Pencarian

Pedang Golok Yang Menggetarkan 12

Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen Bagian 12


Ban Liang juga berlutut. Sesudah lewat sekian lama, setelah merasa sedikit tenang, iapun berkata kata seorang diri: "Kakak Hoan, oh kakak Hoan kau pintar luar biasa, kenapa sekarang kau meninggaikan dunia secara diam diam begini" Tidakkah ini sangat menyedihkan" Bukankah kau sangat menderita" Kakak, aku menyesal tidak mendapat kesempatan bertemu denganmu Kakak. di saat terakhir ini, tak dapatkah aku melihat wajahmu?"
Kata kata ini diucapkan seorang diri akan tetapi itulah disengaja oleh sijago tua karena secara tidak langsung, ia tujukan itu kepada
sinona pengantarnya. Itulah pengutaraan dari kecurigaannya. itu
juga menyatakan bahwa ia ingin membuka tutup peti mati...
Mendengar suara orang itu, sinona menyeka air matanya, kemudian dia berpaling, memandang jago tua itu kedua biji matanya bersinar sangat tajam. Dia agaknya mau bicara tetapi batal.
Ban Liang menyesal ia dapat menerka hati sinona, tetapi orang tidak membuka mulut, ia tidak memperoleh kepastian apa yang si nona hendak ucapkan, walaupun demikian ia telah mengambil
ketetapan, untuk membuka tutup petimati. Maka dia bertindak mundur dua langkah, untuk memasang kuda kuda, guna mengulur kedua tangannya, memegang pinggiran tutup petimati itu. Begitu ia mengerahkan tenaganya tutupnya segera terangkat naik sambil memperdengarkan satu suara bergeser keras.
Serentak dengan itu dari dalam peti mengepul asap putih, yang
harum, terus bergulung gulung naik. Bau harum itu menyenangkan-
Sebelum melihat ke dalam peti, Ban Liang lebih dulu menoleh pada si nona. ia melihat nona itu berlutut di depan peti, kedua tangannya menututpi muka, kedua bahunya bergerak gerak tidak hentinya. Teranglah nona itu sangat bersedih dan ia menangis tanpa suara.
Setelah asap putih membumbung naik, maka didalam petimati itu tampak sebuah jenazah yang masih utuh, orangnya kurus, usianya setengah tua, yang bajunya warna yang panjang. Dia rebah dengan tenang.
Ban Lian mengawasi. Kecuali lebih kurus sedikit, sahabat itu sama dengan sahabat yang sudah lewat dari beberapa puluh tahun yang lalu. d isaat mereka berdua berpisahan buat penghabisan kali. Yang mengherankan, wajah sahabat itu bagaikan orang yang lagi tidur, tak mirip dengan orang yang tanpa nyawa...
Sebagai jago tua, yang banyak pengalamannya, tahulah Ban Liang bahwa mayat itu terlindung oleh asap tadi, maka tubuhnya bertahan tak dapat rusak.
Sementara itu sisa asap hampir habis, Ban Liang menjadi bingung. ingin ia lekas lekas meletakkan tutup petimati itu untuk menutupinya lagi, Tapi tiba tiba dibawah kepala mayat tampak ujung sehelai kertas putih- Maka ia lalu berpikir: Hoan Tiong Beng pandai luar biasa, dia meninggaikan suratnya ini tentulah menuruti rencana yang ia telah atur. Mungkinkah kedua nona itu tak melihatnya" Mungkinkah karena aku membuka tutup peti, surat ini bergerak sendirinya" Barangkali isi surat ini menjelaskan sebab
musabab dari kematiannya bahkan juga menyebut siapa musuh yang telah membinasakannya"..."
Karena menerka demikian, sebat luar biasa Ban Liang menggunakan sebelah tangannya menyambar surat itu, lalu dimasukkan kedalam sakunya, setelah mana dengan berhati hati ia meletakkan pula tutup petimati, untuk menutupinya kembali dengan baik. Si nona berpakaian hijau masih menangis mendekam, tetap tak terdengar suaranya.
Siauwpek bertiga melihat gerak gerik jago tua itu tetapi mereka diam saja.
Ban liang bertindak mundur segera setelah peti tertutup rapi. Sudah tentu tidak ada kesempatan untuknya membaca surat dari dalam petimati itu, maka ia segera menggunakan Toan Im cie Sut - Ilmu menyalurkan suara untuk bicara pada Siauw Pek. katanya: "Kau perhatikan nona ini" Segera setelah itu ia mengundurkan untuk pergi keluar dari dalam ruang itu
Siauwpek mengerti, diam diam ia menyentuh Oey Eng dan Kho Kong, untuk mengatur mereka itu, hingga sikap mereka bagaikan mengurung sinona.
Setiba diluar gua, Ban liang segera mengeluarkan surat tadi untuk dibaca. Surat itu tertutup rapi, tidak ada tandanya bekas dibuka, alamatnya yaitu: "Saudara Ban Liang Buka dan baca sendiri surat ini."
"Ha, kiranya, sebelum sahabatku menutup mata, dia sudah tahu ajalnya bakal tiba," pikir seng supoan "Iapun telah menerka bahwa aku bakal datang kemari untuk menjenguknya bahwa tak dapat tidak. aku pasti bakal membuka petimatinya, maka dia meninggalkan surat rahasia ini."
Ia lalu membaca bunyinya surat, yang tertulis atas kertas yang halus. Nah beginilah : "Saudara Ban Liang
Sesampainya surat ini ditanganmu, aku telah menutup mata sejak beberapa tahun yang lampau. Dan, disaat saudara datang ke
mari melihatku untuk berbela sungkawa, itu pula saatnya yang dunia kang ouw mulai terancam petaka maha besar..."
Membaca sampai disitu, jago tua ini menghela napas. Didalam hati ia memuji, "Sungguh lihay HoanTiong beng. Ia telah dapat tahu dan meramalkan apa yang bakal terjadi setelah dia meninggalkan dunia yang fana ini..." Kembali ia menghela napas, lalu ia membaca lebih jauh :
"Rumah gubukku tetap seperti biasanya, pemandangan alam gubuk ini seperti sedia kala. tetapi saudara, kau tentunya akan berduka karena kematianku ini, kau pasti mencurigai kedua nona yang berdiam didalam gubukku - mencurigai tanpa mereka bersalah..." Membaca tulisan itu, Ban Liang malu pada dirinya sendiri. Tapi membaca terus :
"Bakatku telah dibatas, maka itu aku tidak berdaya mempelajari ilmu silat sampai ke puncak kemahiran, karenanya aku merubah cita citaku, aku terus memahamkan ilmu bintang dan meramal. Didalam pelajaran ini, aku harus berhati hati supaya aku tidak sampai tersesat, sebagaimana sering terjadi pada lain orang. oleh karena sulitnya pelajaran ini maka aku hidup menyendiri, aku menolak kunjungan siapa juga. Pada saat aku memperoleh kemajuan ilmu itu, tiba-tiba aku merasakan perubahan pada tubuhku..."
"Ah..." mengeluh Ban Liang. "kiranya dia terlalu letih karena
meyakinkan ilmunya yang baru..." Lalu ia membaca pula :
"Adalah pada saat itu, dengan tiba tiba ada seorang tani datang padaku, membawakan sepasang bayi padaku. Mereka adalah itu dua anak perempuan yang saudara menemuinya. Mereka berbakat luar biasa, merekalah murid muridku yang tepat.
Hanyalah sayang kedua anak manis itu, mereka sama-sama bercacat. Walaupun mereka berdua cantik luar biasa, mereka ada kekurangannya masing masing : Sang kakak matanya tak dapat melihat, sang adik mulutnya tak dapat berbicara..."
Membaca demikian, barulah Ban Liang tersadar. Pantas nona yang pertama selalu membelakanginya, dan nona ini tak suka bicara
dengannya. Teranglah, nona yang pertama tadi sang kakak. dan nona ini sang adik.
"Sayang... sayang..." pikirnya, "Mesti mereka berdua sangat cantik, sebagaimana kata sahabatku ini. Aku telah melihat potongan tubuh si nona pertama dan mendengar suaranya yang begitu lemah lembut dan merdu Adiknya inipun elok sekali, wajahnya sangat menggairahkan. " Kembali ia membaca pula :
"Setelah aku menerima sepasang anak kembar itu, padaku telah terjadi suatu perubahan besar. Aku telah merawat mereka hingga besar, setelah mana setiap hari, setiap saat, kami hidup sangat bergembira ria. Semangatku terbangun, hingga aku tidak memikir hari-hari penghabisanku. Aku menyayangi mereka, dan mereka sebaliknya sangat berbakti kepadaku.
Benar dugaanku, mereka berbakat sangat baik, mereka cerdas sekali, sang kakak tuna netra akan tetapi telinganya celih dan pandai mendengar dan membedakan segala rupa suara, sedangkan otaknya sangat tajam dan kuat. Sementara sang adik, walaupun dia bisu akan tetapi otaknya sangat tajam, ingatannya sangat kuat. Apa yang telah dia lihat, tak dapat dia lupakan- Asal dia membaca, satu kali saja, dia ingat untuk selama-lamanya. Dia pandai pula melihat suasana.
Kedua kakak beradik itu berkumpul setiap waktu, siang dan malam. Mereka hidup sangat rukun, dapat mereka saling mengalah. Suara mereka suara bicara dan tertawa sangat menyenangkan siapa yang mendengarnya, maka juga selama belasan tahun, hatiku terbuka, aku selalu gembira.
Tentu saja, kakak beradik itu mewujudkan cita-citaku. Semua kepandaianku, aku wariskan kepada mereka berdua. Hanya sayang, sebelum mereka dapat menyelesaikan pelajaran mereka, tiba-tiba kesehatanku terganggu pula. Maka itu, saudara, aku lalu menulis suratku ini untukmu..."
sampai disitu suratnya Hoan Tiong Beng itu sudah tidak karuan macam, sudah tidak nyata, dan sukar untuk dimengerti, meski Ban
Liang menerka nerka, ia tak dapat, Maka surat itu ia masukkan pula kesakunya untuk disimpan- Karena ia memikir, menyimpan itu tidak ada ruginya. Bahkan menyimpan suratnya seorang sahabat karib adalah baik sekali, sebagai kenangan/ Siapa tahu kalau surat itu masih mengandung arti lainnya yang belum sanggup pecahkan" Mungkin dibelakang hari, ia dapat menyuruh bacakanpada salah seorang ahli surat.
sambil berpikir jago tua ini kembali kedalam gua, si nona bisu masih mendekam dan mengangis. Menampak demikian ia jengah, ia malu sendirinya. Ia menghela napas.
"Sudah, anak. jangan kau menangis," katanya menghibur. ia anggap pantaslah kalau ia memanggil anak kepada nona itu, sebab sinona dan saudaranya menjadi anak-anak pungut dari sahabat kekalnya itu.
Nona itu mengangkat kepalanya, memandang pada orang yang menyapanya. Mukanya masih penuh dengan air mata. Kemudian, ia merapikan tutup petimati, habis mana ia bertindak keluar gua. Masih airmatanya meleleh Walaupun demikian, sikapnya tenang. Terhadap Siauw pek bertiga, ia menolehpun tidak apa lagi mengawasi.
"Loocianpwee" berbisik Kho Kong, "kita berdiam disini atau ikut sinona?"
"Kita ikut dia," menjawab Ban Liang, yang terus mendahului bertindak keluar.
Siauwpek bertiga mengikuti di belakang jago tua itu, maka berempat merekapun mengikuti dibelakang sinona, menuju ke rumah atap.
Kho kong merasai dadanya penuh, beberapa kali ia hendak menyapa sinona, saban saban ia bisa mencegah hatinya. Ia mentaati pesan Ban Liang.
Tiba dimuka rumah, nona itu tidak menoleh untuk mengatakan
sesuatu, atau memberi isyarat apa-apa, langsung ia bertindak
masuk ke dalam rumahnya. Ban Liang menghentikan tindakannya.
"Silahkan menanti sebentar disini," katanya pada kawan- kawannya. "Hendak aku masuk ke dalam buat dengan kedua saudara itu."
"Aku rasa tak perlu, loocianpwee," Kho Kong berkata. "Sahabat loocianpwee sudah meninggal dunia, kedatangan kita kemari sudah tidak ada hasilnya, apakah faedahnya akan berbicara dengan kedua anak perempuan itu?"
Ban Liang menjawab kawan ini, sikapnya tenang suaranya adem: "Walaupun sahabatku itu sudah lama menutup mata tetapi ia telah meninggalkan suratnya yang ada menyebut nyebut tentang kaum Kang ouw, perihal apa yang bakal terjadi, bahkan ia telah mengetahui bahwa aku bakal datang kemari..."
Oey Eng khawatir akan menyebabkan bentrokan, ia lekas datang sama tengah. Katanya "Karena Hoan Loocianpwee dapat meramalkan apa yang bakal terjadi didalam dunia Kang ouw, mungkin dia telah mengatur sesuatu..." Ban liang menghela napas. ia mengawasi Siauwpek.
"Nona itu sudi atau tidak membantu kita, itulah akan tergantung kepada untung bagusmu saudara kecil" katanya.
siauw Pek berpikir : Mungkinkah nona itu masih demikian muda, dapat membantuku. coh Siauwpek, akan menjelaskan sakit hati
ayah bundaku?" Meski ia beragu-ragu itu, ia toh berkata pada
slorang tua^ "Loocianpwee, aku mengenal kepadamu. Terserahlah"
Ban Liang mengangguk. ia berkata: "Aku akan menggunakan segala kepandaianku untuk meminta mereka ini suka membantumu..." ia berdongak, ia menghela napas. Lalu ia menyambungi: "Aku slorang tua, kecuali kedosaanku sering melakukan pembunuhan kepada orang orang jahat, aku percaya betul bahwa apa yang aku telah lakukan, semua itu tak ada satu jua yang tak dapat dikemukakan d ihadapan langit dan matahari
Semoga kedua nona itu telah mewariskan semua kepandaian sahabat kekalku itu, supaya dengan cara kepandaiannya itu mereka akan berhasil menolong dunia Kang ouw dari ancaman mara bencana ..."
Begitu habis berkata, segera orang tua ini membuka langkahnya
bertindak masuk kedalam rumah bilik almarhum Hoan Tiong Beng...
siauw Pek bertiga mengawasi jago tua itu, sianak muda melihat tindakan orang agaknya berat, Itulah bukti kesangsian sijago tua tentang maksudnya mengundang sinona nona akan berhasil atau tidak. Maka ia sendiripun jadi berpikir keras.
Pintu rumah tetap cuma dirapatkan, maka Ban Liang sudah menolaknya terbuka. Begitu daun pintu terpentang, segera
terdengar suara merdu dari sinona tunanetra: "Adikku telah
memberitahukan aku loocianpwee telah memegang teguh janjimu."
Ban liang mengangkat kepalanya. ia melihat sinona masih tetap duduk menghadapi dinding.
