Pencarian

Pendekar Lengan Buntung 1

Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw Bagian 1


PENDEKAR LENGAN BUNTUNG KIM TIAUW 1 Hujan rintilk rintiik. Bintang dan rembulan redup.
Berpisah dengan kekasih, air mata berrcucuran. Harapan kini....
Tak pernah tercapai. .. Oh kasih di mana kau berada"
..... Cinta Sedalam samudra.
..... Benci seluas Jagadl, Sampai kapan kasih baru berjumpa"
Air mata kasih. Senyuman benci. Kasih sayang tinggal kenangan. Berpisah hari ini.
Sampai kapan baru, bersua"
Hanya nasib dan takdir yang menentukan.
Bait syair tersebut terdapat dalam sebuah lagu dibalik lagu
terkandung dua buah roh yang suci, seorang gadis yang
menciptakan bait lagu dengan darah dan air matanya untuk
dipersembahkan kepada seorang lelaki yang paling dikasihani
Bait lagu itu mereka namakan lagu putus cinta
Semasa masih kanak-kanak mereka adalah sepasang sahabat
karib yang setiap hari bermain bersama.
Setelah menanjak dewasa, mereka berubah menjadi sepasang
kekasih yang paling mengasihi
Mereka saling bercinta. Mereka saling berdoa.
2 Gunung Tiang-pek-san tengah diselimuti salju putih laksana
tebaran kapas memutih bersih memancarkan sinar perak, tatkala
matahari pagi membersitkan sinarnya hangat kemerah-merahan.
Udara pagi di puncak gunung itu sangat dingin sekali, meskipun
matahari pagi sudah mulai mencairkan bungkahan-bungkahan
salju yang bergumpal laksana permata yang dalam kristal tata
warna yang indah sekali. Pantulan sinar matahari membersit
merah jingga membayang dalam gumpalan salju yang menipis
menutupi pepohonan dan rumput-rumput hijau menghampar di
tanah. Suasana demikian sunyi mati. Hanya sekali-sekali terdengar suara
air terjun di sebelah barat menumpahkan air yang tak kunjung henti
dan menerbitkan irama lagu di lembah sunyi. Amat tenang dan
damai sekali suasana di tempat ini.
Jauh di sebelah sana terhampar sawah ladang menghijau dan di
kaki bukit ini berduyun-duyun para petani telah mulai pergi ke
sawahnya dan menyibukkan diri menggarap tanah pegunungan
yang amat subur untuk ditanami. Mereka bernyanyi-nyanyi riang
menyaingi kicau burung yang beterbangan meninggalkan
sarangnya. Embun menurun lambat dari puncak Tiang-pek-san. Salju mulai
mencair merupakan tetesan air dingin membasahi pepohonan dan
rerumputan menghijau segar. Serombongan burung belibis
beterbangan di angkasa ketika suasana yang sunyi mati itu
dipecahkan suara mendesing keras. Suara senjata beradu, disusul
dengan suara nyaring dari seorang gadis remaja.
3 "Tiang suheng, mengapa sih kau keras kepala?"
"Sumoay!" terdengar orang yang dipanggil Tiang suheng oleh si
gadis tadi, "Aku harus pergi, harap kau tidak menghalanghalangiku, kelak kita akan bertemu kembali."
Sekali menggerakkan tubuhnya orang muda itu meloncat jauh dan
berlari dengan amat cepatnya. Akan tetapi sekali si gadis mencelat
iapun sudah berkelebat mengejar dan sebentar ia pula si gadis
telah berdiri di depannya.
Segelintir air mata si gadis meleleh lewat ke dua pipinya. Dan
tangannya yang kecil dan halus itu menghapus. Lalu memandang
lagi ke arah suhengnya. "Tiang suheng, jangan".. kau pergi?". jangan kau
mengantarkan jiwa sia-sia," terdengar suara si gadis itu terisak.
Matanya basah oleh genangan-genangan air yang hendak pecah.
Terharu juga hati si pemuda yang dipanggil Tiang suheng oleh si
gadis tadi. Ia melangkah maju dan memegang ke dua bahu si
gadis. "Sumoay, harap kau tidak menguatirkan keadaanku. Aku bisa
menjaga diri. Biar bagaimanapun lihay seperti setan sekalipun aku
tetap akan mencari musuh-musuh yang telah menghancurkan
Tiang-pek-pay dan yang telah membunuh suhu. Aku akan
mengadu nyawa dengan Bong Bong Sianjin, Sianli Ku-koay, dan
Te-thian Lomo........!"
"Suheng kau gila, mana kau dapat menandingi mereka?"
4 "Biarlah sumoay, matipun tidak mengapa untuk demi bakti kepada
Tiang-pek-pay dan arwah suhu yang masih penasaran ini!" Suara
pemuda itu terdengar bersemangat. Dadanya yang bidang agak
terangkat ke atas. Matanya bersinar-sinar.
"Suheng, kau ini sok pandai! Terlalu tekebur! Apa kau kira kau
dapat menandingi mereka itu" Jangan tekebur suheng,
kepandaian kita masih jauh untuk menuntut balas!"
"Sumoay?" apakah kita harus berpeluk tangan saja?"
"Bukan begitu suheng. Tentu saja kita harus menuntut balas, akan
tetapi, sekarang ini belum waktunya. Kita harus tunggu susiok dari
Hong-san dan belajar kepadanya."
"Maaf sumoay, aku tak mau menanti susiok. Biarlah kalian tinggal
menanti susiok dan belajar daripadanya. Kelak kita akan betemu
lagi......!" berkata begitu pemuda itu membalikkan tubuhnya dan
hendak berjalan. Akan tetapi, baru beberapa tindak ia melangkah
tahu-tahu di belakangnya terdengar suara nyaring.
"Hahaha! Tiang Le?" kau memang besar kepala. Tidak bisa
dibilangin sekali. Biarlah aku mengujimu?" sekiranya kau dapat
menahan pedangku ini, boleh kau pergi meninggalkan Tiang-pekpay!"
"Siiing!" terdengar suara pedang ditarik dari sarungnya. Terkejut
sekali Tiang Le melihat bahwa di belakangnya mendatangi Itsuheng dan jie-suheng. Dan orang yang berkata tadi adalah Itsuhengnya yang bernama Liok Kong In, yang sudah berdiri di
depannya dengan pedang terhunus.
5 "Liok Suheng?".!"
"Bagus Tiang Le. Setelah Tiang-pek-pay mengalami kehancuran,
lantas kau hendak mabur?" tegur Liok Kong In, murid pertama dari
Tiang-pek-pay. "Liok suheng?", aku harus pergi......."
"Pergi?" Liok Kong In mengerenyitkan keningnya.
"Betul suheng, aku harus pergi menuntut balas kematian suhu!"
"Tolol! Apa kau kira sudah cukup pandai dapat menandingi Bong
Bong Siangjin, Sianli Ku-koay dan Te-thian Lomo itu?"
"Aku tahu bahwa kepandaianku masih dangkal suheng, akan
tetapi....... biarlah aku hendak mengadu nyawa dengan mereka!"
"Setan! Daripada kau mampus di tangan musuh lebih baik
pedangku ini yang mencabut nyawamu. Tiang Le bersiaplah!"
Pedang di tangan Liok Kong In berputar di atas kepala. Suara
angin berdesing saking kuatnya putaran pedang itu.
"Suheng".. Liok Suheng".. aku?" aku tak ingin berkelahi"..
biarkanlah aku pergi".. ahh!" Tiang Le gugup sekali melihat
suhengnya yang pertama ini sudah menggerak-gerakan
pedangnya. "Lihat pedang!" Pedang di tangan Liok Kong In berkelebat
menyambar leher Tiang Le.
6 Terkejut bukan main melihat betapa suhengnya ini benar-benar
menyerangnya dengan jurus-jurus silat yang kuat dan ganas.
Segera saja Tiang Le yang merasa segan untuk mengangkat
pedang melawan suhengnya yang pertama ini, dengan
mengandalkan kelincahan tubuhnya ia sudah mengelak ke sana
ke mari menghindarkan sambaran-sambaran pedang Kong In yang
bertubi-tubi menyerangnya.
Sementara itu, si gadis, yang mula-mula mencegat Tiang Le
menjadi pucat wajahnya melihat betapa It-suhengnya benar-benar
menyerang Tiang Le. Dengan gerakan cepat ia sudah menarik
pedangnya dan menyerbu ke tengah arena pertempuran.
Pedangnya menangkis pedang Kong In. Sehingga saking kuatnya
dua orang muda ini mengadu pedang membuat sinar pedang
berkeredepan muncrat laksana bunga api. Melihat betapa
sumoaynya menahan pedangnya Liok Kong In menjadi panas
hatinya. "Sumoay, kau gila!"
"It-suheng, Kaulah yang gila dan sinting. Mengapa kau menyerang
Tiang suheng?" "Hemm, jadi kau hendak membelanya sumoay?"
"Bukan aku membelanya tapi aku tidak".... tidak suka melihat
saudara seperguruan baku hantam seperti itu."
"Dia keras kepala, patut dihajar, minggirlah!"
"Tidak suheng, tidak boleh kau menyerang!"
7 "Kau, apa hubunganmu dengannya?" Liok Kong In bertanya heran.
Sementara hatinya jadi panas bukan main. Entah mengapa dia tak
senang sumoaynya ini membela Tiang Le.
Tentu saja mudah diduga. Ia menaruh hati kepada sumoaynya
yang bernama Lie Bwe Hwa, memang. Betul, Liok Kong In ini
secara diam-diam telah menaruh hati kepada Bwe Hwa. Oleh
sebab itulah tadi ketika ia melihat betapa Bwe Hwa menahan Tiang
Le dan dilihatnya betapa intim hubungan keduanya, darah di dada
Kong In hendak meledak rasanya. Ia sendiri sampai heran, kenapa
ia menjadi marah kepada sutenya ini"
"Hwa-sumoay, kau?" jangan kau mencampuri urusanku?".!"
Kembali Liok Kong In maju hendak menyerang Tiang Le. Akan
tetapi tiba-tiba jie-suheng yang bernama Song Cie Lay telah maju
menengahi. "Sudahlah suheng?". tidak perlu dibuat ribut besar. Biarlah kalau
Tiang Le sute hendak pergi meninggalkan Tiang-pek-pay, kita tak
boleh menghalanginya?" mungkin dalam perantauannya itu
Tiang Le sute akan mendapatkan pengalaman dan memperdalam
ilmu silatnya?"," berkata Song Cie Lay.
Memang Song Cie Lay ini berwatak halus dan tidak seperti Liok
Kong In yang berangasan dan sering panas hati. Diam-diam Tiang
Le merasa berterima kasih kepada jie-suhengnya ini. Ia menoleh
kepada Song Cie Lay dan tersenyum. Mengangguk kepada Lie
Bwe Hwa, lalu tanpa bercakap apa-apa lagi ia telah berlari cepat
menuruni pegunungan Tiang-pek-san.
8 Tiang Le berlari amat cepat sekali. Sengaja ia tidak memperlambat
perjalanannya karena sesungguhnya ia tidak ingin kalau It-suheng
nya yang berangasan itu mencegahnya lagi. Apabila ia sudah
sampai di lereng bukit barulah ia memperlambat jalannya.
Pemandangan alam di sekitar pegunungan Tiang-pek-san ini indah
sekali. Tidak lagi dipenuhi oleh salju yang dingin seperti di puncak.
Di lereng ini banyak sekali pohon-pohon menghijau, sungai-sungai
yang jernih dan air pancuran yang mengalirkan airnya yang tak
kunjung habis. Di sini ini, betapa senang dan damainya. Pada jalan
yang kecil ini, ia berjalan perlahan. Pandangan matanya terarah
jauh ke muka. Dari kejauhan terdengar suara kerbau menguak memecah
kesunyian. Dan lagu seruling yang dimainkan anak gembala
membuat Tiang Le menoleh ke samping kirinya. Ia melihat anak
kecil yang asyik sekali menyuling sambil duduk di punggung
kerbau yang berjalan lambat-lambat sambil merumput. Senang
sekali hati si kerbau akan rumput-rumput yang gemuk di bawah
kakinya. Sebentar-sebentar ia mengangkat kepalanya dan
menguak. Tertunduk lagi. Merumput lagi.
Memang suasana di lereng bukit ini sangat indah sekali
pemandangannya. Diam-diam Tiang Le mengagumi akan
keindahan alam ini. Diam-diam ia memperhatikan si anak gembala
menyuling. Diam-diam ia juga menyenangi suara kerbau menguak.
Memang sesungguhnyalah bahwa semuanya ini tidak berada di
puncak. Di puncak hanya ada salju-salju yang bengumpal-gumpal.
Tidak ada di sana kerbau merumput, atau kerbau meluku. Oleh
9 karenanya tiada pernah terdengar suara kerbau menguak, apalagi
suara seruling anak gembala. Tak ada!
Tiang Le termenung. Tiang Le duduk di pinggir jalan kecil pada sebuah batu yang
menonjol. Tiba-tiba namanya dipanggil seseorang. Suara itu
merdu sekali. Suara seorang gadis.
"Tiang suheng?".!"
"Sian Hwa?"!"
Tiang Le melihat bahwa yang memanggil namanya tadi adalah
sumoaynya yang kedua, Liem Sian Hwa.
Gadis itu berjalan menghampirinya. Senyumnya yang cerah
menghias sepasang bibirnya yang merah berkilat ditimpah cahaya
matahari. Mata Liem Sian Hwa bersinar memandang Tiang Le.
"Tiang suheng, aku turut denganmu!"
"Sian Hwa?" mengapa kau ke mari?" tanya Tiang Le.
"Aku mau ikut kau suheng," sahut Sian Hwa.
"Jangan Sian Hwa-moay, jangan kau ikut denganku." Ah, Tiang Le
mengeluh. Benar-benar sulit ia meninggalkan Tiang-pek-san ini.
Baru saja ia tadi dihalang-halangi oleh suhengnya Liok Kong In dan
Bwe Hwa. Sekarang datangnya lagi sumoaynya, Sian Hwa. Benarbenar membuat ia geleng-geleng kepalanya.
10 "Suheng aku mendengar dari suci Bwe Hwa katanya kau telah
turun gunung hendak mencari musuh-musuh suhu, makanya aku
cepat-cepat mengejarmu. Untung kau belum jauh dan aku dapat
mengejarmu. Eh suheng yang baik hati bolehkah sumoaymu ikut
denganmu?" Tiang Le menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ia memandang sumoaynya. Menatap tajam.
"Sian Hwa-moay janganlah kau menghalang-halangiku!" suara
Tiang Le perlahan. Ia sebenarnya tidak tega menyakiti hati Sian
Hwa. Entah mengapa dengan Sian Hwa hatinya lemah. Dan
sesungguhnya ada kegirangan hati waktu mendengar Sian Hwa
hendak ikut dengannya, ada dirasakan kehangatan itu waktu gadis
ini muncul di depannya. Tetapi tentu saja ia menyadari tak mungkin
gadis ini ikut dengannya. Ia tahu benar bahwa jie-suhengnya yang
bernama Song Cie Lay itu diam-diam mencintai Sian Hwa dan ia
tidak boleh menyakiti hati jie-suheng.
Tak boleh. Tiang Lee menggelengkan kepala.
Sian Hwa menghampiri, menyentuh lengan suhengnya. "Seeer!"
darah di tubuh Tiang Le berdesir mengeluarkan gejolak hati, waktu
lengannya disentuh tangan halus Sian Hwa. Gila! Tiang Le
berteriak dalam hati. Tak boleh terjadi. Tak boleh terjadi! Tak boleh.
Tak boleh aku berperasaan dengan sumoay!
'Tiang suheng, aku ikut ya?" Sian Hwa merajuk.
11 "Jangan sumoay!"
"Mengapa suheng?" kini Sian Hwa menatap Tiang Le.


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiang Le melihat tatapan sinar mata gadis begitu sayu dan lembut,
dan apabila setetes air bening itu melonjak antara kedua pipi si
gadis. Ingin sekali ia mengangkat tangan ini dan menggerai-gerai
menghapusi lembut pipi-pipi yang basah itu.
"'Sumoay"... jangan kau memberatkan hatiku. Jangan kau
menangis...... ah," Tiang Le mengeluh. Hatinya merenyuh. Ingin
sekali saat itu ia menghibur sumoaynya ini. Memeluknya erat-erat.
