Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 13

Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Bagian 13


"Semua telah terbekuk " sahut si polos.
"Dialah pemimpinnya," Siauw Pek tanya sambil menunjuk si serba kuning. "Dengan beradanya dia disini, pasti kawan kawannya tidak akan berani bertindak sembrono." Ban Liang menghampiri si
serba kuning, ia hendak menjambak, buat mengangkat tubuh orang
itu, tapi mendadak ada anak panah bersuara melesat kearahnya.
"Awas locianpwee" berseru Siauw Pek memperingatkannya. Anak panah itu melesat ketangan sijagotua. Dan sijago tua itu menarik tangannya sambil mundur dua tindak, maka Anak panah itu nancap dipintu.
"Padamkan api" Ban Liang berseru.
"Mari kita bicara dengan mereka itu" Siauw Pek menyahuti, tangannya dikibaskan memadamkan lilin.
Ban Liang pergi kebelakang pintu, lalu berkata dengan tawar: "Pemimpin kamu telah kami tawan. Asal kamu masih menggunakanpanah gelap, akan aku bunuh dia serta juga semua kawanmu ini"
Dari luar segera terdengar suara yang keras. "Kamu juga telah kami kurung, Kalau kita sama-sama bertahan, salah satu mesti roboh"
"Kamu boleh kurung kami tidak takut" sahutBan Liang. "Kami mempunyai persediaan pangan buat beberapa bulan boleh kamu coba mengurung buat tiga bulan lamanya."
Suara nyaring itu terdengar pula: "Habis tuan hendak mengatur bagaimana untuk menyelesaikan urusan kita itu?" suara itu nyaring tetapi nadanya lunak.
"Si kuning ini agaknya sangat berharga, hanya entah dia pemimpin utama atau bukan." sijago tua berbisik. "Nanti aku dengar lebih jauh suara mereka..."
maka ia berkata pula. "Pemimpin kamu telah kami bekuk, kamulah kawanan naga tanpa kepala, Masih ada mukakah kamu untuk mengadakan pembicaraan" Untuk kamu tinggal satu jalan: Letakkan senjata kamu, buat manda diringkus, lalu menantikan keputusan kami"
"Jangan banyak tingkah, tuan" berkata suara nyaring diluar itu. "Jikalau kamu keterlaluan, hingga kamu memaksa kami turun tangan, jangan nanti kamu menyesal sesudah terlambat"
Licik orang itu. Dia tak mau menyebut nama si serba kuning sebenarnya orang apa, pemimpin mereka atau bukan...
Siauw pek mengawasi keluar. Dan samar samar ia menampak seorang yang bertubuh tinggi besar sedang berdiri seorang diri sejarak tiga tombak dari pintu. Mungkin kawan-kawan dia itu mengatur diri dikedua sisinya. Dialah orang yang bicara dengan sijago tua. Ban Liang tertawa dan berkata: "Jikalau kau mau main gila denganku, itulah sia sia belaka. Jikalau aku tidak mau melepaskan dia serba kuning ini, apa yang bisa kamu perbuat" Beranikah kamu lancang turun tangan?" Tanpa menanti jawaban, ia menambahkan, suara sengaja ditinggikan. "Saudara Kho, Coba kau kasih rasa sedikit kepada bocah itu"
Jago tua ini cuma main-main, untuk menggertak lawan, akan tetapi Kho Kong berlaku sungguh-sungguh. Ia menghampiri si serba kuning untuk menjambaknya, setelah mana, tanpa mengawasi lagi muka orang, dia menampar dua kali.
Si serba kuning itu terkena obat bius, ia juga habis ditotok, walaupun demikian ia sadar, maka itu, gaplokan si anak muda membuatnya merasa sangat nyeri. Kendati demikian, ia tak bisa berbuat apa-apa, ia cuma bisa gusar dan mendongkol, buat membuka suara dia tak mampu
Diluar terdengar suara yang gusar sekali. Dia rupanya mendengar suara tamparan yang nyaring itu. Maka ia segera berkata dengan bengis. "Kamu berlaku ganas, tuan Awas nanti kami bakar gubuk kamu ini"
"Jikalau kamu masih saja berkepala batu, aku akan hajar lagi dia ini" kata sijago tua.
Kali ini suara diluar itu bungkam. Maka sepilah didalam maupun diluar rumah.
Siauw pek sementara itu heran. Orang diluar tadi tak nampak pula, karenanya ia berpikir: "Mungkin dia tak sudi berbicara lagi Mungkin dia mau turun tangan." maka ia terus berkata pada Ban Liang: "Rupanya musuh tidak mau berbicara lagi Mungkin dia mau melakukan sesuatu Kita harus waspada"
"Tidak salah" berkata Ban Liang. "Lekas bawa siserba kuning dan kawan-kawannya kedepan, kita pakai mereka sebagai tameng" Berkata begitu, jago tua ini memperkeras suaranya, supaya musuh diluar dapat mendengar.
"Betul" berseru Kho Kong. Dan dia gusur si serba kuning kedepan. Diluar, suasana tetap sunyi, tidak ada serbuan, sedangkan tadinya mereka agaknya galak sekali, kesunyian berlangsung menit demi menit.
"Saudara, bagaimana kalau kita pergi melihat keluar?" berbisik Kho Kong pada Oey Eng, kawannya yang diam saja sejak tadi.
"Jangan sembrono," Ban Liang mewakilkan Oey Eng menjawab, "siapa tahu jikalau mereka itu tengah mengatur kurungan."
"Lalu apakah kita mau main diam diam saja," tanya si-polos.
"Sekarang gelap petang, kita tunggu datangnya sang siang, baru kita lihat." berkata sijago tua.
Kho kong berbicara wajar saja, tapi Ban Liang dengan ada maksudnya, maka suaranya diperkeras.
Benarlah, diluar terdengar suara perlahan dari tindakan banyak
kaki Rupanya suara si jago tua membuat mereka merubah siasat.
"Waspada" Ban Liang memperingatkan. "Mungkin mereka mau turun tangan sekarang." Lalu Siauw Pek diminta menjaga dikanan dan Oey Eng dikiri.
Diluar, benar-benar orang sudah mulai bekeeja, Dua orang mendekati pintu.
Oey Eng menarik tangan Siauw Pek, untuk memberi isyarat. Maka keduanya bersiap sedia. Ban Liang dan Kho Kong belum tahu ada gerakan musuh dikir dan kanan, berdua mereka memasang mata kedepan saja. Setelah datang dekat pada pintu, kedua orang diluar itu berhenti bertindak,
Oey Eng menjadi curiga. Inilah sebabnya ia tidak bisa melihat
tegas. Maka ia segera berkata nyaring: "Toako, lekas turun tangan"
bersamaan dengan itu, iapun menyerang dengan tangan kanannya.
Siauw Pek menyerang segera setelah ia mendengar suara kawannya itu. Kedua orang diluar itu tidak menyangka akan diserang, mereka menangkis dengan gugup.
Yang dikanan, yang menyambut serangan Siauw Pek, tertolak mundur lima tindak, Lawan Oey Eng terhuyung dua tindak, sebab serang si orang she Oey tidak sekeras ketuanya.
"Sungguh manusia tolol tak berguna" terdengar dampratan diluar.
"Lekas pergi" Dua orang yang terpukul mundur itu agak ketakutan, dengan segera mereka mengundurkan diri, lenyap didalam kegelapan. Siauw pek mengenali suara yang ternyata bukan orang yang tadi bicara dengan Ban Liang. Ia heran, kenapa dengan cepat sekali orang sudah menukar pemimpin" Mungkinkah musuh telah mendatangkan bala bantuan" Karenanya ia mengawasi tajam kearah suara orang itu.
Didalam gelap, hanya tampak sesosok tubuh bergelempang, tapi tak terlihat jelas mukanya.
"Toako melihat apa?" Oey Eng berbisik.
"Aku tidak melihat apa-apa," sahut sianak muda.
"Aku mengira mungkin mereka itu menggunakan sesuatu guna menutupi tubuh mereka."
"Jikalau tidak salah, toako, musuh telah mendatangkan banyak bala bantuan," Oey Eng mengutarakan dugaannya.
"Benar, akupun menduga demikian," sahut Siauw pek,
"Sang pagi akan segera tiba," kata Oey Eng pula. "setelah terang tanah, toako hendak bertindak bagaimana?"
"Biarlah Ban Loocianpwee yang mengambil keputusan." sahut sianak muda, "kita baik-baik berunding dengan..."
Selagi ia berkata begitu, Siauw pek melihat sesosok tubuh bergerak keatas rumah. Perlahan sekali bergeraknya orang itu. Oey Eng mengeluarkan sebatang sumbu.
"Awas, toako" katanya perlahan Terus ia pergi kebelakang pintu. Disitu, begitu ia mengibaskan tangannya, sumbunya itu menyala mengeluarkan api. Menyusul itu, dua batang Anak panah menyambar tangan yang memegang sumbu itu, serangan datangnya dari luar. Dua dua panah tidak mengenai sasarannya Oey Eng berlaku sebat, begitu mengibas dia melemparkan sumbunya keluar,jatuh ditangah sejauh satu tombak lebih, Dengan adanya sumbu itu, segala apa tampak nyata diluar itu. Orang yang tadi
mendatangi itu, yang merayap mendekam ditanah, tak berkutik. Siauw Pek melihat tajam.
"Mereka menyamar" ia berteriak. Ia melihat hanya kain hitam. Suara si anak muda putus dengan mendadak. Ini disebabkan sebatang panah api
menyambar kearahnya, nancap ditiang pintu. Apinya itu menyala terus.
"Lekas padamkan" Ban Liang berseru, ia menguatirkan terbakarnya rumah itu. Iapun menyaksikan si serba kuning. Apakah dia bukan sipemimpin" Mungkinkah masih ada pemimpin atasnya" Kalau tidak, kenapa musuh menggunakan api"
Menurut kaum Rimba Persilatan, kalau seorang pemimpin tertawan dan dikuasai lawan, kawan kawannya tidak boleh menggunakan api, sebab itu berarti ancaman bahaya kematian bagi sipemimpin yang tak berdaya ditangan lawan. Andaikata sipemimpin tidak terancam serangan api membuat lawan bertambah gusar. Dengan dilepaskannya panah api itu, teranglah bahwa si serba kuning tidak dihargai sama sekali.
Siauw Pek menghunus pedangnya, ia membabat kearah api.Justru itu, menyambar pula dua batang panah api lainnya. Ia menyampok yang satu, yang lainnya ia sambut dan dicekal, kemudian ia lemparkan kearah tubuh yang mendekam tadi. Setelah itu, sianak muda lompat mundur kebelakang pintu.
"Bagus" Kho kong memuji ketuanya. "Melihat kepandaian toako, pasti musuh terbuka matanya"
Tapi Ban Liang berkata sungguh-sungguh: "Siserba kuning bukanlah pemimpin mereka yang utama. Kita salah menawan orang. Lihat saja, mereka tak pedulikan lagi siserba kuning hidup atau mati Kita...:
Suara sijago tua terputus. Mendadak sosok tubuh yang mendekam itu bergerak bangun dan lari, Dia terkena panah api yang dilemparkan Siauw Pek, rupanya dia takut atau tak tahan, dia
kaget dan kabur. "Kelihatan benar mereka mendapat bala bantuan," Ban Liang berkata pula, "Kita mesti merubah siasat. Mari kita bersiap" Siauw pek pun merasa musuh tak dapat dipandang ringan. Sipemuda perlente berkedudukan tinggi, dia kalah dari siserba kuning tapi sekarang ternyata, diluar itu ada orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada siserba kuning itu.
Perubahan lainnya segera menyusul. Hal itu mengherankan Ban
Liang semua. Itulah karena musuh diluar itu sirap, malam menjadi
sunyi kembali, sampai sekian lama tak terdengar suara apa apa.
"Bagaimana ini, loocianpwee?" Oey Eng berbisik kepada sijago tua. "Entahlah Rupanya musuh diluar liehay sekali. Kita harus waspada."
"Entah bagaimana dengan itu nona nona kakak beradik?" Oey Eng tanya pula. Ia menguatirkan dua saudara bercacat itu.
"Mari kita keluar untuk melihat," berkata Kho Kong, sipolos. "Barang kali musuh sudah pergi semua."
"Jangan sembrono." Ban Liang mencegah. "Jikalau aku tidak keliru menerka, sekarang ini justru musuh sudah mengurung kita berlapis lapis. jikalau kita lalai, kita bisa mendapat rugi..."
"Kalau begitu, loocianpwee," tanya Kho kong "apakah kita harus main menjaga saja?" Ban Liang tersenyum.
"Kita tunggu sampai terang tanah" sahutnya.
"Sebentar kita melihat keadaan, baru kita pikirkan tindakan kita selanjutnya"
Ketika itu angin bertiup-tiup, rumah atap turut tertiup pula. Dengan lewatnya sang waktu diufuk timur tampak cahaya putih samar samar Dengan perlahan, segala sesuatu diluar terlihat makinjelas dan terang.
Siauw pek mengintai. Segalanya terang di luar: rumput hijau, air pengempang bergoyang perlahan. Tak ada bayangan seorang juga.
"Apakah masih ada musuh?" tanya Ban Liang dari belakang pintu.
"Tidak," sahut Siauw pek, "Tidak ada pertanda apa apa."
"Nanti aku lihat" berkata Kho Kong sambil bergerak. Ban liang hendak menjaga, tapi ia terlambat.
Anak muda itu lari keluar. Ia memandang ke sekitarnya, Tak tampak musuh. Suasana tenang sekali. Lalu ia berpikir: "Ban
locianpwe terlalu teliti, da bercuriga tanpa alasan. Musuh toh sudah
pergi..." karenanya, ia bertindak lebih jauh dari muka rumah.
"Saudara Kho,jangan sembrono" Ban Liang berteriak, "Lekas balik"
"Jangan kuatir, loocianpwee" sahut si anak muda. "Musuh sudah pergi semua"
Ia berjalan terus kebelakang rumah, sijago tua khawatir, hingga
dia menghela napas. "Saudara Kho sembrono sekali, aku khawatir."
Siauw pek dan Oey Eng kurang berpengalaman, mereka sama berpikir, walaupun Kho kong sembrono tetapi dia bisa melihat, mustahil dia tidak tahu kalau ada musuh?" Oleh karena ini, mereka tidak berpikir seperti sijago tua.
Tapi Kho kong pergi, sampai lama belum kembali, Kedua anak muda saling melirik.
"Aneh," berbisik Siauw pek, Jangan-jangan benar shatee mendapat celaka..."
"Nanti aku lihat " berkata Oey Eng sambil bergerak untuk pergi keluar.
"Tak usah " mencegah sijago tua keras. Sipemuda heran, "Kenapa loocianpwee."
"Musuh sudah memasang perangkap disekitar rumah ini. asal kau keluar, kita bakal kehilangan lagi satu tenaga."
"walaupun ada gunung golok dan kwali minyak panas, mesti aku lihat saudara Kho " berkata Oey Eng.
