Pencarian

Si Kangkung Pendekar Lugu 7

Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Bagian 7


kali dan minta ampun padaku, jiwamu lantas kuampuni."
"Cuh", kembali Cui Tay meludahi musuh, damperatnya: "Jangan kau mimpi disiang
bolong, Hwesio durjana!"
Hiat-to-ceng tahu watak situa itu sangat bandel, sekalipun mencacah badannya
hingga hancur luluh juga tidak mungkin membuatnya takluk. Maka katanya segera:
"Baiklah, aku akan kerjakan puterimu ini, coba nanti kau akan memanggil Cosuyaya
padaku tidak?" Habis berkata, kembali tangannya menarik, "bret", lagi2 sebagian baju Cui Sing
kena disobeknya. Kali ini adalah sebagian gaunnya.
Sudah tentu Cui Tay sangat murka. Sebagai seorang kesatria sejati, biarpun musuh
menghujani bacokan atas badannya juga takkan menaklukannya. Tapi paderi jahat
itu sengaja menghina puterinya didepan orang banyak, perbuatan ini benar2 tak
bisa dibiarkan olehnya. Tapi apa daya, kakinya sudah buntung, bahkan jiwa
sendiri juga tergantung ditangan musuh. Melihat gelagatnya, terang paderi jahat
itu hendak melucuti pakaian Cui Sing sepotong demi sepotong hingga telanjang
bulat, bahkan bukan mustahil akan diperlakukan secara tidak senonoh pula
dihadapannya dan dihadapan Hoa Tiat-kan.
Maka terdengar Hiat-to-ceng berkata pula dengan tertawa iblis. "Segera orang she
Hoa ini akan tekuk lutut dan minta ampun padaku, segera aku akan melepaskan dia,
biar dia menyiarkan kejadian ini kekalangan Kangouw bahwa puterimu telanjang
bulat dihadapanmu. Hahahah! Bagus, bagus! Hoa Tiat-kan, kau akan berlutut minta
ampun" Ya, ya boleh, boleh, tentu aku akan mengampuni jiwamu!"
Mendengar ocehan itu, semangat tempur Hoa Tiat-kan lebih2 buyar lagi. Memangnya
maksud tujuannya tiada lain yalah mencari hidup. Meski berlutut minta ampun
adalah perbuatan yang memalukan, tapi toh jauh lebih enak daripada badan di-
sayat2 oleh golok musuh. Sama sekali tak terlintas pikirannya akan bertempur
pula dengan sepenuh tenaga, hal mana sebenarnya tidak susah baginya untuk
membunuh musuh, tapi yang terbayang olehnya sekarang yalah Hiat-to-ceng
dihadapannya itu terlalu seram, terlalu menakutkan. Ia dengar Hiat-to-ceng
sedang berkata pula: "Kau jangan kuatir, jangan takut, asal kau sudah berlutut
dan minta ampun, pasti jiwamu takkan kuganggu."
Ucapan yang membesarkan hati itu bagi pendengaran Hoa Tiat-kan rasanya sangat
enak dan sedap. Sudah tentu kesempatan baik itu tak di-sia2kan Hiat-to-ceng melihat air muka Hoa
Tiat-kan mengunjuk rasa terhibur, segera ia tinggalkan Cui Sing dan mendekati
Tiat-kan dengan golok terhunus, katanya: "Bagus, bagus! Kau hendak berlutut dan
minta ampun, nah, buanglah tumbakmu dulu. Ya, ya, aku pasti takkan mengganggu
jiwamu, nah, nah, taruhlah tumbakmu ketanah, nah, begitulah!"
Begitulah nada suara Hiat-to-ceng itu sangat lemah lembut dan menimbulkan daya
pengaruh yang takdapat dilawan. Benar juga, sekali cekalan Hoa Tiat-kan kendur,
tumbaknya lantas terlempar ketanah salju. Dan sekali senjatanya sudah terlepas
dari tangan, dengan hati bulat ia benar2 sudah takluk pada musuh.
Dengan wajah tersenyum simpul Hiat-to-ceng berkata: "Bagus, bagus! Engkau sangat
penurut, aku sangat suka padamu. Eh, tumbakmu itu boleh juga, coba kulihat! Kau
mundur dulu kesana tiga tindak, nah, nah, begitulah, ya mundur lagi tiga
tindak!" Begitulah seperti orang yang sudah kehilangan sukma, Hoa Tiat-kan hanya menurut
belaka apa yang dikehendaki musuh.
Maka pelahan2 Hiat-to Loco menjemput tumbak yang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu.
Sambil memegangi tumbak pendek itu, ia merasa tenaga murninya setitik demi
setitik juga sedang menghilang lagi, beruntun ia coba kerahkan tenaganya dua
kali, tapi hasilnya nihil, tenaga murni itu takdapat dihimpun kembali lagi.
Diam2 ia terkejut: "Jadi sesudah bertempur melawan tiga jago tangguh tadi,
tenagaku sudah habis terkuras benar2, untuk dapat memulihkan tenagaku ini
mungkin perlu mengaso setengah atau satu bulan lamanya." ~ Dari itu, meski ia
sudah memegang sejata Hoa Tiat-kan, tapi ia masih kuatir bila lawan itu mendadak
tabahkan diri dan menyerangnya, sekali gontok saja pasti dirinya akan
dirobohkan. Sementara itu ketika Cui Tay melihat Hiat-to-ceng lagi berusaha menaklukkan Hoa
Tiat-kan, segera ia membisiki sang puteri: "Sing-ji, lekaslah kau bunuh aku
saja!" "Ay .......ayah! Aku ....... Aku tak dapat!" sahut Cui Sing dengan ter-guguk2.
Tiba2 Cui Tay melirik sekejap pada Tik Hun, lalu katanya: "Siausuhu, sudilah kau
berbuat bajik, lekas kau membunuh aku saja!"
Tik Hun tahu maksud jago tua itu, daripada hidup tersiksa dan dihina, lebih baik
lekas2 terbinasa saja. Sesungguhnya Tik Hun memang tidak tega dan sangat ingin membantu tamatkan
riwayat Cui Tay. Tapi bila dirinya turun tangan, hal mana pasti akan menimbulkan
kemurkaan Hiat-to Loco. Padahal ia sudah saksikan dengan mata kepala sendiri
betapa akan buas dan kejamnya paderi Tibet itu. Makanya iapun tidak berani
sembarangan membikin marah padanya.
"Sing-ji, boleh kau mohonlah belas kasihan Siausuhu ini agar suka lekasan
membunuh aku saja, kalau terlambat sebentar lagi tentu akan kasip." Pinta Cui
Tay kepada puterinya. Tapi pikiran Cui Sing sedang kusut dan bingung, sahutnya: "Ayah, engkau tak
boleh meninggal, engkau tak boleh meninggal!"
"Dalam keadaan demikian, aku lebih baik mati daripada hidup, masakah kau tidak
melihat penderitaanku ini?" kata Cui Tay dengan gusar.
Dan baru sekarang Cui Sing tersadar, sahutnya: "Ya, benar! Ayah, biarlah ku mati
bersama engkau!" "Siausuhu," segera Cui Tay meminta lagi kepada Tik Hun, "mohon belas kasihanmu,
sudilah lekas membunuh aku. Suruh aku takluk dan minta ampun pada paderi tua
bangka itu, masakah orang she Cui ini sudi buka mulut" Pula aku takdapat
menyaksikan puteriku dihina olehnya!"
Meski selama ini Tik Hun menyelamatkan diri dengan membonceng Hiat-to Loco serta
bermusuhan dengan para jago silat dari Tionggoan, namun hati kecilnya sebenarnya
tidak suka kepada paderi jahat itu. Dasar jiwanya memang luhur dan bersemangat
kesatria, kini mendadak timbul juga jiwa kepahlawanannya, dengan suara tertahan
segera ia terima baik permintaan Cui Tay. "Baiklah, akan kubunuh kau, meski
nanti akan diamuk oleh paderi tua juga aku tidak peduli lagi!"
Cui Tay bergirang, memangnya ia seorang yang banyak tipu akalnya, meski dalam
keadaan terluka parah, namun ia masih bisa mengatur siasat, bisiknya kepada Tik
Hun: "Aku akan pura2 memaki kau dengan suara keras, lalu sekali kemplang boleh
kau binasakan aku, paderi tua bangka itu pasti tidak mencurigai kau lagi!" ~ Dan
tanpa menunggu jawaban Tik Hun, terus saja ia memaki kalang kabut: "Hwesio cabul
kecil, Hwesio keparat! Jika kau tidak mau sadar dan tetap meniru perbuatan
Hwesio tua bangka yang terkutuk itu, kelak kau psti akan mendapatkan ganjaran
yang setimpal. Bila hati nuranimu masih baik, seharusnya lekas2 kau tinggalkan
Hiat-to-bun! Hwesio cabul kecil, kau anak jadah, cucu kura2!"
Diantara caci-maki itu dapat didengar Tik Hun bahwa ada bagian2 yang
menasihatkan dirinya agar menuju kejalan yang baik. Diam2 ia merasa berterima
kasih, segera ia angkat sepotong kayu, tapi toh tidak tega dikemplangkan begitu
saja. Keruan Cui Tay menjadi gopoh, dengan tak sabar ia memaki lebih keji lagi.
Disebelah sana tertampak Hoa Tiat-kan sudah tak berdaya, mendadak kakinya lemas
terus bertekuk lutut dan menyembah kepada Hiat-to Loco.
Dengan ter-bahak2 Hiat-to Loco tidak sia2kan kesempatan bagus itu, sekali tutuk
"Leng-tay-hiat" dipunggung Hoa Tiat-kan yang sedang menyembah itu kena
ditutuknya. Dan karena tutukan itu adalah sisa antero tenaganya yang masih
tinggal setitik itu, maka habis itu, iapun lemas benar2. Hoa Tiat-kan tertutuk
roboh, Hiat-to-ceng sendiri juga lemas lunglai sampai dengkulnya hampir tak kuat
menahan sang tubuh. Melihat Hoa Tiat-kan bertekuk lutut, hati Cui Tay menjadi pedih, kawan itu sudah
takluk pada musuh, kalau dirinya mati pula, maka tiada seorangpun yang dapat
melindungi sang puteri lagi, diam2 ia sesalkan nasib puterinya yang buruk itu.
Mendadak ia membentak; "Hwesio cilik keparat! Mengapa kau tidak berani hantam
aku?" Tik Hun sendiri juga menyaksikan Hoa Tiat-kan menyerah tanpa syarat kepada Hiat-
to-ceng, ia pikir sejenak lagi paderi tua itu pasti akan putar balik, maka
dengan mengkertak gigi, terus saja ia ayun alu kayu tadi keatas kepala Cui Tay.
"Prak", kontan batok kepala pendekar besar itu pecah dan binasa seketika.
"Ayah!" Cui Sing menjerit sekali, lalu iapun jatuh pingsan.
Hiat-to Loco juga mendengar suara caci-maki Cui Tay tadi, maka ia sangka Tik Hun
tidak tahan makian itu, maka telah membunuh jago tua itu. Ia pikir sekarang toh
Hoa Tiat-kan sudah takbisa berkutik, mati-hidupnya Cui Tay sudah tidak menjadi
soal lagi baginya. Dan karena rasa lega dan saking gembiranya; terus saja ia
ter-bahak2 keras. Namun ia lantas merasa suara tertawa sendiri itu tidak beres, suara itu cuma
"hoh-hoh-hoh" belaka, suara parau yang lemah, suara itu lebih tepat dikatakan
merintih daripada disebut tertawa.
Ia coba berjalan dengan sempoyongan, tapi hanya dua-tiga langkah saja, tiba2
terasa pinggang pegal linu, achirnya ia terjatuh mendoprok lagi ketanah salju.
Melihat kejadian begitu, baru sekarang Hoa Tiat-kan sangat menyesal: "Ya, apa
yang dikatakan Cui-hiante memang tidak salah, paderi jahat itu ternyata benar
sudah kehabisan tenaga. Tahu begitu, tadi kuhantam sekali tentu dapat
membinasakan dia, tapi mengapa aku menjadi begini pengecut serta berlutut dan
minta ampun padanya?" ~ Sungguh ia menjadi malu tak terhingga mengingat nama
baiknya sebagai seorang pendekar besar yang tersohor selama berpuluh tahun, kini
ternyata mandah bertekuk lutut menyerah pada musuh, noda dan hina perbuatannya
ini betapapun susah dihapus lagi. Kini ia sudah tertutuk, untuk bisa bergerak
lagi harus tunggu 12 jam kemudian.
Sebagai seorang Kangouw ulung, ia tahu selama Hiat-to-ceng masih berlagak
perkasa, jiwanya mungkin masih dapat diselamatkan, tapi kini kelemahan Hiat-to-
ceng sudah ketahuan, terhadap padanya tentu juga tiada kenal ampun lagi. Sebab
kalau masih bicara tentang ampun segala, bila 12 jam kemudian hingga dirinya
dapat bergerak, mustahil takkan balas turun tangan kepada paderi itu.
Dan benar juga, segera terdengar Hiat-to-ceng berkata kepada Tik Hun: "Cucu
murid yang baik, hayolah lekas kau kemplang mampus orang itu. Orang itu teramat
licik dan keji, jangan dibiarkan hidup."
"Bukankah kau sudah berjanji akan mengampuni jiwaku, mengapa kau ingkar janji?"
seru Hoa Tiat-kan. Sudah terang diketahui protesnya itu takkan berguna, tapi
sebelum ajal ia pantang mati, sedapat mungkin ia ingin hidup.
"Hm, paderi keluaran Hiat-to-bun kami masakah bicara tentang kepercayaan apa
segala?" jengek Hiat-to Loco dengan tertawa iblis. "Kau tekuk lutut dan minta
ampun padaku adalah karena kau telah tertipu olehku. Haha, hahaha! Nah, cucu-
murid yang baik, lekas sekali kemplang mampuskan dia saja. Kalau dibiarkan
hidup, akibatnya sangat berbahaya bagi kita."
Sesungguhnya Hat-to-ceng juga sangat jeri kepada Hoa Tiat-kan, ia tahu tutukan
yang dilakukannya tadi karena kurang kuat tenaganya, belum tentu tutukan itu
dapat mengenai tempat yang paling dalam, bukan mustahil setiap saat akan dapat
ditembus oleh tenaga dalam Hoa Tiat-kan, tatkala itu keadaan akan berbalik
menjadi dirinya yang merupakan makanan empuk bagi jago she Hoa itu.
Namun Tik Hun tidak tahu kalau tenaga dalam Hiat-to Loco sudah kering benar2,,
ia sangka sesudah sekian lamanya mengalahkan lawan2 tangguh, maka paderi tua itu
perlu mengaso sebentar. Diam2 ia pikir: "Sebabnya aku membunuh Cui-tayhiap tadi
adalah karena aku ingin membantu dia terhindar dari siksaan lebih jauh.
Sedangkan Hoa-tayhiap itu toh tidak kurang apa2, mengapa aku mesti membunuh
dia?" Karena pikiran itu, ia lantas berkata: "Cosuya, dia toh sudah menyerah dan
tertutuk olehmu, kukira boleh mengampuni jiwanya saja!"
"Benar! Benar ucapan Siausuhu itu!" seru Hoa Tiat-kan segera. "Memang tepat
perkataan Siausuhu, aku sudah ditaklukan kalian, sedikitpun tiada maksud melawan
lagi, mengapa kalian akan membunuh aku pula?"
Tatkala itu Cui Sing mulai siuman sambil menangis dan me-rintih2 nama sang ayah.
Ketika mendengar permintaan ampun Hoa Tiat-kan secara tidak kenal malu itu,
sungguh bencinya setengah mati, kontan ia memaki: "Hoa-pepek, engkau sendiri
terhitung satu jago kelas satu yang gilang-gemilang di Tionggoan, mengapa engkau
begitu rendah dan tanpa malu2 minta ampun kepada musuh" Se-mata2 engkau melihat
ayahku tersiksa, tapi kau .......... kau malah ............" ~ Sampai disini ia tidak sanggup
meneruskan lagi karena tangisnya yang teramat pilu.
"Tapi...........tapi ilmu silat kedua Toasuhu itu terlalu tinggi, kita tak mampu
menangkan mereka, maka lebih ............. lebih baik kita menyerah saja dan ikut pada
mereka, kita akan tunduk pada perintah mereka," demikian kata Hoa Tiat-kan
dengan tidak malu2 lagi. Hiat-to-ceng pikir makin lama menunggu makin berbahaya baginya. Tapi celaka,
sedikitpun ia tidak bertenaga. Maksudnya hendak berdiri juga tidak sanggup lagi.
