Si Kangkung Pendekar Lugu 10
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Bagian 10
muda), ha........harap jangan kau ka........katakan aku berada di......disini."
Keruan Jik Hong heran sebab ia merasa tidak kenal wanita dekil itu, ia tanya:
"Siapakah kau" Untuk apa kau berada disini?"
"O, ti......tidak apa2, aku ......aku adalah seorang pengemis," sahut wanita itu dengan
gelagapan, habis itu, ia lantas berbangkit dan masuk keruangan dalam dengan
langkah cepat. Pikiran Jik Hong tergerak oleh tingkah-laku wanita kotor yang tidak dikenal itu,
ia merasa ada sesuatu yang tidak beres atas wanita itu. Tapi lantas berpikir
pula olehnya: "Ah, aku sendiri sudah cukup kesal menghadapi macam2 urusan, buat
apa ikut campur urusan orang lain lagi?"
Lalu ia membatin. "Keparat Go Him itu mengatakan cara mereka mempitenah Tik-
suko, hal itu pastilah betul dan bukan omong ksosong, lantas kitab itu ......kitab
itu ........" Berpikir sampai disini tanpa merasa ia pegang dahan pohon waru disampingnya dan
digoyangkan pelahan hingga daun waru kering jatuh berserakan.
Pada saat itulah ia dengar suara orang berlari, kiranya siwanita dekil tadi
telah merat melalui pintu belakang Su-theng itu.
Jik Hong semakin heran, pikirnya: "Entah mengapa wanita ini demikian takutnya
padaku .........Ha, teringatlah aku, dia.......dia adalah Tho Ang, si Mirah ........"
Demi mengenali si Mirah itu, dengan cepat Jik Hong lantas memburu kepintu
belakang sana, segera ia cabut belatinya sambil membentak: "Tho Ang, kau berbuat
apa secara sembunyi2 disini?"
Memang wanita dekil itu betul adalah Tho Ang alias si Mirah, itu gundiknya Ban
Cin-san dahulu yang katanya bergendakan dengan Tik Hun dan tertangkap basah itu.
Ketika namanya dipanggil Jik Hong, memangnya si Mirah sudah gugup, apalagi
melihat nyonya muda itu menghunus belati lagi, keruan ia ketakutan setengah
mati, dengan gemetar ia berlutut pula sambil memohon: "Siau.......Siau-naynay,
am........ ampunilah aku!"
Jik Hong sangat heran oleh kelakuan wanita itu. Sejak dia tinggal didalam
keluarga Ban, ia hanya bertemu beberapa kali dengan Tho Ang, tidak lama kemudian
lantas tidak pernah bertemu pula. Apalagi setiap kali bila teringat kejadian Tik
Hun hendak kabur bersama si Mirah itu, rasa hatinya menjadi seperti di-sayat2,
lantaran itulah maka menghilangnya Tho Ang itupun tidak pernah digubrisnya.
Siapa duga wanita bejat itu ternyata sembunyi didalam Su-theng atau rumah
berhala bobrok ini. Su-theng ini jaraknya tidak jauh dari rumah keluarga Ban, tapi sejak Jik Hong
menjadi nyonya mantu, penghidupan yang dia tuntut sudah berbeda daripada waktu
perawan hidup dikampung halamannya sana, ia tidak pernah keluyuran diluaran
lagi, walaupun sering juga keadaan Su-theng bobrok itu dilihat olehnya dari
jauh, tapi belum pernah ia memasukinya.
Keadaan Tho Ang sekarang juga tak keruan, rambutnya kusut masai, mukanya kurus
pucat, hanya beberapa tahun tidak berjumpa tampaknya malah sudah lebih tua
beberapa puluh tahun, makanya Jik Hong pangling. Cuma Tho Ang sendiri yang
ketakutan hingga menimbulkan curiga Jik Hong dan sesudah di-pikir2, achirnya
teringat juga olehnya diri si Mirah itu. Coba kalau Tho Ang tinggal pergi
pelahan2 seperti tidak terjadi apa2, sedang Jik Hong sendiri lagi kusut
pikirannya tentu dia takkan diperhatikan.
Begitulah Jik Hong lantas geraki belatinya sambil mengancam: "Apa yang kau
lakukan dengan sembunyi2 disini" Hayo lekas mengaku terus terang!"
"Aku ti......tidak berbuat apa2," sahut Thoa Ang dengan ketakutan. "Siaunaynay, aku
......aku telah diusir oleh Loya, beliau mengatakan bila kepergok aku masih berada
di Hengciu sini, tentu aku .......aku akan dibunuh olehnya, akan tetapi......akan tetapi
aku tiada mempunyai tempat lain lagi, terpaksa......terpaksa sembunyi disini untuk
cari hidup dengan minta2 sesuap nasi. Siau........Siaunaynay, selain Hengciu, aku
tidak tahu kemana aku harus pergi" Maka sukalah......sukalah Siaunaynay berbuat
bajik, jangan......janganlah katakan pada Loya tentang diriku."
Mendengar ratapan orang yang cukup kasihan itu, Jik Hong lantas simpan kembali
belatinya. Katanya kemudian: "Sebab apa kau diusir Loya" Mengapa aku tidak
tahu?" "Akupun tidak........tidak tahu sebab apa mendadak Loya tidak suka padaku lagi,"
tutur Tho Ang. "Padahal Tik.......urusan orang she Tik itu bukanlah salahku. Ai,
tidak........tidak seharusnya aku bercerita tentang ini."
"Kau tidak mau bercerita juga boleh, sekarang juga kuseret kau pergi menemui
Loya," ancam Jik Hong sambil jambret lengan baju si Mirah.
Keruan si Mirah ketakutan, dengan gemetar ia berkata: "Aku .......aku akan
bercerita! Siaunaynay, apa yang kau ingin tahu?"
"Ceritakan tentang orang.......orang she Tik itu, sebenarnya bagaimana duduknya
perkara" Sebab apakah kau hendak kabur bersama dia?" demikian kata Jik Hong.
Saking takut dan gugupnya hingga Tho Ang ternganga dan terbelalak tanpa bisa
bicara. Dengan mata tak berkesip Jik Hong pandang lekat2 wanita itu, rasa takut dalam
hatinya mungkin berpuluh kali lebih hebat daripada si Mirah. Yang ditakutkan
adalah cerita si Mirah, jangan2 cerita itu akan menyatakan bahwa: Waktu itu
memang benar Tik Hun telah memperkosanya.
Tapi karena sesaat itu Tho Ang tidak dapat bicara, maka wajah Jik Hong menjadi
pucat lesi, jantungnya se-akan2 berhenti berdenyut, saking tegangnya.
Achirnya, mengakulah Tho Ang: "Kejadian itu bukan........bukan salahku, Siauya (tuan
muda) yang suruh aku berbuat begitu, suruh aku peluk orang she Tik itu se-
kencang2nya serta menuduh dia hendak memperkosa diriku dan membujuk aku agar
kabur bersama. Hal ini telah kututurkan kepada Loya, sebenarnya Loya toh percaya
juga, tapi.......tapi achirnya tetap beliau mengusir aku."
Sungguh Jik Hong merasa sangat terima kasih dan berduka, merasa penasaran dan
merasa kasihan. Dalam hati ia meratap: "O, Suko, jadi akulah yang telah salah
sangka jelek padamu, seharusnya aku mengetahui hatimu yang suci murni, tapi toh
aku telah menyangka jelek dan membikin susah padamu!"
Begitulah ia tidak dendam pada Tho Ang, sebaliknya ia malah agak berterima
kasih, untunglah wanita itu yang telah membuka ikatan hatinya yang tertekan
selama ini. Didalam rasa duka dan pedihnya itu tiba2 terasa pula semacam rasa
manis diantara rasa pahit getir. Meski selama ini ia telah menjadi isterinya Ban
Ka, tetapi orang yang benar2 dicintainya didalam lubuk hatinya selalu hanya
seorang yaitu Tik Hun. Sekalipun sang Suko itu mendadak berubah pikiran,
sekalipun jiwanya ternyata kotor dan rendah, biarpun seribu kali pemuda itu
berbuat salah, seribu kali berhati palsu, tapi hanya dia, ya hanya dia, tetap
dia seoranglah yang selalu dikenangkan dan dirindukan oleh Jik Hong.
Mendadak segala rasa benci dan dendam telah berubah menjadi sesal dan duka pada
diri sendiri, pikirnya: "Pabila sejak dulu aku tahu duduknya perkara, sekalipun
menghadapi bahaya apapun juga pasti akan kutolong dia keluar dari penjara. Tapi
dia telah menderita sehebat itu, entah cara bagaimana dia akan pikir atas .........
atas diriku?" Melihat Jik Hong diam saja, Tho Ang coba melirik nyonya muda itu, lalu katanya
dengan suara gemetar: "Siaunaynay, banyak terima kasih pabila sudi membiarkan
aku pergi, aku akan ..........akan tinggalkan Hengciu ini dan takkan kembali kesini
untuk selamanya." Jik Hong menghela napas, katanya kemudian: "Ah, sebab apakah Loya mengusir kau"
Apa kuatir aku mengetahui duduknya perkara itu" Tetapi, hai mungkin sudah takdir
ilahi, secara kebetulan harini aku telah pergoki kau disini."
Habis berkata iapun lepaskan pegangannya pada lengan baju orang. Mestinya ia
ingin memberikan persen sedikit uang perak, tapi ia keluar secara buru2 hingga
pada sakunya tidak terdapat apa2.
Melihat Jik Hong sudah melepaskan dirinya, kuatir akan terjadi apa2 lagi, buru2
Tho Ang melangkah pergi, tapi mulutnya masih menggumam: "Habis, di waktu malam
Loya tentu ketemu setan, tentu memasang tembok, mengapa aku yang disalahkan" Toh
bukan aku yang sembarangan omong."
Mendengar itu, cepat Jik Hong memburu maju dan bertanya: "Kau omong apa" Melihat
setan dan pasang tembok apa katamu?"
Tho Ang sadar telah kelepasan mulut lagi, cepat ia menyahut: "O tidak ada apa2,
tidak ada apa2. Aku bilang Loya sering melihat setan diwaktu malam, ditengah
malam selalu bangun untuk memasang tembok."
Melihat tingkah-laku orang yang angin2an itu, Jik Hong pikir mungkin sejak si
Mirah itu diusir oleh Kongkong (bapak mertua) penghidupannya sangat susah, maka
pikirannya menjadi kurang waras. Habis, masakah Kongkong dikatakan tengah malam
bangun untuk pasang tembok" Padahal didalam rumah tidak pernah dilihatnya tembok
yang dipasang Kongkong. Rupanya Tho Ang kuatir nyonya muda itu tidak percaya, maka ia mengulang lagi:
"Ya, dia pasang tembok, tapi tembok .......tembok palsu. Setiap tengah malam Loya
suka.......suka menjadi tukang batu maka aku telah mengatai dia beberapa kata, dan
dia lantas marah2, aku dihajar hingga babak-belur, kemudian aku diusirnya
pula........" ~ Begitulah sambil mengomel dan menggerundel tak habis2, ia terus
mengeloyor pergi dengan beringsat-ingsut.
Jik Hong menjadi terharu memandangi bayangan wanita celaka itu, pikirnya:
"Paling banyak ia cuma lebih tua 10 tahun daripadaku, tapi ia telah berubah
sedemikian jeleknya. Entah mengapa Kongkong telah mengusirnya" Mengapa dia
mengatakan Kongkong melihat setan dan pasang tembok ditengah malam buta" Ah,
mungkin pikiran wanita ini memang tidak waras lagi. Ai, disebabkan seorang
wanita goblok seperti ini. Suko telah merana selama hidup dan akupun menderita
selama ini!" ~ Berpikir sampai disini, bercucuran air matanya.
Begitulah Jik Hong menangis hingga sekian lamanya sambil bersandar dibatang
pohon waru itu, tapi sehabis menangis hatinya yang pepet tadi menjadi agak lega,
perlahan2 barulah ia pulang kerumah. Ia tidak melalui taman belakang lagi, tapi
masuk dari pintu samping terus kembali keatas loteng sendiri.
Begitu mendengar suara tangga loteng itu, segera Ban Ka bertanya dengan tak
sabar: "Hong-moay, obat penawarnya didapatkan tidak?"
Jik Hong tidak menjawab, ia terus masuk kekamar, ia melihat Ban Ka duduk
diatas ranjang dengan sikap yang tidak sabar menunggu lagi, tangannya yang
terluka itu terletak ditepi ranjang, darah hitam setetes demi setetes merembes
keluar dari punggung tangannya dan jatuh kedalam baskom yang menadah dibawah
ranjang itu. Dara cilik Khong-sim-jay sudah lama tidur disebelah kaki
ayahandanya. Tadi sesudah mendengar cerita Go Him hingga berlari keluar rumah, dalam hati Jik
Hong sebenarnya penuh rasa murka terhadap Ban Ka. Ia benci kepada caranya yang
keji dan kotor itu untuk mempitenah Tik Hun. Tapi kini demi melihat air muka
sang suami yang tampan pucat itu, cinta kasih suami-isteri selama beberapa tahun
ini kembali membuatnya lemah hati. Pikirnya: "Ya, betapapun adalah karena Ban-
long cinta padaku, makanya dia berusaha menyingkirkan Tik-suko, caranya memang
keji hingga membikin Suko kenyang menderita, tapi kesemuanya itu adalah demi
diriku." Dan karena tiada mendapat jawaban, maka Ban Ka telah bertanya pula: "Obat
penawarnya sudah dibeli lagi belum?"
Karena bingung apakah mesti memberitahukan atau tidak kepada suami tentang
kelakuan Go Him yang kurangajar itu, maka segera ia menjawab: "O, aku sudah
ketemukan tabib itu, aku telah memberikan uang lagi dan minta dia segera
meramukan obatnya." Mendengar itu, barulah Ban Ka merasa lega hatinya, katanya. "Hong-moay, jiwaku
ini akhirnya engkaulah yang menyelamatkan."
Jik Hong paksakan diri tertawa, ia merasa bau darah berbisa yang berada didalam
baskom itu sangat menusuk hidung, segera ia membawakan sebuah tempolong ludah
untuk menggantikan baskom itu, lalu baskom itu dibawanya keluar.
Tapi baru beberapa langkah, bau darah berbisa itu menerjang hidungnya hingga
kepalanya terasa pening, diam2 ia mengakui betapa lihaynya racun ketungging itu.
Cepat ia keluar kamar, ia taruh baskom itu dilantai ditepi meja, lalu ia hendak
mengambil saputangan dari bajunya untuk menutupi hidung, kemudian darah berbisa
itu akan dibuangnya. Tapi begitu tangannya menjulur kedalam saku, segera ia memegang kitab kuno itu.
Ia tertegun sejenak, kembali hatinya ber-debar2 lagi, ia mengeluarkan kitab itu,
ia duduk ditepi meja, lalu satu halaman demi satu halaman dibaliknya. Ia masih
ingat dengan jelas kitab itu diambilnya dari bawah sebuah kopor rusak milik sang
ayah yang penuh tersimpan baju lama, waktu itu ia sedang mencari sesuatu baju
lama dan tanpa sengaja telah diketemukan kitab itu. Padahal ia tahu ayahnya
tidak banyak makan sekolah, biarpun huruf segede telur juga tiada dua keranjang
yang dikenalnya, entah darimana sang ayah menemukan kitab seperti itu. Tatkala
itu kebetulan ia baru selesai menggunting dua buah pola sulaman, maka ia lantas
selipkan kertas pola kedalam buku itu. Dan ketika suatu hari ia bermain lagi
kegua rahasia itu bersama Tik-suko, kitab itu sekalian lantas dibawanya kesana,
sejak itu kitab itupun selalu tertinggal didalam gua, mengapa sekarang bisa
diketemukannya disini" Apakah Tik-suko menyuruh tabib kelilingan tadi
menghantarkannya padaku" Tabib itu........ jangan2 ...... kelima jarinya terpapas putus
semua oleh Go Him" Ya, tabib itu mengapa....... Mengapa selalu menyembunyikan tangan
kanan didalam saku."
Begitulah se-konyong2 Jik Hong teringat pada waktu itu. Di kala tabib keliling
itu membubuhi obat pada Ban Ka tiada seorangpun yang memperhatikan tangan yang
digunakan sitabib adalah tangan kiri dan tidak pernah memakai tangan kanan, kini
demi teringat dahulu jari tangan kanan Tik Hun pernah terpapas putus oleh Go
Him, seketika terbayanglah kembali adegan2 tadi waktu sitabib membuka peti obat,
mengambil botol obat dan membuka sumbat botol serta menuang obat bubuk itu, ya,
kesemuanya itu melulu dilakukan oleh tangan kiri sitabib.
"Jangan2....... Jangan2 tabib itu adalah Tik-suko" Tapi mengapa mukanya sedikitpun
tidak sama?" demikian pikir Jik Hong. Dan saking kusut dan kesalnya, ia menjadi
berduka, air matanya bercucuran dan menetes diatas kitab yang dipegangnya itu.
Air matanya menetes terus hingga membasahi kitab kuno dan hal mana belum
disadari oleh Jik Hong, air matanya menetes diatas sepasang kupu2 guntingan
kertas, yaitu kupu2 San Pek dan Eng Tay, nasib percintaan mereka baru akan
terjalin sesudah keduanya mati semua .........
Dalam pada itu Ban Ka sedang berseru didalam kamar: "Hong-moay, aku merasa gerah
sekali, aku ingin bangun untuk jalan2 sebentar."
Tapi Jik Hong sendiri lagi tenggelam dalam lamunannya, maka tidak mendengar
suara sang suami itu. Waktu itu ia sedang memikir: "Tempo hari dia (Tik Hun)
telah mematikan seekor kupu2 hingga sepasang kekasih telah dicerai-beraikan
olehnya. Apakah dia telah ketulah oleh perbuatannya itu dan hidupnya ini
diharuskan merana dan menderita!.........
Dan pada saat itulah mendadak dibelakangnya seorang telah berseru dengan suara
kaget. "He, itulah ........Soh ......... Soh-sim-kiam-boh!"
Keruan Jik Hong juga berjingkrak kaget, cepat ia menoleh, ia melihat Ban Ka
dengan wajah kegirangan dan penuh semangat sedang berkata: "He, Hong-moay,
darimanakah kau memperoleh kitab itu" Lihatlah, aha, kiranya begitu, kiranya
demikian!" Segera ia memburu maju, dengan kedua tangannya ia memegang kitab kuno ditangan
isterinya. Ia balik sampul kitab itu, dengan jelas dibacanya judul kitab itu
adalah "Tong-si-soan-cip" (pilihan2 syair jaman Tong).
Kemudian ia melihat halaman yang ketetesan air mata Jik Hong itu adalah sebuah
syair yang berkalimat "Seng-ko-si" dan disamping bawahnya timbul tiga huruf
kecil ke-kuning2an, ketiga huruf itu adalah "tiga puluh tiga" atau dalam angka
menjadi "33". Beberapa baris tulisan itu telah basah kena air mata Jik Hong.
Saking girangnya Ban Ka sampai lupa daratan, ia ber-teriak2: "Aha, disinilah
letak rahasianya, ya, kiranya harus dibasahi dahulu, lalu akan timbul hurufnya.
Bagus! Bagus! Tentu adalah kitab ini. He, Khong-sim-jay, Khong-sim-jay, lekas
pergi mengundang Engkong kemari, katakan ada urusan penting!"
Begitulah ia lantas membangunkan sidara cilik yang lagi tidur nyenyak itu dan
disuruhnya pergi mengundang sang Engkong (kakek), yaitu Ban Cin-san.
Sambil memegangi kitab syair itu dengan erat2, Ban Ka menjadi lupa tangannya
yang terluka dan kesakitan itu, sebaliknya ia terus bicara sendiri: "Ya, pasti
inilah kitabnya, tentu tidak salah lagi. Ayah bilang Kiam-boh itu berwujut
sejilid Tong-si-soan-cip, tentu tidak salah lagi, apakah perlu disangsikan lagi
sekarang" Hahaha, pantas lebih dulu harus membikin basah kitab ini dan dengan
sendirinya rahasianya akan timbul sendiri."
Karena luapan rasa girang yang tak terkendalikan, maka Ban Ka telah mengoceh tak
tertahan, hal mana telah membikin Jik Hong menjadi paham juga duduknya perkara.
Pikirnya: "Apakah kitab ini adalah 'Soh-sim-kiam-boh' yang dibuat rebutan antara
ayahku dan Kongkong itu" Jika begitu, sebenarnya kitab ini telah didapatkan oleh
ayahku, tapi secara tak sadar aku telah mengambilnya untuk menjepit pola sepatu.
Tapi waktu ayah kehilangan kitab pusaka ini, mengapa beliau tidak kelabakan dan
mencarinya" Ah, tentu juga sudah dicarinya, cuma dicari kesana kesitu tidak
ketemu, lalu disangkanya telah dicuri oleh Gian-supek dan diantepin saja.
Mengapa dahulu ayah tidak tanya padaku tentang kitab yang hilang itu" Sungguh
sangat aneh!" Jika Tik Hun, tentu sekarang ia takkan heran sedikitpun, sebab ia sudah tahu Jik
Tiang-hoat itu adalah seorang yang licin, seorang yang banyak tipu akalnya,
sekalipun didepan puterinya juga sedikitpun tidak mau mengunjukan sesuatu
tentang kitab pusaka Soh-sim-kiam-boh itu. Waktu kitab itu hilang, tentu juga ia
berusaha mencarinya ubek2an, tapi sesudah tidak diketemukan kembali, ia lantas
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pura2 tidak terjadi apa2, hanya diam2 ia menyelidiki dengan segala jalan untuk
memperhatikan apakah kitab itu bukan dicuri oleh Tik Hun" Atau dicuri puterinya"
Tapi disebabkan Jik Hong tidak merasa mencuri, ia tidak perlu takut sebagaimana
seorang maling kuatir konangan, maka dengan sendirinya penyelidikan Jik Tiang-
hoat menjadi sia2. Dalam pada itu Ban Cin-san baru saja pulang, ia sedang diruangan makan. Ketika
ia dipanggil cucu perempuannya, ia sangka luka puteranya mungkin berubah buruk,
maka belum lagi sarapannya dihabiskan dia sudah lantas buru2 kebelakang sambil
membopong sidara-cilik. Dan begitu ia melangkah keatas loteng, dia lantas
mendengar suara seruan Ban Ka yang kegirangan. "Haha, di-cari2 tidak ketemu,
siapa duga diperoleh secara begini mudah. Eh, Hong-moay, mengapa engkau
kebetulan membasahi kitab ini dengan air" Sungguh kebetulan, mungkin memang
takdir ilahi!" Sudah tentu ia tidak tahu bahwa air yang membasahi kitab itu adalah air mata
sang isteri yang barusan sedang merindukan seorang laki2 lain.
Begitulah Ban Cin-san menjadi lega demi mendengar suara sang putera itu, segera
iapun masuk kedalam kamar.
"Tia, Tia! Lihatlah, apakah ini?" seru Ban Ka segera sambil mengunjukan kitab
'Pilihan2 syair jaman Tong' itu kepada sang ayah yang baru masuk itu.
Hati Ban Cin-san tergetar demi nampak kitab ke-kuning2an yang tipis itu, cepat
ia taruh Khong-sim-jay ketanah, lalu terima kitab yang diangsurkan Ban Ka itu
dengan hati ber-debar2 hebat.
Itulah dia "Soh-sim-kiam-boh" yang telah dicarinya mati2an selama belasan tahun
kini telah kembali didepan matanya.
Memang benar inilah kitabnya, kitab asli yang pernah dimilikinya bersama Jik
Tiang-hoat dan Gian Tat-peng, yaitu hasil rampokan mereka bersama dengan
menganiaya guru mereka. Dahulu mereka bertiga telah mem-balik2 dan mempelajari bersama isi kitab itu
didalam hotel, akan tetapi kitab itu toh bukan "Kiam-boh" sebagaimana orang
sangka, kitab itu tidak lebih hanya sejilid kitab syair kuno yang umum, kitab
"Tong-si-soan-cip" yang juga dapat dibeli dengan mudah disetiap toko buku setiap
tempat. Dengan macam2 jalan mereka bertiga saudara perguruan telah menyelidiki isi kitab
itu. Pernah mereka menyorot setiap halaman kitab itu dibawah sinar matahari
dengan harapan menemukan apa2 didalam lempitan kertas itu, pernah juga mereka
membaca beberapa bait syair itu dijungkir balik, dibaca pula secara me-lompat2
dan macam2 cara lagi dengan tujuan mendapatkan sesuatu rahasia didalamnya, tapi
semua usaha itu hanya sia2 belaka, hasilnya nihil. Mereka bertiga saling curiga
mencurigai, kuatir kalau pihak lain menemukan rahasia didalam kitab itu dan
dirinya sendiri tidak tahu. Maka setiap malam diwaktu tidur, mereka lantas
mengunci kitab itu didalam sebuah peti besi, peti besi itu digandeng pula dengan
tiga utas rantai besi serta masing2 diikat dipergelangan tangan mereka bertiga.
Akan tetapi pada suatu pagi hari, tahu2 kitab itu sudah menghilang tanpa bekas.
Akibat hilangnya kitab itu selama belasan tahun mereka bertiga saudara perguruan
telah bertengkar tidak habis2, masing2 saling selidik menyelidiki. Dan mendadak
kitab itu telah muncul didepan matanya sekarang.
Ban Cin-san coba membalik halaman keempat dari kitab itu. Ya, memang betul,
ujung kiri halaman itu tersobek sedikit, itulah kode rahasia yang sengaja
dibuatnya tempo dulu, ia kuatir kedua Sutenya itu mungkin menukarnya dengan
sejilid "Tong-si-soan-cip" yang serupa dan dirinya tertipu, maka ia sendiri
harus menaruh sesuatu tanda dulu diatas kitab asli itu.
Ketika ia membalik pula halaman ke-16, benar juga bekas goresan kuku yang
ditaruhnya dahulu itu juga masih kelihatan. Ya, tidak salah lagi, memang betul
kitab ini tulen adanya. Begitulah ia lantas manggut2, sedapat mungkin ia menahan rasa senangnya itu,
katanya kemudian kepada sang putera: "Ya, memang betul adalah kitab ini,
darimana kau memperolehnya?"
Segera sorot mata Ban Ka beralih kepada Jik Hong dan bertanya: "Hong-moay,
darimanakah kitab ini kau temukan?"
Jik Hong sendiri sejak melihat sikap Ban Ka tadi, yang terpikir olehnya melulu
diri ayahnya saja, ia pikir: "Kemanakah perginya ayah selama ini" Sesudah aku
mengambil kitabnya ini dan kubawa kedalam gua itu, beliau mencari ubek2an.
Padahal kitab ini yang selalu dibuat incaran dan menyebabkan pertengkaran
mereka, dalam hati ayah tentu sangat luar biasa sayang kepada kitab ini. Entah
kitab kuno seperti ini mempunyai manfaat apa hingga mesti mereka ributkan" Tapi
dahulu aku telah mengambilnya dari kopor ayah, sekali2 tidak boleh kubiarkan
kitab ini jatuh ditangan Kongkong."
Apabila sehari dimuka, pada waktu itu Jik Hong masih belum tahu duduknya perkara
tentang penderitaan Tik Hun yang dipitenah orang, tentu ia masih sangat cinta
dan penuh kasih-sayang kepada suaminya, dan dalam penilaiannya mungkin sang
suami akan lebih utama daripada ayahnya sendiri, apalagi sang ayah entah kemana
perginya selama ini, entah akan pulang lagi atau tidak"
Namun keadaan sekarang sudah berubah lain. "Sekali2 kitab ayahku itu tidak boleh
kubiarkan jatuh ditangan mereka. Tentu Tik-suko yang telah mengambil kitab ini
dari gua dan diserahkan padaku, dengan sendirinya tidak boleh kuberikan pada
mereka, hal ini bukan saja demi ayah, tapi terutama demi Tik-suko!" demikian ia
ambil keputusan. Begitulah maka waktu Ban Ka bertanya padanya darimana diperoleh kitab itu, Jik
Hong sendiri lagi memikirkan cara bagaimana harus merebut kembali kitab yang
telah dipegang oleh bapa mertuanya itu. Padahal ilmu silat Ban Cin-san sangat
tinggi, sekali2 dirinya bukan tandingannya apalagi sang suami juga berada
disitu, untuk merebutnya denggan kekerasan terang tidak mungkin.
Mendadak tertampak olehnya baskom yang terletak didekat meja sana, didalam
baskom masih terisi setengah baskom air darah, yaitu sebagian adalah air cuci
muka Ban Ka dan darah berbisa yang menetes dari luka tangannya. Air didalam
baskom itu berwarna merah hitam, kalau...... kalau diam2 kitab itu direndam didalam
air baskom, tentu mereka takkan menemukannya kembali. Akan tetapi, cara
bagaimana, harus dicari kesempatan untuk memasukkan kitab itu kedalam baskom"
Demikian Jik Hong sedang putar otak, sebaliknya sorot mata Ba Cin-san dan Ban Ka
juga sedang diarahkan padanya. Kembali Ban Ka mengulangi pertanyaannya: "Hong-
moay, darimanakah kau memperoleh kitab ini?"
Baru sekarang Jik Hong terkesiap, cepat ia menyahut: "Ah, entahlah, akupun tidak
tahu, tadi aku keluar dari kamar dan tahu2 melihat kitab itu diatas meja. Apakah
itu bukan milikmu?" Karena seketika itu tidak jelas duduknya perkara, maka sementara Ban Ka tidak
mengusut lebih jauh, yang terpikir olehnya yalah ingin lekas memberitahukan
kepada sang ayah tentang pengalamannya yang luar biasa tadi. Maka ia lantas
berkata kepada Ban Cin-san: "Lihatlah, ayah! Asal halaman kitab ini dibasahi,
lantas timbul hurufnya disitu." ~ Segera iapun menunjukkan angka "33" yang
terdapat disebelah kalimat syair "Seng-ko-si" itu. Sudah tentu ia tidak tahu
bahwa air yang membasahi halaman kitab itu adalah air mata sang isteri, air mata
rindu sang isteri kepada seorang laki2 lain yang bernama Tik Hun. Kalau dia
tahu, entahlah bagaimana perasaannya, akan girang atau akan marah"
Dalam pada itu Ban Cin-san sedang meneliti syair "Seng-ko-si" itu, ia lagi meng-
hitung2 huruf syair satu demi satu, mulai dari suatu bait yang berbunyi: "Loh-
cu-tiong-hong-siang......." hingga achirnya jatuh pada huruf "He-hong-seng......."
Itu dia, huruf ke-33 jatuh pada huruf "Seng"!
Ban Cin-san gablok pahanya sendiri sekali dan berseru: "Tepat! Memang beginilah
caranya, ya beginilah caranya! Kiranya rahasianya terletak disini! Hai, Ka-ji,
engkau benar2 sangat pintar, syukur dapatlah kau menemukan caranya ini. Memang
harus memakai air, ya, harus pakai air! Sungguh tolol, dahulu kami justeru tiada
seorangpun yang memikirkan tentang pemakaian air untuk menemukan rahasia didalam
kitab ini!" Melihat kedua orang itu penuh semangat asyik mempelajari rahasia yang tersimpan
didalam kitab itu, segera Jik Hong menarik puterinya kedalam kamar sana, ia
pondong dara cilik itu didalam pangkuannya dan pelahan2 berkata padanya: "Khong-
sim-jay, kau lihat baskom itu bukan?"
Dara cilik itu manggut2, sahutnya: "Ya, tahu!"
"Nah, sebentar kalau Engkong, ayah dan ibu berlari keluar semua, kau lantas
melemparkan buku yang dipegang Engkong tadi kedalam baskom agar kerendam air
kotor itu, jangan sampai diketahui oleh Engkong dan ayah, ya," demikian Jik Hong
mengajarkan puterinya. Sidara cilik kegirangan, disangkanya sang ibu hendak mengajarkan suatu permainan
yang menarik padanya, maka dengan tertawa ia bersorak: "Bagus, bagus!"
