Pencarian

Si Kangkung Pendekar Lugu 8

Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung Bagian 8


setajam Hiat-to yang digunakan Tik Hun itu, tapi badan golok itu cukup tebal,
maka golok merah itu tidak dapat menabas kutung padanya.
Tempo hari waktu Liok Thian-ju menggunakan golok tebal itu untuk menempur Hiat-
to Loco, pernah juga Kui-thau-to itu tergempil beberapa tempat ketika mesti
beradu dengan golok merah itu, maka kini setelah saling bentur lagi, paling2
Kui-thau-to itu bertambah suatu gempilan baru saja.
Meski Hoa Tiat-kan tidak terlalu mahir menggunakan golok, tapi sebagai seorang
tokoh persilatan, segala macam ilmu silat tentu diketahuinya, dengan dasar ilmu
silat yang dimiliki, betapapun Tik Hun tidak sanggup melawan permainan goloknya
itu. Maka hanya beberapa jurus saja Tik Hun sudah terdesak mundur.
Sebaliknya Hoa Tiat-kan ternyata tidak mendesak lebih jauh, tiba2 ia berjongkok
dan menjemput sepotong burung panggang sisa makanan Tik Hun tadi terus
digeragotinya dengan lahap, lalu pujinya tak habis2: "Ehm, lezat benar burung
panggang ini, sungguh lezat sekali!"
Tik Hun menoleh dan saling pandang sekejap dengan Cui Sing. Kedua orang sama2
merasa ngeri. Mereka insaf kedatangan Hoa Tiat-kan sekali ini dengan senjata
lengkap, terang keadaannya tidak seperti tempo hari lagi yang bertempur dengan
tangan kosong. Waktu bergebrak dengan tangan kosong, jika Tik Hun kena digebuk umpamanya,
paling2 ia cuma muntah darah dan terluka dalam, untuk membinasakannya dengan
pukulan atau tendangan sudah tentu tidak mudah.
Tapi sekarang Tiat-kan bersenjata, bahkan dua senjata sekaligus, yaitu golok dan
pedang, maka keadaan menjadi berbeda jauh, sebab, sedikit Tik Hun meleng saja,
seketika jiwanya bisa melayang.
Malahan tempo hari Tik Hun berkat bantuan Cui Sing yang meminjamkan golok merah
itu padanya hingga dia masih sanggup bertahan sebisanya, tapi kini senjata Hoa
Tiat-kan lebih banyak, dengan sendirinya Tik Hun tidak mungkin dapat melawannya.
Begitulah, selesai makan setengah ekor burung panggang restan Tik Hun tadi,
selera Hoa Tiat-kan ternyata belum terpenuhi, ketika dilihatnya didekat gua sana
masih ada seekor lagi, segera ia mendekati dan dimakan pula.
Habis melalap burung panggang itu, Hoa Tiat-kan meng-usap2 mulutnya yang
berlepotan minyak itu, lalu katanya: "Ehm, sangat lezat, kepandaian sikoki yang
memanggang burung ini harus diberi piala."
Kemudian dengan ke-malas2an ia memutar tubuh. Mendadak ia melompat maju, tanpa
bicara lagi goloknya membacok pula kearah Tik Hun.
Serangan itu dilakukan dengan sangat cepat dan diluar dugaan, karena tidak
menyangka sama sekali, hampir2 kepala Tik Hun terbelah menjadi dua, untung ia
cukup sigap, cepat ia menangkis dengan golok merah.
Syukurlah Tiat-kan agak jeri pada tenaga dalam Tik Hun yang kuat, bila kedua
senjata saling bentur, tentu lengannya terasa linu pegal, maka lebih baik ia
menghindari beradunya kedua senjata. Segera ia miringkan goloknya kearah lain,
menyusul ia membabat dan membacok pula secara ber-tubi2.
Keruan Tik Hun kewalahan dan kelabakan. "Cret", tanpa ampun lagi lengan kiri
kena tergurat oleh Kui-thau-to musuh hingga berwujut suatu luka panjang.
"Sudahlah, jangan bertempur lagi! Hoa-pepek, jangan bertempur lagi, aku akan
membagi daging burung padamu!" demikian Cui Sing ber-teriak2 dengan kuatir.
Tapi Hoa Tiat-kan sedang mendapat angin, mana dia mau berhenti. Ia melihat ilmu
silat Tik Hun paling2 cuma tergolong kelas tiga dalam dunia persilatan, kalau
kesempatan baik ini tidak membunuhnya, kelak tentu akan menimbulkan bahaya
besar. Dari itu, bukannya ia berhenti seperti seruan Cui Sing itu, sebaliknya ia
menyerang lebih kencang, bahkan mulutnya ikut menggoda: "He, Cui-titli, kau
sayang pada Siauw-ok-ceng ini ya" Apa kau sudah lupa pada Piaukomu yang pernah
berpacaran dengan kau itu?"
Sambil berkata, cepat goloknya menyerang pula tiga kali beruntun hingga pundak
kanan Tik Hun kembali terbacok sekali. Untung tempat bacokan itu terlindung oleh
Oh-jan-kah yang dipakainya, kalau tidak, tentu sebelah bahunya sudah tertabas
kutung. "Hoa-pepek, sudahlah, jangan bertempur lagi!" demikian Cui Sing ber-teriak2
pula. Tapi Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: "Apa yang kau gembar-gemborkan" Kalau aku
takbisa menangkan dia, biarlah aku dibunuh olehnya!"
Dalam murkanya, terus saja ia membacok dan menabas serabutan. Tiba2 golok yang
dipegang tangan kanan itu dipindahkannya ketangan kiri, menyusul tangan kanan
itu terus menampar hingga pipi Hoa Tiat-kan kena ditempeleng sekali dengan
keras. Sudah tentu mimpipun Hoa Tiat-kan tidak menyangka pemuda yang ilmu silatnya
rendah tak berarti itu masih mempunyai jurus "simpanan" yang bagus itu, ia
menjadi tidak sempat menghindar dan kena digampar mentah2.
Sebaliknya Tik Hun melengak juga oleh hasil pukulannya itu, pikirnya: "Ha,
inilah 'Ni-kong-sik' (gaya menempeleng) ajaran pengemis tua tempo dulu itu!"
Dan sekali ingat, be-runtun2 ia lantas mengeluarkan jurus2 lain ajaran
sipengemis tua waktu ia bertamu dirumah Ban Cin-san dahulu. Kembali ia memainkan
"Ji-koh-sik" (gaya menusuk pundak) dan "Gi-kiam-sik" (gaya mementalkan pedang).
Keruan Hoa Tiat-kan kaget, ia ber-kaok2: "He, Soh-sim-kiam-hoat! Soh-sim-kiam-
hoat!" Kembali Tik Hun melengak oleh teriakan Hoa Tiat-kan itu. Teringat olehnya tempo
dulu waktu ia bertempur melawan Ban Ka dan kawan2nya dirumah keluarga Ban itu,
ia telah mainkan ketiga jurus ajaran sipengemis tua untuk menghajar Ban Ka dan
ketujuh saudara perguruannya, tatkala itu Ban Cin-san juga menyatakan jurus2
serangan itu adalah "Soh-sim-kiam-hoat". Tapi hal mana dianggapnya omong kosong
dan ocehan Ban Cin-san belaka. Namun sekarang Hoa Tiat-kan juga menyatakan
jurus2 serangannya itu adalah Soh-sim-kiam-hoat.
Sebagai seorang tokoh terkemuka didunia persilatan Tionggoan, pengalaman dan
pengetahuan Hoa Tiat-kan sudah tentu sangat luas, masakah iapun sembarangan
mengoceh" Begitulah Tik Hun menjadi ragu2 apakah ketiga jurus ajaran pengemis
tua itu jangan2 memang benar adalah Soh-sim-kiam-hoat"
Ber-ulang2 Tik Hun memainkan ketiga jurus itu pula, ia gunakan golok sebagai
gantinya pedang. Tapi ilmu silat Hoa Tiat-kan sudah tentu takdapat disamakan
dengan Ban Ka dan kawan2nya itu. Ketiga jurus serangan itu sudah tentu tidak
dapat diulangi atas diri Hoa Tiat-kan dan tidak manjur.
Waktu Tik Hun hendak mengulangi jurus "Gi-kiam-sik", dengan golok merah ia
mencungkit Kui-thau-to yang dipegang Hoa Tiat-kan itu, namun Hoa Tiat-kan sudah
siap sebelumnya, mendadak sebelah kakinya melayang hingga urat nadi tangan Tik
Hun tepat kena tertendang.
Keruan cekalan Tik Hun menjadi kendur, golok merah terlepas dari tangan. Bahkan
Hoa Tiat-kan terus menambahi pula dengan jurus "Sun-cui-tui-ciu" (mendorong
perahu menurut arus), golok dan pedang yang dipegang kedua tangannya berbareng
menusuk kedada Tik Hun sekaligus "Crat-cret", tanpa ampun lagi dada Tik Hun
terkena tusukan golok dan pedang Hoa Tiat-kan itu, tapi ujung kedua senjata itu
lantas tertahan semua oleh Oh-jan-kah hingga tidak dapat menembus.
Saat itu Cui Sing juga sudah siap sedia disamping dengan sepotong batu, ia
menunggu bila Tik Hun terancam bahaya, segera ia akan maju membantu. Kini
melihat Hoa Tiat-kan telah menyerang dengan golok dan pedang sekaligus, tanpa
pikir lagi ia angkat batunya terus mengepruk kebelakang kepala Hoa Tiat-kan.
Dari pengalaman yang sudah lalu dimana tumbak Hoa Tiat-kan tidak mempan menembus
dada Tik Hun, memangnya Hoa Tiat-kan sudah ter-heran2 dan tidak habis mengarti
apa sebabnya" Ia menduga didalam baju pemuda itu mungkin terdapat sesuatu benda
keras sebangsa tameng, dan ujung tumbaknya tepat menusuk diatas benda keras itu,
makanya tidak mempan. Tapi sekali ini ia menusuk dengan golok dan pedang
berbareng, rasanya tidak mungkin begitu kebetulan pula akan mengenai benda keras
itu. Siapa duga hal yang tak diharapkan itu justeru berulang pula. Dan tengah ia
tertegun bingung itu, tiba2 Tik Hun sudah balas menghantamnya sekali, bahkan
dari belakang Cui Sing mengepruknya pula dengan batu.
Tanpa pikir lagi segera ia berkelit, lalu melompat pergi hingga jauh sambil
berseru: "Ada setan! Ada setan!" ~ Ia menjadi mengkirik sendiri demi terpikir
olehnya mungkin arwah Liok-toako dan Lau-hiante yang penasaran itu hendak
menuntut balas padanya karena ia telah makan mayat mereka. Tanpa terasa keringat
dingin membasahi tubuhnya.
Dalam pada itu kelonggaran itu lantas digunakan oleh Tik Hun dan Cui Sing untuk
lari kedalam gua, lalu menyumbat pula mulut gua dengan batu2 besar.
Kemudian terdengarlah Hoa Tiat-kan telah ber-kaok2 diluar gua: "Hai keluarlah
anak kura2, apakah kalian mampu sembunyi selama hidup didalam gua" Dapatkan
kalian menangkap burung didalam gua" Haha-hahaha!"
Meski Hoa Tiat-kan bergelak ketawa dan mengejek dengan congkak, tapi sebenarnya
hatinya juga sangat takut, maka tidak berani sembarangan membongkar mayat Cui
Tay lagi untuk dimakan. Mendengar ejekan Hoa Tiat-kan itu, mau-tak-mau Tik Hun saling pandang sekejap
dengan Cui Sing. Pikir mereka: "Benar juga apa yang dikatakan keparat itu.
Selama sembunyi digua, apa yang harus kami makan" Tapi kalau keluar tentu akan
dibunuh olehnya, lantas apa daya sekarang?"
Padahal kalau benar2 Hoa Tiat-kan hendak menyerbu kedalam gua, betapapun Tik Hun
berdua tidak mampu merintanginya. Cuma sesudah dua kali Tik Hun tidak mempan
ditusuk olehnya, Tiat-kan menjadi jeri dan menyangka benar2 ada arwah halus yang
diam2 lagi mempermainkannya, maka ia tidak berani sembarangan bertindak lagi.
Sesudah berjaga sekian lamanya dipintu gua dan Hoa Tiat-kan tidak menyerbu,
barulah Tik Hun dan Cui Sing agak lega. Waktu Tik Hun periksa luka lengan kiri,
ia melihat darah masih mengucur terus.
Segera Cui Sing sobek sepotong kain bajunya untuk membalut luka pemuda itu.
Ketika Tik Hun mengeluarkan bungkusan abu tulang Ting Tian, tanpa sengaja dari
bajunya itu ikut terjatuh sejilid buku kecil. Itulah "Hiat-to-keng" (kitab golok
berdarah) yang diperolehnya dari Po-siang dahulu.
Meski pertarungan Tik Hun melawan Hoa Tiat-kan tadi memakan waktu singkat saja,
tenaga yang dikeluarkannya juga tidak banyak, tapi semangatnya ternyata masih
tegang sekali. Kini sesudah mengaso, barulah ia merasa sangat lelah.
Teringat olehnya tempo dulu waktu pertama kalinya membaca Hiat-to-keng itu,
pernah ia bertingkah menurutkan gambar yang terlukis didalam kitab, lalu
semangatnya lantas pulih dan tenaga bertambah. Segera ia membalik2 halaman kitab
itu pula dengan tujuan akan menirukan gaya yang terlukis didalam kitab itu untuk
memulihkan semangat agar sebentar dapat dipakai menghadapi musuh kuat yang masih
mengintai diluar gua itu.
Ketika ia membuka halaman pertama kitab itu, ia melihat gambar yang terlukis
disitu adalah bentuk manusia yang berjungkir balik, kepala menahan ditanah, kaki
terangkat keatas, sikap kedua tangannya juga sangat aneh. Tanpa pikir lagi
segera Tik Hun menirukan gambar itu, iapun menjungkir dengan kepala bawah dan
kaki diatas. Melihat pemuda itu mendadak bertingkah aneh. Cui Sing menyangka penyakit gila
orang telah angot lagi. Diam2 ia mengeluh, diluar gua ada musuh, didalam gua ada
orang gila pula, bagaimana dirinya harus bertindak" Dalam kuatirnya, kembali ia
mewek2 ingin menangis. Dalam pada itu Tik Hun masih terus berlatih, tidak sampai setengah jam, antero
tubuhnya terasa panas bagai dibakar. Tapi nikmat sekali rasanya.
Melihat Tik Hun melatih ilmu dengan berdiri menjungkir, Cui Sing menjadi heran
dan kaget terutama sesudah mengetahui yang ditiru Tik Hun adalah gambar didalam
kitab Hiat-to-keng yang melukiskan seorang laki2 telanjang, jangan2 nanti pemuda
itu juga akan menirukannya dengan telanjang .....
Kemudian ia coba membalik halaman berikutnya, ia melihat gambar ini melukiskan
seorang laki2 telanjang tengkurap ditanah, hanya tangan kirinya yang menahan
ditanah, sedangkan kedua kakinya membalik keatas dan menggantol dibagian leher
sendiri. Gaya menurut gambar itu sebenarnya sangat susah dilakukan. Tapi sejak Tik Hun
berhasil meyakinkan Sin-ciau-kang, ia merasa antero tubuh dan segenap bagian
badannya dapat digerakan dengan bebas, bagaimana keinginannya tentu dapat
dilakukannya, sedikitpun tidak susah2. Maka ia lantas berlatih pula menurut
petunjuk gambar dalam kitab itu, hawa dalam tubuh lantas ikut berjalan juga kian
kemari antara urat-nadi satu keurat nadi yang lain sesuai dengan garis2 merah
dan hijau yang terdapat dalam gambar.
Kiranya "Hiat-to-keng" itu memuat ichtisar komplit dari ilmu Lwekang dan Gwakang
ajaran Hiat-to-bun. Setiap gambar yang terlukis pada tiap2 halaman itu biasanya
harus dilatih selama setahun atau setengah tahun baru dapat jadi.
Tapi sekarang Tik Hun sudah lancarkan hubungan antara urat nadi Tok-meh dan Im-
meh, ia mempunyai alas dasar Sin-ciau-kang yang tiada bandingannya dalam hal
tenaga dalam. Maka ilmu yang betapapun sulitnya baginya boleh dikata tiada
artinya lagi, dengan mudah tentu akan dapat dilatihnya dengan sempurna.