"Ingatlah, tak sabaran dengan urusan kecil dapat menggagalkan rencana besar..." si jago tua memperingatkan. Tapi Siauw pek sependapat dengan Oey Eng Kata dia : "Siapa bersaudara, mereka
mesti mati atau hidup bersama. siapa yang tidak jujur, dia dikutuk
Thian Menyesal, loocianpwee aku mesti sia-siakan kebalkan hatimu"
Berkata begitu, anak muda ini menghunus pedangnya dan berlompat keluar. Sijago tua menarik napas.
"Kalau diluar ada musuh, kau sendiri dapat melayani mereka," katanya.
"Hanya..." Siauw pek merandek.
"Hanya apa, loocianpwee?"
"Menurut apa yang aku duga, saudara Kho tertawan musuh
tanpa dia berkesempatan lagi melakukan perlawanan."
menerangkan sijago tua. "Dia kena tertangkap hidup-hidup." "Bagaimana pendapatmu ini, loocianpwee "
"Kho kong sembrono tetapi kadang kadang dia teliti." berkata sijago tua, "dia tak akan pergi terlalujauh dari sekitar rumah ini, dan kalau dia bertempur dengan musuh pasti kita mendengar suara bentrokan senjatanya. Atau kalau tidak dengar suara senjata beradu, pasti terdengar juga terlak-teriakannya..."
Siauw pek mengangguk, "Loocianpwee benar juga." katanya.
"Musuh banyak, kita sedikit, buat dapat kemenangan, kita harus
sabar." berkata pula sijago tua "begini dalam pertempuran kita ini" "Habis bagaimana, loocianpwee ?" Oey Eng tanya.
"Kita lihat kelebihan kita untuk menghadapi kekurangan lawan..." "Maukah loocianpwee menjelaskan lebih jauh?"
"Disamping jumlahnya yang besar, musuh sudah mengatur perangkap disekitar rumah kira ini, asal kita keluar, berarti kita menyerahkan diri masuk kedalam perangkapnya itu. Sekarang ini kita menanti saja serangan mereka*
"Jikalau mereka tidak menyerbut, apakah kita harus menanti
terus, biarpun sampai satu tahun?" Oey Eng menegaskan.
"Menurut terkaanku, musuh tak akan lewat kau hari ini. Kalau mereka tidak menyerbu di waktu sore, pasti sebentar malam. Mungkin secara besar besaran..." mendadak si orang tua itu memperlahan suaranya. "Nampaknya si serba kuning ini, benar orang penting dari rombongan itu. Mereka tidak berani meneruskan melepas api membakar kita, tentu inilah sebabnya. Yang dicurigai mereka tentulah kenapa enam orangnya yang menyerbu dapat kita tawan dengan mudah. Pasti mereka menduga rumah kita ini rumah perangkap karena mana mereka tidak berani lancang menyerbunya..."
Kembali sijago tua berpikir, maka ia berhenti sebentar, baru ia melanjutkan "Hanya orang yang mengepalai rombongan itu sekarang ini teranglah orang yang lihay, yang sabar luar biasa, maka juga dia dapat mengatur perangkap diluar, tak mau dia sembarang menyerbu."
Oey Eng menghela napas, ia berduka. "Kalau kita sampai mag rib, bukankah sekalipun ada seratus saudara Kho juga akan keburu dibinasakan semuanya"..." katanya, masgul.
"Pikiranmu beda daripada pikiran kau, saudara kecil," berkata Ban Liang, tetap sabar. "benar mereka telah menawan saudara Kho tetapi kitapun telah membekuk orangnya dan si serba kuning ini orang penting dari mereka itu. Mungkin dia bukan kepalanya tapi dia toh salah satu orang pentingnya mana mereka berani mereka menurunkan tangan jahat atas diri saudara Kho."
Ban Liang melihat keluar rumah. Dengan perlahan ia menambahkan. "Aku masih memikirkan sesuatu yang luar biasa. Mungkin rombongan musuh kita ini ialah rombongan yang disebut
Su Kay Taysu, mungkin dialah sipengacau dibelakang tirai kaum Kang Ouw..."
Siauw Pek terperanjat. Segera dia ingat sesuatu. Maka dia bangkit, terus dia menggusur si serba kuning kemuka pintu, segera dia meloloskan topeng orang itu.
Enam mata dari si anak muda dan Ban Liang segera diarahkan kemuka si serba kuning itu, semua merasa heran, hingga mereka menatap terus : Itulah sebuah wajah yang cantik sebagai wajah seorang wanita, alisnya lentik, matanya jeli, kulit mukanya halus dan dadu.
"Mukanyapun berbau pupur, bukan seperti muka pria." kata Oey Eng.
wajah Ban Liang nampak sungguh-sungguh. Kata dia perlahan.
"Mungkin itu rencana besar dari beberapa puluh tahun, sekarang ini
mulai meletus dan kitalah yang pertama kali menemuinya..."
"Loocianpwee, kata-kata loocianpwee kurang jelas," berkata Oey Eng. "Selama beberapa puluh tahun aku tinggal menyendiri didalam lembah yang sunyi sambil mempelajari ilmu Ngo Kwie souw Hun Ciu, kesabaranku bertambah, demikian juga pengalamanku," berkata siorang tua, "setiap kali aku memikir sesuatu hal, dapat aku memikirkannya dengan tenang dan merdeka, demikian kali ini, aku telah memikirkan sesuatu."
"Apakah itu, loocianpwee?"
"Coba kau terka, berapa usianya siserba kuning ini?"
"Jikalau dia benar seorang wanita, mengingat tenaga dalamnya yang mahir, dia paling sedikit diatas tiga puluhan."
"Sekarang coba kau gunakan pedang menyontek bajunya itu,jikalau dia benar seorang wanita, pasti kita akan menemukan sesuatu." Oey Eng heran, hatinya jadi tertarik, Tanpa ayal lagi, dengan ujung pedangnya ia menyontek baju orang tawanannya itu. Maka terbukalah baju orang itu, hingga terlihatlah dua buah
susunya. Ban Liang mengibas tangannya, akan lekas-lekas menutup rapat baju itu, kemudian ia menghela napas.
"Orang ini mungkinkah dia..." katanya.
"Siapakah dia loocianpwee?" tanya Oey Eng. Ban Liang hendak menjawab ketika dia melihat Siauw pek tengah mengawasi mendelong kepada si serba kuning itu. Ia membatalkan niatnya,
bahkan ia menoleh kepada Oey Eng. Sianak muda mengawasi
ketuanya Iaheran ketua itu nampaknya teng ah berpikir keras.
"Saudara; apa kah kau kenal wanita ini?" Ban Liang bertanya perlahan.
Siauw pek bagaikan tersadar. Dia menghela napas. "Aku sendiri
mengenal baik padanya," sahutnya, ragu-ragu. "Kau
berpengetahuan luas, loocianpwee, apa kah kau kenal kepadanya ?" "Tidak," sahut Ban Liang.
"Rasanya aku pernah lihat dia entah dimana..." kata Siauw pek,
"Kita pikir saja perlahan-lahan," kata sijago tua. "Kita mempunyai cukup waktu akan mengingat-ingat..."
"Sekarang ini aku ragu-ragu, rasanya aku pernah menemui dia, rasanya tidak, toh rasanya pasti aku mengenalnya baik sekali," kata pula sianak muda "Ah dasar benak hatiku, rasanya dia telah ada lukisannya"
"Kenyataan apa kah itu, saudara kecil ?" ^
"Kenyataan bahwa didalam dunia ini ada seorang seperti dia..."
"Kalau begitu saudara, coba kau ingat baik-baik. Adakah seorang
diantara keluarga Pek Ho Bun kamu yang mirip dengan wanita ini?"
"Tidak, aku telah mengingat ingat tetapi aku tidak ingat kepadanya."
"Aneh" Oey Eng turut bicara, "kau tidak ingat dia, kau belum pernah melihatnya, tapi kenapa kau rasanya mengenalnya dan dia terlukis dalam benak hatimu ?"
"Inilah yang membuatku bingung..."
Kembali sianak muda menatap siserba kuning itu.
"Loocianpwee, bagaimanakah ini?" Oey Eng berbisik pada Ban Liang. Jago tua itu menggeleng kepala.
"Ya, aneh Kalau begini kita harus menanti kembalinya nona Hoan..."
Oey Eng menghela napas. "Benar-benar dunia Kang Ouw aneh" katanya.
Dan Ban Liang berpikir keras. "Banyak pengalamanku tetapi yang seperti ini, inilah yang pertama kali," katanya.
Kedua orang berbicara dengan sangat perlahan. Siauw Pek seperti mendengarnya. Sebab dia lagi berpikir keras sekali, pikirnya itu lagi terbenam. Justru itulah mereka mendengar satu suara nyaring: "Aku hendak bicara dengan kamu,tuan-tuan" Suara itu keras bagaikan guntur. Semua orang lalu menoleh, maka didepan pintu terlihatlah seorang bertubuh besar dengan warna pakaian hitam seluruhnya. Dia bertangan kosong pula.Jarak antara pintu dan dia kira-kira dua tombak lebih. Habis berkata begitu, dia diam menanti.
"Ada pengajaran apakah dari kau, tuan?" Ban Liang bertanya.
"Aku mendapat tugas berbicara dengan kamu tuan tuan," ia
mengangkat tangannya dan menggoyang goyangkannya, "Tuan-
tuan lihat, aku tidak membekal senjata." Ban Liang tertawa dingin.
"Bawa senjata atau tidak, sama saja" kata jago tua ini. "Asal kau berani main gila. jangan nanti kau sesalkan aku siorang tua paling dahulu aku akan habiskanjiwa orang berpakaian kuning ini"
JILID 25 Orang itu tertawa. "Kita terpisah cukup jauh, karena itu bolehkah aku masuk kedalam rumah?" dia bertanya.
"Masuk boleh, tetapi kau harus hati-hati"Ban Liang memperingatkan, "Rumah kami ini telah dipasangi berbagai macam perangkap, asal kau lancang masuk, kau bakal kena terbekuk, paling baik berdirilah sejarak tujuh atau delapan kaki dari ambang pintu"
"Aku akan perhatikan pesanmu ini," kata si orang tinggi besar itu. Ia bertindak maju sejauh yang disebutkan sijago tua. Ban Liang tetap bersembunyi dibalik pintu, ia cuma menongolkan sedikit kepalanya.
"Kau hendak bicara apa, tuan?" tanyanya.
"Kami telah menawan seorang tuan she Kho, katanya dialah sahabat kamu," kata utusan lawan itu.
"Benar. Lalu?" "Aku ditugaskan membicarakan utusan sahabat kamu itu." "Maksudmu ?"
"Usul kamu ialah kita saling menukar orang tawanan..."
"Bagaimanakah caranya itu?" tanya Ban Liang tertawa.
"Kita berlaku adil dan pantas, kami menangkap satu orang dan
tuan enam, akan tetapi kami menukar satu dengan satu. Hanya..."
"Hanya, kau maksudkan kau dapat memilih orang yang kamu hendak tukarkan itu?"
"Benar" sahut siutusan, yang tertawa menyeringai. Disenggapi sijago tua, dia merasa malu sendirinya. Ban liang tertawa hambar. "Inilah dapat Cuma, kecuali sibaju kuning, dapat kamu memilih siapa saja satu diantara lima yang lainnya "
Utusan itu melengak, "Ah..." katanya ragu-ragu. "Aku justru menerima perintah untuk menukar kawan tuan-tuan dengan orang yang berbaju kuning itu."
"Jikalau begitu, maaf tuan" Ban Liang menyela. "Menyesal aku mesti menyia-nyiakan pengharapan kamu ini. Tolong kau sampaikan kepada pemimpin kamu bahwa siorang baju kuning itu tak ingin kami menukarnya "
"Aku masih ada sedikit bicara... kata utusan itu "Silahkan "
"Tuan-tuang telah terkurung didalam rumah atap ini, itu dan suaru keadaan yang dapat dipertahankan lama lama Jikalau tuan- tuan suka menukarkan orang berbaju kuning itu, kami juga akan segera meninggalkan tempat ini hingga selanjutnya kita tak akan bentrok pula."
Ban liang menyambut dengan tertawa dingin. "Tuan, nampaknya kami terlalu memandang ringan kepada soal mati atau hidup kamu sendiri..." katanya.
Kembali orang itu merasa jengah. Diapun mendongkol tetapi dia tak dapat mengumbarnya. "Aku bicara dengan sungguh-sungguh, harap tuan tuan suka memperhatikannya," katanya terpaksa berlaku sabar.
Ban Liang tertawa dingin, kata dia terus terang: "Kamu menghendaki sibaju kuning, lima kawanmu yang lainnya kamu biarkan, kamu tak pedulikan. Nyata kamu kejam sekali. Kau sendiri, kaulah pesuruh, apakah kekuasanmu" Bukannya aku hendak memancing kemarahanmu, tapi aku kuatir bahwa kemerdekaan kau sendirinya jiwamu mungkin tinggal menanti waktu lenyapnya"
Orang itu kalah bicara. Dia rupanya merasai kebenaran kata orang tua ini. Dengan lesu dia tunduk.
Ban Liang batuk-batuk, lalu berkata pula dengan sabar. "Mereka itu dapat mengorbankan kelima kawanmu ini, maka itu, apakah
artinya kau seorang diri" Bukankah kau, seperti mereka ini dapat dikurbankan juga?"
Orang itu mengangkat kepalanya. "Benar," katanya. "Tapi, baiklah kita kembali kepada pembicaraan tadi. Asal sibaju kuning itu dibebaskan, siorang she Kho pasti akan dibebaskan pula. Hal ini tuan tak usah khawatir."
"Kau bersitegang, tuan. Bagaimana jikalau aku tidak menukarkan?"
"Sahabatmu itu bakal mengalami siksaan yang paling hebat, dia bakal dihukum picis"
"Jangan lupa,padaku ada enam jiwa Kami pun dapat menyiksa mereka seperti kamu menyiksa kawan kami"
"Hanya kesempatanmu sudah tidak ada, tuan Jikalau pihak kami telah memperoleh kepastian bahwa kami tak berdaya menolongi kawan kami itu maka didalam waktu sekejap kamu bersama dengan rumah ini bakal menjadi abu."
Ban liang mau percaya gertakan itu, tetapi dia tidak mau kalah bicara. Maka dia tertawa dan katanya dengan tenang. "Aku percaya betul, tuan, pemimpin kamu bakal menggunakan seribu satu daya upaya guna menolong si baju kuning."
"Jelasnya tuan menolak?" tanya utusan itu.
"Ya. Kami menolak syaratmu itu" Siutusan berdiam, dia menarik napas berduka. Nampak dia mau bicara tetapi batal.
Dengan perlahan dia memalingkan tubuhnya dan bertindak pergi. Oey Eng mengawasi sijago tua.
"Kenapa kita tidak tukar..." katanya. Tapi mendadak kata yang nyaring: "Sahabat tunggu Kau..."
Utusan itu mendengar panggilan, dia menghentikan tindakan kakinya dan berpaling. Nampak dia sedikit gembira.
"Tuan menerima baik syarat kami?" dia tanya.
Oey Eng berpikir dengan cepat. Segera setelah memanggil orang itu, ia merasa bahwa ia telah kesalahan omong. Karena itu, selagi orang itu berkata-kata, dengan perlahan ia kata pada Ban Liang. "Maaf loocianpwee, aku keliru."
