Pencarian

Bonek Candi Sewu 1

Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu Bagian 1


BASTIAN TITO BOMA GENDENK TENDA BIRU CANDI MENDUT
Sumber: Bastian Tito
EBook: fujidenki E-mail : guruh@fdk.co.jp
BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 1 TIGA DEDENGKOT KEJAHATAN MENYUSUN RENCANA
EBERAPA jam menjelang tengah malam, di satu rumah
papan kotor berdebu di pinggir daerah pesawahan tak jauh
B dari Desa Ngaran. Tiga orang tokoh rimba persilatan dari masa lampau yang oleh
kekuatan gaib mampu masuk ke alam
sekarang, berada di dalam rumah itu. Duduk di lantai beralaskan daun pisang,
mengelilingi sebuah lampu minyak. Nyala api lampu minyak tampak bergoyang-goyang
oleh hembusan angin yang
masuk lewat celah-celah lapuk papan dinding, membuat bayang-bayang seram di
dalam rumah. Tiga orang itu adalah kakek berwajah pucat seolah tak berdarah, dikenal dengan
panggilan Si Muka Bangkai alias Si Muka Mayat.
Orang kedua ialah musuh bebuyutan Pendekar 212 Wiro Sableng, yaitu Pangeran
Matahari yang selama ini dijuluki sebagai Pangeran segala cerdik, segala akal,
segala ilmu, segala licik, segala congkak.
Di antara ke dua orang itu duduk seorang nenek berambut kusut awut-awutan,
mengenakan mantel biru. Mukanya tertutup
dandanan tebal tak karuan, membuat tampangnya yang buruk
kelihatan angker seperti setan. Sepuluh kuku jari tangannya yang panjang-panjang
memiliki dua warna. Kadang-kadang kelihatan merah, sesekali berubah hitam.
Dialah yang dikenal dengan nama Kunti Api, guru Si Muka, Bangkai.
"Eyang Guru, apakah kau berhasil mendapatkan dan
mengamankan telur pembuka Stupa?" Bertanya Pangeran Matahari pada Kunti Api. Dia
merasa perlu menanyakan hal ini karena dialah yang telah menjebloskan dan
menyekap Dwita Tifani, pelajar kelas dua SMU Nusantara III, ke dalam Stupa Arca
Amoghasidi di Candi Borobudur. Dia tidak ingin kalau gadis cantik itu berhasil
keluar dari dalam Stupa.
Kunti Api luruskan tubuhnya. Sambil menyeringai, dengan nada congkak dia
berkata. "Kalian bisa lihat sendiri apa yang aku dapatkan."
Dari balik mantel biru, dari dalam lipatan sehelai sapu tangan dia mengeluarkan
sebuah benda berwarna lonjong putih. Benda ini digelindingkannya di atas daun
pisang. Ternyata sebutir telur ayam.
Si Muka Bangkai ambil telur itu, memperhatikan sejenak,
menimang-nimangnya beberapa kali, kemudian berpaling pada Si Muka Bangkai dan
berkata. "Muka Bangkai, walau muridmu belum berhasil membunuh
Boma, tapi kita akan berhasil membunuh anak perempuan yang disayanginya itu.
Anak itu akan menemui ajal pada dua pertiga malam. Malam ini. Sekitar jam tiga
menjelang pagi nanti. Seumur hidup Boma akan dihantui kematian anak perempuan
itu. Jika memang umur anak lelak ini panjang. Tapi kalau dia keburu mati di
tangan kita, sepasang remaja itu akan jadi roh penasaran,
gentayangan berdua kemana-mana. Hik...hik...hik!"
"Eyang," ucap Si Muka Bangkai sambil hcrhatikan kembali telur dalam pegangan
tangan kanannya. "Mudah-mudahan aku tidak keliru. Aku merasa ada kelainan pada
telur ini. Waktu Eyang mendapatkan dan membawanya ke sini, apakah Eyang tidak
meneliti lebih dahulu?"
Sepasang alis mata Kunti Api yang dipoles hitam kereng
mencuat ke atas. "Muka Bangkai, apa maksudmu?" Nenek bermantel biru bertampang angker bertanya.
"Telur ini enteng sekali, Guru. Aku merasa seperti memegang telur penyu kering
yang sudah kosong. Agaknya isi telur ayam ini telah berpindah ke tempat lain.
Berarti telur ini tidak ada artinya sama sekali."
Kunti Api unjukkan tampang sewot.
"Jangan kau bicara seperti itu, Muka Bangkai! Aku sendiri yang mengambil telur
ini dari orang yang pertama kali mendapatkannya.
Bahkan waktu barusan aku keluarkan dari dalam sapu tangan
masih terasa berat! Tanda ada isinya!"
"Maaf Eyang, kalau Eyang tidak percaya silahkan memegang sendiri."
Si Muka Bangkai lalu serahkan telur ayam yang dipegangnya
pada sang guru. Kunti Api tersentak kaget, tampangnya langsung berubah ketika dia memegang telur
dan merasakan betapa telur ayam itu enteng sekali.
"Gila! Apa yang terjadi"! Waktu aku mengambil telur dari orang itu, keadaannya
tidak seperti ini. Tidak enteng! Tadipun sudah aku katakan. Waktu barusan aku
keluarkan dari dalam sapu tangan masih terasa berat, tanda ada isinya!"
"Berarti kekuatan yang ada di dalam telur lenyap barusan saja,"
Pangeran Matahari keluarkar ucapan.
"Aku tidak percaya. Bagaimana mungkin!" Kata Kunti Api pula.
Matanya berkilat marah. "Jahanam Pasti ada orang mengerjaiku!"
Saking marahnya Kunti Api remas telur ayam, itu hingga
berderak hancur semudah menghancurkan kerupuk. Dari pecahan telur tidak ada
cairan putih dan cairan kuning yang keluar. Telur itu ternyata memang kosong!
Kunti Api pandangi dengan mata mendelik tangan kanannya
yang dipenuhi hancuran kulit telur. Masih tidak bisa percaya dia.
"Nenek Guru, dari siapa kau mendapatkan telur ini?" Bertanya Pangeran Matahari.
Kunti Api menatap mata Pangeran Matahari sesaat, baru
menjawab. "Dari seseorang yang aku kuntit sejak beberapa hari lalu. Aku tidak
tahu nama bangsat itu!"
"Nenek Guru merampas telur ini lalu membunuh orangnya?"
tanya Pangeran Matahari lagi.
"Tidak, aku tidak membunuhnya. Aku mengancam saja dia sudah ketakutan setengah
mati. Telur diberikannya dengan suka rela."
"Maaf Nenek Guru, kalau telur ini merupaka satu benda keramat, dia tidak mungkin
memberikan begitu saja. Orang itu telah menipu Nenek Guru!
Merah padam tampang angker Kunti Api rnendengar kata-kata
Pangeran Matahari itu. Marah setengah mati karena bisa tertipu oleh ketololannya
sendiri. Sebaliknya Pangeran Matahari tampak tersenyum. Selama ini Si Muka Bangkai sering
memakinya sebagai manusia tolol. Saatnya dia punya kesempatan untuk menyindir.
Sambil mengerling ke arah Si Muka Bangkai, pemuda ini berkata.
"Nenek Guru, hidup kita sebagai manusia biasa memang begitu adanya. Seribu kali
kita merasa pandai, terkadang satu kali bisa saja kita berbuat yatu ketololan,
sadar atau tidak sadar. Jadi harap Nenek Guru tidak berkecil hati." Habis
berkata begitu Pangeran Matahari melirik ke samping. Tampang Si Muka Bangkai
tampak mengkeret. Kakek muka pucat ini maklum kalau Pangeran
Matahari barusan telah menyindirnya.
"Nenek Guru, kalau aku boleh bertanya, orang itu, apakah Nenek Guru tahu siapa
dia adanya?" Pangeran Matahari alihkan arah bicara, ajukan pertanyaan.
"Aku tidak tahu namanya. Tapi sejak beberapa waktu
belakangan ini dia sering kelihatan di sekitar Candi Mendut.
Mengamen." "Mengamen" Di Candi Mendut?" ulang Si Muka bangkai.
Wajahnya yang pucat tampak tambah putih. Lalu dia berpaling pada muridnya.
"Pangeran, aku menaruh curiga...."
"Orang yang mengamen itu," kata Pangeran Matahari sambil memandang pada Kunti
Api. "Apakah Nenek Guru masih ingat bagaimana ciri-cirinya?"
"Seorang kakek tua. Berambut kaku berdiri, dicat warna pirang.
Dia mengenakan jaket dan celana bulujins. Pakai anting di telinga dan pusarnya
yang bodong..."
"Nenek Guru pernah mendengar dia bernyanyi?"
"Dua kali."
"Apa nyanyian yang dibawakannya?"
"Mana aku tahu nama nyanyian itu. Tapi dua-duanya disukai orang banyak. Kalau si
pengamen membawakan dua lagu itu,
banyak orang pada berjoget. Menerangkan Kunti Api.
"Nenek Guru mungkin ingat satu atau dua kata dalam nyanyian itu?" Tanya Pangeran
Matahari Kunti Api urut-urut keningnya.
"Lagu pertama kalau aku tidak salah sepertinya mengajak orang minum. Tapi..."
"Minum" Minum apa Nek?"
"Bukan minum. Tapi... Lagu tentang orang bercinta.
Aahh...lagunya aneh. Bercinta tapi menyebut minum. Minum...."
"Minum kopi?" sambung Pangeran Matahari. "Betul! Minum kopi!"
"Lagunya Kopi Dangdut!"
"Betul sekali!" Kata Kunti Api sambil tepukkan dua tangannya.
"Lagu kedua, apa Nenek Guru ingat?" Kembali Pangeran Matahari bertanya.
"Kalau aku tidak salah pakai biru-biru. Hemmm... Tenda Biru.
Betul! Tenda Biru!" Kata Kunti Api pula.
"Pengamen itu, apakah lidahnya cadel" Tidak bisa menyebut er?"
Kunti Api gelengkan kepala. "Seingatku tidak cadel, tidak pelo.
Dia menyebut er lempang-lempang saja."
"Pangeran Matahari," tiba-tiba Si Muka Bangkai membuka mulut. "Jangan kau
berkhayal tentang kakek pengamen bernama Pelawak Sinting. Kita telah membunuhnya
beberapa waktu lalu di jembatan penyeberangan di depan gedung Sarinah. Di
Jakarta!" "Betul sekali Guru," jawab Pangeran Matahari pada Si Muka Bangkai. "Tapi jangan
lupa. Ada berita mengabarkan bahwa mayat Si Pelawak Sinting lenyap dicuri orang
dari dalam ambulans. Siapa tahu waktu itu dia tidak mati. Hidup dan muncul
lagi." "Si Pelawak Sinting tidak berambut pirang. Tidak pernah pakai bulujins..."
"Tunggu," kata Pangeran Matahari sambil tersenyum karena Kunti Api selalu
menyebut blujins dengan bulujins. "Nenek Guru, pengamen itu, apa Nenek Guru
ingat peralatan apa saja yang dipakainya waktu mengamen?"
"Dia membawa gendang dan rebana yang ada kerincingannya.
Sambil menyanyi dia berjoget. Lalu di kepalanya ada sebuah payung kecil, terbuat
dari kertas. Payung dikembangkan, dia bernyanyi dan berjoget. Payung tidak
jatuh. Sesekali dia me-mainkan sebuah benda aneh sepanjang satu jengkal. Aku
tidak tahu apa namanya. Kalau ditiup benda itu mengeluarkan suara lebih merdu
dari suara seruling. Lalu....lalu dia pakai anting di kuping dan pusarnya."
Kunti Api terdiam sesaat lalu bertanya.
"Pangeran Matahari, apakah kau mengenal pengamen tua itu?"
