Pencarian

Rahasia Istana Kuno 1

Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno Bagian 1


Dia datang Sebagai seorang pendekar.
Dia aneh & bertindak seperti
orang linglung Para ksatria menyebut dia
Si DEWA LINGLUNG
Pendekar sakti yang
Digembleng 'lima' tokoh aneh
S A T U SESOSOK TUBUH berlari dengan cepat me-
nembus hutan belukar di siang hari yang redup itu.
Cuaca memang agak buruk. Langit gelap! Gumpalan-
gumpalan awan hitam tampak menebar di angkasa.
Sementara angin keras membersit bersiutan mener-
bangkan dedaunan. Sosok tubuh itu ternyata seorang
gadis yang masih muda. Rambutnya tergerai ditiup angin. Dari pakaian dan gerakan
larinya yang gesit bagaikan lari seekor kijang, menandakan dia bukan gadis
biasa. Tampaknya gadis ini tahu gelagat buruk. Dia tak mau tubuhnya tersiram air
hujan. Agaknya memang bakal turun hujan lebat, karena hawa dingin sudah terasa.
Gadis ini yakin benar bahwa setelah dia menembus hutan itu akan menjumpai sebuah
desa. Atau setidak-tidaknya sebuah pondok yang bisa digu-
nakan untuk berteduh.
Larinya pun dipercepat! Suara guruh yang
menggelegar di angkasa mulai terdengar yang didahu-
lui dengan kilatan-kilatan petir menembus kepekatan.
"Gila! apakah hutan ini tak ada ujungnya?"
mendesis gadis ini. Dia mulai kesal karena setelah sekian lama berlari-lari
tetap saja masih berada di tengah hutan. Sesaat dia berhenti. Tatapan matanya
menjalari sekitar hutan. Agaknya dia tengah menentukan arah yang akan ditujunya.
"Apakah aku salah arah?" pikir si gadis.
"Hm, akan ku coba ke arah sini!" gumamnya seraya berkelebat menyeruak semak
belukar. Dan segera berlari cepat menuju arah timur. Benar saja! Tak berapa lama
berlari, dia telah tiba di tempat terbuka.
Wajah gadis ini berseri.
"Bagus! untung aku mengambil arah ini!" desisnya girang. Tak berayal lagi segera
dia berkelebat cepat melintasi tempat terbuka itu.
Tiba-tiba sesosok tubuh berkelebat mengha-
dang. Cepat sekali gerakannya hingga tak diketahui
dari mana arah datangnya.
"Berhenti!" teriak orang itu.
Tentu saja si gadis harus menahan lari kalau
tak mau bertubrukan dengan orang itu. Dengan gera-
kan reflek gadis ini bersalto melompat ke belakang.
"Hei" Siapa kau?" bentaknya terkejut. Sepasang mata dara muda ini menatap tak
berkesiap pada orang yang berdiri di hadapannya. Tampak jelas seorang laki-laki
berbaju putih dari kain kasar menyandang buntalan di punggung berdiri
menghadang. Orang ini ber-
tampang ketolol-tololan walaupun dapat diakui dia
seorang pemuda yang tampan. Siapa adanya pemuda
ini tak lain dari si Dewa Linglung alias Nanjar.
"Hei! ditanya malah bengong! cengar-cengir lagi!
Apa maksudmu menghadangku" Dan siapa kau ini se-
benarnya?" teriak si gadis dengan mata melotot. Diam-diam hatinya mendongkol
karena ada saja yang meng-
halangi perjalanannya.
"Aku... eh, ya aku...." Nanjar agak segan me-nyebutkan namanya. "Aku.. mengira
kau wanita yang telah merampok rumah hartawan tua itu! Maafkan,
nona! Hehe.. aku keliru melihat orang!" sahut Nanjar tergagap. Lengannya
menggaruk-garuk tengkuknya
yang tidak gatal, lalu naikkan celananya yang gom-
brong karena kedodoran.
Walaupun hatinya masih mendongkol mau tak
mau bibir gadis ini sunggingkan senyuman. Diam-
diam gadis ini berkata dalam hati. "Pemuda ini tam-
pangnya boleh juga. Tapi penampilannya seperti orang dungu dan menggelikan!"
Nanjar menampakkan sikap serba salah, seben-
tar menatap si gadis sebentar menatap ibu jari ka-
kinya. Tapi segera dia balikkan tubuh untuk melang-
kah pergi. "Eh, tunggu dulu!" teriak si gadis. Sekali berkelebat dia telah melompat
menghadang. "Kau katakan tadi seorang wanita yang telah merampok" Siapakah
yang kau maksud?" tanya si gadis.
"Ah, sudahlah! Diberitahukan pun tak ada gu-
nanya!" sahut Nanjar. Nanjar cepat putar tubuh berja-lan cepat meninggalkan
gadis itu. Gadis ini jadi berdiri terpaku dengan sikap
Nanjar. Tadinya dia tak mau memperdulikan dan me-
neruskan perjalanannya. Akan tetapi rasa penasaran
di hatinya membuat dia telah berkelebat lagi menghadang. "Kau tak bisa pergi
begitu saja dari hadapanku sebelum kau katakan siapa perampok wanita itu!"
bentak si gadis.
"Lho" mengapa kini nona yang berbalik meng-
hadang ku?" Nanjar kerutkan keningnya menatap si gadis. "Kau tadi secara tiba-
tiba telah menghadangku hingga mengganggu langkahku. Kini terpaksa aku
yang menghadangmu karena aku perlu penjelasan
mu!" sahut sang dara ini dengan suara ketus.
"Sudah kukatakan percuma saja walaupun aku
mengatakannya! Lagi pula apa hubungannya si pe-
rampok wanita itu denganmu?"
Gadis ini naikkan alisnya mendengar kata-kata
Nanjar. "Hm, apakah kau meremehkan diriku?" berkata
si gadis dengan suara sinis.
"Sudahlah! aku mau pergi..." Nanjar kembali balikkan tubuh. Kali ini dia sengaja
gunakan ilmu lari cepat. Melototkan mata gadis ini.
"Kurang ajar! agaknya kau perlu diberi pelaja-
ran bocah dungu!" membentak si gadis. Detik itu juga dia telah berkelebat
melompat untuk mengejar. Dadanya serasa mau meledak saking mendongkolnya ka-
rena pemuda dungu itu tak memandang sebelah
mata terhadapnya.
"Rasakan ini!" bentak si gadis, seraya layangkan kepalanya menghantam tengkuk
Nanjar. Merasa ada sambaran angin di belakangnya Nanjar melompat
ke sisi menghindar. Pukulan itu meleset. Akan tetapi dengan gerakan cepat gadis
itu telah kembali menerjang dengan hantaman-hantaman berikutnya.
"Eit! Eit! apa-apaan, nih?" teriak Nanjar. Dengan terhuyung-huyung dia
menghindari serangan si
gadis. Akan tetapi dengan gerakan terhuyung itu ju-
stru dia telah menghindarkan diri dari serangan-
serangan gadis itu.
"Kurang ajar! Lihat serangan!" bentak dara ini.
Disamping terkejut dara ini juga terheran karena tampak dengan mudah saja pemuda
dungu itu menghin-
dari serangan-serangannya. Padahal dia telah mem-
pergunakan jurus-jurus serangan yang amat berba-
haya. Sekali ujung lengannya menyentuh tubuh lawan
akan berakibat fatal.
Kembali dia menerjang dengan gencar. Kali ini
si gadis tak sungkan-sungkan lagi untuk mengelua-
rkan jurus-jurus ampuhnya. Akan tetapi setelah se-
kian lama menguras tenaga, tetap saja dia tak dapat menyentuh sedikitpun ujung
baju pemuda itu. Tiba-tiba dara ini melompat ke belakang dua tombak.
"Bagus! agaknya kau mempunyai kepandaian,
bocah dungu! Tapi coba kau hadapi senjataku!" bentak si gadis. Gadis ini
keluarkan sesuatu dari balik bajunya. Ternyata sehelai selendang sutera hitam.
Mendadak mata Nanjar jadi membeliak.
"Hei! jadi kau..." teriakan kagetnya tertahan karena gadis itu telah
menyerangnya. Whuuut! Benda itu telah menyambar ke lehernya.
"Hei! tahan dulu!" teriak Nanjar seraya melompat menghindar. Akan tetapi
jawabannya adalah sam-
baran-sambaran berikutnya. Selendang sutera hitam
itu bagaikan seekor ular yang meliuk-liuk ganas me-
nyambar ke arah Nanjar. Terkadang benda itu berubah menjadi kaku bagaikan sebuah
tombak. Tentu saja
Nanjar terkesiap melihat serangan-serangan yang berbahaya itu. Terpaksa dia tak
main-main lagi mengha-
dapinya. Segera dia pergunakan jurus-jurus lompatan kera dan bangau untuk
menghadapi serangan si gadis.
Di jurus keenam belas tiba-tiba dara itu mero-
bah serangan. Kali ini lebih ganas lagi. Setiap serangan dibarengi dengan
hantaman telapak tangannya. Gerakan selendang sutera hitam itupun kian cepat.
Gulungan bayangan hitam segera mengurung Nanjar dari se-
genap penjuru. "Senjata hebat!" puji Nanjar dalam hati. Melihat serangan gadis itu kian
berbahaya terpaksa Nanjar
mencabut keluar pedang pusakanya. Sinar merah se-
gera memancar dari badan pedang. Dan detik itu pula mendadak Nanjar perdengarkan
bentakan keras.
Dan... segera tampak gulungan cahaya merah mende-
sak gulungan bayangan hitam itu. Si gadis tersentak kaget, karena serangannya
dapat dipatahkan pemuda
lawannya. Dia memang belum mengetahui asal cahaya
merah itu. Namun dengan menggertak gigi dia mero-
bah lagi serangannya. Kali ini dia gunakan serangan-serangan tajam.
