Si Kangkung Pendekar Lugu 9
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Bagian 9
orang hingga terpentang, secepat kilat seorang telah mendahului menerjang masuk,
itulah dia Ban Ka. Menyusul Sim Sia, Bok Heng dan lain2 juga lantas ikut menyerbu kedalam.
Sesudah ketujuh Ban-keh-te-cu itu menyerbu masuk, serentak mereka mengepung
sipengemis tua di-tengah2 sambil senjata siap ditangan.
Namun pengemis tua itu ternyata tenang2 saja, bahkan ia ter-bahak2 dan berkata:
"Hahahaha! Bagus, bagus! Apa anak2 sudah datang semua" Dan dimana Ban-suko,
mengapa tidak nampak?"
Maka terdengarlah suara tertawa lepas seorang diluar rumah, menyusul masuklah
orang itu dengan langkah berlenggang, itulah dia "Ngo-in-jiu" Ban Cin-san.
Sesudah berada didalam rumah, Ban Cin-san berdiri berhadapan dengan pemngemis
itu terpisah oleh lubang galian, kedua orang sama2 mengamat-amati masing2,
selang sebentar barulah Ban Cin-san membuka suara: "Gian-sute, wah, berpisah
selama lima tahun, tahu2 engkau sudah menjadi OKB (orang kaya baru)."
Begitu selesai mendengar ucapan Ban Cin-san itu, seketika kacau-balau pikiran
Tik Hun oleh berkecamuknya macam2 pertanyaan. "Ha" Jadi......... jadi pengemis
tua inilah tak-lain-tak-bukan adalah Jisupek Gian Tat-peng yang selama ini cuma
dikenal namanya saja itu?" demikian ia tidak habis heran.
Maka terdengar sipengemis tua itu sedang menjawab: "Suko, aku cuma mendapat
sedikit rejeki yang tak berarti, tapi selama beberapa tahun ini usahamu tentu
banyak kemajuan, bukan?"
"Terima kasih atas pujimu," sahut Ban Cin-san. "He, anak2, mengapa tidak lekas
memberi hormat kepada Susiok?"
Serentak Loh Kun dan lain2 lantas berlutut memberi hormat kepada pengemis tua
itu dan berkata: "Terimalah hormat kami, Susiok!"
"Sudahlah, sudahlah! Sambil memegang senjata, tentu tidak leluasa untuk menjura,
maka boleh tak usahlah," seru pengemis tua itu dengan tertawa.
Diam2 yakinlah Tik Hun: "Jika demikian, jadi pengemis ini memang betul Gian-
supek adanya." "Sute," demikian Ban Cin-san telah berkata pula, "ada apa kau menggali tanah
didalam rumah sini" O, barangkali kau mengusahakan pertambangan, ya" Besar amat
lubang yang kau gali ini?"
Tapi sipengemis tua alias Gian Tat-peng itu tenang2 saja, ia tertawa dingin,
lalu menjawab: "Dugaan Suheng salah semua. Soalnya musuh Siaute terlalu banyak,
aku ingin bersembunyi disini, maka sengaja menggali lubang perlindungan ini.
Tapi lubang inipun serta guna, jika musuh terbunuh oleh Siaute, maka sekalian
aku lantas menguburnya disini dengan tidak perlu menggali liang kubur lain.
Sebaliknya jika Siaute dibinasakan musuh, maka lubang inipun dapat dianggap
sebagai tempat tidurku untuk se-lama2nya."
"Wah, bagus, bagus! Sute memang pintar berpikir!" demikian Ban Cin-san tertawa
memuji. "Tapi badan Sute toh tidak terlalu gede, kulihat liang inipun sudah
lebih dari cukup, rasanya tidak perlu menggali lebih dalam lagi."
"Benar, untuk mengubur seorang memang lebih dari cukup, tapi kalau untuk
mengubur delapan orang mungkin masih kurang dalam," sahut Gian Tat-peng.
Melihat kedua saudara perguruan itu begitu berhadapan sudah lantas perang mulut
dengan kata2 tajam, tiba2 Tik Hun menjadi teringat kepada apa yang pernah
diceritakan Ting Tian dahulu. Pikirnya: "Menurut cerita Ting-toako, katanya Suhu
bersama Ban-supek dan Gian-supek bertiga telah mengeroyok dan membunuh guru
mereka, Bwe Liam-seng. Sedangkan guru mereka sendiri saja dibunuh, apalagi
diantara mereka masakah dapat diharapkan adanya hubungan persaudaraan yang baik"
Menurut cerita Ting-toako (bacalah hal 38 jilid 2), katanya mereka bertiga telah
berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh dari guru mereka, tapi tidak mendapatkan Kiam-
koat yang merupakan inti rahasia dari pelajaran ilmu pedang itu. Padahal Kiam-
koat itu melulu terdiri dari angka2 saja, katanya angka pertama adalah '4',
angka kedua adalah '51', angka ketiga adalah '33', angka keempat adalah '53',
angka kelima '18', angka keenam '7' dan .......... sampai ajalnya Ting-toako
angka2 itupun belum selesai diucapkan. Bukankah Kiam-boh sudah mereka rebut dari
guru mereka, mengapa sekarang mereka mencari lagi kesini?"
Dalam pada itu Ban Cin-san telah berkata: "Sute yang baik, kita berdua adalah
saudara seperguruan sejak kecil, kau cukup kenal pikiranku, akupun paham isi
hatimu, buat apa mesti bicara secara ber-putar2! Mana, serahkan!" ~ Begitu kata2
terachir itu dilontarkan, berbareng ia sodorkan tangannya kedepan.
Namun Gian Tat-peng hanya geleng2 kepala, sahutnya: "Belum dapat kutemukan.
Kelicinan Jik-losam memang harus diakui kita bukan tandingannya. Sampai sekarang
aku masih belum dapat mengetahui dimanakah dia telah menyembunyikan Kiam-boh
itu." Kembali Tik Hun terkesiap, pikirnya pula: "Agaknya sesudah mereka bertiga
berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh dari guru mereka, kemudian Suhu berhasil pula
mengangkangi sendiri kitab ilmu pedang itu. Tapi mengapa selama itu tiada
terjadi apa2" Ya, tentu disebabkan Suhu dapat bertindak dengan sangat licin
hingga selama itu perbuatannya tak diketahui oleh kedua Supek ini. Dan kalau
Suhu tidak tinggal disini, dengan sendirinya Kiam-boh itu selalu dibawanya ke-
mana2, masakah Kiam-boh itu dapat disembunyikan atau dipendam didalam rumah ini"
Sekarang mereka membongkar-bangkir tempat ini, bukankah terlalu tolol perbuatan
mereka itu?" Akan tetapi ia tahu sekali2 Ban Cin-san dan Gian Tat-peng itu bukan orang tolol,
mungkin berpuluh kali, bahkan beratus kali lebih pintar dan cerdik daripada Tik
Hun sendiri. Habis, rahasia dan muslihat apakah yang berselubung dibalik
kesemuanya ini" Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san telah tertawa ter-bahak2. Katanya: "Sute,
masakah kau perlu berlagak pilon lagi" Ha-ha, orang mengatakan Samsute kita
adalah Tiat-soh-heng-kang, tipu-akalnya lihay, tapi menurut hematku, adalah
Jisute kau yang lebih lihay. Mana serahkan!"
Dan kembali ia menjulurkan kedua tangannya pula.
Tapi Gian Tat-peng me-nepuk2 kantongnya yang kosong itu, sahutnya: "Jika sudah
kudapatkan, masakah antara kita masih perlu di-beda2kan milikmu atau milikku"
Jika barang itu dapat ketemukan, tentu akan kutunjukan secara terbuka, kita
boleh melatihnya bersama dan kita dapat tukar pikiran pula, bukankah begini
lebih baik. Bukan aku sengaja mem-besar2kan hal ini, tapi sesungguhnya Suheng,
andaikan mestika itu kudapatkan, seorang diri saudaramu ini juga tak sanggup
melatihnya, tapi mesti minta Suheng yang memegang pimpinan ini. Sebaliknya,
hehe, seumpama Suheng yang menemukan mestika itu, biarpun anak muridmu cukup
banyak, tapi kepandaian mereka masih hijau, maka perlu juga rasanya bantuan
saudaramu ini untuk berkongsi."
"Kau sudah pernah mendatangi gua disana itu, apa yang telah kau ketemukan?"
tanya Ban Cin-san. "Gua apa?" sahut Gian Tat-peng dengan heran. "Didekatan sini ada gua, maksudmu?"
"Sute," kata Cin-san, "kita adalah saudara seperguruan selama puluhan tahun,
buat apa achirnya mesti cekcok sendiri" Harap kau keluarkan saja, marilah kita
mempelajari bersama, ada untung sama dirasakan, ada rugi sama dipikul."
"Sungguh aneh, mengapa kau yakin benar2 menuduh aku sudah memperolehnya?" tanya
Tat-peng. "Jika betul aku sudah mendapatkan barangnya, buat apa aku masih susah-
payah menggali disini?"
"Huh, banyak tipu akalmu yang licin, siapa tahu permainan apa yang sedang kau
lakukan?" ujar Cin-san.
"Suko, kau sendiri toh cukup kenal Samsute, masakah barangnya akan begini
gampang kita ketemukan?" kata Tat-peng. "Menurut pendapatku, belum tentu pula
disimpannya didalam rumah ini, bila menggali tiga hari masih belum kutemukan
apa2, maka akupun tidak ingin meneruskan lagi penggalian ini."
"Haha, kukira lebih baik kau menggali sebulan atau dua bulan supaya permainan
sandiwaramu ini bisa lebih hidup," jengek Ban Cin-san.
Seketika air muka Gian Tat-peng berubah, segera ia bermaksud unjuk gigi, tapi
sesudah dipikir pula, sedapat mungkin ia menahan gusarnya, sahutnya kemudian:
"Suheng, cara bagaimana aku harus berbuat supaya kau mau percaya?" ~ Habis
berkata, ia terus membuka jubahnya dan dibalik, ia kebas2 jubahnya itu, maka
terdengarlah suara gemerincing yang nyaring, dari jubahnya itu jatuh beberapa
tahil perak dan sebuah pipa tembakau, ia pun tidak menjemput kembali barang2
itu, tapi masih mengebas beberapa kali jubahnya itu.
"Hm, memangnya kau begitu bodoh, masakah kau membawanya didalam bajumu?" kata
Ban Cin-san. "Ya, andaikan kau bawa, tentu juga kau simpan dibagian dalam, tidak
mungkin kau taruh disaku luar."
Gian Tat-peng menghela napas, sahutnya: "Jikalau Suheng tetap tidak percaya, ya
apa boleh buat, silakan menggeledah badan Siaute saja."
"Maafkan kalau begitu," kata Cin-san. Lalu ia memberi tanda kepada Ban Ka dan
Sim Sia. Kedua pemuda itu mengangguk tanda tahu, lalu mereka memasukkan pedang mereka
kesarungnya, dari kanan-kiri segera mereka mendekati Gian Tat-peng.
Menyusul Ban Cin-san memberi isyarat pula kepada Bok Heng dan Loh Kun, kedua
orang itu pelahan2 lantas menggeser kebelakang Gian Tat-peng dengan pedang tetap
terhunus. Dalam pada itu Gian Tat-peng telah tepuk2 lagi saku baju dalam dan berkata:
"Nah, silakan geledah!"
"Maaf, Susiok," kata Ban Ka, terus saja ia mengulur tangannya kedalam saku sang
paman guru. Tapi mendadak ia menjerit tajam sekali, cepat ia menarik kembali tangannya,
waktu diperiksa dibawah sinar obor yang terang itu, maka tertampaklah dipunggung
tangannya terdapat seekor ketungging yang besar. Rupanya sangat kesakitan hingga
Ban Ka ber-jingkrak2, "plok", cepat ia baliki tangan dan menggablok ketepi
tanggul liang galian, seketika ketungging berbisa itu terpukul hingga hancur.
Tapi punggung tangannya sudah terkena bisa binatang itu, kontan saja terus abuh.
Ban Ka masih berlagak jagoan, sedikitpun ia tidak sudi merintih, tapi keringat
dingin dijidatnya sudah lantas merembes keluar ber-butir2 sebesar kedelai.
Kemudian terdengar Gian Tat-peng berseru kaget: "Ai, Ban-hiantit, darimanakah
kau mendapatkan serangga berbisa seperti itu" Wah itu adalah ketungging loreng,
lihaynya tidak kepalang. Suko, hayolah lekas, lekas, kau membawa obat penawar
racun tidak" Kalau terlambat sebentar lagi, wah tentu celaka, tentu celaka!"
Maka tertampak punggung tangan Ban Ka yang abuh itu dari warna merah berubah
menjadi matang biru, lalu menjadi hitam, ada satu garis merah pelahan2 menaik
kearah lengan. Namun Ban Cin-san insaf telah terjebak oleh tipu keji sang Sute, karena sudah
kepepet, terpaksa ia menahan perasaannya dan berkata: "Sute, kakakmu ini
terimalah menyerah padamu, aku mengaku kalah sudah, harap kau berikan obat
penawarnya dan kami lantas pergi, untuk seterusnya kami takkan datang kembali
untuk merusuhi kau lagi. "Tentang obat penawar, ya, dulu aku memang punya, tapi kemudian, lama kelamaan
entah tertaruh dimana, biarlah lewat beberapa hari lagi akan kucarikan dan
mungkin akan dapat diketemukan. Pabila tidak, nanti aku akan pulang ke Tay-beng-
hu untuk mencari resep obat itu dan membelikannya diapotik. Ya, apa mau dikata,
habis kita sesama saudara seperguruan sih."
Mendengar jawaban itu, sungguh dada Ban Cin-san hampir2 meledak saking gusarnya.
Luka terpagut ular atau diatup ketungging seperti itu dalam waktu singkat saja
jiwa penderita mungkin akan melayang, asal garis merah yang mulai menaik ke
lengan itu menembus sampai didada, maka kontan penderita itu akan terbinasa,
tapi sang Sute enak2 bicara tentang "lewat beberapa hari lagi obat penawar itu
akan dicari" dan katanya akan cari resepnya dulu ke Tay-beng-hu, padahal jarak
Tay-beng-hu itu be-ribu2 li jauhnya, bahkan secara tidak kenal malu mengatakan
pula tentang hubungan baik sesama saudara seperguruan apa segala.
Tapi apa daya, jiwa putera kesayangannya tergantung diujung rambut, terpaksa Ban
Cin-san menahan perasaannya, seorang laki2 hendak membalas dendam masih belum
terlambat untuk menunggu sepuluh tahun lagi. Maka katanya pula: "Sute, harini
sudah terang aku terjungkal habis2an. Apa yang kau inginkan, hendaknya kau
katakan terus terang saja."
Gian Tat-peng benar2 seorang licik, biar orang kerupukan setengah mati, tapi ia
justeru bersikap ngular kambang, dengan pe-lahan2 ia miring kepala untuk
memikir, habis itu barulah ia menjawab: " Suko, apa sih keinginan yang
kuharapkan dari kau" Sudahlah, kau suka bagaimana dan aku akan menurut saja."
Diam2 Ban Cin-san gemas tidak kepalang, didalam hati ia bersumpah: "Baik,
sedemikian kau mendesak diriku, sedikitpun tidak mau mengalah, pada suatu hari
kelak pasti aku akan suruh kau kenal akan kelihayanku." ~ Dan lahirnya ia
tenang2 saja dan menjawab: "Baiklah aku berjanji untuk selanjutnya takkan
bertemu lagi dengan Sute, kalau aku meng-utik2 apa2 lagi kepada Sute anggaplah
aku orang she Ban ini bukan manusia."
"Ai, mana aku berani terima sumpahmu seberat itu," ujar Gian Tat-peng dengan
senyum culas. "Begini, aku hanya mohon Suko menyatakan bahwa 'Soh Sim Kiam-boh"
itu diakui sebagai milik Gian Tat-peng. Kalau yang menemukan kelak adalah Gian
Tat-peng sendiri itulah tidak perlu lagi dipersoalkan, tapi umpama Suko yang
menemukan, maka juga harus diserahkan kepada Sutemu ini."
Dalam pada itu separoh tubuh Ban Ka sudah kaku lumpuh, hawa racun pelahan2 mulai
menyerang otaknya hingga kepalanya terasa pening, mata menjadi gelap, tubuhnya
sempoyongan, tanpa kuasa lagi ia berkelejetan seperti orang kena penyakit ayan.
"Sute, Sute!" seru Loh Kun dengan kuatir, cepat ia maju untuk memayang Ban Ka.
Waktu di periksa lengannya, ternyata garis merah itu sudah lewat ketiak dan
menjurus kedada. Cepat ia berpaling kepada Ban Cin-san dan berseru: "Suhu,
segala permintaannya kita sanggupi saja!"
Dibalik kata2nya itu se-olah2 menyatakan bahwa kita terpaksa menerima syaratnya,
tapi kelak kita masih dapat ingkar janji dan membalas sakit hati.
Ban Ka adalah putera tunggal kesayangan Ban Cin-san, dengan sendirinya jago
"Ngo-in-jiu" itu tidak dapat menyaksikan puteranya itu mati konyol begitu saja,
terpaksa ia lantas berseru: "Baiklah, 'Soh-sim-kiam-boh' itu anggaplah sebagai
milik Sute. Kionghi. Kionghi!"
"Jika begitu, biarlah kucari dulu kedalam kamar sana, boleh jadi aku akan
mendapatkan obat penawar apa yang berguna, hal ini tergantunglah nasib Ban-
hiantit sendiri yang entah akan mujur atau malang."
Habis berkata, tetap dengan caranya yang ngular kambang ia bertindak kedalam.
Segera Ban Cin-san mengedipi Loh Kun dan Bok Heng dan segera kedua pemuda itupun
ikut masuk kedalam. Selang agak lama, tunggu punya tunggu ketiga orang itu masih belum keluar, suara
merekapun tidak kedengaran. Sebaliknya keadaan Ban Ka semakin payah, sudah dalam
keadaan tak sadarkan diri dan tak berkutik lagi bersandar dalam pegangan Sim
Sia. Keruan Ban Cin-san semakin kelabakan bagaikan orang kebakaran jenggot. Segera ia
berkata kepada muridnya yang lain, yaitu Pang Tam: "Coba kau lihat kedalam
sana!" Pang Tan mengiakan, tapi belum lagi ia bertindak, sementara itu tertampak Gian
Tat-peng sudah berjalan keluar dengan muka ber-seri2 dan berkata: "Untung,
untung! Ini, dapat kutemukan ~ sembari berkata ia lantas unjukan sebuah botol
porselen kecil dan menyambung pula: "Ini adalah obat penawar racun, tentu akan
manjur sekali untuk menyembuhkan racun antupan ketungging."
Habis berkata, ia terus mendekati Ban Ka, ia membuka sumbat botol dan menuang
keluar sedikit obat bubuk warna hitam, ia bubuhkan obat dipunggung tangan Ban Ka
sambil berkata: "Ban-hiantit, agaknya nasibmu masih mujur!"
Obat penawar itu ternyata sangat mustajab, hanya sekejap saja dari luka itu
lantas merembes keluar air hitam dan menetes ketanah, makin lama makin banyak
darah hitam yang menetes itu dan garis merah dilengan Ban Ka itupun pelahan2
menurun kembali kepergelangan tangan.
Ban Cin-san menghela napas lega, tapi mendongkol pula. Jiwa puteranya memang
telah dapat diselamatkan, tapi pamornya sekarang benar2 bangkrut habis2an.
Bertempur saja belum dan dia mesti mengaku kalah, bukankah hal ini terlalu
penasaran baginya" Selang tak lama pula, achirnya Ban Ka membuka mata dan memanggil: "Ayah!"
Lalu Gian Tat-peng menutup kembali botolnya dan menyimpannya kedalam baju,
katanya dengan tertawa: "Nah, selamat jalan, aku tidak menghantar, ya!"
"Panggil mereka keluar," kata Ban Cin-san kepada Sim Sia, maksudnya kedua
muridnya yang menyusul Gian Tat-peng keruangan belakang tadi.
Sim Sia mengiakan, lalu menuju keruangan belakang sambil berseru: "Loh-suko,
Bok-suko, hayolah lekas keluar, kita akan berangkat!"
Tapi ia tidak mendapat sahutan seorangpun, kembali ia menggembor lagi beberapa
kali dan tetap sunyi senyap tiada suara apa2. Tanpa menunggu perintah sang Suhu
lagi segera Sim Sia menerjang kebelakang.
Namun sial benar2, sekali ia sudah masuk, untuk selanjutnya iapun tidak keluar
lagi. Keruan Ban Cin-san curiga dan kuatir, tapi segera iapun sadar: "Didalam rumah
keparat Gian Tat-peng ini kalau bukan ada jagoan silat lihay, tentu didalam situ
dipasang perangkap rahasia apa2 hingga ketiga muridku sekali masuk lantas
terjebak tipu muslihatnya. Dalam keadaan demikian biarpun aku memohon lagi
dengan merendah diri juga tiada gunanya."
Karena pikiran itu, tanpa bicara segera ia lolos pedang, sekali bergerak, kontan
ia menusuk keleher Gian Tat-peng.
Selamanya Tik Hun belum pernah melihat sang Toasupek Ban Cin-san mengunjukan
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu silatnya, kini melihat tusukannya itu sangat kuat dan keji pula, diam2 ia
memuji: "Ehm, bagus, serangannya ini sangat tepat."
Hendaklah diketahui bahwa kepandaian Tik Hun sekarang sudah luar biasa, maka
setiap permainan silat orang lain baginya boleh dikata seperti mengambil barang
disaku sendiri gampangnya, apakah permainan silat orang itu salah atau benar
dengan segera akan dapat diketahui olehnya. Ia melihat serangan pertama Ban
Cing-san itu sedikitpun tiada tempat kelemahan, maka dapat diduga ilmu silat
sang paman guru itu memang tidak rendah.
Begitulah maka Gian Tat-peng telah mengegos untuk hindarkan tusukan Ban Cin-san
tadi, menyusul kedua tangannya yang memegangi tongkat tadi mendadak dipentang,
tahu2 tongkat itu putus menjadi dua, "creng", tahu2 tangannya telah bertambah
sebatang pedang yang gemilapan menyilaukan mata.
Kiranya tongkat itu sebenarnya adalah senjata "dwi-guna", boleh dipakai sebagai
tongkat dan dapat pula digunakan sebagai pedang bila ujung tongkat yang berukir
kepala naga itu ditarik, maka kepala naga itu akan berubah tugasnya menjadi
garan pedang dan bagian tongkat yang bawah sebenarnya adalah sarung pedang.
Maka begitu pedang sudah dilolos, segera Gian Tat-peng melancarkan serangan
balasan hingga dalam sekejap saja terdengarlah suara "trang-tring" yang nyaring,
kedua saudara seperguruan itu lantas saling labrak ditengah lubang galian luas
itu. Sejak tadi para kuli kampung itu sudah kuatir menyaksikan pertengkaran mulut
kedua orang itu, kini melihat mereka mulai saling tempur dengan senjata, keruan
kuli2 kampung itu bertambah ketakutan hingga mereka sama menyingkir kepojok
ruangan dan tiada seorangpun yang berani membuka suara.
Tik Hun juga pura2 ketakutan, tapi diam2 iapun perhatikan pertarungan kedua
paman guru itu. Sesudah mengikuti belasan jurus lagi, diam2 Tik Hun merasa gegetun, pikirnya:
"Tenaga dalam kedua Supek ini mengapa begitu cetek" Meski tipu serangan mereka
masing2 ada keunggulannya sendiri2, tapi kalau kebentur lawan yang punya Lwekang
tinggi, sekali senjata beradu, sekali gebrak saja pasti senjata mereka akan
mencelat keudara, jangan lagi hendak bicara serang-menyerang segala" Dan kalau
kedua Supek ini ingin ilmu silat mereka tambah maju, mereka harus mulai dengan
memupuk tenaga dalam, kalau tiada memiliki tenaga dalam yang kuat, sekalipun
mendapatkan Soh-sim-kiam-boh juga tiada gunanya. Apalagi usia mereka sudah
lanjut begini, untuk melatih Lwekang agaknya juga sudah susah."
Dan setelah mengikuti beberapa jurus pula, kembali ia lebih gegetun lagi: "Nyata
sekali ilmu silat Lau Seng-hong berempat pendekar yang bergelar "Lok-hoa-liu-
ciu" adalah jauh lebih tinggi daripada kedua Supek ini. Kulihat ilmu silat kedua
Supek ini memang sejak mula sudah sesat jalan, melulu mengutamakan perubahan2
tipu serangan yang indah dipandang, tapi sebenarnya tak berguna. Mereka tidak
pikir cara bagaimana harus memupuk tenaga dalam yang merupakan landasan ilmu
silat. Apakah sebabnya mereka bisa salah" Ya, aku menjadi ingat, dahulu waktu Suhu
mengajarkan ilmu pedang padaku juga demikian caranya dia memberi petunjuk.
Agaknya mereka, Ban-supek, Gian-supek dan Suhu bertiga saudara seperguruan
memang beginilah memperoleh didikan dari Suco (kakek guru). Pada hal ilmu silat
kembangan begini kalau ketemukan lawan yang bertenaga dalam sedikit lebih kuat,
maka silat kembangan mereka ini seketika tiada gunanya sama sekali. Ya, sungguh
aneh, mengapa mereka belajar ilmu pedang cara begini?"
Begitulah Tik Hun tidak habis mengerti oleh cara belajar silat Suhu dan kedua
Supeknya itu. Dalam pada itu dilihatnya Sun Kin, Pang Tan dan Go Him bertiga juga sudah mulai
mengerubut maju, mereka tidak pikirkan pula tentang peraturan Kangouw apa
segala. Maka tertawalah Gian Tat-peng dengan ter-bahak2: "Bagus, bagus! Toasuko, makin
lama makin jempol kau! Sekian banyak begundalmu yang kau bawa untuk mengeroyok
Sutemu ini!" ~ Meski ia bersikap tenang2 saja seperti tak terjadi apa2, tapi
permainan pedangnya sudah mulai kacau menghadapi empat lawan itu.
Pikir Tik Hun pula: "Ilmu pedang kedua Supek masing2 mempunyai keunggulannya
sendiri2. Dahulu Gian-supek telah mengajarkan tiga jurus 'Ji-koh-sik', 'Ni-kong-
sik' dan 'Gi-kiam-sik' padaku hingga aku dapat melabrak habis2an kedelapan Ban-
bun-tecu, tapi kini ia sendiri menggunakan tipu2 serangan itu untuk menghadapi
Ban-supek ternyata tiada sedikitpun gunanya. Ai, mengapa mereka tidak paham
bahwa ilmu pedang yang indah2 permainannya kalau tidak dilandasi dengan tenaga
dalam yang kuat, apa sih gunanya" Dan sungguh aneh, mengapa mereka tidak tahu
hal ini?" Se-konyong2 dalam benaknya terkilas sesuatu kejadian dimasa lampau: "Menurut
cerita Ting-toako mengenai asal-usul Sin-ciau-keng, nyata Suco Bwe Liam-sing
pasti paham betapa pentingnya landasan Lwekang tapi mengapa beliau tidak
mengatakan kepada ketiga muridnya" Jangan2 ...... jangan2 ...." ~ berpikir sampai
disini, tanpa merasa ia menggigil dan keringat dingin merembes keluar
dipunggungnya, badannya gemetar sedikit.
Seorang kampung disebelahnya yang berusia sudah tua tiada hentinya menyebut
Budha dan berdoa: "Omitohud, Omitohud! Semoga jangan terjadi pembunuhan disini.
Adik cilik, jangan takut, jangan takut!"
Rupanya ia melihat Tik Hun gemetar, maka disangkanya pemuda itu ketakutan oleh
pertarungan sengit itu, maka orang tua itu lantas menghiburnya. Padahal hatinya
sendiri sebenarnya juga sangat ketakutan.
Begitulah sekali Tik Hun sudah dapat menerka dimana letak keganjilan itu, cuma
hal ini terlalu keji dan penuh kepalsuan hati manusia, maka ia tidak ingin
banyak memikirkan pula, bahkan tidak ingin membentangkan satu jalan pikiran yang
membenarkan pendapatnya itu. Namun Tik Hun tadi sudah berhasil memecahkan teka-
teki yang ganjil itu, dengan sendirinya segala sesuatu hal yang paling kecil
sekalipun juga akan dapat diarahkan kesitu. Dan setiap gerak serangan Ban Cin-
san dan ketiga muridnya itu selalu menambah dan membuktikan kebenaran pendapat
Tik Hun itu. "Ya, ya, tidak salah lagi, tentu beginilah halnya. Tetapi, ah apa mungkin"
Sebagai guru masakah bisa berlaku sekeji ini" Tidak, tidak bisa ~ namun jika
bukan begitu, mengapa bisa begini" Sungguh sangat aneh?"
Achirnya terbayanglah suatu adegan yang sangat jelas dalam benaknya. "Beberapa
tahun yang lalu, itulah ditempat yang sama ini, aku dan Jik Hong sumoay sedang
latihan dan Suhu berdiri disamping untuk memberi petunjuk. Suhu telah
mengajarkan suatu jurus yang indah dan aku telah melatihnya dengan giat. Tapi
ketika untuk kedua kalinya aku bertanya apa yang Suhu ajarkan lantas tidak sama
lagi, gayanya sih tetap sangat bagus tapi sudah berbeda daripada yang pertama.
Tatkala itu aku mengira ilmu pedang Suhu itu terlalu hebat dan banyak
perubahannya, tapi kini demi dipikir sebab apakah satu jurus ilmu pedang bisa
ber-beda2 cara mengajarkan, maka terang gamblang sekali dapat kuketahui
sekarang. Mendadak ia merasa sangat berduka, sangat sedih, pikirnya pula: "Suhu telah
sengaja menyesatkan aku, sengaja mengajarkan ilmu pedang yang tidak baik padaku.
Sebenarnya kepandaiannya cukup tinggi, tapi ia sengaja mengajarkan padaku ilmu
pedang yang cuma indah dipandang tapi tidak berguna dipakai ........ dan Ban-supek
juga begitu, kepandaiannya terang jauh berbeda daripada para anak muridnya ini
...." Dalam pada itu dilihatnya Gian Tat-peng sedang beraksi pula, tangan kiri
bergaya, dan tangan kanan bergerak, ujung pedang disendal hingga ber-putar2
dalam bentuk lingkaran2, lalu dengan cepat luar biasa terus menusuk kedada
lawan. Sebaliknya Ban Cin-san juga cepat menangkis, pedangnya menabas melintang ber-
ulang2, lawannya tujuh kali memutar pedang, iapun menabas tujuh kali hingga
lingkaran2 kecil pedang lawan dipecahkan semua olehnya.
Menyaksikan itu, kembali Tik Hun berpikir pula: "Ketujuh lingkaran2 itu
sebenarnya tidak perlu, sebab paling achir toh dia menusuk kedada Ban-supek,
jika begitu, mengapa tidak terus langsung menusuk saja, bukankah lebih cepat dan
lebih ganas" Sebaliknya Ban-supek juga menabas dan menangkis lingkaran2 kecil
itu, nampaknya memang bagus, tapi sebenarnya gobloknya keliwat. Kalau dia balas
menusuk keperut Gian-supek, bukankah sejak tadi dia sudah menang!"
Mendadak benaknya terbayang pula suatu adegan dimasa dahulu.
Waktu itu dia sedang berlatih bersama sang Sumoay Jik Hong. Banyak juga variasi
ilmu pedang yang dimainkan Jik Hong, sebaliknya ia sendiri agak lupa kepada tipu
jurus yang diajarkan oleh Suhunya hingga dia terdesak kalang-kabut oleh serangan
Jik Hong, ber-ulang2 terpaksa ia mundur. Dan selagi Jik Hong mencecar pula tiga
kali hingga dia kelabakan takbisa menangkis, nampaknya pasti dia akan kalah,
pada saat sudah kepepet inilah ia tidak memikirkan apa yang pernah dipesan sang
guru lagi, tapi pedangnya diangkat untuk menangkis sekenanya, menyusul terus
menusuk kedepan. Aneh juga, serangan Jik Hong itu tampaknya bergaya indah dan lihay, dan
tangkisan Tik Hun tampaknya kaku ngawur, tapi malah serangan Jik Hong itu dapat
dipatahkan, bahkan tusukan Tik Hun terus mengancam ke pundak Jik Hong. Sedang
Tik Hun bingung karena tak sempat menarik kembali tusukannya itu, se-konyong2
Jik Tiang-hoat melompat maju dengan membawa sepotong kayu, cepat ia sampuk
hingga pedang Tik Hun kena dihantam jatuh terpental. Dalam pada itu Jik Hong dan
Tik Hun sudah kaget setengah mati. Maka Jik Tiang-hoat telah damperat Tik Hun
mengapa tidak menurut petunjuk ajaran sang guru, tapi main ngawur.
