Pencarian

Bonek Candi Sewu 2

Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu Bagian 2


Tunggu dulu, Pak," ujar Ronny Celepuk mulai jengkel. "Bapak baru datang marah-
marah. Boma satu harian pergi ke Jogja untuk mencari pertolongan..."
"Ke Jogya" Anak saya ada di sini! Ngapain dia ke Jogya"!"
"Ini bukan urusan sembarangan Pak. Ada kekuatan gaib di balik semua kejadian
ini." "Kekuatan gaib?" Erlan Sujatmiko menyeringai. Buruk sekali seringainya.
"Kekuatan gaib apa"! Jangan mencari-cari dalih! Saya tidak percaya segala
tahayul!" "Ini bukan tahayul Pak." Ronny masih menyahuti. "Bapak liat sendiri! Menurut
logika bagaimana mungkin anak Bapak bisa
masuk dalam stupa" Atau mungkin Bapak punya kemampuan
mengeluarkan anak Bapak" Silahkan!"
Rahang Erlan Sujatmiko menggembung. Mukanya yang
keringatan kelihatan kelam memerah.
"Pergi kamu dari hadapan saya. Atau saya, pukul!" Ancam diplomat senior itu.
"Kalau Bapak mukul saya, saya juga bisa mukul Bapak! Coba aja!" Ronny Celepuk
membalas ancaman orang dengan sikap menantang.
Ayah Dwita jadi kalap. Dengan tinju terkepal dia melompat
hendak menerkam lalu meninju Ronny. Tapi ayah Trini cepat
merangkulnya. "Ron, kesini Ron," Boma memanggil.
Ronny Celepuk masih tidak beranjak dari tempatnya. Kusumo
Atmojo ayah Trini member isyarat dengan goyangan kepala agar Ronny tinggalkan
tempat itu. Melihat isyarat ini Ronny akhirnya memutar tubuh, melangkah ke arah Boma. Sampai
di dekat Boma dan teman-temannya dia
keluarkan ucapan. "Katanya diplomat senior. Kok galak begitu, nggak ada sopan
santunnya. Kita-kita mau nolongin anaknya malah dicaci maki!"
"Belon tau si Ronny dia!" ucap Vino. "Celepuk dijabanin melotot.
Kalah belok die!"
"Teman-teman, biarin aja. Bokapnya Dwita lagi bingung." kata Boma coba membujuk
kawan-kawannya. "Bingung sih boleh sejuta bingung!" menyahuti Si Centil Sulastri.
Diplomat kok brengsek begitu. Enak aja dia nuduh kamu nyelakain Dwita. Justru
kamu yang kalang kabut setengah mati mau nolongin Dwita! Ngeliat nggak" Kalau
diplomat kita semua seperti dia, weh!
Pantesan aja bangsa kita kalah suara melulu dimana-mana. Ngaku diplomat, mental
kucing burik." Yang bicara si Centil Sulastri.
Ayah Trini akhirnya berhasil membujuk dan menenangkan Erlan Sujatmiko. Lelaki
ini akhirnya melangkah ke arah stupa di dalam mana anak perempuannya berada,
berlutut sambil dua tangannya memegangi stupa. Dia kelihatan letih sekali.
"Dwita.... Dwita...." Berkali-kali lelaki itu mengeluarkan ucapan, memanggil
anaknya. Suaranya tersendat dalam isakan tangis yang ditahan.
Serda Sujiwo mendekati ayah Trini. Sebelumnya waktu tugas ke Jakarta dia pernah
menemui Pamen ini. Dia memberi hormat
terlebih dulu pada Letnan Kolonel Kusumo Atmojo lalu menyalami.
Keduanya bicara beberapa lama. Ayah Trini memperhatikan
arlojinya lalu menganggukkan kepala. Serda Sujiwo kemudian mendekati Boma.
Diusapnya punggung anak lelaki ini lalu berkata.
"Tenang saja Dik Boma. Jangan terpengaruh ucapan orang tadi.
Waktu kita tidak banyak. Ingat ucapan Ki Tunggul Sekati. Sekarang sudah jam
setengah dua belas lewat sepuluh. Saya rasa sudah saatnya Dik Boma memasukkan
telur itu ke dalam lobang stupa.
Jangan lupa baca Bismillah, mohon pada Allah."
Boma mengangguk. Tengkuknya terasa dingin dan lututnya
mendadak goyah. Dadanya berdebar. Dia mengangguk sekali lagi tapi belum beranjak
dari tempatnya berdiri.
Ibu Renata mendekat. Dipegangnya bahu kiri Boma seraya
berbisik. "Tabah Bom. Kuatkan hatimu. Jangan ragu melakukan apa yang harus kau lakukan.
Kita tahu Tuhan Maha Kuasa. Segala sesuatu akan terjadi atas kehendakNya. Tapi
tetap kamu harus melakukan sesuatu. Sesuai pesan orang tua di Keraton , itu."
Boma palingkan kepala. Wajah Ibu Renata dekat sekali di
sampingnya. Dipandanginya wajah itu beberapa lama. Dan wajah Ibu Renata
dilihatnya cantik sekali saat itu. Anak lelaki ini tersenyum. Ibu Renata balas
tersenyum. Gita Parwati melirik ke arah Trini. Boma menggerakkan kaki kanan,
mulai melangkah mendekati stupa. Di bagian lain dari stupa ayah Dwita memperhatikan gerak-gerik Boma dengan
pandangan mata masih menyorot sementara Letkol Kusumo Atmojo dengan sepasang
matanya berusaha mencari-cari anak perempuannya di antara orang banyak. Namun
seperti semua orang yang ada di tempat itu perhatiannya kemudian lebih
ditujukan pada Boma. Tadi secara singkat Serda Sujiwo telah menerangkan tentang
kepergiannya ke Keraton dan kembali ke candi membawa sebutir telur ayam putih
yang menurut orang tua yang ditemui dengan kuasa Allah mudah-mudahan bisa
menolong menyelamatkan Dwita.
"Rin, kayaknya tadi bokap lu nyariin kamu. Samperin sana." Ucap Rio pada Trini.
"Nanti aja, aku mau liat apa yang dilakukan Boma." Jawab Trini acuh.
Saat itu Boma sudah sampai di depan stupa tempat Dwita
disekap. Dia berlutut, mengintip lewat lubang batu stupa. Hatinya terenyuh dan
anak ini seperti mau menangis melihat keadaan Dwita. Dia ingat pada ucapan supir
taksi tadi. Dwita dibunuh. Dia ingat pada bentakan-bentakan ayah Dwita. Dia yang
mencelakai anak perempuan itu.
"Dwita, jangan mati dulu. Aku dan teman-teman masih berusaha menolongmu. Tuhan
juga akan menolongmu Dwita. Kamu harus
hidup Dwita. Harus hidup. Untuk membuktikan aku dan teman-
teman tidak salah. Tidak mencelakaimu. Kamu anak baik. Tidak ada orang yang mau
berbuat jahat padamu. Tuhan tolong saya, tolong Dwita."
Ucapan Boma lirih perlahan tapi masih sempat terdengar oleh beberapa teman yang
jongkok di sekitarnya termasuk Ibu Renata.
Gita, Trini dan Sulastri tidak bisa menahan diri. Perasaan mereka jadi terenyuh.
Air mata berlelehan di pipi ketiga anak perempuan itu. Ibu Renata sendiri
kelihatan berkaca-kaca sepasang matanya.
Serda Sujiwo kembali memegang punggung Boma dan berbisik.
"Dik Boma, lakukan sekarang."
Tangan kiri Boma mendadak bergetar. Anak ini tidak berani
ulurkan tangan, memasukkan telur ke dalam lobang stupa. Takut telur itu
terjatuh. Boma pejamkan mata. Ucapan Ibu Renata
terngiang di telinganya. " Tabah Bom. Kuatkan hatimu. Jangan ragu melakukan apa
yang harus kau lakukan. Kita tahu Tuhan Maha Kuasa. Segala sesuatu akan terjadi
atas kehendakNya. Tapi tetap kamu harus melakukan sesuatu. Sesuai pesan orang
tua di Keraton itu."
Boma pejamkan mata. Menarik nafas dalam-dalam.
Suasana di tempat itu sunyi mencekam. Di langit tak kelihatan bintang. Bulan
purnama yang belum penuh sedikit demi sedikit mulai tertutup saputan awan hitam.
Lampu-lampu sorot mendadak menyala. Dua kamera televisi diarahkan ke Boma.
Beberapa kali lampu kilat kamera wartawan berkilauan. Serda Sujiwo dan anak buahnya tampak bingung. Apakah
mereka harus mencegah semua itu atau terpaksa diam membiarkan. Sementara semua
mata memperhatikan Boma tidak mengedip.Banyak yang mengusap
tengkuk masing-masing karena ada rasa dingin yang aneh kalau tidak mau dikatakan
takut. "Tuhan tolong saya, tolong Dwita." Dalam keadaan masih berlutut untuk kesekian
kalinya Boma berdoa memohon dalam hati.
Lalu buka kedua matanya kembali. Getaran di tangan kirinya lenyap. Tangan itu
perlahan-lahan diulurkan ke arah lobang stupa paling bawah. "Bismillah," Boma
mengucap lalu dengan sangat hati-hati Boma meletakkan telur ayam putih yang
sekian lama digenggamnya ke dalam lobang stupa. Tepat di arah kepala Dwita Tifani yang
terbaring di pangkuan Arca Amoghasidi.
Boma mendadak merasa ada satu kekuatan hawa sejuk
menuntun gerakan tangannya meletakkan telur ke dalam lobang stupa. Dia juga
seperti rnendengar ada suara "klek" ketika telur ayam putih bersentuhan dengan
batu lobang stupa. Di dalam
lobang, telur ayam putih itu tidak bergeming, seolah menempel lengket ke batu
stupa. Gita Parwati memegang lengan Trini. "Telor ayam, itu yang dari tadi dipegangin
Boma. Dapet dari mana dia?"
"Dari orang tua di Keraton," jawab Sulastri vang sebelumnya telah diberitahu
Trini. "Kok ditaroh dalam lobang stupa?" ucap Rio.
"Aku takut..." bisik si Centil Sulastri.
"Pelukin aja Vino situ," celetuk Trini.
Untuk beberapa lamanya Boma masih berlutut di depan stupa.
Memperhatikan telur ayam putih di dalam lobang, melirik ke dalam stupa untuk
melihat Dwita. Hatinya lega karena kini amanat untuk meletakkan telur ayam putih
di dalam lobang stupa telah
dilaksanakannya. Namun hanya sesaat karena kemudian anak
lelaki ini diselimuti rasa gelisah.
"Apa yang akan terjadi...." Membatin Boma. Lalu dia ingat sesuatu. "Belum tengah
malam. Belum tepat jam dua belas malam.
Menurut Ki Tunggul Sekati...."
"Pak Kusumo," ayah Dwita Tifani yang sejak tadi berlutut memperhatikan Boma dari
samping stupa bangkit berdiri.
Didekatinya ayah Trini. Walau dia berusaha menekan nada
suaranya namun beberapa orang masih sempat mendengar apa
yang diucapkan ayah Dwita ini.
"Pak Kusumo, perbuatan sirik apa yang dilakukan anak itu" Mau diapakan anak
saya"!" Letkol Kusumo Atmojo, ayah Trini, cepat mendekati Erlan
Sujatmiko, merangkul bahu lelaki ini. Sambil berusaha
membawanya agak menjauhi stupa Kusumo Atmojo berkata.