Mendadak gadis ini berteriak. "Kena!" Sambaran selendang sutera gadis itu
berhasil membelit pedang Naga Merah Nanjar. Nanjar sendiri cukup kagum
karena setiap kali pedangnya menebas, selendang su-
tera itu tak dapat diputuskan. Karena itulah dia sengaja membiarkan pedangnya
tergubat selendang sutera
lawan. Tampak sepasang mata dara itu membeliak ke-
tika mengetahui benda yang tergubat senjatanya. Akan tetapi dengan segera dia
perdengarkan bentakan. "Lepas!" Dengan kerahkan tenaga dalam penuh dia sentakkan
selendangnya untuk membuat terlepas pedang
Naga Merah di tangan Nanjar. Akan tetapi sedikitpun pedang lawan tak bergeming.
Bahkan tampak lawannya seperti tenang-tenang saja seperti tak mengeluarkan
tenaga untuk menahan tubuhnya dari betotan si
gadis. Yang membuat mata gadis itu semakin membe-
liak adalah pemuda lawannya yang bertampang dungu
itu berdiri dengan satu kaki!
"Ayo, gunakan kekuatanmu, gadis cantik!" berkata Nanjar dengan tertawa.
"Keparat!" membentak si gadis. Wajahnya ber-semu merah. Dengan menggertak gigi
kembali dia membetot. Akan tetapi sia-sia.
"Haha... kalau kau tak sanggup, lepaskan saja
selendangmu!" berkata Nanjar lagi. Gadis itu rasakan wajahnya panas, begitu pula
hatinya. Akan tetapi ma-na dia mau melepaskan senjatanya begitu saja! Benar-
benar memalukan! Sungguh dia tak menyangka kalau
pemuda bertampang dungu itu ternyata berilmu tinggi.
Tampak ada rasa menyesal di wajah dara ini yang me-
merah pucat. Di saat dia serba salah itu, tiba-tiba.... . "Celaka! Celana ku kedodoran!"
Teriakan pemuda itu membuat si gadis terkejut. Tanpa sadar dia melepaskan ce-
kalan pada selendangnya. Sepasang mata dara ini
membeliak melihat ke arah Nanjar. Akan tetapi detik itu juga dia tersadar akan
apa yang telah diperbuat-nya. Tak ayal lagi dia telah berkelebat melompat sambil
menutupi wajahnya....
"Hei! nona! tunggu...!" teriak Nanjar. Tapi teriakan itu justru membuat sang
gadis mempercepat la-
rinya. Berapa kejap saja tubuh gadis itu telah tak
nampak lagi bayangannya.
DUA Gadis ini berlari dengan terisak-isak... Dia terus
berlari dan berlari tanpa tahu kemana arah tujuannya.
Kekalahan yang dialaminya telah membuat dia malu.
Malu pada dirinya sendiri! Akan ditaruh dimana kini mukanya" Lima tahun berguru
di puncak gunung Betiri ternyata tiada artinya. Baru beberapa hari turun gunung
saja dia telah dapat dipecundangi orang. Apalagi harus menebar kebajikan
menolong yang lemah
dan menindas yang jahat" pikir gadis ini dengan kepa-la berdenyut-denyut.
"Oh, maafkan aku, guru...! Aku tak dapat
mengharumkan nama perguruan Melati Putih! aku...
aku..." Gadis ini tak dapat meneruskan gumamnya, karena saat itu juga dia telah
menangis terisak-isak.
Ketika suara gemuruh petir terdengar di angkasa barulah dia tersadar. Dilihatnya
langit telah kembali terang.
Agaknya hujan tak jadi turun!
"Ah, di manakah aku kini?" desisnya terkejut.
Sepasang matanya yang masih basah menatap keseki-
tarnya. Ternyata dia berada di sebuah tempat yang indah. Yaitu di sebuah lereng
pegunungan. Hawa sejuk
terasa menelusuri kulit tubuhnya. Lapat-lapat telinganya menangkap suara gemuruh
air terjun. Lama dia
terpaku di tempat itu dengan hati dan pandangan ko-
song. Siapakah gadis ini sebenarnya" Dia bernama
Srimala murid perguruan Melati Putih yang berdiam di puncak gunung Betiri.
Gurunya seorang wanita tua
yang masih berparas cantik, tapi kedua kakinya kun-
tung. Dia bernama Ratna Dumala. Di samping memili-
ki ilmu kedigjayaan yang tinggi Ratna Dumala juga
seorang yang ahli obat-obatan. Namanya cukup harum
di dunia persilatan. Dan gelar Dewi Melati Putih yang disandang cukup di kenal,
baik golongan hitam mau-pun golongan putih.
Ratna Dumala mengundurkan diri, dari dunia
persilatan setelah kedua kakinya cacat. Dia mengalami kelumpuhan akibat serangan
suatu racun ganas yang
sukar diobati. Jalan satu-satunya agar tetap hidup
adalah dengan membuntungi kedua kakinya untuk
mencegah menjalarnya racun.
"Srimala murid ku!" demikian pada suatu hari Ratna Dumala berkata pada muridnya.
"Kukira sudah cukup waktunya kau turun gunung, karena kau sudah
menamatkan pelajaran mu! Pergunakanlah ilmu yang
kau miliki di jalan kebenaran. Junjunglah nama per-
guruan Melati Putih! Semoga Tuhan selalu melindungi langkah-langkahmu...."
Terkejut gadis ini mendengar kata-kata gu-
runya. Serta merta dia bersujud di hadapan wanita itu.
"Guru...!" mengapa... mengapa... aku harus turun gunung" Lalu... siapa yang akan
merawatmu" Tidak,
guru! biarlah aku disini selamanya. Aku tak dapat berpisah denganmu, guru!"
berkata Srimala.
"Bocah bodoh! buat apa aku mendidikmu den-
gan ilmu-ilmu kedigjayaan dan lain-lainnya kalau tak kau pergunakan untuk
mengabdi pada masyarakat?"
membentak Pendekar Melati Putih.
"Tapi, guru..." Sepasang mata gadis ini tampak berkaca-kaca.
"Berangkatlah! jangan pikirkan diriku! aku da-
pat menjaga diriku sendiri!" bentakan menggeledek itu membuat Srimala
terperangah. "Se.. sekarang guru?"
"Ya! hari ini juga! Ingat! jangan sekali-kali kau berniat kembali lagi kemari!


Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan camkan baik-baik wejangan ku....!" sahut wanita tua ini.
"Baik! baiklah guru!" Srimala mengangguk lemah. Sebisa-bisa dia menahan air
matanya agar jan-
gan tumpah. Selama lima tahun berguru bersama wa-
nita tua itu Srimala sudah merasa seperti bersama
ibunya sendiri. Tentu saja perpisahan itu amat menye-dihkan sekali dan terasa
berat kakinya untuk melangkah. Akan tetapi dia telah mengenal watak gurunya
yang keras. Dan perintah itu tak boleh dibantah.
Setelah mengemasi barang yang perlu di ba-
wah, dia segera mohon diri.
Berangkatlah Srimala meninggalkan puncak
gunung Betiri dengan setetes air mata bergulir ke pipinya. Kemanakah dia harus
pergi membawa kedua
kakinya" Dunia begitu luas. Namun tak tahu kemana
dia harus melangkah. Tiba-tiba Srimala teringat pada keluarganya. Tapi dia tak
tahu dimana kampung halaman itu berada. Namun seingatnya dia mempunyai
seorang saudara tua yaitu seorang kakak perempuan.
Dia bernama Palasari. Akan tetapi kakaknya telah per-
gi dari kampung halamannya. Minggat dari rumah ka-
rena dimarahi ayahnya...
Palasari memang seorang anak bandel! Sejak
berusia dua belas tahun dia gemar berkelahi. Sikapnya seperti anak laki-laki.
Suatu ketika dia bertengkar dengan seorang anak laki-laki dari desa lain. Dalam
perkelahian anak laki-laki itu telah berhasil dilukai.
Kawan-kawannya yang kebanyakan laki-laki mengelu-
elukan kemenangannya. Akan tetapi kejadian itu ternyata berbuntut panjang! Anak
laki-laki itu mengadu pada orang tuanya. Celakanya bocah laki-laki itu anak
seorang berpangkat di Kota Raja. Akibatnya keluarga mereka harus berurusan
dengan Tumenggung itu.
Tumenggung itu menyatroni tempat tinggal me-
reka. Dan habislah ayahnya dimaki-maki dan dihajar
sang Tumenggung. Sejak kejadian itu Palasari disekap di rumah. Dia tak boleh
keluar. Dasar bocah bandel! Di luar setahu, Palasari
melarikan diri. Sejak itu sang kakak perempuan tak
pernah kembali ke rumah orang tuanya.
Beberapa bulan kemudian terjadilah kekacauan
di desanya. Dia tak tahu persis kejadian itu. Yang diketahuinya adalah penduduk
desa berlarian ketakutan.
Dan bermunculan orang-orang bertampang jahat. Me-
reka menunggang kuda membakari desa. Masih terin-
gat Srimala teriakan-teriakan penduduk dan ayahnya.
"Perampok! perampok! Celaka! perampok Sapu Jagat!"
Selanjutnya dia tak tahu apa-apa lagi! karena telah dibawa lari oleh ibunya
untuk disembunyikan. Dalam
pelukan ibunya dia mendengar bentakan-bentakan
dan suara perkelahian! Dilihatnya ibunya pingsan! Dalam ketakutan dia menangis.
Tahu-tahu pandangan
matanya gelap. Dan dia tak ingat apa-apa lagi. Ketika dia tersadar di hadapannya
ada seorang wanita tua.
Itulah si Pendekar Melati Putih, yang kemudian men-
jadi gurunya. Srimala tak pernah tahu lagi nasib ayah
ibunya, karena setiap dia menanyakan, selalu sang
guru berkata. "Akulah pengganti ibumu!" Sejak itu dan sampai saat ini dia tak
pernah bertanya lagi. Demikianlah asal-usul gadis bernama Srimala itu. Ketika
dalam perjalanan melewati hutan mencari sebuah desa dia telah berjumpa dengan
Nanjar yang berhasil mem-pecundanginya....