Ibaratkan seorang belajar membaca, semula memang sulit mengapalkan setiap huruf,
tapi bila antero huruf "Kamus besar" telah dibaca dan diapalkannya dengan baik,
dengan sendirinya tiada sesuatu istilahpun yang sulit baginya untuk dipahaminya.
Begitulah Tik Hun terus berlatih sejurus demi sejurus, makin melatih makin
bersamangat. Semula Cui Sing sangat kuatir, sebab mengira penyakit gila pemuda itu kumat
lagi, tapi kemudian demi mengetahui pemuda itu sedang melatih ilmu menurut
gambar dalam kitab, barulah hilang rasa kuatir dan takutnya.
Bahkan ketika melihat gaya latihan Tik Hun yang aneh dan lucu itu, Cui Sing
menjadi geli dan heran pula. Pikirnya: "Masakah didunia ini ada orang melatih
ilmu secara begini?"
Achirnya Cui Sing menjadi kepingin tahu juga, ia coba mendekati kitab yang
terletak ditanah itu dan melongoknya, tapi sekali pandang saja ia menjadi merah
jengah, hatinya ber-debar2. Kiranya gambar yang terlihat didalam kitab itu
melukiskan seorang laki2 yang telanjang bulat. Keruan ia malu dan takut pula,
pikirnya: "Jika cara begini Siau-ok-ceng itu berlatih terus menerus menurut
gambar, jangan2 sampai achirnya nanti ia juga akan menanggalkan pakaiannya
hingga telanjang bulat seperti gambar" Wah, kan celaka kalau begitu!"
Syukurlah adegan yang dikuatirkan Cui Sing itu sebegitu jauh tidak muncul.
Sesudah melatih Lwekang itu sebentar, ketika Tik Hun membalik halaman lain dari
kitab itu, ia melihat gambarnya sekarang melukiskan laki2 itu memegangi sebatang
golok melengkung sedang membacok miring dan menabas kesamping.
Girang Tik Hun tidak kepalang, tak tertahan lagi ia berseru: "Hei, inilah Hiat-
to-to-hoat (ilmu permainan golok berdarah)!"
Segera ia menuju kedepan gua, ia menjemput sebatang ranting kayu sisa kayu bakar
yang dipakai panggang burung itu. Ia menurutkan gaya gambar dalam kitab dan
menirukan untuk melatih ilmu golok itu.
Ilmu golok permainan Hiat-to itu benar2 sangat aneh juga, setiap jurus selalu
membacok dari arah yang tidak mungkin terpikir menurut akal sehat.
Hanya tiga jurus saja Tik Hun berlatih dan segera ia paham duduknya perkara.
Kiranya setiap ilmu permainan golok itu adalah perubahan dari gaya aneh menurut
gambar dihalaman depan tadi. Gambar dihalaman depan itu ada yang berjungkir
balik, ada yang miring, ada yang menjulur kaki menggantol dileher, ada yang
membalik tangan kebelakang untuk menjewer telinga sendiri dan macam2 gaya yang
aneh dan lucu. Dan ilmu permainan Hiat-to itu juga mencakup gaya2 serangan yang
aneh dan susah dibayangkan orang itu.
Segera Tik Hun pilih empat jurus ilmu permainan golok itu dan melatihnya bolak-
balik sampai beberapa kali, ia pikir harus cepat2 mengapalkan beberapa puluh
jurus agar beberapa hari lagi dapat dipakai modal pertempuran mati2an dengan
manusia she Hoa itu. Tak terduga olehnya bahwa setengah haripun Hoa Tiat-kan tidak memberi
kelonggaran padanya. Baru Tik Hun tekun mempelajari jurus kelima, tiba2 Hoa
Tiat-kan sudah berseru diluar gua: "Hai, Hwesio cilik, kau mau makan hati bapak-
mertuamu atau tidak" Tentu sangat lezat rasanya!"
Keruan Cui Sing terkejut. Tanpa pikir lagi ia dorong batu penutup gua terus
menyerobot keluar. Ia melihat Hoa Tiat-kan sedang menggali kuburan sang ayah
dengan Kui-thau-to, bukan mustahil sekejap lagi mayat sang ayah pasti akan
dibongkar olehnya. "Hoa-pepek, apakah kau ti........ tidak ingat pada kebaikan sesama sau........
saudara angkat lagi?" demikian Cui Sing ber-teriak2 dengan kuatir sembari
menerjang maju. Memangnya tujuan Hoa Tiat-kan justeru ingin memancing Cui Sing keluar lebih
dulu, lalu ia akan robohkan gadis itu, kemudian barulah Tik Hun akan dibereskan
olehnya agar gadis itu tidak mengganggu maksudnya. Maka demi melihat Cui Sing
menyerbu kearahnya, ia pura2 tidak tahu dan tetap asyik menggali. Setelah Cui
Sing mendekat dan hendak menghantam punggung, saat itulah Hoa Tiat-kan lantas
membaliki tangannya, secepat kilat ia pegang sigadis.
Menyusul sebelah tangan Cui Sing yang lain menghantam pula, tapi sedikit Hoat
Tiat-kan miringkan tubuh, ia membiarkan bahunya kena digenjot sigadis, pada saat
hampir berbareng itu tiba2 Cui Sing juga menjerit tertahan, ternyata pinggangnya
telah kena ditutuk Hoa Tiat-kan hingga jatuh tersungkur dan tak terkutik lagi.
Selesai merobohkan Cui Sing, sementara itu Tik Hun tertampak sedang menerjang
pula kearahnya sambil membawa ranting kayu.
Hoa Tiat-kan ter-bahak2, katanya: "Hahaha! Apa barangkali kau sudah bosan hidup"
Masakan akan melawan aku dengan sebatang kayu" Baiklah, kau adalah paderi jahat
dari Hiat-to-bun, aku akan menggunakan golok mestika dari Hiat-to-bun kalian ini


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menghantar kau pulang keachirat!"
Habis berkata, mendadak ia lolos golok merah dari pinggang, ia simpan kembali
Kui-thau-to, menyusul goloknya lantas membacok tiga kali kearah Tik Hun.
Hiat-to itu sangat tipis lagi enteng, waktu membacok lantas mengeluarkan suara
mendesing yang nyaring. Diam2 Hoa Tiat-kan memuji golok mestika yang bagus itu.
Melihat serangan musuh yang cepat dan hebat itu, Tik Hun menjadi ngeri hingga
cara berkelitnya menjadi kelabakan pula. Tapi ia menjadi nekat juga, pikirnya:
"Biarlah aku gugur bersama dengan kau!" ~ Dan sekali ia balas menyerang,
mendadak ia ayun ranting kayu yang dipegangnya itu dan menyabet dari belakang
"plok", tahu2 tengkuk Hoa Tiat-kan tepat kena digebuk sekali olehnya.
Tipu serangan ini benar2 aneh dan bagus sekali, pabila senjata yang dipakai Tik
Hun itu bukan sebatang kayu, tapi adalah sebatang golok atau pedang, maka tidak
perlu disangsikan lagi pasti kepala Hoa Tiat-kan sudah berpisah dengan tuannya.
Padahal ilmu silat Hoa Tiat-kan tidak lebih rendah daripada Hiat-to Loco,
andaikan Hiat-to Loco hidup kembali juga tidak mampu membunuhnya dengan sejurus
saja. Soalnya tadi Hoa Tiat-kan terlalu memandang enteng pada Tik Hun yang
dianggapnya cuma sebangsa keroco yang tiada artinya, dari itu ia telah kena
batunya. Ia tertegun sejenak, lalu bermaksud ayun goloknya untuk membacok pula. Namun
batang kayu Tik Hun itu sudah menyabet dan menghantam secara membadai kearahnya.
"Plok", kembali Hoa Tiat-kan kena digebuk lagi, sekali ini kena dibatok kepala
belakang. Keruan hampir2 Hoa Tiat-kan kelengar, untung ia masih dapat bertahan walaupun
dengan kepala pusing tujuh keliling. Ia ber-teriak2: "Ada setan! Ada setan!" ~
Tanpa merasa ia menoleh kebelakang, saking ketakutan sampai tangannya menjadi
lemas, cekalannya menjadi kendur, golok merah yang dipegang itu jatuh ketanah,
tanpa memikir untuk menjemput kembali senjata itu terus saja ia lari pergi
dengan ter-birit2. Kiranya setelah Hoa Tiat-kan memakan mayat kedua saudara angkat sendiri,
betapapun perasaannya tidak tenteram dan menyesal, senantiasa ia kuatir kalau
arwah halus Liok Thian-ju dan Lau Seng-hong menggoda padanya.
Tadi waktu Tik Hun tidak mempan ditusuk olehnya, memangnya ia sudah sangsi
jangan2 ada arwah halus yang telah membantu musuh itu, kini Tik Hun hanya
melawannya dengan sebatang kayu, sudah terang gamblang lawan itu berdiri
didepannya, pula Cui Sing sudah ditutuk roboh olehnya, tapi tahu2 tengkuk dan
batok kepala belakang be-runtun2 telah kena dihanjut oleh sesuatu benda keras.
Padahal dilembah itu selain mereka bertiga sudah tiada manusia lain lagi. Lalu
mengapa ada yang mampu menyerangnya dari belakang tanpa kelihatan wujutnya,
habis kalau bukan setan iblis lantas apa" Dan begitulah ia menjadi ketakutan
setengah mati dan lari sipat-kuping.
Sebaliknya Tik Hun meski berhasil menggebuk Hoa Tiat-kan dua kali, tapi musuh
toh tidak terluka apa2, mengapa mendadak orang she Hoa itu lari pergi dengan
ketakutan" Sungguh hal inipun diluar dugaannya dan membingungkan dia.
Segera Tik Hun menjemput Hiat-to yang ditinggalkan Hoa Tiat-kan itu, ia melihat
Cui Sing masih menggeletak ditanah takbisa berkutik, tanyanya: "Kenapa kau" Apa
tertutuk oleh keparat itu?"
"Ya," sahut Cui Sing.
"Sayang aku tidak paham ilmu Tiam-hiat dan cara membukanya, maka takbisa
menolong kau," ujar Tik Hun.
"Asal pinggang dan pahaku di..........." sebenarnya Cui Sing hendak
memberitahukan Tik Hun tempat jalan darah yang harus dipijat untuk
melancarkannya kembali, lalu ia akan dapat bergerak lagi. Tapi demi berkata
tentang pinggang dan paha, ia lantas ingat jangan2 "Siau-ok-ceng" itu akan kumat
penyakit buasnya dan mendadak memperlakukan dirinya secara tidak senonoh dikala
dirinya takbisa bergerak, wah, kan bisa celaka"
Ketika mendadak melihat sinar mata sigadis mengunjuk rasa ketakutan dan bicara
setengah2, Tik Hun menjadi heran, pikirnya: "Hoa Tiat-kan toh sudah lari, apa
yang kau takuti lagi?" ~ Tapi setelah dipikir pula, segera iapun mengarti
dirinya sendirilah justeru yang ditakuti gadis itu. Sesaat itu ia menjadi gusar,
teriaknya mendadak: "Jadi kau takut aku akan menodai kau" Hm, hm, biarlah sejak
kini aku takkan melihat tampangmu lagi!" ~ Saking gusarnya ia lantas mengamuk,
ia menendang dan menyepak tanah salju hingga bunga salju berhamburan bagai
hujan. Ia kembali kedalam gua, sesudah mengambil kitab Hiat-to-keng, dengan langkah
lebar ia tinggal pergi dan tidak memandang lagi pada Cui Sing, bahkan melirikpun
tidak. Diam2 Cui Sing merasa malu sendiri, pikirnya: " Jangan2 aku yang suka curiga tak
keruan dan telah salah sangka padanya?"
Begitulah Cui Sing menggeletak tak berkutik disitu. Selang lebih satu jam,
mendadak seekor elang menyambar kebawah dan mematuk kemukanya. Keruan Cui Sing
menjerit kaget. Se-konyong2 tertampak sinar merah berkelebat, golok merah itu
tahu2 menyambar tiba dari samping sana hingga elang itu terpapas menjadi dua dan
jatuh dipinggir Cui Sing.
Meski Tik Hun sangat gusar karena dirinya dicurigai gadis itu, tapi ia juga
kuatir Hoa Tiat-kan akan datang kembali untuk membikin celaka mereka, maka ia
tidak pergi jauh, tapi menjaga disekitar situ sambil meneruskan pelajaran ilmu
golok menurut kitab pusaka Hiat-to-keng itu. Ia tidak menyangka sekali
menimpukan golok merah itu, kontan elang itu tertabas menjadi dua belah, bahkan
golok itu tidak terhalang oleh elang dan masih terus melayang kedepan hingga
sejauh belasan meter baru jatuh ketanah. Dengan demikian Tik Hun telah berhasil
pula meyakinkan satu jurus "Liu-sing-keng-thian" atau bintang kemukus melayang
diudara. Mendadak Cui Sing ber-teriak2: "Tik-toako, Tik-toako! Ya, aku mengaku salah
sudah, seribu kali aku minta maaf padamu!"
Tapi Tik Hun berlagak tuli saja dan tidak gubris. Maka Cui Sing ber-teriak2
lagi: "Tik-toako, sudilah kau memaafkan kesemberoanku. Sesudah ayahku meninggal,
aku menjadi sebatangkara, cara berpikirku menjadi agak kurang sehat, harap
engkau jangan marah lagi padaku, ya?"
Namun Tik Hun masih tidak gubris padanya. Tapi pelahan2 rasa gusarnya menjadi
lenyap juga. Dengan menggeletak ditanah, sampai besok paginya jalan darah Cui Sing baru
lancar kembali dengan sendirinya dan dapat bergerak pula. Ia tahu meski Tik Hun
sepatah-katapun tidak bicara, tapi sepanjang malam toh senantiasa menjaga disitu
tanpa tidur, sungguh rasa terima kasihnya tak terhingga. Maka begitu badannya
bisa bergerak, segera ia pergi memanggang elang lagi, ia membagi separoh kepada
Tik Hun. Tapi ketika dia sudah mendekat, Tik Hun sengaja pejamkan mata untuk mentaati
sesumbarnya sendiri bahwa selanjutnya ia tidak mau melihat tampang gadis itu
lagi. Cui Sing juga tidak bicara padanya, ia taruh elang panggang itu didepan
Tik Hun, lalu menyingkir pergi.
Maksud Tik Hun akan menunggu sesudah gadis itu pergi agak jauh barulah ia akan
membuka mata. Diluar dugaan, mendadak didengarnya Cui Sing menjerit kaget
sekali, menyusul gadis itu mengaduh pula dan terguling ketanah.
Tik Hun terperanjat, cepat ia melompat bangun dan memburu ketempat Cui Sing.
Tapi tahu2 gadis itu telah berbangkit dengan tertawa, katanya: "Aku cuma menipu
kau saja. Kau menyatakan selanjutnya takkan melihat aku, tapi sekarang kau sudah
melihat lagi, bukan" Maka pernyataanmu itu sekarang sudah batal!"
Tik Hun tidak menjawab, dengan mendongkol ia melotot sekali pada gadis itu.
Pikirnya: "Wanita didunia ini memang licik semua. Kecuali nona Leng kekasih
Ting-toako itu, selebihnya suka menipu orang saja. Sejak kini tidak nanti aku
dapat kau tipu lagi."
Sebaliknya Cui Sing masih mengikik tawa, katanya: "Tik-toako, buru2 kau hendak
menolong aku, bukan" Terima kasih, ya!"
Kembali Tik Hun melototi sigadis sekali, lalu memutar tubuh dan
menyingkir........ Sementara itu rupanya Hoa Tiat-kan sudah ketakutan pada setan iblis, maka ia
tidak berani mengacau lagi ketempat gua. Terpaksa ia mencari kulit pohon dan
akar rumput sekadar mengisi perut agar tidak mati kelaparan. Sudah tentu
penghidupan begitu sangat menderita baginya.