"Pak Erlan, tidak usah kawatir. Nanti saya terangkan..."
"Saya tidak mengerti. Saya benar-benar tidak mengerti.
"Nanti saya terangkan. Pak Erlan harap tenang. Berdoa saja agar anak Bapak bisa
diselamatkan." "Siapa yang menyelamatkan" Telur itu"! Anak itu"!"
"Erlan Sujatmiko gelengkan kepala berulang kali.
"Sudahlah, ayo kita duduk di sebelah sana. Bapak letih, saya juga capek."
Sementara itu Boma masih berlutut sambil memegangi batu
stupa. Lewat lobang-lobang stupa matanya tak putus-putus
menatap wajah Dwita.
"Dwita," ucap Boma perlahan. "Kalau semua ini nggak bisa nyelamatin kamu, aku
bakalan nekad. Aku mau mati demi kamu..."
Serda Sujiwo yang berdiri di samping Boma, sesaat tertegun mendengar kata-kata
anak lelaki itu. Dipegangnya bahu Boma lalu berkata.
"Dik Boma, bangun...."
"Jam berapa sekarang Pak?" tanya Boma tanpa mengalihkan matanya dari memandang
Dwita. Serda Sujiwo melirik ke pergelangan tangan kanannya.
"Dua belas kurang sepuluh. Seperti kata Ki Tunggul Sekati, sesuatu akan terjadi
tepat jam dua belas. Ayo...." Serda Sujiwo memberitahu lalu menolong Boma
bangkit berdiri. Anak ini
kemudian dibawanya menjauhi stupa. Kepada empat orang anak buahnya yang ada di
dekat stupa Serda Sujiwo memberi isyarat agar mundur. Kepada para pelajar SMU
Nusantara III dan semua orang yang berdiri di sekitar stupa dengan isyarat
tangan juga dimintanya agar mundur lalu duduk di lantai candi, tidak ada yang
berdiri. Untuk beberapa lama lampu-lampu sorot masih menyala. Juru
kamera dua stasiun televisi masih membidikkan kamera mereka ke arah telur ayam
putih di dalam lobang stupa, lalu ke arah Boma yang kini duduk di lantai stupa
di kelilingi teman-temannya. Lampu kilat tustel berkilauan berulang kali.
"Bom, telor yang kamu masukin ke dalam lobang stupa itu buat apaan?" tanya Ronny
Celepuk. "Aku nggak bisa ngasi tau apa-apa. Kita nunggu sampai jam dua belas tepat..."
"Memangnya ada apa jam dua belas?" tanya Sulastri.
"Katanya saat itu Dwita akan diselamatkan dari dalam stupa."
"Siapa yang nyelamatin?" tanya Vino.
Boma menowel hidungnya. "Liat aja nanti. Aku juga nggak ngerti.
Kalau dipikir semua nggak masuk akal. Aku cuma minta tolong sama Tuhan. Teman-
teman juga bantu aku. Ikut berdoa agar Dwita bisa keluar dari dalam stupa..."
"Git, rasanya serem amat. Aku kok jadi tambah takut..." bisik Sulastri pada Gita
Parwati. Si gendut Gita Parwati mengusap wajahnya yang basah oleh
keringat padahal udara dan angin bertiup dingin. "Gua juga ada perasaan
ngeri..." kata anak perempuan ini sambil memegang tangan Sulastri yang terasa
dingin. "Gua nggak bisa ngebayangin, apa yang bakal kejadian jam dua belas nanti," kata
Rio. Vino melirik ke arloji di tangan kirinya. Jam 11.48.
"Ron," panggil Boma. "Kamu sudah dapat dongkrak mobil yang aku minta?"
"Ada tiga Bom. Nyewa sama supir-supir," menerangkan Ronny.
"Kalau usaha aneh ini nggak bisa ngeluarin Dwita dari dalam stupa, aku nekad
ngedobrak stupa dengan dongkrak itu. Masa sih nggak jebol."
Tiba-tiba satu sosok besar bergerak di antara para pelajar SMU
Nusantara III. Beberapa orang anak mengomel karena tersenggol.
"Maaf, minta jalan. Dikit aja.... Maaf." Sosok besar keluarkan ucapan, melangkah
terbungkuk-bungkuk sambil luruskan tangan kanan ke bawah.
Sosok ini kemudian duduk dekat Trini yang berada di sebelah kanan Ronny.
"Mbak Trini masih ingat saya?"
Suara besar dan parau menegur Trini Damayanti.
Anak perempuan itu palingkan kepala. Satu wajah bulat besar, memakai topi pet
terbalik, tersenyum padanya.
"Eh, sampean toh! Mimpi kali"' ucap Trini. "Kok bisa ada di sini"
Tau dari mana?"
"Tuyul Bengkak. Wartaaaawwwwwaaan, tau. Yang namanya wartawan musti tahu sumber
berita hebat dan musti bergerak cepat. Nggak usah heran dong.
*** BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 8 CEWEK CAKEP TAK DIKENAL TELUR AYAM
PANCARKAN CAHAYA BIRU
ARA pelajar yang mengelilingi Boma sesaat memperhatikan
lelaki gendut berjaket kulit yang duduk di samping Trini
Pmembuka topi petnya. Dia mengusap kepalanya yang botak
basah oleh keringat lalu memakai topi itu kembali. Tustel
yang tergantung di leher diletakkan di pangkuan. Boma dan teman-teman memandang
ke arahnya. Mengetahui dirinya diperhatikan lelaki ini tersenyum dan lambaikan
tangan kanan. "Siapa Bom?" tanya Ronny. "Rasanya gue pernah ngeliat si gendut botak itu."
"Wartawan. Dia dulu yang bikin heboh. Bikin berita di tabloid aku pacarnya
Trini," jawab Boma setengah berbisik karena tidak mau ucapannya kedengaran Trini
yang duduk di sebelah kanan Ronny.
Wartawan dengan sosok gendut dan mengaku bernama Tuyul Bengkak ini adalah
wartawan sebuah tabloid di Ibukota. Sewaktu terjadi musibah yang menimpa Boma
dan kawan-kawan di Gunung Gede, dia pernah mewawancarai Trini. Di dalam artikel
yang kemudian ditulisnya di dalam tabloid dia menyebutkan Trini sebagai pacar
Boma. Karuan saja seluruh pelajar dan guru SMU Nusantara III menjadi heboh.
Trini yang memang naksir berat sama Boma senang-senang saja menanggapi berita
dalam tabloid. Apa lagi saat itu dia tengah bersaing keras dengan Dwita untuk
mendapatkan perhatian Boma (Baca serial Boma Gendenk Episode "Suka Suka Cinta")
Dengan tustelnya yang diisi film ASA tinggi hingga tidak
memerlukan lampu kilat wartawan tabloid itu jepret sana jepret sini.
Yang dipotretnya adalah stupa tempat Dwita tersekap, lalu zoom in ke arah telur
dalam lobang stupa. Selanjutnya tustel diarahkan pada Boma, Trini, Ibu Renata
dan beberapa pelajar SMU Nusantara III. "Wah, tampang ogut masuk koran deh!"
kata Firman.

Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mending," menukas Vino. "Paling cuman kuping lu doang."
Selesai mengambil foto dengan suara perlahan wartawan
bertubuh gemuk gendut bicara pada Trini.
"Saya lihat lintasan berita jam lima sore di tivi. Apa yang terjadi di sini
ditayangkan..."
"Bener Mas?" Trini tidak percaya.
Si gemuk mengangguk. "Disebut-sebut pelajar SMU Nusantara.
Juga nama Dwita. Saya ngecek ke tivi. Lalu nilpon rumahnya Mbak.
Katanya Mbak lagi ke Jogya. Saya cek ke rumah Dwita. Dapat keterangan ayah Dwita
sudah berangkat ke sini sama ayahnya Mbak. Saya lapor Pimpinan Redaksi. Langsung
diperintahkan ke sini. Sampai di Bandara Sukarno Hatta sekitar jam tujuh. Untung
masih kebagian tempat di pesawat. Saya ngecek dulu ke wisma.
dapat keterangan semua pelajar SMU Nusantara dan guru-guru berada di Candi
Borobudur. Saya langsung aja ke sini." Tuyul Bengkak buka lagi topi petnya, usap
kepala botaknya yang
keringatan. "Mbak Trini, sebetulnya bagaimana kejadiannya" Tadi saya lihat Mas
Boma meletakkan telor di lobang stupa..."
Walau wartawan tabloid itu bicara perlahan, tapi karena tempat itu dicekam
kesunyian maka tetap saja suaranya terdengar
kemana-mana. Beberapa orang melihat ke arahnya. Tuyul Bengkak tersenyum walau
kini jadi risih sendiri.
"Mas Tuyul, nanti aja ngomongnya disambung.."
"Sorry Mbak, saya ngerti." Ucap Tuyul Bengkak lalu wartawan ini mengokang tustel
di pangkuannya. Suasana di sekitar stupa benar-benar sunyi kini. Tiupan angin menerpa keras dan
dingin. Boma menowel hidungnya. Sepasang matanya terus-terusan menatap ke arah
stupa. Perasaannya luar biasa tegang namun dalam hati anak ini tidak putus-putus
berdoa memintakan keselamatan bagi Dwita. Satu saat sepasang mata Boma bergerak
ke kanan, ke arah deretan pelajar SMU Nusantara III yang duduk di seberangnya,
di samping kiri stupa.
"Ron," Boma berbisik. Lalu menowel hidungnya.
"Apa?" "Lu ngenalin nggak cewek pakai kaos merah di depan sono.
Yang ngeliatin ke arah kita."
Ronny Celepuk mengikuti arah pandangan Boma. Lalu balik
bertanya. Matanya mencari-cari.
"Yang mana Bom?"
"Kaos merah, rambut item panjang sepinggang. Dia masih ngeliatin ke sini."
"Nggak Born. Aku nggak ngeliat tuh."
"Mata lu kotok kali"' Boma menowel hidung kembali.
Jengkel dibilang matanya kotok, Ronny Celepuk kedap-kedipkan matanya beberapa
kali, digosok-gosok lalu kembali memperhatikan ke jurusan yang dipandang Boma.
"Udah, lu ngeliat?"
Ronny menggeleng. "Itu anaknya, sekarang dia senyum."
"Nggak ada cewek yang senyum. Nggak ada cewek pakai kaos merah, rambut item
sepinggang. Gua kenal semua anak-anak yang duduk di sebelah sono. Hampir semua
teman kita sekelas. Ada satu dua anak kelas lain."
Boma palingkan kepala, pandangi temannya beberapa saat.
"Gue juga kenal Ron. Semua anak-anak SMU Nusantara. Tapi yang pakai kaos merah
itu, aku nggak pernah ngeliat. Dia bukan anak SMA Nusantara. Kalau anak luar kok
duduknya gabung sama
teman-teman?" "Ah, masa sih mata gua lamur," ucap Ronn penasaran. "Anaknya cakep?"
Boma tertawa, menowel hidungnya. "Ala Ron, jangan becanda deh. Lu ngeliat
bilangnya nggak ngeliat."
"Sumpah disamber janda Bom. Aku memang nggak liat cewek yang kamu bilang itu.
Cakep nggak sih anaknya?" Ronny masih bercanda.
Boma menowel hidungnya dua kali lalu kembali memandang ke
depan, ke arah samping kiri stupa.
"Eh! Kok...?" Suara Boma menyatakan rasa keterkejutan.
Wajahnya berubah. "Hilang Ron."
