Pencarian

Patung Dewi Kwan Im 3

Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


yang belum kulakukan, ingat!"
Kim Bok Sianjin tampak puas. "Dan benarkah Beng Beng Hoatsu
yang mencurinya?" "Untuk hal ini aku tak sudi bersumpah. Betul atau tidaknya kau
selidikilah sendiri, itu urusanmu!"
Setelah menjura, Kim Bok Sianjin lalu tinggalkan tempat itu. Hwat
Kong Tosu pandang anak perempuan itu dengan wajah berseri.
"Kakek, aku girang, kau bukan pencuri. Kau pandai sekali menari
tongkat!" "Anak baik, maukah kau belajar menari tongkat dari aku?"
158 Anak itu berseru girang, "Mau?"! Mau?"!"
"Kalau kau mau, hayo berlutut dulu dan angkat aku menjadi
suhumu." Anak perempuan itu segera jatuhkan diri berlutut dan menyebut
"Suhu!" dengan suaranya yang nyaring dan merdu. Hwat Kong
Tosu tertawa bergelak-gelak karena girangnya.
Pada saat itu dari dalam lari keluar beberapa orang, di antaranya
seorang berpakaian seperti orang berpangkat yang berseru,
"Hong Cu! Ke sini kau!"
Orang berpangkat itu adalah ayah anak perempuan itu dan yang
lain-lain adalah pegawai dan pelayannya.
Ang Hong Cu, anak perempuan itu, mendengar panggilan
ayahnya, lalu berdiri dan hendak menghampiri, tapi pada saat itu
tiba-tiba ia terbetot ke atas oleh Hwat Kong Tosu, dan sekali
gerakkan tangannya, pertapa tua itu telah loncat ke atas dan
lenyap di atas genteng sambil pondong muridnya!
Semua orang berteriak-teriak, tapi tiba-tiba dari atas genteng
terdengar suara Hwat Kong Tosu.
"Tai-jin jangan kaget dan cemas, puterimu berbakat menjadi
muridku. Sepuluh tahun kemudian ia pasti kembali dan menjadi
seorang yang berguna!"
159 Kemudian sunyi senyap dan ketika beberapa pengawal yang
pandai loncat tinggi mengejar ke atas genteng, pertapa itu dan
muridnya telah lenyap! Kedua orang tua Ang Hong Cu dan para pelayan hanya bisa
menangis sedih, tapi akhirnya ayah Hong Cu dapat menetapkan
hati dan melarang orang-orang menangis.
"Pertapa itu bukanlah sembarang orang. Ia seorang berilmu
tinggi. Kurasa Hong Cu memang berjodoh untuk menjadi murid
seorang berilmu tinggi. Biarlah kita bersembahyang saja siang
malam kepada Thian agar Hong Cu mendapat berkah
keselamatan," demikian katanya kepada isterinya.
Hwat Kong Tosu ajak muridnya merantau dan mulailah ia
menggembleng muridnya itu dengan pelajaran-pelajaran silat
tinggi. Biarpun belum pernah mempelajari ilmu silat, namun Hong
Cu benar-benar berbakat dan otaknya tajam sekali, hingga
suhunya menjadi sangat girang.
Memang lebih baik mengajar seorang murid yang belum mengerti
apa-apa dalam hal ilmu silat hingga sebagai buku masih kosong
dan dapat dilukisi apa saja yang indah menurut kehendak si
pelukis. Kalau murid sudah dikotori oleh pelajaran dari lain
cabang, agak sukarlah untuk dapat memahami sedalamnya
pelajaran ilmu silat tinggi seperti yang diajarkan oleh Hwat Kong
Tosu. Tentu saja, kalau murid yang diajarnya itu tadinya telah
mempelajari ilmu silat lain yang tinggi dan bersih hal itu tidak
160 menjadikan halangan. Bagaimanapun juga, kebersihan Hong Cu
yang tadinya belum mengenal sedikitpun ilmu silat itu, membuat
ia dapat lebih asli lagi menerima warisan ilmu silat yang lihai dari
Hwat Kong Tosu! <> Marilah kita ikuti perjalanan Beng Beng Hoatsu yang pergi
merantau untuk mencari patung Dewi Kwan-im, diikuti oleh
muridnya yang baru, yakni Siauw Ma. Anak muda yang tadinya
beradat keras dan ingin menang selalu ini mendapat guru yang
tepat karena Beng Beng Hoatsu adalah seorang kakek aneh yang
adatnya juga keras sekali, tapi ia sangat jujur.
Dengan sikapnya yang galak itu maka Siauw Ma menjadi tunduk
dan Beng Beng Hoatsu berusaha keras untuk menggembleng
muridnya menjadi orang pandai karena pertapa pendek gemuk ini
tidak mau kelak muridnya sampai kalah oleh murid lain orang.
Sambil merantau ia tidak lupa untuk selidiki patung yang lenyap
itu, dan ia juga mendengar tentang sepak terjang Hwat Kong Tosu
yang hantam kromo dan bikin keder semua kalangan liok-lim. Ia
merasa geli melihat sepak terjang kawannya itu tapi tentang
patung Dewi Kwan-im ia tidak sangat pentingkan.
Yang terpenting baginya ialah mendidik Siauw Ma, karena
menurut anggapannya, jika Siauw Ma menjadi pandai, maka
kelak mudah saja untuk merampas patung itu dari tangan siapa
juga! 161 Berbulan-bulan kemudian Beng Beng Hoatsu merasa bosan juga
merantau karena sedikitpun ia tidak mendengar tentang patung
yang hilang. Sebaliknya ia mendengar berita yang
menggemparkan kalangan kang-ouw, yakni bahwa Kelenteng
Gak-im-tong di kota Swi-ciang kabarnya didatangi seorang saikong
dan pertapa ini mengusir semua penghuni kelenteng,
bahkan membunuh ketua kelenteng itu.
Hal ini membuat kalangan kang-ouw merasa marah karena
kelenteng itu adalah kelenteng paderi wanita dan yang tinggal di
situ semuanya ialah para nikouw dan ketuanya juga seorang
pertapa wanita. Beng Beng Hoatsu mendengar bahwa telah ada beberapa orang
gagah dari kalangan kang-ouw karena merasa penasaran, lalu
mendatangi kelenteng yang sekarang diduduki seorang diri oleh
sai-kong jahat itu, tapi mereka semua tak mampu jatuhkan
pendeta yang sangat lihai itu, hingga di kalangan kang-ouw masih
ramai orang bicarakan hal ini dengan penasaran dan secara
kebetulan Beng Beng Hoatsu mendengar pula hal ini.
Siauw Ma yang berhati keras dan berdarah panas, mendengar hal
yang tidak adil ini lalu mendesak suhunya untuk pergi ke kota itu
dan "membereskan" sai-kong yang demikian jahatnya.
"Suhu, menurut pikiran teecu, kalau seorang pertapa yang
biasanya harus menjadi contoh dari manusia suci, sampai berlaku
sekejam itu, ia harus dienyahkan dari muka bumi ini!" kata Siauw
Ma dengan bernapsu. 162 Beng Beng Hoatsu tertawa bergelak-gelak sambil pandang
muridnya dengan sepasang matanya yang bundar itu terputarputar.
"Kau ini seperti anak harimau yang baru keluar saja. Kaukira kau
sanggup menandingi sai-kong jahat itu?"
"Mengapa tidak sanggup, suhu" Kalau aku tidak sanggup
membasmi pendeta jahat seperti itu, teecu bukan".... murid Beng
Beng Hoatsu yang termashur sakti dan adil!"
Memang, biarpun ia kasar, Siauw Ma sebenarnya cerdik dan
dapat mengetahui watak dan hati orang. Jawabannya itu dengan
tidak langsung membakar hati Beng Beng Hoatsu, hingga orang
tua itu sekali lagi tertawa besar.
"Baiklah, mari kita pergi ke kota Swi-ciang. Mari kita lihat, orang
macam apa sai-kong itu!"
Beng Beng Hoatsu sengaja berjalan cepat sekali hingga Siauw
Ma harus kerahkan semua tenaga dan kepandaiannya untuk
mengejar suhunya! Selama beberapa bulan itu, kepandaian ginkang
dan Hwie-heng-sut yang dimilikinya telah maju pesat sekali
dan jauh jika dibandingkan dengan dulu.
Di samping memperdalam gin-kang dan lwee-kang, iapun tekun
mempelajari Ilmu Silat Naga Sakti, kepandaian yang luar biasa
ciptaan Beng Beng Hoatsu. Ketika secara iseng-iseng ia mainkan
ilmu silat meniru gerak-gerik semua lukisan di dinding gua Huo
163 Mo-li dulu, Beng Beng menegurnya marah, "Jangan mainkan ilmu
silat busuk tiada berguna itu."
Semenjak itu ia tidak berani lagi main-main dengan Ilmu Silat Huomo-
kun-hwat yang ia hanya tahu sedikit karena dulu menggosokgosok
dinding gua Huo Mo-li. Karena guru dan murid itu lari cepat, maka tidak sampai setengah
hari mereka memasuki gerbang dinding kota Swi-ciang dan
masuk ke dalam kota dengan tenang. Mudah saja mereka cari
kelenteng Gak-im-tong dan ternyata kelenteng berada di ujung
kota dan di bagian yang sunyi karena jauh dari tetangga.
Kelenteng itu dari luar tampak sunyi sekali, tapi sayup sampai
terdengar suara yang parau dan besar sedang membaca liamkeng,
yakni semacam doa yang diucapkan dengan keras. Siauw
Ma yang tidak sabar menanti lebih lama segera membetot ujung
lengan baju suhunya dan mereka berdua masuk ke dalam
pekarangan kelenteng itu.
Kini suara liam-keng terdengar nyata dan ketika ia
memperhatikan suara itu, Siauw Ma menjadi terkejut sekali,
karena syair yang dibacakan oleh suara itu sekali-kali bukanlah
syair doa, tapi syair kacau balau yang isinya menyindir mereka
berdua. Ia mendengarkan dengan lebih teliti.
Di antara kata-kata yang isinya makian kotor terdapat kata-kata
yang menyindir bahwa ada naga gemuk pendek bersama seekor
ular kecil berhati panas datang, dan bahwa mereka berdua, ular
164 dan naga itu barangkali sudah bosan hidup dan ingin tahu betapa
rasanya masuk ke neraka! Siauw Ma merasa disindir dan ia menjadi marah sekali, sama
sekali ia tidak ingat bahwa tanpa melihat sudah dapat mengerti
keadaan mereka dan tahu akan kedatangan mereka menyatakan
betapa lihainya orang di dalam kelenteng itu. Ia lupa segala
bahaya dan hendak meloncat ke dalam.
Tapi tiba-tiba lengan tangannya terpegang oleh gurunya dan
tubuhnya di tarik ke belakang. Betul saja, dari sebelah kiri
kelenteng menyambar sebuah batu besar yang beratnya ratusan
kati, tepat menyambar di mana Siauw Ma tadi berdiri.
Sebelum batu itu jatuh kembali, tiba-tiba berkelebat bayangan
kecil dan seorang anak muda kira-kira berusia tigabelas tahun
loncat menyambut batu itu!
Kemudian ia berdiri menghadapi Beng Beng Hoatsu dan Siauw
Ma sambil tertawa-tawa. Anak muda itu bertubuh tinggi besar,
wajahnya tampan dan gagah, mulutnya besar dan sepasang
matanya mengeluarkan sinar nakal.
Setelah tertawa sekali lagi dengan suara nyaring, anak itu lalu
lempar batu ke arah Siauw Ma dan berkata, "Kau sambutlah batu
ringan ini!" Dari sambaran angin yang mendahului batu itu, Siauw Ma
maklum bahwa batu itu sangat berat, tapi ia cukup waspada dan
tenang. Ia tanam kakinya dengan kuda-kuda yang kuat dengan
165 gerakan yang disebut Tanam Pilar Besi, lalu kedua tangannya
menyambut batu itu. Dengan cepat ia barengi gerakan batu itu
kemudian potong tenaga batu ke atas hingga sebentar saja batu
itu sudah berada dalam sebelah tangannya dan diangkat tinggi di
atas kepala. "Kau terimalah kembali!" Katanya dan ia ayun batu itu kembali
kepada anak itu. Dengan ketawa lebar anak itu gunakan tangan kiri untuk tolak
batu itu keluar dan batu itu jatuh berdebuk ke atas tanah,
mengeluarkan debu mengepul ke atas. Kedua kaki Siauw Ma
ternyata juga sudah melesak ke dalam tanah sedalam kira-kira
satu dim! Dari kenyataan ini dapat diukur sampai di mana tenaga
lemparan anak kecil itu! "Siauw Liong, jangan ganggu tamu! Dia adalah sahabat baikku!"
tiba-tiba terdengar bentakan dari dalam dan Siauw Ma melihat
seorang kakek gundul yang luar biasa berjalan keluar dengan
sebatang tongkat di tangan.
Kakek ini sungguh luar biasa. Tubuhnya tinggi bongkok, mukanya
persegi dan totol-totol hitam. Di atas kepalanya yang gundul licin
itu tumbuh sebuah daging jadi yang menyerupai tanduk, tepat di
tengah-tengah batok kepala, kira-kira satu dim! Mulutnya yang
lebar selalu menyeringai!
Pakaiannya juga aneh, dari sutera putih dan hanya merupakan
kain yang lebarnya dua kaki tapi panjang sekali, dilibat-libatkan di
seluruh tubuhnya dari leher sampai ke bawah lutut. Tongkat di
166 tangannya tak kalah ganjilnya, karena tongkat itu berwarna hitam
kemerah-merahan dan bentuknya menyerupai ular yang sedang
pentang mulut dan julurkan lidah!
Kalau benda itu diperiksa lebih teliti, barulah orang tahu bahwa itu
sebenarnya adalah seekor ular tulen yang sudah mati dan kering,
dan tubuh ular itu demikian kaku dan keras hingga dapat
digunakan sebagai senjata yang ampuh. Inilah Tok-kak-coa Si
Ular Tanduk Beracun! Melihat orang ini, untuk seketika Beng Beng Hoatsu berdiri
ternganga, tapi ia lalu memandang dengan wajah berseri,
kemudian sambil putar-putar kedua biji matanya ia berdongak dan
ketawa keras. "Kukira setan dari mana yang mendiami kelenteng ini, tidak
tahunya si jahat dari timur! Pantas saja sekalian anak-anak dari
kang-ouw itu tak mampu membekukmu. Ah, ular jahat, kau makin
lama makin jahat saja!"
Tok-kak-coa melebarkan mulutnya hingga ia menyeringai
menyeramkan, dan sepasang matanya yang kecil itu merupakan
dua buah garis panjang berkeriput.
"Beng Beng, sudah lama tak bertemu kau makin gemuk
menjijikkan! Eh, muridmu ini boleh juga, hampir sama baiknya
dengan Siauw Liong! Sayang ia agaknya bodoh."
167 Lalu Si Ular Tanduk Beracun itu tertawa ha, ha, hi, hi
mendatangkan rasa mendongkol, gemas, dan marah campur
takut di hati Siauw Ma. "Beng Beng, sahabat baik. Mari masuk ke istanaku, mari, mari!
Aku ada arak wangi untukmu dan muridmu. Masuklah!"
Siauw Ma ragu-ragu, tapi suhunya bertindak masuk tanpa raguragu,
bahkan dengan senyum di mulut. Setelah tiba di dalam,
Beng Beng Hoatsu berkata kepada Siauw Ma.
