Tiga Maha Besar 20
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung Bagian 20
seluruh permukaan bumi menggelegar di angkasa, pasir, debu
dan batu beterbangan di angkasa.
Li-hoa Siancu paling tak dapat menahan diri, begitu melihat
kabut tebal muncul dari dasar lembah, ia segera goyangkan
tangannya berulang kali sambil berteriak-teriak keras, "Siao
long cepat lari.... ! Siau long cepat lari!"
Gadis-gadis suku Biau adalah gadis yang tak kenal apa arti
malu, seorang mulai berteriak maka rekan-rekan yang lainpun
ikut berteriak teriak keras.
Mendingan kalau gadis-gadis suku Biau ini tidak berteriak,
begitu mereka berteriak serentak memancing pula kekuatiran
dari kawanan jago lainnya.
Perlu diketahui, selama ini Hoa Thian-hong telah
menunjukkan tekadnya yang besar untuk menemukan harta
karun itu, kesediaannya untuk berkorban demi kepentingan
orang banyak ini, telah menimbulkan rasa kagum dan haru
dihati setiap jago, tanpa sadar perasaan tersebut tertanam
pula dihati mereka dalam-dalam, siapapun tak mengharapkan
terjadinya sesuatu atas diri si anak muda itu pada detik-detik
yang terakhir ini.... Dalam waktu singkat, teriakan-teriakan keras dan jeritanjeritan
peringatan berkumandang dari mulut setiap umat jago
yang hadir diseputar tanah perbukitan itu, suaranya cukup
keras dan menggema diseluruh angkasa.
Pada hal setiap orang tahu bahwa Hoa Thian-hong berilmu
tinggi, dengan kecepatan gerakan tubuhnya tak mungkin ia
bakal terpengaruh oleh gelombang ledakan yang keras itu.
Namun, kendati begitu toh mereka berseru agar pemuda
itu lebih cepat lagi menyingkir dari sana, hal ini bisa
menunjukkan betapa hormat dan kasih sayangnya kawanan
jago tersebut pada pemuda itu.
Andaikata kejadian ini tidak berlangsung dalam keadaan
begini melainkan berhadapan muka secara satu dan satu
mungkin saja diantara mereka ada yang tak bisa melupakan
dendam lama serta menghilangkan rasa dengki, benci serta
dendamnya. Tapi sekarang mereka dalam keadaan bersama-sama,
dengan sendiri nya suasanapun jauh berbeda.
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong setelah memegang sumbu
bahan peledak itu dengan kecepatan penuh ia lantas
melayang keluar dari lorong bawah tanah dan kabar menuju
ketebing sebelah depan. Waktu itu ia mendengar bahan peledak dalam lambung
bukit sudah mulai meledak, kemudian terdengar teriakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
teriakan keras, ber kumandang diri atas puncak, ia tercekat
dan kebingungan, pemuda itu tak tahu apa yang terjadi diatas
puncak bukit itu. Maka pemuda itu semakin tancap gas dengan kecepatan
yang lebih luar biasa, ia menerjang naik keatas puncak
tersebut. Terdengarlah ledakan keras yang memekikkan telinga
menggelegar di angkasa menyusul kawanan jago yang berada
diatas puncak tersebut sama-sama berseru kaget dan
menghela napas panjang. Tampaklah bukit karang yang telah didiami oleh kawanan
jago itu banyak hari, kini sudah meledak dan retak-retak pada
bagian pinggangnya, malahan puncak bukit itu sudah ambruk
longsor kebawah. Dalam waktu singkat terjadilah gempa bumi yang sangat
keras diatas tanah bukit tadi semua tanah yang dipinjak
kawanan jago itu mulai bergoncang keras, pepohonan dan
batu kurang bergetar keras sekali, lama.... lama sekali
goncanggan itu bergetar tiada hentinya.
Semangkin banyak tanah dan batu karang yang longsor
dan bertaburan kedalam jurang, pepohonan serta bangunan
darurat yang dipakai oleh kawanan jago selama ini
bertumbangan, keadaan betul-betul mengerikan sekali.
Mendadak dari antara celah-celah tanah bukit yang
merekah dan longsor itu muncullab sebuah air terjun yang
sangat besar dan deras, dengan disertai suara gemuruh yang
sangat keras, gulungan air bah itu meluncur datang dengan
cepatnya, dalam waktu singkat air terjun tersebut telah
berada dihadapan muka mereka.
Dewa yang suka pelancongan Cu Thong sangat terkejut
segera serunya dengan keras
"Celaka jangan-jangan Kok See-piauw bajingan cilik itu
bermain gila lagi dengan kita?"
Ciang Cu gan setera menggeleng.
"Tak mungkin bajingan cilik itu berani main gila lagi, aku
rasa kejadian tersebut mungkin terjadi lantaran kerak bumi
bergoncang keras yang mengakibatkan bendungan tersebut
menjadi retak karena air bah pun mengalir kembali melalui
saluran yang telah ada seperti sedia kala!"
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan kembali.
"Oleh sebab kerak bumi mengalami menyusutan setelah
terjadinya ledakan ditanah perbukitan seberang sana, tanah
pada sekitar lambung bukit itu mengalami retakan-retakan
yang hebat, aai! Sebelumnya aku tak pernah menghitung
sampai kesitu, kalau tidak pasti akan ku kurangi kekuatan
bahan peledak yang kita tanam disana!"
"Saudara Ciang, akibat dari ledakan yang kelewat takaran
ini, mungkinkah bisa mengakibatkan hancurnya tempat
penyimpanan harta karun itu?" tanya Thian Ik-cu secara tibatiba.
Ciang Cu gan termenung dan berpikir sebentar, kemudian
sabutnya, "Pertanyaanmu itu sulit bagiku untuk menjawabnya
pada saat ini. Aaaiiii....! seandainya harta karun itu mengalami
kerusakan hebat semuanya itu adalah dosa dari aku Ciang Cu
gan, mungkin aku akan merasa menyesal untuk selamanya!"
"Ciang locianpwe, apa gunanya kau mengucapkan katakata
seperti itu?" tegur Hoa Thian-hong mendadak, "sepandaiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pandainya tupai melompat akhirnya akan jatuh juga, secerdikcerdiknya
seseorang dalam suatu bidang, kegagalan bukanlah
suatu kejadian yang aneh, lagipula masalah ini menyangkut
tentang mengerutnya kerak bumi yang berada didalam tanah
dan tak bisa dilihat manusia, siapa yang dapat menduganya
sampai kesitu" Kalau toh harta karun tersebut akhirnya
musnah, kita hanya bisa mengatakan bahwa takdir memang
menghendaki demikian!"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, aliran air
tersebut telah memancar lewat dengan cepatnya, liang besar
itu untuk kedua kalinya tergenang kembali oleh air bah.
Dalam pada itu, retakan-retakan pada dinding tebing masih
berlangsung terus tiada hentinya, batu-batu cadas yang besar
dan berukuran raksasa menggelinding jatuh kebawah dan
lenyap dibalik genangan air yang menutupi seluruh liang
penggalian tersebut. Kurang lebih setengah jam kemudian, ledakan dan retakanretakan
dari tebing bukit seberang sana perlahan-lahan mulai
mereda kembali, namun peredaran darah ditubuh kawanan
jago itu malahan terasa berpu tar makin cepat, jantung
mereka serasa berdebar keras.
Tiba-tiba Thian Ik-cu berseru dengan suara lantang, "Hoa
kongcu, aku rasa keadaan pada saat ini sudah mulai menjadi
tenang kembali, bagaimana kalau kita bersama-sama
menengok keadaan dibekas tanah ledakan tersebut?"
"Baik! mari kita maju bersama-sama kesitu, tapi
sebelumnya aku harap saudara sekalian suka mencamkan
beberapa patah kataku, ketahuilah peti mati lebarnya cuma
enam depa, dan benda sekecil itu tak akan makan tempat
selebar satu kaki, selama manusia masih hidup didunia ini
maka semuanya takdirlah yang menentukan, ada manusia
yang bernasib baik ada pula manusia yang bernasib jelek.
Tentunya kalian mengetahui bukan tentang cerita Say-ang
yang kehilangan kudanya" Siapa tahu kalau kudanya yang
hilang justru mendatangkan rejeki padanya" Kemudian Sayang
mendapat kudanya kembali, tapi siapa yang mengira
kalau ditemukannya kembali kuda tersebut justru merupakan
bencana baginya?" "Saudara-saudara sekalian, andaikata dalam bukit sebelah
sana banar-benar terdapat harta karunnya maka kalian boleh
mengambilnya, sebab itulah hasil dari jerih payah saudara
sendiri, itulah buah yang harus kalian terima setelah memeras
keringat dan tenaga. "Kita semua tak ada yang menjadi pemimpin rombongan,
tak ada seorangpua yang berhak untuk menentukan pilihan
bagian saudara sekalian, lagipula berbicara tentang nilai dari
harta pusaka itu setiap orang memiliki pandangan yang
berbeda-beda, setiap orang mungkin saja bisa mengalami
sengketa karena pilihan yarg sama, oleh karena itu untuk
mengatasi segala hal yang tak diinginkan pada hari ini aku
mohon kepada saudra sekalian untuk bertindak menuruti
suara hati masing-masing, ambillah benda yang sudah
menjadi hak bagi kalian dan bagi mereka yang telah mendapat
bagian menyingkirlah dengan segera dan bagilah sisa bagi
orang yang lain. Aku harap janganlah disebabkan karena harta
yang tak ada harganya ini sehingga menimbulkan bibit
bencana dan harus diakhiri dengan pertumpahan darah yang
tak berguna, aku rasa saudara-saudara sekalian tentunya bisa
menangkap serta memahami apa yang kumaksudkan dan apa
yang ku katakan barusan bukan?"
Ketika Hoa Thian-hong menyelesaikan kata-katanya dengan
suara keras tapi tegas, Kho Hong-bwee menambahkan pula,
"Apa yang barusan Hoa kongcu ucapkan semuanya
merupakan kata kata mutiara yang besar dan dalam sekali
artinya, semoga kalian dapat mencamkan kata-kata tersebut
kemudian meresapi serta melaksana kannya secara baik-baik,
dalam menghadapi segala persoalan lebih baik berpikirlah tiga
kali sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Ia berpaling lantas membentak lagi, "Saudara-saudara dari
perkumpulan Sin-kie-pang harap dengarkan baik-baik katakata
ku ini: 'Bila kami punya rejeki dan keuntungan maka
semua anggota perkumpulan dari atas sampai tingkat paling
bawah akan mendapat bagian bersama-sama meresapi
keuntungan tersebut', Pangcu sekeluarga tidak akan memeras
dan melupakan kesolidaritasan saudara-saudara sekalian,
kendatipun demikian aku minta kalian jangan melupakan
peraturan perkumpulan, siapapun asal dia anggota
perkumpulan Sin-kie-pang, sebelum mendapat perintah dari
pangcu dilarang untuk maju kedepan, barang siapa berani
menentang peraturan ini maka akan dijatuhi hukuman
setimpal dengan peraturan yang telah tercantum, aku minta
peringatan ini suka diindahkan oleh saudara saudara sekalian,
sehingga dapat dihindari segala hal yang tidak diinginkan.
Begitu selesai mendengar perintah itu, para anggota
perkumpulan Sin-kie-pang serentak menyahut, suaranya keras
dan serentak ibarat guntur yang menggelegar di udara.
Thian Ik-cu pun ikut berbicara dengan suara lantang, "Hoa
kongcu, kamipun hanya ingin cepat-cepat melihat harta karun
itu tapi jangan kau artikan ingin cepat-cepat mendapatkan
bagian dari harta karun tersebut, bilamana ada orang ingin
menggunakan kesempatan ini untuk menguntungkan dan
memperkaya diri sendiri, cukup Hoa kongco memberi
komando, serentak kami akan se-kuat tenaga melawan
manusia-manusia rakus itu, walau kepala bakal kutung, darah
bakal mengalir, kami semua tidak akan merasa gentar atau
mundur!" "Akan ku ingat selalu perkataan dari totiang! ujar Hoa
Thian-hong dengan wajah bersungguh-sungguh.
Ia lantas berpaling ke arah Kiu-im-kauwcu, setelah
memberi hormat ujarnya kembali, "Kaucu, cianpwe dan para
enghiong semua mari kita berangkat untuk menengok
keadaan disana!" Kiu-im Kaucu tertawa terbahak-bahak.
"Haaah.... haaah.... haaah.... saudara-saudara sekalian,
silahkan berangkat!" katanya pula.
Padahal semenjak tadi semua orang sudah terburu nafsu
ingin menuju ketempat penyimpanan harta itu, setelah
dipersilahkan maka siapapan tidak ingin banyak berbicara lagi.
Maka ketika berangkat menuju kemuka sekalipun tidak
diatur, secara otomatis kawanan jago itu membentuk barisan
sendiri secara teratur dan rapi.
Tampaklah Hoa Thian-hong berjalan dipaling depan dengan
Pek Siau-thian, Kiu im kancu, Jia Hian serta Thian Ik-cu
mendampingi disisinya, dibelakang kelima orang itu menyusul
pula para jago lainnya yang menyusun diri jadi lima orang tiap
baris, memandang jauh sebelakang sana, barisan itu sangat
teratur dan siapapun tiada bermaksud untuk saling
mendahului ataupun saling berdesakan.
Pada aliran selokan yang muncul setelah terjadi tempa
bumi itu penuh berserakan batu-batu cadas yang mencapai
beberapa kaki diameternya, dengan melewati batu-batu cadas
tersebut Hoa Thian-hong berlima memimpin kawanan jago
lainnya mendaki bukit batu karang itu dan menuju kepuncak
bukit yang sudah terbelah oleh ledakan bahan peledak serta
goncangan gempa bumi itu.
ooooOoooo 90 SETIBANYA dtatas puncak bukit yang terbelah itu, Hoa
Thian-hong tak dapat menahan pergolakan emosinya lagi,
timpaklah sekujur tubuhnya gemetar keras, helaan napas
panjang segera berkumandang saling menyusul dari mulut
kawanan jago tersebut. Pemandangan yang terbentang di depan mata pada saat ini
adalah suatu pemandangan yang aneh serta menakjubkan,
puncak bukit yang sudah terbelah oleh ledakan bahan peledak
serta goncangan gempa bumi itu sekarang telah berubah jadi
sebidang tanah datar yang luasnya mencapai tiga ratus kaki
persegi, diatas dataran itu penuh dengan jalan-jalan lorong
yang berlika liku dan tak terhitung jumlahnya.
Luas lorong yang seolah-olah dipapas dengan pisau itu
cuma beberapa kaki, tapi rata teratur dan rapi, panjangnya
mencapai sepuluh li atau lebih.
Meskipun panjang lorong mencapai sepuluh li lebih naumn
berlika liku kian kemari tak menentu, besar kecilnyapun
berbeda satu dengan lainya, berderet-deret bangunan batu
seperti sarang tawon berserakan disana sini, hanya saja pada
waktu itu hampir separuh bagian bangunan ruang batu serta
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lorong rahasia itu terbentang diluaran sedang sisanya yang
separuh masih terbenam dalam lambung bukit dan tertindih
oleh bukit karang yang tinggi dan padat.
Beberapa orang diantara mereka yang merasa berilmu
tinggi lantas melompat masuk kedalam lorong rahasia yang
terbelah jadi dua itu, mereka mencoba untuk mendekati pusat
bangunan tersebut dengan melalui lorong-lorong yang
terbentang lebar itu. Apa yang terjadi" Kendatipun beberapa orang jago itu telah
berusaha untuk berputar kesana kemari dengan mengikuti
barisan pat kwa ataupun barisan ngo heng yang mereka
kuasai, jangankan mendekati puing bangunan yang
dimaksudkan untuk mendekati pun ternyata tak mampu.
Lama.... lama sekali.... akhirnya Pek Siau-thiang menuding
ke arah tebing sebelah depan sana lalu berkata, "Daripada
saudara semua membuang waktu dan tenaga dengan
percuma, bagaimana kalau kita jangan melalui jalan lorong
yang membingungkan itu?"
"Asal melewati jalanan bekas sawah yang ada disebelah
sana, kemudian meloncat ke pusat bangunan, toh dengan
gampang sekali kita bisa masuk kedalam ruang batu itu?"
Oleh karena tak seorangpun yang memberikan tanggapan
atau usul lain, maka kawanan jago itupun meninggalkan jalan
lorong yang membingungkan dan menelusuri jalan perbukitan
yang tinggi rendah tak menentu di samping lorong-lorong tadi,
dengan sangat gampang semua orang dapat mencapai pusat
ruang batu di tengah-tengah kurungan lorong rahasia
tersebut. Setelah tiba didekat bangunan tadi, sebagaimana tadinya
maka kawanan jago itupun mengatur diri lima orang satu
barisan untuk meneruskan perjalananya kedepan.
Semua orang tahu setelah tempat penyimpanan harta
karun itu dilindungi oleh lorong-lorong rahasia yang amat
membingungkan pikiran serta susah untuk dilewati itu,
sebenarnya tanpa dipasangi alat jebakan di sekitar ruang
penyimpananpun tak mengapa, sebab tidak gampang orang
bisa mencapai ketempat itu.
Berdasarkan analisa inilah, maka setelah rombongan tiba
diluar ruang batu itu, semua orang tidak kuatir akan tersesat
atau terjebak lagi oleh alat-alat rahasia yang mengerikan,
dengan mengatur diri menjadi barisan mereka lanjutkan
perjalanan kedalam ruangan.
Perlu diketahui, pada saat ini rombongan kawanan jago itu
berada di bukit karang yang letaknya jauh lebih tinggi
daripada bangunan istana itu sendiri, ditambah pula separuh
bagian bangunan tersebut sudah longsor oleh gempa sehingga
boleh dibilang semua bangunan istana Kiu ci kiong seolah-olah
terkupas separuh, maka siapapun dapat melihat jelas keadaan
di dalam istana tersebut dengan amat jelas.
Tanpa menemui banyak kesulitan, mereka telah berhasil
mencapai depan pintu sebuah ruang batu dan memasuki
ruangan tersebut. Ruangan itu panjang sekali dan terbuat dari batu-batu
cadas yang sangat kuat, kurang lebih beberapa kaki kemudian
sampailah mereka di depan sebuah pintu lagi.
Pintu batu itu tertutup rapat, Kiu-im Kaucu lantas maju
kedepan dan mendorong pintu tadi kebelakang.
"Kraaakk!" Pintu batu itu ternyata tak terkunci, sewaktu
didorong lantas terbuka lebar, cahaya hijau yang menyilaukan
mata seketika itu juga memancar keluar dari balik ruangan.
Apa isi ruangan ini" Sinar mata semua orang tanpa terasa
tertuju kedalam ruangan itu.