Dan mengatakan: jangan kau menangis sayang....... jangan
membuat hatiku susah. Akan tetapi Tiang Le berkata:
"Pulanglah sumoay"... kembalilah ke puncak. Tentu suhengsuheng akan mencari-carimu!"
Sian Hwa menggelengkan kepalanya. Sementara air matanya
bertambah bersari-sari bertambah lembab tatapan mata itu,
bertambah basah?" "Tidak!" "Sumoay!" "Tiang suheng aku tak mau kembali ke puncak, kalau kau pergi aku
juga harus turut bersamamu."
12 "Sian Hwa-moay jangan memberatkan perjalananku"...., jangan
membuat hatiku bimbang."
"Tiang Le! Apakah aku ikut denganmu lantas memberatkan
kakimu" Apakah aku minta digendong" Aku bisa jalan sendiri aku
punya kaki!" Kini Sian Hwa membanting-bantingkan kakinya. Air
matanya bertambah bercucuran.
"Celaka!" teriak Tiang Lee, kalau sumoaynya ini berbuat demikian
susahlah untuk mencegahnya. Ia tahu sumoaynya ini keras hati.
Apalagi kekerasan hatinya disertai air mata, mampus ia. Mana
Tiang Le tega untuk membiarkan sumoaynya berbuat demikian. Ia
pusing tak tega melihat wanita menangis. Paling takut! Tiang Le,
kau lemah hati! "Sumoay"... sudahlah, jangan begitu. Baiklah kalau kau masih
bertekad untuk mengikutiku. Bolehlah! Tapi ingat Sian Hwa-moay,
mengikutiku....... tidak sama tinggal di puncak. Kau akan
mengalami banyak kesusahan dan kesengsaraan, Hwa-moay,"
berkata Tiang Le, memegang kedua bahu Sian Hwa.
Tiba-tiba Sian Hwa tersenyum. Manis sekali senyum gadis itu di
antara deraian air mata yang masih melencah-lencah lincah.
Terkesiap juga Tiang Le. Aneh memang sumoaynya ini, sebentar
marah-marah dan menangis, sebentar tersenyum dan tertawa.
"Terima kasih Tiang koko," Ia tidak menyebut Tiang suheng lagi.
Akan tetapi sebutan barusan betapa mesranya terucap dari ke dua
belahan bibirnya Sian Hwa dan Tiang Le menyadari ini. Tanpa
berkata apa-apa lagi ia menarik tangan Sian Hwa seraya berkata:
"Hayo kita berangkat sekarang!"
13 Maka kedua orang itu berjalanlah perlahan dan lambat-lambat
menyusuri tepian jalan kecil di lereng gunung. Indah sekali
pemandangan ini dirasakan oleh Tiang Le. Segala yang dilihatnya
itu sekalian alam ini menyambutnya dengan senyum berseri-seri.
Mega mendung di puncak menurun lambat. Sementara matahari
di atas kepala mulai tersapu awan hitam yang menutupi. Seekor
kerbau berlalu menyilang di depannya. Menguak panjang
membawa seorang anak gembala yang tadi meniup suling.
Burung-burung di atas berterbangan rendah.
Tiang Le berjalan di samping kiri Sian Hwa.
"Sian Hwa-moay kita harus mempercepat...... Lekaslah, sebentar
lagi tentu hujan akan turun." Tiang Le menyangga tangan si gadis.
Sian Hwa mempererat pegangan tangan itu.
"Hayolah Tiang koko, kita mencari tempat berteduh," sahut Sian
Hwa menyentak tangan itu.
Tiang Le menoleh. Ingin sekali ia bertanya, Sumoay, mengapa kau menyebut Tiang
koko (kanda Tiang) mengapa tidak Tiang suheng" Akan tentu saja
Tiang Le tak sempat menanyakan itu karena titik hujan sudah
terasa jatuh menimpah mukanya.
Di atas awan hitam sedang memberat hendak jatuh.
14 "Sian Hwa-moay..... sudah mulai hujan cepatlah!" seru Tiang Le
dan ke duanya berlarian di pematang persawahan itu. Hujan tibatiba menderas. Kilat dan guntur menggelegar.
Kini ke dua-duanya menjadi basah kuyup. Tempat berlindung tidak
ada di tengah-tengah pesawahan yang luas itu. Sementara hujan
semakin menggila. Menghempas tubuh ke dua orang muda yang
tengah berlari-lari mencari tempat untuk berteduh. Di sebelah
depan nampak kabut putih bergulung-gulung, petir menyambar
tiga kali mengejutkan Sian Hwa.
"Koko?".!"
"Hwa-moay"...." Tiang Le memeluk tubuh sumoaynya yang telah
basah kuyup. Kasihan sekali hatinya melihat sumoaynya sudah
menggigil kedinginan. Wajahnya biru.
Sebuah petir menyambar lagi berkeredep menerangi alam yang
tertutup kabut. Di antara keredepan kilat itu, Tiang Le berteriak
girang "Hwa-moay...... di sana itu ada sebuah pondok, hayo kita ke
sana!" Tiang Le menarik tangan Sian Hwa. Benar saja ada seratus meter
mereka berjalan di depan itu, di tengah, pematang sawah, sebuah
pondok tua terdapat di situ. Berkereot hendak rubuh pondok itu
dipermainkan angin kencang yang bertiup membawa deraian air
hujan. Tanpa memperdulikan keadaan pondok yang hampir rubuh itu
Tiang Le dan Sian Hwa memasuki ke dalam. Setelah Tiang Le
meneliti, legalah hatinya karena pondok itu cukup tahan dari
15 serangan angin dan tak mungkin rubuh. Di dalamnya cukup lega.
Berukuran empat persegi dan di sana terdapat sebuah dipan kayu
dan banyak jerami terdapat di kolong dipan itu.
Kini, di sini ini mereka terhindar dari serangan angin dan hujan
yang menggila bagai dicurahkan dari langit. Melihat Sian Hwa
menggigil pucat, segera Tiang Le mengambil seunggukan jerami
kering dan sebentar pula pondok itu sudah menyala api unggun
yang menjilat di tengah-tengah ruangan pondok. Merasa hawa
panas dan segera Sian Hwa mendekati api unggun itu. Tiang Le
tertawa sambil mengusap tetesan air hujan yang meleleh di pipinya
dan menggeraikan rambutnya yang basah.
"Hwa-moay?". inilah kesengsaraan pertama. Senangkah kau?"
Di antara cuaca yang diterangi cahaya api unggun yang menjilatjilat terhembus angin, Sian Hwa tersenyum. Manis sekali senyum
itu. "Tiang Le koko....... denganmu, aku begitu pasrah. Janganlah
hujan lebat seperti ini, biarpun api neraka yang membakar tubuhku,
asalkan beserta dengan engkau, aku akan bahagia sekali Tiang
koko," suara si gadis itu tergetar menandakan suatu perasaan hati
yang menggejolak. Tiang Le terkesiap. Betulkah itu perkataan yang keluar dari bibir
Sian Hwa" Oh alangkah indahnya menyentuh-nyentuh liang hati
yang kosong ini. Sudah lama ia mendambakan kata seperti itu
yang keluar dari mulut sumoaynya. Sudah lama sekali. Tapi baru
sekarang ini sumoaynya mengutarakan secara blak-blakan.
16 Dirasakan ada sesuatu perasaan hangat di hati Tiang Le. Bukan
perasaan hangat yang memancar dari api unggun di depannya itu.
Melainkan perasaan hangat yang membawa bahagia waktu gadis
di depannya itu berkata: "Tiang Le koko....... dengan aku begitu,
jangankan hujan lebat seperti ini, biarpun api neraka yang
membakar tubuhku, asalkan beserta dengan engkau, aku akan
bahagia sekali, Tiang Koko!"
"Sumoay, Hwa moay-moay mengapa begitu, mengapa di dekatku
engkau bahagia?" tanpa sadar Tiang Le bertanya begitu. Ingin
sekali ia mendengar perkataan indah seperti tadi. Ingin sekali.
Lama ia menanti. "Koko, sejak pertama kali kau datang di puncak Tiang-pek itu.
hatiku sudah terpaut denganmu, aku mencintaimu koko!"
"Moay-moay (adinda)?"!"
"Koko, aku tahu bahwa kaupun mencintaiku, pandanganmu itu
yang mengatakannya kepadaku, sikap-sikapmu yang aneh itulah
yang membuat aku yakin bahwa kau cinta kepadaku koko.
Katakanlah bahwa kau cinta padaku?" legakanlah hatiku, koko!"
hampir saja suara Sian Hwa menangis saking tak dapat ia
mengendalikan perasaan hati. Matanya begitu sayu memandang
Tiang Le. Sebuah kilat menyambar berkeredep menerangi wajah sayu itu.
Tiang Le meletakkan jarinya di atas pipi yang basah. Tanpa
disadari kedua tangannya itu merangkul Sian Hwa. Dan bagaikan
ada tenaga magnit yang kuat luar biasa, tangan si gadis membalas
pelukan Tiang Le. Ke dua-duanya kini saling berangkulan.
17 Hujan bertambah menggila.
Langit di atas begitu muram. Diberati oleh awan-awan hitam
berkejaran menutupi alam ini. Suara angin dan hujan meningkah
menyaingi guntur yang menggelegar hendak memecah bumi.
Sesosok tubuh manusia menggigil di luar pondok itu. Tubuh
seorang gadis remaja yang tengah basah kuyup ditimpa butir-butir
hujan yang merupakan peluru-peluru yang menimpah kepala dan
tubuh gadis itu. Tubuhnya menggigil.
Bukan menggigil karena dinginnya hujan. Akan tetapi ia menggigil
melihat pemandangan di dalam pondok itu. Pamandangan yang
membuat hatinya membara. Lama gadis itu berdiri di luar pondok itu mematung, sementara
matanya bercucuran menjadi satu dengan air hujan yang
menimpahi wajahnya. Kemudian dengan bentakan keras ia menerjang maju dengan
pedang yang sudah terhunus di tangan. Pedang itu menggigil.
Meluncur dengan amat cepatnya menyambar tubuh Tiang Le dan
Sian Hwa yang tengah tenggelam dalam gelombang asmara yang
mengombang-ambing! "Siiing!" Bagaikan disengat ular berbisa, tubuh Tiang Le mencelat
ke atas membobolkan atap pondok dan ke dua-duanya itu terguling
di tanah yang menggenang air.
Begitu Tiang Le membalikkan tubuh dan berdiri, ia menjadi
terkesiap. Kaget, melihat sumoaynya yang pertama itu sudah
18 menerjangnya lagi dengan gerakan-gerakan jurus ilmu pedang
yang dahsyat. "Bwe Hwa tahan!" bentak Tiang Le mencelat ke kiri menghindarkan
sambaran pedang yang amat kuat itu. Air hujan memercik
tersambar pedang di tangan Bwe Hwa. Dada si gadis turun naik
saking hebatnya, kawah apa itu hendak meletus dikungkungi api
cemburu yang membuta. "Tiang Le, kau..... manusia binatang! Bilang mau mencari musuh,
tidak tahunya kau menggoda sumoay di sini. Kau memang berhati
palsu!" Pedang di tangan Bwe Hwa menyambar lagi. Hebat sekali
sambaran dari jurus-jurus Tiang-pek-kiam-hoat ciptaan gurunya
ini. Akan tetapi menghadapi Tiang Le yang sudah mengenal baik
akan ilmu pedang itu, dengan mudah saja ia mengelak, dengan
menonjolkan tubuhnya ke belakang, mata pedang itu lewat di
depan dadanya. Dan sekali tangan Tiang Le bergerak, siku Bwe
Hwa telah tertotok dan menjadi lumpuh seketika itu juga.
Melihat ini Sian Hwa menghampiri sucinya.
"Suci?".!"
Bwe Hwa mendengus marah. Matanya berapi memandang Sian
Hwa dan Tiang Le. Dadanya cemburu.
"Sian Hwa, bagus sekali perbuatanmu. Jie-suheng Song Cie Lay
menanti-nantimu dan mencari setengah mati, sedangkan kau disini
enak-enakan berpacaran dengan sam-suheng, ah......... kepingin
aku tahu bagaimana sikap jie-suheng melihat engkau berpelukan
19 seperti itu dengan sam-suheng. Benar-benar perempuan rendah,
tak tahu malu." "Suci....... apa maksudmu, mengapa kau berkata begitu?" tanya
Sian Hwa pucat wajahnya. "Hi hi hik"... apa kau berlagak pilon Sian Hwa" Apa aku tidak tahu
kalau jie-suheng itu mencintaimu" Kepingin sekali aku melihat jiesuheng mengamuk melihat pacarnya berbuat serong terhadap lakilaki lain!"
"Bwe Hwa!" Tiang Le membentak.
"Hmm! Tiang Le, kau juga sama berhati palsu, mampuslah kau!"
kali ini Tiang Le menjadi terkejut sekali, mengapa dalam sekejap
saja totokannya tadi pada siku Bwe Hwa telah terbebas. Tak dapat
berpikir lama-lama ia karena pedang di tangan Bwe Hwa sudah
mengamuk dengan sengit menyerang Tiang Le.
"Suci, jangan kau berkelahi suci!" berkali-kali Sian Hwa menjeritjerit memisahkan ke dua orang suheng dan sucinya itu. Angin
bertiup sangat kencang sekali dibarengi suara petir yang masih
berkeredepan di angkasa gelap.
Limapuluh jurus sudah Tiang Le melayani sumoaynya ini. Tak mau
ia mengangkat pedang, ia mengelak terus ke kiri ke kanan mundur
ke belakang. Sepuluh meter di belakangnya itu mengalir deras
sebuah sungai yang meluap airnya.
Melihat Tiang Le mundur-mundur dan tidak balas menyerang,
bertambah panas hati Bwe Hwa. Pedangnya dengan sengit
20 menyambar-nyambar berkeredep mencari sasaran di tubuh Tiang
Le. Heran sekali. Mengapa ia begitu sengit sekarang terhadap suheng
ini" Tak tahu ia, kini api cemburu telah membuat ia mata gelap.
Pikiran sehatnya telah lenyap terselubung oleh pemandangan
yang barusan menusuk-nusuk hatinya. Pemandangan di mana
Tiang Le dan Sian Hwa berpelukan.
"Keparat" Keluarkan pedangmu! Lawanlah aku, jangan mengelak
begitu," Bwe Hwa membentak. Memainkan pedangnya dengan
sengit. "Bwe Hwa sumoay....... aku tidak ingin berkelahi. Sudahlah
hentikan!" "Keparat! Manusia sombong, apa kau kira aku tidak dapat
mengalahkanmu" Lihat pedang!"
"Singgg!" "Suci"..!" Sian Hwa menerjang ke tengah-tengah dan menangkis
pedang Bwe Hwa. Bertambah panas hatinya, ia mendelik
memandang sumoaynya. "Sian Hwa?". kau hendak membela dia?"
"Jangan kau menyerang dia suci"... sudahlah jangan
bertempur.......!" suara Sian Hwa memohon. Ia memandang
sucinya dengan air mata basah.
21 "Sian Hwa".. apa"... apakah kau".. mencintai Tiang Le?" tibatiba Bwe Hwa bertanya. Matanya tajam menusuk. Seakan-akan
hendak menembus jantung hati sumoaynya.
Sian Hwa tertegun sekali melihat sucinya yang mengajukan
pertanyaan yang aneh kedengarannya ini. Ia terdiam. Tertunduk.
"Katakanlah Sian Hwa, jujurlah kepadaku. Apakah kau mencintai
Tiang Le?" sekali lagi Bwe Hwa bertanya.
Tentu saja melihat bahwa sucinya ini berbicara dengan serius,
maka Sian Hwa juga hendak menunjukkan keseriusan itu.
Meskipun hatinya tak enak untuk berterus terang di depan sucinya
ini. Ia tahu betul. Ia tahu betul. Bahwa sucinya ini mencintai Tiang


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Le, tak heran kalau barusan sucinya ini ngamuk dan kalap oleh
karena di dalam pondok tadi ia dan Tiang Le berpelukan.
Sebetulnya tak tega ia menyakiti hati sucinya. Akan tetapi ia juga
mencintai Tiang Le, mencintai sam-suhengnya itu.
Maka katanya: "Betul suci?" aku".. mencintai Tiang Le?".."
Berkilat mata Bwe Hwa. Sebuah belati menghujam ulu hatinya.
