Pencarian

Anak Baru Gendenk 2

Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk Bagian 2


merasa haus. Dia dekati gentong besar, mengambil gayung dan membuka penutup
gentong. Air gentong kelihatan jernih, penuh sampai ke leher gentong.
Si Muka Bangkai celupkan gayung
batok kelapa ke dalam gentong. Sehabis minum sekalian dia hendak mencuci muka
dan membasahi rambut. Tetapi apa yang terjadi kemudian membuat guru Pangeran
Matahari ini menjadi kaget setengah mati.
Dengan mata mendelik besar dia
memperhatikan bagaimana gayung yang
hendak diangkat dan didekatkan ke
mulutnya kini telah buntung. Kepala
gayung dari batok kelapa tak ada lagi di ujung gagang gayung! Di saat bersamaan
Si Muka Bangkai mencium bau pesing. Bau itu datang menyambar dari dalam gentong
besar. Penuh curiga kakek bungkuk ini
berjingkat, ulurkan kepala dekat-dekat agar bisa melihat ke dalam gentong lebih
jelas. Pada saat itulah tiba-tiba satu tangan kurus kering berkulit hitam
melesat dari dalam gentong. Si Muka
Bangkai tersentak kaget. Dia berusaha jauhkan kepalanya dari mulut gentong tapi
terlambat. Satu jotosan keras melanda dagu Si Muka Bangkai.
Kakek itu menjerit keras. Tubuhnya
mencelat sampai dua tombak. Dagunya
serasa hancur. Kepalanya laksana tangga.
Mukanya jadi pencong tak karuan. Selagi Si Muka Bangkai pegangi dagu dan kepala
sambil meraung kesakitan, dari dalam gentong besar melesat keluar sosok basah
kuyup seorang nenek-nenek mengenakan kebaya dan kain panjang butut. Di
kepalanya menancap lima tusuk konde
terbuat dari perak putih. Dari mulutnya mengumbar suara tawa bergelak. Berdiri
di tanah tangan kanan berkacak pinggang, tangan kiri menuding ke arah Si Muka
Bangkai. "Kasihan! Tamu datang dari jauh ingin minum. Mau cuci muka. Tapi
gayungnya amblas. Hik... hik... hik! Biar aku tolong. Tidak kepalang tanggung.
Biar mandi dan cebok sekalian! Hik... hik...
hik!" Habis berkata begitu Sinto Gendeng
angkat tangan kanannya. Gentong besar penuh air bergerak. Luar biasa sekali.
Perlahan-lahan gentong ini naik ke atas setinggi kepala manusia lalu melayang ke
arah Si Muka Bangkai. Di atas sosok si
kakek gentong bergerak membalik. Air bau pesing dalam gentong yang sudah
bercampur air kencing si nenek mencurah deras, mengucur tumpah membasahi sekujur
kepala dan tubuh Si Muka Bangkai.
Dalam menahan sakit dan ledakan
amarah yang tidak tertahan Si Muka
Bangkai hantamkan tangan kanannya ke atas.
"Braaakkk! Byaaar!"
"Buuurrr!"
Gentong besar pecah berantakan.
Seluruh air tumpah membasahi Si Muka Bangkai. Sinto Gendeng kembali tertawa
cekikikan. "Sinto Gendeng keparat! Amblas
nyawamu!" Si Muka Bangkai berteriak. Serentak
dengan itu dia kirimkan serangan ganas.
Sepuluh jari tangan keluarkan kilatan cahaya merah, menghantam ke arah si
nenek. Kaget Sinto Gendeng bukan
kepalang. Dia sudah lama berseteru dengan kakek satu itu dan tahu betul setiap
ilmu yang dimiliki Si Muka Bangkai. Kalau hari itu dia bisa menyerang dengan
sepuluh larik sinar merah yang luar biasa hebat dan panasnya, sungguh dia tidak
menduga. Guru Pendekar Wiro Sableng ini segera berkelebat selamatkan diri tapi tak urung
bahunya masih sempat terserempet salah satu larikan sinar merah hingga si nenek
menjerit kesakitan. Bahunya yang luka kepulkan asap kelabu. Di belakang sana
larikan sinar merah yang dilepaskan Si Muka Bangkai melabrak pondok kayu. Pondok
itu hancur berantakan dan musnah dilalap kobaran api.
"Jahanam kurang ajar! Kau memang sengaja datang mengantar nyawa!" Sinto Gendeng
membentak marah. "Kau hancurkan pondokku. Kini kuhancurkan tubuhmu!" Si nenek
pukulkan tangan kanannya. Dia
keluarkan jurus bernama "Kilat Menyambar Puncak Gunung" tapi yang sebenarnya
dilepaskan adalah pukulan sakti bernama
"Benteng Topan Melanda Samudera".
Tempat itu laksana dilanda topan.
Deru angin bukan olah-olah dahsyatnya.
Tanah, batu dan pasir berhamburan ke udara. Pohon-pohon bergoyang hebat,
cabang dan rerantingan serta semak
belukar patah beterbangan. Sosok bungkuk Si Muka Bangkai bergetar hebat. Dada
terangkat, kepalanya seperti hendak
tanggal. Dua kakinya goyah. Perlahan-lahan mulai terangkat. Dia kerahkan
seluruh tenaga dalam. Mata melotot ke depan, dua telapak tangan terpentang ke
arah Sinto Gendeng. Mulutnya yang tadi kena dihajar pencong berkomat-kamit.
Sinto Gendeng keluarkan suara
menggeram ketika melihat bagaimana
kekuatan tenaga dalam lawan sanggup
membendung serangannya. Selangkah demi selangkah dia maju mendekati Si Muka
Bangkai. Kakek bungkuk muka pucat tak tinggal diam. Dia segera pula bergerak ke
depan menyongsong lawan. Tinggal tiga langkah lagi tiba-tiba keduanya sama-sama
membentak hebat dan hantamkan seluruh tenaga dalam yang mereka miliki.
Dua jeritan dahsyat menggeledek
keluar dari mulut Sinto Gendeng dan Si Muka Bangkai. Bedanya kalau si nenek
terpental sampai tiga tombak maka sang kakek mencelat empat tombak dan masih
terguling lagi di tanah dengan tubuh dan wajah berkelukuran. Bedanya lagi kalau
Sinto Gendeng menjerit murni keluarkan suara maka Si Muka Bangkai menjerit
sambil semburkan darah segar! Jelas dalam hal tenaga dalam dan hawa sakti guru
Pangeran Matahari itu masih berada di bawah guru Pendekar 212 Wiro Sableng.
Terbungkuk-bungkuk, sambil menyeka
darah yang berselomotan di mulutnya Si Muka Bangkai bangkit berdiri. Tampangnya
semakin pucat angker. Memandang ke depan dilihatnya Sinto Gendeng telah lebih
dulu berdiri sambil berkacak pinggang,
menyeringai komat-kamit permainkan susur di dalam mulutnya yang perot.
"Sinto Gendeng, jangan mengira kau telah mengalahkan diriku!" tiba-tiba Si Muka
Bangkai keluarkan ucapan.
"Ketahuilah hari ini adalah hari kematianmu! Tapi aku Si Muka Bangkai berjanji
akan membiarkan utuh jazadmu, jika kau mau menjawab satu pertanyaanku!"
Sinto Gendeng semburkan
ludah susurnya lalu tertawa mengikik. "Ada orang mau membunuh pakai perjanjian
segala! Hik... hik.... hik! Apa kau tidak sadar kalau nyawa dalam tubuhmu saat
ini sebenarnya hanya tinggal setengah"!
Hik... hik... hik!"
"Keparat jahanam!?" Si Muka Bangkai memaki sambil pukulkan tangan kanan. Lima
larik sinar api merah serta-merta
menyambar ke arah si nenek. Sinto Gendeng cepat melompat. Dari atas dia lepaskan
pukulan sakti yang selama ini telah
menggetarkan delapan penjuru rimba
persilatan. Pukulan "Sinar Matahari."
Tangan si nenek mulai dari jari
sampai ke siku berubah menjadi putih perak menyilaukan. Ketika tangan itu
dipukulkan maka berkiblatlah cahaya panas mengerikan, menyambar ke arah Si Muka
Bangkai. Hebatnya Si Muka Bangkai seperti
tidak perduli dengan datangnya serangan maut itu. Dia angkat dua tangannya ke
atas. Jari-jari berkuku panjang menekuk demikian rupa, memancarkan sinar merah.
Ketika cahaya putih panas pukulan "Sinar Matahari" sampai di hadapannya, Si Muka
Bangkai putar dua tangan, membuat gerakan seperti menangkap! Sungguh luar biasa!
Sinto Gendeng sampai melotot besar
menyaksikan bagaimana cahaya putih
pukulan sakti yang dilepaskannya berhasil ditangkap lawan. Dan belum habis
kagetnya tiba-tiba Si Muka Bangkai lemparkan
cahaya putih panas itu ke arahnya,
disertai dengan serangan sepuluh sinar merah!
Selagi Sinto Gendeng jungkir balik
selamatkan diri sambil membentengi tubuh dengan dua pukulan sakti yakni "Tameng
Sakti Menerpa Hujan" dan "Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih" tiba-tiba Si
Muka Bangkai melesat ke depan. Sepuluh jari tangan kanannya yang berkuku panjang
menyambar ke arah dua mata si nenek.
Sepuluh Cakar Iblis!
"Crass!"
Walau Sinto Gendeng mampu bergerak
cepat selamatkan matanya namun salah satu cakaran lawan masih sempat menyerempet
pelipis kirinya hingga kulit mukanya yang tipis hitam tergores dalam dan
kucurkan darah!
Sinto Gendeng keluarkan suara
menggembor dahsyat. Dia hendak menghantam dengan dua pukulan sekaligus,
mengerahkan tenaga dalam penuh. Namun selintas
pertanyaan muncul dalam benaknya. Mengapa lawan sengaja menyerang dua matanya"
Pasti ada maksud tertentu. Si nenek
kemudian ingat pada ilmu kesaktian yang bersumber pada sepasang matanya.
"Hemmm... Tua bangka keparat ini menyerang dengan ilmu Sepuluh Jari Iblis.
Setahuku dia dulu tidak memiliki ilmu itu. Sepuluh jari tangannya tidak berkuku
panjang. Dia ingin mencungkil dua mataku.
Dia hendak melumpuhkan ilmu yang
bersumber pada kekuatan yang tersimpan dalam mataku!" Si nenek meludah ke tanah.
Melihat Sinto Gendeng tegak seperti
tertegun, Si Muka Bangkai mengira lawan telah leleh nyalinya. Maka dia pun
membentak. "Sinto Gendeng! Katakan siapa nama pemuda yang hendak kau jadikan Pendekar Tahun
2000!" Sinto Gendeng terkesiap mendengar
pertanyaan itu. Keningnya yang hitam mengerenyit. Dia tahan gejolak hatinya.