Luas sekali ruang batu disana, isinya adalah benda-benda
terbuat dari batu kumala yang bertumpuk-tumpuk segudang
penuh, terbesar benda kumala itu besarnya seperti
pembaringan yang panjangnya delapan depa sedang terkecil
sebesar biji kelereng untuk perhiasan.
Selain itu terdapat pula botol porselen, kaleng porselen,
golok kumala, pedang kumala dan semua benda-benda lain
yang terbuat dari kumala bertumpuk disana semua.
Suatu pemandangan yang indah, menawan dan
mempersonakan hati, namun cukup membuat nafsu rakus,
nafsu tamak pada manusia ber munculan diatas wajah
masing-masing. Setelah memandang sekejap benda-benda kumala itu,
mendadak Kiu-im Kaucu berpaling lalu membentak keras,
"Sebelum mendapat perintah dariku, siapapun dilarang untuk
menyentuh benda-benda yang ada disini!"
Sehabis berkata ia melanjutkan kembali perjalanannya
menuju keruang yang lebih dalam.
Benda-benda kumala yang berhasil dikumpulkan Kiu-ci
Sinkun didalam ruangan itu memang tak terhitung jumlahnya,
barang siapa berhasil memiliki benda-benda tersebut, tak ragu
lagi niscaya dia akan menjadi seorang manusia yang kaya
raya. Terlihatlah beberapa orang kawanan jago silat itu sudah
mulai tak kuasa menahan diri, wajah mereka berubah hebat
dan jantungnya serasa berdebar keras.
Tiba-tiba Cu Im taysu maju beberapa langkah kedepan lalu
serunya dengan lantang, "Thian-hong, aku rasa cukup bagiku
untuk melihat sampai diruang ini saja!"
Selesai berkata, ia lantas putar badan dan berlalu dari
ruangan penyimpanan benda-benda kumala ini.
Ciu Thian-hau tertawa dia ikut berkata, "Haaahh....
haahhh.... haahh aku juga kuatir tak dapat menguasai
perasaan hati sendiri setelah melihat begitu banyak barang
bagus, lebih baik tugaskan saja kami untuk berjaga-jaga
disebelah atas sana. sekalian menjadi pengawal bagi kamu
semua!" "Betul," cepat Suma Tiang cing menambahkan, "sekalipun
mata melihat seolah tidak memandang, hati berpikir seolah
tidak merasakan namun yang terbaik adalah sama sekali tidak
melihat dan sama sekali tidak merasakan. Aku juga mundur
saja dari tempat ini."
Selesai berkata, tanpa banyak berbicara lagi, ketiga orang
itu lantas mengundurkan diri dari dalam ruangan.
Sepeninggalnya ketiga orang jago itu yakni Cu Im taysu,
Ciu Thian-hau serta Suma Tiang cing, rombongan melanjutkan
kembali perjalanannya menembusi ruangan-ruangan batu
berikutnya. Setelah melewati gudang penyimpan barang-barang
kumala, kawanan jago itu memasuki gudang tempat
penyimpanan barang-barang antik.
Kemudian setelah keluar dari gudang penyimpanan barangbarang
antik, mereka memasuki sebuah ruangan yang
menyimpan pelbagai macam lukisan serta tulisan orang
kenamaan, rata-rata tulisan maupun lukisan yang tersimpan
dalam ruangan itu merupakan hasil karya dari orang-orang
kenamaan banyak pula yang usianya sudah tua sekali, tentu
saja barang-barang seperti ini tak ternilai harganya.
Ruangan berikutnya adalah sebuah ruangan luas tempat
penyimpanan pelbagai macam alat musik, banyak alat musik
yang ada disitu merupakan bentuk-bentuk yang aneh serta
jarang sekali dijumpai didunia luaran, ada pula alat musik
yang sudah langka didunia.
Dari seruling sampai khiem dan tambur tersimpan semua
ditempat itu, malahan ada pula alat-alat musik yang terbuat
dari emas murni. Ruang selanjutnya adalah ruang batu tempat penyimpanan
intan permata serta mutu manikam yang tak ternilai harganya,
bukan saja jumlahnya bertumpuk-tumpuk segudang penuh,
bahkan intan permata yang tersimpan disana rata-rata besar
dan bercahaya tajam, paling kecil sebesar buah kelengkeng
dan paling besar sebongkah batu, bisa dibayangkan sampai
dimanakah nilai dsri barang-barang itu.
Rata-rata kawanan jago yang menyaksikan intan permata
tersebut sama menjulurkan lidahnya, belum pernah mereka
jumpai benda-benda mustika sebesar itu, tak heran kalau
banyak diantara mereka yang mulai goyah imannya....
Sementara itu rombongan jago sudah memasuki ruang
batu separuh yang terakhir, ruangan itu sudah tertutup oleh
lapisan batu pada langit-langitnya karena letaknya sudah
menjorok jauh dalam lambung bukit.
Sekalipun gelap suasananya, itu buka berarti sama sekali
gelap gulita sehingga melihat kelima jari sendiri pun tak dapat,
mutiara mutiara besar yang memancarkan sinar gemerlapan
tercecer diantara dinding ruangan dan merupakan alat
penerangan yang sangat bagus.
Setelah berjalan sekian lama, tiba-tiba dihadapan mereka
muncul sebuah ruangan batu, pintu gerbangnya satu kali lipat
lebih besar dari pintu-pintu ruangan lainnya, sebuah papan
nama yang terbuat dari batu kumala tergantung diatas pintu
gerbang tersebut dan berukirkan tiga huruf besar terbuat dari
emas, "Ciang keng cay! atau ruang penyimpan kitab"
Kontan saja kawanan jago itu merasakan hatinya tercekat
dan jantung serasa berdebar keras. Kiu-im Kaucu dan Pek
Siau-thian serentak maju bersama kemuka, masing-masing
melancarkan sebuah pukulun untuk mendorong pintu gerbang
itu. Pek Kun-gie maupun anak murid dari Kiu-im Kaucu selama
ini selalu membuntuti di belakang beberapa orang pemimpin
itu, begitu pintu batu terbuka, serentak mereka sama-sama
melongok kedalam. Masih mendingan kalau tidak melihat, begitu mereka
mengintip kedalam seketika itu juga beberapa orang itu
menjerit keras saking kagetnya, dengan rasa kaget dan gugup
serentak mereka mengundurkan diri ke belakang.
Ruangan penyimpan kitab itu luasnya enam kaki persegi,
disamping kiri dan kanannya masing-masing terdapat sebuah
pintu gerbang. Diatas pintu gerbang yang disebelah kiri tergantung sebuah
papan nama bertulisian, Wan Si atau ruang obat.
Sedangkan diatas pintu sebelah kanran tergantung sebuah
papan nama tertuliskan dua huruf besar, Bu Gu atau Gudang
silat. Kalau diruang sebelah kiri yang menurut catatan papan
nama itu merupakan ruangan penyimpan obat terdapat
kukusan-kukusan besar dan kukusan-kukusan kecil, maka
dibalik ruangan yang bertuliskan gudang silat itu terdapatlah
rak-rak buku yang bersusun-susun dengan banyaknya.
Sekilas pandangan saja, semua orang akan melihat dan
mengetahui bahwa dalam rak-rak buku itulah tersimpan kitabkitab
pusaka ilmu silat yang diincar serta diidamkan oleh
setiap umat persilatan. Ruangan itu tidak kosong tapi ada penghuninya, sebuah
tempat duduk yang bulat datar terbuat dari batu kumala hijau
terletak ditengah ruangan itu, diatas tempat duduk bersila
seorang kakek berambut perak sepanjang bahu dan
berjenggot panjang sedada.
Kakek itu memakai jubah panjang berwarna merah darah,
sepasang telapak tangannya berhenti ditengah udara dengan
posisi jurus Hun hoa hud liu atau memisahkan bunga
mengeburkan pohon liu, matanya terbelalak besar dan
senyum manis menghiasi bibirnya, orang itu persis seperti
manusia hidup lainya. Disekitar tempat itu penuh berkerumun manusia-manusia
dengan pelbagai dandanan yang aneh, ada yang sedang
menjotos, ada yang sedang melepaskan pukulan, ada yang
bersikap hendak menubruk, ada pula sedang melompat
mundur kebelakang, rupanya orang-orang itu sedang
mengerubuti kakek baju merah yang duduk bersila ditengah
ruangan itu. Diatas tanah tampak terkapar pula beberapa orang,
tampaknya orang-orang itu menggeletak karena dilukai oleh
kakek tersebut. Setelah memandang sekejap pemandangan disekitar
tempat itu, Po-yang Lojin lantas menuding ke arah kakek
berbaju merah darah itu kemudian katanya dengan lantang,
Orang inilah yang bernama Kiu-ci Sinkun sedang sisanya
adalah anak murid orang itu kecuali Cho Thian-hua, tiga puluh
lima orang muridnya semua berkumpul disini.
Kiu-im Kaucu mengerutkan dahinya rapat-rapat kemudian
berkata, Kalau dilihat dari keadaan disini, tampaknya dalam
istana Kiu ci kiong sudah terjadi pemberontakan secara besarbesaran,
kawanan anak muridnya telah bersatu padu untuk
menghadapi gurunya serta berusaha untuk melenyapkannya
dari muka bumi. Pek Siau-thian mendengus dingin, katanya pula, "Baik
gurunya maupun muridnya semua bukan orang baik-baik,
rasanya kita tak perlu untuk memikirkan tentang diri mereka
lagi, lebih baik dari masing-masing pihak mengeluarkan dua
orang wakil untuk menggotong pergi mayat-mayat dari
mereka ini, bukankah urusanpun akan menjadi beres den an
sendirinya?" Pertama-tama orang orang dari Sin-kie-pang memberikan
reaksinya lebih dulu, muncullah dua orang untuk menggotong
pergi mayat yang bergelimpangan disana, menyusul kemudian
dari empat penjuru bermunculan dua orang wakil untuk
menyingkirkan semua mayat disana.
Kelompok mayat-mayat yang berserakan disana itu sudah
mati seratus tahun lebih, sekalipun tampaknya masih utuh
seperti sedia kala, akan tetapi begitu diangkat maka mayat itu
lantas hancur menjadi abu dan tulang belulang mereka lantas
berserakan di atas tanah.
Namun kawanan jago yang bertugas mengangkuti mayat
itu tidak ambil pusing apakah kotor atau tidak, dalam keadaan
seperti ini mereka hanya ingin cepat-cepat mendapat bagian
dari harta karun itu, maka ada yang lantas melepaskan
jubahnya untuk mengangkuti abu dan tulang belulang itu, ada
pula yang manyapu dengan ujung bajunya lantas diangkut
begitu saja dengan tangan.
Diantara sekian banyak jago yang bekerja terdapat pula Tio
Ceng tang, ia mendapat tugas untuk mengangkut mayat dari
Kiu-ci Sinkun. Siapa tahu tatkala jari tangannya menyentuh tubuh Kiu-ci
Sinkun, mendadak ia melompat mundur sejauh lima depa
sembari berteriak keras, "Aduh mak!!"
Apa yang terjadi" Hoa Thian-hong segera menegur dengan
perasaan terperanjat. Sekujur badan Tio Ceng tang gemetar keras seperti orang
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketakutan sambil menuding ke arah mayat Kiu-ci Sinkun
dengan jari tangan yang gemetar ia berbisik, "Ii.... ituu....
tubuhnya masih hangat mu.... mungkin dia dia masih hidup!"
Suaranya terbata-bata dan nadanya Kurang jelas.
Hoa Thian-hong berkerut kening ia berpaling kepada Hoa
In yang berada dibelakangnya, lalu memerintahkan.
"Coba engkau pergilah kesana dan periksalah apa yang
sebenarnya telah terjadi"
Hoa in mengiakan dan lantas maju kedepan, sekali
cengkeram dia sudah mengangkat mayat Kiu-ci Sinkun dari
tempat duduknya kemudian sambil meraba tempat duduk
bulat pipih yang terbuat dari batu kumala hijau itu, katanya,
"Aaai! Siapa bilang dia belum mati" Rupanya tempat duduknya
ini terbuat dari batu kumala hangat yang telah berusia sepuluh
laksa tahun, oleh karena hawa hangat yang terpancar keluar
dari tempat duduk ini maka mayat Kiu-ci Sinkun selama ini
tidak sampai mengalami kerusakan atau pembusukan!"
Hoa Thian-hong alihkan sinar matanya ke arah tempat
duduk bulat pipih yang terbuat dari batu kumala hijau itu,
terbaca olehnya empat huruf besar terukir diatas tempat
duduk tersebut. "BU LIM CI CUN" atau Maharaja dari dunia persilatan.
Tanpa terasa diapun berpikir dihati, "Orang ini memang
sungguh jumawa dan berlagak sombong aaai! akhirnya toh dia
tewas dalam keadaan begini tak ada harganya, inilah yang
dinamakan mencari penyakit buat diri sendiri.
Berpikir sampai disitu tak kuasa lagi dia menarik napas
panjang panjang. Setelah berusaha dan bekerja keras, sebentar kemudian
semua mayat yang berada dalam ruangan itu sudah
disingkirkan, kawanan jago yang berbondong masuk
keruangan inipun segera memenuhi setiap sudut ruangan
yang ada disana. Luas ruangan batu itu kurang lebih enam kaki tapi untuk
menghindari segala kemungkinan yang tidak diinginkan,
beberapa orang pemimpin persilatan itu tak mau memasuki
ruangan itu terlalu dalam maka orang-orang yang sempat ikut
masuk ke dalam ruangan itupun cuma sebagian kecil belaka....
Sisanya yang berjumlah ratusan orang hanya bisa saling
berhimpit dan berdesakan diluar ruangan, ada yang berdiri
pada tu-mit ada yang menjulurkan lehernya, adapula yang
mementangkan matanya lebar-lebar untuk mengawasi
keadaan dalam ruangan itu.
Semua sinar mata dan perhatian kawanan jago itu sudah
tertuju pada kurungan-kurungan yang berisi obat mujarab
serta rak-rak buku yang berisikan kitab-kitab pusaka ilmu silat.
Mereka dapat melihat jelas bahwa kitab-kitab pusaka itu
diatur dengan sangat rapi, setiap ujung kitab terdapat
selembar kain kecil yang bertuliskan nama diri kitab itu
karenanya tanpa harus menarik keluar kitab itu, orang akan
tahu buku apakah yang tersimpan disana
Hanya sayangnya tulisan diatas lembaran kain itu kecil
sekali, dan lagi pula banyak sekali jumlahnya, kecuali
beberapa orang jago silat yang memiliki ketajaman mata luar
biasa, boleh dibilang yang lain tak mampu melihat apa-apa
kecuali pandangan yang muram.
Tiba-tiba Tio Sam-koh ambil keluar sebuah karung goni
yang amat besar, sambil merentangkan tersebut lebar-lebar ia
berteriak dengan suara lantang, "Heey! Ada yang mau turun
tangan tidak" Kalau semua orang segan untuk mengambil
kitab-kitab itu, aku si nenek tua segera akan mengambilkan
semua!" Hoa Thian-hong sangat terperanjat setelah mendengar
perkataan itn, dengan cemas ia berkata, "Nenek, engkau
jangan bergurau, apa gunanya kita miliki kitab kitab pusaka
ilmu silat itu?" "Kalau engkau tidak mau apa salahnya kalau aku mau" Toh
aku bisa menghadiahkan kembali kitab-kitab itu untuk orang
lain!" sahut Tio Sam-koh dengan kasar.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, selesai berbicara dia lantas
meren-tangkan karung goninya lebar-lebar kemudian
melangkah maju kedepan menghampiri rak-rak kitab itu.
Hoa Thian-hong jadi serba salah dibuatnya, ia cuma bisa
merintis sambil mengerling dengan penuh kecemasan kepada
istrinya. Chin Wan-hong tentu saja mengetahui apa maksud dari
suaminya itu, cepat dia memburu maju kedepan, sambil
menyeret tangan Tio Sam-koh katanya seraya tertawa, "Sam
popo kita kan sudah berjanji bahwa kedatangan kita kemari
hanya untuk jalan-jalan saja, kenapa kau angkuti semua kitabkitab
pusaka ilmu silat itu?"
"Sekalipun kedatanganku kesini hanya untuk jalan-jalan
belaka, masakah aku tak boleh mengambil kitab itu" Toh
orang lain tidak mau, apa salahnya kalau aku sinenek
mengambilnya?" Hoa Thian-hong semakin gelisah lagi setelah mendengar
perkataan itu, cepat ia berseru lantang, "Semua kitab pusaka
ilmu silat telah berada didepan mata, barang siapa punya
minat untuk mendapatkan kitab tersebut, silahkan maju untuk
mengambilnya sendiri, tapi setiap orang terbatas hanya boleh
mengambil sejilid saja, benda-benda yang ada pemiliknya
lebih baik jangan diambil, ambil saja kitab yang tak punya
tuan!" Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, tiba-tiba
terdengar seseorang berseru lantang, "Dalam usaha pencarian
harta karun, Ji sioca dari perkumpulan Sin-kie-pang yang
paling berjasa sepantasnya kalau ji sioca kami mendapat
penghormatan untuk memilih pertama kali!"
Tentu saja Hoa Thian-hong tahu bahwa orang yang
berbicara itu adalah anak buah dari perkumpulan Sin-kiepang,
meskipun ia tahu bahwa alasannya memang tepat,
namun pada hakekatnya ia tak ingin membiarkan Pek Kun-gie
memilih nomor satu, hanya saja ia merasa tak enak untuk
menolaknya secara terang-terangan, maka setelah termenung
sebentar diapun berkata, "Saudara-saudara sekalian, disebelah
kiri sana terdapat kamar obat mujarab didalamnya mungkin
saja terdapat obat mustika yang dapat membuat orang awet
muda dan tetap sehat, disebelah belakang sana ada gudang
senjata, didalamnya tentu tersimpan pelbagai senjata mustika
yang luar biasa dahsyatnya, berhadapan dengan barang
sebanyak ini siapa mengambil dulu belum tentu mendapat
keuntungan apa-apa, sebaliknya mereka yang mengambil
belakangan juga bukan berarti bakal rugi, bagaimanapun juga
setiap orang hanya terbatas boleh memilih satu jenis barang
saja, aku anjurkan kepada kalian agar memilihnya secara
perlahan-lahan, tunggu saja lah sampai mereka yang punya
barang terjerumus dalam istana ini mengambil kembali
barangnya yang lainnya barulah mulai memilih!"
Benda mustika yang tersimpan dalam istana itu memang
terlalu banyak jumlahnya, siapapun tak berani punya pikiran
untuk membegal atau merampok maka siapapun akan memilih
bagian yang terbaik dan terlihay untuk diri sendiri tapi oleh
kerena jumlahnya terlalu banyak siapapun merasa sulit untuk
menentukan pilihannya. Tiba-tiba terdengar Pek Kun-gie berkata, "Ayah bolehkah
aku memilih lebih dahulu?"
