Pencarian

Tiga Maha Besar 10

Tiga Maha Besar Karya Khu Lung Bagian 10


dengan dia?" Sau biau ji membasahi bibirnya dengan ludah, lalu
bercerita, "Selama beberapa hari belakangan ini kami selalu
berjaga-jaga dipintu kota selatan, pagi tadi muncul dua orang
makhluk aneh berbaju kuning, waktu kutengok mukanya....
hiiiii....! ngeri deh, jeleknya bukan kepalang...."
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, "Makhluk tua
yang punya jenggot merah berjalan didepan, yang rada muda
dan punya hidung seperti samai mengikuti dibelakangnya, dia
memanggul sesosok tubuh manusia nampaknya kena penyakit
gila atau ayan.... mukanya bengkak seperti labuh, tangannya
penuh tutul-tutul merah seperti cacar.... hiiihh! pokoknya ngeri
deh." "Ehmm! orang itu terkena racun jahat dari wilayah Biau"
Siau Ngo-ji menjelaskan, bagaimana selanjutnya?"
"Setelah cari kamar dirumah penginapan Kong goan, yang
mudaan itu keluar rumah seorang diri, rupanya dia pergi beli
obat dikedai.... selanjutnya Ji hau yang membuntuti, biar dia
saja yang cerita!" Sambil berseru bocah itu tuding seorang bocah
dihadapannya. Bocah hitam yang berada dihadapannya segera
melanjutkan cerita itu, "Siau biau ji tetap jaga dipintu kota,
sedang aku buntuti beberapa orang baju kuning itu, aku
menyusup masuk kedalam rumah penginapan lewat pintu
belakang, ku lihat mereka bertiga mendapat kamar di ruang
sebelah barat, aku lantas ingat dengan perkataan dari Ko
toako, katanya orang yang berilmu silat tinggi bisa menangkap
ja tuhnya bunga dan daun pada jarak sepuluh tombak, aku
tak berani terlalu mendekat dan terpaksa mendorong pintu
dikamar sebelahnya" "Bukankah diatas dinding kamar ada lubang untuk
mengintip?" tanya Siau Ngo-ji.
Ji hau angkat cawan araknya dan meneguk abis isinya,
kemudian menjawab, "Benar, aku masih ingat diatas dinding
papan terdapat sebuah lubang kecil untuk mengintip kamar
itu, seberangnya persis pembaringan dikamar seberang, kita
toh sering kali melihat siluman laki dan perempuan saling
bergumul dan saling menindih.... aduuh asyiiknya!"
"Jangan bicara yang tak penting, bagaimana seterusnya"
aku harus segera pulang seru Siau Ngo-ji dengan dahi
berkerut. Ji hau melengak sebentar, kemudian melanjutkan, "Ketika
aku mendorong pintu kamar sebelah aduuuh maknya! seorang
kakek tua berjenggot putih sedang duduk bersila didalam
kamar itu, ketika aku melongok kedalam, sepasang mata
kakek itu segera terbuka lebar, yaa mama! sepasang biji
matanya memancarkan sinar yang dingin dan tajam, aku jadi
ketakutan sampai kakiku jadi lemas, hampir saja aku jatuh
semaput." Sambil menuding ke arah Ji hau, Siau bi ji tertawa geli dan
mengejek, "Haaah.... haaahh.... haaahh engkoh siau ngo,
karena ketakutan dia sampai terkencing-kencing hingga
celananya basah kuyup, sungguh memalukan"
Merah padam selembar wajah Ji hau, serunya dengan
penasaran, "Maknya! kalau bicara jangan sembarangan, kalau
engkau yang melihat sinar mata itu, mungkin sukmapun
seraya melayang meninggalkan raga...."
Bocah-bocah itu tergelak tertawa, sampai kakek penjual
bakmi pun ikut tertawa terbahak-bahak.
Siau Ngo-ji gebrak meja menghentikan gelak tertawa itu,
hardiknya dengan suara dalam, "Jangan gaduh! Ji hau,
teruskan ceriteramu"
Bocah-bocah itu berhenti tertawa, suasanapun pulih
kembali dalam kesunyian. Terdengar Ji hau melanjutkan kembali kata-katanya,
"Dalam gugupnya, aku segera melarikan diri terbirit-birit,
untung kakek tua itu tidak berteriak sehingga aku kena
digebuk oleh pelayan rumah penginapan itu, aku kabur
ketengah tumpukan barang dan menyembunyikan diri,
beberapa saat kemudian pelayan muncul sambil membawa
sebuah gentong besar, isi gentong itu adalah air bersih, lewat
sebentar lagi orang baju kuning yang rada mudaan itu muncul
sambil membopong sebungkusan besar obat-obatan serta
segentong cuka." Bocah itu berhenti sebentar, setelah makan sayur asin dan
buru-buru menelannya kedalam perut, sambungnya lebih
jauh, "Aku sangat ingin mengintip kedalam dan pingin tahu
permainan setan apa yang sedang dilakukan, setelah maju
mundur setengah harian, akhirnya aku besarkan nyali dan
ngeloyor masuk kedalam halaman kemudian merangkak
kebawah jendela, siapa tahu sebelum aku bangkit berdiri tibatiba
aku dengar pintu kamar berbunyi dan makhluk tua itupun
berbicara!" Apa yang dia bicarakan" Ji hau menghembuskan nafas
panjang lalu menjawab, "Dia bertanya, "Bagaimana dengan
tempat yang dipilih?" lalu seorang lain menjawab, "Tempatnya
sudah dipilih, terletak di tengah tumbuhan ilalang ditepi
seberang sungai!" kemudian makhluk tua itu bertanya lagi,
"bahan-bahan untuk hioloo darah sudah kau siapkan komplit?"
orang yang satu menyahut, "Oh sudah, sudah siap semua!"
makhluk tua itu bertanya lagi, "makhluk-makhluk beracunnya
juga sudah siap?" orang yang lain menjawab, "sudah
kusiapkan semua!" Suasana hening untuk sesaat lalu orang itu menyambung
kembali, "Suhu tak usah kuatir, asal mereka menginjak
kedaratan, tanggung akan terluka oleh ilmu Hiat teng koh hun
to hoat kita!" Mendengar sampai disitu, Siau Ngo-ji kerutkan dahinya
rapat-rapat dan bergumam, "Ilmu sakti hioloo darah pembetot
sukma" ilmu sihir apaan itu...." mungkin ilmu jahat yang amat
keji...." "Aku sendiripun tidak tahu ilmu apaan itu, mereka
mengatakan begitu maka akupun sampaikan kepadamu tanpa
mengurangi sepatah katapun!"
"Bagaimana selanjutnya" cepat katakan!" seru Siau Ngo-ji
dengan gelisah. Dengan muka mewek Ji hau melanjutkan, "Kemudian....
waah! menarik sekali, baru saja aku mencuri dengar
pembicaraan itu, tiba-tiba jendela dibuka dan seorang baju
kuning yang mudaan itu melongok keluar, tengkukku langsung
dicengkeram seperti anak kucing kemudian melemparkan ke
tubuhku keluar dari halaman, kakiku belum sempat menginjak
tanah terdengar makhluk tua baju kuning itu sudah
membentak keras, 'tangkap kembali! mampusi bocah itu!'
waaduuh, aku semakin ketakutan, untung Lo Thian ya masih
lindungi aku, kebetulan aku terjatuh ketumpukan rumput
kering diistal kuda, cepat-cepat aku menggelinding ketanah
dan menerobos keluar lewat lubang anjing disudut tembok,
makhluk kecil itu goblok sekali ketika ia sampai diluar, aku
sudah ngeloyor kedalam rumah penggiling tahu disamping
rumah penginapan itu dan sembunyikan diri."
"Macam apakah kakek tua yang duduk bersila dikamar
sebelah makhluk tua itu?" tanya Siau Ngo-ji kemudian dengan
suara berat. "Jenggotnya putih, rambutnya putih, bajunya putih dan
raut wajahnya bersih rada gagah!"
Siau Ngo-ji alihkan pandangannya ke arah siau biau ji, dan
tanyanya lagi, "Selain makhluk aneh baju kuning, apakah
masih ada orang-orang yang menyolok lagi masuk kedalam
kota?" "Kami lihat seorang perempuan berbaju hitam, berwajah
putih dan berambut uban dengan membawa sebuah tongkat
hitam dengan kepala setan terukir digagangnya masuk ke
dalam kota, tampaknya mirip dengan Kiu-im Kaucu yang
pernah kami dengar, aku suruh siau kwik menguntilnya, siapa
tahu baru ikuti beberapa jauh, mendadak perempu ao itu
lenyap tak berbekas dan sampai sekarang tidak ketemu lagi!"
"Selain itu?" Seorang perempuan cantik yang membawa rase putih juga
masuk kedalam kota, wajah nya mirip Giok teng hujn tapi
betul atau tidak entahlah, selain itu ada pula seorang
perempuan muda yang menunggang kuda, wajahnya cantik
jelita dan boleh dibilang bagaikan bidadari yang baru turun
dari kahyangan!" "Perempuan itu adalah Pek Kun-gie!" seru Siau Ngo-ji
dengan amat gusarnya, "ia merecoki Hoa toako terus
menerus. Hmm! kalau sampai ketemu dengan aku, pasti akan
ku maki habis-habisan, perempuan yang tak tahu malu!"
"Kenapa sih musti dimaki?" tanya Siao biau ji keheranan,
perempuan itu cantiknya bukan kepalang, kalau aku sih tak
tega un tuk mencaci maki dirinya.... kasihan!"
Siau Ngo-ji segera tertawa dingin.
"Heeh.... heehh.... heehh.... kau anggap enso ku jelek"
kecantikan wajahnya mungkin sepuluh kali lipat lebih hebat
daripada perempuan yang bernama Pek Kun-gie itu.
Ia bangkit berdiri dan ambil keluar sekeping perak, sambil
diserahkan kepada kakek penjual bakmi, pesannya, "Uang itu
aku titipkan disini, kalau siau biau ji tak punya uang uutuk
makan, biar dia makan mie ditempatmu, tiga tahun kemudian
aku akan bayar kekurangannya, berapa saja kekurangan itu
pasti akan kubayar...."
Jilid 17 "BAGAIMANA kalau orang lain yang makan?" tanya kakek
penjual bakmi sambil menerima uang itu.
"Kecuali ini hari aku yang menjamu, selanjutnya tak ada
hubungan apa-apa dengan nonaku!"
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan.
"Kalau engkau berani menganiaya Siau biau ji Hmm!
warung bakmi ini akan kuobrak abrik sampai rata dengan
tanah, jenggotmu akan kucabuti semua hingga tak mampu
hidup di sini lagi."
Kepada rekan-rekan lainnya dia melanjutkan, "Kalau
kehidupan kalian alami kesulitan pergilah cari Ko toako! Siau
biau ji paling kecil diantara kalian, pengalamannya paling
dangkal, kalian jangan mengganggu dirinya!"
Bocah-bocah itu sama-sama mengiakan, sedang Siau biau ji
sambil menangis sesenggukan katanya, "Engkoh Ngo ko,
kemana engkau pergi aku mau ikut terus jangan tinggalkan
aku seorang diri!" "Tidak mungkin, setelah tiba diperkampungan Liok Soat
Sanceng nanti aku akan mintakan ijin kepada enso agar utus
orang datang kemari untuk menyambut dirimu."
"Kenapa musti tunggu tiga tahun?" seru siau biau ji dengan
air mata bercucuran. Siau Ngo-ji termenung sebentar, kemudian jawabnya,
"Paling lama tiga tahun, mungkin juga kurang dari itu.... Nah!
pergilah bermain-main, aku harus segera kembali."
"Ngoko, cengkerikmu!" seru siau biau ji sambil berikan
tabung bambu itu kepada kakaknya.
"Aku tak mau bermain itu lagi, buat kau!"
Siau hiau ji mengangguk. "Ngo ko, ajarin aku ilmu silat agar kalau berkelahi aku bisa
lebih tangguh " "Sekarang tak ada waktu, lain kali saja," setelah memberi
salam kepada rekan-rekannya ia menambahkan, "Nah, sampai
jumpa lain waktu, aku pergi dulu!"
Sambil mengingat-ingat terus persoalan tentang ilmu hioloo
darah pembetot sukma, bocah itu dengan cepat kembali ke
rumah penginapan. Beberapa jalan raya sudah diseberangi, ketika ia tiba satu
tombak dari pintu penginapan, tiba-tiba bayangan manusia
munculkan diri dari bawah wuwungan rumah, sambil
menampakkan diri ia meregur lirih, "Saudara cilik, tunggu
sebentar!" Siau Ngo-ji terperanjat dan mundur dua langkah, ketika
mengang-kat kepalanya bocah itu kontan merasa terperanjat.
Seorang gadis yang cantik jelita bagaikan bidadari berdiri
dibawah lampu jalan yang remang-remang, meskipun suasana
agak gelap namun kecantikan wajah dara itu sangat mengikat
hati, sampai Siau Ngo-ji yang masih kecilpun diam-diam
mengagumi. Gadis itu menengok sekejap sekeliling tempat itu, kemudian
mengundurkan diri ke bawah wuwungan rumah, seraya
menggape bisiknya, "Saudara cilik, kemarilah! aku punya
urusan penting hendak disampaikan ke padamu!"
"Engkau adalah Pek Kun-gie!" tegur Siau Ngo-ji tanpa
bergerak. Gadis cantik itu tersenyum dan mengangguk.
"Engkau kenal aku" Ohh! Thian-hong yang beritahu
kepadamu?" Siau Ngo-ji berdiri melongo, pikirnya, "Aduh mak, betulbetul
cantik! apalagi kalau tertawa, waduh bikin hati orang
syuur-syuuran.... Hoa toako bisa menampik cintanya, itu
menandakan kalau toako betul-betul seorang lelaki yang
hebat!" Sementara itu Pek Kun-gie sudah menggape lagi sambil
berseru, "Kemarilah! jangan berdiri ditenhah jalan, aku punya
kabar penting hendak disampaikan kepadamu"
Siau Ngo-ji melangkah maju tapi sekilas bayangan terlintas
dalam benaknya, tiba-tiba ia teringat akan Chin Wan-hong,
bocah itu segera merasakan hatinya hangat dan segar seolaholah
tersorot oleh cahaya sang surya.
Pada mulanya bocah ini adalah seorang anak yatim piatu
yang tak punya sanak tak punya keluarga, sedari kecil hidup
gelandangan dikota Lok yang, ia kenyang disiksa, hidup
menderita dan tak kenal apa artinya kasih sayang.
Meskipun Hoa Hujin, Hoa Thian-hong dan Tio Sam-koh
sangat baik terhadap dirinya, kasih sayang itu adalah kasih
yang umum dan sama sekali tidak merangsang daya rasanya
yang hebat, lain halnya dengan Chiu Wan Hong.
Dara ini bukan saja harus melayani mertuanya dan
suaminya, diapun sangat kasih dan menaruh perhatian
terhadap Siau Ngo-ji, terutama sekali wataknya yang halus
berbudi dan sifat kewanitaan yang tegitu tebal ditambah
ketulusan dan kehangatan kasih seorang ibu tercermin begitu
tebalnya, membuat setiap ucapan dan gerak-geriknya
mengandung kasih sayang dan perhatian yang tak terhingga
bagi Siau Ngo-ji.

Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Walaupun kasih sayang dan perhatian itu ditampilkan
secara sederhana dan wajar, namun kesemuanya timbul dari
dasar sanu bari yang suci dan sama sekali tiada suatu paksaan
atau pura-pura, karena itulah Siau Ngo-ji merasakau daya
rangsangan yang besar atas kebaikan yang pernah
diterimanya selama ini. Teringat akan ensonya, timbullah rata permusuhan yang
tebal terhadap Pek Kun-gie yang cantik jelita, bocah itu tak
berkutik dari tempat semula dan tegurnya ketus.
"Darimana kau kenal diriku?"
Agak terperangah Pek Kun-gie menyuksikan perubahan
sikap bocah itu, jawabnya kemudian, "Aku lihat setiap hari kau
bergaul dengan Thian-hong, kalian sering bercakap dan
bergurau dengan mesrahnya, tentu saja kuk nali dirimu!"