Teramat perih dan pilu. Ia memandang tajam ke arah sumoaynya
dan melihat betapa mata Sian Hwa menjadi basah. Lulu hatinya. Ia
tersenyum pahit. "Bagus Sian Hwa..... mudah-mudahan kau bahagia dengan dia....."
berkata demikian Bwe Hwa menghampiri Tiang Le dan
22 memeluknya. Terasa dadanya menjadi hangat oleh deraian air
mata si gadis yang basah menembus baju di bagian dada.
Suara Bwe Hwa terisak. "Tiang suheng?" maafkanlah aku!"
Tiang Le memeluk. Membalas pelukan Bwe Hwa. Legalah hatinya
bahwa Bwe Hwa tidak kalap. Ia menarik napas panjang. Matanya
terpejam. Setitik matanya membasah.
"Sumoay".... akulah yang harus minta maaf kepadamu?".!"
Sebuah petir menyambar. Berkeredep di udara. Dan Tiang Le
kaget setengah mati. Sebuah sinar perak menyambar lehernya.
Tak keburu ia menangkis, dalam keadaaan kegugupannya itu, ia
lalu miringkan lehernya. "Cep! cep! Srattt!" Tiga kali ujung pedang itu membabat pundak
kanan Tiang Le, darah merah mengucur deras dari lengan yang
sudah buntung sebatas pundak. Sebuah tangan manusia
menggeletak di kaki kanan Tiang Le.
Dan Tiang Le terhuyung mundur dua tindak. Mundur ke belakang.
Matanya membelalak memandang Bwe Hwa. Rasa sakit yang
berdenyut-denyut pada lengan kanannya membuat kepalanya
berputar-putar, ia manjerit lirih. Dan roboh pingsan.
"Suci?" kau....... kau gila!" Sian Hwa membentak, menerjang
dengan pedangnya, membacok dengan gerak tipu Batu Gunung
Menimpah Jurang. Bacokan ini hebat sakali dan demikian
23 tepatnya, sehingga tak mungkin dielakan lagi. Terpaksa Bwe Hwa
menangkis dengan pedangnya yang berlumur darah merah.
"Trang?"!" bunga-bunga api berpijar dan Sian Hwa merasa
tangannya bergetar hebat.
"Suci?" kau terlalu".. kau begitu tega membuntungi lengan
suheng secara pengecut. Biarlah aku mengadu nyawa denganmu!"
suara Sian Hwa bergelombang saking marahnya. Air hujan
menghempas wajahnya yang sudah membara.
Di antara renyaian air hujan itu, Bwe Hwa tertawa.
"Sumoay...... kau tahu, sam-suheng amat angkuh dan sombong,
dia selalu tidak mau melayani pedangku. Nah, sekarang puaslah
hatiku. Aku bisa menaklukkannya. Membuntungi lengan kanannya.
Kepingin aku tahu, setelah lengannya buntung, apakah dia bisa
menarik pedang?" "Kau sudah gila....... kau sudah gila, kumampusi kau!" Kini Sian
Hwa menerjang maju. Matanya berapi-api memandang sucinya.
Pedangnya bergetar-getar. Mendesing-desing menebas butir-butir
air hujan yang masih merenyai. Suara pedang berkali beradu,
mengeluarkan sinar perak dan kadang-kadang disertai dengan
makian dari Sian Hwa yang sudah panas hati.
"Kumampusi kau....... perempuan berhati iblis. Rebahlah!" Dengan
seruan ini Sian Hwa kembali menyerang dengan pedangnya dan
kali ini ia menggerakkan pedangnya secara luar biasa, ilmu pedang
Tiang-pek-kiam-sut yang sudah mahir di tangan gadis ini. Akan
tetapi menghadapi sucinya, yang juga mahir dengan jurus-jurus
24 ilmu pedang tersebut, dengan mudahnya saja ia melayani amukan
Sian Hwa. "Bagus Sian Hwa....... kau hendak membalas kebuntungan lengan
kekasihmu. Boleh, boleh! Asal kau bisa merobohkan aku!"
"Kau manusia kuntilanak, ku penggal lehermu, kucincang
lenganmu.......?" Sian Hwa memekik-mekik kalap.
Hujan masih turun. Ke dua orang gadis yang tengah bertempur itu tak menghiraukan
lagi air sungai yang sudah meluap. Tak menghiraukan lagi akan air
sungai yang sudah menyerbu ke duanya, membanjiri ke dua kaki
sebatas betis si gadis. Air di bawah betis menggelombanggelombang. Rumput-rumput dan sawah-sawah yang menghijau
sudah terlanda banjir. Udara gelap sekali. Pada saat itu berkelebat dua sosok bayangan. Langsung
menyerbu ke dua gadis yang tengah bertempur. Terdengar suara
pedang beradu keras dan disertai bentakan-bentakan mengguntur
dari Liok Kong In, yang memang berwatak berangasan itu.
"Sian Hwa"... kau sudah gila, mengapa kau menyerang Hwamoay dengan kalap begitu?" tegur Liok Kong In.
"Bwe Hwa....... kau, kenapa bertempur dengan Sian Hwa moay?"
Song Cie Lay juga bertanya.
25 Anehnya, Kong In tidak menegur Bwe Hwa tapi ia menegur Sian
Hwa sedangkan Song Cie Lay menegur Bwe Hwa. Memang aneh
di antara ke empat orang muda ini. Sebetulnya Liok Kong In
mencintai Bwe Hwa sedangkan Song Cie Lay menaruh hati kepada
Sian Hwa. Akan tetapi anehnya, di hati kedua gadis itu malah lebih
condong kepada Tiang Le"
"It-suheng, suci ini sudah gila. Masa ia membuntungi lengan
suheng Tiang Le?"." berkata Sian Hwa kepada Liok Kong In,
matanya melirik di mana tadi tubuh Tiang Le menggeletak. Akan
tetapi betapa terkejutnya Sian Hwa melihat bahwa tempat yang di
mana tadi tubuh Tiang Le menggeletak kini telah mulai digenangi
air sebatas betisnya. Dan di situ tidak nampak Tiang Le. Wajah gadis itu menjadi pucat
sekali. "Celaka?"!" hanya perkataan itu yang ke luar dari mulut Sian
Hwa. Wajahnya pucat seperti mayat.
Air hujan menempas wajah yang pucat itu.
"Kenapa Sian-moay"... apa yang terjadi dengan Tiang Le?" Song
Cie Lay bertanya heran, menatap gadis di depannya itu. Nampak
di wajah Sian Hwa bayang-bayang kecemasan meliputi hatinya.
Tiba-tiba ia membentak kepada Bwe Hwa.
"Suci?", gara-gara engkaulah sam-suheng lenyap, mungkin
hanyut terbawa air sungai itu. Kau memang terlalu suci!" suara
Sian Hwa tenggelam dalam isaknya. Bergerak cepat menusukan
pedangnya ke arah Bwe Hwa.
26 "Sian Hwa?" tahan!" Kong In membentak.
"Jangan berkelahi, Sian Hwa......." berkata pula Song Cie Lay.
Kedua gadis perkasa ini sama memandang.
Tiba-tiba mata Bwe Hwa mengalir segelintir air mata.
Pandangannya telah menatap Sian Hwa. Suaranya perlahan sekali
waktu ia berkata: "Sian Hwa....... kita sama....... sama bersalah, maafkanlah aku
kalau engkau kehilangan Tiang Le?"" sekali berkelebat tubuh
Bwe Hwa sudah mencelat jauh dan berlari dengan amat cepatnya.
Liok Kong In pucat wajahnya.
"Sian Hwa?". apa sebenarnya yang terjadi?"
"It-suheng, Bwe Hwa?" telah membuntungi lengan Tiang Le"..
lihat....... darah Tiang Le".." Sian Hwa menunjuk, tampak di
sebelah sana darah merah menggenang di atas air membanjir.
"Ahhh?"" Liok Kong In mengeluh. Dan sekali ia berkelebat,
pemuda itu sudah mengejar Bwe Hwa.
"Sian-moay?"," Song Cie Lay menegur Sian Hwa yang masih
termangu menatap darah yang mengambang di situ.
Pandangannya menyusuri sepanjang sungai yang tengah meluap
itu. 27 "Mungkinkah Tiang Le hanyut terbawa air sungai ini?" Sian Hwa
mengeluh perlahan. Air matanya bercucuran lewat ke dua pipinya
yang sudah basah oleh air hujan. Rambutnya berderai kuyup
basah. Wajahnya pucat sekali.
Hujan turun meranyai. Song Cie Lay melangkah. Mendekati Sumoaynya dan berkata:
"Hwa-moay?" marilah kita kembali ke puncak........."
Dengan pandangan basah Sian Hwa menggelengkan kepalanya.
Hatinya tengah merenyuh kala itu. Seperti langit yang tengah
menangis mencucurkan ait matanya berderai-derai.
"Jie-suheng?" aku tak akan kembali ke puncak, aku harus
meninggalkan Tiang-pek-san, aku harus mencari Tiang Le".." Tak
tahu ia bahwa perkataannya barusan itu menikam ulu hatinya Song
Cie Lay. Pemuda itu terperanjat. "Sumoay?".!"
"Jie-suheng....... kita harus berpisah, aku"... aku harus turun
gunung".. dan kau".. kau".. kau kembalilah ke puncak menanti
susiok," kata Sian Hwa dengan perlahan. Ia menatap ke langit yang
mendung, kemudian beralih ke air sungai yang bergelombang.
Memandang sayu. "Aku tak akan kembali ke puncak, aku harus mendampingimu"..!!"
Song Cie Lay berkata, menatap sayu si gadis.
28 Terkejut sekali Sian Hwa.
Ia menoleh. "Tidak suheng".. tidak boleh kau ikut bersamaku, aku harus
mencari Tiang Le dan setelah itu aku akan mencari musuh-musuh
dari suhu kita?""
"Aku akan membantumu, Sumoay?"
"Jangan suheng......."
"Sumoay......."
"Suheng!" Dua tatapan mata saling beradu. "Yang satu memandang dengan
pandangan sayu dan penuh cinta kasih dan yang satu lagi, mata
Sian Hwa menatap penuh permohonan.
Lama keduanya seperti itu.
"Sumoay"... apakah....... kau mencinta Tiang Le?" Song Cie Lay,
bertanya. Sebuah pertanyaan yang menyentuh di hati gadis itu.
Angin dingin bersepoi basah.
Sian Hwa menarik napas dalam.
"Suheng....... aku memang benar mencintai Tiang Le, mencintai
dengan seluruh jiwa raga. Harap kau maafkanlah aku"..," suara
29 Sian Hwa terisak. Tak tahan ia lebih lama di situ dan dengan sekali
berkelebat Song Cie Lay sudah kehilangan gadis sumoaynya itu.
Bersamaan dengan perginya Sian Hwa.
Song Cie Lay merenung seorang diri di situ. Hatinya pilu bukan
main melihat kenyataan ini. Kini menjadi kenyataanlah sudah
bahwa apa yang ia kuatirkan menjadi bukti. Tadinya ia hanya
menduga-duga saja. Akan tetapi bayangan itu sudah menjadi nyata. Seperti apa yang
dia kuatirkan terbukti sudah. Sian Hwa mencintai Tiang Le, oh,
tiada kepedihan lain hati itu selain kehilangan seorang kekasih.
Segala impian-impian muluk menjadi pudar sudah, seperti
pudarnya awan hitam yang telah terbawa angin di atasnya.
"Sian Hwa?"" Song Cie Lay mengeluh panjang menyebutkan
nama seorang gadis yang barusan saja meninggalkan dirinya. Lalu
dengan langkah-langkah gontai ia berjalan.
Berjalan amat perlahan. Suara-suara air di kakinya mengericak.
Setitik dua air hujan menerpa-nerpa wajahnya yang kuyup.
Ia berjalan menuju ke puncak.
Amat perlahan langkahnya. Amat perlahan. Entah kapan ia sampai
di puncak Tiang-pek-san itu. Kalau tadi ia menuruni puncak itu
dengan ilmu lari cepat bersama suhengnya Liok Kong In, kini tak
mau ia cepat-cepat sampai ke puncak.
30 Tak mau ia memperdulikan keadaan di sekelilingnya yang penuh
kabut tebal menghalangi jalan. Udara lembab dan basah. Tak
perduli ia akan pakaiannya yang basah kuyup, tak perduli
rambutnya acak-acakan seperti setan kesiangan. Tak perduli akan
semuanya! Hanya hati itu yang menjerit-jerit.
Hati yang merenyuh. Pandangannya nanar ke depan. Sekelumit bayangan wajah yang
selama ini merajai impiannya membayang di depan. Wajah Sian
Hwa. Dan hati itu menangis. Dan hati itu mengungkapkan sebuah
senyum yang teramat pahit. Dan jiwa yang kosong itu berteriak,
"dia tidak mencintaiku?" dia tidak mencintaiku?"!"
Tak tertahankan hati yang merenyuh itu, maka menangislah Song
Cie Lay. Menangis sekuat-kuatnya, tak ada yang mendengar dan
tidak ada yang memperdulikan. Oleh sebab itulah, dia menangis,
sebentar kemudian tertawa, menangis lagi.
Ah Cie Lay, kasihan kau!!
Memang itulah yang terbaik. Dengan menangis orang akan
kehilangan sebagian dari penderitaan. Dengan menangis sedikit
kepedihan hati itu dapat dilupakan!
Pegunungan Tiang-pek-san penuh dengan puncak-puncak yang
tertutup salju, dan di mana-mana terdapat gumpalan-gumpalan es.
Melalui daerah ini orang harus berhati-hati. Hampir saja Cie Lay
menemui bencana ketika dia meliwati sebuah sungai es yang
31 lebar. Permukaan sungai itu nampak mengkilap laksana tebaran
perak, yang mencerminkan langit membiru di atas. Cie Lay berjalan
perlahan, ia tak memperdulikan dingin yang luar biasa
menyelusup, dia tidak memperdulikan tubuhnya yang sebagian
menjadi kaku karena hawa dingin yang luar biasa menyerangnya!!
Ketika ia hampir sampai di puncak Tiang-pek-san yang tertinggi
dari pegunungan Tiang-pek-san, dari jauh ia melihat seorang
berpakaian putih tengah berjalan dengan perlahan-lahan, dan ia
dibantu dengan tongkatnya yang panjang.
"Apakah yang berjalan itu susiok dari Hong-san?" pikir Cie Lay dan
mempercepat langkah kakinya.
Setelah ia dekat dengan kakek itu, Cie Lay melihat seorang kakek
yang sudah tua sekali. Rambutnya telah putih, tipis dan jarang,
tertutup kain pembungkus rambut yang dibungkusnya pada kepala
menutupi ke dua telinga untuk mencegah serangan angin dan
hawa dingin. Muka kakek itu sudah penuh keriput berkulit putih dan
hanya sepasang matanya saja yang memperlihatkan kehidupan,
karena matanya masih tajam berpengaruh.
Jenggot dan kumisnya tergantung ke bawah seakan-akan tidak
bertenaga lagi, seperti juga tubuh yang kurus dan lemah. Benarbenar seorang yang sudah lanjut usianya dan jalannyapun sudah
kerepotan kalau tak dibantu tongkatnya.
Dengan gerakan yang amat tenang, kakek itu menoleh dan
menatap wajah Song Cie Lay, untuk beberapa lama tidak segera
menegur karena ia amat teliti dan tidak mau sembarangan
32 membuka suara sebelum yakin mengenali betul siapakah adanya
anak muda di depannya ini.


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang muda...... kau siapakah?" terdengar kakek itu menegur.
Suaranya halus dan teratur susun kata-katanya. Pandangan
matanya menatap tajam. Cie Lay terkejut sekali melihat pandangan mata yang menusuk itu.
"Locianpwe".. boanpwe (saya yang rendah) adalah murid kedua
dari suhu Swie It Tianglo yang telah binasa di tangan Bong Bong
Sianjin, Sianli Ku-koay dan Te-thian Lomo. Tak tahu apakah
locianpwe susiok dari Hong-san?"
Song Cie Lay maju memberi homat dengan sopan sekali. Ia tahu
bahwa orang ini, bukan kakek biasa".. tatapan mata tadi sangat
tajam dan menyembunyikan kekuatan sin-kang yang telah
mencapai tingkat tinggi, maka ia menduga, tentu orang tua inilah
susioknya. Dan benar saja seperti dugaannya.
Kakek itu benar dari Hong-san.
"He he he?" tepat sekali dugaanmu orang muda, aku yang tua
bangka ini memang dari Hong-san. Siapa kira kalau di Tiang-pekpay ini sunyi mati. Ke mana yang lain, dan siapa namamu?"