Tatkala itu Tik Hun juga pernah memikir: "Aku menyerang secara 'ngawur', tapi
mengapa malah menang?"
Tapi pikiran itu hanya sekilas saja lantas hilang. Segera terpikir olehnya: "Ya,
mungkin ilmu pedang Sumoay sendiri pun kurang sempurna, bila betul2 ketemukan
lawan tangguh, caraku ngawur tadi tentu akan bikin celaka diri sendiri."
Begitulah sama sekali ia tidak pikirkan bahwa tipu serangan yang dilontarkan
secara mendadak itu sebenarnya jauh lebih hebat dan lebih praktis daya gunanya.
Dan kalau dipikir sekarang, terang berbeda sama sekali pendapatnya. Kini ilmu
silat Tik Hun sudah sempurna, dengan terang gamblang ia dapat melihat dengan
jelas bahwa diantara permainan silat Cin-san dan Gian Tat-peng itu hanya gerak
kembangan yang tiada gunanya, sedangkan apa yang diajarkan Ban Cin-san kepada
muridnya dan apa yang diajarkan Jik Tiang-hoat kepada Tik Hun, gerak tipu yang
tak berguna itu lebih banyak pula. Nyata sekali bahwa Suco Bwe Liam-sing
sebenarnya sudah tahu bahwa jiwa ketiga muridnya itu tidak jujur, maka diwaktu
mengajar sengaja menyesatkan mereka kejalan yang tidak benar. Kemudian waktu Ban
Cin-san dan Jik Tiang-hoat mengajar kepada muridnya, jalan sesat itu menjadi
makin jauh lagi. Sungguh Tik Hun tidak habis mengarti, dengan tipu serangan yang tidak berguna
itu kalau dipakai bertempur melawan musuh, itu berarti menyerahkan jiwa sendiri
kepada musuh. Mengapa Suco, Supek dan Suhu begitu keji dan kejam" Mengapa mereka
begitu culas. Sambil memandangi muka Gian Tat-peng, kemudian Tik Hun mendadak ingat sesuatu
kejadian dimasa dahulu. Yaitu pada hari Bok Heng datang untuk mengundang gurunya
menghadiri perayaan ulang tahun sang Supek. Tatkala itu ia sedang berlatih
dengan Jik Hong, mendadak terdengar suara orang tertawa dibalik onggok jerami
sana, waktu Suhunya memeriksa kesana, kiranya adalah seorang pengemis tua yang
sedang menjemur diri dibawah sinar matahari sambil mencari tuma dibajunya yang
rombeng itu. Tatkala itu Suhu tidak tahu, padahal sebenarnya pengemis tua itu
adalah samaran Gian Tat-peng. Senantiasa Gian-supek itu mengintai disekitar
rumah tinggal Suhunya itu untuk mencari sesuatu dan sudah tentu yang dicari
adalah Soh-sim-kiam-boh, malahan sampai sekarang kedua Supek itu masih bertempur
memperebutkan kitab pusaka itu.
Begitulah jika disana Tik Hun sedang mengelamun mengenangkan kejadian2 dahulu,
adalah ditengah kalangan pertempuran sana Ban Cin-san masih saling labrak dengan
sengit bersama Gian Tat-peng. Tapi karena Ban Cin-san mengeroyok bersama ketiga
muridnya, maka Gian Tat-peng makin lama makin terdesak.
Se-konyong2 Sun Kin menusuk kepunggung Gian Tat-peng, tapi cepat Tat-peng sempat
membaliki pedangnya untuk menangkis, berbareng pedangnya menyabat kebawah, maka
menjeritlah Sun Kin, "trang" pedangnya jatuh ketanah, pergelangan tangannya juga
luka terkena senjata lawan. Dan pada saat yang hampir sama itu, kesempatan itu
telah digunakan dengan baik oleh Ban Cin-san, "cret" pedangnya juga kena
menggores suatu luka panjang di lengan kanan Gian Tat-peng.
Sambil mengikuti pertarungan Ban Cin-san melawan Gian Tat-peng itu. Tik Hun
menjadi ter-heran2 mengapa tipu2 serangan mereka hanya indah dalam gaya
permainan saja, tapi sama sekali tidak berlandaskan Lwekang"
Karena kesakitan, cepat Tat-peng mengoperkan pedangnya ketangan kiri. Dan sudah
tentu ia kurang biasa menggunakan pedang dengan tangan kiri, apalagi lukanya
juga tidak ringan, darah mengucur membasahi tubuhnya, maka setelah beberapa
jurus lagi, kembali bahu-kirinya tertusuk pula oleh pedang Ban Cin-san.
Para kuli kampung yang menonton disamping itu menjadi pucat ketakutan, mereka
saling berbisik menyatakan kekuatiran mereka akan kemungkinan terjadinya perkara
jiwa, tapi tiada seorangpun diantara mereka yang berani bersuara keras.
Sebaliknya Ban Cin-san sudah bertekad harus membunuh sang Sute, maka
serangan2nya semakin gencar dan semakin keji. "Cret", kembali dada kanan Gian
Tat-peng kena tertusuk lagi.
Tampaknya dalam berapa jurus lagi jiwa Gian Tat-peng pasti akan melayang dibawah
pedang sang Suheng, tapi toh dia masih melawan mati2an, sepatahkatapun dia
takmau minta ampun. Rupanya ia cukup kenal watak sang Suheng yang culas, apalagi
selama belasan tahun mereka telah "perang dingin" secara diam2, kalau dia minta
ampun, itu berarti akan makin dihina dan tidak mungkin berguna.
Dalam pada itu Tik Hun sedang memikir: "Dahulu waktu di Hengciu, Gian-supek
pernah menolong aku dari labrakan sibandit besar Lu Thong, malahan iapun
mengajarkan tiga jurus ilmu pedang padaku hingga aku terhindar dari aniaya dan
hinaan murid2nya Ban-supek. Sebelum aku membalas budinya ini, mana boleh aku
menyaksikan dia mati ditangan orang."
Karena itu Tik Hun pura2 gemetar ketakutan, tapi cangkul yang dipegangnya itu
telah siap mengeduk tanah.
Pada saat lain dilihatnya pedang Ban Cin-san kembali menusuk lagi keperut Gian
Tat-peng dan tampaknya Gian Tat-peng sudah tak sanggup menangkis lagi, pada
detik itulah secepat kilat Tik Hun sendalkan cangkulnya, kontan segumpal tanah melayang kearah Ban Cin-san.
Tenaga sambaran gumpalan tanah itu tak terkatakan kuatnya, karena tertumbuk oleh
tenaga itu, seketika Ban Cin-san tak tahan, "bluk", kontan ia jatuh terjungkal.
Oleh karena diluar dugaan, maka tiada seorangpun yang tahu darimana datangnya
gumpalan tanah itu. Dan selagi suasana agak panik, tanah cangkul Tik Hun yang
kedua kalinya telah menghambur lagi, tapi sekali ini yang diarah adalah lentera
minyak dan lilin ditepi meja sana, maka dalam sekejap itu padamlah lilin dan
lentera, dalam rumah menjadi gelap gelita disertai suara jerit kaget orang
banyak. Dan pada saat lain Tik Hun lantas melompat maju, cepat ia kempit Gian
Tat-peng terus menerjang keluar.
Setiba diluar rumah, segera Tik Hun tutuk beberapa Hiat-to penting dipundak,
dada dan lengan untuk menahan keluarnya darah dari luka Gian Tat-peng itu. Lalu
ia panggul sang Supek, ia keluarkan Ginkangnya yang tinggi terus berlari secepat
terbang kearah pegunungan dibelakang rumah.
Karena Ginkangnya hebat, tempat disekitar situ juga sangat dikenalnya, maka Tik
Hun terus berlari menuju kelereng gunung yang paling terjal dan susah ditempuh.
Gian Tat-peng menggemblok diatas pundak pemuda itu merasa badannya se-akan2 me-
layang2 di-awang2 dan mirip dialam mimpi saja. Sekalipun ia sudah kenyang asam-
garam kalangan Kangouw, tapi susah disuruh percaya bahwa didunia ini ternyata
ada tokoh silat setinggi ini.
Begitulah jalan yang dituju oleh Tik Hun itu makin lama makin tinggi, kira2
lebih satu jam, achirnya tibalah diatas puncak gunung yang paling tinggi
disekitar situ. Puncak gunung itu menjulang tinggi menembus awan, jangankan
orang lain susah mendaki kesitu, biarpun Tik Hun sendiri juga baru pertama kali
ini datang kesitu. Dahulu ia dan Jik Hong sering memandangi puncak gunung ini
dari jauh dan bersenda-gurau secara ke-kanak2an, siapa duga harini kebetulan dia
menolong jiwa seorang, maka didatanginya puncak gunung ini.
Kemudian ia letakan Gian Tat-peng ditepi sebuah batu cadas, lalu ia tanya: "Kau
membawa obat luka atau tidak?"
Tanpa menjawab, tapi Gian Tat-peng terus berlutut dan menyembah, katanya:
"Siapakah nama Inkong (tuan penolong) yang mulia" Hari ini Gian Tat-peng selamat
berkat pertolonganmu, sungguh budi setinggi langit ini entah cara bagaimana
harus kubalas." Tik Hun adalah orang jujur tulus, meski ia tidak ingin memberitahukan siapa
dirinya sendiri, tapi ia pun merasa tidak pantas menerima penghormatan sang
Supek, maka cepat iapun berlutut dan balas menyembah, sahutnya: "Cian-pwe jangan
banyak adat hingga membikin hati Cayhe merasa tidak enak. Cayhe adalah seorang
'Bu-beng-siau-cut' (perajurit tak bernama, keroco), namaku tiada harganya untuk
dikenal, tentang sedikit urusan ini kenapa mesti bicara soal membalas budi
segala." Tapi Gian Tat-peng masih berkeras ingin tahu. Sebaliknya Tik Hun tidak dapat
membohong dengan nama palsu, hanya tetap ia takmau beritahukan namanya.
Gian Tat-peng tahu bahwa banyak tokoh2 kosen dari dunia persilatan yang suka
mengasingkan diri dan menghapuskan namanya dari pergaulan ramai, dari itu iapun
tidak berani mendesak terus, kemudian ia mengeluarkan obat luka yang dibawanya
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan membubuhkan dilukanya sendiri.
Melihat luka2 diatas tubuh sendiri itu, mau-tak-mau Gian Tat-peng merasa ngeri
dan bersyukur pula, pikirnya: "Untung ada tua penolong ini, kalau tidak, mungkin
saat ini aku sudah menjadi almarhum?"
Lalu Tik Hun mulai membuka suara: "Cayhe ada beberapa persoalan yang susah
dimengerti, maka ingin minta penjelasan pada Cianpwe."
"Janganlah Inkong menyebut diriku sebagai Cianpwe," kata Tat-peng dengan
merendah. "Jika Inkong ada pertanyaan apa2, asalkan Tat-peng tahu, tentu akan
kukatakan se-jujur2nya, sedikitpun tidak berani berdusta."
"Bagus sekali, inilah yang kuharapkan," kata Tik Hun. "Nah tolong tanya Cianpwe,
apakah gedung itu adalah kau yang membangunnya?"
"Benar," sahut Tat-peng.
"Cianpwe sengaja mengupahi orang buat menggali lubang besar itu, tentunya ingin
mencari 'Soh-sim-kiam-boh' itu, dan apakah sudah diketemukannya?" tanya Tik Hun
pula. Tat-peng terkesiap, pikirnya: "Ai, kukira dia menolong aku dengan maksud baik,
tak tahunya juga seorang yang lagi mengincar 'Soh-sim-kiam-boh'." ~ Tapi mau-
tak-mau iapun menjawab: "Sudah banyak jerih-payah yang kukorbankan, tapi sampai
saat ini belum memperoleh sedikit tanda2 yang berguna. Harap Inkong maklum bahwa
apa yang kukatakan ini adalah sesungguhnya. Pabila Tat-peng sudah memperoleh apa
yang dicari itu, tentu akan kupersembahkan dengan kedua tangan. Sedangkan jiwaku
juga Inkong yang menolong, masakah aku masih sayangkan benda yang toh takkan
berguna jika jiwa sudah melayang."
"Eh, jangan kau salah sangka," kata Tik Hun sambil goyang2 tangannya. "Aku
sendiri tidak inginkan Kiam-boh itu, untuk bicara terus terang, meski
kepandaianku cuma biasa saja, tapi aku yakin kalau cuma kitab seperti 'Soh-sim-
kiam-boh' apa itu, rasanya belum tentu akan berpaedah bagiku."
"Ya, ya, memang!" kata Tat-peng. "Ilmu silat Inkong sudah tiada taranya dan
dijaman ini tiada tandingannya, sedangkan 'Soh-sim-kiam-boh' itu hanya sejilid
kitab pelajaran ilmu pedang yang biasa saja. Kami bersaudara perguruan karena
ingin memperoleh kitab pusaka perguruan sendiri, maka sangat menilai tinggi atas
kitab itu, padahal dimata orang luar itu cuma kitab yang tiada artinya."
Biarpun Tik Hun adalah seorang tulus dan tidak pandai ber-liku2, tapi ia dapat
juga mendengar apa yang dikatakan Gian Tat-peng ada yang tidak jujur, namun
iapun tidak membongkar kebohongan orang itu, tapi ia bertanya lagi. "Kabarnya
tempat ini adalah kediaman lama Sutemu Jik Tiang-hoat. Katanya Jik Tiang-hoat
itu berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang', apakah artinya julukan itu?"
Sejak kecil Tik Hun dibesarkan oleh gurunya, apa yang dilihatnya selama itu
adalah sang guru itu seorang tua pedusunan yang jujur dan lugu, tapi Ting Tian
justeru mengatakan bahwa gurunya adalah seorang yang banyak tipu akalnya sebab
itulah ia sengaja tanya Gian Tat-peng untuk mengecek kebenaran apa yang
dikatakan Ting Tian itu. Maka terdengar Gian Tat-peng telah menjawab: "Suteku Jik Tiang-hoat memang
berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang', yaitu orang memperumpamakan dia itu laksana
seutas rantai besi besar yang melintang dipermukaan sungai hingga semua lalu-
lintas air itu takbisa naik dan takdapat turun, artinya mengatakan Jik-sute itu
seorang yang banyak tipu muslihatnya, caranya keji pula terhadap orang."
Sungguh hati Tik Hun sangat menyesal, pikirnya: "Apa yang dikatakan Ting-toako
itu ternyata sedikitpun tidak salah. Guruku ternyata benar seorang yang
demikian, sejak kecil aku telah tertipu olehnya dan beliau selamanya juga tidak
pernah mengunjukan watak aslinya padaku." ~ Namun demikian dalam hatinya tetap
timbul sekelumit harapan, maka tanyanya pula: " Juluk orang Kangouw itu belum
tentu dapat dipercaya penuh, boleh jadi musuhnya yang sengaja memberikannya
julukan itu untuk meng-olok2nya. Sebagai sesama saudara perguruan, tentunya
Gian-cianpwe cukup kenal bagaimana wataknya, nah, sebenarnya bagaimanakah
wataknya itu?" Gian Tat-peng menghela napas, kemudian katanya: "Bukanlah aku sengaja hendak
membicarakan kejelekan saudara perguruanku sendiri, tapi karena Inkong ingin
tahu, Cayhe tidak berani berdusta sedikitpun, maka biarlah kukatakan terus
terang. Jik-suteku itu lahirnya memang kelihatan seperti orang desa yang ke-
tolol2an, tapi sebenarnya hatinya licin, pikirannya tajam. Kalau tidak, masakah
'Soh-sim-kiam-boh' itu dapat jatuh kedalam tangannya?"
Tik Hun manggut2, selang sejenak barulah ia berkata pula: "Darimana kau tahu
dengan pasti bahwa 'Soh-sim-kiam-boh' itu berada padanya" Apa kau menyaksikan
dengan mata kepala sendiri" Menurut kabar, katanya engkau suka menyamar sebagai
seorang pengemis tua, apakah benar?"
Diam2 Gian Tat-peng terkesiap lagi, ia heran orang begitu lihay dan serba tahu
mengenal seluk-beluk dirinya. Maka jawabnya: "Wah, berita Inkong benar2 sangat
tajam hingga setiap tindak-tanduk Cayhe dapat diketahui Inkong. Semula aku
pikir, 'Soh-sim-kiam-boh' itu kalau bukan berada ditangan Ban-suko tentulah
berada pada Jik-sute, maka diam2 aku menyamar sebagai pengemis tua untuk
menyelidiki antara kedua tempat tinggal Suheng dan Sute itu. Tapi sesudah
kuselidiki sekian lamanya, achirnya aku menarik kesimpulan bahwa Kiam-boh itu
tidak berada pada Ban-suko tapi pasti berada ditangan Jik-sute."
"Apa yang meyakinkan kesimpulanmu itu?" tanya Tik Hun.
Jawab Gian Tat-peng: "Dahulu waktu guru kami akan wafat, beliau telah
menyerahkan Kiam-boh itu kepada kami bertiga saudara seperguruan ......"
Tik Hun jadi teringat kepada cerita Ting Tian tentang peristiwa berdarah pada
suatu malam dipantai Tiangkang, dimana Ban Cin-san, Gian Tat-peng dan Jik Tiang-
hoat bertiga telah mengeroyok guru mereka hingga mati. Maka ia lantas mendengus
demi mendengar keterangan Gian Tat-peng itu, katanya: "Hm apa betul gurumu
menyerahkan kitab itu kepada kalian secara baik2" Hm kukira belum .... belum tentu
benar, bukan" Apakah beliau meninggal secara wajar?"
Keruan kejut Gian Tat-peng tak terhingga, mendadak ia melompat bangun, ia tuding
Tik Hun dan berseru: "Apa kau ... kau adalah Ting ... Ting Tian ... Ting-toaya?"
Hendaklah diketahui bahwa kejadian Ting Tian yang mengubur jenazah Bwe Liam-sing
itu achirnya tersiar dikalangan Kang-ouw, sebab itulah demi mendengar dosa
sendiri yang membunuh guru dibongkar oleh Tik Hun seketika ia mencurigai pemuda
itu adalah Ting Tian. Tapi dengan dingin Tik Hun berkata: "Aku bukan Ting Tian, Ting-toako adalah
seorang pembenci kejahatan, dengan mata kepala sendiri ia telah menyaksikan
kalian bertiga mengeroyok hingga tewasnya Suhu kalian, pabila aku adalah Ting-
toako, tidak mungkin harini aku mau menolong jiwamu, tentu akan kubiarkan kau
mati dibawah pedangnya Ban Cin-san."
"Habis siapa engkau?" tanya Gian Tat-peng dengan takut dan sangsi.
"Kau tidak perlu urus siapa aku," sahut Tik Hun. "Jika ingin orang lain tidak
tahu, kecuali kalau engkau sendiri tidak berbuat. Nah, katakan terus terang,
setelah kalian menewaskan gurumu dan berhasil merebut 'Soh-sim-kiam-boh',
kemudian bagaimana?"
"Jika .... jika engkau toh sudah tahu semuanya, buat .... buat apa tanya padaku
lagi?" sahut Gian Tat-peng dengan suara gemetar.
"Ada sebagian yang kuketahui, tapi ada sebagian aku tidak tahu. Maka kau harus
mengaku dengan sejujurnya, jika bohong sedikit saja tentu akan kuketahui."
Sungguh takut dan hormat pula Gian Tat-peng kepada Tik Hun, katanya kemudian:
"Mana aku berani membohongi Inkong" Begini, sesudah kami mendapatkan 'Soh-sim-
kiam-boh' itu, setelah kami periksa, ternyata yang ada cuma Kiam-boh (kitab
pelajaran ilmu pedang) dan tiada terdapat Kiam-koat (kunci pelajaran ilmu
pedang) yang penting itu, jadi percumalah kami mendapatkan Kiam-bohnya saja ......"
Diam2 Tik Hun membatin: "Menurut Ting-toako, katanya Kiam-koat itu menyangkut
rahasia suatu partai harta karun yang belum diketemukan sesudah Bwe Liam-sing,
Leng-siocia dan Ting-toako wafat semua, maka didunia ini sudah tiada seorangpun
yang tahu akan Kiam-koat itu, sebaiknya kalian jangan mengimpi pula akan
memperolehnya." Dalam pada itu terdengar Gian Tat-peng sedang melanjutkan: "Sebab itulah, maka
kami masih terus menyelidiki dimanakah beradanya Kiam-koat itu. Tapi kami
bertiga saling curiga-mencurigai, masing2 sama kuatir kalau Kiam-boh itupun akan
dikangkangi pihak lain, maka setiap malam diwaktu tidur, Kiam-boh itu lantas
kami kunci didalam sebuah peti besi, kunci daripada peti itu kami buang ketengah
sungai dan peti besi itu kami simpan dilaci meja yang kami kunci pula. Malahan
peti besi itu kami gandeng pula dengan tiga buah rantai besi yang kecil dan
masing2 terikat dipergelangan tangan kami, jadi asal ada seorang yang bergerak
sedikit, segera dua orang yang lain akan lantas terjaga bangun."
Penjagaan seperti itu sungguh sangat kuat," ujar Tik Hun.
"Benar," sahut Gian Tat-peng. "Tapi toh masih terjadi juga keonaran."
"Terjadi keonaran apa?" tanya Tik Hun.
"Malam itu kami tidur didalam suatu kamar, tapi esok paginya mendadak Ban-suheng
ber-teriak2. "Dimana Kiam-boh itu" Dimana?" ~ Waktu aku terjaga bangun, kulihat
laci meja yang tersimpan peti besi itu sudah terbuka, tutup peti besi juga
melompong. Kiam-boh yang tersimpan didalam peti itu sudah terbang tanpa bekas.
Keruan kami bertiga sangat kaget, cepat kami mencari kesana kemari dan sudah
tentu hasilnya nihil. Kejadian itu benar2 sangat aneh sebab pintu dan jendela
kamar itu masih tetap tertutup rapat dan terkunci dengan baik, maka daapt diduga
pencuri Kiam-boh itu pasti bukan dilakukan orang dari luar, sebaliknya adalah
orang yang berada didalam kamar, jadi kalau bukan Ban-suko tentu adalah Jik-
sute, satu diantara mereka berdua itu pasti adalah malingnya."
"Jika begitu, mengapa dia tidak membuka jendela atau pintu agar disangka dicuri
oleh orang luar?" tanya Tik Hun.
"Tangan kami tergandeng oleh rantai besi, kalau diam2 bangun untuk membuka laci
dan peti besi itu masih mungkin, tapi kalau berjalan agak jauh untuk membuka
pintu atau jendela, maka rantai besi yang menggandengkan kami itu akan kurang
panjang," kata Tat-peng.
"O, kiranya begitu, lalu apa yang kalian lakukan lagi?" tanya Tik Hun pula.
"Sudah tentu kami tidak tinggal diam mengingat Kiam-boh itu tidak mudah kami
peroleh tapi direbut dengan mengadu jiwa," sahut Tat-peng. "Maka diantara kami
bertiga telah saling menyalahkan dan terjadilah pertengkaran, bahkan saling
tuduh menuduh pula, namun tiada seorangpun yang dapat membuktikan tuduhan
masing2, akhirnya terpaksa masing2 menuju kearahnya sendiri-sendiri ......"
"Ada sesuatu yang aku merasa tidak paham, harap suka memberi penjelasan," kata
Tik Hun. "Bahwasanya kalian bertiga adalah saudara perguruan, jikalau gurumu
memiliki sejilid Kiam-boh pusaka, lambat atau cepat toh pasti akan diwariskan
kepada kalian, apakah mungkin Kiam-boh ini akan dibawanya serta kedalam liang
kubur" Dari itu, mengapa kalian turun tangan sekeji itu dan mengapa mesti
membunuh guru kalian untuk mendapatkan Kiam-boh itu?"
"Ai, dasar guruku itu memang sudah pikun barangkali," sahut Tat-peng. "Coba,
masakah kami bertiga dituduh berhati tidak jujur dan berjiwa jahat, maka beliau
bertekad akan mengajarkan ilmu silatnya kepada orang luar. Oleh karena kami
sudah tak tahan lagi, sudah terpaksa, maka berbuat seperti apa yang terjadi
itu." "O, kiranya begitu. Habis, darimana kemudian kau yakin bahwa Kiam-boh itu berada
dalam tangan Jik-sutemu?" tanya Tik Hun.
"Semula yang kucurigai adalah Ban Cin-san, sebab dia yang menggembor lebih dulu
tentang kemalingan itu. Dan biasanya itu maling suka teriak maling, itulah
siasat yang paling sering digunakan. Tapi sesudah diam2 aku menguntit dia, tidak
lama kemudian aku lantas tahu dia bukan malingnya. Sebab dia sendiri juga sedang
membayangi Samsute. Jikalau Kiam-boh itu berada ditangan Ban Cin-san, tidak
mungkin dengan susah-payah ia malah menyelidiki orang lain, tapi ia tentu akan
menghilang sejauh mungkin untuk meyakinkan ilmu pedang itu. Namun setiap kali
aku melihat dia, selalu kulihat dia sedang mengertak gigi dengan gemas, sikapnya
tidak sabar lagi dan dendamnya tidak kepalang. Karena itulah aku lantas ganti
sasaran, yang kuincar sekarang adalah Jik Tiang-hoat."
"Lalu adakah sesuatu yang kau ketemukan?" tanya Tik Hun.
"Tidak, Jik Tiang-hoat itu benar2 memang seorang yang licin, sedikitpun ia tidak
menunjuk sesuatu tanda yang mencurigakan," sahut Tat-peng dengan menggeleng
kepala. "Pernah aku mengintai waktu dia mengajar ilmu pedang kepada putri dan
muridnya, tapi dia sengaja berlagak bodoh, ia sengaja mengubah nama2 jurusnya
dengan istilah2 yang aneh dan menggelikan. Tapi semakin dia berlaga pilon,
semakin menimbulkan curigaku. Selama tiga tahun aku terus mengintai gerak-
geriknya, tapi tetap tiada sesuatu lubang kelemahan yang kudapatkan. Diwaktu dia
tiada dirumah, pernah beberapa kali aku menggerayangi rumahnya, tapi hasilnya
nihil, jangankan Soh-sim-kiam-boh apa segala, biarpun kitab belajar membaca juga
tiada sedikitpun terdapat dirumahnya. Hehe, Suteku ini benar2 seorang maha
licin, seorang cerdik, seorang pintar!"
"Kemudian bagaimana?" tanya Tik Hun lagi.
"Kemudian, kemudian pihak Ban Cin-san akan merayakan ulang tahunnya. Ia telah
mengirim seorang muridnya untuk mengundang Jik Tiang-hoat ke Heng-ciu untuk ikut
merayakan Shejit sang Suko," tutur Tat-peng pula. "Sudah tentu, merayakan Shejit
hanya siasat saja, yang benar Ban Cin-san ingin mencari tahu bagaimana keadaan
Jik-sutenya. Begitulah Jik Tiang-hoat lantas berangkat ke Heng ciu dengan
membawa serta seorang muridnya yang ke-tolol2an, kalau tidak salah bernama Tik
Hun dan puterinya, Jik Hong juga ikut. Ditengah perayaan ulang tahun itu, entah
mengapa mendadak si tolol Tik Hun itu telah berkelahi dengan kedelapan anak-
murid Ban Cin-san, dalam keadaan dikerubut itu mendadak Tik Hun melontarkan tiga
tipu serangan yang hebat hingga menimbulkan curiga Ban Cin-san. Segera ia
mengundang Jik-sute kedalam kamarnya untuk bicara, tapi bicara punya bicara,
achirnya mereka sendiripun bertengkar, sekali tusuk Jik Tiang-hoat telah melukai
Ban-suko, habis itu ia lantas kabur dan menghilang entah kemana lagi. Aneh,
sungguh aneh, benar2 sangat aneh!"
"Aneh tentang apa?" tanya Tik Hun.
"Tentang Jik Tiang-hoat yang menghilang itu, sejak itu tidak pernah kelihatan
lagi batang-hidungnya, entah dia telah sembunyi dimana, bahkan kabar sedikitpun
tiada lagi," kata Tat-peng. "Diwaktu Jik Tiang-hoat berangkat ke Hengciu, dengan
sendirinya tidak mungkin ia membawa serta Kiam-boh yang dia serobot dari kedua
Suhengnya itu, tapi pasti dia simpan kitab pusaka itu disuatu tempat rahasia
dirumahnya itu. Semula aku menaksir sesudah dia melukai Ban Cin-san, tentu malam
itu juga ia akan pulang kerumah untuk mengambil Kiam-boh, lalu merat sejauh
mungkin. Selama itulah, begitu terjadi peristiwa itu di Heng-ciu, segera aku
menggunakan kuda pilihan mendahului datang ke Wan-leng sini, aku sembunyi
disekitar rumahnya untuk mengintai dimanakah dia menyimpan Kiam-boh curian itu,
dengan begitu aku akan segera menyergapnya. Akan tetapi tunggu punya tunggu,
tetap dia tidak muncul. Akhirnya aku menjadi tidak sabar lagi, dengan tidak
sungkan2 lagi aku lantas bongkar rumahnya hingga murat-marit, aku lalu menggali
kitab pusaka yang dia pendam dirumahnya itu. Namun sampai sekarang rupanya
usahaku ini sia2 belaka, jerih payahku itu terbuang percuma. Coba kalau tidak
ditolong oleh Inkong, bukan mustahil sekarang jiwaku sudah melayang disitu."
"Dan kalau menurut pendapatmu, kira2 saja Jik-sutemu itu sekarang berada
dimana?" tanya Tik Hun.
"Inilah aku benar2 tidak dapat menerkanya," sahut Tat-peng dengan menggeleng.
"Besar kemungkinan dia sudah ketulah dan sudah mati menggeletak dimana atau
jatuh sakit untuk tidak pernah sembuh lagi atau boleh jadi mengalami kecelakaan
apa2 serta sudah menjadi mangsa harimau atau serigala."
Melihat cara Gian Tat-peng omong itu penuh mengunjuk rasa senang pabila sang
Sute itu benar2 sudah mati, diam2 Tik Hun menjadi muak terhadap manusia rendah
itu. Tapi lantas terpikir olehnya bahwa selama ini memang tiada kabar berita
tentang gurunya itu, besar kemungkinan memang sudah mengalami sesuatu halangan
apa2. Maka ia lantas berbangkit dan berkata. "Terima kasih atas keteranganmu yang
sebenarnya ini, sekarang Cayhe mohon diri lebih dulu."
Dengan penuh hormat kembali Gian Tat-peng menjura tiga kali lagi, katanya. "Budi
kebaikan Inkong yang tiada terhingga ini selama hidup Gian Tat-peng takkan
melupakan." "Hanya soal kecil ini mengapa mesti dipikirkan," sahut Tik Hun. "Kau boleh
merawat lukamu disini, Ban Cin-san itu takkan dapat menemukan kau, maka tidak
perlu kau kuatir." "Saat ini besar kemungkinan dia lagi kelabakan seperti semut di minyak wajan
panas, mana dia sempat untuk memikirkan mencari aku?" sahut Tat-peng dengan
tersenyum. "Sebab apa?" tanya Tik Hun dengan heran.
"Sebab saat ini dia tentu lagi kelabakan memikirkan keselamatan puteranya,"
tutur Tat-peng. "Tangan puteranya itu telah kena disengat oleh ketungging yang
berbisa jahat itu, untuk bisa sembuh harus ber-turut2 dibubuhi obat sebanyak
sepuluh kali, kalau cuma sekali dibubuhi obat, memang sakitnya akan hilang untuk
sebentar, lalu tidak lama kemudian akan kambuh lagi lebih jahat."