Hanya sekarang sinona bisu berdiri mendampingi kakaknya itu. Pada kedua belah pipi merah dadu nona itu masih ada bekas air matanya.
Dengan sendirinya hati jago tua itu berdenyut Sedetik itu ia merasa jengah sekali. syukur tadi ia tidak melakukan tindakan lainnya kecuali mengambil surat wasiat sahabat karibnya. ia mengangkat kedua tangannya dan berkata perlahan: "Tadi dari dalam peti mati, loohu telah mengambil surat sahabat karibku, baru setelah membaca surat itu ternyata loohu telah mencurigaimu, nona nona. Maka itu sekarang loohu merasa hatiku tidak tenang..."
"Itulah tidak apa, loocianpwee," menjawab si nona, sabar. "Loocianpwee sangat menyayangi sahabat kekal, perbuatanmu itu adalah perbuatan yang tak dapat dihindarkan siapa juga."
"Didalam surat wasiatnya itu, sahabatku telah menulis jelas tentang kamu berdua, nona nona. Ternyata kamu telah mewarisi seluruh kepandaian kakak Hoan."
"Suhu pandai luar biasa, kami sebaliknya bodoh dan bercacat. walaupun kami telah mempelajari kepandaian suhu almarhum, apa yang kami peroleh tidak ada satu perselaksa..."
"Harap nona nona jangan sungkan, tak usah nona nona merendah," berkata Ban Liang
"Kakak Hoan telah menulis jelas sekali didalam suratnya itu." ia diam sejenak, baru ia melanjutkan- "Sekarang ini dunia Kang ouw tengah terancam mala petaka besar, oleh karena itu sesudah nona nona dapat mewarisi kepandaian sahabatku itu, mana dapat kamu berdiam saja ditempat ini hingga kamu seperti memendam kepandaian kamu itu" Maka itu nona nona, baiklah nona turut pada loohu untuk kita memasuki dunia, guna melakukan sesuatu yang menggemparkan, buat menolong menyingkirkan ancaman- bencana bagi khalayak ramai. Secara begitu nona nona kamu jadi tidak akan menyia nyiakan jerih payah kakak Hoan yang telah mendidik kamu..."
Setelah kata kata jago tua itu, ruang kamar sunyi senyap. Selagi
sijago tua menantikan jawaban, nona nona itu terdiam semuanya.
"Loocianpwee mengangkat terlalu tinggi kepada kami dua saudara..." kemudian terdengar suara sinona yang matanya tidak melihat. Habis itu, ia menghela napas panjang. Masih hening sekejap. baru ia menambahkan^ "oleh karena loocianpwee menjadi sahabat suhu, pasti di dalam suratnya suhu menulis jelas sekali tentang kami dua saudara, sang kakak buta sang adik gagu bahwa itulah cacat asal..."
"Memang sahabatku ini menulis demikian di dalam suratnya," berkata Ban Liang, "akan tetapi disamping itu sahabatku memuji tinggi kepada kepandaian nona berdua, bahwa bakat nona nona bagus luar biasa, karenanya dengan menerima warisan kepandaian gurumu, nona nona bagaikan warna hijau yang asal mulanya warna biru."
Sinona menghela napas pula. Katanya: "itu juga pujian saja dari suhu. Meskipun kami berdua telah menerima perlindungan dan
kasih sayang suhu, yang memandang kami bagaikan anak anak kandung, yang telah mengajari kepandaiannya, toh disebabkan bakat bebal dari kami, kami telah menyia nyiakan pengharapan suhu kami itu. cacat kami telah membatasi kesanggupan kami banyak sekali. oleh karena itu, loocianpwee, tidak sanggup kami mencegah ancaman dunia Kang ouw itu, karenanya, menyesal kami harus menyia nyiakan juga pengharapan loocianpwee ini."
Ban Liang melengak. suara gadis itu halus dan merdu, akan tetapi nadanya pasti.
"Nona nona, kamu tidak berniat muncul di dalam dunia, habis apakah nona nona hendak tinggal bersembunyi disini buat selama lamanya?" ia bertanya.
Jago ini menyaksikan perlengkapan rumah sangat sederhana. Itulah nampaknya pertanda bahwa kedua saudara kembar itu tidak berniat tinggal menetap di rumah atapnya ini...
Nona yang menghadap kedinding itu menjawab, "Loocianpwee menjadi sahabat kekal dari suhu, kami tidak berada mendustai loocianpwee Dengan sebenarnya lagi beberapa hari kami berdua hendak pindah kedalam gua dari suhu kami, buat tinggal mendampingi suhu untuk selama lamanya. Tak ada niat kami buat pergi turun gunung ini..." Ban Liang bingung sendirinya. Hebat keputusan nona nona ini.
"Akan tetapi, nona," berkata dia, cepat: "Sahabatku telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada nona-nona, sebaliknya nona hendak terus tinggal mendampingi jenazahnya tak ingin nona keluar dari goa itu, memang benar dengan berbuat demikian nona telah melakukan kebaktian nona-nona, tapi berbareng dengan itu tidakkah nona juga menyia-nyiakan kepandaian yang telah diwariskannya itu" Loohu kira itulah bukan pengharapan guru nona."
Tiba-tiba sinona berpaling. Inilah yang pertama kali ia memperhatikan mukanya. ia berkata, walaupun dengan sabar: "Seorang kakak tunanetra dan seorang adik bisu, dan anak
perempuan yang bercacat dan lemah walaupun kami telah menerima warisan kepandaian suhu kami, apakah yang kami bisa perbuat didalam dunia Kang ouw, didalam kalangan Rimba Persilatan ?"
Ban Liang mengawasi sinona. ia kagum bukan main- Nona itu lebih cantik daripada adiknya. Sepasang alisnya panjang dan lentik, bila tidak tahu halnya sinona buta, ia pasti tak akan menyangkanya, ia akan mengira sedang mendiamkan mata saja. ia menghala napas saking menyesal dan terharu.
"Nona," berkata ia, "walaupun apa juga yang nona katakan tetapi sura sahabat karibku telah menulis jelas sekali tentang kamu..." Sinona menyingkap rambut didahinya. ia tertawa hambar.
"Meskipun Loocianpwee menggunakan lidah yang tajam, kami
kakak beradik yang bercacad ini tidak mempunyai hasrat untuk
muncul di dalam dunia persilatan-.." berkata ia suaranya tetap.
"Didalam dunia Kang ouw yang luas, nona tidak ada keanehan yang tampak," berkata slorang tua membujuk. "Maka itu siapa tahu andaikata kita akan dapat menemui seorang tabib yang pandai mengobati mata hingga kedua mata nona nanti dapat melihat pula serta adikmu nanti dapat bicara seperti kita ?"
"Loocianpwee baik sekali, terima kasih "
JILID 23 Suara si nona tetap hambar. Hanya sebentar, ia menambahkan : "Loocianpwee, diantara pria dan wanita ada perbedaannya, oleh karena itu, jikalau sudah tidak ada urusan lainnya, sudah tiba saatnya buat loocianpwee kembali..."
Ban Liang terperanjat. Ia tidak sangka si nona mengeluarkan kata-katanya itu. Itu artinya: bahwa ia telah diusir pergi Ia melengak karenanya. Tapi ia segera sadar.
"Nona," katanya kemudian, "tahukah nona apa yang sahabatku tulis didalam surat peninggalannya itu?" orang yang ditanya menggeleng kepala.
"Tidak" sahutnya.
Ban Liang berpikir dengan cepat. Kedua nona ini bercacat, karena itu tak ingin mereka muncul didalam pergaulan umum. Bukankah pantas jikalau aku mendustai, memperdayai mereka" Karena berpiklr demikian, cepat cepat ia berkata: "Nona, bagaimana jikalau didalam surat wasiat sahabatku itu ada ditulis pesan yang memerintahkan nona nona mesti keluar dari gunung ini untuk muncul didalam dunia Kang ouw?" Ditanya begitu, nona itu tercengang.
"Jikalau benar demikian, sudah selayaknya suhu memberitahukan aku sebelumnya dulu beliau menutup mata," katanya sejenak kemudian-
"Pernahkah sahabatku itu memberitahukannya" "Tidak."
Si nona menggoyang kepala.
"Jikalau sahabatku menulis demikian didalam suratnya itu, bagaimana pendapat nona, apakah itu dapat dipandang sebagai perintah guru."
"Jika hal itu benar, memang itu dapat dianggap sebagai suatu perintah. Hanyalah, aku tak percaya, bahwa dalam surat wasiatnya itu, suhu benar menghendaki kami muncul didunia."
Ban Liang berpikir cepat. "Memang surat HoanTiong beng cuma memuai kecerdasan kedua muridnya tetapi tak ada pesan atau perintah untuk kedua murid itu keluar dari tempat perguruannya. Ia telah memikir untuk mendustai tapi segera insaf bahwa dialah
seorang tua dan seorang laki laki sejati, tak semestinya ia mendusta. Atau umpama nona nona itu percaya dia, ada kemungkinan kelak dibelakang hari mereka bakal menyesal seumur hidupnya. Maka pada akhirnya ia menghela napas.
"Didalam surat wasiat sahabatku itu tak ada ditulis perintah untuk nona nona muncul dalam dunia Kang ouw, katanya kemudian, akan tetapi, menurut bunyinya surat, niat itu telah ternyata, hanya entah kenapa, gurumu itu tak mau menyebutkannya, mungkin ia ada memikir lainnya."
"Loocianpwee" tiba tiba si nona bertanya, "dapatkah loocianpwee
menunjukkan surat suhu pada kami untuk kami baca sendiri?"
"Boleh, boleh... menjawab Ban Liang cepat. Ia malah segera mengeluarkan surat Tiong beng dan diberikan kepada si nona, sedangkan hatinya berpikir aneh: "Kau tak dapat melihat, bagaimana kau dapat membaca surat ?"
Si nona tunanetra menyambuti surat itu, yang ia terus serahkan
pada adiknya. "Kau lihat," katanya, "kau beritahukan aku bunyinya."
si nona itu menyambut surat itu, untuk dibuka dan dibeber ditangan kirinya, sedangkan tangan kanannya diletakkan pada tangan kakaknya, setelah mana jerijinya dikutik kutik, disentil sentil perlahan lahan, bagaikan orang menabu kim (Kim kecapi atau gitar Tiongkok) .
Menyaksikan demikian, Ban Liang mengawasi dengan tercengang. Inilah pemandangan yang asing baginya. Itulah cara aneh, yang istimewa sekali, buat seorang bisu bicara dengan seorang tunanetra
cepat si nona bisu menggerak gerakkan tangannya, lekas sekali habis sudah ia "membacakan" surat gurunya itu kepada kakaknya. Si nona cacat mata menghela napas.
"Perintah suhu tak dapat ditentang, kami tidak dapat tak menerima baik kehendaknya itu," katanya kemudian-
Heran Ban Liang, hingga ia melengak pula. Sedang dialah orang yang meminta, bahkan dengan mendesak, agar nona nona itu sudi membantu usaha usaha Siauwpek. "Bagaimana nona?" dia bertanya, Jadi nona sudi keluar dari sini?" Tanpa merasa, jago tua itu mengajukan pertanyaannya. Nona itu mengangguk.
"Surat suhu untuk loocianpwee jelas sekali bunyinya, berkata ia, itulah seandainya loocianpwee meminta kami keluar dari sini, maka..."
"Maka bagaimana, nona?" tanya Ban Liang saking tegang hatinya. Nona tunanetra itu tertawa perlahan.
"Maka kami tak dapat menolak," sahutnya Masih jago tua itu heran, ya, heran sekali.
"Nona," katanya, "loohu tidak melihat surat yang bunyinya demikian."
"Suhu menulis dengan kata kata rahasia," menjawab si nona, menjelaskan- "Loocianpwee tidak tahu kata kata rahasia itu pasti loocianpwee tidak melihatnya..."
"Begitu?" kata pula si jago tua. Di akhir suratnya akan tampak corat coret yang tdak keruan bentuknya. Apakah itu pertanda yang menyebutnya?"
"Itulah satu urusan lain, loocianpwee. Sekarang tolong loocianpwee simpan surat ini kelak dibelakang hari masih ada keperluannya yang berharga besar." Ban Liang menyambut surat almarhum sahabat kekalnya itu.
"Dahulu semasa hidupnya gurumu, nona, segala perbuatannya membuat aku si tua bingung tak mengerti," katanya, tidak kusangka bahwa juga nona nona berdua sekarang telah mewariskan sifat sahabat karibku ini..." Nona itu menghela napas.
"Itulah soal sulit untuk diterangkan dimuka," katanya "Didalam segala hal, kami berdua mohon segala petunjuk dari loocianpwee..." Ban Liang tertawa.
"Loohu bicara dari hal yang benar, nona" katanya. "Sekarang
saja perbuatan nona sudah memperlihatkan sifat gurumu itu." Kembali si nona menghela napas.
"Sekarang, loocianpwee," katanya, sabar. tolong loocianpwee berempuk dahulu dengan sekalian sahabat loocianpwee itu, supaya kamu dapat memberi waktu tiga hari pada kami berdua saudara. Tiga hari kemudian silakan loocianpwee beserta sahabatmu datang pula kemari, waktu itu kami kakak beradik akan turut loocianpwee pergi"
"Memang nona nona harus menyiapkan sesuatu," berkata si orang tua. "Baiklah, nona, inilah janji kita. Lewat tiga hari, kami akan datang pula"
segera setelah berkata begitu, Ban Liang memutar tubuhnya buat bertindak pergi.
Siauw Pek bertiga telah menantikan lama sekali rasanya, mereka sudah habis sabar, maka itu melihat munculnya si jago tua, ia lalu menyambut, dan segera bertanya, "Bagaimana loocianpwe, telah bereskah pembicaraan dengan kedua nona itu?"
"Bagus" jawab Ban Liang separuh berseru, Diapun tertawa. "Sudah beres cuma mereka minta waktu tiga hari buat mengatur sesuatu urusan pribadi mereka. Nanti lagi, tiga hari, kita datang pula kemari menyambut mereka." Siauw Pek mengangguk.
"Ya, kitapun baik menggunakan waktu tiga hari itu untuk merencanakan tindakan kita selanjutnya," katanya. "Kita harus pikirkan soal soal Kang ouw sekarang ini..."
"Ada satu hal, yang hendak loohu beritahukan kepadamu, saudara saudara..."
"Apakah itu, loocianpwee?"
"Setelah kita berhasil mengundang nona itu untuk memohon bantuannya," Ban Liang menjelaskan, "selanjutnya kita harus turut
setiap kata kata mereka agar dengan begitu mereka jadi merdeka dan leluasa untuk memperlihatkan kepandaian mereka"
Mendengar demikian Kho Kong yang tidak mengatakan sesuatu, segera berpikir dalam benak otaknya, "Dua nona yang masih hijau sekali mana mereka sanggup mengurusi soal soal yang mengenai dunia Kang ouw"Jika kita harus menuruti segala perkataannya, tidakkah itu hal yang sangat lucu dan mentertawakan?"