"Hmm! Hoa toako adalah suami dari enso ku, tentu saja
mesrah dengannya, berita penting apa yang hendak kau
katakan" sampaikan saja kepadaku, kalau ingin ketemu Hoa
toako.... Huuh! jangan mimpi"
Ucapan tersebut sangat menusuk hati Pek Kun-gie,
parasnya berubah hebat, lama sekali ia baru pulih kembali
seperti sedia kala. "Engkau adalah sanak dari keluarga Hoa" ataukah sanak
dari keluarga Chin Wan-hong?" tanyanya kemudian.
"Hmm! enso adalah nyonya muda dari keluarga Hoa, maka
aku boleh dianggap sanak dari keluarga Hoa juga sanak dari
keluarga Chin" Pek Kun-gie mengerutkan dahinya, dengan muka murung
ia berbisik, "Usiamu masih muda dan tak tahu urusan,
memandang diatas wajah Thian-hong aku tak mau ribut
dengan kau...." Siau Ngo-ji segera tertawa dingin, tukasnya, "Kau tak mau
ribut, justru aku ingin ribut, ayoh jawab apa mau mu
menguntit terus perjalananku?"
Hawa nafsu membunuh yang tebal melintas diatas wajah
Pek Kun-gie, dia maju dan siap melancarkan serangan maut.
Sebagai putri ketua perkumpulan Sin-kie-pang yang
dibesarkan dibawah asuhan ayahnya yang berkekuasaan
besar, ia sudah terbiasa bersikap angkuh dan tinggi hati, kalau
bukan mencintai Hoa Thian-hong tak mungkin dia sudi hidup
menderita, namun sifat tersebut hanya berlaku khusus buat
Hoa Thian-hong seorang, bagi orang lain watak angkuh dan
kejamnya masih berlaku seperti sedia kala.
Kadangkala kekuatan yang terpancar akibat cinta memang
sangat besar, ketika ia maju kedepan tiba-tiba satu ingatan
berkelebat dalam benaknya.
Kalau bocah ini aku lukai, Thia Hong pasti akan gusar
kepadaku, aku tak boleh sembrono.
Cepat ia tahan tubuhnya dan berseru, "Beritahu kepada
Thian-hong, katakan ada orang hendak gunakan siasat busuk
untuk mencelakai jiwa lo hujin dan dirinya, aku akan
menunggu disini, cepat suruh dia keluar!"
Stan ngo ji kerutkan dahinya dan tertawa dingin.
"Heeeh.... heeeh.... heeehh aku saja tidak gelisah, kenapa
kau musti ribut" bukankah orang Mo-kauw hendak celakai
mereka dengan ilmu hioloo darah pembetot sukmanya?"
Tertegun Pek Kun-gie mendengar ucapan tersebut, serunya
keheranan, "Ilmu hioloo darah pembetot sukma" ilmu apaan
itu" bukan itu yang kumaksudkan, cepat panggil Thian-hong!"
"Huuhh! kalau ingin adakan pertemuan dengan Hoa toako
katakan saja terus terang, pakai akal-akalan segala. Huuhh!
tak tahu malu," batin Siau Ngo-ji, "dianggap dengan perkataan
seperti itu, aku lantas ketakutan?"
Berpikir begitu, dengan acuh tak acuh dia pun berkata lagi,
"Tidak sukar kalau suruh aku panggilkan Thian-hong, tapi
kabar ini musti aku laporkan kepada enso dulu, kemudian
suruh enso yang beritahu toako, setuju tidak?"
Secara lapat-lapat Pek Kun-gie merasakan hatinya sakit
seperti diiris, pikirnya, "Aaai.... keadaan sekarang ibarat
harimau turun gunung yang dianiaya kawanan anjing, ooh
Thian-hong kenapa kau tidak keluar" apakah kau tidak tahu
semalam aku menunggu dirimu ditluar?"
"Bagaimana" setuju tidak?" terdengar Siau Ngo-ji menegur
dengan uara ketus, "kalau beritahu saja kepadaku biar aku
yang sampaikan, kalau urusan benar serius maka diam-diam
akan kusampaikan kepada toako cuma, engkau tetap tak bisa
bertemu dengan toako!"
Pek Kun-gie menghela napas panjang.
"Baiklah akan kuceritakan garis besarnya saja,
sampaikanlah kepada toako!"
"Bicara pulang pergi kau hanya ingin bertemu dengan
toako.... Huuh baiklah ceritakan garis besarnya kepadaku dan
nanti akan kuper-timbangkan lagi"
"Sebetulnya...."
Tiba-tiba terdengar dengusan dingin yang menyeramkan
memecahkan kesunyian, bagaikan sambaran kilat sesosok
bayangan manusia menubruk ke arah Pek Kun-gie.
Merasakan datangnya ancaman, Pek Kun-gie terperanjat
dan loncat kebelakang, teriaknya keras-keras, "Cepat lari
pulang" Belum habis kata-kata itu diutarakan, bayangan tadi
kembali menerjang untuk kedua kalinya ke arah Pek Kun-gie
dengan kecepatan bagaikan sambaran petir.
Pek Kun-gie putar telapak dan cabut pedangnya, cahaya
tajam berkilauan dan ia balas menyerang dengan pedang
lemasnya. Menyaksikan kejadiau itu, Siau Ngo-ji jadi panik, pikirnya,
"Aduuh celaka, kalau Pek Kun-gie mampus, maka berita itu
tak bisa disampaikan kepada toako."
Sebagai bocah yang cerdik, dia segera bertindak cepat,
sambil kabur kepenginapan ia berteriak keras, "Hoa toako,
cepat keluar Kiu-im Kaucu, Pia Leng-cu...."
oooooOooooo 66 BELUM habis ia berseru, dari atap penginapan menggema
bentakan gusar dari Hoa Thian-hong.
"Kiu-im Kaucu, aku orang she Hoa sudah menanti disini!"
Ternyata bayangan marusia yang menyergap Pek Kun-gie
bukan lain adalah Kiu-im Kaucu, dia bermaksud membekuk
gadis itu dalam satu gebrakan, diluar dugaan sambutan
pedang dari gadis itu cukup tangguh membuat tubuhnya
meleset dari sasaran, tangan kanannya segera menyodok
lewati jaring pedang dan menotok tubuh dara itu.
Kembali Hoa Thian-hong membentak, "Libat pedang!"
Cahaya hitam secepat kilat meluncur kedepan dan menusuk
punggung Kiu-im Kaucu. Walaupun selisih jarak ada dua tombak, namun pancaran
hawa ki kang dari ujung pedang telah mengancam jalan darah
Leng tay hiat dipunggung Kiu-im Kaucu, memaksa jago tua itu
cepat-cepat harus melindungi diri.
Dengan hati terperanjat Kiu-im Kaucu mundur kebelakang
dan melayang beberapa tombak kesamping.
Cahaya hitam lenyap dari udara Hoa Thian-hong berdiri di
tengah jalan dengan gagah, mulutnya membungkam dalam
seribu bahasa. Lega hati Pek Kun-gie setelah lolos dari ancaman, sambil
tuding Kiu-im Kaucu ujarnya, "Thian-hong, ia telah menyusun
rencana keji, besok pagi...."
"Budak cilik, rupanya kau sudah bosan hidup!" seru Kiu-im
Kaucu dengan nada seram. Peras muka Hoa Thian-hong berubah, ia menghadang
didepan Pek Kun-gie sambil berseru dengan suara dalam,
"Kun Gie, mundurlah agak jauh!"
Pedang bajanya diayun dan segera mengebas keudara
kosong. Pek Kun-gie tertegun, ketika ia angkat kepala tampaklah
diujung pedang baja milik Hoa Thian-hong telah menempel
tiga batang duri racun yang panjangnya beberapa cun serta
berwarna hitam tak mengkilap.
Ketiga batang duri racun itu meluncur tanpa menimbulkan
suara ataupun kerlipan cahaya, sementara tangan kiri Kiu-im
Kaucu memegang tongkat kepala setan, tangan kanan
tertutup dibalik baju yang lebar dan sama sekali tidak nampak
sesuatu gerak apa pun, sergapan macam itu boleh dibilang
sangat lihay sekali. Istri Hoa Thian-hong adalah seorang ahli racun yang lihay,
sedikit banyak pemuda itupun kenal dengan kepandaian
tersebut, dari warna duri racun itu ia tahu bahwa bahan racun
yang digunakan pada ujung senjata tersebut merupakan racun
yang amat jahat, tanpa terasa peluh dingin membasahi
tubuhnya, iapun semakin waspada menghadapi Kiu-imkauwcu
yang kejam. Ssraeotara itu telah terperangah sebentar" Pek Kun-gie
segera berseru lantang, "Thian-hong, orang itu mempunyai
maksud jahat kepadamu, jangan kau ampuni ampuni
jiwanya".... "Aku tahu, turunlah ke bawah wuwungan rumah!"
Tiba-tiba Siau Ngo-ji berseru, "Toako, apa yang kau lihat"
kalau benda yang beracun, simpanlah dan nanti tunjukkan
kepada enso!" "Cepat pulang, dan jangan tetap berada diluaran!" bentak
Hoa Thian-hong dengan gusar.
"Enso suruh aku menjaga disini, sekalian awasi sekitar
gelanggang kalau ada orang yang hendak menyergap dirimu!"
Setiap perkataannya tak lupa mengucap kan kata enso dan
rupanya sengaja di tujukan kepada Pek Kun-gie.
Dara itu berubah wajahnya, ia merasakan hatinya seperti di
tusuk-yusuk oleh pisau yang tajam, Hoa Thian-hong sendiri
tentu saja mengerti pula maksud tujuan bocah itu, pikirnya
dihati, "Kurangajar, rupanya dia memang sengaja sedang
menyakiti hati Kun Gie...."
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia robek bajunya
untuk bungkus duri beracun tadi dan segera dilempar
kebelakang, hardiknya, "Ayoh cepat kembali kerumah
penginapan!" Siau Ngo-ji pungut bungkusan itu dan berpikir.
"Toako sudah kehilangan muka, kalau aku teruskan olokolok
ini niscaya dia akan gusar...."
Berpikir sampai disitu, segera teriaknya, "Toako tak usah
gugup, aku akan undang kedatangan enso!" sambil berseru
dia kabur kedalam penginapan.
Hoa Thian-hong segera berpikir dalam hati.
"Setan cilik ini pilih kasih dan terlalu condong kepadi enci
Hong, kalau ia betul-betul undang ensonya, waah.... Kun Gie
pasti akau dibuat serba salah...."
Berpikir sampai disitu, ia berpaling ke arah Pek Kun-gie dan
berkata, "Cepatlah pulang kerumah, jangan berdiam diluaran,
kalau aku bisa keluar rumah pasti akan...."
Sebetulnya pemuda itu hendat bilang, kalau dia bisa keluar
rumah pasti akan berkunjung kebukit Toa pa san untuk
menjenguk dirimu, tapi ingatan lain segera berkelebat dalam
benaknya, ia teringat kalau dia sudah punya istri sedang dara
itu masih perawan maka kata yang hampir meluncur segera di
telan kembali. Senyum kemurungan tersungging diujung bibir Pek Kungie,
katanya, "Engkau tak usah menguatirkan aku, Kiu-im
Kaucu kejam dan punya rencana busuk dia hendak...."
Sambil tertawa seram Kiu-im Kaucu segera menukas, "Pek
Kun-gie, meskipun dari dulu kaum pria tidak setia pada janji,
dan kaum wanita gampang jatuh cinta, namun keadaanmu
benar-benar menggelikan hati."
Merah jengah selembar wajah Pek Kun-gie, teriaknya
dengan gusar, "Lebih baik jangan kau campuri urusan kami!"
"Hmm! dia tak boleh mencampuri, aku nenek tua justru
akan mencampuri kau mau apa?" tiba-tiba suara Tii Sam-koh
menggelegar ditengah udara.
Bersama dengan kehadirannya, toya baja tersebut
mengiringi deruan angin tajam langsung menghajar batok
kepala gadis itu. Hoa Thian-hong jadi gegetun, serunya dengan gelisah,
"Eee.... nenek Sam popo...."
Dengan suatu gerakan yang manis, Pek Kun-gie mengegos
kesamping, setelah lolos dari ancaman tersebut dengan gusar
ia membentak pedangnya menyambar kemuka melepaskan
serangan balasan. Hoa Thian-hong semakin gelisah, dengan nada setengah
merengek serunya, "Nenek Sam popo, berhenti! jangan main
serang.... ada persoalan kita selesaikan secara baik-baik!"
Tio Sam-koh sama sekali tidak menggubris, serangan
toyanya makin gencar dan jurus maut dilepaskan secara
bertubi-tubi membuat Pek Kun-gie tak sanggup menahan diri
dan terjerumus dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Hoa Thian-hong semakin gelisah hingga mendepak kakinya
berulang kali, sebagai keturunan seorang terhormat pemuda
itu tak berani turun tangan terhadap Tio Sam-koh, maka ia
cuma bisa gelisah tanpa sanggup melakukan sesuatu apapun.
Kiu im kaicu yang menyaksikan kejadian itu, dalam hatipun
segera berpikir, "Agaknya budak itu mengetahui rencana
besarku, ia berusaha membaiki bocah keparat she Hoa,
sedang keparat dari keluarga Hoa masih cinta kepada budak
itu dan tak tega melihat gadis itu mampus ditangan orang....
inilah suatu pertunjukkan yang menarik hati!"
Kemudian pikiran lain berkelebat pula dalam benaknya,
"Ilmu silat yang dimiliki Pek Siau-thian sangat lihay, diapun
berhasil mempelajari isi catatan ilmu pedang Kim keng bu kui,
kemajuan yang diraih pasti luar biasa, kekuatannya mungkin
jauh lebih ampuh dari keadaan tempo hari, selama Pek Kungie
masih hidup keluarga Hoa dan keluarga Pek tak mungkin
bentrok satu sama lain, itu berarti Kiu-im Kaucu harus
menghadapi musuh dari dua arah, sebaliknya kalau nenek itu
membunuh Pek Kun-gie, maka dendam kesumat pasti terjalin
antara dua keluarga, sedang Kiu-im Kaucu akan mencari
untung dari situasi ini, aku harus manfantkan peluang ini
sebaik-baiknya....!"
Berpikir sampai disitu, dia tertawa seram dan berseru, "Pek
Kun-gie, cepat kabur dari sini, engkau cantik dan menarik,
cepat atau lambat Hoa Thian-hong pasti tunduk dibawah
gaunmu, kalau nyawamu keburu mampus, ooooh sayang
sekali!" Tio Sam-koh segera membatin, "Betul juga perkataannya,
siluman rase ini cantik bagaikan bidadari yang turun dari


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kahyangan, Hong ji jauh bukan tandingannya. Setiap pria
sudah pasti akan terpikat oleh kecantikannya itu, kalau
siluman rase ini di biarkan hidup, akhirnya Seng ji pasti
terjatuh kedalam pelukannya lebih baik cepat dibunuh,
daripada memelihara harimau di kandang domba."
Berpikir sampai disini, permainan toyanya dipergencar,
serangan maut dilepaskan bertubi-tubi memaksa Pek Kun-gie
kerepotan dan kian lama kian terdesak hebat.
Hoa Thian-hong merasakan hatinya panas bagaikan minyak
mendidih, ia berputar disekitar gelanggang sambil bersiap
sedia bila Pek Kun-gie menjumpai mara babaya, ia siap
memberi pettolongan. Tiba-tiba Kiu-im Kaucu berteriak lagi.
"Pek Kun-gie, cepat pergi! jangan engkau paksa Hoa Thianhong
berkelahi sendiri dengan Tio Lo tay kalau sampai terjadi
begitu, ooh! kasihan Hoa Thian-hong, dia akan dicemooh
orang sebagai manusia yang berani melawan tingkatan tua!"
Hoa Thian-hong gusar sekali, hardiknya, "Kalau engkau
menghasut terus, jangan salahkan kalau aku orang she Hoa
bertindak kurangajar!"
"Binatang cilik, enyah dari sini!" bentak Tio Sam-koh
dengan gesar. Weeess! toyanya disapu kedepan dengan gerak mendatar.