Maka katanya pula: "Anak baik, turutlah pada Cosuya, lekaslah bunuh manusia
rendah itu!" Akan tetapi sambil memegangi alu yang telah digunakan mengemplang Cui Tay tadi,
Tik Hun hanya bergemetar saja dengan ragu2.
Ketika Cui Sing menoleh dan melihat kepala sang ayah pecah penuh darah, tewasnya
sangat mengenaskan, teringat betapa kasih sayang sang ayah kepadanya dimasa
hisupnya, sungguh hancurlah hatinya dan hampir2 kelengar lagi.
Tentang Cui Tay minta pertolongan pada Tik Hun agar suka membunuhnya, hal itu
telah didengar juga oleh Cui Sing. Tapi saking dukanya sekarang ia tidak dapat
membedakan salah atau benar lagi, yang diketahui olehnya adalah kepala sang ayah
yang pecah itu lantaran dikemplang oleh Tik Hun. Rasa duka dan murkanya tak
tertahan lagi, se-konyong2 satu arus hawa panas menerjang naik dari bagian
perut. Seorang jago silat yang Lwekangnya sudah terlatih sempurna, biasanya memang
mampu mengunakan hawa murni sendiri untuk membuka Hiat-to yang tertutuk. Tapi
untuk mencapai tingkatan yang hebat itu bukanlah suatu cara yang mudah.
Sedangkan Hoa Tiat-kan saja takbisa, apalagi Cui Sing"
Tapi setiap orang dalam saat menghadapi mara bahaya, pada waktu mengalami suatu
pergolakan perasaan yang luar biasa, maka sering2 akan dapat timbul suatu
kemampuam yang tak terduga, kemampuan yang dapat melakukan sesuatu yang biasanya
sangat sulit dilaksanakan. Yaitu misalnya waktu terjadi kebakaran, tanpa merasa
seorang dapat mengangkat benda berat yang biasanya tidak kuat diangkatnya atau
melompat tempat tinggi yang biasanya tidak mungkin dilampauinya.
Dan begitulah kira2 keadaan Cui Sing pada saat itu. Oleh karena bergolaknya sang
perasaan, Hiat-to yang tertutuk itu mendadak lancar kembali oleh tenaga yang
timbul mendadak dari pusarnya itu. Enatah darimana datangnya tenaga lagi, se-
konyong2 ia melompat bangun, ia rampas kayu yang dipegang Tik Hun terus
menghantam dan menyabat serabutan kearah pemuda itu.
Meski Tik Hun sudah berkelit kesana dan mengegos kesini, tapi mukanya,
kepalanya, telinga dan pundaknya toh be-runtun2 kena digebuk hingga belasan kali
dan sakitnya tidak kepalang. Sembari tangannya dipakai menangkis, mulutnya sibuk
berteriak pula: "Hei, hei! Mengapa kau memukul padaku" Ayahmu sendiri yang suruh
aku membunuhnya!" Cui Sing terkesiap mendengar seruan itu. Benar juga pikirnya, memang tadi ia
sendiri juga mendengar ayahnya sendiri yang meminta pemuda itu suka membunuhnya.
Dan sesudah tertegun sejenak, seketika ia lemas seperti balon gembos. Ia
terkulai disamping Tik Hun dan menangis ter-gerung2.
Mendengar ucapan Tik Hun yang mengatakan Cui Tay yang minta pemuda itu
membunuhnya, sekilas pikir saja segera Hiat-to Loco paham duduknya perkara,
keruan ia sangat gusar: "Bocah ini berani membangkang pada perguruan dan malah
membantu musuh, benar2 murid durhaka yang kudu dibasmi."
Dalam gusarnya segera ia bermaksud menyambar goloknya untuk membunuh Tik Hun.
Tapi sedikit tangannya bergerak, segera teringat tenaga sendiri terlalu lemah,
keselamatan sendiri sebenarnya sangat berbahaya.
Namun Hiat-to-ceng itu memang seorang manusia licin, sedikitpun ia tidak
perlihatkan rasa gusarnya itu, bahkan dengan tersenyum ia berkata: "Eh, cucu
murid yang baik, kau harus mengawasi anak dara itu dan jangan membiarkan dia
main gila. Dia sudah menjadi milikmu, bagaimana kau akan perlakukan dia, Cosuya
terserah kepadamu." Tapi disebelah sana Hoa Tiat-kan telah mengetahui ketidak beresan itu, segera ia
berseru: "Cui-titli, kemarilah sini, aku ingin bicara padamu."
Ia tahu waktu itu Hiat-to Loco sudah tak bertenaga sedikitpun dan tidak
menguatirkan lagi. Tik Hun kakinya patah, diantara mereka berempat sebaliknya
Cui Sing sekarang terhitung paling kuat, maka ia ingin membisiki gadis itu agar
segera menggunakan kesempatan bagus itu untuk membunuh kedua paderi.
Tak terduga Cui Sing sudah terlalu benci kepada jiwanya yang rendah dan tidak
kenal malu itu, ia pikir kalau kau tidak takluk pada musuh, tentu jiwa ayahku
takkan melayang. Maka pangilan Hoa Tiat-kan itu sama sekali tak digubris
olehnya. "Cui-titli," demikian Tiat-kan berseru pula, "Jikalau kau ingin melepaskan diri
dari kesulitan, sekarang adalah saat yang paling baik. Kemarilah kau, akan
kukatakan padamu." Hiat-to Loco menjadi gusar, damperatnya: "Tutup bacotmu! Kau berani cerewet


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi, segera kupenggal kepalamu!"
Betapapun Hoa Tiat-kan ternyata tidak berani kepada paderi Tibet itu, maka ia
tidak berani bersuara lagi, hanya ber-ulang2 ia main mata kepada Cui Sing.
Cui Sing menjadi sebal dan mual terhadap kelakuan manusia rendah itu,
damperatnya dengan gusar: "Ada soal apa, katakan saja, mengapa mesti main kasak-
kusuk segala?" Gemas rasa Hoa Tiat-kan terhadap sigadis yang tidak menurut itu. Pikirnya:
"Tampaknya paderi tua itu sedang mengerahkan tenaga dalamnya. Sedikit tenaganya
pulih kembali, asal kuat mengangkat goloknya, pasti aku yang akan dibunuh paling
dulu. Waktu sudah mendesak, terpaksa aku harus lekas beberkan rahasianya." ~
Maka cepat ia berseru: "Cui-titli, coba lihat Hwesio tua itu, setelah
pertarungan sengit tadi, tenaganya sudah terkuras habis, sejak tadi ia mendoprok
ditanah dan tidak kuat berdiri lagi."
Cui Sing coba melirik sipaderi tua, benar juga dilihatnya paderi itu menggeletak
diatas salju, keadaannya sangat payah. Teringat kepada sakit hati sang ayah,
seketika ia menjadi kalap, tanpa pikir lagi apakah perkataan Hoa Tiat-kan itu
benar atau tidak, terus saja ia angkat batang kayu dan menghantam kearah Hiat-to
ceng. Namun Hiat-to Loco itiu benar2 manusia yang licin, ketika mendengar Hoa Tiat-kan
ber-ulang2 memanggil Cui Sing, diam2 iapun tahu maksud musuh itu, dalam
kuatirnya iapun peras otak mencari bagaimana harus menghadapi sigadis bila
sebentar lagi datang menyerang padanya. Sedapat mungkin ia menarik napas panjang
dua kali, tapi perutnya terasa kosong blong tanpa tenaga sedikitpun, bahkan
bertambah lemah daripada tadi. Seketika ia menjadi tak berdaya dan sementara itu
batang kayu Cui Sing sudah melayang keatas kepalanya.
Oleh karena saking duka atas kematian ayahnya, maka serangan Cui Sing itu
hakikatnya sekenanya belaka tanpa sesuatu gerak tipu. Biasanya senjata
kemahirannya adalah pedang, sebenarnya ia tidak paham ilmu pentung. Sebab itulah
sekali ia menggebuk, segera tertampak banyak lubang kelemahannya. Kesempatan itu
segera dipergunakan Hiat-to Loco dengan baik, sedikit ia miringkan tubuh, diam2
ia julurkan tumbak Hoa Tiat-kan yang dipegangnya dengan miring keatas.
Cuma keadaannya terlalu lemah, untuk angkat ujung tumbak keatas sesungguhnya
tidak kuat baginya. Maka yang dapat diacungkan miring keatas itu adalah garan
tumbak, ia incar "Toa-pau-hiat" dibawah ketiak Cui Sing.
Saking pilunya perasaan, sudah tentu Cui Sing tidak menduga akan akal licik
orang, sekali hantam, tepat sekali pentungnya mengenai muka Hiat-to-ceng hingga
bonyok dan keluar darahnya. Tapi pada saat yang sama pula ketiaknya terasa
kesemutan, kaki-tangannya menjadi lemas, badannya tergeliat dan achirnya roboh
terguling disamping Hiat-to-ceng.
Meski mukanya kena dihanjut sekali oleh pentung sigadis hingga sangat kesakitan,
namun Hiat-to Loco juga melihat tipu dayanya telah berhasil, Cui Sing telah
membenturkan "Toa-pau-hiat" diketiak sendiri keujung tumbak yang dipasangnya,
jadi Hiat-to sendiri ditutuk sigadis sendiri. Saking senangnya Hiat-to Loco ter-
bahak2 dan berkata: "Nah, bangsat tua she Hoa, kau bilang tenagaku sudah habis,
kenapa dengan gampang saja aku dapat merobohkan dia?"
Bahwasanya Cui Sing tersodok sendiri jalan darahnya oleh ujung tumbak yang
sengaja dipasangi Hiat-to Loco, karena ter-aling2 badan sigadis, maka apa yang
terjadi itu tak dilihat oleh Hoa Tiat-kan dan Tik Hun, maka mereka menjadi kaget
dan percaya penuh bahwa gadis itu telah ditutuk roboh oleh Hiat-to Loco.
Ketika didekati Hiat-to Loco, saking ketakutannya Hoa Tiat-kan terus bertekuk
lutut dan menyembah kepada paderi jahat itu serta minta ampun.
Keruan yang paling kaget dan takut adalah Hoa Tiat-kan, dengan tidak kenal malu2
lagi ia memuji setinggi langit: "Ya, ya, memang ilmu sakti Locianpwe sudah tiada
taranya, dengan sendirinya manusia biasa seperti diriku yang berpandangan picik
ini tidak kenal akan ilmu sakti Locianpwe. Betapa hebat tenaga dalam Locianpwe
itu boleh dikata tiada bandingannya dijagat ini, bahkan mungkin tidak pernah ada
dari jaman dulu hingga sekarang."
Begitulah tiada habis2nya dia memuji Hiat-to Loco. Dari suaranya yang gemetar
itu, terang hatinya ketakutan setengah mati.
Padahal bisanya Hiat-to Loco merobohkan Cui Sing itu hanya dilakukan secara
untung2an saja. Sesudah berhasil, diam2 ia sangat bersyukur dirinya sudah bebas
dari ancaman maut. Tapi jalan darah Cui Sing yang tersodok itu hanya terkena
tenaga luaran dari sesuatu benda keras, jadi bukan ditutuk dengan tenaga dalam
yang dapat menyusup hingga titik Hiat-to yang paling mendalam. Setelah lewat
beberapa lamanya Hiat-to yang tersodok itu akan lancar kembali. Dan bila hal
mana terjadi, tidak mungkin tutukan secara kebetulan itu dapat terulang, tak
usah disangsikan lagi jiwanya pasti akan melayang ditangan sigadis.
Sebab itulah, Hiat-to-ceng berusaha sedapat mungkin didalam waktu singkat itu
harus memulihkan sedikit tenaga, pada sebelum Cui Sing dapat bergerak, ia
sendiri sudah harus dapat berdiri.
Maka dengan diam2 Hiat-to-ceng melakukan semadi walaupun dengan cara yang tidak
sewajarnya, yaitu dengan mendoprok. Habis, untuk duduk bersila saja ia tidak
mampu. Tempat menggeletak Cui Sing itu jaraknya cuma satu-dua meter disebelah Hiat-to-
ceng. Semula ia sangat kuatir entah perlakuan apa lagi yang hendak dilaksanakan
atas dirinya oleh paderi jahat itu. Tapi sesudah sekian lamanya sedikitpun tiada
sesuatu gerak-gerik dari paderi itu, barulah hatinya merasa lega.
Ditanah bersalju saat itu menjadi menggeletak empat orang dengan perasaan2 yang
ber-beda2. Tik Hun antero tubuhnya, dari kepala, pundak, tangan, sampai kaki, semuanya
babak belur dan sakit tak terkatakan, dengan mengkertak gigi ia bertahan sedapat
mungkin supaya tidak merintih, suruh dia memeras otak terang tidak sempat lagi.
Hiat-to-ceng cukup tahu tenaga dalam sendiri sudah kering, jangankan hendak
memulihkan dua-tiga bagian tenaga itu, sekalipun untuk berjalan saja paling
sedikit diperlukan waktu dua-tiga jam lagi. Sedangkan keadaan Hoa Tiat-kan juga
tidak lebih baik, ia tertutuk dan paling sedikit harus esok paginya baru bisa
bergerak dengan sendirinya.
Jadi bahaya yang terbesar tetap terletak pada diri Cui Sing. Siapa duga gadis
itu sudah terlalu duka dan murka hingga semangatnya lesu dan tenaga letih, ia
menggeletak sekian lamanya dan achirnya terpulas malah.
Tentu saja Hiat-to Loco bergirang, pikirnya: "Paling baik kau terus tertidur hingga beberapa
jam lamanya, maka aku tidak perlu kuatir apa2 lagi."
Hal mana rupanya juga diketahui oleh Hoa Tiat-kan, ia sadar mati hidup sendiri
sangat tergantung kepada Cui Sing yang diharapkan bisa bergerak lebih dulu
daripada sipaderi tua. Tapi demi nampak gadis itu menjadi pulas, ia terperanjat,
cepat ia berseru: "Hai, Cui-titli, jangan sekali2 kau tidur, sekali kau pulas,
segera kau akan dibunuh oleh kedua paderi cabul itu!"
Namun Cui Sing benar2 sudah terlalu letih, hanya terdengar mulutnya mengigau
beberapa kali, lalu menggeros sebagai babi mati.
Dengan kuatir Hoa Tiat-kan ber-teriak2 lebih keras: "Cui-titli, wah celaka!
Lekas mendusin, kau hendak dibunuh oleh Ok-ceng itu!" ~ Namun sigadis tetap tak
bergeming. Diam2 Hiat-to-ceng menjadi gusar: "Kurang ajar! Gembar-gembornya ini benar2
membahayakan!" ~ Maka katanya segera kepada Tik Hun: "Cucu murid yang pintar,
coba majulah kau dan sekali bacok mampuskan tua bangka itu !"
"Tapi orang itu sudah takluk, bolehlah ampuni jiwanya," ujar Tik Hun.
"Mana dia mau takluk?" kata Hiat-to Loco. "Bukankah kau mendengar dia sedang
ber-teriak2 dengan maksud membikin celaka kita."
"Siausuhu," tiba2 Hoa Tiat-kan menyela, "kakek-gurumu itu sangat kejam,
sementara ini dia sudah kehabisan tenaga murni, ia tidak dapat bergerak
sedikitpun, makanya kau disuruh membunuh aku. Tapi sebentar kalau tenaga
dalamnya sudah pulih, karena marah pada pembangkanganmu tadi, tentu kau akan
dibunuhnya lebih dulu. Maka ada lebih baik sekarang juga engkau mendahului turun
tangan bunuhlah dia."
"Tidak, ia bukan kakek-guruku," sahut Tik Hun sambil menggeleng. "Cuma dia ada
budi padaku, dia telah menyelamatkan jiwaku, mana boleh aku membalas air susu
dengan air tuba dan membunuhnya?"
"O, jadi dia bukan kakek-gurumu?" Hoa Tiat-kan menegas. "Itulah lebih2 baik
lagi, lekas kau bunuh dia, sedetikpun jangan ayal. Paderi2 dari Hiat-to-bun
terkenal maha kejam, jiwamu sendiri kau sayangkan atau tidak?"
Tik Hun menjadi ragu2, ia tahu apa yang dikatakan Hoa Tiat-kan itu bukan tak
beralasan, tapi kalau suruh dia membunuh Hiat-to Loco, perbuatan itu betapa ia
tidak sanggup. Namun Hoa Tiat-kan masih terus mendesaknya tanpa berhenti, sampai
achirnya Tik Hun menjadi tidak sabar, bentaknya: "Tutup mulutmu, jika kau
cerewet lagi, segera aku mampuskan kau dahulu!"
