Pencarian

Aji Wisa Dahana 2

Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana Bagian 2


- Ha ha ha ha,- Gajah Mada ketawa. -
Orang-orang sakti seperti Mpu Anusa Dwipa dan
yang lain manakah mau tunduk kepada segala
maklumat Raja Majapahit" Mereka tidak merasa
terikat oleh sesuatu tugas kewajiban bagi negara.
Mereka merasa hidup bebas tiada yang dapat
mengganggu gugat.-
- Ahhh, itu pendapat dan pendirian yang
tidak benar.- Adityawarman menyahut cepat. -
Sebab setiap warga negara atau rakyat dalam su-
atu negara, dibebani kewajiban untuk melakukan
sesuatu bagi kepentingan negara.-
- Benar! Akan tetapi sebaliknya, Bendara
juga harus mengerti terhadap kenyataan yang ter-
jadi dalam dunia orang-orang seperti Mpu Anusa
Dwipa itu.- Gajah Mada menerangkan. - Kita su-
dah berpayah-payah mengatur dengan Undang-
Undang dan Maklumat, guna ketenteraman tata
kehidupan masyarakat dalam suatu negara. Me-
reka yang salah harus mendapatkan hukuman
yang setimpal dengan kesalahannya. Tetapi ba-
gaimanakah kenyataan yang terjadi dalam ling-
kungan kehidupan mereka" Mereka tidak peduli
kepada segala macam peraturan negara itu. Dan
mereka saling bunuh secara liar.-
Gajah Mada berhenti, memandang yang
hadir mencari kesan. Sejenak kemudian ia mene-
ruskan. - Sesungguhnya sedih juga hati saya ini
apabila memikirkan masalah mereka itu. Akan te-
tapi sampai sekarang saya belum juga berhasil
menemukan obat yang mujarab guna menyem-
buhkan penyakit mereka itu.-
Untuk beberapa saat lamanya mereka ber-
diam diri. Mereka semua justru sudah mengenal
apa yang terjadi dalam dunia orang-orang sakti.
Sejak zaman dahulu, usaha telah dirintis dan di-
lakukan guna mengubah cara hidup mereka. Na-
mun terbukti, segala usaha itu selalu berhadapan dengan kegagalan. Apabila
penguasa sampai
menggunakan kekerasan, akibat yang timbul ada-
lah malah di luar harapan dan di luar dugaan.
Mereka kemudian malah menuduh para penguasa
sudah bertindak sewenang-wenang. Dan hal ini
apabila sampai ditunggangi oleh pihak-pihak yang
sengaja menimbulkan kekacauan, terjadilah pem-
berontakan. Terjadilah perebutan kekuasaan.
Akibatnya malah tidak menyenangkan dan malah
tidak menyenangkan dan merugikan para kawula
di negara itu sendiri.
- Hemm, sekarang kita usahakan saja den-
gan mempercayakan Paman Kepakisan!- Gajah
Mada memecah sunyi. - Paman Kepakisan justru
mempunyai sejumlah cucu atau murid. Aku per-
caya dengan bantuan mereka itu, bantuan Mpu
Anusa Dwipa bagi Majapahit bisa kita harapkan.-
Mereka kemudian setuju justru memang
tidak menemukan cara yang lebih tepat. Mereka
kemudian bubaran.
Tetapi Mpu Nala yang masih ingin bicara
tentang anaknya, masih merasa belum puas ter-
hadap keterangan Mpu Kepakisan yang ia rasa-
kan terlalu singkat itu. Maka ia banyak minta
penjelasan, lebih-lebih mengingat sampai seka-
rang ini, puteranya yang bernama Surya Lelana
dan mencari mencari Dewi Sritanjung, belum juga
pulang kembali ke Majapahit
Ke manakah sesungguhnya Surya Lelana
pergi" Marilah sekarang kita ikuti perjalanan pemuda itu, semenjak meninggalkan
Kota Majapa- hit. Surya Lelana, yang sudah menguasai Aji
Sepi Angin itu berlarian cepat sekali dalam usa-
hanya mengejar Dewi Sritanjung. Saking gelisah
dan tergesa, pemuda ini berlarian cepat sekali.
Kemudian ketika pagi tiba, ia telah tiba di wilayah
pegunungan Kendeng.
Pada pagi itu Surya Lelana melepaskan le-
lah dengan duduk di atas sebuah batu. Ia meng-
hela napas berkali-kali, sambil menggumamkan
nama adiknya. Ia menjadi bingung! Ia tak tahu ke mana harus menuju guna mencari
adiknya yang pergi. - Dewi ..... ohh Dewi, ke manakah engkau"
Ayah menjadi bingung dan akupun bingung. Dewi
.....kembalilah ......
Saking terlalu memikirkan nasib adiknya,
ia menjadi lupa terhadap perut yang lapar dan
mata yang mengantuk. Setelah tenaga ia rasakan
pulih kembali, pemuda ini lalu meneruskan usa-
hanya mencari adiknya, menuju ke selatan. Ia
menduga tentu adiknya pulang ke tempat tinggal
gurunya, Ki ageng Tunjung Biru yang letaknya
pada pertemuan dua sungai, Lengkong dan Bran-
tas. Perjalanan ia percepat dan gembiralah hati pemuda ini ketika melihat perahu
kecil yang dahulu ia tinggalkan, masih tetap tertambat di tepi sungai.
Perbedaannya hanyalah perahu itu sekarang telah penuh oleh lumpur dan hampir
ter- pendam. Maka untuk bisa ia pergunakan menye-
berang, Surya Lelana harus bekerja keras lebih
dahulu. Wajah pemuda itu berseri, ketika perahu
sudah bersih. Perahu segera ia pakai menyebe-
rangi sungai Lengkong. Setelah menambatkan pe-
rahu kecil itu ditempat terlindung, bergegaslah
pemuda ini menuju pondok Ki ageng Tunjung Bi-
ru. Tetapi belum jauh ia menerobos hutan itu,
terdengarlah suara harimau yang mengaum.
Pemuda ini berdebar hatinya. Namun ia se-
gera teringat kepada dua ekor harimau muda pia-
raan Ki ageng Tunjung Biru yang bernama Tum-
pak dan Manis. Ia pernah mendapatkan pelajaran
mengenai dua ekor harimau tersebut dari Dewi
Sritanjung. Maka setelah ia memperhatikan asal
suara mengaum tadi, ia cepat memanggil.
- Tumpak! Manis! Datanglah kemari!-
Panggilannya cukup nyaring sehingga suara itu
terdengar dari tempat jauh. Bagaimanapun pe-
muda ini berdebar, timbul kekhawatirannya kalau
harimau itu sudah tidak mengenal dirinya lagi.
Tak lama kemudian muncullah dua ekor
harimau yang besar. Surya Lelana terbelalak ka-
get dan diam-diam sudah mempersiapkan senja-
tanya, khawatir apabila dua ekor harimau tutul
yang besar itu bukan Tumpak dan Manis, da
memusuhi dirinya. Sekalipun demikian Surya Le-
lana kemudian bersuara nguk..... nguk..... seperti yang sudah diajarkan adiknya.
Dan sesudah itu
ia berteriak. - Tumpak, Manis, apakah engkau lupa ke-
padaku"- Dua ekor harimau yang sekarang sudah
menjadi besar itu, yang semula bersikap garang,
mendadak mendekam dan bersuara seperti yang
telah ia suarakan. Dua ekor harimau tutul itu
mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan me-
rupakan jawaban masih kenal.
Surya Lelana memberanikan diri maju dan
mengulurkan tangan kanan. Uluran tangan itu
kemudian dibalas oleh Tumpak dan Manis den-
gan menggosok-gosokkan kepala ke lengan dan
telapak tangan. Melihat sikap ini Surya Lelana
terharu, kemudian memeluk dua ekor harimau
itu bergantian.
- Marilah kita menghadap majikanmu!- ka-
tanya halus. Dua ekor harimau tutul itu bersuara nguk
nguk, beberapa kali. Lalu Tumpak menggosokkan
tubuhnya ke paha Surya Lelana. Sesudah itu ia
mendekam di depannya seperti memberitahukan
Surya Lelana menunggang di punggungnya. Pe-
muda ini tersenyum, tanpa rewel lagi naik ke
punggung harimau itu dan tanpa perintah lagi
harimau itu melompat, lalu berlarian cepat sekali.
Tidak lama kemudian tibalah pemuda ini di
depan pondok Ki ageng Tunjung Biru. Sesudah ia
turun dari punggung harimau pemuda ini lang-
sung menuju depan pintu.
- Masuklah, Surya. -
Terdengar suara halus dari dalam pondok,
sebelum Surya Lelana sempat membuka mulut.
- Terima kasih, Uwa Guru,- sahut Surya
Lelana. Setelah memberi hormat, pemuda ini me-
langkah masuk. Akan tetapi pemuda ini melengak kehera-
nan, sesudah tiba di dalam pondok. Ia tidak me-
nemukan Ki ageng Tunjung Biru. Namun menga-
pa sebabnya ia tadi mendengar dengan jelas sua-
ranya" Pada saat Surya Lelana termangu-mangu
heran ini, tiba-tiba terdengar lagi suara yang halus. - Duduklah! Kenapa engkau
tampak geli- sah"- Surya Lelana terperanjat dan cepat-cepat
menjatuhkan diri duduk. Lalu ia menengadahkan
kepalanya dan memandang ke atas. Mulut pemu-
da ini melongo kagum, ketika ia melihat apa yang dilakukan oleh Ki ageng Tunjung
Biru. Kakek yang sekarang sudah tampak tua renta itu, ter-
nyata sedang duduk bersila, dua tangannya ber-
sedekap di depan dada dan sepasang mata yang
tajam berwibawa menatap dirinya.