Ketika Srimala tengah termangu-mangu tanpa
disadari sepasang mata tengah mengamatinya dari
tempat persembunyian dibalik semak. Sepasang mata
yang menatap dengan pandangan berbinar-binar kare-
na rangsangan hawa nafsu birahi. Itulah sepasang ma-ta dari seorang laki-laki
bermuka lonjong dengan sepasang kumis kecil di atas bibir. Dengan bibir
menyeringai basah seperti seorang gadis yang tengah mengidam melihat mangga
muda, dia pelahan-lahan menguakkan
semak belukar yang menjadi tempat persembunyian-
nya. Suara berderaknya ranting kayu membuat
Srimala menoleh.
"Siapa kau!" bentak gadis ini dengan terkejut seraya melangkah ke belakang. "Ah,
maaf, nona...! aku telah membuat kau terkejut! Sejak tadi aku sudah berada
disini! Namaku Pati Lanang!" berkata orang ini.
"Apa yang kau lakukan di tempat itu?"
"Yang kulakukan" Haha.... aku memang tengah
beristirahat di tempat ini sambil melihat pemandan-
gan. Tiba-tiba kau muncul dan berdiri terpaku setelah menangis sesenggukan.
Tentu saja aku memperhatikan mu..."
Tersentak Srimala. "Ah, aku terlalu terbawa
dengan perasaanku hingga sampai-sampai aku tak
mengetahui kalau ada orang dibalik semak! Kalau dia mau berbuat jahat tentu
sejak tadi aku telah..." berkata Srimala dalam hati.
"Apakah yang telah membuatmu bersedih hati,
nona" Kalau ada kesulitan aku bersedia menolong!"
Laki-laki bernama Pati Lanang ini menyapa ramah.
"Ah, terima kasih! aku tidak apa-apa...! tidak apa-apa!" sahut Srimala dengan
cepat. Diam-diam dia memperhatikan laki-laki dihadapannya.
"Jangan berdusta! Katakanlah! tentu ada sesu-
atu yang telah terjadi denganmu! Apakah kau meragu-
kan diriku! Hm. Pati Lanang si Kelana Seruling Dewa tak akan membuat kau
kecewa!" berkata Pati Lanang.
"Kelana Seruling Dewa" Hm, baru aku menden-
garnya!" berkata lirih Srimala.
"Haha... tentu kau baru saja turun gunung. Ge-
lar Kelana Seruling Dewa telah lama terdengar di dunia persilatan! Di wilayah
tenggara ini boleh dibilang namaku sudah melangit!" sumbar Pati Lanang dengan
tertawa. Sebenarnya dia telah melihat Srimala dari ke-jauhan. Dari gerakan
larinya dia segera mengetahui
gadis itu bukan gadis biasa. Dia memang baru saja beranjak naik dari sungai.
Begitu gadis itu hampir mendekati, cepat-cepat dia bersembunyi dibalik semak.
"Bukankah kau murid si Pendekar Melati Pu-
tih?" "He" dari mana kau mengetahui?" sentak Srimala terkejut. Tentu saja dia
tak mengetahui kalau Pa-ti Lanang telah mendengar gumamnya tadi ketika dia
terhanyut dalam perasaannya. Ternyata Pati Lanang
pun berterus terang.
"Aku mendengar kau bicara sendiri...!" sahut Pati Lanang.
Sikap Pati Lanang yang sopan itu membuat
Srimala tak berprasangka buruk terhadap pemuda itu.
Hatinya yang bersedih campur mendongkol agak terhi-
bur. "Keharuman nama Pendekar Merpati Putih telah kudengar sejak belasan tahun
yang lalu dari guru-ku. Senang sekali aku berjumpa dengan murid seorang pendekar
wanita ternama yang kesohor dengan ilmu
ketabibannya juga berilmu tinggi!" berkata Pati Lanang. "Kalau aku membiarkan
kau dihina orang aku akan merasa menyesal sekali..."
Srimala tertegun sejenak. Ditatapnya wajah
pemuda itu tajam-tajam. Tak ada tanda-tanda dia
orang jahat. Dalam keadaan perasaan tertekan seperti itu kemunculan Pati Lanang
membuat dia agak terhi-bur. Hatinya berkata. "Ah, gurunya kenal baik dengan
guruku. Dan dia tampak begitu amat memperhatikan
ku..! Mengapa tak ku jalin persahabatan dengannya"
Bukankah aku tak mempunyai seorangpun teman di
dunia ini" Siapa tahu dia dapat membantu aku mem-
beri petunjuk dimana adanya kakak Palasari!"
"Benarkah kau mau menolongku?" tiba-tiba
Srimala ajukan pertanyaan.
"Siapa yang cuma pura-pura" Katakanlah siapa
yang telah menghinamu! Segera akan kubuat isi pe-
rutnya cerai berai!" sahut Pati Lanang. Kali ini bibir Srimala unjukkan
senyuman. "Namaku Srimala!" berkata gadis ini perkenalkan diri tanpa diminta.
"Nama yang bagus!" sela Pati Lanang dengan tersenyum.
"Aku memang baru saja turun gunung! Tujua-
nku adalah mencari kakak perempuanku. Dia berna-
ma Palasari".
Selanjutnya Srimala ceritakan mengenai tu-
juannya yang hendak mencari orang tuanya. Juga di-
paparkan tentang kejadian di tengah perjalanan men-
genai perjumpaannya dengan seorang pemuda ber-
tampang dungu yang berhasil merebut selendang sute-
ranya. "Sayang sekali kau tak mengerti nama orang itu!" berkata Pati Lanang
dengan masygul. "Tapi tak usah khawatir!" sambungnya.
"Aku akan membantumu mencari saudaramu
itu. Dan mengenai laki-laki yang telah merebut selendangmu, hm! suatu saat bila
aku menjumpainya akan
kurampas lagi selendangmu dan kuberi pelajaran dia!"
"Dia seorang pemuda yang berilmu tinggi!"
"Hm, tak peduli ilmunya setinggi langit sekalipun, aku Pati Lanang si Kelana
Seruling Dewa pasti
akan mencabut nyawanya!" sahut Pati Lanang dengan membusungkan dada.
"Tapi bukan itu yang ku ingin kau menolong-
ku!" sambar Srimala. "Mengenai senjataku biarlah aku sendiri yang akan
merebutnya lagi, aku memang masih penasaran karena dia telah berlaku curang
dalam pertarungan itu!"
"Ha" jadi a... apa yang harus kulakukan?" tergagap Pati Lanang.
"Aku hanya perlu bantuan mu untuk mencari
kakak perempuan ku!"
"Hoho.. jangan khawatir! Pati Lanang kalau
mau berniat menolong orang tak kepalang tanggung!
Aku pasti akan berusaha mencari kakakmu itu!"
"Terima kasih, Pati Lanang!" Srimala tersenyum. Gadis ini melihat wajah pemuda
itu agak beru- bah ketika dia mengatakan tak memerlukan bantuan
untuk merampas selendangnya pada pemuda itu. Me-
mang Pati Lanang agak kecewa karena dengan kata-
kata itu seolah-olah Srimala telah menganggap remeh padanya. Akan tetapi Pati
Lanang memang seorang
pemuda yang pandai menyembunyikan isi hatinya.
Dengan tersenyum dia berkata.
"Adik Srimala! kita telah menjalin persahaba-
tan. Ingin sekali aku memperkenalkan kau pada guru-
ku! Beliau sangat mengagumi gurumu...!"
Srimala sejenak tercenung tak menjawab. Sete-
lah beberapa saat berpikir barulah dia mengangguk.
Dia memang memerlukan bantuan pemuda itu, juga
perlu menambah pergaulan. Siapa tahu guru pemuda
itu mengetahui tentang kakak perempuannya. Di
samping itu pemuda itu dapat pula dijadikan teman
dalam pencarian kedua orang tuanya.
Matahari mulai menggelincir ke arah barat, ke-
tika keduanya berlari cepat meninggalkan tempat itu...
TIGA Kita beralih pada sebuah bukit di sebelah barat
di lereng pegunungan yang memanjang ke arah barat
laut. Bukit ini telah sejak lama bernama bukit Gajah.
Entah mengapa bernama demikian, karena bentuk
bukit itu tidaklah seperti gajah. Yang jelas di atas bukit itu berdiri sebuah
perguruan yang bernama perguruan Gajah Sakti!
Pagi itu dua orang penjaga pintu gerbang per-
guruan tampak terkejut melihat seseorang telah mun-
cul di hadapan mereka. Kedatangannya tak diketahui
dari mana munculnya. Akan tetapi segera mereka
mengenali siapa yang datang.
"Oh, selamat pagi, den ayu Walet Wungu...!
hamba kira siapa..." sapa salah seorang penjaga dengan membungkuk hormat.
Yang dipanggil Walet Wungu ini ternyata seo-
rang wanita bertopeng ungu. Wajahnya tak nampak
keseluruhannya, karena tertutup topeng. Yang terlihat cuma sebatas hidung sampai
ke dagu. Serta sepasang
mata bersinar tajam yang tersembul dari dua buah lubang pada topengnya.
Rambutnya terurai tersembul di bagian tengkuk, sedangkan selebihnya tertutup
dengan topeng ungu itu. Akan tetapi dari separuh wajah dan potongan tubuh serta
sepasang matanya yang bu-lat dengan bulu mata lentik itu, dapat diketahui
setidak-tidaknya wanita ini berwajah cantik dan usianya di bawah dua puluh
tahun. Dara aneh berbaju kembang-kembang berwar-
na merah itu hanya anggukkan kepala. Lalu melang-
kah lebar memasuki pintu gerbang.
Sikap yang gagah dan agak angkuh itu memang
telah dikenal baik oleh kedua penjaga itu. Puteri majikan mereka yang satu ini
memang berbeda dengan
yang lain. Masih untung mereka diberi anggukan kepa-la. Biasanya tak jarang
belum sempat disapa, sudah
langsung menerobos masuk. Untung saja mereka
mengenali, kalau tidak, bisa-bisa anak majikannya itu dibentak!