Karena Boma bicara sambil menekapkan tangan kirinya ke
bawah perut Ronny Celepuk bertanya. "Apaan yang hilang" Bijilu?"
"Brengsek lu! Yang aku maksud cewek pakai kaos rnerah tadi.
Nggak ada lagi di depan sono!" '
"Nah, kamu yang sebenarnya becanda Bom."
"Gua nggak ngerti Ron. Nggak ngerti. Kok..."
"Kamu kayak bokapnya si Dwita aja. Bulak balik bilang nggak ngerti..."
Boma diam. Matanya masih memandang ke arah kelompok
anak SMU Nusantara III yang duduk di samping kiri stupa. Dia memang tidak
bercanda. Anak perempuan berkaos merah, rambut hitam sepinggang yang tidak
dikenalnya itu tadi jelas-jelas dilihatnya, duduk diantara teman-temannya. Tapi
kini lenyap begitu saja.
"Kalau dia berdiri lalu pergi, mustahil aku nggak ngeliat," kata Boma dalam
hati. "Hati gue nggak enak Ron." Akhirnya Boma keluarkan ucapan. Ronny tidak
menyahuti. Masih heran dengan sikap serta ucapan temannya itu.
Ibu Renata yang duduk di sebelah kiri Boma dan mendengar
pembicaraan bisik-bisik Boma dengan Ronny beberapa kali coba memperhatikan ke
jurusan depan. Seperti Ronny, Guru Bahasa Inggris ini juga tidak melihat anak
perempuan yang dikatakan Boma itu. "Kamu berdua ngomongin apa sih tadi" Kayaknya
serius banget?" Trini bertanya pada Ronny.
"Tau tu si Boma. Katanya di depan sono ada..."
Boma menyikut rusuk Ronny hinga anak lelaki ini tidak
meneruskan ucapannya.
Seorang anggota Polisi memompa tiga lampu patromak yang
cahayanya mulai redup. Malam tarnbah kelam. Bukan saja tidak ada bintang, bulan
purnama hari ke tiga belas juga tersembunyi dibalik awan tebal. Udara terasa
tambah dingin. Di kejauhan suara lolongan anjing tiba-tiba terdengar, seperti suara setan
meratap membuat semua orang yang mengelilingi
stupa Archa Amoghasidi jadi dingin dan mengkirik kuduk masing-masing.
Tiba-tiba tiga lampu patromak yang baru dipompa dan
cahayanya terang benderang padam seperti ditiup hantu. Suasana jadi gelap
gulita. Beberapa anak perempuan berpekikan.
Rata-rata semua orang yang ada di tempat itu jadi tercekat dalam gelisah kalau
tidak ma dikatakan takut. Firman ceking komat kamit mungkin membaca sesuatu
minta perlindungan. Gita Parwati berpaling ke arah Allan. Saat itu dia ingin
anak lelaki itu berada dekat dengan dirinya. Sulastri beringsut ke depan
mendekati Gita lalu memegang pinggul si gendut ini. Karuan saja Gita jadi
tergagau kaget, hampir menjerit.
"Lastri! Apa-apaan sih! Bikin kaget gua aja. Untung gua nggak teriak."
"Aku takut, aku mau dekat kamu..." bisik Sulastri.
Untuk menghindari suasana kacau Serda Sujiwo berdiri di depan deretan anak-anak
yang duduk di lantai.
"Semua tenang! Jangan ada yang bergerak! Tetap ditempat!"
teriak Serda Sujiwo. Lalu bersama beberapa orang anak buahnya Serda ini
memeriksa dan coba menghidupkan tiga patromak
kembali. Namun walau dicoba berulang kali tiga lampu patromak itu tetap saja
tidak bisa dinyalakan.
"Aneh," kata Serda Sujiwo. Dia mulai merasa kalau padamnya tiga patromak itu
adalah sesuatu diluar kewajaran.
"Aneh," ucap Ibu Renata pada dirinya sendiri tapi sempat terdengar oleh Boma
yang duduk di sampingnya.
"Ibu takut...?" tanya Boma sambil tangan kirinya memegang lengan Guru Bahasa
Inggris itu. "Saya heran. Mengapa banyak keanehan di tempat ini," jawab Ibu Renata perlahan.
Entah sadar entah tidak tangan kirinya digenggamkan ke jari-jari Boma yang
memegang lengan kanannya.
Tempat itu begitu gelap. Tidak ada yang melihat guru dan murid yang saling
bergenggaman tangan itu. Lewat jari-jari yang saling bertautan mereka merasakan
satu kehangatan, paling tidak dalam hati dan perasaan masing-masing.
Di kejauhan lapat-lapat kembali terdengar suara lolongan anjing, panjang
menyayat berhiba-hiba. Tiba-tiba semua orang yang
mengelilingi stupa keluarkan seruan tertahan. Bukan suara
lolongan anjing itu yang membuat mereka terikat, tapi ada satu kejadian lain
luar biasa. Ibu Renata menarik tangannya dari dalam genggaman Boma,
memandang ke arah stupa. Boma juga ikutan memandang ke arah stupa.
Astaga! Telur ayam putih yang ada dalam lobang stupa kelihatan
memancarkan cahaya biru. Beberapa pelajar berdiri. Termasuk Boma. Anak ini
bergerak, melangkah hendak mendekati stupa.
Serda Sujiwo segera mencegah sambil berseru.
"Anak-anak, tetap tenang. Harap duduk kembali. Tidak perlu gelisah." Tapi saat
itu Serda Sujiwo sendiri sebenarnya gelisah.
Matanya berkali-kali melirik memperhatikan telur ayam yang memancarkan cahaya
biru dalam lobang stupa. Boma mengusap
hidungnya. Dia harus ke stupa. Dia harus tahu apa yang terjadi. Dia tidak
perduli seruan Serda Sujiwo tadi. Kalau perlu dia akan mengambil, mengeluarkan
telur ayam dalam loban stupa lalu
membuangnya jauh-jauh. Anak ini melangkah.
"Boma, jangan..." kata Ibu Renata.
Di sebelah belakang Sulastri yang tenggelam dalam rasa takut ikut berucap. "Bom,
jangan kesitu. Kalau telurnya dadakan meledak, kamu bisa celaka.
Tapi Boma nekad. Dia meneruskan langkah. Gita Parwati dan
Ronny sama-sama pegangi kaki anak ini.
Sambil memegangi kaki Boma, Gita tak henti-hentinya berkata.
"Bom jangan gendeng Bom. Jangan bikin yang nggak-nggak. Jangan gendeng..."
"Aku nggak gendeng," jawab Boma. Hidungnya ditowel berulang kali. Memandang ke
arah telur, berpaling pada Gita dan Ronny yang memegangi kakinya. Akhirnya,
perlahan-lahan anak ini duduk kembali ke lantai candi. Begitu duduk dia berkata.
"Kalau telor itu meledak, lalu Dwita celaka, aku..."
"Tenang aja Bom. Jangan ngarepin yang nggak-nggak," bisik Ronny. "Kalau telor
itu memang meledak, kita mau berbuat apa.
Kamu jangan nyari penyakit."
"Percaya Tuhan Bom," kata Trini yang mendekati Boma dan mernegang bahu anak
lelaki ini. "Tuhan nggak bakal nyelakain Dwita. Nggak bakal nyelakain kita-
kita." Wartawan tabloid Tuyul Bengkak ikutan membujuk Boma agar
berlaku tenang. Boma menatap wajah lelaki gendut ini sesaat, berpaling pada Trini lalu berucap.
"Kalau keadaan begini terus aku bisa nekad Ron. Bener-bener nekad. Soalnya aku
yang narok telor itu dalam lobang stupa. Kalau meledak dan Dwita celaka, aku
yang salah," jawab Boma. Dia kembangkan telapak tangan kirinya. Tangan yang
pernah diisi hawa sakti oleh nenek aneh Sinto Gendeng di Gunung Gede. Saat itu
ingin sekali dia melompat ke arah stupa. Menghantam jebol stupa itu dengan
tangan kirinya. "Berdoa saja, berdoa. Minta supaya jangan terjadi apa-apa,"
bisik Ibu Renata pada Boma. Guru Bahasa Inggris ini pejamkan mata, tak berani
memandang terlalu lama ke arah telur dalam lobang stupa.
"Ya, Bu." Jawab Boma perlahan. Rasa nekad dalam dirinya perlahan-lahan
mengendur. Beberapa saat berlalu. Boma mendadak merasa ada hawa aneh
keluar dari batu candi yang didudukinya. Anak ini tampak gelisah.
Keringat dingin keluar dari pori-pori di permukaan kulit wajah dan tubuhnya.
*** BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 9 SINTO GENDENG MUNCUL DI CANDI
ASA gelisah mencekam semua orang yang ada di sekitar
stupa. Ayah Trini selalu berada di dekat Erlan Sujatmiko,
Rayah Dwita. Beberapa kali dia melihat gelagat lelaki ini
hendak melangkah ke arah stupa. Lebih-lebih ketika dia
menyaksikan telur putih yang mendadak berubah dan
memancarkan cahaya biru.
Dalam kesunyian dan udara dingin begitu rupa, tiba-tiba Boma merasakan satu
keanehan. Telapak tangan kanannya diletakkan di atas lantai candi. Digeser-geser
beberapa kali. Digerakkan seperti meraba sesuatu.
"Ngapain lu Bom?" tanya Gita Parwati. Ronny dan beberapa anak lainnya ikut
memperhatikan. "Ron, lu ngerasain sesuatu nggak?" Bisik Boma.
"Sesuatu apa?" balik bertanya Ronny. "Lu mau ngerjain gua lagi"
Jangan macem-macem Bom. Mulut gue udeh asem ini. Rokok abis."
"Batu candi yang gua dudukin. Kok mendadak terasa panas."
Boma memberitahu. "Mungkin lu pengen beol kali'. Atau lagi nahanin kentut!" Kata Ronny Celepuk
sambil senyum-senyum acuh.
"Gue nggak becanda Ron. Demi. Badan gue ampe ngeluarin keringet...." Belum
sempat Boma meyakinkan temannya itu tiba-tiba dia menangkap suara sesuatu. Suara
seperti ada burung besar melesat di udara. "Ron, ada suara aneh. Lu denger
nggak?" "Nggak, soalnya lu belon kentut sih!" jawab Ronny masih bercanda.
Boma mendongak ke atas. Langit kelam gelap. Udara dingin dan tiupan angin
terdengar keras. Dalam gelap tiba-tiba Boma melihat dua benda besar melesat di
udara. Yang satu kemudian hinggap dan duduk di puncak stupa sebelah kanan dimana
Dwita tersekap. Satunya lagi duduk di atas stupa sebelah kiri belakang.
Sepasang mata Boma terpentang lebar. Walau agak jauh tapi
sosok bermantel yang duduk di atas stupa sebelah kanan segera dikenalinya.
Itulah pemuda tinggi besar yang mengaku bernama Pangeran Matahari. Yang siang
tadi berkelahi dengan dia dan pemuda gondrong yang dipanggilnya dengan sebutan
Abang. Boma memandang ke stupa satu lagi. Dia melihat sosok berjubah gelap,
berwajah seorang nenek, angker seram diselomoti dandanan tebal.
"Lu ngeliatin apa, kok dari tadi nongak terus?" Gita Parwati bertanya. Dia coba
menandang ke jurusan yang diperhatikan Boma.
Dia tidak melihat apa-apa selain kegelapan malam dan deretan stupa.