Walaupun ia berpikir demikian, tak berani ia mengutarakannya, karena ia khawatir nantinya bentrok dengan sijago tua.
Siauw pek mengangguk. memberikan janjinya, sedangkan Oey Eng tidak mengatakan sesuatu.
Berempat mereka segera meninggalkan rumah atap itu, untuk memasuki sebuah dusun kecil buat mengisi perut mereka didalam sebuah rumah makan- Setelah itu mereka berjalan lebih jauh. Ban Liang berjalan didepan, ia mengajak ketiga kawannya kesebuah
rimba, dimana dia berhenti. Lantas ia tertawa, sambil mengawasi
ketiga kawannya, ia berkata: "Bagaimana kamu lihat tempat ini?"
Siauw pek heran- Kenapa sahabat ini berhenti didalam rimba dan bertanya drmlikian"
"Apa, loocianpwee?" dia balik bertanya.
"Bagaimana kalau kita melewatkan malam disini?" tanya si orang tua.
"Kenapa mesti berdiam disini, loocianpwee?" tanya Kho kong heran- "Di dusun itu toh ada pondokan?"
Ban liang tidak menjawab, sebaliknya dia melompat naik keatas pohon-
"Saudara coh mari mari" katanya seraya berpaling dan menunjukkan kesatu arah. "Kau lihat disana"
Si anak muda menurut, ia berlompat naik, bahkan dicabang teratas. "Ada apa loocianpwee?" tanyanya.
"Lihat disana, tempat apakah itu?" kata pula sijago tua.
Siauw pek memasang mata. Ia melihat sebuah pengempang ditempat mana ada sebuah rumah atap. Itulah tempat kediaman kedua nona bercacad yang luar biasa itu. "Itu toh tempat kediaman kedua nona tadi?" tanya dia.
"Benar" sahutBan Liang, "Kita berdiam di sini, diam diam kita mengawasi kedua nona itu" ia menghela nafas "siapa tahu bahwa kedatangan kita ini secara sendirinya telah mengundang ancaman bahaya untuk kedua nona itu" Bukankah kita bertanggung jawab untuk melindungi mereka?"
Siauw pek berdiam, tetapi didalam hatinya dia berkata: "Inilah kekuatiran yang berlebihan-.. "Justru baru berpikir demikian tiba tiba ia melihat sesosok tubuh manusia muncul dari balik sebuah pohon besar dan orang itu segera bertindak ke arah rumah atap Sendirinya ia terperanjat.
Tatkala itu matahari lohor bersinar terang benderang, segala apa tampak nyata sekali. Sesosok tubuh itu, sesudah maju sekian jauh mendadak kembali ketempat asalnya dibalik pohon tadi.
"Nah, adik kecil, kau telah melihat, bukan?" kata Ban Liang.
"Ya," sahut kawan yang muda itu, yang kagum sekali terhadap si orang tua.
Ban liang menghela napas. Katanya perlahan. "Ketika tadi kita meninggalkan rumah atap itu, aku merasa ada orang yang menguntit kita, tetapi dia agaknya sangat lihay, dia membuat aku ragu ragu?"
"Heran, loocianpwee, aku tidak tahu sama sekali, Siauw Pek mengaku.
"Inilah adik, disebabkan buak hasil pengalamanku beberapa puluh tahun. Inilah semacam firasat, atau perasaan, yang istimewa..."
"Bagaimana loocianpwee orang itu justru memperhatikan kalian nona tadi?"
"Inilah sederhana sekali, anak. orang itu menguntit kita justru kita baru meninggalkan rumah atap itu. Dia bukannya memperhatikan si nona nona sejak tadi tadinya. Tegasnya perhatian dia ketarik sebab kedatangan kita ini. Barusan sengaja aku menuju ke rimba ini, menghindarkan diri dari perhatian orang itu." Siauw Pek mengangguk.
"Dapatkah loocianpwee menerka apakah adanya perhatian orang itu terhadap kedua nona itu" Ya, apakah maksudnya dia?"
"Sukar untuk memastikannya, anak. Kedua nona itu bercacat, toh mereka tetap cantik dan menarik hati sekali. Buat orang baru tak mungkin dia mengetahui bahwa nona nona itu ada kekurangannya masing masing. Siapa tahu kalau orang kemaruk akan paras elok" Atau lagi, siapa tahu seandainya ada orang Kang ouw yang tahu nona nona itu murid murid Hoan Tiong Beng dan dia mengandung sesuatu maksud" Siauw Pek mengerti sekarang.
"Kita hendak melindungi nona nona itu," katanya. "akan tetapi
kita berdiam disini, apakah jarak kita tidak terlalu jauh ?"
"Memang jaraknya agak jauh. Tapi, orang itu mungkin tidak
bakal turun tangan secara sembrono, atau mungkin lain malam..."
"Apakah loocianpwee memikir buat nanti malam kita pergi kepeng empang sana untuk melindungi kedua nona itu?"
"Tidak salah, benar begitu"
"Bagaimana jikalau orang itu cerdik luar biasa, yaitu dia turun tangan disiang hari?"
"Maka juga kita harus berdiam diatas pohon ini, untuk selalu memasang mata." Siauw Pek anggap usul itu baik.
"Kalau begitu saudara-saudara Oey dan Kho turut memasang mata bersama," katanya.
"Benar. Pergi kau ajak mereka naik kemari" Siauw Pek melompat turun.
"Toako, kau melihat apa?" Kho kong segera menegur. si polos ini heran akan sikap si jago tua dan dia menjadi tidak sabaran. Dia pula tidak mengerti kenapa jago tua itu menghargai secara luar biasa pada kedua nona tadi
"Aku melihat sesuatu."
"Apakah itu?" "Melihat ada orang bermaksud jahat terhadap kedua nona itu tadi"
Si polos terperanjat, diapun heran- hingga dia menggaruk-garuk kepalanya.
"Toako, aku tidak mengerti" katanya.
Siauw Pek tertawa. "Katakanlah saudaraku "
"Aku tidak percaya bahwa kedua nona itu pintar sekali atau memiliki kepandaian " si sembrono mengutarakan isi hatinya. "Mungkin mereka dapat membantu toako mencuci bersih sakit hati toako sekeluarga serta menghindari bencana untuk dunia Kang ouw ?" Kembali Siauw Pek tertawa.
"Sebelum ada buktinya, saudaraku jangan kita sembarangan mengambil keputusan "
Pemuda inipun menyangsikan kepercayaan kuat dari Ban Liang terhadap kedua nona itu, sebaliknya pengetahuan, atau pengalaman si jago tua, dihargainya sekali.
"Toakoh " kata pula si polos: "Toako telah memperoleh golok emas dari ceng gie loojin kenapa toako tidak mau bertindak langsung yaitu segera memanggil berkumpul rekan rekan kaum rimba persilatan, buat membeberd ihadapan mereka tentang bahaya
yang lagi mengancam itu, untuk mereka bekerja sama " Kenapa kita
justru mengundang kedua nona nona yang buta dan gagu itu ?"
"Sabar, saudaraku. Dalam hal ini, kita harus mengandal kepada ban loocianpwee. Dia sangat berpengalaman dan pengalamannya itu mesti kita hargakan-"
Kali ini saudara bicara dengan sungguh sungguh, bahkan nadanya bagaikan menegur sang adik, Kho kong sangat menghormati ketua ini. ia tunduk.
"Baik, toako, aku akan tidak memperkukuh anggapanku ini," katanya.
"Saudara saudara, mari kita lekas naik " tiba tiba terdengar suara Ban liang di atas pohon- Suara itu terburu, sebagai pertanda adanya urusan penting.
"Mari" Siauw pek mengajak dan ia mendahului melompat naik.
Kho kong segera menyusul begitupun Oey Eng yang sedari tadi berdiam saja. Ia ini menurut saja pada ketuanya.
"coba perhatikan disana" kata Ban Liang selekasnya tiga sekawan itu sudah berada bersama sama diatas pohon- Ia menunjuk kerumahnya si nona nona tadi.
Siauw pek bertiga mengawasi ke arah rumah atap itu. Mereka melihat beberapa orang tadi, yang pada memanggul pacul, tengah bertindak kearah rumah atap itu. Mereka itu datang dari tiga penjuru, maka keadaan mereka mirip suatu pengurungan-
"Suasana buruk agaknya, loocianpwee..." kata Siauw pek.
"Segala pak tani, dapatkah mereka dicurigai ?" tanya Kho Kong.
"sekarang ini saatnya orang bekerja di sawah," Ban Liang berkata.
Justru itu tampak orang-orang tani itu mempercepat tindakan kakinya, semua menuju terus kearah rumah atap itu. Tetapi dilain
saat, mereka pada menyembunyikan diri. Melihat itu, baru Kho kong turut menjadi bercuriga.
"Benar-benar mencurigakan " katanya. Lalu dia melompat turun, untuk terus lari kearah peng empang.
"Adik, jangan sembrono " Siauw pek berteriak seraya turut
melompat turun untuk menyusul. Kho Kong berhenti lari
"Menolong orang bagaikan menolong memadamkan api kebakaran," katanya, "mana boleh kita main ayal ayalan ?"
Ban Liang dan Oey Eng pun melompat turun menyusul dua kawan itu. Si orang tua segera berkata "Agaknya mereka itu mau bekerja disiang hari..."
"Benar Kita tak boleh terlambat, mari kita lekas pergi " mengajak Kho kong. "Tapi, kita pergi secara begini, kita akan mendatangkan kecurigaan-.."
"Apakah tak dapat kita menyamar ?" tanya kho kong. Ban Liang melihat kesekitarnya.
Kebetulan sekali tampak seorang anak gembala kerbau tengah bercokol dipunggung binatang angonannya itu sambil meniup seruling. Melihat demikian si orang tua itu mendapat pikiran- Maka berkatalah dia, "Saudara kecil, pergi kau menyamar jadi bocah angon itu "
Siauw Pek menurut. Ia lalu melompat turun untuk menghampiri si bocah angon- Ia menyapa bocah itu, ia bicara dengan sabar, hingga tanpa curiga apa apa anak gembala itu suka meminjamkan kerbau dan serulingnya. Maka lekas sekali sianak muda menjalankan kerbaunya kearah peng empang.
Ban Liang lalu menyuruh Oey Eng dan Kho Kong, "kamu berdua, pergi lekas pinjam atau sewa itu kereta ditepijalan, lalu lekas kamu menyusul kami "
Oey Eng dan Kho Kong menurut, mereka lekas berlalu. Memang, tidak jauh dari mereka, ditepijalan, ada sebuah kereta
"Kalau tidak ada kudanya, kita pakai kerbau saja..." kata Oey
Eng. "Ya, apapun boleh, asal kamu lekas-lekas" kata Ban Liang.
Oey Eng lalu menarik tangan Kho Kong untuk diajak pergi kepada seorang pak tani didekat situ, buat meminjam baju kasarnya serta paculnya juga, sehingga dengan penyamarannya sebagai pak tani, dapat dia lekas menuju kerumah atap.
Siauw pek menuju kepeng empang dengan pikiran tak tenang. Itulah sebab kerbaunya berjalan sangat lambat Karena itu juga
dilain saat, ia telah kena disusul dan dilewati Kho kong yang naik
sebuah kereta kuda, Kata si polos : "Toako,aku jalan lebih dahulu"
Ketua itu lalu berkata dengan saluran Toan Im cie-sut, "Baiklah,
saudaraku Tapi hati-hati, jangan sembrono Kecuali sangat terpaksa,
jangan kamu turun tangan Dan kau mesti dengar Ban loocianpwee"
Hanya sebentar kereta kho kong sudah lewat empat lima tombak. hingga tak dapat diketahui si polos dapat mendengar nasehat itu atau tidak.
Ban loocianpwee segera sampai didekat pengempang. Dengan matanya yang tajam ia bisa melihat disitu, dibawah pohon, antara gombol-gombolan rumput tebal, tengah bersembunyi sepuluh orang lebih. Ia terkejut. Ia menerka inilah bukan orang orang kemaruk paras elok, hanya mungkin mereka itu dipimpin seseorang yang mempunyai maksud tertentu.
Pintu gubuk dan jendela tertutup rapat Mungkin kedua nona didalam rumah itu telah mendapat firasat dan telah bersiap sedia menghadapi ancaman bahaya. Sepasang angsa putih dipengempang juta entah pergi kemana.
Ketika itu, keretanya Oey Eng dan Kho kong telah mendekati rumah. Mereka tidak pandai mengendalikan kereta, merekapun tergopoh gopoh, maka roda-roda kereta melanda tanah berlumpur, hingga lumpurnya bermuncratan-
orang orang yang bersembunyi didekat rumah rupanya telah menduga kereta itu datang dengan maksud tak baik. dua
diantaranya muncul, guna menghadang. Hingga kereta berhenti dengan tiba tiba.
"Mau apa kamu menahan kereta kami, tuan tuan?" Oey Eng bertegur. Ia melihat lagi sepuluh tombak, akan tibalah mereka didepan rumah.
Dan kedua penghadang itu satu tua dan yang lain muda. Yang tua usianya diatas lima puluh dan janggut ubatan dan panjang. dan yang muda lebih kurang dua puluh tahun, kecuali dandanannya tak mirip dengan orang-orang tani. Yang tua tertawa dingin dan menegur: "Tuan tuan berdua dari partai mana " Nyali kamu tidak kecil, ya?"
"Perlu apa kau menanya begini, tuan?"
"Menurut penglihatanku, kamu bukannya orang orang tani" jawabnya. Kho Kong menyingkap tenda kereta. "Bagaimanakah dengan tuan tuan berdua?" orang itu tertawa.
"Memang Memang kami bukannya orang orang tani" dia mengakui. Mendadak ia menyerang Oey Eng dengan paculnya.
si anak muda waspada, ia berkelit sambil melompat. Hampir serentak dengan serangan si orang tua itu, si anak muda juga memacul kho kong.
si polos sudah siap sedia, dengan sebelah pitnya ia menangkis.
sambil menangkis itu, ia juga berlompat keluar dari keretanya.
Oey Eng menghunus pedangnya, ia membalas menyerang pada si orang tua. Maka disitu terjadilah pertempuran dalam dua rombongan.
Melihat pertempuran sudah terjadi, Ban Liang tidak bersangsi lagi untuk berturun
tangan Langsung ia menuju kerumah atap. Lewat disisi sebuah pohon besar, mendadak ia disambul serangan sepotong loan-pian, cambuknya lunak yang ujungnya menotok kepadany Dan
penyerangnya adalah seorang tua yang mengenakan thung-sha, baju panjang.
Dibokong secara begitu, sijago tua menyampok ujung cambuk lunak itu, tapi segera ia ditotok pula. Lawan itu liehay dengan cambuknya yang istimewa itu. yang mencari sasar jalan darah lawan- Dengan begitu, Ban Liang jadi kena dihalangi.