"Aku masih menduga-duga Nek. Ada sedikit keraguan. Nenek Guru ingat pada Si
Pelawak Sinting yang membuat keonaran di Pasar Baru dulu"
"Aku ingat ceritamu. Tapi betul kata gurumu Muka Bangkai. Si Pelawak Sinting
tidak berambut pirang dicat. Lidahnya cadel. Dia tidak punya alat yang bisa
mengeluarkan suara seperti seruling itu.
Telinganya tidak pakai anting. Apa lagi dipusarnya. Lalu aku ingat, si pengamen
di Candi Mendut itu menempeli giginya dengan kertas timah bungkus rokok."
"Betul sekali Nenek Guru. Banyak perbedaan. Tapi ada
persamaan. Si Pelawak Sinting membawa payung kertas.
Pengamen di Candi Mendut juga punya payung kertas. Pelawak Sinting pakai rebana
dan gendang. Pengamen di Candi juga punya rebana dan gendang. Dalam menyanyi
keduanya berjoget sambil meletakkan payung terkembang di atas kepala. Lalu salah
satu lagu yang dinyanyikan pengamen di Candi Mendut sama dengan lagu ya suka
dibawakan Si Pelawak Sinting. Kopi Dangdut."
Tiga orang di dalam rumah papan sama terdiam beberapa saat dalam kesunyian.
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang." Si Muka Bangkai memecah kesunyian.
"Aku tahu apa yang harus kita lakukan!" Kata Kunti Api seraya bangkit berdiri.
"Saat ini juga aku akan ke Candi Mendut. Pangeran Matahari, kau ikut bersamaku.
Mungkin pengamen keparat itu masih menyimpan telur keramat yang asli. Muka
Bangkai, kau lekas ke Candi Borobudur. Apapun yang terjadi kau harus bisa
mencegah anak perempuan bernama Dwita itu dikeluarkan dari dalam Stupa.
Tapi ingat! Yang paling aku harapkan ialah agar kau bisa
membunuh anak lelaki bernama Boma itu!"
Tak lama kemudian, dalam kegelapan malam Kunti Api dan
Pangeran Matahari berkelebat ke arah timur menuju Candi Mendut.
Si Muka Bangkai sambil mengomel dalam hati bergerak ke arah barat.
Hatinya mengkal mendapat tugas harus pergi ke Borobudur
karena sebenarnya malam itu dia telah ada rencana menemui
seorang janda pedagang lesehan di Malioboro. Bahkan dia telah siap-siap untuk
menenggak Majun Arab, obat kuat dalam menghadapi sang janda. Uring-uringan kakek
muka pucat ini berlari menuju ke barat. Di satu tempat dia berhenti, memandang
ke langit. Hatinya berkata. "Masih ada waktu....Masih ada waktu untuk bercanda
dengan janda itu." Tanpa berpikir dua kali, si kakek segera memutar arah
larinya. Sambil lari tangannya meraba ke balik pakaian, mengeluarkan Majun Arab,
membuka kertas pembungkus lalu mengunyah dan menelannya. Hek! Si Muka
Bangkai keluarkan suara tercekik. Majun Arab tersekat di
tenggorokan. Mulutnya terpencong-pencong, mata mendelik-delik.
Obat kuat itu ternyata tidak mudah ditelan tanpa dibantu air.
*** BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 2 SUMI PRIMBON EPERTI biasa, setiap malam setelah toko-toko di sepanjang
Jalan Malioboro tutup, kawasan itu berubah hidup menjadi
S pusat santap lesehan. Dari sekian banyak pedagang lesehan terdapat seorang
janda bernama Sumi, lebih dikenal dengan
panggilan Sumi Primbon. Ada juga yang memanggilnya dengan sebutan Jeng Primbon.
Predikat ini didapatnya karena sang janda memiliki kepandaian meramal
berdasarkan ilmu primbon. Jika ada tamu yang ingin diramal nasibnya sambil
makan, Sumi Primbon akan melakukan dengan senang hati tanpa dipungut bayaran.
Tapi tentunya Sumi Primbon tidak mau rugi. Lalu ongkos ramal
dimasukkannya ke dalam makanan yang disantap sang tamu.
Sumi Primbon berwajah bulat, selalu berdandan apik. Rambut hitam tebal disanggul
besar ke belakang. Dalam usianya yang telah mencapai lima puluhan, tubuhnya yang
gemuk dibungkus kulit putih bersih, masih bagus dan kencang untuk ukuran
perempuan seusianya.
Saat itu Sumi Primbon tengah sibuk melayani tamu yang duduk di atas tikar
mengelilingnya. Seperti biasa janda gemuk ini selalu mengenakan kebaya lurik
biru pekat yang bagian atasnya di potong rendah hingga setengah dadanya yang
gembul kelihatan jelas menonjol, terkadang bergoyang-goyang membuat para tetamu,
terutama lelaki tak perduli usia jadi geregetan. Konon memandang dada Sumi
Primbon merupakan salah satu "bumbu" penyedap yang tidak dimiliki pedagang
lesehan lainnya. Tidak mengherankan kalau tempat Sumi Primbon banyak langganan
dan banyak pula makannya. Karena disini para tetamu mendapatkan ungkapan yang diplesetkan yaitu
empat sehat mata sempurna.
Di balik sebuah tiang beton tak jauh dari tempat Sumi Primbon menggelar
dagangan, seorang kakek berwajah pucat yang bukan lain Si Muka Bangkai adanya,
sibuk merapikan diri. Saat itu dia mengenakan sehelai celana hitam, kemeja
gombrong biru belang-belang tangan panjang. Kemeja ini tidak dimasukkan ke dalam
celana tapi dibiarkan lepas di sebelah luar dan dua ujungnya di ikat satu sama
lain. Rambut putih panjangnya yang biasa awut-awutan kini tersisir licin ke
belakang, diikat membentuk kuncir. Rambut itu kelihatan berkilat karena dipoles
dengan minyak. Rambut yang sudah licin itu berulang kali dirapikannya dengan
sebuah sisir kecil. Sambil mematut diri sepasang mata kakek ini tak putus-putus mengerling ke arah
sosok Sumi Primbon. Dari kantong celana dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi
minyak wangi. Minyak ini dicipratkannya sampai habis ke pakaian dan tubuh,
termasuk ketiak kiri kanan, lalu dipoleskan di kuping. Botol kosong kemudian
seenaknya dicampakkan ke jalanan.
Setelah merapikan pakaian dan menyisir rambut sekali lagi, sambil bersiul-siul
kecil Si Muka Bangkai melangkah gagah ke tempat Sumi Primbon menggelar
lesehannya. Langsung duduk di tikar. Kehadiran orang satu ini tentu saja menarik
perhatian semua tamu yang telah lebih dulu berada di tempat itu. Di tambah
dengan aroma minyak wangi yang santar membuat semua orang jadi
berpaling dan memandang ke arah si kakek. Ada yang terkesima melihat wajah tua
yang begitu pucat. Ada pula yang terheran-heran melihat dandanannya.


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seorang perempuan separuh baya yang tengah asyik menyantap makanan, menelan nasi
dalam mulutnya lalu berbisik pada suami yang duduk di sebelahnya.
"Wanginya nggak kira-kira Mas. Aku kira bidadari turun dari kayangan. Tahu-tahu
yang aku lihat mayat hidup."
Sang suami yang dibisiki tidak berani memandang pada Si Muka Bangkai tapi balas
berbisik. "Jangan bicara saenak utilmu dewe.
Orang tua itu mungkin bukan orang sembarangan."
Ketika Sumi Primbon memandang ke arahnya Si Muka Bangkai
lemparkan senyum dan kedipkan mata. Seorang anak muda yang duduk di depannya dan
sejak tadi memperhatikan, tak tahan hati lalu menegur.
"Pak tua, minyak wanginya mencorong banget. Merk apa sih?"
Si Muka Bangkai tersenyum.
"Tidak ada mereknya. Tapi kalau dipakai siang pasti wangi.
Kalau dipakai malam pasti harum. Siapa saja yang menciumnya bisa kecantol.
Ha ...ha...ha!"
"Mending kalau kecantol. Kalau bikin pusing kepala"!" celetuk pemuda lain teman
pemuda pertama tadi.
"Eh, pusing kepala justru tanda pertama dari seorang yang mulai kecantol!" Jawab
Si Muka Bangkai lalu tertawa dan ulurkan tangan mengambil segelas teh panas di
depannya. Seorang tamu di
samping kiri si kakek cepat berkata.
"Pak, itu teh saya."
"Ah, maaf....maaf." Si Muka Bangkai tertawa.
"Wah! Ternyata Pak tua sudah pusing duluan." Kata tamu di sebelah si kakek.
Beberapa orang tertawa mendengar ucapan itu sementara Si Muka Bangkai hanya
menyeringai kaku. "Bapak ini gaya dan dandanannya seperti ABG saja," pemuda di depan Si Muka
Bangkai sambil ternyum-senyum kembali keluarkan ucapan.
Kakek muka pucat ikutan senyum. "Aku tahu maksud sampean.
ABG-nya pasti bukan Anak Baru Gede, tapi Aki-Aki Baru Gede. Gitu
'kan?" Semua orang yang ada di tempat itu tertawa riuh. Si kakek sendiri senyum-
senyum dan usap dagunya dengan tangan kiri.
"Tau juga dia," berucap seorang tamu.
"Saya tau, Pak Tua ini pasti termasuk orang TOP." Kembali pemuda yang duduk di
depan Si Muka Bangkai keluarkan ucapan.
Sepertinya dia tengah memuji.
"Ah, jangan gitu ah." Ucap Si Muka Bangkai sambil mematik rambutnya yang
dikuncir. Si pemuda tertawa lebar, berkata dalam hati "Kena kau sekarang!" Teman di
sebelahnya membuka mulut. "Pak, tau nggak apa yang dimaksud TOP?"
` "Ah, saya bukan orang beken..." Si Muka Bangkai merendah.
"TOP itu singkatan Tua, Ompong, Peot!"
Suara tawa bergelak memenuhi pelataran tempat Sumi Primbon menggelar dagangan
lesehannya. Si Muka Bangkai ikut-ikutan tertawa. Walau tertawa tapi hatinya sebenarnya mulai
merasa jengkel pada pemuda satu ini. Kalau saja olok-olok itu terjadi di tempat
dan dalam keadaan lain, tamparan keras pasti sudah didaratkannya ke muka si
pemuda. Seorang anak perempuan pembantu Sumi Primbon meletakkan
segelas teh manis panas di atas tikar di depan Si Muka Bangkai.
Kakek ini segera meneguk minuman itu sampai habis, membuat anak perempuan tadi
dan orang-orang lain yang menyaksikan jadi terperangah, terheranheran. Teh manis
yang disuguhkan itu masih sangat panas, bahkan masih mengepulkan asap. Para
tetamu yang sudah lebih dulu dihidangkan teh manis seperti itu masih belum mau
minum, masih menunggu sampai tehnya agak dingin baru di minum.
Tanpa perduli pandangan orang terhadapnya Si Muka Bangkai
beringsut mendekati Sumi Primbon. Janda gemuk ini memberikan sebuah piring
kosong tapi Si Muka Bangkai gelengkan kepala.
Setengah herbisik dia berkata.
"Aku tidak kepingin makan. Tapi kepingin yang lain. Yang kita janjikan dua malam
lalu." Wajah bulat Sumi Primbon sesaat tampak bersemu merah. Dia
tambah kikuk sewaktu ada seorang tamu sengaja keluarkan suara berdehem. Mungkin
saja tamu ini tak sengaja mendengar apa yang dibisikkan kakek berpenampilan aneh
dan memakai minyak wangi yang menyengat hidung itu, lalu iseng menggoda.
Sebaliknya Si Muka Bangkai palingkan kepala, menatap pada orang yang
berdehem, membuat orang ini cepat-cepat melengos tak berani balas memandang
wajah tua dan pucat itu.