Melihat gelagat tidak menguntungkan, Tiat-kan tidak berani membacot lagi, yang
dia harap adalah semoga Cui Sing lekas2 mendusin.
Selang tak lama, saking tak sabar, kembali ia ber-teriak2: "Cui-titli, lekas
bangun, lihatlah ayahmu telah hidup kembali!"
Teriakannya ini ternyata sangat manjur, dalam tidurnya layap2 Cui Sing mendengar
suara orang menyebut ayahnya telah hidup kembali. Saking girangnya seketika ia
mendusin sambil berseru: "Ayah, ayah!"
Cepat Hoa Tiat-kan menanggapi: "Cui-titli, Hiat-to dibagian mana kau ditutuknya
tadi" Cobalah katakan, paderi jahat itu sudah kehabisan tenaga, tutukannya tentu
juga tidak keras, biarlah kuajarkan satu cara menarik napas untuk melancarkan
Hiat-to yang tertutuk itu."
Ketika ketiakku terasa kesemutan tadi, aku lantas takbisa berkutik lagi." Kata
Cui Sing. "Ha, itulah Toa-pau-hiat yang tertutuk, gampang jika begitu lekas ia tarik napas
panjang2, lalu pusatkan keperut dan pelahan2 menggunakan hawa itu untuk
menggempur Toa-pau-hiat dibagian ketiak itu, setelah kau dapat bergerak segera
sakit hati ayahmu dapat kau balas," demikian Hoa Tiat-kan mengajarkan.
Cui Sing mengangguk dan mengiakan. Meski dia masih sangat benci pada Hoa Tiat-
kan yang rendah itu, namun apapun juga dia adalah kawan dan bukan lawan,
sedangkan ajarannya itupun memang menguntungkan dirinya, maka ia lantas menurut
petunjuk itu, ia menarik napas panjang2 dan dikerahkan kebagian perut ..........
Diam2 Hiat-to-ceng juga mengikuti gerak-gerik sigadis itu. Ketika dilihatnya Cui
Sing menurut petunjuk Hoa Tiat-kan, diam2 ia mengeluh dan gelisah: "Anak dara
itu sudah dapat mengangguk, hakikatnya ia tidak perlu menarik napas dan
menghimpun hawa didalam perut segala, tapi sebentar lagi juga jalan darahnya
akan lancar kembali dan dapat bergerak segera."
Karena itu ia sendiripun lantas pusatkan pikiran, ia berharap bisa mengumpulkan
sedikit tenaga untuk kemudian dipupuk lebih kuat, maka terhadap gerak-gerik Cui
Sing apakah sudah dapat berjalan atau tidak sama sekali tak dipikirkan lagi.
Mengenai ilmu mengerahkan hawa murni untuk menggempur Hiat-to yang tertutuk,
ilmu maha gaib itu Hoa Tiat-kan sendiri tidak becus, jangankan Cui Sing. Tapi
jalan darahnya yang tertutuk itu hakikatnya sangat enteng, sesudah darah
berjalan lancar, otomatis tutukan itu menjadi buyar dengan sendirinya. Maka
tidak antara lama, pundaknya tampak sudah dapat bergerak.
"Bagus, Cui-titli," seru Hoa Tiat-kan dengan girang. "Teruskanlah cara
petunjukku itu, sebentar lagi pasti engkau sudah bisa berjalan. Tindakan pertama
hendaklah kau jemput golok merah itu, engkau harus menurut kata2ku dan jangan
membangkang, bila tidak, sakit hati ayahmu tentu tak terbalas!"
Cui Sing mengangguk, ia merasa anggota badannya sudah tidak kaku lagi, ia coba
tarik napas panjang2 sekali dan pelahan2 dapatlah berduduk.
"Bagus, bagus! Cui-titli, setiap gerak-gerikmu harus kau turut pesanku, jangan
kau salah bertindak, sebab didalam tindakanmu ini nanti terletak kunci utama
apakah engkau akan dapat membalas sakit hati atau tidak," demikian seru Tiat-kan
pula. "Nah, tindakan pertama sekarang jemputlah golok merah melengkung itu."
Cui Sing menurut, pelahan2 ia mendekati Hiat-to Loco dan menjemput golok milik
paderi itu. Melihat tindakan sigadis itu, Tik Hun tahu tindakan selanjutnya tentu goloknya
akan membacok hingga kepala Hiat-to-ceng terpenggal. Tapi paderi tua itu
ternyata adem-ayem saja, kedua matanya seperti terpejam dan seperti melek,
terhadap bahaya yang sedang mengancam itu ternyata tidak digubrisnya.
Kiranya waktu itu Hiat-to Loco merasa tenaga pada kaki dan tangannya mulai
tumbuh, asal tahan lagi setengah jam, meski belum kuat benar, tapi untuk
berjalan tentu dapat. Dan justeru pada saat genting itulah Cui Sing sudah
mendahului menyambar goloknya. Walaupun dalam keadaan tak bergerak, tapi
pertarungan batinnya sebenarnya tidak kalah seru daripada pertempurannya melawan
Lau Seng-hong dan Liok Thian-ju tadi.
Dalam pada itu tampaknya Cui Sing sudah akan segera menyerang padanya, diam2
Hiat-to-ceng menghimpun setitik tenaga yang sangat lemah dari seluruh tubuhnya
itu kelengan kanan. Diluar dugaan terdengar Hoa Tiat-kan berseru: "Dan tindakan kedua, bunuhkah
lebih dulu Hwesio muda itu. Lekas, lebih cepat lebih baik, bunuh dulu Hwesio
muda itu." Seruan itu benar2 tak tersangka oleh Cui Sing, Hiat-to-ceng dan Tik Hun sendiri.
Dan karena melihat sigadis masih tertegun, segera Tiat-kan berteriak lagi:
"Hayolah lekas! Hwesio tua itu tak bisa bergerak, maka lebih penting bunuhlah
Hwesio muda itu dahulu. Jika kau membunuh paderi tua dulu, tentu sipaderi muda
akan mengadu jiwa dengan kau!"
Benar juga pikir Cui Sing, segera ia menghunus goloknya kedepan Tik Hun. Tapi
mendadak ia menjadi ragu2. "Dia pernah membantu ayahku dengan membunuhnya
sehingga terhindar dari siksaan dan hinaan sipaderi tua yang jahat itu. Apakah
sekarang aku harus membunuhnya atau tidak?"
Rasa ragu2 itu hanya timbul sekilas lintas, sebab ia lantas ambil keputusan
harus membunuhnya. Dan sekali angkat goloknya, terus saja ia membacok keleher
Tik Hun. Cepat pemuda itu berguling menyingkir, ketika bacokan kedua kalinya tiba pula,
kembali Tik Hun menggelundung pergi lagi. Menyusul ia lantas sambar sebatang
kayu dan dibuat menangkis. Namun beruntun Cui Sing menabas dan memotong hingga
batang kayu itu terpapas dua bagian.
Ketika untuk sekali lagi Cui Sing hendak membacok, se-konyong2 pergelangan
tangannya terasa kencang, golok merah itu tahu2 telah dirampas oleh seorang dari
belakang. Yang merebut golok itu tak-lain-tak-bukan adalah Hiat-to Loco. Oleh karena
tenaganya baru tumbuh setitik dan terbatas, sebaliknya keadaan mendesak ia harus
bertindak, maka ia tidak boleh meleset bertindak, dengan mengincar jitu benar2,
sekali rebut segera golok pusakanya kena dirampas kembali. Dan begitu memegang
senjata, tanpa pikir lagi ia terus membacok kepunggung Cui Sing.
Kejadian yang luar biasa cepat dan mendadak itu membikin Cui Sing terkesiap
bingung hingga tidak sempat menghindar serangan Hiat-to-ceng itu.
Kebetulan Tik Hun berada disebelah situ, melihat sipaderi tua hendak mengganas
lagi, segera ia berteriak: "Hai, jangan membunuh orang lagi!" ~ Berbareng ia
terus menubruk maju sekuatnya meski dengan setengah mengesot, batang kayu
ditangannya terus dipakai mengetok kepergelangan tangan sipaderi tua.
Jika dalam keadaan biasa, tidak nanti tangan Hiat-to-ceng kena diketok. Tapi
kini tenaganya hanya setitik saja, mungkin tiada satu bagian daripada tenaganya
semula. Maka cekalannya menjadi kendur dan golok jatuh ketanah. Berbareng kedua
orang lantas berebut menjemput golok itu.
Karena badan Tik Hun mengesot ditanah, tangannya dapat menjamah dulu garan golok
itu, tapi segera lehernya terasa kencang dan napas sesak, tahu2 Hiat-to-ceng
telah mencekiknya. Untuk tidak mati tercekik, terpaksa Tik Hun melepaskan golok itu dan menggunakan
tangannya untuk membentang cekikan Hiat-to-ceng. Namun paderi tua itu sudah
bertekad sekali ini pemuda itu harus dicekik mampus mumpung tenaga sendiri masih
ada setitik, kalau tidak dirinya sendiri nanti yang akan dibunuh olehnya.
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa sebenarnya tiada maksud Tik Hun hendak
membunuhnya, soalnya tadi pemuda itu tidak tega kalau Cui Sing terbinasa lagi
dibawah golok sipaderi, maka tanpa pikir terus turun tangan menolong.
Begitulah Tik Hun merasa napasnya semakin sesak dan dada se-akan2 meledak. Ia
coba tarik2 tangan sipaderi yang mencekiknya itu, tapi tidak berhasil. Mendadak
ia menjadi nekat dan balas mencekik leher Hiat-to-ceng dengan mati2an. Maka
terjadilah pergumulan hebat.
Hiat-to-ceng insaf setitik tenaganya itu sangat terbatas, mati-hidupnya hanya
tergantung pada seujung rambut saja. Sekali Hwesio cilik itu sudah timbul maksud
hianatnya, menurut undang2 Hiat-to-bun, pengkhianat harus dibasmi dulu baru
kemudian membunuh musuh luar. Maklum, musuh luar gampang dihadapi, sebaliknya
musuh dalam, kaum penghianat, lebih susah dijaga. Pula ia menduga sebelum esok
pagi Hoa Tiat-kan takkan dapat bergerak, sedangkan ilmu silat Cui Sing sangat
cetek, mudah dihadapi. Maka usahanya sekarang melulu dicurahkan untuk mencekik
mati Tik Hun. Semakin lama semakin kencang cekikannya.
Ketika napas Tik Hun takbisa lancar lagi, mukanya menjadi merah padam, tangannya
mulai lemas dan tak kuat balas mencekik, pelahan2 tangannya mengendur, dalam
benak sekilas: "Matilah aku, matilah aku!"
Waktu melihat kedua paderi itu saling bergumul ditanah salju, Cui Sing juga tahu
duduknya perkara disebabkan Tik Hun hendak menolong jiwanya. Tapi ia merasa
kedua paderi jahat itu saling membunuh, kenapa aku tidak membiarkan mereka
kepayahan dahulu atau mungkin keduanya nanti akan gugur bersama.


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tapi sesudah mengikuti pergumulan itu sebentar, lambat laun tertampak tangan Tik
Hun mulai lemas dan tidak kuat balas menyerang lagi. Mau-tak-mau Cui Sing
menjadi kuatir, sebab kalau paderi muda itu terbunuh, tentu menjadi giliran
dirinya yang akan dibunuh lagi oleh paderi tua itu.
"Cui-titli," tiba2 Hoa Tiat-kan berseru pula, "saat inilah kesempatan paling
bagus untuk turun tangan! Hayolah, lekas jemput kembali golok itu."
Cui Sing menurut, golok merah itu dijemputnya lagi.
"Nah, sekarang bunuhlah kedua paderi jahat itu, lebih cepat lebih baik," seru
Tiat-kan pula. Dengan menghunus golok Cui Sing melangkah maju dengan maksud membunuh Hiat-to
Loco dulu. Tapi demi melihat kedua orang masih bergumul menjadi satu, padahal
golok itu tajamnya tidak kepalang, sekali tabas, bukan mustahil ke-dua2nya akan
mati semua. Ia pikir Tik Hun tadi telah menyelamatkan jiwanya sendiri biarpun Hwesio muda
itu jahat toh terhitung pula tuan penolongnya, mana boleh ia membalas susu
dengan tuba" Tapi kalau mesti menanti lubang baik untuk melulu bunuh Hiat-to
Loco seorang, ia merasa tangan sendiri juga sangat lemas, sedikitpun ia tidak
yakin serangannya nanti akan dapat mengenai sasarannya dengan tepat.
Tengah Cui Sing merasa ragu2 dan serba susah, tiba2 Hoa Tiat-kan mendesaknya
pula: "Cui-titli, hayolah lekas turun tangan, apa yang kau tunggu lagi" Jangan
kau lewatkan kesempatan bagus ini, untuk membalas sakit hati ayahmu, inilah
saatnya!" "Tapi ........ tapi mereka berdua bergumul menjadi satu dan ...... dan tak terpisahkan,"
ujar Cui Sing. "Geblek kau, bukankah aku suruh kau membunuh mereka berdua?" omel Tiat-kan
dengan gusar. Sebagai seorang tokoh terkemuka, ia adalah ketua dari Tiat-jiang-
bun di Kang-say, sudah biasa ia memerintah dirumah dan apa yang dikatakan tiada
yang berani membangkang, maka ia menjadi jengkel waktu Cui Sing tidak lantas
turut perintahnya. Nyata ia lupa dirinya sendiri dalam keadaan tak berkutik, sedang Cui Sing
sebenarnya juga sudah benci dan pandang hina padanya. Keruan ucapannya yang
kasar itu sangat menusuk perasaan Cui Sing dan membuatnya naik darah.
"Ya, ya, aku anak geblek, dan kau kesatria yang gagah," demikian kontan sigadis
balas mendamperat. "Tapi mengapa kau sendiri tadi tidak berani bertempur mati2an
dengan dia" Jika kau mampu, hayolah kau sendiri membunuh mereka saja. Hm,
pengecut." Dasar Hoa Tiat-kan juga sangat licik, ia dapat melihat gelagat dan menuruti arah
angin, lekas2 ia menyambut dengan tersenyum: "Ya, ya, memang Hoa-pepek yang
salah, harap Cui-titli jangan marah. Nah, pergilah membunuh kedua paderi jahat
itu untuk membalas sakit hati ayahmu. Penjahat besar sebagai Hiat-to-ceng itu
dapat mati ditanganmu, kelak dunia Kangouw pasti akan sangat kagum kepada
seorang Cui-lihiap yang perkasa dan berbakti pula."
Tapi semakin cerewet ia mengumpak, semakin membikin Cui Sing merasa mual dan
benci. Ia melototi manusia hina itu sekali, lalu melangkah maju, ia incar
punggung Hiat-to Loco dan bermaksud menyayatnya dua-tiga kali dengan golok agar
paderi tua itu terluka dan mengalirkan darah, sebaliknya Tik Hun tidak terluka
apa2. Namun disamping bergumul dengan Tik Hun, senantiasa Hiat-to Loco juga
memperhatikan gerak-gerik Cui Sing. Ketika melihat gadis itu mendesak maju
dengan golok terhunus, segera iapun dapat menaksir maksudnya, sebelum orang
bertindak, ia sudah mendahului menegur dengan suara tertahan: "Baiklah, boleh
kau potong punggungku dengan perlahan, tapi hati2, jangan sampai Hwesio cilik
ini ikut terluka." Cui Sing kaget. Sudah banyak ia merasakan siksaan Hiat-to-ceng itu, memangnya ia
sangat jeri padanya, maka demi mendengar maksudnya kena ditebak, ia menjadi
ragu2. Dan karena sedikit tertegun itu, ia urung menyerang pula. Padahal Hiat-to
Loco hanya main gertak belaka.
Dalam pada itu Tik Hun yang dicekik Hiat-to Loco itu semakin payah keadaannya.
Ia merasa dadanya se-akan2 melembung karena takdapat mengeluarkan napas. Segera
hawa yang terhimpun didalam paru2 itu menerjang keatas, tapi karena jalan napas
ditenggorokan tercekik dan buntu, hawa itu lantas membalik kebawah.