Meskipun berilmu tinggi, Hoa Thian-hong tak berani
melawan, ia segera mengegos kesamping.
Sapuan toya itu mengena disasaran kosong, menggunakan
kesempatan yang baik ini, Pek Kun-gie gigit bibir dan
melepaskan satu serangan balasan yang hebat.
Hawa amarah yadg berkobar dalam dada Tio Sam-koh
makin memuncak, permainan toyanya segera berubah, ia
kurung Pek Kun-gie dibawah bayangan toyanya yang berlapis
lapis dan mendesaknya habis-habisan.
Hoa Thian-hong makin gelisah hingga hampir saja
mengucurkan air mata, ia lihat Pek Kun-gie makin kepayahan
dan terkurung kembali dalam lapisan toya Tio Sam-koh.
Tiba-tiba nenek tua itu membentak nyaring diiringi desiran
angin tajam, toya baja itu menghantam batok kepala Pek Kungie.
Serangan itu dilancarkan dengan kecepatan luar biasa, tak
sempat bagi Pek Kun-gie untuk menghindar, dalam gugupnya
dia angkat pedang lemasnya untuk menangkis.
Hoa Thian-hong amat terperanjat, ia tahu sambaran toya
itu luar biasa dahsyatnya kalau ditangkis dengan pedang
niscaya gadis itu akan mati konyol, dalam gelisahnya tanpa
berpikir panjang ia segera menubruk kemuka dan melindungi
Pek Kun-gie dengan tubub sendiri
Tio Sam-koh makin gusar menyaksikan kejadian itu namun
dia pun tak bisa lanjutkan serangannya untuk menghajar Hoa
Thian-hong, dengan mendongkol terpaksa ia miringkan
toyanya kesamping dan menyambar disamping pemudi itu.
Hoa Thian-hong segera menggulung tubuh Pek Kun-gie
dengan lengan kirinya kemudian mundur dengan cepat,
menanti Tio Sam-koh memburu kedepan, dua orang muda
mudi itu sudah jauh mundur kebelakang.
Diam-diam Kiu-im Kaucu merasa gegetun, pikirnya,
"Sayang.... oooh. sungguh sayang.... kalau sambaran toya itu
dilanjutkan niscaya dua orang muda mudi itu sudah mampus!"
Setelah melangsungkan pertarungan sengit, seluruh tenaga
Pek Kun-gie sudah terkuras habis, rambutnya jadi kusut dan
bajunya basah oleh keringat, mukanya yang cantik berubah
merah padam, napasnya tersengkal dan hampir saja tak
mampu berdiri tegak. Hoa Thian-hong merasa amat kasihan, sebagai pemuda
yang berjiwa kesatria ia iba dan terharu melihat Pek Kun-gie
menderita karena dia, rasa cintanya atas gadis itu makin
menebal. Terdengar Tio Sam-koh membentak dengan gusar,
"Binatang cilik! engkau berani melindungi perempuan rendah
itu" kau sudah lupa dengan peringatan dari Kiu-tok Sianci?"
Hoa Thian-hong menghela napas panjang, wajahnya amat
sedih, pikirnya dihati, "Masalah ini ibarat simpul tali mati kalau
aku sudah mampus urusan ini baru selesai....!"
Dengan ilmu menyampaikan suara bisik-nya kepada dara
itu. Gie!, bersediakah engkau turuti omonganku?"
Beberapa patah kata yang singkat dan sederhana
mendatangkan perasaan mesrah yang sukar dilukiskan dengan
kata-kata, bagi Pek Kun-gie, perasaannya jadi hangat dan dua
titik air mata jatuh berlinang, ia mengangguk lirih.
Hoa Thian-hong tertawa sedih.
"Aku minta cepatlah pulang kerumah dan temani ibumu
engkau bersedia....?"
Tio Sam toh naik pitam, bentaknya dengan penuh
kegusaran. "Aku larang kalian berbicira dengan ilmu menyampaikan
suara!" Pek Kun-gie tertegun beberapa saat, lalu dengan air mata
bercacaran dia mengangguk.
"Aku bersedia, tapi.... kapan kau datang menjenguk aku?"
Sekali lagi Tio Sam-koh hentakkan toya-nya keatas tanah,
dengan langkah lebar ia maju kedepan, kembali teriaknya,
"Bagus! bagus sekali! binatang cilik perempuan rendah....
berani benar kalian mengikat janji.... rupanya kalian punya
hubungan gelap...." Tiba-tiba Kiu-im Kaucu tertawa, dia menyindir lagi.
Pek Kun-gie, kalau engkau tidak sadar terus, rumah tangga
orang yang bahagia segera akan berantakan.
Tio Sam-koh terkesiap, pikirnya, "Benar juga perkataan itu!
kecantikan perempuan rendah itu luar biasa, ia mati-matian
memikat Seng ji, sedang bocah keparat itu rupanya sudah
terpikat oleh kecantikannya, sekarang masih bisa dicegah
hubungan itu karena Siau Ih masih hidup, tapi setelah Siau Ih
mati dan binatang ini tak ada yang urus, dengan ilmu silatnya
yang ampuh siapa lagi yang bisa menghalangi hubungan
cintanya" Hong ji jujur dan berhati lemah tak mungkin ia bisa
kendalikan tingkah pola suaminya, sekalipun Kiu-tok Sianci
munculkan diri belum tentu ia mampu kalahkan binatang itu....
bukankah rumah tangga yang ba hagia benar-benar akan jadi
berantakan?" Sementara itn Pek Kun-gie sedang berbisik dengan sedih.
"Katakanlah! sepuluh" delapan tahun" sekalipun sepanjang
masa aku hanya menanti jawabanmu, aku segera menantikan
kedatangan mu dirumah."
Air mata bercucuran membasahi wajah Hoa Thian-hong,
sahutnya, "Gi! engkau harus tahu keadaanku, aku"
"Bagus bagus sekali!" pikir Tio Sam-koh dihati, "binatang
binatang terkutuk! rupanya engkaupun menaruh hati
kepadanya, perasa an tersebut tak berani kau perlihatkan
karena desakan keadaan. Hmm kalau suatu hari keadaan telah
berubah, apa saja yang dapat kau lakukan?""
Dengan sorot mata berapi-api dan penuh pancaran cahaya
nafsu membunuh, nenek tua itu putar toya dan menerjang
kembali. Hoa Thian-hong terkesiap, dia maju dan menghadang
didepan Pek Kun-gie, serunya sambil tertawa paksa, "Sam
popo....!" "Tutup mulut! aku tahu kalau Pek Kun-gie kubunuh maka
selamanya engkau akan membenci diriku."
"Seng ji tak berani membenci Sam po po" bisik Hoa Thianhong
dengan air mata bercucuran.
Tidak sempat pemuda itu selesaikan perkataannya, Tio
Sam-koh telah menukas, "Kalau mau membenci silaukan
membenci, aku adalah sahabat ibumu, dengan mata kepala
sendiri aku lihat Hong ji kawin dengan kau. Hmm! seorang
lelaki ingin kawin dua kali" Kemana larinya tanggung jawab
mu" Untuk selamatkan keluarga Hoa, kehidupan Hong ji dan
nama baik kita semua, ini hari aku bersumpah akan bunuh Pek
Kun-gie sampai mampus, sekalipun kau akan membenci aku,
aku tak ambil perduli.... pokoknya Pek Kun-gie tak bakal hidup
tinggalkan tempat ini!"
Hoa Thian-hong amat terperanjat, peluh dingin membasahi
tubuhnya, sekarang ia telah paham apa sebabnya Tio Samkoh
berkeras akan membunuh Pek Kun-gie, rupanya tidak lain
tidak bukan dia ingin melindungi nama baik keluarga Hoa.
Dalam pada itu, Tio Sam-koh telah putar toya sambil
menubruk maju, dengan muka menyeringgai, bentaknya,
"Ayoh cepat enyah dari sini atau segera putar pedang layani
seranganku, kalau tidak...."
Hoa Thian-hong tercekat hatinya, sambil menghadang
didepan Pek Kun-gie, ia berteriak, "Kun Gie cepat lari...."
Pek Kun-gie dapat merasakan gawatnya situasi, kalau ia
tidak pergi maka Hoa Thian-hong pasti akan melindungi
dirinya dan pemuda itu bakal mampus termakan sapuan toya
Tio Sam-koh, dengan hati perih dan menangis tersedu-sedu
dara itu segera putar badan dan tinggalkan tempat itu.
Tio Sam-koh adalah seorang nenek tua yang benci segala
kejahatan, sejak lama dia sudah mendendam pada anggota
perkumpulan Sin-kie-pang, setelah nafsu membunuhnya
berkobar sukarlah untuk dicegah kembali, melihat Pek Kun-gie
kabur dia segera membentak dan mengejar dari belakang.
Hoa Thian-hong amat terperanjat, cepat-cepat ia mengejar
pula dari belakang. Kiu-im Kaucu tertawa seram, tiba-tiba ia berseru, "Hoa
Thian-hong, mau lari kemana" sambutlah sebuah
seranganku." Weeesss! sebuah sapuan dahsytat segera di lontarkan.
Hoa Thian Hoag sangat membenci akan ketajaman lidah
Kiu-im Kaucu yang selalu menghasut perpecahan diantara
mereka, justru karena hasutannya membuat Tio Sam kob
bersikeras akan bunuh Pek Kun-gie, ia kuatir dara itu bakal
mati termakan hasutan dari Kiu-im Kaucu, sebab watak dari
Tio Sam-koh sudah sangat dikenal olehnya.
Makin dipikir ia semakin gusar, sambil tertawa seram
pedangnya dibacok kedepan.
"Criing....!" benturan keras terjadi, pedang dan toya saling
membentur satu sama lain nya, letupan bunga api
bermuncratan keem pat penjuru, dengan tubuh gemetar keras
mereka sama-sama tergetar mundur satu langkah
Sejak dilahirkan belum pernah Hoa Tniao Hong mengalami
kegusaran seperti hari ini, darah panas dalam dadanya terasa
bergolak keras, dengan penuh kemarahan ia menerjang
kemuka dan bentaknya nyaring, "Sambutlah bacokanku ini!"
Dengan gerakan membacok rata bukit Hoa san, suatu jurus
yang sederhana tapi cepat bagaikan sambaran kilat, pemuda
itu lancarkan sebuah bacokan dahsyat ke arah musuhnya.
Kiu-im Kaucu tak ingin adu tenaga lebih jauh, sebab ia tahu
tenaga dalam pemuda itu tidak berada dibawahnya, tapi
dalam keadaan begitu mau tak mau terpaksa ia harus
menyambut datangnya bacokan dengan jurus menyeberangi
samudra dengan jembatan emas.
"Criing....!" sekali lagi terjadi benturan keras, pedang baja
membacok keras diatas toya kepala setan membuat batu hijau
yang diinjak Kiu-im Kaucu hancur berkeping-keping, sepasang
kakinya terbenam sedalam dua tiga tun.
Dengan kalap Hoa Thian-hong membentak kembali,
"Makanlah bacokanku ini!, makan bacokan ini! makan
bacokan...." Criiing! Criiing! Criing! benturan nyaring berpadu dengan
bentakan kalap menciptkan suara tajam yang memecahkan
kesunyian ditengah malam itu, begitu nyaring suaranya
sampai separuh kota Lok yang jadi gempar dibuatnya.
Sesaat kemudian pintu penginapan terbentang, Chin Wanhong
sambil memayang mertuanya lari ke arah jalan raya.
Tampaklah sepasang kaki Kiu-im Kaucu sudah terbenam
ditanah sebatas lutut, rambutnya terurai lucu, mukanya
menyeringai seram sementara Hoa Thian-hong sambil putar
pedang bajanya membacok tubuh Kiu-im Kaucu dengan kalap,
bentakan-bentakan dahsyat menggelegar tiada hentinya
membuat pemuda itu ibaratnya iblis yang sudah gila.
Pemandangan yang terbentang didepan mata pada waktu
itu benar-benar mendebarkan hati, dua orang jago lihay
dengan putar dua macam senjata yang berbeda saling
membacok dengan dahsyatnya.
Hoa Hujin amat terperanjat, ia tak habis mengerti apa
sebab terjadinya pertarungan itu, meskipun ilmu silatnya
sudah punah, pengalaman dan pengetahuannya bertambah
luas. Dalam sekilas pandangan ia telah mengetahui bahwa posisi
Kiu-im Kaucu masin kuat dan belum kalah, kendatipun
keadaannya sangat mengenaskan, sedang putranya walaupun
berada dipihak penyerang namun sama sekali tidak meraih
keuntungan apa-apa, bila pertarungan seperti ini dilanjutkan
maka akhirnya lebih baik korban jiwa daripada merebut
kemenangan. Chin Wan-hong dengan air mata bercucuran segera
berseru, "Ibu, apa yang telah terjadi?"
Hoa Hujin angkat bahu, tiba-tiba ia membentak keras,
"Seng ji, serang tubuh bagian bawah!"
Sejak kecil Hoa Thian-hong sudah biasa menuruti
perkataan ibunya, meskipun sekarang pikirannya sudah kabur
terpengaruh hawa amarah namun pendengarannya masih
tajam. Mendengar seruan terebut, tanpa berpikir panjang lagi
pedangnya segera berputar menyapu tubuh bagian bawah
dari Kiu-im Kaucu. Ketua dari perkumpulan Kiu-im Kaucu ini membentak
nyaring, tiba-tiba toyanya disilang kebawah.... Traaang! sekali
lagi terjadi ben trokan nyaring, nenek tua segera loncat naik
keudara dan menggunakan daya pantul tersebut badannya
meleset sejauh empat tombak dari tempat semula.
Hoa Thian-hong melotot besar, dengan sinar berapi-api ia
memburu kedepan dengan langkah lebar.
"Engkoh Hong, jangan dikejar! jerit Chin Wan-hong sambil
menangis. Kiu-im Kaucu sendiri tanpa mengucapkan sepatah katapun
segera berlalu dari sana sambil menyeret toya kepala
setannya, suara gemerincingan yang nyaring mengiringi
langkahnya yang sempoyongan.
Meskipun langkahnya lambat, Hoa Thian-hong jauh lebih
lambat lagi, ternyata pemuda itu tak mampu menyusul
lawannya.

Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itulah Tio Sam-koh muncul dari seberang jalan,
ketika mereka berpapasan nenek she Tio itu dengan muka
hijau membesi dan amat tak sedap dipandang segera
melancarkan satu serangan keatas kepala Kiu-im Kaucu.
Atas datangnya ancaman itu Kiu-im Kaucu sana sekali tak
berkutik, menanti toya baja hampir mengenai kepalanya dia
baru tarik senjatanya untuk menangkis.
Traaang....! benturan nyaring memekikkan telinga, Tio
Sam-koh merasa telapak tangannya jadi pecah, toya baja
mencelat keudara dan jatuh diatas atap rumah.
Tio Sam-koh tertegun, ketika Kiu-im Kaucu lewat disisinya
dengan sempoyongan ia tak tahu musti mengejar atau
menghindar. Hoa Hujin dengan alis berkernyit segera berseru kepada
menantunya, "Luka dalam yang diderita Seng ji amat parah,
cepat bimbing dia pulang kepenginapan!"
Buru-buru Chin Wan-hong menyusul kedepan, sambil
memayang suaminya ia berbisik lembut, "Engkoh Hong, ibu
suruh kau kembali, tak usah dikejar lagi!"
Hoa Thian-hong terperangah, ia lirik sekejap ke arah Tio
Sam-koh lalu putar badan dan kembali kepenginapan.
Demikianlah, dibawah bimbingan istrinya, Hoa Thian-hong
kembali kedalam kamar, Hoa Hujin dan Tio Sam-koh
mengikuti dibelakangnya, lewat sesaat Siau Ngo-ji muncul
pula sambil memikul toya nenek Sam popo nya, semua orang
membungkam dan suasana amat sunyi.
Chin Wan-hong Sangat menguatirkan keselamatan
suaminya, lama kelamaan habislah sabarnya, ia segera
berbisik lembut kepada suaminya, "Engkoh Hong, cepatlah
semedi dan atur pernapasan, luka dalammu sangat parah,
kalau tidak diobati maka luka itu akan semakin parah!"