Yang membuat pemuda ini heran justru Ki
ageng Tunjung Biru bukan duduk di atas balai-
balai melainkan duduk bersila di atas tali yang
kecil, melintang di atas penglari pondok. Apa yang tampak dan apa yang ia lihat
ini memberikan bukti, sampai di manakah tingkat ketinggian ilmu kakek ini dalam bidang
meringankan tubuh. Walaupun duduk bersila di atas tali yang kecil, tidak
bergerak sedikitpun, seakan sedang duduk di atas tikar yang dikembangkan di
tempat rata. - Uwa,- katanya dengan suara menggeletar.
- Apakah Diajeng Sritanjung tidak pulang kema-
ri"- - Bukankah adikmu pergi ke Majapahit un-
tuk bertemu dengan ayahmu"- Ki ageng Tunjung
Biru tidak menjawab pertanyaan Surya Lelana,
malah bertanya.
- Benar, Uwa, dan sudah bertemu pula
dengan Ayah. Tetapi sekarang dia pergi lagi tanpa pamit ..-
- Hemm, sudah aku duga sejak lama,- ujar
kakek ini dan tidak menunjukkan rasa kaget se-
dikitpun. Surya Lelana heran. - Apakah sebabnya
Uwa sudah menduga"-
- Hemm, manusia hidup di dunia ini tak-
kan bisa lepas dari takdir, Anakku. Agaknya me-
mang sudah begitulah nasib adikmu. Dia lahir
dari isteri ayahmu yang lain. Bisa dimengerti apabila dalam keluargamu terdapat
pula orang yang
menerima kehadirannya secara tidak rela. Aki-
batnya adikmu menjadi kecewa, kemudian mela-
rikan diri.- Diam-diam Surya Lelana kagum. Ia segera
menceritakan apa yang sudah terjadi di Majapa-
hit. Dan sekarang dirinya sedang berusaha men-
cari adiknya itu.
- Adikmu memang cukup cerdik. Dia agak-
nya tahu, orang akan segera menyusul kemari
untuk mencari. Itulah sebabnya dia malah pergi
menurutkan kehendak hatinya yang kecewa dan
tidak mau pulang kemari. Hemm, apa harus dika-
ta, justru manusia ini tiada artinya sama sekali jika dibandingkan dengan Kuasa
Dewata Agung (Tuhan). Itu sudah merupakan garis yang takkan
dapati diubah oleh manusia. -
- Akan tetapi Uwa, baik saya maupun ayah
menjadi bingung. Saya dan ayah berusaha men-
gejar dan mencari, namun dia seperti lenyap.-
Ki ageng Tunjung Biru mengusap-usap
jenggotnya yang putih dan panjang. Kemudian
katanya. - Apa yang kau katakan bingung itu karena
tidak tahu jalan dan arah. Apa yang kau kecewa
dan sedih itu karena kehendak dan keinginan
orang tidak tercapai. Itu lumrah dan itu pula pe-kerjaan manusia hidup di dunia
ini yang takkan
dapat dihindari. Manusia akan selalu bergelut
dengan suka duka, kecewa dan lega, marah dan
ketawa, serta lapar maupun kenyang. Sebaliknya
adikmu tidak perlu engkau cari. Sekarang pulan-
glah ke Majapahit dan aku percaya, apabila dia
belum mati, kelak kemudian hari akan timbul
sendiri.- - Uwa Guru, sulit sekali untuk dapat bersi-
kap seperti itu. -
- Tak ada yang disebut sulit, jika manusia
benar-benar menyadari hidupnya ini sebagai
mahluk Dewata Agung (Tuhan), yang ringkih dan
harus percaya terhadap kekuasaan Dia.-
- Tetapi bukankah manusia wajib berusaha
dan berihtiar"-
- Benar! Namun dalam usahamu mencari
adikmu di atas bumi yang luas ini, bagaimana bi-


Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sa bertemu apabila belum merupakan kehendak
Dewata Yang Agung" Maka apabila kemudian hari
adikmu datang kemari, sudah tentu aku akan be-
rusaha membujuk dan mempengaruhi agar sele-
kasnya pulang ke Majapahit dan bertemu dengan
ayahmu. - - Apakah tidak mungkin Uwa memberi pe-
tunjuk kepada saya, guna mempermudah usaha
saya mencari dia"-
- Heh heh heh heh, manakah mungkin aku
bisa tahu" Jika kau ingin memperoleh petunjuk
dariku, tiada lain yang dapat aku katakan, pulanglah dan tunggulah di rumah.
Kepergianmu men-
cari dia hanya akan sia-sia belaka dan tidak
mungkin bisa bertemu.-
Tetapi Surya Lelana tak mau percaya ter-
hadap ucapan Ki ageng Tunjung Biru. Pendeknya
ia bertekad untuk mencari terus sampai ketemu.
Perjalanan ini malah merupakan sarana bagi di-
rinya memperoleh pengalaman yang berharga.
Akhirnya Surya Lelana tidak telaten terlalu
lama di tempat ini. Ia kemudian minta diri dan
ternyata orang tua itupun tidak mencegah.
Surya Lelana meninggalkan pondok bobrok
ini dengan hati yang masygul dan amat kecewa.
Semula ia berharap Dewi Sritanjung pulang ke
pondok gurunya. Namun ternyata dugaannya ke-
liru, gurunya sendiri tidak tahu di mana dia bera-da.
Dalam perjalanan menuju sungai ini, ia ti-
dak bertemu lagi dengan dua ekor harimau tutul
yang jinak itu. Pemuda ini bergegas, dan baru ia merasa lega setelah ia berhasil
menyeberangi sungai. Pendeknya ia takkan pulang kembali ke
Majapahit, dan akan berkelana sambil mencari
adiknya itu. Tetapi perut yang terasa amat lapar sekali,
menimbulkan rasa melilit-lilit dalam perut. Matahari sudah mulai bergeser di
bagian barat. Karena itu ia kemudian berusaha mendapatkan makanan, baik buah-
buahan maupun binatang kecil.
Akhirnya setelah ia bersusah payah mengintai
beberapa lama, ia mendapatkan seekor ayam hu-
tan gemuk sebagai hasil sambitannya. Kemudian
pemuda ini sibuk dengan daging ayam hutan
yang gurih ini.
Tetapi celakanya pula, setelah perut men-
jadi kenyang, mata yang sudah mengantuk itu ti-
dak dapat ia ajak damai lagi. Maka guna mengo-
bati rasa kantuk dan lelahnya itu tiada jalan lain kecuali harus mencari tempat
aman guna tidur.
Surya Lelana geragapan dan terbangun,
ketika ufuk timur sudah membara. Malam sudah
hampir pagi. Sekarang rasa kantuk, letih dan
pegal sudah hilang, dan tenaganya pulih kembali.
Melakukan perjalanan jauh di pagi hari ju-
stru tidak cepat lelah. Oleh sebab itu setelah
mencuci muka ia sudah melangkah cepat menuju
ke selatan. Tanpa terasa tibalah pemuda ini di ping-
gang Gunung Wilis. Pada saat pemuda ini sedang
mencari binatang buruan guna mengisi perutnya
yang lapar, mendadak ia kaget oleh bentakan
orang yang keras.
- Hai jahanam! Siapakah engkau berani
berkeliaran di tempat ini"-
Surya Lelana terbelalak. Tahu-tahu di de-
pannya sekarang telah berdiri seorang kakek. Pa-
da tangan kirinya terjinjing keranjang kecil dari bambu dan dalam keranjang
tersebut tampak beberapa macam daun dan jamur.
Mata kakek itu mengamati Surya Lelana
penuh selidik dan curiga.
Sedang Surya Lelana memandang kakek
itu dengan pandang mata keheranan. Ia sekarang
ini melangkah menurutkan langkah kakinya dan
mendaki pinggang Wilis ini. Tetapi kenapa tiba-
tiba ada seorang yang membentak dan menjadi
marah seperti ini" Lalu apakah kesalahannya"
Tetapi belum juga pemuda ini sempat men-
jawab bentakan orang itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang berteriak.
- Guru! Ha ha ha ha, murid mendapatkan
jamur yang aneh. -
Tak lama kemudian tampak seorang pe-
muda tanggung berlarian cepat menghampiri ka-
kek itu. Katanya lagi.
-Inilah Guru, jamur aneh itu!-
Kakek ini menerima jamur yang bentuknya
seperti telor burung, tetapi warnanya merah se-
perti darah. Dengan mata membelalak sebentar,
kakek ini kemudian berkata.
- Heh heh heh heh, inilah jamur yang se-
dang kucari!- Pemuda ini menyeringai gembira. Namun
tiba-tiba ia mendelik ke arah Surya Lelana. Ia
menatap gurunya sebentar, lalu berkata
- Guru! Siapakah orang ini"-
- Hai bocah! Apakah telingamu tuli" Men-
gapa sebabnya engkau tidak mau menjawab per-
tanyaanku"- hardik kakek itu dengan galak dan
sikap tidak senang.
Apabila kakek itu tampak tidak senang, le-
bih-lebih Surya Lelana juga tidak senang. Maka
kemudian jawabnya.
- Hemm, aku tidak tuli! Huh, tetapi uca-
panmu tadi terlalu kasar dan menghina orang.
Sudah semestinyakah seorang tua yang minta
kau hargai, menyebut orang dengan sebutan ja-
hanam"- - Uah, sombongnya orang ini, Guru. Beri-
lah kesempatan murid menghajar orang kuranga-
jar ini!- kata pemuda itu dengan nada penuh ke-
marahan dan nafsu.