"Tapi jangan sekali2 diketahui oleh Engkong dan ayah, lho! Kemudian kaupun
jangan katakan pada mereka, ya!" pesan Jik Hong pula.
"Ya, Khong-sim-jay pasti takkan bilang pada mereka, pasti tidak!" seru sidara
cilik. Lalu Jik Hong keluar kamar depan lagi, katanya kepada Ban Cin-san: "Kongkong,
aku merasa didalam kitab itu ada sesuatu yang ganjil."
Cin-san menoleh, tanyanya: "Ganjil apa sih?" ~ Memangnya ia sendiri juga merasa
was-was karena munculnya kitab itu secara mendadak, datangnya terlalu mudah, hal
mana bukanlah sesuatu alamat baik. Maka ia bertambah pikiran demi mendengar
ucapan nyonya mantunya itu.
"?ni, disini!" kata Jik Hong kemudian sambil mengulurkan tangannya.
Ban Cin-san lantas serahkan kitab syair itu kepadanya. Sesudah Jik Hong mem-
balik2 halaman kitab itu, kemudian dikeluarkannya sepasang pola kupu2 itu dan
berkata: "Kongkong, didalam kitabnya dahulu apakah terdapat sepasang kupu2
kertas semacam ini?"
Cin-san terima kupu2 kertas itu dan mengamat-amatinya, lalu sahutnya: "Ya, tidak
ada!" "Habis apa artinya kupu2 kertas didalam kitab ini?" ujar Jik Hong. "Apakah
didalam Bu-lim terdapat seseorang tokoh yang berjuluk 'Hek-oh-tiap' (kupu2
hitam) dan sebagainya" Dengan meninggalkan kupu2 kertas ini didalam kitab,
mungkin adalah tanda peringatan bahwa mereka akan datang menuntut balas?"
Biasanya memang sering terjadi didalam Kangouw bahwa sebelum menuntut balas,
seorang telah mengirimkan tanda peringatan lebih dulu kepada orang yang akan
didatanginya. Dan selama hidup Ban Cin-san justeru tak terhitung banyaknya
kejahatan yang pernah diperbuatnya, dengan sendirinya ia terkejut mendengar
ucapan Jik Hong itu, apalagi kupu2 kertas memang nyata terselip didalam kitab
itu. Ia coba meng-ingat2 apakah pernah memusuhi seorang tokoh yang berjuluk
'Hek-oh-tiap' dan sebagainya" Tapi seingat dia toh tidak ada.
Selagi ia merenung, mendadak terdengar Jik Hong membentak: "Siapa itu" Ada apa
main sembunyi2 disitu?" ~ Segera ia tuding keatas wuwungan rumah diluar jendela,
maka berbareng Ban Cin-san dan Ban Ka memandang kearah sana, tapi toh tiada
terdapat apa-apa. Cepat Jik Hong sambar sepasang pedang yang tergantung didinding, ia lemparkan
sebatang kepada Ban Cin-san dan sebatang kepada Ban Ka, serunya pula. "Aku
melihat tiga sosok bayangan orang berkelebat kesana!"
Sementara Cin-san dan Ban Ka menyambuti pedang yang dilemparkan Jik Hong itu,
segera Jik Hong lantas tarik laci meja dan masukan kitab syair itu kedalamnya
dan sambil berbisik: "Jangan sampai dicuri musuh!"
Ban Cin-san berdua percaya saja, mereka memanggut. Segera mereka bertiga
melompat keluar jendela dan naik keatas rumah, waktu memandang sekeliling situ,
namun tiada tertampak seorangpun. "Coba periksa kebelakang sana!" kata Cin-san.
Bertiga orang terus menguber kerumah belakang sana. Tiba2 terlihat sesosok
bayangan orang berkelebat dipengkolan sana, segera Cin-san membentak: "Siapa
itu?" ~ Dan waktu ia melesat maju, kiranya orang itu bukan lain adalah muridnya
nomor enam, yaitu Go Him adanya.
"Kau melihat musuh tidak?" tanya Cin-san pula.
Sebenarnya wajah Go Him sudah pucat seperti mayat, ia ketakutan setengah mati
ketika mendadak melihat Suhu bertiga menguber kearahnya dengan senjata terhunus,
ia mengira perbuatannya yang kotor itu telah dilaporkan oleh Jik Hong. Dan demi
mendengar pertanyaan sang guru itu, barulah ia merasa lega. Cepat ia menayhut:
"Ya, barusan seperti ada orang berlari lewat sini, makanya Tecu lantas memburu
kemari untuk mencari tahu apa yang telah terjadi."
Sebenarnya jawabannya itu adalah untuk menutupi sikapnya yang kikuk itu,
sebaliknya menjadi kebetulan bagi Jik Hong yang membohong itu.
Segera mereka berempat menguber pula kebelakang, ber-ulang2 Go Him bersuit
memanggil Loh Kun, Bok Heng dan lain2, tapi meski seluruh isi rumah mereka
kerahkan untuk mencari musuh, toh tiada suatu bayanganpun yang kelihatan.
Karena kuatirkan kitab "Soh-sim-kiam-boh" yang masih tertinggal dikamar itu,
segera Cin-san suruh Loh Kun dan para Sute-nya mencari lebih jauh jejak musuh.
Ia sendiri bersama Ban Ka dan Jik Hong lantas kembali kekamar loteng.
Segera pula ia membuka laci hendak mengambil kitab itu, tapi ........
Sudah tentu laci itu sudah kosong melompong, kitab itu entah sudah terbang
kemana" Keruan kejut Ban Cin-san dan Ban Ka tak terkatakan, mereka mencari ubek2an
didalam kamar, dan sudah tentu nihil hasilnya.
"Adakah seorang masuk kesini?" Ban Cin-san coba tanya Khong-sim-jay.
"Tidak ada!" sahut sidara cilik. Kemudian ia berpaling dan main mata dengan sang
ibu, hatinya sangat senang.
Sudah terang gamblang Ban Cin-san berdua menyaksikan sendiri Jik Hong memasukan
kitab itu kedalam laci, dikala menguber musuh juga selalu nyonya mantu itu
berada bersama mereka, dengan sendirinya bukan Jik Hong yang main gila. Ia
menduga pasti adalah tipu muslihat musuh yang "memancing harimau meninggalkan
sarang", lalu mencuri kitab pusaka itu.
Keruan Ban Cin-san dan Ban Ka merasa lemas, mereka saling pandang dengan lesu
dan menyesal. Sebaliknya Jik Hong dan Khong-sim-jay sangat senang, mereka saling main mata,
saling kedip penuh arti .........
Begitulah anak murid Ban Cin-san yang lain telah sibuk mencari jejak musuh
disetiap polosok rumah dan sudah tentu tiada suatu bayanganpun yang diketemukan.
Ban Cin-san pesan kepada Jik Hong agar jangan sekali2 bercerita keapda Loh Kun
dan lain2 tentang diketemukannya Kiam-boh dan kemudian hilang lagi. Sudah tentu
Jik Hong mengiakannya dengan baik. Selama ini Jik Hong sudah makin sadar akan
hubungan guru dan murid keluarga Ban itu, begitu pula hubungan antara murid satu
dengan murid lainnya selalu dilakukan dengan tidak jujur, masing2 hanya
memikirkan kepentingan sendiri2, satu sama lain saling curiga-mencurigai.
Dengan rasa menyesal dan penasaran kemudian Ban Cin-san kembali kekamarnya
sendiri, yang terpikir olehnya adalah tanda kupu2 hitam kertas didalam kitab
itu. Sebaliknya Ban Ka juga payah keadaannya, sesudah ber-lari2 menguber musuh,
tekanan darahnya naik, luka ditangannya itu menjadi kesakitan lagi, maka ia
telah merebah di ranjangnya untuk mengaso dan tidak lama iapun tertidur.
Diam2 Jik Hong pikir kitab syair itu akan sangat berguna bagi ayahnya, kalau
kerendam terlalu lama didalam air mungkin akan rusak. Segera ia masuk kekamar
dan coba memanggil sang suami beberapa kali, tapi Ban Ka sudah tertidur nyenyak,
segera ia keluar lagi dan bawa baskom itu kebawah, ia buang air darah didalam
baskom itu hingga kelihatan dasar baskom. Ia puji si Khong-sim-jay sangat pintar
dan penurut, tidak merasa wajahnya menampilkan senyuman puas.
Sama sekali diluar dugaannya bahwa sebenarnya sudah sedari tadi Ban Ka telah
curiga padanya. Tadi waktu sidara cilik main mata dengan sang ibu, kelakuan itu telah dapat
diketahui oleh Ban Ka hingga timbul rasa curiganya. Maka ia sengaja pura2 tidur,
dan begitu Jik Hong turun kebawah, segera iapun bangun dan dengan ber-jinjit2
seperti maling kuatir kepergok, ia mengawasi gerak-gerik sang isteri.
Karena kitab itu berbau amis darah yang merendamnya tadi, Jik Hong merasa muak
dan tidak sudi memegangnya, ia pikir: "Dimanakah kitab ini harus kusembunyikan?"
Segera teringat olehnya ditaman belakang ada sebuah kamar pojok yang biasanya
dibuat simpan barang rongsokan sebangsa pacul, tenggok, sapu dan sebagainya,
pada waktu itu tentu tiada terdapat orang disitu. Segera ia petik daun bunga
seruni hingga penuh satu baskom untuk menutupi kitab yang basah itu, lalu menuju
ketaman. Sesudah masuk kedalam kamar dipojok taman itu, ia melihat kamar itu tidak
terawat, temboknya banyak yang rontok, ujung dinding sana ada beberapa potong
bata sudah mulai merenggang. Ia pikir: "Kalau kitab ini kusembunyikan disini
tentu takkan dicurigai siapapun juga." ~ Segera ia mengorek keluar beberapa
potong bata itu, ia masukkan kitab itu kedalam liang dinding itu, lalu bata2 itu
dipasangnya kembali hingga rapat.
Habis itu, dengan masih menjinjing baskom itu ia berjalan kembali sambil ber-
nyanyi2 kecil seperti tiada pernah terjadi apa2.
Waktu lewat diserambi, mendadak dari pengkolan sana menyelinap keluar seorang
sambil membisikinya: "Suso, tengah malam nanti jangan lupa, ya! Aku tunggu kau
didalam gudang kayu sana!" ~ Siapa lagi dia kalau bukan Go Him.
Memangnya Jik Hong lagi menahan rasa kuatir kalau perbuatannya dipergoki orang,
ketika mendadak muncul seorang dan berkata begitu padanya, keruan jantungnya se-
akan2 copot saking kagetnya.
Segera iapun mendamperatnya: "Cis, kau cari mampus, besar amat nyalimu, apa kau
sudah bosan hidup?" Tapi dengan cengar-cengir Go Him menjawab: "Demi Suso, biarpun jiwaku akan
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayang juga aku rela. Suso, engkau inginkan obat penawarnya atau tidak?"
Dengan gemes Jik Hong sudah meraba belati yang tersimpan didalam bajunya itu,
sungguh ia ingin sekali tikam mampuskan manusia rendah itu dan merampas obat
penawarnya. Tapi Go Him adalah seorang licin dan culas, sudah tentu ia cukup waspada
terhadap segala kemungkinan. Dengan menyengir ia berkata pula dengan pelahan:
"Suso, jangan kau coba2 menyerang, asal kau menyerang dengan tipu 'Wajah manusia
muncul dari balik gunung' dan menikam kearahku, maka aku sudah siap akan
menghindar dengan gerakan 'kepala kuda timbul disamping awan', dan sekali
tanganku bergerak begini, seketika obat penawar ini kubuang kedalam empang." ~
Sembari berkata ia terus ulurkan tangannya dan apa yang digenggamnya memang
betul adalah botol obat penawar itu. Ia kuatir Jik Hong menubruk untuk
merebutnya, maka lebih dulu ia lantas mundur beberapa langkah kebelakang.
Tahu kalau pakai kekerasan juga takkan berhasil merebut obat penawar itu,
terpaksa Jik Hong batalkan niatnya, segera ia menyisir lewat dari samping orang.
Dan dengan suara pelahan Go Him membisikinya lagi: "Ingat Suso, aku cuma sanggup
menanti sampai tengah malam. Lewat tengah malam kau tidak datang, jam satu malam
aku lantas tinggal pergi bersama obat penawar ini, aku akan kabur sejauh mungkin
dan takkan kembali ke Hengciu lagi. Haha, andaikan mati juga orang she Go ini
tidak sudi mati ditangan ayah dan anak she Ban."
Waktu Jik Hong sampai dikamarnya, ia mendengar Ban Ka sedang me-rintih2, nyata
racun ketungging telah kumat lagi dengan hebat.
Ia duduk menyanding meja dengan bertopang dagu, pikirannya bergolak tak
tertahankan. Ia pikir: "Caranya dia (Ban Ka) mempitenah Tik-suko sungguh sangat
keji, tapi nasi sudah menjadi bubur, apa mau dikata lagi" Selama beberapa tahun
ini sesungguhnya iapun sangat baik padaku, sebagai seorang wanita, menikah ayam
ikut ayam, kawin dengan bebek turut bebek, selama hidupku sudah ditakdirkan akan
menjadi suami-isteri dengan dia. Cuma Go Him itu benar2 keparat, cara bagaimana
supaya aku dapat merebut obatnya?" ~ Ia melihat air muka Ban Ka pucat kurus,
diam2 ia membatin pula: "Luka Ban-long sangat parah, jika kukatakan perbuatan Go
Him itu padanya, dalam gusarnya tentu ia akan mengadu jiwa padanya dan tentu
akan membuat keadaannya lebih payah."
Begitulah pikirannya menjadi kusut. Sementara itu hari sudah gelap, sesudah
makan malam, Jik Hong mengatur puterinya tidur, ia sendiri masih gelisah.
Sesudah dipikir pulang-pergi, achirnya ia mengambil keputusan akan laporkan
persoalan Go Him itu kepada Ban Cin-san, sebagai seorang tua yang berpengalaman
tentu akan dapat mencari jalan keluar yang sempurna. Tapi urusan ini tidak boleh
diketahui oleh Ban Ka, harus menunggu sesudah sang suami itu tidur nyenyak,
barulah akan dilaporkan kepada bapa mertuanya ini. Selama beberapa hari ia
benar2 terlalu capek merawat luka suaminya itu siang dan malam, namun ia tidak
dapat tidur. Ia menunggu setelah terdengar suara mendengkurnya Ban Ka, lalu
bangun dengan pelahan2, dengan hati2 ia turun kebawah loteng, ia menuju keluar
kamarnya Ban Cin-san. Sinar bulan menembus kedalam kamar Ban Cin-san, melalui celah2 jendela dapat
dilihatnya bahwa didalam kamar bapa mertua itu sudah gelap, pelita sudah
dipadamkan, ia menduga orang tua itu sudah tidur.
Diluar dugaan, sesudah ia mendekati jendela, tiba2 dari dalam kamar orang tua
itu terdengar suara "he-he-he" yang aneh, yaitu suara orang yang bernapas dikala
mengeluarkan tenaga besar untuk berbuat sesuatu.
Jik Hong sangat heran, sebenarnya ia sudah akan memanggil, tapi segera
diurungkan. Ia coba mengintip kedalam kamar melalui celah2 jendela, dibawah
sinar bulan yang remang2 ia melihat Ban Cin-san sedang merebah diatas tempat
tidurnya, kedua matanya terpejam, tapi kedua tangannya tampak men-dorong2
sekuatnya keatas. Sungguh heran Jik Hong tak terkatakan, pikirnya dengan menahan napas: "Pasti
Kongkong sedang melatih sesuatu ilmu Lwekang yang hebat. Konon diwaktu orang
melatih Lwekang, yang paling dipantang adalah gangguan yang mengagetkan, jika
hal mana terjadi, seringkali orang yang sedang berlatih itu akan 'Cau-hwe-jip-
mo' (sesat jalan dan kemasukan api) hingga membikin celaka diri sendiri.
Sebaiknya aku menunggu dulu, biar beliau selesai latihan barulah akan
kupanggilnya." Ia mengikuti terus tingkah-laku Ban Cin-san itu. Ia melihat sesudah men-dorong2
keatas sebentar, kemudian Ban Cin-san berbangkit dan turun dari tempat tidurnya
serta melangkah beberapa tindak kedepan, lalu berjongkok dan menjulur tangannya
keatas seperti sedang mencekeram sesuatu.
Diam2 Jik Hong membatin: "Kiranya Kongkong sedang melatih Kim-na-jiu-hoat (ilmu
memegang dan menangkap)!"
Tapi sesudah diperhatikan sebentar lagi. Ia melihat gerak-gerik Ban Cin-san
makin lama makin aneh, kedua tangannya ber-ulang2 mencengkeram entah apa yang
hendak dipegangnya, habis itu lantas ditumpuknya kebawah satu persatu dengan
rajin dan teratur, jadi mirip tukang batu sedang memasang bata. Namun dilantai
situ toh kosong melompong tiada terdapat sesuatu benda apapun, jadi gerak-
geriknya itu hanya perbuatan kosong belaka.
Dan sesudah me-megang2 sebentar lagi keudara, kemudian tampak orang tua itu
meng-ukur2 dengan kedua tangannya, mungkin merasa sudah cukup besar, lalu kedua
tangannya bergaya seperti mengangkat sesuatu benda besar dari tanah dan
dimasukkan kedepan. Jik Hong merasa bingung menyaksikan itu, dengan jelas dilihatnya kedua mata Ban
Cin-san itu masih tertutup rapat, gerak-geriknya itu sekarang sudah terang bukan
lagi melatih sesuatu ilmu silat apa segala, tapi lebih mirip sigagu sedang main
sandiwara. Tiba2 teringat oleh Jik Hong ucapan si Mirah dirumah berhala siang
tadi bahwa: "Ditengah malam Loya suka bangun untuk pasang tembok!"
Tapi gerak-gerik Ban Cin-san sekarang toh bukan lagi pasang tembok, kalau
dikatakan ada sangkut-pautnya dengan tembok, maka lebih mirip kalau dia sedang
membongkar tembok. Lapat2 Jik Hong merasakan semacam firasat yang menakutkan. Pikirnya pula: "Ah,
tentu Kongkong telah kena penyakit Li-hun-cing (sakit ngelindur). Kabarnya orang
yang dihinggap penyakit tidur seperti itu, terkadang orangnya bisa bangun
ditengah malam dan jalan2 atau bekerja tanpa disadari oleh orang yang
bersangkutan sendiri. Bahkan ada yang telanjang bulat ber-jalan2 diatas rumah,
ada pula yang membakar rumah dan membunuh orang dan macam2 perbuatan lain yang
aneh2, tapi sesudah mendusin, sama sekali orang yang bersangkutan tidak tahu
apa2." Begitulah Jik Hong melihat pula sesudah Ban Cin-san bergaya memasukan sesuatu
benda besar kedalam lubang dinding yang sebenarnya tiada wujutnya itu, kemudian
tampak orang tua itu men-dorong2 lagi beberapa kali dengan kuat keatas, habis
itu ia menjemput bata dilantai yang tiada wujud itu lalu dipasangnya, sekali ini
benar2 bergaya sedang pasang batu.
Semula Jik Hong agak merinding menyaksikan perbuatan aneh yang menyeramkan itu
kemudian sesudah melihat gayanya yang sedang pasang tembok, maka ia tidak begitu
takut lagi sebab sebelumnya sudah diketahui akan hal itu. Katanya didalam hati:
"Menurut Tho Ang, katanya Kongkong sering bangun ditengah malam untuk pasang
tembok, suatu tanda penyakit tidurnya ini sudah lama dideritanya. Dan pada
umumnya orang yang mempunyai sesuatu penyakit aneh tidaklah suka kalau diketahui
orang lain. Tho Ang sekamar dan setempat-tidur dengan Kongkong dan tahu pula
akan penyakitnya ini, dengan sendirinya Kongkong merasa kurang senang."
Karena pikirannya itu, rasa ragu2nya tadi menjadi hilang. Yang terpikir olehnya
sekarang hanya: "Dan entah berapa lamanya penyakit tidur Kongkong itu akan
berlangsung. Kalau sampai lewat tengah malam hingga sikeparat Go Him merat
dengan membawa obat penawar, wah tentu celaka."
Sementara itu dilihatnya Ban Cin-san sedang bergaya mengambil bata yang
dibongkarnya tadi dan dipasang kembali kelubang dinding tanpa wujut itu,
kemudian lantas bergaya seperti tukang kapur yang sedang melabur dinding. Dan
sesudah segala sesuatu itu selesai dilakukannya, lalu kelihatan orang tua itu
ber-senyum2 dan naik pula keatas ranjang untuk tidur pula.
Pikir Jik Hong: "Setelah sibuk sekian lamanya, mungkin pikiran Kongkong belum
lagi tenang kembali, biarlah aku menunggu sebentar lagi untuk memenggilnya."
Tapi pada saat itu juga, tiba2 terdengar pintu kamar bapa mertua itu diketok
orang beberapa kali, menyusul ada orang memanggil dengan suara tertahan: "Tia-
tia, Tia-tia!" ~ Itulah suara sang suami, Ban Ka.
Jik Hong agak terkejut, ia heran pula: "Mengapa Ban-long juga kemari" Untuk
apakah dia datang?" Ia lihat Ban Cin-san terus mendusin dan berbangkit, setelah tenangkan diri
sejenak, lalu orang tua itu bertanya: "apakah Ka-ji disitu?"
Sebagai seorang jago silat, rupanya Ban Cin-san sangat cepat terjaga bangun asal
mendengar sesuatu suara pelahan saja. Malahan jika penyakit ngelindurnya sedang
kumat, pada saat itulah malah susah kalau orang hendak menyadarkan dia.
Maka terdengar Ban Ka telah mengiakan diluar kamar. Dan Cin-san lantas turun
dari tempat tidurnya dengan enteng tanpa menerbitkan suara sedikitpun, biarpun
usianya sudah lanjut, tapi gerak-geriknya ternyata masih gesit sekali, segera ia
membukakan pintu dan membiarkan Ban Ka masuk sambil bertanya: "Apakah kau sudah
memperoleh keterangan tentang Kiam-boh?" ~ Nyata yang selalu terpikir olehnya
adalah kitab pusaka itu. "Tia!" terdengar Ban Ka memanggil pelahan sekali sambil melangkah masuk dengan
sempoyongan, cepat ia berpegangan pada sandaran kursi yang berada disitu.
Kuatir kalau bayangan sendiri yang tersorot cahaya rembulan itu akan dilihat
oleh mereka, cepat Jik hong meringkuk kebawah jendela sambil mendengarkan dengan
cermat, ia tidak berani mengintip gerak-gerik kedua orang itu lagi.
Ia dengar Ban Ka merandek sejenak sesudah memanggil ayahnya tadi, lalu katanya
dengan suara ter-putus2: "Tia, men...... menantumu itu bukan .......bukan orang baik2."
Jik Hong terkejut pula, ia heran mengapa sang suami berkata begitu"
Maka terdengar Ban Cin-san sedang tanya: "Ada apa lagi" Suami-isteri
bertengkar?" "Kiam-boh sudah diketemukan. Tia, menantumu itulah yang mengambilnya," sahut Ban
Ka. "Ha, sudah diketemukan" Itulah bagus, bagus!" seru Cin-san dengan girang.
"Dimana kitabnya?"
Jik Hong juga terkejut dan heran tak terkatakan. Ia pikir: "Mengapa dapat
diketahui olehnya" Ah, tentu sibocah Khong-sim-jay itu yang telah berkata pada
ayahnya." Tapi ucapan Ban Ka selanjutnya telah membantah sangkaannya itu. Ban Ka telah
memberitahukan kepada ayahnya bahwa dia telah mengetahui gerak-gerik Jik Hong
dan Khong-sim-jay yang mencurigakan, maka ia sengaja pura2 tidur, tapi diam2
mengawasi tingkah-laku Jik Hong, ia melihat isterinya itu membawa baskon ketaman
belakang dan diam2 ia telah menguntitnya, ia menyaksikan Jik Hong menyembunyikan
Kiam-boh kedalam lubang dinding didalam kamar pojok taman sana.....
Sungguh Jik Hong gegetun setengah mati: "O, ayah yang bernasib malang, kitabmu
itu kembali jatuh lagi ditangan Kongkong dan Ban-long, untuk merebutnya kembali
terang akan maha sulit. Baiklah, aku mengaku salah, memang Ban-long lebih lihay
daripadaku." Kemudian terdengar Ban Cin-san sedang berkata: "Wah, bagus sekali jika begitu,
lekaslah, lekas ambil kitab itu, dan kau boleh pura2 tidak tahu apa2 untuk
melihat bagaimana kelakuan isterimu itu, jika dia tidak singgung2 lagi, maka kau
juga tidak perlu katakan padanya. Aku justeru sangat curiga darimanakah
datangnya kitab ini, jangan2.......jangan2.........." ~ begitulah ia tidak melanjutkan
jangan2 apa" Maka Ban Ka telah berkata: "Tia!" ~ suaranya kedengaran sangat menderita.
"Ada apa?" sahut Cin-san.
"Sebabnya menantumu mencuri Kiam-boh itu, kiranya .......kiranya adalah untuk ......."
berkata sampai disini suaranya menjadi gemetar dan se-akan2 tersumbat.
"Untuk siapa?" Cin-san menegas.
"Kiranya adalah untuk......untuk sianjing keparat Go Him itu!" sahut Ban Ka
achirnya. Telinga Jik Hong serasa mendengung, hampir2 ia tidak percaya pada telinganya
sendiri. Hanya dalam hati ia berkata: "Perbuatanku itu adalah demi ayahku,
mengapa bilang untuk Go Him" Mengapa menuduh aku berbuat untuk Go Him?"
Begitulah Jik Hong merasa penasaran oleh tuduhan Ban Ka itu. Ia dengar Ban Cin-
san juga sangat heran dan kejut, orang tua itu telah tanya: "Untuk Go Him,
katamu?" "Ya," sahut Ban Ka. "Sesudah kulihat dia menyembunyikan Kiam-boh ditaman
belakang sana, dari jauh aku menguntitnya pula, siapa duga .......siapa duga setiba
diserambi situ, ternyata ia telah main kasak-kusuk dengan keparat Go Him,
perempuan .......perempuan jalang itu benar2 tidak tahu malu lagi!"
"Tapi selama ini aku melihat tingkah-lakunya toh sangat baik dan sopan, tidak
mirip seorang yang kotor seperti itu, apa kau tidak salah lihat" Dan apa yang
dibicarakan oleh mereka?" demikian kata Ban Cin-san dengan ragu2.
"Anak kuatir dipergoki mereka, maka tidak berani terlalu mendekat, pula
diserambi sana tiada tempat sembunyi, terpaksa aku mengumpet diujung tembok
untuk mendengarkan," tutur Ban Ka. "Tapi suara percakapan sepasang anjing laki-
perempuan itu sangat lirih, aku tidak dapat mendengar seluruhnya, hanya sebagian
saja dapat kudengar dengan jelas."
"O," Cin-san bersuara, katanya: "Sudahlah, Ka-ji sabarlah dulu. Seorang laki2
masakah kuatir tidak bisa mendapat isteri lagi" Sesudah Kiam-boh itu dapat kita
temukan, pula bila rahasia didalam Kiam-boh sudah kita pecahkan, dalam sekejap
saja kita akan menjadi kaya-raya sekaligus kau ingin membeli seratus orang
isteri dan seribu selir juga sangat gampang. Nah, duduklah kau, bicaralah dengan
pelahan2." Lalu terdengar suara "krak-krek" papan ranjang, Ban Ka telah duduk ditepi tempat
tidur itu, kemudian berkata pula dengan napas ter-engah2. "Sesudah perempuan
jalang itu selesai menyembunyikan kitab, rupanya ia sangat senang, bahkan ber-
nyanyi2 kecil segala. Ketika ketemu gendaknya, yaitu sikeparat Go Him, segera
binatang she Go itu cengar-cengir dan berkata padanya: 'Suso, tengah malam nanti
jangan lupa, lho! Aku menanti engkau digudang kayu sana!" ~ ucapan ini dengan
terang dapat kudengar dengan baik, sedikitpun tidak salah."
"Dan, bagaimana lagi jawab perempuan jalang itu?" tanya Cin-san.
"Dia.......dia mendamperat: 'Kau cari mampus, besar amat nyalimu, apakah kau sudah
bosan hidup!'" tutur Ban Ka.
Sungguh hancur hati Jik hong mendengar cercaan pada dirinya itu, ia tidak tahu
mengapa mereka mempitenah orang baik2" Padahal ia berbuat, demi kepentingan sang
suami dan ingin merebut obat penawar untuk meneymbuhkan lukanya, tapi sang suami
malah menistanya secara begitu keji, sungguh lelaki yang tidak punya Liangsim,
demikian pikir Jik Hong. Ia dengar Ban Ka sedang melanjutkan ceritanya lagi: "Sesudah kudengar percakapan
mereka itu, sungguh hatiku sangat panas, kalau bisa sungguh aku ingin menubruk
maju dan bunuh kedua anjing laki dan perempuan itu. Tapi aku tidak membawa
senjata, apalagi dalam keadaan terluka, aku tidak dapat menempur mereka secara
terang2an, segera aku lari kembali kekamar agar sesudah perempuan jalang itu
pulang kekamar takkan mencurigai diriku. Dan apa yang dibicarakan sepasang
anjing laki dan perempuan itu selanjutnya aku tidak tahu lagi."
"Hm, bapa anjing tidak nanti melahirkan puteri harimau, dasar sekeluarga she Jik
mereka itu adalah manusia2 rendah semua," demikian Cin-san memaki. "Baiklah kita
pergi mengambil dulu Kiam-boh itu, kemudian kita menjaga diluar gudang kayu
untuk menangkap basah perbuatan hina sepasang anjing laki-perempuan itu, lalu
habiskan jiwa mereka."
"Rupanya perempuan jalang itu sudah tidak seranti ditunggu oleh gendaknya, maka
jauh sebelum tengah malam sudah keluar sejak tadi," kata Ban Ka. "Sementara ini
mungkin.......mungkin sedang......" ~ saking geregetan barangkali hingga terdengar
giginya berkrutukan. "Jika begitu, sekarang juga kitapun berangkat kesana," ujar Cin-san. "Bawalah
senjata, tapi kau jangan turun tangan, biar aku mengutungi kaki dan tangan
mereka dulu, kemudian kau sendiri menghabiskan nyawa sepasang anjing laki-
perempuan itu." Lalu kelihatan pintu kamar dibuka, sambil memayang Ban Ka, Ban Cin-san membawa
puteranya itu menuju ketaman belakang.
Sembari bersandar ditembok, sungguh pedih sekali hati Jik Hong, air matanya
bercucuran bagai hujan. Maksudnya ingin luka sang suami bisa lekas sembuh, siapa
tahu sang suami berbalik mencurigai dirinya berbuat serong. Sedangkan ayahnya
sejak menghilang tidak pernah kembali lagi. Tik Hun telah merana entah kemana
dengan menanggung penasaran tanpa berdosa, dan kini......kini sang suami bersikap
demikian pula padanya, penghidupan seperti ini entah bagaimana nasib
selanjutnya" Begitulah ia merasakan kekosongan hati, sungguh ia tidak ingin hidup lagi, sama
sekali tiada pikirannya buat memberi penjelasan pada sang suami atau minta
dikonfrontir dengan Go Him sebagai saaksi, seketika ia cuma merasa badannya
lemas dan bersandar didinding.
Selang tidak lama, tiba2 terdengar suara tindakan orang, Ban Cin-san dan Ban Ka
telah kembali diruangan duduk, mereka sedang berunding pula.
"Tia," demikian Ban Ka lagi berkata, "kenapa kita tidak bunuh Go Him saja
digudang kayu tadi?"