"Siauw Ma, hayo kau memberi hormat kepada Tok-kak-coa si
setan tua ini." "Hi, hi, hi, hi! Bukankah benar kataku tadi bahwa muridmu
memang tolol?" Tok-kak-coa mengejek, dan Beng Beng Hoatsu
juga tertawa. "Sebut saja susiok padanya, karena biarpun kelihatannya seperti
mayat hidup, namun aku masih lebih tua dari padanya!" kata Beng
Beng Hoatsu. Siauw Ma mengangguk-anggukkan kepala lagi dan kini


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyebut, "Susiok!"
"Bangunlah, bangunlah!"
Tok-kak-coa berkata sambil memegang tangan Siauw Ma.
Pegangan itu keras, maka Siauw Ma maklum bahwa orang aneh
ini sedang menguji tenaganya, karena itu ia segera
168 mengumpulkan tenaganya hingga tubuhnya menjadi keras
bagaikan batu! Ketika orang tua itu mengangkat pundak yang dipegangnya,
maka tubuh Siauw Ma terangkat naik dengan keadaan masih
berlutut. Ia seolah-olah berubah menjadi sebuah patung batu
yang sedang berlutut! Tok-kak-coa menurunkan lagi tubuh anak muda itu, lalu sambil
mengangguk-angguk ia berkata kepada Beng Beng Hoatsu.
"Bagus, bagus! Tidak malu aku mempunyai keponakan macam
ini, Ha, ha, ha!" Kemudian orang tua bongkok kurus itu berteriak
ke arah belakang. "Hei! Siauw Liong! Kau sembunyi di mana" Ke marilah kau!"
Dari belakang muncullah anak laki-laki yang tadi menggoda
Siauw Ma. Sepasang matanya memancarkan kenakalan dan
tidak malu-malu. Siauw Liong terpaksa maju berlutut dan ia hanya menganggukanggukkan
kepala karena tidak tahu harus menyebut apa.
"Teecu harus memanggil bagaimana, suhu?" Siauw Liong
berpaling dan memandang gurunya.
"Siauw Liong, aku telah menerima penghormatan murid supekmu,
hayo kini kauwakili aku memberi hormat kepada supekmu."
169 Siauw Liong gunakan kedua matanya yang bersinar tajam untuk
menatap wajah Beng Beng Hoatsu, kemudian dengan alis mata
bergerak-gerak hingga menambah kecakapan dan kegagahan
wajahnya ia berkata kepada suhunya.
"Suhu, apakah kau kalah pandai dari kakek ini?"
Suhunya tertawa. "Aaaah".. Beng Beng Hoatsu lihai sekali, ilmu
pedangnya Naga Dewa jarang bandingannya di dunia ini".., tapi
aku kalah pandai darinya" Hi-hi-hi-hi".. jangan kau khawatir,
muridku".. gurumu lebih lihai lagi! Bukankah begitu, Beng Beng,
sahabatku?" "Memang, kau lihai sekali, Tok-kak-coa, lihai dan licin. Terutama
tentang muslihat dan akal bulus, aku takkan menang dari kau!"
Siauw Liong lalu maju ke hadapan Beng Beng Hoatsu dan
menjura dalam sambil menyebut.
"Supek?"."
Ia tidak mau berlutut karena anggapannya, untuk apa berlutut
kepada seorang yang kalah lihai dari suhunya"
"Dan ini adalah murid supekmu, kepandaiannya boleh juga!"
"Teecu telah berkenalan dengan kepandaiannya, suhu!" kata
Siauw Liong, dan ketika Siauw Ma menjura ke arahnya tanda
salam, ia sengaja buang muka ke samping, sama sekali tidak
pandang sebelah mata! 170 Bukan main panas hati Siauw Ma, tapi Beng Beng Hoatsu bahkan
tertawa bergelak-gelak. "Ha, ha, ha! Ular jahat, kau mendapat seorang murid yang cocok
dan cerdik." Tok-kak-coa tahu dirinya disindir. Memang ia tidak setuju melihat
sikap muridnya ini, tapi ia sangat sayang kepada Siauw Liong
yang semenjak berusia tiga tahun telah dipeliharanya.
Anak itu dimanja luar biasa olehnya dan boleh dibilang tiada
semacam pun permintaan anak itu yang tidak dipenuhi. Apa lagi
ketika ternyata bahwa Siauw Liong sangat cerdik dan bakatnya
dalam ilmu silat hebat sekali, makin sayanglah guru itu kepada
muridnya. Karena rasa sayangnya ini, ia tidak mau tegur muridnya
ketika Siauw Liong bersikap kurang hormat kepada Beng Beng
Hoatsu dan Siauw Ma. "Duduklah, duduklah?"." Demikian ia mempersilahkan Beng
Beng Hoatsu dan Siauw Ma. Mereka duduk mengelilingi sebuah
meja bundar yang lebar. "Kebetulan sekali, aku dan muridku baru saja selesai memasak.
Ha, ha, ha! Beng Beng, mari kita pesta besar! Memang mulutmu
sedang mujur, datang-datang kaurebut sebagian dari hidangan
kami yang lezat! Hi-hi-hi!"
Beng Bang Hoatsu hanya tersenyum dan berkata, "Keluarkan
semua hidanganmu!" 171 Memang Beng Beng Hoatsu telah lama kenal kepada Si Ular
Tanduk Berbisa itu. Berpuluh tahun yang lampau ia dan Tok-kakcoa
pernah menjagoi daerah timur Tiongkok. Tok-kak-coa disebut
si jahat dari timur dan tak seorangpun di kalangan kang-ouw yang
berani menghalangi segala sepak terjang ular berbisa yang lihai
itu. Juga tak seorangpun ditakuti oleh Tok-kak-coa kecuali kepada
Beng Beng Hoatsu ia menaruh segan dan hormat. Ia tak pernah
mengganggu Beng Beng Hoatsu setelah mereka pernah bentrok
dan bertempur sampai sehari semalam lamanya.
Keduanya mendapat luka, tapi keduanya tak dapat disebut kalah
atau menang! Kepandaian mereka memang seimbang.
Setelah pertempuran itu mereka saling menaruh segan dan
kagum dan diam-diam mereka perhebat latihan dan
memperdalam kepandaian. Kini berpuluh tahun telah lewat dan
mereka bertemu di tempat itu, masing-masing merasa curiga
karena tahu bahwa masing-masing telah mendapat kemajuan
hebat dalam ilmu kepandaian mereka. Beng Beng Hoatsu tahu
benar bahwa si jahat dari timur itu kini tidak dapat disamakan
dengan dulu di waktu mudanya.
Ia mendengar bahwa Tok-kak-coa telah mempelajari segala
macam ilmu yang ada hubungannya dengan racun ular hingga ia
mendapat sebutan Tok-kak-coa. Dulu ia tidak begitu
mendesaknya, karena memang kejahatan Tok-kak-coa hanya
terbatas kepada ingin berkuasa dan ingin menjadi orang yang
172 paling ditakuti dan paling disegani, sedangkan kejahatannya
hanya berupa perampokan harta saja.
Ia hanya membunuh orang-orang dalam pertempuran yang adil,
dan sama sekali tidak mau mengganggu orang-orang lemah.
Karena inilah maka ia lebih terkenal di kalangan kang-ouw di
mana ia selalu menjagoi dan menjatuhkan tiap orang kang-ouw
yang mulai terkenal kegagahan dan namanya.
Beng Beng Hoatsu juga tahu bahwa makin tua, Tok-kak-coa
makin lihai dan licin dan ia maklum pula betapa curangnya orang
tua ini. Karena itu ia berlaku waspada, namun di luar, ia berlaku
pura-pura tak acuh dan sembrono.
Tok-kak-coa lalu berkata kepada Siauw Liong yang berdiri di situ.
"Muridku yang baik, supekmu datang, maka kita harus menjamu
dia. Coba keluarkan masakan daging naga dan daging kilin yang
kita masak tadi!" Siauw Liong tersenyum dan sambil mengerlingkan mata ke arah
Siauw Ma, ia mengangguk dan pergi ke belakang. Beng Beng
Hoatsu tersenyum-senyum saja tapi diam-diam Siauw Ma hatinya
berdebar karena ia merasa curiga.
"Tok-kak-coa! Kau terlalu sungkan, kami bukan tamu yang harus
dijamu, sebenarnya tak perlu kau repot-repot. Kedatanganku ini
sebenarnya hendak mencari seorang sai-kong jahat yang
kabarnya telah mengusir semua nikouw dan dengan paksa
merampas kelenteng. Bahkan kabarnya ia telah membunuh ketua
kelenteng. Di manakah sai-kong itu?"
173 Beng Beng Hoatsu pura-pura memandang ke langit-langit
kelenteng yang berukiran burung- burung hong indah, tapi
sebenarnya ujung matanya dengan tajam mengerling dan
menatap wajah Tok-kak-coa.
Kakek tua tinggi bongkok itu tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal,
hingga Siauw Ma memandangnya dengan kening berkerut karena
ia sungguh tak mengerti orang aneh ini yang begitu mudah
tertawa. "Beng Beng! Tak kusangka kau makin tua makin tolol. Pantas saja
muridmu juga tolol, karena rupanya kauberi pelajaran tentang
ketololan padanya! Sai-kong yang manakah yang kaucari" Orang
yang membunuh ketua kelenteng dan mengusir semua penghuni
kelenteng bukan lain ialah aku sendiri!"
Beng Beng Hoatsu tidak terkejut mendengar ini karena memang
ia sudah menduga sebelumnya. Kini ia hanya tundukkan kepala
dan dari bawah, sinar ke dua matanya menyambar tajam.
"Hm, si jahat dari timur agaknya telah lupakan kegagahannya dan
tua-tua berubah menjadi pengecut!" kata-kata ini sangat pedas
dan Siauw Ma tahu bahwa suhunya mulai marah, maka iapun siap
sedia menghadapi segala kemungkinan.
Tapi Tok-kak-coa yang dimaki dengan pedas ini hanya sebentar
saja memandang wajah Beng Beng Hoatsu dengan tajam dan
untuk saat sebentar itu dari kedua matanya yang sipit seakanakan
memancar cahaya api yang membakar kulit! Kemudian ia
tersenyum dan berkata perlahan, seperti kepada diri sendiri.
174 "Haya".. Beng Beng masih belum kenal betul siapa sebetulnya
Tok-kak-coa dan orang macam apakah adanya aku!" Kemudian
ia menghadapi Beng Beng Hoatsu dan berkata tajam.
"Beng Beng! Untuk kata-katamu itu saja sudah cukup alasan
bagiku, untuk mengadu nyawa denganmu, tapi kau adalah
sahabatku, dan kita sedang menghadapi pesta besar! Nanti saja
kalau kita sudah selesai makan, kita bereskan urusan ini lebih
lanjut." Pada saat itu Siauw Liong masuk membawa baki besar dengan
beberapa buah mangkok besar terisi masakan yang masih
mengepulkan uap. Beng Beng Hoatsu teringat akan sopan santun
dan kewajiban seorang tamu, maka iapun mengangguk dan
berkata. "Baiklah, mari kita makan dulu!"
Siauw Liong lalu taruh semua mangkok besar itu di atas meja, lalu
cepat ia loncat ke dalam dan keluarkan sebuah guci arak yang
besar sekali dan penuh dengan arak wangi. Dari perbuatan ini
saja dapat diukur sampai di mana kehebatan tenaga anak kecil
itu! Ketika Siauw Liong dengan tersenyum-senyum manis buka tutup
semua mangkok, mata Siauw Ma terbelalak karena terkejut dan
jijik! Ternyata yang disebut daging naga adalah masakan yang
terdiri dari ular-ular kecil yang masih utuh, bercampur dengan
kelabang yang ke merah-merahan dan seakan-akan masih hidup
mengambang di atas kuah! 175 Yang disebut daging kilin adalah kalajengking dan ulat yang
dagingnya kehijau-hijauan. Masih ada beberapa macam masakan
lain, tapi semuanya terbuat dari pada daging binatang-binatang
berbisa! Siauw Ma rasakan wajahnya mengeluarkan keringat dingin dan
kerongkongannya seakan-akan ada yang cekik hingga ia sukar
bernapas. Diam-diam ia keluarkan potongan perak dari saku
bajunya. Tok-kak-coa tertawa bergelak-gelak melihat laku Siauw Ma. Ia
ternyata telah tahu apakah yang dikeluarkan oleh Siauw Ma dari
sakunya, karena ia berkata di antara suara tawanya.
"Anak tolol, kau masih tidak percaya" boleh, cobalah dengan
potongan perak itu dan lihatlah sendiri bahwa semua yang
dihidangkan adalah barang tulen!"
Karena sudah terlanjur mengeluarkan potongan perak dari
sakunya dan sudah diketahui oleh tuan rumah, terpaksa Siauw
Ma tanpa malu-malu lagi celupkan perak itu ke dalam kuah dan
ketika ia angkat perak itu, benda yang tadinya putih bersih kini
telah menjadi ke hijau-hijauan!
"Suhu, makanan ini beracun!" Siauw Ma bangun dari duduknya
dengan kaget. Beng Beng Hoatsu gunakan tangannya untuk pegang dan tekan
pundak muridnya hingga Siauw Ma duduk kembali.
176 Sementara itu, dengan sumpitnya, Siauw Liong dan Tok-kak-coa
telah ambil potongan-potongan daging binatang berbisa itu ke
dalam mangkok dan Tok-kak-coa berkata,
"Hayo, Beng Beng, makanlah. Kalau dingin kurang sedap!" Dan si
jahat dari timur itu tertawa menyeringai.
Siauw Ma pandang suhunya dengan khawatir, tapi dengan tenang
sekali Beng Beng Hoatsu gunakan sumpitnya jepit seekor ular
kecil yang berwarna hijau dan taruh itu ke dalam mangkoknya.
Kini Siauw Liong sambil tertawa dan mata bersinar gembira
berkata kepada Siauw Ma, "Dan kau, tak beranikah kau makan
suguhan kami" Benar-benarkah kau begitu penakut?" ejeknya.
Siauw Ma menjadi penasaran dan hatinya terasa panas. Ia
pandang suhunya dan orang tua ini gerakkan jari tangannya dan
tahu-tahu sebutir obat pulung putih telah menggelinding ke dalam
mangkok Siauw Ma yang masih kosong.
"Kau makanlah, Siauw Ma. Daging ini enak sekali, bisa bikin tubuh
kuat dan sehat!" Karena percaya kepada suhunya, maka Siauw Ma lalu jepit
seekor kelabang yang bentuknya lebih kecil dari pada ular, dan ia
paksa hatinya usir rasa jijik.
"Hi, hi, hi, hi!" Si jahat dari timur tertawa, lalu berkata sambil gerakgerakkan
sumpitnya. 177 "Mari, mari! Mari makan?"" kemudian ia jepit ular di
mangkoknya dan sekali pentang mulut, ular itu telah lenyap ke
dalam mulut dan dikunyah dengan enaknya!
Mendengar betapa gigi Tok-kak-coa menggayem tulang ular
hingga berbunyi "kretak-kretik" dan nampak orang tua itu makan
sambil meram melek karena nikmatnya, hampir saja Siauw Ma tak
dapat menahan rasa jijiknya.
Tapi ia melihat Siauw Liong juga menggigit ularnya di bagian ekor
hingga putus dan makan ekor itu dengan enaknya, sama enaknya
kalau ia makan ekor dari ikan yang lezat. Ia melirik suhunya, dan
Beng Beng Hoatsu juga tanpa ragu-ragu lagi menggigit putus
ularnya dan makan potongan bagian kepala ular itu.
Tidak ada jalan lain bagi Siauw Ma. Ia meramkan matanya dan
dengan mengeraskan hati ia menggigit sepotong dari pada
kelabang di dalam mangkoknya.
