Pencarian

Pendekar Aneh Naga Langit 41

Pendekar Aneh Naga Langit Thian Liong Koay Hiap Karya Marshall Bagian 41


Awalnya Koay Ji hanya mampu mengawasi terus menerus gerak-gerik dan kelakuan dari Yap Jeng Cie. Tetapi, ketika secara tidak sadar dia mengerahkan kemampuan khas perguruannya, kekuatan batin dengan bantuan iweekang gabungannya, ech, dia ternyata kemudian mampu membagi perhatiannya. Dia memilih mengawasi dua arena, yaitu Sie Lan In melawan Bu Tek Seng Ong dan terus mengawasi gerak-gerik dari Yap Jeng Cie. Dan, tanpa dia sadari, dia juga tanpa dia sadari mampu membagi konsentrasinya mengawasi arena ketiga, Kwa Siang dan Siauw Hong menghadapi Rajmid Singh. Dan, dia tidak menyadari jika dia mendapati lagi satu titik kemajuan yang amat mujijat, diluar sangkanya, diluar perencanaannya, tetapi berlaku ataupun terjadi begitu saja. Tingkat kemampuan iweekangnya yang merupakan gabungan dua iweekang mujijat, kekuatan tenaga batin yang diajarkan suhunya, serta sebuah anugerah kemampuan sihir yang alamiah, serta pengetahuannya yang sangat dalam atas ilmu Budha, ilmu Pat Bin Lin Long, sebenarnya banyak membantunya.
Memang, sekali lagi Koay Ji tidak sedang berusaha melatihnya, melainkan memang merupakan tuntutan arena yang harus dia awasi. Bahkan, secara perlahan, dia tak sadar jika arena Khong Yan melawan Pek Bin Hwesio, dan seluruh arena sekitarnya dapat dia awasi tanpa dia mesti memalingkan wajahnya kekiri maupun kekanan. Dia tidak sadar jika wawasan dan kewaspadaannya sudah demikian maju sehingga juga malah mampu membagi konsentrasinya mengawasi beberapa tempat yang berbeda secara bersamaan. Sekali lagi, semua terjadi tanpa dia sadari, tanpa dia berusaha melatihnya, tetapi karena ketenangan, keinginan kuat mengetahui arena lainnya, juga bantuan tenaga dan kekuatan batin serta iweekangnya, dia akhirnya mampu. Dia akhirnya berhasil berkonsentrasi mengawasi semua arena pertarungan dan juga arena secara keseluruhan tanpa lagi harus berdiri berjalan kekiri dan kekanan, atau juga mesti menoleh kekiri, kekanan, kebelakang, atau kedepan.
Haruslah dipahami, bahwa dalam beberapa kasus istimewa, manusia mempelajari dan mengetahui sesuatu, menguasai satu skill melalui cara yang istimewa. Dalam kasus skill fisik, kita mau tidak mau harus melatihnya secara perlahan-lahan sampai kemudian menguasai skill tersebut. Tetapi, ada skill lain yang membutuhkan tingkat ketenangan, kesabaran, kejernihan hati, ketenangan dan kematangan emosi hingga ke tingkat lebih mitis. Tingkat dimana semua hal bisa diamati dan disaksikan dalam satu lokus tertentu melalui ketenangan, konsentrasi dan juga keluasan dan juga hal keawasan atas situasi. Sebuah skill mumpuni sebenarnya yang hanya bisa dikuasai secara khusus oleh manusia-manusia tertentu karena berkah, bakat dan bisa juga potensi khusus yang dimilikinya.
Seperti yang baru saja dialami dan dikuasai Koay Ji tanpa dia sendiri menyadari jika dia sudah menguasai sebuah tahapan mitis yang amat hebat. Bukan dia sama sekali tidak berusaha, justru dia berusaha keras, memeras kemampuannya, hingga juga mengoptimalkan dirinya sendiri. Dia memang tidak menyadari akan mencapai batas ataupun kemampuan mitis tersebut, tetapi faktanya, dalam ketidaksengajaannya, dia justru mampu mencapainya. Meski dia belum menyadarinya. Hanya, saat itu, dia senang saja karena dia entah mengapa mampu mengawasi tempat-tempat berbeda, juga melihatnya langsung padahal dia tahu keterbatasannya. Jika memang ada hal aneh yang dialami dan dimiliki seseorang tanpa dia menyadarinya, maka hal seperti itu sering disebut orang JODOH ataupun BAKAT ataupun ANUGERAH.
Jadilah Koay Ji mengawasi seluruh arena, bahkan lebih dari itu, mengawasi seluruh sisi arena hingga ke sisi tebing ataupun air terjun. Kini, wawasannya sudah sangat luas dan melebar, tetapi dia belum menyadari jika itu sudah merupakan sebuah skill atau kemampuan istimewa. Skill yang didapatnya secara tidak langsung, melainkan karena hatinya yang bersih yang ingin melindungi semua kawan-kawannya, bukan karena ingin membokong lawan dari kawan-kawannya. Dan dengan cara tak terduga itu, dia justru mendapat sesuatu yang luar biasa. Tepatlah kalimat dan kata-kata kaum bijaksanawan dan bijaksanawati: "mereka-mereka yang berusaha dan atau mencoba dengan keras, berusaha secara mati-matian seringkali tidak mendapatnya. Mereka yang mencoba dengan maksud lebih luhur, tanpa maksud memperoleh satu hadiah ataupun balasannya, justru sering mendapatkannya melebihi dari apa yang ingin dia dapatkan atau temukan...."
Mau disebut JODOH, mungkin benar. Tetapi, itulah yang diperoleh Koay Ji secara tidak sengaja. Sebuah tahapan mitis yang luar biasa yang memampukannya lebih awas, lebih teliti dan lebih mampu melihat sebuah masalah dan kejadian melampaui batas-batas ruang yang bisa dilihat matanya. Melalui "hati" dan "keawasannya", dia mampu melihat hal-hal yang tidak terlihat mata fisik, tetapi terlihat jelas dengan mata hatinya, nalurinya, nuraninya. Hanya, saat itu Koay Ji belum memahami sepenuhnya dan belum menyadarinya. Tetapi, dia menikmati kenyataan betapa tanpa menoleh, tapi dalam diamnya, dia mampu mengetahui semua gerak-gerik orang yang berada di sekitarnya, bahkan termasuk yang berada di luar arena dan tidak berada dalam jangkauan pandangan matanya.
Diapun bahkan mulai mampu menilai dan mengikuti bagaimana Sie Lan In yang kini mulai memainkan sebuah ilmu dahsyat dan berbahaya dari perguruannya. Yakni, satu ilmu yang dia kenal dengan nama Ilmu To Im Cih Yang (Menyambut Dengan Keras Mendorong Dengan Lunak). Ilmu ini memampukannya untuk menempel dan menerima pukulan lawan, memunahkan daya dorong keras pukulan lawan dan juga kemudian mendorongnya menjadi kekuatan pukulan menjebak. Terasa lunak dan juga lembek, tetapi dengan tiba-tiba bisa berubah menjadi sebuah kekuatan dorong yang amat keras dan membahayakan. Sementara lawannya, sudah mulai berusaha mengimbangi pergerakan Sie Lan In dengan sebuah ilmu hebat, Ilmu Cap Ci Tam Kan Ciu (Ilmu Sentilan Sepuluh Jari) dan juga ilmu berat bernama Ilmu Loh Ing Ciang Hoat (Pukulan Tangan Bintang Jatuh).
Penggunaan ilmu-ilmu tersebut yang mulai memasuki tahapan membahayakan, karena kini ilmu-ilmu berat sudah mulai dikembangkan setelah mereka bertarung hampir dua jam dengan tanpa ada yang mampu mendesak. Memang benar, Bu Tek Seng Ong masih lebih sering menyerang berbanding 2 kali serangan dibalas satu kali oleh Sie Lan In. Tetapi, gerakan Sie Lan In yang mujijat, terpaksa harus juga sesekali diimbangi dengan Ilmu Lam Hay Peng Po Leng Im Sin Hoat (Ilmu Gerak Tubuh Menyeberangi Awan Tenang di lautan Selatan). Hanya, karena Sie Lan In sudah melihat yang lebih lengkap dan sempurna dimainkan Koay Ji, maka diapun tidak merasa kerepotan menghadapi Bu Tek Seng Ong. Memang dimainkannya ilmu itu berbeda dengan pengetahuan Sie Lan In yang memahami dan mengetahui ilmu langkah yang memang hebat dan mujijat itu selengkapnya.
Pertarungan imbang itu mulai membahayakan ketika Sie Lan In menggunakan ilmu kebanggaannya, kebanggaan suhunya. Dan jemari Bu Tek Seng Ong mulai terlihat berkilat tanda bahwa kekuatan yang terangkum di kepalan lengannya dan jemari mulai sangat mematikan. Kekuatannya sudah 7 bagian dan jika Sie Lan In ayal, maka bukan tidak mungkin dia akan terluka parah. Tetapi, hebatnya, selain Sie Lan In sebat dan bergerak sangat cepat, sesekali dia tidak takut meladeni pertarungan adu dan jual-beli pukulan dengan Bu Tek Seng Ong. Tetapi, dia tidak lama meladeni Bu Tek Seng Ong dalam jual-beli pukulan seperti itu, hanya memberi isyarat bagi lawan, bahwa dia tidak takut dengan kemampuannya. Atau bahwa dia sendiripun juga memiliki bekal yang memadai untuk menandingi dan menghadapi Bu Tek Seng Ong yang sakti digdaya itu.
Sejujurnya, dalam kecepatan memang masih kalah Bu Tek Seng Ong, tetapi dalam gerak-gerak mujijat diapun tidak kalah hebat. Suatu saat, pada jurus ke 200 lebih, Sie Lan In menggunakan sebuah jurus mujijat yakni jurus Sian Cu Ling Poh (Bidadari terbang di Langit), sebuah jurus yang dia mainkan sambil berada terus di udara meladeni rangkaian jurus serangan Bu Tek Seng Ong. Sambil menyerang dengan jurus Can Liong Ling Yun (Naga Bermain di Awan), dia mendesak Sie Lan In dengan totokan-totokan dari Ilmu Ilmu Cap Ci Tam Kan Ciu (Ilmu Sentilan Sepuluh Jari). Dia terus mengejar dengan dua buah totokan dalam gerakan hebat menggunakan jurus jurus Yu Liong Sih Hong (Naga dan Burung Hong Menari). Dua totokan mematikan mengarah dada dan paha Sie Lan In yang masih bergerak di udara dan segera mengganti gerakan dengan cepat jurus Li Kiau Puh Thian (Gadis Cantik menggapai langit).
Jurus gerakan Sie Lan In yang menggeliat dan berganti gerak di udara sebetulnya bukanlah gerakan lumrah, tetapi mengingat betapa gadis ini adalah murid Lam Hay Sinni, banyak yang maklum. Betapa tidak, dalam keadaan terancam, dia masih mampu mengganti gerakan dan membuatnya bergerak mengudara secara vertikal dan kemudian dengan cepat menyerang dalam gerakan hebat dengan jurus Ie San Toh Hai (Memindahkan Gunung Mengaduk Laut). Jurus itupun bukan main-main, dia berganti menabok kepala Bu Tek Seng Ong dan kakinya mengancam pundak, sehingga mau tidak mau Bu Tek Seng Ong bergerak bergeser dua langkah kearah samping dan bergerak mengganti jurus serangan. Sekali ini dia memunahkan jurus serangan Sie Lan In dan balas menyerang kembali dengan jurus Kim Cin Tou Hai (Jarum Emas Menyeberang Laut).
Dari keadaan terserang diapun kembali balas menyerang, sementara Sie Lan In terlihat menggeliat, karena serangan totokan Bu Tek Seng Ong agak menyengat dan berbahaya. Karena lentikan totokan utama mengarah ke pinggang sebelah kiri Sie Lan In, dan jika terkena, bukan tidak mungkin akan bocor saking tajam dan juga kuatnya serangan balasan lawan. Dengan cerdik dia memainkan jurus Sin Liong Jip Yun (Naga Sakti masuk ke awan) yang membuat secara ajaib tubuhnya lagi melenting ke atas, dan dengan cepat kembali menyerang dengan jurus Loan Yun Thui Swat (Awan kacau dorong salju). Kelihatannya Sie Lan In yang mampu lama bermain di udara dan tidak ketakutan serta bahkan terus adu serangan dengan Bu Tek Seng Ong sudah menyadarkan sang lawan, bahwa dalam ginkang memang Sie Lan In luar biasa hebatnya.
Karena dia kembali terancam oleh serangan pukulan Sie Lan In yang membawa satu kekuatan hebat mengarahnya. Kekuatan pukulan itu terasa antara ada dan tidak ada, sehingga Bu Tek Seng Ong justru menjadi curiga. Pukulan itu mestinya bukan pukulan main-main dan tidak bisa dihadapi dengan cara biasa, tetapi mesti dengan jurus yang sama hebat. Dengan tidak ragu diapun bergerak dengan jurus Lang Cien Liu Sah (Ombak Memindahkan Pasir), dan langsung mengancam Sie Lan In dengan jurus susulan jurus Ben Liu Jip Hai (Selaksa arus mengalir ke laut). Sie Lan In sadar bahaya, tetapi dengan tenang dia menggunakan kekuatan hawa tangkisan lawan sebelumnya untuk menggenjot tubuhnya kembali bergerak meski belum berpijak di tanah selama beberapa saat lamanya.
Sebuah jurus bernama jurus Giok Kiauw Yang Koan (Gadis cantik memandang ke bawah) dikembangkannya untuk menetralisasi serangan Bu Tek Seng Ong dan jurus Hoat Coh Sui Coa (Membabat Rumput Mencari Ular) segera menyusul dikerahkan. Pameran kekuatan dan kehebatan keduanya memang membuat orang tekesima, karena Sie Lan In mampu bertahan selama beberapa menit di udara dan menyerang, diserang, berganti gaya, selama itu tetap berada di udara. Dia tidaklah terdesak, meski juga tidak mampu mendesak Bu Tek Seng Ong, tetapi daya tarung dia yang berada diudara tanpa dapat didesak meski juga tak mampu mendesak Bu Tek Seng Ong benar-benar hebat. Maka, ketika setelah beberapa menit dia terus menyerang dari ketinggian, saat kembali hinggap di atas tanah, diapun bergerak lincah, cepat dan pesat. Tetap posisi mereka berdua setelah lebih dua jam bertarung ketat, masih dalam keadaan imbang.