"Mas Broto, malem ini aku tidak bisa. Lagi banyak tamu. Besok saja, gimana?"
Ucap Sumi Primbon. Rupanya pada sang janda Si Muka Bangkai memperkenalkan diri
sebagai Broto. Hebat juga.
"Jangan gitu, Sum. Aku sudah membuat persiapan. Aku sudah minum obat kuat. Majun
Arab. Sekarang aku sudah mulai on." Kata Si Muka Bangkai. Entah dari mana dia
tahu bahasa keren anak muda masa kini. Mata si kakek mengerling ke dada sang
janda. Sumi Primbon diam saja, tidak memberi reaksi.
Mas Broto alias Si Muka Bangkai kembali berbisik.
"Gelang emas yang kamu minta tempo hari saat ini sudah sudah kubawa. Ada dua."
Ucapan kakek muka pucat itu membuat sepasang mata Sumi
Primbon kelihatan membesar dan bersinar. Dia cepat-cepat
melayani beberapa orang tamu. Setelah itu kembali mendekati Pak Broto alias Si
Muka Bangkai. "Kita mau kemana?"
Si Muka Bangkai tersenyum. Jelas sekali perubahan sikap sang janda setelah dia
memberitahu perihal dua gelang emas.
"Katamu ada kios kosong di Beringharjo."
"Betul ada. Tapi kurang aman..."
"Lalu?" . "Begini, ke rumahku saja."
"Weh, apa di situ aman" Gimana kalau digerebek
Hantu...Maksudku itu. Han...Han..."
"Hansip?" ujar Sumi Primbon. "Ya, itu. Hantu. Eh Hansip."
"Nggak usah khawatir. Hansip di sana koncoku semua." Jawab Sumi Primbon. "Tapi
saat ini aku masih ngelayani tamu dulu.
Tunggu sampai nanti sepi."
"Aku nunggu di depan Hotel Mutiara. Jangan lama-lama. Aku bisa mati berdiri.
Kalau bisa sebelum tengah malam kita sudah berada di rumahmu."
Si janda gemuk mengangguk. Dadanya yang besar menantang
bergoyang. Si Muka Bangkai menelan ludahnya lalu berdiri. Walau dia sudah lama
pergi tapi bau minyak wanginya masih tertinggal di tempat itu.
"Siapa tadi itu Jeng Primbon?" seorang tamu yang kepingin tahu bertanya. Dia
adalah lelaki yang tadi mengeluarkan suara
berdehem. "Mbah saya, dari Sleman. Dia minta diantar ke rumah seorang teman yang lagi
sakit. Mana mungkin, wong saya lagi sibuk begini."
Jawab Sumi Primbon berdusta.
"Aneh ya orangnya."
"Memang begitu. Dia itu dukun lho."
"Oh, dukun toh" Pantes."
"Bisa melet nggak?" Tanya pemuda yang tadi minumannya hendak diserobot Si Muka
Bangkai. "Memangnya sampean mau melet sopo, dek?" tanya Sumi Primbon sambil menyeka peluh
di dadanya yang busung besar.
"Ya, maunya sih kepingin melet Jeng Primbon," jawab si pemuda.
"Husss!" Hardik Sumi Primbon. "Kok mau melet orang dikasih tau segala!"
"Sekarang coba Jeng Primbon ramalin saya. Siapa tahu beneran saya berjodoh sama
Jeng Primbon." "Hussss!" Sumi Primbon kembali menghardik. Kali ini sambil tangan kanannya yang
besar menonjok bahu si pemuda. Cukup
keras hingga yang ditonjok roboh ke samping. Seperti robohnya susunan kotak
korek api, orang di sebelah yang kejatuhan tubuh si pemuda ikut roboh. Demikian
pula berturut-turut dua orang lain di sampingnya.
PAGI itu, Pariyem, anak perempuan empat belas tahun yang
membantu Sumi Primbon jualan makanan setiap malam di lesehan Malioboro duduk di
kursi rotan di teras rumah. Anak perempuan yang hanya mengecap pendidikan sampai
kelas tiga SD itu sedang membaca surat kabar, pinjaman dari anak tetangga
sebelah rumah. Walau tersendat-sendat setengah mengeja saat itu dia tengah asyik membaca sebuah
berita. Sesekali dia menurunkan surat kabar yang dibacanya, memandang ke arah
lengan kanan Sumi Primbon dimana melingkar dua gelas emas masing-masing dua
puluh gram. Sumi Primbon duduk di tembok rendah teras rumah,
mengenakan daster, sibuk menyiangi sayur untuk dagangan nanti malam. Duduknya
sembarangan saja. Tidak sadar kalau dasternya tersingkap lebar di sebelah bawah.
Karena beberapa kali Pariyem memperhatikan ke arah
tangannya. Lama-lama Sumi Primbon jadi merasa tidak enak.
"Ada apa Pariyem" Kamu dari tadi memperhatikan tanganku.
Membaca lagi lalu memperhatikan lagi."
"Nggak ada apa-apa kok Bu'de." Jawab Pariyem.
Lalu meneruskan membaca. Tapi satu kali kembali Sumi
Primbon memergoki anak itu tengah memandang ke arah tangan kanannya.
"Situ pasti naksir sama gelang baruku."
" Moso' sih naksir Bu'de. Saya 'kan belum pantes pakai gelang."
"Sudah, kamu mandi sana. Nanti bantu aku nyiapin bumbu."
Pariyem letakkan koran yang tadi dibacanya di atas kursi rotan, lalu berdiri.
Begitu anak perempuan itu masuk ke dalam rumah Sumi Primbon segera mengambil
koran di atas kursi. Dia meneliti halaman surat kabar yang tadi dibaca Pariyem.
Dia menganggap berita di halaman itu biasa-biasa saja dan merasa heran kalau
Pariyem begitu asyik membaca sambil sesekali memperhatikan tangan kanannya.
Ketika koran itu hendak dilipatnya tiba-tiba matanya membentur satu judul berita
di kolom paling kanan
sebelah bawah. YOGYA SEKILAS Dua gelang emas raib secara misterius
Satu kejadian aneh menimpa Sukardi, pemilik Toko Mas Sinar Terang di
Beringharjo. Menurut keterangan Sukardi, seperti biasa setiap tutup toko semua
emas perhiasan dagangannya dimasukkan ke dalam sebuah brankas untuk dibawa
pulang. Malam itu lelaki yang belum dikarunia anak ini hanya sendirian di rumah karena
istri bersama pembantunya pergi ke Solo untuk melihat ibunya yang sedang sakit.
Pagi kemarin sebelum berangkat ke toko, Sukardi terlebih dulu memeriksa emas
perhiasan yang ada dalam brankas. Pemilik Toko Mas Sinar Terang ini jadi
terkejut karena dua buah gelang masing-masing seberat 20 gram tidak ada lagi
dalam brankas. Atas dugaan wartawan yang kebetulan tetangga pedagang mas itu,
adanya unsur kelupaan disangkal keras oleh Sukardi. Dia pasti sekali dua gelang emas
tersebut telah dimasukkannya ke dalam brankas
bersama perhiasan lain. Lalu bagaimana mungkin dua gelang bisa lenyap" Kalau
dijarah pencuri mengapa tidak brankasnya dibawa kabur sekalian, ujar Sukardi.
Sukardi yang tidak percaya pada hal-hal bersifat gaib sama sekali tidak bisa
percaya dan tidak yakin kalau raibnya dua gelang emas itu adalah pekerjaan
makhluk sebangsa tuyul.
Pedagang mas itu saat ini masih bingung. Namun dia tidak
berniat sama sekali untuk melaporkan kejadian itu kepada Polisi.
Perlahan-lahan Sumi Primbon terduduk di kursi rotan. Koran yang barusan
dibacanya merosot dari pangkuan, jatuh ke lantai.
Jari-jari tangan kirinya mengusap-usap dua gelang yang melingkar di pergelangan
lengan kanan. Ketika dia memandangi dua buah gelang itu, entah mengapa hatinya
mendadak berdetak tidak enak.
Dari mulut janda gemuk itu meluncur ucapan perlahan.
"Mas Broto..."
*** BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 3 ARWAH PENASARAN ENJELANG tengah malam. Di atas selembar tikar butut, di
dalam sebuah warung kosong tak jauh dari Candi Mendut,
Mpengamen tua Si Pelawak Sinting terbaring tidur. Suara
dengkurnya terdengar jelas dalam sunyinya malam sampai jauh di luar warung. Dari
arah selatan Candi Mendut satu sosok laksana bayangan setan kelayapan melesat
dalam gelapnya malam.
Sebentar saja bayangan itu telah sampai di hadapan warung Yang bagian depannya
ditutup dengan terpal biru. Sejak beberapa waktu belakangan ini warung berterpal
biru itu dikenal sebagai "Tenda Biru" tempat kediaman pengamen aneh, yang bukan
saja pintar menyanyi tapi juga pandai melawak dan main akrobat.
Sesaat sosok yang berkelebat berhenti lalu melangkah maju dan astaga! Sosok itu
lewat begitu saja. Laksana hembusan angin menembus terpal. Dan lebih tidak bisa
dipercaya lagi, sosok aneh ini terus bergerak, melangkah menembus pintu. Di lain
saat dia sudah berada di dalam warung yang hanya diterangi lampu 10 wat, redup
berdebu. Berdiri di samping tubuh si pengamen aneh yang bukan lain adalah Si
Pelawak Sinting Labodong yang terbujur tidur di lantai.
Perlahan-lahan makhluk ini berlutut dan ulurkan tangan
kanannya. Tangan itu bergerak ke arah leher Pelawak Sinting.
Begitu tangan menyentuh leher, suara dengkur mendadak berhenti berganti dengan
suara seperti orang tercekik.
Sepasang mata orang tua yang lehernya barusan diraba terbuka sedikit. Samar-
samar dia melihat satu wajah. Salah satu tangannya bergerak meraba leher yang
terasa sangat dingin seolah telah berubah es.
Mata kakek pengamen ini tiba-tiba mendelik besar. Dia
mengeluarkan ucapan, tetapi lidahnya kelu, suaranya tidak jelas.
Makluk yang berlutut di sebelahnya menyeringai.
"Kau mengenali diliku, Labodong?" Makhluk di samping si pengamen tua keluarkan
ucapan. Suaranya cadel, bergema aneh seolah keluar dari dalam sebuah sumur.
Pelawak Sinting bernama Labodong yang masih terbujur di lantai bergerak sedikit.
Mulutnya terbuka. "Kau...!"
"Hemm, bagus, kau mengenali diliku. Saatnya kita bicala.
Waktuku singkat sekali!" Begitu selesai berucap makhluk ini bangkit berdiri lalu
melompat menjauh ke salah satu sudut ruangan.
Pelawak Sinting Labodong yang beberapa waktu belakangan ini terkenal sebagai
pengamen aneh dan lucu di kawasan Candi
Mendut, cepat berdiri, mengucak ke dua matanya dan memandang ke sudut warung. Di
situ berdiri samar makhluk aneh yang
tampangnya sangat sama dengan dirinya. Saat itu dia baru
menyadari bahwa tempat itu terasa luar biasa dinginnya. Dia memperhatikan ke
sudut warung. Sosok samar yang berdiri di sana kelihatan seperti mengeluarkan
kabut tipis. Mungkin inilah sumber hawa dingin itu.
"Labudung.... adik..." Suara Pelawak Sinting Labodong agak tersendat karena
masih tidak percaya dengan apa yang terjadi, dengan apa yang dilihatnya.
"Labodong, ini memang aku Labudung adikmu." Seperti tadi suara makhluk samar
berkabut di sudut warung terdengar
menggema seperti datang dari dalam lobang.
