Pencarian

Iblis Hitam Tangan Delapan 2

Dewa Linglung 9 Iblis Hitam Tangan Delapan Bagian 2


"Desa apakah ini" Tak ada sepotong manusia-
pun yang berada di luar rumah!" Gerutu Nanjar. Sejak dari mulut desa sampai ke
tengah desa memang tak
dijumpai penduduk yang kelihatan batang hidungnya.
"Hm... akan kuperiksa apakah pondok-pondok
ini ada penghuninya?" cetusnya dalam hati. Mulailah Nanjar memeriksa. Pondok
demi pondok diperiksa.
Akan tetapi sudah belasan pondok diperiksanya me-
mang tak ada seorang pun penghuninya.
"Aneh! Apakah penduduk desa ini telah men-
gungsi semua dari desa ini?" pikir Nanjar. Langkah ka-ki Nanjar terhenti di
depan sebuah gedung tua yang
tak terurus. Sejenak dia memperhatikan gedung itu.
Telinganya dipasang tajam-tajam untuk mendengar
barangkali ada suara-suara manusia. Akan tetapi cu-
ma kelengangan saja yang terdengar. Sunyi, sepi! "Hm, desa mati!" mendesis
Nanjar. "Rumah ini adalah rumah yang paling bagus di sekitar desa mati ini!
Entah kemana pemiliknya?" Nanjar gerakkan tubuhnya untuk melompat. Sekejap dia
telah injakkan kaki di de-
pan tangga undakan.
Matanya menjalari sekitar gedung. Hampir se-
tiap sudut tembok rumah tua itu penuh dengan sarang
laba-laba. Entah mengapa Nanjar penasaran sekali untuk
memeriksanya...
Dengan hati-hati dia membuka pintu depan ge-
dung tua itu. Ternyata tak terkunci. Terdengar suara berderit. Pertanda pintu
itu tak pernah dimasuki
orang. Tersentak kaget pemuda ini ketika beberapa
ekor kelelawar bertebaran memperdagangkan suara
mencicit. Agaknya binatang-binatang itu terkejut dengan kemunculan Nanjar.
Binatang-binatang itu lenyap
masuk ke dalam sebuah lubang yang terdapat dilangit-
langit ruangan.
"Haih! mengagetkan orang saja!" gerutu Nanjar.
Hampir saja dia melompat saking terkejutnya. Rasa
penasaran Nanjar untuk mengetahui isi gedung, tak
bertuan itu membuat dia terus memeriksa ruangan
demi ruangan. Hingga akhirnya dia sampai di lorong
bawah tanah. Alangkah terkejutnya Nanjar ketika memeriksa
sebuah ruangan yang tertutup melihat sesosok ke-
rangka di dalam ruangan itu. Hawa busuk dan bau
pengap menyerang hidung Nanjar membuat dia tak
berlama- lama berada dalam ruangan itu.
"Aneh! kerangka siapakah dalam ruangan ter-
tutup itu?" pikir Nanjar. "Pintu ruangan terkunci dengan gembok besar. Berarti
seseorang telah memenjara-
kannya dalam ruangan itu sampai menemui ajalnya!"
Cepat-cepat Nanjar keluar lagi dari dalam ge-
dung tua yang menyeramkan itu. Niatnya untuk men-
ginap di gedung itu dibatalkan.
Apalagi Nanjar memang agak penakut dengan
yang namanya hantu. Hal itu dialami sejak kecilnya.
"Hai... jangan-jangan aku didatangi hantu bila
menginap di tempat ini!" desisnya dengan bulu tengkuk meremang.
"Hm, sebaiknya aku segera angkat kaki dari de-
sa mati ini!" Nanjar yang telah mengambil keputusan segera menindak keluar untuk
segera meninggalkan
gedung tua itu. Cuaca memang semakin gelap. Seben-
tar lagi malam akan segera menyelimuti sekitar desa
mati itu. Mendadak terdengar suara tertawa mengikik
membangunkan bulu tengkuk. Darah Nanjar tersirap.
Tengkuknya seketika meremang.
"Hantu...!?" sentaknya terkesiap. Suara tertawa itu walaupun agak jauh dan
lapat-lapat, tapi dalam
keadaan lengang seperti itu terdengar amat jelas.
Detik itu juga Nanjar telah berkelebat sembunyi
ke balik tembok. Hatinya kebat-kebit. Suara tertawa
itu semakin lama semakin jelas dan semakin dekat.
Tak berapa lama sesosok bayangan putih berkelebat
muncul tepat di depan gedung tua itu entah dari mana datangnya.
Sesosok tubuh berjubah putih ini memang me-
nyeramkan. Mukanya memang muka tengkorak! Ram-
butnya tergerai putih. Sebuah tongkat yang juga ber-
kepala tengkorak tergenggam di tangan kanannya.
Gerakan yang seringan kapas itu tak menim-
bulkan suara. Akan tetapi sepasang kakinya ternyata
menempel di tanah. Nyatalah kalau makhluk ini bukan
hantu, hati Nanjar agak lega. Tapi diam-diam dia me-
nahan napas khawatir makhluk yang lebih menyerupai
hantu itu mengetahui tempat persembunyiannya.
"Hantu" ini kembali perdengarkan suara tertawa mengikik panjang. Suara tertawa
itu ternyata lebih menyerupai tangisan. Tak lama kemudian makhluk
itupun berkelebat lagi. Lalu lenyap dikeremangan ma-
lam yang mulai menjelang. Lapat-lapat masih terden-
gar suara tangisannya yang membuat orang yang
mendengar akan meremang bulu tengkuknya.
Sesaat Nanjar tertegun mengawasi ke arah le-
nyapnya makhluk itu. Hatinya bertanya-tanya. "Aku yakin dia bukan hantu! Tapi
pasti dia seorang tokoh
persilatan yang berilmu tinggi. Entah siapa dia
adanya?" Namun tentu saja Nanjar tak menemukan ja-
waban. "Hm, aku punya pendapat pasti makhluk itu sering berkunjung kemari.
Kemunculan makhluk itu
kuduga ada hubungannya dengan desa mati ini. Seti-
dak-tidaknya membuat penduduk desa ini amat keta-
kutan hingga mereka telah meninggalkan desanya un-
tuk pindah ke tempat lain!"
"Eh, mengapa tak ku kuntit dia" Ku ingin tahu
siapa dia sebenarnya" Suara tertawanya mirip tangi-
san..." Ah, sepertinya dia mempunyai dendam yang tak terbalaskan! Apakah ada
hubungannya dengan kerangka manusia di dalam gedung itu?" berkata Nanjar dalam
hati. Sesaat Nanjar telah berkelebat mengejar ke arah timur. Kelengangan kembali
mencekam desa mati
itu... "Berhenti!" Satu bentakan keras membuat Nanjar terkesiap. Tahu-tahu di
depannya telah berkelebat muncul sesosok bayangan putih yang menghadang di
depannya. Tentu saja membuat si Pendekar Naga Me-
rah alias Dewa Linglung jadi melengak. Ternyata yang menghadangnya adalah justru
manusia hantu itu sendiri. "Siapa kau" Dan apa maksudmu menyelidiki gedung tua
di desa mati itu" Dan apa maksudmu
membuntuti diriku?"
"Jadi dia telah mengetahui sejak aku mengin-
jakkan kaki di desa mati itu?" Pikir Nanjar.
Namun buru-buru dia menjawab.