Dan sementara itu muncul pula dua orang lain, yang bersenjatakan pedang, semua lari menuju kerumah.
"Nona-nona, awas" berseru Ban liang yang menjadi khawatir.
Siauw pek melihat pertempuran sudah berlangsung, ia lari menghampiri rumah, akan tetapi, belum lagi ia datang dekat, ia sudah dipegat, dirintangi dua orang lain, yang bertubuh besar. yang usianya berimbang satu dengan lain- Dan senjata mereka ini masing masing ialah gaetan dan pedang.
Repot juga sianak muda, sedangkan maksudnya adalah untuk segera memasuki rumah. Terpaksa ia menggunakan pedangnya, untuk mendesak kedua lawan itu.
Dipihak lain, dua orang tadi, yang lari kerumah, satu diantaranya sudah segera sampai, ia segera mendupak pintu, sehingga daun pintunya terbuka dengan suara nyaring.
Siauw pek melirih ke dalam rumah. Ia melihat kedua nona berdiri berendeng ditengah ruang.
Pertempuran berlangsung terus. Agaknya semua lawan tangguh. Ban Liang berempat tidak dapat dengan cepat cepat mengalahkan atau mengundurkan mereka itu, sedangkan mereka sendiri, ingin mereka melindungi nona itu. Dan pada akhirnya si jago tua menjadi gusar sekali, maka ia berseru kepada kawannya : "Saudara coh,


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jangan main berkasihan lagi. Biar bagaimana, tak dapat mereka
dibiarkan mencelakai kedua nona yang tak bersalah dosa itu"
Siauwpek menyambut seruan itu. ia menginsyafi bahaya. Ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya, dengan cepat ia mengurung kedua lawannya itu dengan sinar Pedangnya.
Tapi dua orang yang menyerbu pintu, sudah mulai bertindak masuk. Hanya mereka itu yang mencekal pedang, telah memasukkan pedangnya kedalam sarung masing-masing. Agaknya mereka ingin menawan hidup, hidup kedua nona itu.
Bukan main gusarnya Siauwpek. maka habislah sabarnya Dalam murkanya ia menghunus goloknya. sebenarnya, dua lawan yang dihadapinya itu, sudah repot sekali. Kalau mereka ditikam atau dibalas, pasti mereka sudah roboh. Apa mau, ilmu pedang Kie Tong luar biasa, sedang lawan tinggal dibunh saja, ujung pedang dialihkan, terus dipakai mengurung lagi Hanya pada saat ia menghunus goloknya, ia terlambat sedikit. Maka kesempatan ini digunakan lawan itu untuk melompat mundur. Yang satu, yang bersenjata gaetan, mundur seraya berkata perlahan:
"Terima kasih untuk kebaikanmu" sebab ia manyangka bahwa dia telah diberi ampun oleh musuh muda itu.
Habis mundur, lawan itu serta kawannya berdiri diam berendeng. tak ada minat mereka untuk berkelahi lagi atau merintangi si anak muda, yang mau maju kedalam rumah. Dengan begitu Siauw Pek jadi tidak terintangkan-
Kedua nona tetap berdiri berendeng, tangan yang satu dari mereka nempel satu dengan lain, tangan yang lainnya dipakai menyampok dan menotok berulang ulang kedepan, maksudnya untuk merintangi majunya kedua lawan itu yang hendak menangkap mereka. Memang mereka ini ingin menangkap nona nona itu dengan menangkap tangannya.
"Tahan" bentak Siauw Pek, yang serentak dengan itu sudah memandang tajam kesekitarnya.
Dari dua orang laki-laki itu, yang satunya segera menghunus pula pedangnya. Dia menoleh kepada si anak muda, lalu menegur dengan dingin "siapakah kau?"
Siauw Pek menyimpan kembali goloknya, ia menyiapkan pedangnya didepan dada. Biarpun ditegur, ia mengawasi sepasang nona itu. Ia heran atas gerakan tangan nona nona itu. Entah ilmu
silat apa yang mereka berdua gunakan untuk mencegah tangan mereka tertangkap lawannya.
Sewaktu anak muda ini "menonton-, salah satu lawan sudah lantas menikam padanya. Rupanya dia habis sabar. Siauw Pek menyampok. memusnahkan tikaman itu Selagi menyampok itu, masih ia mengawasi si nona, sedangkan kepada lawannya itu, ia cuma melirik. Musuh itu penasaran, dia menyerang pula dan dengan hebat.
Kembali Siauw Pek menangkis, bahkan ketika ia diserang beruntun hingga tiga kali, semua serangan itu dapat ia tangkis dengan mudah. Hal ini membuat musuh sangat gusar, lagi sekali dia mendesak. menyerang berulang ulang.
Baru kali ini, si anak muda memutar pedangnya, mengurung senjata lawan itu.
Kedua nona itu bertahan- Ketika si bisu melihat perlawanan Siauwpek. ia bersenyum.
Si anak muda melihat orang bersenyum itu, ia heran dan kagum. Si nona nampak sangat manis dan menggiurkan.
"Sungguh dia cantik manis luar biasa," pikir si anak muda.
"Sayang, kenapa dia tak dapat bicara" Kenapa dia cacat mulutnya?"
Disaat si anak muda berpikir demikian, tiba tiba orang yang menyerang nona-nona itu roboh dengan memperdengarkan jeritan dari kesakitan- Rupanya saking kesengsam dengan kecantikan si nona-nona serta senyumannya itu, dia sudah berlaku alpa, dia telah menyentuh salah satu nona
Si nona tunanetra mendengar suara jeritan dan robohnya orang itu, dia menghela napas dan berkata sendiri: "Kau sendirilah yang membentur jeriji tanganku, bukannya aku yang sengaja hendak melukaimu..."
SiauwPek leluasa melihat dan mendengar, karena ketika itu pedangnya telah mengekang lawannya, yang terkurung tak berdaya
didalam sinar pedangnya.Jangankan melawan, membela diri saja dia itu sudah putus asa.
Menyaksikan kecantikan si nona tunanetra, si anak muda menjadi
terlebih kagum lagi. sang kakak melebihi kecantikan sang adik.
"Sungguh sepasang nona yang cantik luar biasa" ia memuji, "sayang... sayang..."
Si nona bisu memandang terus si anak muda, mata jelinya bermain main, sedangkan tangan kanannya tetap mencekal pergelangantangan kiri kakaknya. orang akan menyangka dua saudara itu tengah berpegangan tangan, tak tahunya si adik lagi memberitahukan segala sesuatu kepada kakaknya itu, menyampaikan segala apa yang ia lihat dan dengar.
Diluar rumah, pertempuran berlangsung terus. Diantara riuhnya alat-alat senjata beradu adu terdengar bentakan bentakan kegusaran dari Kho kong si sembrono yang aseran itu. Mendengar suara saudaranya itu, Siauw pek insaf akan kehebatan pertempuran diluar itu. Tanpa menghadapi lawan tangguh, tak akan sang adik memperdengarkan suaranya tak hentinya. Tak ayal lagi, ia mendesak lawannya.
"Tahan" tiba2 berseru lawan itu yang memegang pedang, sambil terus ia melemparkan pedangnya, kemudian dengan tangannya yang lain, ia menyeka peluhnya. "Aku bukanlah tandinganmu, kita jangan berkelahi terus..."
Siauw Pek menghentikan desakannya, sebagai gantinya, ia menotok roboh lawannya itu, setelah mana ia melihat keluar rumah dimana pertarungan tengah berlangsung hebat sekali.
Ban liang melayani tiga orang lawan, dia nampak menang diatas angin- Oey Eng bertahan terhadap dua pengepung, Kho Kongpun dikerubuti berdua, agaknya dia repot sekali. Rupanya itulah yang menyebabkannya mementang mulutnya lebar lebar.
Ditanah berserakan banyak pacul, yang dilemparkan begitu saja sebab semua penyerang itu pak tani palsu semuanya pada membekal senjata masing masing.
Menyaksikan keadaan itu, lega juta hati si anak muda. Tidak ada kawannya yang terancam bahaya. Tiba-tiba.
"Terima kasih atas bantuanmu ini, saudara"
Itulah suara halus dan merdu, yang berirama, yang datangnya dari bekalangnya sianak muda.
Siauw Pek tahu kata-kata itu ditujukan kepadanya Tapi ia perlu melihat kawan kawannya, tak sempat ia memperhatikan lebih jauh kepada kedua nona itu
"Tak berani aku menerima ucapanmu ini, nona," sahutnya. "Sudah selayaknya aku berbuat apa yang aku bisa untuk membantu kalian-"
Berkata begitu, tanpa menoleh lagi, segera ia bertindak keluar.
Tepat ia mendengar dua orang berteriak kesakitan saling susul.
Ban Liang telah merobohkan dua orang lawannya, yang mukanya masing-masing diberi tanda tiga goresan jeriji tangan.
Maka tahulah si anak muda, jago tua itu sudah menggunakan
pukulan Ngo Kwie Souw Hun ciu yang lihay itu. Karena itu juga,
lawannya yang tinggal satu lalu memutar tubuhnya lari menyingkir
"Hm Mau kabur?" bentak si jago tua, mengejek, sambil melompat menyambar. "Aduh" jerit orang itu, yang roboh seketika, bahkan napas nyapun segera berhenti
"Sungguh tangan yang lihay" Siauw Pek memuji kawan itu. Ban Liang tersenyum.
"Aku menguji pelajaran yang aku telah yakini belasan tahun" sahutnya. "Rebahlah kamu, hai" mendadak terdengar seruan Kho Kong.
Siauw Pek dan Ban Liang segera menoleh. Maka terlihatlah oleh
mereka robohnya seorang lawan dari saudaranya yang aseran itu.
Kejadian itu membikin bingung semua musuh lainnya. Mereka telah melihat empat kawan mereka roboh, sedang dua yang didalam pemimpin mereka tak terdengar suaranya, tak nampak munculnya. Karena itu, sisa lawan Kho Kong segera saja lari kabur
Kho Kong gusar, ia melompat mengejar. Baru lima tombak jauhnya, ia sudah berhasil menyandak. Maka satu toyoran, ia membuat musuh itu roboh tengkurap ditanah
Hampir serentak dengan kemenangan Kho Kong itu, Oey Eng berhasil merobohkan kedua lawannya, maka dengan begitu selesailah pertempuran yang lima rombongan itu.
"Adik kecil, bagaimana dengan kedua nona itu?" Ban Liang
bertanakepada Siauw Pek perlahan- "Apakah mereka kaget ?"
"Jangan kuatir loocianpwee, mereka tidak kurang suatu apa," sahut sianak muda, "Mereka mempunyai kepandaian untuk melindungi diri mereka. Dari dua musuh yang menyerbu kedalam rumah, yang satu roboh ditangan mereka itu yang lain terkena totokanku." Ban Liang menghela napas lega.
"Bagus" pujinya. "Sekarang kita bekerja Yang luka harus dibawa kedalam rumah, yang terbinasa mesti lekas dikubur"
Dari tujuh musuh diluar, lima mati, yang dua terluka. Lalu yang
lima dikubur sekedarnya, dan yang dua digotong kedalam rumah.
Kedua nona itu duduk dikursi, melihat datangnya rombongan
sianak muda, keduanya bangkit, terus mereka memberi hormat.
"Kalian terkejut, nona-nona" berkata Ban Liang. Maaf, kami datang terlambat."
"Terima kasih loocianpwee," berkata sinona tunanetra. "Tidak apa-apa."
"Ada satu hal yang kurangaku jelas," kata Siauw Pek. "aku mohon sukalah nona memberikan keterangan kepada kami."
"Apakah itu, saudara kecil?" Ban Liang bertanya mendahului sinona.
"Apakah sebelum ini orang-orang ini pernah datang kemari?" tanya sianak muda.
"Tidak-" sahut nona sang kakak itu, "seingatku, belum pernah ada orang, berlebih lebih musuh yang datang kemari."
"Jikalau begitu nona, kamilah yang membawakan kepusingan kepada kalian-.." Sinona berdiam. Itulah pertanda benarnya kata- kata sianak muda. Siauw Pek berpaling kepada Ban Liang.
"Apakah loocianpwee dapat mengenali mereka ini dari golongan mana?" tanyanya. "Dapatkah loocianpwee melihat tanda-tandanya?" orang yang ditanya menggeleng kepala.
"Loohu tidak tahu, sudah puluhan tahun loohu mengundurkan
diri, maka mengenai kaum Kang ouw, loohu telah jadi asing sekali."
"coba tolong beritahukan boanpwee dandanan dan roman mereka itu," sinona tunanetra minta.
Ban Liang menarik napas tertahan-
"Menurut penglihatanku, mereka ini bukan termasuk pemimpin mereka," berkata ia. "Mereka semua menyamar menjadi orang tani..."
Ketika itu terdengar suara Kho Kong, yang berjaga jaga diluar: "Ada orang datang"
Mendengar isyarat itu, Siauw Pek segera menanya orang tawanannya: "Aku ingin menanya satu urusan kepadamu, tuan- tuan,"
Dari dua orang itu, yang satu terluka parah, napasnya sudah putus-putus. Yang kedua, yang lukanya lebih ringan, mengawasi sianak muda dia membungkam. Sementara itu Oey Eng menghunus pedangnya. "Aku hendak membantu shatee" serunya, sambil ia terus lari keluar. Melihat lawan berdiam saja, Ban Liang tertawa dingin.
"Ditanya secara sabar, mana dia mau bicara" katanya, Maka ia maju untuk menyambar lengan orang itu, dan terus bertanya^ "Eh, bagaimanakah lukamu?" orang itu berani, dia terus membungkam, Tak mau dia memandang sijago tua.
"Bagus, sahabat" tertawa si jago tua tawanya dingin. "Hendak aku coba kau, untuk kau merasai Hun-kit co kut-hoat "
"Hun kit co kut-hoat" ialah ilmu memencet "Memisah otot menyalahi tulang". Justru itu dari luar terdengar bentakan Kho Kong, "berhenti"
Ban liang melepaskan Cekalannya, ia berpaling kepada Siauw Pek seraya berkata: "Saudara kecil tolong kau berdiam disini melindungi kedua nona, aku hendak melihat siapa itu yang datang."
Tanpa menanti jawaban lagi, jago tua ini segera bertindak keluar.
Siauw Pek mengawasi orang berlalu, lalu ia melihat kepada kedua nona. ia mendapatkan kedua nona duduk berendeng, masing masing sebelah tangannya saling berpegangan. Sikap mereka sangat tenang, agaknya mereka tak guncang pikiran walaupun ada musuh yang datang mengancam. Kembali ia jadi sangat kagum. Diam-diam iapun merasa heran sekali. Kecantikan sinona nona memancarkan sinar keagungan
sinona bisu rupanya melihat sianak muda memperhatikan mereka, diam diam tangannya menekan tangan kanannya, mementil mentil.
sekonyong konyong nona yang tak dapat melihat itu tertawa perlahan.