Lalu menyeringai.
"Tua bangka muka mayat! Siapa yang menyuruhmu menanyakan hal itu"!"
"Aku datang sendiri dan ajukan
pertanyaan sendiri! Tak ada yang
menyuruh!" jawab Si Muka Bangkai. "Kau mau menjawab atau mampus percuma"!"
"Tua bangka muka pucat! Kau
berdusta! Sekarang biar aku memilih
mampus percuma! Aku mau lihat bagaimana kau melakukannya!" jawab Sinto Gendeng
lalu tertawa cekikikan.
Asap putih kelabu mengepul dari
batok kepala Si Muka Bangkai. Untuk dapat mencungkil dua mata lawan dia harus
bertempur dalam jarak pendek. Sebelum berkelebat mendekati si nenek, kakek ini
lepaskan pukulan sakti larikan sepuluh api merah. Ketika lawan berkelit untuk
selamatkan diri, laksana terbang dia melesat ke arah Sinto Gendeng. Tapi Sinto
Gendeng dua jengkal dari atas tanah. Dua mata yang mendelik besar dikedipkan.
Bersamaan dengan itu terdengar suara berdesir. Dua larik sinar biru menyambar
bersilang laksana dua belah pedang,
membabat dan menusuk ke arah Si Muka Bangkai. Kakek ini berseru kaget. Dia belum sempat mendekati lawan tapi Sinto Gendeng sudah mendahului
dengan serangan yang paling ditakutinya.
Untuk selamatkan diri dengan
mengelak sudah tidak mungkin. Si Muka Bangkai berjibaku membentengi tubuh
dengan pukulan sepuluh larik sinar api.
"Wusss! Wussss!"
"Bummmm!"
Ledakan keras menenggelamkan
jeritan yang keluar dari mulut Si Muka Bangkai. Dia berhasil selamatkan diri
dari dua larik sinar biru yang mematikan, namun untuk itu dia terpaksa merelakan
tangan kirinya. Tangan itu hancur putus
sebatas siku. Si Muka Bangkai sendiri terpental ke udara. Sinto Gendeng ikuti
sosok lawan dengan gerakan dua matanya.
Mata dikedipkan. Dua larik sinar biru kembali menggebu. Kali ini Si Muka
Bangkai tidak punya kesempatan untuk mengelak atau menangkis. Sesaat lagi
tubuhnya akan hancur ditembus dua larik sinar maut itu tiba-tiba satu bayangan
biru disertai rambut merah riap-riapan berkelebat di udara. Dengan cepat
bayangan ini menarik tubuh Si Muka
Bangkai lalu memanggulnya. Sebelum
berkelebat lenyap si jubah biru berambut merah hantamkan tangan kanannya ke arah
Sinto Gendeng. Segulung kobaran api
melabrak dahsyat. Sinto Gendeng cepat bentengi tubuh dengan pukulan "Benteng
Topan Melanda Samudera" lalu dari matanya dia semburkan dua larik sinar biru.
Untuk kedua kalinya puncak Gunung
Gede dilanda dentuman dahsyat akibat bentrokan dua ilmu kesaktian hebat. Sinto
Gendeng tegak tergontai-gontai, wajah berkerut kelam. Memandang ke depan Si Muka
Bangkai dan orang yang menolongnya telah lenyap.
Sinto Gendeng menggeram. Walau cuma
sekilas namun dia sudah bisa menduga siapa adanya orang yang menolong dan
melarikan Si Muka Bangkai.
"Kunti Api.... Dedengkot golongan
hitam itu masih gentayangan rupanya.
Pasti dia yang menyuruh Si Muka Bangkai untuk mencelakai diriku...." Si nenek
geleng-gelengkan kepala. "Orang-orang dari dunia hitam agaknya telah bergerak.
Anak setan itu. Aku harus segera
menemuinya. Orang-orang golongan hitam sudah tahu rencana besarku. Anak itu
dalam bahaya. Dirinya harus segera diisi ilmu kepandaian...."
8 MUSIBAH DATANG LAGI
LALU LINTAS di Jalan Kramat Raya
padat sekali. Boma berdiri di sebuah halte, menunggu bus. Siang itu udara agak
mendung. Semua orang termasuk para
pengemudi kendaraan berusaha secepat mungkin untuk sampai ke tujuan masing-
masing sebelum hujan turun. Akibatnya kemacetan mulai terjadi di beberapa
persimpangan. Kecuali motor, kendaraan lain hanya mampu bergerak seperti
merangkak. Sebuah bajaj bergerak tersendat-
sendat, berusaha menyelinap di antara kepadatan lalu lintas. Di depan halte
kendaraan ini tak bisa lagi maju.
Pengemudi bajaj tampak kesal. Penum-
pangnya, seorang perempuan separuh baya, bertubuh gemuk menyeka peluh yang
membasahi wajah. Di lehernya tergantung seuntai kalung emas. Pada lengan kirinya
ada gelang keroncong berjumlah tiga buah.
Tiba-tiba seorang lelaki berbadan
tegap yang sejak tadi berada di halte di antara kerumunan orang yang menunggu
bus, mengenakan blujins dekil dan kaos oblong hitam, melangkah cepat mendekati
bajaj. Dari gulungan koran yang dibawanya
mencuat sebilah belati. Ujungnya langsung ditempelkan ke perut perempuan di atas
bajaj. "Tereak gua tikem!" gertak si tubuh besar. Tangan kanan siap menusukkan
belati, tangan kiri dengan cepat
menjambret kalung di leher.
"Gelang, buka! Cepat!"
Ketakutan setengah mati perempuan
di atas bajaj lakukan perintah penodong.
Tapi karena gugup gelang tak mau keluar dari pergelangan tangannya. Dengan
kasar, penodong pergunakan tangan kiri
menanggalkan gelang. Dua gelang lolos, tinggal satu.
Semua itu terjadi di depan mata
Boma. Tengkuknya merinding. Ada rasa takut, ada rasa kasihan. Tapi juga ada rasa
geram. Di halte banyak orang laki-laki yang ikut menyaksikan peristiwa
penodongan itu. Namun tidak seorangpun
berani atau tergerak hatinya untuk


Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menolong. Boma memaki dalam hati.
"Segini banyak orang. Nggak ada yang mau nolong!"
Jari-jari tangan Boma bergerak tak
bisa diam. Dadanya berdebar keras.
Penodong berusaha membetot gelang
ke tiga. Saat itulah Boma berteriak lalu
menerjang, mendorong si penodong hingga terjajar ke samping bajaj. Tiba-tiba
dari samping, seorang lelaki tinggi kurus dengan cacat bekas luka di pipi kiri
mencekal kerah kemeja Boma. Lalu sebuah benda menempel di perut anak ini. Ketika
Boma melihat ke bawah ternyata benda itu adalah sebilah celurit berkilat.
"Anak ingusan jangan sok jadi jago!
Mau mampus lu!"
Boma menggigil. Bukan menggigil
takut, tapi menggigil nekad. Anak yang pernah ikut latihan karate ini menepiskan
tangan yang memegang badik. Bersamaan dengan itu sikutnya bergerak ke belakang
untuk menghantam dada orang. Tapi Boma salah perhitungan, kalah kecepatan.
Tangan yang memegang badik bergerak. Boma merasa perutnya dingin. Lalu ada darah
menyembur dari perutnya. Boma menjerit, terhuyung-huyung bersandar ke bajaj.
Perempuan di atas bajaj menjerit lebih keras dari jeritan Boma lalu terguling
pingsan. Orang yang menclurit Boma
berkelebat di antara kendaraan macet.
Lari ke seberang jalan di mana telah menunggu dua temannya di atas sepeda motor
yang mesinnya sudah dihidupkan.
Clurit dibuang di tengah jalan. Penodong yang tadi didorong Boma berusaha kabur
menyusul temannya. Namun Boma masih punya daya dan kesempatan menjegal kakinya
hingga penodong ini terjerembab ke aspal.
Dia mencoba bangun, mau lari lagi. Saat itulah orang banyak di halte yang tadi
diam saja mulai bergerak. Menggebuk dan menendang. Sebentar saja si penodong
terkapar kembali di aspal. Muka babak belur tubuh lebam.
Boma pegangi perutnya. Tangannya
terasa panas oleh darahnya sendiri. Kaki goyah. Beberapa orang dilihatnya
mendatangi hendak menolong. Dia masih sadar ketika tubuhnya digotong ke dalam
sebuah taksi. Mulut Boma tidak henti mengucap menyebut nama Tuhan. Sewaktu
kendaraan itu mulai bergerak Boma tak ingat apa-apa lagi.
*** KETIKA Boma sadar dia dapatkan
dirinya terbaring di atas tempat tidur.
Matanya sesaat menatap langit-langit kamar. Dia sadar itu bukan
kamar tidurnya. Ada rasa perih di bagian
perutnya. Lalu di sebelahnya terdengar ada suara berkata perlahan.
"Teman-teman, Boma udah sadar."
Boma Tri Sumitro gerakkan kepala ke
samping. "Ron.... Kok kamu ada di sini?"
Boma melihat Ronny. Lalu di situ juga ada Vino, Andi dan Firman.
"Tadi Gita sama Rio juga ada di sini. Gita pulang duluan diantar Rio.
Ayah sama ibumu ada di luar. Aku suruh masuk mereka...."
"Tunggu. Memangnya aku di mana?"
"Kau di RSCM!" jawab Ronny.
"Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo?"
tanya Boma. "Jangan becanda Ron."
" Ajie gile. Siapa yang becanda.
"Tanya aja sama teman-teman yang ada di sini."
Boma memandang pada Andi, Vino,
Firman. Ke tiga anak ini sama-sama
anggukkan kepala.
"Kok aku bisa di sini" Kok aku bisa di rumah sakit lagi" Kan aku udah
sembuh...."
Ronny pegang tangan Boma.
"Ingatanmu belum pulih Bom. Nanti biar aku cerita. Sekarang aku panggilin ibu
sama ayahmu dulu. Biar mereka senang...."
"Sekarang ini siang apa malem Ron?"
tanya Boma. "Udah malam," jawab Ronny Celepuk.
Lalu anak ini keluar dari kamar. Tak lama kemudian masuk kembali bersama ayah
dan ibu Boma. Bram kakak Boma juga ada, ikut masuk.
Nyonya Hesti memeluk dan menciumi
Boma dengan air mata berlinang. Sumitro Danurejo berdiri menunduk di samping
tempat tidur sambil memegangi tangan anaknya. Bram memijit-mijit kaki adiknya.
"Baru saja keluar rumah sakit,
sekarang masuk rumah sakit lagi. Heran kau ini Boma. Mengapa musibah datangnya
berturut-turut...." Ibu Boma keluarkan ucapan lirih.