Dalam pada itu setiap hari Tik Hun asyik melatih sejurus-dua ilmu permainan
golok, baik tenaga dalam, maupun tenaga luar, setiap hari ia mencapai kemajuan
yang menonjol. ********** Sang tempo silih berganti dengan cepat, tanpa merasa musim dingin sudah lalu dan
musim semi telah tiba. Hawa udara lambat-laun mulai menghangat, salju tidak
turun lagi, sebaliknya timbunan salju mulai susut, yaitu mulai cair.
Selama itu Tik Hun sudah lengkap mempelajari Lwekang dan ilmu golok yang
terlukis didalam Hiat-to-keng itu. Kepandaiannya kini sudah mencakup dua aliran
Cing dan Sia yang paling tinggi, meski pengalamannya cetek dan kurang
pengetahuan, sedang diantara sari ilmu2 silat aliran Cing dan Sia itupun belum
ada pembauran yang sempurna, tapi kalau melulu bicara tentang ilmu silat sejati,
saat itu jangankan cuma Hoa Tiat-kan, bahkan kepandaian Tik Hun sekarangpun
sudah lebih tinggi daripada Ting Tian dulu. Hal ini adalah berkat Sin-ciau-kang
yang telah berhasil diyakinkan dengan baik serta terhubungnya urat2 nadi Tok-meh
dan Im-meh. Selama itu, bila Cui Sing mengajak bicara padanya, selalu Tik Hun berlagak gagu
tanpa menjawab sepatahpun. Kecuali waktu makan, terpaksa mereka berkumpul
sebentar, habis itu, selalu Tik Hun menjauhi Cui Sing lagi dan tekun melatih
diri. Pada benaknya cuma ada tiga harapan: Bila sudah keluar dari lebih salju ini,
tugas pertama yalah mencari Suhu ketempat kediaman lama di Heng-ciu; Kedua,
mengubur abu tulang Ting-toako bersama nona Leng sebagaimana ia sendiri telah
janji pada Ting Tian dahulu dan ketiga yalah menuntut balas.
Maka sangat dia harapkan agar salju dilembah itu dapat mencair selekas mungkin.
Ia melihat air salju sudah meluber sebagai air kali dan mengalir terus keluar
lembah, salju yang menutupi jalan keluar lembah itu makin hari makin susut. Ia
tidak tahu masih kurang berapa hari lagi baru akan tiba hari Toan-ngo-ce, yang
terang, hari keluarnya dari lembah itu sudah tidak terlalu lama lagi.
Satu petang, ia menerima dua ekor burung panggang dari Cui Sing, selagi ia
hendak putar tubuh dan menyingkir, tiba2 gadis itu berkata: "Tik-toako, lewat
beberapa hari lagi kita sudah dapat keluar dari lembah ini, bukan?"
"Ehm," sahut Tik Hun tak acuh.
"Terima kasih padamu yang telah menjaga keselamatanku selama ini, tanpa
perlindunganmu, tentu sudah lama aku dibunuh oleh jahanam Hoa Tiat-kan itu."
"Tidak apa2," sahut Tik Hun sambil menggeleng. Lalu ia bertindak pergi.
Tapi baru beberapa langkah, tiba2 didengarnya suara sesenggukan dibelakang,
waktu menoleh, ia melihat Cui Sing mendekap diatas sebuah batu dan sedang
menangis. Ia menjadi heran: "Sudah hampir bisa pulang, seharusnya merasa senang, mengapa
malah menangis" Sungguh perasaan wanita memang aneh dan susah diraba."
Malam itu, setelah melatih sebentar, Tik Hun merebah diatas batu besar yang
biasanya dipakai sebagai balai2.
Jarak batu itu tidak jauh dari gua untuk menjaga kalau2 tengah malam mereka
disergap Hoa Tiat-kan. Tapi selama masa terachir ini Hoa Tiat-kan ternyata tidak
muncul lagi. Ia menduga takkan terjadi apa2 lagi, maka tidurnya menjadi sangat
nyenyak. Tengah Tik Hun terpulas, tiba2 dari jauh samar2 seperti ada suara tindakan
orang. Lwekang Tik Hun sekarang sudah sangat tinggi, mata-telinganya juga sangat tajam,
meski suara tindakan orang itu masih sangat jauh, tapi sudah membuatnya terjaga
bangun. Cepat Tik Hun berduduk dan mendengarkan dengan cermat, ia merasa jumlah
orang yang datang itu cukup banyak, paling sedikit ada 50-60 orang dan sedang
menuju kearah lembah ini.
Ia terkejut dan heran: "Mengapa mereka mampu masuk kelembah salju ini?"
Ia tidak tahu bahwa ditengah lembah yang dikelilingi puncak2 gunung yang tinggi
itu, cuaca disitu menjadi lebih dingin dan berbeda daripada diluar lembah sana.
Timbunan salju diluar lembah sudah mulai lumer, tapi salju didalam lembah belum
apa2 dan paling sedikit harus 13 hari atau setengah bulan lagi baru mencair.
Segera terpikir pula oleh Tik Hun: "Orang2 itu pasti adalah jago2 silat
Tionggoan yang dahulu ikut meng-uber2 itu, kini Hiat-to Loco sudah mati, segala
permusuhan tentu akan berachir juga. Dan, ya, Piaukonya nona Cui tentu juga ikut
datang untuk membawanya pulang, itulah paling baik. Tapi mereka telah anggap aku
sebagai paderi cabul dari Hiat-to-bun, untuk memberi penjelasan rasanya tidaklah
mudah, maka lebih baik aku tidak bertemu dengan mereka, biarkan nona Cui dibawa
mereka pergi mereka, lalu aku sendiri baru meninggalkan tempat ini."
Segera ia mengitar kesamping gua sana dan mengumpet dibelakang sepotong batu
karang, ia ingin tahu macam apakah orang2 yang datang itu.
Suara tindakan orang banyak itu makin lama makin dekat. Tiba2 pandangan mata
terbeliak, ternyata rombongan orang2 itu sudah muncul dari balik bukit sana.
Tangan mereka membawa obor semua.
Jumlah seluruhnya memang betul kurang lebih 50 orang, semuanya membawa obor
dengan tangan kiri dan tangan kanan bersenjata.
Orang yang mengepalai didepan itu tampak berjenggot putih, tangannya tidak
membawa obor, sebaliknya bersenjata semua, tangan yang satu membawa golok dan
tangan yang lain memegang pedang. Siapa lagi dia kalau bukan Hoa Tiat-kan
adanya. Semula Tik Hun agak heran mengapa Hoa Tiat-kan bisa berada bersama dengan orang2
sebanyak itu. Tapi segera ia menjadi sadar: "Ah, orang2 itu adalah pengejar2
dari Ouw-pak dan Su-cwan yang pernah ikut meng-uber2 kami dahulu itu dan Hoa
Tiat-kan adalah satu diantara pemimpin mereka, dengan sendirinya mereka lantas
menggabungkan diri ketika saling bertemu kembali. Tapi entah hasutan apa saja
yang telah Hoa Tiat-kan katakan kepada mereka itu?"
Sementara itu rombongan Hoa Tiat-kan sudah masuk kedalam gua. Segera ia merayap
maju lebih dekat, ia bertiarap di-semak2 rumput yang saljunya masih belum cair
agar tak dipergoki pendatang2 itu. Meski jaraknya dengan rombongan Hoa Tiat-kan
itu masih cukup jauh; tapi dengan kemajuan Lwekang yang dicapainya dengan pesat
selama ini, kini mata-telinganya sudah sangat tajam, apa yang dipercakapkan
orang2 didalam gua itu dapat didengarnya dengan jelas. Maka terdengar suara
seorang yang kasar serak sedang berkata: "Hiat-to Loco itu terbinasa ditangan
Hoa-heng sendiri, sungguh jasa ini harus dipuji dan dikagumi. Selanjutnya Hoa-
heng adalah pemimpin dunia persilatan kita di Tionggoan, kami siap sedia dibawah
pimpinan Hoa-heng." "Sungguh sayang Liok-tayhiap, Lau-totiang dan Cui-tayhiap bertiga telah
mengalami nasib malang, hal ini benar2 sangat menyedihkan," kata seorang lain.
"Meski Ok-ceng tua itu sudah mampus, tapi Ok-ceng cilik itu masih hidup, kita
harus segera mencarinya, membabat rumput harus sampai ke-akar2nya, agar kelak
tidak menimbulkan bencana pula, betul tidak menurut pendapatmu, Hoa-tayhiap?"
demikian sambung seorang lagi.
"Benar," sahut Hoa Tiat-kan. "Siau-ok-ceng itu tinggi juga ilmu silatnya yang
jahat, keganasannya tidak dibawah gurunya yang sudah mampus itu bahkan jauh
melebihinya. Tadi demi melihat kedatangan kita, tentu cepat2 dia berusaha hendak
meloloskan diri. Marilah saudara2, janganlah kenal lelah kita harus mencari dan
binasakan pula Siau-ok-ceng itu."
Diam2 Tik Hun terkesiap mendengar hasutan Hoa Tiat-kan itu, pikirnya: "Orang she
Hoa ini benar2 manusia keji, untung tadi aku tidak sembarangan unjukkan diri,
kalau tidak, pasti aku akan dikerubut dan susahlah untuk melawan mereka yang
berjumlah sangat banyak itu."
Dalam pada itu tiba2 terdengar suara seorang wanita telah menjawab" "Dia ...... dia
bukan Siau-ok-ceng, tapi adalah seorang laki2 sejati, Hoa Tiat-kan sendirilah
seorang yang maha jahat."
Itulah suaranya Cui Sing. Sungguh hati Tik Hun sangat terhibur, untuk pertama
kalinya inilah ia mendengar gadis itu menyatakan: "Dia bukan Siau-ok-ceng, tapi
dia adalah seorang laki2 sejati," ~ Sungguh tak tersangka olehnya bahwa gadis
yang selama ini bersikap takut dan dingin padanya ini, meski paling achir ini
tidak lagi mengunjuk sikap benci padanya, tapi berani terang2an membela
kebaikannya dihadapan orang banyak, sungguh hal ini tak diduganya sama sekali.
Saking terharunya sampai air mata meleleh, pelahan2 ia menggumam sendiri: "Dia
mengatakan aku adalah laki2 sejati!"
Setelah Cui Sing bicara tadi, keadaan didalam gua menjadi sepi, agaknya orang2
itu sedang saling pandang dengan bingung.
Tik Hun coba mengintip, dibawah sinar obor yang terang Tik Hun melihat air muka
orang2 itu penuh mengunjuk sikap jijik dan hina.
Selang sejenak, lalu suara seorang tua berbicara lagi: "Cui-titli, aku adalah
sobat lama ayahmu, mau-tidak-mau aku harus mengatai kau, Siau-ok-ceng itu telah
membunuh ayahmu, tapi kau ......."
"Tidak, tidak ......." Seru Cui Sing tak lancar.
"Apa kau maksudkan ayahmu tidak dibunuh oleh Siau-ok-ceng itu?" orang tua itu
menyela. "Jika demikian, lalu ayahmu dibunuh oleh siapa?"
"Dia ....... dia........" demikian Cui Sing ingin menjelaskan, tapi susah rasanya untuk
mengucapkan.

Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Menurut cerita Hoa-tayhiap, katanya dalam pertempuran sengit dahulu ayahmu
telah kehabisan tenaga hingga tertawan musuh, kemudian Siau-ok-ceng itu telah
membunuhnya dengan mengepruk kepalanya dengan sepotong kayu, betul tidak?" tanya
orang tua tadi. "Betul, tapi ...... tapi ......" sahut Cui Sing.
"Tapi apa lagi?" potong orang tua itu.
"Ayahku sendiri yang mohon dia suka membunuhnya!" sahut Cui Sing.
Maka ramailah seketika suara gelak tertawa didalam gua. Ditengah suara ketawa
itu terseling pula kata2 yang mengejek seperti: "Mohon dirinya dibunuh?"
Hahahaha! Dusta ini benar2 terlalu menggelikan!" ~ "O, jadi Cui-tayhiap itu
sudah bosan hidup, makanya minta calon menantunya itu membinasakan dia saja!" ~
"Calon menantu apa" Bahkan sebelum Cui-tayhiap meninggal, Siau-ok-ceng itu
katanya sudah mengadakan hubungan dengan nona cilik ini, hahahaha!"
Malahan diantara suara tertawa dan ejekan itu, banyak pula suara orang yang
memaki kalang kabut kealamat Cui Sing yang dianggapnya perawan hina, gadis cabul
dan macam-macam lagi. Orang itu adalah golongan orang Kangouw yang kasar, keruan
segala kata2 kotor tidak segan2 mereka ucapkan.
Kiranya sesudah mendengar hasutan Hoa Tiat-kan, orang2 itu telah dicekoki dengan
cerita yang dikarang Hoa Tiat-kan sendiri, maka mereka telah yakin bahwa Cui
Sing sudah menyerahkan diri kepada Tik Hun, kini mereka bertambah gemas melihat
gadis itu malahan membela sang "gendak", dari itu segala caci-maki itu lantas
dihamburkan kepada Cui Sing.
Keruan muka Cui Sing merah padam, mendadak ia berteriak: "Diam! Kalian sem .......
sembarangan memaki orang" Apa kalian tidak kenal malu?"
"Hahahaha!" kembali pecah gelak tertawa orang banyak dengan macam2 ejekan: "Eh,
kami tidak kenal malu" Dan cara kau main pat-pat-gulipat dengan Siau-ok-ceng
didalam gua itu tanpa memikirkan sakit hati orang tua, apakah ini yang dikatakan
kenal malu?" "Maknya!" mendadak suara seorang yang kasar memaki. "Jauh2 Loco
ikut menguber kemari tanpa mengenal capek, maksudnya ingin menolong perempuan
jalang seperti kau ini. Siapa duga kau sendiri sedemikian hina-dina tak punya
malu, ini, biar kumampuskan kau dulu dengan golokku!"
"He, jangan, jangan!" cepat orang lain mencegahnya. "Tio-heng jangan semberono!"
"Sabar, sabar dulu, saudara!" demikian suara orang tua pertama tadi berbicara
lagi. "Usia nona Cui masih terlalu muda dan kurang pengalaman. Cui-tayhiap telah
mengalami nasib jelek hingga tertinggal nona Cui yang sebatangkara, maka
janganlah saudara2 membikin susah padanya. Kukita selanjutnya dibawah asuhan
Hoa-tayhiap, tentu nona Cui akan dapat dididik menuju kejalan yang benar dan itu
berarti saudara2 sekalian ikut berbuat kebaikan bagi sesamanya. Tentang
peristiwa dilembah pegunungan ini tidak perlu kita siarkan kedunia Kangouw demi
nama baik Cui-tayhiap. Dimasa hidupnya Cui-tayhiap terkenal berbudi dan
pengasih, kalau tidak, masakah saudara2 sudi ikut menguber kemari dari jauh guna
menolong puterinya" Maka menurut pendapatku, marilah kita lekas mencari Siau-ok-
ceng itu, kita tangkap dia dan menyembelihnya dihadapan kuburan Cui-tayhiap guna
membalas sakit hati beliau."
Agaknya orang tua yang bicara itu berkedudukan cukup tinggi dan disegani yang
lain2, maka lantas terdengar suara dukungan dari beberapa orang diantaranya.
Kata mereka: "Benar, beanr! Apa yang dikatakan Thio-locianpwe itu cukup
beralasan. Marilah kita lekas mencari Siau-ok-ceng itu, kita ringkus dia dan
mencincangnya hingga hancur luluh!"
Ditengah berisik suara orang banyak yang berlainan pendapat itu, Cui Sing
mendadak menangis ter-gerung2.
Pada saat itulah kira2 dari jauh terdengar suara seruan seorang: "Piauwmoay!
Piauwmoay dimana kau berada" Piauwmoay! Cui-piauwmoay!"
Itulah suara Ong Siau-hong.
Mendengar suara sang Piauko yang sedang mencarinya, dalam keadaan sebatang kara
dan ditengah sindir-ejek orang banyak itu, mendadak telah datang seorang yang
sangat dirindukan itu, keruan Cui Sing kegirangan. Segera ia berhenti menangis
dan berlari memapak keluar gua.
"Ai, Ong Siau-hong yang sedang tenggelam dilautan asmara itu bila mengetahui apa
yang diperbuat kekasihnya disini, entah bagaimana hatinya akan terluka!"
demikian lantas ada yang memberi komentar.