"Mohon anda jangan salah sangka. Namaku
Nanjar! Aku tak bermaksud jahat dan tak punya tu-
juan apa-apa selain cuma mengetahui siapa anda se-
benarnya...!" sahut Nanjar polos. Diam-diam segera dia mengetahui kalau mahluk
di hadapannya itu adalah
seorang wanita. Jelas dari suaranya juga potongan tubuh makhluk itu. Kini
tahulah Nanjar kalau orang di
depannya itu mengenakan sebuah topeng tengkorak,
karena ketika berbicara mulutnya tak bergerak-gerak.
"Hm...! Namamu mengingatkan akan seorang
pendekar kesohor yang bergelar si Dewa Linglung!
Apakah kau adanya?"
"Hehe... kalau tidak salah memang aku orang-
nya!" sahut Nanjar.
"Kalau begitu kita kawan sendiri!" berkata wanita bertopeng tengkorak itu.
Lengannya bergerak
membuka topeng yang dikenakannya. Ternyata topeng
tengkorak itu menyatu dengan rambut putih palsunya.
Segera terpampang di depan mata Nanjar seraut wajah
cantik seorang gadis.
"Ah ternyata anda seorang gadis yang cantik!"
puji Nanjar. "mengapa anda mengenakan topeng yang menyeramkan begitu?"
Cadis itu tak menjawab pertanyaan Nanjar. Bi-
birnya tersenyum.
"Senang sekali aku dapat berjumpa dengan an-
da. Bolehkan aku bersahabat denganmu?"
"Haha...mengapa tidak?" sahut Nanjar dengan tertawa.
Nanjar alias si Dewa Linglung yang secara tak
sengaja singgah di desa mati itu ternyata telah mem-
buat dia bersahabat dengan seorang gadis cantik yang menyembunyikan wajahnya di
balik sebuah topeng
tengkorak. Kemunculan Nanjar seperti seorang Dewa Peno-
long yang amat diharapkan gadis itu. Siapakah geran-
gan gadis cantik bertopeng hantu itu" Tampaknya su-
kar untuk dapat dipercaya. Namun kenyataan telah
membuktikan bahwa memang harus dipercaya.
Gadis itu tak lain adalah salah seorang murid
wanita Ki Jagabaya Ketua Pesantren Tegal Rejo. Dia
adalah yang bernama Rara Weni!
Seperti telah diceritakan Rara Weni terkena
tamparan Jaka Lodan ketika pemuda itu mau melam-
piaskan nafsu bejatnya.
Gadis itu terkulai tak sadarkan diri. Dan den-
gan buas Jaka Lodan menyelesaikan emosi kebinatan-
gannya. Akan tetapi alangkah terkejutnya Jaka Lodan
ketika memeriksa gadis itu ternyata nyawanya telah
melayang. Nadinya tak berdenyut lagi. Jaka Lodan be-ranggapan dia telah terlalu
keras menamparnya.
Dengan geram bercampur masygul tubuh gadis
itu disentakkan hingga terlempar dan tersangkut di
semak belukar. Kemudian Jaka Lodan menyeret tubuh
Ranti adik seperguruan gadis itu. Gadis yang satunya ini bernasib lebih tragis
lagi, karena dia dilemparkan ke dalam jurang.
Agaknya Yang Maha Kuasa belum mentakdir-
kan Rara Weni mati, karena sebenarnya dia hanya ma-
ti suri. Seseorang telah lewat di tempat itu dan menolong dirinya. Orang itulah
yang kemudian menjadi gu-
runya... Rara Weni menceritakan riwayat hidupnya.
Nanjar manggut-manggut mendengarkan den-
gan serius. Diam-diam dia memuji keterusterangan itu.
"Bagaimana dengan saudara seperguruanmu
yang bernama Ranti itu?" tanya Nanjar.
"Dia kami temukan tewas di dasar jurang! Aku
yakin si Jaka Lodan itu telah melemparkannya!"
"Apakah kau tak mempunyai dugaan dia mem-
bunuh diri?" tukas Nanjar. Rara Weni gelengkan kepalanya. "Ranti seorang yang
keras hati. Tak mungkin dia melakukan hal itu!"
"Kau tinggal seorang diri di dalam goa di dasar jurang ini apakah tak membuat
kau takut?" tanya Nanjar seraya melangkah keluar goa. Lalu tengadah-kan kepala
menatap ke atas tebing. Puncak tebing itu memang tinggi sekali.
"Hihihi.....kalau aku takut percuma aku berge-
lar si Iblis Tengkorak Putih!"
"Bukankah kau katakan itu gelar gurumu?"
"Memang! Sebelum wafat guru telah mengijin-
kan aku memakai gelar itu, bahkan menggunakan juga
topeng tengkoraknya berikut kepala tengkorak senjata ini!" Nanjar kerenyitkan
keningnya. "Kukira itu tidak baik! Kalau gurumu mempunyai musuh, kau akan ter-
libat dengan urusan gurumu!" berkata Nanjar.
"Eh, apakah penduduk desa mati telah pindah
ke tempat lain karena gara-gara ketakutan dengan
kemunculanmu?" tanya Nanjar, tiba-tiba dia teringat pada desa yang tak
berpendudukan itu, ketika perta-ma kali dia melihat kemunculan Rara Weni yang
diki- ranya hantu. "Desa itu telah lama menjadi desa mati, sebe-
lum aku muncul dengan pakaian hantu. Dari seorang
penduduk yang tersisa, seorang kakek tua renta yang
kutemui, dia menceritakan bahwa penduduk desa ter-
sebut memang pindah ke tempat lain. Pasalnya karena
di desa mereka telah menjadi tempat tinggalnya manu-
sia telengas yang bergelar Iblis Hitam Tangan Delapan!
Manusia musuh besarku itu memang menetap di ge-
dung Raden Mas Sentono dan menjadi guru si Jaka
Lodan anak laki-laki hartawan tua itu.
Kerangka manusia yang berada di ruang bawah
tanah adalah kerangka Raden Mas Sentono. Menurut
keterangan, Jaka Lodan telah memenjarakan ayahnya
di ruang itu karena tak mau ayahnya menjadi pengha-
lang dan pengganggunya dalam mempelajari ilmu-ilmu
dari si Iblis Hitam Tangan Delapan!"
"Aku terkadang muncul di desa mati itu menca-
ri tahu kalau-kalau si Iblis Hitam Tangan Delapan atau Jaka Lodan bisa kutemui.
Ketika aku telah melihat
kau memasuki desa mati itu, diam-diam aku mengutit
mu....!" Rara Weni akhiri keterangannya.
"Hm, aku akan membantumu untuk mencari
tahu dimana adanya kedua manusia durjana itu! Di-
mana kita bisa mengadakan pertemuan" karena aku
perlu memberitahukan padamu bila ternyata aku ber-
hasil menjumpai salah satu dari mereka?" berkata Nanjar. "Kau hendak mencari
kemana?" balik bertanya Rara Weni.
"Aku akan mencari ke arah selatan!" jawab Nanjar. Rara Weni tercenung sejurus.
Tampaknya dia enggan berpisah dengan si Dewa Linglung.
"Ah, sebaiknya kita mencari bersama-sama...!"
Nanjar garuk-garuk kepala. Berjalan bersama
seorang gadis cantik seperti Rara Weni bukannya dia
tidak mau, tapi Nanjar merasa risih dan kurang bebas.
"Kau keberatan?" pertanyaan Rara Weni berna-da kecewa karena Nanjar seperti
berat untuk menja-
wab. "Haha... tidak! Tapi.. tapi aku tak mau kau
memakai topeng dan pakaian hantu itu!" ujar Nanjar dengan wajah nyengir seperti
takut. Rara Weni tertawa. "Baiklah! Aku takkan memakainya. Kapan kita
berangkat?"