- Heh heh heh heh,- kakek itu terkekeh. -
Bocah yang tidak tahu tingginya gunung dan da-
lamnya lautan, berani membuka mulut semba-
rangan di depanku" Hayo, jawablah pertanyaan-
ku. Apakah maksudmu berkeliaran di tempat ter-
larang ini"-
- Tempat terlarang"- pemuda ini tercen-
gang. - Siapakah yang melarang dan manakah
tanda larangan itu" Aku datang ke tempat ini
menurutkan langkah kakiku. Siapa yang bisa me-
larang" Engkaupun bukan pemilik gunung ini.
Mengapa bisa melarang orang lain mendekati Gu-
nung Wilis ini"-
- Tutup mulutmu yang busuk!- bentak pe-
muda itu sambil berkacak pinggang, matanya
mendelik. - Apakah engkau memang sudah bosan hi-
dup, berani kurangajar di depan Guruku dan di
depanku" Huh, dengar baik-baik. Aku bernama
Sentiko! Sedang Guruku ini bernama Giri Samo-
dra, seorang tokoh sakti tanpa tanding. Tahu"
Hayo lekas engkau berlutut dan mohon ampun
atau tidak"-
Surya Lelana tidak kaget karena memang
belum pernah mendengar nama guru dan murid
ini. Oleh karena itu ia menyahut dingin.
- Hemm, aku tidak bersalah kepada siapa-
pun.- - Guru! Bocah ini terlalu sombong! Berilah kesempatan kepada murid untuk
menghajarnya sekarang juga. Huh, siapa tahu dia berkeliaran di sini memang bermaksud untuk
mencuri jamur dan daun obat"-
- Hem, baiklah! Hitung-hitung bisa kau
pergunakan selingan melatih diri. Agar dengan
perkelahian sungguh-sungguh ini, engkau men-
dapat tambahan pengalaman yang berharga.-
- Ha ha ha ha, terima kasih, Guru!- seru
pemuda yang bernama Sentiko ini dengan gembi-
ra. Kemudian bentaknya penuh ejekan dan hi-
naan. - Hai bocah sombong yang kurus kurang
gizi. Apabila engkau tadi bersikap baik, aku maupun Guru tidak akan menjadi
marah dan mung-
kin Guruku yang baik hati ini malah sudi membe-
ri sebungkus nasi. Ha ha ha ha, aku tahu engkau
tentu pencuri jamur dan daun obat itu. Maka hari ini engkau takkan dapat lolos
lagi dan mampus
dalam tangan ku.-
Kakek bertubuh tinggi besar dan bernama
Giri Samodra itu terkekeh senang mendengar
ucapan muridnya yang pandai menghina dan me-
rendahkan orang itu. Ia juga merasa bangga bah-
wa muridnya bersikap gagah di hadapan orang.
Sedangkan kata-kata yang diucapkan oleh Senti-
ko, menurut penilaiannya, muridnya memang ha-
rus bersikap seperti itu. Ia tidak merasa sama sekali bahwa ucapan muridnya itu
terlalu menghina
orang. Betapa marah Surya Lelana menghadapi
guru dan murid yang sikapnya liar seperti ini. Sebab tanpa meneliti dan tanpa
bukti apapun, su-
dah menuduh orang seenak perutnya sendiri, se-
bagai pencuri jamur dan daun obat.
- Huh, guru dan murid yang liar tanpa atu-
ran. Menuduh orang seenak perutnya sendiri
tanpa bukti. Siapakah yang mau mencari jamur
dan obat yang tidak ada harganya itu"- jawab
Surya Lelana, penasaran.
- Apa" Bedebah busuk bermulut lancang.
Siapa bilang jamur tidak berharga" Huh, jamur
obat ini ada dua kegunaan. Untuk ramuan racun
dan ramuan obat.....-
- Sentiko! Tidak perlu berpanjang mulut,
seranglah dia!- bentak gurunya.
- Baik, Guru!- sahutnya singkat.
Lalu tanpa membuka mulut lagi, pemuda
ini menerjang ke arah Surya Lelana. Gerakannya
cukup cepat dan sambaran anginnyapun cukup
kuat. Namun Surya Lelana tidak menjadi gentar
dan sekalipun tidak ingin berkelahi, ia terpaksa melayani juga.
Giri Samodra sudah mengundurkan diri,
sekarang berdiri di pinggir sambil menonton. Ka-
kek ini tampak demikian percaya akan ketanggu-
han muridnya. Murid tunggal yang kelak kemu-
dian hari menjadi tumpuan harapannya, dapat
mewarisi seluruh ilmunya.
Siapakah guru dan murid ini" Bagi yang
sudah membaca buku berjudul SI TANGAN IBLIS
kiranya masih ingat, dua nama Umbaran, ialah:
Giri Samodra dan Sentiko. Kakek ini adalah seo-
rang pelarian dari Majapahit, dan sebelum mela-
rikan diri namanya Umbaran, salah seorang
Dharmaputra Majapahit yang tidak senang den-
gan Gajah Mada.
Adapun muridnya ini adalah cucu Si Tan-
gan Iblis, dank arena bocah ini pergi meninggal-
kan rumah tanpa pamit menyebabkan keluarga
kebingungan. Karena bocah sekecil Sentiko ini
pergi dengan maksud akan memusuhi Gajah Ma-
da. Oleh karena itu Si Tangan Iblis kebingungan
dan khawatir sekali, maka lewat para murid, Si
Tangan Iblis memerintahkan agar mencari Senti-
ko. Antara guru dan murid ini memang mem-
punyai pendirian dan cita-cita yang sama. Dengan jalan apapun harus dapat
membunuh Gajah Ma-da.
Giri Samudra tertarik kepada Sentiko dan
kemudian mengangkatnya sebagai murid, karena
terpengaruh oleh bakat dan ketabahannya. Maka
walaupun belum dua tahun mendapat bimbingan
dan gemblengan Giri Samudra, bocah ini sudah
maju pesat baik dalam ilmu kesaktian maupun
ilmu ketabiban.
- Bagus, heh he heh heh heh! - Sentiko
memuji sambil terkekeh gembira ketika terjan-
gannya dengan gampang dihindari lawan.
Pemuda yang baru meningkat dewasa ini
kembali menerjang dan melancarkan pukulan-
pukulan berbahaya.
Sebenarnya Surya Lelana tidak mempunyai
selera berkelahi dengan siapapun. Dan tujuannya
pergi sekarang ini tidak lain guna menemukan
adiknya. Maka sambil berloncatan menghindar
tanpa membalas, ia berteriak.
- Hai, hentikan! Tahan dulu! Aku tidak
mau berkelahi, kenapa kau memaksa orang"-
- Cerewet!- bentak Sentiko sambil memu-
kul dada dengan tangan kanan dan mencengke-
ram pundak dengan tangan kiri.
Cengkeraman tangan kiri ini setiap waktu
bisa berubah menjadi pukulan berbahaya, se-
dangkan kakipun siap sedia melancarkan seran-
gan dari bawah. Terusnya.
- Kau pencuri jamur obat. Jika bandel dan
tidak mau menyerah, huh, engkau harus mam-
pus dalam tanganku.-
Mendengar dirinya tetap dituduh sebagai
pencuri jamur itu, Surya Lelana menjadi marah.
Ia tidak mau berbantahan lagi, sebab bagaimana-
pun dirinya akan tetap dituduh sebagai seorang
pencuri. Sungguh terlalu! Maka apapun yang ter-
jadi dirinya harus dapat mengalahkan pemuda


Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sombong dan main tuduh ini.
Dan sekalipun ia sadar tidak mungkin da-
pat menang melawan kakek itu, ia akan membela
kehormatan dan kebenaran, kalau perlu malah
dengan pertaruhan nyawa. Ia bersedia mati! Oleh
sebab itu sesudah mengalah tiga gebrakan, ia
mulai melakukan serangan balasan.
Perkelahian cepat menjadi sengit. Lebih lagi
serangan-serangan Sentiko demikian ganas. Se-
rangan yang selalu memilih bagian tubuh yang
mematikan. Maka Surya Lelana tidak berani sem-
brono lagi dan mengimbangi pukulan-
pukulannya. Giri Samodra mengamati perkelahian itu
dengan alis berkerut. Diam-diam kakek ini kagum
dibuatnya, melihat kecepatan gerak Surya Lelana.
Disamping gerak-geriknya yang mantap, matang
dan setiap pukulannya bertenaga kuat. Sebagai
seorang tokoh sakti yang berpandangan tajam, ia
sudah dapat menduga apa yang akan terjadi. Dan
jika ia membiarkan terus, jelas sekali muridnya
sendiri yang akan kalah.
Giri Samodra masih berdiam diri dan me-
nonton penuh perhatian. Ia baru akan bertindak
apabila keadaan memaksa dan muridnya dalam
bahaya. Namun tiba-tiba kakek ini terbelalak. Ka-
kek ini kemudian mengejap-ngejapkan matanya
seperti tidak percaya akan pandang matanya sen-
diri. Hanya sekejap saja dan tiba-tiba terdengarlah bentakan nyaring.
- Sentiko! Mundur!-
Sentiko mendengar jelas perintah gurunya
ini. Tetapi pemuda ini tidak segera tunduk kepada perintah itu. Sebab ia menjadi
penasaran, tidak
cepat dapat mengalahkan lawan, dan sebaliknya
ia tidak merasa kewalahan dan juga belum kalah.
Lalu mengapa gurunya sudah memerintahkan
agar dirinya mundur" Karena penasaran ia malah
menyerang lebih dahsyat ke arah lawan. Maksud-
nya untuk mempercepat guna mendapat keme-
nangan. Wut.....wut.........-Ahhhh........!