Koay Ji yang memandangi arena itu tersenyum dan semakin yakin bahwa Sie Lan In memang sudah berkembang hebat dan kini mampu menandingi kehebatan lawan. Lawan hebat, Bu Tek Seng Ong yang dijajaran lawan, hanya setingkat dibawah kemampuan tokoh paling hebat dari lawan, yakni Yap Jeng Cie yang juga adalah suhunya sendiri. Melihat hasil tarung Sie Lan In sejauh ini yang meski tidak mampu mendesak tetapi juga tidak terdesak, mau tidak mau menyenangkan Koay Ji. Dia malah tersenyum pada saat bersamaan karena dia menyaksikan bagaimana satu pukulan berat Khong Yan mengakhiri perlawanan Pek Bin Hwesio. Hwesio murtad dari Pek Lian Pay ini tak mampu menahan sebuah pukulan kombinasi yang dilepas Khong Yan, yakni Ilmu Hud Meh Ciang (Pukulan Menyambar Nadi). Pukulan itu adalah salah satu andalan Bu Te Hwesio yang sudah dilatihkan secara sempurna oleh Khong Yan selama setahun terkahir.
Koay Ji bisa melihat jelas bagaimana sebuah jurus bernama jurus Sin Liong Hian Sou (Naga Sakti Memperlihatkan Kepala) dilepaskan Khong Yan. Jurus itu pada dasarnya sederhana meski mengandung 5 jebakan gerakan hebat, tetapi karena Pek Bin hwesio kebingungan menghadapi yang mana, maka sebuah tepukan dari jurus Sih Ku le Kih (Burung Merpati Memindahkan Ranting) membawa akibat yang menentukan. Dia tidak mampu lagi menahan atau mencari jalan keluar dan akhirnya menutup matanya dan membiarkan Khong Yan menepuk pangkal lengan dan mematahkan tulang utama yang fital bagi seorang pesilat. Meski Khong Yan ingin berbelas kasihan, tetapi mengingat berbahayanya Pek Lian Pay dibawah Hwesio ini membuatnya mengeraskan hati. Diapun menepuk dengan kekuatan hebat dan meremukkan tulang pangkal lengan lawan yang akhirnya melemparkan tubuh itu jauh ke belakang dan sudah dalam keadaan pingsan. Tamatlah riwayat si pengkhianat Pek Lian Pay dengan tubuh kehilangan kekuatan dan kemungkinan berlatih silat kembali yang sirna.
Koay Ji senang karena sutenya bermurah hati, dan pada saat yang sama juga Sie Lan In menyelesaikan sesi selama beberapa menit bertarung diudara. Sehingga kalimat Koay Ji yang terdengar banyak orang:
"Sungguh bagus......"
Sambutan dan juga pujiannya itu terdengar baik oleh Khong Yan maupun oleh Sie Lan In. Dan keduanya merasa bangga dan gembira dengan pujian Koay Ji yang sebenarnya-benarnya memang ditujukan bagi mereka berdua. Ucapan selamat bagi Khong Yan karena menyelesaikan pertarungannya dengan baik dan berakhir buruk meski tidak kematian bagi lawannya; serta juga pujian bagi Sie Lan In yang benar benar bertarung dengan kemampuan ginkang yang sangat mujijat. Banyak yang sudah tahu bahwa ratu ginkang Lam Hay Sinni sudah menyerahkan julukannya kepada muridnya ini, Sie Lan In. Tetapi, menyaksikan nona itu memainkan ginkang dan bertarung dengan cara seperti yang baru saja disaksikan banyak orang, benar benar sebuah sajian yang sulit dilupakan. Mujijat, hebat, aneh, namun ternyata Sie Lan In mampu memainkannya. Bertarung cukup lama di udara dengan tidak punya jeda dan sela waktu. Kecuali ketika hinggap kembali ke bumi setelah bertarung selama 20 jurus dengan lawannya yang maha hebat itu.
Dan kini arena pertarungan tinggal dua. Koay Ji yang bersamaan menyaksikan Kwa Siang, mengerutkan kening karena melihat cara bertarung si kakek yang mulai aneh. Perlahan, penuh tenaga, tetapi tidak mengejar Kwa Siang melainkan memancing si pemuda dogol untuk datang menyerangnya. Dan memang itu yang dilakukan oleh Kwa Siang, mendatangi Rajmid Singh untuk kemudian dimentalkan menjauh oleh kekuatan iweekang lawan. Kwa Siang memang bangkit kembali, tetapi Koay Ji dapat melihat jika pemuda kawannya itu mulai merasa kesakitan. Bagaimanapun memang, pukulan Rajmid Singh sangat hebat, kuat, bertenaga dan pasti akan bisa masuk dan membobol kekebalan alamiah Kwa Siang. Memang, Koay Ji juga mampu melakukan hal yang sama, membuat Kwa Siang kesakitan. Tetapi, bahaya jika keadaan terus seperti itu, bisa melukai Kwa Siang lama-kelamaan.
Berpikir demikian, diapun kemudian mengirimi Siauw Hong bisikan dan sejumlah petunjuk yang bisa menghambat dan memperlambat atau bahkan membuat Rajmid Singh sibuk. Dan bukanlah hal sulit, karena memang Siauw Hong selalu menuruti apa perintah dan yang ditugaskan Koay Ji. Seperti juga saat itu. Begitu dia selesai mendengar aba-aba, petunjuk dan juga perintah sang toako yang memintanya maju, tanpa menunggu perintah kedua, Siauw Hong sudah masuk menyerang Rajmid Singh. Pukulannyapun bukan pukulan mudah, karena salah satu dari ajaran Koay Ji, pukulan hebat yang berasal dari Pukulan Cakar Ayam Sakti. Pukulan itu sebenarnya memang biasa saja, tetapi setelah digubah kembali oleh Koay Ji, ilmu sederhana itu mengandung perubahan dan ancaman tersembunyi yang tentu saja dapat dilacak lawan. Apalagi, dalam jurus sederhana itu memuat sejumlah perubahan tersembunyi dan sulit untuk dilacak lawan.
Jelas saja, karena memang, Rajmid Singh bukan orang bodoh. Selain itu, varian serangan Siauw Hong tadi berasal dari tata gerak terkenal di Thian Tok yang jelas saja dikenal oleh Rajmid Singh. Tetapi, melihat jalannya jurus itu, diapun terkesiap dan berpikir aneh, mengapa gerakan mujijat itu muncul dari kalangan orang muda Tionggoan. Dia tidak curiga bahwa itu ajaran Koay Ji yang sudah berapa kali dia saksikan berkelahi dengan kawan-kawannya. Pukulan Cakar Ayam Sakti yang baru saja dilepaskan Siauw Hong memang bertujuan untuk membuyarkan ancaman berbahaya dari Rajmid Singh. Jurus sederhana namun terkenal di Thian Tok yang baru saja dipakai Siauw Hong memang rada curang karena menyasar salah satu titik yang penting dan agak jorok di tubuh Rajmid Singh. Dan ini membuyarkan si kakek yang akhirnya menyerang kembali keduanya dengan jurus-jurus baru, namun juga dengan jenis pukulan baru.
Tetapi, setelah menyerang dan membuyarkan upaya Rajmid Singh, Siauw Hong kembali mengundurkan diri dan membiarkan Kwa Siang menghadapi kakek itu. Beberapa kali Siauw Hong masuk memang hanya untuk "menyela" dan memberi peluang bagi Kwa Siang untuk tidak terlampau didesak lawannya, dan setelah itu dia mundur kembali. Dengan cara seperti itu, Bun Kwa Siang terbantu dan terus bisa memaksa Rajmid Singh bergerak dan bergerak. Dan itu jugalah yang membuat Kwa Siang mampu menandingi dengan susah payah sampai pertarungan mereka masuk ke jurus ke 300an, atau sudah melampaui 3 jam mereka terus menerus bertarung. Waktu sudah lama lewat tengah malam, tetapi mereka masih terus berjibaku dan saling mengintai peluang untuk memenangkan pertarungan.
Sementara itu, setelah 3 jam terus menerus membagi perhatian dan mampu terus ikut secara teliti mengawasi semua arena pertarungan, perlahan-lahan Koay Ji mulai memahami sesuatu. Dia mulai merasa aneh dan bertanya-tanya mengapa dia mampu dengan baik mengikuti dua atau malah tiga arena dan tetap terus mampu mengikuti semua gerak-gerik Yap Jeng Cie. Sekilas terlihat senyum senang di bibirnya, tetapi hanya sekilas dia tersenyum menyadari sesuatu. Tetapi, tidak lama, karena dia kemudian harus kembali menelaah dan mengawasi kedua arena yang tarungnya semakin seru semakin memanas serta mengawasi tindak-tanduk Yap Jeng Cie. Khusus untuk kakek itu, Koay Ji mulai merasa bergidik, karena meski jelas posisi mereka sudah runyam, tetapi kakek itu tetap saja belum atau tidak bergerak. Entah karena dia memiliki rencana lain atau karena memang adalah kehebatannya untuk tetap terus tenang meskipun kondisi di depan mata jelas sangat runyam dan menunjukkan pihak mereka kalah.
"Haiiiiiiiiiittttt................"
Tiba-tiba terdengar bentaka nyaris, sekali ini oleh Bu Tek Seng Ong. Bentakannya mengguntur, tetapi memang dilepaskan sebagai sebuah bentuk kepenasaran dan kemudian menerjang Sie Lan In dengan meladeni Sie Lan In dalam pertarungan adu kecepatan dan kelincahan. Koay Ji heran, tetapi memang seperti itulah yang terjadi di arena dengan bentakan Bu Tek Seng Ong tadi.
Apa yang terjadi" Ternyata Bu Tek Seng Ong telah mengembangkan sebuah ilmu kecepatan yakni Ilmu Teng Bing Tok Cui (Naik Alang2 Menyeberang Sungai) sejenis Ilmu Ginkang. Ilmu ini sengaja dinamai sesuai dengan sifat Pat Bin Lin Long, penciptanya yang ketika tiba dan dipelajari oleh Koay Ji menamainya dengan Ilmu Cian Liong Seng Thian (Naga Lompat Naik Kelangit). Ilmu ginkang ini sebetulnya jenis ginkang aktif menyerang dan mesti dikombinasikan dengan jurus-jurus pukulan untuk mencecar dan menyudutkan lawan. Dan memang itulah yang dilakukan oleh Bu Tek Seng Ong, bukan hanya dengan gerakan mujijat dan cepat, tetapi diapun membuka sebuah ilmu menyerang yang memang sangat hebat, yakni Ilmu Pukulan Pat Mo Hwee Ciang (Pukulan 8 Iblis Sakti). Ilmu pukulan ini relatif baru bagi Koay Ji dan memang tidak atau belum dipahaminya karena ilmu khusus perguruan Pat Bin lin Long yang tidak tercantum dalam buku mujijat.
Apa dan mengapa disebut hebat" Ilmu ginkang dan serangan Bu Tek Seng Ong sudah jelas hebat dan mujijat, tetapi membuat orang-orang yang sudah pada terbangun dan menyaksikan pertarungan itu sembunyi-sembunyi menjadi kaget tak terkira. Apa pasal" ternyata Sie Lan In meladeninya dengan gaya dan cara yang indah dan menarik. Jelas dia terus mengembangkan gerak cepat Sian Ing Tun Sin Hoat (ilmu bayangan dewa menghilang), namun kini juga dengan kombinasi berapa formula gerak yang diajarkan Koay Ji. Untuk menandingi pukulan lawan dia menggunakan dua ilmu sekaligus, yakni Ilmu Pukulan Kim Kong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Cahaya Emas) dilambari ilmu To Im Kiat Yo (Menarik Tenaga Dalam Lawan untuk Mendorong). Sampai tiga ilmu sekaligus digunakan Sie Lan In guna menandingi terjangan Bu Tek Seng Ong. Tapi, apa hebatnya"
Hebatnya adalah karena tubuh mereka kini terlihat beberapa saat berada diudara dan saling serang menyerang dengan cepat, kuat, hebat, mematikan dengan tidak menjejak bumi selama beberapa saat. Bagi Sie Lan In, keadaan itu sudah sering disaksikan orang, tetapi menyaksikan bagaimana Bu Tek Seng Ong ternyata juga mampu melakukannya, benar-benar mengagetkan banyak orang. Bahkan, bukan sedikit pihak yang meragukan Sie Lan In dan mengkhawatirkan dirinya akan bisa dikalahkan lawan dalam beberapa waktu kedepan. Tetapi, sebagian dari mereka, saat melihat ekspresi wajah Koay Ji, akhirnya menjadi tenang kembali. Mereka yang kenal Koay Ji menyaksikan si pemuda diam saja dan terus mengawasi dengan tenang dan tidak menampakkan ekspresi kecemasan.
Memang tidak perlu dicemaskan, karena meskipun Bu Tek Seng Ong mencecar dan meladeni gerak ringan melayang Sie Lan In, tetapi dia tidak sedikitpun membawa ancaman bahaya bagi Sie Lan In. Dengan tenang dan ringan, Sie Lan In memainkan ilmu andalannya yang melanbari semua gerakan tangannya, yakni dengan tenaga sakti Hut Men Sian Thian Khi Kang (Tenaga Dalam Mujijat), yang digerakkan oleh
ilmu To Im Kiat Yo (Menarik Tenaga Dalam Lawan untuk Mendorong). Akibatnya Bu Tek Seng Ong terlihat terus menerjang, tetapi benturan lengan mereka berakibat berat bagi mereka berdua. Dalam titik inilah Sie Lan In memang sedikit dirugikan, karena meski kekuatan iweekangnya sudah memadai dan sempurna, tetapi dalam hal iweekang dia memang masih kalah matang optimalisasinya dalam menyerang jika dibandingkan Bu Tek Seng Ong. Keadaan dan kondisi itu yang terjadi dalam keadaan mereka berdua sedang bertarung ginkang dan iweekang mujijat yang mereka keluarkan secara bersamaan.
Selama bertukar jurus sampai 7,8 kali, keduanya terus berada di udara dan luar biasa karena kecepatan mereka bergerak banyak menggunakan "pijakan" hawa akibat benturan antar pukulan mereka berdua. Hanya, jika Sie Lan In masih mampu mengambang lebih keatas, maka sebaliknya Bu Tek Seng Ong tidak mampu lagi melakukannya selain menjaga ketinggiannya. Tetapi, moment itulah yang terasa luar biasa bagi banyak orang lain saat menyaksikan kedua tokoh itu melakukan saling tukar serangan dengan tetap berada diudara. Kaki mereka terlihat menggunakan pijakan atas hawa pukulan yang dibenturkan dan memanfaatkannya untuk tetap menjaga tubuh mengambang.
Tetapi, ada sampai 5,6 kali benturan pukulan keduanya yang terjadi dengan sangat keras, tetapi tidak sampai membuat keduanya terdorong kebelakang. Benar sampai terengar bunyi gedebukan pertemuan pukulan keduanya, tetapi anehnya tubuh mereka tetap saling lekat dan tidak terdorong ke belakang:
"Duk .... duk.... duk..... duk...... duk..... duk......"
