Begal Dari Gunung Kidul 2
Dewa Linglung 29 Begal Dari Gunung Kidul Bagian 2
bagian terlarang gadis itu terbuka, dan gadis baju
merah ini karena tergesa-gesa terlupa mengancingkan bajunya lagi.
Mata si Dewa Linglung mau tak mau menatap
pemandangan indah itu.
Tapi segera dia cepat-cepat palingkan wajahnya,
menghijrahkan pandangan matanya ke arah dua
batang jarum yang tadi dijatuhkan ke atas rumput.
Lalu tangannya menjulur untuk menjumput
dua batang jarum maut itu.
"Aku baru ingat kalau membawa obat ramuan
anti racun!" ujar gadis ini seraya merogohkan lengannya ke kantung celana yang
tersembunyi di sebelah dalam. Dari dalam kantung celana itu dikeluarkan sebuah
lipatan kain. Lalu... cepat dia melompat ke belakang si Dewa Linglung.
Gadis ini segera membuka lipatan kain kecil itu.
Ternyata berisi serbuk ramuan berwarna kehijauan. Diambilnya sejumput, lalu di
balurkan pada lubang disekitar luka. Dua kali dia berturut-turut
membalurkan obat ramuan anti racun itu, segera
dia dengan cepat membalut luka itu dengan sobe-
kan kain bajunya.
Begitu cekatan sekali pekerjaan si gadis baju
merah. Hingga selang tak lama dia telah selesai
membalut dengan rapih.
Nanjar menatap gadis itu dengan tatapan matanya yang berkilat.
Ternyata gadis itu justru tengah menatapnya
dengan bibir tersenyum. Bahkan baru saja gadis
ini menarik napas lega. Tentu saja kedua pasang
mata mereka saling bentrok. Nanjar merasa darahnya berdesir cepat. Senyum gadis
itu terlalu manis. Bibirnya yang tipis berwarna merah delima
yang setengah merekah itu membuat dia terkagum
menatap. Dan ketika senyum gadis itu melebar,
tampak sederet gigi yang putih rata membuat si
Dewa Linglung sejenak terkesima. Mau tak mau
dia memang mengagumi kecantikan gadis itu.
Melihat Nanjar hanya terpaku bagai patung, dara ini mendadak berkata dengan
wajah berubah cemberut. Tapi justru makin cantik kelihatannya.
"Kau... kau menatapku begitu rupa, apakah kau
tak senang aku membalut lukamu?"
"Eh..!" Bu., bukan begitu, adik manis... Tapi...
tapi..." sahut Nanjar tergagap."Tapi...tapi apa" kau
selalu berusaha menghindariku. Telah beberapa
kali kau meninggalkan aku. Kalau kau memang
tak senang, biarlah aku pergi...!" kata gadis ini.
Mendadak wajahnya berubah seperti orang berduka.
Dan tampak sepasang mata dara ini berkacakaca. Mendadak dia membalikkan tubuh
dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Eh...!" Tu...tunggu...!" teriak Nanjar seraya
bangkit berdiri.
Jarum yang berada ditangannya dilemparkan ke
semak belukar. Dan dia melompat mengejar gadis
baju merah yang berlari cepat sambil terisak-isak
itu. "Tunggu, adik manis...! Dengar penjelasanku!"
teriak Nanjar. "Tak perlu kau menjelaskan lagi! Aku sudah tahu kau tak akan sudi bersahabat
denganku..!"
menyahut si gadis tanpa menoleh. Dan sebentar
saja sosok tubuh gadis baju merah itu semakin
menjauh, dan lenyap dibalik bukit. Nanjar tak
mengejar. Sesaat dia berdiri terpaku. Lalu merapihkan bajunya dengan tatapan
mata masih terarah ke tempat gadis itu lenyap. Kemudian lengannya menggaruk
tengkuk dengan menghela napas.
"Biarlah dia pergi...! Mudah-mudahan saja dia
sadar, bahwa dia telah bertindak salah. Dan kembali pulang untuk menamatkan
pelajarannya. Salah-salah Tumenggung Mahesa bisa menuduhku melarikan anak gadisnya dari rumah
perguruan..." menggumam si Dewa Linglung. Lalu segera memutar tubuh, dan
berkelebat pergi dari
tempat itu. *** TUJUH WAROK SOBRAH bergulingan ditanah ketika
klewang-klewang panjang berkilatan itu merencah
tubuhnya. Akan tetapi senjata maut itu terus
memburu nyawanya. Terpaksa dia mencabut kerisnya untuk melindungi diri dan
menangkis serangan senjata-senjata ketiga perwira Kerajaan
itu.... Sumanti hanya terpaku memandang dengan
wajah pucat pias.
Jantungnya melonjak keras. Dia sangat
mengkhawatirkan nasib laki-laki brewok itu.
Crass...! Satu tabasan klewang mengenai pundak kirinya. Untunglah hanya menyerempet
sedikit kulit, tak sampai menoreh terlalu dalam. Tapi cukup
membuat Warok Sobrah meringis menahan nyeri.
Dan darah mengucur dari lukanya.
Satu tublasan klewang dari sebelah kanan
membuat dia terpana.
Sementara dari arah kiri perwira satunya mengayun klewang untuk menabas ke arah
leher. Trang! Detik yang gawat itu masih sempat dipergunakan Warok Sobrah untuk
menangkis dengan kerisnya. Akan tetapi tabasan perwira satunya...."
Cras! Tabasan itu nyaris memutuskan urat lehernya.
Untunglah dia masih sempat menghindar dengan
menggulingkan tubuhnya kesamping. Tabasan
klewang mengandung maut itu lewat disamping
kepala. Benda tajam itu menghunjam ketanah
memapas rerumputan.
Gadis bernama Sumanti ini tak terasa menjerit
ngeri dan menutupi wajahnya. Seperti sudah ter-
bayang dalam benaknya kepala si laki-laki jembros
itu terpisah dari tubuhnya.
Kesempatan baik sebelum perwira itu mengangkat klewangnya segera dipergunakan
Warok Sobrah untuk melayangkan kakinya menendang
pangkal lengan si perwira.
Perwira itu roboh terguling. Klewangnya terlepas
dari tangannya.
Warok Sobrah segera membarengi gerakannya
dengan melompat berdiri.
Matanya menatap ke arah salah seekor kuda
dari ketiga perwira Kerajaan itu yang tak jauh berada didekatnya. Selintas dia
terniat di benaknya
untuk melompat ke punggung kuda, dan melarikan diri. Tapi mendadak dia urungkan
niatnya ketika teringat pada gadis itu.
"Tidak! Tak seorangpun kuperbolehkan menyentuhnya...! " mendesis laki-laki ini.
Di saat itulah dua perwira Kerajaan kembali menerjangnya dengan tusukan dan tabasan klewang...
Dengan menggerung keras, laki-laki ini terpaksa menangkis dan melompat menghindar
serangan. Namun
serangan kedua perwira itu tiada putusnya. Bahkan semakin gencar menyerang
dengan tabasan klewang yang menderu-deru dari kiri dan kanan.
Tampaknya perwira-perwira Kerajaan itu sangat
bernapsu sekali untuk melenyapkan nyawanya. Itu
disebabkan karena mereka telah mengetahui siapa
adanya laki-laki itu.
"Haha... menyerahlah kau Warok Sobrah! Atau
terpaksa kami akan mengantar nyawamu ke Neraka!" berkata salah satu perwira yang
bernama Gantar Mangu. Dia adalah bekas seorang kepala
prajurit yang diperbantukan pada Tumenggung
Mahesa sebelum diperbantukan pada Adipati Kuncoro.
Tentu saja dia mengenal siapa laki-laki jembros
itu. Karena beberapa bulan yang lalu dalam suatu
peristiwa perampokan yang dilakukan oleh Warok
Sobrah diwilayah utara, perwira ini memergoki
perbuatannya. Sayang saat itu Warok Sobrah berhasil melarikan diri dalam
penggerebekan yang dilakukan oleh Tumenggung Mahesa untuk menjebak laki-laki
jembros itu. Nama Warok Sobrah yang bergelar si Begal dari
Gunung Kidul sudah tidak asing lagi ditelinga
orang-orang Kerajaan.
Dengan berhasilnya menangkap hidup-hidup
atau membunuh dan membawa kepala Warok Sobrah, tentu hadiah besar dari Baginda
Sultan Pekik Hadiwijoyo sudah menanti.
Oleh sebab itulah perwira-perwira Kerajaan itu
terus merangsak dengan tabasan-tabasan klewangnya yang ganas. Ternyata ketiga
perwira itu adalah perwira-perwira Kerajaan kelas satu.
Tentu saja ilmu kepandaiannya sangat tinggi.
Hingga sukarlah bagi Warok Sobrah untuk melepaskan diri dari kepungan ketat,
walaupun hanya dua orang perwira yang saat itu dihadapinya.
Sementara itu perwira yang tadi kena tendang
pangkal lengannya sudah melompat bangun berdiri. Segera dia menjumput klewangnya
yang tertancap ditanah. Akan tetapi mendadak mata perwira
ini melihat sebuah kain buntalan menggeletak di-
rerumputan tak jauh dari klewangnya yang menancap ditanah.
Tentu saja juluran tangannya membelok, dan
menjumput benda itu terlebih dulu. Mendadak hati perwira satu ini jadi berdebar.
Cepat ia membuka kain buntalan kecil yang besarnya kira-kira dua kepalan tangan
itu. Tentu saja sepasang matanya seketika membelalak melihat
isi kain buntalan itu adalah uang emas. Tak pelak
lagi benda itu pasti terjatuh dari sela baju Warok
Sobrah si laki-laki brewok itu disaat tubuhnya
berguling-guling menghindari serangan.
Menyeringai girang perwira ini. Cepat dia menyelipkan dalam kantung bajunya
sebelah dalam. Sementara matanya menatap ke arah pertarungan.
Tampak Warok Sobrah masih tetap bertahan matimatian menghadapi serangan gencar
kedua perwira kawannya.
Perwira ini cepat memungut klewangnya yang
tertancap ditanah. Mendadak dia teringat pada gadis itu. Matanya segera mencari-
cari dimana gadis
yang dilarikan Warok Sobrah. Segera saja ia melihatnya. Ternyata Sumanti tengah
berdiri di dekat
semak belukar dengan wajah pucat dan pipi bersimbah air mata. Tentu saja Sumanti
melihat perwira itu memungut kain buntalan yang tercecer
dari dalam baju Warok, dan melihat perwira itu
membukanya, lalu memasukkan dalam sela bajunya. Hatinya tersentak ketika beradu
tatap dengan mata perwira itu. Tahu-tahu perwira itu melompat ke arahnya.
Pucat pias seketika wajah gadis ini. Akan tetapi
dengan tersenyum perwira itu berkata.
"Jangan takut, nona...! Kami datang untuk menolongmu dari tangan penjahat. Kini
kau sudah selamat. Tak lama lagi kedua kawanku tentu akan
meringkus si Begal dari Gunung Kidul itu, atau
mengirim nyawanya ke Akhirat...!"
"Tapi... tapi..." berkata Sumanti dengan wajah
semakin pias memucat.
"Mengapa nona" Apakah kau tak senang kami
menolongmu?" tanya perwira ini. Sambil berkata
mata perwira ini menjalar menatap bagian-bagian
tubuh gadis dihadapannya. Tampaknya perwira ini
selain mata duitan juga mata keranjang! Tiba-tiba
saja lengannya telah terlulur menangkap pinggang
gadis itu. Tentu saja Sumanti tersentak kaget karena tahu-tahu lengan perwira itu telah
memeluk pinggangnya. Dia berusaha meronta untuk melepaskan
diri sambil menjerit keras. Akan tetapi suaranya
tertahan karena dengan cepat lengan perwira itu
telah menekap mulutnya.
Perwira ini bekerja cepat. Setelah memungut
klewangnya yang tadi dilepaskan karena lengannya digunakan untuk menekap mulut
dara cantik itu, segera dia menyeret tubuh Sumanti mendekati
kuda tunggangannya.
Sumanti tak berdaya dalam himpitan tangan laki-laki kekar itu. Bau keringatnya
saja yang keluar
dari ketiak perwira itu sudah menusuk hidung,
dan hampir-hampir membuat dia pingsan.
Sebelum menaikkan keatas kuda, terlebih dulu
dia menyumpal mulut gadis itu dengan sobekan
baju kebaya panjang dibagian dada si gadis. Sesaat matanya membeliak membinar
melihat tersembulnya sepasang payudara yang membuntal
padat. Tapi dia tak dapat berlama-lama untuk berada ditempat itu. Dengan menelan
ludah cepat dia melompat terlebih dulu keatas punggung kuda,
sementara lengannya yang sebelah masih tetap
mencekal pergelangan tangan si gadis. Klewangnya
telah terlebih dulu dimasukkan dalam serangka
dipinggang. Kemudian segera menarik tubuh gadis
itu untuk dinaikkan ke punggung kuda.
"Haha...beres! Aku harus segera angkat kaki dari sini! Dan., tak perlu lagi aku
kembali ke Kadipaten. Dengan uang emas sebanyak ini dan seorang
gadis cantik yang menemaniku, aku bisa hidup
senang...! Uang sebanyak ini tak akan kudapatkan
seumur hidupku. Hanya orang bodohlah yang tak
memanfaatkan kesempatan sebaik ini..." berkata
dalam hati si perwira.
Di saat dia menghentakkan kakinya diperut kuda untuk segera meninggalkan tempat
itu, tibatiba terdengar suara teriakan Warok Sobrah menggembor keras.
"Sumantiiiii....!?"
Ternyata Warok Sobrah mendengar suara teriakan gadis itu. Dan melihat gadis itu
dalam pelukan salah seorang perwira Kerajaan. Akan tetapi dia
tak ada kesempatan untuk meloloskan diri dari
kepungan dua perwira Kerajaan itu.
Melihat Sumanti telah berada diatas punggung
kuda dan siap dilarikan oleh perwira itu, laki-laki
brewok ini menggembor keras.
"Haha... biarkan gadis itu diantarkan ke Gusti
Kanjeng Adipati! Kau boleh menyusulnya setelah
nyawamu terbang ke Akhirat!" berkata Gantar
Dewa Linglung 29 Begal Dari Gunung Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mangu seraya mempergencar serangannya. Lakilaki perwira ini tadi sempat melirik
ke arah perwira
kawannya yang melarikan kuda dengan membawa
gadis itu. Karena dalam keadaan kalut melihat Sumanti
dilarikan perwira itu. Warok terlengah menghindarkan diri dari tabasan klewang
perwira yang berada dibelakangnya.
Crass...! Brret! Warok Sobrah mengerang kesakitan. Dia jatuhkan tubuhnya berguling ditanah.
Laki-laki ini merasakan perih dibagian punggungnya. Dan bagian depan bajunya
terkoyak oleh tabasan klewang perwira satunya.
Akan tetap dia melompat berdiri dengan terhuyung. Tampak baju bagian belakangnya
juga terkoyak lebar. Darah mengalir dari luka memanjang yang menoreh kulit dan
mengiris daging dibagian punggungnya.
Saat itulah Warok tersentak ketika teringat sesuatu.
Lengan meraba kebalik bajunya yang terkoyak.
Wajahnya mendadak berubah pucat.
"Celaka...! Uang emas dalam buntalan kain itu
lenyap! Pasti terjatuh..." berkata Warok dalam hati.
Tapi saat itu tampaknya Warok Sobrah sudah tak
memperdulikan uang emas itu lagi. Pikirannya tertuju pada Sumanti.
"Aku harus mengejar perwira itu! Takkan kubiarkan seorangpun menyentuh
tubuhnya!" mendesis laki-laki brewok itu.
Warok Sobrah memang harus cepat mengambil
keputusan, karena dilain pihak nyawanya diinginkan oleh perwira Kerajaan itu.
Bahkan dengan membentak keras dua perwira itu kembali menerjang sambil mengayunkan klewangnya.
"Warok Sobrah! Serahkan jiwamu!"
Trang! Whuuut! Dua tabasan klewang itu menderu dan dua arah
berlawanan. Sambaran yang menabas ke pinggang
dielakkan dengan membuang tubuhnya ke samping kanan, sambil gerakkan kerisnya
menangkis tusukan deras yang mengarah ke jantungnya.
"Keparat! Kalian benar-benar menginginkan jiwaku" Majulah kalian kunyuk-kunyuk
Kerajaan!"
menggembor keras Warok Sobrah. Dadanya tampak berombak-ombak, sepasang matanya
menatap bengis kedua perwira itu. Tiba-tiba menerjanglah
Warok Sobrah dengan serangan membabi buta.