Pada saat ia menggigit kelabang itu, ia membuka matanya karena
terheran sekali. Ternyata kelabang yang digigitnya rasanya enak
sekali! Lebih enak dari pada daging ayam atau ikan laut. Gurih
dan manis, dan sedikitpun tidak mengandung bau amis.
Entah mengapa, kulit kelabang yang tebal dan kasar itu sama
sekali tidak keras, bahkan lunak dan pulen sekali. Maka iapun lalu
terus makan dengan enaknya, karena perutnya memang lapar.
Ia melihat betapa obat yang menggelinding ke dalam
mangkoknya itu mencair merupakan air yang berwarna putih


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

178 seperti tepung. Karena tahu bahwa obat itu adalah pemunah
racun, maka tiap kali ia celupkan sepotong daging yang hendak
dimakannya, jadi ia menggunakan obat itu seperti bumbu atau
seperti pengganti kecap saus tomat!
Sebentar saja Beng Beng Hoatsu sudah menghabiskan seekor
ular kecil, dua kelabang dan tiga kalajengking, sedangkan Siauw
Ma telah menghabiskan dua ekor kelabang dan seekor ular!
Sementara mereka makan minum yang diseling dengan
percakapan gembira dari kedua orang tua itu yang membicarakan
masa lalu dengan penuh kegembiraan seakan-akan dua orang
sahabat lama yang baru berjumpa, tahu-tahu hari telah mulai
gelap. Siauw Liong menunda sumpitnya dan menyalakan dua
batang lilin besar di kamar itu.
Akhirnya mereka selesai juga makan minum. Siauw Liong
membawa mangkok dan sumpit ke belakang, dibantu Siauw Ma.
Kini Siauw Liong tidak begitu menghina jika ia memandang Siauw
Ma, tapi tetap saja ia tidak mau mengajak tamunya bicara.
Setelah mangkok sumpit dicuci bersih dan ditaruh di dalam
sebuah keranjang, kedua anak muda itu kembali ke dalam kamar
dan duduk di belakang suhu masing-masing. Ternyata kedua guru
itu sedang bercakap-cakap dengan suara mulai sengit.
"Beng Beng! Kuulangi kata-kataku tadi. Kau sungguh-sungguh
tolol seakan akan belum tahu aku ini orang macam apa!"
179 "Tak perlu kau putar lidah, Tok-kak-coa. Katakan saja dengan
ringkas mengapa kaulakukan perbuatan biadab itu!"
Tiba-tiba kedua orang tua itu diam tak bergerak sambil pasang
telinga, tapi Siauw Liong dan Siauw Ma tidak mendengar sesuatu.
"Nah, lihatlah saja, Beng Beng. Kalau mereka itu sudah datang,
baru kau tahu barangkali!" kata Tok-kak-coa dengan perlahan,
lalu ia bersila di atas bangku dan meramkan matanya.
Beng Beng Hoatsu berpaling kepada muridnya dan memesan,
"Jangan kau bergerak dari tempatmu!" sebelum muridnya
mengangguk, pendeta gemuk pendek inipun bersila dan
meramkan mata sambil menaruh kedua tangan di atas paha!
Siauw Ma terheran dan memandang ke arah Siauw Liong, tapi
anak ini tak mengacuhkan semua itu, agaknya kelakuan suhunya
itu tidak aneh baginya. Malahan anak itu mengambil sejilid buku
dari laci meja dan mulai membaca dengan asyiknya!
Siauw Ma makin heran, tapi tiba-tiba ia mendengar suara tindakan
kaki yang ringan sekali di atas genteng kelenteng! Ia terkejut
ketika mendengar bahwa yang datang di atas genteng sedikitnya
ada enam orang. Tentu mereka itu bermaksud jahat! Ia memandang suhunya yang
masih bersila dengan anteng, juga Tok-kak-coa duduk diam
seperti Beng Beng Hoatsu, maka hati Siauw Ma menjadi khawatir
juga. 180 Ketika ia mengerling Siauw Liong, ternyata anak muda itu masih
membaca bukunya dengan anteng. Diam-diam Siauw Ma
mencela Siauw Liong yang dianggapnya tidak hati-hati atau masih
rendah kepandaiannya hingga ada begitu banyak orang di atas
genteng masih juga belum tahu!
Tiba-tiba seperti sedang melamun atau main-main, tangan kanan
Siauw Liong meraba-raba mencari potongan-potongan tulang ular
sisa makan tadi, sedangkan matanya tetap membaca buku.
Kemudian tangan kanannya terayun ke atas dan terdengar bunyi
"pletak, pletak" ketika genteng itu tertembus oleh peluru tulang
yang dilempar oleh Siauw Liong!
Siauw Ma kagum sekali, karena walaupun ia dapat meniru
perbuatan itu, namun ia kagum akan kecerdikan anak itu dan
alangkah hebatnya Siauw Liong yang dapat menyerang tanpa
berhenti membaca bukunya!
Tapi sambitan tulang itu agaknya dapat dikelit oleh orang-orang
di atas genteng, karena tidak menimbulkan akibat apa-apa.
Sebaliknya, dari atas genteng lalu terdengar suara makian dan
bentakan. "Siluman ular jahat! Keluarlah kau, jangan gunakan senjata
rahasia menyerang secara gelap. Kau rasakanlah pembalasan
kami!" Kemudian genteng tampak terbuka dan beberapa belas piauw
dan pelor besi menyambar turun dengan keras sekali ke arah Tokkak-
coa dan Beng Beng Hoatsu!
181 Hampir saja Siauw Ma berteriak kaget karena ia melihat kedua
orang tua itu sama sekali tidak bergerak. Senjata-senjata rahasia
itu tepat sekali mengenai sasaran dan terdengar suara "tak-tiktok"
dan kesudahannya hebat sekali dan di luar dugaan Siauw
Ma. Kepala Tok-kak-coa yang licin gundul itu ketika terpukul oleh pelor
dan piauw, semua senjata-senjata kecil dari besi itu membal
kembali seakan-akan menghantam sebuah bola besi yang keras!
Tak sedikitpun kulit kepala yang licin itu terluka.
Dan Beng Beng Hoatsu lebih hebat lagi karena piauw yang
menghantam kepalanya patah-patah sedangkan pelor besi yang
bulat itu menempel di kepalanya dan telah menjadi gepeng!
Siauw Ma merasa kagum bukan main, juga Siauw Liong
tersenyum-senyum dengan wajah bersinar karena setelahnya
melihat kelihaian orang-orang tua itu. Dari kenyataan ini maka tak
dapat disangsikan pula bahwa tenaga lwee-kang dari kedua
orang ini sudah mencapai puncak kesempurnaan dan di atas
dunia ini mungkin hanya ada beberapa orang saja!
Dari atas genteng terdengar seruan seseorang, "Kawan-kawan,
gelombang besar!" Ini adalah kata-kata rahasia yang berarti bahwa lawan sangat kuat
dan mereka hendak lari, tapi tiba-tiba Tok-kak-coa membuka
matanya lalu berkata perlahan.
"Perlahan dulu, pinto perlu mendengar keteranganmu!"
182 Kemudian Tok-kak-coa menggerakkan tangan kanannya ke atas.
Ini adalah ilmu pukulan Hong-ciang-kang atau Ilmu Telapak
Tangan Angin. Pukulan ini dilakukan dengan tenaga lwee-kang
yang hebat hingga dari telapak tangan orang tua itu bertiup angin
ke atas, memukul seorang dari pada penyerbu-penyerbu itu.
Maka terdengarlah suara keluhan seseorang.
"Siauw Liong, bawa orang itu ke sini," kata Tok-kak-coa kepada
muridnya. Pendengarannya yang tajam sekali dapat mendengar bahwa
penjahat-penjahat lain telah lari ketakutan sambil meninggalkan
pemimpin mereka yang terpukul itu. Sebentar saja Siauw Liong
telah masuk ke dalam ruangan itu kembali sambil menyeret
seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Orang itu
ternyata pingsan! Beng Beng Hoatsu juga telah membuka matanya dan ia
memandang laki-laki itu. Setelah melempar orang tinggi besar itu
di hadapan suhunya, Siauw Liong duduk kembali di tempatnya
tadi. Si jahat dari timur mengulur tangannya dan sekali tepuk saja
orang itu siuman kembali. Ia memandang dengan mata liar ke
sekelilingnya, ketika ia memandang wajah Tok-kak-coa ia menjadi
pucat dan berdiri diam seperti patung. Ia mengerti bahwa tak
mungkin ia melarikan diri, juga tak mungkin melawan, maka ia
diam saja menanti nasibnya.
183 "Siapakah kau dan mengapa kau berkali-kali datang membawa
kawan-kawanmu untuk membunuhku?" Tok-kak-coa bertanya
dengan suara parau. "Berkali-kali kami sudah memberi tahu padamu, tapi kau masih
bertanya lagi. Aku telah kau tangkap, mau bunuh boleh saja. Buat
apa banyak cakap?" "Sekali ini saja kauberitahu padaku. Aku telah lupa lagi."
Si jahat dari timur menjawab dengan bujukannya. Laki-laki itu
menghela napas, kemudian berkata juga.
"Aku adalah Lok Kung. Kami datang untuk membunuhmu, untuk
menebus sakit hati sumoi kami yang kaubunuh dan yang
kelentengnya kau rampas!"
Tok-kak-coa tertawa bergelak-gelak.
"Oh, ya kini aku ingat lagi. Kenapa kau menuntut balas" Sumoimu
itu sudah selayaknya dibunuh dan semua nikouw di sini sudah
selayaknya pula dibasmi. "Aku hanya membunuh pemimpinnya dan usir semua nikouw,
boleh dibilang perbuatanku itu masih murah hati sekali! Tidak
tahukah kau bahwa sumoimu itu telah melanggar pantangan
keras dari aturan orang-orang suci"
"Ia dan para muridnya telah melakukan perbuatan cabul di dalam
kelenteng ini, telah menculik pemuda-pemuda dan dikeram di sini.
Perbuatan ini sungguh sangat menyuramkan nama para pendeta
184 umumnya dan sangat mengotori kelenteng yang suci. Tak
pantaskah mereka dibunuh?"
"Apa hubungannya semua itu dengan kau" Tak usah kau turut
campur urusan pribadi orang lain. Kau memang ular berbisa yang
kejam dan ganas!" "Hi, hi, hi, hi! Tak tahukah aku bahwa kau juga menjadi kekasih
para nikouw di sini" Kaupun harus mati. Tapi kau tak boleh mati
di sini. Hayo kau minggat!"
Tok-kak-coa menuding ke arah dada laki-laki itu dan entah
mengapa, laki-laki tinggi besar itu seakan-akan terdorong oleh
pukulan keras dan ia terjengkang roboh sambil muntahkan darah
segar! Kemudian tanpa pamit lagi ia loncat keluar dan lari dengan
sempoyongan, diikuti suara ketawa ha, ha, hi, hi dari Tok-kak-coa.
Beng Beng Hoatsu putar-putar kedua matanya dan memandang
kepada si jahat dari timur, kemudian iapun tertawa,
"Aah, benar-benar aku tolol, si jahat dari timur masih tetap seperti
dulu. Pinto telah salah sangka. Nah, kalau begitu perkenankan
kami berdua guru dan murid tinggalkan tempat ini!"
Tapi tiba-tiba, seperti tadi, mereka berdua diam dan kali ini pada
wajah kedua jago tua itu nampak ketegangan.
"Hm, yang datang kali ini bukanlah orang sembarangan," Beng
Beng Hoatsu berkata perlahan dan mereka berdua seperti tadi
pula bersila di atas bangku sambil meramkan mata.
185 Siauw Liong pandang wajah Siauw Ma dengan heran karena kali
ini mereka berdua tidak mendengar sesuatu. Juga ketika tiba-tiba
di atas genteng terdengar suara orang padahal mereka belum
mendengar suara kakinya, maka berdebarlah hati mereka karena
maklum betapa tinggi ilmu gin-kang tamu yang sekarang ini.
Orang di atas genteng itu berkata halus.
"Ah, tidak tahu bahwa Tok-kak-coa toyu yang tinggal di sini. Toyu,
maafkan pinceng telah berani mengganggu tempatmu.
Perkenankanlah pinceng bertemu dengan Beng Beng Hoatsu!"
Kedua jago tua yang sedang duduk bersila itu membuka mata
berbareng dan saling pandang dengan heran. Kemudian
terdengar suara ketawa dari Tok-kak-coa dan ia berkata perlahan
kepada Beng Beng Hoatsu, "Nah, nah! Sekarang kau yang dicari
orang! Entah kesalahan apa yang telah kau perbuat, anak tua
yang nakal!" Kemudian ia berdongak dan berkata kepada orang yang berkata
dari atas genteng tadi. "Hei, tamu yang di atas genteng, turunlah
saja jangan banyak pakai peradatan. Beng Beng Hoatsu ada di
sini!" Siauw Ma dan Siauw Liong dengan hati berdebar mencurahkan
semua perhatian untuk melihat tamu yang lihai itu. Tiba-tiba dari
luar berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu seorang kakek tua
telah berdiri dalam kamar itu! Kakek ini usianya telah tujuhpuluh
lebih dan di bagian dadanya terdapat lukisan setangkai bunga
teratai. 186 "Oh, kiranya Kim Bok Sianjin yang sudi singgah di pondokku yang
bobrok ini," si jahat dari timur berkata. "Silahkan duduk."
Kim Bok Sianjin, tokoh ketiga dari Kwan-im-kauw itu mengangkat
kedua lengan dan menjura juga kepada Beng Beng Hoatsu.
Sikapnya sangat lembut dan menghormat dan penuh kesopanan,
berbeda dengan sikap Beng Beng Hoatsu dan Tok-kak-coa yang
berandalan. "Maaf kalau pinto mengganggu ji-wi. Pinto terpaksa malammalam
datang karena urusan yang hendak pinto bicarakan
dengan Beng Beng Hoatsu adalah penting sekali."
"Kim Bok Sianjin, kau bicaralah," kata Beng Beng Hoatsu tanpa
banyak komentar lagi. Kim Bok Sianjin melirik ke arah Tok-kak-coa dan Beng Beng
Hoatsu yang sudah dapat menduga bahwa kedatangan imam
Kwan-im-kauw ini tentu ada hubungan dengan soal hilangnya
patung Kwan-im Pouwsat, lalu berkata,
"Kim Bok toyu, bicaralah di sini saja. Siluman ular ini adalah
sahabat sendiri." "Hi, hi, hi, hi! Kim Bok Sianjin terlalu sungkan, seperti gadis
kampung membicarakan lamaran orang saja, ha, ha, ha!" kata
Tok-kak-coa dengan geli. Kim Bok Sianjin yang adatnya sopan merasa tidak senang
mendengar olok-olokan kasar ini, tapi karena ia datang di situ
sebagai tamu, maka ia menahan kemarahan hatinya.
187 "Baiklah kalau kau menghendaki demikian, Beng Beng Hoatsu.
Kedatangan pinto malam-malam dan jauh-jauh mencarimu tak
lain ialah hendak mengharap kebijaksanaanmu untuk menjauhi
godaanmu kepada kami. Harap malam ini juga serahkan patung
kami kepadaku agar kubawa kembali ke Kwan-im-bio!"
Tiba-tiba terdengar Tok-kak-coa tertawa keras sekali. Kali ia
benar-benar tertawa karena geli hati hingga suara ketawanya
bukan ha, ha, hi, hi lagi, tapi ia tertawa ngakak seperti suara
burung gagak atau suara ular besar hingga terdengar, "kak, kak,
kak, kak"..!" Ia ketawa keras terpingkal-pingkal sampai
memegangi perutnya yang kempis.