Ban Liangpun berkata perlahan. "Jikalau kita tukar sibaju kuning ini, kita memang bebas dari ancaman malapetaka, tetapi itu buat sesaat saja, karena dilain detik, pasti kita bakal diserbu mereka. Pasti itu tak berhenti sebelum kita mati semua" Maka itu, Oey Eng segera menjawab siutusan
"Tuan, kami benar benar merubah pikiran kami. Aku ingin, agar pemimpinmu yang sekarang suka datang kemari untuk bicara langsung dengan kami."
Kalau tadi nampak gembira, utusan itu kini menjadi lesu pula. Ia menarik napas perlahan, Tapi dia lekas menjawab: "baiklah Akan aku sampaikan pesan tuan tuan ini, cuma ia suka datang kemari atau tidak, itulah aku tak tahu."
"Jikalau dia mau datang, datanglah sebelum gelap gulita," Ban Liang memberitahu. "Jika dia tak mau datang, tak apa. Selekasnya malam tiba kita tak usah bicara lagi"
Utusan itu tak berkata apa apa, dia memutar tubuh dan pergi. Dia menuju kebarat. Cepat dia lenyap dari pandangan mata. Oey Eng bingung. Dia mikirkan Kho Kong.
"Loocianpwee, mereka akan datang, tidak?" tanyanya.
"Mereka tidak datang seandainya pemimpin mereka itu sudah tak memerlukan lagi siserba kuning ini" sahut Ban Liang.
Oey Eng menghela nafas. Katanya pelan: "Ada harganya juga jiwa saudara Kho ditukar dengan jiwa enam orang ini, ia tentu akan dapat memjamkan mata..."
Ban Liangpun menghela napas, mau ia membuka mulut tapi batal. Ia mendengar kata kata Oey Eng itu. ia mengerti, akan tetapi dia tak berani sembarangan bicara. Karena mereka berdiam, sang waktu lewat dengan suasana lengang.
Selang beberapa lama, musuh tadi tampak datang pula. Dia datang dekat hingga empat atau lima kaki, barulah dia berhenti. Lalu dia berkata seraya memberi hormat: "Aku telah menyampaikan pesannya tuan tuan, ketua kami bersedia mengadakan pertemuan..."
Ban liang berkata cepat "Sang waktu sudah tidak siang lagi kalau dia mau datang dia harus lekas lekas"
"Pemimpin kami akan segera datang Aku diminta menyampaikan pesan saja"
Ban Liang berkata pula: "Tolong kau sampaikan kepada pimimpinmu bahwa waktu adalah uang, cepat dia datang lebih baik lagi"
Utusan itu melengak. "Akan kuberitahukan," katanya seraya terus
membalik tubuh dan pergi dengan tindakannya yang lebar. .o.o.O.o.o.
Setelah orang itu pergi, Oey Eng tanya kawannya perlahan: "Loocianpwee, kalau orang itu bersedia saling menukar orang tawanan, bagaimana sikap loocianpwee?"
"Sampai sekarang ini, aku belum bisa berkata apa-apa." sahut Ban Liang. "Kita lihat suasana sebentar saja."
Oey Eng berkata pula; "Kalau loocianpwee mengambil keputusan tidak mau menukar tawanan, kita mesti segera menempur mereka Pedang dan golok toako ampuh, tak mungkin orang itu dapat melawannya. Jikalau kita bisa menangkap lagi salah satu pemimpin mereka, dia dapat dipakai menukar saudara Kho..."
"Sebegitu jauh belum pernah aku mengira ngira sebelumnya," kata Ban Liang.
Oey Eng masih mau bicara ketika ia melihat datangnya dua orang kacung berbaju hijau yang tangannya memegang pedang. Mereka berjalan dengan perlahan. Dibelakang mereka tampak tiga orang lainnya, dua diantaranya yang berjalan dikiri dan kanan mengiringi
seorang berpakaian putih seluruhnya: Pakaiannya putih, ikat kepalanya putih, putih juga cala mukanya. Mereka menghampiri rumah atap.
walaupun disiang hari, karena dandanannya yang luar biasa itu,
orang itu mendatangkan rasa heran bahkan sedikit menyeramkan...
"Tuan, silahkan berhenti, sejarak satu tombak" Ban Liang berkata. "Harap kaujangan datang terlalu dekat dengan rumah kami ini"
Orang yang berpakaian putih itu mendengar kata, Dia berhenti kira-kira satu tombak, segera terdengar suaranya yang dingin: "Tuau-tuan, ada pengajaran apakah dari kamu?" Ban liang pun bersuara dingin.
"Kami tidak mengundang kamu, tuan" sahutnya. "Adalah tuan yang mengirimkan utusan kepada kami untuk mendamaikan sesuatu. Apakah maksud tuan maka tuan menanya begini kepada kami?"
Orang berbaju putih itu berdiri tegak, sepasang matanya bersorot tajam mengawasi kearah rumah. Dia tidak membuka suara, sikapnya dingin sekali.
Kedua kacung yang bersenjatakan pedang juga berdiri diam laksana patung. Karena itu, suasana diselubungi kesunyian, barulah lewat sesaat, si serba putih berkata, nadanya menegur, "Andaikata benar aku yang mengirim utusan buat mengadakan pembicaraan dilakukan dengan cara ini?"
"Sahabat, kau sabar luar biasa" berkata Ban Liang.
Si baju putih berdiam sejenak, baru dia berkata: "Kami telah menawan seorang dari kamu..."
Ban Liang segera menyela: "Kami telah menawan enam orang bawahan kamu, tuan"
"Bukankah ada diantaranya yang berpakaian serba kuning"
"Benar. Jikalau aku si tua tak salah melihat, dialah seorang wanita"
Orang itu berdiam sejenak, baru dia berkata, "PunCo mengambil keputusan hendak menukar orang kamu yang tertangkap oleh kami dengan orang berpakaian kuning itu."
Ban Liang tertawa berkakak, suaranya mendengung keluar rumah.
"Kenapa kau tertawa tuan?" tanya si baju putih heran, suaranya
dingin. Dia mendongkol orang tidak segera menjawab usulnya. "Aku tertawakan kau tuan, karena kau..."
"Apakah kamu tidak mau menukarnya?" tanya si baju putih.
"Kecuali si baju kuning, si wanita yang menyamar menjadi pria itu, dari lima yang lainnya, tuan bebas memilihnya" berkata Ban Liang tenang tegas.
"Punco justru hendak menukar dengan si baju kuning itu, tidak dengan yang lain" berkata si baju putih, suaranya keren. Dia pula, seperti tadi, membahasakan dirinya "punco" itu berarti bahwa didalam rombongannya; dia punya kedudukan yang tinggi, kepala dari suatu bahagian.
"Jikalau demikian, tak usah kita bicara lebih jauh" Ban Liang meneruskan,
"Asal aku berikan perintahku, rumah ini bakal menjadi abu" berkata si baju putih keren.
"Silahkan kalau tuan tidak memperdulikan lagi jiwa orang orang kamu itu" Ban Liang menantang.
Si baju putih dengan perlahan mengulur tangannya, mengambil pedang ditangan sikacung sebelah kiri. Katanya dingin. "Apakah kau hendak belajar kenal dengan pedang punco?"
"Aku kira tak perlu kita berkenalan pula" sahut Ban Liang, singkat. Si baju putih tidak menyangka bakal mendapat jawaban serupa itu, ia sampai berdiam
untuk berpikir. "Sungguh kau cerdik, tuan" katanya.
"Tuan, pembicaraan kita harus berakhir sampai disini" berkata Ban Liang tanpa menghiraukan kata kata orang itu. "Oleh karena sukar didapatkan perdamaian, tidak ada lain jalan kita harus mengandalkan kepada kepandaian kita masing masing, untuk memutusakan siapa menang siapa kalah"
"Jadinya kamu hendak merampas jiwa orang." tanya si baju putih.
"Sabar, tuan,jangan kau risau" kata Ban Liang. "Jikalau hendak melakukan pembunuhan, lebih dahulu kami habiskan jiwanya itu orang orang dengan seragam hitam, baru sipemuda perlente, dan paling akhir barulah si baju kuning"
Tutup muka si baju putih tergoyang tanpa ada angin yang meniupnya. Teranglah bagaimana tegang rasa hatinya. Karenanya, dia berdiam sampai beberapa lama. Dan akhirnya dia juga yang kalah sabar. Dia berkata: "Kecuali saling tukar, untuk membebaskan orang berbaju kuning itu, masih ada syarat apa lagikah?"
"Syarat apa tuan." sahut Ban Liang dingin, "cuma aku khawatir engkau tak setuju"
"Apakah itu" Katakanlah"
"Yang pertama tama ialah orang kami itu harus dilepaskan lebih dahulu"
"Baik," sahut si baju putih, yang terus berkaok
"Bebaskan si orang she Kho "


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hanya sebentar terlihatlah Kho kong muncul dengan tak kurang suatu apa. Diam diam Oey Eng menghela napas.
"Dasar jahe tua" pujinya didalam hati. "Ban Loocianpwee jauh lebih menang daripada kita."
Ketika Kho kong berjalan lagi empat atau lima kaki akan sampai dirumah, mendadak Ban Liang menyerukannya : "berhenti"
Kho kong menurut, Segera dia berhenti bertindak.
Oey Eng heran sekali. "Kenapa saudara Kho disuruh berhenti, loocianpwee?" tanyanya.
Ban Liang tidak segera menjawab pertanyaan itu, hanya dengan
tajam dia menatap saudara kecil yang polos tapi aseran itu. "Saudara Kho, apakah kau sadar?" tanyanya.
"Ya" Kho kong menjawab. "Ketika kau dibebaskan,- apakah ada ditaruhkan sesuatu pada tubuhmu"Ban Liang bertanya.
Kho kong terdiam, terus ia memeriksa tubuhnya.
"Tidak," sahutnya sejenak kemudian. "Jikalau tidak, bertindaklah perlahan lahan."
Kho kong menurut, ia berjalan maju.
"Mundur" tiba tiba Ban Liang memerintah setelah orang mendekati pintu. Tapi Kho kong berjalan terus, agaknya dia tidak dengar perintah itu.
"Tahan dia," seru sijago tua sambil mengibaskan tangannya. Justru itu bayangan lalu berkelebat, sebab si baju putih bersama kedua kacungnya sudah berlompat maju untuk menyerbu masuk kedalam rumah Oey Eng berlompat maju, niatnya mencegah Ban Liang, supaya Kho kong dapat dibiarkan masuk, akan tetapi menyaksikan bergeraknya si baju putih, dia terkejut, maka segera ia menikam si baju putih itu. Si baju putih mengibaskan sebelah tangannya, segera ada sesuatu tenaga yang menyampok terpendal pedang si orang she Oey, Dia bertindak sangat cepat, untuk menyerbu masuk.
Ban liang menggerakkan tangannya, untuk menolak tubuh orang itu. Kembali si baju putih mengibaskan tangannya. Tanpa dapat dicegah, sijago tua kena
tertolak mundur. Maka ketiga penyerbu itu segera bertindak ke ambang pintu. Justru rumah itu bakal kena diserbu, mendadak satu sinar pedang berkilauan dan angin mendengung dengung, mendesak ketiga orang itu mundur. Setibanya diluar, si baju putih memutar pedangnya, untuk mengadakan perlawanan, buat mencoba memukul mundur sinar pedang itu.
Siauwpek, yang telah berlompat keluar mendesak terus. Ia memaksa ketiga lawannya mundur.
Ban Liang melihat pada boneka diatas meja, lalu dia berseru: "Desak terus supaya mereka mudur "
Siauw Pek menyahut, dia mendesak keras. Kedua kacung segera menyerang dari kiri dan kanan.
Melihat orangnya maju, si baju putih mundur beberapa tindak, untuk berdiri menonton, dia memperhatikan gerakan gerakan pedang lawan. Agaknya dia sangat memperhatikan ilmu pedang lawan.
Kedua kacung itu masih muda, akan tetapi ilmu pedang mereka baik sekali, mereka dapat bekerja sama, maju dan mundurnya
rapih. Hanya sayang mereka menghadapi Ong Too Kiu Kiam, hingga
mereka tidak berdaya. Dengan segera mereka kena terkekang. "Berhenti" sekonyong konyong si baju putih berseru.
Kedua bocah mendengar mereka lompat mundur lima kaki.
Siserba putih menatap Siauw Pek, "Pernah apakah kau dengan Thiam kiam tong tanyanya.
"Beliau adalah guruku" sahut sianak muda terus terang walaupun ia merasa heran.
Dengan nada dingin, sibaju putih berkata. "Kalau begitu kaulah Coh Siauw Pek turunan Coh kam pek dari Pek ho bun kaukah yang telah bisa menyeberangi Seng su kio?"
Sambil berkata begitu, dia mengawasi terus dari atas kebawah dari bawah keatas.
Siauw pek tidak menyangkal. "Benar" sahutnya gagah. "Akulah Coh Siauw Pek sisa anggota satu satunya yang masih hidup dari Pek ho bun"
Siserba putih masih berkata pula, suara tetap dingin. "Belum tentu Mungkin masih ada satu Coh bun koan, yang masih hidup dikolong langit ini"
Disebut nama kakaknya itu membuat Siauw pek melengak, sekalipun dari mulut Soat kun dan Soat Gie telah ia ketahui tentang masih hidup kakaknya itu. Tapi dia tak berdiam lama.
"Tak usah kau menyusahkan hati memikirkan itu, tuan" katanya. Sibaju putih mengulapkan tangannya.
"Mari kita pergi" katanya, kepada kawan kawannya. Dan dia mendahului memutar tubuh untuk berlalu.
Kedua kacung itu menyahut, segera mereka pergi mengintil. Ban Liang memandang kepada Kho Kong.
"Tangkap dia" ia berseru.
Kho kong hendak memutar tubuhnya, buat ikut sibaju putih berlalu. Tapi Siauw pek menghadang dihadapannya.
"Adik Kho" kata ketua ini, sabar, "kemana kau mau pergi?"
"Aku pergi untuk melihat lihat, segera aku kembali," sahut sang
adik yang terus berlompat, untuk menerobos cegahan. Siauw pek
memutar pedangnya, mengurung saudara itu, mencegahnya pergi. "Kau mau lihat apa?" ia tanya. Kho kong mundur dua tindak,
"Untuk melihat mereka itu" sahutnya. Lalu, mendadak dia mengayun tangan kanannya, menimpukkan suatu sinar terang kearah ketua itu.
Siauw pek sampok senjata rahasia itu, sebatang jarum racun.
"Dialah orang yang menyamar saudara Kho" teriak Ban Liang. "Jangan biarkan dia lolos"
Siauw pek berlompat, untuk menikam punggung orang tua itu. Akan tetapi tidak dapat dia berbuat telengas. walaupun ada kata kata sijago tua itu ia masih ragu ragu. Orang mirip sekali dengan adik angkatnya itu. Maka juga pedangnya cuma menggores pecah baju orang itu.
"Kho kong" rupanya merasa tak ungkulan lolos, dia menyerang pula dengan senjata rahasianya, secara hebat sekali.
