Pencarian

Anak Baru Gendenk 1

Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk Bagian 1


SERIAL: "BOMA GENDENK"
JUDUL: ABG - Anak Baru....
Gendenk Oleh: BASTIAN TITO
HAK CIPTA DAN COPY RIGHT
PADA BASTIAN TITO
DIBAWAH LINDUNCAN UNDANG-UNDANG
Diterbitkan pertama kali Tahun 1997
oleh Penerbit Duta Media, Jakarta
P.O. BOX. NO. A226/JKTJ/13342
Foto cover Depan: Orly Velli Valentine Vino Giovanni
Dilarang keras memfotokopi atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari
penerbit. 1 TABLOID PUNYA BERITA
BRAM DWI SUMITRO mendorong pintu
pagar. Tergulung di tangan kanannya
sebuah tabloid terbitan hari itu.
Sumitro Danurejo -ayah Bram- keluar dari rumah. Sebelum membuka pintu pagar
lelaki ini menatap wajah anaknya yang tampak keletihan.
"Bagaimana tes lamaran kerjamu?"
Sumitro bertanya.
"Belum tau 'Yah. Sehabis tes masih ada wawancara. Mungkin hari Jum'at baru
ketauan hasilnya." jawab Bram sambil menyeka keningnya yang basah oleh
keringat. Sumitro membuka pintu pagar. Di
ruang depan, Hesti Sumitro -ibu Bram-yang sedang menyeterika memalingkan
kepala. Seperti suaminya yang penuh
harap, dia juga ingin tahu hasil tes lamaran kerja puteranya itu.
"Hasil Bram?"
"Jum'at depan Bu. Baru ketauan..."
jawab Bram. Nyonya Hesti meletakkan seterika
listrik. "Adikmu sudah pulang. Ada di atas." Perempuan itu memberi tahu.
"Boma pulang?" Wajah dan suara Bram menunjukkan rasa gembira. Setengah
berlari pemuda berusia 24 tahun S1 Teknik Elektro yang sudah satu tahun
menganggur itu menaiki tangga. Pintu kamar tidur Boma tidak tertutup. Bram
langsung masuk ke dalam kamar. Boma terbaring di
ranjang, menelentang. Hanya pakai singlet dan celana jins. Matanya terbuka,
pandangannya kosong seperti melamun.
Bram memukul paha adiknya dengan
gulungan tabloid. "Bom, kapan kau pulang?"
"Siang tadi," jawab Boma. "Kata Ibu hari ini kau ngikutin tes lamaran kerja."
Bram mengangguk. "Sorry aku nggak bisa ngejemputmu di rumah sakit."
"Nggak apa-apa."
"Gimana tesmu Bram?"
"Bisa semua. Dari sembilan pelamar yang disaring, yang lulus tes cuma empat,
termasuk aku. Lusa ada wawancara. Dari hasil wawancara nanti baru ketauan siapa
yang bakal diterima."
"Aku doa-in supaya kau yang
diterima."
Bram Dwi Sumitro tersenyum
mendengar kata-kata adiknya itu. Namun lubuk hatinya tersentuh dalam. Sejak
ayahnya pensiun memang terasa sekali akan adanya seseorang yang dapat menunjang
biaya kehidupan rumah tangga mereka, termasuk biaya sekolah Boma. "Udah, kita
jangan bicara soal lamaranku. Baca dulu
ini." Bram melemparkan gulungan tabloid yang sejak tadi dipegangnya. "Kau jadi
orang kesohor sekarang."
"Kesohor" Ada apa" Kok nyuruh
aku..." "Aku tau, kau paling males baca surat kabar. Tapi yang satu ini lain Bom.
Liat halaman dua," kata Bram Dwi Sumitro memotong ucapan adiknya.
Boma membuka gulungan tabloid,
langsung membalik halaman dua.
"Kau liat! Foto siapa 'tuh! Kenal nggak" Liat judul beritanya!"
Di halaman dua tabloid sebelah kiri
atas terpampang foto besar Trini
Damayanti. Cantik dan tersenyum. Di bawah foto ada caption : Trini Damayanti,
pacar Boma. Di sebelah foto, dengan huruf-huruf besar tertera judul berita.
Pacar Boma Mengakui. Lalu dengan huruf-huruf lebih kecil dibawah judul menyusul
sub-judul berbunyi Ada Misteri Dalam Penyelamatan Korban Musibah Gunung Gede.
"Sialan! Apa-apaan 'nih!" kata Boma setengah berteriak. Tabloid
dibantingkannya ke lantai lalu dia
beringsut, duduk ke dinding. Matanya membesar menatap ke arah kakaknya.
Bram mengambil tabloid yang
tercampak di lantai, di letakkan di
pangkuan Boma. "Tenang Bom, jangan emosi.
Baca dulu beritanya sampai habis."
"Tapi ini jelas nggak bener! Siapa bilang aku pacaran sama dia. Wartawan
geblek!" "Pacaran apa nggak, itu sih bukan soal. Lagian mungkin bukan wartawannya yang
geblek. Biasanya wartawan nulis apa adanya. Jadi kau harus baca dulu," kata Bram
sambil senyum-senyum.
Boma menowel hidungnya beberapa
kali. Lalu mengambil tabloid di
pangkuannya dan mulai membaca. Beritanya cukup panjang, sampai menghabiskan
empat kolom lebih. Menurut sang wartawan yang berinisial "TB" tulisan itu
merupakan sambungan dari berita Minggu sebelumnya dan adalah hasil wawancaranya
dengan Trini Damayanti, puteri Letkol (Pol) Kusumo Atmojo, pelajar SMA Nusantara
III yang sejak lama sudah menjadi pacar Boma Tri Sumitro. Dalam berita dikatakan
selamatnya tujuh pelajar tersebut merupakan satu peristiwa luar biasa, baru
pertama kali terjadi. Sang wartawan
mengutip keterangan dari beberapa sumber dipercaya yang juga diakui oleh Trini
Damayanti bahwa selama penyelamatan
dilakukan, terjadi beberapa peristiwa aneh.
Keanehan pertama dialami oleh Bapak
Tatang Suryadilaga, Kepala Pos Pengawasan Gunung Gede. Satu hari sebelum
terjadinya musibah atas rombongan para pelajar SMA
Nusantara III, lelaki ini bermimpi
melihat api di puncak Gunung Gede. Tiga tahun lalu Pak Tatang pernah mimpi
seperti itu. Beberapa hari kemudian
rombongan mahasiswa dari Bandung yang mendaki Gunung Gede mengalami kecelakaan.
Lima dari enam mahasiswa itu ditemukan tewas. Lalu setahun setelah itu kembali
Pak Tatang mimpi melihat api di puncak Gunung Gede. Besoknya empat pelajar STM
Bogor ditemukan dalam keadaan kaku tak bernyawa di salah satu lereng Gunung
Gede. Pertanda mimpi yang sama mau tak
mau membuat Pak Tatang jadi khawatir.
Takut kalau musibah yang dialami oleh mahasiswa dari Bandung dan pelajar STM
dari Bogor akan menimpa pula rombongan para pelajar SMA Nusantara III dari
Jakarta. Ternyata hal itu memang
kejadian. Tetapi kali ini semuanya
selamat. Tidak seorangpun dari tujuh pelajar itu tewas.
Keanehan kedua, menurut perhitungan
pelaksanaan evakuasi yaitu membawa dan menyelamatkan anak-anak itu dari lokasi
ditemukan sampai ke kaki gunung paling cepat akan memakan waktu lima jam.
Ternyata regu penolong dan tim medis mampu melakukan dalam waktu hanya tiga jam.
Padahal saat itu malam hari, udara dingin dan jalan licin. Menurut Letda
Sofyan, Polisi dari Sukabumi yang
memimpin regu penolong, sepanjang jalan menuju kaki Gunung Gede malam itu secara
aneh di depan mereka ada puluhan kunang-kunang. Binatang yang tubuhnya
mengeluarkan cahaya ini bukan saja
terbang menerangi jalan yang ditempuh tapi sekaligus seolah menjadi penunjuk
jalan. Keanehan berikutnya yang diung-
kapkan oleh wartawan tabloid berinisial
"TB" itu ialah pengakuan regu penolong yang menggotong anak-anak yang celaka.
Bukan pekerjaan mudah menandu seseorang menuruni gunung dalam gelapnya malam dan
buruknya cuaca. Tapi
anak-anak yang mereka tandu, termasuk Gita Parwati yang gemuk lebih seratus kilogram, terasa
ringan. Seolah-olah ada tangan-tangan tak kelihatan dari mahluk-mahluk gaib ikut
menggotong tandu!
Keanehan yang paling luar biasa dan
sampai saat itu masih menjadi teka teki inilah ketika tujuh anak pertama kali
ditemukan di lokasi kecelakaan. Mereka ditemukan berjejer rapi di dalam kantong-
kantong plastik yang mereka bawa. Siapa yang mengatur begitu rupa, dan yang
lebih jadi pertanyaan, bagaimana mereka bisa berada dalam kantong-kantong
plastik tebal itu. Padahal jangankan masuk dan menggunakan kantong plastik,
bergerak saja anak-anak itu sudah tak sanggup karena kondisi tubuh yang sangat lemah.
Menurut tim medis dan dokter yang
menolong di Rumah Sakit Sukabumi,
seandainya anak-anak itu tidak berada dalam kantong plastik tersebut,
kemungkinan besar nyawa mereka tidak akan tertolong akibat dinginnya udara dan
lemahnya daya tahan tubuh. Menurut
wartawan yang menulis, semua teka-teki ini akan terungkap setelah Boma, pimpinan
rombongan pendaki dapat ditemui dan
dimintakan keterangannya. Enam anak
anggota rombongan telah dihubungi dan pernah diwawancara, namun tidak bisa
memberikan keterangan banyak. Terutama menyangkut semua keanehan itu.
Boma melipat tabloid yang barusan
dibacanya. "Gimana?" tanya Bram.
"Brengsek!"
"Apa" Siapa yang brengsek Bom?"
"Cerita tentang keanehan ini memang betul. Tapi soal aku pacaran sama Trini!
Itu yang brengsek!"
"Kau merasa pacaran sama 'tu cewek nggak?" tanya Bram.
Boma tak menjawab. Dia turun dari
tempat tidur, mengambil kemeja yang
tergantung di sangkutan dan
mengenakannya. "Kau mau kemana?" Kakak Boma
bertanya. "Nilpon."
"Nilpon" Nilpon siapa?" Bram bertanya lagi.
"Kau punya koin cepean nggak?"
"Kau masih sakit Bom. Sebaiknya istirahat, tidur saja. Jangan kemana-mana
dulu..." "Tapi aku musti nilpon Trini.
Brengsek! Seharusnya di rumah ini ada tilpon!" Boma duduk di tepi tempat tidur
setengah membantingkan diri.
Bram gelengkan kepala. "Boro-boro tilpon Bom. Buat bayar rekening listrik aja
setiap bulan Ayah sudah susah..."
"Itu karena usaha ayah sendiri.
Sablon. Boros listrik!"
"Huss. Pelan-pelan. Nanti
kedengaran Ayah. Doa-in lamaranku
diterima. Bisa kerja. Bisa membantu Ayah sama Ibu."
Dua kakak beradik itu sama-sama
terdiam cukup lama.
"Bram...." Boma akhirnya memecah kesunyian.
"Hemmm..."
"Kau tau cerita ada yang bayarin biaya perawatanku di Rumah Sakit..."
"Ya, aku dengar dari Ibu. Kau tau siapa orangnya?"
