat nyaris tersambar serangan lawan, tetapi dengan manis mereka berkelit dan serangan lawanpun lewat. Untuk kemudian, yang terserang sebelumnya bangkit dan balas menyerang serta mendesak lawan. Terus seperti itu dan berlangsung sampai seratus jurus lebih, hingga pertarungan mereka memasuki jurus ke-empat ratus atau bahkan lebih. Yang jelas, matahari mulai condong ke barat, tetapi pertarungan kedua tokoh Hoa San Pay itu masih belum kelihatan penentuannya.
Tiba-tiba Liok Kong Djie berubah permainan ilmunya, dia kini mulai bermain dengan tongkatnya dan terlihat mencipatkan ratusan tongkat yang yang mencecar Tio Lian Cu dari ketinggian. Itulah Ilmu Thian Lo Sin Kuay Hoat (Ilmu Silat Tongkat Sakti jatuh Dari Langit), salah satu ilmu pusaka Hoa San Pay yang dimainkan dengan tongkat. Permainan ini menguntungkan Liok Kong Djie dari segi senjata, tetapi dia kalah dari kematangan Ilmu ini. Bukan apa-apa, kemenangan Liok Kong Djie, karena dia bersenjata TONGKAT, sementara Tio Lian Cu menggunakan Pedang. Hal ini amat disadari oleh Tio Lian Cu yang untungnya sudah menggubah ilmu itu menjadi sebuah Ilmu pedang.
Tetapi, sesungguhnya Tio Lian Cu juga tidaklah kalah-kalah amat. Apa pasal" Dia menemukan Kitab Pusaka Hoa San Pay, yang justru memuat salah satunya ilmu asli dari Ilmu Thian Lo Sin Kuay Hoat. Dan karena itu, Tio Lian Cu mampu memainkan ilmu ampuh tersebut lebih asli dan lebih murni. Dan lebih hebat tentunya. Ternyata, dengan cara ini dia mampu unggul atas lawannya, tetapi karena menggubahnya menjadi Ilmu Pedang, banyak juga detail penting ilmu tongkat yang tidak mampu diterjemahkan kedalam Ilmu pedang. Ini sebabnya, dalam ilmu khas ini, keduanya seperti tidak mampu lebih hebat dari lawannya, meski sebenarnya Tio Lian Cu tetap saja lebih tajam dan membahayakan. Liok Kong Djie kaget dengan gerakan-gerakan aneh yang mujijat tetapi belum dikenalnya, tetapi dapat mengantisipasinya karena digunakan dalam bentuk sebuah ilmu pedang. Sementara Tio Lian Cu kaget dengan gubahan-gubahan Liok Kong Djie yang lebih ampuh dengan menggunakan tongkat dalam ilmu tersebut.
Karena kelebihan dan kekurangan masing-masing, maka tidak ada yang mampu meraih keuntungan siginikan dan berarti melalui ilmu tersebut. Maka, ketika 50 jurus mereka habiskan dalam ilmu itu, tetap saja tidak ada yang mampu bertarung agak dominan dibandingkan lawan. Keduanya tetap saling serang dan tidak mampu berbuat lebih banyak selain mendesak dan kembali didesak. Tetapi, pada ujung penggunaan ilmu tersebut, tiba-tiba Tio Lian Cu menggertak hebat sambil berkata kepada Liok Kong Djie:
"Jaga jangan sampai terluka dengan Ilmu Pusaka Hoa San Pay.....", seruan yang berupa peringatan tetapi sekaligus juga membawa ancaman atas Liok Kong Djie. Atas pengamatan selama pertarungan, dia memang sadar bahwa lawan yang masih muda ini memiliki banyak khasanah ilmu Hoa San Pay. Karena itu, dia bersiaga dengan peringatan Tio Lian Cu dan segera bersiap.
Sementara Tio Lian Cu, setelah mengeuarkan kalimat tersebut segera berteriak lirih dan penuh keyakinan dalam suaranya:
"Haaaaiiiiiiiiiiiiiittttt............... siung-siung....."
Dua gerakan cepat dan sangat tajam berkesiutan membuat perasaan banyak orang jadi tergetar. Bukan hanya kecepatan, tetapi ketajaman angin desingan pedang sungguh menggidikkan hati, dan Liok Kong Djie yang sudah makan banyak asam garam paham apa yang akan dilakukan Tio Lian Cu. "Ilmu pedang apa lagi yang dia miliki itu....?" tanyanya dalam hati. Meski bertanya, dia sesungguhnya sudah siaga dan siap menghadapinya.
Sementara itu, Tio Lian Cu sudah menggerakkan pedangnya yang entah bagaimana sejak dimulai dengan gerakan pendahuluan, sudah mengeluarkan desingan pedang yang amat tajam dan menggidikkan hati. Tidak heran. Karena memang dia mulai menggunakan ilmu pusaka Hoa San Pay yang bernama Ilmu Pedang Tian-To Im Yang Ngo Heng Kiam Hoat yang berdasarkan Kitab Pusaka Pit Kip Tian To Im Yang Ngo Heng Kiam Hoat. Lima lembar warna pedang mendesing mengikuti dan mengepung tubuh Liok Kong Djie yang mencoba melindungi dirinya dengan tongkat yang tidak dilepasnya. Tetapi diandalkannya untuk menghadapi Tio Lian Cu yang mulai menggerakkan pedang dan menciptakan selalu 5 jalur serangan pedang, entah tebasan, tusukan ataupun pukulan dengan badan pedang. Selalu akan ada 5 serangan secara bersamaan.
"Hahhhh, engkau memilikinya....?" desis Liok Kong Djie yang dapat didengar oleh beberapa gelintir manusia belaka. Jelas dia tahu ilmu ini, setidaknya sudah pernah mendengar karena ciri khasnya yang selalu ada 5 jalur serangan pedang. Dia sendiri tidak tahu ilmu ini, heran mengapa Tio Lian Cu menguasainya dan memainkannya dengan sangat hebat menghadapinya"
Biarkan dia bingung, dan memang sangat bingung pada saat itu. Dia benar memiliki banyak ilmu, tetapi tetap saja terkejut dan gentar dengan lima jalur serangan Tio Lian Cu yang berganti-ganti arah, sasaran namun dengan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa. Sekali ini, setiap serangan Tio Lian Cu akan dibutuhkan 4 hingga 5 jurus anti serangan baru dia bisa meloloskan diri. Tetapi, semakin lama dia semakin merasa berat karena tenaga dan pikirannya benar-benar terkuras menghadapi serbuan mujijat Tio Lian Cu. Dan repotnya, sekali ini, dia mengeluarkan energy yang begitu besar untuk menghadapi serangan beruntun, bergelombang dan sangatlah membahayakan. Tak dia sadari jika keringat mulai mengucur deras dan selain itu keringat dingin juga mulai mengucur untuk menetralisasi kehebatan jurus pedang Tio Lian Cu. Tidak dia sangka jika Tio Lian Cu atau tepatnya Hoa San Pay masih menyimpan llmu sehebat ini dan dengan sangat susah payah baru dapat dia hadapi dan menggunakan banyak tenaga dan menggunakan sebagian besar kecerdasan yang dia miliki. Sungguh hebat.
Tetapi, pada puncaknya, Tio Lian Cu yang sebenarnya sudah di ujung tangga untuk memenangkan pertarungan, tiba-tiba kehilangan ketajaman, kekuatan dan juga kehebatannya. Apa pasal" dia tidak mampu memainkan kembali ilmu itu dari awal, karena memang ada jurus pamungkas yang amat dahsyat yang belum mampu dia mainkan. Itulah sebabnya, Liok Kong Djie masih mampu bertahan dan masih mampu melanjutkan pertarungan meskipun tadinya dia sudah kehilangan akal dan kehilangan ide menghadapi serangan lanjutan Tio Lian Cu. Sungguh keuntungan yang luar biasa pada saat dia kehilangan pegangan. Dan diam-diam dia bergidik dan sadar, bahwa Tio Lian Cu belum menguasai puncak serangan ilmu itu yang tadinya dia sudah pasrah karena tidak mampu melawan lagi.
Untuk melanjutkan serangannya, Tio Lian Cu memainkan Toa Hong Kiam Hoat (Ilmu pedang Angin Badai). Tapi, sayang dia tidak menggunakan Pedang Toa Hong Kiam dan menggunakan pedang biasa saja. Selain itu, perbawa ilmu perguruan itu sendiri juga sudah diketahui dan dikuasai oleh Liok Kong Djie. Maka selamatlah dia, mampu bertarung lagi meskipun tenaganya mulai terasa merosot setelah empat jam lebih atau nyaris lima jam terus bertarung ketat. Tenaga dan fisiknya benar-benar terkuras dalam setengah jam terakhir saat menghadapi ilmu pedang mujijat Hoa San Pay yang masih belum dia kenal dan ketahui teorinya itu. Tapi, kini, meski sudah lelah, semangatnya bisa bangkit kembali karena mampu lagi mengimbangi serangan lawan dan tidak perlu terdesak hebat seperti sesaat sebelumnya.
Setelah berkurangnya daya serang Tio Lian Cu, Liok kong Djie kemudian kembali tumbuh kepercayaan dirinya dan kini bersilat dengan lebih berani dan lebih terbuka. Dia kini memutuskan untuk menggunakan Ilmu ciptaannya sendiri yang masih belum dikenal Tio Lian Cu sendiri, yakni Thiat Pi Peh Chiu (Pukulan Tangan Besi). Ilmu itu dikombinasikannya dengan sebuah ilmu pedang yang tadi sudah dia mainkan seelumnya, yaitu Ilmu Pedang Hoan ki bun kiam hwat (ilmu pedang sungsang balik). Dengan cara itu dia menandingi Ilmu pedang Toa Hong Kiam Hoat yang juga hanya diturunkan kepada Ciangbudjin Hoa San Pay. Hanya, dia sendiri sudah serin melihat bagaimana ilmu itu dikembangkan dan dimainkan. Lebih dari itu, Liok Kong Djie berani dengan tangan kosong menangkis pedang Tio Lian Cu yang juga kaget dengan perubahan gaya bertarung Liok Kong Djie.
Kini, mereka kembali bertarung ketat dan Tio Lian Cu kembali mendesak lawan dengan bertarung sambil menyesuaikan dengan daya dan gaya tarung lawan. Dia kini memutuskan untuk menguras daya tahan lawan dan kelak akan menyerangnya dalam ilmu yang bersifat menentukan, pamungkas. Karena berpikir demikian, maka Tio Lian Cu seperti kembali memberi kesempatan dan peluang Liok Kong Djie untuk mengembangkan serangannya hingga membuatnya kembali seakan terdesak. Dan, dalam kelelahan, maka kewaspadaan dan emosi akan sulit dikontrol, terlebih bagi Liok Kong Djie yang sudah bertarung nyaris selama 5 jam. Menemukan dia seperti kembali memiliki kemampuan menyerang dan mendesak lawan, maka dia pada akhirnya justru terpancing menyerang.
Dengan bersemabgat dia kini terus-menerus memburu dan terus menyerang Tio Lian Cu sambil mencoba untuk memojokkan dan mengalahkan lawan mudanya yang adalah Ciangbudjin Hoa San Pay itu. Padahal mestinya dia sudah punya pengalaman pada tarung babak awal bahwa betapa alotnya Tio Lian Cu dalam memainkan ilmu-ilmu Hoa San Pay. Tetapi memang, keadaan Liok Kong Djie sudah berada pada puncak keletihan, sehingga pertimbangan-pertimbangan strategis biasanya mulai lewat dan biasanya sudah tidak lagi dapat menyaringnya. Itulah yang kini sedang dialami seorang Liok Kong Djie.
Dari sebaliknya memelihara tenaga, Liok Kong Djie justru kembali memainkan ilmu ilmu variasi yang pernah dia gubah dan ciptakan, termasuk gubahannya sendiri atas Ilmu Pa Hiat Sin Kong (Ilmu Sakti Menotok Jalan Darah). Bahkan gilanya, dia lagi memperhitungkan kondisinya, mendesak Tio Lian Cu dengan jurus-jurus berat dari ilmu pukulan Jit gwat it sian kun (pukulan matahari dan rembulan satu garis) yang banyak makan tenaga. Memang, akibatnya Tio Lian Cu benar terdesak hebat bukan karena "memberi angin", tetapi karena memang masih kurang paham dengan varian jurus baru sisipan Liok Kong Djie itu. Untungnya, jurus-jurus sisipan dari Koay Ji berupa langkah mujijat pada bagian pertahanannya, banyak menolongnya hingga beberapa kali. Dan keadaan inilah yang membuat Liok Kong Djie bertambah murka karena semestinya dalam perhitungannya dia sudah memenangkan pertarungan. Tapi, entah bagaimana Tio Lian Cu bisa meloloskan diri. Dekatnya dia dengan kemenangan, membuatnya memforsir diri mengejar dan mencecar Tio Lian Cu guna memaksakan kemenangan secepatnya.