Segera siorang tua tadi berkata: "Jangan ribut dulu, saudara2, dengarkanlah
usulku! ~ Hoa-tayhiap, pemuda she Ong itu sangat kesemsem kepada nona Cui ini,
sebenarnya dia sudah dua hari lebih dulu mencari kemari tanpa menghiraukan salju
yang masih belum cair. Mungkin ditengah jalan dia mendapat cidera apa2 atau
kesasar, maka datangnya disini malah tertinggal dibelakang kami. Begini,
saudara2 berbuatlah sedikit kebaikan, pemuda itu sedemikian kesemsemnya kepada
nona Cui, maka kejadian tentang nona Cui dengan Siau-ok-ceng itu hendaklah
jangan dikatakan pada Ong-siauhiap."
"Ya, setuju!" segera beberapa diantaranya yang berhati baik menyatakan akur.
"Setiap orang dapat berbuat kesalahan, dan kita harus memberi kesempatan padanya
untuk memperbaiki, apalagi dalam keadaan seperti nona Cui itu sebenarnya juga
sangat terpaksa, kalau tidak, masakah seorang gadis baik2 sudi main gila dengan
seorang Hweshio kejam yang tak keruan macamnya itu?"
Tapi ada juga yang menanggapi: "Sungguh sial Ong Siau-hong itu, seorang pemuda
gagah ganteng mesti mencintai seorang gadis yang sebenarnya hina-dina, benar2
celaka. Hahaha!" Begitulah tengah mereka bicara, sementara itu suara teriakan Ong Siau-hong tadi
kedengaran makin menjauh malah, agaknya dia tidak tahu letak gua itu, dimana
kawan2nya berada, maka telah membiluk kejurusan lain.
Cepat Cui Sing berlari kedepan dan berseru: "Piauko, Piauko! Aku berada disini,
aku berada disini!" Sungguh girang Ong Siau-hong melebihi orang putus lotere 25 juta ketika mendadak
mendengar suara jawaban sang Piauwmoay.
"Piauwmoay, benar2 kau" Piauwmoay! Dimana kau" Piauwmoay!" serunya pula.
"Aku berada disini, Piauko!" sahut Cui Sing.
Maka tertampaklah dari arah timur-laut sana ada suatu orang sedang mendatangi
secepat terbang. Sambil berlari orang itupun ber-teriak2: "Piaumoay! Piauwmoay!"
Mendadak orang itu yang tiada lain adalah Ong Siau-hong ~ terpeleset hingga
jatuh terbanting. Rupanya saking girang demi mendengar suara Cui Sing tadi,
Siau-hong menjadi lupa daratan dan berlari terlalu napsu, maka sebelah kakinya
telah kejeblos kedalam satu lubang hingga dia terjungkal. Tapi begitu jatuh,
segera ia melompat bangun untuk kemudian lantas berlari pula.
Melihat sang Piauko tiba2 jatuh, Cui Sing berteriak kaget dan kuatir, cepat
iapun berlari memapak kedepan. Makin lama makin mendekat jarak kedua muda-mudi
itu, sampai achirnya keduanya lantas saling berpelukan dengan terharu.
Sudah lama nama mereka terkenal sebagai "Leng-kiam-siang-hiap", sepasang
pendekar muda yang tersohor, sejak kecil mereka berkumpul dan dibesarkan
bersama, sudah tentu mereka menjadi girang tak terhingga dapat bertemu kembali
sesudah mengalami marabahaya yang penuh gemblengan itu.
Dari jauh Tik Hun dapat menyaksikan juga pelukan mesra antara Cui Sing dan Ong
Siau-hong itu. Aneh juga, entah mengapa timbul juga semacam perasaannya yang
rada cemburu. Sebenarnya selamanya Tik Hun takkan melupakan Jik Hong, meski dia sudah tinggal
selama setengah tahun dilembah bersalju ini bersama Cui Sing dan selama itu
tidak pernah timbul sesuatu perasaaan antara pria dan wanita. Cuma sesudah
tinggal bersama sekian lamanya dan kini mesti berpisah, mau-tak-mau lantas
timbul semacam rasa berat.
Pikirnya kemudian: "Ya, biarlah dia ikut pulang bersama Piauwkonya, itulah jalan
paling baik, semoga 'Leng-kiam-siang-hiap' mereka hidup bahagia sampai hari
tua." Mendadak didengarnya suara tangisan Ong Siau-hong, mungkin berduka ketika Cui
Sing memberitahu tentang meninggalnya Cui Tay.
Selang tak lama, tertampaklah Cui Sing putar balik ketempat gua sambil
bergadengan tangan dengan Ong Siau-hong. Dengan suara sesenggukan pemuda itu
sedang berkata: "Sejak kecil aku dibesarkan Kuku, sungguh aku sangat berduka
atas wafatnya, terutama bila teringat kebaikan Kuku yang selama ini menganggap
aku sebagai putera sendiri".
Mendengar sang Piauko menyinggung sang ayah, Cui Sing menjadi ikut sedih dan
mencucurkan air mata pula.
"Piauwmoay," kata Siau-hong dengan suara pelahan, "selanjutnya kita berdua tidak
boleh berpisah lagi, janganlah kau berduka, selama hidup ini aku pasti akan
menjaga dirimu se-baik2nya."
Sejak kecil Cui Sing memang sudah sangat mencintai sang Piauko, lebih2 sesudah
berpisah sekian lamanya, sesungguhnya siang-malam ia sangat merindukan pemuda
pujaannya itu. Kini mendengar janji sang Piauko pula, keruan alangkah bahagia
rasa hatinya. Begitulah mereka berjalan berendeng kearah gua. Tapi setelah
dekat, tiba2 Cui Sing berhenti dan berkata: "Piauko, marilah sekarang juga kita
pergi saja dari sini, aku tidak ingin melihat orang2 itu."
"Sebab apa?" tanya Siau-hong dengan heran. "Para paman dan kawan2 yang ikut
mencari kemari itu dengan tekad bulat bertujuan menyelamatkan dirimu, dengan tak
kenal payah mereka rela menderita selama setengah tahun diluar lembah sana,
sungguh rasa setia kawan mereka itu harus dipuji dan dikagumi, masakah kau tidak
mengucapkan terima kasih apa2 dan lantas tinggal pergi begini saja?"
"Aku ........ aku sudah berterima kasih kepada mereka," ujar Cui Sing dengan
menunduk. "Mereka ber-sama2 datang kesini dari tempat jauh, kalau sekarang kitapun pulang
secara be-ramai2, bukankah cara ini lebih baik?" kata Siau-hong. Pula jenazah
Kuku harus diboyong kembali ketanah leluhur, andaikan dibiarkan bersemayam untuk
selamanya disini juga kita mesti minta persetujuan dulu dari para Locianpwe yang
ikut hadir itu. Dan bagaimanakah dengan Liok-pepek, Lau-totiang dan Hoa-pepek?"
"Marilah kita pergi dulu, nanti akan kujelaskan padamu." Ajak Cui Sing. "Hoa-
pepek adalah manusia jahanam, jangan kau suka percaya kepada obrolannya yang
ngaco!" Biasanya Ong Siau-hong tidak suka membangkang segala keinginan sang Piauwmoay,
maka demi sigadis berkeras ajak pergi, sebenarnya Siauw-hong sudah menyerah dan
bermaksud menuruti keinginan Cui Sing. Tapi sebelum dia menjawab, tiba2 dimulut
gua sana seorang telah menegur padanya: "Ong-hiantit, baru sekarang kau tiba"
Marilah kesini!" Itulah suara Hoa Tiat-kan. Maka cepat Siau-hong menjawab: "Baik, Hoa-pepek!"
Keruan Cui Sing menjadi kuatir, dengan membanting kaki ia berkata: "Jadi kau
tidak mau turut lagi pada omonganku?"
Sejenak Siau-hong menjadi ragu2. Tapi segera terpikir olehnya: "Hoa-pepek adalah
angkatan tua dari Bu-lim, perintah orang tua mana boleh dibangkang" Apalagi para
kawan yang telah bantu mencarikan Piauwmoay tanpa kenal lelah itu masih belum
ditemui barang sekejap lantas kutinggal pergi tanpa pamit, hal ini sesungguhnya
tidak pantas. Piauwmoay masih bersifat kanak2, asal sebentar lagi aku
menimangnya dan minta maaf padanya, tentu dia takkan marah padaku." ~ Maka
tangan Cui Sing lantas digandengnya dan menuju kegua.
Cui Sing tahu apa yang akan dibicarakan Hoa Tiat-kan nanti tentu takkan
menguntungkan dirinya, tapi lantas terpikir olehnya: "Aku suci bersih dan tidak
berdosa, biarpun mereka akan mempitenah dan menyangka jelek padaku, kenapa aku
mesti takut?" ~ Maka iapun tidak membantah lagi dan ikut Ong Siau-hong menuju
kegua, cuma wajahnya menjadi pucat pasi.
Setiba didepan gua, berkatalah Hoa Tiat-kan. "Ong-hiantit, kebetulan kau sudah
datang, Hiat-to-ok-ceng sudah kubunuh, tinggal seorang Siau-ok-ceng yang
berhasil lolos, marilah kita harus menangkapnya lagi untuk dibinasakan. Siau-ok-
ceng itu adalah pembunuh Kukumu."
"Sret", mendadak Siau-hong lolos pedangnya, sambil berteriak gusar. Sejak kecil
ia dipelihara Cui Tay, budi kebaikan pendekar besar itu dirasakannya bagaikan
orang tua sendiri, kini mendengar pembunuhnya belum tertangkap, keruan ia
menjadi murka dan bertekad akan mencarinya. Dan begitu melolos pedang, segera ia
berpaling kearah Cui Sing untuk melihat bagaimana sikap sang Piauwmoay.
Dibawah sinar obor yang terang, terlihatlah air muka sang Piauwmoay yang sudah
setengah tahun berpisah itu dalam keadaan pucat pasi, hati Siau-hong menjadi
sedih dan kasihan. Tapi dilihatnya pula gadis itu sedang menggeleng kepala
pelahan atas tindakannya melolos pedang itu.
Cepat Siau-hong menanya: "Kenapa, Piauwmoay?"
"Ayahku bukan dibunuh oleh ........ oleh orang itu," kata Cui Sing.
Mendengar ucapan ini, seketika orang2 yang sudah berkerumun itu menjadi gusar.
Kata mereka didalam hati. "Sungguh perempuan rendah! Kami telah ikut berkorban
bagimu, bahkan demi nama baikmu dimasa hidup yang akan datang dan demi
kehormatan Cui-tayhiap kami sengaja menutupi perbuatanmu yang tidak kenal malu
dengan Siau-ok-ceng itu, tapi sampai sekarang kau masih membela paderi jahat
ini, sungguh dosamu ini tak berampun!"
Dilain pihak Ong Siau-hong menjadi heran demi melihat wajah semua orang
mengunjuk rasa gusar. Dasarnya dia memang seorang pemuda cerdik dan pintar,
segera terpikir olehnya mengapa Cui Sing tadi tidak mau bertemu dengan orang2
ini dan sekarang orang2 inipun bersikap memusuhi sang Piauwmoay, pasti dibalik
kesemuanya ini terdapat rahasia apa2.
Segera Siau-hong berkata: "Piaumoay, marilah kita menurut maksud Hoa-pepek,
lebih dulu kita tangkap Siau-ok-ceng itu untuk mencacahnya hingga hancur lebur
untuk menyembayangi arwah Kuku. Dan jika masih ada urusan lain lagi, biarlah
kita kesampingkan untuk sementara ini."
"Dia ...... dia bukan Siau-ok-ceng," kata Cui Sing pula.
Siau-hong melengak dan bingung. Dan ketika dilihatnya pula sikap semua orang
mengunjuk jijik dan menghina pada sang Piauwmoay, kembali ia terkesiap, lapat2
ia merasa ada sesuatu yang tidak beres didalamnya. Tapi ia tidak ingin lantas
mengusut rahasia apa yang disembunyikan itu, segera katanya pula dengan suara
keras. "Para paman, para saudara dan sobat2 baik, marilah sekali lagi mohon
kalian suka mencurahkan sedikit tenaga untuk menyelesaikan urusan ini. Habis
Siau-ok-ceng itu tertangkap, satu-persatu pasti aku orang she Ong akan
menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan kalian." ~ Habis berkata, lebih
dulu ia lantas membungkuk untuk memberi hormat.
"Ya, marilah kita mencari Siau-ok-ceng itu, kita harus bergerak secepatnya agar
paderi jahanam itu tidak keburu melarikan diri lebih dulu!" seru semua orang be-
ramai2. Berbareng mereka lantas menerjang keluar gua dengan ber-bondong2.
Maka hanya dalam sekejap saja didalam gua itu menjadi sepi tertinggal Cui Sing
dan Ong Siau-hong berdua. Entah siapa yang membuang obornya didepan gua, sinar
api obor yang sebentar terang sebentar gelap itu membikin suasana didalam gua
itu jadi seram. Wajah "Leng-kiam-siang-hiap" juga sebentar terang sebentar gelap, kedua muda-
mudi berhadapan sambil tangan bergandeng tangan, banyak sekali isi hati masing2,
tapi entah cara bagaimana mereka harus mulai bicara.
Diam2 Tik Hun membantin: "Kedua saudara misan telah bertemu kembali sesudah
terpisah sekian lamanya, tentu banyak kata-kata mesra yang ingin mereka
utarakan, kalau aku ikut mendengarkan disini rasanya tidaklah pantas."
Dan selagi Tik Hun bermaksud merayap pergi, tiba2 didengarnya suara tindakan dan
dua orang sedang menuju ketempat sembunyinya itu. Terdengar seorang diantaranya
sedang berkata: "Coba kau mencari kearah sana, aku akan mencari dari sebelah
sini, sesudah satu keliling, nanti kita bertemu kembali disini."
"Baik," sahut seorang lain "Eh, disekitar sini banyak bekas tapak kaki, mungkin
Siau-ok-ceng itu bersembunyi disekitar sini, kita harus hati2 mencarinya!"
"He, Lau Song," tiba2 orang yang pertama berkata pula dengan menahan suara:
"Nona Cui itu cantik molek, selama setengah tahun ini, sungguh rejeki Siau-ok-
ceng itu bukan main besarnya setiap hari dilayani seorang gadis jelita seperti
nona Cui!" "Hahaha! Memang benar!" demikian sahut kawannya dengan ter-bahak2. "Pantas orang
she Ong itu tidak pikirkan hal itu dan rela menerima 'barang bekas'. Habis susah
sih mencari gadis secantik itu."
Begitulah kedua orang itu sambil berkelakar dan ter-bahak2 lalu terpencar untuk
mencari "Siau-ok-ceng" alias Tik Hun.
Rupanya mereka tidak tahu bahwa Ong Siau-hong dan Cui Sing masih berada didalam
gua, mereka mengira bahwa muda-mudi itu tentu sudah ikut keluar gua untuk
mencari musuh, maka cara bicara mereka menjadi tidak tedeng aling2 hingga
pembicaraan yang tidak sedap itu dapat didengar semua oleh Siau-hong dan Cui
Sing. Sudah tentu Tik Hun ikut mendengar semua pembicaraan kedua orang tadi, diam2 ia
merasa pedih bagi kedua muda-mudi yang dijadikan bulan2an itu, pikirnya: "Hoa
Tiat-kan itu benar2 maha jahanam, dia sengaja mengarang cerita2 kotor yang tidak
benar itu untuk merusak nama baik nona Cui, apa paedahnya sih baginya?"
Ketika ia mengintip lagi kedalam gua, ia melihat Cui Sing sedang mundur2
kebelakang dengan wajah pucat dan badan gemetar, katanya dengan suara ter-
putus2: "Piau ...... Piauko, jangan kau percaya pada ......pada omongan mereka yang
ngaco-belo!" Siau-hong tidak menjawab, tapi mukanya tampak ber-kerut2 menahan perasaan.
Terang ucapan kedua orang tadi se-akan2 ular berbisa yang telah memagut lubuk
hatinya. Selama setengah tahun ini dia menanti diluar lembah bersalju itu,
siang-malam selalu terpikir juga olehnya: "Piauwmoay berada dicengkeram kedua
paderi cabul itu, rasanya sulitlah baginya untuk mempertahankan kesucian


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

badannya. Asal jiwanya tidak terganggu, rasaku sudah puas dan berterima kasih
kepada langit dan bumi."
