Pencarian

Si Kangkung Pendekar Lugu 5

Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Bagian 5


"Tua bangka ini memaksa akan membeli kedua ekor Lehi (ikan kancra) warna emas
ini, kami mengatakan kedua ekor ikan ini susah memperolehnya dan akan dipakai
sendiri untuk dipersembahkan kepada Kepala, tapi tua bangka ini sangat kasar, ia
berkeras ingin beli, kami tetap tidak mau jual dan dia lantas hendak merebut
secara kasar," demikian tutur penjual ikan itu.
Si Kepala menoleh dan mengamat-amati sejenak hamba tua itu, lalu tanyanya:
"Apakah kawan saudara itu terkena Lam-sah-ciang, bukan?"
Kakek itu tampak terkejut dengan wajah berubah hebat, sahutnya kemudian: "Aku
tidak tahu Lam-sah-ciang (pukulan tangan biru) atau Ang-sah-ciang (pukulan
tangan merah). Aku cuma tahu majikan suka makan Lehi dan aku disuruh membeli.
Aku sudah menjelajah dunia ini dan selamanya tidak pernah dengar bahwa ikan
didasaran penjualnya dikatakan tidak dijual, ini aturan darimanakah?"
"Hehe, untuk apa saudara mesti bicara secara ber-liku2" Siapakah nama saudara
yang terhormat, dapatkah memberitahu?" kata Kepala itu dengan tertawa dingin.
"Jika cukup bersahabat, jangankan cuma dua ekor Lehi warna emas ini, bahkan
Cayhe akan menyumbangkan sebutir "Giok-ki-wan' yang chusus dapat menyembuhkan
luka Lam-sah-ciang."
Kakek itu tambah terkejut, selang sejenak, dengan ragu2 ia menanya: "Siapakah
tuan" Darimana kenal Lam-sah-ciang dan mengapa punya Giok-ki-wan" Apa
barangkali......... barangkali ........"
"Memang benar, Cayhe ada sedikit hubungannya dengan sipemakai Lam-sah-ciang
itu," sahut si Kepala sebelum ucapan sikakek berachir.
Tanpa bicara lagi, se-konyong2 kakek itu melompat kesamping, begitu tangan
mengulur, segera keranjang ikan yang berisi Lehi warna emas itu lantas
disambarnya, gerak-geriknya ternyata sangat gesit dan cekatan sekali.
"Hm, begitu gampang?" jengek si Kepala. Berbareng pukulannya lantas dilontarkan
kepunggung sikakek. Tapi sekali kakek itu membalik tangannya untuk menangkis pukulan, dengan
meminjam tenaga benturan itu, terus saja ia melesat cepat kedepan sejauh
beberapa meter, segera ia berlari pergi sambil menjinjing keranjang ikan.
Sama sekali si Kepala tidak menduga akan tindakan kakek itu, ia menaksir tidak
keburu mengejar lagi, segera tangannya mengayun, sebuah Am-gi atau senjata gelap
terus menyambar kepunggung hamba tua itu dengan membawa suara mendesis.
Dengan penuh girang sikakek yang berhasil merebut Lehi itu sedang berlari
secepatnya kedepan, tak ia duga bahwa Am-gi yang ditimpukan kepala penjual ikan
adalah sebuah Piau baja yang berbentuk segi tiga. Timpukannya keras dan
menyambarnya juga sangat pesat. Tampaknya hamba tua itu sudah pati takkan dapat
menghindar dari kematian.
Melihat itu, seketika timbul jiwa kesatria Tik Hun ingin menolongnya, sekenanya
ia sambar sebuah keranjang ikan yang berada disampingnya terus dilemparkan
kearah Piau baja itu. Meski ilmu silat Tik Hun sudah hilang, tenaganya juga tidak besar lagi, tapi
karena berdirinya persis ditempat yang harus dilalui Piau itu, maka keranjang
yang dilemparkan dari samping itu dengan tepat sekali mengenai sasarannya.
"Brak", Piau baja itu menancap masuk kedalam keranjang ikan, begitu keras tenaga
Kepala penjual ikan itu hingga sesudah Piau itu masuk keranjang toch masih
menyelonong kedepan beberapa meter jauhnya baru kemudian jatuh ketanah.
Mendengar dibelakangnya ada suara benda jatuh, hamba tua itu lantas menoleh, ia
lihat si Kepala penjual ikan sedang menuding satu pemuda gundul sambil memaki:
"Hai, kau bangsat gundul cilik, kau adalah Hwesio liar dari kelenteng mana,
berani ikut campur urusan Tiat-bong-pang dilembah Tiangkang sini?"
Tik Hun melengak, ia bingung mengapa orang memaki dirinya "bangsat gundul
cilik?" Ia lihat si Kepala penjual ikan itu sedang marah2 dan menyebut pula
"Tiangkang Tiat-bong-pang" segala. Ia menjadi teringat kepada nasihat Ting Tian
dahulu bahwa banyak pantangan2 dalam macam2 Pang-hwe dikalangan Kangouw, bila
sampai tersangkut urusan, tentu selamanya akan tiada habis2 menghadapi
kesulitan. Dan karena Tik Hun tidak suka banyak urusan lagi, maka ia lantas
memberi hormat dan berkata: "Ya, Siaute yang bersalah, mohon Lauheng suka
memberi maaf." "Kau ini kutu macam apa" Siapa sudi meng-aku2 saudara dengan kau?" bentak Kepala
penjual ikan itu. Menyusul ia memberi tanda sekali dan memerintahkan anak
buahnya: "Tangkap kedua orang ini!"
Rupanya karena merandek tadi, maka ada dua orang penjual ikan telah mendahului
mencegat kedepan sikakek yang belum sempat melarikan diri itu.
Tapi pada saat itulah tiba2 terdengar suara kelintang-kelinting yang nyaring,
ada dua penunggang kuda sedang mendatangi menyusur tepi sungai sana. Seketika
bergiranglah hamba tua itu, katanya: "Itu dia majikanku sendiri sudah datang,
sekarang boleh kalian bicara pada mereka."
Air muka Kepala penjual ikan itu tampak berubah, katanya: "Kau maksudkan "Leng-
kiam-siang-hiap'?" ~ tapi segera iapun berlagak angkuh dan menambahkan: "Hm,
kalau Leng-kiam-siang-hiap (sepasang pedang dan kelintingan) lantas mau apa"
Masih belum waktunya mereka main garang kelembah Tiangkang sini!"
Belum lenyap suaranya, kedua penunggang kuda itu sudah sampai dihadapannya.
Seketika Tik Hun merasa silau. Ia lihat kedua ekor kuda tunggangan itu masing2
berwarna kuning dan putih mulus, tinggi-besar dan gagah, pelananya putih gilap.
Diatas kuda kuning berduduk seorang pemuda berusia antara 25-26 tahun, berbaju
kuning dan bertubuh jangkung. Sedang penunggang kuda putih adalah seorang gadis
berumur 20-an tahun, bajunya putih mulus, dibahu kiri tercantel sebuah bunga
merah buatan kain sutera. Muka sigadis itu hitam2 manis dan sangat cantik. Kedua
muda-mudi itu memegang pecut kuda semua, dipinggang mereka tergantung pedang.
Kuda2 mereka sama tingginya, yang luar biasa adalah sama2 mulus pula, kuning
mulus dan putih mulus, tanpa seujung bulu warna lain.
Pada leher kuda kuning tergantung serenceng kelenengan buatan emas dan
kelenengan di leher kuda putih adalah buatan dari perak. Sedikit kepala kuda2
itu bergerak, seketika terbitlah suara kelintang-kelinting yang nyaring dengan
suara yang berbeda, karena kelintingan2 itu berbeda pula bahan pembuatannya.
Sungguh gagah sekali kuda2 itu dan penunggangnya juga ganteng2 dan cantik,
selama hidup Tik Hun tidak pernah melihat orang secakap itu. Mau-tak-mau, diam2
iapun memuji didalam hati.
"Cui Hok," terdengar pemuda ganteng itu lagi menanya sikakek tadi. "Lehi sudah
didapatkan belum" Ada apa engkau berada disini?"
Cui Hok adalah nama hamba tua itu, maka jawabnya: "Toa-kongcu, Lehi warna emas
memang sudah berhasil mendapatkan dua ekor, tetapi.........tetapi mereka justeru
tidak mau jual, bahkan memukul orang malah."
Mata pemuda itu ternyata sangat tajam, sekilas saja telah dapat dilihatnya piau
baja yang menancap dikeranjang ikan itu. Segera serunya: "He, siapakah yang
menggunakan Am-gi berbisa yang keji ini?" ~ dan sekali pecutnya bekerja, tahu2
kain sutera embel2 piau itu telah kena dililit oleh ujung pecut terus
diangkatnya keatas sambil berkata pula kepada sigadis: "Lihatlah, Sing-moay, ini
adalah 'Kat-sin-piau' yang jahat!'
Dengan garang gadis itu lantas membentak: "Siapakah yang menggunakan piau ini"
Lekas katakan, lekas!" ~ sebagai seorang gadis, dengan sendirinya suaranya
nyaring dan merdu, tapi sikapnya itu terang rada berangasan.
Si Kepala penjual ikan tadi hanya tersenyum dingin saja sambil menggenggam
goloknya, ia menyahut: "Nama kebesaran Leng-kiam-siang-hiap dalam beberapa tahun
paling achir ini cukup diketahui oleh Tiat-bong-pang di Tiangkang sini. Tapi
tanpa sebab kalian akan main menang2kan atas diri kami, mungkin hal inipun
tidaklah mudah." ~ nada ucapannya ini keras2 lembek, agaknya sedapat mungkin
iapun ingin menghindari percecokan dengan Leng-kiam-siang-hiap itu.
"Tapi Kat-sin-piau ini terlalu keji, sekali kena, seketika daging busuk dan
tulang hancur, ayahku sudah lama menyatakan dilarang memakainya lagi, apakah
engkau tidak tahu?" demikian kata sigadis. "Baiknya senjata ini tidak kau
gunakan menyambit orang, kalau untuk latihan dengan keranjang ikan sebagai
sasaran masih boleh jugalah."
"Jisiocia, justeru bukan begitulah urusannya," kata Cui Hok. "Orang itu telah
menggunakan piau itu untuk menyambit diriku dan hampir2 hamba celaka, untung
Siausuhu ini telah menolong dan mendadak menimpukan keranjang ikan itu dari
samping hingga jiwa hamba tertolong. Kalau tidak, saat ini mungkin hamba tidak
dapat lagi bertemu dengan Kongcu dan Siocia." ~ waktu mengatakan Siausuhu atau
si Suhu cilik, Cui Hok telah menuding kearah Tik Hun.
Keruan Tik Hun bertambah bingung, pikirnya: "Aneh, mengapa dia menyebut aku
sebagai Siausuhu, sedangkan tadi aku telah dimaki sebagai Bangsat gundul cilik,
emangnya sejak kapan sih aku mulai menjadi Hwesio?"
Lalu tampak gadis jelita itu angguk2 kepada Tik Hun dengan tersenyum sebagai
terima kasih. Melihat senyuman sigadis yang menggiurkan itu, seketika Tik Hun
lemas rasanya seperti kontak kena aliran listrik.
Dalam pada itu sipemuda menjadi marah mendengar pengaduan Cui Hok, tanyanya
kepada Kepala penjual ikan itu: "Apa betul begitu?" ~ dan tanpa menunggu jawaban
orang lagi, terus saja pecutnya bergerak hingga Kat-sin-piau yang terlilit
diujung pecut itu menyambar secepat kilat kedepan, 'plok", piau itu menancap
dibatang pohon Liu yang belasan meter jauhnya. Betapa hebat tenaganya sungguh
cukup mengejutkan. Tapi si Kepala penjual ikan itu masih keras dimulut: "Hm, berlagak apa?"
"Aku justeru mau berlagak!" bentak pemuda Kongcu itu, berbareng pecutnya terus
menyabat serabutan keatas kepala orang.
Cepat Kepala penjual ikan mengangkat golok untuk menangkis sambil menabas. Tak
terduga pecut sipemuda mendadak menyambar lurus kebawah, dan begitu menyentuh
tanah, pecut itu terus melingkar dengan cepat luar biasa, tahu2 kedua kaki si
Kepala penjual ikan itu yang diarah.
Dengan sendirinya Kepala penjual ikan itu cepat2 meloncat keatas untuk
menghindar. Tapi pecut sipemuda se-akan ular hidup saja, "siut", tiba2 ujung
pecut menyendal kembali untuk melilit kaki kanan lawan. Berbareng Kongcu itu
keprak kudanya pelahan hingga kuda kuning itu mendadak membedal kedepan.
Sebenarnya bhesi atau kuda2, yaitu kepandaian bagian kaki si Kepala penjual ikan
sangat kuat, biarpun kakinya tergubat pecut belum tentu si Kongcu mampu
menariknya roboh. Diluar dugaan, pemuda itu pandai mengukur kepandaian sendiri dan pihak lawan,
begitu menyerang ia sudah memakai perhitungan yang tepat, lebih dulu ia pancing
si Kepala penjual ikan itu meloncat keatas, dengan demikian, karena tubuhnya
terapung diudara dan tiada tempat berpijak, dengan sendirinya lenyaplah daya
guna kuda2 si Kepala penjual ikan yang kuat itu. Apalagi kakinya lantas terlilit
pecut ditambah tarikan kuda kuning yang mendadak membedal, betapapun kuat tenaga
penjual ikan itupun tidak mampu bertahan. Tanpa ampun lagi maka tubuh Kepala
penjual ikan itu terseret kedepan oleh bedalan kuda kuning itu hingga tubuhnya
se-akan2 terbang diudara.
Seketika ramailah jerit kaget penjual2 ikan yang lain, sambil mem-bentak2 segera
ada beberapa orang memburu maju hendak menolong sang pemimpin.
Tapi sesudah berpuluh meter jauhnya sikuda kuning membedal hingga tubuh Kepala
penjual ikan tertarik kencang, mendadak si Kongcu ayun pecut se-kuat2nya,
seketika mencelatlah tubuh Kepala penjual ikan itu melambung keudara. Percuma
saja ia memiliki ilmu silat yang tinggi, diatas udara ilmu silat betapapun
tingginya juga tiada berguna, maka tanpa kuasa tubuhnya me-layang2 keatas untuk
kemudian menyelonong ketengah sungai.
Keruan begundal penjual2 ikan itu sama berteriak kuatir. Maka terdengarlah suara
mendeburnya air disertai cipratan air sungai yang tinggi, Kepala penjual ikan
itu telah kecebur kedalam sungai, hanya sekejap saja orangnya lantas menghilang
kedasar sungai. Sigadis tampak bersorak senang, menyusul ia putar pecutnya terus terjang ke-
tengah2 gerombolan penjual2 ikan yang masih berkerumun disitu, pecutnya menyabat
kesini dan mencambuk kesana hingga penjual2 ikan itu dihajar sungsang sumbel dan
tunggang-langgang serta lari ter-birit2. Seketika keranjang ikan bergelimpangan
dan terserak di-mana2 berikut jala ikan, begitu pula ikan dan udang yang masih
segar juga berlejitan memenuhi tanah.
Hidup kaum penangkap ikan adalah disungai, dengan sendirinya si Kepala penjual
ikan itupun sangat mahir berenang. Maka begitu ia selulup kedasar sungai,
sejenak kemudian ia sudah menongol kembali kepermukaan air. Ia mencaci-maki
dengan kata2 kotor, tapi sudah tidak berani mendarat untuk bertempur lagi.
Sambil menjinjing keranjang yang terisi ikan Lehi tadi, dengan girang Cui Hok
mendekati sipemuda sambil membuka tutup keranjang dan berkata: "Lihatlah,
Kongcu, mulutnya merah dan sisiknya emas, besar2 dan gemuk2 pula."
"Baiklah, sekarang lekas kau pulang kehotel dan serahkan ikan2 itu kepada Ce-
toaya untuk dipakai," kata sipemuda.
Cui Hok mengia, lalu ia mendekati Tik Hun, ia memberi hormat dan berkata:
"Banyak terima kasih atas pertolongan Siausuhu tadi. Entah bagaimanakah gelar
suci Siausuhu?" Mendengar dirinya dipanggil Siausuhu terus menerus, Tik Hun menjadi risih hingga
seketika takdapat menjawab.