Pemuda bandel ini tiba-tiba berteriak ter-
tahan dan tubuhnya terhuyung ke belakang bebe-
rapa langkah. Demikian pula Surya Lelana ter-
huyung ke belakang beberapa langkah tanpa
mampu menahan diri, terdorong oleh kibasan
tangan Giri Samodra yang bertenaga dahsyat, dan
kakek itu sendiri sekarang telah berdiri di depannya. - Hemm, siapapun adanya
aku tidak ada hubungannya dengan engkau!- bentaknya dengan
ketus dan nadanya dingin.
Sebenarnya tidak biasa bagi Surya Lelana
untuk bersikap seperti ini kepada seorang tua. Ia seorang pemuda yang telah
terdidik semenjak kecil dalam hal tata kesopanan. Sebagai seorang
muda ia pandai sekali menempatkan diri apabila
berhadapan dengan orang tua.
Adapun sebabnya ia bersikap dingin dan
seangkuh itu, bukan lain hatinya tersinggung dan penasaran oleh sikap guru dan
murid ini yang secara membabi buta telah menuduh dirinya seba-
gai "pencuri". Semudah itukah orang menuduh dirinya sebagai pencuri, tanpa
mengingat bukti-bukti" - Huh! Engkau seorang pemuda yang ku-
rangajar, dan tidak pandai menghormati orang
tua!- Surya Lelana mendelik marah. Balasnya,
- Tergantung kepada orang tua itu sendiri,
penghargaan orang muda diberikan.-
Giri Samodra terbelalak. - Apa katamu"-
- Huh, aku berkata, seorang muda tentu
saja akan menempatkan diri sebagai seorang mu-
da, kalamana orang yang lebih tua pandai me-
nempatkan diri.- sahut Surya Lelana tanpa gentar sedikitpun, dan membalas
menatap tajam kepada
kakek itu. Sejenak kemudian pemuda ini meneruskan
dalam usaha membela diri.
- Engkau dan muridmu tanpa alasan dan
bukti telah menuduh aku seenak perutmu sendi-
ri, sebagai seorang pencuri. Huh! Untuk apakah
aku mencuri jamur dan daun-daunan itu" Wa-
laupun jamur dan daun itu kau pandang amat
berguna, tetapi bagi aku tiada harganya sama se-
kali. Sebab aku tidak tahu kegunaan jamur mau-
pun daun yang kau sebut obat itu.-
- Heh heh heh heh, jika engkau tidak men-
gandung maksud semacam itu, lalu apakah mak-
sudmu mendaki gunung ini"-
- Aku sedang melakukan perjalanan jauh.
Siapakah yang dapat melarang aku lewat gunung
ini" Huh, engkau bukan pemilik gunung ini. Apa-
kah hak engkau melarang orang lain"-
- Uah, mulutmu terlalu lancang dan mem-
buka mulut sembarangan di depanku. Hayo kata-
kanlah terus terang. Apakah hubunganmu den-
gan Gajah Mada"-
Surya Lelana terbelalak kaget mendengar
pertanyaan ini. Apakah sebabnya kakek ini secara tepat dapat menduga seperti
itu" Apakah kakek
ini seorang waskita yang telah tahu lebih dahulu, sebelum orang menerangkan"
Untung sekali Surya Lelana bukan pemuda bodoh, sahutnya te-
gas. - Kenalpun belum, apakah sebabnya eng-
kau menduga seperti itu"-
- Heh heh heh heh, seekor tikus kecil bera-
ni membohong di depan Giri Samodra"- Giri Sa-
modra mendelik marah. - Gerak tata kelahi yang
kau pergunakan itu, jelas ilmu tangan kosong
yang bernama Hastha Marga. Ilmu tata kelahi
tangan kosong itu dibanggakan oleh Gajah Mada.
Hayo, mengaku punya hubungan atau tidak"-
Surya Lelana terkesiap mendengar ucapan
Giri Samodra yang tepat ini. Sebab, apa yang ia
pergunakan berkelahi tadi memang ilmu tata ke-
lahi yang bernama Hastha Marga Manila (delapan
penjuru angin) ajaran Gajah Mada. Kalau kakek
ini sudah mengenal ilmu tata kelahi yang ia per-
gunakan, jelas kakek ini sudah amat luas penga-
laman. Atau setidak-tidaknya kakek ini pernah
kenal, atau pernah berkelahi melawan Gajah Ma-
da, gurunya. Sebagai seorang pemuda cerdik, tentu saja
Surya Lelana tak mau mengaku adanya hubun-
gan antara dirinya dengan Gajah Mada. Ia cukup
menyadari, Gajah Mada yang bijaksana dan keras
dalam menjalankan pemerintahan Majapahit itu,
banyak dimusuhi dan dibenci orang.
Bagi dirinya sendiri, nyawanya yang hanya
selembar tidak ada harganya. Dan yang ia khawa-
tirkan bukan keselamatan sendiri, tetapi malah
Gajah Mada. Sebab, siapa tahu kalau kakek ini
kemudian menggunakan dirinya untuk maksud-
maksud tertentu yang akan merugikan Gajah
Mada" Dan mungkin malah menggunakan dirinya
sebagai sandera untuk memeras dan memaksa
Gajah Mada dengan maksud tertentu yang jahat.
- Ha ha ha ha,- tiba-tiba saja Surya Lelana
tertawa terkekeh, sehingga Giri Samodra terbela-
lak heran. Surya Lelana memang sengaja ketawa be-
kakakan, guna mengurangi rasa tegang dalam
dadanya. - Hai orang tua! Engkau jangan mimpi di
siang bolong. Kenal pun tidak, mengapa sebabnya
engkau menanyakan orang yang berkedudukan-
nya amat tinggi di Majapahit itu" Dan kalau toh
aku mempunyai hubungan dekat dengan dia,
atau katakanlah salah seorang muridnya, mana-
kah mungkin aku mendapat kesempatan berke-
liaran pergi sesuka hatiku sendiri seperti ini" Seorang murid Gajah Mada
tentunya memikul tugas
kewajiban yang tidak enteng di Majapahit.-
Untuk sejenak kakek ini melongo. Namun
demikian kakek ini juga tak gampang mau per-
caya. Jelas ia tadi melihat pemuda di depannya
ini, berkelahi menggunakan ilmu tata kelahi Has-
tha Marga Maruta, yang sudah ia kenal ketika di-
rinya berkelahi melawan Gajah Mada. Adalah
mustahil pemuda ini menggunakan ilmu tersebut,
tidak mempunyai hubungan apapun dengan Ga-
jah Mada. -Setan cilik, engkau berani berdusta kepa-
daku" Huh, tidak ada gunanya kau berdusta ke-
pada Giri Samudra. Huh, engkau tentu mempu-
nyai hubungan dengan Gajah Mada -
-Hai Setan gede! - balas pemuda ini sambil
mendelik, tampak tidak gentar sedikitpun. -Ilmu
tata kelahi yang dikenal oleh manusia di dunia
ini, tentu saja ada kalanya hampir bersamaan.
Kenapa kau menjadi heran" Pendeknya engkau
boleh percaya dan boleh tidak percaya. Aku tidak kenal dengan Gajah Mada itu,
apapula mempu- nyai hubungan. Sudahlah, pendeknya apakah
maksudmu hai orangtua" -
Surya Lelana sengaja memancing Giri Sa-
mudra dengan kata-kata ketus menghina. Bukan
lain maksudnya agar Giri samudra tidak terus
mendesak tentang hubungannya dengan Gajah
Mada. Ternyata pancingan Surya Lelana ini ber-
hasil juga. Kakek itu mendelik dengan mata me-
rah. Bentaknya menggeledek.
-Kurang ajar! Setan kecil yang sombong
dan ketus! Engkau mau minta ampun atau tidak
kepadaku" Huh, jahanam orang jembel yang hina
dan tak kenal kesopanan. Huh, jahanam orang
jembel yang hina dan tak kenal kesopanan. Sang-
kamu aku ini orang apa, hee!-
- Huh, kau sendiri orang jembel yang hina
dan terkutuk. Buktinya kau berkeliaran di Wilis
ini!- Giri Samodra berjingkrak saking marah.
Matanya menyala dan kumisnya berdiri seperti
sapu lidi. Bentaknya lebih keras, suaranya ter-
dengar seperti guntur dan kuasa menggetarkan
jantung. - Bangsat hina! Dengarlah dan buka ma-
tamu lebar-lebar hai orang hina! Aku adalah Um-
baran, salah seorang Dharmaputra Majapahit,
putera Pangeran Jayawangsa. Huh huh, engkau
jangan membuka mulut sembarangan di depan-
ku. Tahu"-
Mendengar disebutnya nama Umbaran se-
bagai putera Pangeran Jayawangsa ini, Surya Le-
lana terbelalak. Tentu saja pemuda ini sebagai
putra Mpu Nala, sudah pernah pula mendengar
nama itu. Ialah nama seorang Dharmaputra yang
ketika itu berpihak kepada Kuti dan Semi dan
memberontak kepada Raja Jayanegara. Ternyata
Umbaran ini sekarang masih hidup dan bersunyi-
sunyi di gunung ini, hanya hidup bersama seo-
rang muridnya. - Heh heh heh heh,- Umbaran terkekeh
mengejek. - Engkau kaget! Nah, sesudah engkau
mendengar dan mengerti aku ini Umbaran, putera
Pangeran Jayawangsa, hayo, segeralah berlutut di depanku dan mohon ampun!-
Akan tetapi justru oleh pengakuan Umba-
ran ini. Surya Lelana menjadi lebih hati-hati lagi.