Ternyata kedatangannya telah ditunggu sejak
tadi. Yang menunggu adalah si ketua perguruan Gajah Sakti itu sendiri. Dialah
GAJAH SORA yang dikenal
dengan nama julukan Pendekar Gajah Lengan Tung-
gal! "Bagus! kedatanganmu memang sedang ku
nantikan, anakku! Bagaimana mengenai upeti yang
bakal dikirim ke Blambangan itu" Apakah kau telah
mendengar kabar kapan dikirimkannya?" berkata Gajah Sora.
Walet Wungu membanting tubuhnya ke kursi.
Lalu membuka topeng penutup wajahnya. "Kabar buruk, ayah! Telah terjadi suatu
kejadian yang tak kita inginkan. Barang upeti itu telah lenyap, dan pak Gen-don
Kertosono sendiri kudapatkan telah tewas!"
"Hah!?" tersentak kaget Gajah Sora. Hampir tak percaya dia mendengar penuturan
anak gadisnya. "Bagaimana sampai terjadi demikian?"
Walet Wungu segera menceritakan apa yang di-
ketahuinya dari mulai dia tiba di tempat kediaman bekas Panglima tua itu, hingga
sampai dia mengejar si perampok dan pembunuh keji itu.
"Keparat! apakah kau tak mengetahui siapa pe-
rampok jahanam itu?" bertanya Gajah Sora dengan wajah berubah merah padam.
"Dari seorang pengawal gedung yang melihat
kejadian itu dan berhasil menyelamatkan jiwanya, perampok itu seorang perempuan
yang menutup mu-
kanya dengan cadar hitam! Aku terlambat beberapa
saat sebelum terjadi perampokan itu. Sayang aku tak dapat menemuinya dan aku tak
tahu kemana larinya
manusia itu!" sahut Walet Wungu dengan wajah kecewa.
Sejurus lamanya Gajah Sora terpaku berdiri
dengan pandangan mata menatap keluar. "Setan! siapakah perempuan itu?" desis
Gajah Sora geram.
"Apakah tak ada tanda-tanda atau ciri-ciri yang kalian dapatkan?" tanya laki-
laki bertubuh tinggi besar ini.
"Aku menemukan ini, ayah!" sahut Walet Wun-gu tiba-tiba seraya keluarkan sebuah
benda dari balik pakaiannya. Walet Wungu berikan benda itu pada
ayahnya. "Benda ini menancap di leher mayat bekas Panglima tua itu!"
Sepasang mata Gajah Sora tiba-tiba membela-
lak melihat benda kecil berbentuk anak panah, terbuat dari tulang. Pada bagian


Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang benda itu dihiasi dengan bulu burung.
"Ini senjata rahasia si Cecak Terbang LAWE
WERENG! Heh! Apa maksud manusia itu dengan per-
buatan kejinya" Perempuan itu kalau bukan muridnya
habis siapa lagi?" berkata Gajah Sora.
"Hal ini tak bisa dibiarkan! Aku akan mene-
muinya untuk mendapatkan keterangan! Senjata raha-
sia ini merupakan bukti kuat dan pihaknya bertang-
gung jawab atas kejadian ini!" berkata lagi Gajah Sora.
Air mukanya tampak semakin memerah padam.
Nama perguruan Gajah Sakti memang sudah
tak asing lagi di wilayah itu. Bukan saja kejujurannya dalam mengawal barang.
Akan tetapi juga kewibawaan
serta tanggung jawab si Pendekar Gajah Lengan Tung-
gal dalam memimpin anak-anak buahnya dapat dian-
dalkan. Hingga tenaganya banyak terpakai oleh orang-orang yang memerlukannya.
Bahkan perguruan ini di-
percayakan untuk mengawal barang upeti setiap tahun yang di bawa ke Blambangan.
Walet Wungu tahu jelas sifat ayahnya. Pertum-
pahan darah akan terjadi! Karena dengan adanya ke-
jadian ini, nama baik perguruan Gajah Sakti akan
hancur! Walaupun barang upeti itu belum berada di
tangannya, akan tetapi dengan peristiwa itu sebagian mata pencaharian perguruan
Gajah Sakti telah lenyap!
"Bagaimana kalau bukan si Cecak Terbang
yang melakukan?" cetus Walet Wungu. Sejurus Gajah Sora terdiam. Bisa saja hal
itu dilakukan orang lain yang sengaja memfitnah si Cecak Terbang Lawe We-
reng, tokoh persilatan yang juga cukup berpengaruh di wilayah itu.
"Apakah ada orang yang sengaja mengadu-
domba?" pikir Gajah Sora. "Kalau si Cecak Terbang yang melakukan rasanya tak
mungkin karena yang
melakukannya adalah seorang perempuan. Bagaimana
kalau ternyata si Cecak Terbang tak mempunyai seo-
rang murid perempuan" Seandainya dia memang
mempunyai, toh muridnya tak sebodoh itu untuk me-
lakukan perbuatan tolol meninggalkan sengaja rahasia di leher korbannya!"
"Aku akan bicara baik-baik padanya!" akhirnya Gajah Sora menyahuti dengan suara
lemah. Walet Wungu menarik napas lepas.
"Ya, hal itu memang harus dibicarakan baik-
baik! Siapa tahu ada orang yang sengaja mengadu-
domba!" selesai berkat Walet Wungu segera minta diri pada sang ayah. Gajah Sora
mengangguk. "Ah, dalam usia semuda itu Walet Wungu ternyata punya pandangan
juga! Aku selalu memperturutkan hawa nafsuku
saja hingga tak terpikir oleh ku akan akibatnya..." gumam Gajah Sora. Bibir
laki-laki ini tersenyum. Tampak dia amat bangga dengan anak gadisnya yang satu
ini. Mengingat Walet Wungu dia jadi teringat pula
pada anak laki-lakinya. "Sayang, tampaknya Walet Wungu kurang akrab dengan Pati
Lanang. Tampaknya
dia tak berjodoh untuk menjadi suami istri. Aku tak dapat memaksakan kehendak
mereka. Biarlah mereka
memilih pasangan sendiri-sendiri...!" berkata hati Gajah Sora. Sekilas terbayang
di mata laki-laki tua ini pada masa lima tahun yang silam, dimana dia menemukan
gadis itu. Gadis cilik itu ditemukan dalam keadaan berta-
rung dengan tiga orang anak laki-laki. Dia terkesan
pada gadis kecil itu yang dengan keberanian luar biasa menghadapi ketiga anak
laki-laki bengal yang mau
mengganggunya. Walaupun dia tak memiliki ilmu silat, tapi keberaniannya luar
biasa. Dua orang lawannya telah dibuat merintih kesakitan. Yang seorang tulang
ke-ringnya dihantam dengan sepotong kayu, sedang yang
seorang lagi matanya ditaburi tanah. Akan tetapi
menghadapi yang satu ini tampaknya si gadis kecil
agak kewalahan. Selain tubuhnya lebih besar, juga lawannya ini memiliki ilmu
kepandaian silat. Hingga tak heran kalau akhirnya gadis kecil itu roboh
terjungkal. Sebelum kejadian selanjutnya berlanjut, Gajah Sora telah menolongnya.
Sejak itu si gadis kecil tinggal bersamanya
hingga sampai saat ini. Dan dia telah mengakuinya sebagai anaknya sendiri.
Berbeda dengan anak laki-
lakinya. Pati Lanang adalah anak saudara misannya
yang dititipkan padanya. Akan halnya saudara misan-
nya itu Gajah Sora tak mengetahui kemana perginya
karena sampai Pati Lanang dewasa tak pernah mun-
cul. Tak diketahui lagi apakah masih hidup atau su-
dah mati. Pati Lanang dititipkan sejak berusia sepuluh tahun. Dun dia telah
menganggapnya sebagai anaknya
sendiri. EMPAT Kemunculan Pendekar Gajah Lengan Tunggal
di rumah perguruan si Cecak Terbang Lawe Wereng
bersama Walet Wungu yang menemaninya membuat
terkejutnya ketua perguruan ini.
"Ada apakah gerangan maksud kedatanganmu,
sobat Gajah! Ah, tentunya ada hal yang sangat pent-
ing, karena kau telah sudi melangkahkan kakimu ke
tempat ku yang buruk ini!" berkata Lawe Wereng dengan sikap terkejut.
"Kalau tidak penting, buat apa aku datang ke-
mari?" sahut Gajah Sora dengan suara agak sedikit ketus. Pendekar tua ini masih
saja tak dapat menahan
perasaannya. Itulah sebabnya Walet Wungu ikut me-
nemani ayahnya karena khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan, walaupun
Gajah Sora melarangnya
ikut. "Silahkan berbicara di dalam, sobat Gajah.
Maafkan penyambutan yang kurang sopan karena kau
tak memberitahukannya terlebih dulu....!"
"Cukuplah disini saja, Cecak Terbang!" sambar Gajah Sora yang hanya menyebut
nama Lawe Wereng
dengan gelarnya. Walet Wungu kedipkan mata pada
Gajah Sora, mengingatkan agar pembicaraan tidak
menyinggung perasaan Lawe Wereng.
"Kedatanganku adalah dengan maksud..." Segera Gajah Sora tuturkan maksud
kedatangannya. Den-
gan seksama Lawe Wereng dengarkan penuturan Ga-
jah Sora. Tersentak laki-laki bertubuh kurus ini melihat Gajah Sora mengeluarkan
sebuah benda dihada-
pannya. "Anakku Walet Wungu telah menemukan benda
ini yang menancap di leher bekas Panglima Kerajaan
itu! bukankah ini senjata rahasia milikmu?"
Sejenak Lawe Wereng tak mengeluarkan kata-
kata. Setelah menelan ludah karena tiba-tiba tenggo-rokannya terasa kering, dia
berkata. "Tidak salah! benda ini memang senjata raha-
siaku!" "Bagus kalau kau mengaku!" Gajah Sora akan melanjutkan kata-katanya,
akan tetapi buru-buru
Lawe Wereng memotong.
"Sabar dulu sobat Gajah! Benda ini memang
milikku akan tetapi sangat heran mengapa bisa me-
nancap di leher mayat bangsawan tua itu" Aku tak
merasa telah memberikannya pada seorangpun murid-
muridku. Dan bahkan aku tak mempunyai seorang
murid atau anak perempuan!" tandas Lawe Wereng.