"Teecu Song Cie Lay"... maafkan, semua murid-murid sudah
binasa, hanya tinggal teecu dan ke empat murid yang masih
hidup?"" 33 "Mana saudara-saudaramu yang lain, baru saja aku ke Tiang-pekpay...... tiada seorangpun yang menyambutku!" suara si kakek
terdengar tenang. "Susiok, ke empat suheng dan sumoay?" barangkali telah turun
gunung".." suara Cie Lay perlahan sekali. Dan ini tak lepas dari
pandangan si kakek dari Hong-san.
"Namamu Song Cie Lay bukan" Nah, ceritakanlah mengapa ke
empat murid Swie It Tianglo turun gunung dan ceritakan pula
kejadian-kejadian di sini".. aii".. tidak disangka siang-siang Swie
It telah menemui ajalnya"..," berkata begitu si kakek dari Hongsan berjalan menuju puncak. Cie Lay mengikuti di belakang.
Diam-diam ia merasa kagum sekali melibat langkah-langkah yang
demikian ringan dari si kakek. Nampak kaki yang tua kurus kering
itu seakan-akan melayang-layang tak menginjak tanah, hanya
jubah pakaiannya itulah yang berjuntaian menyentuh tanah.
Kagum hati Cie Lay. Kakek ini amat tua sekali, tentu umurnya tidak
jauh dari tujuhpuluh tahun, ia itulah adik seperguruan dari Swie It
Tianglo, meskipun ia hanya sute dari Swie It Tianglo akan tetapi
kepandaian kakek ini jauh di atas Swie It Tianglo, suhengnya, tentu
saja kakek pertama ini yang tinggal di puncak Hong-san, selalu
melatih diri dan di tempat yang sunyi itu, di puncak Hong-san ia
telah menciptakan sebuah ilmu silat yang hebat luar biasa yang
bernama ilmu silat Hong-san-cap-ji-liong-sin-kun-hoat (duabelas
pukulan naga sakti dari gunung Hong-san).
Sejak muda kakek yang bernama Seng Thian Taysu ini gemar
sekali bertapa. Dan selalu mengasingkan diri di puncak-puncak
34 pegunungan yang sepi dan jauh terasing dari dunia ramai. Hal ini
sudah wajar karena pada masa itu, ilmu silat tinggi kebanyakan
dimiliki oleh para pertapa, dan pendeta suci.
Ilmu silat yang tinggi selalu berdekatan dengan ilmu kebathinan,
maka tentu saja semakin tinggi orang itu memiliki ilmu bathin,
semakin kuat pula tenaga bathin yang tersembunyi di dalamnya,
bersumber menjadi tenaga sin-kang yang luar biasa. Tentu saja
karena Seng Thian Taysu sebagai pertapa maka tiada lain
pekerjaannya memperdalam tenaga kebathinan dan juga
memperdalam ilmu silatnya. Maka sekarang, Seng Thian Taysu
jauh berbeda dari sepuluh tahun yang lalu.
Sebenarnya ia tidak hendak turun gunung, akan tetapi mendengar
betapa suhengnya binasa di tangan musuh-musuh jahat dan
semua anak murid Tiang-pek-pay binasa, maka dengan hati
penasaran Seng Thian Taysu ini beranjang ke sana sini. Di sini
inilah sekarang dia mendengarkan cerita dari seorang murid kedua
dari Swie It Tianglo, orang-orang satu-satunya yang masih berada
di puncak Tiang-pek-san. "Y" 2 Seperti juga gunung-gunung besar lainnya, pegunungan Tiangpek-san ini menjadi perhatian para orang gagah di dunia kang-ouw.
Bukan saja pegunungan ini terkenal dengan puncak-puncaknya
yang amat tinggi menjulang dan selalu tertutup salju, akan tetapi
yang menarik perhatian dunia kang-ouw adalah berdirinya sebuah
partai persilatan yang bernama Tiang-pek-pay.
35 Seperti halnya partai-partai Hoa-san-pay, Kun-lun-pay,
pay, Bu-tong-pay dan banyak lagi partai-partai persilatan
Tiang-pek-pay ini berdiri pada lima tahun yang lalu
diadakannya perebutan gelar pendekar nomor satu di
Tiang-pek-san ini. Go-bielainnya. setelah puncak Pada saat itu Swie It Tianglo yang kebetulan mengikuti sayembara
perebutan gelar pendekar nomor satu menjadi tertarik hatinya dan
tergerak melihat pemandangan yang indah dan bersih di puncak
yang selalu bersalju. Maka setelah perebutan gelar itu, meskipun
ia sendiri tidak dapat mencapai sebutan pendekar nomor satu akan
tetapi ia lantas saja berhasrat mendirikan sebuah partai di puncak
ini. Maka tak lama kemudian dunia persilatan dikejutkan oleh
berdirinya partai Tiang-pek-san yang dikuasai oleh Swie It Tianglo.
Ada seratus lebih anak murid Tiang-pek-pay dalam waktu yang
singkat. Mereka itu kebanyakan terdiri dari para Locianpwe (orang
tua gagah) yang menggabungkan diri ke dalamnya. Tentu saja
karena nama Swie It Tianglo sudah terkenal di dalam dunia
persilatan, maka banyak orang gagah yang mendukung berdirinya
partai tersebut. Di antaranya yang menggabungkan diri adalah tiga orang gagah
dari daerah sungai Huang-ho masing-masing bernama Swi Sengthian, Wi-wi Taysu, dan seorang kakek aneh dari Bu-tong-pay yang
bernama Bu-tong-koay Lojin It Swi Jin. Tiga orang gagah itu
terkenal di daerah Huang-ho sebagai Huang-ho-sam-enghiong
dan juga terdapat pula seorang kakek tua dari Tay-san yang
bernama Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung. Dan banyak lagi dari
36 dunia kang-ouw yang menggabungkan diri mendukung kekuatan
partai Tiang-pek-pay ini.
Di antara murid-murid kaum tua, Swie It Tianglo juga mengambil
lima orang murid, dua orang wanita dan tiga pria. Mereka itu adalah
Liok Kong In sebagai murid pertama, Song Cie Lay sebagai murid
kedua, dan Sung Tiang Le adalah sebagai murid ketiga dan
keempat seorang wanita Lie Bwe Hwa dan yang kelima adalah Lim
Sian Hwa. Akan tetapi di antara ke lima orang murid Swie It Tianglo itu, yang
paling menonjol adalah Sung Tiang Le. Bukan saja pemuda ini
berparas cakap seperti Poa An, akan tetapi di samping wajahnya
yang cakap itu, ia mempunyai hati yang lembut, selembut bulu
domba. Dan kata-katanya halus, tidak seperti Liok Kong In yang
kasar dan berangasan yang selalu ingin menang sendiri. Dan
anehnya, Tiang Le ini paling disenangi oleh dua orang gadis
sumoaynya, Lie Bwe Hwa dan Lie Sian Hwa.
Seakan-akan dua orang gadis itu berlomba-lomba hendak menarik
perhatian Tiang Le. Dan selalu hendak mendekatinya apabila
kesempatan itu ada. Tiang Le bukan tidak tahu ini. Ia tidak buta. Ia
tahu betul bahwa dengan diam-diam dua orang sumoaynya ini
menaruh hati kepadanya, justru itu ia selalu menjahui diri dari dua
orang gadis ini. Meskipun ada dirasakan di hatinya lebih condong
kepada Sian Hwa. Tetapi ia tak boleh membabi buta. Ia tahu betul
bahwa suhengnya yang kedua Song Cie Lay sangat mencintai
Sian Hwa. Ia tahu ini dari tatapan mata suhengnya terhadap gadis
sumoaynya, yang bernama Sian Hwa itu.
37 Ia tak mau menyakiti hati Jie-suhengnya yang selalu bersikap
ramah kepadanya. Oleh karena itu ia selalu menjauhkan diri dari
Sian Hwa dan juga Bwe Hwa yang hendak dijodohkan oleh
suhunya buat Liok Kong In
"Aku tak boleh merusak kebahagiaan Suhengku! Tak boleh!"
demikian pikir Tiang Le. Menekan perasaan hatinya, apabila ia
bertemu pandang dengan Sian Hwa dan Bwe Hwa.
Pada suatu pagi di puncak Tiang-pek-san, seperti biasanya ia
berlima langsung dilatih oleh gurunya Swie It Tianglo. Tempat
latihan itu, di sebuah tanah datar yang luas dan rata. Menjurus ke
belakang terbentang sebuah jurang yang amat curam. Indah sekali
pemandangan di sini. Di tempat inilah ia melatih murid-muridnya.
Seperti biasanya apabila dia selesai memberi petunjuk-petunjuk
kepada murid-muridnya, ia meninggalkan ke lima orang muridnya
itu yang masih terus berlatih, ia masuk ke dalam.
Akan tetapi betapa terkejutnya hati orang tua itu, melihat sepucuk
surat telah terletak di meja. Di kamarnya. Dengan terheran, ia
membaca surat itu. Terkejutlah ia apabila pandangan matanya
terbentur kepada huruf-huruf yang tertulis di kertas itu.
Ia membaca lagi. Swie Lama sudah kita tidak sepuluh tahun sudah ingatkah kau Bong Bong Siangjin ingin menagih hutang, sepuluh tahun yang lalu.
It bertemu, berlalu".., kepadaku" bertemu, 38 Demikian singkat surat itu. Akan tetapi, Swie It Tianglo yang sudah
berpengalaman dapat memahami isinya. Teringatlah ia sekarang
bahwa sepuluh tahun yang lalu ia pernah membunuh murid Bong
Bong Sianjin. Inilah hebat, kalau Bong Bong Sianjin sudah
mengirimkan surat seperti ini.
Ini merupakan tantangan yang berat. Ia mengenal baik siapa itu
Bong Bong Sianjin, kakek dari puncak Thang-la di bukit harimau.
Masih bersaudara seperguruan dengan Bu Beng Sianjin.
Terkejutlah ia. Ia menyadari bahwa kepandaiannya belum dapat
menandingi Bong Bong Sianjin!
"Celaka!" Swie It Tianglo mengeluh. Diam-diam ia memutar. Bukan
ia takut kepada Bong Bong Sianjin. Baginya sendiri tidak pernah
mengenal rasa takut. Akan tetapi, sebagai ketua Tiang-pek-pay ia
merasa bertanggung jawab terhadap seratus lima orang muridnya.
Tak mau urusan pribadinya ini membawa korban jiwa bagi muridmuridnya yang tak tahu apa-apa. Apalagi ia merasa sayang
kepada lima orang muridnya yang masih muda-muda ini! Tak boleh
mereka disangkutkan dengan urusan pribadiku!
Swie It Tianglo berlalu meninggalkan kamarnya. Ia menuju kamar
sebelah di mana Tay-san-sin-kiam-hiap telah menantinya,
"Swie It pangcu," tegur Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung melihat
kedatangan pangcunya. Begitu dilihatnya wajah Swie It Tianglo
muram dan seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal hatinya,
maka Kwee Lung menegurnya.
"Pangcu (ketua) ada apakah gerangan yang pangcu pikirkan?"
tanya Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung.
39 Swie It Tianglo memberikan surat itu kepada sahabatnya ini.
Kwee Lung menerima dan membacanya, "Ahhh....... Bong Bong
Siangjin"..?" tanya Kwee Lung.
"Justru itulah yang merisaukan hatiku Lung-te. Aku tak ingin karena
urusan pribadiku ini akan menyeret-nyeret nyawa anak murid
Tiang-pek-pay. Ini tak boleh?"
"Kita, tunggu saja Bong Bong Siangjin, pangcu, mengapa mesti
ditakuti?" Kwee Lung berkata gagah.
Swie It tersenyum. "Bagiku tidak mengenal arti takut Lung-te, tapi apakah kau tidak
memikirkan ke seratus anak muridku dan ke lima orang muda itu"
Ketahuilah Lung-te, kepandaian Bong Bong Sianjin begitu hebat.
Aku sendiri tak mampu menandinginya...... aaah, akan hancurlah
Tiang-pek-pay." "Pangcu, jangan kuatir?" aku mempertaruhkan nyawa untuk
Tiang-pek-pay!" teriak Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung.
Swie It Tianglo menggeleng-gelengkan kepalanya,
"Tidak, tak boleh ke lima muridku menghadapi musuh-musuhku, eh
Lung-te kau kesinilah," maka ketua Tiang-pek-pay itu berbisik
perlahan di dekat telinga Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung.
Nampak Kwee Lung menganggukkan kepalanya.
"Baik pangcu......" katanya.
40 "Nah, Kwee Lung-te kau segeralah....... aku akan menghubungi ke
lima muridku," berkata Swie It Tianglo meninggalkan Tay-san-sinkiam-hiap Kwee Lung.
Di ruang belakang Swie It Tianglo berkata kepada murid-muridnya.
"Kalian pergilah ke lembah Merpati, di lereng pegunungan Tiangpek-san kira-kira limapuluh lie dari sini terdapat sebuah pohon
yang bernama Ang-to, buah ang-to itu besar sekali khasiatnya
muridku. Ratusan orang kang-ouw berani mempertaruhkan
nyawanya untuk mendapatkan buah yang hanya terdapat di
sepanjang lereng pegunungan Tiang-pek-san, yaitu sebuah
lembah yang bernama Lembah Merpati, dan pohonnya hanya
berbuah setiap lima tahun sekali. Kau mau tahu kehebatannya?"
Swie It Tianglo menghentikan perkataannya, menatap ke lima
orang muridnya berganti-ganti.
"Khasiatnya bagaimana suhu?" tanya Sian Hwa merasa tertarik
akan cerita suhunya yang aneh itu. Kong In dan Cie Lay, serta Bwe
Hwa juga menanti uraian suhunya lebih lanjut.
Hanya Tiang Le yang mengerutkan kening, seakan-akan tengah
memikirkan hal buah ang-to yang aneh itu. Sepanjang menurut
pendengarannya buah ang-to itu tidak terdapat di lembah merpati,
melainkan di puncak Hoa-san. Tapi mengapa suhunya
mengatakan di Lembah Merpati. Mungkinkah di sana terdapat
buah ajaib itu" Ia termenung. Sementara gurunya melanjutkan ceritanya:
41 "Buah itu khasiatnya besar sekali. Bukan saja Ang-to (buah merah)
ini dapat merupakan jim-som yang mukjijat sebagai tonikum yang
baik untuk kesehatan tubuh, akan tetapi juga Ang-to ini berkhasiat
untuk menyembuhkan luka-luka yang parah, dapat dengan segera
menghilangkan racun yang menjalar di tubuh, dan terutama sekali
apabila orang makan buah itu, tenaga lweekangnya akan berlipat
ganda dan gin-kangnya bertambah ringan, tidak kalah orang
melatih diri selama duapuluh tahun. Nah, oleh karena itu muridku,
aku merasa buah ang-to itu banyak sekali faedahnya untuk


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perkembangan tubuh kalian, maka hari ini kuperintahkan sekarang
juga kalian turun meninggalkan puncak dan carilah buah itu di
lembah merpati, mengerti kau?"
Ke lima orang anak muda itu termenung.
"Suhu..... sungguhkah buah ang-to itu berada di sana?" tanya
Tiang Le. Memang Tiang Le ini sangat hati-hati sekali mengambil
tindakan sesuatu. Dan yang membuat hatinya meragu adalah
perkataan gurunya ini bergetar, seakan menyembunyikan
perasaan sesuatu yang tidak terungkapkan.
Diam-diam Swie It Tianglo kagum sekali kepada muridnya yang
ketiga ini. Ia tersenyum dan berkata:
"Ada tidaknya itu harus dicari Tiang Le, seperti rejeki ini. Semua
manusia hidup telah dikurniahkan rejeki secukupnya oleh Thian
yang baik hati. Namun rejeki itu tidak akan turun dari langit jika
tidak dicari. Dunia ini penuh dengan kekayaan alam yang
berlimpah dan itu telah diciptakan oleh Thian untuk kehidupan
manusia. 42 "Namun, di samping itu, si manusia juga harus menggarap, harus
mencari sumber-sumber kekayaan alam yang bermanfaat untuk
kehidupan manusia. Manusia hidup harus berusaha, harus
mencari, menggarap ah?". muridku, kekayaan alam ini tiada
batasnya" Amat melimpah ruahh..... namun celakalah bagi si
pemalas! Ia akan kehilangan rejeki itu, ia akan tertinggal oleh
keganasan waktu yang mengganas, nah..... kau..... pergilah........!"