Begitulah hawa dada itu lantas mengamuk dengan menerjang kesini dan menumbuk
kesana untuk mencari jalan keluar, tapi tetap buntu. Dalam keadaan begitu, bila
orang biasa, achirnya tentu akan pingsan dan mati sesak napas. Tapi Tik Hun
justeru tidak mau pingsan, sebaliknya ia merasakan penderitaan yang tak
terkatakan pada seluruh tubuhnya, yang terkilas dalam pikirannya yalah: "Matilah
aku! Matilah aku!" Se-konyong2 Tik Hun merasa perutnya sangat kesakitan, hawa didalam itu makin
lama semakin melembung dan bertambah panas, jadi mirip uap panas yang takbisa
keluar dari dalam kuali, perut serasa akan meledak. Pada saat lain, tiba2 "Hwe-
im-hiat" pada bagian bawah perut se-akan2 tertembus suatu lubang oleh hawa panas
itu, ia merasa hawa panas itu mengalir sedikit demi sedikit menuju ke "Tiang-
kian-hiat" dibagian bokong, rasanya sangat nyaman sekali badannya sekarang.
Sebenarnya kedua Hiat-to didalam tubuhnya itu satu sama lain tiada berhubungan,
tapi karena hawa panas yang bergolak didalam tubuhnya menghadapi jalan buntu,
secara tak disengaja hawa itu menerjang kian kemari dan achirnya telah
menembuskan jalan darahnya antara urat nadi Im-meh dan Tok-meh itu.
Dan sekali hawa dalam itu masuk ke "Tiang-kiang-hiat", terus saja hawa itu
menyusur naik melalui tulang punggung, yaitu melalui titik2 hawa yang tercakup
dalam lingkungan Tok-meh hingga achirnya mencapai "Pek-hwe-hiat" dibagian ubun2
kepala. Biasanya biarpun dilatih secara giat dan rajin selama berpuluh tahun oleh
seorang ahli Lwekang yang paling pandai juga belum tentu dapat menembus urat2
nadi Im-meh dan Tok-meh. Tapi Tik Hun sejak mendapat ajaran intisari Lwekang
maha hebat dari "Sin-ciau-keng" ketika sama2 berada didalam penjara dengan Ting
Tian dulu, kendati Lwekang itu sangat bagus, untuk melatihnya dengan baik juga
tidak gampang, maka sampai kapan Tik Hun baru dapat meyakinkan ilmu Lwekang itu
sesungguhnya juga masih merupakan suatu tanda tanya, apalagi bakat pembawaan
pemuda itu bukan tergolong pilihan, pula tiada petunjuk lagi dari Ting Tian.
Siapa duga disaat jiwanya tergantung pada ujung rambut ditengah jurang bersalju
itu, se-konyong2 jalan darah kedua urat nadi Im-meh dan Tok-meh yang penting itu
dapat ditembusnya. Begitulah maka ia menjadi segar merasakan hawa dalam itu menerjang ke "Pek-hwe-
hiat" diatas kepala. Hawa nyaman itu kemudian menurun kebagian jidat, hidung,
bibir hingga sampai di "Seng-ciang-hiat" dibawah bibir.
"Seng-ciang-hiat" itu sudah termasuk urat nadi "Im-meh" yang meliputi Hiat-to
disebelah depan tubuh manusia. Maka dari situ hawa segar itu terus mengalir
melalui Liat-coan-hiat, Thian-tut-hiat, Soan-ki-hiat dan lain2 hingga achirnya
sampai "Hwe-im-hiat" lagi.
Jadi hawa segar itu telah memutar satu kali diantara titik2 Hiat-to ditubuh Tik
Hun hingga seketika rasa sesak tadi hilang sama sekali, bahkan kini merasa
nikmat dan segar luar biasa.
Untuk pertama kali jalannya hawa murni itu agak sulit, tapi sekali sudah lancar,
untuk kedua dan ketiga kalinya menjadi sangat gampang dan cepat jalannya, maka
hanya dalam waktu singkat saja be-runtun2 hawa murni itu sudah berputar sampai
belasan kali. Sebenarnya setiap jenis ilmu Lwekang juga mempunyai cara2 menembus urat nadi Im-
meh dan Tok-meh itu, namun manfaatnya sesudah berhasil melatihnya satu sama lain
ber-beda2. Mirip seperti orang yang melatih Gwakang, daya pukulan atau tendangan
masing2 mempunyai kekuatannya sendiri2.
Sedangkan Lwekang dari "Sin-ciau-keng" itu adalah semacam ilmu paling gaib dalam
ilmu silat. Sudah cukup lama Tik Hun meyakinkan Sin-ciau-kang, yaitu sejak dia
mengeram didalam penjara, jadi dasarnya sebenarnya sudah terpupuk kuat. Maka
sekali dia sudah lancar menjalankan hawa murni itu, setiap kali hawa itu memutar
titik2 Hiat-to dalam tubuhnya, setiap kali bertambah pula tenaga dalamnya. Ia
merasa anggota badannya sekarang se-akan2 penuh tenaga, semangat me-nyala2,
bahkan setiap ujung rambut juga se-akan2 penuh mengandung tenaga.
Dengan sendirinya hal mana tak diketahui oleh siapapun juga, Hiat-to Loco tidak
menduga bahwa orang yang sedang dicekiknya itu sudah terjadi perubahan yang maha
besar. Maka ia tidak perhatikan keadaan Tik Hun, sebaliknya sambil mencekik,
yang dia perhatikan adalah golok yang dihunus oleh Cui Sing itu.
Dalam pada itu tenaga murni didalam tubuh Tik Hun makin lama bertumbuh makin
kuat, mendadak sebelah kakinya mendepak, "bluk", tepat sekali perut Hiat-to Loco
kena ditendang. Tenaga tendangan itu ternyata tidak alang kepalang kuatnya,
tanpa ampun lagi tubuh paderi tua itu mencelat dan me-layang2 keudara.
Keruan Cui Sing dan Hoa Tiat-kan menjerit kaget berbareng, mereka tidak tahu
apakah yang terjadi sebenarnya" Yang sudah terang yalah tubuh Hiat-to-ceng
mencelat dan berjungkir-balik diudara, habis itu lantas menancap kedalam salju
dengan kaki diatas. Begitu keras jatuhnya itu hingga badan paderi tua itu ambles
semua kedalam salju, hanya sepasang kakinya yang menongol dipermukaan salju, dan
malahan sudah takbisa bergerak lagi sedikitpun.
Cui Sing dan Hoa Tiat-kan sampai terkesima menyaksikan itu. Begitu pula Tik Hun
juga tidak percaya kepada matanya sendiri, ia lebih2 tidak percaya pada saat
sudah dekat ajalnya itu mendadak sekali depak bisa membikin Hiat-to Loco
mencelat keudara" Namun iapun tidak mau banyak pikir lagi, segera ia melompat bangun, tapi baru ia
berdiri, mendadak kakinya kesakitan, ia menjerit sekali dan jatuh lagi. Nyata ia
lupa bahwa sebelah kakinya sudah patah.
Tapi sekarang tenaga dalamnya sudah sangat kuat, gerak perubahannya dengan
sendirinya sangat cepat, begitu jatuh, segera tangan kanan dipakai menahan, lalu
meloncat bangun lagi dan berdiri dengan sebelah kaki.
Waktu ia pandang Hiat-to Loco, paderi tua itu tampak masih menancap didalam
salju dengan kaki diatas tanpa bergerak sedikitpun. Girang dan kejut Tik Hun, ia
kucak2 mata sendiri, ia ragu2 akan dirinya bukan dialam mimpi" Namun sesudah ia
tegaskan, memang benar2 Hiat-to Loco itu menancap secara terjungkir didalam
salju. Waktu Tik Hun melompat bangun tadi, karena kuatir dirinya diserang, maka Cui
Sing telah menggeser mundur sambil siapkan golok didepan dada untuk menjaga
segala kemungkinan. Tapi ia melihat Tik Hun bersikap kebingungan sambil meng-
garuk2 kepala sendiri yang gundul itu, agaknya kejadian didepan matanya itu
telah membuatnya ter-heran2.
Pada saat itulah tiba2 terdengar Hoat Tiat-kan berseru: "Wah ilmu sakti Siausuhu
ini benar2 tiada tandingannya dijagat ini, sekali depak paderi tua itu sudah
terbunuh olehnya, tenaga tendangannya itu bukan mustahil ada ribuan kati
kerasnya. Tindakan Siausuhu itu benar2 bijaksana dan tanpa pandang bulu. Manusia
jahat dan kejam sebagai Hiat-to-ceng itu memang setiap orang pantas
membunuhnya." "Huh," jengek Cui Sing saking tidak tahan mendengar ocehan yang tidak kenal malu
itu. "Masih kau berani mengaco-belo segala, apakah kau tidak kuatir orang merasa
mual" Pengecut!"
"Ah, kau tahu apa?" balas Hoa Tiat-kan. "Dalam keadaan bahaya Siausuhu itu
berhasil meyakinkan ilmu saktinya, badannya sekarang sudah memiliki tenaga dalam
yang maha kuat, bahkan diwaktu paderi tua itu masih hidup juga kalah kuat
daripadanya. Itulah tanda orang baik tentu mempunyai rejeki besar. Selamat
bahagialah, Siausuhu!"
Nyata, biarpun Hoa Tiat-kan itu seorang rendah jiwanya, tapi pandangannya memang
sangat tajam. Sekali melihat air muka Tik Hun bercahaya dan penuh semangat,
dibandingkan keadaan pemuda itu tadi, perbedaannya boleh dikata seperti langit
dan bumi. Maka ia dapat menduga pasti pada saat menentukan tadi mendadak pemuda
itu telah berhasil meyakinkan semacam Lwekang yang maha lihay, dari tenaga
tendangannya kepada Hiat-to Loco yang luar biasa kerasnya itu, ia menaksir
sekalipun dirinya dalam keadaan bebas dan sehat juga tiada separoh dari kekuatan
tendangan itu. Dan Tik Hun sendiri ternyata masih bingung, ia tanya dengan ter-gagap2: "Kau ......
kau bilang aku ....... aku telah menendang mati dia?"
"Ya, ya, itulah tidak usah disangsikan lagi," sahut Hoa Tiat-kan. "Jikalau
Siausuhu tidak percaya, boleh coba kau tabas dulu kedua kakinya, lalu menariknya
keluar dari salju untuk diperiksa. Dan nanti tentu Siausuhu akan percaya pada
omonganku." Dasar dia memang licin, maka setiap tipu yang dia rencanakan selalu sangat keji.
Ia suruh Tik Hun tabas dulu kedua kaki Hiat-to Loco, tujuannya kalau2 dugaannya
meleset dan paderi tua itu masih hidup, namun toh takbisa berkutik lagi karena
kakinya sudah terkutung. Namun Tik Hu tidak mau turut sarannya itu, ia pandang Cui Sing hingga gadis itu
mundur ketakutan sebab mengira pemuda itu hendak merebut goloknya.
Tik Hun menggoyang kepala dan katanya: "Jangan takut, aku takkan bikin susah
padamu. Tadi engkau tidak membunuh aku bersama Hwesio tua itu, terimalah kasihku
ini." Cui Sing hanya mendengus sekali dan tidak menjawab.
"Cui-titli, salah kau kalau begitu," timbrung Hoa Tiat-kan tiba2. "Siausuhu
dengan jujur mengucapkan terima kasih padamu, seharusnya kaupun balas terima
kasih padanya. Tadi sewaktu paderi tua yang jahat itu membacok kepunggungmu,
bila Siausuhu ini tidak 'lin-hiang-sik-giok' dan menolong padamu, saat ini
jiwamu tentu melayang."
Mendengar ucapan "Lin-hiang-sik-giok" (kasih wangi dan sayang pada giok, kiasan
kesukaan orang kepada kaum wanita) itu, Tik Hun dan Cui Sing mendelik bersama
kepada manusia rendah itu.
Padahal biarpun Cui Sing terhitung satu gadis jelita, tapi maksud Tik Hun
menolongnya tadi hanya timbul secara spontan karena tidak ingin melihat orang
baik2 dibunuh sipaderi jahat. Tapi dengan ucapan Hoa Tiat-kan itu menjadi se-
akan2 maksud tujuannya menolong itu tidak sehat.
Sebaliknya Cui Sing memang sangsi dan sirik kepada Tik Hun, maka ucapan Hoa
Tiat-kan itu jadi menambah rasa bencinya kepada pemuda itu. Ia merasa kedua
orang itu sama2 jahat dan rendah. Sekilas dilihatnya jenazah sang ayah, terus
saja ia berlari mendekati dan mendekap diatas mayat itu sembari menangis ter-
gerung2. "Siausuhu, siapakah gelaranmu yang mulia?" demikian Hoa Tiat-kan menanya dengan
cengar-cengir. Tik Hun menjadi mual dibuatnya. Sahutnya ketus: "Aku bukan Hwesio, maka jangan
panggil2 Suhu padaku. Aku memakai jubah paderi adalah terpaksa karena harus
menyamar untuk menyelamatkan diri."
"Aha, bagus jika begitu," seru Hoa Tiat-kan. "Kiranya Siausuhu, eh salah, tolol
benar aku ini! Eh, numpang tanya siapakah nama yang mulia dari Tayhiap?"
Meski sedang menangis, tapi tanya-jawab kedua orang itu samar2 juga didengar
oleh Cui Sing. Demi mendengar Tik Hun menyatakan dirinya bukan Hwesio ia menjadi
heran dan sangsi. Maka terdengar Tik Hun telah menjawab: "Aku she Tik, aku hanya seorang 'Bu-beng-
siauw-cut' (prajurit tak bernama alias keroco), seorang cacat yang beruntung
lolos dari cengkeraman elmaut, masakah kau sebut Tayhiap segala?"
"Bagus, bagus!" demikian Hoa Tiat-kan masih mengumpak setinggi langit. "Begitu
tangkasnya Tik-tayhiap, dengan Cui-titli yang jelita itu benar2 merupakan suatu
pasangan yang cocok. Pak comblang juga tidak perlu dicari lagi, aku inilah sudah
siap sedia. Hahaha, bagus, bagus, kiranya Tik-tayhiap memangnya bukan Cut-keh-
lang (kaum paderi), maka cukup menunggu tumbuhnya rambut lalu salin pakaian,
dengan demikian jadilah engkau seorang biasa, hakikatnya tidak perlu pakai
upacara kembali kemasyarakat ramai apa segala."
Rupanya Hoa Tiat-kan yakin benar2 Tik Hun pasti paderi dari Hiat-to-bun, tapi
karena kesemsem pada kecantikan Cui Sing, maka sengaja tidak mau mengaku asal-
usulnya. Lapat2 Cui Sing juga mempunyai pikiran seperti itu, maka ia bertambah kuatir
demi mendengar perkataan Hoa Tiat-kan itu. Ia berbangkit dan siapkan goloknya,
pabila gerak-gerik Tik Hun mengunjuk kekurangajaran, segera ia akan melabraknya
dengan mati2an. Namun Tik Hun hanya geleng2 kepala dan menyahut dengan kurang
senang: "Rupanya mulutmu perlu dikosek supaya lebih bersih. Mengapa selalu
bicara tentang hal2 kotor itu" Jikalau kita dapat keluar jurang ini dengan
selamat, selamanya aku tidak sudi melihat cecongormu lagi dan selamanya takkan
melihat muka nona Cui pula."
Hoa Tiat-kan melengak karena tidak jelas kemana perkataan Tik Hun itu hendak
menuju. Tapi sesudah memikir sejenak, segera ia sadar, katanya: "Aha, tahulah
aku, tahulah aku!" "Kau tahu apa?" damperat Tik Hun dengan melotot.
Maka berbisiklah Tiat-kan dengan lagak seorang detektip: "Ya, ya, tahulah aku.
Tentu didalam kuil Tik-tayhiap masih ada sicantik yang menjadi pilihanmu dan
nona Cui ini tidak dapat kau bawa pulang untuk menjadi suami-isteri abadi. Jika
demikian, haha, boleh juga jadilah suami-isteri sambilan barang beberapa hari,
apa halangannya sih?"
Biarpun bisik2, namun Cui Sing dapat mendengarnya juga. Keruan gusarnya tidak
kepalang, terus saja ia memburu maju, 'plak-plok, plak-plok', kontan ia persen
kedua pipi manusia rendah itu dengan empat kali gamparan.
Dengan acuh-tak-acuh Tik Hun mengikuti kejadian itu se-akan2 segala itu sama


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali tiada sangkut-paut dengan dirinya.....