"Wah jika begitu, apakah jiwa Ban Ka itu akan melayang?" kata Tik Hun agak
kaget. Racun ketunggingku itu memang benar2 lain daripada yang lain," tutur Tat-peng
dengan ber-seri2. "Yang hebat adalah Ban Ka itu takkan mati seketika, tapi dia
akan merintih dan menderita selama sebulan suntuk, habis itu barulah jiwanya
melayang. Hahaha, sungguh hebat, sungguh bagus!"
"Kalau sebulan kemudian baru dia akan mati, jika begitu tentu dia akan dapat
menemukan tabib pandai untuk mengobati lukanya yang disengat ketungging itu,"
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujar Tik Hun. "Agaknya Inkong tidak tahu bahwa ketungging berbisa itu bukanlah sembarangan
serangga yang dibesarkan oleh alam, tapi adalah piaraanku sendiri, sejak kecil
aku telah melolohi dia dengan macam2 obat penawar agar mereka sudah biasa atau
kebal oleh obat penawar itu, maka kalau tabib umumnya membubuhkan obat penawar
ditempat yang disengat itu, sudah tentu takkan berguna sama sekali. Hahaha!"
Dengan melirik hina Tik Hun mengikuti cerita manusia keji itu, diam2 ia
membatin: "Hati orang ini benar2 terlalu kejam dan menakutkan. Bukan mustahil
lain kali akupun akan kena disengat oleh ketungging yang ia piara itu. Menurut
pesan Ting-toako, katanya kalau berkelana di Kangouw hendaklah jangan timbul
maksud untuk membikin celaka orang, tapi juga jangan lengah untuk menjaga
kemungkinan dicelakai orang. Maka lebih baik aku minta sedikit obat penawar dari
dia sekedar untuk persediaan siapa tahu bila kelak ada gunanya."
Maka ia lalu berkata: "Gian-cianpwee, obat penawar untuk racun ketunggingmu itu
bolehlah serahkan padaku saja."
"Baik, baik," sahut Gian Tat-peng tanpa pikir. Tapi ia tidak lantas menyerahkan
obat yang diminta, sebaliknya tanya dulu. "Inkong minta obat penawar itu, entah
akan digunakan untuk apa?"
"Ketunggingmu itu sangat lihai, bisa jadi pada suatu saat aku kurang hati2
hingga tersengat, tapi kalau aku sudah punya obat penawarnya tentu takkan kuatir
lagi," sahut Tik Hun.
Wajah Gian Tat-peng mengunjuk rasa risi, sahutnya dengan tertawa: "Ah Inkong
suka bergurau saja. Sedangkan buat pertolongan jiwa Inkong padaku belum kubalas,
masakah aku mempunyai maksud untuk mencelakai Inkong."
"Ya, tapi ada baiknya juga aku menjaga segala kemungkinannya, sedia payung
sebelum hujan, kan tiada jeleknya," kata Tik Hun sambil mengulurkan tangannya.
"Ya, ya!" sahut Gian Tat-peng dan terpaksa ia mengeluarkan botol obat penawar
itu dan diserahkan kepada tuan penolong jiwanya itu.
Sesudah meninggalkan Gian Tat-peng dipuncak gunung itu, Tik Hun kembali pula
kegedung itu untuk menyelidiki keadaannya. Tapi dilihatnya gedung itu sudah sepi
senyap tiada seorangpun, para kuli kampung sudah bubar, simandor dan si Koankeh
juga entah menghilang kemana lagi.
"Suhu mungkin sudah meninggal, Sumoay kini sudah menjadi isteri orang, maka
tempat ini untuk selanjutnya terang takkan kudatang lagi," demikian pikir Tik
Hun. Segera ia tinggalkan gedung itu dan berangkat menuju kebarat-daya dengan
menyusur tepi sungai. Sementara itu fajar sudah menyingsing, sang surya mulai mengintip diufuk timur,
beberapa puluh meter jauhnya, waktu Tik Hun menoleh, ia melihat sinar fajar
cemerlang dipucuk pohon2. Yang didepan gedung itu, air sungai juga ber-kelip2
memancarkan cahaya ke-emas2sannya, pemandangan demikian ini sudah sejak kecil
kenyang dilihat oleh Tik Hun, tanpa merasa ia menggumam lagi: "Untuk selanjutnya
aku takkan kembali lagi ketempat ini."
Setelah membetulkan rangselnya, ia pikir tugas yang masih harus dilaksanakannya
hanya tinggal satu saja yaitu mengubur abu tulang Ting-toako bersama jenazah
Leng-siocia. Maka tempat yang harus ditujunya sekarang adalah Heng-ciu.
Pikirnya pula: "Sikeparat Ban Ka itu telah mengakibatkan hidupku merana seperti
sekarang ini, syukur orang jahat tentu mendapat ganjaran yang setimpal, maka
rasanya akupun tidak perlu membalas dendam dengan tanganku sendiri, menurut kata
Gian Tat-peng katanya dia akan me-rintih2 dan sesambatan selama sebulan, habis
itu baru akan mati, entah apa yang dikatakan itu benar atau tidak. Jika ternyata
jiwanya masih belum melayang umpamanya, maka aku baru menambahi dia dengan
tusukan pedangku biar bagaimanapun jiwa anjingnya harus kucabut."
Begitulah ia lantas berangkat ke Heng-ciu yang tidak jauh dari barat Ouw-lam
itu, maka tiada seberapa hari iapun sampailah disana.
Sesudah mencari kabar, diketahuilah bahwa Leng Dwe-su masih tetap menjadi Tihu
disitu. Maka ia tetap menyaru seorang gelandangan yang dekil agar tidak dikenal
orang. Begitu masuk kota, pikiran pertama yang timbul padanya adalah: "Aku ingin
menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri cara bagaimana Ban Ka tersiksa oleh
racun ketungging itu. Entah apakah dia dapat disembuhkan dan entah apakah dia
sudah pulang kesini atau belum, boleh jadi dia masih tinggal di Ouwlam untuk
berobat." Maka pelahan2 ia menuju kerumah keluarga Ban itu, dari jauh lantas dilihatnya
Sim Sia sedang keluar dari gedung megah itu secara ter-gesa2, agaknya sedang
sibuk mengalami sesuatu masalah gawat.
Pikir Tik Hun: "Jika Sim Sia berada disini, tentu Ban Ka juga sudah pulang. Maka
malam nanti biarlah aku menyelidikinya kesitu."
Segera ia kembali ketaman bobrok dahulu, taman itu tidak jauh dari rumah
keluarga Ban itu. Ditaman itulah dahulu Ting Tian meninggal sesudah lebih dulu
membunuh Ciu Kin, Kheng Thian-pa dan Tay-beng. Kini berkunjung lagi ketempat
lama ia melihat taman itu semakin rusak, keadaan semakin tak keruan. Di-mana2
runtuhan puing dan tumbuh2an liar.
Ia mendatangi pohon Bwe dahulu itu, ia me-raba2 lekak-lekuk pohon tua itu sambil
memikir. "Waktu itu Ting-toako menghembuskan napasnya yang penghabisan dibawah
pohon ini, tapi wujut pohon ini sampai sekarang masih tetap sama, sedikitpun
tiada berubah, sebaliknya Ting-toako sekarang sudah menjadi abu."
Begitulah ia lantas duduk ter-menung2 dibawah pohon Bwe itu, achirnya ia
terpulas juga. Kira2 dekat tengah malam, ia mendusin dan mengeluarkan rangsum kering untuk
tangsal perut lalu keluar dari taman bobrok itu dan menuju kerumah keluarga Ban.
Ia memutar kepintu belakang gedung besar itu, dari sini ia melompat pagar tembok
dan masuk ketaman bunga. Menghadapi tempat bersejarah itu, tanpa merasa hati Tik
Hun menjadi pedih, pikirnya: "Dahulu aku terluka parah dan sembunyi digudang
kayu sana, tapi Sumoay tidak membantu dan menolong aku, ia benar2 tidak berbudi,
bahkan ia malah memanggil suaminya untuk membunuh aku."
Begitulah sambil membayangkan kejadian dahulu dan selagi ia mulai melangkah
kedepan, tiba2 dilihatnya ditepi empang sana ada tiga titik sinar api yang ber-
kelip2. Tik Hun menjadi curiga dan segera berhentikan langkahnya ia mengumpet dibelakang
sebatang pohon, lalu mengintai ketempat sinar api itu. Sesudah diperhatikan,
akhirnya dapat diketahuinya bahwa bintik2 sinar api itu tak-lain adalah tiga
batang dupa yang tertancap disuatu Hiolo (tempat menancap dupa). Hiolo itu
tertaruh diatas satu meja kecil dan didepan meja itu ada dua orang yang sedang
berlutut dan menyembah kepada langit.
Tidak lama kemudian kedua orang itu tampak berbangkit, maka jelaslah Tik Hun
melihat satu diantaranya adalah Jik Hong, seorang lagi adalah satu dara cilik,
terang itulah puteri sang Sumoay yang dipanggil "Kong-sim-jay" itu.
Terdengar perlahan-lahan Jik Hong berdoa: "Dupa pertama ini memohon agar Tuhan
Allah memberkahi keselamatan bagi suamiku, agar lukanya segera sembuh, abuhnya
lekas kempis dan racunnya segera hilang, supaya tidak lama tersiksa oleh racun
ketungging itu. Khong-sim-jay, hayolah berkata, bilang mohon Tuhan Allah
memberkati penyakit ayah lekas sembuh".
"Ya, ibu, mohon Tuhan Allah memberkati penyakit ayah lekas sembuh, supaya ayah
tidak berteriak2 kesakitan lagi" demikian dara cilik itu menirukan nada sang
ibu. Mendengar itu, diam-diam Tik Hun merasa senang dan syukur atas penderitaan Ban
Ka. Tapi ia gemas pula atas perhatian Jik Hong terhadap suaminya itu.
Kemudian terdengar Jik Hong berdoa lagi: "Dan dupa kedua ini mohon Tuhan Allah
memberkati ayahku dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, semoga lekas2 pulang
untuk berkumpul lagi. Khong-sim-jay, lekas bilang mohon Tuhan Allah memberkati
Gwakong semoga berumur panyang".
"Ya, ibu, Gwakong, hendaklah engkau lekas pulang, mengapa engkau tidak lekas
pulang", demikian sidara cilik menirukan pula.
"Katakan mohon Tuhan Allah memberkahi selamat", sang ibu mengayarkan.
"Ya, ibu, mohon Tuhan Allah memberkahi selamat pada Gwakong, kepada ayah dan
kepada kakek", kata dara cilik itu. Selamanya ia belum pernah melihat Jik Tiang
Hoat yaitu Gwakong atau kakek luarnya, maka yang dipikirkan adalah ayahnya dan
kakeknya sendiri, yaitu Ban Cin-san.
Dan sesudah berhenti seyenak, kemudian Jik Hong berdoa lagi dengan suara agak
lirih: Dan dupa yang ketiga ini memohon kepada Tuhan Allah agar memberkahi dia
dalam keadaan sehat, semoga dia hidup senang dan mendapatkan isteri baik dan
lekas mendapat anak............................". ~ berkata sampai disini, suaranya menyadi serak
se-akan2 tersumbat tenggorokannya, lalu ia mengusap air matanya dengan lengan
baju. "Kembali ibu terkenang kepada Kuku, ya" tanya si dara cilik.
"Khong Sim-jay, bilang mohon kepada Tuhan Allah agar memberkahi keselamatan
kepada Khong-sim-jay Kuku.............." kata Jik Hong pula.
Memang Tik Hun sudah heran ketika Jik Hong berdoa untuk dupa yang ketiga. Ia
tidak tahu siapakah yang dimintakan berkah. Dan demi mendadak mendengar bekas
kekasih itu menyebut "Khong-sim-jay Kuku", seketika telinganya seperti
mendengung, hatinya serasa berkata: "Ha, dia maksudkan aku, dia maksudkan aku?".
Dalam pada itu si dara cilik telah menurut kata ibunya tadi dan sedang
bersuyut:"Ya, Tuhan Allah, ibuku selalu terkenang kepada Khong-sim-jay Kuku,
mohon diberkahi selamat dan rejeki besar agar kelak aku dibelikan sebuah boneka
besar. Dia adalah Khong-sim-jay, akupun Khong-sim-jay, kami sama-sama Khong-sim-
jay. Eh, ya, ibu kemanakah perginya Khong-sim-jay Kuku itu" Mengapa dia tidak
pernah pulang?" Maka Jik Hong telah menyawab: "Khong-sim-jay Kuku itu telah pergi ke tempat yang
yauh, yauh sekali. Kuku itu telah meninggalkan ibumu, tetapi ibumu senantiasa
memikirkan dia.....................". ~ berkata sampai disini tiba-tiba ia peluk anak
perempuannya itu dan menyusupkan kepalanya di dada bocah itu, lalu masuk kerumah
dengan langkah lebar. Pelahan2 Tik Hun keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati Hiolo yang
ditinggalkan itu. Dengan ter-menung2 ia memandangi ketiga batang dupa itu
semakin lama makin surut, sampai akhirnya menjadi abu semua, tapi ia masih ter-
mangu2 di situ tanpa bergerak sedikitpun.
Ia baru tersadar ketika burung berkicau dengan ramai dan fayar sudah
menyingsing, maka cepat ia tinggalkan taman keluarga Ban itu. Ia berkeliaran
kian kemari di dalam kota Heng-ciu tanpa arah tuyuan.
Tiba-tiba didengarnya suara "creng-creng" yang berisik, itulah bunyi kecer
seorang tabib kelilingan yang sedang menawarkan obatnya sepanjang yalan.
Mendadak hati Tik Hun tergerak. Bukankah ia ingin menyaksikan sendiri bagaimana
keadaan Ban Ka yang sesambatan tersiksa oleh racun ketungging itu"
Terus saya ia mendekati tabib kelilingan itu, ia keluarkan sepuluh tahil perak
untuk membeli pakaian tabib itu beserta peti obat dan peralatan lainnya. Sudah
tentu tabib kelilingan itu sangat heran ada orang mau memborong barang2nya yang
rombeng itu, padahal nilainya tidak lebih dari lima tahil perak. Sudah tentu ia
kegirangan setengah mati, bagai orang putus lotre. Tanpa tahan harga lagi ia
terus lepaskan kepada Tik Hun.
Sesudah memborong milik tabib kelilingan itu, lalu Tik Hun kembali ke taman
bobrok itu, disitulah ia ganti pakaian, ia menyaru sebagai tabib. Lalu ia tumbuk
sedikit rumput obat dan airnya ia gunakan untuk poles mukanya sendiri, malaha ia
sengaya tambal sepotong koyok dimata kiri sendiri hingga muka aslinya susah
dikenali lagi. Habis itu, segera ia menuju ke rumah keluarga Ban.
Didepan gedung keluarga Ban itu ia sengaya bunyikan kecernya sekeras mungkin,
sesudah dekat pintu ia terus ber-teriak2 malah: "Tabib sakti, spesial mengobati
segala macam penyakit aneh, segala yenis keracunan, baik disengat kelabang
maupun dipagut ular, tanggung ces-pleng, sekali minum obatku, seketika sembuh!".
Begitulah sesudah ia ber-teriak2 beberapa kali, lantas tertampaklah dari dalam
berlari keluar dengan buru2, setelah dekat orang itu lantas memanggilnya: "He,
Sinshe, kemarilah sini".
Tik Hun kenal orang itu adalah muridnya Ban Cin San yang bernama Go Him, yaitu
orang yang dahulu telah menabas putus jarinya itu.
Tapi kini Tik Hun dalam penyamaran, muka aslinya sudah berobah 180 derayat,
dengan sendirinya Go Him tidak kenal dia lagi.
Pelahan-lahan Tik Hun mendekati Go Him, karena kuatir suaranya dikenal orang, ia
sengaya menekuk suara dan berkata: "Ada apakah Tuan" Apakah engkau menderita
penyakit aneh, misalnya bisul jahat atau abuh bengkak yang tak dikenal namanya?"
"Hus, apakah kau kira aku ini mirip seorang penderita sakit?" Semprot Go Him,
"He, aku ingin tanya padamu, kalau disengat ketungging, apakah kau dapat
menyembuhkan?" "Ha-ha, mengapa tidak bisa?" sahut Tik Hun sengaya bergelak tawa. "Sedangkan
ular-ular berbisa seperti Jik-lian-coa (ular gelang rantai), Kim-kah-tay (ular
bergelang kaki), Bak-kia-coa (ular kaca-mata, kobra) dan lain-lain ular berbisa
paling jahat yuga ces-pleng bila makan obatku, apalagi cuma penyakit sepele kena
disengat ketungging, he-he, itulah penyakit tak berarti".
"Ah, jangan kau omong besar dahulu", uyar Go Him. "Hendaklah engkau ketahui
bahwa ketungging itu bukan sembarangan ketungging, sedangkan tabib terkemuka di
kota Heng-ciu juga tak berdaya menyembuhkannya, masakah kau sanggup mengobati?"
"Ha, masakah ada ketungging selihay itu?" demikian Tik Hun pura-pura mengkerut
kening. "Padahal ketungging didunia ini paling lihay cuma sebangsa Hwe-kat
(ketungging kelabu), Kim-ci-kat (ketungging mata uang emas), Moa-tahu-kat
(ketungging kepala burik), Ang-bwe-kat (ketungging ekor merah), Pek-kah-kat
(ketungging kaki putih) dan............................" Begitulah ia sengaja mencerocos dengan
aneka macam-macam nama-nama ketungging sampai berpuluh-puluh jenis banyaknya.
Habis itu baru ia berkata pula: "Setiap yenis ketungging itu memang ber-beda2
racunnya, cara pengobatannya juga berlainan, maka biarpun namanya saja tabib
pandai, jikalau cuma nama kosong saya sudah tentu takkan becus menyembuhkan luka
disengat ketungging".
Mendengar sekaligus tabib kelilingan itu mencerocos berpuluh nama yenis
ketungging, mau tak mau Go Him merasa kagum dan tertarik, segera katanya: "Jika
begitu, silakan Sinshe masuk ke dalam untuk mengobati suhengku, Jikalau dapat
menyembuhkan, tentu suhuku akan memberi hadiah besar".
Tik Hun mengangguk dan ikut masuk ke dalam gedung itu. Begitu melangkah masuk,
seketika Tik Hun teringat kepada keyadian dulu, dimana ia dan sumoay mengikut
sang suhu menghadiri perayaan ulang tahun sang Supek, tatkala itu ia masih
seorang pemuda desa yang hijau, segala apa belum pernah dilihatnya dan semuanya
serba baru baginya, maka sepanjang jalan ia asyik bicara dengan Sumoay tentang
pemandangan yang mereka lihat itu. Kini berkunjung kembali kegedung yang sama,
namun suasananya sudah berbeda.
Ia ikut Go Him masuk keruangan dalam, setelah menyusur dua tempat Cimche,
akhirnya sampai dibawah sebuah loteng. Segera Go Him menengadah keatas dan
berseru: "Samsuso, ini adalah seorang tabib kelilingan, katanya mampu mengobati
segala penyakit kena disengat ketungging, apakah perlu aku mengundang tabib ini
untuk periksa penyakit Suko?"
Lalu terdengar suara berkeriut, jendela loteng dibuka orang, tertampak Jik Hong
melongok keluar dan berkata: "Baiklah, terima kasih Go-sute, malahan hari ini
Suko-mu tambah kesakitan, lekas undang Sinshe naik ke sini".
"Baiklah Suso", sahut Go Him. Lalu ia berpaling kepada Tik Hun: "Silakan,
Sinshe". ~ Ia menyilakan sang "Sinshe" naik ke loteng, tapi ia sendiri tidak
ikut mengantar. Maka Jik Hong berseru lagi: "Go-sute, silakan kaupun ikut kemari membantu".
Go Him mengiakan, maka iapun ikut naik keatas loteng.
Setiba diruangan loteng, Tik Hun melihat ditengah situ didekat yendela tertaruh
sebuah meya tulis yang besar dengan penuh segala peralatannya dan banyak kitab-
kitab pula, diatas meja terdapat pula sehelai baju anak kecil yang belum selesai
diyahit. Sementara itu tampak Jik Hong telah memapak keluar dari kamar sana, mukanya
tidak berbedak dan bergincu, tapi tidak mengurangi cantiknya, hanya tampak agak
kurus dan pucat sedikit, mungkin terlalu letih dan kurang tidur karena mesti
merawat sang suami. Tik Hun hanya memandang sekeyap saya kepada sang Sumoay itu lalu tidak berani
memandang lagi sebab kuatir dikenali. Kemudian ia ikut masuk kedalam kamar,
disitu kelihatan ada sebuah ranjang kayu yang besar, diatasnya merebah seseorang
dengan menghadap kedalam sana sambil tiada hentinya me-rintih2. Itulah dia Ban
Ka. Dan ditepi ranjang itu seorang dara cilik berduduk diatas dingklik cilik kecil
sedang memiyat pelahan-lahan kaki sang ayah. Tapi demi melihat wayah Tik Hun
yang kotor dan aneh itu, ia menjerit takut dan mengumpet ke belakang sang ibu.
Kemudian Go Him berkata: "Suko-ku ini kena disengat ketungging berbisa, racunnya
masih belum hilang, harap Sinshe suka memeriksa dan kasih obat bila perlu".
Tik Hun mengiakan. Kalau diluar tadi ia bisa mencerocos bagai air bah membanyir
untuk bicara dengan Go Him, adalah sekarang sesudah melihat Jik Hong, seketika
hatinya ber-debar2 dan mulut serasa terkancing, untuk bicarapun rasanya susah.
Tapi iapun mendekati ranyang dan tepuk pelahan dipundak Ban Ka. Pe-lahan2 Ban Ka
membalik tubuh, ketika ia membuka mata dan melihat macam Tik Hun yang luar biasa
itu, mau tak mau ia terkesiap juga.
Maka terdengar Jik Hong mendahului berkata: "Samko, ini adalah Sinshe yang
diundang oleh Go Sute, katanya..............katanya ia pandai mengobati segala macam
racun serangga dan ular, boleh jadi dia ada obat mujarab yang dapat menyembuhkan
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lukamu". ~ Nyata nadanya juga tidak menaruh kepercayaan bahwa tabib gelandangan
seperti itu mampu mengobati penyakit sang suami.
Tapi Tik Hun tidak bicara, ia periksa punggung tangan Ban Ka yang abuh itu. Ia
melihat bagian tangan itu hitam hangus mengerikan.
"Ini adalah sengatan ketungging berbisa keluaran Wan-leng di barat Ouw-lam, di
Ouw-pak tiada terdapat ketungging seyenis itu". kata Tik Hun kemudian.
"He, ia betul, memang betul disengat oleh ketungging di Wan-leng sana". seru Go
Him dan Jik Hong berbareng.
"Sesudah Sinshe dapat mengetahui asal-usul ketungging yang menyengat itu, tentu
Sinshe dapat mengobatinya?" tanya Jik Hong pula dengan penuh harapan.
Tik Hun sengaya menghitung dengan jari, lalu katanya pula: "Ehm, ketungging itu
menyengatnya diwaktu malam, kalau tidak salah, ehm, sampai sekarang sudah lewat
tuyuh hari tujuh malam lamanya".
Keruan Go Him saling pandang dengan Jik Hong, habis itu mereka berseru berbareng
lagi: "Betul, betul, sungguh dugaan Sinshe sangat tepat, memang pada malam hari
kena disengat oleh ketungging dan sampai sekarang sudah tujuh hari tuyuh malam.
Maka harap Sinshe lekas tolong memberi obat".
Sudah tentu Tik Hun bukan dewa yang bisa meramalkan kejadian yang sudah lalu dan
dapat menduga apa yang belum datang. Soalnya ia sendiri yang menyaksikan Ban Ka
disengat oleh ketunggingnya Gian Tat-peng, dengan sendirinya ia dapat mengatakan
dengan jitu. Begitulah maka ia menjadi senang dan kasihan pula melihat kelakuan Jik Hong dan
Go Him yang keyut-keyut girang itu. Maka iapun sengaya jual mahal, segera
katanya pula: "Apakah tuan ini telah menggecek mati ketungging itu dengan
punggung tangannya" Kalau tidak berbuat demikian sebenarnya masih dapat
tertolong, tapi kini ketungging itu dibunuh diatas punggung tangan, seketika
racunnya lantas tersebar semua kedalam luka, untuk menolongnya sungguh maha
sulit sekarang". "Memang jelas sekali uraian Sinshe, tapi apapun juga mohon Sinshe sudilah
menolong jiwanya", pinta Jik Hong dengan kuatir dan gopoh.
Kedatangan Tik Hun ke Heng-ciu ini sebenarnya ingin menyaksikan sendiri cara
bagaimana Ban Ka menderita dan me-rintih2 mendekati ajalnya, yaitu untuk
melampiaskan rasa dendamnya selama ini, maka sedikitpun tiada pikiran padanya
untuk menolong jiwa musuh besarnya itu.
Namun seyak semalam didengarnya doa restu Jik Hong yang ternyata masih tidak
melupakan dirinya, bahkan memohon kepada Tuhan Allah agar memberkati selamat
bahagia bagi dirinya, semoga lekas beristri dan beranak, malahan mengatakan
bahwa dirinya yang telah meninggalkan Sang Sumoay itu, dari ucapan terakhir ini
agaknya Sumoay masih yakin bahwa dia benar2 pada malam itu hendak kabur bersama
gundiknya Ban Cin-san, yaitu si Mirah, oleh sebab itulah maka Sumoay menyesal
dan putus asa lalu menikah pada Ban Ka.
Diwaktu kecilnya Tik Hun sangat penurut kepada segala kehendak Jik Hong, tidak
pernah ia membangkang atau membantah apa yang dikatakan sang Sumoay. Maka kini
demi mendengar permohonan Jik Hong yang penuh kuatir itu, hati Tik Hun menyadi
lemas, segera ia bermaksud mengeluarkan obat penawar yang diperolehnya dari Gian
Tat-peng itu. Tapi mendadak ia mendapat pikiran lain: "Si keparat Ban Ka ini telah membuat aku
menderita dan merana selama ini, dia merebut pula Sumoayku, kalau aku tidak
membunuhnya dengan tanganku sendiri sebenarnya sudah dapat dikatakan aku cukup
murah hati, mana boleh sekarang aku menolong jiwanya pula?".
Karena pikiran itu ia segera menggeleng kepala dan menjawab: "Bukanlah aku tidak
mau menolongnya, tapi sesungguhnya dia sudah terlalu mendalam keracunan, pula
sudah tertunda sekian hari, racunnya sudah masuk otak, untuk menolongnya sudah
sangat susah". Tiba2 Jik Hong meneteskan air mata, ia tarik si dara cilik tadi dan berkata
padanya: "Kong-sim-jay mestikaku, lekaslah kau menjura kepada paman Sinshe ini,
mohon beliau sukalah menolong jiwa ayahmu".
"Jang..................jangan menjura apa segala...................," cepat Tik Hun menggoyang-goyang
tangannya. Tapi anak itu memang sangat penurut, rupanya tahu juga ayahnya sakit sangat
payah, maka terus saya ia berlutut dan menyembah beberapa kali.
Kelima yari kanan Tik Hun sudah terpapas kutung oleh Go Him dahulu dan seyak
tadi ia masukkan saku, maka ia hanya gunakan tangan kiri untuk membangunkan anak
dara itu. Waktu menarik bangun bocah itu, tiba-tiba dilihatnya dilehernya
memakai sebuah kalung dengan mainan yang berukir empat huruf 'Tik-yong-siang-
bo'. Melihat itu, Tik Hun menyadi tertegun, teringat olehnya tempo dulu waktu dia
pingsan di dalam gudang kayu rumah keluarga Ban ini, ketika ia sadar kembali, ia
dapatkan dirinya berada di dalam suatu sampan dan terombang-ambing di tengah
sungai Tiang-kang, disampingnya terdapat beberapa tahil perak dan sedikit
perhiasan, diantaranya yuga terdapat sebuah mainan yang bertuliskan empat huruf
seperti itu. Ia menjadi heran, jangan-jangan....... jangan-jangan.............
Maka ia tidak berani memandang lagi, pikiran kusut akhirnya jernih kembali,
terbayang pula keadaan waktu dahulu itu. "Ya,....ketika aku jatuh pingsan digudang
kayu itu, selain Jik-Sumoay yang menolong aku, terang tiada orang lain lagi.
Dahulu aku mencurigai dia sengaya hendak membunuh aku, tapi semalam ia
berdoa.......berdoa kepada Tuhan, ia telah mengutarakan isi hatinya terhadap diriku.
Dan kalau dia begitu mencinta aku, tempo dulu itu sudah tentu tidak mungkin
bermaksud membunuh aku. Masakah aku ditakdirkan bahwa sesudah mengalami derita
sengsara selama ini, lalu aku akan dipersatukan lagi dengan Sumoay seperti
sekarang ini". Teringat kemungkinan akan ruyuk kembali dengan sang Sumoay tanpa merasa hati Tik
Hun ber-debar2 pula, ketika ia melirik Jik Hong, dilihatnya wajahnya penuh
merasa kuatir, dengan penuh perhatian Sumoay itu sedang memandangi Ban Ka yang
menggeletak diranjang itu, sorot matanya mengunyuk rasa cinta kasih yang tak
terhingga. Melihat sinar mata sang Sumoay itu, seketika hati Tik Hun mencelus lagi. Kembali
terbayang lagi keyadian dahulu yang masih diingatnya dengan yelas. Hari itu ia
bertempur melawan Ban-bun-pat-tecu, ia dikeroyok dan dihajar mereka hingga
matang biru dan hidung bocor. Kemudian Sumoay telah menjahitkan bajunya yang
terobek dalam perkelahian itu, sorot mata sang Sumoay pada saat mendampinginya
itulah juga penuh rasa kasih sayang seperti sekarang sang Sumoay itu memandangi
Ban Ka. Maka kini, teranglah sorot mata yang membahagiakan setiap lelaki itu
oleh sang Sumoay telah diberikan kepada suaminya dan tiada mungkin dituyukan
kepadanya lagi. "Pabila aku tidak memberi obat penawar padanya, siapakah yang dapat menyalahkan
aku" Dan bila nanti Ban Ka sudah mampus, dimalam hari diam2 aku datang kesini
untuk membawa kabur Sumoay, siapakah yang dapat merintangi aku" Dengan begitu
aku dapat berkumpul pula dengan Sumoay sebagai suami isteri selama hidup.
Tentang anak dara ini, ehm, biarlah akan kubawa serta dia..................Tetapi, ai, tak
bisa, tak bisa! Sumoay sudah biasa menyadi nyonya muda dirumah keluarga Ban yang
kaya ini, hidupnya senang serba cukup, masakah dia mau ikut pergi bersama aku
untuk meluku sawah dan mengangon kerbau lagi" Apalagi wayahku yelek begini,
tidak banyak 'makan' sekolah, lagi tanganku yuga cacat, masakah aku sesuai
menyadi jodohnya" Dan apakah dia sudi ikut kabur bersama aku?"
Begitulah demi teringat dirinya sendiri yang serba kurang dan serba rendah itu,
Tik Hun menyadi malu diri dan kecil hati, ia menunduk termangu-mangu.
Sudah tentu Jik Hong tidak tahu bahwa pada saat sesingkat itu pikiran sang
'Sinshe' sedang melayang-layang sejauh itu. Maka dengan terkesima iapun
memandangi Sinshe itu dengan harapan akan terdengar ucapan menggirangkan dari
mulutnya bahwa suaminya dapat tertolong.
Sementara itu Ban Ka masih terus me-rintih2 dan sesambatan, racun ketungging itu
meresap sampai diruas tulang ketiaknya, keruan rasanya menjadi seperti lengannya
itu terkutung sakitnya. Dan sesudah menunggu agak lama, sang Sinshe masih diam saja, Jik Hong tambah
kuatir, kembali ia memohon pula: "Sinshe, tolong............ tolonglah engkau mencoba
saja, asal....... asal dapat mengurangi sedikit penderitaannya juga.............juga
mendingan baginya, andaikan... andaikan............, akhirnya dia............. Ya, juga tak bisa
menyalahkan pada Sinshe". ~ Maksudnya akan mengatakan bila jiwa Ban Ka itu toh
tak bisa diselamatkan lagi, asal penderitaannya dapat dikurangi, biarpun
akhirnya mati juga tidak terlalu tersiksa lagi.