Mengapa demikian, karena sesungguhnya keduanya menggunakan ilmu iweekang yang berprinsip sama pada saat itu. Jika Bu Tek Seng Ong memegang prinsip memelesetkan, maka Sie Lan In menggunakan prinsip "menyedot" dan "lemas" alias lembek namun mengembalikannya dengan kuat. Karena prinsip itu, maka tenaga dorong sebetulnya agak minimal, namun karena demikian, efeknya atas kedua orang itu sebetulnya cukup hebat dan kuat. Untungnya, mereka tidak sama terluka karena keduanya cukup sadar dengan batas kemampuan masing-masing. Bahkan Sie Lan In sendiripun memahaminya. Tetapi, dia yang sebetulnya kalah tipis dalam hal iweekang, terlindung dari efek membal tenaga iweekang yang menyerangnya karena sebuah benda yang sudah melekat ditubuhnya, sebuah pusaka yang berupa "kaos" yang menempel erat dengan tubuhnya.
Karena itulah, maka keduanya mampu terus bergerak, terus bertukar pukulan tanpa merasa rugi atau dirugikan. Meski tenaga iweekang mereka saling bentur akibat jurus-jurus yang slaing bentur. Ketika kembali hingga di permukaan tanah, Bu Tek Seng Ong merasa sedikit gembira, karena menduga, benturan dipenuhi dengan tenaga iweekang tadi, pasti akan berefek negatif bagi Sie Lan In. Tetapi, dia kecele menemukan kenyataan betapa ternyata Sie Lan In masih terus bergerak seperti tidak terjadi apapun dalam dirinya. Matanya masih tetap terang berseri dan penuh kepenasaran sementara gerakannya tetap cepat, ringan dan tidak ada tanda-tanda terganggu sedikitpun. "Ach, sehebat itukah dirinya..... mestinya dia terluka dengan benturan benturan yang terjadi tadi...." bisik Bu Tek Seng Ong yang merasa sangat penasaran dengan keadaan Sie Lan In.
Rasa penasaran yang beralasan, karena dia sebetulnya sudah mengukur kehebatan dan kekuatan iweekang Sie Lan In, dan sudah tahu kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing. Serangan dengan meladeni kelebihan Sie Lan In dalam hal ginkang memang disengajanya untuk meladeni tarung menggunakan kecepatan dan membuatnya merangsek dengan 6 kali setidaknya pukulan yang harus ditahan dan ditangkis oleh Sie Lan In. Dan dia senang sekali karena strateginya berhasil dengan baik ketika Sie Lan In menyambutnya tanpa rasa takut sedikitpun, sehingga mereka adu kekuatan selama 6 kali dengan benturan yang terdengar hebat. Tetapi, kenapa sampai sejauh ini tidak terlihat efeknya terhadap Sie Lan In" Ini mengejutkannya dan apa boleh buat, dia mau tidak mau harus melanjutkan pertempuran dengan melupakan kegirangan sejenak yang ternyata tidak sebagaimana yang diharapkan olehnya. Tarung merekapun berlanjut lagi.
Bu Tek Seng Ong mau tidak mau menerjang terus dan memainkan lagi Ilmu yang baru saja dia pakai tadi menerjang Sie Lan In, yakni Ilmu Pukulan Pat Mo Hwee Ciang (Pukulan 8 Iblis Sakti). Untuk meyakinkan dirinya, dia berusaha kembali menggunakan ilmu itu dengan kini dukungan ilmu langkah mujijat perguruannya, Ilmu Lam Hay Peng Po Leng Im Sin Hoat (Ilmu Gerak Tubuh Menyeberangi Awan Tenang di lautan Selatan). Tetapi, memang ilmu ini kurang ampuh guna menghadapi Sie Lan In yang mengenali ilmu itu melalui Koay Ji, tetapi tetap saja oleh Bu Tek Seng Ong dipaksakan. Bersamaan dengan itu, diapun berusaha untuk mengembangkan jurus Kim Tan Soh Liong (Membelenggu Naga Di Aula Emas) dan disusul dengan jurus Tou Ciok Mun Lou (Menyambit Batu Menanya Jalan). Kedua jurus itu dikerahkan secara susul menyusul guna memegat Sie Lan In tetap di tengah arena dan dia melangkah secara mujijat mengelilinginya dengan menerjang lewat kedua jurus tadi. Jurus pertama dia membuat Sie Lan In merasa nyaman dan seperti tidak berbahaya dalam posisinya, tetapi jurus kedua justru menerjang dalam 7 jurus serang yang susul menyusul.
Tetapi Sie Lan In tentu saja mengerti maksud lawan, apalagi setelah mulai Bu Tek Seng Ong memakai kembali langkah mujijat yang juga sudah dia kuasai beberapa tehniknya. Tidak mau kalah, dia kembali menggunakan kombinasi Ilmu Pukulan Kim Kong Ciang Hoat (Ilmu Pukulan Cahaya Emas) yang dilambari ilmu To Im Kiat Yo (Menarik Tenaga Dalam Lawan untuk Mendorong). Kombinasi yang memang dia andalkan dalam tarung sambil terbang tadi, dan bergerak secara cepat dan leluasa dalam jurus jurus Thai Ong Hu Kiam (Raja Thai Memutar Pedang). Gerak cepatnya bagaikan sedang mengelilingi tujuh (7) bahaya atau "pedang" dan sekaligus membuat pedang itu tidak berdaya menyentuh dan membahayakannya. Dengan kecepatannya, dia membuat rangkaian 7 serangan Bu Tek Seng Ong bagai ompong dan tak mampu menyentuhnya.
Bahkan dengan cepat, diapun kemudian memainkan jurus Kim Sih Jauw Wua (Benang Emas Melilit pergelangan Tangan) dan dilanjutkan dengan satu jurus lagi, yakni jurus Ciau Ceh Lam Hai (Ombak Laut Selatan Menderu). Dengan cara ini, justru Sie Lan In yang mencecar Bu Tek Seng Ong dan berbalik menjadikan lawannya itu kaget. Kaget dan bahkan terkesiap dengan kenyataan bahwa dia tetap saja tidak berkemampuna untuk melukai seorang Sie Lan In. Gerakan tangan Sie Lan In yang penuh kekuatan hawa lembek namun menjebak itu, bergerak kesana-kemari bagaikan gelombang laut selatan dan mengejar kemanapun Bu Tek Seng Ong bergerak menghindar. Merasa sangat kerepotan, maka pada akhirnya diapun bergerak sederhana dalam jurus Liu Ing Uh Khong (Air Mengalir Tarian Kosong) dan dilanjutkan dengan gerakan pertahanan jurus Tok Hu Tang Koan (Menjaga Pintu seorang Diri). Pilihan yang rada tepat karena memang gerakan Sie Lan In sudah mendahuluinya setengah langkah di depan dan mau tidak mau diapun harus menyesuaikan sebelum kembali menerjang lawan. Gerakan sederhana tadi cukup bagus dan membuatnya punya tempo.
Sebetulnya, dengan gerakan sederhananya barusan, diapun menyiapkan diri untuk segera kembali menerjang lawan dan sekali ini dia keluar dengan Ilmu baru, yakni Ilmu Pukulan Ling Khong Huan In Cam (Pukulan Tanpa Bayangan). Tetapi untuk berganti ilmu pukulan, dia harus meredakan badai laut selatan dalam pukulan bergelombang Sie Lan In yang membuatnya terus menerus kerepotan. Ada juga untungnya, yaitu karena dia sudah menutup diri dan menutup semua cela masuk serangan Sie Lan In sehingga dia masih mampu untuk menarik nafas yang cukup guna melanjutkan pertarungan mereka. Tak terasa, sudah lebih 350 jurus keduanya bertarung dan sudah terlampau sering mereka menyerang dan bertahan dengan ilmu dan kekuatan iweekang yang semakin meningkat. Pada tahap itu, baik Bu Tek Seng Ong maupun Sie Lan In sudah sadar, bahwa mereka akan sangat kesulitan untuk meraih kemenangan tanpa mengorbankan sesuatu. Setelah pertarungan berlangsung ratusan jurus, mereka berdua mulai bisa menentukan keunggulan dan sekaligus kekurangan masing-masing.
Dengan tingkat kemampuan mereka saat itu, sulitlah mereka membayangkan satu kemenangan gemilang tanpa salah satu dari mereka melakukan kesalahan. Ataupun tanpa mereka mengorbankan sesuatu akibat kemampuan lawan yang memang setara dan seimbang dengan diri sendiri. Dengan demikian, maka jika terus keadaan seperti mereka saat pertempuran mereka itu berlangsung, kalah menang mereka akan mengalami kerugian yang tidak bakal sedikit dan tidaklah kecil. Terkecuali pertarungan mereka disela atau dibubarkan oleh orang lain sebelum masing-masing mereka mengalami luka dan terkalahkan. Sampai saat jurus ke 350 yang baru berlalu, keadaan mereka bagaikan dua ular bertarung dan sudah dalam keadaan saling lilit, sekujur tubuh mereka sudah ada alur dan arus kekuatan iweekang yang saling lilit dan repot untuk dapat diuraikan kembali. Mestilah seorang tokoh yang sudah berkepandaian jauh diatas mereka berdua yang berkemampuan menguraikan dan memisahkan mereka berdua pada tingkat pengerahan iweekang seperti mereka pada saat seperti itu. Padahal menemukan tokoh sehebat itu, nyaris mustahil pada saat itu, meski sebenarnya ada Koay Ji dan Yap Jeng Cie yang mereka berdua berdiri disitu dan memperhatikan jalannya pertarungan. Mereka berdua jelas tidak akan bertindak, karena tahu apa arti dari tindakan masing-masing.
Kembali ke pertarungan di arena sebelah, Kwa Siang masih tetap menjadi bulan-bulanan namun tidak bisa terus dibuat menjadi sansak dan permainan Rajmid Singh dengan adanya seorang Siauw Hong yang mulai lebih aktif. Kehadiran Siauw Hong yang meski hanya sekali-sekali itu membuat Kwa Siang merasa bagai pahlawan perang, maju dipukul mundur, bangkit kembali dan maju untuk kembali dipukul oleh lawan. Tetapi, jangan salah, setelah ratusan jurus dia terus menerus menerima baik pukulan maupun gebukan lawannya, dia bukannya semakin lemah dan keteteran. Sebaliknya, gerakannya justru mulai menjadi lebih terlatih dan mulai lebih terarah. Dan hal ini mendatangkan kekagetan yang sangat di pihak Rajmid Singh yang memang mulai menduga ada yang aneh dengan lawannya ini. Betapa tidak" Dalam ilmu dan iweekang, dia nyaris setanding dengan Yap Jeng Cie, tetapi, mengapa dia tidak mampu menjatuhkan lawan muda yang dogol ini"
Yang membuat kaget dan terkejut Rajmid Singh adalah, dia merasa semakin lama Kwa Siang justru semakin hebat dan menjadi semakin kuat dan bersemangat serta semakin sulit dihadapi. Padahal, sudah puluhan kali atau bahkan mungkin sudah ada ratusan kali pukulannya bersarang dengan telak di sekujur tubuh pemuda itu. Bukan hanya itu, diapun sudah mencoba menyerang dan menotok pada semua titik kelemahan di tubuh pemuda itu. Baik di ketiak, dada, kemaluan, leher, mata dan juga bagian tubuh lemah lainnya, semua sudah sempat menerima pukulannya, termasuk juga kemaluan Kwa Siang sendiri, tetapi dengan semua pukulan dan totokan itu, tetap saja tidak mendatangkan pengaruh apa-apa terhadap Kwa Siang. Sebaliknya, dia justru semakin gagah dan mulai bertarung lebih teratur meski tetap saja menerima beberapa gebukan dari lawannya, dari Rajmid Singh, meskipun sudah tidak sesering sebelumnya.
Rajmid Singh sendiri belakangan, sudah mulai kembali mengarah mata lawan, mata Kwa Siang, atau tepatnya biji mata. Dia curiga karena Kwa Siang menjaga dan mati-matian serta selalu menghindarkan mata dari pukulan, totokan dan juga colekannya. Tetapi, ketika juga suatu saat sebuah pukulannya mengenai mata lawan muda itu, ternyata tetap saja tidak ada efek berbahaya dan tidak terlihat Kwa Siang merasa kesakitan dengan pukulannya barusan. "Mungkinkah mesti kucungkil dahulu mata itu barulah dia akan merasa kesakitan....?" desis Rajmid Singh setelah kewalahan dan mulai merasa kerepotan menghadapi kebandelan anak muda yang susah dipukul terluka itu. Padahal, benar dia sudah bagai sansak hidup saja, tetapi dia tidak pernah terluka oleh banyak pukulan yang masuk mengenainya bertubi-tubi sekalipun. Sebaliknya, pemuda itu justru semakin gagah dan semakin hebat dalam menyerang dan semakin cepat.
Bahkan anehnya, setelah 300 jurus berlalu, Rajmid Singh kaget karena si dogol itu terasa sudah mulai mampu berkelit dan gerakannya masih tetap segesit dan sekuat seperti semula. Sementara dia, sebaliknya dalam usia tuanya, justru mulai merasa agak letih dan lelah, karena sudah cukup banyak tenaganya terbuang memukul lawan yang bandel itu. Susahnya lagi, Kwa Siang seperti mengetahui keadaannya dan mulai menerjang dan memberondongnya dengan kekuatan gwakang, yang dia tahu dan paham, jika dia ladeni akan berarti maut baginya. Rajmid Singh tiba-tiba sadar apa maksud lawan memasang seorang Kwa Siang untuk menghadapinya. Dan dia tahu bahwa dugaannya tidak keliru. Tidak mungkin keliru saat dia berusaha untuk lebih mengerti dan memahaminya. Ya, lawan muda nan bandel ini memang secara sengaja dipersiapkan untuk menghadapinya. Karena pihak lawan kesulitan menemukan tandingan untuknya, maka disiapkanlah anak muda ini melawannya dengan cara menguras tenaganya dan mengalahkannya.
Soalnya, lawan mudanya itu jelas bukan lawan sepadannya. Tetapi, kekebalan dan daya tahannya atas ilmu sihir alias tidak mempan disihir membuatnya menjadi lawan yang tepat karena masih muda dan berdaya tahan yang jauh lebih lama dibanding dirinya. Sementara dia, sudah pasti daya tahannya tidaklah sehebat si anak muda yang masih segar, kuat dan tambah gagah setelah mengarungi pertarungan selama 300 jurus. Sementara dia, setelah menggunakan semua kehebatannya, semua juga iweekangnya, dia menemukan dirinya kelelahan sementara lawan muda yang bukan kelasnya, justru semakin gagah. Lawan muda yang jadi sansak hidup tadi semakin mampu menghadirkan ancaman terhadap dirinya. Tidak salah lagi, lawan memang sudah secara cerdik menyediakan baginya seorang lawan yang "tepat", bukan untuk mengalahkan ilmunya, tapi mengalahkan usianya. Usianya jelas bukan lawan bagi lawan mudanya yang agak aneh, kebal dan susah disihir, ya, dia bukan lawan dari sudut daya tahan dibanding anak muda itu. Menjadi lebih parah baginya, karena lawan muda nan bandel ini, juga membekal ilmu lain yang sangat mujijat, yakni ilmu kebal yang amat kuat dan amat hebat itu.