"Ha, ha, ha"..! Beng Beng?". kau".. mencuri patung?"!! Hi,
hi, hi?" alangkah lucunya! Eh, pendeta gendut, kau sungguh tak
tahu malu! Datang-datang menuduh aku berbuat jahat, tidak
tahunya kau sendiri mencuri patung! Ha, ha, ha!"
Beng Beng Hoatsu hanya tersenyum menghadapi godaan ini, dan
ia berkata kepada Kim Bok Sianjin.
"Dengan alasan apakah kau menuduh aku mencuri patungmu"
Siapa yang menyaksikan aku lakukan perbuatan itu?"
Kim Bok Sianjin memandang tak senang. "Apakah Beng Beng
toyu tidak mau mengaku?"
"Katakanlah dulu siapa yang memberi tahu padamu."
"Yang memberi tahu adalah Hwat Kong Tosu. Dia yang bilang
kepadaku bahwa kau yang ambil patung itu."
188 Kini Beng Beng Hoatsu yang putar-putar kedua matanya dan


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdongak sambil tertawa keras.
"Dan kau percaya padanya?"
Kim Bok Sianjin memandang dengan mata marah. "Mengapa
tidak" Ia tidak pernah membohong!"
Lagi-lagi Beng Beng Hoatsu tertawa geli. "Aku juga tak pernah
membohong! Kau telah ditipunya. Akulah yang tahu siapa
orangnya yang mencuri patungmu!"
Maka heranlah Kim Bok Sianjin. "Siapa" Siapa, katakanlah."
"Yang mencuri patungmu bukan lain ialah Huo Mo-li!"
"Kurang ajar!" Tiba-tiba Kim Bok Sianjin marah sekali.
Ia banting kaki kirinya dan Siauw Ma serta Siauw Liong terpental
dari tempat duduknya ke atas beberapa dim tingginya! Seantero
kamar seakan-akan tergetar dan ada gempa bumi. Demikian
hebatnya tenaga Kim Bok Sianjin, tokoh ketiga dari Kwan-im-pai
itu. "Apa artinya ini" Kau bilang Huo Mo-li yang curi, Huo Mo-li bilang
Hwat Kong Tosu yang curi sedangkan Hwat Kong Tosu berkata
bahwa kau yang curi patung kami! Apa artinya ini" Kalian
memang pembohong semua!"
Wajah kakek tua dari Kwan-im-pai, ini demikian menyesal,
kecewa, dan mendongkol hingga agaknya ia mau menangis. Hal
189 ini mendatangkan kegembiraan luar biasa kepada Tok-kak-coa
dan Beng Beng Hoatsu yang tertawa semakin keras! Bahkan
Siauw Ma dan Siauw Liong saling pandang dan ikut tertawa geli,
hingga Kim Bok Sianjin, makin marah saja.
"Diam! Mengapa tertawa seperti orang gila?"
Ia membentak dengan wajah marah. Di kelentengnya ia disujuti
dan ditaati semua murid yang ratusan jumlahnya, tapi di sini,
berhadapan dengan dua orang tua dan dua orang kanak-kanak
saja, ia dijadikan buah tertawaan!
Dengan masih tertawa, Tok-kak-coa berkata padanya, "Kim Bok
Sianjin! Ini malingnya! Kenapa tidak lekas kaugetok kepalanya"
Itu dia, patungnya disembunyikan di bawah perutnya yang
gendut!" Terang ini adalah olok-olok yang kasar, maka Kim Bok Sianjin
membentak padanya, "Tok-kak-coa! Kau ini anak kecil atau orang
gila?" Tok-kak-coa makin keras ketawanya.
"Kim Bok Sianjin, pada hakekatnya kita semua ini hanya anakanak
kecil yang sudah terlalu lama bermain-main dengan nakal di
dunia, dan tentang gila manusia manakah yang tidak gila" Hanya
gilamu dan gilaku lain, aku gila tertawa dan kau gila menangis dan
marah-marah. Ha, ha, ha, ha hi, hi, hi, hi!"
Beng Beng Hoatsu berkata kepada Kim Bok Sianjin.
190 "Kim Bok toyu. Kau lebih baik pulanglah saja dan carilah patung
itu di tempat lain. Aku tidak mencuri patungmu, mungkin lain
waktu aku akan mencurinya."
Mendengar kata-kata ini, makin besar rasa curiga Kim Bok
Sianjin. Ia tidak sudi pulang dengan tangan kosong. "Aku tidak
percaya!" katanya berkeras kepala.
Tiba-tiba Tok-kak-coa berkata dengan wajah sungguh-sungguh
kepada Beng Beng Hoatsu, "Beng Beng, kawanku! Buat apakah
patung emas macam itu" Kembalikanlah saja, kalau kau butuh
emas, sahabatmu ini jelek-jelek masih sanggup memberimu!
Kasihanilah Kim Bok Sianjin dan saudara-saudaranya, lebih baik
kau kembalikan saja."
Inilah keistimewaan Tok-kak-coa. Ia pandai sekali main sandiwara
dan pandai mengubah wajahnya dari geli hati menjadi sungguhsungguh
hingga siapa saja yang melihat wajahnya dan
mendengar kata-katanya tentu percaya penuh.
Beng Beng Hoatsu tidak heran mendengar kata-kata ini karena ia
tahu sampai di mana kecurangan dan kelicinan si jahat dari timur
itu, maka ia hanya berkata.
"Kalau kalian tidak percaya padaku terserahlah!"
"Kalau dengan jalan baik kau tidak mau mengembalikan, terpaksa
pinceng melupakan kebodohan sendiri dan pakai jalan
kekerasan!" kata Kim Bok Sianjin.
191 Siauw Ma tak dapat menahan sabar lagi karena mendengar
suhunya disangka mencuri patung. Tanpa kesadaran lagi ia
berdiri dan membentak. "Orang dari manakah berani mati menghina suhuku" Suhu tak
pernah mencuri patung!"
Kim Bok Sianjin berpaling dan memandang wajah Siauw Ma
dengan marah, tapi sinar matanya melembut kembali.
"Bagus, kau setia kepada suhumu."
Beng Beng Hoatsu tersenyum girang melihat ketabahan Siauw
Ma, tapi ia membentak, "Siauw Ma, kau duduk saja di tempatmu!"
Dengan hati mendongkol Siauw Ma duduk kembali, mulutnya
cemberut. "Kim Bok Sianjin! Kalau kau hendak memberi pelajaran kepadaku,
terpaksa aku melayanimu," kata Beng Beng Hoatsu dengan mata
terputar. "Bagus sekali. Tontonan hebat! Hayo Siauw Liong, nyalakan lima
lilin besar di ruang silat! Hayo Beng Beng dan kau Kim Bok ikut
aku ke belakang, di sana ada ruang adu silat yang lebar sekali.
Mari, mari!" Tanpa banyak cakap lagi mereka menuju ke belakang di mana
Siauw Liong telah mendahului mereka dan telah memasang lima
buah lilin besar hingga tempat itu menjadi terang sekali. Siauw Ma
diam-diam juga mengikuti dari belakang.
192 Kim Bok Sianjin kencangkan ikat pinggangnya. Ia tahu bahwa
Beng Beng Hoatsu lihai, tapi karena yakin bahwa pendeta itu yang
ambil patungnya, maka ia hendak kerahkan seluruh
kepandaiannya, kemudian ia pasang kuda-kuda dan menanti.
Beng Beng Hoatsu sambil tersenyum simpul memasuki
gelanggang dan berkata. "Kim Bok Sianjin. Silahkan!"
Kim Bok Sianjin buka serangannya dengan pukulan Lima Teratai
Hanyut, ilmu pukulan dari Kwan-im-pai yang hebat karena di
dalam serangan ini terdapat tiga kali pukulan tangan dan dua kali
tendangan kaki. Tapi Beng Beng Hoatsu dengan tenang sekali keluarkan
kepandaiannya dan bersilat dengan Sin-liong-kun-hwat atau Ilmu
Silat Naga Sakti. Tubuhnya lincah dan biarpun perawakannya
gemuk pendek, setelah bersilat dengan Sin-liong-kun-hwat, ia
melesat ke sana ke mari dan bergerak cepat bagaikan seekor
naga mengamuk. Adapun ilmu silat Kwan-im-pai sebetulnya
berdasarkan pat-kwa-kun yang langkahnya menurutkan garisgaris
pat-kwa hingga pertahanannya kuat sekali.
Tapi kali ini ia menghadapi Beng Beng Hoatsu yang mainkan ilmu
silat ciptaannya sendiri sedangkan di waktu mencipta ilmu silat itu
ia telah perhatikan dan menjaga segala kemungkinan dari
serangan berbagai macam cabang persilatan, hingga Ilmu Silat
Naga Sakti boleh dibilang telah direncanakan untuk menghadapi
lawan yang menggunakan ilmu silat apapun juga.
193 Setelah saling mencurahkan tenaga dan kepandaian dan saling
gempur selama seratus jurus lebih, dengan perlahan tapi tentu
Kim Bok Sianjin mulai terdesak mundur. Dalam marahnya ketua
ketiga dari Kwan-im-kauw itu cabut po-kiamnya.
Tapi inilah kesalahannya. Kalau ia tidak cabut pedang dan ajak
Beng Beng Hoatsu bertempur dengan tangan kosong, mungkin ia
masih dapat bertahan puluhan jurus lagi.
Tapi sekarang ia telah cabut pedang hingga tiba-tiba tampak sinar
berkelipan karena tahu-tahu Beng Beng Hoatsu telah pegang
sebatang pedang pula dan sambil tertawa keras ia putar
pedangnya dengan jurus-jurus Sin-liong-kiam-sut yang hebat.
Maka terkejutlah Kim Bok Sianjin, karena ternyata bahwa ilmu
pedang pertapa gendut itu benar-benar lihai dan gerakangerakannya
luar biasa. Terpaksa ia mundur sambil menangkis
dengan sibuk. Tok-kak-coa tepuk-tepuk tangan dan bersorak-sorak, "Beng
Beng, hayo desak terus! Ha, ha, ha, imam Kwan-im-kauw itu telah
mandi keringat dingin. Kematian telah berada di depan mata, hi,
hi, hi! Biar ia tebus patungnya dengan jiwa."
Si jahat dari timur itu terus ngoceh dan berteriak-teriak, tapi Beng
Beng sekali-kali tidak mau mencelakai Kim Bok Sianjin. Dengan
pedangnya ia mendesak dan tiba-tiba ia membuat gerakan
berputar hingga po-kiam lawan seakan-akan kena terlilit oleh
pedangnya lalu sekali sentak pedang lawan itu terbetot dan
terlepas dari pegangan! 194 "Bunuh dia, bunuh dia!" Tok-kak-coa membujuk, tapi Beng Beng
Hoatsu bahkan masukkan kembali pedangnya dalam sarung
pedang sambil menjura kepada Kim Bok Sianjin.
"Kau telah mengalah, terima kasih," katanya.
Tiba-tiba Siauw Ma berteriak, "Suhu, awas!"
Mendengar ini secepat kilat Beng Beng Hoatsu loncat ke samping
dan terdengar suara angin dari belakang oleh Tok-kak-coa
dengan tongkat ularnya! "Eh, gilakah kau?" Beng Beng Hoatsu menegur, tapi Tok-kak-coa
hanya tertawa saja, lalu dengan terbungkuk-bungkuk ia pegang
tangan Siauw Liong. "Mari kita pergi, muridku!" Ia bawa muridnya loncat dan sekali
bergerak saja tubuhnya telah berada di luar kelenteng.
"Beng Beng, kau makin tua makin tolol saja! Ha, ha, ha! Kim Bok,
kau pun goblok dan buta. Patung Kwan-im Pouwsat akulah yang
ambil. Kalau kau ada kepandaian, carilah sendiri!"
Bukan main marahnya Kim Bok Sianjin mendengar ini. Ia lupakan
kelemahan sendiri dan loncat mengejar. Siauw Ma hanya lihat
tubuh imam yang tua itu berkelebat keluar tapi saat itu juga tubuh
itu terlempar kembali dan jatuh ke dalam kamar tak dapat
bergerak lagi. "Tok-kak-coa, kau bangsat tua!"
195 Beng Beng Hoatsu memaki lalu loncat ke luar. Dengan ilmu ginkangnya
yang tinggi ia berhasil mengejar Ular Tanduk Berbisa itu
dan menyerang dengan kepalan maut. Tok-kak-coa berkelit dan
tak berani melayani karena dalam keadaan marah, Beng Beng
Hoatsu sungguh berbahaya.
Setiap gerakannya merupakan serangan maut yang sukar
dilawan. Maka sambil tertawa nyaring si jahat dari timur itu loncat
ke atas genteng dan menghilang dalam gelap.
Beng Beng Hoatsu hendak mengejar, tetapi tiba-tiba ia merasa
terkejut sekali karena pundak kirinya terasa linu dan tidak
sewajarnya. Ia gunakan tangan kanan meraba dan alangkah
terkejutnya ketika terasa betapa kulit pundaknya itu panas sekali.
In cepat lari kembali ke dalam kelenteng untuk periksa pundaknya
di bawah sinar lilin. Ternyata pundak itu tidak kelihatan luka, hanya di situ terdapat
tanda merah sebesar kacang hijau dan dari tanda merah itulah
keluar hawa panas. Ia terkejut karena ia telah terkena tangan
berbisa dari si jahat itu, biarpun ia tidak tahu bilakah ia terkena
pukulan ini. Siauw Ma menghampiri dengan khawatir. "Kau kenapa, suhu?"
Suhunya menggeleng-gelengkan kepala dan balas bertanya,
"Bagaimana dengan Kim Bok Sianjin?"
"Ia masih pingsan, suhu. Dadanya bengkak dan kulit mukanya
berubah hitam. Tapi napasnya masih ada."
196 Beng Beng Hoatsu mengeluarkan sebungkus obat bubuk warna
merah dari saku bajunya dan menuang isinya ke dalam mulut.
Kemudian ia memeriksa keadaan Kim Bok Sianjin. Melihat betapa
imam Kwan-im-kauw itu rebah dengan mata meram dan kulit
muka berwarna hitam, ia menggeleng-gelengkan kepala dan
menghela napas. "Aah, sungguh Tok-kak-coa jahat sekali. Jahat dan lihai!"
"Suhu, kita harus mencari dia. Kita harus merebut kembali patung
yang dicurinya dan membalas dia untuk kecurangannya telah
menyerang suhu dengan menggelap tadi!"
Beng Beng Hoatsu hanya tersenyum dan ia menggunakan obat
yang sama untuk dituang ke dalam mulut Kim Bok Sianjin. Tapi ia
tahu bahwa obatnya itu hanya untuk mencegah menjalarnya
racun ke jantung saja, dan ia maklum bahwa jiwa Kim Bok Sianjin,
juga jiwanya sendiri, berada dalam keadaan bahaya.
Kemudian ia perintah Siauw Ma menjaga tubuh imam Kwan-imkauw
itu, dan ia sendiri duduk bersila mengumpulkan semangat
dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk menolak bisa yang
telah menyerang tubuhnya. Demikianlah, mereka berdiam diri
sampai malam terganti fajar dan ayam terdengar berkokok riang.
Biarpun berkat dari tenaga dalamnya, racun yang memasuki
pundaknya itu tidak sampai menjalar makin hebat, namun
keadaan Beng Beng masih berbahaya. Lebih-lebih keadaan Kim
Bok Sianjin yang kini napasnya tinggal empas-empis menanti
maut sewaktu-waktu datang mencabut nyawanya. Kalau tidak
197 dicekok obat Beng Beng Hoatsu, mungkin imam tua itu telah
tewas malam tadi. Beng Beng Hoatsu, yang biasanya tenang dan tabah, melihat
keadaan Kim Bok Sianjin, wajahnya berubah muram dan berkalikali
ia menghela napas. "Suhu, biarlah teecu pergi ke kota untuk mencari tabib yang
pandai agar ia memberi obat kepada Kim Bok Sianjin dan
terutama sekali kepada suhu sendiri," kata Siauw Ma.
