Pencarian

Rahasia Hiolo Kumala 15

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long Bagian 15


"Memikirkan apa?" Tiang-heng Tookoh bertanya dengan wajah tertegun dan tidak
habis mengerti. "Tentu saja keadaan dari ayahku! Dirumah ia masih ada ibu. Dibawah ada istri dan
anak. Bibi Ku yang jadi pendeta tentu saja dapat membuang jauh-jauh semua pikiran dan urusan
keduniawiaan tapi bagaimanakah dengan ayahku" Tentu saja ayah tak dapat
meninggalkan ibunya, istri dan anaknya untuk menyusul jejakmu, mencukur rambut dan hidup
menyepi sebagai seorang pendeta?" "Aaaai....! Memangnya teori tersebut tidak kupahami" buat apa mesti kau singgung
lagi?" pikir Tiang-heng Tookoh dengan perasaan masgul,
Tampaknya Hoa In-liong memang tidak terlalu mengharapkan jawabannya, ia berkata
lebih lanjut, "Wahai bibi Ku! Liong-ji hendak membahas semua persoalan yang ada
didepan mata. Sekarang juga dihadapanmu aku hendak mengeritik tentang dirimu!"
"Katakan saja! Pinto akan memperhatikannya" kata Tiang-heng Tookoh dengan
dingin. "Pepatah kuno mengatakan: Siapa yang telah berusaha dengan segenap kemampuan,
dialah yang setia...." "Apa?" teriak Tiang-heng Tookoh dengan gusar. Matanya melotot besar, "kau
menuduh aku tak setia kepada ayahmku?"
"Ooooh.... Tentu saja bukan demikian! Liong-ji hanya membicaiakan persoalan, bukan
mempersoalkan manusianya. Dulu ada seorang bocah kecil jalan-jalan dengan
ayahnya. Setengah jalan mereka jumpai sebuah batu gunung yang besar sekali menghalangi
perjalanan 486 mereka maka berkatalah sang ayah: 'Nak, singkiikan batu dari tengah jalan!'
Bocah itu menurut dan segera berusaha untuk menyingkirkan batu besar tersebut dari tengah jalan.
Sayang lantaran tenaganya terlampau kecil, meskipun sudah didorong kesara ditarik
kembali, sampai sekujur badan basah oleh karena capainya batu itu belum juga bergeser dari
tempatnya semula". "Eeeeh.... Cerita apa yang lagi kau dongengkan" tukas Coa Wi-wi setengah berteriak
karena habis sabarnya, "Aku pikir ayah dalam ceritamu itu adalah seorang ayah telur
busuk, maka engkau juga seorang telur busuk kecil"
Kata-kata itu mempunyai arti rangkap maksud. Dalam keadaan seperti ini, bukannya
membicarakan urusan penting, sebaliknya malahan mendongeng apa gunanya?"
"Wi-ji, jangan menukas, biarkan saja ia bercerita!" sela Tiang-heng Tookoh
cepat. Hoa In-liong tersenyum, "Waktu itu si bocah sudah ngos-ngosan napasnya seperti
kerbau" kembali ia lanjutkan dongengnya, "Maka dalam lelahnya diapun merengek kepada
sang ayah sambil berkata: 'Oh ayah, ananda tak mampu menggeserkan batu itu!', maka sang
ayahpun menjawab: 'Sudahkah kau gunakan segenap kekuatan yang kau miliki"'. 'Sudah
ayah!' sahut si bocah dengan wajah merengek ingin menangis, 'sekujur badan ananda jadi lemas,
sedikitpun tak bertenaga lagi!'. Adik Wi, tahukah kau bagaimana jawaban dari sang ayah dari si
bocah itu?" "Apa lagi yang musti dia katakan" Sudah tentu membantu anaknya untuk
menggeserkan batu tersebut!" sahut Coa-Wi-wi dengan alis mata yang berkenyit kencang.
"Yaaa, benar, seharusnya ia memang musti membantu sang anak. Cuma itu adalah
persoalan si ayah dan bukan urusan si bocah!"
"Lantas....lantas apa jawaban dari si ayah?" tanya Coa Wi-wi setelah tertegun
sejenak. "Ia bilang begini: 'Wahai anakku sayang! Dengarkanlah, kau sama sekali belum
menggunakan segenap kekuatan yang kau miliki. Atau paling sedikit kau toh masih dapat
memohon bantuanku. Masa buka mulut untuk mengajukan pertolongan saja kau tak mampu untuk
melakukannya"' Akhirnya ayah dan anakpun bergotong-royong, dengan mudahnya batu gunung itu
berhasil mereka singkirkan dari tengah jalan"
Berbicara sampai disitu, iapun berpaling ke arah Tiang-heng Tookoh sambil
berkata, "Bibi Ku, dulu engkau orang tua selalu melindungi dan membantu ayahku. Mengapa selama dua
puluh tahun belakangan belum pernah kau kunjungi perkumpulan Liok-soat-san-ceng kami"
Apakah cuma berkunjung saja kau tak mampu untuk melakukannya?"
Tiang-heng Tookoh merasakan hatinya bergetar keras, diam-diam pikir hatinya,
"Yaa, benar juga perkataan ini! Thian-hong sedang menghadapi kesulitan, kenapa tidak pergi
mencarinya" Apakah tindakanku ini merupakan suatu kesetiaan terhadap cinta, kesetiaan terhadap
kasih sayang. Kesetiaan terhadap Thian-hong?"
Meskipun ia berpikir demikian, lain pula dengan apa yang diucapkan. Katanya
dengan dingin, "Mengapa pula ayahmu tidak tadang mencari aku" Kenapa akulah yang harus
mencarinya?" "Oleh karena itulah ibu berkata kepadaku, bahwa kami keluarga Hoa telah berbuat
salah kepadamu!" 487 "Sekuat tenaga Tiang-heng Tookoh berusaha untuk mengendalikan pergolakan
perasaan dalam hatinya. Kembali ia berkata dengan suara yang amat dingin, "Dari tadi kasak
kusuk melulu, sebenarnya apa yang kau bicarakan...." Aku tidak mengerti!"
"Liong-ji cuma ingin bibi Ku menanggalkan pakaian pendetamu. Pulihkan wajahmu
yang sebenarnya dan berdiam dirumah keluarga Hoa kami!"
"Aaaah.... itu impian kosong. Itu hanya omong kosong belaka!' teriak Tiang-heng
Tookoh cepatcepat, "Jika aku sampai berbuat demikian, bukankah sia-sia belaka
pertapaanku selama delapan
tahun ini" Bukankah hasil yang kuperoleh selama ini akan hancur berantakan dan
lenyap dengan begitu saja?" "Tenteramkan perasaan bibi Ku" Dengan mata kepala sendiri Liong-ji pernah
mendengar kau berkata begitu. 'Akar cinta pinto sukar diputuskan, hingga tanpa sadar selalu
muncul dalam benakku sebercak harapan untuk berjumpa sekali lagi dengannya!'. Kalau toh
demikian, kenapa tidak secara terang-terangan saja kita berbicara dan buka kartu, lalu kita hidup
bersama dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan"
"Walaupun pinto pernah mengatakan demikian, namun pinto juga pernah berkata
begini: 'Usiaku telah lanjut, daripada bertemu lebih baik tak usah bertemu lagi!'. Apakah kau
tidak mendengar kata kataku itu?" "Tentu saja Liong-ji juga mendengar kata kata tersebut. Cuma Liong-ji masih
sempat mendengar bibi Ku berkata begini: 'Che-giok, dirikanlah Cha-li-kau mu dan bantulah
dirinya!' Kemudian kau juga pernah berkata: 'Yang penting dalam bercinta adalah mencintai, jangan
mengharapkan akan berhasil atau tidak'. Lantas bagaimanakah penjelasannya dengan kata-kata
tersebut?" Tiang-heng Tookoh benar-benar merasa kehilangan muka, sinar matanya kontan
mencorong tajam, bentaknya dengan tajam, "Liong-ji, sebetulnya kau pakai aturan atau
tidak?" "Bibi Ku, apakah kau berharap rasa hormat Liong-ji kepadamu hanya tergantung
dibibir belaka. Kau tak akan perduli perasaan tersebut sesungguhnya atau pura-pura belaka?" kata
Hoa In-liong dengan wajah yang amat serius.
Mula-mula Tiang-heng Tookoh agak tertegun. Kemudian dengan suara yang lebih
lembut dia mengeluh, "Aaaaai.... Kau si bocah cilik.... memang kau anggap urusan didunia ini
segampang apa yang kau duga" Kuakui memang pandai berbicara dan bersilat lidah tapi jangan
toh belum tentu kan bisa menaklukan perasaan pinto. Sekalipun aku berhasil kau taklukan,
bagaimana kedua orang tuamu dan nenekmu" Bagaimana dengan jalan pikiran mereka" Ketahuilah
"berbuat salah kepada pinto" adalah
satu urusan. Melakukan sesungguhnya adalah urusan lain. Kau masih terlalu muda,
jalan pikiranmu terlalu polos, hanya mengandalkan kehangatan perasaan belaka...."
Yaa, setelah bertemu dengan manusia macam Hoa In-liong mau tak mau Tiang-heng
Tookoh harus bermain akal. Maka nada suaranya jauh di perlunak, ia berusaha
membicarakan tentang soal cengli dengannya. Siapa tahu begitu Hoa-In-liong mendengar perkataan tersebut, ia lantas menukas
kembali, "Bibi Ku tak usah memikirkan tentang soal lain lagi. Soal ayah ibuku bahkan tentang
nenekku serahkan saja kepada Liong-ji. Liong-ji yang akan bertanggung jawab tentang soal
ini" 488 "Aaaah.... tanggung jawab apa yang bisa kau pikul?", ejek Tiang-heng Tookoh.
"Paling-paling kalau tidak berhasil, kau lantas menggunakan kekerasan!"
"Jika kekerasan tidak berhasil, aku akan berbicara soal cengli. Aku yakin semua
urusan didunia ini tak dapat mengalahkan soal cengli" tegas anak muda itu.
Jilid 25 PERKATAAN tersebut segera mengundang rasa geli dari Tiang-heng Tookoh, "Cengli
apa yang hendak kau bicarakan?" katanya, "Apakah engkau hendak mengatakan pinto telah
melakukan bagaimana terhadap keluarga Hoa kalian?"
"Yaa, benar!" Hoa In-liong membenarkan, "Bila Cengli perlu dibicarakan, soal
tersebut mau tak mau harus dibicarakan pula. Cuma....soal itu lebih baik dibicarakan sampai pada
waktunya saja! Bagaimanapun juga Liong-ji lah yang akan bertanggung jawab. Asal bibi Ku setuju
untuk menanggalkan jubah pendeta dan berkumpulan dengan kami, Liong-ji jamin ayah
sendirilah yang akan menyambut kedatangan bibi di perkampungan kami".
Namun Tiang-heng Tookoh gelengkan kepalanya berulang kali. Dia hanya tertawa
tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Hoa In-liong jadi tertegun.
"Kenapa?" teriaknya, "Apakah engkau tak percaya dengan Liong-ji?"
"Dalam soal ini bukan percaya atau tidak yang dipersoalkan. Sebaliknya adalah
pinto yang tak dapat menyanggupi permintaanmu itu. Pinto tak mungkin memenuhi harapanmu itu".
Hoa In-liong semakin tertegun, semakin termangu. Setelah melongo beberapa waktu
lamanya ia baru berkata lagi, "Bibi Ku, kau tidak pakai aturan. Sekarang kau sedang
melarikan diri dari tanggung jawab. Kau sedang berusaha menghindari kenyataan. Kau berusaha mencuri
hidup diantara perasaan yang saling bertentangan dengan perasaan egoismu sendiri,
tahukah engkau akan hal ini?" Tiang-heng Tookoh tersenyum. "Percuma Liong-ji. Kau tak usah menggunakan kata-
kata semacam itu untuk membakar perasaanku keputusan pinto sudah kuambil sejak
delapan tahun berselang. Membakar hatiku hanya pekerjaan yang sia-sia belaka, lebih baik
berhematlah dengan tenagamu!" Hoa-In-liong benar benar kehabisan akal, alisnya mulai berkerut karena kesal.
"Bibi Ku, tampaknya kau memang seorang perempuan yang berhati sekeras baja"
omelnya. Tiang-heng Tookoh masih juga tersenyum seperti sedia kala. "Kau keliru anak
liong. Hati pinto sebenarnya lebih empuk daripada tahu. Sebab hati yang terbuat dari besi makin
digarang makin lembek. Sebaliknya hati yang seempuk tahu makin digarang, akan semakin mengeras,
tahukah engkau akan hal ini?"
Hoa In-liong bukan seorang manusia yang bodoh setelah menyaksikan keadaan
tersebut, diamdiam diapun berpikir, "Aaaai.... Jika ditinjau dari sikapnya yang
amat santai dan acuh tak acuh,
tampaknya usahaku kali ini hanya akan sia-sia belaka. Aku.... aku.... Yaa benar! Aku
harus memanasi lagi hatinya. Coba dilihat dulu bagaimana reaksinya sebelum mengambil
keputusan lebih jauh!" 489 Setelah mengambil keputusan, diapun menatap tajam perempuan itu, kemudian
ujarnya dengan suara dalam, "Jadi kalau begitu, bibi Ku sudah mengambil keputusan untuk
melakukan pembalasan dendam?" "Membalas dendam?" Tiang-heng Tookoh tertegun dan berdiri melongo, "Aku mau
membalas dendam...." Membalas dendam kepada siapa nak?"
"Tentu saja kepada ayahku!" sahut Hoa In-liong dengan dahi berkerut. Ia sudah
mempunyai rencana yang matang, maka ucapan itupun dikatakan dengan wajah bersungguh-
sungguh, "Bukankan kau hendak membalas dendam pula terhadap anak cucu dari keluarga Hoa


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami?". Tiba-tiba perubahan wajah Tiang-heng Tookoh yang menegang berubah jadi lembut
kembali, ia tersenyum. "Jadi engkau berpendapat demikian?" ia bertanya.
"Yaa, dan aku rasa itulah kenyataannya!" jawab Hoa In-liong dengan nada marah,
"Kami keluarga Hoa telah bersalah kepadamu, membiarkan kau hidup bergelandangan
seorang diri diluar, bukankah hal ini...."
"Bukankah hal ini sama halnya dengan menjerumuskan ayahmu sebagai seorang
manusia yang tak setia kawan, membuat anak keturunan keluarga Hoa harus menanggung sesal
sepanjang hidup. Bukankah Demikian?" tukas Tiang-heng Tookoh, "Liong-ji kau telah
memandang duduknya persoalan terlampau serius. Apalagi pinto sendiripun tak pernah
berpikir sampai kesitu, bahkan selamanya tak nanti akan berpikir demikian"
Tiba-tiba Hoa In-liong jadi emosi, serunya, "Yaa, kau tak akan berpikir
demikian, tapi aku berpikir
demikian! Ayahku mungkin tidak berpikir begitu, namun bagaimana dengan orang
orang lainnya" Mereka pasti akan berpendapat betul!. Kami orang-orang dari keluarga Hoa biar
kepala harus dipenggal, darah berceceran menggenangi tanah, semuanya tak sudi melakukan
perbuatan yang merugikan orang lain. Nama yang berhasil kami raih selama inipun diperoleh
secara jujur dan terbuka. Tapi hari ini ternyata masih ada satu kejadian yang tidak menyenangkan
menyangkut diri ayahku. Bukankah hal ini sama halnya dengan mempersulit kedudukan keluarga
Hoa kami" Bukankah kejadian ini akan lebih menyiksa diri kami daripada kami semua
dibantai". Bibi Ku, melimpahkan bencana sampai anak cucunya, apakah kau tidak merasa bahwa caramu
membalas dendam sedikit kelewat kejam dan berlebihan?"