"Suaramu aneh, sosokmu kulihat samar. Bagaimana mungkin"
Tubuhmu samar bergoyang-goyang. Jelas kau bukan lagi joget atau ngedangdut. Aku
lihat ada kabut menutupi dirimu. Kau. Hembusan nafasmu dingin, tanganmu seperti
es..." "Keadaanmu jauh lebih aneh lagi Labodong. Lambutmu kau celup dengan apa sampai
belwalna sepelti bulu jagung. Hik..hik!
Gigimu entah kau tempeli apa sampai belkilat sepelti kaca.
Telingamu pakai anting. Pusalmu kau ganduli giwang. Kau mengenakan lompi dan
celana tebal. Kelen amat. Tapi kemana-mana pantatmu masih selalu nongol dioblal
kalena celanamu gomblong kedodolan. Hik...hik...hik! Eh, benda apa yang
telgantung di lehelmu itu?"
Labodong raba harmonika yang tergantung di lehernya.
Harmonika ini ditempelkannya ke mulut lalu ditiup. Di sudut ruangan sang saudara
kembar tertawa mengekeh mendengar
suara harmonika itu.
"Benda aneh bersuala meldu. Hik..hik. Aku gembila kau masih telus mengikuti
jejakku jadi pengamen. Kakak, apakah kau sudah hapal betul lagu Kopi Dangdut dan


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tenda Bilu?" Labodong ingin tersenyum. Dia ingat. Semasa adiknya itu masih hidup dan semasa
mereka masih berada di Negeri Latanahsilam, antara dia dan Labudung tak pernah
akur. Labudung selalu
memarahinya karena dia suka meniru apa yang dilakukan sang adik dan
memperkenalkan diri sebagai Pelawak Sinting. Padahal Labudunglah Pelawak Sinting
yang asli. "Labudung, aku tidak mengerti. Bukankah....bukankah kau sudah berada di alam
sana?" Wajah pucat samar berselimut kabut dingin tersenyum.
"Aku memang tidak belada di alammu lagi. Bukankah kau sendili yang mengantal
kepelgianku malam itu" Tubuhku leleh menjadi cailan putih. Cailan belubah
menjadi asap dan asap kemudian silna, telbang pupus menuju alam kematian."
(Mengenai kisah kematian Labudung alias Pelawak Sinting asli saudara kembar
Labodong, bisa dibaca dalam Episode pertama berjudul "Topan Di Borobudur")
Labodong pegangi lehernya sendiri. Hawa dingin membuat
kakek ini mulai menggigil.
"Labodong, ketahuilah, aku hidup di alam maha dingin. Tanpa membawa hawa dingin
ke dalam alammu, aku tak akan mampu
mempelihatkan dili dan bicala denganmu."
"Kehidupan kita di Negeri Latanahsilam di masa lalu banyak keanehan, tapi
kemunculan dirimu dan keberadaanmu saat ini tidak bisa kubayangkan. Selain itu
aku merasa cemas..."
"Ada satu kekuatan gaib yang menalik aku ke alammu.
Labodong saat ini kita beldua memang pantas belbagi kecemasan.
Kalena kecemasan itulah yang mendolongku datang ke sini."
"Labudung, apa maksudmu?" tanya Labodong.
"Di alamku, aku melihat dua titik mendatangimu. Dua titik itu belwalna melah.
Pertanda ada dua olang belniat jahat telhadapmu.
Mungkin juga mau membunuhmu."
"Ada orang mau membunuhku" Siapa?" Labodong terkejut besar.
"Tak bisa kuketahui pasti. Tapi meleka akan segela muncul.
Malam ini. Ada dua dugaan. Mungkin meleka musuh kita di alam lalu semasa di
Latanahsilam. Mungkin juga musuh alam tempat kita ada sekalang."
"Aku..." "Labodong, kemasi balang-balangmu. Kau halus segela tinggalkan tempat ini.
Sekalang juga!" kata Labudung dari sudut warung.
"Labudung, siapapun mereka, aku akan coba menghadapi."
" Menulut penglihatanku dua olang itu belkepandaian sangat tinggi. Saat ini kau
tidak akan mampu menghadapi meleka. Cukup aku saja yang menelima beban kematian.
Salah satu dali kita halus tetap hidup untuk menuntaskan semua dendam kesumat.
Lagi pula ada bebelapa pesanku tempo hali yang belum kau laksanakan.
Diantalanya mencari nenek belnama Sinto Gendeng dan mengawininya."
"Aku sudah berusaha mencari. Tanya sana tanya sini. Tapi nenek itu belum ketemu.
Aku ketemu nenek lain, salah duga, malah aku ditampar sampai mukaku bengap
begini rupa." "Sudah, tak pellu kita bicalakan hal itu panjang lebal. Saat ini aku minta agal
kau segela pelgi dali sini."
"Kau sendiri mau melakukan apa?" tanya Labodong kembaran Labudung Si Pelawak
Sinting. Belum sempat Labudung menjawab tiba-tiba braakk!
Pintu warung jebol terpentang lebar. Dua sosok berkelebat
masuk. Yang satu seorang nenek bermantel biru berambut merah riap-riapan
bertampang seangker setan. Satunya seorang pemuda berpakaian serba hitam
berbadan kekar. Perhatian dua orang ini serta merta tertuju pada Labodong.
Mereka mungkin belum melihat sosok samar Labudung yang tegak samar di sudut
warung. Labodong segera kenali siapa adanya sosok bermantel biru di samping pemuda
berpakaian dan bermantel hitam. Dia adalah
nenek pengemudi becak di dekat Keraton yang malam tadi
mengikutinya lalu memaksa dia menyerahkan telur ayam kampung yang dibawanya.
Nenek ini bukan Lain adalah Kunti Api. Sedang si pemuda adalah Pangeran
Matahari. "Pengamen Sinting! Akhirnya aku temui juga dirimu!" Kata Kunti Api sambil
berkacak pinggang. Sesaat dia dongakkan kepala, menghirup udara di ruangan itu
dalam-dalam. Setelah melepas nafas panjang dia menyeringai.
"Hawa dingin. Cocok untuk mengantar kematianmu!" Ucap si nenek. Dia maju satu
langkah mendekati Labodong. Si Pelawak Sinting Labodong ikut meniru tindakan si
nenek, maju pula satu langkah.
"Nenek Guru, tunggu!" tiba-tiba pemuda bermantel hitam di samping Kunti Api
membuka mulut dan sejak tadi memperhatikan Pelawak Sinting Labodong keluarkan
ucapan. "Tua bangka sinting ini walau tidak cadel dan rambutnya pirang bulukan
tapi tampangnya sangat mirip dengan pengamen yang dulu bersama
Guru aku bunuh di Jakarta. Aneh kalau dia masih hidup! Diakah bangsatnya yang
telah menipu Nenek Guru, memberikan telur
palsu?" "Memang dia!" jawab Kunti Api dengan mulut dipencongkan.
"Tua bangka sialan. Berani menipuku! Jangan harap nyawanya aku ampunkan. Lain
hal kalau dia mau menyerahkan telur ayam yang asli."
"Pengamen Sinting! Kau sudah dengar ucapan Nenek Guruku.
Urusan Batu Penyusup Batin masih belum selesai. Kau kini malah berani menipu
Nenek Guruku! Lekas serahkan telur asli yang diminta. Atau kau kubikin jadi
bangkai saat ini juga!"
Labodong tidak tahu menahu perihal Batu Penyusup Batin
karena memang adiknya si Pelawak Sinting asli yang punya urusan.
Saat itu Labodong sadar. Kalau pemuda itu sanggup membunuh adiknya berarti dia
memang memiliki kesaktian tinggi. Pangeran Matahari! Labodong ingat. Sebelum
hembuskan nafas terakhir saudara kembarnya Labudung menyebut nama itu sebagai
pembunuhnya. Kini dia berhadapan sendiri dengan sang pembunuh yang memang tengah
dicarinya untuk membalaskan dendam
kesumat sakit hati kematian adiknya. Kini walau tahu bahaya mau mengancam
nyawanya Labodong tenang-tenang saja. Malah sambil senyum-senyum dia menatap
Kunti Api Ialu konyolnya kakek ini kedipkan mata pada si nenek muka setan
berdandan menor. "Nenek cantik, kau muncul lagi. Rupanya ada kenangan manis pada pertemuan kita
pertama kali malam ini di dekat Keraton."
"Tua bangka jelek!" bentak Kunti Api lalu meludah ke lantai warung. "Jangan
bicara ngacok di hadapanku!" Si nenek berucap sambil melirik pada Pangeran
Matahari. Kawatir pemuda ini
percaya pada ucapan si kakek.
"Ha ...ha!" Pelawak Sinting Labodong tertawa lebar. "Kau tak mau rahasia
percintaan kita diketahui cucu muridmu ini. Padahal aku tahu kedatanganmu
sebenarnya adalah untuk menjemputku, lalu membawaku ke kios kosong itu. Kalau
betul bagusnya kita pergi sekarang saja. Cuma sayang, mengapa kau membawa bocah
ini" Tapi tak apalah, dia bisa disuruh berjaga-jaga di depan kios dan jangan
berani mengintip apa yang kita lakukan! Ha...ha...ha!"
Disebut bocah apa lagi mendengar ucapan terakhir pengamen
sinting Pangeran Matahari jadi marah. Kunti Api sendiri seperti saga merah
mukanya. Memaki tak karuan panjang pendek. Namun dia masih bisa mengendalikan
amarah. Membunuh si kakek sesuatu yang mudah baginya, tapi yang diperlukannya
saat itu adalah mendapatkan telur keramat yang mampu mengeluarkan Dwita
Tifani dari dalam Stupa di Candi Borobudur.
"Tua bangka keparat! Kami datang untuk menjemput nyawamu!
Kau boleh bersenang-senang dengan setan neraka!" begitu membentak sang Pangeran
langsung melompat ke hadapan Labodong dan hantamkan tangan kanannya. Tapi
gerakannya cepat ditahan Kunti Api. "Biarkan dia bernafas sesaat lagi sampai dia menyerahkan telur yang kita minta!"
Ucap si nenek. "Rupanya tua bangka edan ini belum tahu kita ini siapa!" kata Pangeran Matahari.
"Ah, kalau memakai peradatan memang musti begitu. Aku belum kenal nenek cantik
yang naksir diriku ini. Sedangkan kau bukankah kau bocah yang punya nama hebat,
Pangeran Matasapi?"
Sepasang mata Pangeran Matahari mendelik. Mulutnya
keluarkan suara menggembor.
"Aku Kunti Api!" Ucap si nenek setengah berteriak. Dia maju satu langkah.
"Jangan kau berani menghina cucu muridku Pangeran Matahari!"
Meski dua orang di depannya sudah marah besar Si Pelawak
Sinting Labodong masih saja bersikap konyol dan keluarkan
ucapan. "Bocah, kalau aku kawin dengan Nenek Gurumu, maka kau adalah cucuku juga. Jadi
kau harus hormat padaku. Ayo salami aku.
Cium tanganku! Kau harus bangga punya Kakek Guru pengamen
beken seperti aku ini! Ha ...ha...ha!" Sambil tertawa bergelak Pelawak Sinting
Labodong maju dua langkah dan ulurkan tangan kanannya. Kalau Pangeran Matahari
menyambuti salamnya maka secara mendadak dia akan menghantam kepala pemuda itu
dengan satu pukulan mengandung tenaga dalam tinggi. Sekali pukul kepala pemuda
pembunuh adiknya itu pasti pecah!
Namun maksud S.i Pelawak Sinting tidak kesampaian karena
Pangeran Matahari tidak layani ucapannya malah saat itu
tangannya sebelah kanan diangkat setinggi kepala. Tangan itu kelihatan bergetar
dan memancarkan cahaya tiga warna.
"Pangeran! Tahan serangan!" Lagi-lagi Kunti Api berteriak kawatir. "Bangsat tua
ini tak bakal lolos dari kematian! Kita perlu telur itu! Jahanam tua bangka!