"Boma nggak apa-apa Bu. Cuma heran kok bisa ada di sini?"
Ibu Boma mengusap kening dan rambut
anaknya. "Ibu dan ayahmu juga belum tahu jelas ceritanya. Ada yang bilang kau
diclurit rampok di Kramat Raya. Katanya kau coba menolong orang yang dirampok di
atas bajaj Boma terdiam. Coba mengingat-ingat.
Namun pikiran jernih belum datang.
Ingatannya masih samar. Anak ini hanya menelentang memandangi langit-langit
kamar, sesekali menoleh pada teman-temannya.
"Ron, aku haus...."
"Tahan dulu Bom. Menurut dokter tidak boleh minum sebelum keluar kentut,"
kata Ibu Boma. "Kok begitu?" Boma heran.
"Kau habis dioperasi Bom. Perutmu robek satu jengkal lebih. Udah, istirahat aja
dulu. Kami teman-teman nungguin
kamu." Menerangkan Ronny.
"Nungguin?" Boma tersenyum. "Kayak dulu di Rumah Sakit PMI aja...." Ada rasa
haru dalam nada ucapan dan suara anak ini.
"Nah, ingatanmu mulai pulih Bom,"
kata Andi. Saat itu ke dalam kamar masuk dua
orang berseragam Polisi disertai seorang Reserse berpakaian preman. Mereka
memberi tahu bahwa mereka adalah aparat
Kepolisian Wilayah Jakarta Pusat yang ditugaskan mengusut peristiwa perampokan
yang terjadi di Jalan Kramat Raya siang tadi. Anggota Polisi itu minta izin
kepada ke dua orang tua Boma untuk
mendapatkan beberapa keterangan dari Boma. Menurut salah seorang anggota
Polisi mereka telah mendapat izin dari Dokter dan dari pihak rumah sakit untuk
menanyai Boma begitu anak tersebut sadar.
Boma menjawab semua pertanyaan
Polisi sesuai apa yang bisa diingatnya.
Memberi tahu bagaimana terjadinya
peristiwa perampokan itu. Apa yang
dilakukannya, apa yang kemudian terjadi atas dirinya. Kepada Polisi yang
menanyai Boma memberi tahu ciri-ciri kawan
perampok yang berhasil melarikan diri.
Setelah merasa cukup dan selesai mencatat alamat rumah serta alamat sekolah
Boma, tiga anggota Polisi itu mengucapkan
terima kasih lalu tinggalkan kamar tempat Boma dirawat
Tak lama setelah tiga orang Polisi
pergi, seorang jururawat masuk untuk memeriksa infus di tangan kanan Boma,
mengecek suhu badan anak itu serta
tekanan darahnya.
9 NENEK ANGKER MUNCUL LAGI
JAM 10 malam Rio yang mengantarkan
Gita muncul kembali di rumah sakit. Saat itu ibu Boma sudah pulang di antar Bram
yang besok akan ada wawancara di kantor tempat dia melamar kerja. Ayah Boma
mengobrol dengan anak-anak SMA Nusantara III yang malam itu sengaja begadang
menjaga Boma. Rio memberi isyarat agar Ronny dan Vino mendekat. Agak jauh dari
ayah Boma ke tiga anak ini lalu bicara setengah berbisik.
"Kau tahu, kenapa Gita minta
diantar pulang" Padahal benerannya sih dia mau nungguin Boma." Rio membuka
pembicaraan. "Pasti ada janji sama si Allan,
anak baru di kelas dua, yang ketemu Gita waktu daftar." Kata Ronny Celepuk.
Rio menggeleng. "Gita nggak ada janji sama siapa-siapa. Dia bilang, takut bakal
kejadian lagi"
"Kejadian apa?" tanya Vino sambil memandang pada Ronny.
"Ingat peristiwa di Rumah Sakit PMI Bogor" Waktu Boma kedatangan nenek aneh yang
mukanya angker?"
"Ah, lu jangan bicara yang nggak-nggak. Bikin gua jadi nggak enak aja!"
kata Ronny. Tengkuknya mendadak dingin.
"Siapa bicara yang nggak-nggak"
Ingat cerita Boma soal nenek aneh itu"
Kalau dia memang beneran mau nurunin ilmu sama Boma jangan-jangan dia akan
pergunakan kesempatan saat ini untuk datangin teman kita itu."
"Saat di Rumah Sakit Bogor itu, Boma badannya panas. Sekarang nggak. Jadi nggak
mungkin dia ngacok lagi," kata Vino.
"Mudah-mudahan begitu." Kata Rio.
"Yang penting kita berjaga-jaga saja.
Sayang kamarnya sempit. Pasiennya banyak.
Kita nggak bisa jaga di dalam. Mungkin cuma ayah Boma yang dikasih ijin."
*** MALAM terasa semakin dingin. Di
luar kamar Ronny dan teman-temannya duduk berjelepokan di tikar. Satu-satunya
orang yang menunggui Boma di dalam kamar adalah ayah anak itu. Boma kelihatan
tertidur nyenyak. Ayahnya beberapa kali memegang kening Boma. Hatinya lega bila
merasakan kening anak itu dingin dan ada sedikit keringat. Dalam kelegaannya
Sumitro Danurejo duduk sandarkan punggung ke kursi di samping tempat tidur. Kepalanya
disandarkan ke tembok kamar. Mata di pejamkan.
Malam merayap menuju ambang pagi.
Kamar tempat Boma dirawat
diselimuti kesunyian. Di kejauhan terdengar suara sirine. Lalu sunyi lagi. Di atas ranjang
Boma terbangun oleh rasa sakit yang
mencucuk pada bagian perutnya. Lalu ada rasa haus, lapar serta rasa kering di
tenggorokan. Tubuhnya keringatan. Udara dalam kamar itu terasa agak panas.
Boma memandang berkeliling. Teman-
temannya tidak ada. Yang ada hanya
ayahnya, duduk tertidur di kursi,
mengeluarkan suara mendengkur halus.
Dalam keletihan yang amat sangat Boma akhirnya hanya bisa memejamkan mata
kembali. Namun sebelum dia sempat pulas, tiba-tiba sudut matanya melihat pintu
kamar terbuka. Pintu itu terbuka cukup lama tapi tak ada orang masuk. Tak
mungkin pintu terbuka oleh dorongan angin
karena daun pintu itu selain besar juga terbuat dari jenis kayu tebal dan berat.
*** Di luar kamar. Vino yang setengah
tertidur memandang ke arah pintu kamar yang putih besar. Ada rasa heran tapi
juga ada rasa takut. Dia menyentuh rusuk Ronny dengan sikutnya.
"Ron... Ron. Bangun."
Ronny buka dua matanya malas-
malasan. "Ada apa?"
"Pintu... pintu itu," Vino goyangkan kepalanya ke arah pintu kamar.
"Pintu, kenapa?" tanya Ronny lalu menguap.
"Kau liat pintu itu terbuka?"
"Aku liat. Memangnya aku buta?"
"Tadi pintu itu tertutup Ron. Lalu terbuka, tapi nggak kelihatan ada orang yang
buka. Juga nggak kelihatan ada orang masuk atau keluar...."
"Lu mau nakut-nakutin aku Vin?"
"Aku memang udah takut dari tadi Ron," jawab Vino. "Coba kau intip ke dalam.
Siapa yang barusan masuk."
"Kau saja yang ngintip," jawab Ronny.
Vino menggeleng. Lalu beringsut ke
sudut tembok. Tekapkan wajahnya ke atas
paha. Ronny melakukan hal yang sama. Dua anak ini saling berdempetan di sudut
tembok, menutupi wajah dengan paha
masing-masing. Keduanya dijalari rasa takut.
*** Kembali ke dalam kamar.....
"Ah, segala
pintu ngapain gua
pikiran...." membatin Boma. Dia pejamkan matanya tapi mendadak nyalang lebar.
Satu sosok melangkah masuk terbungkuk-bungkuk.
Bau pesing merasuk jalan nafas dan
penciuman Boma.
"Nenek itu...." hati Boma berucap.
Dia palingkan kepalanya ke
samping. Hendak membangunkan ayahnya. Tapi sosok yang melangkah masuk bergerak cepat
sekali, tahu-tahu sudah berdiri di
samping tempat tidur. Nenek berkulit hitam, bertampang angker, mengenakan baju
dan kain panjang butut. Pakaian dan
tubuhnya menebar bau pesing. Di kepalanya yang nyaris sulah menancap lima buah
tusuk konde dari perak. Di pinggangnya tersisip sebatang tongkat kayu butut.
"Nek... jangan ganggu saya. Saya lagi sakit." Boma memohon.
" Anak setan! Aku tahu kau lagi sakit. Kau tahu sakitmu ini karena ulah tololmu
sendiri"!"
"Ulah tolol saya?"
"Kau tidak punya ilmu kepandaian apa-apa. Mengapa berlaku nekad menghadapi lawan
yang memegang clurit" Menolong orang lain tanpa perhitungan! Apa itu bukan tolol
namanya"!"
"Ba... bagaimana kau bisa tau Nek?"
tanya Boma heran.
"Tak perlu kau tanyakan itu. Kalau saja dulu waktu di rumah sakit kau
bersedia menerima ilmu yang aku berikan, nasibmu tidak akan seperti ini."
"Nasib saya memang jelek Nek.
Mungkin udah takdir," jawab Boma.
"Sok tahu! Dasar tolol! Jangan
menutupi kesalahan sendiri dengan
mangatakan takdir!"
"Nek, saya capek. Saya mau
tidur...."
"Kukorek matamu jika berani tidur!"
si nenek mengancam. Kepalanya diputar seantero kamar. Matanya memandang
berkeliling. "Sekarang saatnya aku memasukkan hawa murni, memberi kekuatan pada
tubuhmu." Si nenek perhatikan tangan kanan Boma yang diberi infus. "Aneh, diberi
minum mengapa lewat urat, bukan melalui mulut."
"Itu namanya infus Nek...."
"Apa" Ingus?"
"Infus...." kata Boma sambil senyum lalu mengerenyit dan pegangi perutnya.
Jahitan bekas operasi mendadak mendenyut sakit.
"Ah, tak tahulah aku apa namanya itu," kata si nenek muka angker. Lalu dia tarik
tangan kiri Boma, letakkan lurus-lurus di atas tempat tidur, telapak
dikembangkan menghadap ke atas. Dengan cepat si nenek letakkan telapak tangan
kanannya di atas telapak kiri Boma. Boma hendak menarik tangannya tapi entah
mengapa tangan itu terasa sangat berat.
Terpaksa anak ini diam saja.