Kerisnya menyambar-nyambar menimbulkan suara bersiutan. Serangan yang dibarengi
dengan kemarahan meluap-luap itu ternyata membuat kedua perwira ini tersentak
kaget. Tampaknya si laki-laki jembros itu sudah tak menghiraukan jiwanya lagi.
Akan tetapi justru hal itu membuat kedua perwira itu terkejut setengah mati,
karena serangan
Warok Sobrah yang kalap itu sangat membahayakan jiwa mereka. Kini keduanyalah
yang terdesak hebat. Satu jeritan ngeri terdengar ketika keris laki-laki
brewok itu menghunjam dijantung salah satu dari
kedua perwira Kerajaan itu.
Tak ampun lagi perwira itu roboh terjungkal,
dan menggelepar merenggang nyawa. Lalu tewas
seketika. Gantar Mangu tersentak kaget. Nyalinya seketika menjadi ciut melihat kawannya
tewas kena tikaman keris laki-laki brewok itu.
Dia melompat mendapat kudanya untuk melarikan diri. Baru saja dia membedal
binatang tunggangannya untuk angkat kaki, tiba-tiba perwira
Kerajaan ini menjerit parau lalu jatuh tengkurap
diatas kuda. Ternyata punggungnya tertembus klewang yang
dilontarkan Warok Sobrah.
Kuda itu terus membedal lari dengan meringkik
panjang. Disisi lereng bukit beban dipunggungnya
terlepas. Tubuh perwira yang telah tak bernyawa
itu terguling ke bawah lereng.
Warok Sobrah dengan cepat melompat ke punggung kuda milik si perwira kerajaan.
Lalu membedalnya dengan cepat untuk mengejar gadis yang
dilarikan itu....
*** DELAPAN ALANGKAH TERKEJUTNYA Adipati Kuncoro ketika melihat keadaan digedung Kadipaten
telah di- jaga ketat oleh para perwira Kerajaan.
Tampak berdiri dialtar pendopo Senopati Tohpati dengan wajah tampak mengelam
seperti tak sabar menunggu yang ditunggu kemunculannya.
Dihalaman gedung Kadipaten terlihat Tumenggung Mahesa yang sedang bercakap-cakap
dengan seorang gadis berbaju merah.
Pucatlah seketika wajah Adipati Kuncoro, melihat gadis baju merah itu adalah
gadis yang baru
beberapa saat yang lalu telah ditotoknya di depan
gedung kuno ditengah hutan tersembunyi. Dan...
ketika dia teringat pada batang pisang, seketika
wajahnya berubah merah padam.
"Linggar Wati! Lain kali kau tak kuizinkan meninggalkan padepokan sebelum kau
menamatkan pelajaranmu...! Untung saja pendekar muda itu
berhasil menyelamatkan dirimu. Jangan sementang kau berguru pada Nyi Soko Murti
yang bibimu sendiri, hingga kau menjadi bengal dan sukar
dibimbing! Padahal semua itu untuk kepentingan dan kebaikan dirimu sendiri. Wajarlah kalau
bibimu bersikap keras. Ketika kau lari dari padepokan tanpa
sepengetahuannya, bibimu telah menemuiku di
Kota Raja dan melapor padaku...!
Hm, bagaimanakah keadaan luka pendekar
muda itu?" Adipati Kuncoro mendengar suara Tumenggung Mahesa yang berbicara pada
si gadis baju merah. "Aku... aku telah membalut lukanya, ayah...!
Dan sebelumnya telah kububuhi serbuk anti racun. Untunglah aku membawanya.
Tampaknya keadaannya sudah membaik, karena dua buah jarum mengandung racun itu sudah
berhasil tercabut keluar. Tapi...tapi..." Gadis baju merah yang
bernama Linggar Wati ini tak meneruskan katakatanya, karena seketika wajahnya
berubah seperti mau menangis.
"Hm... tapi kenapa, anakku..." Apakah yang telah terjadi?" bertanya Tumenggung
Mahesa melihat perubahan wajah anak gadisnya.
"Aku... aku benci dia, ayah...! Dia... dia telah
menyakiti hatiku!" menyahut Linggar Wati dengan
suara bercampur isak. Tampak sepasang matanya
tiba-tiba berkaca-kaca.
"Menyakiti hatimu" Hm, aku tak mengerti... bukankah dia telah menyelamatkan
dirimu dari napsu rendah si Kuncoro itu?"
Linggar Wati mengangguk. Lalu sahutnya dengan wajah cemberut.
"Aku telah ucapkan terima kasih atas pertolongannya, tapi dia tak mengucapkan
terima kasih ketika aku membalut lukanya..."
"Haih...! Mengapa kau merisaukan hal sekecil
itu, anakku...?" menukas Tumenggung Mahesa
sambil tersenyum, seraya mencekal pundak anak
gadisnya yang manja dan bengal itu. "Sudahlah!
mengucapkan atau tidak tak menjadi masalah.
Apakah kau ikhlas menolongnya?"
"Tentu saja, ayah...!" sahut Linggar Wati sambil
menunduk. "Nah! Menolong orang dengan ikhlas adalah
perbuatan yang sangat terpuji. Dan perbuatan
yang terpuji adalah tak mengharapkan imbalan,
walaupun yang kau tuntut hanyalah berupa ucapan terima kasih. Kukira walaupun
pemuda pendekar gagah itu tak mengucapkannya, tapi dalam
hatinya dia sangat berterima kasih padamu...! Tahukah kau, anakku" Sampai saat
ini ayahmu belum sempat mengucapkan terima kasih padanya.
Dia pernah menolongku dari bahaya maut beberapa hari yang lalu. Ketika kudaku
terperosok akibat
tanah longsor. Kuda tungganganku mati terhempas ke dasar jurang dalam. Untunglah
disaat tubuhku melayang ke mulut jurang lenganku berhasil menangkap akar gantung
yang tumbuh disisi
jurang. Akan tetapi aku tak dapat naik, sementara
dibawah maut siap menanti. Kalau tak muncul
pendekar muda itu yang menolongku, tak tahulah
bagaimana nasibku... Belum sempat aku mengucapkan terima kasih, ternyata
pendekar muda itu
telah berlari pergi!"
Tentu saja penuturan singkat ayahnya membuat gadis ini terpaku, dan tersipu.
Tumenggung Mahesa menepuk-nepuk pundak anak gadisnya.
Lalu bertanya lagi.
"Nah! Begitu perlukan sebuah ucapan terima
kasih?" Linggar Wati menggeleng sambil tersenyum.
Dan menyeka air matanya.
"Kau masih membencinya?" tanya lagi Tumenggung Mahesa.
Gadis ini menggeleng, tapi segera menyahut
dengan tergagap.
"Sebenarnya... sebenarnya bukan ucapan te...
terima kasih itu yang aku membencinya ayah...
Tapi... tapi aku benci karena dia tak mau bersahabat padaku!"
"Haha... aku tahu watak pendekar muda itu,
anak manis! Dia tahu kau pergi diam-diam dari
padepokan tanpa setahu gurumu. Mana sudi dia
mengajak berkawan seorang gadis bengal macamkau?" ujar Tumenggung Mahesa.
"Maafkan aku, ayah...! Aku yang salah...!" Akhirnya Linggar Wati mengakui
kesalahannya. Tampak wajahnya semakin menunduk. Tapi ayahnya memujinya sambil membelai
rambutnya penuh kasih sayang.
"Aku senang mendengar pengakuanmu yang jujur. Haih! Lagi-lagi kita telah
berhutang budi pada
pendekar itu. Hampir saja aib menimpa dirimu.
Perbuatan Kuncoro sudah melebihi batas. Dia tak
patut menjadi seorang Adipati. Saat ini kita tengah
menanti kedatangannya untuk menangkap manusia sesat itu! Semua kejahatannya
telah terbongkar. Tidak saja dia melakukan pemerasan pada
penduduk, tapi juga telah menyuap orang kepercayaan Gusti Sultan untuk
berkhianat, dan menyelewengkan uang perbendaharaan Kerajaan. Telah beberapa hari
terjadi kekisruhan dalam istana,
patih Mangkudilaga dituduh menggelapkan uang
kas Kerajaan, dan bersekongkol dengan Senopati
Tohpati untuk menumbangkan kekuasaan Sultan.
Telah ditemui sepucuk surat dikamar Bendahara yang dibuat secara rahasia atas
nama Patih Mangkudilaga. Akan tetapi Patih Mangkudilaga tak
mengakui. Untunglah penggelapan uang kas Kerajaan itu
segera diketahui dengan dibekuknya wakil Bendahara Kerajaan..." tutur Tumenggung
Mahesa. "Apakah yang dilakukan wakil Bendahara kerajaan
itu, ayah?" bertanya Linggar Wati dengan wajah
berubah kaget. Dia tak menyangka kalau urusan
Adipati yang perbuatan tak senonohnya dilaporkan
pada ayahnya, ternyata berekor panjang. Bahkan
telah terjadi kekisruhan yang membengkak di Istana. Setelah menghela napas,
Tumenggung Mahesa menyahut.
"Hm.! Dia telah mencuri cap Kerajaan, dan memalsukannya! Bukan itu saja dia juga
telah memalsukan tanda tangan para pembesar Kerajaan.
Mudah saja bagi dia menirunya, karena seharihari bekerja menjadi bawahan
Bendahara Kerajaan. Semua itu adalah atas suruhan Adipati Kuncoro.
Dan dengan tanda tangan serta cap Kerajaan
palsu itu, dengan mudah Adipati Kuncoro mengeruk uang kas Kerajaan.
Bangsat licik itu benar-benar edan! Pantas dia
semakin mewah hidupnya.
Dalam waktu setahun saja sudah menyimpan
banyak isteri muda! Bahkan dia sudah melamar
lagi anak Ki Demang untuk menjadi isterinya yang
keempat...!"
"Kudengar Ki Demang Sunggoro tewas dalam
suatu perampokan, dan isterinya juga dibunuh perampok! Benarkah ayah?" memotong
Linggar Wati. "Benar! Kukira hal itu wajar. Karena penduduk
sudah merasa tertekan dengan pajak-pajak berat
yang dibebankan pada mereka. Para perampok
bertopeng itu tak dapat disamakan dengan perampok sungguhan.
Dimanapun adanya berdiri suatu pemerintahan,
tetapi pemerintahan itu menjalankan kekuasaan
dengan sewenang-wenang, maka disana akan timbul suatu pemberontakan! Perbuatan
Ki Demang Sunggoro yang kaki tangan Adipati Kuncoro itu
pantas mendapat balasan yang layak dengan kekejamannya!
Tinggal kini menangkap biang keladi kejahatan
besar ini. Kuncoro edan itu bukan saja telah mempitnah para pembesar Kerajaan,
tapi juga melakukan perbuatan melanggar susila, berbuat sewenang-wenang dengan
kekuasaannya! Suatu hal
yang tak terpuji! Dialah yang membuat surat fitnah terhadap Patih Mangkudilaga
seolah-olah bersekongkol dengan Senopati Tohpati!"
Tumenggung Mahesa menuturkan pada anak
gadisnya. Tentu saja membuat Linggar Wati jadi
marah bukan main pada manusia yang bukan saja
gila harta, tapi juga gila perempuan itu.
"Adipati itu layak dihukum mati, ayah! Tapi
enaknya disiksa dulu, biar matinya secara perlahan-lahan, dan dia merasakan
sakit disaat sekaratnya! Atau.... enaknya digantung kepala dibawah
kaki diatas. Lalu ditaruh dikandang..."
"Wah, wah, wah....! Urusan itu adalah urusan
Gusti Sultan yang berhak memberi hukuman!"
memotong Tumenggung Mahesa dengan tersenyum. Kepala gadis bengal itu diusap-
usapnya seraya berkata memerintah.
"Sudahlah jangan mengaco terus anak manis.
Mulutmu yang comel itu kau sumpal dulu dengan
makanan. Pergilah ke dapur memanggang sate untuk mengisi perutmu!"
Gadis baju merah itu mengangguk gembira, seraya beranjak pergi untuk menuju ke
barak di sebelah belakang gedung Kedipatian. Tapi masih
sempat gadis ini menoleh, sambil menyeloteh berkata kepada ayahnya.
"Membakar sate adalah kesenanganku. Tapi
aku lebih senang lagi kalau menyate tubuh Adipati
sinting itu!" Selesai berkata gadis itu berlari kecil
menuju ke belakang gedung. Beberapa orang prajurit yang mendengar percakapan dan
Dewa Linglung 29 Begal Dari Gunung Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata-kata gadis itu jadi tersenyum.
"Haih...! Dasar bocah nakal..." menggumam
Tumenggung ini sambil menggeleng-gelengkan kepala menatap ke punggung anak
gadisnya. *** Bagai terbakar rasanya dada Adipati Kuncoro,
disamping terkejut mendengar pembicaraan Tumenggung Mahesa. Tumenggung ini baru
saja memutar tubuh untuk menghadap Senopati Tohpati. Tiba-tiba saja laki-laki tua itu
tersentak kaget
mendengar suara berdesis dibelakangnya. Itulah
sambaran pukulan jarum beracun yang meluruk
dari rimbunan daun pohon besar yang tumbuh diluar pagar tembok gedung
Kedipatian. Tumenggung ini kibaskan lengan bajunya kebelakang seraya membuang tubuh ke
samping. Tak urung dia mengaduh kesakitan, karena tiga batang
jarum menghunjam dipangkal lengan. Tentu saja
membuat terkejut para prajurit yang berada dihalaman gedung itu. Mendengar
teriakan ayahnya,
Linggar Wati balikkan tubuhnya. Seketika wajahnya berubah pucat melihat laki-
laki tua itu terguling ditanah dengan mengerang kesakitan. Tak ayal
dia menjerit seraya memburu ke tempat ayahnya
menggeletak. "Ayaaah..!?"
Senopati Tohpati yang tengah berdiri dan duduk
seperti tak sabar menunggu kemunculan Adipati
Kuncoro seketika terperanjat mendengar kegaduhan itu. Dia melompat dari ruang
pendopo. Matanya tertuju pada Tumenggung yang menggeletak
ditanah. Tiba-tiba dia melihat gerakan dahan pohon besar disamping tembok
halaman gedung itu
bergerak. "Bedebah! Jangan lari!!" membentak laki-laki
Senopati Kerajaan ini. Bentakannya disusul dengan berkelebat tubuhnya mengejar
keluar dari pintu gerbang gedung Kedipatian. Belasan prajurit
dan perwira Kerajaan tersentak. Mereka segera turut memburu keluar....
Adipati Kuncoro melompat cepat ke punggung
kuda setelah melepas jarum maut ke arah Tumenggung Mahesa, lalu membedal kudanya
dengan cepat. "Kejar...! Tangkap!" Gaduhlah seketika keadaan
ditempat itu. Belasan prajurit berlari mengejar.
Tapi segera berhenti, karena apa artinya mengejar
orang yang melarikan diri dengan menunggang
kuda yang membedal tunggangannya bagai dikejar
setan" Namun saat itu empat perwira Kerajaan
muncul dipintu gerbang, membedal kudanya dengan cepat mengejar orang yang
melarikan diri itu.
Senopati Tohpati kembali memasuki pintu gerbang. Tampaknya wajahnya merah padam
karena marahnya. Hampir saja seorang prajurit melanggar
tubuhnya, karena tak mengetahui kalau saat itu
Senopati Tohpati melangkah masuk.
"Ah..!" Ma.. maaf, Gusti..!" sentak prajurit itu
dengan wajah pucat, seraya cepat-cepat menyingkir memberi jalan.
"Hm, mau kemana kau?" bentak Senopati Tohpati.
"Me.. mengejar pen.. penjahat itu, Gusti..!" sahutnya tergagap.
"Penjahat sudah sampai ke seberang lautan,
kau baru mau mengejar?" bertanya Senopati sambil melototkan mata. Tentu saja
membuat prajurit
itu gelagapan tak bisa menjawab. Tampak wajahnya pucat pias bagai tak berdarah.
Akan tetapi sebagai basa-basi dan untuk menghilangkan keterkejutannya, prajurit
ini berkata. "Sudah sampai ke., ke seberang lautan, Gusti"
Wah... cepat sekali...?"?" Seketika prajurit lainnya
jadi tergelak tak dapat menahan geli. Akan tetapi
segera dibentak oleh Senopati Tohpati. Bagai suara
jengkerik terinjak, seketika semua diam.
"Hm, kesinilah kau!" Senopati memanggil prajurit dungu itu."Siap, Gusti!
Perintah Gusti Senopati
kami junjung diatas kepala. Hamba siap menjalankan tugas!" sahut si prajurit
dengan menyembah.