Maka Tik Hun tersadar dari lamunannya tadi, seketika itu hatinya serasa hampa,
segala harapannya musna sirna, ia benar-benar ingin mati pada saat itu juga.
Dengan segenap hati ia mencintai sang Sumoay, tapi Sumoay itu telah dipersunting
oleh musuhnya, bahkan kini orang yang dicintai itu memohon dengan sangat agar
dia menolong musuh itu. Apa gunanya lagi menjadi manusia seperti itu" 'Aku lebih
suka menjadi Ban Ka yang menderita dan tersiksa seperti sekarang ini, tapi
didampingi Sumoay yang memandang padaku dengan penuh kasih sayang, biarpun akan
mati dalam beberapa hari lagi juga tidak menyadi soal'. Demikian pikirnya.
Begitulah tanpa merasa ia menghela napas dan mengeluarkan obat penawar yang
diperolehnya dari Gian Tat-peng itu, ia tuang sedikit obat bubuk warna hitam dan
dibubuhkan dipunggung tangan Ban Ka.
"He, betul, memang betul itulah obat penawarnya, wah, ini........... ini berarti akan
tertolonglah!" Demikian mendadak Go Him berseru.
Tik Hun menjadi heran mendengar seruan yang bernada aneh itu. Bahwasanya sang
Suheng 'berarti akan tertolong' seharusnya ia ikut bergirang, akan tetapi
nadanya itu, justeru merasa sangat kecewa malah, bahkan merasa menyesal dan
dongkol pula. Tik Hun coba melirik ke arah Go Him, ia melihat sorot mata pemuda itu
menyinarkan rasa benci dan keji. Keruan Tik Hun bertambah heran. Tapi demi
teringat bahwa diantara kedelapan anak murid Ban Cin-san itu tiada seorangpun
yang baik, sedangkan Ban Cin-san sendiri saling bunuh membunuh dengan guru dan
saudara seperguruannya, maka tidaklah heran bila diantara anak2 muridnya itu
juga saling cakar2an. Dan kalau begitu, tentunya hubungan antara Ban Ka dan Go
Him tidak baik, tapi mengapa ia malah mengundang aku untuk mengobati Suhengnya
itu" Dalam pada itu tangan Ban Ka yang abuh itu, begitu dibubuhi obat hitam tadi,
hanya sebentar saja dari luka itu lantas mengeluarkan air hitam. Lambat-laun
sakit Ban Ka juga berkurang, dengan suara lemah ia dapat berkata: "Terima kasih
Sinshe, obat penawar ini benar-benar sangat bagus".
Sungguh girang Jik Hong tidak kepalang, cepat ia membawakan tempolong untuk
menadah darah hitam yang menetes terus dari luka sang suami itu sambil tiada
henti-hentinya menyampaikan terima kasih kepada Sinshe sakti alias Tik Hun.
"Suso, sekali ini Sinshe telah berjasa besar, bukan?" tiba-tiba Go Him berkata.
"Benar, aku harus menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Go Sute",
sahut Jik Hong. "Hanya omong di mulut saja percuma, tapi harus dengan kenyataan", uyar Go Him
dengan tersenyum. Jik Hong tidak gubris padanya lagi, tapi berpaling dan berkata kepada Tik Hun:
"Numpang tanya siapakah nama Sinshe yang mulia" Kami harus memberi penghargaan
sepantasnya kepada Sinshe".
Tapi Tik Hun goyang-goyang kepala, sahutnya: "Tidaklah perlu penghargaan apa
segala. Tapi racun ketungging ini harus berturut-turut dibubuhi obat ini sepuluh
kali baru bisa sembuh sama sekali" ~ dan dengan perasaan hampa dan pilu tak
terucapkan, akhirnya ia berkata pula sambil mengangsurkan botol obat yang
diperolehnya dari Gian Tat-peng itu: "Ini, terimalah semua obat penawar ini".
Sebaliknya Jik Hong menyadi ragu2, sebab sama sekali tak tersangka olehnya bahwa
urusan bisa terjadi sebegitu gampang, katanya kemudian: "Biarlah kami membeli
saya kepada Sinshe, entah berapa harganya?"
"Tidak, tidak perlu beli, tapi kuberikan cuma-cuma padamu", kata Tik Hun.
Sungguh girang Jik Hong tak terhingga, cepat ia terima botol obat itu, sambil
memberi hormat, katanya: "Sinshe begini berbudi dan murah hati pula, betapapun
kami harus menyuguhi engkau barang secawan arak. Go-sute, silakan engkau
menemani Sinshe keruangan tamu untuk berduduk sebentar."
"Sudahlah, tidak perlu duduk lagi, aku akan mohon diri saya", uyar Tik Hun.
"Tidak, jangan", seru Jik Hong, "Budi pertolongan Sinshe atas yiwa suamiku ini
kami tidak dapat mendapat membalas apa-apa, maka hanya secawan arak saja harap
engkau sudi menerima sekadar sebagai penghormatan kami. Sinshe, betapapun engkau
janganlah pergi dahulu!."
"Betapapun, engkau jangan pergi dahulu!" kata-kata ini sekali menyusup kedalam
telingan Tik Hun, betapapun keras hatinya juga lantas lemas seketika. Pikirnya:
"Sakit hatiku ini sudah terang tak terbalas lagi, sesudah aku menguburkan Ting-
toako, untuk seterusnya aku juga tidak mungkin kembali ke kota Heng-ciu lagi,
selama hidup ini, aku takkan bertemu pula dengan Sumoay. Dan sekarang ia hendak
menyuguhi aku secawan arak, ya, dengan demikian boleh yuga aku akan dapat
memandangnya lebih lama sedikit".
Oleh karena itu, iapun memanggut sebagai tanda menerima undangan Jik Hong.
Tidak lama kemudian, meya perjamuan sudah dipersiapkan, yaitu diruangan tamu di
bawah loteng. Tik Hun diminta duduk ditempat yang paling terhormat, Go Him
mengiringi disebelahnya. Karena merasa sangat berterima kasih kepada Sinshe yang
berbudi itu, maka Jik Hong sendiri telah melayaninya minum arak dan menyuguhkan
daharan. Agaknya Ban Cin-san dan anak muridnya yang lain waktu itu tiada dirumah, maka
tiada orang lain lagi yang ikut hadir dalam peryamuan itu.
Dengan penuh hormat Jik Hong menyuguhkan tiga cawan arak kepada Tik Hun dan
diminum habis oleh 'Sinshe' itu. Tiba-tiba perasaannya pilu hingga matanya
memberambang, ia tahu bila tinggal lebih lama disitu mungkin air matanya bisa
lantas menetes, hal mana tentu akan mengakibatkan rahasianya terbongkar.
Maka cepat ia berbangkit dan berkata: "Sudahlah cukup, terima kasih atas
suguhanmu, sekarang aku permisi untuk pergi dan selanjutnya takkan datang lagi."
Jik Hong agak heran oleh ucapan tabib kelilingan yang tidak genah itu. Tapi
karena potongan sang tabib memang agak lucu, maka iapun tidak ambil perhatian,
segera dijawabnya: "Ai, mengapa Sinshe ter-buru2 saja" Atas budi pertolonganmu
itu, kami tidak dapat membalas apa-apa, di sini ada seratus tahil perak, harap
Sinshe suka terima sekedar sangu dalam perjalanan. " ~ sembari berkata iapun
mengangsurkan sebungkus uang perak dengan penuh hormat.
Mendadak Tik Hun menengadah dan ter-bahak2 tawa, katanya: "Akulah yang telah
menolong dia, akulah yang telah menghidupkan dia! Sungguh lucu, akulah yang
telah menghidupkan dia! Apakah didunia ini ada orang yang lebih goblok dari
diriku?" Dan meski dia bergelak tertawa dengan menengadah, tapi tanpa merasa air matanya
juga berlinang-linang. Keruan Jik Hong dan Go Him saling pandang dengan bingung melihat kelakuan
'Sinshe' yang setengah sinting itu.
Sebaliknya si dara cilik Khong-sim-jay lantas berteriak-teriak: "Heee, Sinshe
menangis, Sinshe menangis!".
Tik Hun menyadi terkejut, ia tahu telah dicurigai orang, ia kuatir rahasianya
akan ketahuan, maka ia tidak berani bicara lagi dengan Jik Hong, hanya dalam
hati ia berkata: "Seyak ini aku takkan bertemu lagi dengan kau".
Diam-diam ia mengeluarkan kitab kuna yang didalamnya terselip pola sulaman
sepatu yang diketemukan di dalam gua dengan Wan-leng tempo hari, ketika orang
tidak memperhatikan, pelahan2 ia taruh kitab itu diatas kursi, lalu tanpa
memandang lagi kepada Jik Hong ia lantas mohon diri dan tinggal pergi.
"Go-sute, harap engkau hantarkan Sinshe." Kata Jik Hong.
Go Him mengiakan, lalu mengikut dibelakang Tik Hun.
Sambil masih memegangi bungkusan uang perak tadi, hati Jik Hong ber-debar2 tak
keruan. Pikirnya: "Siapakah sebenarnya Sinshe itu tadi" Mengapa suara tertawanya
mirip benar dengan orang itu" Ai, entah mengapa, meski jiwa Ban-long dalam
keadaan bahaya, tapi pikiranku selalu menyeleweng dan memikirkan dia saja, ai,
dia......dia entah......"
Begitulah ia menyadi ter-menung2 sendiri, ia taruh bungkusan uang perak itu di
atas meja, dengan tumpang dagu ia berduduk pula di atas kursi.
Kebetulan kursi yang didudukinya sekarang adalah kursi yang bekas diduduki Tik
Hun tadi. Ketika mendadak merasa menduduki sesuatu benda, Jik Hong berbangkit
lagi dan memeriksanya, maka lantas tertampaklah sejilid kitab kuna yang sudah
ke-kuning2an. Se-konyong2 Jik Hong berseru tertahan sekali, cepat ia jemput kitab itu dan mem-
balik2 halamannya, segera terjatuh keluar dari kitab itu sehelai pola sepatu, ia
kenal itu adalah buah tangannya waktu masih tinggal dirumah dibarat Ouw-lam
sana. Ia ternganga sambil memegang kitab dan pola itu, kedua tangannya gemetar. Ketika
ia mem-balik2 lagi kitab itu, kembali diketemukannya sepasang kupu2 guntingan
dari kertas, seketika terbayanglah waktu berduaan dengan Tik Hun duduk berjajar
di dalam gua, dimana ia telah menggunting kupu2 kertas itu.
Tanpa terasa ia berseru tertahan pula, katanya didalam hati: "He, dari......... dari
manakah kitab ini" Sia.....siapakah yang membawanya kesini" Jangan2 Sinshe itu
tadi?". Melihat sikap ibunya agak aneh, si dara cilik Khong-sim-yay menyadi takut, ber-
ulang2 ia memanggil: "Mak, mak, ken...kenapakah kau?"
Jik Hong terkeyut oleh seruan anaknya ini, tapi cepat ia masukkan kitab itu
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedalam bajunya sambil berlari keluar rumah secepat terbang.
Sejak ia menjadi anak menantu keluarga Ban, hidupnya selalu lemah-lembut halus
sopan, tidak pernah ia berlari kesetanan seperti itu. Keruan kaum hamba dan
dayang keluarga Ban menyadi ter-heran2 melihat nyonya muda mereka berlari cepat
dengan Ginkang sekaligus dari ruangan dalam terus menyusur Cimche terus keluar
rumah. Waktu sampai dipelataran depan, kebetulan Jik Hong melihat Go Him telah masuk
kembali, maka cepat ia tanya: "Dimanakah Sinshe itu?"
"Orang itu sangat aneh, tanpa bicara apa-apa ia sudah pergi", sahut Go Him,
"Suso, ada urusan apakah kau mencarinya lagi" Apakah keadaan Suko berubah
buruk?" "Tidak, tidak", sahut Jik Hong sambil memburu keluar pintu, ia menengok kesana
dan mengintai kesitu, tapi bayangan tabib kelilingan itu sudah tak tertampak
lagi. Jik Hong ter-longong2 sejenak diluar pintu, kembali ia mengeluarkan kitab kuna
tadi, dan setiap kali melihat pola sepatu dan kupu2 kertas itu, seketika timbul
pula pemandangan2 gembira ria dimasa mudanya. Bayangan2 itu bagaikan air bah
membanjir kedalam benaknya hingga tanpa merasa air matanya bercucuran.
Mendadak ia berubah pikiran: "Mengapa aku begitu bodoh" Bukankah barusan Ban-
long ikut kong-kong dan lain2 pergi ke Wan-leng untuk mencari Gian-susiok, boleh
yadi tanpa sengaja mereka telah masuk kedalam gua dan disanalah kita ini telah
diketemukan, lalu sekalian ada yang membawa pulang kitab ini. Memangnya Sinshe
yang tidak terkenal itu ada hubungan apa dengan kitab ini?".
Tapi lantas datang pikiran lain pula: "Ah, tidak, tidak, tidak! Masakah mungkin
teryadi secara begitu kebetulan" Gua itu letaknya sangat rahasia, sekalipun
ayahku yuga tidak tahu, masakah Ban-long dan rombongannya dapat menemukannya"
Tuyuan mereka adalah mencari Gian-supek, manabisa mereka kesasar kedalam gua
rahasia itu" Tadi waktu aku membersihkan meja kursi peryamuan, sudah terang
keempat kursi itu aku melapnya hingga bersih, tidak mungkin ada sejilid kitab
seperti ini. Dan kitab ini kalau bukan tabib itu yang membawanya, habis
darimanakah datangnya?"
Begitulah dengan penuh curiga dan sangsi pelahan2 ia kembali ke kamarnya.
Dilihatnya sehabis dibubuhi obat tadi, semangat Ban Ka sudah banyak lebih baik,
sakitnya juga mulai hilang.
Sambil memegangi kitab itu, sebenarnya Jik Hong bermaksud menanya sang suami,
tapi lantas terpikir olehnya: "Lebih baik aku jangan ter-buru2 cari keterangan
dulu, jangan2 tabib itu......tabib itu adalah................."
Dalam pada itu terdengar Ban Ka sedang bicara padanya: "Hong-moay, Sinshe itu
benar2 adalah tuan penolong jiwaku, kita harus memberi penghargaan se-tinggi2nya
kepadanya" "Ya, aku tadi telah menghadiahkan dia seratus tahil perak, tapi dia justru tidak
mau terima meski kupaksa", tutur Jik Hong, "Ai, benar2 seorang kangouw yang
aneh, seorang yang berbudi. Obat penawar itu........................ he, dimanakah botol obat
itu tadi" Apakah kau simpan di dalam laci meja?"
Tadi waktu Jik Hong mau keluar untuk melayani "Shinshe" yang akan dijamunya itu,
ia ingat betul botol obat itu ditaruhnya di atas meja di depan ranjang Ban Ka,
tapi kini sudah hilang. Maka Ban Ka telah menjawab: "Tidak, aku tidak menyimpannya, bukankah tadi kau
taruh diatas meja?" Tapi meski Jik Hong sudah mencari kian kemari diseluruh kamar itu, tetap botol
obat itu tidak kelihatan. Keruan ia sangat gelisah dan cemas, pikirnya: "Jangan2
karena pikiranku tadi lagi bingung, maka obat itu kubawa serta sambil lari
keluar dan yatuh" Tapi, ah, tidak bisa, aku ingat betul2 botol obat itu kutaruh
di atas meja, didekat mangkok obat itu".
Ban Ka yuga sangat gugup, katanya: "Le......lekas kau mencari lagi, masakah bisa
hilang" Sungguh aneh. Tadi aku hanya terpulas sebentar dan masih ingat benar2
botol obat itu tertaruh di atas meya."
Mendengar itu Jik Hong bertambah kuatir, segera ia keluar kamar, ia coba tarik
puterinya dan tanya padanya: "Khong-sim-jay, tadi waktu ibu keluar, adakah
siapa2 yang masuk ke kamar?"
"Ada, Go-sioksiok tadi datang, ketika melihat ayah tidur, ia lantas keluar
lagi", tutur si dara cilik.
Jik Hong menghela napas lega mendapat keterangan itu, lapat2 ia merasa ada
sesuatu yang tidak beres. Tapi Ban Ka sedang sakit, apapun yang teryadi tidak
perlu dia ikut tahu hingga ikut menanggung kuatir. Maka katanya kepada Khong-
sim-jay: "Anak baik, kau temani ayah di dalam kamar, ya, kalau ayah tanyakan
ibu, bilanglah ibu lagi menyusul Sinshe untuk minta obat bagi ayah".
Sidara cilik memanggut dan menyahut: "Ya, mak, kau lekas pulang, ya!"
Dan sesudah tenangkan diri, pelahan-lahan Jik Hong membuka laci meja Ban Ka, ia
ambil sebilah belati dan diselipkan dipinggang dalam baju, kemudian ia turun ke
bawah loteng. Pikirnya: "Keparat Go Him itu, bila bertemu aku ditempat sepi,
selalu ia cengar-cengir padaku dengan maksud tidak baik. Tabib tadi itu adalah
dia yang mengundang, jangan2 dia bersekongkol dengan tabib itu dan telah
mengatur tipu muslihat keji apa2".
Begitulah sambil memikir ia bertindak ketaman dibelakang rumah. Sampai diserambi
samping, dilihatnya Go Him sedang ter-menung2 memandangi ikan mas di empang
sambil bersandar lankan. "Go-sute", segera Jik Hong menegur, "lagi berbuat apa engkau di sini seorang
diri". Ketika berpaling dan melihat penegur itu adalah Jik Hong, seketika muka Go Him
berseri-seri, sahutnya: "Kukira siapa, tak tahunya adalah Suso. Engkau mengapa
tidak menjaga Suko di atas loteng, tapi masih punya tempo luang untuk jalan2
kesini?" "Ai, aku merasa sangat kesal," sahut Jik Hong sambil menghela napas, "Setiap
hari selalu mendampingi orang sakit, dan semakin tangan Suko-mu kesakitan,
perangainya juga bertambah kasar. Maka aku perlu keluar untuk jalan2 menghibur
hati dan lara". Mendengar yawaban itu, sungguh girang Go Him melebihi orang dapat 'buntut',
dengan cengar-cengir segera ia membumbui: "Ya, memang, engkau memang perlu
istirahat dan menghibur diri. Sebenarnya Suko juga keterlaluan, punya isteri
cantik sebagai engkau masih kurang terima, tapi malah suka mengamuk saja,
sungguh keterlaluan".
Jik Hong mendekati orang dan bersandar yuga di atas lankan untuk memandangi ikan
mas yang lagi berenang kian kemari dengan bebas ditengah empang itu, lalu
sahutnya dengan tertawa: "Ah, Suso-mu ini sudah tua, masakah masih dikatakan
cantik apa segala, bukankah akan dibuat tertawa orang?"
"He, mana bisa, mana bisa", cepat Go Him berkata, "Suso benar-benar sangat
cantik. Diwaktu masih gadis engkau mempunyai kecantikan seorang gadis, sesudah
menyadi Siaunaynay (nyonya muda) yuga tetap mempunyai kecantikan sebagai
Siaunaynay. Tanyakan saya diseluruh kota Heng-ciu ini, siapa orangnya yang tidak
mengatakan bahwa bunga tercantik adalah tertanam dikeluarga Ban".
Sampai disini mendadak Jik Hong memutar tubuh dan mengangsurkan tangannya sambil
berkata: "Mana, serahkan sini".
"Serahkan apa?", tanya Go Him dengan tertawa.
"Obat penawar itu", kata Jik Hong dengan muka membesi.
"Obat penawar apa" Entah, aku tidak tahu, apakah kau maksudkan obat penawar
untuk luka Ban-suko itu"," demikian Go Him berlaga pilon.
"Benar!", sahut Jik Hong tegas. "Sudah terang kau yang mengambilnya".
Go Him tertawa licik, sahutnya: "Tabib itu adalah aku yang mengundangkan, obat
penawar adalah aku yang mengusahakan. Kini Ban-suko dibubuhi satu kali, paling
tidak ia akan terhindar dari penderitaan untuk beberapa hari".
"Tapi Sinshe itu bilang obat itu harus dibubuhkan ber-turut2 sepuluh kali", kata
Jik Hong. "Ya, aku sungguh menyesal, sungguh aku menyesal", tiba-tiba Go Him goyang2
kepala. "Menyesal tentang apa?", tanya Jik Hong
"Semula aku menyangka tabib kelilingan yang dekil seperti itu masakah mempunyai
kepandaian apa2, maka aku mau mengundang dia ke atas loteng, tujuanku sebenarnya
adalah ingin mencari kesempatan untuk melihat Suso, siapa duga, eh, keparat itu
benar2 mempunyai obat mujarab untuk menyembuhkan racun disengat ketungging.
Sudah tentu, sudah tentu, hal itu sangat bertentangan dengan maksud tujuanku",
demikian tutur Go Him. Sungguh gusar Jik Hong tak terkatakan oleh cerita orang itu, tapi obat penawar
yang dicarinya itu masih ditangan orang, ia harus bersabar untuk mendapatkan
obatnya, habis itu baru akan membikin perhitungan dengan manusia rendah itu.
Maka dengan tertawa ia menjawab: "Habis kalau menurut kau, cara bagaimanakah kau
mengharapkan balas jasa dari Sukomu agar engkau mau menyerahkan obat penawar
itu?" Tiba2 Go Him menghela napas, sahutnya: Sam-suko sendiri sudah menikmati
kebahagiaan selama beberapa tahun ini, kalau sekarang dia harus mati yuga pantas
rasanya". Air muka Jik Hong berubah seketika, tapi sedapat mungkin ia menahan perasaannya,
dengan menggigit bibir ia diam saya.
Maka Go Him berkata pula: "Waktu kau datang ke Heng-ciu untuk pertama kalinya,
diantara kami berdelapan saudara seperguruan, siapakah orangnya yang tidak
kesengsem padamu" Dan kami menjadi penasaran melihat sitolol Tik Hun itu siang
malam senantiasa mendampingi engkau, maka kami be-ramai2 lantas berkomplot untuk
menghajarnya hingga babak belur......................"
"He, kiranya kalian menghajar Sukoku itu malahan adalah disebabkan diriku?" kata
Jik Hong. "Ya, memang", sahut Go Him, "Dan untuk menghajarnya sudah tentu harus dicari
alasan. Maka kami sengaja menuduh dia suka menonjolkan diri buat bertempur
dengan bandit Lu Thong hingga membikin malu kami yang menyadi anak murid
keluarga Ban yang berkepentingan. Padahal tuyuan kami adalah demi dirimu. Suso!
Habis, kau menambalkan bajunya, mengayak bicara padanya dengan mesra, tentu saja
kami 'minum cuka'!".
Diam-diam Jik Hong terkesiap oleh cerita itu, pikirnya: "Apa benar peristiwa itu
adalah gara2 diriku" Ai, Ban-long, mengapa selama ini kau tidak pernah
mengatakan hal ini kepadaku?".
Tapi ia masih pura2 tidak paham dan berkata pula dengan tertawa: "Ai, Go-sute,
engkau ini memang pintar berkelakar. Padahal waktu itu aku aku adalah seorang
gadis desa, seorang nona yang ke-tolol2an, dandananku juga mentertawakan orang,
apanya sih yang menarik?"
"Tidak, tidak", uyar Go Him. "Orang cantik tulen justeru tidak perlu berdandan
atau bersolek segala. Suso, bila bukan karena kesemsem padamu, tentu tidak
sampai ............" ~ berkata sampai di sini mendadak ia berhenti dan tidak meneruskan
lagi. "Apa lagi", tanya Jik Hong
"Setelah kami dapat menahan kau dirumah keluarga Ban ini, untuk mana aku orang
she Go yuga tidak sedikit mengeluarkan tenaga," kata Go Him pula, "akan tetapi,
Suso, setiap kali kau bertemu muka dengan aku selalu bersikap dingin2 saya,
tersenyum sekali saja padaku yuga tidak pernah, coba, apakah hal itu tidak
membikin hatiku menjadi panas".
"Cis", semprot Jik Hong dengan tertawa, "Aku tinggal dirumah keluarga Ban, lalu
aku menikah pada Suko-mu, semuanya itu adalah aku sendiri yang sukarela, tenaga
apa yang pernah kau korbankan dalam urusan itu" Toh waktu itu kau tidak ikut
membujuk padaku apa segala, ai, kenapa kau sembarangan omong saja?"
"Meng................. mengapa aku tidak korbankan tenaga?" bantah Go Him, "Cuma saya
engkau sendiri yang tidak tahu."
Jik Hong tambah curiga, segera katanya dengan membujuk: "Sute yang baik, coba
katakanlah sebenarnya kau ikut mengorbankan tenaga apa, tentu Susomu ini takkan
melupakan jasamu itu?"
Go Him meng-goyang2 kepala, katanya kemudian: "Urusan itu sudah lama lalu, buat
apa di-ungkat2 lagi" Andaikan kau mengetahui juga tiada gunanya".
"Ya, sudahlah, jika kau tidak mau menerangkan, akupun tidak memaksa", kata Jik
Hong. "Nah, Go-sute, lekaslah serahkan obat penawar itu padaku, kita berada
berduaan disini jangan2 akan dipergoki orang dan akan menimbulkan sangkaan
jelek". "Kalau siang hari memang kuatir dipergoki orang, tapi kalau malam hari tentu
tidak kuatir lagi", uyar Go Him sambil tertawa.
"Apa katamu", bentak Jik Hong tertahan dengan muka membeku sambil mundur
setindak. Tapi dengan menyengir Go Him berkata pula: "Jika kau ingin menyembuhkan penyakit
Ban-suko, hal ini tidak sulit asalkan nanti tengah malam kau datang ke gudang
kayu sana, aku akan menunggu engkau di sana, Jika kau mau menurut pada
keinginanku itu, aku lantas memberikan kadar obat yang cukup untuk dibubuhkan
satu kali diluka Ban-suko".
"Anjing keparat, kau berani omong begitu, apa kau tidak takut dicincang oleh
Suhumu?" damperat Jik Hong dengan gemas.
"Memangnya aku sudah siap untuk korbankan jiwaku ini, tegasnya aku sudah nekat,"
sahut Go Him. "Padahal Ban Ka sibocah apek itu apanya sih yang dapat menangkan
aku" Soalnya ia adalah putera Suhu sendiri, hanya itu saja. Padahal semua orang
toh ikut keluarkan tenaga, mengapa mesti dia sendiri yang menikmati wanita
cantik sebagai engkau ini?"
Jik Hong semakin curiga mendengar Go Him berulang-ulang mengatakan 'mengeluarkan
tenaga'. Tapi karena Go Him lantas menghambur dengan kata2 makian kotor, ia
benar2 tidak tahan lagi, maka katanya segera: "Kau mengaco-belo tak keruan,
sebentar jika Kongkong pulang, biar akan kulaporkan padanya, lihat saja kalau
dia tak membeset kulitmu".
"Ha-ha, aku justeru ingin coba," sahut Go Him dengan menjengek. "Aku akan tunggu
disini, asal Suhu memanggil aku, segera aku menuang isi botol ini untuk umpan
ikan di dalam empang. Tadi aku sudah tanya tabib itu tentang obat penawar ini,
dia bilang, obat ini hanya tinggal sebotol, untuk membuatnya lagi sedikitnya
akan makan tempo setahun atau dua tahun."
Sambil berkata ia terus mengeluarkan botol porselen itu, ia tarik sumbat botol
dan dijulurkan keatas empang, asal tangannya sedikit miring, seketika obat
penawar didalam botol itu akan tertuang kedalam empang, dan itu berarti jiwa Ban
Ka takkan tertolong pula.
Keruan Jik Hong menjadi kuatir, cepat serunya: "He, he! Jangan, jangan! Lekas
kau simpan kembali obat itu, kita masih dapat berunding lagi".
"Apa yang perlu dirundingkan lagi?", uyar Go Him dengan tersenyum iblis. "Jika
kau ingin menolong jiwa suamimu, maka kau harus menurut apa yang kukatakan."
"Ya, pabila memang betul dahulu kau menaruh hati padaku dan pernah mengeluarkan
tenaga demi diriku, maka................ mungkin aku akan............. Tapi, ah, tidak bisa jadi,
aku tidak percaya", demikian Jik Hong sengaja berkata.
"He, hal itu sungguh2 seribu kali sungguh2, sedikitpun bukan omong kosong,"
cepat Go Him menegaskan. "Malahan itu adalah tipu-akalnya Samsute, dia suruh Ciu
Kin dan Bok Heng menyamar sebagai Jay-hoa-cat untuk memancing sitolol Tik Hun
kekamarnya si Mirah. Dan orang yang menaruhkan emas-intan dibawah ranjang Tik
Hun itu tak lain tak bukan adalah aku Go Him sendiri. Coba, Suso, Jika kami
tidak menggunakan akal itu, masakah kami dapat menahan engkau untuk tinggal
dirumah keluarga Ban ini?"
Seketika Jik Hong merasa kepalanya pening dan pandangannya menyadi gelap. Ucapan
Go Him itu mirip sebilah belati yang menikam ulu-hatinya. Tanpa merasa ia
menyerit tertahan: "Oh, Allah! Jadi aku telah keliru mendakwa dia, aku salah
menuduh dia yang sebenarnya tidak berdosa!".
Sesaat itu Jik Hong agak sempoyongan, untung ia masih sempat memegangi lankan.
Sebaliknya Go Him sangat senang, katanya pula dengan suara lirih: "Suso, apa
yang kukatakan ini sungguh2, lho! Dan jangan kau katakan kepada orang lain. Kami
berdelapan saudara sudah bersumpah bahwa siapapun tidak boleh membocorkan
rahasia ini kepada orang lain".
Mendadak Jik Hong menyerit sekali, ia terus berlari pergi, ia mendorong pintu
taman belakang terus berlari keluar dengan cepat.
Dan Go Him masih berseru padanya: "He, kemanakah kau, Suso" Tengah malam nanti
jangan lupa, ya!". Setelah keluar dari pintu belakang, Jik Hong terus menuyu ketempat yang sepi
dari orang, sesudah menyusur beberapa kebun sayur, akhirnya dilihatnya di arah
barat sana ada sebuah Su-theng (rumah berhala pemujaan leluhur) kecil yang tak
terawat, pintu rumah berhala itu setengah tertutup, segera ia mendorong pintu
itu dan masuk kesitu. Maksud Jik Hong adalah ingin mencari suatu tempat yang sunyi agar dia dapat
memikirkan secara tenang bahwasanya: "Tik Hun dipitenah orang atau bukan" Kitab
kuna bekas miliknya itu darimanakah datangnya" Cara bagaimana menghadapi Go Him
yang bermaksud jahat dengan memperalat obat penawar penyambung nyawa suaminya
itu" Dan bagaimana sebenarnya dengan diri Ban-long sang suami"
Begitulah Jik Hong bersandar disebatang pohon waru yang besar, sampai lama dan
lama sekali tetap ia tak dapat menarik kesimpulan dan mengambil keputusan.
Se-konyong2 terdengar suara kelotak-kelotek orang berjalan dari dalam Su-theng
itu tahu2 muncul seseorang. Itulah seorang wanita setengah umur dengan rambutnya
yang panjang kusut terurai tak keruan, bajunya rombeng dan dekil sekali.
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat Jik Hong, wanita dekil itu tampak agak takut2, dengan menyisir pelahan2
ia menyelinap masuk kedalam rumah berhala itu. Dan baru ia melangkah masuk
keruangan dalam, kembali ia menoleh memandang sekejap lagi pada Jik Hong,
rupanya sekali ini ia dapat mengenali siapa Jik Hong, tanpa terasa ia menjerit
kaget. Waktu Jik Hong memandangnya hingga sinar mata kedua orang kebentrok, tanpa kuasa
lagi wanita itu mendadak berlutut serta memohon padanya: "Siau-naynay (nyonya
Gelang Kemala 9 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Pukulan Si Kuda Binal 1
orang hingga terpentang, secepat kilat seorang telah mendahului menerjang masuk,
itulah dia Ban Ka. Menyusul Sim Sia, Bok Heng dan lain2 juga lantas ikut menyerbu kedalam.