Beberapa patah kata yang terdapat memang merupakan suatu kenyataan. Tiang-heng
Tookoh cukup memahami akan keadaan tersebut, tapi berbicara soal pembalasan dendam,
itulah suatu tuduhan yang bikin orang jadi penasaran.
Tapi, Hoa In-liong memang bertujuan untuk membakar hati Tiang-heng Tookoh. Tentu
saja ia baru mamiliki kata-kata yang dapat membangkitkan amarah lahir tersebut dan
buktinya rahib perempuan itu memang tak tahu menghadapi sekarang kata-kata yang kesal didengar
itu. Paras mukanya berubah hebat, dengan nada yang kesal ia membentak keras-keras,
"Tutup mulutmu! Membalas dendam.... membalas dendam.... Kalau aku mau membalas dendam,
lantas kenapa" Apakah kalian...."
"Kami kenapa?" tukas Hoa In-liong dengan wajah mengejek, "Kami bukannya sengaja
bermaksud melupakan engkau. Hmm! Kalau sejak dulu kami tahu bahwa pikiranmu
demikian picik, dadamu demikian sempit. Bukan saja aku tidak akan banyak ribut dan
cerewet hingga mengesalkan hati orang mungkin ayahku sendiri juga tak sampai turun gunung!"
490 Ketika si anak muda itu mengucapkan kata-katanya dengan nada yang sinis, Tiang-
heng Tookoh dibuat terbelalak karena kaget. Selang sesaat kemudian, si Rahib perempuan itu
baru berkata lagi dengan suara dingin, "Kalau ayahmu turun gunung lantas kenapa" Siapa yang
tidak tahu bahwa ayahmu adalah seorang enghiong, seorang pendekar, seorang laki-laki yang
lebih mementingkan karier...."
Ketika secara diam-diam Hoa In-liong mengamati perubahan wajahnya, ia lantas
berpikir, "Bagus.... sudah hampir kena. Begitu kusinggung bahwa ayahku sudah turun gunung,
ternyata paras mukanya berubah juga".
Meski berpikir demikian dihati, sikap diluaran tetap kaku dan sinis, malahan
dengan suara yang berubah sekali lagi dia menukas, "Bibi Ku, jadi kau tidak pandang sebelah mata
kepadaku?" Ucapan tersebut ibaratnya hembusan angin dari lubang gua, mendadak sekali
munculnya seketika itu juga membuat Tiang-heng Tookoh tertegun.
"Apa maksudmu?" serunya kemudian.
"Kau mengatakan ayahku seorang enghiong, seorang pendekar, seorang laki laki
yang mementingkan karier, bukankah hal ini sama artinya dengan tidak pandang sebelah
mata kepadaku?" seru Hoa In-liong dengan mata melotot besar.
"Eeeh.... Kalau bicara sedikitlah lebih jelas. Siapa yang tidak pandang sebelah
mata kepadamu?" Hoa in-liong mendengus dingin. "Hmmm....! Masih berpura pura" Terus terang
kukatakan kepadamu, ayanku turun gunung kali ini adalah sedang menjalankan tugas untuk
mencari dirimu. Sebaliknya tanggung jawab dalam menegakkan keadilan dan kebenaran serta menumpas
hawa iblis dari muka bumi oleh nenek telah diserahkan kepadaku. Dengan perkataanmu
barusan, bukankah sama artinya bahwa kau memandang enteng usiaku yang masih terlalu muda,
kepandaian silatku yang terbatas dan tak pantas memikul tanggung jawab
tersebut?" Jelas perkataannya itu adalah kata-kata bohong sekalipun ada beberapa hal yang
merupakan kenyataan, namun jauh sekali bila dibandingkan dengan kenyataan yang
sesungguhnya. Meski demikian, ketika ia utarakan kata-kata itu dengan nada marah, menunjukkan
sikap tak mau kalah dari seorang muda. Bukan saja orang yang mendengar seakan akan dibikin
percaya. Tiang-heng Tookoh yang semula masih ragu-ragu pun jadi percaya dibuatnya.
Betul juga, ketika Tiaig-heng Tookoh mendengar perkataan itu hatinya kontan
bergetar keras, paras mukanya ikut berubah hebat. "Sungguh.... sungguh ini?" ia bertanya dengan
nada gemetar. Hoa In-liong mencibirkan bibirnya. "Sungguh atau tidak, aku dapat mengambil .
Kenyataan membuktikannya dihadapanmu, buat apa kau musti banyak bertanya?"
Ia pura pura seperti salah mengartikan maksud lawan, pura-pura seperti seorang
laki-laki yang merasa tersinggung karena kemampuannya diragukan orang.
Semakin ia bersikap begitu, Tiang-heng Tookoh semakin percaya bahwa kata kata
anak muda itu adalah kenyataan. 491 Maka baru saja Hoa In-liong menyelesaikan kata-katanya, dengan wajah gugup dan
tegang ia berseru kembali, "Liong-ji, aku sedang menanyakan tentang...."
Tak bisa diragukan lagi, kata kata selanjutnya tentulah "ayahmu atau orang tuamu
bagaimana.... bagaimana...." Namun, justru dengan pertanyaan ini, terlihatlah dengan jelas betapa
bertentangannya jalan pikiran si rahib perempuan itu, dan terbongkar pula bagaimanakah perasaan hati
yang sebenarnya. Oleh sebab itu ia stop perkataannya sampai di tengah jalan, untuk sesaat dia
jadi gelagapan dan tak tahu harus maju atau mundur, tertegun dan berdiri melongo.
Perlu diketahui, Tiang-heng Tookoh sampai nekad mencukur rambut jadi pendeta dan
menggunakan "Tiang-heng" sebagai gelarnya, bahkan dewasa ini diapun tak mau
menyanggupi permohonan dari Hoa In-liong, hal ini bukan dikarenakan rasa cintanya sudah
menipis, rasa bancinya makin menebal. Juga bukan lantaran wataknya sudah berubah dan ia jadi
orang yang tak tahu adat. Sebaliknya kesemuanya itu justru karena perasaan hatinya yang
saling bertentangan. Atau tegasnya, hal ini dikarenakan rasa rendah dirinya yang menebal menyebabkan
perasaannya jadi sensitif, gampang tersinggung dan akhirnya terciptalah sikap jaga gengsi
yang berlebihan. Seandainya ia dapat menghilangkan sikap jaga gengsinya, hilanglah rasa rendah
dirinya, maka semua kemurungan dan kebencian secara otomatis akan ikut lenyap pula dengan
sendirinya Teringat ketika peristiwa pencarian harta dibukit Kiu-ci-san tempo hari, Chin
Wan-hong hujin pernah mendapat perintah dari Bu lo-tay-kun untuk berangkat ke bukit Kiu-ci-san
dan membicarakan tentang hubungan antara Hoa Thian-hong dengan diri Tiang-heng
Tookoh ketika itu. Dengan watak Chin Wan-hong hujin yang luwes dan halus, ia telah memberi banyak
penjelasan tentang budi, cinta, setia kawan dan cengli terhadap diri Tiang-heng Tookoh
ketika itu. Bahkan diapun telah menyampaikan pesan dari Bu lo-tay kun yang mengundang dirinya untuk
berdiam di perkampungan Liok-soat-san-ceng.
Ketika itu Giok-teng hujin (Tiang-heng Tookoh) pernah berkata demikian, "Kakak
benar-benar tak punya keberanian untuk melangkahkan kakiku memasuki gerbang keluarga Hoa!"
Diapun berkata pula demikian, "Bukannya aku tak mau. Pada hakekatnya aku merasa
malu, merasa rendah diri untuk berbuat demikian!"
Waktu itu, berada dihadapan Chin Wan-hong yang lembut dan luwes, boleh dibilang
semua perkataan yang diutarakan keluar. Muncul secara jujurnya dan benar-benar keluar
dari sanubari yang murni. Namun tak bisa dihindari pula rasa malu dan rendah dirinya makin
terbuka pula dalam kata-kata itu. Sebab itulah ketika pencarian harta karun di bukit Kiu ci-san telah berakhir,
bukan saja ia tidak menerima tawaran dari Chin Wan-hong hujin untuk berdiam sementara waktu di
pasanggrahan keluarga Hoa yang ada dipulau Si-soat-to dilautan Tang-hay. Bahkan sebaliknya ia
malah bergelandangan kesana kemari dan berusaha sedapat mungkin menghindari
pertemuannya dengan setiap orang yang berhubungan dengan keluarga Hoa.
492 Ia berbuat demikian pada mulanya bermaksud demi kebaikan Hoa Thian-hong, juga
ingin memutuskan rasa kangen Hoa Thian-hoeng terhadap dirinya. Siapa tahu sama kini
dia berbuat demikian rasa kangen dan cintanya kepada Hoa Thian-hong yang bertambah dalam.
Memang hatinya pernah tergerak untuk berdiam di pasanggrahan keluarga Hoa di
pulau Si-soat to namun ia selalu tak mempunyai keberanian untuk melangkah ke bukit Im Tiong-
san. Yaa, cinta yang terlampau ditekan lama kelamaan memang bisa menimbulkan akibat
sampingan. Akhirnya ia mulai berpikir bahwa jelek-jelek Hoa Thian-hong seharusnya turun
gunung untuk menengok dirinya. Tidak seharusnya kalau ia berdiam diri belaka seakan-akan
telah melupakan sama sekali terhadap seorang perempuan yang bernama Giok-teng hujin.
Akibatnya rasa kesal yang menumpuk menimbulkan kebencian. Dengan menahan rasa
benci dan dendam diapun memutuskan untuk cukur rambut jadi pendeta dengan gelar "Tiang-
heng" (benci yang berkepanjangan). Tapi sekarang, Hoa Thian-hong datang mencarinya, bahkan datang dengan membawa
tugas. Jelas yang dimaksudkan dengan "membawa tugas" adalah tugas yang diberikan Bun Lo
tay-kun kepadanya, dengan demikian membuktikan pula bahwa orang-orang keluarga Hoa pada
hakekatnya tak pernah melupakan dirinya. Hal ini bukankah sama artinya dengan
dia sendirilah yang sebetulnya sudah salah sangka"
Untuk sesaat lamanya, Tiang-heng Tookoh betul betul merasakan pikirannya kalut
dan murung. Belum pernah pikirannya sekalut ini.
Berbeda dengan Hoa In-liong, diam diam ia gembira karena siasatnya sudah
mendatmgkan hasil, katanya kembali, "Bibi Ku, kau sedang menanyakan soal ayahku" Terus terang saja
sebenarnya aku tak ingin mengatakannya kepadamu. Daripada kau kira aku sedang membohongi
dirimu, tapi sekarang toh aku sudah terlanjur mengatakannya keluar, maka aku pun tak ingin
mengelabuhi dirimu lagi. Yaa benar bibi Ku, ayahku sedang mencarimu. Liong-ji ingin bertanya
sekarang seandainya kau telah bertemu dengan ayah, apakah bibi Ku masih tetap akan keras
kepala seperti ini?" Ia memang bermaksud untuk membakar hati rahib itu, maka tak segan-segannya untuk
bicara bohong, berbicara menurut perasaannya. Tujuan kali ini pasti akan berhasil,
siapa tahu cara lain pun tak mempan, apalagi hanya mengandalkan sepatah dua patah kata saja"
Tiang-heng Tookoh termenung dan berpikir sebentar, kemudian pelan-pelan bangkit
berdiri, ujarnya dengan lembut, "Baiklah kalau begitu tolong sampaikan kepada ayahmu.
Katakanlah Ku Ing-ing yang dulu sudah mati banyak tahun. Yang masih hidup didunia sekarang ini
tak lebih hanyalah Tiang-heng Tookoh. Kenangan lama bagaikan asap di udara, harap dia tak


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

usah mencari diriku lagi"
Perkataan itu diurapkan dengan sikap yang serius, nada yang kalem dan sama
sekali tak nampak emosi. Sikap seperti ini tentu saja mencengangkan Hoa In-liong. Ia tertegun dan ikut
bangkit berdiri. "Kenapa?" serunya, "kau.... kau...."
Tiang-heng Tookoh tertawa ewa, sambil ulapkan tangannya ia menjawab, "Selamat
tinggal anak liong. Kau sangat cerdik, semoga kau baik-baik menjaga diri dan jangan lupa
dengan pesan pinto!" 493 Kemudian kepada Coa Wi-wi diapun berseru, "Selamat tinggal!"
Kemudian sambil mengebaskan ujung jubahnya, ia putar badan dan berlalu dari
situ. Hoa In-liong jadi termangu. "Bibi Ku!" teriaknya, "Kau...."
Namuh Tiang-heng Tookoh tidak berpaling lagi, dalam sekejap mata bayangan
tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Hoa In-liong siap menerjang, tapi Coa Wi-wi segera menarik tangannya seraya
berbisik, "Percuma, tak mungkin dapat kau susul lagi. Jiko! Biarkan dia pergi...."
Hoa In-liong termenung sebentar akhirnya ia menghela nafas panjang, "Aaaai....
Akulah yang terlalu bernafsu. Akulah yang tak dapat mengendalikan emosiku. Aaaai! Siapa tahu
kalau ia akan pergi sambil memutuskan hubungan. Begitu mengatakan mau pergi segera juga ia
pergi!" "Siapa bilang kalau dia pergi sambil memutuskan hubungan" Justru lantaran dia
jadi bingung, gelagapan dan tak tahu apa yang musti dilakukan, maka dia putuskan untuk pergi
saja dari sini. Tak usah kuatir Jiko! Pada hakekatnya ia sudah kau buat tergerak perasaan
hatinya. Aku dapat melihatnya. Bila kalian berjumpa lagi dikemudian hari, aku yakin kau pasti
berhasil" "Aaaai!.... Kalau musti menunggu sampai bertemu lagi dikemudian hari, siapa bilang
kalau aku akan berhasil dengan gampang?"
"Aaaah.... Kenapa kau jadi tolol begitu?" omel Coa Wi-wi dengan dahi berkerut,
"Kemarikan telingamu, akan kuberi tahu duduk persoalan yang sesungguhnya!"
Melihat perempuan itu sok rahasia, terpaksa Hoa In-liong tundukkan kepalanya dan
menempelkan telinganya disisi bibir gadis itu.
Coa Wi-wi meninggikan tumitnya dan membisikkan sesuatu disisi telinga pemuda
itu. Entah apa yang telah ia bisikkan. Tapi yang jelas, setelah mendengar bisikan tersebut, Hoa In-liong mengangguk
berulang kali. "Yaa.... apa boleh buat, terpaksa memang harus begitu, semoga saja apa yang kau
duga memang tepat!" "Pasti!" sahut Coa Wi-wi dengan wajah bersungguh-sungguh, "Bila kau tidak
percaya, bagaimana kalau kita bertaruh saja?"
Hoa In-liong tertawa geli. "Bertaruh apaan" Anggap sajalah aku percaya kepadamu,
mari kita berangkat!" Maka kedua orang itupun tinggalkan hutan menuju ketepi sungai sambil
bergandengan tangan. Ketika fajar baru menyingsing, kedua orang itu sudah tiba di dermaga
penyeberangan Wu-kang. Selesai bersantap pagi, mereka mencari perahu dan berangkat menuju kota Kim-
leng. Inipun merupakan usul dari Coa Wi-wi. Ia bilang dengan menempuh perjalanan
memakai perahu maka mereka akan berhindar dari pengawasan orang serta mengurangi datangnya
banyak kesulitan yang tak perlu.
494 Selesai itu diapun beralasan lantaran racun keji yang mengeram ditubuh Hoa In-
liong belum lenyap, maka menggunakan kesempatan menumpang perahu ia dapat bersemedi untuk
memaksa keluarnya racun dari badan.
Padahal, setelah mereka berdua naik perahu, Coa Wi-wi malahan bertanya kesana
bertanya kemari tiada hentinya. Pokoknya ia bagaikan seekor burung kecil yang manja, meskipun agak bawel dan
bertanya terus, cukup menggembirakan hati orang.