"Sudahlah, lekas pulang sana, lekas!" sipemuda telah mendesak pula.
Terpaksa Cui Hok mengiakan, lalu bertindak pergi dengan cepat tanpa menunggu
jawaban Tik Hun lagi. Diam2 Tik Hun kagum dan senang bila dapat berkawan dengan sepasang muda-mudi
yang cantik dan ganteng dan berilmu silat tinggi pula. Cuma sejak tadi kedua
muda-mudi itu tetap diatas kuda mereka dan tidak turun, Tik Hun menjadi kurang
leluasa untuk menanyakan nama orang.
Tengah Tik Hun ragu2, tiba2 si Kongcu telah mengeluarkan sepotong uang emas dan
diangsurkan kepada Tik Hun sambil berkata: "Siausuhu, banyak terima kasih engkau
telah menyelamatkan jiwa hamba tua kami itu. Sedikit tanda mata ini harap
Siausuhu suka terima sekadar uang dupa dan minyak untuk keperluan kelenteng." ~
Lalu ia lemparkan uang emas itu kearah Tik Hun dengan pelahan2.
Sekali raup, dengan gampang Tik Hun sudah dapat menangkap uang emas yang
dilemparkan kepadanya itu, menyusul ia terus melemparkan kembali kepada pemuda
itu dan berkata: "Tidak perlulah. Numpang tanya siapakah nama kalian yang
terhormat?" Melihat gerak tangan Tik Hun waktu menangkap dan melemparkan kembali uang emas
tadi cukup cekatan, terang seorang yang dapat bersilat. Maka sebelum uang emas
itu menyambar tiba, segera pecut Kongcu itu mengayun hingga uang emas itu kena
tergubat. Lalu katanya: "Jikalau Siausuhu juga sesama orang Bu-lim, tentunya
juga pernah mendengar nama kami Leng-kiam-siang-hiap yang tak berarti."
Melihat orang memainkan pecutnya hingga uang emas yang terlilit itu naik-turun
seperti anak kecil, sikapnya acuh-tak-acuh dan seperti tidak pandang sebelah
mata kepada siapapun juga, diam2 Tik Hun rada mendongkol. Segera iapun berkata:
"Ya, tadi kudengar penjual ikan itu menyebut kalian sebagai Leng-kiam-siang-
hiap. Tapi entah apa nama saudara yang terhormat."
Pemuda Kongcu itu menjadi kurang senang, ia pikir kalau kenal julukan mereka,
masakah tidak kenal namanya" Dari itu ia cuma mendengus sekali dan tidak
menjawab lagi. Dan pada saat itu juga tiba2 angin sungai meniup hingga ujung baju paderi yang
dipakai Tik Hun itu tersingkap sedikit. Mendadak gadis jelita itu bersuara kaget
sekali sambil berkata: "He, dia.........dia adalah Hiat-to-ok-ceng (paderi jahat
bergolok darah) dari Bit-cong di Tibet."
"Ya, betul," kata si pemuda dengan wajah gusar. "Nah, enyahlah kau!"
Keruan Tik Hun heran mendadak diperlakukan sekasar itu. "Aku ... aku......?"
katanya sambil melangkah kehadapan sigadis: "Aku kenapa; nona?"
Wajah sigadis kembali mengunjuk rasa kuatir dan gusar, sahutnya: "Engkau...
engkau jangan .....jangan mendekati aku. Enyahlah!"
Tentu saja Tik Hun bertambah bingung. "Apa katamu?" tanyanya sambil maju setindak
lagi malah. "Tarrrr", mendadak gadis itu mengayun pecutnya terus menyabat.
Sama sekali Tik Hun tidak menduga bahwa kontan keras gadis itu terus menyerang
begitu saja tanpa tawar2. Cepat ia berusaha menghindar, tapi sudah kasip. Hilang
bunyi pecut itu, mukanya dengan tepat sudah kena tercambuk, seketika mukanya
berhias suatu garis merah dimulai dari ujung jidat kanan melintang keatas hidung
dan menurun keujung mulut kiri. Sungguh tidak ringan cambukan itu hingga Tik Hun
meringis kesakitan. "Ken.......kenapa engkau memukul aku?" seru Tik Hun dalam kaget dan gusarnya.
Tapi bukannya minta maaf, sebaliknya gadis itu hendak menyabatnya pula. Segera
Tik Hun merangsang maju hendak merebut pecut sigadis. Tak terduga permainan
pecut sigadis itu sangat lihay, baru Tik Hun ulur tangannya, tahu2 leher sendiri
sudah tergubat oleh pecutnya. Menyusul punggungnya terasa kesakitan mendadak,
nyata Kongcu muda tadi telah memberi persen sekali tendangan padanya.
Tanpa ampun lagi Tik Hun terjungkal. Lebih celaka lagi mendadak Kongcu muda itu
terus keprak kudanya hendak menginjak keatas tubuh Tik Hun. Syukur dalam seribu
kerepotannya itu Tik Hun masih sempat menggulingkan tubuhnya kesamping. Tapi
dalam keadaan sibuk itu terdengar lagi suara kelintingan kuda berbunyi, sebelah
kaki kuda yang putih mulus tahu2 menginjak lagi kearah dadanya, Tik Hun insaf
bila injakan itu tepat kena didadanya, pasti melayanglah jiwanya. Tanpa pikir
lagi itu mengkeretkan tubuhnya keatas, maka terdengarlah suara "krak" sekali,
entah apa yang telah patah. Yang terang mata Tik Hun menjadi ber-kunang2 dan
pandangan kabur, achirnya segala apa tak diketahuinya lagi..........


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Waktu pikiran Tik Hun pelahan2 jernih kembali, sementara itu entah sudah berapa
lamanya telah lalu. Dalam keadaan masih setengah sadar, ia berusaha hendak
berbangkit. Tapi mendadak kakinya terasa kesakitan, hampir2 ia jatuh kelengar
lagi. Menyusul darah segar lantas menguak keluar dari mulutnya. Waktu kemudian
sinar matanya tertatap diatas kakinya, ia melihat celananya penuh berlepotan
darah, kaki sendiri tampak melintir berbalik arah. Semula ia merasa heran
mengapa kakinya bisa main gila begitu" Tapi sejenak kemudian barulah ia ingat:
"Ya, kakiku telah patah terinjak kuda yang dikeprak oleh nona itu."
Antero tubuh Tik Hun terasa lemas dan linu, lebih2 kaki dan punggungnya tak
terkatakan sakitnya. Sesaat itu timbul kembali putus asanya: "Aku tidak ingin
hidup lagi. Biarkan aku merebah begini dan lekaslah mati saja."
Maka iapun tidak merintih dan bertobat, tapi mengharap supaya lekas mati. Namun
orang ingin mati justeru tidak gampang. Bahkan ingin pingsan saja juga tak
dapat. Padahal hati Tik Hun terus-menerus berharap: "Hayolah lekas mati! Kenapa
belum lagi mati?" Selang agak lama, karena tetap belum yuga mati, achirnya Tik Hun memikir: "Aku
toh tiada salah apa2 kepada mereka, mengapa mendadak aku dianiaya sekeji ini?"
Ia coba memikirkan apa sebabnya, tapi tetap bingung dan tiada sesuatu yang dapat
diketemukan. Ia menggumam sendiri: "Dasar aku memang bodoh, coba bila Ting-toako
masih hidup, pasti beliau dapat menjawab pertanyaanku ini."
Dan karena teringat kepada Ting Tian, seketika pikirannya berganti: "Eh, ya. Aku
telah berjanji akan mengubur Ting-toako bersama Leng-siocia. Cita2 ini belum
terlaksana, mana boleh aku mati begini saja."
Ia coba meraba punggung sendiri dan merasa abu tulang sang Toako masih baik2
terikat disitu, ia merasa lega dan sekuatnya bangun berduduk. Tapi kembali darah
segar tersembur keluar dari mulutnya. Ia tahu semakin banyak mengeluarkan darah,
semakin lemah pula badannya. Maka sedapat mungkin ia mengatur napasnya dengan
maksud menahan darah yang akan dimuntahkan itu. Tapi darah yang sudah meng-kili2
tenggorokannya itu ternyata susah ditahan, kembali ia menguak dan darah
membasahi tanah lagi. Yang paling menderita adalah kaki patah itu, sakitnya sebagai di-sayat2 oleh
beratus pisau. Namun dengan me-rangkak2 achirnya dapat Tik Hun menyeret dirinya
kebawah pohon Liu yang rindang itu. Pikirnya: "Aku tidak boleh mati, tapi harus
tetap hidup. Dan untuk hidup aku harus makan." ~ teringat pada makan, baru
sekarang ia merasa kelaparan.
Ia lihat banyak ikan dan udang berserakan ditanah dan sudah lama mati. Iapun
tidak pikir lagi apakah mentah atau masak, apakah masih segar atau sudah busuk,
tapi terus saja ia comot beberapa ekor udang terus dijejalkan kedalam mulut
sekadar menangsal perut. Ia pikir kaki patah itu harus dibalut lebih dulu, habis
itu barulah berdaya untuk meninggalkan tempat celaka ini.
Ia coba memandang sekelilingnya, ia lihat macam2 peralatan tukang tangkap ikan
masih tersebar disitu. Segera ia merayap maju untuk mengambil sebatang dayung
sampan yang pendek beserta sebuah jala ikan. Pelahan2 ia jereng jala ikan itu,
lalu kaki sendiri yang patah dan sudah mengisar arah itu dibetulkannya dengan
menahan sakit, ia gunakan kayu dayung itu sebagai pengapit, kemudian mengikatnya
dengan menggunakan tali jala ikan itu.
Kerjanya itu memakan waktu satu jam penuh sambil sebentar2 mengaso. Pabila
merasa kesakitan, ia lantas berhenti sambil meringis kemudian melanjutkan pula
bila sakitnya mereda. Bila kemudian kaki patah itu selesai dibalut, sementara
itu sang surya sudah meninggi di-tengah2 cakrawala. Pikirnya: "Untuk merawat
kakiku yang patah ini hingga sembuh betul2, paling sedikit juga diperlukan waktu
dua bulan lebih. Dan selama dua bulan ini kemanakah aku harus meneduh dan
hidup?" Sekilas dilihatnya ditepi sungai ber-deret2 perahu2 nelayan, tiba2 timbul
pikirannya: "Ya, biarlah aku tinggal saja didalam perahu, disana aku tidak perlu
berjalan." Ia kuatir kawanan penjual ikan itu datang kembali hingga menimbulkan kerewelan
lain, meski badannya masih lemas dan kaki kesakitan, tapi terpaksa ia mesti
merayap ketepi sungai, ia merangkak kedalam sebuah perahu nelayan. Ia tanggalkan
tali tambatan perahu dan mulai mendayung, pelahan2 ia luncurkan perahunya
ketengah sungai. Waktu tanpa sengaja ia menunduk, tiba2 dilihatnya ujung baju paderi yang
dipakainya itu menyingkap keatas hingga tertampak diujung baju itu tersulam
sebilah golok pendek yang berwarna merah tua, ujung golok itu tersulam pula tiga
titik darah, sulaman itu sangat hidup, tapi menyeramkan pula.
Tiba2 tersadarlah Tik Hun: "Ah, tahulah aku sekarang! Baju ini adalah tinggalan
sipaderi jahat Po-siang. Makanya kedua orang itu salah sangka aku sebagai
begundal paderi jahat itu."
Kemudian tanpa sengaja ia dapat meraba kepala sendiri sudah kelimis, ia menjadi
lebih paham lagi duduknya perkara. "Pantas aku dipanggil Siausuhu oleh mereka,
sebab rambutku sudah kububut semua hingga pelontos seperti Hwesio".
Dan baru sekarang Tik Hun sadar mengapa ber-ulang2 hamba tua itu menyebut
dirinya sebagai "Siausuhu", pula kawanan pedagang ikan dari Tiat-bong-pang
memaki dirinya sebagai "Keledai gundul kecil", sebab dirinya sekarang memang
sudah mirip seorang Hwesio.
Lalu terpikir pula olehnya: "Waktu ujung bajuku tersingkap, lantas gadis itu
mengatakan aku adalah Hiat-to-ok-ceng dari Tibet. Bentuk golok berdarah dalam
sulaman ini memang sangat menyeramkan, tentang bagaimana perbuatan kawanan
paderi2 itu melulu melihat contoh seperti Po-siang saja sudah dapat dibayangkan
sendiri." Sebenarnya Tik Hun sangat gusar dan penasaran, tapi demi mengetahui duduknya
perkara, seketika rasa permusuhannya kepada "Leng-kiam-siang-hiap" lantas
lenyap, bahkan merasa perbuatan sepasang muda-mudi yang gagah perwira itu
justeru sepaham dengan dirinya. Cuma sayang ilmu silat kedua orang itu terlalu
tinggi, pribadi mereka agung pula, andaikan kesalah-pahaman ini kelak dapat
dibikin terang juga rasanya susah untuk bersahabat dengan mereka.
Begitulah pelahan2 ia mendayung terus perahu itu hingga belasan li jauhnya, ia
melihat ditepi pantai ada sebuah kota kecil, dipandang dari jauh, tampaknya
cukup ramai orang yang berlalu-lalang. Pikirnya: "Baju paderi yang kupakai ini
tentu akan menimbulkan bencana bagiku, aku harus cepat mencari gantinya."
Segera ia merapatkan perahunya ketepi, ia gunakan sebatang dayung pendek sebagai
tongkat, lalu dengan berincang-incuk ia mendarat sekuat tenaga.
Orang2 dikota itu merasa ter-heran2 melihat seorang Hwesio muda dengan kaki
pincang dan bajunya penuh noda darah. Namun Tik Hun tidak ambil pusing, selama
beberapa tahun ini ia sudah kenyang menghadapi sikap dingin dan kejam dari pihak
umum. Pelahan2 ia melanjutkan jalannya kepusat kota, ia melihat sebuah toko
pakaian bekas, segera ia masuk ketoko itu dan membeli sepotong baju hijau
panjang dan seperangkat pakaian dalam dengan celananya. Kalau saat itu juga ia
mengganti pakaian, tentu harus telanjang dulu, terpaksa Tik Hun memakai baju
panjang yang baru dibeli itu diluar baju paderi. Lalu ia membeli sebuah topi
laken untuk menutupi kepalanya yang gundul.
Kemudian ia mencari suatu kedai nasi untuk mengisi perut. Ketika ia dapat
mencapai bangku panjang dari kedai nasi itu, saking letihnya hampir2 ia jatuh
pingsan lagi dan kembali ia muntahkan dua kumur darah.
Tidak usah pesan, pelayan kedai sudah lantas menghantarkan daharan yang biasa
tersedia disitu, yaitu semangkok tahu masak ikan, semangkok daging masak tauco.
Tik Hun sudah sangat kelaparan, demi mengendus bau daging dan ikan, seketika
semangatnya terbangkit, terus saja ia angkat mangkok nasi dan ambil sumpit,
segera ia sapu kedalam mulutnya, lalu menyumpit sepotong daging.
Dan baru saja ia masukan daging itu kedalam mulutnya, tiba2 terdengar suara
kelintang-kelinting dari jauh dan makin lama semakin dekat.
Mendengar itu, seketika daging yang sudah masuk mulut itu takdapat ditelannya,
sebaliknya hatinya memukul keras. Diam2 pikirnya: "Kembali Leng-kiam-siang-hiap
datang lagi. Apakah aku akan memapak kedatangan mereka untuk memberi penjelasan
kesalah pahaman tadi" Tanpa berdosa aku telah di-injak2 kuda mereka hingga
terluka separah ini, kalau tidak dibicarakan secara jelas, bukankah sangat
penasaran?" Namun selama ini Tik Hun sudah terlalu banyak menderita, setiap kali dihina atau
dianiaya orang tanpa sebab, selalu ia menyesalkan dirinya sendiri yang sial dan
pasrah nasib. Maka kembali pikirannya berubah: "Ah, selama hidupku ini
penderitaan apa yang tidak pernah kurasakan" Kalau cuma sedikit penasaran saja
apa artinya bagiku?"