Pertimbangan ini segera disampaikannya kepada kawannya, dan dia mencoba untuk mengulur waktu dan membiarkan sahabatnya menemukan jalan keluar bagi persoalan yang sedang dia hadapi. Gadis muda yang sesekali membantu anak muda lawannya, kini sudah kembali berdiam diri dan membiarkan lawan mudanya terus menyerangnya. Ya, kini dia membiarkan diri diserang lawan mudanya itu, tetapi bukan masalah mudah bagi orang setua dia untuk bisa menemukan kembali kebugarannya. Apalagi karena dia kini terus diburu dengan tidak henti-hentinya oleh lawannya yang entah mengapa kini bergerak cepat, gagah dan lebih teratur. Diam-diam dia merasa bodoh karena tidak membaca strategi lawan yang menyodorkan lawan muda ini untuk sekedar menjadi sansak hidup selama ratusan jurus. Hanya untuk menemukan kenyataan bahwa dia tidak menang dengan memukuli si anak muda yang kebal dan tidak ada matinya selama ratusan jurus itu. Dan bodohnya, dia kini diserang serangan-serangan gwakang yang maha kuat dan membuatnya jadi tambah lelah dan lemah jika menyambutnya.
Tetapi, kesadaran itu muncul terlambat, karena setelah lebih 4 jam mereka terus-menerus bertarung, terus-menerus dia menguras semua kekuatannya, tetap saja dia tidak mampu melukai dan membunuh pemuda itu. Semua sudah dilakukannya guna melukai Kwa Siang, tetapi dia tidak menemukan sesuatu yang aneh dan memadai guna mengalahkan lawan itu. Padahal dia sudah lelah, sudah capek dan sudah butuh istirahat. Tiba-tiba dia mendengar bisikan lirih di telinganya, tanda bahwa sahabatnya memberi petunjuk:
"Hanya tinggal matanya yang pelu engkau lukai....."
"Sudah, beberapa kali kena kupukul....." sanggahnya karena memang dia berapa kali mampu memukul bagian itu. Tetapi, tetap saja pukulan-pukulannya tidak mampu melukai si dogol bandel itu.
"Engkau bodoh, biji matanya tidak mungkin kebal..... totok, atau jika engkau mampu cungkil keluar matanya itu"
"Ach, mengapa tak terpikir sampai kesana....?" sesalnya karena tidak atau belum berpikir sejauh kesana. Tetapi, waktu beberapa detik mereka bercakap, ternyata harus dia bayar cukup mahal:
"Bukkkkkkk......................"
Sebuah pukulan dengan kekuatan gwakang atau tenaga luar yang amat hebat tiba tiba masuk dan mengenai bagian dada luarnya. Dan diapun terdorong kencang sampai beberapa langkah baru kembali berdiri dengan kokoh dan merasakan sakit menyengat yang luar biasa rasanya itu. Meskipun sakit itu bukan sakit pada bagian dalam tubuhnya, tapi rasa sakit itu terasa amat mengganggu pergerakan tangannya, khusus tangan kirinya yang jadi terganggu. Dan sakit seperti terasa berbeda, maklum, karena memang rasa sakit yang dia rasakan akibat fisiknya terlanggar oleh kekuatan pukulan tenaga luar lawan yang dia tahu sangat hebat luar biasa. Sakit karena luka dalam, lain lagi, beda dengan sakit fisik yang dia alami akibat kena pukul lawan muda itu.
Dan untungnya lagi, setelah berhasil untuk pertama kalinya memukul lawannya, Kwa Siang menunggu dan memberi kesempatan Rajmid Singh untuk beristirahat sejenak dan memandanginya penuh belas kasihan. Dia tidak sadar, jika lawan itu berusaha mengembalikan kebugarannya untuk menyerangnya kembali. Dan bakalan kelak menyerangnya dengan tidak mengenal kasihan. Sudah amat jelas bahwa Kwa Siang tidak paham bahwa memang Rajmid Singh sudah amat membutuhkan istirahat meski hanya sejenak saja itu. Masih untung ada seorang Siauw Hong didekatnya, dan segera memperingatinya:
"Bodoh, dia akan segera menyerangmu dengan hebat, jaga dirimu segera..." Siauw Hong berhasil memperingatkan Kwa Siang, tetapi sedikit terlambat. Karena sesaat setelah Siauw Hong mulai berbicara, Rajmidh Singh sudah mengerahkan kekuatan dan iweekangnya dan kemudian mencelat memukul Kwa Siang dengan kedua belah lengan atau jemarinya mengembang. Memang benar peringatan Siauw Hong dan Kwa Siang menyesal karena sempat agak ayal. "Coba terus kuserng dia tadi, pasti dia sudah modar", pikir dan sesal Kwa Siang dalam hati.
Masih untung Kwa Siang agak cepat sadar, dan karena itu dia bergerak cepat untuk menangkis, tetapi tetap saja terlambat karena pukulan dan totokan Rajmidj Singh dengan cepat sudah mengenai tubuhnya; Sampai empat kali tubuhnya menerima pukulan dan totokan dari lawannya:
"Duk, duk, tuk, tuk....."
Tetapi pukulan dan totokan yang datang bertubi-tubi itu tetap tidak melukainya meski terasa menyakitinya, terutama totokan-totokan yang memang berisi tenaga yang luar biasa. Merasa kesakitan, diapun menggerang murka dan mengembangkan lengan dan membuka pertahanan untuk balas memukul. Dan karena dilakukan dengan penuh amarah dan emosi, Bun Kwa Siang tidak sadar jika Rajmid Singh memang dengan sengaja memancingnya guna membuka diri. Adalah Siauw Hong sekali lagi yang memperingatkannya dengan suaranya:
"Awas, jaga "barangmu"......"
Sengaja dia menggunakan kata "barang", sebagai pengganti "mata" bagi Kwa Siang. Tapi, Rajmid Singh tidaklah bodoh, karena dengan cepat dan secara otomatis Kwa Siang bergerak melambat dan kembali melindungi area sekitar matanya itu. Dan sadarlah tokoh tua itu, bahwa memang benar, mata Kwa Siang adalah bagian yang tidak dapat dijaga dengan sempurna, dan untuk memenangkan pertarungan, maka dia harus melukai Kwa Siang pada kedua biji matanya. Memperoleh pengetahuan tersebut Rajmid Singh menjadi sangat gembira, semangatnya muncul kembali, tetapi sayangnya, sudah terlampau banyak kekuatan dan tenaga yang dihamburkannya keluar untuk menerjang Kwa Siang sejak awal. Apalagi, pengerahan kekuatan besar yang dilakukannya untuk serangan terakhir yang berhasil membuatnya tahu serta paham akan kelemahan dari Kwa Siang yang tidak disadarinya sejak awal. Dia tahu dia sendiri sudah lemah dan letih.
Tetapi, dia tidak bisa berpikir lagi lebih jauh karena Kwa Siang sudah kembali datang menggempurnya dengan kekuatan gwakang yang menggunung. Dia malah tambah heran, karena Kwa Siang seperti tidak ada matinya, kekuatan gwakang anak muda itu justru lebih bertambah hebat dan besar seiring dengan semakin lamanya mereka adu kekuatan dan bertarung. "Jika sekali lagi terkena gempurannya, maka habislah nasibku.." desisnya khawatir. Bukan apa-apa, meski menemukan rahasia kelemahan di mata Kwa Siang, tetapi dia kehabisan tenaga dan kelelahan, sementara lawan justru semakin kuat dan semakin berbahaya. Padahal, untuk bisa menjangkau dan menyerang biji mata Kwa Siang, dia membutuhkan kebugaran, tenaga yang cukup agar mampu bergerak cepat dan menotok biji mata itu.
Memang benar, kenyataannya Kwa Siang seperti kondisi "antitesa" dari seorang manusia normal. Karena semakin lama gerakannya, justru semakin teratur dan juga semakin gagah saja kelihatannya. Kekuatannya juga semakin membesar, terutama adalah kekuatan gawakangnya yang memang tidak lumrah manusia. Maka kekuatan serta kegagahan seperti itu yang kini mesti dihadapi Rajmidh Singh yang sudah kelelahan, sudah tua dan mulai kehilangan semangat. Padahal, seharusnya, bagi manusia normal, mestinya Kwa Siang semakin lelah akan semakin lemah dan juga semakin berkurang kekuatan gwakang dalam menggempur. Yang terjadi, justru bagi Kwa Siang adalah hal yang sebaliknya, dia bukanlah semakin lama semakin lelah, justru semakin lama semakin hebat. Rajmid Singh sudah mulai kelelahan dan letih sementara sebaliknya, dalam durasi yang sama, Kwa Siang justru semakin hebat dan semakin kuat daya tarung dan daya pukulnya.
"Benar-benar bedebah....." maki si tua Rajmid Singh mengetahui Kwa Siang kembali datang menggempur dengan kekuatan dan kecepatan yang justru semakin tambah mengerikan dan otomati mengganggu semangat dan daya tempurnya. Tetapi, harus segera bergerak jika dia tidak ingin terpukul oleh kekuatan pukulan Kwa Siang yang membahana dan semakin menghebat. Bahkan, saking kuatnya kekuatan gwakang dari Kwa Siang, kini angin pukulannya terasa menyambar dan membawa angin yang menghembus kencang dan malah sampai membuat daun-daun sekitar mereka bergoyang. Terlihat sungguh hebat, sungguh mengerikan dan mulai menghentak keberanian seorang Rajmid Singh.
Mau tidak mau, dengan tetap berusaha mencari cara mengincar biji mata Kwa Siang kakek tua itu kembali bergerak. Gerakannya jelas sudah tidak semantap dengan sebelumnya, dan itu memang disengaja dan disasar Kwa Siang, memaksa kakek itu terus dan selalu bergerak. Jika memang diperlukan, juga memaksanya untuk adu pukulan, entah bagaimana caranya, yang penting terus diserang seperti saran dan instruksi Koay Ji. Dan disisi dekatnya, berkali-kali Siauw Hong mengingatkannya persoalan itu, dan kini dia mulai amat senang karena melihat setelah beberapa jam mereka berkelahi, dia mulai berada diatas angin. Tenaga dan kemudaannya, serta kemujijatan struktur tubuhnya memang dimanfaatkan secara cerdik oleh Koay Ji untuk melawan salah satu keping yang sulit dicarikan lawannya di pihak lawan. Dan, strategi berjudi yang dilakukan Koay Ji, ternyata terhitung memperlihatkan hasil, dan bisa membuat Rajmid Singh tidak mampu dan tidak dapat mengembangkan lagi kemampuan terbaiknya.
Seperti yang semakin terlihat, Rajmid Singh tidak mampu lagi bergerak cepat, tetapi berusaha semaksimal mungkin untuk menghemat tenaganya yang masih tersisa. Karena bagaimanapun dia masih berusaha untuk menotok dan merusak biji mata Kwa Siang guna beroleh kemenangan dalam pertarungan melelahkan itu. Maka, sedapat mungkin dia coba bergerak lebih terbatas dan minimal, menghimpun tenaga tersisa untuk menggebrak pada saat yang tepat. Tapi, sekali lagi, seperti biasanya dia mendengar perintah dan peringatan Siauw Hong kepada Kwa Siang, dan diapun merasa sangat kesal. Bukan apa-apa, karena mendengar perkataan Siauw Hong yang memperingatkan Kwa Siang:
"Jangan terlampau senang dan gegabah Kwa Siang, dia sedang menghimpun tenaga terakhir untuk bisa menyerang kelemahanmu nanti. Karena itu, jaga terus "barangmu" itu, karena sebentar lagi kakek busuk itu akan lemas dengan sendirinya. Pada saat itu, engkau bisa sepuasnya mendaratkan pukulan-pukulanmu, tanggung tulangnya akan rontok dan tulang-tulangnya hancur sekalian....."
Perkataan atau tepatnya peringatan yang sangat tepat bagi Kwa Siang yang kembali dengan cepat mendengarkan Kwa Siang dan merusak rencana Rajmid Singh untuk mengkondisikan serangan terakhirnya. Karena dengan Kwa Siang yang kembali berkonsentrasi bertahan dan lebih menjaga dirinya, maka semakin sulitlah bagi dia untuk menemukan cela menyerang Kwa Siang. Terutama dengan sekali serang sesuai rencananya akan bisa menotok dan menusuk biji matanya hingga hancur dan pecah. Ach, sungguh sayang, sungguh menggemaskan. Tapi, menyerang Siauw Hong yang selalu mengingatkan Kwa Siang, juga bukan pekerjaan bijaksana, karena gadis muda itu, juga bukanlah seorang lawan yang ringan. Terutama dalam kondisi dia yang sudah lelah dan capek, kecuali jika dia masih segar seperti biasanya dan seperti awal pertarungan. Terlebih dalam kondisi fisiknya yang sudah amat letih dan lelah setelah bertarung panjang dan tenaganya sudah semakin tipis.
Pada akhirnya, diapun menjadi pasrah dan menunggu kesempatan belaka yang mungkin muncul dengan gaya Kwa Siang yang memang agak gegabah meski dijaga secara ketat oleh Siauw Hong. Gadis manis yang sejak awal selalu memperingatkan dan mengarahkan Kwa Siang yang memang rada dogol itu. Memang benar, tinggal menunggu kesempatan terbuka itu saja yang dapat dilakukan oleh Rajmid Singh dengan melihat keadaan sekitarnya. Mengandalkan ilmju lainnya, imu sihir, ginkang dan juga iweekangnya, sepertinya sudah tidak memungkinkan. Karena semua itu sudah dia coba dan tidak mendatangkan hasil.
Sementara itu, pertarungan Bu Tek Seng Ong melawan Sie Lan In mirip belaka. Keduanya sudah membuktikan bahwa mereka memang tokoh-tokoh puncak yang dimalui banyak orang setelah sangup bertarung ketat dan hebat lebih 350 jurus, dan bahkan sudah mendekati jurus ke-400 dalam rentang waktu empat (4) jam terus menerus menguras perbendaharaan ilmu mereka. Keadaan mereka menyerang dan mendesak lawan, serta keadaan mereka didesak dan diserang lawan sudah mereka alami berkali-kali. Dan keduanya masih tetap bertahan, belum menunjukkan gejala siapa yang akan kalah ataupun siapa yang akan menang. Karena kelemahan dan kelebihan masing-masing sudah semakin jelas terlihat, dan meskipun demikian, tidak cukup untuk mampu diwujudkan dengan segera. Secara umum memang Sie Lan In lebih banyak bergerak dan lebih sering didesak, tetapi Bu Tek Seng Ong sama sekali tidak memandang kondisinya di atas angin.