Siauw pek sudah siap sedia, ia berkelit. Toh ia terkejut. Sekarang ia tahu pasti, bahwa orang bukan Kho kong, karena Kho kong tidak seliehay itu dan juga dia tidak mempunyai senjata rahasia. Karena ini, ia maju pula, untuk mengulangi serangannya. Tapi, mendadak ia menjadi terperanjat bahwa herannya. Karena dengan mendadak saja Kho kong roboh terkulai...
Itu disebabkan Ban Liang, dengan menggunakan Ngo kwie souw hun ciu, telah menyerang dari jarak jauh, membuat orang terkena dan roboh seketika. Hanya ia menggunakan totokan.
Siauw pek berlaku cerdik dan sebat. Tanpa ragu pula, dia sambar tubuhnya "saudara" itu, buat diangkat, untuk segera dibawa kedalam rumah
Oey Eng mengawasi adik itu, yang matanya terpejamkan, nampaknya dia seperti terluka parah. Maka ia menoleh kepada Ban Liang untuk bertanya: "Loccianpwee, apakah loocianpwee menyerang hebat kepadanya?"
"Tidak," menjawab Ban Liang, yang segera menotok bebas adik kecil itu. Kho kong menghela napas, ia membuka matanya, tetapi lekas juga ia meram kembali. Oey Eng menatap tajam muka orang.
"Mungkinkah didalam dunia ini ada dua orang yang begini mirip satu dengan lain?" tanyanya. "Mungkinkah orang dapat mencari manusia yang mirip begini didalam waktu yang begini pendek...?" Lalu ia menoleh kepada sijago tua, untuk meneruskan berkata: "Aku lihat dia bukannya orang yang menyamar..."
"Pandanganku lain," berkata sijago tua. Mendadak saja, dengan luar biasa sebat, dia menyambar muka orang itu, yang kulitnya dijambak, maka sekejap itu juga, locotlah kulit muka orang itu. sebenarnya itu bukanlah kulit hanya gips
"Liehay Sungguh liehay" Oey Eng berseru berulang-ulang sambil menggeleng kepala. "Bagaimana orang begini pandai membuat penyamaran"
Selagi saudara ini berkata begitu, "Kho kong" sudah berlompat bangun dan tangannya digerakkan, menimpukkan jarum bisanya. Tapi, Siauw pek sangat sebat, tangannya menghajar kelengan orang itu, maka terlepas dan jatuhlah jarumnya itu. Dilain pihak, Ban Liang juga menghajar bahu orang itu, bahkan dia turun tangan berat
sekali, sampai lengan itu terlepas dan jatuh kelantai. Oey Eng tidak
kurang sebatnya. Dengan pedangnya, dia mengancam dada lawan.
"Siapakah kau?" tanyanya bengis. Orang itu menyeringai menahan rasa nyerinya, matanya mendelik terhadap anak muda yang mengancamnya, setelah itu dia memjamkan mata dan bungkam, giginya dikertak, guna menahan sakitnya.
Ban liang bertindak lebih jauh. Jeriji jeriji tangannya bekerja pada tenggorokan orang itu, untuk memencet sambil berkata dingin: "Kamu mau mampus" Tak akan tercapailah maksudmu."
Dengan suara susah, orang itu berkata: "Kamu sudah terlambat..." Lalu dengan mendadak dia roboh, napasnya berhenti berjalan
Oey Eng kaget dan heran, hingga dia melengak, "Dia mati..."
"Sayang..." mengeluh Ban Liang, "Aku telah menerkanya tetapi aku terlambat..."
"Dasar racunnya yang hebat, loocianpwee," kata Oey Eng. "Sebenarnya loocianpwee telah bertindak cepat sekali."
Ban Liang menggusur tubuh orang, katanya. "Nah, sekarang baru benar benar kita menghadapi ancaman bencana..."
"Kelihatannya siorang serba kuning penting sekali," berkata Oey Eng. "Asal kita tak lepaskan dia, musuh mungkin tak berani bertindak sembarangan."
"Tergantung kepada suasana nanti," kata sijago tua. "Saudara COh telah turun tangan, ini pula menambah kesulitan. Si serba putih itu liehay sekali, dia mengenali ilmu silat Thiam Kie Tong."
Semua orang heran liehaynya musuh itu. "Jika begini, loocianpwee," berkata Oey Eng kemudian, "bukankah sia sia usaha kedua nona itu?"
"Musuh memang liehay sekali," mengaku sijago tua. "Sayang kedua nona tak ada bersama kita, kalau mereka hadir, aku percaya mereka dapat menghadapinya. Atau sedikitnya kita bisa mengatur daya menentangnya..."
Mata Oey Eng bermain. Dia berpikir keras.
Siauw Pek sebaliknya berdiam saja. Matanya mengawasi sibaju kuning. Oey Eng heran menyaksikan gerak gerik ketuanya itu, ia sampai hendaknya akan tetapi Ban Liang keburu mencegah.Jago tua itu berkata perlahan: "Biarkan saja. Dia tentu memikirkan sesuatu..."
Setelah lewat berapa lama, terdengar Siauw Pek menghela napas panjang. Dari duduk, dia berbangkit. "Aneh" terdengar suaranya, seorang diri.
"Toako, apakah yang aneh?" bertanya Oey Eng, yang tak dapat lagi menguasai dirinya.
"Ini si serba kuning." menjawab ketua itu.
"Aku seperti telah mengenalnya. Telah aku pikir keras sekali tetapi aku masih tidak dapat ingat dimana aku pernah bertemu dengannya"
"Mungkin cuma mirip saja" kata sang adik angkat. Sianak muda menggeleng kepala.
"Tidak, tidak mungkin," katanya. "Pasti pernah aku bertemu dengan dia. Kesanku sangat mendalam Kenapakah aku tak dapat mengingatnya sekarang?"
"Saudara kecil tinggal bertahun tahun dilembah Bu Yu Kok," Ban Liang membantu mengingat ingat. "lembah disana sangat sunyi, pastilah saudara menemuinya bukan didalam lembah itu"
"Memang bukan. Di dalam lembah, kecuali kedua guruku, cuma aku satu2nya orang lain."
"Mungkin saudara akan menemuinya setelah saudara keluar dari lembah..."
"Bukan" sahut saudara kecil itu, pasti.
"Barangkali diwaktu kau masih kecil, saudara sewaktu kau masih berada diPek ho-po."
Ban Liang mengingatkan terlebih jauh. Sebagai seorang yang banyak pengalaman jago tua ini pandai berpikir dan menerka nerka pelbagai pertanyaan itu dapat membantu membangkitkan ingatan orang. Siauw pek menghela nafas.
"Aku tidak ingat," sahutnya. "Tapi, ada kemungkinan itu di Pek Ho Po sebab..." Samapi disitu, ia berhenti. Tak ingat ia hendak mengatakan apa. Ban Liang menghela napas.
"Sudah jangan pikirkan lagi." dia memberi nasihat. "Baiklah kau istiratah dulu, lain waktu baru kita mengingat ingat pula."
Sianak muda memejamkan matanya.Justru itu, air mata meleleh keluar dari kedua matanya ia pula mengernyitkan sepasang alisnya. Terang iaamat berduka. Oey Eng terperanjat. "Kenapakah kau toako?" tanyanya khawatir.
Siauw Pek membuka kedua matanya. "Aku ingat sekarang," sahutnya. "Dia mirip dengan..." "Dengan siapakah toako?"
"Ah, sudahlah" toako itu menjawab. "Baik aku tak usah sebutkan..." Tapi ia masih menderita. Ia memandang keluar rumah, terus ia berkata seorang diri: "Aneh Mungkinkah di dalam dunia ini
ada orang orang yang demikian mirip mirip satu dengan lainnya"..."
Oey Eng heran akan kelakuan ketua itu yang biasanya terus terang.
"Toako. mirip siapakah wanita ini?" dia tanya pula. Dia bersitegang sendirinya, hingga dia tak dapat menguasai rasa ingin tahunya.
Siauw Pek menyeringai, ia nampak sangat bersusah hati. Mau ia bicara tetapi gagal pula:
Ban Liang menarik tangan kawannya. "Sudah,jangan menanya lebih jauh," katanya. Oey Eng berdiam, herannya tak berkurang. Siauw Pek bangkit, terus ia bertindak keruang dalam. Ia jalan mondar mandir.
Oey Eng mengawasi punggung kawannya itu, hatinya berpikir; Siapakah sebenarnya wanita itu" Kenapa toako sangat berkesan terhadapnya" Kenapa toako sukar mengingatnya walaupun kesannya begitu mendalam?"
Siauw Pek berjalan monrfar mandir, tindaknya amat berat. Ia bagaikan lupa akan dirinya. Kemudian ia masuk kedalam kamar yang tirainya ia turunkan.
Oey Eng memandang Ban Liang. "Loocianpwee, bagaimana ini?" ia tanya.
"Ah kasihan, dia tengah berpikir amat berat" menjawab si orang tua. "Memang pikiran berat hebat deritanya."
Berkata begitu Oey Eng memandang si baju kuning Ia menambahkan; "Si baju kuning ini membuat aku tak sanggup berpikir..."
"Mestinya saudara kecil dan wanita ini mempunyai hubungan yang amat erat satu dengan yang lain" berkata Ban Liang, yang turut mengawasi siserba kuning itu.
"Nampaknya dia pun sangat dihargai saudara kecil. Kasihan saudara kecil. dia tetap belum bisa mengeluarkan apa yang dia pikir itu..."
"Siapakah kiranya dia?"
"Yang terang dialah orang yang lebih tua tingkatnya."
"Mustahil karena memikirkan seorang yang tingkatnya lebih
tinggi toako menghadapi kesulitan dan penderitaan begini?" "Saudara kecil tengah dalam keragu raguan yang hebat." "Mungkin aku mengerti sekarang tetapi..."
"Sudahlah, kita jangan pikirkan soalnya ini. Baik kita pikirkan soal membantu dia berpikir. Ada baiknya kita ingatkan dia akan peristiwa semasa dia kecil, atau yang mengenai peristiwa Pek Ho Po..."
"Oh ya..." "Bagaimana kalau kita sadarkan siserba kuning ini, untuk paksa
dia memberitahukan asal usulnya" MUngkin dengan begitu kita
dapat melenyapkan keragu raguan toako..." Ban Liang ragu ragu.
"Sekarang ini mungkin telah habis tenaga tak sadarkan diri dari si wanita" katanya. "Kalau kita sadarkan dia dan dia melakukan perlawanan, mungkin kita bakal melakukan pertempuran yang menyulitkan..." Ia menghela napas.
"Bukannya aku merendahkan diri, saudara kecil, kalau musti
bertempur, mungkin kita berdua bukanlah lawan wanita ini..." "Bagaimana kalau kita bebaskan dulu otot gagunya?"
Ban Liang bagaikan terperanjat. "Begitupun baik," katanya. "Mungkin dia seorang dengan kedudukan tinggi. Sekarang kita mendapat tahu bahwa dia sebenarnya wanita, karena itu, barang kali dia suka mengatakan sesuatu..."
Oey Eng mengangguk, terus ia bekerja. Ia menotok kedua lengan si baju kuning, sesudah itu ia menepuk jalan darah yang dapat membuat orang bicara.
Segera juga si baju kuning membuka kedua belah matanya. Tajam dia menatap bergantian Ban Liang dengan Oey Eng. Selama itu dia menutup mulut rapat-rapat.
Ban Liang batuk batuk perlahan. Agaknya dia menyesal. "Kami telah mendapat kenyataan kau adalah seorang wanita," katanya sabar, "Itu toh
benar, bukan?" Si baju kuning tenang, "Kalau kamu telah mengetahuinya, bagaimana?" dia bertanya. "Kamu tahu, kamu semuanya telah ditakdirkan mati. Aku tidak khawatir kamu nanti membuka rahasiaku"
Oey Eng mau bicara akan tetapi sijago tua mencegahnya. "Aku percaya kaupun sudah mengerti baik sekali," kata sijago tua ini sabar "Ialah bahwa sebelumnya kami semua binasa, kau bersama beberapa kawanmu yang telah kami tawan akan mati terlebih dahulu."
Wanita itu bersikap dingin.
"Aku khawatir kamu telah tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat demikian," katanya tetap sabar.
Ban Liang mengganda tertawa, "Ada beberapa hal yang tidak aku ketahui," katanya tawar. "Hendak aku beritahukan semua itu kepadamu."
Wanita itu tersenyum tawar, ia menutup mulutnya.
"Pihakmu telah beberapa kali mengutus orang berbicara dengan pihak kami," siorang memberi keterangan. "pihakmu telah mengusulkan untuk kita saling menukar tawanan, untuk menukar kau."
Ia berdiam sejenak, "dalam urusan kita ini, aku si tua mengerti suasana. Kami telah terkurung dirumah kamu ini, kalau selama sehari dan semalam kami masih selamat tak kurang suatu apa. Itu disebabkan kamu mengandal pengaruhmu. Karena kau berada bersama kami disini, mereka itu risi hati, mereka tidak berani lancang turun tangan."
Dan bibir wanita bergerak tetapi dia takjadi bicara.
"Sungguh dia sabar sekali." pikir sijago tua yang meneruskan berkata: "beberapa kali kami menolak usul menukar orang tawanan itu. sampai paling belakang, pemimpin kamu muncul sendiri berbicara dengan kami..."
"Siapakah orang itu?"
"Dialah seorang yang mengenakan pakaian serba putih serta putih juga penutup mukanya. Dia berdandan serupa caranya dengan caramu bedanya ialah yang satu kuning, yang lainnya putih..."
"Kalau begitu, dialah Pek Liong Tong..." kata si wanita, yang mendadak memutuskan perkataannya.
Jago tua itu tertawa, "Pek Liong Tongcu, bukan?" dia meneruskan kata kata wanita itu. Kembali si wanita berdiam, wajahnya tak berubah. Hanya sunyi sejenak, jago tua itu berkata pula : "Tahukah kau sikap pemimpin itu" Dia sudah tidak memperdulikan lagi soal hidup atau matimu. Tahukah kau bahwa dia tengah melakukan persiapan untuk melakukan penyerbuan besar terhadap kami?"
Soal mati atau hidup adalah soal besar, biar bagaimana hati si wanita ini tergerak juga. Dari berdiam saja dan memejamkan mata, sekarang dia membuka matanya itu. "Bagaimana kau ketahui itu ?" dia tanya.
"Bicara sebenarnya, Pek Liong Tongcu tidak mengatakan itu kepada kami," menjawab Ban Liang. "Hanya aku si tua, aku
mempunyai pengalaman beberapa puluh tahun. Dari cara bicaranya,
dari gerak-geriknya, mustahil aku tidak dapat membade hatinya ?"
Wanita itu tertawa dingin. Kembali ia memejamkan mata dan mulutnya tertutup rapat. Oey Eng mengernyitkan alisnya
"Cara bertanya begini..." pikirnya. Hendak ia bicara, tetapi tidak jadi, karena ia melihat sijago tua melirik kepadanya.