Dalam pada itu suara keleningan tadi semakin dekat. Segera Tik Hun memutar tubuh
menghadap kedinding, ia tidak ingin bertemu muka dengan sepasang pendekar muda
itu. Dan pada saat lain, tiba2 ada orang menepuk pundaknya sambil menegur dengan
tertawa: "Aha, Siausuhu, perbuatanmu yang bagus itu telah ketahuan, maka Koan-
thayya mengundang kau menghadap padanya."
Keruan Tik Hun terkejut, cepat ia berpaling, ia lihat empat opas sudah berdiri
didepannya. Dua diantaranya membawa borgol dan dua lainnya menghunus golok
dengan sikap2 bersiap siaga menjaga segala kemungkinan.
Mendadak Tik Hun berteriak sekali sambil berbangkit, berbareng ia sambar mangkok
yang berisi tahu-bak tadi terus disambitkan kearah opas sisi kiri. Menyusul ia
angkat meja dan digabrukan kearah kawanan opas itu hingga mereka gebes2 tersiram
daharan diatas meja itu. Menurut dugaan Tik Hun, tentu kawanan hamba wet itu adalah petugas dari Keng-
leng-hu, bila dirinya sampai ditawan Leng Dwe-su lagi, tentu tiada harapan hidup
pula. Dalam pada itu kedua opas yang diguyur kuah panas itu menjadi kelabakan dan
lekas2 melompat mundur. Kesempatan itu segera digunakan Tik Hun untuk melarikan
diri. Tapi baru satu langkah, ia sudah sempoyongan dan hampir2 terbanting roboh.
Rupanya dalam keadaan gugup, Tik Hun lupa bahwa tulang kakinya sudah patah.
Melihat ada kesempatan bagus, opas ketiga tidak tinggal diam, terus saja ia ayun
goloknya membacok. Ilmu silat Tik Hun meski sudah punah, tapi untuk melawan seorang opas keroco
seperti itu sudah tentu masih berlebihan. Maka sekali ia pegang tangan opas itu
terus disengkelit, kontan opas itu terjungkal dan goloknya terampas.
Melihat Tik Hun kini bersenjata, opas2 itu menjadi jeri, mereka tidak berani
sembarangan mendekat lagi, mereka hanya bergembar-gembor: "Wah, paderi cabul
telah melawan petugas negara dan hendak mengganas lagi!" ~ "Awas, Hiat-to-ok-
ceng telah melakukan kejahatan lagi!" ~ "Ini dia Cay-hoa-in-ceng yang telah
memperkosa dan membunuh puteri hartawan!"
Mendengar teriakan2 itu, diam2 Tik Hun memikir jangan2 dugaannya tadi salah,
opas2 ini bukan kiriman Kang-leng-hu yang hendak menangkapnya. Maka segera ia
membentak: "Kalian sembarangan mengaco-belo apa" Siapa adalah Cay-hoa-in-ceng?"
"Cay-hoa-in-ceng" artinya paderi cabul pemetik bunga, yaitu paderi yang suka
memperkosa wanita baik2. Dalam pada itu suara kelenengan tadi sudah dekat, tahu2 seekor kuda kuning dan
seekor kuda putih telah berhenti didepan mereka. Dari atas kuda segera "Leng-
kiam-siang-hiap" dapat melihat segala apa yang sedang terjadi. Mereka agak
melengak demi melihat Tik Hun, sebab merasa muka orang seperti sudah mereka
kenal, dan segera merekapun ingat itulah samaran si Hiat-to-ok-ceng.
"Toasuhu, tidak apalah jika engkau juga ingin pelesir, tapi mengapa sehabis itu
engkau membunuh orangnya pula?" demikian seru salah seorang opas itu. "Seorang
laki2 berani berbuat berani bertanggung-jawab, marilah engkau ikut kami
melaporkan diri saja kepada Koan-thayya."
Dan opas yang lain ikut berseru juga: "Engkau coba menyamar segala, tapi sayang
telah dapat kami pergoki. Hari ini sudah pasti engkau takkan dapat lolos, lebih
baik menyerahkan diri saja.
"Kalian sembarangan mengoceh, suka mempitenah orang baik!" sahut Tik Hun dengan
gusar. "Ini bukan pitenah, tapi dengan mata kepala aku melihat sendiri malam itu engkau
telah menyusup kerumah Li-kijin, tidak salah lagi, biarpun kau terbakar menjadi
abu juga aku kenal kau," sahut opas itu.
Kiranya kawanan Ok-ceng atau paderi jahat sebangsa Po-siang itu, selama beberapa
hari paling achir ini telah mengganas disekitar lembah Tiang-kang, sesudah
memperkosa, membunuh pula korbannya. Karena mengandalkan ilmu silat mereka
sangat tinggi, maka kawanan paderi jahat itu sedikitpun tidak takut2 diwaktu
melakukan kejahatan, bahkan berani meninggalkan tanda, "Hiat-to", yaitu gambar
golok bertetes darah diatas dinding. Dan sasaran yang menjadi korban mereka
kalau bukan rumah kaum hartawan dan pembesar, tentu adalah tokoh terkenal pula
dalam Bu-lim. Maka beberapa kabupaten diselatan Tiang-kang itu bila membicarakan
"Hiat-to-ok-ceng", seketika pasti setiap orang akan merinding ketakutan.
Tatkala itu pembesar2 negeri setempat sudah sibuk menyebarkan petugas untuk
menguber, begitu pula kaum pendekar dan tokoh persilatan daerah Liang-ouw juga
turun tangan semua untuk mencari kawanan paderi jahat itu.
Tentang opas itu bilang menyaksikan sendiri Tik Hun masuk kerumah Li-kijin dan
sebagainya, sudah tentu adalah bualan belaka. Soalnya mereka melihat Tik Hun
terluka parah, untuk melarikan diri terang tidak dapat, maka mereka sudah ambil
keputusan akan menguruk segala dosa atas diri Tik Hun, dengan demikian, pertama
dapat memenuhi kewajiban mereka; kedua, dengan sendirinya jasa mereka akan
bertambah besar. Nama sebenarnya dari "Leng-kiam-siang-hiap" itu ada Ong Siau-hong dan sigadis
she Cui, namanya cuma satu, Sing. Kedua muda-mudi itu adalah saudara misan. Ayah
Cui Sing bernama Cui Tay, seorang tokoh besar sangat terkenal dimasa dahulu
dengan julukan: "Sam-coat-kiam (Sipedang triguna).
Ong Siau-hong sendiri sejak kecil sudah kehilangan kedua orang tua, maka ikut
tinggal dirumah sang paman, yaitu adik ibunya, Cui Tay, serta mendapat pelajaran
ilmu silat. Karena pembawaan Ong Siau-hong memang gagah dan tampan, maka sejak kecil Cui Tay
sudah mengandung maksud akan menjodohkan puterinya kepada kemenakannya itu.
Oleh karena kedua orang sejak kecil sama2 belajar silat, sesudah dewasa sama2
mengembara diluaran untuk mengamalkan kepandaian mereka kepada kaum lemah, maka
diam2 benih cinta juga sudah tumbuh diantara mereka, meski tidak bicara secara
terang2an, tapi mereka sama2 tahu kelak sudah pasti akan menjadi suami-isteri,
sebab itulah dalam segala tindak-tanduk merekapun tidak canggung2.
"Paderi cabul, engkau sudah berlumuran dosa, apakah engkau masih ingin hidup
lagi?" bentak Ong Siau-hong sambil angkat pedangnya hendak memenggal kepala Tik
Hun. "Tahan dulu!" se-konyong2 muncul seorang Hwesio tua hingga jiwa Tik Hun
tertolong. Kedua muda-mudi itu telah memperoleh ajaran silat andalan Cui Tay, paling achir
ini nama mereka sangat terkenal. Setiap orang didaerah Liang-ouw sangat kagum
terhadap mereka dan memuji tidak habis2 bila ada orang menyebut tentang "Leng-
kiam-siang-hiap". Tentang Hiat-to-ok-ceng mengganas itu memang juga telah didengar mereka. Cuma
kebetulan Tik Hun pernah menolong jiwa hamba tua mereka, yaitu si Cui Hok yang
bertengkar dengan penangkap ikan Tiat-bong-pang itu, makanya Leng-kiam-siang-
hiap berlaku murah dan tidak membunuhnya, tapi cuma mengeprak kuda menyepak dua
kali hingga pemuda itu terluka parah. Siapa duga dikota kecil ini kembali
mempergoki Tik Hun menimbulkan gara2 lagi dan mendengar kawanan opas itu sedang
membentangkan segala dosa yang katanya diperbuat Tik Hun itu. Dasar jiwa Leng-
kiam-siang-hiap itu memang luhur dan paling benci pada kejahatan, maka semakin
didengar semakin gusar mereka.
Melihat penonton yang merubung semakin banyak, untuk meloloskan diri tentu akan
lebih susah, segera Tik Hun mengayun goloknya sambil membentak: "Minggir semua!"
~ Lalu dengan bantuan dayung pendek yang menyanggah dibawah ketiaknya, segera ia
menerjang keluar sana. Dengan ber-teriak2 takut, penonton2 yang merubung itu lantas berlari menyingkir.
Keempat opas itupun ber-teriak2 sambil menyusul dari belakang: "Cay-hoa-in-ceng,
jangan lari kau!" Tapi mendadak Tik Hun memutar balik goloknya hingga lengan salah seorang opas
itu tergurat luka. "Hai, paderi cabul ini mengganas lagi, berani melukai
petugas!" demikian opas itu terus berteriak.
Ong Siau-hong menjadi gusar, ia keprak kudanya memburu maju, sekali cambuknya
bekerja, "tarrrr", golok ditangan Tik Hun itu sudah tergubat ujung cambuk dan
terus dia tarik dengan keras.
Tenaga Tik Hun memang sudah habis, seketika golok terlepas dari cekalannya.
Bahkan Ong Siau-hong mendesak maju pula, sekali tangan kirinya menjulur, dari
atas ia mencengkeram kebawah dan tepat baju leher Tik Hun kena dijambret terus
diangkat keatas sambil membentak: "Paderi cabul, sudah sekian banyak kejahatan
yang kau lakukan, apakah kau masih ingin hidup lagi?" ~ berbareng itu tangan
lain terus meraba garan pedangnya, sekali sinar tajam berkilauan, segera
pedangnya terlolos dan hendak memenggal keleher Tik Hun.
"Bagus! Bunuh saja paderi cabul itu!" ~ "Ya, cincang saja biar tamat
riwayatnya!" ~ begitulah para penonton itu ber-teriak2.
Dalam keadaan tubuh terapung lantaran dicengkeram orang, sama sekali Tik Hun
tidak mempunyai tenaga untuk meronta, sekilas ia melihat wajah Cui Sing yang ayu
itupun mengunjuk rasa hina dan senang. Tentunya hina karena benci kepada
perbuatan cabul yang dituduhkan kepadanya itu, dan senang lantaran melihat sang


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Piauko akan melenyapkan jiwanya.
Diam2 Tik Hun menghela napas penyesalan: "Ai, apa mau dikata lagi, rupanya sudah
suratan nasibku harus selalu dipetenah orang!"
Dalam pada itu ia lihat pedang Ong Siau-hong sudah terangkat tinggi2 tinggal
memanggal kebawah, ia hanya dapat bersenyum getir belaka, katanya didalam hati:
"Ting-toako, harap maafkan aku tidak dapat memenuhi janji, soalnya bukan Siaute
tidak berusaha sedapat mungkin, tapi sesungguhnya nasibku ini terlalu buruk."
Dan pada saat pedang Ong Siau-hong itu hampir2 ditabaskan kebawah itulah, tiba2
terdengar suara teriakan seorang tua: "Nanti dulu, jangan mengganggu jiwanya!"
Tanpa merasa Siau-hong menoleh, ia lihat pendatang itu adalah seorang Hwesio
berjubah kuning. Usia paderi itu sudah sangat tua, kepala lancip, telinga kecil,
mukanya penuh keriput. Dan bahan jubah yang dipakainya itu ternyata serupa dan
sewarna dengan apa yang dipakai Tik Hun itu.
Seketika air muka Siau-hong berubah, ia tahu Hwesio itu adalah kaum Hiat-to-ceng
dari Bit-cong di Tibet. Cepat ia memperingatkan Cui Sing: "Awas, Sing-moay,
hati2lah!" ~ Dan tanpa ayal lagi segera ia ayun pedangnya kebawah, ia pikir
paderi cabul muda ini kubunuh dulu, kemudian membunuh paderi cabul yang tua itu.
Waktu pedangnya sudah tinggal belasan senti akan mengenai leher Tik Hun,
mendadak Siau-hong merasa sikunya kesemutan sekali, terang Hiat-to dibagian siku
itu telah terkena sesuatu Am-gi. Kontan saja pedangnya lantas melambai kebawah
dengan tidak berkekuatan lagi, namun karena tajamnya senjata itu, tidak urung
pipi kiri Tik Hun juga tergurat suatu luka yang sangat panjang.
Gerakan paderi tua itu sangat cepat, dimana tubuhnya sampai, lebih dulu ia sodok
Ong Siau-hong hingga terjungkal kebawah kuda, berbareng ia sambar tubuh Tik Hun
dan ditaruh keatas kuda putih tunggangan Cui Sing yang berada disamping. Dengan
gugup Cui Sing lolos pedang terus membacok.
"Wah, alangkah cantiknya!" seru paderi tua itu ketika ia agak melengak melihat
paras Cui Sing yang manis itu. Dan belum lagi pedang orang tiba, lebih dulu ia
sudah ulur jarinya dan tepat kena tutuk dipinggang sigadis.
Keruan Cui Sing kaget dan takut, baru pedangnya hendak dibacokan, mendadak
tenaganya lenyap, pedang jatuh ketanah hingga mengeluarkan suara nyaring. Segera
ia bermaksud melompat turun, namun pinggangnya tiba2 terasa kesemutan dan
kakinya ikut kaku serta tidak mau menurut perintah lagi.
Paderi tua itu ter-kekeh2 beberapa kali, sedikit ia angkat sebelah kakinya,
tahu2 orangnya sudah mencemplak keatas kuda kuning.
Umumnya orang menaik kuda tentu sebelah kaki menginjak sanggurdi lebih dulu,
kemudian kaki yang lain melangkah keatas pelana kuda. Tapi paderi tua ini
ternyata lain daripada yang lain caranya mencemplak kuda, ia tidak melompat juga
tidak pakai menginjak dulu keatas sanggurdi, tapi sedikit angkat sebelah
kakinya, tubuhnya lantas menaik keatas pelana.
Cuma dalam keadaan kacau dan geger, maka semua orang tiada yang perhatikan
gerak-geriknya yang hebat dan aneh itu.
Sementara sesudah mencemplak diatas kuda, begitu kedua kaki paderi tua itu
mengempit kencang, segera kuda kuning itu membedal kedepan diikuti kuda putih
dengan suara kelenengan yang berbunyi kelintang-kelinting.
"Sing-moay! Sing-moay!" demikian Siau-hong ber-teriak2 sambil masih menggeletak
ditanah, sungguh ia sangat cemas daan tidak berani membayangkan apa jadinya
sesudah sang Piaumoay alias tunangannya itu diculik oleh paderi2 cabul itu. Ada
maksudnya hendak bangun untuk mengejar, tapi apa daya, entah cara bagaimana
paderi tua itu telah menutuknya, biarpun ia meronta sekuatnya tetap tidak dapat
berkutik. Dalam pada itu hanya terdengar suara teriakan2 kawanan opas tadi: "Tangkap
paderi cabul itu!" ~ "Wah, Hiat-to-ok-ceng dapat lolos!" ~ "Celaka, ada gadis
cantik yang diculik lagi!"
******** Sudah sekian lamanya Tik Hun terombang-ambing diatas pelana kuda, karena
guncangannya yang keras itu, hampir2 pemuda itu terbanting jatuh. Dalam gugupnya
dengan sendirinya ia menjamah sekenanya. Tapi mendadak ia merasa tangannya
memegangi sesuatu yang empuk dan lemas, waktu ia memperhatikan, kiranya apa yang
terpegang tangannya itu adalah pinggang belakang Cui Sing.
Keruan Cui Sing ketakutan dan men-jerit2: "Auuuh, Hwesio jahat, lepas tanganmu!"
~ Ia sangka paderi cabul itu hendak berlaku tidak senonoh atas dirinya.