Hoa In-liong bukanlah seorang pemuda yang pemurung. Apa yang mereka rencanakan
semulapun segera dikesampingkan untuk sementara waktu. Di hadapan sigadis yang
manja itu dia bersikap penurut. Semua pertanyaan yang diajukan kepadanya segera dijawab
sampai memuaskan hatinya. Sementara persoalan yang menyangkut keselamatan Hoa Si pun
untuk sementara waktu dikesampingkan.
Perahu yang berjalan mengikuti arus ternyata bergerak lebih cepat dari
psrjalanan di darat. Ketika senja menjelang tiba, perahu sudah tiba di dermaga Hee-kwan.
Kedua orang itupun naik kedataran dan masuk kota. Menurut rencana Hoa In-liong,
dia segera akan kembali ke persoalan yang nyata. Tapi setelah merenung sebentar, akhirnya
diapun berkata begini, "Adik Wi, lebih baik kau pulang dulu, aku hendak menengok keadaan
dirumah pelacuran Gi-sim-wan" "Tidak!" belum saja kata-katanya selesai, Coa Wi-wi sudah menukas dengan cepat,
"Aku tak mau pulang, lebih baik kita pergi bersama sama saja!"
"Tapi.... Tapi.... Masa kau mau ikut pergi ke tempat semacam itu" Kan tidak pantas?"
sahut Hoa In-liong sambil menunjukkan sikap keberatan.
"Aaaah.... Siapa yang bilang kalau aku tak pantas berkunjung kesana?" teriak Coa
Wi-wi cemberut, "Pokoknya aku tak mau tahu. Toh kau telah berjanji, kemanapun kau
pergi aku akan mengikuti terus. Kau jangan salah janji!"
Hoa In-liong mengerutkan dahinya, pusing, tapi setelah berpikir sebentar katanya
kembali, "Adik Wi sayang, mesti menurut. Banyak urusan yang musti kita kerjakan saat ini.
Bagaimana pun juga semua pekerjaan tersebut harus kita lakakan secara terpencar. Pulanglah dulu ke
rumah, coba tengok apakah kakakmu masih dirumah. Bila ada maka suruhlah dia tunggu sebentar,
aku akan segera menyusul ke sana"
"Percuma, tak usah ditengok!" Coa Wi-wi gelengkan kepalanya kembali, "Aku cukup
memahami wataknya itu. Apa yang katakan Wa Ek-hong pasti tak bakal salah lagi dia, pasti
sudah pergi menemani Yu toako" "Tapi kakakmu adalah seorang laki-laki yang pegang janji. Ketika kami berpisah,
ia telah berjanji akan menunggu aku di kota Kim-leng. Padahal keadaan yang sebenarnya mengenai
keluarga Yu hanya diketahui oleh kakakmu seorang. Aku tidak kenal siapa-siapa disini,
rasanya tidak gampang bagiku untuk menemukan jejaknya...."
"Kau tidak kenal siapa-siapa aku toh kenal" kembali Coa Wi-wi menukas dengan
cepat, "Aku bisa membawa kau pergi mencarinya. Kalau tidak apa salahnya kalau kita langsung
berkunjung ke telaga Hian-bu-ou?" 495 "Bila kakakmu kita temukan, mati tak perlu berkunjung ke Hian-bu-ou. Ketahuilah
adik Wi menolong orang bagaikan menolong kebakaran, kita harus bekerja cepat"
"Walau begitu, toh tak ada gunanya musti bergelisah atau bercemas-cemas" urusan
musti kita selesaikan satu demi satu. Hayolah, kita cari dulu alamat dari markas Cian-li-
kau. Setelah keadaan Toako dapat kita ketahui maka kita baru pergi mencari kakakku dan
menyelidiki kejadian yang sebenarnya mengenai keluarga Yu. Asal dia ditemukan, bukankah
kepergian Yu toako juga bakal kita ketahui?"
"Baiki" kata Hoa In-liong dengan kening berkerut, "Kalau toh engkau sudah tahu
bahwa tujuanku adalah mencari markas Cian-li kau, itu berarti aku bukan pergi untuk mencari
gara-gara apa lagi yang kau kuatirkan". Ketahuilah, rumah pelacuran Gi-sim-wan adalah tempat yang
rendah dan bejat. Sebagai seorang anak dara tidak pantas bagimu untuk mengunjunginya....
Mengerti?" "Hmmm! Darimana kau bisa tahu kalau tak akan terjadi pertarungan?" seru Coa Wi-
wi tak mau kalah. Seandainya sampai terjadi bentrokan kekerasan, lantas bagaimana" Kau
bilang anak dara tak boleh berkunjung ke situ, bila ku saru sebagai orang pria kan urusan jadi
beres" Aku tidak percaya kalau didunia ini terdapat pula tempat-tempat yang tak boleh kukunjungi"
Hoa In-liong benar-benar mati kutunya, ia tak mampu memberikan alasan lagi
kepada si nona yang cerdik. Yaa, memang rada pusing setelah bertemu dengan seorang nona setengah matang
setengah ke kanak-kanakan macam Coa Wi-wi. Bukan saja ia tak dapat menerangkan Gi sim-Wan
itu tempat yang bagaimana, diapun tak dapat menarik muka sambil memaksanya pulang dulu ke
rumah. Apalagi apa yang diucapkan Coa Wi-wi bukannya sama sekali tak beralasan.
Sekalipun ia cerdik, sekalipun ia banyak akal musliat, tapi sekarang anak muda itu benar-benar keok
benar-benar mati kutunya dan tak sanggup berkata-kata lagi.
Maka diapun meneruskan perjalanannya dengan membungkam, sedang Coa Wi-wi
mengikutinya pula di belakang dengan mulut membungkam juga. Begitulah.... dalam suasana bening
dan tutup mulut, kedua orang itu masuk ke dalam kota.
Tak lama setelah mereka masuk kota, dari depan sana tiba-tiba muncul seorang
pengemis kecil yang menghampirinya. Begitu sampai dihadapan Hoa In-liong sambil tertawa
pengemis kecil itu berseru, "Kongcu, apakah kau she-Pek?".
"Ada urusan apa....?" tanya Hoa In-liong dengan wajah tertegun, ia heran.
Pengemis kecil itu segera tertawa cekikikan. "Hiih.... hiii.... Bila engkau benar-
benar she Pek, tolong hadiahkan setahil perak untukku!"
Ketika Coa Wi-wi mengetahui bahwa orang itu cuma seorang pengemis yang minta
persen, kontan saja matanya melotot besar, rupanya dia hendak mengumbar hawa amarahnya.
Berbeda dengan Hoa la-liong, setelah berpikir sebentar ia merasa urusan ini
sedikit mencurigakan. Maka diambilnya setail perak dan diberikan kepada pengemis itu.
"Nih, hadiah untukmu, kalau ada perkataan cepat disampaikan!" serunya.
Setelah menerima uang itu dan ditengoknya sebentar, pengemis cilik itu kembali
tertawa cekikikan. "Hii.... hii.... hiih.... Kalau begitu perempuan-perempuan itu tidak salah
bicara. Kongcuya tentulah orang she Pek yang dimaksudkan. Nih Untukmu...."
496 Tangannya yang dekil segera merogoh ke dalam sakunya dan nenyusupkan segumpal
kertas ketangan Hoa In-liong setelah itu diapun putar badan dan berlalu dari sana
dengan wajah terseri-seri. Mula mula Hoa In-liong agak tertegun, kemudian kertas itu dibentangkan dan
isinya dibaca. Coa Wi-wi ikut menyusul kedepan dan membaca pula isi surat tersebut....
Terbcalah surat itu berbunyi demikian, "Anak Si tidak apa apa, baik-baiklah jaga
diri" Dibawah kertas itu terdapat sebuah tanda pengenal, sebuah lingkaran bukit yang
mempunyai sebuah ekor. Tentu saja Coa Wi-wi jadi tercengang menyaksikan tanda gambar itu. Sambil
menuding tanda tersebut serunya, "Gambar apa itu" Masa mirip kecebong?"
"Huusss! Itu bukan gambar kecebong!" seru Hoa In-liong, "Itu lukisan sebuah
kipas bundar, senjata andalan dari Cu-yaya"
Mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi memperhatikan sekali lagi, betul juga,
lukisan itu memang mirip sebuah kipas, maka diapun tertawa. "Bisa menggunakan sebuah kipas sebagai
senjata andalan, ilmu silat yang dimiliki Cu-yaya itu pasti tinggi sekali!"
"Cu-yaya bergelar Siau-yau-sian (dewa yang suka kelayapan). Dia adalah supek
dari enthio ku. Tentu saja ilmu silat yang dimilikinya sangat lihay" sahut Hoa In-liong dengan
suara ewa. Ketika didengarnya suara pembicaraan si anak muda itu dingin dan ewa, Coa Wi-wi
melongo. "Eeeeh.... kenapa kamu?" serunya, "Masih marah yaa sama aku?"
"Siapa yang marah kepadamu?" sahut Hoa In-liong tertegun. Ia tampak agak
tercengang. "Aku memaksa kau, bersikeras ingin ikut dirimu pergi ke Gi-sim-wan, marah bukan
kepadaku?" Hoa In-liong berseru tertahan kemudian tertawa geli. "Nah, itulah dia kalau jadi
orang banyak curiga. Aku kan tahu bahwa kau bermaksud baik. Memangnya aku ini orang yang
bodoh dan suka marah-marah kepada orang yang baik kepadaku?"
"Kalau bukan lagi marah, kenapa kau berdiri melongo seperti orang kehilangan
semangat". Sampai-sampai suara jawabanmu kedengaran begitu tawar dan ogah-ogahan?"
Sekarang Hoa In-liong baru sadar, "Oooh.... Rupanya begitu, aku lagi memikirkan
urusan lain.

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tahu bahwa Cu-yaya itu orangnya suka bercanda. Tapi tulisan yang ia
tinggalkan kali ini begitu singkat dan terburu-buru, sebenarnya apa yang telah terjadi. Kejadian
apakah yang sudah membuat dia orang tua harus tinggalkan kebiasaannya dan terburu-buru?".
Mendengar perkataan itu, sekali lagi Coa Wi-wi menengok keatas kertas surat.
Betul juga, tulisan itu miring kesana kemari dan ditulis amat terburu-buru. Tapi ia segera tertawa.
"Aaaah.... engkau ini juga keterlaluan, bukankah kau sendiri pernah berkata, bila perahu sampai
diujung jembatan dia akan lurus dengan sendirinya" Kalau tak bisa kau pecahkan yaa tak usah
dipikirkan terus menerus!" 497 Hoa In-liong berpikir sebentar, ia merasa perkataan itu ada benarnya juga, maka
diapun mengangguk. "Yaa, perkataan dari adik Wi memang benar. Aku lihat Gi-sim-wan juga
tak usah dikunjungi lagi. Hayo bawa jalan, kita lewati saja gang-gang yang sempil dan
jarang dilewati orang". Ketika itu magrib sudah menjelang tiba. Disaat-saat seperti ini jalan raya penuh
dengan manusia yang berlalu-lalang. Sebaliknya jalan yang sempit dan gang-gang yang sepi,
jarang dilalui orang. Dengan demikian mereka bisa berjalan lebih cepat lagi.
Sejak kecil Coa Wi-wi dibesarkan di kota Kim-leng, sudah tentu dia hapal sekali
dengan jalanjalan di kota tersebut. Maka ketika ia disuruh membawa jalan, dengan
langkah lebar gadis itu berjalan memasuki sebuah lorong yang sepi.
Setelah berjalan kesana kemari sekian lama, mereka mampir dulu di rumah
penginapan "Banliong?" untuk membayar rekening serta mengambil buntalan milik
Hoa In-liong. Setelah itu baru
menuju ke jalan raya sebelah timur ke gedung keluarga Coa.
Congkoan dari gedung Coa bernama Kok Hong-sen. Dia adalah seorang kakek kekar
yang berusia lima puluh tahunan.
Setibanya di rumah, Coa Wi-wi memanggil Kok Hong-seng untuk menghadap. Dari si
kakek inilah mereka baru tahu kalau Yu Siau-lam memang benar-benar sudah menuju kebarat.
Meski Coa Cong-gi tidak ikut dalam perjalanan tersebut, akan tetapi sudah dua hari dia
juga tak diketahui kemana perginya. Begitu Coa Wi-wi mendapat tahu kalau kakaknya masih dikota Kim-leng, ia segera
memerintahkan kepada Kong Hong-seng untuk mengutus orang mencarinya. Kemudian
memerintahkan pula pelayan untuk menyiapkan hidangan dan mempersilahkan Hoa In-
liong bersihkan badan serta berganti pakaian.
Pelayan yang bekerja di keluarga Coa banyak sekali jumlahnya. Gedung itupun
sangat luas. Selesai bersantap malam, mereka berduapun duduk di ruang tengah sambil bercakap-
cakap dan menunggu kembalinya Coa Cong-gi. Mereka ingin tahu apa yang telah terjadi
dikeluarga Yu agar bisa disusun rencana kerja selanjutnya.
Berbicara menurut keadaan Hoa In-liong dewasa ini, sebenarnya ia tidak berminat
untuk banyak bicara atau duduk tersantai-santai. Pertama oleh karena Coa Wi-wi yang manja
menambah gairahnya. Kedua setelah berada di kota Kim-leng ia merasa tak enak untuk tidak
mencari tahu keadaan keluarga Yu. Maka daripada kesal menunggu orang, ia memutuskan untuk
bercakapcakap sambil mengusir kekesalan dalam hatinya.
Lain halnya dengan Coa Wi-wi, dalam hati kecilnya saat itu cuma ada Hoa In-liong
seorang. Soal budi dendam dalam dunia persilatan, pergolakan dan pertumpahan darah diantara
umat Bu-lim, baginya merupakan persoalan nomer dua. Maka bicara punya bicara akhirnya
merekapun membicarakan tentang racun ular sakti yang mengeram di tubuh anak muda itu.
Menyusul kemudian membicarakan pula tentang Goan-cing Taysu beserta asal-usul keluarga
Coa. Asal usul keluarga Coa memang cukup tersohor dan punya nama besar. Tiga ratus
tahun berselang siapapun yang menyinggung tentang kebajikan serta kelihayan ilmu silat
Bu-seng (Rasul Ilmu Silat) Im Ceng, mereka pasti akan tunjukkan sikap menghormati dan
acungkan ibu jarinya. 498 Cuma, Hoa In-liong bukan seorang laki-laki yang suka menyanjun orang lain.
Sekalipun dia pernah mendapat warisan ilmu Bu kek-teng-eng- im-hoat dari Goan-cing Taysu, itu
pun hanya menimbulkan rasa terima kasih dalam hatinya saja.
Sebaliknya begitu dia tahu kalau ayah Coa Wi-wi, Coa Coan-hua telah lenyap sejak
lima belas tahun berselang, ia jadi terkejut bercampur terharu, bahkan luapan emosinya
dihati hampir saja sukar dikembalikan lagi. Hal ini disebabkan karena pertama ia mempunyai hubungan persahabatan yang akrab
dengan keluarga Coa terutama Coa Cong-gi dan Coa Wi wi. Kedua dari mulut Wan Hong-giok
diapun pernah mendengar bahwa pihak Mo-kau dari Seog-sut-hay sedang "menguasai sejumlah
Bu-lim cian-pwe yang berilmu tinggi untuk dijadikan penyerang terdepan mereka.