Siauw Pek mendengar dan melihat, tiba tiba hatinya guncang sendiri, maka ia lekas lekas ia menoleh, tak berani ia mengawasi lebih lama. ia memandang keluar, hingga ia dapat melihat siapa itu yang datang.
Seorang muda dengan pakaian perlente tampak didepan rumah. Dia menanggung yang bagus. Tempat dia berada itu adalah dibawah pohon besar, terpisah dari rumah kira-kira dua tombak.
Dengan sepasang mata yang tajam, dia memandang Oey Eng dan Kho Kong berdua:
Untuk sejenak. Siauw Pek merasa ia kenal anak muda itu akan
tetapi ia tak ingat benar dimana mereka pernah bertemu muka.
Ban Liang berdiri menyender didinding rumah, ia berdiam saja,
agaknya dia lagi memikir sesuatu yang membuatnya sulit.
"Apakah tuan tuan berdua pasti hendak merintangi aku?" demikian terdengar suara siperlente itu Suara itu tidak keras akan tetapi dingin, nadanya mengandung kesombongan. Sejak Kho Kong dan Oey Eng melengak. akan tetapi siaseran segera menjawab tegas. "Jikalau kami tidak benar bear, apakah kami bersenda gurau dengan kau?" Berkata begitu sipolos juga mengangkat sepasang senjatanya.
Anak muda itu tertawa hambar. Dia berkata pula: "Setiap orang selama hidupnya, dia mati cuma satu kali Karena itu, tuan tuan berdua apakah benar benar kamu sangat memandang ringan kepada mati atau hidup kamu?"
Tepat itu waktu Siauw Pek baru ingat bahwa ia pernah ketemu pemuda itu diJie sie wan-
"Sungguh mulut besar" terdengar suara Kho Kong. "Sebelum kita bertanding, sungguh sukar buat memastikan kematian ada bagian siapa"
Agaknya pemuda itu tahu bahwa orang sudah menjadi marah, ia berkata pula dengan sama hambarnya^ "Kau Kaulah yang pertama bakal mati" Berkata begitu, sinar matanya menyapun kearah Oey Eng, kearah Ban Liang dan juga Siauw Pek. Sinar mata itu bagaikan kilat berkeredep. Dia menambahkan: " juga dia juga itu anak muda diambang pintu serta orang tua kurus didinding" Bukan main gusarnya Kho Kong,
Belum pernah aku bertemu orang sesombong kau" bentaknya. Terus dia menentang kedua belah tangannya, seraya
menambahkan: "Kita baik jangan adu mulut lagi Lekas kau turun dari kudamu beranikah kau?"
Anak muda itu berdongak, dia tertawa terbahak Tawa itu nyaring
seakan emas dan batu saling bentrokan, iramanya berpengaruh.
Tiba tiba saja Ban Liang yang lagi berpikir keras itu berseru^ "benarlah dianya" Dan segera dia melompat maju untuk lari kedepan. Ketika itu tiba tiba juga sianak muda melarikan kudanya maju
Menyusul itu, mendadak Kho Kong yang memegang sepasang senjatanya roboh sendirinya
Oey Eng yang mendampingi adiknya itu heran dan kaget, hingga ia berdiam menjublak, dua matanya terpentang lebar. ia heran sebab ia tidak melihat bagaimana caranya saudara itu dirobohkan orang
Siorang muda bergerak secara aneh, habis ia merobohkan Kho kong, terus dia menyerang kepada sianak muda she Oey itu.
Oey Eng kaget, tetapi la gelap. ia insaf akan bahaya, dengan gesit ia berkelit. Maka ia selamat
Berbareng dengan itu, Ban liang melompat maju
"Liap Hun ciang" seru Seng supoan, sedang dengan tangan kanannya, dia menyerang dengan menggunakan ilmu Ngo Kwie Souw hun ciang.
Ilmu silat yang dipakai sianak muda, yang disebut "Liap Hun ciang", adalah ilmu "Tangan membetot nyawa"
Anak muda itu melihat dan mendengar, ia menerka siorang tua liehay. maka sambil menarik les kudanya, dia berseru, membuat kudanya berlompat menyingkir jauh satu tombak lebih.
Siauw Pek terkejut melihat saudaranya roboh, maka ia melompat maju, sambil berseru: "Turunlah kau" ia menyerang dengan pedangnya, untuk menyerang dari jarak jauh. Maka meluncurlah pedangnya itu, bagaikan halilintar.
Sianak muda pernah dipesan gurunya, kecuali terpaksa, tak dapat ia menggunakan tipu pedang itu. Itulah bukan salah satu jurus dari Tay pie kiam hoat, Ilmu Pedang Mahakasih, hanya satu ilmu lain yang diciptakan Kie Tong selama dia menyendiri didalam lembahnya. Itulah semacam senjata rahasia.
Sianak muda kaget ketika ia melihat melesatnya pedang itu, tak sempat ia lompat menyingkir, maka ia merosot turun, berputar ke perut kuda, sesudah mana baru dia menyingkir lebih jauh. Maka kasihanlah kuda yang bagus itu, dengan turunnya pedang, tubuhnya berikut pelananya tertebas kutung menjadi dua. Begitu dia selamat, anak muda terus kabur.
Siauw Pek tidak sempat mengambil pedangnya, dia lari
menghampiri Kho Kong^ "Bagaimana, adik?" dia bertanya.
"Tubuhnya mulai dingin," berkata Oey Eng, yang telah mendahului menghampiri saudara muda itu. Ia berduka dan khawatir sekali.
Siauw Pek meraba tangan kiri saudaranya itu benar ia merasa
jeriji tangannya dingin seperti es. Ia mengerutkan alisnya.
sementara itu Ban Liang, yang kagum atas kepandaian si anak muda, heran melihat anak muda itu diam tertegun darn romannya berluka. Ia mengerti tentulah Kho kong parah. Maka iapun lari menghampiri. "Apakah lukanya parah?" tanyanya.
"Mungkin dia terkena pukulan yang beracun," kata Siauw Pek, menghela napas.
"Jangan putus asa, saudara kecil," berkata sijagotua. "Kakak Hoan pandai ilmu pengobatan, kedua nona muridnya sudah menerima warisan kepandaian itu, mungkin nona nona itu sanggup menolong saudara Kho. Mari kita bawa saudara Kho kepada mereka..."
Siauw Pek masih bingung. Iapun heran, katanya didalam hati. Kedua nona itu, yang satu buta, yang satu gagu, benarkah mereka sanggup mengobati luka saudara Kho ini"
Biar bagaimana itu perlu lekas ditolong, maka bertiga mereka
memperpanjang saudara muda itu, dibawa kedalam rumah.
Kedua nona duduk tenang berendeng, kedua tangan mereka masih berpegangan satu dengan lain, tetapi ketika si bisu melihat dibawa masuknya Kho kong, ia terperanjat. Tidak ayal lagi tangannya yang memegangi tangan kakaknya, dipentil pentilkan- Segera nona yang satunyapun tampak tegang.
"Apakah dia yang luka, tanyanya.
"Betul, Siauw Pek menjawab.
Dan Ban Liang terus menambahkan. "Kakak Hoan pandai ilmu ketabiban, apakah nona nona mewarisi kepandaiannya itu?"
Si nona mengangguk sambil menjawab, "Meski suhu pernah mengajarkan kami akan tetapi kami belum pernah mencoba menolong orang, karena itu tak tahu kami, kami sanggup mengobati atau tidak..."
"Ai, Kakak Hoan telah mewariskannya, pasti tak akan gagal," kata Ban Liang, yang kepercayaannya terhadap Tiong beng teguh sekali. Si nona bangkit perlahan.
"coba bawa dia kemari," katanya. "Mari aku lihat lukanya."
Siauw pek memondong tubuh Kho kong, didekatkan kepada nona itu.
"Ini dianya," katanya, "Tolonglah"
Nona itu meraba bahu kiri Kho kong, terus hingga kena di, yang dipegang dengan dua jeriji tangannya.
"Lukanya parah," katanya selang sesaat.
"Dia kena terhajar angin angin, dia roboh seketika dan pingsan," Siauw Pek memberitahukan. "Sejak tadi dia belum sadarkan diri... Tahukah nona dia terlukakan racun apa ?" Ban Liang tanya. Nona itu menghela napas.
"Belum pernah aku memeriksa orang sakit," berkata ia terus terang. "Semenjak aku mulai kenal urusan dunia, kecuali suhu dan adikku ini, belum pernah aku berurusan dengan siapapun."
Alis Ban Liang berkernyit.
"Dengan begini, jadi artinya nona tidak kenal luka ini luka apa?" tanyanya.
"Melihat sudah tetapi aku belum berani memastikannya," sahut si nona.
"Tak apa nona, asal nona sudi memberikan keterangan," kata Siauwpek. "Nanti kita rundingkan bersama..."
Nona itu berdiam, ketenangannya pulih. Ia berpikir beberapa lama, baru ia berkata: "Luka ini mestinya disebabkan pukulan angin dari suatu ilmu silat Gwa kang yang istimewa..."
"Gwa kang" ialah ilmu silat "Bagian Luar". Ilmu silat imbangannya yaitu "Lay kang" (atau Lweekang), "Bagian Dalam". Lay kang mementingkan tenaga dalam, dan Gqa kang tenaga luar, yaitu kekuatan tenaga. Gwa kang disebut juga Nge kang, ilmu "Keras", dan Lay kang yaitu Nui kang, ilmu "Lunak".
Si nona mengerutkan alis ketika ia berkata pula: "orang itu mempunyai latihan yang sempurna sekali, dengan sekali saja, dia
melukai orang dibagian dalam, hingga jalan nadinya kena terintangi,
sedang jantung dan lain anggota didalam itu hilang tenaganya..."
"Itulah rupanya yang menyebabkan saudaraku ini pingsan seketika," kata Siauw Pek.
"Sekarang aku akan mencoba menolongnya," berkata si nona. "Hanya, seperti aku telah katakan aku tak punya pegangan.Jikalau pertolonganku gagal, aku minta tuan tuan memaafkan aku, sebenarnya aku telah mencoba apa yang aku bisa..."
"Silahkan, nona," berkata pula Siauw Pek. "Mati atau hidupnya seseorang bergantung kepada nasibnya, kalau saudaraku ini tidak dapat tertolong, apa boleh buat..."
"coba letakkan dia ditanah," berkata si nona. "Akan aku tusuk dia dengan jarum, untuk mencoba menyadarkannya."
Siauw pek merebahkan saudaranya. Ia berkata perlahanpada si nona: "Nona, cobalah tolong, apabila nona tidak berhasil, jangan khawatir, nona tidak bertanggung jawab."
Tiba tiba wajah si nona ditabur dengan senyumannya. Dengan perlahan dia berjongkok. Tanpa ayal lagi, sepuluh jerijinya yang lancip. yang putih halus, mulai bergerak gerak ditubuh Kho kong. Nampak sepuluh jari itu bagaikan bergemeter. Terang si nona sedang mencari sasarannya. Kemudian jari manisnya yang kiri berhenti dijalan darah "hok kiat" dari Kho kong dibiarkan disitu, dilain pihak, tangannya merogoh sakunya, mengeluarkan sepotong jarum. berbuat begitu, mulutnya berkemak kemik.
Ban Liang dan Siauw Pek mempunyai telinga yang lihay akan tetapi mereka masih tidak dengar kata-kata si nona Hanya
kemudian si anak muda berkata perlahan sekali: "Jangan ragu ragu,
nona, gunakanlah jarummu" Nona tunanetra itu tertawa perlahan-
"Aku tidak ragu ragu," katanya. akan tetapi walaupun demikian, kedua tangannya bergemeter keras .Jarum yang sudah diarahkan kejalan darah hokkiat, tidak segera ditusukkan-..
Siauw Pek hendak menganjurkan pula tetapi Ban Liang mencegahnya.
Untuk sedetik lagi, nona itu masih bersangsi, tapi dilain saat, sambil menggerakkan giginya dengan keras, jarumnya lalu ditusukkan
Berbareng dengan itu, peluh si nona keluar bercucuran, dari dahinya sampai kepipinya, suatu tanda bahwa hatinya sangat tegang. Tubuh Kho kong, yang sekian lama itu berdiam saja, terlihat berkutik.
"Ah, dia mulai sadar" kata Siauw Pek, girang.
"Benarkah?" tanya si nona sambil menyusuli peluhnya.
Belum berhenti suara si nona, tiba-tiba Kho kong sudah memperdengarkan suaranya.
Wajak si nona menjadi terang, segera dengan tangan kanannya dia meraba pelipis kiri si anak muda sambil berkata: "jangan bergerak"
Suara itu halus dan merdu, menyayang bagaikan seorang ibu yang mencinta. Mendengar itu, Kho Kong berdiam. Tadinya anak muda ini mau bergerak pula.
Ban Liang berbisik ditelinga Siauwpek: "Nampaknya benar nona
ini sudah mewariskan seluruh kepandaiannya sahabat karibku..."
Si nona merogoh pula kesakunya, mengeluarkan sepotong jarum lainnya. Ia menggunakan tangan kirinya.
"Rebahlah dengan tenang," katanya, sabar. "Tutup matamu, jangan melihat..."
Kho kong menurut, baru ia melek tapi lalu memejamkannya pula.
Si nona memindahkan jarum ketangan kanannya, dengan tangan kirinya, dia menekan jalan darahnya thian-tie, kali ini hanya dengan berdiam sejenak. dia segera memberikan injeksinya.
Kho kong bergerak sedikit, lalu dia menghela napas lega. Si nona membuka bibirnya yang merah dadu.
"coba jalankan napasmu," katanya sabar. "coba lihat, ada atau tidak yang tidak lurus."
Kho kong menurut, lalu ia bernapas. dari perlahan sampai dipercepat. Tiba tiba semangatnya terbangun-"Semua lurus" serunya girang. Si nona menghela napas lega. Dia bangkit.
"Syukur aku tidak menyia nyiakan pengharapan kamu..." katanya.
"Terima kasih, nona" mengucap Siauw pek sembari memberi hormat.
Si nona tunanetra tidak melihat perbuatan si anak muda akan tetapi si nona bisu telah memberikan tanda kepadanya, maka juga lekas sekali dia sudah membalas hormat sambil berkata: "Sekarang ini biarlah dia beristirahat sebentar, baru jarumnya dapat dicabut.Jikalau aku tidak keliru, sebentar dia harus diberi makan dua bungkus obat, setelah beristirahat dua tiga hari, kesehatannya akan pulih seperti sediakala."
Oey Eng kagum sekali, katanya didalam hatinya: "Dia buta, dia
toh bisa mempelajari ilmu pengobatan penusukan jarum... Dia juga
lemah lembut, dia seperti terpelajar tinggi, sungguh luar biasa..."
Tanpa merasa anak muda ini mengawasi nona itu. hingga ia melihat tegas sepasang mata yang ditawungi alis lentik, hidung bangir mulut mungil merah dadu, sepasang mata si nona pun bagus duduknya, kecuali tampak putihnya saja...