Rasa penasarannya memang bisa dimaklumi. Bagaimana tidak" Karena ketika dia memainkan dua jurus berangkai, masing-masing jurus Kimso heng kong (Rantai emas melintangi sungai) disusul dengan jurus Hui hong lam hay (Angin puyuh yang datang dari selatan), dia merasa sudah sangat dekat dengan kemenangan. Tetapi, apa lacur, sebuah gerakan manis dan sangat tak terduga dari Tio Lian Cu dalam jurus Liang Cie Yauw (Dua Sayap Bergoyang) mampu membuyarkan satu mimpi kemenangan yang sudah di depan mata. Dia memang tidak membayangkan bahwa Tio Lian Cu masih memiliki simpanan gerakan mujijat yang dia tahu tidak ada dalam khasanah gerak Hoa San Pay.
Dalam gemas dan gregetannya karena merasa "sudah dekat" dengan kemenangan tetapi lepas lagi, Liok Kong Djie akhirnya mengumbar sisa 25 jurus dari ilmu hebat asal Hoa San Pay, yakni ilmu pukulan Jit gwat it sian kun (pukulan matahari dan rembulan satu garis). Belum cukup, dia menyelingi dengan kombinasi maut juga dengan Ilmu Pa Hiat Sin Kong atau ilmu sakti menotok jalan darah. Belum juga berhasil, dia susul dengan Ilmu Thiat Pi Peh Chiu (Pukulan Tangan Besi) yang juga sudah gagal dia gunakan sebelumnya. Tetapi, sekali ini memang terutama berisi semua varian jurus ciptaannya sehingga mengagetkan Tio Lian Cu. Liok Kong Djie memang harus diakui sebagai penggemar dan maniak ilmu silat, dan karenanya dia banyak mencipta jurus dan gerak baru melengkapi yang sudah ada. Seperti juga saat itu, Tio Lian Cu benar-benar kaget menemukan betapa Ilmu Hoa San Pay dapat digubah menjadi demikian berbahaya. Sebagian malah sangat mematikan, sangat membahayakan dan sering tidak memperdulikan watak kegagahan. Yang penting bermanfaat untuk menang, dengan licik dan curang sekalipun. Tetapi, harus dia akui memang hebat dan membahayakan.
Kembali satu jam lewat, mereka sudah lebih 500 jurus bertarung, dan Tio Lian Cu sudah paham bahwa tenaga dalam dan fisik Liok Kong Djie benar-benar sudah amat terkuras. Dan Liok Kong Djie sendiri menyadarinya, dan mulai was-was karena dia menyadari iweekangnya mulai tersendat. Tanda bahwa secara fisik kelelahan mulai memakan kehebatan iweekangnya, sebuah tanda ketuaan yang amat sulit untuk ditolak siapapun. Sehebat apapun orangnya. Dan Liok Kong Djie mengetahui bahwa dia semakin merosot, bahkan merasa bahwa badannya sudah panas, bahkan awan tipis mulai mengepul di atas kepalanya. "Ini harus segera diselesaikan, apa boleh buat" desis Liok Kong Djie yang pada akhirnya berpikir, jika memang harus, apa boleh buat. Harus dilakukan apapun resikonya. Ya, Liok Kong Djie tidak lagi mampu melihat ada jalan lain dari kondisinya. Padahal, dia sendiri yang menciptakan satu keadaan dimana TIDAK ADA JALAN LAIN itu.
Dan yang dia lakukan kemudian adalah memainkan dua buah ilmu berhawa mistis yang amat hebat. Beberapa ilmu pendalamannya di sebuah puncak gunung selama beberapa tahun dan amat jarang digunakan. Ilmu yang hanya dia turunkan kepada Lui Beng Wan, karena murid lainnya tidak mampu memenuhi syarat tingkat ilmu yang dikuasai guna diwarisinya dengan ilmu hebat itu. Dalam keadaan yang dia anggap berbahaya dan menyangkut nama baik dan keselamatannya, pada akhirnya Liok Kong Djie pun memulainya. Itulah keputusannya ketika menyadari bahwa dia sudah tidak memiliki jalan lain, tidak ada jalan mundur. Maka, apa boleh buat, dia harus melakukannya, melakukan yang paling akhir.
Pada saat keduanya adu pukulan dan mundur akibat benturan, maka diapun surut lebih dari 5 langkah ke belakang dan kemudian menyiapkan dirinya. Dia awalnya merangkap kedua lengan dan kemudian mengambil posisi ataupun kuda-kuda yang kurang lazim. Berdiri dengan merangkap kedua belah lengan berbentuk menyembah di keningnya, dan kemudian menunggu Tio Lian Cu datang menyerang. Pantangan menggunakan ilmu itu adalah "memulai", tetapi ketika diserang, maka dia akan susul menyusul keluar dengan wibawa yang hebat. Dia memulai dan bersiap sambil juga memusatkan segenap kekuatan dan konsentrasinya.
Itulah pembukaan dari sejenis ilmu mistis bernama Wu Sin Si Hun Thay Hoat (Ilmu Pembingung Sukma), yang juga dipadukan dengan sebuah ilmu mistis lainnya, yakni Ilmu Mie Tjong Sin Poh(Ilmu langkah sakti penghilang jejak). Kedua ilmu itu diciptakannya selama 10 tahun dan terus disempurnakannya menjadi sejenis ilmu sihir. Tetapi Tio Lian Cu sudah merasakan terlebih dahulu bahwa lawan akan main dengan ilmu mujijat, karena hatinya berdebar sejenak. Perasaannya yang tajam dan nalurinya yang terlatih membisikkan sesuatu melihat wibawa dan sinar mata lawan yang berubah serius dan memiliki pengaruh atas mental dan emosinya. Tio Lian Cu bukan lagi gadis muda yang baru turun gunung. Bukan. Dia sudah tertempa hebat selama beberapa tahun meninggalkan Hoa San Pay, dan dia sudah mampu menilai seseorang dan potensi yang bakal merugikannya.
"Hmmm, ilmu sihir...." desis Tio Lian Cu menyiapkan diri dan awalnya heran karena Liok Kong Djie tetap bersikap menunggu dan tidak menyerangnya. Sepertinya orang tua itu menanti untuk diserang, dan tidak akan menyerang mendahuluinya. "Hmmm, jika memang engkau menunggu untuk kuserang, pasti kulakukan, karena Hoa San Pay akan sangat tercemar jika tidak mampu mengembalikanmu ke gunung" desis Tio Lian Cu dalam hatinya. Dia semakin mantap kini. Karena jika tidak, maka Liok Kong Djie akan memperoleh kesempatan yang cukup untuk menyembuhkan atau memulihkan semangatnya yang sudah nyaris patah itu. Itu pertimbangan Tio Lian Cu yang kemudian membuatnya segera membuka serangan. Tetapi, sebelumnya dia berkata dalam nada menyanyi dengan syair yang memang sering dia latihkan sejak berada di Hoa San:
"Angin menerpa, dapatkah melihatnya...... hasrat yang menggebu-gebu, benar adakah yang dapat menengoknya..... pulang kemata hatimu, dan lihatlah kedalam, maka semua yang tak terlihat akan terasa......."
Kalimat-kalimat bermakna dalam itu disenandungkan dengan nada suara yang juga bernuansa mitis, dan itu sebenarnya adalah rangkaian dari ilmu Tot Ing Sam Ciang yang merupakan sejenis Ilmu Suara dari Kitab Pusaka Hoa San Pay, sejenis Ilmu sihir melalui suara dan yang sekaligus pemunah Ilmu sihir. Dan benar saja, sesaat setelah Tio Lian Cu mengkidungkannya, dia merasakan kembali sekujur tubuhnya terasa segar dan diapun melangkah maju seperti asal-asalan dan mengembangkan sebuah jurus bernama Koay hun loan moa (memotong tali kusut dengan cepat). Keputusan yang tepat, tetapi sekaligun menandai pertarungan mereka memasuki babakan baru yang lebih berbahaya.
Liok Kong Djie kaget, karena dia merasa kekuatan mistis dari pukulan dan ilmunya memperoleh lawan yang setanding. Tetapi dia masih mencoba dengan jurus Lip coan im yang (memutar balik gelap menjadi terang), belum yakin dia kalau dia tak mampu mempengaruhi Tio Lian Cu. Tetapi, sudah datang dengan cepat sebuah jurus serangan lawan, yakni sebuah jurus Giok tiang hun po (pentung kemala menembus ombak). Maka serangan itulah yang mengantarkan keduanya dalam pertarungan yang di luar sangkaan Liok Kong Djie yang tadinya menyangka Tio Lian Cu tidak membekal ilmu mistis seperti dirinya saat itu. Ternyata, juga dia mampu menawarkan serangannya dan kini mereka saling serang kembali dalam dimensi pertarungan yang sangat berbeda.
Meskipun berbeda, tapi justru pertarungan mereka sekali ini bersifat menentukan karena ini membutuhkan banyak tenaga dalam dan emosi. Kondisi yang bagi Liok Kong Djie justru sudah sangat luruh, sudah sangat terkuras dan sulit untuk dapat kembali dalam waktu singkat. Padahal, jika dalam keadaan yang normal, maka dia mesti dapat melakukan secara lebih sempurna dan lebih berbahaya. Memang, pada saat itu, sebenarnya Tio Lian Cu sendiri, juga sudah mulai merasa letih dan amat lelah melanjutkan tarung yang amat hebat itu. Tapi, apa boleh buat. Sebagai tokoh utama Hoa San Pay, Tio Lian Cu harus mengeraskan hati menghadapi serangan sesepuh perguruannya yang sudah sesat.
Liok Kong Djie menyambut dengan jurus Tho li ceng jun (dua saudara berebut rezeki) guna menggebah pergi serangan ringan Tio Lian Cu. Tetapi, sergapannya atas lengan Tio Lian Cu gagal karena gerakan tiba-tiba Tio Lian Cu dengan jurus Thian ce keng hun (mengejutkan arwah di ujung langit). Kaki Tio Lian Cu sudah digeser satu langkah ke samping, sementara lengannya memukul dan menyentil pada saat bersamaan, yang mau tidak mau diantisipasi Liok Kong Djie dengan jurus In liong tam jiau (naga menjulurkan cakar dari balik awan). Cara Liok Kong Djie memunahkan semua serangan dan gerakan Tio Lian Cu memang hebat, keduanya bagai sudah beterbangan kemana-mana dalam nada dan cara pandang kebanyakan tokoh yang hadir dan berilmu belum sehebat keduanya.
Pertarungan merekapun semakin panjang, dengan ilmu mujijat yang makan banyak tenaga ini berlangsung lebih setengah jam dan dalam jurus pilihan, membuat kedua orang yang bertarung benar-benar letih. Terutama tentu saja bagi seorang Liok Kong Djie yang sudah berusia amat lanjut itu. Usia tua sekali lagi tidak memang bisa berdusta. Maka, ketika pada akhirnya dia terlontar ke belakang dan terhuyung sampai tiga langkah, wajahnya mulai memucat, sementara Tio Lian Cu meski juga sama lelah, tetapi masih jauh lebih baik. Jauh sekali malah. Karena lelah adalah wajar baginya, tetapi semangatnya masih membuncah, Bukannya karena dia jauh lebih hebat, karena rasanya selisih mereka tipis sekali, tetapi karena memang daya tahan kemudaannya melebihi lawan yang sudah snagat tua, sudah renta dan jelas menggerogoti dirinya secara tidak sengaja tadi.
"Ini saatnya....." desis Tio Lian Cu yang melihat Liok Kong Djie sudah teramat letih dan sudah sangat lelah. Setelah menetapkan demikian, tiba-tiba dengan kecepatan luar biasa, dia bergerak menyergap kedepan dalam jurus serangan yang lain dari yang biasanya. Liok Kong Djie seperti pernah melihatnya, tetapi sudah lupa lagi. Yang dia ingat waktu itu adalah, bahwa serangan Tio Lian Cu sangatlah berbahaya: kuat, cepat, dan banyak varian susulannya yang tak tertebak. Memang benar, itulah jurus Hu Houw Tio Jang (Harimau Mendekam Menghadap Matahari), satu jurus pertama dari Hian Bun Sam Ciang yang maha hebat. Tio Lian Cu menyergap dari bawah ke atas dengan kemungkinan jurus itu berubah dalam varian yang sulit diterka. Liok Kong Djie tiba-tiba jadi sadar, dia sedang menghadapi salah satu jurus yang luar biasa dan dia harus serius.