"Tentu saja siapa berani menghalangi niat mu?" sahut Pek
Siau-thian dengan angkuh.
Pek Kun-gie tertawa manis, dengan lemah gemulai dia
maju kedepan dan menghampiri rak-rak buku itu.
Berbicara yang sesungguhnya Pek Kun-gie menang
terhitung manusia yang paling berjasa dalam usaha pencarian
harta karun kali ini, maka keputusan untuk mempersilahkan
dia memilih lebih dahalu bukanlah suatu keputusan yang
kelewat batas. Sebab itulah baik Kiu-im Kaucu maupun Kiu-tok Sianci
berlagak bodoh seolah-olah mereka tidak melihat akan
kejadian itu. Pek Siau-thian dengan sinar matanya setajam sembilu
mulai menyapu sekejap ke arah rak-rak buku yang ada
dihadapannya, dia berharap bisa menemukan sejilid kitab
pusaka yang luar biasa dan dapat digunakan untuk
menandingi kelihayan kitab Kiam keng yang berhasil dipelajari
Hoa Thian-hong, kemudian memberi petunjuk kepada putrinya
untuk mengambil. Apa mau dikata,jumlah kitab pusaka yang tersimpan dalam
ruangan itu tak terhitung jumlahnya, setiap jilid Kitab yang
ada disana sudah cukup digunakan untuk merajai kolong
langit, untuk sesaat ia jadi bingung tak tahu harus memilih
yang mana. Sungguh gelisah dan cemas perasaan Pek Siau-thian pada
waktu itu terpaksa dengan ilmu menyampaikan suara ia
memberi kisikan kepada putrinya agar mengulur waktu,
"Berlagaklah sedang memilih dengan perlahan-lahan, jangan
keburu nafsu menjatuhkan pilihannya, bila aku sudah
menemukan pilihannya, segera kukirim kabar kepadamu untuk
mengambilnya!" Akan tetapi Pek Kun-gie berlagak pura-pura tidak
mendengar, mendadak ia mengambil sejilid kitab pusaka yang
amat tebal sekali dari rak buku itu, kemudian dengan suara
manja serunya, "Ayah, dalam perkumpulan Sin-kie-pang kita
sudah terdapat banyak sekali kitab pusaka ilmu silat, aku lihat
kitab racun Pek tok keng ini luar biasa sekali, bila kuambil
rasanya tidak akan merugikan dirimu bukan?"
Mendengar perkataan itu, baik Hoa Thian-hong maupun
Kiu-tok Sianci dan murid-muridnya meresa terperanjat.
Karena sudah diberi peringatan oleh Lan-hoa Siancu agar
jangan bercakap-cakap dengan Pek Kun-gie, Hoa Thian-hong
tak berani melanggar pantangan tersebut, maka diapun
menengadah keatas dan berseru dengan suara lantang,
"Saudara-saudara semua mohon perhatian! Bila benda yang
diambil ternyata punya pemiliknya, lebih baik janganlah
diambil toh isi ruangan ini banyak tak terhitung jumlahnya,
ada yang bisa membuat di ri menjadi sakti dan luar biasa, ada
pula yang bisa melatih diri sehingga tetap awet muda...."
Tiba-tiba Giok Teng Hujin mendehem berat dan menukas
ucapan Hoa Thian-hong yang belum selesai.
Si anak muda itu segera tersadar kembali bahwa ia sudah
salah berbicara, ia hanya berusaha mencegah Pek Kun-gie
untuk mengambil kitab pusaka Pek tok keng tapi hampir saja
sudah membengkalaikan urusan dari Giok Teng Hujin.
Pek Kun-gie bukan seorang manusia bodoh, dengan cepat
ia dapat menangkap maksud dari deheman itu, tiba-tiba ia
berpaling ke arah ayahnya kemudian bertanya, "Ayah, kitab
pusaka apakah yang bisa melatih diri menjadi cantik jelita dan
tetap awet muda?" Pek Siau-thian berpikir sebentar lalu menjawab, "Sudah
lama aku dengar orang berkata bahwa kitab pusaka Tuo li sim
keng merupakan pelajaran sim hoat tenaga dalam yang
membuat seseorang gadis tetap awet muda, katanya bila
seseorang dapat melatih tenaga dalamnya hingga mencapai
puncak kesempurnaan, maka bukan saja paras mukanya akan
bertambah cantik, bahkan akan tetap awet mada dan segar
bugar!" "Ayah, bagaimana kalau kuambil saja kitab pusaka Pek tok
keng ini?" Pek Siau-thian menghela napas panjang, dalam hatinya ia
berpikir, "Aaai.... budak ini memang keterlaluan dianggapnya
perempuan perempuan dan suku Biau itu bisa diganggu
seenaknya?" Berpikir demikian diapun menjawab dengan lantang,
"Kelompok kita adalah kelompok yang mengkhususkan diri
berlatih ilmu silat apa bila ilmu yang kita pelajari sudah
mencapai puncak kesempurnaan maka sekalipun orang
memiliki racun yang lihay juga tak akan mampu mengapaapakan
kita buat apa kita musti mencabut gigi taring orang
lain?" Pek Kun-gie memutar sepasang biji matanya, kemudian
menyahut, "Baiklah, aku rasa perkataan ayah sudah pasti tak
bakalan salah!" Maka ia mengembalikan kitab Pek tok keng itu ketempat
semula, lalu sambil berpaling kembali dia bertanya, "Ayah,
kitab pusaka Tuo li sim keng berada dimana?"
"Baris ketiga dinding sebelah kiri, dihitung dari bawah maka
berada pada rak nomor dua!"
Pek Kun-gie lantas berjalan menuju ketempat yang ditunjuk
dan mengambil keluar kitab Tuo li sim keng dari dalam rak
tersebut. Menyaksikan perbuatan putrinya, Pek Siau-thian jadi
keheranan, dia lantas bertanya, "Anak gie, engkau adalah
seorang dara yang canik jelita, didunia dewasa ini sukar untuk
mencari gadis yang lebih cantik daripada dirimu, apa gunanya
kau ambil kitab tersebut, bukankah tindakanmu ini sama
artinya dengan menyia-nyiakan hak pilihmu yang bagus ini?"
Pek Kun-gie sama sekali tidak tergerak hatinya oleh
perkataan tersebut, ia menjawab dengan manja, "Kecantikan
sama dengan ilmu silat, sekalipun orang sudah berilmu tinggi
pasti menginginkan ilmu yang lebih tinggi, begitu pula dengan
kecantikan, sekalipun orang sudah cantik toh masih ingin lebih
cantik lagi!" Habis berkata, dengan wajah berseri dan penuh
kegembiraan ia membawa kitab pusaka Tuo li sim keng itu
kembali ketempat semula. Sungguh gelisah dan panik Hoa Thian-hong menghadapi
kejadian ini, mukanya telah berubah jadi merah padam,
sepasaag matanya merah berapi-api, ia pernah menyanggupi
permintaan Giok Teng Hujin untuk mencarikan ilmu yang
dapat memulihkan kembali kecantikan wajahnya tapi sekarang
setelah janjinya itu akan dipenuhi ternyata Pek Kun-gie telah
mendahului dirinya, dengan begitu bukankah ia jadi tak dapat
memenuhi janjinya" Kendatipun begitu, berhubung Pek Kun-gie juga seorang
gadis dan pantaslah bagi seorang dara untuk mengambil kitab
pusaka Tuo li sim keng, maka walaupun dalam hati merasa
gelisah, ia tak mampu untuk menghalangi niatnya itu.
Bagaimana pun juga Chin Wan-hong adalah seorang istri
yang saleh, ia dapat merasakan kebingungan serta kepanikan
suaminya, selain itu diapun dapat meresapi betapa pentingnya
kitab tersebut bagi Giok Teng Hujin maka diapun tertawa.
"Adik Kun gie!" katanya dengan lembut, "hayo cepat
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembalikan kitab tim keng itu pada tempatnya semula!"
"Kenapa?" tanya Pek Kun-gie dengan wajah tercengang.
Kembali Chin Wan-hong tertawa.
"Dengan wajahmu yang cantik jelita ini kutanggung engkau
masih bisa kawin dengan seorang pemuda tampan, bila
kecantikan mu bertambah lipat ganda, lagi pula mana ada
lelaki tampam dikolong langit ini yang pantas uutuk
mendampingimu" Bukankah selama hidup jangan harrap bisa
kawin lagi" Pek Kun-gie bukanlah gadis yang bodoh, sejak permulaan
tadi ia sudah dapat meresapi betapa gusar dan paniknya Hoa
Thian-hong, apa lagi sekarang sesudah mendengar bahwa
ucapan dari Chin Wan-hong itu mengadung arti lain, ia tak
berani bertindak gegabah lagi, terpaksa kitab pusaka Tio li sim
keng itu dikembalikan ketempatnya semula.
Setelah itu sambil tertawa cekikikan katanya, "Aaaai! Ini
tidak cocok itu tidak jadi biarlah kupilih sembarangan saja!"
Habis berkata dia lantas membopong batu pipih terbuat
dari batu kumala itu sambil tertawa cikikkan kembali ketempat
semula. Tindakannya ini sama sekali diluar dugaan Pek Siau-thian,
ia jadi tertegun dan tidak habis, mengerti pikirnya, "Tolol amat
budak ini, meskipun lohu adalah seorang ketua dari suatu
perkumpulan besar, tak akan berani kududuki kursi
singgasana yang berukiran kata-kata Maha raja dari dunia
persilatan itu, apa gunanya kau ambil benda itu!"
Tentu saja ia tak akan tahu bahwa apa yang dipikirkan Pek
Kun-gie bukanlah dirinya, gadis itu tak pernah melayangkan
ingatannya untuk menukilkan kepentingan ayahnya.
Semenjak ia melangkah masuk kedalam ruangan tadi, sorot
matanya sudah tertuju pada tempat duduk pipih kumala itu,
pikirnya dihati. "Kalau aku tidak menikah itu lain soal, andaikata menikah
maka kursi kebesaran itu merupakan barang tanda mata yang
terbaik dariku akan kusuruh dia mencicipi bagaimana rasanya
menjadi Maharaja dari dunia persilatan, otomatis akupun akan
menjadi nyonya maharaja alias ratonya.... tentu nikmat
rasanya" Apa yang dipikir gadis itu tentu tak terpikirkan oleh Hoa
Thian-hong, pemuda itu hanya merasa bahwa dengan susah
payah akhirnya toh persoalan yang maha sulit itu dapat juga
teratasi olehnya, maka diapun berpaling ke arah Kiu-im Kaucu.
"Dari pihak Sin-kie-pang sudah ada satu wakil yang maju"
katanya, mengapa kaucu tidak maju juga untuk memilih satu
macam benda sebagai tanda mata dari gerakan pencarian
harta karun dibukit Kiu ci San ini?"
Kiu-im Kaucu tertawa. "Bukannya aku sengaja bicara sombong atau tinggi hati,
terus terang kukatakan bahwa benda yang ada disini tak
sebuahpun yang menarik perhatianku!"
Hoa Thian-hong menghela napas panjang.
"Aaai.... kaucu bermata emas, tentu pilihannya juga
merupakan benda-benda yang tak ternilai harganya, aku
sudah dapat memahami akan perasaan hatimu itu. Aaaai! Bila
engkau ingin mendapatkan kitab pusaka yang jauh lebih hebat
dari kitab Kiam keng, aku rasa hal ini merupakan suatu
pekerjaan yang amat sulit!"
Kiu-im Kaucu tertawa. "Mari kita masuk dulu kedalam ruang obat-obatan, bila
disanapun tak berjodoh, anggap saja takdir memang
menghendaki demikian!" katanya.
Hoa Thian-hong pun tidak banyak bicara lagi, ia berpaling
dan menyapu sekejap kawanan jago yang berada
dihadapannya, kemudian menegur, "Apakah masih ada para
enghiong dari perkumpulan Kiu-im-kauw yang ingin tampil
kedepan untuk mengambil harta?"
Giok Teng Hujin segera tampil kemuka, ujarnya dengan
lantang, "Harap cianpwe sekalian suka memberi maaf atas
kelancangan Ku Ing-ing yang tak kenal adat, sebenarnya aku
tak berani berhati tamak, tapi lantaran satu dan lain hal,
terpaksa aku harus mendahului kalian semua!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi ia maju kedepan dan
mengambil kitab pusaka Tuo li sim keng tersebut.
Sebagian besar jago silat yang hadir di tempat itu
mengetahui bahwa Giok Teng Hujin mempunyai hubungan
yang luar biasa dengan Hoa Thian-hong, karena itu berada
dalam keadaan dan saat seperti ini, Pek Siau-thian sendiripun
segan untuk banyak bicara, tentu saja orang lain lebih-lebih
tak berani banyak bicara apalagi kitab pusaka itu hanya
berguna bagi kaum wanita.
Setelah menyimpan kitab pusaka tersebut kedalam
sakunya, Giok Teng Hujin maju ke hadapan Kiu-im Kaucu lalu
jatuhkan diri berlutut katanya dengan lirih, "Sudah lama Ing
ing mendapatkan pendidikan serta kasih sayang dari kaucu,
untuk semua budi kebaikan itu, selama ini terjadi suatu
kericuan yang bikin kita jadi sama-sama tak enak, namun Ing
ing tak berani untuk mendendamnya. Semoga dengan
perpisahan ini kaucu suka menunjukkan kebesaran jiwanya
serta melupakan diriku uniuk selamanya"
Hoa Thian-hong ikut memberi hormat, katanya.
"Kaucu adalah seorang pemimpin dunia persilatan,
tentunya tak akan mempersulit seorang gadis bukan" Lagipula
bila kaucu suka melepaskan pergi maka akupun ikut merasa
berhutang budi!" Sinar mata Kiu-im Kaucu yang setajam sembilu berputar
kian kemari menyapu wajah kedua orang itu, mendadak ia
menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh.... haaaahh.... haaaahh.... pergilah, semoga suatu
ketika perkumpulan Kiu-im-kauw dapat menguasai kembali
seluruh jagad, waktu itu bila kau sudah sadar kembali, maka
pulanglah kepangkuan perkumpulanmu!"
"Terima kasih atas kebearan jiwa kaucu!" kata Giok Teng
Hujin sambil bangkit berdiri kemudian dengan membawa Pui
Che-giok berlalu dari tempat itu.
Sepeninggal ruangan itu, Giok Teng Hujin sama sekali tidak
memandang sekejap pun ke arah Hoa Thian-hong, ia cuma
memandang ke arah Chin Wan-hong seraya tertawa, ini
membuat pemuda tersebut jadi melongo tercengang dan
merasa tidak habis mengerti.
Dalam kasus peristiwa ini, Giok Teng Hujin adalah seorang
gadis yang memiliki kekuatan untuk mempersona hati kaum
pria, sebaliknya Hoa Thian-hong adalah pemuda yang berilmu
tinggi sekalipun Kiu-im Kaucu tidak ingin melepaskan
perempuan itu dengan begitu saja, toh akhirnya harus
mengabulkannya juga, namun kegusaran yang berkobar
dalam dadanya sukar dikendalikan lagi.
Tiba-tiba ia berteriak keras, "Saudara sekalian, dihadapan
mata kalian tersedia beratus-ratus jilid kitab pusaka ilmu silat
yang dapat membuat tubuh kalian jadi kuat dan ilmu silat
kalian jadi lihay, mengapa kalian tetap berdiam diri saja" Hayo
majulah dan rampaslah kitab-kitab itu!"
Kiu-tok Sianci mendengus dingin, tiba-tiba ia berseru, "Lan
hoa maju kesana dan ambil kembali kitab pusaka Pek tok keng
milik kita!" Semenjak tadi Lan-hoa Siancu sudah tak sabar menunggu,
mendengar perintah itu dengan langkah lebar dia lantas maju
kemuka dan ambil kembali kitab Pek tok keng milik
perguruannya dari susunan rak buku itu.
Hoa Thian-hong diam-diam merasa cemas, tatkala
dilihatnya suasana yang semula aman, tenang dan damai itu
mendadak terancam oleh ledakan amarah dan sifat tamak
manusia, cepat ia menjura kepada Yu ming tiancu seraya
berkata, "Disebelah kiri sana terdapat kitab hiat im ceng ciat,
sesuai sekali dengan perrguruan Kiu-im-kauw kalian, apa
salahnya kalau tiancu pergi mengambilnya?"
Sebagaimana telah diceritakan diatas, Yu ming tiamcu dan
Suma Tiang cing pernah melakukan pertempuran yang amat
sengit bahhan saling mempertaruhkan jiwa raganya masingmasing
oleh karena usia mereka hampir sebaya dan ilmu
silatpun seimbang sejak peristiwa tersebut entah apa
sebabnya dalam benak Yu ming tiancu selalu timbul bayangan
tubuh dari Suma Tiang cing
Kejadian tersebut merupakan rahasia pribadinya yang
paling besar tak pernah ia bocorkan kepada siapapun juga
hanya karena perasaan itu maka tanpa disadari, timbulah
pikiran dan ingatan untuk membantu pihak kaum pendekar.
Sekarang ketika ia dengar seruan dari Hoa Thian-hong,
setelah tertawa tanpa minta persetujuan dari kaucunya lagi ia
maju kemuka dan mengambil kitab hiat im ceng ciat yang
dimaksudkan. Hoa Thian-hong berpaling pula kepada Pek Soh-gie,
kembali ia berseru. "Cici, dibarisan kedua rak paling bawah terdapat setengah
jilid kitab Ci yu jit ciat, kitab itu sepantasnya diberikan kepada
toako, pergi dan tolong ambilkan baginya!"
Padahal yang sebenarnya sedari tadi Pek Soh-gie sudah
mendapat petunjuk dari ibunya untuk melaksanakan soal itu
tapi oleh sebab belum mendapat giliran ia cuma panik dalam
hati. Sekarang setelah dipanggil namanya, sambil tersenyum dia
lantas tampil kedepan setelah mengambil kembali setengah
jilid kitab Ci yu jit ciat tersebut, dara itu kembali kesamping
Bong pay. Waktu itu sebenarnya Pek Siau-thian sedang mendongkol
dan tak senang hati karena Hoa Thian-hong membaiki pihak
Kiu-im-kauw, akan tetapi setelah kejadian ini perasaan
hatinyapun merasa reda lebih baikan
Terdengar Hoa Thian-hong melanjutkan kembali
seruannya, "Huan heng, kitab pusaka Poh ka kun boh berada
di rak sebelah kanan dekat pintu, Konsun cianpwe, pedang it
ci hui kian berada disudut ruangan dekat dinding kiri
cianpwe." Tampaknya sebelum itu Hoa Thian-hong sudah menyelidiki
baik-baik siapa saja ahli waris dari pemilik pemilik kitab lama
yang hadir dalam penggalian tersebut, maka sekarang dengan
lancar dan hafalnya satu per satu ia sebutkan nama ke tiga
puluh satu orang itu untuk mengambil kembali barang-barang
miliknya. Selang sesaat kemudian, semua orang yang merasa pernah
kehilangan bukunya karena dicuri atau dirampas oleh Kiu-ci
Sinkun, kini sudah mendapatkan kembali barang miliknya.