Sebaliknya Tik Hun menjadi kaget juga dan cepat ia melepas tangan untuk
memegangi pelana kuda. Namun betapapun juga karena mereka berdua menunggang seekor kuda, mau-tak-mau
badan mereka mesti bersentuhan. Saking takutnya hingga air mata Cui Sing
bercucuran, dengan gemetar ia berteriak: "Le.........lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Rupanya sepaderi tua merasa sebal oleh teriakan2 Cui Sing yang tiada berhenti
itu, tiba2 ia menutuk Ah-hiat, yaitu jalan darah yang membuat bisu gadis itu.
Dengan demikian untuk bicara saja Cui Sing sekarang juga tidak dapat.
Diatas kudanya paderi tua itu ber-ulang2 menoleh pula untuk mengamat-amati paras
muka dan potongan tubuh Cui Sing yang cantik menggiurkan sambil mulutnya tiada
hentinya ber-kecak2 dan memuji: "Ck, ck, ck, alangkah cantiknya! Hari ini
Lohwesio benar2 lagi ketomplok rejeki."
Meski mulut Cui Sing sementara itu takdapat bicara, tapi telinganya toh tidak
menjadi tuli. Keruan semangatnya se-akan2 terbang ke-awang2 saking takutnya demi
mendengar ucapan paderi tua itu, bahkan hampir2 ia kelengar.
Begitulah paderi tua itu terus keprak kudanya menuju kearah barat, selalu tempat
sunyi yang dipilih. Setelah sekian lamanya, ia merasa suara keleningan kedua
ekor kuda itu terlalu berisik, suara kelintang-kelinting itu hanya akan
memancing pengejaran musuh saja. Maka segera ia mengulur tangannya kedepan, ia
betot kedua kelenengan emas dan perak kuda2 itu.
Kelenengan2 itu sebenarnya terikat dileher kuda dengan untiran rantai emas dan
perak, tapi tenaga paderi tua itu benar2 susah dibayangkan orang, hanya sekali
puntir dan betot saja, segera kelenengan2 itu kena dibetot putus terus
diremaskan hingga menjadi lantakan emas dan perak, lalu dimasukkannya kedalam
baju. Sebentarpun paderi tua itu tidak memberi kesempatan mengaso kepada kuda2 itu, ia
terus berjalan hingga magrib, achirnya sampailah ditepi sebuah tebing yang curam
dan dibawahnya adalah sebuah sungai. Ia lihat sekitar situ tiada orang berlalu,
pula tiada rumah penduduk, segera ia menurunkan Tik Hun ketanah, lalu Cui Sing
dipondongnya turun pula. Achirnya kedua ekor kuda itu ditambatnya dibawah sebuah
pohon besar dan membiarkan binatang2 itu makan rumput dan mengaso.
Kemudian paderi tua itu memondong Cui Sing pula dan dimasukan ke-tengah2 semak2
rumput, ia sendiri lalu duduk bersila menghadapi sungai dengan mata terpejam
untuk bersemadi. Tik Hun duduk didepan sipaderi tua itu dengan pikiran yang timbul-tenggelam tak
keruan, pikirnya: "Pengalamanku harini benar2 teramat aneh sekali. Ada dua orang
baik2 hendak membunuh aku, sebaliknya seorang Hwesio tua malah menolong jiwaku.
Melihat kelakuan Hwesio tua ini, terang dia adalah sebangsanya Po-siang yang
jahat itu, kalau dia memperlakukan nona itu dengan tidak senonoh, lantas apa
dayaku?" Begitulah dengan bingung Tik Hun hanya berduduk ter-menung2 diatas tebing. Angin
malam men-deru2 diseling suara burung malam yang menyeramkan. Tik Hun bergidik
demi melihat pula muka sipaderi tua yang mirip mayat hidup itu. Waktu ia
menoleh, ia melihat di-semak2 rumput sana menonjol sebagian baju wanita, itulah
Cui Sing yang menggeletak disitu.
Beberapa kali Tik Hun bermaksud menanya sipaderi tua, tapi melihat sikap orang
yang kereng itu, betapapun ia tidak berani membuka suara.
Selang agak lama, mendadak paderi tua itu berbangkit dengan pelahan2, kaki
kirinya tampak diangkat hingga tapak kakinya tertekuk keatas, dengan hanya
berdiri dengan kaki kanan, lalu paderi itu pentang kedua tangannya menghadap
kebulan. Se-konyong2 Tik Hun ingat: "He, gayanya ini aku seperti sudah pernah melihat"
Ah, ingatlah aku, didalam buku kecil tinggalan Po-siang terdapatlah gambar
dengan gaya yang aneh ini."
Ia lihat paderi tua itu masih terus berdiri dengan sebelah kaki sebagai patung,
sedikitpun tidak bergoyang. Lewat sebentar, mendadak paderi itu melompat keatas
sambil menjungkir, sesudah turun, kini kepalanya yang menahan ditanah, kedua
kakinya terangkat rapat lurus keatas.
Tik Hun merasa ketarik, ia coba mengeluarkan buku kecil yang ditemukan dari
dalam bajunya Po-siang itu, ia mem-balik2 halaman buku itu, pada suatu halaman,
ia lihat gambarnya persisi seperti gaya yang dilakukan sipaderi tua sekarang
ini. Tik Hun seperti paham sesuatu, pikirnya dalam hati: "Ehm, tentu inilah
kunci melatih ilmu dari golongan Bit-cong mereka."
Kemudian ia melihat paderi tua itu ber-ulang2 berganti cara dan gaya latihannya,
melihat gelagatnya, tidak mungkin dapat selesai dalam waktu singkat, bahkan
paderi itu semakin tenggelam dalam keasyikan latihannya sambil mata terpejam.
Tik Hun berpikir: "Meski paderi ini telah menolong jiwaku, tapi terang dia
adalah seorang jahat dan cabul. Ia menculik nona cantik ini, terang tidak
bermaksud baik. Selagi dia asyik melatih diri, biarlah nona itu akan kutolong,
lalu mealrikan diri ber-sama2 dengan menunggang kuda."
Biarpun ber-ulang2 Tik Hun tertimpa nasib malang, namun jiwanya yang luhur budi
toh tidak menjadi berkurang. Meski tahu tindakannya ini berarti "menyerempet
bahaya", namun ia tidak tega menyaksikan seorang nona baik2 mesti dinodai oleh
seorang paderi cabul. Maka diam2 ia menggeser tubuh, dengan pelahan2 ia
merangkak kearah semak2 rumput.
Dahulu, ia sering melatih Lwekang bersama Ting Tian didalam penjara, maka ia
tahu dikala orang sedang asyik semadi begitu, tentang daya pancaindera untuk
sementara kehilangan daya-gunanya, telinga tuli dan mata se-akan2 buta. Dalam
keadaan demikian asal paderi itu masih terus berlatih, tentu takkan mengetahui
kalau dirinya telah menolongi sinona.
Lantaran tulang kakinya patah, maka setiap kali Tik Hun bergerak, tentu
menimbulkan rasa sakit tidak kepalang, tapi ia tahan sedapat mungkin, ia letakan
titik berat tubuhnya dibagian siku dan dengan setengah menyeret, pelahan2 ia
menggerumut ketengah2 semak rumput itu dan untunglah sama sekali tidak diketahui
oleh sipaderi tua. Waktu Tik Hun menunduk, dibawah sinar bulan, paras muka Cui Sing dapat terlihat
dengan jelas. Kedua mata nona tampak membelalak lebar2 dengan air muka yang
mengunjuk rasa ketakutan setengah mati.
Kuatir diketahui sipaderi tua, maka Tik Hun tidak berani membuka suara, tapi
hanya meng-gerak2an tangan untuk memberi tanda jangan kuatir sebab datangnya itu
bermaksud menolong gadis itu serta akan melarikan diri ber-sama2 dengan
menunggang kuda. Cui Sing sendiri sejak digondol lari sipaderi tua, diam2 ia sudah putus asa akan
nasibnya sendiri yang tercengkeram ditangan iblis kedua paderi cabul itu, ia
tidak berani membayangkan penderitaan apa yang akan dialaminya nanti.
Celakanya ia tertutuk, jangankan bergerak, sedangkan untuk bicarapun tidak
dapat. Ia ditaruh begitu saja ditengah semak2 rumput, semut dan belalang selalu
merayap kian kemari dikepala dan lehernya hingga gatal dan risih rasanya. Kini
melihat Tik Hun menggerumut pula mendekati dirinya, ia sangka pemuda itu pasti
tidak bermaksud baik dan tentu akan berbuat tidak senonoh kepadanya, keruan
takut Cui Sing tidak kepalang.
Ber-ulang2 Tik Hun masih menggeraki tangannya untuk memberi tanda bahwa
maksudnya hendak menolong padanya. Tapi saking takutnya Cui Sing menjadi salah
tampa, salah terima, hingga semakin menambah rasa takutnya.
Segera Tik Hun menarik bangun sigadis dan menuding kearah kuda yang tertambat
disebelah sana itu, maksudnya mengajak gadis itu melarikan diri bersama dengan
menunggang kuda. Tapi meski Cui Sing sudah berduduk, sekujur badannya tetap
lemas lunglai tidak bertenaga.
Kalau kedua kaki Tik Hun dalam keadaan sehat dan kuat tentu ia dapat memondong
sigadis. Tapi kini kakinya patah, untuk berjalan sendiri saja susah, apalagi
hendak memondong orang lain" Jalan satu2nya ia pikir harus membuka dulu Hiat-to
sigadis yang tertutuk itu dan biar gadis itu berjalan sendiri.
Namun Tik Hun tidak paham cara menutuk dan membuka Hiat-to, terpaksa ia memberi
tanda pula dengan tangannya sambil men-tuding2 bagian2 tubuh sigadis dengan
harapan dapatlah gadis itu membalas memberi tanda jawaban dengan lirikan matanya
tempat mana dapat membuka Hiat-to yang tertutuk itu.
Sebaliknya Cui Sing salah tampa lagi. Ia lihat pemuda itu tuding2 kesegala
pelosok badannya, karuan malunya tak terkatakan dan gemasnya juga tidak
kepalang. Pikirnya: "Kurangajar benar paderi muda ini, entah dengan cara aneh
apa aku akan diperlakukan secara tidak senonoh olehnya. Kuharap asal badanku
dapat bergerak sedikit saja, segera aku akan tumbukan kepalaku diatas batu,
lebih baik mati daripada menerima hinaan."
Melihat air muka sinona mengunjuk rasa bingung dan aneh, diam2 Tik Hun heran. Ia
menduga mungkin gadis itu tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan gerakan
tangannya tadi. Padahal selain membuka Hiat-to yang tertutuk itu, rasanya tiada
jalan lain lagi untuk bisa meloloskan diri. Katanya didalam hati: "Maksudku
hanya ingin membantu nona melarikan diri dari ancaman bahaya, maka harap
memaafkan tindakanku ini." ~ Habis itu, terus saja ia ulur tangan dan memijat
beberapa kali dipunggung sigadis.
Sudah tentu pijitan2 itu tiada membawa hasil apa2 dalam hal membuka Hiat-to yang
tertutuk. Sebaliknya rasa takut Cui Sing semakin bertambah hingga hampir2 ia
jatuh kelengar. Sebagai seorang gadis, biarpun dia sering mengembara di Kangouw
bersama sang Piauko, yaitu Ong Siau-hong, tapi setiap tindak-tanduk mereka
selalu sopan-santun, bahkan tangan menyentuh tangan juga tidak pernah, apalagi
main pegang2 segala. Kecuali tadi waktu dia diturunkan dari kuda oleh sipaderi
tua, boleh dikata selama hidup belum pernah ada tangan kaum priya yang menyentuh
tubuhnya. Kini Tik Hun bukan lagi menyentuh tubuhnya, bahkan pijit2 dipunggung,
keruan saking takut dan malunya sampai air matanya bercucuran.
Sebaliknya Tik Hun menjadi heran dan kejut. "Mengapa dia menangis" Ah, tentu
karena habis tertutuk, Hiat-to dipunggungnya itu menjadi sangat kesakitan bila
terpegang oleh tanganku hingga saking tak tahan dia lantas menangis. Biarlah
kucoba membuka Hiat-to dipinggangnya saja?" demikian pikir Tik Hun.
Maka kembali ia ulur tangan kepinggang sigadis bagian belakang dan memijat
beberapa kali pula. Tapi celaka, bukannya gadis itu ketawa geli, sebaliknya air matanya semakin
deras sebagai banjir. Keruan Tik Hun bertambah heran dan bingung pula. "Wah,
kiranya bagian pinggang juga sakit, lantas apa dayaku?" demikian pikirnya.
Namun se-bodoh2nya Tik Hun juga tahu bahwa bagian2 dada, leher, paha, perut, dan
lain2 adalah tempat2 yang merupakan keagungan kaum wanita. Jangankan dipegang
segala, sedang dipandang saja dilarang keras. Maka ia memikir pula: "Aku tidak
dapat membuka Hiat-tonya, jika aku mencoba lagi secara sembarangan, itu berarti
aku berbuat kasar. Terpaksa aku mesti menggendong dia dan melarikan diri dengan
menyerempet segala bahaya." ~ Berpikir demikian, terus saja ia pegang kedua
tangan sigadis dengan memaksud untuk menggendongnya.
Cui Sing sendiri lagi ketakutan dan susah tak terkatakan, saking cemasnya sudah
beberapa kali hampir2 ia kelengar. Kini melihat "paderi cabul" itu mulai
memegang tangannya, ia sangka orang mulai akan main paksa. Ia ingin berteriak
minta tolong, tapi napasnya tertahan didada dan susah dikeluarkan. Ketika Tik
Hun mulai tarik tangannya dan hendak mengangkat tubuhnya, seketika hawa yang
merongkol didadanya itu lantas menerjang hingga Ah-hiat yang tertutuk tadi
terbuka mendadak ia dapat ber-teriak2 dengan suara tajam melengking: "Bangsat
gundul, lepaskan aku, lepaskan aku!"
Keruan Tik Hun kaget, pegangannya menjadi kendor hingga Cui Sing terbanting
jatuh ketanah. Bahkan ia sendiripun ter-huyung2 dan achirnya terguling juga dan
secara sangat kebetulan jatuhnya itu tepat menindih diatas badan Cui Sing.
Dan karena jeritan Cui Sing itu, sipaderi tua lantas sadar, ia membuka mata dan
melihat Tik Hun sedang "bergumul" dengan Cui Sing, bahkan gadis itu lagi ber-
teriak2 pula: "Bangsat gundul, lekas lepaskan aku atau bunuhlah aku saja!"
"Hahahaha!" sipaderi tua ter-bahak2 menyaksikan itu. "Haha, setan cilik, kenapa
kau begitu ter-buru2" Kau hendak mencuri nona milik kakek gurumu, ya" Hahahaha!"
~ Segera iapun mendekati mereka, sekali jamberet, ia tarik Tik Hun keatas dan
dibawa menyingkir, lalu dilepaskan ketanah sambil berkata pula dengan tertawa:
"Haha, bagus, bagus! Aku paling suka kepada pemuda pemberani seperti kau ini.
Biarpun kakimu patah, tapi melihat ada wanita, engkau lantas lupa sakit. Ehm,
bagus, bagus! Engkau sangat mencocoki seleraku!"
Keruan Tik Hun garuk2 kepala sendiri dengan serba runyam karena kesalah-pahaman
kedua orang itu. Sinona salah tampa, mengira dirinya hendak berbuat tidak
senonoh kepadanya, sebaliknya sipaderi tua salah sangka dia hendak merebut 'hak
milik' sang 'kakek guru' itu. Diam2 Tik Hun memikir: "Kalau aku bicara terus
terang padanya, mungkin sekali hantam paderi itu bisa membikin tamat riwayatku.
Terpaksa aku harus mengikuti arah angin untuk berusaha meloloskan diri,
berbareng mencari akal untuk menolong nona itu."
"Apakah engkau adalah murid yang baru diterima Po-siang?" demikian terdengar
sipaderi tua sedang menanya. Dan belum lagi Tik Hun menjawab, tiba2 paderi itu
tertawa lebar dan menyambung pula: "Ehm, tentu Po-siang sangat suka padamu,
bukan saja dia telah menghadiahkan 'Hiat-to-ceng-ih' (jubah paderi bersulam
gambar golok berdarah) kepadamu, bahkan jilid 'Hiat-to-pit-kip' (kitab pusaka
golok berdarah) juga sudah diberikan padamu."