Akan tetapi tiada manusiapun yang mempunyai batas rasa puas. Jika dulu ia
berpikir begitu, adalah sekarang sesudah bertemu kembali dengan Cui Sing, ia
berharap pula agar gadis itu dapat menjaga diri tetap dalam keadaan suci bersih.
Dan demi mendengar percakapan kedua orang tadi, diam2 ia memikir: "setiap orang
Kangouw sudah mengetahui peristiwa ini, sebagai seorang laki2 sejati, aku Ong
Siau-hong masakah terima dibuat tertawaan orang?"
Tapi demi nampak keadaan Cui Sing yang harus dikasihani itu, kembali hatinya
lemas lagi, ia menghela napas sambil menggeleng kepala, katanya kemudian:
"Sudahlah, mari kita pergi, Piauwmoay!"
"Tapi kau percaya tidak kepada ucapan orang2 itu?" tanya Cui Sing.
"Kata2 iseng orang luar yang tak keruan itu buat apa mesti digubris?" sahut
Siau-hong. "Tapi, kau percaya tidak?" Cui Sing menegas pula sembari gigit bibir sendiri.
Siau-hong ter-mangu2 sejenak, kemudian ia menyahut: "Baiklah, aku takkan
percaya!" "Tapi didalam hati kau masih ragu2, bukan" Kau percaya penuh omongan mereka,
bukan?" kata Cui Sing. Dan sesudah merandek sejenak, kemudian sambungnya pula.
"Sudahlah, selanjutnya kau tidak perlu bertemu dengan aku lagi, anggaplah aku
sudah mati didalam lembah bersalju ini."
"Ai, Piauwmoay, kenapa kau berkata demikian," sahut Siau-hong.
Sungguh pedih sekali rasa hati Cui Sing, air matanya lantas bercucuran. Yang
dipikirnya sekarang hanya selekasnya dapat meninggalkan lembah salju itu dan
meninggalkan orang banyak, ia ingin menyingkir kesuatu tempat yang tak
dikenalnya, suatu tempat yang jauh dari manusia. Segera ia angkat kaki dan
berlari keluar gua, tapi baru ia melangkah keluar gua, tanpa merasa ia menoleh
kepojok dalam gua itu. Selama setengah tahun ini dipojok gua itu dia berteduh siang dan malam, meski
tiada suatu alat perabot apa2, tapi dasarnya gadis itu memang rajin dan suka
akan kebersihan, maka banyak juga barang kerajinan tangan yang telah dibuatnya
dari bulu burung seperti tikar, kasur dan sebagainya. Kini mendekati detik akan
berpisah dengan barang2 yang berdampingan selama setengah tahun dengan dirinya
itu, betapapun ia merasa berat juga.
Tiba2 terlihat olehnya mantel bulu yang pernah dihadiahkannya kepada Tik Hun
dahulu itu. Hatinya tergerak segera dan teringat kepada pemuda itu: "Orang itu
bergembar-gembor katanya dia adalah paderi cabul dan bertekad akan membunuhnya.
Pabila dia diketemukan mereka, dalam keadaan satu lawan musuh sebanyak itu,
apakah dia sanggup menyelamatkan diri?"
Tanpa merasa ia putar balik ketempat tidurnya itu, ia ambil mantel bulu itu dan
dipandangnya dengan ter-mangu2 hingga sekian lamanya.
Melihat baju bulu itu terletak ditempat Ciu Sing, sedangkan baju itu tampak
cukup longgar dan besar, bentuknya adalah mantel orang laki2, mau-tak-mau Siau-
hong menjadi curiga. Segera ia menanya: "Baju apakah itu?"
"Baju bulu yang kubuat sendiri," sahut Cui Sing.
"Apakah untuk kau pakai sendiri?" Siau-hong menegas.
Hampir2 Cui Sing ketelanjur menjawab bukan, tapi segera ia merasa tidak tepat
jawaban itu, ia menjadi ragu2 hingga tidak menyahut.
"Bentuknya seperti baju lelaki?" tanya Siau-hong pula, suaranya bertambah kaku,
suatu tanda hatinya dirangsang rasa gusar.
Cui Sing mengangguk tanpa menjawab.
"Kau yang bikin untuk dia?" tanya Siau-hong lagi.
Kembali Cui Sing mengangguk.
Siau-hong mengambil baju bulu itu dan memeriksanya sejenak, lalu katanya: "Ehm,
bagus sekali buatanmu ini."
"Piauko," tiba2 Cui Sing membuka suara, "janganlah kau memikir yang tidak2, dia
dan aku tiada ....... tiada .........." ~ ia tidak melanjutkan ucapannya demi melihat
sorot mata Siau-hong mengunjuk sesuatu sikap yang aneh.
Mendadak Siau-hong membanting baju bulu itu ketempat tidur Cui Sing sambil
berkata dengan nada mengejek: "Hm, bajunya mengapa berada ditempat tidurmu?"
Seketika Cui Sing merasa hampa, sungguh tak tersangka olehnya sang Piauko yang
biasanya menyanjung puja padanya itu kini mendadak bisa berubah begitu kasar dan
menjemukan. Dalam dongkolnya iapun tidak sudi banyak memberi penjelasan lagi,
pikirnya: "Ya, sudahlah, jika kau bercuriga dan menuduh aku berbuat serong,
bolehlah kau bercuriga dan menuduh sesukamu, buat apa aku mesti memohon belas
kasihanmu untuk memahami penasaranku?"
Dari tempat sembunyinya Tik Hun dapat mengikuti keadaan didalam gua itu dengan
jelas, ia melihat Cui Sing menanggung penasaran karena disangka menyeleweng dari
garis2 kesusilaan, air muka gadis itu tampak sangat cemas dan sedih, diam2 Tik
Hun ikut merasa tidak enak, pikirnya: "Aku Tik Hun sudah biasa didakwa dan
dipitenah orang secara se-mena2, bagiku hal2 itu tidak menjadi soal. Tapi nona
Cui, seorang lemah lembut yang tak berdosa, mana boleh dia dibiarkan menanggung
tuduhan yang tak benar itu?"
Berpikir begitu, jiwa kesatria Tik Hun seketika terbangkit, meski dia cukup tahu
dirinya sedang dicari ber-puluh2 jago silat Tionggoan diluar gua sana, kalau
kepergok mereka, pasti jiwanya tak mungkin diampuni. Tapi ia tidak dapat
berpikir panjang lagi, sekali lompat segera ia menyusup kedalam gua lagi dan
berseru: "Ong Siau-hong, salah besar apa yang telah kau pikir itu!"
Cui Sing dan Siau-hong terkejut semua ketika mendadak nampak seorang menerobos
kedalam gua. Kini Tik Hun tidak gundul lagi seperti dulu, rambutnya sudah
panyang kembali, sesudah memperhatikan sejenak barulah Ong Siau-hong dapat
mengenalnya. Cepat ia lolos pedangnya, tangan lain lantas dorong mundur Cui
Sing, dengan pedang siap melintang didepan dada, sedapat mungkin ia tenangkan
diri untuk menghadapi musuh.
"Kedatanganku ini bukan untuk mengajak berkelahi padamu," kata Tik Hun. "Aku
ingin mengatakan padamu, nona Cui adalah seorang gadis yang suci bersih, seorang
perawan 'ting-ting', jika kau memperisterikan dia, sungguh rejekimu tak
terperikan besarnya. Maka jangan kau sembarangan berprasangka atas dirinya."
Sungguh sama sekali Cui Sing tidak menyangka bahwa didalam saat demikian itu
mendadak Tik Hun bisa tampil kemuka tanpa mengenal bahaya yang akan mengancam
padanya, hanya demi untuk membuktikan kebersihan Cui Sing yang dituduh secara
kotor oleh orang banyak itu. Sungguh rasa terima kasih Cui Sing tak terhingga
dan berkuatir pula, maka segera katanya: "Lekas ....... lekas kau pergi saja dari
sini, semua orang ingin membunuh kau, disini terlalu bahaya bagimu."
"Aku tahu, tapi aku harus menjelaskan urusan ini kepada Ong-siauhiap, percayalah
padaku, nona Cui adalah seorang gadis suci bersih, jangan ....... jangan kau
sembarangan mempitenah dia."
Dasarnya Tik Hun memang tidak pandai bicara, biarpun sesuatu urusan biasa saja
juga susah berbicara secara terang, apalagi urusan sekarang ini adalah sesuatu
yang rumit dan penting hingga apa yang dikatakan itu ternyata belum melenyapkan
rasa curiganya Ong Siau-hong.
Sudahlah, lekas kau pergi saja! Terima kasih atas maksud baikmu, biarlah kubalas
padamu dijelmaan hidup yang akan datang," demikian kata Cui Sing dengan terharu.
"Nah, lekaslah kau pergi dari sini, mereka ingin membunuh kau ........"
Mendengar ucapan Cui Sing yang penuh memperhatikan keselamatan "Siau-ok-ceng"
itu, rasa cemburu Siau-hong menjadi ber-kobar2. Bentaknya mendadak: "Rasakan
pedangku!" ~ Berbareng itu pedangnya terus menusuk kedada Tik Hun.
Meski serangan itu dilakukan dengan sangat cepat dan teramat lihay, tapi Tik Hun
sekarang sudah bukan Tik Hun dulu lagi. Kini Tik Hun telah memiliki ilmu2 silat
kelas wahid "Sin-ciau-kang" dan "Hiat-to-bun" sekaligus, dengan kedua macam ilmu
sakti dari dua aliran yang berbeda itu, biarpun sekarang Ting Tian dan Hiat-to
Loco hidup kembali juga belum tentu mampu menandinginya.
Ketika melihat serangan Ong Siau-hong tiba, sedikit Tik Hun mengegos saja
dapatlah ia menghindarkan tusukan itu. Katanya: "Aku tidak ingin bergebrak
dengan kau. Tapi aku mengharap engkau suka mengambil nona Cui sebagai isteri,
janganlah bercuriga sedikitpun atas kesuciannya, dia .... dia adalah seorang nona
yang baik." Diwaktu Tik Hun bicara, susul-menyusul Ong Siau-hong sudah melancarkan serangan2
pula secara gencar. Tapi seperti tidak terjadi apa2 saja Tik Hun dapat berkelit
kian kemari dengan mudah. Diam2 Tik Hun heran: "Aneh, ilmu silat orang ini
dahulu sangat bagus, mengapa selama setengah tahun ini dia tiada kemajuan,
sebaliknya mundur malah?"
Rupanya ia salah sangka, bukanlah ilmu pedang Ong Siau-hong tiada kemajuan, tapi
dia sendirilah yang selama ini ilmu silatnya telah maju pesat. Padahal Ong Siau-
hong cuma tergolong jago kelas dua atau tiga dikalangan Bu-lim, sebaliknya Tik
Hun sekarang sudah memiliki dua macam ilmu silat dari dua aliran Cing dan Sia
yang hebat, kecuali pengalaman kurang dan praktek menghadapi musuh masih harus
ditambah, tapi dalam hal ilmu silat sejati kini dia boleh dikata sudah tergolong
kelas tertinggi yang jarang ada tandingannya.
Maka sia2 saja Ong Siau-hong menyerang ber-ulang2, setiap tusukannya selalu
dapat dihindarkan Tik Hun seperti tiada terjadi apa2 saja. Keruan Siau-hong
bertambah murka, ia menyerang makin gencar dan cepat.
"Ong-siauhiap," kata Tik Hun, "asal kau berjanji takkan mencurigai nona Cui dan
aku segera akan pergi dari sini. Kawan2mu itu akan membunuh diriku, aku tidak
boleh tinggal terlalu lama disini." ~ Sembari bicara, tetap ia menghindarkan
serangan2 Siau-hong dengan seenaknya saja.
Dalam murkanya, permainan Kiam-hoat Ong Siau-hong semakin lama semakin cepat.
Dalam hal Ginkang Tik Hun memang belum mencapai tingkatan yang sempurna, maka
lambat-laun ia menjadi kewalahan juga menghadapi serangan pedang yang terlalu
gencar itu. Mendadak ia incar batang pedang lawan, sekali jarinya menyentil,
"trang", kontan Ong Siau-hong merasa genggamannya kesakitan, pegangannya menjadi
kendur, pedang terlepas dari tangan dan jatuh ketanah.
Segera Siau-hong bermaksud menjemput kembali senjatanya itu, diluar dugaan Tik
Hun terus melangkah maju dan mendorong pundaknya. Dorongan itu sebenarnya tidak
keras, tak terduga Siau-hong tak sanggup lagi bertahan ia terdorong jatuh hingga
terguling2 kebelakang, "bluk", tubuhnya tertumbuk di dinding gua dengan keras.
Dasar hati Cui Sing memang bajik, apalagi sejak kecil sudah bergaul dengan baik
dengan sang Piauko, kini melihat Siau-hong terjungkal sedemikian berat, lekas2
ia memburu maju untuk membangunkannya.
Sebaliknya Tik Hun menjadi melongo dan terpatung ditempatnya, sungguh bukan
maksudnya hendak mendorong jatuh Ong Siau-hong, sebenarnya ia cuma bertujuan
mencegah agar pemuda itu tidak jemput kembali pedangnya, siapa duga begitu Ong
Siau-hong terbentur oleh tenaganya, kontan saja terpental begitu berat seperti
anak kecil bertabrakan dengan manusia raksasa.
"Ma ...... maaf, aku tidak sengaja!" kata Tik Hun kemudian sambil melangkah maju.
Sementara itu Cui Sing sedang menarik lengan kanan Siau-hong sambil bertanya:
"Piauko, tidak apa2, bukan?"
Gusar dan cemburu Ong Siau-hong tak tertahankan lagi, ia anggap Cui Sing telah
condong kepihak Tik Hun, sesudah dirinya dihajar kini sengaja hendak menyindir
padanya. Maka tanpa menjawab terus saja tangan kirinya menampar, "plok", tepat
pipi Cui Sing kena digampar sekali. "Enyahlah!" bentak Siau-hong.
Keruan Cui Sing terkejut, sungguh tak tersangka olehnya bahwa sang Piauko yang
biasanya ramah-tamah dan suka merendah padanya itu kini bisa memukul padanya.
Seketika Cui Sing menjadi ter-longong2 malah sambil me-raba2 pipi yang digampar
itu. Sebaliknya Tik Hun menjadi gusar, bentaknya: "Tanpa sebab apa2, mengapa kau
memukul orang?" Pada saat itulah dari luar gua lantas terdengar suara orang ber-lari2 mendatangi
dan beberapa diantaranya lantas ber-teriak2: "He, didalam gua ada suara orang
bertengkar, lekas periksa kedalam situ, jangan2 Siau-ok-ceng itu bersembunyi
didalam gua?" Cepat Cui Sing berkata kepada Tik Hun: "Lekas kau pergi saja, aku ... sangat
berterima kasih kepada maksud baikmu."
Untuk sejenak Tik Hun memandang Cui Sing, lalu pandang Ong Siau-hong pula,
kemudian jawabnya: "Baiklah, aku akan pergi saja!" ~ segera ia putar tubuh dan bertindak keluar gua.
Se-konyong2 Ong Siau-hong terus ber-teriak2" "Siau-ok-ceng itu berada disini!
Paderi cabul itu berada disini! Lekas cegat pintu gua, jangan sampai dia lolos!"
"Piauko," seru Cui Sing dengan kuatir, "caramu ini bukankah akan bikin susah
pada orang baik?" Tapi bukannya berhenti, sebaliknya Ong Siau-hong berteriak lebih keras lagi:
"Lekas cegat pintu gua, lekas! Siau-ok-ceng akan lari!"
Mendengar suara itu, segera beberapa orang diluar gua sana terus memburu maju
untuk menghadang dimulut gua agar Tik Hun tidak dapat lolos.
Dan begitu melihat Tik Hun sedang mendatangi dengan langkah lebar, salah seorang
pencegat itu lantas menggertak: "Hendak lari kemana!" ~ berbareng goloknya terus
membacok keatas kepala Tik Hun.