"Jika kau merasakan sesuatu, jangan keluarkan suara apa lagi menjerit," si nenek
memberi ingat. Lalu dia kerahkan tenaga dalam sambil menatap Boma lekat-lekat,
tak berkedip. Boma merasakan ada hawa hangat


Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memasuki tubuhnya, mengalir ke dada
melalui tangan, naik ke atas kepala
sampai ke ubun-ubun, lalu turun ke bawah, mendekam beberapa lama di perut
sebelum turun sampai ke ujung kaki. Tubuh anak itu keringatan. Hawa panas itu
tidak membuat dia takut. Yang membuatnya ngeri ialah karena tidak tahu apa
sebenarnya yang dilakukan nenek itu.
Hawa hangat lenyap. Perlahan-lahan
berganti hawa sejuk. Seperti hawa hangat tadi, hawa sejuk ini juga menjalar ke
sekujur tubuh Boma, membuat Boma merasa mengantuk dan hendak pejamkan matanya.
Tapi mendadak matanya terbuka kembali lebar-lebar ketika melihat tangan si nenek
memancarkan cahaya putih
menyilaukan. Cahaya itu seperti menjalar, masuk ke dalam telapak tangannya.
Si nenek tarik nafas panjang.
Wajahnya yang angker dan keringatan
tampak lega. Dia tarik tangan kanannya.
" Anak setan, kau dengar baik-baik.
Mulai saat ini kau jangan pergunakan tangan kirimu secara sembarangan. Jika kau
berada dalam bahaya, jika kau
terpaksa mempergunakan tangan itu untuk membela diri, sebut nama Tuhanmu,
ucapkan Basmallah sebelum kau mempergunakannya.
Selain itu, mulai sekarang kau jangan sombong, apa lagi takabur. Kau musti
banyak sabar."
Boma perhatikan tangan kirinya.
Tangan itu tidak ada apa-apanya, tidak berbeda dengan tangannya sebelum
dipegangi si nenek.
" Anak setan! Kau mau cepat sembuh?"
Boma diam saja. Lalu menjawab
dengan anggukkan kepala.
Si nenek tarik selimut putih yang
menutupi tubuh Boma. Lalu cepat sekali ia menyingkapkan pakaian yang dikenakan
anak itu. Boma jadi ketakutan. Entah benar
entah tidak tapi waktu kecil dia pernah mendengar cerita tentang hantu aneh yang
suka gentayangan mengambil "burung" anak-anak kecil
"Nek, kau mau berbuat apa...?"
tanya Boma gemetar.
Si nenek menyeringai. "Masih kecil sudah punya otak kotor. Apa kau kira aku mau
melihat anumu yang jelek itu" Hik...
hik... hik!"
"Nek, saya...."
"Diam! Kalau mau sembuh jangan
banyak omong!" jawab si nenek. Lalu enak saja perban tebal yang menutupi perut
Boma ditariknya hingga anak ini hampir berteriak kesakitan. Si nenek cepat tekap
mulut Boma dengan tangan kirinya.
"Sakit sedikit saja mau teriak
setinggi langit! Cengeng!"
Dengan tangan kiri masih menekap
mulut Boma, si nenek pergunakan tangan kanan untuk mengusap jahitan bekas luka
operasi di perut Boma. Tiga kali mengusap si nenek tempelkan kembali perban
tebal ke perut Boma lalu tutupkan selimut ke tubuh anak itu.
"Kau sudah sembuh! Besok kau boleh meninggalkan rumah sakit ini."
Boma diam saja. Mana dia bisa
percaya ucapan si nenek.
"Kau pasti tidak percaya. Hik...
hik... hik. Lihat saja besok. Anak setan, sekarang aku pergi. Nanti aku datang
lagi. Masih banyak ilmu yang akan aku
berikan padamu. Satu hal harus kau ingat baik-baik. Jangan kejadian ini kau
ceritakan pada siapapun. Termasuk teman-temanmu. Pacar-pacarmu..."
"Saya nggak punya pacar Nek."
Si nenek tertawa lebar. "Begitu?"
katanya. "Hik... hik. Anak setan macammu ini, dari jidatmu saja aku sudah tahu
kau bakal jadi calon buaya perempuan, bakal digandrungi cewek-cewek. Hik...
hik... hik!" Si nenek cabut tongkat yang tersisip di pinggangnya. Ujung tongkat
diletakkan di atas kening Boma. "Mulai hari ini kau harus lebih banyak
mendekatkan diri pada Tuhan. Hanya karena pertolongan dan kuasaNya Gusti Allah
sampai saat ini dan di masa mendatang kau bisa selamat. Jangan jadi manusia
sombong. Tolong sesamamu sesuai
kemampuan-mu. Jangan pernah khianat
terhadap siapapun, terutama terhadap kedua orang tuamu! Ingat lagi satu hal.
Kebenaran bukan segala-galanya. Karena di atas kebenaran masih ada apa yang
disebut kebijaksanaan. Satu ketika kau akan melihat bagaimana kebenaran bisa
disalahkan. Tapi ingat, kebenaran tidak pernah bisa dikalahkan."
Nenek muka angker sisipkan
tongkatnya kembali ke pinggang lalu
memutar tubuh. "Nek, tunggu. Kau ini siapa
sebenarnya?"
Si nenek menoleh sebentar,
berkomat-kamit tapi tidak menjawab pertanyaan Boma, melainkan tempelkan jari-
jari tangan kanannya di atas bibir lalu dilambaikan ke arah Boma. Terbungkuk-
bungkuk dia berjalan keluar dari kamar.
Boma menowel hidung berulang kali.
"Mahluk aneh. Pakai kasih sun jauh segala," kata Boma dalam hati. "Aku ini,
mimpi atau gimana?" Boma memandang seputar kamar.
"Boma, kau tidak tidur?"
Tiba-tiba ada suara menegur di
samping tempat tidur. Suara ayahnya. Boma diam saja.
Lalu pejamkan mata
"Tadi Ayah dengar kau seperti
bicara. Bicara dengan siapa?"
"Nggak ada yang bicara Yah. Mungkin Ayah salah dengar," jawab Boma dengan mata
tetap dipicingkan.
Sumitro Danurejo menghirup udara
dalam kamar dalam-dalam. "Bau pesing...."
katanya perlahan.
"Tadi ada pispot pasien yang
terbalik," kata Boma.
"Hemmm...." Sang Ayah bergumam lalu pejamkan pula matanya. Anak dan Ayah sama-
sama pulas. 10 PEMBALASAN GANG PENODONG
BOMA dan Ronny berboncengan sepeda
motor Honda Tiger merah meninggalkan halaman Universitas. Seperti biasanya
sebelum terus pulang mereka mampir dulu di Pondok Siomay 99 di pinggir jalan
selewat tikungan, tak jauh dari kampus.
Baru saja Ronny memarkir motor dan
Boma menyisir-nyisir rambut dengan jari-jari tangan, tiba-tiba dari dalam warung
keluar enam orang lelaki, rata-rata
bertampang sangar. Salah seorang
diantaranya tinggi kurus dengan cacat bekas luka di pipi kiri. Boma mengingat-
ingat. Rasa-rasanya dia pernah melihat orang ini sebelumnya.
Si muka cacat langsung menghadang
Boma. Kawannya, yang berbadan tegap tegak di sebelahnya. Yang empat lagi
mengambil posisi mengurung.
"Bener bos. Ini bangsat yang dulu ngerjain kita!" si muka cacat keluarkan
ucapan. Lelaki tegap di sebelahnya
keluarkan suara mendengus lalu mencekal leher kaos oblong yang dikenakan Boma
dengan tangan kiri dan membentak.
"Jagoan tengik! Lu ingat kejadian dua taon lalu! Di Kramat Raya!"
Boma tak menjawab tapi berpikir.
Dia ingat Orang ini adalah orang yang menodong penumpang bajaj, merampas kalung
dan gelang. Lalu si muka cacat itu orang yang menclurit perutnya.
"Hei, apa-apaan nih!" Ronny Celepuk mendatangi, memegang tangan orang yang
mencekal Boma. "Lepasin!"
Lelaki yang mencekal Boma marah
besar. Bukan saja dia tidak melepaskan cekalannya tapi tangan kanannya langsung
dijotoskan ke muka Ronny. Ronny mengelak, mendorong orang itu lalu menyarangkan
satu pukulan ke perutnya. Orang yang dipukul rupanya punya daya tahan boleh
juga. Walau mengerenyit tanda sakit namun dia masih mampu terus mencekal baju
kaos Boma. Malah berteriak pada teman-temannya.
"Habisin bangsat satu ini!"
Tiga orang bertampang garang
bertubuh kekar segera menyerang Ronny.
Perkelahian tiga lawan satu yang tak seimbang segera terjadi. Sementara itu dua
orang lagi memegangi Boma dari
belakang. Yang di sebelah depan lepaskan cekalannya lalu mulai menghujani muka,
dada dan perut Boma dengan jotosan-jotosan keras. Darah mengucur dari hidung dan
mulut anak itu. Tapi luar biasanya sama sekali tidak terdengar keluh
kesakitan dari mulut Boma.
Boma berusaha melepaskan diri dari
pegangan dua orang. Tak berhasil. Dari depan jotosan masih terus mendera. Anak
ini pergunakan kakinya untuk menendang.
Tendangannya tepat mengenai tulang kering hingga orang yang ditendang menjerit
kesakitan. Boma pergunakan kesempatan, ayunkan badannya demikian rupa hingga
orang di sebelah kiri tersungkur ke
tanah. Bersamaan dengan itu Boma berbalik ke kanan. Maksudnya hendak memukul
pencekal yang satu lagi. Tapi dari
belakang ada yang memukul tengkuknya.
Boma merasa lehernya seolah patah.
Dalam keadaan terhuyung-huyung dia
melihat Ronny terkapar di tanah,
bersimbah darah. Mendidih amarah Boma.
Kini enam orang mengelilinginya. Salah seorang diantaranya memegang sebilah
belati. Ada yang berkata. "Habisin cepet Jon!"
Tikaman belati pertama ke arah
perut berhasil dielakkan Boma. Dari
samping dan dari belakang menghantam dua pukulan hampir berbarengan. Boma
kembali terhuyung. Saat itulah belati kembali datang berkelebat, menusuk ke arah
lehernya. Boma tak mampu menangkis, tak sanggup mengelak.
Sesaat lagi senjata maut itu akan
menancap di tenggorokan Boma tiba-tiba satu bayangan putih berkelebat. Satu
tendangan menggeledek di udara.
"Bukkk!"
Jeritan keras menyentakkan telinga
disusul mencelatnya orang yang barusan hendak menghabisi Boma dengan tikaman
belati. Orang ini bergelindingan di
tanah. Pisaunya mental entah ke mana.
Sambil pegangi dada yang kena tendangan dia coba bangun tapi roboh lagi. Dari
mulutnya keluar suara mengerang lalu menyusul kucuran darah!