Larena Sie Lan In seperti biasanya masih terus bergerak lincah, gesit, sementara lawannya masih tetap menyerang dengan hebat. Tetap seperti itu. Dan keduanya sudah mulai dan sudah berpikir untuk mengembangkan jurus-jurus dan ilmu-ilmu pamungkas karena keadaan mereka sudah menuntut penyelesaian. Bahkan Koay Ji sendiripun sudah merasa sedikit tegang, ketegangan yang semakin terasa setelah dia sadar bahwa di belakangnya sudah berdiri Khong Yan dan juga Tio Lian Cu yang juga sama-sama tegang dengan dirinya. Mereka bertiga menyaksikan bagaimana pertarungan yang tersaji dihadapan mereka, khususnya Sie Lan In melawan Bu Tek Seng Ong, bagai pertarungan yang tanpa ujung. Atau pertarungan dengan ujung yang sulit untuk mereka bayangkan ujung akhirnya, saking ketat dan saking serunya pertarungan itu berlangsung.
Bukan apa-apa, karena kekuatan yang membahana dan puncak iweekang yang mereka kerahkan, sudah membuat semua benda-benda ringan sekitar atau dalam arena beterbangan. Bahkan semakin lama semakin perlahan, tidak lagi secepat pada awal pertarungan mereka berdua. Itulah tanda bahwa pengerahan iweekang keduanya sudah pada puncaknya, dan akan tergantung keduanya untuk mengatur dan menata, bagaimana mereka memanfaatkan kekuatan itu untuk pertarungan puncak. Koay Ji sendiri sudah paham dan sudah tahu, bahwa Sie Lan In saat itu sudah di tingkat tertinggi dari pengerahan iweekang Hut Men Sian Thian Khi Kang (Tenaga Dalam Mujijat). Iweekang mujijat yang sebetulnya masih satu cabang dengan iweekang yang dia sendiri kuasai dan warisi dari Bu In Sinliong. Dia tidak ragu akan hal itu, tetapi diapun tahu bahwa Bu Tek Seng Ong sudah dalam tingkat yang sama dengan pengerahan kekuatan iweekangnya.
Arena mereka sudah merupakan arena yang tidak dapat didekati manusia, akan jarang ada yang mampu mendekati dan mengganggu mereka setelah kekuatan mereka saling belit dan saling silang sedemikian rumitnya. Dalam tingkat tersebut Koay Ji melihat bagaimana Sie Lan In memainkan semua ilmu Siauw Lim Sie dalam kemampuan tertinggi, baik menggunakan Tam Ci Sin Thong, Kim Kong Ci dan juga Tay Lo Kim Kong Sin Ciang guna menerjang dan menahan ilmu-ilmu berbahaya yang dilontarkan lawannya. Hal yang sama yang juga dilakukan oleh Bu Tek Seng Ong, karena mereka berdua sudah sama sepakat bahwa mereka sudah berada di tingkat terakhir, tingkat puncak pertarungan setelah melampaui lebih 400 jurus dalam waktu nyaris 5 jam pertarungan. Mereka sudah saling libas dan tidak mungkin lagi melepaskan diri dengan leluasa.
Tidak banyak, hanya ada segelintir orang belaka yang memahami apa yang sedang berlangsung di arena itu. Dua arena yang berjarak lebih sepuluh meteran sudah berada di puncak pertarungan, dan tinggal menunggu bagaimana akhirnya. Tetapi, adalah arena Kwa Siang yang dibantu Siauw Hong yang menentukan akhirnya lebih dahulu. Terutama setelah mereka mencapai nyaris 500 jurus bertarung, dan setelah lebih 5 jam mereka terus menerus bergerak tukar menukar pukulan. Sekali lagi, tukar menukar pukulan, meskipun pada 350 jurus pertama Kwa Siang bagaikan boneka yang dipukul terus menerus oleh lawannya dengan tidak mampu membalas. Tetapi, belakangan Bun Kwa Siang lebih mampu memberikan perlawanan, mampu balas memukul meski jarang mampu menyentuh dan langsung memukul lawannya. Keadaan yang mengagetkan Rajmid Singh.
Tapi, benar-benarkah Bun Kwa Siang baru mampu memberikan perlawanan karena Rajmid Singh sudah sedemikian lelah dan sudah sedemikian letihnya dalam tarung yang memang luar biasa itu" Sebenarnya tidak sepenuhnya benar pandangan itu, karena sesungguhnya meski Kwa Siang kalah jauh dibandingkan lawannya, tetapi dia sendiri memang belum pernah mempertunjukkan kemampuannya selama dia menjadi boneka sansak lawannya. Selalu saja dia maju, kena pukul, terlontar ke belakang, bangkit lagi, maju lagi, kena pukul lagi dan begitu seterusnya. Memang, seslisih yang cukup jauh dibandingkan dengan lawannya, membuat Kwa Siang mau tidak mau menerima kenyataan diperlakukan seperti itu oleh lawannya. Tetapi, ini yang hebat, pada saat lawannya mulai merasa letih, diapun beroleh kesempatan untuk mempraktekkan semua yang diajarkan oleh Koay Ji. Karena itu, dia terlihat semakin lama semakin hebat.
Kenyataan perlawanan yang dilakukan oleh Kwa Siang dengan kekuatan gwakang sebagai andalannya, mengagetkan banyak orang. Langkahnya ringan, licin namun tidak mengurangi aspek kekuatan fisik yang selalu membuat bahkan Rajmid Singh ngeri untuk menahannya. Maklum, bahkan ketika tidak keletihanpun, dia merasa ngeri membentur kekuatan pukulan Kwa Siang, apalagi pada saat dia mengalami kelelahan dan keletihan. Akibatnya, diapun mulai mengelak dan menjadi banyak bergerak mengikuti arah dan alur serangan Kwa Siang. Itulah sebabnya, keletihan Rajmid Singh tidak banyak berkurang, sebaliknya justru kelelahan dan keletihannya semakin menjadi-jadi karena kecepatan langkah Kwa Siang untuk memburu dan terus mengejar kemanapun dia pergi. Yang mengerikan Rajmid Singh adalah jika mesti menangkis ataupun menahan terjangan kekuatan Kwa Siang dalam kekuatan gwakang yang dia tahu sedikit yang mampu menahannya.
Menyadari posisinya yang semakin berbahaya dan geraknya semakin melamban, Rajmid Singh akhirnya memutuskan mengumpulkan tenaga dan juga sisa iweekang terakhir untuk mencari kesempatan memukul ataupun menotok mata Kwa Siang. Keletihannya memang mendekati puncaknya setelah lebih 5 jam mereka bertarung dan melewati lebih 500 jurus. Dia memang kaget karena Kwa Siang seperti tidak ada matinya, tidak terlihat lelah dan letih, serangannya tetap keras dan membawa maut. Karena itu, dengan caranya dia menciptakan lowongan yang berkali-kali coba memancing agar Kwa Siang masuk ke jebakannya itu. Tetapi, Siauw Hong cukup jeli dan selalu mengingatkan Kwa Siang agar tidak masuk dalam jebakan lawan yang dia tahu merencanakannya.
Tetapi, setelah melihat keadaan Rajmid Singh yang semakin letih, Siauw Hong pada satu kesempatan membiarkan Kwa Siang untuk terus bertarung dengan nalurinya. Kekuatan gwakangnya terus bergerak dan digerakkan penuh melambari semua langkah, semua pukulan dan membuat Rajmid Singh merasa semakin keripuhan. Sampai akhirnya mendekati jurus ke-600an Rajmid Singh tersenyum karena pada akhirnya Kwa Siang memakan umpannya dan Siauw Hong sepertinya membiarkan saja kejadian itu berlangsung. Mungkin karena Siauw Hong mengira Rajmid Singh sudah kehabisan daya dan tidak akan membahayakan Kwa Siang lagi. Padahal, sejatinya Siauw Hong paham dan membiarkan saja kejadian tersebut, karena dia tahu pertarungan itu harus berakhir.
Saat itu, melihat lowongan masuk, Kwa Siang menyerang dengan gerak tipu Tiat ie koan jit (Baju besi menutup matahari), yang menghadiahkan sebuah pukulan hebat penuh tenaga luar kearah Rajmid Singh. Posisi ini, memang sudah ditunggu oleh Rajmid Singh yang tiba-tiba, saat Kwa Siang memukul, gerakan-gerakannya yang sudah loyo berubah cepat dan memainkan langkah jurus Han mo tui ho ('Setan kedinginan mengejar api). Hebat akibatnya, Rajmid Singh memperoleh peluang bagus dan memukul Kwa Siang dengan jurus Hui hong soan tah (Angin puyuh mengitari pagoda). Dan dia melakukannya secara cepat dan tepat. Pada saat terpukul, Kwa Siang awalnya merasa biasa dan ringan saja, tetapi, tiba-tiba lengan Rajmid Singh merogoh keatas dan menotok sebelah mata Kwa Siang dengan gerak tipu Hay tee tam cu (Mencari mutiara di bawah laut). Rajmid Singh tidak keliru dan malah berhasil, namun tidak menghitung satu hal, yakni pada saat yang sama Kwa Siang memukul sekeras dan sepenuh kekuatannya dengan jurus ok miao pok cie (Kucing galak menubruk tikus).
"Tuk........ Bukkkkkkk....... acccccchhhhhhhhhhh ......."
Pada saat yang bersamaan, atau setidaknya saat yang nyaris bersamaan dan hanya dipisahkan oleh sepersekian detik belaka, beberapa kejadian terjadi. Satu totokan masuk, sebuah pukulan penuh tenaga juga kena telak, dan dua buah teriakan kesakitan menggema diudara. Apa yang terjadi"
Rajmid Singh sudah benar dan tepat dengan gerak pancingannya, sayang sekali daya gerak dan keawasannya memang sudah turun sangat jauh. Pada saat normal, bukanlah perkara sulit baginya mengelak dan mengetahui ayunan sepenuh tenaga dari Bun Kwa Siang yang memang masuk menyerang dengan maksud itu. Pada sangkaannya, setelah terkena totokan di matanya, Kwa Siang akan kehilangan kekuatan dan nanti secara otomatis kekuatan pukulannya musnah. Yang dia tidak tahu, sesaat setelah terkena totokan dimatanya, Kwa Siang masih belum merasa kesakitan, bahkan masih belum lagi sadar dan merasa bahwa dia sudah terluka. Dia baru merasa sakit dan sadar terluka sesaat setelah kekuatan pukulan besar yang dia kerahkan membentur dan mengenai secara telak tubuh Rajmid Singh. Pada saat itulah baru Kwa Siang merasa kesakitan, dan karena itulah mereka berdua pada saat bersamaan merasa menjerit kesakitan.
Setelah menjerit panjang, tubuh Kwa Siangpun mundur kearah samping dan segera dipapah oleh Siauw Hong yang terkejut melihat akhir pertarungan Kwa Siang. Pada saat bersamaan, tubuh Rajmid Singh yang terkena pukulan tenaga gwakang dari Kwa Siang melayang jauh sampai memasuki semak-semak, jauh di belakang Yap Jeng Cie. Kakek tua itu hanya memandangi saja tubuh sahabatnya melayang jauh melampauinya saking keras dan kuatnya daya pukulan Kwa Siang dan diterima oleh Rajmid Singh tanpa ada kekuatan menolak lagi. Meski hanya sekilas, tetapi dia melihat betapa Rajmid Singh sudah tidak sadarkan diri, entah "pingsan" atau malah mungkin sudah modar. Dan karena penglihatannya itu, maka dia membiarkan saja tubuh itu melayang jauh dan setelah tinggal dia seorang yang masih tegak berdiri maka jelas, tidak ada lagi yang memperdulikan tubuh Rajmid Singh itu. Tidak ada satu orangpun yang perduli, dan entah apa yang terjadi dengan tubuh Rajmid Singh, tokoh sakti asal Thian Tok yang terpukul telak oleh Kwa Siang. Jangankan Koay Ji, sahabatnya Yap Jeng Cie saja tidak perduli.
Sementara itu, darah mengucur dari mata sebelah kiri Kwa Siang, dan memang segera nyata bahwa mata Kwa Siang tidaklah kebal seperti bagian tubuhnya yang lain. Koay Ji menghampirinya setelah berbisik sejenak kepada Khong Yan dan Tio Lian Cu, dan saat menjamah pundak Kwa Siang, diapun menotok ke beberapa titik sehingga lemaslah Kwa Siang. Dengan gerak cepat Koay Ji memberi pemuda itu minum sesuatu dan kemudian mengoleskan sejenis obat ke mata Kwa Siang, dan kemudian memerintahkan orang untuk menjaga Kwa Siang. Bahkan kepada Siauw Hong juga dia menitipkan pesan, yakni dengan perlahan dia berkata:
"Biarkan dia beristirahat, selama 12 jam dia tidak akan sadarkan diri, jangan biarkan dia sendiri, ingatkan aku menjelang waktu itu......"
Setelah berkata demikian, tubuh Kwa Siang dibawah pergi untuk beristirahat dan dipandangi oleh Siauw Hong. Sebelum Koay Ji melangkah ke posisinya mengamati lagi pertarungan lain yang semakin mengarah ke puncak, Siauw Hong berkata dengan nada penuh rasa bersalah:
"Toako, maafkan aku...... kukira, kakek tua itu sudah benar-benar letih..." sesalnya yang terlihat jelas dari sinar matanya.
"Tidak apa-apa adikku, dia akan pulih kembali. Bahkan matanya sebenarnya tidak apa-apa, karena sudah kupersiapkan sebelumnya, tetapi keletihan juga dialaminya dan tubuhnya perlu beradaptasi dengan luka yang dia derita..... sudahlah, toakomu harus mempersiapkan diri untuk pertarungan terakhir....."
Setelah berkata demikian, Siauw Hong yang maklum dengan apa yang akan dialami dan dikerjakan kakaknya menuruti dan mengikuti langkah Koay Ji. Merekapun sama berendeng dengan Khong Yan, Tio Lian Cu dan mengamati saat-saat tarung yang menegangkan antara Sie Lan In melawan Bu Tek Seng Ong. Pertarungan yang amat menegangkan dan sulit diterka ujungnya, meskipun pandang mata dari Koay Ji kini malasa sudah kembali terlihat tenang. Entah apa yang menyebabkannya tetap tenang dan tidakah terlihat gelisah, segelisah ketiga temannya yang lain. Padahal, pertarungan di arena yang terakhir memang meningkat semakin lama semakin menuju puncaknya. Terlebih kedua tokoh yang bertarung, Sie Lan In dan Bu Tek Seng Ong sudah nyaris mendekati 6 jam terus bertarung. Dan, Koay Ji sendiri nampaknya tahu bahwa pertarungan sedang menuju klimaksya.
Bu Tek Seng Ong sudah terus menerus bergerak dalam gerakan-gerakan palsu dengan menggunakan sebuah ilmu mujijat, yakni sebuah ilmu bernama ilmu Un sin huan ing (menyembunyikan badan menciptakan bayangan palsu). Pergerakan Bu Tek Seng Ong dipicu oleh gerakan-gerakan mujijat dalam Ilmu Pusaka Siauw Lim Sie yang kini mau tidak mau dilepaskan secara luar biasa oleh Sie Lan In. Gerakan Bu Tek Seng Ong memang berhasil membuatnya selamat pada ketika dia menghadapi rangkaian jurus-jurus maut yang sangat hebat dan mujijat serta jarang dikuasai orang selama ini. Bahkan juga oleh tokoh-tokoh utama Siauw Lim Sie selama beberapa puluh tahun terakhir ini. Pertarungan keduanya, dengan demikian membuka lembaran pertarungan baru dengan ilmu-ilmu yang maha hebat dari perguruan-perguruan ternama dan tokoh-tokoh terpendam.