"Sekarang!" sahut Nanjar. Dia memang sudah tak betah tinggal dalam goa yang
pandangan matanya
terbatas pada dinding tebing.
Tak lama keduanya telah berkelebat mening-
galkan goa di dasar jurang itu. Tampak Rara Weni be-
nar-benar gembira. Semangat hidupnya seperti mun-


Dewa Linglung 9 Iblis Hitam Tangan Delapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cul lagi. Kedatangan Nanjar telah membuat dia yakin
suatu saat dia akan berhasil membalaskan dendam-
nya.... TUJUH MELACAK jejak si Iblis Hitam Lengan Delapan
dan muridnya memang tak semudah membalikkan te-
lapak tangan. Beberapa kota dan desa telah disinggahi mereka, namun tanda-tanda
adanya kedua manusia
itu belum kelihatan. Hampir setiap orang yang ditanyai menggelengkan kepala tak
mengetahui dimana adanya
kedua orang itu.
Di hari ketujuh seorang pengemis tua meng-
hampiri mereka. Tampaknya pengemis ini menaruh
perhatian terhadap kedua orang ini,
"Siapakah kalian anak-anak muda" Apakah
ada yang bisa kubantu?"
Nanjar kerenyitkan keningnya menatap pada si
pengemis. Rara Weni menindak mendekati sebuah ba-
tu besar lalu duduk di atasnya. Di bibirnya terselip se-
batang rumput yang sejak tadi digigitnya. Tampaknya
Rara Weni mulai jemu pada pencarian yang belum
membawa hasil itu. Kini muncul seorang pengemis
tua. Apakah yang diharapkan dari pengemis itu".
"Kami mencari seseorang yang bernama Yuda-
na. Dia bergelar Iblis Hitam Tangan Delapan. Dan seorang lagi bernama Jaka
Lodan. Usianya kira-kira ham-
pir sebaya denganku! Pemuda itu murid laki-laki yang kusebutkan tadi! Apakah
bapak dapat memberi ku petunjuk dimana adanya kedua orang itu atau salah satu
dari keduanya?" berkata Nanjar.
Pengemis tua itu tercengung sebentar.
"Agaknya yang anak cari adalah orang-orang
kaum persilatan" Hm, aku tak mengenal nama-nama
dan gelar itu. Akan tetapi aku cuma bisa memberi pe-
tunjuk seperti yang kau harapkan...!" sahut pengemis itu.
"Pada bulan dimuka nanti tanggal satu aku
mendengar akan ada perayaan besar di puncak gu-
nung Arjuno. Kabarnya akan diadakan pertandingan
ilmu kedigjayaan. Nah! kalian datanglah ke sana!"
Hampir saja Nanjar berjingkrak kegirangan sak-
ing gembiranya.
"Oh, terimakasih, pak tua! Petunjukmu amat
berharga sekali! Ini, terimalah untukmu!" berkata Nanjar seraya merogoh saku
bajunya, lalu berikan penge-
mis tua itu dua keping uang receh.
Pengemis tua itu manggut-manggut girang me-
nerima pemberian Nanjar.
"Boleh aku mengetahui siapa anak?" tanya si pengemis tua.
"Namaku... Nanjar!" sahut Nanjar. Selesai menjawab, si Dewa Linglung melompat ke
depan Rara We- ni. Lengannya mencekal pergelangan tangan gadis itu.
"Hayo kita tinggalkan tempat ini!"
"Kemana lagi?" tanya Rara Weni.
"Ke puncak gunung Arjuno!" sahut Nanjar.
*** "Kau yakin dapat menemukan kedua manusia
iblis itu di sana?" tanya Rara Weni sambil berlari-lari mengimbangi kecepatan
lari si Dewa Linglung. Nanjar
tertawa. Lengannya memeluk pinggang dara itu yang
agak merapat berada di sebelahnya.
"Haha... mengapa tidak" Setiap ada gula pasti
ada semut! Dengan adanya berita pertandingan ilmu
kedigjayaan di puncak gunung Arjuno, bisa dipastikan kedua guru dan murid bejat
itu muncul di tempat itu!"
berkata Nanjar.
"Ah, kau cerdas sekali Dewa Linglung! Petunjuk
kakek pengemis itu amat berharga sekali!" kata si gadis dengan girang. Girang
pula hatinya karena sikap
Nanjar yang tak disangka-sangka itu. Lebih dari sepekan selaku bersama-sama
dengan pemuda itu mem-
buat hati si dara cantik ini sering berdebaran. Akan tetapi membayangkan akan
keadaannya yang sudah
mendapat aib, perasaan hatinya yang melantur dibua-
ngnya jauh-jauh. "Aku telah ternoda, mana mungkin dia ada hati terhadapku" Dia
toh cuma bermaksud
mau menolongku saja, tanpa pamrih apa- apa....!" pi-kirnya dalam hati.
Tiba-tiba Rara Weni tersentak kaget karena de-
tik itu juga tubuhnya meluncur pesat ke udara...
Hampir saja dia berteriak terkejutnya. Tapi ba-
ru dia menyadari ketika pemuda itu menunjuk ke ba-
wah. "Lihat! Ular...!" berkata Nanjar.
"Oh, banyak sekali?" sentak Rara Weni terkesiap. Barulah dia mengetahui apa arti
pelukan pe- muda itu. Dengan melakukan lompatan-lompatan se-
perti "terbang" itu Nanjar menjauhi tempat itu. "Perjalanan ke gunung Arjuno
akan memakan waktu paling
sedikit tiga hari. Tanggal satu bulan dimuka akan
menginjak waktu empat hari. Berarti kita punya waktu satu hari untuk menyelidiki
apakah Iblis Hitam Tangan Delapan dan Jaka Lodan datang ke tempat itu?"
berkata Nanjar, selepas menghindari bahaya.
"Apakah kau yakin si kakek pengemis itu tidak
berdusta" Aku melihat sinar matanya yang aneh ketika menatap ku..."
"Ah, resiko apapun akan kita tempuh! Bukan-
kah kita sedang mencari bahaya" Kalau pengemis tua
itu berniat mencelakakan kita, bukanlah suatu hal
yang aneh! Rimba persilatan adalah tempatnya ba-
haya. Setiap detik dan saat nyawa adalah taruhannya!"
ucap Nanjar dengan gamblang.
Benar saja apa yang dikatakan Nanjar. baru sa-
ja habis bicaranya mendadak terdengar suara tertawa
terkekeh, diiringi berkelebat muncul dua sosok tubuh.
Yang membuat Nanjar terkejut juga terheran adalah
kedua orang itu berwajah dan berpakaian mirip satu
sama lain. Diam-diam dia tersentak kaget ketika teringat akan siapa adanya dua
orang kembar ini.
"Hm, apakah aku berhadapan dengan Dua Iblis
Kembar Kenca Rupa dan Rupa Kenca?" bertanya Nanjar dengan sikap waspada.
"Heheheh.... tidak salah! Sepasang matamu cu-
kup tajam. Mungkin kaupun telah punya firasat juga
bahwa hari ini adalah hari yang sial buat kau si Dewa Linglung!" Laki-laki
sebelah kiri yang bernama Kenca
Rupa tertawa mengekeh selesai berkata demikian.
Yang di sebelah kanan cuma menyengir menatap Rara
Weni dengan menyeringai kurang ajar.
*** Diam-diam Rara Weni terkejut mendengar siapa
adanya kedua orang itu. Gurunya pernah memperin-
gatkan agar berhati-hati dengan orang ini.