Mana telur asli itu! Serahkan padaku sekarang juga!"
Pelawak Sinting Labodong tersenyum lebar. Barisan gigi-giginya yang dilapisi
kertas timah bungkusan rokok kelihatan berkilat.
Melihat ini Pangeran Matahari menjadi was-was. Apa lagi
sebelumnya dia telah melihat keadaan rambut si kakek yang dicat pirang. Dalam
hati murid Si Muka Bangkai ini membantin. "Warna rambut dan giginya yang
dilapisi kertas berkilat, agaknya dia memang bukan kakek pengamen yang aku bunuh
di Jakarta dulu. Lalu bagaimana tampang dan sebagian besar ciri-cirinya sama dengan kakek itu?"
" Kutil Api..." Ucap Pelawak Sinting Labodong. Kali ini dia ganti mempermainkan
si nenek, sengaja inenyebut nama Kunti Api
dengan Kutil Api. "Kau sungguhan inginkan telur yang asli?"
"Tua bangka edan! Jahanam betul! Jangan kau berani
mempermainkan namaku! Mana telur itu! Lekas serahkan!"
"Kekasihku, dengar...!"
"Jahanam! Siapa bilang aku kekasihmu!" Teriak Kunti Api dengan mata mendelik.
Dia meludah ke lantai warung lalu dua tangan diacungkan ke depan. Sepuluh kuku
jarinya yang berwarna hitam berubah menjadi merah.
Labodong maklum kalau si nenek tengah mengerahkan tenaga
dalam, siap menghantamnya dengan pukulan sakti. Cepat kakek ini berkata.
Suaranya sengaja dilembut-lembutkan, membujuk.
"Tenang...tenang. Kau meminta, aku akan berikan. Dengar, aku punya dua telur
asli. Kau mau minta satu saja atau kedua-duanya?"
"Aku cuma minta satu! Yang asli! Buat apa dua!" Kunti Api tidak sadar kalau
orang tengah mempermainkannya.
"Ah, ternyata kau nenek cantik yang tidak serakah. Padahal tadinya aku rela
memberikan dua telurku yang asli. Kau cuma minta satu, apa sulitnya memberikan.
Tapi harap bersabar. Telur yang satu ini agak sulit dikeluarkan. Karena
tempatnya terjepit di sebelah bawah sini! Hik..hik...hik!"
Kunti Api yang masih juga belum sadar kalau dirinya tengah dipermainkan berdiri
menunggu dengan dua tangan terpentang, mulut pencong dan mata mendelik.
Sebaliknya Pangeran Matahari sudah merasa dan maklum apa
maksud semua ucapan Labodong. Kemarahannya semakin
berkobar. "Nenek Guru," ucap Pangeran Matahari. "Bangsat tua ini berlaku kurang ajar! Apa
Nenek Guru tidak sadar kalau dia tengah
mempermainkan kita" Lihat apa yang tengah dilakukannya!"
Saat itu dengan tangan kanannya Pelawak Sinting Labodong
tengah merorotkan celana blujinsnya ke bawah sementara tangan kiri disusupkan ke
dalam celana. Melihat apa yang di lakukan kakek pengamen ini Kunti Api baru
sadar kalau orang tengah mengerjainya.
"Wah, Nek. Susah diambilnya!" Pelawak Sinting Labodong memandang kearah Kunti
Api, lalu tersenyum cengengesan dan kedipkan mata. "Mungkin kau sendiri yang
harus mengambilnya."
Lalu Labodong tarik celananya lebar-lebar ke depan.
Darah di kepala Kunti Api mendidih sudah. Tak perduli lagi dia akan telur yang
tadi dimintanya. "Jahanam kurang ajar! Kau sudah kelewatan! Kau layakmampus saat ini juga!" Dua tangan Kunti Api bergerak. Sepuluh kuku jarinya
memancarkan cahaya merah.
"Nenek Guru, biar aku yang menghabisi tua bangka keparat ini!"
Pangeran Matahari mendahului gerakan Kunti Api. Tangan kanan siap melepaskan
pukulan Gerhana Matahari. Dengan pukulan inilah dia dulu menghabisi Pelawak
Sinting Labudung. Senyum di wajah Pelawak Sinting Labodong hilang. Sikap
konyolnya ikut lenyap. Dua kaki merenggang. Tangan kiri
menyambar payung kertas. Tangan kanan dikembangkan lalu
diiacungkan ke arah Pangeran Matahari. Srett! Payung kertas terkembang lalu
berputar deras. Deru angin yang keluar dari putaran payung membuat pakaian dan
sosok Pangeran Matahan
dan Kunti Api sesaat bergoyang-goyang.
"Bocah jahanam! Kau membunuh adikku! Sekarang kau harus serahkan nyawa anjingmu
padaku!" Pangeran Matahari sempat terkesiap mendengar ucapan
Pelawak Sinting Labodong. Di lain kejap, setelah mengumbar tawa bergelak dia
berkata. "Kalau kau memang kakak pengamen yang mati kubunuh dulu itu, kau harus bersyukur
karena saat ini aku memberi kesempatan padamu untuk menyusulnya di neraka!
Ha ...ha..ha! Setan tua!
Terima kematianmu!"
Baru saja Pangeran Matahari keluarkan ucapan, mendadak dari sudut warung ada
suara keras, bergema seperti keluar dari dalam liang sumur.
"Labodong! Kemasi balang-balangmu! Lekas pelgi dali sini. Bial aku yang membawa
Pangelan kepalat itu ke liang dajal! Aku memang sudah lama menunggunya di alam
kematian!" Sesiur angin menderu. Satu bayangan samar berkelebat.
BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 4 PUKULAN ARWAH MENCARI ARWAH
ANGERAN Matahari merasakan tangan kanannya yang siap
memukul bergetar keras. Dia cepat mundur seraya berpaling.
PDan jadi terkejut besar ketika melihat sosok makhluk yang berdiri di
hadapannya. Di sampingnya Kunti Api memperhatikan dengan mata tak berkesip.
Hatinya membatin. "Makhluk ini, berbentuk samar. Gerakannya secepat menebar
angin dahsyat."
"Makhluk jahanam! Bukankah kau sudah kubunuh mati...." ujar Pangeran Matahari.
Sosok samar Pelawak Sinting Labudung tampak menyeringai
lalu keluarkan suara tawa mengekeh.
"Kau bisa membunuh tubuh kassalku. Tapi kau tidak pelnah bisa membunuh alwahku!
Alwahku datang untuk minta alwahmu!"
Pangeran Matahari mendengus.
"Pangeran, tunggu apa lagi!" Di sebelahnya Kunti Api berbisik.
"Kita hantam berbarangan!"
Dua tangan Kunti Api bergerak.
Tangan kanan Pangeran Matahari menghantam.
Sepuluh larik cahaya merah membersit keluar dari ujung
sepuluh kuku jari Kunti Api. Inilah Ilmu Kuku Api yang luar biasa ganasnya.
Sementara itu dari tangan kanan Pangeran Matahari melesat cahaya kuning, merah
dan hitam. Kalau Kunti Api mengarahkan serangan pada sosok samar
Pelawak Sinting Labudung, maka Pangeran Matahari menghantam ke arah Pelawak
Sinting Labodong. Begitu larikan cahaya-cahaya kematian menderu , ganas, sosok samar Labudung
mengepul, menebar kabut putih dingin. Dengan kecepatan laksana kilat dia
melompat ke kiri menyambar tubuh kakaknya lalu dibawa melesat ke atas.


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berbarangan dengan itu tangan kanannya bergerak dua kali.
"Wuttt!" "Wutt!" Di dalam warung Kunti Api dan Pangeran Matahari berteriak
kaget. Laksana dilabrak topan kedua orang ini terpental
menghantam dinding, jatuh bergulingan di luar warung. Dada mendenyut sakit,
mulut terasa asin karena ada lelehan darah yang hendak membersit keluar.
Di sebelah bawah api yang timbul dari dua pukulan sakti Kunti Api dan Pangeran
Matahari membakar bangunan.
"Braaakkkk!"
Di sebelah atas, atap warung jebol. Labodong pegangi
kepalanya. Genteng hancur beterbangan. Sosok dua saudara
kembar itu melesat keluar warung lewat atap yang amblas.
"Jahanam kurang ajar!" Di luar warung Pangeran Matahari memaki, cepat berdiri.
"Dua bangsat itu pasti mencoba kabur! Jangan sarnpai mereka lolos!" Teriak Kunti
Api. Keduanya melompat ke atas atap bangunan di sebelah warung Tenda Biru.
Memandang berkeliling dua orang yang dikejar tak kelihatan lagi. Kunti Api lari
ke kanan sepanjang wuwungan deretan warung. Pangeran Matahari ke jurusan kanan.
Tetap saja mereka tidak menemukan apa-apa sementara dibawah orang mulai ramai
hiruk pikuk berteriak-teriak dan coba
memadamkan api yang membakar warung.
"Sialan!" Maki Pangeran Matahari.
"Kurang ajar!" Rutuk Kunti Api. Jari-jari tangannya kiri kanan bergerak-gerak
mengeluarkan suara berderak. "Aku punya firasat buruk. Jangan-jangan telur itu
sudah diberikannya pada orang lain.
Berarti ada yang punya niat hendak membebaskan anak
perempuan yang kau sekap dalam Stupa itu."
"Nenek Guru, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Bertanya Pangeran Matahari.
Dalam hati dia sudah tahu apa jawaban si nenek.
"Kita ke Borobudur sekarang juga!"
"Nenek Guru tahu siapa orangnya yang punya niat menolong gadis bernama Dwita
Tifani itu?" "Aku tidak bisa menduga. Tapi dibalik semua ini aku merasa ada satu kekuatan
besar ikut campur. Pangeran, kita tidak boleh membuang waktu!" Si nenek
mendongak ke langit. Rembulan hampir penuh tertutup awan tebal. Angin bertiup
dingin. Si nenek berkelebat. Pangeran Matahari mengikuti. Sementara itu api yang
membakar bangunan warung semakin merembet luas.
"Kakek pengamen! Kakek pengamen! Dia ada di dalam!
Terkurung api!"
Seseorang berteriak. Tak ada yang berani masuk ke dalam
warung yang tenggelam dalam kobaran api itu. Apa lagi api semakin berkobar luas.
Di kejauhan terdengar suara sirine mobil pemadam kebakaran mendatangi. Hampir
satu jam kemudian api baru
berhasil dipadamkan. Orang banyak memperkirakan si kakek
pengamen telah menemui ajal di dalam warung Tenda Biru. Namun ketika petugas
pemadam kebakaran memeriksa, tidak ditemui
kerangka tulang belulang manusia di dalam warung yang telah musnah itu.
LABODONG pegangi keningnya yang luka dan benjut. Lalu sambil merapikan rambut
pirangnva yang acak-acakan dia berkata. "Sial kau Labudung! Kau membawa aku
menembus genteng. Liat,
keningku luka, benjut. Rambutku acak-acakan!"
Labudung diam saja. Saat itu mereka berada di pinggiran
sebuah kali kecil. Labodong bicara lagi. "Pemuda bernama Pangeran Matahari menyebut-nyebut Batu
Penyusup Batin. Binatang apa itu?"
"Batu Penyusup Batin satu batu sakti Mandlaguna. Siapa saja yang memilikinya
akan mampu menghilang. Waktu ngamen di Pasal Balu Jakalta aku belhasil menculi
batu itu dali Pangelan Matahali.