Ban Liang berkata pada dirinya sendiri : "wanita ini gagah sekali.jikalau timbul bentrokan, kita bukanlah lawan dia. Kalau dia sanggup membebaskan diri dari totokan. bukankah itu berbahaya, sebab kitajadi dikepung dari luar dan dalam"..." Oey Eng tidak tahu maksudnya jago tua itu tetapi dia nyeletuk, "benar"
Oleh karena itu, berkata pula sijago tua. "untuk keselamatan kita baik kita lebih dahulu memutuskan dua otot pahanya, supaya tidak bergerak-gerak lagi..."
"Bagus pikiran loocianpwee " menyambut Oey Eng, yang terus menghunus pedangnya.
"Sret" demikian terdengar suara nyaring dari keluarnya pedang dari sarungnya. pedang itupun segera memperlihatkan sinar berkeredepan. dan bahkan tanpa membuang waktu lagi, ujung pedang itu diteruskan dipakai menyontek celana lawan
Si wanita kaget bukan main. dia membuka kedua matanya. "Bukankah lebih selamat akan membunuhku mati saja?" katanya, berani "dengan begitu kamu tak usah mengkhawatirkan apa-apa lagi"
"Nyata tidak keliru terkaanku" sijago tua berkata. Ia tidak menghiraukan yang orang lebih suka dibunuh mati. "Nona, kedudukanmu di dalam golonganmu sama tingginya dengan kedudukan si orang berpakaian putih itu, apabila sampai teejadi kami tidak sanggup melawan pihak kamu, kami juga tidak khawatir bahwa kami bakal celaka, sebab kami mempunyai kau sebagai orang tanggungan"
Itu artinya sijago tua tidak mau membunuh wanita itu.
"Kamu menerka keliru" berkata wanita itu tawar. "Jikalau dia tidak mau turun tangan, itulah satu soal, akan tetapi, asal dia mau, semuanya tidak ada artinya Jangankan baru kamu menahan aku seorang, meski kamu menahan beberapa puluh orang lagi, semua percuma "
"Kau bicara sungkan sekali," kata sijago tua, sabar.
"Aku bicara dengan sebenarnya" kata siwanita mengdongkol, "Kamu percaya atau tidak, terserah Itulah urusan kamu"
"Jadi telah pasti kami bakal mati ?"
"Apa" Jadinya kamu masih memikir buat hidup lebih lama ?" tanya si wanita kembali.
"Semut masih menyayangi jiwanya, apalagi kita manusia Kalau
bisa, kamu mohon kau tolong tunjukkan kami satu jalan hidup..."
"Jikalau lain orang, masih dapat diurus," berkata siwanita. "Sekarang kamu berurusan dengan Pek Liong tongcu, soal tak dapat dipikirkan lagi..."
"Benarkah aku menerka Pek liong tongcu," pikir Ban Liang, "Nampaknya wanita itu kaget juga," Maka ia lalu berkata; "Jadinya menurut kau, sudah tidak ada jalan hidup lagi?"
"Sebenarnya masih ada satu jalan," menyahut siwanita.
"Sukarnya yaitu aku khawatir kamu tidak suka mempercayaiku"
"Bagus ya" pikir Ban Liang. "Hendak aku lihat kau" Kemudian ia bertanya; "Apakah daya itu" Coba kau tuturkan, untuk aku pahamkan. Asal itu dapat menolongjiwa kami, tidak apa seandainya kami mesti sedikit menderita kerugian."
Wanita itu berkata dingin. "Jikalau kamu ingin selamat, kamu harus berani menempuh ancaman petaka supaya kamu lolos dari kematian"
"Bagaimanakah caranya itu?"
"Kalau aku sebutkan, pasti kamu tidak percaya Lebih baik aku tidak menyebutkannya."
"Bagus" pikir pula sijago tua "Aku makin maju, makin makin maju..." Lalu ia kata pula: "Kau sebutkanlah. Mungkin aku situa masih menyayangi jiwa bangkotanku aku akan menerima baik jalanmu ini..."
"Pertama-tama yaitu kau bebaskan dahulu totokan atas diriku"
berkata siwanita. Mendengar begitu, Oey Eng tertawa dingin.
"Membebaskan dahulu kau dari totokan?" tanyanya mengejek.
"Jikalau kamu tidak percaya, nah, sudah jangan bicara lagi" memutus wanita itu. Ia mendongkol, tak sudi ia memperpanjang pembicaraannya.
"Jangan gusar nona." Ban Liang datang sama tengah. "Dia ini tidak mengerti urusan, jangan kau sependapat dengannya." Oey Eng memandang siorang tua, ingin ia bicara tapi ia membatalkannya.
Siwanita lalu berkata. "Pek Liong Tongcu itu, kepandaiannya berimbang dengan kepandaianku, namun bicara tentang orangnya, tentang sepak terjangnya, aku tidak dapat dibandingkan dengannya
" "Bagus ya Mula-mula kau menggertak aku" pikir sijago tua. "Kau lihat saja nanti..."
Si Wanita menyambung perkataannya. "Kami berdua, meskipun kami bekerja sama dan sama juga kedudukan dan tingkat kami tapi hati kami berlainan, maka itu, jikalau kamu tidak sudi membebaskan aku, inilah kebetulan, baginya jadi ada kesempatan yang baik untuk dia turun tangan jahat; untuk dia membiarkan aku binasa ditangan kamu, atau kita binasa sama-sama didalam rumah."
Oey Eng yang muda, yang kurang pengalaman, tak tahan hatinya. "Jikalau kami memerdekakan kau," katanya, "maka Pek Liong Tongcu itu akan tak
berdaya mencelakai kau, dia akan mencelakai kami saja."
"Jikalau kamu membebaskan aku, sewajarnya saja aku akan melindungi keselamatan kamu. Akan aku suruh orang-orang bawahanku mengantarkan kamu berlalu dari sini."
"sangat mudah kau menghitungnya. Apakah kau sangka kami bocah-bocah berusia tiga tahun" berkata Oey Eng.
Ban Liang campur bicara. Lebih dahulu dia menghela napas.
"Perkataanmu bukannya tidak beralasan," katanya. "Tapi karena itu kata-kata belaka, tidak ada buktinya, sulit buat kami untuk mempercayainya."
"Dengan orang berkedudukan sebagai aku, apakah kau sangka, aku bicara cuma buat mendustaimu?" tanya siwanita.
Ban Liang memandang kawannya, lalu ia berkata pada siwanita: "Aku siorang tua, jiwaku terlindung kebanyakan disebabkan aku pandai membawa diriku. Seumurku aku tidak mempunyai kekurangan, kecuali aku tampak akan hidup sebaliknya sangat takut mati. Menurut pikiranku,jikalau aku percaya kau, bagiku tambah sedikit pengharapan untuk hidup terus..."
Ia menoleh pula kepada kawannya, untuk menambahkan; "Hanya adikku ini, dia masih muda, dia selalu menuruti saja perangainya, semangat dia sedang berkobar karenanya aku khawatir dia tak sudi menerima baik syaratnya ini"
Wanita itu melihat sekeliling.
"Sekarang ini," katanya "kamu masih terdiri dari berapa orang?"
"Kami tinggal berdua," menyahut Ban Liang "Sebenarnya kami masih mempunyai dua orang kawan lagi akan tetapi mereka itu kena ditawan pihakmu."
wanita itu mengawasi dua orang didepannya itu, ketika Siauw Pek menyingkir kedalam. "Diantara kamu berdua, siapa yang terlebih liehay ilmu silatnya?"
"Aku!" jawab Ban Liang.
"Jikalau kau yang lebih gagah, bagus" kata wanita itu,
"Sekarang bunuhlah dia" Ban liang melengak, Inilah ia tidak sangka
"Kejam caranya ini," pikirinya. Tapi ia lekas berkata: "Sulit nona Benar aku terlebih gagah tetapi tak dapat dengan begini saja aku membunuhnya. Untuk itu kami harus bertempur dahulu selama tiga ratus jurus"
Wanita itu bersikap dingin. Dan dingin juga suaranya.
"Asal kamu mau dengar kata kataku," ujarnya "Akan kuajari kau
dua ilmu silat hingga selanjutnya kau akan dapat membunuhnya
dengan mudah bagaikan kau memutar balik telapak tanganmu"
Kembali Ban Liang berpikir: "Mungkin dari ilmu silatnya aku dapat menerka dia siapa..." Ia lalu menanya. "Ilmu apakah itu yang demikian liehay?" Oey Eng sementara heran sekali. Ia tidak dapat menerka hati siwanita, iapun bingung memikirkan kawannya Jago tua itu lagi menggunakan siasat apakah"
Ia pikir, kalau ia terus berdiam saja, bisa bisa wanita itu mencurigainya. Maka dengan suara dingin, ia berkata, "Saudara Ban, apakah kau hendak membereskan aku?"
"Bocah ini cerdas juga"pikir Ban Liang, yang girang mendengar suara orang. Tapi ia juga berkata dingin; "Kalau kau tak mau bekerja sama denganku, maka jangan kau sesalkan aku tidak mengenal kasihan " Oey Eng menghunus pedangnya, akan tetapi dia menuding sibaju kuning untuk menegur :
"Hai, perempuan celaka bagaimana kau mengadu domba kami dua saudara" Awas, akan aku bunuh kau"
Baru saja orang berkata begitu, tiba-tiba Ban Liang berlompat maju. sebelah tangannya dibarengi diulur, buat menjambret lengan kanan sahabatnya itu. Oey Eng berkelit dengan sebat, hampir tangannya kena dicekal.
Tanpa memberi kesempatan berbicara kepada anak mudaitu. Ban Liang berkata: "Sekarang ini kesempatan hidup kami satu-satunya ialah dengan mengandal kepada siwanita, maka itu jikalau kau memikir buat mencelakakan dia itu, berarti kau menentang aku " Siwanita mengawasi kedua orang itu, sikapnya tawar. Ia berdiam saja.
Oey Eng bagaikan tersadar, ia berkata: "Adalah biasa siapa ingin hidup dia membenci mati, oleh karena itu aku bukanlah orang yang memandang jiwa bagaikan permainan anak kecil"
Sekonyong-konyong siwanita tertawa terkekeh. Katanya: "Kiranya kamu berdua adalah orang-orang yang ingin hidup tetapi takut mati, kalau begitu, mudahlah untuk bekerja "
"Kami telah bersatu hati, nona, tolong tunjukkan kepada kami jalan hidup kami," berkata Ban Liang.
"Itulah mudah. Sekarang bebaskan dahulu aku dari totokan "
Ban Liang tertawa didalam hati dan berpikir: "Akulah seorang dengan banyak pengalaman, mustahil aku kena terpedaya olehmu?" selagi berpikir itu, ia bertindak menghampiri wanita itu. Oey Eng bingung sekali.
"Loocianpwee, jangan biarkan diri kita dipedayakan" teriaknya. "Kalau dia dibebaskan lalu dia tidak memperdulikan kita, bukankah kita bakal mati tanpa tempat pekuburan?"
Ban Liang tertawa pula dalam hatinya dan berpikir: "bocah ini masih menyangka bahwa aku bersungguh-sungguh" Ia lalu menjawab: "Kau benar. Memang berbahaya kalau kita bebaskan wanita ini dari totokan, akan tetapi aku situa, tidak dapat memikir jalan lain untuk menyelamatkan diri kita..."
"Siapa tahu selatan, dialah si orang gagah" berkata wanita itu, mengejek, "Kau benar-benar seorang cerdik" Ban Liang sudah datang dekat kepada wanita itu, dengan tangan kanannya, ia lalu menotok hingga dua kali didua tempat. Wanita itu terkejut, dia menjadi sangat gusar.
"Eh, kau bikin apakah?" tegurnya. "Apakah maksudmu ?" Ban Liang tertawa, ia menyahut dengan sabar: "Kau berkepandaian sangat tinggi, pasti
kau dapat membebaskan dirimu dari totokan kami, karena itu, kalau aku tidak menotokmu pula. bukankah kami terlalu sembrono ?"
Wanita itu tertawa dingin.
"Mustahilkah kamu tak takut mampus?" dia bertanya.
Ban Liang tersenyum. Dia menjawab: "Jikalau kami membebaskan kau, tak usah menanti tibanya Pek Liong tongcu, tentulah kami sudah tidak bernyawa lagi"
"Ah, sungguh licin tua bangka ini" pikir si wanita. Maka dia berkata dengan dingin: "Jikalau kelak dibelakang hari kamu roboh ditangan punco, tak dapat tidak mesti kami membikin hancur luluh tubuh kamu"
Ia menggertak gigi, pertanda bahwa kemurkaannya melewati batas, sedangkan sepasang alisnya bangun berdiri. Ban Liang pun berkata sama dinginnya: "Urusan dibelakang hari, nanti kita bicarakan pula dibelakang Hanya sekarang ini, didekat ini, aku situa mempunyai kesempatan membuat kau mati"
Wanita itu tersenyum jengah.
"Jikalau kau benar benar wanita sejati seharusnya ktia bertempur jurus demi jurus" tantangnya.
"Peperangan tidak mengenal tipudaya, nona" Ban Liang berkata, tersenyum. "Selagi hadap berhadapan dengan musuh, orang dapat menggunakan segala macam akal muslihat. hal itu tidak jelek, tidak mendatangkan malu"
Justru baru berhenti suara sijago tua, dengan mendadak terdengar suatu seruan: "Bebaskan dia"
Ban Liang dan Oey Eng berpaling dengan cepah Itulah suara Siauw Pek,
Dan anak muda itu bertindak mendatangi, wajahnya sangat lesu dan suram, agaknya dia sangat menderita.
Siwanita juga berpaling, dengan sepasang matanya yang jeli, dia memandang anak mudaitu. Hanya sejenak itu, hilang lenyap roman gusarnya. Sebaliknya, dia lantas tampak merasa aneh. Dia mengawasi dengan tertegun. Siauw pek bertindak terus, menghampiri si nona sampai dekat. lalu dengan mengulurkan tangannya, ia menepuk beberapa kali membebaskannya dari totokan. Sambil berbuat begitu dia berkata: "Nah kau pergilah" Siserba kuning bangkit dengan perlahan lahan ia merapikan topengnya. "Kau she apa?" dia bertanya.
"Aku Coh siauw pek, "jawab sianak muda, terus terang. Siwanita memakai topengnya, tak tampak dia bergusar atau bergirang, yang terang ialah tubuhnya bergerak-gerak bagaikan orang tengah bergemetar, suatu pertanda bahwa hatinya tegang sekali. Sesaat itu, sunyilah rumah itu.
"Hubungan apakah kau dengan Coh kam pek dari Pek ho bun?" kemudian siwanita bertanya.
"Ialah ayahku almarhum." Tubuh siwanita bergerak pula. "Apakah dia sudah meninggal dunia?"
"Ayah telah menutup mata sejak lima tahun yang lalu" "Cara bagaimana dia meninggalnya?"
"Ayah mati dikeroyok didepan jembatan Seng su kio oleh tangan orang-orang sembilan partai besar yang menyusul dan mengepung ngepungnya selama delapan tahun terus menerus"
Wanita itu berdiam sejenak, baru dia menanya pula. "Bagaimana dengan ibumu?"
"Ibu dan kakakku telah turut ayah meninggaikan dunia ini. Mereka juga berkelahi hingga mati didepan Seng su kio."