"Bagus..!" kata Senopati Tohpati dengan terse-
nyum kaku. "Kuperintahkan sekarang juga kau
pergi ke tepi laut untuk mencuci mukamu yang
macam cecurut sakit itu!" Selesai berkata melayanglah kaki Senopati menyepak
prajurit itu hingga terguling-guling.
"Am.. ampun Gusti..! Ampuuun..!" Prajurit itu
cepat bangkit dan menyembah sambil meringisringis menahan sakit pada punggungnya
yang kena tendangan.
"Kalian semua goblok! Mengapa sampai tak
mengetahui ada penjahat menyelundup?" bentaknya sambil menatap pada semua
prajurit yang berkerumun ditempat itu. Serentak semuanya menundukkan kepala tanpa ada berani
berkata sepatah katapun. Senopati Tohpati memang sedang berang hatinya karena
telah difitnah oleh Adipati
Kuncoro. Tentu saja gagalnya menangkap penjahat
yang belum diketahui siapa adanya itu ditumpahkan pada para prajuritnya. Dengan
wajah merah padam segera dia beranjak melangkah ke arah kerumunan beberapa orang prajurit
Kadipaten yang tengah melakukan pertolongan pada Tumenggung
Mahesa. Untunglah Linggar Wati membawa serbuk anti
racun. Setelah jarum berhasil dikeluarkan dari
pangkal lengan ayahnya segera dia membubuhkan
serbuk itu. Lalu membalutnya dengan kain perban
yang dibawa seorang prajurit. Dari keterangan si
gadis berbaju merah Linggar Wati itulah Senopati
Tohpati mengetahui kalau penjahat yang menyelundup itu adalah Adipati Kuncoro
yang memang tengah dinantikan kemunculannya untuk ditang-
kap! *** SEMBILAN EMPAT PERWIRA KERAJAAN yang mengejar
kuda putih berpenunggang Adipati Kuncoro itu
terkejut ketika berhasil mengejar buruan mereka
ternyata si penunggang kuda putih itu adalah seorang kakek tua renta berambut
semrawut, dan berwajah kaku berkeriput. Si kakek tua renta menatap keempat perwira Kerajaan
yang mengurungnya dengan pandangan terheran.
"Ah.." Siapakah kau kakek?" membentak salah
seorang perwira.
"Heheheh.. ada kepentingan apa kalian menanyakan aku?" balik bertanya yang
ditanya. Tentu saja membuat perwira itu jadi mendongkol.
"Kami mengejar seorang laki-laki berkuda putih
untuk menangkapnya!" sahut perwira ini dengan
setengah membentak.
"Siapa laki-laki itu" Dan apa kesalahannya?"
tanya si kakek.
"Dia Adipati Kuncoro yang telah berkhianat pada Kerajaan!" sahut salah seorang
perwira kawannya. Si kakek tampak manggut-manggutkan kepala. Mendadak kakek itu
menyelinapkan lengannya
ke balik jubah.
"Apakah dia si pemilik senjata ini?" tanyanya
seraya mengeluarkan sebuah tombak pendek berunce merah. Empat pasang mata
perwira itu se-
gera menatapnya. Tentu saja keempatnya mengetahui senjata itu milik Adipati
Kuncoro. "Benar! Itu memang senjatanya!" menyahut
keempat perwira hampir serempak. Mendadak lengan si kakek bergerak menghunjamkan
tombak itu ke tanah. Tampaknya gerakannya ringan saja.
Akan tetapi membelalak mata keempat perwira itu
melihat senjata itu amblas masuk ke dalam tanah
hingga lenyap tak kelihatan lagi.
"Kalau itu manusia yang kau cari, aku telah
mengikatnya dibalik pohon itu! Silahkan kalian
membawanya!" ujar si kakek, seraya menunjuk lalu memutar kuda, dan membedalnya
perlahan meninggalkan tempat itu.
"Hei..! Tunggu dulu..!?" berteriak seorang perwira menahan kepergian laki-laki
tua aneh itu. Tentu
saja perwira itu tak percaya begitu saja pada ucapan si kakek. Akan tetapi tiga
perwira kawannya
telah membedal kuda menuju ke arah sebatang
pohon besar yang ditunjuk kakek itu. Benar saja
mereka mendapatkan Adipati Kuncoro dalam terikat oleh seutas tali kulit. Itulah
tali sanggurdi kuda yang telah digunakan mengikat. Melihat ketiga
kawannya melompat turun dari punggung kuda
dekat dibawah pohon besar itu, perwira ini segera
membedal kuda untuk melihat.
Sementara keempat perwira Kerajaan itu sibuk
menggotong Adipati Kuncoro yang dalam keadaan
tertotok tak berdaya, si kakek aneh telah lenyap
dari tempat itu...
Akan tetapi ketika keempat perwira itu membawa tubuh Adipati Kuncoro yang dalam
keadaan te- rikat dinaikkan kepunggung kuda, kemudian
keempat perwira itu membedal kuda meninggalkan
tempat itu, tahu-tahu si kakek aneh muncul kembali, dan mengikuti dibelakang
mereka. Tampaknya kakek aneh itu khawatir keempat
perwira itu melepaskan lagi manusia yang telah
berhasil diringkusnya. Ternyata keempat perwira
itu adalah perwira tulen, bukan begundalnya Adipati Kuncoro. Mereka membawa
masuk tawanan memasuki pintu gerbang halaman gedung Kedipatian.
Kira-kira lima puluh tombak dari pintu gerbang
itu si kakek aneh belokan kudanya merambas hutan kecil, lalu lenyap ditelan
kerimbunan pepohonan....
*** SEPULUH WAROK SOBRAH melarikan kudanya bagai
orang kesurupan...
Pandangan matanya liar mencari jejak dimana
perwira berkuda itu membawa lari gadis bernama
Sumanti itu. Sementara darah terus mengalir dari
luka-lukanya. Warok merasa punggungnya nyeri
sekali. Luka torehan klewang perwira Kerajaan itu
mengganggu gerakan tubuhnya untuk mengendalikan kuda yang berlari cepat.
Saat itu hari mulai merambah senja... Ketika
kuda tunggangannya melewati tanah licin berbatubatu, kaki kuda tergelincir.
Binatang itu meringkik
keras dan mengangkat kaki depannya. Tak ampun
Warok Sobrah kehilangan keseimbangan tubuhnya. Dia terjungkal masuk ke semak
belukar. Kuda itu terus membedal lari sambil meringkik tiada
henti, dan lenyap merambas hutan belantara...
Warok Sobrah mengerang menahan sakit pada tubuhnya. Pakaiannya yang sudah koyak-
koyak semakin banyak sobekan disana-sini, karena tersangkut ranting semak yang
tajam, dan menggores
pula kulit tubuhnya. Dengan susah payah dia keluar dari semak belukar yang
menggerombol. Laki-laki jembros ini memperhatikan sekitarnya.
Mendadak telinganya mendengar suara gemericik
air. Hatinya tercekat. Dia menelan ludah. Saat itu
tenggorokannya terasa kering. Segera dia mencari
dari mana datangnya suara gemericik itu. Setelah
beberapa saat melangkah merambas onak dan duri, akhirnya dia menemukan sebuah
sungai berair jernih. Sepasang mata Warok berkilat-kilat. Semangatnya kembali muncul. Direngkuhnya air
bening itu, dan direguknya sepuas-puasnya. Kemudian dia
membasahi pula wajahnya. Terasa segar kini tubuhnya. Akan tetapi percikan air
yang mengenai lukanya membuat dia menyeringai. Namun dia bisa menarik napas lega, dan
bersyukur menemukan sungai itu. Beberapa saat lamanya dia termangu-mangu
memandangi aliran air sungai yang
bersuara gemericik disela batu-batu berlumut. Dalam termangu itu ingatan Warok
Sobrah tetap saja
memikirkan Sumanti.
"Ah... dimanakah dia saat ini" Kemanakah aku
harus mencari" Apakah perwira itu membawa
Sumanti ke Kota Raja?" berkata dalam hati si lakilaki brewok ini. Tampak
wajahnya kelihatan sangat berduka. Sepasang matanya yang kemerahan
itu tampak berkaca-kaca.
"Sumanti.... oh, anak manis... mengapa nasibmu begitu buruk seperti aku..?"
mendesis Warok Sobrah dengan suara bergetar.
"Akupun telah kehilangan semua yang kumiliki... Anakku, isteriku... harta
bendaku... dan juga
harga diri... Aku telah menjadi sampah manusia!
Hidupku kotor menjijikkan. Apa yang ku lakukan
adalah sebagai balas dendam terhadap kekalahanku. Terhadap ketidak adilan Tuhan
yang kurasakan waktu itu. Tapi ternyata aku salah kaprah.
Tuhan Maha Adil dan Maha Pemurah. Tuhan masih memberiku hidup sampai saat ini.
Hingga aku kembali sadar akan arti hidup yang sebenarnya...
Aku sadar bahwa semua ini adalah cobaan hidup
dialam Dunia yang tidak langgeng. Untuk menguji
ummatnya..! Ternyata aku telah jauh tersesat,
mengumbar nafsu angkara, membunuh, memperkosa, merampok, membegal dan
sebagainya..!"
Warok berhenti mengucapkan kata-kata lirihnya
yang berupa penyesalan dan kutukan pada dirinya
sendiri. Dia terguguk menangis bagai anak kecil
dengan pipi bersimbah air mata. Tiba-tiba dia menengadah ke langit dan membuka
kedua telapak tangannya. Terdengar suaranya bergetar.
"Ya... Tuhan, penguasa Alam Semesta! Yang telah memberiku hidup sampai saat ini.
Bila Kau berkehendak menghukumku, maka hukumlah
aku! Matikanlah aku saat ini... tapi ampunilah segala dosaku! Ampunilah segala
kekhilafanku selama ini! Aku rela meninggalkan dunia fana ini. Aku
percaya Engkaulah Tuhan Yang Maha Tunggal,
yang menciptakan seluruh Alam dengan segala
Dewa Linglung 29 Begal Dari Gunung Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
isinya...! Ya, Tuhan Yang Maha Pengasih..! Sebelum kau cabut nyawaku,
pertemukanlah aku pada
Sumanti. Selamatkanlah dia... dari bencana..."
Selesai berkata, tampak napas Warok Sobrah
tersengal-sengal. Sekujur tubuhnya tampak bergetar. Dia telah menumpahkan
seluruh perasaan dalam relung jiwanya kepada Sang Penguasa Alam
Semesta. Keadaan lukanya memang cukup parah.
Dan darah banyak keluar dari tubuhnya. Dengan
terhuyung-huyung Warok Sobrah bangkit berdiri...
Masih ada tersisa semangatnya untuk menemukan
gadis itu. Akan tetapi ketika itu pandangan mata si
laki-laki brewok tampak nanar. Bumi yang dipijaknya serasa berputar. Akhirnya
Warok Sobrah terhuyung roboh ditepian sungai berbatu. Laki-laki
itu seketika tak sadarkan diri.
Mendadak langit berubah gelap. Angin keras
membersit bersiutan. Tampak kilatan petir membelah diangkasa. Tapi hal itu tak
berlangsung lama. Seolah-olah Yang Maha Agung telah menerima
do'anya. Alam kembali tenang seperti sediakala....
Dan senja terus merayap. Keheningan tambah
mencekam ketika suara burung-burung yang berebut mencari tempat bermalam telah
melenyap. Sepi... lengang..! Gemericik air sungai yang mengalir diantara sela bebatuan itu
semakin terdengar
nyata. O, Alam..!
*** SEBELAS SEEKOR KUDA BERBULU COKLAT sejak tadi
berdiri ditepi hulu sungai berbatu-batu itu. Tampaknya dia setia menunggu
majikannya sambil
memakan rerumputan yang tumbuh ditepian sungai.
Ternyata dibalik-balik pohon berakar gantung
bertanah lembab itu terdapat sebuah relung batu
menyerupai sebuah goa. Dari sebelah dalam terdengar suara gemerincing, dan
sesekali diseling
oleh suara tertawa kecil seorang laki-laki. Siapa
adanya laki-laki itu, anda pasti sudah menerkanya. Ya! Siapa lagi kalau bukan
perwira Kerajaan yang rakus dan tamak pada harta benda,
hingga dia rela mencopot gelar perwira Kerajaan
yang disandangnya. Apalagi dia bersama seorang
gadis cantik yang menggairahkan, berkulit putih
dan bertubuh mulus...
"Haha... lebih dari seratus keping emas..! Cukup
untuk bersenang selama dua atau tiga tahun...
haha.. ha... aku kaya dalam sekejap. Dan... disampingku ada gadis cantik yang
menemani. Ah, alangkah beruntungnya aku.." berkata sendiri
perwira Kerajaan yang telah melepas pakaian perwiranya itu. Tadinya dia telah
berniat melampiaskan nafsu bejatnya karena tak tahan melihat
gadis telah yang pingsan itu dalam keadaan setengah membugil. Tapi dia penasaran
untuk menge- tahui banyaknya uang emas dalam kain buntalan
itu. Hasratnya kembali muncul setelah dia selesai
menghitung uang yang dimilikinya. Tumpukan
uang emas itu disorongkannya kesisi bebatuan.
Sementara matanya menjalari sekujur tubuh gadis
itu yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Sesaat
antaranya dia sudah mendekati.
"Oh, manisku... alangkah cantik parasmu... Kau
akan hidup senang mendampingiku..." terdengar
suara laki-laki perwira Kerajaan itu mendesis entah menggumam.
Tatapan matanya terhenti disepasang payudara
si gadis yang tersembul dari sela sobekan baju kebaya yang menutupinya. Napas si
perwira mulai memburu... Hidungnya kembang-kempis. Lengannya terjulur menepis pipinya yang
mengalirkan keringat. Kembali mulutnya mendesis.
"Benar-benar luar biasa..."
Perawira ini melemparkan pakaiannya di atas
onggokan bajunya, diatas batu. Lalu menatap sejenak untuk menikmati pemandangan
indah didepan matanya.
Saat itu sesuatu telah bergerak menjulur dari
libatan akar. Sesuatu yang kelihatan licin berkilat...
Laki-laki ini tampaknya sudah tak sadar untuk
segera merengkuh tubuhnya yang pasrah itu.
Akan tetapi baru saja dia menggulirkan tubuhnya,
tiba-tiba perwira ini menjerit parau, lalu roboh terguling... Entah dari mana
munculnya seekor ular
hitam berkulit licin berkilat telah mematuk pung-
gung laki-laki itu. Lalu membelit lehernya. Tubuh
laki-laki itu meregang-regang bergeleparan dengan
mata membeliak dan lidah terjulur. Tapi tak lama
kepalanya terkulai. Gerakan tubuhnya terhenti.
Nyawanya langsung melayang ke Akhirat.
Ular sebesar betis itu melepaskan belitannya,
dan... tiba-tiba lenyap sirna berubah jadi gumpalan asap putih. Namun tak lama
asap putih itupun
lenyap... Beberapa saat antaranya Sumanti sadar dari
pingsannya. Tentu saja terperanjat melihat keadaan dirinya. Matanya membeliak
melihat sesosok
tubuh laki-laki membugil tertelungkup tak bergerak.
Sadarlah dia apa yang terjadi. Tapi setelah merasai keadaan dirinya tak kurang
suatu apa, dia cepat beringsut setengah merayap menjauhi lakilaki yang membugil terkurap tak
bergerak itu. Lalu
bergegas mengenakan pakaiannya. Detik itu juga
dengan wajah pucat pias dia menghambur keluar
dari relung batu.
Akan tetapi tiba-tiba dia merandek. Sesaat dia
menatap laki-laki itu. Tampak ada darah mengalir
dari telinga, dan hidung laki-laki itu. Barulah dia
tersentak kaget ketika melihat mata laki-laki itu
membeliak memutih, dan lidahnya terjulur keluar.
Dari mulutnya yang setengah terbuka itu tampak
ada darah mengalir, dan masih menetes. Darah
kental berwarna kehitaman.
Yakinlah Sumanti kalau perwira itu sudah tak
bernapas lagi. Mendadak kakinya menyentuh
tumpukan uang emas yang berada disisi batu.
"Oh... Tuhan..! Aku... aku selamat..." mendesis
gadis ini dengan wajah berubah girang. Tak ayal
lagi segera dia membungkus keping-keping uang
emas itu, membuntal dan mengikatnya dengan
erat. Dia tahu uang emas itulah yang tercecer dari
pakaian Warok Sobrah, dan ditemukan oleh lakilaki perwira Kerajaan itu. Kini
manusia yang membawa lari dirinya itu telah tewas entah siapa
yang telah membunuhnya.