Aku belikan pada Sinto Gendeng. Kalena katanya kalau aku bisa mendapatkan batu
dan menyelahkan padanya, dia mau kawin denganku. Telnyata batu yang aku dapatkan
palsu. Tapi asli atau bukan tidak jadi ulusan. Yang jelas aku dapatkan batu dan
Sinto Gendeng halus menepati janjinya. Tapi si nenek culas dia mengelak dan
menolak kawin. Itu sebabnya aku suluh kau mencali nenek itu dan mengawininya. Di
alam alwah aku mendengal kabal nenek itu berhasil dapatkan batu yang asli. Soal
kawin, kau tetap halus mencali nenek itu..." (Mengenai kisah Batu Penyusup Batin
dapat dibaca dalam serial Boma Episode "Tripping")
Labodong basahi jari-jari tangan kanannya dengan ludah, lalu jari yang basah itu
diusapkannya ke benjut di kening dan
kepalanya. " Jolok!" kata Labudung.
Labodong menyengir. Sekali usap luka dan benjut langsung
hilang. Labudung goleng-golengkan kepalanya yang samar berulang kali.
"Labudung, mengapa kita tidak menghabisi saja dua manusia jahat tadi" Kita punya
kesempatan membalaskan dendam."
"Dendam kematian diliku memang halus dibalaskan. Tapi saatnya bukan kita yang
menetapkan. Ada satu kekuatan yang menentukan di lual kemampuan kita. Dua olang
tadi memiliki ilmu kesaktian lual biasa tinggi. Kalau kita memaksa, bisa
membahayakan dili sendili..."
"Tapi adikku, tadi kulihat tubuhmu mengeluarkan kepulan asap.
Asap itu membentengi tubuh kita. Lalu kau melepas pukulan hebat.
Membuat mental kedua orang itu. Aku rasa mereka pasti terluka.
Aku tidak pernah tahu kau memiliki pukulan hebat itu. Aku yakin dengan pukulan
itu kau bisa membunuh mereka."
"Aku telah melakukan," sahut Labudung. "Tapi keduanya tidak menemui ajal.
Peltanda meleka memang belum saatnya mati."
"Pukulan apa itu, dari mana kau mendapatkan?" Labodong bertanya ingin tahu.
"Pukulan Alwah Mencali Alwah." Jawab Labudung tapi tidak mau memberitahu dari
mana dia mendapatkan pukulan sakti tersebut.
"Labodong, waktuku hampil habis. Aku halus kembali ke alamku.
Aku menghalap kau belusaha telus membalaskan sakit hati dendam kesumat
kematianku." Labodong menggaruk kepalanya yang dicat pirang dengan Pylox.
Lalu berkata. "Kalau kau saja yang berilmu tinggi tidak mampu membunuh orang-
orang jahat itu, bagaimana aku yang cetek
kepandaian. Kecuali...."
"Kecuali apa?" tanya Labudung si makhluk bersosok samar.
Labodong menyeringai. "Kalau mudah caranya mendapatkan ilmu itu, apakah kau bisa
memberikan ilmu Pukulan Arwah Mencari Arwah itu padaku?"
"Tidak mungkin, olang semacammu tidak mungkin bisa dibelikan ilmu itu."
"Kenapa" Apa yang tidak mungkin?" Labodong penasaran. Kini dia tidak lagi
mengusap keningnya tapi ganti mengusap pusarnya yang bodong melembung.
"Dulu, untuk dapatkan ilmu itu aku halus menempuh ujian belat."
"Ujian belat macam apa?" Labodong tirukan ucapan cadel adiknya.
"Empat puluh hali empat puluh malam aku halus belada dalam keadaan bugil..."
"Ah, kalau cuma berbugil ria empat puluh hari empat puluh malam apa sulitnya"
Paling-paling masuk angin, perut kembung dan kentut-kentut sedikit. Ha
...ha..ha.." Labudung gelengkan kepala. Lalu berucap. "Aku dalam keadaan bugil bukan cuma
sendilian. Tapi ditemani pelempuan muda sangat cantik yang juga dalam keadaan
bugil. Nah apa kau tahan"
Jangankan empat puluh hali. Setengah halian saja pasti kau sudah tidak tahan.
Pasti sudah kau gelayangi pelempuan itu."
Labodong garuk-garuk kepala.
"Bagaimana, kau masih inginkan ilmu Pukulan Alwah Mencali Alwah itu?" tanya sang
adik. Labodong tidak bisa menjawab. Mulutnya komat kamit.
"Tadi melihat nenek muka setan yang dandanannya celemongan belnama Kunti Api itu
saja kau sudah panas dingin. Bagaimana beldekatan dengan pelempuan bugil empat
puluh hali empat puluh malam!"
"Aku....Ah, sudahlah!" Labodong seperti putus asa.
Sang adik tersenyum.
"Kau sungguhan maukan ilmu pukulan Alwah Mencali Alwah itu?" Dia bertanya.
"Maksudmu, kau memang bisa memberikan?" Labudung merenung sejenak. "Aku tahu
calanya memindahkan ilmu itu. Tapi aku tidak pasti apakah bisa dilaksanakan."
"Mengapa tidak kita coba saja?" Labodong mendesak.
Labudung memandang ke arah kali kecil dibawah mereka.
"Tempatnya memang cocok. Ada kali di bawah sana. Kita masuk ke dalam kali itu.
Tapi sebelumnya halus menanggalkan seluluh pakaian. Lalu kita...." Labudung
tidak meneruskan ucapannya. Dia menatap kakaknya sambil senyum-senyum.
"Kenapa kau berhenti bicara. Kenapa tertawa?" tanya Labodong heran.
"Kita masuk ke dalam kali. Telus...." Labudung diam lagi.
"Terus?" sang kakak kembar jadi tidak sabaran. "Heran kau bicara sepotong-
sepotong." "Di dalam kali, di dalam ail, kau memegang anuku, aku memegang anumu..."
"Sintingmu kambuh! Jangan ngacok! Kau mempermainkan aku atau bagaimana"!" teriak
Labodong dengan mata melotot.
"Aku memang sinting. Tapi aku tidak bicala ngacok. Memang begitu calanya
mengalilkan tenaga dalam, hawa sakti dan ilmu Pukulan Alwah Mencali Alwah itu .
Sekalang telselah kamu. Belsedia atau tidak."
"Sial ilmu macam apa itu, Begitu caranya!" kata Labodong pula.
"Eh, jangan-jangan kau ini sudah jadi hombre."
" Homble" Apa itu?"
"Aku pernah dengar orang sering nyebut kata itu. Kata mereka hombre sama dengan
homo. Homo artinya lelaki yang cuma suka sama lelaki."
"Labudung, walau aku mungkin sudah kau anggap jadi setan jejadian, tapi aku
bukan lelaki macam begitu. Dengal, waktuku hampil habis. Aku halus pelgi.
Bagaimana...?" "Sial! Demi membalaskan sakit hati dan rnembasmi orang-orang jahat itu aku
terpaksa ikutan cara gilamu itu!" Sambil membuka pakaiannya satu demi satu dan
tertawa cekikikan Labodong
melangkah turun ke arah kali. Dia menoleh ke belakang. Labudung tak ada lagi di
tempatnya semula. "Kurang ajar! Kemana lenyapnya makhluk sinting itu! Jangan-jangan dia
mempermainkan diriku." Ucap Labodong. "Labudung!
Dimana kau"!"
"Hai aku disini! Siap menunggumu!" Ada suara menggema menyahut dari kali.
Labodong memutar kepala ke arah kali. Di dalam kali dilihatnya saudara kembarnya
itu melambaikan tangan. Entah kapan dia
melompat kesana, entah kapan pula dia menanggalkan pakaian, yang jelas saat itu
Labodong melihat Labudung sudah tidak
berpakaian lagi. Sambil melangkah ke kali Labodong membuka bajunya. Sebelum
masuk ke dalam kali dia berkata.
"Labudung, awas kalau kau macam-macam."
"Jangan kawatil saudalaku kembal. Punyaku hanya semacam!
Ha...ha-ha ...ha!" Sahut Labudung lalu tertawa gelak-gelak. Puas tertawa dia
berkata. "Labodong, kau tunggu apa lagi" Ayo lakukan syalat yang halus kau
keljakan untuk dapatkan ilmu Pukulan Alwah Mencali Alwah!"
Labodong diam saja. Rupanya bimbang juga kakek satu ini.
Mungkin juga ngeri atau jijik.
"Ayo! Ululkan tanganmu! Pegang..." kata Labudung.
Labodong akhirnya melangkah dekati tubuh adiknya. Perlahan-lahan, di dalam air
dia ulurkan tangan. Mendadak Labodong
tersentak kaget. Wajah dan sosok Labudung berubah menjadi
seorang perempuan muda cantik jelita. Tubuhnya yang tersembul di permukaan air
kali tidak tertutup secarik kainpun, polos putih dan sangat menantang.
Saking kagetnya Labodong sampai keluarkan seruan. Dia
mundur ke belakang. Tapi di bawah air ada bagian tubuhnya yang maju ke depan!
Labudung tertawa mengekeh.
"Apa kataku! Balu godaan begini saja kau sudah tidak sanggup menahan dili.
Ha ...ha...ha!" Kakek ini usap wajahnya. Saat itu juga wajah dan tubuhnya
berubah ke bentuk semula. Sosok samar Si Pelawak Sinting yang asli.
"Kurang ajar kau Labudung! Beraninya mempermainkan aku!
Kuremas anumu sampai remuk!"
Labudung ganda tertawa.
"Kalau kau lakukan itu, seumul hidup kau tidak bakal mendapatkan ilmu Pukulan
Alwah Mencali Alwah! Bagaimana aku menyalulkan tenaga dalam dan hawa sakti kalau
anuku kau bikin bonyok! Ha ...ha...ha!"
"Kau memang sialan!" maki Labodong kembali.
Labudung tertawa mengekeh. Dia angkat dua tangannya ke
atas, disilangkan di belakang kepala. Mata dikedip-kedipkan, pinggul diogel-
ogel. Sikapnya seperti perempuan merayu sekaligus menantang!
*** BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 5 DWITA DIBERITAKAN DIBUNUH
I DALAM taksi Serda Sujiwo duduk di samping pengemudi.
Tubuhnya terasa letih. Kepala disandarkan ke bagian atas
D kursi, mata dipejamkan. Seumur hidup baru sekali ini dia mengurusi perkara
aneh seperti yang tengah dihadapinya saat itu.
Mulutnya terasa asam. Ingin sekali dia merokok tapi rokoknya sudah habis. Boma
duduk di belakang, diapit Ibu Renata dan Trini.
Tangan kirinya yang sejak tadi tergenggam diletakkan diatas paha kiri. Tangan
itu terasa pegal karena sejak tadi terus-terusan digenggam. Kalau saja tak ada
Trini di samping kanan Boma, ingin sekali Ibu Renata memegang lengan anak lelaki
itu. Boma sendiri duduk tak bergerak, kepala disandarkan dan mata dipejamkan.
Sepanjang perjalanan menuju Candi Borobudur tidak ada satu orangpun yang bicara.
Sejak tadi baik Trini maupun Ibu Renata berulang kali memperhatikan tangan kiri
Boma. Trini yang ingin sekali bertanya akhirnya tak tahan membuka mulut, bicara
setengah berbisik pada Boma.
"Bom, pengamen aneh yang tadi memberimu telur. Siapa dia sebenarnya?"
Boma membuka kedua matanya. Menggerak-gerakkan lehernya
yang juga terasa pegal.
"Mana aku tau. Tapi aku yakin dia memang orang yang
dimaksud orang tua kate Ki Tunggul Sekati itu." Jawab Boma.
"Telur itu, mau diapakan?" Ibu Renata kini yang bertanya.
"Menurut orang tua cebol bernama Ki Tunggul Sekati itu, telur ini harus
dimasukkan ke dalam salah satu lobang Stupa paling bawah tempat Dwita disekap."
"Lalu?" "Saya nggak tau Bu. Tapi...." Boma berpikir. "Saya ingat. Ki Tunggul Sekati
berkata. Nanti tepat jam dua belas malam akan terjadi sesuatu. Katanya Tuhan
akan menolong Dwita."