Begitulah sejam demi sejam telah lalu dan Hiat-to Loco tetap terjungkir menancap
didalam salju tanpa bergerak. Meski batin ketiga orang yang berada ditengah
jurang itu masing2 mempunyai pikirannya sendiri2, tapi rasa sangsi terhadap
Hiat-to-ceng itu lambat-laun sudah banyak berkurang. Namun begitu, beberapa kali
Cui Sing bermaksud menabas kedua kaki paderi jahat itu toh tetap tak berani
melakukannya. Sesudah mengalami peristiwa hebat itu, Cui Sing menjadi lapar sekali. Ia melihat
restan daging kuda panggang tadi masih terserak disitu. Kini ayahnya sudah
tewas, jiwa dan kesucian sendiri juga masih terancam, dengan sendirinya tak
terpikir lagi olehnya apakah daging kuda itu berasal dari kuda kesayangannya
atau bukan" Segera ia mengeluarkan ketikan api, ia menyalakan kayu kering yang
berada disitu dan mulai memanggang daging kuda lagi.
Hoa Tiat-kan sendiri belum bisa berkutik, maka tanpa bosan2 ia masih terus
mengumpak dan menjilat. Tapi Tik Hun tidak ambil pusing lagi padanya, ia rebah
ditanah salju itu untuk memulihkan semangat. Sedang Cui Sing ter-mangu2
memandang api unggun yang me-nyala2 itu dengan air mata bercucuran. Air matanya
menetes kesalju hingga salju mencair, tapi pelahan2 air salju itu lantas membeku
lagi. Setelah urat nadi Im-meh dan Tok-meh ditubuh Tik Hun mulai terhubung,
semangatnya terasa menyala2, satu arus hangat terasa mengalir mulai dari dada
sampai kepunggung dan dari punggung kembali kedada secara ber-ulang2 dan terus
mengalir tanpa berhenti. Setiap kali hawa hangat itu memutar satu kali, setiap bagian tubuh lantas merasa
penuh tenaga, meski kaki yang patah dan tempat2 bekas kena digebuk Cui Sing
masih kesakitan, tapi dengan timbulnya tenaga dalam itu, rasa sakit itu menjadi
mudah ditahan. Kuatir keadaan yang aneh dan ajaib sekali itu mungkin akan segera hilang, maka
Tik Hun tidak berani bergerak, ia merebah dan membiarkan hawa dalam itu mengalir
kian kemari diantara urat2 nadi Im-meh dan Tok-meh itu.
Begitulah mereka bertiga tiada seorangpun yang membuka suara. Sesudah lebih dua
jam, Cui Sing yang per-tama2 berbangkit, ia jemput golok merah dari dalam salju
dan coba mendekati Hiat-to-ceng yang selama itu masih tetap terjungkir menancap
didalam salju tanpa bergerak sedikitpun. Dengan beranikan hati, segera ia
membacok kaki kiri paderi itu, "crat", kontan sebelah kaki paderi itu tertabas
kutung. Tapi aneh bin heran, kaki kutung itu ternyata tidak berdarah. Waktu ditegaskan,
kiranya darah didalam tubuh Hiat-to Loco itu sudah membeku, ternyata paderi
durjana itu sudah sejak tadi tak bernyawa lagi.
Cui Sing bergirang dan bersedih pula. Segera ia angkat goloknya dan membacok
serabutan ketubuh paderi jahat itu. Pikirnya: "Paderi durjana tua ini sudah
mampus, tinggal paderi jahat yang muda itu entah cara bagaimana akan menyiksa
aku" Ayah sudah meninggal, sungguh akupun tidak ingin hidup lagi. Asal sedikit
aku akan diperlakukan dengan jahat, segera aku akan membunuh diri dengan golok
ini." Bahwasanya manusia itu betapapun tetap ingin hidup daripada mati, maka begitu
pula halnya dengan Cui Sing. Padahal jika dia benar2 hendak membunuh diri, saat
itu adalah kesempatan yang paling bagus. Tapi sebelum tiba saat yang paling
achir, dengan sendirinya ia tidak mau mati begitu saja.
Disebelah sana meski badan Hoa Tiat-kan tak dapat bergeruk, tapi segala apa
dapat dilihatnya dengan jelas. Namun iapun tidak jelas cara bagaimana Tik Hun
telah membinasakan Hiat-to-ceng itu, ia sangka mungkin tenaga murni paderi Tibet
itu sudah terkuras habis, keadaannya sudah payah, maka sekenanya Tik Hun
menghantam dan telah membinasakan dia.
Diam2 iapun bergirang, pikirnya: "Hwesio jahat kecil ini meski bengis, tapi
sangat gampang untuk dihadapi. Sebentar juga aku sudah dapat bergerak, sekali
tonjok saja tentu akan kutamatkan riwayatnya."
Dan sesudah hampir satu jam pula, Tik Hun merasa hawa hangat yang mengalir
didalam tubuhnya itu masih terus berputar tanpa hilang. Ia coba menjalankan ilmu
mengatur tenaga dalam dari Lwekang "Sin-ciau-keng" ajaran Ting Tian dahulu, maka
timbullah sesuatu yang diluar dugaan. Hawa dalam yang tadinya susah dikuasai itu
kini ternyata dapat dikendalikan sesuka hatinya, kemana ia ingin mengalirkan
hawa murni itu, segera dapat dilaksanakannya dengan baik.
Keruan TIk Hun sangat girang segera ia jemput sebatang kayu untuk dipakai
tongkat penyanggah ketiak dan mendekai Hiat-to-ceng secara ber-ingsut2. Ia
melihat mayat paderi itu masih terjungkir ambles didalam salju, kedua kakinya
sudah hancur luluh dibacok oleh Cui Sing tadi, terang sekali paderi itu memang
sudah mati. Ia pikir kejahatan paderi itu sudah melampaui takaran dan pantas
mendapatkan ganjaran setimpal itu. Tapi sesungguhnya juga paderi jahat itu
pernah menolongnya pula. Sebagai seorang yang jujur dan kenal budi, Tik Hun lantas seret mayat Hiat-to-
ceng dan ditaruh baik2 ditanah salju, ia menguruknya dengan gundukan salju
sekadar sebagai tanda kuburan paderi jahat itu.
Melihat perbuatan Tik Hun itu, timbul juga rasa ingin meniru Cui Sing. Iapun
mengubur jenazah sang ayah dengan cara seperti Tik Hun itu. Sebenarnya ia
bermaksud mengubur juga jenazahnya Lau Seng-hong dan Liok Thian-ju. Tapi yang
seorang itu mati diatas puncak karang sana dan yang lain terpendam didasar
salju, terpaksa ia batalkan niatannya itu.
Tik Hun merasa lapar, ia ambil dua potong daging kuda panggang dan dimakan.
"Siausuhu, aku sangat kelaparan, tolong kau suapi aku sepotong daging kuda itu,"
pinta Hoa Tiat-kan tiba2.
Tapi Tik Hun hanya menjengek sekali, ia benci pada martabat orang she Hoa yang
rendah itu, maka tak menggubrisnya.
Namun Hoa Tiat-kan masih terus memohon tanpa berhenti. Karena tidak tega, selagi
Tik Hun hendak jejalkan sepotong daging kuda kemulutnya agar manusia pengecut
itu tidak cerewet terus, tiba2 Cui Sing mencegahnya: "Daging ini berasal dari
kudaku, jangan berikan pada manusia tak kenal malu itu."
Tik Hun mengangguk tanda setuju, sebagai gantinya ia melotot sekali pada Hoat
Tiat-kan. Tapi Hoa Tiat-kan tidak putus asa, ia memohon pula:
"Siausuhu...................."
"Sudah kukatakan tadi bahwa aku bukan Hwesio, kenapa kau masih memanggil secara
ngawur?" bentak Tik Hun dengan mendongkol.
"Eh, ya, memang tolol benar aku ini," cepat Hoa Tiat-kan merendah diri. "Wah,
tadi sekali hantam Tik-tayhiap telah binasakan Hiat-to-ok-ceng itu, kelak namamu
pasti akan tersohor diseluruh jagat. Pabila aku sudah keluar dari lembah ini,
pekerjaanku yang pertama yalah menyiarkan keperkasaan Tik-tayhiap ini, bahwa
Tik-tayhiap telah berusaha menolong nona Cui tanpa menghiraukan keselamatan
sendiri dan achirnya dapat mampuskan Hiat-to-ok-ceng, sungguh kejadian ini
merupakan berita paling penting didunia persilatan."
"Aku adalah seorang bekas perantaian yang tak terhormat, siapa yang mau percaya
pada obrolanmu" Lebih baik tutup mulutmu saja," jengek Tik Hun.
"Jangan kuatir, Tik-tayhiap," masih Hoa Tiat-kan mengoceh. "Berdasarkan sedikit
namaku dikalangan Kangouw, apa yang kukatakan pasti akan dipercaya oleh siapapun
juga. Eh, Tik-tay-hiap, kasihlah sepotong dagingmu itu."
Tik Hun menjadi sebal direcoki terus, bentaknya: "Sudah kukatakan tidak kasih,
ya tetap tidak kasih. Kelak boleh kau siarkan pada orang Kangouw tentang nama
jelekku, emangnya aku ini orang apa" Masakah ada harganya dibuat cerita?" ~
Sampai disini, ia menjadi terkenang pada kisah derita yang telah dialaminya
dengan macam2 hinaan dan siksaan secara penasaran itu. Saking gusar dan
dongkolnya hampir2 ia tak tahan lagi.
Padahal sebenarnya Hoa Tiat-kan tidak sungguh2 ingin makan daging kuda, biarpun
lapar juga, tapi kelaparan sehari dua hari baginya sudah tentu bukan soal. Ia
kuatir Tik Hun itu "mewariskan" sifat jahat Hiat-to Loco dan mendadak mengamuk
serta membunuhnya, dari itu ia pura2 minta daging kuda sebagai siasat, ia pikir
Tik Hun tidak sudi memberi daging yang diminta, tentu dalam hati akan timbul
rasa gegetun, dan pikiran membunuh itu dengan sendirinya pula akan menjadi tawar
dan achirnya lenyap. Melihat cuaca mulai gelap, angin meniup dengan keras, segera Tik Hun berkata
pada Cui Sing: "Nona, boleh kau mengaso didalam gua itu!"
Cui Sing menjadi kuatir, ia sangka pemuda itu bermaksud jahat lagi, maka
bukannya menurut, sebaliknya ia mundur ketakutan, ia siapkan golok didepan dada
dan membentak: "Kau paderi jahat ini, asal kau berani mendekati aku selangkah,
segera nonamu ini akan membunuh diri."
Tik Hun melengak, cepat sahutnya: "Hei, jangan nona salah paham, sekali2 aku
tiada punya maksud jahat!"
"Huh, kau Hwesio cilik ini bermuka manusia, tapi hatinya binatang," damperat Cui
Sing mendadak. "Tertawamu itu berbisa, jauh lebih jahat dan licik daripada
Hwesio tua jahanam itu. Huh, jangan harap aku dapat kau tipu."
"Tik Hun tidak ingin banyak berdebat lagi, pikirnya: "Besok pagi begitu terang
tanah segera aku akan mencari jalan keluar untuk meninggalkan lembah ini. Apakah
dia Cui-kohnio dan Hoa-tayhiap apa segala, selama hidupku ini aku takkan melihat
cecongor mereka lagi." ~ Maka tanpa bicara ia lantas menyingkir jauh2 kesana, ia
merebah dan bersandar disuatu batu padas dan tidur.
Sebaliknya Cui Sing telah pandang Tik Hun sebagai seorang paderi cabul tulen,
semakin jauh ia menyingkir, semakin keji dan culas pula muslihatnya, bukan
mustahil nanti tengah malam mendadak dirinya akan disergap olehnya.
Karena itu, Cui Sing tidak berani masuk kedalam gua itu, ia kuatir kalau tengah
malam digerayangi Tik Hun, kan bisa celaka" Maka dengan hati tidak aman iapun
duduk bersandar sebuah batu, matanya makin lama makin sepat, kantuk sekali
rasanya, tapi selalu ia memperingatkan dirinya sendiri: "Awas, jangan tidur!
Jangan tidur! Jika tidur, kau akan digerayangi paderi jahat itu!"
Tapi setelah mengalami kejadian2 selama beberapa hari ini, sesungguhnya ia sudah
sangat lelah, lahir maupun batin. Walaupun ia bertahan sedapat mungkin agar
tidak terpulas, tapi lama kelamaan, tanpa merasa iapun tertidur achirnya.
Dan tidurnya itu nyenyak benar2 hingga esok paginya. Ia merasa sinar sang surya
gilang gemilang, ia terjaga bangun. Cepat ia melompat bangun sambil sambar golok
merah yang semula terletak disampingnya. Tapi tangannya memegang tempat kosong,
keruan ia tambah gugup. Waktu ditegaskan, kiranya Hiat-to itu masih baik2 berada
disitu, cuma sedikit jauh dari tempatnya tadi. Rupanya dalam tidurnya tanpa
merasa ia membalik tubuh dan menggeser tempat. Ia jemput kembali senjata tajam
itu, waktu ia pandang kedepan, ia melihat Tik Hun sedang jalan berincang-incut
keluar lembah sana dengan kakinya yang pincang. Ia menjadi girang, ia pikir
"Hwesio" jahat itu tentu bermaksud pergi dari lembah bersalju itu.
Memang benar juga Tik Hun ingin mencari jalan keluar dari lembah itu. Tapi sudah
beberapa kali ia mencari jalan kejurusan timur dan ujung timur laut sana, namun
semuanya jalan buntu. Arah barat, utara dan selatan juga dilingkungi tebing
karang yang curam, terang juga jalan buntu. Ia lihat jurusan tenggara mungkin
ada harapan, tapi disitu salju bertimbun ber-puluh2 meter tingginya, sebelum
hawa panas dan salju cair, terang tak mungkin bisa keluar, apalagi sekarang ia
adalah seorang pincang, kakinya patah.
Setelah mencari jalan kian kemari selama setengah hari, achirnya ia putar balik
dengan hasil nihil dan badan letih. Dengan ter-mangu2 ia memandangi puncak
gunung diatas sana, air mukanya muram durja.
"Bagaimana, Tik-tayhiap?" tanya Hoa Tiat-kan tiba2.
Tik Hun menggeleng kepala, sahutnya: "Percuma, jalan buntu semua!"
Diam2 Hoa Tiat-kan memikir: "Kakimu patah, dengan sendirinya susah untuk keluar
dari lembah kurung ini. Tapi aku Hoa Tiat-kan masakah sudi dikeram terus disini"
Sampai sore hari nanti, asal jalan darahku sudah lancar, segera aku akan angkat
langkah seribu." ~ Hati berpikir begitu, tapi lahirnya ia pura2 tidak terjadi
apa2, katanya malah: "Kalian jangan kuatir, nanti bila jalan darahku sudah
lancar, pasti aku akan dapat menyelamatkan kalian dari sini."
Melihat selama itu Tik Hun tidak mengganggu padanya, mau-tak-mau rasa takut dan
kuatir Cui Sing menjadi berkurang. Tapi sedikitpun ia tidak lengah, ia masih
tetap was-was. Selalu ia menjauhi pemuda itu dan sepatah-katapun tidak mau
bicara padanya. Memangnya Tik Hun juga tidak sudi minta gadis itu memahami apa yang sebenarnya,
yang dia harap adalah selekas mungkin dapat meninggalkan lembah maut itu. Tapi
sekitar lembah terkurung salju tebal dan tinggi, ia menjadi sedih cara
bagaimanakah untuk dapat keluar dari situ"
Setelah lewat lohor kira2 jam dua sore, mendadak Hoa Tiat-kan bergelak tertawa,
katanya: "Cui-titli, daging kudamu itu Hoa-pepek akan pinjam beberapa kati,
sesudah makan dan keluar dari lembah ini, tentu akan kubayar kembali."
Dan belum lagi Cui Sing menjawab, se-konyong2 Hoa Tiat-kan sudah melompat bangun
dan mendekati tempat daging kuda panggang itu. Terus saja ia sambar sepotong
daging dan dimakan dengan lahapnya. Nyata jangka waktu tertutuk jalan darahnya
itu sudah berachir dan telah terbuka dengan sendirinya.
Cui Sing tahu percuma juga hendak merintangi, terpaksa ia tidak gubris padanya.
Sebaliknya demi Hiat-to sudah lancar kembali, sikap Hoa Tiat-kan menjadi berubah
aneh. Ia pikir Hiat-to-ceng sudah mati, sekarang, biarpun Tik Hun dan Cui Sing
bersatu mengeroyoknya juga pasti bukan tandingan dirinya. Dan cara bagaimana
dirinya akan perlakukan kedua muda-mudi itu boleh dikatakan tiada mungkin mereka
bisa melawan. Tapi tiada gunanya juga tinggal dilembah bersalju itu terlalu
lama, paling penting sekarang harus mencari jalan keluar dahulu.