"Andaikata Coa Coanhua tidak beruntung benar-benar terjatuh ke tangan orang Mo-
kau, maka andaikata dua bersaudara Coa diancam dengan ayah mereka sebagai sandera, bukankah kedua orang
ini benar benar akan tersiksa lahir batinnya hingga akhirnya mungkin akan mati karena
kesal?" Haruslah diketahui, Hoa In-liong yang sudah dididik sebagai seorang manusia
terpelajar, pada hakekatnya mempunyai rasa setia kawan yang amat tebal. Apalagi setelah dia
menghadapi tekanan demi tekanan yang diakibatkan oleh pelbagai peristiwa besar serta merta
terciptalah suatu ambisi, atau katakanlah suatu cita-cita untuk mengikuti jejak ayahnya yang
membasmi hawa siluman dari muka bumi dan menegakkan keadilan serta kebenaran dalam dunia
persilatan. Maka ketika secara tiba-tiba ia mengetahui bahwa ayah Coa Wi-wi yang berilmu
telah lenyap semenjak lima belas tahun berselang, rasa terperanjat dan golakan emosi yang
timbul dalam hatinya bukan dikarenakan kepentingan pribadi saja, melainkan juga demi keamanan
umat persilatan pada umumnya. Ia merasa kejadian itu sangat gawat dan serius bagaimana jua persoalan
diselidiki hingga meujadi jelas. Oleh karena itulah, dalam pembicaraan yang berlangsung lama, dalam hati kecilnya
diam-diam ia mengambil tiga keputusan,
Pertama. Teka-teki yang menyelubungi mati hidup Coa Goan-hua harus disingkap
secepatnya. Seandainya ia betul-betul sudah terjatuh ke tangan orang orang Mo-kau maka dia
harus berusaha dengan segala kemampuan untuk menyelamatkannya. Ini untuk menghindari
penyiksaan seterusnya serta penunggangan pihak Mo-kau kaucu yang memanfatkan
kemampuannya untuk memusuhi umat persilatan di daratan Tionggoan.
Kedua. Menurut apa yang diucapkan Coa Cong-gi tempo hari, tampaknya baik
perkumpulan Hiang-beng-kau mempunyai rencana yang matang untuk menghadapi para Bu lim
cianpwe. Oleh sebab itu dia harus berusaha untuk mengadakan suatu pertemuan dengan Pui Che-
giok, ketua Cian-li-kau untuk mengawasi gerak-gerik dari kedua partai serta menyelidiki
tempat tinggal para Bu lim cianpwe baik dari golongan lurus maupun dari golongan sesat agar bisa
memberitahukan kepada mereka untuk lebih waspada, jangan sampai kena dicelakai atau kena
dibujuk oleh mereka hingga kekuatannya dipergunakan mereka.
Ketiga. Ia merasa bahwa kekuasaan kaum sesat dewasa ini telah menyelimuti
seluruh dunia, bahkan masing-masing telah berkuasa disuatu wilayah yang cukup luas. Dia harus
berusaha mencari akal untuk menghadapi mereka serta membasmi mereka semua hingga keakar-
akarnya. Walaupun ketiga buah keputusan tersebut hanya merupakan garis besarnya belaka,
namun boleh di bilang sudah meliputi semua bagian yang penting. Atau tegasnya
keputusannya yang 499 ketiga bukanlah terhitung suatu keputusan, melainkan suatu keharusan yang musti
dilakukan demi lancarnya keputusan-keputusan yang lain.
Tapi, keadaan situasi dewasa ini berbeda jauh dengan keadaan dalam dunia
persilatan tempo dulu dimana dunia ketiga musuh dikuasai oleh tiga kekuatan maha besar.
Sewaku Hoa Tiang-hong malang-melintang dalam dunia persilatan, kekuasaan serta
kekuatan tiga maha besar sudah cukup jelas. Sebaliknya situasi dewasa ini masih belum
tetap. Walaupun hawa iblis telah menyelimuti seluruh dunia, namun posisi mereka belumlah jelas.
Maka untuk menanggulangi bahaya tersebut, si anak muda itu selain harus
mengadakan penyelidikan, diapun musti berusaha membasminya. Maka bila ia tidak berusaha
dengan cara lain, niscaya semua usahanya akan mengalami kegagalan total.
Yaaa, pada hakekatnya Hoa In-liong terhitung seorang laki laki yang berotak
cerdik dan cekatan. Sebab bukan urusan yang gampang bagi seseorang untuk berpikir sampai disitu.
Demikianlah, kendatipun dalam hati kecilnya ia telah mengambil keputusan, hal
mana tidak ia utarakan keluar, lebih-lebih lagi tak pernah ia rundingkan dengan Coa Wi-wi.
Selang beberapa saat kemudian, para pegawai gedung keluarga Coa yang diutus
untuk mencari Coa Cong-gi secara beruntun telah kembali semua. Namun orang yang dicari belum
juga munculkan diri. Lama kelamaan habis juga kesabaran Coa Wi-wi, dia lantas bertanya kepada Hoa In-
liong. "Bagaimana ini" Kita bicarakan besok pagi saja" Ataukah sekarang juga kita
berkunjung ke pasanggrahan pertabiban untuk melakukan penyelidikan....?"
Hoa In-liong termenung sebeatar, lalu menjawab, "Mari kita selidiki tempat itu!"
"Baik...."Coa Wi-wi mengangguk, "Berdandan sebagai pria lebih leluasa. Aku akan
ganti pakaian laki dulu, tunggu aku di ruang depan....!"
Tengah malam itu, dengan pakaian ringkas berangkatlah kedua orang itu menuju
telaga Hian-buou. Memandang dari kejauhan, tampak peaaangrahan pertabiban sudah musnah menjadi
abu. Ketika semakin dekat makin jelaslah sudah pemandangan yang tertera didepan mata.
Sebuah gedung perubahan yang megah dan kokoh, kini tinggal puing-puing yang
berserakan, mengenaskan sekali tampaknya.
Gedung itu merupakan tempat bermain Coa Wi-wi dimasa lalu. Hoa In-liong juga dua
kali pernah berkunjung ke situ, malahan pernah menginap semalam. Kini berhadapan dengan
puing yang berserakan, terutama bau angus yang terbawa hembusan angin, tak terasa lagi
mereka menggertak gigi sambil menahan rasa benci yang tak terkirakan.
Selang sesaat kemudian, Coa Wi wi mendengus dingin. "Benar-benar perbuatan
terkutuk dari manusia yang berhati bisa. Jiko! Empek Yu adalah seorang Tabib sosial, bukan
saja banyak orang yang telah ditolong jiwanya. Dihari-hari biasapun tak pernah membuat
perselisihan dengan siapapun. Tapi sekarang, bukan saja rumahnya dibakar sampai habis, dia orang
tuapun ikut diculik. Perbuatan semacan ini apakah masih bisa diampuni" Apakah manusia yang
melakukan itu sudah tidak berperi kemanusiaan lagi?"
500 Rasa benci yang berkecamuk dalam benak Hoa In-liong tak kalah dengan cara
bencinya. Mendengar perkataan itu dia ikut mendengus. "Hmmm....! Bila mereka masih
merapunyai peri kemanusiaan, tak nanti perbuatan gila yang terkutuk ini dilakukan. Kini banyak
bicarapun tak ada gunanya, lebih baik kira selidiki dulu puing-puing tersebut. Siapa tahu kalau
ditempat itu kita bisa mendapatkan sedikit titik terang?"
Berbicara sampai disini, dia lantas bergerak lebih dulu kedepan.
Coa Wi-wi juga tidak banyak berbicara, cepat ia menyusul pula dari belakang.
Begitulah, semua puing mereka bongkar, semua abu mereka singkap. Dari paling
depan sampai serambi samping. Ruang belakang mereka periksa dengan teliti, siapa tahu
walaupun sudah diperiksa sampai di halaman paling belakang pun mereka tak berhasil menemukan
apa-apa. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa urusannya luar biasa. Diam-diam Hoa In-
liong merasa terkejut "Otak yang memimpi pembakaran ini pastilah seorang manusia yang luar biasa"
demikian ia berpikir, "Masa begini besar gedung yang mereka bakar ternyata tak berhasil
ditemukan sesuatu nada apapun yang mencurigakan hati"
Berpikir demikian matanya lantas celingukan ke sana kemari untuk memperhatikan
keadaan.

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendadak dari bawah gunung-gunungan diujung timur sana terlihat seberkas cahaya
lampu. Cahaya itu tampaknya muncul secara tiba-tiba dan lagi berasal dari sudut yang
tak gampang ditemukan orang. Begitu melihat cahaya tersebut, Hoa In-liong merasa terkejut bercampur gembira
cepat-cepat ia menarik tangan Coa Wi-wi berbisik dengan lirih, "Adik Wi, ikutlah aku. Tapi
harus berhati-hati!"
Meskipun Coa Wi-wi adalah seorang gadis yang tak takut langit atau bumi, setelah
mendengar perkataan itu, ia tak berani gegabah. Cepat pedang pendeknya disembunyikan ke
belakang punggung, lalu dengan hati-hati sekali ia mengikuti di belakang Hoa In-liong
mendekati gununggunungan tersebut. Itulah sebuah gunung-gunungan yang terbentuk
dari kumpulan batu cadas sekelilingnya terdiri dari air kolam, disebelah timur dan barat masing-masing
terdapat sebuah jembatan batu yang menghubungkan tempat itu dengan daratan.
Luas kolam tidaklah sama, yang paling sempitpun mencapai satu tombak lebih lima
enam kaki hingga terbentuklah suatu permukaan telaga yang sempit tapi memanjang.
Disudut utara permukaan telaga terdapat lima-enam buah gundukan tanah baru.
Rupanya sebuah kuburan yang dipakai untuk mengubur orang-orang yang tewas belum lama
berselang. Di sebelah selatan merupakan sebidang tanah berumput yang memanjang. Lewat
kesana adalah sebuah kebun bunga. Diujung kebun adalah sebuah serambi panjang yang berhubungan
dengan gedung ruang belakang, dimana bisa berhubungan langsung dengan gedung utama.
Dua orang muda mudi itu berkeliling dulu diseputar itu, lalu setelah yakin kalau
disana tak ada orang, mereka baru menyeberangi permukaan air dari arah timur menuju keatas
gununggunungan tersebut. 501 Gunung-gunungan itu tingginya beberapa tombak, luasnya mencapai lima tombak
lebih. Oleh karena permukaannya tidak datar dan penuh ditumbuhi pepohonan bambu, cemara dan
semak belukar, maka setibanya diatas bukit itu, cahaya tadi malah sama sekali tidak
terlihat lagi. Untunglah Hoa In-liong memiliki mata yang tajam dan lagi sumber cahaya itupun
sudah diingat ingat didalam hati. Maka setelah berdiri sebentar diatas tebing, dengan suatu
gerakan yang enteng tubuhnya berkelebat ke samping barat dari gunung-gunung itu.
Ternyata di sudut barat gunung-gunungan itu tumbuhlah sebaris bambu. Dibagian
utara dari dinding barat merupakan sebuah jendela yang luasnya tiga depa. Jendela tersebut
terbuat dari kayu dan waktu itu tertutup rapat. Cahaya api menembus dari balik jendela itu,
ini menunjukkan bahwa sinar yang tampak dari kejauhan tadi berasal dari celah-celah jendela itu.
Tapi lantaran dihadapannya tumbuh pohon bambu yang rimbun, tak aneh kalau tempat itu sukar
ditemukan. Orang bilang, "Bila ada jendela tentu ada rumah, bila ada rumah tentu ada pintu"
Menemukan segala sesuatunya itu, Hoa In-liong jadi kegirangan setengah mati.
Cepat ia menggape ke arah Coa Wi-wi, kemudian sambil menunjuk kearah jendela bisiknya,
"Coba lihat adik Wi. Dari dalam sana muncul cahaya lampu. Itu berarti disitu terdapat
ruangan batu. Berjaga-jagalalah disini, aku akan mencari pintu masuknya"
Coa Wi-wi sudah mengetahui kalau disana ada jendela. Maka setelah mendengar
bisikan itu dia lantas mengangguk. "Tidak, jangan kau pergi dari sini. Lebih baik aku saja yang
mencari pintu masuknya, sedang kau bekerja disini. Bila aku sudah memberi tanda nanti, kau
baru membongkar tempat persembunyiannya"
Habis berkata dia lantas putar badan dan siap menelusuri tanah perbukitan
tersebut. "Eeeeh.... tunggu sebentar!" buru buru Hoa-In liong mencegah, "Menurut
perglihatanku, orang ini belum tentu berasal dari sekomplotan dengan para pengacau. Kalau tidak,
kenapa ia berani bercokol terus ditempai ini?".
"Aaaai....! Belum tentu" bantah sinona, "Siapa tahu kalau mereka memang bernyali
dan tak takut mati...." Belum habis ucapan tersebut, tiba-tiba terdengar suara teguran yang sangat merdu
berkumandang datang memecahkan kesunyian, "Terima kasih atas pujianmu. Aku
berada disini, kalian tak perlu menemukan pintu masuknya lagi"
Teguran tersebut munculnya sangat mendadak ini membuat Hoa In-liong jadi
terperanjat. Dengan cepat dia berpaling, maka tampaklah sesosok bayangan putih berdiri diatas
lapangan berumput di sebelah sana.
Meskipun udara gelap dan cahaya bintang amat redup, namun dengan ketajaman mata
yang dimiliki Hoa In-liong, ia dapat melihat kesemuanya itu dengan amat jelasnya.
Tampaklah orang itu mengenakan baju warna putih, ditangannya memegang sebuah
tongkat berkepala sembilan. Wajahnya cantik bak bidadari dari kahyangan, tapi sikapnya
dingin, kaku dan menggidikkan hati. Dia bukan lain adalah Bwee Su-yok, ketua baru dari Kiu-im kau.
oooOOOOooo 502 TIDAK tampak bagaimana caranya Coa Wi-wi menghimpun tenaga, tahu-tahu badannya
segesit turun lewat sudah melintasi kolam dan melayang turun kurang lebih satu tombak
dihadapan Bwee Su-yok. Ketika ada dibukit Ciong-san tempo hari, gadis ini pernah bertemu dengan Bwee
Su-yok, meskipun tak pernah melangsungkan pembicaraan atau pun tegur sapa. Tapi setelah
kejadian seringkali ia mendengar tentang diri gadis itu baik dalam pembicaraannya dengan
Hoa In-liong maupun dengan kakaknya. Meski demikian, dengan wataknya yang polos dan lincah, dara itu tak pernah
menaruh kesan jelek terhadap Bwee Su-yok, malah sebaliknya ia merasa simpatik dan kasihan.
Begitulah, sambil tertawa diapun menyapa, "Eeeh cici, apakah kau adalah enci
Bwee". Oooh.... Sungguh cantik nian wajahmu!"
Ketika Bwee Su-yok menyaksikan cara gadis itu melayang turun ke atas tanah,
diam-diam hatinya bergidik. Apalagi ketika gadis itu menerjang ke arahnya, disangkanya ia
sedang diserang, maka segenap kekuatan yang dimilikinya segera dihimpun untuk siap siaga
menghadapi segeia kemungkinan yang tak diinginkan.
Siapa tahu bukan serangan yang datang sebaliknya Coa Wi-wi malah mengajukan
pertanyaan dengan senyum dikulum. Memandang wajahnya yang cantik serta senyum yang polos.
Untuk sesaat Bwee Su-yok merasa agak sungkan untuk menghadapinya dengan sikap yang
dingin. Maka setelah tertegun sejenak, dengan sikap yang lebih lembut dia menyahut,
"Akulah Bwee Suyok!"
Meskipun sikapnya telah lembut, tapi mukanya yang dingin masih jelas kentara.
Ini semua menyebabkan Coa Wi-wi kurang senang hati, pikirnya, "Waduh.... agaknya
sok amat, memangnya apa yang diandalkan" Hmmm! Sombongnya.... bukan kepalang!".
Hoa In-liong kuatir rekannya jadi jengkel dan melancarkan serangan ketika
menghadapi sikap dingin dan sombong dari musuhnya, dengan cepat dia melayang turun disamping Coa
Wi-wi, lalu menjura. "Nona Bwee, atas keberhasilanmu menduduki jabatan sebagai seorang
ketua, aku harus mengucapkan selamat kepadamu!"
Dengan sombong Bwee Su-yok mendengus, bukan membalas hormat dia malahan berkata,
"Seharusnya untuk bersedih hatipun kau tak sempat!"