"Kapan jarum ini dapat dicabut?" Siauwpek tanya.
"Paling lama setengah jam lagi," sahut si nona.
Tiba tiba saja Ban Liang bertanya^ "Nona nona, kami belum ketahui nama kalian-.."
Si nona tidak dapat melihat, tetapi telinganya celi, dengan
mendengar suara saja, segera ia mengenali suaranya sijago tua.
"Loocianpwee menjadi sahabat kekal suhu. Tidak berani kami yang rendah mendustai loocianpwee." sahutnya, "kami dua saudara adalah orang orang yang bernasib malang, semenjak kecil kami dirawat suhu, sampai sekarang kami belum tahushe dan nama kami, Loocianpwee aku bicara dari hal yang benar," Ia diam sejenak.
untuk menarik napas perlahan, baru ia menambahkan: "Sejak kami
turut suhu, dengan kebaikan hati suhu, kami telah turut she suhu."
"Dengan begitu kamu jadi she Hoan, nona" Sinona mengangguk.
"Benar loocianpwee," sahutnya. "Suhu yang telah memberi nama kepada kami. Aku ialah Soat Kun, dan adikku ini soat Gie,.."
Ban Liang melengak, kata dia seorang diri: "Rasanya aku pernah dengar nama ini. Soat Kun-. Soat Gie,.. oh, ya, ada seorang sahabatku, dia mempunyai seorang anak perempuan yang namanya Soat Kun-.."
"She dan nama kebetulan sama adalah umum saja," berkata nona tunanetra itu, "hanya yang beda yaitu lain orang cukup segalanya dan kami dua saudara tidak beruntung..."
Mendadak sinona bisu menepuk tubuh kakaknya dengan tangan kanannya hingga dua kali. Itulah kembali isyarat mereka berdua, yang lain orang tak ketahui artinya.
Karena muka sinona tunanetra tampak merah karena jengah, terus terdengar suaranya yang perlahan. "Adikku memberitahukan bahwa kita selanjutnya akan tinggal bersama buat waktu yang lama, oleh karena itu sudah sepantasnya jikalau kami belajar kenal dengan loocianpwee sekalian, apakah she dan nama besar loocianpwee ?"
"Benar, itulah benar," berkata Ban Liang cepat, "Aku siorang tua bernama Ban Liang." Sinona tertawa.
"Nama locianpwee telah lama kami dengar," katanya. "suhu sering menyebutnya."
"Aku yang rendah Oey Eng," Oey Eng memperkenalkan dirinya. "oh, Kakak Oey," berkata sinona.
Kho Kong yang tengah beristirahat turut memperkenalkan dirinya: "Aku bernama Kho Kong akan tetapi nona nona boleh panggil saja aku Kho Loo Sam ?"
Berkata begitu, mendadak sipolos ini memutuskan kata katanya. Ia jengah sendirinya. Ia kuatir nanti disangka mengejek salah satu dari kedua nona itu, yang bisu. Ia lantas tunduk, tidak berani mengawasi kedua nona ini.
"Masih ada satu saudara lagi?" bertanya Hoan Soat Kun, karena ia tidak mendengar orang atau tamunya yang keempat memberitahukan namanya.
"Aku yang muda coh siauw Pek." sianak muda menjawab, sedangkan, sejenak tadi dia beragu-ragu harus memperkenalkan diri dengan sebenarnya atau tidak. Adalah diluar dugaannya, si nona justru menanyakannya.
"coh Siauw Pek... coh Siauw Pek..." si nona berulang-ulang menyebut nama orang itu. "Ada seorang nona she coh, Nona Bun Koan, apakah saudara kenal dia ?" Siauw Pek tercengang. Nama itu mengejutkannya.
"Dialah kakakku" sahutnya, suaranya menggetar, "bagaimana nona kenal dia?"
"Nona itu pernah bersama kami dua saudara tinggal satu kamar buat beberapa hari lamanya," menjawab Soat Kun. "Nona itu baik sekali, dia tidak menghina kami berdua ya bercacad ini, suka dia memberitahukan kami tentang keluarganya. Ah, sungguh suatu pengalaman hidup yang sangat memanaskan hati dan menyedihkan sekali. Ia sekarang.."
Hati Siauw Pek sangat tegang, hingga sulit dia menguasainya. "Dimana adanya kakakku itu sekarang?" tanyanya mendesak. Tak heran adik ini sangat memikirkan kakaknya itu, kakak satu-satunya. Soat Kun menghela napas.
"Ketika nona coh itu datang kemari, dia membawa sepucuk surat perantara." katanya. "Dia datang untuk minta suhu menerimanya sebagai murid..."
"Dan guru nona tak suka menerimanya, bukan?" tanya Siauw Pek.
"suhu mempunyai kesulitannya sendiri, menyesal ia tak dapat menerima nona itu sebagai muridnya."
"Setelah ditolak. kemana perginya kakakku itu?" tanya pula siauw Pek.
"Nona coh berdiam tujuh hari disini, setelah dia pergi, selanjutnya tak tahu kami berdua dia pergi kemana."
Dengan matanya berCaCad, nona Hoan tidak dapat melihat perubahan air mukanya Siauw Pek, yang sangat menyesal dan berkuatir. Ia menghela napas, lalu ia menambahkan: "Nona coh halus budi pekertinya. Baru berapa hari kita berkenalan, sinona pergi, pernah aku tanya suhu, kenapa suhu menolak permintaannya. Nona itu datang dengan penuh pengharapan tetapi berlalu dengan menyesal dan berduka."
Sebelum orang sempat berbicara terus, Siauw Pek memotong suaranya tawar : "Tentu itu disebabkan keluarga coh sangat banyak musuhnya dan guru nona tidak berani menerima dia sebab itu bisa menyebabkan datangnya bahaya."
soat Kun tidak bisa melihat akan tetapi dari lagu suara Siauw Pek ia dapat menerka hati anak muda itu, maka lekas-lekas ia berkata: "Kakak coh keliru menilai suhu. Suhu bukannya manusia yang takut mati tetapi serakah hidup,"
Siauw Pek mencoba menguasai hatinya.
"Sudikah nona memberi keterangan kepadaku kenapa guru nona menolak kakakku itu."
"Walaupun kau tidak menanya, aku akan beri tahu, saudara." berkata si nona. Dia mencari kata-kata yang tepat, baru dia melanjutkan : "Menurut suhu, suhu menolak sinona disebabkan dua hal, Pertama yaitu suhu tidak sanggup melindungi keselamatan Nona coh, dan kedua suhu merasa kesehatannya terganggu hingga suhu kuatir hidup tak akan lama lagi. Dengan batas waktu yang pendek. tidak dapat suhu menurunkan semua pelajarannya. Didalam ilmu silat, kepandaian suhu sangat terbatas, dia tak ada derajatnya buat menjadi seorang guru."
Siauw Pek menghela napas lega. "oh, kiranya begitu..." katanya lesu.
"Suhu juga menjelaskan lebih jauh," Nona Hoan menambahkan: "Katanya, jikalau dia menerima Nona coh, itu bukan saja bakal mencelakakan sinona, tetapi berbareng melenyapkan kesempatan kelak dibelakang hari nona itu melakukan pembalasan sakit hatinya..."
"Bagaimana artinya ini, nona?" tanya Siauw Pek heran-
"Suhu bilang aku, kalau suhu menerima Nona coh, tak sanggup suhu mewariskan kepandaiannya, kesulitan yang lain ialah sikapnya delapan belas partai besar nanti. Ada kemungkinan partai-partai itu tidak mau melepaskan suhu seorang saja, suhu kuatir mereka juga nanti mencelakai kami dua saudara. celakalah kalau kamipun dibinasakan, sebab itu berarti batu biasa dan kemala habis terbakar bersama. Jikalau sampai suhu dan kami terbinasa, lalu kepandaian tidak dapat diwariskan kepada siapa juga..." Siauw Pek setuju dengan cara pemikiran itu.
"Benar, katanya. "Begitulah suhu terpaksa menolak Nona coh Soat Kun" mengakhiri keterangannya. Siauw Pek menghela napas. Dia menyesal dan berduka sekali.
"Nona, katanya kemudian, apakah kakakku itu pernah menuturkan kepada nona nona tentang nasib keluarga Coh" Atau, pernahkah guru nona menanyakannya?"
JILID 24 "Ya, Nona Coh telah menuturkan segala sesuatu kepada kami. Suhu juga menanyakan beberapa hal, yang ia anggap mencurigakan." Mendengar itu. Siauw Pek berpikir. Memang didalam peristiwa Pek Ho bun itu mesti ada sesuatu yang tersembunyi. Entah apa saja yang kakakku ceritakan. Dapatkah aku
tanyakan itu kepada nona ini?" Hanya sejenak si anak muda merasa ragu, segera ia bertanya; "Nona, apa saja kata kakakku itu ?"
"Dari pertanyaan-pertanyaan suhu, sebagian besar nona Coh tidak dapat jawab," menerangkan nona Hoan.
"Seperginya kakakku itu, apa saja kata Hoan Loocianpwee kepada nona?"
"Suhu pernah memberitahukan aku bahwa peristiwa Pek Ho bun itu merupakan pengorbanan dari suatu rencana besar, bahwa sembilan pay besar beserta empat bun, tiga hwee dan dua pang, semuanya telah dipermainkan hingga mereka sudah melakukan kecerobohan, tapi seratus lebih jiwa orang Pek Ho bun itu bukan kurban kurban percuma cuma..."
"Apakah artinya kata kata itu,nona?" menegasi Siauw Pek, heran.
"Suhu mengatakan bahwa peristiwa Pek Ho bun akan membuat
orang Kang Ouw tersadar, bahwa didalam dunia Kang Ouw secara
diam diam tengah berlangsung suatu perubahan besar yang hebat."
Mendengar itu, si anak muda berpikir. "Kalau begini, biar Hoan Loocianpwee mempunyai pandangan yang luas, pandangannya itu CoCok dengan pandangan Su kay taysu. Nona itu pasti mengetahi lebih banyak lagi." Maka ia lalu menanya lagi". Bagaimana bisa terjadi demikian, nona?"
"Suhu mengatakan pada kami bahwa orang yang menulis surat buat si nona adalah seorang gagah yang berhati tawar, yang tidak suka memperhatikan urusan Rimba Persilatan, kalau toh ia telah menulis surat untuk nona itu adalah diluar kebiasaannya, bahwa itu disebabkan akhirnya dia masih tertarik urusan Rimba Persilatan itu" Siauw pek mengangguk.
"Oh, kiranya begitu," katanya. "Suhu juga mengatakan bahwa orang yang menulis surat itu berkepandaian silat sangat tinggi," si nona melanjutkan keterangannya, "bahwa dia termasuk orang nomor satu dalam dunia Rimba Persilatan. Kata suhu, dengan menolak si nona, maka orang itu pasti akan
menerimanya dan akan mengajarnya ilmu silat, bahwa meskipun suhu menolak, nona itu tidak bakal terlantar hidupnya."
"Dengan begitu, nona, segala sesuatu telah berada didalam
terkaan Hoan Loocianpwee?" Hoan Soat Kun mengangguk,
"Begitulah kiranya, katanya. "Suhu pula telah memberitahukan kami bahwa kelak dibelakang hari kami harus membantu sungguh- sungguh kepada kamu untuk membalaskan dendam kesumat keluargamu." Siauw pek merangkap kedua tangannya, memberi hormat.
"Nona, dengan ini terlebih dahulu aku menghaturkan banyak terima kasih," katanya.
Nona itu tersenyum, akan tetapi pada wajahnya nampak kedukaan. "Hanya," katanya agak masgul. "selama belasan tahun dari hidup kami, kami berdua bersaudara, kecuali dengan suhu, belum pernah kami berurusan dengan lain orang siapa juga, sedangkan ilmu silat kami sangat tidak berarti, karena itu aku tidak tahu dengan cara bagaimana kami dapat membantu pada kau kongcu." Nona itu membahasakan, kongcu kepada si anak muda. Itulah kata kata tuan muda yang terhormat, yang mirip dengan anda.
"Itulah bukannya soal, nona" Ban Liang campur bicara. "Memang kakak Hoan tidak lihay ilmu silatnya akan tetapi kepintarannya luar biasa, dia pandai ilmu pedang, dia juga berpandangan luas, dia dapat menerka nerka melebihi lain lain orang. Sekarang ini urusan Rimba Persilatan sangat rumit, urusan tidak dapat dibereskan melulu dengan mengandalkan ilmu silat saja..."
soat Kun menghela napas perlahan.
"Semasa hidupnya suhu, sering suhu menganjurkan, membesarkan hati kami," katanya.
"Pernah suhu berkata, kalau setelah enam tahun suhu kemari, maka bencana dunia Kang Ouw akan sudah menjadi kenyataan.
Maka setelah itu, walaupun Cukat Kong beng hidup pula, atau Thio
Liang bangkit kembali, bencana itu sudah tidak terhindarkan lagi..."
"Sekarang ini, nona" bertanya Seng supoan yang sangat tertarik perhatiannya. "batas waktu enam tahun itu sudah lewat atau belum?"
"Belum. Sejak suhu meninggal dunia, tiga tahun baru berlalu.
Maka itu kedatangan Coh kongcu sekarang ini belumlah terlambat."
Jago tua itu bernapas lega. Dia agaknya menaruh kepercaaan sangat besar kepada Hoan Tiong beng, sahabat karibnya itu. Lalu ia memandang anak muda.


Pedang Golok Yang Menggetarkan Pedang Penakluk Golok Pembasmi Ka Thian Kiam Coat To Thian Kiam Coat To Karya Wo Lung Shen di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saudara Coh, katanya.jikalau pertemuan kita terlambat tiga tahun, jikalau bukannya peristiwa Pek Ho bun telah membangkitkan rasa tidak puasku, bukan bencana besar kaum Kang Ouw itu telah berwujud rupa dlkarenakan kita?"
Siauw pek dan dua saudaranya kagum mendengar kata kata sijago tua itu. Nyata dia sangat memperhatikan dunia Kang Ouw, atau Rimba Persilatan,jelas hatinya sangat mulia.
"Semasa Coh kongcu belum datang, sebenarnya kami telah mengharap harapkannya," berkata pula Soat kun, yang bicara dengan sejujurnya. "Suhu telah memesan, selewatnya enam tahun, kalau kongcu tidak datang, kami harus pergi kesebuah gunung yang sunyi, untuk kami tinggal dengan aman dan damai, agar tak usah kami mencampuri lagi dunia Rimba Persilatan. Akan tetapi sekarang, setelah kau datang, loocianpwee sekalian, hati kami justru menjadi tidak tenang..."
Siauw pek heran. "Kenapa begitu, nona?" tanya dia.