Wanita itu menanya pula, tawar. "Kenapa kau tidak menyembunyikan diri" Kenapa kau justru muncul dimuka umum?"
"Aku memendam sakit hati besar dan dalam bagaikan lautan, mana dapat aku tidak keluar untuk mencari balas?"
wanita itu berdiam. Terus ia tidak berkata pula sampai ia memutar tubuhnya dan berjalan pergi. Mulanya dia berlompat jauh setombak lebih habis itu ia berlari lari keras sekali, hingga dilain detik, lenyaplah bayangannya sekalipun. Ban Liang menarik napas perlahan.
"Saudara Coh, apakah kau kenal wanita itu?" tanyanya sabar.
"Rasanya aku kenal," sahut si anak muda. "Dengan perginya dia,pihak sana tak mengkhawatirkan apa-apa lagi," berkata sijago tua. "Sekarang ini kita benar benar terancam bahaya"
"Tidak bisa lain, kita harus bersiap mengadu jiwa" berkata Oey Eng, nekad. Dia heran tetapi dia tidak berani menyesaikan tindakan ketuanya itu. Ban Liang menatap muka sang ketua.
"Saudara Coh, pernahkah kau memikir tentang diri wanita itu?" ia tanya pula. Siauw pek memandang jago tua itu dan saudara mudanya.
"Kamu berdua tentu sangat bercuriga," katanya. "Sebenarnya malu aku untuk menyebutkannya akan tetapi aku toh mesti menyebutkannya juga."
"Jikalau toako merasa tak enak buat memberitahukan, lebih baik jangan kau memberitahukannya," kata Oey Eng.
"Dia mirip dengan satu orang..." kata Siauw Pek, menyeringai. Dia jengah, dia merandak.
"Dia mirip dengan siapakah, saudara kecil?" Ban Liang tegasi.
"Dengan ibuku..." sahut si anak muda, perlahan. Ban Liang dan Oey Eng melengak, Inilah diluar dugaannya.
"Benarkah?" berdua mereka menegaskan.
"Benar Tapi ibuku jelas sekali telah terbinasa didepan Seng Su kio..."
"Didalam dunia ada banyak orang yang mirip satu dengan lain," kata Ban Liang. "Mungkin kebetulan saja dia mirip dengan ibumu, saudara kecil..."
Dilain saat, nampaknya dia tidak menambahkan si anak muda.
"Apakah saudara mempunyai sesuatu buat bukti kenyataan?"
"Seingatku, telinga kiri ibuku ada tai-lalatnya, hitam, sebesar kacang hijau."
"Apakah saudara tidak salah ingat?"
"Tidak, Tai-lalat itu sangat berkesan dalam hatiku."
Ban Liang menjadi berpikir keras, hingga dia merapatkan kedua matanya. Ia berdiri menyender didinding. Siauw pek menghela napas, lalu mendadak dia bertindak keluar. Oey Eng kaget. "Toako mau pergi kemana?" tanyanya.
"Aku hendak mencari mereka itu untuk menantang bertempur," sahut sang ketua. "Aku hendak mengandalkan pedang dan golokku guna memutuskan siapa menang dan siapa kalah..." Mendadak Ban Liang membuka lebar kedua matanya.
"Saudara Coh, tunggu dahulu" kata dia. "Urusan kita sekarang ini
bukan lagi urusan yang bisa diselesaikan dengan kekerasan..."
Siauw pek mundur pula. Tapi kembali dia menghela napas. Katanya masgul: "Loocianpwee mempunyai pendapat apa untuk memecahkan keragu-raguan ini?" Nada suaranya itu mengandung kemenyesalan.
"Saudara kecil, apakah kau ingat seseorang bertanya sijago tua. "Siapakah dia?"
"Ceng Gie Loojin."


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ceng Gie Loojin" mengulangi si anak muda, agaknya dia terkejut. Dia bagai ingat sesuatu.
"Benar, Ceng Gie loojin, orang yang pandai luar biasa dalam ilmu pertabiban. Dia pandai membuat orang berubah wajahnya berubah jauh sekali"
"Maksud loocianpwee?" Ban Liang tertawa.
"Sekarang ini ada terdapat seorang Kang Ouw yang kejam sekali" dia berkata. "Dia telah memiliki kepandaian luar biasa seperti kepandaian Ceng Gie-Loojin itu. Mungkin dia sekarang telah membangkit salah mengerti didalam dunia Kang Ouw, untuk membuat sembilan partai besar bentrok dan saling bunuh, supaya di akhirnya dia menjadi si nelayan yang memperoleh hasil seorang diri... Ibu saudara sudah mati didepan Seng Su Kio dan kejadian itu saudara lihat sendiri"
"Jikalau dia itu bukan ibuku, cara bagaimana ia ketahui peristiwa Pek Ho Bun?"
"Nah, itu soalnya. Kita..."
Jago tua itu berpikir sebentar. "Siapa tahu kalau dia turut ambil bagian dalam pertempuran di Pek Ho Po itu?" ia menambahkan. "Atau mungkin dialah si biang keladi yang menciptakan peristiwa hebat itu... Harap saja perkiraanku ini tidak benar."
"Ah, kita melupakan satu hal." mendadak Oey Eng memecah kesunyian.
"Apakah itu, saudara kecil?" tanya Ban Liang.
"Orang yang menyamar menjadi saudara Kho Muka dia dipakaikan gips begitu rupa sampai kita kena dia kali. sayang, tadi kita lupa memeriksa muka wanita itu, dia memakai gips atau tidak..."
Ban Liang menggelengkan kepala, "Aku kira tidak," "Apakah tai-lalatpun dapat dipalsukan?" tanya Siauw Pek, "Dapat."
"Meskipun demikian, loocianpwee, tetap aku bersangsi..."
"Aku punya jalan untuk mengetahui asal-usul orang itu..." "Bagaimana, loocianpwee?"
"Coba saudara ingat baik-baik segala sesuatu dari masa yang telah lampau, nanti kalau kita bertemu pula dengannya, saudara tanya dia dengan teliti. seandainya dia dapat menjawab dengan baik, itulah soal sulit bagiku, tak dapat aku memikirkannya lagi. Akan tetapi, kalau sebaliknya, yaitu dia tidak dapat menjawab, terang sudah dialah si orang palsu"
Siauw Pek mengangguk. "Ia, kelihatannya cuma ada ini satu jalan," katanya. Sampai disini, nampak si anak muda menjadi lebih tenang. Ban Liang menoleh kepada Oey Eng.
"Tolong saudara sulut obat bius dari patung kemala itu," pintanya. "Jikalau aku tidak keliru, didalam tempo satu jam lagi, musuh pasti bakal datang menyerbu pula, bahkan kali ini secara besar besaran..." Oey Eng sekarang percaya benar si orang tua, maka ia lalu melakukan apa yang diminta itu.
Siauw pek ingat kedua Nona Hoan. katanya, "apa mungkin kedua nona itu dapat memecahkan persoalan ini."
"Kedua nona itu pintar luar biasa, cuma mereka belum berpengalaman," berkata Ban Liang "Mengenai kaum Kang Ouw, mereka gelap sekali. Untuk menanyakannya, lebih dulu harus dituturkan duduknya hal biar jelas kepadanya. Nanti, asal mereka sudah ikut kita, mereka pasti akan memperoleh kemajuan. Kecerdasan mereka akan besar sekali faedahnya bagi kaum Rimba Persilatan."
"Benarkah itu, loocianpwee?" tanya Oey Eng. "Kenapa sekarang
mereka seperti membiarkan kita terkurung didalam rumah ini?"
"Jangan kau lupa, saurtara, orang telah menyediakan kita tiga tipu daya tetapi kita memilih saja.Jadinya urusan terserah kepada kita sendiri."
"Loocianpwee benar," kata Siauw Pek, mengangguk.
Ban Liang menghela napas. "Cuma satu hal kedua nona itu lupa," katanya. "Mereka tidak meninggalkan daya lainnya andaikata tipu dayanya ini gagal..."
"Tak dapat kita sesalkan mereka," kata Siauw pek, "Mereka itu bercacat, mereka juga belum tahu tentang kelicikan kaum Kang Ouw."
"Lainnya lagi, musuh kita ini sangat tangguh," berkata Oey Eng.
"Sekarang begini," berkata Siauw Pek, mengambil keputusan. "Kalau musuh datang pula, akan aku hadapi mereka. Hendak aku coba pedang dan golokku ini "
"Kau sudah muncul, saudara kecil, memang tak usah kau bersembunyi lebih lama lagi. Baiklah kau pertunjukkan kegagahanmu terliadap mereka supaya tahu rasa "
Selagi mereka bicara itu, mereka mendengar siulan yang nyaring dan lama. Hari sudah malam, suara itu agak menyeramkan.
"Ban Loocianpwee, saudara Oey, waspadalah" berkata Siauw Pek, yang terus saja bertindak keluar.
Oey Eng mau mencegah saudara itu, ia menyambar tangannya, tetapi ia gagal.
Siauw pek membuka tindakan lebar, hanya sebentar, tibalah ia diluar. Sejauh tujuh kaki dari pintu, ia berhenti untuk segera memperdengarkan suaranya yang nyaring: "Tuan tuan siapa diantara kamu membuat buat menerjang masuk ke rumah kami ini, mari lewatkan aku dahulu" Kata kata itu ditutup dengan dihunusnya pedangnya yang tajam, yang sinarnya berkilauan.
Oleh karena mega menutupi si Puteri Malam, malam itu remang remang, segala sesuatu tampak samar samar.
Siulan terdengar makin lama makin dekat, hingga tampak terberak geraknya beberapa sosok tubuh.
Itulah tiga orang yang semuanya berdandan dengan singsat, muka mereka ditutupi sehelai kain hitam sebatas hidung, hingga
nampak mulut mereka saja. Mereka memain bagaikan mata hantu. Atas bentakan si anak muda, mereka berhenti berlari. Yang luar biasa ialah mereka itu membungkam.
"Jikalau kamu tak sudi bicara, hunuslah senjata kamu" Siauw Pek menantang. "Lekas kamu turun tangan"
JILID 26 Tapi orang itu saling mengawasi, lalu mereka mengeluarkan senjata mereka, yang sama seperti pakaian mereka. Itulah Kwie tauw loo golok berkepala hantu.
"Tuan tuan, kamu majulah berbareng" berkata si anak muda yang ditengah.
Musuh itu menangkis, atas mana dua orang kawannya maju membacok, Suara beradunya senjata lalu terdengar berisik. Setelah pedangnya ditangkis, Siauw pek meneruskan menangkis kekiri dan kanan. Dengan begitu, mereka segera mulai bertarung. Kali ini si anak muda sedang bersemangat, maka juga dengan segera sinar pedangnya mengurung ketiga lawannya. Mereka itu menjadi repot menangkis, hingga mereka tak sanggup membalas menyerang.
Ujung pedang tak hentinya bergantian mengancam tubuh dan
lengan mereka, sendirinya mereka menjadi kaget dan berkhawatir.
Ban Liang dan Oey Eng menonton, mereka bersiap sedia untuk membantu, akan tetapi menyaksikan demikian, mereka menonton terus.
Lewat sesaat, mendadak tiga orang berpakaian hitam itu lompat mundur dan kabur. Mereka heran berbareng jeri. Sebab beberapa kali telah terjadi, selagi mereka terancam tikaman, tahu tahu sianak muda tidak melukainya. Siauw Pek membatalkan serangan mautnya itu Maka mereka jadi insaf dan mundur teratur. Oey Eng heran.
"MUsuh banyak dan kita sedikit, kenapa toako tak mau merobohkan musuh" Kenapa musuh dibiarkan mengangkat kaki" Perlukah diwaktu begitu kita main belas kasihan?" demikian katanya.
Ban Liang mengerti, dia tidak merasa heran seperti kawannya yang muda itu. "Inilah dia arti dari ilmu pedang Kie Tong," katanya, "pertempuran, Thian kiam belum pernah melukai orang, kecuali karena sangat terpaksa. Didalam beberapa jurus saja, lawan biasanya mundur sendirinya. Saudara Siauw Pek telah menerima warisan ilmu kepandaian jago tua itu, pasti iapun meneladan gurunya itu."
Oey Eng tetap heran, katanya: "Kalau musuh Thian kiam tidak
melukai orang, bukankah orang jahat tak usah menjadi takut?"
"Sebaliknya, karena orang insyaf, orangpun tak ada yang berani ngotot berkelahi terus."
"Inilah justru yang membuatku tidak mengerti..."
"Memang demikian. Kalau orang mengerti Thian kiam tidak lagi dipanggil Thian kiam."
"Bagaimana sebenarnya, loocianpwee?"
"Dahulu itu, ketika Kie Tong masih hidup dalam penjelajahan, ada lima orang kosen yang ingin mendapatkan ilmu pedangnya itu," sijago tua bercerita. "Untuk itu, mereka menggunakan tipu daya, yang mereka anggap sempurna sekali. Selama tiga tahun mereka menanti dalam kesabaran. Satu kali, tibalah saat yang mereka cari itu. Kau tahu, apakah yang mereka perbuat" Yang dua menyerang Kie Tong, yang tiga menonton sambil bersembunyi. Yang dua itu berkelahi dengan bergantian. hingga mereka bisa bertempur lama. Walaupun demikian, yang tiga itu tidak dapat menangkap jurus jurusnya Thian kiam, hingga akhirnya mereka berlima ngeloyor pergi dengan masgul dan lesu."
"Benar-benar luar biasa"
"Ya Tak seorangpun yang dapat menyangkok ilmu pedang itu..."
Pembicaraan mereka terputus dengan munculnya empat orang
berseragam hitam, yang bertopeng hitam juga. Mereka datang
dengan membawa obor. Merekapun tak membekal senjata.
"Apakah maunya mereka itu?" tanya Oey Eng heran.
"Mungkin mereka hendak mengajukan jagonya untuk menempur saudara Coh..." Ban Liang mengutarakan dugaannya. Lalu terdengar suara nyaring dari seorang berpakaian hitam itu: "Kami datang atas perintah untuk menyampaikan berita pertempuran."
"Nah, benarlah terkaanku," kata Ban Liang.
Segera muncul empat orang lain. Mereka ini berseragam merah
dan senjatanya masing masing berlainan. Mereka juga mengenakan
topeng, hingga hanya tampak mata dan mulut mereka Saja.
"Terang perbedaan tingkat mereka berada pada warna pakaian
mereka," berkata Ban Liang. "Baik kita memperhatikannya."
"Mungkin warna merah berarti orang orang kosen mereka," Oey Eng menerka. Ban Liang mengangguk,
"Coba teliti, adakah sesuatu yang beda diantara mereka itu?"
"Aku tidak melihatnya," sahut Oey Eng menggeleng kepala
setelah dia mengawasi sekian lama kepada empat orang itu.
"Coba perhatikan sulaman pada dadanya" Si anak muda mengawasi pula Sekarang ia melihat sulaman bunga, yang merah seperti bajunya, setiap orang mempunyai setangkai bunga itu, semuanya sama jumlah lembarannya. Yang beda ialah warnanya, merah dan merah muda.