Hoa In-liong mengerti apa yang dimaksudkan, tapi ia pura pura tertegun seperti
tak mengerti. "Apa maksud nona Bwee berkata demikian?" tanyanya.
Bwee Su-yok menggerakkan bibirnya seperti akan mengatakan sesuatu, tapi tiba
tiba ia batalkan niatnya itu dan mendengus dingin. Kemudian melengos ke arah lain.
Dari mimik wajahnya orang akan tahu bahwa ia sedang iri atau cemburu karena
menyaksikan Hoa In-liong berdiri berjajar dengan Coa Wi-wi. Apalagi yang laki ganteng rupawan sedang yang
perempuan cantik jelita bak bidadari.
Dalam pikiran yang kalut ia jadi tak dapat membedakan apakah harus cemburu
ataukah marah. 503 "Apa maksud nona Bwee dengan kata-katanya itu" Apakah aku boleh mengetahuinya?"
desak Hoa In-liong. Bwee Su-yok berusaha mengendalikan perasaannya. "Apakah anak keturunan dari
keluarga Hoa adalah manusia-manusia yang tak tahu adat sopan santun?" dia menegur.
Perlu diterangkan, saat itu dia adalah seorang ketua dari suatu perkumpulan
besar. Kedudukan itu luar biasa sekali, tapi Hoa In-liong ternyata menyebut dirinya sebagai "nona
Bwee". Hal ini benar-benar dirasakan olehnya sebagai suatu tindakan yang kurang sopan.
Tapi, pada hakekatnya Hoa In-liong memang sengaja berbuat demikian. Teguran dari
Bwee Suyok pun sudah ada dalam dugaannya semula, maka setelah mendengar
perkataan itu dia menjawab dengan nyaring, "Semua anak keturunan keluarga Hoa adalah orang orang
yang tahu akan sopan santun, kecuali aku...."
"Kenapa dengan kau?" desak Bwee Su-yok.
Coa Wi-wi mengerutkan dahinya, dia tarik ujung baju Hoa In-liong sambil
berbisik. "Jiko, lagak
kaucu ini terlalu sekali, lebih...."
Tapi sebelum menyelesaikan kata-katanya Hoa In-liong telah memberi tanda
kepadanya agar mengikuti perubahan dengan tenang.
Sebenarnya gadis itu merasa tak senang karena Hoa In-liong bukannya menanyakan
peristiwa pembakaran pesanggrahan pertabiban setelah berjumpa dengan Bwee Su-yok,
sebaliknya buang waktu untuk persoalan yang tidak berarti, maka ia memperingatkan dirinya.
Tapi setelah Hoa In-liong memberi tanda, sebagai gadis yang cerdik dia lantas
tahu kalau anak muda itu mempunyai tujuan tersebut. Oleh sebab itulah ia benar-benar tutup
mulut. Setelah menghalangi Coa Wi-wi berbicara, Hoa ln-liong baru berkata lagi, "Aku"
Oooh.... Aku adalah seorang manusia yang tak usah dilukiskan suka mencari muka. Tengiknya
banyak lagi kebusukan yang tak usah dilukiskan satu demi satu"
Ternyata ia telah mengulangi kata-kata makian dari Bwee Su-yok sewaktu ada di
bukit Ciongsan. Tentu saja hal ini membuat Bwee Su-yok jadi
Tertegun. Dia tak tahu musti girang atau marah. "Sungguh tak nyana keluarga Hoa
mempunyai seorang keturunan semacam kau. Hmmm! Sudah sepantasnya kalau kekuasaannya
berakhir sampai disini saja" serunya.
Hoa In-liong tertawa berderai derai, pikirnya, "Sebelum mati, Yu Boh mengatakan
ada segerombolan manusia yang tak diketahui asal usulnya telah membakar pesanggrahan
pertabiban. Padahal jika perbuatan ini dilakukan oleh orang Kiu-im-kau, sekilas
pandangan saja siapa pun tahu. Perduli bagaimanapun jua jelas Bwee Su-yok tahu siapa yang telah
melakukan kesemuanya ini.... Hmmm! dan lagi, si budak ingusan itu sengaja berdian disini,
hal itu pasti ada sebabnya. Sekarang dia sudah merupakan seorang kaucu dari Kiu-im-kau jelas dia
tak akan datang hanya seorang diri. Tapi dimanakah anak buahnya?"
Pelbagai ingatan dengan cepatnya melintas dalam benak. Secara ringkas ia analisa
semua situasi yang ada didepan mata, kemudian terasalah olehnya bahwa titik terang pada diri
Bwee Su-yok tak boleh dilepaskan dengan begitu saja. Tapi jelas kalau persoalan tersebut
ditanyakan secara 504 langsung, Bwee Su-yok tak akan menjawab sejujurnya. Sebab itu harus dicarikan
sebuah akal untuk menjebaknya. Begitulah, selesai tertawa iapun berkata, "Nona Bwe, tidakkah kau rasakan bahwa
sebutan nona jauh lebih mesra kedengarannya daripada membahasai dirimu dengan sebutan
kaucu...." "Tutup mulutmu!" bentak Bwee Su-yok dengan mata mendelik.
Hoa In-liong benar-benar tutup mulut, malah di tatapnya wajah Bwee Su-yok sambil
tertawa cengar-cengirr, terutama lirikan matanya, seakan akan mengandung maksud
tertentu. Ditatap seperti ini, Bwee Su-yok merasa pipinya berubah jadi semu merah.
Jantungnya berdebar keras, cepat-cepat dia melengos ke arah lain.
Tapi secara tiba-tiba ia merasa tindakan tersebut terlampau menunjukkan
kelemahan pribadi, maka dengan sorot mata setajam sembilu dia balas menatap pemuda itu, malah
sambil mengetukkan tongkatnya ke tanah ia membentak keras, "Hoa In-liong, kau ingin
mampus?" "Mampus" Aaaah.... Itu kan kejadian biasa" ejek sang pemuda ewa.
Coa Wi-wi berkerut kening, diapun ikut berpikir, "Kurang ajar. Apa yang kau
bicarakan dengannya omongan yang tak berguna. Kalau begini caranya, mana bisa kau temukan


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kabar tentang pembakaran ini?"
Berpikir demikian, cepat cepat dia menyela. "Siapa mampus siapa hidup lebih baik
ditentukan secara kekerasan saja, buat apa banyak bicara" Tapi sebelum itu, kau harus
memberi pertanggung jawaban lebih dulu tentang peristiwa yang menimpa keluarga yu".
Bwee Su-yok tertawa dingin. "Heeh.... heeh.... heeh.... Jadi kau anggap aku yang
melakukan kesemuanya ini?" "Sekalipun bukan kau yang melakukan, Kiu-im-kau...."
"Adik Wi, jangan sembarangan omong" tukas Hoa In-liong tiba-tiba. "Kiu-im-kau
toh sebuah perkumpulan nomor satu didunia, masa mereka sudi melakukan perbuatan membunuh
dan membakar macam tindak tanduk kaum pencoleng dan bandit?"
"Hmmm! mencari muka, kurang ajar, tengik. Benar-benar menggemaskan....!" teriak
Bwee Suyok dengan gemas. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, maka kala-kata selanjutnya segera terhenti
ditengah jalan. Coa Wi-wi tak mau mengalah dengan begitu saja dia berseru pula dengan lantang,
"Kalau aku omong kosong, memangnya hanya kata-kata yang merupakan kata-kata sesungguhnya?"
Menyaksikan situasi sudah mulai panas Hoa In-liong berpikir dalam hatinya, "Adik
Wi telah membakar suasana dengan kata-katanya yang kaku, ini berarti tak mungkin begitu
untuk menyingkat duduknya perkara dengan cara memancing kata katanya"
Berpikir demikian dia lantas tersenyum. "Aku rasa nona Bwee pasti mengetahui
dengan jelas duduknya peristiwa" ia berkata lembut. "Dan akupun sangat berharap bisa
mengetahui jejak dari empek Yu suami istri. Maka bila kau bersedia memberi keterangan aku merasa
berterima kasih sekali" 505 Selesai berkata kembali ia menjura dan memberi hormat nona cantik tersebut.
Bwee Su-yok sama sekali tidak tergerak hatinya oleh tindak tanduk anak muda itu,
katanya, "Kenapa kau musti berterima kasih kepadaku"
"Yaaa.... tolonglah beri penjelasan.... Membantu pasti mau kan?" Hoa In-liong
menjura berulang kali. Ditinjau dari tampang serta tindak tanduknya seakan-akan ia sedang mengajak
teman untuk merundingkan sesuatu saja dan rasanya Ho Jiya dari keluarga Im Tiong-san saja
yang mampu melakukan hal tersebut. Bwee Su-yok betul-betul dibuat kheki dan gemas, mau tertawa sungkan mau menangis
tak bisa, maka sesudah merenung sebentar gerutunya.
Cca Wi-wi tak dapat mengendalikan rasa gelinya lagi ia tertawa cekikikan.
Apalagi setelah menyaksikan Hoa In-liong yang kocak, rasa gelinya makin tak tertahan.
Tiba-tiba Bwee Su-yok bertanya, "Jadi.... kau sangat ingin mengetahui siapa yang
membakar pasanggrahan dari Kanglam Ji-gi (Tabib Sosial dari Kanglam)?"
Hoa In-liong merasa terkejut bercampur curiga. Bila Bwee Su-yok bersedia
memberitahu kepadanya dimanakah Kanglam Ji-gi terkurung, kejadian ini benar-benar merupakan
suatu peristiwa yang tak masuk diakal.
Meskipun curiga, ia menjawab juga, "Bila nona bersedia memberi petunjuk, tentu
saja aku merasa amat berterima kasih"
"Hmmm....! Tak ada gunanya ucapan terima kasih, aku minta suatu pembayaran yang
setimpal" kata Bwee Su-yok dengan nada ketus.
"Pembayaran apa?"
"Pembayaran itu tinggi nilainya, aku kuatir kau tak sanggup untuk membayarnya"
"Aku tak akan segan-segan membayar permintaan apapun yang kau harapkan"
Sedingin salju paras muka Bwee Su-yok, katanya kemudian dengan suara tajam, "Aku
menghendaki nyawamu, sanggupkah engkau untuk membayarnya?"
"Kentut busuk!" Coa Wi-wi tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, ia membentak
nyaring, "Kau sedang mengigau. Kau tak usah omong yang
tak genah...." Bwee Su-yok sama sekali tidak memperdulikan dirinya. Ia malah menatap wajah Hoa
In-liong dengan pandangan dingin. "Adik Wi, kenapa kau musti marah?" kata Hoa In-liong dengan suara hambar.
"Sekalipun permintaannya kelewat tinggi kita kan bisa menawar sesuai dengan uang pokok yang
kita miliki. Jika permintaannya belum cocok kita toh bisa merundingkannya secara pelan-pelan"
506 "Tidak ada kesempatan untuk berunding" tukas Bwee Su-yok lagi dengan ketus,
"Kalau mau begitu, kalau tidak mau ya sudah!"
"Waaaah.... Kalau tidak jadi radaan susah...."
Hoa In-liong pura-pura mengernyitkan alis matanya, "Lantas selembar nyawaku ini
musti kupersembahkan dengan kedua belah tangan sendiri, ataukah nona yang akan
mengambilnya sendiri?" "Pinginnya kusuruh kau persembahkan sendiri. Tapi kalau dilihat dari sifatmu
yang takut mampus, agaknya hal ini tak mungkin terjadi...."
Hoa In-liong tertawa ewa, ia sama sekali tidak gusar meskipun sudah diejek
musuhnya. Berbeda dengan Coa Wi-wi dia jadi naik pitam. "Kalau engkau tak takut mampus,
kenapa tidak kau serahkan dulu nyawamu itu kepadaku?" teriaknya.
Bwee Su-yok sama sekali tidak menggubris teriakan orang, kembali ujarnya dengan
lantang, "Tentunya engkau sudah tahu bukan dimana letaknya kantor cabang perkumpulan kami
di kota Kim-leng?" "Oooh.... tentu saja tahu" Hoa In-liong tertawa, "Entah bagaimana dengan pohon kui
yang telah kugunakan untuk menggantung diri selama tiga hari itu" Masih seperti sedia kala
atau telah berubah?" Bwee Su-yok adalah seorang gadis yang cerdik. Tentu saja dia tahu kalau pemuda
itu sedang menyindir kebodohan Kiu-im kaucu dimana sampai sampai pohon sebesar itupun
berhasil dirobohkan oleh Ko Thay dengan pukulannya.
Ia merasa sangat mendongkol, sebenarnya dia pun hendak menyindir Hoa In-liong
dimana pemuda itu pernah digantung selama tiga hari, tapi ketika dirasakan kemudian
bahwa kejadian itu kurang begitu menguntungkan nama baiknya, diapun membatalkan niatnya itu.
Setelah tertegun sejenak, dia lantas berkata, "Aku adalah seorang yang
terhormat, tak sudi aku berdebat dengan gelandangan macam kau...."
"Huuhh.... tak tahu malu" tukas Coa Wi-wi. "Kiu-im-kau sendiri juga sebuah
perkumpulan kaum sesat, apanya yang luar biasa?"
Mencorong sinar marah dari sepasang mata Bwee Su-yok, tapi ia masih juga tidak
memperdulikan ocehan gadis tersebut, katanya lantang, "Besok sore kunantikan
kedatanganmu diruang tengah. Jika kau ingin mengetahui berita tentang Kanglam Ji-gi,
datanglah seorang diri...." Meski binal, Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang berotak cermat, sedikit
kesempatan yang ada, tak disia-siakan dengan begitu saja. Mendengar kata-kata itu cepat ia
berseru, "Aku ingin tahu lebih dulu, bila aku datang memenuhi janji, apakah nona Bwe juga segera
memberi tahukan jejak empek Yu suami istri kepadaku...."
"Bila kau ingin tahu, datang saja tepat pada waktunya" jawab Bwee Su-yok ketus,
"Soal bicara atau tidak, tergantung apakah besok hatiku sedang gembira atau tidak"
507 Hoa In-liong tidak marah oleh kata-kata itu, dia malah berpikir, "Jika didengar
dari ucapan dayang tersebut tampaknya ia tidak berniat jujur dengan janjinya. Aku musti
berhati-hati....". Maka sambil tertawa katanya, "Nona Bwee, aku rasa cara semacam ini tidaklah
adil!". "Kalau merasa kurang adil janganlah datang. Tapi kalau sudah mau datang maka
sekalipun harus mampus juga musti rela. Aku sama sekali tidak I bermaksud memaksa dirimu"
Jawaban ini benar-benar membuat Hoa In-liong kehabisan akal dia jadi ngenes
sendiri. "Waaah.... Waaah.... Cara semacam ini namanya memaksa orang pandai amat caramu
berbicara!" "Hmmm.... Asal kita tangkap budak busuk itu, masa dia tak mau bicara?" tiba-tiba
Coa Wi-wi berteriak marah. Apa yang dikatakan kemudian dibuktikan. Dengan cepat, dengan telapak tangan
kanannya ia melepaskan sebuah pukulan tipuan kemudian dengan kedua jari tengahnya dan
telunjuknya ia melepaskan satu totokan maut yang dibarengi dengan gerakan tubuh yang menerkam
ke muka. Bwee Su-yok tak berani gegabah sekalipun yang terlihat olehnya hanya suatu
ancaman yang menyerupai suatu ilmu pukulan tapi bukan ilmu pukulan, ilmu totokan jari bukan
ilmu totokan jari. Meski bergerak tanpa arah satu. Walaupun kelihatan seperti tak berkekuatan, tapi
nyatanya serangan itu sudah mengancam hampir seluruh tubuhnya terutama bagian dada dan
lambung. Jalan darah seperti Ing-cuang-hiat, Ki-bun-hiat Sin-hong-hiat, dan Hu-ciat-hiat
sudah terkurung semua dalam ancaman. Ini semua membuat dara tersebut tercengang. "Jurus serangan apa ini?" demikian
ia berpikir. Sudah tentu ancaman yang datang tak dapat dibiarkan dengan begitu saja. Dengan
jurus Kui-imcuang-cuang (Cahaya Iblis Bergoncang- goncang) tongkat kepala
setannya melancar sebuah serangan balasan dengan sepenuh tenaga.