Sesudah ketujuh Ban-keh-te-cu itu menyerbu masuk, serentak mereka mengepung
sipengemis tua di-tengah2 sambil senjata siap ditangan.
Namun pengemis tua itu ternyata tenang2 saja, bahkan ia ter-bahak2 dan berkata:
"Hahahaha! Bagus, bagus! Apa anak2 sudah datang semua" Dan dimana Ban-suko,
mengapa tidak nampak?"
Maka terdengarlah suara tertawa lepas seorang diluar rumah, menyusul masuklah
orang itu dengan langkah berlenggang, itulah dia "Ngo-in-jiu" Ban Cin-san.
Sesudah berada didalam rumah, Ban Cin-san berdiri berhadapan dengan pemngemis
itu terpisah oleh lubang galian, kedua orang sama2 mengamat-amati masing2,
selang sebentar barulah Ban Cin-san membuka suara: "Gian-sute, wah, berpisah
selama lima tahun, tahu2 engkau sudah menjadi OKB (orang kaya baru)."
Begitu selesai mendengar ucapan Ban Cin-san itu, seketika kacau-balau pikiran
Tik Hun oleh berkecamuknya macam2 pertanyaan. "Ha" Jadi......... jadi pengemis
tua inilah tak-lain-tak-bukan adalah Jisupek Gian Tat-peng yang selama ini cuma
dikenal namanya saja itu?" demikian ia tidak habis heran.
Maka terdengar sipengemis tua itu sedang menjawab: "Suko, aku cuma mendapat
sedikit rejeki yang tak berarti, tapi selama beberapa tahun ini usahamu tentu
banyak kemajuan, bukan?"
"Terima kasih atas pujimu," sahut Ban Cin-san. "He, anak2, mengapa tidak lekas
memberi hormat kepada Susiok?"
Serentak Loh Kun dan lain2 lantas berlutut memberi hormat kepada pengemis tua
itu dan berkata: "Terimalah hormat kami, Susiok!"
"Sudahlah, sudahlah! Sambil memegang senjata, tentu tidak leluasa untuk menjura,
maka boleh tak usahlah," seru pengemis tua itu dengan tertawa.
Diam2 yakinlah Tik Hun: "Jika demikian, jadi pengemis ini memang betul Gian-
supek adanya." "Sute," demikian Ban Cin-san telah berkata pula, "ada apa kau menggali tanah
didalam rumah sini" O, barangkali kau mengusahakan pertambangan, ya" Besar amat
lubang yang kau gali ini?"
Tapi sipengemis tua alias Gian Tat-peng itu tenang2 saja, ia tertawa dingin,
lalu menjawab: "Dugaan Suheng salah semua. Soalnya musuh Siaute terlalu banyak,
aku ingin bersembunyi disini, maka sengaja menggali lubang perlindungan ini.
Tapi lubang inipun serta guna, jika musuh terbunuh oleh Siaute, maka sekalian
aku lantas menguburnya disini dengan tidak perlu menggali liang kubur lain.
Sebaliknya jika Siaute dibinasakan musuh, maka lubang inipun dapat dianggap
sebagai tempat tidurku untuk se-lama2nya."
"Wah, bagus, bagus! Sute memang pintar berpikir!" demikian Ban Cin-san tertawa
memuji. "Tapi badan Sute toh tidak terlalu gede, kulihat liang inipun sudah
lebih dari cukup, rasanya tidak perlu menggali lebih dalam lagi."
"Benar, untuk mengubur seorang memang lebih dari cukup, tapi kalau untuk
mengubur delapan orang mungkin masih kurang dalam," sahut Gian Tat-peng.
Melihat kedua saudara perguruan itu begitu berhadapan sudah lantas perang mulut
dengan kata2 tajam, tiba2 Tik Hun menjadi teringat kepada apa yang pernah
diceritakan Ting Tian dahulu. Pikirnya: "Menurut cerita Ting-toako, katanya Suhu
bersama Ban-supek dan Gian-supek bertiga telah mengeroyok dan membunuh guru
mereka, Bwe Liam-seng. Sedangkan guru mereka sendiri saja dibunuh, apalagi
diantara mereka masakah dapat diharapkan adanya hubungan persaudaraan yang baik"
Menurut cerita Ting-toako (bacalah hal 38 jilid 2), katanya mereka bertiga telah
berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh dari guru mereka, tapi tidak mendapatkan Kiam-
koat yang merupakan inti rahasia dari pelajaran ilmu pedang itu. Padahal Kiam-
koat itu melulu terdiri dari angka2 saja, katanya angka pertama adalah '4',
angka kedua adalah '51', angka ketiga adalah '33', angka keempat adalah '53',
angka kelima '18', angka keenam '7' dan .......... sampai ajalnya Ting-toako
angka2 itupun belum selesai diucapkan. Bukankah Kiam-boh sudah mereka rebut dari
guru mereka, mengapa sekarang mereka mencari lagi kesini?"
Dalam pada itu Ban Cin-san telah berkata: "Sute yang baik, kita berdua adalah
saudara seperguruan sejak kecil, kau cukup kenal pikiranku, akupun paham isi
hatimu, buat apa mesti bicara secara ber-putar2! Mana, serahkan!" ~ Begitu kata2
terachir itu dilontarkan, berbareng ia sodorkan tangannya kedepan.
Namun Gian Tat-peng hanya geleng2 kepala, sahutnya: "Belum dapat kutemukan.
Kelicinan Jik-losam memang harus diakui kita bukan tandingannya. Sampai sekarang
aku masih belum dapat mengetahui dimanakah dia telah menyembunyikan Kiam-boh
itu." Kembali Tik Hun terkesiap, pikirnya pula: "Agaknya sesudah mereka bertiga
berhasil merebut Soh-sim-kiam-boh dari guru mereka, kemudian Suhu berhasil pula
mengangkangi sendiri kitab ilmu pedang itu. Tapi mengapa selama itu tiada
terjadi apa2" Ya, tentu disebabkan Suhu dapat bertindak dengan sangat licin
hingga selama itu perbuatannya tak diketahui oleh kedua Supek ini. Dan kalau
Suhu tidak tinggal disini, dengan sendirinya Kiam-boh itu selalu dibawanya ke-
mana2, masakah Kiam-boh itu dapat disembunyikan atau dipendam didalam rumah ini"
Sekarang mereka membongkar-bangkir tempat ini, bukankah terlalu tolol perbuatan
mereka itu?" Akan tetapi ia tahu sekali2 Ban Cin-san dan Gian Tat-peng itu bukan orang tolol,
mungkin berpuluh kali, bahkan beratus kali lebih pintar dan cerdik daripada Tik
Hun sendiri. Habis, rahasia dan muslihat apakah yang berselubung dibalik
kesemuanya ini" Dalam pada itu terdengar Ban Cin-san telah tertawa ter-bahak2. Katanya: "Sute,
masakah kau perlu berlagak pilon lagi" Ha-ha, orang mengatakan Samsute kita
adalah Tiat-soh-heng-kang, tipu-akalnya lihay, tapi menurut hematku, adalah
Jisute kau yang lebih lihay. Mana serahkan!"
Dan kembali ia menjulurkan kedua tangannya pula.
Tapi Gian Tat-peng me-nepuk2 kantongnya yang kosong itu, sahutnya: "Jika sudah
kudapatkan, masakah antara kita masih perlu di-beda2kan milikmu atau milikku"
Jika barang itu dapat ketemukan, tentu akan kutunjukan secara terbuka, kita
boleh melatihnya bersama dan kita dapat tukar pikiran pula, bukankah begini
lebih baik. Bukan aku sengaja mem-besar2kan hal ini, tapi sesungguhnya Suheng,
andaikan mestika itu kudapatkan, seorang diri saudaramu ini juga tak sanggup
melatihnya, tapi mesti minta Suheng yang memegang pimpinan ini. Sebaliknya,
hehe, seumpama Suheng yang menemukan mestika itu, biarpun anak muridmu cukup
banyak, tapi kepandaian mereka masih hijau, maka perlu juga rasanya bantuan
saudaramu ini untuk berkongsi."
"Kau sudah pernah mendatangi gua disana itu, apa yang telah kau ketemukan?"
tanya Ban Cin-san. "Gua apa?" sahut Gian Tat-peng dengan heran. "Didekatan sini ada gua, maksudmu?"
"Sute," kata Cin-san, "kita adalah saudara seperguruan selama puluhan tahun,
buat apa achirnya mesti cekcok sendiri" Harap kau keluarkan saja, marilah kita
mempelajari bersama, ada untung sama dirasakan, ada rugi sama dipikul."
"Sungguh aneh, mengapa kau yakin benar2 menuduh aku sudah memperolehnya?" tanya
Tat-peng. "Jika betul aku sudah mendapatkan barangnya, buat apa aku masih susah-
payah menggali disini?"
"Huh, banyak tipu akalmu yang licin, siapa tahu permainan apa yang sedang kau
lakukan?" ujar Cin-san.
"Suko, kau sendiri toh cukup kenal Samsute, masakah barangnya akan begini
gampang kita ketemukan?" kata Tat-peng. "Menurut pendapatku, belum tentu pula
disimpannya didalam rumah ini, bila menggali tiga hari masih belum kutemukan
apa2, maka akupun tidak ingin meneruskan lagi penggalian ini."
"Haha, kukira lebih baik kau menggali sebulan atau dua bulan supaya permainan
sandiwaramu ini bisa lebih hidup," jengek Ban Cin-san.
Seketika air muka Gian Tat-peng berubah, segera ia bermaksud unjuk gigi, tapi
sesudah dipikir pula, sedapat mungkin ia menahan gusarnya, sahutnya kemudian:
"Suheng, cara bagaimana aku harus berbuat supaya kau mau percaya?" ~ Habis
berkata, ia terus membuka jubahnya dan dibalik, ia kebas2 jubahnya itu, maka
terdengarlah suara gemerincing yang nyaring, dari jubahnya itu jatuh beberapa
tahil perak dan sebuah pipa tembakau, ia pun tidak menjemput kembali barang2
itu, tapi masih mengebas beberapa kali jubahnya itu.
"Hm, memangnya kau begitu bodoh, masakah kau membawanya didalam bajumu?" kata
Ban Cin-san. "Ya, andaikan kau bawa, tentu juga kau simpan dibagian dalam, tidak
mungkin kau taruh disaku luar."
Gian Tat-peng menghela napas, sahutnya: "Jikalau Suheng tetap tidak percaya, ya
apa boleh buat, silakan menggeledah badan Siaute saja."
"Maafkan kalau begitu," kata Cin-san. Lalu ia memberi tanda kepada Ban Ka dan
Sim Sia. Kedua pemuda itu mengangguk tanda tahu, lalu mereka memasukkan pedang mereka
kesarungnya, dari kanan-kiri segera mereka mendekati Gian Tat-peng.
Menyusul Ban Cin-san memberi isyarat pula kepada Bok Heng dan Loh Kun, kedua
orang itu pelahan2 lantas menggeser kebelakang Gian Tat-peng dengan pedang tetap
terhunus. Dalam pada itu Gian Tat-peng telah tepuk2 lagi saku baju dalam dan berkata:
"Nah, silakan geledah!"
"Maaf, Susiok," kata Ban Ka, terus saja ia mengulur tangannya kedalam saku sang
paman guru. Tapi mendadak ia menjerit tajam sekali, cepat ia menarik kembali tangannya,
waktu diperiksa dibawah sinar obor yang terang itu, maka tertampaklah dipunggung
tangannya terdapat seekor ketungging yang besar. Rupanya sangat kesakitan hingga
Ban Ka ber-jingkrak2, "plok", cepat ia baliki tangan dan menggablok ketepi
tanggul liang galian, seketika ketungging berbisa itu terpukul hingga hancur.
Tapi punggung tangannya sudah terkena bisa binatang itu, kontan saja terus abuh.
Ban Ka masih berlagak jagoan, sedikitpun ia tidak sudi merintih, tapi keringat
dingin dijidatnya sudah lantas merembes keluar ber-butir2 sebesar kedelai.
Kemudian terdengar Gian Tat-peng berseru kaget: "Ai, Ban-hiantit, darimanakah
kau mendapatkan serangga berbisa seperti itu" Wah itu adalah ketungging loreng,
lihaynya tidak kepalang. Suko, hayolah lekas, lekas, kau membawa obat penawar
racun tidak" Kalau terlambat sebentar lagi, wah tentu celaka, tentu celaka!"
Maka tertampak punggung tangan Ban Ka yang abuh itu dari warna merah berubah
menjadi matang biru, lalu menjadi hitam, ada satu garis merah pelahan2 menaik
kearah lengan. Namun Ban Cin-san insaf telah terjebak oleh tipu keji sang Sute, karena sudah
kepepet, terpaksa ia menahan perasaannya dan berkata: "Sute, kakakmu ini
terimalah menyerah padamu, aku mengaku kalah sudah, harap kau berikan obat
penawarnya dan kami lantas pergi, untuk seterusnya kami takkan datang kembali
untuk merusuhi kau lagi. "Tentang obat penawar, ya, dulu aku memang punya, tapi kemudian, lama kelamaan
entah tertaruh dimana, biarlah lewat beberapa hari lagi akan kucarikan dan
mungkin akan dapat diketemukan. Pabila tidak, nanti aku akan pulang ke Tay-beng-
hu untuk mencari resep obat itu dan membelikannya diapotik. Ya, apa mau dikata,
habis kita sesama saudara seperguruan sih."
Mendengar jawaban itu, sungguh dada Ban Cin-san hampir2 meledak saking gusarnya.
Luka terpagut ular atau diatup ketungging seperti itu dalam waktu singkat saja
jiwa penderita mungkin akan melayang, asal garis merah yang mulai menaik ke
lengan itu menembus sampai didada, maka kontan penderita itu akan terbinasa,
tapi sang Sute enak2 bicara tentang "lewat beberapa hari lagi obat penawar itu
akan dicari" dan katanya akan cari resepnya dulu ke Tay-beng-hu, padahal jarak
Tay-beng-hu itu be-ribu2 li jauhnya, bahkan secara tidak kenal malu mengatakan
pula tentang hubungan baik sesama saudara seperguruan apa segala.
Tapi apa daya, jiwa putera kesayangannya tergantung diujung rambut, terpaksa Ban
Cin-san menahan perasaannya, seorang laki2 hendak membalas dendam masih belum
terlambat untuk menunggu sepuluh tahun lagi. Maka katanya pula: "Sute, harini
sudah terang aku terjungkal habis2an. Apa yang kau inginkan, hendaknya kau
katakan terus terang saja."
Gian Tat-peng benar2 seorang licik, biar orang kerupukan setengah mati, tapi ia
justeru bersikap ngular kambang, dengan pe-lahan2 ia miring kepala untuk
memikir, habis itu barulah ia menjawab: " Suko, apa sih keinginan yang
kuharapkan dari kau" Sudahlah, kau suka bagaimana dan aku akan menurut saja."
Diam2 Ban Cin-san gemas tidak kepalang, didalam hati ia bersumpah: "Baik,
sedemikian kau mendesak diriku, sedikitpun tidak mau mengalah, pada suatu hari
kelak pasti aku akan suruh kau kenal akan kelihayanku." ~ Dan lahirnya ia
tenang2 saja dan menjawab: "Baiklah aku berjanji untuk selanjutnya takkan
bertemu lagi dengan Sute, kalau aku meng-utik2 apa2 lagi kepada Sute anggaplah
aku orang she Ban ini bukan manusia."
"Ai, mana aku berani terima sumpahmu seberat itu," ujar Gian Tat-peng dengan
senyum culas. "Begini, aku hanya mohon Suko menyatakan bahwa 'Soh Sim Kiam-boh"
itu diakui sebagai milik Gian Tat-peng. Kalau yang menemukan kelak adalah Gian
Tat-peng sendiri itulah tidak perlu lagi dipersoalkan, tapi umpama Suko yang
menemukan, maka juga harus diserahkan kepada Sutemu ini."
Dalam pada itu separoh tubuh Ban Ka sudah kaku lumpuh, hawa racun pelahan2 mulai
menyerang otaknya hingga kepalanya terasa pening, mata menjadi gelap, tubuhnya
sempoyongan, tanpa kuasa lagi ia berkelejetan seperti orang kena penyakit ayan.
"Sute, Sute!" seru Loh Kun dengan kuatir, cepat ia maju untuk memayang Ban Ka.
Waktu di periksa lengannya, ternyata garis merah itu sudah lewat ketiak dan
menjurus kedada. Cepat ia berpaling kepada Ban Cin-san dan berseru: "Suhu,
segala permintaannya kita sanggupi saja!"
Dibalik kata2nya itu se-olah2 menyatakan bahwa kita terpaksa menerima syaratnya,
tapi kelak kita masih dapat ingkar janji dan membalas sakit hati.
Ban Ka adalah putera tunggal kesayangan Ban Cin-san, dengan sendirinya jago
"Ngo-in-jiu" itu tidak dapat menyaksikan puteranya itu mati konyol begitu saja,
terpaksa ia lantas berseru: "Baiklah, 'Soh-sim-kiam-boh' itu anggaplah sebagai
milik Sute. Kionghi. Kionghi!"
"Jika begitu, biarlah kucari dulu kedalam kamar sana, boleh jadi aku akan
mendapatkan obat penawar apa yang berguna, hal ini tergantunglah nasib Ban-
hiantit sendiri yang entah akan mujur atau malang."
Habis berkata, tetap dengan caranya yang ngular kambang ia bertindak kedalam.
Segera Ban Cin-san mengedipi Loh Kun dan Bok Heng dan segera kedua pemuda itupun
ikut masuk kedalam. Selang agak lama, tunggu punya tunggu ketiga orang itu masih belum keluar, suara
merekapun tidak kedengaran. Sebaliknya keadaan Ban Ka semakin payah, sudah dalam
keadaan tak sadarkan diri dan tak berkutik lagi bersandar dalam pegangan Sim
Sia. Keruan Ban Cin-san semakin kelabakan bagaikan orang kebakaran jenggot. Segera ia
berkata kepada muridnya yang lain, yaitu Pang Tam: "Coba kau lihat kedalam
sana!" Pang Tan mengiakan, tapi belum lagi ia bertindak, sementara itu tertampak Gian
Tat-peng sudah berjalan keluar dengan muka ber-seri2 dan berkata: "Untung,
untung! Ini, dapat kutemukan ~ sembari berkata ia lantas unjukan sebuah botol
porselen kecil dan menyambung pula: "Ini adalah obat penawar racun, tentu akan
manjur sekali untuk menyembuhkan racun antupan ketungging."
Habis berkata, ia terus mendekati Ban Ka, ia membuka sumbat botol dan menuang
keluar sedikit obat bubuk warna hitam, ia bubuhkan obat dipunggung tangan Ban Ka
sambil berkata: "Ban-hiantit, agaknya nasibmu masih mujur!"
Obat penawar itu ternyata sangat mustajab, hanya sekejap saja dari luka itu
lantas merembes keluar air hitam dan menetes ketanah, makin lama makin banyak
darah hitam yang menetes itu dan garis merah dilengan Ban Ka itupun pelahan2
menurun kembali kepergelangan tangan.
Ban Cin-san menghela napas lega, tapi mendongkol pula. Jiwa puteranya memang
telah dapat diselamatkan, tapi pamornya sekarang benar2 bangkrut habis2an.
Bertempur saja belum dan dia mesti mengaku kalah, bukankah hal ini terlalu
penasaran baginya" Selang tak lama pula, achirnya Ban Ka membuka mata dan memanggil: "Ayah!"
Lalu Gian Tat-peng menutup kembali botolnya dan menyimpannya kedalam baju,
katanya dengan tertawa: "Nah, selamat jalan, aku tidak menghantar, ya!"
"Panggil mereka keluar," kata Ban Cin-san kepada Sim Sia, maksudnya kedua
muridnya yang menyusul Gian Tat-peng keruangan belakang tadi.
Sim Sia mengiakan, lalu menuju keruangan belakang sambil berseru: "Loh-suko,
Bok-suko, hayolah lekas keluar, kita akan berangkat!"
Tapi ia tidak mendapat sahutan seorangpun, kembali ia menggembor lagi beberapa
kali dan tetap sunyi senyap tiada suara apa2. Tanpa menunggu perintah sang Suhu
lagi segera Sim Sia menerjang kebelakang.
Namun sial benar2, sekali ia sudah masuk, untuk selanjutnya iapun tidak keluar
lagi. Keruan Ban Cin-san curiga dan kuatir, tapi segera iapun sadar: "Didalam rumah
keparat Gian Tat-peng ini kalau bukan ada jagoan silat lihay, tentu didalam situ
dipasang perangkap rahasia apa2 hingga ketiga muridku sekali masuk lantas
terjebak tipu muslihatnya. Dalam keadaan demikian biarpun aku memohon lagi
dengan merendah diri juga tiada gunanya."
Karena pikiran itu, tanpa bicara segera ia lolos pedang, sekali bergerak, kontan
ia menusuk keleher Gian Tat-peng.
Selamanya Tik Hun belum pernah melihat sang Toasupek Ban Cin-san mengunjukan
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ilmu silatnya, kini melihat tusukannya itu sangat kuat dan keji pula, diam2 ia
memuji: "Ehm, bagus, serangannya ini sangat tepat."
Hendaklah diketahui bahwa kepandaian Tik Hun sekarang sudah luar biasa, maka
setiap permainan silat orang lain baginya boleh dikata seperti mengambil barang
disaku sendiri gampangnya, apakah permainan silat orang itu salah atau benar
dengan segera akan dapat diketahui olehnya. Ia melihat serangan pertama Ban
Cing-san itu sedikitpun tiada tempat kelemahan, maka dapat diduga ilmu silat
sang paman guru itu memang tidak rendah.
Begitulah maka Gian Tat-peng telah mengegos untuk hindarkan tusukan Ban Cin-san
tadi, menyusul kedua tangannya yang memegangi tongkat tadi mendadak dipentang,
tahu2 tongkat itu putus menjadi dua, "creng", tahu2 tangannya telah bertambah
sebatang pedang yang gemilapan menyilaukan mata.
Kiranya tongkat itu sebenarnya adalah senjata "dwi-guna", boleh dipakai sebagai
tongkat dan dapat pula digunakan sebagai pedang bila ujung tongkat yang berukir
kepala naga itu ditarik, maka kepala naga itu akan berubah tugasnya menjadi
garan pedang dan bagian tongkat yang bawah sebenarnya adalah sarung pedang.
Maka begitu pedang sudah dilolos, segera Gian Tat-peng melancarkan serangan
balasan hingga dalam sekejap saja terdengarlah suara "trang-tring" yang nyaring,
kedua saudara seperguruan itu lantas saling labrak ditengah lubang galian luas
itu. Sejak tadi para kuli kampung itu sudah kuatir menyaksikan pertengkaran mulut
kedua orang itu, kini melihat mereka mulai saling tempur dengan senjata, keruan
kuli2 kampung itu bertambah ketakutan hingga mereka sama menyingkir kepojok
ruangan dan tiada seorangpun yang berani membuka suara.
Tik Hun juga pura2 ketakutan, tapi diam2 iapun perhatikan pertarungan kedua
paman guru itu. Sesudah mengikuti belasan jurus lagi, diam2 Tik Hun merasa gegetun, pikirnya:
"Tenaga dalam kedua Supek ini mengapa begitu cetek" Meski tipu serangan mereka
masing2 ada keunggulannya sendiri2, tapi kalau kebentur lawan yang punya Lwekang
tinggi, sekali senjata beradu, sekali gebrak saja pasti senjata mereka akan
mencelat keudara, jangan lagi hendak bicara serang-menyerang segala" Dan kalau
kedua Supek ini ingin ilmu silat mereka tambah maju, mereka harus mulai dengan
memupuk tenaga dalam, kalau tiada memiliki tenaga dalam yang kuat, sekalipun
mendapatkan Soh-sim-kiam-boh juga tiada gunanya. Apalagi usia mereka sudah
lanjut begini, untuk melatih Lwekang agaknya juga sudah susah."
Dan setelah mengikuti beberapa jurus pula, kembali ia lebih gegetun lagi: "Nyata
sekali ilmu silat Lau Seng-hong berempat pendekar yang bergelar "Lok-hoa-liu-
ciu" adalah jauh lebih tinggi daripada kedua Supek ini. Kulihat ilmu silat kedua
Supek ini memang sejak mula sudah sesat jalan, melulu mengutamakan perubahan2
tipu serangan yang indah dipandang, tapi sebenarnya tak berguna. Mereka tidak
pikir cara bagaimana harus memupuk tenaga dalam yang merupakan landasan ilmu
silat. Apakah sebabnya mereka bisa salah" Ya, aku menjadi ingat, dahulu waktu Suhu
mengajarkan ilmu pedang padaku juga demikian caranya dia memberi petunjuk.
Agaknya mereka, Ban-supek, Gian-supek dan Suhu bertiga saudara seperguruan
memang beginilah memperoleh didikan dari Suco (kakek guru). Pada hal ilmu silat
kembangan begini kalau ketemukan lawan yang bertenaga dalam sedikit lebih kuat,
maka silat kembangan mereka ini seketika tiada gunanya sama sekali. Ya, sungguh
aneh, mengapa mereka belajar ilmu pedang cara begini?"
Begitulah Tik Hun tidak habis mengerti oleh cara belajar silat Suhu dan kedua
Supeknya itu. Dalam pada itu dilihatnya Sun Kin, Pang Tan dan Go Him bertiga juga sudah mulai
mengerubut maju, mereka tidak pikirkan pula tentang peraturan Kangouw apa
segala. Maka tertawalah Gian Tat-peng dengan ter-bahak2: "Bagus, bagus! Toasuko, makin
lama makin jempol kau! Sekian banyak begundalmu yang kau bawa untuk mengeroyok
Sutemu ini!" ~ Meski ia bersikap tenang2 saja seperti tak terjadi apa2, tapi
permainan pedangnya sudah mulai kacau menghadapi empat lawan itu.
Pikir Tik Hun pula: "Ilmu pedang kedua Supek masing2 mempunyai keunggulannya
sendiri2. Dahulu Gian-supek telah mengajarkan tiga jurus 'Ji-koh-sik', 'Ni-kong-
sik' dan 'Gi-kiam-sik' padaku hingga aku dapat melabrak habis2an kedelapan Ban-
bun-tecu, tapi kini ia sendiri menggunakan tipu2 serangan itu untuk menghadapi
Ban-supek ternyata tiada sedikitpun gunanya. Ai, mengapa mereka tidak paham
bahwa ilmu pedang yang indah2 permainannya kalau tidak dilandasi dengan tenaga
dalam yang kuat, apa sih gunanya" Dan sungguh aneh, mengapa mereka tidak tahu
hal ini?" Se-konyong2 dalam benaknya terkilas sesuatu kejadian dimasa lampau: "Menurut
cerita Ting-toako mengenai asal-usul Sin-ciau-keng, nyata Suco Bwe Liam-sing
pasti paham betapa pentingnya landasan Lwekang tapi mengapa beliau tidak
mengatakan kepada ketiga muridnya" Jangan2 ...... jangan2 ...." ~ berpikir sampai
disini, tanpa merasa ia menggigil dan keringat dingin merembes keluar
dipunggungnya, badannya gemetar sedikit.
Seorang kampung disebelahnya yang berusia sudah tua tiada hentinya menyebut
Budha dan berdoa: "Omitohud, Omitohud! Semoga jangan terjadi pembunuhan disini.
Adik cilik, jangan takut, jangan takut!"
Rupanya ia melihat Tik Hun gemetar, maka disangkanya pemuda itu ketakutan oleh
pertarungan sengit itu, maka orang tua itu lantas menghiburnya. Padahal hatinya
sendiri sebenarnya juga sangat ketakutan.
Begitulah sekali Tik Hun sudah dapat menerka dimana letak keganjilan itu, cuma
hal ini terlalu keji dan penuh kepalsuan hati manusia, maka ia tidak ingin
banyak memikirkan pula, bahkan tidak ingin membentangkan satu jalan pikiran yang
membenarkan pendapatnya itu. Namun Tik Hun tadi sudah berhasil memecahkan teka-
teki yang ganjil itu, dengan sendirinya segala sesuatu hal yang paling kecil
sekalipun juga akan dapat diarahkan kesitu. Dan setiap gerak serangan Ban Cin-
san dan ketiga muridnya itu selalu menambah dan membuktikan kebenaran pendapat
Tik Hun itu. "Ya, ya, tidak salah lagi, tentu beginilah halnya. Tetapi, ah apa mungkin"
Sebagai guru masakah bisa berlaku sekeji ini" Tidak, tidak bisa ~ namun jika
bukan begitu, mengapa bisa begini" Sungguh sangat aneh?"
Achirnya terbayanglah suatu adegan yang sangat jelas dalam benaknya. "Beberapa
tahun yang lalu, itulah ditempat yang sama ini, aku dan Jik Hong sumoay sedang
latihan dan Suhu berdiri disamping untuk memberi petunjuk. Suhu telah
mengajarkan suatu jurus yang indah dan aku telah melatihnya dengan giat. Tapi
ketika untuk kedua kalinya aku bertanya apa yang Suhu ajarkan lantas tidak sama
lagi, gayanya sih tetap sangat bagus tapi sudah berbeda daripada yang pertama.
Tatkala itu aku mengira ilmu pedang Suhu itu terlalu hebat dan banyak
perubahannya, tapi kini demi dipikir sebab apakah satu jurus ilmu pedang bisa
ber-beda2 cara mengajarkan, maka terang gamblang sekali dapat kuketahui
sekarang. Mendadak ia merasa sangat berduka, sangat sedih, pikirnya pula: "Suhu telah
sengaja menyesatkan aku, sengaja mengajarkan ilmu pedang yang tidak baik padaku.
Sebenarnya kepandaiannya cukup tinggi, tapi ia sengaja mengajarkan padaku ilmu
pedang yang cuma indah dipandang tapi tidak berguna dipakai ........ dan Ban-supek
juga begitu, kepandaiannya terang jauh berbeda daripada para anak muridnya ini
...." Dalam pada itu dilihatnya Gian Tat-peng sedang beraksi pula, tangan kiri
bergaya, dan tangan kanan bergerak, ujung pedang disendal hingga ber-putar2
dalam bentuk lingkaran2, lalu dengan cepat luar biasa terus menusuk kedada
lawan. Sebaliknya Ban Cin-san juga cepat menangkis, pedangnya menabas melintang ber-
ulang2, lawannya tujuh kali memutar pedang, iapun menabas tujuh kali hingga
lingkaran2 kecil pedang lawan dipecahkan semua olehnya.
Menyaksikan itu, kembali Tik Hun berpikir pula: "Ketujuh lingkaran2 itu
sebenarnya tidak perlu, sebab paling achir toh dia menusuk kedada Ban-supek,
jika begitu, mengapa tidak terus langsung menusuk saja, bukankah lebih cepat dan
lebih ganas" Sebaliknya Ban-supek juga menabas dan menangkis lingkaran2 kecil
itu, nampaknya memang bagus, tapi sebenarnya gobloknya keliwat. Kalau dia balas
menusuk keperut Gian-supek, bukankah sejak tadi dia sudah menang!"
Mendadak benaknya terbayang pula suatu adegan dimasa dahulu.
Waktu itu dia sedang berlatih bersama sang Sumoay Jik Hong. Banyak juga variasi
ilmu pedang yang dimainkan Jik Hong, sebaliknya ia sendiri agak lupa kepada tipu
jurus yang diajarkan oleh Suhunya hingga dia terdesak kalang-kabut oleh serangan
Jik Hong, ber-ulang2 terpaksa ia mundur. Dan selagi Jik Hong mencecar pula tiga
kali hingga dia kelabakan takbisa menangkis, nampaknya pasti dia akan kalah,
pada saat sudah kepepet inilah ia tidak memikirkan apa yang pernah dipesan sang
guru lagi, tapi pedangnya diangkat untuk menangkis sekenanya, menyusul terus
menusuk kedepan. Aneh juga, serangan Jik Hong itu tampaknya bergaya indah dan lihay, dan
tangkisan Tik Hun tampaknya kaku ngawur, tapi malah serangan Jik Hong itu dapat
dipatahkan, bahkan tusukan Tik Hun terus mengancam ke pundak Jik Hong. Sedang
Tik Hun bingung karena tak sempat menarik kembali tusukannya itu, se-konyong2
Jik Tiang-hoat melompat maju dengan membawa sepotong kayu, cepat ia sampuk
hingga pedang Tik Hun kena dihantam jatuh terpental. Dalam pada itu Jik Hong dan
Tik Hun sudah kaget setengah mati. Maka Jik Tiang-hoat telah damperat Tik Hun
mengapa tidak menurut petunjuk ajaran sang guru, tapi main ngawur.