Boma sendiri saat itu yang berada
dalam keadaan babak belur, jatuh
berlutut, hampir roboh kalau tidak
bersitekan ke tanah dengan salah satu tangannya. Darah mengucur dari hidung,
bibir yang pecah dan pelipis. Memandang ke depan Boma melihat berdiri seorang
pemuda berpenampilan aneh. Rambut
gondrong sebahu. Kening diikat kain
putih. Mengenakan baju dan celana putih.
Di pinggangnya melilit sebuah ikat
pinggang besar. Kaki memakai kasut dari kulit. Pemuda ini melirik sebentar pada
Boma lalu sambil tertawa cengengesan memutar tubuh, menghadapi lima orang yang
saat itu secara serentak telah
menyerbunya. Dua orang di antara mereka memegang clurit besar.
"Kambing-kambing buduk! Bau belum mandi! Ayo maju! Serang... serang!"
Dua clurit berkiblat di udara. Satu
tendangan mencari sasaran di selangkangan si gondrong. Dua jotosan menyambar ke
muka dan ke dada.
Pemuda berambut gondrong keluarkan
suara bersiul. Tubuhnya melesat ke udara lalu berputar seratus delapan puluh
derajat. "Kraakk... kraakkk!"
Dua tangan yang memegang clurit
patah. "Bukkk... buukkk... buukkk!"
Tiga penyerang bertangan kosong
terpental, menjerit bergelimpangan di tanah. Dua muntah darah, satu pegangi mata
kirinya yang pecah mengucurkan
darah. Sementara Boma terkesiap ternganga
menyaksikan apa yang terjadi, si gondrong melangkah mendekati lelaki yang tadi
hendak menusuk leher Boma dengan belati.
Dia cekal leher orang.
"Ampun... ampun!" belum apa-apa orang itu sudah berteriak ketakutan.
Si gondrong menyeringai. "Dengar, kalau kau berani lagi mengganggu anak itu,
kulipat kepalamu ke pantat, pantat ke kepala!"
"Ampun.... ampun!"
Si gondrong tertawa lebar. Sekali
tangannya bergerak sosok orang yang
dicekal melayang ke udara, jatuh di atas atap warung Siomay 99.
Selagi semua orang termasuk Boma
melengak kaget melihat kejadian itu.
Seperti tidak ada apa-apa si gondrong melangkah mendekati Boma. Sadar kalau
dirinya sudah diselamatkan orang Boma berusaha berdiri. Terbungkuk-bungkuk dia
berkata. "Bang, terima kasih Abang sudah nolong saya...,"
Si gondrong seperti terkesima,
menggaruk kepala lalu tertawa bergelak.
"Belasan tahun hidup, malang
melintang di delapan penjuru angin, baru hari ini aku dipanggil Abang! Ha...
ha... ha! Abang! Memangnya aku orang Betawi!
Ha... ha... ha! Tapi dak apa. Aku senang juga dipanggil Abang! Ha... ha... ha!"
"Bang, Abang ini siapa?" tanya Boma lalu mengusap darah di sudut mulutnya.
Si gondrong menggaruk kepala.
Kelihatan seperti berpikir sebelum
menjawab. "Aku Abang seperguruanmu." Si gondrong akhirnya menjawab.
"Abang seperguruan?" Boma heran.
Menowel hidung.
"Aku menggaruk kepala. Kau menowel hidung! Lucu!"
"Abang seperguruan bagaimana" Abang
'kan nggak satu sekolah sama saya...."
Si gondrong mengangguk. "Kau benar, aku mana kenal sekolahan. Boma, waktuku
tidak lama...." Dari balik pakaiannya si gondrong keluarkan dua buah benda bulat
sebesar ujung jari berwarna hitam. "Ini obat mujarab. Kau telan satu, satu lagi
untuk kawanmu yang pingsan itu. Aku pergi sekarang. Orang-orang mulai
berkerubung. Mereka menuju ke sini."
Si gondrong genggamkan dua butir
obat ke dalam tangan kanan Boma.
"Bang, nama Abang siapa?" tanya Boma.
Si gondrong tidak menjawab. "Bang, kalau nyari Abang di mana?" tanya Boma lagi.
Yang ditanya tak menjawab, hanya
tersenyum. Lalu sekali berkelebat dia sudah berada di ujung jalan untuk
kemudian lenyap dari pemandangan.
*** PAGI itu para jururawat yang
bertugas di kamar pasien bedah RSCM
tampak berlarian ke kamar di mana Boma dirawat. Sebelumnya ada teriakan-


Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

teriakan. Anak lelaki yang dirawat di kamar itu mendadak mengamuk. Memukul dan
menendang. Ayahnya yang menjaga berusaha menenangkan anaknya tapi terkena
gebukan, jatuh tersandar di kaki tempat tidur, ditolong oleh seorang perawat.
Tiang besi tempat menggantungkan infus tergeletak
bengkok di lantai. Empat orang perawat segera mengikat kaki dan tangan Boma ke
besi tempat tidur. Infus yang tercabut dipasangkan kembali.
Boma tak mengerti mengapa dia
diperlakukan seperti itu.
"Zuster, kok saya diikat?" Boma bertanya.
"Tenang saja Dik. Nanti kalau
dokter datang, ikatan Adik dibuka lagi,"
jawab jururawat lalu keluar bersama
seorang temannya. Dua jururawat lelaki tetap di kamar itu berjaga-jaga.
Boma memandang pada Ronny Celepuk
dan teman-temannya.
"Ron, Vino, tolong. Bukain ikatan gua...."
Ronny dan Vino diam saja. Tak tahu
mau menjawab atau berbuat apa.
"Ron, kenapa aku diikat?" Boma bertanya lagi.
"Tadi kau katanya ngamuk...." Ronny menjawab setengah berbisik.
"Ngamuk" Ajie busyet! Yang bener aja Ron."
" Bokap lu sendiri kau gebuk. Liat
'tuh, dia masih kesakitan...."
Boma melirik. Ayahnya dilihatnya
duduk di sudut kamar, miring ke tembok sambil pegangi dada.
"Masa' sih aku ngamuk. Aku... aku cuma mimpi kok Ron."
"Udah Bom, tenang aja dulu. Liat, bokap lu datang ke sini."
Sumitro Danurejo melangkah
perlahan. Dia berdiri di samping tempat tidur anaknya. Memegang kening dan
tangan Boma. "Heran, kepalanya dingin. Badannya tidak panas. Mengapa dia tadi mengamuk tak
karuan?" Lelaki itu membatin.
"Jangan-jangan anak ini kemasukan orang halus...." Ayah Boma ingat waktu anaknya
sakit di Rumah Sakit PMI Bogor. Juga dia ingat pada Haji Sobirin yang pernah
menolong Boma. Apakah dia perlu lagi menemui orang pintar itu" Kalau penyakit
Boma memang aneh agaknya tak ada jalan lain.
Saat itu jururawat yang tadi
keluar, masuk kembali ke dalam kamar mengiringi seorang lelaki gemuk pendek,
berkaca mata. Dia Dokter Simanjuntak, dokter spesialis bedah yang menolong Boma.
Sambil tertawa lebar dan menepuk-
nepuk tangan Boma
Dokter Simanjuntak
berkata. "Ah, ini dia jagoan kita. Tadi saya dengar katanya latihan karate apa
latihan kungfu?"
Boma tertawa. Dokter Simanjuntak perhatikan besi
tiang tempat menggantungkan infus.
"Hebat, besi saja bisa bengkok. Boma,
kamu ada keluhan apa?"
"Nggak ada keluhan apa-apa Dokter."
"Perutnya sakit?"
"Nggak Dokter."
"Bagus, coba saya periksa dulu
jahitannya. Sekalian ganti perban dan plester."
Dokter ahli bedah itu menyingkapkan
selimut Boma. Seorang jururawat membuka bajunya. Sang Dokter kemudian perlahan-
lahan membuka perban di perut Boma.
"Sakit?" tanya Dokter Simanjuntak.
Boma menggeleng.
Ketika perban terbuka dan Dokter
Simanjuntak memperhatikan perut Boma terkejutlah Sang Dokter. Perut itu licin,
tak ada bekas jahitan, tak ada bekas sambungan luka.
"Aneh, aku ini bukan malaikat!
Tidak mungkin aku mampu menjahit luka tanpa bekas sama sekali. Luka belum satu
hari. Tak ada bekas. Baru sekali ini terjadi seperti ini. Anak ini, siapa dia
sebenarnya?"
Perlahan-lahan Dokter Simajuntak
mengangkat kepala, memandang pada Boma lalu pada jururawat yang berdiri di
sekeliling tempat tidur. Dokter bedah itu ulurkan tangannya. Menekan perut Boma.
"Sakit?"
Boma menggeleng.
Sang Dokter berpaling pada ayah
Boma. Dia seperti hendak mengatakan
sesuatu tapi tak jadi. Salah seorang jururawat bertanya.
"Perbannya dipasang lagi Dok?"
"Tidak perlu...."
"Dokter, bagaimana anak saya?" Ayah Boma bertanya.
"Hemm.... Lukanya cepat sembuh.
Saya merasa gembira...."
"Berarti Boma bisa pulang siang ini?"
"Tunggu, saya mau konsultasi dulu dengan Dokter Ahli Penyakit Dalam. Biar Boma
diperiksa lagi. Kalau memang tak ada apa-apa, saya rasa...." Dokter
Simanjuntak tidak meneruskan ucapannya.
Dia memegang kening Boma sebentar lalu tinggalkan tempat itu. Tak lama kemudian
dia masuk lagi bersama Dokter Permana, Ahli Penyakit Dalam. Dokter Permana
memeriksa dengan teliti tekanan darah, jantung serta paru-paru Boma. Semua
normal, termasuk suhu badannya. Lalu apa yang membuatnya tadi mengamuk"
Dokter Permana membawa ayah Boma ke
luar kamar. Dokter Simanjuntak mengikuti.
Di luar Dokter Permana berkata.
"Anak Bapak dalam keadaan baik.
Normal. Namun saya menyarankan agar
diperiksakan pada Dokter Ahli jiwa."
Ayah Boma kaget. "Memangnya anak saya gila Dok"!"
"Maaf Pak Sumitro. Pemeriksaan
pasien pada Dokter Ahli Jiwa tidak
berarti pasiennya menderita gangguan jiwa. Saya rasa tidak ada salahnya...,"
"Kalau anak saya baik, normal, saya minta dia diperbolehkan pulang saja siang
ini." Dokter Permana berunding dengan
Dokter Simanjuntak. Dokter Ahli Penyakit Dalam itu akhirnya berkata. "Kita lihat
perkembangan satu dua jam mendatang.
Kalau tidak ada apa-apa, anak Bapak boleh pulang. Saya akan buatkan resep obat
penenang."
Ayah Boma mengangguk dan
mengucapkan terima kasih lalu masuk ke dalam kamar. Dokter Permana memanggil
seorang jururawat, memberi tahu agar ikatan pada tangan dan kaki Boma dilepas.