Sedapat mungkin dia menenangkan diri dan menyambut dengan penuh kekuatan dalam gerakan Hun Hua Hut Hut (bunga berhamburan diembus angin), sebuah jurus netral yang juga banyak perubahan-perubahannya. Antisipasinya memang benar, juga memang standar, tapi dia tidak tahu kalau pilihannya sudah diantisipasi oleh lawannya. Terbukti dengan segeranya Tio Lian Cu merubah pukulan ke jurus yang kedua, yakni jurus Lok Yap Kui Ken (Daun jatuh kembali keakar). Pilihan "benar" dari Liok Kong Djie membawanya kedalam satu situasi yang rumit, varian perubahan jurus lawan bertambah dua kali lipat dan sulit untuk diterka mana yang bersifat menentukan atas dirinya.
"Celaka....." desis Liok Kong Djie karena emosinya sudah kurang stabil, tenaganya sudah merosot, otomatis kecerdasannya banyak berkurang. Apa boleh buat, diapun akhirnya memilih gerakan Wan Te Hoan Yun (Angin taufan membuyarkan awan). Gerakan yang juga dipilih berdasarkan naluri, dan memang tidak salah dan tidaklah keliru, hanya, jurus ketiga juga sudah menerjang datang dengan ketidakmampuan dia lagi untuk menghindar. Tio Lian Cu menerjang dengan jurus Boan Thian Kai Te (Langit penuh tertutup tanah), dua gerakan awalnya menotok lengan Liok Kong Djie dan kemudian disusul dengan sebuah sentilan di pundak kanan Liok Kong Djie. Tapi, yang tidak disangka Tio Lian Cu, Liok Kong Djie masih sempat membalikkan lengannya dan mengiriminya satu pukulan kilat. Hal itu terjadi secara bersamaan dan sungguh di luar dugaan banyak orang:
"Tuk....tuk..... buk ... tuk"
Tidak ada suara kesakitan ataupun tulang yang patah oleh sentilan itu, tetapi tubuh Liok Kong Djie sudah terdorong jauh ke belakang dan melayang bagai daun jatuh tanpa bobot normal manusia lagi. Semua yang melihatnya segera maklum apa yang sudah terjadi bagi tokoh tua yang maha hebat itu. Tetapi, Tio Lian Cu juga terdorong sampai tiga langkah ke belakang dan kemudian segera duduk samadhi karena di bibirnya merembes keluar darah segar tanpa dapat dia tahan lagi. Pada saat itulah Sie Lan In masuk ke arena dan sudah langsung memberikan bantuan tenaga dan memasukkan sesuatu ke mulut Tio Lian Cu. Juga saat itu Bok Hong Ek, wakil dari Hoa San Pay sudah berada di sisi Tio Lian Cu menjaga Ciangbudjinnya.
Sementara itu, sebelum tubuh Liok Kong Djie jatuh ke tanah, ada satu bayangan meloncat memasuki arena dan menangkap tubuhnya yang ternyata sudah tidak sadarkan diri lagi itu. Tidak sadarnya Liok Kong Djie adalah akibat kombinasi kelelahan yang luar biasa, tenaga yang sudah habis, kaget yang tak terkira karena kalah dan terutama karena tiga totokan hebat yang bersarang di tubuhnya yang sudah renta itu. Meskipun demikian, dia toch masih sempat membalas dan melukai Tio Lian Cu dengan luka yang cukup parah karena sampai muntah darah. Bisalah dibayangkan sebenarnya sampai dimana kemampuan dan kesaktian Liok kong Djie sampai pada akhirnya dia kehilangan kemampuannya akibat totokan yang bersifat menetukan dari Tio Lian Cu.
"Maafkan, tetapi tugas dan hukum perguruan harus ditegakkan....." desis Bok Hong Ek dengan mata muram dan sedih yang terpancar dari wajahnya. Dia paham atas apa yang terjadi terhadap Liok Kong Djie yang bagaimanapun juga adalah sesepuh bagi Hoa San Pay. Setelah tahu bahwa Liok Kong Djie terluka parah dan besar kemungkinan cacad, dia bergumam seperti itu dan terdengar oleh Lui Beng Wan yang kemudian berucap dengan nada sedih:
"Benar, Bok heng suhu sudah memilih jalannya sendiri. Memang sungguh sangat disayangkan, tetapi sudahlah, dia sudah menebus dosanya sendiri..." sambil berkata demikian Lui Beng Wan kemudian membalikkan tubuhnya dan kembali memeriksa keadaan suhunya, Liok Kong Djie. Setelah itu, diapun berkata lagi:
"Tugas Tio Ciangbudjin sudah dilakukan dengan sangat baik. Sebagai murid satu-satunya yang tersisa dari Suhu, ijinkan suatu saat kudatang mohon pengajaran dari Tio Ciangbudjin di Hoa San Pay.. jika memang Thian mengijinkan mudah-mudahan Suhu bisa menyaksikan muridnya yang tersisa berpibu dengan Tio Ciangbudjin tanpa maksud saling bunuh......." berkata Lui Beng Wan, sejenis tantangan, tetapi halus disampaikan olehnya, sesuai karakternya.
"Kapan saja akan kami tunggu dan pasti ladeni, di Hoa San....." jawab Bok Hong Ek dengan suara rawan dan masih sedih juga.
"Karena Suhu minta dikebumikan di dekat Hoa San jika meninggal kelak, pasti suatu saat akan kutemui di Hoa San Pay...."
"Baik, akan kami tunggu....." pungkas Bok Hong Ek yang sebenarnya ingin melihat keadaan Tio Lian Cu yang sudah ditangani Sie Lan In.
Setelah cakap yang singkat itu, Lui Beng Wan membawa tubuh Liok Kong Djie yang sudah cacat atau entah sudah meninggal itu untuk mundur. Tetapi sekarang, dia tidak mundur ke lokasi Bu Tek Seng Pay, melainkan dia memilih kini pada posisinya sendiri yang berada di tengah. Jika sebelumnya suhunya datang dan berasal dari pihak Bu Tek Seng Pay, maka sekarang dia membawanya ke posisi yang netral setelah terluka. Untuk saat itu, dia bukan di pihak pendekar tapi juga bukan di pihak Bu Teng Seng Pay. Tapi tidak ada lagi yang memperhatikan keadaan itu secara teliti, khususnya dengan posisi Lui Beng Wan. Tetapi, sesaat sebelum Lui Beng Wan mengangkat dan membawa pergi tubuh Liok Kong Djie yang sudah tidak berdaya, dia sempat menatap tajam kearah diri Koay Ji, dan dari tatap matanya seperti ada sesuatu yang perlu dia ucapkan.
Karena tatapannya itu, Koay Ji jadi memeperhatikan secara teliti dan penuh tanda tanya akan maksud Lui Beng Wan yang seperti ingin "mengatakan" sesuatu kepada dirinya. Dan benar saja, dibawah pandang matanya yang teliti, dia memperhatikan sebuah gerakan yang sangat samar dan jelas tidak ada yang memperhatikan yang dilakukan Lui Beng Wan pada saat itu. Tetapi, Koay Ji yang sudah "dipancing" oleh Lui eng Wan terlebih dahulu mampu melihat bagaimana "sesuatu" disusupkan Lui Beng Wan ke balik sebuah benda dimana tubuh Liok Kong Djie tadinya terbaring. Dan setelah Lui Beng Wan pada akhirnya mengangkat tubuh letih dan tak berdaya dari Liok Kong Djie, dia sekali lagi memandang kearah Koay Ji dengan sinar mata seakan ingin berkata: "Apakah engkau sudah perhatikan dengan baik....?". Setelah itu, diapun melayang ke posisi netralnya.
Sementara itu, Sie Lan In masih terus mendampingi Tio Lian Cu selama beberapa saat sampai kemudian Tio Lian Cu akhirnya siuman dan kemudian berpindah ke lokasi para pendekar untuk mengobati dirinya lebih jauh. Sie Lan In sudah langsung membawa Tio Lian Cu, Ciangbudjin Hoa San Pay ke tempat yang lebih aman dan lega untuk melanjutkan proses penyembuhannya. Dia terus didampingi Bok Hong Ek yang terlihat selalu gelisah menunggu kabar terakhir keadaan dan kesehatan dari Ciangbudjin mereka. Setelah akhirnya Tio Lian Cu beristirahat dan Sie Lan In juga akhirnya menjelaskan bahwa keadaan Tio Lian Cu sudah tidak apa-apa, barulah dia merasa lega dan senang kembali.
"Sungguh pertarungan yang melelahkan, sungguh luar biasa, hingga bisa lebih dari tujuh jam baru bisa dituntaskan. Tapi syukurlah Tio Ciangbudjin menang meskipun dia juga terluka cukup parah, " desis Tek Ui Sinkay atau Bengcu yang baru sadar bahwa satu pertarungan besar dan megah baru saja tuntas dengan kemenangan kembali berpihak kepada para pendekar. Sungguh sayang memang, karena Tio Lian Cu terluka cukup parah dalam tarung itu. Tetapi, diatas semuanya, seorang lagi tokoh besar lawan dapat ditaklukkan dan dihukum.
"Hmmm, sebentar lagi dia akan pulih kembali suheng, tidak perlu terlampau kita risaukan keadaannya. Obatnya sudah kutitipkan kepada Sie Suci...." desis Koay Ji yang membuat Tek Ui Sinkay menjadi lebih tenang lagi. Seperti biasa, dia sangat mempercayai perkataan sutenya yang paling muda ini, karena memang keadaan dan kemampuannya yang luar biasa.
"Hmmmm, kelihatannya pertarungan harus dilanjutkan besok hari, pertarungan yang terakhir benar-benar memakan waktu panjang, padahal hari sudah mulai gelap dan sulit melanjutkan pertarungan pada babak selanjutnya....." berkata Tek Ui Sinkay sambil memandang wajah Koay Ji dan kawan-kawan yang paling dekat dengannya saat itu. Koay Ji hanya mengangguk, juga yang lainnya.
"Terserah pertimbangan Bengcu...." terdengar suara Kim Jie Sinkay yang juga sejak tadi berada dekat dengan mereka menyaksikan pertarungan yang baru saja terjadi dengan sangat seru dan luar biasa itu. Selain Kim Jie Sinkay, tokoh-tokoh lain juga pada mengiyakan, agar pertarungan dilanjutkan besoknya. Dan itulah yang pada akhirnya menjadi keputusan mereka dan disampaikan langsung oleh Tek Ui Sinkay kepada pihak lawan, Bu Tek Seng Pay.
"Hmmmm, baiklah, biarlah kami berikan kalian istirahat semalam lagi agar besok bisa berusaha dengan kemampuan terbaik......" berkata Tek Ui Sinkay dengan suara keras dan disengaja agar didengarkan oleh pihak lawan yang memang juga sama sedang atau mengharap agar tarung dilanjutkan besok.
Sementara semua orang mulai beranjak ke tempat yang lebih hangat dan aman, Koay Ji dalam kepenasarannya justru mendatangi arena pertarungan sendirian saja. Dan benar saja, tidak lama dia menemukan sesuatu yang ditinggalkan oleh Lui Beng Wan disana. Sesuatu yang tidak mencolok mata dan agak sulit untuk ditemukan. Jika Koay Ji menemukan apa yang dia tinggalkan, itu semata karena memang dia menunjukkannya dengan isyarat mata belaka. Tetapi, masalahnya, Koay Ji tidak boleh membahayakan keadaan Lui Beng Wan saat itu, dan dia harus berusaha secermat mungkin agar tidak dicurigai pihak lawan. Karena itu, setelah mengetahui "sesuatu" yang dia cari dan ditemukan, maka akhirnya diapun mulai bertingkah seakan-akan "mencari sesuatu". Dan setelah sekian lama, pada akhirnya memilih duduk bersamadhi di tempat dimana dia tahu benar Lui Beng Wan menitip sesuatu kepadanya. Satu pilihan yang cerdik, karena selama beberapa saat, dia diam dan melakukan samadhi, sementara lengannya perlahan mengambi titipan dari Lui Beng Wan yang ternyata adalah potongan jubahn Lui Beng Wan.