Namun sedikit Tik Hun mengegos, luputlah serangan itu, bahkan ketika Tik Hun
tolak kedada orang itu terus didorong pergi, kontan orang itu terpental keluar
hingga tiga orang kawannya yang berdiri dibelakangnya ikut terseruduk, sekaligus
empat orang itu terjungkal bersama dengan kepala dan muka benjut karena saling
bentur. Dan ditengah bentakan dan makian orang2 itulah dengan cepat Tik Hun lantas
menerobos keluar gua. Rupanya suara ribut2 itu telah didengar juga oleh jago2 Tionggoan yang lain
hingga be-ramai2 mereka memburu datang dari berbagai jurusan. Namun Tik Hun
sudah melarikan diri cukup jauh. Segera ada tujuh-delapan jago kelas tinggi
menguber kearahnya. Tapi Tik Hun tidak ingin bertempur dengan mereka, ia pilih
termpat semak2 rumput yang lebat untuk bersembunyi, ditengah malam buta,
jejaknya takbisa diketemukan lagi oleh pengejar2 itu.
Karena mengira Tik Hun telah lari keluar lembah salju itu, ber-bondong2 para
jago Tionggoan itu lantas ikut mengejar keluar lembah. Dari tempat sembunyinya
Tik Hun dapat menyaksikan kepergian orang2 itu, ia melihat Ong Siau-hong dan Cui
Sing berjalan paling belakang, meski jarak kedua muda-mudi itu terpisah agak
jauh, tapi arah yang mereka tuju adalah sama, makin jauh hingga achirnya
bayangan merekapun lenyap dibalik bukit.
Hanya sebentar saja lembah salju yang tadinya riuh ramai oleh berisik manusia
itu kini telah berubah menjadi sunyi senyap.
Para jago Tionggoan itu sudah pergi semua, Hoa Tiat-kan juga tiada lagi, Cui
Sing pun sudah berangkat, hanya tinggal Tik Hun seorang diri. Ia coba mendongak,
sampai elang pemakan bangkai yang biasanya suka ber-putar2 diangkasa itupun
sekarang tak tertampak lagi.
Suasana benar-benar hening sepi, sekarang Tik Hun benar-benar merasakan keadaan
yang sebatangkara ........................
*********** Tik Hun tinggal pula setengah bulan dilembah salju itu. Lwekang dan To-hoat yang
diperolehnya dari "Hiat-to-keng" itu telah dilatihnya hingga masak dan sempurna
betul, rasanya sudah tak mungkin akan lupa, lalu ia membakar "Hiat-to-keng" itu,
ia taburkan abu kitab pusaka Hiat-to-bun itu diatas kuburan Hiat-to Loco.
"Sudah saatnya kini aku harus berangkat!" demikian pikirnya. "Ehm, baju bulu
burung ini tidak perlu kubawa, biarlah kalau segala urusan sudah kubereskan,
segera aku akan kembali kelembah bersalju yang selamanya tiada ditinggali
manusia ini, selama hidupku biarlah kulewatkan disini. Hati manusia dijagat ini
terlalu kejam dan culas, aku tidak sanggup menghadapinya!"
Begitulah Tik Hun lantas meninggalkan lembah itu dan menuju kearah timur.
Tujuannya yang pertama yalah pulang kekampung halaman sang guru ~ Jik Tiang-hoat
~ yang berada di Ouwlam itu. Ia ingin tahu bagaimana keadaan orang tua yang
sudah berpisah sekian lamanya itu. Sejak kecil Tik Hun sudah yatim-piatu, ia
dibesarkan oleh gurunya itu, maka melulu sang guru itulah merupakan pamili
satu2nya didunia ini. Walaupun perasaannya kepada Suhunya sekarang sudah jauh
berbeda daripada waktu dahulu, tapi ia harus mencari tahu dan menyelidikinya
hingga jelas. Dari wilayah Tibet menuju ke Ouwlam harus melalui Sucwan. Tik Hun pikir bila
ditengah jalan kepergok pula dengan jago2 Tionggoan itu, tentu tak terhindar
dari suatu pertarungan sengit, padahal dirinya dengan mereka toh tiada punya
permusuhan dan sakit hati apa2, kenapa mesti terjadi pula pertarungan yang tidak
bermanfaat itu" Adapun sebab-musabab daripada apa yang terjadi dahulu hakikatnya
cuma salah paham belaka, yaitu gara2 ia mebubut rambutnya sendiri hingga
pelontos, lalu disangka sebagai Siau-ok-ceng dari Hiat-to-bun yang jahat itu.
Karena itulah, untuk menghindari kesulitan2 ditengah jalan, ia lantas menyamar
sedikit, ia gosok muka sendiri dengan hangus kuali hingga kelihatan kotor dan
hitam mirip seorang pengemis dekil, lalu melanjutkan perjalanan ketimur. Benar
juga ditengah jalan terkadang bertemu dengan jago2 yang pernah ikut menguber
dirinya itu, tapi mereka tiada yang dapat mengenalnya, bahkan tidak
memperhatikannya. Kira2 lebih 20 hari, achirnya sampailah Tik Hun dikampung halamannya, yaitu di
Moa-keh-po dipropinsi Ouwlam barat.
Tatkala itu hawa udara sudah sangat panas, ia melihat tanaman sawah-ladang
menghijau permai. Semakin dekat dengan kampung halamannya, semakin banyak
perasaan2 yang berkecamuk dalam benaknya, pelahan2 mukanya terasa panas, debaran
hatinya juga makin keras.


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia terus menyusuri jalan pegunungan yang sudah biasa dilaluinya diwaktu muda
dahulu, achirnya tibalah dia dirumah tinggalnya yang lama. Ketika ia memandang,
mau-tak-mau ia menjadi kaget, hampir2 ia tidak percaya pada matanya sendiri.
Ternyata ditepi kali dibawah pohon Liu yang rindang, dimana dulu berdiri tiga
petak rumah kecil gurunya itu kini telah berubah menjadi sebuah gedung yang
megah, gedung itu berdinding putih dan bergenting hitam mengkilap. Gedung itu
sedikitnya tiga kali lebih besar daripada rumah2 kecil semula itu. Kalau
dipandang lebih cermat, bangunan gedung itu walaupun tidak terlalu indah, bahkan
seperti dibangun secara ter-gesa2, tapi kemegahannya sudah bolehlah.
Sungguh kejut dan girang sekali Tik Hun, ia coba memeriksa sekeliling situ, ia
memang tidak salah lagi, itulah kampung halamannya dimana ia telah dibesarkan.
Pikirnya: "Sungguh sangat hebat, rupanya Suhu telah menjadi orang kaya mendadak,
makanya pulang kampung dan bangun gedung."
Saking girangnya, tanpa pikir lagi Tik Hun terus berteriak: "Suhu!"
Tapi baru memanggil sekali, segera ia tutup mulut pula. Pikirnya: "Keadaanku
yang mirip pengemis ini mungkin akan membikin Suhu kurang senang, biarlah aku
tidak bersuara dulu untuk melihat gelagat saja."
Tengah ia memikir, tertampaklah dari dalam gedung itu muncul seorang, dengan
melirik orang itu mengamat-amati Tik Hun, sikapnya penuh menghina dan memandang
jijik. Tegurnya kemudian: "Kau mau apa?"
Tik Hun melihat orang itu memakai kopiah miring, badannya kotor penuh debu
pasir, sangat tidak sesuai dengan gedung yang megah itu. Dari sikapnya yang
garang itu, Tik Hun menduga orang mungkin adalah mandor tukang batu dan
sebagainya. Maka jawabnya: "Tolong tanya, Pak Mandor, apakah Jik-suhu ada
dirumah?" "Jik-suhu atau Jak-suhu apa" Entah, tidak kenal!" sahut orang itu sambil
melirik. Keruan Tik Hun melengak, tanyanya pula: "Bukankah tuan rumah disini she Jik?"
"Untuk apa kau tanya tuan rumah segala?" demikian orang itu berbalik menanya.
"Apa kau ingin minta sedekah padanya" Kalau mau mengemis saja kau tidak perlu
cari tahu siapa tuan rumah segala. Sekali kukatakan tidak ada ya tetap tidak
ada. Hayo, pengemis bau, lekas enyah, lekas!"
Jauh2 Tik Hun sengaja datang buat mencari Suhu yang sudah berpisah sekian
lamanya itu, sudah tentu ia tidak rela pergi begitu saja hanya mendapat jawaban
yang tidak memuaskan itu. Maka ia berkata pula: "Kedatanganku bukan untuk
minta2, aku ingin mencari keterangan padamu, dahulu yang tinggal disini adalah
orang she Jik, entah sekarang beliau apakah masih tinggal disini atau tidak!"
"Dasar pengemis yang cerewet, sudah kukatakan Tauke disini bukan orang she Jik
atau she Jok segala, hayolah lekas pergi kelain tempat saja!" sahut orang itu
dengan menjengek. Tengah mereka bicara, sementara itu keluar lagi seorang dari dalam gedung itu.
Orang ini memakai kopiah tile, pakaiannya bersih dan rajin, dandanannya mirip
seorang Koan-keh (pengurus rumah tangga) keluarga hartawan. Dengan lenggang
kangkung Koan-keh itu berjalan keluar, segera ia menegur dengan tertawa: "He,
Lau Peng, kau bergembar-gembor lagi ribut mutut dengan siapa?"
"Itu dia, pengemis dekil seperti itu sejak tadi cerewet saja disini, kalau mau
minta sedekah mestinya bicara terus terang saja, tapi dia mencari tahu siapa
nama Tauke kita segala," demikian simandor yang dipanggil Lau Peng itu menjawab.
Mendengar keterangan itu, air muka Koan-keh itu rada berubah, ia mengamat-amati
Tik Hun sejenak, lalu berkata: "Eh, sobat, ada apakah kau mencari tahu nama
Tauke disini?" Jika Tik Hun beberapa tahun yang lalu tentu akan terus terang menjawab maksud
tujuannya. Akan tetapi lain-dulu-lain-sekarang, Tik Hun sekarang sudah bertambah
cerdik, sudah kenyang pahit getir yang dialaminya didunia Kangouw, kepalsuan
manusia umumnya sudah cukup dikenalnya. Kini melihat si Koan-keh itu bertanya
dengan sorot mata yang penuh sangsi dan curiga, diam2 Tik Hun membatin: "Biarlah
jangan kukatakan terus terang, aku harus mencari keterangan lebih jauh dengan
sabar, bukan mustahil dibalik urusan ini ada sesuatu yang ganjil."
Karena pikiran itu, maka ia menjawab: "Ah, tiada apa2, aku ingin tahu she Tauke
disini, perlunya agar aku dapat berseru memanggilnya agar sudi memberi sedekah
padaku. Ap....... apakah engkau ini adalah Tauke sendiri?"
Begitulah Tik Hun sengaja berlagak pilon dan pura2 bodoh supaya tidak
menimbulkan curiga orang.
Benar juga Koan-keh itu lantas ter-bahak2. Meski ia merasa Tik Hun itu terlalu
tolol, tapi ia disangka sebagai Taukenya, mau-tak-mau ia merasa senang juga
hingga timbul rasa sukanya kepada sibocah tolol itu. Segera katanya: "Aku bukan
Tauke disini. He, bocah tolol, mengapa kau sangka aku sebagai Tauke?"
"Habis, engkau........ engkau sangat gagah dan berwibawa, engkau mempunyai
potongan Tauke besar," sahut Tik Hun sengaja mengumpak.
Keruan Koan-keh itu bertambah senang, katanya dengan tertawa: "Bocah tolol, jika
kelak aku Lau Ko benar2 menjadi Tauke, pasti aku akan memberi persen padamu. He,
anak tolol, kulihat badanmu kekar dan tenagamu kuat, mengapa tidak cari kerja
yang benar, tapi malah menjadi pengemis."
"Habis tiada yang suka memberi pekerjaan padaku," sahut Tik Hun. "Eh, Tauke,
sukalah kau memberi sedekah sesuap nasi padaku?"
Koan-keh itu ter-pingkal2 saking geli, mendadak ia gablok pundak simandor Peng
tadi dan berkata: "Coba kau dengar, ber-ulang2 ia memanggil aku sebagai Tauke.
Kalau aku tidak memberi persen sesuap nasi juga tidak pantas rasanya. Lau Peng,
bolehlah kau suruh dia ikut gali tanah dan memikul, berikan upah sekedar
padanya." "Baiklah, apa yang kau orang tua kehendaki tentu kulaksanakan," sahut simandor
she Peng itu. Dari logat bicara mereka itu Tik Hun dapat mengenali mandor she Peng itu adalah
penduduk setempat, sebaliknya Koan-keh she Ko itu berlogat orang utara. Tapi ia
pura2 tidak tahu, dengan penuh hormat ia berkata: "Terima kasih, Tauke besar dan
Tauke kecil!" "Kurangajar, sembarangan omong!" maki simandor Peng dengan tertawa.
Sedang si Koan-keh she Ko itu semakin ter-pingkal2. "Hahaha, aku dipanggil
sebagai Tauke besar dan kau adalah Tauke kecil, bukankah......... bukankah kau
disangka sebagai puteraku?" katanya dengan ter-engah2.
Mandor Peng geli2 dongkol, segera ia jewer telinga Tik Hun, katanya dengan
tertawa: "Sudahlah, masuk kesana! Makan dulu yang kenyang, nanti malam mulai
melembur." Tanpa membangkang sedikit Tik Hun ikut masuk kedalam gedung itu, dalam hati ia
merasa heran: "Aneh, mengapa kerja lembur diwaktu malam?"
Sesudah masuk kedalam dan menyusur suatu serambi samping, tiba2 Tik Hun
terkejut, hampir2 ia tidak percaya pada matanya sendiri.
Ternyata ditengah gedung itu sedang digali suatu lubang yang sangat dalam dan
lebar, begitu lebar lubang itu hingga pinggir lubang itu hampir mepet dengan
dinding disekelilingnya, hanya tertinggal satu jalan yang sempit untuk orang
berlalu. Didalam lubang tanah itu tertampak penuh menggeletak alat2 gali
sebangsa pacul, sekop, keranjang, pikulan dan sebagainya. Terang bahwa lubang
itu belum selesai digali dan masih dikerjakan. Kalau melihat gedung semegah itu
dari luar, sungguh siapapun tiada yang menyangka bahwa didalam rumah terdapat
suatu lubang galian yang begitu besar.
"He, bocah tolol, apa yang kau lihat disini dilarang kau ceritakan pada orang
luar, tahu?" kata simandor Peng tiba2.
"Ya, ya! Aku tahu," demikian sahut Tik Hun cepat. "Tentu disini Hongsui-nya
sangat bagus, tuan rumah ingin mengubur disini, maka orang luar tidak boleh
mengetahuinya." "Benar, ha, sitolol ternyata pintar juga," demikian kata simandor. "Marilah ikut
aku kebelakang untuk makan."
Sesudah makan se-kenyang2nya didapur, simandor suruh Tik Hun mengaso dan
menunggu diserambi belakang itu dan dipesan jangan sembarangan keluyuran. Tik
Hun mengiakan perintah itu, tapi didalam hati ia semakin curiga.
Ia melihat didalam rumah itu tiada sesuatu perabotan yang baik, segala
perlengkapan sangat sederhana, bahkan dapur itu tiada dibuat tungku permanen,
tapi cuma sebuah tungku darurat yang ditumpuk dengan batu bata saja dan diatas
tungku darurat itu tertaruh sebuah kuali besi. Meja kursi yang ada juga sangat
kasar, sama sekali tidak sesuai dengan gedung yang megah itu.
Waktu magrib, didapur umum itu penuh ber-jubel2 orang, semuanya adalah orang
desa setempat yang masih muda dan kuat. Be-ramai2 mereka asyik makan-minum
dengan gembira. Tanpa sungkan2 Tik Hun ikut makan bersama orang banyak itu, ia
bicara dengan logat daerah setempat yang tulen, dengan sendirinya si Koan-keh
she Ko dan mandor Peng tidak menaruh curiga apa2, mereka menyangka Tik Hun
adalah satu pemuda gelandangan setempat yang tidak punya pekerjaan apa2.
Selesai makan, mandor Peng lantas membawa orang2 itu keruangan tengah yang
terdapat lubang galian itu, segera ia mengucapkan kata permbukaan: "Saudara2
sekalian, hendaklah kalian menggali sepenuh tenaga, mudah2an malam ini ada
rejeki, pabila ada yang berhasil menggali sesuatu benda, baik berupa buku,
kertas, maupun sebangsa mangkok-piring dan sebagainya, tentu kalian akan
mendapat hadiah yang pantas."