Lalu dia mendekati rekannya, Dokter
Simanjuntak. "Ini memang satu kejadian aneh.
Pasien yang baru dioperasi dan dijahit sore kemarin, pagi ini lukanya mengalami
kesembuhan. Tidak berbekas. Benar-benar ajaib."
Dokter Simanjuntak mengangkat dan
memperhatikan sepuluh jari tangannya.
Dokter Permana kembali berkata. "Kalau wartawan memuat kejadian aneh ini di
berbagai media, nama anda akan jadi
terkenal. Pasien anda bakal membludak."
Untuk beberapa lama Dokter
Simanjuntak tidak bisa berkata apa-apa.
Hanya menggelengkan kepala berulang kali.
Kembali dia memperhatikan jari-jari
tangannya. Akhirnya Dokter ini berkata.
"Sulit saya percaya. Saya hampir yakin. Anak itu pasti punya ilmu. Kalau tidak
mustahil dia bisa mengalami
kesembuhan begitu rupa."
"Jika dia memang punya ilmu," kata Dokter Permana pula. "Tidak ada salahnya anda
belajar. Ilmu kedokteran digabung dengan kekuatan ilmu gaib. Demi kebaikan
pasien. Saya rasa itu tidak akan
menyalahi Kode Etik Kedokteran."
"Ah, saya belum berpikir untuk jadi Terkun. Dokter Dukun," kata Dokter
Simanjuntak pula. Dua teman sejawat itu lalu sama-sama tertawa.
*** SEPERTI kejadian sewaktu Boma
pulang dari Rumah Sakit PMI Bogor dulu, hari itu kamar Boma di tingkat atas
dipenuhi oleh anak-anak SMA Nusantara III. Selain Ronny, Vino, Firman, Andi,
Gita dan Rio hadir juga Dwita dan Trini.
Tapi sekali ini Boma agak lain. Dia
tidak terlalu banyak bicara dan tidak tanggap terhadap canda teman-temannya.
Mungkin karena Trini ada di situ" Padahal
menurut Trini yang ayahnya Polisi, tiga orang kawanan penodong yang buron telah
berhasil ditangkap dan dalam interogasi ketat. Anak-anak itu juga membicarakan
berbagai cerita di media cetak yang
memberitakan peristiwa penodongan itu di mana Boma disebut-sebut sebagai salah
seorang yang berjasa hingga seorang
penodong berhasil diringkus.
"Wah, namamu bakal berkibar lagi Bom," kata Andi.
"Apa lagi kalau wartawan tau
kejadian aneh di RSCM. Mulai dari kau ngamuk sampai kesembuhanmu yang dokter
sendiri terheran-heran." Menyambung Vino.
"Kalian masih saja bilang aku
ngamuk. Aku ngimpi tau," kata Boma.
"Nah, kalau kau mimpi, kok nggak mau cerita mimpinya apa?" ujar Ronny Celepuk.
"Iyya, pakai dirahasiain segala,"
sambung Gita. "Ala, udah deh. Nanti aja aku
cerita. Aku capek, ngantuk. Kalian pulang aja. Nanti datang lagi...."
"Ngusir nih?" tanya Gita.
"Kalau kita-kita pada pergi, yang tinggal siapa?" tanya Vino menggoda sambil
melirik pada Trini dan Dwita.
"Ya, sudah. Bos mau istirahat. Kita ngalah," ucap Rio. "Besok kita balik lagi."
Sambil menjalankan motornya
mengikuti teman-temannya Ronny Celepuk berkata. "Heran, nggak sari-sarinya Boma
kayak gitu. Kayaknya dia segen-segenan ngobrol sama kita."
"Aku liat anak itu lebih banyak diemnya. Jangan-jangan
kesambet."
(kesambet = kemasukan mahluk halus).
"Kalian perhatiin nggak" ketawa sama nyengirnya juga lain," Vino ikut bicara.
"Dia nggak ngaku kalau ngamuk.
Bilangnya mimpi. Tapi mimpinya nggak mau diceritain."
"Inget cerita Boma ada nenek-nenek aneh yang mau memberinya ilmu
kepandaian?" ujar Gita pula. "Jangan-jangan anak itu udah dikasih ilmu.
Sekarang nggak sanggup nerimanya alias keberatan ilmu. Bisa-bisa dia jadi bego-
bego kaya saudaranya Bapak gua."
"Amit-amit.
Jangan deh sampai
begitu," kata Ronny.
"Aku rasa Boma memang sudah punya ilmu," ujar Vino. "Buktinya, perut diclurit
begitu nggak ada bekasnya.
Dokter sendiri nggak habis heran. Ron, kau ingat nggak kejadian di rumah sakit.
Waktu aku bilang pintu kamar terbuka..."
Ronny diam saja. Yang lain-lain
juga tidak bersuara.
"Musti ada yang terus-terusan
ngawasin Boma," Trini akhirnya yang membuka mulut.
"Iyya, kamu aja Rin yang ngawasin,"
kata Vino. "Jangan ngeledek ah!" jawab Trini sambil melirik ke arah Dwita.
"Kita harus beri tau orang tuanya,"
kata Gita Parwati.
Di ujung gang anak-anak itu
berpisah setelah janji akan kumpul lagi di rumah Boma besok pagi jam 10. Sebelum
berpisah Trini mendekati Ronny.
"Ron, nanti kau bilang sama Boma.
Supaya hati-hati. Terutama kalau dia berada di luar rumah. Menurut Bapakku, bisa
saja kawanan penodong yang masih ada di luaran ngerjain dia."
"Wah, gawat juga kalau gitu," kata Ronny. "Boma nggak boleh dibiarin sendirian."
Trini mengangguk. "Aku ikut sama kamu ya?"
Ronny belum menjawab, Trini sudah
menyambar helm dan naik ke atas motor.
Tangan kanannya dilingkarkan ke pinggang Ronny. Tangan kiri dilambaikan sambil
berteriak "Daa... daah."
Gita pencongkan mulutnya, berbisik
pada Vino yang ada di sebelahnya.
"Liat 'tuh kucing garong.
Lagaknya...."
11 BOMA BERPRILAKU ANEH
SORE itu ayah dan ibu Boma duduk di
ruang tengah rumah. "Pak, saya gembira dan bersyukur Bram sudah dapat pekerjaan.
Tapi anak kita yang satu, Boma, membuat saya jadi prihatin. Tingkah lakunya
belakangan ini banyak kelainan. Dia
sering mengurung diri dalam kamar. Tak tahu apa yang dilakukan. Tidur ya pasti
nggak. Dia berubah jadi pendiam. Makanpun seperti capung mencicipi air saja.
Sedikit...."
Mendengar kata-kata istrinya itu
Sumitro Danurejo, pensiunan Pegawai Sipil Departemen Penerangan meletakkan surat
kabar yang dibacanya lalu meneguk kopi di atas meja.
"Anak itu, di mana dia sekarang?"
tanya Sumitro pada istrinya.
"Masih tidur. Di atas, di kamarnya.
Coba, sudah sore begini masih tidur."
"Memang Bu, ada sesuatu yang ingin saya ceritakan sama Ibu. Tentang anak itu.
Boma." "Ya, Bapak mau cerita apa?"
"Malam tadi. Saya tak bisa
memejamkan mata. Dalam kamar rasanya panas sekali. Saya keluar. Duduk di kursi
panjang di bawah tangga. Di situ agak
adem. Saya hampir pulas. Tiba-tiba saya mendengar ada langkah-langkah kaki
menuruni tangga...."
*** SUMITRO Danurejo melihat Boma
berjalan ke pintu. Gerak langkahnya
kelihatan aneh. Terheran-heran Sumitro memperhatikan, ternyata Boma berjalan
dengan mata terpejam.
"Anak ini, berjalan tidur. Aneh.
Mau ke mana dia?" kata Sumitro dalam hati. Lelaki ini hendak menegur tapi tak
jadi. Dia terus memperhatikan apa yang dilakukan anaknya.
Ternyata Boma melangkah ke pintu.
Dengan mata masih terpejam dia memutar anak kunci, menekan handel lalu membuka
daun pintu. Sumitro serta-merta bangkit dari
kursi di bawah tangga. Sekilas dilihatnya jam bulat di dinding ruangan
menunjukkan pukul setengah tiga malam.
"Bom... Boma...." Sumitro
memanggil. Tapi aneh, suaranya tak keluar dari tenggorokan. Dia cepat memakai
sandal, mengencangkan ikatan kain sarung.
Ketika dia sampai di pintu pagar rumah dilihatnya Boma sudah berada di ujung
jalan. Setengah berlari Sumitro mengejar.
Namun lagi-lagi aneh. Lelaki ini merasa
sudah berlari sekencang yang bisa


Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilakukannya, tetapi sang anak tak
kunjung terkejar. Hanya ada satu hal yang dilihat Sumitro dan membuat lelaki ini
jadi tersirap darahnya. Di depan Boma yang berjalan dengan mata terpejam
kelihatan beberapa ekor kunang-kunang.
Binatang terbang yang mengeluarkan cahaya ini seolah-olah membimbing Boma dalam
melangkah. "Kunang-kunang itu...." membatin Sumitro. Sesaat langkahnya tertahan.
"Apakah sama dengan kunang-kunang di Gunung Gede, yang membimbing regu
penyelamat?"
Di depan sana tiba-tiba muncul
kabut putih. Boma berjalan terus, masuk ke dalam kabut, lenyap dari pemandangan.
Sumitro ragu-ragu sesaat. Tapi kemudian meneruskan langkah menembus kabut. Dia
sampai di ujung gang. Di depan sana
anaknya tak kelihatan lagi.
Sumitro Danurejo bukan saja
terheran-heran karena lenyapnya Boma,
tapi juga karena saat itu mendapatkan dirinya entah bagaimana kejadiannya tahu-
tahu sudah berada di sisi satu pedataran.
Di kejauhan sana ada sebuah bukit kecil, diterangi sinar merah kekuningan seolah
sang surya berada di baliknya. Memandang ke samping kiri Sumitro melihat sebuah
pohon tinggi besar tanpa daun. Cabang dan
ranting-ranting pohon berjulaian laksana tumbuh di pedataran tandus. Di salah
satu cabang pohon tiba-tiba dia melihat seekor burung besar berwarna putih
polos. Burung itu memandang ke arahnya dengan sikap yang menggetarkan hati.
Sumitro kemudian ingat, burung ini adalah burung yang pernah dilihatnya di atas
atap rumah Haji Sobirin, orang pintar di Bogor, sewaktu dimintai pertolongannya
untuk mengobati Boma tempo hari. (Baca Episode pertama Boma Gendenk berjudul
"Suka Suka Cinta").
Burung ini mendongakkan kepala,
mengembangkan sayap lalu terbang dan lenyap dalam kegelapan.