"Suhu?"" Sian Hwa memandang gurunya.
"Ada apa Sian Hwa?" tanya gurunya.
"Apakah tidak cukup kalau kami bertiga saja pergi dan suheng atau
suci tinggal di sini menjagai suhu?"
Terkesiap Swie It Tianglo, ia menatap tajam ke arah muridnya yang
satu ini, apakah mengetahui rencananya" Belum sempat ia
bertanya, Bwe Hwa sudah berkata ketus:
"Tidak. Kalau kalian pergi, aku juga harus ikut!!"
Swie It Tianglo menarik napas lega.
Dia mengangguk. "Benarlah Sian Hwa ini sebagai ujian bagi kalian berlima. Siapa
paling dulu orangnya yang mendapatkan buah itu, aku akan
menghadiahkan pedangku ini kepadanya. Pedang Ang-hong-kiam
ini sebagai lambang pimpinan Tiang-pek-pay! Nah kalian
pergilah....... Carilah Ang-to itu," berkata demikian Swie It Tianglo
bangkit berdiri dan masuk ke dalam.
43 Tak mau kalau murid-muridnya bertanya-tanya lagi. Semakin lekas
muridnya itu pergi, semakin baik. Apabila sampai di kamarnya
diam-diam ia membuka jendela angin dan memandang ke
belakang. Dilihatnya ke lima orang muridnya tidak ada di situ lagi. Legalah
hatinya. Akan tetapi di samping itu, ketegangan menyelimuti
dirinya. Nanti malam Bong Bong Sianjin datang dan ia harus
menghadapinya. Lebih baik mati seperti harimau dari pada
menyerah kalah seperti babi!
Nanti malam ia harus mempertaruhkan nyawanya!
Tangannya merabah pedang Ang-hong-kiam. Diletakan pedang itu
di atas meja. Ia melirik melemparkan pandang melalui cela-cela
jendela. Di luar senja sudah mengambang.
Sebentar lagi malam akan tiba.
"Y" Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit melompatlompat di atas genteng-genteng tebal dari komplek bangunan
Tiang-pek-pay yang megah. Bukan seorang, bayang-bayang
berkekebat gesit itu lebih dari seorang. Tiga bayangan manusia,
sampai di depan pintu gerbang Tiang-pek-pay, ke tiga orang itu
berhenti. Memandang ke sekeliling, sunyi dan mati, hanya suara
binatang gunung dari kejauhan itu mengisi keheningan malam.
44 Tiba-tiba pintu gerbang Tiang-pek-pay terbuka.
Swie It Tianglo menyambut tamu malamnya itu dengan senyum
lebar dan di belakangnya, nampak Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee
Lung dan beberapa orang tua murid Tiang-pek-pay.
"Ha ha ha, kiranya Bong Bong Sianjin yang berkunjung ke
pondokku yang jelek ini. Entah ada urusan apakah malam
berkunjung ke tempat ini?" Datang-datang Swie It Tianglo menegur
tamunya. "Ha ha ha! Entah yang mana yang bernama Swie It Tianglo, ketua
Tiang-pek-pay?" terdengar seorang dari ke tiga tamu malam itu
berkata dengan pandang mata menyelidik.
"Akulah pangcu dari Tiang-pek-pay, Bong Bong Sianjin," Swie It
Tianglo maju ke depan. Ia sudah bersiap siaga untuk menghadapi
tamunya ini. "He he he, bagus kalau begitu. Jadi engkau itulah yang bernama
Swie It Tianglo yang telah membunuh muridku" Bagus bersiaplah
kau untuk menjumpai muridku di akherat!" berkata demikian Bong
Bong Sianjin menggerakkan tangan kanannya dan angin dingin
berpusing menyambar tubuh Swie It Tianglo dengan gerakan cepat
laksana kilat. Tentu saja Swie It Tianglo sudah memaklumi akan
kehebatan lawannya ini, maka begitu angin dingin menyambar
dadanya. segera ia menggerak tangannya mendorong ke depan.
"Desss!" Dua tenaga dahsyat saling bertemu. Swie It Tianglo
menggigil tubuhnya dan muntah darah segar. Sedangkan Bong
45 Bong Sianjin bergoyang-goyang saja seperti tangkai bunga tertiup
angin. "Hahaha! Ketua Tiang-pek-pay cuma segitu saja isinya. Hehehe
gentong-gentong kosong yang nyaring......." Bong Bong Sianjin
mengejek. Maju ke depan. Tangannya siap hendak memukul ketua
Tiang-pek-pay yang telah terluka di bagian dadanya. Hebat
memang kakek dari bukit harimau ini. Sekali gebuk saja Swie It
Tianglo muntahkan darah! Akan tetapi tentu saja ia tidak mundur
sampai di sini. Dengan menggeram keras ia menerjang Bong Bong
Sianjin dengan nekad. "Pangcu......!" jeritan Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung yang
mencegah pangcunya yang bertindak nekad. Akan tetapi
terlambat. Serangan Swie It Tianglo disambut oleh ke dua tangan
terbuka dari Bong Bong Sianjin. Terdengar suara keras: "Krek!"
hancurlahlah tulang-tulang Swie It Tianglo. Hebat bukan main
pukulan maut itu, hingga Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung
membelalak matanya. Pukulan apa itu"
Perlahan-lahan tubuh Swie It Tianglo roboh menggeletak di tanah.
Napasnya sudah putus. Mukanya hitam dan darah kehitaman
mengalir dari mulut. Ke dua tulang belakangnya berserakan. Inilah
hebat. Bagaimana mungkin ketua Tiang-pek-pay roboh dalam dua
gebrakan saja" Tidak terpikir lebih lanjut. Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung sudah
menerjang maju. Kemudian ia disambut oleh dua orang teman
Bong Bong Sianjin. Orang-orang setengah tua itu, yang berpakaian
seperti orang Tibet adalah Te-thian Lomo dan yang satu lagi
46 adalah nenek-nenek sakti yang terkenal di dunia kang-ouw
sebagai Sianli Ku-koay. Kedua orang inilah yang melayani Taysan-sin-kiam-hiap Kwee Lung. Tentu saja menghadapi kedua
orang ini, sebentar saja Kwee Lung sudah terdesak hebat.
Sementara itu Bong Bong Sianjin memasuki ruangan dalam. Lima
orang murid Tiang-pek-pay maju dengan pedang di tangan. Akan
tetapi begitu Bong Bong Sianjin mengibaskan lengan jubahnya,
pedang-pedang itu terlempar di udara. Dan sebentar kemudian
terdengar jeritan mengerikan dari ke lima orang kakek Tiang-pekpay itu. Kepala mereka pecah dan otak berhamburan tersambar
angin pukulan dari ujung jubah Bong Bong Sianjin. Hanya sebentar
suara itu, kemudian senyap lagi.
Dengan langkah-langkah lebar, Bong Bong Sianjin memasuki
ruangan tengah. Sebuah papan nama yang bertuliskan Tiang-pekpay hancur berantakan dipukul dari bawah oleh kakek sakti ini.
Tiba-tiba tangannya menggebrak tiang tembok dan runtuhlah
gedung tengah itu mengeluarkan debu yang berhamburan. Tidak
sampai di situ saja, ia terus melangkah memasuki ruang belakang.
"Seerr".. seeerr!" Puluhan batang anak panah menyambar tubuh
Bong Bong Sianjin. Kakek ini tersenyum mengejek dan sekali
tangannya bergerak, ke duapuluh batang anak panah itu telah
berada dalam genggamannya. Hebat. Dan lebih hebat lagi waktu
tangan itu bergerak. Terdengar jerit manusia di atas.
Jeritan yang panjang menghantar kematian orang-orang yang
tersambar anak panahnya sendiri menembus leher. Berkelonjotanlah tubuh-tubuh itu. Dan tak lama kemudian, ke
47 duapuluh orang yang melakukan serangan gelap tadi sudah
menggeletak tanpa nyawa. Sekali tangan kiri Bong Bong Sianjin bergerak, sebuah kepala
manusia yang tengah kelengar hancur berantakan dihantamkan
kepada tembok dinding. Kemudian darah membanjiri dari kepala
manusia yang hancur berantakan itu. Bong Bong Sianjin
mengambil sebuah pit dan mencelupkan pada genangan darah itu
dan menulislah ia pada tembok putih bersih.
Kemudian ia ke luar meninggalkan tempat itu. Matanya mencaricari kalau ada manusia hidup yang terdapat di sini. Memang ia
hendak memusnahkan seluruh Tiang-pek-pay ini. Akan tetapi tidak
didapatinya manusia hidup lagi. Dengan tersenyum puas ia
meninggalkan gedung Tiang-pek-pay.
Di luar Te-thian Lomo dan Sianli Ku-koay tengah menanti. Di
bawah kaki mereka menggeletak tubuh Tay-san-sin-kiam-hiap
Kwee Lung yang sudah tak bernyawa lagi dengan dada tertembus
pedang. Kemudian sekali berkelebat ke tiga bayangan itu sudah lenyap dari
puncak Tiang-pek-san. Angin dingin berhembus perlahan.
Bulan purnama di atas tertutup mega.
Sementara suasana di puncak itu demikian sunyi dan mati.
48 Apabila pada pagi-pagi hari itu ke lima orang muda mendaki
puncak Tiang-pek-san, betapa terkejutnya hati mereka melihat
tiada seorang pun, yang nampak pada puncak itu. Tidak seperti
biasanya. Biasanya apabila orang hendak sampai ke puncak selalu
kakek dari Tiang-pek-pay ini menjaganya dua atau tiga orang.
Akan tetapi kenapa sekarang demikian sunyi mati"
Dengan perasaan tidak enak ke limanya berlari cepat mendaki
puncak. Dan apakah yang dilihatnya" Pertama-tama ia melihat
mayat suhunya menggeletak di muka gerbang itu, wajah
menghitam hangus dan tulang-tulang berantakan. Tidak jauh dari
mayat suhunya, nampak mayat Thay-san-sin-kiam-hiap Kwee
Lung yang dikenalnya dan beberapa kakek Tiang-pek-pay lainnya.
Bagaikan terbang Tiang Le meloncat tinggi dan terus saja
memasuki pintu gerbang itu dan menuju gedung Tiang-pak-pay.
Ruang tengah gedung sebagian ambruk. Mayat sepuluh kakek
Tiang-pek-pay nampak menggeletak dengan leher tertembus anak
panah. Tidak jauh dari situ ia melihat sebuah tulisan memakai tinta
darah manusia yang berbunyi,
"Bong Bong Sianjin, Te-thian Lomo dan Sianli Ku-koay
menuntut balas!! "Keparat!!" Tiang Le menggertak giginya. Dadanya berombak turun
naik. Dan dengan sekali berkelebat dia sudah memasuki kamar
suhunya. Sebuah surat suhunya tergeletak di atas meja.
Tiang Le membaca surat peninggalan suhunya itu.
49 "Sebelum susiok Seng Thian Taysu berkunjung, ke lima
muridku tidak boleh meninggalkan puncak!!!"
Hanya itu yang ditulis gurunya.
Tahulah Tiang Le bahwa sengaja memang gurunya menyingkirkan
mereka berlima agar terhindar dari bencana ini. Surat gurunya itu
hancur dalam genggaman Tiang Le.
"Y" "Demikianlah susiok, hanya teecu berlima yang masih selamat.
Dan sejak itu kami menantikan kedatangan susiok. Akan tetapi
siapa baru saja tadi pagi ke empat murid suhu yang lain telah
meninggalkan puncak," demikian Song Cie Lay mengakhiri
ceritanya. Wajahnya muram. Keningnya dikerutkan.
Tentu saja ia tidak menceritakan tragedi cinta segitiga kepada
susioknya ini. Akan tetapi melihat wajahnya yang muram dan sayu,
pandangan Seng Thian Taysu yang tajam telah dapat menerka apa
yang terkandung di hati orang muda itu.
"Cie Lay karena kau satu-satunya murid Swie It yang masih berada
di Tiang-pek-san ini, maka biarlah aku menyediakan waktu untuk
melatihmu. Mudah-mudahan saja kelak di kemudian hari engkau
dapat mengangkat kembali nama Tiang-pek-pay yang sudah
hancur berantakan ini....... Sekarang engkau kuangkat menjadi
muridku Cie Lay, bergiatlah kau berlatih!"
50 Mendengar perkataan susioknya ini, keruan saja Cie Lay menjadi
girang hatinya. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan
susioknya. "Terimakasih atas budi baik susiok, teecu berjanji untuk mentaati
pesan-pesan susiok dan mohon petunjukmu......" berkata Cie Lay.
Masih berlutut ia di depan orang tua sakti dari Hong-san.
Seng Thian Taysu menggerakkan ujung jubahnya dan keruan saja
tubuh Cie Lay yang tengah berlutut itu terangkat naik. Cie Lay
mengerahkan lweekang dan menekan ke bawah. Nampak
tubuhnya tergantung di udara dalam keadaan berlutut. Hebat
sekali tenaga sin-kang kakek dari Hong-san ini. Hanya dengan
ujung jubahnya saja ia mampu mengangkat tubuh anak muda itu.
Padahal Cie Lay sudah mengerahkan lweekangnya menekan.
Namun semakin ia mengerahkan tenaga, semakin kuat tarikan dari
atas. Seng Thian Taysu tertawa terbahak-bahak.
"Haa".. haa orang muda, lweekangmu cukup baik. Tubuhmu
penuh hawa murni. Bangkitlah kau!!!" Dengan sekali sentak saja
tubuh Cie Lay melayang tinggi ke udara bagaikan ada suatu tenaga
yang amat dahsyat melemparkannya dari bawah. Dengan cepat
dia mengerahkan gin-kangnya dan berpok-say tiga kali, sesaat itu
pula ia sudah berdiri di depan Seng Thian Taysu.
"Lweekangmu boleh juga Cie Lay, akan tetapi daya tahan
ditubuhmu belum sempurna benar. Sekarang kau turutkan
gerakanku," sehabis berkata demikian, tahu-tahu kakek itu
51 berjungkir balik berdiri dengan kepala di bawah kaki di atas. Berdiri
tegak. "Cie Lay, turuti aku begini!!" kata Seng Thian Taysu.
Cie Lay jongkok, menjungkirkan tubuhnya dengan kepala di
bawah. Akan tetapi belum lagi ia sempat berdiri dan mengangkat
kaki ke atas, dirasakannya kepalanya pening bukan main. Belum
dua menit ia berdiri jungkir balik seperti itu, ia sudah roboh lagi dan
sejuta bintang berputar-putar di atas kepalanya. Ia segera


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerahkan hawa murni ditubuhnya mengusir rasa pening.
"Hee?" hee belum biasa".. belum biasa".. hayo Cie Lay coba
lagi, terus sampai kau dapat berdiri sepertiku ini, dan apabila
engkau sudah biasa, jalanpun enak saja. Nah!!! kau lihat aku!"
Ke dua tangan Seng Thian Taysu menekan tanah, kepalanya agak
terangkat sedikit dan dengan kekuatan ke dua tangan itu
berjalanlah ia berputar-putar. Tentu saja untuk melakukan ini harus
punya tenaga lweekang yang sempurna dan gin-kang yang tinggi
untuk mengimbangi tubuh. Cie Lay mencoba lagi menurut seperti yang diberikan susioknya.
Akan tetapi berkali ia mencoba, selalu saja ia terguling roboh. Dan
kepalanya berdenyut-denyut keras. Keluhnya dalam hati. Celaka
rupanya susioknya ini orang aneh. Melatih lwekangnya dengan
cara seperti itu. Biasanya suhunya hanya mengajarkan latihan-latihan siulan
(bersemedhi) saja sambil bersila dan mengatur pernapasan di
tempat terbuka. Tetapi sekarang susioknya ini mengajarkan yang
52 aneh-aneh. Berdiri berjungkir balik itu dengan kepala di bawah,
kaki di atas memang tidak mudah. Apalagi belum biasa betapa
cepatnya rasa pening itu menyerang kepalanya. Napasnya sesak.
Tentu saja Cie Lay tidak mengutarakan keluhannya ini. Ia memang
anak cerdik dan berkeras hati. Kalau susioknya demikian sakti
dengan berlatih secara ini, mengapa iapun tidak dapat"
Maka dicobanya lagi. Dicobanya lagi.