"Dasar orang tua" ia memuji jago tua itu. Sementara itu keempat
orang berseragam merah itu sudah mendekati Siauw pek,
"Loocianpwee, kalau mereka itu mengepung, kita bantu toako atau Jangan?" Oey Eng tanya.
"Tak usah," sahut sijago tua. "Puluhan tahun Kie Tong malang melintang dalam dunia Kang Ouw, belum pernah ia menemui lawan
yang sanggup mengalahkannya. Pernah satu kali ia dikepung delapan belas jago, tetapi belum sampai lima puluh jurus, satu per satu musuh musuhnya itu mundur sendirinya. Satu lawan satu, dikeroyok ilmu pedang Kie Tong sama saja."
Kata kata jago tua itu diputuskan oleh satu pertanyaan nyaring kepada Siauw Pek: "Tuan apakah ilmupedangmu warisan dari Thian kiam kie tong?"
"Kalau benar, bagaimana?" Siauw pek balik bertanya. Dia tertawa hambar.
"Ilmu pedang Kie Tong tak takut dikepung," berkata si baju merah yang berdiri
disebelah kiri. "Kalau benar aku mewarisi Kie Tong, kami berempat maju berbareng. Kalau tidak, lain soalnya "
Siauw pek mengawasi orang yang disebelah kiri itu, yang ia terka sebagai pemimpin Pedang dia itu pedang biasa, cuma sedikit lebih panjang. Yang kedua menggunakan-poan koan pit, senjata mirip alat tulis (pit), hanya milik dia itu berkilau merah emas dan panjangnya dua kali daripada yang lazim. Yang ketiga memegang gaetan gouwkouw kiam, yang ujung tajamnya berwarna biru, pertanda bahwa senjata itu telah direndamkan bisa. Orang keempat bersenjatakan sepasang gaetan jit-goat-siang-kauw.
o&DOoio Empat orang menggunakan empat macam senjata tetapi mereka mau berkelahi dengan main mengepung, itulah tanda bahwa mereka telah melatih diri. Siauw Pek tidak takut hanya dia menegaskan : "Jadi kamu mau maju berbareng ?"
"Bagaimana" Benarkah ilmu pedangmu ilmu pedang Kie Tong?"
lawan itu membaliki. "Tak ingin aku menjawab pertanyaanmu ini"
"Sungguh sombong " berkata orang yang bersenjatakan sepasang gae tan jit goat siang-kauw itu sambil maju untuk turun tangan terlebih dahulu. Kedua gaetannya itu, dari kiri dan kanan
nergerak bagaikan "dua ekor naga keluar dari dalam air" {Jie Liong Cut Swie).
Siauw Pek menyampok kekiri dan kekanan menahan lajunya gaetan itu.
"Ilmu pedang yang bagus" memuji orang yang bersenjatakan pedang, yang terus membacok,
"Dia bertenaga besar," pikir Siauw Pek, yang mendengar suara anginnya pedang. Ia menangkis membuat senjata lawan mental ke samping.
Sekarang majulah lawan yang bergegaman poau-koau-pit. Dia menotok dada. Sama seperti melayani musuh yang menggunakan jit-goat siang kauw, si anak mudapun memegat senjatanya lawan ini, hanya kali ini, ia dibarengi diserang juga oleh musuh yang memegang gaetan gouw kauw kiam, yang menikam perut. Kembali Siauw pek menangkis. Sekarang ia tahu, semua lawan tak boleh dipandang enteng.
Oey Eng bingung, "Loocianpwee, apakah kita maju sekarang ?" dia tanya kawannya.
"Tak usah saudara kecil," sahut orang yang ditanya. "Kau lihat, saudara Coh sedang berkelahi dengan bersemangat sekali,jangan
kita ganggu dia. Pertempuran baru saja dimulai, Tak mudah saudara
Coh terkalahkan. Misalkan kita membantu, faedahnya tidak ada..."
"Tapi tak dapat kita menonton saja " kata Oey Eng, tetap berkuatir.
"Sabar saudaraku. Aku percaya tak sampai sepuluh jurus, perubahan bakal terjadi. Lekas juga saudara COh akan mulai dengan serangan balasannya untuk memecah kurungan..."
Oey Eng menatap kemedan laga. Lekas juga hatinya menjadi lega. Benar kata Seng Su poan sijago tua yang banyak pengalamannya itu. Lagi beberapa jurus, Siauw Pek sudah lolos dari kurungan Dan Ban Liang tersenyum.
"Bagaimana?" tanya pada kawannya.
"Benar dugaan loocianpwee" Oey Eng mengakui.
Diantara cahaya obor, sinar pedang Siauw Pek tampak berkilauan tak hentinya. sinar itu berputaran terus hingga perlahan lahan keempat lawannya kena terkurung.
"Sungguh luar biasa" Oey Eng memuji saking kagumnya. Baru sekarang ia melihat tegas kepandaian ketuanya itu.
Ban Liang berkata keras. "Empat orang itu berkelahi karena perintah mestinya mereka nekad," katanya. "Kalau saudara Coh melayani mereka terus secara begini, aku khawatir ia nanti keburu letih sendirinya..."
Jago tua ini tahu saudara itu masih terlalu muda dan juga kurang pengalaman.
"Habis bagaimana ?" Oey Eng bertanya.
"Seharusnya dia berlaku keras, sedikitnya dengan melukai empat musuhnya itu."
"Sebenarnya tak ada halangannya untuk membunuh sekalipun terhadap mereka " kata Oey Eng pula. "Sudah terang merekalah orang-orang jahat"
"Untuk melukai mereka, memang lebih cepat lebih baik..."
"Nanti aku peringatkan toako..." kata Oey Eng yang terus
berkaok : "Toako,jangan melayani lama lama mereka itu. Mereka
bukan orang orang baik-baik. Baiknya toako bunuh saja mereka itu"
Siauw Pek sendiri sudah merasa, bertempur lama lama bukanlah cara yang sempuna. Ia tahu pula, walaupun ia telah berhasil
mengurung, keempat musuh bukan musuh sembarangan. Maka itu,
mendengar suara adiknya, segera ia memperkeras desakannya.
Hanya dalam dua gebrakan, keempat musuh terpaksa mundur.Justru itu, si anak mudapun menggeser pedangnya ketangan kiri, sedang tangan kanannya meraba goloknya. Ia
mengawasi tajam kepada semua musuhnya, terus ia berkata dingin: "Tuan tuan, kamu berempat telah melayani Thian kiam, pedang ini, apakah kamu ingin juga merasakan Pa Too golokku?"
Empat orang itu mengawasi tanpa bergerak, Rupanya mereka telah insyaf akan liehaynya pedang penakluk itu. Tapi tak dapat mereka berdiam lama-lama. Yang bersenjatakan gaetan gouwkauw- kiam lalu berkata kepada kawan kawannya; "Anak ini masih muda, dia berhasil mempelajari Thian kiam dan juga Pa Too, karena usianya itu, mungkinkah ilmu goloknya sama liehaynya dengan ilmu pedangnya?"
"Juga, tak mungkin dia memiliki keuletan," berkata orang yang
menggunakan tan koan pit. "Sebaiknya kita menCoba Coba..."
"Ketiga hu-hoat," berkata orang yang menggunakan gaetanjie- goat siang kauw, "tolong lindungi aku, aku yang akan menCoba dia" setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, dia berlompat maju.
Siauw pek sudah bersiap sedia, menyakskan majunya orang itu, ia memasang mata terlebih tajam. Diam-diam dia menghafali kata- kata ilmu golok Siang Go. Kata kata si sepasang gaetan itu jumawa, akan tetapi, selagi majunya mendekati, dia berhati hati, tindakannya perlahan. Sementara itu ketiga kawannya mengawasi tangan lawan yang berada diatas gagang golok, Mereka ingin melihat bagaimana golok itu digerakkan.
"Benar benarkah kau hendak menCoba?" Siauw pek bertanya. Sang lawan maju terus. Dia membungkam.
"Tuan aku telah beriperingatan kepadamu.Jangan kau salahkan aku" Masih lawan itu bertindak maju.
"Kau bandel, tuan Jangan kau sesalkan aku Aku terpaksa "
Si baju merah berlagak tuli, dia maju terus. Siauw pek melihat lawan terpisah darinya tinggal tigakaki lagi, sambil berseru:
"Terimalah bagianmu" ia menghunus goloknya untuk terus menyerang. "Aduh" demikian jeritan si baju merah, yang darahnya terus muncrat.
"Benar benar golok Pa Too dari Siang Go" berseru si baju merah yang bersenjatakan poan koan-pit. Dia kaget tetapi dia masih dapat mengeluarkan seruannya itu.
"Padamkan api" teriak si baju merah yang memegang gaetan gauwkauw-kiam.
Hanya sedetik, padamlah semua obor. Maka gelaplah disekitar mereka semua.
"Toako" terdengar suaranya Oey Eng. "Kau telah melukai satu orang itu berarti permusuhan makin hebat. Baik toako jangan beri ampun tiga musuh lainnya itu"
"Ya, saudara kecil" Ban Liang turut berkata. "Rahasia tentang dirimu sudah pecah, tak dapat kau main kasihan lagi" Siauw Pek memang lagi mendongkol, mendengar lanjutan kedua kawannya itu, ia menggerakkan pula goloknya.
"Aduh" demikian satu teriakan lainnya.
Kali ini yang roboh binasa adalah sibaju merah dengan-poan koan pit ditangannya.
Menyusul itu, riuhlah suara derap kaki orang, sebab didalam kegelapan itu, dua orang berbaju merah lainnya segera lari sipat kuping dan perbuatannya itu ditiru oleh empat orang berbaju hitam, yang tadi membawa obor Siauw pek mengawasi sebentar kepada mayat mayat kurbannya, ia menghela napas, kemudian ia memutar tubuh untuk kembali kedalam rumah.
"Sungguh golok tunggal jagat" Ban Liang mengutarakan rasa kagumnya.
"Terlalu hebat, terlalu telengas..." berkata Siauw Pek, "Asal golok dihunus, orang tak punya pilihan lagi..."
"Apa katamu, saudara kecil" Ban Liang bertanya.
"Aku bilang, asal golok dihunus, tak ada pilihan lagi..." sahut si anak muda. Ia menghela napas pula.
"Ada orang-orang berdosa tetapi bukan dosa mati." berkata pula si anak muda, "cukup kalau dia hilang sebuah tangan atau sebelah
kakinya, akan tetapi, asal aku menghunus golokku, aku tidak dapat
memilih tangan atau kaki..." Mendengar itu Ban Liang terbahak.
"Jikalau kau dapat memilih, lain orangpun dapat berkelit" katanya. "Kalau sampai terjadi begitu, Hoan Uh It Too bukan lagi golok tunggal jagat"
Siauw Pek tertegun. "Mungkin kau benar, loocianpwee..."
"Toako, gerakan golokmu sangat cepat, tak sempat orang melihatnya," kata Oey Eng.
"Ya, begitu cepat hingga lawan tak berdaya sama sekali," Ban Liang menimpali. Siauw pek berdiam.
Ban Liang menepak bahu kawan itu, ia berkata: "Saudara kecil, Thian Kiam alat pembela diri dan Pa Too senjata menyerang, kau telah memiliki dua-duanya, sekarang aku mohon bertanya, dapatkah kau membedakan keduanya: yang mana yang lebih sempurna?"
Si anak muda menggeleng kepala.
"Sukar, loocianpwee. Tidak ada waktu buat kedua senjata itu saling bentrok."
"Ya, memang Kie Tong dan Siang Go belum pernah bertempur satu dengan lain, hingga orang tidak tahu bedakepandaian mereka berdua."
"Tapi itu ada baiknya," berkata Oey Eng. "Mereka dapat hidup berdampingan dengan damai..."
"Dan yang menarik hati," Ban Liang menambahkan, "sekarang Thian Kiam dan Pa Too keluar dua-duanya dan disatu tangan... Dahulu itu orang mengatakan Kie Tong dan Siang Go sengaja pergi melintasi Seng Su Kio untuk bertarung mati-hidup disana..."
"Itulah tak lebih tak kurang terkaan rendah saja" Siauw Pek
berkata. "Yang benar, kedua loocianpwee itu hidup dengan damai."
"Kasihan mereka, orang orang yang gagal menyeberangi jembatan maut itu..." mengeluh Ban Liang.
"Memang seharusnya, Seng su kio sukar dilalui," Siauw pek beritahu. "Aku sendiri melintasinya tanpa merasa..."
"Itulah untung bagusmu, saudara kecil. Tidak demikian, mana Thian Kiam dan Pa Too muncul pula?"
"walaupun demikian, aku tak tenang hati. Aku kuatir, aku tidak dapat memenuhi pengharapan kedua loocianpwee itu, untuk membuat pamornya tetap bercahaya..."
Tengah mereka bicara itu, tampak sinar api dipuncak gunung. Melihat itu, tiba-tiba Ban Liang ingat sesuatu, maka ia segera menarik tangan kedua anak muda disisinya. "Mungkin itulah api yang dinyalakan kedua nona" berkata ia, "Coba perhatikan, mungkin api itu merupakan suatu pertanda."
Siauw Pek kedua Oey Eng segera mengawasi. Api itu terpecah menjadi dua gumpalan asap dan mumbul naik.
"Apakah artinya itu, loocianpwee?" tanya Oey Eng tidak mengerti. Ban Liang menggeleng kepala. "Didetik ini, akupun tidak mengerti," sahutnya. Oey Eng heran. Kalau begitu, kenapa jago tua ini menerka api itu dilepas oleh kedua nona Hoan" Iaheran tapi matanya mengawasi terus.
Api itu lalu menunjukkan keanehan lainnya. Dari dua, gumpalan berubah menjadi empat, lalu dari empat, berubah pula menjadi delapan
"Apakah artinya itu?" tanya Siauw pek yang heran seperti Oey Eng.
"Mungkin..." berkata Ban Liang, yang ragu ragu juga. Kembali perubahan pada api itu. Dari delapan gumpalan, muncul pula dua gumpalan kecil yang terus naik keatas. "Benar-benar pertanda ..."
berkata sijago tua. Tapi perkataannya terputus karena segera mereka melihat beberapa sosok tubuh muncul dari tempat gelap, bertindak perlahan kearah mereka, kearah rumah. Diantaranya orang yang berjalan dimuka mengenakan pakaian putih mulus.
"Pek Liong Tongcu muncul sendiri" berkata sijago tua kepada kedua kawannya, "Saudara Coh, dialah pemimpin lawan pada malam ini, jikalau dia dapat dibekuk, tak sukar buat kita lolos dari ancaman petaka ini..."
"Lihat Lihat api itu" Oey Eng berseru.
Siauw Pek dan Ban. Liang mengawasi kepada api, yang kembali berubah, hanya kali ini gumpalan-gumpalan itu, walaupun samar- samar, merupakan hurup "siu". "jaga". Itu berarti. orang harus berjaga, mempertahankan diri. Si serba putih berjalan terus, terpisah lima atau enam kaki dari pintu, baru ia menghentikan tindakan kakinya.
"Coh Siauw Pek silakan keluar untuk bicara" katanya tawar. Si anak muda tercengang.