Sumitro mengalihkan pandangannya
kembali ke arah bukit kecil di ujung pedataran. Dia terpana ketika melihat sosok
Boma tahu-tahu telah berada di puncak bukit, bergerak kian ke mari, memukul dan
menendang. "Boma... anak itu. Apa yang tengah dilakukannya" Dia memang pernah berlatih
karate. Tapi gerakan-gerakannya itu bukan gerakan karate. Dia tengah memainkan
ilmu silat aneh. Siapa yang mengajarnya?"
Sumitro tegak tak bergerak. Mata
nyalang besar. Sesekali dari tangan kiri anaknya memancar cahaya putih
berkilauan. Setiap pukulan dan tendangan yang
dilancarkan Boma mengeluarkan suara
sambaran angin keras, seolah anak itu
hanya beberapa langkah saja di
hadapannya. Ayah Boma tak sadar entah sudah
berapa lama dia berada di tempat itu. Di timur muncul cahaya terang tanda fajar
mulai menyingsing. Di kejauhan terdengar kokok ayam. Lalu bukit kecil di ujung
pedataran perlahan-lahan sirna. Sosok Boma ikut lenyap.
"Astagfirullahal 'aziim," Sumitro mengucapkan istigfar. "Boma!" Lelaki ini
berteriak. Seperti tadi tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Sumitro
memutar tubuhnya. Dia melangkah cepat kembali ke rumah. Sampai di rumah dia naik
ke atas, langsung menuju kamar Boma.
Ketika pintu kamar dibuka dilihatnya anak itu tertidur pulas sambil menggelung
bantal guling. "Aneh, anak ini. Kenapa dia bisa sampai lebih dulu" Dan tidur pulas.... Ya
Allah, apa sebenarnya yang tengah
terjadi?" *** PAGI itu Ronny dan Vino datang
hendak menjemput Boma. Mereka hendak latihan ben di sekolah. Dalam susunan acara
anak-anak kelas dua yakni Boma, Ronny, Vino, Rio, Andi dan Firman akan
menyumbangkan dua buah lagu sementara
Gita Parwati akan bertindak sebagai MC.
"Bomanya masih tidur 'tuh," kata Ibu Boma ketika ditemui Ronny dan Vino.
"Wah, udah siang begini kok Si Bos masih tidur sih," kata Ronny Celepuk.
"Kami boleh naik ke atas, Bu?"
tanya Vino. "Boleh aja. Cuma Boma pesan,
katanya jangan diganggu."
Vino dan Ronny saling pandang
sesaat. "Gini aja, Bu. Kalau Boma bangun suruh nyusul ke sekolah," kata Ronny.
Nyonya Hesti Sumitro anggukkan
kepala. "Anak-anak nggak mau minum dulu?"
"Terima kasih Bu," jawab Vino.
"Assalammu'alaikum."
"Wa'alaikum sallam."
Di atas motor dalam perjalanan ke
sekolah. "Heran, si Boma kok belakangan ini banyak tidurnya?" berkata Vino.
"Gua liat 'tu anak banyak
bengongnya. Kalau lagi ngumpul sama kita-kita dia keliatan kayak ngelamun. Nggak
banyak ngomong kayak dulu-dulu. Kalau ikutan tertawa, tertawanya juga kayak
dibikin-bikin...."
"Terakhir kita datang bawa tabloid, Boma membaca tabloid itu kayak acuh aja.
Padahal di situ ada berita besar mengenai
peristiwa penodongan yang buntutnya dia kena diclurit. Lalu juga ada wawancara
wartawan dengan dokter Simanjuntak yang mengoperasi Boma. Dokter ahli bedah ini
mengakui, ngerasa aneh kok jahitan
operasi bisa sembuh kurang sehari, nggak ada bekasnya lagi. Habis baca tabloid,
Boma kayak ngelamun. Nggak tau apa yang ada di otaknya."
Ronny hentikan motor di
persimpangan lampu merah.
"Ron, lu suka meratiin Boma nggak?"
Vino bersuara. "Meratiin apa?"
"Kalau lagi diem, si Boma suka
ngurut-ngurut tangan kirinya pakai tangan kanan."
"Iyya. Memang gua liat begitu.
Kayaknya ada sesuatu di tangan kirinya itu."
"Jangan-jangan apa yang dibilangin Gita bener Ron. Teman kita itu sudah punya
ilmu. Saking keberatan ilmu jadi kayak orang gendenk."
"Latihan kita bisa jadi berantakan.
Yang nyanyi 'kan dia." Ronny membelokkan motor Honda Tiger merah itu memasuki
halaman sekolah.
Gita Parwati, Rio, Andi dan Firman
segera mendatangi Ronny dan Vino.
"Mana Boma?" tanya Gita.
"Masih tidur!" jawab Ronny sambil
menanggalkan helm.
"Tidur" Gini ari masih tidur" Ajie gile!" kata Firman.
"Kenapa nggak lu bangunin Ron?"
tanya Andi. "Nggak boleh sama Ibunya. Katanya Boma pesan begitu."
"Wah, apa gua bilang. Tu anak pasti kumat lagi gendenknya." kata Gita.
"Gimana latihannya?"
"Ya udah, kita-kita aja," jawab Rio. "Nanti seabis anak kelas tiga latihan,
giliran kita."
Enam anak itu berjalan menuju
bagian belakang panggung di mana anak-anak kelas tiga SMU Nusantara III sedang
asyik berlatih band.
Tiba-tiba Gita memegang tangan
Ronny. "Ronny, Vino. Sialan kalian!"
"Eh, kamu kesambet setan apa Git"
Kok nggak hujan nggak angin maki kayak gitu?"
Gita menunjuk ke sudut sekolah, ke
arah warung bakso Mang Asep. "Lu ngibul aja! Tuh kalian liat siapa yang lagi
duduk di depan warung Mang Asep."
Semua anak palingkan kepala ke arah
yang ditunjuk Gita Parwati. Mereka semua jadi heran. Di depan warung Mang Asep
ada sebuah bangku kayu panjang. Di bangku itu kelihatan Boma duduk enak-enakan.
Ketika kawan-kawannya memandang ke arahnya Boma senyum dan lambaikan tangan.
Ronny, dan Vino, diikuti yang lain-
lainnya segera mendatangi Boma.
"Bom, kok kamu udah duluan sampe di sini?" tanya Ronny.
"Kamu naik apa Bom?" tanya Vino.
"BMW," jawab Boma sambil menowel hidungnya.
"BMW"!" ujar Gita dan Ronny berbarengan.
"Iyya BMW. Bajaj Merah Warnanya,"
jawab Boma lalu tertawa.
"Sialan!" gerutu Andi.
"Dasar gendenk!" kata Gita.
"Eh Git, jangan suka maki. Nanti kempes lu!" kata Boma sambil menusukkan jari
telunjuk tangan kanannya ke perut gendut Gita Parwati.
12 ABG DILEMPAR TELUR BUSUK
ACARA perpisahan anak-anak kelas
tiga SMU Nusantara III Sabtu malam itu ramai sekali. Panggung besar dibangun di
lapangan olahraga. Jejeran kursi mulai dari depan panggung sampai ke aula. Para
orang tua dan guru duduk di barisan kursi terdepan. Di sebelah belakang
bercampur anak-anak dari semua kelas. Dwita Tiffani duduk tenang bersama anak-anak
perempuan teman sekelas. Terpisah satu baris di belakangnya duduk Trini
Damayanti, becanda brisik dengan teman-temannya.
Boma malu-malu kelihatan duduk
santai, berbaur dengan teman-teman.
Senyum dan tawa lebar sesekali merebak di wajahnya. Namun seperti kebiasaan
anehnya belakangan ini, Boma tak banyak bicara, terkadang tampak seperti
melamun. Sambil duduk jari-jari tangan kanannya mengusap tangan kiri. Lalu
sekali-sekali menowel hidungnya.
Sarah, cewek kelas dua yang nempel
terus bersama Ronny Celepuk, berbisik.
"Ron, aku peratiin Boma dari tadi.
Kayaknya apa yang teman-teman omongin memang benar."
"Memangnya orang-orang ngomongin apa?" tanya Ronny.
"Kata taman-teman Boma udah jadi gendenk gara-gara punya ilmu hitam."
"Ah gila! Siapa yang bilang gitu sama kamu?"
"Pokoknya banyak," jawab Sarah.
"Liat aja, 'tu anak jadi banyak bengongnya. Nggak ceria kayak dulu."
"Namanya juga orang baru sakit,"
kata Ronny membela temannya.
Yang jadi MC atau pembawa acara
dalam pesta perpisahan itu adalah Gita
Parwati. Penampilannya yang gendut,
gayanya yang kocak serta kata-katanya yang diselingi humor membuat suasana
menjadi hangat.
Saat ketika anak-anak kelas tiga
mengisi acara dengan permainan ben, di belakang panggung seorang anak laki-laki
bertubuh tegap, rambut gondrong diikat di sebelah belakang mendekati Gita
Parwati yang berdiri sambil memegang wireless microphone. Menurut susunan acara
selesai permainan ben anak-anak kelas tiga, Boma dan kawan-kawannya akan tampil
ke panggung menyumbangkan dua buah lagu.
"Git, kamu istirahat aja dulu. Biar aku yang gantiin jadi MC," kata anak lelaki
itu yang mendekati Gita. Namanya Anton, anak kelas I-A yang naik ke kelas dua.
Anton sudah lama naksir Trini
Damayanti dan bukan rahasia lagi Anton tidak suka pada Boma yang dianggapnya
sebagai saingan.
Gita belum sempat menjawab, Anton
sudah mengambil microphone dari tangan anak perempuan itu secara kasar.
"Ton, kamu apa-apaan sih"!" kata Gita, coba mengambil microphone kembali, tapi
tak berhasil. "Udah, duduk aja. Nanti juga
kembaliin. Segala mikropon!" kata Anton.
Seorang anak lelaki berambut
coklat, muka penuh jerawat mendatangi.
"Kok kasar amat sih sama cewek"!"
anak ini menegur. Namanya Allan. Anak baru di kelas dua.
Anton langsung berpaling. Dia
letakkan microphone di depan hidung Allan dan berucap. "Jerawat batu, lu anak
baru jangan ikut campur!"
Allan hendak merampas microphone
dari tangan Anton tapi Gita Parwati cepat memegang tangan anak itu; "Udah Lan,
biarin aja anak konyol itu begitu. Apa sih maunya. Kalau mau jadi MC kenapa
nggak minta terus terang waktu rapat panitia...."
Lagu yang dimainkan anak kelas tiga
berakhir. Bersamaan dengan itu Anton muncul di panggung, langsung bicara.
"Para hadirin yang terhormat. Kini tiba giliran teman-teman dari kelas dua-
sembilan menyumbangkan dua buah lagu.