Boma menggeleng. "Aku musti cari tau..."
"Menurut Ayah biaya perawatanmu hampir satu setengah juta."
Boma kaget. "Satu setengah juta Bram?"
Bram mengangguk.
"Gila!"
"Itu masih nggak seberapa Bom.
Masih termasuk kecil. Kau musti
mengetahui siapa orang yang berbuat baik itu. Paling tidak buat ngucapin terima
kasih. Jaman sekarang makin sedikit orang berhati baik dan berbudi ikhlas
Bom..." Boma mengangguk. "Setahuku Ayah kan bisa bayar pakai Askes..."
"Betul, tapi waktu ayah baru
nanyain berapa biaya perawatanmu di
kantor Rumah Sakit, pegawai Rumah Sakit bilang sudah ada yang melunasi. Lagian
pakai Askes rasanya tidak seluruhnya bisa ditanggung... Kau tau kira-kira siapa
orangnya yang baik sama kamu?"
"Dugaanku cuma satu. Mungkin, masih mungkin Bram. Mungkin Dwita...."
"Dwita apa Trini?" ujar Bram sambil senyum dan memandang seputar kamar. Untuk
pertama kali dia melihat vas kuning
karangan bunga mawar merah di atas meja kecil di sudut kamar. "Kembang dari
siapa Bom?"
"Dwita," jawab Boma.
"Aaahhh. Kayaknya dia baik amat sama kamu."
"Kami cuma teman biasa. Teman satu sekolah. Juga Trini. Cuma Trini mungkin
mulutnya nggak ketulungan. Pasti dia yang bicara banyak dan nggak-nggak pada
wartawan tabloid itu."
"Aku rasa dugaanmu benar Bom.
Mungkin Dwita yang bayar biaya
perawatanmu di Rumah Sakit. Keliatannya dia serius sama kamu. Anak pejabat,
banyak duit."
Boma tak menjawab, hanya menowel
hidungnya beberapa kali. Entah mengapa saat itu rasanya dia ingin sekali bertemu
dengan Dwita. Paling tidak mendengar suara anak itu. Kalau saja di rumahnya ada
tilpon. "Bom..."
"Hemmm... Apa?"
"Kau siap-siap aja. Wartawan
tabloid itu pasti bakal ngewawancarain kamu."
Boma menowel hidungnya. "Brengsek!"
katanya perlahan.
2 DWITA DATANG PAGI itu Boma baru selesai mandi.
Setelah berpakaian dia memperhatikan wajahnya di depan kaca persegi yang
tergantung di dinding kamar. Pucat. Beker kecil di atas meja belajar menunjukkan
pukul 9.05 pagi. Selagi Boma memencet-mencet jerawat di dagu kiri tiba-tiba dia
mendengar suara langkah-langkah kaki
-banyak sekali- menaiki tangga kayu.
Boma melangkah ke pintu. Begitu
pintu dibuka pertama sekali dilihatnya kepala Ronny Celepuk. Lalu Vino. Menyusul
Firman dan Rio. Lalu Andi. Di belakangnya si gemuk Gita dan terakhir sekali
Dwita. Wajah Boma bersinar segar ketika melihat anak perempuan ini.
"Hallo my friend!" Ronny Celepuk menyapa. Lalu meletakkan ke lantai satu tandan
pisang emas yang dibawanya.
"Pisang kesukaan lu, Bom." kata Ronny.
"Gila, banyak banget! Kau mau bikin aku mencret apa!"
"Tadinya mau beli anggur," kata Vino. "Tapi takut perutmu nggak bisa nerima buah
import" Vino tertawa, teman-temannya ikut tertawa.
"Mulai deh pada konyol!" kata Boma
sambil menowel hidungnya.


Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ronny membuka pintu kamar lebih
lebar, memandang ke arah Dwita dan
berkata. "Silahkan, yang kangen masuk
duluan." "Apaan sin kamu! Masuk aja sama-sama!" kata Dwita sambil mundur menjauh.
"Lho, tadi di mobil bilang kangen sama Boma. Sekarang udah ketemu kok malu-
malu." Yang bicara menggoda si gemuk Gita.
"Enak aja. Siapa yang bilang?" kata Dwita. Wajah merengut kemerahan, tapi
kemudian tersenyum juga.
Gita mendorong punggung Dwita.
Ronny menarik lengan anak perempuan itu.
Mau tak mau Dwita melangkah masuk ke dalam kamar. Begitu Dwita berada di dalam
Ronny cepat-cepat menutup pintu.
"Ron! Apa-apaan sih lu! Buka!"
teriak Boma dari dalam.
Ronny Celepuk dan teman-temannya
sama tertawa cekikikan. Rupanya hal ini memang sudah mereka rencanakan
sebelumnya. Lalu ada suara pintu dipukul-pukul
dari dalam. Menyusul suara Dwita,
berteriak agar pintu dibuka. Boma
berusaha membuka pintu. Tapi handel bulat pintu sebelah luar ditahan kuat-kuat
oleh Ronny. "Udah belon"!" teriak Ronny Celepuk.
"Apa yang udah"!" teriak Boma dari dalam.
"Ala, belagak bodo kau!" teriak Andi.
"Brengsek kau Ron! Buka buruan!"
"Kesempatan Bom! Kesempatan!"
teriak Rio. "Kangen... Orang kangen musti
dikasihani Bom!" Gita ikut berteriak.
"Udah Bom"! Puas nggak"!" seru Ronny.
"Kalau udah puas gua buka nih!"
"Brengsek lu! Kalian brengsek
semua!" teriak Boma.
Ronny akhirnya melepaskan handel
pintu. Begitu pintu terbuka Boma
mendamprat. "Brengsek! Kalian sinting semua!"
Tangan kanannya diacungkan hendak
menjotos. Ronny Celepuk cepat menghindar mundur.
Di sebelah Boma berdiri Dwita
dengan wajah merah keringatan.
Enam anak di depan pintu tertawa
riuh. Di ruangan bawah ayah Boma berkali-
kali menurunkan kacamata plus enamnya, memandang ke langit-langit di atasnya
lalu menoleh pada istrinya.
"Ngapain sih anak-anak itu di atas"
Brisik amat."
Ibu Boma hanya bisa geleng-
gelengkan kepala.
"Biasa Pak, anak-anak kalau sudah ketemu pasti riuh."
"Sorry Bom. Sorry Dwita. Kami
teman-teman cuma mau kasih kesempatan.
Lebih kurangnya terserah kalian berdua yang lagi saling kangen!" kata Ronny
Celepuk lalu masuk ke dalam kamar sambil membawa pisang setandan. Lima temannya
mengikuti hingga kamar berlantai papan yang tak seberapa besar di tingkat atas
itu jadi penuh.
"Kawan-kawan, kita ke bawah aja,"
kata Boma. "Di sini saja Bom," jawab Gita.
"Soalnya di bawah sana ada bokap lu.
Orangnya sih baek, tapi tampangnya angker banget. Tadi aku diliatin sambil kaca
mata tebelnya diturunin ke hidung...."
"Nggak heran kalau kau diliatin kayak gitu Git," kata Vino. "Soalnya ayahnya
Boma mungkin heran. Tanya-tanya dalam hati. Ini kira-kira mahluk apa ya...?"
Suara tawa anak-anak diputus oleh
jeritan Vino yang kesakitan karena
disengat cubitan Gita Parwati.
"Aku takut nih kamar jebol!" kata Boma.
"Wan, gua lagi yang kena sasaran!"
kata Gita. "Belon apa-apa, baru juga baek, Boma udah nyindir gua!" kata Gita
Parwati yang gemuk dan berbobot lebih seratus kilo.
Di dalam kamar Boma hendak
menyembunyikan tabloid yang ada di atas tempat tidur ke bawah bantal. Tapi Vino
lebih cepat menyambar tabloid itu.
"Nggak usah diumpetin Bom. Kami udah tau semua." Kata Vino.
"Dwita juga udah baca," memberitahu Ronny.
Boma memandang ke arah Dwita. Anak
perempuan itu kelihatan tenang-tenang saja. Berdiri di samping meja belajar
sambil bersandar ke dinding.
Tak tahu mau berkata apa akhirnya
Boma ingat. "Dwita, terima kasih kembangnya."
Dwita mengangguk.
" Say it with flower! Ca illa!" Vino menyengir. "Kalau orang
intelek mengatakan rasa suka sama kembang. Kalau kita-kita bangsa krocoan sama siomay!"
Kamar di tingkat atas itu kembali
gemuruh oleh suara tawa.
"Bom...," Ronny berkata sambil memasukkan tangan ke saku blujins.
"Ron, awas lu ngerokok di sini! Apa mau bikin kita mati pengap semua!" kata Gita
memotong ucapan Ronny. Rupanya dia sudah tahu kalau Ronny hendak
mengeluarkan rokok.
Tapi Ronny bandel.
"Ala, kalau jendelanya dibuka kan nggak apa-apa," jawab Ronny yang mulutnya
sudah terasa asam. Dia melangkah ke dekat jendela, membukanya lebar-lebar lalu
menyalakan sebatang rokok. Setelah
menyedot dan menghembuskan asap rokoknya beberapa kali Ronny meneruskan kata-
katanya yang tadi terpotong ucapan Gita.
"Aku sama teman-teman datang selain mau ngeliat kamu, juga ada yang mau
ditanyain."
"Tanya aja, apa sih yang mau kalian tanyakan?" ujar Boma.
"Itu, yang ada sangkut pautnya
dengan berita dalam tabloid," kata Andi.
"Soal ucapan Trini?" Boma melirik ke arah Dwita. Anak perempuan itu masih tegak
bersandar ke dinding, memandang keluar jendela, pura-pura tidak
memperhatikan apa yang dibicarakan teman-temannya. Padahal diam-diam dia
memasang telinga.
"Bukan, bukan soal kucing garong itu," kata Gita Parwati. Anak ini memang sudah
benci lama sama Trini dan menyebut Trini kucing garong sejak peristiwa di warung
bakso Mang Asep. (Baca serial Boma Gendenk Episode Pertama berjudul "Suka Suka
Cinta.") "Kalau bukan soal Trini lalu soal
apa?" tanya Boma.
"Itu Bom, yang nyangkut semua
keanehan itu. Kami pernah didatengin wartawan tabloid. Tapi terus terang kami
bilang nggak ada yang tau soal aneh-aneh itu. Wartawan itu pasti nyari kau.
Sebelon kau cerita sama dia, maunya kami, kau cerita duluan sama kita-kita
ini...." Boma tak segera menjawab.
"Kok diem?" ujar Gita. "Kami yakin kau tau semua menyangkut keanehan itu.
Soalnya waktu di Rumah Sakit PMI Bogor, sakitmu aneh. Kau sering ngigau.
Manggil-manggil nenek-nenek. Suaramu juga berubah seperti suara nenek tua. Lalu
Dwita cerita, dia pernah nganterin bokap mu ketemu satu orang pinter di Bogor.
Sehabis dikasih air putih sama orang pinter itu kau baru sembuh. Panasmu
turun, ngacokmu hilang."
"Aku nggak tau 'tuh kalau aku
ngigau...."
"Betul Bom, kau musti cerita sama aku dan teman-teman...." kata Ronny Celepuk
pula. Boma menowel hidungnya.
"Towel terus sampe tua!" kata Vino
"Yang nolong kita, yang nyelamatkan kita Tuhan. Apa anehnya. Tuhan Maha
Kuasa. Kita harus berterima kasih,
bersyukur padaNya...."