Mendengar kata-kata Kenca Rupa, Nanjar ter-
tawa gelak-gelak.
"Haha... justru aku berfirasat bahwa hari ini
aku akan mendapat rejeki, yaitu mengemplang dua
kepala manusia kembar!"
"Kurang ajar!" memaki Rupa Kenca yang tadi cengar-cengir menatap Rara Weni.
"Kakang Kenca Rupa. Biar aku meringkus bo-
cah linglung ini, kau yang meringkus gadis ayu ka-
wannya itu. Tapi ingat, jangan kau apa-apakan dulu.
Tunggu sampai aku selesai mengurusi setan cilik ingusan ini!"
Sekali lompat dia telah berada di hadapan Nan-
jar. "Nah! Firasatku benar! Sudah datang orang
yang minta lebih dulu dikemplang kepalanya!" ujar Nanjar.
"Setan kecil! Jaga seranganku!" bentakan Rupa Kenca disusul dengan kibasan
jubahnya. Whuuuk!
Sambaran keras menyambar ke arah si Dewa Linglung.
Hawa panas bagaikan memanggang tubuh Nanjar,
Namun dengan gerakan telapak tangannya mendorong
ke depan. Angin panas itu berbalik menjadi serangkum angin yang siap membakar
tubuh Rupa Kenca.
Terkejut laki-laki ini. Akan tetapi sepasang len-
gannya menyapu serangan balikan itu untuk mem-
buyar ke empat penjuru.
"Bagus! Ilmu kedigjayaan mu cukup lumayan,
setan kecil! Kini jaga serangan berikutnya!" teriak Ru-pa Kenca. Mendadak
tubuhnya melesat ke depan Nan-
jar. Sepasang lengannya bergerak cepat sekali me-
nyambar ke batok kepala Nanjar. Sedangkan sebelah
lagi menghantam dada si Dewa Linglung.
Nanjar perdengarkan bentakan keras. Menda-
dak dia doyongkan tubuh ke belakang hampir rata
dengan tanah. Dua serangan berbahaya itu lolos. Akan tetapi ganti Rupa Kenca
yang terkejut. Tahu-tahu
ujung kaki Nanjar telah menyambar ke selangkangan-
nya. Cepat sekali Rupa Kenca merobah posisi untuk
menghindarkan serangan itu. Dengan gerakan jurus
Raja Iblis Menggeliat, dia berhasil mengelakkan diri.
Gusarlah Rupa Kenca. Dalam dua jurus barusan dia
sengaja menjajal lawan dengan serangan-serangan bi-
asa. Ternyata nyaris dirinya kena pecundangi lawan.
Mendadak Rupa Kenca cabut senjatanya berupa se-
buah kipas. "Hehehe....jangan menyesal kalau senjataku
akan menghirup darahmu, Dewa Linglung!" berkata Rupa Kenca. Selanjutnya dengan
tak mengulur waktu
lagi Rupa Kenca telah menerjang lawannya dengan se-
rangan-serangan gencar. Hampir sukar dapat dilihat
serangan-serangan Rupa Kenca. Tebasan Kipas maut
tak ubahnya bagaikan kilatan-kilatan cahaya yang
mengurung Nanjar dari segenap penjuru.
Namun Nanjar telah pergunakan jurus-jurus
lompatan kera untuk mengimbangi serangan lawan.
Sedangkan lengannya bermain dengan jurus ular. Se-
tiap kali serangan lawan berhasil dielakkan setiap kali
itu pula lengan Nanjar mematuk. Tentu saja Rupa
Kenca tak membiarkan dirinya terkena patukan itu.
Dengan berteriak marah dia mempercepat serangan-
nya. Namun terkejut Rupa Kenca karena justru se-
baliknya patukan-patukan ganas lebih cepat lagi me-
nyerangnya. "Edan! Ilmu apa yang digunakan setan kecil
ini?" sentaknya terkejut. Kali ini Rupa Kenca sudah habis sabarnya dan merasa
dipermainkan oleh lawan.
Dengan perdengarkan bentakan menggeledek menda-
dak tubuhnya lenyap terbungkus oleh bayangan kun-
ing! Sementara itu Rara Weni dengan sigap menge-
lakkan serangan-serangan Kenca Rupa. Bahkan dia
tak berdiam diri untuk mandah diserang begitu rupa.
Dara ini balas menyerang dengan gempuran-gempuran
pukulan yang cukup membuat lawannya terkejut.
"Heh!" apa hubungannya kau dengan si Iblis
Tengkorak Putih?" bentak Kenca Rupa.
"Dia guruku!" sahut Rara Weni seraya sarangkan pukulan tangannya menghantam
pergelangan tangan lawan yang meluncur ke arah dada.
Whuuk! Pukulan ke arah dada itu telah ditarik
lagi, namun sebaliknya Kenca Rupa beralih menghan-
tam ke pangkal paha. Yang disebut menghantam itu
ternyata cuma gerak tipuan tangan kirinya saja. Ju-
stru sebenarnya lengan kanannya yang secepat kilat
bergerak menyelinap ke sela kaki si gadis.
Terkejut Rara Weni, jurus kurang ajar itu
membuat sepasang matanya melotot dan wajahnya
bersemu merah. Sebelum ujung jari Kenca Rupa me-
nyentuh barang terlarangnya, mendadak gadis ini ki-
pratkan rambutnya menghantam kepala lawan... Ken-
ca Rupa tersentak kaget. Sambaran rambut sang dara
itu bisa mengakibatkan matanya buta bila terkena
ujung-ujungnya. Gagallah niat Kenca Rupa mencolek-
kan jarinya, karena dia harus tarik lengannya lagi untuk menangkis serangan.
Pras....! Perbuatan konyol Kenca Rupa telah ditebus cu-
kup mahal. Karena detik itu juga dia berteriak kesaki-tan.
Lengan jubahnya hancur terkena kipratan
rambut Rara Weni. Bahkan sampai melukai kulitnya.
Marahlah Kenca Rupa. Dengan membentak keras dia
mencabut senjatanya. Senjata Kenca rupa bukannya
sebuah kipas akan tetapi seuntai tasbih hitam. Dengan senjata ini Kenca Rupa
menyerang si gadis bertubi-tubi. Sambaran tasbih hitamnya seperti seekor ular
yang mematuk ganas ke setiap anggota tubuh lawan.
Mengetahui lawannya adalah murid si Iblis Tengkorak
Putih, Kenca Rupa tak sungkan-sungkan lagi untuk
segera merobohkan dara itu.
Rara Weni terdesak dengan serangan-serangan
ganas ini. Membuat dia terpaksa harus kerahkan ke-
kuatan sekuat tenaga untuk menghindari serangan.
Melihat Rara Weni terdesak Nanjar segera ro-
bah gerakkannya untuk menekan lawan. Justru saat
itu Rupa Kenca tengah siap pergunakan jurus-jurus
saktinya. Tubuh laki-laki itu lenyap terbungkus
bayangan kuning jubahnya. Mendadak di saat Nanjar
siap mengganti jurus serangannya, satu bentakan ter-
dengar membelah udara.
"Tanggal nyawamu, bocah!" bentakan itu disusul dengan meluncurnya selarik sinar
ungu ke arah si Dewa Linglung. Akan tetapi kali ini Nanjar telah
siapkan satu pukulan untuk menyambut serangan itu.
Bhlang! Terdengar pekikan Rupa Kenca. Tubuhnya ter-
lempar empat-lima tombak.