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Habis berkata, sekali ia mengulur tangannya, tahu2 buku kecil yang berada
didalam baju Tik Hun itu dirogoh keluar olehnya, ia mem-balik2 halaman kitab
itu, lalu mengusap kepala Tik Hun dengan pelahan2 sambil berkata: "Ehm, bagus,
sangat bagus! Siapakah namamu?"
"Tik Hun!" sahut sipemuda.
"Tik Hun" Ehm, bagus, sangat bagus!" demikian puji sipaderi tua sambil
mengembalikan kitab kecil itu kedalam baju Tik Hun. "Dan gurumu sudah
mengajarkan padamu kunci melatih ilmu silat kita belum?"
"Belum," sahut Tik Hun.
"O, tapi tak apalah, tidak lama tentu dia akan mengajarkan padamu," ujar paderi
tua itu. "Dan dimanakah Suhumu telah pergi?"
Sudah tentu Tik Hun tidak berani mengatakan Po-siang sudah mampus, terpaksa ia
menyahut sekenanya: "Dia......dia berada dikapal ditengah Tiang-kang."
"Suhumu pernah memberitahukan kepadamu tentang gelar agung Sucomu (kakek gurumu)
tidak?" tanya sipaderi tua pula.
"Belum," sahut Tik Hun.
"Baiklah, dengarkan sekarang, kakek-gurumu ini bergelar 'Hiat-to-Loco'," kata
paderi tua. "Aneh juga, entah mengapa engkau sisetan cilik ini sangat
menyenangkan aku. Bolehlah kau ikut pada kakek-gurumu ini, tanggung kau akan
mendapat rejeki tiada taranya, setiap wanita cantik dan gadis ayu didunia ini,
siapa yang kau penujui, tentu pula akan kau peroleh dengan mudah."
"Kiranya dia adalah gurunya Po-siang," demikian pikir Tik Hun. Tapi ia lantas
tanya juga: "Mengapa......mengapa orang memaki kita sebagai ........sebagai
'Hiat-to-ok-ceng'" Apakah Su......Suco adalah Ciangkau (pejabat ketua) dari
golongan kita ini?" "Hehe, Po-siang si bedebah ini benar2 terlalu, masakah tentang asal-usul
golongannya sendiri juga tidak dikatakan kepada murid kesayangannya," demikian
Hiat-to Loco atau si Eyang golok berdarah, mengomel dengan mengekeh tawa. "Tapi
biar kuterangkan padamu. Golongan kita ini adalah suatu cabang dari Bit-cong di
Tibet, namanya disebut 'Hiat-to-bun'. Aku adalah pejabat ketua angkatan keempat
daripada keluarga golok berdarah kita ini. Maka engkau harus belajar dengan
baik2 dan giat, kemudian bukan mustahil jabatan ketua angkatan keenam akan dapat
jatuh atas dirimu. Eh, tulang kakimu telah patah terinjak kuda, ya" Jangan
kuatir, marilah biar kuberi obat."
Segera ia membuka balutan kaki Tik Hun yang patah itu, ia sambung tulang patah
tepat pada tempatnya satu sama lain, lalu mengeluarkan sebuah botol porselen dan
menuang sedikit obat bubuk dan dibubuhkan ditempat luka itu. Katanya: "Ini
adalah obat mujarab menyambung tulang dari golongan kita, tanggung ces-pleng,
tiada sebulan, tentu kakimu akan pulih seperti sediakala."
Setelah membalut kembali luka Tik Hun itu, sipaderi berpaling kepada Cui Sing,
lalu katanya pula dengan tertawa: "Setan kecil, rupa anak dara ini memang
lumayan dan potongan badannya boleh juga, bukan" Ia mengaku sebagai 'Leng-kiam-
siang-hiap' apa segala, bapaknya bernama Cui Tay, katanya adalah tokoh terkemuka
dikalangan Bu-lim didaerah Tionggoan sini, biasanya suka mengagulkan diri
sebagai kaum Beng-bun-cing-pay (keluarga baik2 dan golongan ternama), siapa duga
anak dara ini telah kena diculik oleh Hiat-to Loco. Hehehe, kita harus membikin
malu habis2an kepada bapaknya itu, kita beleceti baju anak dara ini dan ikat dia
diatas kuda, lalu kita arak dia sepanjang jalan dikota Pakkhia (Peking), biar
setiap orang ikut menyaksikan dengan jelas beginilah macamnya anak perawan Cui-
tayhiap yang mereka puja itu."
Keruan hati Cui Sing ber-debar2 mendengar ucapan paderi tua itu, saking takutnya
hampir2 ia kelengar lagi. Pikirnya diam2: "Paderi muda itu sudah jahat, tapi
paderi tua bangka ini terlebih jahat dan keji. Aku harus lekas mencari jalan
untuk membunuh diri demi badanku yang suci bersih ini serta nama baik ayah."
"Aha, baru dibicarakan, tahu2 orang yang hendak menolongnya sudah tiba!" tiba2
Hiat-to Loco berseru sambil tertawa.
Tik Hun menjadi girang malah, cepat ia tanya: "Dimana?"
"Sekarang masih jauh, paling sedikit ada lima li dari sini," sahut Hiat-to Loco.
"Hehe, banyak juga jumlahnya, ehm, seluruhnya ada 17 penunggang kuda."
Waktu Tik Hun mendengarkan dengan cermat, benar juga sayup2 dijalan pegunungan
disebelah tenggara sana ada suara derapan kuda, cuma jaraknya masih sangat jauh,
maka suara derapan itu terkadang terdengar dan terkadang lenyap, untuk membade
berapa jumlah orangnya sudah tentu sangat sulit, tapi sedikit mendengarkan saja
Hiat-to Loco sudah lantas tahu dengan pasti jumlahnya ada 17 orang, sungguh daya
pendengarannya yang tajam itu sangat mengejutkan orang.
Kemudian Hiat-to Loco berkata pula: "Tulang kakimu baru saja dibubuhi obat,
dalam waktu tiga jam engkau tidak boleh sembarangan bergerak, kalau tidak, untuk
selamanya kau akan menjadi pincang. Didaerah sini aku tidak pernah mendengar ada
jago2 yang berkepandaian tinggi, meskipun mereka berjumlah 17 orang, biarlah
nanti kubunuh semua saja."
Sesungguhnya Tik Hun tidak ingin Hwesio jahat itu terlalu banyak mencelakai
jago2 silat yang baik dikalangan Bu-lim, maka cepat ia berkata: "Kita sembunyi
disini saja tanpa bersuara, mereka tentu takkan mampu menemukan kita. Jumlah
musuh terlalu banyak, sebaliknya kita cuma berdua, maka sebaiknya Su.....Suco
berlaku hati2 saja."
Hiat-to Loco menjadi senang, katanya: "Ehm, setan cilik berhati luhur, dapat
memperhatikan keselamatan kakek-gurumu. Hehe, Suco sangat suka padamu."
Habis berkata, sekali ia mengagap kebagian pinggang, tahu2 sebatang Bian-to
(golok baja yang tipis dan lemas) terpegang ditangannya, batang golok itu tampak
bergemetar terus mirip ular hidup. Dibawah sinar bulan mata golok itu kelihatan
berwarna merah padam, lapat2 bersemu warna darah dan sangat menyeramkan.
Tanpa merasa Tik Hun bergidik, tanyanya dengan gemetar: "Apakah........apakah
inilah yang disebut Hiat-to (golok berdarah)?"
"Ya," sahut Hiat-to Loco. "Golok pusaka ini setiap malam bulan purnama mesti
diberi sesajen kepala manusia, kalau tidak, tajamnya akan berkurang dan tidak
menguntungkan sipemiliknya. Lihatlah malam ini bulan lagi purnama, kebetulan ada
17 orang menghantarkan kepala mereka sendiri untuk sesajen golokku. Wahai,
golok-pusaka, malam ini engkau pasti akan kenyang makan darah manusia, lebih
kenyang daripada apa yang pernah kau rasakan."
Dilain pihak, diam2 Cui Sing sedang bergirang demi mendengar suara derapan kuda
yang ramai itu semakin mendekat, tapi sesudah mendengar ucapan Hiat-to Loco yang
sangat sombong itu se-akan2 setiap orang yang datang itu sudah pasti akan
terbunuh olehnya. Hal ini meski membuatnya ragu2, tapi diam2 iapun berpikir:
"Apakah ayahku sendiri ikut datang" Dan apakah Piauko juga datang kemari?"
Selang tak lama pula, dibawah sinar bulan yang terang itu, tertampaklah dari
jalan lereng bukit sana sebarisan penunggang kuda sedang mendatangi dengan
cepat. Waktu Tik Hun coba menghitungnya, benar juga, tidak lebih dan tak kurang,
jumlahnya memang tepat adalah 17 orang.
"Engkau tentu adalah murid baru si Po-siang, bukan" Siapakah namamu?" tanya
Hiat-to Loco. "Tik Hun!" "Tik Hun" Ehm, bagus, bagus! Jika engkau menurut pada Suco, tentu setiap wanita
ayu dan gadis cantik didunia ini dapat kau peroleh dengan mudah!"
Susul menyusul ke-17 penunggang kuda itu tertampak mengeprak kuda dengan cepat,
setiba didekat tebing situ, penunggang2 kuda itu lantas membiluk kejalan dibawah
tebing itu, ternyata tiada terpikir oleh mereka untuk menyelidiki keadaan diatas
tebing. "Aku berada disini, aku berada disini!" segera Cui Sing berteriak2.
Mendengar itu, seketika ke-17 orang itu memberhentikan kuda mereka dan memutar
kembali. "Piaumoay! Dimanakah engkau, Piaumoay?" segera seorang laki2 balas berseru.
Itulah suaranya Ong Siau-hong.
Dan selagi Cui Sing hendak berteriak pula, mendadak Hiat-to Loco menjulur
jarinya dan menyelentik sekali, sebutir batu kecil terus menyambar kearah
sigadis dan tepat mengenai pula Ah-hiat hingga Cui Sing tidak dapat bersuara
lagi. Sementara itu ke-17 orang itu sudah melompat turun semua dari binatang
tunggangan mereka dan sedang berunding dengan suara pelahan2.
Mendadak Hiat-to Loco pegang bahu Tik Hun terus mengangkatnya tinggi2 keatas
sambil berseru: "Inilah Hiat-to Loco. Ciangbunjin angkatan keempat dari Hiat-to-
bun Bit Cong di Tibet bersama murid angkatan keenam Tik Hun berada disini!" ~
Menyusul ia berjongkok dan mencengkeram pula leher baju Cui Sing serta
diangkatnya keatas juga sambil berteriak: "Lihatlah ini, anak perawannya Cui Tay
kini sudah menjadi gundik ke-18 daripada cucu muridku Tik Hun. Siapakah diantara
kalian ada yang kepingin minum arak bahagianya, silakan lekas maju kemari!
Ahahahahaha!" Ia sengaja hendak pamerkan betapa tinggi Lwekangnya, maka suara ketawanya itu
dibikin panjang hingga antero lembah pegunungan itu se-akan2 terguncang oleh
suaranya yang berkumandang jauh itu.
Keruan ke-17 orang itu saling pandang dengan terperanjat sekali.
Namun demikian, bagi Ong Siau-hong, oleh karena sang Piaumoay berada dibawah
cengkeraman paderi jahat dan tampaknya sedikitpun tidak mampu melawan, malahan
mendengar pula teriakan paderi tua itu tadi yang mengatakan sang Piaumoay sudah
menjadi gundik ke-18 dari cucu muridnya yang bernama Tik Hun, ia menjadi tambah
kuatir jangan2 sang Piaumoay telah dinodai, saking gusar dan kuatirnya, sekali
menggereng, terus saja ia mendahului menyerbu keatas tebing dengan pedang
terhunus. Segera pula ke-16 orang yang lain ikut menerjang keatas sambil ber-teriak2:
"Bunuh dulu Hiat-to-ok-ceng itu!" ~ "Basmilah penyakit orang Kangouw ini!" ~
"Ya, paderi cabul seperti itu jangan sekali2 diberi hak hidup!"
Menghadapi keadaan demikian, Tik Hun menjadi serbasalah. Orang2 itu telah sangka
dirinya sebagai Hwesio jahat dari Hiat-to-bun, biar bagaimanapun rasanya sulit
untuk membela diri dan memberi penjelasan. Paling baik dalam pertarungan nanti
mereka dapat membunuh Hiat-to Loco dan nona Cui Sing dapat diselamatkan. Tetapi
kalau Hiat-to Loco terbinasa, tentu dirinya juga susah lolos dibawah senjata
orang2 itu. Begitulah Tik Hun menjadi bingung dan serba sulit, sebentar berharap
kaum pendekar Tionggoan itu bisa menang, lain saat mengharapkan Hiat-to Loco
yang menang pula. Sebaliknya Hiat-to Loco bersikap sangat tenang, jumlah musuh yang sangat banyak
itu dianggapnya urusan sepele saja. Kedua tangannya masih terus menjinjing Tik
Hun dan Cui Sing sambil mulutnya menggigit Hiat-to hingga semakin menambah
coraknya yang seram dan menakutkan.
Setelah para pendekar Tionggoan itu kira2 tinggal berpuluh meter hampir
mendekat, pelahan2 Hiat-to Loco meletakkan Tik Hun ketanah, ia taruh dengan
hati2 sekali supaya tidak mengganggu tulang kaki "cucu-murid" yang patah itu.
Dan sesudah rombongan lawan tingggal belasan meter jauhnya, barulah ia letakan
pula Cui Sing disampingnya Tik Hun. Goloknya masih tetap tergigit dimulut, kedua
tangannya lantas bertolak pinggang, lengan bajunya ber-kibar2 tertiup angin
malam yang kencang. "Piaumoay! Baik2kah engkau?" segera Ong Siau-hong berseru dari jauh.
Sudah tentu Cui Sing juga bermaksud menyahut, tapi apa daya, ia tak dapat
bersuara. Cuma kedatangan sang Piauko yang semakin dekat itu dapat diikutinya
dengan jelas. Ia lihat air muka sang Piauko yang tampan itu mengandung rasa
penuh kuatir dan sedang berlari mendatangi. Sungguh girang Cui Sing tak
terkatakan, alangkah terima kasih dan cintanya kepada sang Piauko itu, kalau
dapat ia ingin segera menubruk kedalam pelukan pemuda itu untuk menangis serta
mengadukan penderitaan dan penghinaan apa yang telah dialaminya selama beberapa
jam ini. Sementara itu Ong Siau-hong lagi celingukan kian kemari, perhatiannya melulu
dicurahkan untuk mencari Piaumoay seorang, karena itu langkahnya menjadi agak
lambat, maka diantara para pendekar itu sudah ada 7-8 orang melampauinya
kedepan. Dibawah sinar bulan purnama, sikap Hiat-to Loco yang gagah berwibawa dengan
berdiri sambil menggigit golok itu membuat para pendekar serentak berhenti
ketika lima-enam meter berada didepan paderi tua itu.
Setelah kedua pihak saling pandang sejenak, mendadak terdengar suara bentakan,
dua laki2 berbareng terus menerjang keatas. Yang satu bersenjatakan Kim-pian
(ruyung emas) dan yang lain bersenjatakan Siang-to (sepasang golok). Mereka
adalah dua saudara seperguruan dari keluarga Hek di Soasay Tay-tong-hu yang
terkenal. Walaupun sesama perguruan, tapi senjata mereka berlainan, yang memakai
Kim-pian bertenaga sangat besar, sebaliknya yang bersenjata Siangto sangat
lincah dan gesit. Kira2 beberapa meter mereka menyerbu maju, karena langkah pemakai Siang-to itu
lebih gesit dan cepat, segera ia mengisar kebelakang Hiat-to Loco, dengan
demikian mereka lantas menggencet paderi itu dari muka dan belakang sambil mem-
bentak2. Tapi sedikit Hiat-to Loco mengegos, bacokan Siang-to lawan sudah terhindar.