"Didalam gudang hanya terdapat Go Him sendiri," sahut Cin-san dengan suara
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rendah, mungkin perempuan jalang itu telah tahu gelagat jelek, maka sudah merat
sendiri lebih dulu. Jika kita takbisa menangkap basah perbuatan kotor mereka,
mana boleh kita sembarangan membunuh orang mengingat kita adalah keluarga
terkemuka dikota Hengciu sini" Kau harus tahu sesudah kita mendapatkan Kiam-boh,
masih banyak pekerjaan penting lain yang harus kita lakukan dikota ini, maka
kita harus sabar, jangan terburu napsu hingga menggagalkan usaha besar kita!"
"Habis, apakah kita antepin saja urusan ini?" tanya Ban Ka. "Dan cara bagaimana
dendam anak ini harus dilampiaskan?"
"Untuk melampiaskan dendam apa sih susahnya?" uyar Cin-san. "Kita dapat gunakan
cara lama!" "Cara lama?" Ban Ka menegas.
"Ya, cara lama! Cara kita mengerjakan Jik Tiang-hoat dulu!" kata Cin-san. Ia
merendek sejenak, lalu sambungnya pula: "Sementara ini kau kembali kekamar dulu,
sebentar aku akan mengumpulkan para anak murid dan kau boleh datang bersama
mereka keluar kamarku. Hati2lah, jangan sampai menimbulkan curiga orang."
Sebenarnya pikiran Jik Hong sedang kusut tak keruan, ia sudah putus asa, yang
masih terasa berat olehnya adalah puterinya yang masih kecil itu. Dan demi tiba2
mendengar Ban Cin-san menyatakan hendak "menggunakan cara lama dikala mereka
mengerjakan Jik Tiang-hoat dahulu" terhadap Go Him, seketika otaknya seperti
dikompres dengan es, dengan segera pikirannya jernih kembali, sekilas timbul
suatu pertanyaan dalam benaknya: "Dengan cara apakah mereka telah mengerjakan
ayahku dahulu?" Ia pikir hal ini diselidikinya hingga terang. Dan sebentar Kongkongnya akan
mengumpulkan para anak muridnya, kemanakah ia harus bersembunyi"
Sementara itu terdengar Ban Ka sedang mengiakan perintah ayahnya, lalu melangkah
pergi. Kemudian Ban Cin-san menuju keluar, ia berseru menyuruh pelayan
menyalakan pelita dan mengundang para muridnya.
Tidak lama kemudian dari sana-sini terdengarlah suara berisik para muridnya yang
sedang mendatangi untuk berkumpul. Jik Hong tahu bila tinggal lebih lama disitu,
tentu akan ada orang lalu diluar jendela dan mempergoki jejaknya. Sesudah ragu2
sejenak, terus saja ia menyelinap masuk kedalam kamarnya Ban Cin-san. Ia singkap
seperei yang menutupi kolong ranjang, lalu menyusup kebawah. Dengan begitu, asal
tiada orang menyingkap seperei yang menjulur hampir ketanah itu, tentu tiada
seorangpun yang dapat mempergoki jejaknya.
Ia bertiarap melintang dikolong ranjang, tidak lama kemudian tertampaklah ada
sinar pelita merembes masuk melalui bawah seperai, ada orang masuk dengan
membawa pelita. Ia melihat sepasang kaki yang bersepatu ikut melangkah masuk,
itulah kakinya BanCin-san. Sesudah kaki itu melangkah disamping kursi, lalu
terdengar suara berkeriut perlahan, Ban Cin-san telah duduk diatas kursi. Lalu
terdengarlah ia memerintahkan pelayan keluar dan menutup pintu kamar.
Tidak lama, terdengar suara Loh Kun berseru diluar kamar. "Suhu, kami sudah
datang semua, silakan Suhu memberi perintah."
"Ehm, bagus! Nah, kau boleh masuk dulu," sahut Ban Cin-san.
Segera Jik Hong melihat pintu kamar didorong, sepasang kakinya Loh Kun tampak
melangkah masuk, kemudian pintu kamar dikancing lagi.
"Ada musuh telah mendatangi rumah kita, apakah kau tak tahu?" demikian Cin-san
mulai bertanya. "Siapakah musuh itu" Tecu tidak tahu," sahut Loh Kun.
"Orang itu menyaru sebagai seorang tabib kelilingan, bahkan sudah pernah datang
kemari," ujar Ban Cin-san.
Diam2 Jik Hong terkejut: "Masakah dia mengenali siapakah gerangan sitabib itu?"
Maka terdengar Loh Kun sedang menjawab: "Tecu telah mendengar juga hal itu dari
Go-sute. Dan siapakah musuh itu sebenarnya?"
"Orang itu dalam keadaan menyamar, aku tidak melihat dengan sendiri, maka aku
belum dapat meraba asal-usulnya," kata Cin-san. "Maka besok pagi2 hendaklah kau
menyelidiki kesekitar utara kota, kemudian melapor padaku hasilnya. Sekarang kau
keluar dulu, sebentar aku akan memberi tugas lain lagi."
Loh Kun mengiakan, lalu keluar kamar.
Ber-turut2 Ban Cin-san memanggil pula murid keempat Sun Kin dan murid kelima Bok
Heng, apa yang dikatakan pada mereka pada garis besarnya serupa tadi. Hanya saja
Sun Kin ditugaskan kesekitar selatan kota dan Bok Heng menyelidiki timur kota.
Dikala memberi pesan pada Bok Heng sengaja ditambahkannya: "Go Him akan
menyelidiki barat kota, Pang Tan dan Sim Sia akan memberi bantuan dimana perlu.
Sedangkan Ban-suko kalian masih sakit, ia takbisa ikut keluar."
"Ya, Ban-suko memang perlu istirahat dulu," demikian sahut Bok Heng, lalu
membuka pintu dan keluar kamar.
Sudah tentu Jik Hong tahu apa yang dikatakan Ban Cin-san itu sengaja hendak
diperdengarkan kepada Go Him agar pemuda itu tidak menaruh curiga apa-apa.
Maka terdengarlah Ban Cin-san sedang memanggil pula: "Go Him masuk!" ~ suaranya
tetap tenang dan ramah, sama seperti memanggil Loh Kun dan lain-lain.
Jik Hong melihat pintu kamar terbuka lagi, kaki kanan Go Him melangkah masuk
dulu, tampaknya agak ragu2 sedetik, tapi achirnya masuk juga. Ia melangkah maju
kedepan Ban Cin-san dan menunggu perintah.
Dari tempat sembunyinya Jik Hong melihat jubah Go Him bagian bawah itu agak
keder sedikit, suatu tanda dalam hati Go Him sangat ketakutan, maka tubuhnya
agak gemetar. Maka terdengar Ban Cin-san sedang bertanya: "Kita kedatangan musuh, kau tahu
tidak?" "Tecu sudah mendengar uraian Suhu barusan diluar kamar, katanya adalah tabib
kelilingan itu," sahut Go Him. "Orang itu adalah Tecu yang mengundangnya kemari
untuk mengobati Ban-suko, sungguh tidak nyana bahwa dia adalah musuh kita, harap
Suhu suka memberi maaf."
"Orang itu menyamar, pantas juga kalau kau tidak tahu," ujar Cin-san. "Nah,
besok pagi kau pergi kesekitar barat kota untuk menyelidiki, jika ketemukan
jejaknya, harus kau mengawasi gerak-geriknya."
"Ya, Suhu!" sahut Go Him.
Se-konyong2 Jik Hong melihat kedua kaki Ban Cin-san bergerak, mendadak orangnya
berdiri, tanpa merasa Jik Hong menyingkap sedikit seperai ranjang untuk
mengintai keluar. Tapi sekali mengintip, seketika ia kaget setengah mati,
hampir2 saja ia menjerit.
Ternyata adegan didalam kamar itu membuatnya terbelalak kesima. Ia melihat kedua
tangan Ban Cin-san lagi mencekik leher Go Him dengan keras dan Go Him baru saja
ulur tangan sendiri hendak melawan, namun sudah keburu tidak berdaya karena kena
dicekik. Ia melihat kedua mata Go Him itu mendelik, makin lama makin mencotot
keluar hingga mirip mata ikan emas. Telapak tangan Ban Cin-san terluka kena
cakaran kuku Go Him, tapi ia mencekik se-kuat2nya, betapapun ia tidak mau lepas
tangan. Lambat-laun kedua tangan Go Him mulai terbuka dengan lemas, ia tak mampu
berkutik lagi. Sampai achirnya Jik Hong melihat lidah Go Him juga menjulur keluar, makin lama
makin panjang, keadaannya sangat mengerikan, keruan hati Jik Hong ber-debar2
hebat. Selang sebentar lagi, pelahan2 Ban Cin-san mengendurkan cekikannya, ia sandarkan
Go Him diatas kursi. Rupanya ia sudah sediakan apa yang perlu, maka ia telah
ambil dua carik kertas kapas yang sudah dibasahi dulu dengan air, lalu ditutup
diatas mulut dan hidung Go Him. Dengan demikian pemuda itu takkan dapat
bernapas, dan dengan sendirinya juga takkan siuman untuk selamanya.
Diam2 Jik Hong memikir: "Kongkong pernah berkata bahwa keluarga mereka adalah
kaum terkemuka dikota Hengciu sini, tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan
ayahnya Go Him kabarnya adalah hartawan disekitar kota, tentu urusan ini takkan
selesai sampai disini saja, akibatnya tentu akan geger kelak."
Dan pada saat itu juga, tiba2 terdengar suara bentakan Ban Cin-san: "Bagus
sekali perbuatanmu, hayolah lekas kau mengaku terus terang, apakah perlu aku
hajar kau dahulu?" Semula Jik Hong kaget sebab mengira jejaknya telah diketahui orang tua itu, tapi
mendadak terdengar, suaranya Go Him lagi menjawab: "Suhu, engkau suruh aku
meng.......mengaku apakah?"
Sungguh kejut Jik Hong tak terkatakan, sudah jelas dilihatnya Go Him sudah
menggeletak diatas kursi tanpa bernyawa lagi, masakah sekarang bisa bicara pula"
Apakah pemuda itu telah hidup kembali" Tapi toh jelas kelihatan bukan begitu
halnya, Go Him masih tetap bersandar dikursi tanpa bergerak sedikitpun.
Waktu Jik Hong mengintip pula, ia melihat bibir Ban Cin-san sendiri yang sedang
bergerak, ia menjadi heran. "Ha, jadi Kongkong yang lagi bicara" Tapi sudah
terang tadi itu adalah suaranya Go Him."
Maka didengarnya pula Ban Cin-san telah membentak lagi: "Mengaku apa" Hm, jangan
kau berlaga pilon. Kau sekongkol dengan musuh dan bermaksud mengerjakan sesuatu
kejahatan dikota Hengciu ini, apa kau masih berani mungkir?"
"Su.......Suhu, keja......kejahatan apakah?" demikian suaranya Go Him.
Dan sekali ini Jik Hong dapat melihat dengan jelas dan nyata, memang betul Ban
Cin-san sedang bicara sendiri dengan menirukan suaranya Go Him, pintar amat cara
menirukannya itu hingga serupa benar.
"Kiranya Kongkong masih mempunyai kepandaian simpanan dalam hal menirukan suara
orang, mengapa selama ini aku tidak tahu. Apakah maksud tujuannya dengan
menirukan suara ucapan Go Him ini?" demikian tanda2 tanya yang timbul dalam hati
Jik Hong. Dalam lubuk hatinya yang dalam sana lapat2 teringatlah sesuatu
olehnya, tapi itu hanya sesuatu yang samar2 yang belum dapat dipelajari dengan
baik. Dalam hati kecilnya timbul semacam rasa kuatir yang susah dimengerti.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang berkata pula dengan suara keras:
"Hm, kau sangka aku tidak tahu, ya" Kau telah sekongkol dengan tabib kelilingan
yang kau bawa kemari itu, orang itu adalah seorang penjahat besar, kau sekongkol
dengan dia hendak menggerayangi ........."
"Menggerayangi apa, Suhu" Tecu benar2 tidak tahu?" demikian ia tirukan suaranya
Go Him. Habis itu kembali dengan suara sendiri Cin-san membentak: "Kau hendak
menggerayangi kantor Leng-tihu untuk mencuri sesuatu dokumen rahasia, betul
tidak" Ha, masih kau berani mungkir?"
"Su......... Suhu, darimanakah engkau mendapat tahu" Suhu, sudilah meng...... mengingat
hubungan baik kita selama ini, am.......ampunilah perbuatanku ini, lain...... kali Tecu
tidak berani lagi." "Hm, urusan sebesar ini, masakah begini gampang mengampuni kau?"
Setelah diperhatikan, Jik Hong merasa suara Go Him yang ditirukan Ban Cin-san
itu sebenarnya tidak terlalu mirip, cuma ia sengaja menahan suaranya hingga
kedengarannya agak samar2, bahkan setiap kalimat selalu ditambahi panggilan
"Suhu" dan ber-ulang2 menyebut "Tecu", maka bagi pendengaran orang diluar kantor
dengan sendirinya menyangka memang betul adalah Go Him yang sedang bicara.
Apalagi dengan nyata semua orang menyaksikan Go Him masuk kedalam kamar serta
mendengar percakapan mereka, walaupun suara selanjutnya agak sedikit berlainan,
namun selain Go Him masakah didalam kamar itu masih ada orang lain lagi?"
Begitulah pelahan2 Ban Cin-san lantas mengangkat mayatnya Go Him, ia berjongkok
untuk menyingkap seperai yang menutup kolong ranjang itu.
Keruan Jik Hong ketakutan setengah mati bila kepergok oleh bapa mertuanya.
Sambil menahan napas ia menantikan apa yang akan terjadi. Dibawah sinar pelita
yang remang2 ia melihat sebuah kepala orang menyusup dulu kekolong ranjang,
itulah kepalanya Go Him dengan matanya yang mendelik bagai mata ikan mas. Karena
mayat Go Him itu terus dijejalkan kekolong ranjang oleh Cin-san, terpaksa Jik
Hong menggeser sedapat mungkin, namun badannya toh saling dempel juga dengan
mayat itu. Dalam pada itu sandiwara Ban Cin-san masih main terus, terdengar ia berkata:
"Nah, Go Him, apakah kau tidak lekas berlutut" Segera akan kuringkus kau untuk
diserahkan kepada Leng-tihu, apakah beliau akan mengampuni kau atau tidak,
itulah aku tidak berani menjamin."
"Suhu, apakah engkau benar2 tidak dapat mengampuni Tecu?" demikian suara Go Him
tiruan. Maka Cin-san menjawab: "Hm, mempunyai murid seperti kau, pamorku sudah kau bikin
ludas, masakah masih ingin aku mengampuni kau?"
Lalu Jik Hong melihat orang tua itu mengeluarkan sebilah belati dari bajunya,
pelahan2 Cin-san menikam kedada sendiri. Tapi didalam baju dibagian dada itu
entah sudah diganjal dengan gabus atau benda lain yang empuk maka begitu belati
ia ditusukan, segera menancap tegak disitu.
Dan baru saja Jik Hong tahu apa yang bakal terjadi, benar juga segera terdengar
suara bentakan Ban Cin-san: "Masih kau tidak mau berlutut?"
Menyusul ia menirukan suara Go Him: "Suhu, engkaulah yang terlalu mendesak
padaku, kau tidak dapat menyalahkan aku lagi!"
Dan mendadak Ban Cin-san berteriak: "Aduuuuh!" berbareng ia tendang daun jendela
hingga terpentang sambil berteriak pula: "Bangsat kecil, kau......kau berani
menyerang gurumu?" Segera terdengarlah suara gedubrakan, pintu kamar telah didobrak Loh Kun dan
lain2 dari luar dan be-ramai2 mereka lantas menyerbu kedalam kamar. Mereka
melihat sang guru lagi memegangi dada, dari celah2 jarinya merembes keluar air
darah (besar kemungkinan adalah tinta merah yang sudah dipegangnya lebih dulu).
"La........lari kesana! Bangsat kecil itu sudah lari sesudah menikam aku satu kali!"
demikian seru Ban Cin-san dengan suara ter-putus2 dan agak sempoyongan. Le......
lekas kejar, ke.....kejar!" ~ dan habis itu, segera iapun jatuhkan dirinya diatas
ranjang. Ban Ka pura2 kuatir, ia ber-teriak2: "Tia-tia! Tia-tia! Parah tidak lukamu?"
Dalam pada itu Loh Kun, Sun Kin, Bok Heng, Pang Tam dan Sim Sia berlima sudah
lantas melompat keluar jendela dan menguber sambil mem-bentak2. Seisi rumah sama
terkejut juga hingga geger.
Jik Hong yang sembunyi dikolong ranjang itu merasa mayat Go Him lambat-laun
mulai dingin. Ia sangat takut, tapi sedikitpun tidak berani bergerak. Ia tahu
Kongkong masih merebah diatas ranjang dan sang suami juga berdiri didepan
ranjang situ. Maka terdengarlah Ban Cin-san sedang bertanya dengan suara rendah: "Ada orang
menaruh curiga tidak, Ka-ji?"
"Tidak," sahut Ban Ka. "Sungguh mirip benar permainan ayah. Sama seperti waktu
membunuh Jik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara."
"Sama seperti waktu membunuh Jik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara", kata2
ini seperti sebilah belati tajam yang menikam ulu hati Jik Hong.
Memangnya lapat2 sudah timbul firasat tidak enak dalam hatinya, cuma saja ia
masih tidak percaya akan kemungkinan itu. Ia pikir: "Selamanya Kongkong toh
sangat ramah-tamah padaku, suami juga sangat baik dan mencintai aku, masakah
mungkin mereka membunuh ayahku?"
Dengan sembunyi dikolong ranjang, Jik Hong dapat mengikuti Ban Cin-san membunuh
muridnya sendiri, yaitu Go Him, dengan secara licik. Ternyata bapa mertua itu
pandai pula menirukan suara orang lain. Seketikan Jik Hong teringat kepada
kejadian ayahnya dahulu, apa barangkali ayahnya juga telah menjadi korban
kelicikan Ban Cin-san itu"
Tapi sekarang ia telah mendengar dan melihat sendiri, dengan rapi mereka telah
atur perangkap untuk membunuh Go Him. Pantas tempo dulu iapun mendengar suara
ayahnya yang sedang bertengkar dengan Ban Cin-san didalam kamar, kemudian
melihat Ban Cin-san terluka oleh tikaman ayahnya serta melihat daun jendela
terbuka, ayahnya tentu sudah kabur melalui situ. Dan sekarang sudah jelas
duduknya perkara, semuanya itu adalah sandiwara belaka yang sengaja diatur oleh
Ban Cin-san. Pada waktu itu ayahnya tentu sudah dibunuh olehnya, lalu Ban Cin-
san menirukan suara ayahnya, pantas waktu itu suara ayahnya kedengaran agak
serak berbeda daripada biasanya. Dan rupanya memang sudah takdir ilahi bahwa
kejahatan Ban Cin-san itu harus tamat riwayatnya, secara kebetulan sekarang ia
sembunyi dikolong ranjang hingga dengan mata kepala sendiri menyaksikan adegan
yang mengerikan itu. Coba kalau tidak melihat sendiri, siapa orangnya yang mau
percaya" Begitulah maka terdengar Ban Ka lagi bicara: "Dan perempuan hina itu, bagaimana
harus ditindak" Apakah kubiarkan begitu saja?"
"Sabar dulu, pelahan2 kita dapat bereskan dia," ujar Cin-san. "Harus kita
lakukan dengan tak diketahui orang dan tak dilihat setan supaya tidak merusak
nama baik keluarga Ban dan mencemarkan pamor kita berdua."
"Ya, memang cara berpikir ayah sangat rapi," sahut Ban Ka. Dan tiba2 ia
menjerit: "Aduuuh........"
"Ada apa?" tanya Cin-san cepat.
"Luka ditangan anak ini kembali kesakitan lagi," kata Ban Ka.
"O!" Cin-san bersuara. Dan dalam hal ini memang dia sama sekali tak berdaya.
Bicara tentang luka Ban Ka itu, Jik Hong lantas ingat obat penawar yang berada
pada Go Him itu. Pelahan2 ia ulur tangannya untuk menggerayangi bajunya Go Him,
ia merasa botol porselin kecil itu masih berada didalam sakunya, segera ia
mengambilnya dan dimasukan dalam baju sendiri. Dengan rasa pilu ia memikir:
"Ban-long, o, Ban-long, hanya separoh pembicaraan keparat Go Him ini yang kau
dengar dan kau sudah lantas mendakwa aku berbuat serong dan sebab itu juga kau
tidak dengar bahwa obat penawar berada pada keparat ini. Sesudah dia dibunuh
oleh ayahmu, sebenarnya dengan tanpa susah2 kau dapat mengambil obat penawar
ini, tapi toh kalian tidak tahu.
Sementara itu karena tidak menemukan bayangan Go Him, tidak lama kemudian Loh
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kun dan lain2 telah pulang juga satu-persatu serta datang pada Ban Cin-san untuk
tanya keadaan sang guru itu.
Waktu itu Ban Cin-san sudah membuka baju hingga dadanya telanjang, tampak kain
pembalut membelebat dari leher memutar kedada, melingkar kepunggung, lalu
membalut kembali kedada dan naik lagi keleher.
Sekali ini lukanya tidak begitu parah seperti dahulu. Habis, ilmu silat Go Him
tidak mungkin lebih lihay daripada paman gurunya ~ Jik Tiang Hoat. Walaupun
tikamannya itu cukup hebat, tapi tidak membahayakan. Demikian permainan
sandiwara Ban Cin-san. Dan sudah tentu para muridnya sangat lega melihat sang guru tidak berbahaya
lukanya, mereka sama mencaci-maki pada Go Him yang dikatakan manusia durhaka dan
murtad, semuanya menyatakan besok akan pergi mencari orang-tuanya untuk diajak
bikin perhitungan, mereka mengharap sang guru merawat diri baik2, lalu
mengundurkan diri. Hanya tinggal Ban Ka yang masih duduk ditepi ranjang untuk
menjaga ayahnya. Yang gelisah adalah Jik Hong, ia ingin mencari suatu kesempatan untuk lari
keluar, ia meringkuk disebelah mayat Go Him, rasanya muak dan sebal, maka
sedapat mungkin ingin lekas pergi, tapi kuatir pula kalau diketahui oleh Ban
Cin-san berdua, sama sekali ia tiada akal untuk meloloskan diri.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san lagi bicara: "Kita harus bereskan dulu
mayatnya, jangan sampai rahasia kita diketahui orang."
"Apakah akan dibereskan seperti caranya Jik Tiang-hoat?" tanya Ban Ka.
Cin-san memikir sejenak, lalu katanya: "Ya, lebih baik dengan cara lama itu."
Jik Hong meneteskan air mata pedih, katanya didalam hati. "Dengan cara
bagaimanakah mereka telah kerjakan ayahku?"
"Apakah akan dipasang disini" Ayah tidur disini, apakah tidak merasa risi?"
tanya Ban Ka. Sementara boleh aku pindah kekamarmu," sahut Cin-san. "Yang kukuatirkan yalah
mungkin masih akan timbul sesuatu yang sulit, masakah orang begitu baik hati
menghantarkan kembali Kiam-boh ini kepada kita" Maka kita berdua harus bersatu-
padu untuk melawan musuh. Kelak kalau kita sudah kaya-raya masak kuatir tidak
punya gedung yang lebih mentereng daripada ini?"
Ketika mendengar mayat Go Him akan "dipasang" disitu, seketika terkilas sesuatu
dalam benak Jik Hong, segera iapun paham duduknya perkara: "Ya, dia .......dia telah
pasang mayat ayahku didalam tembok. Dengan licin ia telah musnakan mayat ayahku,
pantas selama ini tiada kabar-berita tentang jejak ayahku. Pantas pula
Kongkong...... tidak, tidak, ia bukan Kongkong lagi, tapi jahanam Ban Cin-san itu
suka bangun ditengah malam untuk pasang tembok. Rupanya dia terlalu banyak berbuat kejahatan, pikirannya terganggu, maka telah kena penyakit tidur, dalam
tidurnya ia suka bangun untuk pasang tembok......"
Kemudian ia dengar Ban Ka sedang tanya: "Tia, sebenarnya apakah manfaat yang
berada pada Kiam-boh itu" Engkau mengatakan kita akan mendapatkan harta karun
hingga kaya-raya mendadak" Apa barangkali kitab ini bukan......bukan kitab ilmu
silat segala, tapi adalah sesuatu rahasia mengenai suatu partai harta karun
terpendam?" "Ya, sudah tentu bukan kitab ilmu silat, tapi yang dikatakan didalam Kiam-boh
itu adalah suatu tempat simpanan harta karun," sahut Cin-san. "Dahulu situa
bangka Bwe Liam-sing hendak mewariskan kitab itu kepada orang luar, hehe, benar2
tua bangka, masakah murid sendiri juga tak dipercayai. Eh, Ka-ji, lekas, lekas
kau ambil Kiam-boh itu."
Setelah ragu2 sejenak, kemudian Ban Ka mengeluarkan sejilid buku dari bajunya.
Kiranya sepeninggalnya Jik Hong dari kamar pojok taman itu, segera Ban Ka masuk
kesitu dan mengeluarkan kitab itu dari lubang dinding.
Kitab itu habis direndam oleh Jik Hong, maka sampulnya belum lagi kering. Ban
Cin-san menerima kitab itu sambil melirik sekejap pada puteranya itu, pikirnya:
"Barusan mengapa kau ragu2" Kenapa tak mau keluarkan kitab itu secara blak2an"
Apa kau hendak membohongi aku untuk mengangkangi sendiri kitab ini?"
Tapi sekarang ia tiada tempo buat menyelami pikiran sang putera itu, segera ia
mem-balik2 kitab itu satu halaman demi satu halaman.
Sesudah terendam sekian lamanya didalam air darah yang berbisa dibaskom itu,
kedua halaman sampul berikut beberapa halaman muka dan belakang dari kitab itu
sudah basah semua, tapi halaman2 bagian tengah masih tetap kering.
Maka dengan suara rendah Ban Cin-san telah berkata: "Kitab ini apakah dapat kita
pertahankan atau tidak sesungguhnya sulit dipastikan. Paling penting sekarang
kita harus menyelidiki rahasia yang tertulis didalam kitab ini, dan bila
kemudian kitab ini dirampas orang lagi, hal mana takkan menjadi soal bagi kita.
Nah, pergilah ambil sebatang potlot dan kertas, kita harus mencatatnya dengan
baik. Nah, kau juga harus apalkan jurus pertama dari Soh-sim-kiam-hoat berasal
dari syair 'Jun-kui' (Musim semi tiba pula) ciptaan To Hu (Tu Fu, penyair
tersohor dijaman dinasti Tong) ......"
Sembari berkata ia terus gunakan jarinya untuk mengambil ludah, lalu digunakan
membasahi halaman kitab yang tertulis syair To Hu itu, tiba2 ia berseru pelahan
kegirangan, katanya: "Ha, angka 'empat'! Empat.......empat.......bagus! Huruf keempat
adalah 'Kang', nah, catatlah yang betul. Dan jurus kedua berasal dari syair To
Hu pula yang berjudul 'Tiong-kang-ciau-leng'." ~ Kembali ia membasahi jari
dengan ludah dan lagi2 ia bersorak pelahan: "Ha, angka '51'. Nah, satu, dua,
tiga, empat, lima........." ~ begitulah ia menghitung terus satu huruf demi satu huruf
hingga huruf ke-51, dan ternyata jatuh pada huruf 'Leng'. "Ha, huruf 'Leng',
jadi 'Kang-leng', bagus. 'Kang-leng', kiranya memang betul adalah di Hengciu
sini." "Tiatia, hendaklah pelahan sedikit suaramu," kata Ban Ka ketika melihat ayahnya
menjadi lupa daratan saking girangnya.
Maka Ban Cin-san telah tersenyum, katanya: "Ya, benar, memang tidak boleh lupa
daratan saking senangnya. Nah, Ka-ji, jerih-payah ayahmu ini achirnya tidaklah
sia2, rahasia besar ini achirnya dapat kita ketemukan juga!"
Dan se-konyong2 ia menutup kembali halaman kitab itu, katanya dengan suara
tertahan: "Tapi, Ka-ji, sebab apakah musuh sengaja menghantarkan Kiam-boh ini
kepada kita, sekarang aku sudah tahulah!"
"Sebab apakah?" Hal mana sampai sekarang aku masih tidak paham," ujar Ban Ka.
"Ya, sebab setelah mendapatkan Kiam-hoat ini, tetap musuh tak dapat memecahkan
rahasia didalam kitab, dan dengan sendirinya tiada berguna, bukan?" kata Ban
Cin-san dengan ber-seri2. "Padahal Soh-sim-kiam-hoat kita setiap jurusnya
memakai nama yang berasal dari syair jaman Tong, dengan sendirinya orang dari
golongan lain takkan tahu hal ini. Didunia ini sekarang hanya aku dan Gian Tat-
peng yang ingat dengan baik nama2 jurus ilmu pedang kita. Hanya aku dan dia yang
tahu nama setiap jurus itu berasal dari syair yang mana. Seperti jurus pertama
harus mencarinya pada syair 'Jin-kui' dan jurus kedua harus mencari pada syair
'Tiong-kang-ciau-leng' dan begitu seterusnya."
"Tia, kenapa kau tidak pernah mengajarkan padaku?" demikian Ban Ka bertanya.
BanCin-san tampak agak kikuk oleh teguran itu, segera ia menjawab: "Habis aku
mempunyai delapan anak murid, setiap hari kalian berada bersama, kalau melulu
aku ajarkan padamu, tentu juga akan diketahui oleh mereka, dan itu berarti bikin
urusan runyam." "O, kiranya musuh mempunyai tipu muslihat tertentu, ia ingin kita menemukan
rahasia didalam kitab ini dan membiarkan kita pergi mencari harta karun itu,
kemudian ia akan menyergap kita, dengan demikian ia akan keduk keuntungannya
tanpa susah payah," demikian kata Ban Ka.
"Ya, memang betul terkaanmu," kata Cin-san. "Maka setiap tindakan kita harus
waspada, jangan sampai usaha kita sia2 belaka, jangan2 harta karun belum
diperoleh, tapi jiwa kita sudah melayang dulu ditangan musuh."
Kemudian itu menggunakan ludah pula untuk membasahi syair ketiga, katanya:
"Jurus ketiga dari Soh-sim-kiam-hoat kita berasal dari syair 'Song-ko-si'
ciptaan Ju Bek, angka kuncinya adalah '33' seperti apa yang sudah kelihatan ini,
nah, satu, dua, tiga, empat.......Ha, huruf tiga-puluh-tiga jatuh pada huruf 'Seng'
(kota). Eh, jadi lengkapnya adalah 'Kang-leng-seng' (kota Kang-leng atau
Hengciu). Aha, ini dia, memang benarlah, tidak salah lagi, apa yang mesti
disangsikan pula" He, kenapa tanganku ini terasa sangat gatal?"
Begitulah tiba2 ia merasa punggung tangan kirinya sangat gatal, segera ia kukur2
dengan tangan kanan. Tapi punggung tangan kanan ikut terasa gatal pula, cepat ia
garuk2 lagi dengan tangan kiri dan begitulah secara ber-ulang2, ia kukur2 sini
dan garuk sana. Sesudah kukur2 dan garuk2, sebenarnya Ban Cin-san tidak ambil perhatian, kembali
ia membaca isi Kiam-boh pula dan berkata: "Dan jurus keempat ini..........he, gatal
benar?" ~ dan kembali ia kukur2 tangan kiri. Tapi sekali ini ia coba periksa
tangan itu, ia melihat punggung tangan disitu terdapat beberapa jalur bekas
tinta hitam, keruan ia heran, ia merasa tidak pernah menulis, kenapa tangannya
terpercik noda tinta"
Sementara itu ia merasa tangannya semakin gatal, waktu ia periksa tangan kanan,
disitu juga terdapat beberapa jalur bekas tinta bak yang silang melintang tak
keruan. "Ha, ayah, dari........darimanakah noda hitam diatas tanganmu itu?" demikian teriak
Ban Ka tiba2. "Tampaknya tanda itu seperti terkena racun ketungging Gian Tat-
peng itu?" Ban Cin-san tersadar oleh ucapan puteranya itu, ia merasa tangannya semangkin
gatal, tanpa merasa ia garuk2 lagi kesana dan kesini.