"Eh, kenapa dia mengetahui namaku?" pikirnya. Tapi ia bertindak menghampiri, kemudian terus bertanya: "Kau siapakah, tuan?" Tiba- tiba cahaya api berkelebat, maka tampak teranglah diantara mereka. Dua orang di kiri kanan sibaju putih telah menyulut lentera angin ditangan mereka masing-masing,
lentera mana terus diangkat tinggi tinggi. Orang baju putih itu mengenakan topeng.
"Kau Coh Siauw pek?" dia tanya pula habis dia mengimplang. Tak mau dia menjawab pertanyaan si anak muda.
"Ya, itulah aku," sahut Siauw Pek, sabar.
"Jadi kaulah orang yang dapat menyeberangijembatan Seng Su kio, yang berhasil memperoleh warisan Thian Kiam kie tong dan Pa Too siang Go?" dia bertanya pula. melit.
"Tidak salah Habis bagaimana?"
"Apakah kau yang tadi membinasakan dua Ang ie hu hoat dari pihak kami?" masih siserba putih itu mengajukan pertanyaannya. "Ang ie hu hoat" ialah "pelindung undang undang berseragam merah."
"Jikalau kau artikan orang orang yang menyerang aku dan kita jadi bertempur karenanya, ya"
"Oh, hebat ilmu silatmu" mendadak siserba putih berseru, dia memuji sambil membentak terus dia tertawa dingin.
"Kau cuma memuji" kata Siauw pek tenang.
"Eh Coh Siauw pek, maukah kau turut punco menjenguk leng tong?" kembali si serba putih menanya. Dia membahasakan dirinya punco, makajelaslah bahwa dia menjadi tongcu, kepala, dari Pek Liong Tong, bahagian "Naga Putih" dari perkumpulannya itu. Dia pula menyebut "leng tong" yang berarti "ibumu yang terhormat" sebagai pertanda bahwa dia masih menghormati sianak muda. Siauw pek terkejut.
Ia merasa seperti juga dadanya tertentu hebat. Ia kaget bahkan heran toh hatinya terpengaruh juga.
"Ibuku telah mati dalam pertempuran didepan Seng Su kio," katanya. Si serba putih tertawa dingin bagai semula.
"Yang mati itulah yang palsu. Ibumu yang melahirkan tuan masih hidup"
"Aku tak percaya" berseru sianak muda.
"Jikalau tuan tak percaya, mari bersamaku melihatnya, nanti kau memperoleh kepastian"
Tiba tiba Siauw Pek menghunus pedangnya.
"Aku ingin mencoba dahulu ilmu silatmu tuan" ia menantang.
Siserba putih itu melengak. Ia rupanya tak menyangka akan tantangan itu. Setelah sadar dia tidak menjawab, hanya dia berkata, tetap dengan nada dingin: "Tuan jikalau hari ini kau tidak pergi
menemui ibumu aku kuatir lain kali bakal tidak ada kesempatan lagi!"
Siauw Pek berdiam. Ragu ragu.
Mendadak Ban Liang menyela: "Saudara Coh. Jangan beri dirimu dipedayakan"
"Jangan khawatir..." berkata si anak muda yang terus menatap tajam siserba putih, untuk berkata: "Tuan, jikalau kau tak tega menghunus senjatamu, maaf aku hendak turun tangan"
Masih siserba putih berlaku tenang. Katanya dingin: "Jikalau kau tidak percaya perkataan punco ini, kelak di belakang hari punco khawatir kau bakal menjadi sangat menyesal"
Tapi sekarang dia tidak hanya berbicara saja mendadak tangan kanannya bergerak, maka di lain detik, ditangannya itu telah tercekal sehelai joan pian, cambuk lunak mirip tubuh ular habis itu dia menambahkan:
"Andaikata tuan benar mewarisi Thian kiam dan Pa Too, punco tak takut padamu" Siauw pek sudah mengangkat tangannya, untuk menyerang, tapi tiba-tiba ia membatalkan.
"Dimanakah ibuku sekarang?" ia tanya.
"Tak jauh dari sini, dirumah seorang petani" sahut siserba putih.
"Saudara COh" Ban Liang berkata keras "Jangan kau lupakan ilmu tabib liehay dari Ceng gie loojin yang pandai merubah wajah orang".
Siserba putih berkata "Ilmu tabib yang lihay memang dapat merubah wajah orang tetapi tidak ingatannya, sifat diantara ibu dan anaknya"
Ban Liang berlompat keluar. "Saudara Coh, jangan kena tertipu" ia berseru.
Siserba putih mengawasi tajam sijago tua,
"Kau siapakah?" dia bertanya bengis.
"Seng sultan Ban Liang" siorang tua menjawab.
"Ha ha ha" orang itu tertawa lama. "Aku siapa, kiranya kau Kau berumur panjang juga"
"Mendengar kata katamu tuan, rupanya kau kenal aku?" kata sijago tua.
"Pernah kita bertemu beberapa kali."
"Kau siapa, tuan?"
Orang itu tertawa dingin.
"Jikalau kau ingin ketahui namaku, tunggulah lain waktu" sahutnya.
"Kapankah" "Sedetik dimuka kematianmu"
Sekarang Ban Liang yang tertawa.
"Masih ada satu waktu lainnya" berkata ia menimpali lagak orang. "Rupanya tuan melupakan waktu itu"
Si serba putih agak heran. "Kapankah waktu itu?" dia tanya.
Ban Liang tertawa pula. "Sesudah kau mati, tuan. Ketika itu maka banyaklah waktu luang untuk aku mengenali wajahmu"
Orang tua ini segera berpaling kepada kawannya. "Saudara COh, jikalau kau dengarkan kata kata dusta manis madu dari orang ini, bukankah kau jadinya kena terpedayakan?"
"Jikalau dia bicara benar?" Siauw Pek balik bertanya. "Jika kata katanya benar, maka dia haruslah ditawan. Mustahil kau tak akan bertemu dengan lengtong?"
Siauw pek berdiam sejenak. "Loocianpwee benar" katanya.
Kemudian dia maju untuk menikam. Si serba putih berkelit.
"Jikalau kau dengar siorang she Ban, kamu bakal menyesalpada akhirnya" berkata dia.
Siauw pek tidak meladeni kata kata orang itu, ia mengulangi serangannya. Tak dapat si serba putih tak melayani kecuali dia mau dapat celaka, maka dia lalu berkelit, untuk balas menerjang. Pandai dia menggunakan senjatanya, cambuk yang lunak itu. Diapun lincah sekali Tapi Siauw Pek bukan berkelahi secara biasaia bukan diserang lebih dulu, ia hanya menyerang, maka ia segera mendesak.
Ia perlihatkan Tay Pie Kiam hoat, Ilmu Pedang Mahakasih.
Baru lima jurus, cambuk lunak mirip ular dari siserba putih sudah
kena terkekang, tak peduli tongcu itu sebenarnya gesit dan lihay.
"Saudara Coh" Ban Liang berseru. "Jangan kau binasakan dia, dia harus ditangkap hidup"
Itulah kata kata biasa akan tetapi buat si serba putih, itulah hebat. Dia justru kena terpengaruhkan, karena waktu itu dia telah insaf bahwa dirinya terancam bahaya, karena dengan joan pian dia tidak bisa berbuat banyak dia terlalu repot membela diri.
Siauw pek benar benar memperhebat serangannya, hingga orang cuma bisa berkelit berulang ulang. Sayang orang itu memakai topeng, jikalau tidak, pasti akan terlihat wajahnya yang menunjukkan dia sangat bingun dan khawatir. Yang jelas ialah gerakan gerakan kakinya mulai tak teratur.
Setelah sepuluh jurus tak dapat si serba putih bertahan lagi, maka tiba tiba dia mencelat keluar dari gelanggang.
Siauw Pek tertawa dingin. Dia memasukkan pedangnya kedalam sarungnya, dan sebagai gantinya terus ia meraba gagang goloknya. Ia menghadapi lawan dan bertanya: "Tuan, kau sudah belajar kenal dengan Thian Kiam Apakah sekarang aku juga mau menCoba Pa Too?"
Si serba putih tidak menjawab, hanya mendadak dia menepuk tangan tiga kali. Lalu datang sambutan yang berupa siulan panjang disusul dengan nyalanya api ditempat gelap sejauh sepuluh tombak, maka segera tampaklah empat batang obor. Itulah empat orang berseragam hitam, yang terus bertindak menghampiri. Dibelakang
tiap orang itu mengikut masing masing empat orang lainnya yang berseragam merah, yang semuanya bersenjatakan Kwie tauw too golok Kepala Setan yang tebal dan mantap. Cepat datangnya keempat obor itu sebentar saja mereka sudah berada disisi si serba putih.
Baru sekarang si serba putih berbicara. Katanya: "Thian kiam kie tong dengan sebatang pedangnya sudah malang melintang dalam dunia Kang Ouw puluhan tahun tanpa lawan, maka itu kalau tuan telah menjadi ahli warisnya, beranikah kau menCoba Cap jie Lian hoan Too Tin?"
"Cap jie Too tin" ialah barisan teristimewa yang bersenjatakan golok berantai (too lian hoan) yang terdiri dari dua belas orang "capjie" Selagi dia bicara itu, dengan sendirinyalah orang orang dari barisan istimewanya itu sudah segera mengambil sikap mengurung sianak muda.
Ban Liang yang pengalaman memasang mata yang setajamnya.
"Saudara Coh," dia memperingatkan. "mereka ini hendak mengepung kau, maka tak usahlah kau main belas kasihan lagi, sebelum mereka rampung mengatur barisannya, baik kau mendahului menghajar mereka untuk merobohkan beberapa diantaranya"
Jago tua ini menjadi ingat "Lo Han Tin", barisan istimewa hehat dari partai Siauw Limpay. Maka tidak mau ia kawannya nanti bahaya. Ia tahu, kalau sebuah tin mau dihancurkan, cukup dengan merobohkan satu atau dua anggotanya. Ia juga heran ada tin terdiri dari dua belas orang, sedangkan yang biasa hanya lima atau delapan orang saja.
Luar biasa cepatnya, pasukan istimewa lawan sudah teratur sempurna.
Siauw pek batal menghunus goloknya, ia mencabut pula pedangnya. Ia menoleh kepada Ban Liang seraya berkata: "Loocianpwee, silakan mundur kedalam rumah" Jago tua itu tahu bahwa dia tidak bisa membantu, terpaksa dia mengundurkan diri. Si
serba putih tertawa selekasnya melihat barisannya sudah teratur rapih.
"Barisanku ini istimewa untuk menghadapi Thian kiam dari Kie Tong" katanya tawar.
"Jikalau aku tak dapat lolos dari tin ini, aku akan menggunakan golokku untuk kau rasakan" berkata si anak muda, sabar tetapi hambar nadanya. Orang itu tertawa dingin.
"Sekalipun Kie Tong hidup pula, kukira dia pun tak akan mampu keluar dari barisanku ini" katanya jumawa. Dia merasa pasti dan bangga sekali.
"Kau ngaco belo" bentak Siauw pek gusar. "Siapa bilang Kie Loocianpwee sudah menutup mata" Ia masih sehat walaflat sampai detik ini"
Saking murkanya, anak muda ini segera menyerang kesebelah timur dimana ada salah seorang musuh yang berdiri paling dekat dengannya. Musuh itu menangkis dibantu seorang kawannya, hingga kedua batang golok bentrok dengan pedang, hingga terdengarlah suaranya yang nyaring.
Segera setelah yang ditimur itu bergerak, bergerak jugalah anggota anggota lainnya, maka serentak bergeraklah seluruh barisan istimewa itu, hingga dari segala penjuru datang ancaman golok tebal dari mereka.
Siauwpek tidak takut, ia memutar pedang serta tubuhnya, guna menghalau setiap serangan, walaupun masih mengurung, ia toh masih sempat membalas menyerang karena ia dapat bergerak dengan lincah. Si serba putih, yang berada diluar medan pertempuran, terdengar tertawa dingin.
Terus dia berkata keras, tetap dingin: "Empat puluh delapan jago telah bersatu, berdasarkan pengalaman mereka bertempur dengan Thian kiam kie tong, mereka memahamkan gerak gerik Thian kiam, kesudahannya ialah mereka telah menciptakan ini pasukan istimewa Cap jie Lian hoan Too Tin. Dua belas orang anak muda telah dipilih,
dilatih merupakan barisan golok ini. Maka itu, sekalipun Kie Tong sendiri yang bertempur disini,jangan dia harap mampu meloloskan diri, apalagi kau, Coh Siauw Pek Si anak muda"
mendengar kata kata itu, yang bernada ejekan, ia tak
menghiraukan. Ia hanya berseru, lalu menabas beruntun tiga kali.
Cap jie Lianhoan Too Tin benar istimewa sanggup dia mengurung terus. Setiap anggotanya dapat menangkis serangan lawan yang dikurungnya itu. Maka itu untuk sementara, kedua belah pihak nampak sama unggulnya.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ban Liang mengundurkan diri tetapi dia tidak bersembunyi. Dia menonton. Maka dia melihat bahwa benar benar tim musuh itu berbahaya. Dia menjadi heran dan kagum Dia tidak menyangka saking liehaynya Kie Tong, ada orang orang yang bersatu hati, berkumpul bersama-sama memahami ilmu pedangnya itu untuk membangun sebuah ilmu penantangnya. Sekarang tin itu telah berhasil diciptakan, bahkan sekarang tengah dicoba Liehay adalah orang yang mendapat pikiran mengumpulkan orang buat memahami Thian Kiam. Siapakah dia" Kenapa dia dapat memikir dari jauh jauh hari itu" Ia mengasah otaknya tapi sukar mengingat ingat keempat puluh delapan orang Rimba Persilatan yang liehay siapa siapakah mereka itu"
Pertempuran berjalan terus, Siauw Pek tidak terancam bahaya tetapi ia masih tidak bisa memecahkan barisan istimewa itu hingga ia belum meloloskan dirinya. Nampak kedua pihak sama kuatnya.
Si serba putih terus menonton. Dia rupanya sangat memperhatikan jalannya pengurungan. setelah sekian lama itu, tiba- tiba dia berseru. "Perkecil barisan" Itulah aba-aba.
Perintah itu diturut segera. 12 pemuda itu lalu merangsak dengan penyerangannya yang teratur. Bergeraklah golok mereka juga menjadi lebih cepat, hingga cahayanya makin berkilauan.
Ban Liang mendengar dan melihat, ia tercengang. Ia kagum berbareng khawatir. Hebat desakan tin itu. Nampaknya sangat membahayakan. Kalau sebatang golok menyerang maka dua batang
yang lain mencobanya mengekang terlebih dahulu kepada pedang, supaya pedang itu sukar bergerak ataupun digerakkan. Tidaklah heran kalau sekarang suara beradunya senjata bertambah hebat, bertambah nyaring dan berisik.
Oey Eng pun berkhawatir seperti jago tua bahkan dia berlebih- lebih.
"Kelihatannya pedang toako kena dikekang musuh." berkata ia kepada sijago tua.
"Kalau pertempuran in berlangsung terlalu lama, itulah
Bara Diatas Singgasana 24 Nona Berbunga Hijau ( Kun Lun Hiap Kek ) Karya Kho Ping Hoo Tujuh Pembunuh 4
^