Sekejap mata, seluruh angkasa telah diliputi cahaya hitam yarg menyilaukan mata.
Desingan tajam mendesis di udara dan memekakkan telinga. Kesembilan buah kepala setan di
ujung tongkat seakan-akan berubah jadi sembilan buah setan hidup. Sambil unjukkan
tarirg dan cakarnya siap menerkam mangsa yang ada didepannya.
Bagaimanapun jua, Coa Wi-wi masih muda. Apalagi seorang gadis, terhadap ancaman
yang tiba ia masih tak terlalu dipikirkan dalam hati. Tapi bayangan setan diujung tongkat
membuat dara itu menjerit lengking karena ngerinya, cepat cepat dia kabur dan mundur ke belakang.
Dengan tindakan tersebut, sama artinya kalau ia kena didesak oleh serangan
orang. Coa Wi-wi kontan merasa kehilangan muka, pipinya yang putih berubah jadi semu merah.
"Bagus sekali" teriaknya dengan nada malu bercampur marah. "Permainan tongkatmu
memang cukup hebat dan anggap saja jurus Pian-tong-put-ki (Berusaha Tanda Pindah) ku
tadi berhasil kau terima. Nah! Sekarang coba rasakan sebuah seranganku lagi, akan kulihat
apakah kau mampu untuk menyambut jurus Ciu-liu-lak-si (Bergelombang dan berpusing memenuhi
enam kekosongan) ku ini".
508 Bwee Su-yok tahu, serangan yang bakal dilancarkan pasti suatu serangan geledek
yang mempunyai daya kekuatan luar biasa. Ia tak sempat mengejek lagi, tongkat
saktinya cepat diputar sedemikian rupa untnk melindungi keselamatan jiwanya.
"Adik Wi, tahan!" tiba-tiba Hoa In-liong berseru.
Sebenarnya Coa Wi-wi sudah melancarkan serangannya dengan telapak tangan kanan,
dimana jari tengahnya sudah dikeraskan bagaikan sebuah tombak.
Tapi setelah mendengar seruan tersebut, ia tarik kembali posisinya lalu
berpaling dengan keheranan: Jilid 26 "ADA apa jiko?"
Hoa In-liong tersenyum, ia tidak menjawab pertanyaan tersebut, sebaliknya sambil
memberi hormat kepada Bwe Su-yok katanya, "Sampai waktunya aku pasti akan datang
memenuhi janji, silahkan Bwe kaucu berlalu lebih dulu"
Secara tiba-tiba ia merubah panggilannya dari "nona" jadi "kaucu, perubahan
tersebut segera disambut Bwee Su-yok dengan perasaan yang bergetar keras, ia merasa seolah-olah
kehilangan sesuatu hingga semangatnya secara terbang tinggalkan raga.
Untunglah perasaan semacam itu hanya berlangsung sebentar, pikiran yang
bercabang dengan cepat dapat disatukan kembali.
"Baik, akan kutunggu kedatanganmu!" katanya kemudian.
Dia lantas putar badan dan berpaling kearah Coa Wi-wi.
"Engkau adalah adiknya Coa Con-gi" Siapakah namamu?" tegurnya.
Sudah dua kali mereka saling berjumpa, tapi ke dua kalinya Coa Wi-wi berdandan
sebagai pria dengan nama samaran Cwan Wi, meski potongannya waktu itu perempuan bukan
perempuan, laki bukan laki, ketika bertemu kembali untuk ke tiga kalinya, ia segera
mengenalinya kembali dalam pandangan pertama. Kendati begitu, ia tidak mengetahui nama Coa Wi-wi yang sebenarnya, dia hanya
tahu namanya

Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggunakan huruf "Wi", sebab begitulah Hoa In-liong memanggil dirinya.
Coa Wi-wi tidak senang dengan sikapnya yang sombong, maka sahutnya pula dengan
suara yang ketus, "Aku bernama Coa Wi-wi, ingat baik-baik namaku itu!"
Bwe Su-yok tidak banyak bicara lagi dia pun lantas berlalu dari situ, tampaklah
ujung gunanya yang berwarna putih salju berkibar terhembus angin, sekilas pandangan seakan-
akan lambat padahal cepatnya bukan kepalang, sekejap mata kemudian bayangan tubuhnya sudah
lenyap dibalik puing-puing bangunan.
Sepeninggalnya gadis itu, Coi Wi-wi baru mengomel, "Jiko, kenapa kau bicarakan
orang itu pergi dari sini" 509 Hoi In liong tertawa, apalagi gadis itu tampak lebih cantik dan mempesona hati
dalam sikap cemberutnya ini, ia semakin terlena oleh kecantikan si nona yang jarang
dijumpainya itu. Sambil membelai rambutnya yang hitam putus, berkatalah anak muda itu dengan
lembut, "Bwe Su-yok bukan anak kemarin sore, dia mempunyai perhitungan yang matang dalam
setiap tindak tanduknya, memang kau anggap dia berani kerkunjung kemari...."
"Aaah....omong kosong, kecuali dia, kita kan tak melihat sesosok bayangan
manusiapun?" bantah si nona. Siapa tahu baru saja dia menyelesaikan kata-katanya, mendadak terdengar suara
pekikan yang amat nyaring menggema diudara, menyusul kemudian suara pekikan lain berkumandang
saling bersahutan, suara itu ada yang nyaring ada pula yang rendah dan berat, tapi yang
pasti semua pekikan tersebut disertai pencaran tenaga dalam yang sempurna, jelas suara-suara
itu berusal dari sekawanan jago silat yang amat tangguh.
"Bagaimana....?" goda Hoa In-liong tertawa.
Merah padam wajah Coa-Wi-wi karena jengah.
"Tidak aneh...." sahutnya tak mau kalah, "aku rasa Kiu im-kaucu juga hanya begitu-
begitu saja, sekalipun semua anak buahnya di bawa serta aku juga tidak takut, paling-paling
kuhajar mereka semua sampai kocar kacir...."
"Jangan takebur! Ketahuilah, semua jago yang tergabung dalam perkumpulan Kiu-im-
kauw memiliki kepandaian silat yang amat tangguh, Bwee Su-yok sendiri merupakan
seorang musuh yang kosen, apabila mereka sampai maju bersama, bagi kita soal mundur memang
bukan persoalan, tapi kalau ingin cari keuntungan dari pertarungan itu....waah, sulit!
Sulit! Benar-benar amat sulit, makanya.... adik Wi tak boleh memandang enteng pihak mereka"
Padahal alasan yang dikemukannya itu hanya merupakan alasan nomor dua, yang
terpenting baginya adalah lantaran penyakit sayangnya terhadap gadis she Bwe itu.
Ia tahu sebagai seorang kaucu dari suatu perkumpulan besar, apalagi dengan
wataknya yang congkat dan tinggi hati, seandainya Bwee Su-yok sampai cedera atau dikalahkan
oleh Coa Wi-wi, sembilan puluh persen dalam jengkelnya gadis itu pasti akan bunuh diri.
Bila gadis itu sampai nekad mengambil keputusan pendek, berarti juga berita
tentang Kanglam jigi akan hilang dengan begitu saja.
Karena itu ia merasa lebih baik kalau peristiwa yang tak diinginkan itu jauh
sebelumnya dicegah lebih dulu. Sudah tentu rahasia hatinya ini tak sampai di katakan kepada Coa Wi-wi, sebab
bagaimanapun juga hati perempuan memang paling sukar diduga dalamnya.
Meski begitu, Coa Wi-wi bukan orang bodoh, dengan perasaan halusnya sebagai
seorang gadis, secara lapat-lapat ia merasakan sesuatu, biji matanya lantas berputar.
"Jiko!" katanya kemudian, "sejak tadi kau main mata dan saling mengerling dengan
Bwee Suyok.... "Huuuuss....! Ngaco belo, siapa yang bilang aku main mata?" bentak Hoa In-liong
sambil tertawa. 510 "Lantas kalau kau menatap dia dan dia menatapmu, jika bukan main mata lalu apa
namanya?" kata Coa Wi-wi dengan nada bersungguh-sungguh.
Hoa In-liong tertawa geli,
"Masa begitu saja disebut main mata" Kamu ini sianak kecil, tidak tahu urusan
juga berani ngomong sembarangan"
"Anak kecil" Huuhh....memangnya kau sendiri yang sudah dewasa?" Coa Wi-wi
mencibirkan bibirnya. Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dia lantas alihkan pembicaraan kesoal lain,
katanya, "Adik Wi, ilmu pukulan apa yang barusan kau gunakan" Jurus Ciu-liu luk si yang kau
pakai tadi mirip dengan Ci yu jit ciat (Tujuh Kupasan dari Cu-yu) bagian kedua, boleh kan beri
tahu kepadaku?" "Kenapa tidak boleh" Jujur kedua yang baru kupakai adalah Su siu hua heng ciang
(Ilmu pukulan empat gajah berubah bentuk) gerakan kedua dan ketujuh, ilmu pukulan tersebut
merupakan inti sari dari himpunan seluruh jurus pukulan terbagus dari dunia persilatan yang
dihimpun Im cousu kami, puluhan tahun beliau harus bersusah payah memeras keringat sebelum
berhasil menciptakan ilmu pukulan tersebut, disamping tenaga sim hoat Bu kek teng heng.
Jiko! Kalau pingin belajar, nanti kuajarkan ilmu kepandaian tersebut kepadamu"
"Itu kan ilmu rahasia dari keluargamu, mana boleh diwariskan kepada orang lain?"
ujar Hoa Inliong dengan wajah serius.
Coa Wi-wi gelengkan kepalanya berulang kali.
"Tidak apa-apa! Toh Kongkong ku telah wariskan ilmu Bu kek teng heng sim hoat
kepada jiko, itu berarti beliau ada hasrat untuk waris kan kepandaian silatnya kepada jiko, maka
seandainya kuwariskan pula ilmu Su siu hua heng ciang kepadamu, tidak berarti kuwariskan
kepandaian keluargaku secara pribadi. Apalagi Cousu pernah berpe san, bila bertemu dengan
seseorang yang cocok dengan karakter kita, atau seseorang yang telah memiliki kepandaian
tinggi, boleh saja orang itu diterima menjadi murid perguruan kami, ataupun mendapat warisan ilmu
silat aliran kami tanpa harus menjadi anggota perguruan kami"
Tertarik juga Hoa In-liong oleh perkataan tersebut tapi ia tak sudi menerima
pelajar silat dari Coa Wi-wi, maka setelah merenung sebentar berkatalah dia
"Urusan tersebut lebih baik bicarakan nanti saja, sekarang yang penting adalah
memeriksa dulu ruang batu dimana cahaya terang itu berasal...."
Selesai berkata ia lantas melayang ke udara, menyeberargi permukaan air dan
balik keatas bukit dimana jendela kayu itu ditemukan.
Coa Wi-wi Segera menyusul dari belakang.
"Aku rasa sudah tak ada waktu lagi sekarang, kata pemuda itu kemudian sambil
berpaling. Tiba-tiba ditemuinya Coa Wi-wi berjalan dengan kepala tertunduk, mukanya aras-
arasan dan tidak bersemangat, jelas gadis itu lagi ngambek dan tak senang hati.
511 Menyaksikan sikapnya itu, pemuda kita jadi tercengang, diapun menegur dengan
lembut, "Kenapa kau" Lagi ngambek lantaran perkataan ku barusan" Jangan sok serius
aah...." "Jii....! jiko...." bisik Coa Wi-wi sambil menarik wajah, suaranya agak tersendat.
"Kenapa adik Wi?" jawab Hoa In-liong lembut, "jika kurang puas terhadap jikomu,
katakanlah terus terang!" "Bukan, bukannya tidak puas!" Kata Coa Wi-wi sambil gelengkan kepalanya berulang
kali. "Aneh benar....!" pikir Hoa In-liong dalam hati, tapi diluaran cepat ia bertanya,
"Lantas karena apa?" Coa Wi-wi berpikir sebentar, kemudinn sahutnya, "Jiko, tahukah kau tentang kisah
kehidupan Im cousu-ku dimasa yang lalu?"
Secara tiba-tiba gadis itu membawa pokok pembicaraan ke soal yang tiada sangkut
pautnya dengan kejadian didepan mata, Hoa In-liong jadi tertegun dibuatnya.
"Aku kurang begitu tahu" sahutnya.
Coa Wi-wi tarik napas panjang, lalu katanya, "Ketika Im cousu terjun ke dunia
persilatan untuk pertama kalinya dulu, ilmu silat yang dimilikinya amat rendah, bahkan ilmu silat
kelas tiga pun tidak dikuasahi olehnya, beliau dapat mempela jari tenaga dalam pun karena
secara kebetulan berhasil mempela-jarinya dari sari kepandaian Lo ho sim hoat, jurus pukulan yang
dimilikinya boleh dibilang adalah ajaran dari Coa bo semua, kendatipun demikian toh kejadian
ini tak sampai mempengaruhi kebesaran namanya sebagai Bu seng (Rasul Silat)...."
Kiranya ketika Bu-seng terjun kedalam dunia persilatan untuk pertama kalinya
dulu, dia hanya bisa serangkaian ilmu pukulan Kay-sim ciang(pukulan pembuka hati) belaka, ilmu
pukulan tersebut begitu umumnya sehingga seorang jagoan kelas satupun tak mampu ia
kalahkan. Kemudian, oleh tay hujinnya (Istri Pertama) Ko Cing ia diberi pelajaran pelbagai
ilmu pukulan yang sangat lihay, tak sampai setahun kemudian, Bu seng benar-benar sudah
menjadi seorang manusia yang amat tangguh....
Ketika dara tersebut menyinggung kembali kejadian, dengan cepat Hoa In-liong
dapat memahami maksud katinya, timbullah rasa kasihan dalam hati kecilnya setelah
menyaksikan kesengsaraannya si nona hanya dikarenakan dirinya menolak untuk menerima ajaran
ilmu silat dirinya. Memang raut wajahnya yang cantik jelita, untuk sesaat anak muda itu lupa untuk
buka suara. Sementara itu Coi Wi wi telah berkata kembali, "Aku rasa untuk berhasil mencapai
sukses dalam masalah yang besar, orang tak perlu merisaukan hal-hal yang kecil, jiko! Kau...."
Ucapannya kembali terputus ditengah jalan, sedang biji matanya yang jeli menatap
wajah anak muda itu tanpa berkedip. Walaupun perkataan itu amat sederhana dan umum, tapi terutama kata-kata yang
menyatakan bahwa untuk mencapai sukses dasar masalah besar yang orang tak perlu merisaukan
hal-hal yang kecil, ibaratnya suatu gelombang dahsyat dengan cepatnya menerjang masuk ke
lubuk hati anak muda itu. 512 "Yaa, benar juga perkataan itu", teriaknya dalam hati, "untuk berhasil dalam
suatu masalah, aku tak perlu merisaukan hal-hal yang kecil, bila kabut iblis telah bermunculan dari
mana-mana, suatu badai pembunuhan sudah mengancam seluruh dunia persilatan, inilah saatnya
bagiku untuk memperkuat diri, jika hal-hal yang kecilpun ikut kurisaukan, bukankah
masalah besar akan terbengkalai dengan begitu saja....?"