"Wah, jang.........jangan digaruk, racun itu berasal dari kukumu itu," seru Ban Ka.
"Ai, memang benar!' segera Ban Cin-san juga berteriak. Iapun sadar seketika,
katanya: "Ya, karena Kiam-boh ini direndam didalam air darah berbisa oleh
siperempuan jalang itu, dengan sendirinya kitab inipun mengandung racun jahat
itu. Ai, ku....... kurangajar sikeparat Go Him itu, mati saja tidak rela hingga
tanganku kena dicakarnya sampai terluka, dan sekarang racun ketungging telah
masuk melalui luka ini, rasaku menjadi risi, tapi agaknya tidak apa2........Aduuuh,
kenapa makin lama semakin sakit. Auuuuuh, aduuuuh!" ~ begitulah saking tak tahan
achirnya ia me-rintih2 kesakitan.
"Tia, agaknya racun ketungging yang masuk ditanganmu itu, tidak banyak, biarlah
kuambilkan air untuk dicuci," ujar Ban Ka.
"Ya, benar!" sahut Ban Cin-san. Dan mendadak ia berseru: "Tho Ang! Tho Ang!
Ambilkan air!" Ban Ka mengkerut kening, ia pikir: "Ayah barangkali sudah pikun" Sudah lama Tho
Ang telah diusir olehnya sendiri, kenapa sekarang me-manggil2?"
Segera iapun mengambil sebuah baskom, dengan cepat ia menuju ketepi sumur, ia
menimba air satu baskom penuh, lalu dibawa masuk kekamar dan ditaruh diatas
meja. Terus saja Ban Cin-san masukan kedua tangannya untuk direndam didalam
baskom, dan memang benar kerendam air dingin, rasa sakit dan gatalnya menjadi
jauh berkurang. Diluar dugaan bahwa racun ketungging yang mengenai Ban Ka itu telah berubah
sifatnya, sesudah dibubuhi obat penawar satu kali, darah hitam yang merembes
keluar dari lukanya itu telah berubah sifatnya menjadi semacam racun lain jauh
lebih jahat daripada racun semula, apalagi tangan Ban Cin-san itu bekas luka
kena cakaran Go Him, luka cakaran itu tergurat cukup dalam hingga racun yang
meresap kesitupun jauh lebih cepat dan lebih berat.
Maka hanya sebentar saja ia merendam tangannya, segera air didalam baskom itu
berubah menjadi hitam, bahkan lambat-laun air hitam itu berubah menjadi ketat
hingga mirip tinta bak. Keruan Ban Cin-san saling pandang dengan Ban Ka, mereka sangat terkejut. Sejenak
kemudian, waktu Ban Cin-san mengangkat tangannya, mendadak ia menjerit kaget.
Ternyata kedua tangannya itu telah abuh se-akan2 menjadi dua bola, sekalipun
luka tangan Ban Ka yang disengat ketungging tempo hari juga tidak sejahat
sekarang ini. "Ai, celaka! Mungkin tidak boleh direndam didalam air!" seru Ban Ka.
Saking kesakitan Ban Cin-san menjadi mata gelap, "bluk", kontan ia tendang
pinggang Ban Ka sambil memaki: "Binatang, jika tahu tidak boleh direndam dengan
air, kenapa tadi kau mengambilkan air" Bukankah kau sengaja hendak bikin celaka
padaku?" Karena tendangan itu, saking kesakitan sampai Ban Ka menjengking meringis sambil
pegang pinggangnya. Katanya dengan suara ter-putus2: "Ak........akupun tidak tahu,
mana mungkin sengaja hendak bikin celaka pada ayah?"
Dengan jelas Jik Hong yang sembunyi dikolong ranjang itu dapat mengikuti
percekcokan ayah dan anak itu, tapi perasaannya waktu itu tak keruan rasanya,
entah merasa sedih atau girang, karena mengingat akan dapat menuntut balas.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san lagi ber-jingkrak2 sambil ber-teriak2: "Wah
bagaimana ini, bagaimana ini?"
"Dikamarku sana ada sedikit obat tahan sakit, meski takbisa memunahkan racun,
tapi dapat menghilangkan rasa sakit sementara, apakah ayah mau memakainya?" kata
Ban Ka. "Ya, ya! Lekas, lekas ambil sana!" sahut Cin-san.
"Tapi apakah manjur atau tidak, anak tidak berani menjamin, lho!" kata Ban Ka.
"Jangan2 tidak manjur, nanti ayah akan marah dan menendang aku lagi!"
"Maknya!" damperat Cin-san dengan gemas. "Bapakmu sudah hampir sekarat dan kau
masih merasa penasaran karena tendangan tadi" Kau diberi gegares hingga sebesar
cecongormu itu, hanya tendangan sekali saja apa salah" Bangsat, hayo lekas pergi
ambil, lekas!" Terpaksa Ban Ka mengiakan, lalu putar tubuh dan keluar.
Melihat diwaktu perginya sang putera masih mengunjuk sikap penasaran, diam2 Cin-
san merasa was-was. Ia lihat kedua tangan sendiri bukan main besarnya, mirip
pelembungan yang ditiup hingga penuh, kulit sebagian tangan itu sampai menitis,
kerut kisutnya sampai tak kelihatan lagi, kalau abuh lagi sedikit, bukan
mustahil bisa segera pecah.
"Marilah kita pergi bersama!" serunya segera kepada sang putera. Dengan demikian
ia pikir akan terhindar dari kemungkinan dipermainkan oleh puteranya sendiri.
Maka lebih dulu ia masukan Soh-sim-kiam-boh kedalam baju, lalu menyusul kearah
Ban Ka dengan langkah cepat.
Mendengar kedua orang itu sudah pergi jauh, segera Jik Hong merangkak keluar
dari kolong ranjang, pikirnya: "Kemana aku harus pergi sekarang?" ~ sesaat itu
ia menjadi bingung, ia merasa dunia seluas itu baginya se-akan2 sebesar daun
kelor dan tiada tempat berteduh baginya.
"Mereka telah membunuh ayahku, sakit hati ini masakah tak kubalas" Tapi dendam
sedalam lautan ini cara bagaimana harus membalasnya" Bicara tentang ilmu silat,
terang aku selisih sangat jauh dibandingkan Kongkong dan Ban-long, apalagi
mereka percaya penuh bahwa aku telah bergendak dengan Go Him, bukan mustahil
sekali bertemu dengan mereka pasti aku akan dibunuhnya, dan cara bagaimana aku
harus melawan mereka" Jalan satu2nya sekarang yalah........yalah pergilah mencari
dulu Tik-suko, bila sudah ketemu, tentu akan dapat dicari jalan yang sempurna
untuk menuntut balas. Dan bagaimana dengan Khong-sim-jay" Ai, mana boleh
kutinggalkan dara cilik itu?"
Begitulah demi teringat kepada puterinya yang masih kecil itu, ia menjadi tidak
tega tinggal minggat. Segera ia berlari keloteng dibelakang sana, ia bertekad
akan membawa puterinya itu untuk melarikan diri dan kelak baru akan dicari jalan
membalas dendam. Dalam hati kecilnya iapun tidak berani percaya seratus prosen
bahwa ayah dan anak she Ban itu benar2 adalah orang yang membunuh ayahnya.
Memang Ban Cin-san dikenalnya sebagai seorang manusia keji dan kotor. Tapi Ban
Ka" Suaminya selama ini sangat mencintainya, betapapun hubungan suami-isteri itu
susah diachiri begitu saja.
Ketika ia ber-lari2 sampai dibawah loteng, ia mendengar suara Ban Cin-san yang
serak sedang ber-teriak2 kalap. "Begitu berisik suaranya, tentu Khong-sim-jay
akan terjaga bangun dengan kaget," demikian pikir Jik Hong.
Cinta kasih ibu memang suci murni. Demi ingat kemungkinan puterinya akan terjaga
bangun dan kaget, tanpa pikirkan bahaya atas diri sendiri, segera Jik Hong naik
keatas loteng dengan pelahan2, dengan hati2 ia berusaha tidak mengeluarkan
suara. Kamar tidur Khong-sim-jay terpisah dibelakang kamar tidur suami-isteri mereka,
yaitu dipisah dengan selapis papan. Sesudah Jik Hong menyelinap kedalam kamar
itu, dari sinar pelita yang tembus dari kamar tidurnya sendiri, ia melihat
puterinya itu sudah lama terjaga bangun, dengan mata terbelalak dara cilik itu
kelihatan sangat ketakutan, dan begitu melihat ibundanya sudah datang, segera
bocah itu mewek2 hendak menangis.
Cepat Jik Hong memburu maju terus memeluknya kencang2, ia memberi tanda agar
bocah itu jangan bersuara.
Anak dara itu memang pintar dan menurut pula, benar juga ia lantas diam saja.
Maka ibu dan anak berdua lantas berkelonan diatas ranjang.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang ber-teriak2: "Wah, celaka! Obat
tahan sakit ini makin membikin sakit malah, bagaimana baiknya ini" Hayolah lekas
cari tabib kampungan itu, harus memakai obat penawarnya itu baru dapat sembuh!"
"Ya, benar, harus memakai obatnya itu barulah racun itu bisa dipunahkan," Ban Ka
ikut berseru. "Nanti kalau sudah terang tanah, segera suruh Loh-toako dan lain2
keluar serentak untuk mencari tabib kampungan itu."
"Masakah mesti menunggu sampai terang tanah?" semprot Cin-san dengan gusar.
"Kenapa tidak........Aduuuh.........Aduuh.........Aduuuuh! Aku tak tahan, aku tak tahan!" ~ dan
mendadak ia terus terguling dilantai saking kesakitan sampai ia berkelojotan
kian kemari seperti orang sekarat. Dan mendadak ia berteriak pula. "Lekas, lekas
ambil pedang! Potong......potonglah kedua tanganku ini, lekas potong kedua
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanganku!" Menyusul lantas terdengar suara gedubrakan dan gemerantang, suara jatuhnya meja
kursi dan pecah hancurnya perkakas rumah tangga sebangsa mangkok-cangkir. Dengan
ketakutan Khong-sim-jay peluk ibundanya dengan kencang, mukanya pucat. Tapi
pelahan2 Jik Hong telah meng-elus2 dara cilik itu agar jangan takut, namun iapun
tidak berani bersuara. Rupanya Ban Ka juga sangat gugup dan kuatir, terdengar ia sedang berkata: "Tia,
harap kau bisa tahan sebentar saja, masakah tanganmu boleh dipotong" Lebih baik
kita harus mencari obat penawarnya."
Mungkin Ban Cin-san sudah tidak tahan lagi oleh siksaan luka yang berbisa itu,
mendadak ia menjadi murka, bentaknya dengan mendelik: "Kenapa kau tidak mau
memotong kedua tanganku untuk membebaskan aku dari siksaan kesakitan" Ha,
tahulah aku, tentu kau......kau ingin aku lekas2 mati agar kau bisa ......bisa kangkangi
sendiri Kiam-boh ini, kau ingin mendapatkan harta karun itu sendirian......."
Ban Ka menjadi gusar juga karena dituduh secara tidak se-mena2, sahutnya: "Tia,
saking kesakitan hingga pikiranmu agak linglung, lebih baik engkau tidurlah
sebentar. Padahal bila engkau tidak memimpin dalam urusan ini, apa sih gunanya
aku mendapat Kiam-boh itu?"
"Hm, pikiranku linglung" Tapi pikiranmu sendiri sudah tidak bermaksud baik,"
sahut Cin-san sambil tiada hentinya berkelojotan kian kemari dilantai. "Aduuuh,
mati aku, sakitnya!.......Matilah aku........Ya, toh aku akan mati, biarlah kita bubar
pasar saja, kita semua takkan mendapatkan apa2!"
Mendadak matanya merah membara, segera ia mengeluarkan Kiam-boh itu dari
bajunya, lalu satu halaman demi satu halaman dirobeknya.
Keruan Ban Ka terkejut dan merasa sayang, cepat ia berseru: "Hai, jangan, jangan
disobek!" ~ Dan segera ia mencegahnya, terus saja ia pegang sebelah kitab itu,
Tapi Ban Cin-san masih pegang erat2 bagian lain dari kitab itu dengan mati2an,
betapapun ia tidak mau lepas.
Kiam-boh itu habis direndam didalam air berdarah, sebegitu jauh masih belum
kering, sekarang kena ditarik lagi oleh kedua orang, seketika kitab itu terobek
menjadi dua bagian. Ban Cin-san pegang separoh jilid dan Ban Ka juga memegang
setengah buku. Selagi Ban Ka tertegun oleh kejadian itu, kembali Ban Cin-san mulai me-robek2
lagi halaman kitab itu. Sudah tentu Ban Ka merasa berat kehilangan kitab itu, ia tidak rela harta karun
yang diimpikan oleh setiap orang itu akan lenyap begitu saja, segera ia
merangsang maju untuk merebut lagi bagian kitab ditangan ayahnya itu. Maka
terjadilah betot-membetot, achirnya saling gumul, dan kitab itu menjadi makin
kumal dan hancur ber-keping2.
Se-konyong2 Ban Ka menjerit: "Aduuuh, sakitnya!"
Kiranya setelah terjadi tarik dan betot dan achirnya saling gumul itu, tanpa
sengaja luka ditangan Ban Ka itu kena pula racun yang meresap didalam kitab itu.
Dan racun yang berada didalam kitab itu sungguh bukan main jahatnya, hanya
sekejap saja kedua tangan Ban Ka kembali abuh lagi seperti pelembungan, rasa
sakitnya yang menusuk ulu hati dan merasuk tulang itu benar2 susah ditahan.
Apalagi dasar ilmu silatnya selisih jauh kalau dibandingkan ayahnya, sehabis
sakit tentu tenaganya juga masih lemah. Sebab itulah, begitu racun itu masuk
kedalam lukanya dan meresap mengikuti aliran darah, maka kumatnya menjadi cepat
luar biasa. Jadi sekarang kedua orang ~ ayah dan anak ~ itu sama2 berkelojotan diatas lantai
sambil men-jerit2 ngeri. Sesudah mendengarkan agak lama, achirnya Jik Hong merasa tidak tega, betapapun
hubungan suami-isteri selama itu telah mendorongnya bertindak, ia tidak dapat
berpeluk tangan menonton saja. Segera ia berbangkit dari tempat tidur dan menuju
kepintu kamar. Melihat Ban Cin-san berdua masih ber-gulung2 dilantai, segera ia
menegur dengan dingin: "Ada apakah kalian" Kenapa bergulingan ditanah?"
Melihat Jik Hong, tiada tempo buat marah lagi bagi Ban Cin-san berdua. Segera
Ban Ka memohon: "Hong-moay, tolong, tolonglah lekas pergi mencari tabib
kampungan itu, mohonlah dia suka lekas meracikan obat penawarnya,
aduuuh........sungguh sakit sekali, aku tidak tahan lagi, mo.......mohon bantuanmu......."
Melihat keringat memenuhi jidat sang suami dengan menahan sakit, hati Jik Hong
semakin lemah lagi, tanpa pikir ia lantas mengeluarkan botol porselin kecil itu,
katanya: "Obat penawarnya berada disini!"
"Wah, bagus, bagus!" serentak Ban Cin-san dan Ban Ka berteriak girang bagaikan
orang tarik lotere 150 juta. Segera mereka me-ronta2 untuk merangkak bangun.
Melihat sorot mata Ba Cin-san yang menampilkan sifat buasnya binatang, Jik Hong
pikir kalau kesempatan ini tidak digunakan untuk memaksa pengakuannya, mungkin
kelak akan susah meyelidiki duduknya perkara sebenarnya. Maka ia lantas
membentak: "Tahan dulu, jangan bergerak! Asal kalian ada yang melangkah maju
satu tindak saja, segera obat penawar ini akan kulemparkan kedalam empang
dibawah sana, biar kita mati semuanya!" ~ Sembari berkata ia terus membuka daun
jendela dan membuka sumbat botol pula, ia angsurkan botol porselin itu keluar
jendela, asal dia lepas tangan, segera botol itu akan jatuh kedalam empang dan
obatnya akan buyar terkena air serta takbisa dicari lagi.
Ban Cin-san berdua menjadi mati kutu, benar juga mereka tidak berani sembarangan
bergerak, mereka terpaku ditempatnya sambil saling pandang.
"Eh, menantuku yang baik, asal kau memberikan obat penawar itu, aku berjanji
akan meluluskan kau ikut pergi bersama Go Him, sedikitpun aku takkan merintangi
kalian. Selain itu aku akan menghadiahkan pula seribu tahil sebagai modal untuk
kalian.......aduuh, sakit......dan ......dan Ka-ji juga takdapat menahan kau bila engkau toh
sudah ingin pergi, maka......maka kau boleh tak perlu kuatir."
Jik Hong pikir orang ini benar2 licin dan rendah tak kenal malu, sudah terang Go
Him telah dicekik mati olehnya sendiri, tapi masih digunakannya untuk menipu
orang. Sementara itu terdengar Ban Ka juga berkata padanya: "Ya, Hong-moay, meski aku
merasa berat, tapi jiwaku lebih penting, aku berjanji takkan membikin susah pada
Go Him." "Hm, hati kalian barangkali sudah beku, ya" Masakah masih mempunyai pikiran
jijik seperti itu?" jengek Jik Hong. "Aku hanya ingin tanya sesuatu pada kalian,
asal kalian mengaku dengan sejujurnya, segera aku akan memberikan obat penawar
ini." "Baik, baik! Lekas kau tanya, pasti akan kujawab. Aduuuuh, aduuuuuh!........."
demikian sahut Ba Cin-san sambil merintih.
Pada saat itulah tiba2 angin meniup kencang masuk dari jendela hingga sobekan
kertas yang berserakan dikantor itu bertebaran dan ada yang kabur keluar. Tiba2
sepasang kupu2 kertas itupun terbang keatas, itulah pola kupu2 guntingan Jik
Hong tempo dulu yang diselipkannya ditengah kitab itu. Karena angin meniup
terus, maka sepasang kupu2 kertas itupun se-akan2 terbang kian kemari dengan
hidup didalam kamar, Jik Hong menjadi pedih dan duka, terbayang olehnya suasana
gembira ria waktu dia bermain dengan Tik Hun didalam gua dimasa dahulu.
Dalam pada itu Ban Ka juga telah mendesak: "Ya, apa yang kau ingin tahu,
lekaslah tanya. Asal tahu tentu akan kukatakan terus terang."
Dan karena itu barulah Jik Hong tersadar dari lamunannya, katanya kemudian:
"Tentang ayahku. Dimanakah beliau" Apa yang telah kalian perbuat atas diri
beliau?" "Ayahmu, hehe, darimana aku tahu, bukankah dahulu ia telah melarikan diri?" ujar
Ban Cin-san dengan tertawa yang di-buat2. "Tentang saudara-seperguruanku itu,
aduuuh..........aku juga sangat terkenang padanya, auuh, ck-ck-ck........Ai, toh kita
sekarang juga sudah besanan, kan sangat baik toh?"
Begitulah sambil menjawab Ban Cin-san sembari ber-teriak2 kesakitan.
Tapi Jik Hong tidak bisa tertipu lagi, dengan muka masam ia menyemprot: "Huh,
masih berani kau berkata demikian" Ayahku sudah dibunuh oleh kau, betul tidak"
Cara kau membunuh beliau adalah sama seperti kau membunuh Go Him, betul tidak"
Dan kau telah masukan jenazahnya kedalam tembok, betul tidak?"
Ber-ulang2 tiga kali pertanyaan: "Betul tidak?" telah membuat Ban Cin-san dan
Ban Ka menjadi gelagapan dan terperanjat, sama sekali tak mereka duga bahwa Jik
Hong dapat mengetahui terbunuhnya ayahnya, bahkan terbunuhnya Go Him juga tahu.
Maka dengan suara tak lancar Ban Ka bertanya: "Da........darimana kau tahu?"
Dengan pertanyaan itu, sama saja Ban Ka telah mengakui segala kejadian itu
memang betul adanya. Dalam pedih dan gusarnya segera Jik Hong bermaksud melepaskan botol porselin
yang dipegangnya itu kedalam empang. Melihat gelagat jelek, segera Ban Ka
bermaksud menubruk maju untuk merebut kalau Ban Cin-san tidak keburu membentak
untuk mencegahnya. Dalam keadaan begitu, Cin-san tahu akan lebih runyam lagi
bila memakai kekerasan. Dan pada saat itu juga tiba2 sidara cilik Khong-sim-jay berlari keluar dari
kamarnya sambil berseru: "Ibu, ibu!"
Segera dara cilik itu bermaksud memburu kepangkuan ibundanya.
Sekilas Ban Ka mendapatkan akal, cepat ia sambar Khong-sim-jay sebelum dara
cilik berlari lewat disisinya, ia angkat bocah itu dan segera mencabut belati
mengancam diatas kepala puterinya sendiri itu sambil membentak: "Baiklah, kalau
mau mati, biarlah kita tua-muda seisi rumah ini mati bersama saja, sekarang
biarlah kubunuh Khong-sim-jay dulu!"
Keruan Jik Hong kaget, puterinya itu merupakan mestika jiwanya, cepat ia
berseru: "Jangan! Lekas lepaskan dia, apa sangkut-pautnya dengan bocah yang tak
berdosa itu?" "Ya, toh kita semua tak bakal hidup lagi, maka lebih dulu biar kubunuh Khong-
sim-jay saja," ujar Ban Ka. Dan sekali tangannya terangkat, segera belatinya
hendak menikam kedada si-bocah.
"Jangan! Jangan!" saking kuatirnya Jik Hong terus memburu maju hendak menolong.
Meski Ban Cin-san dalam keadaan tersiksa oleh karena serangan racun dalam tubuh,
tapi ia sudah kenyang asam-garam, demi melihat Jik Hong kena dipancing oleh Ban
Ka dan berlari maju, tanpa ayal lagi ia lantas menyikut hingga tepat pinggang
Jik Hong kena ditutuk olehnya, menyusul ia terus rampas botol obat penawar
ditangan menantu itu dan buru2 ia bubuhkan obat penawar itu dipunggung tangan
sendiri. Cepat Ban Ka ikut memburu maju untuk minta dibubuhi obat pemunah racun itu.
Sebaliknya Jik Hong masih sempat mencapai puterinya serta merangkulnya dengan
erat2 tanpa menghiraukan orang lain.
Segera Ban Cin-san ayun kakinya, Jik Hong didepaknya hingga terguling, menyusul
ia lepaskan ikat pinggang sendiri untuk meringkus menantunya itu dengan
menelikung kedua tangannya kebelakang, kemudian kedua kakinya diikat pula
kencang-kencang. Sambil men-jerit2 memanggil ibu, Khong-sim-jay memburu kearah Jik Hong. Tapi
sekali Ban Cin-san ayun tangannya, tepat dara cilik itu kena digampar hingga
kelengar. Tapi gamparan itu memakai telapak tangannya yang abuh hingga Ban Cin-
san meringis kesakitan sendiri sambil merintih tertahan.
Obat penawar racun ketungging itu memang "ces-pleng", sesudah dibubuhi obat itu,
hanya sebentar saja dari luka kedua orang itu lantas merembes keluar air
berdarah, rasa sakit mulai hilang dan berubah menjadi rasa gatal, tak lama
kemudian rasa gatal itupun berkurang dan achirnya lenyap.
Sungguh lega dan senang sekali Ban Cin-san dan Ban Ka karena jiwa mereka telah
dapat dirampas kembali dari tangan raja achirat. Dan sekali jiwa mereka sudah
selamat, segera timbul lagi jiwa tamak mereka. Segera mereka teringat kepada
kitab pusaka yang merupakan kunci bagi suatu partai harta karun itu.
Untuk sejenak mereka celingukan kian kemari, mereka melihat didalam kamar masih
banyak bertebaran sobekan2 kertas, banyak pula yang sedang kabur keluar jendela
tertiup angin. "Wah, celaka!" demikian se-konyong2 kedua orang berteriak bersama. Segera mereka
memburu maju hendak mencegah kaburnya sobekan2 kertas itu.
Namun kertas kecil2 itu sudah tak keruan tempatnya, sebagian sudah jatuh kedalam
empang diluar jendela sana, ada pula yang sedang me-layang2 di udara dan hampir
masuk ke air. "Wah, cialat! Lekas buru, lekas!" teriak Ban Cin-san.
Dan tanpa dikomando untuk kedua kali lagi, segera mereka berdua memburu kebawah
loteng secepat terbang, saat itu mereka sudah lupa pada kelakuan mereka yang me-
rengek2 secara menjijikan waktu sekarat tadi.
Begitulah Ban Cin-san dan Ban Ka telah berlari ke taman, dengan napsu mereka
ingin menangkap kembali potongan2 kertas yang bertebaran itu. Tetapi be-ratus2
potong kertas yang kecil-kecil itu sudah terpencar tak keruan, ada yang
kecemplung ke dalam empang, ada yang jatuh keluar pagar tembok, ada yang me-
layang2 keudara terbawa angin. Maka biarpun mereka berdua tubruk sini dan sambar
sana sambil berjingkrakan seperti orang gila, hasilnya juga tidak seberapa,
apalagi kertas yang sudah di-robek2 itu masakah dapat memulihkan kitab aseli
Soh-sim-kiam-boh itu"
Begitulah meski sakit ditangan Ban Cin-san sudah hilang, tapi sakit di dalam
hatinya menjadi tambah hebat. Dalam dongkolnya yang tak terlampiaskan itu,
segera ia mendamperat puteranya: "Semuanya gara2 kau bangsat kecil ini. Kalau
kau tidak main tarik dan betot padaku, masakah Kiam-boh itu bisa hancur seperti
sekarang?". Ban Ka menghela napas dan tidak mengubar lagi kertas2 yang sudah hancur itu.
Sahutnya: "Tia, kalau tadi anak tidak mencegah, mungkin Kiam-boh itu sudah lebih
hancur daripada sekarang".
"Ah, kentut!" semprot Ban Cin-san, walaupun dalam hati ia harus mengakui
kebenaran ucapan puteranya itu, tapi dimulut ia tidak mau kalah, masih 'kentat-
kentut' terus. "Tia," kata Ban Ka kemudian, "baiknya kita sudah tahu bahwa tempat yang
dimaksudkan itu adalah Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), mungkin dari
sisa Kiam-boh yang masih ada itu dapat kita temukan sedikit petunjuk lain, dan
mungkin kita masih dapat menemukan harta terpendam itu."
Semangat Ban Cin-san terbangkit seketika demi mendengar peringatan puteranya
itu, serunya cepat: "He, benar, memang tempat itu adalah 'Kang-leng-seng-
lam'........ Dan pada saat itu yuga, tiba2 diluar pagar tembok sana ada suara orang
mengulangi kalimat itu dengan pelahan: "Kang-leng-seng-lam!".
Keruan keyut Ban Cin-san berdua bukan kepalang demi mendengar suara itu.
Seketika mereka memburu keluar sana. Mereka melihat dua sosok bayangan yang
sedang menghilang dibalik tikungan jalan sana, cepat Ban Cin-san membentak: "Bok
Heng, Sim Sia, berhenti!".
Tapi jangankan berhenti, bahkan menolehpun tidak kedua orang itu lantas kabur
dengan cepat. Dan selagi Ban Cin-san bermaksud mengejar, tiba2 Ban Ka berkata: "Tia, di atas
loteng masih ada sisa Kiam-boh itu, pula masih ada............. masih ada perempuan
jalang itu". Setelah memikir, Ban Cin-san merasa benar juga usul puteranya itu, ia mengangguk
tanda setuju dan segera mereka kembali keatas loteng.
Disana tertampak sidara cilik Khong-sim-jay sudah mendusin dan sedang menangis
dalam pangkuan ibundanya. Jik Hong sendiri tak bisa berkutik karena anggota
badannya terikat, namun ia coba menghibur dan membujuk puterinya yang kecil itu.
Ketika melihat kakek dan ayahnya telah kembali, Khong-sim-jay menjadi lebih
takut hingga tangisannya makin keras.
Bukannya menimang, sebaliknya datang2 Ban Cin-san terus depak sekali dipantat
dara cilik sambil memaki: "Kau anak sial ini, berani menangis lagi segera
kutabas batang lehermu!"
Khong-sim-jay semakin ketakutan hingga mukanya pucat sebagai kertas saking
ketakutan hingga dia tidak berani menangis lagi.
"Tia", kata Ban Ka dengan suara perlahan, "perempuan jalang ini telah mengetahui
engkau adalah................ adalah pembunuh ayahnya, pula dia telah menyaksikan kematian
Go Him, untuk semuanya itu terang dia takkan bisa dibiarkan hidup terus. Lantas
cara bagaimana kita harus membereskan dia?".
Cin-san memikir seyenak, kemudian katanya: "Kedua orang diluar tadi sudah terang
adalah Bok Heng dan Sim Sia, bukan?"
"Betul, memang mereka itu, pasti tidak salah lagi," sahut Ban Ka. "Mungkin
rahasia Kiam-boh itu sudah bocor, mereka telah mengetahui Kang-leng-seng-lam
adalah tempatnya." "Ya, urusan tidak boleh di-tunda2 lagi, kita harus lekas2 mendahului turun
tangan," uyar Cin-san. "Baiklah, tentang perempuan jalang ini, boleh kita
bereskan seperti ayahnya saya."
Sejak Jik Hong diringkus, ia sendiripun insaf pasti tiada harapan buat hidup
lagi, terutama karena dia telah membongkar rahasia kekejaman mereka berdua. Kini
mendengar ayah mertua itu mengatakan hendak membereskan dia seperti ayahnya,
maka iapun tidak pikirkan mati hidup sendiri, yang dia beratkan adalah puterinya
yang masih kecil itu. Segera ia berkata: "Ban................ Ban-long, jelek-jelek kita telah bersuami-isteri
sekian lamanya, tidaklah menjadi soal jiwaku melayang, tapi sesudah aku mati,
hendaklah kau menjaga baik2 pada Khong-sim-jay!".
Ban Ka hanya mendengus saya tanpa menjawab.
Sebaliknya Ban Cin-san berkata: "Membabat rumput harus sampai akar-akarnya, mana
boleh kita tinggalkan bibit bencana dikemudian hari" Bocah ini sangat pintar
lagi cerdik, apa yang terjadi hari ini telah dilihatnya semua, siapa berani
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjamin bahwa kelak takkan dibocorkan olehnya kepada orang luar?".
Ban Ka mengangguk pelahan-lahan. Sebenarnya ia sangat sayang kepada puteri satu-
satunya itu, betapapun dara cilik itu adalah darah dagingnya sendiri. Tapi apa
yang dikatakan ayahnya itu juga ada benarnya, kalau meninggalkan bibit bencana
ini, bukan mustahil kelak akan menimbulkan akibat yang susah dibayangkan.
Air mata Jik Hong bercucuran melihat kekejaman kedua orang itu, katanya dengan
suara ter-putus2: "Ka.....kalian keji sekali, masakah anak........anak kecil begini
juga tak dapat kalian ampuni?".
"Sumbat saya mulutnya daripada dia cerewet tak habis2, jangan2 nanti dia
berteriak hingga bikin geger tetangga malah." Kata Ban Cin-san.
Mengingat jiwa puterinya juga akan amblas ditangan kakek dan ayahnya yang kejam
itu, mendadak Jik Hong menggembor benar2: "Tolong! Tolong!".
Ditengah malam sunyi kelam, suara teriakan 'tolong' yang memecah angkasa itu
kedengarannya menjadi lebih seram.
Cepat Ban Ka menubruk maju, dan tekap mulut Jik Hong. Tapi Jik Hong masih terus
Memanah Burung Rajawali 2 Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 1
muda), ha........harap jangan kau ka........katakan aku berada di......disini."