"Percuma, Siauw Ma. Tidak ada tabib yang sanggup mengusir
racun yang disebar oleh Ular Tanduk Berbisa. Ia terlalu lihai!"
"Biarlah suhu, biar teecu coba!" Siauw Ma membujuk.
Melihat kekerasan hati muridnya, Beng Beng Hoatsu terpaksa
mengangguk dan berkata, "Aaah, sesuka hatimulah?".!"
Tapi ia lalu tunduk dengan wajah muram. Ia sebetulnya menyedihi
keadaan Kim Bok Sianjin karena ia yakin bahwa imam tua itu tentu
takkan tertolong. Untuk dirinya sendiri ia tidak khawatir, karena
racun yang dilepas oleh Tok-kak-coa hanya sedikit mengenai
pundaknya dan dengan tenaga lwee-kang yang dimilikinya, ia
tidak usah khawatir dirinya takkan tertolong.
Siauw Ma lari keluar dari kelenteng Gak-im-tong menuju ke
tengah kota. Kota Swi-ciang sangat besar dan setelah bertanya
kepada orang di situ, ia dapat juga menemukan rumah seorang
tabib yang kata orang terpandai di kota itu.
198 Tabib itu seorang she Cia dan tubuhnya kurus kering. Ketika
Siauw Ma mengutarakan maksudnya dengan kata-kata sabar,
tabib itu hanya mendengarkan dengan tenang sambil sedot
huncwenya dengan mata meram melek. Setelah Siauw Ma
mengakhiri permohonannya, ia hanya keluarkan sekalimat katakata.
"Kau bawa uang berapa?"


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Alangkah marahnya Siauw Ma. Ia rogoh saku, tapi ternyata ia
tidak membawa sepotongpun uang karena semua ditaruh dalam
buntalan pakaian yang ditinggal di dalam kelenteng.
"Lopek, kau ikutlah saja, nanti kubayar semua," katanya tak sabar.
Tabib she Cia itu geleng-geleng kepala.
"Tidak bisa, harus bayar dulu. Orang-orang seperti kamu banyak
sekali yang menipuku. Sudah diperiksa, sudah diberi obat sampai
sembuh, tidak mau bayar sama sekali, alasan tidak punya uang.
Aku tidak mau ditipu lagi."
"Tidak, tidak. Aku tidak menipu. Nanti pasti kubayar!"
Tapi tabib itu hanya goyang-goyang kepala sambil sedot pipanya
dan semburkan asap putih dari mulutnya hingga asap yang
berbau tembakau itu membuat Siauw Ma hampir terbatuk-batuk.
"Tapi?". ini mengenai urusan jiwa orang! Mungkin kau masih
keburu menolong jiwanya dan jiwa suhu!" Siauw Ma membujuk,
suaranya keras karena ia sudah habis sabar.
199 Tabib she Cia itu hanya berkata kukuh, "Uang dulu!" Dan ia
tinggalkan Siauw Ma masuk ke dalam.
Tapi kemarahan Siauw Ma sudah memuncak. Dengan sekali
loncatan ia sudah mendahului tabib itu menghadang di depan
pintu tengah dan sebelum tabib itu sempat menegur, Siauw Ma
telah mengulur jari tangannya menotok urat syarafnya sehingga
ia tidak dapat lagi menguasai dirinya.
Seketika itu juga tabib itu merasa hilang daya kemauannya
seakan-akan semua perintah Siauw Ma harus diturutnya.
Siauw Ma sambil berkata, "Kau mencari penyakit sendiri!" lalu
mengajak tabib itu mengikutinya, dan tabib itu hanya menurut
seperti sapi yang dituntun gembala (seperti hypnotisme).
Tentu saja semua orang yang berada di dalam toko obat itu kaget
dan marah. Mereka berteriak-teriak dan mencoba mencegah
Siauw Ma keluar. Tapi dengan beberapa gerakan saja Siauw Ma telah membikin
mereka roboh terguling-guling dan sebentar saja anak muda itu
telah lari cepat, dikejar oleh orang-orang yang berteriak-teriak,
"Rampok penculik! Tangkap?". kejar!"
Tapi mana mereka mampu mengejar Siauw Ma yang
menggunakan ilmu lari cepat. Beban tubuh itu tak berarti baginya
dan ia percepat larinya. <> 200 Tiba-tiba, di sebuah jalan tikungan, ia mendengar suara
kelenengan nyaring dan tahu-tahu di depannya telah berdiri
seorang anak muda baju biru cakap memikul dua keranjang obat.
"Sobat, tahan dulu. Kau mau bawa ke mana orang ini?" anak
muda itu bertanya. "Bukan urusanmu. Minggir!" kata Siauw Ma dan ia menggunakan
tangannya nendorong anak muda itu ke sisi. Tapi anak muda itu
yang bukan lain ialah Tiong Li, murid Kiang Cu Liong Si Tabib
Dewa, menggunakan sebelah tangan menahan dorongan Siauw
Ma. Kesudahan benturan tangan ini membuat kedua-duanya heran
bukan main. Tadinya mereka sangka bahwa gerakan mereka itu
tentu akan membuat lawannya terdorong mundur, tapi ketika
kedua tangan beradu, baik Tiong Li maupun Siauw Ma terhuyunghuyung
mundur! Siauw Ma menjadi marah sekali. Ia perintahkan tabib she Cia itu
duduk di rumput dan dengan mata menyala dan ke dua lengan
baju tergulung ke atas ia menghampiri Tiong Li.
"Apakah kau sengaja hendak mencari perkara dengan aku?"
tegurnya sambil memandang wajah yang tampan itu dengan
marah dan heran. "Tiong Li yang sifatnya lebih sabar dan lemah lembut balas
memandang. Ia mengagumi wajah Siauw Ma yang gagah dan
alisnya yang berbentuk golok serta tubuhnya yang tegap dengan
201 dada yang bidang itu menarik hati Tiong Li benar. Iapun
menurunkan pikulannya di mana terpasang kelenengan kecil dan
ia berkata dengan halus. "Sahabat yang baik, siapa mencari perkara dengan kau" Aku
baik-baik bertanya ke mana kau hendak bawa orang ini karena ia
adalah segolongan dengan aku. Kau telah menotok ia punya urat
syaraf dan kau ajak ia sambil berlari-lari, apakah maksudmu?"
"Kau?" kau segolongan dia" Apa maksudmu?" Siauw Ma balas
bertanya. "Dia ini adalah tukang obat," kata Tiong Li, "dan akupun tukang
obat pula." Mendengar Tiong Li menyebut-nyebut "tukang obat" maka Siauw
Ma teringat lagi akan suhunya, maka cepat ia ajak pergi tabib she
Cia itu dan sambil berkata,
"Ah, aku tidak ada waktu untuk mengobrol denganmu," ia lari
keras. Ia sengaja mengerahkan tenaga dan menggunakan ilmu lari cepat
yang paling tinggi agar dapat segera tinggalkan anak muda yang
mengganggunya itu. Ia tidak mau berkelahi dengan anak itu,
karena entah mengapa wajah yang lembut lagi jujur itu membuat
ia tak sampai hati untuk memukulnya.
Tapi alangkah terkejutnya ketika. ia melihat betapa Tiong Li juga
lari menyusul dan kini mereka lari berendeng. Ternyata ilmu lari
cepat dari anak muda itu tidak kalah dengannya.
202 "He, kau hendak ke mana?" tanyanya tanpa jawab yang ditanya.
"Eh, engkau mau apakah sebenarnya?" Siauw Ma berkata
dengan curiga. "Akulah yang ingin tahu kau mau apa sebenarnya," jawab Tiong
Li. "Aku hanya mau tahu kau hendak berbuat apa dengan tabib
ini." Siauw Ma tidak menjawab karena mereka telah tiba di depan
kelenteng. Ia langsung loncat masuk ke dalam sambil
memondong tabib Cia, disusul oleh Tiong Li di belakangnya.
Siauw Ma bawa tabib itu di depan suhunya yang masih
bersamadhi dan sambil berlutut ia berkata, "Suhu, inilah tabib
yang pandai, suhu." Beng Beng Hoatsu buka matanya dan setelah mengerling sekali
ke arah tubuh kurus kering yang masih belum terlepas dari
pengaruh totokan itu, ia tersenyum dan berkata,
"Siauw Ma, mana ia bisa mengobati kami" Sudahlah, buka
totokannya dan suruh ia pulang. Jangan bikin susah orang saja."
Siauw Ma menuruti perintah suhunya dengan kecewa. Ia
melepaskan totokan pada tubuh tabib Cia yang segera dapat
menguasai dirinya kembali.
Tapi pada saat itu, Tiong Li yang semenjak tadi berlutut di dekat
tubuh Kim Bok Sianjin, tiba-tiba berteriak kaget,
203 "Celaka! Racun ular jahat. Mana suhu" Suhu"..! Suhu"..!"
Sambil berteriak-teriak menyebut suhunya, ia lari ke luar, diikuti
pandang mata Siauw Ma dan Beng Beng Hoatsu yang terheran.
Tabib Cia lalu disuruh pulang dan Beng Beng Hoatsu memberinya
sepotong perak. Siauw Ma lalu menceritakan tentang Tiong Li
yang dijumpainya di jalan. Beng Beng Hoatsu menduga-duga.
Tak lama kemudian dari luar terdengarlah suara kelenengan dan
dari luar masuklah seorang tua yang tubuhnya kecil tapi
kepalanya besar sekali memikul keranjang obat, diikuti oleh anak
muda tadi. Ia ini ialah Si Tabib Dewa Kiang Cu Liong dan
muridnya, Tiong Li! Setelah melihat tabib dewa yang bertubuh aneh itu, maka
teranglah wajah Beng Beng Hoatsu yang tadinya muram.
"Ah, Kau datang. Baik sekali! Orang she Kiang lekas kau tolong
jiwa Kim Bok Sianjin."
Tanpa banyak peradatan lagi Beng Beng bangun berdiri dan
menunjuk ke arah tubuh Kim Bok Sianjin yang kini telah kaku dan
warna hitam telah memenuhi kepala dan lehernya.
Kiang Cu Liong berpaling dan memandang tubuh itu sebentar,
kemudian ia memandang kepada Beng Beng Hoatsu dengan
tajam, lalu berkata, "Kau sendiri pun terserang racun, Beng Beng Hoatsu!"
"Ah, biarlah. Tidak berbahaya, kau tolonglah dulu dia itu."
204 Tapi Tabib Dewa itu berlaku ayal-ayalan, seakan-akan di situ tidak
ada orang yang sedang bergulat dengan maut.
"Hm, hm, kauw-cu ketiga dari Kwan-im-kauw berada di sini dalam
keadaan terluka hebat, dan kau sendiripun dapat terluka. Ah, ah,
kalau bukan siluman ular jahat yang turun tangan, siapa lagi yang
dapat melakukan semua ini" Aku akan heran sekali kalau ini tidak
ada hubungan dengan hilangnya patung Dewi Kwan-im!"
"Kau tahu apa tentang patung yang hilang itu?"
"Heh, heh, heh! Bukan kau saja yang tahu, Beng Beng. Aku sudah
bertemu dengan Huo Mo-li, dan aku tahu pula tentang
perlombaanmu bertiga dengan Hwat Kong Tosu!
"Sekarang jadikanlah perlombaan itu menjadi perlombaan empat
orang. Masukkan aku di dalamnya karena akupun mencari patung
itu. Dan apa salahnya kalau sepuluh tahun kemudian akupun ikut
pula menguji kelihaian ilmu masing-masing" Heh, heh, heh!"
"Sudahlah, Kiang Cu Liong, jangan banyak ngobrol. Nanti
gampang kita bercakap-cakap lebih lanjut. Sekarang kau tolong
Kim Bok Sianjin. Keadaannya berbahaya."
"Sabar, sabar. Aku pasti tolong dia, bahkan menolong kau juga,
tapi berjanjilah dulu bahwa kau suka menerima aku mengikuti
perlombahan itu." Beng Beng Hoatsu maklum akan kelihaian tabib itu dan kini ia
tahu bahwa bagaimanapun juga tabib itu perasaannya sama saja
205 dengan dia dan yang lain-lain, yakni tidak mau kalah. Maka ia
tertawa dan berkata, "Apa boleh buat. Kau terlalu mendesak. Biarlah kau kuterima.
Nah, lekas sembuhkan dia."
Dengan gerakan perlahan sekali seakan-akan yang dihadapi
hanya seorang yang menderita masuk angin biasa saja, Kiang Cu
Liong memeriksa tubuh dan terutama dada Kim Bok Sianjin.
"Hm, terkena pukulan Tok-jiauw-kang atau cengkeraman berbisa
dari si jahat dari timur."
Sambil berkata begini Si Tabib Dewa itu mengeluarkan sebuah
golok kecil dari kantung goloknya. Golok kecil ini adalah sebuah
hui-to atau golok terbang yang semuanya berjumlah sembilan di
kantung itu. Salah satu kepandaian Tabih Dewa ialah menyambit dengan huito
ini yang lihainya bukan main, apa lagi kalau ke sembilannya
disambitkan berbareng! Dengan golok kecil yang mengkilap putih karena terbuat dari pada
perak tulen itu, Kiang Cu Liong membuka dada Kim Bok Sianjin.
Kemudian ia mengeluarkan sebuah batu karang yang kering
berwarna putih seperti kapas. Inilah mutiara salju yang tempo hari
ia minta dari Huo Mo-li! Mutiara salju ini setelah dijemur kering
menjadi sebuah batu mujijat yang khasiatnya dapat menyedot
darah yang dikotori racun.
206 Sementara itu Tiong Li dengan cekatan sekali membuat api dan
masak air. Setelah suhunya selesai menggunakan mutiara salju
untuk mengisap habis racun dari tubuh Kim Bok Sianjin, Tiong Li
angkat air itu dan dekatkan tempat air panas pada suhunya. Kiang
Cu Liong menggunakan kapas kering mencuci luka di dada
dengan air panas. Beng Beng Hoatsu dan Siauw Ma melihat pengobatan itu dengan
kagum. Guru dan murid ahli obat itu bekerja tanpa banyak cakap
dan tangan mereka begitu cekatan seakan-akan telah diatur
sebelumnya. Apa yang diperlukan oleh Kiang Cu Liong telah tersedia oleh
Tiong Li yang melayani suhunya dengan wajah berseri-seri dan
mata bersinar-sinar. Siauw Ma makin suka kepada anak ini.
Setelah selesai mencuci luka di dada Kim Bok Sianjin, Kiang Cu
Liong lalu menempelkan obat bubuk warna hitam di atas luka itu,
lalu Tiong Li menggunakan kain bersih membalut dada imam itu
dengan rapi. Perlahan-lahan ketika mutiara salju mengisap darahnya, wajah
Kim Bok Sianjin berubah merah lagi dan warna hitam berangsur
lenyap. Kemudian pada waktu Tiong Li mengangkat kepalanya untuk
membalut dada, ia siuman setelah menghela napas panjang.
Ketika ia membuka mata, pertama-tama yang dipandangnya
adalah Beng Beng Hoatsu. Pandangan matanya nampak penuh
207 penyesalan akan kesembronoannya yang telah menuduh orang
dengan tanpa penyelidikan teliti lebih dulu.
Karena Kim Bok Sianjin juga memiliki lwee-kang yang cukup
sempurna, maka sebentar saja ia bisa mengatur napasnya dan
tenaganya berangsur-angsur pulih. Ia bangun dan mengangkat
kedua tangan ke arah Beng Beng Hoatsu.