Selang tak lama Sumanti bergegas meninggalkan relung batu itu. Sesaat dia
menatap ke arah
seekor kuda ditepian sungai. Gadis ini mengetahui
itulah kuda si perwira Kerajaan. Segera dia menghampiri, lalu menariknya untuk
dibawa menyeberangi sungai dangkal berbatu-batu itu... Kemudian
menyusuri tepian sungai dengan hati agak bimbang. Kemana yang akan ditujunya..."
*** DUABELAS SUARA MENYIBAK bergemericiknya air sungai
yang ditingkah sesekali oleh suara dengus dan
ringkik perlahan seekor kuda, membuat sosok tubuh berjubah kelabu ini menyingkap
semak belukar untuk melihat ke arah seberang sungai. Siapa
adanya sosok tubuh ini tak lain dari si kakek aneh
yang telah meringkus Adipati Kuncoro.
Matahari baru saja menyembul dibalik bebukitan. Suara burung masih terdengar
berkicau menyambut munculnya sang Matahari. Malam tadi
telah dilewati si kakek dengan bermalam diatas
dahan pohon, sementara kuda putihnya diikatkan
dibawah pohon. Semalam-malaman dia mendengar suara aneh seperti orang mengerang
atau merintih. Terkadang terdengar jelas terbawa angin,
terkadang lenyap.
Sebenarnya kakek itu mau memeriksa dimana
adanya suara-suara aneh itu. Akan tetapi segera
mengurungkan, dan akan menyelidikinya besok
pagi. Ketika dipagi harinya dia agak kesiangan terbangun, lalu mencari sungai
untuk mencuci muka, mendadak dia mendengar suara air menyibak,
dan ringkik suara seekor kuda.
Ketika dia menyibak semak untuk melihat,
tampak seorang gadis menuntun seekor kuda, berjalan menyusuri sungai berbatu-
batu itu. Tampaknya kakek ini mau munculkan diri. Segera dia
menutup lagi semak yang disibakkan. Lalu diamdiam menguntit gadis itu.
Selang beberapa saat lamanya dia melihat gadis
itu menghentikan langkahnya. Lalu beranjak kedarat. Gadis itu duduk diatas batu.
Sepasang matanya tampak kuyu, seperti kurang tidur atau entah kebanyakan
menangis. Sumanti memang kurang tidur malam tadi. Karena malam hampir tiba, dia beranjak
naik kedarat. Lalu mendaki tempat ketinggian. Untunglah
dia menemukan sebuah dangau reyot. Di dangau
tua yang sudah tak terawat pada tanah kering penuh rumput alang-alang itulah dia
bermalam, dengan ditemani seekor kuda. Semalam-malaman
gadis itu tak dapat tidur, karena pikirannya tertuju
pada si brewok Warok Sobrah yang tak diketahui
bagaimana nasibnya. Barulah pada pagi harinya
dia kembali menyusuri sungai dangkal berbatubatu itu. Dia berharap diujung
sungai itu dapat
menemukan sebuah muara yang terus menuju ke
arah laut. Mungkin dia bisa menemukan seorang
nelayan, dan pergi meninggalkan wilayah itu.
Akan tetapi rasa penat telah memaksanya untuk beristirahat. Tiba-tiba mata gadis
itu membelalak melihat sesosok tubuh tergeletak tak jauh dari
tempat dia melepaskan lelah. Alangkah terkejutnya
Sumanti ketika melihat orang itu adalah Warok
Sobrah. "Paman Warok...!?" teriaknya dengan suara
menggetar bercampur isak, juga perasaan girang
luar biasa. Akan tetapi tampak terselip suatu perasaan cemas melihat laki-laki
itu. "Apakah yang terjadi dengan paman Warok"
Matikah dia?" berkata gadis ini dalam hati. Matanya menatap nanar bersimbah air
mata. Dia melihat laki-laki brewok itu tak bergerak. Cepat-cepat
dia mendekatkan kepalanya, lalu menempelkan telinganya didada laki-laki itu.
Wajah Sumanti berubah agak cerah. Dia masih
mendengar denyut nadi laki-laki itu walaupun
sangat lemah. Gadis ini memutar pandangan ke
kiri dan ke kanan. Dia bermaksud meminta tolong,
kalau-kalau saja ada orang disekitar tepi sungai
itu. Tiba-tiba pandangannya terbentur pada sesosok tubuh seorang kakek bungkuk
yang tongolkan kepala disemak belukar diseberang sungai.
"Siapapun adanya kau orang tua, tolonglah pa-
manku ini..." teriak Sumanti dengan suara bergetar bercampur isak."Pamanmukah
orang itu..?"
sahut kakek aneh itu dengan mata agak dibesarkan.
"Benar, orang tua... Tolonglah dia. Dia terluka
parah, dan dalam keadaan pingsan..!" menyahut
Sumanti. "Ah, siapakah laki-laki tua aneh itu"
Mudah-mudahan dia mau menolongku..." berkata
Sumanti dalam hati.
"Baik..! Baik aku akan menolongmu..!" kata kakek aneh yang wajahnya kelihatan
aneh itu. Gerakan tubuhnya ringan sekali ketika menyeberangi
sungai berbatu-batu. Seolah-olah kakinya tak menyentuh batu sama sekali. Hingga
membuat Sumanti kagum, tapi juga terkesima melihat orang
tua itu dalam beberapa kejap saja sudah berada
dihadapannya. Tapi yang lebih terkesima adalah
melihat wajah si kakek yang kini semakin nyata
keanehannya. Karena dia melihat kakek bungkuk
itu cuma memiliki sebelah kumis dan sebelah
jenggot. Ketika kakek bungkuk itu membungkukkan tubuhnya lagi untuk memeriksa Warok
Sobrah. Wajah Sumanti tampak memuncat pias.
"Ular..! ular! Dipunggungmu ada ular..!" teriaknya sambil menunjuk. Tentu saja
membuat kakek itu tersentak kaget. Secara reflek dia melompat
bangun berdiri lalu berjingkrakan mengebutkan
jubahnya dibagian belakang.
"Mana ularnya?" teriak si kakek dengan mata
melotot, karena tak melihat adanya binatang berbisa itu. Bahkan dia tak
merasakan sama sekali
sesuatu yang merayap dipunggungnya.
"I., itu... ular bulu! Aku... aku takut pada ular
bulu..!" menyahut Sumanti yang melihat binatang
yang menjijikkan dan kalau terkena kulit bisa gatal-gatal itu sudah terjatuh
menemplok diatas batu.
Tentu saja mata di kakek jadi mendelik semakin
lebar. Tak terasa lengannya menggaruk tengkuknya. Mulutnya mengomel.
"Haiih! Kukira ular apa, tak tahunya ular bulu..?" Baru saja dia selesai
menggerutu, mendadak
dia berjingkrak kaget.
"Celaka!" Aku lupa kalau aku seorang kakek
bungkuk..! Wah"! lebih celaka lagi. Kumis dan
jenggotku hilang sebelah... "!?"
Saat itu si kakek tampak melihat gadis dihadapannya memalingkan wajah sambil
menutupi mulutnya. Mau tak mau Sumanti tersenyum, dan
hampir saja tak dapat menahan tertawa melihat si
kakek bungkuk dalam sekejap mendadak sembuh
bungkuknya. Dan punggungnya kembali lempang.
Bahkan sejak tadi dia sudah hampir tertawa melihat jenggot dan kumis memutih
kakek itu cuma sebelah-sebelah.
"Wah, percumalah aku menyamar lagi..!" gumam si kakek, seraya mencabut kumis dan
jenggot palsu yang tinggal sebelah-sebelah itu. Lalu membuka jubahnya. Ternyata si kakek
itu adalah Nanjar si Dewa Linglung. Sambil tersenyum dia melemparkan jubah yang
dilepaskan dari tubuhnya
ke arah gadis itu. Sejak mengintai dari balik semak, dia melihat keadaan aurat
gadis itu sudah
terlihat. Karena baju kebaya yang dipakai dara itu
sobek lebar dibagian depan.
"Hehe... aku memang bukan seorang kakek tua
jelek dan bungkuk. Nah, kau pakailah pakaian ini
Dewa Linglung 29 Begal Dari Gunung Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
agar kau tak masuk angin!" kata Nanjar.
Tentu saja girangnya hati si gadis bukan kepalang menerima pemberian pemuda
gagah itu. Seketika wajahnya berubah memerah ketika sadar
bahwa sepasang auratnya menyembul keluar sejak
tadi. Pasti pemuda penyamar itu sejak tadi sudah
melihatnya... Pikirnya dibenak. Tapi tanpa ayal lagi
segera dia mengenakan jubah pemberian itu.
Sementara itu dilihatnya si pemuda gondrong
tengah membungkuk memeriksa keadaan si lakilaki brewok. Hati Nanjar tersentak
ketika mengenal
laki-laki itu adalah orang yang tengah dikejarnya,
seperti ciri-ciri yang disebutkan Tumenggung Mahesa.
"Bukankah laki-laki ini Warok Sobrah si Begal
dari gunung Kidul?" sentaknya dalam hati. Namun
Nanjar segera salurkan hawa murni ke tubuh lakilaki yang terkapar pingsan itu.
Lalu membantunya
dengan mengurut dibeberapa jalan darah. Nanjar
terkejut melihat darah merembes dari bagian belakang punggung laki-laki itu.
Ketika dia membalik
tubuh si jembros, ditemukan sebuah luka lebar.
Perlahan dia menggulirkan lagi tubuh laki-laki itu.
"Laki-laki ini banyak kehabisan darah. Dan
tampaknya dia demam. Tubuhnya panas sekali...
Setelah dia siuman kucoba membalut lukanya..!"
Selang tak lama tampak laki-laki brewok itu
membuka matanya. Tampaknya dia mulai siuman.
Tahulah Nanjar kalau suara yang semalam diden-
garnya adalah suara rintihan laki-laki ini.
Sumanti segera menyobek pakaiannya yang sudah dilepaskan, lalu mengambilnya
selebar sapu tangan. Dia telah mengenakan jubah pemberian si
Dewa Linglung. Kemudian membasahi dengan air
sungai. Girang hati gadis ini melihat Warok Sobrah
sudah sadarkan diri. Dia berjongkok di sebelah tubuh Warok Sobrah. Kain basah
itu diusapkan kekening si laki-laki brewok perlahan. Lengannya
membelai rambutnya. Tampak sepasang mata dara
ini berkaca-kaca. Dan setetes air bergulir kepipi
Meluncur turun dan... menetes ke wajah laki-laki
itu. Mata Warok semakin membuka lebar. Dia merasai usapan lembut dikepalanya. Dan
melihat seraut wajah cantik yang sepasang matanya menggenang air mata.
"Ya... Tuhan..! Engkau ka.. kabulkan do'a ku..."
tampak bibir laki-laki ini bergerak mengucapkan
kata-kata berdesis.
"Su.. man.. ti... benarkah kau.. Su.. manti...?"
bertanya Warok Sobrah.
"Benar, paman Warok..! Aku menemukan kau
menggeletak ditempat ini" menyahut Sumanti. Lalu berpaling pada Nanjar. "Kakak
inilah yang telah
berusaha membuat kau kembali sadarkan diri.."
sambungnya seraya kembali menatap Warok Sobrah. Perlahan Warok menggerakkan
kepalanya untuk memandang si Dewa Linglung. Dia dapatkan seorang pemuda gagah tengah
tersenyum menatapnya. Mendadak dia membesarkan matanya, ketika melihat racahan bergambar
Naga yang tersembul dari belahan baju dibagian dada
pemuda itu. "Ah... kalau... aku tak., sa.. salah, tentu anda si
Pendekar Naga Merah... yang terkenal dengan sebutan si Dewa... Linglung..!
Benarkah dugaanku..?" berkata Warok dengan suara lamban bergetar.
Nanjar mengangguk, sambil tersenyum.
"Memang itu gelar yang diberikan orang persilatan padaku..! Bukankah anda yang
benama... Warok Sobrah?" balik bertanya Nanjar. Laki-laki itu
tersenyum menganggukkan kepala perlahan.
"Girang hatiku bertemu anda... Aku memang
Warok Sobrah si Begal dari gunung Kidul. Tapi...
nama itu telah lenyap... dan tak akan terdengar lagi... selamanya...! Terima.,
kasih atas pertolonganmu, pendekar gagah..." Kemudian dia berpaling
menatap Sumanti.
"Kau., kau selamat, anak manis..?" tanyanya
penuh perasaan girang yang tak terlukiskan. Sumanti mengangguk sambil menyeka
air matanya. "Tuhan masih melindungi diriku, paman Warok.
Aku selamat, tak kurang suatu apa. Perwira jahat
yang membawa lari aku kutemukan telah tewas.
Dan... aku menemukan uang emas yang terjatuh
dari bajumu, paman Warok..!" sahut Sumanti seraya membuka buntalan yang
tersangkut dipinggangnya, lalu menunjukkan pada Warok Sobrah.
"Sukurlah... Tapi berikan uang emas itu pada
pendekar muda ini agar dapat dikembalikan pada
pemilik sebenarnya..." kata Warok seraya berpaling
menatap Nanjar. "Aku telah menemukan... uang
emas itu disebuah gedung kuno. Tak tahu siapa...
pemiliknya..." kata Warok pada si Pendekar Naga
Merah. "Hm, untunglah kau menemukannya, sobat Warok! Pasti Adipati Kuncoro yang telah
menyembunyikan digedung kuno itu!" kata Nanjar. Dia segera
teringat pada peristiwa ketika bersama si gadis baju merah, yang nyaris
diperkosa oleh Adipati itu.
Di saat dia tertelungkup ditanah, dan Adipati itu
tak jadi menyerang dengan tombak pendeknya karena dicegah gadis itu, dia melihat
Adipati itu memasuki gedung kuno. Tentu untuk mengambil
uang emas yang telah disembunyikannya.
"Adipati Kuncoro telah ditangkap, dan bakal dihukum gantung untuk mempertanggung
jawabkan semua perbuatannya yang merugikan rakyat dan
Kerajaan!" kata Nanjar lebih lanjut.
Sepasang mata Warok membinar. Bibirnya tersenyum.
"Oh, sukurlah..." lalu dia menoleh pada Sumanti seraya berkata.
"Anak manis... jangan menangis. Kau beruntung berjumpa dengan pendekar gagah
Dewa Linglung. Kelak... kalau aku sudah tak ada... kau
mengikutlah... padanya..!"
"Paman Warok,... kau akan sembuh, paman!
Kau tak boleh mati! Kau... kau harus hidup!" teriak Sumanti dengan menyentak
kaget. Tapi Warok
menatapnya dengan tersenyum.
"Manusia tak dapat menentang... takdir, anak
manis..! Tuhan telah mengabulkan doaku... hingga
disaat aku sadar dari kekhilafanku selama ini den-
gan menjadi... seorang begal yang hina dina, aku...
aku telah menemukan anak gadisku yang hilang..!
Anakku hilang belasan tahun yang silam dalam
suatu musibah peperangan..! Dan... anakku itu
adalah kau sendiri.." Selesai berkata, tiba-tiba kepala Warok Sobrah terkulai...
Gadis ini tersentak
kaget dengan membelalakkan matanya. Tiba-tiba
dia menjerit dan memeluk laki-laki brewok itu.
Dan mengguncang-guncangkan tubuhnya.
"Paman Warok! Paman Warook! Benarkah ucapanmu" Benarkah kau ayahku..?" Ohh..
hh... tidak! Kau tak boleh pergi meninggalkan aku! Jangan pergi, pa...paman..."
teriak Sumanti dengan
menangis, dan mengguncang-guncangkan tubuh
Warok Sobrah. Tapi laki-laki itu sudah lepaskan
nyawanya dengan tersenyum. Dia telah berpulang
diambil Yang Maha Kuasa. Dia pergi dengan ikhlas, seikhlas-ikhlasnya, karena dia
telah bertobat sebelum ajal. Dan ternyata Tuhan Maha Pengasih.
Dia telah dipertemukan dengan Sumanti anak gadisnya, serta dalam keadaan
selamat. Menjeritlah Sumanti sekuat-kuatnya ketika
mengetahui Warok Sobrah sudah melepaskan
nyawanya. "A y a a a a h... h., h., h..!"
Bersamaan dengan teriakannya menyebut ayah
pada si laki-laki jembros Warok Sobrah itu, gadis
inipun terkulai pingsan tak sadarkan diri. Tinggal
si Dewa Linglung yang menjublak terpaku sambil
menggaruk tengkuknya...
TAMAT https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan: Clickers Juru Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
Suling Emas Dan Naga Siluman 8 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pendekar Sakti 3
bagian terlarang gadis itu terbuka, dan gadis baju
merah ini karena tergesa-gesa terlupa mengancingkan bajunya lagi.