Keruan Jik Hong heran sebab ia merasa tidak kenal wanita dekil itu, ia tanya:
"Siapakah kau" Untuk apa kau berada disini?"
"O, ti......tidak apa2, aku ......aku adalah seorang pengemis," sahut wanita itu dengan
gelagapan, habis itu, ia lantas berbangkit dan masuk keruangan dalam dengan
langkah cepat. Pikiran Jik Hong tergerak oleh tingkah-laku wanita kotor yang tidak dikenal itu,
ia merasa ada sesuatu yang tidak beres atas wanita itu. Tapi lantas berpikir
pula olehnya: "Ah, aku sendiri sudah cukup kesal menghadapi macam2 urusan, buat
apa ikut campur urusan orang lain lagi?"
Lalu ia membatin. "Keparat Go Him itu mengatakan cara mereka mempitenah Tik-
suko, hal itu pastilah betul dan bukan omong ksosong, lantas kitab itu ......kitab
itu ........" Berpikir sampai disini tanpa merasa ia pegang dahan pohon waru disampingnya dan
digoyangkan pelahan hingga daun waru kering jatuh berserakan.
Pada saat itulah ia dengar suara orang berlari, kiranya siwanita dekil tadi
telah merat melalui pintu belakang Su-theng itu.
Jik Hong semakin heran, pikirnya: "Entah mengapa wanita ini demikian takutnya
padaku .........Ha, teringatlah aku, dia.......dia adalah Tho Ang, si Mirah ........"
Demi mengenali si Mirah itu, dengan cepat Jik Hong lantas memburu kepintu
belakang sana, segera ia cabut belatinya sambil membentak: "Tho Ang, kau berbuat
apa secara sembunyi2 disini?"
Memang wanita dekil itu betul adalah Tho Ang alias si Mirah, itu gundiknya Ban
Cin-san dahulu yang katanya bergendakan dengan Tik Hun dan tertangkap basah itu.
Ketika namanya dipanggil Jik Hong, memangnya si Mirah sudah gugup, apalagi
melihat nyonya muda itu menghunus belati lagi, keruan ia ketakutan setengah
mati, dengan gemetar ia berlutut pula sambil memohon: "Siau.......Siau-naynay,
am........ ampunilah aku!"
Jik Hong sangat heran oleh kelakuan wanita itu. Sejak dia tinggal didalam
keluarga Ban, ia hanya bertemu beberapa kali dengan Tho Ang, tidak lama kemudian
lantas tidak pernah bertemu pula. Apalagi setiap kali bila teringat kejadian Tik
Hun hendak kabur bersama si Mirah itu, rasa hatinya menjadi seperti di-sayat2,
lantaran itulah maka menghilangnya Tho Ang itupun tidak pernah digubrisnya.
Siapa duga wanita bejat itu ternyata sembunyi didalam Su-theng atau rumah
berhala bobrok ini. Su-theng ini jaraknya tidak jauh dari rumah keluarga Ban, tapi sejak Jik Hong
menjadi nyonya mantu, penghidupan yang dia tuntut sudah berbeda daripada waktu
perawan hidup dikampung halamannya sana, ia tidak pernah keluyuran diluaran
lagi, walaupun sering juga keadaan Su-theng bobrok itu dilihat olehnya dari
jauh, tapi belum pernah ia memasukinya.
Keadaan Tho Ang sekarang juga tak keruan, rambutnya kusut masai, mukanya kurus
pucat, hanya beberapa tahun tidak berjumpa tampaknya malah sudah lebih tua
beberapa puluh tahun, makanya Jik Hong pangling. Cuma Tho Ang sendiri yang
ketakutan hingga menimbulkan curiga Jik Hong dan sesudah di-pikir2, achirnya
teringat juga olehnya diri si Mirah itu. Coba kalau Tho Ang tinggal pergi
pelahan2 seperti tidak terjadi apa2, sedang Jik Hong sendiri lagi kusut
pikirannya tentu dia takkan diperhatikan.
Begitulah Jik Hong lantas geraki belatinya sambil mengancam: "Apa yang kau
lakukan dengan sembunyi2 disini" Hayo lekas mengaku terus terang!"
"Aku ti......tidak berbuat apa2," sahut Thoa Ang dengan ketakutan. "Siaunaynay, aku
......aku telah diusir oleh Loya, beliau mengatakan bila kepergok aku masih berada
di Hengciu sini, tentu aku .......aku akan dibunuh olehnya, akan tetapi......akan tetapi
aku tiada mempunyai tempat lain lagi, terpaksa......terpaksa sembunyi disini untuk
cari hidup dengan minta2 sesuap nasi. Siau........Siaunaynay, selain Hengciu, aku
tidak tahu kemana aku harus pergi" Maka sukalah......sukalah Siaunaynay berbuat
bajik, jangan......janganlah katakan pada Loya tentang diriku."
Mendengar ratapan orang yang cukup kasihan itu, Jik Hong lantas simpan kembali
belatinya. Katanya kemudian: "Sebab apa kau diusir Loya" Mengapa aku tidak
tahu?" "Akupun tidak........tidak tahu sebab apa mendadak Loya tidak suka padaku lagi,"
tutur Tho Ang. "Padahal Tik.......urusan orang she Tik itu bukanlah salahku. Ai,
tidak........tidak seharusnya aku bercerita tentang ini."
"Kau tidak mau bercerita juga boleh, sekarang juga kuseret kau pergi menemui
Loya," ancam Jik Hong sambil jambret lengan baju si Mirah.
Keruan si Mirah ketakutan, dengan gemetar ia berkata: "Aku .......aku akan
bercerita! Siaunaynay, apa yang kau ingin tahu?"
"Ceritakan tentang orang.......orang she Tik itu, sebenarnya bagaimana duduknya
perkara" Sebab apakah kau hendak kabur bersama dia?" demikian kata Jik Hong.
Saking takut dan gugupnya hingga Tho Ang ternganga dan terbelalak tanpa bisa
bicara. Dengan mata tak berkesip Jik Hong pandang lekat2 wanita itu, rasa takut dalam
hatinya mungkin berpuluh kali lebih hebat daripada si Mirah. Yang ditakutkan
adalah cerita si Mirah, jangan2 cerita itu akan menyatakan bahwa: Waktu itu
memang benar Tik Hun telah memperkosanya.
Tapi karena sesaat itu Tho Ang tidak dapat bicara, maka wajah Jik Hong menjadi
pucat lesi, jantungnya se-akan2 berhenti berdenyut, saking tegangnya.
Achirnya, mengakulah Tho Ang: "Kejadian itu bukan........bukan salahku, Siauya (tuan
muda) yang suruh aku berbuat begitu, suruh aku peluk orang she Tik itu se-
kencang2nya serta menuduh dia hendak memperkosa diriku dan membujuk aku agar
kabur bersama. Hal ini telah kututurkan kepada Loya, sebenarnya Loya toh percaya
juga, tapi.......tapi achirnya tetap beliau mengusir aku."
Sungguh Jik Hong merasa sangat terima kasih dan berduka, merasa penasaran dan
merasa kasihan. Dalam hati ia meratap: "O, Suko, jadi akulah yang telah salah
sangka jelek padamu, seharusnya aku mengetahui hatimu yang suci murni, tapi toh
aku telah menyangka jelek dan membikin susah padamu!"
Begitulah ia tidak dendam pada Tho Ang, sebaliknya ia malah agak berterima
kasih, untunglah wanita itu yang telah membuka ikatan hatinya yang tertekan
selama ini. Didalam rasa duka dan pedihnya itu tiba2 terasa pula semacam rasa
manis diantara rasa pahit getir. Meski selama ini ia telah menjadi isterinya Ban
Ka, tetapi orang yang benar2 dicintainya didalam lubuk hatinya selalu hanya
seorang yaitu Tik Hun. Sekalipun sang Suko itu mendadak berubah pikiran,
sekalipun jiwanya ternyata kotor dan rendah, biarpun seribu kali pemuda itu
berbuat salah, seribu kali berhati palsu, tapi hanya dia, ya hanya dia, tetap
dia seoranglah yang selalu dikenangkan dan dirindukan oleh Jik Hong.
Mendadak segala rasa benci dan dendam telah berubah menjadi sesal dan duka pada
diri sendiri, pikirnya: "Pabila sejak dulu aku tahu duduknya perkara, sekalipun
menghadapi bahaya apapun juga pasti akan kutolong dia keluar dari penjara. Tapi
dia telah menderita sehebat itu, entah cara bagaimana dia akan pikir atas .........
atas diriku?" Melihat Jik Hong diam saja, Tho Ang coba melirik nyonya muda itu, lalu katanya
dengan suara gemetar: "Siaunaynay, banyak terima kasih pabila sudi membiarkan
aku pergi, aku akan ..........akan tinggalkan Hengciu ini dan takkan kembali kesini
untuk selamanya." Jik Hong menghela napas, katanya kemudian: "Ah, sebab apakah Loya mengusir kau"
Apa kuatir aku mengetahui duduknya perkara itu" Tetapi, hai mungkin sudah takdir
ilahi, secara kebetulan harini aku telah pergoki kau disini."
Habis berkata iapun lepaskan pegangannya pada lengan baju orang. Mestinya ia
ingin memberikan persen sedikit uang perak, tapi ia keluar secara buru2 hingga
pada sakunya tidak terdapat apa2.
Melihat Jik Hong sudah melepaskan dirinya, kuatir akan terjadi apa2 lagi, buru2
Tho Ang melangkah pergi, tapi mulutnya masih menggumam: "Habis, di waktu malam
Loya tentu ketemu setan, tentu memasang tembok, mengapa aku yang disalahkan" Toh
bukan aku yang sembarangan omong."
Mendengar itu, cepat Jik Hong memburu maju dan bertanya: "Kau omong apa" Melihat
setan dan pasang tembok apa katamu?"
Tho Ang sadar telah kelepasan mulut lagi, cepat ia menyahut: "O tidak ada apa2,
tidak ada apa2. Aku bilang Loya sering melihat setan diwaktu malam, ditengah
malam selalu bangun untuk memasang tembok."
Melihat tingkah-laku orang yang angin2an itu, Jik Hong pikir mungkin sejak si
Mirah itu diusir oleh Kongkong (bapak mertua) penghidupannya sangat susah, maka
pikirannya menjadi kurang waras. Habis, masakah Kongkong dikatakan tengah malam
bangun untuk pasang tembok" Padahal didalam rumah tidak pernah dilihatnya tembok
yang dipasang Kongkong. Rupanya Tho Ang kuatir nyonya muda itu tidak percaya, maka ia mengulang lagi:
"Ya, dia pasang tembok, tapi tembok .......tembok palsu. Setiap tengah malam Loya
suka.......suka menjadi tukang batu maka aku telah mengatai dia beberapa kata, dan
dia lantas marah2, aku dihajar hingga babak-belur, kemudian aku diusirnya
pula........" ~ Begitulah sambil mengomel dan menggerundel tak habis2, ia terus
mengeloyor pergi dengan beringsat-ingsut.
Jik Hong menjadi terharu memandangi bayangan wanita celaka itu, pikirnya:
"Paling banyak ia cuma lebih tua 10 tahun daripadaku, tapi ia telah berubah
sedemikian jeleknya. Entah mengapa Kongkong telah mengusirnya" Mengapa dia
mengatakan Kongkong melihat setan dan pasang tembok ditengah malam buta" Ah,
mungkin pikiran wanita ini memang tidak waras lagi. Ai, disebabkan seorang
wanita goblok seperti ini. Suko telah merana selama hidup dan akupun menderita
selama ini!" ~ Berpikir sampai disini, bercucuran air matanya.
Begitulah Jik Hong menangis hingga sekian lamanya sambil bersandar dibatang
pohon waru itu, tapi sehabis menangis hatinya yang pepet tadi menjadi agak lega,
perlahan2 barulah ia pulang kerumah. Ia tidak melalui taman belakang lagi, tapi
masuk dari pintu samping terus kembali keatas loteng sendiri.
Begitu mendengar suara tangga loteng itu, segera Ban Ka bertanya dengan tak
sabar: "Hong-moay, obat penawarnya didapatkan tidak?"
Jik Hong tidak menjawab, ia terus masuk kekamar, ia melihat Ban Ka duduk
diatas ranjang dengan sikap yang tidak sabar menunggu lagi, tangannya yang
terluka itu terletak ditepi ranjang, darah hitam setetes demi setetes merembes
keluar dari punggung tangannya dan jatuh kedalam baskom yang menadah dibawah
ranjang itu. Dara cilik Khong-sim-jay sudah lama tidur disebelah kaki
ayahandanya. Tadi sesudah mendengar cerita Go Him hingga berlari keluar rumah, dalam hati Jik
Hong sebenarnya penuh rasa murka terhadap Ban Ka. Ia benci kepada caranya yang
keji dan kotor itu untuk mempitenah Tik Hun. Tapi kini demi melihat air muka
sang suami yang tampan pucat itu, cinta kasih suami-isteri selama beberapa tahun
ini kembali membuatnya lemah hati. Pikirnya: "Ya, betapapun adalah karena Ban-
long cinta padaku, makanya dia berusaha menyingkirkan Tik-suko, caranya memang
keji hingga membikin Suko kenyang menderita, tapi kesemuanya itu adalah demi
diriku." Dan karena tiada mendapat jawaban, maka Ban Ka telah bertanya pula: "Obat
penawarnya sudah dibeli lagi belum?"
Karena bingung apakah mesti memberitahukan atau tidak kepada suami tentang
kelakuan Go Him yang kurangajar itu, maka segera ia menjawab: "O, aku sudah
ketemukan tabib itu, aku telah memberikan uang lagi dan minta dia segera
meramukan obatnya." Mendengar itu, barulah Ban Ka merasa lega hatinya, katanya. "Hong-moay, jiwaku
ini akhirnya engkaulah yang menyelamatkan."
Jik Hong paksakan diri tertawa, ia merasa bau darah berbisa yang berada didalam
baskom itu sangat menusuk hidung, segera ia membawakan sebuah tempolong ludah
untuk menggantikan baskom itu, lalu baskom itu dibawanya keluar.
Tapi baru beberapa langkah, bau darah berbisa itu menerjang hidungnya hingga
kepalanya terasa pening, diam2 ia mengakui betapa lihaynya racun ketungging itu.
Cepat ia keluar kamar, ia taruh baskom itu dilantai ditepi meja, lalu ia hendak
mengambil saputangan dari bajunya untuk menutupi hidung, kemudian darah berbisa
itu akan dibuangnya. Tapi begitu tangannya menjulur kedalam saku, segera ia memegang kitab kuno itu.
Ia tertegun sejenak, kembali hatinya ber-debar2 lagi, ia mengeluarkan kitab itu,
ia duduk ditepi meja, lalu satu halaman demi satu halaman dibaliknya. Ia masih
ingat dengan jelas kitab itu diambilnya dari bawah sebuah kopor rusak milik sang
ayah yang penuh tersimpan baju lama, waktu itu ia sedang mencari sesuatu baju
lama dan tanpa sengaja telah diketemukan kitab itu. Padahal ia tahu ayahnya
tidak banyak makan sekolah, biarpun huruf segede telur juga tiada dua keranjang
yang dikenalnya, entah darimana sang ayah menemukan kitab seperti itu. Tatkala
itu kebetulan ia baru selesai menggunting dua buah pola sulaman, maka ia lantas
selipkan kertas pola kedalam buku itu. Dan ketika suatu hari ia bermain lagi
kegua rahasia itu bersama Tik-suko, kitab itu sekalian lantas dibawanya kesana,
sejak itu kitab itupun selalu tertinggal didalam gua, mengapa sekarang bisa
diketemukannya disini" Apakah Tik-suko menyuruh tabib kelilingan tadi
menghantarkannya padaku" Tabib itu........ jangan2 ...... kelima jarinya terpapas putus
semua oleh Go Him" Ya, tabib itu mengapa....... Mengapa selalu menyembunyikan tangan
kanan didalam saku."
Begitulah se-konyong2 Jik Hong teringat pada waktu itu. Di kala tabib keliling
itu membubuhi obat pada Ban Ka tiada seorangpun yang memperhatikan tangan yang
digunakan sitabib adalah tangan kiri dan tidak pernah memakai tangan kanan, kini
demi teringat dahulu jari tangan kanan Tik Hun pernah terpapas putus oleh Go
Him, seketika terbayanglah kembali adegan2 tadi waktu sitabib membuka peti obat,
mengambil botol obat dan membuka sumbat botol serta menuang obat bubuk itu, ya,
kesemuanya itu melulu dilakukan oleh tangan kiri sitabib.
"Jangan2....... Jangan2 tabib itu adalah Tik-suko" Tapi mengapa mukanya sedikitpun
tidak sama?" demikian pikir Jik Hong. Dan saking kusut dan kesalnya, ia menjadi
berduka, air matanya bercucuran dan menetes diatas kitab yang dipegangnya itu.
Air matanya menetes terus hingga membasahi kitab kuno dan hal mana belum
disadari oleh Jik Hong, air matanya menetes diatas sepasang kupu2 guntingan
kertas, yaitu kupu2 San Pek dan Eng Tay, nasib percintaan mereka baru akan
terjalin sesudah keduanya mati semua .........
Dalam pada itu Ban Ka sedang berseru didalam kamar: "Hong-moay, aku merasa gerah
sekali, aku ingin bangun untuk jalan2 sebentar."
Tapi Jik Hong sendiri lagi tenggelam dalam lamunannya, maka tidak mendengar
suara sang suami itu. Waktu itu ia sedang memikir: "Tempo hari dia (Tik Hun)
telah mematikan seekor kupu2 hingga sepasang kekasih telah dicerai-beraikan
olehnya. Apakah dia telah ketulah oleh perbuatannya itu dan hidupnya ini
diharuskan merana dan menderita!.........
Dan pada saat itulah mendadak dibelakangnya seorang telah berseru dengan suara
kaget. "He, itulah ........Soh ......... Soh-sim-kiam-boh!"
Keruan Jik Hong juga berjingkrak kaget, cepat ia menoleh, ia melihat Ban Ka
dengan wajah kegirangan dan penuh semangat sedang berkata: "He, Hong-moay,
darimanakah kau memperoleh kitab itu" Lihatlah, aha, kiranya begitu, kiranya
demikian!" Segera ia memburu maju, dengan kedua tangannya ia memegang kitab kuno ditangan
isterinya. Ia balik sampul kitab itu, dengan jelas dibacanya judul kitab itu
adalah "Tong-si-soan-cip" (pilihan2 syair jaman Tong).
Kemudian ia melihat halaman yang ketetesan air mata Jik Hong itu adalah sebuah
syair yang berkalimat "Seng-ko-si" dan disamping bawahnya timbul tiga huruf
kecil ke-kuning2an, ketiga huruf itu adalah "tiga puluh tiga" atau dalam angka
menjadi "33". Beberapa baris tulisan itu telah basah kena air mata Jik Hong.
Saking girangnya Ban Ka sampai lupa daratan, ia ber-teriak2: "Aha, disinilah
letak rahasianya, ya, kiranya harus dibasahi dahulu, lalu akan timbul hurufnya.
Bagus! Bagus! Tentu adalah kitab ini. He, Khong-sim-jay, Khong-sim-jay, lekas
pergi mengundang Engkong kemari, katakan ada urusan penting!"
Begitulah ia lantas membangunkan sidara cilik yang lagi tidur nyenyak itu dan
disuruhnya pergi mengundang sang Engkong (kakek), yaitu Ban Cin-san.
Sambil memegangi kitab syair itu dengan erat2, Ban Ka menjadi lupa tangannya
yang terluka dan kesakitan itu, sebaliknya ia terus bicara sendiri: "Ya, pasti
inilah kitabnya, tentu tidak salah lagi. Ayah bilang Kiam-boh itu berwujut
sejilid Tong-si-soan-cip, tentu tidak salah lagi, apakah perlu disangsikan lagi
sekarang" Hahaha, pantas lebih dulu harus membikin basah kitab ini dan dengan
sendirinya rahasianya akan timbul sendiri."
Karena luapan rasa girang yang tak terkendalikan, maka Ban Ka telah mengoceh tak
tertahan, hal mana telah membikin Jik Hong menjadi paham juga duduknya perkara.
Pikirnya: "Apakah kitab ini adalah 'Soh-sim-kiam-boh' yang dibuat rebutan antara
ayahku dan Kongkong itu" Jika begitu, sebenarnya kitab ini telah didapatkan oleh
ayahku, tapi secara tak sadar aku telah mengambilnya untuk menjepit pola sepatu.
Tapi waktu ayah kehilangan kitab pusaka ini, mengapa beliau tidak kelabakan dan
mencarinya" Ah, tentu juga sudah dicarinya, cuma dicari kesana kesitu tidak
ketemu, lalu disangkanya telah dicuri oleh Gian-supek dan diantepin saja.
Mengapa dahulu ayah tidak tanya padaku tentang kitab yang hilang itu" Sungguh
sangat aneh!" Jika Tik Hun, tentu sekarang ia takkan heran sedikitpun, sebab ia sudah tahu Jik
Tiang-hoat itu adalah seorang yang licin, seorang yang banyak tipu akalnya,
sekalipun didepan puterinya juga sedikitpun tidak mau mengunjukan sesuatu
tentang kitab pusaka Soh-sim-kiam-boh itu. Waktu kitab itu hilang, tentu juga ia
berusaha mencarinya ubek2an, tapi sesudah tidak diketemukan kembali, ia lantas
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pura2 tidak terjadi apa2, hanya diam2 ia menyelidiki dengan segala jalan untuk
memperhatikan apakah kitab itu bukan dicuri oleh Tik Hun" Atau dicuri puterinya"
Tapi disebabkan Jik Hong tidak merasa mencuri, ia tidak perlu takut sebagaimana
seorang maling kuatir konangan, maka dengan sendirinya penyelidikan Jik Tiang-
hoat menjadi sia2. Dalam pada itu Ban Cin-san baru saja pulang, ia sedang diruangan makan. Ketika
ia dipanggil cucu perempuannya, ia sangka luka puteranya mungkin berubah buruk,
maka belum lagi sarapannya dihabiskan dia sudah lantas buru2 kebelakang sambil
membopong sidara-cilik. Dan begitu ia melangkah keatas loteng, dia lantas
mendengar suara seruan Ban Ka yang kegirangan. "Haha, di-cari2 tidak ketemu,
siapa duga diperoleh secara begini mudah. Eh, Hong-moay, mengapa engkau
kebetulan membasahi kitab ini dengan air" Sungguh kebetulan, mungkin memang
takdir ilahi!" Sudah tentu ia tidak tahu bahwa air yang membasahi kitab itu adalah air mata
sang isteri yang barusan sedang merindukan seorang laki2 lain.
Begitulah Ban Cin-san menjadi lega demi mendengar suara sang putera itu, segera
iapun masuk kedalam kamar.
"Tia, Tia! Lihatlah, apakah ini?" seru Ban Ka segera sambil mengunjukan kitab
'Pilihan2 syair jaman Tong' itu kepada sang ayah yang baru masuk itu.
Hati Ban Cin-san tergetar demi nampak kitab ke-kuning2an yang tipis itu, cepat
ia taruh Khong-sim-jay ketanah, lalu terima kitab yang diangsurkan Ban Ka itu
dengan hati ber-debar2 hebat.
Itulah dia "Soh-sim-kiam-boh" yang telah dicarinya mati2an selama belasan tahun
kini telah kembali didepan matanya.
Memang benar inilah kitabnya, kitab asli yang pernah dimilikinya bersama Jik
Tiang-hoat dan Gian Tat-peng, yaitu hasil rampokan mereka bersama dengan
menganiaya guru mereka. Dahulu mereka bertiga telah mem-balik2 dan mempelajari bersama isi kitab itu
didalam hotel, akan tetapi kitab itu toh bukan "Kiam-boh" sebagaimana orang
sangka, kitab itu tidak lebih hanya sejilid kitab syair kuno yang umum, kitab
"Tong-si-soan-cip" yang juga dapat dibeli dengan mudah disetiap toko buku setiap
tempat. Dengan macam2 jalan mereka bertiga saudara perguruan telah menyelidiki isi kitab
itu. Pernah mereka menyorot setiap halaman kitab itu dibawah sinar matahari
dengan harapan menemukan apa2 didalam lempitan kertas itu, pernah juga mereka
membaca beberapa bait syair itu dijungkir balik, dibaca pula secara me-lompat2
dan macam2 cara lagi dengan tujuan mendapatkan sesuatu rahasia didalamnya, tapi
semua usaha itu hanya sia2 belaka, hasilnya nihil. Mereka bertiga saling curiga
mencurigai, kuatir kalau pihak lain menemukan rahasia didalam kitab itu dan
dirinya sendiri tidak tahu. Maka setiap malam diwaktu tidur, mereka lantas
mengunci kitab itu didalam sebuah peti besi, peti besi itu digandeng pula dengan
tiga utas rantai besi serta masing2 diikat dipergelangan tangan mereka bertiga.
Akan tetapi pada suatu pagi hari, tahu2 kitab itu sudah menghilang tanpa bekas.
Akibat hilangnya kitab itu selama belasan tahun mereka bertiga saudara perguruan
telah bertengkar tidak habis2, masing2 saling selidik menyelidiki. Dan mendadak
kitab itu telah muncul didepan matanya sekarang.
Ban Cin-san coba membalik halaman keempat dari kitab itu. Ya, memang betul,
ujung kiri halaman itu tersobek sedikit, itulah kode rahasia yang sengaja
dibuatnya tempo dulu, ia kuatir kedua Sutenya itu mungkin menukarnya dengan
sejilid "Tong-si-soan-cip" yang serupa dan dirinya tertipu, maka ia sendiri
harus menaruh sesuatu tanda dulu diatas kitab asli itu.
Ketika ia membalik pula halaman ke-16, benar juga bekas goresan kuku yang
ditaruhnya dahulu itu juga masih kelihatan. Ya, tidak salah lagi, memang betul
kitab ini tulen adanya. Begitulah ia lantas manggut2, sedapat mungkin ia menahan rasa senangnya itu,
katanya kemudian kepada sang putera: "Ya, memang betul adalah kitab ini,
darimana kau memperolehnya?"
Segera sorot mata Ban Ka beralih kepada Jik Hong dan bertanya: "Hong-moay,
darimanakah kitab ini kau temukan?"
Jik Hong sendiri sejak melihat sikap Ban Ka tadi, yang terpikir olehnya melulu
diri ayahnya saja, ia pikir: "Kemanakah perginya ayah selama ini" Sesudah aku
mengambil kitabnya ini dan kubawa kedalam gua itu, beliau mencari ubek2an.
Padahal kitab ini yang selalu dibuat incaran dan menyebabkan pertengkaran
mereka, dalam hati ayah tentu sangat luar biasa sayang kepada kitab ini. Entah
kitab kuno seperti ini mempunyai manfaat apa hingga mesti mereka ributkan" Tapi
dahulu aku telah mengambilnya dari kopor ayah, sekali2 tidak boleh kubiarkan
kitab ini jatuh ditangan Kongkong."
Apabila sehari dimuka, pada waktu itu Jik Hong masih belum tahu duduknya perkara
tentang penderitaan Tik Hun yang dipitenah orang, tentu ia masih sangat cinta
dan penuh kasih-sayang kepada suaminya, dan dalam penilaiannya mungkin sang
suami akan lebih utama daripada ayahnya sendiri, apalagi sang ayah entah kemana
perginya selama ini, entah akan pulang lagi atau tidak"
Namun keadaan sekarang sudah berubah lain. "Sekali2 kitab ayahku itu tidak boleh
kubiarkan jatuh ditangan mereka. Tentu Tik-suko yang telah mengambil kitab ini
dari gua dan diserahkan padaku, dengan sendirinya tidak boleh kuberikan pada
mereka, hal ini bukan saja demi ayah, tapi terutama demi Tik-suko!" demikian ia
ambil keputusan. Begitulah maka waktu Ban Ka bertanya padanya darimana diperoleh kitab itu, Jik
Hong sendiri lagi memikirkan cara bagaimana harus merebut kembali kitab yang
telah dipegang oleh bapa mertuanya itu. Padahal ilmu silat Ban Cin-san sangat
tinggi, sekali2 dirinya bukan tandingannya apalagi sang suami juga berada
disitu, untuk merebutnya denggan kekerasan terang tidak mungkin.
Mendadak tertampak olehnya baskom yang terletak didekat meja sana, didalam
baskom masih terisi setengah baskom air darah, yaitu sebagian adalah air cuci
muka Ban Ka dan darah berbisa yang menetes dari luka tangannya. Air didalam
baskom itu berwarna merah hitam, kalau...... kalau diam2 kitab itu direndam didalam
air baskom, tentu mereka takkan menemukannya kembali. Akan tetapi, cara
bagaimana, harus dicari kesempatan untuk memasukkan kitab itu kedalam baskom"
Demikian Jik Hong sedang putar otak, sebaliknya sorot mata Ba Cin-san dan Ban Ka
juga sedang diarahkan padanya. Kembali Ban Ka mengulangi pertanyaannya: "Hong-
moay, darimanakah kau memperoleh kitab ini?"
Baru sekarang Jik Hong terkesiap, cepat ia menyahut: "Ah, entahlah, akupun tidak
tahu, tadi aku keluar dari kamar dan tahu2 melihat kitab itu diatas meja. Apakah
itu bukan milikmu?" Karena seketika itu tidak jelas duduknya perkara, maka sementara Ban Ka tidak
mengusut lebih jauh, yang terpikir olehnya yalah ingin lekas memberitahukan
kepada sang ayah tentang pengalamannya yang luar biasa tadi. Maka ia lantas
berkata kepada Ban Cin-san: "Lihatlah, ayah! Asal halaman kitab ini dibasahi,
lantas timbul hurufnya disitu." ~ Segera iapun menunjukkan angka "33" yang
terdapat disebelah kalimat syair "Seng-ko-si" itu. Sudah tentu ia tidak tahu
bahwa air yang membasahi halaman kitab itu adalah air mata sang isteri, air mata
rindu sang isteri kepada seorang laki2 lain yang bernama Tik Hun. Kalau dia
tahu, entahlah bagaimana perasaannya, akan girang atau akan marah"
Dalam pada itu Ban Cin-san sedang meneliti syair "Seng-ko-si" itu, ia lagi meng-
hitung2 huruf syair satu demi satu, mulai dari suatu bait yang berbunyi: "Loh-
cu-tiong-hong-siang......." hingga achirnya jatuh pada huruf "He-hong-seng......."
Itu dia, huruf ke-33 jatuh pada huruf "Seng"!
Ban Cin-san gablok pahanya sendiri sekali dan berseru: "Tepat! Memang beginilah
caranya, ya beginilah caranya! Kiranya rahasianya terletak disini! Hai, Ka-ji,
engkau benar2 sangat pintar, syukur dapatlah kau menemukan caranya ini. Memang
harus memakai air, ya, harus pakai air! Sungguh tolol, dahulu kami justeru tiada
seorangpun yang memikirkan tentang pemakaian air untuk menemukan rahasia didalam
kitab ini!" Melihat kedua orang itu penuh semangat asyik mempelajari rahasia yang tersimpan
didalam kitab itu, segera Jik Hong menarik puterinya kedalam kamar sana, ia
pondong dara cilik itu didalam pangkuannya dan pelahan2 berkata padanya: "Khong-
sim-jay, kau lihat baskom itu bukan?"
Dara cilik itu manggut2, sahutnya: "Ya, tahu!"
"Nah, sebentar kalau Engkong, ayah dan ibu berlari keluar semua, kau lantas
melemparkan buku yang dipegang Engkong tadi kedalam baskom agar kerendam air
kotor itu, jangan sampai diketahui oleh Engkong dan ayah, ya," demikian Jik Hong
mengajarkan puterinya. Sidara cilik kegirangan, disangkanya sang ibu hendak mengajarkan suatu permainan
yang menarik padanya, maka dengan tertawa ia bersorak: "Bagus, bagus!"