Setelah melakukan samadhi bohong-bohongan dan selesai dengan misinya, Koay Ji pura-pura memandangi lokasi air terjun yang berjarak seratus meteran dari posisi dia pada saat itu. Dia meneliti banyak sudut disana, menghitung jarak dari pihak lawan yang cukup jauh dan juga menghitung semua sudut termasuk sudut pihak pendekar. Dan setelah itu, diapun berlalu. Tindak-tanduknya tentu saja menarik minat dan perhatian kedua belah pihak, karena tidak ada yang paham dan tahu apa yang dilakukan Koay Ji barusan. Sementara Tek Ui Sinkay yang dilapori apa yang baru saja dikerjakan Koay Ji terlihat diam dan tenang, karena dia sangat mengenal sute termuda itu. "Toch sebentar lagi dia akan datang....." pikirnya, dan memang dia benar menduga apa yang akan dilakukan siauw sutenya.
Tidak menunggu terlampau lama, kurang dari satu jam, Koay Ji sudah datang untuk menemuinya dan membicarakan sesuatu. Dan melihat keadaan sang sute yang mata dan pikirannya terpusat, maka Tek Ui Sinkay sudah paham bahwa yang akan dia katakan adalah sesuatu yang cukup penting. Jika tidak penting, maka Koay Ji akan langsung menyapa dan bercakap-cakap dengannya, sementara saat itu, sang sute masih terdiam dan seperti sedang berpikir sesuatu yang sangat penting. Koay Ji memang terlihat seperti sedang berusaha menemukan kata-kata dan kalimat yang tepat untuk disampaikan kepada Tek Ui Sinkay. Dan seperti biasanya, maka dialah yang harus memulai percakapan itu;
"Ada apa siauw sute.." engkau temukan sesuatu yang penting di arena tadi..?" tanya Tek Ui Sinkay setelah beberapa saat memperhatikan dan melihat keadaan Koay Ji yang seperti memikiran sesuatu yang penting.
"Benar sam suheng,,,,, mereka sudah menemukannya.." desis Koay Ji lirih dan yang ini jelas berita mengejutkan. Tek Ui Sinkay cepat memahami apa yang dimaksud oleh Koay Ji dengan "sudah menemukannya".
"Maksudmu, mereka sudah....?"
"Benar sam suheng, mereka telah menemukannya...." potong Koay Ji sebelum Tek Ui Sinkay meninggi suaranya dan memancing perhatian banyak orang. Tetapi kali ini dengan ilmu menyampaikan suara.
"Darimana engkau tahu....?" Tek Ui Sinkay sadar dan menurunkan voume suaranya, terutama setelah perkataannya dipotong secara lirih dengan tekanan khusus dan khas dari sang sute itu melalui ilmu khusus pula.
"Lui Beng Wan memberitahuku, dan suara suheng agar diatur guna tidak membuat lawan melacaknya. Ingat, mereka memiliki dua orang tokoh mujijat disana yang dapat melacak semua percakapan kita......" Koay Ji mengingatkan Tek Ui Sinkay untuk menjaga tindak tanduk, karena benar ada Yap Jeng Cie dan Rajmid Singh yang sakti digdaya di pihak lawan.
"Baiklah, baiklah, engkau benar. Tetapi, informasi apa yang disampaikan Lui Beng Wan kepadamu sute...?" bertanya Tek Ui Sinkay yang sepertinya Koay Ji mendapat kesan, sang suheng sudah dilapori orang.
"Mereka sudah menemukan jalan rahasia, dan malam ini mereka akan bertindak. Siang tadi mereka sudah mengeksekusi banyak orang yang sudah tidak berguna, dan ada gerakan lain yang juga aneh di pihak mereka....... tetapi rinciannya Lui Beng Wan sendiri masihy kurang paham. Yang paling penting, mereka, tokoh puncak Bu Tek Seng Pay akan segera bergerak untuk meloloskan diri.... dalam perhitungannya dan juga sesuai dengan apa yang kupikirkan, mereka akan melakukannya malam ini juga. Karena itu, tiada satupun pihak mereka yang menunjukkan diri pada tarung hari ini sejak pagi hari" jelas Koay Ji dengan mata masih menerawang dan pastilah sedang berpikir keras.
"Hmmm, engkau tahu cara mengatasinya bukan....?" tanya Tek Ui Sinkay paham jika Koay Ji pasti sudah memikirkan solusinya. Jika memang belum, tidaklah akan sutenya datang bercakap dengannya.
"Apa boleh buat, malam ini kami kembali akan berjaga di dekat air terjun tersebut. Tadi malam sudah dan barusan juga sempat kuselidiki, jalan masuk ke bawah harus atau jalan satu-satunya adalah melalui tempat dimana kami berlatih dan beristirahat sejak tadi malam. Oleh karenanya, malam ini kami kembali akan beristirahat di sekitar tempat itu, dan sekaligus menjaga akses mereka untuk masuk balik air terjun dan menemukan jalan rahasianya. Hanya, bagaimanapun kita semuanya mestilah mempersiapkan diri menghadapi mereka semua, meski sudah banyak yang jatuh. Kita mengantisipasi dan menghadapi upaya mereka untuk menemukan jalan keluar itu, maupun keamanan para pendekar di dekat jalan keluar milik kita ini......." berkata Koay Ji sambil menatap suhengnya
"Hmmmm, baiklah. Jika demikian, sebaiknya engkau persiapkan segera sute, biar kami menyesuaikan dengan rencana yang sudah engkau susun.." ujar Tek Ui Sinkay untuk memberi keleluasaan bagi Koay Ji yang terlihat tetap merenung dan mencari jalan menghadapi perkembangan terakhir.
"Suheng harus tetap berada disini bersama Kim Jie Sinkay dan para Locianpwee dari Khong Sim Kaypang, juga Chit Suheng serta yang lain. Biarkan kami dengan rombongan kecil semalam untuk berada disana, termasuk Khong sute. Tetapi, Bu Locianpwee dan Mindra akan berada di dekat kami dan akan ikut berjaga, karena bukan tidak mungkin mereka menggunakan banyak kekuatan guna menyergap kami disana, termasuk menggunakan kekuatan ilmu sihir oleh Rajmid Singh. Jika benar target mereka sudah mereka identifikasi, maka apapun kekuatan dan kehebatan mereka pasti akan dikeluarkan ....."
"Benar-benarkah mereka akan memiliki kemampuan untuk menyergap tanpa engkau tahu terlebih dahulu sute...?"
"Ach, bukan begitu suheng, buat sekedar berjaga-jaga...."
"Hmmm, biar kutugaskan Kim Jie Sinkay dan Chit Sute untuk ikut mengawasimu disana sute, rasanya mereka cukup mampu....."
"Baik suheng, tetapi buat jangan menyolok agar mereka tidak bersiaga dan paham bahwa kita tahu apa yang akan mereka lakukan....."
"Baik, kita tetapkan demikian......"
"Tetapi, harap diingat suheng, tempat kita beristirahat dan jalan rahasia darimana kita turun ke lembah, harus dijaga dengan ketat. Tempatkan Barisan Pengemis Pengejar Anjing disana untuk keamanannya, dan sedapat mungkin tokoh-tokoh Khong Sim Kaypang menjaganya......"
"Sudah tentu, karena selama ini kita tidak melepaskan penjagaan atas area tersebut sute, bahkan juga jalan keluar yang mereka gunakan masuk atau turun ke lembah ini selalu berada dalam pengawasan kita...."
"Baik jika demikian suheng...."
Malam semakin gelap, tetapi Koay Ji seperti malam sebelumnya berada di dekat dengan air terjun dan bercakap dengan Sie Lan In, Khong Yan, Kwa Siang, Siauw Hong. Tetapi Tio Lian Cu masih dalam proses pengobatan lewat samadhi meski dia sebenarnya sudah sembuh kembali. Tetapi memang saat itu, dia lebih berusaha guna memulihkan semangatnya belaka, karena lukanya sesungguhnya sudah sembuh seperti sediakala. Dan pada saat itu, Tio Lian Cu terus saja dijagai oleh Bok Hong Ek, tokoh asal Hoa San Pay, yang merasa menjadi pelindung Ciangbudjinnya. Bukan hanya merasa, tetapi memang kepadanya dititipkan pesan seperti itu oleh semua tokoh Hoa San Pay yang berada di atas tebing. Sementara itu, percakapan mereka yang berada di dekat air terjun, jelas ringan dan lebih banyak bercanda satu dengan yang lainnya. Sama belaka dengan seharis sebelumnya, tidak ada yang beda pada dasarnya. Koay Ji memang tidak atau belum memberitahu mereka apa yang akan terjadi malam itu, dan apa maksud mereka untuk berjaga atau bercengkerama di udara yang terbuka.
Hanya saja, sejak sejam mereka bercanda disitu, naluri dan indra keenam Koay Ji sudah mulai terbangun dan mencium adanya gerakan tersembunyi. Karena itu, beda dengan malam sebelumnya, Koay Ji tidak banyak bercakap, tidak banyak bercanda, adalah Siauw Hong yang terus menerus mendominasi percakapan mereka. Gadis cantik itu yang mengendalikan kisah, cerita dan percakapan mereka, dengan Kwa Siang yang lebih banyak berdiam diri dan mengiyakan saja apa perkataan Siauw Hong. Sementara Sie Lan In sendiri lebih banyak tertawa dan mengikuti alur kisah Siauw Hong, sedikit merasa heran atas diri Koay Ji yang banyak berdiam diri. Juga Khong Yan yang pendiam, terus berdiam diri.
Dengan gaya khasnya Siauw Hong menyegarkan percakapan mereka, tetapi tetap saja terasa aneh karena Koay Ji tidak banyak menimpali, bahkan untuk tertawapun terasa agak pelit. Keadaan yang tentu saja lama-kelamaan membuat Siauw Hong sendiripun menjadi curiga dan merasa aneh hingga kisah dan dominasi berceritanya mulai berkurang. Pada saat itulah Koay Ji sadar bahwa akan menjadi aneh jika tidak seramai dan semeriah seperti suasana malam yang sebelumnya. Maka diapun kemudian berkata dengan suara lirih:
"Kenapa kisahmu sudah berkurang ramainya Hong moi" Apakah engkau sudah mulai mengantuk...?" sambil berkata demikian, Koay Ji memberi isyarat agar Siauw Hong terus bercerita, dan dia menulis perintah itu di atas tanah dan diikuti oleh mata Sie Lan In, Khong Yan dan Siauw Hong. Dia menulis.....
"Terus bercerita seperti biasa, lawan akan bergerak malam ini, jangan membuat mereka curiga. Hong moi, teruslah bercerita....."
Karena perintah tertulis di atas tanah barusan, maka Siauw Hong akhirnya terus saja dalam aksinya, bercerita-bercerita dan bercerita. Terus bercerita. Sie Lan In juga membantunya dengan sesekali bertanya apa saja yang perlu dia tanyakan, Khong Yan yang rada pendiam sulit ikut ramai bicara, sementara Kwa Siang tentu saja menjadi pendengar yang setia. Sedang Koay Ji juga hanya sesekali belaka dapat ikut menimpali agar tidak mendatangkan kecurigaan lawan. Meski tidak semeriah tadi malam, tetapi cukuplah mengelaui pihak lawan. Itu yang berada dalam pikiran Koay Ji dan terus mengikuti percakapan yang didominasi oleh Siauw Hong yang memang pandai mengangkat topik percakapan.
"Enci Sie, Khong koko, tahukah engkau jika di dekat Lembah Cemara sana, terdapat sebuah kuil dengan pemandangan yang sangat indahnya" Kita bahkan akan dapat memandang sampai kejauhan, sambil menikmati pucuk-pucuk pepohonan dan juga desa-desa di kejauhan. Yang lebih penting lagi, kita bakalan bisa mendengarkan lagu dan kicauan burung yang sungguh sangat alami... suasanya sungguh sangat indahnya, sangat tenang dan benar-benar mendatangkan rasa damai yang sulit untuk dapat dikatakan dan digambarkan....."
"Ach, benarkah ada tempat seindah itu Hong moi" Atau jangan-jangan hanya kisah rekaanmu saja sehingga membuat kami berkeinginan mengantarmu ke sana untuk pulang?" ledek Sie Lan In agar Siauw Hong terus berkicau.