"Aku sudah menduga kau akan memberikan
alasan. Dan aku tahu apa akibat kejadian itu?" dengus Gajah Sora.
Merahlah wajah Lawe Wereng. "Aku cukup
maklum dengan sebab kejadian ini. Namun harap kau
mengerti, walaupun nama perguruanku tak sebesar
pengaruh perguruan Gajah Sakti akan tetapi pantang
bagiku menepuk dulang memercikkan air ke muka
sendiri! Sebagai seorang pendekar yang banyak makan asam-garam kukira kau lebih
berpandangan sempurna, sobat Gajah!"
Sejurus lamanya Gajah Sora terdiam. Saat itu
dipergunakan Walet Wungu untuk tampil bicara.
"Maafkan kami, paman Lawe Wereng. Bukan
maksud kami menuduh pihak perguruan melakukan
kecurangan. Setidak-tidaknya hal ini adalah wajar. Karena dengan bukti adanya
benda itu kukira pamanpun
akan bersikap seperti kami bila kejadian ini menimpa diri paman sendiri..."
Kata-kata Walet Wungu menghi-langkan rona merah di wajah laki-laki tua itu.
Tampak dia menghela napas, manggut-manggut.
"Benar katamu itu, akan tetapi berilah kami
waktu untuk memikirkan hal ini. Aku akan memeriksa
keadaan di rumah perguruanku. Aku merasa ada hal
yang tidak beres!" kata Lawe Wereng dengan wajah muram. Lalu berpaling pada
Gajah Sora. "Sobat Gajah!
kita telah lama menjalin persahabatan. Kukira kaupun
harus maklum dengan keadaanku. Sejak aku menetap
di wilayah ini, aku tak pernah menghubungi kawan-
kawanku seperti ketika aku masih gentayangan di
Rimba Hijau. Bahkan aku telah lupa siapa musuh-
musuhku!" ujarnya. Kemudian melanjutkan.
"Tentu saja dengan adanya kejadian yang me-
rusak nama baikku ini tak dapat kubiarkan begitu sa-ja! Aku turut bertanggung
jawab atas kejadian ini. Aku akan kerahkan orang-orangku untuk melacak jejak si
perampok perempuan itu. Kalau memang ada diantara
orang-orangku yang terlibat kejadian ini, tak segan-segan aku memberi hukuman
berat!" Akhirnya kemarahan Gajah Sora pun lenyap.
Sikap si Cecak Terbang Lawe Wereng menandakan dia
seorang yang jujur dan tegas. Air mukanya tak menunjukkan bahwa laki-laki tua
itu berdusta. Ketegasan itu dapat terlihat dari pancaran matanya yang berapi-
api. Jelas! siapa yang tak marah kalau dirinya telah difitnah orang"
Gajah Sora yang telah kembali tenang dan le-
nyap kemarahannya, menghampiri jago tua yang per-
nah menggemparkan dunia persilatan dengan sepak
terjangnya itu. Ujarnya dengan menepuk pundak laki-
laki kurus ini "Maafkan kekasaran ku padamu, sahabatku...!
Sungguh aku malu pada anakku sendiri! Hampir saja
terjadi hal yang tak kita inginkan. Kini hatiku bersih, sobat Lawe. Tanggung
jawabmu adalah tanggung jawab kita semua kaum pendekar penegak kebenaran!
Akupun sudah lama tak gentayangan di dunia persila-
tan! Agaknya tulang-tulangku yang hampir rapuh ini
masih bisa dipergunakan lagi untuk membekuk si
pengadu domba itu!"
"Kau masih mengakui aku sahabatmu?" tanya
Lawe Wereng membelalak.
"Mengapa tidak?" sambar Gajah Sora dengan tertawa.
Apa yang terjadi kemudian" Kedua jago tua itu
sama-sama tertawa gelak-gelak. Kedua lengan mereka
sama terkepal menyatu.
"Kita akan tetap menjadi sahabat sampai mati!"
berkata Gajah Sora diantara derai tawanya. Tiba-tiba Gajah Sora melepaskan
genggamannya. Sret! Gerakan Gajah Sora begitu cepat. Tahu-tahu
lengan Lawe Wereng mengeluarkan darah tergores ku-
ku Gajah Sora. "Hei! apa artinya ini?" sentak Lawe Wereng terkesiap. Walet Wungu dan belasan
murid Cecak Ter-
bang pun sama-sama terkejut. Wajah kegembiraan
mereka sekonyong-konyong lenyap. Akan tetapi mere-
ka jadi membelalakkan mata karena tiba-tiba laki-laki ketua perguruan Gajah
Sakti itu melukai lengannya
sendiri. "Untuk mengekalnya persahabatan kita bagaimana kalau kita mengangkat
saudara?" Kata-kata Gajah Sora bagaikan air yang tiba-
tiba menyiram bara panas. Seketika wajah Lawe We-
reng menampilkan keterkejutan yang membuat ma-
tanya melotot karena tak percaya pada pendengaran-
nya. "Kau bersungguh-sungguh, sobat Gajah Sora?"
tanyanya dengan suara parau terkesima. Hampir-
hampir dia menyangka buruk pada Gajah Sora.
"Ya! apakah kau tak bersedia?" Bibir laki-laki ini unjukkan senyuman dengan
sepasang mata menatap tak berkesiap pada laki-laki kurus itu. Sebagai ja-
waban, kaki Lawe Wereng maju selangkah dan... len-
gannya meluncur menghantam dada Gajah Sora. Se-
mua orang menahan napas. Apa yang terjadi" Dengan
gerakan kilat Gajah Sora telah menangkis hantaman
itu. Dua buah lengan saling bentur dan menempel
dengan erat. Dua jenis darah yang mengalir di masing-masing lengan segera
menyatu. Tampak kedua tubuh
jago tua itu bergetar. Mendadak Gajah Sora terhuyung ke belakang dua langkah.
Sedangkan si Cecak Terbang terhuyung satu langkah.
Ternyata benturan itu bukan main-main, kare-
na masing-masing jago tua itu telah mempergunakan
kekuatan tenaga dalamnya untuk saling gempur. Walet Wungu terkesiap. Nyaris dia
melompat dari tempat
berdirinya. Bahkan dari pihak anak-anak buah si Ce-
cak Terbang sudah melangkah maju empat orang pe-
muda. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Gajah So-ra membelah ketegangan.
"Bagus! tenaga dalammu se-tingkat di atasku, rayi Lawe...!"
"Ah, kakang Gajah! kau sengaja mengalah! ka-
lau kau sungguh-sungguh mana mungkin aku menan-
dingi kehebatanmu?" berkata Lawe Wereng. Dengan kejadian segebrakan itu resmilah
pengangkatan saudara kedua jago tua itu. Selanjutnya yang terdengar adalah derai
tawa membahana di halaman perguruan
itu. Kedua jago tua itu sama-sama berpelukan. Keja-
dian yang mendebarkan hati itu diakhiri dengan sorak-sorai murid-murid si Cecak
Terbang. Hampir saja me-
reka menyangka akan terjadi pertarungan. Walet Wun-
gu menarik napas lega. Walau sebenarnya dia kurang
sepenuju dengan sikap Gajah Sora sang ayah angkat-
nya yang telah bertindak terlalu jauh.
LIMA Kegembiraan itu mendadak lenyap ketika dua
orang murid perguruan Gajah Sakti berlari-lari menghadap Gajah Sora dan Walet
Wungu dengan diantar
oleh seorang penjaga pintu gerbang. Walet Wungu te-
lah melompat memburu.
"Ada apa yang terjadi, Sarpan" Komal" cepat
katakan!" bentak dara ini dengan paras berubah tegang. "Ce.. celaka, den ayu!
anu... seorang perempuan bertopeng te... telah memasuki pesanggrahan
Gajah Sakti! Dia mengamuk membantai kawan-kawan
kami! Ilmunya sangat tinggi! Kami... kami kewala-
han...!" berkata Sarpan dengan napas memburu terasa hampir putus.
"HAH!?" Hampir berbareng ketiga orang dari dua perguruan ini terkejut.


Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Keparat! Pasti si perampok perempuan bede-
bah itu!" sentak Gajah Sora dengan wajah pucat. Detik itu juga Gajah Sora telah
berkelebat melompat yang di-ikuti oleh Walet Wungu dan si Cecak Terbang Lawe
Wereng. Sebelum menyusul mereka masih sempat laki-
laki ini berkata.
"Tutup pintu gapura! Dan berjaga-jaga, siapa
tahu sepergian ku iblis perempuan itu datang kemari!"
Selesai memberi perintah, jago tua dari pulau Nusa
Barung ini berkelebat menyusul Gajah
Sora dan anak gadisnya. Dalam beberapa kejap
saja bayangan ketiga orang itu telah lenyap dibalik bukit.... Alangkah
terkejutnya Gajah Sora yang telah ti-ba lebih dulu, melihat keadaan di halaman
pesanggra- han telah bergeletakan murid-muridnya. Dua orang
penjaga pintu gerbang pesanggrahan terkapar tak bernyawa dengan leher terkoyak
hampir putus! Belasan
orang murid lainnya bergeletakan di sekitar halaman gedung. Pucat pias bagai tak
berdarah air muka Gajah Sora. Detik itu juga dia telah berkelebat memasuki pintu
gedung yang tampak hancur berantakan. Walet
Wungu dan Lawe Wereng yang telah menyusul tiba,
tertegun di pintu pesanggrahan. Tapi segera memburu untuk memeriksa mayat-mayat
yang berserakan. Sedangkan Lawe Wereng melompat ke sekitar pesanggra-
han untuk mencari jejak iblis perempuan itu.
"Keparat! dia telah angkat kaki dari sini!" desis Gajah Sora. Bersama Walet
Wungu mereka memeriksa
setiap ruangan di dalam pesanggrahan. Sementara
Lawe Wereng berjaga-jaga di luar. Akan tetapi manusia iblis itu tak tampak
batang hidungnya. Bukan kepalang terkejutnya Gajah Sora ketika melihat kamarnya
porak poranda. Dan mendapatkan sebuah senjata rahasia berbentuk anak panah
menancap pada sehelai
kertas di atas meja.