"Tapi jangan sekali2 diketahui oleh Engkong dan ayah, lho! Kemudian kaupun
jangan katakan pada mereka, ya!" pesan Jik Hong pula.
"Ya, Khong-sim-jay pasti takkan bilang pada mereka, pasti tidak!" seru sidara
cilik. Lalu Jik Hong keluar kamar depan lagi, katanya kepada Ban Cin-san: "Kongkong,
aku merasa didalam kitab itu ada sesuatu yang ganjil."
Cin-san menoleh, tanyanya: "Ganjil apa sih?" ~ Memangnya ia sendiri juga merasa
was-was karena munculnya kitab itu secara mendadak, datangnya terlalu mudah, hal
mana bukanlah sesuatu alamat baik. Maka ia bertambah pikiran demi mendengar
ucapan nyonya mantunya itu.
"?ni, disini!" kata Jik Hong kemudian sambil mengulurkan tangannya.
Ban Cin-san lantas serahkan kitab syair itu kepadanya. Sesudah Jik Hong mem-
balik2 halaman kitab itu, kemudian dikeluarkannya sepasang pola kupu2 itu dan
berkata: "Kongkong, didalam kitabnya dahulu apakah terdapat sepasang kupu2
kertas semacam ini?"
Cin-san terima kupu2 kertas itu dan mengamat-amatinya, lalu sahutnya: "Ya, tidak
ada!" "Habis apa artinya kupu2 kertas didalam kitab ini?" ujar Jik Hong. "Apakah
didalam Bu-lim terdapat seseorang tokoh yang berjuluk 'Hek-oh-tiap' (kupu2
hitam) dan sebagainya" Dengan meninggalkan kupu2 kertas ini didalam kitab,
mungkin adalah tanda peringatan bahwa mereka akan datang menuntut balas?"
Biasanya memang sering terjadi didalam Kangouw bahwa sebelum menuntut balas,
seorang telah mengirimkan tanda peringatan lebih dulu kepada orang yang akan
didatanginya. Dan selama hidup Ban Cin-san justeru tak terhitung banyaknya
kejahatan yang pernah diperbuatnya, dengan sendirinya ia terkejut mendengar
ucapan Jik Hong itu, apalagi kupu2 kertas memang nyata terselip didalam kitab
itu. Ia coba meng-ingat2 apakah pernah memusuhi seorang tokoh yang berjuluk
'Hek-oh-tiap' dan sebagainya" Tapi seingat dia toh tidak ada.
Selagi ia merenung, mendadak terdengar Jik Hong membentak: "Siapa itu" Ada apa
main sembunyi2 disitu?" ~ Segera ia tuding keatas wuwungan rumah diluar jendela,
maka berbareng Ban Cin-san dan Ban Ka memandang kearah sana, tapi toh tiada
terdapat apa-apa. Cepat Jik Hong sambar sepasang pedang yang tergantung didinding, ia lemparkan
sebatang kepada Ban Cin-san dan sebatang kepada Ban Ka, serunya pula. "Aku
melihat tiga sosok bayangan orang berkelebat kesana!"
Sementara Cin-san dan Ban Ka menyambuti pedang yang dilemparkan Jik Hong itu,
segera Jik Hong lantas tarik laci meja dan masukan kitab syair itu kedalamnya
dan sambil berbisik: "Jangan sampai dicuri musuh!"
Ban Cin-san berdua percaya saja, mereka memanggut. Segera mereka bertiga
melompat keluar jendela dan naik keatas rumah, waktu memandang sekeliling situ,
namun tiada tertampak seorangpun. "Coba periksa kebelakang sana!" kata Cin-san.
Bertiga orang terus menguber kerumah belakang sana. Tiba2 terlihat sesosok
bayangan orang berkelebat dipengkolan sana, segera Cin-san membentak: "Siapa
itu?" ~ Dan waktu ia melesat maju, kiranya orang itu bukan lain adalah muridnya
nomor enam, yaitu Go Him adanya.
"Kau melihat musuh tidak?" tanya Cin-san pula.
Sebenarnya wajah Go Him sudah pucat seperti mayat, ia ketakutan setengah mati
ketika mendadak melihat Suhu bertiga menguber kearahnya dengan senjata terhunus,
ia mengira perbuatannya yang kotor itu telah dilaporkan oleh Jik Hong. Dan demi
mendengar pertanyaan sang guru itu, barulah ia merasa lega. Cepat ia menayhut:
"Ya, barusan seperti ada orang berlari lewat sini, makanya Tecu lantas memburu
kemari untuk mencari tahu apa yang telah terjadi."
Sebenarnya jawabannya itu adalah untuk menutupi sikapnya yang kikuk itu,
sebaliknya menjadi kebetulan bagi Jik Hong yang membohong itu.
Segera mereka berempat menguber pula kebelakang, ber-ulang2 Go Him bersuit
memanggil Loh Kun, Bok Heng dan lain2, tapi meski seluruh isi rumah mereka
kerahkan untuk mencari musuh, toh tiada suatu bayanganpun yang kelihatan.
Karena kuatirkan kitab "Soh-sim-kiam-boh" yang masih tertinggal dikamar itu,
segera Cin-san suruh Loh Kun dan para Sute-nya mencari lebih jauh jejak musuh.
Ia sendiri bersama Ban Ka dan Jik Hong lantas kembali kekamar loteng.
Segera pula ia membuka laci hendak mengambil kitab itu, tapi ........
Sudah tentu laci itu sudah kosong melompong, kitab itu entah sudah terbang
kemana" Keruan kejut Ban Cin-san dan Ban Ka tak terkatakan, mereka mencari ubek2an
didalam kamar, dan sudah tentu nihil hasilnya.
"Adakah seorang masuk kesini?" Ban Cin-san coba tanya Khong-sim-jay.
"Tidak ada!" sahut sidara cilik. Kemudian ia berpaling dan main mata dengan sang
ibu, hatinya sangat senang.
Sudah terang gamblang Ban Cin-san berdua menyaksikan sendiri Jik Hong memasukan
kitab itu kedalam laci, dikala menguber musuh juga selalu nyonya mantu itu
berada bersama mereka, dengan sendirinya bukan Jik Hong yang main gila. Ia
menduga pasti adalah tipu muslihat musuh yang "memancing harimau meninggalkan
sarang", lalu mencuri kitab pusaka itu.
Keruan Ban Cin-san dan Ban Ka merasa lemas, mereka saling pandang dengan lesu
dan menyesal. Sebaliknya Jik Hong dan Khong-sim-jay sangat senang, mereka saling main mata,
saling kedip penuh arti .........
Begitulah anak murid Ban Cin-san yang lain telah sibuk mencari jejak musuh
disetiap polosok rumah dan sudah tentu tiada suatu bayanganpun yang diketemukan.
Ban Cin-san pesan kepada Jik Hong agar jangan sekali2 bercerita keapda Loh Kun
dan lain2 tentang diketemukannya Kiam-boh dan kemudian hilang lagi. Sudah tentu
Jik Hong mengiakannya dengan baik. Selama ini Jik Hong sudah makin sadar akan
hubungan guru dan murid keluarga Ban itu, begitu pula hubungan antara murid satu
dengan murid lainnya selalu dilakukan dengan tidak jujur, masing2 hanya
memikirkan kepentingan sendiri2, satu sama lain saling curiga-mencurigai.
Dengan rasa menyesal dan penasaran kemudian Ban Cin-san kembali kekamarnya
sendiri, yang terpikir olehnya adalah tanda kupu2 hitam kertas didalam kitab
itu. Sebaliknya Ban Ka juga payah keadaannya, sesudah ber-lari2 menguber musuh,
tekanan darahnya naik, luka ditangannya itu menjadi kesakitan lagi, maka ia
telah merebah di ranjangnya untuk mengaso dan tidak lama iapun tertidur.
Diam2 Jik Hong pikir kitab syair itu akan sangat berguna bagi ayahnya, kalau
kerendam terlalu lama didalam air mungkin akan rusak. Segera ia masuk kekamar
dan coba memanggil sang suami beberapa kali, tapi Ban Ka sudah tertidur nyenyak,
segera ia keluar lagi dan bawa baskom itu kebawah, ia buang air darah didalam
baskom itu hingga kelihatan dasar baskom. Ia puji si Khong-sim-jay sangat pintar
dan penurut, tidak merasa wajahnya menampilkan senyuman puas.
Sama sekali diluar dugaannya bahwa sebenarnya sudah sedari tadi Ban Ka telah
curiga padanya. Tadi waktu sidara cilik main mata dengan sang ibu, kelakuan itu telah dapat
diketahui oleh Ban Ka hingga timbul rasa curiganya. Maka ia sengaja pura2 tidur,
dan begitu Jik Hong turun kebawah, segera iapun bangun dan dengan ber-jinjit2
seperti maling kuatir kepergok, ia mengawasi gerak-gerik sang isteri.
Karena kitab itu berbau amis darah yang merendamnya tadi, Jik Hong merasa muak
dan tidak sudi memegangnya, ia pikir: "Dimanakah kitab ini harus kusembunyikan?"
Segera teringat olehnya ditaman belakang ada sebuah kamar pojok yang biasanya
dibuat simpan barang rongsokan sebangsa pacul, tenggok, sapu dan sebagainya,
pada waktu itu tentu tiada terdapat orang disitu. Segera ia petik daun bunga
seruni hingga penuh satu baskom untuk menutupi kitab yang basah itu, lalu menuju
ketaman. Sesudah masuk kedalam kamar dipojok taman itu, ia melihat kamar itu tidak
terawat, temboknya banyak yang rontok, ujung dinding sana ada beberapa potong
bata sudah mulai merenggang. Ia pikir: "Kalau kitab ini kusembunyikan disini
tentu takkan dicurigai siapapun juga." ~ Segera ia mengorek keluar beberapa
potong bata itu, ia masukkan kitab itu kedalam liang dinding itu, lalu bata2 itu
dipasangnya kembali hingga rapat.
Habis itu, dengan masih menjinjing baskom itu ia berjalan kembali sambil ber-
nyanyi2 kecil seperti tiada pernah terjadi apa2.
Waktu lewat diserambi, mendadak dari pengkolan sana menyelinap keluar seorang
sambil membisikinya: "Suso, tengah malam nanti jangan lupa, ya! Aku tunggu kau
didalam gudang kayu sana!" ~ Siapa lagi dia kalau bukan Go Him.
Memangnya Jik Hong lagi menahan rasa kuatir kalau perbuatannya dipergoki orang,
ketika mendadak muncul seorang dan berkata begitu padanya, keruan jantungnya se-
akan2 copot saking kagetnya.
Segera iapun mendamperatnya: "Cis, kau cari mampus, besar amat nyalimu, apa kau
sudah bosan hidup?" Tapi dengan cengar-cengir Go Him menjawab: "Demi Suso, biarpun jiwaku akan
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melayang juga aku rela. Suso, engkau inginkan obat penawarnya atau tidak?"
Dengan gemes Jik Hong sudah meraba belati yang tersimpan didalam bajunya itu,
sungguh ia ingin sekali tikam mampuskan manusia rendah itu dan merampas obat
penawarnya. Tapi Go Him adalah seorang licin dan culas, sudah tentu ia cukup waspada
terhadap segala kemungkinan. Dengan menyengir ia berkata pula dengan pelahan:
"Suso, jangan kau coba2 menyerang, asal kau menyerang dengan tipu 'Wajah manusia
muncul dari balik gunung' dan menikam kearahku, maka aku sudah siap akan
menghindar dengan gerakan 'kepala kuda timbul disamping awan', dan sekali
tanganku bergerak begini, seketika obat penawar ini kubuang kedalam empang." ~
Sembari berkata ia terus ulurkan tangannya dan apa yang digenggamnya memang
betul adalah botol obat penawar itu. Ia kuatir Jik Hong menubruk untuk
merebutnya, maka lebih dulu ia lantas mundur beberapa langkah kebelakang.
Tahu kalau pakai kekerasan juga takkan berhasil merebut obat penawar itu,
terpaksa Jik Hong batalkan niatnya, segera ia menyisir lewat dari samping orang.
Dan dengan suara pelahan Go Him membisikinya lagi: "Ingat Suso, aku cuma sanggup
menanti sampai tengah malam. Lewat tengah malam kau tidak datang, jam satu malam
aku lantas tinggal pergi bersama obat penawar ini, aku akan kabur sejauh mungkin
dan takkan kembali ke Hengciu lagi. Haha, andaikan mati juga orang she Go ini
tidak sudi mati ditangan ayah dan anak she Ban."
Waktu Jik Hong sampai dikamarnya, ia mendengar Ban Ka sedang me-rintih2, nyata
racun ketungging telah kumat lagi dengan hebat.
Ia duduk menyanding meja dengan bertopang dagu, pikirannya bergolak tak
tertahankan. Ia pikir: "Caranya dia (Ban Ka) mempitenah Tik-suko sungguh sangat
keji, tapi nasi sudah menjadi bubur, apa mau dikata lagi" Selama beberapa tahun
ini sesungguhnya iapun sangat baik padaku, sebagai seorang wanita, menikah ayam
ikut ayam, kawin dengan bebek turut bebek, selama hidupku sudah ditakdirkan akan
menjadi suami-isteri dengan dia. Cuma Go Him itu benar2 keparat, cara bagaimana
supaya aku dapat merebut obatnya?" ~ Ia melihat air muka Ban Ka pucat kurus,
diam2 ia membatin pula: "Luka Ban-long sangat parah, jika kukatakan perbuatan Go
Him itu padanya, dalam gusarnya tentu ia akan mengadu jiwa padanya dan tentu
akan membuat keadaannya lebih payah."
Begitulah pikirannya menjadi kusut. Sementara itu hari sudah gelap, sesudah
makan malam, Jik Hong mengatur puterinya tidur, ia sendiri masih gelisah.
Sesudah dipikir pulang-pergi, achirnya ia mengambil keputusan akan laporkan
persoalan Go Him itu kepada Ban Cin-san, sebagai seorang tua yang berpengalaman
tentu akan dapat mencari jalan keluar yang sempurna. Tapi urusan ini tidak boleh
diketahui oleh Ban Ka, harus menunggu sesudah sang suami itu tidur nyenyak,
barulah akan dilaporkan kepada bapa mertuanya ini. Selama beberapa hari ia
benar2 terlalu capek merawat luka suaminya itu siang dan malam, namun ia tidak
dapat tidur. Ia menunggu setelah terdengar suara mendengkurnya Ban Ka, lalu
bangun dengan pelahan2, dengan hati2 ia turun kebawah loteng, ia menuju keluar
kamarnya Ban Cin-san. Sinar bulan menembus kedalam kamar Ban Cin-san, melalui celah2 jendela dapat
dilihatnya bahwa didalam kamar bapa mertua itu sudah gelap, pelita sudah
dipadamkan, ia menduga orang tua itu sudah tidur.
Diluar dugaan, sesudah ia mendekati jendela, tiba2 dari dalam kamar orang tua
itu terdengar suara "he-he-he" yang aneh, yaitu suara orang yang bernapas dikala
mengeluarkan tenaga besar untuk berbuat sesuatu.
Jik Hong sangat heran, sebenarnya ia sudah akan memanggil, tapi segera
diurungkan. Ia coba mengintip kedalam kamar melalui celah2 jendela, dibawah
sinar bulan yang remang2 ia melihat Ban Cin-san sedang merebah diatas tempat
tidurnya, kedua matanya terpejam, tapi kedua tangannya tampak men-dorong2
sekuatnya keatas. Sungguh heran Jik Hong tak terkatakan, pikirnya dengan menahan napas: "Pasti
Kongkong sedang melatih sesuatu ilmu Lwekang yang hebat. Konon diwaktu orang
melatih Lwekang, yang paling dipantang adalah gangguan yang mengagetkan, jika
hal mana terjadi, seringkali orang yang sedang berlatih itu akan 'Cau-hwe-jip-
mo' (sesat jalan dan kemasukan api) hingga membikin celaka diri sendiri.
Sebaiknya aku menunggu dulu, biar beliau selesai latihan barulah akan
kupanggilnya." Ia mengikuti terus tingkah-laku Ban Cin-san itu. Ia melihat sesudah men-dorong2
keatas sebentar, kemudian Ban Cin-san berbangkit dan turun dari tempat tidurnya
serta melangkah beberapa tindak kedepan, lalu berjongkok dan menjulur tangannya
keatas seperti sedang mencekeram sesuatu.
Diam2 Jik Hong membatin: "Kiranya Kongkong sedang melatih Kim-na-jiu-hoat (ilmu
memegang dan menangkap)!"
Tapi sesudah diperhatikan sebentar lagi. Ia melihat gerak-gerik Ban Cin-san
makin lama makin aneh, kedua tangannya ber-ulang2 mencengkeram entah apa yang
hendak dipegangnya, habis itu lantas ditumpuknya kebawah satu persatu dengan
rajin dan teratur, jadi mirip tukang batu sedang memasang bata. Namun dilantai
situ toh kosong melompong tiada terdapat sesuatu benda apapun, jadi gerak-
geriknya itu hanya perbuatan kosong belaka.
Dan sesudah me-megang2 sebentar lagi keudara, kemudian tampak orang tua itu
meng-ukur2 dengan kedua tangannya, mungkin merasa sudah cukup besar, lalu kedua
tangannya bergaya seperti mengangkat sesuatu benda besar dari tanah dan
dimasukkan kedepan. Jik Hong merasa bingung menyaksikan itu, dengan jelas dilihatnya kedua mata Ban
Cin-san itu masih tertutup rapat, gerak-geriknya itu sekarang sudah terang bukan
lagi melatih sesuatu ilmu silat apa segala, tapi lebih mirip sigagu sedang main
sandiwara. Tiba2 teringat oleh Jik Hong ucapan si Mirah dirumah berhala siang
tadi bahwa: "Ditengah malam Loya suka bangun untuk pasang tembok!"
Tapi gerak-gerik Ban Cin-san sekarang toh bukan lagi pasang tembok, kalau
dikatakan ada sangkut-pautnya dengan tembok, maka lebih mirip kalau dia sedang
membongkar tembok. Lapat2 Jik Hong merasakan semacam firasat yang menakutkan. Pikirnya pula: "Ah,
tentu Kongkong telah kena penyakit Li-hun-cing (sakit ngelindur). Kabarnya orang
yang dihinggap penyakit tidur seperti itu, terkadang orangnya bisa bangun
ditengah malam dan jalan2 atau bekerja tanpa disadari oleh orang yang
bersangkutan sendiri. Bahkan ada yang telanjang bulat ber-jalan2 diatas rumah,
ada pula yang membakar rumah dan membunuh orang dan macam2 perbuatan lain yang
aneh2, tapi sesudah mendusin, sama sekali orang yang bersangkutan tidak tahu
apa2." Begitulah Jik Hong melihat pula sesudah Ban Cin-san bergaya memasukan sesuatu
benda besar kedalam lubang dinding yang sebenarnya tiada wujutnya itu, kemudian
tampak orang tua itu men-dorong2 lagi beberapa kali dengan kuat keatas, habis
itu ia menjemput bata dilantai yang tiada wujud itu lalu dipasangnya, sekali ini
benar2 bergaya sedang pasang batu.
Semula Jik Hong agak merinding menyaksikan perbuatan aneh yang menyeramkan itu
kemudian sesudah melihat gayanya yang sedang pasang tembok, maka ia tidak begitu
takut lagi sebab sebelumnya sudah diketahui akan hal itu. Katanya didalam hati:
"Menurut Tho Ang, katanya Kongkong sering bangun ditengah malam untuk pasang
tembok, suatu tanda penyakit tidurnya ini sudah lama dideritanya. Dan pada
umumnya orang yang mempunyai sesuatu penyakit aneh tidaklah suka kalau diketahui
orang lain. Tho Ang sekamar dan setempat-tidur dengan Kongkong dan tahu pula
akan penyakitnya ini, dengan sendirinya Kongkong merasa kurang senang."
Karena pikirannya itu, rasa ragu2nya tadi menjadi hilang. Yang terpikir olehnya
sekarang hanya: "Dan entah berapa lamanya penyakit tidur Kongkong itu akan
berlangsung. Kalau sampai lewat tengah malam hingga sikeparat Go Him merat
dengan membawa obat penawar, wah tentu celaka."
Sementara itu dilihatnya Ban Cin-san sedang bergaya mengambil bata yang
dibongkarnya tadi dan dipasang kembali kelubang dinding tanpa wujut itu,
kemudian lantas bergaya seperti tukang kapur yang sedang melabur dinding. Dan
sesudah segala sesuatu itu selesai dilakukannya, lalu kelihatan orang tua itu
ber-senyum2 dan naik pula keatas ranjang untuk tidur pula.
Pikir Jik Hong: "Setelah sibuk sekian lamanya, mungkin pikiran Kongkong belum
lagi tenang kembali, biarlah aku menunggu sebentar lagi untuk memenggilnya."
Tapi pada saat itu juga, tiba2 terdengar pintu kamar bapa mertua itu diketok
orang beberapa kali, menyusul ada orang memanggil dengan suara tertahan: "Tia-
tia, Tia-tia!" ~ Itulah suara sang suami, Ban Ka.
Jik Hong agak terkejut, ia heran pula: "Mengapa Ban-long juga kemari" Untuk
apakah dia datang?" Ia lihat Ban Cin-san terus mendusin dan berbangkit, setelah tenangkan diri
sejenak, lalu orang tua itu bertanya: "apakah Ka-ji disitu?"
Sebagai seorang jago silat, rupanya Ban Cin-san sangat cepat terjaga bangun asal
mendengar sesuatu suara pelahan saja. Malahan jika penyakit ngelindurnya sedang
kumat, pada saat itulah malah susah kalau orang hendak menyadarkan dia.
Maka terdengar Ban Ka telah mengiakan diluar kamar. Dan Cin-san lantas turun
dari tempat tidurnya dengan enteng tanpa menerbitkan suara sedikitpun, biarpun
usianya sudah lanjut, tapi gerak-geriknya ternyata masih gesit sekali, segera ia
membukakan pintu dan membiarkan Ban Ka masuk sambil bertanya: "Apakah kau sudah
memperoleh keterangan tentang Kiam-boh?" ~ Nyata yang selalu terpikir olehnya
adalah kitab pusaka itu. "Tia!" terdengar Ban Ka memanggil pelahan sekali sambil melangkah masuk dengan
sempoyongan, cepat ia berpegangan pada sandaran kursi yang berada disitu.
Kuatir kalau bayangan sendiri yang tersorot cahaya rembulan itu akan dilihat
oleh mereka, cepat Jik hong meringkuk kebawah jendela sambil mendengarkan dengan
cermat, ia tidak berani mengintip gerak-gerik kedua orang itu lagi.
Ia dengar Ban Ka merandek sejenak sesudah memanggil ayahnya tadi, lalu katanya
dengan suara ter-putus2: "Tia, men...... menantumu itu bukan .......bukan orang baik2."
Jik Hong terkejut pula, ia heran mengapa sang suami berkata begitu"
Maka terdengar Ban Cin-san sedang tanya: "Ada apa lagi" Suami-isteri
bertengkar?" "Kiam-boh sudah diketemukan. Tia, menantumu itulah yang mengambilnya," sahut Ban
Ka. "Ha, sudah diketemukan" Itulah bagus, bagus!" seru Cin-san dengan girang.
"Dimana kitabnya?"
Jik Hong juga terkejut dan heran tak terkatakan. Ia pikir: "Mengapa dapat
diketahui olehnya" Ah, tentu sibocah Khong-sim-jay itu yang telah berkata pada
ayahnya." Tapi ucapan Ban Ka selanjutnya telah membantah sangkaannya itu. Ban Ka telah
memberitahukan kepada ayahnya bahwa dia telah mengetahui gerak-gerik Jik Hong
dan Khong-sim-jay yang mencurigakan, maka ia sengaja pura2 tidur, tapi diam2
mengawasi tingkah-laku Jik Hong, ia melihat isterinya itu membawa baskon ketaman
belakang dan diam2 ia telah menguntitnya, ia menyaksikan Jik Hong menyembunyikan
Kiam-boh kedalam lubang dinding didalam kamar pojok taman sana.....
Sungguh Jik Hong gegetun setengah mati: "O, ayah yang bernasib malang, kitabmu
itu kembali jatuh lagi ditangan Kongkong dan Ban-long, untuk merebutnya kembali
terang akan maha sulit. Baiklah, aku mengaku salah, memang Ban-long lebih lihay
daripadaku." Kemudian terdengar Ban Cin-san sedang berkata: "Wah, bagus sekali jika begitu,
lekaslah, lekas ambil kitab itu, dan kau boleh pura2 tidak tahu apa2 untuk
melihat bagaimana kelakuan isterimu itu, jika dia tidak singgung2 lagi, maka kau
juga tidak perlu katakan padanya. Aku justeru sangat curiga darimanakah
datangnya kitab ini, jangan2.......jangan2.........." ~ begitulah ia tidak melanjutkan
jangan2 apa" Maka Ban Ka telah berkata: "Tia!" ~ suaranya kedengaran sangat menderita.
"Ada apa?" sahut Cin-san.
"Sebabnya menantumu mencuri Kiam-boh itu, kiranya .......kiranya adalah untuk ......."
berkata sampai disini suaranya menjadi gemetar dan se-akan2 tersumbat.
"Untuk siapa?" Cin-san menegas.
"Kiranya adalah untuk......untuk sianjing keparat Go Him itu!" sahut Ban Ka
achirnya. Telinga Jik Hong serasa mendengung, hampir2 ia tidak percaya pada telinganya
sendiri. Hanya dalam hati ia berkata: "Perbuatanku itu adalah demi ayahku,
mengapa bilang untuk Go Him" Mengapa menuduh aku berbuat untuk Go Him?"
Begitulah Jik Hong merasa penasaran oleh tuduhan Ban Ka itu. Ia dengar Ban Cin-
san juga sangat heran dan kejut, orang tua itu telah tanya: "Untuk Go Him,
katamu?" "Ya," sahut Ban Ka. "Sesudah kulihat dia menyembunyikan Kiam-boh ditaman
belakang sana, dari jauh aku menguntitnya pula, siapa duga .......siapa duga setiba
diserambi situ, ternyata ia telah main kasak-kusuk dengan keparat Go Him,
perempuan .......perempuan jalang itu benar2 tidak tahu malu lagi!"
"Tapi selama ini aku melihat tingkah-lakunya toh sangat baik dan sopan, tidak
mirip seorang yang kotor seperti itu, apa kau tidak salah lihat" Dan apa yang
dibicarakan oleh mereka?" demikian kata Ban Cin-san dengan ragu2.
"Anak kuatir dipergoki mereka, maka tidak berani terlalu mendekat, pula
diserambi sana tiada tempat sembunyi, terpaksa aku mengumpet diujung tembok
untuk mendengarkan," tutur Ban Ka. "Tapi suara percakapan sepasang anjing laki-
perempuan itu sangat lirih, aku tidak dapat mendengar seluruhnya, hanya sebagian
saja dapat kudengar dengan jelas."
"O," Cin-san bersuara, katanya: "Sudahlah, Ka-ji sabarlah dulu. Seorang laki2
masakah kuatir tidak bisa mendapat isteri lagi" Sesudah Kiam-boh itu dapat kita
temukan, pula bila rahasia didalam Kiam-boh sudah kita pecahkan, dalam sekejap
saja kita akan menjadi kaya-raya sekaligus kau ingin membeli seratus orang
isteri dan seribu selir juga sangat gampang. Nah, duduklah kau, bicaralah dengan
pelahan2." Lalu terdengar suara "krak-krek" papan ranjang, Ban Ka telah duduk ditepi tempat
tidur itu, kemudian berkata pula dengan napas ter-engah2. "Sesudah perempuan
jalang itu selesai menyembunyikan kitab, rupanya ia sangat senang, bahkan ber-
nyanyi2 kecil segala. Ketika ketemu gendaknya, yaitu sikeparat Go Him, segera
binatang she Go itu cengar-cengir dan berkata padanya: 'Suso, tengah malam nanti
jangan lupa, lho! Aku menanti engkau digudang kayu sana!" ~ ucapan ini dengan
terang dapat kudengar dengan baik, sedikitpun tidak salah."
"Dan, bagaimana lagi jawab perempuan jalang itu?" tanya Cin-san.
"Dia.......dia mendamperat: 'Kau cari mampus, besar amat nyalimu, apakah kau sudah
bosan hidup!'" tutur Ban Ka.
Sungguh hancur hati Jik hong mendengar cercaan pada dirinya itu, ia tidak tahu
mengapa mereka mempitenah orang baik2" Padahal ia berbuat, demi kepentingan sang
suami dan ingin merebut obat penawar untuk meneymbuhkan lukanya, tapi sang suami
malah menistanya secara begitu keji, sungguh lelaki yang tidak punya Liangsim,
demikian pikir Jik Hong. Ia dengar Ban Ka sedang melanjutkan ceritanya lagi: "Sesudah kudengar percakapan
mereka itu, sungguh hatiku sangat panas, kalau bisa sungguh aku ingin menubruk
maju dan bunuh kedua anjing laki dan perempuan itu. Tapi aku tidak membawa
senjata, apalagi dalam keadaan terluka, aku tidak dapat menempur mereka secara
terang2an, segera aku lari kembali kekamar agar sesudah perempuan jalang itu
pulang kekamar takkan mencurigai diriku. Dan apa yang dibicarakan sepasang
anjing laki dan perempuan itu selanjutnya aku tidak tahu lagi."
"Hm, bapa anjing tidak nanti melahirkan puteri harimau, dasar sekeluarga she Jik
mereka itu adalah manusia2 rendah semua," demikian Cin-san memaki. "Baiklah kita
pergi mengambil dulu Kiam-boh itu, kemudian kita menjaga diluar gudang kayu
untuk menangkap basah perbuatan hina sepasang anjing laki-perempuan itu, lalu
habiskan jiwa mereka."
"Rupanya perempuan jalang itu sudah tidak seranti ditunggu oleh gendaknya, maka
jauh sebelum tengah malam sudah keluar sejak tadi," kata Ban Ka. "Sementara ini
mungkin.......mungkin sedang......" ~ saking geregetan barangkali hingga terdengar
giginya berkrutukan. "Jika begitu, sekarang juga kitapun berangkat kesana," ujar Cin-san. "Bawalah
senjata, tapi kau jangan turun tangan, biar aku mengutungi kaki dan tangan
mereka dulu, kemudian kau sendiri menghabiskan nyawa sepasang anjing laki-
perempuan itu." Lalu kelihatan pintu kamar dibuka, sambil memayang Ban Ka, Ban Cin-san membawa
puteranya itu menuju ketaman belakang.
Sembari bersandar ditembok, sungguh pedih sekali hati Jik Hong, air matanya
bercucuran bagai hujan. Maksudnya ingin luka sang suami bisa lekas sembuh, siapa
tahu sang suami berbalik mencurigai dirinya berbuat serong. Sedangkan ayahnya
sejak menghilang tidak pernah kembali lagi. Tik Hun telah merana entah kemana
dengan menanggung penasaran tanpa berdosa, dan kini......kini sang suami bersikap
demikian pula padanya, penghidupan seperti ini entah bagaimana nasib
selanjutnya" Begitulah ia merasakan kekosongan hati, sungguh ia tidak ingin hidup lagi, sama
sekali tiada pikirannya buat memberi penjelasan pada sang suami atau minta
dikonfrontir dengan Go Him sebagai saaksi, seketika ia cuma merasa badannya
lemas dan bersandar didinding.
Selang tidak lama, tiba2 terdengar suara tindakan orang, Ban Cin-san dan Ban Ka
telah kembali diruangan duduk, mereka sedang berunding pula.
"Tia," demikian Ban Ka lagi berkata, "kenapa kita tidak bunuh Go Him saja
digudang kayu tadi?"