Walau demikian, barang yang telah diterima oleh kawanan
jago itupun baru seperempat dari jumlah buku yang terdapat
didalam ruaagan itu, sisanya tiga perempat masih tetap
berada ditempat semula. Hoa Thian-hong lantas berpaling ke arah Thian Ik-cu dan
Jin Hian, katanya, "Aku rasa kalianpun boleh segera maju
untuk mengambil kitab yang kalian senangi!"
"Tunggu sebentar!" sela Pek Siau-thian.
Kontan saja Jin Hian melototkan sepasang matanya lebarlebar,
katanya dengan nada seram, "Hmm.... jangan dianggap
sudah tiba giliranmu untuk unjukkan kegagahan disini!"
Pek Siau-thian tertawa dingin, katanya, "Hhmmm! Bila aku
orang she Pek ingin ribut dengan kau pada saat ini, aku pikir
kau pasti tak akan puas, mau berlagak pun akan ku tunggu
sampai kau bangkit kembali kedunia persilatan!"
Setelah berhenti sebentar sambungnya lebih jauh, "Mulai
saat ini, setiap benda setiap barang yang ada dalam ruangan
ini harus dibagi menjadi lima bagian, dan barang-barang itu
akan diterima oleh masing-masing kelompok yang kemudian
dibagi secara rata diantara anggotanya!"
Hoa Thian-hong, Kiu-im Kaucu, Jin Hian serta Thian Ik-cu
saling berpandangan sekejap, mereka merasa bahwa cara
pembagian tersebut memang sangat adil, tidak akan
menerbitkan pertentangan ataupun pertikaia, maka siapapun
tak suka banyak bicara lagi.
Tiba-tiba Kho Hong-bwee berkata sambil tertawa nyaring,
"Thian bong, pekerjaan ini memang agak menyusahkan
dirimu, tapi aku rasa sangat adil dan bijaksana, aturlah
pembagian ini seadil adilnya!"
"Boanpwe turut perintah!" sahut Hoa Thian-hong sambil
menjura. Dia lantas maju kedepan dan katanya dengan lantang,
"Saudara-saudara sekalian, tentunya kalian tahu bukan bahwa
aku masih punya janji dengan pihak Seng sut pay" Maka aku
minta, seandainya diantara kalian ada yang mendapatkan
barang milik mereka, harus segera ditukarkan kepadaku!"
"Thian-hong....!" mendadak dari luar pintu kembali
terdengar seseorang memanggil.
Hoa Thian-hong menengadah, ia lihat Cu Im taysu dengan
membawa seorang hwesio sedang berjalan masuk kedalam
ruangan itu, ia pernah berjumpa dengan padri itu karena dia
bukan lain adalah It biau hwesio yang pernah ditemuinya
diluar kota Lok yang ketika berunding dengan Huang-san su lo
tempo hari. Terdengar Cu Im tayau berkata, "It biau suheng tidak
terhitung seorang manusia persilatan, dia hanya ingin
mengembangkan ajaran Buddba didunia ini, oleh karena
didengarnya bahwa dalam istana Kiu ci kiong tersimpan
setumpuk kitab Buddha, sengaja ia datang kemari untuk
mencari derma, semoga saudara sekalian sudilah kiranya
memenuhi apa yang dia harapkan!"
"Ucapan itu memang benar, banyak pelajaran kitab Buddha
yang tersimpan disini."
"It biau suhu! Silahkan masuk" kata Hoa Thian-hong.
Dengan kepala tertunduk, It biau hwesio masuk kedalam
ruangan mengikuti dibelakang Cu Im taysu, kedua orang
inipun lantas berdiri disisi pintu gerbang.
Mendadak salah satu anggota Hong im bwe berseru
dengan suara dingin. "Hmm.... hwesio ini tidak punya kepandaian apa-apa, tapi
datang-datang lantas mencari untung, sialan.... siapa yang
kesudian memberi bagian kepadanya!"
Walaupun perkataan itu sangat lirih tapi cukup tajam dan
pedas dalam pendengaran. Seketika itu juga paras muka Cu Im taysu berubah jadi
merah padam seperti kepiting rebus, cepat-cepat katanya.
"Sebenarnya It biau suheng juga ingin datang kemari untuk
menyumbangkan tenaganya, tapi karena ia tak pandai silat
maka perjalanannya dilakukan lambat sekali. Aaaii Sayang aku
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiripun tak pernah menyumbangkan tenagaku, kalau tidak
niscaya bagianku akan kuserahkan kepadanya!"
"Aku akan menyumbangkan bagian untuk It biau suhu!"
cepat Hoa Thian-hong berseru dengan lantang, "asalkan kalian
mendapatkan kitab ajaran Budha, silahkan di serahkan
kepadaku untuk ditukar dengan kitab pusaka ilmu silat!"
Tidak menunggu tanggapan dari orang lain lagi ia lantas
maju kedepan dan mulai membagi kitab.
Tangannya yang satu mengambil kitab dari deretan rak
buku sementara tangannya yang lain memindahkan kitab
tersebut keatas tanah dan dibagi rata jadi lima tumpuk, semua
Kitab ajaran Buddha dan ajaran agama To semuanya diambil
atas nama pribadinya. Buku yang tersimpan dalam ruang batu itu memang banyak
tapi tak bisa menandingi kelincahan Hoa Thian-hong, dalam
setengah jam pembagian kitab silat telah selesai.
Pada saat ini siapapun tidak sungkan-sungkan lagi, masingmasing
pibak segera mengu tus orsng untuk maju dan
membungkus kitab-kitab bagiannya dengan kain kemudian
mengutus pula jago lihaynya untuk membawa kitab itu serta
menyusun pasukan penjaga untuk melindungi kitab-kitab
tersebut. Haruslah diketahui, walaupun kitab-kitab pusaka itu sama
sekali tak dipandang sebelah matapun oleh Hoa Thian-hong
serta Kiu-im Kaucu, akan tetapi dikolong langit dewasa itu
tidak ada dua tiga orang yang memiliki ilmu silat selihay Hoa
Thian-hong serta Kiu-im Kaucu, maka bisa dibayangkan
betapa penting dan berharganya kitab kitab ilmu silat itu bagi
mereka. Hoa Thian-hong dengan membawa setumpuk kitab ajaran
Budha menghampiri dihadapan It biau hwesio, sambil
mengangsurkan kitab tersebut, katanya dengan lembut.
"Toa suhu, disini terdapat dua puluh tujuh jilid kitab ajaran
Buddha, mungkin semuanya terdiri dari sembilan puluh buku,
harap kau terima dengan senang hati, aku rasa kalau toh kitab
itu disimpan Kiu-ci Sinkun ditempat ini, tentu tak ternilai
harganya!" Cepat It biau hwesio merangkap tangannya memberi
hormat. "Semoga amal dan bakti siau sicu dapat di berkahi dan
dilindungi oleh Budha maha pengasih."
Sesudah terhenti sebentar, tambahnya lagi.
"Cukup dengan sejilid kitab Tay pe sim huo lo ni keng
nilainya sukar dilukiskan dengan kata-kata, amal bakti siau
sicu benar-benar mengharukan hatiku"
Ia lantas meroioh sakunya dan ambil keluar sebuah karung
kain. Hoa Thian-hong pun masukan setumpuk kitab tersebut
kedalam karung tadi, kemudian dengan membawa setumpuk
buku ajaran-ajaran agama To, ia menghampiri Kho Hongbwee.
Melihat perbuatan si anak muda itu Kho Hong-bwee
tertawa terbahak bahak, katanya, "Pay ji serta Soh-gie masih
membutuhkan perawatanku, aku sedang mempertimbangkan
untuk melepaskan jubah pendeta ini, baiklah kuterima dulu
kitab ini dan dibicarakan lagi dikemudian hari!"
Tio Sam-koh maju kemuka sambil membuka kantung kain
yang dibawanya ia berseru, "Hayolah, sekarang tiba giliranku
untuk menerima bagian!"
Melihat itu Hoa Thian-hong hanya bisa tertawa paksa,
katanya, "Popo, banyak orang telah menolong serta
membantu aku dalam mengerjakan penggalian ini, pepatah
mengatakan: manusia mati lantaran harta, burung mati
karena makanan, bagi orang yang belajar silat maka benda
itulah yang paling mereka sukai.
Tio Sama koh segera melototkan sepasang matanya bulatbulat,
ia berkata dengan lantang.
Sekalipun harus dibagi, akulah yang akan membagi kitabkitab
ini kepada mereka, selain haarus kuperhatikan cara kerja
mereka akan kuselidiki pula tabiat dan tindak tanduknya, aku
tak akan berikan kitab ini semaunya sendiri.
Hoa Thian-hong dibuat apa boleh buat, terpaksa semua
kitab pusaka ilmu silat bagiannya dimasukkan kedalam karung
goni milik Tio Sam-koh. Tio Ceng tang segera menunjukkan muka cemas dan
gelisah, sikapnya sangat tidak tenang.
Chin Wan-hong yang melihat itu cepat berseru dengan
suara keras. "Tio locianpwe, ilmu silatmu toh sudah mencapai puncak
kesempurnaan, sukar untuk mencari tandingan didunia ini apa
gunanya kau mengangkangi semua kitab pusaka itu."
"Hmm! Aku tak parnah bertarung diatas panggung Lui tay,
siapa bilang ilmu silatku sudah tiada tandingannya lagi?" Tio
Sam-koh menjengek dengan dingin.
Sebelum gadis itu memberi tanggapan lagi, Kiu-im Kaucu
telah membuka pintu dari ruang obat obatan, maka semua
orangpun lantas mengikuti masuk kedalam ruangan itu.
Begitulah, selanjutnya semua orang membagi obat-obatan,
membagi alat senjata, membagi barang antik, lukisan
kenamaan dan akhirnya membagi intan permata serta mutu
manikam, sampai senja hari kedua, pembagian tersebut baru
selesai. Orang-orang dari pihak Hong-im-hwie dan Thong-thiankauw
kuatir barang mustika mereka dibegal orang begitu
pembagian harta telah selesai, cepat-cepat mereka kabur dari
situ dan lenyap entah kemana.
Menyusul kemudian orang-orang dari Kiu-im-kauw berlalu
dari sana, akhirnya pihak Sin-kie-pang baru menyusul.
Sebelum masuk kedalam istana harta karun itu, baik Kiu-im
Kaucu maupun Pek Siau-thian mempunyai niat untuk
merampok dan mengangkangi barang pusaka itu, tapi
kemudian setelah dilihatnya bahwa diantara kitab pusaka itu
tidak terdapat sejilid kitabpun yang bisa melatih ilmu silat
mereka sehingga dapat mengalahkan Hoa Thian-hong, diamdiam
mereka merasa murung dan tak tenang hati.
Apa mau dikata, harta karun yang berada dalam bukit Kiu
ci san memang tak terhitung jumlahnya, sebelum mereka
berangkat pulang, mereka lihat bagian dari perkumpulannya
begitu banyak dan berlimpah sedikit banyak rasa kecewa
merekapun sedikit terobati dimana kemudian perasaan hati
merekapun lebih terbuka. Pada akhirnya mereka sama sekali tidak punya ingatan
untuk mengalahkan Hoa Thian-hong lagi.
Setelah rombongan itu berangkat semua, Hoa Thian-hong
serta Tio Sam-koh pun ikut bubaran.
Tio Ceng tang dengan mengandalkan hubungan famili serta
selembar mulutnya yang pandai merayu, tak sampai satu hari
ia telah berhasil menipu Tio Lo tay ini jadi pusing tujuh
keliling, bukan saja akhirnya nenek itu tidak berhasil
mendapatkan apa-apa, kitab pusaka yang semula berada
dalam karungnya pun habis dibagikan kepada kawan kawan
jago tak berkelompok yang telah membantu dalam usaha
penggali an tersebut. Rombongan dari Hoa Thian-hong adalah rombongan
terakhir yang meninggalkan tempat itu, setiap orang pulang
dengan tangan kosong, kecuali senjata masing-masing, boleh
dibilang siapapun tidak membawa hasil apa-apa.
Ditengah jalan Tio Sam-koh merasa mendongkol
bercampur menyesal, akhirnya saking penasarannya ia
mengisi karung goninya dengan batu batu cadas yang amat
bessar, kemudian meneruskan perjalanan dengan memanggul
batu-batu itu. Hoa Thian-hong hendak mewakili untuk menggotong
karung tersebut, tapi sampai matipun nenek itu tak sudi
melepaskan panggulannya. Sepanjang jalan, tiba-tiba Chin Wan-hong mulai mengeluh,
ia mengatakan terlalu sayang kalau batu pipih kumala hijau itu
di dapatkan Pek Kun-gie, sepantasnya kalau kursi kebesaran
itu didapatkan oleh Hoa Thian-hong, sebab dialah yang
memimpin operasi ini. Semua orang merasa keluhan tersebut ada benarnya juga,
mereka lantas mengusulkan untuk mengejar orang-orang dari
Sin-kie-pang dan merampas kembali kursi kebesaran itu, tapi
dicegah oleh Hoa Thian-hong.
Menyesal kemudian Chin Wan-hong berkata lagi, bahwa
kursi kebesaran tersebut kalau didapatkan dengan cara
merampas pasti akan kehilangan nilainya, lebih baik lagi kalau
orang lain yang mempersembahkan kursi kebesaran itu
kepada mereka. Maka para jago itupun sibuk putar otak memeras pikiran
untuk mencari akal serta memaksa orang Sin-kie-pang untuk
menyerahkan kursi kebesaran itu secara sukarela.
Tatkala semua orang sudah bingung tujuh keliling dan tak
menemukan jalan keluar, Chin Wan-hong yang cerdik segera
mengusulkan kembali untuk meminang Pek Kun-gie dan
dijodohkan kepada Hoa Thian-hong, dengan perkawinan itu
niscaya kursi kebesaran tersebut akan diboyong kembali
kepihak para pendekar kaum lurus.
Biau-nia Sam-sian menolak tegas-tegas usul tersebut, Kiutok
Sianci pun menyatakan tidak setuju, tapi Chin Wan hong
sudah terlalu terpesona oleh kursi kebesaran itu, sepanjang
jalan dia ribut terus, malahan setelah berpisabpun dia ngotot
terus. Ketika Hoa Thian-hong berangkat keutara untuk menemui
ibunya, Chin Wan-hong meninggalkan suaminya dan ikut
gurunya pulang ke wilayah Biau, entah kemudian dengan cara
apa, akhirnya jalan yang buntu ini berhasil ditembusi olehnya.
Tahun berikutnya Bong Pay dan Pek Soh-gie secara resmi
menikah, kemudian bulan empat tanggal enam belas
berikutnya Pek Kun-gie juga keluar rumah.
Apa yang diduga semula memang tidak melesat, beserta
kursi kebesarannya kumala hijau itu ia diboyong kembali ke
san see. Setelah menikah dengan Pek Kun-gie, Hoa Thian-hong
masih saja tak berani untuk menduduki kursi kebesaran itu
walaupun akhirnya ia duduk juga diatas kursi kebesaran itu
sejenak, itupun karena Chin Wan-hong dan Pek Kun-gie yang
menarik tangannya dan memaksa ia untuk menduduki tempat
tersebut. Semua harta karun yang berada dalam istana Kiu ci kiong
telah diangkut hingga ludes yang tersisa, tinggal pintu dan
ruang batu yang kosong melompong, tak lama setelah Hoa
Thian-hong sekalian berlalu dari sana, dari balik batu-batu
cadas muncullah Kok See-piauw.
Dengan langkah yang gontai, paras muka yang pucat, Kok
See-piauw menerjang masuk keruang penyimpannn kitab tapi
ketika ditemuinya ruangan tersebut telah kosong melompong
tak ada isinya ia jadi amat sedih, sambil memukul dadanya
sendiri menangislah pemuda itu sejadi jadinya.
Tiga hari tiga malam Kok See-piauw menangis terisak
dengan sedihnya ditempat itu, sungguh tak nyana justru
karena isak tangisnya itulah dia malahan berhasil menemukan
suatu penemuan yang sama sekali diluar dugaan.
Sebagaimana telah diketahui, Kiu-ci Sinkun adalah seorang
manusia yang mempelajari kembali semua jurus silatnya,
setiap hari ia melatih diri dan berhasil ia ciptakan serangkaian
ilmu telapak dan serangkaian Sim hoat tenaga dalam yang
maha dahsyat. Semua hasil penemuan itu ditambah pula pengetahuannya
tentang pelbagai macam ilmu silat telah ia catat dalam sejilid
kitab yang bernama kitab pusaka KIU CI CIN KENG.
Kitab Kiu ci cin keng itu disimpan dalam balik dinding ruang
penyimpan kitab tersebut, oleh karena terlalu banyak harta
pusaka yang berada dalam istana tersebut, tak pernah terpikir
oleh Hoa Thian-hong untuk melakukan pencarian jauh lebih
kedalam. Dan akhirnya kitab pusaka Kiu ci cin keng yang maha sakti
dan maha luar biasa itu berhasil didapatkan oleh Kok Seepiauw.
Akan tetapi, menanti Kok See-piauw telah berhasil
menguasai isi pelajaran dari kitab Kiu ci cin keng kemudian
muncul kembali dalam dunia persilatan dengan gelar Kiu-ci
Sinkun, banyak tahun sudah lewat tanpa terasa.
Pada waktu itu putra Hoa Thian-hong yang dilahirkan Pek
Kun-gie telah seringkali melakukan keonaran dalam dunia
persilatan. Sampai dimanakah kehebatan dari bocah itu, sampai di
mana tampannya anak itu dan betapa romatisnya putra Hoa
Thian-hong dengan Pek Kun-gie ini sukar dilukiskan dengan
kata-kata. Bila anda ingin mengetahui bagaimana kelihayan dan
keromantisan sang bocah yang hebat itu, serta bagaimana
caranya Kok See-piauw yang muncul dengan gelar Kiu-ci
Sinkun melaksanakan pembalasan dendamnya, silahkan
membaca cerita silat lanjutan dari kisah ini dengan judulnya
yang baru, "RAHASIA HIOLO KUMALA"
TAMAT Putera Sang Naga Langit 1 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Pahlawan Harapan 1
seluruh permukaan bumi menggelegar di angkasa, pasir, debu
dan batu beterbangan di angkasa.