Setelah berkelit pula beberapa kali dari serangan lawan sambil goloknya tetap
tergigit dimulut, suatu ketika, se-konyong2 dengan tangan kiri ia memegang garan
goloknya yang tipis dan lemas itu, sekali ia mengayun, kontan kepala lawan yang
memakai Kim-pian itu terpapas separoh.
Habis membunuh seorang, segera paderi tua itu menggigit goloknya dengan mulut.
Keruan lawan yang memakai Siang-to itu terperanjat dan berduka pula, ia menjadi
nekat juga, ia putar sepasang goloknya sekencang kitiran dan merangsang maju.
Tapi Hiat-to Loco dengan seenaknya dapat menyusur kian kemari dibawah sinar
golok lawan itu. Se-konyong2 ia memegang goloknya lagi, sekali ini dengan tangan
kanan, dan sekali tabas, tahu2 lawan telah terbacok mati.
Serentak para pendekar menjerit takut dan mundur kebelakang. Tertampak paderi
tua itu menggigit golok yang berlumuran darah, mulutnya berlepotan darah pula,
sikapnya beringas menyeramkan.
Walaupun jeri, namun para pendekar itu sudah bertekad sehidup-semati, maka
betapa pun mereka pantang lari. Dengan mem-bentak2, kembali ada empat orang
menerjang maju lagi terbagi dari empat jurusan.
Mendadak Hiat-to Loco lari kearah barat. Dengan sendirinya keempat lawannya
serentak mengejar, begitu pula pendekar2 yang lainpun ikut mengudak sambil mem-
bentak2. Hanya dalam beberapa meter jauhnya, tertampaklah cepat dan lambat keempat
pengejar itu, yang dua dapat mendahului didepan dan dua orang lainnya
ketinggalan dibelakang. Rupanya itulah yang diinginkan Hiat-to Loco, mendadak ia berhenti lari kedepan,
sebaliknya terus menyerbu kembali. Dimana sinar merah berkelebat, tahu2 kedua
lawan didepan itu sudah terbinasa dibawah goloknya. Dan sedikit tertegun kedua
orang yang menyusul dari belakang itu, tahu2 leher mereka juga sudah berkenalan
dengan golok sipaderi tua, tanpa ampun lagi kepala mereka berpisah dengan
tuannya. Dengan merebah ditengah semak2 rumput, Tik Hun dapat menyaksikan hanya dalam
sekejap saja Hiat-to Loco sudah berhasil membinasakan enam lawannya, betapa
hebat ilmu silatnya dan betapa ganas caranya, sungguh susah untuk dibayangkan.
Sekilas terpikir olehnya: "Jika cara demikian dia membunuh musuh, sisa ke-11
orang lagi mungkin hanya sekejap saja sudah akan bersih terbinasa olehnya."
Tiba2 terdengar suara teriakan seorang: "Piaumoay, Piaumoay! Dimanakah engkau?"
~ Itulah suaranya Kim-tong-kiam Ong Siau-hong, sipedang jejaka emas, satu
diantara Leng-kiam-siang-hiap.
Cui Sing sendiri berjuluk Gin-koh-kiam atau sipedang dara perak. Ia sedang
menggeletak disamping Tik Hun, karena Ah-hiat, yaitu Hiat-to pembisu, telah
ditutuk oleh Hiat-to Loco, maka ia takdapat bersuara, hanya didalam hati saja ia
ber-teriak2: "Piauko, aku berada disini!"
Dilain pihak Ong Siau-hong masih terus mencari sang Piaumoay dengan menyingkap
semak2 rumput yang lebat itu. Tiba2 angin meniup hingga ujung baju Cui Sing
tersiur keatas, hal mana segera dapat dilihat oleh Siau-hong, dengan girang
pemuda itu berseru; "Inilah dia, disini!" ~ Segera iapun menubruk maju untuk
merangkul bangun Cui Sing.
Saking girangnya sampai Cui Sing meneteskan air mata hampir2 ia jatuh pingsan
didalam pelukan sang kekasih.
"Piaumoay, Piaumoay! Aku telah ketemukan engkau!" demikian seru Siau-hong
kegirangan sambil memeluk se-kencang2nya.
Dalam keadaan begitu, segala tata-tertib dan sopan-santun antara kedua orang
yang berlainan jenis itu sudah dilupakan oleh pemuda itu.
"Piaumoay, bagaimana kau, tidak apa2 bukan?" demikian Siau-hong menanya pula.
Dan sudah tentu Cui Sing tak dapat menjawab. Siau-hong menjadi curiga, cepat ia
letakkan sigadis ketanah. Tapi baru kaki Cui Sing berdiri, tubuhnya terus
mendoyong roboh kebelakang. Dan baru sekarang Siau-hong tahu apa yang terjadi
atas diri sang Piaumoay, iapun seorang yang mahir Tiam-hiat, segera ia memijit
beberapa kali dibagian pinggang dan bahu untuk membuka Hiat-to yang tertutuk
itu. "Piauko-piauko!" segera Cui Sing berteriak terharu sesudah merdeka kembali.
Dalam pada itu Tik Hun menginsafi keadaan berbahaya bagi dirinya ketika Ong
Siau-hong mendekat kesitu. Dikala pemuda itu asyik membuka Hiat-to sang
Piaumoay, diam2 Tik Hun Tik merangkak pergi.
Namun Cui Sing adalah satu gadis yang sangat cermat, begitu mendengar ada suara


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semak rumput berkeresakan, segera teringat olehnya hinaan yang diterimanya dari
Tik Hun, terus saja ia menuding kearah Tik Hun dan berseru kepada sang Piauko:
"Itu dia, lekas bunuh paderi jahat itu!"
Mendengar itu, tanpa pikir lagi Siau Hong terus lolos pedangnya pula, secepat
kilat ia menusuk kearah Tik Hun.
Untunglah Tik Hun sebelumnya sudah tahu gelagat bakal celaka. Demi mendengar
teriakan Cui Sing itu, maka sebelum pedang orang tiba, dengan cepat ia terus
menggulingkan diri kedepan. Dan ternyata disisi situ adalah tanah tanjakan yang
miring, maka seperti tong gentong saja ia menggelindingkan diri kebawah.
Dalam pada itu Ong Siau-hong telah menyusulkan tusukan kedua kalinya dengan
cepat dan tampaknya sudah hampir mengenai Tik Hun, se-konyong2 terdengar "trang"
sekali, tangannya terasa kesemutan, tusukannya telah tertangkis oleh
berkelebatnya sinar merah kemilau.
Tapi ilmu silat Siau-hong memang lebih tinggi daripada Cui Sing, kalau cuma
sekali gebrak saja masih belum dapat menundukannya. Dalam segala kerepotannya
itu, tanpa pikir lagi ia terus putar pedangnya sedemikian kencangnya hingga
berwujut sebuah bola sinar putih untuk melindungi tubuh sendiri. Maka
terdengarlah serentetan suara gemerincing beradunya pedang dan golok, hanya
sekejap saja sudah lebih 20-30 kali kedua senjata saling berbenturan.
Kiranya ilmu pedang Siau-hong itu sudah hampir memperoleh seluruh kepandaian
sang guru, yaitu Cui Tay, ayahnya Cui Sing. Ilmu pedang yang dimainkan itu
disebut "Khong-jiok-khay-peng" (burung merak pentang sayap), gaya ilmu pedang
itu seluruhnya ada sembilan rupa permainan pedang itu sudah dilatihnya dengan
sangat masak, dalam keadaan jiwanya terancam bahaya oleh serangan golok musuh
yang cepat luar biasa itu, ia tidak dapat memikirkan apakah mesti menangkisnya
dengan satu jurus demi satu jurus, tapi ia terus memainkan "Khong-jiok-khay-
peng" dengan sendirinya. Dan lantaran itu, meski Hiat-to Loco ber-ulang2
melancarkan serangan sampai 36 kali dan semakin lama semakin cepat namun toh
seluruhnya kena ditangkis oleh Siau-hong.
Semua orang sampai terkesima menyaksikan pertarungan sengit dan cepat itu.
Sementara itu diantara 17 orang pengejar itu sudah ada tiga orang pula yang
terbinasa dibawah golok berdarah sipaderi tua, sisanya termasuk Cui Sing tinggal
sembilan orang saja. Diam2 mereka menahan napas mengikuti pertempuran yang
berlangsung itu, pikir mereka: "Betapapun Leng-kiam-siang-hiap memang tidak
bernama kosong, hanya dia sendiri yang mampu menangkis serangan kilat dari golok
paderi jahat itu." Padahal bila Hiat-to Loco mengendorkan serangannya, menyusul saling gebrak lagi
secara biasa, dalam belasan jurus saja tentu jiwa Ong Siau-hong akan melayang
dibawah golok berdarah Hiat-to Loco itu. Untunglah seketika itu sipaderi tua
tidak memikirkan kemungkinan itu, ia masih terus merangsak dan menyerang secepat
kilat dan secara ber-tubi2.
Sebenarnya ada maksud para pendekar lain hendak ikut menerjang maju untuk
membantu mampuskan paderi tua yang jahat itu, tapi karena pertarungan kedua
orang itu dilakukan dengan terlalu cepat hingga tiada tempat luang yang dapat
mereka masuki. Sudah tentu diantara semua orang itu yang paling memperhatikan keselamatan Siau-
hong adalah Cui Sing. Meski kaki-tangannya masih terasa lemas dan linu, tapi
iapun tidak berani menunggu terlalu lama, segera ia jemput sebatang pedang dari
tangan sesatu mayat yang menggeletak ditanah itu, terus saja ia ikut menyerbu
maju untuk membantu sang Piauko.
Sigadis sudah biasa bekerja sama dengan sang Piauko dalam menghadapi musuh, cara
bertempurnya menjadi tidak canggung2 segera Ong Siau-hong menahan semua serangan
Hiat-to Loco dan Cui Sing yang melakukan serangan dengan mati2an.
Hiat-to Loco mulai gopoh karena sudah puluhan jurus masih takdapat membereskan
Ong Siau-hong. Mendadak ia menggerang sekali, sambil tangan kanan tetap
memainkan goloknya, tangan kiri terus dipakai untuk merebut pedang pemuda itu.
Siau-hong terkejut, segera ia putar pedangnya lebih kencang, harapannya dapatlah
memapas beberapa jari tangan musuh yang berani coba2 merebut senjatanya itu. Tak
terduga tangan paderi tua ini seperti tidak takut kepada tajamnya pedang, tangan
itu menjentik atau menyampok dengan cepat hingga ada lebih dari separoh dari
tipu serangan Siau-hong kena dipatahkan. Dan sebab itu keadaan Siau-hong dan Cui
Sing menjadi berbahaya. Gelagat tidak menguntungkan itu segera dapat dilihat oleh salah seorang pendekar
tua diantaranya, ia insaf bila sebentar Leng-kiam-siang-hiap sampai terbinasa
dibawah golok musuh, maka sisa kawan2nya juga tiada seorangpun yang dapat lolos
dengan hidup. Maka ia lantas berseru: "Hayo, kawan2, marilah kita menerjang maju semua!
Biarlah kita melabrak paderi cabul itu dengan mati2an."
Dan pada saat itulah, tiba2 dari jurusan barat-laut sana terdengar suara
teriakan seseorang yang ditarik panjang: "Lok-hoa-liu-cui!"
Menyusul arah barat-daya juga ada suara sahutan seorang lain: "Lok-hoaaaaa-liu-
cui!" ~ Bahkan belum lenyap suara itu, kembali dari arah barat ada suara seorang
lagi yang bergema diangkasa: "Lok-hoa-liuuuuu-cui?"
Begitulah suara ketiga orang itu berkumandang datang dari tiga jurusan pula,
suara mereka ada yang keras melantang, ada yang nyaring melengking, tapi
semuanya bertenaga dalam yang sangat kuat.
Hiat-to Loco terkesiap demi mendengar suara teriakan ketiga orang itu, pikirnya:
"Darimanakah munculnya tiga tokoh kosen seperti itu" Dari suaranya saja mungkin
ilmu silat mereka masing2 tidak berada dibawahku. Pabila mereka bertiga
mengerubut maju sekaligus, pasti aku akan susah melawan mereka."
Begitulah sambil memikirkan cara menghadapi musuh, gerak serangannya sedikitpun
tidak menjadi kendor. Se-konyong2 dari arah selatan lagi2 ada suara seruan seorang "Lok-hoa-liu-
cuiiiiii!" Kalau tadi suara ketiga orang itu menarik panjang seruan mereka mulai dari Lok-
hoa-liu, maka orang keempat ini menarik panjang huruf keempat "cui" hingga
nyaring dan berkumandang sampai jauh.
Dalam pada itu Cui Sing menjadi girang, segera iapun berteriak2: "Ayah, ayah!
Lekas tolong, ayah!"
Segera salah seorang pendekar itupun ada yang berseru girang: "Itulah dia
Kanglam-su-lo telah datang semua, Lok-hoa-liu-cui! Haha.............." ~ Tapi
baru dia mulai tertawa, se-konyong2 darah muncrat dari dadanya, golok Hiat-to
Loco telah mampir didadanya hingga seketika ia terbinasa.
Mendengar bahwa keempat orang yang datang lagi itu ternyata adalah ayahnya Cui
Sing, tiba2 Hiat-to Loco ingat sesuatu: "Aku pernah mendengar cerita muridku si
Sian-yong, katanya didalam Bulim didaerah Tionggoan, tokoh yang paling lihay
selain Ting Tian masih terdapat pula apa yang disebut Pak-su-koay dan Lam-su-lo
(empat tokoh aneh diutara dan empat kakek sakti diselatan). Pak-su-koay itu
katanya berjuluk 'Hong-hou-in-liong'(angin, harimau, mega, naga), dan Lam-su-lo
katanya berjuluk 'Lok-hoa-liu-cui (gugur bunga air mengalir alias kocar-kacir).
Waktu mendengar cerita itu, aku cuma mengejeknya dengan mendengus, kupikir kalau
mereka berjuluk 'Lok-hoa-liu-cui', masakah mereka memiliki kepandaian yang
berarti" Tapi kini dari suara seruan mereka yang sahut-menyahut ini, nyata
mereka memang bukan tokoh sembarangan."
Selagi paderi tua itu memikir, tiba2 terdengar pula suara keempat orang itu
serentak bergema diangkasa, teriakan "Lok-hoa-liu-cui" itu berkumandang datang
dari empat jurusan yang begitu keras hingga lembah pegunungan itu se-akan2
terguncang. Dari suara itu Hiat-to Loco tahu jarak keempat orang masih cukup jauh, paling
tidak masih 5-6 li jauhnya. Tapi bila dia mesti membunuh habis sisa kesembilan
lawan yang masih terus mengerubut dengan nekat itu, dan sementara itu keempat
tokoh mengepung tiba, tentu susahlah untuk meloloskan diri.
Tiba2 ia bersuit, lalu berteriak keras2: "Lok-hoa-liu-cui, biar kulabrak kalian
hingga kocar-kacir!"
Berbareng itu jarinya terus menyelentik, "creng", pedang ditangan Cui Sing
sampai mencelat keudara oleh selentikan itu.
"Tik Hun, siapkan kuda, kita tinggal pergi saja!" seru Hiat-to Loco tiba2.
Tik Hun tidak menjawab karena merasa serba sulit, jikalau lari bersama paderi
tua itu, mungkin dirinya akan semakin mendalam kejeblos kedalam lumpur hingga
tidak dapat menarik diri lagi. Tapi kalau tinggal disitu, bukan mustahil segera
akan dicincang menjadi baso oleh orang banyak, tidak mungkin dia diberi
kesempatan untuk bicara dan membela diri.
Dalam pada itu terdengar Hiat-to Loco telah mendesak pula: "Cucu murid, lekas
tuntun kuda kesini!"
Dan segera Tik Hun dapat mengambil keputusan: "Paling penting sekarang yalah
menyelamatkan jiwa dahulu, apakah orang lain akan salah paham atau tidak,
biarlah itu urusan belakang?"
Maka waktu untuk ketiga kalinya Hiat-to Loco mendesak pula, segera ia menyahut
sekali, lalu menjemput sebatang tumbak sekedar dipakai tongkat, dengan
berincang-incuk ia terus ketempat kuda.
"Celaka, paderi jahat itu akan lari, biar aku mencegat dia!" seru seorang gendut
yang bersenjata toya. Segera iapun tarik toyanya serta memburu kearah Tik Hun.