Tatkala itu Tik Hun juga pernah memikir: "Aku menyerang secara 'ngawur', tapi
mengapa malah menang?"
Tapi pikiran itu hanya sekilas saja lantas hilang. Segera terpikir olehnya: "Ya,
mungkin ilmu pedang Sumoay sendiri pun kurang sempurna, bila betul2 ketemukan
lawan tangguh, caraku ngawur tadi tentu akan bikin celaka diri sendiri."
Begitulah sama sekali ia tidak pikirkan bahwa tipu serangan yang dilontarkan
secara mendadak itu sebenarnya jauh lebih hebat dan lebih praktis daya gunanya.
Dan kalau dipikir sekarang, terang berbeda sama sekali pendapatnya. Kini ilmu
silat Tik Hun sudah sempurna, dengan terang gamblang ia dapat melihat dengan
jelas bahwa diantara permainan silat Cin-san dan Gian Tat-peng itu hanya gerak
kembangan yang tiada gunanya, sedangkan apa yang diajarkan Ban Cin-san kepada
muridnya dan apa yang diajarkan Jik Tiang-hoat kepada Tik Hun, gerak tipu yang
tak berguna itu lebih banyak pula. Nyata sekali bahwa Suco Bwe Liam-sing
sebenarnya sudah tahu bahwa jiwa ketiga muridnya itu tidak jujur, maka diwaktu
mengajar sengaja menyesatkan mereka kejalan yang tidak benar. Kemudian waktu Ban
Cin-san dan Jik Tiang-hoat mengajar kepada muridnya, jalan sesat itu menjadi
makin jauh lagi. Sungguh Tik Hun tidak habis mengarti, dengan tipu serangan yang tidak berguna
itu kalau dipakai bertempur melawan musuh, itu berarti menyerahkan jiwa sendiri
kepada musuh. Mengapa Suco, Supek dan Suhu begitu keji dan kejam" Mengapa mereka
begitu culas. Sambil memandangi muka Gian Tat-peng, kemudian Tik Hun mendadak ingat sesuatu
kejadian dimasa dahulu. Yaitu pada hari Bok Heng datang untuk mengundang gurunya
menghadiri perayaan ulang tahun sang Supek. Tatkala itu ia sedang berlatih
dengan Jik Hong, mendadak terdengar suara orang tertawa dibalik onggok jerami
sana, waktu Suhunya memeriksa kesana, kiranya adalah seorang pengemis tua yang
sedang menjemur diri dibawah sinar matahari sambil mencari tuma dibajunya yang
rombeng itu. Tatkala itu Suhu tidak tahu, padahal sebenarnya pengemis tua itu
adalah samaran Gian Tat-peng. Senantiasa Gian-supek itu mengintai disekitar
rumah tinggal Suhunya itu untuk mencari sesuatu dan sudah tentu yang dicari
adalah Soh-sim-kiam-boh, malahan sampai sekarang kedua Supek itu masih bertempur
memperebutkan kitab pusaka itu.
Begitulah jika disana Tik Hun sedang mengelamun mengenangkan kejadian2 dahulu,
adalah ditengah kalangan pertempuran sana Ban Cin-san masih saling labrak dengan
sengit bersama Gian Tat-peng. Tapi karena Ban Cin-san mengeroyok bersama ketiga
muridnya, maka Gian Tat-peng makin lama makin terdesak.
Se-konyong2 Sun Kin menusuk kepunggung Gian Tat-peng, tapi cepat Tat-peng sempat
membaliki pedangnya untuk menangkis, berbareng pedangnya menyabat kebawah, maka
menjeritlah Sun Kin, "trang" pedangnya jatuh ketanah, pergelangan tangannya juga
luka terkena senjata lawan. Dan pada saat yang hampir sama itu, kesempatan itu
telah digunakan dengan baik oleh Ban Cin-san, "cret" pedangnya juga kena
menggores suatu luka panjang di lengan kanan Gian Tat-peng.
Sambil mengikuti pertarungan Ban Cin-san melawan Gian Tat-peng itu. Tik Hun
menjadi ter-heran2 mengapa tipu2 serangan mereka hanya indah dalam gaya
permainan saja, tapi sama sekali tidak berlandaskan Lwekang"
Karena kesakitan, cepat Tat-peng mengoperkan pedangnya ketangan kiri. Dan sudah
tentu ia kurang biasa menggunakan pedang dengan tangan kiri, apalagi lukanya
juga tidak ringan, darah mengucur membasahi tubuhnya, maka setelah beberapa
jurus lagi, kembali bahu-kirinya tertusuk pula oleh pedang Ban Cin-san.
Para kuli kampung yang menonton disamping itu menjadi pucat ketakutan, mereka
saling berbisik menyatakan kekuatiran mereka akan kemungkinan terjadinya perkara
jiwa, tapi tiada seorangpun diantara mereka yang berani bersuara keras.
Sebaliknya Ban Cin-san sudah bertekad harus membunuh sang Sute, maka
serangan2nya semakin gencar dan semakin keji. "Cret", kembali dada kanan Gian
Tat-peng kena tertusuk lagi.
Tampaknya dalam berapa jurus lagi jiwa Gian Tat-peng pasti akan melayang dibawah
pedang sang Suheng, tapi toh dia masih melawan mati2an, sepatahkatapun dia
takmau minta ampun. Rupanya ia cukup kenal watak sang Suheng yang culas, apalagi
selama belasan tahun mereka telah "perang dingin" secara diam2, kalau dia minta
ampun, itu berarti akan makin dihina dan tidak mungkin berguna.
Dalam pada itu Tik Hun sedang memikir: "Dahulu waktu di Hengciu, Gian-supek
pernah menolong aku dari labrakan sibandit besar Lu Thong, malahan iapun
mengajarkan tiga jurus ilmu pedang padaku hingga aku terhindar dari aniaya dan
hinaan murid2nya Ban-supek. Sebelum aku membalas budinya ini, mana boleh aku
menyaksikan dia mati ditangan orang."
Karena itu Tik Hun pura2 gemetar ketakutan, tapi cangkul yang dipegangnya itu
telah siap mengeduk tanah.
Pada saat lain dilihatnya pedang Ban Cin-san kembali menusuk lagi keperut Gian
Tat-peng dan tampaknya Gian Tat-peng sudah tak sanggup menangkis lagi, pada
detik itulah secepat kilat Tik Hun sendalkan cangkulnya, kontan segumpal tanah melayang kearah Ban Cin-san.
Tenaga sambaran gumpalan tanah itu tak terkatakan kuatnya, karena tertumbuk oleh
tenaga itu, seketika Ban Cin-san tak tahan, "bluk", kontan ia jatuh terjungkal.
Oleh karena diluar dugaan, maka tiada seorangpun yang tahu darimana datangnya
gumpalan tanah itu. Dan selagi suasana agak panik, tanah cangkul Tik Hun yang
kedua kalinya telah menghambur lagi, tapi sekali ini yang diarah adalah lentera
minyak dan lilin ditepi meja sana, maka dalam sekejap itu padamlah lilin dan
lentera, dalam rumah menjadi gelap gelita disertai suara jerit kaget orang
banyak. Dan pada saat lain Tik Hun lantas melompat maju, cepat ia kempit Gian
Tat-peng terus menerjang keluar.
Setiba diluar rumah, segera Tik Hun tutuk beberapa Hiat-to penting dipundak,
dada dan lengan untuk menahan keluarnya darah dari luka Gian Tat-peng itu. Lalu
ia panggul sang Supek, ia keluarkan Ginkangnya yang tinggi terus berlari secepat
terbang kearah pegunungan dibelakang rumah.
Karena Ginkangnya hebat, tempat disekitar situ juga sangat dikenalnya, maka Tik
Hun terus berlari menuju kelereng gunung yang paling terjal dan susah ditempuh.
Gian Tat-peng menggemblok diatas pundak pemuda itu merasa badannya se-akan2 me-
layang2 di-awang2 dan mirip dialam mimpi saja. Sekalipun ia sudah kenyang asam-
garam kalangan Kangouw, tapi susah disuruh percaya bahwa didunia ini ternyata
ada tokoh silat setinggi ini.
Begitulah jalan yang dituju oleh Tik Hun itu makin lama makin tinggi, kira2
lebih satu jam, achirnya tibalah diatas puncak gunung yang paling tinggi
disekitar situ. Puncak gunung itu menjulang tinggi menembus awan, jangankan
orang lain susah mendaki kesitu, biarpun Tik Hun sendiri juga baru pertama kali
ini datang kesitu. Dahulu ia dan Jik Hong sering memandangi puncak gunung ini
dari jauh dan bersenda-gurau secara ke-kanak2an, siapa duga harini kebetulan dia
menolong jiwa seorang, maka didatanginya puncak gunung ini.
Kemudian ia letakan Gian Tat-peng ditepi sebuah batu cadas, lalu ia tanya: "Kau
membawa obat luka atau tidak?"
Tanpa menjawab, tapi Gian Tat-peng terus berlutut dan menyembah, katanya:
"Siapakah nama Inkong (tuan penolong) yang mulia" Hari ini Gian Tat-peng selamat
berkat pertolonganmu, sungguh budi setinggi langit ini entah cara bagaimana
harus kubalas." Tik Hun adalah orang jujur tulus, meski ia tidak ingin memberitahukan siapa
dirinya sendiri, tapi ia pun merasa tidak pantas menerima penghormatan sang
Supek, maka cepat iapun berlutut dan balas menyembah, sahutnya: "Cian-pwe jangan
banyak adat hingga membikin hati Cayhe merasa tidak enak. Cayhe adalah seorang
'Bu-beng-siau-cut' (perajurit tak bernama, keroco), namaku tiada harganya untuk
dikenal, tentang sedikit urusan ini kenapa mesti bicara soal membalas budi
segala." Tapi Gian Tat-peng masih berkeras ingin tahu. Sebaliknya Tik Hun tidak dapat
membohong dengan nama palsu, hanya tetap ia takmau beritahukan namanya.
Gian Tat-peng tahu bahwa banyak tokoh2 kosen dari dunia persilatan yang suka
mengasingkan diri dan menghapuskan namanya dari pergaulan ramai, dari itu iapun
tidak berani mendesak terus, kemudian ia mengeluarkan obat luka yang dibawanya
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan membubuhkan dilukanya sendiri.
Melihat luka2 diatas tubuh sendiri itu, mau-tak-mau Gian Tat-peng merasa ngeri
dan bersyukur pula, pikirnya: "Untung ada tua penolong ini, kalau tidak, mungkin
saat ini aku sudah menjadi almarhum?"
Lalu Tik Hun mulai membuka suara: "Cayhe ada beberapa persoalan yang susah
dimengerti, maka ingin minta penjelasan pada Cianpwe."
"Janganlah Inkong menyebut diriku sebagai Cianpwe," kata Tat-peng dengan
merendah. "Jika Inkong ada pertanyaan apa2, asalkan Tat-peng tahu, tentu akan
kukatakan se-jujur2nya, sedikitpun tidak berani berdusta."
"Bagus sekali, inilah yang kuharapkan," kata Tik Hun. "Nah tolong tanya Cianpwe,
apakah gedung itu adalah kau yang membangunnya?"
"Benar," sahut Tat-peng.
"Cianpwe sengaja mengupahi orang buat menggali lubang besar itu, tentunya ingin
mencari 'Soh-sim-kiam-boh' itu, dan apakah sudah diketemukannya?" tanya Tik Hun
pula. Tat-peng terkesiap, pikirnya: "Ai, kukira dia menolong aku dengan maksud baik,
tak tahunya juga seorang yang lagi mengincar 'Soh-sim-kiam-boh'." ~ Tapi mau-
tak-mau iapun menjawab: "Sudah banyak jerih-payah yang kukorbankan, tapi sampai
saat ini belum memperoleh sedikit tanda2 yang berguna. Harap Inkong maklum bahwa
apa yang kukatakan ini adalah sesungguhnya. Pabila Tat-peng sudah memperoleh apa
yang dicari itu, tentu akan kupersembahkan dengan kedua tangan. Sedangkan jiwaku
juga Inkong yang menolong, masakah aku masih sayangkan benda yang toh takkan
berguna jika jiwa sudah melayang."
"Eh, jangan kau salah sangka," kata Tik Hun sambil goyang2 tangannya. "Aku
sendiri tidak inginkan Kiam-boh itu, untuk bicara terus terang, meski
kepandaianku cuma biasa saja, tapi aku yakin kalau cuma kitab seperti 'Soh-sim-
kiam-boh' apa itu, rasanya belum tentu akan berpaedah bagiku."
"Ya, ya, memang!" kata Tat-peng. "Ilmu silat Inkong sudah tiada taranya dan
dijaman ini tiada tandingannya, sedangkan 'Soh-sim-kiam-boh' itu hanya sejilid
kitab pelajaran ilmu pedang yang biasa saja. Kami bersaudara perguruan karena
ingin memperoleh kitab pusaka perguruan sendiri, maka sangat menilai tinggi atas
kitab itu, padahal dimata orang luar itu cuma kitab yang tiada artinya."
Biarpun Tik Hun adalah seorang tulus dan tidak pandai ber-liku2, tapi ia dapat
juga mendengar apa yang dikatakan Gian Tat-peng ada yang tidak jujur, namun
iapun tidak membongkar kebohongan orang itu, tapi ia bertanya lagi. "Kabarnya
tempat ini adalah kediaman lama Sutemu Jik Tiang-hoat. Katanya Jik Tiang-hoat
itu berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang', apakah artinya julukan itu?"
Sejak kecil Tik Hun dibesarkan oleh gurunya, apa yang dilihatnya selama itu
adalah sang guru itu seorang tua pedusunan yang jujur dan lugu, tapi Ting Tian
justeru mengatakan bahwa gurunya adalah seorang yang banyak tipu akalnya sebab
itulah ia sengaja tanya Gian Tat-peng untuk mengecek kebenaran apa yang
dikatakan Ting Tian itu. Maka terdengar Gian Tat-peng telah menjawab: "Suteku Jik Tiang-hoat memang
berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang', yaitu orang memperumpamakan dia itu laksana
seutas rantai besi besar yang melintang dipermukaan sungai hingga semua lalu-
lintas air itu takbisa naik dan takdapat turun, artinya mengatakan Jik-sute itu
seorang yang banyak tipu muslihatnya, caranya keji pula terhadap orang."
Sungguh hati Tik Hun sangat menyesal, pikirnya: "Apa yang dikatakan Ting-toako
itu ternyata sedikitpun tidak salah. Guruku ternyata benar seorang yang
demikian, sejak kecil aku telah tertipu olehnya dan beliau selamanya juga tidak
pernah mengunjukan watak aslinya padaku." ~ Namun demikian dalam hatinya tetap
timbul sekelumit harapan, maka tanyanya pula: " Juluk orang Kangouw itu belum
tentu dapat dipercaya penuh, boleh jadi musuhnya yang sengaja memberikannya
julukan itu untuk meng-olok2nya. Sebagai sesama saudara perguruan, tentunya
Gian-cianpwe cukup kenal bagaimana wataknya, nah, sebenarnya bagaimanakah
wataknya itu?" Gian Tat-peng menghela napas, kemudian katanya: "Bukanlah aku sengaja hendak
membicarakan kejelekan saudara perguruanku sendiri, tapi karena Inkong ingin
tahu, Cayhe tidak berani berdusta sedikitpun, maka biarlah kukatakan terus
terang. Jik-suteku itu lahirnya memang kelihatan seperti orang desa yang ke-
tolol2an, tapi sebenarnya hatinya licin, pikirannya tajam. Kalau tidak, masakah
'Soh-sim-kiam-boh' itu dapat jatuh kedalam tangannya?"
Tik Hun manggut2, selang sejenak barulah ia berkata pula: "Darimana kau tahu
dengan pasti bahwa 'Soh-sim-kiam-boh' itu berada padanya" Apa kau menyaksikan
dengan mata kepala sendiri" Menurut kabar, katanya engkau suka menyamar sebagai
seorang pengemis tua, apakah benar?"
Diam2 Gian Tat-peng terkesiap lagi, ia heran orang begitu lihay dan serba tahu
mengenal seluk-beluk dirinya. Maka jawabnya: "Wah, berita Inkong benar2 sangat
tajam hingga setiap tindak-tanduk Cayhe dapat diketahui Inkong. Semula aku
pikir, 'Soh-sim-kiam-boh' itu kalau bukan berada ditangan Ban-suko tentulah
berada pada Jik-sute, maka diam2 aku menyamar sebagai pengemis tua untuk
menyelidiki antara kedua tempat tinggal Suheng dan Sute itu. Tapi sesudah
kuselidiki sekian lamanya, achirnya aku menarik kesimpulan bahwa Kiam-boh itu
tidak berada pada Ban-suko tapi pasti berada ditangan Jik-sute."
"Apa yang meyakinkan kesimpulanmu itu?" tanya Tik Hun.
Jawab Gian Tat-peng: "Dahulu waktu guru kami akan wafat, beliau telah
menyerahkan Kiam-boh itu kepada kami bertiga saudara seperguruan ......"
Tik Hun jadi teringat kepada cerita Ting Tian tentang peristiwa berdarah pada
suatu malam dipantai Tiangkang, dimana Ban Cin-san, Gian Tat-peng dan Jik Tiang-
hoat bertiga telah mengeroyok guru mereka hingga mati. Maka ia lantas mendengus
demi mendengar keterangan Gian Tat-peng itu, katanya: "Hm apa betul gurumu
menyerahkan kitab itu kepada kalian secara baik2" Hm kukira belum .... belum tentu
benar, bukan" Apakah beliau meninggal secara wajar?"
Keruan kejut Gian Tat-peng tak terhingga, mendadak ia melompat bangun, ia tuding
Tik Hun dan berseru: "Apa kau ... kau adalah Ting ... Ting Tian ... Ting-toaya?"
Hendaklah diketahui bahwa kejadian Ting Tian yang mengubur jenazah Bwe Liam-sing
itu achirnya tersiar dikalangan Kang-ouw, sebab itulah demi mendengar dosa
sendiri yang membunuh guru dibongkar oleh Tik Hun seketika ia mencurigai pemuda
itu adalah Ting Tian. Tapi dengan dingin Tik Hun berkata: "Aku bukan Ting Tian, Ting-toako adalah
seorang pembenci kejahatan, dengan mata kepala sendiri ia telah menyaksikan
kalian bertiga mengeroyok hingga tewasnya Suhu kalian, pabila aku adalah Ting-
toako, tidak mungkin harini aku mau menolong jiwamu, tentu akan kubiarkan kau
mati dibawah pedangnya Ban Cin-san."
"Habis siapa engkau?" tanya Gian Tat-peng dengan takut dan sangsi.
"Kau tidak perlu urus siapa aku," sahut Tik Hun. "Jika ingin orang lain tidak
tahu, kecuali kalau engkau sendiri tidak berbuat. Nah, katakan terus terang,
setelah kalian menewaskan gurumu dan berhasil merebut 'Soh-sim-kiam-boh',
kemudian bagaimana?"
"Jika .... jika engkau toh sudah tahu semuanya, buat .... buat apa tanya padaku
lagi?" sahut Gian Tat-peng dengan suara gemetar.
"Ada sebagian yang kuketahui, tapi ada sebagian aku tidak tahu. Maka kau harus
mengaku dengan sejujurnya, jika bohong sedikit saja tentu akan kuketahui."
Sungguh takut dan hormat pula Gian Tat-peng kepada Tik Hun, katanya kemudian:
"Mana aku berani membohongi Inkong" Begini, sesudah kami mendapatkan 'Soh-sim-
kiam-boh' itu, setelah kami periksa, ternyata yang ada cuma Kiam-boh (kitab
pelajaran ilmu pedang) dan tiada terdapat Kiam-koat (kunci pelajaran ilmu
pedang) yang penting itu, jadi percumalah kami mendapatkan Kiam-bohnya saja ......"
Diam2 Tik Hun membatin: "Menurut Ting-toako, katanya Kiam-koat itu menyangkut
rahasia suatu partai harta karun yang belum diketemukan sesudah Bwe Liam-sing,
Leng-siocia dan Ting-toako wafat semua, maka didunia ini sudah tiada seorangpun
yang tahu akan Kiam-koat itu, sebaiknya kalian jangan mengimpi pula akan
memperolehnya." Dalam pada itu terdengar Gian Tat-peng sedang melanjutkan: "Sebab itulah, maka
kami masih terus menyelidiki dimanakah beradanya Kiam-koat itu. Tapi kami
bertiga saling curiga-mencurigai, masing2 sama kuatir kalau Kiam-boh itupun akan
dikangkangi pihak lain, maka setiap malam diwaktu tidur, Kiam-boh itu lantas
kami kunci didalam sebuah peti besi, kunci daripada peti itu kami buang ketengah
sungai dan peti besi itu kami simpan dilaci meja yang kami kunci pula. Malahan
peti besi itu kami gandeng pula dengan tiga buah rantai besi yang kecil dan
masing2 terikat dipergelangan tangan kami, jadi asal ada seorang yang bergerak
sedikit, segera dua orang yang lain akan lantas terjaga bangun."
Penjagaan seperti itu sungguh sangat kuat," ujar Tik Hun.
"Benar," sahut Gian Tat-peng. "Tapi toh masih terjadi juga keonaran."
"Terjadi keonaran apa?" tanya Tik Hun.
"Malam itu kami tidur didalam suatu kamar, tapi esok paginya mendadak Ban-suheng
ber-teriak2. "Dimana Kiam-boh itu" Dimana?" ~ Waktu aku terjaga bangun, kulihat
laci meja yang tersimpan peti besi itu sudah terbuka, tutup peti besi juga
melompong. Kiam-boh yang tersimpan didalam peti itu sudah terbang tanpa bekas.
Keruan kami bertiga sangat kaget, cepat kami mencari kesana kemari dan sudah
tentu hasilnya nihil. Kejadian itu benar2 sangat aneh sebab pintu dan jendela
kamar itu masih tetap tertutup rapat dan terkunci dengan baik, maka daapt diduga
pencuri Kiam-boh itu pasti bukan dilakukan orang dari luar, sebaliknya adalah
orang yang berada didalam kamar, jadi kalau bukan Ban-suko tentu adalah Jik-
sute, satu diantara mereka berdua itu pasti adalah malingnya."
"Jika begitu, mengapa dia tidak membuka jendela atau pintu agar disangka dicuri
oleh orang luar?" tanya Tik Hun.
"Tangan kami tergandeng oleh rantai besi, kalau diam2 bangun untuk membuka laci
dan peti besi itu masih mungkin, tapi kalau berjalan agak jauh untuk membuka
pintu atau jendela, maka rantai besi yang menggandengkan kami itu akan kurang
panjang," kata Tat-peng.
"O, kiranya begitu, lalu apa yang kalian lakukan lagi?" tanya Tik Hun pula.
"Sudah tentu kami tidak tinggal diam mengingat Kiam-boh itu tidak mudah kami
peroleh tapi direbut dengan mengadu jiwa," sahut Tat-peng. "Maka diantara kami
bertiga telah saling menyalahkan dan terjadilah pertengkaran, bahkan saling
tuduh menuduh pula, namun tiada seorangpun yang dapat membuktikan tuduhan
masing2, akhirnya terpaksa masing2 menuju kearahnya sendiri-sendiri ......"
"Ada sesuatu yang aku merasa tidak paham, harap suka memberi penjelasan," kata
Tik Hun. "Bahwasanya kalian bertiga adalah saudara perguruan, jikalau gurumu
memiliki sejilid Kiam-boh pusaka, lambat atau cepat toh pasti akan diwariskan
kepada kalian, apakah mungkin Kiam-boh ini akan dibawanya serta kedalam liang
kubur" Dari itu, mengapa kalian turun tangan sekeji itu dan mengapa mesti
membunuh guru kalian untuk mendapatkan Kiam-boh itu?"
"Ai, dasar guruku itu memang sudah pikun barangkali," sahut Tat-peng. "Coba,
masakah kami bertiga dituduh berhati tidak jujur dan berjiwa jahat, maka beliau
bertekad akan mengajarkan ilmu silatnya kepada orang luar. Oleh karena kami
sudah tak tahan lagi, sudah terpaksa, maka berbuat seperti apa yang terjadi
itu." "O, kiranya begitu. Habis, darimana kemudian kau yakin bahwa Kiam-boh itu berada
dalam tangan Jik-sutemu?" tanya Tik Hun.
"Semula yang kucurigai adalah Ban Cin-san, sebab dia yang menggembor lebih dulu
tentang kemalingan itu. Dan biasanya itu maling suka teriak maling, itulah
siasat yang paling sering digunakan. Tapi sesudah diam2 aku menguntit dia, tidak
lama kemudian aku lantas tahu dia bukan malingnya. Sebab dia sendiri juga sedang
membayangi Samsute. Jikalau Kiam-boh itu berada ditangan Ban Cin-san, tidak
mungkin dengan susah-payah ia malah menyelidiki orang lain, tapi ia tentu akan
menghilang sejauh mungkin untuk meyakinkan ilmu pedang itu. Namun setiap kali
aku melihat dia, selalu kulihat dia sedang mengertak gigi dengan gemas, sikapnya
tidak sabar lagi dan dendamnya tidak kepalang. Karena itulah aku lantas ganti
sasaran, yang kuincar sekarang adalah Jik Tiang-hoat."
"Lalu adakah sesuatu yang kau ketemukan?" tanya Tik Hun.
"Tidak, Jik Tiang-hoat itu benar2 memang seorang yang licin, sedikitpun ia tidak
menunjuk sesuatu tanda yang mencurigakan," sahut Tat-peng dengan menggeleng
kepala. "Pernah aku mengintai waktu dia mengajar ilmu pedang kepada putri dan
muridnya, tapi dia sengaja berlagak bodoh, ia sengaja mengubah nama2 jurusnya
dengan istilah2 yang aneh dan menggelikan. Tapi semakin dia berlaga pilon,
semakin menimbulkan curigaku. Selama tiga tahun aku terus mengintai gerak-
geriknya, tapi tetap tiada sesuatu lubang kelemahan yang kudapatkan. Diwaktu dia
tiada dirumah, pernah beberapa kali aku menggerayangi rumahnya, tapi hasilnya
nihil, jangankan Soh-sim-kiam-boh apa segala, biarpun kitab belajar membaca juga
tiada sedikitpun terdapat dirumahnya. Hehe, Suteku ini benar2 seorang maha
licin, seorang cerdik, seorang pintar!"
"Kemudian bagaimana?" tanya Tik Hun lagi.
"Kemudian, kemudian pihak Ban Cin-san akan merayakan ulang tahunnya. Ia telah
mengirim seorang muridnya untuk mengundang Jik Tiang-hoat ke Heng-ciu untuk ikut
merayakan Shejit sang Suko," tutur Tat-peng pula. "Sudah tentu, merayakan Shejit
hanya siasat saja, yang benar Ban Cin-san ingin mencari tahu bagaimana keadaan
Jik-sutenya. Begitulah Jik Tiang-hoat lantas berangkat ke Heng ciu dengan
membawa serta seorang muridnya yang ke-tolol2an, kalau tidak salah bernama Tik
Hun dan puterinya, Jik Hong juga ikut. Ditengah perayaan ulang tahun itu, entah
mengapa mendadak si tolol Tik Hun itu telah berkelahi dengan kedelapan anak-
murid Ban Cin-san, dalam keadaan dikerubut itu mendadak Tik Hun melontarkan tiga
tipu serangan yang hebat hingga menimbulkan curiga Ban Cin-san. Segera ia
mengundang Jik-sute kedalam kamarnya untuk bicara, tapi bicara punya bicara,
achirnya mereka sendiripun bertengkar, sekali tusuk Jik Tiang-hoat telah melukai
Ban-suko, habis itu ia lantas kabur dan menghilang entah kemana lagi. Aneh,
sungguh aneh, benar2 sangat aneh!"
"Aneh tentang apa?" tanya Tik Hun.
"Tentang Jik Tiang-hoat yang menghilang itu, sejak itu tidak pernah kelihatan
lagi batang-hidungnya, entah dia telah sembunyi dimana, bahkan kabar sedikitpun
tiada lagi," kata Tat-peng. "Diwaktu Jik Tiang-hoat berangkat ke Hengciu, dengan
sendirinya tidak mungkin ia membawa serta Kiam-boh yang dia serobot dari kedua
Suhengnya itu, tapi pasti dia simpan kitab pusaka itu disuatu tempat rahasia
dirumahnya itu. Semula aku menaksir sesudah dia melukai Ban Cin-san, tentu malam
itu juga ia akan pulang kerumah untuk mengambil Kiam-boh, lalu merat sejauh
mungkin. Selama itulah, begitu terjadi peristiwa itu di Heng-ciu, segera aku
menggunakan kuda pilihan mendahului datang ke Wan-leng sini, aku sembunyi
disekitar rumahnya untuk mengintai dimanakah dia menyimpan Kiam-boh curian itu,
dengan begitu aku akan segera menyergapnya. Akan tetapi tunggu punya tunggu,
tetap dia tidak muncul. Akhirnya aku menjadi tidak sabar lagi, dengan tidak
sungkan2 lagi aku lantas bongkar rumahnya hingga murat-marit, aku lalu menggali
kitab pusaka yang dia pendam dirumahnya itu. Namun sampai sekarang rupanya
usahaku ini sia2 belaka, jerih payahku itu terbuang percuma. Coba kalau tidak
ditolong oleh Inkong, bukan mustahil sekarang jiwaku sudah melayang disitu."
"Dan kalau menurut pendapatmu, kira2 saja Jik-sutemu itu sekarang berada
dimana?" tanya Tik Hun.
"Inilah aku benar2 tidak dapat menerkanya," sahut Tat-peng dengan menggeleng.
"Besar kemungkinan dia sudah ketulah dan sudah mati menggeletak dimana atau
jatuh sakit untuk tidak pernah sembuh lagi atau boleh jadi mengalami kecelakaan
apa2 serta sudah menjadi mangsa harimau atau serigala."
Melihat cara Gian Tat-peng omong itu penuh mengunjuk rasa senang pabila sang
Sute itu benar2 sudah mati, diam2 Tik Hun menjadi muak terhadap manusia rendah
itu. Tapi lantas terpikir olehnya bahwa selama ini memang tiada kabar berita
tentang gurunya itu, besar kemungkinan memang sudah mengalami sesuatu halangan
apa2. Maka ia lantas berbangkit dan berkata. "Terima kasih atas keteranganmu yang
sebenarnya ini, sekarang Cayhe mohon diri lebih dulu."
Dengan penuh hormat kembali Gian Tat-peng menjura tiga kali lagi, katanya. "Budi
kebaikan Inkong yang tiada terhingga ini selama hidup Gian Tat-peng takkan
melupakan." "Hanya soal kecil ini mengapa mesti dipikirkan," sahut Tik Hun. "Kau boleh
merawat lukamu disini, Ban Cin-san itu takkan dapat menemukan kau, maka tidak
perlu kau kuatir." "Saat ini besar kemungkinan dia lagi kelabakan seperti semut di minyak wajan
panas, mana dia sempat untuk memikirkan mencari aku?" sahut Tat-peng dengan
tersenyum. "Sebab apa?" tanya Tik Hun dengan heran.
"Sebab saat ini dia tentu lagi kelabakan memikirkan keselamatan puteranya,"
tutur Tat-peng. "Tangan puteranya itu telah kena disengat oleh ketungging yang
berbisa jahat itu, untuk bisa sembuh harus ber-turut2 dibubuhi obat sebanyak
sepuluh kali, kalau cuma sekali dibubuhi obat, memang sakitnya akan hilang untuk
sebentar, lalu tidak lama kemudian akan kambuh lagi lebih jahat."