Li-hoa Siancu paling tak dapat menahan diri, begitu melihat
kabut tebal muncul dari dasar lembah, ia segera goyangkan
tangannya berulang kali sambil berteriak-teriak keras, "Siao
long cepat lari.... ! Siau long cepat lari!"
Gadis-gadis suku Biau adalah gadis yang tak kenal apa arti
malu, seorang mulai berteriak maka rekan-rekan yang lainpun
ikut berteriak teriak keras.
Mendingan kalau gadis-gadis suku Biau ini tidak berteriak,
begitu mereka berteriak serentak memancing pula kekuatiran
dari kawanan jago lainnya.
Perlu diketahui, selama ini Hoa Thian-hong telah
menunjukkan tekadnya yang besar untuk menemukan harta
karun itu, kesediaannya untuk berkorban demi kepentingan
orang banyak ini, telah menimbulkan rasa kagum dan haru
dihati setiap jago, tanpa sadar perasaan tersebut tertanam
pula dihati mereka dalam-dalam, siapapun tak mengharapkan
terjadinya sesuatu atas diri si anak muda itu pada detik-detik
yang terakhir ini.... Dalam waktu singkat, teriakan-teriakan keras dan jeritanjeritan
peringatan berkumandang dari mulut setiap umat jago
yang hadir diseputar tanah perbukitan itu, suaranya cukup
keras dan menggema diseluruh angkasa.
Pada hal setiap orang tahu bahwa Hoa Thian-hong berilmu
tinggi, dengan kecepatan gerakan tubuhnya tak mungkin ia
bakal terpengaruh oleh gelombang ledakan yang keras itu.
Namun, kendati begitu toh mereka berseru agar pemuda
itu lebih cepat lagi menyingkir dari sana, hal ini bisa
menunjukkan betapa hormat dan kasih sayangnya kawanan
jago tersebut pada pemuda itu.
Andaikata kejadian ini tidak berlangsung dalam keadaan
begini melainkan berhadapan muka secara satu dan satu
mungkin saja diantara mereka ada yang tak bisa melupakan
dendam lama serta menghilangkan rasa dengki, benci serta
dendamnya. Tapi sekarang mereka dalam keadaan bersama-sama,
dengan sendiri nya suasanapun jauh berbeda.
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong setelah memegang sumbu
bahan peledak itu dengan kecepatan penuh ia lantas
melayang keluar dari lorong bawah tanah dan kabar menuju
ketebing sebelah depan. Waktu itu ia mendengar bahan peledak dalam lambung
bukit sudah mulai meledak, kemudian terdengar teriakanTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
teriakan keras, ber kumandang diri atas puncak, ia tercekat
dan kebingungan, pemuda itu tak tahu apa yang terjadi diatas
puncak bukit itu. Maka pemuda itu semakin tancap gas dengan kecepatan
yang lebih luar biasa, ia menerjang naik keatas puncak
tersebut. Terdengarlah ledakan keras yang memekikkan telinga
menggelegar di angkasa menyusul kawanan jago yang berada
diatas puncak tersebut sama-sama berseru kaget dan
menghela napas panjang. Tampaklah bukit karang yang telah didiami oleh kawanan
jago itu banyak hari, kini sudah meledak dan retak-retak pada
bagian pinggangnya, malahan puncak bukit itu sudah ambruk
longsor kebawah. Dalam waktu singkat terjadilah gempa bumi yang sangat
keras diatas tanah bukit tadi semua tanah yang dipinjak
kawanan jago itu mulai bergoncang keras, pepohonan dan
batu kurang bergetar keras sekali, lama.... lama sekali
goncanggan itu bergetar tiada hentinya.
Semangkin banyak tanah dan batu karang yang longsor
dan bertaburan kedalam jurang, pepohonan serta bangunan
darurat yang dipakai oleh kawanan jago selama ini
bertumbangan, keadaan betul-betul mengerikan sekali.
Mendadak dari antara celah-celah tanah bukit yang
merekah dan longsor itu muncullab sebuah air terjun yang
sangat besar dan deras, dengan disertai suara gemuruh yang
sangat keras, gulungan air bah itu meluncur datang dengan
cepatnya, dalam waktu singkat air terjun tersebut telah
berada dihadapan muka mereka.
Dewa yang suka pelancongan Cu Thong sangat terkejut
segera serunya dengan keras
"Celaka jangan-jangan Kok See-piauw bajingan cilik itu
bermain gila lagi dengan kita?"
Ciang Cu gan setera menggeleng.
"Tak mungkin bajingan cilik itu berani main gila lagi, aku
rasa kejadian tersebut mungkin terjadi lantaran kerak bumi
bergoncang keras yang mengakibatkan bendungan tersebut
menjadi retak karena air bah pun mengalir kembali melalui
saluran yang telah ada seperti sedia kala!"
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan kembali.
"Oleh sebab kerak bumi mengalami menyusutan setelah
terjadinya ledakan ditanah perbukitan seberang sana, tanah
pada sekitar lambung bukit itu mengalami retakan-retakan
yang hebat, aai! Sebelumnya aku tak pernah menghitung
sampai kesitu, kalau tidak pasti akan ku kurangi kekuatan
bahan peledak yang kita tanam disana!"
"Saudara Ciang, akibat dari ledakan yang kelewat takaran
ini, mungkinkah bisa mengakibatkan hancurnya tempat
penyimpanan harta karun itu?" tanya Thian Ik-cu secara tibatiba.
Ciang Cu gan termenung dan berpikir sebentar, kemudian
sabutnya, "Pertanyaanmu itu sulit bagiku untuk menjawabnya
pada saat ini. Aaaiiii....! seandainya harta karun itu mengalami
kerusakan hebat semuanya itu adalah dosa dari aku Ciang Cu
gan, mungkin aku akan merasa menyesal untuk selamanya!"
"Ciang locianpwe, apa gunanya kau mengucapkan katakata
seperti itu?" tegur Hoa Thian-hong mendadak, "sepandaiTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
pandainya tupai melompat akhirnya akan jatuh juga, secerdikcerdiknya
seseorang dalam suatu bidang, kegagalan bukanlah
suatu kejadian yang aneh, lagipula masalah ini menyangkut
tentang mengerutnya kerak bumi yang berada didalam tanah
dan tak bisa dilihat manusia, siapa yang dapat menduganya
sampai kesitu" Kalau toh harta karun tersebut akhirnya
musnah, kita hanya bisa mengatakan bahwa takdir memang
menghendaki demikian!"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, aliran air
tersebut telah memancar lewat dengan cepatnya, liang besar
itu untuk kedua kalinya tergenang kembali oleh air bah.
Dalam pada itu, retakan-retakan pada dinding tebing masih
berlangsung terus tiada hentinya, batu-batu cadas yang besar
dan berukuran raksasa menggelinding jatuh kebawah dan
lenyap dibalik genangan air yang menutupi seluruh liang
penggalian tersebut. Kurang lebih setengah jam kemudian, ledakan dan retakanretakan
dari tebing bukit seberang sana perlahan-lahan mulai
mereda kembali, namun peredaran darah ditubuh kawanan
jago itu malahan terasa berpu tar makin cepat, jantung
mereka serasa berdebar keras.
Tiba-tiba Thian Ik-cu berseru dengan suara lantang, "Hoa
kongcu, aku rasa keadaan pada saat ini sudah mulai menjadi
tenang kembali, bagaimana kalau kita bersama-sama
menengok keadaan dibekas tanah ledakan tersebut?"
"Baik! mari kita maju bersama-sama kesitu, tapi
sebelumnya aku harap saudara sekalian suka mencamkan
beberapa patah kataku, ketahuilah peti mati lebarnya cuma
enam depa, dan benda sekecil itu tak akan makan tempat
selebar satu kaki, selama manusia masih hidup didunia ini
maka semuanya takdirlah yang menentukan, ada manusia
yang bernasib baik ada pula manusia yang bernasib jelek.
Tentunya kalian mengetahui bukan tentang cerita Say-ang
yang kehilangan kudanya" Siapa tahu kalau kudanya yang
hilang justru mendatangkan rejeki padanya" Kemudian Sayang
mendapat kudanya kembali, tapi siapa yang mengira
kalau ditemukannya kembali kuda tersebut justru merupakan
bencana baginya?" "Saudara-saudara sekalian, andaikata dalam bukit sebelah
sana banar-benar terdapat harta karunnya maka kalian boleh
mengambilnya, sebab itulah hasil dari jerih payah saudara
sendiri, itulah buah yang harus kalian terima setelah memeras
keringat dan tenaga. "Kita semua tak ada yang menjadi pemimpin rombongan,
tak ada seorangpua yang berhak untuk menentukan pilihan
bagian saudara sekalian, lagipula berbicara tentang nilai dari
harta pusaka itu setiap orang memiliki pandangan yang
berbeda-beda, setiap orang mungkin saja bisa mengalami
sengketa karena pilihan yarg sama, oleh karena itu untuk
mengatasi segala hal yang tak diinginkan pada hari ini aku
mohon kepada saudra sekalian untuk bertindak menuruti
suara hati masing-masing, ambillah benda yang sudah
menjadi hak bagi kalian dan bagi mereka yang telah mendapat
bagian menyingkirlah dengan segera dan bagilah sisa bagi
orang yang lain. Aku harap janganlah disebabkan karena harta
yang tak ada harganya ini sehingga menimbulkan bibit
bencana dan harus diakhiri dengan pertumpahan darah yang
tak berguna, aku rasa saudara-saudara sekalian tentunya bisa
menangkap serta memahami apa yang kumaksudkan dan apa
yang ku katakan barusan bukan?"
Ketika Hoa Thian-hong menyelesaikan kata-katanya dengan
suara keras tapi tegas, Kho Hong-bwee menambahkan pula,
"Apa yang barusan Hoa kongcu ucapkan semuanya
merupakan kata kata mutiara yang besar dan dalam sekali
artinya, semoga kalian dapat mencamkan kata-kata tersebut
kemudian meresapi serta melaksana kannya secara baik-baik,
dalam menghadapi segala persoalan lebih baik berpikirlah tiga
kali sebelum akhirnya mengambil keputusan.
Ia berpaling lantas membentak lagi, "Saudara-saudara dari
perkumpulan Sin-kie-pang harap dengarkan baik-baik katakata
ku ini: 'Bila kami punya rejeki dan keuntungan maka
semua anggota perkumpulan dari atas sampai tingkat paling
bawah akan mendapat bagian bersama-sama meresapi
keuntungan tersebut', Pangcu sekeluarga tidak akan memeras
dan melupakan kesolidaritasan saudara-saudara sekalian,
kendatipun demikian aku minta kalian jangan melupakan
peraturan perkumpulan, siapapun asal dia anggota
perkumpulan Sin-kie-pang, sebelum mendapat perintah dari
pangcu dilarang untuk maju kedepan, barang siapa berani
menentang peraturan ini maka akan dijatuhi hukuman
setimpal dengan peraturan yang telah tercantum, aku minta
peringatan ini suka diindahkan oleh saudara saudara sekalian,
sehingga dapat dihindari segala hal yang tidak diinginkan.
Begitu selesai mendengar perintah itu, para anggota
perkumpulan Sin-kie-pang serentak menyahut, suaranya keras
dan serentak ibarat guntur yang menggelegar di udara.
Thian Ik-cu pun ikut berbicara dengan suara lantang, "Hoa
kongcu, kamipun hanya ingin cepat-cepat melihat harta karun
itu tapi jangan kau artikan ingin cepat-cepat mendapatkan
bagian dari harta karun tersebut, bilamana ada orang ingin
menggunakan kesempatan ini untuk menguntungkan dan
memperkaya diri sendiri, cukup Hoa kongco memberi
komando, serentak kami akan se-kuat tenaga melawan
manusia-manusia rakus itu, walau kepala bakal kutung, darah
bakal mengalir, kami semua tidak akan merasa gentar atau
mundur!" "Akan ku ingat selalu perkataan dari totiang! ujar Hoa
Thian-hong dengan wajah bersungguh-sungguh.
Ia lantas berpaling ke arah Kiu-im-kauwcu, setelah
memberi hormat ujarnya kembali, "Kaucu, cianpwe dan para
enghiong semua mari kita berangkat untuk menengok
keadaan disana!" Kiu-im Kaucu tertawa terbahak-bahak.
"Haaah.... haaah.... haaah.... saudara-saudara sekalian,
silahkan berangkat!" katanya pula.
Padahal semenjak tadi semua orang sudah terburu nafsu
ingin menuju ketempat penyimpanan harta itu, setelah
dipersilahkan maka siapapan tidak ingin banyak berbicara lagi.
Maka ketika berangkat menuju kemuka sekalipun tidak
diatur, secara otomatis kawanan jago itu membentuk barisan
sendiri secara teratur dan rapi.
Tampaklah Hoa Thian-hong berjalan dipaling depan dengan
Pek Siau-thian, Kiu im kancu, Jia Hian serta Thian Ik-cu
mendampingi disisinya, dibelakang kelima orang itu menyusul
pula para jago lainnya yang menyusun diri jadi lima orang tiap
baris, memandang jauh sebelakang sana, barisan itu sangat
teratur dan siapapun tiada bermaksud untuk saling
mendahului ataupun saling berdesakan.
Pada aliran selokan yang muncul setelah terjadi tempa
bumi itu penuh berserakan batu-batu cadas yang mencapai
beberapa kaki diameternya, dengan melewati batu-batu cadas
tersebut Hoa Thian-hong berlima memimpin kawanan jago
lainnya mendaki bukit batu karang itu dan menuju kepuncak
bukit yang sudah terbelah oleh ledakan bahan peledak serta
goncangan gempa bumi itu.
ooooOoooo 90 SETIBANYA dtatas puncak bukit yang terbelah itu, Hoa
Thian-hong tak dapat menahan pergolakan emosinya lagi,
timpaklah sekujur tubuhnya gemetar keras, helaan napas
panjang segera berkumandang saling menyusul dari mulut
kawanan jago tersebut. Pemandangan yang terbentang di depan mata pada saat ini
adalah suatu pemandangan yang aneh serta menakjubkan,
puncak bukit yang sudah terbelah oleh ledakan bahan peledak
serta goncangan gempa bumi itu sekarang telah berubah jadi
sebidang tanah datar yang luasnya mencapai tiga ratus kaki
persegi, diatas dataran itu penuh dengan jalan-jalan lorong
yang berlika liku dan tak terhitung jumlahnya.
Luas lorong yang seolah-olah dipapas dengan pisau itu
cuma beberapa kaki, tapi rata teratur dan rapi, panjangnya
mencapai sepuluh li atau lebih.
Meskipun panjang lorong mencapai sepuluh li lebih naumn
berlika liku kian kemari tak menentu, besar kecilnyapun
berbeda satu dengan lainya, berderet-deret bangunan batu
seperti sarang tawon berserakan disana sini, hanya saja pada
waktu itu hampir separuh bagian bangunan ruang batu serta
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lorong rahasia itu terbentang diluaran sedang sisanya yang
separuh masih terbenam dalam lambung bukit dan tertindih
oleh bukit karang yang tinggi dan padat.
Beberapa orang diantara mereka yang merasa berilmu
tinggi lantas melompat masuk kedalam lorong rahasia yang
terbelah jadi dua itu, mereka mencoba untuk mendekati pusat
bangunan tersebut dengan melalui lorong-lorong yang
terbentang lebar itu. Apa yang terjadi" Kendatipun beberapa orang jago itu telah
berusaha untuk berputar kesana kemari dengan mengikuti
barisan pat kwa ataupun barisan ngo heng yang mereka
kuasai, jangankan mendekati puing bangunan yang
dimaksudkan untuk mendekati pun ternyata tak mampu.
Lama.... lama sekali.... akhirnya Pek Siau-thiang menuding
ke arah tebing sebelah depan sana lalu berkata, "Daripada
saudara semua membuang waktu dan tenaga dengan
percuma, bagaimana kalau kita jangan melalui jalan lorong
yang membingungkan itu?"
"Asal melewati jalanan bekas sawah yang ada disebelah
sana, kemudian meloncat ke pusat bangunan, toh dengan
gampang sekali kita bisa masuk kedalam ruang batu itu?"
Oleh karena tak seorangpun yang memberikan tanggapan
atau usul lain, maka kawanan jago itupun meninggalkan jalan
lorong yang membingungkan dan menelusuri jalan perbukitan
yang tinggi rendah tak menentu di samping lorong-lorong tadi,
dengan sangat gampang semua orang dapat mencapai pusat
ruang batu di tengah-tengah kurungan lorong rahasia
tersebut. Setelah tiba didekat bangunan tadi, sebagaimana tadinya
maka kawanan jago itupun mengatur diri lima orang satu
barisan untuk meneruskan perjalananya kedepan.
Semua orang tahu setelah tempat penyimpanan harta
karun itu dilindungi oleh lorong-lorong rahasia yang amat
membingungkan pikiran serta susah untuk dilewati itu,
sebenarnya tanpa dipasangi alat jebakan di sekitar ruang
penyimpananpun tak mengapa, sebab tidak gampang orang
bisa mencapai ketempat itu.
Berdasarkan analisa inilah, maka setelah rombongan tiba
diluar ruang batu itu, semua orang tidak kuatir akan tersesat
atau terjebak lagi oleh alat-alat rahasia yang mengerikan,
dengan mengatur diri menjadi barisan mereka lanjutkan
perjalanan kedalam ruangan.
Perlu diketahui, pada saat ini rombongan kawanan jago itu
berada di bukit karang yang letaknya jauh lebih tinggi
daripada bangunan istana itu sendiri, ditambah pula separuh
bagian bangunan tersebut sudah longsor oleh gempa sehingga
boleh dibilang semua bangunan istana Kiu ci kiong seolah-olah
terkupas separuh, maka siapapun dapat melihat jelas keadaan
di dalam istana tersebut dengan amat jelas.
Tanpa menemui banyak kesulitan, mereka telah berhasil
mencapai depan pintu sebuah ruang batu dan memasuki
ruangan tersebut. Ruangan itu panjang sekali dan terbuat dari batu-batu
cadas yang sangat kuat, kurang lebih beberapa kaki kemudian
sampailah mereka di depan sebuah pintu lagi.
Pintu batu itu tertutup rapat, Kiu-im Kaucu lantas maju
kedepan dan mendorong pintu tadi kebelakang.
"Kraaakk!" Pintu batu itu ternyata tak terkunci, sewaktu
didorong lantas terbuka lebar, cahaya hijau yang menyilaukan
mata seketika itu juga memancar keluar dari balik ruangan.
Apa isi ruangan ini" Sinar mata semua orang tanpa terasa
tertuju kedalam ruangan itu.