Apa yang terjadi" Tubuh Rupa Kenca berubah
seperti sebuah arca yang terbungkus lapisan es. Hawa dingin mengembara di
sekitar tempat itu! Dan senjata kipas maut manusia kembar itu hancur
berkepingan. Itulah jurus pukulan tenaga dalam sungsang
yang bersumber dari tenaga dalam Inti Es yang telah
digunakan si Dewa Linglung. Dia masih dalam kea-
daan kepala menempel di tanah dan sepasang kaki ke
atas. Melihat keadaan saudara kembarnya, Kenca
Rupa terkesiap. Dia berkelebat memburu... Selanjut-
nya dengan gerakan cepat segera dipondongnya tubuh


Dewa Linglung 9 Iblis Hitam Tangan Delapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kaku saudara kembarnya. Dan berlalu dari tempat itu
setelah meninggalkan ancaman.
"Tunggu saat pembalasanku, Dewa Linglung!
Hari ini kami kalah, tapi suatu hari akan kau rasai
pembalasan kami yang lebih keji!"
DELAPAN HAMPIR setengah hari Nanjar dan Rara Weni
memutar sekitar puncak gunung Arjuno. Akan tetapi
tak ada seorang manusiapun yang kelihatan batang
hidungnya. Padahal hari itu sudah tepat tanggal satu bulan Rajah.
"Apakah mereka belum ada yang datang?" cele-tuk Nanjar. Dia mulai curiga dengan
petunjuk si pen-
gemis tua itu. "Huh! jangan-jangan dia mau menjebak kita di
tempat ini!" berkata Rara Weni. Gadis ini melompat mendekati pemuda kawannya
"Kita sudah terlanjur datang ke tempat ini. Ka-
lau dia mau menjebak kita mengapa tak lekas turun
tangan?" berkata Nanjar. Suaranya sengaja dikeraskan hingga terdengar ke
seantero puncak gunung.
Pada detik itulah tiba-tiba terdengar suara ter-
tawa terkekeh menyibak kelengangan. Dari lereng
puncak sebelah depan tampak muncul sesosok bayan-
gan abu-abu. Ringan sekali gerakannya, dalam bebe-
rapa kali melompat sosok tubuh itu sudah terlihat jelas dan hinggap di atas batu
besar di depan mereka.
Segera terlihat siapa adanya sosok tubuh itu.
Seketika paras Nanjar dan Rara Weni berubah. Karena
orang yang muncul ini tiada lain dari si pengemis tua yang menunjukkan tempat
ini. "Heheh..heh... kalian dua orang muda memang
sengaja ku jebak untuk datang ke tempat ini. Teruta-
ma kau Pendekar Naga Merah! Semoga kau tidak lin-
glung seperti julukanmu yang satu itu!" berkata pengemis tua itu. "Apa yang
kuinginkan memang tak jauh berbeda dari sangkaan kalian, karena aku akan membuat
puncak gunung Arjuno ini sebagai tempat kubu-
ran kalian!"
Tentu saja kata-kata si pengemis tua membuat
Rara Weni gusar bukan kepalang. Wajahnya merah
padam karena marahnya. Detik itu juga dia telah me-
lompat ke depan seraya membentak.
"Pengemis rudin! Aku sudah menduga hal ini!
Akan tetapi kami tak takut mati! Silahkan, apa yang
akan kau perbuat! tapi katakan dulu siapa sebenarnya kau ini" Mengapa berniat
mencelakakan kami?"
"Heheh...heh... akulah si Iblis Hitam Tangan
Delapan yang kalian cari!" sahut orang tua itu. Len-
gannya bergerak menarik kulit mukanya. Ternyata di
balik wajah palsu itu segera terpampang seraut wajah yang segera dikenalnya.
"Hah!?" seperti disengat kala, Rara Weni tersentak kaget. Tak terasa kakinya
melangkah mundur dua
tindak. Tapi detik itu juga wajah Rara Weni berubah
beringas. Terbayanglah wajah gurunya yang tewas di
tangan manusia iblis dan terbayang dirinya sendiri di saat diperkosa manusia
yang masih keponakan gurunya itu.
"Demi arwah guru dan saudara-saudara seper-
guruanku aku telah bersumpah untuk membunuhmu
manusia iblis! Kini telah datang saatnya kau menerima ganjaran atas
perbuatanmu!" membentak Rara Weni.
Sekali lengannya bergerak, dia telah mengirim-
kan serangan ke arah si pengemis tua alias Iblis Hitam Tangan Delapan.
Hantaman-hantaman dahsyat saling susul ti-
dak sedikitpun memberi peluang bagi Iblis Hitam Tan-
gan Delapan untuk jejakkan kaki agak lama di tanah.
Sejak berguru pada Iblis Tengkorak Putih. Rara Weni
bukanlah seorang wanita yang dianggap enteng lagi.
Yudana cukup terkejut melihat serangan-serangan ga-
dis itu yang jauh diluar dugaannya.
Namun sebagai seorang tokoh yang telah cukup
malang-melintang di dunia persilatan dan banyak ma-
kan asam garam dalam pertarungan, serangan itu tak
membuat dia khawatir karena segera dapat mengeta-
hui seberapa tingginya ilmu kedigjayaan sang dara. Diiringi satu bentakan
menggeledek, mendadak tubuh
Yudana lenyap! Di detik itu juga tiba-tiba Rara Weni perdengarkan teriakan
kaget. Plak! Tubuhnya terdo-rong ketika kedua lengan mereka beradu. Pandangan
mata Rara Weni seperti nanar. Telapak tangannya te-
rasa sakit bukan main. Tubuhnya terhuyung... Pada
detik itulah tiga larik sinar kuning meluncur ke arah sang dara. ini.
"Segera berangkatlah kau ke akhirat, bocah
cantik!" teriak Yudana dengan tertawa mengekeh.
Nyawa Rara Weni cuma tinggal beberapa detik lagi.
Cahaya kuning itu adalah tiga buah kancing baju ter-
buat dari tulang yang mengandung racun luar biasa
dahsyatnya. Buktinya bau amis menebar tercium hi-
dung tatkala tiga sinar kuning itu melesat dari lengan si Iblis Hitam Tangan
Delapan. Pada detik itu juga tiba-tiba tiga buah benda te-
lah meluncur pesat menghantam mental ketiga buah
senjata rahasia itu.
Itulah tiga butir kacang tanah yang telah dijen-
tikkan Nanjar untuk menggagalkan serangan si Iblis
Hitam Tangan Delapan.
Mendelik mata Yudana melihat serangannya
menemui kegagalan.
Tahulah dia siapa yang telah menggagalkannya.
Bibirnya tersenyum menyeringai. Dan dia telah gerak-
kan lengannya dengan kerahkan pukulan jarak jauh.
Whuuuuk.....Bhlarrr!
Hantaman itu mengenai tempat kosong. Tiga
batang pohon sebesar paha terhantam hancur beser-
pihan. "Jurus Menggempur Bumi yang hebat!" teriak Nanjar. Dibalik kepulan asap
tipis tampak si Dewa
Linglung berkelebat menghindari serangan.
Namun detik berikutnya dua kali hantaman
berturut-turut membuat pemuda itu kembali mele-
jitkan tubuhnya ke udara untuk selamatkan diri.
"Simpanlah tenaga dalammu, Iblis Hitam! Aku
khawatir kau kehabisan tenaga nanti di saat kau me-
mang memerlukannya!" berkata Nanjar seraya menukik tajam. Itulah gerakan menukik
jurus Bangau Sakti.