"Hehe, kau hendak mencegat dia, biar aku mencegat kau!" demikian Hiat-to Loco
menjengek, berbareng goloknya berkelebat, sebelum sigendut sempat berkelit,
tahu2 orangnya berikut toyanya sudah tertabas kutung menjadi empat potong.
Melihat kawannya mati secara mengenaskan, semua orang sama menjerit ngeri.
Memang tujuan Hiat-to Loco yalah untuk menggertak mundur pengeroyok itu, maka
pada saat lawan2 itu tertegun sejenak, tanpa ayal lagi ia mengulur tangan hingga
pinggang Cui Sing kena dirangkulnya, segera ia berlari kearah Tik Hun yang
sementara itu sudah menyiapkan kuda tunggangannya.
"Lepaskan aku, lepaskan aku, Hwesio jahanam!" demikian Cui Sing ber-teriak2,
berbareng kepalannya terus menghantam serabutan kepunggung Hiat-to Loco.
Biarpun ilmu pedang sigadis tidak lemah, tapi kepalan yang dihujankan kepunggung
musuh itu ternyata tiada bertenaga, apa lagi kulit-daging Hiat-to Loco cukup
kasap dan tebal, beberapa kali gebukan itu hampir2 tidak terasa olehnya, bahkan
paderi tua itu melangkah dengan sangat cepat, hanya beberapa kali lompatan saja
ia sudah berada disamping Tik Hun.
Saat itu Ong Siau-hong masih terus putar pedangnya dengan mati2an, ia masih
terus melontarkan jurus2 "Khong-jiok-khay-peng" yang mirip burung merak beraksi
itu. Ketika sang Piaumoay kembali diculik musuh lagi, dengan kalap ia lantas
memburu sambil tetap memutar pedangnya tanpa berhenti, cuma permainannya sudah
kacau tak keruan. Sesudah mendekat, lebih dulu Hiat-to Loco menaikan Tik Hun keatas kuda kuning,
lalu menaruh Cui Sing didepan pemuda itu sambil memberi pesan dengan pelahan:
"Orang2 yang berteriak seperti setan meringkik itu adalah musuh2 tangguh yang
tidak sembarangan. Anak dara ini adalah barang sandera (jaminan), yangan sampai
dia melarikan diri."
Sembari berkata ia terus mencemplak keatas kuda putih dan dikeprak kearah timur
dengan diikut oleh Tik Hun dengan kuda kuning.
Dalam pada itu suara teriakan "Lok-hoa-liu-cui" itu semakin mendekat, terkadang
suara itu tuma seorang saja, tempo2 dua orang, tapi sering juga tiga-empat orang
berseru berbareng. "Piauko, Piauko! Ayah, ayah! Lekas tolong aku!" demikian Cui Sing juga ber-
teriak2 ketakutan. Tapi jelas dilihatnya sang Piauko makin jauh ketinggalan
dibelakang kuda. Kedua ekor kuda kuning dan putih milik Leng-kiam-siang-hiap itu memangnya adalah
kuda2 pilihan yang susah didapat. Biasanya mereka sangat bangga atas binatang
tunggangan mereka itu. Siapa duga sekarang senjata makan tuan, kuda2 itu
berbalik diperalat oleh musuh untuk melarikan Cui Sing. Sudah tentu binatang2
itu tidak kenal kawan atau lawan, mereka hanya menurut perintah sipenunggang
saja, semakin dikeprak, semakin kencang larinya, dan Ong Siau-hong juga
ketinggalan semakin jauh.
Walaupun takdapat menyusul musuh, namun Siau-hong tidak putus asa, ia masih
memburu terus sambil ber-teriak2 dari jauh: "Piaumoay! Piaumoay!"
Begitulah yang satu berteriak "Piauko" dan yang lain berseru "Piaumoay", suara
mereka sedih memilukan, bagi pendengaran Tik Hun, rasanya menjadi tidak tega,
beberapa kali ia hendak mendorong Cui Sing kebawah kuda biar berkumpul kembali
dengan kekasihnya. Tapi selalu teringat olehnya pesan Hiat-to Loco yang
mengatakan musuh yang datang itu sangat tangguh, anak dara ini adalah barang
sandera dan harus dijaganya jangan sampai lari. Maka ia menjadi ragu2, bila Cui
Sing dilepaskan tentu Hiat-to Loco akan gusar, paderi yang jahat luar biasa itu,
bukan mustahil akan membunuh dirinya bagai menyembelih seekor ayam saja. Apalagi
bila sampai disusul oleh ayah Cui Sing berempat jago tangguh itu, besar
kemungkinan dirinya juga akan terbunuh secara sia2 tanpa berdosa.
Seketika Tik Hun menjadi bingung apa yang harus dilakukannya, ia dengar suara
teriakan Cui Sing sudah mulai serak. Mendadak hati Tik Hun terharu: "Ai, betapa
cinta-kasih antara mereka itu, tapi dengan paksa telah dipisahkan orang. Aku
sendiri bukankah juga demikian dengan Jik-sumoay" Mestinya kami dapat hidup aman
tenteram berduaan, tapi ada pihak ketiga yang telah menghancurkan cita2 kami.
Namun ....namun, bilakah Jik-sumoay pernah memperhatikan diriku seperti nona Cui
ini terhadap Piaukonya itu?"
Berpikir sampai disini Tik Hun menjadi berduka, katanya didalam hati: "Bolehlah
kau kembali saja!" ~ dan sekali mendorong Cui Sing didorongnya kebawah kuda.
Tak terduga meski Hiat-to Loco berjalan didepan, namun setiap saat ia
memperhatikan gerak-gerik kuda dibelakangnya. Ketika suara teriakan Cui Sing
mendadak berhenti, menyusul terdengar suara kaget sigadis dan suara jatuhnya
ketanah, ia mengira Tik Hun yang patah kaki itu tidak kuat menahan terperosotnya
Cui Sing ketanah, maka cepat ia memutar balik kudanya.
Dilain pihak, begitu tubuh Cui Sing jatuh ketanah, cepat ia sudah melompat
bangun pula, segera iapun angkat langkah seribu berlari kearah Ong Siau-hong.
Jarak kedua muda-mudi tatkala itu kira2 ada seratusan meter, yang satu berlari
dari sini, yang lain memapak dari sana, yang satu berteriak: "Piauko!" dan yang
lain berseru; "Piaumoay!" ~ Jarak mereka semakin dekat, rasa girang mereka tak
terkatakan dan rasa kuatir merekapun susah dilukiskan.
"Hehe, biarlah mereka gembira dulu!" demikian jengek Hiat-to Loco. Ia sengaja
menahan kudanya, ia membiarkan kedua muda-mudi semakin mendekat satu-sama-lain,
waktu jarak mereka tinggal 20-30 meter jauhnya, mendadak ia kempit kudanya
kencang2 sambil bersuit, secepat angin ia membedal kuda putih itu kebelakang Cui
Sing. Keruan Tik Hun ikut kuatir bagi sigadis, dalam hati ia ber-teriak2: "Lekas lari,
cepat sedikit, lekas!"
Begitu pula beberapa pendekar yagn tidak terbunuh tadi ketika melihat Hiat-to
Loco menggeprak kudanya kembali sambil mulut menggigit golok berdarahnya,
merekapun ber-teriak2 kuatir: "Cepat lari, lekas!"
Cui Sing mendengar suara derapan kuda dari belakang semakin mendekat, tapi lari
mereka juga semakin cepat dan jarak kedua muda-mudi itupun semakin dekat. Saking
napsu dan gugupnya ingin lekas2 mencapai sang kekasih, sampai dadanya se-akan2
meledak dan dengkulnya terasa lemas, setiap saat pasti dia akan terbanting
roboh. Tapi sedapat mungkin ia masih bertahan sekuatnya
Lambat laun ia merasa hawa napas kuda putih seperti sudah menyembur sampai
dipunggungnya, terdengar Hiat-to Loco sedang berkata dengan tertawa iblis:
"Hehe, masakah kau dapat lolos?"
Dengan mati2an Cui Sing angkat langkahnya selebar mungkin sambil mengulur kedua
tangannya kedepan, namun sang Piauko masih dua-tiga meter jauhnya, sedangkan
tangan kiri Hiat-to Loco sudah terasa merangsang keatas kepalanya.
Sekali Cui Sing menjerit dan selagi hendak menangis, tiba2 terdengarlah suara
seruan seorang yang penuh welas-asih serta sangat dikenalnya: "Jangan takut,
Sing-ji, ayah datang untuk menolong kau!"
Mendengar suara itu tak-lain-tak-bukan adalah sang ayah ~ Cui Tay ~ yang telah
datang, dalam girangnya semangat Cui Sing tiba2 terbangkit, entah darimana
datangnya kekuatan, se-konyong2 kakinya melejit sekuatnya kedepan hingga lebih
satu meter jauhnya, meski saat itu lengan atas sigadis sudah terjamah oleh
tangan Hiat-to Loco, tapi achirnya gadis itu dapat terlepas juga.
Ketika Ong Siau-hong sekuatnya melompat maju juga, tangan kiri kedua muda-mudi
itu sudah dapat saling memegang. Cepat tangan kanan Siau-hong memutar pedangnya
pula, pikirnya: "Alhamdulillah, syukur Suhu dapat tiba tepat pada waktunya untuk
menolong, maka sekarang tidak perlu takut kepada iblis paderi jahat itu lagi."
Sebaliknya Hiat-to Loco ter-kekeh2 ejek melihat pemuda itu berani main kayu
padanya lagi, tiba2 goloknya menyabat kedepan.
Melihat berkelebatnya sinar merah, cepat Ong Siau-hong ayun pedangnya menangkis.
Diluar dugaan, tiba2 golok bersinar merah darah itu dapat melengkung kebawah
hingga mirip tali yang lemas ujung golok terus memotong kejari tangannya. Bila
Ong Siau-hong tidak lepaskan pedangnya, pasti tangannya yang akan terkutung.
Didalam seribu kerepotannya itu, perubahan gerakan pemuda itupun sangat cepat,
ia kerahkan tenaga pada tangannya, pedang terus ditimpukan kearah musuh.
Tapi sekali jari kiri Hiat-to Loco menjentik, kontan pedang itu terpental dan
menyambar kearah seorang kakek yang sedang berlari secepat terbang dari arah
barat sana. Menyusul golok ditangan kanan paderi itu terus mengulur kedepan pula
mengancam muka Ong Siau-hong.
Untuk mendoyongkan tubuhnya kebelakang guna menghindar serangan itu, terpaksa


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-hong harus melepaskan tangan yang memegang tangan Cui Sing itu. Dan
kesempatan itu tidak di-sia2kan Hiat-to Loco, sekali tangannya merangkul,
kembali Cui Sing tertawan olehnya terus ditaruh diatas pelana kudanya. Bahkan
paderi itu tidak memutar kudanya dengan segera, tapi malah keprak kuda
mencongklang kedepan, menerjang kearah rombongan jago2 silat Tionggoan tadi.
Melihat musuh menerjang dengan kudanya, pendekar2 Tiongoan yang menghadang
ditengah jalan itu terpaksa melompat minggir sambil ber-teriak2. Sedangkan Hiat-
to Loco lantas memutar kudanya, mengitar kembali kearah Tik Hun sambil mulutnya
mengeluarkan suara gerangan aneh.
Namun sebelum dia mendekat dengan Tik Hun, se-konyong2 sesosok bayangan kelabu
berkelebat, sinar pedang yang gemerdep menyilaukan mata karena tertimpa cahaya
sinar bulan, tahu2 menyambar kearah dadanya. Tanpa pikir lagi Hiat-to Loco ayun
goloknya menyampok, "trang", golok membentur pedang hingga cekalannya terasa kesemutan. "Hebat benar tenaga dalamnya!" diam2 paderi tua itu
membatin. Dan pada saat itulah kembali dari sebelah kanan sebatang pedang juga menusuk
kearahnya. Gaya serangan pedang ini datangnya sangat aneh, ujung pedang tampak
gemerdep hingga berwujut beberapa lingkaran2 besar dan kecil, hingga seketika
tidak jelas kemana tusukan pedang itu hendak diteruskan.
Kembali Hiat-to Loco terkejut: "Ah, kiranya tokoh ahli Thay-kek-kiam juga
datang!" Segera ia himpun tenaga ketangan kanan, iapun ayun goloknya hingga berupa
beberapa lingkaran, begitu lingkaran2 golok dan pedang beradu, terdengarlah
"trang-trang-trang" beberapa kali disertai muncratnya lelatu api.
"Ilmu golok bagus!" terdengar pihak lawan membentak. Berbareng orangnya terus
melompat kesamping. Waktu dipandang, kiranya adalah seorang Tojin (imam agama
Tao) yang berjubah kuning jingga.
"Dan ilmu pedangmu juga bagus!" demikian Hiat-to Loco balas memuji.
Tapi orang yang disisi kiri tadi lantas membentak juga: "Lepaskan puteriku!" ~
Segera pedangnya menusuk dan tangannya memukul sekaligus.
Disebebelah sana, dari jauh Tik Hun dapat menyaksikan Cui Sing kembali telah
ditawan Hiat-to Loco pula, tapi akibatnya kini telah dikerubut dua lawan
tangguh. Sikakek sebelah kiri itu berjenggot putih sebagai perak, wajahnya putih
bersih, ber-ulang2 terdengar dia berteriak: "Lepaskan puteriku!" ~ Terang ialah
ayahnya Cui Sing. ~ Cui Tay.
Tertampak setiap kali Hiat-to Loco menangkis pedang Cui Tay selalu paderi tua
itu tergeliat sedikit, teranglah tenaga dalam jago she Cui itu masih lebih kuat
daripada lawannya. Dalam pada itu dari lereng bukit sebelah barat sana tertampak mendatangi lagi
dua orang lain dengan secepat angin, terang merekapun jago yang lihay.
Pikir Tik Hun: "Bila kedua orang itupun tiba dan empat orang mengeroyok maju
semua, tentu Hiat-to Loco takkan sanggup melawan mereka, kalau tidak terbinasa
juga akan terluka parah. Maka lebih baik sekarang juga aku melarikan diri
dahulu!" ~ Tetapi segera terpikir lagi olehnya: "Kalau bukan paderi itu yang
menolong jiwaku, mungkin sejak tadi2 aku sudah dibunuh oleh Ong Siau-hong. Jika
sekarang aku lupa budi dan mementingkan diri sendiri, terang ini bukan perbuatan
seorang laki2 sejati."
Begitulah ia menjadi ragu2 apa mesti menyelamatkan diri sendiri atau tidak. Se-
konyong2 terdengar teriakan Hiat-to Loco: "Ini, kukembalikan puterimu." ~ tahu2
tubuh Cui Sing dilemparkan hingga melampaui atas kepala Cui Tay terus tertuju
kearah Tik Hun. Kejadian ini benar2 diluar dugaan siapapun juga, sudah tentu Cui Sing yang
tubuhnya me-layang2 diudara itu men-jerit2 ketakutan, bahkan orang lain juga
berteriak kaget semua. Tik Hun menjadi bingung juga ketika melihat tubuh sigadis itu melayang
kearahnya. Kalau tak ditangkap olehnya, tentu gadis itu akan terbanting, kalau
ditangkap, datangnya tubuh sigadis teramat kencang, boleh jadi ke-dua2nya akan
terguling semua ketanah. Namun Tik Hun tidak sempat banyak memikir lagi, tubuh
Cui Sing sudah melayang tiba, terpaksa ia pentang tangannya terus merangkul
tubuh gadis itu. Sebenarnya lemparan Hiat-to Loco itu cukup keras, untung Tik Hun berada diatas
kuda, tenaga timpahan itu sebagian besar dapat dipikul oleh kuda. Pula waktu
Hiat-to Loco melemparkan Cui Sing, berbareng ia sudah menutuk jalan darah gadis
itu hingga tidak dapat berkutik apa2, maka Tik Hun dapat menangkap tubuhnya
dengan bebas. "Hwesio jahat, lepaskan aku!" demikian Cui Sing hanya dapat ber-teriak2.