Harus diketahui, meskipun pemuda ini suka bermain cinta ditempat luar, diam-diam
ia menaburkan benih cinta dan gerak geriknya mirip seorang laki-laki hidung bangor,
pada hakekatnya setiap waktu setiap saat ia selalu memikirkan bagaimana caranya untuk
meneruskan cita-cita ayahnya, membasmi hawa jahat serta menegakkan keadilan serta kebenaran
dalam muka bumi. Dan kini hawa iblis sudah muncul dari mana-mana, dalam pandangannya inilah
kesempatan yang terbaik baginya untuk mewujudkan cita-citanya itu meski sebagai anak muda ia
gemar urusan, tapi sifat gagah sifat jantan dan bijaksana dari keluarga Hoa tetap mengalir
dalam tubuhnya, membangun dunia yang aman damai adalah cita-cita luhur yang sebenarnya dari
pemuda tersebut. Begitulah, meskipun dalam hati kecilnya timbul suatu gelombang yang amat besar,
tapi ia berusaha untuk mengendalikan pergolakan itu.
Dalam pada itu, disangkanya ia menolak penawarannya, lama sekali anak muda itu
tak berkatakata, disangkanya ia menolak penawarannya, tak tertahan lagi air mata
jatuh bercucuran membasahi pipinya. "Saa....salahkah perkataanku?" bisiknya lirih.
"Adik Wi, hubungan kita bagaikan terhadap saudara sekeluarga, memangnya aku
musti mengucapkan terima kasih dulu kepadamu?" ujar Hoa In-liong sambil merangkul
pinggangnya yang ramping. Setelah mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi baru tertawa gembira.
"Oooh....jiko....!" serunya.
Meskipun wajahnya berseri, butiran air mata masih mengembang dalam kelopak
matanya, ibaratnya sekuntum bunga yang basah oleh air hujan, kecantikan dari itu sukar
dilukiskan dengan kata-kata. Semakin dilihat Hoa In-liong merasa makin tertarik, akhirnya ia tak dapat
mengendalikan perasaannya lagi, dipeluknya dara itu erat-erat, diciumnya butiran air mata yang


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membasahi pipinya lalu dikecupnya bibir yang mungil itu dengan penuh kemesraan.
Sekujur badan Coa Wi-wi tergetar keras, ia mendesis lirih lalu jatuhkan diri
kedalam rangkulan Hoa In-liong dan bersandar didadanya yang dingin.
Sekalipun ia belum tahu akan hubungan antara laki dan perempuan, toh usianya
tahun ini sudah mencapai tujuh belasan, ibaratnya sekuntum bunga yang mekar, ia telah siap
dihisap madunya oleh kumbang-kumbang yang beterbangan di sekelilingnya.
513 Maka, dikala bibirnya dikecup dengan mesra, untuk sesaat anak dara itu merasakan
suatu perasaan aneh yang belum pernah dirasakan sebelumnya, bagaikan kena aliran
listrik bertegangan tinggi ia merintih lirih lalu mendekap anak muda itu lebih kencang.
Harus diterangkan disini, walaupun sebelumnya antara mereka berdua telah
berlangsung suatu perselisihan, namun keadaan waktu itu jauh berbeda dengan perselisihan-
perselisihan yang pada umumnya terjadi, sebab itu Coa Wi-wi sama sekali tidak merasakan sesuatu
ganjalan. Sebelum itu, sekalipun dihati kecil sang dara hanya terhadap Hoa In-liong
seorang, gambaran tersebut masih terlalu samar baginya, tapi sekarang gambaran itu sudah semakin
nyata, secara otomatis pula perasaan cinta antara muda mudi ikut berkembang dihatinya.
Lama.... lama sekali, dua orang itu akhirnya sadar dari impian indah, Hoa In-liong
angkat mukanya lebih dulu dan berbisik lembut, "Adik Wi!"
Coa Wi-wi masih membenamkan kepalanya dalam pelukan pemuda itu, mukanya merah
dadu karena jengah, ia hanya mendesis lirih kemudian membungkam terus dalam seribu
bahasa. Menyaksikan kesemuanya itu, Hoa In-liong lantas berpikir, "Adik Wi baru mekar
dan masih malumalu, aku tak boleh membuat dia lebih jengah lagi...."
Berpendapat demikian, iapun berbisik disisi telinga Coa Wi-wi dengan suara
lirih, "Tunggulah sebentar disini adik Wi, lihatlah bagaimana caraku menangkap pencoleng!"
Setelah melepaskan rangkulannya atas gadis itu dia berseru nyaring, "Sobat,
sabar amat engkau, setelah bersembunyi sekian lama, sekarang tiba waktunya bagimu untuk menampakkan
diri!" Sembari berseru, telapak telapak tangannya segera diayun ke muka melepaskan
sebuah pukulan dahsyat yang menghancurkan jendela kayu itu.
Hancuran kayu berhamburan kemana mana, dibawah sorotan cahaya lampu tiba-tiba
muncul sekilas rentetan tajam, menyusul kemudian tampaklah sebilah pedang langsung
membacok kearah pergelangan tangan kanannya....
Kiranya orang yang bersembunyi baik untuk melancarkan mengetahui akan kelihayan
Hoa Inliong maka dia lantas menutup semua pernapasannya sambil menunggu ada
kesempatan baik untuk melancarkan sergapan.
Siapa tahu tunggu punya tunggu Hoa In-liong tidak masuk juga kedalam ruangan,
pernapasan yang ditutup jadi sesak rasanya, hingga akhirnya tak bisa ditahan lagi ia
bernapas berat. Hoa In-liong bukan seorang jago sembarangan, dengan ketajaman pendengarannya
serta hembusan napas berat itu dapat terdengar olehnya dengan nyata.
Kini, menghadapi serangan maut dari musuhnya ia lantas mendengus dingin, tangan
kanannya dengan menggunakan ilmu Menyerang sampai ma ti bagian pertama secepat kilat
melepaskan sebuah totokan maut ke arah urat nadi pada pergelangan musuh.
Orang itu menjerit kesakitan termakan oleh totokan tersebut pedangnya terlepas
dari cekalan dan terjatuh ke tanah. Hoa In-liong tidak ragu-ragu lagi, begitu senjata musuh berhasil dirontokkan, ia
lantas bergerak ke muka dan menerobos masuk melalui jendela itu.
514 Coa Wi-wi agak tertegun sebentar, kemudian dengan perasaan malu bercampur
mendongkol dia ikut menerobos masuk ke dalam ruangan.
Padahal, berbicara dari kesempurnaan tenaga dalam yang dimilikinya, seharusnya
ia sudah mengetahui akan kehadiran seseorang disana semenjak tadi, tapi lantaran pertama
pengalamannya kurang banyak, kedua segenap perhatian dan perasaannya tertuju
pada Hoa Inliong seorang, otomatis urusan lain terkesampingkan olehnya dan sama
sekali tidak peroleh perhatian apa-apa. Tapi sekarang setelah mengetahui bahwa ada orang mengacau kemesraan mereka, dari
rasa malunya gadis itu jadi marah, hawa napsu membunuh yang belum pernah terlintas
dalam benaknya segera menyelimuti seluruh wajahnya yang cantik.
Ruang batu itu luasnya cuma dua kaki, dalam ruanganpun hanya terdapat sebuah
pembaringan, sebuah meja, tiga empat buah kursi, sebuah lampu lentera diatas meja dan tiada
benda lainnya lagi. Orang yang barusan melancarkan serangan adalah seorang laki-laki kekar berbaju
ungu, cukup dalam sekilas pandangan saja Hoa In-liong segera mengenali kembali orang itu
sebagai salah seorang diantara delapan lelaki kekar yang muncul bersama Ciu-Hoa di ruang peti
mati keluarga Suma Tiang-cing. Lengan kanan laki-laki itu terkulai lemas kebawah, mukanya diliputi rasa takut,
ngeri yang luar biasa, matanya celingukan kesana kemari, tampaknya ia bermaksud kabur dari situ.
Diam-diam Hoa In-liong mendengus dingin, namun diluaran sambil tersenyum
sapanya, "Sahabat, agaknya kita pernah berjumpa muka bukan" Siapa namamu?"
Laki-laki berbaju ungu itu agak tertegun, kemudian tanpa mengucapkan sepatah
kata pun ia putar badan dan kabur lewat pintu ruangan.
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dengan suatu gerakan yang cepat ia
menghadang dihadapannya, lalu mengejek lagi, "Sobat, masa sebelum mengucapkan sepatah
katapun kau sudah ingin kabur dari sini" Oooh.... atau mungkin kau merasa bahwa Hoa loji ti
dak pantas bersahabat denganmu?"
"Enyah kau bangsat dari sini!" teriak laki-laki berbaju ungu itu kaget bercampur
marah. Telapak tangan kanannya dengan membawa desiran angin tajam melepaskan sebuah
pukulan kencang kedada Hoa In-liong.
Coa Wi-wi mendengus dingin, jari tangannya setengah tombak disodok kemuka,
dengan kepandaian silatnya yang sangat lihay tentu saja laki-laki berbaju ungu itu tak
sanggup menghindarkan diri.... Diiringi dengusan tertahan, jalan darah Ping hong hiat di tubuhnya terkena
totokan, tak ampun badannya segera roboh terjungkal.
Melihat itu Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... sobat, itulah yang dinamakan arak kehormatan kau
tolak arak hukuman kau raih, siapa suruh mencari penyakit buat diri sendiri?"
515 Laki-laki berbaju ungu itu menggertak gigi sambil melotot gusar, ia membungkam
dalam seribu bahasa. "Jiko, aku rasa sebelum digunakan siksaan dia tak akan buka suara...." seru Coa
Wi-wi lagi Hoa In-liong cukup memahami perasaan si gadis tersebut, ia tahu Coa Wi-wi lagi
tak senang hati berhubung kemesraan mereka diketahui orang tapi diapun tak ingin sampai gadis
itu ternoda oleh kejadian itu sehingga kelembutan dan kemuliaannya sebagai seorang dara
tersinggung. Maka sambil tersenyum ujarnya, "Adik Wi, bagaimana kalau urusan ini
kuselesaikan, hati kecilnya
mengatakan segan toh ia mundur juga selangkah.
Setelah gadis itu mundur, Hoa In-liong baru berpaling lagi dengan muka lebih
serius. "Sobat, engkau berasal dari marga mana?"
"Tan" sahut laki-laki itu ketus, agaknya ia tahu bahwa tiada harapan lagi untuk
melarikan diri maka pertanyaan yang diajukan kepadanya harus dijawab.
"Lantas siapakah namamu?" tanya pemuda itu lagi dengan raut wajah yang jauh
lebih lembut. "Beng-tat!" "Tan Beng-tat, ehmm.... sebuah nama yang bagus, lalu apa kedudukan saudara Tan
didalam perkumpulan Hian-beng-kauw?"
"Maaf, hal ini tak dapat dijawab"
Hoa In-liong tidak menjadi gusar oleh jawaban tersebut, dia malah tersenyum.
"Jadi kalau begitu, orang-orang dari perkumpulan kalianlah yang sudah membakar
pesanggrahan pertabiban ini?" Tan Beng-tat termenung sebentar, kemudian baru menjawab dengan nada dingin.
"Yaa, benar!" Mendengar pengakuan tersebut, Coa Wi-wi tak dapat mengendalikan amarahnya lagi,
ia berteriak keras, "Dendam sakit hati apakah yang telah terjalin antara empek Yu
dengan kamu semua" Mengapa kalian berbuat sekeji ini terhadap mere ka semua" Sebenarnya
kalian masih memiliki sifat kemanusiaan atau tidak?"
Dengan sinar mata yang jelalatan Tan Beng-tat melotot kearah gadis itu, bibirnya
sudah bergetar seperti mau melontarkan caci makinya, tapi ketika ditemuinya Coa Wi-wi tampak
cantik jelita bak bidadari dari kahyangan kendatipun berada dalam keadaan gusar, kontan saja ia
terbungkam dan tak mampu melanjutkan kata-kata makiannya, Hoa In-liong sendiri sebetulnya
juga marah sekali setelah mendengar ucapan tadi, namun dia masih sanggup mengendalikan
perasaannya, "Lantas empek Yu kami itu kini berada dimana?" tanyanya lebih jauh, "apakah
saudara Tao bersedia memberi tahukan kepada kami?"
"Aku tidak tahu!" sahut Tan Beng-tat dengan suara yang dingin, kaku dan tak
sedap didengar. 516 Hoa In-liong tersenyum, "Saudara Tan, rupanya kau sudah menganggap aku Hoa Yang terlampau pelit sehingga
tiada sayur mayur dari hidangan lezat untuk menjamu dirimu, maka engkaupun segan
memberi petunjuk kepadaku?" Tan Beng tai terkesiap, dia bukan orang goblok tentu saja maksud yang sebenarnya
dari ucapan tersebut diketahui juga olehnya, segera pikirnya di hati, "Bajingan, keparat ini
jelas adalah seorang Siau bin hau (harimau bermuka tertawa), entah siksaan kejam apakah yang
hendak ia limpahkan terhadapku?"
Ia jadi nekad, segera teriaknya dengan suara melengking, "Bocah keparat dari
keluarga Hoa, kau mempunyai permainan busuk apa saja" hayo keluarkan semua dan silahkan
dihadiahkan kepada toaya mu, jika toaya mu sampai berkerut kening, anggap saja bahwa aku bukan
seorang laki-laki sejati" Coa Wi-wi semakin gusar lagi sehabis mendengar kata-kata musuhnya yang tak
senonoh, ia segera membentak keras, "Bangsat, rupanya sebelum diberi siksaan mulutmu tetap
kotor, bagus, tidak ada susahnya kalau kau memang ingin mencicipi bagaimana rasanya
kelihaiyanku" Berbicara sampai disitu, tangannya yang putih mulus lantas di ayun kebawah siap
melancarkan serangan. "Eeeh....tunggu sebentar adik Wi!" buru-buru Hoa In-liong mengghalangi
perbuatannya. Kemudian dengan wajah serius dia berseru, "Hayo jawab, siapa-siapa saja yang
terlibat dalam peristiwa pembakaran terhadap pesanggrahan pertabiban ini!"
"Kau ingin tahu?" ejek Tan Beng-tat dengan wajab licik.
"Sambil menyeringai seram berkatalah Tan Beng-tat, "Mereka adalah Jin Hian,
Thian Ik cu, Kiuim-kauwcu selain tentu saja yayamu sendiri puas bukan?"
Hoa In-liong betul-betul amat gusar menghadapi perlakuan seperti ini,pikirannya,
"Bajingan ini terlalu keras kepala dan sombong agaknya jika tidak diberi sedikit pelajaran
yang setimpal, dia tak mau mengakuinya secara berterus terang...."
Berpikir demikian diapun tertawa tergelak.
"Haaahhh.... haaahhh.... haaah....puas. puas, aku merasa puas sekali....!"
Secara beruntun tangan kanannya melancarkan beberapa totokan keatas jalan darah
ditubuh Tan Beng-tat. Termakan oleh beberapa totokan tersebut, seketika itu juga Tan Beng-tat
merasakan sekujur badannya linu dan gatal, seakan-akan ada semut yang beribu-ribu banyaknya
berjalan didalam tubuhnya. Mula-mula ia masih bertahan sambil menggigit bibir, tapi akhirnya ia merasa
sekujur badannya seperti digigit oleh berjuta-juta ekor semut, sakitnya masih bisa ditahan tapi
rasa gatalnya, benar-benar sudah merasuk sampai ke dalam, bukan hatinya saja yang gatal bahkan
semua isi perutnya ikut menjadi gatal.


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

517 Sedemikian menderitanya rasa gatal itu, kalau bisa dia ingin mengorek keluar
semua isi perutnya agar rasa gatal itu berkurang, bayangkan sendiri sampai ke tingkat yang
bagaimanakah penderitaan tersebut"
Padahal ketika itu jalan darahnya tertotok, jangankan merangkak bangun, untuk
bergerakpun tak mampu, bisa dimengerti kalau laki-laki itu akhirnya tak tahan juga.
"Anak jadah she Hoa.... anak anjing budukan, laki perempuan bangka.... kalau punya
kepandaian ayoh bunuh aku kalau berani....!" makinya kalang kabut.