Boma pegang lengan Ronny Celepuk.
"Pangeran Matahari...." suara Boma tersendat. "Orang jahat yang menyekap Dwita
dalam stupa. Yang tadi siang mau ngebunuh aku.
Dia duduk di atas stupa sana. Dia muncul bersama nenek-nenek bertampang seram.
Nenek-nenek itu duduk di stupa sebelah situ."
Sambil berkata Boma arahkan jari telunjuk tangan kirinya ke arah dua stupa di
seberang sana. Ronny, Ibu Renata, Gita dan semua anak yang mendengar
ucapan Boma serta merta memandang ke arah yang ditunjuk
Boma. "Aku nggak ngeliat apa-apa!" Kata Ronny Celepuk. Lalu dia berpaling pada Allan.
"Lu ngeliat yang dibilang Boma?"
"Nggak," jawab Allan.
"Masa sih ada orang duduk di atas stupa. Stupa yang mana?"
tanya Trini. "Betul Bom, aku juga nggak liat apa-apa. Nggak gampang orang mau duduk di atas
stupa..." Boma berpaling pada Ibu Renata, mungkin Guru Bahasa Inggris ini melihat apa yang
dilihatnya. Tapi Ibu Renata membalas
pandangan Boma dengan gelengan kepala.
Sulastri mendekatkan mulutnya ke telinga Gita. Lalu berbisik.
"Boma semakin aneh. Jangan-jangan dia sudah kesambet setan candi. Ngeliat ini
ngeliat itu, dengar ini dengar itu. Kok kita semua nggak ngeliat apa-apa. Nggak
denger apa-apa."
"Bom, lu sadar Bom?" Gita Parwati bertanya.
"Sialan, emangnya gue kenapa?" ucap Boma. "Kalian diam semua. Jangan pada
ngomong. Sesuatu pasti akan terjadi." Boma berpaling pada Vino.
"Jam berapa sekarang?" tanya Boma.
Vino melihat ke arlojinya. Wartawan tabloid Tuyul Bengkak
singsingkan lengan kiri jaket kulitnya, untuk melihat jam tangan yang ada di
situ. Agak susah melihat dalam gelap. Untung jarum dan angka-angka arloji Vino
dilapisi rodium hingga dia masih bisa melihat cukup jelas.


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jam dua belas kurang dua menit," kata Vino.
Boma melirik ke arah telur di dalam lobang stupa. Lalu
memperhatikan dua sosok yang duduk di atas stupa. Tiba-tiba anak ini mendengar
suara tawa cekikikan.
"Ron, ada yang ketawa!" ucap Boma memberitahu.
Sepasang alis mata tebal Ronny Celepuk naik ke atas. Matanya membesar lalu anak
ini tertawa. "Aku nggak dengar suara orang ketawa. Teman-teman, kalian ada yang dengar?"
tanya Ronny. Semua anak yang ada di tempat itu sama-sama gelengkan kepala.
"Boma bener-bener udah kemasukan setan candi. Ucapan dan tingkahnya semakin
aneh!" bisik Sulastri ke telinga Gita.
"Bom, sebenarnya kamu ini kenapa sih"!" Trini bertanya.
Boma tidak menjawab. Dia palingkan kepala ke arah datangnya suara tertawa
cekikikan tadi. Hidungnya ditowel berkali-kali.
Matanya membesar. Di sana, di atas sebuah stupa, agak jauh dari dua stupa yang
diduduki Pangeran Matahari dan nenek berwajah setan tampak duduk sambil uncang-
uncang kaki seorang nenek tinggi kurus berkulit hitam. Di atas kepalanya
menancap lima buah tusuk konde perak yang berkilauan di dalam gelapnya malam.
Ketika melihat Boma memandang ke jurusannya, si nenek
lambaikan tangan. "Nek...!" ucap Boma, memanggil tak sadar.
Semua anak yang ada di sekitar Boma semakin heran melihat
sikap teman mereka satu ini.
"Siapa yang lu panggil Nenek barusan Bom?" tanya Vino.
"Itu, di atas stupa sana..." Boma menunjuk. "Ada nenek-nenek.
Yang dulu nolongin kita di Gunung Gede. Yang ngasi...." Boma tidak teruskan
ucapannya. Karena saat itu tiba-tiba dia melihat sosok lain berdiri tak jauh
dari stupa tempat Dwita disekap. Di tempat lain Serda Sujiwo meneliti arlojinya.
Begitu juga Letkol Kusumo Atmojo.
Erlan Sujatmiko ikut-ikutan memperhatikan arloji yang tersingkap di ujung lengan
switer wol. Semua arloji mereka menunjukkan jam 11.59. Tinggal satu menit
sebelum tepat jam 12.00 tengah malam.
"Ron, cewek berkaos merah tadi Ron. Muncul lagi. Dia ngeliatin ke sini." Boma
berucap. Membuat Ronny dan anak-anak lainnya semakin heran.
Ibu Renata membuka tas di pangkuannya. "Boma, saya punya Aqua. Masih utuh, belum
saya minum. Sebaiknya kamu minum
dulu." "Terima kasih Bu, saya nggak haus." Jawab Boma tanpa berpaling karena masih
terus menatap anak perempuan berkaos merah yang berdiri dekat stupa. Di sebelah
bawah anak ini mengenakan sehelai rok hitam pendek. Tiupan angin yang kencang membuat rok itu
sesekali menyingkapkan sepasang pahanya yang sangat putih dan bagus.
Detik demi detik berlalu. Di kejauhan lagi-lagi ada suara lolongan anjing.
Sosok Pangeran Matahari yang duduk di atas stupa tiba-tiba kelihatan melesat ke
bawah stupa dimana nenek bermantel gelap duduk.
"Nenek Guru, aku tidak melihat Guru Si Muka Bangkai. Padahal seharusnya dia
lebih dulu berada di sini atas perintahmu."
"Gurumu jahanam satu itu! Dia pasti melantur ke tempat lain.
Aku menemui bekas bungkusan Majun Arab waktu kita
meninggalkan rumah kosong di Desa Ngaran. Pasti gurumu itu main perempuan! Setan
betul! Untung aku punya firasat dan buru-buru mengajakmu ke sana."
Pangeran Matahari mengusap dadanya. Di atas stupa nenek
bermuka angker berdandan tebal yang bukan lain adalah Kunti Api batuk-batuk
beberapa kali. Lalu meludah. Ludahnya masih
bercampur darah. "Kurang ajar pengamen sinting itu! Ilmu pukulan apa yang dimilikinya hingga kita
berdua mengalami cidera begini rupa!"
"Nenek Guru, pengamen sinting yang menghantam kita, dia bukan makhluk alam nyata
ini. Sosoknya yang samar pertanda dia datang dari alam gaib. Berarti waktu dulu
aku dan Guru Si Muka Bangkai memang benar telah membunuhnya. Lalu dia muncul
sebagai roh gentayangan menolong kakaknya."
"Kita harus waspada. Lekas kau selidiki tempat ini. Kalau pengamen alam roh itu
muncul di sini, urusan kita bisa jadi tidak karuan. Kau lihat benda bercahaya
biru di lubang stupa tempat anak perempuan bernama Dwita disekap?"
"Aku lihat..."
"Aku yakin itulah telur ayam sakti yang asli. Kita terlambat. Sulit sekarang
untuk mencegah..."
"Nenek Guru," potong Pangeran Matahari. "Bagaimana kalau telur itu kita ambil
atau kita hantam sampai hancur sekarang juga"
Sekalian dengan membunuh saja anak perempuan dalam stupa."
"Tidak ada gunanya. Akan sia-sia belaka. Sebelum
memancarkan cahaya biru mungkin kita masih bisa melakukan
sesuatu. Tapi kini telur itu telah berubah. Kasip! Terlambat! Cahaya biru itu
adalah satu kekuatan magis yang tidak bisa kita tembus.
Kita hanya bisa, baru bisa bertindak pada tepat tengah malam ketika sesuatu
terjadi dengan telur itu."
Sambil bicara si nenek layangkan matanya kemana-mana. Tiba-tiba Kunti Api
melihat sesuatu. "Pangeran, ada seorang anak perempuan berdiri di dekat stupa.
Berbaju merah, rambut hitam sepinggang. Kau tahu siapa dia" Aku punya dugaan dia
bukan dari rombongan pelajar dari Jakarta."
Sang Pangeran palingkan pandangannya ke arah stupa dan jadi terkejut. Tadi-tadi
dia telah memperhatikan keadaan sekitar tempat itu. Bagaimana mungkin dia tidak
melihat anak perempuan
mengenakan kaos merah dan rok hitam pendek yang kini tegak di dekat stupa" Tidak
bisa tidak ada satu kekuatan melindungi anak itu, pikir sang Pangeran.
Kunti Api menatap tajam ke arah anak perempuan di dekat
stupa. Lalu menghirup nafas dalam-dalam.
"Hemm....Aku mencium hawa aneh keluar dari tubuh anak itu.
Satu hawa mengandung kekuatan dahsyat. Bahaya besar!" kata Kunti Api pula.
"Pangeran, dengar baik-baik. Jika terjadi sesuatu pada tepat tengah malam dan
gurumu celaka Si Muka Bangkai itu belum juga muncul maka yang harus kau lakukan
adalah membunuh anak perempuan dalam stupa. Hantam dengan salah
satu pukulan saktimu. Aku akan membunuh bocah bernama Boma sambil mengawasi anak
perempuan berkaos merah berambut
hitam sepinggang...."
"Tapi Nenek Guru, saat ini di stupa di belakangmu seorang musuh besar kita baru
saja muncul." Saat itu Kunti Api mendengar suara tawa cekikikan. Dia cepat berpaling dan serta
merta jadi terkejut ketika mengenali siapa adanya nenek hitam yang duduk di atas
stupa di belakangnya.
"Sinto Gendeng...." desis Kunti Api. Sepuluh jari tangannya langsung mengepal.
"Pangeran, kita terpaksa merubah siasat. Aku mengawasi nenek keparat bau pesing
itu. Kau awasi anak perempuan berbaju merah dan membunuh anak perempuan dalam
stupa." "Bagaimana dengan anak lelaki bernama Boma?" tanya Pangeran Matahari pula.
"Serahkan padaku. Biar aku yang membantai bocah yang
katanya bakal dijadikan Pendekar Tahun 2000 itu. Namun masih ada satu lagi
kekawatiranku. Kalau musuh bebuyutanmu, murid nenek keparat si Wiro Sableng itu
muncul, kita bisa-bisa kalah kekuatan."
*** BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 10 TELUR DALAM LOBANG STUPA MELEDAK
ETIK demi detik terasa merayap lambat sekali. Suasana
gelap dan sunyi yang disertai cekaman rasa gelisah di
D kawasan Candi Borobudur sekitar stupa tempat Dwita
disekap berubah menjadi geger total ketika tepat jam 12.00
tengah malam telur ayam di dalam lobang stupa tiba-tiba meledak.
Lantai candi bergetar. Larikanlarikan cahaya biru laksana kembang api melesat ke
udara. Untuk beberapa lamanya siraman cahaya biru membuat keadaan terang
benderang. Hampir semua orang
berada dalam kesilauan. Anak-anak perempuan berpekikan.
Belasan anggota Polisi yang menjaga sekeliling tempat itu tidak tahu apa yang
mau diperbuat. Semua orang kemudian berseru lalu tertegun ketika
menyaksikan tiba-tiba stupa dimana Dwita disekap secara aneh, dalam taburan
cahaya biru perlahan-lahan naik ke atas. Arca Amoghasidi bergoyang-goyang. Sosok
Dwita yang terbaring di pangkuannya jatuh ke lantai.