"Tau Bom, kami tau," kata Gita.
"Tapi menurut Dwita, waktu nganterin bokap mu ke rumah orang pinter di Bogor
itu..." Gita diam sebentar, berpaling pada Dwita. "Siapa Dwit, nama orang pinter
itu?" "Haji Sobirin," jawab Dwita.
"Haji Sobirin," mengulang Gita.
"Menurut orang pinter itu, ada seseorang mau ngewarisin ilmu kepandaian padamu.
Tapi kau menolak...."
Boma pandangi wajah temannya satu
persatu lalu tertawa membahana.
" Ajie busyet, ajie gombal! Kalian percaya aja sama omongan orang. Siapa yang
mau ngewarisin ilmu sama aku" Ilmu apa" Matematika, Fisika" Teman-teman,
mendingan kita ngobrol soal lain aja!"
"Bom, aku dan teman-teman tau kalau kau ngerasain sesuatu. Kenapa sih nggak mau
cerita pada kita-kita ini?" ujar Ronny. "Apa perlu Dwita yang maksa kamu?"
Ronny menyengir.
Boma menowel hidungnya. Menghela
nafas beberapa kali. Memandang keluar jendela. Lalu melirik ke arah Dwita.
"Iyya deh, gua cerita. Tapi awas.
Cuma sama kalian aku beri tau. Jangan bilang sama siapapun. Jangan ngomong sama
wartawan, terutama wartawan tabloid yang muat berita aku sama Trini itu. Kalian
semua musti bersumpah!"
"Oke bos! Kami semua swear!" kata
Vino sambil mengangkat tangan kanan, mengacungkan jari dalam bentuk huruf V.
Tapi jari-jari tangan kiri dikempitkan ke ketiak kanan. Teman-teman Boma kecuali
Dwita ikut-ikutan melakukan hal yang sama sambil tertawa cekikikan. Semua anak-
anak itu kemudian duduk di lantai. Boma duduk sambil bersandar ke pinggiran
tempat tidur. Tujuh pasang mata memandang
padanya. Tujuh pasang telinga siap
mendengar dan tujuh hati berdebar dalam keheningan.
3 CERITA BOMA BOMA menowel hidungnya, membuat
teman-temannya yang menunggu jadi tak sabaran.
"Malam pertama di Gunung Gede,
waktu kalian udah pada tidur, aku masih belum bisa mejemin mata." Boma mulai.
"Badanku rasanya letih banget tapi heran kenapa nggak bisa tidur. Aku keluar
dari dalam kantong tidur plastik. Duduk.
Kuperhatikan arloji di lengan Vino
menunjukkan hampir pukul dua. Gila. Di luar tenda suara tiupan angin bikin
serem. Apa lagi sesekali ada suara kepak sayap terbang melintas di atas tenda.
Mungkin burung, mungkin
kelelawar. Pokoknya serem."
"Aku masuk kembali ke dalam
kantong, coba-coba tidur. Tetap aja nggak bisa. Aku bangun lagi. Berdiri.
Tadinya mau bangunin kamu Ron, tapi nggak jadi.
Seperti ada yang ngedorong aku keluar dari dalam tenda. Di luar aku liat api
unggun masih nyala. Karena dingin aku melangkah mendekati api, jongkok sebentar
sambil manasin tangan. Waktu itu aku merasa ada hembusan angin di belakangku.
Seperti ada orang lewat cepat sekali. Aku nengok ke belakang. Nggak ada siapa-
siapa. Nggak ada orang. Tengkuk gue
mendadak jadi dingin. Takut. Aku rasa ada yang ngawasin diriku. Aku coba
berdiri, buru-buru mau masuk ke dalam tenda lagi.
Tapi aneh, kaki-ku terasa berat. Bukannya berdiri, malah terduduk di tanah.
Mendadak hidungku nyium bau aneh. Bau pesing. Aku masih sadar. Masih bisa
mikir. Malam itu malam Jum'at. Kalau memang ada bau-bau aneh, biasanya bau
menyan atau bau kembang. Tapi yang aku cium bau pesing. Aku tambah takut. Coba
lagi berdiri. Tetap kagak bisa. Sementara itu nyala api unggun mulai mengecil.
Udara dingin kayak sayatan silet nembus jaket yang aku pakai. Lalu di depanku,
di bawah kegelapan bayangan pohon aku liat ada sesuatu bergerak. Aku
memperhatikan. Kupikir mungkin aku salah liat, atau cuma liat bayangan. Rasa takut tambah
numpuk. Aku seperti mau kencing. Lalu yang aku sangka bayangan itu makin jelas. Bau
pesing tambah santer.
*** SOSOK bungkuk di dalam gelap
bayangan pohon tegak tak bergerak. Di tangan kirinya ada sebatang tongkat kayu.
"Setan.... Mahluk penghuni
gunung...." pikir Boma. Dalam takutnya anak ini segera saja komat-kamit membaca
semua ayat-ayat suci yang dihafalnya.
Sosok dalam gelap tiba-tiba
bergerak. Satu langkah... dua langkah.
Bayangan nyala api unggun menerangi tubuh dan sebagian kepalanya. Nenek-nenek.
Sosok itu ternyata sosok seorang nenek berkulit hitam berwajah angker. Matanya
merupakan dua rongga dalam. Pipinya
cekung keriput. Kepalanya nyaris sulah karena hanya ditutupi oleh sekian lembar
rambut-rambut putih. Di atas kulit kepala yang botak itu menancap lima buah
tusuk konde perak putih. Pakaiannya kebaya rombeng dan kain panjang butut. Tubuh
dan pakaian itu menebar bau pesing. Mulutnya tidak henti berkomat-kamit. Gembung
ke kiri, gembung ke kanan. Ternyata dalam mulut itu ada susur.
Wajah nenek itu mengingatkan Boma
pada seorang nenek tetangga, dua rumah dari rumahnya. Yang meninggal sekitar dua
bulan lalu. Tapi nenek tetangga itu tidak angker begini. Tidak pakai tusuk konde
juga tidak bau pesing. Mungkin rohnya yang menampakkan diri. Tapi kenapa bisa
sampai kesasar sejauh ini"
"Nek, Nek Kiyem...."
Tampang angker si nenek bertusuk
konde lima kelihatan berubah berkerut.
Dari mulutnya dia semburkan ludah susur berwarna kemerahan.
" Anak setan! Enak saja kau menyebut aku Nek Kiyem! Kau kira aku ini siapa"!"
Tiba-tiba mahluk berwajah angker
membentak, membuat Boma terhenyak dalam ketakutan.
"Bu... bukan setan. Kata orang
setan beneran nggak bisa bicara." Dalam takutnya Boma masih bisa membatin. Anak
ini coba beringsut, mundur ke arah tenda.
Si nenek bergerak maju. Empat
langkah di hadapan Boma, tepat di kiri api unggun, dia berhenti lalu tiba-tiba
sekali tancapkan tongkat di tangan
kirinya ke tanah. Tongkat kayu yang
ditancapkan tapi Boma yang merasakan tubuhnya seperti dipantek ke tanah hingga
dia tak bisa bergerak. Dengan tangan kanan si nenek keluarkan susur dari dalam
mulut. "Katakan! Siapa Nek Kiyem yang
barusan kau sebut"!" Tiba-tiba nenek angker hardikkan pertanyaan.
"Anu Nek.... Tetangga.... Tapi
sudah meninggal. Dua bulan lalu. Kata orang meninggal karena bengek." Luar
biasa! Walau takut setengah mati Boma masih sanggup menjawab hardikan si nenek.
Meskipun dengan suara dan badan
gemetaran. Tangannya berkali-kali menowel hidung.
"Jadi kau anggap aku ini setan


Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jejadian penjelmaan roh Kiyem si nenek bengek itu! Hah"!"
"Saya... saya nggak bilang begitu.
Saya... saya nggak tau kau ini siapa Nek.
Kalau saya ngomong salah saya minta
maaf." Nenek angker pencongkan mulutnya.
Tiba-tiba kembali dia membentak.
" Anak setan! Ulurkan telapak tanganmu. Yang kiri!"
Boma tak berani melakukan apa yang
diperintah si nenek.
"Kau tuli apa budek"!" Si nenek sumpalkan kembali susurnya ke dalam
mulut. "Nek...."
Nenek bertampang angker cabut
tongkat yang tadi ditancapkannya di
tanah. Tongkat diacungkan di atas kepala Boma.
"Kau mau ulurkan tangan kirimu atau minta digebuk!" Si nenek membuat gerakan
hendak ayunkan tongkat ke kepala Boma.
Boma cepat lindungi kepalanya
dengan dua tangan.
Si nenek menyeringai. Seringai ini
membuat tampangnya tambah menyeramkan.
" Anak setan! Jangan membuat aku marah! Ulurkan tangan kirimu! Cepat!"
Bukannya mengulurkan tangan, Boma
malah menowel hidung dengan tangan kanan, tangan kiri masih melindungi kepala.
Tiba-tiba tongkat dipukulkan ke
bawah. "Braakk!"
Sebuah batu hitam besar yang sejak
tadi ada di samping
Boma hancur berantakan. Mata Boma sampai mendelik besar.
"Tobat cing!" Boma membatin. "Batu segitu keras, segitu gede hancur jadi bubuk,
gimana kepala gua"!"
Dalam takutnya Boma akhirnya
ulurkan tangan kiri. Telapak dibuka
dikembangkan. Bersamaan dengan itu si nenek letakkan ujung tongkat di atas
telapak tangan Boma. Aneh, ujung tongkat itu tiba-tiba memancarkan cahaya hingga
telapak tangan Boma terlihat jelas sampai ke garis-garis tangan yang terhalus
sekalipun. Dalam takutnya Boma hendak menarik
tangan kirinya. Tapi si nenek segera membentak.
"Jangan berani bergerak!"
Boma terpaksa tidak jadi menarik
tangan kirinya. Si nenek maju dua
langkah. Sepasang matanya memperhatikan telapak tangan Boma tanpa berkedip.
Ujung tongkat digerak-gerakkan di atas garis-garis tangan anak lelaki itu.
Kepala diangguk-anggukkan. Mulutnya yang perot berulang kali mengeluarkan suara
bergumam. " Anak setan, apa kau tahu kalau di telapak tangan kirimu ada dua garis
bersilang membentuk tanda kali?"
"Tau Nek...." jawab Boma.
"Kau tahu apa artinya?"
"Ka... kata orang kalau saya mukul orang bisa mati."
"Begitu?"
Boma mengiyakan sambil mengangguk.
Si nenek tertawa panjang. "Orang yang berkata begitu adalah orang tolol.
Kau juga orang tolol! Kalau tidak
memiliki ilmu, mana mungkin memukul orang bisa mati! Tangan kirimu itu paling-
paling hanya mampu dipakai cebok! Hik...
hik... hik!"
Boma pandangi si nenek sambil
menowel hidungnya dengan tangan kiri.
Rasa takut masih menjalari anak ini. Si nenek sebaliknya balas memperhatikan
kelakuan anak lelaki itu. Dalam hati dia berkata. "Yang satu itu suka menggaruk
kepala. Yang ini suka menowel hidung.
Hik... hik... hik. Apakah aku memang menemukan anak yang selama ini aku cari-
cari dari alam roh" Aku harus memastikan.
Petunjuk mengatakan dia memiliki tanda kedua."