Dijumputnya kertas itu dengan lengan bergetar.
Tampak sepotong kalimat tertulis di atas kertas itu.
"Gajah Sora! kalau kau mau mengetahui siapa diriku, silahkan datang ke ISTANA
KUNO! Sekalian kau melihat anakmu si Pati Lanang yang kujadikan tawa-nanku!"
Bagai disambar petir Gajah Sora tersentak kaget. Walet Wungu muncul di pintu kamar. "Apa yang kau dapatkan, ayah?"
gadis ini memburu ke arah ayah angkatnya dengan perasaan khawatir. Dilihatnya
Gajah Sora berdiri menjublak bagai patung. "Ini! baca-
lah!" katanya seraya berikan kertas itu pada Walet Wungu. Dia sendiri segera
melompat untuk memeriksa
lemarinya. Kemarahan membakar dada laki-laki tua ini karena diketahuinya peti
tempat penyimpanan barang-barang berharganya telah lenyap. Dan sebuah kitab
yang disembunyikan di rak paling bawah turut lenyap.
"Kurang ajar! dia telah membawa pula kitab
pusaka Mega Mendung!"
BRRAKK! Sekali lengannya mengayun hancurlah lemari
kayu jati itu! Gajah Sora telah menyalurkan kemara-
hannya. Walet Wungu sampai melompat karena terke-
jutnya. Sementara Walet Wungu masih termangu-
mangu dengan mata membelalak setelah membaca tu-
lisan di kertas itu, Gajah Sora sudah melompat keluar.
"Keparat! Iblis perempuan itu telah merat!" berkata Gajah Sora dengan langkah
lesu menghampiri si
Cecak Terbang Lawe Wereng.
"Apa yang harus kita lakukan" Aku bersedia
membantumu, kakang Gajah!" kata Lawe Wereng dengan sepasang lengan terkepal.
"Perempuan iblis itu sungguh pengecut!" ma-kinya dengan geram. Dia dapat
merasakan kegusaran
hati Gajah Sora.
"Aku telah mengitari sekitar pesanggrahan. Tak ada tanda-tanda manusia iblis itu
masih berada di sekitar tempat ini...!" ujarnya pula.
"Apakah kau mengetahui letak ISTANA KUNO"
Kita harus mengejarnya kesana!" Tiba-tiba Gajah Sora berkata dengan menatap
tajam Lawe Wereng.
"Bagaimana kau bisa mengetahui iblis itu ada
disana?" tanya Lawe Wereng.
"Aku menemukan secarik kertas yang ditulis ib-
lis perempuan itu!" Lalu Gajah Sora segera ceritakan
mengenai isi surat itu dan mengatakan pula tentang
hilangnya barang-barang pusakanya.
"Jadi anakmu berada disana?" sentak Lawe Wereng terkejut.
"Ya! Iblis itu telah menawannya!" sahut Gajah Sora dengan geram. Tampak sorot
mata laki-laki tua
ini menyorotkan dendam. Setelah agak lama terce-
nung, Lawe Wereng berkata. "Ketika aku masih senang mengembara, aku memang
pernah melihat adanya sebuah reruntuhan sebuah istana. Ya, sebuah istana tua
yang cuma tinggal reruntuhannya saja. Apakah tempat itu yang dimaksudkan?"
"Kalau memang cuma satu-satunya istana tua
itu kukira benarlah dugaanmu! Apakah kau masih in-
gat di wilayah mana?" berkata Gajah Sora dengan wajah bersemangat.
"Dimana ya..." tunggu dulu! aku akan mengin-
gat-ingatnya!" Selang beberapa saat. "Ya! aku ingat sekarang! akan tetapi kita
harus mencari jalan masuk ke tempat reruntuhan Istana Kuno itu yang aku agak lu-
pa lagi. Namun kau tak perlu khawatir. Aku akan be-
rusaha untuk menemukannya!" ujar Lawe Wereng.
"Bagus! terima kasih atas bantuanmu, rayi
Lawe!" kata Gajah Sora seraya menepuk bahu saudara angkatnya.
"Kini bukan saatnya berbasa-basi, kakang Ga-
jah! Sudah menjadi tugas dan kewajiban setiap kaum
putih untuk menumpas kebatilan yang tegak di bumi
ini! Aku akan mempertahankan selembar nyawaku ini
Untuk kepentingan umat manusia!"
Gajah Sora menatap si Cecak Terbang dengan
terharu. Dan kedua lengan mereka kembali terkenal
menyatu. Kedua jago tua ini sama-sama tersenyum.
Saat itu Walet Wungu datang lambat-lambat meng-
hampiri. "Kau akan ikut serta, anakku?" tanya Gajah Sora tatkala dia menoleh ke arah
gadis itu. Walet
Wungu tak buru-buru menjawab. Setelah tercenung
sejenak dia berkata.
"Apakah ini bukan suatu jebakan, ayah?"
"He, jebakan atau bukan, bukan masalah."
"Hm, jebakan atau bukan, tidak masalah! Apa-
kah aku harus berpeluk tangan dengan kejadian ini"
Dan aku harus membebaskan kakakmu Pati Lanang
dari cengkeramannya!" sahut Gajah Sora dengan suara tegas! "Sebaiknya Wulung
Sari tak usah ikut. Dengan tenaga kita berdua mustahil kalau kita tak dapat men-
galahkannya!" Lawe Wereng turut buka suara.
"Ya! ya! kukira demikian!" tukas Gajah Sora.
Dia memang berpendapat anaknya tak perlu ikut. Ka-
lau terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan, siapa yang harus membalas dendam
kelak" Sedangkan mati hidup Pati Lanang belum lagi diketahui. "Haih! mengapa
ulah bocah itu bisa tertawan si perempuan iblis?" berkata dia dalam hati.
"Baiklah, anakku! saran paman Lawe kukira
baik sekali! Kalau dalam tiga hari kami tak kembali, pergilah kau ke Blambangan!
Ceritakan hal ini pada
Raden WIRAKRAMA!" Selesai berpesan Gajah Sora
berkelebat pergi yang disusul oleh si Cecak Terbang Lawe Wereng. Sebentar saja
kedua jago tua itu telah lenyap dari pandangan mata Walet Wungu...
Gadis ini terpaku lama di tempat berdirinya.
Hatinya kalut! Sekejap mata keadaan telah menjadi berubah semrawut. Ditatapnya
mayat-mayat orang-orang
perguruannya yang bergelimpangan di sekitar halaman pesanggrahan. Pada saat
itulah ketika Walet Wungu
baru saja mau beranjak masuk ke dalam gedung, te-
linganya menangkap gerakan lari dari seseorang yang mendekati tempat itu. Selang
sesaat sesosok tubuh
muncul di pintu pesanggrahan.
Dia seorang pemuda berusia antara dua puluh
tahun. Berpakaian warna kuning dengan ikat kepala
dari kulit biawak. Wajah pemuda ini seperti menampilkan keterkejutan melihat
keadaan di halaman pe-
sanggrahan Gajah Sakti. Sebentar saja Walet Wungu
telah mengetahui siapa adanya pemuda itu. "Hm, Jalapaksi...! mau apa dia
kemari?" berkata dalam hati Walet Wungu.
Pemuda ini telah memburu ke arah gadis itu.
"Ah, apakah iblis perempuan itu tak keburu dipergoki"
kemanakah guru-guru kita?" tanya Jalapaksi dengan wajah tampak prihatin.
"Beliau mengejar iblis itu! Kami terlambat....!
Dia telah melarikan diri!" sahut Walet Wungu pendek.
Tampaknya Walet Wungu agak risih dengan kemuncu-
lan pemuda si Cecak Terbang ini.
"Perempuan iblis itu sungguh kejam! Kalau ter-
jadi apa-apa dengan guru kita, hidupku tak akan ten-teram sebelum melumatkan
tubuhnya!" berkata Jalapaksi dengan wajah menampakkan kemarahan. Sepa-
sang matanya berkilat-kilat menjalari sosok-sosok
mayat murid-murid Gajah Sora yang bergelimpangan.
Walet Wungu seperti tak mendengar kata-kata pemuda
itu. Dia duduk menjublak di tangga undakan dengan
mata menatap kosong ke pintu gapura.
Lambat-lambat Jalapaksi menghampiri.
"Sudahlah, Walet Wungu...! Mari kita kebumi-
kan jenazah saudara-saudara kita ini. Aku akan mem-
bantu mu!" Tanpa menunggu jawaban gadis itu, Jalapaksi segera bekerja cepat
membersihkan halaman pe-
sanggrahan dari mayat-mayat. Di bagian belakang ge-
dung pesanggrahan Jalapaksi menggali lubang yang
cukup besar. Walau hatinya kurang senang dengan kemun-
culan Jalapaksi namun kedatangan pemuda itu telah
membuat Walet Wungu menarik napas lega. Karena
meringankan pekerjaannya mengebumikan para jena-
zah itu. ENAM Siapakah Jalapaksi ini" Apakah gerangan yang
tersembunyi dibalik dada pemuda ini" Dia adalah mu-
rid utama si Cecak Terbang. Murid yang diandalkan
untuk kelak menjadi penerus cita-cita sang guru. Sudah sejak lama Jalapaksi
jatuh hati pada Walet Wungu anak angkat ketua perguruan Gajah Sakti itu.
Sikapnya yang agak kurang ajar pernah membuat marah
gadis cantik yang agak angkuh dan pendiam ini. Itulah sebabnya Walet Wungu tak
senang dengan kemuncu-lannya. Malam itu Walet Wungu tak dapat memicing-
kan matanya. Disamping khawatir dengan kejadian
yang tak diinginkan dengan adanya Jalapaksi yang
menginap di pesanggrahan itu, pikirannya juga tak tenang memikirkan gurunya yang
pergi menyatroni si iblis perempuan di Istana Kuno. Ternyata sampai pagi
hari tak ada kejadian apa-apa. Jalapaksi tertidur di luar gedung. Pemuda itu
agaknya kelelahan setelah
siang harinya menguras tenaga....