"Ach enci, engkau salah sangka. Boleh engkau tanyakan kepada Hoan koko dan juga kedua Hoan cici, karena kami semua pasti pernah mendatangi tempat yang luar biasa indah itu. Konon, ini menurut kisah para leluhur, kuil yang sudah tidak terurus itu, adalah tempat tinggal seorang tokoh saleh yang amat sakti pada masa lalu. Dia membuat kuil tersebut sebagai peringatan akan kekasihnya yang meninggal dalam sebuah pertarungan. Karenanya, bertahun-tahun dia mencari lokasi yang tepat, dan akhirnya menemukan sebuah tempat yang mencocoki hatinya dan kemudian diapun menguburkan kekasihnya dekat situ, dan membangun kuil sebagai peringatan akan kekasihnya itu. Di ketinggian itulah dia kemudian menghabiskan hidupnya sampai ajal datang menjemputnya..... dia tetap setia berada disitu dan kemudian malahan dia memakamkan dirinya sendiri bersama sang kekasih......" terang Siauw Hong dengan gaya khasnya dan menarik perhatian kawan-kawannya. Kelihatannya kisah Siauw Hong adalah kisah nyata.
"Ach, sehebat itu kisah dan latar belakang kuil yang engkau kisahkan... jika memang benar demikian, maka layak kita kunjungi....." berkata Sie Lan In sedikit tergerak hatinya untuk mendatangi tempat yang digambarkan Siauw Hong.
"Memang demikian kisahnya enci, menurut leluhur dan tua-tua di Lembah Cemara sana. Dan cerita itu selalu diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya lagi, meskipun sayangnya, kuil itu sekarang jadi terlarang bagi generasi muda Lembah Cemara, terutama yang angkatan-angkatan terkini. Kecuali bagi keluarga dekat Pemimpin Lembah Cemara, bisa bebas datang dan pergi, meskipun tidak boleh lebih dari 2 kali dalam setahun....."
Begitulah, dengan lihaynya Siauw Hong membuka kisah dan cerita. Entah darimana dia memungut kisah dan cerita lainnya, yang pasti dengan "dikipasi" Sie Lan In dan juga sesekali Koay Ji, maka lancarlah dia mendominasi percakapan malam itu. Dan tidaklah terasa malam semakin jauh, semakin larut. Dan beberapa waktu saat terakhir, Koay Ji sudah sudah tenggelam dalam samadhi dan terlihat sangat serius. Kelihatannya dia mulai menemukan sesuatu, sebuah gerakan dari pihak lawan dan karenanya dia mulai melakukan samadhi. Sie Lan In sudah maklum dan paham akan keadaan kekasihnya itu, dan karenanya tugasnya tetap mendampingi Siauw Hong untuk berceloteh supaya pihak lawan tidak mencium upaya lain dari mereka dan menjadi curiga dengan posisi mereka malam itu.
Apa gerangan yang terjadi" Koay Ji yang mendapatkan pesan rahasia dari Lui Beng Wan yang memberitahunya bahwa lawan sudah menemukan "jalan rahasia", sudah menjadi sangat awas. Dia paham, lawan akan memaksa masuk ke area yang dia jaga pada saat itu. Bukan apa-apa, karena memang itulah satu-satunya jalan keluar, dan tempat mereka adalah satu-satunya akses menuju ke air terjun. Jika pihak lawan berkeras keluar dari lembah melalui jalan masuk mereka sebelumnya, sudah tidak mungkin. Karena mereka sudah menghancurkan sendiri jalan rahasia yang dimaksud itu, dan karenanya mereka hanya memiliki dua jalan, yakni berusaha menggunakan jalan yang dimasuki pihak pendekar, tetapi mereka kurang tahu jalan dan juga rahasianya atau menemukan jalan rahasia yang lain. Dan, pada sata itu, maka, hanya ada satu jalan bagi mereka.
"Akankah mereka menerobos malam ini....." pikir Koay Ji dalam hati. Tetapi, dia yang menjawab sendiri: "pasti". Tanda-tandanya sudah dia dapatkan sejak sangat awal, yakni pergerakan yang sunyi dari pihak lawan dengan menggunakan kekuatan mujijat. Dan naluri serta kekuatan batinnya yang sudah cukup tinggi mengingatkan bahwa ada gerakan-gerakan lawan yang sungguh tidak biasa. Entah apa, dan dia ingin paham dan ingin tahu apa yang mereka lakukan. Dan untuk menerka dan menebaknya, dia mesti melakukan sesuatu.
Tengah malam. Siauw Hong sudah berhenti berkicau, dan sekarang sudah sedang samadhi dan sambil berlatih, sama dengan Sie Lan In dan juga Khong Yan. Ada Bun Kwa Siang yang seperti biasanya bertindak sebagai penjaga yang bertugas untuk melindungi mereka berempat. Dan seperti penjaga ulung lainnya, dia tetap terjaga dan amat siap melindungi Siauw Hong dan Sie Lan In, juga ada Koay Ji dan Khong Yan disana. Pendeknya, siapapun yang harus dilindungi dengan perintah Koay Ji, maka dia wajib untuk melindunginya, meski dengan tidak tidur sekalipun. Kwa Siang siap dan sanggup melakukannya, karena fisiknya memang rada aneh dan tidaklah mirip manusia biasa lainnya.
Tapi, dalam situasi dan suasana yang seperti itulah Koay Ji menyadari bahwa lawan sedang mendekat. Ada 3 langkah manusia yang sangat ringan, berhati-hati sedang datang mendekati lokasi mereka, dan Koay Ji paham siapa mereka, dan juga paham apa maksud mereka. Toch tidak perlu menyimpan sesuatu karena kelihatannya kakek yang mereka tahan di penjara, pemimpin Pek Lian Pay sebelumnya sudah bicara dan mungkin saat itu sudah tewas dibunuh lawan. Koay Ji menyayangkan nasib kakek itu yang sungguh mengenaskan, dan karenanya berniat menolongnya beberapa saat yang lalu. Tapi, sayang sekali dia terlambat dan melihat kenyataan betapa kakek itu jatuh ke tangan kawanan Bu Tek Seng Pay dengan nasib yang pasti sangatlah pedih dan memilukan. Maka, Koay Ji kemudian menunggu ketiga lawan itu datang semakin mendekat, dan mereka bergerak perlahan mendatanginya. Pada jarak yang dia rasa sudah cukup, maka Koay Ji kemudian menyambut dengan suara lirih yang disampaikan kepada mereka:
"Apakah kalian benar tidak sabar menunggu sampai besok hari saja....?" suara yang penuh wibawa dari Koay Ji, namun melayang dan mengaung di udara. Kelihatannya, tidak terlampau mengagetkan ketiga lawannya, tetapi sesungguhnya mengejutkan langkah mereka. Karena jika sampai maksud mereka ketahuan lawan, maka benar sangat berbahaya, dan bisa menggagalkan niat mereka tentu saja. Tanpa mereka tahu, niat mereka memang sudah terbaca oleh Koay Ji sejak siang tadi dan karena itu dia berjaga dengan waspada di tempat itu.
"Hmmm, kutahu engkau sedang menunggu kami meski menyamarkannya melalui percakapan anak gadis itu..... Jika engkau sudah tahu kedatangan kami, baguslah, berarti engkau paham bahwa kami sendiripun berhak untuk berada di sekitar tempat ini....." Bu Tek Seng Ong sudah tampil kedepan dan dia yang meladeni Koay Ji guna berbicara dan berdebat.
"Benarkah memang demikian...." sungguh sayang sekali, penawaran yang baik dari kami kalian hadapi dengan cara-cara yang licik. Dan, karenanya biarlah kutegaskan pada saat ini, bahwa kalian bertiga adalah tokoh yang paling tidak dapat kulepaskan pergi dari sini. Kalian boleh berusaha semampu kalian bertiga......" dingin, tegas dan penuh wibawah suara yang dikeluarkan Koay Ji. Ketiga lawannya tentu saja tahu makna perkataan Koay Ji yang terakhir.
"Apa engkau mampu....?" tanya Bu Tek Seng Ong dengan menjengek, meskipun dia sendiri kurang yakin dengan kalimat yang dikeluarkannya. Karena dia sadar, jikalau lawan mengeroyok mereka, maka kemungkinan mereka selamat sangatlah sedikit dan peluang mereka kecil.
"Pertanyaannya harus dibalik Seng Ong,,,,, apakah kalian mampu....?" balik Koay Ji dengan tetap dalam posisi samadhi, sementara ketiga lawannya sudah berdiri kurang dari 10 meter di samping kanannya. Jarak yang kemudian mereka pelihara karena melihat di samping Koay Ji ada orang lain, dan mereka sudah bersiap dan berjaga di samping posisi Koay Ji yang masih terus dalam posisi seperti orang yang sedang melakuka samadhi.
"Istirahat bukannya dimanfaatkan melakukan persiapan buat hari akhir kalian besok, justru dimanfaatkan untuk berusaha melarikan diri. Sesungguhnya, sikap pengecut yang amat memalukan, dan sekaligus sudah menghapus habis semua perasaan hormat kami terhadap kalian bertiga yang masih tersisa..... apa boleh buat, malam ini juga kalian harus dihentikan, dengan cara apapun......" tambah Koay Ji lagi sebelum Bu Tek Seng Ong kembali berkata-kata. Kata-lata Koay Ji yang tajam membuat mulut Bu Tek Seng Ong tertutup sejenak. Bukan hanya dia, tetapi kedua orang yang menyertainya, kedua tokoh tua yang maha hebat yang belum turun tangan di arena pertempuran menentukan nasib Bu Tek Seng Pay, juga terhenyak. Tentu saja merekapun kaget.
"Hmmmm sombong sekali, apa engkau kira kami tidak mampu menghabisimu anak muda....?" sekali ini kakek sakti lawannya yang kemaren dan membuatnya terluka parah sudah ikut angkat suara. Tidak terlihat mulutnya bergerak, tetapi suara yang mengaung itu jelas darinya.
"Apakah kakek bekas pemimpin Pek Lian Pay sudah kalian bunuh.....?" bukannya menjawab, Koay Ji justru bertanya balik untuk memberitahu pihak lawan, bahwa apa yang menjadi niat dan target mereka mendekati air terjun, sudah terbaca oleh Koay Ji. Dan memang, pertanyaan Koay Ji tersebut membuat ketiga orang yang datang bersama itu jadi saling lirik satu dengan yang lain. Terlihat lirikan "apa boleh buat" dari mereka, dan kemudian saling mengangguk. Koay Ji mengetahui hal itu, karena itu diapun kembali berkata:
"Niat kalian sudah terbaca sejak awal, jangan dikira kami tidak membaca dan tidak bersiap menghadapi kelicikan kalian..... hahahahaha.... majulah jika memang benar kalian sudah berniat untuk memaksakan dengan kekerasan.... dan biarlah rembulan malam ini menjadi saksi dari akhir semua kejahatan kalian" sungguh keras sekaligus tanpa tedeng aling-aling, dan membuat wajah ketiga orang yang mengendap guna mendekati mereka berubah. Untung malam menyamarkan warna-wajah yang sudah berubah menjadi sangat tidak sedap dipandang itu.
"Hmmmm, tidak ada cara lain, kita harus membuka jalan darah.." desis Bu Tek Seng Ong lirih dan diiyakan oleh kedua kawan disampingnya. Pertempuran besar seperti akan terjadi. Segera.
"Silahkan, karena kami sudah bersiap... bahkan yang kalian caripun sudah kami jaga dan tidak mudah kalian masuki..." beber Koay Ji sedikit berdusta sehingga membuat ketiga lawannya terhenyak kaget. Lebih kaget karena pada saat bersamaan, Sie Lan In, Khong Yan, Siauw Hong dan Kwa Siang yang sejak tadi sudah berdiri tepat di belakang dan samping Koay Ji terlihat sudah bersiap menyambut serangan mereka bertiga yang datang dengan cara menggelap.
Sementara itu, sambil berkata-kata, Koay Ji sebenarnya sejak tadi sudah mengirim isyarat dan perintah kepada semua kawan-kawannya:
"Sie Suci, lawanmu adalah Bu Tek Seng Ong. Jangan khawatir, Sie Suci tidak akan kalah lagi melawannya...... karena tingkat kalian sudah berimbang. Kwa Siang, dan engkau Siauw Hong, lawan kalian adalah si manusia tidak genah dari Thian Tok yang amat berbahaya itu, Siauw Hong hanya berjaga-jaga dan Kwa Siang yang akan maju menggedornya. Khong sute, tugasmu memastikan tidak ada lawan lain yang tersembunyi dan akan merusak strategi kita malam ini.... dan Mindra, tawarkan semua serangan sihir manusia itu. Ingat, mereka tidak akan segan bermain curang dan karenanya selalulah kita bersiaga....."