Hoa Thian-hong mengangguk, tapi ia tetap tak berkutik dari
tempat semula. Chin Wan-hong memelelehkan air matanya, ia berpaling ke
arah mertuanya dan berharap Hoa Hujin yang suruh pemuda
itu duduk bersemedi. Hoa Hujin kerutkan dahinya rapat-rapat, setelah hening
sebentar akhirnya sambil tertawa ia berkata, "Sam-koh,
menang kalah adalah kejadian yang umum bagi kita orang
persilatan, ceritakanlah apa yang telah terjadi?"
"Pek Kun-gie telah mampus diujung toya ku!" teriak Tio
Sam-koh dengan penuh kegusaran.
Paras muka Hoa Hujin dan Chin Wan-hong berubah hebat,
lebih-lebih gadis she Chin, sambil menjerit kaget tubuhnya
gemetar keras. Tiba-tiba Hoa Thian-hong berseru tertahan, ia muntah
darah segar hingga seluruh tubuhnya basah oleh darah....
Chin Wan-hong semakin ketakutan, ia segera
menggunakan secarik kain untuk menyeka noda darah diujung
bibir suaminya, bibir bergetar seperti mau mengucapkan
sesuatu namnn tak sepatah katapun yang sanggup di
utarakan keluar. Rupanya ketika Siau Ngo-ji belum kembali juga, semua
orang merasa kuatir dan segera menyuruh Hoa Thian-hong
mengamati dari atas atap rumah sekalian meronda disekitar
sana untuk mencegah ada musuh menyusup masuk.
Baru saja pemuda itu meronda, tiba-tiba dia saksikan Kiuim
Kaucu menyergap Pek Kue Gie, ia segera menburu
ketempat kejadian un tuk memberi pertolongan.
Siau Ngo-ji sendiri setelah lari kembali kepenginapan,
segera menceritakan kejadian itu kepada semua orang, Tio
Sam-koh ingin melihat keadaan dan ikut keluar rumah, siapa
tahu malah terjadi kejadian seperti diatas, karena itu Hoa
Hujin berdua yang tinggal dikamar sama sekali tak tahu apa
yang sudah terjadi. Sekarang ketika Hoa Hujin mendengar laporan yang
mengatakan bahwa Tio Sam-koh telah membunuh Pek Kungie
dan dari sikap dan gerak-geriknya yang gusar sama sekali
tak menunjukkan kebohongannya, segera mengira apa yang
dikatakan benar-benar telah terjadi, sambil berusaha tetap
tenang diapun berkata, "Kalau toh sudah dibunuh yaaa
sudahlah, dua puluh tahun terakhir memang ada delapan
sembilan puluh persen jago dari golongan lurus dan sesat
yang telah mampus, mereka yang takdir harus mampus
akhirnya tetap mampus, yang harus hidup tetap akan hidup,
mereka yang sudah mati tak akan bangkit kembali, buat apa
kita pusing memikirkan persoalan ini?"
"Siapa yang bilang aku pusing?" teriak Tio Sam-koh penuh
kemarahan. "Sam popo, sudahlah jangan bicara lagi!" pinta Chin Wanhong
dengan sedih. "Hnm aku senang bicara, siapa yang berani melarang aku?"
Hoa Hujin tertawa paksa. "Nenek tua, toh tak ada orang yang bilang perkataanmu
salah, buat apa musti berteriak-teriak?"
Kepada putranya ia melanjutkan, "Aku tahu Pek Kun-gie
mencintaimu, kalau dibicarakan dia memang patut dikasihani
apalagi kedatangannya pada malam ini adalah untuk memberi
kabar buruk untukmu pergilah untuk urusi layonnya dan
simpan dalam kuil, aku rasa orang-orang dari Sin-kie-pang
pasti akan mengangkutnya kembali ke bukit Toa pa san."
"Ibu....!" pinta Chin Wan-hong dengan alis mata
bercucuran, "bagaimana kalau kita angkut kembali ke
perkampungan Liok Soat Sanceng dan dikubur dalam kuburan
keluarga kita?" "Tak mungkin, pertama tak cocok dengan adat istiadat dan
kedua Pek Siau-thian belum tentu setuju!"
Perlahan-lahan Hoa Thian-hong bangkit berdiri, bisiknya
dengan suara kaku, "Ananda segera pergi!"
Ia putar badan dan melangkah ke pintu.
"Gelinding kembali!" tiba-tiba Tio Sam-koh membentak
nyaring. Hoa Thian-hong kembali kehadapan nenek tua itu sambil
bertanya, "Sam popo masih ada pesan apa?"
Dari sikapnya yang kaku dan suaranya yang kosong dan
hampa, Chin Wan-hong tahu bahwa suaminya amat sedih
hingga kelewat batas, ia jadi murung sekali, kepada Hoa Hujin
pintanya, "Ibu, bolehkah aku menemani engkoh Hong?"
Hoi hujin berpikir sebentar, lalu mengangguk, "Baiklah,
hati-hatilah dijalan dan hadapi semua urusan dengan
seksama!" Tiba-tiba Tio Sam-koh tertawa dingin, katanya, "Pek Kungie
belum mampus! ketika aku mengejar dan beri sebuah
babatan, sayang babatan itu tidak mengena disasaran....
Haaah.... haaah sayang! sayang! haaah.... haah.... itulah
balasannya!" Sekujur badan Hoa Thian-hong bergetar keras, matanya
melotot bulat dan menatap Tio Sam-koh tanpa berkedip.
oooooOooooo 67 "SAM POPO!" rengek Chin Wan-hong dengan sedih, "aku
tahu engkau paling sayang Hong ji, tapi bagaimana keadaan
Pek Kun-gie" apa yang musti disayangkan" apa pula yang kau
artikan sebagai balasannya, Sam popo, berilah keterangan
yang jelas!" Tio Sam-koh tertawa dingin.
"Heeeh.... heeeh.... heeeehh.... pukulan toyaku meleset dari
sasaran, apakah aku tak patut merasa sayang" soal balasan....
haaah.... haaah.... lebih baik tak usah dibicarakan lagi."
"Hey nenek tua, kau ikut jadi edan?" tegur Hoa Hujin.
"Hmm! jadi kalian ingin tahu?"
"Benar! persoalan ini menyangkut masalah besar, tentu
saja kami ingin tahu."
Tio Sam-koh tertawa seram.
"Heeh.... heeh.... heeeh.... baiklah, aku akan beritahukan
kepada kalian, Pek Kun-gie telah lolos dari ayunan toyaku dan
dia ditawan orang lain"
"Ditawan siapa?" tanya Hoa Hujin keheranan.
"Pia Leng-cu!" Paras muka Hoa Hujin berubah hebat, hatinya jauh lebih
bergetar daripada mendengar berita kematian Pek Kun-gie.
Tiba-tiba Hoa Thian-hong sempoyongan, sekali lagi ia
muntah darah segar. Chin Wan-hong merasakan hatinya sakit bagaikan di irisiris,
cepat ia bimbing suaminya dan merengek, "Engkoh Hong,
engkau harus jaga diri, memandang diatas wajah ibu, kau
harus jaga diri!" Setelah berhenti sebentar, lanjutnya, "Ibu perkumpulan
Thong-thian-kauw boleh dikata hancur ditangan Pek Siauthian,
apalagi Pia Leng-cu berhasil tangkap Pek Kun-gie, dara
itu pasti akan dibunuh...."
"Kalau dibunuh sih tak perlu dikuatirkan!" kata Hoa Hujin
sambil menghela napas panjang, "yang kutakuti justru...."
"Lalu bagaimana sekarang?" seru Chin Wan-hong pula
dengan murung, tiba-tiba ia sadar apa yang dimaksudkan
sebagai kejadian yang menakutkan itu, anggota badannya jadi
dingin dan tubuhnya gemetar keras.
"Aaai!" Hoa Hujin menghela napas panjang, "dendam
kesumat antara kedua belah pihak amat dalam, kecantikan
Pek Kun-gie kelewat batas, sebagai siluman dari Thong-thiankauw
yang merupakan kawanan manusia cabul, aku takut
kalau Pia Leng-cu...."
"Ibu" tiba-tiba Chin Wan-hong berlutut dengan air mata
bercucuran. Hoa Hujin kembali menghela napas panjang.
"Katakanlah, kalau ingin bicara asal tidak melanggar
kebiasaan umum dan bertentangan dengan perbuatan
seorang kesatria, aku pasti akan ijinkan!"
Tio Sam-koh melotot bulat, dengan gusar selanya, "Siau Ih!
apa maksud perkataanmu itu" engkau bilang perbuatanku
telah melanggar kebiasaan umum dan bertentangan dengan
perbuatan seorang kesatria?"
"Sam-koh, jangan ribut dahulu," sahut Hoa Hujin sambil
tertawa, "sekarang dihadapan anak-anak akan kukatakan
sesuatu hal untuk menghilangkan rasa curiga yang mencekam
hatimu" "Katakan!" seru Tio Sam-koh sambil tertawa dingin.
Air muka Hoa Hujin berubah jadi amat serius, katanya,
"Kecantikan Pek Kun-gie ibaratnya bidadari yang turun dari
kayangan, dia merupakan incaran dari setiap pria dan pemuda
di dunia, Hong ji berbakti dan jujur, dia adalah contoh
menantu yang paling baik, sedang aku Bun Siau-ih belum
tua...." "Maksudmu aku Tio Sam-koh sudah tua reyot dan tak
berguna lagi"! tukas nenek itu marah.
Hoa Hujin tersenyum, dengan serius lanjutnya, "Nenek tua,
ringkasnya saja aku katakan, keluarga Hoa dapat memperoleh
Hong ji sebagai menantu, kejadian ini merupakan sesuatu
yang beruntung bagi keluarga kami dan aku Bun Siau-ih sudah
merasa amat puas serta tidak mengharapkan apa-apa lagi,
kau anggap aku bisa sia-siakan dirinya?"
Semua orang membungkam dalam seribu bahasa, sebab
perkataan itu bukan saja tegas bahkan meyakinkan.
Walaupun ilmu silat yang dimiliki Hoa Hujin sudah punah,
tapi kegagahan serta jiwa kesatrianya masih merupakan
lambang kebenaran bagi kaum lurus didunia persilatan, ia tak
akan bicara sembarangan. mencemooh orang dengan
seenaknya atau memuji seseorang tanpa dasar yang kuat,
kejujuran serta keterbukaannya ini sangat dikagumi dan
dihormati umat persilatan dan apa yang dikatakan tegar
bagaikan emas. Oleh sebab itulah walaupun Tio Sam-koh seorang jago
yang berwatak keras, akan tetapi hatinya takluk dan kagum
sekali terhadap jago wanita itu.
Chin Wan-hong terharu sekali hingga air mata bercucuran,
sapanya lirih, "Ibu...."
"Bangunlah, mari kita bicarakan lebih jauh!" ujar Hoa Hujin
lembut. Tio Sam-koh segera berpaling dan melotot gemas ke arah
Hoa Thian-hong, katanya ketus, "Hey, mengertikah engkau
dengan kata yang berbunyi, Ibu bijaksana istri setia" keluarga
Hoa bukan keluarga kecil yang kampungan, engkau harus
sadar akan hal ini."
"Selamanya Seng ji selalu cinta dan hormat kepada enci
Hong" sahut Hoa Thian-hong.
"Kalau memang begitu, kularang engkau mencintai orang
lain!" hardik Tio Sam-koh.
Melihat suaminya dibuat tersipu-sipu, Chin Wan-hong
segera menukas, "Meskipun Pek Kun-gie berasal dari
keturunan gerombolan persilatan, tapi dia pribadi adalah
seorang gadis yang suci bersih...."
"Jangan memuji musuh! kembali Tio Sam-koh memotong
dengan nada geram. Chin Wan-hong tertegun, ketika dilihatnya paras muka
mertuanya tetap wajar, ia memberanikan diri dan berkata lagi
kepada diri Tio Sam-koh, "Sam popo, walaupun Pek Kun-gie
berasal dari lumpur namun ia sendiri sama sekali tidak
ternoda, dia benar-benar seorang nona yang luar biasa,
andaikata orang lain yang menggantikan kedudukannya,
mungkin sedari dulu-dulu mereka sudah terjerumus kedalam
lembah kenistaan!" "Goblok! engkau lupa, ketika untuk pertama kalinya dia
menyiksa dan menganiaya Seng ji" Hmmm! sampai matipun
aku tak akan melupakan kejadian ini"
"Siksaan terjadi karena cinta, dia hanya ingin paksa engkoh
Hong untuk tunduk kepadanya dan sama sekali tiada maksud
mencelakainya, seorang manusia sejati tak akan mengingat
dendam lama, seorang kesatria tak akan mengingat masalah
yang sepele, buat apa kita ingat kejadian yang sudah
lampau?" Sorot matanya dialihkan keatas wajah Hoa Hujin, kemudian
melanjutkan, "Ibu, keluarga kita terkenal karena dasar hidup
kita adalah kebajikan dan kebenaran, karena itu engkoh Hong
disegani dan dihor mati rekan-rekan persilatan, kalau kita
biarkan Pek Kun-gie terjatuh ke tangan Pia Leng-cu tanpa
berusaha ditolong, umat persilatan pasti akan mentertawakan
kita." "Bodoh amat budak ini!" pikir Tio Sam-koh dihati, "dia
hanya tahu mencari muka di hadapan suaminya, apa tak
terpikir olehnya bagaimana akibat dari perbuatannya itu?"


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam keadaan terdesak, tiba-tiba dia lihat Siau Ngo-ji
duduk terpekur disudut ruangan dengan wajah melongo,
dengan gusar dan gemas ia segera mengerling sekejap ke
arahnya. Melihat kerlingan itu, Siau Ngo-ji putar biji matanya dan
diam-diam melirik sekejap ke arah Hoa Hujin.
Dengan ilmu menyampaikan suara, buru-buru Tio Sam-koh
berbisik, "Jangan kuatir, kalau punya akal setan utarakan
keluar, kalau ada apa-apa akulah yang akan bertanggung
jawab!" Mendengar bisikan itu, Siau Ngo-ji segera berteriak keras,
"Aduuh.... enso!.... aduh...."
"Ada apa"! tanya Chin Wan-hong tercengang.
Dengan muka panik dan penuh kegelisahan Siau Ngo-ji
berseru, "Isi perut toako mengalami luka yang sangat parah,
kenapa tidak kau buatkan obat agar bisa dia minum?"
"Tiada obat yang lebih baik...."
"Ah, luka yang kuderita cuma luka kecil! tukas Hoa Thianhong
dengan cepat" asal beristirahat sebentar tentu akan
sembuh dengan sendirinya, tak usah minum obat lagi!"
Selesai berkata, ia lantas duduk di kursi dan mulai
mengatur pernapasan untuk menyembuhkan luka tersebut.
Sebaliknya Siau Ngo-ji masih tetap ngotot dengan
pendiriannya, dengan muka serius dia berkata lagi, "Duduk
bersemedi sambil atur pernapasan memang penting tapi
minum obatpun merupakan hal yang penting juga"
"Betul!" Sambung Tio Sam-koh dengan cepat, "itu namanya
pengobatan luar dalam, dengan begitu pastilah luka yang
diderita akan sembuh dengan lebih cepat lagi"
"Dewasa ini musuh tangguh sedang mengitari kita dan
toako adalah jenderal perang kita, "Enso! lebih baik cepatcepatlah
buatkan obat agar kesehatan toako segera pulih
kembali seperti sedia kala"
"Baik, baik aku segera akan membuatkan obat baginya"
jawab Chin Wan-hong dengan gugup.
Buru-buru ia lari ke tepi pembaringan, membuka
buntalannya dan membuat obat mujarab.
Sebenarnya gadis ini sudah mempersiapkan serangkaian
penjelasan, permohonan serta cengli-cengli yang
menerangkan bahwa Hoa Thian-hong harus segera berangkat
untuk menolong Pek Kun-gie tetapi setelah dipotong oleh Siau
Ngo-ji dengan teriakan-teriakannya maka persoalanpun untuk
sementara waktu jadi tertunda.