Luas sekali ruang batu disana, isinya adalah benda-benda
terbuat dari batu kumala yang bertumpuk-tumpuk segudang
penuh, terbesar benda kumala itu besarnya seperti
pembaringan yang panjangnya delapan depa sedang terkecil
sebesar biji kelereng untuk perhiasan.
Selain itu terdapat pula botol porselen, kaleng porselen,
golok kumala, pedang kumala dan semua benda-benda lain
yang terbuat dari kumala bertumpuk disana semua.
Suatu pemandangan yang indah, menawan dan
mempersonakan hati, namun cukup membuat nafsu rakus,
nafsu tamak pada manusia ber munculan diatas wajah
masing-masing. Setelah memandang sekejap benda-benda kumala itu,
mendadak Kiu-im Kaucu berpaling lalu membentak keras,
"Sebelum mendapat perintah dariku, siapapun dilarang untuk
menyentuh benda-benda yang ada disini!"
Sehabis berkata ia melanjutkan kembali perjalanannya
menuju keruang yang lebih dalam.
Benda-benda kumala yang berhasil dikumpulkan Kiu-ci
Sinkun didalam ruangan itu memang tak terhitung jumlahnya,
barang siapa berhasil memiliki benda-benda tersebut, tak ragu
lagi niscaya dia akan menjadi seorang manusia yang kaya
raya. Terlihatlah beberapa orang kawanan jago silat itu sudah
mulai tak kuasa menahan diri, wajah mereka berubah hebat
dan jantungnya serasa berdebar keras.
Tiba-tiba Cu Im taysu maju beberapa langkah kedepan lalu
serunya dengan lantang, "Thian-hong, aku rasa cukup bagiku
untuk melihat sampai diruang ini saja!"
Selesai berkata, ia lantas putar badan dan berlalu dari
ruangan penyimpanan benda-benda kumala ini.
Ciu Thian-hau tertawa dia ikut berkata, "Haaahh....
haahhh.... haahh aku juga kuatir tak dapat menguasai
perasaan hati sendiri setelah melihat begitu banyak barang
bagus, lebih baik tugaskan saja kami untuk berjaga-jaga
disebelah atas sana. sekalian menjadi pengawal bagi kamu
semua!" "Betul," cepat Suma Tiang cing menambahkan, "sekalipun
mata melihat seolah tidak memandang, hati berpikir seolah
tidak merasakan namun yang terbaik adalah sama sekali tidak
melihat dan sama sekali tidak merasakan. Aku juga mundur
saja dari tempat ini."
Selesai berkata, tanpa banyak berbicara lagi, ketiga orang
itu lantas mengundurkan diri dari dalam ruangan.
Sepeninggalnya ketiga orang jago itu yakni Cu Im taysu,
Ciu Thian-hau serta Suma Tiang cing, rombongan melanjutkan
kembali perjalanannya menembusi ruangan-ruangan batu
berikutnya. Setelah melewati gudang penyimpan barang-barang
kumala, kawanan jago itu memasuki gudang tempat
penyimpanan barang-barang antik.
Kemudian setelah keluar dari gudang penyimpanan barangbarang
antik, mereka memasuki sebuah ruangan yang
menyimpan pelbagai macam lukisan serta tulisan orang
kenamaan, rata-rata tulisan maupun lukisan yang tersimpan
dalam ruangan itu merupakan hasil karya dari orang-orang
kenamaan banyak pula yang usianya sudah tua sekali, tentu
saja barang-barang seperti ini tak ternilai harganya.
Ruangan berikutnya adalah sebuah ruangan luas tempat
penyimpanan pelbagai macam alat musik, banyak alat musik
yang ada disitu merupakan bentuk-bentuk yang aneh serta
jarang sekali dijumpai didunia luaran, ada pula alat musik
yang sudah langka didunia.
Dari seruling sampai khiem dan tambur tersimpan semua
ditempat itu, malahan ada pula alat-alat musik yang terbuat
dari emas murni. Ruang selanjutnya adalah ruang batu tempat penyimpanan
intan permata serta mutu manikam yang tak ternilai harganya,
bukan saja jumlahnya bertumpuk-tumpuk segudang penuh,
bahkan intan permata yang tersimpan disana rata-rata besar
dan bercahaya tajam, paling kecil sebesar buah kelengkeng
dan paling besar sebongkah batu, bisa dibayangkan sampai
dimanakah nilai dsri barang-barang itu.
Rata-rata kawanan jago yang menyaksikan intan permata
tersebut sama menjulurkan lidahnya, belum pernah mereka
jumpai benda-benda mustika sebesar itu, tak heran kalau
banyak diantara mereka yang mulai goyah imannya....
Sementara itu rombongan jago sudah memasuki ruang
batu separuh yang terakhir, ruangan itu sudah tertutup oleh
lapisan batu pada langit-langitnya karena letaknya sudah
menjorok jauh dalam lambung bukit.
Sekalipun gelap suasananya, itu buka berarti sama sekali
gelap gulita sehingga melihat kelima jari sendiri pun tak dapat,
mutiara mutiara besar yang memancarkan sinar gemerlapan
tercecer diantara dinding ruangan dan merupakan alat
penerangan yang sangat bagus.
Setelah berjalan sekian lama, tiba-tiba dihadapan mereka
muncul sebuah ruangan batu, pintu gerbangnya satu kali lipat
lebih besar dari pintu-pintu ruangan lainnya, sebuah papan
nama yang terbuat dari batu kumala tergantung diatas pintu
gerbang tersebut dan berukirkan tiga huruf besar terbuat dari
emas, "Ciang keng cay! atau ruang penyimpan kitab"
Kontan saja kawanan jago itu merasakan hatinya tercekat
dan jantung serasa berdebar keras. Kiu-im Kaucu dan Pek
Siau-thian serentak maju bersama kemuka, masing-masing
melancarkan sebuah pukulun untuk mendorong pintu gerbang
itu. Pek Kun-gie maupun anak murid dari Kiu-im Kaucu selama
ini selalu membuntuti di belakang beberapa orang pemimpin
itu, begitu pintu batu terbuka, serentak mereka sama-sama
melongok kedalam. Masih mendingan kalau tidak melihat, begitu mereka
mengintip kedalam seketika itu juga beberapa orang itu
menjerit keras saking kagetnya, dengan rasa kaget dan gugup
serentak mereka mengundurkan diri ke belakang.
Ruangan penyimpan kitab itu luasnya enam kaki persegi,
disamping kiri dan kanannya masing-masing terdapat sebuah
pintu gerbang. Diatas pintu gerbang yang disebelah kiri tergantung sebuah
papan nama bertulisian, Wan Si atau ruang obat.
Sedangkan diatas pintu sebelah kanran tergantung sebuah
papan nama tertuliskan dua huruf besar, Bu Gu atau Gudang
silat. Kalau diruang sebelah kiri yang menurut catatan papan
nama itu merupakan ruangan penyimpan obat terdapat
kukusan-kukusan besar dan kukusan-kukusan kecil, maka
dibalik ruangan yang bertuliskan gudang silat itu terdapatlah
rak-rak buku yang bersusun-susun dengan banyaknya.
Sekilas pandangan saja, semua orang akan melihat dan
mengetahui bahwa dalam rak-rak buku itulah tersimpan kitabkitab
pusaka ilmu silat yang diincar serta diidamkan oleh
setiap umat persilatan. Ruangan itu tidak kosong tapi ada penghuninya, sebuah
tempat duduk yang bulat datar terbuat dari batu kumala hijau
terletak ditengah ruangan itu, diatas tempat duduk bersila
seorang kakek berambut perak sepanjang bahu dan
berjenggot panjang sedada.
Kakek itu memakai jubah panjang berwarna merah darah,
sepasang telapak tangannya berhenti ditengah udara dengan
posisi jurus Hun hoa hud liu atau memisahkan bunga
mengeburkan pohon liu, matanya terbelalak besar dan
senyum manis menghiasi bibirnya, orang itu persis seperti
manusia hidup lainya. Disekitar tempat itu penuh berkerumun manusia-manusia
dengan pelbagai dandanan yang aneh, ada yang sedang
menjotos, ada yang sedang melepaskan pukulan, ada yang
bersikap hendak menubruk, ada pula sedang melompat
mundur kebelakang, rupanya orang-orang itu sedang
mengerubuti kakek baju merah yang duduk bersila ditengah
ruangan itu. Diatas tanah tampak terkapar pula beberapa orang,
tampaknya orang-orang itu menggeletak karena dilukai oleh
kakek tersebut. Setelah memandang sekejap pemandangan disekitar
tempat itu, Po-yang Lojin lantas menuding ke arah kakek
berbaju merah darah itu kemudian katanya dengan lantang,
Orang inilah yang bernama Kiu-ci Sinkun sedang sisanya
adalah anak murid orang itu kecuali Cho Thian-hua, tiga puluh
lima orang muridnya semua berkumpul disini.
Kiu-im Kaucu mengerutkan dahinya rapat-rapat kemudian
berkata, Kalau dilihat dari keadaan disini, tampaknya dalam
istana Kiu ci kiong sudah terjadi pemberontakan secara besarbesaran,
kawanan anak muridnya telah bersatu padu untuk
menghadapi gurunya serta berusaha untuk melenyapkannya
dari muka bumi. Pek Siau-thian mendengus dingin, katanya pula, "Baik
gurunya maupun muridnya semua bukan orang baik-baik,
rasanya kita tak perlu untuk memikirkan tentang diri mereka
lagi, lebih baik dari masing-masing pihak mengeluarkan dua
orang wakil untuk menggotong pergi mayat-mayat dari
mereka ini, bukankah urusanpun akan menjadi beres den an
sendirinya?" Pertama-tama orang orang dari Sin-kie-pang memberikan
reaksinya lebih dulu, muncullah dua orang untuk menggotong
pergi mayat yang bergelimpangan disana, menyusul kemudian
dari empat penjuru bermunculan dua orang wakil untuk
menyingkirkan semua mayat disana.
Kelompok mayat-mayat yang berserakan disana itu sudah
mati seratus tahun lebih, sekalipun tampaknya masih utuh
seperti sedia kala, akan tetapi begitu diangkat maka mayat itu
lantas hancur menjadi abu dan tulang belulang mereka lantas
berserakan di atas tanah.
Namun kawanan jago yang bertugas mengangkuti mayat
itu tidak ambil pusing apakah kotor atau tidak, dalam keadaan
seperti ini mereka hanya ingin cepat-cepat mendapat bagian
dari harta karun itu, maka ada yang lantas melepaskan
jubahnya untuk mengangkuti abu dan tulang belulang itu, ada
pula yang manyapu dengan ujung bajunya lantas diangkut
begitu saja dengan tangan.
Diantara sekian banyak jago yang bekerja terdapat pula Tio
Ceng tang, ia mendapat tugas untuk mengangkut mayat dari
Kiu-ci Sinkun. Siapa tahu tatkala jari tangannya menyentuh tubuh Kiu-ci
Sinkun, mendadak ia melompat mundur sejauh lima depa
sembari berteriak keras, "Aduh mak!!"
Apa yang terjadi" Hoa Thian-hong segera menegur dengan
perasaan terperanjat. Sekujur badan Tio Ceng tang gemetar keras seperti orang
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ketakutan sambil menuding ke arah mayat Kiu-ci Sinkun
dengan jari tangan yang gemetar ia berbisik, "Ii.... ituu....
tubuhnya masih hangat mu.... mungkin dia dia masih hidup!"
Suaranya terbata-bata dan nadanya Kurang jelas.
Hoa Thian-hong berkerut kening ia berpaling kepada Hoa
In yang berada dibelakangnya, lalu memerintahkan.
"Coba engkau pergilah kesana dan periksalah apa yang
sebenarnya telah terjadi"
Hoa in mengiakan dan lantas maju kedepan, sekali
cengkeram dia sudah mengangkat mayat Kiu-ci Sinkun dari
tempat duduknya kemudian sambil meraba tempat duduk
bulat pipih yang terbuat dari batu kumala hijau itu, katanya,
"Aaai! Siapa bilang dia belum mati" Rupanya tempat duduknya
ini terbuat dari batu kumala hangat yang telah berusia sepuluh
laksa tahun, oleh karena hawa hangat yang terpancar keluar
dari tempat duduk ini maka mayat Kiu-ci Sinkun selama ini
tidak sampai mengalami kerusakan atau pembusukan!"
Hoa Thian-hong alihkan sinar matanya ke arah tempat
duduk bulat pipih yang terbuat dari batu kumala hijau itu,
terbaca olehnya empat huruf besar terukir diatas tempat
duduk tersebut. "BU LIM CI CUN" atau Maharaja dari dunia persilatan.
Tanpa terasa diapun berpikir dihati, "Orang ini memang
sungguh jumawa dan berlagak sombong aaai! akhirnya toh dia
tewas dalam keadaan begini tak ada harganya, inilah yang
dinamakan mencari penyakit buat diri sendiri.
Berpikir sampai disitu tak kuasa lagi dia menarik napas
panjang panjang. Setelah berusaha dan bekerja keras, sebentar kemudian
semua mayat yang berada dalam ruangan itu sudah
disingkirkan, kawanan jago yang berbondong masuk
keruangan inipun segera memenuhi setiap sudut ruangan
yang ada disana. Luas ruangan batu itu kurang lebih enam kaki tapi untuk
menghindari segala kemungkinan yang tidak diinginkan,
beberapa orang pemimpin persilatan itu tak mau memasuki
ruangan itu terlalu dalam maka orang-orang yang sempat ikut
masuk ke dalam ruangan itupun cuma sebagian kecil belaka....
Sisanya yang berjumlah ratusan orang hanya bisa saling
berhimpit dan berdesakan diluar ruangan, ada yang berdiri
pada tu-mit ada yang menjulurkan lehernya, adapula yang
mementangkan matanya lebar-lebar untuk mengawasi
keadaan dalam ruangan itu.
Semua sinar mata dan perhatian kawanan jago itu sudah
tertuju pada kurungan-kurungan yang berisi obat mujarab
serta rak-rak buku yang berisikan kitab-kitab pusaka ilmu silat.
Mereka dapat melihat jelas bahwa kitab-kitab pusaka itu
diatur dengan sangat rapi, setiap ujung kitab terdapat
selembar kain kecil yang bertuliskan nama diri kitab itu
karenanya tanpa harus menarik keluar kitab itu, orang akan
tahu buku apakah yang tersimpan disana
Hanya sayangnya tulisan diatas lembaran kain itu kecil
sekali, dan lagi pula banyak sekali jumlahnya, kecuali
beberapa orang jago silat yang memiliki ketajaman mata luar
biasa, boleh dibilang yang lain tak mampu melihat apa-apa
kecuali pandangan yang muram.
Tiba-tiba Tio Sam-koh ambil keluar sebuah karung goni
yang amat besar, sambil merentangkan tersebut lebar-lebar ia
berteriak dengan suara lantang, "Heey! Ada yang mau turun
tangan tidak" Kalau semua orang segan untuk mengambil
kitab-kitab itu, aku si nenek tua segera akan mengambilkan
semua!" Hoa Thian-hong sangat terperanjat setelah mendengar
perkataan itn, dengan cemas ia berkata, "Nenek, engkau
jangan bergurau, apa gunanya kita miliki kitab kitab pusaka
ilmu silat itu?" "Kalau engkau tidak mau apa salahnya kalau aku mau" Toh
aku bisa menghadiahkan kembali kitab-kitab itu untuk orang
lain!" sahut Tio Sam-koh dengan kasar.
Tanpa sungkan-sungkan lagi, selesai berbicara dia lantas
meren-tangkan karung goninya lebar-lebar kemudian
melangkah maju kedepan menghampiri rak-rak kitab itu.
Hoa Thian-hong jadi serba salah dibuatnya, ia cuma bisa
merintis sambil mengerling dengan penuh kecemasan kepada
istrinya. Chin Wan-hong tentu saja mengetahui apa maksud dari
suaminya itu, cepat dia memburu maju kedepan, sambil
menyeret tangan Tio Sam-koh katanya seraya tertawa, "Sam
popo kita kan sudah berjanji bahwa kedatangan kita kemari
hanya untuk jalan-jalan saja, kenapa kau angkuti semua kitabkitab
pusaka ilmu silat itu?"
"Sekalipun kedatanganku kesini hanya untuk jalan-jalan
belaka, masakah aku tak boleh mengambil kitab itu" Toh
orang lain tidak mau, apa salahnya kalau aku sinenek
mengambilnya?" Hoa Thian-hong semakin gelisah lagi setelah mendengar
perkataan itu, cepat ia berseru lantang, "Semua kitab pusaka
ilmu silat telah berada didepan mata, barang siapa punya
minat untuk mendapatkan kitab tersebut, silahkan maju untuk
mengambilnya sendiri, tapi setiap orang terbatas hanya boleh
mengambil sejilid saja, benda-benda yang ada pemiliknya
lebih baik jangan diambil, ambil saja kitab yang tak punya
tuan!" Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, tiba-tiba
terdengar seseorang berseru lantang, "Dalam usaha pencarian
harta karun, Ji sioca dari perkumpulan Sin-kie-pang yang
paling berjasa sepantasnya kalau ji sioca kami mendapat
penghormatan untuk memilih pertama kali!"
Tentu saja Hoa Thian-hong tahu bahwa orang yang
berbicara itu adalah anak buah dari perkumpulan Sin-kiepang,
meskipun ia tahu bahwa alasannya memang tepat,
namun pada hakekatnya ia tak ingin membiarkan Pek Kun-gie
memilih nomor satu, hanya saja ia merasa tak enak untuk
menolaknya secara terang-terangan, maka setelah termenung
sebentar diapun berkata, "Saudara-saudara sekalian, disebelah
kiri sana terdapat kamar obat mujarab didalamnya mungkin
saja terdapat obat mustika yang dapat membuat orang awet
muda dan tetap sehat, disebelah belakang sana ada gudang
senjata, didalamnya tentu tersimpan pelbagai senjata mustika
yang luar biasa dahsyatnya, berhadapan dengan barang
sebanyak ini siapa mengambil dulu belum tentu mendapat
keuntungan apa-apa, sebaliknya mereka yang mengambil
belakangan juga bukan berarti bakal rugi, bagaimanapun juga
setiap orang hanya terbatas boleh memilih satu jenis barang
saja, aku anjurkan kepada kalian agar memilihnya secara
perlahan-lahan, tunggu saja lah sampai mereka yang punya
barang terjerumus dalam istana ini mengambil kembali
barangnya yang lainnya barulah mulai memilih!"
Benda mustika yang tersimpan dalam istana itu memang
terlalu banyak jumlahnya, siapapun tak berani punya pikiran
untuk membegal atau merampok maka siapapun akan memilih
bagian yang terbaik dan terlihay untuk diri sendiri tapi oleh
kerena jumlahnya terlalu banyak siapapun merasa sulit untuk
menentukan pilihannya. Tiba-tiba terdengar Pek Kun-gie berkata, "Ayah bolehkah
aku memilih lebih dahulu?"