Ia gunakan Ginkang untuk memeriksa sekitar lembah itu, ia melihat salju longsor
yang luar biasa ini telah menutup rapat lembah gunung itu. Jalan keluar satu-
satunya dari lembah itupun tertimbun salju berpuluh meter tingginya.
Ada juga akalnya, yaitu dengan cara menggangsir, menerobos dinding salju itu.
Tapi ya kalau tebal salju itu cuma beberapa atau belasan meter saja, sebaliknya
kalau be-ratus2 meter, apakah dia mampu menggangsir sejauh itu" Apalagi sesudah
berada dibawah salju, arah jurusannya menjadi susah dibedakan, bukan mustahil
sebelum berhasil menembus tanah salju itu lebih dulu orangnya sudah mati kaku
didalam situ. Sedangkan waktu itu baru permulaan bulan sebelas, kalau mesti menunggu sampai
musim panas tahun depan, sedikitnya harus menunggu lima bulan lagi. Padahal
seluruh lembah pegunungan itu hanya salju belaka, selama lima bulan itu harus
makan apa untuk bisa terus hidup"
Begitulah Hoa Tiat-kan memutar kembali sampai diluar gua batu itu, air mukanya
tampak muram dan berkerut. Sesudah duduk termenung sejenak, ia sambar sepotong
daging kuda panggang dan dimakan, selesai makan daging kuda itu, barulah ia
berkata dengan pelahan: "Untuk bisa keluar harus tunggu sampai hari Toan-ngo-ce
(perayaan Pek-cun) tahun depan."
Waktu itu Tik Hun berada disebelah kiri dan Cui Sing berada disisi kanan, jarak
mereka dengan Hoa Tiat-kan kira2 belasan meter jauhnya. Meski apa yang
digerundel Hoa Tiat-kan itu sangat pelahan, tapi bagi pendengaran kedua muda-
mudi itu se-olah2 bunyi geledek kerasnya. Tanpa merasa kedua orang sama2
memandang kearah bangkai kuda yang terletak disamping api unggun itu, hati
mereka sama2 memikir: "Apakah dapat bertahan sampai Toan-ngo-ce tahun depan?"
Meski kuda tunggangan Cui Sing itu gemuk lagi besar, tapi dimakan tiga orang,
tidak sampai sebulan, achirnya habis juga daging kuda itu.
Lewat 7-8 hari pula, bahkan kepala kuda, kaki dan jerohan kuda juga termakan
ludes. Selama itu, Hoa Tiat-kan, Tik Hun dan Cui Sing sama2 tidak mengajak bicara,
terkadang sinar mata masing2 suka kebentrok, tapi segera saling melengos.
Sesudah sekian lamanya, rasa sirik dan curiga Cui Sing kepada Tik Hun sudah
banyak berkurang. Achirnya ia berani tidur didalam gua.
Akan tetapi dengan habisnya daging kuda, timbul pula semacam rasa waswas kepada
pemuda itu. Bukan kuatir pemuda itu akan berbuat hal2 yang tidak senonoh atas
dirinya, tapi takut kalau2 dirinya akan.......... dimakan oleh "Hwesio" jahat
itu. Sampai bilan ke-12, hawa dilembah kurung itu semakin dingin, angin men-deru2
sepanjang malam. Biarpun Tik Hun sudah berhasil meyakinkan "Sin-ciau-kang",
tenaga dalamnya bertambah penuh, tapi bajunya tipis dan compang-camping,
ditengah tanah bersalju sedingin itu, mau-tak-mau ia tersiksa juga.
Melihat orang kedinginan, tapi toh tidak pernah melangkah masuk kedalam gua
untuk menolak hawa dingin, mau-tak-mau Cui Sing merasa lega juga. Ia merasa
paderi jahat itu memang "jahat", tapi cukup sopan.
Selama lebih sebulan itu, luka diatas tubuh Tik Hun sudah sembuh seluruhnya,
kaki yang patah juga sudah tersambung kembali dan telah bisa berjalan seperti
biasa. Tenaga dalamnya makin hari juga makin tambah kuat. Sebaliknya hawa juga
makin dingin, tapi toh tidak begitu dirasakan olehnya.
Habisnya daging kuda sungguh merupakan suatu persoalan yang maha pelik.
Sebenarnya beberapa hari terachir itu sedapat mungkin Tik Hun telah mengurangi
makannya, boleh dikata asal sekadar mengisi perut saja. Tapi apa yang dia hemat
segera disapu habis oleh Hoa Tiat-kan yang tidak kenal sungkan2 itu.
Menyaksikan itu, diam2 Cui Sing membatin: "Hm, seorang pendekar besar yang
tersohor di Tionggoan, disaat menghadapi kesulitan ternyata kalah daripada
seorang paderi cabul cilik dari Hiat-to-bun!"
Begitulah Cui Sing masih tetap pandang Tik Hun sebagai "paderi cabul". Padahal
saat itu rambut Tik Hun sudah tumbuh kembali, dengan sendirinya bukan kepala


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gundul lagi. Sedangkan dikatakan cabul juga tidak betul, selama itu toh tiada
sesuatu perbuatannya yang membuktikan dia "cabul?"
Tengah malam itu, tiba2 Cui Sing terjaga dari tidurnya, ia mendengar Tik Hun
sedang membentak: "Jenazah Cui-tayhiap itu tidak boleh kau kutik2!"
Lalu terdengar Hoa Tiat-kan menjawab dengan dingin: "Hm, lewat beberapa hari
lagi, jangankan orang mati, bahkan orang hidup juga akan kumakan. Sekarang aku
makan orang mati dulu, supaya kau bisa hidup lebih lama beberapa hari lagi!"
"Kita lebih baik makan rumput atau akar pohon, tapi sekali2 tidak boleh makan
daging manusia!" sahut Tik Hun.
"Enyah kau!" bentak Hoa Tiat-kan mendadak.
Tanpa pikir lagi segera Cui Sing berlari keluar gua, ia melihat disamping
kuburan sang ayah yang berada disana itu berdiri dua orang yang sedang
bercekcok, yaitu Tik Hun dan Hoa Tiat-kan.
Segera Cui Sing ber-teriak2 sambil memburu kesana: "Jangan mengutik-ngutik
ayahku!" Dan sesudah dekat, Cui Sing melihat salju yang tadinya menguruk diatas jenazah
sang ayah itu telah dibongkar, bahkan tangan kiri Hoa Tiat-kan sudah memegangi
jenazah sang ayah. Selagi Cui Sing hendak berteriak pula, tiba2 Tik Hun sudah membentak pada Hoa
Tiat-kan: "Taruh kembali!"
"Baiklah, taruh kembali ya taruh kembali!" sahut Hoa Tiat-kan. Habis berkata,
benar juga ia lantas letakan mayatnya Cui Tay.
Melihat itu, Cui Sing rada lega, bentaknya: "Hoa Tiat-kan, kau sesungguhnya
bukanlah manusia!" Tapi belum habis ia memaki, se-konyong2 sinar tajam berkelebat, tahu2 Hoa Tiat-
kan melolos keluar sebatang tumbak pendek dari bajunya, sekali bergerak, secepat
kilat ia tusuk kedada Tik Hun.
Serangan itu teramat cepat, biarpun Lwekang Tik Hun sekarang sudah sangat
tinggi, tapi ilmu silatnya hanya biasa saja, tidak lebih cuma sedikit ilmu
pukulan dan permainan pedang yang pernah diperolehnya dari Jik Tiang-hoat,
dengan sendiri ia tidak mampu melawan serangan kilat diluar dugaan dari Hoa
Tiat-kan yang tergolong tokoh kelas satu itu.
Ketika Tik Hun insaf apa yang terjadi, sementara itu ujung tumbak musuh sudah
sampai didadanya. Keruan Cui Sing ikut kaget dan menjerit dengan kuatir.
Dengan berhasilnya serangan kilat secara mendadak itu, Hoa Tiat-kan yakin
tumbaknya pasti akan menembus dada lawan dan seketika lawan itu akan terbinasa.
Siapa duga, begitu ujung tumbaknya mencapai dada Tik Hun, tiba2 seperti
terhalang oleh sesuatu dan takbisa masuk.
Karena tusukan dan dorongan tumbak itu, Tik Hun terperosot jatuh dan duduk, tapi
tangan kirinya sempat diangkat dan menghantam ke-kuat2nya kebatang tumbak lawan.
"Krak", tahu2 garan tumbak terhantam patah menjadi dua, bahkan tenaga pukulan
itu sedemikian kerasnya hingga Hoa Tiat-kan ikut terpental dan jatuh
terjengkang. Keruan kejut Hoa Tiat-kan tak terkatakan, sungguh tak terduga olehnya bahwa ilmu
silat Hwesio cilik itu ternyata sedemikian aneh dan sakti, bahkan tidak dibawah
Hwesio tua yang sudah mati itu. Cepat ia menggelundung pergi hingga beberapa
kali, lalu melompat bangun dan lari jauh2 kesana.
Ia tidak tahu bahwa tusukan tumbak itu tidak menembus badan Tik Hun, tapi saking
kerasnya sodokan itu hingga dada Tik Hun terasa sesak dan napas se-akan2
berhenti. Kontan iapun jatuh pingsan.........
********* Sang dewi malam sudah menghias ditengah cakrawala yang luas, dua ekor elang
besar tampak ber-putar2 diangkasa karena melihat sesosok tubuh menggeletak
ditanah salju, yaitu Tik Hun.
Melihat Tik Hun menggeletak dan tak berkutik lagi, Cui Sing menyangka pemuda itu
sudah ditusuk mampus oleh tumbak Hoa Tiat-kan itu, ia menjadi girang "Siau-ok-
ceng" (paderi jahat kecil) yang ditakuti itu achirnya telah mati, selanjutnya ia
tidak perlu takut diganggu orang lagi. Tapi segera terpikir pula olehnya: "Hoa
Tiat-kan bermaksud makan daging jenazah ayahku, syukur Siau-ok-ceng itu yang
telah merintangi sepenuh tenaga, tapi ia berbalik terbunuh oleh Hoa Tiat-kan.
Padahal dia toh tidak perlu merintangi perbuatan Hoa Tiat-kan itu. Apa
barangkali dia sengaja hendak menipu supaya aku percaya padanya, tapi kemudian
aku akan di..... hm, tidak nanti aku dapat tertipu. Akan tetapi sesudah dia
mati, pabila jahanam Hoa Tiat-kan itu hendak mengganggu jenazah ayah lagi,
lantas bagaimana" Ai, sebaiknya Siau-ok-ceng itu jangan mati dulu."
Begitulah pertentangan pikiran Cui Sing pada saat itu, sebentar ia bersyukur
Siau-ok-ceng atau sipaderi jahat kecil yang ditakuti itu telah mati, tapi lain
saat ia berharap Tik Hun jangan mati agar dirinya mempunyai sandaran untuk
melawan Hoa Tiat-kan. Sambil memegangi golok merah, achirnya ia mendekati Tik Hun, ia melihat pemuda
itu menggeletak terlentang dan tidak bergerak sedikitpun, daging mukanya tampak
ber-kerut2 pelahan, nyata orangnya belum mati.
Cui Sing menjadi girang, cepat ia berjongkok untuk memeriksa napas Tik Hun. Tapi
waktu tangannya menjulur sampai didepan hidung Tik Hun, ia merasa dua rangkum
hawa panas dari lubang hidung itu menyembur ketangannya. Ia terkejut dan cepat
menarik tangan. Semula ia menyangka napas Tik Hun tentu kempas-kempis andaikan orangnya belum
mati, siapa duga napas yang keluar-masuk dihidung "Siau-ok-ceng" itu ternyata
begitu keras lagi panas. Sebab apakah Tik Hun tidak mempan ditusuk tumbak" Kiranya Tik Hun mengenakan
"Oh-jan-kah" pemberian Ting Tian dahulu, maka tumbak Hoa Tiat-kan itu tidak
dapat menembus tubuhnya. Namun sebagai salah satu tokoh "Lam-su-lo" yang
tersohor, ilmu silatnya dan tenaga dalamnya Hoa Tiat-kan dengan sendirinya luar
biasa, meski tusukannya tidak mempan atas Tik Hun, tapi tusukan itu tepat
menyodok didada pemuda itu hingga seketika Tik Hun lantas kelengar saking tak
tahan. Untung sekarang ia sudah berhasil meyakinkan "Sin-ciau-kang" hingga
jiwanya tidak sampai melayang oleh tusukan tumbak itu.
Begitulah Cui Sing baru tahu bahwa pemuda itu cuma pingsan saja, ia merasa rikuh
bila sebentar pemuda itu siuman kembali dan melihat dia berdiri disitu. Dan
selagi ia hendak menjauhi Tik Hun, baru ia menoleh, ia melihat Hoa Tiat-kan juga
berdiri tidak jauh dari situ dan sedang memperhatikan gerak-gerik mereka.
Hendaklah diketahui bahwa Hoa Tiat-kan juga tidak kurang kagetnya ketika
tumbaknya tidak mempan mengenai sasarannya, bahkan ia sendiri sampai terpental.
Tapi demi dilihatnya Tik Hun menggeletak tak bangun lagi, dengan sendirinya
cepat2 ia ingin mengetahui pemuda itu sudah mati atau masih hidup.
Selang sebentar, ketika dilihatnya Tik Hun tetap tidak bergerak, ia menduga
kalau tidak mati tentu pemuda itupun terluka parah. Maka tanpa takut2 lagi
segera ia mendekati Tik Hun.
Keruan yang ketakutan adalah Cui Sing, cepat ia membentak: "Pergi kau, pergi!"
"Kenapa aku mesti pergi?" sahut Hoa Tiat-kan dengan menyeringai. "Orang hidup
tentu lebih lezat daripada orang mati. Kita sembelih dia dan memakannya bersama,
bukankah sama2 baiknya?" ~Sembari berkata, ia terus melangkah maju.
Cui Sing menjadi sibuk, sekuatnya ia meng-guncang2 Tik Hun sambil berteriak:
"Bangunlah lekas, dia telah datang, dia telah datang!"
Dan demi nampak Hoa Tiat-kan sudah angkat sebelah tangannya hendak menghantam
ketubuh Tik Hun, tanpa pikir lagi Cui Sing putar goloknya, dengan jurus "Kim-
ciam-toh-jiat" (jarum emas penolong maut), segera ia menusuk dulu keulu hati Hoa
Tiat-kan. Senjata Hoa Tiat-kan, yaitu tumbak pendek, sudah dipatahkan oleh hantaman Tik
Hun tadi, kini ia hanya bertangan kosong, walaupun kepandaian Cui Sing tak
dipandang sebelah mata olehnya, tapi gadis itu bersenjatakan golok merah yang
maha tajam itu, terpaksa ia tidak berani ayal, segera ia mengeluarkan kepandaian
"Khong-jiu-jip-peh-yim" atau merebut senjata lawan dengan bertangan kosong. Ia
pusatkan perhatian untuk menempur Cui Sing dengan tujuan merebut dulu senjata
yang lihay itu. Dalam pingsannya itu, lapat2 Tik Hun mendengar teriakan Cui Sing tadi yang
menyuruhnya bangun, sesaat itu ia masih samar2 belum sadar dan tidak tahu apa
maksud gadis itu. Tapi menyusul ia lantas dengar suara bentakan2. Waktu ia
membuka mata, dibawah sinar bulan ia melihat Cui Sing sedang putar goloknya
menempur Hoa Tiat-kan dengan sengit.
Meski gadis itu bersenjata, tapi pertama ia tidak biasa memakai golok, kedua,
ilmu silatnya selisih terlalu jauh dibanding Hoa Tiat-kan, maka kelihatan gadis
itu sudah payah dan terdesak mundur terus, sampai achirnya, yang diharapkan
gadis itu adalah goloknya tidak dirampas musuh, sedangkan untuk balas menyerang
sudah tidak mampu lagi. Dan setiap beberapa jurus, selalu Cui Sing menoleh dan berteriak pada Tik Hun:
"Lekas bangun, dia hendak membunuh kau, lekas bangun!"
Mendengar itu, hati Tik Hun terkesiap, pikirnya: "Wah, hampir saja aku mati!
Jadi tadi dia telah menyelamatkan jiwaku. Bila dia tidak merintangi Hoa Tiat-
kan, tentu aku sudah dibunuh oleh Hoa Tiat-kan."