Kepada teman-teman kelas dua-sembilan dipersilahkan naik ke panggung."
Tepuk tangan menggemuruh. "Lho kok MC-nya ganti?" seorang anak berucap.
Ronny paling dulu berdiri. Memberi
isyarat pada teman-temannya. Boma, Vino, Rio, Andi dan Firman segera berdiri
pula. Begitu Boma dan teman-temannya
berada di panggung, Anton kembali bicara.
"Para hadirin, inilah teman-teman kita dari kelas dua-sembilan. Mohon tepuk
tangan untuk mereka."
Tepuk tangan kembali menggemuruh.
"Para hadirin, sebelumnya kami
perkenalkan dulu teman-teman kita ini.
Pada melody Ronny Kaunang, lebih dikenal dengan panggilan Ronny Celepuk karena
hidungnya yang bengkok dan alisnya yang item tebal kayak burung hantu!"
Orang banyak tertawa, ada yang
bertepuk, juga ada yang bersuit.
"Pada keyboard teman kita yang
bernama Firman," Anton melanjutkan. "Pada bas gitar Andi, lalu pada drum Vino.
Pada gitar pengiring Rio. Terakhir, yang sudah siap di depan mikropon, rambut
ABCD Abri Bukan Cepak Doang, adalah teman kita seorang ABG, namanya Boma!"
Tepuk tangan terutama anak-anak
kelas II-9 riuh menggema.
"Para hadirin sekalian, perlu
diberitahukan bahwa singkatan ABG buat Boma bukan berarti Anak Baru Gede. Tapi
Anak Baru Gendenk! Gendenk karena keberatan ilmu!"
Ada yang tertawa mendengar kata-
kata Anton itu, ada yang bertepuk. Tapi banyak yang terdiam heran, memandang ke
panggung. Di atas panggung Boma tenang saja, malah mengulum senyum lalu menowel
hidungnya. Ayah dan Ibu Boma yang duduk di
barisan ke dua sebelah depan saling
berpandangan. Sumitro geleng-gelengkan
kepala. "Seloroh anak-anak Pak, jangan diambil hati. Boma sendiri cuma ketawa."
Di belakang panggung Gita mengomel.
"Sialan si Anton. Ngapain dia nyebut-nyebut Boma Gendenk segala" Sentimen 'tu
anak!"

Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia cuma becanda Git," kata seorang anak di sebelah Gita.
"Becanda sih nggak gitu! Brengsek!
Pantes dia ngerampas mikropon. Ini
maksudnya! Pasti ini gara-gara kucing garong itu."
"Kucing garong?" teman di sebelah Gita Parwati bertanya heran.
"Lu belon tau kucing garong ya"
Siapa lagi. Si Trini!"
Di atas panggung Anton mendekatkan
mikropon ke mulutnya. "Para hadirin
sekalian ABG Boma akan membawakan dua buah lagu. Lagu pertama Bujangan. Cocok,
karena dia memang masih bujangan. Lagu kedua bersama teman-temannya Boma akan
membawakan lagu terkenal dari Koes Plus yaitu Pelangi"
Anton turun dari panggung. Dia
tidak menyerahkan wireless microphone ke tangan Gita. Mikropon itu diletakkannya
di atas sebuah kursi.
Gita cepat mendatangi. "Ton!"
teriak Gita. "Brengsek lu! Ngejatoin temen sendiri!"
Anton cuma menyengir lalu ngacir,
berkumpul dengan teman-temannya.
Tepuk tangan ramai. Vino
menghentakkan drum. Suara melody gitar merobek panggung. Ketika Boma mulai
menyanyi sambutan menggemuruh.
Baru sepertiga nyanyian dilantunkan Boma, tiba-tiba entah dari mana datangnya
sebuah benda bulat putih melayang ke arah panggung dan pluk! Jatuh pecah di atas
dada kiri Ronny Celepuk. Ternyata benda yang dilemparkan itu adalah sebutir
telur ayam busuk!
Ronny sampai tersurut dua langkah.
Petikan gitar melodynya sesaat tersendat.
Boma cepat berkata.
"Tenang Ron, terus. Jangan
kacau...."
Sambil meneruskan memetik melody
Boma memperhatikan pecahan telur busuk yang mengotori kemejanya. Bau busuk
membuat dia tak tahan mau muntah.
Boma terus menyanyikan lagu
Bujangan. Menjelang akan sampai ke akhir lagu, tiba-tiba sebuah telur lagi
melesat ke atas panggung. Boma yang sedang
konsentrasi menyanyi tidak sadar kalau sasaran benda itu adalah dirinya. Ketika
dia sadar, Boma terlambat mengelak. Telur ayam busuk jatuh dan pecah tepat di
pipi kirinya. Suara nyanyian Boma hampir terputus
kalau Boma tidak cepat menguasai diri.
Sambil menyeka pipinya yang berselomotan telur busuk, Boma terus menyanyi sampai
akhir. Sambutan hadirin luar biasa.
Terutama melihat sikap tenang Boma dan teman-teman walau barusan dilempar telur
busuk. Boma mendekatkan mikropon ke
mulutnya. "Para hadirin, teman-teman, kami akan membawakan lagu Pelangi. Mudah-mudahan
masih ada persediaan telur busuk buat kami."
Riuhnya sambutan penonton bukan
main. Di antara keriuhan itu ada yang berteriak histeris.
"Gebukin si pelempar telur!"
Boma mengangkat tangan. Dari
wajahnya yang masih dikotori telur busuk dan dari sosoknya yang jangkung seolah
muncul satu kharisma. Para hadirin
berangsur tenang. Boma memberi isyarat pada Ronny. Lagu Pelangi ciptaan Koes
Plus segera menghentak suasana. Ketika lagu itu hampir sampai pada akhirnya
beberapa anak yang kemudian diikuti oleh para hadirin lainnya berteriak sambil
berdiri. "Terus! Terus!"
"Ulang! Ulang!"
Mau tak mau Boma dan kawan-kawannya
menyanyikan Pelangi sekali lagi. Sambutan meriah luar biasa mengikuti Boma dan
teman-temannya ketika turun dari
panggung. Di belakang panggung anak-anak
mengerubung. Banyak tangan memberikan kertas tisu pada Boma dan Ronny untuk
membersihkan sisa-sisa telur busuk. Boma dan Ronny kemudian pergi ke kamar mandi
di belakang sekolah. Vino, Rio, Firman dan Andi mengikuti.
Sampai di kamar mandi Vino berkata.
"Bom, aku sempat ngeliat siapa yang ngelempar telor busuk."
Ronny langsung bertanya. "Siapa?"
Vino tak segera menjawab, melihat dulu pada Boma.
"Ala, udah Ron. Enggak usah
sewot...." kata Boma.
"Gua nggak sewot. Tapi marah besar Bom! Keterlaluan. Kurang ajar! Yang
begini nggak bisa didiemin. Si Anton juga mau gue datengin. Apa maksudnya bilang
kamu Anak Baru Gendenk! Gua dibilang kayak burung hantu! Tu anak musti dikasih
pelajaran!"
Boma tersenyum. Sambil mengeringkan
mukanya yang baru dibasuh dia berkata.
"Buat apa sih nyari ribut! nanti juga pada ketulah sendiri."
Ronny menggoyangkan tangan. Sambil
melotot dia bertanya pada Vino. "Vin, bilang cepetan! Siapa yang ngelempar
telor?" "Si Bodong," jawab Vino.
"Si Bodong" Maksud lu Jamhudi
sohibnya Si Anton?"
"Di SMA Nusantara Tiga cuma ada satu anak yang pusernya bodonk. Siapa lagi kalau
bukan Jamhudi!" kata Rio.
"Biar gua gasak sekarang juga 'tu anak!" kata Ronny sambil menggulung lengan
kemejanya. Boma cepat memegang bahu Ronny.
"Sabar Ron. Gua bilang nggak usah bikin ribut. Apa lagi sekarang kita lagi pada
pesta girang-girang."
Pelipis Ronny Celepuk bergerak-
gerak. "Oke... oke!" kata Ronny sambil memukulkan tinju kanannya berulang kali ke
telapak tangan kiri. "Gua ikutin omongan lu, Bom. Tapi nanti, gua pasti bikin
perhitungan sama anak itu! Gua tau dia sohibnya Si Anton. Si Anton bakal gua
sikat sekalian!"
"Sabar Ron, sabar," kata Vino.
"Liat, siapa yang lagi mau datang ke sini. Ada dua cewek."
Ronny dan teman-temannya termasuk
Boma yang baru keluar dari bangunan kamar mandi melihat ke arah lapangan. Dari
samping kiri deretan kursi melangkah Trini Damayanti. Lalu dari jurusan
sebelah kanan berjalan Dwita Tifani.
Ronny yang tadi sewot kini
menyengir. "Asyik nih, bakalan terjadi perang dingin sebentar lagi. Teman-teman,
baiknya kita cabut dulu."
"Eh, tungguin gua!" kata Boma ketika dilihatnya Ronny dan yang lain-lain
meninggalkan tempat itu.
"Nggak usah takut Bom, Dwita sama Trini nggak bawa telor busuk. Kalaupun bawa,
pasti telor mereka dibungkus rapi sama...." Ronny tidak meneruskan ucapannya,
melainkan berpaling pada Vino dan bertanya. "Dibungkus sama apa Vin"
Jawab dong."
Vino cekikikan lebih dulu baru
menjawab. "Dibungkus sama beha."
Ronny, Firman, Andi, Rio dan Vino
tertawa gelak-gelak sambil ngacir
meninggalkan Boma sendirian.
TAMAT Ikuti Buku Berikutnya Berjudul :
TRIPPING Boma pegang tangan dan menatap wajah anak perempuan itu. Dia merasakan denyutan
cepat sekali pada urat nadi di lengan temannya ini.
"Git, jujur aja nih. Kamu tau si Allan itu ngeprit! "
"Dia nggak bangsa cowok gituan Bom," Gita menjawab tapi melengos, tak berani
memandang mata Boma.
"Tadi aku liat orang tua Allan masuk ruangan Kepala Sekolah."
"Biar aja. Biar aja jelas semuanya."
"Kamu ngebelain dia. Memangnya kamu cintrong banget sama dia?"
Gita diam. Ketika akhirnya anak perempuan ini menjawab suaranya terdengar
perlahan. "Habis, siapa sih yang suka sama aku Bom" Jelek begini"
Allan selalu meratiin aku. Memang sih dia nggak pernah bilang sayang sama aku.
Tapi aku tau perasaan kami sama."
Boma jadi terharu. Ditowelnya hidungnya.
"Udah Git, nanti kita ngomong lagi."
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
http://duniaabukeisel.blogspot.com
Pedang Hati Suci 9 Istana Yang Suram Karya S H Mintardja Kekaisaran Rajawali Emas 6
^