Terguling lagi. Roboh lagi. Seng Thian Taysu tertawa melihat muridnya yang pantang
menyerah ini. Ia tahu bahwa untuk taraf permulaan, tak mungkin
orang berlatih terus saja dengan kepala di bawah kaki di atas dan
seharusnya memerlukan pertolongan pertama. Maka melihat
bahwa muridnya ini memang berbakat dan keras hati, Diam-diam
Seng Thian Taysu girang hatinya.
Dengan sekali enjotan ke dua tangannya pada tanah, tubuhnya
membal ke atas. Dan berdiri. Menghampiri Cie Lay.
"Bukan begitu caranya, bukan begitu. Hayo kau ikutlah aku!" kata
Seng Thian Taysu menghampiri sebatang pohon besar.
"Kau naiklah ke atas!" perintahnya.
Tanpa bertanya-tanya lagi, Cie Lay memanjat pohon itu.
Sebetulnya ia bisa saja dengan gin-kangnya mencelat ke atas akan
53 tetapi tak mau ia menonjolkan kepandaiannya yang tak berarti.
Maka dengan memanjat seperti seekor monyet sampailah ia di
sebuah cabang pohon yang paling tinggi berdiri.
Tiba-tiba tangan kiri Seng Thian Taysu bergerak berkelebat
menyambar ke dua kaki Cie Lay dan membelit. Ternyata yang
dilontarkannya tadi adalah sebuah sutera merah. Dan sutera
merah itu sudah membelit ke dua kaki Cie Lay dengan amat
kuatnya. Seng Thian Taysu tersenyum.
"Nah, Cie Lay sekarang bergantunglah di situ dengan ke dua kaki
di atas!" perintah susioknya dan diturut oleh anak muda ini dengan
patuh dan percaya kepada susioknya yang sakti.
Dan sejak hari itu, Cie lay diikat ke dua kakinya dan kemudian
ikatan itu digantungkan pada cabang pohon sehingga dia
tergantung seperti seekor kalong.
"Dengan latihan begini, pernapasanmu selalu akan mengumpul di
paru-parumu. Perutmu akan selalu kempis kosong. Pusatkan hawa
murni di perut dan perlahan-lahan tariklah napas. Jangan hiraukan
siksaan dari peredaran darah yang secara membalik ini, akan
terasa tak enak dan memusingkan kepalamu. Kulihat engkau
sudah pandai menggunakan hawa tian-tan (perut), nah salurkanlah
hawa murni itu dan tutuplah hawa di bagian kepala supaya sedikit
demi sedikit engkau tiada merasa pusing lagi. Nah kau perbuatlah
itu seterusnya, di pagi hari yang terbuka itu lebih baik lagi! Biarlah
hawa dingin itu akan menggembleng tubuhmu, lama kelamaan
54 tenaga Im (dingin) akan berpusat di perut. Dan inilah tenaga Imkang yang hebat luar biasa. Tekunlah kau berlatih Cie Lay"....!
Demikianlah dapat dibayangkan betapa sengsaranya Cie Lay
karena harus berlatih secara ini. Beberapa kali ia pingsan dalam
keadaan tergantung. Dan hebatnya, apabila matahari belum naik
tinggi, susioknya itu belum mau membuka tali sutera yang melibat
kakinya. Sehingga seringkali ia harus menghadapi tantangan sinar
matahari yang mengganas membakar tubuhnya. Dan perutnya
terasa lapar dan perih. Sementara tangannya yang terjuntai ke
bawah itu sudah dingin dan kaku, namun susioknya tak bagitu
memperhatikan. Seakan-akan ia sengaja melatih anak muda ini
dalam hal kesengsaraan jasmani dan gemblengan mental.
Dan anehnya, Cie Lay tak pernah mengeluh. Dan tak pernah minta
untuk dilepaskan tali yang mengikat kedua kakinya.
Akhirnya beberapa bulan sudah, ia telah dapat melakukan siulan
(semadhi) seperti ini. Tidak lagi bergantung di atas cabang pohon
dengan ke dua kaki terikat, malah sekarang ia sudah dapat berlatih
di atas tanah seperti susioknya. Berdiri dengan ke dua kaki
terpentang ke atas dan kepala di tanah.
Tidak terasa lagi kepeningan yang dulu selalu menghantui
kepalanya. Sekarang malah dirasakannya bertambah segar dan
sehat apabila ia telah melakukan siulan secara itu. Dan saking
asyiknya ia, kadang-kadang terlupa makan dan minum. Sampai
tiga hari tiga malam! Diserang angin dan salju. Dibakar ganasnya
matahari di siang hari. Kini tubuhnya terasa ringan dan pikirannya terang.
55 Dan ia telah mendapatkan kepandaian yang istimewa.
Setelah itu, barulah Seng Thian Taysu menggembleng muridnya
ini dengan ilmu silat ciptaannya di puncak Hong-san. Tidak lagi ia
berada di puncak Tiang-pek-san, karena setelah berbulan-bulan
berada di Tiang-pek-san itu, ia merasa rindu dengan puncak Hongsan.
Oleb sebab itu, di puncak Hong-san inilah sekarang Cie Lay
menerima gemblengan ilmu silat Hong-sun-cap-jie-liong-sin-kiamhoat yang hebat luar biasa.
Sejak itu puncak Tiang-pek-san dilupakan orang!
"Y" 3 Kita tinggalkan dulu Song Cie Lay yang tengah digembleng oleh
susioknya Seng Thian Taysu di puncak pegunungan Hong-san dan
marilah sekarang kita mengikuti pengalaman Sung Tiang Le yang
buntung lengan kanannya karena ditebas oleh pedang Bwe Hwa.
Tentu saja karena ia tidak mengira akan serangan Bwe Hwa yang
tiba-tiba itu, maka tanpa dapat dielakkan lagi tangan kanannya
telah buntung sebatas pundak.
Rasa terkejut dan heran membuat ia tak merasakan lagi akan
lengannya yang buntung itu. Matanya terbelalak memandang Bwe
Hwa. Kemudian bersamaan rasa nyeri yang menusuk-nusuk di
bagian pundaknya, bersamaan itu dirasakannya pula kepalanya
berdenyut-denyut amat keras sekali. Ia terhuyung-huyung,
sementara hujan menyirami tubuhnya yang semakin kuyup. Darah
56 merah menggenang di bawah kakinya. Tak tahu lagi ia apa yang
terjadi selanjutnya Karena ia telah pingsan tak ingat suatu apa lagi!
Tak tahu Tiang Le kalau pada saat itu, ke dua sumoaynya
bertempur mati-matian. Ia tidak tahu kalau Sian Hwa telah
mengamuk ganas menerjang Bwe Hwa dengan sambaransambaran pedangnya.
Dan apabila kedua gadis remaja itu tengah mengadu nyawa, tak
tahu ia kalau perlahan banjir yang menyerbu dari sungai itu mulai
mengangkat tubuhnya, membawanya ke arus yang amat deras
sekali. Tubuh itu sebentar timbul dan sebentar tenggelam dipermainkan
oleh air sungai yang kecoklat-coklatan menggelombang tinggi dan
menurun lagi menghempaskan tubuh yang belum sadar.
Sementara hujan bertambah menggila.
Petir di atas berkeredepan laksana lidah api yang hendak
membumi hanguskan dunia ini. Dan guntur yang cerewet itu tak
henti-hentinya menggelegar mengejutkan makhluk-makhluk di
bumi ini. Banjir telah nampak mulai meluap dari sungai itu melanda
segala apa di sawah, menggulung sawah-sawah yang menghijau,
menghanyutkan batang-batang pohon dan ranting-ranting yang
berserakan. Apabila langit di atas mulai cerah, dan gerimis pun merenyai
merupakan tangisan yang tak kunjung henti dari riak gelombang.
Mengalir tenang. Menghanyutkan sesosok tubuh yang tiada jua
sadar akan apa yang terjadi pada dirinya. Air yang mengalir
tenang, angin yang sudah meninggalkan riuhan yang mengganas
57 dan hanya sisa-sisa hembusan yang menyejukan dan di atas itu
langit semula berair dan suram buram menakutkan perlahan-lahan
mulai sirna berganti dengan latar belakang kebiruan yang amat
cerah dan bersih. Sebuah perahu meluncur perlahan, di dalamnya terdengar suara
merdu nyaring bersih mendendangkan sebuah lagu. Merdu sekali
lagu, mengalun, mengeriak di antara luncuran perahu melaju
terbawa air deras. Sementara angin berembus sejuk membawa
suara nyaring merdu di kesayupan angin-angin menyepoi basah.
Suara itu merdu sekali. Suara seorang gadis. Terdengar gadis itu mendendang lagi, dan tangannya yang kecil
dan halus mengelepak-ngelepakan dayungnya pada air mengeriak
laju. "Angin pun matahari sudah itu, Ini terjadi di di suatu ketika asap-asap salju Sepasang kekasih di sini ditinggalkan kenangan mati?"
resah... kedinginan. sunyi! lembah merpati pagi, menguap tinggi, memadu janji, sendiri 58 Selesai ia mendendang, dilihatnya langit di atasnya cerah
membiru. Segumpalan awan putih menyeruak lambat-lambat
menggantikan awan hitam yang mulai sirna.
Melihat wajahnya, gadis itu tidak lebih tujuhbelas tahun usianya.
Masih remaja, ia sendirian di perahu yang kecil itu. Pakaiannya
sederhana berwarna kembang-kembang, rambutnya digelung ke
atas, diberi pita kupu-kupu merah. Manis sekali gadis ini. Matanya
yang bulat ia bekelit-kelit menikmati pemandangan alam sehabis
hujan tadi. Menyapu permukaan air sungai yang berwarna
kecoklat-coklatan itu. Dan terbelalak mata, apabila didekatnya di
pinggir perahu mengapung sebuah tubuh yang tengah tidak
sadarkan diri. Rasa terkejut dan herannya, membuat si gadis
cepat-cepat mencongkelkan ujung dayungnya membalikkan tubuh
itu. Dan minta ampun!! Itu tubuh seorang pemuda.
Dengan cekatan sekali gadis itu telah menjongkok di pinggir
perahunya. Dia menarik baju di leher si pemuda dan dinaikkan ke
atas perahunya, Itulah tubuh Tiang Le. Masih pingsan ia. Untuk
yang ketiga kalinya si gadis menjerit apabila pandangannya
terbentur oleh sebuah lengan yang sudah buntung sebatas
pundak. Darah merah membasahi baju si pemuda. Napas itu satu-satu,
sekarat demi sekerat dadanya yang bidang berombak turun naik.
Tahulah si gadis bahwa pemuda ini masih hidup. Masih ada
harapan untuk ditolong. 59 Tidak tahu ia apa yang mesti ia perbuat sekarang.
Ia bukan seorang ahli pengobatan. Bukan juga seorang ahli untuk
menolong napas-napas yang tinggal sekarat itu. Maka dalam
bingungnya dia cuma bisa menyambar dayungnya dan melajukan
perahunya cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
"Y" Angin berhembus sepoi-sepoi. Udara dingin.
Sesosok tubuh langsing, berkelebat menyusuri sepanjang sungai
itu. Matanya menyapu-nyapu permukaan sungai yang mengalir
tenang. Kemudian mata itu menjadi basah.
Bibir itu bergemetaran. "Tiang Le koko"..!!" Ia berbisik dalam kecemasan hati yang amat
sangat. Kuatir jangan-jangan Tiang Le terbawa hanyut oleh air
yang menggelombang garas tadi. Apabila ada benda yang
mengambang di air itu, diperhatikannya baik-baik. Hatinya
berharap, mudah-mudahan Tiang Le dapat diketemukannya.
"Tiang Le koko, jangan kau tinggalkan aku koko. Kalau kau mati,
hidupku tak akan berarti, jangan kau mati kokoooo, ugh".. uuugh."
Tak tertahankan lagi hati yang hancur itu, maka menangislah dia.
Rambutnya yang basah berderai-derai, dan pakaiannya yang
basah kuyup, tak diperhatikan lagi. Meski hawa dingin mulai
menyerang tubuhnya! Terus saja ia mengikuti tepian sepanjang
60 sungai yang tak berujung itu. Matanya mencari-cari manyelusuri
permukaan air yang menderas!
Gadis itu adalah Liem Sian Hwa. Seperti kita ketahui Liem Sian
Hwa ini meninggalkan suhengnya Song Cie Lay dan berlari turun
gunung. Siapa sangka kalau gadis itu tidak lama kemudian kembali
lagi ke tempat itu dan mencari-cari tubuh Tiang Le yang hilang tibatiba. Ia mempunyai keyakinan, tentu dalam pingsannya tadi Tiang
Le terbawa air sungai yang meluap. Maka oleh sebab itulah ia
bertekad mencari Tiang Le. Menyelusuri tepian sungai.
Dan Tiang Le belum juga ditemukan.
Limabelas lie sudah ia menyusuri tepian sungai itu. Kakinya sudah
mulai menggigil saking lelahnya. Jalannya sudah terhuyunghuyung. Pandangannya nanar. Dirasakannya ada kabut yang
kelam di depannya. Tak tertahan lagi ia.
Terjatuhlah ia di tepi sungai itu.


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

O, betapa lelahnya Sian Hwa, betapa tertekannya hati itu
kehilangan seorang yang paling dikasihi, Sian Hwa letih lahir dan
batin letih teramat sangat. letih.
Dan menggeletaklah ia disitu.
Lama ia menggeletak di pinggir sungai itu.
"He he he! Gadis manis di tepi sungai sangat kebetulan sekali.
Rezeki turun dari langit, he he he!" terdengar suara orang tertawa
61 dan habis suara itu menggema, berkelebat sesosok tubuh
menghampiri Sian Hwa yang masih pingsan.
Orang itu berjongkok. Memegang pergelangan tangan Sian Hwa.
"He he he masih?" cuma pingsan, kebetulan!" terdengar ia
berkata sendiri lagi. Dengan ke dua tangannya ia mengangkat
tubuh Sian Hwa, dan sekali menggerakkan tubuh orang itu sudah
lenyap merupakan bayangan setan berkelebat meloncati sungai,
dan kemudian terus berlari memasuki hutan lebat. Gelap
menyeramkan. Sambil tertawa terkekeh-kekeh orang itu memasuki hutan dan
seperti sudah hapal jalan-jalan di hutan itu, ia teruskan memasuki
ke hutan yang amat gelap dan menyeramkan. Pohon-pohon
raksasa berdiri di kanan kiri dengan daunnya yang amat rimbun
jalan di hutan itu. Ternyata di hutan yang lebat itu terdapat sebuah pondok. Pondok
kecil itu hanya terbuat dari rumbai-rumbai dedaunan merupakan
atapnya dan bertiang-tiang kayu besar, tidak terdapat dindingnya.
Hanya empat buah tiang yang menunjang atap dari rumbai-rumbai
itu. "A Mey"..! A Mey!" orang itu memanggil-manggil.
Seorang nenek tua mendatangi dengan tongkat di tangan.
Rambutnya sudah putih semua. Pipinya ditumbuhi banyak kerisut.
62 Tubuhnya kurus kering. Matanya tajam melirik gadis yang dalam
pondongan orang yang datang itu.
"Hehehe! A Thiong".. apa belum cukup latihan Jing-tok-ciang
sehingga kau bawa-bawa lagi gadis ini!" Nenek itu bertanya.
Orang yang dipanggil A Thiong oleh si nenek tadi, menghampiri.
Sikapnya nampak mesrah dan halus waktu ia berkata:
"A Mey sayang..... apa kau kira sudah cukup latihan Jing-tok"
Makanya aku bawa gadis ini lagi. Otaknya baik sekali sebagai obat
kuat." "Apalagi dimakan dengan jin-som, hem sedap! Merupakan tonikum
yang hebat untuk menambah tenaga muda kita dan tenaga sinkang kita akan bertambah hehehe!"
Orang itu meletakkan tubuh Sian Hwa. Kasar sekali orang itu
meletakkan tubuh gadis itu. Dilempar begitu saja dan untuk
seketika itu juga Sian Hwa sadar kembali. Begitu matanya terbuka,
terheran ia melihat seorang nenek dan seorang kakek sudah
berdiri di depannya sambil tersenyum gairah.
Air liur si kakek yang dipanggil A Thiong oleh si nenek bertetestetes berjatuhan. Matanya memandang ke seluruh tubuh si gadis.
Melihat pemandangan yang mengerikan ini, bergidik Sian Hwa.
"Locianpwe ini siapa dan di"... mana aku?" tanyanya.