Kakek ini bukan saja benci kepada Gajah Mada,
tetapi juga tentu benci kepada ayahnya, Mpu Na-
la. Kakek ini merupakan orang yang berbahaya
bagi Majapahit dan para pemegang kekuasaan
negara Majapahit.
Surya Lelana terkekeh mengejek. Katanya
kemudian. - Heh heh heh heh, lucu.....lucu! Siapakah
yang mau percaya, ada anak seorang pangeran
Majapahit, seorang Dharmaputra Majapahit, ber-
sedia hidup bersunyi di sini" Heh heh heh heh,
kalau toh benar ada seorang putera pangeran
yang hidup sengsara seperti engkau ini, kiranya
adalah anak pangeran yang berdosa. Karena eng-
kau takut kepada akibat perbuatanmu sendiri
yang terkutuk, lalu melarikan diri, mencari selamat!- Betapa marah Giri Samodra
mendengar ucapan pemuda ini. Lebih-lebih ucapan pemuda
ini tepat sekali, justru dirinya memang sudah
berbuat dosa. Berbuat salah terhadap kerajaan,
sehingga dirinya terpaksa melarikan diri dan bersunyi-sunyi di gunung ini.
Saking marahnya, ti-
ba-tiba saja tangan Giri Samodra bergerak dan
memukul ke arah pohon yang tumbuh tegak di
sampingnya. Brakkk.....krakkkk.....bummm.....!
Tangan Giri Samodra tidak menyentuh ba-
tang pohon itu. Tetapi akibat dari pukulan itu hebat sekali. Hanya tersambar
oleh angin pukulan
saja, pohon sebesar paha orang dewasa itu telah
patah di tengah dan roboh.
Diam-diam Surya Lelana kaget. Jelas sekali
tenaga kakek ini hebat bukan main. Ia tidak boleh semberono menghadapi kakek
ini, jika masih ingin hidup.
- Huh huh lihat baik-baik! Batang pohon
itu roboh sekali ku pukul. Huh, kepalamu akan


Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kuremukkan jika kau lancang mulut. Hayo, lekas
berlutut dan mohon ampun atau tidak"-
Sekarang Surya Lelana harus mengguna-
kan kecerdasan otaknya menghadapi kakek ini.
Maka katanya kemudian.
- Paman, aku tidak bersalah sedikitpun
terhadap engkau. Mengapa sebabnya engkau in-
gin memaksa aku supaya minta ampun dan ber-
lutut di depanmu"-
- Setan cilik! Setan alas! Engkau masih ju-
ga berusaha mungkir"! Huh, akui sajalah dan
jangan berusaha mungkir"! Huh, engkau datang
di tempat ini secara mencurigakan. Huh, mau
apakah jika engkau memang tidak bermaksud
mencuri jamur dan daun obat" Huh, akui sajalah
dan jangan mungkir!-
Surya Lelana penasaran sekali. Bantahnya
keras. - Engkau selalu menuduh aku mencuri ja-
mur dan daun obat. Huh, aku tidak mencuri! Aku
lewat di sini dalam perjalananku mencari adikku.
Engkau boleh percaya dan boleh tidak percaya.
Pendeknya, aku tidak sudi harus minta ampun
dan berlutut di depanmu, karena aku tidak bersa-
lah!- - Setan cilik yang keras kepala! Engkau
memiliki ilmu tata kelahi yang mirip dengan ilmu tata kelahi Gajah Mada, namun
engkau tidak juga
mau mengaku. Dan sekarang engkau pun mung-
kir, tidak mau mengaku akan mencuri jamur dan
daun obat itu. Huh huh, baiklah! Setan cilik yang keras kepala seperti kau ini,
memang sepantas-nya aku bunuh!-
- Setan gede!- teriak Surya Lelana semakin
tambah marah. - Sangkamu semudah ucapanmu
membunuh aku" Huh, marilah kita coba.-
Karena tak ada jalan lagi untuk menghin-
darkan diri dari ancaman Giri Samodra, pemuda
ini menjadi nekad. Ia memang sadar, bukan la-
wan kakek penghuni Gunung Wilis ini dan yang
mengaku masih seorang Dharmaputra Majapahit,
bernama Umbaran. Akan tetapi sebaliknya mana-
kah mungkin ia mau dihina dan dibunuh tanpa
memberi perlawanan" Apapun yang terjadi, ia
bertekad untuk melawan. Mati, kalah dalam ber-
kelahi bagaimanapun masih lebih terhormat dan
lebih berharga, dibanding dengan mati tanpa per-
lawanan sama sekali.
Disamping itu sadar dirinya bukan tandin-
gan Giri Samodra, ia tidak berani sembrono da-
lam melawan dan harus bersenjata.
Sring.....seleret sinar yang panjang men-
cuat ke atas. Sebatang pedang yang tajam dan
putih telah teracung di depan muka pemuda ini.
Dan kemudian sepasang matanya menatap tajam
kepada Giri Samodra tak berkedip. Pendeknya
pemuda ini telah dalam keadaan siap siaga
menghadapi segala kemungkinan.
- Bagus, heh heh heh heh!- kata Giri Sa-
modra sambil terkekeh. - Engkau mengajak ber-
main-main dengan kakekmu" Mari engkau berpe-
dang dan aku layani dengan tangan kosong. Ka-
lau dalam lima jurus aku tidak dapat merebut
pedangmu, heh heh heh heh, anggap saja kakek-
mu ini kalah. -
- Benarkah katamu"- pemuda ini menyam-
but gembira. Lima jurus tidak lama. Apabila dirinya cu-
kup berhati-hati dalam melawan, tidak mungkin
pedangnya dapat direbut orang.
Pada kenyataannya memang Surya Lelana
bukan pemuda sembarangan. Disamping mempe-
roleh gemblengan dari ayahnya sendiri, Mpu Nala, iapun mendapat gemblengan Gajah
Mada. Dan itulah sebabnya ia merupakan murid Gajah Mada
pula. Di ibu kota Majapahit, Mpu Nala terkenal
sebagai ahli pedang tanpa tanding. Kecepatan ge-
rak pedangnya, orang sulit menduga sehingga ti-
dak sedikit tokoh sakti yang mengagumi ilmu pe-
dangnya. Surya Lelana mewarisi ilmu pedang
ayahnya yang hebat itu. Ilmu pedang yang ber-
nama Thathit Leliweran, dan sesuai dengan na-
manya, maka kecepatan pedang tersebut seperti
thathit menyambar-nyambar
Justru ia menguasai dua macam ilmu, dari
ayahnya dan dari Gajah Mada itu, menyebabkan
ketika bertanding dengan Dewi Sritanjung, secara kebetulan Surya Lelana
menggunakan tata kelahi
dari ayahnya, sehingga ilmu mereka berdua tiada
kemiripannya. Untuk ini agar jelas, silakan Pem-
baca yang budiman membaca buku berjudul
JASA AIR SUSU HARIMAU.
Pemuda ini justru mempunyai sarana da-
lam ilmu pedang itu. Sarana kecepatannya berge-
rak sehingga dirinya mendapat julukan Si Tapak
Angin. Disamping itu ia juga mewarisi ilmu pe-
dang dari Gajah Mada, bernama Samodra Kine-
bur. Sekarang dua macam ilmu pedang yang
hebat itu, telah berhasil ia kuasai dengan baik,
sekalipun belum sempurna. Akan tetapi antara
dua macam ilmu pedang tersebut memang sama
cepatnya, disamping rapat pertahanannya. Ter-
bangunlah semangat pemuda ini, penuh rasa per-
caya, dirinya akan dapat bertahan sebaik-baiknya dalam lima jurus. Ia akan
memilih bagian-bagian
yang paling hebat dari dua macam ilmu pedang
itu. Giri Samodra menatap Surya Lelana penuh
perhatian. Lalu perintahnya.
- Hayo, cepat seranglah!-
Siut..... wut..... Tanpa membuka mulut
Surya Lelana sudah menerjang maju dan melan-
carkan serangannya. Surya Lelana memulai se-
rangannya menggunakan ilmu pedang ajaran
ayahnya. Ilmu pedang bernama Thathit Leliweran,
langsung memilih jurus yang ketujuh, pedangnya
menyambar leher.
Giri Samodra terkekeh. Kakek ini tidak
bergerak dan hanya mengangkat tangan kiri men-
gibas disusul oleh gerakan tangan kanan yang
langsung mencengkeram batang pedang.
- Ahhhh - Giri Samodra berseru kaget
sambil mengebutkan telapak tangan kanan dan
melompat ke samping.
Kakek ini memang benar-benar kaget ka-
rena sama sekali tidak pernah ia duga, pedang
Surya Lelana hampir saja berhasil membabat
pundaknya. Benar-benar merupakan gerak ilmu
pedang yang aneh, tetapi amat berbahaya.
Serangan Surya Lelana tadi disebut Kem-bang Elok Mawa Wisa (Bunga Indah Beracun).
Babatan ke arah leher hanya pancingan. Maka
ketika tangan kakek ini tadi mengebut, pedang ini melenceng juga sebagai akibat
kibasan angin yang kuat. Tetapi pedang yang menyeleweng itu
gerakannya diteruskan membabat pundak dari
bawah. Sekali serang hampir berhasil ini menye-
babkan Surya Lelana lebih mantap dan berse-
mangat. Ia tidak memberi waktu untuk bernapas.
Maka ia menyusuli serangan ilmu pedang yang
sama, menggunakan jurus yang ke sebelas dan
diteruskan dengan jurus yang ke tigabelas. Kece-
patan gerak serangan yang kedua lebih cepat dan
berbahaya dibanding dengan yang pertama. Dan
bagian yang ketigabelaspun merupakan serangan
yang tidak kurang berbahayanya.