"Banyak untuk dikatakan, kongcu," sahut si nona itu. "Kami satu tak dapat melihat, satu pula tak dapat bicara, sudah bercacad, tubuh kamipun lemah, karena itu, apakah yang dapat kami perbuat untuk membantu kongcu?" Ia menghela napas akan tetapi ia lalu menambahkan: "Tapi suhu telah memesan, tak dapat pesan itu
ditentang. maka itu terpaksa kami si orang orang bercacad mesti
turut kongcu sekalian untuk memasuki dunia Kang Ouw..."
"Keluarganya kamu, nona nona, adalah pengharapan kami," berkata Ban Liang, "Sekarang ini keadaan sangat genting. Ceng Gie Loejin telah menutup mata. Ong kiam dan Pa Too sudah sembunyi, sebaliknya Siang ok muncul Dilain pihak delapan belas partai persilatan sejak mereka menyerbu Pek I to-pi", sifatnya telah berubah menuju keburukan. Yang lebih hebat lagi, sekarangpun muncul seorang dengan kepandaian sebagai Ceng Gie Loejin itu, yang pandai ilmu pengobatan, yang menempatkan diri ditanah belukar, agaknya dia mempunyai suatu rencana besar Nampaknya tak salah penglihatan kakak Hoan bahwa dunia Kang Ouw bakal
mengalami perubahan, atau kejadian yang maha besar, maha
dahsyat. Nampaknya rencana besar itu sedang berlangsung..."
"Loocianpwee, tahukah kau siapa biang keladi bahaya dan dimana mulai munculnya?" si nona tanya.
"Sulit untuk menjelaskan, nona. Orang tuanya dapat merasakan tapi tak dapat meraba. Inilah mungkin sebabnya kenapa kakak Hoan menghendaki kamu memunculkan diri," nona Hoan Soat Kun berpikir sejenak, segera ia berkata:
"Baiklah Sekarang silahkan loocianpwee sekalian berdiam
dirumahku ini barang tiga hari itu, kita akan berangkat bersama" Ban Liang heran tak dapat segera berangkat.
"Nona nona masih mempunyai urusan apakah?" tanyanya.
"Bersama adikku ini, hendak aku pergi ke kuburan suhu." menjawab si nona. "Disana kami hendak berdiam selama tiga hari..." Ia berhenti sedikit, baru ia meneruskan;
"Selama tiga hari itu saudara Kho dapat sekalian beristirahat memelihara lukanya."
"Nona, lukaku telah sembuh," berkata si polos "Aku rasa, obatpun tak usah aku makan lagi."
"Tak dapat, saudara," mencegah si nona. "Tanpa makan obat, racun di dalam tubuhmu tidak bakal lenyap seluruhnya, selang sepuluh atau dua puluh tahun nanti lukamu kan kambuh"
Kho kong terkejut, terus ia membungkam. soat Kun menghela napas.
"Siapa suka menolong aku mencatat resep?" tanyanya. "Silahkan sebut nona" menjawab Siauw pek
Nona itu menyebutkan nama nama obat berikut timbangan berat entengnya, dan sianak muda mencatat semuanya. Setelah itu, si nona memegang dan melepaskan tangan kanan Soat Gie, sang adik
itu lalu pergi kedalam, untuk kembali didalam tempo pendek dengan
membawa satu bungkusan kecil. Dia terus menghampiri kakaknya.
Sekembali adik itu, Soat kun berkata pula; "Jikalau aku tak keliru, setelah kami berdua meninggalkan rumah ini, mesti ada orang orang Rimba Persilatan yang datang menyerang pula kemari. oleh karena itu baik baiklah tuan tuan melayani mereka itu."
"Tentang ini jangan nona pikirkan," kata Ban Liang.
"Di dalam telah tersedia pembaringan berikut segala perlengkapannya," berkata pula si nona. "juga sudah disiapkan barang makanan untuk tiga hari. Selama tiga hari itu, baik baiklah loocianpwee sekalian berjaga-jaga. Nah kami pergi."
"Perlukah kami mengantar kau?" tanya Ban Liang.
"Tak usah. Terima kasih " Berkata begitu, si nona lalu menarik tangan adiknya diajak pergi. Oey Eng mengawasi mereka keluar, baru ia pergi mengambil pedang Siauw pek, setelah kembali pada kawannya, ia berbisik pada Ban Liang, "Loocianpwee, ada satu hal yang membuatku merasa sulit..."
"Apakah itu?" tanya sijago tua, heran.
"Tentang nona nona Hoan itu. Nona yang bisu masih tidak apa, tetapi bagaimana dengan yang tak dapat melihat itu, sedangkan ilmu silatnya lumayan saja "Jikalau kita mengajak mereka berdua
merantau bersama, bukankah itu berarti kita mesti berbareng menjagai mereka " Tidakkah itu menyulitkan ?"
"Kau benar, adik, Akan tetapi aku percaya hal itu telah dipikirkan oleh almarhum kakak Hoan."
Oey Eng berdiam. Ia melihat Ban Liang mempunyai kepercayaan penuh. Meski demikian, dihatinya ia berpikir. "Nona tuna netra itu benar pintar tapi ilmu silatnya belum cukup untuk membela diri. Dan bagaimana dengan si nona bisu" Entahlah... Sungguh suatu pemikiran akan mengajak ajak kedua nona itu merantau tak ketentuan... Mereka cantik luar biasa, tapi mereka juga bercacat masing-masing, tidakkah itu membahayakan mereka " bagaimana kita harus memecah diri untuk melindungi mereka itu?"
Siauw Pek berpendapat serupa dengan Oey Eng, ia kawatir dan bingung memikirkan keselamatan nona nona itu, tapiBan Liang berketetapan hati, maka iapun mesti percaya jago tua itu. Meski begitu, toh ia masih berpikir juga. "Selanjutnya kita akan berada bersama-sama kedua nona itu, itu artinya kita semua setiap hari bakal berada diantara gelombang dayshat. Bagaimana andaikata nona nona itu tidak dapat melindungi dirinya" Bukankah itu berarti salah perhitungan."
Karena masing-masing berpikir, ruang rumah itu menjadi sunyi sekali. Barulah lewat sesaat Ban Liang yang memecah kesunyian. Katanya "Menurut dugaanku, malam ini pastilah ada musuh yang datang menyerbu. Kita berempat namun harus dihitung tiga. Suadara Kho mesti beristirahat..."
"Syukur kedua nona sudah pindah dari sini, kalau tidak, salah satu dari kita mesti istimewa melindungi dirinya." Ban Liang mengangguk,
"Satu hal kita harus pikirkan." katanya
"Musuh telah mengalami kekalahan,jikalau mereka datang pula. mesti mereka telah mengatur suatu rencana..."
"Benar begitu. Habis loocianpwee memikir daya apa ?"
"Dayanya telah kupikir hanya masih belum sempurna." sahut si orang tua.
Siauw pek yang berdiam sejak tadi, mendadak turut bicara. Katanya, "Satu kesukaran lagi ialah kita terang mereka gelap. Maka itu, tak selayaknya kita mengandalkan daya keras lawan keras saja. Menurut aku, baiklah kita lawan mereka dengan cara terbuka Yaitu kita berkumpul ditepi pengempang sana."
Si orang tua tersenyum. "Saudara Coh, kita telah menyaksikan ilmu pedang dan ilmu golokmu," katanya. "maka kita percaya kau telah mewariskan kesempurnaan kepandaian Thian Kiam dan Pa Too, hingga selajutnya, kita sangat mengandalkan kepandaianmu itu. Hanya mengenai keadaan kita sekarang, aku masih tetap percaya juga pada almarhum sahabat karibku itu. Aku percaya dia telah mewariskan suatu daya upaya, dan nona nona itu pasti akan berhasil membantumu menghindari bencana Rimba Persilatan sekalian membereskan sakit hati keluargamu. Sekarang, saudara, kau perlu berlaku sabar"
Oey Eng tidak dapat menenangkan diri seluruhnya. Dia berkata: "Nona nona itu muda dan belum berpengalaman, mereka juga bercacat, maka itu, sekalipun benar mereka sudah berhasil mewariskan kepandaian guru mereka, mereka tak dapat dibandingkan dengan Hoan loocianpwee sendiri."
Ban Liang mengelak sejenak. "Tunggu," katanya kemudian. "Aku akan ke dalam, untuk melihat kedua nona sudah mengatur sesuatu atau belum..."
Oey Eng melengak. Dia heran. "Tak mungkin..." katanya, tertawa hambar. Ban Liang tidak berkata apa apa lagi, ia masuk kedalam. Tidak lama ia sudah keluar pula, Kalau tadi wajahnya suram, sekarang terang benderang, ramai. "Benar dugaanku" serunya. "Kedua nona sudah menalangi kita mengatur daya untuk menghadapi lawan"
Siorang she Oey tercengang. "Benarkah?" dia menegaskan. "Kapan loohu pernah mendusta, saudara kecil"
Masih sianak muda ragu ragu. "Bagaimanakah cara bertahan itu?" tanya dia.
Ban Liang merogoh sakunya, mengeluarkan sepucuk surat. "Caranya bertahan ada didalam surat ini" Siorang tua meletakkan sampulnya, dan Oey Eng mendekati, melihatnya. "Tiga jalan untuk menangkis serangan," demikian tertulis tegas diatas sampul itu, dan tulisannya halus dan bagus.
Ban Liang membuka sampul, mengeluarkan isinya, lalu membebernya. Diatas itu terbaca tulisan ini:
"Kami berdua saudara menduga bahwa malam ini bakal ada musuh datang menyerbu. Tuan tuan berempat berkepandaian tinggi akan tetapi menurut hemat kami tak usah tuan tuan menggunakan kekerasan menentangnya Disini ada tiga jalan untuk menghadapi mereka, silakan pilih satu diantaranya..."
Oey Eng kagum dan heran. Ia menghela nafas. "Seorang muda yang belum pernah menjelajahi dunia Kang Ouw dapat mengetahui kebusukan kaum Kang Ouw, sungguh luar biasa Benarkah kepandaian itu didapan hanya dalam kitab kitab saja?" katanya. Ban Liang tertawa.
"Inilah keanehan dunia" ujarnya. "Ada orang pandai tapi cuma pandai surat dan bicara kalau menghadapi kenyataan, dia tidak berdaya. Dilain pihak ada orang orang lemah sebagai nona nona ini.
Aku ingat pernah kakak Hoan mengatakan kepadaku, bahwa orang
terpelajar tanpa kenyataan lebih baik menjadi orang tani saja*
"Itulah benar. Ban Loocianpwee," Siauw Pek turut bicara.
"Kakak Hoan itu bukan hanya pandai surat tapi juga pandai bekeeja," berkata siorang tua "Kalau dia bekerja dengan negara, dia bisa menjadi panglima perang atau perdana menteri yang akan membuat negaraaman sentosa dan rakyat hidup makmur dan beruntung."
Ia menengadah kelangit. lalu ia menambahkan, "Kalau dia diberi kesempatan mengepalai dunia Rimba Persilatan, pasti lenyaplah
segala kejahatan dan kebusukan, maka itu sayang sekali, diatas dia tidak dikenal kepala pemerintah, di bawah dia tidak ditunjang kaum Rimba persilatan, hingga sia-sia belaka semua kepintaran dan kepandaiannya itu." Siauw Pek kagum mend engar kata-kata kawannya ini, sendirinya ia mengagumi pula Tiong Beng.
Ban Liang memandang ketiga kawannya itu.
"Semoga kita dapat mengharapkan sepenuhnya bantuan nona- nona itu" katanya. "Hasilnya nona-nona itu akan memuaskan arwah kakak Hoan didunia baka." Oey Eng melongok keluar, melihat cuaca.
"Loocianpwee, bagaimana tentang ilmu pengobatan Hoan Loocianpwee itu?" ia tanya.
"Yang nomor satu diseluruh negara."
"Kalau begitu, dapatkah Hoan loocianpwee mengetahui sebab musabab dari gagu dan butanya kedua nona-nona itu" Menurut penglihatanku, kedua nona itu tidak ada tanda-tandanya menjadi bercacat..."
"Kau benar, saudara kecil. Tak selayaknya kakak beradik itu bercacat. Kalau mereka mulus, semua wanita cantk dikolong Langit ini akan memandang suram kepada mereka..."
Siauw Pek ngelamun maka juga ia berkata: "Mungkinkah disebabkan nona-nona itu terlalu cantik maka mereka menjadi bercacat ?"
"Itulah tak mungkin" kata Kho Kong, "Tak adil kalau begitu " Dan si orang tua tersenyum.
"Ingatlah ada waktu terang jernih. ada saatnya mendung guram Bukan bulan biasa bundar dan bersisir" Dimana ada kecantikan yang sempurna?"
"Sudahlah" Oey Eng menyela. "Hari sudah tidak siang lagi, mari kita memilih siasat. Ban Liang menurut, maka ia membeber pula kertasnya, utuk membaca :
"Tipu daya yang kesatu : Aturlah jebakan. Kalau malam ini musuh datang, pasti mereka datang dengan tenaga penuh. Meskipun kalian berempat gagah perkasa, akan tetapi tak usah kalian mengadu kekuaran baiklah kamu mementang pintu lebar lebar dan menyalakan lilin terang2 untuk menggertak mereka agar hatinya gentar, agar mereka ragu2. Disamping itu, diatas gunung, siapkanlah banyak batu, letakkan dan tumpuk secara kacau. Selama itu tuan tuan boleh beristirahat disuatu tempat yang sunyi. Akupun telah mengatur perangkap didalam kamar,jikalau musuh merusak kamarku itu, mereka bakal mendapat bagiannya."
"Bagus" kata Kho kong tertawa. Tapi mendadak dia melihat sekitarnya dengan mata membelalak, "Eh, dimana dipasangnya perangkap itu?"
"Mari kita lihat tipu daya yang kedua," berkata Oey Eng. Mereka lalu melihat bersama: "Tipu daya yang kedua: Tolak musuh dengan api. Didalam laci mejaku ada tersimpan obat peledak buatan suhu, ambillah itu untuk dipendam dibeberapa pojok di dalam kamar, juga diluar diantara gombolan rumput dan dibawah pohon ditepi empang. Sembunyikanlah sumbuya didalam tanah, siap untuk disulut."
"Tipu ini baik hanya sayang, rumah ini bakal musnah." kata Oey Eng.
"Mari kita lihat dahulu yang nomor tiga" berkata Ban Liang. Mereka melihat pula :
"Tipu daya yang ketiga: Memasang jaring menangkap burung gereja."
"Namanya saja sudah luar biasa" kata Ban Liang. "Sungguh Hoan loocianpwee liehay sekali" memuji Siauw pek, "Lebih lebih karena ia berhasil mewariskan kepandaiannya itu kepada kedua muridnya yang bercacat ini."
Ban Liang senang mendengar sahabatnya dipuji, ia tertawa. "Nah, sekarang tahulah kamu bahwa aku si tua tidak mendusta"
katanya. "Kecantikan kedua nona saja telah membuktikan kecerdasannya"
Kho Kong turut berkata. "Mari kita lihat bagaimana caranya jaring diatur"
Ban Liang tertawa pula. Kembali mereka membaca.