Kru dua stasiun televisi berteriak-teriak bingung. Lampu-lampu sorot tidak
menyala. Kamera mereka tidak bisa bekerja. Beberapa wartawan foto termasuk Tuyul
Bengkak memeriksa heran tustel masing-masing. Tombol tustel mereka tak bisa
ditekan, seperti terkancing. Tidak satupun dari mereka bisa mengabadikan
peristiwa luar biasa itu.
Semua orang yang ada di tempat itu hanya mendengar suara
letusan telur, hanya melihat kilatan cahaya biru serta hanya melihat batu stupa
naik ke atas secara aneh. Mereka tidak mendengar suara dan tidak melihat
kejadian-kejadian aneh lainnya kecuali Boma.
Sebelum telur meletus sosok anak perempuan berkaos merah
tiba-tiba raib menghilang. Boma mencium bau harum semerbak yang tidak tercium
oleh siapapun. Lalu samar-samar Boma melihat sosok seorang perempuan muda luar
biasa cantik. Di kepalanya ada sebuah mahkota terbuat dari emas dan taburan batu
permata. Di sebelah belakang di bawah mahkota tergerai rambut hitam panjang. Perempuan
ini mengenakan kain panjang hijau
berkembang-kembang emas menyerupai kemben. Bagian atas
tubuhnya yang terbuka ditutupi dengan sehelai selendang tipis berwarna ungu.
Pada saat sosok perempuan cantik ini bergerak ke udara, pada saat itu pulalah
stupa dimana Dwita Tifani tersekap bergerak naik ke atas. Boma melihat jelas,
perempuan cantik bermahkota inilah yang mengangkat ujung atas batu stupa dengan
tangan kirinya lalu melayang ke atas.
"Boma! Lekas ke sini! Ambil Dwita!"
Satu teriakan keras-keras perempuan yang hanya didengar
Boma menggema di tempat itu. Boma tidak tahu siapa yang
berteriak, tidak mengenali suara.
Takut ada, bingung dan heran sesaat Boma hanya berdiri
tertegun. "Anak Gendeng! Kau dengar orang berteriak! Tunggu apa lagi"
Apa kau tidak mau menyelamatkan anak perempuan cewekmu
itu"!" Tiba-tiba ada suara lain yang berteriak. Boma mengenali suara itu. Suara
itu. Suara si nenek yang dulu menolong dan memberinya ilmu. Tapi dia tidak
melihat orangnya. Semua orang yang ada di tempat itu kemudian melihat nyata
bagaimana Boma melompat naik ke lantai candi di depannya, lari ke arah arca yang
bergoyang-goyang. Anehnya Arca Amoghasidi ini kelihatan seperti tersenyum. Boma
cepat rnengangkat tubuh Dwita Tifani, menggendong anak perempuan itu, membawanya
menjauhi Arca. Hanya beberapa detik setelah Boma mengangkat tubuh
Dwita, stupa yang seolah menggantung di udara turun ke bawah.
Dibarangi suara letusan yang disertai berkiblatnya larikan-larikan sinar biru,
stupa itu kembali ke tempatnya semula. Dari dalam puluhan lobang stupa mengepul
keluar asap putih kebiru-biruan disertai menebarnya bau sangat harum. Semua
orang merasa ngeri, berdiri bulu tengkuknya.
Delapan orang anggota Polisi termasuk Serda Sujiwo segera
melindungi Boma. Empat orang petugas medis Rumah Sakit Sarjito dibawah pimpinan
seorang dokter cepat mendatangi. Mereka
mengambil Dwita dari dukungan Boma, diletakkan di atas sebuah tandu. Para
pelajar SMU Nusantara III berdesakan mengerubungi tandu. Ada yang coba menyentuh
tangan atau wajah Dwita. Tapi mereka segera mundur begitu dilarang oleh Serda
Sujiwo dan dokter. Pemeriksaan cepat dilakukan. Yang pertama sekali dokter ingin
memastikan bahwa Dwita Tifani masih hidup. Detak nadi di pergelangan tangan dan
bagian leher diteliti. Semua orang
menunggu dengan dada berdebar. Lama baru dokter ini
mengangkat kepalanya.
"Bagaimana Dok?" Erlan Sujatmiko yang menerobos diantara orang banyak dan kini
berjongkok di samping tandu menanyakan keadaan anaknya. Mukanya seputih kertas.
Sepasang matanya balut. Dokter yang ditanya hanya memegang bahu ayah Dwita. Dia
memberi perintah pada petugas medis.
"Cepat pasangkan infus. Segera bawa ke rumah sakit," kata dokter lalu berpaling
ke arah anak-anak yang mengelilinginya.
Sambil senyum dia anggukkan kepala. Senyum dan anggukan ini sudah cukup jelas
sebagai pertanda Dwita Tifani masih hidup. Pekik haru menggema di kawasan Candi
Borobudur. Ada yang berteriak sambil mengangkat tangannya berulang kali ke atas.
Ada yang berseru menyebut nama Tuhan. Banyak yang mengusap air mata.
Selagi mengacungkan-acungkan tangan ikut gembira Ronny
Celepuk tiba-tiba saja melihat seorang anak perempuan berambut sepinggang,
berbaju kaos merah. Anak ini berada di antara
kerumunan teman-temannya, di ujung kiri dekat tangga turun.
Ronny ingat cerita Boma.
"Ini pasti cewek yang dikatakan Boma. Ah, cakep banget."
Membatin Ronny sambil berusaha menyeruak diantara orang yang berdesakan. Namun
ketika dia sampai di tangga menuju turun, anak perempuan berkaos merah itu tidak
ada lagi. Dicari-cari sampai dia hanya tinggal sendirian di tempat itu, anak
perempuan tadi tetap tidak berhasil ditemukan. Ronny segera menuruni tangga
candi, berharap bisa menemukan anak perempuan itu di halaman bawah. Tapi di
halaman bawahpun Ronny tidak menemui anak itu.
"Cewek aneh. Bisa ngilang." Kata Ronny dalam hati.
Seolah terlupakan, di belakang orang yang mengerumuni dokter dan tandu dimana
Dwita dibaringkan lalu diusung menuruni Candi, Boma Tri Sumitro jatuhkan diri,
berlutut di tanah. Tubuhnya bergetar. Suaranya parau ketika berulang kali
mengucapkan kata-kata. "Terima kasih Tuhan. Terima kasih Tuhan..." Lalu anak ini
bersujud di lantai Candi. Kembali dia memuji syukur dan berterima kasih pada
Tuhan. Mungkin Boma akan terus bersujud seperti itu kalau tidak ada seseorang yang
berlutut di sampingnya lalu memegang bahunya.
Satu suara menyeruak di telinga Boma.
"Boma, Tuhan telah mengabulkan permintaan kita. Tuhan telah menyelamatkan Dwita.
Sekarang kita harus melihatnya di rumah sakit."
Perlahan-lahan Boma bangkit dari sujudnya. Dia tidak perlu berpaling untuk
mencari tahu siapa yang barusan bicara. Dia mengenali suara itu.
Trini Damayanti, sesaat masih tertegun ketika melihat Boma saling berangkulan
dengan Ibu Renata. Sulastri menarik lengan Trini.
"Rin, biarin aja mereka. Ayo, kita ikutan ke rumah sakit. Dwita musti
ditemani..." "Ya...ya," jawab Trini. "Tapi aku mau ketemu bokapku dulu."
"Dia sudah duluan. Ikut bersama petugas rumah sakit."
Trini berpaling sekali lagi lalu tinggalkan tempat itu bersama Sulastri.
Namun Boma dan Ibu Renata tidak sempat melangkah jauh.
Serombongan wartawan televisi dan surat kabar mendatangi
mereka. Menghujani keduanya dengan pertanyaan. Kali ini agaknya Boma dan Guru
Bahasa lnggris itu tak bisa lolos lagi. Keduanya menjawab semua pertanyaan
sebisa yang mereka lakukan. Lampu kilat tustel berkilauan, lampu sorot kamera
televisi menerangi wajah mereka.
"Aneh!" seorang juru kamera televisi keluarkan ucapan. "Tadi semua peralatan
macet. Sekarang kok bisa jalan?"
Tuyul Bengkak wartawan tabloid dari Jakarta yang ikut
berkerubung di tempat itu memegang lengan Boma dan berbisik.
"Ikuti saya. Kalau dilayani sampai pagi mereka masih terus mau nanyain situ.
Ayo..." Di tangga turun Candi Borobudur, ketika hendak melewati arca Singa, tiba-tiba
Boma melihat anak perempuan berbaju kaos merah itu. Anak perempuan ini berdiri
dekat tumpukan batu-batu candi bekas restorasi.
"Hai!" Boma berseru memanggil. Namun anak perempuan yang dipanggil hanya
melambaikan tangan, lalu menyelinap ke balik tumpukan batu dan lenyap dalam
kegelapan. "Siapa" Kamu manggil siapa?" tanya Ibu Renata heran. Tuyul Bengkak memandang


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkeliling. Ikutan heran.
"Nggak Bu. Saya nggak manggil siapa-siapa," jawab Boma.
*** BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 11 KUNTI API DAN PANGERAN MATAHARI KENA BATUNYA
ETIKA telur di dalam lobang stupa meledak, dari puncak
stupa yang didudukinya Kunti Api langsung melesat ke arah
Kstupa di mana Dwita masih tersekap. Semuanya berlangsung
serba cepat. Ketika dia memandang ke bawah sana
dilihatnya Boma tengah melompat ke lantai candi untuk menolong Dwita. Tidak
tunggu lebih lama Kunti Api segera hantamkan tangan kanannya. Lima larik sinar
merah menggebu ke arah Boma. Namun setengah jalan tiba-tiba ada satu bayangan
hitam berkelebat dan wutt...wuuut! Dua gelombang angin luar biasa dahsyatnya
menyapu sepuluh larik sinar maut yang hendak membantai memanggang
Boma. Hantaman angin itu bukan saja membuat musnahnya
serangan ilmu Kuku Api yang dilancarkan Kunti Api, tapi si nenek bermuka setan
ini sempat terpental di udara, dan terpaksa
berjumpalitan sampai dua kali untuk bisa jatuh dengan dua kaki menginjak lantai
candi. Kunti Api keluarkan suara menggembor ketika mengetahui siapa orang yang
barusan menggagalkan
serangan mautnya. Bukan lain nenek tinggi kurus berkulit hitam yang kepalanya
ditancapi lima tusuk konde. Sinto Gendeng!
"Nenek sundal, aku tak perlu banyak bicara denganmu! Terima kematianmu!"
Kunti Api gerakkan dua tangan sekaligus. Seluruh tenaga dalam dikerahkan.
Sepuluh larik sinar merah mencuat ke arah sosok Sinto Gendeng.
Yang diserang ganda tertawa. Malah balas mengejek. "Pelacur tua bengek yang
mukanya penuh dempulan! Bagaimana kalau kita mati berbarangan"!
Hik...hikk...hik! Kunti Api mengira Sinto Gendeng akan mengeluarkan pukulan
Sinar Matahari untuk menghadapi sepuluh jalur serangan ilmu Kuku Apinya.