"Beng Beng toyu, maafkan pinceng yang bodoh, dan terima kasih
atas perawatanmu. Sebetulnya orang macam pinceng ini sudah
seharusnya dibiarkan mati."
"Ho-ho! Jangan berterima kasih padaku. Tabib tua inilah penolong
jiwamu," jawab Beng Beng Hoatsu sambil tertawa.
Kim Bok Sianjin baru melihat bahwa di situ ada orang lain. Ia
berpaling dan alangkah terkejutnya ketia ia melihat Kiang Cu
Liong yang telah dikenalnya karena ia pernah bertemu satu kali
dengan Tabib Dewa itu. Cepat ia menjura dan menghaturkan terima kasih, tapi dengan
merendah Kiang Cu Liong balas menjura.
"Ah, pinceng memang orang bodoh. Barangkali karena sudah tua
maka sudah pikun. Orang macam pinceng mana akan dapat
berhasil mendapatkan kembali patung itu?" Dan imam Kwan-imkauw
itu menghela napas panjang, lalu menjura ke arah utara dan
berkata perlahan. "Aku hanya membikin kecewa kepada Pouwsat
yang mulia saja." Paras mukanya berubah sedih sekali.
208 "Sudah tahukah kau siapa sekarang yang mencuri patung itu?"
Kiang Cu Liong bertanya dengan halus.
Kim Bok Sianjin mengangguk-angguk, dan berkata malu,
"Tadinya dalam otakku yang kotor bahkan ada juga rasa curiga
kepada Kiang-sinshe, karena sesungguhnya pencuri itu
menggunakan obat bubuk yang membuat orang pada tidur di
sekeliling patung itu. Sepanjang pengetahuan pinceng, yang
memiliki obat itu hanya kau, Kiang-sinshe, karena pernah
kudengar bahwa obat bubuk itu kau gunakan untuk menidurkan
orang jika kau perlu membedah tubuh atau otak orang itu."
"Ha, memang ada orang yang mencuri sebagian obatku itu. Tapi
kini aku sudah tahu siapa pencuri obatku!"
Beng Beng Hoatsu memotong, "Si jahat dari timur, bukan" Dia
sudah mengaku telah mencuri patung Kwan-im Pouwsat!"
Kiang Cu Liong mengangguk. "Memang dia, Tok-kak-coa yang


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

licin dan curang itu. Hm, sayang datangku terlambat, kalau tidak,
ingin aku mengadu ilmu dan mencoba sampai di mana
kesaktiannya hingga ia berani berlaku begitu kurang ajar!"
Beng Beng Hoatsu bersungut-sungut, "Kepandaiannya sih tidak
mengherankan, tapi kecurangannya yang membuat kita harus
berhati-hati. Tadi ia serang aku secara curang dari belakang tapi
dapat kuhindarkan. Hanya entah bagaimana ia berhasil juga
mengirim racunnya ke pundakku!"
209 "Ia hebat?" lihai sekali".. baru sekali gebrakan saja aku
terpukul olehnya?"." Kim Bok Sianjin menghela napas.
"Coba kuperiksa lukamu," kata Kiang Cu Liong dan tanpa menanti
jawaban, ia menghampiri Beng Beng Hoatsu dan periksa luka di
pundak kirinya. Setelah memeriksa seketika lamanya, ia
mengangguk-anggukan kepalanya yang besar dan berkata,
"Ah, kau telah diserang dengan tongkat ularnya, bukan?"
Beng Beng Hoatsu mengangguk. "Tapi tidak kena."
"Itulah lihainya senjata tongkat itu. Karena kau belum tahu
rahasianya, maka sampai terluka. Ketahuilah, jika tongkat ular itu
digunakan untuk menyerang, maka pada waktu tongkat itu tidak
mengenai sasaran, dari mulut ular itu keluarlah jarum-jarum yang
kecil dan lembut sekali hingga siapa terkena takkan merasa sakit.
"Juga sambaran jarum itu sama sekali tidak mendatangkan angin
karena lembutnya. Maka kau sampai kena dilukai olehnya. Lain
kali kalau berhadapan dengan dia, jagalah ke mana mulut ular itu
menghadap!" Beng Beng Hoatsu mengangguk-angguk.
"Untung lukamu tidak parah karena hanya terkena dua buah
jarum berbisa dan lwee-kangmu kuat sekali untuk menahan
menjalarnya racun." Dengan dua tiga kali tempelkan mutiara salju pada luka itu, maka
sembuhlah luka Beng Beng Hoatsu karena semua racun telah
210 dihisap keluar! Beng Beng Hoatsu tidak mengucapkan terima
kasih, hanya berkata kepada Kim Bok Sianjin.
"Kim Bok Sianjin, dengarlah. Kau telah menuduh kami Thang-la
Sam-sian mencuri patungmu, maka kami bertiga telah
mengadakan perjanjian untuk mencuri dan mendapatkan patung
itu. "Sekarang bertambah dengan Kiang Cu Liong tabib tua ini yang
juga ingin memiliki patung itu. Maka marilah kita mencari jalan
masing-masing dan berlomba untuk mendapatkan kembali
patung itu. "Jangan kau khawatir, kami berempat bukanlah orang-orang yang
serakah dan inginkan emas, tapi hanya menguji kepandaian dan
kecerdikan saja. Seandainya seorang di antara kami yang
berhasil mendapatkan patung itu, maka sepuluh tahun kemudian
patung itu pasti akan dikembalikan ke Kwan-im-bio dengan
pernyataan maaf." "Memang begitulah baiknya," Kiang Cu Liong menyambung.
"Beng Beng Hoatsu telah berkata terus terang. Memang aku juga
ingin mencoba hokhi-ku dengan ke tiga tokoh perkasa dari Thangla!
Dan jika aku beruntung bisa mendapatkan patung Dewi Kwanim
yang bijaksana itu, akupun hanya akan menyimpannya paling
lama hanya sepuluh tahun dan setelah itu akan kukembalikan ke
Kwan-im-bio tanpa diminta!"
Kim Bok Sianjin menghela napas.
211 "Memang ini adil, Kwan-im-kauw yang rendah kepandaian
memang harus mengandalkan tenaga Thang-la Sam-sian dan
kepandaian Kiang-sinshe untuk mendapatkan kembali patung
kami, dan sudah sepantasnya kalau patung itu ditahan selama
sepuluh tahun oleh pendapatnya, sebagai tanda kebodohan kami
dan sebagai upah dia yang bisa merampasnya kembali. Nah,
sekarang maafkan pinceng, karena pinceng harus segera kembali
untuk melaporkan hal ini kepada suci."
Setelah menjura, Kim Bok Sianjin tinggalkan Kelenteng Gak-imtong.
"Nah, sekarang kitapun harus berpisah, Beng Beng Hoatsu!"
"Baiklah, dan sampai bertemu kembali di puncak Thang-la
sembilan tahun kemudian!"
"Kenapa sembilan tahun?"
"Karena janji kami bertiga untuk saling bertemu setahun yang lalu.
Waktunya tinggal sembilan tahun lagi."
"Ah, kalau begitu aku harus mulai mencari patung itu sekarang
juga. Dan sudah beberapa hari ini Tiong Li tidak kutambah
pelajarannya, hm, jangan-jangan ia kelak tidak akan dapat
berdaya sedikit juga terhadap murid-murid Thang-la Sam-sian!"
Tabib sakti yang berkepala besar itu tertawa keras.
Ketika Kiang Cu Liong hendak berangkat, ia memandang ke
kanan kiri tapi tidak kelihatan muridnya.
212 "Eh, di manakah anak-anak itu?" tanyanya. Juga Beng Beng
Hoatsu tidak melihat mereka.
Tiba-tiba dari halaman belakang terdengar suara teriakan dan
tertawa-tawa. Kedua kakek itu saling pandang dan tanpa berkata
apa-apa mereka berdua bertindak ke belakang untuk melihat.
Ternyata Siauw Ma dan Tiong Li ketika melihat ke dua orang yang
membutuhkan pertolongan itu telah diobati dan ke tiga kakek itu
sedang bercakap-cakap yang tidak menarik hati mereka, diamdiam
mereka pergi ke belakang dan bercakap-cakap sendiri.
Tiong Li sifatnya halus dan ramah, ditambah wajahnya yang
tampan maka amat menarik hati Siauw Ma.
Sebaliknya murid tabib itu suka sekali melihat sifat-sifat Siauw Ma
yang gagah, jujur dan agung itu. Mereka mengobrol tentang suhu
masing-masing dan tentang pelajaran-pelajaran silat.
Ternyata tingkat mereka tidak berbeda banyak. Dalam hal tenaga,
Siauw Ma lebih unggul, tapi ia kalah gesit dan gin-kang Tiong Li
lebih lihai dari padanya.
Ketika mereka melihat batu-batu bundar yang besar dan berat,
Siauw Ma teringat akan perbuatan Siauw Liong murid si ular jahat
ketika melempar sebuah batu kepadanya. Ia menceritakan hal itu
kepada Tiong Li yang mendengarkan sambil tertawa dan mereka
sama-sama mentertawakan sikap Siauw Liong yang sombong.
Kemudian mereka bermain-main dengan batu itu. Mereka pilih
batu-batu yang terlicin dan terberat, lalu saling melempar batu.
213 Seorang melempar yang lain menyambut untuk dilempar kembali,
hingga batu-batu itu beterbangan di udara dan ada kalanya
bertumbukan hingga mengeluarkan suara keras dan
mengeluarkan api! Ke dua anak muda itu dalam kegembiraannya
sampai melupakan suhu mereka dan sambil berlempar-lemparan
batu mereka tertawa gembira.
Dan ke dua suhu mereka mendapatkan mereka dalam keadaan
demikian. "Lihat, tenaga muridmu lebih besar dari pada tenaga muridku,"
Kiang Cu Liong berkata kepada Beng Beng Hoatsu. Benar saja,
pada saat itu dua buah batu bertubrukan di udara dan ke duanya
jatuh ke atas tanah, tapi batu lemparan Tiong Li lebih jauh
terlemparnya. "Tapi muridmu lebih lincah dan gagah menyambut batu yang
dilempar kepadanya."
Memang benar pula, karena Tiong Li tampak berkelebat ke sana
ke mari menyambut batu-batu yang berat dan banyak
beterbangan menyambarnya, sedangkan Siauw Ma hanya
menggunakan tenaganya untuk menepuk batu-batu itu kembali
atau mengadunya dengan batu yang dilemparkan hingga
bertumbukan di udara. Akhirnya kedua murid itu melihat pula kedatangan suhu mereka,
maka mereka segera mengakhiri permainan itu. Masing-masing
lalu lari menghampiri gurunya.
214 "Tiong Li, kita berangkat sekarang," Kiang Cu Liong berkata
kepada muridnya. "Baik, suhu," jawab Tiong Li, tapi ia memandang kepada Siauw
Ma dengan mata kecewa. Tapi Siauw Ma yang berhati keras
hanya membalas pandangan itu dengan tersenyum manis dan ia
menghampiri Tiong Li lalu memeluk bahunya.
"Sampai bertemu kembali, kawan!" katanya dan Tiong Li
menjawab. "Sampai bertemu kembali, sahabat!"
<> Maka berangkatlah kedua guru dan murid itu sambil memikul
keranjang obat mereka. Tiong Li berjalan di depan dan suhunya
berjalan di belakang. Kelenengan yang dipasang di pikulan
mereka terdengar nyaring.
Beberapa kali Tiong Li berpaling ke belakang dan melambaikan
tangan karena Siauw Ma semenjak tadi berdiri di depan kelenteng
dan melambai kepadanya. Ternyata sekali saja bertemu, kedua
anak muda itu saling cocok dan saling suka.
Di tengah jalan Kiang Cu Liong berkata kepada muridnya yang
jalan di depan, "Kau suka kepada anak itu agaknya.
Bagaimanakah dia?" "Siauw Ma baik sekali, suhu. Ia jujur dan setia, teecu suka sekali
padanya. Dan bagaimana dengan gurunya, suhu?" Murid itu balas
215 menanya, karena memang sudah biasa ia dan suhunya berjalan
sambil mengobrol dengan ramah tamah.
"Gurunya" Kaumaksudkan Beng Beng Hoatsu" Ah, ia seorang
cabang atas dari Thang-la, seorang dari pada ke tiga tokoh
Thang-la yang terkenal sakti. Ia memiliki ilmu silat dan ilmu
Pedang Naga Sakti yang betul-betul luar biasa, karena biarpun
aku sendiri belum pernah melihatnya, namun menurut
pendengaranku, di dunia ini jarang dicari keduanya!"
"Kalau begitu, beruntunglah Siauw Ma!"
Kiang Cu Liong pandang belakang kepala muridnya dengan
tajam, seakan-akan hendak menembusi kepala itu dan
memandang wajahnya. Kemudian ia percepat larinya hingga
sekejap saja ia telah berdiri di depan muridnya.
"Tiong Li, jangan kau terlalu menganggap rendah diri sendiri.
Kurasa, kalau kau betul-betul rajin mentaati semua petunjukku
dan belajar dengan giat, belum tentu kepandaianmu berada di
bawah kepandaian Siauw Ma!"
Tiong Li segera turunkan pikulannya dan berlutut. "Suhu, maafkan
teecu, bukan maksud teecu untuk merendahkan suhu. Teecu
hanya berkata begitu karena girang mendengar Siauw Ma
menjadi murid seorang pandai. Tentu saja teecu berjanji untuk
mentaati segala petunjuk suhu dan takkan mengecewakan suhu."
"Nah, begitulah seharusnya!"
216 Mereka lalu melanjutkan perjalanan. Kini dengan cepat sekali
karena masing-masing menggunakan ilmu lari cepat. Ketika
melihat sebuah sungai yang lebar mengalir dalam sebuah hutan,
Kiang Cu Liong menyuruh muridnya berhenti.
Tiong Li yang mengira bahwa suhunya melihat tetumbuhan obat
di tempat itu, segera turunkan pikulan dan gunakan ujung bajunya
untuk menghapus peluhnya dari muka dan lehernya yang
kemerah-merahan karena panas.
"Tiong Li, sekarang sudah tiba waktunya kau perdalam ginkangmu.
Karena ketahuilah, untuk dapat mainkan ilmu silat yang
kuajarkan kepadamu, kau harus mahir sekali menggunakan ilmu
ringankan tubuh. Dengan gin-kang yang sempurna kau mudah
untuk menyerang dengan cepat, melebihi kecepatan lawan. Nah,
kaulihatlah baik-baik!"
Kiang Cu Liong lalu turunkan pikulannya dan kumpulkan lima
batang kayu kering yang agak besar. Kemudian ia ajak Tiong Li
menghampiri tebing sungai yang ternyata sangat lebar itu, dengan
airnya yang mengalir perlahan menandakan bahwa sungai itu
cukup dalam. "Lihatlah, sungai ini sangat lebar hingga tak mungkin dapat
meloncatinya dengan sekali lompat saja. Bagaimana akalnya
untuk dapat menyeberang jika di sini tiada jembatan sedangkan
kau tak pandai renang" Nah, lihatlah kegunaannya ilmu ginkang."