"Keadaan tubuh suhu berbatas, tak dapat ia meyakinkan ilmu silat hingga mahir, maka itu ia menukar haluan, ia mempelajari ilmu surat dan lainnya, seperti melukis dan mengukir. Pernah suhu mengukir dua potong batu kemala menjadi dua boneka cantik, yang dalamnya kosong, lalu didalamnya disembunyikan semacam obat, asal disulut, obat itu merupakan asap yang bisa nyelusup masuk kedalam telinga. Asap itu demikian halus, hingga sulit untuk dilihat dengan mata. Yang jelas ialah tersiarnya baunya yang harum. Untuk mengelabuhi orang, baiklah cari setabung bunga yang harum ditaruh didalam kamar. Asap itu mengandung racun yang keras, siapa terkena, meskipun sedikit, akan roboh pingsan. Selama itu tuan tuan boleh menyembunyikan diri didalam kamar, dikolong meja dan lainnya, baik untuk turun tangan atau menonton saja. Didalam sepuluh musuh, tujuh atau delapan pasti akan roboh sendirinya. Cuma, mengandal asap ini, terserah kepada tuan tuan, apakah tuan2 sudi..."
"Bagaimana, eh?" tanya Kho kong. "Jika kita bersembunyi di dalam kamar, bukankah kita sendiri yang paling dahulu akan terkena racun dan pingsan" Bukankah justru kita yang ditawan musuh?"
"Sabar saudara. Terus baca dahulu..." Kho kong menurut, ia membaca pula:
"Patung kemala itu disimpan didalam sebuah kotak. Suhu menyimpan itu didalam dinding belakang tempat abunya. Didalam kotak itu terdapat juga sebutir pil.Jikalau tuan tuan menelan obat itu, kalian akan bebas dari serangan asap yang beracun itu."
Habis membaca. Ban Liang mengawasi Siauw Pek. "Nah, yang mana yang kau pilih?" tanyanya. Jikalau akupilih yang terakhir," Oey
Eng menjawab lebih dulu, "dengan menawan mereka hidup2, bisa kita mengorek keterangan dari mulut mereka tentang diri mereka itu. Kitapun dapat melindungi keutuhan rumah ini."
"Akupun setuju, walaupun cara ini kurang bersifat laki laki," kata Siauw Pek, Mengandaikan obat, bukan tenaga, bukanlah cara laki laki sejati, demikian anggapan bangsa kungfu atau engchiong budiman dan orang gagah.
"Bagaimana andaikata obat itu sudah hilang tenaga kekuatannya sebab telah tersimpan lama?" Kho kong memperingatkan. "Apakah itu bukan berarti kegagalan?"
"Aku percaya surat ini bukan ditulis sejak lama, bahkan si nona
pasti sudah memeriksa obat biusnya itu," berkata Siauw Pek,
"Mari kita lihat dahulu boneka kemala itu," Oey Eng menyarankan.
"Benar" Ban Liang akur. "Mari" Iapun bertindak cepat kemeja abu. Ketika ia menggeser hio-louw, tempat abu, dibelakangnya ada semacam knop kecil, Ia memegang knop itu, terus memutarnya kekanan dua kali. Mendadak terbukalah sebuah lubang pada dinding. Didalam situ tampak sebuah kotak,
Dengan berhati hati. Ban Liang menarik keluar kotak itu. Ia tutup pula pintu rahasia dan mengembalikan hiolouw pada tempatnya, baru ia membuka tutup kotaknya.
Melihat isi kotak, keempat orang itu kagum sekali. Disitu tampak sepasang boneka kemala, yang indah, yang mirip dengan orang hidup. Setelah diteliti, kedua boneka mirip dengan Soat Kun dan Soat Gie. Ban Liang mengangkat satu boneka, untuk diputar balik satu kali, benarlah perut boneka itu kosong dan dari situ molos keluar sesuatu yang mirip hio, yang panjangnya kira kira tiga dim, yang besarnya seperti kelingking.
"Inilah pasti obat bius itu," kata Oey Eng.
"Tidak salah," Ban Liang membenarkan. Ia berdiam sedetik, lalu ia menambahkan: "Melihat boneka ini, yang begini indah buatannya aku jadi ingat kepada sahabatku itu. Aku khawatir..."
"Apakah yang dikhawatirkan itu, loocianpwee?" tanya Siauw Pek.
"Boneka ini bukan saja indah," menjawab Ban Liang. "Siapa memegang kemala ini, dia merasai hawa hanga.t Inilah bukti bahwa kemala bukan sembarang kemala. Sahabatku itu sangat menyayangi waktu, tak mau ia menyia nyiakannya, maka itu, boneka ini tentunya ia buat semenjak lama. Aku percaya, boneka dibuat bukan
melulu guna memuaskan mata, sekarang kemala ini dikeluarkan,
guna melawan musuh, kalau sampai pecah, apakah tak sayang?"
"Jangan khawatir, loocianpwee," kata Kho kong. "Kita taruh ditempat yang tinggi..."
"Tapi musuh pasti bukan sembarang musuh, sedangkan rumah ini tingginya cuma setombak lebih..."
"Habis, bagaimana pikiran loocianpwee?" tanya Siauw Pek, "Aku masih bersangsi..."
"Kalau begitu, kita berhati-hati saja/" berkata Oey Eng.
"Mungkin kedua nona telah memikir juga," kata Ban Liang kemudian.
Mereka mengambil keputusan memakai tipu yang nomor tiga itu. Selagi bersiap, sijago tua memesan agar kawan-kawannya berhati hati menyentuh segala sesuatu dirumah itu. Soat Kun telah mengatakan bahwa dia telah memasang perangkap.
Sekarang ini semua orang menaruh kepercayaan besar kepada kedua nona itu, maka itu, pesan sijago tua pun segera diperhatikan. Mereka lalu mengatur. Ketika mereka selesai, matahari sudah turun dibarat.
Siauw Pek akan bersembunyi dikolong meja dengan dihalingi dua tumpuk kayu bakar. Kho Kong diminta bersembunyi diatas penglari dimana ada tempat buat satu orang. Dari atas pun orang mudah
melihat keseluruh ruang. Hanya saudara itu dipesan mesti berhati hati, jangan berkelisik,jangan membuka suara.
"Cuma dari atas penglari agak sukar turun tangan," pikir Oey Eng. Ia justru diminta bersembunyi didalam kamar, maka itu ia terus masuk kedalam, untuk memeriksa, memilih tempat sembunyinya.
"Sambil menanti waktu, mari kita beristirahat," mengajak Ban Liang habis dia mengatur diri itu.
Siauw Pek semua menurut. Maka berdiamlah mereka semua, hingga rumah menjadi sunyi sekali. Malam tiba dengan cepat, dan kini keadaan menjadi gelap gulita. suara yang terdengar cuma hembusan angin malam kepada rumah atap itu.
Ban Liang menyulut lilin. Habis menutup jendela, dia masuk kedalam kamar, untuk duduk bersila diatas pembaringan, guna beristirahat sambil menanti musuh. Malam yang gelap dan sunyi kemudian terganggu oleh satu bentakan keras dari luar rumah: "Jikalau ada manusia hidup didalam rumah ini lekas keluar"
Siauw Pek semua menutup mulut. "Awas kamu" terdengar pula suara diluar itu. "Kalau tuan besarmu gusar, akan aku bakar gubuk kamu ini"
Tetap tidak ada jawaban. Agaknya orang diluar itu habis sabar. Tidak lama, segera terdengar suara menjeblaknya pintu, yang telah orang tendang terpentang. Dengan terbukanya pintu, angin menghembus masuk. juga sesosok tubuh orang, yang digantung dipintu bergoyang goyang Ban Liang menaruh api ditempat yang tak tersampaikan angin, maka apinya itu tidak padam, hingga seluruh ruang takmpak nyata. Siauw pek dikolong meja sebaliknya bisa melihat tegas kearah pintu. Diambang pintu tampak berdiri seorang laki-laki lebih kurang empatpuluh tahun. Dia bertubuh besar, dandanannya singsat, tangannya mencekal sebatang golok. Dia berdiri diam mengawasi tubuh yang tergantung itu, rupanya dia sangat terpengaruh.
"Yang tergantung itu, orang mati atau orang hidup?" terdengar pertanyaan dari luar, dari orang lain.
Orang yang berdiri diambang pintu itu menjawab, "Dialah salah satu saudara yang kemarin terluka parah disini "
"Dia sudah mati atau masih hidup?" tanya pula suara itu. Agaknya dia aseran.
"Nampaknya dia sudah mati..."
"Kalau dia sudah mati, lemparlah mayatnya. Buat apa diawasi saja*
Orang itu menurut. Dengan goloknya, dia membabat tali pengikat tubuh mayat, dan dengan yang lain, dia menyambut mayat itu, untuk segera dilemparkan kesamping
Tapi itulah bukan mayat, itulah salah satu musuh yang tertotok Siauw Pek, hanya karena tertotok, dia tak dapat bicara, tak dapat bergerak. karena dia dilemparkan hingga terbanting keras, dia justru jadi putus jiwa
"Hmm, dua orang budak busuk" mengejek orang bertubuh besar itu. "Dengan menggantungkan satu mayat, apakah kamu kira dapat menghalang halangi kami menyerbu masuk?" Lalu, dengan melindungi diri dengan goloknya, dia bertindak maju. Siauw Pek memasang mata keluar. Samar samar ia melihat gerak geriknya kira kira sepuluh orang lebih.
Tiba didalam rumah, orang tadi menyalakan sebuah bambu yang ia bekal. dengan begitu, dengan adanya api lilin didalam, kamar jadi terlebih terang, segala apa apa nampak semakin nyata.
Dari luar terdengar pertanyaan keras dan berat. Apakah ada sesuatu yang mencurigakan" "Tidak ada..." sahut yang baru masuk itu, matanya celingukan. Segera ia melihat sepasang boneka kemala diatas meja abunya Hoan Tiong beng. Maka ia lalu menambahkan. "Di atas meja abu ada dua boneka kemala. Mungkin kedua budak itu sudah lari kabur..." Kamar itu memang telah dirapikan Ban liang
berempat hingga tak nampak sesuatu bekas yang bisa mendatangkan kecurigaan.
Lalu terdengar tindakan beberapa pasang kaki. Maka muncullah diambang pintu empat orang muda berseragam hitam yang memegang pedang mengiringi seorang yang memakai pakaian kuning seluruhnya, yang mukanya ditutup dengan topeng. Orang itu terus masuk, Dibelakang si serba kuning ini terlihat orang lain lagi, seorang muda dengan dandanan perlente, yang lengan kirinya terbalut kain putih.
Dengan mata tajam, si serba kuning menanya anak muda dibelakangnya itu: "Apakah kau melihat tegas sekali"
Nampak pemuda itu sangat menghormati si serba kuning itu, katanya sambil membungkuk
"Tidak salah Dialah orang itu yang di Jiesiewan mencoba merampas barang titipan pada Lauw Haycu."
"Hm" si serba kuning mendumal. "Mungkinkah dia benar-benar turunan si orang she Coh itu yang berhasil menyeberangi jembatan maut Seng Su Kio?"
"Itulah hamba tidak tahu, tidaklah berani hamba memastika " berkata pemuda yang lengannya dibalut itu.
"Thian kiam Kie Tong dan Pa Too Siang Go adalah orang orang yang lihay sekali," berkata pula si serba kuning. "sejak mereka melintasi Seng Su Kio, selama beberapa puluh tahun, tak terdengar beritanya apa benar bocah itu dapat kembali dari Seng Su Kio " Mungkinkah ?"
Orang berkata kata seorang diri, tiada kawannya yang berani campur bicara. Maka ia mengocah pula : "Yang aneh Kenapa mereka itu dapat berhubungan dengan dua orang murid Hoan Tiong Beng?"
Mendadak si anak muda perlente berkata: "Siapa tahu kalau kedua budak itu masih bersembunyi didalam rumahnya ini?"
Mendengar begitu, mendadak orang itu bungkam. Tapi matanya mengawasi tajam kepada kedua boneka kemala. Lalu ia menghampiri meja. Dia terus mengulur tangannya untuk menjemput boneka itu. Baru tangannya itu mau menyentuh, sekonyong konyong dia menarik kembali, batal memegangnya. Lalu ia mengawasi keseluruh ruang.
"Nona nona" dia berkata nyaring; "Nona nona, sekarang ini kamu sudah terkurung rapat. Jikalau kamu tidak mau keluar untuk menemuiku, jangan kamu sesalkan aku keterlaluan. Jangan kamu menyesal"
Siauw Pek dikolong meja heran mendengar suara orang itu. Katanya didalam hati. "Suara dia begini luar biasa, mungkin dia berkepandaian tinggi sekali..."
Si serba kuning tidak memperoleh jawaban, dia gusar. "Masuk" perintahnya. "Geledah"
"Baik" menjawab dua orang berseragam hitam, yang terus bertindak masuk kedalam. Tapi mereka bagaikan orang yang melempat diri kelautan besar, begitu masuk, mereka tak terdengar suaranya lagi, tak nampak muncul pula.
"Budak-budak tolol dan buta" berteriak siserba kuning. "Kemana kamu pergi"..." Mendadak dia menutup mulutnya, terus dia menoleh kepada sipemuda perlente, lalu, mendadak juga dia lari keluar, Dan si anak muda, diapun turut memutaK tubuh untuk lari.
Menampak demikian, Siauw Pek keluar dari tempat sembunyinya, ia berlompat untuk menghadang, dan segera menyerang. Tangan kirinya menyambar siperlente, dan dua jeriji tangan kanannya menotok si serba kuning.
Si serba kuning menangkis totokan itu.
Siauw Pek terkejut. Pikirnya: "Tenaga dalam dia ini tangguh Benarkah obat bius dari dalam boneka kemala itu tak mempan terhadapnya?"
Sementara itu sipemuda perlente, yang juga menangkis
serangan, setelah menangkis itu, terhuyung sendirinya, tubuhnya
roboh, barulah menyusul dia, si serba kuning juga ter-huyung2.
"Dasar kuat tenaga dalamnya dia dapat bertahan," pikir Siauw Pek, Maka tidak ayal lagi ia lompat maju, akan mengulangi serangannya, barulah kali ini, lawan itu roboh terguling.
Ketika itu Kho Kong juga lompat turun dari atas penglari, untuk menyerang dua orang yang berseragam hitam. Mereka ini menangkis, akan tetapi mereka roboh seketika, sebab saat itu,pengaruh obat bius sudah bekerja diantara rombongan penyerbu itu.
Ban Liang muncul ketika dia mendengar suara berisik. "Berhasil?" tanyanya.
Pedang Kayu Harum 8 Terbang Harum Pedang Hujan Piao Xiang Jian Yu Karya Gu Long Durjana Dan Ksatria 7
^