Begitu kakinya menginjak tanah mendadak terdengar
suara gerangan seekor harimau diiringi berkelebatnya sosok bayangan menerkam ke
arah Yudana. Brreet! Terdengar suara robekan kain, berbareng den-
gan teriakan kaget si Iblis Hitam Tangan Delapan. Bukan kepalang terkejutnya dia
karena tiba-tiba Nanjar telah menerjangnya dengan mempergunakan jurus Harimau!
Perubahan-perubahan gerakan Nanjar yang
berjulukan si Dewa Linglung itu sukar diduga. Hingga kali ini dia harus menerima
resiko yang tidak kecil.
Punggungnya tergores dan mengucurkan darah yang
terasa pedih di kulit. Jubahnya terkoyak hancur kena cengkeraman si Pendekar
Naga Merah. Nanjar yang merasa Iblis Hitam Tangan Dela-
pan bukanlah lawan Rara Weni segera menerjang ma-
nusia itu. Sengaja dia membuat gerakan yang mem-
buat lawan menciut nyalinya. Yudana memang telah
bertindak kurang hati-hati dan terlalu memandang
rendah lawan. Namun hal itu justru membuat Iblis Hitam
Tangan Delapan menjadi beringas.
"Bagus! kau hadapilah ilmuku!" bentak Iblis Hitam Tangan Delapan. Mendadak dia
melompat mundur
dua tombak. Sepasang matanya menatap Nanjar tak
berkedip. Kilatan cahaya aneh dari sepasang mata
manusia ini seperti mengandung pengaruh ajaib. Tam-
paknya Nanjar seperti terkesima menatap lawannya.
Pada saat itu kelihatan sepasang lengan Iblis Hitam
Tangan Delapan bergerak melingkar. Gerakan itu dila-
kukan secara perlahan. Akan tetapi segera tampak
keanehan dari manusia itu. Sepasang lengannya men-
dadak "tumbuh" seperti menjadi delapan!
Bukan itu saja. Tubuh manusia iblis inipun te-
lah memecah pula menjadi empat sosok. Keempat so-
sok itu melompat dan memecah diri mencari dua ba-
gian. Sebagian ke kanan dan sebagian lagi ke kiri. Kedua kelompok itu tiba-tiba
memecah lagi, masing-
masing berubah menjadi empat. Demikianlah seterus-
nya... Beberapa kejap saja Nanjar telah dikurung oleh berpuluh-puluh lawannya.
Inilah ilmu terdahsyat si Iblis Hitam Tangan Delapan!
Saat itu Nanjar seperti terkena hipnotis, berdiri
terpaku dengan mata yang berkesiap melihat peruba-
han demi perubahan pada tubuh lawannya. Akan teta-
pi tidaklah demikian. Karena Nanjar tengah memu-
tuskan kekuatan batinnya untuk menghadapi sang la-
wan! Kali ini Nanjar memang tidak main-main, kare-
na segera terlihat si Dewa Linglung telah mencabut keluar senjatanya, pedang
mustika Naga Merah!
SEMBILAN SESOSOK tubuh menyelinap ke balik batang-
batang pohon. Bergerak kian mendekat ke arah tempat
pertarungan di puncak gunung Arjuno itu. Gerakan-
nya bagaikan seekor musang yang mengincar ayam.
Beberapa saat saja telah berada di belakang gadis bernama Rara Weni itu. Tiba-
tiba secepat kilat sosok tubuh itu telah melompat tanpa menimbulkan suara.
Lengannya bergerak menotok. Sebelum gadis itu per-
dengarkan teriakan kaget, lengan masuk sosok tubuh
itu telah membekap mulutnya. Dan... detik selanjutnya dengan sebat tanpa
menimbulkan suara, sosok tubuh
itu berkelebat lenyap dari tempat itu dengan memon-
dong korbannya....
Sementara itu, di bawah lereng gunung Arjuno,
tampak seekor kuda berpenunggang seorang laki-laki
muda berlari cepat menyusuri lereng terjal. Ternyata jalan yang ditempuh tak
memungkinkan untuk men-gendarai kuda. Laki-laki itu tarik kendali kudanya.
Terdengar suara meringkik, yang di susul dengan ber-
hentinya sang kuda tunggangan.
Sejenak dia termangu memandang ke atas, ter-
nyata di seorang laki-laki. Usianya sekitar 19 atau 20
tahun. Pakaiannya dapat dikatakan pakaian seorang
perwira atau hamba kerajaan.
Wajahnya diliputi ketegangan. Tampak dia me-
lompat dari punggung kuda.
Kemudian dengan cepat menambatkan kuda
tunggangannya di bawah sebatang pohon.
Sesaat dia menengadah memandang ke atas
gunung. Hatinya agak diliputi keraguan. Akan tetapi
kekerasan hatinya tampak membayang pada pancaran
matanya yang tajam.
"Aku yakin, seyakin-yakinnya pada orang yang
satu itu! Akan tetapi pengemis tua itu aku tak mengenalnya!" gumamnya lirih.
"Persetan dan pengemis itu. Yang jelas aku te-
lah melihat si Jaka Lodan! Bagaimanapun tampangnya
manusia bernama Yudana, bergelar Iblis Hitam Tangan
Delapan itu, yang jelas pengemis tua itu jalan bersama Jaka Lodan! Jadi kuambil
kesimpulan saja pengemis
itu adalah si Iblis Hitam Tangan Delapan!" berkata tegas pemuda ini dalam hati.
Siapakah anak muda ini gerangan" Ada permu-
suhan apakah dia dengan Jaka Lodan dan Iblis Hitam
Tangan Delapan" Dia tak lain dari Bayu Rana murid
termuda Ki Jagabaya yang berhasil menyelamatkan di-
ri dari kematian. Bagaimana sampai Bayu rana sampai
di tempat ini dan menjadi seorang perwira Kerajaan,
ceritanya cukup panjang....
Dengan membawa sepucuk keris berlumuran
darah, Bayu Rana menyelinap dan berkelebat cepat
untuk menyelamatkan diri. Hatinya tersayat melihat
kematian guru dan saudara-saudara seperguruannya.
Dadanya serasa terbakar oleh dendam sedalam lautan.
Dia telah bersumpah untuk membalaskan dendam itu!
Nasib dan peruntungan orang di tangan Yang Maha
Kuasa, baru beberapa puluh tombak dia melarikan di-
ri, telah terdengar bentakan keras Iblis Hitam Tangan Delapan yang berhasil
mengejar dan mengetahui jejak-nya. Mati-matian Bayu Rana mempertahankan nya-
wa juga keris Kyai Barong dari tangannya namun tak
urung keris pusaka itu berhasil direbut juga oleh si Iblis Hitam Tangan Delapan.
Di saat kematiannya diam-
bang pintu, seorang kakek telah muncul dan membe-
rikan pertolongan terhadapnya.
Melihat kemunculan kakek tua renta itu telah
membuat ciut nyali Iblis Hitam Tangan Delapan. Saat
itu juga dia segera berkelebat melarikan diri.... Kakek itu tak mengejar. Bayu
Rana mendongkol hatinya dan
mengatakan mengapa si kakek tak membiarkan di-
rinya mati" Karena kakek itu telah membiarkan Iblis
Hitam melarikan diri. Dikatakannya bahwa si Iblis Hitam Tangan Delapan telah
merebut senjata pusaka ke-
ris Kyai Barong milik gurunya! Akan tetapi dengan tersenyum si kakek gerakkan
lengannya ke balik jubah.
Ketika dikeluarkan lagi tampak keris Kyai Barong telah
berada di tangan kakek itu. Terkejut dan girang hati Bayu Rana. Dan ketika itu
juga dia telah bersujud seraya mengucapkan terima kasih tiada putusnya. De-
mikianlah, Bayu Rana kemudian memohon dirinya di-
jadikan murid kakek tua renta itu.