Di sebelah sana mendadak Hiat-to Loco membacok dua kali kearah Cui Tay, menyusul
dengan cepat luar biasa ia membacok juga dua kali kepada imam tua tadi,
serangan2nya itu lihay sekali hingga mau-tak-mau lawan2nya harus menghindar dan
berkelit. Berbareng Hiat-to Loco berseru pula: "Tik Hun, anak baik, lekas lari,
lekas lari dulu, tak perlu menunggu aku!"
Tik Hun masih bingung, tapi segera dilihatnya Ong Siau-hong dan beberapa
kawannya telah memburu kearahnya sambil ber-teriak2: "Bunuh dulu bangsat cabul
cilik itu!" ~ Dilain pihak Hiat-to Loco masih terus mendesak agar dia lekas
melarikan diri. Achirnya Tik Hun pikir memang harus menyelamatkan diri lebih
penting. Maka segera ia keprak kudanya menerjang kesana.
Tadinya Tik Hun dan Hiat-to Loco sebenarnya berlari kearah timur, tapi dalam
keadaan gugup sekarang ia berbalik lari kearah barat.
Dalam pada itu Hiat-to Loco memutar golok merahnya itu semakin cepat, seluruh
tubuhnya se-akan2 terbungkus oleh sinar merah, dengan ketawa2 ia masih berkata:
"Lebih baik aku akan mengawani puterimu yang cantik molek itu daripada menemani
tua bangka seperti kau ini!"
Habis berkata, ia pura2 membacok sekali, selagi lawan berkelit, terus saja ia
kempit kudanya hingga binatang itu mendadak melompat kedepan.
Karena kuatir atas diri puterinya yang telah dilarikan Tik Hun itu, Cui Tay
tidak ingin terlibat lebih lama dengan Hiat-to Loco, segera ia mengeluarkan
Ginkang "Ting-ping-toh-cui" (menumpang kapu2 meluncur diatas air) yang hebat,
segera ia mengejar kearah Tik Hun secepat orang meluncur diatas air.
Tapi kuda tunggangan Tik Hun justeru adalah kuda pilihan jenis Tay-wan (sejenis
kuda pacu Mongol) yang dibeli Cui Tay sendiri dengan harga 500 tahil perak,
betapa cepat larinya kecuali kuda putih tunggangan Hiat-to Loco itu, boleh
dikata jarang ada tandingannya. Maka sekarang meski diatas kuda kuning itu
dibebani dua orang, yaitu Tik Hun dan Cui Sing, tapi larinya masih sangat cepat
dan Cui Tay tetap takdapat menyusulnya.
"Berhenti, berhenti!" demikian Cui Tay ber-teriak2. "Bangsat gundul, jika kau
tidak berhenti, sebentar kucincang kau hingga menjadi bergedel!"
Sudah tentu tidak nanti Tik Hun mau berhenti, sebaliknya ia mengeprak kudanya
semakin kencang. "Ayah, ayah!" Cui Sing ber-teriak2 juga dengan ketakutan.
Sungguh hati Cui Tay seperti di-sayat2, sahutnya: "Jangan kuatir, nak!"
Dan hanya sekejap saja kejar mengejar itu sudah dua ~ tiga li jauhnya. Meski
Ginkang Cui Tay sangat hebat, tapi lama-kelamaan iapun mulai lemas, maklum,
usianya sudah lanjut napasnya jadi kempas-kempis dan megap2, jaraknya dengan
kuda kuning itupun semakin menjauh. Bahkan mendadak dari belakang terdengar ada
sambaran senjata tajam. Tanpa pikir ia putar pedangnya menangkis kebelakang,
"trang", bacokan Hiat-to Loco yang sudah dapat menyusulnya itu kena tertangkis,
segera tertampak angin berkesiur lewat diampingnya, paderi tua itu sudah keprak
kuda putihnya sambil ter-bahak2 dan menyusul kearah Tik Hun dengan cepat
sekali.............. *** ***** Hiat-to Loco dan Tik Hun masih terus melarikan kuda mereka dengan cepat hingga
musuh sudah ketinggalan sangat jauh dibelakang, setelah yakin musuh pasti takkan
mampu menyusul lagi, kuatir kalau kuda2 itu terlalu capek, mereka lantas
mengendorkan kendali dan membiarkan binatang2 itu berjalan pelahan2.
Sepanjang jalan tiada henti2nya Hiat-to Loco memuji kebaikan hati Tik Hun,
katanya pemuda itu mempunyai Liangsim (hati nurani bajik), biarpun tahu gelagat
sangat berbahaya toh tidak mau melarikan diri meninggalkan sang "Suco" (kakek
guru). Tik Hun hanya tersenyum getir saja oleh "pujian" setinggi langit itu. waktu ia
melirik Cui Sing, ia lihat paras muka sigadis mengunjuk rasa ketakutan tercampur
hina padanya, ia tahu gadis itu pasti sangat benci, bahkan geregetan padanya. Ia
pikir urusan toh sudah ketelanjur begini, untuk memberi penjelasan juga gadis
itu belum tentu mau percaya, ia pikir masa-bodohlah, bagaimana engkau hendak
memaki dan mencaci aku sebagai bangsat gundul atau paderi cabul dan apa lagi,
silakan makilah sesukamu.
"Hei anak dara," tiba2 Hiat-to Loco bersuara, "ilmu silat ayahmu boleh juga, ya"
Tapi, hehe, toh masih kalah setingkat daripada Cosuya-mu ini, biarpun dia peras
antero tenaganya juga tidak mampu menahan diriku."
Cui Sing tidak menjawab, tapi hanya melototnya sekali.
"Dan siimam tua yang bersenjata pedang itu, siapakah dia" Termasuk yang mana
diantara 'Lok-hoa-liu-cui' itu?"demikian Hiat-to Loco menanya pula.
Namun Cui Sing sudah ambil keputusan takkan menjawab, biar pun orang menanya
terus, tetap ia tidak gubris padanya.
Achirnya Hiat-to Loco menjadi jengkel, tiba2 ia tanya Tik Hun dengan tertawa:
"Eh, cucu muridku, tahukah engkau tempat manakah yang paling berharga bagi kaum
wanita"' Tik Hun terperanjat oleh pertanyaan itu. "Celaka!" pikirnya. "Apakah paderi
terkutuk ini akan menodai kesucian nona Cui" Cara bagaimana baiknya agar aku
dapat menolong gadis itu?"
Tapi terpaksa iapun menjawab: "Entahlah, aku tidak tahu!"
"Ah, masih hijau, kau," ujar Hiat-to Loco dengan tertawa. "Ini, dengarlah baik2
biar kau tambah pengalaman.Tempat yang paling berharga bagi kaum wanita adalah
terletak pada ........ paras mukanya! Nah, sekarang kau sudah tahu bukan"
Makanya bila dia masih tidak menjawab pertanyaanku, haha, asal golokku ini
kusayat begini dan kuiris begitu, seketika mukanya akan berwujut peta jalan
simpang, nah, cantik tidak kalau begitu, ha?" ~ Habis berkata, sret, segera
iapun lolos goloknya yang terselip dipinggang itu.
Namun Cui Sing adalah satu gadis yang berwatak sangat keras, setelah jatuh
ditangan kedua "paderi cabul" itu, memangnya ia sudah bertekad pati, lebih baik
gugur sebagai ratna daripada hidup menanggung hina. Meski suka kepada paras
cantik adalah menjadi watak asli kaum wanita, bila terpikir muka sendiri yang
cantik molek itu bakal di-sayat2 sedemikian rupa oleh paderi jahanam itu,
betapapun ia merasa merinding juga. Tapi bila terpikir pula sesudah paras muka
sendiri terusak, boleh jadi kesucian badannya malah dapat dipertahankan, hal ini
masih mending juga daripada mati konyol.
Sementara itu Hiat-to Loco telah abat-abitkan ujung goloknya dimuka hidungnya
sambil mengancam: "Nah, jawablah! Kutanya siapakah imam tua itu" Jika kau tidak
menjawab lagi, sayatan pertama segera kulakukan. Katakan, lekas!"
"Fui!" semprot Cui Sing. "Katakan apa" Katakan kau paderi keparat! Lekas kau
bunuh saja nonamu ini!"
"Sret", mendadak tangan Hiat-to Loco bekerja, dimana sinar merah berkelebat,
muka Cui Sing telah disayatnya sekali.
Tik Hun menjerit tertahan sekali dan tidak tega untuk memandang. Sebaliknya Cui
Sing sudah lantas pingsan.
Hiat-to Loco ter-bahak2 sambil melarikan kudanya lebih cepat.
Tanpa tertahan Tik Hun memandang juga kepada Cui Sing , tapi ia menjadi melongo
sebab muka sinona ternyata tiada apa2, bahkan luka sedikitpun tidak ada. Keruan
ia sangat girang. Kiranya ilmu permainan golok Hiat-to Loco itu benar2 sudah mencapai tingkatan
yang paling sempurna dan dapat menurut setiap keinginannya tanpa selisih satu
milipun. Tabasannya tadi memang telah menyambar lewat dipipi Cui Sing, tapi
hanya kena sayat secomot rambut dipelipis gadis itu, sedangkan pipinya
sedikitpun tidak terluka.
Saat itu pelahan2 Cui Sing juga mulai siuman, tanpa tertahan lagi air matanya
bercucuran. Ketika dilihatnya Tik Hun lagi memandangnya dengan tersenyum-simpul
girang, ia menjadi gusar dan mendongkol, damperatnya: "Kau ........
kau ..........paderi jahat." ~ Sebenarnya ia bermaksud mencaci maki pemuda itu
dengan kata2 yang paling pedas dan keji, tapi dasar dia seorang gadis sopan dan
lembut, selamanya tidak pernah mengucapkan kata2 yang kasar dan kotor, maka
seketika itu iapun tidak tahu apa yang harus dimakinya selain kata2 "paderi
jahat" itu. Melihat Cui Sing sudah siuman, segera Hiat-to Loco menggeraki pula goloknya yang
melengkung itu kemuka sigadis sambil membentak: "Nah, sekarang kau mau menjawab
tidak" Kalau tidak, segera kusayat pula mukamu!"
Tapi Cui Sing tetap membandel, ia pikir toh sudah disayat sekali, biarpun di-
sayat2 lagi mukaku juga serupa saja, maka sahutnya dengan menjerit: "Lekas kau
bunuh aku saja, Hwesio jahanam!"
"Huh, masakah begitu enak?" ejek Hiat-to Loco sambil menabas pula, kembali
goloknya menyerempet lewat dipipi sigadis.
Tapi sekali ini Cui Sing tidak pingsan lagi, ia merasa pipinya nyes dingin,
namun tidak terasa sakit, pula tiada darah menetes. Baru sekarang ia tahu Hwesio
tua itu cuma main gertak saja, hakikatnya pipi sendiri tidak terluka apa2, tanpa
merasa ia menghela napas lega.
"Eh, cucu murid yang baik, kedua kali bacokan Cosuya barusan ini bagaimana
menurut pendapatmu?" tiba2 Hiat-to Loco menanya Tik Hun.
"Wah, ilmu sakti, hebat sekali!" sahut Tik Hun, tanpa ragu2, memang pujiannya
ini bukan pura2 belaka, tapi timbul dari hati nuraninya, sebab ilmu golok Hwesio
tua itu memang luar biasa.
"Kau ingin belajar tidak?" tanya Hiat-to Loco pula.
Tik Hun tidak lantas menjawab, tapi mendadak timbul suatu pikirannya: "Aku
justeru lagi bingung bagaimana untuk melindungi kesucian nona Cui, bila aku
mengalihkan perhatiannya dengan merecoki sipaderi tua agar mengajarkan ilmu
silatnya kepadaku, tentu pikiran menyelewengnya untuk sementara ini dapat
dicegah, lalu aku dapat mencari akal untuk menolong sinona. Dan aku harus
membuat sipaderi tua benar2 mencurahkan antero perhatiannya untuk mengajar
padaku, untuk mana aku harus berusaha menyenangkan hatinya serta belajar
sungguh2." Dengan keputusan itu, maka ia menyahut: "Cosuyaya, kepandaianmu memainkan Hiat-
to itu, sungguh cucu-murid keranjingan benar2 untuk mempelajarinya, maka sukalah
Cosuya mengajarkan beberapa jurus padaku, agar kelak bila aku bertemu dengan
lawan sebangsa keroco seperti Piauko nona ini, paling tidak aku dapat balas
melabraknya." Habis berkata, pikir punya pikir Tik Hun menjadi mengkirik sendiri dan merah
jengah mukanya. Maklum, dasar watak Tik Hun sangat jujur, selamanya tidak suka
pura2, tapi kini demi untuk menolong sinona, mau-tak-mau ia mesti memanggil
"Cosuya" kepada musuh yang sebenarnya dibenci itu.
Bahkan Cui Sing yang mendengar ucapan Tik Hun yang menjilat pantat itupun merasa
muak, ber-ulang2 ia meludah tanda benci.
Sebaliknya Hiat-to Loco merasa sangat senang, katanya: "Ilmu permainan Hiat-to
ini tidak mungkin dapat dipelajari dalam waktu singkat. Tapi bolehlah aku
mengajarkan jurus 'Pi-coa-sia-hu' (mengupas kertas dan mengiris tahu). Cara
melatihnya begini: taruhlah setumpuk kertas kira2 seratus helai diatas meja,
sekali golokmu menabas harus tepat mengupas kertas helai pertama, helai kedua
sekali2 tidak boleh ikut terkupas. Habis itu memotong helai kedua, ketiga dan
seterusnya, sekali tabas satu helai, hingga habis seratus helai."
"Huh membual seperti tukang obat!" ejek Cui Sing. Dasar sifat anak muda, ia
tidak percaya ilmu golok orang bisa sedemikian lihaynya, makanya ia mengejek.
"O, jadi kau tidak percaya, baiklah sekarang juga aku mencobanya dihadapanmu,"
ujar Hiat-to Loco dengan tertawa. Dan mendadak ia bubut seutas rambut sigadis.
Keruan Cui Sing kaget, "Hai, mau apa kau?" teriaknya kuatir.
Namun Hiat-to Loco tidak menjawab, ia taruh utas rambut itu diatas batang hidung
Cui Sing, lalu melarikan kudanya kedepan sana.
Waktu itu tubuh Cui Sing meringkuk dan tertaruh diatas kuda, didepannya Tik Hun,
ketika merasa ujung hidungnya ditaruhi seutas rambut, dengan sendirinya merasa
ter-kilik2 geli, ia tidak tahu sipaderi tua itu akan main gila apa, sedianya
terus hendak meniup rambut diatas hidung itu agar jatuh.
Tapi mendadak terdengar Hiat-to Loco berseru; "Eh, jangan bergerak, lihatlah
yang jelas!" ~ Lalu ia memutar kudanya berlari kembali, dengan cepat sekali
kedua kuda lantas saling bersimpangan.
Seketika Cui Sing merasa pandangannya silau oleh berkelebatnya sinar merah,
ujung hidungnya terasa silir2 dan rambut diatas hidung itu tahu2 sudah lenyap.
Menyusul lantas terdengar Tik Hun ber-teriak2: "Bagus! Bagus!"
Ketika Hiat-to Loco menyodorkan goloknya kedepan Cui Sing, maka tertampaklah
diatas batang golok itu terdapat seutas rambut panjang. Hiat-to Loco dan Tik Hun
berkepala gundul semua, dengan sendirinya rambut itu adalah milik Cui Sing yang
takdapat dipalsukan. Keruan sigadis tidak kepalang kejut dan kagumnya, pikirnya:
"Hwesio tua ini benar2 sangat lihay. Tabasannya barusan ini kalau satu mili
lebih tinggi, tentu rambut itu takkan dapat terkupas oleh goloknya, sebaliknya
kalau rendah sedikit, pasti hidungku sekarang sudah gerumpung, paling tidak juga
menjadi pesek. Apalagi dia menabas sambil menaik kuda, namun toh begitu tepat
dan jitu, sungguh kepandaian yang hebat."


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena sengaja hendak merebut hati Hiat-to Loco, maka tidak habis2 Tik Hun
mengumpak dan memberi pujian2 setinggi langit atas ilmu golok sang "kakek guru"
itu. Kini Cui Sing sendiri sudah menyaksikan betapa sakti ilmu goloknya orang, maka
Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San 12 Imam Tanpa Bayangan Karya Tjan I D Kampung Setan 11
^