Hoa Hujin sendiri pun bukan manusia sembarangan, dalam
hati diapun sudah mempunyai perhitungan sendiri mengenai
kejadian tersebut, akan tetapi berhubung jejak Pia Leng-cu
sukar ditemukan dan diapun menyadari betapa sulitnya
pekerjaan menolong orang ini maka apa yang dipikir hanya
disimpan dalam hati dan tak sampai diutarakan keluar.
Dalam pada itu, Chin Wan-hong telah mengambil sebutir
obat ditambah lagi dengan beberapa macam rumput obat
setelah ditumbuk semua jadi bubuk maka hancuran bubuk
tersebut digilas menjadi serbuk halus.
Siau Ngo-ji yang nakal diam-diam menyelinap ke samping
ensonya kemudian berbisik lirih, "Enso, banyak bicara pasti
akan ketahuan boroknya inilah penyakitku yang paling parah"
"Kenapa?" tanya Chin Wan-hong keheranan.
"Engkau adalah menantu yang belum lama mengalami
malam pengantin, selama berada didepan mertua lebih baik
banyak kerja kurangi bicara, meskipun tidak mengharapkan
jasa, paling sedikit tidak pula merugikan diri sendiri, terutama
dalam masalah Pek Kun-gie, alangkah baiknya kalau engkau
berdiam diri, jangan kau urusi apa yang akan toako lakukan,
daripada mencari penyakit bagi diri sendiri dikemudian hari.
"Tapi Pek Kun-gie adalah seorang nona yang sangat baik"
bisik Chin Wan-hong. "Ssstt jangan keras-keras!" desis Siau Ngo-ji sambil
tempelkan jari tangannya di bibir, "di kolong langit memang
banyak nona yang baik, tapi enso baik kepada toako belum
tentu baik kepadamu"
"Ah masa iya, kalau baik pada toako tentu baik pula
kepadaku!" "Aduuh enso, janganlah berlagak bodoh!" seru Siau Ngo-ji
dengan cepat, "kalau ada sebiji kue, alangkah baiknya kalau
dinikmati sendiri, kenapa mesti kau bagikan untuk orang lain?"
Diam-diam Chin Wan-hong tertawa geli, dia tidak
menggubris obrolan bocah itu lagi, sambil membawa cawan
air teh dan obat yang baru dibuat ia menghampiri suaminya.
Siau Ngo-ji yang konyol segera berseru keras, "Toako,
ketahuilah langit biar besar bumi biar lebar, yang penting
umur kita biar paling panjang, usia bibi paling panjang, usia
mu nomor dua dan cepat-cepatlah minum obat lantas naik
pembaringan dan tidur...."
Hoa Thian-hong tidak berbicara apa-apa, ia terima obat itu
dan sekali teguk menghabiskan isinya, kepada istrinya diamdiam
ia lempar sebuah kerlingan penuh rasa terima kasih.
Chin Wan-hong balas mengerling sekejap ke arah
suaminya, dibalik sorot matanya yang lembut penuh berisikan
pengertian yang mendalam.
Sepasang suami istri ini saling berpandangan menggantikan
ucapan, apa yang dibicarakan pun persoalan yang
menyangkut diri Pek Kun-gie, walaupun Siau Ngo-ji cerdik dan
banyak akal tentu saja sebagai bocah tentu saja ia tak akan
menduga sampat ke situ. Setelah menerima mangkuk obat yang kosong, Chin Wanhong
kembali ke tepi pembaringan, kepada Hoa Hujin bisiknya
lirih. Ibu, menolong orang ibarat menolong kebakaran,
persoalan ini tak dapat ditunda-tunda lagi.
Mendengar bisikan itu, Tio Sam-koh semakin panik, dengan
mendongkol ia lantas melotot ke arah Siau Ngo-ji.
"Bocah setan! Ide setan apa lagi yang telah kau usulkan?"
"Aku tidak mengemukakan ide apa-apa!" jawab Siau Ngo-ji
dengan gugup. Tio Sam-koh semakin gusar.
"Huh! Aku lihat kau berkemak-kemik disisi telinga Hong ji,
kemudian Hong ji berkemak-kemik pula disamping telinga
ibunya kalau bukan engkau yang keluarkan usul, lantas siapa
lagi?" Dengan gemas ia ayun telapak tangannya siap
menggaplok. Siau Ngo-ji jadi ketakutan, dia lari kedepan dan
bersembunyi dibelakang Chin Wan-hong.
"Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan aku" serunya
dengan gelisah. Pada saat itulah dari luar pintu terdengarlah suara langkah
kaki orang, disusul pelayan mengetuk pintu.
"Sam po po, ada urusan penting!" Siau Ngo-ji segera
berseru. Ia lari keluar dan membuka pintu, kemudian bocah itu
muncul kembali sambil membawa secarik kertas, sambil
diangsurkan kedepan Tio Sam-koh ujarnya lirih, "Surat ini
ditulis Ko toako, silahkan Sam po po membaca lebih dulu."
Tio Sam-koh mendengus dingin, dia sambar kertas tadi dan
dibaca isinya, "Kiu-im Kaucu telah mengundurkan diri keluar kota,
sekarang ia bercokol diatas sebuah perahu pembesar, anak
buahnya dalam perahu itu banyak sekali, belum jelas apa
rencana selanjutnya. tertanda: Ko Tiay." Selesai membaca isi surat itu, Hoa Hujin lantas tertawa dan
berkata, "Wah, kalau pihak lawan mau turun tan an disungai,
keadaan jadi makin serius!"
"Toako, bagaimana dengan ilmu berenangmu?" tanya Siau
Ngo-ji. "Kalau dipaksakan sih masih mampu! Aku sendiripun kalau
dipaksakan masih mampu, tapi bagaimana dengan Sam po
po?" Tio Sam-koh tertawa dingin.
"Heeeh.... heehh.... heehh.... aku nenek tua tak dapat
dibandingkan dirimu, aku adalah ayam daratan, sekali
tercebur kedalam air lantas tenggelam!"
"Aku juga begitu!" seru Siau Ngo-ji lagi, terapung cuma
sebentar lalu tenggelam kedalam air, bagaimana dengan
enso?" "Aku sama sekali tak mampu" jawab Chin Wan-hong
dengan wajah murung bercampur kesal.
Setelah berhenti sebentar, sambungnya kembali, "Arus di
sungai huang-ho amat deras, celaka kalau pihak musuh
melubangi dasar perahu setelah kita berada ditengah sungai,
dalam keadaan begitu perahu kita pasti tenggelam, sekalipun
Hoa toako punya kepandaian yang lihay belum tentu dia
mampu melindungi kita semua"
Kalau kita tak berani menyeberangi sungai, memangnya
kita harus bercokol terus di sini?" sela Tio Sam-koh dengan
berangnya. "Kawanan manusia itu terlalu menghina orang!" seru Hoa
Thian-hong pula dengan marah, aku ingin sekali memberi...."
Tiba-tiba ia menengok ke arah ibunya dan membungkam.
"Pihak musuh jauh lebih kuat daripada kita, menurut
pendapatku alangkah baiknya kalau sementara waktu kita
hindari pertarungan dengan kekerasan" ujar Hoa Hujin.
Sesudah berpikir sebentar, ia melanjutkan, "Bagaimana
dengan lukamu?" "Luka ananda tak berapa, ibu tak usah menguatirkan!"
"Dengan daya diriku sebagai beban, memaksakan diri untuk
menyeberangi sungai adalah suatu tindikan yang terlalu
menempuh bahaya, kalau kita pindah kedermaga lain, rasanya
keadaanpun tak akan jauh berbeda, satu-satunya jalan yang
bisa kita tempuh seka rang adalah berdiam dulu disini untuk
beberapa saat, kemudian baru mencari akal lain"
"Tapi kita musti berdiam disini sampai kapan?" seru Tio
Sam-koh dengan cepat. Hoa Thian-hong tertawa. "Bagaimanapun toh kita tak ada urusan, apa salahnya kalau
kita ajak pihak musuh untuk beradu kepandaian sampai pada
akhirnya?" Kepada Hoa Thian-hong ujarnya pula, "Untuk sementara
waktu kita tak usah menentukan jadwal pemberangkan,
sekarang pergi sambangi dulu engkoh cilik she Ko itu
kemudian baru selidiki lagi kekuatan pihak lawan, setelah
mendapat pelajaran tadi aku pikir Kiu-im Kaucu serta orangorang
dari Mo-kauw tak akan berani datang lagi, selidikilah
jejak musuh dengan secermat mungkin, engkau tak usah
terburu-buru pulang kesini"
Siau Ngo-ji yang cerdik segera tergerak hatinya sesudah
mendengar perkataan itu, pikirnya, "Aaah, tidak benar, dibalik
ucapan tersebut rupanya mengandung maksud lain, bukankah
terangkan hujin suruh toako selidiki jejak dari Pia Leng-cu
serta menyelamatkan Pek Kun-gie?"
Berpikir sampai disitu, dia lantas menimbrung dari samping,
"Kalau toako hendak menyambangi Ko toako, ajaklah aku!
akan kutunjukkan tempat tinggalnya"
"Siau Ngo-ji tak usah ikut, lebih baik kau berdiam saja
dirumah penginapan!" seru Hoa Hujin kembali, "mulai besok
kau harus belajar membaca dan menulis, siang hari waktu
senggang boleh membicarakan soal ilmu silat, jangan kau
pedulikan urusan lain lagi, baik situasi gawat atau aman,
tugasmu hanya belajar membaca dan menulis!"
Agak tertegun Siau Ngo-ji setelah mendengar perkataan
itu, kemudian dengan alis berkenyit dan muka masam
serunya, "Oooh bibiku yang baik, bagi seorang ahli silat asal
kenal tulisan toh sudah lebih dari cukup!"
"Bagi seorang lelaki sejati, kalau tak bersekolah mana
mungkin bisa mengatasi masalah besar, Sengji! kau boleh
berangkat" kata Hoa Hujin dengan serius.
Hoa Thian-hong segera mengiakan, setelah memberi
hormat kepada ibunya dan Tio Sam-koh, berangkatlah
pemuda itu tinggalkan ruang penginapan.
Siau Ngo-ji adalah seorang bocah gelandangan yang sejak
kecil sudah hidup terlunta-lunta ditengah jalan raya, karena
penghidu pannya itu maka perkembangan jiwapun
terpengaruh oleh lingkungannya, ia hanya tahu apa artinya
budi dan setia kawan, tapi tak tahu arti kasih sayang, ia
menyayangi Chin Wan-hong karena gadis itu memperha tikan
dirinya, karena itu dia kuatir kalau Hoa Thian-hong
menggunakan kesempatan itu pergi menolong Pek Kun-gie.
Hanya saja karena berani dihadapan Hoa Hujin, maka ia tak
berani bertindak semaunya sendiri.
Ketika dilihatnya Hoa Thian-hong sudah berlalu, buru-buru
ia mengerling ke arah Tio Sam-koh dan mengharapkan
bantuan dari nenek itu untuk menghalangi kepergian
toakonya. Siapa tahu Tio Sam-koh adalah seorang jago perempuan
yang bersifat blak-blakan, sudah tentu ia tak mengerti apa
maksudnya kerlingan tersebut, setelah tertegun sebentar
akhirnya aengan gusar dia menegur, "Eh setan cilik, mau apa
kau kerling sana melirik kesini" Mau main setan dengan aku"!"
Siau Ngo-ji dibikin serba salah jadinya, dalam keadaan
begini mau tertawa susah mau menangispun tak dapat,
kembali ia putar biji matanya kemudian berseru, "Oh iya, aku
lupa mengatakan sesuatu kepada toako"
Sambil berseru ia lantas lari keluar kepintu.
"Siau Ngo-ji, apa yang hendak kau katakan kepada
toakomu"!" tegur Hoa Hujin.
"Aku mau beritahu kepada toako, dimana Ko toako
sekarang berada!" sahut bocah itu sambil berpaling.
"Coba katakan dulu, dia ada dimana?"
"Di See su...."
"Kau keliru!" jawab Hoa Hujin sambil tertawa, "saat ini ini
pasti ada ditepi sunngai, ayoh cepat naik pembaringan dan
tidur!" Siau Ngo-ji garuk-garuk kepalanya yang tak gatal lalu
menjawab, "Ooh iyaayaa.... semestinya dia ada ditepi sungai,
maklum! pikiranku lagi kalut sehingga tak sempat berpikir
panjang" Dalam pada itu, Hoa Thian-hong sendiri sepeninggalnya
dari rumah penginapan segera melayang naik keatas atap
rumah dan bergerak menuju kepintu kota sebelah utara,
sepanjang perjalanan tiada hentinya ia berpikir.


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ibu adalah seorang pendekar wanita yang berjiwa besar,
memandang diatas wajah Pek hujin sudah pasti ia setuju kalau
kutolong Pek Kun-gie dari ancaman maut, yang paling
mengagumkan adalah enci Hong, ia berjiwa besar dan berhati
welas, bukan saja melupakan sekali pengalaman pahitnya
dimasa lampau, malahan ia bantu bicara untuk kebaikan Kun
Gie." Menyusul diapun berpikir lagi, "Bagai manapun juga aku
harus memburu kesana dan memolong Kun Gie hingga lolos
dari mara bahaya, bagaimanapun juga tujuanku hanya
menolong orang, asal dia bisa diselamatkan dan kuantar
kembali kegunung, awan hitam yang menyelimuti angkasapun
akan buyar dengan sedirinya."
Berpikir sampai disitu, diapun sudah tiba dipintu kota
sebelah utara, ditengah kesunyian yang mencekam, tiba-tiba
pemuda itu mendengar ada suara panggilan yang merdu
berkumandang datang, "Thian-hong!"
Hoa Thian-hong terperanjat dan segera menghentikan
langkah kakinya, cepat ia berpaling ke arah mana berasalnya
suara panggilan itu. Disebelah barat adalah sebuah bangunan loteng yang
tinggi, jendela yang mungil perlahan-lahan terbentang lebar,
dibawah cahaya lampu tampaklah seraut wajah cantik
munculkan diri didepan mata.
Dengan ketajaman mata Hoa Thian-hong, hanya sekilas
memandang ia segera kenali perempuan itu sebagai Giok
Teng Hujin, hatinya berdetak keras dan untuk sesaat ia agak
gelagapan. Sementara itu Giok Teng Hujin telah menggape ke arahnya
sambil berbisik lirih, "Ayoh kemarilah, masa kau bisa kutelan?"
Terpaksa Hoa Thian-hong harus keraskan hati dan
meloncat keatas loteng, katanya, "Cici, mau apa disitu" Saat
ini siaute masihb ada urusan penting yang harus segera
diselesaikan...." "Periksa dulu sekitar tempat ini, kalau tak ada orang cepat
masuk kemari, kita berbicara didalam saja!" pinta Giok Teng
Hujin. Hadiah Leng-ci dari perempuan ini bukan saja telah
memunahkan racun teratai Tan hwe tok lian yang bersarang
ditubuh Hoa Thian-hong, bahkan selama berlangsungnya
pertarungan sengit dilembab Cu-bu-kok, sisa Leng-ci mujarab
itu sudah menyelamatkan pula jiwa Suma Tiang-cing, Bong
Pay serta Chin Giok-liong, itu berarti pemuda tersebut sangat
berhutang budi terhadap dirinya.
Sebaliknya perempuan itu menaruh rasa cinta yang
membara terhadap si anak muda itu, rasa cintanya yang
begitu besar membuat perempuan tersebut rela berbuat apa
saja dengan pemuda kekasihnya ini.
Hoa Thian-hong yang sadar bahwa ia berhutang budi
kepadanya, tak berani menampik atau menegur tingkah laku
perempuan ini, oleh sebab itulah di hari-hari biasa dia takut
sekali kalau berjumpa dengan gadis ini.
Dan sekarang jalan perginya sudah terhadang, dalam
keadaan demikian sulitnya bagi Hoa Thian-hong untuk
meloloskan diri. Dengan muka berseri Giok Teng Hujin melirik sekejap ke
arah pemuja itu, kemudian omelnya, "Eeh.... kenapa berdiri
melongo terus disitu" ayoh cepat menggelinding masuk
kemari" Hoa Thian-hong angkat bahunya, dengan perasaan apa
boleh buat, terpaksa ia menerobos masuk kedalam jendela.