"Kayaknya nggak masuk akal Bom. Sebutir telur ayam bisa mengeluarkan Dwita dari
dalam Stupa. Kamu percaya?" Tanya Trini.
Memang siapa yang mau percaya, kata Boma dalam hati. Ingin dia menceritakan
bagaimana pertemuannya dengan Ki Tunggul
Sekati. Orang tua bertubuh cebol yang hafal ayat-ayat Al Qur'an, yang tangannya
bisa panjang dan mengeluarkan hawa sakti.
Namun Boma memilih diam saja. Telur di dalam genggaman tangan kirinya terasa
hangat. "Boma, boleh saya lihat telur itu?"
"Ya, aku juga mau liat," kata Trini.
Boma merasa ragu. Takut telur itu jatuh atau bisa saja melesat karena dia
mungkin melanggar pantangan.
"Masa liat aja nggak boleh sih?" kata Trini pula.
Perlahan-lahan Boma buka juga genggaman jari-jari tangan
kirinya. Ibu Renata memperhatikan. Trini merunduk agar bisa melihat lebih dekat.
"Kayaknya nggak ada apa-apanya. Cuma telur biasa." Kata Trini pula.
"Boleh Ibu pegang?" tanya Ibu Renata, Guru Bahasa Inggris SMU
Nusantara III itu. "Jangan Bu," jawab Boma. Lalu cepat jari-jarinya digenggamkan kembali.
"Kok kamu sepertinya takut amat sih Bom?" ucap Trini.
"Aku bukan cuma takut Rin. Dari tadi nahanin kencing," jawab Boma, tidak tertawa
juga tidak senyum. Tapi kebiasaannya
menowel hidung terus saja jalan. Sejak naik taksi Trini
memperhatikan. Anak itu sudah lebih dari lima kali menowel hidungnya dengan
tangan kanan. "Kalau nggak bisa tahan kencingnya, saya bisa minggirkan taksi.
Berhenti sebentar," kata supir taksi.
"Nggak usah, Mas. Jalan aja terus," jawab Boma. Kalaupun dia punya kesempatan


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk buang air di pinggir jalan, hal itu tidak mungkin dilakukan. Soalnya dia
tidak boleh melepaskan telur yang ada dalam genggaman tangan kirinya. Mana
mungkin dia buang air kecil hanya mempergunakan satu tangan.
Supir taksi rupanya mendengarkan semua pembicaraan tiga
orang penumpangnya yang duduk di jok belakang. Supir ini melirik ke kiri,
memperhatikan Serda Sujiwo sesaat lalu bertanya.
"Pak, malam-malam begini sebetulnya ada keperluan apa ke Candi?"
"Pelajar dari Jakarta, mereka punya acara. Berkemah dan bergadang sampai pagi."
Jawab Serda Sujiwo berdusta.
"Memangnya boleh Pak?"
"Ada izin dari Gubernur melalui Pengelola Candi. Saya ditugaskan untuk
mengawasi." Kembali Serda Sujiwo terpaksa berdusta.
Supir taksi diam. Hanya sebentar. Sesaat kemudian dia
membuka mulut kembali.
"Ada cerita aneh Pak. Saya dapat dari teman-teman lewat radio panggil."
"Cerita aneh bagaimana?" tanya Serda Sujiwo. Di jok belakang Boma, Trini dan Ibu
Renata memasang telinga, mendengarkan
pembicaraan. "Katanya ada anak perempuan dibunuh, mayatnya dimasukkan ke dalam Stupa."
Boma menggigit bibir. Tangan kirinya yang memegang telur
terasa bergetar. Ibu Renata letakkan tangan kanannya di atas kening, menutupi
matanya yang dipejamkan. Ucapan supir taksi itu menimbulkan rasa tidak enak
dalam hati Serda Sujiwo, Boma, Ibu Renata dan juga Trini. Anak perempuan ini
merasa tengkuknya dingin. Dia membatin. "Kabar yang diterima supir taksi ini
bisa keliru. Namun bisa juga saat ini Dwita telah meninggal dan berita ini yang
kemudian berkembang. Mata Trini berkaca-kaca. Selama ini dia menganggap Dwita
sebagai pusat kebencian dalam hidupnya.
Kini semua kebencian itu leleh, sirna. Dalam hatinya kini selalu muncul doa agar
Dwita tidak mati dan bisa dikeluarkan dari dalam Stupa dengan selamat.
Serda Sujiwo sendiri setelah berdiam cukup lama baru
menyahuti ucapan supir taksi tadi.
"Saya Polisi. Kalau ada kejahatan seperti itu pasti saya tahu,"
kata Serda Sujiwo pula.
Boma merasa telur di tangan kirinya semakin hangat. Dadanya berdebar. Keterangan
supir taksi itu bisa saja benar. Siapa tahu selagi mereka pergi ke Keraton orang
bermantel bernama Pangeran Matahari itu muncul kembali dan membunuh Dwita.
"Pak, kapan, jam berapa kabar pembunuhan itu Bapak ketahui dari teman-teman?"
tanya Boma pada supir taksi.
"Bom, kok kamu nanya' begitu sih!" ujar Trini sambil menyeka air matanya.
"Hati gue jadi nggak enak, Rin...."
"Kalau nggak salah ingat sekitar jam dua tadi siang Mas," jawab supir taksi.
Boma diam. Tapi hatinya lega kini. Jam dua siang dia dan yang lain-lain masih
berada di kawasan Candi Borobudur. Dwita masih ada dalam Stupa dalam keadaan
pingsan. Tidak mati, tidak ada yang membunuh.
Sambil mengemudi supir taksi kembali bicara.
"Sore tadi ada dua rombongan orang televisi dari Jakarta naik ke Candi
Borobudur." "Dari mana taunya?" tanya Serda Sujiwo.
"Satu rombongan diantar pengemudi taksi teman saya."
"Gila, beritanya udah kesebar kemana-mana Bom," bisik Trini.
"Saya merasa bersalah. Seharusnya kejadian ini sudah
diberitahukan pada orang tua Dwita..." ucap Ibu Renata perlahan.
Lalu matanya dipejamkan. Jauh di lubuk hatinya Guru Bahasa Inggris ini mulai
berdoa. Entah sadar entah tidak bahunya
disandarkan ke bahu anak lelaki di sebelahnya. Begitu dekatnya hingga Boma masih
bisa mencium harumnya sisa-sisa parfum di leher dan kerah baju Ibu Renata.
SETELAH menerima pembayaran dari Ibu Renata, supir taksi
keluar dari mobil. Memandang berkeliling dia melihat banyak kendaraan di halaman
parkir. Dua diantaranya mobil van berlambang televisi swasta dan sebuah
ambulans. Ketika dia memperhatikan ke arah candi, di salah satu sisi Candi
Borobudur sebelah atas dia melihat ada cahaya terang. Lalu tampak bayangan
banyak orang di sekitar cahaya itu.
"Ada sesuatu, pasti ada sesuatu. Teman-teman tidak dusta.
Polisi tadi yang bohong. Teman-teman mungkin sudah di sana semua. Soalnya banyak
taksi kosong di halaman parkir. Pada kemana semua supirnya kalau bukan ke
candi?" Supir taksi itu mengunci mobilnya. Baru saja dia hendak
melangkah tiba-tiba satu tangan besar, dingin dan berbulu
memegang lengannya, membuat dia tergagap kaget dan berpaling.
Orang yang memegang bahunya itu bertubuh gemuk, memakai
topi pet terbalik dan mengenakan jaket kulit. Menyeringai lalu bertanya.
"Mas mau ke Candi?"
Supir taksi anggukkan kepala.
"Ayo barengan."
"Bapak dari mana?"
"Jakarta."
*** BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 6 AYAH DWITA MARAH BERAT
ANYAKNYA orang yang ingin naik ke Candi membuat Polisi
yang bertugas melakukan penjagaan secara ketat. Tidak
B semua orang diperkenankan naik ke tempat kejadian yaitu
bagian Candi dimana dwita tersekap dalam Stupa.
Di halaman Candi seorang anggota Polisi berpangkat Prajurit Satu menemui Serda
Sujiwo. Serda ini langsung menegur.
"Diluaran tersiar kabar anak perempuan di dalam Stupa dikatakan mati. Benar?"
"Tidak Pak. Anak itu masih pingsan. Cuma keadaannya memang tambah mengawatirkan.
Masih tidak bergerak, tidak bersuara."
Boma, Ibu Renata dan Trini menjadi lega mendengar keterangan itu. "Siapa saja
yang ada di atas?" Tanya Serda Sujiwo.
"Petugas sudah ditambah. Seluruhnya berkekuatan sekitar dua puluh orang. Tim
medis dari Rumah Sakit Sarjito sudah datang.
Juga orang-orang dari dua stasiun televisi. Beberapa wartawan...."
"Hubungi Kopral Pirngadi. Saya butuh HT. Kamu punya rokok?"
"Maaf Pak, saya sudah lama berhenti merokok."
Serda Sujiwo basahi bibirnya yang kering dan terasa asam
dengan ujung lidah. "Pak, ada satu hal lagi perlu saya lapor." Ucap Prajurit Satu Polisi.
"Apa?" Anggota Polisi itu melangkah lebih mendekati Serda Sujiwo, lalu bicara agak
berbisik. Serda Sujiwo sesaat berpaling pada Trini.
Pandangan ini membuat anak perempuan itu merasa tidak enak.
Hal ini juga dirasakan Boma dan Ibu Renata. Pasti ada sesuatu.
Mengapa seperti dirahasiakan.
"Kau dengar apa yang dibisikin Polisi itu?" Tanya Trini pada Boma. Boma
gelengkan kepala. Serda Sujiwo tampak mengangguk beberapa kali.
Anggota Polisi di hadapannya memberi hormat lalu tinggalkan tempat itu,
mendahului naik ke atas Candi Borobudur.
DI HALAMAN Candi Borobudur Boma melihat banyak sekali
orang. Mereka berusaha naik tapi empat orang Polisi menjaga di kaki tangga.
Ketika melihat Serda Sujiwo muncul bersama Boma, Ibu Renata dart Trini, para
petugas segera memberi jalan. Serda Sujiwo menaiki tangga di sebelah depan,
menyusul Trini, lalu Ibu Renata, Boma dan paling belakang salah seorang dari
empat Polisi tadi. "Jam berapa sekarang Bu?" tanya Boma pada Ibu Renata.
Dibawah cahaya suram bulan yang tertutup awan tipis Ibu
Renata masih bisa melihat jarum-jarum kecil arloji di lengan kirinya.
"Jam sebelas lewat seperempat," kata Guru Bahasa Inggris itu memberitahu. Dia
memperhatikan Boma menaiki tangga dengan
tangan kiri masih terus menggenggam telur dan tangan kanan berpegangan pada besi
di sisi kanan tangga candi.
"Hati-hati telurnya," bisik Ibu Renata.
"Ya Bu," jawab Boma. "Ibu capek?"
Ibu Renata tersenyum. Tidak menjawab dan meneruskan
melangkah menaiki tangga mengikuti Trini. Di lubuk hatinya ada rasa bahagia.
Dalam keadaan seperti itu Boma masih
memperhatikan dirinya.
TIGA buah lampu patromak menerangi kawasan Candi pada
jajaran Stupa yang di dalamnya ada Arca Amoghasidi duduk dalam sikap Abayamudra.
Walau terang namun keadaan di tempat ini terasa sangat mencekam. Sepuluh orang
anggota Polisi berdiri dengan sikap siaga, mengelilingi para pelajar SMU
Nusantara III yang duduk di lantai candi seputar Stupa di dalam mana Dwita
Tifani berada. Keadaan anak perempuan itu masih seperti
sebelumnya. Sebagian tubuhnya terbaring tak bergerak di atas pangkuan Arca
Amoghasidi, sebagian lain menyentuh lantai stupa.