Itulah strategi Koay Ji setelah Lui Beng Wan memberitahunya rencana Bu Tek Seng Ong, dan telah bersiap dengan kekuatan yang lebih dari cukup namun tidak cukup mencolok mata lawan. Benar, ketiga lawan mereka sudah "galau" karena jalan untuk keluar dari tebing tinggal satu-satunya dan malam itu, mereka berkeras menemukan setelaha mengkompres kakek tua bekas pemimpin Pek Lian Pay. Mereka sadar, jika langkah mereka mudah ketahuan lawan, tetapi memang tidak ada lagi cara yang lain selain menggunakan kekerasan. Terlebih dahulu mereka ingin menyusup, tetapi amat disayangkan, karena Koay Ji entah mengapa selalu memilih untuk beristirahat dekat dengan lokasi yang mereka tahu ada jalan keluarnya. Malam itu, mereka memutuskan, apa boleh buat, mereka harus berusaha untuk mencobanya meski resikonya sudah mereka hitung.
Repotnya lagi, mereka sudah mengamati sejak seharian, bahwa tidak ada jalan lain guna pergi ke balik air terjun selain melewati tempat strategis yang dikuasai oleh Koay Ji dan kawan-kawannya. Entah sengaja atau tidak, sejak semalam, Koay Ji dan kawan-kawannya memilih tempat strategis itu dan beristirahat sambil berlatih di daerah tersebut. Bolak-balik mereka berpikir sejak hari mulai gelap, tetapi tetap saja tidak ada cara dan jalan lain, dan menjelang tengah malam, merekapun akhirnya memutuskan menempuh jalan kekerasan.
Sayang sekali, upaya mereka menyergap Koay Ji dan kawan-kawan kembali gagal. Karena Koay Ji ternyata sudah tahu rencana mereka dan sudah menunggu mereka, membuat mereka kembali kalah selangkah. Melihat kesiapan lawan, merekapun sadar bahwa meninggalkan tempat itu sungguh sulit kecuali melakukan perlawanan dengan menggunakan segenap kekuatan mereka. Dan, itupun sudah mereka atur dan persiapkan, karena masih ada hal lain yang mereka jadikan sebagai sandaran guna strategi terakhir. Apakah itu....."
"Pek Bin, serang mereka...." terdengar perintah pada akhirnya turun, dan bersamaan dengan itu, Pek Bin Hwesio munculkan diri bersama anak buahnya yang berjumlah 7 orang. Dan begitu muncul, merekapun langsung menerjang ke arah Koay Ji dan kawan-kawannya, menyerang secara langsung. Kelihatannya ke tujuh anak buah Pek Bin Hwesio memang disiapkan sejak awal untuk serangan seperti saat itu. Tapi sayang sudah diantisipasi lawan.
Tetapi, Koay Ji tentu saja tidak panik. Otaknya yang tajam dan cerdik sudah dengan cepat tahu apa yang akan dilakukan lawan di tengah keributan yang akan segera ditimbulkan oleh orang-orang Pek Lian Pay. Cepat dia berbisik cepat kepada semua teman-temannya dengan suara lirih:
"Sie Suci, jangan bergerak, tugasmu untuk selalu mengawasi Bu Tek Seng Ong, dan engkau Siauw Hong, jangan maju berkelahi melawan orang-orang yang sengaja mereka lepas untuk menbingungkan kita. Tugasmu saat ini adalah mengarahkan Kwa Siang untuk menghadapi si manusia sihir dari Thian Tok itu..... mereka akan menggunakan keributan dan kerepotan kita untuk menemukan dan kemudian melarikan diri lewat jalan rahasia itu....." cepat jalan pikirannya bekerja dan dia cepat memberi perintah kepada kawan-kawannya.
Tetapi, di mulut dengan keras dia memerintah:
"Khong Yan, tugasmu menghadapi dan menghukum mereka semua. Merekalah salah satu biang penyakit selama ini....."
"Baik Suheng,,,,,"
Tanpa banyak bicara Khong Yan sudah maju menyambut serangan Pek Bin Hwesio dan ketujuh anak muridnya. Pek Bin Hwesio yang menjadi salah satu tokoh yang masih belum maju dalam pertarungan di arena selama 2 hari, menemui Khong Yan dan segera tahu betapa dahsyatnya lawan muda itu. Dalam waktu singkat, dia tahu bahwa sulit baginya melawan Khong Yan, dan menjadi lebih sulit lagi serta mengkal hatinya ketika Koay Ji berkata kepada Bu Tek Seng Ong saat pertarungan mereka mulai terjadi di arena khusus:
"Hmmmm, apakah engkau mengira kami akan terganggu dengan majunya Pek Bin Hwesio yang ingin kalian korbankan itu" bukankah memanfaatkan serbuan mereka dan kalian akan menerobos masuk untuk menemukan jalan rahasia dan berlalu dari sini" Hahahaha, Pek Bin Hwesio masih belum sadarkah bahwa engkau akan mereka korbankan untuk mencari jalan rahasia....." benar-benar kutukan bagi dirimu yang mengkhianati sesepuh partainya. Engkau tidak akan selamat, tetapi kalian juga tidak akan kemana-mana Seng Ong. Tidak akan ada jalan ringan buat terror kalian selama beberapa waktu belakangan ini. Dan juga untuk suhumu, HONG TIN KIE (Cendekiawan Serba Bisa), Yap Jeng Cie. Setelah dahulu membuat Pek Kut Lojin menjadi bonekamu dengan mengacau Rimba Persilatan Tionggoan dan kini engkau melakukan hal yang sama terhadap muridmu yag lain. Kutegaskan kepadamu, sehebat apapun engkau, tetapi tidak akan pernah lagi engkau meninggalkan tempat ini......" hebat, tegas dan jelas kata-kata Koay Ji. Bukan hanya mengagetkan Bu Tek Seng Ong, tetapi juga membuat Pek Bin Hwesio tercengang dan sadar bahwa benar, dia sebenarnya menjadi "alat" ketiga orang yang masih belum bergerak itu. Hatinya kebat-kebit menyesal, apalagi mengingat dia sudah mengorbankan Ketua sebelumnya yang tadi dibunuh setelah membuka suara dimana jalan rahasia yang di bawah lembah mati ini.
Bukan hanya Bu Tek Seng Ong dan juga Pek Bin Hwesio, tetapi juga Yap Jeng Cie yang berjuluk Hong Tin Kie, kakek tua yang terluka berkelahi dengan Koay Ji, juga terhenyak dengan teguran Koay Ji. Tetapi, wajahnya cepat tenang kembali, berdiam diri kembali meskipun matanya terlihat jelajatan dan seperti sedang berkata-kata dalam ilmu khusus dengan seseorang. Entah siapa. Mungkin Bu Tek Seng Ong atau mungkin juga kawannya yang berasal dari Thian Tok, Rajmid Singh. Entahlah, tapi Koay Ji memang tidak perduli sekali ini karena dia sudah membulatkan hati dan juga tekadnya. Dia sudah mengambil keputusan, dan sebelum ada dari pihak lawan yang berkata-kata, diapun melanjutkan:
"Atas nama Bengcu Tionggoan yang masih berada di Lembah ini, dan karena kalian yang menyerbu disini meski sudah kami siapkan arena yang adil, maka pertarungan akan berlangsung dengan caraku. Bukan dengan cara adil seperti dua hari disini, tetapi dengan cara dan jalanku. Masing-masing kalian bertiga sudah kusiapkan lawan untuk menghentikan ambisi kalian dan menguburkan kalian bertiga di Lembah ini. Karena toch kalian yang mencari kematian disini....." berkata Koay Ji dengan nada suara tegas dan penuh emosi.
Kata-kata dan kalimat Koay Ji malam ini terasa sangat tegas. Dan kata-katanya yang terakhir di dengar oleh Tek Ui Sinkay yang sebenarnya sudah ingin keluar dari persembunyiannya. Tetapi, karena kalimat Koay Ji yang mengambil alih dan sudah mengeluarkan kata-kata menyediakan lawan dengan caranya sendiri terhadap ketiga pentolan dari pihak lawan, maka diapun bersama Cu Ying Lun dan Kim Jie Sinkay akhirnya tetap tidak memunculkan diri mereka. Sebaliknya, mereka dengan cara berendap menuju ke dekat air terjun dan berjaga di sekitar sana.
Sementara itu, Bu Tek Seng Ong bertiga yang tersentak dengan kata-kata dan juga kalimat Koay Ji, terkejut setengah mati. Bahkan, untuk pertama kalinya Yap Jeng Cie bersuara setelah berdiam diri sejak tadi:
"Hmmm, lancang.... apa engkau kira sudah berkemampuan mengalahkan lohu, anak muda" Engkau masih tepaut sangat jauh......." dengusnya marah, dan matanya terlihat bergerak liar tanda bahwa emosi dan pertimbangannya sudah kurang lurus, emosi sudah mulai menguasainya.
"Bukankah jawabannya engkau tahu sendiri orang tua...." maaf, setelah perbuatan licik dan khianatmu yang membuat muridmu Pek Kut Lojin terbunuh, dan kini juga sama melakukan yang mirip terhadap muridmu yang lain, ech namanya Bu Tek Seng Ong ya,,,,," Hmmm, sudah saatnya namamu dihapuskan dari dunia ini. Dan, engkau sudah paham orang tua, bahwa lawanmu adalah aku, dan lebih dari cukup untuk membuatmu siuman dari mimpi terliarmu menguasai dunia. Benar-benar manusia liar yang tidak tahu diri....." Koay Ji benar-benar memberondong orang tua itu dengan makian yang terasa memang kurang ajar. Bahkan orang-orang lain yang mendengarnya merasa amat kaget dan keheranan dengan perbuatan dan juga kata-kata Koay Ji yang sudah kehilangan rasa hormatnya kepada orang tua yang saling luka melukai dengannya berapa hari lewat.
"Bangsat, kurang ajar engkau,..,,," adalah Bu Tek Seng Ong yang murka duluan saat mendengar kata-kata Koay Ji. Bukan hanya memaki, tetapi bahkan sudah langsung menyerang Koay Ji, tetapi sebelum pukulannya mengenai tubuh Koay Ji, sesosok bayangan lain sudah memapaknya. Kecepatannya melebihi Bu Tek Seng Ong, juga kegesitannya dalam bergerak. Siapa lagi jika bukan Sie Lan In yang memang sudah disiapkan menjadi lawannya oleh Koay Ji"
"Duk......." Pukulan Bu Tek Seng Ong dipapak dan ditangkis oleh Sie Lan In dan mengejutkan banyak orang. Karena Sie Lan In yang masih muda, seorang gadis muda pula, tapi ternyata menunjukkan gelagat mampu menahan serangan seorang yang sangat ditakuti oleh banyak orang: BU TEK SENG ONG. Dan benturan itu diiringi dengan senyuman oleh Koay Ji melihat betapa Sie Lan In tidak kalah oleh benturan itu. Dia tahu, dalam kekuatan iweekang, memang Bu Tek Seng Ong masih menang tipis, tidak beda jauh kemampuan mereka. Tetapi, dalam ginkang dan ilmu silat, Sie Lan In memiliki sisi lain yang melebihi lawannya.
"Hehehehe, jika memang engkau memasang tameng muridmu itu, baiklah kita sama sama menyaksikan kekalahan muridmu yang lain itu. Pek Kut Lojin saja engkau korbankan, pastilah muridmu ini juga akan engkau korbankan..." Koay Ji berkata dengan nada suara tetap sama, memojokkan dan merangsang emosi orang tua yang dia sebut YAP JENG CIE tadi itu. Tetapi, orang tua itu kini sudah kembali tenang dan tidak lagi emosional.
Majunya Bu Tek Seng Ong dan dipapak oleh Sie Lan In membuat arena di sekitar air terjun berubah dan bertambah menjadi dua. Tetapi, arena pertama dimana ada Khong Yan melawan Pek Bin Hwesio sudah berlangsung tidak seimbang karena Khong Yan dengan cepat sudah di atas angin dan mengendalikan pertempuran. Selain itu, Pek Bin Hwesio memang tiba-tiba sadar bahwa benar sekali, dirinya seperti menjadi umpan bagi kawan-kawannya yang masih berdiam diri dan belum terjun ke arena pertarungan. Akibatnya, belum lagi barisan Pek Lian Pay terbentuk, Khong Yan sudah menjatuhkan dua orang kawannya, dan kini keroyokan mereka tidak berarti banyak bagi Khong Yan. Arena yang tidak akan berlangsung lama, karena Khong Yan sudah diambang kemenangan dengan tiadanya niat dari Pek Bin Hwesio untuk terus bertarung.