"Wah jika begitu, apakah jiwa Ban Ka itu akan melayang?" kata Tik Hun agak
kaget. Racun ketunggingku itu memang benar2 lain daripada yang lain," tutur Tat-peng
dengan ber-seri2. "Yang hebat adalah Ban Ka itu takkan mati seketika, tapi dia
akan merintih dan menderita selama sebulan suntuk, habis itu barulah jiwanya
melayang. Hahaha, sungguh hebat, sungguh bagus!"
"Kalau sebulan kemudian baru dia akan mati, jika begitu tentu dia akan dapat
menemukan tabib pandai untuk mengobati lukanya yang disengat ketungging itu,"
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ujar Tik Hun. "Agaknya Inkong tidak tahu bahwa ketungging berbisa itu bukanlah sembarangan
serangga yang dibesarkan oleh alam, tapi adalah piaraanku sendiri, sejak kecil
aku telah melolohi dia dengan macam2 obat penawar agar mereka sudah biasa atau
kebal oleh obat penawar itu, maka kalau tabib umumnya membubuhkan obat penawar
ditempat yang disengat itu, sudah tentu takkan berguna sama sekali. Hahaha!"
Dengan melirik hina Tik Hun mengikuti cerita manusia keji itu, diam2 ia
membatin: "Hati orang ini benar2 terlalu kejam dan menakutkan. Bukan mustahil
lain kali akupun akan kena disengat oleh ketungging yang ia piara itu. Menurut
pesan Ting-toako, katanya kalau berkelana di Kangouw hendaklah jangan timbul
maksud untuk membikin celaka orang, tapi juga jangan lengah untuk menjaga
kemungkinan dicelakai orang. Maka lebih baik aku minta sedikit obat penawar dari
dia sekedar untuk persediaan siapa tahu bila kelak ada gunanya."
Maka ia lalu berkata: "Gian-cianpwee, obat penawar untuk racun ketunggingmu itu
bolehlah serahkan padaku saja."
"Baik, baik," sahut Gian Tat-peng tanpa pikir. Tapi ia tidak lantas menyerahkan
obat yang diminta, sebaliknya tanya dulu. "Inkong minta obat penawar itu, entah
akan digunakan untuk apa?"
"Ketunggingmu itu sangat lihai, bisa jadi pada suatu saat aku kurang hati2
hingga tersengat, tapi kalau aku sudah punya obat penawarnya tentu takkan kuatir
lagi," sahut Tik Hun.
Wajah Gian Tat-peng mengunjuk rasa risi, sahutnya dengan tertawa: "Ah Inkong
suka bergurau saja. Sedangkan buat pertolongan jiwa Inkong padaku belum kubalas,
masakah aku mempunyai maksud untuk mencelakai Inkong."
"Ya, tapi ada baiknya juga aku menjaga segala kemungkinannya, sedia payung
sebelum hujan, kan tiada jeleknya," kata Tik Hun sambil mengulurkan tangannya.
"Ya, ya!" sahut Gian Tat-peng dan terpaksa ia mengeluarkan botol obat penawar
itu dan diserahkan kepada tuan penolong jiwanya itu.
Sesudah meninggalkan Gian Tat-peng dipuncak gunung itu, Tik Hun kembali pula
kegedung itu untuk menyelidiki keadaannya. Tapi dilihatnya gedung itu sudah sepi
senyap tiada seorangpun, para kuli kampung sudah bubar, simandor dan si Koankeh
juga entah menghilang kemana lagi.
"Suhu mungkin sudah meninggal, Sumoay kini sudah menjadi isteri orang, maka
tempat ini untuk selanjutnya terang takkan kudatang lagi," demikian pikir Tik
Hun. Segera ia tinggalkan gedung itu dan berangkat menuju kebarat-daya dengan
menyusur tepi sungai. Sementara itu fajar sudah menyingsing, sang surya mulai mengintip diufuk timur,
beberapa puluh meter jauhnya, waktu Tik Hun menoleh, ia melihat sinar fajar
cemerlang dipucuk pohon2. Yang didepan gedung itu, air sungai juga ber-kelip2
memancarkan cahaya ke-emas2sannya, pemandangan demikian ini sudah sejak kecil
kenyang dilihat oleh Tik Hun, tanpa merasa ia menggumam lagi: "Untuk selanjutnya
aku takkan kembali lagi ketempat ini."
Setelah membetulkan rangselnya, ia pikir tugas yang masih harus dilaksanakannya
hanya tinggal satu saja yaitu mengubur abu tulang Ting-toako bersama jenazah
Leng-siocia. Maka tempat yang harus ditujunya sekarang adalah Heng-ciu.
Pikirnya pula: "Sikeparat Ban Ka itu telah mengakibatkan hidupku merana seperti
sekarang ini, syukur orang jahat tentu mendapat ganjaran yang setimpal, maka
rasanya akupun tidak perlu membalas dendam dengan tanganku sendiri, menurut kata
Gian Tat-peng katanya dia akan me-rintih2 dan sesambatan selama sebulan, habis
itu baru akan mati, entah apa yang dikatakan itu benar atau tidak. Jika ternyata
jiwanya masih belum melayang umpamanya, maka aku baru menambahi dia dengan
tusukan pedangku biar bagaimanapun jiwa anjingnya harus kucabut."
Begitulah ia lantas berangkat ke Heng-ciu yang tidak jauh dari barat Ouw-lam
itu, maka tiada seberapa hari iapun sampailah disana.
Sesudah mencari kabar, diketahuilah bahwa Leng Dwe-su masih tetap menjadi Tihu
disitu. Maka ia tetap menyaru seorang gelandangan yang dekil agar tidak dikenal
orang. Begitu masuk kota, pikiran pertama yang timbul padanya adalah: "Aku ingin
menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri cara bagaimana Ban Ka tersiksa oleh
racun ketungging itu. Entah apakah dia dapat disembuhkan dan entah apakah dia
sudah pulang kesini atau belum, boleh jadi dia masih tinggal di Ouwlam untuk
berobat." Maka pelahan2 ia menuju kerumah keluarga Ban itu, dari jauh lantas dilihatnya
Sim Sia sedang keluar dari gedung megah itu secara ter-gesa2, agaknya sedang
sibuk mengalami sesuatu masalah gawat.
Pikir Tik Hun: "Jika Sim Sia berada disini, tentu Ban Ka juga sudah pulang. Maka
malam nanti biarlah aku menyelidikinya kesitu."
Segera ia kembali ketaman bobrok dahulu, taman itu tidak jauh dari rumah
keluarga Ban itu. Ditaman itulah dahulu Ting Tian meninggal sesudah lebih dulu
membunuh Ciu Kin, Kheng Thian-pa dan Tay-beng. Kini berkunjung lagi ketempat
lama ia melihat taman itu semakin rusak, keadaan semakin tak keruan. Di-mana2
runtuhan puing dan tumbuh2an liar.
Ia mendatangi pohon Bwe dahulu itu, ia me-raba2 lekak-lekuk pohon tua itu sambil
memikir. "Waktu itu Ting-toako menghembuskan napasnya yang penghabisan dibawah
pohon ini, tapi wujut pohon ini sampai sekarang masih tetap sama, sedikitpun
tiada berubah, sebaliknya Ting-toako sekarang sudah menjadi abu."
Begitulah ia lantas duduk ter-menung2 dibawah pohon Bwe itu, achirnya ia
terpulas juga. Kira2 dekat tengah malam, ia mendusin dan mengeluarkan rangsum kering untuk
tangsal perut lalu keluar dari taman bobrok itu dan menuju kerumah keluarga Ban.
Ia memutar kepintu belakang gedung besar itu, dari sini ia melompat pagar tembok
dan masuk ketaman bunga. Menghadapi tempat bersejarah itu, tanpa merasa hati Tik
Hun menjadi pedih, pikirnya: "Dahulu aku terluka parah dan sembunyi digudang
kayu sana, tapi Sumoay tidak membantu dan menolong aku, ia benar2 tidak berbudi,
bahkan ia malah memanggil suaminya untuk membunuh aku."
Begitulah sambil membayangkan kejadian dahulu dan selagi ia mulai melangkah
kedepan, tiba2 dilihatnya ditepi empang sana ada tiga titik sinar api yang ber-
kelip2. Tik Hun menjadi curiga dan segera berhentikan langkahnya ia mengumpet dibelakang
sebatang pohon, lalu mengintai ketempat sinar api itu. Sesudah diperhatikan,
akhirnya dapat diketahuinya bahwa bintik2 sinar api itu tak-lain adalah tiga
batang dupa yang tertancap disuatu Hiolo (tempat menancap dupa). Hiolo itu
tertaruh diatas satu meja kecil dan didepan meja itu ada dua orang yang sedang
berlutut dan menyembah kepada langit.
Tidak lama kemudian kedua orang itu tampak berbangkit, maka jelaslah Tik Hun
melihat satu diantaranya adalah Jik Hong, seorang lagi adalah satu dara cilik,
terang itulah puteri sang Sumoay yang dipanggil "Kong-sim-jay" itu.
Terdengar perlahan-lahan Jik Hong berdoa: "Dupa pertama ini memohon agar Tuhan
Allah memberkahi keselamatan bagi suamiku, agar lukanya segera sembuh, abuhnya
lekas kempis dan racunnya segera hilang, supaya tidak lama tersiksa oleh racun
ketungging itu. Khong-sim-jay, hayolah berkata, bilang mohon Tuhan Allah
memberkati penyakit ayah lekas sembuh".
"Ya, ibu, mohon Tuhan Allah memberkati penyakit ayah lekas sembuh, supaya ayah
tidak berteriak2 kesakitan lagi" demikian dara cilik itu menirukan nada sang
ibu. Mendengar itu, diam-diam Tik Hun merasa senang dan syukur atas penderitaan Ban
Ka. Tapi ia gemas pula atas perhatian Jik Hong terhadap suaminya itu.
Kemudian terdengar Jik Hong berdoa lagi: "Dan dupa kedua ini mohon Tuhan Allah
memberkati ayahku dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, semoga lekas2 pulang
untuk berkumpul lagi. Khong-sim-jay, lekas bilang mohon Tuhan Allah memberkati
Gwakong semoga berumur panyang".
"Ya, ibu, Gwakong, hendaklah engkau lekas pulang, mengapa engkau tidak lekas
pulang", demikian sidara cilik menirukan pula.
"Katakan mohon Tuhan Allah memberkahi selamat", sang ibu mengayarkan.
"Ya, ibu, mohon Tuhan Allah memberkahi selamat pada Gwakong, kepada ayah dan
kepada kakek", kata dara cilik itu. Selamanya ia belum pernah melihat Jik Tiang
Hoat yaitu Gwakong atau kakek luarnya, maka yang dipikirkan adalah ayahnya dan
kakeknya sendiri, yaitu Ban Cin-san.
Dan sesudah berhenti seyenak, kemudian Jik Hong berdoa lagi dengan suara agak
lirih: Dan dupa yang ketiga ini memohon kepada Tuhan Allah agar memberkahi dia
dalam keadaan sehat, semoga dia hidup senang dan mendapatkan isteri baik dan
lekas mendapat anak............................". ~ berkata sampai disini, suaranya menyadi serak
se-akan2 tersumbat tenggorokannya, lalu ia mengusap air matanya dengan lengan
baju. "Kembali ibu terkenang kepada Kuku, ya" tanya si dara cilik.
"Khong Sim-jay, bilang mohon kepada Tuhan Allah agar memberkahi keselamatan
kepada Khong-sim-jay Kuku.............." kata Jik Hong pula.
Memang Tik Hun sudah heran ketika Jik Hong berdoa untuk dupa yang ketiga. Ia
tidak tahu siapakah yang dimintakan berkah. Dan demi mendadak mendengar bekas
kekasih itu menyebut "Khong-sim-jay Kuku", seketika telinganya seperti
mendengung, hatinya serasa berkata: "Ha, dia maksudkan aku, dia maksudkan aku?".
Dalam pada itu si dara cilik telah menurut kata ibunya tadi dan sedang
bersuyut:"Ya, Tuhan Allah, ibuku selalu terkenang kepada Khong-sim-jay Kuku,
mohon diberkahi selamat dan rejeki besar agar kelak aku dibelikan sebuah boneka
besar. Dia adalah Khong-sim-jay, akupun Khong-sim-jay, kami sama-sama Khong-sim-
jay. Eh, ya, ibu kemanakah perginya Khong-sim-jay Kuku itu" Mengapa dia tidak
pernah pulang?" Maka Jik Hong telah menyawab: "Khong-sim-jay Kuku itu telah pergi ke tempat yang
yauh, yauh sekali. Kuku itu telah meninggalkan ibumu, tetapi ibumu senantiasa
memikirkan dia.....................". ~ berkata sampai disini tiba-tiba ia peluk anak
perempuannya itu dan menyusupkan kepalanya di dada bocah itu, lalu masuk kerumah
dengan langkah lebar. Pelahan2 Tik Hun keluar dari tempat sembunyinya dan mendekati Hiolo yang
ditinggalkan itu. Dengan ter-menung2 ia memandangi ketiga batang dupa itu
semakin lama makin surut, sampai akhirnya menjadi abu semua, tapi ia masih ter-
mangu2 di situ tanpa bergerak sedikitpun.
Ia baru tersadar ketika burung berkicau dengan ramai dan fayar sudah
menyingsing, maka cepat ia tinggalkan taman keluarga Ban itu. Ia berkeliaran
kian kemari di dalam kota Heng-ciu tanpa arah tuyuan.
Tiba-tiba didengarnya suara "creng-creng" yang berisik, itulah bunyi kecer
seorang tabib kelilingan yang sedang menawarkan obatnya sepanjang yalan.
Mendadak hati Tik Hun tergerak. Bukankah ia ingin menyaksikan sendiri bagaimana
keadaan Ban Ka yang sesambatan tersiksa oleh racun ketungging itu"
Terus saya ia mendekati tabib kelilingan itu, ia keluarkan sepuluh tahil perak
untuk membeli pakaian tabib itu beserta peti obat dan peralatan lainnya. Sudah
tentu tabib kelilingan itu sangat heran ada orang mau memborong barang2nya yang
rombeng itu, padahal nilainya tidak lebih dari lima tahil perak. Sudah tentu ia
kegirangan setengah mati, bagai orang putus lotre. Tanpa tahan harga lagi ia
terus lepaskan kepada Tik Hun.
Sesudah memborong milik tabib kelilingan itu, lalu Tik Hun kembali ke taman
bobrok itu, disitulah ia ganti pakaian, ia menyaru sebagai tabib. Lalu ia tumbuk
sedikit rumput obat dan airnya ia gunakan untuk poles mukanya sendiri, malaha ia
sengaya tambal sepotong koyok dimata kiri sendiri hingga muka aslinya susah
dikenali lagi. Habis itu, segera ia menuju ke rumah keluarga Ban.
Didepan gedung keluarga Ban itu ia sengaya bunyikan kecernya sekeras mungkin,
sesudah dekat pintu ia terus ber-teriak2 malah: "Tabib sakti, spesial mengobati
segala macam penyakit aneh, segala yenis keracunan, baik disengat kelabang
maupun dipagut ular, tanggung ces-pleng, sekali minum obatku, seketika sembuh!".
Begitulah sesudah ia ber-teriak2 beberapa kali, lantas tertampaklah dari dalam
berlari keluar dengan buru2, setelah dekat orang itu lantas memanggilnya: "He,
Sinshe, kemarilah sini".
Tik Hun kenal orang itu adalah muridnya Ban Cin San yang bernama Go Him, yaitu
orang yang dahulu telah menabas putus jarinya itu.
Tapi kini Tik Hun dalam penyamaran, muka aslinya sudah berobah 180 derayat,
dengan sendirinya Go Him tidak kenal dia lagi.
Pelahan-lahan Tik Hun mendekati Go Him, karena kuatir suaranya dikenal orang, ia
sengaya menekuk suara dan berkata: "Ada apakah Tuan" Apakah engkau menderita
penyakit aneh, misalnya bisul jahat atau abuh bengkak yang tak dikenal namanya?"
"Hus, apakah kau kira aku ini mirip seorang penderita sakit?" Semprot Go Him,
"He, aku ingin tanya padamu, kalau disengat ketungging, apakah kau dapat
menyembuhkan?" "Ha-ha, mengapa tidak bisa?" sahut Tik Hun sengaya bergelak tawa. "Sedangkan
ular-ular berbisa seperti Jik-lian-coa (ular gelang rantai), Kim-kah-tay (ular
bergelang kaki), Bak-kia-coa (ular kaca-mata, kobra) dan lain-lain ular berbisa
paling jahat yuga ces-pleng bila makan obatku, apalagi cuma penyakit sepele kena
disengat ketungging, he-he, itulah penyakit tak berarti".
"Ah, jangan kau omong besar dahulu", uyar Go Him. "Hendaklah engkau ketahui
bahwa ketungging itu bukan sembarangan ketungging, sedangkan tabib terkemuka di
kota Heng-ciu juga tak berdaya menyembuhkannya, masakah kau sanggup mengobati?"
"Ha, masakah ada ketungging selihay itu?" demikian Tik Hun pura-pura mengkerut
kening. "Padahal ketungging didunia ini paling lihay cuma sebangsa Hwe-kat
(ketungging kelabu), Kim-ci-kat (ketungging mata uang emas), Moa-tahu-kat
(ketungging kepala burik), Ang-bwe-kat (ketungging ekor merah), Pek-kah-kat
(ketungging kaki putih) dan............................" Begitulah ia sengaja mencerocos dengan
aneka macam-macam nama-nama ketungging sampai berpuluh-puluh jenis banyaknya.
Habis itu baru ia berkata pula: "Setiap yenis ketungging itu memang ber-beda2
racunnya, cara pengobatannya juga berlainan, maka biarpun namanya saja tabib
pandai, jikalau cuma nama kosong saya sudah tentu takkan becus menyembuhkan luka
disengat ketungging".
Mendengar sekaligus tabib kelilingan itu mencerocos berpuluh nama yenis
ketungging, mau tak mau Go Him merasa kagum dan tertarik, segera katanya: "Jika
begitu, silakan Sinshe masuk ke dalam untuk mengobati suhengku, Jikalau dapat
menyembuhkan, tentu suhuku akan memberi hadiah besar".
Tik Hun mengangguk dan ikut masuk ke dalam gedung itu. Begitu melangkah masuk,
seketika Tik Hun teringat kepada keyadian dulu, dimana ia dan sumoay mengikut
sang suhu menghadiri perayaan ulang tahun sang Supek, tatkala itu ia masih
seorang pemuda desa yang hijau, segala apa belum pernah dilihatnya dan semuanya
serba baru baginya, maka sepanjang jalan ia asyik bicara dengan Sumoay tentang
pemandangan yang mereka lihat itu. Kini berkunjung kembali kegedung yang sama,
namun suasananya sudah berbeda.
Ia ikut Go Him masuk keruangan dalam, setelah menyusur dua tempat Cimche,
akhirnya sampai dibawah sebuah loteng. Segera Go Him menengadah keatas dan
berseru: "Samsuso, ini adalah seorang tabib kelilingan, katanya mampu mengobati
segala penyakit kena disengat ketungging, apakah perlu aku mengundang tabib ini
untuk periksa penyakit Suko?"
Lalu terdengar suara berkeriut, jendela loteng dibuka orang, tertampak Jik Hong
melongok keluar dan berkata: "Baiklah, terima kasih Go-sute, malahan hari ini
Suko-mu tambah kesakitan, lekas undang Sinshe naik ke sini".
"Baiklah Suso", sahut Go Him. Lalu ia berpaling kepada Tik Hun: "Silakan,
Sinshe". ~ Ia menyilakan sang "Sinshe" naik ke loteng, tapi ia sendiri tidak
ikut mengantar. Maka Jik Hong berseru lagi: "Go-sute, silakan kaupun ikut kemari membantu".
Go Him mengiakan, maka iapun ikut naik keatas loteng.
Setiba diruangan loteng, Tik Hun melihat ditengah situ didekat yendela tertaruh
sebuah meya tulis yang besar dengan penuh segala peralatannya dan banyak kitab-
kitab pula, diatas meja terdapat pula sehelai baju anak kecil yang belum selesai
diyahit. Sementara itu tampak Jik Hong telah memapak keluar dari kamar sana, mukanya
tidak berbedak dan bergincu, tapi tidak mengurangi cantiknya, hanya tampak agak
kurus dan pucat sedikit, mungkin terlalu letih dan kurang tidur karena mesti
merawat sang suami. Tik Hun hanya memandang sekeyap saya kepada sang Sumoay itu lalu tidak berani
memandang lagi sebab kuatir dikenali. Kemudian ia ikut masuk kedalam kamar,
disitu kelihatan ada sebuah ranjang kayu yang besar, diatasnya merebah seseorang
dengan menghadap kedalam sana sambil tiada hentinya me-rintih2. Itulah dia Ban
Ka. Dan ditepi ranjang itu seorang dara cilik berduduk diatas dingklik cilik kecil
sedang memiyat pelahan-lahan kaki sang ayah. Tapi demi melihat wayah Tik Hun
yang kotor dan aneh itu, ia menjerit takut dan mengumpet ke belakang sang ibu.
Kemudian Go Him berkata: "Suko-ku ini kena disengat ketungging berbisa, racunnya
masih belum hilang, harap Sinshe suka memeriksa dan kasih obat bila perlu".
Tik Hun mengiakan. Kalau diluar tadi ia bisa mencerocos bagai air bah membanyir
untuk bicara dengan Go Him, adalah sekarang sesudah melihat Jik Hong, seketika
hatinya ber-debar2 dan mulut serasa terkancing, untuk bicarapun rasanya susah.
Tapi iapun mendekati ranyang dan tepuk pelahan dipundak Ban Ka. Pe-lahan2 Ban Ka
membalik tubuh, ketika ia membuka mata dan melihat macam Tik Hun yang luar biasa
itu, mau tak mau ia terkesiap juga.
Maka terdengar Jik Hong mendahului berkata: "Samko, ini adalah Sinshe yang
diundang oleh Go Sute, katanya..............katanya ia pandai mengobati segala macam
racun serangga dan ular, boleh jadi dia ada obat mujarab yang dapat menyembuhkan
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lukamu". ~ Nyata nadanya juga tidak menaruh kepercayaan bahwa tabib gelandangan
seperti itu mampu mengobati penyakit sang suami.
Tapi Tik Hun tidak bicara, ia periksa punggung tangan Ban Ka yang abuh itu. Ia
melihat bagian tangan itu hitam hangus mengerikan.
"Ini adalah sengatan ketungging berbisa keluaran Wan-leng di barat Ouw-lam, di
Ouw-pak tiada terdapat ketungging seyenis itu". kata Tik Hun kemudian.
"He, ia betul, memang betul disengat oleh ketungging di Wan-leng sana". seru Go
Him dan Jik Hong berbareng.
"Sesudah Sinshe dapat mengetahui asal-usul ketungging yang menyengat itu, tentu
Sinshe dapat mengobatinya?" tanya Jik Hong pula dengan penuh harapan.
Tik Hun sengaya menghitung dengan jari, lalu katanya pula: "Ehm, ketungging itu
menyengatnya diwaktu malam, kalau tidak salah, ehm, sampai sekarang sudah lewat
tuyuh hari tujuh malam lamanya".
Keruan Go Him saling pandang dengan Jik Hong, habis itu mereka berseru berbareng
lagi: "Betul, betul, sungguh dugaan Sinshe sangat tepat, memang pada malam hari
kena disengat oleh ketungging dan sampai sekarang sudah tujuh hari tuyuh malam.
Maka harap Sinshe lekas tolong memberi obat".
Sudah tentu Tik Hun bukan dewa yang bisa meramalkan kejadian yang sudah lalu dan
dapat menduga apa yang belum datang. Soalnya ia sendiri yang menyaksikan Ban Ka
disengat oleh ketunggingnya Gian Tat-peng, dengan sendirinya ia dapat mengatakan
dengan jitu. Begitulah maka ia menjadi senang dan kasihan pula melihat kelakuan Jik Hong dan
Go Him yang keyut-keyut girang itu. Maka iapun sengaya jual mahal, segera
katanya pula: "Apakah tuan ini telah menggecek mati ketungging itu dengan
punggung tangannya" Kalau tidak berbuat demikian sebenarnya masih dapat
tertolong, tapi kini ketungging itu dibunuh diatas punggung tangan, seketika
racunnya lantas tersebar semua kedalam luka, untuk menolongnya sungguh maha
sulit sekarang". "Memang jelas sekali uraian Sinshe, tapi apapun juga mohon Sinshe sudilah
menolong jiwanya", pinta Jik Hong dengan kuatir dan gopoh.
Kedatangan Tik Hun ke Heng-ciu ini sebenarnya ingin menyaksikan sendiri cara
bagaimana Ban Ka menderita dan me-rintih2 mendekati ajalnya, yaitu untuk
melampiaskan rasa dendamnya selama ini, maka sedikitpun tiada pikiran padanya
untuk menolong jiwa musuh besarnya itu.
Namun seyak semalam didengarnya doa restu Jik Hong yang ternyata masih tidak
melupakan dirinya, bahkan memohon kepada Tuhan Allah agar memberkati selamat
bahagia bagi dirinya, semoga lekas beristri dan beranak, malahan mengatakan
bahwa dirinya yang telah meninggalkan Sang Sumoay itu, dari ucapan terakhir ini
agaknya Sumoay masih yakin bahwa dia benar2 pada malam itu hendak kabur bersama
gundiknya Ban Cin-san, yaitu si Mirah, oleh sebab itulah maka Sumoay menyesal
dan putus asa lalu menikah pada Ban Ka.
Diwaktu kecilnya Tik Hun sangat penurut kepada segala kehendak Jik Hong, tidak
pernah ia membangkang atau membantah apa yang dikatakan sang Sumoay. Maka kini
demi mendengar permohonan Jik Hong yang penuh kuatir itu, hati Tik Hun menyadi
lemas, segera ia bermaksud mengeluarkan obat penawar yang diperolehnya dari Gian
Tat-peng itu. Tapi mendadak ia mendapat pikiran lain: "Si keparat Ban Ka ini telah membuat aku
menderita dan merana selama ini, dia merebut pula Sumoayku, kalau aku tidak
membunuhnya dengan tanganku sendiri sebenarnya sudah dapat dikatakan aku cukup
murah hati, mana boleh sekarang aku menolong jiwanya pula?".
Karena pikiran itu ia segera menggeleng kepala dan menjawab: "Bukanlah aku tidak
mau menolongnya, tapi sesungguhnya dia sudah terlalu mendalam keracunan, pula
sudah tertunda sekian hari, racunnya sudah masuk otak, untuk menolongnya sudah
sangat susah". Tiba2 Jik Hong meneteskan air mata, ia tarik si dara cilik tadi dan berkata
padanya: "Kong-sim-jay mestikaku, lekaslah kau menjura kepada paman Sinshe ini,
mohon beliau sukalah menolong jiwa ayahmu".
"Jang..................jangan menjura apa segala...................," cepat Tik Hun menggoyang-goyang
tangannya. Tapi anak itu memang sangat penurut, rupanya tahu juga ayahnya sakit sangat
payah, maka terus saya ia berlutut dan menyembah beberapa kali.
Kelima yari kanan Tik Hun sudah terpapas kutung oleh Go Him dahulu dan seyak
tadi ia masukkan saku, maka ia hanya gunakan tangan kiri untuk membangunkan anak
dara itu. Waktu menarik bangun bocah itu, tiba-tiba dilihatnya dilehernya
memakai sebuah kalung dengan mainan yang berukir empat huruf 'Tik-yong-siang-
bo'. Melihat itu, Tik Hun menyadi tertegun, teringat olehnya tempo dulu waktu dia
pingsan di dalam gudang kayu rumah keluarga Ban ini, ketika ia sadar kembali, ia
dapatkan dirinya berada di dalam suatu sampan dan terombang-ambing di tengah
sungai Tiang-kang, disampingnya terdapat beberapa tahil perak dan sedikit
perhiasan, diantaranya yuga terdapat sebuah mainan yang bertuliskan empat huruf
seperti itu. Ia menjadi heran, jangan-jangan....... jangan-jangan.............
Maka ia tidak berani memandang lagi, pikiran kusut akhirnya jernih kembali,
terbayang pula keadaan waktu dahulu itu. "Ya,....ketika aku jatuh pingsan digudang
kayu itu, selain Jik-Sumoay yang menolong aku, terang tiada orang lain lagi.
Dahulu aku mencurigai dia sengaya hendak membunuh aku, tapi semalam ia
berdoa.......berdoa kepada Tuhan, ia telah mengutarakan isi hatinya terhadap diriku.
Dan kalau dia begitu mencinta aku, tempo dulu itu sudah tentu tidak mungkin
bermaksud membunuh aku. Masakah aku ditakdirkan bahwa sesudah mengalami derita
sengsara selama ini, lalu aku akan dipersatukan lagi dengan Sumoay seperti
sekarang ini". Teringat kemungkinan akan ruyuk kembali dengan sang Sumoay tanpa merasa hati Tik
Hun ber-debar2 pula, ketika ia melirik Jik Hong, dilihatnya wajahnya penuh
merasa kuatir, dengan penuh perhatian Sumoay itu sedang memandangi Ban Ka yang
menggeletak diranjang itu, sorot matanya mengunyuk rasa cinta kasih yang tak
terhingga. Melihat sinar mata sang Sumoay itu, seketika hati Tik Hun mencelus lagi. Kembali
terbayang lagi keyadian dahulu yang masih diingatnya dengan yelas. Hari itu ia
bertempur melawan Ban-bun-pat-tecu, ia dikeroyok dan dihajar mereka hingga
matang biru dan hidung bocor. Kemudian Sumoay telah menjahitkan bajunya yang
terobek dalam perkelahian itu, sorot mata sang Sumoay pada saat mendampinginya
itulah juga penuh rasa kasih sayang seperti sekarang sang Sumoay itu memandangi
Ban Ka. Maka kini, teranglah sorot mata yang membahagiakan setiap lelaki itu
oleh sang Sumoay telah diberikan kepada suaminya dan tiada mungkin dituyukan
kepadanya lagi. "Pabila aku tidak memberi obat penawar padanya, siapakah yang dapat menyalahkan
aku" Dan bila nanti Ban Ka sudah mampus, dimalam hari diam2 aku datang kesini
untuk membawa kabur Sumoay, siapakah yang dapat merintangi aku" Dengan begitu
aku dapat berkumpul pula dengan Sumoay sebagai suami isteri selama hidup.
Tentang anak dara ini, ehm, biarlah akan kubawa serta dia..................Tetapi, ai, tak
bisa, tak bisa! Sumoay sudah biasa menyadi nyonya muda dirumah keluarga Ban yang
kaya ini, hidupnya senang serba cukup, masakah dia mau ikut pergi bersama aku
untuk meluku sawah dan mengangon kerbau lagi" Apalagi wayahku yelek begini,
tidak banyak 'makan' sekolah, lagi tanganku yuga cacat, masakah aku sesuai
menyadi jodohnya" Dan apakah dia sudi ikut kabur bersama aku?"
Begitulah demi teringat dirinya sendiri yang serba kurang dan serba rendah itu,
Tik Hun menyadi malu diri dan kecil hati, ia menunduk termangu-mangu.
Sudah tentu Jik Hong tidak tahu bahwa pada saat sesingkat itu pikiran sang
'Sinshe' sedang melayang-layang sejauh itu. Maka dengan terkesima iapun
memandangi Sinshe itu dengan harapan akan terdengar ucapan menggirangkan dari
mulutnya bahwa suaminya dapat tertolong.
Sementara itu Ban Ka masih terus me-rintih2 dan sesambatan, racun ketungging itu
meresap sampai diruas tulang ketiaknya, keruan rasanya menjadi seperti lengannya
itu terkutung sakitnya. Dan sesudah menunggu agak lama, sang Sinshe masih diam saja, Jik Hong tambah
kuatir, kembali ia memohon pula: "Sinshe, tolong............ tolonglah engkau mencoba
saja, asal....... asal dapat mengurangi sedikit penderitaannya juga.............juga
mendingan baginya, andaikan... andaikan............, akhirnya dia............. Ya, juga tak bisa
menyalahkan pada Sinshe". ~ Maksudnya akan mengatakan bila jiwa Ban Ka itu toh
tak bisa diselamatkan lagi, asal penderitaannya dapat dikurangi, biarpun
akhirnya mati juga tidak terlalu tersiksa lagi.