Maka be-ramai2 para kuli itu telah mengiakan, segera terdengarlah suara riuh
dari bekerjanya pacul dan sekop yang menggali tanah.
"Huh, sudah menggali selama dua bulan, tapi ada benda mestika apa yang
diketemukan" Benar2 orang yang menyuruh kita ini sudah gila harta dan lupa
daratan," demikian seorang penggali yang tidak jauh disebelah Tik Hun itu
mendadak menggerutu sendiri.
Sudah tentu Tik Hun tertarik oleh gerundelan kuli kampung itu. "Mestika apakah
yang hendak mereka gali" Masakah disini terdapat sesuatu harta apa segala?"
demikian pikirnya. Ia menunggu simandor agak meleng, segera ia menggeser kedekat kuli yang mengomel
tadi, dengan suara tertahan ia menanya: "Toacek, sebenarnya mereka ingin mencari
benda mestika apakah?"
"O, benda mestika yang mereka cari ini benar2 sangat berharga," sahut orang itu
dengan suara berbisik. "Katanya Tauke disini mahir ilmu gaib. Ia bukan orang
daerah sini, tapi berasal dari lain tempat. Dari jauh katanya ia melihat
ditempat penggalian ini ada cahaya mestika yang menyorong kelangit, ia tahu
ditempat ini terdapat benda mestika, maka tanah ini telah dibelinya, agaknya
kuatir kalau rahasianya bocor, maka lebih dulu gedung ini telah dibangun, lalu
mengumpulkan orang, siang hari kami disuruh tidur dan malam hari disuruh kerja."
"O, kiranya begitu. Apakah Toacek tahu benda mestika apa yang dia cari?" tanya
Tik Hun pula. "Sudah tentu aku tahu," sahut kuli itu dengan lagak sok tahu. "Menurut simandor,
katanya yang dicari adalah sebuah 'Cip-po-bun' (baskom wasiat). Jika kau masukan
satu mata uang kedalam baskom itu, maka lewat semalam, besok paginya mata uang
itu akan berubah menjadi satu baskom penuh. Kalau dimasuki satu tahil emas,
besoknya akan berubah menjadi satu baskom emas, pendek kata segala macam barang
yang kau masukan kedalam baskom, maka dalam semalam saja barang sedikit ini akan
melahirkan barang banyak. Wah, bukankah itu suatu benda mestika ajaib?"
"Wah, benar2 mestika ajaib!" puji Tik Hun sambil tiada ber-henti2 mulutnya ber-
kecek2. Lalu orang itu mengoceh pula: "Mandor sengaja memesan kita agar cara kita
memacul harus pelahan2, tidak boleh keras2, sebab kalau sampai baskom wasiat itu
menjadi rusak kena pacul, wah, bisa runyam! Kata pak Mandor, bila baskom wasiat
itu sudah dapat diketemukan, kita masing2 akan diberi pinjam pakai satu malam,
apa yang kau ingin masukan didalam baskom itu boleh kau lakukan mana suka. Nah,
anak tolol, mulai sekarang boleh kau coba2 rencanakan, barang apakah yang akan
kau masukan didalam Cip-po-bun itu."
Tik Hun pura2 memikir sejenak, lalu menjawab: "Aku sering kelaparan, perutku
selalu berkeroncongan, maka aku akan taruh sebutir beras didalam baskom itu dan
besok paginya, wah, sudah menjadi satu baskom penuh beras putih, bagus bukan?"
"Hahaha! Memang bagus! Haha!" demikian orang itu menjadi lupa daratan dan
bergelak tertawa. Keruan simandor lantas menoleh demi mendengar ada suara tertawa orang, lantas ia
membentak: "Hus, jangan banyak omong doang! Hayo, lekas kerja! Lekas gali!"
Orang itu menjadi ketakutan dan cepat bekerja pula dengan giat.
Diam2 Tik Hun membatin: "Masakah didunia ini terdapat Cip-po-bun apa segala"
Emangnya seperti cerita Aladin dalam 1001 malam saja" Ah, majikan rumah ini
pasti bukan seorang tolol, dibalik kesemuanya ini pasti ada sesuatu tipu
muslihat, tapi ia sengaja mengarang cerita tentang baskom wasiat segala untuk
menipu orang." Maka sejenak kemudian, dengan suara tertahan kembali ia menanya orang tadi:
"Siapakah nama Tauke disini" Engkau tadi mengatakan dia bukan orang daerah
sini?" "Itu dia, bukankah si Tauke sudah berada disitu?" sahut orang itu.
Waktu Tik Hun memandang kearah yang dimaksudkan, ia melihat dari ruangan
belakang sana telah muncul satu orang, perawakannya tinggi kurus, kedua matanya
bersinar tajam, pakaiannya sangat perlente, usianya kira2 setengah abad.
Hanya sekejap saja Tik Hun memandang orang itu, tapi kontan jantungnya ber-
debar2, cepat ia berpaling dan tidak berani memandang pula. Didalam hati tiada
hentinya ia bertanya2: "Orang ini sudah pernah kukenal, ya, sudah pernah
kukenal. Dimanakah itu" Siapakah dia?"
Begitulah ia merasa muka si Tauke sudah dikenalnya, cuma seketika tak teringat
dimanakah dulu telah melihatnya.
Dalam pada itu si Tauke sudah mulai berkata: "Malam ini harap kalian menggali
lebih dalam lagi satu-dua meter, tidak peduli apakah diketemukan potongan
kertas, remukan batu atau pecahan kayu, satu bendapun tidak boleh dianggap
sepele, harus diperlihatkan padaku."
Mendengar suara si Tauke, Tik Hun terkesiap, segera ia sadar: "Ya, ingatlah aku
sekarang. Kiranya dia!"
Kiranya Tauke pemilik gedung megah itu tak-lain-tak-bukan adalah sipengemis tua
yang pernah mengajarkan tiga jurus ilmu pedang kepada Tik Hun ketika berada
dirumah Ban Cin-san di Heng-ciu dahulu itu.
Tatkala mana bajunya rombeng, rambutnya kusut-masai, sekujur badannya kotor
dekil, seratus prosen adalah dandanan pengemis.
Tapi kini telah berubah menjadi seorang hartawan, hampir semuanya telah berganti
bulu, pantas saja Tik Hun takbisa lantas mengenalnya, dan sesudah mendengar
suaranya barulah Tik Hun ingat siapa gerangannya.
Dan begitu mengenali si Tauke, sebenarnya Tik Hun bermaksud lantas melompat
keluar dari lubang galian untuk menyapanya. Tapi penderitaan dan pengalaman
selama beberapa tahun ini telah menggembleng Tik Hun menjadi seorang pemuda yang
bisa berpikir dan dapat bertindak hati2 dalam segala hal. Pikirnya: "Paman
pengemis tua ini pernah berbudi padaku. Dahulu jika aku tak ditolong olehnya,
mungkin aku sudah terbinasa ditangan bandit terkenal dari Thay-heng-san yang
bernama Lu Thong itu. Kemudian ia telah mengajarkan tiga jurus Kiam-hoat lagi
padaku hingga aku dapat menghajar anak murid Ban-supek. Kini kalau dipikir,
sebenarnya ketiga jurus ilmu pedang yang dia ajarkan padaku itu toh sepele saja,
tiada sesuatu yang luar biasa, tapi pada waktu itu telah menghindarkan diriku
dari hinaan dan penganiayaan orang. Kini dapat berjumpa pula dengan dia, aku
harus menyatakan terima kasihku selayaknya. Akan tetapi tempat ini adalah bekas
kediaman Suhuku, mengapa dia menggali tanah disini" Dan untuk apa dia membangun
gedung sebesar ini untuk menutupi pandangan orang luar" Dahulu dia adalah
seorang pengemis, seorang kere, kenapa sekarang bisa kaya mendadak?"
Begitulah diam2 Tik Hun me-nimang2 dan ambil keputusan akan diam saja dulu untuk
melihat gelagat. Pikirnya pula: "Aku utang budi padanya, untuk mengucapkan
terima kasih adalah soal gampang. Tapi mengapa dia tidak kuatir Suhuku akan
pulang kesini" Jangan2 .......... jangan2 Suhu sudah meninggal?"
Sejak kecil ia sudah ikut dan dibesarkan Jik Tiang-hoat, perasaannya kepada guru
itu adalah mirip orang tua sendiri, kini demi terpikir gurunya mungkin sudah
mati, seketika ia menjadi sedih.
Tiba2 dipojok sana terdengar suara gemerinting sekali, pacul kuli penggali itu
entah kena memacul sesuatu benda keras apa. Tapi demi mendengar suara nyaring
itu, segera si Tauke melompat turun kedalam lubang galian itu, cepat ia jemput
sepotong benda. Serentak kuli2 penggali itu berhenti kerja semua dan memandang kearah benda yang
dipegang si Tauke. Maka tertampaklah Tauke lagi memegang sebuah....... paku,
bolak-balik Tauke memeriksa paku itu dengan wajah agak kecewa. Achirnya ia
lemparkan paku itu kepinggir lubang galian dan memerintah: "Hayo mulai lagi,
lekas gali terus!" Tik Hun kerja keras semalam suntuk bersama para kuli kampung, selama itu si
Tauke terus mengikuti kemajuan galian itu. Setelah fajar menyingsing dan tiada
diketemukan sesuatu apa, barulah si Tauke memerintahkan istirahat.
Sebagaian besar kuli2 kampung itu adalah penduduk sekitar situ, mereka pulang
kerumah masing2. Tapi ada sebagian yang bertempat tinggal agak jauh, mereka
lantas merebah dan tidur diserambi samping rumah gedung itu.
Tik Hun juga ikut tidur diserambi samping itu. Sampai sore harinya barulah
mereka bangun tidur untuk makan.
Badan Tik Hun terlalu kotor, orang lain tidak suka berdekatan dengan dia,
diwaktu tidur maupun makan, selalu orang2 itu menjauhi Tik Hun. Tapi hal ini


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

malah kebetulan bagi Tik Hun, risiko dirinya akan dikenali orang menjadi lebih
sedikit. Selesai makan, dalam isengnya Tik Hun lantas jalan2 kesuatu pedusunan kecil
tidak jauh dari gedung besar itu untuk mencari tahu apakah sang guru pernah
pulang kampung atau tidak. Ditengah jalan diketemukan juga beberapa teman memain
diwaktu kecil, kini teman2 itu sudah tinggi besar dan asyik bercocok-tanam
disawah-ladang. Ia tidak ingin dirinya diketahui orang, maka ia tidak menyapa teman lama itu,
tapi sengaja mencari satu anak tanggung untuk ditanya tentang keadaan rumah
gedung itu. Menurut keterangan bocah tanggung itu, katanya gedung itu dibangun
pada musim rontok tahun yang lalu, pemiliknya sangat kaya dan datang kesini buat
mencari Cip-po-bun, namun sudah sekian lamanya benda mestika yang dicari itu
masih belum ketemu. Sembari berkata bocah itu sambil ketawa2, suatu tanda
dongeng tentang Cip-po-bun atau baskom wasiat itu telah menjadi bahan obrolan
iseng penduduk setempat. Ketika ditanya tentang rumah2 petak yang dulu, anak tanggung itu mengatakan
sudah lama rumah2 kecil itu tidak ditinggali orang dan selamanya juga tidak
pernah ditengok yang empunya. Maka waktu gedung besar itu dibangun, dengan
sendirinya rumah2 petak itu dibongkar.
Tik Hun mengucapkan terima kasih dan tinggalkan anak tanggung itu, hatinya
menjadi masgul dan penuh curiga pula. Sungguh ia tidak tahu sebenarnya apakah
maksud tujuan tindak-tanduk sipengemis tua yang penuh rahasia itu.
Ia berjalan menyusur gili2 sawah dan ladang, ketika melewati sepetak ladang
sayur, ia melihat tanaman ladang itu menghijau lebat, subur sekali tertanam
sayur Khong-sim-jay. "Khong-sim-jay! Khong-sim-jay!" ~ tiba2 benak Tik Hun bergema suara panggilan
yang nyaring merdu dan nakal itu.
"Khong-sim-jay" adalah sayur yang sangat umum didaerah Ouwlam barat situ, sesuai
dengan namanya, maka sayur itu kopong tengahnya tak bersumbu. Dari itu Sumoaynya
Tik Hun, yaitu Jik Hong, telah memberi nama poyokan itu kepada Tik Hun sebagai
olok2 bahwa pemuda itu berotak kopong, takbisa berpikir, polos dan jujur,
takbisa ber-belit2. Sejak Tik Hun meninggalkan kampung halaman itu, selama itu dia mengeram didalam
penjara di Hengciu, kemudian di-uber2 musuh dan achirnya terkurung ditengah
lembah bersalju. Dan baru harini dia dapat melihat Khong-sim-jay pula.
Tik Hun ter-mangu2 sejenak memandangi sayur yang bersejarah itu. Ia berjongkok
dan memetik setangkai, lalu pelahan2 melanjutkan perjalanan kebarat.
Disebelah barat adalah pegunungan sunyi yang tandus penuh batu karang, pepohonan
susah tumbuh disitu. Ditengah bukit tandus itu terdapat sebuah gua yang tidak
pernah didatangi manusia kecuali Tik Hun dan Jik Hong yang dulu sering memain
kesitu. Karena terkenang pada masa lalu yang menggembirakan itu, tanpa merasa Tik Hun
berjalan terus kearah gua. Sesudah melintasi tiga bukit lain dan menerobos dua
terowongan besar, achirnya sampailah dia digua yang terpencil dan sunyi senyap
itu. Didepan gua itu ternyata sudah penuh tumbuh rumput alang2, hingga mulut gua
tertutup rapat. Hati Tik Hun menjadi berduka terkenang teman main diwaktu kecil
yang dicintainya itu kini telah berada dipangkuan orang lain. Ia coba menerobos
kedalam gua itu, ia melihat barang2 yang terdapat digua itu masih tetap seperti
dulu waktu ditinggal pergi bersama Jik Hong, sedikitpun tidak pernah dijamah
atau pindah tempat. Barang2 seperti bandring yang dahulu sering digunakannya
untuk menangkap burung, boneka tanah yang dibuat Jik Hong, alat perangkap
kelinci, seruling milik Jik Hong diwaktu angon sapi. Semuanya itu masih terletak
baik2 diatas meja batu didalam gua.
Disebelah sana terdapat pula sebuah keranjang kecil. Dulu Jik Hong sering datang
kegua ini dengan membawa keranjang jinjing yang berisi bahan2 dan alat menjahit.
Tertampak gunting didalam keranjang itu sudah berkarat, Tik Hun coba ambil
sejilid buku pola menyulam yang sudah kuning dari keranjang itu. Ia mem-balik2
halaman buku itu dan ter-kenanglah dimasa dahulu bila dia bersama Jik Hong 'pik-
nik' kegua ini, sering ia mengayam keranjang disitu dan Jik Hong lantas
menyulam, terkadang sigadis menyulam bunga atau burung2an diatas kain tebal guna
bahan sepatunya. Ter-menung2 Tik Hun mengenangkan kejadian dimasa lampau: ketika satu pasang
kupu2 besar warna hitam terbang kian kemari didepan gua, selalu sepasang kupu2
itu terbang berjajaran keatas dan kebawah bagaikan sepasang kekasih yang sedang
bercumbu. Saat itu Jik Hong telah ber-teriak2: "Nio San-pek, Cio Eng-tay! Nio
San-pek, Cio Eng-tay!"
Kiranya penduduk didaerah Ouwlam barat itu menamakan kupu2 besar warna hitam itu
sebagai Nio San-pek dan Cio Eng-tay, yaitu sepasang kekasih yang saling cinta-
mencintai dan sehidup-semati dalam cerita roman klasik yang terkenal.
Waktu itu Tik Hun sedang mengayam sepatu rumput, pasangan kupu2 itu telah
terbang diatas kepalanya. Mendadak Tik Hun meneplok dengan sepatu rumputnya
hingga seekor kupu2 diantaranya tergablok mati. Melihat itu, Jik Hong menjerit
kaget dan menegur dengan marah: "Ken........ kenapa kau membunuhnya?"
Tik Hun menjadi gugup karena sigadis mendadak marah, cepat sahutnya: "Karena kau
suka kupu2, maka aku hendak menangkapnya untukmu."