63 "Hehehe! A Mey, cantik juga ia gadis ini, sayang kalau kita
bunuh...... akan tetapi otaknya segar dan baik...... jarang gadisgadis mempunyai otak seperti dia. Rupanya nikmat benar kalau
dimakan, hehehe!" "A Thiong, benar juga katamu. Gadis ini sayang kalau
dibinasakan...... sebaiknya diberikan kepada A Seng, tentu dia
girang mendapatkan teman bermain secantik gadis ini! Betul kita
kasih A Seng saja. Anak kita itu hihik".. hik hik!"
Bergidik Sian Hwa. "Celaka. Rupanya aku terjatuh ke tangan nenek dan kakek gila ini
pemakan manusia, entah siapakah orang tua ini," pikir Sian Hwa.
"Locianpwe kau ini siapa?"
"Kami adalah Jing-tok-siang-lomo, namaku A Thiong dan ini adalah
istriku A Mey perempuan cantik. Kau nanti bakal anakku A Seng.
Kau mau ya?" berkata Jing-tok-siang-lomo A Thiong. Kakek tua ini
mengerinyitkan bibirnya. Matanya menyapu seluruh tubuh Sian
Hwa dengan gairah. "Benar kau nanti bakal jadi isteri anakku A Seng. Eh! namamu
siapa" Ahay?" namanya tentu juga bagus yaa".." Jing-toksiang-moli A Mey menyahut. Ia tersenyum kepada Sian Hwa.
Sian Hwa melototkan matanya.
"Gila!! Siapa yang bakal jadi isteri anakmu" Anakmu yang mana?""
tanya Sian Hwa dengan heran dan marah.
64 "Anakku A Seng sedang memancing di sungai, sebentar ia tentu
datang, eeh tentu kau suka kawin dengan A Seng ya" Tentu kau
suka kawin dengan anakku A Seng, hi hi hi?"
"Gila! Siapa yang sudi kawin dengan anakmu. Keparat, kalian
orang sinting, orang gila! Tentunya anakmu juga gila, gendeng,
sinting!" Sian Hwa memaki. Ia berdiri.
"Eh kau bilang apa gadis manis".. kau bilang apa tadi?" Jing-toksiang-moli A Mey bertanya marah, dia melangkah maju. Sepasang
matanya yang penuh keputih-putihan itu mendelik menatap gadis
di depannya seakan-akan mata itu hendak menelannya. Sian Hwa
yang sedang mendongkol hatinya membalas mempelototi nenek
itu dengan berani. "Aku bilang kalian ini sudah gila, sudah sinting....... tentu anakmu
yang bernama A Seng itu juga orang gila, sinting!!" sahut Sian Hwa
sambil menyentakkan tangannya.
"Apa" Apa kau bilang?", A Seng gila?"
"Ya?" kalian dan A Seng sudah gila!"
"Plak plak plak!" Tangan kiri Jing-tok-siang-moli A Mey menampar
pipi Sian Hwa tiga kali. Sian Hwa terhuyung-huyung. Tiga buah
tapak jari memerah di ke dua pipi yang putih. Ia tidak melihat itu
hanya dirasakannya ke dua pipinya menjadi pedas. Saking
perihnya dirasakan ke dua pipinya itu. Sian Hwa sampai
mengeluarkan air matanya menitik.
65 "He he he, A Mey?" kau keliwatan, masa mantu kita kau tampar
sampai menangis".. jangan begitu ah".. aduh, kau
menggunakan Jing-tok-ciang (pukulan racun hijau) ya....... wah,
celaka....... kalau pipi mantu kita angus, mana A Seng mau sama
dia".., wah, wah A Mey, lekaslah kau ambil daun Ang-coa-ko, di
samping rumah kita lekas.......wa, jangan-jangan muka gadis itu
akan hangus, celaka!"
Mendengar perkataan A Thiong, mau tak mau, tanpa disadarinya
Sian Hwa mengusap pipinya. Tidak ada apa-apa, hanya saja
terasa pipinya menjadi gatal sekarang. Celaka jangan-jangan"..,
pipiku kena racun dalam tamparan nenek tadi!
Sian Hwa menjadi cemas bukan main.
Tentu saja sebagai seorang wanita, siapa pun wanita itu tidak ingin
kehilangan akan wajah kecantikannya. Dan dari rasa kuatirnya
yang menggerogoti hatinya, Sian Hwa menjadi marah kepada
nenek yang telah menamparnya. Dengan bentakan keras ia sudah
menerjang nenek itu. Pedangnya menusuk ke arah ulu hati Jingtok-siang-moli A Mey.
Akan tetapi melihat gerakan ini, sekilas saja nenek itu sudah tahu
bahwa lawan hanya memancing saja, dan serangan itu tidak
dilanjutkan, oleh karenanya dengan tertawa ha ha hi hi nenek itu
tidak menangkis atau mengelak, malah ia sengaja berdiri tegak.
Panas hati Sian Hwa ditantang seperti ini. Sikap nenek ini
mengherankan sekali di hatinya, akan tetapi karena sudah
kepalang tanggung, tusukan pedangnya dilanjutkan dengan sekuat
tenaga ia menusuk ke arah ulu hati itu. Kepingin ia tahu apakah
66 nenek gila ini tidak mengelak akan sambaran ujung pedangnya"
Sedangkan tangan kirinya menghantam ke depan dengan pukulan
yang amat kuat. Inilah pukulan Soan-hong-ciang (tenaga angin
puyuh) yang luar biasa. Akan tetapi Jing-tok-siang-moli A Mey sudah bersiap sedia
menghadapi dua serangan sekali gus ini. Ia sudah mendapat
serangan susulan yang amat berbahaya. Menghadapi pukulan
yang mendatangkan hawa pukulan dingin ini, ia hendak mencoba
membarengi dengan pukulan Jing-tok-ciang (pukulan racun hijau)
yang paling diandalkan, maka ia tidak mengelak pukulan tangan
kiri Sian Hwa, sebaliknya ia menangkis pukulan itu dengan tangan
kanannya medorong ke muka, sementara tubuhnya meliuk ke kiri
menghindarkan sambaran pedang
"Duukkk!" "Hayya".. lihay sekali!" Si Nenek berseru kaget dan kagum. Dan
ia melangkah mundur dua tindak. Karena pertemuan dua tenaga
itu membuat ia mundur tergempur kuda-kudanya.
Juga Sian Hwa merasa lengannya sebelah kanan tergetar hebat
dan iapun mundur sampai dua langkah. Bukan main hebatnya
pukulan jing-tok-ciang dari nenek gila itu, sehingga terasa kini
lengan kirinya menjadi gatal-gatal. Diam-diam Sian Hwa terkejut,
celaka, tentunya racun hijau yang menyerang lengannya pula.
Begitu dilihatnya, benarlah lengan kirinya itu telah hitam dan
bengkak. Rasa gatal begitu hebat menyerangnya.
67 "He he he, hebat juga mantumu ini. Cocok sama A Seng, eh. A
Mey hayo nanti malam kita rayakan hari perkawinan anak kita A
Seng..... heran...... kenapa si A Seng belum juga kembali?" Jingtok-siang-lomo A Thiong berkata kepada A Mey.
"Keparat aku harus mengadu jiwa denganmu!" Sian Hwa memekik
panjang dan mengirimkan pukulan ke arah A Thiong. akan tetapi
begitu si kakek berkelit tahu-tahu seluruh tubuh Sian Hwa menjadi
lumpuh tertotok urat nadi di tubuhnya.
"Dia mesti kita rangket dulu, A mey?" masukan dia ke dalam
kerangkeng. Hati-hati jangan terlepas, dia amat galak dan harus
dijinakkan dulu. Kau tunggu aku mencari A Seng anak bengal itu!"
Sesudah berkata demikian tahu-tahu tubuh si kakek mencelat
tinggi dan hilang ditelan bayang-bayang kegelapan di atas pohon
yang rimbun. Si Nenek tertawa. Menghampiri Sian Hwa. "Betul...... kau mesti dirangket dulu, nyonya mantu?" nanti kalau
A Seng sudah dataug biarlah anakku itu yang menjinakanmu"..
hihihikk". tangan si Nenek menyambar tangan kanan Sian Hwa
dan sekali lempar tahu-tahu tubuh Sian Hwa telah masuk ke dalam
sebuah kerangkeng yang terdapat di dalam pondok itu.
Di dalam kerangkeng itu Sian Hwa tidak berdaya. Bukan saja ia
sudah tidak dapat mengerahkan tenaganya lagi, akan tetapi di
dalam kerangkeng yang berukuran empat persegi ini, mana ia
dapat melarikan diri"
68 Dilihatnya si nenek gila itu menghampiri kerangkeng dan mengunci
dari luar. Celaka, ia benar-benar di penjara di situ!
Terasa tubuhnya lemas sekali. Ia bersandar di tiang-tiang
kerangkeng, sementara pipi dan lengannya semakin gatal.
Semakin menghitam. Tak tahu ia, bahwa saat itu kedua pipinya
juga menjadi hitam seperti pantat kuali. Memang hebat sekali
pukulan Jing-tok-ciang ini, kalau saja tadi si nenek memukulnya
dengan sungguh-sungguh, tidak menampar seperti tadi, tentu
siang-siang, tubuhnya sudah hangus disambar keganasan hawa
Jing-tok (racun hijau). Saking lelahnya lahir dan bathin, Sian Hwa terlena di dalam
kerangkeng menyenderkan tubuhnya pada jeruji kerangkeng yang
sebesar jempol kaki besarnya itu. Ia setengah pingsan setengah
sadar. Sementara gelap mulai menyelubungi pondok. Sebentar itupun
malam akan mendatang. Bulan bersinar di atas menerangi hutan
sehingga cahaya bulan yang cukup terang itu tidak membutakan
mata Sian Hwa. Dilihatnya nenek itu sudah menggeletakkan
tubuhnya di atas sebuah dipan dan terdengar suara tidurnya
menggeros-geros seperti babi disembeli. Sian Hwa mencari akal.
Di guncang-guncangkannya jeruji kerangkengnya
yang mengurungnya itu. Tetapi alangkah terkejutnya dia, karena jeruji
kerangkeng yang terbuat dari besi itu amat kuat sekali. Tak dapat
ia mematahkannya. Tak betah ia dikurung seperti itu.
69 Sementara nyamuk besar-besar sudah mengiang di sekitar
telinganya. Dengan sengit ia menepok nyamuk yang menggigiti
lengan dan pahanya. Mendengar tepokan dari Sian Hwa, nenek itu terbangun dari
tidurnya. Sejenak ia memandang gadis di dalam kerangkeng itu.
Menghampiri Sian Hwa. "Hi hi hik mantuku yang manis, ngak betah di sini ya, banyak
nyamuk".., sabar nyonya mantu, sebentar A Seng datang,
engkau pasti diajak tinggal di kota....... di sana hidup senang hik
hik hik!" "Keluarkan aku nenek gila, nenek peot!" maki Sian Hwa dengan
matanya melotot. "Banyak nyamuk ya..... banyak nyamuk..... biar kunyalai api, biar
nyamuk-nyamuk itu takut dan kabur?" ha ha hek!" tanpa
menghiraukan Sian Hwa yang sudah mencak-mencak di dalam
kerangkeng itu. Nenek Jing-tok-siang-moli A Mey membuat api
unggun di dekat kerangkeng.
Api besar menerangi suasana di situ.
Sementara nyamuk-nyamuk kabur akan sinar api yang hangat.
"Tidurlah".. nyonya mantu, besok bangun pagi-pagi, ya!"
"Nyonya mantu kepalamu!" Sian Hwa membentak.
70 "Hik hik hik, galaknya. Sayang kau cantik, kalau tidak suamiku
tentu mengambil otakmu untuk dibuat obat sebagai latihan Jingtok-ciang, Hihi benar juga kau cantik nyonya mantu, sayang, kalau
dibunuh, lebih baik dikawinkan sama A Seng".. ya A Seng
anakku, hek hek hek!" berkata begitu nenek itu masuk ke dalam
pondoknya. Sian Hwa terkejut sekali. Celaka, kiranya ia bukan saja berhadapan
dengan kakek dan nenek gila, malahan rupa-rupanya kedua orang
gila ini pemakan otak manusia. Siapakah kakek dan nenek yang
bernama Jiang-tok-siang-lomo" Dan siapakah yang disebut A
Seng anaknya itu. Apakah anaknya juga"
Tentu saja Sian Hwa tidak mengenal mereka.
Ia masih hijau dalam dunia kang-ouw. Kalau saja ia tahu. Tentu ia
akan lari menjauhkan tempat ini. Tempat ini adalah memang
tempat tinggal Jing-tok-siang-lomo (sepasang iblis racun hijau) A
Mey dan A Thiong. Di dunia kang-ouw mereka ini terkenal sebagai
datuk hitam yang ganas sekali di samping kegila-gilaannya yang
otak-otakan itu. Mungkin karena saking banyaknya ia makan otak
gadis-gadis remaja, sehingga sikap kedua orang ini sudah tidak
normal lagi pikirannya, kendatipun demikian, kedua kakek dan
nenek ini sangat ditakuti oleh dunia kang-ouw sebagai sepasang
iblis pemakan manusia! Dan siapakah A Seng yang disebut-sebutnya itu"
A Seng adalah anaknya. Anak tunggal sepasang iblis racun hijau
itu. Akan tetapi A Seng sudah mati.
71 Mati tenggelam pada waktu ia pergi memacing di sungai. Dan
matanya diketemukan oleh sepasang iblis racun hijau ini di rumah
seorang penduduk dusun. Akibatnya. Luar biasa, seluruh keluarga


Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dusun itu habis binasa dibunuh-bunuhi oleh Jing-tok-siang-lomo,
sedangkan wanita-wanita remaja diambil otaknya untuk sebagai
obat kuat sedangkan jantung dan hati wanita-wanita itu dikeringkan
sebagai dendeng yang amat lezat bagi mereka!
Inilah Jiang-tok-siang-lomo"
A Thiong, kakek gila itu pergi ke dalam hutan di mana ia
menguburkan anaknya. A Seng. Lucunya orang gila ini malah
menangis di situ. Mengoceh tidak keruan.
"A Seng".. anakku, mengapa kau belum bangun juga anakku.......
aii kasihan calon isterimu menanti-nantikan di rumah. Bangunlah A
Seng....... bangunlah".. ugh, ugh....... mengapa engkau belum
juga bangkit"... A Seng....... biarlah papa tunggu di sini menantimu
sampai kau bangun".. besok papa dan mama hendak
mengawinkanmu A Seng".. dengan gadis cantik he he he, kau
tentu suka ya A Seng".., ya, ya kau tentu cinta....... gadis itu manis
sekali. A Seng cocok sekali buat menjadi istrimu, A Seng
bangunlah..... bangunlah!" Jing-tok-siang-lomo A Thiong
menggebrak-gebrakan tanah kuburan anaknya itu. Keruan saja
batu nisan itu menjadi retak dan mental terhantam gebrakan
tangan kanan A Thiong. Sementara mulutnya memanggil-manggil
anaknya. "A Seng, kau belum mau bangun juga biarlah papa
membangunkan dirimu Nak. Yaa?" yaa mestinya papa yang
72 membangunkanmu. Aduh! Kasihan sekali kau A Seng, papa lupa
kau tidak bisa bangun lagi. A Seng biarlah papa
membangunkanmu!!!" Sesudah berkata demikian Jing-tok-sianglomo mundur ke belakang dua tindak. Tangannya mendorong ke
depan dan mulutnya segera membentak.
Inilah pengerahan tenaga Jing-tok-ciang. Keruan saja batu nisan
kuburan itu hancur berantakan terhantam pukulan si kakek. Tanah
yang menggunduk di situ berhamburan merata, kemudian dengan
menangis mengguguk, si kakek gila itu menggali kuburan anaknya.
Menggali. Menggalinyapun dengan cara yang luar biasa pula.
Tangan kanannya diputar-putarkan di atas kepala, kemudian
dipukulkan ke arah gundukan tanah pekuburan itu.
"Braaak!!" Tanah di sekitarnya berguncang keras. Tangan itu
berputar-putar seperti kitiran dan tanah-tanah di dalam kubur itu
berhamburan ke atas dan sebentar itu pula nampak di dalam kubur
itu tulang belulang manusia. Itulah tengkorak A Seng.
Jing-tok-siang-lomo A Thiong melompat ke dalam dan memeluk
tengkorak itu menangis mengguguk.