Nenek berwajah seram tiba-tiba
susupkan tongkatnya ke bawah betis kanan Boma, lalu diangkat ke atas. Gerakan
ini membuat Boma terlentang di tanah dengan kaki naik di udara, tepat di depan
wajah seram si nenek, Dengan tangan kanannya si nenek
kemudian menarik lepas sepatu
basket hitam yang dikenakan Boma. Juga kaos tebal yang membungkus kaki anak itu.
Begitu sepatu dan kaos kaki lepas
perempuan tua itu kerenyitkan muka, tekap hidungnya. Rupanya ada bau yang tidak
enak menyambar dari kaki yang selama ini lembab terbungkus sepatu karet itu!
" Anak setan! Kakimu bau comberan!"
Si nenek keluarkan ucapan lalu semburkan ludah susur ke tanah.
Boma mau ketawa tapi tak berani.
Masih menekap mulut si nenek
jauhkan kepalanya sedikit. Dua matanya memandang tak berkedip memperhatikan kaki
kanan Boma yang kini telanjang. Mulut si nenek bergerak pencong. Matanya yang
cekung membesar. Boma tidak mengerti apa
yang tengah dilakukan perempuan tua aneh bau pesing ini.
" Anak setan.... Benar dia. Tanda kedua ada di tumit kaki kanannya. Satu tahi
lalat besar...."
Perlahan-lahan si nenek turunkan
tongkatnya hingga kaki kanan Boma
menyentuh tanah.
"Namamu siapa"!" si nenek tiba-tiba ajukan pertanyaan.
"Boma."
"Apa?" Si nenek miringkan kepalanya sambil tangan kanannya didorongkan ke daun
telinga kanan. "Bemo"!"
"Bemo!" Tampang Boma jadi berkerut.
Dalam hati anak ini berkata. "Kok jauh banget budeknya ini orang tua!"
"Boma, bukan Bemo...." kata Boma kemudian.
"Ooo... Boma, ya.. ya aku ingat.
Bemo 'kan sudah digusur! Hik... hik...
hik...!" "Aneh, kok dia tau segala bemo
digusur?" kata Boma dalam hati.
"Nek, kau ini siapa..?" Boma beranikan diri bertanya.
"Menurutmu aku ini siapa"!" si nenek balik menukas.
"Nggak tau Nek. Saya...."
"Anak bau kencur, kau tak layak bertanya. Aku yang akan menanyai
dirimu...?"
"Nek, saya...."
"Diam!" Si nenek membentak. Matanya melotot. "Aku mau tanya. Tadi waktu aku
muncul mendekatimu, aku lihat mulutmu komat-kamit mengucap sesuatu. Apa yang kau
ucapkan" Apa yang kau baca"!"
"Anu Nek...." Boma menowel hidungnya.
"Anu apa"!"
"Yang saya baca ayat-ayat suci Nek.
Ayat-ayat Qur'an...."
Si nenek terdiam. Muka angkernya
mengerenyit. Sesaat Boma melihat
keseraman sirna dari wajah tua hitam keriput itu.
"Kenapa kau baca ayat-ayat suci?"
Si nenek bertanya.
"Sa... saya takut Nek."
"Takut" Takut apa" Takut sama
siapa?" Boma tak menjawab. Takut si nenek marah.
Justru si nenek yang berucap.
"Takut sama aku hah"!"
"Betil... eh betul Nek."
"Kenapa takut"!"
"Saya ngira Nenek ini... jangan marah ya Nek. Saya mengira Nenek ini setan. Atau
mahluk halus penghuni
gunung." Akhirnya Boma keluarkan juga ucapannya.
Si nenek mendongak lalu tertawa
panjang cekikikan.
"Itulah sifat kalian bangsa
manusia. Sama setan takut. Tapi sama dosa tidak pernah takut. Buktinya masih
banyak orang-orang yang mau berbuat dosa,
berbuat kejahatan dan kemaksiatan!"
Mendengar ucapan si nenek yang
menyebut "kalian bangsa manusia" tengkuk Boma mendadak sontak jadi dingin.
"Berarti... berarti nenek ini memang bukan manusia. Tapi...." Hati-hati Boma
tarik kaki kanannya yang sejak tadi
terjulur lalu bangkit dan duduk di tanah.
" Anak setan...."
"Nek, nama saya Boma. Bukan Anak setan...."
"Terserah aku mau memanggilmu apa.
Aku suka memanggilmu Anak setan. Apa kau keberatan. Apa kau berani menampik?"
"Saya bukan Anak setan Nek. Lagian setau saya setan nggak pernah punya
anak,..." Si nenek delikkan matanya, tapi
lalu tertawa mengekeh. "Setan memang tidak punya anak. Tapi manusia setan yang
banyak gentayangan di duniamu, kawin sana kawin sini, pekerjaannya bikin anak di
mana-mana. Mending kalau diurus. Banyak yang ditelantarkan. Mereka itu bapak
setan yang punya Anak setan!"
Boma terdiam. "Boma!"
"Saya Nek...."
"Kau suka menenggak miras?"
"Heran.... Kok nenek tau-tauan
minuman keras segala?"
"Jawab saja pertanyaanku. Suka
minum apa tidak"!"
"Tidak Nek...."
"Suka minum obat terlarang?"
"Nggak Nek...."
"Nipam?".
"Nggak pernah Nek...."
"Ganja?"
"Ngerokok aja nggak Nek."
"Ecstasy?"
"Apa lagi itu Nek. Mana kebeli..."
"Barangkali ada yang ngasih!"
Boma menggeleng.
"Suka ikut tawuran?"
"Nggak pernah."
"Suka main cewek?"
" Ajie gile. Gue jadi bingung. Gue diinterogasi. Ini setan apa neneknya
Polwan...." membatin Boma lalu gelengkan kepala.
Si nenek kembali tertawa cekikikan.
" Anak setan, dengar baik-baik.
Hidup di dunia ini makin lama makin
banyak tantangan. Tantangan kadang-kadang membuat manusia tidak selamat. Untuk
menghadapi tantangan seseorang harus punya ilmu. Aku mau mewariskan ilmu
kepandaian padamu. Kau harus terima..."
"Ilmu... Ilmu apa Nek?"
"Tidak usah tanya-tanya dulu.
Pokoknya terima saja...."
"Nek, kata orang tua saya, kalau mau hidup selamat di dunia dan akhirat tidak
sulit...."
"Apa, tidak sulit bagaimana" Aku mau tahu...."
"Kata orang tua saya kalau mau
hidup selamat kita harus hidup dengan menjalankan perintah Allah, menjauhkan
laranganNya..."
Si nenek menyeringai lalu geleng-
geleng kepala. "Banyak memang orang yang begitu. Menjalankan perintah Tuhan,
menjauhkan larangan Tuhan. Tapi lebih banyak lagi yang tidak menjalankan
perintah Tuhan, malah seperti berlomba melanggar perintah Gusti Allah. Di
situlah munculnya tantangan. Agar
seseorang tidak sampai terseret ke dalam kesesatan maka harus memiliki ilmu.
Sudah! Sekarang ulurkan tangan kirimu!
Sebelum kuturunkan ilmu yang kumaksudkan itu padamu, dirimu perlu dibersihkan
dan diisi dengan hawa murni"
Boma diam saja. Tak mau
mengeluarkan tangan kirinya. Takut.
"Kau tidak mau aku wariskan ilmu kepandaian?"
"Saya, saya musti tau dulu ilmu kepandaian apa Nek" Matematika"
Fisika..." Kalau Matematika sama Fisika
di sekolah saya memang jeblok."
" Anak setan! Aku mana tahu segala ilmu begituan! Kalau kau tak mau
mengulurkan tangan aku terpaksa
memaksa.... Mau kupelintir tanganmu
sampai medel"! "
Boma masih diam.
Tiba-tiba si nenek angkat tongkat
di tangan kirinya. Ujung tongkat
diarahkan ke tangan kiri Boma. Aneh.
Perlahan-lahan tangan kiri Boma terangkat ke atas. Bagaimanapun anak ini
mengerahkan tenaga tetap saja dia tak kuasa menahan. Si nenek putar ujung
tongkatnya sedikit. Tangan Boma yang terulur ikut berputar. Telapak mengembang,
menghadap ke atas. Si nenek ulurkan tangan kanannya yang kurus keriput. Lalu
telapak tangannya ditempelkan ke telapak tangan Boma. Terasa ada hawa panas menjalari
tubuh anak lelaki itu.
Pada saat itulah di dalam tenda
besar terdengar suara orang menyalakan geretan gas. Lalu ada cahaya terang.
Sesaat kemudian bagian depan tenda
terbuka. Lalu menyeruak muncul sosok Ronny Celepuk.
"Bom" Boma" Kau di mana?"
"Sialan! Ada orang!" si nenek yang tengah memegang telapak tangan Boma
memaki. " Anak setan, dengar baik-baik.
Aku terpaksa pergi. Tapi aku akan kembali
lagi menemuimu."
Si nenek lepaskan pegangannya pada
tangan kiri Boma. Bersamaan dengan itu tubuhnya berkelebat ke arah pohon besar
lalu lenyap ditelan gelap dan dinginnya malam.
*** BOMA tersentak ketika Ronny Celepuk
mendatangi dari samping. Sebatang rokok terselip di sela jari tangan kanannya.
"Bom, gua kira lu diculik hantu gunung."
"Huss! Kau jangan ngomong
sembarangan Ron. Kalau kejadian
beneran...."
"Habis, kau lagi ngapain di sini?"
tanya Ronny Celepuk.
Boma cepat-cepat mengenakan kaos
dan sepatu basket, berpaling ke arah Ronny.
"Kau lagi tapa di depan api unggun"
Mukamu kuliat pucat amat!"
"Aku nggak bisa tidur. Jongkok
sebentar di sini buat manasin diri."
Jawab Boma.

Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tadi kebangun. Liat kok kamu nggak ada dalam tenda. Aku kirain ke mana...."
"Dingin Ron, ayo masuk lagi," kata Boma,
4 MISTERI MULAI TERSINGKAP
GITA Parwati beringsut mendekati
Boma. Suaranya agak gemetaran ketika berkata. "Bom, nenek-nenek yang kau
ceritakan itu, persis nenek-nenek yang aku liat dalam kamar tempat kau dirawat
di Rumah Sakit PMI Bogor. Berarti kau nggak cerita ngibul...."
"Siapa yang ngibul!" jawab Boma.
"Yang masih belon jelas mahluk itu setan, hantu apa manusia," kata Vino.
"Jelas hantu alias setan. Kalau manusia biasa mana bisa menghilang,"
menyahuti Gita.
"Tapi setan kok tau-tauan segala Miras, Nipam, Ecstasy, ganja" Rio ikut bicara.
"Mungkin yang satu ini setan
moderen," kata Andi. "Setan dalam rangka globalisasi. Akibat globalisasi nggak
ada lagi batas antara alam gaib dan alam nyata."
"Keren amat omonganmu. Kayak yang ngarti globalisasi aja." kata Gita Parwati
sambil pencongkan mulut dan
hidungnya yang pesek.
"Memang aneh," Firman ikutan bicara
"Setan kok bisa tau kalau bemo mau digusur"
"Jangan-jangan 'tu nenek matinya ketabrak bemo. Lalu gentayangan jadi setan
penasaran. Yang dicari temen kita!
Uh, ngeri juga!" kata Vino sambil mengusap tengkuknya.
"Yang aku heran," kata Andi,
"Kenapa dia terus-terusan manggil kamu Anak setan, Bom. Jangan-jangan dia ibunya
setan, kawin sama bapak setan, kau jadi Anak setan nya...."
Kamar di tingkat atas itu jadi
riuh. "Sialan lu!" maki Boma.