Kakek itu tak menolaknya dan membawa Bayu
Rana ke tempat tinggalnya Dua tahun berada di tem-
pat si kakek dan berguru dengan orang tua itu telah
membuat bertambahnya ilmu-ilmu kedigjayaan Bayu
Rana. Ternyata kakek itu adalah guru Adipati Kenikir.
Ketika dua tahun kemudian Adipati Kenikir datang ke
tempat tinggal gurunya, telah bertatap muka dengan
Bayu Rana. Adipati Kenikir tertarik melihat pemuda itu dan menawarkan jabatan
perwira pada Bayu Rana.
Desakan Adipati Kenikir telah membuat pemuda itu
tak dapat menolak, hingga beberapa bulan kemudian
Bayu Rana diangkat menjadi seorang prajurit kepala di Kadipaten.
Kepergian Bayu Rana adalah diluar sepengeta-
huan Adipati Kenikir. Tapi dia telah meninggalkan sepucuk surat untuk sang
Adipati yang juga kakak se-
perguruannya itu.


Dewa Linglung 9 Iblis Hitam Tangan Delapan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bayu Rana keluarkan keris dari pinggang yang
tersembunyi tertutup bajunya. Ditatapnya keris Kyai
Barong yang telah merenggut nyawa Ki Jagabaya gu-
runya dahulu. Keris itu telah mempunyai warangka
baru yang telah dibuatkan oleh seorang pandai besi di Kota Raja.
Ketika dicabut keluar segera terpancar cahaya
ungu disertai hawa dingin yang menggidikkan. Cepat-
cepat Bayu Rana masukkan lagi keris pusaka itu ke
dalam warangka dan selipkan lagi di pinggangnya.
"Aku sudah tak sabar untuk membalas den-
dam! Biarlah! Sengaja aku tak mau mencampurkan
urusan pribadiku ini dengan kakang Adipati Kenikir!"
berkata Bayu Rana dalam hati. Tekadnya telah bulat!
Sejak dia melihat Jaka Lodan dan seorang pengemis
tua dia diam-diam membuntuti. Ternyata Jaka Lodan
dan pengemis itu menuju ke puncak gunung Arjuno
dengan gerakan cepat.
Tak ayal Bayu Rana segera kembali ke pasu-
kannya. Setelah membuat surat, lalu menitipkan pada
seorang prajurit untuk diberikan pada Adipati. Dia
sendiri tak turut kembali ke Kadipaten, tetapi segera bedal kudanya untuk menuju
ke lereng gunung Arjuno... Itulah sebabnya siang itu dia telah berada di lereng
gunung itu. Setelah memikir sejenak untuk mengambil ke-
putusan. Bayu Rana tak menanti lebih lama lagi untuk segera mendaki gunung
Arjuno dengan mempergunakan ilmu lari cepat.
SEPULUH TERKEJUTNYA Rara Weni tiada alang-kepalang
melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
"!Jaka Lodan! kau.... kau..."
"Hahaha... haha... sungguh tak kuduga aku
masih bisa bertemu dengan kau Rara Weni! Ajaib! ter-
nyata kau masih hidup" Ah, Tuhan benar-benar maha
Kuasa! Aku masih bisa dipertemukan lagi padamu.
Dan kau.... haha... kau semakin cantik saja, Rara We-ni!" berkata Jaka Lodan
dengan tertawa menyeringai.
"Manusia jahanam! kau masih mengakui keku-
asaan Tuhan?" meludah Rara Weni. "Cuih! mulut bu-
sukmu itu lebih baik kau simpan untuk di Neraka!
Kau lepaskan aku, manusia pengecut! Kau tak pantas
jadi laki-laki! kau pun tak pantas jadi perempuan!
Yang lebih tepat padamu adalah jadi binatang!"
Mengembung pipi Jaka Lodan bahwa gusarnya.
Lengannya bergerak melayang menampar pipi gadis
itu. Akan tetapi tiba-tiba dia telah menahannya, menarik pukulannya.
"Haha... makilah aku sepuasmu, wong manis!
hari ini toh sudah menjadi ketetapan hari kematianmu juga kawanmu itu! Hahaha...
setelah aku puas, segera aku akan kirim nyawamu ke Akhirat!"
Selesai berkata Jaka Lodan menarik pakaian
dara itu dan mencabik-cabiknya hingga dalam bebera-
pa kejap saja tubuh dara itu telah membugil...
Menjerit-jerit gadis itu dalam keadaan tak ber-
daya. Akan tetapi jeritan yang tak berarti. Karena dia tak mampu menggerakkan
sedikit pun anggota tubuhnya untuk meronta. Bahkan jeritan dara itu seperti
sebuah irama musik yang menambah gejolak birahi laki-
laki terkutuk ini.
Dengan tertawa gelak-gelak dia segera melolosi
pakaiannya sendiri. Selanjutnya bagaikan seekor serigala lapar yang melihat
segumpal daging mentah, dia
telah menerkam sosok tubuh di hadapannya...
Pada detik itulah tiba-tiba terdengar bentakan
keras yang dibarengi dengan terlemparnya tubuh Jaka
Lodan membentur batu.
Pandangan mata Jaka Lodan berputar-putar.
Kepalanya serasa hancur saking kerasnya beradu den-
gan batu gunung. Bukan main terkejutnya pemuda ini
ketika melihat di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh dengan pakaian perwira
Kerajaan. Dilihatnya pula Rara Weni telah bebas dari pengaruh totokan. Dara itu
berkelebat melompat dan menyambar sisa-sisa pa-
kaiannya untuk menutupi auratnya.
"Siapa kau?" membentak Jaka Lodan. Dalam
keadaan ciut nyalinya dia masih sempat-sempat meng-
gertak. "Hm, kau tak mengenalku lagi karena aku mengenakan pakaian ini! Tapi kau
akan ingat dengan
nama Bayu Rana!"
"Bayu Rana?" sentak Jaka Lodan. Kau murid
termuda Ki Jagabaya?"
"Tidak salah! Hari ini aku tak akan mengampu-
ni kau lagi, Jaka Lodan! Kelakuanmu dan sekian ba-
nyak perbuatanmu telah membuat namamu tertulis
dengan huru-hara besar sebagai buronan Kerajaan! Di
samping itu pula kau punya salah pribadi denganku!
Aku tak menganggapmu sebagai buronan kerajaan
yang harus kutangkap. Akan tetapi kau menganggap-
mu sebagai manusia yang telah menjadi murid pem-
bunuh guruku!" berkata Bayu Rana. Suaranya menggetar bahwa menahan gusarnya.
"Dia telah membunuh Ranti saudara sepergu-
ruan kita! Dan..." Teriak Rara Weni seraya melompat mendekati Bayu Rana.
"Cukup, Rara Weni! biarkan keris pusaka Kyai
Barong ini yang mengirim nyawanya ke liang Akhirat!"
potong Bayu Rana. Secepat kilat Bayu Rana telah
mencabut kerisnya dari pinggang dan detik itu juga telah dihunjamkan ke tubuh
Jaka Lodan. Gerakan secepat kilat itu sukar untuk bisa di-
elakkan lagi. Seketika itu juga dada Jaka Lodan telah tertembus keris Kyai
barong. Tepat di ulu hatinya!
"Hah!" kau...kau..." mendelik sepasang mata Jaka Lodan. Wajahnya mengelam.
Lengannya terang-kat untuk melakukan pukulan.