"Didalam gudang hanya terdapat Go Him sendiri," sahut Cin-san dengan suara
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rendah, mungkin perempuan jalang itu telah tahu gelagat jelek, maka sudah merat
sendiri lebih dulu. Jika kita takbisa menangkap basah perbuatan kotor mereka,
mana boleh kita sembarangan membunuh orang mengingat kita adalah keluarga
terkemuka dikota Hengciu sini" Kau harus tahu sesudah kita mendapatkan Kiam-boh,
masih banyak pekerjaan penting lain yang harus kita lakukan dikota ini, maka
kita harus sabar, jangan terburu napsu hingga menggagalkan usaha besar kita!"
"Habis, apakah kita antepin saja urusan ini?" tanya Ban Ka. "Dan cara bagaimana
dendam anak ini harus dilampiaskan?"
"Untuk melampiaskan dendam apa sih susahnya?" uyar Cin-san. "Kita dapat gunakan
cara lama!" "Cara lama?" Ban Ka menegas.
"Ya, cara lama! Cara kita mengerjakan Jik Tiang-hoat dulu!" kata Cin-san. Ia
merendek sejenak, lalu sambungnya pula: "Sementara ini kau kembali kekamar dulu,
sebentar aku akan mengumpulkan para anak murid dan kau boleh datang bersama
mereka keluar kamarku. Hati2lah, jangan sampai menimbulkan curiga orang."
Sebenarnya pikiran Jik Hong sedang kusut tak keruan, ia sudah putus asa, yang
masih terasa berat olehnya adalah puterinya yang masih kecil itu. Dan demi tiba2
mendengar Ban Cin-san menyatakan hendak "menggunakan cara lama dikala mereka
mengerjakan Jik Tiang-hoat dahulu" terhadap Go Him, seketika otaknya seperti
dikompres dengan es, dengan segera pikirannya jernih kembali, sekilas timbul
suatu pertanyaan dalam benaknya: "Dengan cara apakah mereka telah mengerjakan
ayahku dahulu?" Ia pikir hal ini diselidikinya hingga terang. Dan sebentar Kongkongnya akan
mengumpulkan para anak muridnya, kemanakah ia harus bersembunyi"
Sementara itu terdengar Ban Ka sedang mengiakan perintah ayahnya, lalu melangkah
pergi. Kemudian Ban Cin-san menuju keluar, ia berseru menyuruh pelayan
menyalakan pelita dan mengundang para muridnya.
Tidak lama kemudian dari sana-sini terdengarlah suara berisik para muridnya yang
sedang mendatangi untuk berkumpul. Jik Hong tahu bila tinggal lebih lama disitu,
tentu akan ada orang lalu diluar jendela dan mempergoki jejaknya. Sesudah ragu2
sejenak, terus saja ia menyelinap masuk kedalam kamarnya Ban Cin-san. Ia singkap
seperei yang menutupi kolong ranjang, lalu menyusup kebawah. Dengan begitu, asal
tiada orang menyingkap seperei yang menjulur hampir ketanah itu, tentu tiada
seorangpun yang dapat mempergoki jejaknya.
Ia bertiarap melintang dikolong ranjang, tidak lama kemudian tertampaklah ada
sinar pelita merembes masuk melalui bawah seperai, ada orang masuk dengan
membawa pelita. Ia melihat sepasang kaki yang bersepatu ikut melangkah masuk,
itulah kakinya BanCin-san. Sesudah kaki itu melangkah disamping kursi, lalu
terdengar suara berkeriut perlahan, Ban Cin-san telah duduk diatas kursi. Lalu
terdengarlah ia memerintahkan pelayan keluar dan menutup pintu kamar.
Tidak lama, terdengar suara Loh Kun berseru diluar kamar. "Suhu, kami sudah
datang semua, silakan Suhu memberi perintah."
"Ehm, bagus! Nah, kau boleh masuk dulu," sahut Ban Cin-san.
Segera Jik Hong melihat pintu kamar didorong, sepasang kakinya Loh Kun tampak
melangkah masuk, kemudian pintu kamar dikancing lagi.
"Ada musuh telah mendatangi rumah kita, apakah kau tak tahu?" demikian Cin-san
mulai bertanya. "Siapakah musuh itu" Tecu tidak tahu," sahut Loh Kun.
"Orang itu menyaru sebagai seorang tabib kelilingan, bahkan sudah pernah datang
kemari," ujar Ban Cin-san.
Diam2 Jik Hong terkejut: "Masakah dia mengenali siapakah gerangan sitabib itu?"
Maka terdengar Loh Kun sedang menjawab: "Tecu telah mendengar juga hal itu dari
Go-sute. Dan siapakah musuh itu sebenarnya?"
"Orang itu dalam keadaan menyamar, aku tidak melihat dengan sendiri, maka aku
belum dapat meraba asal-usulnya," kata Cin-san. "Maka besok pagi2 hendaklah kau
menyelidiki kesekitar utara kota, kemudian melapor padaku hasilnya. Sekarang kau
keluar dulu, sebentar aku akan memberi tugas lain lagi."
Loh Kun mengiakan, lalu keluar kamar.
Ber-turut2 Ban Cin-san memanggil pula murid keempat Sun Kin dan murid kelima Bok
Heng, apa yang dikatakan pada mereka pada garis besarnya serupa tadi. Hanya saja
Sun Kin ditugaskan kesekitar selatan kota dan Bok Heng menyelidiki timur kota.
Dikala memberi pesan pada Bok Heng sengaja ditambahkannya: "Go Him akan
menyelidiki barat kota, Pang Tan dan Sim Sia akan memberi bantuan dimana perlu.
Sedangkan Ban-suko kalian masih sakit, ia takbisa ikut keluar."
"Ya, Ban-suko memang perlu istirahat dulu," demikian sahut Bok Heng, lalu
membuka pintu dan keluar kamar.
Sudah tentu Jik Hong tahu apa yang dikatakan Ban Cin-san itu sengaja hendak
diperdengarkan kepada Go Him agar pemuda itu tidak menaruh curiga apa-apa.
Maka terdengarlah Ban Cin-san sedang memanggil pula: "Go Him masuk!" ~ suaranya
tetap tenang dan ramah, sama seperti memanggil Loh Kun dan lain-lain.
Jik Hong melihat pintu kamar terbuka lagi, kaki kanan Go Him melangkah masuk
dulu, tampaknya agak ragu2 sedetik, tapi achirnya masuk juga. Ia melangkah maju
kedepan Ban Cin-san dan menunggu perintah.
Dari tempat sembunyinya Jik Hong melihat jubah Go Him bagian bawah itu agak
keder sedikit, suatu tanda dalam hati Go Him sangat ketakutan, maka tubuhnya
agak gemetar. Maka terdengar Ban Cin-san sedang bertanya: "Kita kedatangan musuh, kau tahu
tidak?" "Tecu sudah mendengar uraian Suhu barusan diluar kamar, katanya adalah tabib
kelilingan itu," sahut Go Him. "Orang itu adalah Tecu yang mengundangnya kemari
untuk mengobati Ban-suko, sungguh tidak nyana bahwa dia adalah musuh kita, harap
Suhu suka memberi maaf."
"Orang itu menyamar, pantas juga kalau kau tidak tahu," ujar Cin-san. "Nah,
besok pagi kau pergi kesekitar barat kota untuk menyelidiki, jika ketemukan
jejaknya, harus kau mengawasi gerak-geriknya."
"Ya, Suhu!" sahut Go Him.
Se-konyong2 Jik Hong melihat kedua kaki Ban Cin-san bergerak, mendadak orangnya
berdiri, tanpa merasa Jik Hong menyingkap sedikit seperai ranjang untuk
mengintai keluar. Tapi sekali mengintip, seketika ia kaget setengah mati,
hampir2 saja ia menjerit.
Ternyata adegan didalam kamar itu membuatnya terbelalak kesima. Ia melihat kedua
tangan Ban Cin-san lagi mencekik leher Go Him dengan keras dan Go Him baru saja
ulur tangan sendiri hendak melawan, namun sudah keburu tidak berdaya karena kena
dicekik. Ia melihat kedua mata Go Him itu mendelik, makin lama makin mencotot
keluar hingga mirip mata ikan emas. Telapak tangan Ban Cin-san terluka kena
cakaran kuku Go Him, tapi ia mencekik se-kuat2nya, betapapun ia tidak mau lepas
tangan. Lambat-laun kedua tangan Go Him mulai terbuka dengan lemas, ia tak mampu
berkutik lagi. Sampai achirnya Jik Hong melihat lidah Go Him juga menjulur keluar, makin lama
makin panjang, keadaannya sangat mengerikan, keruan hati Jik Hong ber-debar2
hebat. Selang sebentar lagi, pelahan2 Ban Cin-san mengendurkan cekikannya, ia sandarkan
Go Him diatas kursi. Rupanya ia sudah sediakan apa yang perlu, maka ia telah
ambil dua carik kertas kapas yang sudah dibasahi dulu dengan air, lalu ditutup
diatas mulut dan hidung Go Him. Dengan demikian pemuda itu takkan dapat
bernapas, dan dengan sendirinya juga takkan siuman untuk selamanya.
Diam2 Jik Hong memikir: "Kongkong pernah berkata bahwa keluarga mereka adalah
kaum terkemuka dikota Hengciu sini, tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan
ayahnya Go Him kabarnya adalah hartawan disekitar kota, tentu urusan ini takkan
selesai sampai disini saja, akibatnya tentu akan geger kelak."
Dan pada saat itu juga, tiba2 terdengar suara bentakan Ban Cin-san: "Bagus
sekali perbuatanmu, hayolah lekas kau mengaku terus terang, apakah perlu aku
hajar kau dahulu?" Semula Jik Hong kaget sebab mengira jejaknya telah diketahui orang tua itu, tapi
mendadak terdengar, suaranya Go Him lagi menjawab: "Suhu, engkau suruh aku
meng.......mengaku apakah?"
Sungguh kejut Jik Hong tak terkatakan, sudah jelas dilihatnya Go Him sudah
menggeletak diatas kursi tanpa bernyawa lagi, masakah sekarang bisa bicara pula"
Apakah pemuda itu telah hidup kembali" Tapi toh jelas kelihatan bukan begitu
halnya, Go Him masih tetap bersandar dikursi tanpa bergerak sedikitpun.
Waktu Jik Hong mengintip pula, ia melihat bibir Ban Cin-san sendiri yang sedang
bergerak, ia menjadi heran. "Ha, jadi Kongkong yang lagi bicara" Tapi sudah
terang tadi itu adalah suaranya Go Him."
Maka didengarnya pula Ban Cin-san telah membentak lagi: "Mengaku apa" Hm, jangan
kau berlaga pilon. Kau sekongkol dengan musuh dan bermaksud mengerjakan sesuatu
kejahatan dikota Hengciu ini, apa kau masih berani mungkir?"
"Su.......Suhu, keja......kejahatan apakah?" demikian suaranya Go Him.
Dan sekali ini Jik Hong dapat melihat dengan jelas dan nyata, memang betul Ban
Cin-san sedang bicara sendiri dengan menirukan suaranya Go Him, pintar amat cara
menirukannya itu hingga serupa benar.
"Kiranya Kongkong masih mempunyai kepandaian simpanan dalam hal menirukan suara
orang, mengapa selama ini aku tidak tahu. Apakah maksud tujuannya dengan
menirukan suara ucapan Go Him ini?" demikian tanda2 tanya yang timbul dalam hati
Jik Hong. Dalam lubuk hatinya yang dalam sana lapat2 teringatlah sesuatu
olehnya, tapi itu hanya sesuatu yang samar2 yang belum dapat dipelajari dengan
baik. Dalam hati kecilnya timbul semacam rasa kuatir yang susah dimengerti.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang berkata pula dengan suara keras:
"Hm, kau sangka aku tidak tahu, ya" Kau telah sekongkol dengan tabib kelilingan
yang kau bawa kemari itu, orang itu adalah seorang penjahat besar, kau sekongkol
dengan dia hendak menggerayangi ........."
"Menggerayangi apa, Suhu" Tecu benar2 tidak tahu?" demikian ia tirukan suaranya
Go Him. Habis itu kembali dengan suara sendiri Cin-san membentak: "Kau hendak
menggerayangi kantor Leng-tihu untuk mencuri sesuatu dokumen rahasia, betul
tidak" Ha, masih kau berani mungkir?"
"Su......... Suhu, darimanakah engkau mendapat tahu" Suhu, sudilah meng...... mengingat
hubungan baik kita selama ini, am.......ampunilah perbuatanku ini, lain...... kali Tecu
tidak berani lagi." "Hm, urusan sebesar ini, masakah begini gampang mengampuni kau?"
Setelah diperhatikan, Jik Hong merasa suara Go Him yang ditirukan Ban Cin-san
itu sebenarnya tidak terlalu mirip, cuma ia sengaja menahan suaranya hingga
kedengarannya agak samar2, bahkan setiap kalimat selalu ditambahi panggilan
"Suhu" dan ber-ulang2 menyebut "Tecu", maka bagi pendengaran orang diluar kantor
dengan sendirinya menyangka memang betul adalah Go Him yang sedang bicara.
Apalagi dengan nyata semua orang menyaksikan Go Him masuk kedalam kamar serta
mendengar percakapan mereka, walaupun suara selanjutnya agak sedikit berlainan,
namun selain Go Him masakah didalam kamar itu masih ada orang lain lagi?"
Begitulah pelahan2 Ban Cin-san lantas mengangkat mayatnya Go Him, ia berjongkok
untuk menyingkap seperai yang menutup kolong ranjang itu.
Keruan Jik Hong ketakutan setengah mati bila kepergok oleh bapa mertuanya.
Sambil menahan napas ia menantikan apa yang akan terjadi. Dibawah sinar pelita
yang remang2 ia melihat sebuah kepala orang menyusup dulu kekolong ranjang,
itulah kepalanya Go Him dengan matanya yang mendelik bagai mata ikan mas. Karena
mayat Go Him itu terus dijejalkan kekolong ranjang oleh Cin-san, terpaksa Jik
Hong menggeser sedapat mungkin, namun badannya toh saling dempel juga dengan
mayat itu. Dalam pada itu sandiwara Ban Cin-san masih main terus, terdengar ia berkata:
"Nah, Go Him, apakah kau tidak lekas berlutut" Segera akan kuringkus kau untuk
diserahkan kepada Leng-tihu, apakah beliau akan mengampuni kau atau tidak,
itulah aku tidak berani menjamin."
"Suhu, apakah engkau benar2 tidak dapat mengampuni Tecu?" demikian suara Go Him
tiruan. Maka Cin-san menjawab: "Hm, mempunyai murid seperti kau, pamorku sudah kau bikin
ludas, masakah masih ingin aku mengampuni kau?"
Lalu Jik Hong melihat orang tua itu mengeluarkan sebilah belati dari bajunya,
pelahan2 Cin-san menikam kedada sendiri. Tapi didalam baju dibagian dada itu
entah sudah diganjal dengan gabus atau benda lain yang empuk maka begitu belati
ia ditusukan, segera menancap tegak disitu.
Dan baru saja Jik Hong tahu apa yang bakal terjadi, benar juga segera terdengar
suara bentakan Ban Cin-san: "Masih kau tidak mau berlutut?"
Menyusul ia menirukan suara Go Him: "Suhu, engkaulah yang terlalu mendesak
padaku, kau tidak dapat menyalahkan aku lagi!"
Dan mendadak Ban Cin-san berteriak: "Aduuuuh!" berbareng ia tendang daun jendela
hingga terpentang sambil berteriak pula: "Bangsat kecil, kau......kau berani
menyerang gurumu?" Segera terdengarlah suara gedubrakan, pintu kamar telah didobrak Loh Kun dan
lain2 dari luar dan be-ramai2 mereka lantas menyerbu kedalam kamar. Mereka
melihat sang guru lagi memegangi dada, dari celah2 jarinya merembes keluar air
darah (besar kemungkinan adalah tinta merah yang sudah dipegangnya lebih dulu).
"La........lari kesana! Bangsat kecil itu sudah lari sesudah menikam aku satu kali!"
demikian seru Ban Cin-san dengan suara ter-putus2 dan agak sempoyongan. Le......
lekas kejar, ke.....kejar!" ~ dan habis itu, segera iapun jatuhkan dirinya diatas
ranjang. Ban Ka pura2 kuatir, ia ber-teriak2: "Tia-tia! Tia-tia! Parah tidak lukamu?"
Dalam pada itu Loh Kun, Sun Kin, Bok Heng, Pang Tam dan Sim Sia berlima sudah
lantas melompat keluar jendela dan menguber sambil mem-bentak2. Seisi rumah sama
terkejut juga hingga geger.
Jik Hong yang sembunyi dikolong ranjang itu merasa mayat Go Him lambat-laun
mulai dingin. Ia sangat takut, tapi sedikitpun tidak berani bergerak. Ia tahu
Kongkong masih merebah diatas ranjang dan sang suami juga berdiri didepan
ranjang situ. Maka terdengarlah Ban Cin-san sedang bertanya dengan suara rendah: "Ada orang
menaruh curiga tidak, Ka-ji?"
"Tidak," sahut Ban Ka. "Sungguh mirip benar permainan ayah. Sama seperti waktu
membunuh Jik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara."
"Sama seperti waktu membunuh Jik Tiang Hoat, sedikitpun tidak kentara", kata2
ini seperti sebilah belati tajam yang menikam ulu hati Jik Hong.
Memangnya lapat2 sudah timbul firasat tidak enak dalam hatinya, cuma saja ia
masih tidak percaya akan kemungkinan itu. Ia pikir: "Selamanya Kongkong toh
sangat ramah-tamah padaku, suami juga sangat baik dan mencintai aku, masakah
mungkin mereka membunuh ayahku?"
Dengan sembunyi dikolong ranjang, Jik Hong dapat mengikuti Ban Cin-san membunuh
muridnya sendiri, yaitu Go Him, dengan secara licik. Ternyata bapa mertua itu
pandai pula menirukan suara orang lain. Seketikan Jik Hong teringat kepada
kejadian ayahnya dahulu, apa barangkali ayahnya juga telah menjadi korban
kelicikan Ban Cin-san itu"
Tapi sekarang ia telah mendengar dan melihat sendiri, dengan rapi mereka telah
atur perangkap untuk membunuh Go Him. Pantas tempo dulu iapun mendengar suara
ayahnya yang sedang bertengkar dengan Ban Cin-san didalam kamar, kemudian
melihat Ban Cin-san terluka oleh tikaman ayahnya serta melihat daun jendela
terbuka, ayahnya tentu sudah kabur melalui situ. Dan sekarang sudah jelas
duduknya perkara, semuanya itu adalah sandiwara belaka yang sengaja diatur oleh
Ban Cin-san. Pada waktu itu ayahnya tentu sudah dibunuh olehnya, lalu Ban Cin-
san menirukan suara ayahnya, pantas waktu itu suara ayahnya kedengaran agak
serak berbeda daripada biasanya. Dan rupanya memang sudah takdir ilahi bahwa
kejahatan Ban Cin-san itu harus tamat riwayatnya, secara kebetulan sekarang ia
sembunyi dikolong ranjang hingga dengan mata kepala sendiri menyaksikan adegan
yang mengerikan itu. Coba kalau tidak melihat sendiri, siapa orangnya yang mau
percaya" Begitulah maka terdengar Ban Ka lagi bicara: "Dan perempuan hina itu, bagaimana
harus ditindak" Apakah kubiarkan begitu saja?"
"Sabar dulu, pelahan2 kita dapat bereskan dia," ujar Cin-san. "Harus kita
lakukan dengan tak diketahui orang dan tak dilihat setan supaya tidak merusak
nama baik keluarga Ban dan mencemarkan pamor kita berdua."
"Ya, memang cara berpikir ayah sangat rapi," sahut Ban Ka. Dan tiba2 ia
menjerit: "Aduuuh........"
"Ada apa?" tanya Cin-san cepat.
"Luka ditangan anak ini kembali kesakitan lagi," kata Ban Ka.
"O!" Cin-san bersuara. Dan dalam hal ini memang dia sama sekali tak berdaya.
Bicara tentang luka Ban Ka itu, Jik Hong lantas ingat obat penawar yang berada
pada Go Him itu. Pelahan2 ia ulur tangannya untuk menggerayangi bajunya Go Him,
ia merasa botol porselin kecil itu masih berada didalam sakunya, segera ia
mengambilnya dan dimasukan dalam baju sendiri. Dengan rasa pilu ia memikir:
"Ban-long, o, Ban-long, hanya separoh pembicaraan keparat Go Him ini yang kau
dengar dan kau sudah lantas mendakwa aku berbuat serong dan sebab itu juga kau
tidak dengar bahwa obat penawar berada pada keparat ini. Sesudah dia dibunuh
oleh ayahmu, sebenarnya dengan tanpa susah2 kau dapat mengambil obat penawar
ini, tapi toh kalian tidak tahu.
Sementara itu karena tidak menemukan bayangan Go Him, tidak lama kemudian Loh
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kun dan lain2 telah pulang juga satu-persatu serta datang pada Ban Cin-san untuk
tanya keadaan sang guru itu.
Waktu itu Ban Cin-san sudah membuka baju hingga dadanya telanjang, tampak kain
pembalut membelebat dari leher memutar kedada, melingkar kepunggung, lalu
membalut kembali kedada dan naik lagi keleher.
Sekali ini lukanya tidak begitu parah seperti dahulu. Habis, ilmu silat Go Him
tidak mungkin lebih lihay daripada paman gurunya ~ Jik Tiang Hoat. Walaupun
tikamannya itu cukup hebat, tapi tidak membahayakan. Demikian permainan
sandiwara Ban Cin-san. Dan sudah tentu para muridnya sangat lega melihat sang guru tidak berbahaya
lukanya, mereka sama mencaci-maki pada Go Him yang dikatakan manusia durhaka dan
murtad, semuanya menyatakan besok akan pergi mencari orang-tuanya untuk diajak
bikin perhitungan, mereka mengharap sang guru merawat diri baik2, lalu
mengundurkan diri. Hanya tinggal Ban Ka yang masih duduk ditepi ranjang untuk
menjaga ayahnya. Yang gelisah adalah Jik Hong, ia ingin mencari suatu kesempatan untuk lari
keluar, ia meringkuk disebelah mayat Go Him, rasanya muak dan sebal, maka
sedapat mungkin ingin lekas pergi, tapi kuatir pula kalau diketahui oleh Ban
Cin-san berdua, sama sekali ia tiada akal untuk meloloskan diri.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san lagi bicara: "Kita harus bereskan dulu
mayatnya, jangan sampai rahasia kita diketahui orang."
"Apakah akan dibereskan seperti caranya Jik Tiang-hoat?" tanya Ban Ka.
Cin-san memikir sejenak, lalu katanya: "Ya, lebih baik dengan cara lama itu."
Jik Hong meneteskan air mata pedih, katanya didalam hati. "Dengan cara
bagaimanakah mereka telah kerjakan ayahku?"
"Apakah akan dipasang disini" Ayah tidur disini, apakah tidak merasa risi?"
tanya Ban Ka. Sementara boleh aku pindah kekamarmu," sahut Cin-san. "Yang kukuatirkan yalah
mungkin masih akan timbul sesuatu yang sulit, masakah orang begitu baik hati
menghantarkan kembali Kiam-boh ini kepada kita" Maka kita berdua harus bersatu-
padu untuk melawan musuh. Kelak kalau kita sudah kaya-raya masak kuatir tidak
punya gedung yang lebih mentereng daripada ini?"
Ketika mendengar mayat Go Him akan "dipasang" disitu, seketika terkilas sesuatu
dalam benak Jik Hong, segera iapun paham duduknya perkara: "Ya, dia .......dia telah
pasang mayat ayahku didalam tembok. Dengan licin ia telah musnakan mayat ayahku,
pantas selama ini tiada kabar-berita tentang jejak ayahku. Pantas pula
Kongkong...... tidak, tidak, ia bukan Kongkong lagi, tapi jahanam Ban Cin-san itu
suka bangun ditengah malam untuk pasang tembok. Rupanya dia terlalu banyak berbuat kejahatan, pikirannya terganggu, maka telah kena penyakit tidur, dalam
tidurnya ia suka bangun untuk pasang tembok......"
Kemudian ia dengar Ban Ka sedang tanya: "Tia, sebenarnya apakah manfaat yang
berada pada Kiam-boh itu" Engkau mengatakan kita akan mendapatkan harta karun
hingga kaya-raya mendadak" Apa barangkali kitab ini bukan......bukan kitab ilmu
silat segala, tapi adalah sesuatu rahasia mengenai suatu partai harta karun
terpendam?" "Ya, sudah tentu bukan kitab ilmu silat, tapi yang dikatakan didalam Kiam-boh
itu adalah suatu tempat simpanan harta karun," sahut Cin-san. "Dahulu situa
bangka Bwe Liam-sing hendak mewariskan kitab itu kepada orang luar, hehe, benar2
tua bangka, masakah murid sendiri juga tak dipercayai. Eh, Ka-ji, lekas, lekas
kau ambil Kiam-boh itu."
Setelah ragu2 sejenak, kemudian Ban Ka mengeluarkan sejilid buku dari bajunya.
Kiranya sepeninggalnya Jik Hong dari kamar pojok taman itu, segera Ban Ka masuk
kesitu dan mengeluarkan kitab itu dari lubang dinding.
Kitab itu habis direndam oleh Jik Hong, maka sampulnya belum lagi kering. Ban
Cin-san menerima kitab itu sambil melirik sekejap pada puteranya itu, pikirnya:
"Barusan mengapa kau ragu2" Kenapa tak mau keluarkan kitab itu secara blak2an"
Apa kau hendak membohongi aku untuk mengangkangi sendiri kitab ini?"
Tapi sekarang ia tiada tempo buat menyelami pikiran sang putera itu, segera ia
mem-balik2 kitab itu satu halaman demi satu halaman.
Sesudah terendam sekian lamanya didalam air darah yang berbisa dibaskom itu,
kedua halaman sampul berikut beberapa halaman muka dan belakang dari kitab itu
sudah basah semua, tapi halaman2 bagian tengah masih tetap kering.
Maka dengan suara rendah Ban Cin-san telah berkata: "Kitab ini apakah dapat kita
pertahankan atau tidak sesungguhnya sulit dipastikan. Paling penting sekarang
kita harus menyelidiki rahasia yang tertulis didalam kitab ini, dan bila
kemudian kitab ini dirampas orang lagi, hal mana takkan menjadi soal bagi kita.
Nah, pergilah ambil sebatang potlot dan kertas, kita harus mencatatnya dengan
baik. Nah, kau juga harus apalkan jurus pertama dari Soh-sim-kiam-hoat berasal
dari syair 'Jun-kui' (Musim semi tiba pula) ciptaan To Hu (Tu Fu, penyair
tersohor dijaman dinasti Tong) ......"
Sembari berkata ia terus gunakan jarinya untuk mengambil ludah, lalu digunakan
membasahi halaman kitab yang tertulis syair To Hu itu, tiba2 ia berseru pelahan
kegirangan, katanya: "Ha, angka 'empat'! Empat.......empat.......bagus! Huruf keempat
adalah 'Kang', nah, catatlah yang betul. Dan jurus kedua berasal dari syair To
Hu pula yang berjudul 'Tiong-kang-ciau-leng'." ~ Kembali ia membasahi jari
dengan ludah dan lagi2 ia bersorak pelahan: "Ha, angka '51'. Nah, satu, dua,
tiga, empat, lima........." ~ begitulah ia menghitung terus satu huruf demi satu huruf
hingga huruf ke-51, dan ternyata jatuh pada huruf 'Leng'. "Ha, huruf 'Leng',
jadi 'Kang-leng', bagus. 'Kang-leng', kiranya memang betul adalah di Hengciu
sini." "Tiatia, hendaklah pelahan sedikit suaramu," kata Ban Ka ketika melihat ayahnya
menjadi lupa daratan saking girangnya.
Maka Ban Cin-san telah tersenyum, katanya: "Ya, benar, memang tidak boleh lupa
daratan saking senangnya. Nah, Ka-ji, jerih-payah ayahmu ini achirnya tidaklah
sia2, rahasia besar ini achirnya dapat kita ketemukan juga!"
Dan se-konyong2 ia menutup kembali halaman kitab itu, katanya dengan suara
tertahan: "Tapi, Ka-ji, sebab apakah musuh sengaja menghantarkan Kiam-boh ini
kepada kita, sekarang aku sudah tahulah!"
"Sebab apakah?" Hal mana sampai sekarang aku masih tidak paham," ujar Ban Ka.
"Ya, sebab setelah mendapatkan Kiam-hoat ini, tetap musuh tak dapat memecahkan
rahasia didalam kitab, dan dengan sendirinya tiada berguna, bukan?" kata Ban
Cin-san dengan ber-seri2. "Padahal Soh-sim-kiam-hoat kita setiap jurusnya
memakai nama yang berasal dari syair jaman Tong, dengan sendirinya orang dari
golongan lain takkan tahu hal ini. Didunia ini sekarang hanya aku dan Gian Tat-
peng yang ingat dengan baik nama2 jurus ilmu pedang kita. Hanya aku dan dia yang
tahu nama setiap jurus itu berasal dari syair yang mana. Seperti jurus pertama
harus mencarinya pada syair 'Jin-kui' dan jurus kedua harus mencari pada syair
'Tiong-kang-ciau-leng' dan begitu seterusnya."
"Tia, kenapa kau tidak pernah mengajarkan padaku?" demikian Ban Ka bertanya.
BanCin-san tampak agak kikuk oleh teguran itu, segera ia menjawab: "Habis aku
mempunyai delapan anak murid, setiap hari kalian berada bersama, kalau melulu
aku ajarkan padamu, tentu juga akan diketahui oleh mereka, dan itu berarti bikin
urusan runyam." "O, kiranya musuh mempunyai tipu muslihat tertentu, ia ingin kita menemukan
rahasia didalam kitab ini dan membiarkan kita pergi mencari harta karun itu,
kemudian ia akan menyergap kita, dengan demikian ia akan keduk keuntungannya
tanpa susah payah," demikian kata Ban Ka.
"Ya, memang betul terkaanmu," kata Cin-san. "Maka setiap tindakan kita harus
waspada, jangan sampai usaha kita sia2 belaka, jangan2 harta karun belum
diperoleh, tapi jiwa kita sudah melayang dulu ditangan musuh."
Kemudian itu menggunakan ludah pula untuk membasahi syair ketiga, katanya:
"Jurus ketiga dari Soh-sim-kiam-hoat kita berasal dari syair 'Song-ko-si'
ciptaan Ju Bek, angka kuncinya adalah '33' seperti apa yang sudah kelihatan ini,
nah, satu, dua, tiga, empat.......Ha, huruf tiga-puluh-tiga jatuh pada huruf 'Seng'
(kota). Eh, jadi lengkapnya adalah 'Kang-leng-seng' (kota Kang-leng atau
Hengciu). Aha, ini dia, memang benarlah, tidak salah lagi, apa yang mesti
disangsikan pula" He, kenapa tanganku ini terasa sangat gatal?"
Begitulah tiba2 ia merasa punggung tangan kirinya sangat gatal, segera ia kukur2
dengan tangan kanan. Tapi punggung tangan kanan ikut terasa gatal pula, cepat ia
garuk2 lagi dengan tangan kiri dan begitulah secara ber-ulang2, ia kukur2 sini
dan garuk sana. Sesudah kukur2 dan garuk2, sebenarnya Ban Cin-san tidak ambil perhatian, kembali
ia membaca isi Kiam-boh pula dan berkata: "Dan jurus keempat ini..........he, gatal
benar?" ~ dan kembali ia kukur2 tangan kiri. Tapi sekali ini ia coba periksa
tangan itu, ia melihat punggung tangan disitu terdapat beberapa jalur bekas
tinta hitam, keruan ia heran, ia merasa tidak pernah menulis, kenapa tangannya
terpercik noda tinta"
Sementara itu ia merasa tangannya semakin gatal, waktu ia periksa tangan kanan,
disitu juga terdapat beberapa jalur bekas tinta bak yang silang melintang tak
keruan. "Ha, ayah, dari........darimanakah noda hitam diatas tanganmu itu?" demikian teriak
Ban Ka tiba2. "Tampaknya tanda itu seperti terkena racun ketungging Gian Tat-
peng itu?" Ban Cin-san tersadar oleh ucapan puteranya itu, ia merasa tangannya semangkin
gatal, tanpa merasa ia garuk2 lagi kesana dan kesini.