Belum cukup, pada akhirnya Sie Lan In memainkan sebuah ilmu yang sepertinya juga membuat lawan, bukan hanya Bu Tek Seng Ong, tetapi juga Yap Jeng Cie jadi terpana dan kaget. Namun, Yap Jeng Cie langsung memasang wajah dan perhatian yang amat dalam dan mengernyitkan kening dan kemudian terlihat tersenyum. Dia seperti melihat sesuatu yang sangat menyenangkannya dan karena itu, dia pada akhirnya tersenyum. Apa gerangan yang disaksikannya dan membuat tokoh sehebat Yap Jeng Cie bisa tersenyum melihat pertarungan itu"
Bukan lain ketika Sie Lan In menyerang dengan memainkan jurus pusaka secara berurutan, yakni jurus Liu Thian Jiu (Tangan Langit Mengalir) yang berasal dari Tam Ci Sin Thong. Bukan hanya berasal dari Tam Ci Sin Thong, melainkan juga adalah puncak kekuatan dan kehebatan jurus itu, dan akibatnya hanya dengan gerakan mujijat memadukan kedua ilmu baru Bu Tek Seng Ong lolos. Dan kedua ilmu yang dipadukan atau dikombinasikannya itu, masing-masing ilmu Un sin huan ing (menyembunyikan badan menciptakan bayangan palsu) dengan Ilmu Lam Hay Peng Po Leng Im Sin Hoat (Ilmu Gerak Tubuh Menyeberangi Awan Tenang di lautan Selatan) alias Ilmu Thian Liong Pat Pian. Totokan maha hebat dengan sinar perak memercik menyilaukan mata dari lengan dan jemari Sie Lan In memang sangat menggetarkan dan membuat Bu Tek Seng Ong harus bekerja keras. Satu jurus saja, tetapi benar-benar membuat Bu Tek Seng Ong memeras keringat dan membuatnya sangat terperanjat, karena dia tahu jurus lain akan segera menyusul. Dan memang benar pengetahuan dan dugaannya, karena memang hal itulah yang kemudian terjadi dan dia hadapi. Dan meski kesulitan, dia mampu dan sanggup juga menawarkan serangan maut tersebut.
Tetapi, begitu Bu Tek Seng Ong mampu dengan susah payah menggagalkan jurus pertama tadi, Sie Lan In langsung memainkan jurus kedua, yakni gerak Can Liong Chiu (Gerak Menabas Naga) yang berasal dari ilmu pusaka Tay Lo Kim Kong Ciang. Gerakan ini masih tetap merupakan perasan nan berbahaya dari ilmu pusaka Siauw Lim Sie, wajar jika Bu Tek Seng Ong kembali harus memeras keringat dan kecerdasannya untuk menghindar. Posisinya yang memang terdesak dengan jurus pertama, semakin didesak dengan tebasan yang terasa sederhana tetapi menutup banyak jalan mundurnya. Apa boleh buat, diapun bergerak dengan lincah dengan gerakan beruntun dalam satu jurus Ya can pat hong (Bertarung malam dari delapan penjuru bertarung). Benar, jurus yang mempunyai banyak gerak aneh itu mampu menawarkan posisi Bu Tek Seng Ong yang berbahaya, tetapi tetap saja dalam posisi terdesak, dan kesulitan untuk balas menyerang. Dia harus bergerak sampai enam lingkaran dan enam gerakan secara beruntun baru dapat lolos dari tebasan ringan Sie Lan In.
Tetapi, jurus serangan Sie Lan In yang berikut sudah menyusul datang, jurus Hud Kong Boh Ciau (Sinar Budha Memancar Luas) yang sekali ini berasal dari Ilmu Kim Kong Cie. Sejumlah serangan mencicit mengejar posisi Bu Tek Seng Ong yang kembali tunggang-langgang menyelamatkan diri sehingga berturut-turut harus memainkan dua buah jurus dalam 10 gerakan beruntun; jurus Sin hoan put ie (Berputar-putar tidak berhenti), disusul dengan jurus Ceng cui boan ta (Meniup ringan memukul pelan). Jurus terakhir seperti dia sedang mempersiapkan sesuatu yang sebenarnya Koay Ji dan Sie Lan In memang sudah menduganya, karena mereka sedang menguji sekaligus mempertaruhkan dua ilmu perguruan dalam tarung yang memang sudah mereka rancang bersama. Nampak jelas, meskipun Bu Tek Seng Ong tergopoh dan terus terserang, tetapi dia sebenarnya sudah paham dan tahu "kisah dan jalannya" akan seperti apa.
Maka, begitu Bu Tek Seng Ong selesai menerima tiga serangan jurus pusaka dari Sie Lan In, dia kini berdiri tenang dengan wajah penuh rasa percaya diri. Dia tahu dan paham apa yang akan segera terjadi, dan dia sudah menyiapkan dirinya guna menghadapinya. Dia tahu bahwa Sie Lan In kelihatannya mengerti dan juga Yap Jeng Cie tahu dan paham apa yang akan terjadi. Karena mereka semua sudah lama memproyeksikan apa yang akan terjadi dalam waktu yang amat singkat. Dan karena itu, kini mereka berempat, bukan hanya Sie Lan In dan Bu Tek Seng Ong, tetapi juga Yap Jeng Cie dan Koay Ji yang ikut merancang apa yang akan terjadi selanjutnya nampak tegang. Sebuah pertarungan antara perguruan yang menjejak dan membekas dalam pertikaian dan konflik besar rimba persilatan Tionggoan selama beberapa puluh tahun terakhir.
Dan, apa yang mereka rancang dan ciptakan sudah akan segera terwujud di arena. Pertarungan antara ciptaan-ciptaan terakhir yang membutuhkan waktu lama dan juga panjang dalam mencipta dan melatihnya. Yang dihiasi tarung panjang dalam kurun waktu 30 atau 40 tahun sejak Pek Kut Lojin menampilkan keberingasannya dan mengorbankan banyak orang.
Ilmu atau jurus Sam Liong Toh Cu (3 Naga Berebut Mustika). Itulah yang kini akan dilepaskan oleh Sie Lan In dan sudah membukanya, menyusul serangan jurus ketiga yang masih mampu ditahan oleh Bu tek Seng Ong. Jurus terakhir yang kini dia lepas adalah jurus gabungan ketiga jurus yang baru saja dia mainkan dan mampu membuat Bu Tek Seng Ong kerepotan dan harus memeras pikiran dan juga tenaga untuk bisa menahannya. Jurus gabungan ini, memiliki selipan baru yang di luar sangkaan lawan, tetapi Yap Jeng Cie dan Bu Tek Seng Ong memang sudah memiliki persiapan. Persiapan untuk menghadapi pertarungan babakan terakhir ini, dimana semua yang mereka ciptakan dan latih akan dibenturkan sebentar lagi. Dan mereka tidak perlu menunggu lebih lama lagi, karena kini sudah dimulai.
Gerakan Sie Lan In boleh dibilang cepat tetapi pelan, pelan tetapi juga cepat, karena lengannya memainkan dua atau malah tiga gerakan menyerang yang luar biasa. Setidaknya ada totokan lengan kiri dengan memanfaatkan kemampuan Tam Ci Sin Thong, dan kemudian pada lengan kanan dengan tusukan Kim Kong Cie. Belum lagi pukulan lengan menyusul yang memuat kekuatan dan keistimewaan Ilmu Tay Lo Kim Kong Sin Ciang. Ilmu ini sesungguhnya merupakan gubahan Bu In Sinliong yang kemudian direalisasikan dan disusun kembali oleh Koay Ji, dan diwariskan juga kepada Sie Lan In. Maklum, mereka berdua memang sesungguhnya memiliki ikatan dan hubungan perguruan yang terkait dengan Siauw Lim Sie.
Tetapi, sekali ini Bu Tek Seng Ong tidak lagi lari untuk menghindar, karena dia justru sudah bersiap dengan ilmu baru, ilmu yang sengaja diciptakan untuk memunahkan serangan Sie Lan In. Itulah Ilmu Kong hong sam si (Tiga jurus angin ribut). Dan itulah ilmu pukulan yang sengaja diciptakan Yap Ceng Jie untuk menawarkan dan ataupun guna menaklukkan jurus mujijat yang dahulu digunakan oleh Bu In Sinliong untuk menaklukkan Pek Kut Lojin. Termasuk imu yang sedang dimainkan Sie Lan In barusan, meski sesungguhnya hanya ada dalam rekaan Yap Jeng Cie. Ilmu yang disempurnakan dari jurus-jurus yang menyebabkan kekalahan Pek Kut Lodjin dahulu. Kekalahan yang sekaligus juga menggagalkan proyek ambisius Yap Jeng Cie sebagai guru dari Pek Kut Lojin yang memang ingin disembah sebagai seorang Dewa atau Malaikat Rimba Persilatan.
Memang, ambisi seorang Yap Jeng Cie pada puluhan tahun silam dengan boneka berupa muridnya, Pek Kut Lodjin, lebih dari sekedar pemimpin seperti Tek Ui Sinkay yang adalah BENGCU. Atau dahulu ada seorang Bengcu pendahulu Tek Ui Sinkay. Tidak, sama sekali bukan hanya itu. Yap Jeng Cie ingin ditakuti, disembah dan dipandang serta diperlakukan seperti seorang dewa yang perkataannya dituruti, juga ditakuti, disembah semua orang dan apa yang dikatakannya wajib untuk dilakukan. Itulah ambisinya yang memang amat liar.
Dan ilmu serta jurus yang diperas dan disempurnakan berdasarkan skema yang dirancang Bu In Sinliong dahulu, dan ditandingi oleh jurus antinya ciptaan Yap Jeng Cie sesuai kisah muridnya yang dikalahkan dahulu Pek Kut Lodjin, kini beradu. Dan luar biasa, tokoh-tokoh sekelas Tek Ui Sinkay sendiripun sampai tidak mampu mengikuti apa yang terjadi, karena kedua tokoh yang bertarung sudah berada dibalik tabir pekat yang menghalangi mata siapapun. Koay Ji dan Yap Jeng Cie jelas masih mampu untuk melihat apa yang sedang terjadi, pertarungan lengan kosong antara Sie Lan In melawan Bu Tek Seng Ong yang nampak lambat tetapi kedua lengan mereka sama berpijar. Tanda pengerahan tenaga yang maha dahsyat dan lontaran pukulan yang membahayakan nyawa masing-masing petarung.
Totokan dan tebasan bertebaran dan kekuatan keduanya saling bentur dengan hebatnya, tetapi setelah beberapa menit mereka adu jurus dan ilmu, tidak ada yang mampu keluar sebagai pemenang. Padahal, mereka kelihatannya sama sudah mengerahkan kekuatan pada puncaknya. Semua terjangan, totokan, tusukan dan juga kibasan lengan Sie Lan In mampu diantisipasi dan bahkan dipunahkan oleh Bu Tek Seng Ong. Bahkan, sebuah jurus pemunah yang kelihatannya dirancang sedemikian rupa untuk mengalahkan jurus pamungkas dari Bu In Sinliong itu, baru muncul pada tiga gerakan terakhir. Hal itu awalnya tidak terasa dan tidak terlihat oleh Sie Lan In yang sebenarnya juga sudah mempersiapkan diri bersama dengan Koay Ji untuk mengantisipasi kemungkinan itu. Dan sekali lagi, ketajaman mata dan intuisi seorang Koay Ji teruji.
Pada tiga gerakan terakhir, muncul selipan jurus Giok tiang hun po (pentung kemala menembus ombak), yang mampu mendorong bahkan menyentuh meski tidaklah berat dan tidak melukai Sie Lan In, karena memang gerakan ketiga sudah kehabisan daya iweekang menyerang. Tetapi, meskipun begitu Yap Jeng Cie cukup senang, karena dia berpikir kelak akan memperbaharui dan memenuhi gerakan terakhir itu dengan tenaga penuh. Untuk saat itu, dia melihat bahwa Bu Tek Seng Ong masih belum sanggup memainkan ketiga jurus sisipan sebagai pemusnah, dan penentu kemenangan atas ilmu lawan. Kondisi ini membuat baik Yap Jeng Cie maupun Bu Tek Seng Ong menjadi optimist, sementara Khong Yan dan Tio Lian Cu serta Siauw Hong terlihat amat tegang dan menarik nafas panjang. "Nyaris saja" begitu dalam hati mereka. Hanya Koay Ji yang terlihat masih tetap tenang dan tidak terpengaruh oleh episode terakhir itu.
Dan kini, Sie Lan In menawarkan serangan lawan dengan pembukaan ilmu kedua yang dilatihnya dengan Koay Ji. Dan ini adalah Ilmu Liu Hud Jiu Toh Cu (Tangan Budha Bergerak Merebut Mustika), sebuah ilmu yang sengaja diproyeksikan untuk mestinya menahan ketiga serangan sisipan tadi. Tetapi, Koay Ji maklum dan paham bahwa lawan pasti memiliki ilmu penawar yang lain dan sudah memproyeksikan seperti juga dia melakukannya. Maka, tanpa ragu, Sie Lan In memainkan ilmu ini, yang langsung merontokkan semua gerakan Bu Tek Seng Ong dan bahkan sudah memaksa tokoh itu melambung ke belakang. Namun dengan gerakan khas sudah pula langsung melenting maju lagi dan kini dengan sudah dengan Ilmu Pukulan Hoei Liong Tjiang (Tangan Naga Terbang). Nah gerakan merekapun terlihat saling tindas dan saling libas, seperti saling tahu apa yang akan dilakukan dan apa yang akan dikerjakan lawan dalam rangka memenangkan pertarungan.
Sie Lan In memang dalam posisi rumit karena sesungguhnya ilmu lawan memang diciptakan khusus untuk menindih semua jurus dan gerakannya. Tetapi, dia sendiri sudah disiapkan oleh Koay Ji untuk menyambut kondisi dan keadaan tersebut. Itulah sebabnya dia tidak menjadi gelisah, tetapi tetap saja menyambut serangan lawan dan kini memainkan jurus selipan yang sengaja diciptakan Koay Ji. Untungnya, meski belum lama dia latih, tetapi basis dan dasar Ilmu Siauw Lim Sie ditangannya terhitung sudah matang dan dipuncak kehebatannya. Selain itu, skenario yang kini dia sedang hadapi, sudah dia latih dengan baik dan serius dan datang dengan jurus Hud Jiu Can Liong Boh Ciau (Tangan Budha Menebas Naga Memancar Luas). Sesuai dengan persiapan dan skenario yang beberapa kali disimulasikan oleh Koay Ji kepadanya selama beberapa hari ini.