Akan tetapi Giri Samodra seorang kakek
sakti mandraguna, cerdik dan luas pengalaman.
Serangan pertama yang hampir mencelakai di-
rinya tadi menyadarkannya, pemuda ini mempu-
nyai kecepatan bergerak yang bukan main. Maka
begitu serangan kedua dan ketiga menyusul, Giri
Samodra telah dapat mengatasi. Tetapi bagaima-
napun pula, diam-diam kakek ini kagum juga
oleh kecepatan gerak pemuda ini.
Sebaliknya Surya Lelana menjadi penasa-
ran, tiga kali serangannya tidak berhasil menyentuh tubuh lawan. Malah sedikit
saja lambat gera-
kannya, pedangnya tentu sudah berhasil direbut
oleh lawan. Sekarang tinggal dua jurus lagi. Apabila
kakek ini tidak berhasil merebut pedangnya, be-
rarti kakek ini tidak akan mengganggu gugat di-
rinya lagi. Untuk itu ia menggunakan ilmu pe-
dang ajaran Gajah Mada yang bernama Samodra
Kinebur. Sebab, ilmu pedang ini disamping mem-
punyai ciri kecepatan gerak dan serangannya, ju-
ga memiliki pertahanan yang amat kuat. Dengan
demikian tidaklah mudah bagi orang untuk dapat
merebut senjatanya.
Sringsiuttt.....- Ahhhh .....!
Lagi-lagi terdengar seruan tertahan dari
mulut kakek itu.
Seruan tertahan dari mulut kakek ini me-
nimbulkan kakek ini kaget berbareng kagum oleh
serangan pedangnya yang berbahaya.
Akan tetapi dugaan pemuda ini keliru. Pe-
muda ini menjadi lupa, ilmu pedangnya itu mem-
buka kedoknya sendiri yang mempunyai hubun-
gan dengan Gajah Mada. Kalau tadi begitu meli-
hat ilmu tangan kosong yang ia pergunakan su-
dah bisa menduga hubungannya dengan Gajah
Mada, apalagi sekarang. Kalau tadi Giri Samodra
sudah terlupa soal ini, sekarang teringat kembali.
- Kau ..... kau murid Gajah Mada!- bentak
Samodra dengan mata mendelik menyinarkan api
kemarahan. - Huh! Kubunuh kau! Kubunuh kau!-
Surya Lelana kaget setengah mati. Seka-
rang ia baru sadar kesembronoan ya sendiri, telah menggunakan ilmu pedang
Samodra Kinebur. Kalau tadi ketika dirinya menggunakan ilmu tangan
kosong saja kakek ini dapat mengenal, maka se-
karang malah dapat menetapkan sebagai murid
Gajah Mada. Akan tetapi sekalipun benar dirinya salah
seorang murid Gajah Mada, sudah tentu Surya
Lelana takkan mau mengaku. Bukan karena si-
kapnya ini merupakan sikap yang pengecut. Sa-
ma sekali bukan! Tetapi malah dalam usaha
menghindarkan hal-hal yang tidak ia harapkan,
dan juga jangan merugikan nama baik Gajah Ma-
da. - Hei! Jangan menuduh secara ngawur!-
bentak Surya Lelana sengit. - Aku tidak mempu-
nyai hubungan apapun dengan Gajah Mada. -
- Heh heh heh heh, jika engkau bukan mu-
rid Gajah Mada. Katakan bahwa Gajah Mada seo-
rang terkutuk dan tidak tahu malu!-
- Apa" Beliau adalah Patih Mangkubumi
Majapahit. Beliau seorang mahapatih yang mem-
peroleh kepercayaan penuh memerintah Majapa-
hit. Benarkah seorang kawula bersikap kurang-
ajar seperti ini" Huh, aku bukanlah kawula Maja-
pahit yang membabi buta. Aku tahu Gajah Mada
bukanlah terkutuk dan tidak tahu malu seperti
tuduhanmu itu.-
- Guru! Jika dia tidak berani mencaci maki
Gajah Mada, berarti dia benar-benar mempunyai
hubungan. Dan tentu dia datang ke tempat ini
mempunyai maksud tidak baik!- teriak Sentiko.
Bagi pemuda ini, setiap nama Gajah Mada
disebut-sebut, justru membangkitkan semangat
dan api dendam. Cerita kakeknya yang bernama
Si Tangan Iblis itu, amat mengesan di dalam lu-
buk hati pemuda ini. Menurut pikirannya baik
ayah maupun ibunya, semua meninggal akibat
dibunuh Gajah Mada dan Nala. Dendam ini tak-
kan mungkin dapat terhapus, sebelum dirinya
dapat membalas dendam.
Rasa dendam dan kebenciannya kepada
Gajah Mada maupun kepada Nala itu, makin ber-
tambah lagi setelah Sentiko menjadi murid Giri
Samodra. Sebab kakek yang pada waktu mu-
danya bernama Umbaran ini, membenci setengah
mati kepada Gajah Mada, seorang bukan keturu-
nan bangsawan yang mempunyai kedudukan
amat tinggi di Majapahit. Maka pada setiap ke-
sempatan kakek ini selalu melancarkan tuah
bahwa Gajah Mada seorang yang jahat.
Dan sekarang, baik Giri Samodra maupun
Sentiko menekan kepada Surya Lelana, supaya
pemuda ini mencaci maki Gajah Mada guna
membuktikan tiada hubungan sama sekali. Tetapi
sebaliknya apabila Surya Lelana menolak, terbuk-
tilah memang benar, hubungan ini tidak bisa di-
pungkiri. Pada zaman cerita ini terjadi, hubungan
antara guru dengan murid memang amat mengi-
kat. Sebab, kedudukan guru bukan saja hanya
melulu sebagai guru, tetapi juga sebagai ayah,
dan lebih dari itu juga mempunyai wewenang
yang amat luas. Guru mempunyai hak mengikat
dan hak istimewa terhadap muridnya. Dan itulah
sebabnya, maka sering pula terjadi, seorang guru menghukum muridnya sendiri
dengan hukuman mati, kalau murid itu dianggap dosanya dan kesa-


Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lahannya tidak dapat diampuni lagi.
Oleh ikatan batin yang demikian kuat an-
tara murid dan guru ini, maka seorang murid
yang baik dan pandai menghormati guru, tak
mungkin bersedia mencela gurunya, apalagi men-
caci maki dan merugikan nama baik guru. Dan
sekalipun berhadapan dengan maut, seorang mu-
rid yang setia dan baik akan memilih mati terbu-
nuh daripada harus berkhianat.
- Hai setan gede!- teriak Surya Lelana den-
gan mata menyala merah, sedangkan pedangnya
itu melintang di depan dada. - Apabila engkau
menyuruh aku mencaci maki engkau sebagai ma-
nusia busuk, jahanam, setan alas.....-
Wut wut.........
Surya Lelana terpaksa harus melompat
menghindarkan diri, dan ucapan yang belum se-
lesai itu tak sempat ia ucapkan. Serangan Giri
Samodra hebat sekali. Walaupun dirinya sudah
menggunakan kecepatannya bergerak untuk
menghindar, namun dadanya masih terasa sesak
oleh sambaran angin pukulan kakek ini.
Baru sambaran angin pukulannya saja su-
dah kuasa membuat dadanya sesak. Betapa hebat
akibat pukulan kakek ini, apabila sampai berhasil menyentuh tubuhnya. Tentu
sedikitnya tulang
tubuhnya akan ada yang remuk dan salah-salah
nyawanya malah melayang. Akan tetapi tentu saja
pemuda ini tidak gentar sedikitpun. Ia justru lebih suka mati daripada harus
mengaku dirinya
salah seorang murid Gajah Mada.
- Hiyaaaat .....!- teriak Surya Lelana dalam
usahanya menambah semangat dan keberanian-
nya. Ia sudah membuka serangan untuk memba-
las serangan Giri Samodra, dan menerjang maju
dengan pedangnya. Ia langsung menggunakan il-
mu pedang ajaran Gajah Mada, memilih bagian ke
delapan, yang kemudian ia rangkai dengan bagian
ke delapan belas. Bagian ini justru merupakan
bagian yang paling hebat dan aneh gerakannya,
apabila dipergunakan untuk menyerang. Tetapi
sebaliknya, juga membutuhkan tenaga yang lipat
dibandingkan dengan bagian lain.
Sayang sekali Surya Lelana tidak ingat, se-
dikit banyak Giri Samodra sudah mengenal ilmu
pedang itu. Sebagai seorang yang pernah berkela-
hi dengan Gajah Mada, dan menaruh dendam pu-
la, sudah tentu selalu berusaha untuk mencoba
mempelajari dan menyelidiki ilmu musuh be-
buyutannya itu. Sebab dengan berhasilnya mem-
pelajari, menyelidiki dan memecahkan raha-
sianya, pada saat membutuhkan, kegunaannya
besar sekali. Kakek ini ketawa mengejek. Ia melompat ke
samping sambil mengibas dengan tangan kiri dan
tangan kanan bergantian. Angin yang amat kuat
menyambar dari telapak tangan, kuasa membuat
pedang itu menyeleweng hingga dada Surya Lela-
na terasa semakin sesak juga.