"Tentu saja siapa berani menghalangi niat mu?" sahut Pek
Siau-thian dengan angkuh.
Pek Kun-gie tertawa manis, dengan lemah gemulai dia
maju kedepan dan menghampiri rak-rak buku itu.
Berbicara yang sesungguhnya Pek Kun-gie menang
terhitung manusia yang paling berjasa dalam usaha pencarian
harta karun kali ini, maka keputusan untuk mempersilahkan
dia memilih lebih dahalu bukanlah suatu keputusan yang
kelewat batas. Sebab itulah baik Kiu-im Kaucu maupun Kiu-tok Sianci
berlagak bodoh seolah-olah mereka tidak melihat akan
kejadian itu. Pek Siau-thian dengan sinar matanya setajam sembilu
mulai menyapu sekejap ke arah rak-rak buku yang ada
dihadapannya, dia berharap bisa menemukan sejilid kitab
pusaka yang luar biasa dan dapat digunakan untuk
menandingi kelihayan kitab Kiam keng yang berhasil dipelajari
Hoa Thian-hong, kemudian memberi petunjuk kepada putrinya
untuk mengambil. Apa mau dikata,jumlah kitab pusaka yang tersimpan dalam
ruangan itu tak terhitung jumlahnya, setiap jilid Kitab yang
ada disana sudah cukup digunakan untuk merajai kolong
langit, untuk sesaat ia jadi bingung tak tahu harus memilih
yang mana. Sungguh gelisah dan cemas perasaan Pek Siau-thian pada
waktu itu terpaksa dengan ilmu menyampaikan suara ia
memberi kisikan kepada putrinya agar mengulur waktu,
"Berlagaklah sedang memilih dengan perlahan-lahan, jangan
keburu nafsu menjatuhkan pilihannya, bila aku sudah
menemukan pilihannya, segera kukirim kabar kepadamu untuk
mengambilnya!" Akan tetapi Pek Kun-gie berlagak pura-pura tidak
mendengar, mendadak ia mengambil sejilid kitab pusaka yang
amat tebal sekali dari rak buku itu, kemudian dengan suara
manja serunya, "Ayah, dalam perkumpulan Sin-kie-pang kita
sudah terdapat banyak sekali kitab pusaka ilmu silat, aku lihat
kitab racun Pek tok keng ini luar biasa sekali, bila kuambil
rasanya tidak akan merugikan dirimu bukan?"
Mendengar perkataan itu, baik Hoa Thian-hong maupun
Kiu-tok Sianci dan murid-muridnya meresa terperanjat.
Karena sudah diberi peringatan oleh Lan-hoa Siancu agar
jangan bercakap-cakap dengan Pek Kun-gie, Hoa Thian-hong
tak berani melanggar pantangan tersebut, maka diapun
menengadah keatas dan berseru dengan suara lantang,
"Saudara-saudara semua mohon perhatian! Bila benda yang
diambil ternyata punya pemiliknya, lebih baik janganlah
diambil toh isi ruangan ini banyak tak terhitung jumlahnya,
ada yang bisa membuat di ri menjadi sakti dan luar biasa, ada
pula yang bisa melatih diri sehingga tetap awet muda...."
Tiba-tiba Giok Teng Hujin mendehem berat dan menukas
ucapan Hoa Thian-hong yang belum selesai.
Si anak muda itu segera tersadar kembali bahwa ia sudah
salah berbicara, ia hanya berusaha mencegah Pek Kun-gie
untuk mengambil kitab pusaka Pek tok keng tapi hampir saja
sudah membengkalaikan urusan dari Giok Teng Hujin.
Pek Kun-gie bukan seorang manusia bodoh, dengan cepat
ia dapat menangkap maksud dari deheman itu, tiba-tiba ia
berpaling ke arah ayahnya kemudian bertanya, "Ayah, kitab
pusaka apakah yang bisa melatih diri menjadi cantik jelita dan
tetap awet muda?" Pek Siau-thian berpikir sebentar lalu menjawab, "Sudah
lama aku dengar orang berkata bahwa kitab pusaka Tuo li sim
keng merupakan pelajaran sim hoat tenaga dalam yang
membuat seseorang gadis tetap awet muda, katanya bila
seseorang dapat melatih tenaga dalamnya hingga mencapai
puncak kesempurnaan, maka bukan saja paras mukanya akan
bertambah cantik, bahkan akan tetap awet mada dan segar
bugar!" "Ayah, bagaimana kalau kuambil saja kitab pusaka Pek tok
keng ini?" Pek Siau-thian menghela napas panjang, dalam hatinya ia
berpikir, "Aaai.... budak ini memang keterlaluan dianggapnya
perempuan perempuan dan suku Biau itu bisa diganggu
seenaknya?" Berpikir demikian diapun menjawab dengan lantang,
"Kelompok kita adalah kelompok yang mengkhususkan diri
berlatih ilmu silat apa bila ilmu yang kita pelajari sudah
mencapai puncak kesempurnaan maka sekalipun orang
memiliki racun yang lihay juga tak akan mampu mengapaapakan
kita buat apa kita musti mencabut gigi taring orang
lain?" Pek Kun-gie memutar sepasang biji matanya, kemudian
menyahut, "Baiklah, aku rasa perkataan ayah sudah pasti tak
bakalan salah!" Maka ia mengembalikan kitab Pek tok keng itu ketempat
semula, lalu sambil berpaling kembali dia bertanya, "Ayah,
kitab pusaka Tuo li sim keng berada dimana?"
"Baris ketiga dinding sebelah kiri, dihitung dari bawah maka
berada pada rak nomor dua!"
Pek Kun-gie lantas berjalan menuju ketempat yang ditunjuk
dan mengambil keluar kitab Tuo li sim keng dari dalam rak
tersebut. Menyaksikan perbuatan putrinya, Pek Siau-thian jadi
keheranan, dia lantas bertanya, "Anak gie, engkau adalah
seorang dara yang canik jelita, didunia dewasa ini sukar untuk
mencari gadis yang lebih cantik daripada dirimu, apa gunanya
kau ambil kitab tersebut, bukankah tindakanmu ini sama
artinya dengan menyia-nyiakan hak pilihmu yang bagus ini?"
Pek Kun-gie sama sekali tidak tergerak hatinya oleh
perkataan tersebut, ia menjawab dengan manja, "Kecantikan
sama dengan ilmu silat, sekalipun orang sudah berilmu tinggi
pasti menginginkan ilmu yang lebih tinggi, begitu pula dengan
kecantikan, sekalipun orang sudah cantik toh masih ingin lebih
cantik lagi!" Habis berkata, dengan wajah berseri dan penuh
kegembiraan ia membawa kitab pusaka Tuo li sim keng itu
kembali ketempat semula. Sungguh gelisah dan panik Hoa Thian-hong menghadapi
kejadian ini, mukanya telah berubah jadi merah padam,
sepasaag matanya merah berapi-api, ia pernah menyanggupi
permintaan Giok Teng Hujin untuk mencarikan ilmu yang
dapat memulihkan kembali kecantikan wajahnya tapi sekarang
setelah janjinya itu akan dipenuhi ternyata Pek Kun-gie telah
mendahului dirinya, dengan begitu bukankah ia jadi tak dapat
memenuhi janjinya" Kendatipun begitu, berhubung Pek Kun-gie juga seorang
gadis dan pantaslah bagi seorang dara untuk mengambil kitab
pusaka Tuo li sim keng, maka walaupun dalam hati merasa
gelisah, ia tak mampu untuk menghalangi niatnya itu.
Bagaimana pun juga Chin Wan-hong adalah seorang istri
yang saleh, ia dapat merasakan kebingungan serta kepanikan
suaminya, selain itu diapun dapat meresapi betapa pentingnya
kitab tersebut bagi Giok Teng Hujin maka diapun tertawa.
"Adik Kun gie!" katanya dengan lembut, "hayo cepat
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembalikan kitab tim keng itu pada tempatnya semula!"
"Kenapa?" tanya Pek Kun-gie dengan wajah tercengang.
Kembali Chin Wan-hong tertawa.
"Dengan wajahmu yang cantik jelita ini kutanggung engkau
masih bisa kawin dengan seorang pemuda tampan, bila
kecantikan mu bertambah lipat ganda, lagi pula mana ada
lelaki tampam dikolong langit ini yang pantas uutuk
mendampingimu" Bukankah selama hidup jangan harrap bisa
kawin lagi" Pek Kun-gie bukanlah gadis yang bodoh, sejak permulaan
tadi ia sudah dapat meresapi betapa gusar dan paniknya Hoa
Thian-hong, apa lagi sekarang sesudah mendengar bahwa
ucapan dari Chin Wan-hong itu mengadung arti lain, ia tak
berani bertindak gegabah lagi, terpaksa kitab pusaka Tio li sim
keng itu dikembalikan ketempatnya semula.
Setelah itu sambil tertawa cekikikan katanya, "Aaaai! Ini
tidak cocok itu tidak jadi biarlah kupilih sembarangan saja!"
Habis berkata dia lantas membopong batu pipih terbuat
dari batu kumala itu sambil tertawa cikikkan kembali ketempat
semula. Tindakannya ini sama sekali diluar dugaan Pek Siau-thian,
ia jadi tertegun dan tidak habis, mengerti pikirnya, "Tolol amat
budak ini, meskipun lohu adalah seorang ketua dari suatu
perkumpulan besar, tak akan berani kududuki kursi
singgasana yang berukiran kata-kata Maha raja dari dunia
persilatan itu, apa gunanya kau ambil benda itu!"
Tentu saja ia tak akan tahu bahwa apa yang dipikirkan Pek
Kun-gie bukanlah dirinya, gadis itu tak pernah melayangkan
ingatannya untuk menukilkan kepentingan ayahnya.
Semenjak ia melangkah masuk kedalam ruangan tadi, sorot
matanya sudah tertuju pada tempat duduk pipih kumala itu,
pikirnya dihati. "Kalau aku tidak menikah itu lain soal, andaikata menikah
maka kursi kebesaran itu merupakan barang tanda mata yang
terbaik dariku akan kusuruh dia mencicipi bagaimana rasanya
menjadi Maharaja dari dunia persilatan, otomatis akupun akan
menjadi nyonya maharaja alias ratonya.... tentu nikmat
rasanya" Apa yang dipikir gadis itu tentu tak terpikirkan oleh Hoa
Thian-hong, pemuda itu hanya merasa bahwa dengan susah
payah akhirnya toh persoalan yang maha sulit itu dapat juga
teratasi olehnya, maka diapun berpaling ke arah Kiu-im Kaucu.
"Dari pihak Sin-kie-pang sudah ada satu wakil yang maju"
katanya, mengapa kaucu tidak maju juga untuk memilih satu
macam benda sebagai tanda mata dari gerakan pencarian
harta karun dibukit Kiu ci San ini?"
Kiu-im Kaucu tertawa. "Bukannya aku sengaja bicara sombong atau tinggi hati,
terus terang kukatakan bahwa benda yang ada disini tak
sebuahpun yang menarik perhatianku!"
Hoa Thian-hong menghela napas panjang.
"Aaai.... kaucu bermata emas, tentu pilihannya juga
merupakan benda-benda yang tak ternilai harganya, aku
sudah dapat memahami akan perasaan hatimu itu. Aaaai! Bila
engkau ingin mendapatkan kitab pusaka yang jauh lebih hebat
dari kitab Kiam keng, aku rasa hal ini merupakan suatu
pekerjaan yang amat sulit!"
Kiu-im Kaucu tertawa. "Mari kita masuk dulu kedalam ruang obat-obatan, bila
disanapun tak berjodoh, anggap saja takdir memang
menghendaki demikian!" katanya.
Hoa Thian-hong pun tidak banyak bicara lagi, ia berpaling
dan menyapu sekejap kawanan jago yang berada
dihadapannya, kemudian menegur, "Apakah masih ada para
enghiong dari perkumpulan Kiu-im-kauw yang ingin tampil
kedepan untuk mengambil harta?"
Giok Teng Hujin segera tampil kemuka, ujarnya dengan
lantang, "Harap cianpwe sekalian suka memberi maaf atas
kelancangan Ku Ing-ing yang tak kenal adat, sebenarnya aku
tak berani berhati tamak, tapi lantaran satu dan lain hal,
terpaksa aku harus mendahului kalian semua!"
Tanpa sungkan-sungkan lagi ia maju kedepan dan
mengambil kitab pusaka Tuo li sim keng tersebut.
Sebagian besar jago silat yang hadir di tempat itu
mengetahui bahwa Giok Teng Hujin mempunyai hubungan
yang luar biasa dengan Hoa Thian-hong, karena itu berada
dalam keadaan dan saat seperti ini, Pek Siau-thian sendiripun
segan untuk banyak bicara, tentu saja orang lain lebih-lebih
tak berani banyak bicara apalagi kitab pusaka itu hanya
berguna bagi kaum wanita.
Setelah menyimpan kitab pusaka tersebut kedalam
sakunya, Giok Teng Hujin maju ke hadapan Kiu-im Kaucu lalu
jatuhkan diri berlutut katanya dengan lirih, "Sudah lama Ing
ing mendapatkan pendidikan serta kasih sayang dari kaucu,
untuk semua budi kebaikan itu, selama ini terjadi suatu
kericuan yang bikin kita jadi sama-sama tak enak, namun Ing
ing tak berani untuk mendendamnya. Semoga dengan
perpisahan ini kaucu suka menunjukkan kebesaran jiwanya
serta melupakan diriku uniuk selamanya"
Hoa Thian-hong ikut memberi hormat, katanya.
"Kaucu adalah seorang pemimpin dunia persilatan,
tentunya tak akan mempersulit seorang gadis bukan" Lagipula
bila kaucu suka melepaskan pergi maka akupun ikut merasa
berhutang budi!" Sinar mata Kiu-im Kaucu yang setajam sembilu berputar
kian kemari menyapu wajah kedua orang itu, mendadak ia
menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
"Haaahh.... haaaahh.... haaaahh.... pergilah, semoga suatu
ketika perkumpulan Kiu-im-kauw dapat menguasai kembali
seluruh jagad, waktu itu bila kau sudah sadar kembali, maka
pulanglah kepangkuan perkumpulanmu!"
"Terima kasih atas kebearan jiwa kaucu!" kata Giok Teng
Hujin sambil bangkit berdiri kemudian dengan membawa Pui
Che-giok berlalu dari tempat itu.
Sepeninggal ruangan itu, Giok Teng Hujin sama sekali tidak
memandang sekejap pun ke arah Hoa Thian-hong, ia cuma
memandang ke arah Chin Wan-hong seraya tertawa, ini
membuat pemuda tersebut jadi melongo tercengang dan
merasa tidak habis mengerti.
Dalam kasus peristiwa ini, Giok Teng Hujin adalah seorang
gadis yang memiliki kekuatan untuk mempersona hati kaum
pria, sebaliknya Hoa Thian-hong adalah pemuda yang berilmu
tinggi sekalipun Kiu-im Kaucu tidak ingin melepaskan
perempuan itu dengan begitu saja, toh akhirnya harus
mengabulkannya juga, namun kegusaran yang berkobar
dalam dadanya sukar dikendalikan lagi.
Tiba-tiba ia berteriak keras, "Saudara sekalian, dihadapan
mata kalian tersedia beratus-ratus jilid kitab pusaka ilmu silat
yang dapat membuat tubuh kalian jadi kuat dan ilmu silat
kalian jadi lihay, mengapa kalian tetap berdiam diri saja" Hayo
majulah dan rampaslah kitab-kitab itu!"
Kiu-tok Sianci mendengus dingin, tiba-tiba ia berseru, "Lan
hoa maju kesana dan ambil kembali kitab pusaka Pek tok keng
milik kita!" Semenjak tadi Lan-hoa Siancu sudah tak sabar menunggu,
mendengar perintah itu dengan langkah lebar dia lantas maju
kemuka dan ambil kembali kitab Pek tok keng milik
perguruannya dari susunan rak buku itu.
Hoa Thian-hong diam-diam merasa cemas, tatkala
dilihatnya suasana yang semula aman, tenang dan damai itu
mendadak terancam oleh ledakan amarah dan sifat tamak
manusia, cepat ia menjura kepada Yu ming tiancu seraya
berkata, "Disebelah kiri sana terdapat kitab hiat im ceng ciat,
sesuai sekali dengan perrguruan Kiu-im-kauw kalian, apa
salahnya kalau tiancu pergi mengambilnya?"
Sebagaimana telah diceritakan diatas, Yu ming tiamcu dan
Suma Tiang cing pernah melakukan pertempuran yang amat
sengit bahhan saling mempertaruhkan jiwa raganya masingmasing
oleh karena usia mereka hampir sebaya dan ilmu
silatpun seimbang sejak peristiwa tersebut entah apa
sebabnya dalam benak Yu ming tiancu selalu timbul bayangan
tubuh dari Suma Tiang cing
Kejadian tersebut merupakan rahasia pribadinya yang
paling besar tak pernah ia bocorkan kepada siapapun juga
hanya karena perasaan itu maka tanpa disadari, timbulah
pikiran dan ingatan untuk membantu pihak kaum pendekar.
Sekarang ketika ia dengar seruan dari Hoa Thian-hong,
setelah tertawa tanpa minta persetujuan dari kaucunya lagi ia
maju kemuka dan mengambil kitab hiat im ceng ciat yang
dimaksudkan. Hoa Thian-hong berpaling pula kepada Pek Soh-gie,
kembali ia berseru. "Cici, dibarisan kedua rak paling bawah terdapat setengah
jilid kitab Ci yu jit ciat, kitab itu sepantasnya diberikan kepada
toako, pergi dan tolong ambilkan baginya!"
Padahal yang sebenarnya sedari tadi Pek Soh-gie sudah
mendapat petunjuk dari ibunya untuk melaksanakan soal itu
tapi oleh sebab belum mendapat giliran ia cuma panik dalam
hati. Sekarang setelah dipanggil namanya, sambil tersenyum dia
lantas tampil kedepan setelah mengambil kembali setengah
jilid kitab Ci yu jit ciat tersebut, dara itu kembali kesamping
Bong pay. Waktu itu sebenarnya Pek Siau-thian sedang mendongkol
dan tak senang hati karena Hoa Thian-hong membaiki pihak
Kiu-im-kauw, akan tetapi setelah kejadian ini perasaan
hatinyapun merasa reda lebih baikan
Terdengar Hoa Thian-hong melanjutkan kembali
seruannya, "Huan heng, kitab pusaka Poh ka kun boh berada
di rak sebelah kanan dekat pintu, Konsun cianpwe, pedang it
ci hui kian berada disudut ruangan dekat dinding kiri
cianpwe." Tampaknya sebelum itu Hoa Thian-hong sudah menyelidiki
baik-baik siapa saja ahli waris dari pemilik pemilik kitab lama
yang hadir dalam penggalian tersebut, maka sekarang dengan
lancar dan hafalnya satu per satu ia sebutkan nama ke tiga
puluh satu orang itu untuk mengambil kembali barang-barang
miliknya. Selang sesaat kemudian, semua orang yang merasa pernah
kehilangan bukunya karena dicuri atau dirampas oleh Kiu-ci
Sinkun, kini sudah mendapatkan kembali barang miliknya.