Baru saja Walet Wungu menguakkan pintu ge-
dung, pemuda itu telah melompat bangun. "Ah, sudah siang agaknya...!" katanya
dengan mengucak-ucak ma-
tanya. Lalu menoleh pada Walet Wungu. "Kau baru sa-ja bangun, Walet Wungu" Tentu
tidurmu nyenyak se-
kali!" Walet Wungu tak menyahut. Seraya melangkah keluar dia berkata.
"Kalau kau mau menunggu gedung pesanggra-
han ini kuucapkan terima kasih! Akan tetapi aku tak dapat berlama-lama disini,
karena aku ada urusan
yang harus kuselesaikan!"
"Ha" kau mau kemana Walet Wungu?" sentak
Jalapaksi "Kukira kau tak perlu mengetahuinya...!" sahut si gadis dengan sikap acuh.
Jalapaksi jadi garuk-garuk kepala yang tidak gatal.
"Hm, kau masih marah padaku, Walet Wungu?"
berkata pemuda itu seraya melangkah menghampiri.
Tapi Walet Wungu telah melompat menjauh dan berke-
lebat meninggalkan pesanggrahan Gajah Sakti. Tentu
saja membuat Jalapaksi terperangah. Tak berayal lagi dia segera melompat
mengejarnya. "Tunggu, Walet Wungu!" teriak pemuda ini.
Akan tetapi Walet Wungu tak menghiraukan teriakan
itu. Bahkan mempercepat gerakan larinya dengan
menggunakan ilmu kepandaian berlari cepat yang di-
milikinya. "Hm, agaknya dia mengajakku mengadu ke-
pandaian! bagus! akan kutunjukkan kemampuannya!"
berkata Jalapaksi dalam hati. Detik itu juga dia telah melesat mengejar si gadis
puteri Gajah Sora. Gerakan lari Walet Wungu memang sesuai dengan nama julu-
kannya, tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor Wa-
let yang lincah. Akan tetapi pemuda itu tak kalah lin-cahnya mengejar sang
Walet! Bahkan selang beberapa
saat... "Tunggu! tahan dulu larimu, Walet Wungu!"
Hebat sekali gerakan si pemuda murid si Cecak Ter-
bang ini, membuat gadis itu tersentak kaget karena
dalam beberapa saat saja sudah tersusul. Dan menda-
hului menghadang di hadapannya.
"Apakah yang kau inginkan?" berkata Walet Wungu dengan ketus.
"Aku perlu menanyakan padamu kemana tu-
juanmu?" berkata Jalapaksi. "Guru kita telah mengikat tali persaudaraan,
mengapakah kau tetap bersikap
demikian terhadapku?" Walet Wungu tak menyambut.
Dia pelengoskan wajahnya.
"Kalau memang masih ada ganjalan di hatimu
terhadap sikapku yang membuat kau tersinggung, ha-
rap kau sudilah untuk memaafkan...." sambung Jalapaksi dengan suara sungguh-
sungguh. Lalu lanjutkan
lagi kata-katanya karena gadis itu masih tetap saja membisu.
"Aku cukup prihatin dengan kejadian yang te-
lah menimpa perguruanmu, juga mengenai kepergian
guruku. Seandainya kau adalah aku tentu dapat kau
bayangan perasaanku!"
"Aku akan menyusul guru ke Istana Kuno!" akhirnya Walet Wungu membuka suara.
"Istana Kuno?" sentak Jalapaksi terkejut. "Apakah kau mengetahui dimana
letaknya?" Walet Wungu sejenak tercenung, lalu menggeleng. Meledaklah tertawa
Jalapaksi. "Haha... kau mau menyusul gurumu tapi tak
mengetahui tempatnya..." Suatu pekerjaan yang sia-
sia!" "Mengapa sia-sia" aku dapat menanyakan pada orang yang mengetahui tempat
itu!" sambar Walet Wungu tegas.
"Pendapatmu benar! akan tetapi... ada baiknya
kita mencarinya bersama-sama! Akupun perlu menge-
tahui keadaan guruku!" tukas Jalapaksi.
"Sebenarnya..." Akhirnya Walet Wungu ceritakan juga kejadian di pesanggrahan
Gajah Sakti sejak mereka tiba, hingga akhirnya kedua guru mereka pergi menyusul
si iblis perempuan itu.
"Ah, kalau begitu mengapa sebaiknya kau turu-
ti perintah ayahmu, pergi ke Blambangan memberita-
hukan hal ini pada Raden Wirakrama...!" ujar Jalapaksi setelah mendengar


Dewa Linglung 10 Rahasia Istana Kuno di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penuturan Walet Wungu.
"Sebaiknya memang demikian, akan tetapi aku
amat mengkhawatirkan keadaan guru! Iblis perem-
puan itu sedemikian mudahnya membunuhi orang-
orang pesanggrahan Gajah Sakti, bahkan telah mena-
wan pula kakak seperguruanku, tentu ilmunya luar
biasa tingginya...!" sahut Walet Wungu dengan suara datar. Sejurus Jalapaksi
terdiam. "Lalu bagaimana keputusanmu?" tanyanya kemudian.
"Aku akan tetap pergi menyusul ke Istana Ku-
no!" sahut Walet Wungu tegas. Tampaknya niat gadis itu tak dapat dirubah.
Jalapaksi yang mengetahui watak dara itu tak dapat berkata apa-apa lagi.
"Kalau demikian, marilah kita berangkat me-
nyusul beliau!" berkata pemuda itu. Walet Wungu kali ini tak dapat menolak lagi.
Dia mengangguk pelahan, seraya balikkan tubuh dan berkelebat dari situ.
Jalapaksi segera menyusul dengan merendengi dara itu di sebelahnya.
"Bagaimana kalau kita ke arah selatan saja?"
kata Jalapaksi. "Di wilayah itu berdiam sahabat baik guruku. Kita dapat
menanyakan padanya mengenai letak Istana Kuno itu!"
"Baiklah...!" sahut Walet Wungu. Berkelebatan-
lah dua sosok tubuh kedua muda-mudi itu menuju
arah selatan. Dalam beberapa saat saja keduanya telah tak kelihatan lagi. Lenyap
di balik perbukitan....
Sesosok bayangan tubuh manusia tampak
membututi kedua remaja itu.....
Siapa adanya orang ini belum bisa diketahui.
Akan tetapi yang jelas dia telah mendengar semua percakapan kedua pemuda dan
pemudi itu!! TUJUH Kita beralih ke lain tempat.... Sesosok tubuh
dengan gerakan cepat tampak berlari-lari menuruni lereng perbukitan. Gerakan
larinya secepat terbang se-hingga yang terlihat cuma bayangan tubuhnya saja.
Ternyata sosok tubuh itu memondong seseo-
rang yang dipanggul di atas pundaknya. Siapa adanya dia" Ketika melewati sisi
hutan tiba-tiba bermunculan sosok-sosok tubuh berpakaian hitam yang mencegat-
nya. "Berhenti!" Dari puncak yang tinggi meluncur turun sebuah bayangan kuning.
Gerakannya ringan
saja tanpa menimbulkan suara ketika sepasang kaki
orang itu menjejak di tanah. Tampak seorang laki-laki tinggi kurus mengenakan
pakaian warna kuning berlengan lebar telah berdiri menghadang di tengah jalan
yang bakal dilalui orang itu.
Orang yang memondong sosok tubuh di pun-
daknya itu kiranya seorang pemuda bertampang tolol
yang tiada lain adalah Nanjar alias si Dewa Linglung.
"Heh! apa yang kalian inginkan, begal-begal tengik?"
berkata Nanjar dengan hidung mendengus. Nanjar
mengawasi para penghadang itu yang jumlahnya tak
kurang dari lima belas orang. Kesemuanya memakai
pakaian hitam-hitam dengan pinggang menyoren sen-
jata. Kecuali si laki-laki baju kuning itu yang tampaknya bertangan kosong.
"Hehehe... kami memang para begal yang ditu-
gaskan membegal setiap orang yang lewat di tempat
ini. Akan tetapi kami tak akan membegal harta benda, melainkan nyawa yang akan
kami begal. Kecuali...
hehe.... kecuali gadis yang berada di pundakmu itu.
Mungkin umurnya masih bisa diperpanjang beberapa
hari!" berkata laki-laki baju kuning bermata nyalang itu dengan tertawa
menyeringai. "Kurang ajar! siapa yang telah perintahkan ka-
lian dengan tugas gila itu" Aku toh cuma lewat saja tanpa mengganggu atau
berbuat apa-apa! mengapa setiap orang yang lewat harus dibunuh?" bentak Nanjar
dengan mata mendelik gusar.
Akan tetapi si baju kuning ini telah memberi
tanda pada anak buahnya untuk segera turun tangan.
Belasan orang berpakaian serba hitam itu serentak
berlompatan mengurung si Dewa Linglung dengan
masing-masing telah mencabut senjatanya.
"Bagus! Haha... kuperingatkan pada kalian,
menyingkirlah kalau masih mau selamat. Kalau kalian membandel tahu sendiri
akibatnya!" berkata Nanjar dengan jumawa. Seperti tiada menghiraukan adanya
bahaya, seenaknya saja pemuda ini melangkah terus.
"Bocah sombong!" membentak salah satu dari pengurungnya. Orang ini bersenjatakan
sebuah golok besar yang punggungnya bergerigi. Dengan kecepatan
tak terduga dia telah ayunkan goloknya ke arah dada diiringi bentakan. "Lepas
nyawamu!" Akan tetapi sebelum senjatanya mengenai sasaran tahu-tahu orang ini
menjerit ngeri. Goloknya terpental, sedangkan orangnya roboh terjungkal dengan
tubuh kaku. Terkejut pa-ra pengepung lainnya. Sedangkan si baju kuning ke-
rutkan keningnya dengan tersentak kaget. Sepasang
matanya yang tajam dapat melihat sekilat gerakan lengan pemuda itu ketika
menyelinap ke balik baju. Dan sebuah benda kecil sebesar kacang atau memang
sebutir kacang, telah meluncur menghantam pergelan-
gan tangan si brewok. Gerakan selanjutnya sedemikian cepatnya. Tahu-tahu lengan
pemuda itu telah terjulur menotok tengkuk laki-laki brewok itu. Dan terjadilah
seperti apa yang telah dilihatnya.