217 Setelah berkata demikian, tabib sakti yang berkepala besar itu
melempar sepotong kayu kering ke air dan tubuhnya secepat kilat
menyusul dan meloncat ke arah kayu yang mengambang itu, dan
dengan ujung kaki ia menotol kayu itu sambil melemparkan lain
kayu ke tengah. Dengan meminjam kayu itu sebagai panjatan, ia
enjot tubuhnya menyusul kayu kedua dan kembali ia
menggunakan gerakan seperti tadi, yakni turun dan menjejakkan
ujung kakinya ke atas kayu yang mengambang itu dan
melemparkan kayu ketiga. Demikianlah, seperti seekor capung bermain-main di atas air, ia
dapat melintasi sungai itu dengan mudah dan selamat sedangkan
jangankan bajunya, ujung sepatunyapun tidak basah sedikit juga"
Dari seberang sana, tabib sakti itu menggunakan cara seperti tadi
untuk kembali. Tiong Li merasa kagum sekali, dan ia mulai berlatih di bawah
petunjuk-petunjuk suhunya. Mula-mula ia berlatih di atas tanah
dengan cara melempar-lempar kayu ke atas tanah dan disusul
dengan tubuhnya untuk menginjak kayu itu dengan ujung kaki lalu
melempar kayu ke dua dan mengenjotkan tubuh di atas kayu itu.
Demikianlah ia berlatih dengan giatnya. Sambil melanjutkan
perjalanan, di sepanjang jalan tiada hentinya Tiong Li mempelajari
ilmu baru ini. Karena Tiong Li memang sudah lama mempelajari
ilmu silat tinggi hingga gin-kangnya memang sudah baik sekali,
maka dengan sekali petunjuk suhunya cara-cara ia bergerak
untuk mengenjot tubuh, maka dalam setengah bulan saja ia
sudah sanggup melintasi sungai seperti yang telah dilakukan oleh
gurunya itu! 218 Pada suatu hari, Kiang Cu Liong dan suhunya memasuki kota
Him-kwan. Tabib sakti itu sengaja pergi ke kota itu karena
menurut penyelidikannya, si jahat dari timur kabarnya berada di
kota itu. Disebelah luar kota Him-kwan, terdapat sebuah telaga yang luas
sekali dan di tengah-tengah terdapat pulau kecil. Karena adanya
telaga dengan pemandangannya yang indah inilah maka kota
Him-kwan banyak mendapat pengunjung karena selain
pemandangan di telaga itu menarik para pelancong, juga
pengeluaran ikan yang dapat dijala dari telaga itu merupakan hasil
yang membuat banyak para pedagang datang ke kota ini.
Kiang Cu Liong memang suka sekali akan tamasya yang indah,
maka mendengar tentang telaga ini ia langsung mengajak
muridnya melihat. Ketika mereka mengunjungi telaga itu, keadaan
di situ masih sunyi karena hari masih pagi benar.
Hanya ada beberapa buah perahu saja nampak bergerak-gerak
di tengah telaga dan kebanyakan ialah perahu nelayan
penangkap ikan. Kiang Cu Liong menyewa sebuah perahu dan bersama muridnya


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia mendayung perahu itu naik ke pulau dam melihat-lihat.
"Suhu, di sini sepi, bolehkah teecu melatih gin-kang" Air di sini
diam hingga mudah untuk melatih diri dengan menggunakan
perahu." 219 Suhunya melihat ke sana ke mari, ternyata memang keadaan
masih sunyi hingga muridnya tentu takkan menarik perhatian
siapa juga, maka ia mengangguk.
Tiong Li lalu dayung perahunya ke tengah sambil membawa
beberapa potong kayu. Setelah agak jauh, ia mulai berlatih dan
dari perahu itu ia menyeberang ke darat, begitu sebaliknya dari
darat ke perahu. Ia telah berloncat-loncatan beberapa kali dari perahunya. Ketika
ia gunakan lemparan yang makin jauh hingga loncatannya juga
harus lebih keras pula, ia dayung perahunya makin jauh, ia telah
siap dengan kayu yang cukup. Lalu dari perahunya ia mulai
dengan lemparan kayu pertama yang disusul oleh tubuhnya
melayang mengejar kayu itu.
Gerakannya demikian ringan hingga perahu yang dipakai
landasan loncat itu bergoyangpun tidak! Ia berhasil menginjak
kayu pertama dan lemparkan kayu kedua itu. Tapi alangkah
terkejutnya ketika tiba-tiba sebuah benda yang dilempar keras
sekali membuat kayu yang akan diinjaknya itu bergerak cepat dan
tidak ampun lagi ia kena injak air!
Karena tidak pandai renang, otomatis tubuhnya tenggelam ke
dalam air. Tiong Li gerakkan kaki tangannya dan tubuhnya
mumbul lagi ke permukaan air. Ia mendengar suara anak muda
tertawa dan karena gugup dan takutnya Tiong Li menjerit.
"Suhuuuuuu"..! Tolong?"!"
220 Tapi tiba-tiba sebuah benda yang panjang berwarna merah
datang menyambar, dan membelit tubuhnya dan sesaat
kemudian ia merasa tubuhnya dibetot keras sekali hingga ia
melayang ke atas. Karena gin-kangnya memang sudah
sempurna, Tiong Li dapat imbangi tubuhnya dan dengan
berjumpalitan ia dapat melihat datangnya sebuah perahu kecil
dari mana benda panjang merah itu datang.
<> Cepat ia melayang ke arah perahu itu dan turun dengan selamat!
Hanya pakaiannya saja yang basah dan wajahnya pucat.
Ketika ia memandang, ternyata yang menolongnya adalah
seorang gadis kecil yang usianya sepantar dengan dia dan gadis
itu kini pegang sabuk sutera merah yang panjang dan yang
digunakan menolongnya tadi, dengan senyum yang manis di
wajahnya yang cantik jelita dan putih.
Tiong Li memandang ke arah suara orang yang menertawakan
tadi dan melihat seorang pemuda sebaya dengannya berdiri di
atas perahunya sambil tertawa menyeringai. Pemuda itupun
berwajah tampan sekali, tapi mukanya memperlihatkan
kekejaman dan kenakalan ketika in mengejek ke arah Tiong Li.
"Eh, bagaimana rasanya mandi di telaga" Dingin, ya?"
Tiong Li marah sekali dan hendak balas memaki, tapi pada saat
itu ia melihat suhunya mendatangi dengan cepat bagaikan
berjalan di atas air! Juga gadis kecil itu terkejut dan kagum melihat
221 betapa seorang kakek yang tubuhnya kecil dan kepalanya besar
berlari cepat di atas air dan menuju ke perahu mereka!
Padahal Tiong Li tahu bahwa gurunya itu menggunakan gin-kang
yang tinggi, karena orang tua itu tidak menggunakan kayu
sebagai loncatan, tapi ia telah menggunakan batu-batu kecil yang
dilempar sedemikian rupa hingga dapat berloncatan-loncatan di
atas air dan segera dikejar dengan cepat sekali untuk dipakai
sebagai batu-batu loncatan!
Ternyata Kiang Cu Liong tadi telah mendengar teriakan muridnya
dan kini secepat terbang ia telah berada di atas perahu gadis kecil
itu. Dengan paras masih pucat karena marah, Tiong Li menceritakan
kepada suhunya bahwa ketika ia sedang berlatih, ada seorang
anak muda yang mengganggu dia dengan menyambit kayu
injakannya hingga ia tercebur dalam air, tapi untungnya ada gadis
kecil itu menolongnya dengan sabuk sutera merahnya yang
panjang dan lihai. "Mana anak muda itu?" tanya Kiang Cu Liong.
Tiong Li menengok ke arah perahu kecil tadi, tapi ternyata anak
muda yang tadi mengganggunya telah tidak ada di situ pula.
Agaknya pemuda jahat itu melihat pula kedatangan orang tua
yang lihai itu hingga ia menjadi takut dan mendayung pergi
perahunya. 222 Kiang Cu Liong kini memandang gadis itu! Anak perempuan itu
paling banyak berusia empatbelas tahun, wajahnya bundar telur
dan putih kemerah-merahan. Mulutnya selalu tersenyum dan
sepasang matanya seperti mata burung hong, dan yang sangat
menarik hati ialah pandang mata yang halus itu menatap orang
dengan terus terang dan terbuka hingga dapat diduga bahwa ia
adalah seorang anak yang berhati mulia dan jujur.
"Anak, kau siapakah dan siapakah suhumu yang mengajarmu
menggunakan sabuk sutera itu?" tanya Kiang Cu Liong karena ia
tahu bahwa untuk dapat menggunakan sabuk sutera yang lemas
itu untuk membelit dan membetot orang, dibutuhkan tenaga lweekang
yang hebat juga dan latihan yang keras.
Anak gadis itu telah melihat kelihaian orang tua itu dan tahu
bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti, maka ia menjura
dengan hormat dan sopan. "Teecu bernama Hong Cu dan suhu adalah Hwat Kong Tosu."
Tiba-tiba Kiang Cu Liong berdongak ke atas dan tertawa lebar.
"Ha, ha, ha! Pantas, pantas! Tidak tahunya anak murid Hwat Kong
Tosu, pantas saja kau lihai. Hei, Tiong Li, ini adalah murid dari
Hwat Kong Tosu, seorang dari pada ketiga tokoh besar dari
Thang-la. Nona, di mana suhumu sekarang?"
"Hei?"! Kiang Cu Liong, aku di sini!" Suara ini terdengar nyata
sekali tapi orangnya tak tampak!
223 Ternyata Hwat Kong Tosu yang telah mempelajari ilmu untuk
mendengar pembicaraan jauh telah dapat menangkap ucapan
Kiang Cu Liong tadi dan ia yang duduk di pantai telaga lalu
mengirim suaranya dengan menggunakan tenaga dalam yang
terkumpulkan di suaranya. Kiang Cu Liong tertawa lagi dan
memandang ke arah pantai.
"Bagus, Hwat Kong! Aku datang!"
Ia lalu rogoh sakunya dan keluarkan beberapa buah batu yang
lalu dilempar sebuah ke atas air lalu dikejar oleh tubuhnya.
Demikianlah ia tampak seperti berlari-lari di atas air dan sebentar
saja tiba di pantai, di mana Hwat Kong Tosu telah berdiri
menyambutnya sambil tertawa lebar.
"Suhumu lihai sekali, siapakah dia?" Hong Cu memandang
kepada Tiong Li sambil bertanya.
Mau tak mau Tiong Li merasa bangga sekali, tapi ia tindas
perasaannya hingga suaranya terdengar biasa saja ketika ia
menjawab, "Guruku itu ialah Tabib Dewa Kiang Cu Liong, sedangkan namaku
sendiri Tiong Li. Tapi suhumu yang berada di pantai itu juga tidak
kalah lihainya." Sambil berkata demikian, Tiong Li pandang gadis kecil itu yang
dalam pandangannya tampak sangat cantik jelita dan agung,
hingga pemuda tanggung itu memandang dengan tiada bosanbosannya
dan mulut ternganga! 224 Melihat keadaan Tiong Li ini, Hong Cu merasa malu dan tak
senang, maka ia berkata untuk memecahkan kesunyian dan
suasana tidak enak itu. "Pakaianmu basah semua, tentu tak enak dipakai. Hayo kita ke
pantai menyusul suhu."
Tiong Li sadar dari lamunannya dan dengan muka merah karena
teringat akan kelakuannya yang tidak sopan itu, ia tundukkan
muka dan mengangguk. Gadis itu jalankan perahunya dan ternyata tenaganya sangat
besar hingga perahu itu meluncur laju. Di dalam perjalanan
perahu itu ke pantai, Tiong Li tetap tundukkan kepala dan tidak
berani pandang wajah gadis kecil itu.
Mereka mendarat dan menghampiri ke dua guru mereka yang
sedang duduk di pulau kecil bercakap-cakap dengan gembira.
Memang Kiang Cu Liong telah lama kenal kepada Hwat Kong
Tosu. Melihat muridnya, tabib sakti itu dengan tertawa
memperkenalkan dan berkata kepada muridnya.
"Tiong Li, inilah tokoh dari Thang-la yang tersohor. Tidak kecewa
kau tertolong oleh murid seorang di antara ke tiga Thang-la Samsian!"
Tiong Li dengan hormat dan sopan lalu berlutut di depan Hwat
Kong Tosu memberi hormat hingga Hwat Kong Tosu merasa
senang sekali melihat anak nuda itu. Sebaliknya ia lalu perintah
225 muridnya memberi hormat kepada tabib sakti itu yang dilakukan
oleh Hong Cu dengan taat.
"Tiong Li, siapakah yang tadi menggodamu di atas telaga?" tanya
Kiang Cu Lion "Entahlah, suhu. Teecu tidak kenal. Ia adalah seorang pemuda
sebaya dengan teecu, dan wajahnya tampan dan putih."
"Teecu tadi melihat pemuda itu seperahu dengan seorang tua
yang aneh. Kakek itu kepalanya gundul dan bertanduk."
Hwat Kong Tosu dan Kiang Cu Liong saling pandang penuh arti
dan segera bertanya kepada Hong Cu, "Di manakah orang tua
itu?" "Tadi teecu melihat ia berdua dengan pengganggu saudara ini
dalam satu perahu, tapi setelah kau orang tua datang terbang di
atas air, ia tak tampak lagi dan teecu tidak memperhatikan lebih
lanjut padanya." "Si Ular Tanduk Berbisa!" kata Kiang Cu Liong.
"Si jahat dari timur!" Hwat Kong Tosu berseru.
Tiong Li dan Hong Cu bertanya, "Orang macam apakah dia itu?"
"Pencuri yang curang dan lihai," kata Kiang Cu Liong.
"Hi, hi, hi, hi! Dua tua bangka sedang menakut-nakuti muridnya
dan memaki orang seenaknya saja!" tiba-tiba terdengar, suara
226 parau dan Tok-kak-coa, si jahat dari timur sendiri telah tampak
berdiri muncul dari balik gerombolan tetumbuhan, membungkukbungkuk
dan berjalan menghampiri mereka.
Tongkat ularnya yang mengerikan dipegang pada bagian kepala
dan ekornya dipakai menekan tanah untuk menunjang tubuhnya
yang bungkuk. Ketika ia berjalan menghampiri, maka mulutnya
menyeringai hingga giginya yang sudah ompong tampak dan
matanya yang sipit itu hampir tertutup sama sekali.
"Siapa memaki" Memang kau curang dan lihai!" Kata Kiang Cu
Liong, si tabib sakti. "Dan siapa tidak kenal dan tahu bahwa si jahat dari timur adalah
jahat dan curang?" kata Hwat Kong Tosu.
"Ha, ha, ha! Sesukamulah aku merasa bangga bahwa orang tua
renta seperti aku masih bisa mendatangkan rasa takut kepada
kalian, jago-jago tua yang terkenal sakti." Kemudian tanpa
dipersilahkan lagi, ia duduk di dekat kedua orang tua gagah itu.
Tiong Li dan Hong Cu yang merasa ngeri dan takut melihat orang
tua aneh itu, segera pindah tempat dan diam-diam mereka
meninggalkan tempat itu setelah Tiong Li memberi isyarat dengan
mata kepada Hong Cu. Tiba-tiba Kiang Cu Liong meloncat berdiri. Matanya memandang
tajam dan kepalanya yang besar tegak menentang muka Tok-kakcoa.
227 "Tok-kak-coa! Kedatanganmu ini tentu terdorong oleh
kesombongan hatimu yang memandang rendah kepadaku dan
kepada Hwat Kong! Tapi memang kebetulan sekali karena aku
memang mencari-carimu. Kau tentu tahu mengapa aku
mencarimu!" Tok-kak-coa masih saja tersenyum dan tertawa, ha, ha, hi, hi
mendengar si Tabib Dewa itu. "Kau sakit hati karena, sedikit obat
tidurmu kuambil" Begitu kikirkah kau?"
Kiang Cu Liong perdengarkan suara penghinaan.
"Hah! Siapa yang sekikir itu" Kalau kau pakai obat itu untuk
mengobati orang sakit atau untuk keperluan lain, aku takkan
menyesal bahkan merasa bersyukur.