Apa yang diharapkan pada keadaan seperti ini hanyalah satu yakni kematian, untuk
mewujudkan keinginannya itu maka terlontarlah segala macam kata-kata makian yang paling
kotorpun. Hoa In-liong tidak menjadi marah karena itu, malah ejeknya, "Ayoh makilah, maki
terus sampai tua, haahh.... haahh.... haahh.... semakin banyak kata-kata kotormu, semakin lama pula
penderitaan yang akan kau rasakan"
Melihat makiannya tidak mendatangkan hasil, Tan Beng-tat segera berganti taktik,
ia mulai merengek-rengek, "Hoa Yang, berbuatlah sedikit kejadian, bunuhlah aku dengan
sekali bacokan, kalian keluarga Hoa...."
Berbicara sampai disini, kembali ia tak dapat mengendalikan rasa sakitnya hingga
merintih ngeri. "Diam-diam Hoa liong mengerutkan dahinya dan berpikir, "Entah siapakah Hian-beng
Kaucu ini" Betapa ketatnya peraturan perkumpulan mereka, sampai-sampai dalam keadaan
demikianpun Tan Beng-tat tak berani membocorkan rahasia perkumpulannya...."
Coa Wi-wi Juga merasa tak tega melihat keadaan tersebut, terutama setelah jalan
darah Pinghong-hiat ditubuh Tan Beng-tat tertotok, sekalipun badannya tak mampu
bergerak, tapi seluruh kulit wajahnya mengejang keras dan rintihannya semakin mengenaskan.
Sebagai seseorang yang berhati mulia, akhirnya toh gadis itu merasa tak tega,
katanya kemudian, "Jiko, aku pikir...."
Tapi dengan cepat ia membungkam kembali".
Hoa In-liong berpaling sekejap kearahnya, ketika dilihatnya bibir gadis itu
bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi niat itu kemudian dibatalkan, bahkan Wajahnya
menunjukkan rasa tak tega, dia lantas tahu bahwa gadis itu sedang memintakan ampun bagi Tan
Beng-tat. Namun un cukup merasakan betapa pentingnya masalah tersebut, bagaimanapun jua
tak mungkin korban tadi dilepaskan dengan demikian saja.
Akhirnya setelah mempertimbangkan beberapa saat, dia menghela napas, secara
beruntun ditepuknya beberapa buahjalan darah ditubuh orang itu hingga siksaan "digigit
berjuta-juta ekor semut" pun ikut lenyap dengan sendirinya.
"Tan Beng at!" bentaknya kemudian, "empek Yu ku itu masih hidup atau sudah
mati?" Teringat berapa tersiksanya digigit semut, setelah sangsi sejenak Ta Beng at
menyahut juga, "Masih hidup!" 518 "eandainya aku bertanya dimanakah empek Yu berada, ku yakin kau tak berani
mengatakannya, bahkan belum tentu mengetahuinya, maka aku hanya ingin bertanya kepadamu, ada
utusan apa kau seorang diri datang kemari....?"
Tan Beng at kelihatan seperti tertegun.
"Darimana kau bisa tahu kalau aku datang kemari seorang diri?" ia balik
bertanya. Hoa In ng tidak langsung menjawah diam-diam ia membatin, "Orang ini keras diluar
lunak didalam, jelas kedatangannya kemari mempunyai tugas tertentu, akan kulihat apa
yang dia lakukan disini?" Sambil menengadah ia pun tertawa terbahak-bahak.
"Haaahhh.... haaahhh.... haaahhh.... baiklah akupun tak akan menanyakan kepada kau
datang kemari, tapi dimanakah Ciu kongcu mereka berada tentunya kau tahu bukan?"
Tan Beng-tat tidak menduga kalau secara tiba-tiba musuhnya bersikap selembut
itu, ia benarbenar merasa kaget bercampur curiga selang sejenak kemudian dia
baru menyahut, "Pokoknya
ada dikota Kim-leng, Hoa jiya kan orang yang hebat dan punya kemampuan luar
biasa kenapa tidak berusaha mencari sendiri?"
"Beritahu kepadaku akan kuperkenankan kau berlalu dari sini! ujar Hoa In-liong
lagi dengan wajah serius. Janji tersebut benar-benar ada diluar dugaan Tan Beng-tat, dia melongo.
"Bagaimana caranya aku bisa mempercayai dirimu?" serunya kemudian dengan nada
sangsi. "Dengan dasar nama baik keluarga Hoa kami, memangnya aku akan membohongi
dirimu?" seru pemuda itu lagi dengan wajah makin serius.
Yaa, memang! Pada hakekatnya keluarga Hoa semenjak dari kakek Hoa In-liong yang
bernama Hoa goan siu sudah merupakan tonggak atau tulang punggung bagi kaum pendekar
dari golongan putih, setiap perkataan yang mereka ucapkan mau pun setiap tindakan
yang mereka lakukan secara otomatis merupakan tindakan resmi dari seluruh umat persilatan
golongan putih yang didunia ini, hingga serta-merta pihak lawan pun hampir semuanya mempercayai
apa yang dikatakan orang-orang keluarga Hoa.
Tan Beng-tat agak sangsi sebentar, kemudian tanyanya, "Bila kukatakan tapi
engkau tidak percaya, apa pula yang musti kulakukan?"
"Asal kau bersedia mengatakannya, benar atau tidaknya aku Hoa loji dapat
menentukan sendiri, tak perlu kau musti repot-repot meresahkannya bagiku!"
Berkilat sepasang mata Tan Beng-tat sehabis mendengar perkataan itu, ia bertanya
lagi, "Jadi aku diperbolehkan pergi dari sini tanpa kekurangan sesuatu bendapun diri semua
yang kubawa?" "Goblok, "pikir Hoa Tn liong dengan gelinya, "dengan perkataanmu itu, bukankah
sama halnya dengan kau beritahukan rahasiamu kepadaku?"
Ia menengok kearah Coa Wi-wi, kebetulan gadis itu lagi memandang kearahnya,
merekapun saling berpandangan sambil tertawa.
519 "Jiko!" bisik Coa Wi-wi kemudian dengan ilmu menyampaikan suaranya, "perlukah
kita geledah dulu isi sakunya?" "Tidak usah!" jawab Hoa In-liong dengan ilmu menyampaikan suara juga, "aku
mempunyai perhitungan sendiri"
Dsngan wajah serius ia menyahut, "Boleh saja permintaanmu itu, Nah, katakanlah!"
Tan Beng-tat termenung sebentar, lalu menjawab, "Mereka berada di istana Tiau
thin-kiong, percaya atau tidak terserah padamu"
"Omong kosong, kau sedang membohong "Coa Wi-wi segera membentak nyaring, "istana
Tiau thian kioag adalah tempat umum yang dapat dikunjungi setiap orang, masa mereka
bersembunyi disana?" Tan Beng-tat kuatir Hoa In-liong turun tangan menyiksa dirinya lagi, cepat-cepat
ia berseru, "Kami masuk dengan memanjat dinding pekarangan, istana itu luas sekali,
disanapun merupakan tempat yang bisa dipakai untuk bersembunyi, lagipula jarang ada orang yang masuk
sampai tengah istana, sudah tentu jejak kami sulit diketahui orang"
"Setelah berhenti sebentar, ia berkata lagi, "Semua jago tangguh dari
perkumpulan kami telah tiba semua disini, aku rasa tiada keharusan bagiku untuk mengelabuhi kalian
semua" Tapi setelah perkataan itu meluncur keluar, ia merasa sangat menyesal, untuk
dibatalkan kembali jelas tak mungkin, maka diapun membungkam dalam seribu basa.
Hoa In-liong termenung sejenak, lalu berpikir, "Kalau dilihat dari gerak-
geriknya, apa yang di katakan memang dapat dipercaya, coba kuselidiki lebih lanjut rahasia perkumpu-
lannya" Berpikir lebih lanjut, diapun bertanya kembali, "Siapa saja yang telah datang"
Apakah ke delapan orang Ciu Hoa juga sudah berkumpul semua disini" bagaimana dengan kaucu kalian?"
Waktu itu Tan Beng-tat sedang gelagapan lantaran salah berbicara, mendengar
perkataan itu ia jadi paik pitam. "Wahai orang she Hoa!" demikian teguran "engkau toh cuma menanyakan dimana
kongcu kami bersembunyi, dan aku telah menjawab sejujurnya, Hoa In-liong tertawa terbahak-
bahak tangannya bergerak cepat menepuk bebas jalan darah peng hong hiat yang tertotok
itu. "Baiklah, kalau begitu kau boleh pergi!" katanya
Mimpipun Tan Beng-tat tak pernah percanya kalau dirinya bakal dilepaskan dengan
begitu saja tanpa musti melalui prosedur yang menyulitkan, tidak banyak berbicara lagi dia
segera melompat bangun dan berdiri tertegun.
"Apa lagi?" tegur Coa Wi-wi dengan suara ketus, "sudah tak pingin pergi" Bagus
sekali, kalau begitu tinggal saja disini!"
Tan Beng-tat amat terkejut, dia kuatir Hoa In-liong berubah pikiran, karenanya
tanpa berani mengucapkan sepatah katapun ia kabur ke pintu ruangan, kemudian setelah menatap
sekejap kearah musuhnya dengan penuh kebencian, buru-buru dia angkat kaki dan kabur dari
situ. 520 Begitu Tan Beng-tat meninggalkan ruangan tersebut, Coa Wi-wi lantas berbisik
lirih, "Jiko, ayoh kejar!" "Tak mungkin lolos dari kejaran kita, tunggu saja sebentar lagi" kata Hoa-In
liong sedikitpun tidak gugup. Dengan sorot mata yang tajam ia mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, setelah
mengamatinya beberapa waktu, akhirnya pemuda itu berkesimpulan bahwa keempat
kaki pembaringan yang terbuat dari bambu itulah merupakan bagian yang paling
mencurigakan diantara sekian benda dalam ruangan tersebut.
Semenjak kecilnya pemuda ini memang bandel dan nakal, soal mencari barang yang
disembunyikan sesuatu benda boleh dikata merupakan keahliannya yang terutama,
maka bila seseorang hendak menyembunyikan sesuatu dihadapannya, tak mungkin benda tersebut
dapat lolos dari ketajaman sepasang matanya.
Begitulah, setelah menaruh curiga pada suatu bagian tempat itu, pemuda itu pun
maju menghampiri pembaringan, berjongkok ditepinya dan mulai melakukan percarian
dengan seksama, ia berusaha menemukan sesuatu yang aneh dari tempat itu. Betul juga,
ternyata diantara kaki pembaringan yang terbuat dari bambu, ada satu ruas diantaranya
yang dapat dibuka, oleh karena pandangan yang dilakukan secara sempurna, hal ini tak
gampang ditemukan orang. Tapi apa yang ditemukan" Ketika ruas bambu itu dibuka, ternyata isinya kosong,
tiada sesuatu benda apapun di situ. Kendatipun demikian, Hoa In-liong tidak menyerah dengan begitu saji, dengan jari
tengah dan telunjuknya ia coba mengorek tabung bambu vang kosong tadi.
Melihat tingkah laku Hoa In-liong yang tiada bosan-bosannya mengorek tabung
bambu yang kosong, habislah kesabaran Coa Wi-wi, "ia maju kesisinya lalu menegur, "Ayoh
berangkat! Aaaai.... kamu ini memang keterlaluan, andaikata benar-benar ada barangnya sudah
pasti barang itu telah dibawa lari, masa harus menunggu sampai aku datang untuk mengam
bilnya?" Hoa In lioag tertawa lirih, merasa ucapan dari gadis itu ada benarnya juga, ia
siap bangkit berdiri. Tapi....secara tiba-tiba satu ingatau melintas dalam benaknya, ia merasa dalam
tabung bambu itu seakan-akan telah menyentuh suatu benda yang licin, jelas benda tersebut bukan
merupakan lembaran bambu. Dalam keadaan begini, ia segan untuk membuang tenaga lagi, sekali bacok tabung
bambu itu dihajarnya sampai hancur.
Betul juga dugaannya, begitu tabung bambu terhajar pecah, dari hancuran bambu
muncullah sebuah benda panjang yang memancarkan cahaya hijau muda, menyilaukan sekali
cahaya tersebut. Cepat dipungutnya benda tersebut, ternyata adalah sebuah penggaris kemala,
diatas penggaris terukir enam huruf besar yang berbunyi: Istana Kiu ci kiong, tempat penyimpanan
kitab. 521 Selain keenam huruf besar itu, diatas penggaris terukir pula penuh huruf kecil
yang lembut dan sebesar lalat, selain itu terukir juga lukisan manusia dilam posisi yang
bsraneka ragam. Dalam sekilas pandangan saja, pemuda itu segera mengetahuinya sebagai benda


Rahasia Hiolo Kumala Xia Ke Qian Qiu Karya Gu Long di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peninggalan Kiu-ci Sinkun, hanya entah apa sebabnya ternyata bisa disimpan secara rahasia
disitu. "Apakah itu" Sebuah Giok pek-ci (Penggaris Kemala Hijau)?" tanya Coa Wi-wi
sambil menghampiri dari belakang.
Hoa In-liong tak sempat meneliti lebih jauh, seraya angsurkan benda itu
kepadanya ia menyahut, "Bukan batu kemala, sebab kalau kemala hijau, sudah pasti tak akan tahan oleh
pukulan tanganku!" Selesai berkata, ia melanjutkan kembili penggeledahannya dengan menghancurkan
tabungtabung bambu lainnya namun tiada sesuatu apapun yang ditemukan.
Dengan patahnya keempat buah Laki pembaringan tersebut, maka dikala anak muda
itu melepaskan pegangannya, ambruklah pembaringan itu ketanah sementara, ia sendiri
lantas bangun. "Istana Kiu ci kioag itu terletak dimana?" Coa Wi-wi bertanya lagi.
Sambil putar badan jawab Hoa In-Iiong, "Istana Kiu ci-kiong di dirikan oleh
seorang jago silat yang bernama Kiu-ci Sinkun, letaknya ada dibakit Kiu ci-san karesidenan Sam
kang-siam propinsi Kwang-see!" Setelah berhenti ssjenak. ia berkata lagi, "Sepanjang hidupnya Kiu-ci Sinkun
mempunyai banyak pengalaman yang menarik, lain hari akan kuceritakan kesemuanya itu kepadamu,
juga tentang kisah penggalian harta Karun dibukit Kiu ci-san yang berlangsung sampai tiga
kali, penuh dihiasi oleh kejadian-kejadian yang ramai dan tegang, cuma seluruh harta karun yang
tersimpan dalam istana Kiu ci-kiong akhirnya habis terkuras dalam penggalian yang diadakan untuk
ketiga kalinya...." Tiba-tiba ditemuinya Coa Wi-wi sedang mengawasi penggaris kemala hijau itu
dengan penuh semangat, ia lantas bertanya dengan tercengang.
"Ada apanya sih penggaris kemala hijau itu" Kok serius amat caramu
memperhatikan?" "Jiko, cepat libat, lukisan orang-orangan yang ada dipenggaris tersebut agaknya
merupakan pelajaran ilmu pukulan dan Sim-hoat tenaga dalam yang amat dahsyat "teriak Coa
Wi-wi dengan nada sangat gembira. "Aaaah....! Masa iya?" seru Hoa In-liong pula dengan nada tercengang.
"Benar jiko, cuma ilmu pukulan dan Sim-hoat tenaga dalam itu ditulis tak
berurutan, kacau kalau tak karuan hingga sukar diikuti dengan sebaik-baiknya"
Seraya berkata, dengan hati berkerut gadis itu menyerahkan kembali penggaris
kemala hijau itu kepada Hoa In-liong. Hoa In-liong menerima benda itu dan menyahut, "Bila dugaanku tak salah, ilmu
Pendekar Pengejar Nyawa 6 Duel 2 Jago Pedang Pendekar 4 Alis Buku 3 Karya Khulung Pedang Darah Bunga Iblis 17
^