Maka Tik Hun tersadar dari lamunannya tadi, seketika itu hatinya serasa hampa,
segala harapannya musna sirna, ia benar-benar ingin mati pada saat itu juga.
Dengan segenap hati ia mencintai sang Sumoay, tapi Sumoay itu telah dipersunting
oleh musuhnya, bahkan kini orang yang dicintai itu memohon dengan sangat agar
dia menolong musuh itu. Apa gunanya lagi menjadi manusia seperti itu" 'Aku lebih
suka menjadi Ban Ka yang menderita dan tersiksa seperti sekarang ini, tapi
didampingi Sumoay yang memandang padaku dengan penuh kasih sayang, biarpun akan
mati dalam beberapa hari lagi juga tidak menyadi soal'. Demikian pikirnya.
Begitulah tanpa merasa ia menghela napas dan mengeluarkan obat penawar yang
diperolehnya dari Gian Tat-peng itu, ia tuang sedikit obat bubuk warna hitam dan
dibubuhkan dipunggung tangan Ban Ka.
"He, betul, memang betul itulah obat penawarnya, wah, ini........... ini berarti akan
tertolonglah!" Demikian mendadak Go Him berseru.
Tik Hun menjadi heran mendengar seruan yang bernada aneh itu. Bahwasanya sang
Suheng 'berarti akan tertolong' seharusnya ia ikut bergirang, akan tetapi
nadanya itu, justeru merasa sangat kecewa malah, bahkan merasa menyesal dan
dongkol pula. Tik Hun coba melirik ke arah Go Him, ia melihat sorot mata pemuda itu
menyinarkan rasa benci dan keji. Keruan Tik Hun bertambah heran. Tapi demi
teringat bahwa diantara kedelapan anak murid Ban Cin-san itu tiada seorangpun
yang baik, sedangkan Ban Cin-san sendiri saling bunuh membunuh dengan guru dan
saudara seperguruannya, maka tidaklah heran bila diantara anak2 muridnya itu
juga saling cakar2an. Dan kalau begitu, tentunya hubungan antara Ban Ka dan Go
Him tidak baik, tapi mengapa ia malah mengundang aku untuk mengobati Suhengnya
itu" Dalam pada itu tangan Ban Ka yang abuh itu, begitu dibubuhi obat hitam tadi,
hanya sebentar saja dari luka itu lantas mengeluarkan air hitam. Lambat-laun
sakit Ban Ka juga berkurang, dengan suara lemah ia dapat berkata: "Terima kasih
Sinshe, obat penawar ini benar-benar sangat bagus".
Sungguh girang Jik Hong tidak kepalang, cepat ia membawakan tempolong untuk
menadah darah hitam yang menetes terus dari luka sang suami itu sambil tiada
henti-hentinya menyampaikan terima kasih kepada Sinshe sakti alias Tik Hun.
"Suso, sekali ini Sinshe telah berjasa besar, bukan?" tiba-tiba Go Him berkata.
"Benar, aku harus menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya kepada Go Sute",
sahut Jik Hong. "Hanya omong di mulut saja percuma, tapi harus dengan kenyataan", uyar Go Him
dengan tersenyum. Jik Hong tidak gubris padanya lagi, tapi berpaling dan berkata kepada Tik Hun:
"Numpang tanya siapakah nama Sinshe yang mulia" Kami harus memberi penghargaan
sepantasnya kepada Sinshe".
Tapi Tik Hun goyang-goyang kepala, sahutnya: "Tidaklah perlu penghargaan apa
segala. Tapi racun ketungging ini harus berturut-turut dibubuhi obat ini sepuluh
kali baru bisa sembuh sama sekali" ~ dan dengan perasaan hampa dan pilu tak
terucapkan, akhirnya ia berkata pula sambil mengangsurkan botol obat yang
diperolehnya dari Gian Tat-peng itu: "Ini, terimalah semua obat penawar ini".
Sebaliknya Jik Hong menyadi ragu2, sebab sama sekali tak tersangka olehnya bahwa
urusan bisa terjadi sebegitu gampang, katanya kemudian: "Biarlah kami membeli
saya kepada Sinshe, entah berapa harganya?"
"Tidak, tidak perlu beli, tapi kuberikan cuma-cuma padamu", kata Tik Hun.
Sungguh girang Jik Hong tak terhingga, cepat ia terima botol obat itu, sambil
memberi hormat, katanya: "Sinshe begini berbudi dan murah hati pula, betapapun
kami harus menyuguhi engkau barang secawan arak. Go-sute, silakan engkau
menemani Sinshe keruangan tamu untuk berduduk sebentar."
"Sudahlah, tidak perlu duduk lagi, aku akan mohon diri saya", uyar Tik Hun.
"Tidak, jangan", seru Jik Hong, "Budi pertolongan Sinshe atas yiwa suamiku ini
kami tidak dapat mendapat membalas apa-apa, maka hanya secawan arak saja harap
engkau sudi menerima sekadar sebagai penghormatan kami. Sinshe, betapapun engkau
janganlah pergi dahulu!."
"Betapapun, engkau jangan pergi dahulu!" kata-kata ini sekali menyusup kedalam
telingan Tik Hun, betapapun keras hatinya juga lantas lemas seketika. Pikirnya:
"Sakit hatiku ini sudah terang tak terbalas lagi, sesudah aku menguburkan Ting-
toako, untuk seterusnya aku juga tidak mungkin kembali ke kota Heng-ciu lagi,
selama hidup ini, aku takkan bertemu pula dengan Sumoay. Dan sekarang ia hendak
menyuguhi aku secawan arak, ya, dengan demikian boleh yuga aku akan dapat
memandangnya lebih lama sedikit".
Oleh karena itu, iapun memanggut sebagai tanda menerima undangan Jik Hong.
Tidak lama kemudian, meya perjamuan sudah dipersiapkan, yaitu diruangan tamu di
bawah loteng. Tik Hun diminta duduk ditempat yang paling terhormat, Go Him
mengiringi disebelahnya. Karena merasa sangat berterima kasih kepada Sinshe yang
berbudi itu, maka Jik Hong sendiri telah melayaninya minum arak dan menyuguhkan
daharan. Agaknya Ban Cin-san dan anak muridnya yang lain waktu itu tiada dirumah, maka
tiada orang lain lagi yang ikut hadir dalam peryamuan itu.
Dengan penuh hormat Jik Hong menyuguhkan tiga cawan arak kepada Tik Hun dan
diminum habis oleh 'Sinshe' itu. Tiba-tiba perasaannya pilu hingga matanya
memberambang, ia tahu bila tinggal lebih lama disitu mungkin air matanya bisa
lantas menetes, hal mana tentu akan mengakibatkan rahasianya terbongkar.
Maka cepat ia berbangkit dan berkata: "Sudahlah cukup, terima kasih atas
suguhanmu, sekarang aku permisi untuk pergi dan selanjutnya takkan datang lagi."
Jik Hong agak heran oleh ucapan tabib kelilingan yang tidak genah itu. Tapi
karena potongan sang tabib memang agak lucu, maka iapun tidak ambil perhatian,
segera dijawabnya: "Ai, mengapa Sinshe ter-buru2 saja" Atas budi pertolonganmu
itu, kami tidak dapat membalas apa-apa, di sini ada seratus tahil perak, harap
Sinshe suka terima sekedar sangu dalam perjalanan. " ~ sembari berkata iapun
mengangsurkan sebungkus uang perak dengan penuh hormat.
Mendadak Tik Hun menengadah dan ter-bahak2 tawa, katanya: "Akulah yang telah
menolong dia, akulah yang telah menghidupkan dia! Sungguh lucu, akulah yang
telah menghidupkan dia! Apakah didunia ini ada orang yang lebih goblok dari
diriku?" Dan meski dia bergelak tertawa dengan menengadah, tapi tanpa merasa air matanya
juga berlinang-linang. Keruan Jik Hong dan Go Him saling pandang dengan bingung melihat kelakuan
'Sinshe' yang setengah sinting itu.
Sebaliknya si dara cilik Khong-sim-jay lantas berteriak-teriak: "Heee, Sinshe
menangis, Sinshe menangis!".
Tik Hun menyadi terkejut, ia tahu telah dicurigai orang, ia kuatir rahasianya
akan ketahuan, maka ia tidak berani bicara lagi dengan Jik Hong, hanya dalam
hati ia berkata: "Seyak ini aku takkan bertemu lagi dengan kau".
Diam-diam ia mengeluarkan kitab kuna yang didalamnya terselip pola sulaman
sepatu yang diketemukan di dalam gua dengan Wan-leng tempo hari, ketika orang
tidak memperhatikan, pelahan2 ia taruh kitab itu diatas kursi, lalu tanpa
memandang lagi kepada Jik Hong ia lantas mohon diri dan tinggal pergi.
"Go-sute, harap engkau hantarkan Sinshe." Kata Jik Hong.
Go Him mengiakan, lalu mengikut dibelakang Tik Hun.
Sambil masih memegangi bungkusan uang perak tadi, hati Jik Hong ber-debar2 tak
keruan. Pikirnya: "Siapakah sebenarnya Sinshe itu tadi" Mengapa suara tertawanya
mirip benar dengan orang itu" Ai, entah mengapa, meski jiwa Ban-long dalam
keadaan bahaya, tapi pikiranku selalu menyeleweng dan memikirkan dia saja, ai,
dia......dia entah......"
Begitulah ia menyadi ter-menung2 sendiri, ia taruh bungkusan uang perak itu di
atas meja, dengan tumpang dagu ia berduduk pula di atas kursi.
Kebetulan kursi yang didudukinya sekarang adalah kursi yang bekas diduduki Tik
Hun tadi. Ketika mendadak merasa menduduki sesuatu benda, Jik Hong berbangkit
lagi dan memeriksanya, maka lantas tertampaklah sejilid kitab kuna yang sudah
ke-kuning2an. Se-konyong2 Jik Hong berseru tertahan sekali, cepat ia jemput kitab itu dan mem-
balik2 halamannya, segera terjatuh keluar dari kitab itu sehelai pola sepatu, ia
kenal itu adalah buah tangannya waktu masih tinggal dirumah dibarat Ouw-lam
sana. Ia ternganga sambil memegang kitab dan pola itu, kedua tangannya gemetar. Ketika
ia mem-balik2 lagi kitab itu, kembali diketemukannya sepasang kupu2 guntingan
dari kertas, seketika terbayanglah waktu berduaan dengan Tik Hun duduk berjajar
di dalam gua, dimana ia telah menggunting kupu2 kertas itu.
Tanpa terasa ia berseru tertahan pula, katanya didalam hati: "He, dari......... dari
manakah kitab ini" Sia.....siapakah yang membawanya kesini" Jangan2 Sinshe itu
tadi?". Melihat sikap ibunya agak aneh, si dara cilik Khong-sim-yay menyadi takut, ber-
ulang2 ia memanggil: "Mak, mak, ken...kenapakah kau?"
Jik Hong terkeyut oleh seruan anaknya ini, tapi cepat ia masukkan kitab itu
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedalam bajunya sambil berlari keluar rumah secepat terbang.
Sejak ia menjadi anak menantu keluarga Ban, hidupnya selalu lemah-lembut halus
sopan, tidak pernah ia berlari kesetanan seperti itu. Keruan kaum hamba dan
dayang keluarga Ban menyadi ter-heran2 melihat nyonya muda mereka berlari cepat
dengan Ginkang sekaligus dari ruangan dalam terus menyusur Cimche terus keluar
rumah. Waktu sampai dipelataran depan, kebetulan Jik Hong melihat Go Him telah masuk
kembali, maka cepat ia tanya: "Dimanakah Sinshe itu?"
"Orang itu sangat aneh, tanpa bicara apa-apa ia sudah pergi", sahut Go Him,
"Suso, ada urusan apakah kau mencarinya lagi" Apakah keadaan Suko berubah
buruk?" "Tidak, tidak", sahut Jik Hong sambil memburu keluar pintu, ia menengok kesana
dan mengintai kesitu, tapi bayangan tabib kelilingan itu sudah tak tertampak
lagi. Jik Hong ter-longong2 sejenak diluar pintu, kembali ia mengeluarkan kitab kuna
tadi, dan setiap kali melihat pola sepatu dan kupu2 kertas itu, seketika timbul
pula pemandangan2 gembira ria dimasa mudanya. Bayangan2 itu bagaikan air bah
membanjir kedalam benaknya hingga tanpa merasa air matanya bercucuran.
Mendadak ia berubah pikiran: "Mengapa aku begitu bodoh" Bukankah barusan Ban-
long ikut kong-kong dan lain2 pergi ke Wan-leng untuk mencari Gian-susiok, boleh
yadi tanpa sengaja mereka telah masuk kedalam gua dan disanalah kita ini telah
diketemukan, lalu sekalian ada yang membawa pulang kitab ini. Memangnya Sinshe
yang tidak terkenal itu ada hubungan apa dengan kitab ini?".
Tapi lantas datang pikiran lain pula: "Ah, tidak, tidak, tidak! Masakah mungkin
teryadi secara begitu kebetulan" Gua itu letaknya sangat rahasia, sekalipun
ayahku yuga tidak tahu, masakah Ban-long dan rombongannya dapat menemukannya"
Tuyuan mereka adalah mencari Gian-supek, manabisa mereka kesasar kedalam gua
rahasia itu" Tadi waktu aku membersihkan meja kursi peryamuan, sudah terang
keempat kursi itu aku melapnya hingga bersih, tidak mungkin ada sejilid kitab
seperti ini. Dan kitab ini kalau bukan tabib itu yang membawanya, habis
darimanakah datangnya?"
Begitulah dengan penuh curiga dan sangsi pelahan2 ia kembali ke kamarnya.
Dilihatnya sehabis dibubuhi obat tadi, semangat Ban Ka sudah banyak lebih baik,
sakitnya juga mulai hilang.
Sambil memegangi kitab itu, sebenarnya Jik Hong bermaksud menanya sang suami,
tapi lantas terpikir olehnya: "Lebih baik aku jangan ter-buru2 cari keterangan
dulu, jangan2 tabib itu......tabib itu adalah................."
Dalam pada itu terdengar Ban Ka sedang bicara padanya: "Hong-moay, Sinshe itu
benar2 adalah tuan penolong jiwaku, kita harus memberi penghargaan se-tinggi2nya
kepadanya" "Ya, aku tadi telah menghadiahkan dia seratus tahil perak, tapi dia justru tidak
mau terima meski kupaksa", tutur Jik Hong, "Ai, benar2 seorang kangouw yang
aneh, seorang yang berbudi. Obat penawar itu........................ he, dimanakah botol obat
itu tadi" Apakah kau simpan di dalam laci meja?"
Tadi waktu Jik Hong mau keluar untuk melayani "Shinshe" yang akan dijamunya itu,
ia ingat betul botol obat itu ditaruhnya di atas meja di depan ranjang Ban Ka,
tapi kini sudah hilang. Maka Ban Ka telah menjawab: "Tidak, aku tidak menyimpannya, bukankah tadi kau
taruh diatas meja?" Tapi meski Jik Hong sudah mencari kian kemari diseluruh kamar itu, tetap botol
obat itu tidak kelihatan. Keruan ia sangat gelisah dan cemas, pikirnya: "Jangan2
karena pikiranku tadi lagi bingung, maka obat itu kubawa serta sambil lari
keluar dan yatuh" Tapi, ah, tidak bisa, aku ingat betul2 botol obat itu kutaruh
di atas meja, didekat mangkok obat itu".
Ban Ka yuga sangat gugup, katanya: "Le......lekas kau mencari lagi, masakah bisa
hilang" Sungguh aneh. Tadi aku hanya terpulas sebentar dan masih ingat benar2
botol obat itu tertaruh di atas meya."
Mendengar itu Jik Hong bertambah kuatir, segera ia keluar kamar, ia coba tarik
puterinya dan tanya padanya: "Khong-sim-jay, tadi waktu ibu keluar, adakah
siapa2 yang masuk ke kamar?"
"Ada, Go-sioksiok tadi datang, ketika melihat ayah tidur, ia lantas keluar
lagi", tutur si dara cilik.
Jik Hong menghela napas lega mendapat keterangan itu, lapat2 ia merasa ada
sesuatu yang tidak beres. Tapi Ban Ka sedang sakit, apapun yang teryadi tidak
perlu dia ikut tahu hingga ikut menanggung kuatir. Maka katanya kepada Khong-
sim-jay: "Anak baik, kau temani ayah di dalam kamar, ya, kalau ayah tanyakan
ibu, bilanglah ibu lagi menyusul Sinshe untuk minta obat bagi ayah".
Sidara cilik memanggut dan menyahut: "Ya, mak, kau lekas pulang, ya!"
Dan sesudah tenangkan diri, pelahan-lahan Jik Hong membuka laci meja Ban Ka, ia
ambil sebilah belati dan diselipkan dipinggang dalam baju, kemudian ia turun ke
bawah loteng. Pikirnya: "Keparat Go Him itu, bila bertemu aku ditempat sepi,
selalu ia cengar-cengir padaku dengan maksud tidak baik. Tabib tadi itu adalah
dia yang mengundang, jangan2 dia bersekongkol dengan tabib itu dan telah
mengatur tipu muslihat keji apa2".
Begitulah sambil memikir ia bertindak ketaman dibelakang rumah. Sampai diserambi
samping, dilihatnya Go Him sedang ter-menung2 memandangi ikan mas di empang
sambil bersandar lankan. "Go-sute", segera Jik Hong menegur, "lagi berbuat apa engkau di sini seorang
diri". Ketika berpaling dan melihat penegur itu adalah Jik Hong, seketika muka Go Him
berseri-seri, sahutnya: "Kukira siapa, tak tahunya adalah Suso. Engkau mengapa
tidak menjaga Suko di atas loteng, tapi masih punya tempo luang untuk jalan2
kesini?" "Ai, aku merasa sangat kesal," sahut Jik Hong sambil menghela napas, "Setiap
hari selalu mendampingi orang sakit, dan semakin tangan Suko-mu kesakitan,
perangainya juga bertambah kasar. Maka aku perlu keluar untuk jalan2 menghibur
hati dan lara". Mendengar yawaban itu, sungguh girang Go Him melebihi orang dapat 'buntut',
dengan cengar-cengir segera ia membumbui: "Ya, memang, engkau memang perlu
istirahat dan menghibur diri. Sebenarnya Suko juga keterlaluan, punya isteri
cantik sebagai engkau masih kurang terima, tapi malah suka mengamuk saja,
sungguh keterlaluan".
Jik Hong mendekati orang dan bersandar yuga di atas lankan untuk memandangi ikan
mas yang lagi berenang kian kemari dengan bebas ditengah empang itu, lalu
sahutnya dengan tertawa: "Ah, Suso-mu ini sudah tua, masakah masih dikatakan
cantik apa segala, bukankah akan dibuat tertawa orang?"
"He, mana bisa, mana bisa", cepat Go Him berkata, "Suso benar-benar sangat
cantik. Diwaktu masih gadis engkau mempunyai kecantikan seorang gadis, sesudah
menyadi Siaunaynay (nyonya muda) yuga tetap mempunyai kecantikan sebagai
Siaunaynay. Tanyakan saya diseluruh kota Heng-ciu ini, siapa orangnya yang tidak
mengatakan bahwa bunga tercantik adalah tertanam dikeluarga Ban".
Sampai disini mendadak Jik Hong memutar tubuh dan mengangsurkan tangannya sambil
berkata: "Mana, serahkan sini".
"Serahkan apa?", tanya Go Him dengan tertawa.
"Obat penawar itu", kata Jik Hong dengan muka membesi.
"Obat penawar apa" Entah, aku tidak tahu, apakah kau maksudkan obat penawar
untuk luka Ban-suko itu"," demikian Go Him berlaga pilon.
"Benar!", sahut Jik Hong tegas. "Sudah terang kau yang mengambilnya".
Go Him tertawa licik, sahutnya: "Tabib itu adalah aku yang mengundangkan, obat
penawar adalah aku yang mengusahakan. Kini Ban-suko dibubuhi satu kali, paling
tidak ia akan terhindar dari penderitaan untuk beberapa hari".
"Tapi Sinshe itu bilang obat itu harus dibubuhkan ber-turut2 sepuluh kali", kata
Jik Hong. "Ya, aku sungguh menyesal, sungguh aku menyesal", tiba-tiba Go Him goyang2
kepala. "Menyesal tentang apa?", tanya Jik Hong
"Semula aku menyangka tabib kelilingan yang dekil seperti itu masakah mempunyai
kepandaian apa2, maka aku mau mengundang dia ke atas loteng, tujuanku sebenarnya
adalah ingin mencari kesempatan untuk melihat Suso, siapa duga, eh, keparat itu
benar2 mempunyai obat mujarab untuk menyembuhkan racun disengat ketungging.
Sudah tentu, sudah tentu, hal itu sangat bertentangan dengan maksud tujuanku",
demikian tutur Go Him. Sungguh gusar Jik Hong tak terkatakan oleh cerita orang itu, tapi obat penawar
yang dicarinya itu masih ditangan orang, ia harus bersabar untuk mendapatkan
obatnya, habis itu baru akan membikin perhitungan dengan manusia rendah itu.
Maka dengan tertawa ia menjawab: "Habis kalau menurut kau, cara bagaimanakah kau
mengharapkan balas jasa dari Sukomu agar engkau mau menyerahkan obat penawar
itu?" Tiba2 Go Him menghela napas, sahutnya: Sam-suko sendiri sudah menikmati
kebahagiaan selama beberapa tahun ini, kalau sekarang dia harus mati yuga pantas
rasanya". Air muka Jik Hong berubah seketika, tapi sedapat mungkin ia menahan perasaannya,
dengan menggigit bibir ia diam saya.
Maka Go Him berkata pula: "Waktu kau datang ke Heng-ciu untuk pertama kalinya,
diantara kami berdelapan saudara seperguruan, siapakah orangnya yang tidak
kesengsem padamu" Dan kami menjadi penasaran melihat sitolol Tik Hun itu siang
malam senantiasa mendampingi engkau, maka kami be-ramai2 lantas berkomplot untuk
menghajarnya hingga babak belur......................"
"He, kiranya kalian menghajar Sukoku itu malahan adalah disebabkan diriku?" kata
Jik Hong. "Ya, memang", sahut Go Him, "Dan untuk menghajarnya sudah tentu harus dicari
alasan. Maka kami sengaja menuduh dia suka menonjolkan diri buat bertempur
dengan bandit Lu Thong hingga membikin malu kami yang menyadi anak murid
keluarga Ban yang berkepentingan. Padahal tuyuan kami adalah demi dirimu. Suso!
Habis, kau menambalkan bajunya, mengayak bicara padanya dengan mesra, tentu saja
kami 'minum cuka'!".
Diam-diam Jik Hong terkesiap oleh cerita itu, pikirnya: "Apa benar peristiwa itu
adalah gara2 diriku" Ai, Ban-long, mengapa selama ini kau tidak pernah
mengatakan hal ini kepadaku?".
Tapi ia masih pura2 tidak paham dan berkata pula dengan tertawa: "Ai, Go-sute,
engkau ini memang pintar berkelakar. Padahal waktu itu aku aku adalah seorang
gadis desa, seorang nona yang ke-tolol2an, dandananku juga mentertawakan orang,
apanya sih yang menarik?"
"Tidak, tidak", uyar Go Him. "Orang cantik tulen justeru tidak perlu berdandan
atau bersolek segala. Suso, bila bukan karena kesemsem padamu, tentu tidak
sampai ............" ~ berkata sampai di sini mendadak ia berhenti dan tidak meneruskan
lagi. "Apa lagi", tanya Jik Hong
"Setelah kami dapat menahan kau dirumah keluarga Ban ini, untuk mana aku orang
she Go yuga tidak sedikit mengeluarkan tenaga," kata Go Him pula, "akan tetapi,
Suso, setiap kali kau bertemu muka dengan aku selalu bersikap dingin2 saya,
tersenyum sekali saja padaku yuga tidak pernah, coba, apakah hal itu tidak
membikin hatiku menjadi panas".
"Cis", semprot Jik Hong dengan tertawa, "Aku tinggal dirumah keluarga Ban, lalu
aku menikah pada Suko-mu, semuanya itu adalah aku sendiri yang sukarela, tenaga
apa yang pernah kau korbankan dalam urusan itu" Toh waktu itu kau tidak ikut
membujuk padaku apa segala, ai, kenapa kau sembarangan omong saja?"
"Meng................. mengapa aku tidak korbankan tenaga?" bantah Go Him, "Cuma saya
engkau sendiri yang tidak tahu."
Jik Hong tambah curiga, segera katanya dengan membujuk: "Sute yang baik, coba
katakanlah sebenarnya kau ikut mengorbankan tenaga apa, tentu Susomu ini takkan
melupakan jasamu itu?"
Go Him meng-goyang2 kepala, katanya kemudian: "Urusan itu sudah lama lalu, buat
apa di-ungkat2 lagi" Andaikan kau mengetahui juga tiada gunanya".
"Ya, sudahlah, jika kau tidak mau menerangkan, akupun tidak memaksa", kata Jik
Hong. "Nah, Go-sute, lekaslah serahkan obat penawar itu padaku, kita berada
berduaan disini jangan2 akan dipergoki orang dan akan menimbulkan sangkaan
jelek". "Kalau siang hari memang kuatir dipergoki orang, tapi kalau malam hari tentu
tidak kuatir lagi", uyar Go Him sambil tertawa.
"Apa katamu", bentak Jik Hong tertahan dengan muka membeku sambil mundur
setindak. Tapi dengan menyengir Go Him berkata pula: "Jika kau ingin menyembuhkan penyakit
Ban-suko, hal ini tidak sulit asalkan nanti tengah malam kau datang ke gudang
kayu sana, aku akan menunggu engkau di sana, Jika kau mau menurut pada
keinginanku itu, aku lantas memberikan kadar obat yang cukup untuk dibubuhkan
satu kali diluka Ban-suko".
"Anjing keparat, kau berani omong begitu, apa kau tidak takut dicincang oleh
Suhumu?" damperat Jik Hong dengan gemas.
"Memangnya aku sudah siap untuk korbankan jiwaku ini, tegasnya aku sudah nekat,"
sahut Go Him. "Padahal Ban Ka sibocah apek itu apanya sih yang dapat menangkan
aku" Soalnya ia adalah putera Suhu sendiri, hanya itu saja. Padahal semua orang
toh ikut keluarkan tenaga, mengapa mesti dia sendiri yang menikmati wanita
cantik sebagai engkau ini?"
Jik Hong semakin curiga mendengar Go Him berulang-ulang mengatakan 'mengeluarkan
tenaga'. Tapi karena Go Him lantas menghambur dengan kata2 makian kotor, ia
benar2 tidak tahan lagi, maka katanya segera: "Kau mengaco-belo tak keruan,
sebentar jika Kongkong pulang, biar akan kulaporkan padanya, lihat saja kalau
dia tak membeset kulitmu".
"Ha-ha, aku justeru ingin coba," sahut Go Him dengan menjengek. "Aku akan tunggu
disini, asal Suhu memanggil aku, segera aku menuang isi botol ini untuk umpan
ikan di dalam empang. Tadi aku sudah tanya tabib itu tentang obat penawar ini,
dia bilang, obat ini hanya tinggal sebotol, untuk membuatnya lagi sedikitnya
akan makan tempo setahun atau dua tahun."
Sambil berkata ia terus mengeluarkan botol porselen itu, ia tarik sumbat botol
dan dijulurkan keatas empang, asal tangannya sedikit miring, seketika obat
penawar didalam botol itu akan tertuang kedalam empang, dan itu berarti jiwa Ban
Ka takkan tertolong pula.
Keruan Jik Hong menjadi kuatir, cepat serunya: "He, he! Jangan, jangan! Lekas
kau simpan kembali obat itu, kita masih dapat berunding lagi".
"Apa yang perlu dirundingkan lagi?", uyar Go Him dengan tersenyum iblis. "Jika
kau ingin menolong jiwa suamimu, maka kau harus menurut apa yang kukatakan."
"Ya, pabila memang betul dahulu kau menaruh hati padaku dan pernah mengeluarkan
tenaga demi diriku, maka................ mungkin aku akan............. Tapi, ah, tidak bisa jadi,
aku tidak percaya", demikian Jik Hong sengaja berkata.
"He, hal itu sungguh2 seribu kali sungguh2, sedikitpun bukan omong kosong,"
cepat Go Him menegaskan. "Malahan itu adalah tipu-akalnya Samsute, dia suruh Ciu
Kin dan Bok Heng menyamar sebagai Jay-hoa-cat untuk memancing sitolol Tik Hun
kekamarnya si Mirah. Dan orang yang menaruhkan emas-intan dibawah ranjang Tik
Hun itu tak lain tak bukan adalah aku Go Him sendiri. Coba, Suso, Jika kami
tidak menggunakan akal itu, masakah kami dapat menahan engkau untuk tinggal
dirumah keluarga Ban ini?"
Seketika Jik Hong merasa kepalanya pening dan pandangannya menyadi gelap. Ucapan
Go Him itu mirip sebilah belati yang menikam ulu-hatinya. Tanpa merasa ia
menyerit tertahan: "Oh, Allah! Jadi aku telah keliru mendakwa dia, aku salah
menuduh dia yang sebenarnya tidak berdosa!".
Sesaat itu Jik Hong agak sempoyongan, untung ia masih sempat memegangi lankan.
Sebaliknya Go Him sangat senang, katanya pula dengan suara lirih: "Suso, apa
yang kukatakan ini sungguh2, lho! Dan jangan kau katakan kepada orang lain. Kami
berdelapan saudara sudah bersumpah bahwa siapapun tidak boleh membocorkan
rahasia ini kepada orang lain".
Mendadak Jik Hong menyerit sekali, ia terus berlari pergi, ia mendorong pintu
taman belakang terus berlari keluar dengan cepat.
Dan Go Him masih berseru padanya: "He, kemanakah kau, Suso" Tengah malam nanti
jangan lupa, ya!". Setelah keluar dari pintu belakang, Jik Hong terus menuyu ketempat yang sepi
dari orang, sesudah menyusur beberapa kebun sayur, akhirnya dilihatnya di arah
barat sana ada sebuah Su-theng (rumah berhala pemujaan leluhur) kecil yang tak
terawat, pintu rumah berhala itu setengah tertutup, segera ia mendorong pintu
itu dan masuk kesitu. Maksud Jik Hong adalah ingin mencari suatu tempat yang sunyi agar dia dapat
memikirkan secara tenang bahwasanya: "Tik Hun dipitenah orang atau bukan" Kitab
kuna bekas miliknya itu darimanakah datangnya" Cara bagaimana menghadapi Go Him
yang bermaksud jahat dengan memperalat obat penawar penyambung nyawa suaminya
itu" Dan bagaimana sebenarnya dengan diri Ban-long sang suami"
Begitulah Jik Hong bersandar disebatang pohon waru yang besar, sampai lama dan
lama sekali tetap ia tak dapat menarik kesimpulan dan mengambil keputusan.
Se-konyong2 terdengar suara kelotak-kelotek orang berjalan dari dalam Su-theng
itu tahu2 muncul seseorang. Itulah seorang wanita setengah umur dengan rambutnya
yang panjang kusut terurai tak keruan, bajunya rombeng dan dekil sekali.
Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Melihat Jik Hong, wanita dekil itu tampak agak takut2, dengan menyisir pelahan2
ia menyelinap masuk kedalam rumah berhala itu. Dan baru ia melangkah masuk
keruangan dalam, kembali ia menoleh memandang sekejap lagi pada Jik Hong,
rupanya sekali ini ia dapat mengenali siapa Jik Hong, tanpa terasa ia menjerit
kaget. Waktu Jik Hong memandangnya hingga sinar mata kedua orang kebentrok, tanpa kuasa
lagi wanita itu mendadak berlutut serta memohon padanya: "Siau-naynay (nyonya
Gelang Kemala 9 Pedang Inti Es Peng Pok Han Kong Kiam Karya Okt Pukulan Si Kuda Binal 1