Namun demikian Surya Lelana yang sudah
bertekad lebih baik mati itu, sama sekali tidak
gentar. Pedangnya yang menyeleweng ia teruskan
gerakannya. Plakkk......- Aduhhh ........!-
Pekik tertahan tidak kuasa ia tahan lagi,
meluncur dari mulut pemuda itu. Sebab samba-
ran pedangnya yang dahsyat tadi ditahan oleh
kebutan telapak tangan kanan kakek itu. Dan
pada saat dirinya kaget, tahu-tahu pedangnya
sudah terpukul oleh telapak tangan kiri kakek ini, sehingga tidak kuasa ia
pertahankan lagi, dan
terbang cukup jauh. Lepasnya pedang dari tangan
ini masih ditambah dengan lengannya menjadi
lumpuh tidak kuasa ia gerakkan lagi.
Sekalipun demikian pemuda ini tidak juga
gampang menyerah. Walaupun pedangnya sudah
terbang dan lengan kanan lumpuh mendadak,
namun pemuda ini secepat kilat sudah menggu-
nakan tangan kiri mencabut keris. Senjata yang
hanya pendek itu secepat kilat sudah menyambar
dan menyerang. - Ahhhhh........! - Giri Samodra kaget.
Ia sudah berusaha menyelamatkan diri da-
ri sambaran keris itu. Namun sungguh sayang
sekali tikaman Surya Lelana tadi memang tidak
terduga sama sekali. Maka keris itu masih berha-
sil menyerempet lengannya, sehingga tiba-tiba sa-ja darah merah memercik keluar
dari lengan yang
terluka, Sesungguhnya luka goresan oleh mata ke-
ris ini hanya kecil saja. Tetapi karena mata keris itu dilumuri oleh warangan
(racun), maka luka itu terasa perih dan panas. Rasa sakit ini tentu saja
menyebabkan Giri Samodra menjadi marah bukan main. Matanya mendelik dan menyala.
Ben- taknya. - Bangsat! Engkau memang harus mam-
pus!- Setelah membentak, angin yang dahsyat
sudah mendahului menyambar ke arah pemuda
itu sekalipun pukulan belum datang. Surya Lela-
na tidak takut dan memaksa diri. Dada yang tera-
sa sesak ia pertahankan dan keris pada tangan
membalas serangan itu tanpa kenal takut.
Akan tetapi walaupun Surya Lelana pan-
tang menyerah dan masih tetap melawan mati-
matian, ia terus terdesak dan berkali-kali tubuhnya terlempar mundur oleh
sambaran angin yang
kuat sekali. Diam-diam Giri Samodra kagum juga oleh
kebandelan pemuda ini. Sebab sekalipun jelas ti-
dak berdaya melawan dirinya, namun bocah ini
masih tetap juga melawan dan pantang menye-
rah. Diam-diam timbul pula perasaan sayang, ka-
lau pemuda pemberani dan pantang mundur se-
perti ini harus mati dalam tangannya. Namun ka-
rena sudah merasa pasti pemuda ini mempunyai
hubungan dekat dengan Gajah Mada, maka ke-
bencian dan rasa dendamnya kepada musuh be-
buyutan ini masih mendesak segala pertimbangan
yang lain. Keadaan Surya Lelana sekarang ini me-
mang sudah payah. Tenaganya sudah hampir ha-
bis dan seluruh bagian tubuhnya terasa sakit-
sakit dan serasa tulang-tulangnya remuk, sekali-
pun hanya tersambar oleh angin pukulan.
Akan tetapi Surya Lelana sudah bertekad
mati. Ia takkan menyerah sebelum nyawa me-
layang. Maka sambil menguatkan hati dan men-
gerahkan sisa-sisa tenaganya, pemuda ini terus
berusaha membela diri.
Pada saat keadaan Surya Lelana dalam ba-
haya maut ini tiba-tiba terdengarlah teriakan Sentiko yang amat nyaring.
- Guru.....! Guru.....! Aduh ..... tolonggg.....!
Giri Samodra kaget dan cepat menghenti-
kan desakannya sambil memalingkan mukanya
ke arah Sentiko. Kakek ini terbelalak kaget berbareng keheranan, ketika melihat
Sentiko sudah ti-
dak berdaya lagi, dua lengannya ditekuk ke bela-
kang punggung oleh makhluk yang menyeram-
kan. Makhluk ini seluruh tubuhnya penuh oleh
bulu panjang warna merah, bentuk muka mirip
dengan kera, tetapi tinggi dan besarnya hampir
seperti manusia.
- Orang utan .....!- desis kakek ini dengan
wajah pucat. - Guru, tolongggg.....!- teriak Sentiko yang
kesakitan. Pemuda ini tidak kuasa memberontak dan
lengannya yang ditekuk ke belakang, tulangnya
sudah seperti patah dan amat sakit
- Lepaskan dia!- bentak Giri Samodra sam-
bil melompat dan sekarang telah berdiri tidak
jauh dengan Sentiko, yang telah ditawan oleh
orang utan. - Lepaskan aku..... teriak Sentiko.
Tetapi orang utan yang membelenggu tan-
gan Sentiko ini tidak juga mau melepaskan.
Hanya bedanya, kalau tadi orang utan itu membe-
lenggu dengan tangan kanan dan kiri, sekarang
yang dipergunakan cukup dengan tangan kanan,
kemudian tangan kiri menuding-nuding sambil
bersuara nguik-nguik yang sukar diketahui mak-
sudnya. Mungkin sekali orang utan itu mengajak
bicara dengan bahasanya sendiri, yang tidak difa-hami oleh Giri Samodra maupun
Sentiko. - Engkau bilang apa"- tanya kakek ini
sambil memperhatikan orang utan yang menud-
ing-nuding itu.
Tangan orang utan itu sejak tadi memang
menuding-nuding dan bersuara nguik-nguik. Se-
tiap sudah menuding Surya Lelana, orang utan
itu kemudian menuding dirinya sendiri. Tetapi
sebaliknya, sesudah menuding Sentiko, kemudian
menuding ke arah Giri Samodra, diikuti oleh ge-
rakan jari tangan yang dibuka dan dikibas-
kibaskan beberapa kali.
Pada mulanya Giri Samodra memang tidak
faham apakah maksud orang utan itu. Tetapi se-
telah berkali-kali gerakan itu diulang-ulang pada akhirnya kakek ini dapat
menduga maksud orang
utan itu, diulang-ulang.
Giri Samodra melihat Sentiko meringis me-
nahan sakit, sedangkan matanya sudah berubah
Merah. Dan ketika ia mengalihkan pandang ma-
tanya ke Surya Lelana, kakek ini menyeringai.
Sebab pemuda itu sekarang sudah roboh tak ber-
gerak di tanah. Entah sudah mati atau pingsan
kehabisan tenaga.
Kakek ini mulai dapat menduga maksud
orang utan ini. Agaknya menuntut kepada di-
rinya, bersedia melepaskan Sentiko asal saja
mendapat ganti pemuda yang roboh tak berkutik
itu. Bagi Giri Samodra pemuda yang sekarang
roboh tidak berkutik itu memang tidak ada gu-
nanya. Sebaliknya Sentiko adalah muridnya, dan
sebagai murid tunggal pula, yang amat ia ha-
rapkan menjadi pewaris semua ilmunya. Dan
yang kemudian hari akan dapat ia jadikan pem-
bantu membalas dendam kepada Gajah Mada,
apabila sudah tiba saatnya.
Sekarang dengan memperhatikan gerak-
gerik dan suara orang utan itu, kakek ini dapat
menduga bahwa binatang ini mengajak damai
dan menukarkan Sentiko dengan pemuda yang
roboh itu. - Heh heh heh heh, engkau mengajak tu-
kar-menukar" Lepaskan muridku dan bawalah
dia. Huh, terlalu lama di sini, pemuda itu hanya akan membuat aku muak saja.-
Entah tahu arti ucapan Giri Samodra atau
tidak. Yang jelas, tiba-tiba saja orang utan. itu melepaskan tangan Sentiko.
Kemudian melompat
ke arah Surya Lelana yang menggeletak tidak
berkutik. Gerakan melompat dan menyambar tu-
buh Surya Lelana ini sungguh cepat. Dan tubuh-
nya yang besar itu ternyata tidak mengurangi ke-
gesitannya bergerak.
Diam-diam Giri Samodra merasa kagum,
lalu ia menduga kiranya orang utan itu bukanlah
binatang liar seperti yang lain. Kemungkinan
orang utang ini merupakan binatang piaraan seo-
rang sakti mandraguna.
Setelah menyambar tubuh Surya Lelana,
orang utan itu sudah berlarian cepat sekali dan
dalam waktu singkat tidak tampak bayangannya
lagi. Melihat kepergian orang utan bersama pe-
muda pencuri jamur itu, Sentiko kaget. Katanya.
- Guru! Mengapa sebabnya Guru membiar-
kan orang utan itu pergi sambil membawa si pen-
curi jamur obat" Ahhh.....kalau rahasia tempat ini ketahuan orang lain, kita
yang akan menderita
rugi sendiri!- Giri Samodra mendelik. Hardiknya garang
sekali. - Sentiko! Hati-hati sedikit jika engkau membuka mulut!-
- Guru, apakah kesalahan murid"-
- Huh! Kau masih juga bertanya" Tolol!
Apakah sangkamu engkau masih hidup tanpa
persyaratan tukar-menukar tadi"-
- Tukar menukar"- pemuda ini keheranan.
- Tolol kau! Sangkamu, engkau lepas dari
tangan orang utan itu tanpa syarat" Dengarlah
hai tolol, orang utan tadi menggunakan isyarat
tangan, bersedia membebaskan engkau, asalkan
saja ditukar dengan pemuda tadi dan aku setuju.