"Aduh, A Seng aaaa..... kau, kau kenapa tidak bisa bangun nak,
biarlah papa mengangkatmu. Mari kita pulang nak, sebentar lagi
papa akan mengawinkanmu dengan gadis cantik".. A Seng kau
tentu setuju ya dengan pilihan papa dan mama".. ya, ya kau pasti
setuju A Seng. Kau lihatlah sendiri. Ugh ugh ugh A Seng....... A
Seng!" 73 Dengan ke dua tangannya itu Jing-tok-siang-lomo A Thiong sudah
membopong rangka manusia A Seng, dan sekali berkelebat
tubuhnya sudah lenyap dari pekuburan itu. Hebat memang Jingtok-siang-lomo ini kalau ada manusia yang melihatnya, tentu orang
itu mengiranya setan-setan yang bergentayangan melihat tingkah
laku A Thiong yang aneh. Amat cepat sekali tubuh A Thiong berkelebat sambil memondong
tengkorak A Seng anaknya. Sebentar ia tertawa, sebentar pula ia
menangis seperti anak kecil yang kehilangan barang mainan.
Itulah A Thiong yang aneh, si kakek gila!
Begitu tiba di dalam hutan di luar pondok ia berseru,
"Heei A Mey".., lihat aku membawa anak kita A Seng, eh mana
gadis cantik itu A Mey?". A Mey!!"
Jing-tok-siang-moli A Mey keluar dengan wajah bersungut-sungut.
"Sudah".. pergi....... sudah pergi"...!"
"Ha! Pergi" Pergi kemana"..?"
"Nggak tahu?". kau kakek-kakek pikun. Bepergian dari tadi sore
sampai tengah malam begini....... kau memang keterlaluan!"
"A Mey jangan main-main kau, aku sudah bawa pulang A
Seng?", dia harus dikawinkan dengan gadis itu".." berkata A
Thiong sambil meletakkan tengkorak A Seng di tanah.
A Mey menangani tengkorak itu.
74 Dan ia menjerit memeluk tengkorak itu menjerit-jerit lirih.
"Aduh".. A Seng....... mengapa kau begini kurus......... kemana
daging-dagingmu A Seng......., apa kau di kota tidak makan-makan
sehingga kau demikian kurus?" A Seng"... Bangunlah A
Seng?"!" "Dia sudah nggak bisa bangun lagi A Mey....... ugh".. ugh nggak
bisa ngurusin anak, sampai A Seng tidur di sungai itu dan nggak
bangun-bangun sampai sekarang".. ugh".. ugh?" A Seng"..
anakku?"" Jing-tok-siang-lomo A Thiong menangis menggerung-gerung.
Suaranya jauh besar dan parau menggetarkan hutan belantara ini.
Dan berganti-gantian mereka itu menangis. Habis A Thiong
berganti A Mey menangis, bergulingan seperti anak kecil nggak
dikasih barang mainan. Memeluki tengkorak manusia yang sudah
berbau busuk dan dibelatungi.
Lupalah mereka akan gadis yang tadi ditawannya.
Lupalah A Thiong bahwa sebetulnya ia hendak mengawinkan
anaknya ini dengan gadis tawanannya yang telah lenyap.
Ya, kemanakah perginya Sian Hwa dan apa yang terjadi
dengannya" Waktu A Thiong masih di dalam hutan tadi, si Nenek A Mey yang
memang doyan tidur, ia tidak menghiraukan lagi akan tawanan di
dalam kerangkeng itu. Sebentar itu pula ia sudah mengorok tidur
dengan nyenyaknya. 75 Sian Hwa termenung. Memandang bulan di atas yang indah sekali
berseri-seri menampakkan dirinya. Segumpalan awan tipis
menghampiri bulan. Langit begitu cerah, dialasi selimut membiru
laksana lautan luas yang hening tiada berombak.
Sian Hwa termenung lagi. Teringat kepada sam-suhengnya Tiang Le. Aduhai bagaimanakah
nasib suhengnya itu, masih hidupkah ia" Pikirannya menerawang
jauh, merayap naik ke atas puncak Tiang-pek-san mengenangkan
masa yang indah waktu ia masih berkumpul di puncak. Terasa
bahwa di puncak itu, sikap sam-suhengnya Tiang Le memang
amat dingin, kadang-kadang suka menjauhi dirinya. O tahulah ia
sekarang bahwa jie-suhengnya yang bernama Song Cie Lay itu
menaruh hati kepadanya. Ah, tahulah ia tentu ia Tiang Le jadi
menjauhi dirinya. Padahal ia yakin benar dari pandangan Tiang Le,
berkaca-kaca apabila bertemu pandang dengannya. Amat
berkesan. Mungkinkah Tiang Le membalas cintanya"
Teringatlah Sian Hwa akan kenangan manis dalam hujan lebat di
pondok di tengah-tengah pematang sawah itu. Teringat sewaktu
Tiang Le memeluknya. Memeluk dengan sangat mesra dan ia
teringat pula perkataan Tiang Le.
"Sumoay, Hwa-moay-moay mengapa begitu" Mengapa di dekatku
engkau bahagia?" Dan ia menjawab. 76 "Koko, sejak....... sejak pertama kali kau datang di puncak Tiangpek-san itu hatiku sudah terpaut denganmu, aku".. aku
mencintaimu koko!" Dan ia mendengar suara Tiang Le yang gemetar penuh perasaan,
"Moay-moay!" "Koko, aku tahu bahwa kaupun mencintaiku......." Sian Hwa
berbisik kepada bulan di atasnya. Seakan-akan di atasnya itu
Tiang Le tersenyum kepadanya. Dan ia tersenyum kepada bulan.
Aneh memang. Cinta kadang-kadang membuat orang menjadi
takut dan sinis akan hidup ini. Dan membawa kesengsaraan di
badan. Akan tetapi cinta pula yang membuat hidup ini begitu
romantis dan penuh gairah. Cintanya Sian Hwa kepada Tiang Le
membuat ia tidak menyadari bahwa kini dirinya terancam bahaya
di tangan Jing-tok-siang-lomo A Thiong, dan Jing-tok-siang-moli A
Mey, kedua kakek dan nenek iblis. Akan tetapi bagaikan mimpi
Sian Hwa masih bisa tersenyum kepada bulan. Padahal racun
hijau yang di tangan kirinya itu semakin menjalar, dan
berbahayalah apabila hawa racun itu menyentuh jantung. Dan
kedua pipinya semakin hitam, semakin menyerupai pantat kuali.
Sian Hwa tersentak dari lamunannya ketika tangannya ada yang
menepuk. "Cie-cie yang baik, kau....... lekaslah ke luar?""
Sian Hwa menoleh. Dan alangkah terkejutnya ia melihat seorang
laki-laki cebol. Amat pendek sekali laki-laki itu. Akan tetapi melihat
77 dari form wajahnya, lelaki itu bukan kanak-kanak lagi. Melainkan
seorang pemuda yang berwajah tampan. Hanya tubuhnya saja
kecil dan pendek, setengahnya dari Sian Hwa.
"Cici".. keluarlah".., kau".. bahaya sekali".. aduh, mukamu
hitam benar....... celaka".. kau sudah kena racun Jing-tok cici.
Kalau tidak segera diobati bahaya sekali mukamu akan rusak,"
pemuda cebol itu menarik tangan Sian Hwa.
Dan Sian Hwa menjadi panik sekali. Tanpa disadarinya ia
mengusap pipinya dan melihat ke arah lengan kirinya yang sudah
gosong. "Mukaku hitam?" Sian Hwa bertanya seakan kepada dirinya.
Membandingkan hitam di lengan dan di pipi. Tentu saja ia tidak
melihat akan ke dua pipinya yang sudah berkerisut hitam itu.
Andaikata Sian Hwa melihatnya, ia akan menjerit pasti.
"Kedua pipimu hitam seperti pantat kuali!"
"Plak!" tangan Sian Hwa menampar pipi pemuda cebol itu.
Pemuda cebol mengusap pipinya yang terasa perih dan sakit.
"Kau bilang mukaku kayak pantat kuali, kurang ajar kau!" Sian Hwa
memaki, Akan tetapi diam-diam ia merasa kasihan juga kepada
manusia cebol ini, Kenapa ia menampar"
"Cici!" 78 "Kau siapa..... mengapa kau ada di sini, pergilah kau, jangan nanti
si kakek gila memasukan engkau ke dalam kerangkeng ini.
Cepatlah pergi, jangan dekat?"
"Tidak cici aku harus menolongmu!"
"Hm, menolongku?"
"Ya, cici tunggulah sebentar?" aku akan mencuri kunci
kerangkeng ini, tahukah kau di mana nenek itu menyimpan kunci
kerangkeng ini?" tanya si pemuda cebol.
Melihat bahwa pemuda cebol itu tidaklah main-main, Sian Hwa
tersenyum dan berkata: "Betul, kau mau menolongku?"" tanyanya.
"Kenapa tidak?"
"Bagus adik, nah kau curilah kunci itu!"
"Di mana?" di mana disimpannya?""
"Tentu saja di sakunya. Eh!! kau dengar tidak, nenek itu sedang
tidur nyenyak. Nah!! curilah, hati-hati kau. Kalau dia bangun
lehermu akan dipotongnya!" kata Sian Hwa.
Pemuda cebol berpikir sebentar, menoleh ke arah si nenek yang
sedang tidur dengan nyenyaknya!
"Baiklah cici!"
79 "Hati-hati kau?"!" sahut Sian Hwa.
Pemuda cebol menghampiri nenek A Mey yang tengah tenggelam
dalam tidurnya. Kagum juga Sian Hwa melihat Langkah-langkah
kaki yang ringan dari pemuda cebol itu. Tahulah dia bahwa
pemuda pendek ini mempunyai gin-kang yang boleh juga. Buktinya
suara kakinya itu tidak terdengar sama sekali.
Ia memperhatikan pemuda cebol itu. Gelinya ia, melihat pemuda
cebol berjingkat-jingkat di depan si nenek. Kemudian bagaikan
seorang pencuri ulung, tangan kecil itu menyelusup ke baju luar si
nenek. Dan sebentar itu pula serencengan kunci sudah
dikeluarkan dari saku si nenek yang masih tenggelam dalam
tidurnya. Girang sekali hati Sian Hwa.
Pamuda cebol sudah menghampiri. Membuka kunci kerangkeng.
Dan berderit perlahan mengejutkan si Nenek. Akan tetapi nenek itu
cuma menggeliat saja dan tidur lagi.
Pemuda cebol berbisik perlahan. "Cepat".. cepat....... cici"
ssssst." Sian Hwa keluar dari kerangkeng itu. Terasa tangannya ditarik oleh
pemuda cebol, "Hayo kita lari!"
Maka berlari-larianlah kedua orang muda itu.
80 Kagum sekali Sian Hwa melihat gin-kang pemuda cebol ini.
Meskipun tubuh pemuda itu pendek dan kecil, akan tetapi larinya
demikian ringan sekali. Malah dalam melarikan diri itu seringkali
Sian Hwa tertinggal. Amat jauh sudah mereka melarikan diri.
Mereka sudah ke luar dari dalam hutan yang lebat itu.
Sekarang mereka berjalan perlahan. Lambat-lambat.
"Terimakasih atas pertolonganmu".." berkata Sian Hwa.
"Tidak apa cicie....... sama-sama".." sahut si Pemuda cebol.
"Jangan panggil aku cici ah, kulihat umurmu tentu tidak di bawah
umurku." "Usiaku duapuluh tahun Cici."
"Nah, malah kau lebih tua dariku. Kau tahu usiaku baru juga
delapanbelas. Jangan panggil aku cici".. panggil saja namaku!"
"Siapa namamu?" tanya pemuda cebol.
"Namaku Liem Sian Hwa," sahut Sian Hwa singkat.
"Dan aku Go Sin Thong," sahut Sin Thong.
Sian Hwa tertawa. Sin Thong menoleh. 81 "Kenapa kau tertawa Sian Hwa?" tanyanya.
"Kau memang patut disebut Sin-thong (anak sakti)!"
"Mengapa?" "Buktinya".. kau benar-benar sakti".. ah, sudahlah".. kalau
tidak ada engkau muncul di pondok itu, entah bagaimana nasibku.
Eh, Sin Thong".. bagaimana kau bisa muncul di situ?"
"Kebetulan saja Sian Hwa. Kebetulan aku melihat kakek Jing-toksiang-lomo A Thiong memanggul tubuhmu yang pingsan di tepi
sungai itu. Aku heran sekali, tapi aku tak ingin bertindak
semberono. Aku ikuti si kakek gila itu sampai ke dalam hutan.
Siapa kira bahwa aku dapat menolongmu".. untung nenek itu
tidurnya kebluk. Kalau tidak mana bisa aku menolongmu dari
cengkeraman ke dua iblis sakti itu?"
Sian Hwa menoleh, langkahnya diperlambat lagi.
"Kau mengenal mereka Sin Thong?"
"Tentu saja aku pernah mendengar Jing-tok-siang-lomo sepasang
iblis racun hijau yang amat ganas itu. Suhu yang mengatakannya
itu, eh ya Sian Hwa kulihat ke dua pipimu tentu terserang racun
hijau, biarlah nanti suhu yang akan mengobatimu!"
"Tentu suhumu itu ahli pengobatan ya, siapa sih suhumu itu"' tanya
Sian Hwa tertarik. 82

Pendekar Lengan Buntung Karya Kim Tiauw di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Suhuku orang biasa saja Sian Hwa, disebut orang Kwa-sinshe
(ahli pengobatan she Kwe) tentu ia mau menolongmu."
"Terima kasih Sin Thong!" sahut Sian Hwa.
Dan keduanya berjalan lambat-lambat.
"Y" 4 Tiang Le membuka matanya. Betapa terkejut ia ketika merasa
dirinya berada di sebuah pembaringan yang cukup bersih. Pertama
yang dilihatnya adalah langit-langit kelambu yang bersih dan putih,
kasur yang empuk beralaskan sprey yang putih bersih pula.
Sebuah kamar persegi empat yang cukup luas. Sebuah almari
pakaian yang sederhana, dan sebuah meja tulis. Sebatang hio
wangi menyebarkan harumnya ke seluruh penjuru kamar itu.
Kamar seorang gadis. Terkejut sekali hati Tiang Le, apabila dilihatnya sebuah pakaian
wanita tergantung di atas pembaringan. Dan begitu ia melirik, ia
menjerit lirih mengingat tangan kanannya telah buntung sebatas
pundak. Dan pundak itu terbalut rapih sekarang. Hatinya terasa
nyeri sedikit menyelikit di luka yang dibalut itu. Tiang Le menarik
napas panjang teringat sekarang ia akan tragedi yang menimpah
dirinya. 83 "Habislah".." bisik Tiang Le. "Ya, habislah sudah cita-cita untuk
membalas dendam. Setelah lengannya buntung, apakah ia bisa
menarik pedang?" "Bwe Hwa sumoay".. betapa kejamnya hatimu....... Mengapa kau
membuatku tidak berdaya seperti ini".., ah sumoay....... lebih baik
aku mati dari pada begini".. Apa gunanya lagi hidupku, kalau aku
tidak dapat membalas dendam kematian suhu dan kehancuran
Tiang-pek-pay" Sumoay...... sumoay!!"
Hati Tiang Le merenyuh. Pintu kamar berderit nyaring apabila seorang gadis membuka pintu
dan masuk ke dalam. Ia tersenyum kepada Tiang Le. Senyumnya
amat manis. Mangkuk obat yang dipegangnya diletakkan di atas
meja. Di dekat pembaringan.
"Tiga hari tiga malam kau pingsan tak sadarkan diri, untung kau
sudah sadar sekarang. Apakah masih sakit lukamu?" suara itu
amat halus tutur katanya. Terdengar amat merdu dan nyaring
bersih. Tiang Le mengawasi gadis ini. Terkejut ia apabila
mengingat dirinya berada di dalam kamar gadis itu.
Ia bangkit berdiri. Akan tetapi ia terguling lagi karena dirasakannya
kepalanya demikian berat dan berkunang-kunang. Pandangannya
nanar. Tiang Le memejamkan matanya.
"Kau masib lemah, kongcu. Sebaiknya jangan bergerak dulu. O ya,
ini obatnya, minumlah kongcu!" gadis itu meraih mangkuk dan
Pendekar Gila 5 Kidung Senja Di Mataram Karya Kho Ping Hoo Laron Pengisap Darah 8
^