Ternyata lawan sama sekali tidak menggerakkan tangan. Hanya kepalanya yang
digoyangkan. Lalu slash...slash! Dua larik sinar biru melesat keluar dari
sepasang mata cekung garang Sinto Gendeng. Laksana sepasang pedang yang bisa
mulur dua larik sinar biru ini menyambar bersilangan ke arah Kunti Api.
Kunti Api berteriak kaget.
" Sepasang Sinar Inti Roh!" Kunti Api berteriak menyebut nama serangan yang
dilancarkan Sinto Gendeng. Dengan cepat guru Si Muka Bangkai ini melompat
selamatkan diri. Namun kecepatan serangan Sepasang Sinar Inti Roh yang laksana
kilat itu sulit dikelit.
Seperti diketahui Pendekar 212 Wiro Sableng sangat
menginginkan ilmu kesaktian Sepasang Sinar Inti Roh itu. Dia pernah memohon pada
Sinto Gendeng untuk dapat mewarisi ilmu tersebut. Namun Sinto Gendeng belum mau
memberikan. (Harap baca serial Wiro Sableng Tiga Dalam Satu/ TDS mulai Episode
pertama berjudul "Lima Laknat Malam Kliwon")
Kunti Api menjerit setinggi langit ketika salah satu sambaran sinar biru yang
keluar dari mata Sinto Gendeng menyambar putus tiga jari tangan kanannya yaitu
jari kelingking, telunjuk dan jari tengah! Selain itu sambaran sinar biru tadi
membakar lengan mantelnya hingga hangus sampai ke siku.
Lelehlah nyali Kunti Api. Selama ini dia hanya mendengar kalau Sinto Gendeng
memiliki ilmu kesaktian yang sulit dicari
tandingannya yakni dua larik sinar biru yang keluar dari sepasang mata dan konon
bernama Sepasang Sinar Inti Roh. Ternyata Sinto Gendeng memang memiliki ilmu
itu. Dan kenyataannya di malam buta itu dia menyaksikan serta menerima kehebatan
ilmu tersebut! Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Pelacur jelek! Seharusnya lehermu yang aku tabas. Tapi malam ini hatiku sedang
senang. Aku memberi pengampun padamu! Pergi dan jangan berani unjukkan tampang
di hadapanku untuk selama-lamanya!"
Kunti Api hanya bisa keluarkan suara mendengus, meludah ke lantai candi lalu
berkelebat tinggalkan tempat itu.
Akan halnya Pangeran Matahari saat itu baru saja dibikin
bingung oleh lenyapnya anak perempuan berbaju kaos merah yang harus diawasinya
atas perintah Kunti Api. Karena tidak mau menunggu lebih lama maka Pangeran
Matahari segera arahkan
perhatian pada Dwita Tifani yang saat itu masih berada di dalam stupa. Sambil melompat ke arah stupa sang Pangeran lepaskan pukulan
Telapak Matahari. Tiga larik sinar merah, hitam dan kuning menderu. Tidak ada
perlindungan yang bisa menyelamatkan Dwita dari serangan maut itu. Stupa batu
akan hancur lebur. Setelah itu tubuh anak perempuan ini akan terpanggang
mengerikan, hanya tinggal tulang belulang dalam keadaan hitam gosong!
Ketika tiga larik sinar maut itu menderu ke arah stupa, justru saat itulah stupa
bergerak naik dan Pangeran Matahari terkesiap melihat naiknya stupa batu yang
berat ratusan kilo itu adalah akibat perbuatan seorang perempuan cantik luar
biasa, berambut panjang dan ada mahkota emas di kepalanya.
Selagi terkesiap hcran melihal apa yang terjadi di depan
matanya tiba-tiba perempuan cantik bermahkota gerakkan tangan kirinya sementara
tangan kanan terus mengangkat stupa ke atas.
Pangeran Matahari tidak melihat cahaya, tidak mendengar deru angin serangan.
Tahu-tahu satu kekuatan dahsyat mendorong tiga larik sinar pukulan sakti Telapak
Matahari yang barusan
dihantamkannya ke arah stupa untuk membunuh Dwita. Tiga larik sinar itu seolah
amblas, masuk kembali ke dalam tangan kanan sang Pangeran. Detik itu juga
Pangeran Matahari keluarkan jeritan setinggi langit. Tubuhnya terpental, jatuh
menggelinding ke lantai bawah candi. Lengan kanan baju hitamnya kepulkan asap.
Ketika lengan baju yang hangus itu ditariknya langsung rontok dan terlihat
tangannya mulai dari ujung-ujung jari sampai ke siku merah bengkak, sebagian
kulit mengelupas! Seperti nenek gurunya, nyali Pangeran Matahari juga leleh.
Terlebih ketika dia melihat Kunti Api dalam keadaan luka parah dihantam serangan
Sinto Gendeng kabur melarikan diri. Tidak tunggu lebih lama sang Pangeran ambil
pula langkah seribu menyusul Kunti Api. BELUM berapa jauh meninggalkan Candi Borobudur, Kunti Api
dan Pangeran Matahari yang berkelebat ke arah timur tiba-tiba disongsong oleh
seorang berkemeja gombrong lengan panjang, celana hitam dan rambut dikuncir ke
belakang. Bau minyak wangi serta merta memenuhi seantero tempat itu.
Pangeran Matahari dan Kunti Api hentikan lari mereka. Sama memandang melotot ke
arah orang yang kini berdiri dihadapan mereka.
"Sungguh aku tidak percaya pada pandangan mataku. Mataku
yang terbalik atau bumi ini sudah terjungkir"!" ucap Kunti Api.
"Guru, benar engkau yang berdiri di hadapan kami?" Pangeran Matahari ikut
membuka mulut. "Aku memang Si Muka Bangkai," orang yang ditanya menjawab.
Kunti Api mendelik, berpaling pada Pangeran Matahari. Kedua orang ini lalu
tertawa gelak-gelak.
"pakaian dan dandananmu sungguh luar biasa! Rupanya kau
sudah jadi penduduk alam ini. kau kemanakan pakaian bututmu!
Minyak wangi apa yang kau guyur ke tubuhmu" Baunya sampai
menyekat jalan pernafasanku! Ha...ha....ha!"
"Eyang, harap maafkan. Aku terlambat. Aku barusan...."
"Kau tak perlu menerangkan. Kau pasti habis main perempuan!
Bahkan mungkin belum sempat cebok!"
"Eyang....."
"Diam!" sentak Kunti Api. Dia acungkan tangan kanannya yang tiga jarinya
buntung. "Lihat apa yang terjadi dengan diriku! Ini akibat salah besarmu tidak
mematuhi perintah. Aku suruh kau ke Borobudur, kau melantur main perempuan.
Lihat apa yang dialami muridmu! Tangan kanannya cidera berat!
Si Muka Bangkai perhatikan tangan kanan gurunya,
memandang ke tangan kanan Pangeran Matahari lalu
membungkuk dalam-dalam.
"Eyang, Pangeran, maafkan diriku..."
"Kami akan memaafkan. Tapi mendekat dulu ke hadapanku!"
Bentak Kunti Api memerintah.
Si Muka Bangkai melangkah ke hadapan Kunti Api.
"Berlutut!" lanjut perintah si nenek muka setan.
Si Muka Bangkai jatuhkan diri berlutut.
Tiba-tiba kaki kanan Kunti Api bergerak menendang.
"Bukkk!!!"
Jeritan menggeledek keluar dari mulut Si Muka Bangkai. Kakek ini mencelat sampai
dua tombak, terguling di tanah, terkapar tertelentang tak bergerak beberapa
lamanya. Matanya mendelik menatap ke langit hitam. Tapi begitu Kunti Api
melangkah mendekatinya diikuti Pangeran Matahari, dia segera pejamkan mata pura-pura
pingsan. "Masih untung aku tidak menghabisi nyawa anjingmu saat ini!
Tua bangka tidak berguna!" Habis memaki Kunti Api ludahi muka Si Muka Bangkai
lalu berpaling pada Pangeran Matahari.
"Pembalasan harus segera dilakukan! Kita harus bisa membunuh bocah itu. Sebelum
bulan mati! Sesegera mungkin! Tapi aku juga ingin melakukan sesuatu. Ingat
rencana yang kita bicarakan tadi.
Bawa perempuan itu ke Candi Sewu. Kita bisa menjebak bocah itu di sana."
"Saya hanya mengikuti perintah Nenek Guru saja," jawab Pangeran Matahari lalu
berkelebat mengikuti si nenek yang telah pergi begitu habis bicara.
Tak selang berapa lama setelah Kunti Api dan Pangeran
Matahari berlalu, perlahan-lahan Si Muka Bangkai bangkit dan duduk menjelepok di
tanah. Dadanya terasa sesak dan sakit. Dia merasa ingin batuk. Tapi yang keluar
dari mulutnya adalah
semburan darah segar.
"Uh...uh...uuhhhh." Si Muka Bangkai keluarkan suara mengerang panjang pendek.
Tangan kanannya bergerak ke arah saku baju.
Meraba-raba merasai sesuatu. Wajahnya berubah. Tangannya kini dimasukkan ke
dalam saku. Apa yang dicarinya tidak ada.
"Celaka! Majun Arabku hilang. Dimana jatuhnya...." Si Muka Bangkai memandang
berkeliling dalam gelap. Mencari-cari.
Beringsut ke kiri, menoleh ke kanan. Yang dicari tidak ditemukan.
Akhirnya kakek ini jatuhkan diri di tanah. Berbaring menelentang.
Seperti orang mengigau mulutnya berucap. "Sum .... Sumi Primbon kekasihku.
Maafkan aku. Aku janji mau datang lagi menemuimu besok. Maaf berat....Aku
mungkin tidak bisa menemuimu besok.
Maafkan aku Sum.... Summm." Tangannya meraba lagi ke saku baju. "Ah, Majun
Arabku....Sum, Majunku Arabku hilang Sum. Tanpa majun kau pasti kecewa
melayaniku. Suummmm...Maafkan Mas
Brotomu ini...."
*** BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 12 IBU RENATA DICULIK BOMA NEKAD
ORONG di luar kamar VIP di Rumah Sakit Dr. Sarjito dimana
Dwita Tifani dirawat sejak malam tadi dipenuhi oleh guru dan L pelajar SMU
Nusantara III. Jam sembilan pagi keesokannya didapat kabar bahwa
Dwita sudah mau makan, dan keadaannya cukup baik. Bahkan
infusnya sudah dicabut. Cuma saat itu menurut pengakuannya tubuhnya masih terasa
lemas. Atas nasihat dokter tidak semua orang diizinkan masuk menemui Dwita.
Selain itu ayah Dwita, Erlan Sujatmiko selalu berdiri di dekat pintu, seolah dia
penentu terakhir yang mengizinkan siapa saja yang boleh masuk.
Ibu Renata bersama Pak Sanyoto, lalu ayah Trini dan Trini serta beberapa anak
perempuan merupakan orang-orang yang
diperbolehkan masuk. Boma dan kawan-kawan sebenarnya ingin sekali melihat Dwita.
Namun dari pada nanti tidak diizinkan, ribut cari perkara akhirnya Boma, Vino,
Ronny Celepuk, Firman, Andi dan Rio hanya berdiri saja di luar kamar.
Menjelang siang Erlan Sujatmiko menemui perawat. Menurutnya Dwita sudah cukup
sehat dan dia bermaksud membawa anaknya
itu pulang ke Jakarta. Perawat meminta izin dokter terlebih dulu.
Dokter sebenarnya meminta agar Dwita tetap istirahat dulu di rumah sakit sampai
besok. Tapi Erlan Sujatmiko bersikeras akan membawa anaknya siang itu juga.