Di lain pihak, karena merasa semua gerakan menerjang Sie Lan In dapatlah dia patahkan, Bu Tek Seng Ong sudah semakin percaya diri dan amat optimist. Terlebih karena dia melihat sekali lagi, bahwa apa yang dilakukan Sie Lan In terasa mudah dia lawan dan sesuai dengan rancangan jurus yang dibeberkan Suhunya sehingga dia tahu bagaimana melawannya. Setelah memunahkan semua serangan Sie Lan In, diapun sudah merasa menang dan tiba-tiba memekik kencang:
"Hiyaaaaaaatttttttttt ....."
Posisi terdesak Sie Lan In yang masih terus bergerak, membuat Bu Tek Seng Ong tidak ragu memainkan "tinju terbangnya" secara optimal, dan pada saat itulah dia memukul Sie Lan In tanpa ragu sebanyak 3 kali. Dua buah pukulan hebat yang sulit dielakkan, tetapi seperti biasa, dalam gerak yang nyaris mustahil, masih juga sempat dan mampu dielakkan Sie Lan In. Tetapi langkahnya memang sudah diduga oleh Bu Tek Seng Ong sehingga dia kembali menyiapkan serangan yang lain. Kembali lima buah serangan tinju terbang menerjang datang, dan Sie Lan In pada saat itu merasa tepat memainkan jurus andalannya. Tetapi, sebagai kamuflase, dia melakukannya sambil tetap mengelak ke belakang seolah-olah sedang mengalami kesulitan. Saat itu, keduanya seperti mengetahui tetapi tidak mengatakan, tetapi, keduanya sama berusaha dan berharap agar lawan belum megantisipasi secara baik, sehingga memberi mereka peluang menang.
Saat itu, Sie Lan In tiba-tiba bergerak cepat dan mujijat sehingga dua buah terjangan tinju lawan mampu dia elakkan. Sementara sebuah pukulan lain dia tangkis, tetapi dua buah pukulan beruntun tepat mengenai perut dan juga dadanya. Pukulan yang diterima Sie Lan In telak dan memang penuh kekuatan tenaga pendorong lawan. Tetapi, pada saat bersamaan, Sie Lan In yang sudah mengantisipasinya segera melepas kedua serangan berupa totokan maut yang amat berbahaya bagi lawan dan juga tepat mengenai dada serta juga ulu hati Bu Tek Seng Ong. Nyaris tidak ada yang sempat menyaksikan bagaimana kedua totokan Sie Lan In masuk dengan telak. Kecuali tentu saja dua orang tokoh utama yang memang menciptakan adegan yang baru saja terjadi dan diperankan dua orang yang baru saja saling memasukkan pukulan dan totokan ke lawan mereka, Kedua orang yang tahu, siapa lagi jika bukan Koay Ji dan juga Yap Jeng Cie yang menatap dengan mata penuh gairah.
"Duk, duk ...... tuk..... tuk..... hoahkkkk, aaaaaaaaccccccchhhhhh"
Dua buah pukulan telak mengenai tubuh Sie Lan In, dan dua buah totokan berat juga menerpa tubuh Bu Tek Seng Ong. Keduanya, Sie Lan In dan Bu Tek Seng Ong sama terdorong dan terluka, bahkan Sie Lan In tubuhnya terlempar ke belakang dan dari mulutnya mengalir darah segar. Menilik keadaannya, Sie Lan In mengalami luka dalam yang jauh lebih parah ketimbang Tio Lian Cu beberapa waktu yang lalu. Tidak salah lagi. Dan karena itu, Tio Lian Cu sudah dengan sebat bergerak dan sudah tahu apa yang harus segera dia lakukan, memasukkan "tetes air pusaka" yang juga tadi oleh Sie Lan In diminumkan kepadanya saat terluka. Dan setelah itu, Sie Lan In sudah tenggelam dalam samadhi, karena memang pukulan yang diterimanya bukan pukulan biasa, tetapi pukulan mujijat yang mampu merobohkan gunung. Tetapi, mengapa pula Sie Lan In mampu selamat"
Sementara itu, Kakek tua Yap Jeng Cie memeriksa keadaan Bu Tek Seng Ong, dan beberapa saat kemudian kepalanya menggeleng dan matanya mengabur. Sedih tentu saja. Karena cepat dia sadar dan tahu, jika tidak ada lagi harapan bagi seorang Bu Tek Seng Ong setelah terkena totokan mujijat dari Sie Lan In. Benar, dia memang tidak terluka sangat parah di fisiknya dari luar dibandingkan Sie Lan In, tapi ilmu silatnya praktis musnah dan punah. Apa pasal" karena urat dan otot serta tulang-tulang penyanggah untuk berlatih ilmu silat sudah putus, dan remuk tulang utama untuk menampung wadah tubuh memperkuat iweekang. Totokan Sie Lan In memang tidak melukai tubuh bagian dalam Bu Tek Seng Ong, tetapi merusak dan melukai bagian-bagian vital yang menyanggah seorang pesilat. Dengan cara apapun Bu Tek Seng Ong tidak mamu dihindarkan dari kehilangan kemampuannya untuk bersilat, ilmu iweekangnya sudah buyar total dan tak mampu dikumpulkan kembali. Beberapa saat kemudian Bu Tek Seng Ong sudah mencoba untuk duduk namun kondisinya sangat lemah dan nampak tak bertenaga, karena itu dia akhirnya duduk dan berkata dengan suara lemah:
"Suhu, maafkan, tecu gagal......." suaranya terdengar lirih, persis suara orang atau manusia yang tidak pernah belajar ilmu silat.
"Hmmmm, aku tahu,,,,, aku tahu, engkau sudah mencoba dan masih gagal seperti juga toa suhengmu dahulu......" hanya itu dan hanya dengusan yang diperdengarkan tokoh bernama Yap Jeng Cie itu. Dan jawaban itu memperjelas banyak hal dalam benak Koay Ji, sehingga dia tidak merasa perlu lagi untuk menjawab. Tokoh itu, kakek Yap Jeng Cie, memandang Sie Lan In sekejap, sepertinya penasaran dan kaget. Tapi kemudian dia menarik nafas panjang dan berkata dengan nada berat sambil memandang penasaran kearah Koay Ji:
"Mestinya nona itu sudah tewas, engkau tentu mengenakannya sesuatu hingga dia masih sanggup bernafas dan selamat..... apakah engkau keberatan menyebutkan benda apa yang mampu membuatnya tetap bernafas dan selamat setelah menerima dua pukulan berat dari Seng Ji?"
"Hmmm, baguslah jika memang engkau tahu. Benda pusaka apa itu, tidaklah perlu engkau ketahui, tetapi gunanya pusaka itu memang mengurangi dan menahan efek pukulan penuh iweekang dari pihak lawan...." jawab Koay Ji atas keheranan Yap Jeng Cie melihat Sie Lan In selamat. Dan mendengar jawaban Koay Ji yang meski tidak menyebut benda pusaka apa itu karena dia sendiri dapat menebak jenis ular apa yang kulitnya memiliki kemujijatan menahan tenaga serangan lawan. Selain itu, dia juga tahu ada dua macam pusaka yang sudah raib yang memilki kemapuhan seperti kaos pusaka yang dikenakan Sie Lan In.
"Pekerjaan busuk yang kalian lakukan sudah teramat banyak, dan Bu Tek Seng Ong sekarang sudah mendapatkan ganjarannya yang adil tepat. Tapi, tokoh yang paling bertanggungjawab harus segera menerima akibat dari semua kekisruhan yang sudah berlangsung puluhan tahun. Agar kejadian ini tidak berulang lagi, maka apa boleh buat, mau tidak mau biang bencana yang berulang ini haruslah kulenyapkan sekarang juga..... harap Yap locianpwee menyiapkan diri..." berkata Koay Ji sebelum Kakek Yap Jeng Cie kembali berkata.
Saat itu, suasana sudah mulai menjadi lebih terang, karena memang pagi sudah datang ditandai dengan merekahnya sinar mentari. Pada saat itu, arena pertarungan sudah kembali dikelilingi oleh banyak orang, dan yang khususnya dari pihak para pendekar tentu saja. Mereka sudah pada bangun dan kini mendekati arena dimana tokoh besar bernama Yap Jeng Cie kakek tua yang amat sakti itu kini tinggal berdiri sendirian. Kawan-kawannya sudah pada keok, terakhir yang kalah adalah Bu Tek Seng Ong sendiri yang dikalahkan Sie Lan In yang juga terluka berat, meskipun mereka melihat keadaannya lebih banyak selamatnya daripada celakanya. Tetapi, dengan tinggal sendiri Yap Jeng Cie sementara tokoh-tokoh pendekar masih tetap lengkap, maka kemenangan sudah bisa ditetapkan.
Murid kakek Yap Jeng Cie itu, demikian ternyata status Bu Tek Seng Ong yang selama ini melakukan teror di Tionggoan, sudah terduduk dengan kekuatan yang sudah sirna. Dia sekarang kembali menjadi manusia biasa tanpa kesaktian apapun, bahkan kini tubuhnya terlihat menggigil kedinginan karena memang keadaan di bawah tebing selalu agak dingin dan selain itu, juga selalu lembab. Tetapi, karena keadaannya yang mengenaskan itu, kehilangan ilmu silat dan iweekang dan sampai menggigil, orang-orang memandanginya dengan sinis dan murka. Bahkan, ketika terang semakin menguak situasi sekitar arena, orang kemudian melihat dan juga mengenali Bu Tek Seng Ong sebagai CIOK SENG. Terutama karena wajahnya kini tidak lagi mengenakan topeng sebagai Bu Tek Seng Ong, hanya jubahnya saja yang menandakan siapa dia. Fakta itu sudah sesungguhnya sudah diketahui oleh Koay Ji sejak beberapa hari yang lalu.
Sementara itu, Sie Lan In sudah mengundurkan diri dari arena dan ditemani oleh Tio Lian Cu. Lukanya memang cukup berbahaya, mestinya malah sangat berbahaya dan tanpa kaos pusaka pemberian Koay Ji, bisa dipastikan dia sudah tewas terpukul musuh. Karena memang berat luka dalam Sie Lan In, oleh karenanya Tio Lian Cu selalu menemaninya dan menjaga serta mengontrol keadaannya. Tetapi, meski lukanya berat dan membahayakan, setelah minum air pusaka dari guci perak, kondisinya sudah stabil, tetapi masih membutuhkan waktu untuk memulihkan dirinya seperti sedia kala. Dengan mundurnya Sie Lan In, maka arena kembali kosong, tetapi ada Koay Ji dan Yap Jeng Ci disana yang kelihatannya akan segera bertarung untuk menentukan nasib kakek Yap Jeng Ci.
"Yap Locianpwee, ternyata engkau yang berada dibalik semua kekisruhan rimba persilatan sejak Pek Kut Lojin puluhan tahun silam. Dan bukannya bertobat setelah murid utamamu dikalahkan oleh Suhu, engkau malah kembali munculkan diri dan menjadikan muridmu yang lain sebagai boneka seperti dahulu dialami secara mengenaskan oleh mediang Pek Kut Lodjin. Seperti murid utamamu yang engkau jadikan boneka untuk semua tindakan dan perbuatan kejahatan, demikian juga Ciok Seng engkau jadikan boneka atas semua kejahatanmu..... sungguh memuakkan. Dan engkau begitu sadis dan dingin, tidak perduli dengan ratusan nyawa yang jadi korban dari kebiadaban yang kalian rancang dan kerjakan itu....." terdengar Koay Ji sudah berbicara dan membuka semua aib yang dirancang dilakukan kakek Yap Jeng Ci sejak puluhan tahun silam itu.
"Hahahahaha, sayang sekali Bu In Sinliong itu bersembunyi setelah mengalahkan murid kepalaku. Padahal, jika dia bersedia bertarung denganku, belum tentu dia akan menang melawanku, seperti juga pertarungan yang baru saja engkau saksikan sendiri. Bagaimana gadis itu kalah melawan muridku..... hahahaha...." Yap Jeng Cie tertawa terbahak-bahak senang dengan apa yang terjadi, dan menganggap bahwa Sie Lan In kalah dan karena itu, tentunya Bu In Sinliong juga pastilah kalah jika sampai menghadapinya. Mendengar perkataan Yap Jeng Cie, Koay Ji dan juga beberapa saudara seperguruannya, Tek Ui Sinkay dan juga Cu Ying Lun menjadi murka dan marah bukan main.
"Kakek tua, engkau mungkin sudah pikun dan lupa bahwa Sie Suci baru berusia dua puluh dua tahun, sementara murid yang engkau banggakan, sudah berlatih lebih dahulu, mungkin bahkan lebih dari 30 tahun serta masih juga kalah dan kehilangan kepandaiannya. Berarti, seandainya engkau bertemu suhu dahulu itu, maka nasibmu tidak akan berbeda dengan murid-muridmu yang engkau jadikan boneka melakukan kejahatanmu. Tapi, engkau perlu tahu saat ini, bahwa tidak perlu Suhu yang turun tangan, cukup aku sebagai murid terakhirnya yang akan maju dan menghukum niat busukmu itu. Mengukum seorang manusia ambisius yang bahkan sampai hatinya mengorbankan murid-muridnya untuk ambisi-ambisi jahatmu...." sengaja sebelum kedua kakak seperguruannya bicara, Koay Ji sudah angkat bicara terlebih dahulu. Dia khawatir jangan sampai ada salah satu dari saudara seperguruannya yang maju melawan dan menyerang kakek itu mendahuluinya. Sebab jika hal tersebut benar terjadi, maka akan sangat berbahaya. Koay Ji paham betul bahwa kakek tua ini memang sangat berbahaya.
"Hmmm, masih belum masuk dalam hitunganku kemampuan Bu In Sinliong, apalagi hanya murid bungsunya yang masih bau pupuk sepertimu..." jengek kakek Yap Jeng Cie singkat dan ringkas.
"Saking tidak masuk hitungan, engkau harus bersembunyi puluhan tahun mencari ilmu dan jurus pemunah atas gabungan tiga jurus istimewa Suhu yang membuat Pek Kut Lojin kalah. Engkau butuh puluhan tahun memunahkannya tanpa engkau tahu bahwa Suhu sudah menciptakan 4-5 lapis yang lain dari ilmu yang engkau carikan pemunah atau tandingannya...... hahahaha, sungguh kasihan engkau orang tua, dan sungguh tak tahu melihat dan menilai utara dan selatan. Sebaiknya engkau belajar lebih serius lagi agar layak melawanku nanti..." tajam dan menyengat kata-kata Koay Ji, meski sebenarnya sebagian dari perkataannya masih belum dapat dia buktikan. Tetapi, kalimat-kalimatnya tersebut entah bagaimana diiyakan dan diyakini benar seperti itu oleh kedua suhengnya, dan bagi mereka perkataan Koay Ji adalah fakta dan memang demikian adanya.
"Hmmmm, kata-katamu mana dapat dipercaya.....?"