Itulah sebabnya aku tadi membiarkan orang utan
pergi sambil membawa dia.-
- Ahhh, Guru, janji dengan mulut gampang
untuk kita pungkiri. Guru, silakan menuduh aku
tolol. Akan tetapi apabila Guru tadi menggunakan kesempatan menyerang orang utan
tadi sesudah membebaskan murid, bukankah hal ini akan
memberi keuntungan kepada kita" Murid percaya


Dewi Sri Tanjung 12 Aji Wisa Dahana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Guru takkan kesulitan membunuh orang utan
tadi. Dengan demikian, si pencuri jamur takkan
dapat lolos dari tangan kita.-
Mendengar alasan ini diam-diam kakek ini
menyesal juga. Mengapa ia tadi tidak mengguna-
kan kesempatan menyerang orang utan itu, pada
saat Sentiko sudah lepas"
Akan tetapi kedudukannya justru sebagai
guru. Sekalipun alasan muridnya ini benar, ma-
nakah mungkin ia mau disalahkan" Oleh sebab
itu kemudian ia memerintah.
- Sudahlah! Sekarang kumpulkan semua
jamur obat itu ke dalam keranjang. Dan marilah
kita secepatnya pulang ke rumah.-
Sentiko tidak membantah, sekalipun ha-
tinya kecewa sekali. Ia segera mengumpulkan ja-
mur hasil usahanya mencari, dipersatukan den-
gan daun obat, dalam satu keranjang. Sesudah
itu ia menjinjing keranjang bambu ini, mengikuti
langkah gurunya menuju ke tempat tinggal gu-
runya. Akan tetapi baru beberapa langkah mereka
berjalan, mendadak mereka berhenti. Guru dan
murid ini mendengar suara perempuan yang
nyaring, memanggil-manggil nama seseorang.
- Kakang ...... Kakang Dewa Asmara ....!
Kakang.....suamiku..... ahh, di mana engkau....."
Guru dan murid ini bertatap pandang.
Agaknya timbul rasa heran dalam dada, siapakah
perempuan itu" Dan mengapa pula memanggil
nama Dewa Asmara"
- Ahhh.....perempuan itu agaknya diting-
galkan suami yang tercinta. Huh, mari kita cepat pulang. Untuk apakah kita
mengurusi orang
lain"- ajak Giri Samodra sambil melangkah pergi.
- Guru..... kasihani dia .....!- ujar Sentiko.
- Guru..... kalau benar dia ditinggalkan
oleh suaminya yang tercinta ..... murid wajib untuk memberikan bantuannya.-
Tiba-tiba sepasang mata Giri Samodra
mendelik, lain membentak garang.
- Sentiko! Apakah engkau sekarang sudah
berani membantah gurumu" Huh, murid macam
apa kau ini! Bukankah aku selalu memberi nasi-
hati agar engkau jangan memikirkan perempuan
sebelum engkau berhasil menguasai seluruh il-
muku" Huh! Tetapi mengapa mendengar suara
perempuan saja, sekarang kau sudah memperha-
tikan dan kebingungan" Siapa tahu sekalipun su-
aranya merdu, tetapi wajah perempuan itu jelek
sekali" Hayo, kita lekas pulang. Dan sekali lagi aku melarang keras engkau
memikirkan perempuan. Huh, jika engkau berani melanggar, dan
engkau berani main perempuan, lebih baik eng-
kau mampus saja.-
- Guru.....ohhh, mengapakah sebabnya
Guru cepat menjadi marah dan salah mengerti "-
Sentiko yang melihat sinar mata gurunya
yang marah, hatinya tergetar hebat dan takut. Tetapi entah mengapa sebabnya,
suara perempuan
itu amat menarik perhatiannya. Suara perempuan
itu seperti mempunyai pengaruh dan daya tarik
yang hebat terhadap dirinya, sehingga mau tidak
mau harus memperhatikan.
- Apa" Salah mengerti"- hardik gurunya.
- Benar! Guru salah mengerti.- Sentiko
menjawab tanpa rasa takut. - Dalam hati murid
merasa kasihan, apabila perempuan itu benar-
benar telah ditinggalkan oleh suaminya.-
Pada saat itu, suara perempuan yang mer-
du dan nyaring, semakin terdengar nyaring dan
dekat sekali. - Kakang.....! Kakang Dewa Asmara! Di
manakah engkau" Aku......aku ..... isterimu, mengapa tanpa pamit kau sudah
meninggalkan diri-
ku" Hi hi hik .....hu hu huuuuu ...... apakah engkau tidak kasihan kepada
isterimu......yang rin-
du"- Maafkan Pembaca, sampai di sini terhenti
cerita ini, dan terpaksa Anda ikuti cerita baru berjudul : PENIPU LICIK DAN
TERKUTUK. Cerita
yang tentu akan lebih menarik, dan Anda pasti
tak mau meletakkan buku ini sebelum selesai
membaca. Sebagai petikan dari isi buku tersebut, antara lain seperti ini:
..... Sarindah merasakan hawa dingin me-
rayapi sekujur tubuhnya. Ketika membuka mata,
perempuan ini kaget dan terbelalak, karena men-
dapatkan dirinya dalam keadaan tanpa busana
sama sekali. Lebih kaget lagi ketika pandang ma-
tanya tertumbuk kepada seorang laki-laki yang
tidur di sampingnya.
Saking kaget, main dan penasaran, gadis
ini menjadi lupa kepada keadaannya sendiri yang
masih bugil. Tangan kanan bergerak memukul
kepala laki-laki itu yang tampaknya masih tidur
pulas. Plakkk!.....
- Aihhh ....!- Seruan tertahan meluncur dari mulut Sa-
rindah, kemudian tubuh mulus tanpa busana itu
terjengkang ke belakang.
- Heh heh heh heh, apakah sebabnya eng-
kau memukul aku, isteriku yang manis" Menga-
pakah sebabnya engkau memukul suamimu sen-
diri, yang selalu memanjakan dan membahagia-
kan engkau"- kata laki-laki itu sambil cepat-cepat menyambar pakaiannya sendiri.
Nyatalah sekarang laki-laki ini sudah lebih
dahulu bangun, namun masih malas dan pura-
pura tidur. Maka ketika pukulan Sarindah me-
nyambar, dengan tangkas laki-laki ini sudah ber-
hasil menangkis dengan baik.
Sarindah juga cepat pula menyambar kain
panjangnya, lalu ia pakai menutup tubuh. Kain
panjang itu hanya ia talikan ujungnya, menutup
sampai di atas payudara. Mata Sarindah menyala
merah, menatap laki-laki itu tidak berkedip. Ia
berdiri tegak dalam keadaan siap siaga mengha-
dapi segala kemungkinan ............
........ - Laki-laki ceriwis!- hardik Sarindah sambil mendelik. - Sudahlah!
Engkau jangan mengganggu aku lagi. Huh, aku tidak tahu pe-
rempuan yang kau maksud itu!-
Sentiko terbelalak kaget mendengar jawa-
ban ini. Sungguh aneh mengapakah sebabnya
mbakyunya ini bertanya seperti ini" Benarkah
mbakyunya ini sudah lupa kepada dirinya"
- Mbakyu ..... apakah sebabnya kau lu-
pa....." - Huh huh, jangan cerewet! Aku hidup di dunia ini hanya mempunyai
Kakang Dewa Asmara seorang, suamiku! Dan tidak mempunyai yang
lain, apalagi adik.- Sarindah membentak sambil
melompat. - Hai tua bangka! Engkau berani
mengganggu suamiku" Huh, kurangajar. Kubu-
nuh kau!- ..........
..........- Bangsat! Lepaskan aku!- caci maki
Sarindah semakin keras. - Huh, tak tahu malu,
ditolak perempuan masih juga berusaha membu-
juk. Ohhh ..... Kakang Dewa Asmara, tolonglah
aku. Pukullah laki-laki ini biar mampus, agar tidak mengganggu aku lagi!-
Sarindah berusaha mati-matian untuk da-
pat melepaskan diri dari sekapan itu. Tetapi celakanya laki-laki yang menyekap
dari belakang itu
semakin kuat. Mulut Sarindah mencaci maki kalang ka-
but. Akan tetapi laki-laki ini tidak peduli.
Mendadak gadis ini menggunakan kakinya
untuk mengait ke belakang. Akibatnya laki-laki
ini kehilangan keseimbangan tubuhnya, dan ja-
tuh terguling. Akan tetapi karena sekapannya
kuat sekali, Sarindah pun ikut roboh terguling
dan kemudian terjadilah pergumulan................
Siapakah gadis bernama Sarindah yang se-
dang sial ini" Perlu kita jelaskan. Bahwa Sarindah ini kakak perempuan Sarwiyah
dan Sentiko, merupakan tiga bersaudara cucu dari Si Tangan Ib-
lis. Sarindah menjadi terganggu jiwanya, sebagai akibat pengaruh Aji Netra Luyub
dari Kakek Madrim, pada saat gadis ini minta kepada kakek itu agar membunuh
Gajah Mada dengan tenung.
Oleh pengaruh Aji Netra Luyub itu, ia me-
rasa telah menjadi isteri Dewa Asmara. Karena
merasa sudah menjadi isteri Dewa Asmara ini,
maka gadis ini mencari terus dalam usaha me-
nemukannya. Justru dalam pengembaraannya
mencari Dewa Asmara ini, Sarindah berhadapan
dengan berbagai peristiwa kelabu dan menyedih-
kan. Bagi Anda yang ingin tahu tentang Kakek
Madrim dengan Aji Netra Luyubnya ini, silakan
membaca buku berjudul : TERSIKSA SEPERTI DI
NERAKA dan RAHASIA DEWA ASMARA.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Sepasang Pedang Iblis 24 Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo Senja Jatuh Di Pajajaran 2
^