Sementara Sie Lan In, begitu terjadi pertarungan dengan Bu Tek Seng Ong segera sadar bahwa analisis Koay Ji benar. Untung saja dia sudah disempurnakan subonya sehingga meningkat jauh, dan juga sudah berlatih intensif dengan Koay Ji sehingga membuatnya mampu merendengi Bu Tek Seng Ong. Bahkan, kini dia memainkan aspek keunggulannya: ginkang, dan bergerak mengelilingi Bu Tek Seng Ong guna terus mencecar dan mendesaknya. Pertarungan keduanya jauh lebih seru, lebih seimbang dan sulit ditentukan menang atau kalah dalam waktu singkat. Koay Ji sudah maklum dan tahu soal itu sejak awal. Dan karena mengetahui kenyataan itu dan sudah memprediksinya, maka dia bersikap tenang dan berkata:
"Apakah kalian berdua berminat untuk segera ikut bertarung ataukah menunggu Bu Tek Seng Ong dikalahkan terlebih dahulu oleh lawannya baru menyusulnya menuju ke neraka....?" jengek Koay Ji memancing kedua lawan lainnya agar segera turun tangan masuk ke arena. Tetapi, Koay Ji melihat kedua tokoh tua itu berdiam diri dan memusatkan perhatian hanya ke arena Sie Lan In melawan Bu Tek Seng Ong. Satu pertarungan yang memang sangat seru dengan pelaku pertarungan berimbang sehingga sulit menentukan dan meramalkan siapa gerangan yang akan menang dan keluar dengan selamat dari pertarungan itu.
"Atau kalian berdua sudah sadar bahwa menggunakan kekerasan tidak akan dapat hasil apa-apa" Tempat ini sudah dijaga sangat ketat, seluruh jalan keluar sudah kami tutup sejak tadi. Jalan adil kami siapkan, tetapi kalian ternyata berkeras untuk menempuh jalan yang curang, karena itu, kutegaskan saja, malam ini kalian akan menentukan jalan hidup kalian seperti apa kelak. Jalan bagi orang-orang licik dan curang sudah jelas berakhir dimana..." jengek Koay Ji yang sudah kehilangan rasa hormatnya kepada pihak lawan-lawannya.
"Hmmm, mengandalkan kemampuanmu sendiri memangnya mampu menghalangi kami berdua bergerak....?" jengek Yap Jeng Cie yang jadi sengit dengan kalimat Koay Ji yang memang sangat menohok. Memang disengaja oleh Koay Ji supaya mereka segera maju, tetapi masih beum juga.
"Pikir kalian yang picik itu, memangnya tidak ada yang akan mampu menghadapi tokoh Thian Tok itu" hahaha, sungguh lucu.... jika memang tidak percaya, coba majulah....." tantang Koay Ji yang memang sudah amat siap menghadapi manusia-manusia licik itu. Tetapi Yap Jeng Cie kembali diam dan memandangi arena Sie Lan In melawan Bu Tek Seng Ong. Setelah sekian lama benar juga, kelihatannya Bu Tek Seng Ong sulit mengambil keuntungan dan akan bertarung lama melawan Sie Lan In. Masing-masing memiliki kelebihan dan mampu menutupi kelemahan mereka terhadap lawannya yang hebat itu.
Saat itu Sie Lan In memang sudah mengerahkan kemampuan ginkangnya yang maha hebat dan benar-benar membuat Bu Tek Seng Ong kerepotan mengikuti kecepatannya. Akibatnya, Bu Tek Seng Ong tidak mampu memaksimalkan apa yang menjadi keunggulannya, terutama memaksimalkan keunggulan iweekangnya. Sie Lan In yang bergerak pesat, cepat dan bagai tak memiliki halangan bergerak dalam posisi dan kondisi yang terlihat mustahil, benar-benar membuatnya sulit. Kesulitan untuk memojokkan Sie Lan In dan mendesaknya, sebaliknya, dalam keadaan yang runyam baginya, bisa tiba-tiba dia terancam serangan berbahaya dari Sie Lan In. Dan ini membuatnya penasaran dan membuatnya kesulitan, sehingga keunggulan yang dia miliki benar-benar menjadi tidak berguna dalam menghadapi Sie Lan In yang semakin percaya diri. Memang, lama kelamaan keunggulan masing-masing mulai menentukan, dan keseimbangan mulai ditemukan. Baik Bu Tek Seng Ong juga Sie Lan In, sudah saling tahu setelah lima puluh jurus bahwa pertarungan mereka bakalan berlangsung lama dan panjang.
Tidak terasa sudah lima puluh jurus mereka bergebrak dan lebih banyak Sie Lan In yang menerjang karena sulitnya Bu Tek Seng Ong untuk menemukan kesempatan menyerang. Pada saat itu Yap Jeng Cie dan Rajmid Singh terlihat saling pandang, tetapi Koay Ji diam saja karena dia tahu pada saat itu keduanya pasti berunding apa yang akan dilakukan. Tetapi, untuk sia-siap, diapun menghubungi Mindra yang juga berada di sekitar arena, jangan sampai Rajmid Singh memutuskan "mengganggu" pertarungan Sie Lan In melawan Bu Tek Seng Ong. Dan kesiagaan Mindra benar-benar membuat Koay Ji merasa senang dan siap menghadapi segala kemungkinan termasuk kemungkinan Rajmid Singh untuk beraksi. Bahkan juga siap jika sampai Yap Jeng Cie ikut turun tangan. Karena itu dia melirik Siauw Hong yang tersenyum kepadanya tanda siap dan juga Kwa Siang.
Dan ternyata, Rajmid Singh yang turun terlebih dahulu. Kakek itu berjalan perlahan memasuki arena dan mendekati Khong Yan yang kini tinggal menghadapi Pek Bin Hwesio bersama dua anak buah lainnya. Sedangkan lima orang anak buah Pek Lian Pay sudah tergolek rubuh di tanah dan kelihatannya mereka tidak terbunuh, tapi tertotok lumpuh oleh pemuda itu. Melihat majunya Rajmid Singh, Koay Ji memberi isyarat kepada Siauw Hong dan Kwa Siang, dan tak menunggu sepersekian detik, Kwa Siang sudah berjalan gagah dan langsung menyongsong Rajmid Singh. Maju dan siapnya Kwa Siang sebenarnya membuat banyak orang bingung, yang mereka tidak tahu, sebenarnya majunya Kwa Siang adalah seperti "mengorbankan" satu orang yang pasti akan "kalah" tetapi tidak "mati". Jelas, Kwa Siang tidak akan menang, tetapi diapun tidak akan tewas.
Menjaga keselamatan Kwa Siang, maka Siauw Hong juga maju mengawaninya dan mereka berdua sudah disiapkan oleh Koay Ji. Selain itu, tanpa diketahui banyak orang, Kwa Siang sudah belajar banyak dari Koay Ji, dan Koay Ji sendiri sudah melakukan penyelidikan atas Kwa Siang. Dia tidak menemukan adanya yang aneh selain kenyataan betapa kekuatan luar dan kekuatan fisik pemuda itu sungguh aneh, sungguh mujijat. Bahkan, alam seperti mengaturnya menjadi kebal secara alamiah kecuali biji matanya. Selain matanya, semua bagian tubuh lainnya dari Kwa Siang terhitung mujijat, mungkin bisa membuatnya merasa kesakitan, tetapi melukainya, bahkan Koay Ji sendiripun merasa sulit. Kecuali jika perlahan memukul di titik-titik tertentu di tubuhnya secara terus menerus sampai dia merasa kesakitan. Tetapi, selain itu, sulit menemukan cara melukai pemuda itu.
Maka ketika mereka melihat sekali pukul Kwa Siang kena telak, para penontonpun terkesiap. Tetapi, mereka juga heran, sebagaimana Rajmid Singh sendiripun juga. Apa gerangan yang terjadi" Karena pukulan maha hebat dari Rajmid Singh hanya mampu untuk sekedar mengundurkan seorang Kwa Siang sampai dua langkah dan kemudian maju lagilah pemuda itu untuk menyerang dan menerjang Rajmid Singh. Untungnya orang Thian Tok itu cepat sadar bahwa Kwa Siang agak aneh dan susah diladeni, terutama setelah 3 kali dia memukul dengan kekuatan yang semakin menggila, tetapi tidak membuat si bandel takut dan terluka. Dia tetap saja maju menerjang dengan kekuatan fisik yang menggetarkan Rajmid Singh. Dia jelas susah untuk dilukai. Bahkan, 5,6 titik dan jalan darah kematian yang dipukul dan ditotok oleh Rajmid Singh, tetap saja tidak membuat Kwa Siang meringis dan merasa kesakitan. Dipukul, mundur, maju lagi, menyerang. Demikian seterusnya dan mulai membuat banyak orang kaget, terlebih Rajmid Sing.
Keadaan itu lama kelamaan membuat banyak yang menonton merasa kaget dan tidak habis pikir dengan keadaan Kwa Siang. Jelas dia tidak akan menang, tetapi, juga jelas dia sulit untuk dipukul terluka lawannya. Bertarungnya mereka berdua menambah satu arena lagi, dan pertarungan antara Sie Lan In melawan Bu Tek Seng Ong yang paling ramai, sementara yang paling mengejutkan adalah Rajmid Singh melawan Kwa Siang. Yang paling ringan dan akan segera selesai adalah arena pertama, dimana Khong Yan sudah memegang kendali utama dan sanggup merubuhkan enam orang lawan, dan kini Pek Bin Hwesio sudah mulai putus asa. Dia tahu dia tidak akan menang, lawannya terlampau hebat, diserang dengan ilmu sihir juga tidak mempan, dan enam dari tujuh anak buahnya sudah jatuh terkapar dan tidak sadarkan dirinya. Bisa apa dia"
Koay Ji mengawasi ketiga arena dan juga tidak meninggalkan kewaspadaannya atas Yap Jeng Cie. Dia tahu semua arena aman, bahkan satu arena sudah nyaris selesai, dan paham dia harus menunggu berjam-jam sampai kepastian dua arena lainnya dia dapatkan. Tetapi, sampai saat itu dia merasa cukup tenang, karena satu-satunya yang dia rasa ragu adalah dirinya saat nantinya menghadapi Yap jeng Cie. Yang lainnya dia merasa optimis akan bisa menghadapi lawan dan tidak terlampau khawatir untuk sampai tewas dalam pertempuran. Maka, melihat Yap Jeng Cie tetap berdiam diri mengikuti seluruh pertarungan membuat Koay Ji merasa senang, meskipun malam sudah larut. Sudah jauh melewati tengah malam. Sebentar lagi pagi akan menjelang datang.
Beberapa saat kemudian, Khong Yan memukul jatuh lawan terakhir selain Pek Bin Hwesio dan kini mulai bertarung satu lawan satu melawan Pek Bin Hwesio yang nyalinya sudah hilang. Boleh dikata dia bertarung tanpa ambisi dan sudah hilang keberaniannya untuk adu pukulan karena kekuatan Khong Yan sangatlah besar. Jika bertarung secara sungguh-sungguh, sebetulnya dia mampu meladeni Khong yan, karena tingkatnya sudah setanding dengan Tam Peng Khek ataupun Jamukha. Tapi karena sudah ketakutan dan nyalinya sudah terbang, maka dia dengan sangat terpaksa melakukan pertarungan dengan menjaga diri sekedarnya. Dia sudah tidak lagi memiliki kebenarnian untuk sekedar keluar menyerang Khong Yan, dan tidak lagi berani untuk berbenturan dengan Khong yan. Hal ini diketahui oleh Khong Yan, dan dia merasa iba untuk lawannya, tetapi sekaligus juga paham bahwa hukuman atas Pek Bin Hwesio tetap harus dijalankan. Karena bagaimanapun juga, lawannya itu adalah salah satu tokoh perusuh.
Pertarungan lain yang berat sebelah tetapi aneh adalah pertarungan antara Ramjid Singh melawan Kwa Siang yang dibantu sesekali oleh Siauw Hong. Tetapi, nampak Siauw Hong hanya pelengkap dan tidak masuk terlampau jauh dalam pertempuran yang aneh itu. Disebut aneh karena Kwa Siang selalu maju seperti hanya menerima gebukan lawannya saja. Dia tidak atau belum banyak bergerak tetapi membiarkan lawannya menghujani dirinya secara bertubi-tubi dengan segala macam pukulan dan sentilan. Meski jatuh bangun, dia tetap saja bangun dengan segar bugar dan lagi, maju mendekati lawannya Rajmid Singh yang mulai kewalahan dengan kenekatan lawan mudahnya. Dan juga mulai bingung karena lawan yang sudah terkena banyak sekali pukulan hebat darinya tetap saja bangun tanpa terluka, melawan dan juga menyerangnya dan terpukul kembali.