"Buktinya, engkau terluka melawanku kakek tua, padahal engkau masih dibantu oleh sahabat penyihirmu itu..... jika tanpa bantuannya, engkau sudah modar kemaren itu kakek tua. Dan jika bukan karena permohonan ampun dari sutemu, maka engkau sudah tidak bisa berdiri tegak hari ini...... sudah begitu, engkau masih berani mati mau bertarung melawan Suhu..... hahahaha, bagaikan anai-anai bermimpi untuk menerjang api. Sunggu tidak tahu diri......"
"Sungguh tajam dan busuk mulutmu itu, tapi apakah engkau dapat membuktikan kata-kata dan kalimatmu yang manis itu.....?"
"Masih belum puaskah engkau yang nyaris kehabisan nafas dan kalah serta terluka melawanku beberapa hari lewat" dan hanya karena bantuan si penyihir itu maka dapatlah engkau menandingi dan melukaiku. Sekarang engkau bertanya apakah dapat kubuktikan" Tidak sanggupkah dengan hati nuranimu menjawab pertanyaan itu kakek tua...." atau engkau perlu kugebuk ulang....?"
"Banyak bicara tidak ada gunanya, sebaiknya kita tentukan di arena pertarungan biar banyak orang menyaksikannya....."
"Kemaren itu, juga banyak orang saksinya..... hahahahaha, memalukan...." pancing Koay Ji terus menerus agar emosi si kakek bangkit.
"Kemaren boleh berbeda, tetapi hari ini akan kubuktikan kemampuanku untuk dapat memukul dan mengalahkanmu anak muda bermulut tajam...."
"Mudah-mudahan, tetapi melihat hanya sebegitu saja kemampuan muridmu, maka bisa kutebak engkau tidak akan dapat berbuat banyak atas diriku. Sebaiknya kata katamu ditarik dan mohon maaf sudah keliru kakek tua....."
"Banyak bacot, mari kita buktikan....."
"Jika sudah tak sabar menerima gebukanku, mari silahkan maju kakek tua...." hilang dan habis sudah rasa hormat Koay Ji atas kakek tua yang maha kejam dan tidak punya rasa kasih kepada murid-muridnya sekalipun.
Kakek tua itu pada akhirnya memang bergerak, sementara Koay Ji sudah memberi isyarat kepada semua kawan-kawannya agar menjauhi arena pertarungan. Bukan apa-apa, dia sudah memperkirakan pertarungannya melawan kakek tua ini dapat dipastikan bakalan berlangsung ketat dan seru. Bukan ketat dan serunya yang dia khawatirkan, tetapi lontaran kekuatan mujijat yang bahkan melebihi tarung antara Sie Lan In melawan Bu Tek Seng Ong yang baru saja berakhir. Karena itu dapat dimengerti jika kemudian arena pertarungan mestilah lebih luas dan lebar menjaga agar tenaga iweekang yang liar terlontar kemana-mana tidak melukai orang. Dan tentu saja kawan kawan dekat Koay Ji sudah pada mengerti dengan maksud dan isyarat Koay Ji, merekapun ada yang menghilang mengamankan titik-titik penting. Namun ada yang tetap berada di sekitar arena guna menjaga hal-hal yang tidak mereka inginkan bersama.
Dan ditonton semua orang yang berada di lembah itu, kecuali mereka yang sudah pada terluka dan sedang menjaga titik penting sehingga melihat dari kejahuhan, maka pertempuranpun terakhir itupun dimulai. YAP JENG CIE melawan KOAY JI. Sebuah tarung antar generasi, maklum karena Yap Jeng Cie berusia lebih 100 tahun sementara Koay Ji baru berusia 20 tahunan. Jarak usia yang demikian jauh dan lebar tentu wajar disebut pertarungan antar generasi. Tetapi, pertarungan itu tidaklah seperti yang diharapkan banyak orang. Yap Jeng Cie memang bergerak, tetapi hanya bergerak hingga jarak tertentu dari posisi dan keberadaan Koay Ji. Dalam jarak 10 meteran belaka, karena Koay Ji juga bergerak ke tengah arena, keduanya kemudian berdiam diri. Dalam diam mereka berdua mencoba saling mengintimidasi dan melakukan perang mental meskipun masing-masing sadar efeknya tidaklah akan besar karena masing-masing sudah kenal kemampuan.
Berbeda dengan ketegangan yang muncul di arena pertarungan, sesungguhnya, suasana pagi itu amatlah indahnya, berhubung pantulan sinar matahari sudah pada masuk hingga ke lembah itu. Berbeda dengan sehari sebelumnya, tidak ada sinar mentari di pagi hari karena tertutup kabut tebal, sementara pagi itu justru pantulan sinar matahari membuat suasana menjadi cukup terang. Dan hebatnya ada kilauan pelangi yang sangat indah di atas air terjun, sementara warna-warni dalam lembah juga entah bagaimana menjadi agak ramai dan semarak. Maklum, pantulan sinar matahari berbaur dan juga menyatu dengan pantulan cahaya sejumlah benda yang berada di Lembah itu. Jika digambarkan, suasana dan pencahayaan di lembah sungguh sangat indah, sungguh amat menawan panorama yang tersajikan. Hal yang sekali lagi, justru bertolak belakang dengan aroma pertarungan yang sampai membawa suasana yang sangat menegangkan.
Hanya sayangnya, tidak ada yang memperhatikan panorama dan warna-warni yang tersaji secara alamiah pada pagi itu. Karena semua perhatian terpusat ke arena dan menciptakan ketegangan yang sangat menyesakkan itu. Berbeda dengan nuansa alam yang indah, maka di tengah arena adalah sumber ketegangan yang membuat tiada satu orangpun yang perduli dengan keindahan dalam lembah tersebut. Tetapi, begitupun, belum ada satupun gerakan yang memicu pertarungan. Keadaan itu semakin menyesakkan dada semua yang berada di sekitar arena, mereka mesti menunggu dalam ketegangan.
Maklum karena yang terjadi adalah, Koay Ji sedang adu kekuatan mental dalam "senyap" dengan Yap Jeng Cie. Keduanya sedang mengerahkan puncak kekuatan dan saling ukur, dan sebenarnya juga sedang bertarung dengan cara yang berbeda. Benar tidak ada gerakan yang terlihat dari mereka, tetapi segenap tenaga dalam keduanya sudah beredar dan pada puncaknya dikerahkan. Sehingga meski tak tertangkap mata biasa, pantulan cahaya berpijar beda warna dari butuh mereka mulai nampak. Bukan hanya itu, perlahan benda-benda ringan diseputar tubuh Yap Jeng Cie mulai terangkat dan tidak lama kemudian berputar perlahan menglilingi tubuhnya. Sementara Koay Ji juga melakukan hal yang kurang lebih sama. Tidak lama, tubuh keduanya sudah dikelilingi oleh benda-benda ringan, dedaunan ataupun rumput yang tadinya berserakan sekitar tubuh mereka, kini bagaikan mainan anak kecil terbang berputaran mengelilingi tubuh mereka. Namun, benda-benda itu tidak berputar dalam kecepatan tinggi, tapi dalam kecepatan yang kelihatannya mereka sengaja atur sesuai kehendak hati.
Kondisi itu saja sudah menggambarkan dan menyentak perasaan banyak orang. Karena, hanya satu atau dua orang dari antara rombongan yang sedang menonton dan menyaksikan ketegangan itu yang akan sanggup melakukannya, itupun dengan tingkat kesulitan yang sangat tinggi. Karena dibutuhkan iweekang dan keteguhan hati yang sangat tinggi, sempurna, untuk bisa melakukannya. Melakukannya dalam kecepatan tinggi malah lebih mudah dibandingkan membuat benda-benda ringan terbang mengelilingi tubuh dengan kecepatan yang lamban. Pameran kekuatan tenaga dalam dan penguasaan tenaga dalam sempurna yang benar-benar membuat orang takjub dan takluk terhadap kedua manusia yang berada di tengah arena itu. Banyak orang menahan nafas saking tegangnya dan saking takjubnya dengan satu pemandangan yang amat jarang muncul di dunia persilatan.
Cukup lama mereka "adu mental" dan "adu nyali" seperti itu, sampai kemudian secara bersamaan mereka membentak:
"Haiiit, haiiiit....."
Dan secara tiba-tiba semua benda ringan yang tadinya berputar lamban mengelilingi tubuh mereka, sama pada bergerak cepat bagaikan peluru. Secara serentak semua benda melayang itu mendadak bergerak cepat dan dalam kecepatan tinggi menuju lawan. Jika digambarkan memang luar biasa, benda-benda tersebut dapat terbang dalam kecepatan tinggi dan mengancam lawan yang berada dalam jarak 10 meteran terpisah. Dan tidak lama kemudian, terdengar benturan luar biasa di tengah udara ketika terjadi pertemuan benda-benda ringan tadi:
"Tar.... tar ..... tar...... tar......"
Ada puluhan kali terdengar benturan tersebut terjadi, dan selepas benturan itu terjadi maka terjadi pula perubahan antara kedua tokoh di arena itu. Kedua lengan masing masing terlihat bekerja, tubuh mereka masih terpisah 10 meteran, tetapi kelihatan jelas bila mereka mulai bertarung. Lengan keduanya bergerak, sesekali menuding, sesekali menangkis, sesekali mengibas dan sesekali bergerak seperti sedang mengurai sesuatu. Hanya sedikit orang belaka yang tahu bahwa mereka sedang adu kekuatan tenaga dalam lewat serangan jarak jauh, dan mereka menggunakan ilmu serangan jarak jauh. Jika serangan itu mengenai tubuh lawan, maka tidak akan ada harapan hidup, jika kekuatan yang menahan tidak memadai. Pertarungan mereka sekali ini, kelihatannya adalah pertarungan yang mengandalkan kematangan dan sempurnanya kemampuan ilmu tenaga dalam.
Dari segi umur dan pengalaman, kelihatannya Yap Jeng Cie sudah memahami jika keunggulannya adalah dalam kematangan tenaga dalam. Meskipun iweekang Koay Ji sudah sangat hebat, tetapi mana bisa menandinginya yang sudah belajar lebih dari 80 tahun" sementara Koay Ji, jika sejak lahirpun berlatih, paling banter punya latihan 20 tahunan. Karena itu, memang tidaklah bisa mereka diperbandingkan. Dan sangat wajar jika Yap Jeng Cie berpikiran: "mana bisa dia menandingiku dalam hal tenaga iweekang...?" Itu kira-kira yang berada di dalam pikiran Yap Jeng Cie. Dia hanya tidak tahu, bahwa Koay Ji secara alamiah dan mujijat beroleh kekuatan iweekang yang sangat aneh. Hadiah dua orang datuk ilmu silat pada saat itu yang kemudian bertumbuh selama sepuluh tahun lebih dalam tubuhnya oleh sebuah obat pusaka racikan Bu Te Hwesio. Dan untuk proses lebih jauh dalam meluruhkannya dan menyatukannya dengan tubuhnya, dia berlatih dua ilmu Budha yang langsung dari pewaris iweekang mujijat itu.
Kedua iweekang itu adalah iweekang-iweekang pilihan, yang tidak sembarang orang mampu menguasai dan mewarisinya dalam siklus 200 tahunan di kuil Siauw Lim Sie. Juga di aliran Ilmu Budha Thian Tok. Tetapi, memutus tabu dan larangan itu, secara kebetulan Koay Ji belajar dua iweekang utama itu: yakni Pouw Tee Pwe Yap Sian Sinkang yang justru biasanya berkembang di aliran kaum Budha Thian Tok, dan iweekang Toa Pan Yo Hiankang yang berkembang di daerah Tionggoan, tepatnya gunung Siong San, kuil Siauw Lim Sie. Untuk memperkuat tubuhnya, dia dilatih Iweekang Pouw Tee Pwe Yap Sian Sinkang oleh Bu Te Hwesio, tetapi untuk dapat membaurkan dalam tubuhnya, dia berlatih Toa Pan Yo Hiankang dari suhunya yang lain, Bu In Sinliong. Keduanya, baik Bu Te Hwesio maupun Bu In Sinliong adalah tokoh-tokoh berbakat dari aliran Budha berbeda, yakni dari daerah Thian Tok dan Tionggoan, tetapi keduanya sama berbelas kasih terhadap Koay Ji. Keduanya mampu melihat dan memprediksi bahwa bocah dengan peruntungan aneh ini, bakal menjadi seniman ilmu silat pada jamannya.
Maka, meski berusia muda, tetapi aliran iweekang dan kekuatan iweekang Koay Ji justru sangat jauh melampaui usia fisiknya yang masih muda itu. Bukan hanya soal kekuatan, tetapi juga bahkan dalam hal kesempurnaan iweekangnya, sungguh di luar sangkaan banyak orang, bahkan juga jauh diluar dugaan dan sangkaan Koay Ji pribadi. Terlebih iweekang itu terus bertumbuh, bertambah kuat, dan bahkan sudah sanggup dia tangani, endapkan, kuatkan dan menyatu dengan tubuhnya. Ditambah dengan pengetahuannya akan rahasia gerakan manusia, jalan darah manusia, maka dengan mudah dia mampu menciptakan banyak ilmu dan jurus-jurus yang baru, seperti juga menemukan jalan-jalan baru menyempurnakan penguasaannya atas iweekangnya itu. Sandarannya atas dua iweekang mujijat kaum Budha sungguh merupakan anugerah baginya, sehingga dia beroleh pengetahuan bahwa iweekang itu dapat bertumbuh "tanpa batas", tergantung pada kemauan dan kemampuan serta bakat guna dapat terus memupuknya.
Begitulah cara dan jalan hidup dan juga sejarah Koay Ji sehingga mampu dan juga sanggup meladeni Yap Jeng Cie yang merupakan datuk ilmu silat dari masa yang jauh berbeda dengan dirinya. Pada saat itu, mungkin tinggal Suhunya, Bu In Sinliong yang akan mampu menandingi seorang Yap Jeng Cie. Apalagi, diapun tahu, bahwa tokoh tua itu menggunakan waktu yang lama dan panjang untuk menyempurnakan dirinya agar sanggup melawan ilmu perguruannya. Sayangnya, Koay Ji justru bertumbuh dalam pengetahuan yang dalam atas ilmu perguruan Pat Bin Lin Long yang adalah dasar dan sandaran ilmu Yap Jeng Cie itu. Itulah sebabnya Koay Ji mampu lebih cepat lagi dalam membentuk dirinya dan berlatih ilmu-ilmu dan jurus-jurus mujijat yang berada di luar jangkauan pemikiran orang banyak. Kemenangan Sie Lan In adalah salah satu contoh dari keunggulannya atas pengetahuan yang dalam atas ilmu Pat Bin Lin Long dan Siauw Lim Sie. Dan kini, dia mesti dan sudah sedang dalam arena melawan pentolan terhebat perguruan Pat Bin Lin Long. Pasti sebuah pertarungan sengit.
Kisah Bangsa Petualang 1 Pusaka Golok Iblis Dari Tanah Seberang Seri Pengelana Tangan Sakti Karya Lovelydear Jodoh Rajawali 14
^