"Wah, jang.........jangan digaruk, racun itu berasal dari kukumu itu," seru Ban Ka.
"Ai, memang benar!' segera Ban Cin-san juga berteriak. Iapun sadar seketika,
katanya: "Ya, karena Kiam-boh ini direndam didalam air darah berbisa oleh
siperempuan jalang itu, dengan sendirinya kitab inipun mengandung racun jahat
itu. Ai, ku....... kurangajar sikeparat Go Him itu, mati saja tidak rela hingga
tanganku kena dicakarnya sampai terluka, dan sekarang racun ketungging telah
masuk melalui luka ini, rasaku menjadi risi, tapi agaknya tidak apa2........Aduuuh,
kenapa makin lama semakin sakit. Auuuuuh, aduuuuh!" ~ begitulah saking tak tahan
achirnya ia me-rintih2 kesakitan.
"Tia, agaknya racun ketungging yang masuk ditanganmu itu, tidak banyak, biarlah
kuambilkan air untuk dicuci," ujar Ban Ka.
"Ya, benar!" sahut Ban Cin-san. Dan mendadak ia berseru: "Tho Ang! Tho Ang!
Ambilkan air!" Ban Ka mengkerut kening, ia pikir: "Ayah barangkali sudah pikun" Sudah lama Tho
Ang telah diusir olehnya sendiri, kenapa sekarang me-manggil2?"
Segera iapun mengambil sebuah baskom, dengan cepat ia menuju ketepi sumur, ia
menimba air satu baskom penuh, lalu dibawa masuk kekamar dan ditaruh diatas
meja. Terus saja Ban Cin-san masukan kedua tangannya untuk direndam didalam
baskom, dan memang benar kerendam air dingin, rasa sakit dan gatalnya menjadi
jauh berkurang. Diluar dugaan bahwa racun ketungging yang mengenai Ban Ka itu telah berubah
sifatnya, sesudah dibubuhi obat penawar satu kali, darah hitam yang merembes
keluar dari lukanya itu telah berubah sifatnya menjadi semacam racun lain jauh
lebih jahat daripada racun semula, apalagi tangan Ban Cin-san itu bekas luka
kena cakaran Go Him, luka cakaran itu tergurat cukup dalam hingga racun yang
meresap kesitupun jauh lebih cepat dan lebih berat.
Maka hanya sebentar saja ia merendam tangannya, segera air didalam baskom itu
berubah menjadi hitam, bahkan lambat-laun air hitam itu berubah menjadi ketat
hingga mirip tinta bak. Keruan Ban Cin-san saling pandang dengan Ban Ka, mereka sangat terkejut. Sejenak
kemudian, waktu Ban Cin-san mengangkat tangannya, mendadak ia menjerit kaget.
Ternyata kedua tangannya itu telah abuh se-akan2 menjadi dua bola, sekalipun
luka tangan Ban Ka yang disengat ketungging tempo hari juga tidak sejahat
sekarang ini. "Ai, celaka! Mungkin tidak boleh direndam didalam air!" seru Ban Ka.
Saking kesakitan Ban Cin-san menjadi mata gelap, "bluk", kontan ia tendang
pinggang Ban Ka sambil memaki: "Binatang, jika tahu tidak boleh direndam dengan
air, kenapa tadi kau mengambilkan air" Bukankah kau sengaja hendak bikin celaka
padaku?" Karena tendangan itu, saking kesakitan sampai Ban Ka menjengking meringis sambil
pegang pinggangnya. Katanya dengan suara ter-putus2: "Ak........akupun tidak tahu,
mana mungkin sengaja hendak bikin celaka pada ayah?"
Dengan jelas Jik Hong yang sembunyi dikolong ranjang itu dapat mengikuti
percekcokan ayah dan anak itu, tapi perasaannya waktu itu tak keruan rasanya,
entah merasa sedih atau girang, karena mengingat akan dapat menuntut balas.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san lagi ber-jingkrak2 sambil ber-teriak2: "Wah
bagaimana ini, bagaimana ini?"
"Dikamarku sana ada sedikit obat tahan sakit, meski takbisa memunahkan racun,
tapi dapat menghilangkan rasa sakit sementara, apakah ayah mau memakainya?" kata
Ban Ka. "Ya, ya! Lekas, lekas ambil sana!" sahut Cin-san.
"Tapi apakah manjur atau tidak, anak tidak berani menjamin, lho!" kata Ban Ka.
"Jangan2 tidak manjur, nanti ayah akan marah dan menendang aku lagi!"
"Maknya!" damperat Cin-san dengan gemas. "Bapakmu sudah hampir sekarat dan kau
masih merasa penasaran karena tendangan tadi" Kau diberi gegares hingga sebesar
cecongormu itu, hanya tendangan sekali saja apa salah" Bangsat, hayo lekas pergi
ambil, lekas!" Terpaksa Ban Ka mengiakan, lalu putar tubuh dan keluar.
Melihat diwaktu perginya sang putera masih mengunjuk sikap penasaran, diam2 Cin-
san merasa was-was. Ia lihat kedua tangan sendiri bukan main besarnya, mirip
pelembungan yang ditiup hingga penuh, kulit sebagian tangan itu sampai menitis,
kerut kisutnya sampai tak kelihatan lagi, kalau abuh lagi sedikit, bukan
mustahil bisa segera pecah.
"Marilah kita pergi bersama!" serunya segera kepada sang putera. Dengan demikian
ia pikir akan terhindar dari kemungkinan dipermainkan oleh puteranya sendiri.
Maka lebih dulu ia masukan Soh-sim-kiam-boh kedalam baju, lalu menyusul kearah
Ban Ka dengan langkah cepat.
Mendengar kedua orang itu sudah pergi jauh, segera Jik Hong merangkak keluar
dari kolong ranjang, pikirnya: "Kemana aku harus pergi sekarang?" ~ sesaat itu
ia menjadi bingung, ia merasa dunia seluas itu baginya se-akan2 sebesar daun
kelor dan tiada tempat berteduh baginya.
"Mereka telah membunuh ayahku, sakit hati ini masakah tak kubalas" Tapi dendam
sedalam lautan ini cara bagaimana harus membalasnya" Bicara tentang ilmu silat,
terang aku selisih sangat jauh dibandingkan Kongkong dan Ban-long, apalagi
mereka percaya penuh bahwa aku telah bergendak dengan Go Him, bukan mustahil
sekali bertemu dengan mereka pasti aku akan dibunuhnya, dan cara bagaimana aku
harus melawan mereka" Jalan satu2nya sekarang yalah........yalah pergilah mencari
dulu Tik-suko, bila sudah ketemu, tentu akan dapat dicari jalan yang sempurna
untuk menuntut balas. Dan bagaimana dengan Khong-sim-jay" Ai, mana boleh
kutinggalkan dara cilik itu?"
Begitulah demi teringat kepada puterinya yang masih kecil itu, ia menjadi tidak
tega tinggal minggat. Segera ia berlari keloteng dibelakang sana, ia bertekad
akan membawa puterinya itu untuk melarikan diri dan kelak baru akan dicari jalan
membalas dendam. Dalam hati kecilnya iapun tidak berani percaya seratus prosen
bahwa ayah dan anak she Ban itu benar2 adalah orang yang membunuh ayahnya.
Memang Ban Cin-san dikenalnya sebagai seorang manusia keji dan kotor. Tapi Ban
Ka" Suaminya selama ini sangat mencintainya, betapapun hubungan suami-isteri itu
susah diachiri begitu saja.
Ketika ia ber-lari2 sampai dibawah loteng, ia mendengar suara Ban Cin-san yang
serak sedang ber-teriak2 kalap. "Begitu berisik suaranya, tentu Khong-sim-jay
akan terjaga bangun dengan kaget," demikian pikir Jik Hong.
Cinta kasih ibu memang suci murni. Demi ingat kemungkinan puterinya akan terjaga
bangun dan kaget, tanpa pikirkan bahaya atas diri sendiri, segera Jik Hong naik
keatas loteng dengan pelahan2, dengan hati2 ia berusaha tidak mengeluarkan
suara. Kamar tidur Khong-sim-jay terpisah dibelakang kamar tidur suami-isteri mereka,
yaitu dipisah dengan selapis papan. Sesudah Jik Hong menyelinap kedalam kamar
itu, dari sinar pelita yang tembus dari kamar tidurnya sendiri, ia melihat
puterinya itu sudah lama terjaga bangun, dengan mata terbelalak dara cilik itu
kelihatan sangat ketakutan, dan begitu melihat ibundanya sudah datang, segera
bocah itu mewek2 hendak menangis.
Cepat Jik Hong memburu maju terus memeluknya kencang2, ia memberi tanda agar
bocah itu jangan bersuara.
Anak dara itu memang pintar dan menurut pula, benar juga ia lantas diam saja.
Maka ibu dan anak berdua lantas berkelonan diatas ranjang.
Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san sedang ber-teriak2: "Wah, celaka! Obat
tahan sakit ini makin membikin sakit malah, bagaimana baiknya ini" Hayolah lekas
cari tabib kampungan itu, harus memakai obat penawarnya itu baru dapat sembuh!"
"Ya, benar, harus memakai obatnya itu barulah racun itu bisa dipunahkan," Ban Ka
ikut berseru. "Nanti kalau sudah terang tanah, segera suruh Loh-toako dan lain2
keluar serentak untuk mencari tabib kampungan itu."
"Masakah mesti menunggu sampai terang tanah?" semprot Cin-san dengan gusar.
"Kenapa tidak........Aduuuh.........Aduuh.........Aduuuuh! Aku tak tahan, aku tak tahan!" ~ dan
mendadak ia terus terguling dilantai saking kesakitan sampai ia berkelojotan
kian kemari seperti orang sekarat. Dan mendadak ia berteriak pula. "Lekas, lekas
ambil pedang! Potong......potonglah kedua tanganku ini, lekas potong kedua
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tanganku!" Menyusul lantas terdengar suara gedubrakan dan gemerantang, suara jatuhnya meja
kursi dan pecah hancurnya perkakas rumah tangga sebangsa mangkok-cangkir. Dengan
ketakutan Khong-sim-jay peluk ibundanya dengan kencang, mukanya pucat. Tapi
pelahan2 Jik Hong telah meng-elus2 dara cilik itu agar jangan takut, namun iapun
tidak berani bersuara. Rupanya Ban Ka juga sangat gugup dan kuatir, terdengar ia sedang berkata: "Tia,
harap kau bisa tahan sebentar saja, masakah tanganmu boleh dipotong" Lebih baik
kita harus mencari obat penawarnya."
Mungkin Ban Cin-san sudah tidak tahan lagi oleh siksaan luka yang berbisa itu,
mendadak ia menjadi murka, bentaknya dengan mendelik: "Kenapa kau tidak mau
memotong kedua tanganku untuk membebaskan aku dari siksaan kesakitan" Ha,
tahulah aku, tentu kau......kau ingin aku lekas2 mati agar kau bisa ......bisa kangkangi
sendiri Kiam-boh ini, kau ingin mendapatkan harta karun itu sendirian......."
Ban Ka menjadi gusar juga karena dituduh secara tidak se-mena2, sahutnya: "Tia,
saking kesakitan hingga pikiranmu agak linglung, lebih baik engkau tidurlah
sebentar. Padahal bila engkau tidak memimpin dalam urusan ini, apa sih gunanya
aku mendapat Kiam-boh itu?"
"Hm, pikiranku linglung" Tapi pikiranmu sendiri sudah tidak bermaksud baik,"
sahut Cin-san sambil tiada hentinya berkelojotan kian kemari dilantai. "Aduuuh,
mati aku, sakitnya!.......Matilah aku........Ya, toh aku akan mati, biarlah kita bubar
pasar saja, kita semua takkan mendapatkan apa2!"
Mendadak matanya merah membara, segera ia mengeluarkan Kiam-boh itu dari
bajunya, lalu satu halaman demi satu halaman dirobeknya.
Keruan Ban Ka terkejut dan merasa sayang, cepat ia berseru: "Hai, jangan, jangan
disobek!" ~ Dan segera ia mencegahnya, terus saja ia pegang sebelah kitab itu,
Tapi Ban Cin-san masih pegang erat2 bagian lain dari kitab itu dengan mati2an,
betapapun ia tidak mau lepas.
Kiam-boh itu habis direndam didalam air berdarah, sebegitu jauh masih belum
kering, sekarang kena ditarik lagi oleh kedua orang, seketika kitab itu terobek
menjadi dua bagian. Ban Cin-san pegang separoh jilid dan Ban Ka juga memegang
setengah buku. Selagi Ban Ka tertegun oleh kejadian itu, kembali Ban Cin-san mulai me-robek2
lagi halaman kitab itu. Sudah tentu Ban Ka merasa berat kehilangan kitab itu, ia tidak rela harta karun
yang diimpikan oleh setiap orang itu akan lenyap begitu saja, segera ia
merangsang maju untuk merebut lagi bagian kitab ditangan ayahnya itu. Maka
terjadilah betot-membetot, achirnya saling gumul, dan kitab itu menjadi makin
kumal dan hancur ber-keping2.
Se-konyong2 Ban Ka menjerit: "Aduuuh, sakitnya!"
Kiranya setelah terjadi tarik dan betot dan achirnya saling gumul itu, tanpa
sengaja luka ditangan Ban Ka itu kena pula racun yang meresap didalam kitab itu.
Dan racun yang berada didalam kitab itu sungguh bukan main jahatnya, hanya
sekejap saja kedua tangan Ban Ka kembali abuh lagi seperti pelembungan, rasa
sakitnya yang menusuk ulu hati dan merasuk tulang itu benar2 susah ditahan.
Apalagi dasar ilmu silatnya selisih jauh kalau dibandingkan ayahnya, sehabis
sakit tentu tenaganya juga masih lemah. Sebab itulah, begitu racun itu masuk
kedalam lukanya dan meresap mengikuti aliran darah, maka kumatnya menjadi cepat
luar biasa. Jadi sekarang kedua orang ~ ayah dan anak ~ itu sama2 berkelojotan diatas lantai
sambil men-jerit2 ngeri. Sesudah mendengarkan agak lama, achirnya Jik Hong merasa tidak tega, betapapun
hubungan suami-isteri selama itu telah mendorongnya bertindak, ia tidak dapat
berpeluk tangan menonton saja. Segera ia berbangkit dari tempat tidur dan menuju
kepintu kamar. Melihat Ban Cin-san berdua masih ber-gulung2 dilantai, segera ia
menegur dengan dingin: "Ada apakah kalian" Kenapa bergulingan ditanah?"
Melihat Jik Hong, tiada tempo buat marah lagi bagi Ban Cin-san berdua. Segera
Ban Ka memohon: "Hong-moay, tolong, tolonglah lekas pergi mencari tabib
kampungan itu, mohonlah dia suka lekas meracikan obat penawarnya,
aduuuh........sungguh sakit sekali, aku tidak tahan lagi, mo.......mohon bantuanmu......."
Melihat keringat memenuhi jidat sang suami dengan menahan sakit, hati Jik Hong
semakin lemah lagi, tanpa pikir ia lantas mengeluarkan botol porselin kecil itu,
katanya: "Obat penawarnya berada disini!"
"Wah, bagus, bagus!" serentak Ban Cin-san dan Ban Ka berteriak girang bagaikan
orang tarik lotere 150 juta. Segera mereka me-ronta2 untuk merangkak bangun.
Melihat sorot mata Ba Cin-san yang menampilkan sifat buasnya binatang, Jik Hong
pikir kalau kesempatan ini tidak digunakan untuk memaksa pengakuannya, mungkin
kelak akan susah meyelidiki duduknya perkara sebenarnya. Maka ia lantas
membentak: "Tahan dulu, jangan bergerak! Asal kalian ada yang melangkah maju
satu tindak saja, segera obat penawar ini akan kulemparkan kedalam empang
dibawah sana, biar kita mati semuanya!" ~ Sembari berkata ia terus membuka daun
jendela dan membuka sumbat botol pula, ia angsurkan botol porselin itu keluar
jendela, asal dia lepas tangan, segera botol itu akan jatuh kedalam empang dan
obatnya akan buyar terkena air serta takbisa dicari lagi.
Ban Cin-san berdua menjadi mati kutu, benar juga mereka tidak berani sembarangan
bergerak, mereka terpaku ditempatnya sambil saling pandang.
"Eh, menantuku yang baik, asal kau memberikan obat penawar itu, aku berjanji
akan meluluskan kau ikut pergi bersama Go Him, sedikitpun aku takkan merintangi
kalian. Selain itu aku akan menghadiahkan pula seribu tahil sebagai modal untuk
kalian.......aduuh, sakit......dan ......dan Ka-ji juga takdapat menahan kau bila engkau toh
sudah ingin pergi, maka......maka kau boleh tak perlu kuatir."
Jik Hong pikir orang ini benar2 licin dan rendah tak kenal malu, sudah terang Go
Him telah dicekik mati olehnya sendiri, tapi masih digunakannya untuk menipu
orang. Sementara itu terdengar Ban Ka juga berkata padanya: "Ya, Hong-moay, meski aku
merasa berat, tapi jiwaku lebih penting, aku berjanji takkan membikin susah pada
Go Him." "Hm, hati kalian barangkali sudah beku, ya" Masakah masih mempunyai pikiran
jijik seperti itu?" jengek Jik Hong. "Aku hanya ingin tanya sesuatu pada kalian,
asal kalian mengaku dengan sejujurnya, segera aku akan memberikan obat penawar
ini." "Baik, baik! Lekas kau tanya, pasti akan kujawab. Aduuuuh, aduuuuuh!........."
demikian sahut Ba Cin-san sambil merintih.
Pada saat itulah tiba2 angin meniup kencang masuk dari jendela hingga sobekan
kertas yang berserakan dikantor itu bertebaran dan ada yang kabur keluar. Tiba2
sepasang kupu2 kertas itupun terbang keatas, itulah pola kupu2 guntingan Jik
Hong tempo dulu yang diselipkannya ditengah kitab itu. Karena angin meniup
terus, maka sepasang kupu2 kertas itupun se-akan2 terbang kian kemari dengan
hidup didalam kamar, Jik Hong menjadi pedih dan duka, terbayang olehnya suasana
gembira ria waktu dia bermain dengan Tik Hun didalam gua dimasa dahulu.
Dalam pada itu Ban Ka juga telah mendesak: "Ya, apa yang kau ingin tahu,
lekaslah tanya. Asal tahu tentu akan kukatakan terus terang."
Dan karena itu barulah Jik Hong tersadar dari lamunannya, katanya kemudian:
"Tentang ayahku. Dimanakah beliau" Apa yang telah kalian perbuat atas diri
beliau?" "Ayahmu, hehe, darimana aku tahu, bukankah dahulu ia telah melarikan diri?" ujar
Ban Cin-san dengan tertawa yang di-buat2. "Tentang saudara-seperguruanku itu,
aduuuh..........aku juga sangat terkenang padanya, auuh, ck-ck-ck........Ai, toh kita
sekarang juga sudah besanan, kan sangat baik toh?"
Begitulah sambil menjawab Ban Cin-san sembari ber-teriak2 kesakitan.
Tapi Jik Hong tidak bisa tertipu lagi, dengan muka masam ia menyemprot: "Huh,
masih berani kau berkata demikian" Ayahku sudah dibunuh oleh kau, betul tidak"
Cara kau membunuh beliau adalah sama seperti kau membunuh Go Him, betul tidak"
Dan kau telah masukan jenazahnya kedalam tembok, betul tidak?"
Ber-ulang2 tiga kali pertanyaan: "Betul tidak?" telah membuat Ban Cin-san dan
Ban Ka menjadi gelagapan dan terperanjat, sama sekali tak mereka duga bahwa Jik
Hong dapat mengetahui terbunuhnya ayahnya, bahkan terbunuhnya Go Him juga tahu.
Maka dengan suara tak lancar Ban Ka bertanya: "Da........darimana kau tahu?"
Dengan pertanyaan itu, sama saja Ban Ka telah mengakui segala kejadian itu
memang betul adanya. Dalam pedih dan gusarnya segera Jik Hong bermaksud melepaskan botol porselin
yang dipegangnya itu kedalam empang. Melihat gelagat jelek, segera Ban Ka
bermaksud menubruk maju untuk merebut kalau Ban Cin-san tidak keburu membentak
untuk mencegahnya. Dalam keadaan begitu, Cin-san tahu akan lebih runyam lagi
bila memakai kekerasan. Dan pada saat itu juga tiba2 sidara cilik Khong-sim-jay berlari keluar dari
kamarnya sambil berseru: "Ibu, ibu!"
Segera dara cilik itu bermaksud memburu kepangkuan ibundanya.
Sekilas Ban Ka mendapatkan akal, cepat ia sambar Khong-sim-jay sebelum dara
cilik berlari lewat disisinya, ia angkat bocah itu dan segera mencabut belati
mengancam diatas kepala puterinya sendiri itu sambil membentak: "Baiklah, kalau
mau mati, biarlah kita tua-muda seisi rumah ini mati bersama saja, sekarang
biarlah kubunuh Khong-sim-jay dulu!"
Keruan Jik Hong kaget, puterinya itu merupakan mestika jiwanya, cepat ia
berseru: "Jangan! Lekas lepaskan dia, apa sangkut-pautnya dengan bocah yang tak
berdosa itu?" "Ya, toh kita semua tak bakal hidup lagi, maka lebih dulu biar kubunuh Khong-
sim-jay saja," ujar Ban Ka. Dan sekali tangannya terangkat, segera belatinya
hendak menikam kedada si-bocah.
"Jangan! Jangan!" saking kuatirnya Jik Hong terus memburu maju hendak menolong.
Meski Ban Cin-san dalam keadaan tersiksa oleh karena serangan racun dalam tubuh,
tapi ia sudah kenyang asam-garam, demi melihat Jik Hong kena dipancing oleh Ban
Ka dan berlari maju, tanpa ayal lagi ia lantas menyikut hingga tepat pinggang
Jik Hong kena ditutuk olehnya, menyusul ia terus rampas botol obat penawar
ditangan menantu itu dan buru2 ia bubuhkan obat penawar itu dipunggung tangan
sendiri. Cepat Ban Ka ikut memburu maju untuk minta dibubuhi obat pemunah racun itu.
Sebaliknya Jik Hong masih sempat mencapai puterinya serta merangkulnya dengan
erat2 tanpa menghiraukan orang lain.
Segera Ban Cin-san ayun kakinya, Jik Hong didepaknya hingga terguling, menyusul
ia lepaskan ikat pinggang sendiri untuk meringkus menantunya itu dengan
menelikung kedua tangannya kebelakang, kemudian kedua kakinya diikat pula
kencang-kencang. Sambil men-jerit2 memanggil ibu, Khong-sim-jay memburu kearah Jik Hong. Tapi
sekali Ban Cin-san ayun tangannya, tepat dara cilik itu kena digampar hingga
kelengar. Tapi gamparan itu memakai telapak tangannya yang abuh hingga Ban Cin-
san meringis kesakitan sendiri sambil merintih tertahan.
Obat penawar racun ketungging itu memang "ces-pleng", sesudah dibubuhi obat itu,
hanya sebentar saja dari luka kedua orang itu lantas merembes keluar air
berdarah, rasa sakit mulai hilang dan berubah menjadi rasa gatal, tak lama
kemudian rasa gatal itupun berkurang dan achirnya lenyap.
Sungguh lega dan senang sekali Ban Cin-san dan Ban Ka karena jiwa mereka telah
dapat dirampas kembali dari tangan raja achirat. Dan sekali jiwa mereka sudah
selamat, segera timbul lagi jiwa tamak mereka. Segera mereka teringat kepada
kitab pusaka yang merupakan kunci bagi suatu partai harta karun itu.
Untuk sejenak mereka celingukan kian kemari, mereka melihat didalam kamar masih
banyak bertebaran sobekan2 kertas, banyak pula yang sedang kabur keluar jendela
tertiup angin. "Wah, celaka!" demikian se-konyong2 kedua orang berteriak bersama. Segera mereka
memburu maju hendak mencegah kaburnya sobekan2 kertas itu.
Namun kertas kecil2 itu sudah tak keruan tempatnya, sebagian sudah jatuh kedalam
empang diluar jendela sana, ada pula yang sedang me-layang2 di udara dan hampir
masuk ke air. "Wah, cialat! Lekas buru, lekas!" teriak Ban Cin-san.
Dan tanpa dikomando untuk kedua kali lagi, segera mereka berdua memburu kebawah
loteng secepat terbang, saat itu mereka sudah lupa pada kelakuan mereka yang me-
rengek2 secara menjijikan waktu sekarat tadi.
Begitulah Ban Cin-san dan Ban Ka telah berlari ke taman, dengan napsu mereka
ingin menangkap kembali potongan2 kertas yang bertebaran itu. Tetapi be-ratus2
potong kertas yang kecil-kecil itu sudah terpencar tak keruan, ada yang
kecemplung ke dalam empang, ada yang jatuh keluar pagar tembok, ada yang me-
layang2 keudara terbawa angin. Maka biarpun mereka berdua tubruk sini dan sambar
sana sambil berjingkrakan seperti orang gila, hasilnya juga tidak seberapa,
apalagi kertas yang sudah di-robek2 itu masakah dapat memulihkan kitab aseli
Soh-sim-kiam-boh itu"
Begitulah meski sakit ditangan Ban Cin-san sudah hilang, tapi sakit di dalam
hatinya menjadi tambah hebat. Dalam dongkolnya yang tak terlampiaskan itu,
segera ia mendamperat puteranya: "Semuanya gara2 kau bangsat kecil ini. Kalau
kau tidak main tarik dan betot padaku, masakah Kiam-boh itu bisa hancur seperti
sekarang?". Ban Ka menghela napas dan tidak mengubar lagi kertas2 yang sudah hancur itu.
Sahutnya: "Tia, kalau tadi anak tidak mencegah, mungkin Kiam-boh itu sudah lebih
hancur daripada sekarang".
"Ah, kentut!" semprot Ban Cin-san, walaupun dalam hati ia harus mengakui
kebenaran ucapan puteranya itu, tapi dimulut ia tidak mau kalah, masih 'kentat-
kentut' terus. "Tia," kata Ban Ka kemudian, "baiknya kita sudah tahu bahwa tempat yang
dimaksudkan itu adalah Kang-leng-seng-lam (selatan kota Kang-leng), mungkin dari
sisa Kiam-boh yang masih ada itu dapat kita temukan sedikit petunjuk lain, dan
mungkin kita masih dapat menemukan harta terpendam itu."
Semangat Ban Cin-san terbangkit seketika demi mendengar peringatan puteranya
itu, serunya cepat: "He, benar, memang tempat itu adalah 'Kang-leng-seng-
lam'........ Dan pada saat itu yuga, tiba2 diluar pagar tembok sana ada suara orang
mengulangi kalimat itu dengan pelahan: "Kang-leng-seng-lam!".
Keruan keyut Ban Cin-san berdua bukan kepalang demi mendengar suara itu.
Seketika mereka memburu keluar sana. Mereka melihat dua sosok bayangan yang
sedang menghilang dibalik tikungan jalan sana, cepat Ban Cin-san membentak: "Bok
Heng, Sim Sia, berhenti!".
Tapi jangankan berhenti, bahkan menolehpun tidak kedua orang itu lantas kabur
dengan cepat. Dan selagi Ban Cin-san bermaksud mengejar, tiba2 Ban Ka berkata: "Tia, di atas
loteng masih ada sisa Kiam-boh itu, pula masih ada............. masih ada perempuan
jalang itu". Setelah memikir, Ban Cin-san merasa benar juga usul puteranya itu, ia mengangguk
tanda setuju dan segera mereka kembali keatas loteng.
Disana tertampak sidara cilik Khong-sim-jay sudah mendusin dan sedang menangis
dalam pangkuan ibundanya. Jik Hong sendiri tak bisa berkutik karena anggota
badannya terikat, namun ia coba menghibur dan membujuk puterinya yang kecil itu.
Ketika melihat kakek dan ayahnya telah kembali, Khong-sim-jay menjadi lebih
takut hingga tangisannya makin keras.
Bukannya menimang, sebaliknya datang2 Ban Cin-san terus depak sekali dipantat
dara cilik sambil memaki: "Kau anak sial ini, berani menangis lagi segera
kutabas batang lehermu!"
Khong-sim-jay semakin ketakutan hingga mukanya pucat sebagai kertas saking
ketakutan hingga dia tidak berani menangis lagi.
"Tia", kata Ban Ka dengan suara perlahan, "perempuan jalang ini telah mengetahui
engkau adalah................ adalah pembunuh ayahnya, pula dia telah menyaksikan kematian
Go Him, untuk semuanya itu terang dia takkan bisa dibiarkan hidup terus. Lantas
cara bagaimana kita harus membereskan dia?".
Cin-san memikir seyenak, kemudian katanya: "Kedua orang diluar tadi sudah terang
adalah Bok Heng dan Sim Sia, bukan?"
"Betul, memang mereka itu, pasti tidak salah lagi," sahut Ban Ka. "Mungkin
rahasia Kiam-boh itu sudah bocor, mereka telah mengetahui Kang-leng-seng-lam
adalah tempatnya." "Ya, urusan tidak boleh di-tunda2 lagi, kita harus lekas2 mendahului turun
tangan," uyar Cin-san. "Baiklah, tentang perempuan jalang ini, boleh kita
bereskan seperti ayahnya saya."
Sejak Jik Hong diringkus, ia sendiripun insaf pasti tiada harapan buat hidup
lagi, terutama karena dia telah membongkar rahasia kekejaman mereka berdua. Kini
mendengar ayah mertua itu mengatakan hendak membereskan dia seperti ayahnya,
maka iapun tidak pikirkan mati hidup sendiri, yang dia beratkan adalah puterinya
yang masih kecil itu. Segera ia berkata: "Ban................ Ban-long, jelek-jelek kita telah bersuami-isteri
sekian lamanya, tidaklah menjadi soal jiwaku melayang, tapi sesudah aku mati,
hendaklah kau menjaga baik2 pada Khong-sim-jay!".
Ban Ka hanya mendengus saya tanpa menjawab.
Sebaliknya Ban Cin-san berkata: "Membabat rumput harus sampai akar-akarnya, mana
boleh kita tinggalkan bibit bencana dikemudian hari" Bocah ini sangat pintar
lagi cerdik, apa yang terjadi hari ini telah dilihatnya semua, siapa berani
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjamin bahwa kelak takkan dibocorkan olehnya kepada orang luar?".
Ban Ka mengangguk pelahan-lahan. Sebenarnya ia sangat sayang kepada puteri satu-
satunya itu, betapapun dara cilik itu adalah darah dagingnya sendiri. Tapi apa
yang dikatakan ayahnya itu juga ada benarnya, kalau meninggalkan bibit bencana
ini, bukan mustahil kelak akan menimbulkan akibat yang susah dibayangkan.
Air mata Jik Hong bercucuran melihat kekejaman kedua orang itu, katanya dengan
suara ter-putus2: "Ka.....kalian keji sekali, masakah anak........anak kecil begini
juga tak dapat kalian ampuni?".
"Sumbat saya mulutnya daripada dia cerewet tak habis2, jangan2 nanti dia
berteriak hingga bikin geger tetangga malah." Kata Ban Cin-san.
Mengingat jiwa puterinya juga akan amblas ditangan kakek dan ayahnya yang kejam
itu, mendadak Jik Hong menggembor benar2: "Tolong! Tolong!".
Ditengah malam sunyi kelam, suara teriakan 'tolong' yang memecah angkasa itu
kedengarannya menjadi lebih seram.
Cepat Ban Ka menubruk maju, dan tekap mulut Jik Hong. Tapi Jik Hong masih terus
Memanah Burung Rajawali 2 Badai Laut Selatan Karya Kho Ping Hoo Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam 1