Andi cuma cengar-cengir.
Boma menowel hidungnya. Lalu
berpaling pada Dwita.
"Dwita, menurut ayahmu, orang
pinter di Bogor memberi tau ada mahluk yang mau mewariskan ilmu. Aku menolak.
Lalu aku jadi sakit. Begitu?"
Dwita mengangguk.
Boma terdiam. Berpikir. Perlahan
dia berkata sendiri. "Apa yang diliat orang pinter itu cocok dengan kejadian
yang aku alami." Boma memandang pada Vino.
"Tapi ilmunya kan belon ketauan ilmu apa," kata Vino. Anak ini berpaling pada
Ronny Celepuk. "Kamu sih Ron, pakai keluar tenda segala. Kalau tidak saat ini
Boma pasti sudah jadi orang hebat."
"Mending jadi orang hebat, kalau
jadi bego-bego"!" kata Gita Parwati. "Eh, lu tau kagak. Saudaranya Bapak gue ada
yang jadi gendeng akibat keberatan ilmu."
Gita berpaling pada Boma. "Bom, aku rasa ceritamu baru sebagian. Gimana soal
kejadian yang aneh-aneh lainnya?"
"Betul Bom, kau harus cerita
semuanya," kata Ronny.
"Tapi perutku rada honger nih. Dari tadi cuman makanin pisang melulu. Lama-lama
gua bisa mules. Gimana kalau kita dengerin ceritanya Boma sambil ngebakso di
warung di ujung gang sono," kata Gita Parwati pula.
"Ah, kamu sih nggak lain makan-
molor, makan en molor. Itu aja yang
dipikirin!" kata Vino. "Tapi terus terang, ane sih setuju-setuju aja, ring."
"Uh!" Gita mendorong kepala Vino dengan tangannya. "Liat aja nanti, pasti lu
yang paling banyak makannya! Nambah ampe dua mangkok!"
Vino menyengir lalu berdiri diikuti
yang lain-lain. Mereka sama-sama
melangkah ke pintu.
"Tunggu," kata Rio. "Siapa yang traktir?"
Semua anak terdiam. Masing-masing
mereka memang punya uang. Tapi pas-pasan.
Kalau untuk traktir segitu banyak orang mana cukup. Dalam diam anak-anak itu
akhirnya sama memandang ke arah Dwita.
Anak perempuan ini tersenyum. "Oke, aku yang traktir."
"Jangan Dwita. Biar aku saja," kata Boma.
"Wah, keren banget kau Bom. Banyak duit ya?" tanya Vino.
"Jangan-jangan dikasih sama nenek setan itu," kata Ronny Celepuk.
"Wah, kalau gitu musti diliat dulu.
Jangan-jangan duitnya palsu. Begitu habis dibayar berubah jadi daon. Kita bisa
diketok tukang bakso!" kata Gita gendut.
Boma tertawa. menowel hidungnya
lalu berkata. "Inget nggak, waktu kita ngobrol di warung Mang Asep?"
"Ya... ya inget!" teman-teman Boma menjawab berbarengan.
"Dwita ngasih uang dua ratus ribu.
Uangnya masih utuh." Boma memandang ke arah Dwita. Anak perempuan ini balas
menatap. "Asyik!" celetuk Andi.
" Langsung enak dieh kalau gini!"
kata Vino meniru iklan di televisi.
"Teman-teman," kata Ronny, "mumpung duit lagi ada, gimana kalau kita tunda
ngebaksonya. Gantinya pergi ke MacDonal aja."
Beberapa anak siap mengatakan
setuju tapi Boma menggeleng. "Bakso aja.
Sisa duit kita simpen. Pasti ada gunanya
nanti." "Oke, setuju aja Bos. Asal jangan dipakai buat beli Jisamsu nya si Ronny aja!"
kata Vino. "Ee, enak aja lu Vin. Gue ngerokok beli sendiri. Bukan malakkin
temen." Jawab Ronny sambil ngacungkan tinju.
*** WARUNG bakso di ujung jalan sedang
sepi. Delapan anak SMA Nusantara III itu memilih duduk di pojokan yang cukup
luas. Sementara menunggu bakso dibuatkan Gita meminta Boma menyambung ceritanya.
"Iyya Bom. Gua kepengen tau apa sih yang kejadian sebenarnya. Soalnya orang-
orang kaya-nya masih nggak bisa percaya kalau kita semua bisa selamat," kata
Ronny Celepuk. Boma mengusap hidungnya. Dia
pandangi wajah Dwita yang duduk tepat di depannya lalu berkata. "Oke, aku akan
cerita. Tapi aku minta kalian janji.
Jangan ceritain sama orang lain. Ini bener-bener rahasia. Super rahasia."
"Oke, kami nggak bakal bilang sama siapapun," kata Ronny.
"Terus, mulai aja Bom." Gita tak sabaran.
*** LERENG Gunung Gede, hari Sabtu
siang. Matahari tak kelihatan. Udara terasa tambah dingin. Boma pimpinan
rombongan anak-anak SMA Nusantara III memandang ke langit. Mendung tebal
menggantung di mana-mana menutupi langit.
Angin bertiup kencang.
"Teman-teman, kayaknya mau hujan gede," kata Boma. "Ron, siapkan tali."
Dari kantong perbekalannya Ronny
Celepuk mengeluarkan seutas tali plastik besar berwarna kuning. Tujuh anak itu
meneruskan perjalanan menuruni lereng Gunung Gede. Boma di depan sekali
memegang handy talky. Mereka bergerak beriringan sambil berpegangan pada tali
kuning. "Vin, jam berapa sekarang?" tanya Boma.
Vino yang berada di bagian tengah
rombongan melihat ke arloji di
pergelangan tangannya.
"Jam satu kurang lima." Vino kemudian memberi tahu.
"Baru jam satu. Tapi udah kayak malem...." kata Gita Parwati yang berada di
belakang Boma. Ucapan anak perempuan ini terputus oleh sambaran kilat di
langit, disusul gelegar guntur
menggetarkan tanah yang mereka jalani.
"Bentar lagi pasti turun hujan.
Bom, bagusnya cari tempat berlindung
dulu!" Ronny Celepuk yang berada paling belakang rombongan berseru.
Boma memandang ke depan. Saat itu
keadaan tambah gelap dan lereng yang hendak mereka tempuh kelihatan curam.
"Teman-teman," kata Boma. "Jangan-jangan kita nyasar. Kayaknya ini bukan jalanan yang kita tempuh waktu mendaki."
Hujan mulai turun.
"Kita berhenti dulu di sini. Jangan terus. Bahaya!" Vino berteriak.
"Jangan, jangan berhenti di sini!"
Gita yang punya pengalaman mendaki gunung beberapa kali berseru. "Bom, kita
musti naik lagi ke atas. Cari tempat yang
datar. Kita musti menjauhi lereng terjal ini. Pohon sekitar sini kecil-kecil.
Nggak bisa nahan tanah kalau terjadi longsor!"
Hujan turun menggemuruh. Besar luar
biasa. Bergabung dengan suara angin, deru hujan terdengar mengerikan.
"Semua balik ke atas. Cepat!"
teriak Boma. Tujuh anak itu dengan berpegangan
pada tali kuning segera berbalik,
bergerak kembali ke arah atas. Di langit kilat sambung menyambung dan guntur
menggelegar hampir tak berkeputusan.
Boma menghidupkan handy talky.
"Pos Satu di sini. Nusantara Tiga calling! Pos Satu. Nusantara Tiga
calling!."
"Pos Satu di sini. Nusantara Tiga silahkan masuk."
Boma mengenali itu adalah suaranya
Pak Tatang. Kepala Pos Pengawas Gunung Gede.
"Pak Tatang. Nusantara Tiga dalam perjalanan turun. Halangan hujan besar.
Halangan hujan besar. Kami terpaksa naik lagi ke atas. Ganti."
"Nusantara Tiga harap beri tahu posisi, Harap beri tahu posisi"
Boma mengambil kompas yang ada di
kantong jaketnya. Tapi tiba-tiba di
belakangnya terdengar suara menggemuruh keras. Pohon-pohon di kiri kanannya
seolah terbang, meluncur ke bawah. Tanah yang dipijaknya bergetar. Bukan cuma
bergetar tapi bergerak ke lereng gunung sebelah bawah.
"Longsor!" Boma sempat mendengar Gita berteriak.
Setelah itu tubuh tujuh anak itu
terseret ke bawah digulung oleh tanah yang longsor. Pohon-pohon di sekitar
mereka tumbang berserabutan. Jerit pekik tenggelam ditelan suara menggemuruh
yang seolah keluar dari perut gunung, ditambah gelegar guntur dan sabungan
kilat. Dalam keadaan seperti itu Boma
melihat satu bayangan hitam berkelebat.
Cepat sekali. Ada tumpukan manusia di
bahu kirinya. Boma tidak dapat memastikan apakah itu manusia, binatang atau
setan. Anak ini tak bisa berpikir lebih jauh.
Tubuhnya meluncur ke bawah, setengah tenggelam dalam longsoran tanah. Lalu
ketika batangan pohon membentur
punggungnya, Boma menjerit keras. Handy talky terlepas dari tangannya.
Pemandangannya gelap. Dia tak ingat apa-apa lagi.
*** SABTU malam menjelang pagi. Udara
sedingin es. Hembusan angin laksana
sayatan pisau di permukaan kulit.
Perlahan-lahan dua mata Boma Tri Sumitro terbuka sedikit. Dia hanya melihat
kegelapan. Pekat menghitam. Tubuhnya terasa dingin. Anak ini menggigil keras.
Mulutnya kering dan bibirnya pecah-pecah.
Lalu ada rasa sakit di punggungnya. Boma tidak tahu berada di mana saat itu.
Apakah dia masih hidup atau sudah mati"
Dia coba menggerakkan tangan dan kaki.
Tidak bisa. Selain ada rasa nyeri juga ada sesuatu yang menahan. Sekali lagi dia
perhatikan keadaan di sekitarnya.
Ternyata tubuhnya tenggelam dalam longsoran tanah sampai sebatas dada.
Dalam keadaan tak berdaya, tak
mampu bergerak apa lagi mengeluarkan diri
dari timbunan tanah. Boma ingat teman-temannya.
"Ron... Ronny...!" Dia hampir tidak mendengar suaranya sendiri. Untuk
mengeluarkan ucapan itu dia harus
mengeluarkan tenaga luar biasa, membuat kepalanya pusing dan pemandangannya
berkunang. "Ron...."
Tak ada jawaban.
"Gita...."
Sunyi. "Vino... Firman... Andi... Rio."
Boma masih mampu menyebut nama
teman-temannya satu persatu. Namun tetap saja tak ada jawaban, tak ada sahutan.
Lalu anak ini ingat. Sesaat sebelum dia jatuh pingsan, dia melihat satu bayangan
hitam berkelebat memanggul sosok-sosok manusia di bahunya. Rasa ngeri serta
merta menjalari sekujur badan anak ini.
"Jangan-jangan... yang aku liat itu Malaikat Maut. Membawa mayat teman-
temanku... Gita... Vino... Rio. Ya Tuhan, di mana teman-teman saya. Tuhan,
tolong kami...."
Tiba-tiba ada sesuatu berkelebat di
depan Boma. Pemandangan anak ini masih berkunang dan tempat sekitar situ masih
diselimuti kegelapan.
"Malaikat Maut...." pikir Boma, memperhatikan
sosok dalam kegelapan.