Giok Teng Hujin tersenyum manis, setelah pemuda itu
masuk maka jendelapun ditutup rapat-rapat.
Tempat itu adalah sebuah kamar tidur dari kaum gadis,
pembaringan terbuat dari gading dengan kelambu warna
putih, sepreinya merah jambu dan bantalnya bersulamkan
sepasang burung belibis, sepasang lilin yang berukirkan naga
dan burung hong memancarkan sinarnya dengan terang
benderang membuat suasana dalam kamar itu jadi terang dan
bergairah. Ditepi pembaringan sudah tersedia sebuah meja
perjamuan, diatas meja tersedia sepasang sumpit, sepasang
cawan, seteko arak wangi dan sebuah cawan kecil yang
terbuat dari kaca, isinya adalah cairan warna putih.
Pui Che-giok dayang pribadi Giok Teng Hujin dengan wajah
penuh senyuman berdiri di samping meja sedang Soat-ji rase
berbulu salju itu mendekam diatas permadani tepat dibawah
jendela. Jilid 18 DENGAN langkah yang lemah gemulai, Giok Teng Hujin
berjalan mendekati meja perjamuan, setelah duduk ia tuding
ke arah sepasang lilin tesebut dan berkata seraya tertawa,
"Malam ini aku menikah untuk pertama kalinya, kau kawin
untuk kedua kalinya, biar Che giok jadi mak comblang, Soat-ji
jadi saksi, kita mengikat diri jadi suami istri"
"Aah.... cici, janganlah bergurau terus!" seru Hoa Thianhong
sambil duduk pula didepan meja perjamuan, "saat ini
kepandaian silat ibuku telah punah, beliau berada dalam
keadaan bahaya" "Tak usah kuatir! tukas Giok Teng Hujin dengan cepat,
selama ada toa nio cu yang melindungi, tanggung
keselamatannya terjamin!"
Hoa Thiao Hong tertawa getir.
"Pekerjaan yang merepotkan terlalu banyak, baiklah siaute
akan temani cici untuk minum beberapa cawan arak sebelum
pergi, besok aku pasti akan datang menyambangi diri cici lagi,
cici tak usah kuatir, aku pasti tidak akan bohong!"
Giok teng bujin tertawa, menanti Pui Che-giok sudah
menuangkan arak bagi mereka, ia baru tunjuk cawan kaca
kecil itu dan berkata, "Cawan itu adalah arak pengikat
perkawinan nanti saja baru kita minum."
Hoa Thian-hong tertawa tergelak, ia lirik sekejap arak yang
ada dihadapannya, setelah yakin kalau tiada campuran
apapun didalamnya, ia lantas angkat cawan tersebut sambil
berkata, "Kalau begitu, biarlah siaute yang menghormati cici
dengan secawan arak!"
"Aduuh.... sungkan-sungkan segala, emangnya sama tamu
agung?" omel Giok Teng Hujin de-ngan alis berkenyit.
Hoa Thian-hong dibikin serba salah, untuk menutupi
kejengahan sendiri ia teguk habis isi cawan tersebut,
kemudian serunya, "Che giok, penuhi cawanku dengan arak
baru!" "Tidak takut arak itu kucampuri racun?" seru Giok Teng
Hujin lagi. Hoa Thian-hong tertawa. "Aku percaya penuh pada cici!"
Giok Teng Hujin melirik genit ke arah pemuda itu, tiba-tiba
ia letakkan cawan kaca kecil itu dihadapan Hoa Thian-hong,
kemudian ujarnya, "Istrimu adalah seorang ahli menggunakan
racun, rupanya sudah banyak kepandaian khususnya yang kau
pelajari yaa" Sekarang coba periksa dulu, bagaimana dengan
arak ini?" Hoa Thian-hong melirik sekejap ke arah arak dalam cawan
kaca kecil itu, ia lihat cairan tersebut berwarna putih bersih
seperti susu, baunya amat merangsang dan wangi sekali,
sukar untuk diketahui mengandung racun atau tidak.
"Bagaimana" ada racunnya tidak?" seru Giok Teng Hujin
lagi. "Tidak ada!" sahut Hoa Thian-hong sambil tertawa pula.
Giok teng bujin tertawa cekikikan, sambil menuding wajah
pemuda itu katanya, "Anggaplah engkau memang sisetan cilik
yang pintar, kalau ada racunnya masa digunakan sebagai arak
pengikat perkawinan?"
Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lagi.
Berani diminum tidak"
"Tidak berani!" kembali Hoa Thian-hong menggeleng
sambil tertawa tergelak. Dengan gemas Giok Teng Hujin melotot sekejap ke arah
pemuda itu. Terus terang kukatakan kepadamu, isi cawan itu juga arak
namanya Seng sian mi atau madu pembuat dewa jadi
mendusin, sekalipun dewa atau malaikat yang minum mereka
juga akan dibikin mabuk selama tiga hari tiga malam.
Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong mengbela napas
panjang, ujarnya dengan gegetun, "Siaute pun bersedia untuk
mabuk selama tiga hari tiga malam, sayang ibuku cacad dan
tak ada yang melindungi, sebagai seorang putra aku tak bisa
melepaskan tanggung jawab ini, kalau tidak aku ingin benar
minum secawan arak itu agar bisa tidur nyenyak selama tiga
hari." Giok Teng Hujin tertawa merdu.
"Bagus sekali! kalau toh engkau hendak jadi seorang anak
yang berbakti maka aku ingin tanya, diantara tiga hal yang
tidak berbakti, bakti apakah yang terbesar"!"
"Tentu saja tidak punya keturunan adalah kejadian yang
paling tidak berbakti!" sahut Hoa Thian-hong sambil tertawa.
"Nah itulah dia! sewaktu kau masih mengidap racun teratai
empedu api, tubuhmu tak dapat digunakan untuk mendekati
perempuan, andaikata tiada Leng-ci hadiah dariku, bukankah
keluarga Hoa kalian akan putus keturunan?"
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong karena
jengah. "Budi kebaikan dari cici tak akan kulupakan untuk
selamanya!" "Tak usah kau ungkap tentang soal budi lagi, aku cuma
ingin bertanya, adakah Leng-ci kedua di kolong langit ini?"
Hoa Thian-hong segera menggeleng.
"Benda langka yang amat mujarab itu belum tentu bisa
ditemui dalam seratus tahun, rasanya sukar untuk temukan
lengci kedua di kolong langit dewasa ini"
"Baik! Nah sekalipun binimu pandai dalam ramuan obat,
tapi andaikata tiada Leng-ci dari enci, dapatkah ia punahkan
racun te ratai empedu api yang bersarang dalam tubuhmu?"
Hoa Thian-hong gelengkan kepalanya.
"Ia pernah mengatakan kepadaku, menurut hasil
penyelidikannya selama ini, teratai racun empadu api adalah
racun paling dahsyat yang tiada keduanya di kolong langit,
kecuali Leng-ci berusia seribu tahun, tiada obat lain yang bisa
digunakan untuk memusnahkan racun tersebut"
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan, "Dia adalah
orang yang paling berterima kasih kepada cici, seringkali dia
membicarakan tentang kebaikan cici ini"
Tentu saja begitu! ujar Giok Teng Hujin sambil tertawa,
sebab dia pula yang merasakan manfaat dari kebaikanku itu,
andaikata tiada Leng-ci mustikaku itu, kendatipnn dia sudah
kawin dengan dirimu, paling banter cuma hidup menjanda
sepanjang masa, kalau tidak berterima kasih kepadaku lantas
musti berterima kasih kepada siapa lagi?"
Pui Che-giok yang mendengarkan pembicaraan tersebut tak
dapat menahan rasa geli lagi, ia segera tertawa cekikikan.
Hoa Thian-hong jadi amat jengah, selembar wajahnya
berubah jadi merah padam, akhirnya sambil tundukkan kepala
dan tertawa ia gelengkan kepalanya berulang kali.
Giok Teng Hujin sendiripun tak dapat menahan gelinya, ia
ikut tertawa cekikikan kemudian sambil berpaling hardiknya ke
arah Pui Che-giok, "Enyah dari sini dan menyingkir jauh-jauh!"
Pui Che-giok menutupi bibirnya dengan ujung baju,
kemudian ia keluar dari ruangan dan sekalian merapatkan
pintu itu. Sesudah dayang itu berlalu, Giok Teng Hujin baru angkat
cawan arak dan bertanya dengan lirih, "Apakah binimu sudah
mengandung?" "Aah! mana bisa secepat itu" toh aku baru kawin sebulan
kurang sedikit." "Aku masih ingat dengan tepat, lengci itu kau makan
sebelum pertemuan besar Kiao ciau tayhwee diselenggarakan,
masa sudah selama itu benihmu belum jadi juga?"
"Huss.... cici pandai bergurau!" seru Hoa Thian-hong
tertawa, "sebelum diresmikan mana aku berani main pukul
sembarangan?" Giok teng hujio mengangguk tiada hentinya, ia berkata
dengan wajah serius, "Sebelum menikah engkau memang tak
boleh sembarangan berbuat, dan kini jejakmu sudah hilang,
tentunya urusanpun tak usah dianggap terlalu serius bukan?"
Mendengar perkataan itu tak tahan lagi Hoa Thian-hong
segera bangkit berdiri, sambil goyangkan tangannya
berulangkali ia berseru, "Cici engkau terlalu romantis, siaute
tak sanggup menghadapinya, biarlah aku mohon diri saja!"
"Engkau berani kabur"!" ancam Giok Teng Hujin pura-pura
marah, "kalau kau lari dari sini, aku akan segera mengejar
kerumah penginap anmu dan minta orang kepada ibumu serta
Chin Wan-hong!" Melihat jendela yang ada disampingnya, untuk beberapa
saat Hoa Thian-hong tak tahu apa yaeg musti dilakukan,
dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, untuk
berlalu dari situ bukanlah suatu urusan yang sulit dan Giok
Teng Hujin tak akan mampu menangkap dirinya.
Akan tetapi ia berhutang budi kepada perempuan agung
ini, kedua antara mereka berdua sebetulnya memang sudah
tumbuh benih cinta, tentu saja si anak muda itu tak tega
meninggalkan sang gadis dengan begitu saja....
Rupanya Giok Teng Hujin sendiripun sudah ambil
keputusan untuk menyerahkan kesucian tubuhnya kepada si
anak muda itu, dengan langkah yang lembut gemulai ia
bangkit dari tempat duduknya dan pindah kesamping si anak
muda itu. Seketika itu juga Hoa Thian-hong merasakan berdebar
keras, sambil memandang keluar jendela bisiknya, "Enci, fajar
sudah hampir menyingsing!"
Giok Teng Hujin tertawa manis.
"Kentongan kelima ayam mulai berkokok, itulah tandanya
fajar hampir menyingsing, ayoh berlutut dan menyembah dulu
kepada cici!" "Siaute tidak mengerti!"
"Kau tidak mengerti, biar kuajarkan kepadamu!"
Dia ambil cawan kecil yang terbuat dari kaca itu dan
meneguk sedikit arak Cui sian mi tersebut, kemudian sambil di
angsurkan ketepi bibir Hoa Thian-hong, ujarnya, "Aku akan
menegukkan, lalu engkaupun minum setegukan, perlahanlahan
rasanya akan nikmat!"


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hoa Thian-hong adalah seorang pria yang sudah menikah,
boleh dibilang ia sudah berpengalaman dalam bermain cinta,
cukup mendengar rayuan manis yang merangsang itu sudah
membuat hatinya tak tahan, apalagi tubuh mereka saling
menempel dan bau harum semerbak berhembus lewat tiada
hentinya, lama kelamaan pemuda itu mulai tak sanggup
menahan diri, jantungnya berdebar makin keras.
Dalam keadaan demikian, terpaksa ia minta ampun,
"Ooh.... ciciku yang baik, ketika kentongan ketiga hampir
lewat tadi baru saja aku bertempur melawan kaucu mu, isi
perutku terluka parah dan kini...."
Giok Teng Hujin mengerling genit ke arahnya, lalu sambil
tertawa merdu menukas, "Telur busuk cilik, bukankah engkau
tidak mengerti, lalu apa artinya perkataanmu itu?"
"Sekarang siaute sudah mengerti!" jawab sang pemuda
tertawa. Giok Teng Hujin tertawa cekikikan, bisiknya, "Tak usah
kuatir, masa cici tega untuk mencelakai dirimu" Arak ini
mendatangkan banyak manfaat bagimu, minumlah dulu
setegukan, nanti akan cici ajarkan cara intuk menyembuhkan
luka itu." Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Hoa Thian-hong
minum seteguk arak Cui sian mi itu.
"Bagaimana caranya untuk mengobati luka ku itu?"
Kepandaian tersebut disebut resep melatih diri untuk
menghindari kematian, minumlah setegukan lagi, akan
kuterangkan dengan lebih jelas lagi.
Dia angkat cawan arak Cui sian mi itu, setelah diteguk satu
tegukan barulah dia angsurkan kepada Hoa Thian-hong,
sambungnya, "Orang kuno mengatakan, kalau ada Im tentu
ada Yang, ada dingin pasti ada panas, ada laki tentu ada
perempuan, kalau kedua unsur digabungkan akan
mendatangkan kebaikan, kalau dipisahkan membedakin jenis
kelamin, mengenai ajaran ini kau tentu sudah mengerti
bukan?" "Emmmm, mengerti!"
"Baik, menurut resep dewa dikatakan, segala macam
penyakit bagaimana parahpun hanya ada dua obat yang bisa
menyembuhkan, yakni sari hawa panas ditubuh pria dan sari
hawa dingin ditubuh wanita, kalau kedua unsur tersebut
digabungkan menjadi satu, maka semuanya akan sembuh dan
lenyap!" "Aaah.... ecci ngaco belo, aku ogah untuk mendengarkan,
aah!" omel Hoa Thian-hong sambil tertawa.
"Siapa bilang aku ngaco belo tak karuan"!" seru Giok Teng
Hujin manja, "inilah resep yang paling jitu dari ilmu
penggabungan antara unsur panas dan unsur dingin, jika
kepandaian ini bisa dilatih dengan baik, bukan saja semua luka
akan sembuh, bahkan hidup manusiapun bisa langgeng dan
tak akan tua" Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan.
"Kalau sejenis disatukan akan membentuk pedang pengusir
setan, kalau dua jenis disatukan jadilah tangga untuk naik
kesorga, pernah kau baca syair dari Hu-yu Tee-kuo ini?"
"Aaah pelajaran sesat dari kaum kiri, aku tak pernah
membaca syair seperti itu."
"Telur busuk! Kau berani memaki cici sebagai orang sesat
dan golongan kiri" Kau musti dihukum!"
Dia angkat cawan berisi arak Cai sian mi tersebut, setelah
meneguk setegukan kemudian ia tekan kepala Hoa Thianhong
kebela kang dan melolobi pemuda itu dengan dua
tegukan arak. Hoa Thian-hong terengahengah dengan nafas memburu,
serunya sambil tertawa getir, "Enciku yang baik, siaute tak
kuat minum arak.... aku mabuk nanti."
"Tak usah kuatir, setelah kita habiskan arak pengikat
perkawinan ini maka semua budi dan dendam yang kita tanam
selama ini akan terhapus sama sekali."
"Aaai....! ucapan cici terlalu serius."
Giok Teng Hujin mendengus dingin.
"Serius biarlah serius, aku sudah tak ambil peduli!"
"Aaai....! Cici.... aah!"
Belum sempat pemuda itu mengucapkan sesuatu, tiba-tiba
kepalanya ditekan kembali kebelakang oleh Giok Teng Hujin,
sisa setengah cawan arak Cui sian mi yang masih ada dicawan
setelah dilolobkan semua kedalam mulutnya.
Hoa Thian-hong menggeliat lemas, bisiknya dengan napas
terengah-engah seperti kerbau, "Aduh cici.... kepalaku....
kepalaku pusing...."