Mata si Dewa Linglung mau tak mau menatap
pemandangan indah itu.
Tapi segera dia cepat-cepat palingkan wajahnya,
menghijrahkan pandangan matanya ke arah dua
batang jarum yang tadi dijatuhkan ke atas rumput.
Lalu tangannya menjulur untuk menjumput
dua batang jarum maut itu.
"Aku baru ingat kalau membawa obat ramuan
anti racun!" ujar gadis ini seraya merogohkan lengannya ke kantung celana yang
tersembunyi di sebelah dalam. Dari dalam kantung celana itu dikeluarkan sebuah
lipatan kain. Lalu... cepat dia melompat ke belakang si Dewa Linglung.
Gadis ini segera membuka lipatan kain kecil itu.
Ternyata berisi serbuk ramuan berwarna kehijauan. Diambilnya sejumput, lalu di
balurkan pada lubang disekitar luka. Dua kali dia berturut-turut
membalurkan obat ramuan anti racun itu, segera
dia dengan cepat membalut luka itu dengan sobe-
kan kain bajunya.
Begitu cekatan sekali pekerjaan si gadis baju
merah. Hingga selang tak lama dia telah selesai
membalut dengan rapih.
Nanjar menatap gadis itu dengan tatapan matanya yang berkilat.
Ternyata gadis itu justru tengah menatapnya
dengan bibir tersenyum. Bahkan baru saja gadis
ini menarik napas lega. Tentu saja kedua pasang
mata mereka saling bentrok. Nanjar merasa darahnya berdesir cepat. Senyum gadis
itu terlalu manis. Bibirnya yang tipis berwarna merah delima
yang setengah merekah itu membuat dia terkagum
menatap. Dan ketika senyum gadis itu melebar,
tampak sederet gigi yang putih rata membuat si
Dewa Linglung sejenak terkesima. Mau tak mau
dia memang mengagumi kecantikan gadis itu.
Melihat Nanjar hanya terpaku bagai patung, dara ini mendadak berkata dengan
wajah berubah cemberut. Tapi justru makin cantik kelihatannya.
"Kau... kau menatapku begitu rupa, apakah kau
tak senang aku membalut lukamu?"
"Eh..!" Bu., bukan begitu, adik manis... Tapi...
tapi..." sahut Nanjar tergagap."Tapi...tapi apa" kau
selalu berusaha menghindariku. Telah beberapa
kali kau meninggalkan aku. Kalau kau memang
tak senang, biarlah aku pergi...!" kata gadis ini.
Mendadak wajahnya berubah seperti orang berduka.
Dan tampak sepasang mata dara ini berkacakaca. Mendadak dia membalikkan tubuh
dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
"Eh...!" Tu...tunggu...!" teriak Nanjar seraya
bangkit berdiri.
Jarum yang berada ditangannya dilemparkan ke
semak belukar. Dan dia melompat mengejar gadis
baju merah yang berlari cepat sambil terisak-isak
itu. "Tunggu, adik manis...! Dengar penjelasanku!"
teriak Nanjar. "Tak perlu kau menjelaskan lagi! Aku sudah tahu kau tak akan sudi bersahabat
denganku..!"
menyahut si gadis tanpa menoleh. Dan sebentar
saja sosok tubuh gadis baju merah itu semakin
menjauh, dan lenyap dibalik bukit. Nanjar tak
mengejar. Sesaat dia berdiri terpaku. Lalu merapihkan bajunya dengan tatapan
mata masih terarah ke tempat gadis itu lenyap. Kemudian lengannya menggaruk
tengkuk dengan menghela napas.
"Biarlah dia pergi...! Mudah-mudahan saja dia
sadar, bahwa dia telah bertindak salah. Dan kembali pulang untuk menamatkan
pelajarannya. Salah-salah Tumenggung Mahesa bisa menuduhku melarikan anak gadisnya dari rumah
perguruan..." menggumam si Dewa Linglung. Lalu segera memutar tubuh, dan
berkelebat pergi dari
tempat itu. *** TUJUH WAROK SOBRAH bergulingan ditanah ketika
klewang-klewang panjang berkilatan itu merencah
tubuhnya. Akan tetapi senjata maut itu terus
memburu nyawanya. Terpaksa dia mencabut kerisnya untuk melindungi diri dan
menangkis serangan senjata-senjata ketiga perwira Kerajaan
itu.... Sumanti hanya terpaku memandang dengan
wajah pucat pias.
Jantungnya melonjak keras. Dia sangat
mengkhawatirkan nasib laki-laki brewok itu.
Crass...! Satu tabasan klewang mengenai pundak kirinya. Untunglah hanya menyerempet
sedikit kulit, tak sampai menoreh terlalu dalam. Tapi cukup
membuat Warok Sobrah meringis menahan nyeri.
Dan darah mengucur dari lukanya.
Satu tublasan klewang dari sebelah kanan
membuat dia terpana.
Sementara dari arah kiri perwira satunya mengayun klewang untuk menabas ke arah
leher. Trang! Detik yang gawat itu masih sempat dipergunakan Warok Sobrah untuk
menangkis dengan kerisnya. Akan tetapi tabasan perwira satunya...."
Cras! Tabasan itu nyaris memutuskan urat lehernya.
Untunglah dia masih sempat menghindar dengan
menggulingkan tubuhnya kesamping. Tabasan
klewang mengandung maut itu lewat disamping
kepala. Benda tajam itu menghunjam ketanah
memapas rerumputan.
Gadis bernama Sumanti ini tak terasa menjerit
ngeri dan menutupi wajahnya. Seperti sudah ter-
bayang dalam benaknya kepala si laki-laki jembros
itu terpisah dari tubuhnya.
Kesempatan baik sebelum perwira itu mengangkat klewangnya segera dipergunakan
Warok Sobrah untuk melayangkan kakinya menendang
pangkal lengan si perwira.
Perwira itu roboh terguling. Klewangnya terlepas
dari tangannya.
Warok Sobrah segera membarengi gerakannya
dengan melompat berdiri.
Matanya menatap ke arah salah seekor kuda
dari ketiga perwira Kerajaan itu yang tak jauh berada didekatnya. Selintas dia
terniat di benaknya
untuk melompat ke punggung kuda, dan melarikan diri. Tapi mendadak dia urungkan
niatnya ketika teringat pada gadis itu.
"Tidak! Tak seorangpun kuperbolehkan menyentuhnya...! " mendesis laki-laki ini.
Di saat itulah dua perwira Kerajaan kembali menerjangnya dengan tusukan dan tabasan klewang...
Dengan menggerung keras, laki-laki ini terpaksa menangkis dan melompat menghindar
serangan. Namun
serangan kedua perwira itu tiada putusnya. Bahkan semakin gencar menyerang
dengan tabasan klewang yang menderu-deru dari kiri dan kanan.
Tampaknya perwira-perwira Kerajaan itu sangat
bernapsu sekali untuk melenyapkan nyawanya. Itu
disebabkan karena mereka telah mengetahui siapa
adanya laki-laki itu.
"Haha... menyerahlah kau Warok Sobrah! Atau
terpaksa kami akan mengantar nyawamu ke Neraka!" berkata salah satu perwira yang
bernama Gantar Mangu. Dia adalah bekas seorang kepala
prajurit yang diperbantukan pada Tumenggung
Mahesa sebelum diperbantukan pada Adipati Kuncoro.
Tentu saja dia mengenal siapa laki-laki jembros
itu. Karena beberapa bulan yang lalu dalam suatu
peristiwa perampokan yang dilakukan oleh Warok
Sobrah diwilayah utara, perwira ini memergoki
perbuatannya. Sayang saat itu Warok Sobrah berhasil melarikan diri dalam
penggerebekan yang dilakukan oleh Tumenggung Mahesa untuk menjebak laki-laki
jembros itu. Nama Warok Sobrah yang bergelar si Begal dari
Gunung Kidul sudah tidak asing lagi ditelinga
orang-orang Kerajaan.
Dengan berhasilnya menangkap hidup-hidup
atau membunuh dan membawa kepala Warok Sobrah, tentu hadiah besar dari Baginda
Sultan Pekik Hadiwijoyo sudah menanti.
Oleh sebab itulah perwira-perwira Kerajaan itu
terus merangsak dengan tabasan-tabasan klewangnya yang ganas. Ternyata ketiga
perwira itu adalah perwira-perwira Kerajaan kelas satu.
Tentu saja ilmu kepandaiannya sangat tinggi.
Hingga sukarlah bagi Warok Sobrah untuk melepaskan diri dari kepungan ketat,
walaupun hanya dua orang perwira yang saat itu dihadapinya.
Sementara itu perwira yang tadi kena tendang
pangkal lengannya sudah melompat bangun berdiri. Segera dia menjumput klewangnya
yang tertancap ditanah. Akan tetapi mendadak mata perwira
ini melihat sebuah kain buntalan menggeletak di-
rerumputan tak jauh dari klewangnya yang menancap ditanah.
Tentu saja juluran tangannya membelok, dan
menjumput benda itu terlebih dulu. Mendadak hati perwira satu ini jadi berdebar.
Cepat ia membuka kain buntalan kecil yang besarnya kira-kira dua kepalan tangan
itu. Tentu saja sepasang matanya seketika membelalak melihat
isi kain buntalan itu adalah uang emas. Tak pelak
lagi benda itu pasti terjatuh dari sela baju Warok
Sobrah si laki-laki brewok itu disaat tubuhnya
berguling-guling menghindari serangan.
Menyeringai girang perwira ini. Cepat dia menyelipkan dalam kantung bajunya
sebelah dalam. Sementara matanya menatap ke arah pertarungan.
Tampak Warok Sobrah masih tetap bertahan matimatian menghadapi serangan gencar
kedua perwira kawannya.
Perwira ini cepat memungut klewangnya yang
tertancap ditanah. Mendadak dia teringat pada gadis itu. Matanya segera mencari-
cari dimana gadis
yang dilarikan Warok Sobrah. Segera saja ia melihatnya. Ternyata Sumanti tengah
berdiri di dekat
semak belukar dengan wajah pucat dan pipi bersimbah air mata. Tentu saja Sumanti
melihat perwira itu memungut kain buntalan yang tercecer
dari dalam baju Warok, dan melihat perwira itu
membukanya, lalu memasukkan dalam sela bajunya. Hatinya tersentak ketika beradu
tatap dengan mata perwira itu. Tahu-tahu perwira itu melompat ke arahnya.
Pucat pias seketika wajah gadis ini. Akan tetapi
dengan tersenyum perwira itu berkata.
"Jangan takut, nona...! Kami datang untuk menolongmu dari tangan penjahat. Kini
kau sudah selamat. Tak lama lagi kedua kawanku tentu akan
meringkus si Begal dari Gunung Kidul itu, atau
mengirim nyawanya ke Akhirat...!"
"Tapi... tapi..." berkata Sumanti dengan wajah
semakin pias memucat.
"Mengapa nona" Apakah kau tak senang kami
menolongmu?" tanya perwira ini. Sambil berkata
mata perwira ini menjalar menatap bagian-bagian
tubuh gadis dihadapannya. Tampaknya perwira ini
selain mata duitan juga mata keranjang! Tiba-tiba
saja lengannya telah terlulur menangkap pinggang
gadis itu. Tentu saja Sumanti tersentak kaget karena tahu-tahu lengan perwira itu telah
memeluk pinggangnya. Dia berusaha meronta untuk melepaskan
diri sambil menjerit keras. Akan tetapi suaranya
tertahan karena dengan cepat lengan perwira itu
telah menekap mulutnya.
Perwira ini bekerja cepat. Setelah memungut
klewangnya yang tadi dilepaskan karena lengannya digunakan untuk menekap mulut
dara cantik itu, segera dia menyeret tubuh Sumanti mendekati
kuda tunggangannya.
Sumanti tak berdaya dalam himpitan tangan laki-laki kekar itu. Bau keringatnya
saja yang keluar
dari ketiak perwira itu sudah menusuk hidung,
dan hampir-hampir membuat dia pingsan.
Sebelum menaikkan keatas kuda, terlebih dulu
dia menyumpal mulut gadis itu dengan sobekan
baju kebaya panjang dibagian dada si gadis. Sesaat matanya membeliak membinar
melihat tersembulnya sepasang payudara yang membuntal
padat. Tapi dia tak dapat berlama-lama untuk berada ditempat itu. Dengan menelan
ludah cepat dia melompat terlebih dulu keatas punggung kuda,
sementara lengannya yang sebelah masih tetap
mencekal pergelangan tangan si gadis. Klewangnya
telah terlebih dulu dimasukkan dalam serangka
dipinggang. Kemudian segera menarik tubuh gadis
itu untuk dinaikkan ke punggung kuda.
"Haha...beres! Aku harus segera angkat kaki dari sini! Dan., tak perlu lagi aku
kembali ke Kadipaten. Dengan uang emas sebanyak ini dan seorang
gadis cantik yang menemaniku, aku bisa hidup
senang...! Uang sebanyak ini tak akan kudapatkan
seumur hidupku. Hanya orang bodohlah yang tak
memanfaatkan kesempatan sebaik ini..." berkata
dalam hati si perwira.
Di saat dia menghentakkan kakinya diperut kuda untuk segera meninggalkan tempat
itu, tibatiba terdengar suara teriakan Warok Sobrah menggembor keras.
"Sumantiiiii....!?"
Ternyata Warok Sobrah mendengar suara teriakan gadis itu. Dan melihat gadis itu
dalam pelukan salah seorang perwira Kerajaan. Akan tetapi dia
tak ada kesempatan untuk meloloskan diri dari
kepungan dua perwira Kerajaan itu.
Melihat Sumanti telah berada diatas punggung
kuda dan siap dilarikan oleh perwira itu, laki-laki
brewok ini menggembor keras.
"Haha... biarkan gadis itu diantarkan ke Gusti
Kanjeng Adipati! Kau boleh menyusulnya setelah
nyawamu terbang ke Akhirat!" berkata Gantar
Dewa Linglung 29 Begal Dari Gunung Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mangu seraya mempergencar serangannya. Lakilaki perwira ini tadi sempat melirik
ke arah perwira
kawannya yang melarikan kuda dengan membawa
gadis itu. Karena dalam keadaan kalut melihat Sumanti
dilarikan perwira itu. Warok terlengah menghindarkan diri dari tabasan klewang
perwira yang berada dibelakangnya.
Crass...! Brret! Warok Sobrah mengerang kesakitan. Dia jatuhkan tubuhnya berguling ditanah.
Laki-laki ini merasakan perih dibagian punggungnya. Dan bagian depan bajunya
terkoyak oleh tabasan klewang perwira satunya.
Akan tetap dia melompat berdiri dengan terhuyung. Tampak baju bagian belakangnya
juga terkoyak lebar. Darah mengalir dari luka memanjang yang menoreh kulit dan
mengiris daging dibagian punggungnya.
Saat itulah Warok tersentak ketika teringat sesuatu.
Lengan meraba kebalik bajunya yang terkoyak.
Wajahnya mendadak berubah pucat.
"Celaka...! Uang emas dalam buntalan kain itu
lenyap! Pasti terjatuh..." berkata Warok dalam hati.
Tapi saat itu tampaknya Warok Sobrah sudah tak
memperdulikan uang emas itu lagi. Pikirannya tertuju pada Sumanti.
"Aku harus mengejar perwira itu! Takkan kubiarkan seorangpun menyentuh
tubuhnya!" mendesis laki-laki brewok itu.
Warok Sobrah memang harus cepat mengambil
keputusan, karena dilain pihak nyawanya diinginkan oleh perwira Kerajaan itu.
Bahkan dengan membentak keras dua perwira itu kembali menerjang sambil mengayunkan klewangnya.
"Warok Sobrah! Serahkan jiwamu!"
Trang! Whuuut! Dua tabasan klewang itu menderu dan dua arah
berlawanan. Sambaran yang menabas ke pinggang
dielakkan dengan membuang tubuhnya ke samping kanan, sambil gerakkan kerisnya
menangkis tusukan deras yang mengarah ke jantungnya.
"Keparat! Kalian benar-benar menginginkan jiwaku" Majulah kalian kunyuk-kunyuk
Kerajaan!"
menggembor keras Warok Sobrah. Dadanya tampak berombak-ombak, sepasang matanya
menatap bengis kedua perwira itu. Tiba-tiba menerjanglah
Warok Sobrah dengan serangan membabi buta.
Kerisnya menyambar-nyambar menimbulkan suara bersiutan. Serangan yang dibarengi
dengan kemarahan meluap-luap itu ternyata membuat kedua perwira ini tersentak
kaget. Tampaknya si laki-laki jembros itu sudah tak menghiraukan jiwanya lagi.