Lewat cahaya lampu patromak yang masuk melalui celah-celah lobang stupa
kelihatan wajah Dwita yang semakin pucat. Para pelajar SMU Nusantara III
termasuk Pak Sanyoto Guru Olahraga, sengaja duduk seputar stupa untuk
menghalangi agar Dwita tidak tersentuh hembusan angin yang semakin malam semakin
kencang dan bertambah dingin.
Selain para pelajar SMU Nusantara III dan petugas Kepolisian, di tempat itu juga
siaga seorang dokter dan petugas medis Rumah Sakit Dr. Sarjito. Lalu ada
beberapa kelompok kru dua stasiun televisi swasta, petugas dan karyawan Kantor
Pengelola Pusat Wisata Candi Borobudur. Sore tadi petugas Kepolisian telah
memaksa turun puluhan orang yang ingin menyaksikan kejadian aneh itu. Kini
mereka bergerombol di kaki candi, di dekat tangga sekitar dua arca Singa.
Mencari kesempatan untuk bisa naik ke atas candi.
Ketika Serda Sujiwo, Boma dan Ibu Renata serta Trini muncul, anak-anak SMU
Nusantara III segera menghambur mendatangi
mereka. Wartawan dan reporter dua stasiun televisi swasta ikut bergerak. Camera
televisi dan lampu sorot diarahkan pada Boma, Serda Sujiwo, Ibu Renata dan
Trini. Beberapa wartawan mulai sibuk menanyai Boma termasuk seorang kru televisi
yang menyorongkan mikropon.
Serda Sujiwo dibantu oleh beberapa orang anak buahnya cepat mengambil
antisipasi. "Saudara-saudara wartawan. Mohon maaf. Harap tidak
mewawancarai dulu." Serda Sujiwo mengucapkan kata-kata itu berulang kali. Masih
saja ada wartawan yang coba menerobos.
"Saudara Boma, apa benar Saudara ke Keraton Yogya menemui seorang Abdi Dalem
bernama Ki Tunggul Sekati?"
"Saudara Boma, siapa Pangeran Matahari?"
"Maaf, saya...." Boma agak gugup. Selain itu dia harus mengamankan telur yang
ada dalam genggaman tangan kirinya dari wartawan yang berdesakan coba mendekati
dan menanyainya. Kilat lampu tustel menyambar beberapa kali menyilaukan mata.
"Rekan-rekan wartawan. Saya mohon sekali lagi. Nanti pasti akan diberikan
kesempatan tanya jawab. Mohon jangan sekarang."
Kembali Serda Sujiwo keluarkan ucapan. Lalu dia memberi isyarat pada anak
buahnya agar melindungi Boma. Empat orang Polisi segera mengelilingi anak lelaki
itu. Tidak berhasil menanyai Boma, para wartawan kini mendekati Ibu Renata.
"Ibu...Anda Guru Bahasa Inggris SMU Nusantara III?"
"Benar...."
"Ibu bisa menerangkan bagaimana..."
"Saya...maaf..."
Tiga orang Polisi segera pula mengamankan Ibu Renata dan
Trini. Namun para petugas itu tidak bisa menahan gelombang para pelajar SMU
Nusantara III yang mendatangi secara nekad. "Bom! Lu jadi ke Keraton, bener"!"
Tanya Ronny Celepuk.
"Ketemu orang tua itu Bom?" Gita Parwati mendesakkan tubuhnya yang gemuk
diantara kawan-kawannya. "Gimana, Dwita bisa ditolong?"
Vino muncul tepat di depan Boma. Dia hendak bertanya tapi tak jadi. Anak ini
perhatikan tangan kiri Boma. "Kamu megang apaan Born?" Firman, Andi dan Rio ikut
memperhatikan. "Teman-teman. Nanti aja kita bicara. Gua musti ngelakuin sesuatu..." Ucap Boma.
"Tolong, kasi jalan."
"Bom, tampang lu pucet amat," kata Allan.
"Anak-anak, tolong jangan tanya dulu. Jangan mendesak. Beri jalan buat Boma."
Serda Sujiwo berseru.
Tak dapat mendekati Boma, Sulastri mendatangi Trini, memeluk temannya ini.
Selama ini antara mereka selalu tidak akur dan sering bertengkar malah pernah
hampir jambak-jambakan. Tapi saat itu segala perseteruan di masa lalu kini cair
dan terlupakan. "Gimana Rin?" tanya Sulastri.
"Boma ketemu sama orang di Keraton itu. Dia dititipin telor.
Sekarang kita semua berdoa saja pada Tuhan. Mudah-mudahan
Dwita bisa ditolong."
Sulastri yang dijuluki Si Centil itu ingin bertanya lagi. Mengenai telur yang
dikatakan Trini. Tapi saat itu ada sesuatu yang lebih penting harus
disampaikannya pada Trini.
"Rin, bokap lu sama bokapnya Dwita ada di sini," bisik Sulastri lagi.
Trini terkejut setengah mati.
"Lu jangan becanda." Trini berucap tidak percaya.
"Liat aja sendiri," sahut Sulastri.
"Mereka dimana?"
"Dekat stupa."
Sementara itu Boma yang dikerubungi teman-temannya
berusaha mencari jalan.
"Teman-teman, tolong. Kasi jalan. Aku mau liat Dwita." Boma berusaha melangkah
ke arah Stupa. Empat orang anggota Polisi mendampingi Boma. Seorang
diantara mereka memberikan sebuah Handy Talky pada Serda
Sujiwo. Boma kini melangkah di antara para petugas Polisi yang melindunginya
hingga akhirnya sampai di depan stupa. Namun langkahnya mendekati stupa lebih
dekat terhenti. Dua orang lelaki berdiri di depan Boma. Yang satu, yang
mengenakan jaket hitam segera dikenali Boma. Dia pernah melihat orang ini. Waktu
terjadi musibah di Gunung Gede. Dia adalah Letnan Kolonel Polisi ayah Trini
Damayanti. Boma tidak mengenal lelaki berswiter wol yang berdiri di sebelah ayah
Trini. Namun dari cara memandang orang ini ke arahnya, dengan mata menyorot
menyala serta raut wajah seolah seekor singa lapar yang hendak menerkam dirinya,
Boma bisa menduga siapa adanya orang ini.
"Bapaknya Dwita, pasti Bapaknya Dwita."
Selagi Boma berkata dalam hati seperti itu, tiba-tiba lelaki berswiter wol
mendekati, langsung membentak.
"Kamu Boma"!"
Boma kaget. Tidak menyangka bakal dibentak begitu rupa. Telur di tangan kirinya
hampir terlepas jatuh. Empat orang Polisi yang mendampingi Boma tegak terdiam.
Teman-teman Boma yang ada di sekitar situ juga terdiam tapi hampir semua
unjukkan wajah tidak senang.
"Ya, Pak. Saya Boma." Jawab Boma sambil menatap pada orang yang barusan
membentaknya. Dengan suara lebih keras menggeledek, sambil tangan kirinya menunjuk ke arah
stupa di dalam mana Dwita tersekap, orang itu kembali membentak.
"Kamu bikin apa sama anak saya Dwita" Kamu bikin apa"!"
"Saya...saya..." Boma tak bisa menjawab. Wajahnya kelihatan pucat. Tangan
kanannya ingin mengusap hidungnya tapi kali ini tak mampu. Boma shock berat.
Saat itu Letkol Kusumo Atmojo ayah Trini membisikkan sesuatu berusaha
menenangkan ayah Dwita. Serda Sujiwo datang
menghampiri, memegang lengan lelaki itu. Tapi ayah Dwita masih unjukkan sikap
marahnya yang tidak terkendalikan. Sambil
menuding Boma dia berteriak. "Kamu mencelakai anak saya!
Dimana-mana kamu membuat celaka orang..."
"Pak, saya tidak mencelakai...."
"Diam kamu!" teriak ayah Dwita. "Pak Sanyoto juga bilang begitu.
Kalau ada pelajar SMU Nusantara III yang celaka, pasti kamu biangnya! Kalau anak
saya mati, saya tuntut kamu!"
Boma diam tertunduk.


Boma Gendeng 7 Bonek Candi Sewu di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kok aku yang disalain. Masa' sih Pak Sanyoto bilang begitu...?"
Boma berucap dalam hati. Sesaat dia melirik ke tangan kirinya.
Telur yang ada dalam genggamannya saat itu terasa semakin
hangat. Boma memandang pada teman-temannya. Mereka semua
juga tengah memandang teman mereka yang barusan dibentak itu.
Boma usap hidungnya dua kali. Dia kemudian melihat semua
teman-temannya menoleh ke arah kiri. Ke arah Pak Sanyoto yang berdiri setengah
bersandar ke sebuah stupa. Dua tangan
dimasukkan dalam saku celana. Kepala ditundukkan dan beberapa kali kelihatan dia
mengusap wajahnya. "Die lagi yang jadi biang kerok," bisik Vino pada Gita.
"Nggak ngerti aku sama orang satu itu," Sulastri menyambung.
"Kok bencinya sama Boma nggak habis-habisnya."
"Lu tau dong," menyahuti si gendut Gita Parwati. "Semua gara-gara Ibu Renata
nggak mau ngeladenin dia. Cemburu buta sama Boma. Dasar si Umar. Nggak sadar
kepalanya udah tambah botak."
Umar adalah julukan yang diberikan anak-anak SMA Nusantara Tiga pada Pak Sanyoto
yang merupakan singkatan Untung Masih Ada Rambut.
"Bokapnya Dwita, mau nuntut segala! Ajie Busyet!" sungut Vino.
"Bukannya nyari jalan gimana supaya Dwita bisa ditolong, eh malah maki-maki si
Boma nggak karuan!"
"Lu liat nggak tampang bokapnya Dwita?" Allan nimbrung bicara.
"Kayak Bi Moli. Bibir Monyong Lima Senti."
Sulastri dan Gita Parwati menekap mulut menahan tawa.
"Nggak nyangka kamu Lan. Bisa juga ngatain orang," kata Trini.
"Berdoa juga gue liat lagak bokapnya si Dwita," kata Rio.
"Untung gendengnya si Boma nggak keluar," menimpali Andi.
"Gue sumpain biar dicekek setan Candi!" kata Firman.
"Gila lu!" kata Sulastri sambil nonjok punggung Firman hingga anak lelaki kecil
ceking ini sempoyongan. "Di tempat begini jangan bicara sembarangan. Nanti mulut
lu bisa mencong, tau. Apa lagi kalau kedengeran bokapnya Dwita kamu yang gantian
dimaki. Dituntut tau!" "Tau!" jawab Firman sambil nyengir. Dia meledek dengan tutupkan tangan kirinya
ke mulut dan tangan kanan memencet hidung.
"Brengsek lu kalau dikasi tau. Kalau sudah kesambet baru nyahok!" kata Sulastri
pula. Tiba-tiba ada seseorang naik ke atas lantai candi tempat ayah Dwita berdiri.
Ronny Celepuk! *** BOMA GENDENK BONEK CANDI SEWU 7 BOMA MEMASUKKAN TELUR KE DALAM LOBANG
STUPA RLAN Sujatmiko ayah Dwita memandang melotot pada anak
lelaki berambut gondrong berhidung tinggi bengkok bermata
Ebelok dan beralis tebal seperti burung hantu itu.
"Pak, jangan marah-marah dulu dong. Bukan Boma yang mencelakai Dwita. Ada orang
lain punya pekerjaan jahat. Harap sabar Pak. Kami semua tengah berusaha menolong
Dwita." "Kamu siapa"!" semprot ayah Dwita dengan mata makin melotot hingga tak kalah
beloknya dengan mata Ronny Celepuk.
"Saya Ronny, teman Boma. Juga teman Dwita," jawab Ronny Celepuk masih kalem.
"Saya tidak ada urusan sama kamu! Pergi sana!"
Mestika Burung Hong Kemala 4 Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Bende Mataram 20
^