Giok Teng Hujin yang berbaring dalam pelukan pemuda itu
tertawa terkekeh-kekeh, saking gelinya sampai air matapun
bercucuran. Paras muka Hoa Thian-hong berubah jadi merah padam
bagaikan buah tho, kelopak matanya tak mampu dibentang
kembali, dengan suara tak jelas kembali ia bergumam, "Ooh....
cici, kepalaku pusing.... aduh pusing sekali....!"
"Aaah masa iya" Aku kok tidak pusing" Oh iya, aku lupa,
rupanya aku sudah mirum obat penawar lebih dulu"
Hoa Thian-hong sudah tak tahan lagi, ia mendebrak meja
dan mengomel lagi, "Aku tak kuat duduk lagi, aku mau
berbaring, aku...." Giok Teng Hujin tertawa makin melengking.
"Eii, telur busuk cilik, engkau sendiri yang minta berbaring
lho! Nanti jangan salahkan cici lagi, bukan cici yang memaksa
dirimu untuk tidur diranjang"
Sambil merangkul pinggangnya, gadis itu bantu Hoa Thianhong
untut berbaring diatas pembaringan.
ooooOoooo 68 DENGAN mata berkedip-kedip karena mabuk hebat, Hoa
Thiau Hong mengomel terus.
"Ooh.... cici yang baik, biarlah aku pergi, aku benar-benar
masih ada urusan!" "Hiih.... hiih.... hiih.... jangan ribut terus ah, bukankah cici
juga sedang bekerja?"
Sambil berkata ia lantas melepaskan pedang baja yang
tergantung dipinggangnya.
Dengan cepat Hoa Thian-hong putar badan dan menindihi
pedang baja itu dengan tubuhnya.
"Jangan kau sentuh benda itu!"
"Aku senang menyentuh senjata itu....!" seru Giok Teng
Hujin sambil tertawa cekikikan.
Dengan sepasang tangannya ia tarik bahu orang kemudian
memutar balik kembali tubuh Hoa Thian-hong sehingga tidur
terlentang, ia lihat sepasang pipi pemuda itu sudah berubah
jadi merah padam selembar kepiting rebus, tak tahan lagi
gadis itu merangkul tubuh kekasihnya dan mencium dengan
mesrah. Tiba-tiba Hoa Thian-hong merasa pipinya jadi basah,
dengan memaksakan diri ia membuka kembali kelopak
matanya yang terasa berat, lalu bertanya, "Enci yang manis,
kenapa kau menangis?"
Meskipun air mata bercucuran membasahi pipinya, namun
senyum manis masih tersungging diujung bibir gadis itu.
"Ini hari adalah hari baik buat kita, enci merasa sangat
gembira makanya air mataku jatuh bercucuran."
"Tidak, enci punya rahasia dihati, siaute dapat merasakan
akan hal itu." Giok Teng Hujin tertawa manis.
"Apa yang cici pikirkan adalah masalah mengenai dirimu,
aku takut engkau tak sudi menuruti perkataanku, marilah....
enci akan lepaskan pakaian luarmu."
Sembari berkata ia lantas ulurkan tangannya bermaksud
untuk melepaskan pedang baja itu.
Dengan cepat Hoa Thian-hong menggelinding kesamping
dan sekali lagi menindihi pedang baja itu dengan tubuhnya,
dengan suara tak jelas ia berkata, "Jangan kau sentuh, diatas
pedang itu telah dipolesi racun ganas!"
Giok Teng Hujin tertawa cekikikan.
"Kalau ada racunnya aku semakin gembira, kau tak perlu
kuatir!" Sekali lagi ia membalik tubuh pemuda itu sehingga tidur
terlentang. "Enci, daripada tidur bersama lebih baik biarkanlah aku
tidur seorang diri!" gumam sang pemuda dengan kelopak
mata hampir terkatup rapat.
"Omong kosong, seorang pria tak boleh kehilangan wanita,
seorang wanita tak boleh kekurangan pria, kalau tiada wanita
maka pikiran akan melayang, kalau pikiran melayang maka
syaraf gampang jadi lelah, kalau syaraf sudah lelah maka akan
mengurangi usia, kalau engkau tidur seorang diri, maka
umurmu akan berkurang banyak".
"Kalau tenagaku lipat ganda memang paling baik tidur
dengan wanita, kalau tenaga ku loyo dan lemas seperti ini,
tidur dengan wanita sama artinya mendekati jalan kes orga....
siaute...." Kembali pemuda itu mengguling kebelakang dan sekali lagi
menindihi pedang bajanya itu.
Giok Teng Hujin selalu berusaha untuk melepaskan pedang
bajanya, sedangkan Hoa Thian-hong meskipun sudah mabuk
sehingga perkataannya tak jelas, tapi jurstru setiap gerakgeriknya
selalu melindungi pedang baja itu dari jangkauan
orang. Demikianlah, kedua orang itupun saling dorong mendorong,
tarik menarik tiada hentinya, walaupun sudah berlangsung
lama namun apa yang dituju Giok teng bujin tak pernah
tercapai. Lama kelamaan perempuan itu jadi mendongkol bercampur
penasaran, dengan suara manja dia lantas mengomel,
"Kekasihku yang tolol, sebenarnya kau sudah mabuk belum?"
"Dalam hati aku masih dapat memahami, tapi sekujur
badanku tak bertenaga lagi!"
Mendengar jawaban ini, dalam hati kecilnya Giok Teng
Hujin segera berpikir, "Aaai....! tenaga dalam yang dimiliki
kekasihku ini memang amat sempurna, walaupun secawan
arak Coi sian mi telah dihabiskan namun tak sampai membuat
dirinya mabuk...." Dalam hati ia berpikir, diluaran ujarnya sambil tertawa
merdu, "Kalau engkau tak punya tenaga lagi, biarlah cici yang
melayani dirimu, akan kubuat tenagamu sama sekali tak
terbuang!" Seraya berkata dia lantas jatuhkan diri ke atas
pembaringan dan berbaring disisi pemuda itu, sambil
menuding jidatnya ia melan jutkan, "Kalau engkau tak mau
menurut lagi, jangan salahkan kalau kutokok jalan darah mu"
"Jangan cici. jangan sekali-kali kau totok jalan darahku!"
"Aah, betul juga! Kalau jalan darahmu itu tertotok,
tentunya hilanglah kegembiraanku"
"Aku tidak maksudkan begitu, ketahuilah pada saat ini Kiuim
Kaucu, Pia Leng-cu serta sekelompok jago lihay lainnya
yang tergabung dalam Mo-kauw sedang mengincar nyawaku,
andaikata enci totok jalan darahku dan kesempatan baik ini
digunakan orang lain untuk celakai jiwaku, bukankah sama
artinya enci yang menjerumuskan diriku kedalam lembah
kebinasaan?" Agak tertegun Giok Teng Hujin setelah mendengar
perkataan itu, lama sekali ia termenung akbarnya titik air mata
jatuh berlinang membasahi pipinya.
"Cici, kenapa menangis" Apakah ucapan ku keliru?" buruburu
Hoa Thian-hong bertanya dengan hati gelisah.
Giok Teng Hujin gelengkan kepalanya.
"Tahukah kau, apa sebabnya orang-orang itu bendak
mencelakai jiwaku?" ia bertanya.
"Mereka hendak merampas pedang bajaku ini!"
Air mata jatuh berlinang membasahi pipi Giok Teng Hujin,
ia semakin sedih, katanya lagi, "Tahukah engkau, encipun
akan merampas pedang baja milikmu itu" Kau anggap
tujuanku bikin kau mabuk benar-benar adalah untuk
mewujudkan tali perkawinan diantara kita berdua?"
Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, "Tentu saja,
kalau engkau masih mencintai aku, berilah pelampiasan bagi
cicimu, agar rasa cinta cici terhadap dirimu tidaklah sia-sia
belaka." "Aaai....! Cici, cintamu terlalu bodoh"
"Begitulah cinta kasih seorang gadis terhadap kekasihnya,
aku memang dungu dalam bercinta, tapi apakah kau tidak
merasa bahwa hatimu terlalu kejam?""
"Enci, kenapa engkau juga ingin merampas pedang bajaku"
apakah Kiu-im Kaucu yang paksa engkau berbuat demikian",
dengan cepat Hoa Thian-hong alihkan pembicaraan kesoal
lain. Giok Teng Hujin segera menggeleng.
"Bukan, ide ini timbul dari benakku sendiri, aku merampas
pedang baja bukan karena terdorong maksud lain, aku
berbuat demikian karena aku cinta padamu."
"Tak dapat kutangkap maksud ucapanmu itu!"
Giok Teng Hujin menunduk dan mencium mesrah pemuda
itu, lama sekali dia baru berkata dengan sedih, "Tahukah
engkau bahwa kitab pusaka Kiam keng hasil karya dari
malaikat pedang Gi Ko tersimpan dalam pedang bajamu itu"
Semua orang berpendapat demikian, masa engkau tak tahu"!"
"Aku tahu, selain itu akupun percaya akan hal ini, tapi yang
ku maksudkan adalah dalam hal lain!"
"Kepandaian silatmu sudah mencapai tingkat yang amat
tinggi, jika kau latih isi kitab Kiam keng, maka tiada orang
yang sanggup menandingi dirimu lagi, engkau dapat
mengangkat dirimu sebagai raja tanpa tandingan, pernahkah
kau berpikir sampai kesitu"!"
Hoa Thian-hong tertawa. "Aku sih tak ingin menjadi raja tanpa tandingan di kolong
langit, aku cuma berharap agar orang budiman bermunculan
kembali didunia kangau, sedang orang jahat yang banyak
berbuat onar musnah dari muka bumi, hanya inilah
harapanku!" "Engkau bersedia, apakah orang lain juga bersedia?"
"Kalau memang begitu biarlah kita bertarung sampai titik
akhir, aku percaya Thian akan membantu kaum budiman serta
menumpa mereka yang suka berbuat kejahatan"
"Dengan dasar apa engkau percaya kalau Thian selalu
melindungi orang budiman"!" bisik Giok Teng Hujin dengan


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murung, "apakah Lo Thian-ya berkata sendiri kepadamu"
Tidakkah kau pernah lihat, banyak orang budiman yang harus
menemui ajalnya ditangan orang jahat?"
"Yaah.... kita harus bertempur dengan andalkan kekuatan
masing-masing, siapa berumur pendek dialah yang musti
gugur, bagaimanapun juga kita toh tak sudi menyerah kalah
dengan begitu saja dan membiarkan musuh berbuat sehendak
hatinya terhadap diri sendiri tanpa melawan?"
Rupanya Giok Teng Hujin merasa murung sekali, dengan
gusar ia berteriak, "Orang mati! kau tidak takut mati, justru
akulah yang takut kau mati....! kau...."
Walaupun kata-katanya singkat, namun dalam kenyataan
mengandung pancaran rasa cinta yang amat mendalam, Hoa
Thian-hong merasa terharu sekali, tanpa sadar air mata jatuh
bercucuran membasahi pipinya.
"Aku merasa amat berterima kasih sekali atas cinta kasih
yang cici limpahkan kepada ku, sepanjang masa akan kuingat
selalu cinta cici yang begitu membara!"
Gick teng hujin tertawa getir.
Kalau memang begitu janganlah banyak tingkah, ikuti saja
semua perbuatan yang cici lakukan atas dirimu,
bagaimanapun juga cici sama sekali tak bermaksud untuk
mencelakai dirimu. "Tak mungkin, hal ini tak mungkin terjadi" dengan cepat
Hoa Thian-hong gelengkan kepalanya, "pedang baja ini
diwariskan mendiang ayahku kepada siaute dan untuk
memanfaatkan pedang ini beliau telah menciptakan enam
belas jurus pedang untukku, diatas pedang inilah mengalir
semua pikiran dan keringat mendiang ayahku, jangan dibi lang
didalam pedang ini tersimpan kitab pusaka Kiam keng,
sekalipun tak adapun tak sudi kubiarkan senjata ini jatuh
ketangan musuh" Dengan gemas Giok Teng Hujin menghela napas panjang.
"Aaai....! Pedang baja ini adalah bibit bencana, setelah
kudapatkan pedang akan kuserahkan kepada kaucu kami,
sekalipun pedang ini berada ditangannya juga sama sekali tak
ada manfaatnya bagi dia. Pia Leng-cu maupun orang-orang
Mo-kauw pasti akan alihkan sasarannya untuk merecoki dia,
tak seorangpun yang akan datang menyusah kan dirimu lagi,
apakah engkau tak akan paham dengan siasatku ini?"
"Aku tak mau ambil perduli siasat apapun, pokoknya
selama hayat masih dikandung badan aku akan kerahkan
segenap kemampuan yang kumiliki untuk mempertahankan
pedang baja ini" Giok Teng Hujin semakin gelisah.
"Aaai.! engkau harus tahu, sekalipun kitab pusska kiaam
keng muncul kembali didunia dan jatuh ketangan orang,
engkaupun tak usah kesal karena tak bisa menangkan dia,
pokoknya semua orang telah tahu, jika engkau berhasil
mendapatkan kitab pusaka kiam keng maka di kolong langit
tak ada orang yang mampu menandingi dirimu lagi, dan
semua orang pasti tak akan menyetujui tindakanmu itu,
semua orang pasti akan menghimpun segenap kemampuan
yang dimilikinya untuk menghalangi dirimu, bahkan
menggunakan pelbagai cara yang teren-dah untuk mencelakai
dirimu, buat apa engkau musti menyusahkan diri sendiri?"
Antara kaum sesat dan kaum lurus selamanya tak dapat
hidup berdampingan, apa boleh buat" Terpaksa aku harus
mempertahankan diri demi tegaknya keadilan dan kebenaran.
Cici! Kau tak usah kuatirkan diri ku lagi.
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa lanjutnya,
"Bertarirglah disini cici, mari kita bermesraan lagi!"
"Giok Teng Hujin merasa gemas sekali.
"Telur busuk kecil! Kau anggap aku benar-benar tak tega
untuk turun tangan terhadap dirimu" Hmm! Keputusan sudah
bulat engkau tak dapat kukuh dengan pendirianmu lagi.
Seraya berkata, tangannya diayun dan menotok sebuah
jalan darah dipinggang pemuda itu.
Hoa Thian-hong jadi amat terperanjat, buru-buru ia
tangkap pergelangan tangan Giok Teng Hujin dengan
sepasang tangannya, serunya dengan gelisah, "Cici, jangan
berbuat demikian!" Rupanya ia sudah mabuk terpengaruh oleh arak, sehingga
seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga, kepandaian silat yang
dimiliki pun tak ada yang bisa digunakan lagi.
Dengan yang menyambar kesana kemari tanpa beraturan,
dia berusaha untuk menangkap pergelangan tangan dara itu,
tapi bagai manapun juga usahanya ini selalu gagal.
Giok Teng Hujin tertawa cekikikan, tiba-tiba pergelangan
tangannya berputar dan menyerang kembali jalan darah Siau
ci hiat di pinggang pemuda itu, sedang tangan kirinya dengan
suatu jurus serangan yang aneh menotok jalan darah diiga
kirinya. Sebenarnya kedua orang itu sedang bergumul jadi satu,
ditambah pula ilmu silat yang dimiliki Giok Teng Hujin bukan
kepandaian sembarangan, serangan yang dilancarkan secara
serentak dari arah yang terang dan gelap ini amatlah sukar
untuk dihindari atau ditangkis.
Walaupun begitu ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong
pun bukan kepandaian silat biasa, dalam gugupnya dengan
cepat ia menggelinding kesamping dan menjatuhkan diri
kebawah pembaringan, dengan begitu dua buah serangan
tersebutpun bisa dihindari dengan manis.
Giok Teng Hujin tertawa cekikikan, telapak tangan kirinya
langsung diayun kedepan. "Ploook!" dengan nyaring ia hantam paha pemuda itu,
sementara tangan kanannya berkelebat kemuka merampas
pedang baja. "Cici....! Hoa Thian-hong menjerit kaget.
Belum hatbis dia berteriak, tiba-tiba pintu jendela ditumbuk
orang hingga terbuka, sesosok bayangan manusia dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat menyusup ketepi
peramringan, sepuluh jari tangannya dipetangkan lebar-lebar
dan langsung menerjang tubuh Hoa Thian-hong.