Akan tetapi dengan perdengarkan jeritan parau,
laki-laki itu terjungkal roboh. Setelah beberapa saat meregang nyawa, Jaka Lodan
menghembuskan nafas-nya..... Nyawanya melayang ke Akhirat!
*** Nama Iblis Hitam Tangan Delapan memang bu-
kan nama kosong! Dengan perdengarkan suara tertawa
mengekeh yang tak ketahuan dimana arahnya, bayan-
gan-bayangan manusia iblis itu telah menerjang ke
arah Nanjar. Nanjar perdengarkan suara tertawa gelak-gelak
untuk menindih suara tertawa lawan yang mempenga-
ruhi kekuatan batinnya. Pedang mustika Naga Merah
menderu menabas barisan sosok tubuh lawan di sebe-
lah kiri. Sinar merah berkelebat......
Crass! Terdengar suara berderak batang-batang pohon
yang tumbang, akibat terkena tebasan sinar pedang
Naga Merah yang hebat.
Akan tetapi bayangan-bayangan itu lenyap. Ju-
stru bayangan di sebelah kiri yang menerjang dia. Delapan bayangan hitam
berbentuk ular tiba-tiba mener-
jang dari arah samping dan belakang. Itulah tongkat
ular hitam, senjata maut Iblis Hitam Tangan Delapan
yang amat berbahaya.
Nanjar terkesiap melihat serangan tiba-tiba ini.
Akan tetapi dia telah menyiapkan satu pukulan untuk
menyambutnya. Bhlarrr! Percikan es menebar di udara.... Hawa dingin
mengembara ke sekitar tempat itu. Batu gunung di te-
pi bawah itu hancur berantakan terkena serempetan
hawa sakti dari pukulan tenaga dalam sungsang yang
dilakukan Nanjar. Akan tetapi si Iblis Hitam Tangan
Delapan alias Yudana luput dari serangan maut itu.
"Hahahah.... heheh... kau takkan dapat mem-
bunuhku, Dewa Linglung! Sebaiknya persiapkanlah di-
rimu untuk menjadi cacing tanah!" berkata Iblis Hitam Tangan Delapan. Suaranya
masih tak menentu dimana
arahnya. Nanjar kerutkan keningnya. "Manusia ini harus
diakali agar dia dapat menunjukkan dimana tubuh as-
linya!" berkata Nanjar dalam hati.
Akan tetapi Nanjar tak sempat untuk berpikir
lagi, karena harus menghindarkan diri dari terjangan-terjangan berikutnya.
Kelompok demi kelompok dari
sosok-sosok tubuh Yudana serta ke depan tangannya
itu sukar untuk diikuti. Karena sebentar muncul se-
bentar menghilang. Disangka serangan ternyata cuma
tipuan pandangan mata.
"Edan!" maki Nanjar. "Kalau terus-menerus begini bisa-bisa aku kehabisan tenaga
dan kena kecolongan!" pikir Nanjar.
Diam-diam dia memusatkan perhatian pada so-
sok bayangan yang berada di tengah. Namun Iblis Hi-
tam Tangan Delapan tak memberinya kesempatan se-
dikit pun untuk dia jejakkan kakinya agak lama di tanah. Mendadak Nanjar
perdengarkan bentakan keras.
Tubuhnya melambung ke udara setinggi tombak. Lom-
patan ini disusul dengan gerakan "terbang"nya untuk melayang di tempat yang agak
jauh. Hal ini membuat Iblis Hitam Tangan Delapan
harus memburu ke arah yang bakal dituju itu. Dari
udara inilah Nanjar segera dapat mengetahui mana tu-
buh asli si Iblis Hitam Tangan Delapan. Karena manu-
sia itu harus bergerak melompat untuk memburu ke
arah dia. Bayangan yang paling depan jelas adalah sosok tubuh lawannya yang
asli! Detik yang diharapkan segera dipergunakan
sebaik-baiknya oleh di Dewa Linglung. Tubuhnya me-
layang ke samping dengan kecepatan tinggi. Tentu saja bayangan Iblis Hitam sang
lawan secepat itu pula telah meluncur mengikuti. Akan tetapi inilah taktik
Nanjar untuk merobohkan lawannya. Dengan gerakan yang
melebihi kecepatan suara, Nanjar telah melesat kem-
bali ke arah semula. Lalu meluncur deras ke arah tadi.
Bersama dengan gerakan itulah, Nanjar telah berpapa-
san dengan sosok tubuh Yudana.
Secepat kilat pedangnya menabas..... Del!
Darah muncrat ke udara. Sebuah benda yang
tak lain dari kepala si Iblis Hitam Tangan Delapan
tampak melayang di udara dan jatuh menggelinding ke
lereng gunung. Sosok tubuh Iblis Hitam Tangan Delapan tanpa
kepala itu terjungkal roboh. Darah merah menggelogok dari urat lehernya yang
sapat! Saat itulah Rara Weni dan Baju Rana telah tiba
di tempat pertarungan itu.
"Dewa Linglung...!" Teriak Rara Weni dengan wajah membersitkan kegirangan. Dara
ini melompat memburu ke arah bayangan Nanjar yang barusan me-
lompat setelah menamatkan riwayat manusia musuh
besar Rara Weni itu.
Akan tetapi dia tak menjumpai pemuda itu be-
rada di tempat itu.
"Sudahlah, Rara Weni! Agaknya dia tak mau
kau mengucapkan terima kasih! Marilah kita segera
turun dari puncak gunung ini....!" berkata Bayu Rana
seraya melompat mendekati gadis itu.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan.
"Jaka Lodan! pasti kau orangnya!"
Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya so-
sok tubuh di hadapan mereka. Terkejut Rara Weni,
akan tetapi juga bergirang karena itulah sosok Nanjar si Dewa Linglung.
"Tahan!" teriak Rara Weni. Lengannya secepat kilat telah terentang menghalang di
depan Bayu Rana.
"Dia bukan Jaka Lodan!"
"Lalu siapa?" sentak Nanjar terkejut. Dia memang tak mengetahui kemunculan Bayu
Rana yang te- lah menyelamatkan Rara Weni dan bahkan telah
membunuh Jaka Lodan.
"Harap kau jangan salah paham! Dia adalah
saudara seperguruanku, bernama Bayu Rana! Oh ya!
kau mau melihat Jaka Lodan, bukan?"
Rara Weni sambar buntalan kain di lengan
Bayu Rana. Lalu secepat membuka buntalan itu.
"Inilah kepala Jaka.....?"?"
Terkejut Rara Weni, karena tak melihat Nanjar
berada di hadapannya lagi. Kepala Jaka Lodan yang di-jambak rambutnya itu
dibantingkan ke tanah.
"Dewa Linglung....! ah, mengapa kau pergi begi-
tu saja?" gumam dara ini dengan hati masygul.
Bayu rana geleng-gelang kepala. seraya berkata
dengan tersenyum.
"Dia malu karena salah menyangka orang! Su-
dahlah, Rara Weni. Kulihat di bawah lereng ada sepa-
sukan laskar yang mendatangi. Agaknya kakang Adi-
pati Kenikir telah menyusul ku bersama beberapa pra-
jurit! Mari kita menyambutnya!" Rara Weni melongok ke bawah. Benarkah apa yang
dikatakan pemuda itu.
Bayu Rana memungut kepala Jaka Lodan dan
memasukkan ke dalam buntalan. Tak lama keduanya
telah berkelebat turun dari puncak gunung Arju-
no......... TAMAT Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Amarah Pedang Bunga Iblis 8 Dewi Sungai Kuning Seri Huang Ho Sianli Karya Kho Ping Hoo Memanah Burung Rajawali 32
^