Kupu yang diteplok mati itu jatuh ditanah, sedang kupu yang lain masih terus
terbang mengitar diatas kawannya yang sudah tak berkutik itu. Maka Jik Hong
berkata: "Lihatlah, bukankah kau berdosa" Mereka adalah pasangan suami-isteri
yang rukun, tapi sekarang kau telah membunuh satu diantaranya."
Dan barulah Tik Hun merasa menyesal, sahutnya: "Ai, memang aku bersalah."
Kemudian Jik Hong telah menirukan bentuk kupu2 yang mati itu dan dibuatnya
sebuah pola atau patrun untuk disulam diatas sepatunya sendiri. Waktu tahun
baru, kembali ia menyulam sebuah dompet kain dengan lukisan kupu2 yang sama
untuk Tik Hun. Dompet kain itu selalu tersimpan didalam baju pemuda itu dan baru
hilang ketika dia dimasukan penjara di Hengciu.
Patrun itu masih terselip didalam buku pola itu. Ia mengambil patrun kupu2 itu,
telinganya sayup2 seperti mendengar suara Jik Hong: "Lihatlah, bukankah kau
berdosa" Mereka adalah pasangan suami-isteri yang rukun, tapi sekarang kau telah
membunuh satu diantaranya."
Tik Hun ter-menung2 agak lama, ketika ia membalik2 pula halaman buku pola itu,
tiba2 didengarnya dari jauh ada suara berkeletakan batu paling bentur, terang
itulah suara tindakan orang yang sedang mendatangi. Diam2 Tik Hun heran,
pikirnya: "Jarang ada manusia yang datang dibukit tandus ini, jangan2 adalah
sebangsa binatang buas?"
Segera ia masukan buku pola itu kedalam bajunya, saat lain tiba2 didengarnya ada
suara orang sedang berkata: "Sekitar tempat ini sunyi senyap dan bukit karang
belaka, tidak mungkin terdapat disini."
"Semakin sepi semakin besar kemungkinanan orang menyimpan harta mestika disini,"
demikian suara seorang tua menjawab. "Maka kita harus mencarinya dengan cermat."
"Ha, mengapa ada orang mencari harta mestika lagi ketempat ini?" pikir Tik Hun.
Cepat ia menyelinap keluar gua, ia bersembunyi dibalik satu pohon besar.
Tidak lama kemudian lantas terdengar ada suara orang bertindak kearah gua. Dari
suaranya dapat diduga sedikitnya adalah 7-8 orang.
Waktu Tik Hun mengintip dari belakang pohon, ia melihat seorang yang jalan
paling depan berpakaian perlente dan berdandan secara ber-lebih2an, mukanya
seperti sudah dikenal Tik Hun. Menyusul seorang dibelakangnya membawa cangkul,
orang kedua ini berbadan tegap gagah, mukanya cakap. Begitu melihat orang kedua
ini, seketika darah Tik Hun tersirap, sungguh kalau bisa ia ingin lantas
menerjang maju untuk menghajarnya, bahkan sekali cekik ia ingin mampuskan orang
itu. Kiranya orang kedua itu tak-lain-tak-bukan adalah musuh besarnya yang telah
membikin sengsara padanya, orang yang telah merebut Sumoaynya yang cantik serta
menjebloskan Tik Hun kedalam penjara, yaitu si Ban Ka adanya.
Sedang orang pertama yang lebih muda tadi ternyata adalah Sim Sia, anak murid
Ban Cin-san yang buncitan.
Dan dibelakang Ban Ka dan Sim Sia, lalu muncul pula anak murid Ban Cin-san yang
lain, yaitu Loh Kun, Sun Kin, Bok Heng, Go Him dan Pang Tan.
Murid Ban Cin-san seluruhnya ada delapan orang, tapi murid kedua, yaitu Ciu Kin,
dahulu telah dibunuh oleh Tik Hun didalam taman bobrok dikota Hengciu waktu dia
bersama Ting Tian di-uber2 oleh Ciu Kin dan kawan2nya. Maka kini murid Ban Cin-
san hanya tinggal tujuh orang saja.
Sudah tentu Tik Hun sangat heran: "Hendak mencari harta mestika apakah orang2
ini?" Pada lain saat tiba2 terdengar Sim Sia berseru: "Suhu, Suhu! Disini ada sebuah
gua!" "O, ya?" sahut suara orang tua tadi. Nadanya penuh rasa girang.
Menyusul lantas muncul seorang yang tinggi besar, itulah dia Ngo-in-jiu Ban Cin-
san adanya. Sudah beberapa tahun tak bertemu, Tik Hun melihat semangat orang tua itu masih
segar dan kuat, sedikitpun tidak terlihat tanda2 loyo sebagaimana lazimnya orang
tua. Hanya beberapa langkah lebar saja Ban Cin-san sudah masuk kedalam gua. Menyusul
lantas terdengar suara2 orang banyak: "He, disini pernah ditinggali orang!" ~
"Debu kotorannya begini banyak, sudah lama tidak didatangi orang." ~ "Tidak,
tidak! Lihatlah ini, disini terdapat tapak kaki baru." ~ "Ya, disini juga ada
bekas jari tangan!" ~ "Benar, pasti Gian-susiok telah............. telah
mendahului menggondol Soh-sim-kiam-boh itu."
Terkejut dan geli pula Tik Hun mendengar pembicaraan orang2 itu. Pikirnya: "Apa
barang yang hendak mereka cari adalah Soh-sim-kiam-boh" Mengapa sudah sekian
lamanya mereka masih terus mencari" Menurut Suhu, katanya beliau mempunyai
seorang Suheng kedua yang bernama Gian Tat-peng, tapi Gian-supek itu sudah lama
menghilang tanpa ada kabar beritanya, mungkin sudah lama orangnya meninggal
dunia, mengapa sekarang dapat muncul lagi untuk berebut Soh-sim-kiam-boh apa
segala" Sudah terang bekas tapak kaki dan tangan itu adalah tinggalanku barusan,
tapi mereka menerka secara ngawur, sungguh lucu!"
Begitulah maka terdengar Ban Cin-san sedang berkata: "Diam, diam! Jangan ribut!
Coba carilah sekitar sini dengan tenang."
Lalu ada yang mengomel: "Jika Gian-susiok sudah mendahului datang kesini,
mustahil barangnya tak digondol lari lebih dulu."
"Jik Tiang-hoat itu benar2 seorang yang licin dan pintar mengatur, ia
sembunyikan Kiam-boh (kitab pelajaran pedang) itu disini, tentu saja orang lain
sudah mencarinya," ujar yang lain.
"Sudah tentu ia sangat licin dan pandai mengatur, kalau tidak masakah dia
berjuluk 'Tiat-soh-heng-kang'?" demikian kata seorang lagi.
Begitulah sambil bicara mereka terus mengobrak-abrik gua itu. Memangnya didalam
gua tidak terdapat benda apa2, maka sesudah dibongkar-bangkir orang2 itu, tetap
tiada sesuatu yang mereka ketemukan. Menyusul lantas terdengar suara gemerantang
yang nyaring, itulah suara cangkul. Tapi gua itu adalah batu karang, dengan
sendirinya cangkul itu tidak mempan menggalinya.
"Sudahlah, disini tiada terdapat apa2, marilah kita keluar, coba kita rundingkan
lagi diluar sana," kata Ban Cin-san kemudian.
Be-ramai2 ketujuh anak muridnya lantas ikut sang Suhu keluar gua, mereka
mengambil tempat ditepi suatu sungai kecil, disanalah mereka berduduk diatas
batu karang yang banyak terserak disitu.
Tik Hun kuatir dipergoki mereka, maka tidak berani mendekat.
Sedangkan suara percakapan kedelapan orang itu sangat lirih, maka apa yang
dirundingkan mereka itu takbisa didengar Tik Hun.
Tidak lama kemudian, selesai berunding, kedelapan orang itu tampak berbangkit
semua dan berangkat pergi.
Diam2 Tik Hun memikir pula: "Katanya mereka ingin mencari Soh-sim-kiam-boh apa
segala, tapi belum lagi ketemu sudah lantas curiga telah dicuri lebih dulu oleh
Gian-supek. Sedangkan bekas tempat tinggal Suhu telah dirombak pula menjadi
suatu gedung megah, katanya sipengemis tua itu ingin mencari Cip-po-bun apa
segala............. Ah, benar, tahulah aku!"
Begitulah se-konyong2 terkilas sesuatu pikiran pada benaknya, mendadak ia sadar
akan duduknya perkara: "Terang sipengemis tua itu bukan bertujuan mencari Cip-
po-bun segala, tapi iapun ingin mencari Soh-sim-kiam-boh. Ia yakin kitab pusaka
itu berada ditangan Suhuku, maka sengaja mencari kemari, dan agar tidak
menimbulkan rasa curiga orang lain, lebih dulu ia membangun gedung besar itu,
kemudian menggali pekarangan didalam rumah itu untuk mencarinya, dan agar tidak
membikin geger chalayak ramai, ia sengaja menyiapkan berita dongengan katanya
ingin mencari Cip-po-bun, sudah tentu alasan itu cuma buat membohongi orang
kampung yang bodoh saja."
Lalu terpikir pula olehnya: "Tempo dulu waktu Ban-supek mengadakan perayaan hari
ulang tahun di Hengciu, pengemis tua itu siang-malam selalu mengincar disekitar
kediaman Ban-supek, suatu tanda dia mempunyai sesuatu maksud tujuan. Ya, sesudah
tidak menemukan Soh-sim-kiam-boh yang dicari itu, masakah rombongan Ban Cin-san
takkan mendatangi rumah gedung itu untuk menyelidiki lebih jauh" Mungkin
kedatangan mereka kesini sudah lama, maka gedung itu sudah pernah mereka
datangi. Namun urusan ini terang belum selesai, biarlah aku menanti dirumah
gedung itu saja untuk menonton keramaian. Ya, dibalik semua kejadian ini pasti
ada sesuatu rahasia lain."
"Tapi kemanakah perginya Suhu selama ini?" demikian pikirnya pula. "Bekas tempat
tinggalnya telah dibongkar-bangkir orang sedemikian rupa, masakah beliau sama
sekali tidak tahu" Apa benar beliau tidak pernah pulang kemari" Lalu bagaimana
dengan Jik-sumoay" Ya, mungkin dia masih tinggal di Hengciu dan sedang menikmati
kebahagiaan sebagai nyonya muda keluarga Ban yang kaya-raya. Sudah tentu orang2
keluarga Ban itu tidak memberitahukan pada Sumoay bahwa bekas tempat tinggalnya
itu akan diobrak-abrik. Dan apakah yang sedang dikerjakan Sumoay saat
ini"......" ******* Mendadak terdengar suara "blang" yang keras, pintu depan telah didobrak orang
hingga terpentang, serempak anak-murid Ban Cin-san terus menyerbu kedalam dan
mengepung Gian Tat-peng di-tengah2.
Malamnya, kembali didalam rumah gedung itu terang-benderang dengan cahaya lilin,
belasan kuli kampung asyik mengayun cangkul mereka untuk menggali tanah.
Tik Hun juga berada diantara kuli2 penggali itu, ia tidak terlalu giat, tapi
juga tidak malas, dengan demikian ia mengharap tidak menarik perhatian orang
lain. Apalagi rambutnya kusut-masai, jenggot dan kumisnya tak tercukur hingga
hampir seluruh mukanya tertutup oleh berewoknya yang tak terawat itu, ditambah
lagi debu tanah yang berlepotan dimukanya, keruan muka aslinya menjadi lebih
susah dikenali. Malam ini penggali2 itu menitik-beratkan pojok utara dari lubang tanah itu,
sedang sipengemis tua sedang berjalan mondar-mandir ditepi lubang galian itu
sambil menggendong tangan. Sudah tentu sekarang ia bukan lagi seorang pengemis
yang dekil dan mesum, tapi adalah seorang Tauke besar yang hidup mewah, bajunya
buatan dari bahan sutera satin, pada jari manis kiri memakai sebuah cincin
permata jamrud, ikat pinggangnya juga terikal sepotong batu kemala yang susah
dinilai harganya. Se-konyong2 Tik Hun mendengar diluar gedung itu ada suara orang merayap datang,
dari kanan-kiri dan muka-belakang, semua jurusan ada suara merayap orang. Jarak
pendatang2 itu masih sangat jauh, agaknya sipengemis tua masih belum mengetahui
sedikitpun. Tik Hun coba miringkan tubuh untuk melirik sipengemis itu, tapi sang Tauke
ternyata tenang2 saja seperti tidak merasakan apa2. Sementara itu Tik Hun
mendengar suara tindakan orang2 dari berbagai jurusan itu sudah makin mendekat.
Satu, dua, tiga........ enam, tujuh, delapan, ya, benarlah itu Ban Cin-san
beserta ketujuh anak muridnya. Tapi sipengemis tua ternyata masih tidak
mengetahui. Sungguh heran Tik Hun, baginya kedatangan rombongan Ban Cin-san itu dapat
didengarnya dengan jelas, bahkan dapat dihitung jumlahnya. Tapi mengapa pengemis
tua itu seperti orang tuli saja tanpa mendengar apa2"
Lima tahun yang lampau, Tik Hun kagum dan memuja pengemis tua itu bagaikan
malaikat dewata. Pengemis itu hanya mengajarkan tiga jurus ilmu pedang kepada
Tik Hun dan pemuda itu sudah sanggup menghajar Ban-bun-pat-te-cu atau delapan
murid keluarga Ban, hingga pontang-panting, sedikitpun kedelapan lawan itu tak
mampu melawan. "Tapi kini, mengapa kepandaian pengemis tua ini telah berubah
sejelek ini dan mundur malah" Jangan2 Tauke ini bukan pengemis tua yang dahulu
itu" Barangkali aku salah mengenali dia" Tapi, tidak, tidak mungkin, tidak
mungkin aku salah lihat!" demikian Tik Hun bertanya-jawab sendiri.
Ternyata Tik Hun tidak memikir bahwa sebenarnya ilmu silatnya sendiri yang telah
mencapai kemajuan pesat hingga sudah hampir mencapai tingkatan yang tiada
taranya. Sesuatu yang dapat didengarnya dengan jelas bagi telinga orang lain
sebaliknya sedikitpun tidak terdengar apa2.
Dalam pada itu kedelapan orang itu makin lama sudah makin mendekat. Sungguh Tik
Hun sangat heran: "Perbuatan kedelapan orang itu benar2 sangat lucu, memangnya
mereka mengira tiada seorangpun yang mengetahui kedatangan mereka hingga mesti
main germat-germet seperti maling kuatir kepergok?"
Sementara itu kedelapan orang itu sudah lebih dekat lagi. Mendadak sipengemis


Si Kangkung Pendekar Lugu Soh Sim Kiam Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tua tampak bergetar sambil miringkan kepalanya untuk mendengarkan.
"Ha, dia sudah dengar sekarang barangkali" Kenapa baru dengar sekarang, apa
tuli?" demikian Tik Hun membatin.
Padahal sipengemis tua yang sudah menjadi Tauke itu sebenarnya tidak tuli.
Soalnya jarak kedelapan orang itu memang masih jauh. Kalau Tik Hun dua-tiga
tahun yang lalu pasti juga takkan mendengar suara rombongan Ban Cin-san, bahkan
lebih dekat juga belum tentu dapat mendengarnya.
Sementara itu kedelapan orang itu sudah dekat benar2, kini mereka melangkah
setindak demi setindak dengan hati2, terkadang berhenti dulu, lalu melangkah
maju pula, terang mereka juga kuatir diketahui oleh orang didalam rumah.
Namun sekarang sipengemis tua sudah mengetahui kedatangan musuh. Dengan tenang
ia mendekati pojok ruangan dan mengambil sebatang tongkat yang tertaruh disitu.
Itulah sebatang "Liong-thau-bok-koay" atau tongkat kayu berukiran kepala naga.
"Masakah tongkat begitu akan dipakai sebagai senjata?" demikian Tik Hun merasa
heran. Se-konyong2, serempak kedelapan orang diluar rumah itu berlari maju dan
mengepung dari empat jurusan kearah gedung. "Blang", mendadak pintu didobrak
Kisah Si Naga Langit 4 Pedang Angin Berbisik Karya Han Meng Anak Pendekar 27
^