Melihat kawannya roboh, yang lainnya segera
menerjang dengan senjata-senjatanya. "Kalian mencari penyakit!" bentak Nanjar.
Lengannya menghantam ke depan. Tiga orang menjerit ngeri. Tubuh mereka terlempar
tak bangkit lagi. Karena ketiga orang itu merasa urat-urat tubuhnya menjadi
kaku. Beberapa batang golok yang menyambar dari arah kiri dan kanan cuma
mengenai tempat kosong. Akan tetapi akibatnya harus mereka tanggung, karena
diiringi satu bentakan keras, empat tubuh penyerang ini terlempar dengan
perdengarkan jeritan parau.
Sisanya delapan orang penyerang ini terkejut
karena tahu-tahu lawannya telah berada di hadapan
mereka. Empat orang menyurut mundur. Akan tetapi
empat orang lagi menerjang dengan beringas. Nanjar
menggerutu dalam hati. "Penyakit di depan mata masih tak mau menyingkir" rasakan
ini!" Dewa Linglung angkat sebelah lengannya. Cahaya putih menebar...
Dan empat orang ini bagaikan diterjang angin seloka terlempar dengan jeritan
setinggi langit!
Mendelik sepasang mata si baju kuning melihat
dalam waktu sebentar saja belasan anak buahnya te-
lah berkaparan di tanah. Yang lainnya masih untung, karena cuma tertotok saja.
Akan tetapi yang empat
orang telah tewas, dengan tulang dada remuk! Karena geramnya Nanjar telah
terlepas tangan dan menyarangkan pukulan Naga Saktinya. Itupun cuma dengan
tenaga dalam seperempat bagian. Tapi akibatnya
keempat penyerang itu tewas dengan keadaan menge-
rikan! "Keparat! jaga pukulanku!" membentak si laki-laki baju kuning.
Uap hitam menyambar ke arah Nanjar ketika
laki-laki itu hantamkan telapak tangannya. Whuuk!
Serangan mendadak itu cepat dihindarkan Nanjar
dengan melompat bersalto. Diam-diam dia terkejut melihat serangan lawan. Itulah
pukulan yang mengan-
dung uap racun. Baru saja dia jejakkan kakinya di tanah kembali uap-uap hitam
menerjangnya dengan
gencar. Terpaksa gunakan ilmu lompatan kera untuk
menjauhi lawan. Akan tetapi mau tak mau dia harus
menutup jalan pernafasannya karena bila uap terhen-
dus hidung akan berakibat berbahaya.
"Bagus! ternyata tidak percuma kail bermulut
besar, bocah! Namun jangan harap kau bisa lolos dengan keadaan masih bernyawa
itu." Kembali dia menerjang! Kali ini lebih dahsyat lagi. Bahkan si laki-laki
malah keluarkan senjatanya yang di sembunyikan di balik jubah. Whuk! whukk!
Sriing! "Ahh!?" tersentak Nanjar karena lengannya tergores. Benda yang berkilauan warna
kuning emas itu
amat menyilaukan mata. Hingga sukar untuk melihat
serangan lawan, di samping dia membawa beban yang
juga harus diselamatkan jiwanya dari gempuran-
gempuran dahsyat itu.
Nanjar melompat mundur. Tampak bahu ki-
rinya mengeluarkan darah, mengoyak bajunya.
Tahulah Nanjar senjata apa yang telah melu-
kainya itu. Ternyata senjata si baju kuning tak lain adalah sebuah kipas
berwarna kuning emas terbuat
dari baja yang amat tipis yang disepuh dengan warna emas. "Hehehe... lebih baik
kau serahkan saja jiwamu! kau tak akan mampu menghadapi senjataku!" terkekeh si
laki-laki baju kuning.
"Iblis Kipas Emas!" sentak Nanjar terkejut. Sadarlah Nanjar kalau dia berhadapan
dengan seorang kosen yang pernah didengar namanya.
Mengetahui keadaan yang tidak menguntung-
kan, terpaksa Nanjar gunakan ilmu terbangnya untuk
segera menjauh lawan. "Gadis ini dalam keadaan kera-cunan, akupun telah terluka.
Sebaiknya aku sela-
matkan dulu gadis ini..." berkata Nanjar dalam hati.
Melihat lawannya kabur melarikan diri dengan
ilmu aneh, laki-laki bergelar Iblis Kipas Emas ini tertegun sesaat. Akan tetapi
segera dia berteriak.
"Kau tak akan luput dari kematian, bocah! wa-
lau ilmumu setinggi langit! Racun kipas maut ku akan merenggut jiwamu dalam
waktu cuma setengah hari...!
hahaha..." Ternyata Iblis Kipas Emas tak mengejar. Dia balikkan tubuh dan
berkelebat lenyap masuk ke dalam hutan... Sementara itu Nanjar terus melayang di
atas pepohonan. Sesekali tubuhnya meluncur turun untuk
jejakkan kaki ke puncak pohon. Lalu melayang lagi bagaikan seekor elang. Itulah
ilmu terbang Raja Siluman Bangau yang telah dipergunakan. Dalam waktu tak berapa
lama Nanjar telah melintasi dua buah bukit. Dari udara dia melihat di bawah
tebing sebuah pondok ter-
pencil. Segera dia meluncur ke sana...!
Begitu kakinya menyentuh tanah, segera dia
turunkan gadis di atas pundaknya. Tampak peluh me-
rembes di sekujur tubuh pemuda ini. Nanjar mulai merasakan pundaknya kesemutan.
Cepat-cepat dia meno-
tok di beberapa bagian tubuh di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun.
Akan tetapi sedikitnya
racun telah menjalar ke dalam tubuhnya. Tampak dia
beberapa kali terhuyung.
"Celaka! dadaku sesak!" sentak Nanjar terkejut.
Sebenarnya dia tadi dapat melakukan totokan untuk
menutup aliran darah di tubuhnya. Akan tetapi karena dia dalam keadaan
menyelamatkan diri dengan menggunakan ilmu terbangnya, hal itu tak dapat
dilakukan. Nanjar telah duduk bersila dan pejamkan ma-
tanya. Sementara dia segera menghimpun hawa murni
untuk menolak racun. Butiran-butiran keringat men-
galir di dahi pemuda ini. Saat itu si gadis yang tadi di-baringkan ditanah telah
siuman dari pingsannya.
Tampaknya dia amat terkejut melihat seorang laki-laki duduk bersila tak jauh
dari tempat dia menggeletak.
"Dia..dia.... ah, mimpikah aku?" sentak hati da-ra ini dengan mata membelalak.
Siapakah sebenarnya
gadis ini" Dia tak lain dari SRIMALA, murid si Pendekar Melati Putih. Bagaimana
dia bisa berada di tangan Nanjar" Marilah kita dengar sejenak kisah yang telah
dialaminya... Seperti telah diceritakan Srimala diajak oleh Pa-
ti Lanang untuk diperkenalkan pada gurunya. Akan tetapi pemuda itu sekali-kali
tak terbersit di hatinya untuk membawanya kesana. Bahkan dibenak si pemuda
berkecamuk seribu satu cara untuk melaksanakan
maksudnya. Pati Lanang adalah seorang pemuda yang
pandai berpura-pura. Sikapnya di hadapan Gajah Sora
yang menjadi ayah angkat sekaligus gurunya, baik tutur kata dan perangainya.
Setiap perintah tak pernah dibantah dan dia selalu menjalankan tugas dengan
baik. Akan tetapi segera ketahuanlah belangnya setelah dia keluar dari
pesanggrahan Gajah Sakti.
Pati Lanang memang telah di ijinkan oleh Gajah
Sora untuk meninggalkan rumah perguruan, karena
pemuda itu mengatakan maksudnya untuk mencari je-
jak ayah kandungnya, Purbasangka. Sekalian untuk
menambah pengalaman pemuda itu di luar pesanggra-
han. Sebelum berangkat, Gajah Sora memberinya we-
jangan-wejangan yang dapat dijadikan bekal bagi pe-
muda yang masih keponakannya itu. Sebenarnya Ga-
jah Sora agak berat melepaskan Pati Lanang, karena
dia berharap pemuda itu bisa menggantikan dirinya
memimpin perguruan Gajah Sakti.
Meneruskan usahanya yang cukup berpenga-
ruh di wilayah itu. Sedangkan Gajah Sora berniat
mengasingkan diri menghabiskan sisa usianya.
Akan tetapi diapun tak dapat menolak keingi-
nan Pati Lanang yang ingin mencari orang tuanya.
Hingga terpaksa dengan hati berat dia mengabulkan-
nya. Sedikitpun Gajah Sora tak menyangka kalau di
dalam dada pemuda itu tersembunyi keinginan yang
telah dipendam lama. Entah dari mana beritanya, Pati Lanang telah mengetahui
kalau gurunya menyimpan
sebuah kitab ilmu silat bernama "Mega Mendung" yang disembunyikan orang tua itu.
Bahkan sedikitpun dia
tak pernah mempelajari.
Hal itulah yang membuat dia kurang suka ber-
gaul dengan Walet Wungu, karena dia beranggapan
Gajah Sora akan mewariskan kitab pusaka itu pada
Walet Wungu. Hasrat yang terpendam itulah yang melahirkan
keinginan pemuda itu untuk keluar dari pesanggrahan Gajah Sakti, walaupun
sebenarnya dia tak berhasrat untuk mencari ayahnya. Ternyata diam-diam Pati
Lanang telah berhubungan dengan seseorang, ketika pe-
muda itu mendapat kesempatan menjalankan tugas
gurunya beberapa bulan yang lalu. Seseorang itulah
yang telah memberitahukan tentang kitab pusaka
Mega Mendung yang berada di tangan Gajah Sora.
Sukar untuk dibayangkan kalau sebenarnya
Pati Lanang telah bergabung dengan si perampok pe-
rempuan penghuni Istana Kuno. Bahkan dengan kepu-
Pendekar Aneh Naga Langit 11 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Tanah Semenanjung 5
^