Betapa terperanjatnya Giok Teng Hujin sewaktu
menyaksikan kehadiran orang lain di dalam kamarnya, begitu
kagetnya sehingga sukma serasa melayang tinggalkan
raganya, cepat-cepat dia menghardik, "Siapa kau?"
Dengan sepasang tangannya menggenggam pedang dia
lancarkan sebuah bacokan kedepan.
Bayangan manusia itu sama sekali tidak bersuara, tangan
kirinya bergerak kedepan langsung mencengkeram pedang
baja itu, serta-merta tangan kanannya laksana sambaran petir
mencengkeram perut bagian bawah dari Hoa Thian-hong.
Jelas orang itu sudah memahami sampai dimanakah
kelihayan dari Hoa Thian-hong, oleh sebab itu walaupun ia
tahu kalau Hoa Thian-hong sudah dibikin mabok oleh arak Cui
sian mi namun serangannya yang dilancarkan ke arah pemuda
itu sama sekali tak berkurang kehebatannya.
Hoa Thian-hong mendengus dingin, telapak tangan kirinya
berputar lalu diayun ke depan sedang lengan kanannya segera
diangkat keatas, dengan jurus sakti Kun siuci tau dia sambut
datangnya ancaman tersebut dengan keras lawan keras,
sementara tangan kanannya dengan suatu gerakan yang aneh
menggetar pergi sepasang tangan Giok Teng Hujin, dan tahutahu
gagang pedang baja itu sudah dicekal kembali dalam
genggamanannya. Seketika itu juga Giok Teng Hujin merasakan sepasang
tangannya tergetar keras, tak kuasa lagi badannya berguling
kesudut pem baringan. Sementara itu orang yang melancarka sergapan tadipun tak
kalah kejutnya, baru saja ia mendengar si anak muda itu
mendengus dingin, tahu-tahu segulung angin pukulan yang
maha dahsyat telah menerjang masuk lewat telapak
tangannya. Selama peristiwa itu berlangsung hampir bersamaan
waktunya, sejak jendela dipentang orang sampai waktu itu
hanya makan waktu sekejap mata, tapi ketiga belah pihak
melancarkan serangan mereka dengan kecepatan bagaikan
kilat. Agaknya orang yang melakukan sergapan itu telah
menyadari kalau Hoa Thian-hong tidak benar-benar mabuk,
menyadari kalau dirinya tertipu, saking kagetnya peluh dingin
membasahi tubuhnya, dia kendorkan tangan kirinya
melepaskan cekalan pada pedang baja tersebut, sedangkan
serangan pada tangan kananpun dibuyarkan, sekali enjot
badan tubuhnya meluncur keluar lewat jendela.
Sejak pertarungan sengit diselat Cu-bu-kok serta
pertarungan serunya melawan Kiu-im Kaucu, sebagian besar
jago persilatan yang ada di kolong langit pada menaruh rasa
jeri terhadap diri Hoa Thian-hong, demikian pula dengan
penyergapan gelap itu. Setelah menyadari kalau dirinya tertipu, cepat-cepat ia
mengundurkan diri dari situ, kecepatan dan kecekatannya
menghadapi perubahan situasi benar-benar sangat
mengagumkan. Tampaklah Hoa Thian-hong melejit bangun dari atas tanah,
kemudian ia pentang mulutnya dan.... Cuuh! Serentetan
pancaran arak berwarna putih langsung menyambar keatas
wajah penyergap tadi.... Kiranya meskipun Hoa Thian-hong telah meneguk separuh
cawan lebih arak wangi Cui sian mi, namun secara diam-diam
dia telah simpan arak tadi kedalam lambungnya dengan
menggunakan sejenis ilmu khusus dari wilayah Biau yang
biasanya digunakan untuk menghadapi minuman atau
makanan beracun. Dan kini setelah menghadapi serangan musuh, ia lantas
kerahkan bawa murninya untuk memaksa sisa arak yang
tertampung itu tumpah keluar semua, bahkan
memanfaatkannya sebagai senjata rahasia untuk melukai
lawan. Serangan ini benar-benar sangat aneh dan luar biasa,
dengan hati terperanjat penyergap itu berpaling kebelakang,
dan tak dapat di hindari lagi pancaran senjata arak itu
bersarang telak diatas wajah bagian kanannya, bersamaan
waktunya pula kaki kanan orang itu merasa amat sakit hingga
merasuk ketulang sumsum, rupanya Soat-ji rase berbulu salju
itu telah manfaatkan kesempatan baik tadi untuk menggigit
kaki tamu tak diundang ini.
Rupanya Soat-ji rase berbulu salju yang selama ini
mendekam dibawah jendela telah menyusup keluar tatkala
penyergap tadi menyerang masuk kedalam ruangan, tapi
berhubung gerak tubuh penyer gap itu sangat cepat sekali,
maka walaupun gerak tubuh Soat-ji cepat toh dia masih kalah
setindak daripada musuhnya.
Andaikata orang itu tidak dibuat ketakutan setengah mati
oleh serangan balasan yang dilancarkan Hoa Thian-hong,
niscaya Soat-ji pun tetap gagal untak melukai lawannya.
Kendatipun begitu, ilmu silat yang dimiliki penyergap itu
sangat mengejutkan pula, dalam keadaan pipi kanan terluka
oleh semburan arak, kaki kanan terpincang karena gigitan
Soat-ji, ia masih mampu menahan rasa sakit yang luar biasa
itu untuk kabur keluar jendela, dalam waktu singkat tubuhnya
sudah jauh diujung jalan sebelah sana.
Hoa Thian-hong telah memburu pula ke tepi jendela, dalam
sekejap mata separuh badannya sudah keluar dari ruangan
itu.... "Thian-hong! racun...." tiba-tiba Giok Teng Hujin berteriak
keras. Hoa Thian-hong terkesiap, dengan cepat ia teringat kembali
kalau diatas pedang bajanya telah dipolesi racun yang keji,
teringat pula ketika penyergap tersebut menyerang dirinya.
Giok Teng Hujin jadi begitu panik sehingga mengucurkan air
mata, pemuda itu jadi tak tega.
Buru-buru ia kembali kesampingnya, sambil mengeluarkan
obat pemunah dari dalam saku ia berkata, "Makanlah obat ini
maka racun itu akan punah dengan sendirinya, aku harus
segera mengejar penyergap itu!"
Begitu pemuda tersebut menyelesaikan kata-katanya,
sambil menangis Giok Teng Hujin telah berteriak, "Sepasang
tanganku telah berubah jadi kaku semua!"
Kreet....! pintu kamar dibuka orang, Pui Che-giok dengan
langkah cepat telah masuk kedalam.
Hoa Thian-hong segera berseru dengan cepat, "Che giok,
tolong berikanlah obat pemunah ini kepadanya, aku...."
Sementara itu Giok Teng Hujin sendiripun sedang
berpikir.... "Setelah perpisahannya pada hari ini, entah sampai kapan
kita baru bisa berjumpa lagi?"
Dalam gelisahnya, dia segera tundukkan kepala dan
menggigit lengan pemuda itu keras-keras.
Hoa Thian-hong kesakitan dan menjerit tertahan.
"Aduuh.... cepat lepaskan gigitanmu.... orang yang
menyergap diriku tadi adalah Pia Leng-cu, Pek Kun-gie telah
terjatuh ketangan.... aduuh!"
Ketika Giok Teng Hujin mengetahui kalau Hoa Hoa Thianhong
mengejar Pia Leng-cu adalah dikarenakan hendak
menolong Pek Kun-gie, gadis ini jadi gemas sekali sehingga
gigitanpun diperkeras dengan sendirinya pemuda itu sangat
kesakitan. Walaupun begitu Hoa Thjan Hong tak dapat berbuat apaapa
kecuali menahan rasa sakit hingga air matapun
bercucuran, ia tak berani mengerahkan hawa murninya untuk
melawan, sebab kuatir menggetarkan gigi dara itu, dalam
keadaan apa boleh buat terpaksa ia berbicara, "Cepat-cepatlah
kendorkan gigitanmu, aku tak akan pergi, aku akan menyuapi
obat untuk mu.... ayohlah, cepat lepaskan gigitanmu!"
Giok Teng Hujin sama sekali tidak menggubris
permohonannya itu, bahkan gigitannya malah semakin
diperkeras. Pui Che-giok yang menyaksikan kejadian itu diam-diam
tertawa geli, ia segera maju kedepan dan menutup kembali
jendela yang terpentang, kemudian membersihkan noda darah
dan arak yang menodai pemukaan tanah, setelah selesai pintu
ditutup kembali dan diapun berlalu.
Sementara itu Hoa Thian-hong telah melihat sepasang
tangan Giok Teng Hujin yang putih bersih kini telah berubah
jadi hitam gelap, sedang gigitan pada tangannya sama sekali
tak mau dilepas, dalam keadaan seperti ini pemuda kita
menghela napas, seperti lagi membujuki anak kecil saja


Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya, "Baiklah, cepat lepaskan gigitanmu, perkataan
seorang pria sejati berat laksana bukit, setelah aku berjanji tak
akan pergi-pastilah aku tak akan pergi!"
Racun keji dari wilayah Biau terkenal karena keganasannya,
sejak keracunan, Giok Teng Hujin hanya memikirkan tentang
kekasihnya dan sama sekali tak mengerahkan tenaga untuk
lawan racun, hal ini membuat sepasang tangannya sama
sekali jadi kaku, kesadaranpun agak kabur.
Menanti Hoa Thian-hong mengucapkan kata-kata tadi, ia
baru lepaskan giginya. Hoa Thian-hong segera membuka penutup botol dan
menyuapi obat tersebut kedalam mulutnya, setelah itu telapak
tangannya di tempelkan diatas punggungnya dan salurkan
hawa murni untuk membantu daya kerja obat tadi dalam
memunahkan racun yang bersarang di tubuhnya.
Lewat beberapa saat kemudian, racun yang bersarang
didalam tubuh perempuan itu telah punah. Giok Teng Hujin
dapat menggerakkan kembali lengannya dengan leluasa,
diapun angkat kedua buah tangannya dan memeluk tubuh
Hoa Thian-hong erat-erat, si anak muda itu tertawa getir,
bisiknya dengan lembut, "Pek Kun-gie...."
Senyum manis tersungging diujung bibir Giok Teng Hujin,
ia gelengkan kepalanya berulang kali, namun pelukannya
sama sekali tidak mengendur dan mulutpun membungkam
dalam seribu bahasa. Hoa Thian-hong jadi kebingungan dibuatnya, dengan
perasaan tak mengerti ia menegur, "Eeeh! kenapa sih
wajahmu kelihatan sangat gembira" Ayoh, dibalik
kegembiraanmu itu pasti ada hal-hal yang tak beres!"
Giok Teng Hujin tertawa manis, dengan muka berseri-seri
ujarnya. Lepaskan dulu benda yang ada racunnya itu dan letakkan
dibalik pembaringan, kemudian berbaringlah dulu maka akan
kubicarakan banyak hal dengan dirimu, kalau engkau bisa
menangkan perdebatan ini maka mulai detik ini aku, Ku Inging
tak akan merecoki dirimu lagi, dan kau boleh anggap aku
sebagai perempuan yang paling rendah di kolong langit
dewasa ini. Perkataan tersebut diucapkan dengan nada serius, mau tak
mau terpaksa Hoa Thian-hong harus melaksanakan seperti
apa yang dikatakan olehnya, sesudah melepaskan pedang
bajanya dan diletakkan dibawah kasur iapun berbaring diatas
pembaringan. "Nah, apa yang hendak kau perdebatkan sekarang boleh
kau katakan secara blak-blakan!"
Agaknya Giok teng bnjin merasa sangat gembira, ia
lemparkan satu senyuman yang amat mesrah kepada pemuda
itu, lalu katanya, "Cinta kasih yang diperlihatkan Pek Kun-gie
kepadamu telah diketahui oleh khalayak umum, sedangkan
rasa cinta dan sayang dari aku, Ku Ing-ing kepadamupun
rasanya tak perlu dijelaskan lagi bukan?""
Hoa Thian-hong menghela napas panjang, dengan mulut
membungkam dia mengangguk.
Giok Teng Hujin tersenyum, ujarnya lebih jauh, "Dia yang
mencintai dirimu lebih dulu" ataukah aku lebih dulu yang
mencintai dirimu?" Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong, sahutnya
dengan suara amat lirih, "Susah untuk menentukan siapa yang
lebih duluan, tapi aku rasa persoalan ini toh tidak terlalu
penting" Setelah berhenti sebentar, sambungnya kembali, "Cinta
kasih yang enci berikan kepadaku disertai dengan pelepasan
budi kebaikan yang berlipat ganda, kalau dibicarakan
sesungguhnya tentu saja Pek Kun-gie tak dapat dibandingkan
dengan dirimu!" Giok Teng Hujin tertawa. "Perkawinanmu dengan Chin Wan-hong, perduli atas usul
dari siapa, kejadian ini adalah suatu peristiwa yang sangat adil
dan jamak, sebaliknya kalau engkau tinggalkan Chin Wanhong
untuk menikah dengan Pek Kun-gie, bukan saja semua
orang gagah yang ada di kolong langit akan memandang hina
dirimu, merekapun akan memandang rendah pula ibumu,
semua orang gagah di kolong langit tentu akan pada
membicarakan ketidakbecusan ibumu serta ketidak
bijaksanaannya dalam mengambil keputusan"
Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Hoa Thian-hong merasa
peluh dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya,
dengan gugup ia menimbrung dari samping, "Sampai detik ini,
aku dan ibuku belum pernah memikirkan hal-hal seperti apa
yang cici katakan barusan!"
Giok Teng Hujin tersenyum, kembali ia menyela, "Benarkah
begitu" Kalau rumah tangga sendiri tak dapat mengatur, mana
mungkin mengatur suatu negara" Engkau dan ibumu adalah
tulang punggung para jago dari golongan lurus, kalau toh
urusan rumah tanggapun tak becus untuk mengatur, dengan
dasar apakah kalian bisa menegakan keadilan serta kebenaran
bagi umat persilatan?""
Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, "Dalam
kenyataan, meskipun pendapat seperti ini tak pernah kalian
pikirkan, dalam hatipun secara lapat-lapat telah merasakan,
cuma saja berhubung kata-kata semacam itu diucapkan keluar
oleh seorang perempuan jahat seperti aku sekarang ini, maka
engkau meneri manya dengan suatu perasaan istimewa pula"
"Selamanya siaute tak pernah memandang enci sebagai
orang jabat, dan ibuku juga tak pernah mempunyai
pandangan begitu...."
Kembali Giok teng hnjin tertawa.
"Perduli bagaimanapun juga, yang jelas aku berdiri dipihak
orang-orang jahat, mungkin engkau sendiripun tak pernah
memikirkan bukan, orang baik bukan saja harus dipuji dan
disanjung oleh orang baik, selain itu orang jahatpun harus ikut
memuji dan menyanjungnya pula, dengan demikian ia baru
bisa dianggap seorang yang benar-benar baik sejati!"
"Aaah! Mana mungkin ada orang jahat bersedia memuji
dan menyanjung orang baik. Kalau sampai begitu dimanakah
letak kebu sukan dari orang jahat itu?"
"Bukan begitu, engkau memandang watak manusia terlalu
kasar dan gamblang, baik dia seorang kuncu ataupun seorang
manusia jahat, bila mereka semua menaruh rasa kagum dan
menyanjung, maka penghormatan tersebut barulah dapat
dianggap sebagai suatu penghormatan yang sungguhsungguh
dan dari situ pula lahirlah kata-kata yang
menyatakan: Sesat selamanya tak bisa menangkan lurus, dan
oleh karena pendapat ini pula semakin banyak yang diderita
orang baik, semangat dan ambisinya semakin teguh,
sebaliknya oOrang jahat yang terkena pukulan batin, jiwanya
langsung jadi kerdil dan keberanianpun hancur berantakan....
tentu saja walaupun dalam hati kecil seorang manusia jahat
Pendekar Pemetik Harpa 31 Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Geger Dunia Persilatan 6
^