Akan tetapi justru hal itu membuat kedua perwira itu terkejut setengah mati,
karena serangan
Warok Sobrah yang kalap itu sangat membahayakan jiwa mereka. Kini keduanyalah
yang terdesak hebat. Satu jeritan ngeri terdengar ketika keris laki-laki
brewok itu menghunjam dijantung salah satu dari
kedua perwira Kerajaan itu.
Tak ampun lagi perwira itu roboh terjungkal,
dan menggelepar merenggang nyawa. Lalu tewas
seketika. Gantar Mangu tersentak kaget. Nyalinya seketika menjadi ciut melihat kawannya
tewas kena tikaman keris laki-laki brewok itu.
Dia melompat mendapat kudanya untuk melarikan diri. Baru saja dia membedal
binatang tunggangannya untuk angkat kaki, tiba-tiba perwira
Kerajaan ini menjerit parau lalu jatuh tengkurap
diatas kuda. Ternyata punggungnya tertembus klewang yang
dilontarkan Warok Sobrah.
Kuda itu terus membedal lari dengan meringkik
panjang. Disisi lereng bukit beban dipunggungnya
terlepas. Tubuh perwira yang telah tak bernyawa
itu terguling ke bawah lereng.
Warok Sobrah dengan cepat melompat ke punggung kuda milik si perwira kerajaan.
Lalu membedalnya dengan cepat untuk mengejar gadis yang
dilarikan itu....
*** DELAPAN ALANGKAH TERKEJUTNYA Adipati Kuncoro ketika melihat keadaan digedung Kadipaten
telah di- jaga ketat oleh para perwira Kerajaan.
Tampak berdiri dialtar pendopo Senopati Tohpati dengan wajah tampak mengelam
seperti tak sabar menunggu yang ditunggu kemunculannya.
Dihalaman gedung Kadipaten terlihat Tumenggung Mahesa yang sedang bercakap-cakap
dengan seorang gadis berbaju merah.
Pucatlah seketika wajah Adipati Kuncoro, melihat gadis baju merah itu adalah
gadis yang baru
beberapa saat yang lalu telah ditotoknya di depan
gedung kuno ditengah hutan tersembunyi. Dan...
ketika dia teringat pada batang pisang, seketika
wajahnya berubah merah padam.
"Linggar Wati! Lain kali kau tak kuizinkan meninggalkan padepokan sebelum kau
menamatkan pelajaranmu...! Untung saja pendekar muda itu
berhasil menyelamatkan dirimu. Jangan sementang kau berguru pada Nyi Soko Murti
yang bibimu sendiri, hingga kau menjadi bengal dan sukar
dibimbing! Padahal semua itu untuk kepentingan dan kebaikan dirimu sendiri. Wajarlah kalau
bibimu bersikap keras. Ketika kau lari dari padepokan tanpa
sepengetahuannya, bibimu telah menemuiku di
Kota Raja dan melapor padaku...!
Hm, bagaimanakah keadaan luka pendekar
muda itu?" Adipati Kuncoro mendengar suara Tumenggung Mahesa yang berbicara pada
si gadis baju merah. "Aku... aku telah membalut lukanya, ayah...!
Dan sebelumnya telah kububuhi serbuk anti racun. Untunglah aku membawanya.
Tampaknya keadaannya sudah membaik, karena dua buah jarum mengandung racun itu sudah
berhasil tercabut keluar. Tapi...tapi..." Gadis baju merah yang
bernama Linggar Wati ini tak meneruskan katakatanya, karena seketika wajahnya
berubah seperti mau menangis.
"Hm... tapi kenapa, anakku..." Apakah yang telah terjadi?" bertanya Tumenggung
Mahesa melihat perubahan wajah anak gadisnya.
"Aku... aku benci dia, ayah...! Dia... dia telah
menyakiti hatiku!" menyahut Linggar Wati dengan
suara bercampur isak. Tampak sepasang matanya
tiba-tiba berkaca-kaca.
"Menyakiti hatimu" Hm, aku tak mengerti... bukankah dia telah menyelamatkan
dirimu dari napsu rendah si Kuncoro itu?"
Linggar Wati mengangguk. Lalu sahutnya dengan wajah cemberut.
"Aku telah ucapkan terima kasih atas pertolongannya, tapi dia tak mengucapkan
terima kasih ketika aku membalut lukanya..."
"Haih...! Mengapa kau merisaukan hal sekecil
itu, anakku...?" menukas Tumenggung Mahesa
sambil tersenyum, seraya mencekal pundak anak
gadisnya yang manja dan bengal itu. "Sudahlah!
mengucapkan atau tidak tak menjadi masalah.
Apakah kau ikhlas menolongnya?"
"Tentu saja, ayah...!" sahut Linggar Wati sambil
menunduk. "Nah! Menolong orang dengan ikhlas adalah
perbuatan yang sangat terpuji. Dan perbuatan
yang terpuji adalah tak mengharapkan imbalan,
walaupun yang kau tuntut hanyalah berupa ucapan terima kasih. Kukira walaupun
pemuda pendekar gagah itu tak mengucapkannya, tapi dalam
hatinya dia sangat berterima kasih padamu...! Tahukah kau, anakku" Sampai saat
ini ayahmu belum sempat mengucapkan terima kasih padanya.
Dia pernah menolongku dari bahaya maut beberapa hari yang lalu. Ketika kudaku
terperosok akibat
tanah longsor. Kuda tungganganku mati terhempas ke dasar jurang dalam. Untunglah
disaat tubuhku melayang ke mulut jurang lenganku berhasil menangkap akar gantung
yang tumbuh disisi
jurang. Akan tetapi aku tak dapat naik, sementara
dibawah maut siap menanti. Kalau tak muncul
pendekar muda itu yang menolongku, tak tahulah
bagaimana nasibku... Belum sempat aku mengucapkan terima kasih, ternyata
pendekar muda itu
telah berlari pergi!"
Tentu saja penuturan singkat ayahnya membuat gadis ini terpaku, dan tersipu.
Tumenggung Mahesa menepuk-nepuk pundak anak gadisnya.
Lalu bertanya lagi.
"Nah! Begitu perlukan sebuah ucapan terima
kasih?" Linggar Wati menggeleng sambil tersenyum.
Dan menyeka air matanya.
"Kau masih membencinya?" tanya lagi Tumenggung Mahesa.
Gadis ini menggeleng, tapi segera menyahut
dengan tergagap.
"Sebenarnya... sebenarnya bukan ucapan te...
terima kasih itu yang aku membencinya ayah...
Tapi... tapi aku benci karena dia tak mau bersahabat padaku!"
"Haha... aku tahu watak pendekar muda itu,
anak manis! Dia tahu kau pergi diam-diam dari
padepokan tanpa setahu gurumu. Mana sudi dia
mengajak berkawan seorang gadis bengal macamkau?" ujar Tumenggung Mahesa.
"Maafkan aku, ayah...! Aku yang salah...!" Akhirnya Linggar Wati mengakui
kesalahannya. Tampak wajahnya semakin menunduk. Tapi ayahnya memujinya sambil membelai
rambutnya penuh kasih sayang.
"Aku senang mendengar pengakuanmu yang jujur. Haih! Lagi-lagi kita telah
berhutang budi pada
pendekar itu. Hampir saja aib menimpa dirimu.
Perbuatan Kuncoro sudah melebihi batas. Dia tak
patut menjadi seorang Adipati. Saat ini kita tengah
menanti kedatangannya untuk menangkap manusia sesat itu! Semua kejahatannya
telah terbongkar. Tidak saja dia melakukan pemerasan pada
penduduk, tapi juga telah menyuap orang kepercayaan Gusti Sultan untuk
berkhianat, dan menyelewengkan uang perbendaharaan Kerajaan. Telah beberapa hari
terjadi kekisruhan dalam istana,
patih Mangkudilaga dituduh menggelapkan uang
kas Kerajaan, dan bersekongkol dengan Senopati
Tohpati untuk menumbangkan kekuasaan Sultan.
Telah ditemui sepucuk surat dikamar Bendahara yang dibuat secara rahasia atas
nama Patih Mangkudilaga. Akan tetapi Patih Mangkudilaga tak
mengakui. Untunglah penggelapan uang kas Kerajaan itu
segera diketahui dengan dibekuknya wakil Bendahara Kerajaan..." tutur Tumenggung
Mahesa. "Apakah yang dilakukan wakil Bendahara kerajaan
itu, ayah?" bertanya Linggar Wati dengan wajah
berubah kaget. Dia tak menyangka kalau urusan
Adipati yang perbuatan tak senonohnya dilaporkan
pada ayahnya, ternyata berekor panjang. Bahkan
telah terjadi kekisruhan yang membengkak di Istana. Setelah menghela napas,
Tumenggung Mahesa menyahut.
"Hm.! Dia telah mencuri cap Kerajaan, dan memalsukannya! Bukan itu saja dia juga
telah memalsukan tanda tangan para pembesar Kerajaan.
Mudah saja bagi dia menirunya, karena seharihari bekerja menjadi bawahan
Bendahara Kerajaan. Semua itu adalah atas suruhan Adipati Kuncoro.
Dan dengan tanda tangan serta cap Kerajaan
palsu itu, dengan mudah Adipati Kuncoro mengeruk uang kas Kerajaan.
Bangsat licik itu benar-benar edan! Pantas dia
semakin mewah hidupnya.
Dalam waktu setahun saja sudah menyimpan
banyak isteri muda! Bahkan dia sudah melamar
lagi anak Ki Demang untuk menjadi isterinya yang
keempat...!"
"Kudengar Ki Demang Sunggoro tewas dalam
suatu perampokan, dan isterinya juga dibunuh perampok! Benarkah ayah?" memotong
Linggar Wati. "Benar! Kukira hal itu wajar. Karena penduduk
sudah merasa tertekan dengan pajak-pajak berat
yang dibebankan pada mereka. Para perampok
bertopeng itu tak dapat disamakan dengan perampok sungguhan.
Dimanapun adanya berdiri suatu pemerintahan,
tetapi pemerintahan itu menjalankan kekuasaan
dengan sewenang-wenang, maka disana akan timbul suatu pemberontakan! Perbuatan
Ki Demang Sunggoro yang kaki tangan Adipati Kuncoro itu
pantas mendapat balasan yang layak dengan kekejamannya!
Tinggal kini menangkap biang keladi kejahatan
besar ini. Kuncoro edan itu bukan saja telah mempitnah para pembesar Kerajaan,
tapi juga melakukan perbuatan melanggar susila, berbuat sewenang-wenang dengan
kekuasaannya! Suatu hal
yang tak terpuji! Dialah yang membuat surat fitnah terhadap Patih Mangkudilaga
seolah-olah bersekongkol dengan Senopati Tohpati!"
Tumenggung Mahesa menuturkan pada anak
gadisnya. Tentu saja membuat Linggar Wati jadi
marah bukan main pada manusia yang bukan saja
gila harta, tapi juga gila perempuan itu.
"Adipati itu layak dihukum mati, ayah! Tapi
enaknya disiksa dulu, biar matinya secara perlahan-lahan, dan dia merasakan
sakit disaat sekaratnya! Atau.... enaknya digantung kepala dibawah
kaki diatas. Lalu ditaruh dikandang..."
"Wah, wah, wah....! Urusan itu adalah urusan
Gusti Sultan yang berhak memberi hukuman!"
memotong Tumenggung Mahesa dengan tersenyum. Kepala gadis bengal itu diusap-
usapnya seraya berkata memerintah.
"Sudahlah jangan mengaco terus anak manis.
Mulutmu yang comel itu kau sumpal dulu dengan
makanan. Pergilah ke dapur memanggang sate untuk mengisi perutmu!"
Gadis baju merah itu mengangguk gembira, seraya beranjak pergi untuk menuju ke
barak di sebelah belakang gedung Kedipatian. Tapi masih
sempat gadis ini menoleh, sambil menyeloteh berkata kepada ayahnya.
"Membakar sate adalah kesenanganku. Tapi
aku lebih senang lagi kalau menyate tubuh Adipati
sinting itu!" Selesai berkata gadis itu berlari kecil
menuju ke belakang gedung. Beberapa orang prajurit yang mendengar percakapan dan
Dewa Linglung 29 Begal Dari Gunung Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kata-kata gadis itu jadi tersenyum.
"Haih...! Dasar bocah nakal..." menggumam
Tumenggung ini sambil menggeleng-gelengkan kepala menatap ke punggung anak
gadisnya. *** Bagai terbakar rasanya dada Adipati Kuncoro,
disamping terkejut mendengar pembicaraan Tumenggung Mahesa. Tumenggung ini baru
saja memutar tubuh untuk menghadap Senopati Tohpati. Tiba-tiba saja laki-laki tua itu
tersentak kaget
mendengar suara berdesis dibelakangnya. Itulah
sambaran pukulan jarum beracun yang meluruk
dari rimbunan daun pohon besar yang tumbuh diluar pagar tembok gedung
Kedipatian. Tumenggung ini kibaskan lengan bajunya kebelakang seraya membuang tubuh ke
samping. Tak urung dia mengaduh kesakitan, karena tiga batang
jarum menghunjam dipangkal lengan. Tentu saja
membuat terkejut para prajurit yang berada dihalaman gedung itu. Mendengar
teriakan ayahnya,
Linggar Wati balikkan tubuhnya. Seketika wajahnya berubah pucat melihat laki-
laki tua itu terguling ditanah dengan mengerang kesakitan. Tak ayal
dia menjerit seraya memburu ke tempat ayahnya
menggeletak. "Ayaaah..!?"
Senopati Tohpati yang tengah berdiri dan duduk
seperti tak sabar menunggu kemunculan Adipati
Kuncoro seketika terperanjat mendengar kegaduhan itu. Dia melompat dari ruang
pendopo. Matanya tertuju pada Tumenggung yang menggeletak
ditanah. Tiba-tiba dia melihat gerakan dahan pohon besar disamping tembok
halaman gedung itu
bergerak. "Bedebah! Jangan lari!!" membentak laki-laki
Senopati Kerajaan ini. Bentakannya disusul dengan berkelebat tubuhnya mengejar
keluar dari pintu gerbang gedung Kedipatian. Belasan prajurit
dan perwira Kerajaan tersentak. Mereka segera turut memburu keluar....
Adipati Kuncoro melompat cepat ke punggung
kuda setelah melepas jarum maut ke arah Tumenggung Mahesa, lalu membedal kudanya
dengan cepat. "Kejar...! Tangkap!" Gaduhlah seketika keadaan
ditempat itu. Belasan prajurit berlari mengejar.
Tapi segera berhenti, karena apa artinya mengejar
orang yang melarikan diri dengan menunggang
kuda yang membedal tunggangannya bagai dikejar
setan" Namun saat itu empat perwira Kerajaan
muncul dipintu gerbang, membedal kudanya dengan cepat mengejar orang yang
melarikan diri itu.
Senopati Tohpati kembali memasuki pintu gerbang. Tampaknya wajahnya merah padam
karena marahnya. Hampir saja seorang prajurit melanggar
tubuhnya, karena tak mengetahui kalau saat itu
Senopati Tohpati melangkah masuk.
"Ah..!" Ma.. maaf, Gusti..!" sentak prajurit itu
dengan wajah pucat, seraya cepat-cepat menyingkir memberi jalan.
"Hm, mau kemana kau?" bentak Senopati Tohpati.
"Me.. mengejar pen.. penjahat itu, Gusti..!" sahutnya tergagap.
"Penjahat sudah sampai ke seberang lautan,
kau baru mau mengejar?" bertanya Senopati sambil melototkan mata. Tentu saja
membuat prajurit
itu gelagapan tak bisa menjawab. Tampak wajahnya pucat pias bagai tak berdarah.
Akan tetapi sebagai basa-basi dan untuk menghilangkan keterkejutannya, prajurit
ini berkata. "Sudah sampai ke., ke seberang lautan, Gusti"
Wah... cepat sekali...?"?" Seketika prajurit lainnya
jadi tergelak tak dapat menahan geli. Akan tetapi
segera dibentak oleh Senopati Tohpati. Bagai suara
jengkerik terinjak, seketika semua diam.
"Hm, kesinilah kau!" Senopati memanggil prajurit dungu itu."Siap, Gusti!
Perintah Gusti Senopati
kami junjung diatas kepala. Hamba siap menjalankan tugas!" sahut si prajurit
dengan menyembah.