Kalau tadi ada rasa takut menyungkupi dirinya kini dalam takut muncul
ketabahan. "Kalau memang nyawaku mau dicabut aku pasrah..." Boma pejamkan
matanya. Sosok bungkuk bergerak mendekat.
Sepasang mata Boma tiba-tiba membesar.
Dia ingat. Dia mengenali.
Sosok yang mendatangi itu adalah
sosok nenek-nenek berwajah angker,
berkulit hitam. Tubuh bungkuk mengenakan kebaya rombeng dan kain panjang butut.
Di atas kepalanya ada lima buah tusuk konde perak putih. Boma mencium bau
pesing. Tak salah lagi. Mahluk angker ini adalah nenek-nenek aneh yang
mendatanginya pada malam pertama dia dan rombongan berada di Gunung Gede.
"Anak Setan! Syukur aku masih bisa menemuimu. Kukira kau sudah amblas
ditelan tanah!"
Boma menggerakkan mulut. Lidahnya
terasa kelu. Bibirnya berat. "Nek...."
"Sudah, jangan banyak bicara. Aku akan mengeluarkanmu dari timbunan
tanah...."
"Nek... saya... saya tidak apa-apa, Teman-teman saya Nek.... Kalau kau mau
menolong... tolong mereka duluan.
Saya...." Si nenek hendak membentak namun tak
jadi, Sepasang matanya yang berada dalam rongga cekung kelihatan mencorong
menatap wajah Boma. Dalam hati si nenek membatin.
"Anak satu ini benar-benar luar biasa. Dia tidak perdulikan keadaannya sendiri.
Malah meminta aku menolong
teman-temannya. Aku bersyukur pada Yang Maha Kuasa. Aku tidak salah memilih
orang...."
"Nek, tolong teman-teman saya. Di mana mereka... Gita... Rio... Ronny...."
"Diam!" si nenek membentak. "Tak perlu memikirkan teman-temanmu! Gusti Allah
sudah menolong mereka!" Tangan kiri si nenek bergerak. Tongkat kayu menyusup ke
bawah ketiak kanan Boma. Ketika sekali lagi tangan si nenek yang memegang


Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tongkat bergerak, tiba-tiba tubuh Boma bergerak keluar dari dalam timbunan tanah
untuk kemudian melesat ke udara.
Sosok si nenek ikut melesat ke
udara, menyambar tubuh Boma, lalu membawa tubuh anak lelaki itu melayang turun
ke tanah dan lenyap dalam kegelapan.
*** DELAPAN mangkok bakso di atas meja
tak satupun yang disentuh. Semua anak begitu asyik mendengar cerita Boma. Kini
mereka terdiam dalam alam pikiran masing-masing.
"Wah, baksonya udah dingin 'nih!"
Rio yang pertama sekali bersuara.
"Ceritamu luar biasa Bom. Kayak filem horror aja," kata Vino.
"Bom," kata Gita. "Menurut tim penolong yang pertama kali nemuin kita, kita
semua ditemuin di satu tempat datar, di lereng timur Gunung Gede. Semua kita
berada dalam kantong plastik milik kita masing-masing."
"Ya, Ayahku juga bilang begitu,"
kata Boma. "Siapa yang memasukkan kita ke
dalam kantong tidur itu?" Ujar Andi.
"Kalau tidak di dalam kantong, lebih dua hari dua malam, nggak makan apa-apa,
cuma minum air hujan, kita semua pasti udah pada mati kaku."
"Nenek angker itu...." kata Vino.
"Pasti dia yang nolong kita."
"Lalu waktu kita digotong turun, katanya badan kita enteng sekali. Aku yang
ceking ini sih oke-oke aja. Tapi si Gita" Mana mungkin bobot seratus kilo lebih
dibilang enteng," kata Firman.
Gita cemberut. Teman-temannya
menyengir. "Malam itu," Rio menjawabi ucapan Firman. "Ada petugas yang bilang, kayaknya
seperti ada tangan-tangan gaib ikut bantu menggotong tandu...."
"Mungkin nenek angker itu punya anak buah, punya pasukan yang
diperintahkannya buat ngebantu tim
penolong," kata Vino sambil usap-usap tengkuknya.
"Lalu kunang-kunang yang jadi
penunjuk jalan?" ujar Gita.,
"Mungkin peliaraannya si nenek,"
kata Boma. "Nenek-nenek itu nggak ngedatengin kamu lagi Bom?" tanya Ronny.
Boma menggeleng. "Minta-minta sih jangan deh."
"Emangnya, kenapa kau nanyain
nenek-nenek itu Ron?" tanya Gita.
"Kalau memang dia yang nolong kita, kita pantas
bilang terima kasih...."
jawab Ronny. "Bom, kalau si nenek memang dateng lagi bilang Ronny Celepuk mau ketemu,"
kata Gita. "Gila! Jangan Bom!" kata Ronny.
"Gua bisa kojor duluan."
Boma dan kawan-kawannya tertawa.
"Bang, baksonya semangkok lagi!"
Tiba-tiba Vino berseru.
Gita langsung membuka mulut
"Nah, apa kata gua tadi! Kamu 'kan yang paling banyak makannya!"
Vino senyum. "Mumpung lagi
ditraktir, Git."
Selesai makan bakso, waktu teman-
temannya sudah berdiri Boma memberi
isyarat pada Dwita agar tetap duduk. Lalu pada teman-temannya Boma berkata.
"Kalian duluan aja balik ke rumahku. Aku mau ngomong sebentaran sama Dwita."
"Wah, ada rahasia yang kita nggak boleh denger 'nih bo," kata Ronny.
"Bom, kalau mau beduaan jangan di warung bakso dong. Cari tempat yang lebih
representatip! " kata Vino.
"Ah, sok tau lu!" kata Gita sambil menarik tangan Vino.
Setelah teman-temannya pergi Dwita
bertanya. "Ada apa Bom?"
"Aku mau tanya." Boma meluruskan badannya.
"Soal apa?"
"Satu hari sebelum aku keluar Rumah Sakit PMI, ayahku ke kantor Rumah Sakit.
Nanyain berapa biaya perawatan yang harus dibayar kalau aku pulang besoknya."
Boma sengaja tidak meneruskan kata-katanya, menatap dalam ke mata anak perempuan
yang bening bagus itu. Coba melihat reaksi Dwita. Tapi dia tidak melihat
perubahan pada wajah dan sepasang mata itu.
Mungkinkah anak ini pandai menyimpan rahasia hatinya"
"Terus?" malah Dwita kini yang bertanya.
"Menurut pegawai Rumah Sakit, semua biaya perawatanku sudah ada yang bayar."
"Siapa?"
"Justru aku mau nanya sama kamu."
kata Boma. Dwita unjukkan wajah heran. "Kok nanya sama aku?"
"Jujur aja Dwita."
"Maksudmu?"
"Kau yang membayar?"
Dwita menatap wajah Boma sesaat.
Lalu tersenyum.
"Benar kamu yang bayar?" tanya Boma.
Dwita menggeleng.
"Jangan bohong."
"Aku nggak bohong."
"Lalu siapa?"
"Mana Dwita tau Bom."
Boma terdiam. "Aneh. Kata pegawai Rumah Sakit itu yang bayar perempuan."
"Perempuan 'kan banyak Bom."
"Sayang ayahku tidak nanyain ciri-ciri orangnya. Jadi betul bukan kamu?"
"Buat apa sih aku bohong Bom."
Boma menowel hidungnya lalu
berdiri. 5 MISTERI SANG PEMBAYAR
RONNY CELEPUK mengusap-usap
hidungnya yang tinggi bengkok. "Ngapain kau minta diantar ke Rumah Sakit PMI di
Bogor, Bom?"
"Aku masih penasaran Ron. Mau nyari tau siapa yang bayarin perawatan waktu aku
dirawat" "Aku curiga pasti Dwita. Habis
siapa lagi?"
"Dwita bilang nggak. Aku yakin dia nggak bohong."
"Kalau gitu Trini. Kau udah tanya cewek itu?"
"Ketemu lagi juga belum. Lagian, aku masih sebel sama dia. Gara-gara
berita di tabloid itu." Boma diam sebentar lalu meneruskan. "Menurut bokap gue,
pegawai yang melayani pembayaran itu namanya Ibu Mardi. Aku musti nemuin dia.
Tanya." Dari dalam saku kemejanya Boma
keluarkan sebuah foto. "Ini foto waktu kita piknik ke Ciater dulu. Ada Trini,
ada Dwita. Aku mau kasih liat sama Ibu Mardi. Pasti dia bisa ingat orangnya
kalau aku perlihatkan foto ini."
"Sebenarnya gua mau liat anak-anak latihan ben di sekolahan. Tiga Minggu
lagi 'kan pesta perpisahan anak-anak kelas tiga."
"Kalau kau nggak mau nganterin, aku naik bis juga bisa." Kata Boma.
"Tuh, belon apa-apa kau udah
ngambek." Kata Ronny sambil tersenyum.
*** IBU MARDI pegawai Rumah Sakit PMI
Bogor orangnya tinggi kurus, berkaca mata besar berusia hampir setengah abad.
"Oo, anak ini yang namanya Boma.
Yang dulu dirawat di sini?"
"Betul Bu. Ini teman saya Ronny.
Dia juga sama-sama dirawat."
"Wah, saya baca beritanya di
tabloid. Cerita adanya nenek-nenek
misterius di kamar adik tempo hari sudah tersebar ke mana-mana."
Boma dan Ronny saling pandang.
"Ada kabar apa 'nak Boma?"
Boma lalu menerangkan maksud
kedatangannya. "Wah, kejadiannya sudah lama juga.
Kalau ketemu orangnya lagi saya pasti ingat..."
"Mungkin Ibu ingat ciri-cirinya?"
tanya Boma. "Orangnya masih muda. Cantik.
Bajunya kalau tidak salah blus biru tua, tangan panjang. Digulung...."
Ronny berbisik. "Bom, yang suka pakai baju biru tangan panjang digulung si
Dwita. Pasti dia."
Dari balik baju jaketnya Boma
mengambil sebuah amplop. Dari dalam
amplop dikeluarkannya sehelai foto. Boma menunjuk wajah Trini dalam foto.
"Mungkin yang ini orangnya Bu?"
tanya Boma. Ibu Mardi memakai kacamatanya,
memperhatikan wajah Trini. Lalu
menggeleng. Boma menunjuk pada wajah Dwita. "Kalau yang ini?"
Ibu Mardi betulkan letak kaca-
matanya, menatap lama. Akhirnya kembali menggeleng. "Bukan.... Orang yang datang
membayar memang masih muda. Tapi tidak semuda anak-anak dalam foto ini. Wajahnya
cantik gimana ya.,.. Banyak orang cantik tapi yang satu itu cantiknya nggak
bosan dipandang. Ada anggunnya. Lebih dewasa dari anak-anak ini. Bicaranya
lembut...."
"Kulitnya putih, hitam, atau
mungkin belang-belang?" Ronny bertanya konyol.
Ibu Mardi tertawa lebar.
"Seingat Ibu, orangnya berkulit kuning langsat. Raut wajahnya mulus, nggak ada
flek nggak ada jerawat."
Boma memandang pada Ronny. "Kau bisa ngeduga siapa orangnya Ron?"
"Sulit. Kayaknya kita nemuin jalan
buntu Bom."
"Nak Boma, memangnya ada apa?" Ibu Mardi bertanya.
"Rasanya nggak enak aja Bu. Ada orang baik, tapi kita nggak tahu siapa orangnya.