"Tapi kaugunakan obatku itu untuk melakukan pencurian di
kelenteng orang! Bukankah itu berarti lempar batu sembunyi
tangan" Kau yang dapat dagingnya, aku yang terkena tahinya!"
Tok-kak-coa tertawa lagi, sedikitpun ia tidak perlihatkan rasa
takut. "Habis kamu mau apa?"
"Bagaimana juga, hari ini kita adu kepandaian. Kalau aku kalah,
aku takkan banyak cerewet lagi. Tapi kalau kau tak dapat
kalahkan aku, kau harus kembalikan patung Kwan-im Pouwsat itu
padaku!" Tok-kak-coa masih duduk di atas rumput sambil tertawa ha, ha,
hi, hi. Sebelum ia menjawab Hwat Kong Tosu telah bangun lebih
dulu dan berkata kepada Kiang Cu Liong.
228 "Eh, eh. Jangan kau terburu-buru, kawan. Siluman ular ini harus
melawanku dulu. Akupun mencari-carinya lama sekali. Gara-gara
dia inilah maka aku dimusuhi imam-imam Kwan-im-bio!"
Ternyata Hwat Kong khawatir kalau-kalau patung itu nanti terjatuh
ke dalam tangan tabib sakti itu, karena kalau si tabib itu yang
mendapatkan patung, maka sukar baginya untuk merebutnya.
Bukan karena ia takut, tapi karena ia memang sudah kenal baik
sekali dan tak enak hati kalau harus merampas patung itu dari
tangan kawannya. Tiba-tiba Tok-kak-coa bangun berdiri dan tertawa bergelak-gelak.
"Baru ini hari aku melihat dua orang berebut untuk dapat berkelahi
melawan aku! Biarlah aku memilih. Kedatanganku ke sini bukan
secara kebetulan. Aku memang sengaja datang hendak menemui
Hwat Kong. "Aku mendengar tentang ilmu tongkatmu yang disebut Ouw-coakoai-
tung-hwat! Entah sampai di mana kebenaran kabar yang
mengatakan bahwa ilmu tongkatmu itu paling lihai di dunia ini.
"Ingin sekali aku mencobanya. Mana tongkatmu, Hwat Kong!
Keluarkanlah dan kasih aku melihatnya. Baik mana dengan
tongkatku ini?" Sambil berkata demikian ia gerak-gerakkan
tongkat ularnya. Hwat Kong Tosu berpaling kepada si tabib sakti dengan
tersenyum. "Nah, kawanku, terpaksa kau harus mengalah. Dia
229 memilih aku!" Kemudian ia gerakkan tongkat bambunya yang
kecil bagaikan sepotong bambu kering yang tidak ada artinya.
"Terpaksa aku mengalah. Kau yang beruntung," kata Kiang Cu
Liong yang lalu duduk di pinggir dengan bersungut-sungut.
"Tok-kak-coa, inilah tongkatku. Sambutlah!"


Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Secepat kilat Hwat Kong Tosu lalu menyabet dengan tongkatnya
ke arah muka Tok-kak-coa yang cepat berkelit. Maka
bertempurlah kedua orang itu.
Keduanya menggunakan sebatang tongkat kecil yang dimainkan
seperti orang mainkan pedang, karena tongkat itu ujungnya
runcing dan dapat digunakan untuk menusuk dan mengemplang.
Hanya Tok kak-coa memegang tongkatnya dengan aneh, karena
yang dipegangnya ialah bagian ekor ular yang kecil sedangkan
tongkat ular itu dipakai menyerang. Namun gerakannya hebat
sekali. Tongkat ularnya bergerak-gerak bagaikan ular hidup yang
menyambar-nyambar. Ketika tongkat itu menyambar, maka
tercium bau amis dan keras, tanda bahwa jika tongkat itu
dimainkan, maka hawa racun keluar dari mulut ular itu!
Namun kali ini si Ular Tanduk Berbisa menemukan tandingan
yang setimpal. Hwat Kong Tosu cukup kenal akan kelihaian dan
kecurangan Tok-kak-coa, tahu pula bahwa orang luar biasa ini
adalah ahli racun yang berbahaya, maka ia mengeluarkan
gerakan-gerakan ilmu tongkatnya yang paling tepat dan lihai
230 hingga tidak saja sinar tongkatnya merupakan benteng hitam
melindungi tubuhnya, juga angin sambaran tongkatnya itu jauhjauh
telah meniup pergi semua racun dan hawa racun yang
mencoba menyerangnya. Dengan gerakan-gerakan panjang, maka Tok-kak-coa tak
berdaya sama sekali untuk mendekati lawannya, sebaliknya
pukulan-pukulan maut yang dilayangkan oleh Tok-kak-coa dan
disertai hawa racun yang disebarkan oleh tongkatnya membuat
Hwat Kong Tosu tidak berani mendekat dan tidak berani
menggunakan serangan dengan gerakan pendek.
Maka ramailah pertempuran itu. Kalau tongkat Tok-kak-coa
merupakan seekor ular yang panjang dan menyambar-nyambar,
maka tongkat Hwat Kong Tosu adalah seekor landak yang
mengeluarkan dan memasang semua duri-duri di sekitar
tubuhnya hingga ular itu tidak berdaya melukainya, sebaliknya si
landak juga tidak mampu menyerang ular yang gesit itu!
Ratusan jurus mereka bertempur dan diam-diam Si Tabib Dewa
yang menonton dari pinggir merasa kagum akan kehebatan
kedua orang itu. Dilihat dengan teliti, maka tampak kehebatan ilmu tongkat Hwat
Kong dan seandainya Tok-kak-coa tidak melindungi diri dengan
hawa racun yang keluar dari tongkatnya, tentu sudah lama ia kena
dirobohkan. Sebaliknya iapun bersangsi apakah ia akan dapat
mengalahkan Ular Tanduk Berbisa itu yang mengurung diri
dengan hawa racun berbahaya.
231 Sementara itu, di sebelah sana pulau itu, terjadi lain pertempuran
yang tak kalah hebatnya! Kiranya Tiong Li juga sedang mengadu
kepalan dengan Siauw Liong!
Tadi ketika melihat kedatangan Tok-kak-coa, Tiong Li telah dapat
menduga bahwa murid dari si jahat dari timur tentu ikut datang
pula, maka ia memberi isyarat kepada Hong Cu untuk
meninggalkan tempat itu. Gadis kecil itu agaknya dapat
menangkap maksud isyarat mata Tiong Li, maka iapun berdiri dan
bersama-sama mereka mengelilingi pulau itu.
Benar saja, mereka melihat Siauw Liong pemuda yang tadi
mengganggu Tiong Li, sedang berdiri di pantai di mana tampak
sebuah perahu kecil. Melihat kedatangan mereka, Siauw Liong
tersenyum dan tolak pinggang dengan sikap sombong sekali.
"Pakaianmu sudah kering?" tanyanya kepada Tiong Li, kemudian
sambil memandang Ke arah Hong Cu dengan sikap kurang ajar
ia berkata. "Nona cantik, kenapa kau tolong buaya ini" Biarkan saja ia
berenang di dalam telaga! Barangkali kau suka padanya karena
wajahnya yang tampan" Ha, ha, ha!"
Bukan main marahnya Hong Cu karena kata-kata yang kurang
ajar itu. Ia buka sabuk sutera merahnya yang terselip di pinggang
lalu gerakkan sabuk itu ke arah Siauw Liong.
Tiong Li yang tadi melihat bahwa gerakan gadis kecil itu masih
sangat lambat dan menunjukkan bahwa gadis itu belum lama
232 belajar silat, hendak mencegah, tapi sudah terlambat. Sabuk
sutera merah itu bagaikan seekor naga menyambar ke arah muka
Siauw Liong. Pemuda yang cakap tapi nakal inipun tahu pula bahwa
kepandaian Hong Cu belum berapa hebat, maka ia sengaja
berlaku lambat dan ketika ujung sabuk hendak menyabet
mukanya, baru ia gerakkan kepala berkelit tanpa pindah dari
tempatnya! Untuk mengejek gadis itu, ia tertawa bergelak-gelak.
Tapi biarpun baru belajar silat belum cukup setahun, di bawah
gemblengan Hwat Kong Tosu, ternyata Hong Cu mendapat
kepandaian yang lumayan juga. Melihat bahwa serangannya
dengan mudah dapat digagalkan lawan, ia gerakkan tahgannya
pula. Kini ujung sabuknya mengelilingi tubuh Siauw Liong dan langsung
menjirat kakinya lalu ditarik dengan sentakan keras! Siauw Liong
tak dapat menduga gerakan ini dan hampir saja ia kena
dirobohkan. Maka dengan marah sekali ia gunakan ilmu bikin berat tubuhnya
seakan-akan berakar di tanah, kemudian cepat sekali ia pegang
sabuk itu dan gunakan tenaganya yang besar untuk membetot.
Tentu saja Hong Cu jauh kalah dalam hal adu tenaga, maka
tubuhnya segera terbetot ke arah Siauw Liong yang membuka
tangan untuk memeluknya dengan sikap kurang ajar sekali sambil
berkata. "Mari, mari, manis! Mari datang kepada kokomu!"
233 Hong Cu coba pertahankan tubuhnya, tapi karena ia telah
terhuyung ke depan, agaknya tak dapat ditolong pula ia tentu
akan roboh dalam pelukan Siauw Liong. Tiba-tiba pada saat itu
Siauw Liong merasa sambaran angin pukulan dari samping
hingga ia merasa terkejut sekali. Sambaran pukulan itu membawa
tenaga yang keras sekali hingga dengan cepat ia berkelit sambil
loncat ke pinggir. Karena pukulan inilah maka Hong Cu terlepas dari pada hinaan.
Sebaliknya Siauw Liong marah sekali dan pandang kepada
penyerangnya dengan mata melotot.
Tiong Li dengan tenang menghadapinya dan berkata kepada
Hong Cu. "Biarlah aku yang melawannya!"
"Bangsat kecil kau sombong sekali, dan curang! Tidak tahukah
kau bahwa kau berhadapan dengan murid dari Tok-kak-coa"
Jangan kau berani main-main di depan tuanmu!"
"Pantas sekali kalau kau menjadi murid siluman ular itu! Kau
sendiri tentu siluman cacing yang banyak tingkah tapi
makananmu hanya tanah lumpur!" Tiong Li balas mengejek
dengan sikap tenang sekali hingga Siauw Liong makin marah .
"Beri tahu namamu kalau kau laki-laki!" bentaknya.
"Aku Tiong Li, murid Kiang Cu Liong si Tabib Dewa, sedangkan
nona ini adalah Hong Cu, murid dari Hwat Kong Tosu."
234 "Bagus! Kalau begitu sekarang tentu kedua gurumu itu telah
terbunuh oleh guruku. Maka sudah menjadi kewajibanku, Siauw
Liong, untuk membasmi kau dan bawa pergi nona ini untuk
dijadikan kawan seperjalanan!"
"Mulutmu kotor sekali!" Tiong Li maju dan menyerang dengan
kepalannya ke arah dada Siauw Liong. Tapi Siauw Liong segera
menangkis dengan keras dan ternyata tenaga mereka seimbang.
Siauw Liong balas menyerang dengan hebat tapi dapat ditangkis
oleh Tiong Li. Maka ramailah kedua anak muda itu mengeluarkan
kepandaian masing-masing untuk menjatuhkan lawannya.
Siauw Liong mengeluarkan tipu dari Kun-lun-pai yang telah
dicampuk aduk dengan tipu-tipu cabang lain hingga sangat
membingungkan. Memang gerak tipu Siauw Liong yang diajarkan
oleh gurunya ini cocok dan sesuai dengan silat Tok-kak-coa, yakni
curang dan licin. Dengan bersilat cara demikian, maka secara tidak langsung ia
telah mencemarkan nama baik cabang-cabang persilatan itu,
karena kalau dibilang bahwa ia masih cucu murid cabang itu,
bukan. Tapi dibilang bukan, ilmu silatnya mencangkok tipu-tipu
dari cabang itu. Akan tetapi, seperti sifat gurunya, Tiong Li selalu tenang dan
waspada. Ia bersilat dengan Ilmu Silat Sin-hong-kun-hwat, yakni
ilmu pukulan ciptaan si tabib sakti.
235 Ilmu silat ini sifatnya lebih banyak membela diri, tapi mengandung
keuletan dan kekuatan yang hebat untuk memusnahkan serangan
yang bagaimana jahatpun. Dengan tenang dan cukup gesit Tiong
Li menghindarkan semua serangan lawan dan menggunakan
kesempatan-kesempatan kosong untuk mengirim serangan
balasan yang tidak kalah berbahayanya.
Pada suatu ketika, siku kanan Tiong Li berhasil menggempur
pundak kiri Siauw Liong hingga pemuda itu terhuyung-huyung ke
belakang sambil meringis kesakitan. Tiba-tiba wajahnya menjadi
menyeramkan karena marahnya. Ia memasukkan tangannya ke
dalam saku dan mengeluarkan bungkusan bubuk yang cepat
digosokkan ke atas kulit ke dua lengannya.
Kemudian ia meloncat menerjang lagi. Tiong Li cukup cerdik dan
sebagai murid seorang ahli obat, ia dapat menduga bahwa obat
itu tentu racun berbahaya. Ia berlaku waspada dan hati-hati, tapi
terlambat! Serangan yang dilakukan oleh Siauw Liong bukan main hebatnya.
Tangan kanannya memukul ke arah leher dan tangan kiri
mencengkeram ke arah anggauta rahasia!
Tiong Li dapat kelit pukulan ke arah lehernya, tapi cengkeraman
dengan tenaga Eng-jiauw-kang itu tak sempat dikelit lagi dan
terpaksa ditangkis! Karena benturan itu terjadi ketika keduanya
mengerahkan tenaga lwee-kang masing-masing, maka ke duanya
terpelanting dan jatuh. 236 Ke duanya cepat meloncat bangun dan pada saat itu terdengar
teriakan Tok-kak-coa, "Siauw Liong, lekas jalankan perahu!"
Mendengar teriakan suhunya ini, Siauw Liong cepat loncat ke
perahunya dan mendayungnya ke tengah. Pada saat itu, dari jauh
berkelebatlah bayangan orang yang dengan cepat sekali telah
melayang mengejar perahu itu dan turun ke dalam perahu dengan
ringan sekali. Itu adalah Tok-kak-coa yang melarikan diri. Guru dan murid itu
cepat-cepat mendayung perahu mereka dan tinggalkan pulau itu!
Ternyata bahwa setelah bertempur ratusan jurus dengan Hwat
Kong Tosu dan belum juga dapat mendesak lawannya bahkan dia
yang terkurung oleh tongkat tokoh Thang-la itu, Tok-kak-coa
menjadi gugup. Baru melawan Hwat Kong Tosu seorang saja ia
telah kewalahan, belum mencoba si Tabib Dewa.
Jangan-jangan Kiang Cu Liong kepandaiannya lebih hebat dari
Hwat Kong Tosu! Memikirkan hal ini Tok-kak-coa diam-diam
merasa bingung juga hingga permainan tongkat ularnya agak
kacau. Hal ini diketahui baik-baik oleh Hwat Kong Tosu yang
segera mendesaknya dengan serangan-serangan gerak pendek.
Ketika mendapat kesempatan baik, Hwat Kong Tosu maju
merangsek dan hawa amis yang keluar dari mulut tongkat ular
lawannya ia punahkan dengan tiupan keras, kemudian ia putar
Pedang Darah Bunga Iblis 16 Juragan Tamak Negeri Malaya Karya Widi Widayat Alap Alap Laut Kidul 1
^