Siang sekitar jam 12.30 Dwita keluar dari kamar. Wajahnya
masih pucat. Tapi dia sudah bisa tersenyum, tampak gembira ketika teman-teman
perempuan menciuminya.
"Bom ayo deketin aja," kata Vino pada Boma sambil memberi isyarat pada teman-
temannya yang lain. Lalu Vino berjalan
mendahului ke arah Dwita. Walau agak ragu Rio, Firman, Andi lalu Boma dan Ronny
disebelah belakang bergerak juga mendekati
Dwita. "Dwita, sampai ketemu di Jakarta ya," ucap Vino waktu menyalami Dwita. Lalu
menyusul Rio, Firman, dan Andi. Ketika tiba giliran Boma dan Ronny Celepuk
hendak mendekati Dwita, tiba-tiba Erlan Sujatmiko menyelak ke depan. Mukanya
sangat masam dan suaranya keras menyakitkan.
"Kamu berdua tidak usah menyalami anak saya!"
Boma dan Ronny sama-sama tertegun.
"Kok gitu sih Pak" Dwita 'kan teman kami juga." Boma akhirnya keluarkan ucapan.
Suaranya begitu lembut. Membuat Dwita yang berdiri disamping ayahnya kelihatan
terisak. "Pa, Papa..." Dwita memegang lengan ayahnya.
"Jangan begitu Pa."
Erlan Sujatmiko kibaskan tangannya hingga terlepas dari
pegangan Dwita. Dia kembali berpaling pada Boma dan bicara keras hingga sernua
orang mendengar. "Kamu bilang teman. Justru kamu yang mencelakai anak saya.
Membuat anak saya hampir mati dalam stupa. Seumur hidup saya tidak akan
melupakan hal itu! Seumur hidup saya akan tetap membenci kamu! Dan kawan kamu
ini, saya tidak suka sama anak kurang ajar!"
"Memangnya saya kurang ajar apa Pak!" Ronny menjawab sengit.
Boma berbalik. Memegang bahu Ronny dan berkata. "Udah Ron, biarin aja. Nggak
usah dilayanin."
"Orang tua nggak tau diri. Apa dia nggak ngeliat kalau kamu yang nyelamatin
anaknya dari dalam stupa." Ronny masih ngotot.
Dia sengaja bicara keras agar ayah Dwita mendengar.
"Ala udah deh Ron. Ayo..." Boma mendorong Ronny.
Ayah Trini memegang bahu Erlan Sujatmiko. "Mas Erlan, kita harus cepat ke
Bandara. Nanti ketinggalan pesawat yang jam dua..."
Dwita masih belum mau beranjak ketika ayahnya memberi
isyarat dengan goyangan kepala agar dia segera meninggalkan tempat itu. Anak
perempuan ini menatap ke arah Boma. Seperti ada sesuatu yang hendak
disampaikannya. Tapi sang ayah menarik tangannya. Terlihat ada air mata meluncur
jatuh di pipinya yang pucat.
Sebelum keluar dari pintu gerbang Rumah Sakit Dr. Sarjito Trini mendatangi Boma.
"Bom, kamu pasti kecewa."
"Soal dengan ayah Dwita tadi?"
"Bukan cuma itu. Bokapku nyuruh aku pulang sekarang juga.
Bareng sama Dwita. Aku nggak mau. Tapi dia maksa. Aku sudah minta tolong Gita
ngebawain barang-barangku sama barangnya Dwita..."
Boma hanya bisa diam. Trini bicara lagi.
"Menurut Pak Sanyoto, seharusnya rombongan pulang besok.
Tapi hari ini semua anak perlu istirahat. Mungkin baru lusa balik ke Jakarta.
Kan kamu semua belum ke Prambanan."
"Nggak ke Prambanan juga nggak apa-apa." Kata Ronny yang berdiri di samping
Boma. "Kalau mau pulang semua ya pulang aja.
Rencana jalan-jalan kok jadi rusak begini..."
"Aku pergi Bom, Ron."
Boma menowel hidung. Ronny cuma mengangguk.
DI WISMA di dalam kamarnya malam itu Boma tidak bisa
memusatkan perhatian pada majalah yang dibacanya sambil
tiduran. Sebentar-sebentar majalah itu diletakkan di atas perutnya.
Lalu mata dipejamkan.
Pintu kamar terbuka. Ronny, Vino dan Rio muncul.
"Kamu kok ngerem terus di kamar!" Ronny menegur.
"Capek Ron. Badan gue rasanya pegel. Kurang sehat," jawab Boma.


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Alasan," ujar Vino. "Ini sernua pasti gara-gara si doi yang kini udah nggak ada
lagi di sini." "Ah, gua sih udah nggak mikirin dia." Sahut Boma.
"Memang berat. Dua-duanya pulang ke Jakarta . Ajie gile!" Rio ikut nimbrung
sambil cengar cengir.
"Aku nggak abis pikir sikap bokapnya si Dwita. Mulutnya kayak perempuan," kata
Ronny keluarkan unek-unek. "Kalau nggak inget-inget bokapnya temen sendiri,
waktu di rumah sakit tadi pagi udah gue beri bacotnya."
Boma cuma menyeringai dan lambaikan tangan lalu duduk di
tepi tempat tidur. "Bom, kamu mau ikut nggak?"
"Ikut kemana?"
"Gita, Allan, Firman dan Andi sama beberapa anak ke Malioboro.
Katanya mau bergadang disana sambil nungguin warung lesehan dibuka."
"Nggak pada capek mereka itu?"
"Soalnya kapan lagi. Lusa udah pulang, takut nggak ada waktu."
Jawab Rio. "Aku sama Ronny dan Vino rencana mau nyusul ke sana.
Cari oleh-oleh."
"Si Umar kemana?" Tanya Boma. Maksudnya Pak Sanyoto Guru Olah Raga.
"Tadi siang naik taksi. Sendirian, katanya mau nengok saudaranya." menerangkan
Ronny. "Di Kebon Binatang Gembira Loka," menyambung Vino menyebut nama Kebon Binatang
di Yogya lalu tertawa geli sendiri.
"Lastri bilang, dia dengar Pak Sanyoto mau ngajak Ibu Renata, tapi Ibu Rena
nolak." Rio yang bicara.
"Masih nyoba-nyoba aja dia," kata Ronny.
"Kamu tadi mau ngajak gue kemana?" tanya Boma.
"Makan mi sambit." Jawab Ronny.
"Mi sambit" Ada-ada aja. Baru denger."
"Tadi sore si Gita sama Allan udah nyobain. Kata Gita bikin minya lucu. Tapi
rasanya yahud. Mi dibuntel bulet. Ditarok dalam tanggok kawat, dicemplungin
dalem air mendidih, diangkat lalu dilempar ke udara, disambut sama mangkok.
Dikasi bumbu-bumbu, dikasi pangsit goreng. Asyik nggak."
"Tempatnya dimana?" Boma mulai tertarik.
"Cuma deket. Di ujung jalan Kolonel Sugiyono sini. Jalan kaki juga nyampe,"
jawab Rio. "Ibu Renata sama Sulastri dan anak-anak lain barusan aja pergi. Naik
beca. Ayo, lu mau ikut nggak?"
"Oke deh. Tapi gua sembahyang Magrib dulu.Udeh mau habis waktunya," kata Boma
seraya berdiri. "Enak juga punya temen santri kayak gini!" ucap Vino lalu mengambil majalah yang
diletakkan Boma di atas tempat tidur.
"Di luar masih ada wartawan yang dateng?" tanya Boma.
"Nggak, semua udah kebagian berita kali."
Boma baru berjalan dua langkah menuju kamar mandi ketika
tiba-tiba pintu kamar di gedor-gedor lalu terpentang.
Sulastri dan dua anak perempuan temannya menghambur
masuk ke dalam kamar. Nafas mereka sengal memburu dan wajah mereka tampak pucat.
"Setan mana yang nguber kalian?" tanya Ronny.
"Lastri, ada apa?" Boma bertanya.
Sulastri menarik nafas dalam-dalam lebih dulu. Baru menjawab.
"Dengerin....Ibu Renata...Ibu Renata."
"Kenapa Ibu Renata?"
"Diculik."
"Diculik"! Gila lu!" tukas Vino karena tidak percaya.
"Centil, kamu ini becanda apa gimana?" tanya Ronny.
"Tanya aja temen-temen," jawab Sulastri sambil menunjuk pada dua anak perempuan
di sampingnya. Wike dan Laila.
"Gimana kejadiannya" Dimana?" tanya Boma.
"Aku satu beca sama Ibu Rena. Mereka naik beca lain. Di jalanan mendadak ada
mobil sedan gede nyalip lalu berhenti di depan becak. Dua orang berpakaian aneh
turun dari mobil, langsung menarik Ibu Renata. Lalu dibawa masuk ke dalam mobil.
Terus kabur nggak tau dibawa kemana."
"Nggak ada yang ngeliat, nggak ada yang nolongin?"
"Tukang beca mau nolongin tapi dijotos sampai telentang di aspal," menerangkan
Sulastri. "Kamu nggak nyatat nomor sedan orang yang nyulik?" tanya Boma.
"Siapa yang inget mau nyatat segala" Semuanya berlangsung cepet banget."
"Wah kacau Bom! Kacau lagi!" kata Vino.
Boma terdiam sesaat. Lalu berkata. "Heran, kok Jogya banyak orang jahatnya ya"
Kita musti lapor Polisi Ron. Tapi tunggu," Boma berpaling pada Sulastri, Wike
dan Laila. "Kalian ada yang ngenalin si penculik?"
Sulastri manggut-manggut. "Yang satu Bom, aku ngenalin.
Tampangnya, pakaiannya sama dengan pemuda tinggi besar pakai mantel item yang
nyekap Dwita dalam stupa di Candi Borobudur.
Bener, aku ingat. Pasti, nggak salah!"
Boma, Ronny dan Vino terkejut besar.
"Kita musti lapor Polisi Ron." Kata Boma.
"Ya, tapi harus hubungi pengurus Wisma dulu," kata Ronny.
Sesaat kemudian anak-anak itu menghambur ke lantai bawah
Wisma, langsung menuju kantor. Di Kantor seorang karyawan
Wisma tengah bicara dengan seorang kakek berpenampilan aneh.
Pakaiannya agak kumal tapi menebar harum minyak wangi yang menyengat.
Ketika melihat Boma dan kawan-kawan masuk dalam Kantor,
karyawan Wisma langsung berkata pada si kakek.
"Kebetulan, ini anak yang Bapak cari." Karyawan Wisma berpaling pada Boma. "Dik
Boma 'kan?" Boma mengangguk. "Bapak ini, Pak Broto mau ketemu sama Dik Boma. Katanya ada hal sangat penting
mau dibicarakan."
Vino mendekati Boma dan berbisik. "Gue baru tau kalau kamu punya kakek di Jogya
ini Bom." Boma pandangi kakek berkemeja belang-belang tangan panjang itu. Rambutnya yang
putih berkilat pakai minyak rambut, dikuncir ke belakang. Bau minyak wangi yang
dipakainya luar biasa keras.
"Bapak mau ketemu saya?" tanya Boma.
Si kakek mengangguk. Dia ulurkan tangan. "Saya Pak Broto..."
Habis bicara dia batuk-batuk. Lalu menyeka mulut dengan sehelai sapu tangan.
Sapu tangan itu kelihatan merah.
Boma tidak segera menyambut salam si kakek tapi berkata.