Nggak bisa bilang terima
kasih." "Ya, 'Nak Boma betul juga. Mungkin ada salah satu saudara ayah atau ibunya
'Nak Boma yang berbaik hati...."
"Mungkin Bu," jawab Boma. Tapi dalam hati dia tahu betul bahwa hal itu tidak
mungkin. Semua keluarga ayah atau ibunya hidup pas-pasan. Jangankan untuk
membayar uang perawatan rumah sakit, untuk membayar uang sekolah dan uang kuliah
anak-anak sendiri saja mereka sering-sering mengalami kesulitan.
Setelah mengucapkan terima kasih
Boma dan Ronny keluar dari kantor Rumah Sakit.
Di halaman parkir sambil duduk di
jok Honda Tiger merah Ronny menyalakan sebatang rokok.
"Gimana Bom?" tanya Ronny lalu menghembuskan asap rokoknya.
"Aneh. Gua nggak habis pikir,"
jawab Boma lalu menowel hidungnya sampai tiga kali. "Trini bukan, Dwita juga
bukan. Lalu siapa" Sekarang kita mau nyelidik ke mana lagi?"
"Mungkin nggak nenek-nenek aneh
dari Gunung Gede yang nyelametin kita itu?"
"Bego amat kamu Ron. Jelas Ibu
Mardi tadi bilang yang datang perempuan muda cantik ayu. Bukan nenek-nenek!"
Boma berkata dengan wajah setengah bersungut dan sambil mengambil helm yang
tergantung di stang motor.
"Gua sih nggak bego-bego amat Bom,"
jawab Ronny. "Mungkin aja nenek itu muncul dengan bersalin rupa. Menyaru jadi
perempuan muda."
"Gue nggak mikir sampai ke situ Ron," kata Boma. Anak ini terdiam sejurus. "Ayo
balik Ron. Cabut...."
"Cabut." kata Ronny Celepuk sambil mencampakkan rokok yang baru setengah
dihisapnya. Saat itu seorang anak perempuan
manis lewat di depan Ronny bersama
adiknya. "Anak cakep, mau besuk siapa?"
Anak perempuan itu melirik sebentar
pada Ronny lalu buru-buru melanjutkan langkahnya.
"Aduh somsenya. Lupa ya sama
Ronny." Tiba-tiba seorang kakek bertongkat
tahu-tahu sudah berdiri di depan Ronny.
Orang tua ini menyeringai lebar,
memperlihatkan barisan giginya yang sudah banyak ompong.
"Suka ya sama cucu Abah?" si kakek menegur.
Ronny jadi salah tingkah.
"Kalau suka sama cucu Abah, musti belajar tata tertib dulu. Itu tong sampah
segede gajah dekat di sebelah sana. Tapi tadi Abah liat situ buang rokok di
jalanan seenaknya."
Ronny tersenyum pahit, cepat-cepat
naik ke atas motor.
"Kena batunya kau Ron," kata Boma sambil duduk di belakang Ronny.
"Apes gua," jawab Ronny. "Gua kira
'tu cewek cuman sama adeknya."
"Mustinya tadi si Abah kau bujukin.
Tawarin rokok."
"Gila 'lu! Kalau diterima, kalau kepala gue yang diketok sama tongkat!"
Boma tertawa mengakak. Dia
berpaling ke arah orang tua yang masih berdiri di pelataran parkir lalu
melambaikan tangannya. Si kakek membalas dengan mengacungkan tongkat. "Anak
sekarang, selalu tidak ada sopannya." Si kakek menggerendeng sendiri lalu
membalikkan badan. Ketika mau melangkah dia tidak melihat ada seekor kucing di
dekatnya. Salah satu kaki kucing
terinjak. Binatang ini mengeong keras kesakitan, hampir mencakar. Si kakek
melompat kalang kabut, tongkatnya mental.
Dia sendiri nyaris jatuh kalau tidak
cepat berpegang pada gerobak penjual minuman.
6 PENDEKAR TAHUN 2000
OMBAK pantai selatan bergulung
ganas, memecah menghantam jajaran gugusan bukit karang yang membujur dari barat
ke timur. Suara menggemuruh tiada henti sepanjang siang sampai malam. Saat itu
tepat tengah hari. Sang surya bersinar terik. Langit bersih tak berawan.
Hembusan angin sesekali terdengar seperti suara tiupan seruling.
Di salah satu puncak bukit karang,
paling tinggi di antara semua bukit-bukit karang yang ada di kawasan pantai
selatan, seorang tua berpakaian putih rombeng, lusuh dan dekil tampak duduk
bersila di atas batu. Tetapi jika
diperhatikan, sosok orang tua ini
ternyata tidak menempel ke batu,
melainkan mengambang setinggi satu
jengkal di atas batu. Siapapun adanya, orang tua ini jelas memiliki ilmu
kesaktian tinggi.
Angin laut meniup rambutnya yang
putih panjang sepunggung, menyibakkan wajahnya yang sangat cekung di kedua pipi


Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan rongga mata kiri kanan. Walau panas menyengat, bisa membuat gosong kulit
manusia, apa lagi kulit lapuk si orang tua, namun aneh dan luar biasa, kulit
muka orang tua ini kelihatan pucat pasi seperti muka mayat. Dua matanya yang
terpuruk ke dalam rongga dalam membuat tampangnya mengerikan luar biasa. Matanya
yang terbuka sedikit membersitkan sinar dingin angker. Sudah enam hari enam
malam orang tua ini bersamadi dengan mata
nyalang di tempat itu. Dua tangan di lipat di depan dada. Hari demi hari
sosoknya naik semakin tinggi dari atas batu karang. Sesekali ada asap putih
kelabu mengepul dari ubun-ubun di batok kepalanya.
Di penghujung sore sang surya
menggelincir ke barat. Udara berubah temaram, dan mulai gelap ketika sang surya
lenyap seolah ditelan samudera raya.
Malam itu adalah malam ke tujuh
dari tapa aneh yang dilakukannya. Deru angin menyambar dingin. Di langit muncul
bulan sabit. Sepasang mata si orang tua membuka lebih besar. Dalam gelapnya
malam tiba-tiba ada cahaya putih kebiru-biruan.
Lalu seperti keluar dari dasar laut
terdengar suara.
"Muka Bangkai! Hentikan tapamu! Aku datang!"
Suara itu ternyata suara perempuan.
Melengking merobek langit. Di lain kejap satu sosok mengerikan tahu-tahu telah
berdiri di hadapan orang tua yang
dipanggil dengan nama Muka Bangkai. Sosok yang muncul adalah sosok seorang nenek
berjubah biru, berambut merah panjang sekali, riap-riapan sampai menjejak batu
karang. Jari-jari tangan dan kaki
ditumbuhi kuku-kuku panjang berwarna merah. Ketika dia memandang ke arah si
orang tua yang duduk mengapung di atas batu karang, ternyata dia memiliki
sepasang mata angker yang juga berwarna merah. Mulutnya yang pencong ke kiri
menyeringai. Lalu mulut itu membentak.
"Muka Bangkai, jangan membuat aku menunggu dalam marah! Hentikan tapamu, lekas
berdiri!" Sepasang mata orang tua Muka
Bangkai membesar. Dia sudah melihat
kedatangan sosok di hadapannya. Rahangnya menggembung, pelipisnya bergerak
mendenyut, pertanda orang tua ini
sebenarnya tidak suka tapanya diganggu.
Tapi sadar siapa yang datang, si Muka Bangkai cepat-cepat rundukkan tubuh
hingga keningnya menyentuh batu. Lalu sekali menyentakkan diri tubuhnya melesat
satu tombak ke atas, perlahan-lahan turun ke bawah, injakkan kaki di atas batu.
Ketika sosoknya berdiri ternyata si Muka
Bangkai bertubuh bungkuk.
"Eyang Kunti Api, Guru! Aku muridmu Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat
mengucapkan selamat datang. Namun mohon maaf, menyesal sekali kalau murid
mengatakan kemunculanmu tidak tepat
waktu..." "Tidak tepat waktu"! Apa
maksudmu"!" bentak nenek bernama Kunti Api.
"Murid sedang bertapa. Tengah
merampungkan satu ilmu baru. Kedatangan Guru membuyarkan dan membatalkan tapa
murid. Berarti murid harus mengulang dari semula."
Kunti Api pelototkan mata lalu
meludah. "Murid kufur! Apakah tapamu lebih penting dari kedatanganku"! Apakah kau berani
menolak pertemuan ini"! Jawab"!"
Sepuluh kuku tangan dan kaki Kunti Api pancarkan sinar menyeramkan. Pertanda
amarah telah menyelubungi dirinya.
Asap putih kelabu di atas ubun-ubun
Si Muka Bangkai membubung ke atas
pertanda kakek ini juga mulai dirasuk kemarahan.
Kunti Api tiba-tiba keluarkan tawa
mengekeh. "Murid sombong! Aku mau lihat
sampai dimana kehebatan ilmu kepandaianmu hari ini!"
Habis berkata begitu si nenek
gerakkan tangan kanannya.
"Wusss!"
Puncak bukit karang yang gelap itu
jadi terang benderang.
Lima larik sinar merah berkiblat
menghantam ke arah lima sasaran di kepala dan tubuh Si Muka Bangkai. Si kakek
menjerit kaget. Secepat kilat dia
hentakkan kaki kanannya ke batu karang.
Tubuhnya melesat ke udara. Di udara dia membuat gerakan jungkir balik. Ketika
dia berhasil selamatkan diri dan tegak
kembali di atas batu karang, mukanya tambah pucat seolah darahnya baru saja
disedot habis. Matanya membujur keluar, menatap ke arah nenek berambut merah
panjang riap-riapan yang berdiri di
hadapannya sambil umbar tawa bergelak.
"Eyang! Kau mau membunuh murid
sendiri"!" teriak Si Muka Bangkai.
"Kalau memang kau perlu kuhabisi apa salahnya"!" jawab si nenek. "Kau berhasil
selamatkan diri dari seranganku tadi. Aku merasa lega walau cuma
sedikit." Merinding juga Si Muka Bangkai
mendengar jawaban sang guru.
"Guru, aku mohon maaf. Antara kita memang selalu terjadi saling salah
mengerti...."
"Itu karena kau selalu menghadirkan
sikap sombong congkak. Tidak memandang sebelah mata pada orang lain. Sampai-
sampai aku gurumupun kau perlakukan acuh tak acuh! Dan sifat burukmu itu sudah
kau turunkan pula pada muridmu Pangeran
Matahari!" (Mengenai Si Muka Bangkai dan Pangeran Matahari harap baca buku-buku
serial "Wiro Sableng" Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212).
"Guru, Eyang Kunti Api, tidak
maksud murid berlaku kurang ajar
terhadapmu...."
"Sudah, aku sudah lama tahu
sifatmu. Kau memang kurang ajar! Ayo, kau masih mau menjawab"!" bentak Eyang
Kunti Api. "Eyang, maaf kan saya. Mohon kau mau memberi tahu maksud kedatanganmu,"
kata Si Muka Bangkai sambil merunduk.
"Karena mengejar ilmu kau tidak mengetahui apa yang tengah terjadi di dunia
sana. Telingamu jadi tuli, matamu jadi buta."
"Eyang Guru, aku selalu
memerintahkan muridku Pangeran Matahari untuk memantau keadaan di delapan
penjuru angin. Dia selalu datang memberikan
laporan pada waktu-waktu tertentu. Hanya saja, belakangan ini dia sudah lama
tidak muncul. Belum murid ketahui dimana dia berada. Eyang Guru, mohon murid
diberi tahu apa yang tengah terjadi di dunia
sana?" "Seseorang tengah menyusun satu rencana besar. Rencana besar yang sangat
berbahaya bagi kita dan kawan-kawan dari dunia hitam."