"Bagus..!" kata Senopati Tohpati dengan terse-
nyum kaku. "Kuperintahkan sekarang juga kau
pergi ke tepi laut untuk mencuci mukamu yang
macam cecurut sakit itu!" Selesai berkata melayanglah kaki Senopati menyepak
prajurit itu hingga terguling-guling.
"Am.. ampun Gusti..! Ampuuun..!" Prajurit itu
cepat bangkit dan menyembah sambil meringisringis menahan sakit pada punggungnya
yang kena tendangan.
"Kalian semua goblok! Mengapa sampai tak
mengetahui ada penjahat menyelundup?" bentaknya sambil menatap pada semua
prajurit yang berkerumun ditempat itu. Serentak semuanya menundukkan kepala tanpa ada berani
berkata sepatah katapun. Senopati Tohpati memang sedang berang hatinya karena
telah difitnah oleh Adipati
Kuncoro. Tentu saja gagalnya menangkap penjahat
yang belum diketahui siapa adanya itu ditumpahkan pada para prajuritnya. Dengan
wajah merah padam segera dia beranjak melangkah ke arah kerumunan beberapa orang prajurit
Kadipaten yang tengah melakukan pertolongan pada Tumenggung
Mahesa. Untunglah Linggar Wati membawa serbuk anti
racun. Setelah jarum berhasil dikeluarkan dari
pangkal lengan ayahnya segera dia membubuhkan
serbuk itu. Lalu membalutnya dengan kain perban
yang dibawa seorang prajurit. Dari keterangan si
gadis berbaju merah Linggar Wati itulah Senopati
Tohpati mengetahui kalau penjahat yang menyelundup itu adalah Adipati Kuncoro
yang memang tengah dinantikan kemunculannya untuk ditang-
kap! *** SEMBILAN EMPAT PERWIRA KERAJAAN yang mengejar
kuda putih berpenunggang Adipati Kuncoro itu
terkejut ketika berhasil mengejar buruan mereka
ternyata si penunggang kuda putih itu adalah seorang kakek tua renta berambut
semrawut, dan berwajah kaku berkeriput. Si kakek tua renta menatap keempat perwira Kerajaan
yang mengurungnya dengan pandangan terheran.
"Ah.." Siapakah kau kakek?" membentak salah
seorang perwira.
"Heheheh.. ada kepentingan apa kalian menanyakan aku?" balik bertanya yang
ditanya. Tentu saja membuat perwira itu jadi mendongkol.
"Kami mengejar seorang laki-laki berkuda putih
untuk menangkapnya!" sahut perwira ini dengan
setengah membentak.
"Siapa laki-laki itu" Dan apa kesalahannya?"
tanya si kakek.
"Dia Adipati Kuncoro yang telah berkhianat pada Kerajaan!" sahut salah seorang
perwira kawannya. Si kakek tampak manggut-manggutkan kepala. Mendadak kakek itu
menyelinapkan lengannya
ke balik jubah.
"Apakah dia si pemilik senjata ini?" tanyanya
seraya mengeluarkan sebuah tombak pendek berunce merah. Empat pasang mata
perwira itu se-
gera menatapnya. Tentu saja keempatnya mengetahui senjata itu milik Adipati
Kuncoro. "Benar! Itu memang senjatanya!" menyahut
keempat perwira hampir serempak. Mendadak lengan si kakek bergerak menghunjamkan
tombak itu ke tanah. Tampaknya gerakannya ringan saja.
Akan tetapi membelalak mata keempat perwira itu
melihat senjata itu amblas masuk ke dalam tanah
hingga lenyap tak kelihatan lagi.
"Kalau itu manusia yang kau cari, aku telah
mengikatnya dibalik pohon itu! Silahkan kalian
membawanya!" ujar si kakek, seraya menunjuk lalu memutar kuda, dan membedalnya
perlahan meninggalkan tempat itu.
"Hei..! Tunggu dulu..!?" berteriak seorang perwira menahan kepergian laki-laki
tua aneh itu. Tentu
saja perwira itu tak percaya begitu saja pada ucapan si kakek. Akan tetapi tiga
perwira kawannya
telah membedal kuda menuju ke arah sebatang
pohon besar yang ditunjuk kakek itu. Benar saja
mereka mendapatkan Adipati Kuncoro dalam terikat oleh seutas tali kulit. Itulah
tali sanggurdi kuda yang telah digunakan mengikat. Melihat ketiga
kawannya melompat turun dari punggung kuda
dekat dibawah pohon besar itu, perwira ini segera
membedal kuda untuk melihat.
Sementara keempat perwira Kerajaan itu sibuk
menggotong Adipati Kuncoro yang dalam keadaan
tertotok tak berdaya, si kakek aneh telah lenyap
dari tempat itu...
Akan tetapi ketika keempat perwira itu membawa tubuh Adipati Kuncoro yang dalam
keadaan te- rikat dinaikkan kepunggung kuda, kemudian
keempat perwira itu membedal kuda meninggalkan
tempat itu, tahu-tahu si kakek aneh muncul kembali, dan mengikuti dibelakang
mereka. Tampaknya kakek aneh itu khawatir keempat
perwira itu melepaskan lagi manusia yang telah
berhasil diringkusnya. Ternyata keempat perwira
itu adalah perwira tulen, bukan begundalnya Adipati Kuncoro. Mereka membawa
masuk tawanan memasuki pintu gerbang halaman gedung Kedipatian.
Kira-kira lima puluh tombak dari pintu gerbang
itu si kakek aneh belokan kudanya merambas hutan kecil, lalu lenyap ditelan
kerimbunan pepohonan....
*** SEPULUH WAROK SOBRAH melarikan kudanya bagai
orang kesurupan...
Pandangan matanya liar mencari jejak dimana
perwira berkuda itu membawa lari gadis bernama
Sumanti itu. Sementara darah terus mengalir dari
luka-lukanya. Warok merasa punggungnya nyeri
sekali. Luka torehan klewang perwira Kerajaan itu
mengganggu gerakan tubuhnya untuk mengendalikan kuda yang berlari cepat.
Saat itu hari mulai merambah senja... Ketika
kuda tunggangannya melewati tanah licin berbatubatu, kaki kuda tergelincir.
Binatang itu meringkik
keras dan mengangkat kaki depannya. Tak ampun
Warok Sobrah kehilangan keseimbangan tubuhnya. Dia terjungkal masuk ke semak
belukar. Kuda itu terus membedal lari sambil meringkik tiada
henti, dan lenyap merambas hutan belantara...
Warok Sobrah mengerang menahan sakit pada tubuhnya. Pakaiannya yang sudah koyak-
koyak semakin banyak sobekan disana-sini, karena tersangkut ranting semak yang
tajam, dan menggores
pula kulit tubuhnya. Dengan susah payah dia keluar dari semak belukar yang
menggerombol. Laki-laki jembros ini memperhatikan sekitarnya.
Mendadak telinganya mendengar suara gemericik
air. Hatinya tercekat. Dia menelan ludah. Saat itu
tenggorokannya terasa kering. Segera dia mencari
dari mana datangnya suara gemericik itu. Setelah
beberapa saat melangkah merambas onak dan duri, akhirnya dia menemukan sebuah
sungai berair jernih. Sepasang mata Warok berkilat-kilat. Semangatnya kembali muncul. Direngkuhnya air
bening itu, dan direguknya sepuas-puasnya. Kemudian dia
membasahi pula wajahnya. Terasa segar kini tubuhnya. Akan tetapi percikan air
yang mengenai lukanya membuat dia menyeringai. Namun dia bisa menarik napas lega, dan
bersyukur menemukan sungai itu. Beberapa saat lamanya dia termangu-mangu
memandangi aliran air sungai yang
bersuara gemericik disela batu-batu berlumut. Dalam termangu itu ingatan Warok
Sobrah tetap saja
memikirkan Sumanti.
"Ah... dimanakah dia saat ini" Kemanakah aku
harus mencari" Apakah perwira itu membawa
Sumanti ke Kota Raja?" berkata dalam hati si lakilaki brewok ini. Tampak
wajahnya kelihatan sangat berduka. Sepasang matanya yang kemerahan
itu tampak berkaca-kaca.
"Sumanti.... oh, anak manis... mengapa nasibmu begitu buruk seperti aku..?"
mendesis Warok Sobrah dengan suara bergetar.
"Akupun telah kehilangan semua yang kumiliki... Anakku, isteriku... harta
bendaku... dan juga
harga diri... Aku telah menjadi sampah manusia!
Hidupku kotor menjijikkan. Apa yang ku lakukan
adalah sebagai balas dendam terhadap kekalahanku. Terhadap ketidak adilan Tuhan
yang kurasakan waktu itu. Tapi ternyata aku salah kaprah.
Tuhan Maha Adil dan Maha Pemurah. Tuhan masih memberiku hidup sampai saat ini.
Hingga aku kembali sadar akan arti hidup yang sebenarnya...
Aku sadar bahwa semua ini adalah cobaan hidup
dialam Dunia yang tidak langgeng. Untuk menguji
ummatnya..! Ternyata aku telah jauh tersesat,
mengumbar nafsu angkara, membunuh, memperkosa, merampok, membegal dan
sebagainya..!"
Warok berhenti mengucapkan kata-kata lirihnya
yang berupa penyesalan dan kutukan pada dirinya
sendiri. Dia terguguk menangis bagai anak kecil
dengan pipi bersimbah air mata. Tiba-tiba dia menengadah ke langit dan membuka
kedua telapak tangannya. Terdengar suaranya bergetar.
"Ya... Tuhan, penguasa Alam Semesta! Yang telah memberiku hidup sampai saat ini.
Bila Kau berkehendak menghukumku, maka hukumlah
aku! Matikanlah aku saat ini... tapi ampunilah segala dosaku! Ampunilah segala
kekhilafanku selama ini! Aku rela meninggalkan dunia fana ini. Aku
percaya Engkaulah Tuhan Yang Maha Tunggal,
yang menciptakan seluruh Alam dengan segala
Dewa Linglung 29 Begal Dari Gunung Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
isinya...! Ya, Tuhan Yang Maha Pengasih..! Sebelum kau cabut nyawaku,
pertemukanlah aku pada
Sumanti. Selamatkanlah dia... dari bencana..."
Selesai berkata, tampak napas Warok Sobrah
tersengal-sengal. Sekujur tubuhnya tampak bergetar. Dia telah menumpahkan
seluruh perasaan dalam relung jiwanya kepada Sang Penguasa Alam
Semesta. Keadaan lukanya memang cukup parah.
Dan darah banyak keluar dari tubuhnya. Dengan
terhuyung-huyung Warok Sobrah bangkit berdiri...
Masih ada tersisa semangatnya untuk menemukan
gadis itu. Akan tetapi ketika itu pandangan mata si
laki-laki brewok tampak nanar. Bumi yang dipijaknya serasa berputar. Akhirnya
Warok Sobrah terhuyung roboh ditepian sungai berbatu. Laki-laki
itu seketika tak sadarkan diri.
Mendadak langit berubah gelap. Angin keras
membersit bersiutan. Tampak kilatan petir membelah diangkasa. Tapi hal itu tak
berlangsung lama. Seolah-olah Yang Maha Agung telah menerima
do'anya. Alam kembali tenang seperti sediakala....
Dan senja terus merayap. Keheningan tambah
mencekam ketika suara burung-burung yang berebut mencari tempat bermalam telah
melenyap. Sepi... lengang..! Gemericik air sungai yang mengalir diantara sela bebatuan itu
semakin terdengar
nyata. O, Alam..!
*** SEBELAS SEEKOR KUDA BERBULU COKLAT sejak tadi
berdiri ditepi hulu sungai berbatu-batu itu. Tampaknya dia setia menunggu
majikannya sambil
memakan rerumputan yang tumbuh ditepian sungai.
Ternyata dibalik-balik pohon berakar gantung
bertanah lembab itu terdapat sebuah relung batu
menyerupai sebuah goa. Dari sebelah dalam terdengar suara gemerincing, dan
sesekali diseling
oleh suara tertawa kecil seorang laki-laki. Siapa
adanya laki-laki itu, anda pasti sudah menerkanya. Ya! Siapa lagi kalau bukan
perwira Kerajaan yang rakus dan tamak pada harta benda,
hingga dia rela mencopot gelar perwira Kerajaan
yang disandangnya. Apalagi dia bersama seorang
gadis cantik yang menggairahkan, berkulit putih
dan bertubuh mulus...
"Haha... lebih dari seratus keping emas..! Cukup
untuk bersenang selama dua atau tiga tahun...
haha.. ha... aku kaya dalam sekejap. Dan... disampingku ada gadis cantik yang
menemani. Ah, alangkah beruntungnya aku.." berkata sendiri
perwira Kerajaan yang telah melepas pakaian perwiranya itu. Tadinya dia telah
berniat melampiaskan nafsu bejatnya karena tak tahan melihat
gadis telah yang pingsan itu dalam keadaan setengah membugil. Tapi dia penasaran
untuk menge- tahui banyaknya uang emas dalam kain buntalan
itu. Hasratnya kembali muncul setelah dia selesai
menghitung uang yang dimilikinya. Tumpukan
uang emas itu disorongkannya kesisi bebatuan.
Sementara matanya menjalari sekujur tubuh gadis
itu yang dalam keadaan tak sadarkan diri. Sesaat
antaranya dia sudah mendekati.
"Oh, manisku... alangkah cantik parasmu... Kau
akan hidup senang mendampingiku..." terdengar
suara laki-laki perwira Kerajaan itu mendesis entah menggumam.
Tatapan matanya terhenti disepasang payudara
si gadis yang tersembul dari sela sobekan baju kebaya yang menutupinya. Napas si
perwira mulai memburu... Hidungnya kembang-kempis. Lengannya terjulur menepis pipinya yang
mengalirkan keringat. Kembali mulutnya mendesis.
"Benar-benar luar biasa..."
Perawira ini melemparkan pakaiannya di atas
onggokan bajunya, diatas batu. Lalu menatap sejenak untuk menikmati pemandangan
indah didepan matanya.
Saat itu sesuatu telah bergerak menjulur dari
libatan akar. Sesuatu yang kelihatan licin berkilat...
Laki-laki ini tampaknya sudah tak sadar untuk
segera merengkuh tubuhnya yang pasrah itu.
Akan tetapi baru saja dia menggulirkan tubuhnya,
tiba-tiba perwira ini menjerit parau, lalu roboh terguling... Entah dari mana
munculnya seekor ular
hitam berkulit licin berkilat telah mematuk pung-
gung laki-laki itu. Lalu membelit lehernya. Tubuh
laki-laki itu meregang-regang bergeleparan dengan
mata membeliak dan lidah terjulur. Tapi tak lama
kepalanya terkulai. Gerakan tubuhnya terhenti.
Nyawanya langsung melayang ke Akhirat.
Ular sebesar betis itu melepaskan belitannya,
dan... tiba-tiba lenyap sirna berubah jadi gumpalan asap putih. Namun tak lama
asap putih itupun
lenyap... Beberapa saat antaranya Sumanti sadar dari
pingsannya. Tentu saja terperanjat melihat keadaan dirinya. Matanya membeliak
melihat sesosok
tubuh laki-laki membugil tertelungkup tak bergerak.
Sadarlah dia apa yang terjadi. Tapi setelah merasai keadaan dirinya tak kurang
suatu apa, dia cepat beringsut setengah merayap menjauhi lakilaki yang membugil terkurap tak
bergerak itu. Lalu
bergegas mengenakan pakaiannya. Detik itu juga
dengan wajah pucat pias dia menghambur keluar
dari relung batu.
Akan tetapi tiba-tiba dia merandek. Sesaat dia
menatap laki-laki itu. Tampak ada darah mengalir
dari telinga, dan hidung laki-laki itu. Barulah dia
tersentak kaget ketika melihat mata laki-laki itu
membeliak memutih, dan lidahnya terjulur keluar.
Dari mulutnya yang setengah terbuka itu tampak
ada darah mengalir, dan masih menetes. Darah
kental berwarna kehitaman.
Yakinlah Sumanti kalau perwira itu sudah tak
bernapas lagi. Mendadak kakinya menyentuh
tumpukan uang emas yang berada disisi batu.
"Oh... Tuhan..! Aku... aku selamat..." mendesis
gadis ini dengan wajah berubah girang. Tak ayal
lagi segera dia membungkus keping-keping uang
emas itu, membuntal dan mengikatnya dengan
erat. Dia tahu uang emas itulah yang tercecer dari
pakaian Warok Sobrah, dan ditemukan oleh lakilaki perwira Kerajaan itu. Kini
manusia yang membawa lari dirinya itu telah tewas entah siapa
yang telah membunuhnya.