Dalam pada itu dilihatnya Cui Sing sedang terdesak dan terancam bahaya, tanpa
pikir lagi Tik Hun lantas melompat bangun, kontan ia menghantam sekali kearah
Hoa Tiat-kan. Ketika Hoa Tiat-kan memapak pukulan itu dengan telapak tangannya, "plak", dua
arus tenaga pukulan saling beradu, "bluk", tahu2 kedua orang sama2 tergentak
jatuh duduk. Kiranya tenaga dalam Tik Hun sudah sangat kuat, sebaliknya ilmu pukulan Hoa
Tiat-kan lebih lihay, maka gebrakan itu menjadi sama kuatnya.
Ilmu silat Hoa Tiat-kan lebih tinggi, gerak perubahannya menjadi lebih cepat.
Begitu ia jatuh terpental, cepat ia melompat bangun lagi dan pukulan kedua
segera dilontarkan pula. Tik Hun belum sempat berdiri kembali, terpaksa ia
sambut pukulan itu dengan berduduk.
Diluar dugaan, dalam keadaan berduduk itu tenaga Tik Hun ternyata tidak
berkurang sedikitpun, maka "blang", kembali kedua pukulan saling bentur, Tik Hun
terpental hingga berjumpalitan sekali, sebaliknya Hoa Tiat-kan juga ter-huyung2
dan hampir2 terjungkal lagi, darah dirongga dadanya juga bergolak hebat dan
hampir2 muntah darah. Diam2 ia terkejut: "Tenaga dalam Siau-ok-ceng ini ternyata sedemikian hebatnya!"
Tapi sesudah dua kali gebrak itu Hoa Tiat-kan tahu ilmu pukulan Tik Hun itu
hanya biasa saja dan tak berarti, maka tanpa takut2 lagi kembali ia menerjang
maju dari samping, pukulan ketiga segera dilontarkan pula.
Terpaksa Tik Hun menyambut pula serangan itu. Tapi sekali ini ia kecele,
ternyata Hoa Tiat-kan sangat licik, pukulan ketiga ini tidak dihantamkan dengan
keras, tapi bergerak naik-turun dan menyambar lewat didepan muka Tik Hun, dengan
sendirinya pukulan sambutan Tik Hun memapak angin, menyusul mana tahu2 "plak",
dadanya telah kena digenjot sekali oleh Hoa Tiat-kan.
Untung Tik Hun memakai baju Oh-jan-kah hingga tidak terluka apa2, tapi toh tidak
tahan juga oleh tenaga pukulan yang hebat itu, maka baru saja ia berdiri,
kembali ia jatuh terduduk pula.
Sekali pukulannya mengenai sasaran, Hoa Tiat-kan mendapat hati, pukulan lain
segera disusulkan lagi. Sebenarnya Hoa Tiat-kan disegani orang Bu-lim karena
ilmu tumbaknya yang lihay, tapi dalam hal ilmu pukulan toh dia juga sangat
hebat, kini ia telah mainkan "Gak-keh-san-jiu", ilmu pukulan warisan Gak Hui,
kedua tangannya menyambar kian kemari, maka terdengarlah "plak-plok" ber-ulang2,
Tik Hun kenyang digampar dan dihantam.
Beberapa kali Tik Hun ingin balas menghantam juga, tapi setiap kali ia balas
menyerang, selalu dapat dihindarkan Hoa Tiat-kan dengan mudah. Ya maklum,
selisih ilmu silat mereka sesungguhnya terlalu jauh, Tik Hun hanya menang
Lwekang saja sekarang, dalam hal ilmu silat dan taktik pukulan sama sekali ia
tak berdaya. Sampai achirnya, sesudah kenyang dihajar tanpa mampu membalas apa2, terpaksa Tik
Hun cuma dapat melindungi muka dan kepalanya dengan kedua tangan, sedang bagian
badan membiarkan dihanjut musuh, sekali2 ia juga berdiri, tapi segera "knock-
out" lagi kena pukulan Hoa Tiat-kan.
Saat itu Hoa Tiat-kan sudah bertekad harus mampuskan pemuda itu agar tidak
menimbulkan bahaya dibelakang hari, maka ia masih terus menghajar dengan kejam
tanpa kenal ampun. Ber-ulang2 Tik Hun sudah muntah darah tiga kali, gerak-
geriknya juga sudah susah.
Dalam keadaan begitu, Cui Sing takbisa tinggal diam lagi, semula ia tidak berani
sembarangan menyela dalam pertarungan kedua orang itu, kini melihat Tik Hun
melulu terima digebuk belaka dan terancam bahaya, tanpa pikir lagi ia ayun
goloknya terus membacok kepunggung Hoa Tiat-kan.
Cepat Hoa Tiat-kan mengegos kesamping, berbareng tangannya meraup kebelakang
untuk merebut senjata sigadis. Namun kesempatan itu segera digunakan Tik Hun
untuk menghantam sekuatnya, seketika Hoa Tiat-kan terkurung ditengah pukulan
pemuda itu. Karena takbisa berkelit lagi, terpaksa Hoa Tiat-kan memapak pukulan Tik Hun itu
dengan pukulan juga. "Plak", seketika Hoa Tiat-kan kepala pusing dan mata ber-
kunang2, sebagian tubuhnya serasa kaku. Nyata kalau bicara mengadu tenaga dalam,
pasti Hoa Tiat-kan bukan tandingan Tik Hun sekarang.
"Lekas lari, lekas lari!" demikian Cui Sing lantas berseru sambil menarik Tik
Hun untuk berlari kedalam gua. Dengan cepat mereka mengangkat beberapa potong
batu besar untuk ditumpuk dimulut gua, dengan golok terhunus Cui Sing berjaga
disitu. Mulut gua itu agak sempit, meski beberapa potong batu besar itu tidak dapat
menutup rapat mulut gua itu, tapi untuk bisa masuk kesitu terpaksa Hoa Tiat-kan
harus membongkar dulu batu2 itu. Dan bila ia berani menjamah batu2 itu, segera
Cui Sing akan menabas tangannya dengan golok.
Selang sejenak, diluar gua ternyata tenang2 saja.
"Siau......... bagaimana keadaan lukamu?" tanya Cui Sing tiba2. Sebenarnya ia
hendak memanggil "Siau-ok-ceng" kepada Tik Hun seperti biasanya, tapi kini
mereka sudah menjadi kawan dan bukan lawan lagi, ia merasa rikuh dan urung
memanggil poyokan yang tidak sedap didengar itu.
"Tidak berbahaya," demikian Tik Hun telah menyahut.
Tiba2 terdengar Hoa Tiat-kan sedang bergelak ketawa diluar gua dan berteriak:
"Ha-hahaha! Dua ekor binatang cilik itu main sembunyi2 didalam gua, apakah
sedang berbuat sesuatu yang tidak boleh dilihat orang?"
Keruan wajah Cui Sing merah padam, dalam hati ia menjadi rada takut juga. Ia
telah pandang Tik Hun sebagai "In-ceng" (paderi cabul) yang tidak baik
kelakuannya, kini dirinya malah berada bersama didalam gua, bukankah sangat
berbahaya" Karena itu, tanpa merasa ia menggeser kesamping, ia merasa lebih jauh
jaraknya dengan "paderi cabul" itu tentu akan lebih aman.
Dalam pada itu terdengar Hoa Tiat-kan sedang mengoceh lagi diluar: "Hahaha,
sepasang anjing laki2 dan perempuan itu enak2 bersembunyi disitu, ya" Tapi aku
menjadi kedinginan diluar sini! Hahaha! Biarlah kumakan daging panggang saja!"
Cui Sing kaget, keluhnya didalam hati: "Wah celaka! Dia hendak makan daging
ayahku! Apa dayaku sekarang?"
Sebaliknya darah Tik Hun juga sedang bergolak. Selama beberapa tahun ini ia
telah kenyang dihina dan dianiaya orang, kini mendengar ocehan Hoa Tiat-kan yang
menjijikan itu, keruan ia tidak bisa tahan lagi.
Mendadak ia mendorong tumpukan batu yang menutupi mulut gua itu dan menerjang
keluar bagaikan banteng ketaton, kedua tangannya menghantam ber-ulang2,
sekuatnya ia serang Hoa Tiat-kan secara kalap.
Tapi dengan gampang Hoa Tiat-kan dapat menghindarkan beberapa kali serangan Tik
Hun itu, menyusul tangan kirinya berputar sebagai pancingan, sebaliknya tangan
kanan tahu2 menghantam dari belakang, menghantam dari arah yang sama sekali tak
terduga oleh Tik Hun. "Bluk", tanpa ampun lagi punggung Tik Hun kena digebuk
sekali dengan keras. Kontan Tik Hun muntah darah lagi, kepala terasa pusing dan mata se-akan2 lamur,
ia melihat Hoa Tiat-kan dihadapannya itu seperti telah berubah menjadi Ban Cin-
san, Ban Ka, Leng Dwe-su, Po-siang dan orang2 jahat lain yang pernah menghina
dan menganiaya dirinya itu. Mendadak ia pentang kedua tangan dan menyeruduk
maju, tahu2 Hoa Tiat-kan didekapnya dengan kencang sekali.
Dengan gugup Hoa Tiat-kan lantas menjotos hingga tepat mengenai batang hidung
Tik Hun, "crot", kontan keras hidung pemuda itu bocor dan keluar kecapnya.
Namun Tik Hun sudah tidak merasa sakit lagi, ia mendekap se-kencang2nya, makin
lama makin kencang. Napas Hoa Tiat-kan menjadi sesak karena pinggangnya didekap sedemikian kuatnya
oleh lawan yang kalap itu, mau-tak-mau ia rada kuatir juga. Malahan pada saat
itu juga tertampak Cui Sing sedang memburu maju dengan golok terhunus.
Keruan Hoa Tiat-kan ketakutan, tanpa pikir lagi kedua tinjunya menghantam perut
Tik Hun sekuatnya. Karena kesakitan, lengan Tik Hun menjadi lemas, pelukannya
menjadi kendur. Kesempatan itu segera digunakan Hoa Tiat-kan untuk meronta dan
melepaskan diri, ia menjadi kapok dan tidak berani bertempur pula dengan orang
kalap, beberapa kali lompatan cepat, ia meninggalkan Tik Hun hingga belasan
meter jauhnya, disitulah baru ia berhenti dengan napas megap2.
Melihat Tik Hun ter-huyung2 dengan muka penuh darah, ada maksud Cui Sing hendak
memayang pemuda itu, tapi toh agak takut juga kalau2 mendadak "Siau-ok-ceng" itu
mengamuk. Maka dengan rasa waswas ia melangkah maju.
"Jangan mendekati aku!" se-konyong2 Tik Hun membentak. "Aku adalah Siau-ok-ceng,


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah paderi cabul, jangan kau mendekati aku, agar aku tidak menodai nama baik
puteri seorang pendekar besar sebagai kau ini! Lekas enyah! Enyahlah!"
Melihat sikap Tik Hun yang beringas dengan sinar matanya yang buas itu, Cui Sing
menjadi ketakutan dan melangkah mundur.
Dengan napas ter-sengal2 Tik Hun terus berjalan kearah Hoa Tiat-kan dengan
sempoyongan, serunya: "Kalian manusia2 durjana ini! Ban Cin-san dan Ban Ka,
kalian tidak berhasil membunuh aku, tidak dapat mematikan aku. Hayolah maju,
marilah maju! Tikoan Tayjin, Tihu Tayjin, kalian hanya pintar menindas yang
lemah dan merampas hak rakyat jelata, hayolah, jika berani, majulah, hayolah
kita bertempur mati2an.........."
"Wah, orang ini sudah gila!" demikian Hoat Tiat-kan membatin.
Maka ia melompat pergi lebih jauh lagi dan tidak berani mendekati Tik Hun.
Tik Hun masih ber-teriak sambil mendongak: "Kalian manusia2 jahat semua! Hayolah
boleh kalian maju semua padaku, aku Tik Hun tidak gentar! Kalian telah
penjarakan aku, telah memotong jari tanganku, telah merebut Sumoayku, telah
menginjak patah kakiku, tapi, semuanya itu aku tidak takut, hayolah maju,
biarpun aku dicincang hancur luluh juga aku tidak gentar!"
Mendengar teriakan dan gemboran Tik Hun itu, diantara rasa takutnya, mau-tak-mau
timbul juga rasa kasihannya Cui Sing. Terutama demi mendengar seruan pemuda itu
tentang: "telah merebut Sumoayku, telah menginjak patah kakiku", hati Cui Sing
semakin terguncang, pikirnya: "Kiranya batin Siau-ok-ceng ini penuh siksa
derita, sedangkan tulang kakinya itu justeru aku yang mengkeprak kudaku untuk
menginjaknya hingga patah."
Begitulah Tik Hun masih ber-teriak2 terus hingga suaranya menjadi serak,
achirnya ia terjungkal roboh ditanah salju dan tidak bergerak lagi.
Sudah tentu Hoa Tiat-kan tidak berani mendekati, begitu pula Cui Sing juga tidak
berani mendekat..... ********* Melihat sesosok tubuh manusia yang menggeletak ditanah tanpa bergerak itu, elang
yang terbang mengitar diangkasa itu mengira Tik Hun sudah mati. Se-konyong2
seekor elang itu menyambar kebawah dan mematuk jidat Tik Hun.
Saat itu Tik Hun masih dalam keadaan tak sadar, karena patukan elang itu,
seketika ia siuman kembali.
Melihat badan mangsanya bergerak, elang itu menjadi ketakutan dan cepat terbang
keatas. Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: "Kau binatang inipun berani padaku?" ~ Terus
saja sebelah tangannya dipukulkan.
Tenaga pukulan Tik Hun ini sangat lihay, jarak elang itu sudah ada tiga-empat
meter dari dia, tapi kena tenaga pukulan itu, seketika bulu sayapnya rontok
bertebaran, bahkan elang itu terus jatuh kebawah.
Cepat Tik Hun sambar binatang itu, dengan ketawa ter-bahak2, segera ia gigit
perut elang itu. Sudah tentu binatang itu kerupukan dan me-ronta2 berusaha
melepaskan diri. Namun Tik Hun sudah kadung gemas, ia pencet elang itu se-
keras2nya, ia merasa darah elang yang asin2 amis menetes terus kedalam mulutnya
hingga dia mirip diberi tambah darah.
Sebentar kemudian, setelah kenyang menghirup darah elang, ia abat-abitkan
binatang yang sudah tak bernyawa itu tinggi2 sambil berseru: "Nah, apa abamu
sekarang" Hm, kau ingin makan aku" Tapi aku sudah makan kau lebih dulu!"
Melihat cara bagaimana Tik Hun ganyang mentah2 elang yang ditangkapnya itu, Hoa
Tiat-kan dan Cui Sing sampai ternganga kesima. Hoa Tiat-kan menjadi takut sigila
itu sebentar akan mengamuk dan menerjang kearahnya, jalan paling selamat rasanya
menghindar pergi saja sejauh mungkin. Maka cepat ia mengitar keujung timur
lembah itu, ia pikir cara sigila itu menangkap elang sangat praktis juga, maka
ia lantas menirukan, ia merebah ditanah, ia pura2 mati untuk menantikan sambaran
elang. Memang ada juga elang yang tertipu olehnya dan menerjun kebawah hendak
memaruhnya, tapi ketika Hoa Tiat-kan menghantam, hasilnya ternyata nihil, elang
itu tidak kena dihantam. Kiranya tenaga dalamnya selisih terlalu jauh
dibandingkan Tik Hun sekarang, benar ilmu pukulannya sangat bagus, tapi cara
berkelit elang itupun sangat gesit dan cepat, andaikan kena tenaga pukulannya
juga tidak jatuh kebawah, paling2 berkaok kesakitan terus terbang keangkasa
lagi. Sementara itu setelah Tik Hun hirup darah elang, namun saking parahnya kena
dihajar Hoa Tiat-kan tadi, achirnya ia jatuh pingsan pula.