"Eyang, mohon diberi tau siapa
adanya seseorang itu dan apa rencana besar yang Eyang maksudkan itu."
"Sinto Gendeng, nenek jahanam dari Gunung Gede...!"
"Ah, dia rupanya yang punya
peranan," ujar Si Muka Bangkai. "Apa yang tengah dilakukannya, Eyang?"
"Tua bangka itu tengah merencanakan kehadiran seorang pendekar baru. Pendekar
Tahun 2000."
"Pendekar Tahun 2000?" mengulang Si Muka Bangkai.
"Jika hal itu sampai kejadian, ini merupakan satu malapetaka besar bagi kita
semua dari golongan hitam. Lebih celaka kita tak akan mampu menguasai dunia
sana." "Kalau begitu kita harus melakukan sesuatu Eyang Guru."
"Apa yang ada dalam benakmu, Muka Bangkai?"
"Menghancurkan rencana Sinto
Gendeng." Jawab Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat, guru Pangeran Matahari dari
puncak Gunung Merapi.
"Tepat. Katakan bagaimana
caranya"!" tanya Kunti Api.
"Dua cara. Pertama habisi Sinto Gendeng. Kedua habisi sang calon
pendekar."
Eyang Kunti Api dongakkan kepala.
Dari sepasang matanya keluar memancar sinar merah menembus kegelapan malam.
"Muridku Muka Bangkai, katakan
padaku. Siapa yang bakal melakukan semua itu. Siapa yang akan menghabisi Sinto
Gendeng dan Pendekar Tahun 2000"!"
Kakek bermuka sepucat mayat
berpikir sejenak lalu menjawab. "Aku akan perintahkan muridku Pangeran Matahari
melakukan dua tugas itu."
"Tolol sekali!" tiba-tiba si nenek rambut merah membentak sambil hunjamkan kaki
kiri ke batu karang hingga bukit batu itu bergetar hebat, membuat sosok bungkuk
Si Muka Bangkai terhuyung-huyung.
"Apa menurut otak tololmu Pangeran Matahari muridmu itu akan mampu
menghadapi si jahanam Sinto Gendeng?"
"Maafkan murid jika berpikir
terlalu picik. Eyang, aku mohon
petunjukmu," kata Si Muka Mayat pula.
"Yang kita hadapi satu urusan
besar. Maha penting, sangat berbahaya, bukan main-main. Karena semua ini akan
menentukan masa depan orang-orang
golongan hitam di dunia sana. Itu
sebabnya aku sengaja menyempatkan diri
menemuimu. Karena aku datang untuk
memberi perintah. Kau sendiri yang harus turun tangan menghabisi Sinto Gendeng.
Bukan muridmu!"
Pandangan dua mata Si Muka Bangkai
sampai tak berkesip saking terkejut
mendengar ucapan gurunya itu.
"Muka Bangkai, kau seperti tidak suka mendengar ucapanku. Apa lagi
menjalankan perintah!"
Si Muka Bangkai menahan diri.
"Eyang Kunti Api, bukan maksudku mengecilkan arti kedatanganmu. Bukan maksudku
tidak mementingkan kehidupan dan kekuasaan golongan kita di dunia sana.
Jika kau yang memberi perintah, murid mana berani menolak."
"Hemm... Kau sendiri, apakah kau merasa sanggup menghabisi Sinto Gendeng?"
"Ilmu kesaktian nenek itu memang banyak meningkat beberapa tahun
belakangan ini. Tapi aku tidak gentar.
Tugas Guru akan kulaksanakan dengan
sebaik-baiknya."
"Bagus, tapi jangan takabur Muka Bangkai."
"Takabur bagaimana Eyang?"
"Walaupun kepandaianmu tidak
dibawah tingkat kepandaian Sinto Gendeng namun kau perlu berjaga diri. Ada satu
ilmu Sinto Gendeng yang mungkin sulit kau tembus...."
"Katakan ilmunya yang mana dan
mungkin Eyang Guru tahu bagaimana cara aku menghadapinya?" tanya Si Muka
Bangkai. "Aku tak tahu apa nama ilmu
kesaktiannya itu. Dari matanya bisa
memancar dua larik sinar pekat biru.
Selama ini tidak satu kekuatanpun sanggup menghadapinya. Karena kesaktiannya itu
berpusat pada sepasang matanya, maka untuk mengalahkannya kau harus sanggup
mencongkel ke dua matanya itu. Untuk itu aku akan meminjamkan sepuluh kuku
jariku padamu. Congkel dua mata Sinto Gendeng dengan ilmu Sepuluh Cakar Iblis.
Kalau dua matanya sudah dicongkel, daya
kekuatannya akan sirna. Ilmunya yang lain tak usah kau kawatirkan. Dan ingat
satu hal! Sebelum kau membunuh nenek jahanam itu, kau harus mengorek keterangan.
Siapa adanya bocah yang hendak dijadikannya sebagai Pendekar Tahun 2000 itu!"
"Terima kasih atas petunjukmu Eyang Kunti. Tapi murid tidak memiliki ilmu
Sepuluh Cakar Iblis karena selama ini Eyang belum pernah mengajarkannya
padaku..."
"Jangan kau menyindirku Muka
Bangkai!" tukas Kunti Api. "Ulurkan dua tanganmu. Kembangkan telapak tanganmu!"
Si Muka Bangkai menurut. Dia
ulurkan ke dua tangannya. Begitu dua
telapak tangan dikembangkan, Kunti Api segera tempelkan dua tangannya lalu
kerahkan hawa sakti yang ada dalam
tubuhnya. Dua sinar merah membungkus tangan
kiri kanan Si Muka Bangkai. Hawa panas ikut menjalar membuat si muka pucat ini
bergetar sekujur tubuhnya. Mukanya yang seperti mayat sesaat tampak merah padam.
Dia merasa seperti leleh. Tidak
sanggup menahan Si Muka Bangkai keluarkan jeritan keras. Tubuhnya terpental
jatuh, punggung terbanting di atas batu karang.
Mulutnya kucurkan darah kental berwarna merah kehitaman. Matanya mendelik.
Tubuhnya mengepul kelojotan disertai suara erangan tak berkeputusan seperti
orang mau sekarat.
Eyang Kunti Api keluarkan suara
tertawa panjang. Begitu suara tawanya sirna sosoknya ikut lenyap.
Hawa panas yang membungkus tubuhnya
perlahan-lahan berkurang lalu lenyap sama sekali. Perlahan-lahan Si Muka Bangkai
bangkit berdiri, memandang berkeliling.
Tapi tidak melihat gurunya. Ketika dia memperhatikan dua tangannya kagetlah
kakek ini. Tapi diam-diam juga merasa gembira. Sepuluh jari tangannya kini
ditumbuhi kuku-kuku panjang berwarna hitam. Berarti kini dia memiliki satu ilmu
baru yang selama ini memang
diinginkannya. Terngiang kembali ucapan gurunya.
"Congkel dua mata Sinto Gendeng dengan ilmu Sepuluh Cakar Iblis. Kalau dua
matanya sudah dicongkel, daya
kekuatannya akan sirna...."
Si Muka Bangkai menyeringai.
Perlahan dia berucap. "Sinto Gendeng, tunggu bagianmu. Kita sudah lama
berseteru. Kali ini jangan berani berlaku congkak. Ajalmu sudah di depan mata!"
7 SINTO GENDENG DISERBU
WALAU malam itu Si Muka Bangkai
telah sampai di puncak Gunung Gede, namun dia tidak segera mendatangi pondok
kayu kediaman Sinto Gendeng. Menggempur
seorang sakti setingkat Sinto Gendeng pada malam hari terlalu berbahaya. Bukan
mustahil pondok kayu itu dipasangi segala macam senjata rahasia yang bisa
membantainya sebelum tugas terlaksana.
Dari tempat tersembunyi Si Muka Bangkai mengawasi bangunan itu. Ada lampu
menyala di dalam pondok, pertanda penghuninya ada di tempat itu.
Pagi hari, baru saja sang surya
muncul menampakkan diri dan puncak Gunung
Gede disapu cahaya terang benderang. Si Muka Mayat segera keluar dari
persembunyiannya, berkelebat mengelilingi pondok dua kali lalu berdiri bungkuk
dan berkacak pinggang di depan pintu pondok.
"Sinto Gendeng, aku Si Muka Bangkai datang untuk minta kau punya nyawa!"
Si Muka Bangkai berteriak sampai
tiga kali, lalu melesat ke atas wuwungan pondok kayu. Menunggu. Sekian lama dia
berada di atas atap pondok, tak terdengar suara gerakan di dalam rumah. Tak ada
yang keluar. Si Muka Bangkai merutuk sendiri dalam hati.
"Malam tadi ada lampu menyala.
Nenek jahanam itu pasti ada dalam pondok.
Kini diteriaki mengapa dia diam saja"
Jangan-jangan sudah merat dinihari tadi?"
Dari atas atap kembali Si Muka Bangkai berteriak. Tetap saja tak ada gerakan tak
ada yang keluar dari dalam pondok. "Aku harus bertindak!" Si Muka Bangkai


Boma Gendeng 2 Anak Baru Gendenk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambil keputusan.
Sekali kakinya menghantam atap
pondok jebol berantakan. Lewat atap yang jebol kakek ini melesat masuk ke dalam
pondok. Memandang berkeliling pondok dia dapatkan bangunan itu dalam keadaan
kosong. Lampu minyak yang menempel di dinding tidak menyala.
"Kurang ajar! Aku kena ditipu.
Nenek jahanam itu pasti sudah kabur
menjelang pagi tadi. Pengecut!"
Si Muka Bangkai ingat sesuatu. Dia
mendongak dan menghirup udara dalam-
dalam. "Aku tak mencium bau pesing. Nenek jahanam itu jelas-jelas memang sudah kabur!"
Kakek muka pucat itu mendumal seorang diri.
Saking marahnya Si Muka Bangkai
hancurkan perabotan yang ada di dalam pondok. Yakni sebuah balai-balai kayu,
satu meja dan satu kursi reyot. Ketika dia melihat gentong besar yang terletak
di sudut ruangan, sesaat dia menaruh curiga.
"Jangan-jangan bangsat itu sembunyi di dalam gentong! Tolol! Kau kira bisa
memperdayai diriku!" Si Muka Bangkai umbar tawa bergelak. Bersamaan dengan itu
dia hantamkan dua tangannya. Sepuluh larik sinar merah melesat ke arah gentong
besar terbuat dari tanah.
"Braaakkk!"
"Byaaarr!"
Gentong tanah hancur berantakan.
Tapi Sinto Gendeng ternyata tidak
sembunyi di dalam gentong. Gentong itu kosong! Si Muka Bangkai terbungkuk-
bungkuk memaki panjang pendek. Pintu depan dihajarnya dengan tendangan. Kakek
ini lalu melesat keluar pondok. Matanya menyorot merah. Masih kurang puas dia
menyelidik seputar pondok. Di sudut luar pondok sebelah kiri belakang dia
melihat sebuah gentong besar. Lebih besar dari yang tadi dihancurkannya di dalam
pondok. Di atas tutupan gentong ada sebuah gayung terbuat dari batok kelapa. Mungkin
karena marah, mungkin juga karena sudah lama tidak meneguk air. Si Muka Bangkai
Harpa Iblis Jari Sakti 16 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Si Tangan Sakti 10
^