Selang tak lama Sumanti bergegas meninggalkan relung batu itu. Sesaat dia
menatap ke arah
seekor kuda ditepian sungai. Gadis ini mengetahui
itulah kuda si perwira Kerajaan. Segera dia menghampiri, lalu menariknya untuk
dibawa menyeberangi sungai dangkal berbatu-batu itu... Kemudian
menyusuri tepian sungai dengan hati agak bimbang. Kemana yang akan ditujunya..."
*** DUABELAS SUARA MENYIBAK bergemericiknya air sungai
yang ditingkah sesekali oleh suara dengus dan
ringkik perlahan seekor kuda, membuat sosok tubuh berjubah kelabu ini menyingkap
semak belukar untuk melihat ke arah seberang sungai. Siapa
adanya sosok tubuh ini tak lain dari si kakek aneh
yang telah meringkus Adipati Kuncoro.
Matahari baru saja menyembul dibalik bebukitan. Suara burung masih terdengar
berkicau menyambut munculnya sang Matahari. Malam tadi
telah dilewati si kakek dengan bermalam diatas
dahan pohon, sementara kuda putihnya diikatkan
dibawah pohon. Semalam-malaman dia mendengar suara aneh seperti orang mengerang
atau merintih. Terkadang terdengar jelas terbawa angin,
terkadang lenyap.
Sebenarnya kakek itu mau memeriksa dimana
adanya suara-suara aneh itu. Akan tetapi segera
mengurungkan, dan akan menyelidikinya besok
pagi. Ketika dipagi harinya dia agak kesiangan terbangun, lalu mencari sungai
untuk mencuci muka, mendadak dia mendengar suara air menyibak,
dan ringkik suara seekor kuda.
Ketika dia menyibak semak untuk melihat,
tampak seorang gadis menuntun seekor kuda, berjalan menyusuri sungai berbatu-
batu itu. Tampaknya kakek ini mau munculkan diri. Segera dia
menutup lagi semak yang disibakkan. Lalu diamdiam menguntit gadis itu.
Selang beberapa saat lamanya dia melihat gadis
itu menghentikan langkahnya. Lalu beranjak kedarat. Gadis itu duduk diatas batu.
Sepasang matanya tampak kuyu, seperti kurang tidur atau entah kebanyakan
menangis. Sumanti memang kurang tidur malam tadi. Karena malam hampir tiba, dia beranjak
naik kedarat. Lalu mendaki tempat ketinggian. Untunglah
dia menemukan sebuah dangau reyot. Di dangau
tua yang sudah tak terawat pada tanah kering penuh rumput alang-alang itulah dia
bermalam, dengan ditemani seekor kuda. Semalam-malaman
gadis itu tak dapat tidur, karena pikirannya tertuju
pada si brewok Warok Sobrah yang tak diketahui
bagaimana nasibnya. Barulah pada pagi harinya
dia kembali menyusuri sungai dangkal berbatubatu itu. Dia berharap diujung
sungai itu dapat
menemukan sebuah muara yang terus menuju ke
arah laut. Mungkin dia bisa menemukan seorang
nelayan, dan pergi meninggalkan wilayah itu.
Akan tetapi rasa penat telah memaksanya untuk beristirahat. Tiba-tiba mata gadis
itu membelalak melihat sesosok tubuh tergeletak tak jauh dari
tempat dia melepaskan lelah. Alangkah terkejutnya
Sumanti ketika melihat orang itu adalah Warok
Sobrah. "Paman Warok...!?" teriaknya dengan suara
menggetar bercampur isak, juga perasaan girang
luar biasa. Akan tetapi tampak terselip suatu perasaan cemas melihat laki-laki
itu. "Apakah yang terjadi dengan paman Warok"
Matikah dia?" berkata gadis ini dalam hati. Matanya menatap nanar bersimbah air
mata. Dia melihat laki-laki brewok itu tak bergerak. Cepat-cepat
dia mendekatkan kepalanya, lalu menempelkan telinganya didada laki-laki itu.
Wajah Sumanti berubah agak cerah. Dia masih
mendengar denyut nadi laki-laki itu walaupun
sangat lemah. Gadis ini memutar pandangan ke
kiri dan ke kanan. Dia bermaksud meminta tolong,
kalau-kalau saja ada orang disekitar tepi sungai
itu. Tiba-tiba pandangannya terbentur pada sesosok tubuh seorang kakek bungkuk
yang tongolkan kepala disemak belukar diseberang sungai.
"Siapapun adanya kau orang tua, tolonglah pa-
manku ini..." teriak Sumanti dengan suara bergetar bercampur isak."Pamanmukah
orang itu..?"
sahut kakek aneh itu dengan mata agak dibesarkan.
"Benar, orang tua... Tolonglah dia. Dia terluka
parah, dan dalam keadaan pingsan..!" menyahut
Sumanti. "Ah, siapakah laki-laki tua aneh itu"
Mudah-mudahan dia mau menolongku..." berkata
Sumanti dalam hati.
"Baik..! Baik aku akan menolongmu..!" kata kakek aneh yang wajahnya kelihatan
aneh itu. Gerakan tubuhnya ringan sekali ketika menyeberangi
sungai berbatu-batu. Seolah-olah kakinya tak menyentuh batu sama sekali. Hingga
membuat Sumanti kagum, tapi juga terkesima melihat orang
tua itu dalam beberapa kejap saja sudah berada
dihadapannya. Tapi yang lebih terkesima adalah
melihat wajah si kakek yang kini semakin nyata
keanehannya. Karena dia melihat kakek bungkuk
itu cuma memiliki sebelah kumis dan sebelah
jenggot. Ketika kakek bungkuk itu membungkukkan tubuhnya lagi untuk memeriksa Warok
Sobrah. Wajah Sumanti tampak memuncat pias.
"Ular..! ular! Dipunggungmu ada ular..!" teriaknya sambil menunjuk. Tentu saja
membuat kakek itu tersentak kaget. Secara reflek dia melompat
bangun berdiri lalu berjingkrakan mengebutkan
jubahnya dibagian belakang.
"Mana ularnya?" teriak si kakek dengan mata
melotot, karena tak melihat adanya binatang berbisa itu. Bahkan dia tak
merasakan sama sekali
sesuatu yang merayap dipunggungnya.
"I., itu... ular bulu! Aku... aku takut pada ular
bulu..!" menyahut Sumanti yang melihat binatang
yang menjijikkan dan kalau terkena kulit bisa gatal-gatal itu sudah terjatuh
menemplok diatas batu.
Tentu saja mata di kakek jadi mendelik semakin
lebar. Tak terasa lengannya menggaruk tengkuknya. Mulutnya mengomel.
"Haiih! Kukira ular apa, tak tahunya ular bulu..?" Baru saja dia selesai
menggerutu, mendadak
dia berjingkrak kaget.
"Celaka!" Aku lupa kalau aku seorang kakek
bungkuk..! Wah"! lebih celaka lagi. Kumis dan
jenggotku hilang sebelah... "!?"
Saat itu si kakek tampak melihat gadis dihadapannya memalingkan wajah sambil
menutupi mulutnya. Mau tak mau Sumanti tersenyum, dan
hampir saja tak dapat menahan tertawa melihat si
kakek bungkuk dalam sekejap mendadak sembuh
bungkuknya. Dan punggungnya kembali lempang.
Bahkan sejak tadi dia sudah hampir tertawa melihat jenggot dan kumis memutih
kakek itu cuma sebelah-sebelah.
"Wah, percumalah aku menyamar lagi..!" gumam si kakek, seraya mencabut kumis dan
jenggot palsu yang tinggal sebelah-sebelah itu. Lalu membuka jubahnya. Ternyata si kakek
itu adalah Nanjar si Dewa Linglung. Sambil tersenyum dia melemparkan jubah yang
dilepaskan dari tubuhnya
ke arah gadis itu. Sejak mengintai dari balik semak, dia melihat keadaan aurat
gadis itu sudah
terlihat. Karena baju kebaya yang dipakai dara itu
sobek lebar dibagian depan.
"Hehe... aku memang bukan seorang kakek tua
jelek dan bungkuk. Nah, kau pakailah pakaian ini
Dewa Linglung 29 Begal Dari Gunung Kidul di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
agar kau tak masuk angin!" kata Nanjar.
Tentu saja girangnya hati si gadis bukan kepalang menerima pemberian pemuda
gagah itu. Seketika wajahnya berubah memerah ketika sadar
bahwa sepasang auratnya menyembul keluar sejak
tadi. Pasti pemuda penyamar itu sejak tadi sudah
melihatnya... Pikirnya dibenak. Tapi tanpa ayal lagi
segera dia mengenakan jubah pemberian itu.
Sementara itu dilihatnya si pemuda gondrong
tengah membungkuk memeriksa keadaan si lakilaki brewok. Hati Nanjar tersentak
ketika mengenal
laki-laki itu adalah orang yang tengah dikejarnya,
seperti ciri-ciri yang disebutkan Tumenggung Mahesa.
"Bukankah laki-laki ini Warok Sobrah si Begal
dari gunung Kidul?" sentaknya dalam hati. Namun
Nanjar segera salurkan hawa murni ke tubuh lakilaki yang terkapar pingsan itu.
Lalu membantunya
dengan mengurut dibeberapa jalan darah. Nanjar
terkejut melihat darah merembes dari bagian belakang punggung laki-laki itu.
Ketika dia membalik
tubuh si jembros, ditemukan sebuah luka lebar.
Perlahan dia menggulirkan lagi tubuh laki-laki itu.
"Laki-laki ini banyak kehabisan darah. Dan
tampaknya dia demam. Tubuhnya panas sekali...
Setelah dia siuman kucoba membalut lukanya..!"
Selang tak lama tampak laki-laki brewok itu
membuka matanya. Tampaknya dia mulai siuman.
Tahulah Nanjar kalau suara yang semalam diden-
garnya adalah suara rintihan laki-laki ini.
Sumanti segera menyobek pakaiannya yang sudah dilepaskan, lalu mengambilnya
selebar sapu tangan. Dia telah mengenakan jubah pemberian si
Dewa Linglung. Kemudian membasahi dengan air
sungai. Girang hati gadis ini melihat Warok Sobrah
sudah sadarkan diri. Dia berjongkok di sebelah tubuh Warok Sobrah. Kain basah
itu diusapkan kekening si laki-laki brewok perlahan. Lengannya
membelai rambutnya. Tampak sepasang mata dara
ini berkaca-kaca. Dan setetes air bergulir kepipi
Meluncur turun dan... menetes ke wajah laki-laki
itu. Mata Warok semakin membuka lebar. Dia merasai usapan lembut dikepalanya. Dan
melihat seraut wajah cantik yang sepasang matanya menggenang air mata.
"Ya... Tuhan..! Engkau ka.. kabulkan do'a ku..."
tampak bibir laki-laki ini bergerak mengucapkan
kata-kata berdesis.
"Su.. man.. ti... benarkah kau.. Su.. manti...?"
bertanya Warok Sobrah.
"Benar, paman Warok..! Aku menemukan kau
menggeletak ditempat ini" menyahut Sumanti. Lalu berpaling pada Nanjar. "Kakak
inilah yang telah
berusaha membuat kau kembali sadarkan diri.."
sambungnya seraya kembali menatap Warok Sobrah. Perlahan Warok menggerakkan
kepalanya untuk memandang si Dewa Linglung. Dia dapatkan seorang pemuda gagah tengah
tersenyum menatapnya. Mendadak dia membesarkan matanya, ketika melihat racahan bergambar
Naga yang tersembul dari belahan baju dibagian dada
pemuda itu. "Ah... kalau... aku tak., sa.. salah, tentu anda si
Pendekar Naga Merah... yang terkenal dengan sebutan si Dewa... Linglung..!
Benarkah dugaanku..?" berkata Warok dengan suara lamban bergetar.
Nanjar mengangguk, sambil tersenyum.
"Memang itu gelar yang diberikan orang persilatan padaku..! Bukankah anda yang
benama... Warok Sobrah?" balik bertanya Nanjar. Laki-laki itu
tersenyum menganggukkan kepala perlahan.
"Girang hatiku bertemu anda... Aku memang
Warok Sobrah si Begal dari gunung Kidul. Tapi...
nama itu telah lenyap... dan tak akan terdengar lagi... selamanya...! Terima.,
kasih atas pertolonganmu, pendekar gagah..." Kemudian dia berpaling
menatap Sumanti.
"Kau., kau selamat, anak manis..?" tanyanya
penuh perasaan girang yang tak terlukiskan. Sumanti mengangguk sambil menyeka
air matanya. "Tuhan masih melindungi diriku, paman Warok.
Aku selamat, tak kurang suatu apa. Perwira jahat
yang membawa lari aku kutemukan telah tewas.
Dan... aku menemukan uang emas yang terjatuh
dari bajumu, paman Warok..!" sahut Sumanti seraya membuka buntalan yang
tersangkut dipinggangnya, lalu menunjukkan pada Warok Sobrah.
"Sukurlah... Tapi berikan uang emas itu pada
pendekar muda ini agar dapat dikembalikan pada
pemilik sebenarnya..." kata Warok seraya berpaling
menatap Nanjar. "Aku telah menemukan... uang
emas itu disebuah gedung kuno. Tak tahu siapa...
pemiliknya..." kata Warok pada si Pendekar Naga
Merah. "Hm, untunglah kau menemukannya, sobat Warok! Pasti Adipati Kuncoro yang telah
menyembunyikan digedung kuno itu!" kata Nanjar. Dia segera
teringat pada peristiwa ketika bersama si gadis baju merah, yang nyaris
diperkosa oleh Adipati itu.
Di saat dia tertelungkup ditanah, dan Adipati itu
tak jadi menyerang dengan tombak pendeknya karena dicegah gadis itu, dia melihat
Adipati itu memasuki gedung kuno. Tentu untuk mengambil
uang emas yang telah disembunyikannya.
"Adipati Kuncoro telah ditangkap, dan bakal dihukum gantung untuk mempertanggung
jawabkan semua perbuatannya yang merugikan rakyat dan
Kerajaan!" kata Nanjar lebih lanjut.
Sepasang mata Warok membinar. Bibirnya tersenyum.
"Oh, sukurlah..." lalu dia menoleh pada Sumanti seraya berkata.
"Anak manis... jangan menangis. Kau beruntung berjumpa dengan pendekar gagah
Dewa Linglung. Kelak... kalau aku sudah tak ada... kau
mengikutlah... padanya..!"
"Paman Warok,... kau akan sembuh, paman!
Kau tak boleh mati! Kau... kau harus hidup!" teriak Sumanti dengan menyentak
kaget. Tapi Warok
menatapnya dengan tersenyum.
"Manusia tak dapat menentang... takdir, anak
manis..! Tuhan telah mengabulkan doaku... hingga
disaat aku sadar dari kekhilafanku selama ini den-
gan menjadi... seorang begal yang hina dina, aku...
aku telah menemukan anak gadisku yang hilang..!
Anakku hilang belasan tahun yang silam dalam
suatu musibah peperangan..! Dan... anakku itu
adalah kau sendiri.." Selesai berkata, tiba-tiba kepala Warok Sobrah terkulai...
Gadis ini tersentak
kaget dengan membelalakkan matanya. Tiba-tiba
dia menjerit dan memeluk laki-laki brewok itu.
Dan mengguncang-guncangkan tubuhnya.
"Paman Warok! Paman Warook! Benarkah ucapanmu" Benarkah kau ayahku..?" Ohh..
hh... tidak! Kau tak boleh pergi meninggalkan aku! Jangan pergi, pa...paman..."
teriak Sumanti dengan
menangis, dan mengguncang-guncangkan tubuh
Warok Sobrah. Tapi laki-laki itu sudah lepaskan
nyawanya dengan tersenyum. Dia telah berpulang
diambil Yang Maha Kuasa. Dia pergi dengan ikhlas, seikhlas-ikhlasnya, karena dia
telah bertobat sebelum ajal. Dan ternyata Tuhan Maha Pengasih.
Dia telah dipertemukan dengan Sumanti anak gadisnya, serta dalam keadaan
selamat. Menjeritlah Sumanti sekuat-kuatnya ketika
mengetahui Warok Sobrah sudah melepaskan
nyawanya. "A y a a a a h... h., h., h..!"
Bersamaan dengan teriakannya menyebut ayah
pada si laki-laki jembros Warok Sobrah itu, gadis
inipun terkulai pingsan tak sadarkan diri. Tinggal
si Dewa Linglung yang menjublak terpaku sambil
menggaruk tengkuknya...
TAMAT https://www.facebook.com
/DuniaAbuKeisel
Scan: Clickers Juru Edit: Fujidenkikagawa
PDF: Abu Keisel
Suling Emas Dan Naga Siluman 8 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Pendekar Sakti 3