Pertarungan yang sesungguhnya terjadi antara Sie Lan In melawan Bu Tek Seng Ong. Pertarungan bermutu, bertingkat tinggi dan memainkan sejumlah ilmu dan juga jurus-jurus mujijat yang jarang muncul di rimba persilatan. Dalam waktu singkat Sie Lan In sudah harus mengerahkan iweekang andalan perguruannya Hut Men Sian Thian Khi Kang (Tenaga Dalam Mujijat), juga ginkang andalannya yakni gerak cepat Sian-Ing Tun-Sin-Hoat (ilmu bayangan dewa menghilang). Satu kombinasi yang jarang dia mainkan kecuali sedang berhadapan dengan lawan yang memang sangat hebat. Bahkan dalam 50 jurus pertama, dia sudah memainkan dua ilmu hebat untuk menyerang, yakni Ilmu Liu Yun Ciang Hoat (llmu pukulan Awan Terbang) berganti-gantian juga dengan Ilmu Pukulan Kim Kong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Cahaya Emas). Kedua ilmu itu jelas bukan ilmu pasaran dan merupakan kebanggaan perguruan Sie Lan In, terutama dari subonya yang adalah tokoh yang ternama, Lam Hay Sinni.
Lawannya, Bu Tek Seng Ong, tokoh utama yang selama ini menghadirkan horor di Tionggoan, jelas bukanlah lawan lemah. Jika kemampuannya hanya sekelas tokoh kelas satu, bagaimana bisa dia mengendalikan tokoh-tokoh sehebat Liok Kong Djie, Mo Hwee Hud, sejumlah Ciangbudjin dari daerah perbatasan dan masih banyak tokoh sakti lainnya". Di awal saja, dia sudah memainkan ilmu iweekang perguruan yang merupajan latihan Hian Bun Kui Goan Kang Khi (Ilmu Menghimpun Dan Menyatukan Hawa Murni), dalam satu rumusan Ilmu sakti Cap Sah Sik Heng Kang Sim Coat. Inilah salah satu Ilmu Utama ciptaan mendiang Pat Bin Lin Long yang juga mendasari banyak sekali ilmu mujijat lainnya yang dia ciptakan semasa masih hidup. Dan untuk mendesak lawan, dia sudah memainkan Ilmu Cap Ci Tam Kan Ciu (Ilmu Sentilan Sepuluh Jari), yang juga dikuasai oleh Koay Ji dan sudah diberi nama Ci Liong Ciu Hoat (Ilmu Mengekang Naga). Jelas kemampuan dan juga keampuhan Bu Tek Seng Ong memang bukan main-main.
Untungnya Sie Lan In memang sudah demikian mahir dengan ginkangnya, sekaligus juga sudah mengenal ilmu yang dimainkan Bu Tek Seng Ong. Karenanya, dia tidak terlampau gelisah dan takut menghadapi serangan-serangan lawannya, tetapi mau tidak mau, dia harus bersilat dengan kemampuan terbaik. Julukannya sebagai Long Li Hu Tiap (Kupu-kupu di tengah ombak) benar-benar nampak dan membuatnya dikagumi mereka yang menyaksikannya. Dia bergerak bagai kupu-kupu terbang dan gerakan-gerakannya memang seperti sedang bercumbu dengan ombak atau sedang bercumbu dengan bahaya. Bu Tek Seng Ong memang berkali-kali berseru dengan nada suara kagum karena gerakan mujijat Sie Lan In yang membuat semua pukulan dan serangan mautnya mentah. Serta juga dapat dielakkan dengan manis oleh Sie Lan In yang bergerak begitu ringan, cepat dan tepat. Tetapi, bukan hanya mengelak dan lari dari pukulan, sesekali Sie Lan In juga meladeni Bu tek Seng Ong dalam menyerang dan menyudutkan lawannya itu.
Pertarungan semua arena jelas berada dalam pengawasan Koay Ji dan juga tidak salah lagi, Yap Jeng Cie. Wajah kakek itu memang tetap tenang, tetapi dia jelas saat itu sama dengan Koay Ji mengamati dan menilai semua arena untuk menganalisis dan juga merencanakan apa yang akan dikerjakan nantinya. Dia seperti melepas dan membiarkan saja kawanan Pek Bin Hwesio terbantai dan terkalahkan, bahkan untuk melirik kekalahan Pek Bin Hwesio dan kawan-kawannyapun sama sekali tidak. Tapi dia sangat peduli dengan pertarungan Rajmid Singh melawan Kwa Siang dan juga dibantu Siauw Hong dan juga arena Bu Tek Seng Ong melawan Sie Lan In yang memang amat menarik dan seru.
Sesekali dia berseru dan memberi petunjuk dalam bahasa Thian Tok kepada Rajmid Singh kelihatannya, tetapi tetap saja kejadian demi kejadian berulang dan tidaklah sampai membuat Kwa Siang terluka. Terbanting kemudian dia roboh dan terpukul tunggang langgang memang sering, bahkan berulang sedemikian banyaknya. Tetapi tidak membuat si dogol Kwa Siang ketakutan, kesakitan dan terluka, sebaliknya, dia justru semakin bersemangat karena dia tidak merasa terluka dan juga tidak merasa kesakitan. Semangatnya melimpah karena Siauw Hong ada disitu dan selalu saja menyemangati dan membakarnya, sehingga wajahnya selalu cerah, tersenyum dan tidak merasa takut ataupun kesakitan. Apalagi karena sesekali gadis itu maju membantunya. Sementara itu, Rajmid Singh terlihat mulai merasa bingung dan juga penasaran karena lawan muda itu tidak atau sulit untuk dia sakiti atau juga lukai. Bahkan, ketika membentak:
"Mundur, engkau sudah kelelahan....."
Bentakan dengan menggunakan wibawa sihirnya itu sama sekali tidak mempan dan tidak berpengaruh apa-apa. Karena si dogol tetap saja terkekeh-kekeh senang dan terus memburunya dengan pukulan berkekuatan gwakang yang benar-benar sangat menggentarkannya. Kekuatan iweekang pemuda itu boleh saja cetek, tetapi dalam kekuatan gwakang, dia merasa tidaklah akan kuat melawan dan membentur secara sengaja pukulan lawan mud aitu. Bentakannya yang gagal berulang kali, segera membuatnya sadar bahwa lawannya anti sihir, entah mengapa dan dia tidak tahu alasannya. Dan bahwa, kekuatan gwakang lawan, juga tidak lumrah manusia dan tidak ada gunanya untuk dia lawan dan dia bentur dalam pertarungan mereka berdua. Dengan kata lain, baik iweekang maupun ilmu sihirnya yang adalah kekuatan dan keunggulannya selama ini, tidak berguna melawan si pemuda dogol. Dan setelah berlalu 75 jurus, dia mulai merubah perkelahian dan mencoba mencari titik lemah si dogol, dan memikirkan untuk mengalahkan Kwa Siang setelah tahu dan paham kelemahan pemuda mujijat itu.
Semua arena itu berada dalam pengetahuan Yap Jeng Cie dan terus melakukan juga analisisnya dan sesekali membantu memberitahu kedua kawannya apa yang baik untuk dilakukan. Tetapi, dia tidak tahu jika hal yang sama juga dilakukan oleh Koay Ji yang secara khusus untuk Kwa Siang, dia sampaikan melalui Siauw Hong. Dan sesuai dugaannya, jika Siauw Hong yang menyampaikan, maka efeknya justru lebih efektif dan lebih bisa diterima secara cepat oleh Kwa Siang. Sementara melihat Sie Lan In, dia sadar jika pertarungan mereka jauh lebih beresiko, karena sulitlah bagi dia dan juga bagi Yap Jeng Cie untuk menerka siapa yang kelak akan keluar sebagai pemenang dari pertarungan seru itu.
Saat itu pertarungan sudah memasuki jurus ke seratus, selama satu jam lebih mereka sudah bertarung seru dan posisi masih belum menunjukkan siapa yang akan menang diantara Sie Lan In dan Bu Tek Seng Ong. Bahkan mereka berdua sama sudah meningkatkan kemampuan masing-masing guna mendesak dan juga melawan terjangan lawan masing-masing. Bahkan Sie Lan In sudah memainkan juga efek mujijat iweekangnya, Hut Men Sian Thian Khi Kang, yang membuatnya dapat menjadi lemas menjebak. Iweekangnya mulai memainkan efek mujijat yang hebat dan membuat lawan merasa dia menjadi "lembek", tetapi justru setiap ditekan akan sama dengan karet raksasa yang membuat pukulannya membal dan kemudian efeknya raib entah kemana.
Bu Tek Seng Ong sadar bahwa lawannya sudah membentengi diri dengan khikang istimewa dan khas dari perguruannya, dan karena itu diapun mulai membentengi diri dengan efek yang sama. Hanya, efek iweekangnya adalah "memelesetkan" pukulan lawan sehingga tidak akan mendatangkan akibat yang berat baginya, dan membuat semua pukulan lawan menyamping. Dengan efek iweekang mirip yang mereka berdua kerahkan, maka pertarungan keduanya semakin berat dan jelas semakin menuntut konsentrasi tingkat tinggi. Kini, mereka tidak lagi memperhatikan keadaan sekeliling melainkan berkonsentrasi menghadapi, mengelakkan, dan juga sekalian menyerang lawan guna meraih kemenangan. Mereka sama-sama sadar bahwa lawan yang sedang dihadapi adalah lawan berat dan repot untuk memikirkan cara dan kemungkinan menang ataupun kalah. Bahkan mereka kini mulai menyusun cara dan strategi bertarung untuk jangka panjang.
Koay Ji dan Yap Ceng Jie memang banyak memperhatikan arena mujijat ini, bukan apa-apa, mereka sadar bahwa pertarungan ini menentukan. Karena ilmu-ilmu yang mereka kenal sedang dihamburkan dan sedang dibenturkan, sehingga mereka mau tidak mau harus memperhatikan. Dan keduanya segera sadar bahwa baik Sie Lan In maupun Bu Tek Seng Ong memang sedang dalam tingkat konsentrasi tertinggi dan karenanya sebaiknya tidak banyak diganggu. Mereka sudah sedang berada dalam satu tingkatan dengan menyatukan semangat serta juga konsentrasi dalam ilmu dan iweekang yang mereka kerahkan. Dengan cara seperti itulah mereka menyerang, mendesak, bertahan dan sekaligus berkelit dalam pertarungan itu. Gangguan sekecil apapun akan sangat berbahaya.
Ada satu hal dan satu proses yang tidak disadari oleh Koay Ji, sebuah hal yang tak terasa dan juga tidak berada dalam jangkauan pemikirannya. Pada saat dia sedang memusatkan pikirannya, secara tidak disengaja dan tidak disadarinya, keinginannya sangat kuat dan sangat besar untuk mampu mencakup semua arena pertarungan. Hal yang sebenarnya tidaklah mungkin dia lakukan dengan membagi empat bagian konsentrasi dan pemikirannya, yakni mengawasi arena Sie Lan In melawan Bu Tek Seng Ong sebagai hal utama. Tetapi, secara bersamaan, diapun harus membagi perhatiannya terhadap posisi, pergerakan dan juga gerak-gerik dari Yap Jeng Cie yang berpengaruh atas semua kejadian dan semua arena. Jika dia memutuskan guna membantu satu pihak, maka mau tidak mau Koay Ji juga harus ikut campur tangan disana jika tidak mau kalah.
Kemudian, diapun masih harus mengawasi satu arena yang lain, dimana Kwa Siang yang dalam panduan Siauw Hong melawan tokoh mujijat bernama Rajmid Singh asal Thian Tok. Tokoh ini sejatinya setingkat dengan kemampuan Yap Jeng Cie, atau setidaknya mendekati, namun memiliki keistimewaan dalam Ilmu Sihir yang juga membuatnya merendengi kemampuan Yap Jeng Cie dengan keistimewaan itu. Perlawanan Kwa Siang terhadap Rajmidh Singh memang luar biasa, karena itu tetap saja Koay Ji memasang awas dan perhatiannya terhadap pertarungan hebat itu. Apalagi ada adik angkatnya, Siauw Hong yang terlibat baik langsung maupun secara tidak langsung disana atas perintahnya. Dan terakhir, meski tidak terlampau masuk dalam pikirannya, pertarungan antara Khong Yan melawan Pek Bin Hwesio yang sudah mulai masuk tahapan akhir.
Renjana Pendekar 12 Mayat Kesurupan Roh Karya Khu Lung Misteri Pulau Neraka 10
^