Ketika mendusin, sementara itu hari sudah terang tanah. Ia merasa kelaparan,
segera ia ambil elang mati yang berada disampingnya itu terus digeragoti. Tapi
sekali menggeragot, ia tidak merasakan amisnya daging mentah lagi, sebaliknya
daging elang itu terasa sangat lezat dan gurih. Waktu ia perhatikan daging elang
itu, ia menjadi melongo. Kiranya elang itu sekarang sudah bukan elang kemarin lagi, bulu elang itu kini
sudah terbubut bersih, bahkan sudah terpanggang mateng. Padahal masih jelas
teringat olehnya elang itu cuma dihisap darahnya saja, lalu ia terpulas. Lantas
siapakah gerangannya yang memanggang elang itu" Jika bukan Cui Sing, masakah
mungkin adalah sijahanam Hoa Tiat-kan" Tapi ia yakin pasti sigadis itulah yang
melakukannya. Sesudah ber-teriak2 seperti orang gila semalam, rasa sumpak dan kesalnya Tik Hun
sudah banyak terlampias. Kini sesudah sadar, ia merasa dadanya lega, semangat
penuh. Waktu ia memandang kedalam gua, ia melihat Cui Sing masih tidur sambil
mendekap diatas batu. Pikirnya: "Gadis itupun sudah kelaparan selama beberapa hari, sesudah panggang
elang ini, semuanya ia berikan padaku tanpa mengambil sedikitpun bagi dirinya
sendiri, betapapun hal ini harus dipuji. Tapi, hm, ia anggap dirinya adalah
puteri seorang pendekar besar dan pandang rendah padaku, sebaliknya aku juga
pandang hina padamu" Apanya sih yang kuharapkan darimu?"
Tapi selang tak lama, kembali terpikir pula olehnya: "Namun dia telah
memanggangkan elang bagiku, suatu tanda dia toh tidak terlalu memandang rendah
padaku. Maka tidak pantas jika dia dibiarkan mati kelaparan."
Kira dua jam kemudian, kembali ia berhasil mendapatkan empat ekor elang dengan
tenaga pukulannya. Sementara itu Cui Sing sudah mendusin, maka ia melemparkan
dua ekor elang hasil buruannya itu kepada gadis itu.
Tapi Cui Sing lantas mendekatinya dan mengambil sekalian kedua ekor elang yang
lain, ia sembelih semua elang itu serta dipanggang pula. Lalu tanpa bicara apa2
kedua ekor elang panggang yang sudah masak itu dikembalikan kepada Tik Hun.
Dilembah pegunungan itu ternyata banyak juga burung elang, tapi binatang2 itu
justeru sangat tolol. Biarpun banyak kawannya telah menjadi korban pukulan Tik
Hun dan dijadikan isi perut, tapi burung2 itu masih terus-menerus menghantarkan
diri sendiri untuk dijadikan makanan.
Dalam pada itu tenaga dalam Tik Hun juga semakin tambah kuat, dengan sendirinya
tenaga pukulannya juga makin hebat. Sampai achirnya, ia tidak perlu pura2 mati
untuk memancing elang lagi, tapi asal ada burung yang menghinggap dipohon atau
terbang lewat disampingnya, sekali dia hantam, tentu dapatlah ditangkapnya.
Dengan cepat sang waktu telah lalu tanpa terasa, sementara itu bulan ke-12 sudah
habis. Cuaca sudah banyak berubah, salju yang turun dilembah pegunungan itu kini
sudah sangat jarang, siang-malam hanya tiupan angin yang masih merasuk tulang
dinginnya. Kecuali kalau mencari kayu bakar dan memanggang burung, selalu Cui
Sing bernaung didalam gua. Selama itu Tik Hun tidak pernah mengajak bicara
padanya dan tidak pernah masuk selangkahpun kedalam gua.
Suatu malam, salju turun terus-menerus dengan bertebaran. Esok paginya waktu Tik
Hun mendusin, ia merasa badannya hangat2 nyaman, waktu ia membuka mata, ia
melihat tubuh sendiri tertutup oleh sesuatu benda yang coklat ke-hitam2an. Ia
terkejut dan cepat memegangnya, tapi ia menjadi heran ketika diketahui barang
itu adalah sepotong baju yang aneh.
Baju itu seluruhnya terbuat dari bulu burung, hampir sebagian besar adalah bulu
elang. Panjang baju itu sebatas lutut hingga lebih tepat dikatakan mantel. Baju
buatan dari bulu itu entah memerlukan betapa banyak, mungkin berpuluh ribu helai
bulu burung. Sambil memegangi baju bulu burung itu, mendadak wajahnya menjadi merah, ia tahu
pasti baju itu adalah buah tangan Cui Sing. Untuk membuat baju itu, terang tidak
sedikit jerih-payah yang telah dicurahkan sigadis. Apalagi dilembah pegunungan
itu tiada peralatan menjahit seperti gunting, jarum, benang dan sebagainya,
entah cara bagaimana gadis itu telah menyelesaikan baju bulu burung itu.
Waktu Tik Hun coba memeriksa baju itu, ia melihat pada pangkal tulang setiap
helai bulu itu terdapat sebuah lubang kecil, tentu lubang itu ditusuk dengan
tusuk-konde Cui Sing, lalu lubang itu ditembus dengan benang sutera warna
kuning, terang benang itu diloloskan dari baju sutera kuning yang dipakai Cui
Sing sendiri. Diam2 Tik Hun heran, pekerjaan yang sukar dan rumit itu mengapa
justeru sangat disukai oleh kaum wanita"
Tiba2 terkenang olehnya apa yang terjadi pada beberapa tahun yang lalu ditempat
tinggal Ban Cin-san dikota Heng-ciu dahulu. Pada malam itu, ia telah dikerubut
oleh delapan murid orang she Ban itu, ia dihajar mereka hingga babak-belur, mata
biru dan hidung bocor, bahkan sehelai baju baru yang sangat disayanginya itu
juga menjadi korban dan te-robek2. Syukur waktu itu Jik-sumoay yang telah
menambal dan menjahitkan baju baru yang sobek itu.
Tanpa merasa terbayang olehnya keadaan pada waktu itu: Jik Hong menggelendot
disampingnya untuk menambal bajunya. Rambut sigadis yang panjang itu meng-gosok2
pipinya hingga menimbulkan rasa geli, malahan ia mengendus bau harum anak
perawan yang selama hidup baru pertama kali itu dialaminya, dengan perasaan
terguncang ia telah memanggil: "Sumoay!" ~ Lalu Jik Hong telah menyahut: "Sssst, jangan bersuara, jangan2 kau akan dipitenah
menjadi maling!" Terpikir sampai disini, tenggorokan Tik Hun serasa tersumbat sesuatu, air
matanya ber-linang2 dikelopak matanya hingga segala apa yang berada didepannya
menjadi samar2 kelihatannya. Pikirnya: "Benar juga. Kemudian aku telah dipitenah
orang sebagai maling. Apa barangkali karena aku telah bersuara waktu Sumoay
menambal bajuku seperti apa yang dikatakan Sumoay itu?"
Tapi sesudah mengalami godokan dan gemblengan segala penderitaan selama beberapa
tahun ini, ia sudah tidak percaya lagi kepada segala kiasan yang chayal itu.
Pikirnya: "Hehe, bila orang memang bermaksud bikin celaka padaku, biarpun aku
tidak bersuara atau gagu sekalipun juga tetap akan dicelekai mereka. Tatkala itu
Sumoay benar2 sangat baik padaku, tapi wanita didunia ini semuanya memang
takbisa dipercaya, habis manis sepah dibuang. Ketika melihat keluarga Ban yang
kaya-raya itu, sijahanam Ban Ka itu muda lagi lebih ganteng daripadaku, mata
Sumoay menjadi silau dan balik pikiran. Yang paling tidak pantas yalah aku telah
ditipu agar sembunyi digudang kayu, tapi diam2 ia memberitahukan pada suaminya
untuk menangkap aku. Hahaha! Haha-hahahaha!"
Begitulah mendadak ia ter-bahak2 seperti orang gila. Sambil memegangi baju bulu
itu ia menuju kedepan gua, ia lempar baju itu ketanah dan menginjaknya beberapa
kali dengan berteriak: "Aku adalah paderi cabul dan Hwesio jahat, mana aku ada
harganya memakai baju buatan puteri terhormat ini?" ~ dan sekali ia depak, baju
bulu itu ditendangnya kedalam gua. Lalu ia putar tubuh dan tinggal pergi dengan
ter-bahak2. Dengan susah payah dan memakan tempo lebih sebulan barulah Cui Sing selesai
membuatkan baju bulu itu. Ia pikir "Siau-ok-ceng" telah berjasa menyelamatkan
jenazah ayah, tapi sedikitpun jasa itu tidak di-tonjol2kan padanya. Selama ini
hidupnya juga tergantung dari daging burung buruan "Siau-ok-ceng" itu.
Sebaliknya tingkah-laku "Siau-ok-ceng" itu ternyata cukup "sopan", biarpun
menderita kedinginan diluar gua toh tidak pernah melangkah kedalam gua
setindakpun, maka sudah sepantasnya baju bulu yang kubikin ini kuhadiahkan dia
sekadar membalas kebaikannya selama ini.
Siapa duga maksud baiknya telah dibahas dengan jelek, baju bulu itu di-injak2
dan terus disepak kembali kedalam gua, bahkan dicaci maki dan dihina. Saking
gusarnya, terus saja Cui Sing jemput kembali baju bulu itu dan di-betot2 dan di-
puntir2, dan saking terguncang perasaannya, air matanya lantas bercucuran.
Sama sekali tak tersangka olehnya bahwa diwaktu Tik Hun berputar pergi sambil
terbahak2 tadi, baju didadanya itu juga sudah basah lepek oleh tetesan air
mata.......... ********* Menjelang lohor, kembali Tik Hun berhasil memburu empat ekor burung, seperti
biasa, ia taruh hasil buruan itu di depan gua. Maka Cui Sing lantas menyembelih
burung2 itu pula dan dipanggang, lalu membagi separoh pada Tik Hun seperti
biasa. Kedua orang sama sekali tidak bicara, bahkan sinar mata masing2 juga tidak
berani kebentrok. Keduanya duduk ditempat masing2 dari jarak agak jauh, mereka
makan daging burung panggang bagian sendiri2.
Tiba2 dari arah timur laut sana terdengar suara tindakan orang. Waktu mereka
memandang kearah suara itu, tertampaklah Hoa Tiat-kan sedang mendatangi dengan
cengar-cengir. Kedua tangan manusia hina itu bersenjata semua, tangan yang satu
membawa golok Kui-thau-to dan tangan lain sebatang pedang.
Seketika Tik Hun dan Cui Sing sama melonjak bangun, cepat Cui Sing berlari masuk
kedalam gua, waktu keluar lagi tangannya sudah memegangi golok merah tinggalan
Hiat-to Loco itu. Setelah ragu2 sejenak, tiba2 ia lemparkan golok itu kearah Tik
Hun sambil berseru: "Sambutlah ini!"
Dengan sendirinya Tik Hun tangkap golok yang dilemparkan padanya itu. Ia
terkesiap: "Mengapa ia dapat mempercayai aku dan menyerahkan golok mestika
pelindung jiwanya ini padaku" Ehm, tentu maksudnya agar supaya aku menyabung
jiwa baginya, yaitu dengan membantu dia melawan Hoa Tiat-kan. Hm, hm, aku toch
bukan budakmu"!"
Dan pada saat itulah dengan langkah lebar Hoa Tiat-kan sudah mendekat. Segera
orang she Hoa itu bergelak ketawa dan berkata: "Kionghi! Kionghi!"
"Kionghi apa?" semprot Tik Hun dengan melotot.
"Kionghi pada kalian berdua yang telah jadi suami-isteri," sahut Hoa Tiat-kan.
"Habis, golok mestika pembela diri sepenting itu juga sudah diberikan padamu,
apalagi barang2 lain yang dimiliki gadis itu, tentu saja tanpa tawar2 lagi
dipersembahkan padamu. Betul tidak" Haha-haha!"
"Jahanam," damperat Tik Hun dengan gusar, "percuma kau mengaku sebagai pendekar
besar dari Tionggoan, nyatanya adalah manusia rendah dan kotor!"
"Soal rendah dan kotor, rasanya orang dari Hiat-to-bun kalian takkan kalah
daripada diriku," ujar Hoa Tiat-kan dengan cengar-cengir.
Sambil bicara iapun melangkah maju lebih dekat. Tiba2 ia mengendus se-keras2nya
dengan hidung hingga mengingatkan orang pada anjing waktu mengendus sesuatu,
lalu katanya: "Ehmmm, alangkah wanginya, alangkah sedapnya! Bau apakah ini" Eh,
kiranya burung panggang! Berikan seekor padaku, ya?"
Jika dia meminta secara baik2, mungkin tanpa banyak bicara akan diberi oleh Tik
Hun. Tapi kini pemuda itu sudah kadung geram terhadap sikap orang she Hoa yang
menjijikkan itu, dengan sendirinya ia tidak sudi memberi makan padanya. Segera
jawabnya: "Ilmu silatmu jauh lebih tinggi dariku, kau toh dapat mencari burung
sendiri." "Aku justeru lagi malas mengeluarkan tenaga," sahut Tiat-kan dengan menyengir.
Tengah mereka bicara, sementara itu Cui Sing sudah berada dibelakang Tik Hun,
mendadak ia berseru kaget: "He, Lau-pepek, Liok-pepek!"
Kiranya ia telah melihat jelas senjata2 yang dibawa Hoa Tiat-kan itu tak-lain-
tak-bukan adalah pedangnya Lau Seng-hong dan Kui-thau-to milik Liok Thian-ju.
Pula waktu angin meniup hingga ujung baju Hoa Tiat-kan tersingkap, jelas Cui
Sing melihat didalam baju Hoa Tiat-kan sendiri itu terangkap pula bajunya Liok
Thian-ju dan jubahnya Lau Seng-hong.
"Ada apa?" sahut Hoa Tiat-kan dengan menarik muka.
"Jadi kau................. kau telah........... telah makan mereka?" seru Cui
Sing pula dengan suara gemetar.
Ia menduga Hoa Tiat-kan tentu sudah mendapatkan jenazah kedua paman angkat itu
dan besar kemungkinan sudah dijadikan isi perut manusia binatang she Hoa itu.
"Makan atau tidak, peduli apa dengan kau?" sahut Tiat-kan acuh-tak-acuh.
"Lau-pepek dan Liok-pepek mereka kan sau.................... saudara angkatmu?"
seru Cui Sing tergagap2. Namun Hoa Tiat-kan tidak gubris padanya lagi, sebaliknya ia berpaling dan
berkata pada Tik Hun: "Hwesio cilik, selama ini aku tidak mengutik-ngutik
jenazah bapak mertuamu, itu berarti aku cukup menghargai kau. Tapi Hwesio tua
itu telah kau bunuh sendiri, kini aku hendak menggunakannya, tentunya kau tiada
perlu banyak bicara, bukan?"
Tik Hun menjadi gusar, sahutnya: "Dilembah ini cukup banyak elang dan burung
yang dapat kau jadikan sebagai makanan, mengapa kau.................. kau begini
kejam dan mesti makan daging manusia?"
Padahal kalau Hoa Tiat-kan mampu memburu burung, dengan sendirinya iapun tidak
tega makan daging saudara angkat sendiri yang sudah mati itu. Ia sudah berusaha
sebisa mungkin untuk menangkap burung sebagai makanan, semula dapat juga
ditangkapnya satu-dua ekor, tapi kemudian burung2 itupun menjadi kapok dan tidak
mau masuk perangkapnya lagi. Sedangkan Hoa Tiat-kan tidak memiliki tenaga
pukulan sehebat Tik Hun yang sudah berhasil meyakinkan tenaga dalam Sin-ciau-
kang yang hebat itu, dengan sendirinya ia tidak mampu menghantam burung terbang
dari jarak jauh seperti Tik Hun itu.
Kini ia membawa senjata golok dan pedang, ia sudah bertekad akan menempur Tik
Hun dan Cui Sing, ia pikir kedua orang itu harus dibunuh semua, dengan demikian,


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditambah lagi dengan mayat Cui Tay dan Hiat-to Loco yang terpendam dibawah salju
itu tentu akan merupakan rangsum simpanan baginya untuk bertahan sampai musim
panas yang akan datang, lalu dapatlah ia keluar dari lembah maut itu sesudah
salju mencair. Begitulah Hoa Tiat-kan menjadi ngiler demi mengendus bau daging burung panggang
yang lezat itu. Se-konyong2 ia angkat Kui-thau-to terus membacok kearah Tik Hun
sambil membentak. Cepat Tik Hun ayun golok merah yang diterimanya dari Cui Sing itu untuk
menangkis. "Trang", Kui-thau-to yang dipakai Hoa Tiat-kan itu sampai mendal
kembali, tapi tidak patah.
Kiranya Kui-thau-to itupun merupakan sebuah senjata pusaka, walaupun tidak
Pedang Penakluk Iblis 1 Pangeran Anggadipati Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Pedang Kilat Membasmi Iblis 6
^