"Pak Broto, sebentar Pak. Saya mau bicara dulu sama Mas ini. Ada urusan
penting...." "Urusan saya lebih penting lagi." Kata Pak Broto. Kembali dia menyeka mulutnya
dengan sapu tangan. " Songong juga orang tua ini," bisik Ronny pada Vino.
"Ron, lu liat nggak sapu tangan yang die pegang. Merah, kayaknya dia nyeka ludah
campur darah. Jangan-jangan kakek ini tebese. Bisikin si Boma, kalau bicara
jangan deket-deket. Nanti ketularan 'tu anak."
"Maaf, sebentar Pak." kata Boma. "Saya mau ngomong dulu sama Mas ini. Minta
tolong mau ngubungin Polisi. Ibu Renata, Guru Bahasa Inggris kami diculik."
"Ah, urusan kita ternyata sama," kata kakek mengaku bernama Pak Broto yang bukan
lain adalah Si Muka Bangkai. "Saya menemui situ juga mau memberitahu urusan
penculikan itu."
"Pak Broto melihat kejadiannya?" tanya Boma.
"Begini saja. Biar temanmu bicara dengan karyawan Wisma. Kita berdua bicara di
teras sana. Gimana?"
Boma berpikir. Berpaling pada Ronny dan Vino.
Berpikir lagi. Akhirnya dia anggukkan kepala dan melangkah ke teras Wisma, duduk
di kursi yang dibentuk dari batu sepanjang pinggiran teras. Pak Broto kembali
batuk-batuk. Ludah bercampur darah yang meleleh di sudut bibirnya diseka dengan
sapu tangan dekil basah dan merah.
"Pak Broto, Bapak tau peristiwa penculikan Ibu Renata?" Boma langsung bertanya
begitu duduk di sebelah Pak Broto.
"Saya tau tapi tidak melihat sendiri."
"Tau tapi nggak ngeliat. Gimana sih?"
"Peristiwa penculikannya memang saya tidak melihat. Tapi perencanaan, dan kemana
perempuan itu dibawa, siapa
penculiknya saya tau banyak." Sambil bicara Pak Broto sesekali melirik ke tangan
kiri Boma. "Kalau gitu coba Bapak kasi tau siapa penculik Ibu Renata.
Kemana Ibu Renata dibawa. Nanti kita sama-sama lapor Polisi."
"Kalau urusan dengan saya tidak perlu pakai Polisi. Pasti beres.
Pasti Ibu Guru itu bisa kembali dengan selamat."
Boma terdiam. Dalam hati dia berkata. "Jangan-jangan orang tua ini kaki tangan
penculik Ibu Renata. Mau minta tebusan..."
Pak Broto tertawa lebar. Sebagian giginya sudah banyak yang ompong. "Situ tidak
usah curiga sama saya. Saya bukan anggota komplotan penculik Ibu Renata. Saya
tidak minta tebusan apa-apa."
"Gila! Kok dia bisa ngebaca apa yang ada dalam pikiran gua!"
ucap Boma dalam hati.
"Saya nggak curiga sama Bapak. Juga nggak nuduh Bapak mau minta tebusan. Tapi
kalau Pak Broto memang mau nolong, bilang saya dimana saat Ibu Renata berada.
Siapa yang menculik."
Pak Broto batuk lagi. Menyeka lagi mulutnya dengan sapu
tangan dekil merah. "Saya punya satu persyaratan. Saya beri tahu dimana Ibu itu berada, siapa
penculiknya. Tapi saya minta situ memberikan sesuatu pada saya."
"Memberikan apa?" tanya Boma.
" Batu Penyusup Batin."
"Batu Penyusup Batin?" ulang Boma. "Batu apa itu" Saya nggak punya batu yang Pak
Broto sebutkan itu."
Si kakek tertawa. "Keselamatan nyawa dan kehormatan Ibu Guru itu sangat penting. Terserah, kalau
situ mau memberikan benda yang saya minta, saya akan beri tahu dimana Ibu Renata
berada. Siapa penculiknya."
Boma ingat keterangan Sulastri. "Saya tau siapa penculik Ibu Renata. Hal itu
tidak perlu Pak Broto sembunyikan. Yang menculik orang aneh bernama Pangeran
Matahari itu! Yang menyekap Dwita dalam stupa di Candi Borobudur."
Pak Broto manggut-manggut.
"Syukur situ sudah tau. Tapi dimana beradanya Ibu Guru itu hanya saya yang tau.
Mau memberikan Batu Penyusup Batin pada saya?"
"Saya tidak punya batu itu," jawab Boma. Saat itu hampir saja dia meraba bahu
kanan sebelah depan, di mana Batu Penyusup Batin memang ada disitu. Disisipkan
oleh Sinto Gendeng beberapa waktu lalu.
"Terserah situ. Kalau mau perempuan itu selamat, serahkan batu. Kalau tidak saya
pergi sekarang juga. Jangan menyesal jika terjadi apa-apa dengan Ibu Guru itu.
Nasibnya bakal lebih sengsara dari yang dialami anak perempuan yang disekap di
dalam stupa." Habis berkata begitu Pak Broto batuk-batuk lalu berdiri.
Boma sesaat jadi bingung. Mendadak ada bau pesing santar
sekali menebar di tempat itu. Tiba-tiba ada sesuatu bergerak masuk ke dalam saku
kanan belakang celana blujinsnya.
Bersamaan dengan itu di telinga kirinya ada suara berbisik mengiang.
"Berikan barang ini pada tua bangka itu."
"Bau pesing, pasti ada yang kencing sembarangan sekitar sini,"
Pak Broto berkata sambil menggosok hidungnya.
Boma berdiri, meraba kantong blujins sebelah belakang kanan.
Ada sebuah benda lembut, seperti kain di dalam kantong jins itu.
Segera dikeluarkannya. Ternyata sebuah kantong kecil terbuat dari kain kuning.
Pak Broto menyeringai.
"Saya tau kamu bukan anak yang suka dusta. Serahkan benda itu pada saya..."
Boma ulurkan tangannya. Tapi ditarik kembali. Pak Broto
kerenyitkan kening. Bertanya. "Kenapa?" '
"Beri tau dulu kemana Ibu Renata dibawa."
Pak Broto menyeringai lalu gelengkan kepala. "Saya harus liat dulu isi kantong
kuning itu. Kalau isinya memang benda yang saya minta baru saya beri tahu."
Boma longgarkan benang tebal pengikat mulut kantong kuning lalu mengeluarkan
benda yang ada di dalamnya. Benda itu
diperlihatkan pada Pak Broto. Sepasang mata si kakek tampak berkilat-kilat.
Ternyata benda yang diperlihatkan Boma adalah sebuah batu biru sebesar telur
burung merpati, memancarkan cahaya berkemilau.
"Ah, itu dia. Masukkan batu itu ke dalam kantongnya kembali.
Lalu serahkan pada saya..." Berucap Pak Broto.
Boma masukkan batu biru berkilat ke dalam kantong kain
kuning. Lalu diulurkan ke arah Pak Broto. Si kakek memegang kantong kuning tapi
Boma tidak melepaskan. Kalau si kakek
berlaku culas dan merampas kantong dia akan menghantam
dengan tangan kirinya yang saat itu sudah siap membentuk tinju.
"Pak Broto, saya baru melepas kantong kalau Bapak memberi tau di mana Ibu Renata
berada." "Candi Sewu," jawab Pak Broto. "Ibu Guru itu disembunyikan di Candi Sewu."
Boma lepas pegangannya pada kantong kuning.
Pak Broto cepat mengambil benda itu, memasukkannya ke
dalam saku kemeja lalu tanpa bicara apa-apa lagi dia segera tinggalkan teras
Wisma. Saat itu Ronny dan kawan-kawan muncul di teras.
"Mana kakek aneh tadi?" tanya Vino. "Sudah pergi."
"Mau ngapain dia" Kamu bicara apa?"
"Dia memberitahu di mana Ibu Renata berada."
"Hah" Apa Bom?"
"Katanya Ibu Renata disembunyikan di Candi Sewu."
"Kamu percaya?" tanya Vino.
Boma mengangguk. "Aku mau kesana sekarang juga. Tapi nggak tau jalan. Cari
taksi, sewa kendaraan. Apa saja pokoknya sampai disana."
"Gendenk lu Bom. Malem-malem begini."
"Keselamatan Ibu Rena lebih dari segala-galanya. Kamu udah ngubungin Polisi?"
tanya Boma. "Udah. Polisi minta kita segera datang ke Kantor Polisi. Laporan langsung.
Mereka mau tanya ini itu. Karyawan Wisma mau
nganterin pakai mobil Wisma."
"Teman-teman, aku berangkat duluan ke Candi Sewu. Kalian ke Kantor Polisi dulu.
Nanti nyusul aku." Habis berkata Boma turun dari teras Wisma, melangkah ke jalan
raya. Ronny, Vino, Sulastri dan dua anak perempuan lainnya mengejar Boma.
"Bom, lu jangan nekad nggak karuan. Jangan pergi sendirian.
Kita barengan ke Kantor Polisi, nanti sama-sama ke Candi Sewu."
Kata Ronny setengah berteriak.
"Gua memang mendadak jadi nekad Ron. Gua mau jadi Bonek.
Heran, kenapa orang-orang yang aku sayang semua ketiban
celaka" Mungkin benar omongan ayahnya Dwita. Setiap ada yang celaka pasti aku
biang penyebabnya."
"Jangan ngomong gitu kamu Bom." Kata Sulastri. "Kalau kamu nekad mau pergi ke
Candi Sewu, aku ikut."
"Jangan, kamu musti ikut ke Kantor Polisi. Kamu saksi utama kejadian penculikan
Ibu Renata." Sebuah kendaraan umum lewat. Kebetulan berhenti
menurunkan penumpang di depan Wisma. Tidak pikir panjang
Boma langsung saja melompat naik ke dalam kendaraan itu.
"Gila! Bener-bener nekad 'tu anak!" kata Vino. Dia masih berusaha mengejar
sambil berteriak. "Bom, jangan gendenk Bom.
Turun! Kita sama-sama ke Kantor Polisi dulu. Baru ke Candi Sewu!"
Di dalam kendaraan umum Boma Tri Sumitro lambaikan tangan
pada teman-temannya. Kendaraan yang ditumpangnya mulai
bergerak. "Punya ongkos nggak 'tu anak?" tanya Sulastri.
"Setau gue duitnya sih cuman pas-pasan," jawab Vino.
"Gila! Gendenk! Bener-bener Bonek 'tu anak." Kata Ronny.
" Bonek Candi Sewu," sambung Vino.
Mobil Wisma, sebuah minibus berhenti di halaman Wisma.
Ronny, Vino, Sulastri, Wike dan Laila segera naik. Di dalam kendaraan yang


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluncur menuju Kantor Polisi semua anak itu hanya bisa berdiam diri dalam
memikirkan nekadnya Boma.
TAMAT SEGERA TERBIT EPISODE BERIKUTNYA :
BARA DENDAM CANDI KALASAN
Benarkah Ibu Renata disembunyikan di Candi Sewu"
Mungkin hanya dusta Pak Broto (Si Muka Bangkai) Belaka yang diperalat oleh
Pangeran Matahari"
Mampukah Boma seorang diri menemukan serta membebaskan
Guru Bahasa Inggris yang menyayanginya itu"
Kedele Maut 5 Panji Tengkorak Darah Ko Lo Hiat Ki Karya S D Liong Pendekar Gelandangan 7
^