Walau demikian, barang yang telah diterima oleh kawanan
jago itupun baru seperempat dari jumlah buku yang terdapat
didalam ruaagan itu, sisanya tiga perempat masih tetap
berada ditempat semula. Hoa Thian-hong lantas berpaling ke arah Thian Ik-cu dan
Jin Hian, katanya, "Aku rasa kalianpun boleh segera maju
untuk mengambil kitab yang kalian senangi!"
"Tunggu sebentar!" sela Pek Siau-thian.
Kontan saja Jin Hian melototkan sepasang matanya lebarlebar,
katanya dengan nada seram, "Hmm.... jangan dianggap
sudah tiba giliranmu untuk unjukkan kegagahan disini!"
Pek Siau-thian tertawa dingin, katanya, "Hhmmm! Bila aku
orang she Pek ingin ribut dengan kau pada saat ini, aku pikir
kau pasti tak akan puas, mau berlagak pun akan ku tunggu
sampai kau bangkit kembali kedunia persilatan!"
Setelah berhenti sebentar sambungnya lebih jauh, "Mulai
saat ini, setiap benda setiap barang yang ada dalam ruangan
ini harus dibagi menjadi lima bagian, dan barang-barang itu
akan diterima oleh masing-masing kelompok yang kemudian
dibagi secara rata diantara anggotanya!"
Hoa Thian-hong, Kiu-im Kaucu, Jin Hian serta Thian Ik-cu
saling berpandangan sekejap, mereka merasa bahwa cara
pembagian tersebut memang sangat adil, tidak akan
menerbitkan pertentangan ataupun pertikaia, maka siapapun
tak suka banyak bicara lagi.
Tiba-tiba Kho Hong-bwee berkata sambil tertawa nyaring,
"Thian bong, pekerjaan ini memang agak menyusahkan
dirimu, tapi aku rasa sangat adil dan bijaksana, aturlah
pembagian ini seadil adilnya!"
"Boanpwe turut perintah!" sahut Hoa Thian-hong sambil
menjura. Dia lantas maju kedepan dan katanya dengan lantang,
"Saudara-saudara sekalian, tentunya kalian tahu bukan bahwa
aku masih punya janji dengan pihak Seng sut pay" Maka aku
minta, seandainya diantara kalian ada yang mendapatkan
barang milik mereka, harus segera ditukarkan kepadaku!"
"Thian-hong....!" mendadak dari luar pintu kembali
terdengar seseorang memanggil.
Hoa Thian-hong menengadah, ia lihat Cu Im taysu dengan
membawa seorang hwesio sedang berjalan masuk kedalam
ruangan itu, ia pernah berjumpa dengan padri itu karena dia
bukan lain adalah It biau hwesio yang pernah ditemuinya
diluar kota Lok yang ketika berunding dengan Huang-san su lo
tempo hari. Terdengar Cu Im tayau berkata, "It biau suheng tidak
terhitung seorang manusia persilatan, dia hanya ingin
mengembangkan ajaran Buddba didunia ini, oleh karena
didengarnya bahwa dalam istana Kiu ci kiong tersimpan
setumpuk kitab Buddha, sengaja ia datang kemari untuk
mencari derma, semoga saudara sekalian sudilah kiranya
memenuhi apa yang dia harapkan!"
"Ucapan itu memang benar, banyak pelajaran kitab Buddha
yang tersimpan disini."
"It biau suhu! Silahkan masuk" kata Hoa Thian-hong.
Dengan kepala tertunduk, It biau hwesio masuk kedalam
ruangan mengikuti dibelakang Cu Im taysu, kedua orang
inipun lantas berdiri disisi pintu gerbang.
Mendadak salah satu anggota Hong im bwe berseru
dengan suara dingin. "Hmm.... hwesio ini tidak punya kepandaian apa-apa, tapi
datang-datang lantas mencari untung, sialan.... siapa yang
kesudian memberi bagian kepadanya!"
Walaupun perkataan itu sangat lirih tapi cukup tajam dan
pedas dalam pendengaran. Seketika itu juga paras muka Cu Im taysu berubah jadi
merah padam seperti kepiting rebus, cepat-cepat katanya.
"Sebenarnya It biau suheng juga ingin datang kemari untuk
menyumbangkan tenaganya, tapi karena ia tak pandai silat
maka perjalanannya dilakukan lambat sekali. Aaaii Sayang aku
Tiga Maha Besar Karya Khu Lung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendiripun tak pernah menyumbangkan tenagaku, kalau tidak
niscaya bagianku akan kuserahkan kepadanya!"
"Aku akan menyumbangkan bagian untuk It biau suhu!"
cepat Hoa Thian-hong berseru dengan lantang, "asalkan kalian
mendapatkan kitab ajaran Budha, silahkan di serahkan
kepadaku untuk ditukar dengan kitab pusaka ilmu silat!"
Tidak menunggu tanggapan dari orang lain lagi ia lantas
maju kedepan dan mulai membagi kitab.
Tangannya yang satu mengambil kitab dari deretan rak
buku sementara tangannya yang lain memindahkan kitab
tersebut keatas tanah dan dibagi rata jadi lima tumpuk, semua
Kitab ajaran Buddha dan ajaran agama To semuanya diambil
atas nama pribadinya. Buku yang tersimpan dalam ruang batu itu memang banyak
tapi tak bisa menandingi kelincahan Hoa Thian-hong, dalam
setengah jam pembagian kitab silat telah selesai.
Pada saat ini siapapun tidak sungkan-sungkan lagi, masingmasing
pibak segera mengu tus orsng untuk maju dan
membungkus kitab-kitab bagiannya dengan kain kemudian
mengutus pula jago lihaynya untuk membawa kitab itu serta
menyusun pasukan penjaga untuk melindungi kitab-kitab
tersebut. Haruslah diketahui, walaupun kitab-kitab pusaka itu sama
sekali tak dipandang sebelah matapun oleh Hoa Thian-hong
serta Kiu-im Kaucu, akan tetapi dikolong langit dewasa itu
tidak ada dua tiga orang yang memiliki ilmu silat selihay Hoa
Thian-hong serta Kiu-im Kaucu, maka bisa dibayangkan
betapa penting dan berharganya kitab kitab ilmu silat itu bagi
mereka. Hoa Thian-hong dengan membawa setumpuk kitab ajaran
Budha menghampiri dihadapan It biau hwesio, sambil
mengangsurkan kitab tersebut, katanya dengan lembut.
"Toa suhu, disini terdapat dua puluh tujuh jilid kitab ajaran
Buddha, mungkin semuanya terdiri dari sembilan puluh buku,
harap kau terima dengan senang hati, aku rasa kalau toh kitab
itu disimpan Kiu-ci Sinkun ditempat ini, tentu tak ternilai
harganya!" Cepat It biau hwesio merangkap tangannya memberi
hormat. "Semoga amal dan bakti siau sicu dapat di berkahi dan
dilindungi oleh Budha maha pengasih."
Sesudah terhenti sebentar, tambahnya lagi.
"Cukup dengan sejilid kitab Tay pe sim huo lo ni keng
nilainya sukar dilukiskan dengan kata-kata, amal bakti siau
sicu benar-benar mengharukan hatiku"
Ia lantas meroioh sakunya dan ambil keluar sebuah karung
kain. Hoa Thian-hong pun masukan setumpuk kitab tersebut
kedalam karung tadi, kemudian dengan membawa setumpuk
buku ajaran-ajaran agama To, ia menghampiri Kho Hongbwee.
Melihat perbuatan si anak muda itu Kho Hong-bwee
tertawa terbahak bahak, katanya, "Pay ji serta Soh-gie masih
membutuhkan perawatanku, aku sedang mempertimbangkan
untuk melepaskan jubah pendeta ini, baiklah kuterima dulu
kitab ini dan dibicarakan lagi dikemudian hari!"
Tio Sam-koh maju kemuka sambil membuka kantung kain
yang dibawanya ia berseru, "Hayolah, sekarang tiba giliranku
untuk menerima bagian!"
Melihat itu Hoa Thian-hong hanya bisa tertawa paksa,
katanya, "Popo, banyak orang telah menolong serta
membantu aku dalam mengerjakan penggalian ini, pepatah
mengatakan: manusia mati lantaran harta, burung mati
karena makanan, bagi orang yang belajar silat maka benda
itulah yang paling mereka sukai.
Tio Sama koh segera melototkan sepasang matanya bulatbulat,
ia berkata dengan lantang.
Sekalipun harus dibagi, akulah yang akan membagi kitabkitab
ini kepada mereka, selain haarus kuperhatikan cara kerja
mereka akan kuselidiki pula tabiat dan tindak tanduknya, aku
tak akan berikan kitab ini semaunya sendiri.
Hoa Thian-hong dibuat apa boleh buat, terpaksa semua
kitab pusaka ilmu silat bagiannya dimasukkan kedalam karung
goni milik Tio Sam-koh. Tio Ceng tang segera menunjukkan muka cemas dan
gelisah, sikapnya sangat tidak tenang.
Chin Wan-hong yang melihat itu cepat berseru dengan
suara keras. "Tio locianpwe, ilmu silatmu toh sudah mencapai puncak
kesempurnaan, sukar untuk mencari tandingan didunia ini apa
gunanya kau mengangkangi semua kitab pusaka itu."
"Hmm! Aku tak parnah bertarung diatas panggung Lui tay,
siapa bilang ilmu silatku sudah tiada tandingannya lagi?" Tio
Sam-koh menjengek dengan dingin.
Sebelum gadis itu memberi tanggapan lagi, Kiu-im Kaucu
telah membuka pintu dari ruang obat obatan, maka semua
orangpun lantas mengikuti masuk kedalam ruangan itu.
Begitulah, selanjutnya semua orang membagi obat-obatan,
membagi alat senjata, membagi barang antik, lukisan
kenamaan dan akhirnya membagi intan permata serta mutu
manikam, sampai senja hari kedua, pembagian tersebut baru
selesai. Orang-orang dari pihak Hong-im-hwie dan Thong-thiankauw
kuatir barang mustika mereka dibegal orang begitu
pembagian harta telah selesai, cepat-cepat mereka kabur dari
situ dan lenyap entah kemana.
Menyusul kemudian orang-orang dari Kiu-im-kauw berlalu
dari sana, akhirnya pihak Sin-kie-pang baru menyusul.
Sebelum masuk kedalam istana harta karun itu, baik Kiu-im
Kaucu maupun Pek Siau-thian mempunyai niat untuk
merampok dan mengangkangi barang pusaka itu, tapi
kemudian setelah dilihatnya bahwa diantara kitab pusaka itu
tidak terdapat sejilid kitabpun yang bisa melatih ilmu silat
mereka sehingga dapat mengalahkan Hoa Thian-hong, diamdiam
mereka merasa murung dan tak tenang hati.
Apa mau dikata, harta karun yang berada dalam bukit Kiu
ci san memang tak terhitung jumlahnya, sebelum mereka
berangkat pulang, mereka lihat bagian dari perkumpulannya
begitu banyak dan berlimpah sedikit banyak rasa kecewa
merekapun sedikit terobati dimana kemudian perasaan hati
merekapun lebih terbuka. Pada akhirnya mereka sama sekali tidak punya ingatan
untuk mengalahkan Hoa Thian-hong lagi.
Setelah rombongan itu berangkat semua, Hoa Thian-hong
serta Tio Sam-koh pun ikut bubaran.
Tio Ceng tang dengan mengandalkan hubungan famili serta
selembar mulutnya yang pandai merayu, tak sampai satu hari
ia telah berhasil menipu Tio Lo tay ini jadi pusing tujuh
keliling, bukan saja akhirnya nenek itu tidak berhasil
mendapatkan apa-apa, kitab pusaka yang semula berada
dalam karungnya pun habis dibagikan kepada kawan kawan
jago tak berkelompok yang telah membantu dalam usaha
penggali an tersebut. Rombongan dari Hoa Thian-hong adalah rombongan
terakhir yang meninggalkan tempat itu, setiap orang pulang
dengan tangan kosong, kecuali senjata masing-masing, boleh
dibilang siapapun tidak membawa hasil apa-apa.
Ditengah jalan Tio Sam-koh merasa mendongkol
bercampur menyesal, akhirnya saking penasarannya ia
mengisi karung goninya dengan batu batu cadas yang amat
bessar, kemudian meneruskan perjalanan dengan memanggul
batu-batu itu. Hoa Thian-hong hendak mewakili untuk menggotong
karung tersebut, tapi sampai matipun nenek itu tak sudi
melepaskan panggulannya. Sepanjang jalan, tiba-tiba Chin Wan-hong mulai mengeluh,
ia mengatakan terlalu sayang kalau batu pipih kumala hijau itu
di dapatkan Pek Kun-gie, sepantasnya kalau kursi kebesaran
itu didapatkan oleh Hoa Thian-hong, sebab dialah yang
memimpin operasi ini. Semua orang merasa keluhan tersebut ada benarnya juga,
mereka lantas mengusulkan untuk mengejar orang-orang dari
Sin-kie-pang dan merampas kembali kursi kebesaran itu, tapi
dicegah oleh Hoa Thian-hong.
Menyesal kemudian Chin Wan-hong berkata lagi, bahwa
kursi kebesaran tersebut kalau didapatkan dengan cara
merampas pasti akan kehilangan nilainya, lebih baik lagi kalau
orang lain yang mempersembahkan kursi kebesaran itu
kepada mereka. Maka para jago itupun sibuk putar otak memeras pikiran
untuk mencari akal serta memaksa orang Sin-kie-pang untuk
menyerahkan kursi kebesaran itu secara sukarela.
Tatkala semua orang sudah bingung tujuh keliling dan tak
menemukan jalan keluar, Chin Wan-hong yang cerdik segera
mengusulkan kembali untuk meminang Pek Kun-gie dan
dijodohkan kepada Hoa Thian-hong, dengan perkawinan itu
niscaya kursi kebesaran tersebut akan diboyong kembali
kepihak para pendekar kaum lurus.
Biau-nia Sam-sian menolak tegas-tegas usul tersebut, Kiutok
Sianci pun menyatakan tidak setuju, tapi Chin Wan hong
sudah terlalu terpesona oleh kursi kebesaran itu, sepanjang
jalan dia ribut terus, malahan setelah berpisabpun dia ngotot
terus. Ketika Hoa Thian-hong berangkat keutara untuk menemui
ibunya, Chin Wan-hong meninggalkan suaminya dan ikut
gurunya pulang ke wilayah Biau, entah kemudian dengan cara
apa, akhirnya jalan yang buntu ini berhasil ditembusi olehnya.
Tahun berikutnya Bong Pay dan Pek Soh-gie secara resmi
menikah, kemudian bulan empat tanggal enam belas
berikutnya Pek Kun-gie juga keluar rumah.
Apa yang diduga semula memang tidak melesat, beserta
kursi kebesarannya kumala hijau itu ia diboyong kembali ke
san see. Setelah menikah dengan Pek Kun-gie, Hoa Thian-hong
masih saja tak berani untuk menduduki kursi kebesaran itu
walaupun akhirnya ia duduk juga diatas kursi kebesaran itu
sejenak, itupun karena Chin Wan-hong dan Pek Kun-gie yang
menarik tangannya dan memaksa ia untuk menduduki tempat
tersebut. Semua harta karun yang berada dalam istana Kiu ci kiong
telah diangkut hingga ludes yang tersisa, tinggal pintu dan
ruang batu yang kosong melompong, tak lama setelah Hoa
Thian-hong sekalian berlalu dari sana, dari balik batu-batu
cadas muncullah Kok See-piauw.
Dengan langkah yang gontai, paras muka yang pucat, Kok
See-piauw menerjang masuk keruang penyimpannn kitab tapi
ketika ditemuinya ruangan tersebut telah kosong melompong
tak ada isinya ia jadi amat sedih, sambil memukul dadanya
sendiri menangislah pemuda itu sejadi jadinya.
Tiga hari tiga malam Kok See-piauw menangis terisak
dengan sedihnya ditempat itu, sungguh tak nyana justru
karena isak tangisnya itulah dia malahan berhasil menemukan
suatu penemuan yang sama sekali diluar dugaan.
Sebagaimana telah diketahui, Kiu-ci Sinkun adalah seorang
manusia yang mempelajari kembali semua jurus silatnya,
setiap hari ia melatih diri dan berhasil ia ciptakan serangkaian
ilmu telapak dan serangkaian Sim hoat tenaga dalam yang
maha dahsyat. Semua hasil penemuan itu ditambah pula pengetahuannya
tentang pelbagai macam ilmu silat telah ia catat dalam sejilid
kitab yang bernama kitab pusaka KIU CI CIN KENG.
Kitab Kiu ci cin keng itu disimpan dalam balik dinding ruang
penyimpan kitab tersebut, oleh karena terlalu banyak harta
pusaka yang berada dalam istana tersebut, tak pernah terpikir
oleh Hoa Thian-hong untuk melakukan pencarian jauh lebih
kedalam. Dan akhirnya kitab pusaka Kiu ci cin keng yang maha sakti
dan maha luar biasa itu berhasil didapatkan oleh Kok Seepiauw.
Akan tetapi, menanti Kok See-piauw telah berhasil
menguasai isi pelajaran dari kitab Kiu ci cin keng kemudian
muncul kembali dalam dunia persilatan dengan gelar Kiu-ci
Sinkun, banyak tahun sudah lewat tanpa terasa.
Pada waktu itu putra Hoa Thian-hong yang dilahirkan Pek
Kun-gie telah seringkali melakukan keonaran dalam dunia
persilatan. Sampai dimanakah kehebatan dari bocah itu, sampai di
mana tampannya anak itu dan betapa romatisnya putra Hoa
Thian-hong dengan Pek Kun-gie ini sukar dilukiskan dengan
kata-kata. Bila anda ingin mengetahui bagaimana kelihayan dan
keromantisan sang bocah yang hebat itu, serta bagaimana
caranya Kok See-piauw yang muncul dengan gelar Kiu-ci
Sinkun melaksanakan pembalasan dendamnya, silahkan
membaca cerita silat lanjutan dari kisah ini dengan judulnya
yang baru, "RAHASIA HIOLO KUMALA"
TAMAT Putera Sang Naga Langit 1 Kuda Binal Kasmaran Serial Tujuh Senjata Karya Gu Long Pahlawan Harapan 1